45
BAB V KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PEMANFAATAN AREN
5.1
Sejarah Pemanfaatan Aren Pohon aren banyak tumbuh di kebun-kebun milik masyarakat Kasepuhan
atau biasa disebut talun. Kebun talun sendiri merupakan bagian dari leuweung sampalan, yaitu hutan yang dapat dimanfaatkan dan dipungut hasilnya oleh masyarakat, namun tetap dalam batas-batas aturan adat. Kebun talun termasuk ke dalam rangkaian bentuk pemanfaatan lahan dengan siklus ngahuma. Pohon aren ini tumbuh sendiri karena adanya musang yang menyebarkan benih aren melalui kotorannya, dan untuk menumbuhkannya perlu waktu selama sepuluh tahun. Pohon aren dimanfaatkan oleh masyarakat Kasepuhan sejak awal mula masyarakat Kasepuhan terbentuk, sehingga pemanfaatan aren sendiri tumbuh bersamaan dengan munculnya masyarakat Kasepuhan. Masyarakat memposisikan pohon aren sebagai pohon yang cukup istimewa karena seluruh bagian dari pohon aren bermanfaat. Karena manfaat yang banyak inilah, orangtua atau kolot di masyarakat Kasepuhan menanamkan nilainilai yang baik pada anak-anaknya yaitu ‗hirup kudu siga tangkal kawung’ yang artinya ‗sebagai manusia hidup harus seperti pohon aren yang memiliki banyak manfaat dan dapat berguna bagi orang lain‘. Secara turun temurun kokolot kampung memberikan wejangannya agar selalu melestarikan pohon-pohon aren yang ada di kampung mereka. ‗Jeujeuhken kaung tina kahirupan urang, eweuh kaung – eweung kaberkahan jeung kahirupan urang ka hareup‘ yang artinya ‗jadikan pohon aren sebagai bagian dari kehidupan, jika tidak ada pohon aren maka tidak ada pula berkah di masa yang akan datang, demikian ungkapan yang selalu disampaikan kepada generasi mendatang di Desa Sirna Resmi. Semua bagian pohon aren dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, antara lain air nira untuk gula aren dan cuka, buah aren (kolang kaling) untuk dikonsumsi sebagai makanan, akarnya untuk obat tradisional, daun muda/janur untuk pembungkus kertas rokok, dan batangnya untuk membuat sagu aren serta berbagai macam peralatan dan bangunan. Masyarakat memanfaatkan air niranya
46
untuk dijadikan gula aren dalam bentuk gula cetak/kojor. Namun seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat mulai mengolah gula aren dalam bentuk gula semut. Awalnya aren merupakan salah satu hasil hutan atau kebun yang dimanfaatkan masyarakat Kasepuhan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun, seiring berjalannya waktu hasil aren pun ternyata memiliki nilai ekonomis sehingga masyaarakat Kasepuhan pun mulai memanfatkan aren sebagai sumber pendapatan bagi rumah tangga. Mata pencaharian utama masyarakat Kasepuhan yang umumnya adalah petani padi, baik sawah maupun huma. Oleh karena itu, menyadap aren merupakan pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan untuk menambah pendapatan mereka berupa uang. Selain itu, mereka juga memperoleh pendapatan dari menjual hasil kebun lain seperti sayur, buahbuahan, dan kayu serta pekerjaan lainnya sebagai tukang ojek dan kuli. Penyadap aren di Sirna Resmi menyadap aren di pagi dan sore hari. Penyadapan dilakukan oleh kepala keluarga atau anggota keluarga laki-laki yang memang memiliki ‗keahlian‘ karena dalam penyadapan nira aren tidak hanya keahlian teknis yang diperlukan oleh setiap penyadap nira dalam pengelolaan pohon aren agar menghasilkan nira, tetapi juga penguasaan keahlian spiritual. Setelah disadap, nira dimasak di atas tungku kayu. Untuk tugas memasak nira agar menjadi gula aren dilakukan oleh para istri. Gula aren lalu dicetak dengan menggunakan cetak kelapa dan dibungkus dengan pelepah daun aren atau daun kelapa, dan gula disimpan di atap rumah atau para. Dari dua gula cetak yang dijadikan satu, akan membentuk satu hulu atau satu kepala, dan dari lima hulu gula akan membentuk satu kojor gula. Gula cetak ini akan bertahan lama sampai dua tahun. Jika gula cetak tersebut disimpan dalam jangka waktu yang lama, maka dari satu hulu atau satu kepala gula cetak akan muncul telur gula di dalamnya. Telur gula ini merupakan gula berwarna putih yang terbentuk dari hasil endapan gula cetak. 5.2
Pola Penguasaan Aren dan Akses Terhadap Pohon Aren Pohon aren yang tumbuh di kebun atau talun milik masyarakat Kasepuhan
bukan merupakan hasil budidaya, melainkan tumbuh dengan sendirinya karena bantuan musang. Umumnya kepemilikan lahan di masyarakat adat merupakan
47
