PEN NGARUH H INFUSU UM DAUN N ALPUKA AT DALA AM MEN NGHAMB BAT PEM MBENTUK KAN KRIS STAL PAD DA GIN NJAL TIK KUS
R RINI MAD DYASTUT TI PURWO ONO
SEKOLA AH PASCA ASARJAN NA IN NSTITUT PERTAN NIAN BOG GOR 2010
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Infusum Daun Alpukat dalam Menghambat Pembentukan Kristal pada Ginjal Tikus adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Rini Madyastuti Purwono B351070021
iii
SUMMARY
The effect of Avocado leaves (Persea americana Mill) Infusion in Inhibition of Crystallization Development in Rat Kidney. Under the direction of IETJE WIENTARSIH, SETYO WIDODO dan EVA HARLINA.
RINI MADYASTUTI PURWONO.
ABSTRACK The objective of this research is to explore the influence of infusum of avocado leaves by the inhibition activity of crystallization formation in the rat kidneys. Twenty heads of white male rats with body weight average of 200-250 grams were used in this research. The animals were divided into four groups, A,B,C dan D, five animals each, respectively. Group A as control received drinking water ad libitum, group B as positive control received ethylene glycol solution, group C received ethylene glycol and 5% of infusum avocado leaves and group D received ethylene glycol and 10% of infusum avocado leaves. Blood sample were aspirated intracadially for kidney function test and kidney slides for histopathologic examination. The results show that the ethylene glycol reduce glomeruler filtration rate and alters the morphologic structure of renal glomeruli and tubules. The crystal formation is formed after ethylene glycol drenching and fragmented/polarized after administration of infusum avocado leaves. The formation and polarization process of crystallization will be discussed in details.
iv
RINGKASAN RINI MADYASTUTI PURWONO. Pengaruh Infusum Daun Alpukat (Persea
americana Mill) dalam Menghambat Pembentukan Kristal pada Ginjal Tikus. Dibimbing oleh IETJE WIENTARSIH, SETYO WIDODO dan EVA HARLINA.
Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan tumbuhan obat dan saat ini penggunaan bahan alam sebagai obat cenderung meningkat. Salah satu tumbuhan yang memiliki potensi obat secara empiris adalah tumbuhan alpukat. Batu ginjal menempati urutan ketiga masalah sistem urinari setelah infeksi saluran kemih dan kelainan prostat. Tingkat kekambuhan setelah serangan pertama adalah 14%, 39% dan 52% pada tahun ke 1, 5 dan 10. Adanya tingkat keterulangan yang tinggi maka upaya-upaya preventif lebih dianjurkan dibandingkan pengobatan. Batu ginjal terdiri dari kristal-kristal kecil yang berikatan dan membentuk masa yang lebih besar. Apabila kristal penyusun batu ginjal dapat dihambat proses agregasinya, maka batu ginjal tidak akan terbentuk. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kandungan fitokimia infusum daun alpukat dan pengaruhnya dalam menghambat pembentukan kristal ginjal. Sebanyak dua puluh ekor hewan coba tikus dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor. Group A merupakan kelompok kontrol negatif yang diberi air minum ad libitum. Group B adalah kelompok kontrol positif yang diberi air minum berisi 0,75% etilen glikol dan 2% amonium klorida (inducer) ad libitum. Group C dan D adalah kelompok yang diberi inducer dan dicekok larutan infusum daun alpukat 5% dan 10%. Perlakuan dilaksanakan selama 10 hari. Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-0, 5 dan 11 secara intrakardial. Serum dianalisis untuk mengetahui kadar kreatinin, ureum dan laju flitrasi glomerulus. Pada hari ke- 11 dilakukan nefrotomi, dan ginjal dibuat preparat histopatologi untuk diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilli-Eosin. Pengamatan histopatologi dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan mikroskop cahaya, sedangkan pengamatan kristal dilakukan dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Hasil pemeriksaan parameter non spesifik simplisia menunjukan kadar air 4,19% dan kadar abu 4,25%. Hasil uji tapis infusum daun alpukat mengandung flavonoid, tanin, kuinon dan saponin. Pada hari ke-11 rata-rata kadar ureum serum kelompok yang diberi infus daun alpukat lebih rendah dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol positif), sedangkan kadar kreatinin serum kelompok yang diberi infus daun alpukat cenderung lebih rendah (p>0,05) dibanding kelompok kontrol positif. Penurunan rata-rata nilai kreatinin klirens pada kelompok B karena adanya paparan bahan nefrotoksik yang menyebabkan acute tubular necrosis. Pada tahap selanjutnya akan terjadi vasokontriksi dan mengakibatkan kenaikan tekanan darah sistemik yang berdampak pada penurunan laju filtrasi glomerulus.
v
Etilen glikol merupakan bahan yang bersifat nefrotoksik sehingga menimbulkan perubahan histopatologi pada ginjal berupa edema glomerulus dan kelainan tubulus berupa droplet hyalin, endapan protein di lumen dan epitel yang nekrotik. Pemberian infusum daun alpukat dapat menurunkan persentase lesio nekrosis tubular ginjal. Pada kelompok yang diinduksi etilen glikol terbentuk terbentuk kristal yang cukup besar di daerah duktus kolektivus, sedangkan [pada kelompok yang diberi infuse daun alpukat ditemukan Kristal dengan ukuran sangat kecil di dalam tubulus proksimal ginjal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian infusum daun alpukat dapat menghambat terbentuknya kristal di tubulus ginjal dengan mencegah proses agregasi kristal. Pemberian infusum daun alpukat menghasilkan metabolit asam dihidrofenilasetat, asam metahidroksifenilasetas dan asam 4-hidroksi-3metoksifenilasetat. Ketiga metabolit merupakan senyawa organik yang memiliki gugus fungsional karboksilat. Adanya gugus karboksilat ini akan cenderung beresonansi dan menghasilkan ion hidrogen yang selanjutnya akan menggeser kesetimbangan reaksi dari kalsium oksalat untuk mengurai kembali menjadi ionion. Dengan demikian proses pembentukan endapan kalsium oksalat dapat dihambat karena proses perkembangan inti menjadi massa batu ginjal dapat dihambat.
vi
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
: Pengaruh infusum daun Alpukat dalam menghambat pembentukan kristal pada ginjal tikus : Rini Madyastuti Purwono : B351070021 : Ilmu Biomedis Hewan
Nama NRP Program Studi
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr.Dra. Hj. Ietje Wientarsih MSc. Apt. Ketua
Dr.drh. Setyo Widodo Anggota
Dr. drh. Eva Harlina MSi, APVet. Anggota
Diketahui : Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Drh.Bambang Pontjo MS APVet Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro MS
vii
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis yang berjudul ”Pengaruh Infusum Daun Alpukat dalam Menghambat Pembentukan Kristal pada Ginjal Tikus” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2009 hingga Januari 2010. Penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada Ibu Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih Apt. MSc. selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Drh. Setyo Widodo dan Dr. Drh. Eva Harlina MSi sebagai anggota komisi pembimbing yang dengan tulus telah memberikan bimbingan, nasihat, dorongan semangat serta menyediakan waktu selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr.Drh.Ekowati Handharyani MSi atas kesediaannya untuk menelaah tesis ini serta menjadi Penguji Luar Komisi pada ujian tesis. Terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. Puji Handoko di Laboratorium Farmasi, Bapak Soleh, Bapak Kasnadi dan Bapak Endang di Bagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH-IPB, Ibu Hj Asmarida dan Ibu Sri Hartini di Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi. Khusus kepada mahasiswa FKH Isnia Nurulazmy dan Ikrar Trisnaning Hardi Utami. Mahasiswa Farmasi Universitas Pakuan Dina Rubina, Jatnika Wijaksana dan Resha Vyata, yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan IBH 2007 dan BRP 2007, drh Sosetyoratih, drh Budhi Jasa Widyananta, drh. Faisal Jamin, drh. Siti Aisyah, drh. Taufik Purna Nugraha,
viii
Dadang Djaenudin dan Lutvi MSi, yang telah memberikan kebersamaan dalam menjalani masa pendidikan pasca ini dan semangatnya serta dukungannya. Terima kasih yang setulusnya atas doa dan dorongan semangat yang telah diberikan kepada Mamah Warsiati, Mas Heri Triyanto, Mas Isnan Triswanto dan Krisna Wuriyanto. Akhirnya dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, tulisan ini kupersembahkan kepada suami Heri Herwanda, Nabila Keyla Nazline dan Fadhlan Aidil Akbar atas cinta kasih, pengertian, kesabaran, dorongan semangat dan dukungan yang selalu diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2010 Rini Madyastuti Purwono
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 8 Juni 1978 dari Ayah AK Purwono dan Ibu Warsiati. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2007, penulis diterima di Mayor Ilmu Biomedis Hewan pada program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS. Penulis mulai diangkat menjadi PNS pada Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 hingga saat ini. Saat ini penulis membantu Mata kuliah sediaan farmasi dan terapi umum pada tingkat sarjana dan ilmu reseptir pada jenjang Program Pendidikan Dokter Hewan (PPDH).
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... Xii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... Xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. Xiv PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 Latar Belakang ........................................................................................ 3 Tujuan ..................................................................................................... 3 Manfaat ................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4 Alpukat (Persea americana Mill) .......................................................... 4 Flavonoid ................................................................................................ 7 Ekstrak dan Infus ..................................................................................... 8 Hewan Percobaan ................................................................................... 8 Kristal Urin ............................................................................................. 10 Batu Kalsium Oksalat ............................................................................. 12 Etilen Glikol ........................................................................................... 14 Ginjal ............................................................................................................................. 16 Histologi Ginjal ......................................................................................................... 18 METODE PENELITIAN .....................................................................................
20
Waktu dan Tempat ................................................................................. 20 Bahan dan Alat ..................................................................................... 20 Determinasi dan Pengumpulan Daun Alpukat ....................................... 20 Pembuatan serbuk simplisia Daun Alpukat ............................................ 20 Penapisan Fitokimia ................................................................................ 21 Pembuatan Larutan Infus Daun Alpukat ................................................ 22
xi
Induksi Hewan Coba .............................................................................. 22 Desain Penelitian .................................................................................... 22 Analisis Ureum Serum ........................................................................... 23 Analisis Kreatinin Serum ....................................................................... 23 Analisis Klirens Kreatinin ...................................................................................... 23 Pembuatan Preparat Hematoksilin-Eosin .......................................................... 24 Evaluasi Histopatologi ............................................................................................. 24 Analisa data ................................................................................................................. 24 HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................................... 25 Kadar air, Kadar Abu dan Penapisan Fitokimia .............................................. 25 Kadar Ureum Serum ................................................................................................ 26 Kadar Kreatinin Serum ............................................................................................ 28 Nilai Klirens Kreatinin ............................................................................................ 30 Evaluasi Histopatologi Ginjal Tikus ................................................................... 32 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................... 39 Kesimpulan .................................................................................................................. 39 Saran .............................................................................................................................. 39 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 40
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Data Biokimia Tikus ..………………………………………………...
10
2
Komposisi penyusun batu ginjal ……………………………………... Literatur pengguna etilen glikol dan amonium klorida sebagai induser urolitiasis pada tikus ………………………………………………….. Parameter renal ekskretori tikus ……………………………………… Hasil uji penapisan fitokimia simplisia dan infusum daun alpukat …...
13
Rerata kadar ureum serum (mg/dl) tikus dari seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 ……………………………….…. Rerata kadar kreatinin serum (mg/dl) tikus dari seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 …………………………………. Rerata nilai klirens kreatinin (ml/mnt) seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11………………………………………………
27
3 4 5 6 7 8
16 17 25
29 31
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Tanaman Alpukat (Persea americana) Mill …………………...…….. Struktur dari metabolit sekunder flavonoid, isoflavon Dam neoflavonoid …………………………………………………..…........
5
3
Hewan coba tikus galur Sprague Dawley …………………………….
9
4
11
5
Tahapan utama dalam kristalisasi garam kalsium …………………… Metabolisme etilen glikol setelah pemberian peroral ……………..….
15
6
Anatomi ginjal tikus …………………………………………………..
17
7
Histologi ginjal normal ……………………………………………….
18
8
Rerata kadar ureum (mg/dl)serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 ……………………………………
27
Rerata kadar kreatinin (mg/dl)serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 ……………………………………
29
10 Rerata Nilai klirens kreatinin (ml/mnt) serum tikus Seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 ………………………..
31
11 Edema glomerulus dan tubulus nekrotik pada kelompok B Pasca pemberian etilen glikol …………………………………………
33
12 Tubulus nekrotik dengan endapan protein di lumen Pada kelompok B …………………………………………………..…
34
13 Hyalin droplet di epitel tubulus proksimal dan tubulus Nekrotik pada ginjal tikus kelompok B ………………………………
34
14 Kristalisasi pada ginjal tikus kelompok B di daerah Duktus kolektivus …………………………………………………….
35
15 Kristal dengan ukuran kecil di lumen tubulus distal ginjal Kelompok C ………………………………………………………….
37
16 Kristal dengan ukuran sangat kecil di lumen tubulus distal ginjal Kelompok D ……………………………………………………
37
2
9
7
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Hasil determinasi tanaman alpukat ….……………………………......
45
2
46
3
Analisis statistik kadar ureum serum ………………………………….. Analisis statistik kadar kreatinin serum ………………………………..
