LAPORAN KEGIATAN PENYIDIKAN PENYAKIT RABIES DALAM RANGKA PEMBERANTASAN PENYAKIT RABIES DI WILAYAH KERJA BPPV REGIONAL II BUKITTINGGI TAHUN 2013
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Rabies adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus. Penyakit ini menginfeksi hewan domestik dan liar. Penyakit rabies merupakan penyakit zoonosis yang sangat penting artinya bagi kesehatan masyarakat, karena apabila penyakit tersebut menyerang manusia dan apabila tidak sempat atau terlambat mendapat perawatan medis akan mengakibatkan kematian dengan gejala klinis yang mengharukan. Lebih dari 55.000 orang meninggal karena rabies setiap tahunnya dan 95 % dari kematian tersebut terjadi di Asia dan Afrika. Menurut World Health Organization (WHO), rabies terjadi di lebih dari 150 negara, termasuk Indonesia. Virus rabies dikeluarkan bersama air liur hewan yang terinfeksi dan ditularkan melalui gigitan, cakaran atau melalui kulit yang terluka (Bingham, 2005; Kang et al., 2007). Kasus klinis rabies pada hewan maupun manusia selalu berakhir dengan kematian. Penyakit Rabies menimbulkan dampak psikologis seperti kepanikan, kegelisahan, kekhawatiran, kesakitan dan ketidaknyamanan pada orang-orang yang terpapar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada daerah tertular terjadi karena biaya penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
1
postexposure treatment. Disamping itu, kerugian akibat pembatalan kunjungan wisatawan, terutama di daerah yang menjadi tujuan wisata penting di dunia, seperti Bali. Rabies telah ada di Indonesia sejak abad ke-19 dan telah tersebar disebagian besar wilayah. Rabies dilaporkan pertama kali oleh Stchorl pada tahun 1884, yaitu pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies pada kerbau dilaporkan pada tahun 1889, kemudian rabies pada anjing dilaporkan oleh Penning tahun 1890 di Tangerang. Kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh Eilerts de Haan pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon tahun 1894. Selanjutnya rabies dilaporkan semakin menyebar kebeberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sumatra Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 1953,Sulawesi Selatan tahun 1959, Lampung 1969, Aceh tahun 1970, Jambi dan DI Yogyakarta tahun 1971. Rabies di Bengkulu, DKI Jakarta, dan Sulawesi Tengah di laporkan tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974 dan Riau tahun 1975. Pada dekade 1990-an dan 2000-an rabies masih terus menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular, yaitu Pulau Flores tahun 1998, Pulau Ambon dan Pulau Seram tahun 2003, Halmahera dan Morotai tahun 2005, Ketapang tahun 2005, serta Pulau Buru tahun 2006. Kemudian Pulau Bali dilaporkan tertular rabies tahun 2008, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di Propinsi Riau tahun 2009 (Direktorat Kesehatan Hewan, 2006; Kepmentan, 2008) Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan eliminasi anjing liar/diliarkan, disamping program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies (HPR). Vaksinasi massal merupakan cara yang efektif untuk pencegahan dan pengendalian rabies. Upaya untuk mengendalikan
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
2
rabies dengan vaksinasi dan eliminasi anjing yang tidak optimal tidak banyak memberikan hasil. Di daerah-daerah tertentu, kasus rabies bahkan semakin meningkat (Adjid et al., 2005). Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan vaksinasi yang tidak memadai. Cakupan vaksinasi merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pengendalian suatu penyakit, disamping kualitas vaksin, teknik aplikasi dan waktu pelaksanaan vaksinasi (Rahman dan Maharis, 2008; Touihri et al.,2011). penanganan vaksin yang tidak baik (misalnya rantai dingin yang tidak terpenuhi), salah aplikasi dapat menyebabkan vaksin yang diberikan tidak mampu lagi memberikan protektivitas pada anjing yang divaksin. Masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan surveilans serologis untuk deteksi antibodi pasca vaksinasi, Deteksi antibodi rabies sangat penting dilakukan untuk mengetahui efektivitas vaksin rabies. Jenis vaksin tampaknya menghasilkan respon imun yang berbeda. Hasil penelitian Minke et al. (2009) menunjukkan bahwa vaksin Rabisin menginduksi respon kebal tertinggi pada hari 14 setelah vaksinasi yaitu 87%. Vaksin yang lain, yaitu Nobivac, disebutkan menginduksi kekebalan yang lebih seragam yang mencapai 100% (Minke et al. 2009). Penelitian yang dilakukan di Nigeria (Ohore et al. 2007) menunjukkan bahwa titer antibodi tertinggi dicapai antara 3 sampai 6 bulan pasca vaksinasi (PV) dan terendah antara 9 sampai 12 bulan PV. Wilayah kerja BPPV Regional II termasuk daerah endemis rabies, namun beberapa kepulauan (Kepulauan Mentawai dan Kepulauan Riau) yang berada diwilayah kerja BPPV Regional II dinyatakan bebas rabies secara historis. Dalam rangka pengendalian dan penanganan penyakit rabies perlu dilakukan koordinasi lintas sektoral, yang mana oleh pemerintah pusat telah dilakukan rapat koordinasi
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
3
yang diikuti Menko Kesra, Menkes dan Mentan maka, dibahas beberapa langkah langkah percepatan pengendalian dan penanganan penyakit Rabies. Mengingat arti penting penyakit ini berdasarkan aspek sosial-ekonomi dan aspek kesehatan masyarakat. Kebijakan Pemerintah dalam memberantas Rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kesehatan manusia dan mencegah penyebarannya pada hewan domestik dan satwa liar. Dalam mencapai tujuan itu Pemerintah mengatur dengan melaksanakan strategi dibawah ini (Departemen Pertanian, 2007):
Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular Rabies diwilayah/daerah untuk mencegah penyebaran penyakit
Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber virus Rabies yang paling berbahaya.
