ANALISIS PERAN KELEMBAGAAN EKONOMI LOKAL TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN DALAM PENGELOLAAN IKAN LARANGAN Studi Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman
IFTITAHUL FAJRIYAH
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Peran Kelembagaan Ekonomi Lokal terhadap Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan: Studi Kasus Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Iftitahul Fajriyah H44090051
ABSTRAK IFTITAHUL FAJRIYAH. Analisis Peran Kelembagaan Ekonomi Lokal terhadap Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan (Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman). Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR. Penelitian ini didasarkan pada pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan masyarakat di Desa Sungai Pasak Sumatera Barat. Pengelolaan sumberdaya ikan tersebut dikenal dengan sebutan Ikan Larangan. Ikan larangan adalah sebuah sistem pengelolaan ikan melalui sistem tutup untuk beberapa waktu yang dilakukan di sungai atau kanal. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan ikan larangan, biaya transaksi, dan mendeskripsikan manfaat pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Metode yang purposive sampling terhadap responden dan snowball sampling terhadap informan kunci. Metode lain yang mendukung hasil wawancara adalah observasi lapang dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa area Ikan Larangan sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat secara umum melalui pemerintah desa dan kelembagaan adat setempat yang berperan sebagai pengawas. Biaya pengelolaan ikan larangan terdiri dari biaya operasional (Rp 12 000 000) dan biaya transaksi (Rp 8 000 000 per tahun). Observasi lapangan menunjukkan bahwa pengelolaan daerah ikan larangan memiliki dampak positif bagi masyarakat. Beberapa manfaat dari pengelolaan sumberdaya ikan di perairan umum adalah menjaga keberlanjutan, menjaga persaudaraan antara masyarakat, dan menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat desa. Kata kunci: biaya pengelolaan, ikan larangan, kelembagaan lokal, pengelolaan perikanan
ABSTRACT IFTITAHUL FAJRIYAH. Analysis of The Role of Local Institutional Economic to Waterworks Utilization about Ikan Larangan Management (Case study Ikan Larangan in Sungai Pasak Village, Pariaman City). Supervised by RIZAL BAHTIAR This research based on management of fisheries resources by community Desa Sungai Pasak in West Sumatera. Management of fisheries resources is known as ikan larangan. Ikan larangan is a kind of fisheries management system that applies closing seasons to fishing in a portion of river or canal for a certain period. The purpose of this study was to indentify management of fisheries institutional, transaction cost, and describe the benefit from management of ikan larangan Desa Sungai Pasak. The research method are purposive sampling and snowball sampling. Another method of supporting the result interview are observations and documentation. The result of research showed that Ikan larangan areas is under the management of community from village government and local comunity representative. Management cost for ikan larangan include operational cost (IDR 12 000 000) and transaction cost (IDR 8 000 000 anually). Field observation shows that the management of the ikan larangan areas has a positive impact on the villagers. Some of the benefits from the system are fisheries resources in the open waters are kept sustainable, facilitating brotherhood among the villagers, and generating income for villagers. Keywords : fisheries management, ikan larangan, local institution, management cost
ANALISIS PERAN KELEMBAGAAN EKONOMI LOKAL TERHADAP AKSES PEMANFAATAN LINGKUNGAN DALAM PENGELOLAAN IKAN LARANGAN Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman
IFTITAHUL FAJRIYAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
JudulSkripsi : Analisis Peran Kelembagaan Ekonomi Lokal terhadap Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan (Studi Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman) Nama : Iftitahul Fajriyah NIM : H44090051
Disetujui oleh
Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si Pembimbing
Diketahuioleh
Dr. Ir. AcengHidayat, MT Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Peran Ekonomi Kelembagaan Lokal dalam Pemanfaatan Perairan dalam Pengelolaan Ikan Larangan (Studi Kasus Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Kota Pariaman)” dengan baik dan lancar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu langkah dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:
Kedua orang tua tercinta yaitu Ibu Asrida Kasim dan Bapak Izhar Idham, beserta ketiga kakak dan adik saya atas doa, kasih sayang dan perhatiannya.
Bapak Rizal Bahtiar S.Pi, M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis serta Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT dan Bapak Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan skiripsi ini.
Kantor Kesbangpolinmas Kota Pariaman, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pariaman dan warga Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman yang telah membantu selama pengumpulan data.
Seluruh Rekan-rekan ESL 46, terutama rekan sebimbingan Aulia Putri Adniey, Sri Kuncoro, Khoirunnisa Cahya, Nur Cahaya, Lungit, dan Sarah yang telah memberi semangat dan dorongan kepada penulis selama proses penulisan karya tulis ini. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini, sehingga segala saran dan kritik penulis terima.Semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang terkait dan para pembaca. Bogor, Agustus 2013 Iftitahul Fajriyah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xiii I.
II.
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
Latar Belakang .................................................................................... Perumusan Masalah ............................................................................ Tujuan Penelitian ................................................................................ Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................
1 4 7 7
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
8
2.1. Hak Kepemilikan (Property Right) .................................................... 2.2. Teori Kelembagaan............................................................................ 2.3. Kinerja Kelembagaan ......................................................................... 2.4. Biaya Transaksi .................................................................................. 2.4.1. Biaya Transaksi Manajerial ........................................................... 2.5. Ekosistem Sungai ............................................................................... 2.5.1. Pengertian Sungai .......................................................................... 2.5.2. Fungsi dan Manfaat Sungai ........................................................... 2.6. Teori Pengetahuan Lokal Bagi Pengelolaan Perikanan ...................... 2.7. Jenis Ikan dalam Pengelolaan Ikan Larangan .....................................
8 9 10 11 12 13 13 13 14 15
2.8. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 16 III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................... 18 3.1. Kerangka Teoritis ............................................................................... 18 3.1.1 Analisis Aktor Pengelola Ikan Larangan.................................. ...... 18 3.2. Kerangka Operasional........................................................................ 19 IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 22 4.1. Lokasi dan Waktu ............................................................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 4.3. Metode Pengambilan Sampel ............................................................. 4.4. Metode dan Prosedur Analisis Data ................................................... 4.4.1. Analisis Kelembagaan dan Tata Kelola Ikan Larangan .............. 4.4.2. Analisis Kinerja Kelembagaan .................................................... 4.4.3. Analisis Biaya Transaksi ............................................................. 4.4.4. Analisis Persepsi Masyarakat Mengenai Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan .............................................................................. V.
22 22 22 22 24 25 25 25
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................... 28 5.1. Kondisi Togografi .............................................................................. 28 5.2. Kondisi Demografi ............................................................................. 28
5.3. Sarana dan Prasarana Desa ................................................................ 5.4. Mata Pencaharian ............................................................................... 5.5. Sejarah Keberadaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak................... 5.6. Karakteristik Responden .................................................................... 5.6.1. Jenis Kelamin ......................................................................... 5.6.2. Tingkat Umur ......................................................................... 5.6.3. Tingkat Pendidikan ................................................................ 5.6.4. Jenis Pekerjaan ....................................................................... 5.6.5. Tingkat Pendapatan................................................................
30 31 31 35 35 35 36 36 37
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 38 6.1. Aktor Pengelolaan dan Pemanfaatan Ikan Larangan ......................... 6.1.1. Pengaruh dan Kepentingan Aktor............................................ 6.2. Aturan Pengelolaan Ikan Larangan .................................................... 6.2.1. Boundary Rule, Sanksi dan Monitoring terhadap Aturan......... 6.2.2.Aturan Akses terhadap Sumberdaya dan Penyelesaian Konflik...................................................................................... 6.2.3.Aturan Ikan Larangan yang Berdampak terhadapPembangunan Desa ..................................................... 6.2.3.1.Aturan Musim Tutup Wilayah Ikan Larangan................... 6.2.3.2.Aturan Penetapan Musim Buka Ikan Larangan................. 6.2.3.3.Aturan Aturan Kegiatan Pemancingan Saat Musim buka Ikan Larangan .................................................................... 6.2.4.Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pengelolaan Perikanan Melalui Pengetahuan Lokal...................................... 6.3. Analisis Kinerja Kelembagaan Ikan Larangan .................................. 6.3.1.Kejelasan Kelembagaan Ikan Larangan .................................... 6.3.1.1. Kejelasan Struktur Kelembagaan ..................................... 6.3.1.2. Kejelasan Aturan Kelembagaan ....................................... 6.3.2 Keefektifan Kinerja Kelembagaan ............................................ 6.3.2.1. Partisipasi dalam Kelembagaan ....................................... 6.3.2.2. Efektivitas Kelembagaan.................................................. 6.4. Analisis Biaya Transaksi Pengelolaan Ikan Larangan ....................... 6.4.1.Komponen Biaya Pengelolaan Ikan Larangan .......................... 6.4.2.Biaya Transaksi Pengelolaan Ikan Larangan ............................ 6.4.3.Biaya Operasional Pengelolaan Ikan Larangan ........................ 6.5. Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan ..................................................
38 40 45 45 48 48 49 50 51 52 53 53 53 56 57 57 59 61 61 62 63 64
VII. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 66 7.1. Simpulan ............................................................................................ 66 7.2. Saran .................................................................................................. 66 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 68 LAMPIRAN ............................................................................................................ 71 RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ 84
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jumlah Lubuk Larangan yang tercatat hingga tahun 2009 ........................ 2 Ukuran Kuantitatif terhadap Identifikasi dan Pemetaan Aktor ................. 3 Matriks Keterkaitan antara Tujuan Penelitian, Parameter atau indikator, dan Analisis data ....................................................................... 4 Matriks Analisis Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan .............................. 5 Data penduduk Desa Sungai Pasak............................................................ 6 Jumlah penduduk Desa Sungai Pasak menurut Mata Pencaharian ........... 7 Identifikasi Aktor dan Peran ...................................................................... 8 Nilai Skor Pemetaan Aktor Pengelola Ikan Larangan ............................... 9 Peraturan mengenai Pengakuan Pengelolaan Perikanan berdasarkan Pengetahuan Lokal..................................................................................... 10 Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai Kelengkapan Pengurus Kelembagaan ....................................................... 11 Sebaran Pengetahuan Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai Peran dari Susunan Kelembagaan ............................................................. 12 Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai Periode Pergantian Pengurus ..................................................................... 13 Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai Partisipasi dalam Kelembagaan ................................................................. 14 Sebaran Persepsi Masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai Transaparansi Kelembagaan ...................................................................... 15 Sebaran Persepsi Masyarakat terhadap Hasil Panen ................................. 16 Sebaran Persepsi Masyarakat terhadap Manfaat dari Kegiatan Pemancingan Musim Buka Ikan Larangan ................................................ 17 Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak ..
6 18 23 27 29 31 40 41 52 54 55 56 58 59 60 60 62
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Matriks analisis aktor (Aktor grid) ............................................................ Kerangka Pemikiran Operasional ............................................................. Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Jenis Kelamin .......................... Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Tingkat Umur .......................... Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan .................. Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Jenis Pekerjaan ........................ Sebaran Jumlah Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan ................. Pemetaan Aktor Pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak .................. Hubungan antar Aktor Pengelolaan Desa Sungai Pasak .......................... Analisis Usaha Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak .............. Persentase persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai manfaat pengelolaan ikan larangan ..........................................................
19 21 35 35 36 37 37 41 44 61 65
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kuisioner Key Person ............................................................................... 2 Kuisioner Responden ................................................................................ 3 Panduan scoring Penilaian Tingkat Pengaruh dan Kepentingan Aktor terhadap Pengelolaan Ikan Larangan ............................................. 4 Panduan scoring Analisis Kinerja Kelembagaan ...................................... 5 Dokumentasi Penelitian ............................................................................
72 75 79 81 83
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas perairan umum daratan di Indonesia diperkirakan mencapai 54 juta hektar yang merupakan perairan umum yang terluas di wilayah ASEAN. Dari luasan perairan umum daratan tersebut, 71.63% terdiri dari perairan rawa dan sungai, perairan lebak sebesar 22.13% dan danau (danau alam dan danau buatan) sebesar 3,89%. Sebagian besar perairan tersebut berada di Pulau Kalimantan (60%), Pulau Sumatera (30%) dan sisanya di Pulau Sulawesi, Pulau Papua, Pulau Nusa Tenggara Barat, Pulau Jawa dan Pulau Bali (Badan Riset Kelautan dan Perikanan 2009). Dari hasil riset mengenai luasan perairan umum daratan di Indonesia, menunjukan bahwa secara garis besar sumberdaya perairan umum daratan
mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, salah
satunya bagi pengembangan dan pemanfaatan sektor perikanan (perikanan tangkap maupun perikanan budidaya). Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia mulai mendapat perhatian sekitar tahun 1985. Pengelolaan perikanan yang sebelumnya bersifat tersentralisasi berubah menjadi desentralisasi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 3 UU No.22/1999 disebutkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai. Lebih lanjut, pasal 10 UU No.22/1999 menyebutkan kewenangan daerah kabupaten/kota sejauh sepertiga dari batas laut provinsi. Selain itu kebijakan perikanan yang ada saat ini, UU No.45/2009 yang merupakan perubahan dari UU No.31/2004 diharapkan dapat membangun perikanan Indonesia sesuai dengan perkembangan
teknologi
serta
perkembangan
kebutuhan
hukum
dalam
pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan yang dimiliki. Kenyataannya kebijakan pengelolaan perikanan yang telah dilakukan oleh pemerintah saat ini masih memiliki beberapa kelemahan. Kelemahannya diantara lain adalah belum mampunya pemerintah dalam mengatasi permasalahan overfishing dan overcapacity. Selain itu, kebijakan yang tidak tepat serta adanya kebijakan yang saling bertentangan, administrasi yang tidak efisien dalam bentuk
2 biaya transaksi yang cukup tinggi, kewenangan yang terbagi-bagi kepada beberapa lembaga pemerintahan, data dan informasi yang diperoleh kurang benar atau kurang akurat, dan kegagalan dalam merumuskan keputusan manajemen dalam mengatasi masalah-masalah di lapangan. Hal ini mengakibatkan permasalahan dalam pengelolaan perikanan yang menjadi tidak efisien, baik secara ekonomi, sosial dan teknis. Berdasarkan kelemahan tersebut, pemerintah menyadari bahwa keterlibatan masyarakat tradisional merupakan suatu rumusan yang perlu dikembangkan terutama dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan. Pengelolaan sumberdaya perikanan ada baiknya dilakukan dengan memandang situasi dan kondisi lokal daerah yang di kelola. Menurut Nikijuluw (2002) dalam Wahyudin (2004), pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat tradisional dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanan pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Beberapa contoh pengelolaan sumberdaya perikanan yang dikelola oleh masyarakat melalui adat istiadat lokal yaitu sasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Provinsi Maluku, tradisi Awig-awig di Nusa Penida, Bali dan adanya Lubuk Larangan yang dilakukan masyarakat disekitar sungai di daerah Muaro Bungo, Jambi. Lubuk larangan adalah salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan di perairan umum yang merupakan tradisi turun temurun dimasyarakat seperti beberapa daerah di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau. Pemanfaatan sumberdaya perairan umum bersifat serba guna seperti pola pemanfaatan masyarakat yang memanfaatkan aliran sungai sebagai lahan untuk mengembangkan sumberdaya ikan. Sungai merupakan perairan mengalir dari tingkatan lebih atas yang menunjukkan bagian hulu dan kemudian mengarah ke bawah yang menunjukkan bagian hilir. Sungai menjadi salah satu pemasok air terbesar untuk kebutuhan makluk hidup yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia. Selain mempunyai fungsi hidrologis, sungai juga mempunyai peran dalam menjaga keanekaragaman hayati, nilai ekonomi, budaya, transportasi, pariwisata
3 dan
lainnya.
Sungai
merupakan
sumberdaya
air
yang
kaya
dengan
keanekaragaman ikan yang selama ini telah banyak dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan bagi manusia. Menurut Naditia (2011) menyatakan bahwa sungai memiliki nilai ekonomi sebesar Rp 53 601 669 968.11 per tahun. Nilai ekonomi total (total economic value) dari sungai terdiri dari nilai ekonomi kegunaan (use value) dan nilai ekonomi bukan kegunaan (non-use value). Hal ini menggambarkan bahwa pengelolaan sungai yang baik akan memberikan manfaat besar bagi kehidupan masyarakat terutama dalam mengembang sumberdaya ikan. Pengembangan sumberdaya perikanan inilah yang diadopsi untuk dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat di beberapa daerah di Sumatera. Salah satunya bentuk pengelolaan sumberdaya ikan dengan sistem ikan larangan. Ikan larangan bagi masyarakat Sumatera Barat sama halnya dengan lubuk larangan yang dilakukan masyarakat di Muaro Jambi. Kegiatan ini sudah dilakukan turun-temurun, dimana berdasarkan kesepakatan bersama seluruh masyarakat menetapkan sungai, rawa, atau sumber air lainnya selama kurun waktu tertentu ikan yang ditebar tidak boleh di panen. Komitmen ini dipegang teguh seluruh masyarakat sampai waktu yang ditentukan karena jika dilanggar mereka percaya ada konsekuensi yang akan diterima seperti sakit. Mengelola sumberdaya yang terdapat di sungai tidaklah mudah, karena sungai merupakan salah satu common-pool resources layaknya laut. Menurut karakteristik fisiknya, common pool resources (sumberdaya milik bersama), yaitu sumberdaya alam yang bersifat tidak bisa dikecualikan (non-excludable), sangat beresiko persoalan penunggang gratis. Common pool resources (CPR) cenderung akan dieksploitasi dan dimanfaaatkan secara berlebihan untuk memaksimumkan utilitas para individu yang dapat mengakses (Hardin 1968 dalam Yustika 2006). Namun, menurut Ostrom (1990) dan Bromley (1992) dalam Yustika (2006) melaporkan bahwa para pemanfaat CPR mengembangkan kelembagaan yang mampu mengelola sumberdaya yang dimiliki bersama secara sukses dalam jangka waktu yang lama. Hal ini telah dilakukan masyarakat pengelola ikan larangan. Kelembagaan dalam pengelolaan ikan larangan merupakan kelembagaan adat yang terbentuk secara alamiah dikarenakan adanya kebiasaan yang telah dilakukan turun
4 temurun. Tradisi ini telah dilakukan masyarakat karena memberikan manfaat yang besar disamping dapat memenuhi kebutuhan pangan, lubuk larangan dapat menjaga keutuhan masyarakat serta menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan karena terpeliharanya kebersihan sungai dengan adanya ikan tersebut. Lebih lanjut Surma, dkk (2008) menambahkan bahwa secara sosial ekonomi keberlanjutan pengelolaan lubuk larangan tidak lepas dari kemampuan komunitas pengelola lubuk larangan dalam menanam dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) dalam sistem pengelolaan lubuk larangan, sehingga mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, menciptakan nilai dan aturan baru. 1.2 Perumusan Masalah Tradisi ikan larangan di Sumatera Barat merupakan tradisi budidaya ikan yang dilakukan di perairan umum yang dikelola bersama oleh masyarakat. Pengelolaan ikan di perairan umum ini memiliki dua kategori yaitu ikan diniatkan dan ikan larangan. Ikan diniatkan adalah ikan yang berada di perairan yang telah dituahi atau didoakan terlebih dahulu oleh salah seorang pemuka adat agar ikanikan yang dilepas di wilayah tersebut aman. Menurut Pahlevi (2002), ikan diniatkan merupakan aturan yang dibuat masyarakat sehingga mereka patuh terhadap ketentuan yang telah diputuskan bersama dan memperlihatkan bahwa mereka sangat percaya terhadap pemimpin adat yang telah menuahi/mendoakan ikan-ikan tersebut saat pembukaan tradisi pengelolaan ikan tersebut. Hal ini lebih pada kepercayaan dimana ketika pemimpin yang menuahi ikan-ikan tersebut meninggal, masyarakat tidak ada yang berani untuk mengambil ikan tersebut sehingga membiarkan ikan tersebut terus tumbuh di sungai. Tidak jauh berbeda dengan ikan diniatkan, ikan larangan merupakan budidaya ikan di sungai yang dikelola masyarakat dengan ketentuan yang disepakati bersama, seperti waktu panen dan sanksi yang diterima ketika ketentuan dilanggar. Pengelolaan
ikan diniatkan dan ikan larangan memiliki
aturan-aturan yang mengatur pengelolaan kegiatan tersebut. Aturan yang berlaku terkait dengan waktu buka dan waktu tutup daerah ikan larangan, ketentuan larangan dan sanksi jika ikan diambil tidak sesuai waktu yang telah ditetapkan, hasil dan pendapatan dari ikan larangan, dan tanda batasan daerah perairan yang
5 dijadikan daerah ikan larangan. Sebenarnya, ikan larangan termasuk dalam daerah ikan diniatkan karena tidak ada perbedaan dalam pengelolaannya. Informasi mengenai kegiatan ikan diniatkan dan ikan larangan sangat terbatas. Hal ini membuat sulit untuk mengetahui kapan asal mulanya ikan diniatkan dan ikan larangan dimulai. Menurut Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat (1998) dalam Pahlevi (2002), jumlah daerah ikan diniatkan telah menurun selama beberapa tahun terakhir, sementara sejumlah daerah ikan larangan telah meningkat. Penurunan jumlah daerah ikan diniatkan mungkin karena jumlah pemimpin desa dengan supranatural kekuasaan telah menurun. Selain itu, pemimpin desa enggan untuk melatih kekuatan untuk membuka daerah baru ikan diniatkan. Mereka khawatir tentang keselamatan penduduk desa yang ingin membuktikan kebenaran dari kemampuan mereka. Tradisi
ikan
larangan
hampir
punah
pada
masa
pembangunan.