4
Analisis statistik klirens kreatinin ……………………………………... 61
54
xv
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki plasma nutfah berupa tumbuhan yang tergolong cukup beragam di dunia. Dari 40 ribu jenis tumbuhan yang ada di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh di Indonesia. Dari 30 ribu jenis tumbuhan di Indonesia, 90% merupakan tanaman obat, namun baru 17% yang sudah dimanfaatkan secara komersil sebagai bahan baku obat tradisional. Saat ini penggunaan bahan alam sebagai obat cenderung meningkat, sejalan dengan kecenderungan kembali ke alam (back to nature). Sumber daya alam yang melimpah merupakan peluang dalam pengembangan bahan alam sebagai obat alternatif (obat tradisional) dalam menyembuhkan penyakit. Saat ini penggunaan obat tradisional semakin banyak digunakan karena harga yang relatif murah, praktis dalam pemakaian, bahan baku yang mudah diperoleh dan efek samping yang relatif kecil (Sofowara dan Abayoni 1982). Dengan meningkatnya penggunaan obat tradisional, mendorong para ahli untuk meneliti zat aktif melalui serangkaian pengujian standar di laboratorium. Pengujian laboratorium yang harus dilakukan antara lain uji penapisan fitokimia untuk mengetahui kandungan senyawa pada bahan tersebut, uji toksisitas untuk mengetahui keamanan apabila dikonsumsi untuk pengobatan, uji eksperimental terhadap hewan percobaan dan uji klinis untuk memastikan efek farmakologi. Salah satu tanaman yang memiliki potensi obat secara empiris adalah daun tanaman alpukat (Persea americana Mill). Alpukat (Persea americana Mill) merupakan keluarga Lauraceae. Daun alpukat selama ini hanya dikenal sebagai limbah yang tidak pernah dimanfaatkan, namun sebagian masyarakat telah menggunakan daun alpukat sebagai diuretik, analgesik, anti radang, anti hipertensi, anti hipoglikemia, anti diare, mengobati sakit tenggorokan dan perdarahan (Brai et al. 2007). Penapisan fitokimia telah dilakukan oleh Wientarsih et al. (2008), dan hasilnya adalah ekstrak etanol daun alpukat mengandung flavonoid yang memberikan aktivitas diuretik.
xvi
Menurut Barnes et al. (2002), kombinasi kalium dan flavonoid memberikan aktivitas diuretik yang cukup kuat. Pada umumnya tanaman yang mempunyai kandungan kalium mempunyai efek sebagai penghancur batu saluran kemih secara in vitro. Menurut Alfianti (2009), kandungan kalium dalam ekstrak etanol daun alpukat cukup tinggi. Simanjuntak (2007), menyatakan infusum daun alpukat lebih banyak melarutkan kalsium oksalat pada batu ginjal dibandingkan dengan infusum herba meniran. Penelitian lain yang dilakukan oleh Wientarsih et al. (2008) memberikan hasil bahwa ekstrak etanol daun alpukat dosis 100 mg/kgbb dan 300 mg/kgbb mempunyai aktivitas diuretik dan menghambat terjadinya mineralisasi kalsium oksalat pada tikus putih. Menurut Bahdarsyam (2003), Indonesia merupakan salah satu negara yang dilalui sabuk batu sehingga memiliki tingkat insiden batu ginjal yang cukup tinggi. Batu ginjal menempati urutan ketiga setelah infeksi saluran kemih dan kelainan prostat. Tingkat kekambuhan setelah serangan pertama adalah 14%, 39% dan 52% pada tahun ke 1, 5 dan 10 secara berurutan. Semakin tinggi resiko untuk terjadinya keterulangan batu ginjal maka upaya-upaya preventif lebih dianjurkan dibandingkan pengobatan. Batu ginjal adalah benda-benda padat yang ditemukan di dalam ginjal yang terbentuk melalui proses fisikokimiawi dari zat-zat yang terkandung di dalam air kemih. Batu ginjal terdiri dari kristal-kristal kecil yang terakumulasi. Kristal dapat mengendap di dalam saluran kemih ketika urin dalam kondisi supersaturasi. Sebelum menjadi batu ginjal, kristal harus mengalami proses pengikatan di ginjal (Verkoelen et al. 2005). Pada kondisi normal dan sehat pembentukan kristal tetap terjadi, kristal akan berikatan dengan permukaan sel epitel tubulus yang selanjutnya akan difagositosis oleh makrofag atau lisosom sel tersebut (Tsujita 2007). Sekitar 80% batu ginjal merupakan batu kalsium yang umumnya terdiri dari kalsium oksalat (CaOx) (Katzung 1995). Kristal kalsium oksalat sangat umum ditemukan pada kondisi hiperoksaluria. Hiperoksaluria sekunder dapat diperoleh dari pola makan atau gaya hidup yang berlebihan dalam mengkonsumsi makanan kaya oksalat seperti coklat, kacang-kacangan dan bayam serta diet tinggi
xvii
protein hewani (Shekarriz et al. 2008). Selanjutnya kristal harus mengalami interaksi dengan epitel sel untuk menjadi nefrolit (batu ginjal). Ketersediaan bahan daun alpukat yang berlimpah merupakan suatu peluang dalam memberikan alternatif pengobatan asli Indonesia. Daun alpukat yang mengandung kalium dan flavonoid diharapkan mempunyai aktivitas menghambat pembentukan kristal di ginjal.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kandungan fitokimia infusum daun alpukat dan pengaruh pemberian infusum daun alpukat dalam menghambat pembentukan kristal pada ginjal tikus yang diinduksi etilen glikol.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data ilmiah tentang daun alpukat, sebagai landasan menjadikan daun alpukat sebagai obat alternatif dalam pencegahan terjadinya keterulangan kasus batu ginjal. Melalui penggunaan obat herbal ini diharapkan pencegahan penyakit batu ginjal tidak mahal lagi dan dapat mengurangi resiko toksik dari bahan-bahan kimia sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat akan khasiat daun alpukat serta nilai tambah bagi pohon alpukat secara ekonomis.
xviii
TINJAUAN PUSTAKA
Alpukat (Persea americana Mill) Pohon alpukat merupakan tanaman buah berupa pohon dengan nama alpuket (Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur atau Jawa Tengah), jamboo pokat (Batak), pookat (Lampung) dan lain-lain. Tanaman alpukat berasal dari dataran rendah Amerika Tengah dan diperkirakan masuk ke Indonesia antara tahun 19201930. Indonesia telah membudidayakan 20 varietas alpukat dari Amerika Tengah dan Amerika Serikat untuk memperoleh varietas-varietas unggul. Pohon alpukat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu 5-1500 m di atas permukaan laut, tetapi tanaman ini akan tumbuh subur dengan hasil yang memuaskan pada ketinggian 200-1000 m di atas permukaan laut. Tanaman alpukat ras Meksiko dan Guatemala lebih cocok ditanam di daerah dengan ketinggian 1000-2000 m, sedangkan ras Hindia Barat pada ketinggian 51000 m di atas permukaan laut (Prihatman 2000). Taksonomi alpukat (Persea americana Mill) menurut Prihatman (2000) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivis
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Ranales
Keluarga
: Lauraceae
Marga
: Persea
Spesies
: Persea americana Mill
Negara-negara penghasil alpukat terbesar di dunia adalah Amerika (Florida, California, Hawai), Australia, Cuba, Argentina, dan Afrika Selatan sedangkan di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Timur, sebagian Sumatera, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara.
xix
Gambar 1 Tanaman Alpukat (Persea americana Mill).
Morfologi Alpukat merupakan tanaman hortikultura yang dapat tumbuh dan ditanam di daerah yang agak kering dan basah serta dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang gembur, tidak mudah digenangi air, dan pH tanah berkisar antara 5,5-6,5. Alpukat (Persea americana Mill) merupakan famili Lauraceae. Tanaman ini berbentuk pohon, tinggi 3-10 m, ranting teguh berambut halus, perbungaan berupa malai terletak dekat ujung ranting dan berbunga banyak. Buah berbentuk bola lampu sampai berbentuk bulat telur, panjang 5-20 cm, lebar 5-10 cm, tanpa sisa bunga, warna buah hijau atau kuning kehijauan, berbintik-bintik ungu atau ungu sama sekali. Buah memiliki biji satu berbentuk bola, garis tengah 2,5-5 cm. Tanaman
alpukat dapat
diperbanyak dengan
menggunakan biji.
Pemeliharaan tanaman ini mudah seperti tumbuhan lain, dibutuhkan cukup air dengan penyiraman untuk menjaga kelembaban tanah dan pemupukan terutama pupuk dasar. Tanaman ini menghendaki tempat yang cukup sinar matahari.
xx
Deskripsi Daun Daun alpukat merupakan daun tunggal, bertangkai, letak tersebar dan menumpuk di ujung ranting. Daun berbentuk oval sampai lonjong, panjang 1020 cm, lebar 3 cm, panjang tangkai 1,5-5 cm. Panjang helaian daun 10- 20 cm, lebar 3-10 cm. Pangkal daun dan ujung daun meruncing, pinggir daun rata, kadang-kadang agak menggulung ke atas. Permukaan daun licin, warna hijau sampai hijau kecoklatan atau coklat keunguan, penulangan menyirip, panjang tangkai daun 1,5 sampai 5 cm.
Kandungan Kimia Tanaman alpukat mengandung senyawa kimia pada setiap bagiannya yaitu : 1.
Kulit ranting mengandung beberapa zat kimia yaitu minyak terbang seperti metilkavikol, alpapien, tanin, dan flavonoid.
2.
Daun mengandung saponin, alkaloida, flavonoid, polifenol, quersetin dan gula alkohol persit.
3.
Buah alpukat mengandung betakaroten, klorofil, vitamin E, dan vitamin Bkompleks yang berlimpah
4.
Biji alpukat mengandung protein dan lemak
Manfaat Alpukat Menurut Winarto (2007), manfaat dan khasiat daun alpukat antara lain untuk mengobati sariawan, kencing batu, sakit kepala, nyeri saraf (neuralgia), nyeri lambung, saluran napas membengkak (bronchial swellings), sakit gigi, menstruasi tidak teratur dan melembabkan kulit kering. Biji alpukat berguna sebagai anti radang, adstringent dan analgesik. Kulit ranting berkhasiat untuk pelancar menstruasi, emolient, anti bakteri dan penyembuh batuk (Hariana 2007). Maryati et al. (2007) menyatakan bahwa hasil penapisan fitokimia daun alpukat (Persea americana Mill) menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoid, tanin katekat, kuinon, saponin, dan steroid atau triterpenoid. Penelitian oleh Brai et al. (2007) menunjukan bahwa ekstrak air dan ekstrak metanol daun alpukat dapat menurunkan berat badan dan kadar lemak hati pada tikus hiperlipidemia.
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Antia
et
al.
(2005)
xxi
memperlihat m tkan bahw wa ekstrak air daun alpukat m memberikann aktivitas hipoglikemi h k terhadap tikus yang diiinduksi dengan aloksan monohidratt.
Flavonoid F onoid meruupakan metaabolit sekun nder yang teerdapat dalaam jumlah Flavo berlebih b di alam. Flavoonoid memppunyai keranngka dasar kkarbon yang terdiri dari C6) terikat paada satu ranttai propane 15 atom karrbon, dimanaa dua cincin benzene (C (C3) ( sehinngga membbentuk susuunan C6-C C3-C6. Berrdasarkan strukturnya s fllavonoid f dapat d digollongkan meenjadi 3 yaaitu flavonooid, neoflav vonoid dan isoflavon. i Lebih L dari 2000 flavvonoid yang g berasal dari tumbuuhan telah diidentifikas d si, namun ad da tiga kelom mpok yang umum u dipellajari, yaitu antosianin, flavonol, f dan n flavon.
Gambar 2 Struktur dari metaabolit sekun nder Flavoonoid, isofllavon dan neoflavonnoid. Anto osianin (darii bahasa Yuunani anthoos , bunga dan kyanoss, biru-tua) adalah a pigm men berwarnaa yang umum mnya terdapat di bunga bberwarna meerah, ungu, dan d biru . Pigmen P ini ju uga terdapatt di berbagaai bagian tum mbuhan lainn misalnya, buah b tertenttu, batang, daun d dan bahkan akar. Flavonoid sering terdaapat di sel epidermis.Se e ebagian besaar flavonoidd tersimpan di d vakuola sel tumbuhan n walaupun tempat t sinteesisnya ada di d luar vakuoola.. Lin dan Wen (22006), flavoonoid merup pakan nutracceutical. Nuutraceutical adalah a makaanan yang memberikan m kontribusi terhadap kesehatan, bisaa mencegah atau a mengo obati penyak kit. Beberappa penelitiann tentang fl flavonoid, menunjukan m aktivitas a antti alergi, anntiviral, anti inflamasi, hepatoprotek h ktif, anti ok ksidan, anti thrombotic, t vasodilatasii dan anti karrsinogenik (Seyoum et aal. 2006).
xxii
Menurut Singh (2005), pemberian derivate flavonoid dapat memperbaiki kerusakan-kerusakan pada ginjal dengan kapasitas aktivitas antioksidannya dan penangkap radikal bebas (radical scavenging). Aktivitas antioksidan akan menghambat enzim-enzim yang berperan dalam pembentukan oksigen spesies seperti lipooksigenase, siklooksigenase, monooksigenase dan NADPH oksidase.
Ekstrak dan Infus Infus adalah proses ekstraksi menggunakan pelarut air dengan pemanasan hingga 90ºC selama 15 menit. Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Anonim 2000). Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Ekstraksi secara umum ada dua metode yaitu dengan cara dingin dan cara panas. Metode ekstraksi cara dingin yaitu maserasi dan perkolasi. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan, sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 15 kali dari bahan. Metode ekstraksi dengan cara panas yaitu refluks, soxhlet, digesti, dekok dan infus (Anonim 2000). Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ekstraksi adalah ukuran simplisia dan pelarut. Pelarut air masih banyak digunakan karena caranya mudah. Untuk produksi komersil, umumnya digunakan pelarut air dengan kandungan alkohol rendah dan dikeringkan dengan cara semprot kering.
