Analisis Kelembagaan Lokal Wilayah Tujuan Kawasan Konservasi Perairan
0 HERMIEN L. SOSELISA 0 WELLEM R. SIHASALE 0 SIMONA Ch. LITAAY
0 PIETER SAMMY SOSELISA 0 THOMAS T. NAMSA
supervisor : Prof. Dr. M. HULISELAN, DEA
STUDI KELEMBAGAAN MASYARAKAT LOKAL KEI KECIL BAGIAN BARAT KABUPATEN MALUKU TENGGARA Analisis Kelembagaan Lokal Wilayah Tujuan Kawasan Konservasi Perairan
April 2013
oleh:
Hermien L. Soselisa Wellem R. Sihasale Pieter Sammy Soselisa Simona Ch. H. Litaay Thomas T. Namsa
supervisor:
Prof. Dr. M. Huliselan, DEA
Ucapan Terima Kasih Para penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak atas bantuan dan masukan yang diberikan mulai dari persiapan, penelitian dan presentasi di lapangan, sampai dengan penyelesaian laporan ini. Terimakasih kami sampaikan kepada Project Leader/Manager WWF Indonesia - Marine Programme Kei Island Project, Bpk. Ir. Jan Manuputty, dan kepada Community Empowerment and Outreach Coordinator, Ibu Ir. Meentje Simatauw, serta staff WWF Indonesia – Kantor Kei di Langgur. Di desa, kami mengucapkan terima kasih kepada para Rat, Kepala Ohoi, Kepala Ohoi Soa, Sekretaris Ohoi, dan staff Pemerintah ohoi, anggota BSO, tua adat, pemuka masyarakat, dan masyarakat ohoi yang kami kunjungi dan telah bersedia melayani kami. Di Somlain: Bpk. Alexander Ngamel, Bapak Josefat Ngamel dan staff ohoi serta masyarakat; di Ohoira: Bpk. Herry Sedubun dan staff ohoi serta masyarakat, di Ohoiren: Bpk. Apolinaris Janwarin dan masyarakat Ohoiren; di Matwaer: Bpk. Ulis Renfaan dan Bpk. Yosua Renfaan, staff ohoi serta masyarakat; di Ohoidertom: Bpk. Evert Kameubun dan anggota BSO serta pemuka masyarakat; di Ohoidertutu: Bpk. Leo Kameubun, Bpk. Pius Teniwut dan Bpk. Pangratius Ngamelubun; di Tetoat: Bpk. Sodry Renhoran, BSO, Sekretaris dan staff ohoi, tua adat, serta masyarakat; di Wab Ngufar: Bpk. Jonathan Rahakratat, BSO, dan staff ohoi serta masyarakat; di Rumadian: Bpk. N. Watratan, staff ohoi, BSO dan masyarakat; Bpk Karel Ohoiwutun dan anggota BSO Debut; Bp. Henky Tethool dari Ngilngof; Bpk Kepala Ohoi Ngayub dan Bpk. Kepala Ohoi Soa Ohoiluk; di Ohoililir: Bpk. V. Letsoin dan Bpk. Sekretaris Ohoi, serta masyarakat Ohoililir; di Ohoidertawun: Bpk. R. Rahakbauw, Bpk. H. Rahakbauw, Bpk. Z. Rahakbauw, Bpk. Woersok, Sekretaris Ohoi dan staff, BSO, tua adat, dan masyarakat Ohoidertawun; dan di Faan: Bpk. Patris Renwarin. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada pemerintah ohoi dan anggota/perwakilan masyarakat Kecamatan Kei Kecil Barat dan Kecamatan Kei Kecil yang mengikuti pemaparan hasil lapangan tim di Ohoira dan Ohoidertawun pada bulan Desember 2012 serta di Rumadian pada bulan Februari 2013. Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara, dalam hal ini Wakil Bupati Maluku Tenggara: Bapak Drs. Yunus Serang, M.Si, Kepala Bappeda dan perwakilan beberapa SKPD, serta kepada DPRD Kabupaten Maluku Tenggara, dalam hal ini Kepala Komisi B dan Komisi C yang mengikuti pemaparan hasil lapangan tim pada bulan Februari 2013 di Langgur. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembangunan masyarakat dan lingkungan yang kita harapkan dan cita-citakan bersama. Ambon, April 2013 Tim Penulis
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
ii
Ringkasan Eksekutif Sebagai bagian dari program dan proses pembangunan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang diprakasai oleh WWF Indonesia Marine Programme - Kei Island Project dan Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara, maka studi ini dilakukan untuk menyediakan suatu data dasar sosial-budaya masyarakat pengguna kawasan tersebut. Data sosial-budaya, khususnya tentang kelembagaan lokal, akan menginformasikan bentuk dan arah dari struktur organisasi pengelolaan kawasan yang melibatkan peran dan kewenangan masyarakat lokal di wilayah KKP. Studi ini mempresentasikan temuan-temuan dan rekomendasi yang berasal dari suatu assessment awal tentang kompilasi data statistik sosial dan ekonomi yang tersedia, beserta hasil temuan data selama dua belas hari di lapangan dari desa-desa di wilayah KKP. Dalam periode waktu itu, tim studi yang terdiri dari lima peneliti sosial, melakukan serangkaian diskusi kelompok terfokus dan wawancara dengan representatif dari masyarakat desa-desa di wilayah studi mengenai pengetahuan tentang budaya dan organisasi sosial masyarakat serta situasi pengelolaan sumberdaya lokal masa kini. Temuan-temuan dari lingkup laporan ini mempresentasikan lima wilayah isu atau topik, yaitu (1) data statistik demografi yang menggambarkan aspek jumlah penduduk, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi penduduk, (2) pola dan variasi pengelompokan atau kelembagaan masyarakat, (3) pengetahuan dan aktivitas masyarakat di wilayah laut, (4) tabob atau penyu belimbing sebagai salah satu icon kultural dalam sistem pengelolaan lingkungan lokal, dan (5) isu pariwisata dalam pengembangan ekonomi rakyat. Beberapa rekomendasi kunci meliputi: Perlu mengoptimalkan komoditi-komoditi unggulan lokal melalui pola budidaya untuk meningkatkan pola meramu dan berburu ke pola budidaya dengan tujuan produksi untuk pasar. Untuk itu perlu peningkatan pelatihan tentang budidaya komoditi tersebut. Infrastuktur jalan dan transportasi harus dilihat sebagai peluang untuk akses pasar yang lebih luas. Hasil darat tidak dapat sepenuhnya menunjang laut, sehingga perlu terobosan untuk pola-pola pertanian hortikultura melalui pembukaan/pembangunan sentra-sentra hortikultura kawasan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan regional. Harus ada pembagian wilayah penangkapan, usaha masyarakat, wilayah laut konservasi, dll. Sasi laut harus diaktifkan lagi di tingkat ohoi dan ratschap yang meliputi wilayah ohoi dan lintas ohoi, terutama untuk komoditi unggulan lokal (lola, teripang) dan untuk jenisjenis ikan tertentu. Untuk itu, perlu disokong dan diperkuat dengan pembentukan Perda tentang sasi untuk terutama memperkuat pengakuan pihak pengguna dari luar Perlu pemetaan obyek-obyek wisata sesuai tujuan perkunjungan, dan penyusunan kalender pariwisata. Program promosi ditingkatkan dengan menyodorkan “wisata paket” dan “paket gabungan” untuk tujuan dan obyek wisata ekologi, budaya, dan rohani.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
iii
Perlu pengembangan fasilitas-fasilitas pokok (alat diving, pemandu wisata lokal dengan keahlian tertentu, dll) dan fasilitas penunjang (kuliner lokal, pondok-pondok wisata, homestay, dll). Pemegang peran adat, seperti tuan tan, wak-wak, saniri dan orang kay diikutsertakan dalam kelembagaan pariwisata. Pariwisata yang diunggulkan adalah ecotourism dengan berwawasan pariwisata rakyat. Tradisi tabob, misalnya, dikemas dalam ritual panggil tabob, hanya untuk ditonton, bukan untuk ditangkap. Untuk kepastian kunjungan wisatawan, maka kalender pariwisata harus disusun dengan cermat, dengan penawaran paket wisata lintas ohoi dengan satu atau beberapa objek unggulan. Potensi sosial masyarakat harus disiapkan, ditambah standard-standard global tentang kebersihan, kesehatan, kenyamanan, dan keamanan bagi wisatawan. Perlu penyadaran pengetahuan masyarakat tentang budaya lokal (melalui pendidikan formal/informal), dan perhatian serta kepedulian terhadap situs-situs budaya. Perlu joint management pada situs/objek wisata dan usaha pariwisata antara masyarakat dan pemodal, dalam hal ini share akses stock dan income. Misalnya, antara tujuan kunjungan yang berupa „target utama‟ dan „target ikutan‟: pemodal menyediakan akses stock peralatan diving dan snorkling, masyarakat menyediakan stock kuliner dan situs budaya, serta pentas seni. Masyarakat perlu disiapkan menjelang program konservasi dilakukan, melalui pendidikan, kampanye, dan sosialisasi. Memperhatikan struktur pengelompokan lokal dalam merekrut dan menyusun keanggotaan kelembagaan sesuai posisi dan hak serta kewenangan dalam pengelompokan adat. Perlu keterlibatan pemerintah daerah dalam perikanan rakyat dan pariwisata serta tanggungjawab bersama dengan masyarakat dalam upaya-upaya pelaksanaan konservasi, melalui kebijakan, regulasi, dan program-program yang mempertimbangkan konsep-konsep lokal dan memberikan ruang partisipatif kepada masyarakat.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
iv
DAFTAR ISI Ucapan Terima Kasih Ringkasan Eksekutif Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Foto I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Ruang Lingkup Studi 1.3. Metode Penelitian II. DEMOGRAFI 2.1. Letak 2.2. Jumlah Penduduk 2.3. Pendidikan 2.4. Kesehatan 2.5. Agama 2.6. Mata Pencaharian 2.7. Organisasi Sosial III. PENGELOMPOKAN MASYARAKAT 3.1. Kelembagaan Kekerabatan 3.2. Pengelompokan berdasarkan Struktur Keadatan 3.3. Kelembagaan Teritorial (Adat) 3.4. Pengelompokan/Kelembagaan Politik 3.5. Kelembagaan Pemerintahan 3.6. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam (sasi) IV. PENGETAHUAN DAN AKTIVITAS MASYARAKAT DI WILAYAH
ii iii v vi vi vii 1 1 2 4 7 7 7 9 11 12 14 17 20 20 24 27 30 33 38 40
LAUT 4.1. Pandangan tentang Laut dan Darat 4.2. Pembagian wilayah Laut 4.3. Aktivitas dan Pemanfaatan Wilayah Laut 4.4. Sistem Kepemilikan dan Pengelolaan Laut V. TABOB (PENYU BELIMBING) 5.1. Legenda Tabob 5.2. Perlakuan Masyarakat Nufit terhadap Tabob 5.3. Temuan dari Cerita Tabob 5.4. Hasil Analisis Cerita Tabob 5.5. Konstruksi Legenda Tabob VI. PARIWISATA 6.1. Objek Wisata dan Potensi Pariwisata 6.2. Pemetaan Potensi dan Strategi Pengembangan Pariwisata 6.3. Pariwisata dan Konservasi VII. TEMUAN-TEMUAN KUNCI VIII. REKOMENDASI 8.1. Aspek-Aspek Rekomendasi 8.2. Kelembagaan untuk Pengelolaan Kawasan Perairan Daftar Pustaka
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
40 41 48 51 56 56 62 66 69 73 75 75 80 81 82 85 85 86 90
v
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9.
Wilayah Kei Kecil bagian barat yang melakukan aktivitas di KKP Lokasi wawancara dan diskusi kelompok Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Wilayah Tujuan KKP, 2010 Jumlah Murid, Guru, Ratio Murid/Guru menurut Kecamatan, 2010 Fasilitas Kesehatan di Wilayah Tujuan KKP, 2010 Tenaga Kesehatan di Wilayah Tujuan KKP, 2010 Tempat Ibadah menurut Agama di wilayah KKP, 2010 Contoh peran adat di beberapa ohoi Kelompok dan Ratschap yang ada di wilayah studi
3 6 8 9 11 12 13 26 32
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20.
Peta Lokasi Pencadangan Kawasan Konservasi Kei Kecil bagian barat Populasi penduduk di Wilayah Tujuan KKP, 2010 Jumlah Murid, Guru, dan Ratio Murid/Guru, Kecamatan Kei Kecil, 2010 Jumlah Murid, Guru, dan Ratio Murid/Guru, Kec. Kei Kecil Barat, 2010 Kelompok kerabat riin rahan, ub, dan rahan yam Kelompok rahan yam, ohoi, utan, dan lor Pembagian Kelompok Nufit Struktur Pemerintahan di tingkat kampung pada periode Pra Kolonial Struktur Pemerintahan di tingkat kampung pada periode Kolonial Struktur Pemerintahan di tingkat desa pada periode UU No. 5/1979 Struktur Ohoi berdasarkan Perda Kab. Maluku Tenggara No.03/2009 Contoh struktur ohoi pada beberapa ohoi di wilayah studi Sketsa wilayah laut Somlain (Pengetahuan & Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Laut oleh Masyarakat) Sketsa wilayah laut Wab (Pengetahuan & Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Laut oleh Masyarakat) Sketsa wilayah laut Ohoira (Pengetahuan & Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Laut oleh Masyarakat) Sketsa wilayah laut Ohoidertawun Pengetahuan Masyarakat tentang Sejarah Perjalanan dan Rute Tabob Konstruksi Legenda Tabob Kelembagaan sasi di tingkat ohoi yang diusulkan Kelembagaan sasi di tingkat Ratschap / antar ohoi yang diusulkan
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
2 9 10 10 21 22 27 34 34 35 36 37 44 45 46 47 65 74 88 89
vi
DAFTAR FOTO Foto 1. Foto 2. Foto 3. Foto 4. Foto 5. Foto 6. Foto 7. Foto 8. Foto 9. Foto 10. Foto 11. Foto 12. Foto 13. Foto 14. Foto 15. Foto 16. Foto 17. Foto 18. Foto 19. Foto 20. Foto 21. Foto 22. Foto 23. Foto 24. Foto 25. Foto 26. Foto 27. Foto 28. Foto 29 Foto 30. Foto 31. Foto 32.
Presentasi hasil lapangan di kecamatan (Ohoira) dan di Pemda (Langgur) Metode dan Proses Penelitian di Lapangan Beberapa desa lokasi penelitian Anak-anak di Kei Kecil Barat Gereja Katolik di Debut Enbal untuk makanan pokok dan untuk oleh-oleh Nelayan perempuan dan laki-laki pada siang dan malam hari Usaha rumput laut meningkat di seluruh Kei Kecil barat Penjaja ikan dan sayur dari luar desa Relasi antar keluarga adalah hal penting dalam adat Woma di Ohoidertom, Ohoidertutu, Rumadian, dan Ohoililir Situs Siran Nufit di Ohoiren Ohoira: ibukota Kecamatan Kei Kecil Barat Monumen pada situs pembagian kerbau Siuw di Elaar sebagai salah satu babak awal penyebaran hukum adat Larvul Pulau Nuhu Kahay dan Pulau Nai di Gugusan Pulau Sepuluh Para ibu Dian Pulau pulang dari kebun di Dian Darat Pantai Ohoiren - Ohoira Ikan Hasil Tangkapan Membuat Perahu di Tetoat Pulang Melaut “Tanam” hanoat dan ambil hanoat Mengangkut hasil panen rumput laut dan aktivitas menjemur rumput laut Perusahaan Mutiara di Pulau Ohoiwa Tenan bes (di Faan), Ngutun rit dan batu papan (di Matwaer) Wilayah Tanjung Arat Daerah Penangkapan Tabob di Tanjung Doan Pantai Matwaer yang bersambung ke Pantai Ohoidertutu Pantai Ngur Bloat di Ngilngof Wisatawan asing di Resort Ohoililir Sunset di Pantai Wab, dan pemandangan air surut di Pantai Ohoidertawun Tempat ngutun rit dan batu papan diletakkan Bukit Masbait
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
4 5 6 7 13 14 15 16 16 18 23 29 29 31 39 40 41 48 49 49 50 51 52 61 61 62 76 76 76 77 78 79
vii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Maluku Tenggara merupakan bagian dari Kepulauan Maluku, yang dihuni oleh 96.669 jiwa (Maluku Tenggara Dalam Angka 2011:45), tersebar pada dua pulau besar (Pulau Kei Besar dan Kei Kecil) serta beberapa pulau kecil di sekitarnya. Dari 73 pulau yang membentuk kabupaten ini, hanya 12 pulau yang dihuni, sebagian besar (10 pulau) berada di wilayah Kei Kecil (Maluku Tenggara dalam Angka 2011:9). Pulau-pulau kecil terkonsentrasi di kawasan Kei Kecil bagian barat, sehingga bagi masyarakat yang mendiami pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut, selain darat, sumberdaya laut merupakan sumber yang penting untuk memenuhi kebutuhan subsistensi maupun produksi untuk pasar. Dalam sistem pengelolaan lokal, masyarakat mengenal praktek-praktek pemanfaatan yang beralaskan konsep pemahaman hubungan manusia dengan alam, sesama dan Penciptanya. Pengelolaan dan pemanfaatan laut diatur dalam berbagai sistem (seperti sistem sasi) dan berbagai hak (hak milik, hak makan, hak jaga) serta kewajiban penggunanya, yang menggambarkan nilai-nilai kekerabatan, kebersamaan, kepedulian, pemeliharaan, dan keberkelanjutan. Sumberdaya laut tertentu, seperti trochus dan teripang, diatur pemanenannya melalui sistem sasi, sementara penyu belimbing (Dermochelys coriacea) atau yang dikenal dalam istilah lokal sebagai tabob ditangkap pada waktu tertentu dengan cara tertentu dan oleh kelompok masyarakat tertentu di wilayah Kei Kecil barat (Nu Fit). Tabob merupakan salah satu sumberdaya laut yang memiliki nilai kultural bagi kelompok Nu Fit, sementara di sisi scientists penyu belimbing ini diperkirakan mengalami penurunan akhir-akhir ini dalam jumlah, padahal wilayah perairan Kei Kecil barat merupakan habitat tujuan migrasi penyu belimbing dewasa. Sejalan dengan perkembangan penduduk, ekonomi uang, dan pasar komoditi laut membuat pengeksploitasian sumberdaya laut meningkat tidak hanya oleh nelayan lokal berskala kecil, tetapi juga oleh perikanan skala besar untuk komoditi perikanan tropis dengan tujuan pasar regional dan global. Mengingat sumberdaya laut yang potensial di perairan pulaupulau kecil di wilayah Kei Kecil barat, maka peningkatan aktivitas di wilayah perairan ini bila tidak dikelola dengan semestinya, dapat berdampak pada overeksploitasi, terutama untuk sumberdaya laut tertentu yang memiliki demand yang tinggi, penggunaan teknologi tangkap yang destruktif (bahan peledak dan potassium), serta berpotensi memicu konflik antar pengguna atas wilayah tangkap dan wilayah kelola. Selain itu, kepentingan atas wilayah perairan antara pengguna lokal, perusahaan, dan pemerintah serta ilmuwan tidak selamanya sejalan. Mempertimbangkan situasi ini, maka pemanfaatan perairan oleh berbagai pihak pengguna (stakeholders) perlu ditata dalam suatu pengelolaan yang berbasiskan keberlanjutan. Kesepakatan pengelolaan kawasan Kei Kecil bagian barat -yang terdiri dari dua kecamatan (Kei Kecil Barat dan sebagian Kecamatan Kei Kecil) serta bagian dari ± lima Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
1
kelompok atau teritori adat- diusahakan terbentuk dalam suatu tatanan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang dikelola bersama oleh pengguna. Dengan didorong oleh Pemerintah Kabupaten, bekerjasama dengan WWF Indonesia - marine programme Kei Island project, proses kesepakatan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) ini diawali dengan penandatanganan deklarasi bersama antara pimpinan adat dari tiga Ratschap di wilayah Kei Kecil bagian barat dengan Pemerintah Maluku Tenggara (Bupati dan DPRD) di depan Menteri Kelautan dan Perikanan di Jakarta pada bulan Juli 2012. Gambar 1. Peta Lokasi Pencadangan Kawasan Konservasi Kei Kecil bagian barat (sumber: WWF-Indonesia)
Naskah pencanangan deklarasi ini merupakan bagian dari diakuinya peran dan kewenangan komunitas lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan, khususnya perairan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara pun mengeluarkan dan memberlakukan Perda Nomor 3 tahun 2009 tentang Ratshap dan Ohoi sebagai usaha untuk kembali ke model dan prinsip-prinsip tata aturan pemerintahan adat yang sesuai dengan budaya dan masyarakat lokal setempat. Usaha ini merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap eksistensi organisasi lokal beserta kewenangannya, termasuk dalam pengelolaan wilayah perairan. Dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari dan dalam praktek-praktek pengelolaan dan pemanfaatan wilayah perairan, masyarakat Kei masih mengacu pada aturan-aturan dalam adat. Oleh karena itu, pemahaman tentang struktur masyarakat dan praktek-praktek adat diperlukan dalam rangka mengisi rumusan peran dan kewenangan masyarakat lokal dalam kelembagaan pengelolaan KKP. Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan masyarakat mengisi prosedur dalam pengelolaan KKP, yakni dibentuknya lembaga pengelola kawasan. Di sini dimaksudkan bukan hanya keterlibatan masyarakat dalam struktur organisasi pengelolaan kawasan, namun juga memasukan sistem dan mekanisme komunitas lokal dalam aturan pengelolaan KKP. Desain pelibatan masyarakat dalam kelembagaan pengelolaan KKP di Kei diharapkan dapat menjadi model co-management di tingkat nasional. Hal ini dibangun dengan konsep bahwa masyarakat sejak para leluhur telah menerapkan konsep pemanfaatan sumberdaya alam secara berkesinambungan, dengan mempertimbangkan berbagai dinamika yang sesuai dengan perkembangan jaman.
1.2. Ruang Lingkup Studi Tujuan umum dari studi ini adalah pencapaian pengelolaan wilayah perairan laut yang berkelanjutan dengan memadukan atau mengintegrasikan kepentingan sosial-ekonomi Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
2
masyarakat dengan kepentingan konservasi. Keluaran yang akan dicapai adalah suatu kerangka formal tentang pengelolaan sumberdaya perairan dan pesisir yang diakui eksistensinya dengan melibatkan para stakeholder demi peningkatan penghidupan masyarakat setempat. Pendekatan yang dipakai untuk studi analisis kelembagaan ini didisain sebagai suatu proses multi-fase yang membangun secara bertahap masukan-masukan dari pengumpulan data, analisis, interpretasi, dan rekomendasi untuk mengembangkan implementasi kelembagaan pengelolaan kawasan perairan. Tujuan dari studi ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang konteks sosial-budaya regional/kawasan dan kebutuhan serta aspirasi dari masyarakat setempat dalam rangka menemukan pendekatan-pendekatan yang lebih efektif untuk pembangunan masyarakat melalui pengelolaan kawasan perairan. Data dikumpulkan berupa data demografi serta data sosial-budaya yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan perairan Kei Kecil bagian barat. Identifikasi kelembagaan lokal untuk mendukung pengelolaan kawasan perairan merupakan salah satu topik penting pengumpulan data. Fokus dari studi wilayah tujuan KKP yang meliputi bagian barat Pulau Kei Kecil dari Tanjung Najun di utara sampai Tanjung Duan di selatan dan deretan pulau-pulau kecil yang tersebar di kawasan bagian barat tersebut sampai ke Pulau Tanimbar Kei, yang meliputi wilayah Kecamatan Kei Kecil Barat (8 ohoi dan 2 ohoi soa) dan sebagian Kecamatan Kei Kecil (12 ohoi dan 13 ohoi soa) yang berhadapan atau berada di kawasan itu. Jumlah penduduk desa-desa pengguna kawasan perairan Kei Kecil bagian barat sebesar 20.000 jiwa dengan jumlah KK: 3999. Ini berarti 20,7% dari total penduduk Kabupaten Maluku Tenggara, suatu jumlah yang cukup signifikan. Tabel 1. Wilayah Kei Kecil bagian barat yang melakukan aktivitas di KKP
Kecamatan Kei Kecil Barat Kei Kecil Total
ohoi 8 12 20
ohoi soa 2 13 15
KK 1145 2854 3.999
Jiwa 5728 14272 20.000
Sumber: Kei Kecil Barat Dalam Angka 2011; Kei Kecil Dalam Angka 2011
Ruang lingkup studi diimplementasikan dalam tiga fase aktivitas: 1. Review literatur dan dokumentasi tentang sosial-budaya masyarakat kawasan. Studi mengkompilasi dan menganalisis data statistik dari Pemerintah dan dokumendokumen tentang data sosial-budaya. Tujuan dari studi literatur ini adalah untuk mengidentifikasi kesenjangan informasi dan kebutuhan akan informasi tambahan. 2. Kunjungan ke wilayah Kei Kecil bagian barat dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang relevan dan untuk mendapatkan pemahaman langsung pada konteks. Pertemuan dilakukan dengan representatif dari komunitas lokal, yaitu pimpinan desa, tua-tua adat, dan masyarakat desa. Kunjungan lapangan dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, kunjungan ke desa-desa sampel untuk melakukan Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
3
Foto: Hermien Soselisa, 2012
wawancara dan observasi; kedua, kunjungan ke ibukota kecamatan Kei Kecil Barat (Ohoira) dan pusat ratschap sampel (Rumadian dan Ohoidertawun) untuk mempresentasikan hasil lapangan kepada representasi komunitas dan mendapatkan masukan dari para peserta pertemuan; ketiga, kunjungan ke kota Kabupaten (Langgur) untuk mempresentasikan hasil kapangan dan hasil pertemuan dengan representasi komunitas tujuan kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Kapubaten Maluku Tenggara. 3. Hasil dari studi literatur dan kerja lapangan menghasilkan dasar untuk menyiapkan opsi dan rekomendasi dalam membangun relasi yang efektif antara pemerintah, masyarakat, dan stakeholder/pengguna lainnya dalam suatu kelembagaan pengelolaan wilayah perairan yang berkelanjutan untuk perikanan dan pariwisata di Kei Kecil bagian barat. Berkaitan dengan tabob (penyu belimbing) sebagai salah satu icon kultural yang menunjang pengembangan pariwisata, studi menghasilkan rekomendasi untuk mempertimbangkan sistem pengelolaan dan perlindungan tabob dalam eksistensi budaya lokal.
Foto 1. Presentasi hasil lapangan di kecamatan (Ohoira) dan di Pemda (Langgur)
1.3. Metode Penelitian Tim peneliti terdiri dari lima peneliti ilmu sosial dari Universitas Pattimura Ambon, yaitu dua di bidang antropologi, dua di bidang sosiologi, dan seorang di bidang manajemen sumberdaya pembangunan. Selain itu, juga melibatkan seorang pakar antropologi, khususnya tentang Kei, sebagai supervisor. Metode yang digunakan dalam studi meliputi riset data sekunder, serta observasi, wawancara, dan diskusi kelompok di lapangan. Pada 11 desa di wilayah Kei Kecil bagian barat sebagai area studi, tim melakukan serangkaian wawancara dan diskusi kelompok dengan representatif desa/ohoi (laki-laki dan perempuan), yang meliputi pimpinan desa dan staff, pemuka adat, nelayan dan petani. Pada desa Rumadian, diskusi kelompok (fgd) selain melibatkan pemerintah ohoi dan masyarakat Rumadian, juga menghadirkan pemerintah ohoi/ohoi soa dari 4 desa lainnya (Debut, Ngilngof, Ngayub, Ohoiluk) yang masuk wilayah Ratschap yang dikepalai oleh Rumadian. Pemetaan wilayah darat dan laut dilakukan kelompok masyarakat dengan difasilitasi oleh anggota tim di 6 desa untuk mendapatkan gambaran tentang aktivitas masyarakat lokal. Observasi dilakukan di desa, di kebun, serta di pantai dan laut, termasuk mengunjungi situs-situs sejarah masyarakat lokal dan beberapa objek wisata. Selain itu,
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
4
tim juga mengunjungi desa Faan di sebelah timur dan melakukan wawancara dengan Raja Faan berkaitan dengan hubungan sejarah dengan desa di wilayah studi. Di Faan, tim mengunjungi situs sejarah (tenan bes) yang berkaitan dengan desa Matwaer.