Berkurangnya wibawa surau dan ninik mamak sebagai institusi kultural akibat sentralisasi bentuk pemerintahan orde baru menjadi faktor utama ditinggalkannya tradisi lubuk larangan. Berdasarkan catatan Dinas Perikanan Propinsi Sumatra Barat, jumlah daera ikan larangan yang pernah menjadi sumberdaya perikanan lokal di wilayah-wilayah bersungai Sumatra Barat, tinggal beberapa saja pada tahun 1993 (Pahlevi 2002). Namun, tradisi ini bangkit lagi sejalan dengan kembalinya propinsi Sumatra Barat menerapkan bentuk pemerintahan nagari setelah pemerintah membuka peluang itu berdasarkan UU No 32 tahun 2004. Di sisi lain, daerah Ikan Larangan telah meningkat karena dua alasan. Pertama, kepala desa/nagari bersedia untuk membudidayakan ikan mas (Cyprinus carpio) di daerah ikan larangan. Kedua, mengelola daerah ikan larangan jauh lebih mudah karena pemerintah daerah memberikan dukungan dengan memberikan bantuan pemberian benih ikan dan ikut membantu melestarikan tradisi tersebut. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Barat (2010) terdapat 734 wilayah ikan larangan yang tersebar di beberapa kota dan kabupaten. Berikut data jumlah wilayah ikan larangan (lubuk larangan) yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat.
6 Tabel 1 Jumlah lubuk larangan yang tercatat hingga tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kabupaten/Kota Kota Padang Kabupaten Pasaman Barat Kabupaten Pesisir Selatan Kabupaten Padang Pariaman Kabupaten Tanah Datar Kabupaten Solok Kota Solok Kabupaten Agam Kabupaten Sijunjung Kabupaten 50 Kota Kota Payakumbuh Kabupaten Dhamasraya Kabupaten Solok Selatan Kabupaten Pasaman Kota Sawahlunto Kota Bukittinggi Kota Padang Panjang Total
Jumlah Lubuk Larangan 9 191 11 79 33 6 6 155 7 36 8 11 39 130 8 3 2 734
Sumber : Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat dalam angka 2009
Tabel di atas menunjukan bahwa kearifan lokal seperti ikan larangan telah diakui oleh pemerintah. Kearifan lokal suku Minangkabau yang dikenal dengan petitih alam takambang manjadi guru (alam terkembang menjadi guru), yang menganggap alam sebagai guru dalam melakukan tindak tanduk kehidupan. Kearifan lokal telah menuntun masyarakat untuk mengambil manfaat dari SDA tanpa merusak kelestarian dan keseimbangan ekologisnya. Salah satu bentuk kearifan lokal tersebut tercermin pada pengelolaan ikan larangan seperti yang dilakukan masyarakat Desa Sungai Pasak. Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Bagaimana bentuk kelembagaan pengelolaan dan tata kelola ikan larangan di Desa Sungai Pasak? 2 Bagaimana efektifitas kinerja kelembagaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak? 3 Berapakah biaya pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak? 4 Bagaimana persepsi masyarakat mengenai manfaat pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak?
7 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Mengidentifikasi kelembagaan pengelolaan dan tata kelola ikan larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak. 2 Menganalisis kinerja kelembagaan pengelolaan ikan larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak. 3 Menganalisis biaya pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak melalui pendekatan biaya transaksi. 4 Mendeskripsikan manfaat pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup sebagai batasan-batasan dari penelitian ini adalah: 1
Manfaat pengelolaan ikan larangan pada penelitian ini berdasarkan analisis deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya perikanan melalui sistem ikan larangan.
2
Penelitian ini hanya menganalisis bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan melalui sistem ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur.
3
Kelembagaan yang diidentifikasi merupakan kelembagaan lokal pengelola ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur.
4
Analisis kinerja kelembagaan ikan larangan terkait dengan kejelasan kelembagaan dan efektifitas dalam mencapai tujuan kelembagaan.
8
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hak Kepemilikan (Property Right) Hak kepemilikan (property right) adalah klaim yang sah terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Hak kepemilikan juga dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilikan hak (Hartwick dan Olewiler, 1998) dalam Fauzi (2006). Selain itu, menurut Bromley (1989) dalam Fauzi (2006) juga menyebutkan bahwa di dalam sumberdaya alam terdapat sumberdaya dan rezim pemilikan terhadap sumberdaya tersebut harus dibedakan jelas. Satu sumberdaya bisa saja mempunyai berbagai hak pemilikan. Hak pemilikan terhadap sumberdaya alam umumnya terdiri dari : (1) State property dimana klaim pemilikan berda di tangan pemerintah; (2) Private property dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi); (3) Common property atau Communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama. Suatu sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak kepemilikan. Sumberdaya seperti ini dikatakan sebagai open access. Terbukanya akses untuk memiliki sumberdaya ini sering dikenal dengan common resources. Masalah common resources dititikberatkan pada alokasi dan penggunaan sumberdaya alam serta efek yang ditimbulkannya. Common resources atau common-pool resources adalah sumberdaya alam atau sumberdaya buatan manusia (man-made) yang karena besarnya akses terhadap sumberdaya tersebut sulit dikontrol dan pemanfaatan oleh seseorang bersifat mengurangi kesempatan orang lain memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sumberdaya perikanan sering dikemukakan sebagai wadah bersama (common-pool resources) yaitu sumberdaya yang berada pada suatu wadah atau ekosistem dimana penangkapan ikan dilakukan secara bersama-sama. Secara global memang wadah berupa perairan, akan tetapi yang dilihat adalah kesatuan dari perairan tersebut. Sebagai suatu wadah bersama, sumberdaya perikanan memili sifat-sifat interkoneksitas, indivisibilitas dan substraktabilitas. Sifat interkoneksitas artinya bahwa sumberdaya perikanan memiliki saling keterkaitan
9 antara suatu komponen, katakanlah jenis ikan serta antara ikan dengan lingkungan alam. Sifat indivisibilitas artinya bahwa sumberdaya perikanan tidak mudah dibagi-bagi menjadi bagian atau milik wilayah perairan tertentu. Sifat indivisibilitas muncul karena ikan melakukan migrasi antar wilayah dan tidak bisa dibatasi pergerakannya dalam suatu ekosistem alam. Sifat subtraktabilitas artinya bahwa sumberdaya ikan bila diambil oleh orang tertentu pada waktu tertentu akan mempengaruhi keberadaan dan ketersediaan ikan bagi orang lain di waktu lain (Nikijuluw 2005). 2.2 Teori Kelembagaan Ostrom (1985) dalam Suhana (2008a) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. Sementara itu, Rutherford (1994) dalam Suhana (2008a) menyatakan bahwa kelembagaan dapat dimaknai sebagai regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas luar. Hal ini juga dijelaskan North (1994) dalam Suhana (2008a) dengan memaknai kelembagaan sebagai aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi dan sosial. Kelembagaan sebagaimana yang kita ketahui memiliki ruang lingkup. Ruang lingkup kelembagaan dapat dibatasi pada hal-hal berikut, yaitu kelembagaan adalah kreasi manusia, kelembagaan merupakan kumpulan individu, berkaitan dengan dimensi waktu, adanya dimensi tempat, adanya aturan main dan norma yang dirumuskan, adanya pemantauan dan penegakan aturan, adanya hierarki dan jaringan serta adanya konsekuensi kelembagaan (Arifin 2005). Dari semua ruang lingkup tersebut, kelembagaan amat menentukan bagaimana
10 seseorang atau kelompok orang harus dan tidak harus mengerjakan sesuatu (kewajiban atau tugas), bagaimana mereka boleh mengerjakan sesuatu tanpa intervensi dari orang lain(kebolehan), bagaimana mereka mampu mengerjakan sesuatu dengan bantuan kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas namanya (ketidakmampuan atau exposure). Menurut Bromley (1989) dalam Arifin (2005), kelembagaan dapat digambarkan sebagai rangkaian hubungan keteraturan antara beberapa orang yang menentukan hak, kewajiban serta kewajiban menghargai hak orang lain, dan tanggung
jawab mereka dalam
masyarakat atau kelembagaan tersebut. Menurut Pejovich (1999) dalam Suhana (2008a), kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni : (1) Aturan formal (formal institutions), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi); (2) Aturan informal (informal institutions), meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan (3) Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan. 2.3 Kinerja Kelembagaan Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan untuk
menggunakan
sumberdaya
yang
dimilikinya
secara
efisien
dan
menghasilkan output yang sesuai dengan tujuan yang relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson 2003 dalam Syahyuti 2004). Menurut Mackay (1998) dalam Syahyuti (2004) ada empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan yaitu : Satu, kondisi lingkungan eksternal. Lingkungan sosial dimana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh suatu kelembagaan dapat beroperasi. Lingkungan
yang dimaksud berupa kondisi
politik
dan pemerintahan,
sosiokultural, teknologi, kondisi ekonomi, berbagai kelompok kepentingan
11 (stakeholder), infrastruktur, serta kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Seluruh komponen lingkungan tersebut dipelajari dan dianalisis bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan. Kedua, motivasi kelembagaan. Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri. Terdapat empat aspek yang dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu sejarah kelembagaan, misi yang diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan berperilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut. Ketiga, kapasitas kelembagaan. Pada bagian ini yang dipelajari bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Kemampuan tersebut diukur melalui lima aspek, yaitu: strategi kepemimpinan yang dipakai, perencanaan program, manajemen dan pelaksanaannya, alokasi sumberdaya yang dimiliki, dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners, government policymakers dan external donor. Keempat, kinerja kelembagaan. Ada tiga pokok yang harus diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuan, efisisensi penggunaan sumberdaya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan luarnya. Pada dimensi ini lebih pada kalkulasi secara ekonomi untuk mengukur keefektifan dan efisiensi suatu kelembagaan. 2.4 Biaya Transaksi Biaya transaksi biasanya digunakan untuk mengukur efisien tidaknya suatu kelembagaan. Semakin tinggi biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi (transaksi), maka semakin tidak efisien kelembagaan yang dibentuk, demikian sebaliknya. Semakin rendah biaya transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi, maka akan lebih efisien kelembagaan tersebut. Namun, teori biaya kelembagaan belum memiliki makna definitif, yang artinya terkait dengan sudut pandang para ahli ekonomi kelembagaan. Menurut Barzel (1993) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa biaya transaksi berhubungan dengan konsep hak kepemilikan seperti yang dikemukakan oleh Coase (1960). Biaya transaksi diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, menstransfer dan melindungi hak. Jika biaya transaksi tinggi
12 maka sangat sulit untuk menetapkan hak kepemilikan karena potensi manfaat atas sumberdaya atau aset tidak akan diketahui. Namun, jika biaya transaksi nol maka hak kepemilikan terpenuhi. Dengan kata lain, biaya transaksi nol disebabkan oleh hak kepemilikan akan terkukuhkan karena kedua belah pihak (pemilik dan pihak lain yang tertarik untuk memiliki aset), memiliki pengetahuan yang penuh atas nilai dari aset tersebut. Menurut Furobotn dan Richter (2000) dalam Yustika (2006) menyatakan bahwa biaya transaksi adalah ongkos untuk menggunakan pasar dan biaya melakukan hak untuk memberi pesanan di dalam perusahaan. Disamping itu, ada juga rangkaian biaya yang diasosiasikan untuk menggerakan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan. Untuk masing-masing tiga jenis biaya transaksi tersebut dapat dibedakan menurut dua tipe: (1) biaya transaksi tetap, yaitu investasi spesifik yang dibuat didalam menyusun kesepakatan kelembagaan; dan (2) biaya transaksi variabel, yakni biaya yang tergantung pada jumlah dan volume transaksi. Pada poin ini, sifat dari biaya transaksi sama dengan ongkos produksi. Keduanya mengenal konsep biaya tetap dan biaya variabel. Akan tetapi, dalam identifikasi yang mendalam, tentu membedakan biaya tetap dan biaya variabel dalam biaya transaksi tidak semudah membandingkannya dalam biaya produksi. 2.4.1 Biaya Transaksi Manajerial Furubotn dan Richter (2000) dalam Yustika (2006) menyatakan terdapat dua tipe biaya taransaksi manajerial, yaitu : Biaya penyusun, pemeliharaan atau perubahan desain organisasi. Ongkos ini juga berhubungan dengan biaya operasional yang lebih luas, yang biasanya secara tipikal masuk ke dalam biaya transaksi tetap. Biaya menjalankan organisasi, yang kemudian dapat dipilah dalam dua subkategori: (a) biaya informasi dan (b) biaya yang diasosiasikan dengan transfer fisik barang dan jasa yang divisinya terpisah.
13 2.5 Ekosistem Sungai 2.5.1 Pengertian Sungai Sungai merupakan jalan air alami, mengalir menuju samudera, danau atau laut, atau ke sungai yang lain. Pada beberapa kasus, sebuah sungai secara sederhana mengalir meresap ke dalam tanah sebelum menemukan badan air lainnya. Selain itu, sungai juga tempat air hujan turun di daratan untuk mengalir ke laut atau tampungan air yang besar seperti danau. Sungai terdiri dari beberapa bagian, bermula dari mata air yang mengalir ke anak sungai. Beberapa anak sungai akan bergabung untuk membentuk sungai utama. Aliran air biasanya berbatasan dengan kepada saluran dengan dasar dan tebing di sebelah kiri dan kanan. Penghujung sungai di mana sungai bertemu laut dikenali sebagai muara sungai.1 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011, sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi pada kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 2.5.2 Fungsi dan Manfaat Sungai Pemanfaatan sumberdaya alam seperti sungai, masyarakat dituntut untuk memperhatikan tiga aspek secara menyeluruh, yaitu aspek sosial budaya, aspek kelestarian lingkungan, dan aspek ekonomi. Ketiga aspek tersebut akan menjadi satu kesinambungan yang penting terjaga bagi pemanfaatan fungsi sungai yang tepat. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai menyatakan bahwa bahwa sungai sebagai sumber air yang sangat penting fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan pembangunan nasional. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2010) dalam Naditia (2011), manfaat sungai bagi manusia adalah sebagai berikut: 1
http://id.wikipedia.org/wiki/Sungai. Diakses tanggal 22 April 2012
14 a
Sumber air baku air minum (PDAM).
b
Sumber air bagi pengairan wilayah pertanian atau irigasi.
c
Sumber tenaga listrik untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
d
Tempat untuk mengembangbiakkan dan menangkap ikan guna memenuhi kebutuhan manusia akan protein hewani.
e
Tempat rekreasi, melihat keindahan air terjun.
f
Tempat berolahraga, seperti berperahu pada arus deras, lomba dayung.
g
Tempat untuk memenuhi kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang tinggal di tepi sungai, seperti mencuci, mandi, dsb.
h
Sarana pendidikan dan penelitian.
i
Sumber plasma nutfah (keanekaragaman hayati).
j
Tempat ritual kebudayaan.
k
Air baku industri dan pertambangan.
l
Sumber tambang galian C (pasir, kerikil).
m Penggelontoran. n
Transportasi air.
o
Pengendali banjir.
p Pasar terapung. 2.6 Teori Pengetahuan Lokal Bagi Pengelolaan Perikanan Adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat yang lambat laun menjadikan adat itu berlaku bagi semua anggota masyarakat dengan dilenkapi sanksi, sehingga menjadi hukum adat (Setiady 2008 dalam Adrianto, et al 2011). Menurut Wignjodipoero (1967) dalam Adrianto, et al (2011) meyatakan hukum adat memiliki dua unsur yaitu : (1) unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selau diindahkan oleh rakyat; dan (2) unsur psikologis yang menyatakan bahwa terdapat keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan hukum. Hukum adat di Indonesia umumnya menunjukan corak-corak sebagai berikut, yaitu : (1) tradisional (turun temurun); (2) keagamaan (magis religius); (3) kebersamaan; (4) konkret dan visual ;(5) terbuka dan sederhana;(6) dapat berubah dan menyesuaikan; (7) tidak dikodifikasi; dan (8) mengutamakan musyawarah dan mufakat. Menurut
15 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan Pasal 1 ayat 35 menyatakan kearifan lokal adalah gagasan-gagasan masyarakat setempat yang bersifat bijaksan, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertana dan diikuti oleh anggota masyarakat. Pengetahuan lokal masyarakat meliputi segenap pengetahuan tentang halhal-hal yang terkait dengan lingkungan hingga pengetahuan sosial, politik dan geografis. Menurut Ruddle (2000) dalam Adrianto, et al (2011) menyatakan bahwa praktik pengelolaan perikan berbasis pengetahuan lokal/adat paling tidak memiliki empat ciri. Pertama, praktek ini sudah berlangsung lama, empiris dan dilakukan di suatu tempat (spesifik terhadap lokasi tertentu), mengadopsi perubahan-perubahan lokal, dan dalam beberapa hal sangat detil. Kedua, berorientasi pada perilaku masyarakat, tidak jarang spesifik untuk tipe sumberdaya dan jenis ikan tertentu yang dianggap sangat penting. Ketiga, bersifat struktural, memiliki perhatian yang kuat terhadap sumberdaya dan lingkungan sesuai konsep ekologis dan biologis. Keempat, sangat dinamik sehingga adaptif terhadap perubahan dan tekanan-tekanan ekologis dan kemudian mengadopsi adaptasi terhadap perubahan tersebut ke dalam inti dari pengetahuan lokal yang menjadi pengetahuan lokal yang menjadi basis pengelolaan perikanan. 2.7 Jenis Ikan dalam Pengelolaan Ikan Larangan Berdasarkan hasil penelitian Hendrik (2007), jenis ikan yang terdapat pada wilayah ikan larangan merupakan jenis ikan garing dengan nama ilmiah Tor sp. Ikan garing merupakan ikan yang hidup pada perairan air tawar yang airnya mengalir, jernih dan terlindung.untuk mewujudkan kondisi perairan tersebut diperlukan perlindungan seperti tidak boleh menebang pohon, mengambil batu danpasir diperairan tersebut. Jenis ikan garing dikenal juga dengan ikan semah. Ikan yang masih sekerabat dengan ikan mas ini populer sebagai bahan pangan kelas tinggi, dan yang biasa dijumpai dan dikonsumsi di Indonesia dan Malaysia adalah Tor douronesis (semah biasa), T. tambra (tambra), T. tambroides (tambra),
16 dan T. soro (kancera). Ikan tambra dan semah dapat mencapai panjang sekitar satu meter, walaupun tangkapan yang dijual biasanya berukuran maksimum 30 cm.2 Ikan ini hidup di sungai-sungai beraliran deras di pegunungan dan populasi sangat terancam akibat penangkapan berlebihan. Indikasi yang terlihat adalah semakin jarang terlihat, ukuran tangkapan semakin kecil, dan distribusi menurun. Bahkan telah dilaporkan pula penangkapan di beberapa taman nasional. Pihak berwenang di Indonesia (Balai Benih Ikan lokal), seperti di Jawa Tengah, Padang Pariaman, dan beberapa kabupaten pedalaman Jambi telah mulai mengembangkan teknologi pembiakan menggunakan pemijahan buatan dan paket budidaya. Selain itu, di Padang Pariaman aturan adat setempat juga ditegakkan dengan pemberlakuan zona larangan, penyangga, dan penangkapan. Penangkapan hanya dilakukan apabila terdapat izin dari kerapatan adat. Pengembangan pengelolaan ikan larangan saat ini tidak hanya pada jenis ikan garing tetapi jenis ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila juga dikembangkan. 2.8 Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil studi dari beberapa penelitian terdahulu, diperoleh hasil kajian mengenai pengelolaan ikan larangan. Beberapa penelitian sebagai berikut : Pahlevy (2002), dengan hasil penelitian berjudul “Ikan Diniatkan and Ikan Larangan : Areas of Traditional Fish Cultivation in Districs of Pasaman and Padang Pariaman, West Sumatera Province”. Penelitian ini menyatakan bahwa adanya peran lembaga adat, kelembagaan informal dan lembaga desa yang ada di masyarakat Pasaman dan Padang Pariaman dalam mengembangkan ikan larangan. Kesinambungan daerah Ikan Diniatkan dan Ikan Larangan ditentukan oleh desadesa melalui lembaga pemimpin adat. Penelitian menunjukkan bahwa daerah Ikan Diniatkan dan Ikan Larangan membentuk batas-batas wilayah yang jelas yang diakui oleh desa. Pengelolaan daerah Ikan Diniatkan dan Ikan Larangan didukung oleh masyarakat karena memiliki dampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Selain itu, sistem manajemen di kedua daerah telah diberlakukan untuk waktu yang lama dan telah lulus dari satu generasi ke generasi yang lain. Sistem ini
2
http://id.wikipedia.org/wiki/ikan semah. Diakses tanggal 10 Agustus 2013
17 efisien dan efektif serta masih ada. Pemerintah daerah juga telah memberikan bantuan teknis yang sama untuk meningkatkan manajemen di dua daerah. Suhana (2008b), dengan judul penelitian “Pengakuan Keberadaan Kearifan Lokal Lubuk Larangan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau Dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup”. Penelitian ini menyampaikan bahwa sistem pengelolaan perikanan di perairan umum dipengaruhi oleh adanya peranan masyarakat hukum adat yaitu kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Dalam makalah ini, tatanan kelembagaan sosial tradisional yang hidup di lingkungan masyarakat perikanan kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau bisa dikembangkan, dan diakui keberadaannya dalam sistem hukum dan aturan-aturan (rules) sistem pengelolaan wilayah perairan umum. Parwati, et al (2012), dengan penelitian berjudul “Nilai Pelestarian Lingkungan dalam Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung di Kampuang Surau, Kabupaten Dhamasraya, Provinsi Sumatera Barat”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi nilai-nilai pelestarian lingkungan yang terkandung dalam kearifan lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung tersebut. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) Lubuk Larangan Ngalau Agung memiliki batas areal tidak boleh diganggu masyarakat memberikan dampak positif pada pelestarian lingkungan; (2) Nilai pelestarian lingkungan dalam pelaksanaan kearifan lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung berupa tidak boleh menyakiti ikan, tidak boleh mengambil ikan,kecuali hari tertentu yang ditetapkan bersama, tidak boleh menganggu ikan, tidak boleh berkata tidak baik (takabur) disekitar lokasi lubuk larangan, dan tidak boleh berlaku tidak baik di lokasi lubuk larangan. Berdasarkan ringkasan hasil penelitian terdahulu maka hasil penelitian yang saya lakukan memiliki perbedaan diantaranya perbedaan lokasi dan adanya aspek biaya pengelolaan ikan larangan yang jelas serta peranan dan pemetaan aktor yang jelas dalam penelitian yang saya lakukan.