Hewan Percobaan Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik
xxiii
(Malole ( et al. a 1989). Hewan H percoobaan yang digunakan ddalam penellitian harus memenuhi m kriteria terttentu, antarra lain kem miripan funngsi fisiologgis dengan manusia, m beerkembangbiiak dengan ccepat, mudahh didapat daan dipeliharaa, memiliki galur g genetiss murni, sertta murah seccara ekonom mis (Subahagio et al. 1997).
Gambar 3 Hewan coba tikus jantan galur g Spraguee-Dawley.
Hew wan coba yaang umum ddigunakan dalam d penellitian farmakkologi dan toksikologi t adalah a menccit dan tikus putih. Hewaan ini dipilihh karena murrah, mudah didapat, d dan n mudah ditaangani (Lu 11995). Tikuss putih telah digunakan secara luas untuk u tujuann penelitian, karena hew wan ini telaah diketahuii sifat-sifatn nya, mudah dipelihara, d m merupakan hewan h yang relatif sehatt dan cocok uuntuk berbaagai macam penelitian p (M Malole et al. 1989). Men nurut Suckow w et al. (2006), taksonoomi tikus puutih adalah: Kingdom: Animalia, A Filum : Chorddata, Subfiluum : Vertebrrata, Kelas : Mammalia,, Subclass : Theria, T Ordo o : Rodentia, Subordo : M Myomorphaa, Superfamili : Muroidaae, Famili :: Muridae, M Suubfamili : Murinae, M Gennus : Rattus dan Spesiess : Rattus spp. Menurut Malole M et al. (1989), tikkus Galur Sprague-Daw Sp wley merupaakan galur yang y umum digunakan d u untuk penelitian. Memppunyai ciri berwarna putih albino, berkepala kecil, k dan ekornya e leb bih panjang dari badan nnya (Gambbar 1). Pad da Tabel 1 disajikan d datta biokimia tikus.
xxiv
Tabel 1 Data biokimia tikus Parameter Biokimia Natrium Kalium Klorida Fosfat Glukosa Bilirubin BUN (Urea) Kolesterol Total Bilirubin Protein Albumin Globulin Alb/Glob.Ratio Creatinin Serum Alk.Phosphate SGOT (ASAT) SGPT (ALAT)
Nilai 137 - 154 mmol/L 4,0 - 6,6 mmol/L 99 – 108 mEq/L 2.1 - 2.8 mmol/L 4.5-8.95 mmol/L 0.51 – 6.67 mcmol/L 25.94 g/dl – 77.78 mg/dl 0.50 – 0.91 mmol/L 0.51 – 6.67 mol/L 60 - 79 g/L 32 – 38 g/L 28 – 40 g/L 0.9 – 1.1 0.2 - .0.8 mg/dl 71 – 299 mU/ml 77 – 622 mU/ml 28 – 418 mU/ml
Sumber : Dhawan et al. (1997)
Kristal Urin Kristal urin adalah perubahan fase dari senyawa yang terlarut dalam urin melewati titik keseimbangan fase likuid menjadi fase solid dalam lingkungan supersaturasi. Ketika ion penyusun batuan dalam urin konsentrasinya sangat tinggi, maka ion akan cenderung saling berdekatan membentuk struktur kristal yang tidak mudah larut. Beberapa faktor lingkungan dalam urin sangat berperan dalam pembentukan kristal yaitu pH, suhu dan konsentrasi ion. Ketika konsentrasi suatu ion penyusun batu ginjal dalam urin rendah dan masih mampu untuk melarut membentuk larutan garamnya maka kondisi urin disebut undersaturasi. Supersaturasi adalah kondisi urin yang mengandung ion penyusun batuan ginjal dalam jumlah berlebih. Ketika kondisi lingkungan supersaturasi, maka kondisi ini merupakan faktor utama yang berperan dalam pembentukan kristal spontan. Oleh karena itu salah satu upaya pencegahan terjadinya batu ginjal yang efektif adalah dengan mencegah terbentuknya kondisi supersaturasi (Stoller dan Meng 2007). Proses pembentukan kristal dalam ginjal meliputi beberapa tahapan dan merupakan proses yang sangat kompleks. Tahapan pembentukan dimulai dari nukleasi, agregasi dan pertumbuhan. Proses pembentukan nukleasi hingga
xxv
menjadi batuan ginjal disajikan pada Gambar 4. Tahap pertama pembentukan kristal adalah nukleasi, dimana ion di dalam urin akan bersatu membentuk senyawa yang tidak larut (presipitat). Presipitat ini akan berkembang menjadi struktur kristal. Struktur kristal yang terbentuk akan mengalami proses agregasi membentuk struktur kristal yang lebih besar, dan pada tahap akhir akan terbentuk batu ginjal.
Gambar 4 Tahapan pembentukan kristalis garam kalsium. Sumber: Tiselius et al. (1996).
Proses perubahan dari ion menjadi kristal memerlukan ikatan kimia dalam interaksi ion-ion penyusun batu ginjal. Adanya kekuatan Van der Waals, viscous binding dan solid bridge akan menarik dan mempertahankan partikel ion untuk bersatu. Kekuatan potensial zeta (daya tolak menolak elektrostatik) akan mempengaruhi agregasi dan disagregasi partikel kristal. Faktor-faktor penghambat kristal seperti sitrat, pirofosfat dan polimer asam merubah kekuatan potensial zeta yang akan mempengaruhi agregasi dan disagregasi partikel. Retensi kristal menjadi faktor utama yang berperan dalam berkembangnya suatu kristal menjadi batuan yang solid. Retensi kristal merupakan interaksi antara sel epitel dan partikel kristal. Adanya perlukaan pada sel epitel akibat paparan bahan nefrotoksik dapat meningkatan afinitas kristal pada permukaan membran sel (Wiessner et al. 2001). Perlukaan sel akan mengakibatkan perubahan struktur dari lipid membran, sehingga sel kehilangan polaritas dan terjadi perubahan pada permukaan membran sel. Hal ini semua merupakan kodisi ideal untuk memperoleh daya afinitas kristal yang kuat dengan epitel sel membran.
xxvi
Selain mengandung ion dalam kondisi supersaturasi, urin juga mengandung faktor-faktor inhibitor kristal ginjal. Beberapa faktor inhibitor tersebut antara lain adalah sitrat, magnesium, pirofosfat, osteopontin dan nefrokalsin. Kurangnya faktor inhibitor sangat berperan dalam pembentukan batu ginjal. Umumnya faktor inhibitor menghambat pembentukan batu ginjal dari mulai tahap nukleasi, agregasi dan retensi kristal (Pearle dan Nakada 2009).
Batu Ginjal Kalsium Oksalat (CaOx) Batu kalsium oksalat merupakan batuan yang paling banyak ditemukan dengan kasus ± 75-85%. Dalam dunia veteriner khususnya hewan kecil, tingkat insiden kasus batu ginjal kalsium oksalat sebesar 30 -35% pada kucing dan 5055% pada anjing (Tilley&Smith 2004). Batu kalsium oksalat terdapat dalam dua tipe yaitu monohidrat dan dihidrat. Faktor resiko batu kalsium oksalat adalah hiperkalsiuria, hiperoksaluria dan hipositraturia. Hiperoksaluria primer terjadi karena adanya defek secara genetis. Hiperoksaluria sekunder umumnya diperoleh dari makanan kaya akan oksalat seperti coklat dan kacang-kacangan. Kejenuhan di dalam urin terjadi karena ion oksalat bertemu kalsium membentuk kristal kalsium oksalat yang tidak dapat larut kembali. Kristal ini selanjutnya akan mengalami nukleasi, agregasi dan tumbuh menjadi batuan solid yang mengandung campuran antara kalsium oksalat dan kalsium fosfat. Macammacam batu ginjal beserta komposisinya dapat dilihat pada Tabel 2. Kondisi hiperoksaluria merupakan pencetus terbentuknya kristal ginjal kalsium oksalat. Oksalat bersifat sitotoksik sehingga dapat menyebabkan kondisi perlukaan pada sel epitel dan tubular nekrosis akut. Hiperoksaluria digolongkan menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Hiperoksaluria primer umumnya bersifat genetis seperti defisiensi enzim alkohol dehidrogenase. Hiperoksaluria sekunder diperoleh dari sumber makanan dan degradasi vitamin C.
xxvii Tabel 2 Komposisi penyusun batu ginjal Kelompok Karbonat Sistin Oksalat Fosfat
Silika asam urat
Nama Senyawa Kalsium karbonat Sistin Kalsium oksalat monohidrat Kalsium oksalat dihidrat Kalsium fosfat Hidroksiapatit Karbonit-apatit Kalsium hidrogen fosfat dihidrat Trikalsium fosfat Oktakalsium fosfat Magnesium amonium fosfat heksahidrat Magnesium hidrogen fosfat trihidrat
Silikon dioksida Asam urat Asam urat dihidrat Amonium asam urat Sodium asam urat monohidrat Sumber : Stockham dan Scott (2008) Urat
Rumus Kimia CaCO3 SCH2CH(NH2)COOH CaC2O4.H2O CaC2O4.2H2O Ca5(PO4)3(OH) Ca10(PO4)6(OH)2 Ca10(PO4,CO3OH)6(OH)2 CaHPO4.2H2O Ca3(PO4)2 CaH(PO4)3.5H2O MgNH4PO4.6H20 MgHPO4.3H2O SiO2 C5H4N4O3 C5H4N4O3.2H2O C5H4N4O3NH4 C5H3N4O3Na.H2O
Diduga ada dua kondisi yang terlibat dalam proses pembentukan batu ginjal yaitu supersaturasi dan nukleasi. Supersaturasi terjadi jika substansi yang menyusun batu terdapat dalam jumlah besar dalam urin, yaitu ketika volume dan kimia urin yang menekan pembentukan batu menurun. Pada proses nukleasi, asam urat dan mineral kalsium fosfat membentuk inti. Ion kalsium dan oksalat kemudian merekat di inti untuk membentuk campuran batu (Ratu et al. 2006). Nukleusasi kalsium oksalat diinduksi oleh satu atau beberapa kondisi, salah satunya adalah hiperoksaluria. Kondisi hiperoksaluria akan meningkatkan supersaturasi kalsium oksalat di dalam urin dan menghasilkan kristal kalsium oksalat yang terdeposit pertama kalinya di papilla. Oksalat dalam tubuh diperoleh dari makanan, degradasi vitamin C dan dihasilkan oleh liver sehingga pada kondisi normal juga terdapat oksalat. Pada kondisi hiperoksaluria, paparan terhadap sel epitel dapat menyebabkan kerusakan oksidatif, kerusakan mitokondria, respon inflamasi dan perubahan dalam ekspresi kristalisasi inhibitor. Oksalat dapat merangsang pembentukan kristal dengan mempersiapkan sel-sel debris untuk nukleusasi (Morengo dan Romani 2008).
xxviii
Etilen Glikol Etilen glikol atau 1, 2 etanadiol merupakan derivat alkohol dihidroksi. Etilen glikol atau glikol alkohol mempunyai rumus molekul C2H6O2, berat molekul 62.07 gram/mol, tidak berbau, tidak berwarna, cair, berasa manis dan toksik. Etilen glikol merupakan bahan yang banyak digunakan sebagai cairan anti beku, penghilang es, pelapis permukaan, pemindah panas, pendingin industri, pengemulsi hidrolik dan surfaktan. Pada daerah yang mengalami musim salju, etilen glikol digunakan untuk mencegah pembekuan pada air radiator mobil. Kasus keracunan pada hewan peliharaan banyak terjadi secara tidak sengaja akibat mengkonsumsi cairan tersebut karena rasanya yang manis. Metabolisme etilen glikol terdiri dari empat tahapan dan tahap pertama terjadi di liver. Pada tahap ini etilen glikol di metabolisme menjadi glikoaldehid dengan bantuan enzim alkohol dehidrogenase (ADH), sedangkan pada tahap kedua glikoaldehid dengan cepat dirubah menjadi glikolat. Tahap ketiga adalah metabolisme berlanjut dari glikolat menjadi glioksilat dimana pada tahap ini proses metabolisme berjalan lambat yang diikuti dengan akumulasi glikolat. Glikolat bertanggung jawab terhadap terjadinya kondisi metabolik asidosis sehingga merupakan penanda pada kondisi terjadinya keracunan etilen glikol. Tahap keempat, metabolisme glioksilat menjadi oksalat, yang selanjutnya dengan cepat membentuk kalsium oksalat dan akan terakumulasi dalam bentuk kristal khususnya di daerah ginjal (Walder 1994). Ginjal merupakan organ yang paling peka terhadap etilen glikol dan merupakan target organ primer. Tahapan metabolisme etilen glikol disajikan pada Gambar 5, yang berawal di organ hati. Keracunan etilen glikol pada manusia dan hewan dimulai dengan metabolik asidosis, komplikasi kardiopulmonari, gagal ginjal akut, koma, yang diikuti kematian (Jacobsen dan Martin 1986). Gagal ginjal terjadi karena nekrosis sel tubular proksimal dan adanya kristal kalsium oksalat di ginjal. Hipokalsemia dapat terjadi karena kalsium membentuk batuan sehingga tidak dapat direabsorpsi oleh ginjal (Cox et al. 2004).
xxix
Gambar 5 Metabolisme etilen glikol setelah pemberian peroral.Sumber : Cox et al. 2004.
