','
(
,~:' c '\"~l, ;, ~,,:,~~'".,1'
",
."' ..... ;,;...~~'.t .... J,
.,t;,:..'tr~,'"
".:rr
.~" ..... :~ .... ; !.t:~*
~
KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS
Oleh
NASIP BIN ELI Sarjana Kedokteran Hewan
B. 170392
8
...!> "" .
t'.
.'
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1985
'\
RINGKASAN
Nasip Eli. Kemungkinan Pasteurella multocida Sebagai Zoonosis adalah suatu studi literatur dibawah bimbingan Drh. Roso Soejoedono, MPH.
E.
multocida merupakan suatu organisme yang dapat me-
nyebabkan penyakit pada berbagai hewan. Umumnya penyakit tersebut dikenal sebagai pasteurellosis. Serotipe
E.
mul-
tocida ditentukan dengan mengkombinasi antigen somatik (dinyatakan dengan nomor) dengan antigen kapsul (dinyatakan dengan abjad) misalnya serotipe l:A, 3:A, 6:B dan seterusnya. Habitat utama organisme ini adalah bagian atas saluran respirasi dan saluran digesti, penularan utama dari hewan ke hewan adalah secara kontak langsung melalui kedua saluran tersebut. Sedangkan penularan deri hewan ke manusia adalah melalui gigitan dan cakaran anjing dan kucing. Pada hewan pencegahan dan pengendalian dapat dilakukan dengan cara imunisasi, kemotherapi, perbaikan sanitasi, ventilasi dan mengurangi kepadatan hewan sedangkan pada manusia belum ada suatu cara yang efektif untuk mencegah penyakit ini, usaha pencegahan penyakit pada hewan tidak dapat menurunkan kasus pasteurellosis pada manusia karena hewan yang sangat berperan adalah anjing dan kucing. Tapi hewan ini tidak dimasukkan dalam usaha pencegahan.
KEMUNGKINAN Pasteurella multocida SEBAGAI ZOONOSIS
SKRIPSI
Oleh NASIP BIN ELI Sarjana Kedokteran Hewan B. 17 0392
Skripsi ini diajukan kepada Pani tia Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Dokter Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
FAKULTAS KEDOKTERAN HEW AN INSTITUT PERTANIAN
1985
BOGOR
KEMUNGKINAN Pasteurella mu1tocida SEBAGAI ZOONOSIS
.<
Oleh NASIP BIN ELI SARJANA KEDOKTERAN HEWAN B. 17 0392
Skripsi ini te1ah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pembimbing.
/iL'rlt0Yv"c)'.-,r\/&~
__
(!Drh. RosOUSoejoedono, MPH. Tanggal:
j
I
BIOGRAFI
Penulis dilahirkan di Kota Belud, Sabah, Malaysia pada tanggal 10 Mei 1958. Dia merupakan
pu~ra
bongsu dari lima
orang bersaudara. Beliau menerima pendidikan dasar di Sekolah Rendah Kerajaan Kota Belud, Sabah. Pada tahun 1970 beliau mendapat beasiswa dari Kerajaan Negeri Sa bah untuk melanj'utkan pendidikan menengah di Sekolah Datuk Abdul Razak, Seremban, Negeri Sembilan dan selesai pada tahun 1977 • . Sebelum melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor beliau pernah berkhidmat di Bank Pertanian Malaysia cabang Kota Kinabalu selama lebih kurang satu tahun. Pada tahun 1979, beliau ditawarkan beasiswa oleh Kerajaan Negeri Sabah untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor khususnya di Fakultas Kedokteran Hewan dan 1ulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan pada bulan Agustus 1984.
KATA PENGHANTAR
Kemungkinan Pasteurella multocida Sebagai Zoonosis, merupakan suatu studi literatur mengenai epidemiologi, kasus-kasus infeksi pada b.e.rbagai hewan dan manusia serta pencegahan dan pengendalian penyakit.
E.
multocida sudah dike-
nal sejak tahun 1880, tapi pada waktu itu hanya dianggap sebagai mikroorganisme yang hanya menyerang hewan dan unggas. Pada tahun 1969 dengan adanya beberapa kasus penularan dari hewan ke manusia maka Schwabe mengklasifikasikan mikroorganisme ini sebagai 'emerging zoonosis'. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Drh. Roso Soejoedono, MPH selaku dosen pembimbing atas segala saran, kritik dan bimbingannya selama studi ini dilaksanakan. Juga ucapan terima kasih penulis kepada Pegawai Perpustakaan Fakultas Kedokteran Hewan, Balai Penelitian Penyakit Hewan (BPPH Bogor) dan Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi serta kepada semua pihak yang telah membantu sehingga selesainya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa isi daripada skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh yang demikian segala kritik, saran dan teguran sentiasa diharapkan demi untuk melengkapi dan memperbaiki isi skripsi ini. Akhir sekali penulis mengharapkan semoga hasil yang tertuang dalam skripsi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Januari 1985 Penulis
DAFTAR lSI
Halaman DAFTAR TABEL I; PENDAHULUAN
•
vi
.'
.
•
•
II. EPIDEMIOlOGI.
•
•
• •
1
•
4 6
Agen Penyebab Reservoir • •
•
•
10
Cara Keluar
10
Cara Transmisi. • •
12
Cara Masuk
·
•
•
13
Host Yang Peka
13
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian
13
III. INFEKSI Pasteurella multocida PADA MANUSIA
IV. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN Imunisasi
.
•
•
24 26
•
Pencegahan
26
V. PEMBAHASAN
29
VI. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA
18 24
•
•
Kemotherapi
•
•
·
33 •
•
37
DAFTAR TABEL
Ha1aman
Nomor 1. Ringkasan serotipe )2. mu1tocida yang umum
dijumpai pada berbagai hewan • • • • • • • • •
7
2. Hubungan an tara serotipe )2. mu1tocida
dengan species host dan patogenisitasnya
3. Host dari E. multocida
• . • • • •
4. Lokasi anatomis dari infeksi
)2. mu1tocida
11 14
da1am hubungannya terhadap kemungkinan hewan sebagai sumber infeksi se1ain dengan cara gigi tan
....... ... .
• • • • • 23
1. PENDAHULUAN
Pasteurellg.
adalah genus sekelompok bakteri yang ter-
masuk dalam Familia Brucellaceae
(B~uner
dan Gillespie,
1973). Pemberian nama tersebut didasarkan atas jasa seorang ahli mikrobiologi asal Perancis bernama Pasteur (Bruner dan Gillespie, 1973; Buxton dan Fraser, 1977). Beliau berhasil untuk pertama kalinya'mengidentifikasi mikroorganisme ,penyebab penyakit kolera pada ayam (fowl cholera), yang sekarang ini dikenal sebagai Pasteurella multocida. Genus lain yang bersifat patogen yang termasuk dalam familia ini adalah Bordetella, Brucella, Hemophilus, Moraxella dan Actinobacillus, umumnya kecil berbentuk kokoid sampai bentuk batang (Bruner dan Gillespie, 1973). Penyakit yang disebabkan oleh Pasteurella umumnya disebut pasteurellosis (Steele, 1979; West, 1979; Bruner dan Gillespie, 1977). Ini merupakan sindrom penyakit yang beragam luas pada hewan berdarah panas. Pada species ayam bentuk epidemik dari infeksi
;e. multocida dikenal se bagai ko-
lera ayam. Pada sapi berbagai macam septicemia masih umum dibeberapa bagian benua Asia dan Afrika dan ini sering dikaitkan dengan beberapa serotipe
E. multocida (Steele, 1979).
E. multocida dan E. hemolitica sangat berperan terhadap pneumonia pada hewan terutama ruminansia. Salah satu penyakit pada sapi yang disebut shipping fever atau stockyard pneumonia atau transport fever sering diasosiasikan
2
dengan hewan yang mengalami stress akibat· transportasi yang jauh dan lama. Penyakit yang sama juga terdapat pada domba dan disebut 'enzootic pneumonia' atau 'summer pneumonia'. Pneumonia yang bersifat fibrinosa pada babi merupakan infeksi sekunder oleh
E.
multocida setelah hewan tersebut di-
serang oleh virus. Istilah 'snuffle' sering digunakan pada kelinci yang terinfeksi pada saluran respirasi bagian atas oleh £. multocida (Steele, 1979). Pada kerbau penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini disebut barbone (Buxton dan Fraser, 1977). Pada hewan telah banyak diketahui tentang penyakitpenyakit yang disebabkan oleh Pasteurella terutama
E.
tocida, tetapi bagaimana kasusnya dengan manusia?
