BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama.1 Dalam kebudayaan lokal Jawa dapat dilihat dari hadirnya sastra yang menumbuhkan perasaan cinta ketuhanan. Selain itu, sastra Jawa juga mengandung ajaran-ajaran kearifan hidup dan moralitas seperti yang terefleksikan dalam bentuk tembang-tembang, serat dan cerita kentrung. A. Teew membagi kebudayaan Indonesia menjadi tiga kelompok. Pertama, kebudayaan masyarakat yang belum dipengaruhi agama Hindu dan Islam. Kedua, kebudayaan masyarakat yang kuat dipengaruhi kebudayaan Hindu dan tipis pengaruh Islamnya. Ketiga, kebudayaan masyarakat yang sangat dipengaruhi Islam. Dari ketiga corak kebudayaan itu yang harus dipandang paling khas dan istimewa, menurut Abdul hadi W.M. adalah kebudayaan Jawa yang terpaut Hinduisme.2 Taufik Abdullah (1997) telah mengkritik pandangan yang meletakkan Islam sebagai outsider dalam perkembangan kebudayaan dan masyarakat Jawa. Pandangan demikian, menurut Taufik Abdullah, sebenarnya merupakan hasil
1
K. Setiono, Pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2002), hlm. 87 2
Ibid.
1
konstruksi pengetahuan yang dibuat oleh Belanda setelah berakhirnya Perang Diponegoro (1825-1830). Sejak masa itu, ikhtiar untuk memisahkan Islam dari kebudayaan Jawa dijalankan secara begitu sistematik, terutama melalui penulisan
buku
sejarah,
antropologi
dan
hasil
penelitian
fisiologi.
Kecenderungan mengesampingkan Islam dalam penelitian karya-karya mistikal Jawa nampak pada banyak karya-karya tulis tokoh-tokoh barat.3 Syari’at Islam tidak pernah melarang pemeluknya mengikuti budaya yang dianut masyarakat selama tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam seperti aqidah dan ketauhidan. Bahkan Islam sangat mengapresiasi kebudayaan manusia yang merupakan hasil cipta, karsa dan rasa manusia yang berbudi. Wujud konkrit bahwa Islam cukup memperthitungkan kebudayaan dalam menetapkan syari’at yaitu dengan adanya qaidah fiqhiyah “”اﻟﻌﺎدة ﻣﺤﻜﻤﺔ yang artinya adat itu bisa dijadikan hukum. Ini membuktikan Islam tidak pernah menafikan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya, Islam sangat mendukung manusia sebagai khalifah di bumi untuk terus berkarya dengan segala kompetensi yang merupakan anugerah dari Allah SWT. Dalam al-Qur’an juga banyak ayat yang mendorong umat Islam untuk menggunakan segala potensinya. Misalnya surat al-Baqarah ayat 219,
ﻭ ﹶﻥﺘ ﹶﻔﻜﱠﺮﺗ ﻢ ﻌﻠﱠﻜﹸ ﺕ ﹶﻟ ﺎ ﺍﹾﻟ َﺂﻳﻪ ﹶﻟﻜﹸﻢ ﻦ ﺍﻟﱠﻠ ﺒﻴﻳ ﻚ ﻟﹶﻛ ﹶﺬ Artinya : Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.4
3
Ibid.
4
Departement Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992), hlm. 34
2
Ini menunjukan bahwa Syari’at Islam tidak pernah membatasi manusia dalam berkarya dengan segala kompetensinya. Manusia yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT akan mempertanggungjawabkan apa yang telah dikerjakannya selama hidup. Salah satu esensi ajaran teologi Islam mendeskripsikan bahwa makhluk hidup bukanlah satu-satunya yang mempunyai eksistensi, tetapi Allah lebih mempunyai eksistensi. Dalam tradisi pemikiran ketuhanan, dikenal dua metode yang paling mendasar. Pertama, refleksi manusia terhadap alam semesta melalui hukum alam dan menjurus kepada teologi kealaman. Kedua, merupakan penyingkapan Tuhan melalui turunnya wahyu. Idealnya antara kebudayaan dan Agama Islam mempunyai korelasi inklusif. Tidak adanya perbedaan, antara kebudayaan dan Agama Islam. Ketika terjadi ketidaksingkronisan antara budaya dengan ajaran Islam, maka sudah selayaknya Syari’at Islam yang selalu relefan dalam setiap zaman lebih diutamakan dari semua aturan yang merupakan hasil kebudayaan manusia, sekalipun kebudayaan tersebut telah diakui kebenarannya secara kolektif. Namun, hal itu tetap tidak dapat mengubah syari’at Islam yang telah disempurnakan oleh Allah. Di Kota Yogyakarta sering kali masyarakat menjadikan alasan menjaga kebudayaan lokal ketika melakukan ritual-ritual yang bersebrangan dengan nilainilai Islam. Sekaten adalah salah satu budaya lokal yang masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Yogyakarta. Masyarakat tetap melestarikan tradisi sekaten meskipun mereka tidak mengetahui asal usul sekaten dan maksud dari 3
diadakannya sekaten. Hal ini tentu menjadi fenomena yang penting untuk dikaji. Risalah ini secara mendalam mengkaji budaya sekaten yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kota Yogyakarta dari sudut pandang Islam. Diharapkan masyarakat Kota Yogyakarta tidak taqlid dengan melakukan ritual peribadatan yang mereka tidak tahu pasti dari mana asal mula ibadah itu. Tanpa mereka sadari, ritual-ritual yang mereka kerjakan adalah ritual sesembahan Agama Hindu yang diambil oleh ulama’ terdahulu untuk memudahkan penyebaran ajaran agama Islam. Meskipun Islam tidak sepenuhnya menafikan tradisi kebudayaan leluhur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, namun Islam juga memberi batasan-batasan sejauh mana umatnya boleh melakukan ritual yang merupakan peninggalan pendahulu masyarakat setempat sebagai usaha melestarikan kebudayaan lokal. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dikemukakan, permasalahan yang timbul adalah: 1. Bagaimana seluk beluk budaya sekaten di Kraton Yogyakarta? 2. Bagaimana pandangan Islam mengenai tradisi sekaten sebagai kebudayaan lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kota Yogyakarta? 3. Bagaimana seharusnya masyarakat Kota Yogyakarta menyikapi budaya sekaten? C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah
4
1. Mengkaji seluk beluk budaya sekaten di Kota Yogyakarta. 2. Menganalisis berdasarkan sudut pandang Islam mengenai tradisi sekaten sebagai kebudayaan lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat Kota Yogyakarta. 3. Supaya masyarakat Yogyakarta dapat menyikapi budaya sekaten dengan benar sesuai syari’at Islam. Adapun manfaat penelitian ini adalah secara teoritis, kajian ini diharapkan dapat memberi masukan yang dapat berguna bagi perkembangan pemikiran Islam dewasa ini.
