STUDI HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS YANG DIINDUKSI ETILEN GLIKOL: PENGARUH INFUSUM DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill.)
ISNIA NURULAZMY
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
ABSTRAK ISNIA NURULAZMY. Studi Histopatologi Ginjal Tikus yang Diinduksi Etilen Glikol: Pengaruh Infusum Daun Alpukat (Persea americana Mill.). Dibimbing oleh EVA HARLINA dan RINI MADYASTUTI. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari histopatologi ginjal tikus yang diinduksi etilen glikol dan diberi infusum daun alpukat. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian Adha (2009) dengan rancangan percobaan sebagai berikut: dua puluh ekor tikus jantan dibagi menjadi empat kelompok yaitu, kelompok kontrol negatif (KN) diberi air minum ad libitum, kelompok kontrol positif (KP) diinduksi etilen glikol 0.75% dan amonium klorida 2% (inducer), kelompok perlakuan 1 (IF5) diberi inducer dan dicekok infusum daun alpukat 5% dengan dosis 3 ml/200 g BB, dan kelompok perlakuan 2 (IF10) diberi inducer dan dicekok infusum daun alpukat 10% dengan dosis 3 ml/200 g BB. Perlakuan diberikan selama 10 hari, pada hari ke-11 tikus dieuthanasi, dan organ ginjal diambil untuk dibuat sediaan histopatologi dan diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin–Eosin. Hasil pengamatan histopatologi ditemukan perubahan berupa edema glomerulus serta endapan protein, droplet hyalin dan nekrosis pada tubulus. Persentase edema glomerulus seluruh kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif, sedangkan persentase tubulus nekrosis kelompok kontrol positif berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Pemberian infusum daun alpukat dapat menurunkan persentase tubulus nekrosis, sedangkan peningkatan dosis infusum cenderung menurunkan persentase endapan protein, droplet hyalin dan tubulus nekrosis. Penurunan persentase kerusakan tubulus disebabkan oleh flavonoid daun alpukat yang bekerja sebagai diuretikum dan antioksidan.
ABSTRACT
ISNIA NURULAZMY. Histopathological Study of Ethylen Glycol-Induced Rat Kidney: Effects of Avocado (Persea Americana Mill.) Leaves Infusum. Under the Direction of EVA HARLINA and RINI MADYASTUTI. The objective of this research was to study the histopathological lesions of rat kidneys induced by ethylene glycol and treated by avocado leaves infusum. This research is continuation of Adha’s experiment (2009) with the experimental design as follows: twenty male rats were divided into four groups, namely the control negative (KN) were received just drinking water ad libitum, the positive control (KP) were induced by 0.75% ethylen glycol and 2% ammonium chloride (inducer), the treatment group I (IF5) were induced and treated by 5% avocado leaves infusum at a dose of 3 ml/200 g BW,and the treatment group II (IF 10) were induced and treated by 10% avocado leaves infusum (3 ml/200 g BW). Treatment was given for 10 days, at day-11 rats were euthanasid, and kidney organs were taken for histopathological study and stained with HematoxylinEosin. The histopatological study showed glomerular edema; hyaline droplet, deposition of protein and tubular necrosis. Percentage of glomerular edema of all treatment groups were not significantly different (p>0.05) compared with negative control group, while the percentage of tubular necrosis of positive control group was significantly different (p<0.05) compared with negative control group. Treatment with avocado leaves infusum can reduce the percentage of necrotic tubulus whereas doses of infusum tend to decrease precentage in protein deposition, hyaline droplet and tubular necrosis. Percentage decrease in tubular damage caused by the avocado leaves flavonoid activity as diureticum and antioxidants.
STUDI HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS YANG DIINDUKSI ETILEN GLIKOL: PENGARUH INFUSUM DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill.)
ISNIA NURULAZMY
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi
: Studi Histopatologi Ginjal Tikus yang Diinduksi Etilen Glikol: Pengaruh Infusum Daun Alpukat (Persea americana Mill.)
Nama
: Isnia Nurulazmy
NIM
: B04063533
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Drh. Eva Harlina, M.Si Ketua
Rini Madyastuti P, S.Si, Apt, M.Si Anggota
Diketahui :
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH IPB
Tanggal Lulus :
i
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Mataram, NTB, 21 Juli 1988, dari pasangan Ir. Abidin Hamzah dan Hartati HAR, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 1 Kota Bima, NTB pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam Forum Keluarga Mahasiswa Bima Bogor sebagai Bendahara (2007-2008), IMAKAHI Cabang FKH IPB sebagai Kepala Bidang Kesekretariatan (2009), menjadi anggota Departemen Syi’ar DKM An Nahl FKH IPB (2008-2009), dan sebagai staf Divisi Pendidikan dan Pelatihan HIMPRO RUMINANSIA FKH IPB (2008-2009). Selain itu penulis juga menjadi Asisten Pendidikan Agama Islam TPB IPB (Semester genap tahun 2009).