Akhir-
mul-
akhir ini beberapa literatur menyatakan bahwa £. multocida termasuk dalam zoonosis, yaitu suatu penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan sebaliknya (Schwabe,
1979). Kasus pertama infeksi
E.
multocida pada manusia (dise-
but purperal sepsis) adalah pada seorang wanita yang tinggal dikawasan peternakan (Brugnatelli, 1913 dalam Schwabe, 1969). Walaupun Brugnatelli menceritakan dalam literatur veterinernya mengenai
E.
multocida, tetapi tidak dijelaskan secara
spesifik bahwa wanita tersebut mendapat infeksi dari hewan. Menurut Brugnatelli agen penyebab mempunyai sifat-sifat motil dan resisten terhadap cairan empedu yang mana sifatsifat tersebut tidak dimiliki oleh P. rnultocida (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975).
3 Dua kasus infeksi pada saluran pernafasan dilaporkan pada tahun 1919 (Debre dan Hundes, 1919 dalam Hubbert, Mc ,Culloch dan Schnurrenberger, 1975). Dalam, dua abad terakhir ini laporan mengenai penyakit pada manusia yang disebabkan ,<
oleh £. multocida telah banyak dipublikasi, ini menunjukkan bahwa hewan sebagai reservoir adalah sumber infeksi yang paling mungkin. Karpal dan Holm pada tahun 1930 membuktikan bahwa kasus £. multocida dapat ditransmisikan dari hewan ke manusia, yaitu dari gigitan kucing (Schwabe, 1969). Pada tahun 1969 Schwabe mengklasifikasikan £. multocida sebagai 'emerging zoonosis' dan hal ini tentu dapat menimbulkan masalah terhadap kesehatan manusia. Tujuan mengadakan studi literatur ini adalah untuk mengenal sifat-sifat £. multocida lebih mendalam, menggumpul kasus-kasus zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme ini serta mempelajari kemungkinan berbagai faktor yang berperan dalam penularan penyakit dari hewan ke manusia.
II. EPIDEMIOLOGI
E. multocida pertama sekali diidentifikasi oleh Pasteur, ketika itu beliau bersama rekan-rekannya sedang menyelidiki suatu epidemik penyakit pada ayam dan berhasil mengisolasi bakteri yang mempunyai sifat-sifat yang sarna dengan
Paste~
rella. Hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa gejala klinis yang terlihat pada ayam tersebut sangat menyerupai gejala-gejala kolera pada manusia, dengan demikian mereka menyebutnya sebagai kolera ayam atau fowl cholera. Dalam beberapa literatur sering ada kekeliruan antarafowl cholera dengan fowl thypoid, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh Salmonella ga1linarum yang pada waktu itu penyebarannya lebih luas dibanding dengan kolera ayam (Buxton dan Fraser,
1977).
E. multocida mempunyai sinonim yang bermacam-macam, misalnya
E.
septica,
E.
boviseptica,
E.
suiseptica dan
E.
aviseptica. Pemberian nama tersebut tergantung pada species hewan yang terinfeksi oleh mikroorganisme tersebut (Buxton dan Fraser, 1977).
E. multocida mempunyai bentuk kokoid, berukuran sekitar 0,3 mikron lebar dan panjangnya 0,4 mikron. Pewarnaan yang tipis dari suatu jaringan memperlihatkan bagian ujung batang lebih gelap daripada bagian tengah, sehingga memberikan gambaran yang bipolar. Tapi sifat-sifat ini tidak begitu kelihatan pada mikroorganisme yang dibiakkan dan dalam beberapa kasus sangat mUdah terganggu oleh pewarnaan yang berlebihan.
5 Bersifat gram negatif dan tidak membentuk spora. Beberapa strain membentuk substansi kapsul bila baru diisolasi, tapi sifat-sifat ini biasanya akan segera hilang (Bruner dan Gillespie, 1973).
E.
•
multocida akan tumbuh secara aerobik atau anaerobik
dengan tekanan oksigen yang rendah, temperatur yang optimal adalah 37°C. Pada media laboratorium yang umum digunakan E. mu1tocida dapat tumbuh, tapi pertumbuhan ini akan dipercepat dengan adanya serum atau darah pada media tersebut (Buxton dan Fraser, 1977). Pada agar, koloni dari
E.
multocida memperlihatkan pol a
disosiasi yang secara praktis dapat dibagi menjadi tiga variasi, yaitu: i) koloni mukoid yang besar dengan virulensi terhadap mencit sedang saja, ii) adalah koloni licin atau flourescent colony, ukurannya sedang dan iii) adalah koloni kasar (rough) atau koloni biru, ukurannya relatif kecil, virulensi terhadap mencit rendah (Bruner dan Gillespie, 1973).
E.
multocida tidak tahan terhadap bahan kimia dan per-
ubahan fisik, dapat dengan mudah diinaktifkan dengan semua bahan-bahan disinfektan. Beberapa penulis beranggapan bahwa mikroorganisme ini tersebar luas atau ditemukan dim ana-mana sebagai saprofit. Kebanyakan hidup pada membrana mukosa yang normal dan masih diragukan apakah mereka bisa berkembang pada tempat lain (Bruner dan Gillespie, 1973). Namioka dan Murata pada tahun 1964 dalam studinya memperlihatkan bentuk kompleks dari antigen somatik dan adanya antigen bersama (shared antigens) diantara strain yang di-
6 ambi1 dari berbagai sumber. Kesemuanya ada 11 antigen somatik yang berbeda te1ah diidentifikasi, dan antigen struktur dari tiap
E. multocida sekarang dapat dikemukakan dengan
nomor yang menunjukkan antigen somatik, kemudian diikuti oleh abjad yang menunjukkan antigen kapsu1 (Buxton dan Fraser 1977). Tabe1 1 memper1ihatkan serotipe-serotipe yang umum dijumpai pada berbagai hewan. Pada sapi masa 'inkubasi adalah 2 sampai 5 hari. Onset biasanya mendadak, pada hari pertama atau hari kedua akan terlihat diare berdarah, pneumonia dan demam. Pada hari kedua atau ketiga akan terjadi perkembangan 1ebih 1anjut, biasanya 1ebih parah. Kematian umumnya terjadi da1am waktu 24 jam pada satu atau beberapa ekor yang pertama terkena penyakit. Umumnya semua kematian terjadi dalam waktu 2 ataU 3 hari pertama. Khusus pada sapi mortalitas umumnya tinggi dan disertai dengan demam yang tinggi (Udall, 1978) .