18
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Aktor Pengelola Ikan Larangan Aktor merupakan kelompok atau individu yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu (Freeman, 1984). Analisis aktor digunakan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor (terkait dengan pengaruh dan kepentingan) dalam pengelolaan dan pemanfaatan ikan larangan di Desa Sungai Pasak.Analisis aktor merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan pemahaman terhadap suatu sistem melalui identifikasi aktor kunci atau stakeholder pada suatu sistem dan menduga peranannya pada sistem tersebut (Grimble dan Chan 1995 diacu dalam Haswanto 2006). Identifikasi dan pemetaan aktor dilakukan melalui wawancara dengan panduan wawancara. Pengolahan data kualitatif dari hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data berjenjang lima (Tabel 1). Tabel 2 Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan aktor Skor
Nilai
Kriteria
5 4
17-20 3-16
Sangat tinggi Tinggi
3 2
9-12 5-8
Cukup tinggi Kurang tinggi
1
0-4
Rendah
5
17-20
Sangat tinggi
4
13-16
Tinggi
3
9-12
Cukup tinggi
2
5-8
Kurang tinggi
1
0-4
Rendah
Keterangan Kepentingan Aktor Sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya Ketergantungan tinggi pada keberadaan sumberdaya Cukup bergantung pada keberadaan sumberdaya Ketergantungan pada keberadaan sumberdaya kecil Tidak bergantung pada keberadaan sumberdaya Pengaruh Aktor Jika responnya berpengaruh nyata terhadap aktivitas aktor lain Jika respon berpengaruh besar terhadap aktivitas aktor lain Jika responnya cukup berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain Jika responnya berpengaruh kecil terhadap aktivitas aktor lain Jika responnya tidak berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain
Sumber : Abbas (2005) dalam Haswanto (2006)
Langkah-langkah dalam melakukan analisis aktor adalah: 1 Identifikasi aktor 2 Membuat tabel aktor
19 3 Menganalisis pengaruh dan kepentingan aktor 4 Membuat aktor grid Setelah diketahui nilai dari tingkat kepentingan dan pengaruh yang dimiliki masing-masing aktor maka dapat dipetakan ke dalam matriks analisis aktor pada Gambar 1. TINGGI K E P E N T I N G A N RENDAH
Kuadran I (Subjek)
Kuadran II (Pemain)
Kuadran III (Penonton)
Kuadran IV (Aktor)
PENGARUH
TINGGI
Gambar 1 Matriks analisis aktor (Aktor grid) Kuadran I
(subjek) menunjukan
kelompok aktor yang memiliki
kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya. Kuadran II (pemain) merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan. Kuadran III (penonton) merupakan kelompok aktor yang rendah pengaruh dan kepentingannya. Kepentingan mereka dibutuhkan untuk memastikan kepentingan nya tidak terpengaruh dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan. Kuadran IV (aktor) merupakan aktor yang terpengaruh tapi rendah kepentingan dalam tujuan dan hasil kebijakan (Suhana 2008). Tabel parameter dan indikator analisis aktor pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak dapat dilihat pada Lampiran 3. 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Ikan larangan di Sumatera Barat merupakan tradisi budidaya ikan yang dilakukan di perairan umum yang dikelola bersama oleh masyarakat. Ikan larangan adalah sebuah komitmen bersama untuk memelihara sungai sebagai pusat kegiatan masyarakat. Komitmen bersama masyarakat untuk memelihara sungai tersebutlah yang menjadikan ikan larangan terus berkembang hingga saat
20 ini. Hal terpenting yang bisa dipelajari dari tradisi ini adalah kemampuan masyarakat sebuah jorong (wilayah hunian di bawah nagari) dalam menjaga nilainilai musyawarah dan keajegan ekosistem perairan di wilayah mereka. Sebab dalam proses pembukaan ikan larangan, mufakat dan kesediaan mematuhi aturan nagari merupakan unsur yang utama. Dengan menggunakan analisis aktor, penelitian ini akan mencoba untuk menggambarkan bagaimana posisi tokoh pengelola berdasarkan pengaruh dan kepentingan yang dimiliki, penelitian ini juga mendeskripsikan bentuk aturan main (rule) yang terdapat dalam pengelolaan sumberdaya ikan dalam ikan larangan di Desa Sungai Pasak. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis biaya transaksi pengelolaan ikan larangan serta manfaat pengelolaan ikan larangan tersebut sehingga ikan larangan dapat dijadikan salah satu alternatif pengelolaan sumberdaya ikan. Kerangka operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut (Gambar 2).
21 Memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya perairan umum melalui perikanan
Pengelolaan sumberdaya perikanan melalui kearifan lokal
Pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak
Pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak
Aturan pengelolaan ikan larangan
Identifikasi aktor
Kepentingan dan pengaruh aktor Biaya transaksi Kinerja kelembagaan pengelolaan ikan larangan
Manfaat ikan larangan Rekomendasi alternatif pengelolaan sumberdaya perikanan
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Operasional
22
IV METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja karena Desa Sungai Pasak memiliki kawasan ikan larangan. Masyarakat Desa Sungai pasak masih memelihara kultur pengelolaan sumberdaya ikan dengan sistem ikan larangan. Waktu yang digunakan untuk pengambilan data primer dilaksanakan pada bulan Februari dan Maret 2013. 4.2 Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari informan kunci (key informant) dengan menggunakan panduan wawancara dengan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya dan hasil pengamatan langsung dilapangan (observasi). Data sekunder, yang dikumpulkan dari instansi pemerintah dan lembaga berupa laporan-laporan, arsip dan dokumentasi yang terkait dengan ikan larangan. 4.3 Metode Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan informan dan responden sebagai sumber data primer. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi memberikan informasi mengenai objek penelitian. Teknik pemilihan informan menggunakan snowball sampling sebanyak 7 orang. Sedangkan responden adalah masyarakat Desa Sungai Pasak. Selain itu, teknik pemilihan responden dengan teknik purposive sampling dengan responden sebanyak 40 responden. Responden berasal dari masyarakat yang tinggal dekat dengan area ikan larangan. 4.4 Metode dan Prosedur Analisis Data yang diperoleh dalam penelitian antara lain adalah data kualitatif dan kuantitatif yang menggunakan kuesioner. Pengolahan data dengan terlebih dahulu
23
melakukan pengkodean. Kegiatan ini bertujuan untuk penyeragaman data. Setelah pengkodean, tahap selanjutnya adalah perhitungan persentase jawaban responden dan dipresentasikan dalam bentuk analisis deskriptif berupa tabel frekuensi, grafik, ukuran pemusatan, dan ukuran penyebaran. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Excel 2007 dan aplikasi Graph. Berikut ini matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, sumber data dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian. Tabel 3 Matriks keterkaitan antara tujuan penelitian, parameter atau indikator, dan analisis data No 1
2
3
4
Tujuan Penelitian Menganalisis kelembagaan pengelolaan larangan
ikan
Menganalisis kinerja kelembagaan pengelolaan ikan larangan
Menganalisis biaya pengelolaan ikan larangan Mendeskripsikan manfaat dari pengelolaan ikan larangan
Parameter atau indikator Identifikasi kelembagaan meliputi: a. Identifikasi aktor dan peranannya dalam pengelolaan Ikan larangan Desa Sungai Pasak b. Tata kelola Ikan larangan Desa Sungai Pasak Berkaitan dengan aturan main yang terdiri dari aturan-aturan pengelolaan Ikan larangan (boundary rule, monitoring, sanksi, dan aturan penyelesaian konflik) a. Kejelasan kelembagaan : struktur, aturan, dan pengetahuan anggota tentang kelembagaan pengelola ikan larangan b. Keefektifan kelembagaan: Partisipasi dalam kelembagaan dan efektifitas kelembagaan Biaya transaksi berupa biaya persiapan dan biaya operasional kelembagaan Identifikasi manfaat pengelolaan ikan larangan berdasarkan dampak yang diterima masyarakat Desa sungai Pasak baik segi ekonomi, sosial maupun ekologi/ lingkungan.
Metode Analisis Data Analisis aktor Analisis mengenai aturan (boundary rules, sanksi dan monitoring)
Analisis deskriptif
Analisis biaya transaksi
Analisis deskriptif dan Skala Likert
24
4.4.1 Analisis Kelembagaan dan Tata Kelola Ikan Larangan Analisis deskriptif digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik dan aturan masyarakat dalam mengelola sumberdaya ikan di sungai seperti ikan larangan di Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur. Analisis ini meliputi beberapa parameter yang bersifat kualitatif. Analisis deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah membuat suatu deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta antara fenomena yang diselidiki. Kelembagaan dalam pengelolaan ikan larangan dalam konteks penelitian ini merupakan kelembagaan yang mengatur aktivitas dalam mengelola sumberdaya ikan yang terdapat dalam area sungai dan aliran irigasi yang telah ditetapkan sebagai area ikan larangan. Selain itu, kelembagaan ini berperan dalam mengawasi pemeliharaan ikan, mengatur waktu yang tepat untuk mengambil ikan, serta mengatur hal-hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk dilakukan di area ikan larangan. Beberapa atribut yang digunakan dalam menganalisis kelembagaan ikan larangan adalah: Pertama, aktor dalam kelembagaan dianalisis dengan mengidentifikasi struktur kelembagaan yang ada pada ikan larangan Desa Sungai Pasak. Kemudian masing-masing aktor tersebut diidentifikasikan peran dimiliki dalam kelembagaan.Kedua, aturan kelembagaan diklasifikasikan dalam empat bagian yaitu: (1) boundary rule mengenai tata aturan yang terdapat dalam kelembagaan; (2) aturan akses terhadap sumberdaya yang dikelola bersamasama; (3) monitoring dan sanksi dalam setiap pelanggaran yang dilakukan; serta (4) aturan dalam setiap penyelesaian konflik yang terjadi dalam lingkup kelembagaan. Setelah mengetahui aktor atau tokoh pengelola ikan larangan maka berdasarkan peran yang dimiliki masing-masing tokoh perlu dipetakan ke dalam aktor grid. Berdasarkan hasil pemetaan akan terlihat tokoh mana yang berperan sebagai subjek, pemain, penonton dan aktor. Pemetaan tokoh memperlihatkan pengaruh dan kepentingan dari masing-masing tokoh pengelola ikan larangan.
25
4.4.2
Analisis Kinerja Kelembagaan Kinerja kelembagaan didefinisikan sebagai kemampuan suatu kelembagaan
untuk menggunakan sumberdaya
yang dimilikinya secara efisien dan
menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan pengguna (Peterson, 2003) dalam Syahyuti (2004). Analisis kinerja kelembagaan teori keempat dari teori Mackay et al (1998) dalam Syahyuti(2004). Penelitian ini hanya melihat kinerja kelembagaan berdasarkan kejelasan kelembagaan dalam mencapai outcome dan efektivitas kinerja kelembagaan. Penilaian ini ditujukan untuk menganalisis keberlanjutan pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Tabel parameter analisis kinerja kelembagaan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4. 4.4.3 Analisis Biaya Transaksi Dalam pengelolaan ikan larangan secara umum memiliki biaya transaksi berupa biaya pemeliharaan ikan larangan, biaya pada saat pembukaan atau pemanenan ikan larangan dan lain-lain. Biaya transaksi tersebut termasuk kedalam biaya transaksi manajemen. Menurut Furubotn & Richter (2000) dalam Suhana (2008a) biaya transaksi secara umum mencakup biaya transaksi manajemen dan biaya transaksi politik. Persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi dalam kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak adalah: TrC=∑Sij..........................................................................................................................................................(1) Keterangan: TrC : Total Biaya Transaksi Pengelolaan wilayah ikan larangan Sij : Komponen Biaya Transaksi Pengelolaan wilayah ikan larangan Analisis biaya transaksi pada penelitian ini lebih difokuskan pada biaya menjalankan organisasi seperti biaya pengambilan keputusan dan biaya operasional bersama yang meliputi biaya tutup untuk penetapan lokasi ikan larangan serta biaya pada waktu ikan larangan dibuka atau dipanen. 4.4.4
Analisis Persepsi Masyarakat Mengenai Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan Kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan melalui ikan larangan
merupakan salah satu upaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang
26
memadukan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Untuk itu diperlukan mengidentifikasi manfaat apa yang terkait pengelolaan ikan larangan tersebut melalui penilaian persepsi responden. Data yang digunakan untuk menganalisis manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari pengelolaan ikan larangan adalah data primer melalui observasi dan wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan skala Likert. Skala Likert merupakan metode untuk mengukur luas/dalamnya persepsi dan pendapat dari responden. Dalam metode ini sebagian besar pertanyaan dikumpulkan, setiap pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga bisa dijawab dalam lima tingkatan jawaban (Gumilar, 2012). Urutan untuk skala Likert menggunakan lima angka penilaian, yaitu (1) sangat setuju (SS, bobot 5), (2) setuju (S, bobot 4), (3) netral/ abstain (A, bobot 3), (4) tidak setuju (TS, bobot 2), dan (5) sangat tidak setuju (STS, bobot 1). Menurut Riduwan dan Sunarto (2007) cara menghitung skor dari pernyataan yang dinilai menggunakan skala likert adalah setiap skor jawaban yang dijawab responden dikalikan dengan jumlah responden yang menjawab pernyataan tersebut. Misalkan dari 70 responden yang digunakan dalam menilai suatu aspek, berikut rangkuman hasil penilaian menjawab (5) = 2 orang, menjawab (4) = 8 orang, menjawab (3) = 15 orang, menjawab (2) = 25 orang, dan menjawab (1) = 20 orang. Maka jumlah skor untuk yang menjawab (5) = 2 x 5 = 10, skor yang menjawab (4) = 8 x 4 = 32, dan seterusnya hingga jawaban skala 1. Interpretasi skor perhitungan dilakukan dengan menghitung skor ideal yaitu 5 x 70 = 350 dan skor terrendah 1 x 70 = 70. Jadi, jika total skor penilaian di peroleh angka 157, maka penilaian responden adalah : (157/350) x 100% = 44.86%, atau bisa dikategorikan sebagai cukup. Berikut kriteria interpretasi skor : - Angka 0% – 20% = Sangat lemah - Angka 21% – 40% = Lemah - Angka 41% – 60% = Cukup - Angka 61% – 80% = Kuat - Angka 81% – 100%= Sangat kuat
27
Berikut matriks analisis manfaat dari pengelolaan ikan larangan dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan: Tabel 4 Matriks Analisis Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan Aspek 1. Ekonomi
2. Sosial
3. Lingkungan
Sumber : Data primer (2013)
Indikator Manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat dari pengelolaan ikan larangan adalah: a. Meningkatkan pendapatan masyarakat b. Menjaga ketersediaan sumberdaya ikan untuk konsumsi c. Sebagai sumber pendanaan desa d. Sebagai alternatif wisata/hiburan Manfaat sosial yang dirasakan oleh masyarakat dari pengelolaan ikan larangan adalah: a. Terbinanya kerukunan bermasyarakat b. Meningkatkan kedisiplinan di masyarakat c. Sebagai warisan budaya d. Mendorong terwujudnya kemandirian ekonomi Manfaat ikan larangan dari aspek lingkungan meliputi: a. Mencegah kerusakan lingkungan b. Menjaga kelestarian jenis ikan lokal c. Menjaga sumber air bersih d. Sebagai salah satu bentuk pelestarian lingkungan e. Sebagai sarana melindungi spesies ikan lokal (ikan garing)
28
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kondisi Topografi Desa Sungai Pasak merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Secara georafis Desa Sungai Pasak terletak antara 100°9'12'' BT dan 1°24'13'' LS. Desa ini berada pada ketinggian 5 mdpl dengan luas wilayah sebesar 165 Ha. Suhu rata-rata Desa Sungai Pasak berada sekitar 30 derajat celcius. Secara administrasi Desa Sungai Pasak berbatasan dengan 4 desa, yaitu: - Sebelah Utara
: Desa Talago Sarik, Kecamatan Pariaman Timur.
- Sebelah Selatan
: Desa Kajai, Kecamatan Pariaman Timur.
- Sebelah Barat
: Desa Sungai Sirah, Kecamatan Pariaman Timur.
- Sebelah Timur
: Desa Air Santok, Kecamatan Pariaman Timur.