Vaksinasi semua hewan yang dipelihara didaerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan menguangi kontak terhadap manusia.
Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit; dan
Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) untuk memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait.
Dalam upaya mendukung program diatas, sesuai dengan tupoksi balai, Balai Veteriner Bukittinggi tiap tahun rutin melaksanakan program monitoring rabies di wilayah kerja Reg II, demikian juga untuk tahun 2013
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
4
1.1 Tujuan Monitoring rabies dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pemberantasan rabies melalui program vaksinasi rabies dan mendeteksi keberadaan virus rabies di suatu daerah baik pada daerah endemis maupun daerah yang bebas secara historis.
1.3. Manfaat Tersedianya data laboratoris yang dapat dipakai sebagai dasar untuk tindakan pengendalian rabies, diharapkan rencana Indonesia bebas rabies tahun 2020 dapat tercapai. Dengan bebasnya Indonesia dari rabies akan menimbulkan rasa aman masyarakat, untuk daerah-daerah wisata rasa aman ini akan meningkatkan jumlah wisatawan yang datang. Pada akhirnya akan meningkatkan perekonomian.
1.4. Sasaran Sasaran dari kegiatan monitoring rabies (monitoring aktif dan pasif), monitoring pasif berupa sampel dari HPR yang diterima balai, sedangkan untuk monitoring rabies aktif adalah HPR terutama anjing yang ada di daerah yang dikunjungi. Pemilihan daerah berdasarkan pada tingginya kasus rabies sepanjang tahun 2012 yang didiagnosa Balai Veteriner Bukittinggi, Laboratorium tipe B Jambi, dan Pekanbaru atau permintaan Dinas setempat. Dan daerah kepulauan yang secara historis bebas rabies (Propinsi Kepulauan Riau)
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
5
BAB. II MATERI DAN METODE
2.1. Materi Serum darah anjing atau hewan yang peka lainnya. Bahan pemeriksaan berupa Kit Elisa antibody Rabies Produksi Pusvetma Surabaya dan Kit Elisa Biorad. Selain serum, materi yang digunakan dalam monitoring rabies adalah otak HPR yang akan diperiksa dengan metoda Seller dan FAT
2.2. Metode Metode pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan antibody rabies secara Elisa menggunakan KIT komersial. KIT yang digunakan adalah KIT Platelia II dari Biorad dan Kit Elisa antibody Rabies
Produksi Pusvetma
Surabaya. Dan deteksi antigen dengan metode uji Seller dan FAT.