Foto 2. Metode dan Proses Penelitian di Lapangan [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Karena kelancaran prasarana jalan darat yang menghubungkan desa-desa di Pulau Kei Kecil, maka beberapa ohoi dan ohoi soa di wilayah studi yang tidak ditentukan sebagai lokasi wawancara dan diskusi kelompok (fgd), juga dilewati atau dikunjungi (antara lain Debut, Dian, Ngilngof, Gelanit, serta Watngil, Ohoibadar, dan Madoat), sehingga observasi singkat pun dapat dilakukan untuk mendapatkan gambaran kehidupan masyarakat di wilayah studi secara umum.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
5
Tabel 2. Lokasi wawancara dan diskusi kelompok Kecamatan Ohoi Ohoi soa Wawancara Kei Kecil Barat Somlain Ohoira Ohoiren Madwaer Ohoidertutu Ohoidertom Kei Kecil Wab Tetoat Rumadian Ohoililir Ohoidertawun Faan
fgd
Foto 3. Beberapa desa lokasi penelitian [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
6
II. DEMOGRAFI 2.1. Letak Secara geografis wilayah KKP yang dicanangkan terletak di sepanjang pesisir pantai barat Pulau Kei Kecil, yang terbentang dari ujung Tanjung Doan di Ohoidertutu sampai dengan Tanjung Najun di Ohoidertawun, dan pulau-pulau kecil yang tersebar di kawasan perairan sekitar. Terdapat kurang lebih 13 pulau kecil di wilayah Kecamatan Kei Kecil Barat, dan kurang lebih 22 pulau di wilayah Kecamatan Kei Kecil (Kei Kecil Barat dalam Angka 2011:8; Kei Kecil dalam Angka 2011:8), sebagian besar tidak berpenghuni. Dari 20 ohoi dan 15 ohoi soa yang berada atau menggunakan wilayah perairan barat ini, beberapa di antaranya terletak di pulau-pulau kecil (Ur, Warbal, Tanimbar Kei). Jarak terjauh dari ibukota kecamatan maupun ibukota kabupaten adalah Tanimbar Kei. Wilayah ini memiliki potensi kelautan maupun potensi wisata yang bila dikelola secara baik dan benar akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi kemajuan dan perkembangan pembangunan dan keberlangsungan hidup masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.
Foto 4. Anak-anak di Kei Kecil Barat [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
2.2. Jumlah Peduduk Jumlah penduduk di wilayah tujuan KKP pada tahun 2010 adalah 20.000 jiwa (Tabel 3). Jumlah terbanyak ada pada ohoi (desa) Wab yang memiliki tiga ohoi soa (anak desa), diikuti oleh Dian (dengan satu ohoi soa), Debut, dan Ohoidertawun (yang memiliki dua ohoi soa). Keempat desa ini berada di Kecamatan Kei Kecil. Sedangkan penduduk terendah jumlahnya ada pada desa Madwaer (Kecamatan Kei Kecil Barat), dan berikutnya desa Ohoililir (Kecamatan Kei Kecil).
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
7
Dengan luas wilayah darat sebesar 216 km2, maka tingkat kepadatan penduduk rata-rata 93 jiwa per km2, lebih besar daripada tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2010, yaitu 76. Kepadatan yang tinggi (lebih dari 200 jiwa per km 2) ada pada desa-desa di Kecamatan Kei Kecil, seperti Debut, Wab, Kolser dan Dian. Tekanan pada wilayah darat ini dapat membuat akses untuk ruang ekonomi menjadi sempit dan dapat berpotensi konflik, sehingga wilayah laut dapat menjadi alternatif penting untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Tabel 3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Wilayah Tujuan KKP, 2010 Ohoi
Laki-laki
Perempuan
Total
Ohoidertawun Ohoililir Ngilngof Namar Ngayub Debut Rumadian Dian Tetoat Wab Kolser Kelanit Ohoidertutu Madwaer Somlain Ohoiren Ohoira Ur Pulau Tanimbar Kei Warbal Total
760 125 601 565 204 973 203 966 418 1.036 530 598 741 121 291 246 555 320 236 375 9.864
813 148 616 665 200 914 197 1.061 484 1.042 575 578 698 128 269 261 606 285 220 376 10.136
1.573 273 1.217 1.230 404 1.887 400 2.027 902 2.078 1.105 1.176 1.439 249 560 507 1.161 605 456 751 20.000
Luas Wilayah (km2) 21,62 4,73 6,55 18,81 14,38 6,80 5,20 9,59 9,16 8,09 4,88 13,21 21,19 10,20 5,73 4,70 8,20 17,73 12,70 12,72 216,19
Tingkat Kepadatan 73 58 186 65 28 278 77 211 98 257 226 89 68 24 98 108 142 34 36 59 93
Sumber: Kei Kecil Dalam Angka 2011; Kei Kecil Barat Dalam Angka 2011.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
8
Gambar 2. Populasi penduduk di Wilayah Tujuan KKP, 2010
2.3. Pendidikan Capaian di bidang pendidikan terkait erat dengan ketersediaan fasilitas pendidikan. Tabel 4. menunjukkan bahwa jumlah Sekolah Dasar (SD) jauh lebih besar dari kedua jenjang di atasnya, dan tersebar di semua desa sehingga akses untuk anak usia sekolah pada tingkat ini dapat dijangkau. Tabel 4. Jumlah Murid, Guru, Ratio Murid/Guru menurut Kecamatan, 2010 Kecamatan Jenjang Jumlah Jumlah Jumlah Ratio Ratio Sekolah Murid Guru Sekolah Murid/ Murid/ Guru Sekolah TK 549 49 11 12 50 Kei Kecil SD 5.527 483 38 12 145 SMP 3.011 266 13 12 232 SMA 3.784 366 23 11 165 Kei Kecil Barat
TK SD SMP SMA
46 1.097 325 261
4 75 25 20
2 10 2 -
12 15 13 13
23 110 163 261
Catatan: TK = Taman Kanak-Kanak, SD = Sekolah Dasar, SMP = Sekolah Menengah Pertama, SMA = Sekolah Menengah Atas
Sumber: Kei Kecil dalam Angka 2011; Kei Kecil Barat dalam Angka 2011.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
9
Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMA) terkonsentrasi di ibukota kecamatan atau kabupaten tempat pusat pemerintahan dan ekonomi. Hal ini mengakibatkan terjadi migrasi keluar anak usia sekolah menengah atas dari desa-desa yang jauh dari pusat. Rasio murid terhadap guru dan rasio murid terhadap sekolah tergolong baik di kawasan ini. Gambar 3. Jumlah Murid, Guru, dan Ratio Murid/Guru, Kecamatan Kei Kecil, 2010
Gambar 4. Jumlah Murid, Guru, dan Ratio Murid/Guru, Kec. Kei Kecil Barat, 2010
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
10
Selain jenjang pendidikan di atas, masyarakat memiliki akses untuk pendidikan yang lebih tinggi di Sekolah Tinggi dan Politeknik yang berada di ibukota kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Terdapat STIA Langgur, STIS Mutiara, STIE Umel, Poltek Perikanan Negeri Tual, Akademi Perawat Tual, STIA Darulrachman, dan STIT Asalamah.
2.4. Kesehatan Ketersediaan/akses fasilitas dan tenaga kesehatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Rumah sakit hanya berada di ibukota kabupaten. Ada ohoi atau ohoi soa di wilayah tujuan KKP yang tidak memiliki puskesmas atau puskesmas pembantu. Tabel 5. Fasilitas Kesehatan di Wilayah Tujuan KKP, 2010 Ohoi Rumah Puskesmas Puskesmas Sakit Pembantu Ohodertawun 1 Ohoililir Ngilngof 1 Namar 1 Ngayub Debut 1 Rumadian Dian 1 Tetoat 1 Wab 1 Kolser Kelanit 1 Ohoidertutu Madwaer Somlain Ohoiren Ohoira 1 Ur Pulau 1 Tanimbar Kei 1 Warbal 1 Total 0 2 10
Total 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12
Sumber: Kei Kecil dalam Angka 2011; Kei Kecil Barat dalam Angka 2011.
Pelayanan kesehatan yang kurang optimal juga dipengaruhi oleh terbatasnya tenaga kesehatan. Pada tahun 2010, tenaga dokter yang ditempatkan di wilayah tujuan KKP hanya 6 orang (yang berarti 3334 penduduk / 1 dokter). Demikian juga tenaga mantri (800 penduduk / 1 mantri) dan bidan (770 penduduk / 1 bidan). Kenyataan ini menunjukkan Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
11
bahwa prasarana jalan dan transportasi menjadi penting untuk menghubungkan penduduk ke pusat pelayanan kesehatan dan paramedis. Jumlah dukun beranak, baik terlatih maupun tidak, menunjukkan bahwa penduduk masih sangat tergantung pada sistem medisin tradisional untuk jenis pelayanan ini. Tabel 6. Tenaga Kesehatan di Wilayah Tujuan KKP, 2010 Ohoi Dokter Mantri Bidan Dukun Beranak
Penduduk per 1 (terlatih/tidak dokter terlatih)
Ohoidertawun Ohoililir Ngilngof Namar Ngayub Debut Rumadian Dian Tetoat Wab Kolser Kelanit Ohoidertutu Madwaer Somlain Ohoiren Ohoira Ur Pulau Tanimbar Kei Warbal Total
1 4 1 6
1 3 5 2 1 4 4 1 1 1 1 1 25
1 1 3 2 2 2 1 3 1 1 6 1 1 1 26
5 6 3 4 6 4 13 8 4 2 14 2 3 1 3 6 7 2 93
1887 277 1161 -
Penduduk per 1 mantri + bidan 787 273 203 202 270 200 1014 1039 277 168 1439 254 166 303 228 376
Sumber: Kei Kecil dalam Angka 2011; Kei Kecil Barat dalam Angka 2011.
2.5. Agama Tabel 7 menunjukkan bahwa penduduk wilayah KKP terdiri dari penduduk beragama Islam dan Kristen, baik Katolik maupun Protestan, dengan presentasi Katolik lebih banyak. Di Tanimbar Kei terdapat sebagian penduduk yang masih menjalankan agama suku.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
12
Tabel 7. Tempat Ibadah menurut Agama di wilayah KKP, 2010 Gereja Ohoi Mesjid/Langgar Katolik Protestan Ohoidertawun 2 1 1 Ohoililir 1 Ngilngof 2 Namar 1 2 Ngayub 2 Debut 1 1 Rumadian 1 Dian 1 1 Tetoat 4 Wab 1 1 2 Kolser 1 Gelanit 2 Ohoidertutu 3 Madwaer 1 Somlain 1 Ohoiren 1 Ohoira 1 Ur Pulau 1 Tanimbar Kei 1 1 Warbal 2 Total 10 20 10
Total 4 1 2 3 2 2 1 2 4 4 1 2 3 1 1 1 1 1 2 2 40
Sumber: Kei Kecil dalam Angka 2011; Kei Kecil Barat dalam Angka 2011.
Foto 5. Gereja Katolik di Debut [foto: Hermien Soselisa, 2012]
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
13
2.6. Mata Pencaharian Sebagian besar pendapatan masyarakat di wilayah KKP diperoleh dari resource-based activities, dalam hal ini aktivitas pertanian dan perikanan yang bersifat subsisten. Hidup di wilayah pesisir dengan akses ke darat maupun laut membuat satu rumahtangga tidak mutlak hanya melakukan satu aktivitas mata pencaharian, tetapi dapat terlibat dalam lebih dari satu aktivitas. Rata-rata mata pencaharian utama masyarakat Kei Kecil yang mendiami wilayah barat Pulau Kei Kecil adalah sebagai petani dan nelayan, sebagian besar melakukan kedua profesi ini bersama-sama sesuai musim. Pekerjaan lain yang dapat ditemui di pedesaan wilayah ini adalah PNS, pensiunan (PNS, TNI, POLRI), dan tukang bangunan, serta tukang ojek. Aktivitas sebagai petani dan nelayan bergantung pada musim. Ketika musim angin barat, mereka akan cenderung melaksanakan aktivitas mereka di darat, dan sebaliknya ketika musim angin timur mereka akan melaksanakan aktivitasnya di laut. Pengerjaan kebun (buka kebun, panen) juga mengikuti musim dalam setahun. Aktivitas di darat sebagai petani terfokus pada penanaman ubi kayu (enbal dan kasbi) sebagai makanan pokok orang Kei, dan umbi-umbian lain, kacang-kacangan, serta sayur-sayuran yang diperuntukkan sebagian besar bagi konsumsi sehari-hari. Ada wilayah-wilayah tertentu dengan unggulan tanaman lokal tertentu pula. Beberapa desa, seperti Debut dan Ngilngof dikenal sebagai penghasil enbal untuk dipasarkan ke luar desa (lihat Ellen dan Soselisa 2012a; 2012b). Tanaman umur panjang yang diusahakan antara lain kelapa untuk dijadikan kopra. Namun di ohoi tertentu, misalnya Madwaer, kelapa juga diolah untuk minuman beralkohol (tuak).
Foto: Hermien Soselisa, 2012
Foto: Hermien Soselisa, 2009
Foto 6. Enbal untuk makanan pokok dan untuk oleh-oleh
Para nelayan di wilayah ini kebanyakan adalah nelayan tradisional, dilihat dari alat tangkap dan teknik yang digunakan. Lebih dari 50% nelayan masih menggunakan perahu tanpa motor (Kei Kecil dalam Angka 2011; Kei Kecil Barat dalam Angka 2011). Selain berburu menangkap hasil laut, mereka juga masih melakukan aktivitas mengumpulkan, seperti mengumpulkan bia (siput) oleh para wanita dan anak-anak di wilayah surut. Umumnya wilayah ini memiliki wilayah pasang-surut yang luas. Pada bulan Oktober-November surut terbesar pada siang hari terjadi, dikenal dengan nama meti kei (met ev).
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
14
Foto: Pieter Soselisa, 2012
Foto: Hermien Soselisa, 2012
Foto 7. Nelayan perempuan dan laki-laki pada siang dan malam hari
Walaupun kebanyakan dari masyarakat selalu bergantung pada musim angin dan ombak, tetapi ohoi-ohoi tertentu seperti Selayar dan Dudunwahan merupakan kampung-kampung yang lebih mefokuskan pencahariannya di laut. Karena itu kedua kampung ini lebih dikenal sebagai kampung yang 80% penduduknya menggantungkan keberlangsungan hidupnya pada hasil laut. Di kalangan mereka, ada juga nelayan yang menggunakan peralatan modern, namun kalau ditelusuri hanyalah berapa orang saja, karena kebanyakan dari mereka adalah nelayan yang berasal dari luar kampung-kampung tersebut. Peralatannya seperti bagan, dan perahu dengan ukuran 8-10 meter yang dilengkapi dengan mesin motor sebagai penggerak. Areal tangkapannya juga sudah berkisar antara 10-20 mil laut. Ketergantungan pada kondisi alam dan kebutuhan akan uang tunai (cash) secara cepat, mendorong masyarakat di sepanjang wilayah pantai barat Kei Kecil dalam beberapa tahun terakhir mulai memusatkan perhatiannya pada budidaya rumput laut (agar-agar). Dalam kurun waktu 3-4 tahun terakhir, aktivitas yang dilaksanakan di laut mulai mengalami perubahan. Kalau dulu para ibu ke laut hanya untuk mencari siput-siput dan ikan-ikan yang berukuran kecil di wilayah meti, sekarang perempuan dan anak-anak juga turut terlibat dalam pembudidayaan rumput laut (agar-agar). Seperti halnya di beberapa tempat lainnya di Maluku atau Indonesia, terjadi seaweed booming di Kei. Usaha rumput laut berbasis keluarga. Peralihan dari kebiasaan untuk ke laut memancing dan mencari hasil laut oleh para nelayan di setiap ohoi ke fokus pada budidaya rumput laut sebenarnya merupakan sebuah fase yang dapat mengurangi beban eksploitasi terhadap biota laut lainnya sehingga memberikan kesempatan untuk berkembang biak. Namun kenyataan yang dijumpai adalah kesempatan ini dilihat sebagai peluang oleh para nelayan lainnya seperti nelayan asal Bugis, Makassar dan Selayar, serta dari wilayah-wilayah lainnya untuk masuk dan mengambil hasil laut setempat tanpa memperhatikan kelestarian ekosistem lokal.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
15
Foto: Hermien Soselisa, 2012
Foto 8. Usaha rumput laut meningkat di seluruh Kei Kecil barat
Pada wilayah ohoi tertentu seperti Rumadian, masyarakat mulai membudidayakan teripang dengan metode yang diperkenalkan dari luar. Mereka memiliki tambak di wilayah laut yang permanen dan lokasi yang sangat mendukung dalam proses pembudidayaan. Namun hal itu tidak berarti bahwa mereka tidak mengalami kendala dalam proses pembudidayaan, karena menurut nelayan yang memiliki tambak teripang bahwa masalah yang sering dihadapi adalah teripang tidak mengalami pertumbuhan sesuai ukuran yang diharapkan, sehingga ketika panen, hasilnya tidak terlalu memuaskan. Bahkan sering dijumpai bahwa banyak yang sakit dan mati. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan pendampingan dalam proses pembudidayaan tersebut, karena nelayan tidak memiliki cukup pengetahuan dalam memelihara dan memberikan nutrisi kepada teripang.
Foto: Hermien Soselisa, 2012
Walaupun penduduk di ohoi-ohoi wilayah studi bekerja sebagai petani dan nelayan, namun dalam kenyataan akhir-akhir ini ditemui bahwa masyarakat juga membeli sayur-sayuran dan ikan dari penjaja keliling yang berasal dari luar (biasanya bukan orang Kei) yang mendatangi desa mereka dengan sepeda motor secara rutin (lihat Foto 9). Hal ini didukung oleh ketersediaan dan kelancaran infrastruktur jalan yang menghubungkan kota dengan desa-desa, sehingga kenyataan menunjukkan “pasar mendatangi mereka”, bukan sebaliknya. Hal ini akan berakibat kontra-produktif bagi usaha ekonomi pertanian dan perikanan lokal serta bagi ketahanan produksi pangan lokal. Foto 9. Penjaja ikan dan sayur dari luar desa
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
16
2.7. Organisasi Sosial Masyarakat adat Kei (Evav) pada umumnya, baik yang berada di Kei Besar (Yuut) maupun di Kei Kecil (Nuhu Roa) dalam kelangsungan hidupnya masih senantiasa berpegang pada tata hukum dan nilai yang telah diturunkan oleh para leluhur. Larvul Ngabal merupakan hukum adat yang diberlakukan dan ditaati oleh seluruh masyarakat Kei, di mana di dalamnya terkandung peraturan dan larangan sebagai penata kehidupan sosial-budaya, ekonomi, dan moral orang-orang Kei (Ohoitimur 1983; Rahail 1993). Hukum Larvul Ngabal terdiri dari tujuh pasal, yang disusun menurut tiga gagasan pokok, yaitu: [a] hukum tentang kehidupan manusia yang membahas tentang hubungan sosial antara sesama manusia (hukum nevnev), [b] hukum mengenai kesusilaan yang membahas tentang martabat kemurnian kaum wanita dan tentang keluhuran perkawinan (hukum hanilit), dan [c] hukum tentang keadilan sosial yang membahas tentang hak milik (hukum hawear balwirin). Di samping itu, dalam struktur masyarakat Kei, terdapat pembagian fungsi dan peran setiap mata rumah (riin rahan) di dalam keberlangsungan hidup sebuah ohoi. Pola pembagian fungsi dan peran juga didasarkan atas latar belakang sejarah kehadiran marga-marga di ohoi masing-masing. Pada setiap ohoi ditemukan adanya marga (fam) yang mempunyai fungsi sebagai tuan tan (tuan tanah). Peran tuan tan adalah memberikan keterangan terkait petuanan dan batas-batas wilayah dari ohoi. Fungsi dan peran ini diberikan kepada marga yang diakui sebagai marga yang pertama kali menempati ohoi. Kemudian kepada marga lainnya juga diberikan peran dan fungsi sebagai kepala ohoi, sebagai kapitan, sebagai marinyo, serta peran lainnya yang ada pada suatu ohoi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki manajemen lokal yang telah digunakan sebagai acuan dalam mengorganisir masyarakatnya. Fungsi-fungsi dan peran–peran ini juga dilaksanakan dalam berbagai aktivitas lainnya, seperti pada saat pelaksanaan ritual-ritual adat, baik itu pada saat di woma (tempat yang diakui sebagai pusat kampung/ohoi), maupun pada saat pelaksanaan yutut (sasi), seperti misalnya pelaksanaan sasi di wilayah pulau sepuluh (Nuhu Vut), maka marga-marga yang berada di ohoi Debut telah diberikan peran untuk melaksanakan fungsi-fugsi ritual adat. Kepada marga Letsoin diberikan peran untuk melakukan ritual dan berdoa (sob-sob) di Pulau Ohoiwa, tepatnya di tempat yang dinamakan bahan. Marga Ohoiwutun memiliki fungsi dan peran meletakkan emas (watuk mas) di pulau yang dinamakan Nuhu Kahai. Marga Jamlean bertugas memancangkan hawear utin atau simbol sasi utama yang terbuat dari daun kelapa muda di Pulau Nai. Dalam pelaksanaan upacara-upacara adat lainnya, seperti perkawinan, kematian, atau tutup rumah adat, kelompok riin rahan dan rahan yam melaksanakan tugasnya sesuai status/posisi dan perannya. Dalam konteks inilah maka terlihat bahwa masyarakat adat Kei telah memiliki pola-pola manajemen tradisional yang sekiranya dipelihara dan digunakan serta diterapkan secara baik dan benar, tentu akan memberikan dampak yang positif terhadap pengembangan masyarakat. Selain itu dalam upaya pengembangan masyarakatnya, maka dimensi-dimensi
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
17
adat dapat menjadi acuan, sehingga dalam pengembangannya tidak menimbulkan berbagai hal yang dianggap dapat menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat. Pola-pola tersebut dapat juga dikatakan merupakan salah satu bentuk ekspresi sikap hidup masyarakat Kei yang telah ada dan terinternalisasi dalam dirinya dan mempengaruhi sikap dan cara bertindaknya.
Foto: Hermien Soselisa, 2012
Terkait dengan pola-pola hidup dan perlakuan masyarakat, baik itu terhadap lingkungannya maupun sesama manusia, maka ada pula tradisi atau konsep nilai yang sampai pada saat ini masih diakui sebagai bagian dari kehidupan masyarakat adat Kei, yaitu nilai dan sikap yang menjunjung tinggi kaum perempuan. Foto 10. Relasi antar keluarga adalah hal penting dalam adat
Sikap hidup yang selalu menghargai dan menghormati kaum perempuan tersebut dibuktikan dengan adanya bagian khusus dari hukum adat masyarakat Kei yang memberikan indikasi dan memiliki konten yang secara khusus mengekspresikan sebuah penghargaan dan perlindungan terhadap kaum perempuan. Hukum hanilit (sebagai bagian dari hukum Larvul Ngabal) tidak hanya mengatur tentang berbagai pelanggaran terkait pelanggaran moral, tetapi lebih berintikan pada kedudukan perempuan yang suci dan luhur, karena itu harus dihormati. Konsep yang menempatkan kaum perempuan sebagai kaum yang patut dijaga, dihormati dan dilindungi, yang berimplikasi bahwa dalam institusi perkawinan pun kelompok pemberi wanita (mangohoi) dihormati dan dijunjung tinggi. Dalam hubungan kekerabatan, masyarakat adat Kei lebih menitikberatkan pada hubungan yang berasal dari garis keturunan ibu sebagai pihak yang melahirkan dan meneruskan keturunan. Salah satu contoh terkait pengambilan (panen) hasil laut, maka selain dilakukan oleh masyarakat ohoi (sebagai pemilik), mereka yang memiliki hubungan atas dasar kekerabatan, teristimewa dari garis keturunan ibu (dikenal dengan istilah mama dari, nenek dari, isteri dari), juga diberikan akses dan kesempatan untuk mengambil hasil. Seperti dalam beberapa masyarakat adat di Maluku di mana perempuan ditempatkan dalam kedudukan yang tinggi dan mulia secara adat, maka akhir-akhir ini pada masyarakat Kei pun ada perdebatan mengenai telah terjadi kesenjangan antara konsep adat tersebut dengan penerapannya di lapangan sebagai akibat perkembangan konsep patriarki. Walaupun demikian, masyarakat mengakui bahwa penghormatan terhadap perempuan, terutama pihak ibu, masih menjadi prioritas.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
18
Selain hubungan kekerabatan karena ikatan darah dan perkawinan, maka masyarakat Kei juga saling terikat berdasarkan ikatan kekerabatan adat atau sosial, berdasarkan sejarah tertentu antar kelompok-kelompok marga atau antar ohoi. Seperti kisah sejarah lainnya di Kepulauan Kei, ikatan-ikatan ini juga dimeteraikan dalam bentuk toom (ceritra lisan) yang disertai dengan tad (tanda), dan war-war (nyanyian) sebagai pembuktian. Misalnya, ikatan tea bel (pela) antar ohoi sering dikisahkan dengan menyampaikan toom, dan wawar serta menunjukkan tad sebagai tanda bukti. Faan dan Matwaer yang terikat dalam ikatan pela, memiliki tanda pengikat, yaitu tenan bes (berupa bagian badan sebuah „tempayan‟ perunggu, dong son drum) di Faan yang dianggap sebagai bagian perempuan, dan ngutun rit (berupa penutup „tempayan‟ perunggu) yang berada di Matwaer sebagai lambang lakilaki.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
19
III. PENGELOMPOKAN MASYARAKAT Seperti umumnya suatu masyarakat, masyarakat Kei terkategori ke dalam pengelompokanpengelompokan. Kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek dibangun di atas suatu struktur pengelompokan atau kelembagaan. Pola pengelompokan masyarakat Kei Kecil yang mendiami pesisir barat Pulau Kei Kecil sebagai bagian dari masyarakat adat Kei sebenarnya tidak jauh berbeda dengan wilayah Kei lainnya di kepulauan ini. Pola pengelompokan didasarkan pada aspek kekerabatan, teritorial, dan politik kewilayahan/regional. Pengelompokan yang terbentuk dalam beberapa jenis kelembagaan bertujuan untuk mengatur kehidupan sosial-budaya, politik, ekonomi, religi, dan lingkungan. Beberapa jenis kelembagaan yang ditemui, di antaranya: kelembagaan kekerabatan, kelembagaan adat, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan teritorial, dan kelembagaan yang mengatur lingkungan. Fungsi kelembagaan ini antara lain mengatur hubungan sosial antar warga dan kelompok, memperkuat solidaritas sosial, kohesi sosial, dan mengatur pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam. Kelembagaan merupakan sesuatu yang ada dan hidup di tengah masyarakat Kei Kecil, dan bahkan merupakan aspek yang berperan dalam mengatur dinamika masyarakat. Dinamika masyarakat dapat berjalan dengan baik karena kelembagaan memunculkan aturan-aturan dan mekanisme-mekanisme lokal untuk mengatur berbagai aktivitas masyarakat. Walaupun demikian, sejarah asal-usul penduduk Kei, sejarah migrasi penduduk, periode pemerintahan kolonial Barat yang panjang, serta kebijakan-kebijakan negara mempengaruhi dinamika kelembagaan dan struktur di dalamnya. Jenis dan pola pengelompokkan di masyarakat Kei yang berlapis-lapis dan saling silang antar aspek ini tergolong rumit, sehingga untuk penguraian secara detail dibutuhkan penelitian dengan waktu yang lebih panjang.