ii
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT untuk setiap petunjuk dan kemudahan yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi teladan bagi umat manusia. Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr. Drh. Eva Harlina, M.Si., APVet., sebagai pembimbing pertama dan Rini Madyastuti Purwono, S.Si., Apt., M.Si. sebagai pembimbing kedua, yang telah merelakan sebagian waktunya untuk memberikan bimbingan, nasehat, arahan dan kemudahan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi. Semoga amal baik Ibu dapat melapangkan jalan di yaumil akhir nanti. Selain itu disampaikan pula terima kasih kepada Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, M.Sc., Apt. selaku Pembimbing Akademik dan penyandang dana penelitian ini, atas saran dan masukannya selama masa studi hingga terlaksananya penelitian ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh. Hj. Tutik Wresdiati, MS., Ph.D. dan Ir. Etih Sudarnika, M.Si. selaku dosen penguji pada ujian akhir sarjana kedokteran hewan. Terima kasih yang tiada terhingga penulis sampaikan kepada kedua orangtua tercinta, Denny (kakak), Tauhid (adik) dan keluarga besar di Bima, Dompu, NTB atas kasih sayang, perhatian, usaha, dukungan moril yang tulus dan doa yang tiada putus serta kerja keras semuanya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Kepada Ical sebagai rekan sepenelitian, terima kasih atas bantuan, kerjasama dan kebersamaan selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Saudara-saudara saya tercinta di Marhamah (Dini, Lina, Mila, Danis, Dina, Karim, Isti, Chacha, Dya, Evi, Ina dan Khory) terima kasih atas keceriaan, kenyamanan dan persahabatan yang tulus. Fitri, Karunia, Ninis, Enen, Winda, Feni dan Rani yang selalu memberikan dorongan dan semangat, dan sandaran hati dalam keadaan suka maupun duka. Saudara-saudara saya selama mengemban amanah di FKMBB, IMAKAHI Cabang FKH IPB 2007-2009, DKM An Nahl 2007-2010 dan HIMPRO
iii
Ruminansia 2007-2009 serta Aesculapius (FKH 43) terima kasih atas kebersamaan yang telah mewarnai aktivitas penulis selama menjalani studi. Seluruh dosen dan tenaga kependidikan Bagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH IPB terima aksih atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. Penulis menyadari bahwa banyak sekali kekurangan dalam penulisan skripsi ini sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2010 Penulis
iv
DAFTAR ISI Halaman RIWAYAT HIDUP ...................................................................................................... i KATA PENGANTAR.................................................................................................ii DAFTAR ISI............................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ....................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................vii PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................................. 1 Tujuan Penelitian ............................................................................................................. 2 Manfaat Penelitian ........................................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA Persea Americana Mill. .................................................................................................. 3 Tikus Putih........................................................................................................................ 5 Ginjal ................................................................................................................................. 6 Kelainan Ginjal ................................................................................................................ 7 Nefrotoksikan ................................................................................................................... 8 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................................... 10 Alat dan Bahan ............................................................................................................... 10 Metode Penelitian .......................................................................................................... 10 Rancangan Percobaan…………………..………………………………………………………….10 Pembuatan Sediaan Histopatologi……...………………………....................................11 Evaluasi Histopatologi………………....…………………………………………………………..11 Analisis Statistik ........................................................................................................…..11 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................. 12 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ......................................................................................................................... 19 Saran ................................................................................................................................ 19 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 20 LAMPIRAN............................................................................................................... 23
v
DAFTAR TABEL Halaman 1 Persentase kerusakan glomerulus dan tubulus ginjal tikus pasca pemberian zat nefrotoksik (etilen glikol) selama 10 hari ……….
12
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Tanaman alpukat (Persea americana Mill.) ……………………….
4
2 Mekanisme kerja diuretikum ………………………………………
5
3 Tikus putih (Rattus novergicus) …………………………………...
6
4 Edema glomerulus, endapan protein pada lumen tubulus dan tubulus nekrosis pada kelompok perlakuan IF 10 …………………
14
5 Kumpulan tubulus dengan endapan protein di lumennya pada kelompok KP………………………………………………………..
15
6 Droplet hyalin pada sitoplasma tubulus dan tubulus yang lisis pada kelompok perlakuan IF 10…………………………………….
16
7 Kelompok tubulus proksimal yang nekrosis pada kelompok KP ….
17
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Hasil uji duncan kerusakan glomerulus dan tubulus ……………..
23
2 Pembuatan sediaan histopatologi …………………………………
24
3 Pewarnaan HE …………………………………………………….
26
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, diantaranya adalah tanaman yang sangat bervariasi. Diantara tanaman tersebut banyak yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tanaman obat. Sebanyak 65% dari penduduk negara maju, dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan tanaman obat atau obat herbal untuk memelihara kesehatan dan mengobati penyakit. Hal ini dikarenakan obat herbal mempunyai banyak keuntungan antara lain bahan baku yang mudah diperoleh, harga yang relatif murah, praktis dalam pemakaian dan memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan obat sintetik. Salah satu tanaman yang biasa digunakan sebagai obat herbal adalah daun alpukat (Persea americana Mill.). Sebagian masyarakat telah menggunakan daun alpukat sebagai diuretik, analgesik, anti radang, anti hipertensi, anti hipoglikemia, anti diare, mengobati sakit tenggorokan dan perdarahan (Brai et al. 2007). Batu ginjal merupakan salah satu masalah urologi yang serius, menempati urutan ketiga setelah infeksi saluran kemih dan kelainan prostat (Bahdarsyam 2003). Batu ginjal adalah masa keras seperti batu yang terbentuk melalui proses fisikokimiawi dari zat-zat yang terkandung di dalam urin. Terbentuknya batu ginjal terjadi secara endogen dari unsur mikrolit-mikrolit yang lama kelamaan bisa bertambah besar (Price dan Wilson 1995). Menurut Tugcu et al. (2008), batu ginjal juga dapat diinduksi oleh zat etilen glikol sehingga membentuk kristal kalsium oksalat (CaOx). Kristal ini umum dijumpai pada spesimen urin bahkan pada hewan sehat. Pembentukan kristal dapat dipercepat dengan pemberian amonium klorida. Kristal biasanya terbentuk pada urin yang memiliki pH asam dan dapat muncul dalam spesimen urin setelah hewan mengalami keracunan etilen glikol atau mengkonsumsi pakan tertentu seperti asparagus dan kubis (Anonim 2009). Proses pembentukan batu ginjal disebut urolithiasis. Batu ginjal bervariasi ukurannya, dapat bersifat tunggal atau ganda. Batu ginjal dapat berada di sepanjang saluran kemih dan di dalam ginjal sehingga dapat menyebabkan nyeri,
2
perdarahan, penyumbatan aliran kemih, infeksi dan kerusakan jaringan ginjal (Anonim 2008). Salah satu pengobatan batu ginjal adalah menggunakan preparat diuretikum, karena berhubungan dengan pengeluaran cairan dari dalam tubuh (Adha 2009). Untuk mengetahui kinerja daun alpukat yang diduga bekerja sebagai diuretikum, dilakukan studi histopatologi ginjal tikus yang diinduksi etilen glikol dan diberi infusum daun alpukat.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi ginjal tikus yang diinduksi etilen glikol dan diberi infusum daun alpukat.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai manfaat infusum daun alpukat terhadap ginjal yang diinduksi etilen glikol.