Sedangkan secara praktis, kajian ini diharapkan dapat
memberi penegasan bahwa syari’at Islam telah sempurna dan tidak dapat di ubah sedemikian rupa untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, sekalipun dengan alasan untuk melestarikan kebudayaan lokal. Diharapkan masyarakat dapat menentukan sikap dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara dengan tidak menafikan hukum-hukum Islam. D. Tinjauan Pustaka Fungsi kajian pustaka adalah mengemukakan secara sistematis hasil penelitian terdahulu yang relevan memberikan pemaparan tentang penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Drs. Juz'an, M.Hum. berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Tradisi Garebeg Maulud Di Kraton Yogyakarta”. Penelitian ini membahas tentang nilai-nilai pendidikan islam dalam tradisi Garebeg Maulud di Kraton Yogyakarta. Fokus yang dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana sejarah tradisi gerebeg maulud di kraton Yogyakarta, ritual
5
apa saja yang terdapat dalam prosesi Garebeg Maulud di kraton Yogyakarta, nilai-nilai pendidikan Islam apa saja yang terdapat dalam tradisi Garebeg Maulud di kraton Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Muhtaram yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Makna Simbol Perayaan Sekaten”. Penelitian ini bermaksud mengungkap dan mengetahui secara detail tentang prosesi upacara sekaten dengan semua simbol-simbol yang digunakannya serta makna dari simbolsimbol yang digunakan dalam perayaan sekaten tersebut dan mengungkap nilainilai atau pesan-pesan pendidikan terhadap umat adanya prosesi upacara sekaten di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Penelitian yang diklakukan oleh Drs. Juz'an, M.Hum. dan Muhtaram hanya membahas budaya sekaten dari sudut pandang yang memposisikan budaya sekaten sebagai suatu kebudayaan yang harus dilestarikan. Penelitian Drs. Juz'an, M.Hum. dan Muhtaram tidak menyentuh ranah nilai-nilai aqidah, ketauhidan, dan semua ketentuan Islam yang mengatur kehidupan manusia, termasuk dalam menyikapi hasil akal budi manusia. Sedangkan risalah ini menggunakan sudut pandang Islam mengkaji budaya sekaten secara ditail dan komprehensif. Capaian dalam risalah ini adalah masyarakat Kota Yogyakarta dapat menentukan sikap dalam menyambut ritual tahunan yang diadakan di Kraton Yogyakarta, sehingga tetap terjalin keselarasan antara nilai kebudayaan dengan nilai-nilai Islam dalam budaya sekaten di Kota Yogyakarta.
6
E. Batasan Masalah Risalah ini mengkaji budaya sekaten sebagai kebudayaan lokal yang merupakan hasil dari budi daya manusia di Kota Yogyakarta mulai dari filosofi, praktek dan kepercayaan masyarakat yang melekat dalam budaya sekaten. Risalah berisi analisis budaya sekaten dari sudut pandang Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan menyertakan pendapat Muhammadiyah dalam memandang budaya sekaten. F. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan pendekatan deskriptif analisis. Prosedur dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan data deskriptif yang berupa data tertulis setelah dilakukan analisis pemikiran dari teks ataupun dari realitas masyarakat yang tengah berkembang. Dalam pengumpulan data, risalah ini menggunakan sumber data primer yaitu naskah keraton dan buku-buku tentang kebudayaan kejawen. Juga menggunakan sumber data sekunder yang diambil dari buku, artikel, jurnal, karya tulis lain yang mempunyai relevansi untuk memperkuat pendapat dan melengkapi hasil risalah ini. Proses analisis data dalam risalah ini menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian secara apa adanya berdasarkan data yang diperoleh sehingga diperoleh gambaran sistematik dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Capaian dalam analisis ini adalah menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan lokal menurut perspektif Islam.
7
G. Sistematika Pembahasan Penulisan risalah ini disusun secara sistematis untuk memudahkan pengkajian dan pemahaman terhadap persoalan yang ada. Adapun sistematika dalam risalah ini sebagai berikut: Bab I
pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika pembahasan. Hal ini bertujuan agar risalah ini menjadi karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Bab II
landasan teoritik untuk memperjelas makna judul risalah ini. Bab ini berisi teori mengenai istilah Islam, kebudayaan dipandang dari segi semantik dan istilah, serta gambaran umum Kota Yogyakarta untuk mengetahui keadaan geografis maupun sosial masyarakat Yogyakarta.
Bab III berisi analisis hukum sekaten yang diadakan oleh masyarakat Kota Yogyakarta dalam sudut pandang Islam dengan pengambilan hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis dalam menyikapinya. Diharapkan pembaca mempunyai gambaran utuh untuk menyikapi tradisi sekaten menurut sudut pandang Islam. Bab IV berisi penutup yang mencakup kesimpulan, saran-saran serta kata penutup, dan daftar pustaka. Bab ini sangat diperlukan karena inti dari hasil risalah ini telah terangkum di dalamnya.
8
BAB II LANDASAN TEORITIK A. Pengertian Budaya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.5 Secara substansial, kebudayaan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat.6 Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kebudayaan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kebudayaan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.7 Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kebudayaan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam
5
Rizki Dian, “Tradisi sekatenan di Yogyakarta”, http://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisisekaten-di-yogyakarta/. html, akses 23 Desember 2011 6 7
Ibid. Ibid.
9
masyarakat kita, kebudayaan lokal dapat ditemui dalam ritual, nyanyian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kebudayaan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaankebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kebudayaan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.8 B. Gambaran Umum Kota Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat) Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat berdiri sejak tahun 1756 M. Didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I. Saat ini, Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Paduka Sultan Hamengku Buwono X yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan Puro Pakualaman dipimpin oleh Sri Paduka Paku Alam IX sekaligus sebagai Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Keduanya memainkan peran yang sangat menentukan dalam memelihara nilai-nilai budaya dan adat-istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta yang sangat heterogen.9
8
Ibid.
9
Kementrian Agama RI, “Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta,” http://yogyakarta.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=8, html akses 1 januari 2012
10
Secara administratif, Kota Yogyakarta dengan luas 32,50 Km² adalah salah satu kota bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jumlah penduduk 509.146 jiwa, dan jumlah desa 163.10 Secara
fisiografis,
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
dapat
dikelompokkan menjadi empat satuan wilayah, yaitu satuan fisiografi Gunung Merapi, satuan pegunungan selatan, satuan Pegunungan Kulonprogo, dan satuan dataran rendah. Di satuan dataran rendah inilah terletak Ibukota Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta,
yaitu
Kasultanan
Yogyakarta
Hadiningrat
yang
merupakan sentral kegiatan dari segenap masyarakat dari berbagai penjuru tanah air. Karena itu pula, maka kota ini dikenal luas sebagai kota pelajar, pendidikan, perjuangan, serta kota budaya. Secara historis Yogyakarta merupakan kota tua dari Kerajaan Mataram yang sampai sekarang ini masih berdiri.11 Ditinjau menurut pemeluk agama, komposisi penduduk Kota Yogyakarta adalah pemeluk agama Islam 91,38 %, pemeluk agama Kristen 2,88 %, pemeluk agama katolik 5,38 %, pemeluk agama Hindu 0,17 %, pemeluk Agama Budha 0,16 %, pemeluk agama lain 0,03 %.12 Kehidupan beragama di Kota Yogyakarta nampak berjalan secara harmonis, serasi dan seimbang. Hal tersebut dapat dilihat dari kegairahan masyarakat beragama untuk berperan aktif dalam menyukseskan program pembangunan bidang agama khususnya, dan Program Pembangunan Nasional
10
Widjiono Wasis, Ensiklopedia Nusantara, cet. pertama (Jakarta: Mawar Gempita, 1989), hlm. 443 11
Ibid.
12
Ibid.