3.1. Kelembagaan Kekerabatan Masyarakat adat Kei mengenal kekerabatan berdasarkan hubungan darah dan hubungan karena perkawinan, serta hubungan kekerabatan sosiologis yang memiliki kadar tertentu menyerupai hubungan berdasarkan biologis. 3.1.1. Keluarga inti dan Keluarga Luas Kelembagaan kekerabatan dasar dalam masyarakat Kei berupa keluarga inti disebut dengan istilah yan te. Yan te merupakan kependekan dan gabungan dua kata, yaitu yanyanat yang berarti anak (-anak) dan teteen yang berarti orangtua (Ohoitimur 1983:102). Dengan demikian, istilah yan te menunjuk pada kelompok -yang terbentuk karena perkawinan- yang terdiri dari orangtua (suami-isteri) dan anak (-anak) mereka. Orang Kei menganut prinsip keturunan patrilineal yang dihitung melalui garis laki-laki (garis ayah), di mana anak-anak mengambil/memakai nama marga (fam) ayah atau bapak.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
20
Pengelompokan keluarga berdasarkan garis ayah ini dikenal juga dengan istilah riin rahan atau mata rumah. Suatu riin rahan dapat terbagi menjadi beberapa kelompok mata rumah berdasarkan urutan kelahiran anak, yaitu kelompok mata rumah kakak (riin rahan yaan atau ub yaan), kelompok mata rumah saudara tengah (riin rahan matwaan atau ub matwaan), dan kelompok mata rumah adik (riin rahan warin atau ub warin) yang mengurus rumahtangganya sendiri-sendiri. Kelompok-kelompok mata rumah yang berasal dari satu rumah bapak ini kemudian berkembang menjadi kelompok yang lebih besar yang merupakan gabungan dari beberapa kelompok riin rahan yang disebut rahan yam (yang berarti: rumah bapa [rahan = rumah; yaman = bapa]). Gambar 5. Kelompok kerabat riin rahan, ub, dan rahan yam Riin Rahan
ub yaan
ub matwaan
ub warin
Rahan yam
Dengan demikian, dapat terjadi pencabangan pada sebuah mata rumah (rahan yam), misalnya di Ohoidertawun terdapat Rahakbauw Suwatubun, Rahakbauw Sautubun, dan Rahakbauw Raserin, di ohoi Ngayub ditemui Renyaan Fadirubun, Renyaan Balubun, dan Renyaan Luanubun, atau di Namar ada Maturbongs Sirwutubun, Takerubun, dan Harbelubun. Demikian juga, ada penggunaan nama baru, misalnya: Maturbongs yang berasal dari Meturan bongso (bungsu). Marga-marga yang sama juga dapat ditemukan di kampung-kampung yang berbeda, yang disebabkan oleh migrasi atau sejarah lainnya. Misalnya, masyarakat Debut dan Ohoililir memiliki marga-marga yang sama disebabkan dahulu kedua desa ini satu. Ohoililir merupakan kampung yang didirikan oleh sebagian orang Debut yang menetap di wilayah itu untuk melakukan aktivitas ekonomi (bertani dan nelayan). 3.1.2. Yanur-Mangohoi Hubungan atau pertalian kekerabatan yang terbentuk melalui perkawinan mengaitkan dua pihak, yaitu pihak penerima wanita (yanur) dan pihak pemberi wanita (mangohoi). Walaupun yanur-mangohoi merupakan kelembagaan perkawinan, dalam prakteknya hubungan kekerabatan antara yanur dan mangohoi ini tidak hanya sebatas berperanan pada acara perkawinan saja, tetapi juga berperanan pada peristiwa-peristiwa lainnya, seperti kelahiran dan kematian, dan bahkan dalam pergaulan serta aktivitas sehari-hari (lihat Ohoitimur 1983). Seperti disebutkan di bagian terdahulu bahwa nilai perempuan dalam budaya Kei sangat penting, maka dalam adat, kedudukan mangohoi sebagai pemberi
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
21
wanita lebih superior dari pihak yanur sebagai penerima wanita. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam upacara kematian dimana pihak mangohoi rahan tel (pihak ibu, nenek dan ibu dari nenek) sangat berperanan penting. 3.1.3. Rahan Dek Kafwar Rahan dek kafwar (rumah kembar beradik kakak) merupakan satu ikatan kekeluargaan atau persaudaraan antara dua rahanyam yang berbeda dalam ohoi/desa yang sama. Lembaga ini terbentuk karena biasanya terjadi saling tolong-menolong secara spontan setiap saat sehingga antara keduanya timbul rasa saling tergantung dan kedekatan bagaikan saudara sekandung (Huliselan 2013). 3.1.4. Sir Fayev Sir fayev merupakan kekerabatan atau persaudaraan yang terjadi karena berdekatan rumah, dapur, atau karena menggunakan satu sumur. Mereka yang terikat dalam ikatan ini saling tolong-menolong dalam setiap acara kematian, kelahiran, orang sakit, pembangunan rumah, dan mengolah kebun sampai urusan dapur. Ikatan ini dapat mencakup beberapa rumah yang bertetangga (Huliselan 2013).
Kelompok-kelompok kekerabatan dalam suatu wilayah kemudian berkembang membentuk kelompok teritorial yang lebih besar. Kumpulan rahanyam-rahanyam membentuk suatu kesatuan komunitas yang mendiami suatu wilayah; satuan wilayah adat dan pemukiman ini membentuk sebuah ohoi (kampung), dan beberapa kampung/pemukiman membentuk utan (Rahail 1993:9). Informasi lain dari informan di lapangan menekankan bahwa ohoi mengacu pada “wilayah fisik”, sedangkan utan mengacu pada kumpulan manusia-nya sebagai “isi kampung”, yaitu kumpulan rahan yam – rahan yam. Gabungan beberapa utan akan menghasilkan lor (yang mengandung pengertian: kumpulan orang/masyarakat banyak). Gambar 6. Kelompok rahan yam, ohoi, utan, dan lor rahanyam
rahanyam
rahanyam
ohoi
utan
lor
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
22
3.1.5. Ohoi Ohoi selain sebagai lembaga adat berbasis teritorial, juga dilihat merupakan lembaga adat berbasis kekerabatan. Orang-orang yang berasal dari satu ohoi menganggap diri mereka bersaudara dan nama ohoi dipakai sebagai identitas bersama. Identitas bersama ini adalah wujud solidaritas yang lahir melalui ritus adat kolektif yang diadakan di woma (pusat ohoi) yang terletak di tengah satu ohoi (Huliselan 2013). Masyarakat ohoi diikat oleh adatistiadat tolong-menolong antar individu maupun antar rahanyam dalam acara-acara kematian, kelahiran, perkawinan, membangun rumah, mata pencaharian di darat dan laut, pelaksanaan ritus-ritus dan penyucian kampung (Huliselan 2013). Ketika ohoi (kampung) dipandang sebagai suatu bentuk lembaga kekerabatan, maka ada beberapa unsur yang terkandung di dalamnya, seperti yang didiskusikan oleh Ohoitimur (1983:120-122), yaitu: (a) ohoi sebagai kesatuan teritorial, (b) ohoi sebagai suatu kesatuan familial, (c) ohoi sebagai kesatuan kerja dan ekonomi, (d) ohoi sebagai kesatuan strukturalsosial, dan (e) ohoi sebagai kesatuan religius. Setiap ohoi memiliki satu pusat kampung (woma) yang memiliki nama sebagai nama sakral kampung.
Ohoidertom
Ohoidertutu
Rumadian
Ohoililir
Foto 11. Woma di Ohoidertom, Ohoidertutu, Rumadian, dan Ohoililir [Foto: Hermien Soselisa, 2012)
Sebagai suatu kesatuan teritorial, maka ohoi merupakan kesatuan tempat tinggal yang aman dan tetap, yang dikelilingi oleh kebun dan hutan. Tanah yang didiami dan seluruh petuanan merupakan tanah pusaka yang menjadi milik komunal seluruh warga kampung. Dalam kesatuan ini, seluruh warga merasa bersatu, diikat secara lahiriah maupun batiniah. Sebagai suatu kesatuan familial, maka orang-orang kampung merasa dihubungkan satu sama lain oleh aliran darah yang sama, yaitu melalui kesatuan riin rahan dan rahanyam, maupun hubungan yanur-mangohoi lewat perkawinan. Sebagai kesatuan kerja dan Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
23
ekonomi, orang kampung bekerja bersama-sama (maren) dalam pekerjaan di kampung (seperti membangun rumah), dalam membuka dan mengolah tanah kebun, demikian juga dalam pekerjaan lain, seperti mencari di laut dan di hutan. Sebagai kesatuan strukturalsosial, penduduk kampung dipersatukan dalam satu struktur sosial, di mana di dalamnya mereka juga diikat oleh ketaatan kepada aturan-aturan dan para pemimpin yang memiliki peran masing-masing dalam mengatur kehidupan masyarakat sesuai bidangnya. Sebagai kesatuan religius, secara tradisional penduduk satu ohoi mengakui satu roh pelindung kampung, yang dihormati sebagai penguasa dan pengatur kehidupan sehari-hari mereka. 3.1.6. Koi-Maduan Kekerabatan tradisional lain yang masih dipertahankan adalah koi-maduan, yaitu suatu jenis relasi antara dua pihak dimana pihak maduan memiliki posisi yang superior terhadap pihak koi. Karakteristik relasi ini adalah kekuasaan mutlak dari maduan terhadap koi, dan ketaatan mutlak dari koi terhadap maduan (Ohoitimur 1983:114). Relasi ini dapat terbentuk misalnya berdasarkan pemberian bantuan untuk menyelamatkan satu pihak (koi) yang diberikan oleh pihak maduan dalam suatu peristiwa. Koi Maduan dapat terjadi antara dua rahanyam atau lebih atau antara dua ohoi atau lebih. Hubungan kekerabatan ini diwujudkan dalam bentuk tolong-menolong dalam berbagai kesulitan, terutama kesulitan pangan dan pekerjaan membangun rumah (Huliselan 2013). 3.1.7. Tea-bel Teabel sebagai salah satu bentuk kekerabatan tradisional merupakan kekerabatan yang tidak berdasar pada pertalian darah, tetapi bersifat kekerabatan sosial yang bilateral antar ohoi. Kekerabatan sosial ini memiliki implikasi ekonomi, di mana kedua belah pihak yang memiliki hubungan teabel saling membantu, saling memberi dan mengambil barang milik partnernya secara rela. Di sini, kedua belah pihak memiliki kedudukan yang sejajar (Ohoitimur 1983:119). Satu ohoi dapat memiliki hubungan teabel dengan satu atau lebih ohoi sebagai partnernya. Dapat juga antar sekelompok ohoi, misalnya antara kelompok Nufit (yang kini terdiri dari beberapa ohoi) dengan Ohoi Vut (yang terdiri dari 10 ohoi) berdasarkan cerita perjalanan leluhur yang bernama Tabi dan Tabai yang datang dari Bali (Ngamel 1992). Hubungan tea bel dapat terjadi bukan saja antara ohoi di Kei, tetapi juga antara orang Kei dengan orang luar, misalnya hubungan tea bel antara orang Kei dan orang Gorom di wilayah Seram bagian timur. Hubungan teabel serupa dengan apa yang dikenal di Maluku Tengah sebagai hubungan pela.
3.2. Pengelompokan berdasarkan Struktur Keadatan Dari beberapa contoh yang diperoleh di lapangan, dalam sejarah pembentukan sebuah ohoi, marga-marga (rahan yam – rahan yam) pembentuk ohoi bergabung dalam beberapa kelompok, umumnya berdasarkan sejarah kedatangan. Misalnya, tujuh marga di Ohoidertawun tergabung dalam dua kelompok, yaitu rahan intel duan dan loan i fit. Marga Woersok, Koran, dan Rahakbauw tergabung dalam rahan intel duan sebagai pemilik petuanan, sedangkan loan i fit terdiri dari marga Lefteuw dan Kilmas yang merupakan penjaga batas petuanan (wahan soen) serta marga Rumyaan dan Kelanit yang
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
24
datang belakangan. Di ohoi Debut, 4 marga pembentuk ohoi dikenal dengan sebutan waran fak (= empat marga). Di Ohoira, 5 marga yang tergabung dalam Yam I Lim adalah Sedubun (+ Ngabalin), Renyaan, Erubun, Yalmaf dan Warbal.
Contoh lain berasal dari ohoi Wab Ngufar, di mana 12 marga terkelompokkan dalam empat kelompok, yaitu: 1. Tonat entel (marga: Yamngangun, Efruan, Jamlean) 2. Ub I Lim / ub Faan (Rahakratat, Hanoatubun, Raubun, Sabhohoubun, Lakesubun) 3. marga Inuhan + Ub Faan 4. Wab Ratut (Lowaer, Kadmaer, Yalmaf). Dalam sejarah pembentukan dan perkembangan sebuah ohoi, ada marga-marga tertentu yang datang belakangan setelah ohoi terbentuk. Mereka kemudian digabungkan atau bergabung dengan salah satu kelompok awal berdasarkan sejarah masuknya atau karena ada hubungan perkawinan, misalnya kawin dengan wanita dari kelompok tersebut. Para marga pembentuk ohoi memegang atau menduduki status adat dengan peran-peran tertentu berkaitan dengan pelaksanaan adat dan pengaturan masyarakat di dalam ohoi. Data lapangan menunjukkan adanya variasi informasi per ohoi tentang peran-peran adat tersebut, walaupun ada peran-peran tertentu yang sama, seperti tuan tan atau mitu duan. Masing-masing ohoi yang awalnya dikepalai oleh seorang hala’ai, juga memiliki sejarah dan otonominya sendiri-sendiri, sehingga variasi peran per ohoi dapat saja terjadi atau muncul. Menurut informan, kemungkinan ada peran-peran dasar dalam organisasi adat di masyarakat Kei yang seragam. Pada awal-awal kehidupan kampung di wilayah Nufit Haroa, misalnya, untuk mewujudkan kerukunan hidup di masing-masing kampung, maka tersusun status dan fungsi untuk marga-marga yang bermukim di kampung berdasarkan syarat-syarat adat dan sesuai dengan strata atau kedudukan marga-marga (Ngamel 1992). Marga yang pertama masuk dan membuka pemukiman menduduki status sebagai tuan tan (tuan tanah), sedangkan marga-marga yang datang kemudian ditunjuk dan diberikan status dan fungsi sebagai berikut (Ngamel 1992:10): dir u ham wang (di depan, pengatur), leb mitu duan – sobsob mayoran (penjaga dewa/mitu, pembawa doa), hahaur modar - maraman (perintis atau penunjuk jalan), helwaat woma (penggerak desa), dan valo sair vuvun atau pengangkat/pemancang bendera. Berikut adalah beberapa contoh peran-peran adat dari ohoi Ohoira, Wab Ngufar, dan Tetoat yang diperoleh dari hasil wawancara dan diskusi kelompok. Peran-peran ini dipegang oleh marga-marga tertentu.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
25
Tabel 8. Contoh peran adat di beberapa ohoi Ohoira Mituduan Leb Mitu Duan Atliryaan Marin Hamang fangnanan Turis-was
Wab Ngufar Tuan Tan Rafrinin Dos Kot-kot/hanilit Umat rangrihi Pembicara Fuun Ngurdaan Batang mol Batang Luv Pasukan garis depan dalam perang
Tetoat kabitan Batang luv Taha song sib Harvav u vuun Mengikuti apa yang diputuskan
Van Wouden (1968) mencatat bahwa secara umum dapat ditemui lima jenis jabatan dan peran dalam struktur kepemimpinan suatu ohoi (van Wouden 1968; Ohoitimur 1983:15), yaitu: a. Dir-u-ham-wang: merupakan representatif dari kesatuan ohoi/kampung secara formal. Perannya sebagai pemuka dan pembagi. Misalnya, ia berdiri di muka perahu belan pada waktu menyongsong tamu agung; dan menjadi pembagi daging atau ikan untuk seluruh warga kampung. b. Tuan tan (tuan tanah): adalah pemilik resmi dari seluruh tanah milik kampung. Fungsi ini sekarang lebih bersifat simbolis karena setiap kepala marga adalah juga pemilik tanah. Tuan tan lebih berfungsi sebagai hakim dalam perkara-perkara mengenai hak milik tanah karena dianggap merupakan pihak yang paling tahu mengenai sejarah pemilikan tanah di wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan biasanya tuan tan merupakan orang atau penghuni yang telah lebih dahulu ada di petuanan ohoi; jabatan tuan tan biasanya dipegang oleh orang dari strata ren-ren yang dianggap sebagai penduduk asli Kei (lihat juga Adhuri 1998). c. Leb (iman) adalah pembawa atau pengaji korban pada roh tertinggi. d. Mitu duan (tuan/pemilik atau pelayan dari mitu, yakni roh pelindung kampung atau marga), adalah pembawa korban kepada roh penjaga kampung. Terkadang jabatan leb dan mitu duan ini boleh dirangkap oleh satu orang saja. Dewasa ini, kedua jabatan ini sudah hampir hilang secara formal seiring dengan semakin menghilangnya upacaraupacara membawa korban kepada roh-roh. e. Orang kaya (orang kay) merupakan pemimpin semua fam/marga di dalam kampung. Jabatan ini diperkenalkan dan diperkuat oleh pemerintah jajahan. Hingga kini, jabatan orang kaya merupakan jabatan pemerintah kampung. Selain itu, ada peran-peran lain dalam lembaga adat ohoi, seperti wak-wak yang bertugas sebagai pengawas dan penjaga batas petuanan beserta hasil-hasil alam darat dan laut. Dari gambaran contoh-contoh di atas, nampak bahwa status-status dan peran-peran di dalam sebuah kampung atau ohoi menunjukkan tugas yang berkaitan dengan tugas memimpin masyarakat, dengan urusan dan pengaturan teritori tempat tinggal dan tanah petuanan, dengan urusan pertahanan dan keamanan, dengan pengaturan, pelaksanaan dan pengawasan hukum di masyarakat, dengan ritual-ritual yang menghubungkan masyarakat Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
26
dengan leluhur dan dunia supranatural (penghubung dengan dunia supranatural), dengan tugas sebagai penghubung antara pemimpin dan masyarakat. Status dan peran-peran tersebut juga mewakili dunia sosial, ekonomi, dan religius, serta pemerintahan. Masingmasing status merupakan hak turun-temurun melalui garis laki-laki tertua. Contoh-contoh dari beberapa desa di atas juga menunjukkan tingkat variasi dan perubahan-perubahan yang telah terjadi dari masa ke masa seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat karena pengaruh luar dan migrasi.
3.3. Kelembagaan Teritorial (Adat) Dalam pengelompokan berdasarkan teritorial, beberapa pemukiman yang berdekatan bergabung dalam satu kesatuan kelompok. Beberapa di antaranya berdasarkan lokasi pemukiman awal yang terletak di pesisir (tahait atau roa = lautan, pulau, tepi pantai, seberang) atau di pedalaman (nangan = darat). Misalnya, Faan, Langgur, Ohoijang, Kolser-Ohoitel (Kolser, Loon, Gelanit), dan Ohoidertawun bergabung sebagai Ohoi Lim Tahait (lim = lima), sedangkan Hiluk Ohoi Tel Nangan (tel = tiga) terdiri dari kampung Ohoiluk, Ngayub (kampung asal Ngayub adalah Ohoiluk), Namar, dan Ngilngof. Di wilayah Nu Fit, pengelompokan awal sebagai suatu kelompok kesatuan teritori adat adalah seperti Gambar 6. Gambar 7. Pembagian Kelompok Nufit NUFIT
NUFIT ROA
Tuun En Fit
Reli Badangmas Somlain Ohoira Ohoiren Ur Tanebar Evav
NUFIT NANGAN
Lair En Tel
Sitharnol
Hemas Yamlim Ohoideryamlim Sevav Ratut
Nufit yang merupakan singkatan dari kata Nuut En Fit (yang artinya tujuh kelompok), awalnya terdiri dari dua wilayah hukum adat, yaitu Nufit Roa (atau Nufit Haroa) dan Nufit Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
27
Nangan (atau Nufit Harnangan). Wilayah Nufit Roa, dengan masyarakatnya yang disebut Lor Nufit, meliputi sebagian pesisir Pulau Kei Kecil sebelah barat dan pulau-pulau sampai di Pulau Kuur. Sedangkan wilayah daratan (nangan) dengan masyarakatnya Lor Bibtet, dari Sitharnol sampai dengan Iso Tarfuun (Ngamel 1992). Sebelum mengenal hukum adat Larvul Ngabal, kedua wilayah ini memiliki hukum adatnya sendiri, yaitu Hukum Kot Fit (Nufit Haroa) dan Hukum Babakain (Nufit Harnangan). Tuun En Fit terdiri dari tujuh kelompok yang mendiami tujuh tempat di pesisir dan pulau, sedangkan Lair En Tel mengacu pada tiga kelompok yang mendiami wilayah tanjung. Sesuai dengan namanya, baik Hemas Yamlim maupun Ohoideryamlim, awalnya masingmasing terbentuk dari lima (lim) marga. Wilayah atau kesatuan masyarakat Hemas Yamlim terdiri dari marga Reyaan Hemas, Tubunubun, Yervuan, Rahawat, dan Ubefar, sedangkan Ohoideryamlim terdiri dari Kameubun, Reyaan, Rahawarin, Loblar, dan Weartahit. Kelompok Sevav Ratut awalnya terdiri dari empat marga, yaitu Remetwa/Manutubun, Hetwa, Ren El, dan Wai El. Nufit sebagai suatu kesatuan kelompok adat di satu wilayah, memiliki Dewan Adat yang berfungsi untuk membicarakan atau menyelesaikan masalah-masalah besar, yang menyangkut hukum dan sosial, yang terjadi dalam dan antar kelompok masyarakat. Status dan peran dalam Dewan Adat yang dipegang oleh marga (fam) tertentu dari matarumah (rahan) tertentu dan dari beberapa ohoi tertentu ini memakai analogi proses pembuatan sebuah perahu, seperti berikut ini: a). Uun Turun Naf En : Rat / ketua yang berperan mensahkan putusan [Rat] fam/marga Ngamel, rahan Lerwa (dari ohoi Somlain). b). Kud [tali sifat]
: buka pembicaraan (buka bicara) dan pengarah fam Renyaan, rahan Afmas (Ohoira)
c). Saf Kalyakat [kapak]
: pemandu (memfokuskan, meluruskan) fam Warbal, rahan Tokyar (Ohoira)
d). Song
: penimbang (penyelaras, mencocokkan) fam Yanwarin, rahan Renmew (Ohoiren)
e). Aftetat Ja [pahat]
: penentuan / menyimpulkan fam Reyaan Hemas, rahan Wather (Ohoidertutu).
Rat (raja) sebagai pemangku kuasa tertinggi, dalam Dewan Adat berfungsi memberi pengesahan setelah seluruh anggota Dewan Adat membicarakan, mendiskusikan, memusyawarahkan, dan memutuskan suatu perkara/masalah hukum atau sosial. Kud yang berarti “tali sifat” adalah alat yang digunakan oleh para tukang perahu untuk memberikan tanda pada sebuah sisi papan yang akan dibuat perahu dengan menarik garis menggunakan alat ini (kud arlelan = tali sifat) yang menyerupai tinta (arang dari sabut kelapa). Dalam persidangan adat di siran (tempat upacara atau persidangan), kud memiliki fungsi membuka pembicaraan, memberikan penjelasan awal terkait permasalahan yang Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
28
akan dibahas dalam persidangan, dan bertugas mengarahkan agar pembicaraan tidak keluar dari substansi pembahasan. Sav Kalyakad berarti kapak. Setelah kud memberi garis pada sisi papan sebagai tanda, fungsi kapak adalah mengeluarkan bagian papan/kayu yang melebih garis yang ditandai oleh garis kud tadi (keluarkan/potong yang tidak pakai). Dalam konteks persidangan, maka sav kalyakad memiliki fungsi meluruskan pembicaraan yang dianggap tidak masuk dalam konteks, dan memfokuskan pembicaraan pada permasalahan. Song adalah sejenis alat tukang yang memiliki fungsi menghaluskan bagian sisi papan yang telah dikerjakan oleh kapak; mencocokkan dan mendudukkan papan perahu supaya tersusun secara ketat agar air tidak masuk. Dalam konteks persidangan, maka song memiliki fungsi mencocokkan dan mendudukkan setiap pembicaraan yang disampaikan oleh fungsi-fungsi yang lain ketika pembahasan berlangsung, sehingga semuanya selaras dan tidak ada celah yang masih kurang.
Dewan Adat Nufit bersidang di Siran Tobyumai, yang terletak di Ohoiren. Namun pada masa sekarang, Dewan Adat jarang sekali bersidang di siran Nufit ini. Dalam ingatan seorang informan, sidang terakhir di siran Nufit terjadi sekitar tahun 1980-an. Sebenarnya lembaga Dewan Adat di tingkat ratschap (kumpulan ohoi) semacam ini sangat berperanan dan bermanfaat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi Foto 12. Situs Siran Nufit di Ohoiren antar atau lintas ohoi.
Foto 13. Ohoira: ibukota Kecamatan Kei Kecil Barat [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Foto: Hermien Soselisa, 2012
Fatetat Ja berarti pahat (lit. pahat dari Jawa). Fungsinya dalam pembuatan perahu adalah memperhalus bagian papan yang telah didudukkan dan dicocokkan oleh song. Dalam konteks persidangan, fatetat ja berfungsi memperjelas pembicaraan, membuat rangkuman, dan menyimpulkan hasil pembicaraan dan pembahasan.
Pada masa kini, kata Nu Fit mengacu pada kelompok masyarakat yang mendiami 8 ohoi dan 2 ohoi soa yang membentuk Kecamatan Kei Kecil Barat, yaitu Ohoira, Ohoiren, Somlain, Madwaer, Ohoidertutu (Ohoidertom dan Yatwav), dan tiga ohoi di pulau: Ur Pulau, Warbal, dan Tanimbar Kei. Kecamatan Kei Kecil Barat dengan ibukota Ohoira, merupakan kecamatan pemekaran yang lepas dari Kecamatan Kei Kecil pada tahun 2004. Karena sebagian besar masyarakatnya terkait dengan sejarah Nu Fit dan dengan legenda tabob (lihat Bab 5), maka ada masyarakat yang menamakan diri mereka sebagai “kecamatan keluarga”.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
29
Kelembagaan teritorial adat seperti Nu Fit yang meliputi beberapa kampung sering juga dianggap menyerupai atau setara dengan kelembagaan teritorial administrasi politik pada tingkat ratschap di mana beberapa ohoi bergabung menjadi satu ratschap, dipimpin oleh seorang Rat (Raja) yang berkedudukan di ohoi Rat (kampung raja). Namun dalam kasus Nu Fit, ada dua ratcshap di dalamnya (Mantilur dan Magrib) serta ada anggota ratschap lain yang termasuk di dalamnya (Danar). Dewan Adat dengan peran-peran seperti yang terdapat di Nufit, dikenal juga pada ratschap-ratschap lain.
3.4. Pengelompokan/Kelembagaan Politik Ratschap merupakan pola pengelompokan yang lebih didasarkan pada politik regional. Satu ratschap terdiri dari beberapa ohoi. Kata ratschap merupakan gabungan bahasa lokal (rat) dan bahasa Belanda (schap) yang merupakan istilah yang mengacu pada suatu wilayah administratif tertentu yang mencakup satuan wilayah yang lebih kecil dengan jabatan wali raja. Seperti yang dikatakan oleh Rahail (1995:10), rupanya pemerintah kolonial pada waktu itu menganggap pembagian satuan wilayah adat tradisional Kei dapat mereka gunakan sekaligus sebagai suatu satuan wilayah administratif pemerintahan menurut hukum kolonial mereka, termasuk untuk kepentingan strategi politik divide et impera. Dengan demikian, sistem ini mendapat pengaruh dari pemerintah jajahan (Portugis dan Belanda) dan berkembang serta dikuatkan pada masa kolonial sebagai alat untuk menjalankan kepentingan kolonial. Namun demikian, oleh masyarakat Kei, ratschap diterima sebagai salah satu tipe pemerintahan adat atau suatu wilayah hukum adat yang terus ada dan dihargai dan berfungsi dalam penegakan hukum adat yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat adat Kei. Ratschap dengan Rat sebagai pemimpinnya berfungsi dan berperan untuk mengatur dan mengontrol penyelenggaraan adat serta memutuskan masalah-masalah adat dan hukum adat di lingkungan ratschap, di lingkungan ohoi yang berada di bawah koordinasinya, serta antar ratschap. Pola pengelompokkan ini kemudian bergabung dengan pengelompokan kekerabatan-teritorial yang sudah ada sehingga terbentuklah kelompok berjenjang yang lebih luas, mulai dari riin rahan sampai dengan ratschap. Seiring dengan ratschap, maka secara politik adat, masyarakat Kepulauan Kei terbagi dalam tiga kelompok masyarakat, yaitu masyarakat Ur Siuw (kelompok sembilan), Lor Lim (kelompok lima), dan Lor Labay. Kampung-kampung di Kepulauan Kei sebagian besar terbagi ke dalam kelompok Ur Siuw dan Lor Lim. Pada masing-masing kelompok ini terdapat sepuluh kerajaan/ ratschap (Ohoitimur 1983:55-59; band. Rahail 1995:10-14), dan masing-masing kerajaan/ratschap terdiri dari beberapa kampung yang mengakui satu kampung sebagai pusat ratschap. Kesepuluh kerajaan/ratschap di Kei yang termasuk dalam kelompok Ur-siuw adalah: Di Kei Kecil: Danar (Rat Famur Danar), Wain (Rat Sakmas), Matwaer (Rat Mangrib), Somlain (Rat Mantilur Kasi Wait);
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
30
Di Kei Besar: Yamtel (Rat Meu Umfit), Watlaar (Rat Maur Ohoivut), Ohoinangan (Rat Mer-Ohoinean); Di Pulau Dullah: Namsar (Rat Baldu), Ohoitahit (Rat Sir Somas); Di Pulau Kur: Kilmas (Kamear-Kur). Sedangkan sepuluh kerajaan/ratschap yang termasuk kelompok Lor lim adalah: Di Kei Kecil: Tetoat (Rat Yarbadang), Rumat (Raja Songli), Ibra (Rat Kirkes), Faan (Rat Yab), Rumadian (Rat Manyeuw). Di Kei Besar: Fer (Rat Tobav Yamlim/Tabab Yamlim), Nerong (Rat Ub Ohoilim/Rat Lo Ohoitel), Ub Ohoifaak. Di Pulau Dullah: Tual (Rat Tuvle / Rat Lus) Di Pulau Tayando: Yamtel (Rat Kilsoin). Masyarakat Kei yang tidak tergolong dalam kelompok Ur Siuw maupun Lor Lim, termasuk ke dalam kelompok Lor Labay, yaitu kelompok yang dianggap sebagai kelompok netral atau kelompok bebas. Pada awal pembentukan Ur Siuw dan Lor Lim, terdapat beberapa wilayah yang tergolong Lor Labay. Menurut Ohoitimur (1983:59) kini kelompok Lor Labay di Kepulauan Kei yang tersisa adalah: Werka (di Kei Besar), Ohoidertawun (di Kei Kecil), dan Taam (di Pulau Taam). Informasi di lapangan mengatakan hanya dua yang tersisa, yaitu Werka dan Ohoidertawun. Adanya pengelompokan ini diawali dengan peristiwa penyebaran hukum adat Larvul (yang diperkenalkan oleh kelompok Ur siuw) dan hukum adat Ngabal (yang diperkenalkan oleh kelompok Lor lim). Perpaduan antara dua hukum yang kemudian dikenal dengan nama hukum adat Larvul Ngabal ini terjadi dalam proses perluasan kekuasaan Ur siuw dan Lor lim di seluruh Kepulauan Kei, dan meluasnya pengaruh hukum ini terjadi pada waktu pengangkatan raja-raja di seluruh Kei.