.i)gen Penyebab
Kuman Pasteurella yang pertama kalinya ditemukan oleh Pasteur pada tahun 1880 pada sekelompok ayam yang menderita ko1era. Kitt pada tahun 1886 memberi nama pada mikroorganisme tersebut sebagai Bacterium bipo1are mu1tocidum. Oleh karena identitas mikroorganisme ini dan persamaan penyakit yang ter1ihat pada bermacam species hewan membuat Hueppe pada tahun yang sama mengelompokkan mereka dalam satu nama yaitu Bacterium septicemiae haemorrhagicae. Pada tahun ber-
7 Tabel 1. Ringkasan serotipe Pasteurella multocida yang umum dijumpai pada berbagai hewan. (Modifikasi dari Namioka dan Bruner, 1963 dan Carter" ton dan Fraser, 1977).
Serotipe
Species host
1967 dalam Bux-
.'
Penyakit
l:A
Babi Mencit
Pneumonia Sepsis
3:A
Babi
Pneumonia
5:A
Ayam Kalkun Itik Babi
Kolera ayam Kolera ayam Kolera ayam Pneumonia
7:A
Sa pi
Sepsis
8:A
Ayam
Kolera ayam
9:A
Kalkun
Kolera ayam
6:B
Sapi
Septicemia epizootica
l:D
Babi Domba
Pneumonia Pneumonia
2:D
Babi
Pneumonia
3:D
Kucing
Pneumonia
4:D
Babi Domba
Pneumonia Pneumonia
lO:D
Babi
Pneumonia
6:E
Sa pi
Septicemia epizootica
8 ikutnya Trevison mengusulkan agar mikroorganisme ini dibagi dalam beberapa species, tapi dikelompokkan dalam satu genus yaitu Pasteurella, sebagai menghormati orang yang pertama menemukan mikroorganisme tersebut. Lignieres pada tahun 1900 mengusulkan agar nama kuman sesuai dengan nama hewan yang diserang. Kemudian Rosenbusch dan Merchant pada tahun 1939 mengusulkan agar mikroorganisme yang menyebabkan septicemia epizootica pada berbagai hewan digolongkan dalam satu species yaitu £. mUltocida. Nomenclatur yang terakhir inilah yang digunakan sampai sekarang (Bruner dan Gillespie, 1973). Roberts pada tahun 1947 membagi kuman £. multocida menjadi
4 serotipe yaitu serotipe 1,11,111 dan IV, pembagian
ini didasarkan atas 'mouse protection test', kemudian ditambah oleh Hudson (1945) dengan serotipe V. Carter pada tahun
1955 membagi kuman £. multocida kedalam 5 serotipe yaitu serotipe A, B, C, D dan E, dasar pembagiannya adalah sifat-sifat antigen selubung (kapsul) kuman dalam 'indirect hemagglutination test'. Oleh sesuatu sebab serotipe C dicabut dari pembagian. Sejak tahun 1952, dari 14 negara Afrika dan Asia sejumlah 120 strain Pasteurella yang telah diperiksa, ternyata keseluruhannya termasuk dalam serotipe I klasifikasi Roberts (Direktorat Kesehatan Hewan, 1981). Hubungan kedua klasifikasi (Roberts dan Carter) dapat dilihat dalam tabel 2, yang telah dimodifikasi oleh Namioka (Steele, 1979). Penentuan serotipe kuman
£. multocida dilakukan dengan
mengkombinasi tipe antigen somatik dengan tipe antigen selubung (kapsul), misalnya kuman penyebab septicemia epizoo-
9 tica di Asia dengan serotipe 6:B, di Afrika Tengah dengan 6:E, ko1era unggas dengan 5:A dan 9:A, shipping fever dengan l:A atau l:D dan sebagainya (Direktorat Kesehatan Hewan, 1981). Kuman
E.
.'
multocida berbentuk coccobacillus, ukuran sa-
ngat halus dan bersi.fat bipolar. Sifat bipolar ini 1ebih jelas ter1ihat pada kuman yang baru diiso1asi dari penderita dan diwarnai misa1nya dengan cara Giemsa Wright atau dengan karbo1 fuchsin. Kuman ini bersifat gram negatif, tidak membentuk spora, non-motil dan mempunyai selubung yang lama kelamaan dapat hilang karena penyimpanan yang terlalu lama. Koloni kuman yang baru diiso1asi dari penderita atau hewan percobaan biasanya bersifat mukoid, dan lama ke1amaan berubah menjadi 1icin (smooth) atau kasar (rough). Koloni yang bersifat iridescent pada pengelihatan dari permukaan bawah cawan petri, biasanya masih virulen. Kuman ini membebaskan gas yang berbau seperti sperma (Direktorat Kesehatan Hewan, 1981) • Gambaran preva1ensi pada hewan sehat sebagai carrier sangat bervariasi dari satu species dengan species yang lain. Pada tahun 1955 Smith dalam reviewnya memberikan gambaran prevalensi carrier pada hewan sebagai berikut: 3,5% pada sapi dan 90% pada kucing. Beberapa literatur menyatakan bahwa prosentase ini ada1ah sebesar 5,56% pad a domba, 9% pada babi dan 79,5% pada anjing. Sedangkan pada popu1asi tertentu burung gereja, merpati dan tikus yang pernah kontak dengan suatu wabah kolera ayam, ratio carri
10 cara berurutan adalah 35%, 66% dan 77%. Pada saluran respirasi manusia, prevalensi yang pernah dilaporkan adalah sebesar 0,2 sampai 0,25% (Bruner dan Gillespie, 1973).
Reservoir Hewan merupakan host primer dari
E.
multocida dan me-
rupakan reservoir yang paling penting terhadap infeksi pada manusia. Hampir semua mammalia dan unggas merupakan host yang primer bagi E. multocida (Steele, 1979). Tabel 3 memperlihatkan daftar mammalia dan ordo unggas yang pernah diketahui sebagai hostnya.
Qara Keluar
Habitat utama
E. multocida adalah permukaan mukosa da-
ri host terutama bagian cranial dari saluran respirasi dan saluran digesti. Dengan demikian cara keluar mikroorganisme ini bisa melalui kedua saluran tersebut, terutama pada keadaan dimana tidak terjadi epidemik (Steele, 1979). Pada sapi jika terjadi bakteremia yang akut maka mikroorganisme ini juga ditemukan pada ambing yang terserang mastitis, demikian juga pad a domba, pada kasus ini mikroorganisme bisa keluar melalui air susu (Bruner dan Gillespie, 1973). Pada anjing dan kucing pengeluaran mikroorganisme biasanya melalui air liur yang mengandung kuman tersebut (Steele, 1979) •
11
Tabel 2. Hubungan an tara serotipe Pasteurella multocida dengan species host dan patogenisitasnya. (Modifikasi dari Namioka, 1970 dalam Steele, 1979).