11
pada umumnya. Pendekatan para tokoh dan pemuka agama untuk memberikan motivasi
lewat
jalur
agama
telah
menunjukkan
karya
nyata
serta
menumbuhkembangkan kehidupan beragama untuk mewujudkan nilai-nilai religius dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.13 C. Pengertian Islam Secara bahasa, Islam berasal dari bahasa arab aslama yang berarti tunduk, patuh, menyerah, berdamai, bebas, lepas, dan selamat.14 Secara Istilah, Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang ajarannya bersifat fleksibel dan universal, selamat, sentosa, dan sejahtera, penyerahan diri kepada Allah tunduk dan patuh kepada-Nya. Orang yang menganut agama Islam disebut muslim artinya pemeluk agama Islam atau orang yang menyerahkan diri kepada Allah.15 Dalam Ensiklopedia, Islam diartikan sebagai agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah SWT melalui utusan-Nya, Muhammad SAW. Ajaranajaran Islam terdapat dalam kitab suci al-Qur’an dan sunnah dalam bentuk perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.16 Islam ialah agama yang diturunkan Allah kepada manusia dengan wahyu melalui utusan-Nya, yang mengajarkan supaya umat manusia tunduk dan patuh
13
Ibid.
14
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, edisi kedua, cet. Keempat belas (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 654 15
Abu Muhammad, Kamus Istilah Agama Islam, cet. pertama (Tangerang: PT Albama, 2012), hlm. 117 16
Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Islam, jilid 2, cet. kesebelas (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 246
12
serta berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa Islam itu menuntut agar manusia setelah melakukan segala aktivitas (yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam) hendaknya berserah diri pada Allah.17 Ummat Islam telah sepantasnya berdo’a hanya kepada Allah, bertawakkal dan berserah diri kepada-Nya. D. Kebudayaan dalam Perspektif Islam Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah sebagaimana diterangkan dalam Qur’an surat al-Maidah ayat 3
ﻢ ﻨ ﹸﻜﻳﻢ ﺩ ﺖ ﹶﻟ ﹸﻜ ﻤ ﹾﻠ ﻡ ﹶﺃ ﹾﻛ ﻮ ﻴﺍﹾﻟ Artinya: Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu, agamamu... Ayat ini menunjukan Islam adalah agama yang telah sempurna dalam mengatur segala aspek kehidupan manusia mulai dari urusan ibadah maupun mu’amalah. Begitupula dalam perihal budaya yang merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia. Islam mempunyai beberapa peran penting dalam mengatur kebudayaan masyarakat yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa peran Islam dalam perkembangan budaya adalah 1. Melestarikan Islam sangat mengapresiasi kebudayaan manusia yang merupakan hasil dari rasa, cipta, dan karsa manusia. Allah melalui ayat-ayat al-Qur’an banyak mendorong manusia untuk semaksimal mungkin menggunakan segala
17
Prof. Dr. H. Chatibul Umam, Aqidah Akhlak jilid 1, cet. pertama (Kudus: Menara kudus, 2004), hlm. 17
13
kompetensi yang Allah berikan. Sebagaimana firman Allah dalam surat alBaqarah ayat 219,
ن َ ت َﻟ َﻌﱠﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ َﺘ َﻔ ﱠﻜﺮُو ِ ﻦ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﻟ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ َﺂﻳَﺎ ُ ﻚ ُﻳ َﺒﻴﱢ َ َآ َﺬِﻟ Artinya : Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.18 Islam tidak melarang umatnya untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki, termasuk dalam berkebudayaan. Bentuk apresiasi Islam terhadap kebudayaan adalah dengan tetap melestarikan kebudayaan yang sarat akan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan, serta tidak bertentangan dengan prinsip Islam sebagai agama rahmatan lil’alamiin. Contohnya adalah budaya ziarah kubur. Meskipun Nabi Muhammad sempat melarang umat Islam untuk ziarah kubur karena Nabi khawatir umatnya yang tatkala itu masih dekat dengan budaya jahiliah akan melakukan perbuatan musyrik dengan berdo’a kepada orang yang telah mati. Tetapi, pada akhirnya Nabi memerintahkan umatnya untuk berziarah kubur karena dapat mengingatkan manusia akan kematian sehingga manusia selalu memperbanyak amal kebaikan untuk bekal di akhirat. 2. Merombak Selain melestarikan kebudayaan yang telah ada, Islam juga merombak beberapa kebudayaan yang kurang pas dengan nilai-nilai Islam. Contohnya adalah budaya nikah pada waktu jahiliah yang salah satu prakteknya yaitu dengan cara beberapa laki-laki menggauli satu wanita. Ketika wanita tersebut 18
Departement Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992), hlm. 548
14
hamil dan melahirkan, maka dipanggillah beberapa laki-laki yang dulu menggaulinya, kemudian wanita tersebut memilih salah satu dari laki-laki tersebut untuk menjadi ayah dari bayi yang dilahirkan. Laki-laki pilihannya itulah yang akhirnya menjadi suaminya. Bentuk pernikahan seperti ini tentu tak ubahnya seperti hewan, Maka Islam sebagai agama rahmatan lil’alamiin pun mengubah budaya nikah pada masa jahiliyah itu dengan nikah yang telah kita kenal sekarang ini. Yaitu dengan adanya mempelai putra dan putri, wali nikah, mahar, sighat akad nikah dan saksi. 3. Membasmi Meskipun Islam sangat mengapresiasi kebudayaan manusia, namun Islam juga tidak sepenuhnya menerima semua kebudayaan meskipun kebudayaan tersebut telah diakui kebenarannya secara kolektif di masyarakat setempat. Islam juga Membasmi beberapa kebudayaan jahiliyah yang bertentangan dengan prinsip ajaran agama Islam. Contohnya adalah budaya mengubur anak perempuan hidup-hidup yang dulu sempat berkembang di kalangan masyarakat jahiliyah. Islam sedikitpun tidak mentolerir kebudayaan yang jelas melanggar hak manusia untuk hidup dan berkembang karena jelas ini bertolak belakang dengan prinsip Islam sebagai agama rahmatan lil’alamiin.
15
BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Sekaten Sekaten diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang lahir pada tanggal 12 Maulud atau Mulud dalam bulan ketiga tahun Jawa. Sekaten meliputi Sekaten Sepisan (Sekaten Pembuka) dan ditutup dengan Garebeg di halaman Masjid Gedhe Yogyakarta atau sering disebut sebagai Masjid Gedhe Kauman.19 Kata Sekaten diambil dari pengucapan kalimat Syahadat. Istilah Syahadat yang diucapkan sebagai Syahadatain ini kemudian berangsur-angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi Syakatain dan pada akhirnya menjadi istilah Sekaten hingga sekarang. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga berasal dari beberapa kata yaitu:20 1. Sahutain yang berarti menghentikan atau menghindari dua perkara, yaitu sifat lacur dan menyeleweng. 2. Sakhatain yang berarti menghilangkan dua perkara yaitu sifat hewan dan sifat setan yang melambangkan kerusakan. 3. Sakhotain yang berarti menanamkan dua perkara, yaitu memelihara budi luhur dan menyembah Tuhan. 19
Ibid.
20
Ibid.
