BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penyakit rabies atau anjing gila adalah suatu penyakit yang sangat ditakuti
dan dapat menimbulkan kematian. Penyakit ini ditularkan dari hewan yang sudah terkena virus rabies kepada manusia yang disebut dengan zoonosis. Penyakit rabies ini bersifat akut dan dapat menularkan dengan secara cepat kepada satu penderita dengan penderita lain melalui saliva (air liur) penderita yang sudah terkena virus rabies. Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dan penularannya kepada manusia dapat terjadi melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) terutama anjing, kucing dan kera. Timbulnya penyakit ini pada manusia dapat dicegah dengan pemberian vaksinasi anti rabies (VAR) dan serum anti rabies (SAR) setelah digigit hewan yang menderita rabies (Soeharsono, 2002). Menurut laporan WHO (2005), penyakit rabies dapat timbul akibat kelalaian manusia “neglected disease” karena penyakit ini sebenarnya dapat dicegah sebelum muncul. Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia dengan perkiraan 55.000 kematian pertahun, hampir semuanya terjadi di negara berkembang. Jumlah yang terbanyak dijumpai di Asia sebesar 31.000 jiwa (56%) dan Afrika 24.000 jiwa (44%). Diperkirakan 30% – 50% proporsi dari kematian yang dilaporkan terjadi pada anakanak di bawah usia 15 tahun (WHO, 2006).
1 Universitas Sumatera Utara
Pengendalian Rabies (penyakit anjing gila) sebenarnya sampai saat ini masih merupakan permasalahan dari beberapa penyakit yang terpenting karena penyakit tersebut tersebar luas di 18 propinsi, dengan jumlah kasus gigitan yang cukup tinggi. Diperkirakan sejak tahun 2008 di Indonesia terdapat 16.000 kasus gigitan, serta belum diketemukan obat/cara pengobatan untuk penderita rabies sehingga selalu diakhiri dengan kematian pada hampir semua penderita rabies baik manusia maupun hewan. Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Esser pada tahun 1884 pada seekor kerbau, kemudian oleh Penning tahun 1889 pada seekor anjing dan oleh Eilerls de Zhaan tahun 1889 pada manusia. Semua kasus ini terjadi di Propinsi Jawa Barat dan setelah itu rabies terus menyebar ke daerah Indonesia lainnya (Elvira, 2009). Berdasarkan laporan WHO (2005a), South East Asia Regional Office (SEARO) mempunyai beban kerja yang besar karena sekitar 25.000 kematian terjadi pada manusia setiap tahun akibat rabies dengan jumlah terbesar terdapat di India yaitu sekitar 19.000 jiwa dan Banglades sekitar 2000 jiwa. Myanmar, Nepal, Indonesia, Srilanka dan Thailand, melaporkan sedikitnya terjadi 100 kematian manusia akibat rabies setiap tahun. Berdasarkan laporan OIE (Organization International des Epizooties), di negara berkembang penyakit rabies merupakan urutan nomor 2 (dua) yang paling ditakuti wisatawan mancanegara setelah penyakit malaria ( Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat, 2007). Penanggulangan penyakit rabies di Sumatera Utara sebenarnya sudah sejak lama diperhatikan oleh pemerintah setempat mengingat terus meningkatnya kasus
Universitas Sumatera Utara
yang terjadi. Perhatian ini ditunjukkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara dengan nomor: 443.34/1880/K/1992 yang berisi tentang koordinasi/ keterpaduan agar lebih berdaya guna secara optimal dalam penanggulangan penyakit rabies di Sumatera Utara, perlu adanya penyegaran dan pemantapan Tim Koordinasi Pencegahan Penanggulangan Penyakit Rabies dengan melaksanakan reorganisasi di dalam wadah tim koordinasi lintas sektor. Penanggulangan penyakit rabies belum maksimal di Medan tidak terlepas dari individu yang bekerja di dalam suatu organisasi. Bentuk tanggungjawab pada uraian tugas
untuk mencapai daerah yang bebas rabies, belum dapat diwujudkan oleh