Prosedur uji ELISA KIT Platelia II KIT Rabies Bio-Rad Mikroplate dikeluarkan dari kemasan, kemudian serum sampel, serum kontrol positif (R4a 0,5EU) dan kontrol negatif (R3) diencerkan dengan perbandingan 1: 100 dalam larutan pengencer (R6). Sedangkan serum kontrol positif standar (R4b), diencerkan 1:100 (sebagai S6 dengan titer 4EU) dalam larutan pengencer (R6), selanjutnya dari S6 tersebut diencerkan secara serial dua kali (500μl S6 ditambah 500μl R6) menjadi S5 (2EU), demikian seterusnya dengan cara yang sama menjadi S4(1EU), S3(0,5EU), S2(0,25EU) dan S1 (0,125EU). Kemudian masing-masing serum sampel dan serum kontrol, dimasukkan 100 μl ke dalam sumuran mikroplate. Mikroplate ditutup dan
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
6
diinkubasikan pada suhu 37°C selama 1 jam. Mikroplate dicuci sebanyak 3 kali. Kemudian ditambahkan 100 μl conjugate yang telah diencerkan pada semua lubang. Tutup mikroplate dan diinkubasikan 1 jam pada suhu 37°C. Mikroplate dicuci sebanyak 5 kali. Kemudian ditambahkan 100 μl substrat pada semua sumuran, dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 30 menit dalam kondisi gelap. Kemudian ditambahkan 100 μl stop solution pada semua sumuran. Setelah 30 menit, dilakukan pembacaan optical density pada panjang gelombang 450 nm sampai 620 nm. Penghitungan dilakukan ke dalam EU dari masing-masing OD sampel dengan menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer 0,5 EU atau lebih dianggap protektif.
Prosedur uji ELISA Kit Rabies Pusvetma Surabaya Serum sampel di inaktivasi dengan memanaskan dalam penangas air dengan suhu 56ºC selama 30 menit, kemudian diencerkan 1:100 dengan menambahkan 2,5 μl sampel serum dengan 247,5 μl PBST. Selanjutnya diencerkan serum kontrol positif 1:100 yakni 10 ul Kontrol Positif (sebagai K4 dengan titer 4 EU) dalam 990 ul PBST, selanjutnya dari K4 tersebut diencerkan secara serial dua kali (500μl K4 ditambah 500μl PBST) menjadi K2 (2EU), demikian seterusnya dengan cara yang sama menjadi K1(1EU), K0,5(0,5EU), K0,25(0,25EU) dan K0,125 (0,125EU ).
Kontrol negatif diencerkan dengan
pengenceran 1 : 100 dengan mengambil 2,5 ul kontrol negatif ditambahkan 247,5 ul PBST, demikian juga dengan kontrol ST 1 EU diencerkan dengan pengenceran 1 : 100. Serum sampel dan kontrol dimasukkan pada sumuran mikroplate masingmasing 100 μl dan sumuran H11 dan H12 tanpa serum, tetapi dimasukkan 100 ul
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
7
PBST sebagai blank. Kemudian mikroplate ditutup dengan plastik penutup dan diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 60 menit. Selanjutnya cairan serum pada mikroplate uji dibuang dan dilakukan pencucian sebanyak 4-5 kali. Cairan pencuci yang tersisa dalam jumlah kecil dalam mikroplat dikeringkan dengan cara membalikkan mikroplat di atas kertas tissue tebal. Kemudian tambahkan konjugat yang telah diencerkan(16.000 x) sebanyak 100 μl per sumuran. Mikroplat ditutup kembali dan diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 60 menit. Selanjutnya cairan dibuang dan dilakukan pencucian sebanyak 4- 5 kali dan ditambahkan substrat sebanyak 100 μl pada setiap sumuran. Plate diinkubasikan pada suhu kamar, dalam kondisi gelap selama 10 menit. Terakhir ditambahkan 100μl stop solution pada setiap sumuran. Pembacaan densitas optik (OD = Optical Density) pada pembaca (Reader) dengan panjang gelombang 405nm. Selanjutnya dihitung Equivalent Unit (EU) dari masing-masing OD sampel dengan menggunakan rumus yang sudah disediakan dalam KIT. Titer serum 0,5 EU atau lebih dianggap protektif.
Prosedur uji Seller Material segar atau material dalam pengawet 50% gliserin, dicuci beberapa kali dalam larutan PBS pH 7,4 , disiapkan untuk pembuatan preparat uji Pembuatan preparat/film (Metode Rolling), Material dipotong agar terbentuk bola dengan diameter 5 mm.Dengan tusuk gigi, material ditusuk dan dibuat preparat dengan cara mengguling-gulingkan diatas kaca preparat. Dalam keadaan masih basah, preparat direndam ke dalam bak yang berisi pewarna Seller’s selama beberapa detik, tergantung ketebalan preparat. Preparat dibilas dengan
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
8
menggunakan air kran. Setelah bersih, preparat dibiarkan kering di udara terbuka. Preparat ditetesi minyak emersi untuk selanjutnya diperiksa dibawah mikroskop cahaya pada perbesaran 400 X dan 1000 X. Hasil positif jika ada Negri Bodi berbentuk bulat, oval, memanjang atau segi tiga dan lain-lain, berukuran antara 0,24-27,0 m, bewarna merah magenta. Hasil negatif tidak ditemukan adanya Negri Bodi dalam bidang pandang mikroskop.