16
4. Sekati yang berarti seimbang dalam menilai hal-hal yang baik dengan yang buruk. 5. Sekat yang berati batas untuk tidak berbuat kejahatan, yaitu tahu dimana batas kebaikan dengan kejahatan. Sekaten dimulai dari zaman Kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berdiri setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Raja Demak yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Bintara. Sebagai Raja Islam, Raden Patah selalu berupaya untuk menyiarkan Agama Islam ke seluruh pelosok negeri. Namun, masyarakat kebanyakan sudah melekat dengan ajaran Hindu sehingga Raden Patah berupaya untuk mengajak masyarakat untuk masuk Islam dan meyakini akan kebenaran Agama Islam. Kemudian Raden Patah pun mengadakan pertemuan dengan para Wali Songo, diantaranya adalah Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat dan Sunan Gunung Jati. Pertemuan anatar Raden Patah dan Wali Songo tersebut membahas tentang bagaimana menyebarkan ajaran Islam dimulai dari tanah Jawa. Dari pertemuan tersebut Sunan Kalijaga memiliki usul tentang cara penyebaran Agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu sudah memeluk Agama Hindu. Sunan Kalijaga mengusulkan agar masyarakat dibiarkan tetap melaksanakan adat atau Agama Hindu, namun dilakukan
17
beberapa perubahan agar sesuai dengan syari’at ajaran Islam contohnya seperti:21
1. Semedi Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada dewa. Karena Agama Islam tidak mengenal dewa, maka hal ini digantikan dengan memuja Allah SWT dengan melakukan shalat yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
2. Sesaji Sesaji menurut Agama Hindu mempunyai maksud memberi makanan kepada dewa dan jin. Agar sesuai dengan syari’at Islam yang sudah tertulis dalam al-Quran, maka digantikan dengan zakat fitrah kepada fakir miskin.
3. Keramaian Dalam agama Hindu keramain mempunyai maksud menghormati kepada para dewa. Keramaian kemudian digantikan dengan menghormati hari raya Islam. Karena orang Jawa menyukai seni musik, maka penghormatan terhadap Hari Raya Islam diberikan unsur musik seperti menabuh gamelan. Salah satunya yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Di dalam masjid diadakan tabuh gamelan agar orang-orang tertarik. Jika sudah berkumpul kemudian diberikan pelajaran tentang agama Islam. Dan untuk 21
Ibid.
18
keperluan itu, para Wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan Kiai Sekati.22 Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh Wali Songo dan Raden Patah, yaitu memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Mulud dengan unsur gamelan. Ternyata banyak masyarakat yang tertarik untuk datang ke masjid dan melihat gamelan. Selain rakyat, para bupati juga datang ke kerajaan untuk memberikan penghormatan kepada raja. Mereka datang beberapa hari sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah tenda di alun-alun untuk bermalam. Bupati menghadap raja beserta para rakyatnya mengiring raja ke masjid. Karena hal tersebut, maka muncul kata Garebeg yang berasal dari kata Anggrubyung yang berarti menggiring atau berkerumun.23 Orang-orang yang datang ke halaman masjid pun diminta untuk mendengarkan pidato tentang ajaran Islam. Pidato itu berisi tentang dasar ajaran Islam seperti bunyi kalimat syahadat serta maksud dan tujuan kalimat tersebut. Kalimat syahadat merupakan kalimat yang dibaca seseorang ketika masuk Islam dan juga untuk mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadat juga ditulis di pintu gerbang masjid.24 Tradisi ini terus dilestarikan oleh raja yang memerintah pada masa berikutnya hingga masa Kerajaan Mataram. Pada zaman Kerajaan Mataram
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Ibid.
19
hingga pindah ke Yogyakarta dan Surakarta, sekaten ini diadakan untuk kepentingan politik dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar kesetiaan para bupati yang ada di wilayah kerajaan. Saat perayaan sekaten bupati harus datang dengan menyerahkan upeti dan memperlihatkan rasa hormatnya kepada raja. Apabila bupati berhalangan hadir maka harus diwakilkan oleh pihak kerajaan. Apabila bupati yang berhalangan hadir tidak diwakilkan maka hal tersebut dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap raja.25 Pada masa Kerajaan Mataram, selain untuk tujuan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dan kepentingan politik kerajaan, sekaten diadakan untuk menunjukkan bahwa raja yang berkuasa masih memiliki hubungan dengan Nabi Muhammad SAW. Selain itu, sekaten juga memiliki peran dalam ekonomi karena dengan adanya perkembangan zaman, sekaten kemudian dimanfaatkan dalam sektor perdagangan. Sekaten dijadikan sebagai lahan untuk berdagang oleh masyarakat selain untuk mendengarkan gamelan.26
B. Praktek Pelaksanaan Sekaten Berikut prosesi sekaten menurut selebaran yang dibuat oleh bagian humas dan informasi Setda Kota Yogyakarta tahun 2009. Pada intinya, keramaian sekaten dapat dipilahkan menjadi tiga keramaian, yaitu; 1. Keramaian Adat
25
Ibid.
26
Ibid.
20
Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kenjeng Kiai Sekati dari tempat penyimpanannya. Kanjeng Kiai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kiai Guntur Madu ditempatkan di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit ditugaskan menjaga gamelan pusaka tersebut yaitu prajurit Mantrirejo dan prajurit Ketanggung. Setelah waktu Shalat Isya’, para abdi dalem yang bertugas di bangsal memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah mendapat perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kiai Sekati. Yang pertama dibunyikan adalah gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian Kanjeng Kiai Nogowilogo dengan gendhing rachikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Secara bergantian Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Nogowilogo dibunyikan. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelum itu Sri Sultan atau wakil Sri Sultan menaburkan udhik-udhik (uang logam) di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti dan bangsal Trajumas. Tepat pukul 24.00 WIB, gamelan sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Gedhe dan dikawal oleh kedua pasukan abdi dalem prajurit 21
Mantrirejo dan prajurit Ketanggung. Kanjeng Kiai Guntur Madu ditempatkan di panggonan sebelah selatan gapura Masjid Gedhe dan Kanjeng Kiai Nogowilogo ditempatkan di panggonan sebelah utara gapura Masjid Gedhe. Di halaman masjid, Gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Nogowilogo dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut -turut, kecuali pada malam Jum’at hingga selesai shalat Jum’at siang harinya. Pada tanggal 11 Maulud mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat Nabi Muhammad SAW yang dibacakan oleh Kiai Pengulu. Upacara tersebut diakhiri pada pukul 24.00 WIB. Setelah semua selesai, perangkat gamelan sekaten dibawa kembali dari halaman Masjid Gedhe menuju Kraton. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa Sekaten telah berakhir. Acara puncak dalam Sekaten ini ditandai dengan Garebeg yang diadakan tanggal 12 Maulud (menurut penanggalan Jawa) mulai jam 08.00 WIB. Garebeg dimulai dengan dikawal oleh sepuluh prajurit kraton yaitu Wirobrojo,
Daeng,
Patangpuluh,
Jogokaryo,
Prawirotomo,
Nyutro,
Ketanggung, Mantrirejo, Surokarso dan Bugis. Garebeg menampilkan Gunungan sebagai acara utamanya. Gunungan adalah sesaji yang dibentuk kerucut. Terbuat dari beras ketan, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan. Gunungan ini dibawa dari istana Kemandungan melewati
22
Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Setelah dido’akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah / ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka. 2. Keramaian Penunjang Keramaian rakyat tradisional yang menyertai upacara sekaten. Beberapa bentuk keramaian penunjang antara lain adalah para penjaja makanan tradisional, penjaja mainan tradisional dan kesenian kesenian rakyat tradisional. 3. Keramaian Pendukung Keramaian pendukung diadakan dan dikelola oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka memanfaatkan sekaten tentang upaya dan hasil pembangunan nasional antara pemerintah dan masyarakat. Beberapa bentuk keramaian pendukung antara lain, pameran pembangunan yang diadakan oleh
Pemerintah
Daerah.
