Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
STRATEGI UPAYA PEMBEBASAN RABIES DALAM MENUNJANG PENGENDALIAN PENYAKIT ZOONOSIS DI KALIMANTAN J. SYARWANI KALIANDA, WIJANARKO, SULAXONO HADI dan ARIF SUPRIYADI Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional V Banjarbaru
ABSTRAK Strategi pengendalian penyakit zoonosis diterapkan berdasarkan kepada jenis penyakit sebab setiap penyakit memiliki karakteristik yang berbeda yang meliputi agen, hospes, distribusi geografis, maupun cara penularannya. Disam itu diperlukan juga dukungan peraturan perundangan yang memadai sebagai dasar pelaksanaan program dengan adanya koordinasi dan partisipasi aparat/instansi terkait/masyarakat. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah diperlukan juga adanya dukungan dana/SDM yang cukup serta evaluasi pelaksanaan program untuk memastikan bahwa program pengendalian tidak berjalan semestinya dan untuk penyempurnaan penyusunan program selanjutnya. Siatuasi rabies di pulau Kalimantan samapi dengan akhir Juli 2005 masih terjadi kasus positif sebanyak 47 kasus yang tersebar di empat propinsi yang berasal dari 15 kabupaten/kota tertular dari 24 kecamatan. Perkembangan kasus rabies cenderung naik dan tetap mengikuti pola alamiah secara periodik yang mengalami peningkatan setiap 4 - 5 tahun. Hal ini juga terlihat pada perkembangan rabies di Kalimantan dalam lima tahun terakhir dimana terjadi peningkatan kasus hampir di semua kabupaten di Propinsi Kalimantan Tengah, terlihat mencolok di Kota Palangkaraya, diikuti oleh Kabupaten Barito Timur. Kejadian rabies di Propinsi Kalimantan Selatan bersifat sporadis di bagian Utara dan mewabah sampai ke Banjarbaru. Kondisi di Kalimantan Timur juga masih ditemukan kasus yang bersifat sporadis seperti di Kabupaten Pasir, Kutai Timur dan Kutai Barat. Sedangkan Propinsi Kalimantan Barat yang semula merupakan daerah bebas rabies pada tahun 2005 muncul wabah di Kabupaten Ketapang. Kata kunci: Rabies, strategi pembebasan, Kalimantan
PENDAHULUAN Zoonosis, penyakit yang menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya, merupakan kelompok penyakit penting yang dapat menimbulkan penyakit, penderitaan atau kematian bagi manusia. Tidak dapat dipungkiri adanya hubungan yang sangat erat antara kesehatan hewan dan manusia, bahkan dari studi literaturpun dapat ditunjukkan bahwa terdapat banyak penyakit pada manusia yang berasal dari hewan. Zoonosis telah dikenal di dunia, meliputi ratusan penyakit yang disebabkan oleh viris, bakteri, ricketsia, jamur dan parasit. Di Amerika Latin dan Karibia misalnya telah dikenal lebih dari 150 jenis zoonosis dan lebih dari 50% penduduk yang berjumlah lebih dari 373 juta orang pernah terjangkit zoonosis dalam masa hidupnya (ACHA dan ARAMBULO III, 1985). Namun pada kesempatan ini tidak diuraikan secara menyeluruh penyakit demi penyakit tetapi dengan gambaran penyakit rabies yang terjadi di Kalimantan (merupakan
60