Prosedur uji FAT (Fluorescent Antibody Test) Material segar atau dalam pengawet 50 % gliserin garam dicuci dulu beberapa kali dengan PBS, kemudian dibuat preparat tempel sentuh atau preparat ulas tergantung kondisi sampelnya. Preparat uji dikeringkan pada udara terbuka, kemudian preparat difiksasi dalam aceton –150C sampai –200C selama 2-4 jam. Setelah fiksasi, preparat uji dikeringkan pada udara terbuka, kemudian diteteskan konjugat secukupnya, kemudian diinkubasikan pada ruang lembab pada suhu 37 ºC selama 30 menit. Selanjutnya preparat dicuci 2 X dengan cara merendam ke dalam bak pencuci yang berisi larutan PBS pH 7,4 dengan menggunakan Coplin Jar masing-masing selama 10 menit. Preparat dikeringkan di udara terbuka dengan posisi tegak. Preparat diberi 1 tetes 50% gliserin-buffer (pH 7,6) dan tutup dengan cover slip.Preparat diperiksa menggunakan mikroskop ultra-violet pada perbesaran 200 dan 400 kali. Hasil positif akan memberikan warna flourecent hijau apel atau berstruktur hijau-kuning dengan ukuran bervariasi dari berupa pasir/debu sampai berupa bentuk negri body. Hasil negatif tidak memberikan warna flourecent,
demikian juga contoh uji yang tidak mengandung antigen
Rabies.
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
9
BAB.III HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan monitoring rabies dilakukan secara aktif dan pasif. Pada monitoring aktif pengambilan sampel untuk pemeriksaan rabies dilakukan oleh tim Bvet langsung ke beberapa kabupaten/kota yang berada diwilayah kerja Bvet Bukittinggi. Dilapangan pengambilan sampel berkoordinasi dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau yang membawahinya. Dalam perencanaan pada setiap kab/kota akan diambil serum postvaksinasi rabies untuk uji serologis yang dimaksutkan untuk mengetahui protektifitas vaksinasi yang sudah dilakukan dilapangan, dan sampel otak untuk identifiakasi virus. Tetapi dalam pelaksanaan monitoring yang bisa diambil hanya serum postvaksinasi kecuali dari Kabupaten Pasaman dikoleksi 4 sampel otak, daerah lainnya perlu koordinasi yang lebih baik dengan pihak kab/kota, dan mungkin kedepannya perlu disiapkan dana untuk membeli sampel otak yang dibutuhkan. Tabel 1. Jumlah sampel monitoring aktif rabies 2013 di Propinsi Sumbar No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Agam 50 Kota Bukittinggi Payakumbuh Tanah Datar Padang Padang Panjang Pasaman Solok Total
Total Serum 37 54 29 36 44 15 27 65 52 359
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
10
Pengambilan sampel dilakukan di beberapa kab/kota Propinsi diwilayah kerja Bvet Bukittinggi, Dari Propinsi Sumatera Barat (tabel 1) total sampel yang diambil sebanyak 359 sampel berasal dari: Kabupaten Agam sebanyak 37 serum posvaksinasi, Kabupaten 50 Kota dikoleksi sebanyak 54 serum postvaksinasi, dari Kota Bukittinggi sebanyak 29 serum postvaksinasi, dari kota Payakumbuh berhasil dikoleksi 36 sampel serum postvaksinasi, 44 sampel serum postvaksinasi dikoleksi dari Kabupaten Tanah Datar, 15 sampel serum postvaksinasi dikoleksi dari Kota Padang, dari Kota Padang Panjang berhasil diambil sebanyak 27 sampel serum postvaksinasi, dari Kabupaten Pasaman, 65 sampel serum postvaksinasi, 52 sampel serum postvaksinasi dari Kota Solok.