Pameran
dan
promosi
sebagai
upaya
memasyarakatan produksi dalam negeri dan meningkatkan barang ekspor non migas. Pameran kebudayaan seperti Pameran Kraton, Puro Pakualaman
23
dan lainnya. Keramaian pendukung lainnya seperti arena permainan anakanak, rumah makan, dan cindera mata.
C. Hukum Sekaten Menurut Muhammadiyah Memperingati hari kelahiran seseorang termasuk kelahiran Nabi, tidak ada tuntunannya,
baik
yang
berupa
perbuatan,
maupun
perintah
untuk
mengadakannya. Namun, juga tidak ada nash yang melarangnya. Tidak adanya nash yang menyuruh maupun melarang untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW, maka hal ini dapat dimasukan pada masalah ijtihadiyyah.27 Dalam suatu kitab yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari bahwa Syaikh Yusuf
bin Ismail an-Nabhani menyatakan bahwa Nabi dilahirkan di kota
Makkah di rumah Muhammad bin Yusuf, dan disusui oleh Tsuwaibah budak Abu Lahab yang dimerdekakan oleh Abu Lahab ketika ia merasa senang atas kelahiran Nabi itu. Kalau Abu lahab saja yang kafir mendapat kebaikan, karena merasa senang di hari kelahiran Nabi, tentu orang Islam akan mendapat balasan dari Allah kalau juga merasa senang di hari kelahiran Nabi itu.28 Tentu qiyas ini tidak dapat dijadikan pegangan karena riwayat itu bukan dasar yang kuat untuk dijadikan asal pada qiyas. Jika tidak ada dasarnya
27
Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih “Tanya Jawab Agama”, Suara Muhammadiyah, 1998, hlm. 271. 28
Ibid.
24
dilakukan qiyas, maka dapat dilakukan ijtihad istishlahi, yaitu ijtihad yang didasarkan illah mashlahah.29 Ada beberapa hal yang perlu diingat pada penetapan hukum atas dasar kemaslahatan ini. Kemashlahatan itu harus benar-benar yang dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Karena, ukuran kemashlahatan itu dapat berubah, maka berputar
pada illahnya, dan
ketentuannya ialah pada kemaslahatan yang dominan yakni dapat mendatangkan kebaikan dan menghindari kerusakan.30 Prinsip ini pula yang diterapkan dalam menetapkan hukum sekaten. Karena, memang tidak ada nash al-Qur’an maupun al-Hadis, maka sekaten yang merupakan acara yang diadakan untuk memperingati kelahiran Nabi saw tidaklah diharamkan, jikalau acara yang diselenggarakan itu tidak ada unsurunsur kesyirikan, tabdzir dan semua hal yang dilarang oleh syari’at Islam. Sekaten tidak pernah diajarkan dalam Islam, namun kegiatan sekaten juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kegiatan ini dapat bernilai positif karena dapat memperluas syi’ar Islam. D. Kepercayaan Masyarakat Tentang Sekaten Beberapa kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat tentang budaya sekaten: 29
Ibid
30
Ibid.
25
1. Masyarakat Yogyakarta meyakini bahwa dengan mengikuti sekaten maka akan mendapat pahala dan dianugerahi awet muda.31 2. Pada hari pertama dalam sekaten, sebagai syarat, salah satu ritual yang dilakukan masyarakat adalah mengunyah daun sirih di halaman Masjid Gedhe. Oleh karena itu banyak masyarakat yang memanfaatkan hal ini untuk berjualan daun sirih dan ramuan-ramuan lainnya di halaman Masjid Gedhe.32 3. Untuk kalangan petani, sekaten dijadikan kesempatan untuk memohon agar panennya berhasil.33 4. Acara Garebeg merupakan acara yang dianggap sakral bagi para warga. Dengan dibawanya sebuah gunungan ke halaman Masjid Gedhe, banyak warga yang berebut mengambil makanan dari gunungan tersebut karena menganggap dapat membawa berkah.34 5. Gunungan pada acara Garebeg
adalah sesaji yang dibentuk kerucut.
Terbuat dari beras ketan, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan. Gunungan ini dibawa dari Istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Gunungan makanan inilah yang diperebutkan oleh para warga karena dipercaya dapat membawa berkah. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan 31
Ibid.
32
Ibid.
33
Ibid.
34
Ibid.
26
ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.35 6. Sebelum sekaten dilaksanakan, diadakan upacara dengan dua persiapan yaitu fisik dan spiritual. Persiapan fisik yaitu berupa peralatan dan perlengkapan upacara sekaten, seperti:36 a. Gamelan Sekaten yaitu benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kiai Sekati yang memiliki dua perangkat. Pertama, Kanjeng Kiai Nogowilogo. Kedua, Kanjeng Kiai Guntur Madu. Gamelan sekaten tersebut di buat oleh Sunan Bonang yang memiliki keahlian di bidang karawitan dan diyakini sebagai gamelan yang pertama kali dibuat. Alat pemukul gamelan tersebut terbuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau. b. Gendhing Sekaten yang merupakan serangakaian lagu gendhing, diantaranya yaitu Rambut pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andhongandhong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet lima, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet nem, Muru Putih, Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet lima, Supiatun pathet barang dan Srundeng Gosong pelog pathet barang.
35
Ibid.
36
Ibid.
27
c. Selain Gamelan Sekaten dan Gendhing Sekaten, perlengkapanperlengkapan lainnya yaitu uang logam, Bunga Kanthil, busana seragam sekaten dan naskah riwayat Nabi Muhammad SAW. Sedangkan untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa saat sebelum upacara sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengemban tugas sakral tersebut. Terutama para abdi dalem yang bertugas memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.37
E. Budaya Sekaten dalam Perspektif Islam Sebagaimana pendapat Muhammadiyah dalam buku Tanya Jawab Agama, bahwa sekaten yang merupakan acara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad itu tidak ada tuntunannya, baik yang berupa perbuatan, maupun perintah untuk mengadakannya.38 Sedangkan untuk dilakukan qiyas, tidak ada riwayat yang kuat untuk dijadikan asal pada qiyas. Jika tidak ada dasar dilakukan qiyas, maka dapat dilakukan ijtihad istishlahi, yaitu ijtihad yang didasarkan illah mashlahah.39 Ada beberapa hal yang perlu diingat pada penetapan hukum atas dasar kemaslahatan ini. Kemashlahatan itu harus benar-benar dapat menjaga lima hal, 37
Ibid.
38
Tim PP Muhammadiyah Majelis Tarjih “Tanya Jawab Agama”, Suara Muhammadiyah, 1998, hlm. 271. 39
Ibid
28
yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Karena, ukuran kemashlahatan itu dapat berubah, maka berputar
pada illahnya, dan
ketentuannya ialah pada kemaslahatan yang dominan yakni dapat mendatangkan kebaikan dan menghindari kerusakan.40 Prinsip ini pula yang diterapkan dalam menetapkan hukum sekaten. Karena tidak ada nash al-Qur’an maupun al-Hadis sebagai dasar hukum menyelenggarakan sekaten, maka sekaten yang merupakan acara untuk memperingati kelahiran Nabi saw tidaklah diharamkan dengan syarat acara yang diselenggarakan itu tidak ada unsur-unsur kesyirikan, tabdzir dan semua hal yang dilarang oleh syari’at Islam. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa kemashlahatan itu harus benar-benar yang dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun, dalam prakteknya sekarang ini, sekaten sudah mengandung
banyak
kepercayaan-kepercayaan
masyarakat
yang
banyak
menyalahi prinsip-prinsip Islam seperti aqidah dan ketauhidan. Berikut analisis kepercayaan masyarakat seputar sekaten yang menyalahi prinsip ajaran Islam: 1. Masyarakat Yogyakarta meyakini bahwa dengan mengikuti sekaten maka akan mendapat pahala dan dianugerahi awet muda. Pada hari pertama acara
40
Ibid.