Sero- Patogenisitas Hewan tipe
Tipe Somatik(O)
Kapsul
1
A
l:A
D -a
l:D 1:
2
D
3
A
4
D D
2:D 3:A 3:D 4:D
5
A
5:A
5:_ 6
7 8 9 10 11
B E A A A D
B
6:B
6:E 6: 7:A 7:_ 8:A 9:A lO:D 11:B
Pneumonia Septicemia Pneumonia Pneumonia Pneumonia Pneumonia Pneumonia Pneumonia Pneumonia Kolera ayam Pneumonia Kolera ayam Pneumonia Luka lokal S.E b S.E. S.E. Septicemia Septicemia Kolera ayam Kolera ayam Pneumonia Luka lokal
Babi Mencit Babi Babi Domba Sapi Babi Babi Kucing Babi Domba Ayam Babi Ayam Babi Manusia Sa pi Sapi Sapi Sa pi Sapi Ayam Ayam Babi Sapi
Jumlah strain yang diperiksa
9 2 1 1 2 2 12
3 1 2 2 13
3 21 1 1 6 1 10
5 2 1 7 1 1
Keterangan a : Tidak ada kapsul
b
Septicemia epizootica
12 Cara Transmisi
Pernah dilaporkan bahwa arthropoda dapat bertindak sebagai vektor mekanik atau vektor biologik. Caplak dan tungau pernah menunjukkan kesanggupan untuk 'harbouring'
E.
multocida selama 100 hari walaupun tidak terjadi penularan secara transovarial (Steele, 1979). Transmisi secara langsung lebih sering terjadi tanpa ada induk semang antara, yaitu dengan cara melalui pernafasan dan makanan. Sedangkan transmisi melalui arthropoda masih dianggap cara penyebaran alami (Steele, 1979). Penularan
E.
multocida dari hewan ke manusia dengan
cara gigitan dan cakaran yang terkontaminasi dengan sekresi sangat berperan. Hampir separuh kasus infeksi oleh mikroorganisme ini pada manusia diasosiasikan dengan cara pendedahan ini. Prevalensi yang tinggi
E.
mu1tocida pada an-
jing dan kucing pada luka akibat berkelahi menunjukkan juga bahwa pada hewanpun cara infeksinya sama (Steele, 1979). Transmisi secara tidak langsung oleh benda-benda mati atau hasil-hasil hewan diduga terjadi atau pernah menunjukkan sekurang-kurangnya sebagai teori yang mungkin, karena mikroorganisme ini sanggup untuk bertahan hidup untuk beberapa waktu dalam suatu lingkungan. Kecuali pad a keadaan epidemik cara transmisi seperti ini dianggap tidak begitu penting baik penyebaran penyakit atau melindungi species ini (Steele, 1979).
13 Cara Masuk
Infeksi atau kolonisasi pada
permukaa~
mukosa pada he-
wan umumnya melalui saluran respirasi., dan saluran digesti, yaitu dengan cara inhalasi dan ingesti. Cara masuk dari hewan ke manusia melalui luka akibat gigitan atau cakaran. Pada penularan dari hewan ke manusia,.kucing merupakan sumber infeksi yang paling sering kemudian yang kedua adalah anjing. Ditekankan bahwa kucing bisa menyebabkan infeksi dari hasil gigitan dan cakarannya, sedangkan pada anjing cakarannya tidak menyebabkan infeksi. Beberapa penulis beranggapan bahwa hal ini terjadi karena perbedaan cara pemeliharaan kedua hewan tersebut (Steele. 1979).
Hampir semua mammalia dan unggas merupakan host
E.
multQ-
£ida. Hewan piaraan dan ruminansia liar, anjing, kucing, roden sia dan berbagai jenis unggas merupakan host primernya. Tapi kuda jarang merupakan host bagi
E. multocida. Pada hewan per-
cobaan, kelinci dan mencit sangat peka terhadap inokulasi, sedangkan tikus dan cavia bersifat resist en (Steele, 1979).
Faktor~Faktor
Yang Mempengaruhi Kejadian
. Septicemia epizootica. merupakan penyakit akut pada sapi dan kejadian ini terbat'as untuk daerah Asia dan Afrika, walau-
14 Tabel 3. Host dari Pasteurella multocida a
Mammalia Bobcat Rubah Racoons Singa Otter
Primata Owl monkeys Squirrel monkeys Manusia Ungulata Sapi Elk Kambing Babi Kuda Kerbau air Bighorn sheep Rusa Caribou Bison Unta Reindeer Karnivora Kucing Lynx Beruang Anjing laut Mink Panther Puma Anjing
Rodentsia Tikus Mencit Nutria Gerbils Chipmunk Muskrat Voles Insectivora Mole Lagomorpha Kelinci Hewan berkantong Wallaby Kanguru Marmosa Opposum
Probosidae Gajah Burung b Pinguin Grebes Pelikan Kuntul Unggas air, Angsa, Geese dan Itik liar atau piaraan Predator: Hawks, Burung elang dan Vul tures Ayam, Kalkun dan ayam hutan Bangau Betet Burung hantu Merpati Camar Sandpipers
Sumber: Steele, 1979 a : Host yang diketahui penting dalam pola patogenik dan epidemiologis dari b
E.
multocida
Daftar yang dikumpul oleh M. Rosen yang terdiri dari 58 species burung liar yang bisa kena infeksi oleh
E. multocida Tidak semua ordo dimasukkan dalam tabel diatas.
15 pun beberapa wabah penyakit pernah di1aporkan di Amerika Utara. Pada daerah endemik kejadian ini terjadi pada musim hujan. Tanda-tanda awa1 ada1ah kematian secara mendadak pada satu atau beberapa hewan.
Kematia~
pertama ini mungkin
disebabkan oleh kepekaan yang tinggi pada beberapa hewan yang terdedah pada hewan carrier, se1anjutnya akan terjadi penularan secara besar-besaran pada daerah tersebut sehingga terjadi epidemik pada ke1ompok hewan yang tidak diimunisasi (Steele, 1979). Pada kasus kolera ayam, kejadian penyakit berupa septicemia dengan onset yang tiba-tiba serta mempunyai angka morbiditas dan morti1itas yang tinggi, tapi kadang-kadang bisa terjadi infeksi yang bersifat kronis dan asimptomatik. (Siegmund, 1979). Di Indonesia khususnya di Bali yaitu Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, wabah penyakit kolera unggas yang mUlai pad a bulan Oktober, 1979 angka kematian mencapai 23,3% dari 4662 ekor popu1asi itik di desa tersebut dalam waktu 3 minggu (Direktorat Kesehatan Hewan, 1982). Faktor-faktor predisposisi adalah sanitasi yang tidak baik, ventilasi kandang tidak teratur dan ayam diternakkan dalam jumlah yang banyak pada suatu ruangan yang terbatas (Steele, 1979). Kejadian penyakit septicemia epizootica pada sapi terdapat hampir se1uruh dUnia, kasus yang primer terjadinya wabah penyakit kemungkinan besar pada hewan carrier yang selanjutnya menyebar kepada hewan lain yang mempunyai re-
16 sistensi yang rendah (Gracey, 1981). Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian adalah pengaruh dingin, keadaan yang lembab, pengangkutan dalam jarak jauh, hewan berdesak-desakan dalam kandang yang kecil dan juga oleh faktor kelelahan. Pada swine plague umumnya didahului oleh penyakit-penyakit seperti kolera dan influenza. Malnutrisi karena pemberian pakan yang kwalitasnya kurang baik, parasit-parasit pada usus,
sanitasi yang tidak memadahi dan keadaan kandang yang
terlalu sempit juga merupakan faktor predisposisi (Steele, 1979). Secara alami penyebaran penyakit hanya terjadi pada satu species saja, yang berarti jika terjadi wabah penyakit pada ayam, jarang sekali menyebar pada sapi atau domba walaupun kontak antara hewan terse but sangat dekat. Tetapi kalau strain atau galur penyebab penyakit diisolasi dan disuntikkan pada species lain, dapat menyebabkan septicemia yang akut dan fatal (Bruner dan Gillespie, 1973). Hubbert dan Rosen pernah mempelajari tentang kejadian infeksi E. multocida pada manusia dalam hubungannya dengan umur dan jenis kelamin. Tipe luka terinfeksi akibat gigitan hewan memberikangambaran distribusi yang tidak merata pada jenis kelamin, ini tergantung pada species hewan yang menggigit. Kucing lebih sering menggigit wanita, tapi anjing distribusinya merata pada wanita dan lelaki. Kurang dari satu per tiga individu yang digigit berumur kurang dari 20 tahun, dalam kelompok ini tidak ada perbedaan kejadian infeksi dari anjing dan kucing yang ditemukan menurut jenis
17 kelamin (Steele, 1979). Kasus-kasus pasteurellosis yang tidak berhubungan dengan gigitan hewan pada manusia, lelaki lebih sering terinfeksi dibanding dengan wanita. Mayoritas lelaki yang terinfeksi melalui saluran respirasi dan berumur 40 tahun atau lebih. Individu yang lebih muda yaitu kurang dari 20 tahun hanya 25% saja dari kelompok tersebut (Steele, 1979).