Tabel 2. Jumlah sampel monitoring aktif rabies 2013 di Propinsi Riau No
Kab/Kota
Total Serum
1 2 3 4 5
Kampar Pekanbaru Siak Dumai Bengkalis Total
45 20 20 59 1 145
Dari Propinsi Riau total sampel yang diperoleh sebanyak 145 serum, berasal dari : Kabupaten Kampar sebanyak 45 sampel serum postvaksinasi. Dari Kota Pekanbaru barhasil dkoleksil sebanyak 20 sampel serum postvaksinasi, 20 sampel serum postvaksinasi dari Kabupaten Siak, 59 sampel serum postvaksinasi dikoleksi dari Kabupaten Dumai dan 1 sampel dari Kabupaten Bengkalis (tabel 2) Tabel 3. Jumlah sampel monitoring aktif rabies 2013 di Propinsi Jambi No 1
Kab/Kota Kerinci Total
Total Serum 59 59
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
11
Sedangkan untuk Propinsi Jambi sampel serum postvaksinasi dikoleksi dari Kabuapten Kerinci sebanyak 59 sampel serum postvaksinasi (tabel 3). Dan untuk Propinsi Kepulauan Riau tidak dilakukan pengambilan sampel serum postvaksinasi tapi karena tujuan surveilan dilakukan untuk membuktikan bahwa daerah Kepulauan Riau yang secara historis bebas rabies memang masih bebas rabies, direncanakan pengambilan sampel otak anjing sebanyak 20 sampel dari beberapa kab/kota di Kepulauan Riau, namun dalam pelaksanaannya hanya berhasil dikoleksi 3 sampel otak dari kabupaten Lingga dan 1 sampel otak dari Kabupaten Bintan. Ada beberapa kendala dalam koleksi sampel otak dilapangan, karena untuk pengambilan sampel otak hewannya mati, sehingga ini perlu koordinasi yang lebih baik dengan pihak keswan kab/kota, waktu pengambilan sampel disamakan dengan jadwal eliminasi yang biasanya dilakukan oleh keswan kab/kota. Atau Bvet menyediakan anggaran untuk membeli otak HPR.
Grafiks 1. Hasil pemeriksaan serologis serum postvaksinasi rabies Prop. Sumbar 65
70 60
54
52
50 40
44 37
36 29
30
35
29
27
20
10
22
15 9
9
3
2
5
6
Total Serum Seroprotektif
0
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
12
Hasil serologis 359 serum postvaksinasi dari Propinsi Sumatera Barat hanya 33,4 % (120 serum) yang protektif. Pada grafiks 1 dapat dilihat hasil pemeriksaan serologis serum postvaksinasi rabies dari beberapa kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Barat. Di Kabupaten Agam dari 37 serum yang diperiksa 9 serum (24 %) protektif, Kabupaten 50 Kota dari 54 serum yang diperiksa 29 serum (53,7%) protektif. Kota Bukittinggi dari 29 serum yang diperiksa 3 serum (10,4 %) protektif. Kota Payakumbuh dari 36 serum yang diperiksa 9 serum (25%) protektif. Kabupaten Tanah datar dari 44 serum yang diperiksa 2 serum (4,5%) protektif. Kota Padang dari 15 serum yang diperiksa 5 serum (33,3 %) protektif. Kota Padang Panjang dari 27 serum yang diperiksa 6 serum (22,2 %) protektif. Kabupaten Pasaman dari 65 serum yang diperiksa 22 serum (33,9%) protektif. Kota Solok dari 52 serum yangn diperiksa 35 serum (67,3%) protektif. Secara umum prosentase protektifitas vaksinasi di Propinsi Sumatera Barat berdasarkan uji serologis dengan metode uji ELISA masih rendah yaitu dibawah 50%, kecuali Kabupaten 50 Kota dan Kota Solok menunjukkan hasil protektifitas lebih dari 50 %. Dalam hal ini Kabupaten 50 Kota melakukan vaksinasi 2 kali dengan selang waktu 1 bulan dari vaksinasi 1 Grafiks 2. Hasil pemeriksaan serologis serum postvaksinasi rabies Prop. Riau
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
13
70 59
60 50
47
45
40 Total Serum 30
25
Seroprotektif 20
20
20 11
10
3
1
1
0 Kampar
Pekanbaru
Siak
Dumai
Bengkalis
Hasil pemeriksaan serum yang berasal dari Propinsi Riau dari 145 serum yang diperiksa 60 % (87 serum ) protektif. Grafiks 2 menggambarkan hasil pemeriksaan serologis serum postvaksinasi di beberapa kabupaten/kota di Propinsi Sebanyak 20 serum yang di periksa dari Kota Pekanbaru, 3 serum (15%) protektif. Sebanyak 20 serum yang diperiksa dari Kabupaten Siak, 11 serum (55%) protektif. Sebanyak 59 serum yang diperiksa dari Kota Dumai, 47 serum (79,7%) protektif. Sedangkan 1 sampel yang diperiksa dari Kabupaten Bengkalis, hasilnya protektif. Secara keseluruhan prosentase protektifitas vaksinasi di Propinsi Riau lebih baik yaitu 60 %. Dari grafik 3 dapat dilihat di Propinsi Jambi, monitoring rabies secara aktif hanya dilakukan pada Kabupaten Kerinci, dimana dari 59 serum yang diperiksa 20 serum (33,9%) protektif. Prosentase protektif masih rendah dibawah 50 %. Sementara syarat minimal untuk melindungi suatu populasi dari penyakit menular paling tidak 70 persen populasi menngandung antibodi protektif. Grafik 3. Hasil pemeriksaan serologis serum postvaksinasi rabies Prop. Jambi