3
TINJAUAN PUSTAKA Persea americana Mill. Alpukat merupakan tanaman buah berupa pohon dengan nama alpuket (Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur dan Jawa Tengah), boah pokat, jamboo pokat (Batak), dan pookat (Lampung). Tanaman alpukat diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-18 yang berasal dari dataran Amerika Tengah. Berdasarkan sifat ekologis, tanaman alpukat terdiri atas tiga tipe keturunan, yaitu tipe Meksiko, Guatamala dan Hindia Barat. Menurut Prihatman (2000), taksonomi tanaman
alpukat
(Persea
americana
Mill.)
sebagai
berikut:
Divisi:
Spermatophyta; Subdivisi: Angiospermae; Kelas: Dicotyledoneae; Bangsa: Renales; Keluarga: Lauraceae; Marga: Persea; Varietas: Persea americana Mill. Tanaman alpukat tumbuh liar di hutan-hutan, kebun dan pekarangan yang memiliki lapisan tanah gembur dan subur serta tidak tergenang air. Ciri-ciri tanaman alpukat diantaranya adalah berpohon kecil dengan tinggi 3-10 m, berakar tunggang, batang berkayu, berbentuk bulat dan berwarna coklat kotor, dengan cabang banyak dan ranting halus. Memiliki daun tunggal dengan panjang tangkai 1.5-5 cm yang letaknya berdesakan di ujung ranting, berbentuk lonjong sampai bundar telur memanjang, tebal seperti kulit, ujung dan pangkal runcing, tepi rata terkadang seperti menggulung ke atas, bertulang menyirip dengan panjang 10-20 cm dan lebar 3-10 cm. Bunga majemuk, berkelamin dua dan berwarna kuning kehijauan. Buah berbentuk bola atau bulat telur dengan panjang 5-20 cm, berwarna hijau atau hijau kekuningan, berbintik-bintik ungu, berbiji satu bulat seperti bola dengan diameter 2.5-5 cm, berdaging buah lunak jika sudah matang, dan berwarna hijau kekuningan (Anonim 2010). Tanaman alpukat telah banyak digunakan untuk pengobatan tradisional, seperti pengobatan kencing batu, darah tinggi, sakit kepala, nyeri syaraf, nyeri lambung, bronchial swellings dan menstruasi tidak teratur. Hal ini dikarenakan daun dan buah tanaman alpukat mengandung saponin, alkaloida, flavonoid, polifenol dan quersetin (Sunanto 2009). Selain itu, daun alpukat juga mengandung kalium yang berfungsi sebagai diuretik sehingga pengeluaran natrium cairan meningkat (Fitriani 2009).
4
Gambar 1 Tanaman alpukat (Persea americana Mill.).
Berdasarkan hasil penapisan fitokimia, daun alpukat mengandung senyawa flavonoid, tanin, katekat, kuinon, saponin dan steroid atau triterpenoid (Maryati 2007). Flavonoid merupakan unsur mikro yang terkandung dalam hampir semua tipe daun alpukat karena berfungsi sebagai pigmen warna buah atau daun, pengusir serangga dan molekul pemberi isyarat (Sampson et al. 2002). Diantara senyawa di atas, yang memberikan pengaruh terhadap aktivitas diuretik adalah flavonoid. Senyawa flavonoid dapat meningkatkan urinasi dan pengeluaran elektrolit pada tikus normotensi. Hal ini dapat terjadi karena seyawa tersebut dapat meningkatkan kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) secara signifikan (Jouad 2001). Menurut Klabunde (2005), diuretikum dapat meningkatkan output urin melalui pengaturan natrium oleh ginjal karena jika ekskresi natrium meningkat, maka ekskresi air juga akan meningkat. Secara umum mekanisme kerja diuretikum adalah menghambat reabsorpsi natrium pada segmen yang berbeda dari sistem tubular ginjal. Agar efek diuretikum lebih baik biasanya pada pengobatan dilakukan kombinasi dua diuretikum. Hal ini dikarenakan efek sinergis dari kedua diuretikum dapat mengkompensasi reabsorpsi natrium dari nefron pada segmen yang berbeda, sehingga beberapa nefron dapat menghambat secara bersamaan. Diuretikum terbagi menjadi tiga yaitu loop diuretikum, thiazid diuretikum, dan anhydrase inhibitor karbonat. Mekanisme kerja diuretikum disajikan pada Gambar 2.
5
Gambar 2 Mekanisme kerja diuretikum. Sumber: Klabunde 2005.
Tikus Putih Menurut Subahagio et al. (1997), hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah semua jenis hewan dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam berbagai penelitian dibidang medis. Hewan percobaan harus memenuhi persyaratan genetik dan lingkungan yang memadai dalam pengolahan, serta memperlihatkan reaksi biologis sesuai dengan yang dikehendaki. Malole dan Pramono (1989) menyebutkan bahwa tikus telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Tikus yang sudah menyebar ke seluruh dunia dan digunakan secara luas untuk penelitian di laboratorium ataupun sebagai hewan kesayangan adalah tikus putih yang berasal dari Asia Tengah. Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies Rattus novergicus dengan galur Sprague-Dawley. Tikus ini memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Krinke 2000). Sistem klasifikasi tikus putih (Norway rats) berdasarkan Myers dan Arnitage (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia; Filum: Chordata; Subfilum: Vertebrata; Kelas: Mammalia; Ordo: Rodensia; Famili: Muridae; Subfamili: Murinae; Genus: Rattus; Spesies: Rattus novergicus.
6
Gambar 3 Tikus putih (Rattus novergicus).
Ginjal Anatomi, Fisiologi dan Histologi Ginjal Ginjal merupakan organ utama yang berperan dalam homeostasis air dan elektrolit. Ginjal juga merupakan organ utama yang terkena efek toksik. Fungsi utama ginjal adalah mengeluarkan limbah metabolisme, memusnahkan bahan toksik, mengatur cairan, garam, keseimbangan asam basa, serta mengatur tekanan darah (Wuthrich 2000). Menurut Lu (2006) ginjal berfungsi memekatkan toksikan pada filtrat dan membawa toksikan melalui tubulus. Ginjal juga memiliki fungsi sebagai
penyingkir buangan
metabolisme normal
dan
mengekskresikan
xenobiotik dan metabolitnya. Ginjal juga memiliki fungsi sebagai organ endokrin yang dapat menghasilkan hormon-hormon eritropoietin, renin, dan prostaglandin (Huminto et al. 1995). Ginjal terletak di retroperitoneum vertebralis lumbalis, dibungkus
oleh
kapsula
yang
normalnya
dapat
bergerak
bebas
pada
permukaannya, berpasangan dan berwarna merah kecoklatan (Maxie 1993). Pada umumnya ginjal berbentuk seperti kacang dengan hillus renalis yaitu tempat masuknya pembuluh darah dan keluarnya ureter (Hartono 1992). Ginjal terbagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medulla, dengan perbandingan ratarata satu banding dua atau satu banding tiga (Maxie 1993), dan ukuran ginjal dalam berbagai spesies sangat ditentukan oleh jumlah nefron (Ganong 2003). Unit fungsional ginjal yaitu nefron. Nefron memiliki enam segmen yaitu kapsula glomerulus yang merupakan ujung buntu yang meluas pada nefron, tubuli konvoluti, tubuli rekti proksimalis, segmen tipis, segmen tebal pada nefron, dan
7
tubuli konvoluti distalis (Dellman dan Brown 1992). Nefron memiliki fungsi dasar membersihkan plasma darah dari substansi yang tidak diinginkan oleh tubuh. Biasanya substansi tersebut berasal dari hasil metabolisme urea, kreatinin, asam urat, ion-ion natrium, kalium, klorida, serta ion-ion hidrogen dalam jumlah yang berlebihan (Guyton 2008). Bagian ginjal yang berfungsi sebagai alat penyaring adalah glomerulus yang bekerja berdasarkan faktor-faktor hermodinamika dan osmotik. Glomerulus dibentuk oleh tumpukan kapiler yang dilayani oleh arteriola afferens dan dialirkan oleh arteriola efferens (Ganong 2003). Kapiler-kapiler tersusun kompleks dalam suatu matriks glikoprotein yang disebut mesangium. Aliran darah yang masuk melalui kapiler menjadi sumber bagi terbentuknya filtrat glomerulus. Kerusakan pada barrier filtrasi glomerulus menyebabkan berbagai manifestasi klinis pada penyakit ginjal. Bentuk utama dari manifestasi klinis tersebut adalah lolosnya protein pada filtrat glomerulus ke urin. Selain itu, aliran darah abnormal pada kapiler juga dapat menyebabkan edema ginjal (Confer dan Panciera 1995). Menurut Ganong (2003), tubulus ginjal terdiri atas tubulus proksimal, jerat Henle dengan bagian descenden dan ascenden, serta tubulus distal. Tubulus proksimal berperan dalam proses reabsorpsi cairan, elektrolit dan bahan organik seperti glukosa dan asam amino. Tubulus proksimal dilengkapi dengan brush borders untuk mendukung proses reabsorpsi (Komarek et al. 2000). Reabsorpsi tubulus proksimal terhadap protein terjadi dengan cara pinositosis yaitu protein melekat ke brush borders membran lumen kemudian bagian membran inti berinvaginasi ke bagian dalam sel sehingga protein diserap dengan sempurna (Guyton 2008).