karena beberapa faktor seperti faktor yang ada di dalam diri individu (pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi dan beberapa hal lainnya) maupun yang ada di luar diri individu itu sendiri (desain organisasi, uraian tugas, komitmen organisasi dan lainnya). Hal inilah yang secara keseluruhan akan menjadi faktor yang memengaruhi tercapainya pembangunan kesehatan khususnya bebas penyakit rabies. Berdasarkan hal tersebut maka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan tersebut akan dapat terwujud jika dilaksanakan secara baik oleh sumber daya manusia yang memiliki kinerja yang optimal dalam suatu tatanan struktur organisasi yang baik. Menurut Makmuri (2004) dalam menjalankan
pekerjaannya, petugas akan
mendapatkan kinerja yang baik jika memiliki persepsi yang baik tentang tugas yang diberikan padanya disamping faktor penting lainnya. Petugas dalam berpendapat sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang kerja yang dilakukan dan sikap terhadap pekerjaan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Green (1980), untuk membentuk persepsi seorang individu untuk berperilaku positif pada yang dikerjakannya dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor pokok yaitu: faktor predisposisi (predisposising factors), faktor mendorong (reinforcing factors) dan faktor yang mendukung (enabling factors). Pada faktor predisposisi (predisposising) petugas bekerja dipengaruhi oleh faktor yang ada di dalam diri individu (pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi dan beberapa hal lainnya) maupun yang ada di luar diri individu itu sendiri (desain organisasi, uraian tugas, komitmen organisasi dan lainnya). Menurut Simatupang (2008), sebagai pelaksana pelayanan kesehatan petugas kesehatan juga dapat berperan sebagai provider dan konselor. Adapun
menurut
Herawati (2006) petugas kesehatan dapat berperan menjadi komunikator, motivator, fasilitator dan konsultan. Menurut Makmuri (2004),
dalam sebuah organisasi,
pelaksanaan kerja terdiri dari dua macam dimensi desain, yaitu dimensi struktural dan dimensi kontekstual. Dalam mengevaluasi sebuah organisasi, kedua macam dimensi desain dalam organisasi itu harus diteliti, karena keduanya saling bergantung satu dengan yang lainnya. Desain organisasi juga diharapkan dapat melihat pada sisi persepsi petugas terhadap tugasnya agar
seseorang cocok atau tidak bekerja di
perusahaan tersebut. Penelitian Asmulian (2007), menyebutkan bahwa ketidakcocokan seseorang akan lingkungan tempat bekerja akan membuat seseorang tidak nyaman dan dapat mengalami stres kerja. Disamping itu spesifikasi kerja sesuai bidang dan sifat kerja juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kinerja. Desain organisasi
Universitas Sumatera Utara
kesehatan dalam upaya menunjukkan kinerja organisasi dituangkan dalam beberapa program, baik program yang bertujuan untuk upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Namun demikian saat ini
pemerintah lebih berfokus pada bentuk
upaya preventif. Salah satu bentuk program preventif yang sekarang ini sedang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan adalah program upaya penanggulangan kejadian luar biasa penyakit rabies. Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) rabies merupakan salah satu upaya preventif yang berperan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat gigitan anjing yang sampai saat ini masih belum dapat dituntaskan. Pelaksanaan program ini merupakan program yang melibatkan multi sektoral baik oleh seluruh unit pelayanan kesehatan (UPK) seperti Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Instansi dan Organisasi lain yang turut mendukung program ini, di samping juga peran serta masyarakat secara paripurna dan terpadu (Depkes RI, 2001). Dinas Kesehatan Kota Medan merupakan organisasi yang berada digaris depan dan bertanggung jawab langsung terhadap penurunan angka kejadian yang luar biasa akibat penyakit rabies yang diderita masyarakat. Dalam upaya penanggulangan penyakit rabies suatu pengelolaan tata kerja dan dan pengorganisasian dengan tujuan pencapaian lebih efisien dan efektif. Dalam mencapai tujuan yang efektif dan efisien penanggulangan penyakit rabies, desain dan struktur organisasi Kesehatan Kota Medan telah membuat satu formasi di dalam struktur organisasinya. Bidang ini merupakan salah satu bagian dari struktur organsasi yang ada di Dinas Kesehatan Kota Medan yang berperan melaksanakan investigasi dan penanganan kasus gigitan