lahan yang dimiliki oleh komunitas adat berupa lahan komunal, sehingga setiap anggota komunitas memiliki hak untuk menguasai dan mengelola lahan. Begitu juga dengan kepemilikan lahan yang ada di Kasepuhan. Lahan yang ada di wilayah Kasepuhan bersifat komunal dan sebagian anggota komunitas berhak untuk menggarap lahan (Mardiyaningsih, 2010). Dalam pola pengelolaannya harus tetap menuruti aturan adat, dimana hak garap yang dimiliki anggota komunitas dapat dialihkan kepada anggota komunitas lain dengan sistem bagi hasil. Anggota komunitas berhak menggarap lahan tersebut dan dapat mengaksesnya, asalkan ia masih mengelolanya dengan baik. Wilayah desa yang sebagian besar berada di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ini menyebabkan akses masyarakat atas lahan tersebut mulai terbatas. Masyarakat yang ingin menggarap lahan sulit untuk mendapat akses karena ada batas-batas yang telah ditetapkan oleh pihak Taman Nasional, terutama setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan No. 175 Tahun 2003 tentang perubahan fungsi kawasan Perhutani menjadi bagian dari kawasan TNGHS, termasuk di dalamnya pemukiman dan lahan garapan penduduk Desa Sirna Resmi, terutama di Dusun Cicemet. Surat Keputusan perluasan kawasan taman nasional ini menyebabkan hilangnya akses masyarakat Kasepuhan untuk menggarap lahan pertanian. Sebelum tahun 2003, masyarakat Kasepuhan menggarap lahan di kawasan Perhutani. Ketika itu, mereka masih memiliki akses untuk menggarap lahan meskipun harus membayar pajak kepada Perhutani sebesar 10% dari hasil tani. Masyarakat yang ingin menggarap lahan harus mendapatkan izin dari Negara dengan memiliki SPPT atau Surat Peringatan Pajak Terhutang, yang berfungsi sebagai surat untuk membayar pajak tanah. Biaya pajak SPPT ini dibagi menjadi dua kelas berdasarkan luasan lahan, yaitu Rp 25000 per 10000 meter persegi dan Rp 15000 per 10000 per meter persegi. Setelah memiliki SPPT, maka warga dapat menggarap lahan tersebut dan berhak atas lahan tersebut dan dapat menggarapnya secara individu. Hak garap individu ini berlaku untuk semua lahan garapan, baik sawah, huma, dan talun. Hak garap lahan ini dapat diwariskan turun temurun. Terkadang SPPT digunakan oleh masyarakat sebagai alat transaksi
48
keuangan. Surat pajak ini biasanya dijadikan jaminan dalam mendapatkan kredit motor. Pohon aren yang dimanfaatkan oleh penduduk adalah pohon aren tumbuh di kebun talun milik penduduk. Aturan kepemilikan pohon aren sendiri didasarkan pada kepemilikan lahan dimana pohon aren tersebut tumbuh. Jadi dapat dikatakan, ketika pohon aren tersebut tumbuh di lahan atau kebun milik salah satu warga, berarti kepemilikan pohon aren tersebut dimiki oleh warga yang bersangkutan dan pemilik lahan tersebut berhak untuk memanfaatkan pohon aren itu. Sistem kepemilikan pohon aren dapat diwariskan bersamaan dengan diwariskannya lahan talun. Kepemilikan atas pohon aren hanya dapat dialihkan dengan cara menjual pohon tersebut kepada pihak lain. Tidak semua pemilik aren menyadap arennya sendiri. Hal ini terkait dengan aturan adat dalam pemanfaatan aren yang menyatakan bahwa aren tidak bisa disadap oleh sembarang orang. Ketika pemilik pohon tersebut tidak memiliki ‘keahlian‘ untuk menyadap aren, maka pemilik tersebut akan memberikan hak penyadapan aren tersebut kepada pihak lain, baik keluarga atau kerabat yang memang memiliki keahlian dalam menyadap aren melalui sistem bagi hasil atau maro. Seperti yang dikemukakan oleh salah satu responden, Bapak AD (35 tahun): ”Saya mah tidak bisa nyadap aren. Pohonnya banyak di talun, tapi disadap ku batur (disadap orang lain). Paling saya dapat gula 5 kg dalam seminggu buat di rumah.” Sistem bagi hasil atau maro dalam pemanfaatan aren banyak ditemukan di lokasi penelitian. Pemilik dan penyadap aren sudah memiliki perjanjian dalam pembagian hasil dari pengolahan nira menjadi gula aren. Berdasarkan informasi yang didapat, pemilik dan penyadap aren biasanya membagi hasil arennya dengan membagi hasil yang didapat dalam satuan hari. Ada beragam bentuk bagi hasil yang dilakukan oleh pemilik pohon aren dan penyadap, antara lain: Bagi hasil 6:1 yaitu dalam tujuh hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama enam hari dan pemilik pohon hanya satu hari, bagi hasil 4:1 yaitu dalam lima hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama empat hari dan pemilik pohon hanya satu hari,
49