Kelainan Ginjal Reaksi ginjal terhadap rangsangan dari luar serupa dengan organ tubuh lainnya, yaitu sesuai dengan mekanisme patologi pada umumnya. Penyakit ginjal pada umumnya menyerang salah satu diantara empat kesatuan terpenting pada ginjal, yaitu glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah. Meskipun hanya salah satu yang terkena, namun seluruh kesatuan itu saling berhubungan erat sehingga pada kesatuan lain tentu terjadi perubahan. Perubahan pada ginjal
8
antara lain nephrosis, yaitu perubahan pada ginjal yang bersifat degenerasi yang ditimbulkan oleh gangguan pertukaran zat. Nephrosis adalah istilah morfologik yang digunakan para ahli patologi untuk kelainan ginjal degeneratif terutama pada tubulus. Nephrosis dibagi menjadi tubulo-nephrosis dan glomerulo-nephrosis. Tubulo-nephrosis terdiri atas perubahan-perubahan progresif pada epitel tubuli. Glomerulo-nephrosis berupa perubahan yang tidak bersifat radang dalam glomerulus. Disfungsi glomerulus dapat menyebabkan degenerasi atau kematian epitel tubuli bila terlalu banyak bahan-bahan yang harus direasorbsinya (McGavin dan Zachary 2007). Penyakit lain yang dapat terjadi pada glomerulus diantaranya adalah glomerulonefritis, glomerular lipidosis serta amiloidosis (Jubb et al. 1993). Selain itu dalam glomerulus juga sering terlihat corak radang, sedangkan tubulus
sering
memperlihatkan
tanda
degenerasi.
Perubahan-perubahan
degenerasi pada tubulus yang sering terlihat adalah degenerasi berbutir, degenerasi lemak dan nekrosa. Interstisium sering mengalami radang dan pertambahan jaringan ikat. Perubahan dan kelainan yang terjadi pada ginjal bisa diakibatkan oleh zat yang bersifat nefrotoksik, seperti logam berat, antibiotik, analgesik dan hidrokarbon halogen tertentu. Zat-zat tersebut dapat merubah fungsi ginjal, yang ditandai dengan glikosuria, aminosiduria, poliuria, atau bahkan kematian jika dosisnya berlebihan (Lu 2006).
Nefrotoksikan Ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik, dan sebagian besar hasil filtrasi diekskresikan melalui urin. Nefrotoksikan dapat menyebabkan efek buruk pada beberapa bagian ginjal dan mengakibatkan perubahan fungsi (Jubb et al. 1993). Menurut Tugcu et al. (2008), salah satu contoh zat yang dapat menginduksi batu ginjal adalah zat etilen glikol yang dapat terakumulasi di tubulus ginjal serta dapat merusak ginjal, sehingga etilen glikol dapat dikategorikan sebagai zat nefrotoksik. Menurut Confer dan Panciera (1995), terdapat beberapa kelompok nefrotoksikan yang umum menyebabkan kerusakan ginjal pada hewan domestik, diantaranya kelompok logam berat (merkuri, arsen, cadmium dan bismuth), agen antibakterial atau antifungal (aminoglikosida, tetrasiklin, amphotericin B dan monensin), mikotoksin (ochratoxin A dan
9
citrinin), pembentuk kalsium oksalat (etilen glikol, halogeton, Sarcobatus vermiculatus, Rheum rhaponticum dan Rumex sp.), dan antineoplastik (ciplastin). Kelompok di atas dapat menyebabkan tubular nekrosis akut yang ditandai dengan perubahan pada tubulus seperti kehilangan brush borders dan dispersi ribosom serta diikuti dengan pembengkakan mitokondria dan kematian sel.
10
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, mulai bulan Agustus hingga Desember 2009.
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan untuk pembuatan dan pengamatan sediaan histopatologi antara lain pisau, pinset, tissue cassette, stopwatch, object glass, cover glass, tissue processor, microtom, oven, mikroskop, alat foto mikrografi dan video mikrometer. Bahan yang digunakan adalah larutan fiksatif Buffer Neutral Formalin 10%, alkohol bertingkat (70, 80 dan 90%, alkohol absolut), xilol, paraffin, pewarna jaringan Hematoksilin-Eosin, aquades dan ginjal tikus yang sudah mendapatkan perlakuan (Adha 2009).
Metode Penelitian Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian Adha (2009) dengan rancangan percobaan (Rancangan acak lengkap satu faktorial) sebagai berikut: sebanyak 20 ekor tikus jantan dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol negatif (KN) diberi air minum ad libitum, kelompok kontrol positif (KP) diinduksi etilen glikol 0.75% dan amonium klorida 2% (inducer), kelompok perlakuan 1 (IF5) diberi inducer dan dicekok infusum daun alpukat 5% dengan dosis 3 ml/200 g BB, dan kelompok perlakuan 2 (IF10) diberi inducer dan dicekok infusum daun alpukat 10% dengan dosis 3 ml/200 g BB. Induksi dan pemberian infusum daun alpukat dilakukan selama 10 hari. Infusum daun alpukat merupakan hasil rebusan simplisia dalam air yang dipanaskan pada suhu 90○ C selama 15 menit (Anonim 2005).
