Solusi: Membangun daerah dengan pendekatan lokal Oleh : Kristianto Simuru A. Pendahuluan Bagi kita yang sudah merasakan atau sempat mengecap atmosfir kehidupan diera resim orde baru tentunya akan familiar dengan istilah pelita atau pembangunan lima tahun bahkan kepala negara pada masa resim ini sempat diberi gelar bapak pembangunan. Akan tetapi slogan bapak pembangunan dan metode repelita ternyata bagi sebagian besar kalangan masyarakat dipandang belum mampu mengsejahterahkan masyarakat Indonesia bahkan puncaknya pada tahun 1998 indonesia mengalami krisis multidimensi yang ditandai dengan gejolak didalam masyarakat berupa; demonstrasi besarbesaran yang diprakarsai oleh para pemuda dan pelajar, melemahnya nilai tukar rupiah, meningkatnya harga Sembilan bahan pokok (sembako) dan lengsernya resim bapak pembangunan itu sendiri. Kejadian ini bagi beberapa kalangan pada masa tersebut sudah diramalkan akan terjadi karena strategi pembangunan sudah terlanjur jauh menyimpang dan tidak mungkin dapat diselamatkan lagi. Sehingga jalan satu-satunya adalah mendekonstruksi kembali seluruh element pemerintahan baik yang ada dilembaga yudikatif, legislatif maupun eksekutif dari tingkat akar rumput sampai pada tingkat elite dengan tidak ada pengecualian. Kegiatan ini kemudian dikenal dengan istilah reformasi disegala bidang Memasuki era reformasi bahkan pasca reformasi pembangunan secara nyata seolah-olah berjalan linear akan tetapi secara tersirat pembangunan justru berjalan ditempat bahkan dibidang tertentu pembangunan justru berjalan mundur. Hal ini mengisyaratkan bahwa strategi pembangunan yang digalakan kurang lebih menyerupai strategi yang diterapkan pada masa pemerintahan resim sebelumnya namun dikemas dalam bentuk yang baru Menurut suwondo (2004:57) reformasi yang tejadi di Indonesia saat itu merupakan bentuk reformasi yang “kebablasan”. Dikatakan demikian karena kebebasan dijadikan sebagai sebuah tujuan tanpa mengidahkan kaidah hukum. Seperti yang terjadi sejak kerusuhan anti Cina pada bulan mei 1998 disusul oleh tindakan-tindakan penjarahan terhadap milik negara seperti hutan negara (hutan lindung). Kebebasan yang kebablasan juga terjadi pada saat pemilu 1999 yang merupakan Pemilu pertama sesudah Orde Baru yang dianggap lebih demokratis namun menjadi terlalu bebas sehingga bentrokan antar massa pendukung parpol tidak dapat terelakan. Fenomena ini tidak dapat didiamkan begitu saja, olehnya kelompok akademisipun berpikir sedemikian rupa mengenai metode atau rancangan strategi pembangunan yang jitu untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dari strategi pembangunan yang sudah ada, namun pada akhirnya strategi-strategi tesebut hanya berhasil dalam tataran normatif atau kelompok tertentu saja. Misalnya solusi pembangunan dengan menggunakan pendekatan atau teori yang dikemukakan oleh pakar ilmu sosial bertaraf internasional seperti seperti Giddens dalam tulisannya tentang jalan ketiga, atau metode pemberdaayaan masyarakat fersi Jim Ife atau model dekonstruksi Derrida. Adapun alasan ketidakberhasilan mengeneralisasikan sebuah metode atau strategi pembangunan didalam masyarakat Indonesia, dikarenakan bangsa Indonesia secara gerografis telah diklasifikasikan dan diisolasi oleh alam sehingga membentuk adat kebiasaan lokal masing-masing. Kemajemukan bangsa Indonesia inilah yang sepatutnya harus disadari oleh tim perumus kebijakan, agar tidak bertindak gegabah, khususnya dalam menyikapi kebijakan-kebijakan yang bersifat formal dan menyangkut kesejahteraan hidup orang banyak Tulisan ini kemudian mencoba memahami pembangunan didaerah dengan menggunakan pendekatan lokal menurut fersi Jim Ife seorang pakar pemberdayaan masyarakat. Jim Ife dalam buku aslinya berjudul Community development: community-based alternatives in an age of globalization