bagi hasil 3:1 yaitu dalam empat hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama tiga hari dan pemilik pohon hanya satu hari, dan bagi hasil berselang dua hari sekali atau 2:1 yaitu dalam tiga hari penyadap memperoleh bagian dari hasil gula aren selama dua hari dan pemilik pohon hanya satu hari. Sebenarnya tidak ada latar belakang tertentu dari pembagian hasil tersebut. Pemilik pohon hanya ingin pohon arennya dapat dimanfaatkan, meskipun oleh kerabat maupun orang lain. Oleh karena itu, para pemilik pohon yang tidak dapat menyadap aren lebih baik membiarkan pohonnya disadap orang lain agar lebih bermanfaat, sesuai dengan keyakinan masyarakat yang memposisikan pohon aren sebagai pohon yang istimewa karena manfaatnya yang banyak. Selain itu, rasa kekeluargaan masyarakat yang cukup tinggi dengan sesama anggota komunitas membuat para pemilik pohon aren memberikan seluruh hasil pohon arennya kepada penyadap dan mereka hanya mendapatkan bagian yang lebih sedikit. Namun, pemilik pohon justru merasa senang jika pohon yang mereka miliki disadap orang lain daripada dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa memanfatkan hasil dari pohon aren tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Bapak ZA (40 tahun): ”Pohon kawung (aren) saya banyak di talun, ratusan malah. Ada yang masih kecil dan ada yang sudah besar. Tapi pohon banyak gitu mah susah nyadapnya, mending diparo saja ke orang, biar lebih bermanfaat. Kalau bagi hasilnya mah ga seberapa, paling 3 sampai 5 kg, yang penting gula cukup untuk di rumah buat masak sama ngopi.” Kepemilikan pohon aren dapat dialihkan dengan dua cara. Pertama, karena warisan dari keluarga secara turun temurun (sesuai dengan kepemilikan lahan kebun yang digarap), dan kedua karena adanya jual beli pohon aren. Sebenarnya menurut aturan adat yang berlaku, pohon aren tidak dapat diperjualbelikan kecuali jika pohon aren tersebut tidak lagi memproduksi nira. Pohon aren yang sudah tidak memproduksi nira tersebut biasanya dijual untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku sagu aren. Akan tetapi, pada kenyataannya beberapa pemilik aren menjual pohon arennya, bahkan yang masih muda dan belum mengeluarkan nira. Pohon tersebut dijual karena alasan bahwa pemiliknya
50
tidak bisa menyadap pohon tersebut, sehingga ia menjualnya kepada orang lain. Alasan lainnya yaitu karena lokasi pohon aren tersebut jauh dari tempat tinggal si pemilik. Seperti yang dikemukakan oleh Pak JT (60 tahun): “Sebenarnya saya mempunyai banyak pohon aren yang tumbuh sendiri di kebun milik saya. Hanya saja, saya tidak menyadap pohon aren tersebut sehingga saya menyuruh adik saya untuk menyadap pohon tersebut. Lagipula pohonnya ada di kampung sebelah, jadi saya suruh adik saya saja yang nyadap.” 5.3
Aturan-Aturan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Sebagai masyarakat adat yang masih memegang teguh nilai-nilai adat dan
budayanya, masyarakat Kasepuhan memiliki tata cara berinteraksi dengan alam, terutama dalam kegiatan bercocok tanam seperti aturan-aturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil pertanian dan hutan. Untuk pertanian sendiri, masyarakat Kasepuhan memiliki aturan dalam menjalankan pertanian. Mereka tidak hanya menjadikannya sebagai usaha memenuhi kebutuhan hidup, tetapi dijadikan sebagai bentuk kesadaran dalam menjalankan aturan adat yang memang harus dipatuhi. Bertani atau ngahuma merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap anggota masyarakat Kasepuhan. Selain itu, sebagian besar masyarakat juga menanam padi dengan sistem sawah. Sawah tadah hujan merupakan sawah yang banyak ditemukan di Desa Sirna Resmi karena mereka mengandalkan air hujan sebagai sumber air bagi tanaman padi mereka. Kegiatan ngahuma dijalankan dengan bersungguh-sungguh dan masih terikat dengan ritual-ritual tertentu dari mulai penanaman sampai dengan pemanenan. Untuk kegiatan ngahuma sendiri dimulai dari nyacar sampai seren taun, sedangkan untuk kegiatan di sawah dimulai dari ngababad (membersihkan lahan) sampai ngaleuit (memasukkan padi ke dalam lumbung). Hasil dari padi yang mereka peroleh digunakan untuk kebutuhan pangan masing-masing keluarga atau rumah tangga selama satu tahun. Aturan adat melarang masyarakat Kasepuhan menjual hasil padi mereka. Namun, ada beberapa anggota masyarakat yang menjual padinya walaupun sedikit untuk menambah pendapatan dengan syarat jumlah padi yang mereka miliki ada kelebihan dan kebutuhan pangan mereka untuk satu tahun dapat terpenuhi.