Foto 14. Monumen pada situs pembagian kerbau Siuw di Elaar sebagai salah satu babak awal penyebaran hukum adat Larvul [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Seperti diketahui, sebelum masuknya sistem raja di Kepulauan Kei, telah ada para halaai sebagai pemimpin masyarakat di Kei. Namun struktur pemerintahan dan sistem penataan kehidupan bersama, serta perkenalan dengan suatu sistem pemerintahan yang seragam dan teratur, baru dimulai secara baik pada masa pemerintahan Raja Tebtut, yaitu putera Kasdew yang berasal atau datang dari Bali. Tebtut dinyatakan sebagai raja pertama di Kei. Dari Tebtut-lah awal tradisi pengangkatan raja-raja di Kepulauan Kei dari kelompok Ur siuw maupun Lor lim (lihat Ohoitimur 1983). Rangkaian pengangkatan raja-raja di Kei pada masa peluasan pengaruh Ur siuw dan Lor lim serta penyebaran hukum Larvul dan Ngabal menjadikan atau menandai pemberian “rekomendasi” dari satu raja ke raja yang lain pada proses pengangkatan raja pada masa kini. Siapa yang berhak memberi rekomendasi dan kepada siapa diberikan, sesuai dengan sejarah dan urutan pengangkatan raja di masing-masing kelompok pada masa lampau.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
31
Hukum adat Larvul Ngabal berisi tujuh pasal utama yang membahas tentang hubungan sosial antar manusia, soal kesusilaan, dan tentang hak milik. Hukum Larvul Ngabal setelah diterima oleh masyarakat Kei (termasuk oleh kelompok Lor Labay), kemudian digunakan sebagai pedoman dan tata berperilaku bagi setiap masyarakat Kei (Evav) dalam hubungan dan interaksi dengan Sang Pencipta, dengan sesama maupun dengan alam sekitarnya (lihat misalnya, Ohoitimur 1983; Rahail 1993 untuk penjelasan detail hukum Larvul Ngabal). Dalam wilayah studi Kei Kecil bagian barat terdapat kelompok Ur Siuw, Lor Lim maupun Lor Labay yang tergabung dalam beberapa ratschap yang membawahi beberapa ohoi. Kelompok Ur Siuw terdapat pada Ratchap Mantilur dengan rajanya bergelar Rat Mantilur Kisu Wait, yang berpusat di Somlain, serta pada Ratschap Mangrib/Magrib yang berkedudukan di Matwaer. Kelompok Lor lim di wilayah studi ada pada Ratschap Yarbadang dengan pusat ratschap berada di Tetoat dan pada Ratschap Manyeuw yang berpusat di Rumadian. Selain itu, ada desa/ohoi di wilayah studi, yaitu Ohoililir yang masuk ke dalam Ratschap Tuvle yang berpusat di Tual, serta ohoi Kolser dan Gelanit yang merupakan bagian dari Ratschap Yab Faan yang berpusat di Faan. Kelompok Lor Labay di wilayah studi ada pada Ratschap Ohoidertawun yang terdiri dari tiga wilayah pemukiman, yaitu Ohoidertawun Atas, Ohoidertawun Bawah, dan Dudunwahan. Hal yang menarik dari pola-pola pengelompokan ini adalah ada satu ohoi yang bisa berada dalam beberapa kelompok: kelompok politik pemerintahan dan kelompok adat. Hal ini didasari sejarah tertentu. Misalnya Ohoidertutu dan Ohoidertom secara kultural tergabung dalam kelompok Nu Fit yang terikat dengan sejarah keberadaan tabob, tetapi secara politik pemerintahan regional tergabung dalam kelompok Ratschap Danar. Demikian juga Ohoidertawun Atas secara pemerintahan ada pada Ratschap Ohoidertawun, tetapi secara adat merupakan bagian dari Ratschap Faan, karena dalam pembagian Yab Faan (burung garuda lambang Ratschap Faan), Ohoidertawun Atas mendapat bagian welan (ekor). Dengan demikian, ada ohoi yang memiliki konfigurasi kultural maupun politik. Tabel 9. Kelompok dan Ratschap yang ada di wilayah studi Kelompok
Ratschap
Pusat Ratschap
Ur siuw
Mantilur Mangrib Danar
Somlain Matwaer Danar
Lor lim
Yarbadang Manyeuw Tuvle Yab Faan
Tetoat Rumadian Tual Faan
Lor labay
Ohoidertawun
Ohoidertawun
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
32
Bila disejajarkan dengan pengelompokan kekerabatan, maka ratschap ada pada tingkatan utan, sedangkan ur siuw dan lor lim ada pada tingkatan lor.
Sesuai sejarah lisan tentang kependudukan menyatakan bahwa: asal-usul penduduk Kepulauan Kei terdiri dari penduduk asli dan kaum pendatang. Biasanya kaum pendatang lebih tinggi tingkat kecerdasan dan kecerdikannya, sehingga diberi tanggungjawab memimpin, sedangkan penduduk asli memegang tugas sebagai tuan tanah. Pembagian status dan kekuasaan ini menampilkan tiga lapisan strata dalam masyarakat Kei (Ohoitimur 1983:13), yaitu: a. Melmel (kelas bangsawan): kaum pendatang yang cerdik, pandai, berani, dan kaya. b. Ren-ren (kelas menengah): penduduk asli c. Iri-ri (kelas rendah): orang yang karena membuat kesalahan dalam adat ditebus dan dijadikan hamba, atau orang yang dibeli dengan sengaja untuk dijadikan hamba. Penerapan sistem strata (atau yang dikenal di Kei sebagai „kasta‟) dalam interaksi antar anggota masyarakat di kehidupan sehari-hari di Kei Kecil secara umum agak berbeda dengan penerapannya di Kei Besar. Di Kei Besar umumnya sangat nampak perbedaan antara strata atas dan bawah, sedangkan di Kei Kecil tidaklah demikian.
3.5. Kelembagaan Pemerintahan Mengingat sejarah asul-usul penduduk Kei dimana strata pemimpin berasal dari luar Kei dan periode pemerintahan kolonial Barat yang panjang, sehingga tingkat penerimaan dan adaptasi terhadap pengaruh unsur luar cukup tinggi. Hal ini nampak juga pada struktur pemerintahan di Kepulauan Kei yang mengalami perubahan dari masa ke masa, dan kesulitan untuk mencari bentuk asli awal atau bentuk yang benar-benar baku, mengingat dapat terjadi variasi antar kampung karena perjalanan sejarah tertentu. Di samping itu, terdapat kesulitan dalam membedakan jabatan pemerintahan ohoi/kampung dengan jabatan dan peran-peran adat yang fungsinya dapat saja tumpang tindih dalam masyarakat, karena selama ini kewenangan adat dan kewenangan pemerintahan disatukan dalam kewenangan pimpinan ohoi. Secara umum, beberapa rekonstruksi dari beberapa masa disajikan di bawah, mulai dari periode pra kolonial sampai dengan masa kini. Sulit untuk merekonstruksi struktur pemerintahan dasar pada masa pra kolonial di tingkat kampung. Ada dua versi yang ditemui di lapangan. Yang pertama, meletakkan Halaai sebagai pemimpin yang membawahi para kepala marga (rahan yam) yang anggotaanggotanya merupakan masyarakat kampung (balrayat). Versi kedua, menambahkan unsur marin sebagai petugas hala’ai untuk menyampaikan titah dari halaai kepada masyarakat. Namun bila melihat kata „marin‟ yang berkonotasi dengan kata marinyo di Maluku Tengah, maka kata itu merupakan salah satu jabatan yang berasal dari kata Portugis, seperti halnya kata kapitan atau kata fam yang berasal dari bahasa Belanda: familie (= keluarga). Istilah balyarat sendiri bukan merupakan bahasa asli lokal, karena
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
33
kemungkinan merupakan kependekan dari kata bala-rakyat (bahasa Melayu) yang mengacu pada kata masyarakat. Gambar 8. Struktur Pemerintahan di tingkat kampung pada periode Pra Kolonial Hala‟ai
Kepala Rahanyam
Kepala Rahanyam
Kepala Rahanyam Marin
Balrayat
Adapun rekonstruksi struktur pemerintahan di tingkat ohoi/kampung pada periode kolonial Barat, secara umum menunjukkan adanya introduksi jabatan-jabatan yang memakai bahasa Melayu yang memiliki kemiripan dengan yang ada di Maluku Tengah (Gambar 8.). Gambar 9. Struktur Pemerintahan di tingkat kampung pada periode Kolonial Orang Kay
Kepala Soa
Kepala Soa
Kepala Soa
Kepala
Kepala
Kepala
Kepala
Rahanyam
Rahanyam
Rahanyam
Rahanyam
Kepala Rahanyam
Balrayat
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah pusat menerapkan suatu struktur pemerintahan di tingkat desa yang seragam di seluruh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Di bawah UU ini kampung atau ohoi disebut desa (mengikuti istilah di Jawa), dan dipimpin oleh seorang bergelar Kepala Desa. Beberapa desa memiliki satu atau lebih anak desa yang disebut dusun, dan dipimpin oleh seorang Kepala Dusun.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
34
Kedudukan dusun berada di bawah desa. Dalam penerapan UU No.5/1979 yang mengedepankan keseragaman, mengakibatkan praktek-praktek yang menyalahi atau tidak sesuai dengan aturan atau praktek adat yang berlaku. Dengan memakai ukuran jumlah penduduk, sebuah kampung yang merupakan kampung awal (kampung tua) dapat berubah statusnya menjadi sebuah dusun, sementara kampung yang merupakan kampung pecahan (pemukiman kemudian), karena jumlah penduduk yang lebih banyak, berstatus desa menurut UU tersebut. Hal demikian ini terjadi di seluruh Maluku, termasuk di Kei. Pemberlakuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 selama lebih dari dua dasawarsa merupakan salah satu penyebab yang mendorong makin melemahnya struktur pemerintahan adat dan peran-perannya di masyarakat lokal, karena penyeragaman jabatan dan fungsi menyebabkan melemah atau hilangnya jabatan-jabatan dan fungsi-fungsi lokal yang terkait dengan aspek-aspek lain (sosial, budaya, ekonomi, religi, ekologi) dalam kehidupan masyarakat setempat. Gambar 10. Struktur Pemerintahan di tingkat desa pada periode UU No. 5/1979
LMD
Kepala Desa Sekdes
Kaur Pemerintahan
Kaur Pembangunan
Kaur Umum
Masyarakat
Di tahun-tahun akhir periode Orde Baru sejumlah Undang-Undang tentang Otonomi Daerah dikeluarkan, di mana daerah diberikan kesempatan dan keleluasaan untuk menyelenggarakan inspirasi dan pembangunan daerah sesuai dinamikanya, dengan menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Didahului dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa, di mana desa atau yang disebut dengan nama lain, merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
35
Sebagai pelaksanaan ketentuan dari Undang-Undang Nomor 32 tersebut, Pemerintah Provinsi Maluku menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku, di mana selain menetapkan negeri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, juga mengakui kesatuan masyarakat hukum adat dengan nama lain sesuai hak, asal-usul, dan budaya setempat, seperti ratschap dan ohoi di Maluku Tenggara. Berdasarkan Perda ini, masing-masing kabupaten dan kota yang berada di Provinsi Maluku kemudian menyusun perda tentang pemerintahan desa yang berbasiskan unsur-unsur adat setempat. Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2009 tentang Ratshap dan Ohoi. Berdasarkan Perda ini, maka struktur pemerintahan di tingkat ohoi (desa) tersusun seperti Gambar 10. Gambar 11. Struktur Ohoi berdasarkan Perda Kab. Maluku Tenggara No.03/2009
Badan Saniri Ohoi ( BSO )
Orong Kai
Jur Tulis / Sekretaris Ohoi Kepala Soa
Kepala Faam
Balrayat
Dari struktur ini, Orong Kai (Orang Kay) merupakan kepala pemerintah ohoi, sedangkan Badan Saniri Ohoi (BSO) adalah badan yang terdiri dari wakil/perwakilan penduduk ohoi yang berfungsi sebagai badan legislatif yang mengawasi pelaksanaan tugas dari Orong Kai, dan bersama-sama Orong Kai membentuk peraturan ohoi serta mendampingi Orong Kai dalam memimpin ohoi sesuai tugas dan wewenang yang dimiliki. Adapun Kepala Soa adalah kepala dari kelompok-kelompok soa yang terdiri dari kumpulan beberapa marga. Bila melihat struktur ini, maka ada kerancuan dalam posisi struktur dan penempatan, dalam hal ini kedudukan Kepala Faam/Marga dan BSO. Menurut Perda No. 03/2009, perangkat pemerintah ohoi adalah Kepala Soa, Jur Tulis, dan Kepala Faam/Marga (pasal 19 ayat 2), yang bertugas membantu Orong Kai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya (pasal 31 ayat 1) dan bertanggung jawab kepada Orong Kai (pasal 31 ayat 2). Sedangkan dalam Bab I tentang Ketentuan Umum disebutkan bahwa Badan Saniri adalah lembaga yang menghimpun para Kepala Faam/Marga yang berfungsi sebagai badan legislatif (pasal 1 ayat 25). Dengan demikian, pada satu sisi Kepala Faam sebagai perangkat pemerintah
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
36
ohoi berkedudukan di bawah Orang Kai dan Kepala Soa, namun di sisi lain Kepala Faam adalah anggota BSO yang merupakan badan legislatif yang mengawasi pelaksanaan tugas Orang Kai. Temuan di lapangan juga menunjukkan bahwa masih ada dalam pemerintahan di ohoi jabatan-jabatan dari struktur sebelumnya, misalnya masih ditemukannya pemakaian istilah dan jabatan kaur (kepala urusan) seperti pada struktur menurut UU No. 5 Tahun 1979. Gambar 11 menunjukkan salah satu contoh pemerintahan ohoi yang dijalankan di beberapa ohoi di wilayah studi. Gambar 12. Contoh struktur ohoi pada beberapa ohoi di wilayah studi
BSO [Badan Saniri Ohoi]
Orang Kay Jur Tulis
Kaur Pemerintahan
Kaur Pembangunan
Kaur Umum
Masyarakat
Sebuah ohoi selain dipimpin oleh seorang yang bergelar Orang Kay (Orong Kai), juga dipimpin oleh seorang Kepala Soa. Ohoi-ohoi yang sekarang dipimpin oleh Orong Kai, sebelumnya adalah desa-desa yang dipimpin oleh Kepala Desa pada masa pemberlakuan UU No. 5/1979, sedangkan yang ketika itu dusun, beralih status menjadi kampungkampung yang dipimpin oleh seorang Kepala Soa. Di dalam bagian penjelasan Perda No. 03 Tahun 2009 dikatakan bahwa kepala pemerintahan ohoi yang dipimpin oleh Orong Kai maupun Kepala Soa mempunyai kedudukan yang sama`dalam penyelenggaraan pemerintahan ohoi, tetapi kedudukan kekuasaan adat ohoi dengan Kepala Soa berada di bawah ohoi yang dipimpin oleh Orong Kai. Walaupun demikian, ada beberapa kenyataan sejarah yang berkata lain. Misalnya, Ohoidertom (Kepala Soa) merupakan kampung awal dari penduduk di Ohoidertutu (Orang Kay), atau Ohoiluk (Kepala Soa) merupakan kampung tua dari Ngayub (Orang Kay). Perubahan status Ohoidertom dan Ohoiluk dalam struktur pemerintahan ini dapat terjadi karena pengaruh politik kekuasaan atau penerapan UU negara, seperti UU Nomor 5/1979, yang tidak mempertimbangkan atau tidak sejalan dengan kenyataan sejarah dan status adat lokal.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
37
Pada penerapan Perda Ratshap dan Ohoi masa kini, maka istilah yang diberikan kepada ohoi yang dipimpin oleh Orong Kai disebut ohoi, sedangkan yang dipimpin oleh seorang Kepala Soa dikenal dengan sebutan ohoi soa. Adapun ohoi dimana pusat ratshap dan Rat berada, dibentuk ohoi rat, yang kedudukannya setingkat dengan ohoi. Menurut penjelasan pasal 4 ayat 2 Perda No. 03/2009, “pembentukan Ohoi Rat pada wilayah kedudukan Rat dimaksudkan untuk membagi kewenangan adat dan kewenangan pemerintahan secara terpisah yang selama ini disatukan dalam kewenangan Rat sebagai upaya untuk melancarkan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan di wilayah kedudukan Rat, di samping untuk memberikan penghormatan terhadap kedudukan Rat dalam rangka perlindungan, pemberdayaan adat istiadat, hukum adat dan budaya. Untuk itu, dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun pengembangan adat dan budaya, maka khusus pada Ohoi Rat jabatan Rat dan Orong Kai dijabat oleh dua orang yang berbeda dalam satu marga, keluarga/keturunan”. Pemerintah pada tingkat ratshap melaksanakan fungsi pemerintahan adat, sedangkan pemerintah pada tingkat ohoi/ohoi rat selain melaksanakan fungsi pemerintahan adat, juga melaksanakan tugas dan wewenang administrasi pemerintahan sesuai ketentuan yang ditetapkan. Pada Perda ini pemerintahan ratshap terdiri dari Pemerintah Ratshap dan Badan Saniri Ratshap.
3.6. Kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam (sasi) Seperti didiskusikan di bagian sebelumnya, dalam budaya masyarakat Kepulauan Kei, mereka mengenal dan mempraktekkan sasi (yutut, yot) sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam (lihat Soselisa 2001). Konsep dari sasi adalah mengatur akses untuk sumberdaya dan teritori tertentu di darat dan laut. Sasi bertujuan mengatur eksploitasi terhadap tumbuhan atau hewan tertentu dalam daerah tertentu dan dalam periode waktu tertentu. Sasi diberlakukan untuk wilayah dan sumberdaya di darat maupun di laut. Sumberdaya di darat bisa berupa milik komunal maupun milik pribadi, tetapi sumberdaya di laut biasanya adalah milik komunal ohoi. Buka dan tutup sasi secara adat ditandai dengan ritual yang ditangani oleh pemegang status-status adat tertentu. Ada fungsi dan peran tertentu di dalam ritual sasi yang dipegang oleh marga-marga tertentu dalam ohoi. Contohnya, peran dan tugas dalam ritual adat sasi di Pulau Sepuluh (Nuhu Vut) yang dilakukan oleh masyarakat Debut adalah sebagai berikut (Namsa 2012): - marga/fam Letsoin berperan melaksanakan doa, meletakkan sirih-pinang, di tempat yang disebut bahan yang berada di Pulau Ohoiwa. Persembahan untuk mengawali upacara adat di bahan bertujuan untuk mendatangkan hasil laut untuk ditangkap/diambil dengan mudah. - marga/fam Ohoiwutun bertugas membawa dan meletakkan persembahan berupa emas di Pulau Nuhu Kahay, dikenal dengan istilah watuk mas. Watuk mas merupakan tempat sesaji untuk memulai dan mengakhiri proses sasi atas wilayah Nuhu Vut, dan kegiatan
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
38
watuk mas bertujuan untuk menenangkan air laut agar masyarakat Debut dan kampungkampung sekitarnya dapat mengambil hasil laut yang berlimpah-limpah. - marga/fam Jamlean bertugas memancang hawear utin yang merupakan hawear yaan (yang utama) di Nuut Serean yang berada di Pulau Nai. - marga/fam Fofid dan seluruh masyarakat bertugas menjaga/memantau pelaksanaan sasi (tugas sebagai wak-wak).
Foto 15. Pulau Nuhu Kahay (kiri) dan Pulau Nai (kanan) di Gugusan Pulau Sepuluh [Foto: Thomas Namsa, 2011]
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
39
IV. PENGETAHUAN DAN AKTIVITAS MASYARAKAT DI WILAYAH LAUT 4.1. Pandangan tentang Laut dan Darat Sebagai masyarakat pulau yang dikelilingi lautan, masyarakat adat Kei memandang laut sebagai satu kesatuan dengan darat; wilayah petuanan mereka meliputi darat dan laut, disebut nuhu-met (nuhu = tanah, pulau; met = wilayah pasang-surut di laut). Dalam filosofi mereka, darat dan laut berkorespondensi dengan perempuan dan laki-laki. Darat dilambangkan sebagai perempuan sebab tanah/bumi merupakan lambang kesuburan yang melahirkan kehidupan baru, sedangkan laut dilambangkan sebagai laki-laki yang sewaktuwaktu dapat mengganas (lihat Yayasan Hualopu dkk 1981). Dengan demikian, bagi orang Kei, darat tidak dapat dipisahkan dengan laut, termasuk dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Kei selain melakukan aktivitas hidupnya di darat (bertani dan beternak) juga beraktivitas di laut. Darat merupakan tempat tinggal dan berkumpul keluarga, serta tempat dimana mereka dapat berinteraksi satu dengan lainnya. Secara umum darat maupun laut bagi masyarakat Kei dianggap sebagai sumber kehidupan karena dapat dikelola untuk memperoleh bahan makanan bagi mereka untuk dapat bertahan hidup. Tanah di daratan dapat digarap untuk kegiatan pertanian yang menghasilkan makanan pokok bagi masyarakat, seperti tanaman nafohok, kacangkacangan, umbi-umbian (seperti keladi, ubi kayu/enbal). Demikian juga dengan laut dianggap sebagai pemberi hidup karena menyediakan sumber protein bagi masyarakat. Laut di daerah Kei memiliki sumberdaya yang melimpah, dengan berbagai jenis ikan dan sumberdaya laut lainnya, sehingga pada daerah Kei Kecil bagian barat dimana hampir semua Foto 16. Para ibu Dian Pulau pulang ohoi terletak di pesisir, memilih kegiatan melaut untuk dari kebun di Dian Darat pemenuhan kebutuhan hidup mereka, baik untuk [Foto: Hermien Soselisa, 2012] konsumsi rumahtangga maupun untuk dijual. Secara umum masyarakat lokal yang ada pada wilayah Kei Kecil bagian barat mengatakan bahwa mata pencaharian mereka adalah petani, karena orientasi darat cukup kuat dan karena usaha di laut sangat tergantung pada musim. Aktivitas di laut berkurang pada musim barat, yaitu antara bulan Desember sampai April. Namun demikian, laut menyumbang secara siknifikan, baik untuk konsumsi sendiri, maupun sebagai sumber uang tunai bagi kebutuhan primer dan sekunder lainnya. Masyarakat Nufit di wilayah bagian barat Kei Kecil ini memiliki hubungan yang khusus dengan laut melalui sejarah keberadaan tabob (penyu belimbing, Dermochelys coriacea). Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
40
Dari cerita legenda tabob, leluhur mereka, yaitu Tabi dan Tabae, akrab dengan berbagai biota laut yang menemani perjalanan mereka ke dan dari Papua. Misalnya, nyis (ikan bibi) sebagai penimba ruang, vurek (ular laut belang) sebagai tali pengikat kemudi, dan gurita sebagai tali sauh. Dari Papua, mereka juga membawa pulang tabob (penyu belimbing), ikan wumur (sejenis ikan bandeng), dan lanur besbes (ikan bubara). Dalam perjalanan pulang tersebut juga, Tabi dan Tabae „menciptakan‟ biota lainnya, seperti: serseran (ikan julung) yang terjelma dari puntung gulungan tembakau yang telah dihisap (puntung rokok) dan dibuang ke laut, koan diil (ikan kapas-kapas) yang muncul dari sisa kapur sirih yang dimakan dan dibuang ke laut, dan ngam (ikan kepala batu) yang terjelma dari penggalan buah sirih (weet) yang dibuang ke laut. Dalam perjalanan laut mereka, mereka juga menjadikan pulau dari ampas sagu yang dibuang, yaitu Pulau Ut (di depan Sitniohoi). Dari kisah perjalanan Tabi dan Tabai dengan hewan laut bawaan mereka, maka laut dipandang sebagai bagian yang tidak bisa dilepaspisahkan dari kehidupan mereka. Bagi mereka, sumberdaya laut tersebut memang sengaja dibawa oleh leluhur mereka sebagai sumber hidup bagi anak cucu saat ini.
4.2. Pembagian wilayah Laut Adat tata guna lahan laut di Kepulauan Kei pada dasarnya merupakan satu sistem atau pola pengaturan pemanfaatan wilayah laut untuk memenuhi kebutuhan hidup, sekaligus menjaga jaminan keberlanjutan sumberdaya tersebut sesuai dengan hasil interpretasi mereka terhadap lingkungannya. Masyarakat Kei pada umumnya membagi wilayah lautnya menjadi dua bagian besar, yakni wilayah pasang surut (met) atau wilayah laut dangkal (tahit ngaritin) dan wilayah laut dalam (tahit ngalaman) atau tahit ngametan (laut hitam) atau disebut juga nam laai (= laut besar/luas) dan lahetan. Wilayah pasang surut di Kei termasuk luas dan pada musim kemarau ketika angin barat bertiup, biasanya pada bulan Oktober, wilayah surut pada waktu siang cukup luas, sehingga dikenal dengan istilah meti kei. Di dalam dua pembagian yang besar ini, terdapat pula pengklasifikasian ke dalam bagian atau zona-zona yang lebih detail berdasarkan kedalaman, bentuk atau relief dasar laut (lihat Yayasan Hualopu dkk 1991; Rahail 1995).