Etilen glikol dapat mengakibatkan gagal ginjal permanen yang disertai infark seluruh nefron yang disebut nekrosis korteks akut. Hiperoksaluria akibat intoksikasi etilen glikol dapat menginduksi terjadinya kerusakan pada tubular renal dan nefrolitiasis kalsium oksalat. Hiperoksaluria merupakan model yang banyak digunakan dalam berbagai studi mengenai nefrolitiasis kalsium oksalat (Green et al. 2005). Kelebihan dari penggunaan model etilen glikol adalah murah dan mudah dalam pemberiannya. Penggunaan etilen glikol sebagai penginduksi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan zat kimia lain seperti amonium klorida (Fan et al. 1999). Berbagai penelitian yang menggunakan etilen glikol sebagai induser dapat dilihat pada Tabel 3.
xxx
Tabel 3 Penggunaan etilen glikol dan amonium klorida sebagai induser urolitiasis pada tikus jantan Peneliti Boeve et al. 1993 Khan et al. 1995
Strain Tikus Winstar SD
Lee et al. 1992 Li et al. 1992 Lyon et al. 1966
SD Wistar SD
Perlakuan 0.8% EG + 1% AC 0.5 % EG 0.75% EG 1% EG 0.75% EG + 2% AC 0.5% EG 1% EG 1% EG 1% EG + 1% AC
Periode 24 hari 24 hari 24 hari 15, 29 hari 7 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari
Kristal Ginjal 0% 16.7% 50% 75% dan 50% 100% 71.4 % 62.5% 23.1% 83.3%
Sumber: Fan et al.(1999)
Ginjal Organ ginjal merupakan bagian dari sistem urinari yang memiliki peranan dalam proses filtrasi, metabolisme dan ekskresi hasil-hasil metabolisme. Ginjal adalah organ tubuh yang fungsi utamanya adalah memelihara keseimbangan cairan, elektrolit dan mengatur tekanan darah (Hartono 1992). Tikus memiliki ginjal dengan tekstur permukaan halus dan warna merah kecoklatan. Berat ginjal tikus umumnya mencapai 0,76% dari total berat badannya. Ginjal sebelah kanan memiliki posisi cranial dibandingkan ginjal sebelah kiri. Palpasi ginjal lebih mudah dilakukan pada hewan usia muda dibandingkan dewasa karena pada yang dewasa diselimuti lapisan lemak (Boorman et al. 1990). Ginjal tikus unilobular (memiliki satu piramid), tidak seperti manusia yang umumnya memiliki 10-14 lobul (Tucker 2003). Ginjal unilobular tidak hanya dimiliki oleh golongan rodentia tetapi dimiliki juga oleh golongan lagomorpha dan insectivora (Fox et al. 2002). Anatomi ginjal tikus unilobular disajikan pada Gambar 6. Ginjal tikus memasuki ureter secara langsung dengan kondisi unipapila dan satu kalik. Korteks ginjal merupakan zona yang terdiri dari piramida-piramida ginjal. Korteks terdiri dari semua glomerulus dan medula terdiri dari ansa Henle, vasa rekta dan bagian akhir dari duktus kolektivus. Fornice pada ginjal tikus memiliki bentuk yang spesifik dengan posisi evaginasi memanjang pada renal pelvis, dimana epitelnya memiliki kesamaan dengan epitel pada duktus pengumpul. Fornice tikus berada dekat dengan loop Henle dan berperan dalam
xxxi
Gambar 6 Anatomi ginjal tikus. P: papilla, M:medulla, C: korteks, Rp:renal pelvis. Sumber : Suckow et al. (2006).
menentukan konsentrasi urea di dalam papila (Suckow et al. 2006). Ginjal tikus dewasa memiliki kurang lebih 30.000 nefron. Nefron merupakan unit dasar ginjal yang memiliki fungsi dasar membersihkan atau menjernihkan plasma darah dari substansi yang tidak diinginkan oleh tubuh. Biasanya substansi tersebut berasal dari hasil metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat dan ion-ion natrium, kalium, klorida serta ion-ion hidrogen dalam jumlah yang berlebihan (Guyton 1994). Nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Glomerulus berbentuk lobus dan terdapat lapisan viseral yang menutupinya. Pada Tabel 4 disajikan data parameter ekskretori renal pada hewan coba tikus. Tabel 4 Parameter renal ekskretori pada tikus Parameter Nilai Blood urea nitrogen 21 Volume urin 5.5-6.2 ml/24 jam/100 g bb Na+ ekskresi 191.6 µmol/24 jam/100 g bb K+ ekskresi 794 µmol/24 jam/100 g bb Protein 30-100 mg/100 ml Osmolaritas Urin 1659 mOsm/kg H2O Spesifik Gravity 1.050-1.062 GFR 1.01-1.236 ml/min/100 g bb U/P insulin 431 mg/ml Inulin klir 857 µl/min/100 g PAH klirens 1.341 ml/min/100 g Fraksi filtrasi 35-45% Laju aliran urin 4.8-5.2 µl/min/100 g Sumber: Suckow et al. (2006)
xxxii
Sel-sel penyusun lapisan viseral disebut podosit. Kapsul Bowman memiliki dinding tipis dan terdapat epitel squamosa yang lebih tebal pada sisi saluran kemih. Tikus memiliki dua tipe loop Henle yaitu pendek dan panjang (Suckow et al. 2006).
Histologi Ginjal Ginjal dibungkus oleh kapsula yang terdiri dari jaringan ikat kolagen padat yang dengan mudah dikupas. Tepi medial melekuk sangat dalam yang disebut hilus ginjal. Jika ginjal dipotong sejajar dengan permukaannya, akan membagi ginjal menjadi dua bagian yang sama tebal. Parenkim ginjal terdiri dari korteks dan medula. Korteks ginjal tampak merah gelap bergranula sedangkan medula lebih cerah daripada korteks (Geneser 1994). Histologi ginjal normal disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Histologi ginjal normal. p: tubulus proksimal, d: tubulus distal. Sumber : http://www.siumed.edu/~dking2/crr/RN003b.htm
Nefron merupakan unit fungsional ginjal yang memiliki enam segmen yang cukup jelas: korpuskel renalis, tubuli konvoluti, tubuli proksimalis, segmen Henle tipis, segmen Henle tebal dan tubuli distalis. Tubuli konvoluti proksimalis dan distalis terdapat pada korteks, di sekitar korpuskel renalis. Tubuli rekti proksimalis, distalis dan segmen tipis membentuk jerat Henle. Tubuli rekti
xxxiii
proksimalis tebal yang turun, segmen tipis yang turun dan naik membentuk segmen nefron yang tipis. Segmen tebal yang naik merupakan bagian dari tubuli rekti distalis. Korpuskel renalis terdiri atas bagian permulaan nefron yang melebar, terdapat di daerah Korteks. Korpuskel renalis terdiri dari glomerulus, yang dibungkus oleh kapsula Bowman. Lapisan luar kapsula yaitu lapis parietalis merupakan batas luar korpuskel ginjal. Lapis dalam yaitu lapis viseralis membungkus kapiler glomerulus. Ruang di antara kedua lapisan disebut ruang kapsula (ruang urin). Proses filtrasi dalam pembentukan ultrafiltrat yang berasal dari darah, melalui kapiler glomerulus, melalui dinding-dinding dan lapis viseral yang selanjutnya di simpan di dalam ruang kapsula (Geneser 1994). Tubuli proksimalis pada nefron memiliki dua segmen utama yaitu bagian yang berliku-liku (pars konvoluti) dan bagian yang lurus (pars rekti). Pada sayatan melintang tubuli proksimalis, sel epitel berbentuk piramida dengan inti bulat terletak di pinggir. Permukaan bebasnya memiliki mikrovili panjang disebut brush border, mirip sikat yang mempersempit lumen tubuli proksimalis. Tubuli distalis dan tubuli proksimalis bercampur di dalam korteks, tetapi dengan ciri histologik dapat dibedakan. Sayatan melintang maupun miring pada tubuli distalis tampak lebih sedikit, karena memang panjangnya kurang dari tubuli proksimalis. Lumen dari tubuli distalis lebih besar, karena epitelnya lebih rendah, selnya sempit dan intinya tampak lebih banyak dibandingkan sayatan melintang tubuli proksimalis. Tubuli distalis tidak mempunyai brush border pada permukaan epitel, dan sitoplasmanya tampak lebih pucat serta kurang asidofilik (Dellman dan Brown 1992).
xxxiv
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmasi dan Laboratorium Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, FKH-IPB serta Laboratorium Mikro SEAFAST IPB. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei 2009 hingga Januari 2010.
Bahan dan Alat Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih galur Sprague Dawley dengan jenis kelamin jantan. Bahan yang digunakan adalah simplisia daun alpukat, etanol 70%, aquadest, NaOH 10%, H2SO4, kloroform, amoniak, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorf, pereaksi Wagner, FeCl3 1%, etilen glikol, amonium klorida, eter, kit kreatinin, kit urea, PGA, betadine, NaCl 0,9%, furosemide, BNF 10%, alkohol bertingkat, alkohol absolut, xylol bertingkat, xylol absolut, paraffin, pewarna Hematoksilin-Eosin dan nitrogen cair. Alat yang digunakan adalah beaker glass, termometer, vacuum drying, timbangan, corong, kompor, sonde oral tikus,
kandang
tikus,
syringe,
vacutainer
blood,
tabung
eppendorf,
spektrofotometer UV/VIS, mikropipet, dan tabung reaksi.
Metodologi Determinasi dan Pengumpulan Daun Alpukat Daun alpukat diperoleh dari Balai Penelitian Tumbuhan Rempah dan Obat (BALITRO) Bogor dan dilakukan determinasi di Pusat Penelitian LIPI Cibinong.
Pembuatan Serbuk Simplisia Daun Alpukat Daun alpukat yang dipilih adalah yang terletak di tengah dan daun yang sudah tua. Daun dibersihkan dengan air mengalir hingga bersih dan dikeringkan dengan cara dijemur. Simplisia kering daun alpukat diserbukan dan diayak dengan ayakan mesh 16 sehingga diperoleh serbuk daun alpukat. Kemudian serbuk
xxxv
disimpan dalam wadah bersih dan ditutup rapat. Pembuatan simplisia dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Tropis Bogor.
Penapisan Fitokimia Kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam tanaman dapat diketahui melalui perlakuan metode pemisahan, pemurnian, dan identifikasi kandungan di dalam tanaman dengan penapisan fitokimia (Harbone 1987). Kandungan senyawa organik yang umum diidentifikasi adalah alkaloid, tanin, flavonoid, saponin, steroid, dan triterpenoid.
Uji Flavonoid. Sebanyak 0,1 g serbuk daun alpukat ditambah metanol hingga terendam, lalu dipanaskan. Ke dalam larutan ditambahkan NaOH 10% atau H2SO4 pekat. Apabila terbentuk warna merah karena penambahan NaOH 10%, menunjukan adanya senyawa fenolik hidrokuinon, sedangkan warna merah akibat penambahan H2SO4 pekat menunjukkan adanya flavonoid.
Uji Alkaloid. Sebanyak 0.1 g serbuk daun alpukat ditambah 5 ml kloroform dan 3 tetes amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan 2 tetes H2SO4 2M. Fraksi asam dibagi menjadi tiga tabung, kemudian masing-masing ditambahkan pereaksi Dragendorf, Meyer dan Wagner. Adanya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih pada pereaksi Meyer, endapan merah pada pereaksi Dragendorf, dan endapan coklat pada pereaksi Wagner.
Uji Tanin. Sebanyak 0,1 g serbuk daun alpukat ditambahkan 5 ml aquades, dididihkan selama 5 menit kemudian disaring dan ke dalam filtratnya ditambahkan 5 tetes FeCl3 1% (b/v). Apabila terbentuk warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukan adanya tanin.
xxxvi
Uji Kuinon. Sebanyak 0,1 g serbuk daun alpukat ditambahkan etanol 70%, kemudian ditambah gelatin dan disaring. Ke dalam filtrat ditambahkan NaOH 1 N. Jika terbentuk warna merah berarti mengandung kuinon.
Uji Saponin. Sebanyak 0,1 g serbuk daun alpukat ditambah 5 ml aquadest, dipanaskan 5 menit, kemudian dikocok selama 5 menit. Busa yang terbentuk setinggi kurang lebih 1 cm dan tetap stabil setelah didiamkan selama 10 menit menunjukkan adanya saponin.
Pembuatan Larutan Infusum Daun Alpukat Ekstraksi daun alpukat dilakukan dengan metode panas yaitu infusum dengan menggunakan pelarut air. Serbuk simplisia daun alpukat yang telah ditimbang selanjutnya dimasukkan dalam wadah panci infusum dan dicampur dengan pelarut air. Selanjutnya dilakukan pemanasan hingga 90°C selama 15 menit. Setelah dingin dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring dan filtrat ditampung. Induksi Hewan Coba (Touhami et al. 2007; Khan et al. 1995) Induksi kristalisasi pada hewan coba tikus dilakukan dengan menggunakan etilen glikol dan amonium klorida. Konsentrasi induser yang digunakan adalah larutan 0.75% etilen glikol dan 2% amonium klorida. Pemberian induser dicampur dalam air minum dan diberikan ad libitum selama 10 hari.