salah satu diantara penyakit zoonosis di Indonesia yang juga mendapat prioritas dalam pengendaliannya), diharapkan dapat membantu dalam memberikan masukan terhadap penyusunan kebijaksanaan strategi pengendalian zoonosis di Indonesia khususnya di Kalimantan. Rabies merupakan penyakit zoonosis yang sangat mengerikan dan berefek klinis mematikan disebabkan oleh virus neurotropik, Lyssavirus genus Rhabgdovirus. Materi genetik terdiri dari RNA virus. Ada 6 serotipe lysssa virus yaitu: virus rabies itu sendiri (serotipe 1), Lagon Balvirus (serotipe 2), Mokola Rhabdovirus (serotipe 3), Duvenhange Rhabdovirus (serotipe 4), European Bat Lyssavirus dibagi dalam 2 serotipe yaitu EBL 1 dan EBL 2 (OIE, 2000). Hewan terserang rabies ditandai dengan 3 bentuk gejala klinik, tenang, galak, dan tidak tipikal. Diagnosa rabies di lapangan berdasarkan gejala klinis yang spesifik, sedangkan pemeriksaan sampel otak di laboratorium dilakukan untuk mendeteksi antigen menlalui
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
pemeriksaan histopatologi dengan pengecatan Hematoksilin Eosin, pengecatan Seller’s, Fluorescent Antibody Tes (FAT), uji biologis satau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan untuk pengujian antibodi terhadap rabies dilakukan dengan ELISA (OIE, 2000). Rabies mewabah di Kalimantan sejak tahun 1974, terjadi di Propinsi Kalimantan Timur kemudian tahun 1978 di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan tahun 1983 (ANONIMOUS, 2001), dalam perkembangannya tiap tahun selalu muncul kasus di tiga propinsi tsb. Propinsi Kalimantan Barat yang semula bebas rabies, pada bulan Juni 2005 muncul wabah dan diperoleh kasus positif rabies berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoris BPPV Regional V Banjarbaru. Berdasarkan studi epidemiologi sebenarnya kasus rabies sudah meluas dengan adanya kasus gigitan dan korban yang meninggal di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat pada tahun 1999, akan tetapi belum dapat dibuktikan secara laboratoris karena tidak ada sampel yang dapat diperiksa. Kasus ini diperkirakan kemungkinan berasal dari Kabupaten Lamandau kalimantan Tengah yang merupakan perbatasan dengan Kalimantan barat, karena pada tahun 1998 pernah terjadi kasus di Kabupaten Lamandau. Kerugian ekonomis yang ditimbulkan oleh berbagai zoonosis pada hewna mencapai ratusan juta dolar Amerika. Sedangkan kerugian ekonomi yang menyangkut biaya yang ditimbulkan oleh zoonosis pada manusia sulit dihitung terlebih jika harus memperhitungkan dampak sosial, kematian dan penderitaan yang dialami oleh penderita. Oleh karena itu berbagai upaya pengendalian penyakit khususnya yang tergolong zoonosis telah dan akan terus dilakukan walaupun harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Namun oleh akrena keterbatasan sumber dana dan sumber daya manusia yang ada terutama di negara berkembang, maka perlu dirumuskan strategi dan disusun skala prioritas sehingga upaya pengendalian penyakit dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Menjelang pembebasaan rabies di Kalimantan pada tahun 2007 kasus rabies masih belum dapat ditekan apalagi dihilangkan di semua propinsi. Hal ini karena program pemberantasan rabies yang dilakukan dengan vaksinasi anjing peliharaan dan eliminasi anjing-anjing liar (ANONIMOUS, 2001) melalui