11
Pembuatan Sediaan histopatologi Ginjal tikus dari setiap kelompok perlakuan difiksasi dengan Buffer Neutral Formalin 10%, kemudian dibuat sediaan histopatologi melalui proses fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding dan pemotongan jaringan menggunakan mikrotom serta diwarnai dengan pewarna HE.
Evaluasi Histopatologi Evaluasi
histopatologi
dilakukan
dengan
mengamati
perubahan
glomerulus dan tubulus pada tiga sediaan (slide). Dilakukan penghitungan glomerulus yang mengalami edema dan dibandingkan dengan jumlah seluruh glomerulus yang ada pada setiap sediaan dikali 100%. Pengamatan tubulus proksimal meliputi adanya endapan protein dalam lumen, droplet hyalin dan nekrosis epitel tubulus yang berada disekeliling glomerulus. Rata-rata jumlah tubulus proksimal pada masing-masing lesio dihitung pada sepuluh lapang pandang di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 x dan dibandingkan dengan seluruh tubulus proksimal yang ditemui kemudian dikalikan 100%.
Analisis Statistik Rata-rata persentase glomerulus dan tubulus proksimal yang mengalami lesio dianalisis dengan Sidik Ragam (ANOVA) untuk melihat pengaruh perlakuan dan dilanjutkan dengan uji Wilayah Berganda Duncan (α = 0.05).
12
HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi histopatologi ginjal tikus percobaan difokuskan pada glomerulus dan tubulus proksimal. Selain tidak ditemukan perubahan pada interstitium, glomerulus merupakan bagian yang berperanan penting dalam menyaring zat-zat yang dimetabolisme ginjal. Tubulus proksimal merupakan tubulus yang berdekatan dengan glomerulus, yang menerima hasil filtrasi glomerulus serta berperan dalam eksresi dan reabsorpsi zat yang dimetabolisme ginjal. Hasil pengamatan histopatologi glomerulus ditemukan edema, yang ditandai dengan adanya endapan protein di mesangium hingga ke ruang Bowman, sedangkan pada tubulus berupa endapan protein di lumen, droplet hyalin dan nekrosa epitel. Hasil evaluasi histopatologi glomerulus dan tubulus proksimal disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Persentase kerusakan glomerulus dan tubulus ginjal tikus pasca pemberian etilen glikol dan infusum daun alpukat selama 10 hari Glomerulus
Tubulus
Perlakuan
Normal
Edema
Normal
Endapan Protein
Droplet Hyalin
Nekrosis
KN
68.9±11.3a
29.6±10.4a
74.7±10.2b
5.1±2.4a
2.9±2.7a
14.0±0.8a
KP
65.9 ± 8.2 a
34.1 ± 8.2a
5.7 ± 2.7a
21.2± 12.6b
8.6 ± 7.6a
64.2±21.7b
IF 5
71.0 ± 1.8a
29.0 ± 1.7a
61.9 ± 5.2b
22.1 ± 6.2b
2.2 ± 1.1a
19.5 ± 3.2a
IF 10
70.5 ± 2.5a
29.5 ± 2.5a
70.1 ± 6.2b
11.2 ± 7.4ab
0.8 ± 0.9a
18.0 ± 2.9a
Keterangan: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05), KN: Kontrol negatif; KP: Kontrol positif; IF 5: Infusum 5%; IF 10: Infusum 10%.
Berdasarkan hasil analisis statistika, persentase edema glomerulus seluruh kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan kelompok kontrol. Persentase tertinggi didapatkan pada kelompok KP, sedangkan pada kelompok IF 5 dan IF 10 cenderung menurun. Persentase endapan protein kelompok KP dan IF 5 lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok KN, sedangkan kelompok IF 10 lebih rendah dari kelompok KP dan IF 5, namun tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan kelompok KN. Selanjutnya, persentase tubulus dengan droplet hyalin pada seluruh kelompok perlakuan tidak
13
berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan kelompok KN, namun peningkatan dosis infusum daun alpukat cenderung menurunkan persentasenya. Peubah yang terakhir adalah, persentase tubulus nekrosis tertinggi dan berbeda nyata (p<0.05) ditemukan pada kelompok KP, serta kelompok IF 5 dan IF 10 tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan kelompok KN. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian infusum daun alpukat berpengaruh nyata terhadap penurunan persentase tubulus nekrosis, namun peningkatan dosis infusum tidak berpengaruh nyata (p>0.05) dalam menurunkan persentasenya. Glomerulus tersusun secara kompleks atas kapiler-kapiler dalam suatu matriks glikoprotein yang disebut mesangium. Glomerulus berperan penting pada proses filtrasi zat-zat yang dimetabolisme ginjal. Aliran darah yang masuk melalui kapiler menjadi sumber bagi terbentuknya filtrat glomerulus. Seharusnya filter glomerulus tidak dapat dilalui oleh protein bermolekul besar, akan tetapi pada keadaan patologis protein tersebut dapat lolos dan terkumpul di mesangium hingga ke ruang Bowman (Junqueira et al. 1998). Hal inilah yang menjadi penyebab edema glomerulus. Akibat adanya bahan yang bersifat nefrotoksik mengakibatkan kerusakan pada barrier filtrasi glomerulus sehingga menyebabkan berbagai manifestasi klinis pada penyakit ginjal. Bentuk utama dari manifestasi klinis tersebut adalah lolosnya protein pada filtrat glomerulus. Secara mikroskopis hal ini juga dapat menyebabkan edema glomerulus (Confer dan Panciera 1995). Menurut Peterson dan Talcott (2006), etilen glikol dengan cepat diserap oleh saluran pencernaan dan segera didistribusikan melalui darah ke jaringan. Sebanyak 50% etilen glikol yang terserap tersebut akan dimetabolisme dan diekskresikan oleh ginjal, sedangkan sisanya dimetabolisme di hati dan disalurkan menuju ginjal (Merk et al. 2005). Metabolisme etilen glikol di hati meliputi pembentukan glikoaldehid dan asam glikolat oleh enzim alkohol dehidrogenase, selanjutnya membentuk asam glikosiklik, dan akhirnya membentuk asam oksalat (Cheville 2006). Etilen glikol yang dimetabolisme di ginjal dapat menyebabkan asidosis metabolik. Penambahan amonium klorida pada penelitian ini juga bertujuan untuk menurunkan pH darah, sehingga mempercepat terbentuknya asidosis metabolik. Keadaan asidosis metabolik dan asam oksalat yang dihasilkan pada metabolisme
14
etilen glikol akan bereaksi dengan kalsium membentuk kompleks kalsium-oksalat yang bersifat sitotoksik (Cheville 2006). Kompleks kalsium oksalat melukai membran basal kapiler glomerulus, sehingga permeabilitas kapiler terganggu. Akibatnya, filter glomerulus meloloskan protein sehingga memenuhi mesangium dan ruang Bowman (Confer dan Panciera 1995). Etilen glikol dikenal sebagai salah satu zat nefrotoksik karena menyebabkan gangguan fungsi ginjal, yang secara klinis ditandai dengan glikosuria, aminosiduria, poliuria, atau bahkan kematian jika dosisnya berlebihan (Lu 2006). Menurut McGavin dan Zachary (2007), kapiler glomerulus yang tidak berfungsi dengan baik dapat menyebabkan edema glomerulus yang akhirnya menimbulkan nefrosis. Edema glomerulus ditandai adanya protein yang berwarna eosinofil dengan pewarnaan HE, memenuhi mesangium hingga ke ruang Bowman (Gambar 4).