Desain Penelitian Sebanyak 20 ekor tikus jantan strain Sprague Dawley dibagi menjadi empat kelompok perlakuan yaitu: 1. Kelompok A : kelompok kontrol, hanya diberi minum aquades ad libitum 2. Kelompok B : kelompok kontrol positif, diberi minum aquades ad libitum yang mengandung induser.
xxxvii
3.Kelompok C : kelompok perlakuan , diberi minum aquades yang mengandung induser dan dicekok infusum daun alpukat konsentrasi 5%. 4.Kelompok D : kelompok perlakuan 2, diberi minum aquades yang mengandung induser dan dicekok infusum daun alpukat konsentrasi 10%. Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-0, 5 dan ke-11 secara intrakardial. Darah tikus yang telah diambil didiamkan terlebih dahulu pada suhu ruangan kurang lebih satu jam untuk mendapatkan serum, selajutnya di sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit. Serum dianalis terhadap kadar ureum dan kreatinin dengan menggunakan Kit komersil Human®. Organ ginjal diambil untuk dibuat preparat histopatologi dan diwarnai dengan HE.
Analisis Ureum Sebanyak 10µl serum dipipet dan ditambahkan 1000 µl enzim reagen, kemudian diaduk hingga homogen menggunakan vortex. Serum kemudian disimpan dalam water bath untuk menjaga temperatur 37°C agar reaksi berjalan dengan
baik.
Analisis
konsentrasi
ureum
dalam
serum
menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm.
Analisis Kreatinin Sebanyak 0,1 ml serum dipipet dan ditambahkan enzim reagen sebanyak 1,0 ml, kemudian diaduk hingga homogen menggunakan vortex. Serum kemudian dipanaskan dalam water bath untuk menjaga temperatur 37°C. Analisis konsentrasi kreatinin dalam serum menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 492 nm.
Analisis Klirens Kreatinin Laju filtrasi glomerulus diukur berdasarkan nilai klirens kreatinin. Analisis klirens kreatinin dilakukan dengan menempatkan tikus dalam kandang metabolit dan urin ditampung selama 24 jam. Volume urin selama 24 jam diukur dan diukur pula kadar kreatinin urin. Klirens kreatinin dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar kreatinin dalam urin 24 jam x volume urin 24 jam [ml/menit] Kadar kreatinin serum x 1440
xxxviii
Pembuatan Preparat Histopatologi Pembuatan preparat histopatologi organ ginjal diawali dengan sampling atau pemotongan organ, lalu potongan organ dimasukan dalam tissue casette dan difiksasi dalam larutan fiksatif Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%. Proses selanjutnya adalah dehidrasi dengan mencelupkan jaringan ke dalam larutan alkohol 70%, 80%, 90% dan 100%, kemudian dilanjutkan dalam larutan alkohol absolut I, II dan III. Tahapan selanjutnya adalah penjernihan jaringan (clearing) dengan memasukan jaringan ke dalam xylol I, II dan III. Selanjutnya dilakukan embedding yaitu penanaman jaringan dalam blok-blok parafin. Blok parafin yang telah mengeras dipasang dalam mikrotom untuk selanjutnya dilakukan pemotongan jaringan (sectioning). Potongan jaringan yang sudah berada di gelas objek dideparafinisasi dan rehidrasi untuk selanjutnya dilakukan pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Pengamatan sediaan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dan polarisasi.
Evaluasi Histopatologi Evaluasi histopatologi dilakukan terhadap glomerulus maupun tubulus seluruh kelompok hewan coba dan disajikan secara deskriptif. Selain itu juga diamati adanya kristal yang terbentuk.
Analisis Data Hasil evaluasi parameter pengamatan dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar air, Kadar Abu dan Penapisan Fitokimia Hasil pemeriksaan parameter spesifik menunjukan bahwa serbuk daun alpukat yang dihasilkan agak kasar, berwarna hijau tua, rasa sepat, dan berbau aromatik yang khas. Hasil pemeriksaan parameter non spesifik serbuk daun alpukat yaitu kadar air sebesar 4,19 % dan kadar abu sebesar 4,25%. Kadar air berfungsi menjaga kualitas simplisia agar tidak ditumbuhi jamur dan tidak
xxxix
melebihi m 5% % sebagai peersyaratan baaku Departemen Kesehaatan (2004), sedangkan kadar k abu untuk u mengeetahui kanduungan minerral dan tidakk boleh melebihi 4,9% sebagai perrsyaratan baku b Materria Medika Indonesia (1978). Pada P hasil pemeriksaan p n ini kedua kadar k abu daan air adalah terbakukan.. Penaapisan fitokim mia merupakkan suatu metode m kimia yang digunakan untuk mengetahui m senyawa metabolit sekuunder yang terkandung dalam suatu u simplisia. Hasil H penap pisan fitokim mia simplisiia dan infussum daun aalpukat disaj ajikan pada Tabel T 5. Tabel T 5
Haasil uji penap pisan fitokim mia simplisia dan infusum m daun alpuk kat (Persea am mericana Mill)) Metabollit Sekunder Simpliasia Infusu um Flaavonoid Positif Positiif Tanin T Kuinon K Saaponin Allkaloid Triiterpen
Positif Positif Positif Negatif Positif
Positiif Positiif Positiif Negattif Negattif
Pelarrut merupaakan faktor yang haru us diperhattikan dalam m kegiatan ekstraksi. e Peemilihan pellarut terganttung kepada senyawa yaang ingin dittarik dalam ekstrak e apakkah senyaw wa polar, noon polar ataau semipolaar. Pada pennelitian ini digunakan d p pelarut air daan memberikkan hasil pennapisan yangg hampir miirip dengan serbuk simpplisia. Dengaan demikiann senyawa metabolit m yanng terkanduung bersifat polar p sehing gga dapat terekstrak denggan menggun nakan pelaruut air. Hasil uji penappisan fitokim mia terhadapp infusum daun alpukkat (Persea americana a Mill), M menunnjukan adanyya golongann senyawa fllavonoid, tan nin, kuinon dan d alkaloid d. Menurut Sastrohamiidjojo (1996 6), flavonoidd memiliki atom C15 yang y terdiri dari dua in nti fenolat yyang dihubunngkan dengaan tiga satu uan karbon. Almeida A et al. a (1998), teelah berhasiil mengindenntifikasi deriivat senyawaa flavonoid yang y terdaapat dalam infusum daun alpuukat yaitu quersetin 3-O- -Darabinopiran a nosida, querssetin 3-O- -L-ramnopirranosida (quuersitrin) dann quersetin 3-O3 -glukoopiranoside.. Quersetin ttermasuk goolongan flavvonolol dan merupakan m derivat d dari flavonoid. Pada P penelittian ini tidakk sampai m mengidentifikkasi derivat flavonoid f yaang diperoleeh. Aktifitas farmakolog gi dari flavoonoid adalahh antialergi,
xl
antiviral, antiinflamasi, hepatoprotektif, antioksidan, antithrombotic, vasodilator dan anti karsinogenik (Seyoum et al. 2006). Tanin merupakan senyawa polifenol yang membentuk kompleks dengan protein tertentu dan membentuk polimer stabil yang tak larut dalam air (Harbone 1987). Aktivitas biologis dan farmakologis dari tanin yang telah diketahui antara lain astringensia, anti tumor, anti oksidasi, anti hipertensi, anti bakteri, anti jamur, anti diabetes, dan anti helmintik (Riocaesar 2010). Kuinon merupakan senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar seperti kromofor pada benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Benzikuinon, naftokuinon, antrakuinon biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol, sehingga diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harbone 1987).
Pengujian Fungsi Ginjal Pengujian fungsi ginjal dapat dilakukan melalui keterwakilan laju filtrasi glomeruler (LFG) dan tubuler. LFG dapat diukur melalui pengujian kadar ureum, kreatinin dan klirens kreatinin, sedangkan fungsi tubuler dengan melakukan pengujian Anti Diuretic Hormone Response Test dan uji deprivasi air. Pada penelitian ini diukur kadar ureum, kreatinin dan klirens kreatinin (Kaneko et al. 2008).
Kadar Ureum Serum Ureum diproduksi di hati yang berasal dari metabolisme amoniak dan merupakan hasil katabolisme protein. Ureum akan diekskresikan melalui ginjal dan difiltrasi dengan bebas melalui glomerulus. Selanjutnya metabolit ini akan mengalami reabsorpsi pasif di dalam tubulus. Secara normal sekitar setengahnya akan direabsorpsi tetapi tergantung kepada kondisi hidrasi dan laju pembentukan urin di dalam tubulus (Bush 1991). Ureum dapat memberikan informasi mengenai LFG secara kasar, karena berbagai faktor non renal dapat meningkatkan kadarnya dalam darah. Rerata kadar ureum serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 disajikan pada Tabel 6.
xli Tabel 6 Rerata kadar ureum (mg/dl) serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 Kelompok Kadar Kreatinin Serum (mg/dl) A B C D
(Kontrol) (Induksi) (Infusum 5%) (Infusum 10%)
Hari ke-0 38,444±3,564c 40,488±6,869c 46,296±4,833c 35,945±20,18c
Hari ke-5 49,950±8,728c 61,242±4,741c 51,870±9,815c 41,043±25,203c
Hari ke-11 50,550±10,050c 144,317±28,665a 92,982±22,809b 57,978±37,528c
Keterangan : Huruf superkrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Menurut Hrapkiewicz dan Medina (2007), kadar ureum normal tikus Sprague Dawley dewasa adalah 32,1 - 44,94 mg/dl, sedangkan rerata kadar ureum seluruh kelompok sebelum perlakuan adalah 35,945 - 46,296 mg/dl. Berbedanya kadar ureum serum tikus yang digunakan dibanding nilai referensi kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan strain, berat badan dan jenis kelamin. Ilustrasi dari rerata kadar ureum (mg/dl) serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke0, 5 dan 11 disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Rerata kadar ureum (mg/dl) serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11.
Berdasarkan tabel dan gambar di atas, rerata kadar ureum kelompok A pada hari ke-0 adalah 38,444 mg/dl, pada hari ke-5 perlakuan mengalami kenaikan menjadi 49,950 mg/dl dan pada akhir perlakuan nilai ureum menjadi 50,550 mg/dl. Pada kelompok B terjadi kenaikan nilai rataan kadar ureum, dari 40,488 mg/dl menjadi 61,242 mg/dl, dan terjadi peningkatan yang tinggi pada hari ke-11 yaitu 144,317 mg/dl. Pada kelompok C, rerata kadar ureum sebelum perlakuan adalah 46,296 mg/dl, pada hari ke-5 perlakuan menjadi 51,870 mg/dl
xlii
dan naik menjadi 92,982 mg/dl pada hari ke-11, sedangkan pada kelompok D rerata kadar sebelum perlakuan adalah 35,945 mg/dl dan pada pada hari ke-5 menjadi 41,043 mg/dl dan naik menjadi 57,978 mg/dl pada hari ke-11. Berdasarkan perhitungan statistik, kadar rataan ureum kelompok C dan D berbeda nyata (p<0,05) dengan kelompok B. Gambar di atas menunjukkan pada kelompok induksi etilen glikol (kelompok B) terjadi peningkatan kadar ureum serum yang nyata (p<0,05) dibanding kontrol. Setelah pemberian infusum terjadi penekanan peningkatan kadar ureum dan penekanan terkuat terjadi pada kelompok D. Rerata kadar ureum serum pada kelompok B menunjukkan peningkatan selama periode perlakuan dan kondisi ini disebut azotemia. Menurut Bush (1991), kondisi yang dapat menyebabkan renal azotemia adalah acute tubular necrosis (ATN) yang bisa disebabkan oleh bahan nefrotoksik. Peningkatan rerata ureum pada kelompok B menunjukkan kuatnya bahan yang bersifat nefrotoksik. Dengan demikian infusum daun alpukat dapat mengoreksi peningkatan kadar ureum darah.
Kadar Kreatinin Serum Kreatinin adalah molekul yang mempunyai berat molekul 113 dan berasal dari hasil degradasi kreatin dan kreatin fosfat yang terjadi di dalam otot (Kaneko et al. 2008). Kreatinin diekskresikan seluruhnya ke dalam urin dan kadarnya sangat dipengaruhi oleh fungsi ginjal. Meningkatnya kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal dan meningkatnya metabolisme otot. Kadar kreatinin serum dan urin dapat digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (Lu 1995). Rerata kadar kreatinin serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Rerata kadar kreatinin (mg/dl) serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 Kelompok Kadar Kreatinin Serum (mg/dl) Hari ke-0 Hari ke-5 Hari ke-11 A (Kontrol) 0,982±0,100a 0,707±0,458 a 1,044±0,084 a B (Induksi) 1,091±0,508 a 1,164±0,659 a 1,477±0,664 a a a C (Infusum 5%) 0,908±0,150 1.143±0,515 1,045±0,284 a a a 1.040±0,628 0,902±0,028 a D (Infusum 10%) 0,800±0,075 Keterangan : Huruf superkrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
xliii
Kadar kreatinin sebelum perlakuan pada kelompok A, B, C dan D sepanjang pengamatan berkisar antara 0,707 - 1,091 mg/dl, relatif lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Hrapkiewicz & Medina (2007) yang berkisar antara 0,2 - 0,8 mg/dl. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kreatinin adalah pakan, status hidrasi, aktivitas, perkandangan dan penggunaan obat-obatan tertentu (Kaneko et al. 2008). Ilustrasi rerata kadar kreatinin serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 disajikan pada Gambar 9.
1.6
K adar K reatinin (m g /dl)
1.4 1.2 K ontrol
1 0.8
P os itif
0.6
Infus 5%
0.4
Infus 10%
0.2 0 0
5
11
Hari
Gambar 9 Rerata kadar kreatinin (mg/dl) serum tikus seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11.