III. INFEKSI Pasteurella multocida PADA MANUSIA
Hewan adalah host utama
r.
mUltocida dan merupakan re-
servoir yang penting terhadap infeksi pada manusia. Menurut pengamatan hampir setengah infeksi pada manusia yang tidak berhubungan dengan luka bagian lUar, tidak dapat ditelusuri adanya kontak dengan hewan yang bersangkutan. Hal ini mungkin terjadi karena 'casual exposure', Fungsi daripada pendedahan ini dalam epidemiologi dari pasteurellosis merupakan suatu subyek yang sering menjadi spekulasi tetapi tidak pernah diselidiki secara kritis. Dalam sUatu review dari 136 gigitan yang tidak dihubungkan dengan infeksi
r.
multocida
pada manusia, Hubbert dan Rosen sanggup mendeteksi kemungkinan hewan sebagai sumber dalam 69 kasus dan 31 kasus bukan disebabkan oleh hewan sedangkan sisanya tidak dapat ditentukan (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975). Proposi yang sama yaitu 73% infeksi pada manusia yang ada hubungannya dengan hewan telah dilaporkan lebih awal oleh Olsen dan Needham (Steele, 1979). Pasteurellosis pada manusia sUdah lama dikenal di Amerika Serikat, tetapi laporan penyakit belum didapatkan. Data epidemiologi yang ada terbatas pada beberapa pernyataan yang mengandung keterangan khusus untuk penelitian klinis dan beberapa penelitian laboratorium. Laporan ini kurang lengkap untuk penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan resiko terhadap infeksi, misalnya distribusi geografis, umur, jenis kelamin, reservoir yang potensial pada beberapa hewan,
19 pengaruh musim atau kemungkinan transmisi antar manusia. Dengan a1asan ini maka studi dimu1ai pada tahun 1965 untuk mengetahui kepentingan infeksi E. multocida terhadap kesehatan masyarakat di Amerika Serikat (Hubbert, Rosen dan Caten, 1967 dalam Schwabe, 1969).
•
Dari studi tersebut didapatkan 196 kasus lengkap (yaitu 123 dari gigitan hewan dan 75 kasus bukan dari gigitan hewan) dari 33 negara bagian dan District Columbia dalam waktu sekitar 18 bulan. Review kasus ini dalam literatur dan dalam studi semuanya 380, ini menunjukkan gambaran yang menarik tentang epidemiologi dari infeksi
E.
multocida pada
manusia (Schwabe, 1969). Dari 200 1uka' gigitan yang terinfeksi, kucing bertanggungjawab terhadap 115 dan anjing 80 (secara berurutan adalah 57,5% dan 40%), dan masih ada kasus tersendiri yang disebabkan oleh singa, opposum, harimau kumbang, kelinci dan tikus. Distribusi anatomis dari infeksi
E.
mu1tocida akibat
gigitan anjing sarna dengan hewan-hewan lainnya, tetapi pada kucing agak berbeda. Kejadian pada mUka jarang terjadi, yang lebih sering adalah pada daerah kaki. Pada kucing ini, infeksi disebabkan oleh cakarannya terdiri dari 16% dibanding dengan dari gigitannya. Sebagai contoh seorang anak laki-1aki yang dicakar kucing, terjadi u1kus pada cornea dengan sisa parut. Tapi sayangnya tidak ada studi epidemiologi dari gigitan kucing yang bisa dipakai sebagai pembanding (Schwabe, 1969). Abses lokal dan'cellulitis dari ekstremitas merupakan
20
kasus yang umum dari hasil gigitan hewan walaupun septicemia atau komplikasi yang hebat bisa terjadi. Tidak didapatkan pengaruh variasi musim terhadap infeksi f. multocida hasil dari gigitan hewan (Schwabe, 1969). Ada perbedaan jelas dalam distribusi usia antara pa-, sien yang terdedah terhadap kucing dan anjing. Diantara yang terdedah pada kucing sebagian besar berusia lebih dari
45 tahun dengan beberapa kasus pada anak-anak. Sebaliknya anak-anak berusia 19 tahun atau kurang, separuhnya
mende~
rita infeksi dari gigitan anjing. Dalam kedua kelompok jumlah wanita lebih banyak dibanding dengan lelaki (Schwabe, 1969) • Sebenarnya semua organ tubuh bisa terkena oleh penyakit ini dan penyakitnya bisa bertahan seumur hidup. Diantara 75 kasus yang pernah dipelajari, 44 kasus menyangkut alat respirasi, 15 kasus daerah abdomen dan hanya 10 kasus berupa lesio lokal pada ekstremitas. Pada alat respirasi kelihatannya lebih umum pada lelaki dan kelompok usia lanjut. Organisme ini dapat merupakan penyebab utama dari tonsilitis, pneumonia, empyma dan abses paru-paru. Pada kasus bronchiectasis, emphysema dan bronchogenik carcinoma dapat pula dihubungkan dengan agen penyebab lain. Terdapat 8 kasus pada daerah abdomen yang menyebabkan abses pada usus buntu (appendix) atau abses peritoneum yang berdekatan dengan usus buntu. Organisme ini dapat diisolasi dari urine, abses kelenjar Bartholin dan polyp endometrium (Schwabe, 1969) •
21
Pernah pula dilaporkan kasus cervicitis, ulkus pada duodenum dan gastroenteritis yang disebabkan oleh
E.
multo-
cida. Pada kasus yang menyangkut ekstremitas termasuk ulkus pada telapak kaki, abses, arthritis dan osteomyelitis pada bagian atas dan bagian bawah kaki, agen pernah diisolasi dari cairan kaki dan lutut yang menderita gout (Schwabe, 1969). Penyakit pada susunan syaraf pusat yang mungkin disebabkan oleh
E.
multocida termasuk abses pada otak dan me-
ningitis. Conjunctivitis, otitis media chronica dan septicemia juga bisa disebabkan oleh agen ini. Tentang asal infeksi
E.
multocida, Schwabe (1969) menerangkan dari 136 ka-
sus yang dipelajari, 89 daripadanya kemungkinan kontak dengan hewan, 70 dari 89 kasus adalah terdedah pada unggas dan mammalia. Peranan unggas dan mammalia disini hanya sebagai 'harbour' dari Pasteurella. Sisanya yang 19 lagi tidak diketahui adanya kontak dengan hewan. Tabel 4 memperlihatkan hal tersebut. Pada infeksi yang tidak berhubungan dengan gigitan hewan, asumsi yang bisa diterima adalah infeksi mungkin transmisi lang sung dari hewan tingkat rendah kepada manusia dengan cara yang lain selain dari route gigitan. Penularan dari manusia ke manusia jarang sekali terjadi walaupun ada beberapa bukti menunjukkan bahwa hal ini dapat terjadi. Smith (1959) pernah mengisolasi agen dari tenggorokan dua orang mahasiswa veteriner yang sehat dan Mulder dan De Boer (1938) mencatat bahwa organisme ini tinggal dalam sputum
22 seorang wanita dengan penyakit respirasi se1ama 5 tahun. Sp~tum
dari seorang 1agi masih positif untuk sekurang-ku-
rangnya 12 tahun sete1ah pneumonectomi (Hubbert, Rosen dan eaten, 1967 da1am Schwabe, 1969).
