BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Demonstrasi atau unjuk rasa, sudah menjadi cara yang dilakukan oleh rakyat untuk menuntut haknya, maupun saat terdapat suatu kebijakan yang dianggap tidak mensejahterakan kelangsungan hidup mereka sesuai paham demokrasi sesungguhnya. Persoalan ini pun, melatarbelakangi aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat Indonesia, terhadap kebijakan pemerintah yang akan diimplementasikan pada awal April 2012, untuk menaikkan harga BBM guna menjaga kestabilan perekonomian bangsa.1 Terkait persoalan tersebut, aksi unjuk rasa terjadi hampir di seluruh penjuru negeri Indonesia, oleh berbagai elemen masyarakat maupun kelompok akademis dari berbagai lembaga pendidikan, dengan variannya masing-masing. Mahasiswa sebagai salah satu kelompok pengunjuk rasa, merupakan golongan idealis dalam masyarakat dan generasi penerus bangsa. Mereka juga diharapkan menjaga keseimbangan sosial dengan menjadi “palu” bagi pemerintah, jika terdapat, kesenjangan dan ketimpangan oleh pemerintah terhadap rakyat. Dengan bertindak sebagai mediator antar pemerintah dan rakyat, sekaligus wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.2 Gerakan mahasiswa dalam bentuk unjuk rasa ini seolah menampilkan wajah demokrasi yang sesungguhnya, sebab berdasarkan konstitusi, unjuk rasa atau demonstrasi telah mendapatkan legalitas oleh negara. Berdasarkan perundangan tersebut, berbagai elemen khususnya mahasiswa menggunakan dasar itu sebagai dalih melakukan aksi unjuk rasa.3
1
Edy Rahmat, “Catatan Naiknya Harga BBM”, kompas.com, Kamis, 27 Maret 2012. Syakir, “Mahasiswa adalah Agen Perubahan”, mapribel.wordpress.com. Senin, 23 Mei 2011. 3 Ardiansyah Jasman,“Demonstrasi Mahasiswa dan Peranan Media Massa”, Kompasiana.com, 27 Maret 2012. 2Abdul
Pondasi gerakan mahasiswa diklaim oleh mereka berasal dari sebuah mandat sosial yang telah rakyat berikan. Dalam hal ini, sepertinya rakyat percaya bahwa sebagai kaum intelektual, yakni khususnya mahasiswa memiliki sifat kritis, cerdas dan berani yang diproyeksi mampu mengawal kepentingan rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Untuk memperjuangkan hak-hak konstitusional rakyat, yaitu hidup sejahtera, tidak heran, nama rakyat selalu terselip disela-sela orasi mahasiswa dalam setiap aksi unjuk rasa yang digelar.4 Peranan media massa dalam mengabarkan situasi unjuk rasa mahasiswa, telah dimulai dari aksi yang masih tertib dengan tujuan awal unjuk rasa yakni penyampaian aspirasi kepada pemerintah, hingga berujung anarkis dan merugikan banyak pihak seperti tindakan, pemblokadean jalan raya, penyanderaan kendaraan (truk pertamina, mobil dinas dan pribadi), pemukulan terhadap warga sekitar lokasi, penjarahan, hingga bentrokan dengan pihak keamanan. 5 Situasi ini pun tentunya mendapat perhatian besar dari media, untuk diinformasikan pada publik secara berlanjut. Hasil liputan media massa dalam menyoroti aksi unjuk rasa, terlebih lagi adanya situasi yang menyimpang tersebut, menjadikan media yang tidak lagi fokus pada subtansi unjuk rasa yang ingin disampaikan, melainkan aksi brutalisme lebih memiliki nilai berita dibanding isu sosial yang diperjuangkan mahasiswa. Situasi ini pun menjadi sangat ironis bagi mahasiswa. Dalam posisi demikian, unjuk rasa mahasiswa mengalami penyimpangan makna, akibat peliputan media massa yang kurang memahami subtansi unjuk rasa mahasiswa. Akibatnya isu subtansi unjuk rasa yang diusung oleh mahasiswa menjadi buram di mata rakyat, hingga membentuk persepsi buruk tentang aksi unjuk rasa. Terlebih
4
Ibid. Andi Fadlan Irwan, “Hentikan Aksi Demo Mahasiswa Sekarang Juga”, Kompas.com, Rabu 21 Maret 2012.