Foto 17. Pantai Ohoiren - Ohoira [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
41
Pada masyarakat Nufit pembagian wilayah berdasarkan tingkat kedalaman dan bentuk sumberdaya yang ada di wilayah tersebut. Di daerah Somlain pembagian wilayah laut dimulai dari: 1. Met: daerah yang bila terjadi surut kedalaman air yang terdalam hanya sebatas lutut orang dewasa dan didominasi oleh pasir; 2. Hangar wat: daerah berkarang yang berada di wilayah surut tetapi memiliki kedalaman yang sudah mencapai 1 meter; 3. Rotan ngadan: daerah setelah karang yang sudah dalam dan berbatasan dengan laut dalam; 4. Nam: daerah laut dalam; 5. Nutel: laut dalam sesudah nam; 6. Lahitan: yaitu laut hitam yang kedalamannya sudah tidak bisa diukur; dan 7. Tahit bumsawel/tahit ni wear, yang merupakan laut lepas. Di ohoi Wab Ngufar ada pembagian wilayah laut yang lebih detail pada wilayah surut (met/meti) yang dikenal dengan fit roa (tujuh meti). Ketujuh bagian itu sebagai berikut: 1) nut (pasir), 2) met, daerah yang tutupan air lautnya dipengaruhi oleh pasang surut, 3) uran yakni daerah yang membatasi pasir dan karang, 4) songan, yakni daerah met yang agak menonjol ke laut,5). tiv, kolam di daerah meti yang letaknya dekat wilayah batas antara surut dan laut dalam (tubir), 6) rotan, daerah tubir, yang merupakan batas daerah surut dan laut dalam, dan 7) tubur, pasir timbul yang berada di laut dalam (dalam istilah umum Maluku: saaru/skaru). Adapun wilayah pasir di daerah pantai, masuk dalam dua zona, yaitu zona di laut dan di darat. Wilayah pasir yang diklasifikasikan ke dalam zona laut disebut nut (pasir), sedangkan yang dikelompokkan sebagai wilayah darat disebut wirin (dataran pasir). Wirin merupakan daerah pasir yang kering yang tidak ditutupi air laut, namun dapat ditemukan hewan laut di situ, seperti karaka (kepiting) dan kian (cacing pasir). Selain pembagian di atas, ada pula pembagian yang menekankan pada ciri-ciri relief dasar laut, seperti wahalair (daerah batuan/karang di laut), bonam bu (daerah lumpur dan pasir), atau ngan (ceruk atau kolam di wilayah meti) di mana merupakan lokasi-lokasi tempat mencari ikan maupun sumberdaya lainnya. Wilayah-wilayah itu kemudian juga diberi nama lokal sebagai pengenalan lokasi, misalnya met yanan (anak meti) Tangvuan atau met yanan Wirinkot di wilayah Wab, met Silak dan met Rat Ngiyan di Ohoira, atau tiv Ohoiluk yang berada di nam di antara ohoi Debut dan Lairngangas. Pembagian wilayah laut menunjukkan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap laut mereka berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan lingkungan laut, serta merupakan hasil interpretasi atas pengetahuan dan pengalaman tersebut. Pembagian laut ke dalam zona-zona dan titik-titik lokasi tertentu menunjuk pada suatu sistem orientasi yang kompleks atas wilayah laut yang menuntun masyarakat dalam berlayar dan mencari ikan (melaut). Peta wilayah ini merupakan kombinasi antara zona-zona laut di sekitar pulau, tempat-tempat tertentu di laut, dan berkaitan dengan sumberdaya laut tertentu. Pemetaan
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
42
laut ini juga mengatur aktivitas nelayan menurut jenis kelamin dan umur berdasarkan zonazona di laut. Dengan demikian, dalam pembagian zona itu ada inter-relasi dan integrasi antara aktivitas manusia dengan wilayah dan lingkungan laut serta dengan musim, jenis sumberdaya, teknik dan teknologi, pembagian kerja, dan akses terhadap hak melaut (lihat misalnya, Soselisa 2004). Contoh sketsa pemetaan wilayah laut dari beberapa ohoi di wilayah studi dapat dilihat pada halaman-halaman berikut.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
43
Gambar 13. Sketsa wilayah laut Somlain (Pengetahuan & Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Laut oleh Masyarakat) harara (ubur-ubur) Metyanan Lokasi Pancing
lokasi pancing Metyanan penyu
Metyanan (ikan napoleon, garopa macan, teripang, penyu kerang/sisik)
ikan garopa lokasi pancing
lokasi selam/wisata garopa
tubir (rutan)
berbagai jenis ikan lola, teripang, lobster, japing-Japing
mamin
snorkeling lokasi pancing
lokasi pancing budidaya rumput laut
Pasir
Met kei ( 100 m) (Oktober)
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
Met
44
pasir
OHOI SOMLAIN [darat]
pasir Tomdivav (penyu sisik bertelur)
Gambar 14. Sketsa wilayah laut Wab (Pengetahuan & Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Laut oleh Masyarakat) U
Arso Ohoibadar Wab Ngufar WabLair
Wab Watngil pasir
Rumput Laut Met Yanan ( 200 m)
Karang
Suk (cumi)
karang penyu
penyu karang (Penyu)
Vo (Sikuda) Bonan Bu (lumpur & pasir)
Met Yanan Tangvuan Siput Mutiara M.Y.Ohoivait
Bubara/Cakalang/Komu
Hat-mor (Ikan Merah) (Siang)
Hatmor (Siang) M.Y.Wirinkot
M,Y.VatYanat P. Liir P.Tarwa Penyu Kerang Suk (cumi)
Suk/Wadaan
Sikuda
P. Waha
P.Vatyanit
M.Y. Un-Faden P. Tanginain
P.Manir
P. Labulin
45
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
P. Mantan/Warbal
Gambar 15. Sketsa wilayah laut Ohoira (Pengetahuan & Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Laut oleh Masyarakat) P. Far
P. Ur P. Nuhuta
P. Labulin tempat Ikan
P. Warbal
lokasi pancing
P.Tan.Kei
lokasi selam/snorkeling P.Woha P.Lik
P.Witir P.Manir P.Tarwa lokasi pancing
perush. mutiara
perush. Mutiara
laut lalam (tahit ngalaman)
Met Sahar
Met Rat Ngalam
Met Silak
Met Rat Ngiyan
Nam (laut dalam berpasir) lamun+batu
Tj. Yumai daerah karang
budidaya rumput laut
siput mutiara
ubun (lamun)
Tir
gurita (malam), samandar, ikan sembilan Sat sit/Sav bia mancadu lat, ngen
lamun Met Kei (± 200 m) Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
Ohoiren
Ngen
karaka/kepiting pasir putih
OHOIRA
46 Wab
Gambar 16. Sketsa wilayah laut Ohoidertawun
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
47
4.3. Aktivitas dan Pemanfaatan Wilayah Laut Pengetahuan masyarakat terhadap wilayah laut dengan kandungan sumberdaya yang ada di dalamnya sangat membantu masyarakat dalam melakukan aktivitas melautnya. Sistem orientasi wilayah laut melalui pemetaaan zona-zona menuntun masyarakat untuk dapat memilih lokasi untuk melaut, jenis sumberdaya laut yang akan diambil atau diburu, demikian juga jenis teknologi yang dipergunakan. Pengetahuan ini juga didukung dengan pengetahuan tentang waktu yang tepat (aneat), sehingga dapat menjamin perolehan hasil tangkapan yang baik.
Sumberdaya laut yang dicari atau dikumpulkan di daerah met terdiri dari berbagai jenis kutya (bia/siput), seperti ngen (bia berjari), hanoat (kima), sav (bia mancadu), ikan-ikan karang seperti fo (Lethrinus sp.), hatmor (Lutjanus sp.), nyis (ikan bibi) dan samandar (Siganus sp.). Selain itu juga mereka mengambil karit (gurita), yaran (belut), tir (Tripneustes gratilla) dan ravravut (Diadema setosum), serta berbagai jenis sik (kepiting). Komoditi yang dicari di daerah met untuk tujuan pasar luar adalah eb (teripang), khususnya teripang gosok, yang banyak ditemukan di daerah ubun (lamun).
Foto 18. Ikan Hasil tangkapan. Foto: Pieter Soselisa, 2012
Bameti merupakan salah satu aktivitas masyarakat pesisir di hampir semua ohoi yang dilakukan di daerah pasang-surut (met) ketika kondisi laut sedang surut. Oleh karena dilakukan di daerah met (istilah Maluku: meti), maka kegiatan ini disebut bameti (= melakukan kegiatan meti). Istilah bameti biasanya mengacu pada kegiatan mencari hasil laut di met pada siang hari (taimet), sedangkan pada malam hari karena harus memakai penerang, maka disebut balobe atau vuhu. Istilah balobe merupakan istilah umum Maluku, mengandung kata lobe, yaitu obor/suluh yang dibuat dari daun kelapa. Kata vuhu dari bahasa Kei, di mana hu artinya suluh, dan pada jaman dahulu dibuat dari daun kelapa kering. Aktivitas bameti didominasi oleh perempuan dan anak-anak. Laki-laki yang melakukan kegiatan bameti atau balobe, biasanya laki-laki yang berumur tua, dimana kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan lagi untuk beraktivitas di laut dalam.
Selain berjalan kaki di wilayah yang surut sambil mencari hasil laut, para nelayan juga menggunakan perahu dalam kegiatan mencari ikan. Kaum perempuan pun memakai perahu kecil, seperti perahu bercadik (rau) atau tanpa cadik (lebleb) sebagai alat transportasi untuk pergi dan pulang bameti di tempat yang terletak relatif jauh dari kampung.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
48
Foto: Hermien Soselisa, 2012
Rau dan lebleb juga dipakai sampai ke wilayah laut dalam oleh nelayan laki-laki. Mereka juga memakai habo (perahu besar dengan papan susun) yang dibantu dengan mesin sebagai alat penggeraknya. Selain dibuat dari kayu, pada masa sekarang ada juga yang memakai perahu yang terbuat dari fiber glass, biasanya merupakan bantuan yang diterima melalui proyek Pemerintah.
Foto 19. Membuat Perahu di Tetoat
Aktivitas memancing dengan menggunakan perahu dilakukan pada siang maupun malam hari. Target tangkapan adalah berbagai jenis ikan sesuai musim, seperti lanuran bes-bes (Caranx sp.), kan (Siganus sp.), fo (Lethrinus sp.), hatmor (Lutjanus), un (ikan kepala batu), toi (garopa merah), dan bobs (kakap). Selain itu ada juga sumberdaya laut lainnya yang dijadikan sasaran tangkap, seperti fen (Eretmochelys imbricata), suk (cumi-cumi), dan tabob (penyu belimbing). Nelayan pancing yang menggunakan perahu bermotor biasanya memulai aktivitas melautnya pada sore hari dan pulang keesokan harinya, karena lokasi tangkapnya biasanya cukup jauh dari ohoi. Untuk itu setiap melaut mereka selalu membawa bekal makanan sebagai persiapan karena waktu melaut yang lama.
Foto 20. Pulang Melaut [Foto: Pieter Soselisa, 2012]
Dalam bameti, nelayan juga menggunakan alat bantu tertentu, seperti besi halus yang diruncingkan, linggis dan parang. Di beberapa ohoi, masih digunakan racun atau pemabuk ikan dari tumbuhan, seperti elan (akar tuba) dan hamurut (buah), walaupun pemakaian hamurut sudah jarang. Sedangkan ituv (kulit kayu) sudah tidak digunakan lagi. Meskipun masyarakat umumnya menyadari pemakaian pemabuk ikan akan berdampak pada ikanikan kecil dan plankton, tetapi praktek ini masih dijalankan dengan alasan agar cepat memperoleh tangkapan. Alat tangkap yang dipakai, selain pancing, adalah jaring, tombak (horan) dan perangkap ikan, seperti vuv (bubu) dan ven (sero tanam), walaupun ven sudah mulai jarang dibuat sekarang. Hasil tangkapan ikan dari nelayan vuv juga dijual di restaurant di Kota Langgur.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
49
Selain berjalan di wilayah met untuk mengumpulkan siput pada waktu surut, metode yang juga dipakai dalam melaut adalah menyelam. Pada kedalaman tertentu, nelayan menyelam untuk mengambil atau menangkap teripang (eb), trochus (ngalngelan), lobster, serta ikan. Aktivitas melaut dilakukan secara individu maupun kelompok. Kaum perempuan dan anak-anak cenderung pergi bameti secara berkelompok, walaupun masing-masing memanen secara individu. Namun demikian, ada aktivitas tertentu yang harus dilakukan secara berkelompok, seperti menangkap tabob (penyu belimbing). Orang Kei mengklaim bahwa mereka tidak menggunakan alat peledak (bom) atau potassium untuk menangkap ikan, walaupun ada yang mengatakan satu atau dua orang pernah melakukan. Menurut mereka yang melakukan adalah nelayan dari luar atau nelayan penduduk Kei yang memiliki asal dari luar (Sulawesi Tenggara). Beberapa desa di Kepulauan Kei Kecil dihuni oleh penduduk asal etnik pendatang. Pemanfaatan sumberdaya laut bagi masyarakat sangat tergantung pada musim, dimana pada saat laut tenang, yakni pada bulan Juni sampai November (musim timur), aktivitas penangkapan di laut meningkat. Namun pada musim barat, antara bulan Desember sampai Maret laut berombak, sehingga aktivitas di laut terpaksa dikurangi. Aktivitas tangkap dikombinasi dengan aktivitas budidaya juga dilakukan oleh nelayan di Kei Kecil bagian barat. Nelayan di Ohoililir dan di Wab Ngufar mengumpulkan kima raksasa (hanoat) untuk kemudian dipelihara (istilahnya: “ditanam”) di wilayah dangkal di depan ohoi. Bentuk budidaya “tanam hanoat” ini, yaitu dengan mengambil dan memindahkan kima dari tempat yang jauh ke wilayah depan ohoi adalah agar mudah diawasi, serta memudahkan untuk memanennya bila sudah waktunya. Aktivitas ini dilakukan secara individu, terutama oleh perempuan, karena kaitannya dengan bameti, dan dilakukan pada musim teduh. Hasil panen hanoat ini dikonsumsi sendiri, dijadikan oleholeh untuk keluarga di luar Kei, dan untuk dijual.
Foto 21. “Tanam” hanoat (kiri) dan ambil hanoat (kanan) [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Adapun budidaya teripang diperkenalkan pada beberapa tahun terakhir ini. Misalnya di ohoi Rumadian ada masyarakat yang melakukan budidaya teripang sekitar tahun 2011 untuk jenis teripang gosok, karena harganya yang cukup tinggi dan habitatnya di perairan dangkal. Namun, karena terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang cara budidaya, sehingga hasil yang diperoleh dari segi kualitas juga kurang baik. Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
50
Desa Ohoiren pernah melakukan budidaya teripang beberapa tahun lalu. Habitat laut yang dimiliki Ohoiren menurut masyarakat cocok untuk budidaya teripang, namun karena sistem pengorganisasian dan manajemen yang kurang baik mengakibatkan budidaya tersebut sudah tidak dilakukan lagi. Hampir semua ohoi di wilayah Kei Kecil bagian barat saat ini melakukan budidaya rumput laut, yang dimulai sekitar tahun 2009. Budidaya rumput laut dirasakan sangat membantu masyarakat dalam pemenuhan ekonomi keluarga. Selain masa tanam dengan usia panen yang relatif singkat antara 35 – 40 hari, juga proses pemeliharaannya tidak terlalu rumit. Rumput laut juga memiliki nilai jual yang cukup baik dengan harga sekitar Rp. 6.000/kg, bahkan pada tahun 2010 harganya mencapai Rp. 16.000/kg, sehingga usaha ini merupakan jalan untuk mendapatkan uang tunai dalam waktu yang relatif pendek. Panen dari satu jalur tali sepanjang 50 meter dapat menghasilkan 15-20 kg kering rumput laut (satu keluarga rata-rata memiliki beberapa tali). Pasar untuk komoditi ini juga tersedia dan jelas, sehingga masyarakat tidak khawatir untuk mengusahakannya. Produsen dapat langsung menjualnya di pembeli yang ada di atau datang ke desa, ataupun dapat menjualnya ke Kota Langgur dan Tual. Karena keuntungan yang ditawarkan oleh komoditi ini, maka banyak nelayan yang berkonsentrasi pada usaha budidaya rumput laut sebagai pilihan utama sumber pendapatan. Konsekuensinya adalah perhatian terhadap sumberdaya laut lainnya menurun, dan ini memberikan peluang kepada nelayan luar mengeksploitasi laut di sekitar, khususnya untuk komoditi pasar, baik secara legal maupun illegal, termasuk memakai alat tangkap yang detruktif seperti bom.
Foto: Hermien Soselisa, 2012
Foto: Pieter Soselisa, 2012
Aktivitas budidaya rumput laut dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Biasanya unit produksi untuk usaha ini adalah keluarga. Hasil dari budidaya rumput laut selain untuk pemenuhan ekonomi keluarga, juga untuk biaya pendidikan anak dan membangun rumah.
Foto 22. Mengangkut hasil panen rumput laut dan aktivitas menjemur rumput laut
4.4. Sistem Kepemilikan dan Pengelolaan Laut Secara umum masyarakat adat Kei memandang laut sebagai satu kesatuan dengan daratan (nuhu-met), dan merupakan wilayah yang menjadi milik bersama (communal property resources), sehingga dalam pengelolaan dan pemanfaatannya senantiasa berdasarkan pada Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
51
tata aturan, tata nilai yang mengatur tentang posisi, fungsi dan peran setiap anggota masyarakat sesuai kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat oleh masyarakat adat Kei yang mendiami wilayah-wilayah tersebut. Misalnya dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut pada suatu wilayah tertentu, maka tidak hanya dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat yang mendiami wilayah tersebut (kelompok pemilik yang memegang hak kuas), tetapi juga melibatkan kelompok masyarakat tertentu di luar wilayah teritorial tersebut dalam mengambil atau memanen hasil. Keterlibatan masyarakat lain dalam hak memanen (hak makan) ini berdasarkan adanya hubungan kekerabatan (hubungan darah), atau alasan sejarah tertentu, misalnya karena kelompok masyarakat dari wilayah tersebut pernah dibantu ketika mereka mengalami musibah, atau ikatan tea bel.. Jadi, bila hak kuas menjadi hak pemilik, hak makan dapat di-share kepada kelompok-kelompok lain menjadi hak makan bersama. Di samping kedua hak ini, terdapat pula hak jaga yang diberikan kepada marga-marga tertentu di dalam ohoi untuk menjalankan peran sebagai penjaga batas atau penjaga petuanan, termasuk ketika sasi untuk sumberdaya tertentu diberlakukan. Peran penjaga dan pengawas petuanan ini disebut wak-wak. Masyarakat juga mengakui kepemilikan suatu ohoi atas satu wilayah di laut berdasarkan sejarah, walaupun wilayah itu berada di luar lokasi petuanan ohoi yang bersangkutan. Misalnya, tiv Ohoiluk yang lokasinya berada di antara ohoi Debut dan Lairngangas (ohoi soa dari Namar) diperuntukkan bagi warga Ohoiluk yang merupakan salah satu pemukiman awal di wilayah sekitar yang tidak berlokasi di pesisir pantai. Selain hak kuas dan hak makan di atas, maka akses hak untuk mengambil hasil laut di petuanan suatu ohoi, ditentukan juga berdasarkan karakteristik sumberdaya yang diambil. Umumnya ohoi-ohoi dalam satu ratschap atau satu kelompok adat, termasuk ohoi-ohoi bertetangga yang berbeda ratschap, dapat saling mencari ikan di dalam petuanan laut satu sama lain tanpa harus meminta ijin. Mereka saling mengenal, sehingga mengetahui dari mana asal masing-masing. Hal ini didasarkan pemahaman bahwa ikan merupakan sumberdaya yang bersifat mobile (mobile resources) yang bebas bergerak dan berpindah dari satu wilayah ke wilayah tetangga, sehingga tidak bisa diklaim kepemilikannya oleh ohoi tertentu (lihat Soselisa 2004). Namun tidak demikian dengan sumberdaya yang dikategorikan sebagai sumberdaya yang tidak bergerak (immobile resources), termasuk sumberdaya yang bergerak lambat, seperti teripang, lola, batulaga, abalone, dan jenis-jenis siput lainnya. Untuk jenis sumberdaya ini harus seijin Pemerintah ohoi. Hal ini ditunjang juga dengan status beberapa jenis immobile resources sebagai komoditi pasar yang memiliki harga yang cukup tinggi. Mengenai akses orang luar untuk melakukan aktivitas mencari ikan dan sumberdaya laut lainnya di wilayah laut milik masyarakat lokal, maka pemilik petuanan juga memberlakukan sistem sewa, dalam bentuk perjanjian kontrak, seperti sistem sewa meti yang diberikan kepada satu pihak untuk mengambil hasil laut (misalnya teripang) atau sewa kontrak untuk pengusaha mutiara.
Foto 23. Perusahaan Mutiara di Pulau Ohoiwa [Foto: Thomas Namsa, 2011]
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
52
Beberapa pulau kecil tidak berpenghuni di kawasan Kei Kecil bagian barat disewakan wilayah metinya untuk pengusahaan mutiara selama periode waktu tertentu, misalnya 20 tahun. Kontrak sewa dilakukan antara pemimpin ohoi dengan pengusaha. Terhadap sistem ini, masyarakat mengatakan bahwa, selain hak masyarakat pengguna atas wilayah yang disewa itu hilang, secara perhitungan ekonomi sistem ini juga merugikan bagi masyarakat. Ketika suatu wilayah disewakan dan dijadikan areal budidaya perusahaan mutiara, maka akses masyarakat pengguna atas teritori dan sumberdaya di wilayah tersebut dibatasi, berkurang, atau bahkan hilang. Bila dari areal tersebut seorang nelayan dapat memanen dua tusuk ikan batu-batu sehari dan dijual seharga Rp.10.000 – Rp.20.000/tusuk, maka dalam 20 tahun penghasilan dari panenan itu jauh melebihi harga kontrak yang diterima desa. Namun di sisi lain, kenyataan juga mengatakan bahwa areal budidaya dan sekitarnya yang ditutup untuk umum menguntungkan bagi sumberdaya tertentu (misalnya teripang dan lola) untuk berkembangbiak dengan baik karena tingkat dan intensitas eksploitasi rendah. Menurut masyarakat, lebih banyak teripang di sekitar areal tersebut dibandingkan di luar areal. Kepemilikian wilayah laut selalu bersifat komunal. Kalaupun ada pengakuan kepemilikan individu, maka hal itu berada dalam konteks aktivitas yang dilakukan oleh suatu kelompok “individu” pada wilayah tersebut untuk waktu tertentu atau secara turun temurun. Misalnya, suatu keluarga membuat sero tanam (vean) atau lutur ikan pada suatu wilayah laut tertentu secara terus-menerus turun-temurun, maka bila suatu saat orang lain ingin menggunakan tempat tersebut, maka ia harus memberitahu sebagai tanda meminta ijin dari pengguna sebelumnya. Contoh lain, di Ohoililir ditemukan kaum perempuan melakukan aktivitas “tanam” bia garu, yaitu mengambil kima raksasa yang berukuran kecil dari tempat lain yang jauh dari desa dan “memeliharanya” dengan cara meletakkannya secara berkelompok pada suatu lokasi tertentu di area laut di depan desa yang tidak jauh dari pantai. Selama wilayah tersebut masih digunakan sebagai lokasi “tanam” atau “piara” bia garu oleh seseorang, maka sepanjang waktu tersebut orang lain tidak dapat mengambil biota tersebut di sekitar lokasi itu atau melakukan kegiatan lain yang mengganggu aktivitas tersebut. Ketika aktivitas itu tidak lagi dilakukan di lokasi tersebut, maka lokasi itu dapat digunakan oleh siapa saja. Wilayah Pulau Sepuluh (nuhu vut) merupakan salah satu contoh wilayah yang sistem kepemilikannya secara komunal. Komunal mengandung makna bahwa ada yang memiliki hak kuas (kepemilikan mutlak) dan ada yang memiliki hak yang hanya sebatas hak makan. Dengan demikian dalam pengelolaannya semua yang melaksanakan aktivitasnya pada wilayah Pulau Sepuluh menyadari akan haknya masing-masing (lihat Namsa 2012). Dalam pengelolaan pulau-pulau di kawasan yang disebut Pulau Sepuluh ini, dalam dua dekade terakhir tidak dipraktekkan lagi yutut (sasi) sebagai salah satu sistem dan upaya untuk mengatur, menjaga dan melestarikan sumberdaya alam yang dimiliki. Dengan tidak dilaksanakan lagi yutut, maka peran-peran dan fungsi-fungsi kunci dalam pelaksanaan ritual adat dapat saja menjadi hilang atau terlupakan. Selain itu generasi akan datang
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
53
mungkin akan tidak memiliki pengetahuan tentang pola-pola konservasi lokal terhadap lingkungan dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Sasi Laut Seperti dibicarakan dalam bagian sebelumnya, sasi atau yot (Kei Besar)/yutut (Kei Kecil) pada dasarnya adalah ketentuan hukum adat tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam satu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu (Huliselan 2013). Jadi sasi adalah larangan yang bersifat melindungi sesuatu atau hasil tertentu dalam batas waktu tertentu, dan diberlakukan dengan tanda tertentu yang memiliki kekuatan hukum adat yang berlaku untuk umum maupun perorangan. Tanda sasi (hawear) yang digunakan oleh masyarakat Kei adalah anyaman daun kelapa muda (janur) yang didirikan atau ditancap pada sesuatu atau wilayah yang akan disasi. Dalam sistem nilai budaya Kei, kehancuran alam berarti kehancuran hidup masyarakat adat. Sasi adalah upaya menekan niat-niat jahat, keserakahan terhadap alam dan mementingkan diri sendiri (Huliselan 2013). Sasi laut merupakan sasi umum karena petuanan laut adalah milik komunal/umum. Tidak ada wilayah laut yang menjadi milik marga atau perorangan. Untuk itu, sasi laut diberlakukan pada satu kawasan laut, misalnya kawasan met, atau pada hanya jenis hasil laut tertentu, misalnya lola atau teripang. Pemberlakuan sasi dalam adat, baik buka maupun tutup sasi, melalui ritual adat. Biasanya dimulai melalui rapat tua adat ohoi yang dipimpin oleh pimpinan ohoi. Tanda sasi berupa janur ditanam oleh tuan tan yang diterima dari Rat atau Orang Kay setelah upacara adat (Huliselan 2013). Dahulu, pengawasan sasi dilakukan oleh wak-wak, namun saat ini peranannya telah hilang atau ditinggalkan. Data lapangan menunjukkan kenyataan bahwa ohoi-ohoi di sepanjang pesisir barat Pulau Kei Kecil tidak lagi mempraktekkan sasi di laut. Menurut mereka sasi terakhir diberlakukan sekitar 20 tahun yang lalu. Selain alasan konflik seperti yang terjadi di Pulau Sepuluh, maka alasan tidak diberlakukan lagi sasi adalah karena jenis sumberdaya laut yang disasi di petuanan mereka sudah sangat berkurang, tidak ditemukan lagi dalam jumlah yang banyak, sehingga bila disasi, hasil buka sasi (panen) akan sedikit saja dan tidak sebanding dengan jumlah pemanen. Sasi laut diberlakukan pada wilayah dan sumberdaya milik komunal, sehingga pemanen adalah semua nelayan warga ohoi. Biasanya sasi laut diberlakukan untuk teripang, lola (Trochus niloticus), batulaga (Turbo marmorata) dan japin-japin (Pinctada margaritifera). Sebenarnya bila mengacu pada konsep dan tujuan sasi, maka dengan makin berkurangnya sumberdaya yang biasanya disasi, seyogyanya sasi harus segera dilakukan dan periode tutup sasi harus lebih panjang sehingga keberadaan sumberdaya tersebut dapat dipulihkan. Sasi di darat masih ditemukan di beberapa ohoi, misalnya di Wab Ngufar sasi gereja diberlakukan untuk tanaman kelapa milik perorangan (keluarga).
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
54
Konsep perlindungan lingkungan seperti yang ada dalam konsep sasi, juga terdapat dalam konsep tempat keramat atau tampa pamali, yang dikenal oleh orang Kei dengan istilah vulvulik. Tampa pamali bukan saja berada di darat, tetapi juga di laut, termasuk di sekitar wilayah tanjung. Karena tampa pamali dikaitkan dengan keberadaan kekuatan-kekuatan supernatural, maka tempat ini harus dihormati, harus “berkelakuan baik” di situ, tidak boleh sembarangan berbicara, apalagi melakukan kegiatan yang merusak, harus dijaga dan dilindungi. Bila tidak, maka dipercaya akan ada akibatnya bagi si pelanggar, yaitu akan berakibat kemalangan pada dirinya, pada keluarganya, atau bahkan kepada masyarakat secara keseluruhan. Konsep pamali ini sangat relevan dengan konsep perlindungan alam dan merupakan salah satu konsep perlindungan yang diterapkan oleh masyarakat lokal di Maluku, termasuk masyarakat Kei (lihat Soselisa 2005) Dalam kehidupan sosial masyarakat sering terjadi konflik, dan salah satu konflik yang sering terjadi adalah konflik atas wilayah petuanan atau perbatasan. Petuanan laut yang merupakan wilayah milik bersama komunal biasanya penentuannya ditarik garis lurus imajiner dari batas petuanan di darat sampai pada wilayah tertentu di laut, dan tapal batasnya sering ditandai dengan tanda-tanda alam, seperti tanjung dan batu. Walaupun demikian, ada juga kepemilikan atas sebagian wilayah di laut (misalnya met yanan, tiv) yang berada di luar petuanan ohoi yang diakui berdasarkan sejarah tertentu. Penentuan tapal batas dan penyelesaian sengketa dilakukan melalui keputusan rapat Dewan Adat atau Lembaga Adat Saniri untuk petuanan antar wilayah adat (ratschap) dan antar ohoi yang berbatasan. Dalam masalah sengketa petuanan, tuan tan (nuhu metu duan) yang dipercaya menguasai sejarah tanah dan batas-batas petuanan sesuai perannya, merupakan pejabat adat yang berperanan dalam penanganan masalah sengketa. Berkaitan dengan pola kepemilikan atas sesuatu, baik itu benda atau wilayah laut dan darat, dalam tradisi masyarakat adat Kei, termasuk yang mendiami wilayah barat pulau Kei Kecil, hanya dapat diakui dan diterima bahwa seseorang ataupun kelompok, baik itu riin rahan, riin yam ataupun ohoi nuhu, memiliki hak kuas (kepemilikan mutlak) atas sesuatu atau wilayah darat, laut dan pulau apabila mereka dapat membuktikannya dengan faktafakta sejarah berupa toom (ceritra lisan) yang disertai dengan tad (tanda). Toom ini dalam tradisi masyarakat adat Kei selain dapat disampaikan dengan cara penuturan, juga dapat disampaikan dengan cara bernyanyi yang dikenal dengan sebutan war-war atau wawar (nyanyian yang berisi kisah tentang suatu sejarah tertentu).