Desa Sungai Pasak terletak pada dataran rendah yang terdiri dari wilayah daratan bukan pantai. Secara umum, kondisi lingkungan di Desa Sungai Pasak relatif masih alami. Terlihat dari ketersediaan kawasan (tata ruang desa) dimana kawasan pemukiman yang digunakan sebesar 65 ha dan kawasan pertanian sebesar 85 ha. Desa ini berjarak 5 km dari Kota Pariaman dengan waktu tempuh 15 menit. Sedangkan untuk menempuh Kota Padang, ibukota provinsi membutuhkan waktu selama 1 jam 30 menit dengan jarak sekitar 50 km. Akses lalu lintas kendaraan menuju desa ini tidak begitu sulit tetapi jumlah kendaraan menuju desa tersebut masih terbatas. Kendaraan yang banyak digunakan untuk menempuh desa ini adalah ojek. Hal ini dikarenakan belum adanya trayek angkutan desa yang melalui desa ini, walaupun kondisi jalan telah layak untuk dilalui angkutan. Jalan menuju desa ini baik dan telah diaspal. 5.2 Kondisi Demografi Desa Sungai Pasak dihuni oleh enam kelompok suku yang merupakan bagian dari suku-suku dalam adat Minangkabau. Keenam suku tersebut adalah Suku Tanjuang, Suku Jambak, Suku Sikumbang, Suku Caniago, Suku Piliang, dan Suku Koto dimana keenam suku tersebut tersebar merata di seluruh Desa Sungai Pasak. Selain itu secara administrasi desa ini terdiri dari empat dusun yaitu Dusun
29
Sungai Pasak Utara, Dusun Sungai Pasak Selatan, Dusun Sungai Pasak Timur dan Dusun Sungai Pasak Barat. Posisi desa dikelilingi oleh lahan sawah pertanian, sungai, serta saluran (banda) irigasi untuk pengairan sawah. Berikut gambaran jumlah penduduk Desa Sungai Pasak menurut tingkat usia dan jenis kelamin, kelompok tenaga kerja dan menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5 Data penduduk Desa Sungai Pasak No Penduduk Desa Sungai Pasak 1 Rasio Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Total 2 Rasio Tingkat Usia a. 0-4 Tahun b. 5-6 Tahun c. 7-12 Tahun d. 13-15 Tahun e. 16-18 Tahun f. 19-25 Tahun g. 26-34 Tahun h. 35-49 Tahun i. 50-54 Tahun j. 55-59 Tahun k. 60-64 Tahun l. 65-69 Tahun m. > 70 Tahun Total 3 Tingkat Pendidikan a. Taman Kanak-kanak b. Sekolah Dasar c. SLTP d. SLTA e. Perguruan Tinggi Total 4 Kelompok Usia Tenaga Kerja a. 15-19 tahun b. 20-26 Tahun c. 27-40 Tahun d. 41-56 Tahun e. > 57 Tahun Total 5 Agama - Islam - Non Islam
Jumlah (dalam Jiwa)
Sumber: Data Kependudukan Kantor Desa Sungai Pasak 2012
Persentase (%)
510 562 1072
47,57 52,43 100
98 32 112 76 56 122 138 201 60 55 32 27 63 1072
9,14 2,99 10,45 7,09 5,22 11,38 12,87 18,75 5,59 5,13 2,99 2,52 5,88 100
15 189 141 208 73 626
2,40 30,19 22,52 33,23 11,66 100
106 118 199 206 150 779
13,61 15,15 25,55 26,44 19,25 100
1072 0
100,00
30
Berdasarkan data monografi desa tahun 2012, jumlah penduduk Desa Sungai Pasak sekitar 1.072 jiwa yang terbagi dalam 268 kepala keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 510 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 562 jiwa. Penyebaran penduduk pada tiap-tiap dusun hampir merata dengan komposisi jumlah laki-laki dan perempuan seimbang. Dalam profil Desa Sungai Pasak tahun 2012 penduduk terbagi berdasarkan tingkat usia dan jenis kelamin, kelompok tenaga kerja dan menurut tingkat pendidikan. Berdasarkan kategori tingkatan usia penduduk Desa Sungai Pasak dikelompokkan menjadi 13 kelompok usia. Sebaran terbanyak berada pada kelompok usia 35-49 tahun. Hal ini menandakan bahwa penduduk Desa Sungai Pasak memiliki jumlah penduduk dewasa produktif cukup tinggi yang juga berkaitan dengan kelompok usia tenaga kerja. Jika dilihat dari tingkat pendidikan, sebanyak 33,23% penduduk Desa Sungai Pasak telah mengenyam pendidikan sekolah menengah atas. Penduduk Desa Sungai Pasak 100% menganut agama Islam. 5.3 Sarana dan Prasarana Desa Desa Sungai Pasak merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman. Akses terhadap desa sudah cukup baik karena jalan-jalan menuju desa telah di aspal. Namun, untuk kendaraan angkutan umum ke desa memang tidak ada, masyarakat desa terbiasa untuk menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda, sepeda motor ataupun ojek. Meskipun demikian, kegiatan masyarakat sehari-hari ditunjang berbagai fasilitas yang cukup memadai. Program pembangunan desa dari pemerintah telah memberikan pembangunan bagi sektor publik. Apabila dana dari pemerintah tidak mencukupi maka secara swadaya masyarakat desa dapat membantu mencukupi pembangunan sarana desa. Sarana dan prasarana seperti pendidikan, peribadatan, air dan sanitasi, kesehatan, dan olahraga tersedia. Sektor pendidkan terdapat satu Paud, satu Sekolah Dasar (SD), dan satu TPA/TPSA. Terdapat satu masjid dan empat mushola sebagai prasarana ibadah. Sedangkan prasarana kesehatan terdapat satu posyandu dan satu puskesmas pembantu. Terdapat satu lapangan sepak bola untuk prasarana olahraga (Data Monografi Desa Sungai Pasak 2012).
31
5.4 Mata Pencaharian Mata pencaharian pokokDesaSungaiPasak terbesar yaitu di bidang pertanian dan peternakan karena daerah ini sangat cocok untuk bertani dan ternak. Selain itu, terdapat mata pencaharian lain di berbagai sektor. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan mata pencahariannya. Tabel 6 Jumlah Penduduk Desa Sungai Pasak Menurut Mata Pencaharian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Mata Pencaharian Petani Peternak Buruh Tani Wiraswasta Pertukangan Pegawai negeri sipil Swasta Nelayan Pensiunan Total
Jumlah(Jiwa) 68 83 14 38 15 25 36 1 4 284
Persentase 23,94 29,23 4,93 13,38 5,28 8,80 12,68 0,35 1,41 100
Sumber: Data Kependudukan Kantor Desa Sungai Pasak 2012
Terdapat 284 jiwa (36,45%) dari usia produktif 779 jiwa jumlah penduduk berusia 15-57 penduduk Desa Sungai Pasak yang mempunyai pekerjaan seperti pada Tabel 5. Sebagian besar penduduk Desa Sungai Pasak mempunyai pekerjaan sebagai petani dan peternak. 5.5 Sejarah Keberadaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Ikan Larangan merupakan salah satu bentuk dari kearifan lokal (adat dan kebiasan) dari masyarakat Sumatera Barat (Minangkabau) untuk menjaga kelestarian komunitas ikan di suatu perairan. Pengelolaan ikan larangan ini menerapkan suatu aturan yang telah disepakati oleh para pemangku adat, ninik mamak, alim ulama, perangkat nagari dan masyarakat nagari, dan siapa melanggarnya akan dikenakan denda sesuai dengan yang telah ditetapkan bersama. Konsep ini yang tetap dipertahankan masyarakat Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman. Namun, seiring perkembangan zaman masyarakat di desa ini mulai mengubah pola ikan larangan yang dahulunya di uduah dan diniatkan dengan pengelolaan ikan larangan semi diniatkan dengan pengelolaan budidaya ikan. Dalam perkembangannya ikan larangan yang terdapat di Kota Pariaman dan sekitarnya yang ada saat ini adalah ikan larangan seperti
32
budidaya ikan dimana adanya kegiatan penebaran benih, pemeliharaan dalam beberapa waktu kemudian dipanen. Pengelolaan ikan larangan di Kota Pariaman masih dikelola oleh masyarakat secara umum dibawah pengawasan pimpinan nagari/desa. Pimpinan nagari adalah ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Di ranah Minangkabau termasuk Kota Pariaman pola kepemimpinan masih menganut sistem Tungku Tigo Sajarangan yang merupakan sebuah kesatuan dari kepemimpinan ninik mamak (adat
istiadat),
alim
ulama
(agama),
dan
cadiak
pandai
(ilmu
pengetahuan/pemerintahan). Ketiga bentuk kepemimpinan ini lahir dan ada, tidak terlepas dari perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau sendiri. Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman merupakan salah satu desa yang memiliki ikan larangan. Desa Sungai Pasak memiliki satu sungai dengan panjang 1000 meter. Sejak tahun 1970 melalui musyawarah adat ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai beserta masyarakat desa telah menetapkan sungai tersebut sebagai wilayah terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu yang ditetapkan. Keputusan ini menjadikan ikan yang ada di sungai desa sebagai ikan larangan. Sistem pengelolaan ikan larangan yang telah diterapkan oleh masyarakat Desa Sungai Pasak merupakan sebuah kearifan masyarakat yang partisipatif, adaptif dan berkelanjutan dalam pelestarian sumberdaya perikanan sungai khususnya ikan lokal yaitu ikan garing (Tor sp). Ikan larangan merupakan istilah bagi daerah sungai atau aliran air dimana terdapat sumberdaya ikan baik alamiah maupun di tebar yang dilarang untuk mengambil hasil ikan dari daerah tersebut. Akan tetapi masyarakat masih dapat menggunakan air sungai untuk kegiatan lain tanpa mengganggu ikan yang terdapat di sungai tersebut. Selain itu, untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan di wilayah sungai tersebut masyarakat melarang menebang pohon disekitar daerah ikan larangan tersebut karena ikan-ikan yang ada di wilayah ikan larangan dapat memakan daun-daun pohon yang terjatuh ke sungai.Ikan yang terdapat di sungai ini dapat diambil ketika telah ada keinginan dari masyarakat yang telah diputuskan oleh ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai dalam rapat nagari/desa. Keinginan masyarakat untuk mengambil ikan biasanya tidak terlepas dari kebutuhan desa, seperti untuk memperbaiki sarana ibadah di desa, atau untuk
33
kegiatan keagamaan seperti maulid nabi atau menjelang bulan ramadhan. Pada awalnya pemanenan ikan yang dilakukan Desa Sungai Pasak terjadi satu kali dalam setahun. Menurut masyarakat desa, ikan larangan memiliki banyak manfaat disamping untuk pembangunan desa, ikan larangan berdampak bagi lingkungan dan dapat menjadi hiburan di desa. Besarnya manfaat yang diterima dari ikan larangan tersebut membuat desa melakukan penambahan daerah untuk ikan larangan tersebut. Hal ini dikarenakan Desa Sungai Pasak memiliki banda (aliran air untuk irigasi pertanian) yang akhirnya dimanfaatkan juga sebagai daerah ikan larangan. Ide memanfaatkan banda tersebut di awali dari wakaf yang diberikan oleh seorang warga Desa Sungai Pasak. Pemberi wakaf tersebut memberikan wakaf dalam bentuk semen untuk pembangunan mesjid Raya Sungai Pasak setiap tahunnya. Saat itu, mesjid dalam keadaan baik sehingga timbullah masukan dari kepala desa untuk mengembangkan wakaf tersebut untuk ke pembangunan lain namun dapat berkembang terus-menerus yang hasilnya masih dapat digunakan untuk kepentingan Desa Sungai Pasak. Ide tersebut disambut baik oleh ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai dan masyarakat desa. Selain untuk menyalurkan wakaf dari warga, penggunaan banda sebagai banda larangan untuk mengembangkan ekonomi produktif di Desa Sungai Pasak. Ekonomi produktif yang
dimaksud
perekonomian
adalah
desa
dan
bagaimana juga
cara
masyarakat
mengembangkan
dapat
potensi
memikirkan
desa.
Setelah
dimusyawarahkan maka ditetapkan oleh ninik mamak bahwa banda irigasi desa digunakan sebagai daerah ikan larangan (banda larangan). Kesepakatan tersebut ditetapkan tahun 1987. Sejak tahun 1987 daerah ikan larangan di Desa Sungai Pasak menjadi dua wilayah yaitu di sungai dan banda. Hasil dari kedua wilayah tersebut terus meningkat. Keberadaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak sejak awal diatur oleh ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai yang ada di desa. Dalam pengelolaan ikan larangan tersebut tentunya terdapat aturan yang mengatur pengelolaan sumberdaya ikan dan air yang terdapat di desa tersebut. Pengelolaan sistem ikan larangan diatur bersama dengan penerapan sanksi bagiyang
34
melanggar. Dimensi spiritual (agama dan kepercayaan) serta kepatuhan terhadappemuka/kepala adat yang selalu menekankan tentang hubungan antara manusia dan pencipta serta makhluk hidup lain sebagai bagian dari alam menjadipijakan dalam pengelolaan ikan larangan. Sistem yang ada pada masyarakat tradisional tersebut tidak lain adalah diperuntukan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan mengelola sumberdaya yang mereka miliki agar tetap lestari dan dapat dimanfaatkanuntuk generasi penerus selanjutnya. Berdasarkan keputusan bersama antara pemangku adat dan masyarakat beserta perangkat pemerintahan desa, setelah tiga kali pembukaan ikan larangan di Banda Larangan Desa Sungai Pasak maka dilakukan perubahan pola pengelolaan. Dahulu ikan yang terdapat di banda dikelola sesuai dengan pengelolaan ikan di sungai, yaitu ikan diniatkan. Namun, dilihat dari hasil yang diperoleh maka diputuskan bahwa ikan yang ada di perairan umum Desa Sungai Pasak baik sungai maupun banda tidak lagi diniatkan. Walaupun tidak diniatkan melalui dimensi spiritual wilayah perairan umum desa masih ditetapkan sebagai Lubuk dan Banda Larangan. Keputusan tersebut diambil agar ikan yang berada di wilayah tersebut dapat berkembang dengan baik. Dalam hal ini, pemuka adat hanya menyampaikan bahwa wilayah tersebut dilarang menangkap ikan dengan cara apapun mulai dari batasan wilayah yang telah ditetapkan serta bagi siapa yang menangkap ikan di wilayah tersebut, maka akan mendapatkan resiko tersendiri. Aturan ini masih berlaku hingga sekarang sehingga ikan larangan desa ini tetap terjaga.Ikan yang berada dalam wilayah lubuk dan banda larangan Desa Sungai Pasak dibuka setiap enam bulan sekali. Hal ini telah ditetapkan oleh pemuka adat dan masyarakat desa. Keputusan musim buka dilakukan enam bulan sekali dengan alasan ikan yang berada di lubuk dan banda biasanya telah besar dan layak untuk dipanen. Untuk menentukan kapan waktu yang tepat dilakukan musim buka maka pemuka adat beserta masyarakat dan pemuka desa akan melakukan musyawarah terlebih dahulu. Waktu yang dipergunakan untuk bermusyawarah adalah hari Jumat. Setelah musim buka selesai, maka akan dilakukan musyawarah kembali mengenai waktu penutupan sungai dan banda sebagai wilayah ikan larangan.Pada
35
hari yang sama juga pemuka adat akan mengumumkan hasil panen ikan larangan dan peruntukannya. Kegiatan ini berlangsung hingga sekarang. 5.6 Karakteristik Responden Mengenai Ikan Larangan Desa Sungai Pasak 5.6.1 Jenis Kelamin Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 40 responden. Responden merupakan penduduk Desa Sungai Pasak yang bertempat tinggal disekitar lokasi ikan larangan dan mengetahui pengelolaan ikan larangan tersebut. Persentase jumlah responden laki-laki dan perempuan sebanding. Sebaran jenis kelamin responden dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Data primer diolah (2013)
Gambar 3 Sebaran jumlah responden berdasarkan jenis kelamin 5.6.2 Tingkat Umur Tingkat umur responden antara 20-73 tahun. Berdasarkan aturan Sturges (Sunyoto 2011) tingkat umur dapat dibagi menjadi 6 kelas yaitu (1) 20-28 tahun, (2) 29-37 tahun, (3) 38-46 tahun, (4) 47-55 tahun, (5) 56-64 tahun, dan (6) 65-73 tahun. Berikut merupakan sebaran penduduk Desa Sungai Pasak berdasarkan tingkat umur dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Sumber: Data primer diolah (2013)
Gambar 4 Sebaran tingkat umur responden Desa Sungai Pasak
36
Berdasarkan Gambar 4 di atas dapat dijelaskan bahwa sebaran umur responden paling banyak berada pada selang 38-46 tahun sebesar 33 persen. Sedangkan sebaran umur responden paling kecil pada selang 65-73 tahun sebesar 3 persen. 5.6.3 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan sebuah gambaran umum untuk melihat kualitas sumberdaya manusia disuatu tempat. Pendidikan mempunyai pengaruh terhadap pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan adaptasi dan adopsi terhadap teknologi dan perubahan. Keragaan pendidikan pada masyarakat Desa Sungai Pasak adalah seperti yang terdapat pada Gambar 5 di bawah ini.
Sumber : Data Primer diolah (2013)
Gambar 5 Sebaran tingkat pendidikan responden Desa Sungai Pasak Masyarakat Desa sungai Pasak sekitar 55% telah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA dan sederajat. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Desa Sungai Pasak telah sadar akan pentingnya pendidikan. Selain faktor fasilitas pendidikan yang dapat ditempuh dari desa, fasilitas pendukung lainnya seperti jalan raya pun telah baik. 5.6.4 Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan yang menjadi mata pencaharian responden di Desa Sungai Pasak cukup bervariasi, diantaranya adalah pegawai negeri sipil, pegawai swasta, wiraswasta, petani, pedagang, penjahit, pegawai kantor desa, dan ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil survei, mata pencaharian responden tertinggi adalah wiraswasta sebesar 33 persen. Sedangkan pekerjaan lain adalah petani (22%), pegawai swasta (13%), dan pegawai negeri sipil (10%). Selain itu terdapat jenis
37
pekerjaan lain seperti pedagang dan pegawai kantor desa. Sebaran jenis pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber: Data Primer diolah (2013)
Gambar 6 Sebaran jenis pekerjaan responden Desa Sungai Pasak 5.6.5 Tingkat Pendapatan Persentase responden dengan tingkat pendapatan terbesar terdapat pada kelompok pendapatan Rp 500 000 – Rp 1 200 000 yaitu sebesar 47 persen. Hal ini berhubungan dengan jenis pekerjaan mayoritas responden yaitu petani. Sebanyak 25 persen responden memiliki selang pendapatan Rp 1 300 000 – Rp 2 000 000, hal ini berhubungan dengan jenis pekerjaan diluar petani, seperti pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan wiraswasta. Selain itu, sebanyak 15 persen reponden memiliki pendapatan antara Rp 2 100 000 - Rp 2 800 000, 10 persen memiliki pendapatan Rp 2 900 000 – Rp 3 600 000 dan 3 persen responden memiliki pendapatan antara > Rp 3 600 000. Perbandingan tingkat pendapatan dapat dilihat pada Gambar 7.
Sumber: Data Primer diolah (2013)
Gambar 7 Sebaran responden menurut tingkat pendapatan di Desa Sungai Pasak
38
VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Aktor Pengelolaan dan Pemanfaatan Ikan Larangan Ikan larangan Desa Sungai Pasak telah terbentuk sejak dahulu dimana telah ada saat Sungai Pasak belum ditetapkan sebagai desa. Adapun aktor pengelolaan dan pemanfaatan ikan larangan yaitu semua pihak yang terlibat pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di area ikan larangan tersebut. Pengelolaan ikan larangan dilakukan oleh kelembagaan lokal Desa Sungai Pasak yaitu dibawah kepemimipinan Ninik Mamak Desa Sungai Pasak. Pada tahun 2010 keberadaan ikan larangan Desa Sungai Pasak yang dahulunya dikelola oleh Ninik Mamak bersama masyarakat desa dibantu oleh Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Ikan Larangan. Berdasarkan pengelolaan tradisional, ikan larangan Desa Sungai Pasak hanya dikelola bersama oleh masyarakat desa dibawah pimpinan ninik mamak. Kepemimpinan ninik mamak merupakan kepemimpinan tradisional yang sesuai dengan
pola
yang telah
digariskan
oleh
adat.
Kepemimpinan
secara
berkesinambungan, dengan arti kata “patah tumbuah hilang baganti” dalam kaum masing-masing, suku dan nagari. Dalam menjalankan tugasnya memimpin suatu kaum dalam satu nagari ninik mamak didampingi oleh alim ulama dan cadiak pandai. Ketiga sistem kepemimpinan ini dalam masyarakat Minangkabau disebut “tungku nan tigo sajarangan, tali nan tigo sapilin”. Mereka saling melengkapi dan menguatkan. Ketiga unsur tersebut menjadi simbol kepemimpinan yang memberi warna dan mempengaruhi perkembangan masyarakat Desa Sungai Pasak. Sebagai pemimpin adat dalam desa “tungku nan tigo sajarangan” harus menguasai seluk beluk adat, taat beragama, dan berilmu pengetahuan. la harus memiliki ciri-ciri berakhlak Islami, demokratis, bertanggung jawab dan berilmu pengetahuan.Sesuai dengan perkembangan peraturan pemerintahan keberadaan kelembagaan adat yang dipimpin oleh ninik mamak dibantu oleh pemerintahan administrasi desa yang ada saat ini. Kelembagaan adat yang terdapat di Desa Sungai Pasak bersifat informal. Saat ini keberadaan Cadiak Pandai (Cendekiawan) identik dengan kepala desa. Hal ini terjadi seiring pergantian pemerintahan nagari
39
menjadi desa. Selain itu, agar kegiatan masyarakat dibawah kepemimpinan ninik mamak dapat berjalan selaras dengan peraturan desa secara administrasi. Secara struktural, posisi pengelola ikan larangan terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, dan pemuda. Kelima unsur ini merupakan tokoh penting pengelola ikan larangan. Jika salah satu dari lima unsur tersebut tidak menyetujui kesepakatan yang dibuat maka kesepakatan tersebut batal. Setelah terbentuknya Pokmaswas posisi pengelolaan ikan larangan tidak banyak berubah. Keberadaan Pokmaswas ini melengkapi pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Selain untuk membantu pengawasan ikan yang terdapat dalam wilayah ikan larangan, Pokmaswas juga membantu memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat bagaimana kegiatan yang telah dilakukan selama ini (pengelolaan ikan larangan) tidak hanya bermanfaat sebagai pendanaan desa tetapi juga bermanfaat menjaga lingkungan. Masyarakat Desa Sungai Pasak tanpa terkecuali berkewajiban memelihara keberadaan wilayah ikan larangan sehingga apabila ada hal-hal yang merusak wilayah ikan larangan atau pelanggar pantangan dapat diketahui dan dicegah untuk terjadi kerusakan lebih lanjut. Sebelum adanya Pokmaswas pengawasan ikan larangan Desa Sungai Pasak juga disertai dengan pengawasan menggunakan dimensi spiritual melalui Pawang. Berdasarkan pola pengelolaan ikan larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak maka dapat diidentifikasi aktor pengelola ikan larangan dan peranan setiap aktor yang terdapat dalam pengelolaan ikan larangan. Adapun peranan tokoh kelembagaan ikan larangan dapat dilihat pada Tabel 7.