5
lagi jerih payah mahasiswa dalam memperjuangkan keadilan dan kesejahteran bagi rakyat, menjadi timpang dengan realitas yang diekspose berbagai media massa.6 Surat kabar harian Kompas telah mengikuti awal latar belakang terangkatnya isu kenaikan harga BBM. Seperti dalam pemberitaan mengenai penentuan kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, karena krisis di Timur Tengah.7 Suara pro dan kontra, hingga mengundang silang pendapat antar berbagai disilpin ilmu dan elemen masyarakat. Beserta aksi yang diwujudkan oleh kedua belah pihak agar pendapatnya diterima dan dilaksanakan, seperti upaya sosialisasi kebijakan oleh pihak yang pro dan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh pihak yang kontra, maupun debat opini kedua belah pihak yang disiarkan dan diberitakan.8 Diberitakan juga puncak dari gerakan unjuk rasa massal dengan jumlah massa besar, berlangsung selama hampir sepekan, di akhir Bulan Maret 2012. Gerakan tersebut berlangsung menjelang Sidang Paripurna DPR RI, 31 Maret 2012 guna memutuskan kenaikan harga BBM, yang akan diberlakukan pada 1 April 2012.9 Peristiwa ini menjadi perhatian besar di Indonesia, karena bukan hanya mahasiswa, namun terdapat juga anggota partai politik, buruh dan masyarakat terkait lainnya. Kelompok pengunjuk rasa ini, tergabung menjadi 1 kelompok massa besar dan beraksi di lokasi titik pusat pemerintahan (Gedung DPR, Istana Negara, dan Instansi pemerintah bersangkutan).10 Menanggapi situasi ini, pemerintah Indonesia menyiagakan pihak keamanan dari Kepolisian, yang diturunkan dalam setiap tempat aksi unjuk berlangsung. Dan mahasiswa menjadi pihak yang mendapatkan prioritas utama dalam pengawasan serta penertiban, jika terjadi tindakan anarkis. Selain pihak kepolisian, pemerintah juga mensiagakan Brimob 6
Ardiansyah Jasman. Op. Cit. Opini, “Menalar Logika Kenaikan Harga BBM”, repdemnews.com, Jumat, 16 Maret 2012. 8 Tajuk Rencana, “Soal Sekitar Kenaikan BBM”, Koran Kompas, Rabu 14 Maret 2012. 9 _____________“Mengakhiri Ketidakpastian”, Koran Kompas, 30 Maret 2012, Hal 6. 7
10
dan TNI-AD, jika tindakan anarkis tak terkendali atau brutal oleh pengunjuk rasa dalam jumlah massa yang besar.11 Dengan situasi unjuk rasa yang berlangsung anakris, dan ditambah dengan pengeksposean yang terdokumentasikan bagi publik, menjadikan situasi ini mendapat perhatian dari berbagai pihak pada aspek politik, pendidikan, sosial dan budaya. Bahkan, konsentrasi informasi bangsa Indonesia saat itu terpusat pada situasi unjuk rasa yang semakin mengkhawatirkan dan meresahkan. Kritikan dan himbauan pun disampaikan lewat media, agar pengunjuk rasa yang sebagaian besar dari kalangan mahasiswa, bisa tertib.12 Sikap pemerintah RI dalam mengantisipasi hingga menertibkan pengunjuk rasa, serta sorotan media dalam wacananya. Secara tak langsung ingin menyatakan bahwa pengunjuk rasa yang sebagian besar mahasiswa merupakan kelompok yang sering menimbulkan kericuhan dan biang dari peristiwa bentrokan dengan aparat keamanan. Hal ini tentunya sangat merugikan bagi pihak mahasiswa, karena dimarjinalkan oleh pemerintah maupun media massa. Pada surat kabar harian Kompas, pernyataan sebelumnya didukung dalam wacana tertulis dalam pemberitaannya yang dijadikan sebagai headline surat kabar beberapa hari, selama dalam puncak dari aksi unjuk rasa, 27 hingga 31 Maret 2012. Dalam berita headlinenya disebutkan pengunjuk rasa terdiri dari berbagai elemen masyarakat, namun mahasiswa lebih disorot dan terlihat dimarjinalkan dengan penggunaan kosakata dan bentuk kalimat dalam bahasa jurnalistiknya. Jika dibaca sebagai pemenuhan kebutuhan akan informasi, bahasa yang digunakan Kompas bersifat netral, berimbang dan jelas. Namun, dengan pandangan kritis Roger Fowler, setiap kosakata dan bentuk kalimat yang
11 12
Berita Politik,“Antisipasi Demo Tolak Kenaikan Harga BBM”, Koran Kompas, Selasa 6 Maret 2012, Hal 4. Andi Fadlan Irwan, Op. Cit.