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
14
Rendahnya protektifitas vaksinasi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain mungkin handling vaksin yang tidak baik misalnya rantai dingin yang tidak terpenuhi karena sarana penyimpanan vaksin dibanyak daerah sangat minim, atau jika sudah ada sarana penyimpan vaksin yang memenuhi syarat tapi kenyataannya di daerah sering terjadi pemadaman aliran listrik dan daerah tidak punya genset sehingga akan dapat mempengaruhi potensi vaksin yang digunakan ,kemungkinan aplikasi vaksin yang tidak tepat, dan anjing dalam masa inkubasi. Selain itu keberhasilan suatu vaksinasi ditentukan juga oleh kualitas vaksin, teknik aplikasi dan ketepatan waktu pelaksanaan vaksinasi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi potensi atau kualitas suatu vaksin di antaranya waktu kedaluarsa, penanganan rantai dingin vaksin mulai dari produsen sampai konsumen, faktor stabilitas dan penyimpanan yang tidak sesuai dengan rekomendasi produsen. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut, apakah hal ini disebabkan oleh rantai dingin yang tidak terpenuhi dalam penanganan vaksin di lapangan, ataukah adanya kesalahan dalam aplikasi, waktu vaksinasi yang kurang tepat, atau
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
15
mungkin data vaksinasi yang kurang akurat, misalnya anjing yang sebenarnya belum divaksin tetapi dilaporkan sudah divaksinasi. Atau perlu dipertimbangkan menggunakan vaksin rabies yang berbeda dengan vaksin rabies yang dipakai sebelumnya. Tabel 4. Jumlah sampel monitoring aktif rabies 2013 No 1 2
Propinsi Kepulauan Riau
1
Sumatera barat
Kab/Kota Lingga Bintan Total Pasaman Total
Otak 3 1 4 4 4
Negatif 3 1 4 4 4
Hasil identifikasi virus rabies pada sampel otak yang berasal dari Kepulauan Riau adalah negatif. Kepulauan Riau secara historis bebas rabies, memang seharusnya tidak ditemukan virus rabies, tetapi untuk pembuktian lebih lanjut perlu dilakukan surveillans yang lebih sesuai dengan kaidah epidemiologi untuk daerah bebas. Hasil identifikasi virus rabies pada sampel otak HPR yang berasal dari Pasaman Propinsi Sumatera Barat adalah negatif, tetapi bukan berarti daerah tersebut sudah bebas rabies, masih perlu surveillans lanjutan yanng sesuai dengan kaidah epidemiologi untuk menyatakan suatu daerah bebas dari rabies. Sedangkan untuk monitoring pasif, sampel untuk pemeriksaan berasal dari kiriman dinas yang membawahi fungsi keswan di kab/kot, Puskeswan dan masyarakat perorangan. Pada tabel 4 dan 5 dibawah dapat dilihat jumlah dan asal sampel monitoring pasif yang diterima dan diuji di BVET Bukittinggi
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
16
Tabel 5. Jumlah sampel monitoring pasif rabies 2013 dari Propinsi Sumbar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 14
Kab/Kota Damasraya 50 Kota Kota Solok Agam Tanah datar Padang Panjang Padang Pariaman Pesisir selatan Bukittinggi Sawah Lunto Payakumbuh Padang Pasaman barat Total
Total Serum 75
75
Otak 33 16 35 10 2 5 6 8 3 9 3 1 131
Tabel 6. Jumlah sampel monitoring pasif rabies 2013 dari Propinsi Jambi No 1 2
Kab/Kota Tanjung Jabung Timur Sungai penuh Total
Otak 1 2 3
Positif 1 2 3
Dari tabel 5 dan 6 diatas dapat dilihat, sebagian besar sampel yang diterima Bvet Bukittinggi merupakan kiriman dari beberapa kab/kota di Propinsi Sumatera Barat, hanya 3 sampel yang dikirimkan dari Propinsi Jambi. Hal ini berkaitan dengan lokasi Bvet yang terletak di Baso, Bukittinggi yang berada di Propinsi Sumatera Barat. Jadi untuk daerah Sumatera Barat mungkin tidak terlalu jauh untuk datang ke Bvet Bukittinggi mengantarkan sampel secara langsung, tapi untuk propinsi lain diwilayah kerja Bvet mungkin lebih sulit karena lokasinya yang lebih jauh dari Bvet. Biasanya untuk daerah yang jauh, laboratorium propinsi mampu melakukan uji untuk identifikasi rabies didaerah masing-masing. Untuk menjaga kualitas uji, biasanya mereka mengirimkan staf laboratorium mereka untuk datang training di Bvet Bukittinggi secara berkala.