Universitas Sumatera Utara
hewan penular rabies (HPR) serta memberikan suntikan Vaksinasi Anti Rabies (VAR) kepada pasien yang terkena gigitan HPR. Bidang ini juga berperan mengawasi proses, memilih dan mengelola aspek struktural dan mengendalikan kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan bersama, pengambilan keputusan atau manajemen keputusan dan mengendalikan perilaku para petugas surveilance (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010). Menurut Jones (2008), desain dan struktur organisasi tidak hanya menyajikan fungsi keputusan manajemen dengan menyediakan informasi untuk mengurangi kondisi ketidakpastian (uncertainty environment). Desain dan struktur organisasi juga merupakan pembuat keputusan untuk meningkatkan berbagai alternatif pilihan tindakan dengan kualitas informasi yang lebih baik. Desain sistem organisasi merupakan bagian dari sistem pengendalian organisasi yang perlu mendapat perhatian, sehingga dapat memberikan kontribusi positif dalam mendukung keberhasilan tujuan
organisasi yaitu untuk menurunkan angka kasus rabies di
Sumatera Utara yang semakin tinggi. Kasus gigitan hewan penular rabies di Sumatera Utara meningkat secara signifikan. Rincian jumlah kasus rabies tahun 2009 di Sumatera Utara sebagai berikut: Kabupaten Simalungun ditemukan 1 kasus, Tapanuli Utara 1 kasus, Humbang Hasundutan 3 kasus, Dairi 1 kasus dan Batubara 1 kasus. Sementara itu pada tahun 2010 kasus rabies dilaporkan oleh 9 kabupaten/kota yaitu: Asahan 2 kasus, Tapanuli Utara 1 kasus, Samosir 3 kasus, Tapanuli Tengah 1 kasus, Nias 5 kasus, Nias Selatan 1 kasus, Dairi 1 kasus, Nias Barat 1 kasus dan Kota Gunung
Universitas Sumatera Utara
Sitoli sebanyak 17 kasus. Data hingga akhir Februari tahun 2009, ditemukan 108 kasus gigitan anjing dengan 5 penderita positif rabies dan akhirnya meninggal dunia. Kasus rabies yang ada di Kota Medan sampai pada tahun 2008 ditemukan bahwa
penderita gigitan yang meyebabkan rabies berjumlah 486 kasus dengan
pembagian 270 orang laki-laki dan 216 orang perempuan. Dari kelompok umur yang terkena ditemukan kasus 195 orang pada kelompok umur 15-45 tahun, 167 orang pada kelompok umur 5-14 tahun, sebanyak 54 orang pada kelompok umur 0-4 tahun dan sebanyak 70 orang pada kelompok umur > 45 tahun. Jumlah kasus yang terbanyak ada di wilayah kecamatan Medan Helvetia dengan jumlah kasus 80 orang disusul dengan kecamatan Medan Amplas dengan jumlah kasus 35 orang (Dinas Kesehatan Medan, 2010). Kasus rabies di Sumatera Utara pada tahun 2010 mengalami peningkatan dimana jumlah kasus rabies pada tahun 2009 sebanyak 486 meningkat menjadi 1.102 kasus pada tahun 2010 dan jumlah kasus rabies yang paling tinggi dari seluruh kecamatan yang ada di Kota Medan adalah kecamatan Medan Helvetia yaitu sebanyak 80 kasus (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010). Sementara angka penyakit rabies juga cukup tinggi di daerah Kabupaten Deli Serdang yaitu mencapai jumlah sebanyak 201 orang. Angka ini cukup tinggi disebabkan oleh karena daerah ini merupakan daerah perbatasan antara Kota Medan dengan kabupaten lainnya sehingga kecenderungan untuk meningkatnya kasus cukup tinggi (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010)
Universitas Sumatera Utara