metode Local Area Specifik Problem Solving (LAS), selain dalam pelaksanaannya kelihatan mengendur sehingga tidak dapat mengimbangi jumlah pertambahan populasi anjing juga program pembebasan rabies di Kalimantan selalu mengalami kendala terutama karena kondisi geografis, kultur masyarakat dan kurang sinergisnya kerjasama pemerintah dengan masyarakat. Untuk itu makalah berikut akan mengkaji situasi dan kondisi rabies serta berbagai kendala yang dihadapi berdasarkan data yang berasal dari sampel yang diperiksa di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional V Banjarbaru, sehingga diharapkan dapat membantu dalam memberikan masukan dalam penyusunan strategi pengendalian zoonosis di Indonesia khususnya pembebasan rabies di pulau Kalimantan. HASIL DAN PEMBAHASAN Situasi rabies berdasarkan sampel yang diperiksa selama dua dasa warsa terakhir menunjukkan adanya siklus alamiah yang secara periodik mengalami peningkatan setiap periode 4 - 5 tahun. Tahun 2004 terjadi puncak kasus yang kemudian dalam tahun ini menurun. Tahun 2004 merupakan puncak kasus yang tersebar di tiga propinsi dengan jumlah kasus positif sebanyak 52 buah dari 64 sampel yang berasal dari 15 kabupaten dan 34 kecamatan. Sedangkan trahun 2005 sampai akhir Juli 2005 kasus turun menjadi 47 kasus positif dari 57 sampel yang berasal dari 12 kabupaten dan 24 kecamatan, seperti terlihat dalam Tabel 2. Ada kemungkinan kasus akan naik lagi pada tahun 2005 karena pada saat dilaporkan masih dalam pertengahan tahun dan biasanya kasus akan meningkat pada tiga bulan terakhir menjelang akhir tahun, seperti terlihat dalam grafik berikut: Melihat fluktuasi kasus yang secara alamiah turun naik, dapat diartikan bahwa program pemberantasan rabies yang dilaksanakan belum dapat memutus atau merubah siklus menjadi menurun, bahkan cenderung naik. Artinya baik vaksinasi maupun eliminasi belum mampu menurunkan kasus, sehingga targetnya 2007 menjadi 0 kasus sangat sulit tercapai.
61
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Grafik 1. Fluktuasi kasus rabies di Kalimantan
Penyebabnya adalah program pemberantasan yang kurang berhasil, padahal eliminasi dan vaksinasi cukup signifikan daolam membebaskan rabies, seperti pada tahun 1991 di Kalimantan Selatan tidak dilaporkan adanya kasus setelah gencar dilaksanakan eliminasi dan vaksinasi. Hal ini berbeda dengan Kalimantan Tengah yang pada tahun 2001 hanya melakukan vaksinasi 70% dari target populasi 19.000 dan pada tahun 2002 turun menjadi 54,3% dari target populasi 33.63` akibatnya pada tahun 2003 kasus meningkat dari 7 menjadi 8 atau meningkat 15%. Kemudian pada tahun 2003 target vaksinasi 27.968 tetapi terealisasi 8.849 (32%), akibatnya pada tahun 2004 kasus meningkat dari 18 menjadi 28 atau meningkat 55% seperti dalam laporan tahunan Dinas Kehewanan dan Peternakan Propinsi Kalimantan Tengah tahun 2004. Faktor utama penyebab terus naiknya kasus rabies karena penurunan kuantitas dan konsistensi vaksinasi ataupun eliminasi yang dijalankan oleh dinas dan masyarakat. Karena jika melihat vaksinasi yang diaplikasikan sebenarnya telah lolos uji dan mempunyai mutu diatas standar seperti yang telah
62