23 Tabel 4. Lokasi anatomis dari infeksi Pasteurella mUltocida dalam hubungannya terhadap kemungkinan hewan sebagai sumber infeksi selain dengan cara gigitan.
Sum b e r Lokasi anatomis
Ter- Hewan nak kesayangan
Hewan lain
Satwa Bukan Tidak Total liar Hewan diketahui
Saluran respirasi
23
8
5*
2
II
25
74
Abdomen
4
6
o
0
3
9
22
Esktremitas
0
7
1**
0
1
1
10
Susunan syaraf pusat
5
4
1***
0
2
10
22
Septicemia
1
1
0
1
2
5
Conjunctivitis
1
1
o o
0
1
o
3
Total
34
27
7
2
19
47
136
Sumber: Schwabe, 1969. Keterangan
*
Penjual daging, peternak rubah, petugas veteriner dan peminum susu mentah
**
Luka dijari pada waktu menangani daging kalkun.
**-1(-
Berkontak dengan serabut daging kelinci yang digunakan untuk keperluan hemostasis.
IV. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
Imunisasi
Pada sapi septicemia epizootica yang disebabkan oleh
£. mgltocida, menyebabkan kerugian ekonomis yang sangat besar (Buxton dan Fraser, 1977). Menurut Francis, Schel dan Carter (1980), ~i Thailand kematian tiap tahun pada sapi adalah 10.000, di Sri Langka pada tahun 1955 sampai tahun 1958 kematian tiap tahun sekitar 5.000, di India 30.000 sampai 50.000 per tahun sedangkan di Zambia pada tahun 1978 kematian pada sapi adalah 10.000 (Bain, DeAlwis, Carter dan Gupta, 1982). Di Indonesia khususnya di Sumatra Barat yaitu di Kabupaten 50 Kota, Tanah Datar dan Pesisir Selatan wabah pada bulan Juni sampai Agustus 1983 menyebabkan kematian 58 kerbau dan 33 sapi dalam hal ini tidak termasuk hewan yang dipotong paksa (Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah II Bukit Tinggi, 1983). Oleh karena onset penyakit secara tibatiba serta komplikasi lainnya yang bisa menyebabkan kematian maka kerugian ekonomis tidak dapat dielakkan (Udall, 1978). Hal tersebut diatas merangsang penelitian mengenai metode perlindungan terhadap penyakit yang dianggap terpercaya dan praktis. Bermacam agen imunisasi pernah dibuat yaitu terdiri dari filtrat bakteri, bakteri yang diinaktifkan dan dari bakteri yang hidup. Beberapa hasil yang memuaskan pernah didapat dengan memakai 'formolised vaccine' yang disediakan dari pupukan 'iridescent' yang diemulsikan dengan
25 lanolin dan parafin cairo Demikian juga 'alum precipitated vaccine' pernah terbukti bermanfaat. Perlindungan yang dapat diberikan oleh vaksin-vaksin tersebut
diata~
yang diukur di
laboratorium dengan cara 'mouse protection test' bisa berak"' hir sampai satu tahun. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, adalah perlu sediaan vaksin dari strain/galur yang berkapsul yang terdiri dari
E.
multocida yang sarna serotipenya (Buxton
dan Fraser, 1977). 'Aerated culture' pernah digunakan untuk sediaan vaksin karena dalam teknik ini pertumbuhan bakteri akan menghasilkan be rat jenis yang lebih besar dalam media cairo Berat jenis akhir sesuai untuk merangsang perlindungan yang maksimum tanpa mengkonsentrasikan organisme sebagai langkah tambahan dalam pembuatan vaksin. Tapi dalam beberapa laporan vaksin ini menghasilkan reaksi anafilaksi setelah pemberiannya pada individu tertentu (Buxton dan Fraser, 1977). Percobaan untuk pengendalian terhadap kolera ayam dengan cara vaksinasi dimulai oleh Pasteur yang menggunakan biakan yang diatenuasi. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa untuk mendapatkan derajat perlindungan yang maksimum adalah pen ting menggunakan galur/strain yang berkapsul yang antigennya berhubungan dengan serotipe penyebab penyakit. Vaksin-vaksin 'formolised' dalam emulsi minyak sudah pernah digunakan tapi hasilnya sangat beragam (Buxton dan Fraser, 1977). Serum hiperimun pernah digunakan untuk pengendalian septicemia epizootica bila perlindungan cepat dari sapi diperlukan untuk mencegah wabah atau mencegah penyakit berkembang
26 sewaktu ditransportasikan atau keadaan-keadaan lain dimana terjadi stress yang tiba-tiba. Dalam praktek penyuntikan serum hiperimun memberikan perlindungan yang cepat, walaupun imunitas pasif mempunyai jangka waktu yang pendek dan terbatas (Buxton dan Fraser, 1977).
Kemothera.pi Sangat penting untuk diketahui bahwa pengobatan haruslah dilakukan sedini mungkin, oleh karena itu pengobatan hewan yang menderita penyakit akut, akan selalu tidak efektif. Pada kasus yang kurang akut pengobatan yang berulang dengan dosis tinggi penting dilakukan dan ini hanya ekonomis untuk kasus individual atau kelompok kecil hewan. Pengobatan dengan penicillin G, carbamycin, chloramphenicol, chlortetracycline dan oxytetracycline memberikan hasil yang baik karena
E.