1
mencoba menawarkan solusi pembangunan dengan menitik beratkan pada pemberdayaan masyarakat. olehnya tulisan-tulisan Jim Ife dalam bukunya tersebut secara keseluruhan ingin membahas bagaimana mengisi pembangunan dengan nuansa kerakyatan, sehingga esensi kata demokrasi itu sendiri dapat diterapkan. Dengan demikian pembangunan yang selama ini hanya bersifat top down dapat berubah menjadi menjadi pembangunan yang besifat bottom up atau pembangunan dari tingkat bawah (lokal). Akan tetapi pembangunan yang bersifat bottom up sangat sukar untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang telah terstruktur dari satu generasi ke generasi lainnya yang melihat segala sesuatunya secara top down, Sebab metode bottom up hanya dapat berhasil jika seluruh element dalam masyarakat baik ditingkat elite maupun ditingkat bawah dapat menghargai pengetahuan lokal sebagai salah satu tolak ukur disamping pengetahuan-pengetahuan yang besifat universal. B. Menghargai pengetahuan lokal Untuk memahami pemikiran Ife maka dalam tulisan ini penulis sengaja memberikan pengantar tulisan berupa dua contoh kasus menarik yang terjadi di masyarakat sebagai berikut : a. Seorang petugasi penyuluhan (PPL) dengan niat yang baik ingin menunjukan pada masyarakat disebuah desa tentang cara bercocok tanam padi yang baik dan benar. Si petugas kemudian menggunakan sebidang tanah untuk tanaman percontohan. Selanjutnya dengan pemupukan dan perawatan yang baik menurut pedoman keilmuan yang dipelajarinya, tanaman padi disebidang tanah itu tumbuh dan berkembang dengan baik. Akan tetapi karena proses penanaman padi percontohan yang tidak berbarengan dengan tanaman padi penduduk lokal di desa setempat, menyebabkan ketika masyarakat lokal telah selesai memanen tanaman padi mereka, tanaman padi percontohan yang diupayakan oleh petugas PPL itu baru masuk tahap proses pematangan biji padi (menguning). Dikarenakan tanaman padi yang ada disekitar persawahan didesa tersebut tinggalah tanaman padi percontohan milik si petugas PPL, menyebabkan seluruh kawanan burung pemakan padi menjadikan area tamanan percontohan yang dibuat oleh petugas PPL itu sebagai bulan-bulanan mereka. Kejadian ini menyebabkan munculnya beberapa opini dalam masyarakat lokal yang menilai betapa “bodohnya” petugas PPL tersebut b. Pada tahun 2007 di kabupaten Poso diadakan kegiatan recovery ekonomi sebagai salah satu bentuk penyelamatan terhadap keadaan, ekonomi dikawasan kabupaten Poso yang semakin terpuruk pasca
konflik Poso yang telah berlangsung sejak tahun 1998. Bantuan recovery
ekonomi tersebut tidaklah main-main karena berjumlah miliaran rupiah. Adapun proses untuk mendapatkan dana dengan cara masyarakat harus membuat proposal untuk kegiatan ekonomi yang diajukan pada Pemda. Proses
pencairan dana tidak dibarengi dengan kegiatan “studi
kelayakan” apakah proposal yang diajukan layak untuk disetujui atau tidak. Celakanya lagi tindakan ini tidak dibarengi kegiatan “pengawasan” seperti studi kelayakan maupun pendampingan teknis dilapangan yang sungguh-sungguh dari si pemberi dana. Akibatnya sebagian besar dana recovery “diselewengkan” oleh oknum-oknum didalam masyarakat secara tidak bertanggung jawab ( bandingkan dengan tulisan anwar 2008ii). Bahkan dalam hal ini mereka tidak merasa terbeban untuk mempertanggung jawabkannya secara moral maupun secara hukum. Sebagai contoh: 1. Setiap masyarakat Poso yang memiliki kolam atau tambak ikan, mendapat bantuan dana recovery masing-masing sebesar 1 juta rupiah untuk perawatan kolam. Akan tetapi dalam kenyataannya total dana yang diperuntukan untuk perawatan kolam hanya sebesar Rp 100.000 yang diperuntukan bagi pembelian pellet (pakan ikan) sebanyak 1 karung.