dilakukan oleh BPMSOH maupun PUSVETMA dan monitoring terhadap respon kekebalan juga baik. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dan yang perlu diperhatikan antara lain adalah penyebab penyakit virus yang memiliki karakterisitik yang berbeda sehingga memerlukan penanganan yang berbeda pula, hospes utama yang dapat melibatkan satu atau lebih spesies dan ada pula yang melibatkan satwa liar disamping hewan domestik. Hospes dapat juga bertindak sebagai karie, reservoir dan “shedder”. Cara penularannya untuk penyakit rabies sebelum menginfeksi hospes utama ini hanya memerlukan satu hospes perantara (direct zoonosis). Distribusi geografis dan tingkat prevalensi/insidensi penyakit. Hal ini penting diketahui dengan baik sehingga upaya pengendalian penyakit dapat dilakukan lebih terarah dan efisien. Disamping itu adanya barier alami seperti sungai, gunung, hutan dll. Juga perlu mendapat perhatian dan ini sesuai dengan kondisi geografis di Kalimantan yang juga merupakan salah satu faktor kendala teknsi yang dialami selama ini dalam menjalankan program pembebasan rabies.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Tabel 1. Hasil pemeriksaan rabies selama periode tahun 1993 – 2005 Propinsi
Kabupaten/Kota
Kalsel
Tabalong Balangan HSU HST HSS Tapin Banjar Banjarbaru Banjarmasin Tanah Laut Kotabaru Tanah Bumbu Barito Kuala Barito Utara/ Murung Raya Barito Selatan Barito Timur Kapuas/Pulang Pisau/Gunung Mas Palangkaraya Kotim/Katingan/ Seruyan Kobar/Sukamara/ Lamandau Pasir Balikpapan Samarinda Kutai Timur Kutai Barat Ketapang Total
Kalteng
Kaltim
Kalbar
1995 4/4 3/3 4/4 4/4 0/1 1/4
Kasus positif/jumlah sampel tiap tahun 1998 1999 2000 2001 2002 3/5
1996 1/8
1997
4/9 1/1
1/1 3/3
3/6
3/5
2/2 5/7 1/1 5/14 1/9
1/1 2/3
2/2 1/1 5/5
3/7 1/1 3/4
0/13 0/1
2/3 2/3 7/21
3/4 0/6
2003
1/1 2/2 2/2
2004 4/4 1/1 1/2 4/4 1/1 6/6 2/2
0/1 1/2 2/3
0/1 15/34 7/8
0/1 26/72
0/13 1/1 3/3
3/5
0/1 2/2
0/1 6/8
1/1 7/7
0/1
3/23
2/28
10/11
0/1
1/1 0/2
1/1
1/1
2/3
1/1 0/2
1/2 3/4 1/1 0/1
3/3
3/3
1/1 2/4 14/19
1/1 1/1 5/6
4/4 7/7
3/3 16/17
0/2
3/3
0/1
5/6
1/1 0/2
7/10 7/10
0/2
2005
1/2 0/2
0/6 19/22
2/3 7/10
2/5 4/8
4/8
5/10 8/51 1/1 1/1 2/2
8/31 2/3 2/7
0/1
2/2
0/1
1/1 0/2
1/2 2/7
1/2
31/67
0/2 18/40
0/1 0/1
1/1 0/1 2/2
0/3
2/2 24/33
36/78
26/92
44/49
Berdasarkan data dari Tabel 1 selama periode tahun 2001 - 2005 situasi rabies di Kalimantan Tengah masih mewabah hampir di semua kabupaten kecuali kabupaten yang berbatasan dengan Kalimantan Barat. Peningkatan kasus terjadi di Palangkaraya dan Kabupaten Barito Timur, sedangkan di Kabupaten Kotawaringin Timur juga ditemukan kasus baru rabies yang selama beberapa tahun terakhir ini tidak ada. Di Propinsi Kalimantan Selatan situasi rabies juga
0/1 44/73
23/45
35/52
52/64
1/3 47/57
masih mewabah dalam lima tahun terakhir dan kelihatan bergerak dari arah Utara, Selatan dan Timur seperti Kabupaten Tapin dan Banjar masih terus mewabah dan bahkan terjadi peningkatan kasus, begitu juga di Kabupaten Tanah Bumbu yang tetap mewabah sedangkan di Banjarmasin dan Barito Kuala masih bebas. Kasus rabies di Kalimantan Timur bersifat sporadis selama lima tahun terakhir terutama di Kabupaten Pasir, Kutai Timur dan Kutai Barat.