40
Tabel 7. Identifikasi aktor dan peran No 1
Aktor Ninik Mamak
-
2
Alim Ulama (Labai)
-
3
Cadiak Pandai
-
4
Bundo kanduang
-
5
Pemuda
6
Kepala Desa
-
7
Pokmaswas
-
8
Masyarakat Desa Sungai Pasak
-
9
Pawang
-
Peranan Unsur pimpinan (adat istiadat) dalam masyarakat adat di Minangkabau dimana unsur tersebut masih ada di Desa Sungai Pasak. Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan Unsur pimpinan (agama) masyarakat adat di Minangkabau dimana unsur tersebut masih ada di Desa Sungai Pasak. Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan Unsur pimpinan masyarakat adat di Minangkabau dimana unsur tersebut masih ada di Desa Sungai Pasak (cendekiawan). Pengawas ikan larangan mulai dari tahapan penetapan lokasi sampai masa pembukaan ikan larangan Unsur kepemimpinan perempuan yang ikut mengelola ikan larangan Pengelola harian ikan larangan. Mengawasi keadaan area ikan larangan. Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat. Mengembangkan potensi sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup. Pengawas kegiatan ikan larangan. Membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas Ikan Larangan untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi dari lubuk dan banda larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak Mengawasi pengelolaan ikan larangan dari penangkapan ikan yang menggunakan bahan terlarang dari oknum masyarakat. Memanfaatkan sungai pasak dan banda irigasi serta ikut mengawasi pengelolaan ikan larangan yang terdapat di sungai maupun di banda tersebut. Menjaga keamanan pengelolaan ikan larangan. Memiliki kemampuan untuk mengamankan keberadaan ikan yang terdapat pada area ikan larangan. Keberadaaan pawang dalam pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak bersifat sementara karena untuk kegiatan yang ikan larangan saat ini telah tidak menggunakan jampi.
Sumber: Data primer diolah (2013)
6.1.1 Pengaruh dan Kepentingan Aktor Aktor pengelola ikan larangan memiliki pengaruh dan kepentingan yang telah teridentifikasi melalui peranan yang dimiliki masing-masing. Berdasarkan pengaruh dan kepentingan yang dimiliki oleh para aktor maka dapat digambarkan pada aktor grid. Pemetaan aktor tersebut didapatkan dari nilai skor analisis aktor sebagai berikut.
41
Tabel 8 Nilai skor pemetaan analisis aktor pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Aktor Alim Ulama Ninik Mamak Kepala Desa Cadiak Pandai Pemuda (karang taruna) Bundo Kanduang Pokmaswas Pawang Masyarakat
Pengaruh 4,00 3,50 4,00 4,00 4,00 2,00 2,00 1,25 4,00
Kepentingan 4,00 4,00 3,25 3,50 5,00 3,50 2,00 1,25 2,25
Sumber : Data primer diolah (2013)
Hasil pemetaan aktor berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan larangan dapat dilihat pada Gambar 8. 6
subjek
pemain 5
5
K E P E N T I N G A N
2
4
6 3
1 4 3
penonton
aktor 9 7
2
8 1
1
2
3
4
6 PENGARUH
5
Sumber : Data primer diolah (2013) Keterangan : 1. Labai (alim ulama),2. Ninik Mamak, 3. Kepala Desa, 4. Cadiak Pandai 5. Pemuda, 6. Bundo Kanduang, 7. Pokmaswas, 8. Pawang dan 9 Warga Desa Sungai Pasak labai
ninik mamak Kepala Desa
bundo kanduang karang taruna pokmaswas
Gambar 8. Pemetaan aktor pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak pawang
masyarakat
cadiak pandai
Kuadran I (subjek) ditempati Bundo Kanduang. Bundo kanduang memiliki kepentingan tinggi terhadap sumberdaya ikan larangan desa sungai Pasak namun kurang terlibat dalam merumuskan berbagai kebijakan pengelolaan sumberdaya tersebut. Kepentingan yang tinggi terhadap sumberdaya ikan larangan terkait dengan penggunaan sumberdaya air dari lokasi ikan larangan tersebut. Penggunaan sumberdaya air yang dijadikan lokasi ikan larangan menjadikan Bundo Kanduang memiliki peranan yang tinggi terhadap keberadaan wilayah ikan larangan untuk menjaga keberlanjutan pengelolaan dan kebersihan air yang
42
terdapat di wilayah ikan larangan. Selain itu, peranan dan partisipasi Bundo Kanduang dalam mengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak hanya sebagai pengawas sehingga hanya berkontribusi dari segi sumberdaya manusia. Kuadran II (pemain) ditempati oleh Alim Ulama, Ninik Mamak, Kepala Desa dan Pemuda. Kelompok ini memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Lubuk Larangan dan Banda Larangan Desa Sungai Pasak. Pengaruh dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan pada wilayah ikan larangan tersebut terkait dengan perumusan peraturan mengenai ikan larangan, peran dan partisipasi, kemampuan berinteraksi serta kewenangan yang dimiliki masing-masing tokoh. Jika dilihat dari aspek keterlibatan Alim,Ulama, Ninik Mamak, Kepala Desa dan Pemuda terlibat dalam semua proses yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Keberadaan ikan larangan memberikan manfaat yang berbeda-beda bagi tokoh-tokoh pengelola ikan larangan. Pihak Alim Ulama dan Pemuda menyatakan manfaat yang diterima dari pengelolaan ikan larangan adalah sebagai penerimaan desa, menjaga keberadaan jenis ikan lokal, melestarikan budaya, terbinanya kerukunan sosial serta untuk memuaskan hobi para pemancing ikan larangan. Ninik Mamak dan Kepala Desa menyatakan manfaat ikan larangan adalah sebagai penerimaan desa, melestarikan budaya dan terbinanya kerukunan sosial. Pengelolaan ikan larangan menjadi prioritas yang tinggi karena kegiatan ini berfungsi sebagai sarana penerimaan desa untuk pembangunan sarana ibadah, sarana mengenalkan potensi desa, dan memberikan dampak ekonomi bagi sebagian
masyarakat.
Kelompok
pemain
memiliki
kewenangan
dalam
mengendalikan pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak. Pengetahuan lokal dalam pengelolaan perikanan memiliki pengaruh yang tinggi yang didasarkan pada kemampuan para tokoh dalam berinteraksi yang dapat menjaga keberlangsungan keberadaan ikan larangan serta peran dan partisipasi dari tokoh untuk bersama-sama mengelola sumberdaya yang terdapat di wilayah mereka. Kuadran III (penonton) ditempati oleh Pokmaswas dan Pawang/tukang jampi. Keberadaan mereka dinilai tidak terlalu bergantung terhadap sumberdaya ikan di wilayah ikan larangan Desa Sungai Pasak. Selain itu posisi mereka tidak
43
terlalu berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah ikan larangan Desa Sungai Pasak. Berdasarkan keterlibatan, manfaat yang diperoleh, fokus pengelolaan, dan tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya, aktor pada kuadran ini memiliki nilai yang rendah. Kelompok ini hanya memiliki peranan yang kecil dalam pengelolaan ikan larangan. Pokmaswas memiliki peranan dalam pengawasan dan pengamanan sumberdaya ikan larangan dari penangkapan ikan menggunakan bahan-bahan terlarang yang dapat merusak perairan dan keberadaan ikan sesuai dengan pengelolaan perairan. Pawang memiliki peranan sebagai pemberi pengamanan dalam pengelolaan sumberdaya ikan yang bersifat spiritual namun mulai ditinggalkan karena terkait dampak yang diterima. Dilihat dari penetapan dan pelaksanaan aturan, kemampuan dalam berinteraksi dan kewenangan, aktor dalam kuadran ini memiliki nilai yang rendah. Kedua tokoh ini memiliki pengaruh yang rendah karena kontribusi yang diberikan kecil dalam pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Kuadran IV (aktor) ditempati oleh masyarakat Desa Sungai Pasak. Kelompok masyarakat Desa Sungai Pasak memiliki pengaruh yang tinggi dengan sedikit kepentingan terhadap sumberdaya ikan di wilayah ikan larangan desa. Hal ini dikarenakan masyarakat memiliki peran memanfaatkan sungai pasak dan banda irigasi serta ikut mengawasi sumberdaya ikan yang terdapat di wilayah larangan tersebut. Pengaruh yang dimiliki oleh kelompok masyarakat merupakan suatu proses pengontrolan proses dan hasil dari kegiatan ikan larangan yang terdapat di wilayah tempat tinggal mereka. Kelompok ini berpengaruh besar terkait dalam pelaksanaan aturan dan penegakan sanksi dalam pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Peran dan partisipasi masyarakat dalam memantau dan mengawasi pengelolaan ikan larangan dengan berkontribusi waktu dan tenaga serta kemampuan bekerja sama dalam menjaga keberadaan ikan larangan. Berdasarkan pemetaan aktor terkait kepentingan dan pengaruh diatas aktoraktor yang harus dilibatkan dalam pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok formal dan kelompok informal. Aktor-aktor yang berperan ditingkat kelompok formal yaitu kepala desa sebagai pemimpin pemerintahan administrasi dan Kelompok Masyarakat
44
Pengawas (Pokmaswas) yang dibentuk berdasarkan surat keputusan kepala desa. Kelompok informal terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang dan pemuda serta pawang. Kelompok ini merupakan komunitas lokal yang berperan mengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak selama ini. Walaupun keberadaan pawang sudah tidak digunakan saat ini, kepercayaan masyarakat akan larangan mengambil ikan tidak sesuai waktu tetap berlangsung hingga saat ini. Pembagian kelompok ini disebabkan karena pengaruh dari Ninik Mamak, Alim, Ulama, Cadiak Pandai merupakan orang yang dituakan dan dihormati di Desa Sungai Pasak. Keberadaan pawang dalam pengelolaan ikan larangan merupakan unsur dimensi spiritual yang berkembang di masyarakat. Adapun hubungan aktor-aktor pengelola Ikan Larangan Desa Sungai Pasak yaitu seperti pada Gambar 9.
KEPALA DESA SUNGAI PASAK NINIK MAMAK, ALIM ULAMA, CADIAK PANDAI
Collective Level
BUNDO KANDUANG, PEMUDA ,MASYARAKAT POKMASWAS SEIPA LESTARI
Operational Choice Level
FORMULASI ATURAN
ATURAN
IKAN LARANGAN
Sumber : Data primer diolah (2013)
Gambar 9 Hubungan antar aktor pengelola ikan larangan Desa Sungai Pasak
Ostrom (1990) dalam Suhana (2008a) menyatakan bahwa dalam menganalisis hubungan antar aktor dalam sistem kelembagaan perlu dibedakan berdasarkan
tingkatannya
(level),
yaitu
pertama,
level
konstitusi
(constitutional),yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk level collective choice. Kedua, level pilihan kolektif (collective choice), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun peraturan untuk dilaksanakan oleh
45
lembaga operasional. Ketiga, lembaga operasional (operational), yaitu lembaga yang secara langsung melaksanakan kebijakan di lapangan. Berdasarkan teori Ostrom (1990) dalam Suhana (2008a) maka aktor-aktor pengelolaan dan pemanfaatan ikan larangan di Desa Sungai Pasak yang tergolong kedalam level penentu aturan (collective choice level) adalah Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai (tungku tigo sajarangan) dan Kepala Desa Sungai Pasak. Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menetukan aturan main dalam pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Sementara itu, yang termasuk level operasional (operational level) adalah kelompok Bundo Kanduang, Pemuda, Masyarakat Desa Sungai Pasak dan Kelompok Masyarakat Pengawas ikan larangan Desa Sungai Pasak.
6.2 Aturan Pengelolaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak Sebuah kelembagaan memiliki aturan main (rule of the game) yang mengatur kegiatan yang dilakukan, hubungan antar aktor dalam kelembagaan dan aktor diluar kelembagaan. Hal ini juga terdapat pada kelembagaan pengelola ikan larangan. Dalam konteks ini, aturan main dalam pengelolaan ikan larangan adalah berupa aturan informal. Aturan ini terkait dengan pengelolaan perikanan yang bersifat pengetahuan lokal. Selain aturan informal, pengelolaan ikan larangan juga memiliki landasan hukum. Berdasarkan konteks hukum nasional yang ada pengelolaan perikanan berbasis pengetahuan lokal telah mendapat pengakuan secara nyata dalam peraturan perundang-undangan. 6.2.1 Boundary Rule, Sanksi, dan Monitoring terhadap Aturan Pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak tentu memiliki aturan tersendiri. Peraturan yang diterapkan dalam ikan larangan pada Desa Sungai Pasak berupa peraturan tidak tertulis. Hal ini disebabkan karena aturan ini dikeluarkan oleh kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan yang telah menjadi kebiasaan di masyarakat desa. Aturan yang terkait dengan pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak berisi mengenai larangan menangkap ikan saat musim tutup, seluruh penduduk desa merupakan anggota pengelola ikan larangan dan bertanggungjawab memantau dan mengawasi ikan larangan tersebut.
46
Selain itu, penduduk desa yang merupakan suatu komunitas harus ikut berkontribusi langsung terhadap pengelolaan ikan larang tersebut. Kontribusi yang dapat diberikan terkait dengan waktu, usaha serta pemikiran bagaimana ikan larangan ini dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan dengan kontribusi yang diberikan oleh anggota tersebut manfaat dari ikan larangan ini akan dapat dirasakan langsung oleh penduduk desa. Secara umum, aturan adat mengenai ikan larangan masyarakat Desa Sungai Pasak ini berisi aturan-aturan dalam pemanfaatan (appropriation problems) dan pemeliharaan (provision problems) sumberdaya ikan di lubuk larangan dan banda larangan. Adapun aturan-aturan tersebut antara lain aturan batas wilayah ikan larangan, aturan akses pemanfaatan sumberdaya ikan, aturan sanksi, dan monitoring. Wilayah ikan larangan desa Sungai Pasak terdiri dari sungai dan banda irigasi. Wilayah sungai yang menjadi wilayah ikan larangan adalah wilayah lubuk larangan. Batas wilayah lubuk larangan dengan bukan lubuk larangan ditandai oleh jembatan. Jembatan merupakan jalan yang membatasi satu desa dengan desa lain. Sedangkan batas banda larangan adalah sepanjang aliran irigasi yang melewati desa Sungai Pasak. Ikan hanya boleh ditangkap ketika telah ada pemberitahuan bahwa lubuk larangan dan banda larangan telah dibuka oleh ninik mamak dengan waktu yang telah ditetapkan. Selain itu, ikan yang tidak masuk didalam wilayah yang dijadikan wilayah ikan larangan dapat ditangkap atau dimanfaatkan. Ikan hanya boleh ditangkap mengunakan alat pancing, tidak boleh mengunakan racun, menyentrum ikan dan tidak boleh menggunakan jala. Aturan mengenai sanksi untuk wilayah ikan larangan di desa Sungai Pasak secara formal tidak ada. Namun, sanksi tersebut akan terlihat dengan sendirinya jika mereka melanggar ketentuan yang telah dibuat bersama. Pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak masih semi tradisional. Sanksi yang dirasakan bagi pelanggar bersifat alamiah. Berdasarkan penuturan tokoh agama desa (Labai),3 apapun yang terdapat di daerah yang sifatnya milik bersama pasti akan ada saja yang ingin berbuat curang. Terkadang kita tidak dapat menyalahkan sehingga kita
3
Wawancara Bapak Suardi Tanjung (mantan Kepala Desa Sungai Pasak tahun 1986, pemuka masyarakat) 18 Februari 2013
47
hanya dapat memohon pada yang Maha Kuasa agar kesalahannya menghianati kesepakatan yang ada diampuni. Ikan larangan Desa Sungai Pasak dahulu pernah di jampi, namun penggunaan jampi telah dibuka karena pada saat itu membuat ikan yang berada di kawasan tersebut tidak berkembang dengan baik. Namun, kepercayaaan terhadap ikan yang terdapat di lubuk dan banda yang ada larangan untuk tidak diambil masih dianut sampai saat ini. Walau tidak menggunakan jampi lagi masyarakat masih percaya bahwa sesuatu yang telah disepakati untuk tidak diambil sebelum masa diperbolehkan maka akan mendapat bala. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, bagi yang mengambil ikan yang terdapat di wilayah berlarangan tersebut akan mendapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis. Untuk menghilangkan penyakit tersebut, maka seseorang harus mengingat kesalahan yang telah diperbuat dan memohon kepada Allah agar kesalahannya diampuni. Ketika masih di jampi, orang yang mengambil ikan di wilayah ikan larangan akan mengaku ditempat ia mengambil ikan tersebut. Hal ini membuat seseorang merasa bersalah dan mendapat sanksi sosial karena diperlihatkan secara langsung. Mengingat akibat dari perilaku tersebut yang berdampak bagi psikologi seseorang maka untuk menghindari permasalahan yang akan muncul dari perilaku buruk tersebut, ninik mamak bersama alim ulama dan cadiak pandai desa Sungai Pasak memutuskan untuk tidak menggunakan jampi lagi. Perubahan sistem pengamanan wilayah ikan larangan ini membuat monitoring yang kurang jelas dalam pengelolaan ikan larangan tersebut. Menurut hasil wawancara dengan pemuka agama desa (Labai) dan Kepala Desa Sungai Pasak yang mengawasi tindakan pelanggaran adalah pribadi masing-masing. Ikan larangan ini dibuat berdasarkan kesepakatan bersama sehingga perubahan dalam pengaamanan wilayah ikan diharapkan tidak menimbulkan permasalahan di masyarakat dan menegaskan bahwa melalui kesepakatan yang telah dibentuk harus dibuat atas dasar kepercayaan satu sama lain. Terciptanya sikap saling percaya dengan sesama maka dapat mewujudkan kebaikan dari apa yang diperbuat sehingga ikan larangan dapat menghasilkan manfaat bagi seluruh masyarakat desa.