2
Sedangkan sisa uang dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan konsumtif yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan upaya recovery kolam 2. Banyak oknum didalam masyarakat mengatasnamakan petani disekitarnya mengajukan proposal untuk mendapatkan dana bantuan recovery pertanian seperti obat-obatan,pupuk, sarana pendukung pertanian berupa hand tractor, mesin paras, dan alat semprot (hand sprayer) dan lain-lain. akan tetapi setelah bantuan material tersebut diperoleh oknum tersebut ternyata hanya menggunakan untuk kepentingan pribadi. 3. Banyak oknum penjual klontongan ( kios) mengajukan dana bantuan recovery untuk menambah modal usaha kios namun dalam kenyataanya dana yang dicairkan tidak digunakan untuk meningkatkan usaha kiosnya melainkan untuk tujuan lain. Ketiga contoh diatas ingin menunjukan bahwa ilmu pengetahuan yang besifat universal, niat baik yang sungguh-sungguh, dan bantuan modal dengan jumlah nominal yang fantastis belum dapat menjamin seseorang atau instansi yang bergerak dibidang pelayanan masyarakat (misalnya departemen sosial, NGOs, dan lain-lain) dapat berhasil sepenuhnya dalam meningkatkan pemberdayaan pembangunan dimasyarakat, khususnya pada tingkat masyarakat lokal. Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana 3 contoh diatas bisa terjadi. Menurut Ife terkadang didalam kegiatan pelayanan masyarakat kita cenderung merasa diri lebih special dari masyarakat itu sendiri karena pengetahuan kita. Akibatnya kita secara tidak langsung telah mendevaluasi pengetahuan lokal masyarakat. Kecenderungan perilaku seperti ini menutut Chambers, 1993 (dalam Ife: 224) dikarenakan gagasan menjadi seorang ahli biasanya lebih diterapkan kepada orang yang telah mengalami kursus pendidikan formal tertentu, yang memiliki gelar atau diploma atau merupakan anggota dari suatu kelompok profesi yang dikenal. Gagasan keahlian seperti itu didasarkan atas suatu jenis pengetahuan lain, yaitu pengetahuan yang jauh terpisah dari keadaan lokal dan dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat universal.
Perilaku seperti ini merupakan salah satu bentuk sikap tidak menghargai pengetahuan lokal bahkan justru memarginalkan nilai-nilai lokal. Menurut Ife ada 4 alasan yang menyebabkan nilai-nilai lokal termarginalkan: 1. Sosialisasi professional dari pekerja masyarakat yang sering kali dilatih dalam satu satu profesi layanan kemanusiaan misalnya pekerjaan sosial, keperawatan, pendidikan, psikologi dan lain lain dalam gagasan kualifikasi professional tersebut terkandung suatu gagasan tentang keahlian-pengetahuan professional
untuk kepentingan
spesialis yang diterapkan
oleh tenaga
kliennya. Ketika mempertanyakan keabsahan atau
relevansi dari kualifikasi itu sendiri berarti telah memberikan suatu perasaan legitimasi dan kepercayaan diri. oleh kerena itu, adalah wajar bagi seorang pekerja menilai tinggi pengetahuan eksternalnya, dan biasanya itu universal dan karena itu merendahkan nilai pengetahuan lokal masyarakat. 2. Masyarakat cenderung memposisikan pengetahuan dalam ruang lingkup berstandar umum (universal) seperti informasi yang memiliki variabel yang dapat diukur secara statistik, bersifat ilmiah, dan standar-standar kajian umum lainya. Olehnya jika sebuah pengetahuan didasarkan diluar ketentuan yang bersifat universal maka masyarakat cenderung tidak memakainya sebagai acuan. Celakanya banyak informasi pengetahuan lokal berada pada ranah non universaliii. 3. Menurut weber 1970 (dalam Ife: 248 ), Sebuah kelasiman dalam organisasi top down untuk memperlakukan mereka yang berada dipuncak organisasi dengan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh mereka yang berada ditingkat paling bawah yang identik dengan
3