digunakan media, khususnya dalam teks berita ialah cerminan ideologi dari pihak media, untuk mempengaruhi atau membentuk pola pikir khalayak, khususnya mengenai mahasiswa.13 Karena itu, dapat dikatakan bahwa pola pikir khalayak Kompas sebenarnya diatur oleh media Kompas dengan fakta yang diangkat sebagai pemberitaannya. Untuk mendukung praktik ini, maka media memerlukan startegi kewacanaan dan pilihan kebahasaan jurnalistik sebagai penggiring pandangan khalayak. Pernyataan sebelumnya tentunya tidak sekedar pengklaiman saja, namun bisa dibuktikan dengan pandangan kritis Roger Fowler yang melihat setiap wacana media tidaklah netral, karena kosakata dan bentuk kalimatnya merupakan cerminan ideologi dari media. Untuk menyebarkan ideologi ini, tentunya juga media menyediakan strategi wacana, pada teks beritanya yang memiliki keterkaitan untuk memarjinalkan mahasiswa maupun wacana pendukung lainnya sebagai keterangan atau penjelas. Hal ini dapat dilihat dari beberapa berita headline yang telah dipublikasikan. Salah satu contohnya adalah pada berita headline pada hari Rabu, tanggal 28 Maret 2012, berjudul “Bentrok Di Beberapa Tempat” yang menggambarkan mahasiswa dengan kosakata “Sebagian Besar dan Sekelompok”. Penggunaaan kosakata ini dapat dikatakan sebagai sebuah strategi wacana yang bersifat abstraktif, karena penulis berita merealisasikannya dalam tulisan menggunakan perkiraannya saat melihat mahasiswa sebagai salah satu aktor pengunjuk rasa. Ideologi yang terkandung dalam kosa kata ini ialah jumlah mahasiswa yang melakukan unjuk rasa tidaklah dapat diprediksi jumlahnya, dan mereka selalu bergerak dalam jumlah yang terbilang abstraktif.14 Contoh lainnya ialah penamaan peristiwa yang terjadi berdasarkan sebab akibat dari tindakan mahasiswa, yaitu dari judul berita “Bentrok Keras Terjadi Lagi” pada hari
13 14
Eriyanto, “Analisis Wacana–Pengantar Analisis Teks Media”, (Yogyakarta: LKiS, 2001), Hal. 347. Berita headline “Bentrok Di Beberapa Tempat” Koran Kompas, 28 Maret 2012, hal 1&15.