63
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Tabel 2. Perkembangan rabies per kecamatan Propinsi
Kabupaten/Kota
Kecamatan
Balangan Banjar
Paringin Sei Pinang Karang Intan Martapura Pengaron Banjarbaru
2002 Kalsel
Banjarbaru Banjarmasin HSS
HST
HSU Tabalong Tanah Bumbu
Tanah Laut Tapin
Kalteng
64
Barito Selatan
Padang Batung Sei Raya Telaga Langsat Barabai Batang Alai Selatan Batang Alai Timur Batang Alai Utara Batu Benawa Labuan Amas Selatan Amuntai Tengah Kalua Murung Pudak Batulicin Kusan Hilir Kusan Hulu Sei Loban Satui Lasung Angsau Binuang Tapin Utara Bakarangan Lokpaikat Tapin Selatan Ampah Buntok Dusun Selatan Dusun Utara Dusun Tengah Karau Kuala G.B. Awai Gunung Batu Atas Jelapat Kalahien
Sampel + Jumlah sampel Tiap tahun 2003 2004 2005 1/1 1/1 1/1 3/3 1/1 0/1 1/1 0/1 1/1 0/1 1/1 1/1 1/1 1/1 1/1
1/1 2/2 2/3 1/1 2/2 1/1 3/4 1/2
3/3
2/2 1/1
1/1 2/2
1/1
1/1 1/1 1/1
2/2
0/1 4/4 1./1 1/1
1/1 0/1
2/2 0/1 0/1 5/6 1/2 1/1 0/1 0/1 1/1 1/1
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Sambungan Tabel 2 Propinsi
Kabupaten/Kota
Kecamatan
Barito Timur
Awang Benua Lima Dusun Tengah Dusun Timur Karau Kuala Patangkep Tutui Pematang Karau Tamiang Layang Teweh Tengah Selat Kahayan Hilir Pangkoh Selat Dalam Kapuas Kapuas Hulu Kapuas Kuala
2002
Barito Utara Kapuas
Kotawaringin Timur
Murung Raya Palangkaraya
Kaltim
Pulang Pisau Balikpapan Kutai Barat Kutai Timur
Panajam Pasir
Samarinda Kalbar
Ketapang
Cempaga MB Hulu Mentaya Hulu Seruyan Murung Pahandut Palangkaraya Kalaweit center Gunung Mas Bukit Raya Balikpapan Linggang Bingung Melak Kaliurang Muara Wahau Sangatta Babulu Tanah Grogot Tanjung Aru Waru Samarinda Samarinda Utara Kendawangan Kecamatan tertular
1/3
Sampel + Jumlah sampel Tiap tahun 2003 2004 2005 1/1 0/1 1/1 3/4 1/2 2/3 5/8 6/7 1/1 1/1 1/1 1/2 1/1 1/2 0/1 4/5 0/1 1/1 1/1 2/2
1/1 1/1 1/1 1/1 1/1
1/1 1/1 1/1
0/2 0/2
3/5 1/3
3/6
2/6 2/2 1/1 0/1
0/2 1/1 1/1
1/1 1/1 1/1 14/16 1/1 1/1 0/1
1/2 1/1 1/1 1/1 1/1 0/1 1/1 0/1 1/1 18/40 10
35/52 17
52/64 34
0/2 0/1 1/3 47/57 24
65
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Tabel 3. Hasil ELISA rabies tahun 2003 Propinsi
Kabupaten
Kecamatan
Kalteng Kaltim
Barito Utara Kutai Barat Pasir Tanah Bumbu Barito Utara Kutai Barat Pulang Pisau Tanah Bumbu
Teweh Tengah Melak Long Ikis Batu Licin Teweh Tengah Melak Kahayan Hilir Batu Licin
Kalsel Kalteng Kaltim Kalteng Kalsel
Hasil pengujian (%) Tidak protektif
Protektif 11 (44) 22 (18) 19 (76) 14 (70) 0 (0) 0 (0) 9 (90) 1 (25)
14 (66) 82 6 (34) 6 (30) 5 (100) 4 (100) 1 (10) 4 (60)
Jumlah
Keterangan
25 25 25 20 5 4 10 5
Divaksin Divaksin Tidak jelas Divaksin Tidak divaksin Tidak divaksin Divaksin Tidak divaksin
Jumlah
Keterangan
11 2 8 2 3 26
Tidak divaksin Divaksin Tidak divaksin Tidak divaksin Divaksin
Tabel 4. Hasil ELISA rabies tahun 2004 – 2005 Propinsi
Kabupaten
Kecamatan
Kalbar
Ketapang
Kedawang
Hasil pengujian (%) Protektif Tidak protektif 9 (82) 2 (12) 0 (0) 2 (100) 0 (0) 8 (100) 0 (0) 2 (100) 0 (0) 3 (100)
Total