51
5.4
Aturan Adat dalam Pemanfaatan Aren Setiap penyadap aren di Desa Sirna Resmi memiliki mata pencaharian
utama sebagai petani, terlepas dari status mereka apakah memiliki lahan sawah atau huma atau tidak memiliki lahan sawah atau huma4. Aren tumbuh sendiri di kebun talun karena adanya bantuan musang. Terkait dengan pemanfaatan pohon aren, terdapat aturan adat yang harus dipatuhi oleh masyarakat Kasepuhan, antara lain: 1.
Sebelum memanfaatkan pohon aren, perlu menguasai doa-doa mantra. Seorang pemanjat pohon aren harus memahami sisi gaib pohon itu. Berbagai mantra harus dibacakan ketika hendak memanjatnya. Begitu pula ketika pohon aren akan ditebang. Masyarakat mempercayai, apabila menebang pohon aren tanpa membacakan mantra-mantra terlebih dahulu, niscaya kabendon (kutukan dari karuhun/sesepuh terdahulu) dapat menimpa si penebang.
2.
Aren tidak bisa disadap oleh sembarang orang. Menurut kepercayaan masyarakat Kasepuhan, hanya orang-orang yang bertangan dingin yang dapat menyadap aren. Jika aren disadap oleh orang yang bertangan panas, maka air nira akan berkurang bahkan tidak akan keluar lagi.
3.
Penyadap aren harus memiliki hati yang bersih, dan ketika melakukan penyadapan harus dilakukan dengan hati yang senang atau suasana hati yang baik. Ketika penyadap aren sedang menghadapi masalah, sebaiknya tidak melakukan penyadapan karena pohon aren bisa ―marah‖. Pohon aren yang marah biasanya akan mandul atau tidak akan mengeluarkan air niranya lagi.
4.
Penyadap aren tidak boleh menjual air nira dalam bentuk cair atau mentah melainkan harus dalam bentuk gula aren. Salah seorang responden, AR (60 tahun), mengaku pernah mendapatkan kabendon. Saat itu, air nira yang dihasilkan pohon arennya hanya sedikit. Untuk mengolahnya menjadi gula aren pun tidak seberapa hasilnya. Beliau pun menjual air nira tersebut di Pelabuhan Ratu. Ternyata keesokan harinya beliau tidak dapat berbicara, dan hal tersebut terjadi selama dua hari. Setelah menyadari bahwa itu bentuk
4
Petani yang tidak memiliki lahan biasanya mendapatkan padi dari hasil bekerja sebagai buruh tani.
52
kutukan karena melanggar aturan adat, maka beliau mendatangi ‗orang pintar‘. Pak AR pun harus melakukan syukuran untuk pembersihan atau beberes agar kutukan/kabendon tersebut hilang. Aturan-aturan ini bersifat tidak tertulis dan kebanyakan penyadap aren masih meyakini bahwa dengan mematuhi aturan tersebut maka pohon aren yang mereka miliki akan terus membawa berkah bagi masyarakat Kasepuhan. 5.5
Ekstraksi dan Produksi Aren Sebelum dilakukan penyadapan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
seperti persiapan peralatan yang akan digunakan, kesiapan pohon yang akan disadap dan pengetahuan mengenai cara penyadapan, yang dapat mempengaruhi mutu nira yang akan dihasilkan. Alat-alat yang digunakan untuk menyadap nira sebagian besar merupakan hasil buatan sendiri yang bahan bakunya berasal dari kebun atau pekarangan, atau membelinya di pasar. Peralatan tersebut antara lain: a.
Paninggur, yaitu alat untuk memukul-mukul lengan pohon aren yang akan disadap dengan tujuan untuk memperlancar keluarnya air nira,
b.
Peso sadap, berfungsi untuk memotong ujung lengan pohon aren,
c.
Lodong, bambu panjang berbentuk silinder yang digunakan untuk menampung air nira,
d.
Sigai, yaitu tangga yang terbuat dari bambu dan digunakan untuk menaiki pohon aren,
e.
Jeuntas atau tali yang terbuat dari bambu, yang berfungsi sebagai pijakan penyadap saat menyimpan, menyadap, dan mengambil lodong, dan
f.