multocida merupakan salah satu dari beberapa species
bakteri yang bersifat gram negatif yang sensitif terhadap
p~
nicillin. Pada £. multocida tidak terjadi resistensi yang
c~
pat dengan agen-agen kemotherapetik seperti pada beberapa species bakteri lainnya, tapi resistensi terjadi sebagai aki bat pemberian streptomycin dan bacitracin (Buxton dan Fraser, 1977) •
Pencegahan Menurut Beach (1923) perbaikan sanitasi, penurunan overcrowding dan menghindarkan makanan konsentrat biasanya
•
27 akan menghilangkan dengan cepat kasus pasteurellosis pada ayam. Tetapi sekarang ini lebih banyak digunakan produkproduk biologis dan antibiotika, khususnya' antibiotika lebih banyak digunakan untuk pencegatlan (Bruner dan Gillespie, 1973). Rekomendasi telah dibuat untuk usaha-usaha pencegahan penyakit pada ternak dan petugas yang mengawasi ternak sewaktu ditransportasi. Harus dipelajari beberapa metode untuk perbaikan sanitasi dan fasilitas dalam penanganan sapi sewaktu transit, hal ini saEgat membantu menurunkan kejadian pasteurellosis pada hewan-hewan tersebut. Menurut Foley et al. pemberian obat penenang pada sapi sebelum dimuatkan kedalam wahana transpor akan memper!lludah penanganan, adaptasi terhadap makanan dan menunjukkan kejadian infeksi yang lebih rendah (Bruner dan Gillespie, 1973). Pada sapi prosedur imunisasi yang efektif bisa didapatkan untuk mencegah septicemia epizootica yang klasik tipe Asia dan Afrika yang disebabkan oleh serotipe 6:B (Asia) dan 6:E (Afrika). Bakterin dalam adjuvant-minyak sudah pernah di gunakan pada daerah yang terinfeksi dan dapat memberikan
pe~
lindungan selama 2 tahun. Bakterin tersebut. harus disediakan dari biakan fase koloni tertentu, yaitu yang mengandung 'antigen permukaan kritis (fase 1), hal ini sUdah pernah direview secara luas oleh Carter (Steele, 1979). Pada unggas, akhir-akhir ini pengembangan vaksin aktif dengan cara memanfaatkan strain yang tidak virulen dan dimasukkan dalam air minum memberikan harapan dan dapat di-
28 gunakan dalam berbagai kondisi pada daerah yang berbedabeda. Usaha-usaha imunisasi pada pasteurellosis dalam bentuk lain tidak begitu berhasil dalam pencegahannya (Steele, 1979). Pada manusia kasus-kasus pasteurellosis sangat sporadis sehingga untuk program imunisasi sukar dilaksanakan atau bah kan tidak terpikirkan walaupun secara teknis dan teoritis
m~
mungkinkan. Pengalaman dengan pasteurellosis, dan usaha untuk imunisasi terhadap penyakit pada hewan mengarahkan kita bahwa penerapannya pada manusia tidaklah layak. Pendekatan pencegahan sebaliknya diarahkan pada kondisi yang memungkin kan species E. multocida dapat tumbuh dan berproliferasi sam pai pada suatu titik yang menyebabkan gangguan klinis. lni berarti mencegah penggigitan dan menggunakan obat-obatan antimikroba yang sesuai bila ada petunjuk atau kemungkinan ter jadi infeksi. Pasteurella mempunyai derajat kepekaan yang III as terhadap obat-obatan antimikroba, mUlai dari penicillin yang dianggap sebagai obat pili han untuk pengobatan pasteurellosis (Steele, 1979) sampai pada penggunaan carbamycin, chloramphenicol, chlortetracycline dan oxytetracycline (Buxton dan Fraser, 1977).
v.
PEMBAHASAN
Dalam perkembangan dunia yang begitu cepat, sudah diusahakan untuk mengelompokkan masalah-masalah penyakit dan telah pula diidentifikasi cara-cara pengendalian yang antara lain termasuk karantina, vaksinasi massal, memberantas hewan yang terinfeksi dan terdedah, pengobatan dan penggunaan disinfektansia. Juga harus dipertimbangkan efek program pengendalian dalam beberapa penyakit. Usaha ini ternyata memberikan sukses besar dalam hal
memberantas
dan pe-
ngendalian yang efektif terhadap beberapa wabah penyakit hewan dan manusia. Tetapi Brander dan Ellis (1976) masih mempertanyakan apakan usaha-usaha ini masih memadahi untuk waktu yang akan datang. Dengan meningkatnya kesadaran terhadap
E.
multocida
yang kurang jelas patogenisitasnya atau tentang beberapa species bakteri yang dulunya dianggap tidak patogen tetapi sekarang diketahui sebagai penyebab infeksi, maka hal ini mendorong untuk mengidentifikasi secara definitif, mikroorganisme dalam laboratorium klinik atau rumah sakit. Sebagai konsekwensinya
E. multocida mulai dikenal sebagai su-
atu penyebab penyakit pada manusia (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975). Dari segi ekonomis, adanya kolera ayam pada peternakan ayam dan shipping fever pada industri peternakan sapi mendorong usaha pengembangan vaksin yang lebih efektif. Pendekatan terhadap usaha pencegahan dan pemberantasan penya-
30 kit ditujukan lang sung terhadap beberapa hewan reservoir yang mempengaruhi kesehatan manusia (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975). Perpindahan penduduk kota ke daerah-daerah pinggir ko.., ta, yang disertai dengan peningkatan populasi anjing dan kucing pada kawasan perumahan yang baru akhirnya menyebabkan terjadinya ledakan populasi hewan kesayangan. Meningkatnya jumlah anjing dan kucing akan disertai dengan meningkatnya kejadian gigjtan dari hewan kesayangan dan lebih banyak infeksi Pasteurella. Dibeberapa negara diadakan or-" donansi dengan tujuan untuk menekan populasi anjing dan tidak membenarkan hewan berkeliaran. Di daerah lain malahan menghendaki agar anjing dij~ga secara lebih ketat. status ini merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap gigitan anjing. Dengan demikian pemusnahan anjing-anjing liar dari daerah kota dan daerah sekitarnya merupakan salah satu tindakan dalam pencegahan penyakit ini (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975). Menurut Schwartz dan Kunz, 1959 (dalam Ayres et al, 1968) £. multocida tersebar luas pada populasi hewan piaraan dan ayam. Penyakit yang disebabkan oleh organisme ini pada hewan piaraan berupa septicemia, oleh karena itu organisme penyebab terdapat pada seluruh
~aringan
tubuh sewaktu
dalam keadaan akut. Penyebarannya mungkin sekali terjadi melalui makanan dan juga 'occupational exposure', tetapi tidak ada kesimpulan yang jelas mengenai transmisi yang demikian (Ayres et al:, 1968).
31 Respon serologis tidak banyak diketahui pada manusia. Perbaikan dalam teknik serologis yang digunakan dalam diagnostik, bukan hanya dapat menghambat
lebi~
dalam infeksi
E.
multocida, tetapi juga dapat membuka fakta-fakta baru ten~
tang imunitas pada manusia. Respon tubuh hewan terhadap beberapa bagian mikroorganisme ini dapat diteliti secara serologis kerumitan antigennya, dimana ternyata bahwa walaupun
tit~r
serologis tinggi tapi belum tentu terdapat per-
lindungan dalam imunitas. Walaupun benar bahwa kemajuan telah dicapai dalam menimbulkan imunitas pada sapi dan ayam, tetapi respon ini sangat bervariasi dan masih memerlukan penelitian secara seksama dan lebih lanjut (Hubbert, McCulloch dan Schnurrenberger, 1975). Steele masih meragukan apakah usaha-usaha yang dilakukan pada waktu sekarang ini untuk mencegah atau mengendalikan pasteurellosis pada hewan mempunyai pengaruh terhadap kejadian infeksi pada manusia. Alasannya adalah: pertama karena usaha-usaha yang dilakukan diarahkan terhadap pencegahan penyakit klinis, yang tentunya tidak akan mempengaruhi secara pasti prevalensi carrier yang normal. Kedua adalah bahwa hewan yang sangat berperan terhadap penularan pasteurellosis pada manusia secara jelas yaitu anjing dan kucing, tetapi hewan ini tidak atau jarang sekali dimasukkan dalam usaha pencegahan dan pengendalian penyakit ini (Steele, 1979). Hal ini akan tetap menjadi sesuatu yang masih meragukan sejauh mana peranan kontak secara casual dengan hewan-
32 hewan peliharaan dan burung terhadap kejadian Pasteurella pada manusia. Pasteurellosis pada manusia seperti apa yang dikenal sekarang ini masih tetap seperti demikian dan tidak akan mengalami perubahan dalam peranannya terhadap kesehatan masyarakat, kecuali bila dilakukan pencegahan yang memadahi terhadap adanya penyakit pada anjing dan kucing. Ada kecenderungan bahwa penyakit tersebut akan tetap seperti apa adanya, yaitu berupa masalah individu yang diselesaikan
antara mereka, masalah kontak dengan hewan atau merupakan masalah antara mereka dengan dokter pribadinya (Steele,
1979).