48
6.2.2 Aturan Akses terhadap Sumberdaya dan Penyelesaian Konflik Pemanfaatan sumberdaya perairan desa sebagai wilayah ikan larangan telah ada sejak tahun 1970. Hal ini merupakan kesepakatan ninik mamak beserta masyarakat desa. Kegiatan ini pernah terhenti selama lima tahun karena adanya program normalisasi sungai yang digalakkan oleh pemerintah. Kegiatan ini dianggap sangat baik oleh masyarakat sehingga dilakukan kembali. Oleh karena itu masyarakat desa mewacanakan untuk memperluas wilayah ikan larangan dengan memanfaatkan daerah aliran irigasi. Berdasarkan kesepakatan ninik mamak dan masyarakat maka daerah aliran irigasi juga dijadikan wilayah ikan larangan yang disebut juga banda larangan. Banda larangan tersebut ditetapkan tahun 1987. Wilayah ikan larangan desa berada di sungai dan aliran irigasi dengan panjang sekitar 1880 meter. Masyarakat Desa Sungai Pasak sangat menyadari potensi yang terdapat di desa mereka sehingga mereka berusaha untuk menjaga agar potensi desa mereka dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Apapun yang menjadi milik desa harus dijaga dan dipergunakan untuk kepentingan desa. 6.2.3 Aturan Ikan Larangan yang Berdampak terhadap Pembangunan Desa Ikan larangan merupakan tradisi yang dilakukan turun temurun oleh masyarakat Desa Sungai Pasak. Sejak tahun 1970 ikan larangan telah ada dan mulai dikembangkan oleh masyarakat desa melalui perluasan wilayah ikan larangan. Perluasan wilayah ikan larangan desa dimaksud dengan memanfaatkan banda irigasi desa yang dirasa dapat berpotensi untuk membantu perkembangan ekonomi desa. Pemanfaatan banda irigasi di mulai pada tahun 1987. Selain sebagai sarana memanfaatkan potensi desa, kegiatan ikan larangan juga berdampak pada pembangunan desa. Hal ini terlihat dari adanya gerbang selamat datang pada kawasan Masjid Raya Sungai Pasak. Kegiatan pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak pada awalnya bersifat tradisional. Namun, setelah melakukan beberapa kali panen, pengelolaan ikan larangan di Desa Sungai Pasak mengalami perubahan sehingga bersifat semi tradisional. Pengelolaan bersifat semi tradisional ditandai dengan adanya penebaran ikan kembali (restocking),serta saat musim buka ikan larangan panitia musim buka akan memperbolehkan menggunakan alat pancing dan mengutip
49
sejumlah uang dari semua peserta yang mendaftarkan diri untuk ikut pesta pembukaan ikan larangan (baik masyarakat desa setempat maupun dari luar desa). Perubahan tersebut berlaku sejak tahun 1990-an dengan alasan bahwa penangkapan pada musim buka yang terdahulu sering menyebabkan ikan yang terdapat di sungai dan banda habis dan tidak berkembang dengan baik. Oleh sebab itu, mereka mulai menerapkan pola semi-tradisional yang terlihat saat penetapan musim tutup ikan larangan, sebelum musim buka dan pada masa musim buka. 6.2.3.1 Aturan Musim Tutup Wilayah Ikan Larangan Aturan dalam memulai waktu musim tutup ikan larangan ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama. Proses pengambilan keputusan yang dilalui cukup demokratis. Semua masyarakat desa berhak menyampaikan aspirasi, gagasan dan pandangannya, baik melalui forum informal (seperti pembahasan di warung-warung kopi) maupun forum formal (musyawarah desa), sehingga penetapannya dilakukan secara partisipatif. Setelah itu dilakukan pertemuan bersama ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai dan masyarakat desa. Musim tutup ditetapkan seminggu setelah musim buka selesai. Wilayah ikan larangan desa kembali ditutup setelah adanya pertemuan ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai bersama masyarakat. Pertemuan itu berlangsung pada hari Jumat bertempat di Mesjid Raya Sungai Pasak. Pertemuan tersebut membahas penetapan lokasi ikan larangan, kapan waktu penutupan wilayah ikan larangan dan juga mengumumkan pendapatan dari hasil musim buka wilayah ikan larangan desa yang telah dilakukan. Beberapa pertimbangan yang biasanya digunakan dalam penetapan sebuah lokasi sebagai Lubuk Larangan, antara lain yaitu lokasinya tidak jauh dari pusat pemukiman warga. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan adat yang ditetapkan pada lokasi Ikan Larangan dan daerah aliran sungai yang memiliki kedalaman yang cukup memungkinkan untuk ikan berkembang biak. Panjang aliran sungai yang dijadikan lokasi Ikan Larangan sekitar 300 s/d 1.500 meter. Artinya tidak semua daerah aliran sungai di desa ditetapkan sebagai kawasan larangan bagi penangkapan ikan. Setelah disepakati waktu yang tepat untuk menutup wilayah ikan larangan maka disampaikan pada seluruh masyarakat bahwa wilayah perairan desa yaitu
50
sungai dan banda irigasi telah ditutup kembali. Dalam pengumuman tersebut juga disampaikan kepada masyarakat agar tetap menjaga perairan desa dan dilarang mengambil ikan di wilayah tersebut selama waktu yang ditentukan. Kegiatan penutupan dimulai dengan dibacakan doa bersama yang disampaikan oleh ulama desa dengan niat bahwa wilayah ikan larangan dibuat berdasarkan kesepakatan bersama dan dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan sarana ibadah dan membantu kegiatan karang taruna Desa Sungai Pasak. Kemudian diumumkan kepada masyarakat desa dan desa-desa tetangga bahwa sungai itu telah menjadi lubuk larangan. Hal tersebut merupakan sebuah bentuk kepatuhan, kedisiplinan dan kekeluargaan yang terjadi antar masyarakat Desa Sungai Pasak. 6.2.3.2 Aturan Penetapan Musim Buka Ikan Larangan Setelah ditetapkan dan disepakati bersama bahwa sungai dan banda irigasi merupakan wilayah ikan larangan milik desa maka masyarakat akan menjaga dan mengawasi perkembangan ikan yang terdapat di wilayah tersebut. Pada kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak ini seluruh masyarakat desa merupakan suatu bentuk komunitas yang menjadi pengelola ikan larangan tersebut. Selain itu, mereka memiliki kewajiban untuk mengawasi ikan-ikan yang terdapat di dalam sungai dan aliran irigasi sebagaimana yang disepakati bersama. Musim buka akan dilaksanakan setelah melihat apakah ikan yang terdapat di banda aliran irigasi dan di sungai telah layak di pancing. Berdasarkan kesepakatan masyarakat desa ikan larangan desa dapat dibuka lebih kurang enam bulan setelah masa tutup. Terkadang mereka dibantu oleh para penggemar memancing ikan larangan untuk melihat apakah ikan-ikan yang terdapat di desa mereka telah dapat dipancing. Jika menurut pemancing, ikan-ikan yang terdapat di banda dan sungai telah layak untuk dipancing, maka masyarakat akan menyampaikan kepada ninik mamak untuk menggelar pertemuan membahas tentang pembukaan ikan larangan tersebut. Jika ikan-ikan telah layak untuk diambil dan dapat memuaskan minat para pemancing maka ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, kepala desa serta masyarakat akan sepakat untuk mempersiapkan musim buka. Ketika telah ditetapkan kapan waktu yang tepat untuk membuka ikan larangan maka ditunjuklah pelaksana dalam acara pembukaan ikan larangan tersebut. Musim
51
buka ikan larangan di Desa Sungai Pasak dilakukan dengan cara memancing. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan pemancingan tersebut maka dibentuklah kepanitiaan dan penetapan harga pemancingan. Ikan larangan lebih dikelola dengan baik dan diberi makna sebagai asset desa. Ada aturan baru yang dikenakan setiap dilakukan pembukaan ikan larangan. Panitia penyelenggara pesta pembukaan/pembongkaran ikan larangan mengutip sejumlah uang dari semua peserta yang mendaftarkan diri ingin ikut pesta (baik masyarakat desa setempat maupun dari luar desa). Panitia pembukaan ikan larangan bukan dibentuk setiap saat karena pada dasarnya setiap musim buka ninik mamak akan menyerahkan kegiatan ini kepada pemuda-pemuda desa. Pemuda-pemuda di Desa Sungai Pasak tersebut tergabung dalam karang taruna sehingga ketika musim buka ditetapkan maka karang taruna akan dengan segera mempersiapkan segala hal yang diperlukan dalam musim buka. Pemuda-pemuda tersebut akan menginformasikan ke desa-desa lain bahwa desa mereka akan melaksanakan musim buka dan uang pendaftaran pemancingan tersebut.4 Informasi mengenai musim buka desa biasanya menggunakan pamflet, pemasangan iklan koran dan radio daerah. 6.2.3.3 Aturan Kegiatan Pemancingan saat Musim Buka Ikan Larangan Setelah ditentukan kesepakatan hari yang sesuai, maka pemuda dan masyarakat bersama-sama mempersiapkan lokasi. Pembukaan ikan larangan tersebut dilakukan dengan cara memancing dan dilakukan selama satu hari. Namun, untuk ikan larangan Desa Sungai Pasak karena memiliki dua wilayah ikan larangan maka dilaksanakan dua hari. Waktu pembukaan ikan larangan yang terdapat di sungai dan aliran irigasi dilakukan dalam bulan yang sama di minggu yang berbeda. Kegiatan ini diikuti sekitar 600 pemancing setiap musim buka, tidak hanya berasal dari Kota Pariaman, akan tetapi juga berasal dari luar. Sebelum dimulai, panitia pemancingan ikan larangan akan mengutip biaya. Para pemancing menganggap biaya tersebut sebagai beramal sambil memancing. Hasil dari biaya pemancingan tersebut akan dimanfaatkan untuk pembangunan desa, termasuk untuk sarana ibadah dan sosial serta pembelian benih ikan. Musim
4
Wawancara Sutan Sulaiman Tanjung (tokoh masyarakat) tanggal 20 Februari 2013
52
buka ikan larangan ini juga dijadikan sarana bersilaturahmi bagi masyarakat perantau Desa Sungai Pasak. 6.2.4 Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pengelolaan Perikanan Melalui Pengetahuan Lokal Pengelolaan perikanan melalui sistem ikan larangan merupakan keunikan dalam adat dan tradisi secara turun temurun dalam pengelolaan perikanan di Indonesia. Dalam konteks hukum nasional, pengelolaan perikanan yang dikelola berdasarkan hukum adat atau kearifan lokal mendapatkan pengakuan secara nyata dalam peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu : 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 6 ayat 2. 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. 4 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan Pasal 19. Tabel 9 berikut ini menyajikan lebih rinci hasil analisis peraturan perundang-undangan mengenai pengetahuan lokal dalam pengelolaan perikanan di Indonesia. Tabel 9 Peraturan mengenai pengakuan pengelolaan perikanan berdasarkan pengetahuan lokal No Peraturan Hal yang diatur 1 Undang-undang Republik Pasal 6 ayat 2, pengelolaan perikanan untuk Indonesia Nomor 31 Tahun kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan 2004 tentang Perikanan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memeperhatikan peran serta masyarakat. 2 Undang-undang No 27 Pasal 7 Ayat 3, meyebutkan pelibatan masyarakat Tahun 2007 tentang berdasarkan norma, standar, dan pedoman Pengelolaan Wilayah dilakukan melalui konsultasi publik dan/atau Pesisir dan Pulau-Pulau musyawarah adat, baik formal maupun nonformal. Kecil Pasal 61 ayat 1 menyebutkan pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turuntemurun.
53
No
Peraturan 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan 4 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan Pasal 19
Hal yang diatur Penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan berdasarkan kriteria sosial dan budaya, meliputi tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat. Pemerintah Daerah mengakui nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan di perairan umum daratan dalam bentuk lubuk larangan atau ikan larangan.
Sumber: Data sekunder diolah (2013)
6.3 Analisis Kinerja Kelembagaan Ikan Larangan 6.3.1 Kejelasan Kelembagaan Ikan Larangan Kelembagaan ikan larangan bersifat lokal karena dikelola oleh masyarakat secara bersama-sama dan secara turun temurun. Dalam kelembagaan terkandung nilai dan norma dalam pemanfaatan dan pengelolaan, kejelasan orang-orang yang berpartisipasi, serta cara-cara pengendalian sosial agar kelembagaan senantiasa terjaga. Kelembagaan yang terdapat dalam pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak merupakan jenis kelembagaan non formal. Pada tahun 2010 berdasarkan hasil musyawarah masyarakat desa yang difasilitasi oleh perangkat Pemerintahan Desa sepakat membentuk kelompok pengawas ikan larangan desa baik yang berada di lubuk (sungai) maupun banda irigasi. Kelompok pengawas dibentuk menjadi Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Seipa Lestari. Tujuan pembentukan kelompok ini yaitu untuk mengawasi sungai dan banda irigasi dari penangkapan ikan yang menggunakan bahan terlarang dan pencurian ikan di lokasi ikan larangan oleh oknum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan analisis mengenai kejelasan kelembagaan ikan larangan dalam mencapai tujuan tersebut yang meliputi: (1) kejelasan struktur kelembagaan dan (2) kejelasan aturan. 6.3.1.1 Kejelasan Struktur Kelembagaan Struktur kelembagaan berkaitan dengan susunan kedudukan antar pengurus dengan anggota yang masing-masing memiliki peranan dan pembagian tugas serta turan yang mengikat. Untuk mengetahui kejelasan struktur kelembagaan dapat dilihat berdasarkan beberapa indikator antara lain: kelengkapan pengurus,
54
pengetahuan anggota terhadap susunan kelembagaan, pengetahuan anggota mengenai prinsip pengurus kelembagaan menjalankan tugas dan periode pergantian pengurus. 1 Kelengkapan Pengurus Kelembagaan Kelengkapan pengurus kelembagaan dapat dilihat dari kelengkapan aktor yang terlibat dalam kelembagaan tersebut. Kelengkapan pengurus kelembagaan akan berpengaruh pada keberlangsungan kelembagaaan. Berikut ini adalah sebaran pendapat masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai kelengkapan pengurus ikan larangan yang ada dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah ini. Tabel 10 Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai kelengkapan pengurus kelembagaan Kelengkapan Kelembagaan Tinggi Kurang Rendah Jumlah
Masyarakat Desa Sungai Pasak Jumlah Persentase (%) 37 92,5 3 7,5 0 0 40 100
Sumber: Data primer diolah (2013)
Berdasarkan tabel di atas dijelaskan bahwa menurut persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak beranggapan jika kelembagaan ikan larangan yang ada telah lengkap. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yaitu sekitar 92,5% menyatakan telah lengkap dan sisanya 7,5% menyatakan kurang lengkap. Responden yang menyatakan kelembagaan cukup lengkap dikarenakan mereka tidak terlalu mengerti tentang kepengurusan kelembagaan tersebut dan kelembagaan yang ada telah ada sejak turun temurun. 2 Pengetahuan Angota Terhadap Susunan Kelembagaan Susunan kelembagaan merupakan struktur dari kelembagaan mulai dari ninik mamak beserta orang-orang yang membantunya hingga ketua kelompok masyarakat pengawas dan anggotanya. Pengetahuan masyarakat Desa Sungai Pasak terhadap kelembagaan dinilai berdasarkan tingkat pemahaman mereka terhadap
susunan
kelembagaan
tersebut.
Gambaran
mengenai
sebaran
pengetahuan masyarakat terhadap susunan kelembagaan disajikan dalam Tabel 11 dibawah ini.
55
Tabel 11 Sebaran pengetahuan masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai peran dari susunan kelembagaan Pengetahuan Terhadap Kelembagaan Paham Kurang Paham Tidak Paham Jumlah
Masyarakat Desa Sungai Pasak Jumlah Persentase (%) 39 97,5 1 2,5 0 0 40 100
Sumber: Data primer diolah (2013)
Sebagian besar masyarakat desa sudah paham mengenai susunan kelembagaan yang ada pada kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak yaitu sekitar 97,5%. Sedangkan sisanya 2,5% kurang paham karena responden hanya mengetahui pengelola harian saja yaitu pemuda. 3 Periode Pergantian Kepengurusan Dalam suatu lembaga pergantian pengurus terjadi secara berkala. Pergantian dilakukan sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Untuk kepengurusan lembaga adat (komunal) dalam pengelolaan ikan larangan pergantian tidak begitu tinggi dirasakan oleh masyarakat. Hal ini terkait dengan pola kepemimpinan yang turun temurun dan berdasarkan penilaian masyarakat sekitar. Selain itu, kelompok yang dibentuk berupa kelompok masyarakat pengawas ikan larangan masih bersifat baru dan belum mengalami pergantian. Pengambilan keputusan dalam pergantian periode kepengurusan lembaga ikan larangan ini hanya terjadi pada kepengurusan kelompok pemuda (karang taruna) sebagai pelaksana kegiatan pada musim buka ikan larangan. Untuk kepengurusan inti seperti ninik mamak tidak ada proses untuk pergantian karena kepengurusan tersebut bersifat alami. Proses pergantian kepengurusan terlihat pada kelembagaan pemuda yang merupakan kepengurusan harian dalam ikan larangan sebelum adanya kelompok masyarakat pengawas ikan larangan. Berikut adalah sebaran pendapat masyarakat tentang periode pergantian kepengurusan tersaji pada Tabel 12 di bawah ini.
56
Tabel 12 Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai periode pergantian pengurus Periode Pergantian Kelembagaan
Pengurus
Masyarakat Desa Sungai Pasak Jumlah Persentase (%) 9 22,5 15 37,5 16 40,0 40 100
Teratur Kurang Teratur Tidak Teratur Jumlah Sumber: Data primer diolah (2013)
Berdasarkan tabel diatas dapat tergambar bahwa masyarakat Desa Sungai Pasak mengetahui pengurus ikan larangan secara umum, namun untuk pergantian pengurus harian tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat. Tergambar jelas dari sebaran pendapat yang mereka sampaikan yaitu sebagian besar masyarakat menyatakan tidak teratur yaitu sekitar 40%. Hal ini disebabkan karena kepengurusan yang ada diganti hanya berdasarkan kesepakatan saja dan biasanya pengurus yang diganti hanya bertukar peran. 6.3.1.2 Kejelasan Aturan Kelembagaan Kelembagaan Ikan Larangan Desa Sungai Pasak secara umum yang terlihat adalah kelembagaan adat (komunal) yang telah ada sejak dahulu. Sedangkan dalam perkembangannya, kelembagaan komunal menyepakati dibentuknya
kelembagaan
baru
yang
disebut
kelompok
pengawas
(POKMASWAS) ikan larangan. Hal ini menjelaskan bahwa aturan pengelolaan ikan larangan dapat berupa lisan, tertulis, atau keduanya. Oleh karena itu, diperlukan analisis untuk mengetahui kejelasan aturan tersebut. Berdasarkan data dilapangan, seluruh responden (100%) menyatakan bahwa aturan kelembagaan ikan larangan bersifat lisan karena aturan tersebut telah dikenal secara turun temurun. Namun, sejak terbentuk POKMASWAS, masyarakat juga mengenal aturan secara tertulis. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak telah menjalankan kedua aturan yang berlaku, yaitu lisan dan tertulis. Disisi lain, kekuatan aturan lisan lebih dipercaya masyarakat desa, karena merupakan tradisi dan modal terbentuknya kelembagaan baru seperti kelompok masyarakat pengawas ikan larangan.
57
6.3.2 Keefektifan Kinerja Kelembagaan Ikan Larangan Kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak merupakan kelembagaan lokal yang terbentuk dari modal sosial untuk pembangunan ekonomi desa sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat desa. Selain kelembagaan lokal, ikan larangan Desa Sungai Pasak juga memiliki kelembagaan formal yang terbetuk sejak tahun 2010 yaitu Pokmaswas Seipa Lestari. Terbentuknya kelompok masyarakat pengawas merupakan kesepakatan Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, pemuda dan pemerintah desa sebagai bentuk pelaksanaan dari Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.58/Men/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Kedua kelembagaan ini merupakan kelembagaan yang mengelola ikan larangan Desa sungai Pasak. Menurut hasil wawancara, kelompok masyarakat pengawas dibentuk agar ikan larangan desa diakui secara legal dan lebih terstruktur. Namun, dimata masyarakat desa ikan larangan dikelola bersama dibawah pengawasan Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, serta pemuda sebagai pelaksana harian. Berdasarkan ulasan yang dikemukakan oleh narasumber maka penilaian kinerja kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak lebih terfokus pada kelembagaan lokal dibawah pimpinan Ninik Mamak. Hal ini terkait dengan keberadaan Pokmaswas Seipa Lestari yang masih tergolong baru dan belum tersosialisasikan dengan benar. 6.3.2.1 Partisipasi Dalam Kelembagaan Konsep ikan larangan dibentuk dengan tujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dan meningkatkan kesejahteraan serta perekonomian masyarakat melalui kesepakatan Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, pemuda dan tokoh masyarakat desa. Kelembagaan ikan larangan dipimpin oleh Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai sebagai pihak dihormati atau “dituakan” oleh masyarakat desa setempat. Prinsip kepemimpinan yang terdapat diantara ketiganya adalah prinsip partisipatif. Partisipatif adalah gaya kepemimipinan yang berkonsultasi dengan bawahan dan mengunakan ide serta saran mereka dalam mengambil keputusan. Hal ini sesuai
58
dengan sebutan bapantang kusuik indak salasai, bapantang karuah indak janiah (tidak ada kusut yang tidak akan selesai, tidak ada keruh yang tidak akan jernih). Artinya, setiap persoalan yang ada dalam kelembagaan ikan larangan dapat dicari pemecahannya melalui musyawarah dan mufakat. Mufakat merupakan jaminan utama pengambilan keputusan yang ideal dan benar. Tabel 13 Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai partisipasi dalam kelembagaan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Kelembagaan Tinggi Sedang Rendah Jumlah
Masyarakat Desa Sungai Pasak Jumlah Persentase 35 87,5 5 12,5 0 0 40 100
Sumber : Data primer diolah (2013)
Berdasarkan Tabel 13 diatas, dapat dijelaskan bahwa sebesar 87,5% masyarakat menyatakan bahwa kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak pastisipatif. Setiap kelembagaan tentunya akan berjalan baik jika para penggerak atau orang-orang yang berhimpun didalamnya memiliki motivasi yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Ninik Mamak sebagai orang yang dituakan di desa dapat memberikan motivasi kepada masyarakat atau anggotanya untuk bersama-sama mengembangkan potensi yang dimiliki desa mereka. Motivasi yang diberikan oleh pemimpin kelembagaan ikan larangan ini tergambar dari kegiatan yang mereka lakukan. Mulai dari waktu yang tepat ikan larangan di buka dan ditutup semua berdasarkan suara dari masyarakat dan hasilnya juga dirasakan masyarakat secara bersama. Selain itu, kelembagaan ini menerapkan transparansi (keterbukaan) dalam mengemukakan pendapat dalam berdiskusi pengelolaan dana yang diperoleh dari kegiatan yang dilakukan. Semua hasil yang diperoleh dari musim buka ikan larangan diketahui oleh masyarakat dan segala peruntukan dana tersebut jelas diketahui masyarakat. Selain sikap partisipatif yang dimiliki oleh pemimpin, kelembagaan ikan larangan juga mengambarkan sikap keterbukaan. Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak tergambar pada Tabel 14 di bawah ini.