Gambar 4 Edema glomerulus (panah) ditandai dengan ruang Bowman yang berisi protein dan tubulus nekrosis dengan endapan protein di lumennya (bintang) pada kelompok perlakuan IF 10. Pewarnaan HE, bar= 5 µm.
Pemberian infusum daun alpukat dapat menurunkan persentase edema glomerulus. Hal ini dikarenakan kandungan infusum daun alpukat yaitu flavonoid yang bekerja sebagai diuretikum sehingga dapat meningkatkan kecepatan filtrasi glomerulus (Adha 2009). Filtrasi glomerulus yang meningkat dapat mempercepat
15
proses pengeluaran nefrotoksikan dari dalam ginjal melalui peningkatan aktivitas urinasi, sehingga mengurangi kejadian edema glomerulus (Guyton 2008). Kerusakan kapiler glomerulus cenderung diikuti oleh kerusakan epitel tubulus sehingga menyebabkan terbentuknya endapan protein, droplet hyalin dan nekrosa epitelnya (Confer dan Panciera 1995). Masa protein di mesangium maupun di ruang Bowman disalurkan ke tubulus terdekat yaitu tubulus proksimal. Protein yang lolos dari glomerulus tidak dapat diserap dengan sempurna oleh epitel-epitel tubulus sehingga terjadi penumpukan protein di lumen. Akumulasi protein di lumen tubulus disebabkan oleh menurunnya fungsi reabsorpsi tubulus dikarenakan epitelnya mengalami degenerasi hingga nekrosa (Carlton dan McGavin 1995). Banyaknya protein di tubulus proksimal juga disebabkan oleh terlewatinya kapasitas absorpsi epitel tubulus. Endapan protein yang berlebihan di lumen juga dapat menyebabkan abnormalitas tubulus sehingga menurunkan kemampuan lisosom untuk menghidrolisis protein (Hard 2008). Endapan protein di tubulus berwarna eosinofil dengan pewarnaan HE (Gambar 5).
Gambar 5 Kumpulan tubulus ginjal dengan endapan protein di lumennya (panah) pada kelompok KP. Pewarnaan HE, bar= 5 µm.
16
Pemberian infusum daun alpukat cenderung menurunkan persentase endapan protein di lumen tubulus. Hal ini dikarenakan senyawa flavonoid yang terkandung dalam infusum daun alpukat berpengaruh terhadap aktivitas diuretikum. Menurut Ganong (2003), aktivitas diuretikum dapat menurunkan reabsorpsi ion natrium tubulus, sehingga terjadi peningkatan pengeluaran ion natrium dari dalam tubuh. Hal tersebut yang menyebabkan terjadi peningkatan pengeluaran air, akibatnya proses pengeluaran nefrotoksikan dari dalam tubuh dapat dipercepat dan dapat mengurangi gangguan proses reabsorpsi tubulus. Temuan lesio tubulus yang lain adalah droplet hyalin. Droplet hyalin dibentuk bersamaan dengan pembentukan protein di lumen tubulus, dan merupakan protein normal dari sitoplasma tubulus proksimal. Droplet hyalin merupakan lisosom sekunder yang berperan dalam memetabolisme α2 mikroglobulin (Komarek et al. 2000). Akumulasi droplet hyalin dalam jumlah yang berlebihan dapat ditemukan pada kasus yang bersifat kronis akibat terpapar zat-zat yang bersifat nefrotoksik. Droplet hyalin dapat ditemukan di sitoplasma epitel tubulus proksimal, berwarna lebih merah dan tebal dengan pewarnaan HE (Eveline et al. 2003). Tubulus dengan droplet hyalin disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Droplet hyalin pada sitoplasma tubulus ginjal (panah) dan tubulus yang lisis (bintang) pada kelompok IF 10. Pewarnaan HE, bar= 5 µm.
17
Perubahan lain yang ditemukan pada tubulus ginjal adalah tubulus yang nekrosis. Hal ini disebabkan oleh kompleks kalsium oksalat yang merusak brush border epitel, menyebabkan membran sel terluka yang akhirnya mengakibatkan degenerasi hingga kematian sel epitel tubulus. Tubulus yang nekrosis ditandai dengan bentuk epitel yang tidak beraturan dengan inti epitel yang piknotis yaitu inti lebih mengecil dan berwarna lebih basofil, dan sitoplasma hiperkromik (Confer dan Panciera 1995). Nekrosis epitel tubulus secara tidak langsung dapat terjadi apabila ginjal mengalami penurunan fungsi filtrasi glomurulus. Filtrat glomerulus lolos menuju ke tubulus proksimal dan menumpuk pada lumen tubulus sehingga menyebabkan degenerasi tubulus. Nekrosis merupakan kelanjutan dari degenerasi dan bersifat irreversible. Nekrosis tubulus dapat disebabkan oleh zat nefrotoksik, iskemia dan agen biologi. Tubulus nekrosis dengan inti piknotis dan sitoplasma lebih menyerap warna eosinofil pada pewarnaan HE disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Kelompok tubulus proksimal yang nekrosis (bintang) pada kelompok KP. Pewarnaan HE, bar= 5 µm.