VI. KESIMPULAN DAN
SARAN
Berdasarkan keterangan-keterangan yang mendetail tentang epidemiologi, kasus-kasus infeksi pada manusia, cara pencegahan dan pengendalian serta pembahasan mengenai p. multocida, maka dapat ditarik suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut:
r. p. mul tocida adalah mikroorganisme yang berbentuk kokoid, lebar 0,3 mikron, panjang 0,4 mikron. Bersifat gram negatif, tidak membentuk spora, non-motil dan pada mikroorganisme yang baru diisolasi dari jaringan memperlihatkan gambaran bipolar. Pada media biasa mikroorganisme dapat tumbuh tapi dengan penambahan sedikit serum atau darah pertumbuhan akan dipercepat. 2. Semua hewan berdarah panas dapat merupakan host utama bagi p. multocida.
3. Habitat utama p. multocida pada hewan dan manusia adalah permukaan mukosa bagian atas sa luran respirasi dan saluran digesti.
4. Pada hewan cara keluar mikroorganisme ini umumnya melalui air liur dan melalui pernafasan, tapi pada keadaan tertentu bisa juga melalui air susu.
5. Transmisi alami dari hewan ke hewan bisa seCara tidak langsung yaitu melalui arthropoda, benda-benda mati atau bahan-bahan asal hewan. Tapi yang lebih sering adalah secara langsung yaitu melalui air liur dan pernafasan.
6. Penularan p.:::multocida dari hewan ke manusia lebih sering
34 dengan cara gigitan atau cakaran hewan sedangkan cara lain belum dapat dibuktikan.
7. Sumber utama penularan dari hewan ke manusia adalah anjing dan kucing. 8. Hewan percobaan kelinci dan mencit sangat peka terha-
dap inokulasi, sedangkan cavia dan tikus bersifat resisten.
9. Pada daerah endemik kejadian penyakit pada hewan biasanya bersamaan dengan datangnya musim hujan. 10. Pad a unggas faktor-faktor predisposisi adalah sanitasi, ventilasi kandang yang kurang baik, apalagi bila disertai dengan kepadatan yang tinggi.• 11. Pada sapi dan domba pengaruh suhu, lembab, transportasi yang jauh, kandang terlalu sempit, kelelahan dan faktorfaktor stress lain dapat mempengaruhi timbulnya penyakit. 12. Secara alami, jika terjadi suatu wabah penyakit pada satu species, jarang sekali terjadi penularan pada species lainnya.
13. Pada manusia tidak ada pengaruh musim terhadap infeksi. Sebagian besar dari manusia yang terinfeksi oleh kucing berusia 45 tahun atau lebih. Sebaliknya anak-anak berusia kurang dari 19 tahun menderita infeksi dari gigitan anjingo Dalam kedua kelompok tersebut wanita lebih banyak dibanding dengan lelaki. 14. Penyebaran infeksi dari manusia ke manusia tidak ada. 15. Organ-organ tubuh manusia yang bisa terinfeksi adalah saluran respirasi, daerah abdomen dan lesio lokal pada
35 ekstremitas. 16. Pada hewan pencegahan dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan menggunakan aerated culture, formolised vaccine, alum precipitated vaccine, serum hiperimun dan bakterin dalam.minyak:-adjuvant. Pada unggas bisa digunakan biakan yang diatenuasi dari galur yang berkapsul yang antigennya berhubungan dengan serotipe penyebab penyakit. 17. Kemotherapetika yang bisa digunakan untuk hewan adalah penicillin G, carbamycin, chloramphenicol, chlortetracycline dan oxytetracycline. 18. Pada manusia karena kasus pasteurellosis sangat sporadis maka program imunisasi tidak dilakukan. 19. Pencegahan dan pengendalian pasteurellosis pada hewan tidak mempunyai pengaruh terhadap kejadian infeksi pada manusia. 20. Infeksi
E.
multocida pada anjing dan kucing di Indonesia
diduga ada, tapi oleh karena hewan-hewan tersebut tidak begitu penting dari segi ekonomis maka penelitian yang lebih mendalam pada hewan-hewan tersebut belum pernah diadakan. 21. Kejadian infeksi
E.
multocida pada manusia di Indonesia
melalui gigitan atau cakaran anjing dan kucing belum pernah dilaporkan, hal ini mungkin disebabkan oleh: pertama penderita tidak pernah melaporkan kejadian tersebut kepada dokter yang bersangkutan, kedua mungkin 'misdiagnosed', yang ketiga mungkin penderita tidak memperlihat-
36 kan gejala. 22. Oleh karena hal tersebut masih dalam keadaan yang tidak
pasti maka perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut. 23. Kepada pemilik anjing dan kucing, disarankan agar lebih
hati-hati terhadap kemungkinan bahaya penularan penyakit ini melalui hewan-hewan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Ayres, J.C., F.R. Blood, C.O. Chichester, H.D. Graham, R.S. McCutcheon, J.J. Powers, B.S. Schweig~rt, A.D. stevens and G. Zweig. 1969. The Safety of Foods. The Avi Publishing Company, Inc. Westport. .,Connecticut. Hal. 211 Bain, R.V.S., M.C.L. DeAlwis, G.R. Carter and B.K. Gupta. 1982. Hemorrhagic Septicaemia. Food and Agriculture Organisation of United Nations •. Rome. Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah II Bukit Tinggi. 1983. Laporan Investigasi Kenaikan Kasus Penyakit S.E. di Sumatra Barat ,Bulan Juli 1983. Direktorat Jenderal Peternakan •. Departemen Pertanian, Jakarta. Brander, C.G. and P.R. Ellis. 1976. The Control of Disease. 1st. Ed. Bailliere Tindall, London. Bruner, D.W. and J.H. Gillespie. 1973. Hagan's Infectious Disease of Domestic Animals. 6th. Ed. Cornell University Press, London. Hal. 173 - 183 Buxton, A. and G. Fraser. 1977. Animal Microbiology. 1st. Ed. Blackwell Scientific Publication, Oxford. Hal. 121 - 126 Direktorat Kesehatan Hewan. 1982. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia Periode Tahun 1976 - 1981. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. Hal. 162 - 166 Direktorat Kesehatan Hewan. 1981. Penyakit Septicemia Epizootica (SE). Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular I. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. Hal. 37 - 48 Gracey, J.F. 1981. Thornton's Meat Hygiene. 7th. Ed. The English Language Book Society and Bailliere Tindall London. Hal. 277, 278 dan 287 Hubbert, W.T., W.F. McCulloch and P.R. Schnurrenberger. 1975. Diseases Transmitted From Animals to Man. 6th. Ed. Charles C Thomas Publisher, Springfield, Illionois. USA. Hal 129 - 137 Schwabe, C.W. 1969. Veterinary Medicine and Humen Health. 2nd. Ed. The Williams and Wilkins Company, Baltimore. Hal. 246 -248 Siegmund, O.H. 1979. The Merck Veterinary Manual. 5th. Ed.
38 Merck and Co. Inc., New Jersey, USA. Hal. 832 dan 912 Steele, J.H. 1979. CRC Handbook Series In Zoonosis I. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida. Hal. 495 - 509 Udall, D.H. ·1978. The Practi~e of Veterina~y Medicine. 6th. Ed. Oxford and IBH Publishing Co", New Delhi. Hal. 439 - 448 west, G.P. 1979. Black's Veterinary Dictionary. 13th. Ed. The English Language Book Society and Adam & Charles Black, London. Hal. 613 - 614