Rerata kadar kreatinin pada kelompok A sebelum perlakuan adalah 0,982 mg/dl, pada hari ke-5 menjadi 0,707 mg/dl dan pada hari ke-11 menjadi 1.044 mg/dl. Rerata kadar kreatinin pada kelompok B sebelum perlakuan adalah 1,091 mg/dl, pada hari ke-5 perlakuan meningkat menjadi 1,164 mg/dl, dan pada hari terakhir perlakuan mengalami peningkatan lagi menjadi 1,477 mg/dl. Rerata kadar kreatinin kelompok C sebelum perlakuan adalah 0,908 mg/dl, kemudian mengalami peningkatan seiring dengan lama perlakuan, yaitu pada hari ke-5 menjadi 1,143 mg/dl dan pada hari terakhir perlakuan mengalami penurunan menjadi 1,045 mg/dl. Untuk kelompok perlakuan D, rerata kadar kreatinin sebelum perlakuan adalah 0.800 mg/dl selanjutnya pada hari ke-5 menjadi 1,040 mg/dl dan pada hari ke-11 mengalami penurunan menjadi 0,902 mg/dl. Tabel 7
xliv
menunjukkan bahwa rerata kreatinin serum tidak berbeda nyata pada seluruh kelompok perlakuan (p>0.05). Kadar kreatinin serum pada kelompok B, menunjukan hasil yang cenderung mengalami kenaikan dari periode perlakuan hari ke-0 hingga hari ke11. Menurut Kaneko et al. (2008), hubungan antara kreatinin dan laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah kurvalinier, yang berarti ketika laju filtrasi glomerulus mengalami penurunan maka akan diikuti dengan kenaikan kadar kreatinin. Kadar kreatinin dalam serum merupakan indikator yang baik untuk mengetahui laju filtrasi glomerulus sebagai petunjuk adanya gangguan fungsi ginjal. Kadar kreatinin serum pada kelompok C dan D mengalami penurunan setelah hari ke-5 perlakuan dengan menunjukkan pola yang sama. Hal ini mengindikasikan kuatnya peran infusum dalam mengembalikan atau mengoreksi atau meningkatkan LFG.
Nilai Klirens Kreatinin Klirens kreatinin (KK) adalah laju pembersihan kreatinin dari plasma oleh ginjal. Parameter ini sangat sensitif dan pilihan utama dalam menentukan laju filtrasi glomerulus per satuan waktu tertentu. Rerata nilai KK pada seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 disajikan pada Tabel 8. Klirens kreatinin pada kelompok A relatif dinamis, pada hari ke-0 adalah 0,952 ml/menit, selanjutnya pada pengukuran hari ke-5 diperoleh 2,154 ml/menit dan pada hari ke-11 menjadi 0,819 ml/menit. Pada kelompok B, nilai klirens kreatinin pada hari ke-0 adalah 2,893 ml/menit, selanjutnya pada hari ke-5 mengalami penurunan menjadi 1,563 ml/menit dan pada periode berakhirnya perlakuan pada hari ke-11 menjadi 1,206 ml/menit. Pola antara kelompok A dan B sangat bertolak belakang, nyata terjadi penurunan signifikan pada kelompok B (p<0,05). Yang juga menunjukkan kurva linier penurunan KK adalah penurunan LFG (Stockham dan Scott 2002). Tabel 8 Rerata nilai kreatinin klirens (ml/menit) seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 Kelompok Kadar Kreatinin Serum (mg/dl) Hari ke-0 Hari ke-5 Hari ke-11 A (Kontrol) 0,952±0,764c 2,154±1,458cde 0,819±0,805c
xlv 2,893±1,157bcd 4,821±1,362a 4,250±0,684ab
B (Induksi) C (Infusum 5%) D (Infusum 10%)
1,563±1,065de 2,058±1,139cde 2,616±1,664bcde
1,206±1,027de 2,432±1,535bcde 3,786±1,834abc
Keterangan : Huruf superkrip yang sama pada kolom yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05)
Ilustrasi rerata nilai kreatinin klirens seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11 disajikan pada Gambar 10.
K reatinin K lirens (m l/m nt)
6 5 4
K ontrol P os itif
3
Infus 5% 2
Infus 10%
1 0 0
5
11
Ha ri
Gambar 10 Rerata nilai kreatinin klirens (ml/menit) seluruh kelompok perlakuan pada hari ke-0, 5 dan 11
Pada kelompok C, nilai klirens kreatinin mengalami penurunan dari 4,821 ml/menit menjadi 2,058 ml/menit dan mengalami sedikit kenaikan pada hari ke11 menjadi 2,432 ml/menit. Pada kelompok D, nilai rerata klirens kreatinin pada hari ke-0 adalah 4,25 ml/menit, selanjutnya mengalami penurunan pada hari ke-5 menjadi 2,616 ml/menit dan pada hari ke-11 mengalami kenaikan menjadi 3,786 ml/menit. Pada kelompok C dan D, klirens kreatinin menunjukkan pola yang relatif sama. Penurunan terlebih dahulu pada lima hari pertama menunjukkan kuatnya pengaruh kerusakan LFG oleh etilen glikol, dan setelah itu mulai terjadi koreksi perbaikan LFG. Dari data kadar ureum serum, kreatinin serum dan nilai KK, terbukti bahwa pemberian etilen glikol dapat menurunkan LFG, dan akan terkoreksi mendekati kontrol secara linier setelah pemberian infusum daun alpukat.
Evaluasi Histopatologi Ginjal Tikus
xlvi
Etilen glikol merupakan bahan yang bersifat nefrotoksik dan penginduksi kristal oksalat di ginjal (Seyoum et al. 2008). Adanya oksalat akan menghasilkan radikal bebas yang mengakibatkan sel dalam kondisi stress oksidatif. Kondisi ini menginisiasi pelepasan mediator-mediator vasoaktif dengan efek vasokontriksi pembuluh darah, dalam hal ini pembuluh darah ginjal dan berdampak pada penurunan LFG. Dampak dari vasokonstriksi pembuluh darah menyebabkan ginjal mengalami iskemia. Mekanisme penurunan laju aliran darah adalah dengan mengubah transport ion pada permukaan lumen, menurunkan absorpsi natrium sehingga konsentrasi natrium di tubulus distal meningkat. Peningkatan konsentrasi natrium akan menstimulasi renin angiotensin yang berdampak pada vasokontriksi dan penurunan laju aliran darah (Gavin et al. 2007). Pelepasan rennin angiotension menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah sistemik dan tekanan perfusi ginjal. Kenaikan tekanan perfusi ginjal akan dirasakan oleh reseptor regang miotonik dalam arterial aferen dan mengakibatkan kontraksi pada arterial aferen. Dampak vasokontriksi dari arterial aferen adalah penurunan renal plasma flow (RPF), tekanan kapiler glomerulus (Pgc) dan LFG (Prince dan Wilson 2002). Induksi kerusakan ginjal oleh bahan nefrotoksik etilen glikol diamati melalui gambaran histopatologi dan perhitungan lesio yang terjadi. Hasil pemeriksaan histopatologi ginjal tikus yang dipapar etilen glikol ditemukan perubahan-perubahan pada glomerulus dan tubulus. Perubahan yang ditemui berupa edema glomerulus, degenerasi tubulus yang dicirikan inti epitel yang membengkak, lepas dari membran basal, adanya droplet hyalin, lumen yang penuh dengan endapan protein hingga tubulus yang nekrotik yang ditandai dengan intinya yang piknotis. Menurut Nurulazmy (2010), persentase tubulus nekrotik pada kelompok yang diinduksi etilen glikol (kelompok B) sebanyak 64,2%, lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan kelompok yang diberi infus daun alpukat (19,5% & 18%). Keadaan ginjal pada kelompok B sudah dapat dikatagorikan mengalami acute tubular necrotic (ATN). Rendahnya persentase tubular nekrotik pada kelompok C dan D mempertegas bahwa infusum daun alpukat memiliki peluang terhadap perbaikan struktur - morfologi nefron ginjal.
xlvii
Edema glomerulus ditandai dengan adanya protein pada mesangium hingga ke ruang Bowman dan terjadi perluasan ruang Bowman (Gambar 11). Pada pewarnaan HE terlihat adanya protein yang berwarna merah muda yang memenuhi mesangium hingga ke ruang Bowman. Endapan protein di mesangium dan ruang Bowman di duga merupakan molekul-molekul proinflamasi dan protein kemoaktraktif yang terinisiasi akibat induksi etilen glikol.
Gambar 11 Edema glomerulus (panah) dan tubulus nekrotik (bintang) pada kelompok B pasca pemberian etilen glikol. Pewarnaan HE,. perbesaran 400x.
Gambar 12 Tubulus nekrotik dengan endapan protein di lumen (bintang) pada kelompok B. Pewarnaan HE, perbesaran 400x.
xlviii
Hasil pengamatan histopatologi yang lain adalah ditemukan lesio endapan protein dalam lumen tubulus (Gambar 12). Adanya protein di lumen disebabkan oleh lolosnya protein plasma dari kapiler glomerulus yang kemudian mendiami lumen tubulus. Banyaknya protein dalam lumen tubulus juga dapat disebabkan oleh jumlah protein yang melebihi kapasitas absorpsi sel epitel tubulus. Endapan protein tersebut akan di fagosit oleh lisosom. Protein yang difagosit oleh lisosom akan mengalami akumulasi di sitoplasma yang disebut droplet hyaline (Gambar 13) (Cheville 2006).
Gambar 13 Hyalin droplet (panah) di epitel tubulus proksimal, dan tubulus nekrotik (bintang) pada ginjal tikus kelompok B. Pewarnaan HE, perbesaran 400x.
Penurunan laju aliran darah ke ginjal mengakibatkan sel-sel ginjal mengalami iskemia. Kondisi iskemia yang berkepanjangan akan mengakibatkan sel epitel tubulus proksimal, distal, loop Henle dan duktus pengumpul mengalami degenerasi hingga nekrotik (Gambar 12, 13). Hasil metabolisme etilen glikol bersifat toksik bagi sel epitel tubulus, dan oksalat menimbulkan perlukaan pada sel-sel epitel. Adanya perlukaan pada sel epitel dapat menghasilkan radikal bebas yang memodifikasi lipid dan protein membran sel. Sel epitel yang dalam kondisi stress oksidatif kehilangan kemampuan untuk menyembuhkan perlukaannya. Dampak lanjut dari modifikasi membran sel adalah kematian sel (Meimaridou et al. 2006). Kristal - kristal oksalat yang terbentuk sebagai metabolit etilen glikol membuka peluang afinitas yang tinggi/kuat terhadap kalsium. Pada keadaan ATN,
xlix
kalsium yang seharusnya mengalami reabsorpsi tubuler menjadi gagal dan berada bebas di dalam lumen tubuli sehingga secara agregat bereaksi dengan oksalat menjadi kalsium oksalat, suatu endapan garam lemah oksalat (Gambar 14).
Gambar 14 Kristalisasi (panah) pada ginjal tikus kelompok B di daerah duktus kolektivus (bintang) (HE, cahaya Polarisasi 400x). Menurut Tiselius et al. (2002), agregasi kristal umumnya terjadi di daerah duktus pengumpul karena di daerah ini kondisi pH rendah sehingga kondusif bagi proses agregasi kristal yang diinduksi etilen glikol. Agregasi kristal jarang ditemukan di daerah tubulus proksimal karena adanya proses disolusi kristal oleh enzim lisosom dari epitel tubulus. Adanya perlukaan pada epitel tubulus atau duktus kolektivus akibat hiperoksaluria akan menyebabkan interaksi antara nukleus kristal dan sel. Nukleus kristal dapat tumbuh dan berkembang menjadi batu harus dalam kondisi melekat dan bertahap, sehingga mengalami agregasi membentuk masa yang lebih besar. Metabolit etilen glikol yang berperan dalam pembentukan kristal adalah oksalat (C2O4 2-). Oksalat memiliki afinitas yang tinggi dengan kalsium sehingga akan bereaksi membentuk garam kalsium oksalat (CaC2O4). Garam kalsium oksalat merupakan garam dari asam lemah (asam oksalat). Ikatan kalsium oksalat yang terbentuk masih bersifat labil sehingga kesetimbangan reaksi masih mungkin bergerak ke kanan dan ke kiri. Persamaan di bawah ini menunjukan reaksi kesetimbangan kalsium oksalat:
l
H2C2O4 (aq) + Ca2+ CaC204 (s)
CaC204 Ca2+
(aq)
(s)
+ 2H3O+
+ C2O4 2-
Pemberian amonium klorida bertujuan membantu kelarutan dari kalsium oksalat karena efek ion sejenis yang akan menggeser kesetimbangan reaksi. Dalam ginjal terjadi ikatan antara ion Cl- dan Ca2+ sehingga menghasilkan garam CaCl2. Reaksi disosiasi amonium klorida dapat dilihat sbb; ` NH4Cl (s) NH4+ + H20 Ca2+ + Cl-
NH4+ + ClNH3 + H3O + CaCl2
Adanya CaCl2 : CaCl2
Ca2+
(aq)
+ 2Cl- (aq)
Akibat pemberian infusum daun alpukat 5% dan 10%, kristal kalsium oksalat yang terbentuk dari kerusakan tubuler (ATN), tampak inti kristalnya hilang atau terpecah (terfragmentasi).
Hal ini dapat dilihat dari ukuran dan
sebaran kristal yang kecil-kecil pada kelompok C dan D (Gambar 15 dan 16).
li
Gambar 15
Gambar 16
Kristal dengan ukuran kecil di lumen tubulus distal ginjal kelompok C. Pewarnaan HE, cahaya Polarisasi 400x.