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
55
V. TABOB (PENYU BELIMBING) 5.1. Legenda Tabob 5.1.1. Pengantar Bagian ini bertujuan melihat bagaimana masyarakat lokal memandang dan memperlakukan tabob yang merupakan nama lokal untuk penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Di satu sisi tabob memiliki nilai kultural bagi kelompok Nufit, namun di sisi lain penyu belimbing ini diperkirakan mengalami penurunan dalam jumlah karena kenaikan intensitas perburuan oleh masyarakat, padahal wilayah perairan Kei Kecil barat merupakan habitat tujuan migrasi penyu belimbing dewasa. Tabob menjadi penting, terutama di wilayah Nufit, karena keterkaitan ohoi-ohoi di wilayah ini terikat dengan cerita legenda yang mengisahkan tentang hubungan leluhur mereka dengan sumberdaya laut ini. Berdasarkan legenda, tabob merupakan salah satu sumberdaya laut dengan perlakuan khusus bagi masyarakat di wilayah Nufit karena memiliki nilai kultural. Legenda tabob menggambarkan filosofi kelautan masyarakat Kei melalui hubungan manusia dengan laut, pandangan serta pengetahuan manusia tentang laut dan isinya. Kajian analisis legenda tabob adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bagian-bagian lain yang merupakan suatu keutuhan fokus penelitian tentang masyarakat Kei Kecil dan kehidupannya dengan lingkungan perairan laut yang membentang dari timur sampai barat, utara sampai selatan. Pendalaman dan eksplorasi legenda tabob dapat memberikan informasi dan gambaran keberadaan pandangan dan perilaku masyarakat dalam hubungan dengan laut dan sumber daya perikanan; untuk itu pendalaman tabob sangat penting agar mengungkapkan beberapa aspek utama dalam legenda tersebut. Aspek-aspek dimaksud yang menjadi perhatian antara lain: materi apa saja yang terkandung dalam cerita tabob, setiap materi memiliki kecenderungan dalam menggambarkan hal tertentu, dan nilai-nilai apa saja yang ada di dalam cerita tersebut. Aspek penting lain yang juga mendapat perhatian adalah mengetahui bagaimana masyarakat memaknai legenda ini dalam kehidupan sehari-hari mereka pada era sekarang ini, termasuk perlakuan mereka terhadap tabob dalam perburuan dan pasca panen, serta hubungan mereka dengan laut dan sumber daya perikanan lainnya. Untuk dapat melakukan pendalaman dan eksplorasi atau menggali kedalaman apa yang ada dalam legenda tabob, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan mitologi, dengan perangkat yang dipakai terdiri dari: metode interpretasi datar, metode analisis interpretasi, serta metode analisis interpretasi kritis (Levi-Strauss 1997). Dengan memakai interpretasi bertingkat, maka akan memudahkan tingkat pendalaman pemahaman akan titik-titik relasi asumsi dan lingkup pengertian yang membentuk nilai-nilai dan konsepkonsep yang terkandung di dalam cerita secara kualitatif.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
56
Melalui metodologi dan pendekatan tersebut, maka proses kerja pendalaman dan penggalian atau eksplorasi legenda tabob sampai pada tahap analisis dan hasil. Proses ini akan dikerjakan dalam bentuk beberapa bagian antara lain: pemaparan uraian cerita secara lengkap, setelah itu dilakukan pendalaman untuk pemilahan materi cerita dalam beberapa bagian sesuai kecenderungan, dan dilanjutkan dengan tahapan analisis bagian-bagian materi hasil pemilahan dan diteruskan dengan pengungkapan temuan-temuan penting (umum dan khusus). Tahapan analisis temuan dan titik-titik relasi dari lingkup pengertian secara kualitatif untuk menemukan nilai-nilai dan konsep-konsep pada bagian temuan dan bagian pemilahan materi. Selanjutnya bagian yang terakhir, yaitu merekonstruksi hasil analisis legenda tabob dalam bentuk skema yang akan menggambarkan konsep dan nilai-nilai dalam legenda tersebut dengan kehidupan masyarakat dalam hubungan dengan laut dan sumber daya perikanan. Skema tersebut sekaligus juga menggambarkan fase-fase konsep dalam pengelolaan sumberdaya laut. 5.1.2. Isi Legenda Tabob Berpedoman pada manuskrip yang ditulis oleh Rat dari Somlain, Alexander Ngamel (1992), kisah tentang perjalanan leluhur bernama Tabi dan Tabai yang terkait dengan keberadaan tabob secara ringkas adalah sebagai berikut: Pada masa sebelum terbentuknya batas wilayah Nufit Haroa, tibalah di Nufit dua musafir asal Bali (Soat Bal) yang bernama Tabi dan Tabai. Mereka pertama singgah di Pulau Kur, memancang bendera di tanjung Watsua Song, dan melanjutkan pelayaran ke Pulau Kei Kecil melalui Pulau Dulang (Pulau Dullah), mendarat di Kalvik, dan dari situ menuju ke Faan dan masuk ke woma Lorngas. Barang bawaan dari Bali adalah sebuah tempat sirih besar (baan rit) berdiameter kurang lebih 1,1 meter dan sebuah batu papan dengan panjang ± 1 meter, lebar ± 70 cm, dan tebal ± 10 cm. Tempat sirih besar itu dinamakan ngutun rit tenan bes. Setelah tinggal beberapa lama di Faan, mereka berangkat menyusuri pesisir barat Pulau Kei Kecil ke selatan dan tiba di Nufit. Mereka mendarat dan bermukin di Arloon tanjung Laye. Barang bawaan mereka ditinggalkan di Faan. Tabi dan Tabai bermukim di Arloon (Nufit) dengan tenang dan nyaman. Isteri Tabi bernama Dai dan putra mereka bernama Falikormas, sedangkan isteri Tabai adalah Afmas dan putri mereka bernama Boimas. Suatu hari ketika Boimas hendak mencuci rambut dengan santan kelapa, ia tidak menemukan kelapa kukur yang sedang dijemur di nyiru. Ternyata angin telah menerbangkan nyiru tersebut sampai ke Kei Besar, dan tersangkut di sebuah pulau kecil di dekat Elat, sehingga pulau itu dinamakan Pulau Sifat (= nyiru). Boimas menangis dan meminta agar harus mencari kelapa pencuci rambutnya yang telah hilang terhempas angin. Pada waktu itu, belum ada kelapa di Kepulauan Kei, sehingga harus dicari di luar Kei. Oleh karena itu, Tabi dan Tabai mulai memperlengkapi perahunya dengan menggunakan ular (yatel) sebagai tali layar, ikan bibi (ngis) sebagai penimba ruang, gurita sebagai tali sauh, ular laut belang (vurek) sebagai tali pengikat kemudi, dan di ujung tiang layar ditempatkan burung elang (lus). Mereka kemudian berlayar ke utara dengan tujuan Pulau Seram dan Irian/Papua.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
57
Tibalah mereka di wilayah Kaimana-Karei di Papua. Penguasa setempat (Rat Badmar) tidak menerima mereka dan hendak menyerang. Peperangan tidak terelakkan, tapi tidak dengan menggunakan senjata, melainkan menggunakan kekuatan alam (cuaca). Rat Badmar memberitahukan Tabi dan Tabai bahwa mereka akan saling serang secara bergiliran pada malam hari. Serangan pertama oleh Rat Badmar dengan menggunakan angin utara. Untuk menangkisnya, Tabi dan Tabai meminta burung elang untuk membuka sayap melindungi mereka dari hujan yang dibawa oleh angin utara, memerintah gurita untuk menahan perahu dari hembusan angin taufan, dan mengingatkan ikan bibi agar siap menimba ruang bila air masuk ke dalam perahu. Tabi dan Tabai juga memanggil ikan paus untuk mengelilingi perahu agar terlindung dari serangan angin badai dan gelombang. Mereka dapat bertahan dari serangan kilat guntur, hujan, dan angin badai dari utara semalam suntuk sampai terbit matahari. Ketika giliran Tabi dan Tabai menyerang, maka setelah memberi peringatan kepada Rat Badmar dan penduduknya untuk berjaga-jaga, ketika matahari terbenam mereka menyerang dengan menggunakan angin badai dari selatan. Kilat guntur, hujan, dan angin badai datang menerpa rumah-rumah penduduk; gelombang laut mengamuk sehingga air masuk ke dalam kampung. Di tengah amukan itu, Tabi dan Tabai menyuruh ikan-ikan paus menyemburkan air laut sebanyak-banyaknya ke dalam kampung sehingga rumah penduduk terbongkar dan hanyut. Rat Badmar dan penduduknya berteriak minta tolong dan minta ampun. Akhirnya angin badai dan amukan ombak pun berhenti. Pada pagi harinya datanglah penduduk menyambut Tabi dan Tabai, serta menerima mereka turun ke darat. Mereka dipersilakan memilih daratan seluas yang mereka mau atau pulau mana saja untuk menjadi milik mereka sebagai pemenang (tatak tab) agar peperangan tidak berlanjut, berhenti hanya di tempat itu saja (oba). Tabi dan Tabai tidak memilih daratan atau pulau yang ditawarkan, tetapi memilih ikan bulus (penyu belimbing) yang pada saat itu banyak berada di atas pasir pantai untuk bertelur sebagai bahan tatak tab dan peperangan berakhir di tempat saja (oba). Olehnya itu, ikan bulus mereka namakan tabob. Sekarang, bagaimana caranya Tabi dan Tabai membawa pulang ikan bulus. Rat Badmar dan penduduknya memberikan kepada Tabi dan Tabai daun lontar (dab) dan menerangkan bahwa ketika berlayar pulang, lambaikan daun ini dan tabob akan mengikuti sampai tempat tujuan dan menetap. Penduduk setempat kemudian menghiasi tabob dengan kalung yang terbuat dari dari siput-siput kecil. Sebagai pengiring tabob, mereka memberikan sepasang ikan wumur (sejenis bandeng) dan sepasang lanur besbes (ikan bubara). Pada ekor bubara dipasang gelang terbuat dari anyaman rotan. Tabi dan Tabai berangkat pulang disertai dengan sekawanan tabob berjumlah 7 ekor, serta wumur dan lanur besbes. Sesampai di Kei, mereka berlayar menuju Faan, dan mendarat di sana. Mereka meminta penduduk agar tabob bisa dipelihara di situ, tetapi penduduk menolak karena melihat ukuran tabob yang besar sehingga khawatir akan merusak met dan pelabuhannya. Tabi dan Tabai kemudian menyerahkan ikan wumur kepada mereka untuk dipelihara di Faan. Tabi dan Tabai melanjutkan perjalanan ke Nufit dengan tabob dan lanur besbes. Dalam perjalanan menyusuri tepi barat mereka meninggalkan beberapa tanda sebagai bukti perjalanan mereka. Ketika mereka singgah di Sitni ohoi (Dudunwahan) dan memangkur sagu di situ, ampas sagu dibuang ke pulau di depannya, sehingga pulau itu dinamakan Uut (= ampas sagu). Ketika sampai di Wair (Tanjung Najun), anak Tabi yang bernama
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
58
Falikormas wafat, dan jenasahnya diletakkan di dalam goa yang dinamakan Va Sa‟ai. Di pulau kecil dekat Ngursit, mereka memasak, ampas kelapa yang diambil santannya dibuang di pulau itu sehingga dinamakan Pulau Nuur Nguva. Ketika sampai di daerah pelabuhan Wab (Tahai Dee) mereka kehabisan air minum, dan turun membawa wadah berupa sebatang bambu untuk mengisi air. Setelah air diisi, sisa dari bambu yang dibawa itu ditanam, dan air sumur itu dinamakan Wear Loar. Sampai di atas met Silak Rahar (di depan Ohoira dan Ohoiren) puntung rokok di buang ke laut, menjelma menjadi ikan serseran (ikan julung), dan sisa kapur sirih dihempas ke laut menjadi koan diil (ikan kapas-kapas). Sesampainya di depan Somlain, mereka membuang penggalpenggal buah sirih (weet) ke laut dan menjadi ngam (ikan kepala batu). Tabi dan Tabai berlayar terus disertai tabob dan lanur besbes. Sampai di Tanjung Doan, mereka berlabuh dan memakan bekal ketupatnya. Sesudah makan, Tabi melemparkan kulit ketupat ke darat dan menembus batu tanjung di situ (Tabi ntev lehe tuun). Di Tanjung Doan, Tabi dan Tabai mencari tempat untuk memelihara tabob dan lanur besbes. Karena tidak menemukan tempat yang cocok, mereka kembali dan singgah di Ngur Mun Watwahan. Di situ mereka menempatkan lanur besbes (ikan bobara) di sebuah goa, dan kembali mengantar tabob menuju Arloon. Sesampai di situ, tabob ditempatkan di antara Tanjung Arat dan Laye (tabob ni lutur, ini lutur tabob). Dengan demikian, lanur besbes ditempatkan di Lair En Tel dan tabob di Tuun En Fit. Tabi dan Tabai berlabuh di Arloon, dan di situ Tabi menancapkan tokongnya, dan tokong itu berubah menjadi batu, dan dinamakan Tabi ni Loat. Daun lontar (dab) ditanam di Tangar. Mereka kemudian bermukim di Arloon. Di wilayah itu ada sebuah telaga, dimana mereka membasuh muka di pagi hari ketika tiba di situ, dan tahi mata mereka yang keluar menjadi siput-siput kecil yang disebut el, sehingga telaga itu dinamakan El. Lanur besbes dijaga dan dipelihara oleh Tabai, sedangkan tabob dijaga dan dipelihara oleh Tabi. Keduanya berkembang biak; Tabai dapat mengambil lanur besbes untuk dimakan, demikian juga Tabi dapat memakan tabob. Pada suatu hari Tabai ingin mencicipi daging tabob, maka ia meminta seekor dari Tabi. Tabai mempersilakan ia untuk pergi menangkap sendiri. Karena Tabai tidak tahu dengan alat apa dan bagaimana cara menangkap, maka Tabi memberi petunjuk bahwa harus memakai alat tikam (horan tal) dimana bagian tajam untuk menikam (tarkihin) dibuat dari gaba-gaba (batang daun sagu). Tabai mengikuti petunjuk Tabi, membuat alat tikam tersebut, dan pergi menikam tabob. Namun mata alat tikam yang terbuat dari gaba-gaba itu rusak ketika menikam tabob, sehingga ia tidak berhasil menangkap tabob. Ia pun melaporkan kegagalannya kepada Tabi. Tabi mengatakan bahwa ia sendiri akan pergi menangkap tabob untuk Tabai. Tabi lalu pergi mengambil alat tikamnya di tempat persembunyiannya, yang ternyata ujungnya terbuat dari besi (bukan gaba-gaba). Tanpa diketahui Tabi, diam-diam Tabai mengikutinya dan melihat horan tal milik Tabi. Setelah pergi menangkap tabob sendirian dan kembali menyimpan horan tal miliknya di tempat persembunyian, Tabi memberitahukan Tabai untuk turun ke pantai memotong tabob itu agar dapat dibawa pulang untuk menyantapnya. Tabai lalu memberitahukan bahwa ia telah melihat horan tal milik Tabi. Pada suatu hari datang lagi Tabai meminta Tabi memberi seekor tabob kepadanya. Tabi menjawab bahwa karena Tabai sudah melihat alat tikam itu, maka ia boleh pergi mengambil alat tersebut dan menangkap sendiri. Hanya ia mengingatkan untuk tidak menikam tabob yang memiliki tanda putih di kepalanya, karena itu adalah induk tabob.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
59
Bila sampai menikamnya, maka tali horan tal akan putus dan tabob akan liar mengganas dan membongkar luturnya (lutur dibuat dari susunan batu), dan keluar dari tempat pemeliharaannya. Tabai pun turun ke pantai Ngev untuk menangkap tabob. Kebetulan muncul tabob induk berkepala putih (uun yedyed). Tanpa menghiraukan nasehat Tabi, iapun menikam induk tabob itu. Induk tabob merontak dengan ganas sehingga tali tikaman putus, ia menjadi liar dan buas, membongkar lutur dan lari ke laut, diikuti oleh semua tabob yang ada di dalam lutur. Setelah peristiwa itu, tabob berpesan “bila mencari kami, sampai bekal makan minum habis, barulah berjumpa di meti Ngon Tanbav”. Nyanyian pernyataan keluar tabob dari tempat pemeliharaannya adalah: “vevan fit ro mtubur tahai, nen dai mu o …, nen dai mu mavav taan ruslak, nen dai mu o….”. Menyesallah Tabai atas pelanggarannya itu. Hari berganti hari, Tabi pun ingin mencicipi ikan bubara (lanur besbes), maka ia pergi ke Tabai di Ngur Mun Watwahan, minta Tabai memberi seekor ikan bubara untuknya. Dengan keterangan tipuan yang sama Tabai menjelaskan bahwa Tabi boleh ke tempat pemeliharaan ikan bubara dan menangkap sendiri. Alat tangkap adalah solong-solong terbuat dari gaba-gaba. Tabi pun mengikuti petunjuk Tabai, lalu pergi menikam ikan bubara, tetapi tidak berhasil dengan alat tangkap itu. Ia pun memberitahu Tabai, dan Tabai mengatakan bahwa ia yang akan menangkap sendiri. Demikian, Tabai pergi mengambil solong-solong yang terbuat dari besi yang ia sembunyikan, lalu menangkap ikan bubara, dan memberikannya ke Tabi. Tabi pun memberitahukan bahwa ia sudah melihat alat tangkap yang terbuat dari besi yang disembunyikan Tabai. Suatu hari Tabi kembali ke Tabai meminta agar diberikan lagi seekor ikan bubara. Karena Tabi sudah melihat alat tikam Tabai, maka Tabai mempersilakan Tabi untuk mengambil alat tikam itu dan pergi menangkap sendiri. Namun Tabai menasehati Tabi agar jangan menangkap/menikam ikan bubara induk yang ekornya ada gelang. Bila sampai menikam ikan bubara induk tersebut, maka ia akan liar dan menghilang dengan semua kawanan. Ketika Tabi dengan solong-solong Tabai siap berjaga di atas goa tempat pemeliharaan ikan bubara, muncullah induk bubara yang memakai gelang pada ekornya. Tabi pun menikamnya, akibatnya ikan itu merusak alat tikam, menjadi liar, dan keluar dari goa dengan kawanannya. Setelah peristiwa itu, ikan bubara berpesan “bila mencari kami, bisa bertemu kami di mana-mana tempat saja”. Nyanyian pernyataan keluarnya ikan bubara dari tempatnya adalah: “lanur besbes na bes vevan fit, war rat war vav tom tabi ya…”. Dengan adanya pelanggaran dari Tabi dan Tabai itu, maka tabob dan ikan lanur besbes telah keluar dari tempat pemeliharaannya. Namun tabob dapat dipanggil untuk bertemu sesuai janjinya. Tabob ketika dipelihara di Nufit, para tetua sudah menerimanya menjadi sebagian hidup dan kehidupan masyarakat Nufit, sehingga tua-tua Nufit memanggil tabob: ub, yang artinya moyang. Oleh karena itu, jika dilakukan persidangan umum di Siran, ub (tabob) juga harus diundang untuk hadir mengisi tempat di Siran. Dengan demikian, ub (tabob) pun mengenal orang-orang Lor Nufit, khususnya Nufit Tuun En Fit dan Lair En Tel. Hal ini terlihat ketika mereka bertemu untuk menangkap tabob, mereka dapat berkomunikasi dengan tabob, menyuruhnya membalik kiri dan kanan serta menari; bila dia mengganas, bisa dijinakkan dengan panggilan memberitahu “ub bo it to”. Untuk memuja riwayat tabob, tetua adat Nufit menciptakan satu nyanyian untuk tabob Nufit: “Nufit mam reng halhaling o, human nas wai, human naswai ntut ursiuw lor lim, human naswai o …..”.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
60
5.1.3. Babakan Legenda Tabob Materi yang terkandung dalam cerita tabob dapat dibagi menjadi beberapa bagian yang berupa babakan dalam legenda tersebut. Bagian pertama menceritakan sejarah kedatangan Tabi dan Tabai ke Kei, dan menetap serta kawin, dan memiliki anak, salah satunya seorang anak perempuan (Boimas). Kedatangan dari Bali, disertai dengan membawa beberapa benda, antara lain: tempat sirih yang garis tengahnya berukuran 1,10 m yang dinamakan ngutun rit tenan bes, serta batu berukuran panjang 1 meter, lebar 70 cm dan tebal 10 cm yang disebut batu papan.
Foto 24. Tenan bes (di Faan), Ngutun rit dan batu papan (di Matwaer) [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Bagian kedua, mengisahkan peristiwa yang menimpa Boimas, yaitu kelapa kukur yang dijemur diterbangkan angin beserta nyiru. Kejadian ini membuat Tabi dan Tabai harus mencari kelapa pengganti di luar Kepulauan Kei. Pada babakan ini dikisahkan tentang pembuatan kapal, dan pelayaran mengarungi lautan ke Pulau Seram dan Pulau Irian/Papua (Kaimana), serta peperangan dengan penguasa Kaimana. Selain itu mereka diberikan tabob, ikan bobara dan ikan bandeng. Bagian ketiga, yaitu perjalanan pelayaran dari Irian (Kaimana) kembali ke Kei: tabob, ikan bobara, ikan bandeng dibawa ke Kei. Selain itu bagian ini menceritakan, setibanya di perairan Kei, mereka singgah pada beberapa tempat dan berkomunikasi dengan orangorang di tempat yang disinggahi, dan membangun hubungan. Bagian keempat menceritakan bagaimana proses pelayaran ke perairan Nufit, mereka menemukan berbagai jenis ikan (serseran, kapas-kapas, kepala batu, siput, dll), dan menandai lokasi-lokasi tempat dimana ikan-ikan tersebut berada. Pada bagian ini juga menjelaskan tentang penemuan pulau-pulau kecil. Bagian kelima menceritakan bagaimana mereka memilih lokasi perairan laut yang cocok untuk dijadikan tempat pemeliharaan tabob (penyu belimbing), ikan bobara serta ikan bandeng. Bagian keenam menceritakan tentang pemeliharaan dan pengelolaan (budidaya) ikan bobara dan tabob.
Foto 25. Wilayah Tanjung Arat [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
61
Bagian ketujuh, kehancuran lutur, memberi gambaran tentang kegagalan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Hal ini terjadi karena konsep yang diterapkan tidak mempertimbangkan aspek kelestarian/kesinambungan sumber daya, serta penggunaan teknologi yang belum/tidak tepat. Kegagalan ini membuat tabob dan ikan bobara menjauhi perairan Nu Fit, atau berpindah ke lokasi yang baru. Bagian kedelapan menceritakan era berakhirnya peranan Tabi dan Tabai (oleh karena melakukan kesalahan), maka muncullah era baru, yaitu, berperannya tabob. Dalam uraian cerita, dikatakan bahwa masyarakat membuat keputusan untuk memposisikan dan menghargai tabob sebagai leluhur masyarakat Nufit. Bagian kesembilan tentang perjanjian yang dibuat tabob untuk bertemu apabila diperlukan, tetapi dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, dimana pemanggilan tabob melalui suatu ritual pendek.
5.2. Perlakuan Masyarakat Nufit terhadap Tabob Kepercayaan terhadap legenda tabob mendasari perilaku masyarakat/nelayan Nufit terhadap sumberdaya laut ini, baik dalam penangkapan maupun pasca panen. 5.2.1. Wilayah Tabob Seperti disebutkan dalam legenda, tabob datang dari Irian/Papua. Dalam kenyataannya, daerah pemijahan tabob (penyu belimbing) adalah di Papua, dan kemudian jalur migrasinya meliputi wilayah Kei Kecil bagian barat. Masyarakat Nufit juga memiliki pengetahuan bahwa tempat bertelur tabob adalah di wilayah Papua, dan masuk ke wilayah Nufit pada masa remajanya. Dengan demikian, mereka juga mengatakan bahwa pada waktu-waktu tertentu, tabob kembali ke Papua untuk bertelur. Gambar 16 memperlihatkan sejarah perjalanan tabob menurut masyarakat Nufit.
Foto 26. Daerah Penangkapan Tabob di Tanjung Doan [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
62
Tabob dapat ditemui di perairan Nufit terutama pada bulan Agustus sampai Januari ketika laut relatif tenang. Namun yang terbanyak ditemui adalah pada bulan Oktober sampai November. Hal ini dikarenakan kehadiran ubur-ubur (harara) pada musimnya di bulan Oktober. Kehadiran harara menandai kehadiran tabob karena harara adalah makanan tabob. Ada juga masyarakat yang menandai datangnya tabob dengan bunyi guntur dan kilat pada sore menjelang malam di bulan Oktober-November. Wilayah perburuan tabob adalah di perairan Nufit bagian selatan ke arah barat daya, terutama di sekitar met Ngontanbav dimana di situ banyak terdapat harara pada bulan Oktober. 5.2.2. Perburuan dan Penangkapan Tabob Setelah kesalahan yang dilakukan terhadap tabob dan tabob meninggalkan habitatnya di pesisir pantai menuju laut dalam yang jaraknya relatif jauh dari pantai, maka masyarakat Nufit kini harus mencari tabob di wilayah laut dalam. Masyarakat/nelayan mencari dan menangkap tabob secara berkelompok. Seperti dikatakan dalam legenda, masyarakat Nufit menyapa tabob dengan panggilan ub (= moyang). Kata sapaan ini menunjukkan penghormatan masyarakat terhadap hewan laut ini. Sesuai janji tabob kepada masyarakat, dipercaya bahwa bila mereka belum mendapatkan tabob, nelayan Nufit dapat memanggilnya dengan melagukan nyanyian khusus yang mengatakan bahwa bekal mereka telah habis, sehingga minta tabob datang atau muncul: ”ub o ndato man wear kes enok o…”. Bila mereka melihat tabob di kejauhan, mereka akan memberitahu tabob untuk menunggu mereka karena mereka adalah orang Nufit: “ube tek am e am Nufit”. Biasanya setelah tabob muncul, orang yang bertugas menikam tabob, akan melaksanakan tugasnya. Tabob ditikam dengan horantal (sejenis tombak ikan). Setelah ditikam, tabob akan turun menyelam ke kedalaman, lalu kemudian muncul lagi di permukaan. Ketika muncul, dapat terjadi komunikasi antara tabob dengan orang Nufit di perahu. Tabob bisa disuruh menari, balik kiri, atau kanan, dengan perintah dalam bahasa lokal. Setelah tabob muncul lagi, biasanya ditikam lagi dan dipukul kepalanya atau di bagian hidungnya untuk mematikannya. Dalam perburuan tabob, ada beberapa hal pantangan yang harus dihindari karena akan berakibat pada tidak berhasilnya perburuan, misalnya: - Peserta dalam satu perahu tangkap tidak boleh memiliki masalah yang belum terselesaikan, tidak boleh ada yang masih saling bermusuhan atau berkelahi, juga tidak boleh ada masalah pertengkaran atau perkelahian di keluarga. - Yang duduk di depan dan di belakang (di perahu) harus orang Nufit. Bila ada orang luar non-Nufit ikut, harus duduk di bagian tengah. - Yang isterinya sedang hamil, tidak boleh duduk di bagian depan atau belakang perahu agar tidak terlihat oleh tabob. - Orang yang pergi mencari tabob tidak boleh menggunakan baju warna merah, asesoris gelang dan cincin.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
63
5.2.3. Hasil Tangkapan Tabob (pasca-panen) Bila perahu penangkap tabob pulang dengan membawa tabob, maka sebelum mereka mendarat di pantai, masyarakat di darat (desa) telah mengetahuinya dari teriakan mereka yang di perahu: “yayaya uru e…” (artinya: mereka dapat [tabob]). Mereka yang di darat membalas: “uru e….”. Tabob yang dibawa pulang akan dipotong-potong di suatu lokasi di pantai yang dialas dengan daun kelapa (disebut: siran). Setelah dipotong-potong, akan dibagikan kepada seluruh orang di kampung (pada masa-masa belakangan: kepada seluruh orang yang datang ke pantai di siran tempat tabob dipotong). Hampir seluruh bagian tabob dapat dimakan, termasuk bagian kulit punggung. Ada bagian-bagian khusus dalam pembagian yang diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, yaitu: bagian leher sampai jantung adalah bagian untuk orang yang menikamnya pertama kali, bagian hua (sisir) yang ada di bagian dada diberikan kepada orang yang timba ruang (informasi lain mengatakan, bagian hua adalah bagian untuk orang yang memiliki horantal, walaupun dia tidak pergi), bagian tangan dibagikan kepada mereka yang menangkap, dan yang memegang kemudi mendapat bagian ekor. Pantangan pada tahap pasca-panen ini meliputi pantangan untuk orang hamil, yaitu tidak boleh hadir di siran tabob di pantai (tempat memotong tabob), apalagi melangkahi siran tersebut. Mereka juga tidak boleh makan bagian jantung, hati dan leher.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
64
Gambar 17. Pengetahuan Masyarakat tentang Sejarah Perjalanan dan Rute Tabob Ke Faan
Tj.Arat
Somlain
Matwaer Tobineteat (Tokong Tabae)
Ohoidertutu Pasir Teluk Ngev
Teluk Abowan
Tj. Lairbadel ReyaanHemas Goa taruh bubara Ohoidertom
Lutur Tabob Setelah lutur hancur Metyanan Ngontanbav
Harara Tj. Doan
Sekarang Jalur Tabi-Tabae
Tabob Tilur (kembali untuk Studi Kelembagaan bertelur) Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
Kaimana (Papua)
Doanyanat (P.Doan)
65
5.3. Temuan dari Cerita Tabob Pemilahan uraian materi cerita legenda menjadi bagian-bagian yang memiliki kecenderungan fokus, juga membentuk inti daripada bagian materi cerita dimaksud. Melalui elaborasi pendalaman dan interpretasi model tiga tahap, ditemukan beberapa hal menonjol sebagai temuan, yang memiliki karakteristik umum dan khusus. Karakteristik umum artinya sesuatu fokus yang tergambar ditemukan melalui membaca uraian materi cerita secara langsung. Sedangkan temuan khusus adalah sesuatu fokus yang termuat dalam materi cerita yang ditemukan melalui membaca dan kemudian pendalaman pemahaman tentang sesuatu dibalik fokus cerita pada materi cerita yang ada dalam bagianbagian tertentu sebagai kecenderungan. 5.3.1. Temuan Umum Yang menjadi spesifik dan diangkat menjadi temuan umum adalah: 1.