kelompok lokal akibatnya kelompok grass root ini selalu dimarjinalkan karena status dan power yang lemah 4. Posisi pengetahuan lokal dengan slogan masyarakat paling tahu semakin terjebit dikarenakan para profesional, politisi, akademisi, peneliti, analis kebijakan, birokrat dan lain lain yang memegang kekuasaan, telah terbiasa dengan gagasan bahwa “merekalah yang tahu dan bahwa peran merekalah yang menyebabkan sesuatu terjadi”. Haug 2000 dan Camptens 1997 (dalam Ife:249) mengatakan salah satu contoh kongkrit
sikap
menghilangkan pegetahuan atau nilai lokal dapat ditemui ketika hendak menyelesaikan sebuah kasus permasalahan. Terkadang masyarakat secara spontan langsung meminta jasa-jasa konsultan eksternal. Hal ini menyebabkan terjadinya sebuah paradigma berpikir dikalangan masyarakat lokal bahwa:
Tidak ada orang dalam masyarakat yang mempunyai pengetahuan yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut
kepakaran yang dibutuhkan dapat disediakan oleh seseorang diluar konteks lokal dengan demikian akan menetapkan pengetahuan yang dibutuhkan sebagai sesuatu yang universal bukan bersifat lokal
Oleh sebab itu menurut pemikiran Ife agar nilai-nilai kelokalan didalam sebuah masyarakat dapat berkembang dengan baik maka penting sekali untuk bisa menghargai: 1. Kebudayaan lokal Kleymeyer 1994 (dalam Ife:250) mengatakan kebudayaan lokal dalam suatu masyarakat dapat terkikis oleh adanya pemaksaan nilai-nilai dominan dari luar yang sifatnya universal, sehingga menyebabkan berkurangnya esensi dasar dari kebudayaan lokal. Benturan-benturan tersebut seringkali dijumpai dalam kehidupan sehari hari misalnya dalam kasus sebagai berikut:
Cara yang benar mengerjakan sesuatu
Tentang apa yang adil atau baik
Tentang apa yang penting
Tentang protocol dalam komunikasi antar pribadi
Tentang tempat perempuan
Tentang cara yang benar membesarkan anak
Tentang peran keluarga
Tentang tempat kaum lanjut usia dalam masyarakat
Tentang pentingnya pendidikan
Adapun penyebab benturan sosial dikarenakan seseorang atau instansi kelompok tertentu, selalu membawa metode solusi penyelesaian masalah dengan mengesampingkan nilai-nilai kelokalan yang ada dalam masyakat karena dipandang tidak mencerminkan nilai universal. Padahal tidak semua metode pendekatan yang ditawarkan oleh kelompok masyarakat lokal selalu bernilai negatif. Sehingga ketika akan memutuskan sebuah metode atau jenis pendekatan, maka hendaknya seseorang atau kelompok yang independent
selalu memposisikan HAM sebagai
filternya. Karena menurut Ife (hal: 252), Ada dua hal penting mengenai kebudayaan yang tidak boleh dikesampingkan dalam penilaian yakni sebagai berikut :
Suatu kebudayaan tidak pernah statis (karena nilai-nilai praktik kebudayaan diuji atau dipertandingkan dalam lingkup masyarakat) dan tantangannya adalah menolong masyarakat terlibat dengan proses perubahan kebudayaan dengan suatu cara yang kolektif dan membangun
4
Tidak ada kebudayaan yang monolitis, sebab akan selalu ada orang dalam masyarakat yang tidak sepenuhnya setuju dengan nilai-nilai kebudayaan dominan (universal) dan yang tidak terlibat dalam praktik kebudayaan tertentu.
2. Menghargai sumber daya lokal Tujuan akhir dari pembangunan dari bawah (bottom up) adalah menciptakan kemampuan masyarakat untuk berswadaya. Menurut Ife (hal:154) ketika masyarakat telah berswadayaiv maka dengan sendirinya mereka dapat menyadari potensi diri, harga diri, kebanggaan dalam lingkungan masyarakat dan esensi dari kebebasan. Point-point ini sebelumnya tidak dapat disadari oleh masyarakat karena mereka hanya bergantung pada sumber-sumber eksternal saja. Olehnya sangat penting mengembangkan dan mengamankan sumberdaya lokal secara kreatif 3. Menghargai keterampilan lokal Selanjutnya menurut Ife (257) salah satu bentuk penghargaan terhadap sumberdaya lokal yakni dengan menghargai keterampilan lokal. Keterampilan lokal dinilai sangat memadai dikarenakan setiap masyarakat lokal telah mengalami sendiri kemapuan tersebut, khususnya kemampuan dalam mengelola sumber-sumber daya lokal yang ada disekitarnya. Olehnya jika seseorang atau instansi ingin berpartisipasi dalam pengembangan masyarakat maka sekurangkurangnya mereka harus dapat melakukan tindakan kompromi seperti kegiatan share pengalaman. 