Kristal dengan ukuran sangat kecil di lumen tubulus distal ginjal kelompok D. Pewarnaan HE, cahaya Polarisasi 200x.
Hasil metabolisme infusum daun alpukat berupa 3,4 dihydrophenylacetic acid, metahydroxyphenylacetic acid dan 4-hydro-3-methoxyphenylacetic acid dalam urin (Gross et al. 1996). Garam asetat ini memiliki gugus karboksil pada
lii
posisi Cα. Adanya kalsium oksalat seperti diuraikan di atas menghasilkan reaksi dengan metabolit dari infusum daun alpukat sebagai berikut : HO
HO O
O
OH
HO
homoprotocatechuic acid
CaC204 (s) C2O4 2- + H3O+
O
HO
Ca2+
(aq)
homoprotocatechuic acid
‐ +
H3O +
+ C2O4 2-
HC204 - + H2O
H3O+ sebagai hasil resonansi gugus karboksilat akan mengubah suasana pH dan akan menggeser kesetimbangan reaksi kimia. Ion kalsium oksalat akan mengalami pergeseran ke arah titik equilibrium dengan bergerak ke kanan membentuk ion hidrogen oksalat dan air. Semua kalsium oksalat yang terbentuk akan melarut perlahan-lahan sehingga endapan kristal yang lebih besar tidak akan terbentuk. Dengan adanya flavonoid dalam infusum daun alpukat membantu penghambatan pembentukan kristal dengan cara mencegah peroksidase membran epitel tubulus sebagai lipid peroksidase (Grases et al. 2009). Daya antioksidan dari quersetin (derivate flavonoid) cukup tinggi sehingga dapat mengikat radikal bebas yang dapat mengakibatkan perlukaan dan perubahan struktur membran sel (Ameha et al. 2006). Salah faktor penentu kesuksesan dalam pembentukan kristal adalah adanya interaksi kristal dengan sel yang mengalami perlukaan. Ketika adanya antioksidan quersetin maka perlukaan pada epitel sel dapat dihambat.
liii
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa etilen glikol sebagai bahan nefrotoksik dapat menurunkan laju filtrasi glomeruler yang dibuktikan dari pengujian kadar ureum dan kreatinin serum serta nilai klirens kreatinin. Perubahan morfologi ginjal akibat etilen glikol dapat dilihat dari lesio pada glomerulus dan tubulus serta terbentuknya kristal yang kuat di duga sebagai kristal oksalat. Pemberian infusum daun alpukat dapat mengkoreksi laju filtrasi glomeruler dan memecah (menjadikan fragment) kristal oksalat melalui reaksi dengan metabolit dari infusum daun alpukat dan di dukung oleh peran flavonoid dalam mencegah peroksidase membrane epitel tubulus. Pemberian infusum daun alpukat dapat menurunkan presentase tubuler nekrotik ginjal.
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai daya hambat kristalisasi dengan waktu induksi dan waktu perlakuan yang lebih lama. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mempelajari mekanisme aktivitas infusum daun alpukat dalam menghambat kristalisasi kalsium oksalat. 3. Perlu dilakukan pengujian dari isolat tunggal infusum daun alpukat untuk mengetahui zat yang berperan dalam menghambat pembentukan kristal.
liv
DAFTAR PUSTAKA
Alfianti, Prasetyorini, Madyastuti R. 2009. Formulasi sediaan tablet ekstrak daun Alpukat (Persea americana Mill) dengan berbagai konsentrasi PVP K30 sebagai bahan pengikat. Skripsi. Universitas Pakuan. Bogor Almeida AP, Miranda MMFS, Simoni IC, Wigg MD, Lagrota MHC, Costa SS. 1998. Flavonolol monoglycosides isolated from the antiviral fractions of Persea americana (Lauraceae) leaf infusion. Phytother Res 12:562-567. Anonim. 1978. Materia medika Indonesia. Edisi II. Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta. Anonim. 2004. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Cetakan Pertama. Departemen Kesehatan RI. Jakarta Antia BS, Okokon JE dan Okon PA. 2005. Hypoglycemic activity of aqueous leaf extract of Persea americana Mill. Indian Jurnal of Pharmacology 37 (5):325-326. Asplin JR. 2000. Hyperoxaluric calcium nephrolithiasis. Endocrinol Metab Clin North Am 31: 927-949. Badarsyam. 2003. Spektrum Bakteriologik pada Berbagai Jenis Batu Saluran Kemih Bagian Atas. Digitized by USU Digital Library. Barnes J, Anderson LA, Phillipson JD. 2002. Herbal medicine a guide for healthcare professionals. Pharmaceutical Press. London-Chicago. Brai B I C, Odetola A A, Agomo P U. 2007. Effects of Persea americana leaf extracts on body weight and liver lipid in rats fed hyperlipidaemic diet. African J of Biotech. 6(8): 1007-1011 Bush BM. 1991. Interpretation of laboratory result for small animal clinician. London. Blackwell Scientific Publication. Hlm.224-225 Cheville N.F. 2006. Introduction to veterinary pathology. Third Edition. Iowa Satate University Press. Iowa. Cogolludo A, Frazziano G, Briones AM, Cobeno L, Moreno L, Lodi F, Salaices M, Tamargo J, Perez-Vizcaino F . 2007. The dietary flavonoid quercetin activates BKCa current in Coronary Arteries via Production of H2O2. Role in Vasodilatation. Cardivascular Research 73: 424-431. Cohen AH, Fogo AB, Bruijn JA, Colvin RB, Jennete JC. 2006. Fundamentals of renal pathology. New York: Springer. Cox RD, Phillips WJ. 2004. Ethylene glycol toxicity. Military Medicine 169(8):660-663. Cruzan G ,Corley RA, Hard GC, Mentens JJWM, McMartin K, Snelling WM, Gingel R, Deyo JA. 2004. Subchronic toxicity of ethyelen glycol in Wistar and F-334 rats related to metabolism and clearance of metabolits. Toxicological Science 81(2):502-511. Cunningham JG. 2002. Textbook of veterinary physiology. Ed ke-3. USA:WB Saunders Company.Pp:325-375 Dellmann HD dan Brown EM. 1992. Buku teks histology veteriner. R. Hartono, penerjemah: Siti SJ, pendamping. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari Textbook of Veterinary Histology. hlm 393-403,414-424.
lv
Depkes RI. 2000. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Jakarta. Dhawan BN, Srimal RC. 1997. Laboratory manual for pharmacological evaluation of natural products. India: International Centre for Science and High Technology. Fan J, Glass MA, Chandhoke PS. 1999. Impact of ammonium chloride administration on a rat ethylene glycol urolithiasis model. Scanning Microsc 13:299-306. Fox JG, Cohen BJ, Loew FM. 2002. Laboratory animal medicine. New York: Academic Press Inc Harcourt Brace Jovanovich. Gavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic basic of veterinary disease. Ed ke-4. Musby Elsevier. Geneser F. 1994. Buku Teks Histologi. Jilid 2. Arifin Gunawijaya, penerjemah. Jakarta : Binarupa Aksara. Terjemahan dari Textbook of Histology. Hlm:157-160, 205-209, 229-230. Grases F, Prieto RM, Gomila I, Sanchis P, Bauza AC. 2009. Phytotherapy and renal stones: The role of antioxidant. A pilot study in Wistar rats. Urol Res 37:35-40. Green ML, Hatch M, Freel RW. 2005. Etylen glycol induces hyperoxaluria without metabolic acidosis in rats. Am J Physiol Renal Physiol 289:F536F543 Gross M, Pfeiffer M, Campbell D, Slavin J, Potter J. 1996. The quantitation of metabolites of quercetin flavonols in human urine. Cancer Epidemiol Biomarker Prev 5(9):712-20. Guyton AC. 1994. Buku ajar fisiologi kedokteran (terjemahan oleh Ken Ariata Tengadi dkk). Jakarta:EGC. Hartono R. 1992. Histologi veteriner. Ed ke-3. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hrapkiewicz K dan Medina L. 2007. Clinical laboratory animal medicine. Iowa : Blackwell Publishing. Hlm 343-346. Hutchinson JS. 2010. Acid-Base Equilibrium. http://cnx.org/content/m1259/1.3 Jacobsen D dan McMartin KE. 1986. Methanol and ethylene glycol poisoning mechanism of toxicity, clinical course, diagnosis and treatment. Med Toxicol 1:309-334. Jouad H, Lacaille-Dubois MA, Lyoussi B, Eddouks M. 2001. Effects of the flavonoids extracted from Spergularia purpurea Pers. on arterial blood pressure and renal function in normal and hypertensive rats. J Ethno:72 (2):159-163 Katzung dan Bertram G. 1995. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 4. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3 Jilid 2 Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, EGC. Khan SR. 1997. Interaction between stone forming calcific crystal and macromolecules. Urol Int 59:59-71. Laroubi A, Touhami M, Farouk L. 2007. Prophylaxis effect of Trigonella foenum graecum L., seeds on renal stone formation in rats. Phytoterapy Research 21:921-925. Lu FC. 1995. Toksikologi dasar. Terjemahan Edi Nugroho. Jakarta : UI Press. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di laboratorium. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
lvi
Marengo SR, Romani AMP. 2008. Oxalate in renal stone disease: the terminal metabolite that just wont go away. Nat Clin Pract Nephrol 4(7): 368-377. Meimaridou E, Lobos E, Hothersall S. 2006. Renal oxidative vulnerability due to changes in mitochondrial-glutathione and energy homeostasis in a Rat model of calcium oxalate urolithiasis. Am J Physiol Renal Physiol 291: F731-F740. Merck&Co.Inc. 2000. Ethylene glycol toxicity. Eight Edition. The Merck Veterinary Manual. CD-ROM Morales AI, Vicente Sanchez C, Santiago Sandoval JM, Egido J, Mayoral P, Arevalo MA, Fernandez-Tagarro M, Lopez-Novoa JM, Perez-Barriocanal. 2006. Protective effect of quercetin on experimental chronic cadmium nephrotoxicity in rats based on its antioxidant properties. Food and Chem. Toxicol 44:2092-2100. Nurulazmy I, Harlina E, Madyastuti R. 2010. Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Yang Diberi Etilen Glikol Dan Infus Daun Alpukat (Persea americana Mill.). Skripsi. Bogor: PB. Pearle MS, Nakada SY. 2009. Urolithiasis medical and surgical management. London-Informa Healthcare. Prihatman K. 2000. Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan. Jakarta:BAPPENAS. Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Cetakan ke1.Volume 2. Brahm U Jakarta-Penerbit EGC. Terjemahan dari Pathophysiology : Clinical concepts of disease precess. hlm 867-889. Ratu G, Badji A, Hardjoeno. 2006. Profil analisis batu saluran kemih di laboratorium patologi klinik. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory Vol. 12 (No. 3):114-117 Robertson WG, Markwell PJ. 1999. Predicting the calcium oxalate crystallization potential of cat urine. Waltham Focus (9): 32-33. Rosa LA, Parilla EA, Aguilar GAG. 2010. Fruit and Vegetable Phytochemicals Chemistry, Nutritional Value and Stability. Blackwell Publishing. Hlm 54. Sastrohamidjojo H. 2005. Sintesis bahan alam. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Seymon A, Asres K, El-fiky FK. 2006. Structure radical scavenging activity relationship of flavonoids. Phytochemistry (67):2058-2070. Shekarriz B, Stoller ML. 2008. Hyperoxaluria. http://emedicine.medscape.com Simanjuntak, Timbul M. 2007. Pengaruh infusum tumbuhan obat terhadap pelarut kalsium dalam batu ginjal. Unika Atma Jaya. Sofowara dan Abayoni. 1982. Medicinal plants and traditional medicine in Africa. John Wiley and Sons Limited Chichestern. New York. Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamental of veterinary Clinical Pathology. 2nd Ed. Iowa : Blackwell Publishing. Stoller ML, Meng MV. 2007. Urinary Stone Disease: The Practical Guide to Medical and Surgical Management. New Jersey: Humana Press. Subahagio, Rahman I, Ibnusahni, Sutarjo, Sulaksono ME. 1997. Pengaruh Faktor Keturunan dan Lingkungan terhadap Sifat-Sifat Biologis Terlihat pada Hewan Percobaan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Pengembangan Kesehatan Vol. VII (1).
lvii
Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL. 2006. The Laboratory Rat. Elsevier San Diego Academic Press. Tilley LP, Smith FWK. 2004. The 5-Minute Veterinary Consult: Canine and Feline. IOWA : Blackwell Publishing. Tisellius HG. 1996. The patient with renal stone disease, www.oup.co.uk/pdf/medicine/otcn3ch8_1.pdf Touhami M, Laroubi A, Elhabazi K, Loubna F. 2007. Lemon juice has protective activity in a rat urolithiasis model. Bmc Urol Vol 7. Verkoloen. 2007. The Role of hyaluronan in renal stone disease. http://www.glycoforum.gr.jp/science/hyaluronan/HA29/HA29E.html Walder AD, Tyler CKG. 1994. Ethylene glycol antifreeze poisoning. Three case reports and a review of treatment. Anesthesia 57(5):464-471 Wientarsih I, Madyastuti R, Prasetyo BF. 2008. Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Alpukat (Persea americana Gertn) terhadap Batu Ginjal Buatan dan Diuretik pada Tikus Putih. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wiessner JH, Hasegawa AT, Hung LY, Mandel GS. Mandel NS. 2001. Mechanisms of calcium oxalate crystal attachment to injured renal collecting duct cells. Kidney Int 59:637-644. Winarsi H. 2005. Isoflavon berbagai sumber, sifat dan manfaatnya pada penyakit degeneratif. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Yokozawa T, Nakagawa T, Oya T, Okubo T and Juneja LR. 2005. Green Tea Polyphenols and Dietary Fibre Protect Against Kidney Damage in Rats with Diabetic Nephropathy. J Pharm Pharmacol 57: 773-780.
lviii
lxiii
LAMPIRAN
lxiv
Lampiran 1 Hasil determinasi tanaman alpukat
lxv
Lampiran 2 Analisa statistik urea serum Urea Serum (mg/dl) The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
kelompok
4
Dosis10% Dosis5% Induksi normal
hari
3
0 5 11
r
5
12345
Number of Observations Read
59
Number of Observations Used
58
The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
23
47007.86613
2043.82027
5.18
<.0001
Error
34
13403.38892
394.21732
Corrected Total
57
60411.25505
Pada uji-F diatas nilai-p(0.0001) < alpha 5% artinya model RAL in time significant R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.778131
34.19696
19.85491
58.06045
R-square 77.81% artinya keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor2 dalam model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh factor lain di luar model
lxvi
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
kelompok
3
10661.41390
3553.80463
9.01
0.0002
hari
2
20128.71539
10064.35770
25.53
<.0001
12
3325.80410
277.15034
0.70
0.7375
6
12891.93274
2148.65546
5.45
0.0005
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
kelompok
3
12559.25639
4186.41880
10.62
<.0001
hari
2
20802.53120
10401.26560
26.38
<.0001
12
2440.35488
203.36291
0.52
0.8896
6
12891.93274
2148.65546
5.45
0.0005
r(hari) kelompok*hari
Source
r(hari) kelompok*hari
Dari output diatas diperoleh kesimpulan bahwa kelompok significant(berbeda nyata), pengaruh hari juga significant, dan interaksi antara hari dan kelompok juga significant. Kesimpulan ini diperoleh dilihat dari nilai-p yang kurang dari alpha 5%.