2.
3.
4. 5.
6.
7. 8.
9.
Tokoh dalam cerita, yaitu Tabi dan Tabai, adalah orang luar yang datang dari Bali dan memiliki keahlian dan ketrampilan membuat kapal kayu (berukuran cukup besar) yang dapat digunakan untuk berlayar dengan menempuh jarak cukup jauh (dari Kei sampai ke Irian). Kedua tokoh ini cukup paham tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia pelayaran, tergambar dalam cerita tentang pelayaran yang mereka lakukan dari Kei menuju ke Pulau Irian/Papua (daerah Kaimana). Kedatangan mereka di Kei dengan membawa benda-benda tertentu dari Bali, dan menjadi perhatian khusus masyarakat Kei Kecil. Salah satu benda yang dibawa adalah sejenis tempayan tembaga (dong son drum) yang merupakan salah satu bukti keterlibatan mereka dengan dunia perdagangan bahari. Tabi dan Tabai juga memiliki pengetahuan tentang sumber daya perikanan, serta mengetahui pula tempat dimana masing masing sumber daya perikanan tersebut hidup. Tabob atau penyu belimbing didatangkan oleh Tabi dan Tabai dari daerah Irian (Kaimana). Tabi dan Tabai dalam akhir cerita tidak disebutkan meninggal atau pergi ke tempat lain di luar Pulau Kei Kecil, tidak ditemukan bukti tentang keberadaan mereka berdua hingga saat ini. Leluhur masyarakat Nufit (“Tabi dan Tabai”) memiliki budaya bahari, terbukti pelayaran yang mereka lakukan bukan saja dari Bali ke Kei, dan dari Kei ke Papua pulang-pergi, tetapi juga menyinggahi beberapa tempat lain; keberhasilan ini didukung oleh pengetahuan tentang laut. “Tabi dan Tabai”, sebagai leluhur masyarakat Nufit dalam aktivitas hidupnya lebih berorientasi ke laut dan wilayah pesisir. Masyarakat Nufit dalam mengisahkan tabob dan lutur serta berbagai jenis ikan lainnya, menggambarkan pemikiran lokal tentang bagaimana mempraktekkan pengetahuan lokal tentang zonasi di wilayah laut. Penangkapan tabob didahului dengan ritual kecil untuk memanggil agar ia datang, tetapi sebelumnya persiapan awal untuk melaut harus mengikuti beberapa syarat. Hasil tangkapan dibagi kepada seluruh masyarakat untuk diolah dan dimakan bersama.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
66
10.
11.
12.
13.
Membaur dan menyatunya masyarakat Nufit memberi tanda bahwa tidak ada perbedaan di antara mereka pada saat itu. Tabob memberi diri untuk dikorbankan (ritual memanggil dan membunuh tabob) demi pemulihan kondisi dan situasi darurat dan memburuk diubah menjadi kondisi dan situasi yang baik (tindakan ini lebih kepada strategi penanganan pangan dalam situasi darurat). Lutur tabob yang dibuat dekat dengan pantai, membuktikan bahwa, pada era generasi di atas Tabi dan Tabai, pada abad tertentu, wilayah petuanan laut dan pesisir Nufit memiliki ekosistem laut dan lingkungan pesisir yang cukup baik (pada awalnya areal/tempat habitat tabob cukup dekat dengan daerah pantai wilayah Nufit). Penangkapan tabob di dalam lutur dan ikan bobara di dalam lutur, tidak menurut kesepakatan bersama tentang aturan mengambil di antara Tabi dan Tabai, sehingga terjadi kekeliruan memilih mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, membuat tabob dan ikan bobara marah dan menghancurkan lutur serta berpindah ke lokasi yang semakin jauh dari lokasi perairan semula yang dekat dengan pesisir pantai. Perpindahan lokasi tabob membuat masyarakat tidak mudah untuk menjangkau lokasi baru tersebut, dan untuk menemukan atau bertemu dengan tabob, harus mematuhi beberapa syarat penting dan ritual sederhana untuk memanggilnya dengan alunan nyanyian, sebagai bentuk perjanjian antara tabob dengan masyarakat.
5.3.2. Temuan Khusus Temuan khusus merupakan hasil yang didapat pada temuan umum dan dianalisis lebih tajam untuk mengungkapkan sesuatu hal yang tersembunyi pada temuan umum. Setelah dianalisis lebih dalam, maka terungkap hal-hal khusus sebagai berikut. 1. Pada uraian cerita bagian kedua, setelah dianalisis ditemukan suatu gambaran penting dalam sejarah Tabi dan Tabai serta Boimas, yaitu permasalahan kegagalan dalam pengelolaan sumber daya alam darat dan kegagalan pengelolaan sumber daya laut dan perikanan. 2.
Konsep pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut dan perikanan merupakan konsep yang dibangun oleh orang luar (dalam hal ini Tabi dan Tabai yang merupakan orang Bali yang datang ke Kei), sehingga tidak menerapkan hal-hal yang berkaitan dengan kearifan lokal (yang mungkin sudah ada). Kegagalan pertama: pengelolaan sumber daya darat. Uraian cerita tentang Boimas yang kehilangan kelapa kukur dan nyiru sewaktu dijemur akibat tiupan angin. Kelapa kukur melambangkan sumber daya darat, sedangkan kehilangan kelapa kukur akibat ditiup angin, memberi gambaran tentang terjadi krisis sumber daya darat, yang berdampak terhadap ketersediaan pangan.
3.
Personifikasi Boimas, artinya bahwa Boimas sebagai gambaran perwakilan generasi kedua pada masyarakat Kei pada era Tabi dan Tabai (generasi atas), mengalami akibat masalah pangan, yang mengalami dampak dari kesalahan pengelolaan sumber daya darat oleh generasi di atas, dalam hal ini generasi Tabi dan Tabai.
4.
Momentum perubahan atau titik balik perubahan pandangan dan orientasi dari darat ke laut. Setelah kehilangan kelapa kukur yang membuat sedih Boimas, maka dibuatlah
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
67
keputusan oleh Tabi dan Tabai untuk mencarinya ke arah laut. Cerita ini menggambarkan bahwa permasalahan kekurangan ketersediaan pangan di darat telah membuat keadaan dan situasi menjadi buruk/susah, untuk itu harus segera diambil keputusan dan tindakan untuk berpaling ke laut sebagai jalan keluar/solusi. Mereka sangat mengetahui bahwa sumber daya laut mulai dari Kei sampai ke Irian sangat melimpah (berbagai jenis ikan di perairan Kei dan perairan Irian hingga ke Kei terdapat tabob, ikan bobara, ikan wumur, dll). 5.
Kegagalan pengelolaan yang kedua, yaitu kegagalan pengelolaan sumber daya laut/perikanan, yang dilakukan oleh Tabi dan Tabai, adalah merupakan pengulangan hal yang sama seperti yang mereka lakukan di darat, seperti peristiwa yang dialami Boimas (pada uraian cerita tentang bagaimana tabob dan ikan bobara menghancurkan lutur dan pergi meninggalkan perairan Nufit. Peristiwa ini menggambarkan tentang kegagalan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut/perikanan yang dilakukan oleh Tabi dan Tabai).
6.
Tabob adalah (atau dianggap/dikategorikan sebagai) leluhur Nufit, dapat dibuktikan dengan keikutsertaan di dalam sidang di siran, dan peranan tabob dalam sidang di siran untuk memantau, melindungi, dan kehadirannya dimaknai sebagai yang berkedudukan lebih tinggi dari peserta siran yang lain untuk meligitimasi keabsahan sidang dan hal hal yang menjadi keputusan sidang. Tabob dalam persidangan tidak hadir secara fisik, tetapi secara roh ia hadir, dengan disediakan tempat untuknya, anggapan masyarakat bahwa ia hadir secara nyata. Kenyataan bahwa tabob memiliki posisi dan nilai kultural yang tinggi dan dalam bagi masyarakat Nufit, dimaknai dan dihargai sebagai seseorang yang mempersonifikasi leluhur memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
7.
Berdasarkan posisi dan peran tabob dalam forum sidang adat tingkat tinggi, serta dalam kehidupan masyarakat, tabob dilambangkan sebagai sosok (“pribadi”) yang memiliki sifat peduli dan berkorban secara sukarela untuk menolong orang dan membuat senang masyarakat (dapat diikuti pada bagian cerita tentang penangkapan tabob). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tabob merupakan personifikasi generasi dalam (orang Kei asli) setelah era Tabi dan Tabai (orang Bali).
8.
Tabob sebagai generasi dalam, mengambil tanggung jawab untuk menjaga keselamatan sumber daya laut dan perikanan, dengan memunculkan gagasan dan konsep lokal tentang konservasi (dapat dibaca penjelasan pada bagian analisis hasil).
9.
Tabi dan Tabai memiliki pengetahuan dan strategi tentang bagaimana memahami sifat dan perilaku berbagai jenis hewan laut, maka proses dan tindakan adaptasi terhadap ekosistem perairan laut dapat dilakukan dengan tepat.
10. Tabi dan Tabai tidak memiliki tanggung jawab dan komitmen untuk menjaga keberlangsungan sumber daya laut dan perikanan. Hal ini dapat dibuktikan dalam cerita tentang bagaimana kehancuran lutur tabob dan lutur bobara sebagai indikasi dari kegagalan pengelolaan sumber daya. Kegagalan ini terjadi sebagai akibat dari keduanya hanya melaksanakan hak tetapi kewajiban tidak dilakukan.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
68
5.4. Hasil Analisis Cerita Tabob Berdasarkan uraian cerita dan ringkasan cerita maupun temuan umum dan temuan khusus yang terdapat di dalam cerita tersebut, setelah dianalisis dapat disimpulkan bahwa, cerita/legenda tabob memiliki isu utama dan hal-hal lain yang berkaitan dengan isu utama tersebut. Selain itu cerita tabob memiliki kandungan konsep-konsep lokal dan nilai-nilai yang menuntun kehidupan masyarakat Kei dalam hubungan dengan laut dan perikanan. 5.4.1. Isu Utama dan Isu Lainnya Isu utama dari cerita atau legenda tabob adalah laut menjamin kehidupan. Selain isu utama, terdapat juga isu-isu lain yang berhubungan dengan isu utama tersebut, antara lain: 1. Kelautan dan perikanan adalah sumber kehidupan masyarakat Kei. 2. Tabob merupakan personifikasi generasi dalam (orang Kei, berbeda dengan Tabi dan Tabai yang datang dari Bali). 3. Tabob dan peranannya melahirkan gagasan dan konsep lokal tentang konservasi. Bersamaan dengan “gagasan dan konsep lokal tentang konservasi”, tabob juga merancang suatu “model lokal tentang proses dan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut dan perikanan”. Tujuannya untuk menyelamatkan lingkungan dan sumber daya laut dan perikanan yang pada saat itu mengalami kehancuran (lihat penjelasan pada temuan umum dan temuan khusus tentang kehancuran lutur tabob dan ikan bobara yang merupakan bentuk kegagalan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya). “Model lokal tentang proses dan mekanisme dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut” pada cerita tentang perjanjian tabob dengan masyarakat Nufit terdapat beberapa poin penting antara lain: a. Syarat teknis: seseorang yang mau menangkap/bertemu tabob, istri tidak dalam keadaan hamil, tidak boleh memakai baju merah, posisi duduk bagi orang luar yang ikut dalam perahu, dll. b. Syarat untuk tempat: hanya menyebut tentang ukuran jarak tempuh diukur dengan takaran jumlah makanan yang dibawa (bekal). c. Syarat untuk tabob mengetahui bahwa yang mau bertemu adalah orang Nu Fit: ditandai ritual kecil berupa ucapan syair lagu pendek dengan alunan suara tertentu, yang harus dinyanyikan. d. Selain itu orang mau menangkap/bertemu tabob harus menyampaikan dengan memelas kepada tabob, bahwa persediaan bekal sudah habis. Perjanjian dengan butir-butir persyaratan (baik teknis maupun ritual sederhana), setelah dianalisis didapati bahwa perjanjian tabob ini, merupakan sebuah konsep dan suatu gambaran proses dan mekanisme. Perjanjian ini untuk diterapkan pada wilayah laut, untuk mengelola sumber daya laut dan perikanan, terbukti tabob melambangkan dirinya sebagai sumberdaya laut dan perikanan. Dengan demikian dapat diklasifikasikan bahwa latar belakang pemikiran yang dibungkus dalam bentuk ritual sederhana adalah merupakan sebuah konsep, sedangkan butir a,b dan d, adalah bentuk dari mekanisme/tata cara. Adapun penerapan konsep dan pelaksanaan syarat-syarat adalah sebuah rangkaian proses.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
69
4. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut dan perikanan perlu didasari dengan konsep dan perencanaan konservasi dan mengacu pada kearifan lokal untuk menjaga keberlangsungan dan kelestarian sumber daya tersebut (lihat kejelasan pada hasil temuan khusus tentang kegagalan pengelolaan sumber daya alam akibat penerapan konsep yang keliru). 5.4.2. Konsep-Konsep Lokal Pemikiran mendasar yang terkandung di dalam cerita tabob antara lain: kandungan nilainilai dan konsep lokal yang berkaitan dengan konsep bahari, ekologi laut dan pengelolaan sumber daya perikanan, sosial, budaya, ekonomi, yang dimiliki oleh masyarakat Kei Kecil (masyarakat Nufit). 1. Konsep Lokal tentang Bahari a.
Cerita tentang pelayaran yang dilakukan oleh Tabi dan Tabai dari Kei dengan rute ke Pulau Seram dan ke Irian (Kaimana) pulang pergi. Mereka dalam melakukan perjalanan mengarungi lautan, juga mengadakan persinggahan pada beberapa tempat di luar daerah tujuan utama. Perjalanan yang cukup jauh dan memakan waktu lama, tentu didasari oleh kemampuan dan pengetahuan tentang navigasi yang cukup memadai sehingga dapat mendeteksi dan memperhitungkan keadaan cuaca dan keadaan laut yang baik untuk menjamin keamanan terhadap proses pelayaran.
b.
Mereka juga memiliki keahlian membuat kapal untuk berlayar. Simbol-simbol tentang kelengkapan kapal (gurita dan ular sebagai tali, burung pada puncak tiang, dll), menunjukan bahwa mereka cukup paham tentang kelengkapan secara teknis demi keselamatan dalam pelayaran.
2. Konsep Lokal tentang Ekologi Laut serta Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam a. Konsep yang dibangun yang cukup penting adalah mengenal dan mempelajari lingkungan laut serta keadaan sumber daya alamnya melalui strategi mengarungi laut (berlayar) dari Kei Kecil dan sekitarnya sampai ke Pulau Irian/Papua dan juga ke bagian Maluku lainnya, yakni Pulau Seram (hal ini dapat ditemukan pada bagian cerita yang menggambarkan bagaimana mereka begitu paham akan keadaan sumber daya laut dan perikanan pada wilayah perairan Kei, dan bahkan mereka membuat pemetaan akan sumber daya dan tempat pada wilayah laut dan perikanan yang potensial, dalam hal ini jenis-jenis ikan dan lokasinya). b. Lutur tabob dan lutur bobara yang termuat dalam cerita, memberi pengertian antara lain: 1. konsep lokal tentang budidaya perikanan. 2. lutur adalah suatu lokasi yang memenuhi syarat dan cocok untuk dipilih agar dijadikan tempat pemeliharaan tabob dan ikan bobara secara intensif. c. Tabob dan ikan bobara merusak lutur (akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh Tabi dan Tabai) sehingga tabob dan ikan bobara berpindah ke lokasi lain. Merusak lutur memberi gambaran pengertian tentang kerusakan ekosistem laut, sedangkan
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
70
berpindah lokasi (atau suatu lingkungan yang terdiri dari beragam unsur kehidupan yang membentuk suatu tatanan kehidupan bersama dan saling menunjang, yang dapat disebut sebagai ekosistem), menggambarkan pengertian tentang lingkungan dan ekosistem yang baik. d. Konsep tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut dan perikanan yang digagas oleh tabob (melalui janji tabob untuk bertemu pada tempat tertentu di laut dengan penanda yaitu mengarungi perairan laut Kei Kecil sampai persediaan bekal habis, dan proses pengambilan harus memenuhi syarat tertentu) adalah suatu strategi konsep pengelolaan yang mengatur akses dan pemanfaatan atau eksploitasi sumber daya alam, serta penggunaan teknologi perlu dikendalikan. Konsep pengendalian ini lahir dari akibat pelajaran dan pengalaman yang dialami oleh tabob sebagai orang dalam (orang Kei asli) yang menerima akibat kegagalan pengelolaan sumber daya oleh generasi sebelumnya (Tabi dan Tabai), hal ini memberi pengertian bahwa orientasi kehidupan masa depan generasi berikut sangat bergantung kepada sumber daya laut dan perikanan. e. Konsep lokal tentang zonasi tergambar pada kisah penelusuran potensi perikanan melalui proses pelayaran mengarungi wilayah laut Kei dan wilayah laut Nufit (lihat kisah perjalanan dengan peristiwa atau kejadian-kejadian munculnya ikan-ikan tertentu: kapas-kapas, serseran, siput, dll). Pada proses tersebut dilakukan inventarisasi potensi perikanan serta pemetaan wilayah potensi berdasarkan potensi spesifik (atau berdasarkan jenis- jenis).
5.4.3. Nilai dari Cerita Tabob 1. Nilai Kultural a.
Tabob dipandang dan dimaknai sebagai perwujudan dari leluhur masyarakat Nufit, sehingga memiliki nilai kultural yang cukup tinggi, dan memiliki hubungan emosional yang cukup dalam dengan masyarakat Nufit.
b.
Tabob merupakan identitas kultural atau simbol komunitas Nufit, artinya bahwa orang lain dapat mengenal dan mengetahui masyarakat Nufit secara tidak langsung melalui membaca atau mendengar cerita tentang legenda tabob, atau melalui ritual penangkapan tabob secara langsung.
c.
Tabob sebagai makanan kultural, artinya ketika masyarakat memakan tabob, mereka memaknai berbeda dengan ketika memakan makanan yang lain. Selain itu memakan tabob, memberikan pemahaman bahwa mereka mendapat penguatan secara spirit/roh. Hal ini dapat dilihat pada perilaku sesudah makan, dimana ada kepuasan dan sukacita serta melupakan beban hidup; jiwa dan semangat dirasakan menyatu dengan leluhur mereka.
d.
Dalam cerita dikatakan bahwa, dalam pandangan dan keputusan masyarakat Nufit, tabob diposisikan dan dihargai sebagai leluhur (memiliki tempat, menghadiri dan mengikuti persidangan di siran, serta dianggap mendengar dan mensahkan keputusan sidang).
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
71
2. Nilai Sosial a.
Tabob memiliki nilai kesetiakawanan sosial dan kepedulian terhadap kesusahan orang lain. Nilai ini terlihat dengan jelas pada perilaku tabob di kala masyarakat ingin menangkapnya. Sebelum menangkap, didahului dengan nyanyian sebagai tanda memanggil untuk datang, setelah datang tabob menyerahkan diri untuk ditikam dan tidak mengadakan perlawanan, rela mati untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Nufit.
b.
Tabob memiliki nilai kebersamaan. Sewaktu ditangkap dan setelah dipotongpotong oleh yang menangkap, selanjutnya dibagikan kepada seluruh masyarakat di dalam ohoi. Ketika semua orang memakan tabob, maka ketika itu pula tercipta suasana sukacita dan kebersamaan serta orang melupakan perbedaan di antara mereka di dalam ohoi tersebut.
c.
Nilai persatuan yang terkandung ketika semua merasa senang dan menyatu bersama dalam kegembiraan, merupakan suatu nilai yang memberikan pengertian, bahwa dalam hidup ini semua adalah sama, artinya tidak ada perbedaan yang menjadi pembatas dalam kehidupan mereka. Selain itu, ketika memakan tabob secara bersama, memberikan penguatan kepada integrasi sosial dalam ohoi, dan memperkuat hubungan persaudaraan antar ohoi.
3. Nilai Ekologi a.
Tabob dengan gagasan untuk penyelamatan lingkungan dan sumber daya laut dan perikanan merupakan pemikiran yang mengandung nilai ekologi (yang dituangkan dalam bentuk ritual, dan persyaratan untuk bertemu dengannya pada suatu tempat tertentu), yaitu nilai peduli lingkungan dan kelestarian.
b.
Gagasan dan konsep yang dibangun oleh tabob mengandung nilai konservasi, yang di dalamnya terkandung rehabilitasi lingkungan dan sumber daya alam (dalam cerita disebutkan bahwa tabob memilih lokasi baru dan memiliki jarak yang cukup jauh dari wilayah pesisir). Hal ini menggambarkan bahwa tabob sendiri sebagai makhluk hidup/sumberdaya, perlu membangun keturunan agar menjadi banyak (karena pengalaman tabob sebagai sumber daya dieksploitasi oleh Tabi dan Tabai tanpa memikirkan kelangsungan/keberlanjutan generasi tabob).
c.
Kesetaraan posisi untuk saling membutuhkan dan saling ketergantungan antara manusia dan sumber daya alam diwujudkan oleh masyarakat Kei dan tabob. Hal ini dapat dilihat pada pandangan masyarakat Kei bahwa tabob adalah leluhur mereka atau setara dengan leluhur mereka. Selain itu, dalam perilaku masyarakat terlihat dengan jelas tentang tabob sebagai anggota forum sidang di siran (suatu kehormatan yang luar biasa terhadap penyu belimbing).
4. Nilai Ekonomi Tabob adalah salah satu produk budaya masyarakat Kei Kecil yang memiliki nilai kultural yang cukup tinggi dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu dalam konteks budaya, tabob mempunyai dua sifat yang diwujudkan dalam pandangan Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
72
dan perilaku masyarakat, yaitu: sifat kesakralan dalam bentuk roh, dan sifat dalam bentuk fisik yaitu berupa seekor penyu belimbing. Oleh karena berwujud penyu belimbing, maka sekaligus merupakan hewan yang suka dikonsumsi oleh masyarakat Kei. Dari semua jenis ikan dan hewan laut lainnya yang ditangkap, proses penangkapan penyu belimbing yang paling unik dan spesifik karena memiliki suatu proses dan mekanisme tertentu. Selain itu orang yang pergi menangkap dan hasil tangkapan sewaktu dibawa pulang biasanya disambut beramai-ramai oleh masyarakat. Begitu pula hasil tangkapan dibagi kepada seluruh masyarakat. Masyarakat yang memakannya akan mengalami suatu suasana gembira dan sukacita secara bersama. Dengan memiliki keunikan seperti ini, maka ada nilai jual yang cukup menarik kepada orang luar yang ingin melihat dan ingin mengetahui perilaku masyarakat terhadap penyu belimbing tersebut. Penangkapan tabob untuk tujuan membunuh, dirubah dengan cara memanggil melalui proses ritual (suatu cara yang unik), dikemas menjadi suatu atraksi pertunjukan budaya masyarakat laut, akan menjadi sesuatu yang menarik untuk dipertontonkan kepada orang luar. Atraksi pemanggilan tabob apabila direncanakan dengan baik serta dilaksanakan sebagai suatu kalender kegiatan tetap dan dipublikasikan, akan mendapat perhatian banyak orang. Setelah terpublikasi dalam kalender ekowisata, wisatawan luar akan datang dengan tujuan menyaksikan atraksi dan „pesta rakyat‟ tersebut. Kedatangan wisatawan di desa akan berdampak luas pada peluang program industri pariwisata rakyat. Dengan demikian, legenda tabob sebagai awal yang sederhana akan berdampak luas pada aspek pariwisata dan konservasi serta pada aspek budaya dan ekonomi. Dimulai dengan melakukan sosialisasi legenda tabob di sekolah, kampanye penyelamatan tabob untuk mencegah kepunahan, dan sosialisasi perubahan pemikiran masyarakat dari membunuh tabob menjadi atraksi memanggil tabob sebagai pertunjukan budaya laut masyarakat Kei.
5.5. Konstruksi Legenda Tabob Pada konstruksi legenda tabob yang digambarkan dalam skema alur di bawah (Gambar 17), terlihat bahwa ada fase peralihan orientasi dari darat ke laut, dan ada serangkaian fasefase pengelolaan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya laut yang ditandai dengan keberhasilan dan kegagalan, serta pembentukan atau peletakan konsep-konsep (lokal) pengelolaan lingkungan laut yang mengandung nilai-nilai budaya, sosial, ekologi, dan ekonomi.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
73
Gambar 18. Konstruksi Legenda Tabob [
TABI dan TABAI KRISIS SUMBERDAYA DARAT Kegagalan I Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya ALam
SEJARAH KEDATANGAN dari BALI (Tabi & Tabai adalah orang luar yang kawin dan menetap di Kei) MOMENTUM PERUBAHAN ORIENTASI DARAT KE LAUT Pelayaran Kei - Irian/Papua
PEMETAAN POTENSI SUMBER DAYA LAUT Irian: tabob, bobara, wumur Kei : Jenis-jenis ikan, siput, dll
KEHANCURAN LUTUR (tabob dan bobara berpindah lokasi) Kegagalan II Pengelolaan dan Pemanfaatan SDA laut (hak diperhatikan, tanggungjawab terabaikan) BERAKHIRNYA ERA TABI dan TABAI (berakhirnya konsep orang luar tentang pengelolaan SDA laut dan perikanan)
LUTUR (tabob, bobara, wumur)
Budidaya
ERA TABOB - Gagasan dan konsep konservasi, proses dan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan SDA laut (Perjanjian tabob dengan masy. Nufit) - Pendekatan konsep dan kearifan lokal - Sebagai leluhur, peserta sidang siran (tabob mewakili generasi orang dalam/Kei asli) NILAI-NILAI LOKAL Kultural Sosial Ekologi Ekonomi/Ekowisata
NILAI-NILAI dan KONSEP LOKAL
KONSEP LOKAL Konservasi Pengelolaan & pemanfaatan SDA Zonasi
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
74
VI. PARIWISATA Pariwisata merupakan salah satu aspek unggulan yang dapat memberikan dampak positif terhadap income generating masyarakat lokal, dan di sisi lain terhadap usaha konservasi sumberdaya alam, khususnya laut. Potensi pariwisata di wilayah Kepulauan Kei cukup tinggi, meliputi wisata alam, budaya, dan religi, termasuk di wilayah studi Kei Kecil bagian barat. 6.1. Objek Wisata dan Potensi Pariwisata Beberapa objek wisata di Kabupaten Maluku Tenggara yang ditawarkan melalui situs pemerintah kabupaten (www.malukutenggarakab.go.id), adalah: - Pantai Ngur MunVatwahan Ohoidertutu (Kei Kecil) - Pantai Ngursarnadan (Ohoililir, Kei Kecil) - Pantai Ngurbloat (Ngilngof, Kei Kecil) - Pantai Ohoidertawun dan Lukisan Kuno (Kei Kecil) - Pantai Daftel di Ler Ohoilim (Kei Besar) - Pulau Kapal (dekat Sathean, Kei Kecil) - Goa Hawang di Letvuan (Kei Kecil) - Mata Air Nen Masil Evu dan Pemandian Alam (Evu, Kei Kecil) - Desa Budaya Tanimbar Kei - Desa Budaya Banda Ely (Kei Besar) Desa Budaya Banda Ely (Kei Besar) - Taman Ziarah Mgr Johanes Aerts,M.Sc (Langgur, Kei Kecil) - Bukit Masbait (Gelanit, Kei Kecil) Objek-objek wisata yang menjadi unggulan ini sebagian besar berada di wilayah Kei Kecil bagian barat. Objek-objek tersebut terdiri dari objek wisata alam, objek wisata sejarah dan budaya, serta objek wisata rohani. Selain tempat-tempat wisata seperti disebutkan di atas, terdapat pula beberapa objek di Kei Kecil bagian barat yang berpotensi untuk dikembangkan. 6.1.1. Wisata Alam Beberapa lokasi wisata alam di Kei Kecil bagian barat yang dapat digambarkan antara lain: Pantai Ohoidertutu dan Matwaer Pantai Ngur MunVatwahan di Ohoidertutu yang menyambung dengan pantai Matwaer merupakan pantai yang berpanorama indah, dengan pasir putih yang halus dan nyiur melambai di sepanjang pantai. Pantulan sinar matahari musim kemarau pada tengah hari menghasilkan warna biru kehijauan yang berkilauan dan sangat indah. Pantai yang melengkung sepanjang 3 km ini, memiliki gelombang musim barat yang dapat digunakan untuk olahraga air. Pantai ini berada di antara Tanjung Arat dan Tanjung Doan yang merupakan daerah penyebaran tabob di Maluku.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
75
Foto 27. Pantai Matwaer yang bersambung ke Pantai Ohoidertutu [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Pantai Ngur Bloat Pantai Ngurbloat atau Pasir Panjang di ohoi Ngilngof merupakan salah satu pantai wisata yang terkenal di Kepulauan Kei. Pantai sepanjang 3 km ini memiliki pasir yang halus dan di sini orang dapat menikmati keindahan sunset. Di sepanjang pantai dibuat gazebo untuk para pengunjung, dan di pantai ini tersedia guest house yang menyediakan menu tradisional.