Jum’ad 30 Maret 2012, dengan kosakata yang berbunyi “Bentrok Keras”. Kosakata ini menggambarkan peristiwa yang terjadi antara dua pihak (mahasiswa dan aparat kepolisian) dengan tingkat aktivitas diatas rata-rata atau peristiwa bentrokkan pada umumnya, selain itu juga menggambarkan bahwa peristiwa ini merupakan lanjutan dari peristiwa sebelumnya. Muatan ideologi singkatnya yang ingin disampaikan ialah, mahasiswa sebagai kaum inteletual bisa menyebabkkan peristiwa bentrok dengan tingkat tersebut dengan menghadapi polisi, sehingga polisi dan mahasiswa sepertinya memiliki keseimbangan kekuatan dalam bentrokkan tersebut. Jadi mahasiswa merupakan sosok yang patut diperhitungkan saat melakukan unjuk rasa yang berujung anarkis.15 Selanjutnya mengenai bentuk kalimat yang memarjinalkan mahasiswa, dan salah satu bentuk kalimat yang dapat ditemukan terdapat pada berita berjudul “Bentrok di Beberapa Tempati” dengan bentuk kalimat sebagai berikut, “Dalam bentrokan itu, puluhan mahasiswa terkena pukulan aparat”. 16 Penggambaran mahasiswa sebagai salah satu aktor pengunjuk rasa dalam bentuk kalimat ini dimarjinalkan dengan menempatkannya sebagai subjek atau pokok pembicara dalam bentuk kalimat pasif tersebut. Jadi dengan membaca nya, khalayak akan terlebih dahulu menyoroti keterangan dan subjek pada kalimat, selain itu objek kalimat yang sebenarnya dianggap sebagai pelaku tindakan peristiwa pemukulan terlihat menjadi tak bersalah ataupun bisa dianggap wajar. Ideologi yang terkandung dalam wacana-wacana berita headline sebelumnya, lebih menyoroti pencitraan dan memberitahukan bahwa mahasiswa sebagai salah satu aktor pengunjuk rasa merupakan sebuah massa yang tak terhitung jumlahnya, dan kerap dalam unjuk rasanya melakukan tindakan anarkis dan brutal. Oleh karenanya, pihak yang tepat untuk menghentikan atau menertibkan mereka ialah pihak kepolisian maupun Brimob dan
15 16
Berita Headline “Bentrok Keras Terjadi Lagi” Koran Kompas, 30 Maret 2012, hal 1&15. _____________, “Bentrok di Beberapa Tempat”, Koran Kompas, 28 Maret 2012, hal 1.
TNI, dengan segala instrumennya yang diperlukan, hingga terdapat korban alam aksi tersebut. Semua rangkaian kosakata dan bentuk kalimat yang digunakan oleh surat kabar harian Kompas dalam memarjinalkan salah satu aktor pengunjuk rasa, yakni mahasiswa adalah sebuah bentuk praktik kebahasaan yang menghasilkan pandangan tertentu atau ideologi mengenai mahasiswa. Terlebih lagi dengan realitas atau peristiwa yang tiap harinya berkelanjutan dan mengalami perkembangan. Jadi tak heran bahwa setiap harinya terdapat ideologi baru dalam memarjinalkan mahasiswa sebagai strategi wacana pada berita-berita headline surat kabar harian Kompas. Terangkatnya topik ini untuk diteliti, berdasarkan beberapa hal mendasar dan alasan yang terdapat pada media massa dan mahasiswa. Pertama, media masa sebagai penyampai informasi juga merupakan alat pendidik bagi masyarakat. Namun, dari pola pembahasaannya yang lebih mementingkan informasi, menjadikan media massa mengutamakan nilai berita dan melakukan praktik kebahasaan yang tak sesuai dengan tatanan bahasa Indonesia yang baku.17 Sehingga dapat dikatakan dari tata bahasa yang digunakan media massa memiliki kepentingan tertentu untuk menyebarkan ideloginya. Kedua, unjuk rasa selalu diidentikan dengan mahasiswa, terlebih lagi hingga berujung anakris. Stigma ini tentunya tidak tercipta begitu saja, melainkan karena pengeksposean media massa yang melihat informasi sesuai angle dan nilai berita tertentu.18 Terlebih lagi representasi mahasiswa yang dibahasakan dalam wacana merupakan cerminan ideologi dari media untuk membentuk atau mempengaruhi pola pandang khalayak. Selain alasan pemilihan topik penelitian ini, terdapat pula beberapa rujukan penelitian kritis pada wacana media, yang menyimpulkan bahwa media massa melakukan 17