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
17
Pada grafiks 4 dapat dilihat gambaran kasus rabies di Propinsi Sumatera Barat. Pada Bulan Januari 13 sampel yang diperiksa 10 (77%) positif rabies. Bulan Februari dari 15 sampel yang diperiksa 14 sampel (93,3%) positif rabies. Bulan Maret dari 9 sampel yang diperiksa 9 sampel (100%) positif rabies. Bulan April dari 11 sampel yang diperiksa 8 sampel (73%) positif rabies. Pada Bulan Mei dari 18 sampel yang diperiksa 11 sampel (61,1%) positif rabies. Di Bulan Juni dari 5 sampel yang diperiksa 3 sampel (60%) positif rabies. Di Bulan Juli dari 9 sampel yang diperiksa 7 sampel (77,8%). Di Bulan Agustus dari 11 sampel yang diperiksa 7 sampel (63,3%). Di Bulan September dari 11 sampel yang diperiksa 4 sampel (36,4%). Positif rabies. Di Bulan Oktober dari 11 sampel yang diperiksa 10 sampel (90,9%) positif rabies. Di Bulan November dari 6 sampel yang diperiksa semuanya (100%) positif rabies. Di Bulan Desember dari 3 sampel yang diperiksa semua (100%) positif rabies. Hal ini menunjukkan masih tingginya kasus rabies yang terjadi di Propinsi Sumatera Barat, dan kasus terjadi sepanjang tahun serta hampir disemua wilayah kab/kota di Propinsi sumatera Barat (lampiran 22) kecuali di daerah Kepulauan Mentawai yang secara historis adalah daerah bebas rabies. Untuk Kabupaten Kepulauan Mentawai perlu surveillan untuk pembuktian daerah bebas rabies dan komitment bersama untuk mempertahankan daerah tersebut tetap bebas rabies.
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
18
Grafiks 4. Kasus rabies Tahun 2013 di Prop. Sumbar berdasarkan pengujian lab
Demikian juga dari 3 sampel yang dikirimkan oleh Propinsi Jambi semuanya positif rabies (tabel 6), ini menunjukkan bahwa Propinsi Jambi masih terpapar virus rabies. Di Propinsi Riau juga masih terjadi kasus gigitan HPR yaitu dari 381 gigitan 30 % positif rabies (tabel 7). Hal ini menunjukkan masih tingginya kasus rabies di 3 Propinsi yang termasuk wilayah kerja Bvet Bukittinggi (Propinsi Sumbar, Propinsi Riau dan Propinsi Jambi). Untuk mewujudkan Indonesia bebas rabies Tahun 2020 benar-benar diperlukan kerja keras dan nyata dari semua pihak.
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
19
Tabel 7. Data Rabies Propinsi Riau Kab/Kota
HPR
Positif
Negatif
Lysis
SKB
Menggigit Pekanbaru Kampar Rohil Rohul Inhu Inhil Bengkalis
126 101 4 0 12 0 81
Bebas Observasi
38 21 3 0 4 0 32
Dumai 38 13 Siak 17 1 Kuansing 0 0 Pelalawan 2 2 Meranti 0 0 381 114(30%) Total Data. Drh Ali Saukhan, Propinsi Riau
0 0 0 0 0 0 9
16 20 0 0 0 0 19
43 39 0 0 7 0 13
29 21 1 0 1 0 8
4 0 0 0 0 9
3 2 0 0 0 60
0 1 0 0 0 107
18 13 0 0 0 91
Untuk mencapai Indonesia bebas rabies Tahun 2020 Direktorat Kesehatan Hewan membuat road map pembebasan rabies, dengan kegiatan pokok : 1. Mempertahankan daerah bebas melalui kegiatan : Kontrol lalu lintas HPR khususnya anjing, peningkatan kapasitas surveillans untuk deteksi penyakit, respon cepat terhadap dugaan kasus rabies, kontrol populasi, koordinasi dan kolaborasi lintas sektoral dan pencegahan didaerah resiko tinggi. 2. Membebaskan daerah tertular melalui kegiatan : Vaksinasi massal, kontrol lalu lintas HPR khususnya anjing, peningkatan kapasitas surveilans (termasuk deteksi dini), peningkatan kapasitas
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
20
pengendalian dan penanggulangan (harus ada respon cepat juga), kontrol populasi dan koordinasi dan kolaborasi antar sektoral.