Senyawa flavonoid yang bersifat diuretikum diduga dapat menghambat kerusakan tubulus. Flavonoid tersebut meningkatkan urinasi dan pengeluaran
18
elektrolit dengan cara meningkatkan kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) secara signifikan (Jouad 2001). Menurut Ganong (2003), selain memiliki aktivitas diuretikum, flavonoid juga menghambat sekresi vasopresin. Vasopresin berperan dalam menurunkan tekanan osmotik efektif plasma dan meningkatkan volume cairan ekstraseluler. Selain itu, flavonoid juga dapat berperan sebagai antioksidan yang dapat menetralkan zat-zat yang bersifat toksik serta menghambat terjadinya oksidasi sel sehingga dapat mengurangi kerusakan tubulus (Simanjuntak et al. 2004). Hal ini dapat ditunjukkan dengan rendahnya persentase tubulus yang neksosis pada kelompok yang diberi infusum daun alpukat.
19
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Induksi etilen glikol menyebabkan edema glomerulus serta endapan protein, droplet hyalin dan nekrosis tubulus. 2. Pemberian infusum daun alpukat dapat menurunkan persentase tubulus yang nekrosis. 3. Peningkatan dosis infusum daun alpukat cenderung menurunkan persentase endapan protein, droplet hyalin dan tubulus yang nekrosis.
Saran 1. Perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal untuk mengetahui korelasi antara gambaran histopatologi dengan fungsinya. 2. Perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop polarisasi untuk mengetahui adanya pembentukan kristal pada tubulus ginjal.
20
DAFTAR PUSTAKA Adha AC. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea americana Mill.) terhadap Aktivitas Diuretik Tikus Putih, Sprague Dawley [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2005. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Badan POM. http://www.pom.go.id/public/hukum_perundangan/pdf [September 2010]. Anonim. 2008. Pengobatan Alami. http://pengobatanalami.com/artikelkesehatan/batu-ginjal-3.html [10 Juni 2009]. Anonim. 2009. Urinalisis 2 (Analisis Mikroskopik). http://laboratoriumkesehatan.com/ [12 Mei 2010]. Anonim. 2010. Manfaat Alpukat untuk Pengobatan. http://www.smallcrabonline.com/ [Jum’at, 5 Maret 2010 pkl 16.24 WIB]. Bahdarsyam. 2003. Spektrum Bakteriologik pada Berbagai Jenis Batu Saluran Kemih Bagian Atas. Bagian Patologi Klinik. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Brai BIC, Odetola AA, Agomo PU. 2007. Effects of Persea americana leaf extracts on body weight and liver lipid in rats fed hyperlipidaemic diet. African Journal of Biotechnology, 6(8): 1007-1011 http://www.academicjournals.org/AJB [10 Juni 2009]. Carlton WM, McGavin MD.1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Ed ke-2. Mosby. A Times Mirror Co. Cheville NF. 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-3. Iowa Satate University Press. Iowa. Confer AW, Panciera RJ. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Ed ke2. Edited by: Carlton WW dan McGavin MD. Mosby. Dellman HD, Brown E. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II dan III. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Eveline DR, Ravesloot WTM, Wijnands Y, Eric VE. 2003. A Fast Histochemical Staining Method to Identify Hyaline Droplets in the Rat Kidney. Toxicologic Pathology 31:462 464. Fitriani V. 2009. Obat Tradisional. Pengidap Hipertensi Makanlah Kucai. Trubus Majalah Pertanian Indonesia. http://www.trubus-online.co.id [3 Agustus 2009]. Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran. ECG. Jakarta. Guyton AG. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-11. Penerbit Buku Kedokteran. ECG. Jakarta. Hard GC. 2008. Some Aids to Histological Recognation of Hyaline Droplet Nephropathy in Ninety-Day Toxicity Studies. Journal of Toxicology Pathology. 36: 1014-1017. http://tpx.sagepub.com [19 Maret 2010]. Hartono. 1992. Histology Veteriner. FKH-IPB. Bogor. Huminto H, Bahagia S, Estuningsih S, Koesharto FX. 1995. Patologi Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Kejuruan. Proyek Peningkatan Pendidikan dan Kejuruan Non Teknik II. Jakarta.
21
Jouad H, Lacaille-Dubois MA, Lyoussi B, Edduks M. 2001. Effect of the flavonoids extract from Spregularia purpurea Pers. on arterial blood pressure and renal function in normal and hypertensive rats. Journal of Ethnopharmacology.76:159-163. http://www.sciencedirect.com/science/journal/03788741 [Agustus 2009]. Jubb KVF, Peter CK, Nigel P. 1993. Pathology of Domestic Animal. 4th ed. California: Academic Press. Junqueira LC, Carneiro J, Robert OK. 1998. Histologi Dasar. Ed ke-8. Jakarta: Buku Kedokteran. Klabunde,RE.2005.Diuretik. http://www.cvpharmacology.com/diuretic/diuretics.htm [Jum’at, 5 Maret 2010 pkl 16.34 WIB]. Komarek V, Gembardt C, Krinke A, Mahrous TA, Schaetti P. 2000. Synopsis of the Organ Anatomy. Agricultural University, Prague, Czech Republic. Krinke GJ. 2000. The Laboratory Rat. Chapter 13: Gross Anatomy. Academic Press: New York dan London. Lu FC. 2006. Toksikologi Dasar. Asas, Organ Sasaran, dan Perilaku. Ed ke-2. Jakarta: UI Press. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor:PAU Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Maryati S. 2007. Telaah Kandungan Kimia Daun Alpukat (Persea americana Mill.). Central Library, School of Pharmacy ITB. http://www.digilib.itb.ac.id/gdl.php [Jum’at, 5 Maret 2010 pkl 16.12 WIB] Maxie MG. 1993. Pathology of Domestic Animals. Di dalam: Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. Ed ke-4. California. USA: Academic Press. McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Ed ke4. An affiliate of Elsevier Inc. Merk E, Cynthia M, Scott L. 2005. The Merk Veterinary Manual. USA:Merk & Company, Incorporated. Myers P, Arnitage D. 2004. Rattus novergicus (on-line), animal diversity web.http://animaldiversity.ummz.edu/site/accounts/information/rattus_nov ergicushtml [September 2009]. Peterson ME, Talcott PA. 2006. Small Animal Toxicology. Ed ke-2. Elsevier Inc. United States. Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed ke-4. Jakarta : EGC. Prihatman K. 2000. Budidaya Pertanian Tanaman Alpukat. Jakarta:Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. http://ristek.go.id [Jum’at, 5 Maret 2010 pkl 15.52 WIB]. Sampson L, Rimm E, Hollman PC, de Vries JHM, Katan MB. Flavonol and flavones intake in US health professionals. 2002. Journal of The American Dietetic Association 102 (10): 1414-1420. http://www.americanheart.org/presenter.jhtml? [Agustus 2009]. Simanjuntak P, Parwati T, Lenny LE, Tamat S, Murwani R. 2004. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Antioksidan dari Ekstrak Benalu Teh, Scurrula oortiana (Korth) Danser (Lorantaceae). J Ilmu Kefarmasian Indonesia. 21: 6-9.