Tri Adi Sarwoto, “Inilah Bahasa Indonesia Jurnalistik”, (Jakarta: ANDI, 2007), Hal 9-10. Widodo, “Teknik Wartawan Menulis Berita Di Surat Kabar Dan Majalah”, (Surabaya: Indah Surabaya, 1997) Hal 7. 18
praktik kebahasaan dengan merepresentasikan aktor tertentu, sebagai cerminan ideologi media yang disampaikan dalam tata bahasanya. Pertama, skripsi yang berjudul “Marjinalisasi Wanita Dalam Wacana Media” pada surat kabar harian Pos Kupang. Dalam kajiannya yang menggunakan kerangka analisis Roger Fowler dkk, peneliti menemukan bentuk representasi terhadap wanita pada wacana berita asusila yang memarjinalkan dengan ideologi yang terkandung didalam wacana tersebut.19 Kedua, skripsi yang berjudul “Polemik Seputar Pemaafan dan Kasus Hukum Mantan Presiden Soeharto pada Wacana Media” pada surat kabar harian umum kompas. Dalam kajiannya peneliti menggunakan kerangka analisis Teun Van Djik pada tingkat mikro, untuk menganalisis tata bahasa Kompas untuk mengetahui struktur sintaksis dan semantik yang digunakan.20 Meskipun sudah menjadi syarat dan tugas bagi setiap media untuk menyajikan “pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas, dengan keakuratan dan sikap jujur dalam mengemukakan fakta. Fakta harus dikemukakan sebagai fakta, sedangkan pendapat harus dikemukakan sebagai pendapat.21 Namun, Dari kedua skripsi yang disebutkan sebelumnya, dengan pendekatan pandangan kritis, peneliti menemukan adanya praktik tertentu pada wacana medianya. Hal ini tersaji jelas pada kesimpulan nya yang juga menjadi kesamaan dari kedua penelitian ini, yang mengatakan bahwa media massa melakukan praktik kebahasaan untuk menyebarkan ideologinya lewat penggunaan kosakata dan bentuk kalimat yang terdapat unsur sintaksis dan semantinya sebagai pilihan media.
19
Gafry Ama Doken. Marjinalisasi Wanita Dalam Wacana Media. Skripsi (Kupang: Jurusan ilmu komunikasi FISIP UNWIRA) 2011 20 Yohanes Musen Ola B. Ama. Polemik Seputar Pemaafan dan Kasus Hukum Mantan Presiden Soeharto pada Wacana Media. Skripsi (Kupang: Jurusan ilmu komunikasi FISIP UNWIRA) 2011) 21 William L. Rivers, et, al, “Media Massa Dan Masyarakat Modern”, (Edisi Kedua, Jakarta: Prenada Media, 2003), Hal 105.
Praktek kebahasaan merupakan praktek pembentukan makna simbolis yang didalamnya penuh dengan banyak kepentingan.22 Ketika media menyajikan suatu wacana, pada saat yang sama, media pun memproduksi dan mendistribusi berbagai pesan yang berguna bagi kehidupan masyarakat. Karenanya pula media berperan memproduksi dan mereproduksi ideologi bagi masyarakat. Media massa, khususnya media cetak merupakan salah satu wadah diskursus yang dianggap memiliki kekuatan. Karena itu media menjadi perhatian studi-studi kritis dalam berbagai disiplin ilmu termasuk studi diskursus.23 Jadi untuk mengungkap marjinalisasi dalam startegi kewacanaan dengan muatan ideologi terhadap mahasiswa sebagai subjek, maka kajian analisis dengan pandangan kritis Roger Fowler dkk adalah salah satu model pendekatan yang tepat. Hal ini terlihat dari penamanan aktor dan peristiwa yang terjadi dengan kosakata tertentu, hingga penggunaannya pada rangkaian kalimat berita-berita headline.