59
Tabel 14 Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai transparansi kelembagaan ikan larangan Transparansi Kelembagaan Terhadap Hasil dari Kegiatan yang dilakukan Tinggi Sedang Rendah Jumlah
Masyarakat Desa Sungai Pasak Jumlah Persentase (%) 40 100 0 0 0 0 40 100
Sumber : Data primer diolah (2013)
Secara umum kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak sangat transparan dalam pengelolaan potensi desa mereka. Masyarakat menyatakan bahwa hasil pengelolaan ikan larangan diketahui oleh masyarakat desa. Hal ini terbukti dari sebaran persepsi masyarakat sebesar 100 persen menyatakan kelembagaan ini bersifat terbuka (transparan). Menurut penuturan salah satu narasumber, pengelolaan ikan larangan tidak boleh sembunyi-sembunyi, harus diberitahu kepada semua masyarakat karena sumberdaya ikan tersebut hidup di perairan desa yang tentunya diketahui oleh masyarakat. 6.3.2.2 Efektivitas Kelembagaan Ikan Larangan Efektivitas kelembagaan merupakan tercapainya tujuan kelembagaan yang dihubungkan kepuasan anggota dalam mencapai tujuan tersebut. Selain itu efektifitas juga dilihat setelah tujuan tersebut tercapai. Efektifitas kelembagaan ikan larangan Desa Sungai Pasak diukur melalui perubahan hasil panen ikan dan perubahan perilaku masyarakat sejak dikembangkannya ikan larangan di desa tersebut. Indikator perubahan perilaku tersebut terlihat dari manfaat yang diterima masyarakat desa ketika musim panen ikan dilaksanakan. Melalui kegiatan ikan larangan tersebut memberikan dampak positif terhadap masyarakat menuju kemandirian ekonomi. Hal ini terlihat beberapa warga desa yang memiliki warung mendapat penerimaan yang lebih dari biasanya. Terkadang masyarakat yang tidak berjualan makanan dihari biasa akan ikut serta berjualan ketika musim panen di buka. Untuk mengetahui perubahan hasil panen ikan larangan yang dilakukan masyarakat Desa Sungai Pasak, dapat dilihat berdasarkan pemasukan yang diterima oleh pemuda selama kegiatan pemancingan dibuka. Perubahan hasil panen dilihat dari rata-rata penerimaan uang masuk pemancing yang telah ditetapkan panitia musim buka ikan larangan selama satu tahun terakhir. Dalam
60
satu tahun kegiatan membuka ikan larangan dilakukan dua kali sehingga dapat terlihat bahwa penerimaan dari hasil panen mengalami perubahan. Tabel 15 disajikan sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak terhadap hasil panen. Tabel 15 Sebaran persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak terhadap hasil panen Hasil panen
Masyarakat Desa Sungai Pasak Jumlah Persentase (%) 38 95 2 5 0 0 40 100
Tinggi Sedang Rendah Jumlah Sumber : Data primer diolah (2013)
Menurut persepsi responden, sebanyak 95% menjawab tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa hasil panen meningkat setiap periode musim buka. Peningkatan terjadi karena pengelolaan ikan larangan sangat baik dan panitia musim buka telah melakukan inovasi dalam pemberitahuan pelaksanaan musim buka ikan larangan tersebut. Keberhasilan peningkatan hasil panen dari ikan larangan juga memberi dampak pada sebagian masyarakat desa. Meningkatnya hasil panen menandakan bahwa peserta pemancingan pada musim buka ikan larangan desa banyak dikunjungi orang. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor adanya pendapatan tambahan bagi masyarakat desa. Indikator adanya manfaat berupa
pendapatan
tambahan
yang
diterima
masyarakat
dari
kegiatan
pemancingan ikan dimusim buka ikan larangan desa diukur melalui persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak yang tersaji pada Tabel 16 berikut ini. Tabel 16 Sebaran persepsi masyarakat terhadap manfaat dari kegiatan pemancingan musim buka Ikan Larangan Manfaat dari kegiatan pemancingan Bermanfaat Kurang Bermanfaat Tidak Bermanfaat Jumlah
Masyarakat Desa Sungai Pasak Jumlah Persentase (%) 40 100 0 0 0 0 40 100
Sumber : Data primer diolah (2013)
Seluruh responden menyatakan kegiatan pemancingan saat musim buka ikan larangan bermanfaat. Jawaban tersebut dipilih oleh responden karena selain menambah pendapatan masyarakat, kegiatan ini juga bermanfaat bagi orang-orang yang gemar memancing sehingga ikut meramaikan kegiatan yang dilakukan Desa Sungai Pasak.
61
6.4 Analisis Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Ikan Larangan 6.4.1 Komponen dalam Biaya Pengelolaan Ikan Larangan Berdasarkan hasil analisis aktor terlihat bahwa aktor utama dari kelembagaan ikan larangan adalah pengurus lembaga adat. Aktor yang terlibat dalam kepengurusan memiliki pengaruh yang tinggi dalam menentukan segala keputusan dan kebijakan. Keputusan yang diambil berdasarkan persetujuan dari pemimpin desa melalui musyawarah dengan ninik mamak. Berdasarkan hal tersebut, maka analisis biaya transaksi yang dilakukan dalam penelitian ini difokuskan pada kelembagaan dengan kelompok pemain utama yaitu lembaga adat. Secara sistematis biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat desa dalam kegiatan ikan larangan dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini. Biaya Pengelolaan Ikan Larangan
Biaya Operasional
Biaya Transaksi
Sumber: Data primer 2013 (diolah)
Gambar 10 Biaya Transaksi pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak Berdasarkan Gambar di atas, total biaya yang dikeluarkan masyarakat Sungai Pasak dalam kegiatan ikan larangan meliputi (1) Biaya transaksi yang merupakan biaya yang akan dikeluarkan untuk kegiatan ikan larangan. Dalam biaya transaksi dalam ikan larangan merupakan biaya pengambilan keputusan dalam musyawarah dan biaya informasi yang dikeluarkan untuk kegiatan saat musim buka ikan larangan. Pertemuan ini dilakukan di masjid pada hari Jumat setiap enam bulan sekali. Pertemuan ini di buka oleh ninik mamak dan diikuti oleh perwakilan masyarakat dari setiap dusun dan (2) Biaya Operasional Ikan Larangan yang meliputi biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bibit ikan dan pakan. Besarnya biaya pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak dapat dilihat pada Tabel 17 pada tabel analisis usaha pengelolaan ikan larangan dibawah ini.
62
Tabel 17 Analisis usaha pengelolaan ikan larangan Sungai Pasak No 1
Uraian Penerimaan musim buka (pemancingan)
Total pendapatan pemancingan 2
dari
Biaya pengelolaan ikan larangan a. Biaya operasional berupa : - Bibit ikan garing - Pakan b. Biaya transaksi - Biaya musyawarah 1 Musim tutup 2 Musim buka - Biaya informasi kegiatan pemancingan saat musim buka
Total biaya pengelolaan ikan larangan Manfaat bersih dari ikan larangan
Nilai (Rupiah) 47 400 000
47 400 000
7 000 000 5 000 000
500 000 500 000 7 000 000
20 000 000 27 400 000
Keterangan Hasil pendapatan dari biaya masuk pemancingan ikan larangan dengan biaya biaya masuk Rp 40 000/ orang. Total hasil penjualan tiket masuk pemancingan ikan saat musim buka selama tahun 2012
Dikeluarkan setiap musim tutup dimulai untuk restocking wilayah ikan larangan.
Dikeluarkan untuk pelaksanaan musyawarah untuk menetapkan musim tutup dan musim buka wilayah ikan larangan. Biaya pembuatan pamflet, surat undangan, iklan elektronik untuk menginformasikan kegiatan pemancingan ikan larangan Desa Sungai Pasak. Biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan wilayah ikan larangan selama setahun Total pendapatan dari pemancingan dikurangi total biaya pengelolaan
Pembagian hasil pengelolaan ikan larangan Pembangunan mesjid raya (30%)
8 220 000
Untuk mushola (25 %)
6 850 000
Untuk kas pemuda (15 %)
4 110 000
Sisanya untuk kas desa
8 220 000
Sumber : Data primer diolah (2013)
Total biaya yang wajib dikeluarkan Desa Sungai Pasak setiap tahunnya sekitar Rp. 20 000 000. Biaya terbesar dikeluarkan adalah biaya operasional. Hal ini dikarenakan adanya biaya penebaran kembali ikan dan pembelian pakan. 6.4.2 Biaya Transaksi Pengelolaan Wilayah Ikan Larangan Biaya transaksi pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak terdiri dari biaya musyawarah dan biaya sosialisasi kegiatan pemancingan. Suatu kelembagaan memiliki cara tersendiri dalam mengambil suatu keputusan. Satu lembaga dengan lembaga lain tentunya berbeda. Sebagai suatu kelembagaan yang
63
memiliki jumlah anggota yang cukup besar tentunya memiliki banyak pertimbangan dalam memutuskan suatu keputusan. Ninik Mamak sebagai pimpinan utama dalam kelembagaan ikan larangan desa Sungai Pasak memiliki peranan penting dalam mengatur kelembagaan tersebut. Ninik Mamak bersama Alim Ulama dan Cadiak Pandai akan berkoordinasi dengan masyarakat desa selaku anggota kelembagaan ikan larangan. Musyawarah dilakukan di mesjid raya desa pada hari Jumat. Pertemuan tersebut membahas tentang anggaran yang akan diperlukan untuk penutupan wilayah ikan larangan, biaya operasional yang dibutuhkan dalam pengelolaan, waktu pembukaan wilayah ikan larangan serta biaya yang diperlukan saat pembukaan ikan larangan. Total biaya transaksi yang dikeluarkan dalam mengelola ikan larangan adalah Rp 8 000 000 yang terdiri dari biaya penutupan wilayah ikan larangan sebesar Rp 500 000 dan biaya pembukaan (biaya musyawarah dan biaya informasi tentang pelaksanaan kegiatan pembukaan wilayah ikan larangan) sebesar Rp 7 500 000. Musim buka ikan larangan Desa Sungai Pasak dilakukan dengan pemancingan sehingga untuk menginformasikan bahwa akan dilaksanakan musim buka diperlukan biaya. Biaya tersebut berguna untuk
memberitahu
para
pemancing
untuk
dapat
berpartisipasi
dalam
pemancingan dalam musim buka ikan larangan Desa Sungai Pasak. Informasi tersebut disebarkan melalui pamflet, iklan surat kabar lokal dan radio-radio lokal. 6.4.3 Biaya Operasional Pengelolaan Ikan Larangan Besarnya biaya operasional yang dikeluarkan Desa Sungai Pasak dalam mengelola ikan larangan setiap tahunnya sekitar Rp 12 000 000. Biaya tersebut digunakan dalam membeli bibit ikan untuk restocking dan pakan ikan. Biaya operasional terdiri dari biaya bibit sebesar Rp 7 000 000 dan biaya pakan sebesar Rp 5 000 000. Bibit ikan untuk restocking adalah jenis ikan nila, ikan garing, dan ikan mas. Selama satu tahun Desa sungai Pasak melakukan pembukaan wilayah ikan larangan dua kali sesuai kesepakatan yang telah dibuat. Biaya ini dikeluarkan dari hasil panen ikan setiap musim buka. Biaya pembelian bibit ikan sebesar Rp 7 000 000 dibagi dua karena restocking dilakukan dua kali. Setelah musim buka dilakukan dua minggu setelah musim buka wilayah perairan untuk ikan larangan kembali di tutup atau di sepakati kembali sebagai
64
wilayah larangan mengambil ikan. Sebelumnya dilakukan penebaran bibit ikan agar jumlah ikan dalam wilayah ikan larangan tidak sedikit. 6.5 Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan Secara umum metode analisis yang digunakan dalam menilai manfaat dari pengelolaan ikan larangan merupakan analisis deskriptif, yaitu menjelaskan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat di Desa Sungai Pasak yang telah sejak tahun 1970 melakukan pengelolaan ikan dengan sistem ikan larangan. Berdasarkan Suhana (2008b), lubuk larangan memiliki dampak terhadap masyarakat, seperti dampak ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Dampak tersebut memberikan manfaat positif. Penilaian ini mencoba mengidentifikasi kondisi objek penelitian dengan memberi gambaran persepsi masyarakat mengenai manfaat yang telah mereka peroleh dari mengelola ikan larangan tersebut. Secara ekonomi manfaat yang diterima masyarakat Desa Sungai Pasak dari pengelolaan ikan larangan adalah (1) memberikan manfaat dalam meningkatkan pendapatan masyarakat desa; (2) keberadaan ikan larangan ini dapat menjaga ketersediaan sumberdaya ikan; (3) sebagai sumber pendanaan desa; dan (4) Ikan larangan dapat dijadikan sarana wisata atau hiburan di desa. Sementara itu secara sosial mafaat yang dirasakan oleh masyarakat dari pengelolaan ikan larangan adalah (1) salah satu aspek yang dapat menciptakan kerukunan yang terjalin antar masyarakat Desa Sungai Pasak; (2) Ikan larangan merupakan tradisi dan sebagai salah satu warisan budaya di masyarakat Desa Sungai Pasak; (3) Ikan larangan dapat mewujudkan kedisiplinan di masyarakat Desa Sungai Pasak; dan (4) Ikan larangan melambangkan kemandirian ekonomi di masyarakat Desa Sungai Pasak. Secara ekologi ikan larangan memberikan manfaat sebagai berikut (1) membuat lingkungan (sekitar aliran sungai) lebih bersih; (2)Adanya Ikan larangan dapat mencegah kerusakan lingkungan; (3) Ikan larangan yang ada di sungai maupun di banda irigasi dapat menjaga kebersihan air; (4) Pengelolaan ikan larangan ini termasuk salah satu cara untuk melestarikan lingkungan; dan
65
(5) Ikan Larangan membantu melindungi spesies ikan garing. Berikut grafik sebaran persepsi masyarakat mengenai manfaat pengelolaan ikan larangan.
Sumber : Data primer diolah (2013)
Gambar 11 Persentase persepsi masyarakat Desa Sungai Pasak mengenai manfaat pengelolaan ikan larangan Berdasarkan Gambar 11 dapat dijelaskan bahwa manfaat pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak yang dirasakan masyarakat paling besar adalah sebagai sumber pendanaan pembangunan desa sebesar 94 persen. Sedangkan manfaat yang kurang dirasakan masyarakat adalah sebagai alternatif wisata atau hiburan desa sebesar 65 persen. Secara keseluruhan pengelolaan ikan melalui sistem ikan larangan sangat baik untuk dilakukan. Mencermati keberadaan ikan larangan
terdapat
tiga
aspek
manfaat
yang
berdasarkan
persepsi
masyarakatdiperoleh hasil bahwa manfaat dari aspek ekologi/lingkungan yang lebih menonjol. Hal ini terlihat pada gambar, dimana pernyataan mengenai manfaat ekologi terdapat pada urutan atas. Manfaat kelestarian lingkungan, menjaga keberadaan sungai dan banda irigasi dari pencemaran menjadi manfaat utama yang dapat diterima oleh masyarakat. Sedangkan, manfaat sosial merupakan manfaat kedua yang dirasakan oleh masyarakat. Keberadaan ikan larangan juga meningkatkan kerukunan masyarakat Desa Sungai Pasak karena sikap saling percaya dalam
66
mengelola sumberdaya ikan baik yang berada di sungai maupun banda irigasi. Manfaat ekonomi bukan menjadi manfaat utama pengelolaan ikan larangan. Menurut hasil wawancara dengan aktor pengelola ikan larangan dan responden menyatakan bahwa hasil panen ikan larangan telah diperuntukan untuk pembangunan sarana ibadah desa. Sementara itu, saat musim panen tiba juga memberikan dampak ekonomi kepada beberapa masyarakat desa seperti warga desa yang memiliki warung. Kegiatan pemancingan saat musim buka boleh diikuti oleh siapa saja, tidak harus berasal dari Desa Sungai Pasak. Kegiatan ini telah berlangsung sekitar 10 tahun belakangan ini. Sebelumnya, kegiatan ini hanya berlaku bagi warga desa dan daerah sekitarnya. Kegiatan ini dihadiri oleh ninik mamak desa, kepala desa serta peserta pemancingan. Setiap peserta pemancingan membayar biaya pemancingan sebesar Rp 40 000. Hasil dari pemancingan ikan larangan menurut kesepakatan bersama dibagi menjadi beberapa pos seperti perbaikan sarana ibadah, kas pemuda, sarana umum berupa jalan desa dan kebutuhan lain yang sesuai dengan kesepakatan tokohtokoh ikan larangan dengan masyarakat desa. Berdasarkan penerimaan yang diterima dari panen ikan biasanya hasil ikan larangan dipergunakan untuk kepentingan mesjid sekitar 30 persen, kegiatan di mushola 25 persen serta tambahan kas pemuda 15 persen dan sisanya dipergunakan untuk pembelian bibit ikan bagi wilayah banda larangan. Selama tahun 2012 Desa Sungai Pasak menghasilkan pendapatan dari ikan larangan sebesar Rp 47 400 000.
VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh beberapa informasi tentang pengelolaan Ikan Larangan yang terdapat di Desa Sungai Pasak, yaitu: 1 Desa Sungai Pasak merupakan salah satu desa di Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman yang masih menerapkan pengelolaan sumberdaya ikan melalui sistem ikan larangan. Kelembagaan ikan larangan ini memiliki aktor dan aturan didalamnya. Meskipun kelembagaan tersebut bersifat informal, tetapi bersifat mengikat bagi seluruh masyarakat desa. 2 Tata pengelolaan kelembagaan ikan larangan telah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak secara teknis sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat setempat. Meskipun telah dibentuk Pokmaswas, pengelolaan ikan larangan melalui kelembagaan adat yang dipimpin ninik mamak masih berperan sebagai pengontrol dan pengawas dari setiap kegiatan yang berkaitan pengelolaan ikan larangan. 3 Biaya pengelolaan ikan larangan setiap tahunnya mencapai Rp 20 000 000 biaya tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu biaya operasional sebesar Rp 12 000 000 dan biaya transaksi sebesar Rp 8 000 000. 4 Kelembagaan pengelolaan sumber daya ikan melalui ikan larangan merupakan salah satu upaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 7.2 Saran 1 Sistem ikan larangan merupakan kearifan lokal yang patut dijaga dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman seperti halnya memperkuat aturan pengelolaan ikan larangan dari yang tidak tertulis menjadi aturan tertulis. Aturan dapat ditingkatkan menjadi aturan tertulis seperti dimasukan
68 kedalam peraturan desa atau surat keputusan kepala desa dimana isinya tetap bersumber pada aturan terdahulu. 2 Struktur pengelola harian ikan larangan Desa Sungai Pasak yang ada perlu dilakukan pergantian secara berkala dan pembaharuan peran serta tanggung jawab pengurus. Hal ini bertujuan agar pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak lebih terorganisasi dan terstruktur. Pada kelembagaan baru pengelola ikan larangan yaitu Pokmaswas perlu lebih diaktifkan peranannya, selain itu perlu diperkuat dengan mendaftarkan kepada Dinas Perikanan Kota Pariaman agar tercatat dan bersifat legal. 3 Dalam mewujudkan pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan, termasuk sumberdaya perikanan perairan umum, diperlukan pengelolaan menyeluruh yang melibatkan semua pihak terutama komunitas masyarakat lokal yang tinggal disekitar sumberdaya tersebut. 4 Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi diharapkan dapat mengurangi biaya pengawasan yang dibebankan pada pemerintah. Selain itu, pembentukan kelembagaan formal (Pokmaswas) dapat dijalankan lebih baik sehingga pengelolaan ikan larangan memiliki struktur organisasi yang jelas.
69
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Bustanul. 2005. Ekonomi Kelembagaan Pangan. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES Indonesia. Adrianto, L, Al Amin M A, Solihin A,dan Hartoto D I. 2011. Kontruksi Lokal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2009. Dinamika Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan: Bunga Rampai Hasil-hasil Riset Ke-2. Departemen Kelautan dan Perikanan. ISBN 978-979-3893-12-9. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Statistik Perikanan Tangkap. Jakarta (ID):Departemen Kelautan dan Perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Barat. 2010. Kelautan dan Perikanan dalam angka tahun 2009. [Internet]. [diakses 2013 Mei 23]. Tersedia pada : www.dkp.sumbarprov.go.id. Fauzi, Akhmad. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. Jakarta(ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Gumilar, Iwang. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Jurnal Akuatika Vol.III No 2./September 2012 (198-211). ISSN 0853-2523. Haswanto, AI. 2006. Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hendrik. 2007. Ikan Larangan Sebagai Bentuk Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Umum (studi Kasus Pada Beberapa Nagari di Sumatera Barat). Vol.35 No.1. Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2007, hlm 1-10. Issn 0126-4265. [Internet]. [diakses 2013 Juni 3]. Tersedia pada : http://e-journal.unri.ac.id/index.php/JT/article/1223/1215 Naditia, Junita.2011.Valuasi Ekonomi Ekosistem Sungai [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nikijuluw,Victor PH. 2005. Politik Ekonomi Perikanan: Bagaimanana dan Kemana Bisnis Perikanan. Jakarta (ID): FERACO. Pahlevi, Reza Shah. 2002. Ikan Diniatkan and Ikan Larangan: Areas of Tradisional Fish Cultivation in the Districts of Pasaman and Padang
70 Pariaman, West Sumatera Province [Internet]. [diakses 2012 Desember 29]. Tersedia pada : www.konservasi.org. Parwati A, Purnaweni H, Dwi Anggoro D. 2012. Nilai Pelestarian Lingkungan dalam Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung di Kampung Surau Kabupaten Dhamasraya Provinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan [Internet]. Semarang(ID): Universitas Diponegoro. [diakses 2012 Desember 2012]. Tersedia pada : http://e.prints.undip.ac.id. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 Tentang Sungai. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai. Profil dan Monografi Desa Sungai Pasak, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012. Ratmoko, Dani. 2011. Analisis Kinerja Kelembagaan Pangan Lokal terhadap Peningkatan Ketahanan Pangan Rumahtangga Miskin di Kasepuhan Sinar Resmi, Kabupaten Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Riduwan, Sunarto. 2007. Pengantar Statistika untuk Penelitian Pendidikan, Sosial, Komunikasi, Ekonomi, dan Bisnis. Akdon, editor. Bandung (ID): ALFABETA. Suhana. 2008a. Analisis Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi [tesis]. Bogor. (ID): Institut Pertanian Bogor. _______. 2008b. Pengakuan Keberadaan Kearifan Lokal Lubuk Larangan Indarung, Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau dalam Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. COMIT [Internet].[diakses 15 November 2012]. Tersedia pada: http://suhana-ocean.blogspot.com. Sunyoto, Danang. 2011. Aplikasi SPSS untuk Statistik Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta (ID): CAPS.