Bedog, digunakan untuk membuka pelepah aren. Penyadapan dapat dilakukan pada pohon aren yang sudah berumur 10-12
tahun dan setelah bunga jantan mekar (tua). Ciri-ciri bunga jantan yang sudah tua dan siap untuk disadap dapat dilihat dari beberapa tahapan sebagai berikut : a.
Barenghor, yaitu bagian lengan aren terlihat sudah mekar dan bagian dalam bunga (benang sari) berwarna kuning.
b.
Humangit, yaitu tercium bau dari lengan aren yang sangat tajam. Apabila kita berada di bawah pohon aren aroma tersebut tercium, tetapi apabila berada di atas pohon aren, aroma tersebut tidak tercium sama sekali.
c.
Jeugang, yaitu keluar getah yang sangat lengket di sekitar tandan lengan.
53
d.
Lumejar, yaitu bagian lengan sudah berwarna hijau tua, hitam atau ungu kehitaman.
Sebelum pohon bisa diambil niranya, perlu dilakukan proses-proses yang memiliki tahapan: 1. Pembersihan lengan pohon aren atau tandan. Persiapan penyadapan dimulai dengan membersihkan batang pohon aren dari ijuk dan membuka pelepahnya, kemudian memasang sigai dan memasang jeuntas. 2. Ninggur, yaitu memukul-mukul lengan pohon aren yang merupakan tempat keluarnya air nira. Dalam proses meninggur ini juga dilakukan beberapa doa khusus berupa pujian atau kata-kata baik yang ditujukan kepada pohon aren agar air niranya keluar. Proses ninggur ini dilakukan dengan melakukan pukulan sebanyak 3 sampai 7 kali, sampai lengan pohon aren tersebut berwarna kehitaman. Pohon aren baru dapat ditinggur apabila sudah memiliki tiga lengan/tandan atau setelah keluar bunga jantannya dan berbuah. Dalam sebulan, biasanya penyadap meninggur dilakukan satu samapi dua kali dalam seminggu 3. Mengayun-ayun lengan aren. Ini dilakukan untuk memancing air nira keluar. Biasanya dilakukan berulang kali agar pori-pori yang ada di lengan aren membesar dan air nira dapat terpancing keluar lebih banyak. Proses mengayun ini dilakukan sebelum dan sesudah meninggur, dan setiap kalinya dilakukan sebanyak 20-30 kali ayunan. 4. Dipagas atau magas, yaitu memotong ujung tandan bunga jantan dengan menggunakan pisau sadap, kemudian dibiarkan 1-3 hari sampai niranya keluar. Apabila dari tandan bunga jantan tersebut keluar buih/busa, maka buih yang keluar harus dibersihkan dengan cara tandan bunga jantan disayat tipis menggunakan pisau sadap kemudian digosok dengan ijuk. Buih ini dapat menyebabkan nira menjadi asam. Selanjutnya, setelah tandan bunga jantan bersih dari buih, tandan bunga jantan tersebut dibungkus dengan daun waluh gede/labu dan didiamkan kembali selama 1-3 hari. Pembungkusan ini dikenal dengan istilah dipoko. Jika setelah dipoko banyak nira yang keluar, maka tandan bunga jantan tersebut sudah bisa untuk disadap.
54
5. Setelah air nira keluar, para penyadap mulai menaruh lodong atau wadah bambu berbentuk silinder panjang untuk mengumpulkan air nira tersebut. Sebelum ditaruh, lodong dicuci terlebih dahulu dengan air yang mengalir, kemudian diasapi dengan menggunakan bara api sampai lodong terasa panas dan kering. Selanjutnya dimasukkan raru atau bahan pengawet untuk mencegah agar nira tidak menjadi asam. Biasanya bahan pengawet tersebut berasal dari daun-daunan, akar, atau kulit pohon, seperti daun jambu air, daun atau manggis. Untuk mencegah masuknya kotoran seperti debu dan semut, biasanya celah diantara tangkai bunga aren dan mulut lodong disumbat dengan ijuk. Sedangkan untuk mencegah masuknya air hujan, di atas mulut lodong diberi atap dari ijuk atau karung. Namun bila air hujan masih dapat masuk ke dalam lodong dapat diatasi dengan cara membuang airnya, karena air hujan tidak bercampur dengan nira. Dari satu lengan pohon aren dapat menghasilkan air nira dalam jangka waktu lima sampai tujuh bulan, tergantung panjang tandan, jumlah ruas pada tandan dan kesuburan pohonnya. Biasanya lengan pertama merupakan lengan yang paling banyak mengeluarkan air nira. Jumlah lengan pohon aren beragam, tergantung pada ketinggian pohon. Para penyadap aren biasanya berangkat pagi hari untuk mengambil air nira yang sudah terkumpul di dalam lodong yang sebelumnya diberi akar nangka atau akar kawao sebagai bahan pengawet yang