1.2.Fokus Kajian Penelitian Dengan memahami bahwa, setiap media tidaklah netral karena terdapat praktik kebahasaan dengan muatan ideologi tertentu, maka diperlukan sebuah kajian yang digunakan untuk membongkar dan mengetahui praktik tersebut24. Jadi, berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, fokus kajian yang menjadi penelitian ini adalah “Bagaimana Mahasiswa Dimarjinalkan Dalam Strategi Wacana Surat Kabar Harian Kompas”.
22
Yoseph Andreas Gual. Pencitraan Media Massa Terhadap Pasangan Calon Walikota Dan Wakil Walikota Kupang Periode 2007-2012. (Penfui, Kupang: Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Katolik Widya Mandira), 2010. 23 Eduardus Dosi, “Media Massa Dalam Jaring Kekuasaan”, (NTT, Ledalero), Hal. 36 24 Eriyanto, Op. Cit, Hal. 57-59.
1.3.Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini, yang berkenan untuk mengetahui: 1. Praktik kebahasaan dalam strategi wacana sebagai cerminan ideologi Kompas mengenai mahasiswa, hingga membentuk pandangan masyarakat atau khalayak, dengan memarjinalkan mahasiswa dalam berita-berita headline mengenai unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM, baik pada penggunaan kosakata dan bentuk kalimat. 2. Untuk mendapatkan gambaran mengenai penggunaan bahasa jurnalistik sebuah wacana pada berita surat kabar, yang memarjinalisasikan suatu aktor dan peristiwa, khususnya sesuai dengan perhatian penelitian ini dalam realitas unjuk rasa menolak rencana kenaikan harga BBM, yang memarjinalisasi mahasiswa sebagai salah satu aktor pengunjuk rasa dalam strategi wacana berita-berita headline Kompas.
1.4.Ruang Lingkup Fokus Kajian Kegunaan ruang lingkup adalah untuk membatasi aspek yang diingin diteliti sesuai fokus kajian dan tujuan dari penelitian yang dilakukan25. Sehingga dalam penelitian ini ruang lingkup kajiannya adalah pada berita-berita headline surat kabar harian Kompas edisi dari tanggal 27-31 Maret 2012. Diantaranya meliputi teks berita-berita headline yang terangkaikan dalam pilihan kata dan bentuk kalimat.
1.5.Kegunaan Penelitian 1.5.1. Kegunaan Teoritis Dari segi pengembangan ilmu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan bagi jurusan Ilmu Komunikasi, khususnya dalam melakukan penelitian 25
Burhan Burgin, “Analisis Data Penelitian Kualitatif”, (Jakatra: Raja Grafindo Persada, 2003) Hal 44.
pada wacana media cetak surat kabar, mengenai praktik marjinalisasi terhadap aktor tertentu dalam teks berita. Dalam penelitian ini, calon peneliti menggunakan pandangan kritis dengan tinjauan analisis wacana kritis menurut Roger Fowler dkk, untuk mengkaji proses marjinalisasi terhadap mahasiswa pada berita-berita headline surat kabar harian Kompas dalam strategi wacana yang menghasilkan ideologi mengenai mahasiswa bagi khalayak pembaca dan masyarakat, sehingga calon peneliti dapat mengungkap praktik kebahasaan yang digunakan. Selain itu tentunya, juga untuk menambah pengetahuan dalam menginterpretasi bahasa jurnalistik sebuah wacana pada berita surat kabar.
1.5.2. Kegunaan Praktis Penelitian ini juga diharapkan menjadi sumber pembelajaran bagi semua pihak, khususnya khalayak pembaca media cetak (surat kabar harian) untuk selalu kritis dalam melihat bahasa yang digunakan pada wacananya.