29
sekaten, sebagai syarat, salah satu ritual yang dilakukan masyarakat adalah mengunyah daun sirih di halaman Masjid Gedhe.41 Kesyirikan yang termuat dalam kepercayaan ini adalah meyakini bahwa ritual sekaten merupakan waktu sakral yang dapat mendatangkan kemaslahatan bagi orang-orang yang mengikutinya, seperti dapat awet muda dan mendapat pahala. Sedangkan Islam selalu mengajarkan pada umatnya untuk
menyandarkan
segala
urusannya
kepada
Allah
dan
tidak
mengkhususkan hari-hari tertentu yang tidak ada tuntunannya dalam alQur’an ataupun al-Hadis. Hal ini bertentangan dengan surat Fatir ayat 2,
ﻩ ﺪ ﻌ ﺑ ﻦ ﻣ ﺳ ﹶﻞ ﹶﻟﻪ ﺮ ﻚ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﻣ ﺴ ِ ﻤ ﻳ ﺎﻭﻣ ﺎﻚ ﹶﻟﻬ ﺴ ِ ﻤ ﺔ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﻣ ﻤ ﺣ ﺭ ﻦ ﻣ ﺱ ﺎ ﹺﻠﻨﻪ ﻟ ﺘ ﹺﺢ ﺍﻟﱠﻠﻳ ﹾﻔ ﺎﻣ ﻢ ﻴﺤﻜ ﺰ ﺍﹾﻟ ﻌﺰﹺﻳ ﻮ ﺍﹾﻟ ﻭﻫ Artinya : Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.42 Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menganugrerahkan rahmat kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, yaitu para hambanya yang beriman dan bertaqwa. Bukan berarti orang-orang yang mengikuti acara sekaten itu pasti mendapat rahmat Allah dengan dianugerahi awet muda. Karena merupakan haq Allah untuk memberikan rahmat-Nya kepada siapa yang Ia kehendaki.
41 42
Ibid. Ibid, hlm. 434
30
Ancaman Allah sangat keras bagi orang yang melakukan kesyirikan, sebagaimana Allah berfirman dalam sura al-Ma’idah ayat 72
ﺎ ﹴﺭﻧﺼﻦ ﹶﺃ ﻣ ﲔ ﻤ ﻟﻠﻈﱠﺎﺎ ﻟﻭﻣ ﺭ ﺎﻩ ﺍﻟﻨ ﺍﻣ ﹾﺄﻭ ﻭ ﻨ ﹶﺔﺠ ﻪ ﺍﹾﻟ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﻡ ﺍﻟﱠﻠ ﺮ ﺣ ﺪ ﻪ ﹶﻓ ﹶﻘ ﻙ ﺑﹺﺎﻟﻠﱠ ﺸ ﹺﺮ ﻳ ﻦ ﻣ
Artinya: Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada penolong sama sekali.43 2. Untuk kalangan petani, sekaten dijadikan kesempatan untuk memohon agar panennya berhasil. Allah adalah pencipta segala alam semesta sebagaimana firman-Nya di dalam surat al-Baqarah ayat 21-22
ﻱﺘﻘﹸﻮ ﹶﻥ ﺍﱠﻟﺬﺗ ﻢ ﻌﻠﱠﻜﹸ ﻢ ﹶﻟ ﻠ ﹸﻜﺒﻦ ﹶﻗ ﻣ ﻦ ﻳﺍﱠﻟﺬﻢ ﻭ ﺧﹶﻠ ﹶﻘﻜﹸ ﻱﻢ ﺍﱠﻟﺬ ﹸﻜﺭﺑ ﻭﺍﺒﺪﻋ ﺱ ﺍ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ ﻦ ﻣ ﻪ ﺝ ﹺﺑ ﺮ ﺧ ﺎ ًﺀ ﹶﻓﹶﺄﺎ ِﺀ ﻣﺴﻤ ﻦ ﺍﻟ ﻣ ﺰ ﹶﻝ ﻧﻭﹶﺃ ﺎ ًﺀﺎ َﺀ ﹺﺑﻨﺴﻤ ﺍﻟﺎ ﻭﺍﺷﻓﺮ ﺽ ﺭ ﺍﹾﻟﹶﺄﻌ ﹶﻞ ﹶﻟﻜﹸﻢ ﺟ ﻮ ﹶﻥﻌﹶﻠﻤ ﺗ ﻢ ﺘﻧﻭﹶﺃ ﺍﺍﺩﻧﺪﻪ ﹶﺃ ﻟﻠﱠ ﻌﻠﹸﻮﺍ ﺠ ﺗ ﻢ ﹶﻓﻠﹶﺎ ﺯﻗﹰﺎ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺕ ﹺﺭ ﺍﻤﺮ ﺍﻟﱠﺜ Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orangorang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buahbuahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.44 43
Ibid., hlm. 106
44
Ibid., hlm. 4
31
Patutlah kita sebagai hamba hanya menyembah dan memohon kepada Allah dimana pun dan kapan pun, karena Allah adalah Dzat yang maha mengabulkan Do’a. Allah berfirman dalam surat al-Qasash ayat 68
ﺭ ﺎﺨﺘ ﻳﻭ ﺎ ُﺀﻳﺸ ﺎ ﻣﺨﻠﹸﻖ ﻳ ﻚ ﺑﺭ ﻭ Artinya: Dan rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.45 Manusia tidak diperbolehkan mengkhususkan hari untuk berdo’a karena dianggap hari yang mustajab untuk berdo’a. Kecuali ada ayat ataupun hadis yang menjadi dasar untuk mengkhususkan waktu-waktu tertentu karena dianggap waktu yang mustajab untuk berdo’a seperti waktu antara
adzan
dan
iqamah.