berfungsi sebagai pencegah pengasaman pada air nira. Selain dengan itu bahan pengawet lain yang dapat digunakan yaitu kulit manggis dan kapur sirih. Nira yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diolah di atas api tungku kayu bakar selama 5–8 jam pada ruangan khusus atau disebut dengan imah gula. Ruang tersebut letaknya tak jauh dari kebun talun, berukuran 3 x 4 meter persegi dan dipenuhi peralatan dapur untuk mengolah gula aren. Untuk mengolahnya menjadi gula cetak, air nira terus dimasak sampai menyusut (ngacaah), lalu mengental dan berwarna kekuning kuningan. Saat nira mulai mendidih (ngaguruh), di permukaannya akan terdapat buih. Buih ini sebaiknya dibuang dengan menggunakan alat penciduk agar diperoleh gula yang tidak berwarna gelap (hitam), kering dan tahan lama. Selanjutnya, gula yang
55
sudah matang siap dicetak dalam cetak-cetak kelapa yang sudah dibersihkan dan dibiarkan hingga mengeras, lalu siap dikemas dengan menggunakan pelepah daun aren. Sedangkan pengolahan nira aren menjadi gula semut sedikit agak berbeda. Proses pembuatannya dimulai dengan menyaring nira agar bersih dari kotoran, kemudian dimasak di atas tungku selama 5–8 jam dengan terus diaduk sampai mengental kecoklat-coklatan. Selama pengadukan, adonan aren ditambah minyak kelapa dengan perbandingan satu sendok makan minyak kelapa untuk ± 25 liter nira. Setelah masak, nira didinginkan sambil terus diaduk perlahan-lahan. Kemudian, diamkan beberapa saat agar mengembang. Pengadukan diulangi lagi dengan cepat menggunakan kayu pengaduk untuk memperoleh butiran-butiran berbentuk pasir/kristal. Setelah itu butiran tersebut diayak dengan menggunakan ayakan untuk memperoleh butiran-butiran pasir yang seragam sebelum akhirnya dikemas dalam kantong-kantong plastik dan siap dijual. Dahulu masih ada pembagian kerja dalam pengolahan nira menjadi gula aren, dimana kepala keluarga atau anggota keluarga laki-laki menyadap aren, dan istri atau ibu memasak nira di rumah. Namun, saat ini pembagian kerja tersebut sudah tidak lagi ditemukan karena para ibu atau istri lebih banyak bertugas untuk memasak makanan di dapur dan mengurus rumahtangga sehingga peran untuk memasak nira kini dilakukan oleh penyadap langsung di imah gula yang letaknya tak jauh dari talun. Setelah masyarakat mulai mengenal gula semut dan mengkomersialisasikannya, peran perempuan dalam pengolahan gula aren semakin berkurang. Hal ini menandakan bahwa komersialisasi komoditi gula aren membuat pengolahan gula aren lebih banyak dilakukan oleh kaum lelaki karena bidang pengetahuan yang mereka miliki, baik keahlian secara spritual dalam pemanfaatan aren maupun pengetahuan nilai ekonomi dari gula aren itu sendiri setelah berkembangnya komersialisasi gula semut di masyarakat Kasepuhan. Biasanya para petani aren menjual hasil gula arennya kepada pengumpul. Para pengumpul pun rata-rata hanya menerima gula aren dalam bentuk gula semut. Hal ini dikarenakan nilai jual gula semut yang lebih tinggi dibanding gula cetak. Bahkan gula semut ini juga dipasok ke kota-kota besar di luar Sukabumi, bahkan sampai ke Jakarta. Selain itu dapat dikonsumsi langsung oleh konsumen, gula semut ini juga diolah sebagai bahan baku untuk pembuatan makanan dan
56
minuman di pabrik-pabrik besar. Menurut salah satu informan, Pak OM (36 tahun), salah satu produk Brown Coffee menggunakan gula aren yang diproduksi di Kasepuhan ini. Selain itu produk minuman lain seperti bandrek atau minuman jahe juga menggunakan bahan baku gula semut ini. Masyarakat Kasepuhan memang lebih memilih gula semut untuk dikomersialisasikan dibandingkan gula cetak. Menurut para responden, hal ini dikarenakan gula aren dapat ‗menghasilkan‘. Sebenarnya gula cetak pun sama, hanya saja peminatnya tidak banyak dan mereka hanya membuat gula cetak jika ada pesanan saja. Selain itu, pembuatan gula semut ini juga dilakukan atas insruksi dari pemerintah daerah setempat agar menjadikan gula aren sebagai komoditi utama yang diproduksi di Desa Sirna Resmi. Gula semut biasanya dijual kepada pengumpul dengan kisaran harga Rp 7.000,00 sampai Rp 10.000,00 per kilogram. Untuk