Sedangkan di Samarinda dan Balikpapan tidak dilaporkan adanya kasus. Kasus rabies di Kalimantan Barat pada tahun 2005 muncul dan mewabah di Kabupaten Ketapang. Berdasarkan pemeriksaan serologis kasus sudah terjadi sebelum Desember 2004, terbukti berdasarkan hasil pemeriksaan ELISA terdeteksi adanya titer antibodi alam dari anjing yang tidak divaksinasi (Tabel 4). Hasil Pengujian ELISA tahun 2003 seperti yang terlihat dalam Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa kekebalan kelompok yang tinggi akan menlindungi terhadap serangan rabies seperti di Kabupaten Pulang Pisau. Sedangkan daerah kasus yang permanen seperti di Kutai Barat, Barito Utara dan Batulicin tidak terjadi lonjakan kasus, hal ini disebabkan sudah adanya kekebalan kelompok walaupun tidak cukup melindungi dan menghilangkan kasus akan tetapi mampu mencegah meluasnya wabah.
66
Hal ini berbeda dengan daerah bebas seperti di Kecamatan Kedawangan, Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat yang merupakan daerah bebas yang tidak dilaksanakan vaksinasi sehingga wabah rabies yang terjadi langsung meluas. Upaya pengendalian rabies sering kali atau bahkan harus didasarkan pada peraturan perundangan sehingga perangkat lunak sangat diperlukan untuk memudahkan pelaksanaan ditingkat puast, daerah maupun lapangan disertai adanya supremasi hukum. Disamping itu diperlukan dana yang cukup untuk menunjang setiap program/kegiatan dan sumber daya manusia yang berkualitas baik ditingkat pusat, daerah, lapangan dan laboratorium/rumah sakit serta diperlukannya juga sistem informasi kesehatan dan sistem informasi kesehatan hewan (khususnya rabies) yang handal dan terpercaya serta terpadu sehingga dimungkinkan terjadinya koordinasi lintas sektor antara Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Menurut MUDIARTO (2003) bahwa virus rabies yang ada di Indonesia termasuk genotipe 1 yang terdiri dari 13 tipe. Virus yang ada di Kalimantan adalah tipe C dan tipe D. Virus tipe C ditemukan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, sedangkan tipe D ditemukan di Kalimantan Timur. Mengenatuhi genotipe yang ada ini akan sangat membantu dalam menelusuri penyebaran rabies dan membedakan antara infeksi alam dengan vaksinasi. Untuk itu strategi pengendalian zoonosis khususnya penyakit rabies akan dapat berjalan dengan efektif dan efisien bila tersedia sarana dan prasarana penunjang yang memadai seperti adanya laboratorium diagnostik/ penelitian dengan segala fasilitas penunjangnya yang mampu dan siap melakukan diagnosa atau penelitian (karakteristik termasuk genotipe virus rabies) penyakit/agen zoonosis secara cepat dan akurat dan akan lebih baik jika laboratorium ini telah diakreditasi. Sejak tahun 2002 Balai Penyidikan dna Pengujian Veteriner Regionla V Banjarbaru menggunakan metoda indirect FAT. Metode ini menghasilkan fluoresensi yang lebih kuat dan jelas, dengan latar belakang yang jernih dan diferensiasi sel yang lebih jelas. Organela sel jelas dibedakan dan jika ada negribodi akan terlihat di dalam intrasitoplasma. Pada kasus positif lemahpun juga akan tampak jelas fluoresensinnya. Selain itu juga untuk meneguhkan kasus telah dilakukan pengujian dengan menggunakan PCR. Hasil yang diperoleh dari 11 sampel ternyata sama antar FAT dengan PCR. Ini menunjukkan bahwa FAT merupakan pilihan yang terbaik untuk pemeriksaan rabies karena mudah mengerjakannya, diperoleh hasil yang cepat dan akurat dengan biaya yang murah. Sedangkan dengan PCR rumit,dalam pengerjaan memerlukan waktu yang lebih lama dan biaya yang mahal. KESIMPULAN Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Zoonosis yang dianggap penting di Indonesia dan salah satu diantaranya yang memperoleh prioritas pengendaliannya diantaranya adalah rabies (virus).