Maka
perbuatan
menghususkan
hari
diselenggarakannya sekaten untuk berdo’a agar panennya berhasil merupakan perbuatan bid’ah karena tidak ada satupun ayat al-Qur’an maupun al-Hadis yang menjelaskan bahwa hari kelahran Nabi merupakan waktu mustajab untuk berdo’a. 3. Gamelan adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kiai Sekati yang memiliki dua perangkat yaitu Kanjeng Kiai Nogowilogo dan Kanjeng Kiai Guntur Madu. Selain itu, terdapat perlengkapan-perlengkapan lainnya seperti uang logam, bunga kanthil, busana seragam sekaten yang diyakini sebagai benda-benda sakral yang dapat memberikan berkah bagi masyarakat. 45
Ibid., hlm. 393
32
Hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip ketauhidan karena Allah melarang umat Islam mengharapkan berkah kepada pohon, batu, patung, dan sejenisnya. Begitu juga percaya bahwa benda-benda tertentu dapat memberi madharat (bahaya) pada manusia. Karena, hal ini termasuk perbuatan menyekutukan Allah. Selain itu, tidak ada satu pun riwayat yang dinukil dari para sahabat bahwa mereka bertabarruk kepada orang selain Nabi, baik bertabarruk dengan jasad maupun dengan bekas-bekas peninggalan mereka. Tidak pernah sedikit pun Rasulullah mengajarkan hal tersebut. Para sahabat setelah wafatnya Nabi tidak ada seorang pun yang melakukan perbuatan tabarruk kepada orang setelah Nabi. Padahal sepeninggal beliau tidak ada manusia yang lebih mulia dari Abu Bakar Ash Shiddiq karena beliaulah pengganti Nabi. Namun para sahabat tidak pernah bertabarruk kepada Abu Bakar. Tidak pernah pula bertabarruk kepada Umar bin Khattab, Utsman bin Affan ataupun Ali bin Abi Thalib, padahal merekalah orang-orang yang paling mulia dari seluruh ummat.46 4. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan
upacara
mempersiapkan
mental
dan
batin
untuk
mengemban tugas sakral tersebut. Terutama para abdi dalem yang bertugas
46
Syaikh Nashir bin Abdirrahman, “Dilarang Bertabarruk Kepada Selain Nabi”, http://www.suaramedia.com/artikel/kumpulan-doa/38259-dilarang-tabarruk-pada-selainnabi-sekalipun-generasi-terbaik. html akses 26 Juli 2012
33
memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.47 Banyak masyarakat Yogyakarta menganggap acara sekaten adalah ritual sakral yang tidak semua orang dapat mengemban tugas dalam pelaksanaan sekaten. Orang yang bertugas dalam acara sekaten atau abdi dalem juga harus melakukan serentetan ritual untuk mensucikan diri sebelum mengemban tugasnya dalam acara sekaten. Salah satu syarat para abdi dalem untuk mensucikan diri adalah dengan berpuasa. Puasa adalah ibadah mahdloh (ibadah yang telah ditentukan rukun dan syaratnya). Ini telah masuk dalam masalah ta’abbudi (ibadah khusus atau lazim disebut ritual) tidak boleh mempergunakan ijtihad, tetapi harus mengikuti nash al-Qur’an atau as-Sunnah makbulah.48 Karena ibadah puasa dalam acara sekaten ini tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an maupun asSunnah padahal puasa merupakan amalan ta’abbudi, maka puasa para abdi dalem ini dapat dikategorikan sebagai bid’ah. Dalam buku Tanya Jawab Agama disebutkan bahwa bid’ah adalah setiap amal ibadah yang dibuat tanpa adanya dalil dalam syara’ atau contoh dari Rasulullah yang membenarkannya.49
47
Ibid.
48
Ibid., hlm. 138
49
Ibid., hlm. 233
34
Berikut
kriteria
amalan
yang
termasuk
bid’ah
menurut
Muhammadiyah:50 a. Bid’ah adalah suatu cara mengamalkan agama yang tidak berdasarkan tuntunan Rasul dan oleh pelakunya dianggap sebagai bagian dari agama. b. Bid’ah hanya ada sepanjang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan agama (aqidah dan ibadah) dan tidak menyangkut urusan duniawi. c. Sebagai kebalikan dari sunnah, maka bid’ah harus ditinggalkan dan seperti dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah berikut, bid’ah adalah sesat. Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang dibuat-buat dan setiap bid’ah itu sesat. 5. Gunungan sesaji berbentuk kerucut pada acara Garebeg yang Terbuat dari beras ketan, buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan. Setelah dido’akan Gunungan sesaji tersebut dibawa ke halaman Masjid Gedhe. Banyak warga yang berebut mengambil makanan dari gunungan sesaji tersebut karena dianggap dapat membawa berkah. Bagian gunungan sesaji yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka. 50
Ibid., hlm. 234
35
Hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip ketauhidan karena Allah melarang umat Islam mengharapkan berkah kepada pohon, batu, patung, dan sejenisnya. Begitu juga percaya bahwa benda-benda tertentu dapat memberi madharat (bahaya) pada manusia. Karena, hal ini termasuk perbuatan menyekutukan Allah satu-satunya tempat bergantung. Nabi SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi Allahu akbar. Itulah tradisi (orang-orang sebelum kamu). Dan demi Allah yang diriku hanya berada di tangan-Nya, kamu benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa ‘buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan’. Musa menjawab: ‘Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengerti’. Pasti, kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu. 6. Pasar malam dalam perayaan sekaten banyak mengandung kemungkaran seperti tari-tarian klosal, bercampur baurnya lelaki dan perempuan dan banyak kedurhakaan kepada Allah di dalamnya. Sekaten bukan acara kebaikan yang di ridlai oleh Allah, tapi kedurkaan yang di benci-Nya.51 Allah berfirman dalam surat at-Thalaq ayat 8
ﺎﺎﻫﺑﻨﻋﺬﱠ ﻭ ﺍﻳﺪﺷﺪ ﺎﺎﺑﺣﺴ ﺎﺎﻫﺒﻨﺳ ﺎﻪ ﹶﻓﺤ ﻠﺳﻭﺭ ﺎﺑﻬﺭ ﻣ ﹺﺮ ﻦ ﹶﺃ ﻋ ﺖ ﺘﻋ ﺔ ﻳﺮ ﻦ ﹶﻗ ﻣ ﻦ ﻳﻭ ﹶﻛﹶﺄ ﺍﻧ ﹾﻜﺮ ﺎﻋﺬﹶﺍﺑ Artinya: Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu
51
Mahrus Ali, “Panitia Sekaten Nantang Allah, Patuh pada Iblis”, //panitia-perayaansekaten-nantang-allah. html akses 1 januari 2012
36
dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan.52 Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa kemashlahatan itu harus benar-benar yang dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun dalam prakteknya sekarang ini, sekaten sudah mengandung banyak kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang menyalahi prinsip-prinsip Islam seperti aqidah dan ketauhidan. Meskipun sekaten dapat dijadikan sarana untuk syi’ar Islam, tetapi dalam prakteknya, sekaten juga banyak mengandung unsur kesyirikan yang menjadikan sekaten sebagai satu kegiatan menyekutukan Allah. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan ini tidak lagi dapat digunakan untuk membenarkan budaya sekaten karena kegiatan ini jelas menyalahi prinsip ketauhidan dan aqidah. Karena, ukuran kemashlahatan itu dapat berubah, maka berputar pada illahnya, dan ketentuannya ialah pada kemaslahatan yang dominan yakni dapat mendatangkan kebaikan dan menghindari kerusakan. Sedangkan kerusakan yang timbul akibat diadakannya sekaten itu lebih besar karena dapat mendekatkan masyarakat dengan kesyirikan dari pada manfaat yang didatangkannya seperti untuk syi’ar Islam. Disebutkan dalam kaidah fiqhiyah 53
ﺩﺭﺀ ﺍﳌﻔﺎﺻﺪ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﳌﺼﺎﱀ
Menghilangkan kerusakan itu lebih didahulukan daripada menarik manfaat. 52
Ibid., hlm. 559 Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ul Awwaliyah, (Jakarta: Maktabah al-Sa’adiyah Futra, tt), hlm. 34 53
37
Kaidah fiqhiyah ini menunjukan bahwa jika ada kerusakan dan manfaat berkumpul pada satu perkara, maka yang harus lebih diutamakan adalah menghilangkan kerusakan. Begitu pula dalam kegiatan sekaten, meskipun kegiatan ini dapat dijadikan sarana syi’ar Islam, kita harus tetap lebih memperhatikan dan menghilangkan kerusakan yang dapat ditimbulkan dari kegiatan sekaten. Sekaten sebagai budaya lokal yang telah menjadi acara tahunan warga Kota Yogyakarta tentu sangat disayangkan jika harus ditiadakan karena adanya kepercayaan menyimpang masyarakat tentang sekaten. Budaya sekaten yang awalnya diadakan oleh para wali untuk memudahkan da’wah Islam perlu dimurnikan kembali sesuai niat awal para wali kita. Segala bentuk kesyirikan dan kepercayaan dalam acara sekaten yang menyimpang dari prinsip Islam harus dihilangkan dan diluruskan agar sekaten dapat berlangsung sesuai dengan syari’at Islam. Ketika sekaten telah murni dari kepercayaan mistis masyarakat, maka penetapan hukum berdasarkan illah maslahah dapat diterapkan lagi dalam sekaten. Hal ini dapat dilakukan karena sekaten dapat menjaga kemaslahatan seperti menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun hal ini dapat dilakukan ketika sekaten benar-benar telah bersih dari kepercayaankepercayaan mistis masyarakat maupun pihak kraton, tidak ada unsur tabdzir, ikhtilat (percampuran) antara lelaki dan permpuan, praktek penipuan dalam pasar malam sekaten, dan segala hal yang dilarang oleh syari’at Islam.