gula cetak dijual langsung kepada konsumen dengan harga Rp 15.000,00 sampai Rp 25.000,00 per kojor. Kojor ini merupakan satuan ukuran yang digunakan masyarakat Kasepuhan untuk gula cetak. Satu kojor sama dengan lima hulu atau kepala. Masing-masing hulu terdiri dari dua cetak gula yang direndengkan menjadi satu. Gula cetak juga dapat dijual per hulu seharga Rp 3.000,00-5.000,00. Selanjutnya mengenai pembagian kerja yang terjadi dalam pemasaran gula aren dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Pemilik dan penyadap aren Penyadap aren yang ada di Kasepuhan masih mengolah gula aren dalam skala kecil, yaitu skala rumahtangga. Dalam satu rumahtangga yang memiliki pohon aren, penyadapan bisa dilakukan oleh kepala keluarga itu sendiri, anak lakilakinya, atau adik laki-laki, keponakan laki-laki, dan menantu laki-laki yang memang memiliki keahlian menyadap aren. Memasak gula aren pun langsung dilakukan oleh orang yang menyadap aren. Namun, tidak menutup kemungkinan anggota keluarga perempuan untuk memasak gula aren. Akan tetapi hal ini sudah jarang ditemukan di Kasepuhan karena kaum perempuan lebih fokus pada urusan bertani dan urusan di memasak dapur untuk menyediakan makanan bagi seluruh anggota keluarga. Pembagian tugas keluarga dalam penyadapan aren masih dilakukan oleh salah satu responden yaitu Bapak AN (74 tahun). Beliau hanya bertugas memasak gula aren, sedangkan anak laki-lakinya bertugas menyadap nira
57
dari pohon aren yang ia miliki tanpa adanya pembagian hasil gula aren. Lain halnya dengan Bapak IR (55 tahun) yang niranya disadap dan dimasak oleh anaknya, namun dengan memakai sistem maro dimana ada pembagian hasil gula aren. 2. Pengumpul Pengumpul berperan mengumpulkan gula aren yang diperoleh dari penyadap aren. Pengumpul merupakan pihak yang menjembatani pemasaran gula semut dari dalam desa ke luar desa sehingga gula semut dari Kasepuha dapat dipasarkan ke kota-kota besar. Pengumpul gula aren dapat dikatakan sebagai pihak yang paling penting dari pemasaran gula aren ini, karena tanpa adanya pengumpul gula aren di tiap-tiap kampung para penyadap tidak dapat memasarkan ke luar desa. Lagipula jarak yang harus ditempuh dari satu dusunh ke dusun lain sangat jauh, sehingga para penyadap lebih memilih untuk menjual gula semutnya melalui pengumpul gula semut. Sedangkan pengumpul sagu aren hanya dapat ditemukan di tiap desa, sehingga untuk pemasaran sagu aren agak sulit ditelusuri karena lokasinya yang sangat jauh. Untuk saat ini, kebanyakan pohon aren yang sudah tidak berproduksi dibiarkan saja sampai pohon tersebut mati dan tumbang dengan sendirinya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat kelembagaan berupa aturan-aturan adat mengenai pemanfaatan sumberdaya yang ada di Desa Sirna Resmi, khususnya masyarakat Kasepuhan dalam pemanfaatan dan pengelolaan aren masih tetap terjaga. Kelembagaan dari segi kepemilikan pohon aren ditentukan berdasarkan tempat tumbuhnya pohon aren di kebun talun milik warga, dan kepemilikan tersebut dapat diwariskan turun temurun dalam suatu keluarga. Kepemilikan pohon aren juga dapat dipindahkan kepada orang lain melalui sistem jual-beli pohon aren, meskipun hal tersebut bertentangan dengan aturan adat yang berlaku di masyarakat Kasepuhan. Hal garap untuk memanfaatkan aren pun dapat diberikan kepada orang lain melalui sistem maro atau bagi hasil. Selain itu, kelembagaan yang terdapat dalam pengelolaan aren ini yaitu adanya peran pengumpul gula semut sebagai pihak yang menjembatani penyadap aren dengan konsumen untuk memasarkan hasil gula semut yang dihasilkan. Menurut penelitian RMI tahun 2003 lalu, terdapat koperasi KUB Karya Bakti
58