Situasi rabies di Kalimantan selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan pola alamiah fluktuatif setiap lima tahun. Tahun 2004 terjadi kasus yang tertinggi yang kemungkinan tahun 2005 juga akan meningkat lagi. Perkembangan rabies pada tahun 2005 mewabah di Ketapang Kalimantan Barat dan mengalami peningkatan kasus di Palangkaraya dan Barito Selatan Kalimantan Tengah dan bersifat sporadis di Kalimantan Timur. Menuju Kalimantan bebas rabies tahun 2007 kemungkinan tidak akan dapat dicapai karena kegagalan dalam vaksinasi dan eliminasi yang disebabkan kendala karena faktor kondisi geogrfais, kultur masyarakat dan kurang sinergisnya kerjasama pemerintah dengan masyarakat. SARAN Perlu dilakukan vaksinasi dan eliminasi secara konsisten dengan metode LAS terutama pada daerah yang rentan atau daerah baru. Untuk mencegah perluasan wabah rabies di Kabupaten Ketapang agar tidak menyebar ke kabupaten lain di Kalimantan Barat perlu dilakukan usaha yang terprogram dan terpadu. Sehubngna dengan hal tersebut perlu diterapkan strategi untuk mengendalikan zoonosis yang tentu saja tergantung dari jenis penyakitnya sebab setiap penyakit memiliki karakteristik yang berbeda. Pengendalian zoonosis khususnya rebies akan berhasil dengan baik, efektif dan efisien jika program pengendaliannya disusun dengan baik, ilmiah disertai peraturan perundangan yang memadai sebagai dasar pelaksanaan program (adanya supremasi hukum) koordinasi dan partisipasi aparat/instansi terkait serta masyarakat yang didukung sumber dana serta SDM yang cukup. Disamping itu diperlukan juga supervisi dan evaluasi pelaksanaan program untuk memastikan bahwa program telah berjalan semestinya dan untuk penyempurnaan penyusunan program selanjutnya.
67
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
DAFTAR PUSTAKA ACHA. P.N dan ARAMBULO III. P. (1985). The social and economic impact of the zoonosis in latin America and the Caribean. Proceeding of the 4th international symposium in veterinary epidemiology and economics, 18-22 November 1985, Sinagpore. ANONIMOUS. 2001. Kesiagaan darurat veteriner Indonesia rabies. Direktorat Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta. BPMSOH. 1996. Laporan tahunan proyek pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan. 1995/1996. DE MATTOS C.A., FAVI M., YUNG V., PAVIETIC C., and DE MATTOS C.C. 2000. Bat rabies in urban Chille. J. Wild Dis. 2000, Apr, 36 (2): 232 – 240.
68
DINAS KEHEWANAN PROPINSI KALIMANTAN TENGAH. 2004. Laporan Pencegahan Pemberantasan penyakit Hewan menular dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. MUDIARTO, G. 2003. Materi work shop evaluasi pemberantasan rabies di Kalimantan. Palangkaraya. OIE. 2000. Rabies: Manual of standards for diagnostic tests and vaccine. Paris, Office International des Epizooties. Pp. 161-163. THOMPSON, G.K. 1999. Veterinary surgeons guide to Australian bat lyssa virus. 1999. Aus. Vet. J. 1999. Nov, 77 (11): 710-712.