38
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kata Sekaten diambil dari pengucapan kalimat Syahadatain yang pada akhirnya menjadi istilah Sekaten. Budaya sekaten dimulai dari zaman Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Raden Patah berupaya untuk mengajak masyarakat yang sudah melekat dengan ajaran Hindu untuk masuk Islam. Kemudian Raden Patah mengadakan pertemuan dengan para Wali Songo. Dari pertemuan tersebut Sunan Kalijaga mengusulkan agar masyarakat dibiarkan tetap melaksanakan adat agama Hindu, namun dilakukan beberapa perubahan agar sesuai dengan syari’at ajaran Islam. Dari sinilah awal mula diadakannya acara sekaten yang merupakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad. Acara sekaten diadakan selama seminggu penuh dengan membunyikan gamelan Kenjeng Kiai Sekati dan Kanjeng Kiai Nogowilogo. Hal ini dilakukan untuk menarik masyarakat agar datang ke Masjid Gedhe dan mendengarkan riwayat hidup Nabi Muhammad. Namun, sekarang ini praktek sekaen sudah banyak melenceng dari niat awal para Walo Songo mengadakan acara sekaten ini. Banyak kepercayaan mistis dari masyarakat yang menjadikan sekaten menjadi sarana kemusyrikan dan kemaksiatan.
39
2. Islam tidak melarang umatnya untuk melestarikan kebudayaan selama kebudayaan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Begitu pula dengan budaya sekaten. Tidak ada larangan maupun perintah dalam alQur’an dan al-Hadis tentang budaya sekaten, maka dapat dilakukan ijtihad istishlahi untuk menetapkan hukum sekaten, yaitu ijtihad yang didasarkan illah mashlahah. Kemashlahatan itu harus benar-benar dapat menjaga lima hal, yakni agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Namun prakteknya sekarang ini, sekaten banyak mengandung unsur kemusyrikan yang bertentangan dengan prinsip Islam seperti keyakinan masyarakat bahwa dengan mengikuti sekaten maka akan dianugerahi awet muda, gunungan sesaji dan gamelan dapat memberi berkah, puasa pensucian diri yang tidak disyari’atkan Islam, pasar malam dalam perayaan sekaten banyak mengandung kemungkaran seperti tari-tarian klosal, bercampur baurnya lelaki dan perempuan dan banyak kedurhakaan kepada Allah di dalamnya. Disebutkan dalam kaidah fiqhiyah
ﺩﺭﺀ ﺍﳌﻔﺎﺻﺪ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ ﺍﳌﺼﺎﱀ Menghilangkan kerusakan itu lebih didahulukan daripada menarik manfaat. Kaidah fiqhiyah ini dapat diterapkan dalam hukum sekaten, karena meskipun kegiatan ini dapat dijadikan sarana syi’ar Islam, kita harus tetap lebih memperhatikan dan menghilangkan kerusakan yang dapat ditimbulkan dari kegiatan sekaten. Begitu banyak kesyirikan yang terkandung dalam acara sekaten, sedangkan Allah sangat tidak mentolerir dosa syirik. Oleh
40
karena itu, budaya sekaten hukumnya haram dan harus ditiadakan untuk menghentikan praktek kemusyrikan yang berkembang di masyarakat. 3. Masyarakat Yogyakarta yang mayoritas beragama Islam haruslah kembali memurnikan aqidah dengan membuang kepercayaan dan perbuatan syirik dalam acara sekaten. Sekaten sebagai budaya lokal yang telah menjadi acara tahunan warga Kota Yogyakarta tentu sangat disayangkan jika harus ditiadakan karena adanya kepercayaan menyimpang masyarakat tentang sekaten. Budaya sekaten yang awalnya diadakan oleh para wali untuk memudahkan da’wah Islam perlu dimurnikan kembali sesuai niat awal para wali kita. Segala bentuk kesyirikan dan kepercayaan dalam acara sekaten yang menyimpang dari prinsip Islam harus dihilangkan dan diluruskan agar sekaten dapat berlangsung sesuai dengan syari’at Islam. Ketika sekaten telah murni dari kepercayaan mistis masyarakat, maka penetapan hukum berdasarkan illah maslahah dapat diterapkan lagi dalam sekaten. Hal ini dapat dilakukan jika kegiatan sekaten telah benar-benar menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan dan keturunan. Hal ini dapat dilakukan ketika sekaten benar-benar telah bersih dari kepercayaan-kepercayaan syirik masyarakat maupun pihak kraton, tidak ada unsur tabdzir, ikhtilat (percampuran) antara lelaki dan perempuan, praktek penipuan dalam pasar malam sekaten, dan segala hal yang dilarang oleh syari’at Islam. B. SARAN-SARAN Penulis ingin menyampaikan saran kepada semua kaum muslimin khususnya di Kota Yogyakarta untuk meninggalkan segala kepercayaan dan 41
perbuatan syirik. Tentu sangat disayangkan jika budaya sekaten yang telah berabad-abad menjadi budaya tahunan di Kota Yogyakarta harus dihentikan karena banyak kepercayaan dan perbuatan masyarakat yang menyimpang dari Islam. Telah sepatutnya umat Islam mendahulukan syari’at Islam yang telah sempurna dari pada segala hal yang merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia. C. KATA PENUTUP Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. Dengan kemurahan dan limpahan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan risalah ini sesuai dengan ketentuan perguruan. Bersama dengan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang banyak membantu baik secara moril maupun materiil, semoga amal baiknya diterima oleh Allah swt. Bila ada kebenaran itu datangnya hanya dari Allah dan jikalau ada suatu kekurangan dan kesalahan itu adalah datang dari diri penulis sendiri. Oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar risalah ini dapat lebih sempurna. Akhirnya hanya kepada Allah swt tempat memohon dan tempat berlindung, semoga risalah ini dapat bermanfaat untuk penulis sendiri serta bagi pembaca lainnya.
42