yang yang mengumpulkan gula aren dari perajin aren bagi empat desa, yaitu Desa Sirna Resmi, Desa Cicadas, Desa Sirnagalih, dan Desa Cikadu. Akan tetapi, saat ini koperasi tersebut sudah tidak berjalan lagi karena peran pengumpul gula semut diambil alih oleh para pengumpul gula semut yang jumlahnya semakin banyak, dan setidaknya setiap kampung memiliki satu sampai dua pengumpul gula aren. Penyebab lainnya yaitu adanya jaringan sosial yang terbentuk karena adanya hubungan informal sesama anggota komunitas Kasepuhan. Kepercayaaan yang terbangun dari hubungan antar individu yang sudah terjalin lama, dan terlibat dalam perilaku ekonomi berpengaruh terhadap pemasaran gula aren itu sendiri. Eksistensi koperasi yang diharapkan dapat menjadi fasilitator para penyadap aren menjual hasil arennya kepada konsumen ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Hubungan yang sudah terjalin erat antara penyadap aren dengan pengumpul sebelumnya membuat penyadap lebih memilih untuk menjual hasil gula semutnya kepada para pengumpul daripada ke koperasi. 5.6
Ikhtisar Pemanfaatan aren dilakukan sejak awal komunitas Kasepuhan terbentuk,
sehingga pohon aren merupakan bagian dari keberadaan masyarakat Kasepuhan dari dulu hingga sekarang. Manfaat yang dimiliki pohon aren dari seluruh bagianbaginannya membuat pohon aren sangat ‗dihormati‘ oleh masyarakat Kasepuhan. Bahkan masyarakat Kasepuhan secara turun menurun memberikan wejangan dan filosofi yang berkaitan dengan pohon aren yaitu agar hidup dengan memberi banyak manfaat seperti pohon aren dan selalu melestarikan pohon aren agar membawa berkah bagi kehidupan masyarakat Kasepuhan. Pohon aren yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah pohon aren tumbuh di kebun talun milik masyarakat karena adanya musang yang menyebarkan benih aren melalui kotorannya. Aturan kepemilikan pohon aren sendiri didasarkan pada kepemilikan lahan dimana pohon aren tersebut tumbuh, sehingga ketika pohon aren tersebut tumbuh di lahan atau kebun milik salah satu warga, berarti kepemilikan pohon aren tersebut dimiki oleh warga yang bersangkutan dan pemilik lahan tersebut berhak untuk memanfaatkan pohon aren itu. Sistem kepemilikan pohon aren dapat diwariskan bersamaan dengan diwariskannya lahan talun. Kepemilikan atas pohon aren hanya dapat dialihkan dengan cara menjual
59
pohon tersebut kepada pihak lain. Namun, jika pemilik pohon tersebut tidak memiliki ‘keahlian‘ untuk menyadap aren, maka pemilik tersebut akan memberikan hak penyadapan aren tersebut kepada pihak lain, baik keluarga atau kerabat yang memang memiliki keahlian dalam menyadap aren melalui sistem bagi hasil atau maro. Dalam pemanfaatan pohon aren, terdapat aturan adat yang harus dipatuhi oleh masyarakat Kasepuhan, antara lain harus menguasai doa-doa atau mantra pada saat akan memanfaatkan pohon aren maupun menebangnya; penyadapan tidak boleh dilakaukan oleh sembarang orang dan harus dilakukan dengan hati yang bersih dan senang; serta tidak boleh menjual nira dalam bentuk cair, maelainkan harus diolah dulu menjadi gula aren. Para penyadap aren dan masyarakat Kasepuhan masih meyakini bahwa dengan mematuhi aturan tersebut maka pohon aren yang mereka miliki akan terus membawa berkah bagi masyarakat Kasepuhan. Proses ekstraksi dan produksi gula aren seluruhnya dilakukan oleh penyadap aren tanpa ada pembagian kerja dengan kaum perempuan. Berbeda dengan dahulu, perempuan masih memiliki peran dalam proses memasak gula aren. Namun saat ini pembagian kerja tersebut sudah tidak ditemukan lagi karena para ibu atau istri hanya bekerja di sawah, ladang atau huma dan mengurus rumahtangga. Kebanyakan penyadap mengolah gula aren menjadi gula semut, sedangkan gula kojor atau cetak hanya dibuat jika ada pesanan. Gula semut tersebut kemudian dijual kepada pengumpul dengan harga Rp 7.000,00 sampai Rp 10.000,00 per kilogram. Untuk gula cetak dijual seharga Rp 15.000,00 sampai Rp 25.000,00 per kojor atau dijual per hulu seharga Rp 3.000,00 sampai Rp 5.000,00. Sebelumnya pernah dibentuk koperasi yang bernama KUB Karya Bakti untuk mengumpulkan gula semut bagi empat desa, yang salah satunya Desa Sirna Resmi. Akan tetapi, koperasi tersebut tidak bertahan lama dan akhirnya ditutup. Tidak berjalannya koperasi gula aren yang pernah ada di Desa Sirna Resmi dikarenakan adanya pengumpul gula aren yang lebih mendominasi. Selain itu, hubungan yang sudah terjalin erat antara penyadap aren dengan pengumpul sebelumnya membuat penyadap lebih memilih untuk menjual hasil gula semutnya kepada para pengumpul daripada ke koperasi.