71 Surma EH, Rodiah, Adnan H. 2008.Mengatur Diri Sendiri Melalui Pengelolaan Lubuk Larangan, Belajar dari Bungo, Mengelola Sumber Daya Alam di Era Desentralisasi. ISBN 978-979-1412-47-6, CIFOR Bogor [Internet]. [diakses
20
Desember
2012].
Tersedia
pada
:
www.cifor.org.publication/pdf_files/Books/Badnan0801.pdf. Syahyuti. 2004. Model Kelembagaan Penunjang Pengembangan Pertanian di Lahan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Wahyudin, Yudi. 2004. Community Based Management. Makalah Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan . Institut Pertanian Bogor (ID): Bogor. Yustika, Ahmad Erani.2006. Ekonomi Kelembagaan, Definisi, Teori, & Strategi. Malang (ID): Bayumedia Publishing.
Lampiran 1 Kuisioner Key Person No : ...................
Hari/Tanggal
:
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper level 5 Wing 5 kampus IPB Dramaga Bogor 16 Telp. (0251) 8621 834, Fax (0251) 8421 762 KUESIONER KEY PERSON Uraikan bagaimana sejarah adanya ikan larangan Desa Sungai Pasak ini, mengenai kelembagaan yang ada. Hal ini terkait: a. Aktor Siapa saja yang terlibat dalam kelembagaan pengelolaan ikan larangan dan peran dalam kelembagaan?(Identifikasi Struktur Kelembagaan) .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... b. Aturan Kelembagaan Identifikasi kelembagaan formal dan non formal mengenai kelembagaan yang mengelola ikan larangan yang ada di Desa Sungai Pasak? 1.a. Kelembagaan Formal Apakah ada peraturan formal mengenai kelembagaan yang mengelola ikan larangan yang ada di Desa Sungai Pasak? ( ) Ya ( ) Tidak Kalau Ya, Sebutkan jenis peraturan dan hal-hal yang diatur .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... 1.b. Kelembagaan Non Formal Apakah ada Peraturan non formal mengenai kelembagaan yang mengelola ikan larangan di Desa Sungai Pasak? ( ) Ya ( ) Tidak Kalau Ya, sebutkan jenis peraturan dan hal-hal yang diatur .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... 2. Bagaimana dengan aturan boundary di Desa Sungai Pasak? .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... .......................................................................................................................................... ..........................................................................................................................................
73 3. Bagaimana aturan akses terhadap sumberdaya yang dikelola masyarakat Desa Sungai Pasak? ......................................................................................................................................... ......................................................................................................................................... ......................................................................................................................................... 4. Bagaimana monitoring terhadap aturan dan sanksi bila melakukan kesalahan? ......................................................................................................................................... ......................................................................................................................................... ......................................................................................................................................... ......................................................................................................................................... 5. Apabila terjadi konflik, jenis konflik apa yang biasa terjadi dan bagaimana menyelesaikannya? ......................................................................................................................................... ......................................................................................................................................... ......................................................................................................................................... ......................................................................................................................................... Biaya Transaksi yang terdapat dalam Kelembagaan Ikan larangan Biaya apa saja yang terdapat dalam kelembagaan ikan larangan yang anda ketahui? No Biaya Nominal Keterangan/alasan
Analisis pengaruh dan kepentingan tokoh pengelolaan ikan larangan No 1
Kepentingan Keterlibatan Tokoh
2
Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan
3
Pengelolaan sumberdaya menjadi prioritas
4
Tingkat ketergantung
Aspek a.Perencanaan menginisiasi b.Pengorganisasian c.Pelaksanaan d.Pengawasan a.Penerimaan desa b.Menjaga keberadaan ikan garing c.Melestarikan budaya d.terbinanya kerukunan sosial a.Sebagai penerimaan desa untuk pembangunan sarana ibadah b.Memberi dampak ekonomi pada sebagian masyarakat c.Sarana mengenalkan potensi desa d.Kegiatan yang rutin dilakukan a.Lokasi b.Hasil
Jawaban
1
2
Skor 3 4
5
74 an dengan sumberdaya No
Pengaruh
1
Aturan Pengelolaan
2
Peran partisipasi
3
Kemampuan dalam berinteraksi
4
Kewenangan
c.Budidaya d.Konservasi Aspek
dan
a.Menetapkan aturan b.Melaksanakan aturan c. Penegakan hukum d. Pengawasan a.Kontribusi dana b.SDM c.Fasilitas d.Pelaksanaan a.Mengadakan pertemuan/musyawara h b.bekerja sama c. saling mempengaruhi d.mengubah arah pengelolaan a.Perlindungan dan pengawasan b.membangun sarana prasarana c.pemberdayaan masyarakat d.pelayanan izin
Jawaban 1
2
Skor 3 4
5
75 Lampiran 2. Kuisioner Responden No :
Hari/Tanggal : ........................
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN Jl. Kamper level 5 Wing 5 kampus IPB Dramaga Bogor 16 Telp. (0251) 8621 834, Fax (0251) 8421 762 KUESIONER PENELITIAN Kuisioner ini digunakan sebagai bahan skripsi mengenai “Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Ikan Larangan”, studi kasus ikan larangan Desa Sungai Pasak, Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Kami mohon partisipasi Anda untuk mengisi kuisioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat menjadi data yang objektif. Informasi yang Anda berikan dijamin kerahasiaannya, tidak untuk dipublikasikan dan tidak digunakan untuk kepentingan politis. Atas perhatian dan partisipasinya Kami ucapkan terima kasih. A. Karakteristik Responden Nama Alamat 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
8.
: :
Jenis kelamin : L/P Umur : tahun Status : Menikah/ Belum Menikah Jika sudah menikah, berapa jumlah (orang) anggota keluarga yang ditanggung? Pendidikan formal terakhir yang anda tempuh? a. SD b. SMP/Tsanawiyah c. SMA/STM/Aliyah d. Perguruan Tinggi e. Tidak sekolah Apakah jenis pekerjaan Anda saat ini ? a. PNS (Pegawai Negeri Sipil) e. Pegawai Swasta b. TNI / Polisi f. Pengusaha / Wirausaha c. Pedagang g. Ibu Rumah Tangga d. Buruh Pabrik h. Lainnya, ……………………. Rata-rata pendapatan perbulan (dalam rupiah) Saudara? a. <500.000 Tepatnya : Rp. b. 500.001-1.000.000 Tepatnya : Rp. c. 1.000.001-1.500.000 Tepatnya : Rp. d. 1.500.001-2.000.000 Tepatnya : Rp. e. >2.000.000 Tepatnya : Rp. Adakah pendapatan lain selain pekerjaan yang Saudara sebutkan di atas?
76
9.
Berapakah pendapatan per bulan yang saudara dapatkan dari pekerjaan sambilan tersebut? Rp. Apakah ada anggota keluarga lainnya yang bekerja? a. Ya b. Tidak Kalau ada, berapa total pendapatan mereka perbulannya? Rp. Total Pendapatan perbulan satu rumah tangga : Rp. T o Jenis Pekerjaan Curahan hari/ No Curahan jam/hari Keterangan t Sambilan minggu a l
10. 11. 12. 13.
p e ngeluaran Saudara per hari? Rp. a. Konsumsi keluarga Rp. b. Biaya anak sekolah Rp. c. Uang jajan anak Rp. d. Listrik Rp. e. Tabungan Rp. f. Biaya Pengobatan Rp. B. Kinerja Kelembagaan 1. Kejelasan Kelembagaan a.
Struktur Kelembagaan No 1 2 3 4
Pernyataan
Jawaban Rendah
Sedang
Tinggi
Bagaimana Struktur kelembagaan dan pengurus-pengurus pengelolaan ikan larangan Struktur kelembagaan yang ada sudah lengkap Pengurus-pengurus kelembagaan mengetahui tugasnya masing-masing Pergantian pengurus sesuai waktu yang dijadwalkan
b. Kejelasan aturan Menurut sepengetahuan Anda, aturan kelembagaan yang ada di pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak tersaji dalam bentuk apa? a. Lisan b. Tertulis c. Kedua-duanya c. Pengetahuan masyarakat terhadap kelembagaan Menurut tingkat pemahaman Anda, apakah anda mengerti dan memahami siapa saja aktor yang terlibat serta bagaimana pemahaman tentang aturan kelembagaan? ( )Paham ( )Kurang Paham ( )Tidak Paham 2. Efektivitas Kinerja Kelembagaan Definisi Skor : 1= Rendah 2= Sedang 3= Tinggi
77
No 1
2 3
4
Pernyataan
1
Jawaban 2
3
Dalam pengambilan keputusan anggota diberikan kesempatan dalam mengemukakan pendapat Kelembagaan bersifat transparan Kegiatan yang dilakukan bermanfaat bagi masyarakat (hasil dari pemancingan ikan meningkat setiap musim buka) Hasil dari musim buka terdistribusi kepada seluruh kegiatan yang direncanakan
C. Manfaat Pengelolaan ikan larangan Mendeskripsikan Manfaat ikan larangan 1. Apakah anda penduduk asli daerah ini? ( )Ya ( )Tidak 2. Sudah berapa Lama anda tinggal didaerah ini?.................. Tahun 3. Apakah anda tahu tentang ikan larangan Desa Sungai Pasak? ( )Ya ( )Tidak 4. Sejak kapan adanya Ikan Larangan Desa Sungai Pasak ini? 5. Menurut anda bagaimana pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak? ( )Sangat baik ( ) Baik ( ) Cukup Baik ( )Kurang Baik ( )Rendah 6. Apakah Ikan Larangan ini memberikan manfaat bagi anda? ( )Ya ( )Tidak 7. Menurut anda, manfaat apa saja yang terdapat dari pengelolaan ikan larangan Desa Sungai Pasak? 8. Apakah ikan larangan Desa Sungai Pasak ini memberikan manfaat ekonomi? Ya, alasannya................................................ Tidak, alasannya............................................ 9. Bagaimana dengan manfaat sosial, apakah ikan larangan memberikan manfaat sosial? Ya, alasannya................................................ Tidak, alasannya............................................. 10. Apakah ikan larangan ini berdampak terhadap lingkungan? Ya, alasannya............................................... Tidak, alasannya............................................ Analisis Manfaat Pengelolaan Ikan Larangan Definisi Skor: 5= Sangat Setuju 4= Setuju 3= Netral 2= Tidak Setuju 1= Sangat Tidak Setuju Aspek Ekonomi 1. Menurut anda, apakah adanya ikan larangan ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5 2. Menurut anda, apakah adanya ikan larangan ini dapat menjaga ketersediaan sumberdaya ikan? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
78 3. Menurut pendapat anda, apakah ikan larangan ini dapat dijadikan sebagai sumber pendanaan desa? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5 4. Bagaimana menurut anda, apakah ikan larangan dapat dijadikan sarana wisata atau hiburan? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
Aspek Sosial 1. Menurut pengetahuan anda, apakah dengan adanya ikan larangan kerukunan yang terjalin antar masyarakat Desa Sungai Pasak semakin meningkat? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5 2. Menurut anda, apakah ikan larangan merupakan tradisi dan sebagai salah satu warisan budaya di masyarakat? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5 3. Menurut pendapat anda, apakah ikan larangan dapat mewujudkan kedisiplinan di masyarakat? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5 4. Apakah ikan larangan merupakan salah satu cara untuk melambangkan kemandirian ekonomi di masyrakat Desa Sungai Pasak? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
Aspek Lingkungan 1. Bagaimana dengan manfaat lingkungan yang dirasakan dari adanya ikan larangan tersebut, apakah dengan adanya ikan larangan lingkungan (sekitar aliran sungai) lebih bersih? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5 2. Menurut anda apakah ikan larangan bermanfaat untuk mencegah kerusakan lingkungan? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5 3. Apakah dengan adanya ikan larangan ini dapat menjaga sumber air bersih? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5 4. Apakah dengan adanya pengelolaan ikan larangan ini termasuk salah satu cara untuk melestarikan lingkungan? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5 5. Apakah pengelolaan ikanlarangan ini salah satu cara melindungi spesies ikan garing (jenis ikan lokal)? ( )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5
79 Lampiran 3 Panduan scoring penilaian tingkat pengaruh dan kepentingan aktor terhadap pengelolaan ikan larangan Parameter Indikator 1. Pengaruh 1. Aturan atau kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan 5=Menetapkan aturan dan kebijakan, melaksanakan aturan dan kebijakan,penegakan hukum, pemantauan/pengawasan 4=Hanya menyebutkan tiga saja 3=Hanya menyebutkan dua saja 2= Hanya menyebutkan satu saja 1 =Tidak melakukan apapun 2. Peran dan partisipasi dalam perencanaan atau pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan 5=Sangat besar, memberikan kontribusi berupa dana, SDM, fasilitas dan dalam pelaksanaannya 4=besar, jika berkontribusi terhadap tiga point 3=cukup besar, jika hanya berkontribusi terhadap dua point saja 2=kurang, jika hanya berkontribusi terhadap salah satu point saja 1=sangat kecil, tidak mempunyai kontribusi sama sekali 3. Kemampuan dalam berinteraksi 5=Mengadakan forum untuk membahas rencana pengelolaan, mengadakan kerjasama, saling mempengaruhi antara tokoh yang bekerjasama, mengubah arah pengelolaan 4=hanya menyebutkan tiga saja 3=hanya menyebutkan dua saja 2=hanya menyebutkan salah satu saja 1=jika tidak melakukan apapun 4. Kewenangan tokoh terkait dengan pengelolaan ikan larangan 5=Kewenangan dalam pengawasan kegiatan ikan larangan, pembangunan sarana dan prasarana, pemberdayaan masyarakat, pelayanan perizinan untuk kegiatan pemancingan ikan larangan. 4=Kewenangan dalam 3 point saja 3=Kewenangan dalam 2 point saja 2=kewenangan dalam 1 point saja 1=Tidak memiliki kewenangan
2. Kepentingan
1. Keterlibatan tokoh dalam pengelolaan ikan larangan 5= Terlibat dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan 4= Keterlibatan dalam 3 poin saja 3= Keterlibatan dalam 2 poin saja 2= Keterlibatan dalam 1 poin saja 1= tidak terlibat sama sekali
80 2. Manfaaat dari pengelolaan ikan larangan 5= Untuk pendanaan pembangunan sarana ibadah desa, menjaga keberadaan spesies ikan lokal (ikan garing), dapat berinteraksi dengan desa lain/orang luar,serta melestarikan budaya yang telah ada 4= Mendapat 3 manfaat 3= Mendapat 2 manfaat 2= Mendapat 1 manfaat 1= tidak mendapatkan manfaat apa-apa 3. Apakah pengelolaan ikan larangan merupakan prioritas desa? 5= sangat prioritas, karena salah satu sarana pendapatan desa untuk pembangunan sarana ibadah di desa 4= Prioritas, selain memberikan penerimaan kepada desa, kegiatan ini juga berdampak pada penerimaan masyarakat desa saat musim buka 3=Cukup prioritas, sebagai sarana mengenalkan potensi desa kepada desa lain 2= kurang prioritas, karena kegiatan hanya dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu 1= Tidak prioritas, karena kegiatan ini telah berlangsung sejak lama 4. Tingkat ketergantungan tokoh terhadap pengelolaan ikan larangan 5=bergantung terhadap keberadaan sumberdaya (lokasi, hasil, budidaya,konservasi) 4=bergantung terhadap keberadaan sumberdaya (lokasi, hasil, budidaya) 3=bergantung terhadap keberadaan sumberdaya (hasil, budidaya) 2=bergantung terhadap keberadaan sumberdaya (hasil) 1=tidak bergantung terhadap keberadaan sumberdaya
81 Lampiran 4 Panduan scoring analisis kinerja kelembagaan Parameter 1. Kejelasan kelembagaan
Indikator 1. Struktur kelembagaan berkaitan dengan perbedaan kedudukan antar anggota, danpembagian tugas. Selanjutnya, bagaimana kelengkapan struktur tugas kelembagaan yang diaturnya dan persentase jumlah anggota yang diberi kejelasan. Struktur kelompok diukur dengan skala ordinal. Indikator struktur kelembagaan adalah: a. Kelengkapan susunan pengurus, kategorinya: - Tinggi, jika susunan pengurus lengkap : 3 - Kurang, jika susunan pengurus kurang lengkap : 2 - Rendah, jika susunan pengurus tidak lengkap: 1 b. Memahami peran dari susunan pengurus, kategorinya: - Tinggi, jika mengetahui peranan pengurus dengan jelas : 3 - Sedang, jika kurang mengetahui peranan pengurus : 2 - Rendah, jika tidak mengetahui sama sekali : 1 c. Keteraturan waktu pergantian atau penyempurnaan pengurus kelembagaan, kategorinya: - Tinggi, jika pergantiannya teratur: 3 - Sedang, jika pergantiannya kurang teratur: 2 - Rendah, jika pergantiannya tidak teratur: 1 2. Kejelasan aturan merupakan analisis untuk mengetahui aturan informal yang dibuat secara tertulis atau lisan. Pengukurannya dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dan dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) lisan, (2) tertulis, dan (3) keduanya. 3. Pengetahuan masyarakat terhadap kelembagaan merupakan analisis untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan masyarakat mengenai aktor yang terlibat beserta interaksi dan aturan yang berlaku. Pengukurannya dilakukan menggunakan skala ordinal dan dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: - Paham, mengetahui sejak kapan ikan larangan ada beserta tokoh, dan manfaat dari kegiatan tersebut : 3 - Kurang Paham, tidak mengetahui pasti tokoh yang mengelola dan hanya menyebutkan manfaat dari kegiatan tersebut : 2 - Tidak Paham, tidak mengetahui sama sekali : 1 2.Efektivitas 1. Partisipatif, indikatornya adalah: Kinerja Memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk Kelembagaan mengemukakan pendapat dalam merencanakan kegiatan dalam mencapai atau membuat keputusan, kategorinya: tujuan - Tinggi, jika kesempatan berpendapat yang leluasa: 3 - Sedang, jika kesempatan berpendapat dibatasi: 2 - Rendah, jika tidak diberi kesempatan: 1 2.Transparansi (keterbukaan), indikatornya adalah menyampaikan informasi mengenai pengelolaan ikan larangan dari segi keuntungan dan penggunaan dari hasil yang di dapat. -Tinggi, informasi mendetail dengan pengumuman dan
82 pencatatan yang jelas diketahui seluruh masyarakat desa: 3 - Sedang, hanya diketahui sebagian masyarakat : 2 - Rendah, informasi tidak sampai kepada masyarakat : 1 3. Efektifitas kelembagaan adalah tercapainya tujuan kelembagaan yang dihubungkan besarnya kepuasan anggota dalam mencapai tujuan kelembagaan melalui indikator sebagai berikut: a. Penerimaan yang diterima dari pengelolaan ikan larangan, dengan kategori: - Tinggi, jika penerimaan meningkat dari musim buka sebelumnya : 3 - Sedang, jika penerimaan sama dari musim setiap musim buka : 2 - Rendah, jika penerimaan menurun setiap musim buka : 1 b. Manfaat pengelolaan ikan larangan yang dirasakan masyarakat, dengan kategori: -Tinggi, jika merasakan manfaat seperti mendapat tambahan pendapatan saat musim buka, air sungai bersih dan terciptanya kedisiplinan di masyarakat : 3 - Sedang, jika merasakan 2 manfaat : 2 - Rendah, jika tidak merasakan manfaat sama sekali : 1
83
Lampiran 5 Dokumentasi Penelitian
Wilayah ikan larangan Desa S. Pasak
Wilayah ikan larangan Desa S. Pasak
Wilayah ikan larangan Desa S. Pasak
Kondisi alam Desa Sungai Pasak
Sumber : www. google.com Ikan gariang (Tor sp)
Sumber : www.google.com
Wawancara tokoh
Sumber :www. Pariamankota.go.id Kondisi saat pemancingan
84
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Iftitahul Fajriyah, dilahirkan di Padang tanggal 5 Juni 1991 sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Izhar Idham dan Asrida Kasim B.A. Penulis mengawali pendidikan formal di SD Negeri 20 Indarung tahun 1997-2003. Kemudian menempuh pendidikan di SMP Negeri 1 Padang tahun 2003-2006 dan pendidikan menegah atas di SMA Semen Padang tahun 2006-2009. Penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2009 dan diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,
Fakultas
Ekonomi
dan
Manajemen.
Selama
mengikuti
perkuliahan penulis mengikuti beberapa kepanitiaan yang diselenggarakan di Institut Pertanian Bogor serta lomba karya tulis ilmiah seperti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).