Program yang dicanangkan untuk mencapai Indonesia bebas rabies Tahun 2020 akan berhasil jika dilakukan dengan gerakan nyata serta komitment dan kolaborasi yang kuat intra dan antar sektoral. Serta meningkatkan peran dan kesadaran masyarakat tentang bahaya rabies dan pentingnya program pemerintah dalam upaya pembebasan wilayah Indonesia dari rabies. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan kegiaatan KIE, serta perlu undangundang tentang HPR disertai dengan penegakan hukum serta sanksi-sanksinya jika terjadi pelanggaran.
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
21
BAB.IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN 1. Dari 145 serum posvaksinasi asal Propinsi Riau yang diperiksa 60 % (87 serum ) protektif. 2. Hasil serologis 359 serum postvaksinasi dari Propinsi Sumatera Barat hanya 33,4 % (120 serum) yang protektif 3. Dari 59 serum postvaksinasi asal Propinsi Jambi yang diperiksa 20 serum (33,9%) protektif. 4. Hasil identifikasi virus Propinsi Sumatera barat dari 131 sampel yang diperiksa 92 (70 %) positif rabies, hal ini menunjukkan masih tingginya kasus rabies yang terjadi di Propinsi Sumatera Barat, dan kasus terjadi sepanjang tahun 2013 5. Demikian juga dari 3 sampel yang dikirimkan oleh Propinsi Jambi semuanya positif rabies (100%), ini menunjukkan bahwa Propinsi Jambi masih terpapar virus rabies. 6. Di Propinsi Riau dari 381 kasus gigitan, 114 positif rabies (30%).
4.2 SARAN 1. Masih perlu ditingkatkan pelaksanaan program vaksinasi 2. Penggunaan vaksin yang bermutu dan aplikasi vaksin yang sesuai standart 3. Perlu ditingkat pengawasan lalu lintas HPR
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
22
4. Perlu ditingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya rabies dan pentingnya peran masyarakat dalam membantu program pemerintah untuk mewujudkan Indonesia bebas rabies 2020 5. Perlu ditingkat koordinasi dan kolaborasi intra dan antar sektoral. 6. Program kontrol populasi HPR perlu dilakukan terutama pada daerahdaerah dengan kasus gigitan HPR tinggi atau pada daerah-daerah yang secara historis bebas rabies.
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
23
DAFTAR PUSTAKA
Adjid.R.M.A., A.Sarosa, T.Syapriati, dan Yuningsih. 2005. Penyakit rabies diIndonesia dan pengembangan teknik diagnosisnya. Wartazoa. 15(4 ) : 165-172
Bingham J. 2005. Canine Rabies Ecology in Southern Africa. Emerging Infectious Diseasses. 11(9) : 1337-1341. www.cdc.org. Diakses Maret 2011. Direktorat Kesehatan Hewan. 2006. Pedoman Pengendalian Rabies Terpadu.Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan. Kang B., J.S.Oh, C.S.Lee, B.K.Park, Y.N.Park, K.S.Hong, K.G.Lee, B.K.Cho, and D.S.Song. 2007. Evaluation of Rapid Immunodiagnostic Test kit for Rabies Virus. Journal of Virology Methods.145(2007): 30-36 Minke.J.M., J.Bauvet, F.Cliquet, M.Wasniewski, A.L.Gulot, L.Lemaiter, C.Cariou, V.Cozette, L.Vergne dan P.M.Guigal. 2009. Comparison of Antibody Responses After vaccination with two inactivated rabies vaccines. Short communication. Vet.Microbiology. 133 (2009) : 283-286. Rahman A. dan R. Maharis. 2008. Analisis Keberhasilan Vaksin Oral Rabies Sebagai Perbandingan Pengendalian Rabies di Indonesia. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan.13 (2008). Touihri L., I. Zaouia, K.Elhili, K.Dellagi, and C.Bahloul. 2011. Evaluation of Mass Vaccination Campaign Coverage Against Rabies in Dogs in Tunisia. Zoonoses and Public Health, 58: 110-118. Doi:10.1111/j.1863- 2378.2009.01
Laporan Kegiatan Penyidikan Penyakit Rabies dalam Rangka Pemberantasan Penyakit Rabies Tahun 2013
24