22
Subahagio, Rahman I, Ibnusani D, Sutardjo, Sulaksono ME. 1997. Pengaruh Faktor Keturunan dan Lingkungan terhadap Sifat-sifat Biologis yang Terlihat pada Hewan Percobaan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. VII. (1). Sunanto H. 2009. 100 Resep Sembuhkan Hipertensi, Asam Urat dan Obesitas. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo. Tugcu V, Kemahli E, Ozbek E, Arinci YV, Uhri M, Ertukuner P, Metin G, Seckin I, Karaca C, Ipekoglu N, Altug T, Cekmen MB, Tasci AI. 2008. Protective effect of a potent antioxidant, pomegranate juice in the kidneys of rats with nephrolithiasis induced by ethylene glycol. Journal of Endourology. Vol 22 (12): 2723-2731. Wuthrich RP. 2000. The Urinary System. Physiological Institute, University Zurich-Irchel, Zurich. Switzerland.
23
LAMPIRAN Lampiran 1. Uji duncan kerusakan glomerulus dan tubulus Normal Tubulus
Duncan
PERLAKUAN KN KP IF 5 IF 10 Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 68.7800 65.8900 71.0267 70.4800 .431
Edema Glomerulus
Duncan
PERLAKUAN KN KP IF 5 IF 10 Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 29.5533 34.1100 29.0700 29.5167 .062
Normal Tubulus
Duncan
PERLAKUAN KN KP IF 5 IF 10 Sig.
Subset for alpha = .05 1 2 74.6733
N 3 3 3 3
5.7267 61.9200 70.0567 1.000
.053
Endapan Protein
Duncan
PERLAKUAN KN KP IF 5 IF 10 Sig.
Subset for alpha = .05 1 2 21.1833
N 3 3 3 3
5.1067 22.1367 11.1507
11.1507 .383
.147
24
Droplet Hyalin
PERLAKUAN KN KP IF 5 IF 10 Sig.
Duncan
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2.9367 8.5800 2.1767 .7800 .058
Nekrosis Tubulus
Duncan
PERLAKUAN KN KP IF 5 IF 10 Sig.
N 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 13.9500 64.1733 19.5167 18.0067 .570 1.000
Lampiran 2. Pembuatan Sediaan Histopatologi Proses pembuatan sediaan histopatologi dengan pewarnaan Haematoxylineosin (HE) adalah sebagai berikut : Fiksasi Sampel organ difiksasi dengan larutan Buffer Neutral Formalin 10% selama seminggu dengan tujuan agar proses enzimatis pada jaringan terhenti. Kemudian sampel dipotong dengan ketebalan 3-5 cm dan diletakkan di dalam tissue cassette. Dehidrasi Proses dehidrasi dimaksudkan untuk menarik air dari jaringan dan mencegah pengerutan sampel yang diuji, dengan cara merendamnya dalam larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat (alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, alkohol absolut I dan alkohol absolut II). Proses ini dilakukan pada masing-masing cairan selama dua jam.
25
Clearing Clearing atau penjernihan adalah suatu proses antara sesudah dehidrasi dan sebelum embedding dan paraffin. Tahap ini bertujuan untuk menjernihkan jaringan. Zat yang digunakan sebagai larutan clearing adalah xylol (xylol I, xylol II, xylol III). Proses ini dilakukan pada masing-masing cairan selama tiga puluh menit. Infiltrasi Infiltrasi adalah pengisian paraffin ke dalam pori-pori jaringan menggunakan paraffin cair dengan titik didih 56○C dan berlangsung selama tiga puluh menit untuk masing-masing tabung. Embedding Embedding adalah penanaman jaringan ke dalam paraffin, dengan cara meletakkan jaringan ke dalam paraffin cair dan dibekukan. Paraffin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi dua per tiga dari tinggi blok. Jaringan dibenamkan sampai dasar cetakan. Paraffin didiamkan sampai mengeras sehingga dapat dilepaskan dari blok pencetaknya. Proses ini dikerjakan dekat dengan sumber panas untuk mencegah pembekuan paraffin sebelum proses selesai. Sectioning Sectioning adalah proses pemotongan jaringan menggunakan mikrotom. Pada tahap ini jaringan yang telah diblok dalam paraffin disimpan dalam lemari es agar paraffin semakin mengeras sehingga memudahkan pemotongan. Untuk mendapatkan sediaan histopatologi yang baik, jaringan dipotong dengan ketebalan 3-5 µ. Hasil potongan kemudian diapungkan dalam waterbath dengan suhu hangat-hangat kuku agar jaringan tidak mengkerut dan terlipat.
26
Mounting Hasil potongan jaringan yang berada di water bath diletakkan di atas gelas
objek. Agar jaringan lebih melekat pada gelas objek, sebelumnya gelas objek diolesi dengan putih telur atau ditempatkan dalam inkubator pada suhu 25○C semalam. Jaringan siap untuk diwarnai.
Lampiran 3. Pewarnaan HE Jaringan dimasukkan ke dalam rak pewarnaan dengan posisi dan arah yang sama. Jaringan dimasukkan ke dalam larutan secara berurutan yaitu xylol I selama 2 menit, xylol II selama 2 menit, alkhohol absolut selama 2 menit, alkhohol 95% selama satu menit dan alkhohol 80% selama satu menit. Setelah itu jaringan dicuci dalam air mengalir selama satu menit dan dimasukkan ke dalam larutan Mayer’s Haematosilin selama delapan menit, dan selanjutnya dicuci kembali dalam air mengalir selama 30 detik. Jaringan kemudian dimasukkan ke dalam larutan lithium carbonat selama 15-30 detik, dicuci dengan air mengalir selama dua detik, selanjutnya dimasukkan kedalam pewarna Eosin selama 2-3 menit dan dicuci kembali dengan air mengalir selama 30-60 detik. Setelah proses pencucian, jaringan dicelupkan ke dalam alkhohol 95% sebanyak 10 kali, alkhohol absolut I sebanyak 10 kali dan alkhohol absolut II sebanyak 2 kali celupan. Setelah proses pencelupan, gelas objek dimasukkan ke dalam xylol I selama satu menit, kemudian xylol II selama dua menit. Setelah itu ditunggu preparat hingga mengering dan dilakukan proses penutupan dengan gelas penutup yang dilekatkan dengan lem khusus (Entellan®).