4. Menghargai Proses lokal Menurut Ife (259) Seorang pekerja pengembangan masyarakat bukalah aktor bebas yang hanya selalu mengikuti agendanya sendiri, melainkan ia harus selalu dapat menyediakan waktu dan menerima kesulitan-kesulitan untuk memahami sifat dari masyarakat lokal, Seperti tujuan dan aspirasi warga dan cara-cara berfungsinya. Hal ini sangat penting artinya guna mengarahkan mereka dalam perjuangan dan pergerakan kearah yang samav. Bahkan Haug, 2000(dalam Ife:260) lebih tegas menyebutkan bahwa pengalaman masyarakat lokal harus disahkan dan digunakan sebagai titik awal bagi setiap pekerjaan pengembangan masyarakat C. Kesimpulan Dengan menyadari kemajemukan didalam kehidupan masyarakat Indonesia, maka dibutuhkan sekurang-kurangnya sikap toleransi terhadap nilai lokal. Karena bagaimanapun juga nilai kelokalan secara historis telah diterapkan oleh masyarakat lokal sejak zaman dimana metode-metode universal belum dikenal dengan luas (digeneralisasikan melalui ilmu akadamis). Meskipun demikian tidak semua nilai-nilai kelokalan yang ada dimasyarakat, terbukti mampu mendukung terciptanya pembangunan kearah yang lebih baik hal ini ditegaskan oleh Bourdeu (dalam Ritzer Cs:524) yang mengatakan bahwa “orang tidaklah bodoh”namun, orang juga tak rasional sepenuhnya, aktor bertindak menurut cara yang “masuk akal” (rasionable), mereka mempunyai perasaan dalam bertindak; ada logikanya dalam bertindak; itulah “logika tindakan”. Ini berarti solusi membangun daerah dengan memperhatikan nilai kelokalan patutlah menjadi bahan reverensi yang relevan. D. Daftar pustaka :
Rizer,George.J,Douglas.Goodman. Teori Sosiologi Moderen edisi ke enam.2004.Kencana prenada media group. Jakarta.
Suwondo,Kutut.Otonomi Daerah dan Perkembangan civil society diaras lokal. 2005.Mitra Satya.Salatiga
Ife, Jim & Tesoriero, Frank. Community development: Alternative pengembangan masyarakat di era globalisasi edisi ketiga. Pustaka Pelajar,Yogyakarta 2008
5
i
Kejadian ini benar-benar terjadi disebuah desa di kabupaten Poso, namun karena alasan privacy, penulis tidak mau mencantumkan nama petugas PPL dan Desa tempat petugas tersebut melakukan kegiatan praktek bercocok tanam padi
ii
Anwar kholir dan tim koordinasi penanggulangan kemiskinan,2008 dalam tulisanya disitus www.tkpri.org. menjelaskan penyaluran dana recovery senilai Rp 58 miliar yang dikucurkan oleh Pemerintah pusat melalui kementerian dan koordinator kesejateraan rakyat (menkokesra) untuk pemulihan ekonomi masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Poso diduga dikorupsi. Indikasi terjadinya korupsi terjadi pada penyaluran dana bantuan koperasi yang tidak jelas dan biaya pelatihan pertahanan Sipil (Hansip) senilai 8,5 miliar. Dalam penyaluran bantuan koperasi dikatakan seharusnya setiap koperasi memperoleh bantuan sebesar Rp 100 juta, namun kenyataanya ada beberapa koperasi hanya menerima bantuan Rp 50 juta - Rp 70 juta. Bahkan dari data yang berhasil dihimpun oleh beberapa wartawan lokal, mengungkapkan ada salahsatu koperasi di Poso Kota menerima bantuan dari dana recovery sebesar Rp 200 juta, sedang laporan lain mengungkapkan dari 57 koperasi yang menerima bantuan, sebanyak 27 diantaranya dipotong masing-masing Rp 25 juta. iii
Adapun beberapa pengetahuan lokal yang tak tersentuh oleh Knodtson &Suzuki,1992 diantaranya seperti music lokal, seni lokal, teater lokal, puisi-puisi lokal, gunung-gunung, laut, hutan, binatang, tarian, cinta, tawa, permainan dan cerita rakyat iv
Menurut Kelly 1992(dalam Ife:154) keswadayaan berati bahwa masyarakat pada hakekatnya bergantung pada sumber daya mereka sendiri ketimbang bergantung pada sumber daya yang diberikan secara eksternal.
v
Menurut ( McCowan,1996:259) proses –proses yang digunakan dalam pengembangan masyarakat tidak perlu di impor dari luar, karena mungkin terdapat proses-proses masyarakat lokal yang dimengerti dan diterima dengan baik oleh masyarakat lokal
6