Kasus rabies di Sumatera Utara pada tahun 2010 mengalami peningkatan jumlah kasus dimana jumlah kasus rabies pada tahun 2009 sebanyak 486 meningkat menjadi 1.102 kasus pada tahun 2010 dan jumlah kasus rabies yang paling tinggi dari seluruh kecamatan yang ada di Kota Medan adalah kecamatan Medan Helvetia yaitu sebanyak 80 kasus (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2010). Hasil survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di kecamatan Medan Helvetia yang merupakan kecamatan dengan kasus HPR tertinggi, pada bulan Juni 2010 ditemukan hasil 80 kasus. Angka ini meningkat 100 % dibandingkan dengan angka pada tahun 2008 yang hanya 40 kasus. Dalam upaya penanganan dan penanggulangan rabies Dinas Kesehatan Kota Medan telah melakukan koordinasi lintas sektoral dan lintas program dengan Dinas Peternakan dan Pertanian Kota Medan. Upaya penanggulangan penyakit rabies tersebut belum menunjukkan pencapaian kinerja yang maksimal. Hal ini diprediksi peneliti dikarenakan belum maksimalnya kerjasama lintas sektoral dan lintas program antara Dinas Kesehatan Kota Medan dengan Dinas Peternakan dan Pertanian Kota Medan. Ini dilihat dari kinerja individu yang belum baik dan masih kurangnya disiplin petugas masingmasing instansi di dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan padanya seperti belum dilaksanakannya standard operating procedure (SOP) yang ada, selain itu beberapa petugas juga jarang datang dan melakukan evaluasi terhadap implementasi tugas yang telah dilaksanakannya. Laporan rutin secara berkala yang seharusnya dapat dijadikan feed back untuk mengevaluasi kinerja juga belum terlaksana dengan
Universitas Sumatera Utara
baik. Menurut beberapa petugas tidak adanya pemantauan yang dilakukan oleh atasan pada petugas yang ada di bagian ini membuat petugas merasa kurang bertanggungjawab pada tugas yang diembannya. Berbagai upaya penanggulangan kasus luar biasa rabies ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan, kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan vaksinasi pada binatang piaraannya. Kondisi ini diperburuk lagi dengan belum dilaksanakannya evaluasi dan monitoring berkala dari instansi terkait yang menanganinya. Berdasarkan uraian pada permasalahan di atas maka peneliti tertarik untuk menganalisis lebih dalam tentang penatalaksanaan dan penanggulangan wabah penyakit rabies dengan melihat persepsi tentang tugas dan desain organisasi terhadap kinerja petugas dalam upaya penanggulangan penyakit rabies di Kota Medan.
1.2.
Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut “Bagaimana pengaruh persepsi tentang tugas (karakteristik pekerjaan, jumlah pekerjaan, pemenuhan standar tugas) dan desain organisasi kesehatan (departementalisasi, rentang kendali, formalisasi)
terhadap
kinerja petugas dalam penanggulangan kejadian luar biasa penyakit rabies di Kota Medan tahun 2011
Universitas Sumatera Utara
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah, untuk menganalisis pengaruh persepsi
tentang tugas (karakteristik pekerjaan, jumlah pekerjaan, pemenuhan standar tugas) dan desain organisasi kesehatan (departementalisasi, rentang kendali, formalisasi) terhadap kinerja petugas dalam penanggulangan kejadian luar biasa penyakit rabies di Kota Medan tahun 2011
1.4.
Hipotesis Ada pengaruh persepsi tentang tugas (karakteristik
pekerjaan, pemenuhan standar tugas)
dan desain
pekerjaan, jumlah organisasi kesehatan
(departementalisasi, rentang kendali, formalisasi) terhadap kinerja petugas dalam penanggulangan kejadian luar biasa penyakit rabies di Kota Medan tahun 2011.
1.5. Manfaat Penelitian 1. Dinas Kesehatan Sebagai informasi untuk mengambil kebijakan penatalaksanaan dan pengendalian wabah penyakit rabies dalam program pencegahan penyakit rabies. Selanjutnya dapat meningkatkan surveilance terpadu dengan Dinas Peternakan dan Pertanian dalam penanganan kasus tersangka maupun penderita rabies. 2. Pemerintah Daerah. Sebagai informasi untuk mengaktifkan kembali tim koordinasi pemberantasan rabies (TIKOR) di bawah kendali pemerintah
Universitas Sumatera Utara
3. Masyarakat Meningkatkan motivasi kepada masyarakat tentang upaya pencegahan dan penanggulangan kasus gigitan hewan penular rabies terutama di lokasi endemis rabies, dilaksanakan secara terkoordinasi dengan instansi terkait. 4. Ilmu Pengetahuan Menjadi bahan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam upaya pemberantasan dan penanggulangan rabies melalui penyebaran informasi kepada seluruh masyarakat dan instansi terkait.
Universitas Sumatera Utara