1.6.Kerangka Pemikiran, Asumsi, dan Hipotesis Penelitian 1.6.1. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran ini berdasarkan pada sebuah realitas yang direfleksikan melalui berita-berita headline mengenai unjuk rasa menolak rencana kenaikan harga BBM yang dipublikasikan oleh salah satu media cetak swasta nasional, yaitu surat kabar harian Kompas. Dalam pemberitaannya, realitas yang dituangkan dalam bentuk teks menggunakan bahasa, mengandung representasi-representasi yang diciptakan tidak hanya sekedar sesuai realitas, namun mampu memberikan
kontribusi dalam pengkonstruksian sebuah realitas, seperti representasi terhadap salah satu aktor pengunjuk rasa (Mahasiswa). Menurut kajian analisis Roger Fowler dkk setiap wacana dalam berita tidaklah netral, hal ini tergambarkan dalam representasi kosakata dan bentuk kalimat yang digunakan.26 Kosakata merupakan kajian pertama yang ingin dilihat, bagaimana peristiwa dan aktor dimarjinalkan dengan praktik kebahasaan Kompas, khususnya mahasiswa dalam unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM. Dengan kosakata sebagai instrumen, peneliti bermaksud akan menganalisis pilihan kata yang digunakan oleh Kompas. Kedua ialah bentuk kalimat yang menjadi perhatian peneliti yaitu, adalah model Transformasi diantaranya, bentuk kalimat pasif dan nomina, pada beritaberita headline unjuk rasa. Kajian ini melihat tata bahasa sebagai medan wacana. Model transformasi berkaitan dengan bentuk kalimat pasivasi dan nominalisasi. Karena dalam bentuk kalimat terdapat pilihan sintaksis yang juga memiliki makna semantik27. Penyusunan kata menjadi kalimat dalam berita unjuk rasa merupakan praktik bahasa yang digunakan media, sehingga peneliti bermaksud menganalisa bentuk kalimat dengan model transformasi ini. Berdasarkan tinjauan analisis Roger Fowler dkk sebelumnya, maka peneliti akan melakukan interpretasi terhadap pilihan kosakata dan bentuk kalimat dalam berita-berita headline mengenai unjuk rasa. Yang di dalamnya memarjinalkan salah satu aktor pengunjuk rasa, yakni mahasiswa saat menolak rencana kenaikan harga BBM, dengan praktik kebahasaan. Pada praktik ini, mengandung unsur semantik dan sintaksis sebagai ideologi tertentu saat khalayak membacanya, khususnya pada 26
Eriyanto, Op. Cit. Hal 166. T. Fatimah Djajasudarma, “Metode Linguistik - Ancangan Metode Penelitian Dan Kajian”, (Bandung: Reflika Aditama, 2010) Hal 31. 27
surat kabar harian Kompas. Berikut gambaran mengenai kerangka pemikiran calon peneliti.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Berita-Berita Headline Unjuk Rasa Menolak Rencana Kenaikan Harga BBM
Tinjauan Analisis Roger Fowler
Ideologi
1.6.2. Asumsi Penelitian ini didasarkan oleh beberapa asumsi diantaranya. Pertama yakni, terdapat bentuk kebahasaan dalam strategi wacana sebagai cerminan ideologi, yang digunakan oleh media massa (cetak atau surat kabar) dalam berita yang merepresentasikan seorang tokoh maupun realitas yang dikemas dalam bahasa jurnalistik. Kedua, bahasa jurnalistik yang memarjinalkan seseorang atau peristiwa tersebut, dapat dimaknai dan diinterpretasi.
1.6.3. Hipotesis Bertolak dari rumusan masalah sebelumnya, maka dalam penelitian ini calon peneliti berpegang pada hipotesis, yakni dalam berita surat kabar harian Kompas mengenai aksi unjuk rasa yang melibatkan mahasiswa sebagai salah satu aktor pengunjuk rasa, terdapat praktik kebahasaan media sebagai strategi wacana yang mengarah pada ideologi tertentu. Hal tersebut terlihat pada rangkaian peristiwa dan penggunaan kata serta bentuk kalimat yang memarjinalkan mahasiswa dengan muatan ide-ide tertentu.