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(hari) as an Error Term Source hari
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
2
20802.53120
10401.26560
51.15
<.0001
lxvii
UJI LANJUT KELOMPOK The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. 0.05
Alpha
34
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
394.2173
Harmonic Mean of Cell Sizes
14.48276
Note: Cell sizes are not equal. Number of Means Critical Range
2
3
4
14.99
15.76
16.26
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
77.566
14
Induksi
A
65.145
14
Dosis5%
B
46.315
15
normal
44.989
15
Dosis10%
A
kelompok
A
B B
lxviii
UJI LANJUT HARI The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. 0.05
Alpha
12
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
203.3629
Harmonic Mean of Cell Sizes
19.32203
Note: Cell sizes are not equal. Number of Means Critical Range
2
3
10.00
10.46
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
hari
A
83.412
19
11
B
51.026
20
5
C
40.114
19
0
lxix
DESKRIPTIF The GLM Procedure Level of kelompok
N
respon Mean
Std Dev
Dosis10%
15
44.9890667
28.2012541
Dosis5%
14
65.1450000
25.7464231
Induksi
14
77.5657143
47.0457737
normal
15
46.3146667
9.3545641
Level of hari
N
respon Mean
Std Dev
0
19
40.1136316
11.1241290
5
20
51.0263000
15.1315637
11
19
83.4116316
43.7881731
Level of kelompok
Level of hari
N
respon Mean
Std Dev
Dosis10%
0
5
35.945800
20.1850536
Dosis10%
5
5
41.043200
25.2032179
Dosis10%
11
5
57.978200
37.5281740
Dosis5%
0
4
46.942500
4.8337934
Dosis5%
5
5
51.870000
9.8156482
Dosis5%
11
5
92.982000
22.8089263
Induksi
0
5
40.488000
6.8690880
Induksi
5
5
61.242000
4.7413416
lxx
Level of kelompok
Level of hari
N
respon Mean
Std Dev
Induksi
11
4
144.317500
28.6647151
normal
0
5
38.444000
3.5646080
normal
5
5
49.950000
8.7283590
normal
11
5
50.550000
10.0503980
Uji LANJUT INTERAKSI KELOMPOK dengan HARI
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. 0.05
Alpha
46
Error Degrees of Freedom
344.4292
Error Mean Square
4.8
Harmonic Mean of Cell Sizes
Note: Cell sizes are not equal. Num ber of Mean s
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Critic al Rang e
24. 11
25. 36
26. 18
26. 77
27. 22
27. 58
27. 88
28. 12
28. 33
28. 51
28. 66
lxxi
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
A
144.32
4
indks*11
B
92.98
5
Dos5%*11
C
61.24
5
indks*5
57.98
5
Dos10%*1
51.87
5
Dos5%*5
50.55
5
normal*1
49.95
5
normal*5
46.94
4
Dos5%*0
41.04
5
Dos10%*5
40.49
5
indks*0
38.44
5
normal*0
C C C C C C C C C C C C C C C C C
lxxii
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
C
35.95
5
Dos10%*0
Dari hasil uji lanjut interaksi kelompok dengan hari diperoleh kesimpulan bahwa interaksi antara induksi dengan hari ke 11 menghasilkan respon yang paling tertinggi dan berbeda nyata dengan semua kombinasi antara kelompok dengan Hari
lxxiii
Lampiran 3 Analisis statistik kreatinin serum Kreatinin Serum (mg/dl) The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
kelompok
4
Dosis10% Dosis5% Induksi normal
hari
3
0 5 11
r
5
12345
Number of Observations Read
60
Number of Observations Used
60
The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
23
3.15704695
0.13726291
0.66
0.8527
Error
36
7.50098190
0.20836061
Corrected Total
59
10.65802885
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.296213
44.51446
0.456465
1.025432
Pada uji-F diatas nilai-p(0.8527) > alpha 5% artinya model RAL in time tidak significant
lxxiv
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
kelompok
3
1.10069861
0.36689954
1.76
0.1721
hari
2
0.29703306
0.14851653
0.71
0.4971
12
1.03023011
0.08585251
0.41
0.9491
6
0.72908516
0.12151419
0.58
0.7413
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
kelompok
3
1.10069861
0.36689954
1.76
0.1721
hari
2
0.29703306
0.14851653
0.71
0.4971
12
1.03023011
0.08585251
0.41
0.9491
6
0.72908516
0.12151419
0.58
0.7413
r(hari) kelompok*hari
Source
r(hari) kelompok*hari
Semua nilai-p > alpha 5% artinya tidak ada factor yang significant
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(hari) as an Error Term Source hari
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
2
0.29703306
0.14851653
1.73
0.2187
lxxv
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. 0.05
Alpha
36
Error Degrees of Freedom
0.208361
Error Mean Square
Number of Means Critical Range
2
3
4
.3380
.3554
.3667
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
kelompok
1.2442
15
Induksi
1.0323
15
Dosis5%
0.9141
15
Dosis10%
0.9112
15
normal
A A A A A A
lxxvi
Kreatinin Serum (mg/dl) The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha
0.05 12
Error Degrees of Freedom
0.085853
Error Mean Square
Number of Means Critical Range
2
3
.2019
.2113
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
hari
1.11691
20
11
1.01360
20
5
0.94579
20
0
A A A A
lxxvii
Kreatinin Serum (mg/dl) The GLM Procedure Level of kelompok
N
respon Mean
Std Dev
Dosis10%
15
0.91406667
0.35353449
Dosis5%
15
1.03226667
0.33984103
Induksi
15
1.24423167
0.59509702
normal
15
0.91116187
0.29672786
Level of hari
N
respon Mean
Std Dev
0
20
0.94578570
0.27273065
5
20
1.01360000
0.55702919
11
20
1.11690945
0.40081423
Level of kelompok
Level of hari
N
respon Mean
Std Dev
Dosis10%
0
5
0.80020000
0.07568818
Dosis10%
5
5
1.04020000
0.62819042
Dosis10%
11
5
0.90180000
0.02862167
Dosis5%
0
5
0.90860000
0.15022583
Dosis5%
5
5
1.14320000
0.51566869
Dosis5%
11
5
1.04500000
0.28467086
Induksi
0
5
1.09148560
0.50843024
Induksi
5
5
1.16440000
0.65949473
lxxviii
Level of kelompok
Level of hari
N
respon Mean
Std Dev
Induksi
11
5
1.47680940
0.66431238
normal
0
5
0.98285720
0.10020382
normal
5
5
0.70660000
0.45853004
normal
11
5
1.04402840
0.08412047
lxxix
Lampiran 3 Analisa statistik Klirens Kreatinin Klirens kreatinin (ml/detik) The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
kelompok
4
Dosis10% Dosis5% Induksi normal
hari
3
0 5 11
r
5
12345
Number of Observations Read
56
Number of Observations Used
53
lxxx
Klirens Kreatinin (ml/menit) The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
23
101.8705549
4.4291546
3.60
0.0007
Error
29
35.6594102
1.2296348
Corrected Total
52
137.5299652
Pada uji-F diatas nilai-p(0.0007) < alpha 5% artinya model RAL in time significant R-Square
Coeff Var
Root MSE
respon Mean
0.740715
47.13647
1.108889
2.352508
R-square 74.07% artinya keragaman yang mampu dijelaskan oleh faktor2 dalam model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh factor lain di luar model Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
kelompok
3
40.37736920
13.45912307
10.95
<.0001
hari
2
14.26591226
7.13295613
5.80
0.0076
12
25.20004852
2.10000404
1.71
0.1168
6
22.02722495
3.67120416
2.99
0.0214
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
kelompok
3
37.95048629
12.65016210
10.29
<.0001
hari
2
14.22945461
7.11472730
5.79
0.0077
12
24.67923053
2.05660254
1.67
0.1259
6
22.02722495
3.67120416
2.99
0.0214
r(hari) kelompok*hari
Source
r(hari) kelompok*hari
lxxxi
Dari output diatas diperoleh kesimpulan bahwa kelompok significant(berbeda nyata), pengaruh hari juga significant, dan interaksi antara hari dan kelompok juga significant. Kesimpulan ini diperoleh dilihat dari nilai-p yang kurang dari alpha 5%.
Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(hari) as an Error Term Source hari
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
2
14.22945461
7.11472730
3.46
0.0651
lxxxii
UJI LANJUT KELOMPOK Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. 0.05
Alpha
29
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
1.229635
Harmonic Mean of Cell Sizes
12.92308
Note: Cell sizes are not equal. Number of Means Critical Range
2
3
4
.8922
.9375
.9669
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
kelompok
3.6207
10
Dosis10%
A
2.9811
14
Dosis5%
B
1.9361
14
Induksi
1.3090
15
normal
A A
B B
Dosis 10% dan dosis 5% tidak berbeda nyata, induksi dan normal tidak berbeda nyata, sedangakan dosis 10%,dosis5% berbeda nyata dengan induksi,normal
lxxxiii
UJI LANJUT HARI The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. 0.05
Alpha
12
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
2.056603
Harmonic Mean of Cell Sizes
17.65385
Note: Cell sizes are not equal. Number of Means Critical Range
2
3
1.052
1.101
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
hari
3.0840
18
0
2.0404
18
5
1.9085
17
11
A B
A
B B
lxxxiv
Laju Klirens kreatinin (ml/menit) The GLM Procedure Level of kelompok
N
respon Mean
Std Dev
Dosis10%
10
3.62070000
1.42819778
Dosis5%
14
2.98114286
1.74313078
Induksi
14
1.93607143
1.25442260
normal
15
1.30899333
1.15998163
Level of hari
N
respon Mean
Std Dev
0
18
3.08399444
1.79982241
5
18
2.04038889
1.23620706
11
17
1.90847059
1.61525130
Level of kelompok
Level of hari
N
respon Mean
Std Dev
Dosis10%
0
4
4.25000000
0.68363782
Dosis10%
5
3
2.61633333
1.66389012
Dosis10%
11
3
3.78600000
1.83388849
Dosis5%
0
4
4.82150000
1.36225854
Dosis5%
5
5
2.05800000
1.13966486
Dosis5%
11
5
2.43200000
1.53472831
Induksi
0
5
2.89260000
1.15698457
Induksi
5
5
1.56300000
1.06535112
lxxxv
Level of kelompok
Level of hari
N
respon Mean
Std Dev
Induksi
11
4
1.20675000
1.02694673
normal
0
5
0.95258000
0.76380252
normal
5
5
2.15460000
1.45823774
normal
11
5
0.81980000
0.80489763
Duncan's Multiple Range Test for respon
Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. 0.05
Alpha
41
Error Degrees of Freedom Error Mean Square
1.471674
Harmonic Mean of Cell Sizes
4.260355
Note: Cell sizes are not equal. Num ber of Mean s
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Critic al Rang e
1.6 79
1.7 65
1.8 22
1.8 62
1.8 94
1.9 18
1.9 38
1.9 55
1.9 69
1.9 81
1.9 91
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan
lxxxvi
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A
Mean
N
perlakuan
4.8215
4
Dos5%*0
4.2500
4
Dos10%*0
3.7860
3
Dos10%*1
2.8926
5
indks*0
2.6163
3
Dos10%*5
2.4320
5
Dos5%*11
2.1546
5
normal*5
2.0580
5
Dos5%*5
1.5630
5
indks*5
1.2068
4
indks*11
0.9526
5
normal*0
A B
A
B
A
B
A
B
C C
B
D
C
B
D
C
B
E
D
C
B
E
D
C
B
E
D
C
E
D
C
E
D
C
E
D
C
E
D
C
E
D
E
D
E
D
E
D
E E E
lxxxvii
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping E
Mean
N
perlakuan
0.8198
5
normal*1