Foto 28. Pantai Ngur Bloat di Ngilngof [Foto: Hermien Soselisa, 2013]
Pantai Ngur Sarnadan Pantai yang terletak di Ohoililir ini tersambung dengan pantai Ngur Bloat. Pasirnya putih dan halus, dan laut serta karangnya indah untuk dinikmati dengan bersnorkeling. Di pantai ini tersedia resort kecil yang dikelola atas kerjasama pihak swasta dari luar dengan Pemerintah Ohoi.
Foto 29. Wisatawan asing di Resort Ohoililir
[Foto: Pieter Soselisa, 2012]
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
76
Panorama Sunset Wab Pantai di ohoi Wab merupakan salah satu pantai yang indah di Kei Kecil dengan pasir putih yang berkilau. Keaslian, keasrian dan kebersihan pantai ini merupakan salah satu daya tarik untuk menikmatinya. Di sini juga sunset dapat dinikmati dengan tenang. Pantai Ohoidertawun Pantai Ohoidertawun merupakan bentangan pasir putih yang sangat luas pada saat air surut di musim kemarau barat dengan lebar ke laut melebihi 200 meter. Di pantai ini tersedia tempat-tempat duduk untuk pengunjung yang terbuat dari bahan lokal. Di pantai Ohoidertawun juga terdapat goa yang disebut goa tengkorak (goa Vitnik), dan sesuai sebutannya, di goa itu terdapat tengkorak. Di dinding goa terdapat lukisan kuno.
Foto 30. Sunset di Pantai Wab, dan pemandangan air surut di Pantai Ohoidertawun [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Orientasi Bawah Laut (OBAL) Orientasi bawah laut untuk seluruh kawasan barat Kei Kecil sangat berpotensi dikembangkan karena biota bawah laut dan terumbu karang yang sangat variatif. Kondisi ini sangat mendukung aktivitas penyelaman dan juga pengembangan wisata kuliner (makanan laut) dengan mengolah hasil-hasil laut menjadi berbagai jenis makanan. Danau Ablel Danau Ablel merupakan satu-satunya danau yang ada di Kecamatan Kei Kecil. Danau yang dikelilingnya tumbuh pohon sagu ini terletak di ohoi Ngilngof. Goa Hawang Goa Hawang terletak di Letvuan, dan merupakan gua yang indah berhiaskan bebatuan kapur stalaktit. Terdapat sebuah kolam air tawar yang memberikan warna yang indah karena pantulan sinar matahari. Di dalam goa terdapat batu yang menggambarkan seorang laki-laki memegang tombak bersama dua ekor anjingnya, dan ada cerita rakyat dibalik gambaran ini.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
77
6.1.2. Wisata Sejarah dan Budaya Situs sejarah merupakan sisa peninggalan yang bisa menceritakan suatu kejadian/peristiwa yang terjadi di masa lalu. Peninggalan tersebut bisa berupa tempat dan benda. Beberapa tempat dan benda-benda peninggalan yang memiliki potensi pengembangan pariwisata di kawasan studi diuraikan di bawah. Selain itu juga disebutkan objek wisata kuliner. Tenan Bes Tenan Bes adalah badan „tempayan‟ dari perunggu (dong son drum), yang terdapat di Faan. Benda ini berkaitan dengan legenda tabob, karena dibawa oleh Tabi dan Tabae ketika datang dari Bali. Tenan Bes, yang disebut tempayan oleh masyarakat lokal, melambangkan perempuan. Peninggalan ini menggambarkan hubungan awal masyarakat Kei dengan dunia luar, termasuk sejarah migrasi masuk. Benda ini dipercaya sebagai pasangan dari ngutun rit yang berada di Matwaer, yang membuat Faan dan Matwaer terikat dalam ikatan pela. Ngutun Rit Ngutun Rit adalah nama penutup „tempayan‟ dari perunggu (dong son drum), yang terdapat di Madwaer. Benda ini adalah pasangan dari tenan bes yang berada di Faan, jadi berkaitan dengan legenda tabob, karena dibawa oleh Tabi dan Tabae ketika datang dari Bali. Kaitan kedua benda ini menjadi dasar hubungan pela antara kedua ohoi. Ngutun Rit melambangkan laki-laki. Ngutun rit dijaga oleh masyarakat lokal bersama-sama dengan sebuah batu papan yang disebut Wat Lavlav yang juga merupakan bawaan Tabi dan Tabae dari Bali.
Foto 31. Tempat ngutun rit dan batu papan diletakkan [Foto: Hermien Soselisa, 2012]
Lutur tabob Lutur tabob merupakan lutur yang dibuat dari susunan batu, terletak di dekat Tanjung Arat, di wilayah ohoi Madwaer. Situs ini berkaitan dengan legenda tabob di wilayah Nufit yang mengisahkan tentang tabob yang dibawa oleh Tabi dan Tabae dari Papua/Irian. Di dalam lutur itu tabob yang dibawa dari Papua dipelihara. Legenda tabob juga menceritakan karena kesalahan yang dilakukan Tabae maka tabob marah dan mengamuk, berakibat lutur hancur dan tabob pergi meninggalkan lokasi itu. Berdasarkan legenda tabob, maka ada serangkaian tempat di pesisir barat Kei Kecil yang masuk dalam legenda tersebut, seperti: Pulau Ut (di depan Sitniohoi), goa Va Sa‟ai (di Wair/Tanjung Najun), Pulau Nuur Nguva (dekat Ngursit), sumur Wear Loar/Wear Loan (di wab), met Silak Rahar (di depan Ohoira dan Ohoiren), dan Telaga El (di Matwaer).
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
78
Woma ohoi Woma adalah pusat ohoi dimana pusat upacara adat dilakukan. Setiap ohoi mempunyai woma yang diberi nama sakral kampung. Biasanya pada situs woma didirikan semacam monumen, dimana di antaranya masih dapat ditemukan benda-benda yang pernah dipakai sebagai persembahan, seperti uang logam, gelang dari logam, dan pinang, serta piring sebagai wadahnya. Namun demikian, ada ohoi yang tidak ada penanda (monumen) di situs woma. Kubur Tebtut Tebtut adalah raja pertama di Kepulauan Kei; ia adalah ayah dari Dit Satmas, yang darinya tercipta hukum Larvul. Kuburan Tebtut terletak di Ohoivuur, Letvuan. Tanimbar Kei Tanimbar Kei merupakan kepulauan yang terdiri dari lima pulau, terletak antara Kepulauan Tanimbar dan Kei. Masyarakat Tanimbar Kei memeluk agama suku, Kristen, dan Islam. Seperti yang digambarkan dalam situs pemerintah kabupaten (www.malukutenggarakab.go.id), desa Tanimbar Kei yang terletak di Pulau Var terbagi menjadi dua, yaitu Kampung Atas dan Kampung Bawah. Untuk mencapai Kampung Atas, harus menaiki tangga yang bersandar di tebing setinggi 10 sampai 15 meter. Hal menarik di sini adalah arsitektur, seni, adat istiadat dan kepercayaan leluhur yang masih dipegang teguh oleh penduduknya. Upacara tradisional Tate‟e dilaksanakan setiap tahun untuk memohon kepada Tuhan dan leluhur agar memperoleh panen darat dan laut yang baik. Enbal Masyarakat Kei terkenal dengan makanan pokok yang terbuat dari enbal (ubi kayu beracun). Berbagai jenis penganan lokal dari enbal telah dikembangkan oleh masyarakat Kei dan menembus pasar dalam dan luar Kei sebagai bagian dari wisata kuliner. Ohoi Debut dan Ngilngof merupakan dua desa di wilayah Kei Kecil bagian barat yang memproduksi enbal untuk tujuan pasar. 6.1.3. Wisata Rohani Wisata rohani di Kei Kecil bagian barat yang ditemukan adalah wisata rohani agama Katolik yang memiliki penganut terbesar di wilayah ini. Bukit Masbait Bukit Masbait merupakan bukit tertinggi di Pulau Kei Kecil; pemandangan yang indah dapat dinikmati dari ketinggian tempat ini. Di bukit ini didirikan sebuah patung Kristus Raja yang berdiri di atas bola dunia, menjadi tempat perziarahan bagi umat Katolik. Tempat peziarahan ini terletak di wilayah ohoi Gelanit. Foto 32. Bukit Masbait [Foto: H. Soselisa, 2013]
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
79
Disuk Di Disuk (terletak di Kei Kecil bagian timur) terdapat Goa Maria dan salib besar yang dipasang pada kampung lama. Tempat ini merupakan tempat ziarah dengan prosesi keagamaan umat Katolik, terutama pada bulan Mei (ziarah bulan Maria) dan bulan Oktober (bulan rosario). Ohoi-ohoi Katolik di wilayah Kei Kecil bagian barat dan timur yang bergabung dalam ziarah adalah: Ngabub, Semawi, Wain, Iso, Disuk, Remav, Rumat, Ohinol, Marvun, Ohoilus, Danar Lumefar, Ohoidertom, Ohoidertutu, Somlain dan Ohoiren. Tempat berkumpul sebelum ziarah dilakukan adalah di Wain, dan dari situ prosesi keagamaan dimulai menuju Disuk.
6.2. Pemetaan Potensi dan Strategi Pengembangan Pariwisata 6.2.1. Pemetaan Potensi Dalam rangka pengembangan potensi pariwisata, baik wisata alam, sejarah dan budaya, maupun rohani, maka hal penting yang perlu diperhatikan adalah segmen pasar. Daya tarik objek wisata yang mendorong kehadiran atau perkunjungan wisatawan ke suatu objek mengindikasikan peluang pasar. Kenyataan yang ditemui di lapangan bahwa dari sekian banyak tempat yang telah diuraikan di atas, tempat-tempat tersebut pernah dikunjungi oleh wisatawan. Wisatawan domestik/lokal yang berkunjung, bukan saja dari masyarakat Maluku Tenggara (biasanya mereka berekreasi di akhir pekan, terutama pada wisata pantai), tetapi juga wisatawan yang berasal dari kabupaten/kota lain di Provinsi Maluku dan dari daerah-daerah lain di Indonesia (Jakarta, Makassar, Surabaya, dll). Para wisatawan domestik dari luar Kei, biasanya berkunjung ketika berada di Kei untuk tugas dinas atau mengunjungi keluarga. Wisatawan mancanegara yang pernah mengunjungi tempat-tempat tersebut, antara lain dari negara Belanda, Swiss, dan Perancis. 6.2.2. Strategi Pengembangan Pariwisata Strategi pengembangan pariwisata untuk kawasan Kei Kecil bagian barat ada yang telah dimiliki dan ada yang perlu dikembangkan, yaitu meliputi: 1. Kondisi sarana yang layak dan standar: - prasarana jalan raya yang tersedia yang menghubungkan kota Kabupaten dengan desadesa di daratan Pulau Kei Kecil. - Perumahan/pemukiman masyarakat untuk kebutuhan homestay bagi wisatawan. - Pola pemukiman sudah tertata. Perumahan masyarakat ada yang merupakan bangunan fisik yang modern. - Pembagian ruang bangunan rumah yang baik. - Toilet yang memenuhi standar kebersihan dan kesehatan. - Sarana air bersih pada beberapa ohoi sudah memadai. - Masyarakat yang terbuka; keterbukaan masyarakat menerima orang yang datang dari luar untuk keperluan tertentu sangat berpotensi bagi pengembangan pariwisata.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
80
2. Langkah promosi meliputi: - Menawarkan wisata paket, seperti: wisata paket rohani, wisata paket budaya, wisata paket ekologi, atau wisata paket gabungan. - Dukungan fasilitas pokok lainnya seperti peralatan selam, speed boat, pondok-pondok wisata/homestay. - Pemetaan objek sesuai tujuan perkunjungan, seperti untuk menikmati sunset, menyelam, benda budaya, dll. - Pemandu wisata lokal perlu disiapkan dalam hal bahasa, pengetahuan sejarah dan budaya lokal, lokasi selam, dll - Pengembangan kuliner lokal, seperti jenis-jenis makanan dari enbal, dan makanan lokal dari hasil laut. - menata dan menjaga kebersihan lingkungan ohoi dan pantai dengan tetap mempertahankan keaslian alami lingkungan sebagai salah satu daya tarik ecotourism. 6.2.3. Strategi Kesiapan Masyarakat Pariwisata akan membawa nilai-nilai baru dan nilai-nilai global ke dalam masyarakat dan bertemu dengan nilai-nilai lokal. Untuk itu, masyarakat harus dipersiapkan dalam: a. b. c. d.
Menjaga dan melindungi nilai-nilai budaya lokal; Kemampuan untuk melihat peluang/pasar; Membangun lembaga lokal yang berasas pada budaya lokal; Kerjasama antar marga, ohoi, ratschap dalam pengelolaan lingkungan dan objek-objek wisata (terutama objek-objek wisata yang berkaitan).
6.3. Pariwisata dan Konservasi Beberapa situs sejarah dan budaya memiliki kisah legenda yang menjelaskan atau mengindikasikan perubahan-perubahan yang membawa dampak terhadap lingkungan. Misalnya, dalam legenda tabob, kehancuran lutur menggambarkan suatu kegagalan pengelolaan biota laut yang berakibat pada ekosistem lokal. Hal penting dalam pengembangan potensi pariwisata adalah dengan tetap menjaga keberlangsungan ekosistem dari setiap objek yang memiliki peluang untuk dikembangkan, beberapa di antaranya: a. Jika tempat-tempat dalam legenda tabob menjadi objek potensi pengembangan pariwisata, maka habitat dan ekosistem tabob perlu dijaga dan dilindungi sebagai kawasan konservasi. b. Orientasi bawah laut (obal) juga akan menjadi peluang potensi pariwisata apabila kawasan laut di beberapa ohoi diberlakukan aturan yang tegas sehingga kawasan tersebut dilindungi. c. Wisata kuliner dengan mengedepankan makanan lokal (enbal dan makanan dari laut). Untuk itu pengembangan pangan lokal dan budidaya berkelanjutan untuk tujuan pasar yang lebih luas perlu dikembangkan.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
81
VII. TEMUAN-TEMUAN KUNCI Kelembagaan dan Struktur Masyarakat Masyarakat terstruktur dalam beberapa kategori kelompok, berdasarkan kekerabatan, struktur keadatan, teritori, dan politik pemerintahan. Seseorang/satu kelompok kerabat/satu komunitas dapat berafiliasi atau menjadi anggota dari lebih dari satu kategori kelompok. Pengelompokan dapat bersifat sejajar maupun hirarki, di mana masing-masing kedudukan memiliki hak dan kewajiban sesuai posisinya dan ada mekanisme-mekanisme yang jelas dalam pengaturan konfigurasi struktur. Pengelompokan berdasarkan kekerabatan dari pihak ibu (garis matrilineal) juga memainkan peranan penting. Kelembagaan dan struktur masyarakat Kei yang bervariasi, berlapis dan tumpang-tindih dipengaruhi oleh sejarah perpindahan atau migrasi penduduk, periode pemerintahan kolonial Barat yang panjang, dan peraturan negara. Hal ini dapat berakibat kerancuan antara kewenangan adat dan politik pemerintahan. Kelompok-kelompok masyarakat Kei masing-masing memiliki sejarah keberadaan dan kepemilikan melalui toom (tuturan sejarah), taad (tanda-tanda bukti sejarah) dan wa-war (nyanyian-nyanyian/syair-syair). Masyarakat dan Laut Bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Kei, darat dan laut tidak bisa dipisahkan dalam aktivitas sehari-hari. Untuk aktivitas ekonomi, darat dan laut sama-sama berfungsi sebagai sumber kehidupan, tempat memperoleh makanan. Sebagai masyarakat pesisir yang mengelola darat maupun laut, maka nelayan di kawasan Kei Kecil bagian barat terdiri dari lelaki dan perempuan, dewasa dan anak-anak, beroperasi pada zona laut sesuai dengan jenis kelamin dan umur, jenis sumberdaya laut yang dicari, dan teknologi yang dipakai. Dengan kata lain, dalam konsep pengelolaan laut, masyarakat membagi laut atas zona-zona sesuai dengan ciri-ciri fisik dasar laut, sumberdaya, musim, aktivitas manusia, teknologi, gender dan umur. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kei memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang perilaku biota laut sesuai atau berhubungan dengan musim, angin, arus, dan posisi bulan di langit. Melalui legenda tabob di wilayah Nufit diketahui bahwa konsep tentang masyarakat bahari telah hidup sejak leluhur masyarakat Kei, di mana pada suatu masa dahulu, laut menjadi tumpuan orientasi masa depan, tempat menjelajah mencari makanan. Dalam konsep ini diperlihatkan bahwa masyarakat Kei memiliki pengetahuan yang detail tentang jenis-jenis dan karakter sumberdaya laut, serta penggunaannya secara alternatif. Legenda juga menunjukkan bahwa pengetahuan tentang teknologi perikanan telah cukup tinggi. Umumnya kegiatan perikanan masyarakat lokal bersifat subsistensi, termasuk untuk komoditi dengan tujuan pasar dunia. Karakter subsistensi ini kurang memaksimalkan infrastruktur (jalan) yang tersedia sebagai peluang pasar bagi masyarakat lokal. Yang
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
82
terobservasi adalah pedagang luar yang memanfaatkannya dengan setiap hari menjajakan sayur dan ikan ke desa-desa dengan motor. Berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan laut, masyarakat mengenal kewajiban dan hak-hak, seperti hak milik, hak menjaga, hak makan, yang dipegang oleh desa atau mata rumah tertentu berdasarkan wilayah, sejarah atau ikatan kekerabatan. Pengalihan atau perebutan hak menyebabkan konflik wilayah pengelolaan dan pemanfaatan pada beberapa kawasan. Sasi darat untuk kelapa yang dijalankan oleh gereja (sasi gereja) masih dapat ditemui di beberapa desa. Sedangkan sasi laut sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya laut tradisional sudah tidak dipraktekkan lagi di sebagian besar wilayah studi sejak dua dekade terakhir. Alasan tidak lagi diberlakukan sasi laut adalah karena masalah konflik pemilikan dan pengelolaan atas wilayah laut, dan karena jenis sumberdaya laut yang disasi di petuanan sudah sangat berkurang. Sebaliknya, ketidakaktifan sasi mempengaruhi pemulihan sumberdaya laut dan hasil panen komoditi-komoditi unggulan lokal (lola, teripang) secara kualitas maupun kuantitas. Animo pada rumput laut meningkat sebagai respons terhadap pasar global, kebutuhan akan cash, dan penurunan hasil dari komoditi unggulan lokal. Perhatian terhadap rumput laut sebagai komoditi baru dengan pola budidaya, menggeser kegiatan multi-komoditi (dengan beberapa komoditi lokal sebagai unggulan) ke mono-komoditi (dengan rumput laut sebagai unggulan utama). Demikian juga pola pemanenan komoditi unggulan bergeser dari pola pemanenan secara umum (lola dan teripang dipanen secara komunal pada buka sasi) ke pemanenan secara keluarga (rumput laut diusahakan oleh keluarga). Selain mengalihkan perhatian dari komoditi lokal lain, perhatian pada rumput laut juga mengkonsentrasikan nelayan di wilayah pasang-surut, sehingga beban pada zona ini semakin tinggi. Konsentrasi nelayan lokal di wilayah pasang surut pada gilirannya dapat melemahkan kontrol nelayan lokal terhadap perairan laut dalam, sehingga membuka peluang dan menyediakan akses yang lebih besar untuk nelayan luar beroperasi di wilayah laut dalam secara legal maupun illegal, dengan teknologi yang „ramah‟ lingkungan maupun yang merusak. Pengelolaan perairan kawasan Kei Kecil bagian barat turut ditandai dengan keberadaan kegiatan yang menggunakan teknologi penangkapan yang destruktif. Nelayan lokal masih menggunakan bahan pemabuk ikan tradisional (hamurut, ituv, elan) di daerah surut. Bahan peledak (bom) dan potasium umumnya dipakai oleh nelayan luar. Legenda tabob di wilayah Nufit mengindikasikan bahwa masyarakat Kei di kawasan studi sudah mengenal konsep budidaya sumberdaya laut sejak dahulu. Konsep ini sekaligus menunjukkan ketersediaan kondisi lingkungan pesisir yang cukup baik pada satu masa dahulu. Konsep budidaya lokal di laut yang masih dapat dilihat sekarang adalah pada kegiatan “piara” atau “tanam” bia garu (kima raksasa). Di sisi lain, legenda tabob juga mengindikasikan bahwa pernah terjadi kerusakan ekosistem pesisir dan laut akibat kekeliruan dalam pengelolaan (perlakuan dan teknologi) yang kurang memperhitungkan Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
83
keberlanjutan dan kondisi lokal, menyebabkan sumberdaya tertentu menjauh dari pesisir. Pada kasus ini, terjadi ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban pengguna. Dari legenda tersebut diketahui juga adanya fase usaha dan komitmen pemulihan kondisi lingkungan yang rusak dengan mempertimbangkan konsep keberlanjutan. Usaha konservasi lingkungan laut sebenarnya memiliki dasar pada budaya lokal, yaitu sasi yang mengedepankan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya, sehingga spirit dan management dari sistem lokal ini perlu dipertahankan atau direvitalisasi sesuai jaman. Pariwisata Potensi pariwisata alam (pulau, pantai, dan laut) dan pariwisata budaya (legenda, sejarah, situs, kuliner, rohani) yang tersebar di wilayah studi ditunjang oleh prasarana jalan yang menghubungkan pusat kota kabupaten dengan daerah tujuan wisata. Sebagian objek wisata budaya terintegrasi atau saling terhubung dengan wilayah lain di dalam dan di luar kawasan studi berdasarkan sejarah. Masyarakat memiliki pengetahuan yang relatif cukup terhadap situs-situs sejarah di wilayahnya maupun lokasi-lokasi yang tepat untuk wisata alam. Kesiapan masyarakat pada beberapa wilayah sudah terbangun (Ohoililir, Ohoidertawun, Ngilngof), bahkan sebuah resort untuk wisatawan mancanegara telah dibangun dan dijalankan di Ohoililir.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
84
VIII. REKOMENDASI 8.1. Aspek-Aspek Rekomendasi Beberapa rekomendasi terkait aspek ekonomi perikanan, pariwisata, dan konservasi adalah seperti berikut. Perikanan Perlu mengoptimalkan komoditi-komoditi unggulan lokal melalui pola budidaya (penangkaran) untuk meningkatkan pola meramu dan berburu ke pola budidaya dengan tujuan produksi untuk pasar. Untuk itu perlu peningkatan pelatihan tentang budidaya komoditi tersebut. Infrastuktur jalan dan transportasi harus dilihat sebagai peluang untuk akses pasar yang lebih luas. Harus ada pembagian wilayah penangkapan, usaha masyarakat, wilayah laut konservasi, dll. Hasil darat tidak dapat sepenuhnya menunjang laut, sehingga perlu terobosan untuk pola-pola pertanian hortikultura melalui pembukaan/pembangunan sentra-sentra hortikultura kawasan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan regional. Sasi laut harus diaktifkan lagi, terutama untuk komoditi unggulan lokal (lola, teripang) dan untuk jenis-jenis ikan tertentu yang memiliki permintaan pasar regional dan global. Perlu keterlibatan pemerintah daerah dalam menunjang perikanan rakyat melalui program, kebijakan, dan regulasi yang mempertimbangkan konsep-konsep lokal. Pariwisata Perlu pemetaan obyek-obyek wisata sesuai tujuan perkunjungan, dan penyusunan kalender pariwisata. Program promosi ditingkatkan dengan menyodorkan “wisata paket” dan “paket gabungan” untuk tujuan dan obyek wisata ekologi, budaya, dan rohani. Perlu pengembangan fasilitas-fasilitas pokok (alat diving, pemandu wisata lokal dengan keahlian tertentu, dll) dan fasilitas penunjang (kuliner lokal, pondok-pondok wisata, homestay, dll). Pemegang peran adat, seperti tuan tan, wak-wak, saniri dan orang kay diikutsertakan dalam kelembagaan pariwisata. Pariwisata yang diunggulkan adalah ecotourism dengan berwawasan pariwisata kerakyatan. Tradisi tabob, misalnya, dikemas dalam ritual panggil tabob, hanya untuk ditonton, bukan untuk ditikam/ditangkap. Untuk kepastian kunjungan wisatawan, maka kalender pariwisata harus disusun dengan cermat, dengan penawaran paket wisata lintas ohoi dengan satu atau beberapa objek unggulan. Potensi sosial masyarakat harus disiapkan, ditambah standard-standard global tentang kebersihan, kesehatan, kenyamanan, dan keamanan bagi wisatawan. Perlu penyadaran pengetahuan masyarakat tentang budaya lokal (misalnya, melalui pendidikan formal/informal), dan perhatian serta kepedulian terhadap situs-situs budaya.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
85
Perlu joint management pada situs/objek wisatadan usaha pariwisata antara masyarakat dan pemodal (dari luar), dalam hal ini share akses stock dan income. Misalnya, antara tujuan kunjungan yang berupa „target utama‟ dan „target ikutan‟: pemodal menyediakan akses stock peralatan diving dan snorkling, masyarakat menyediakan stock kuliner dan situs budaya, serta pentas seni. Perlu adanya perhatian dan keterlibatan pemerintah daerah dalam menunjang sektor ini melalui kebijakan, regulasi, dan program-program yang memberikan ruang partisipatif kepada masyarakat. Konservasi Masyarakat perlu disiapkan menjelang program konservasi dilakukan, melalui pendidikan, kampanye, dan sosialisasi. Sasi laut harus diaktifkan lagi di tingkat ohoi dan ratschap; meliputi wilayah ohoi dan lintas ohoi. Untuk itu, perlu disokong dan diperkuat dengan pembentukan Perda tentang sasi untuk terutama memperkuat pengakuan pihak pengguna dari luar. Perlu keterlibatan pemerintah daerah dalam tanggungjawab bersama dengan masyarakat dalam upaya-upaya pelaksanaan konservasi. Kelembagaan Memperhatikan struktur pengelompokan lokal (yang hirarki) dalam merekrut dan menyusun keanggotaan kelembagaan sesuai posisi dan hak serta kewenangan dalam pengelompokan adat. Unsur-unsur dalam kelembagaan konservasi kawasan terdiri dari penduduk lokal dan Pemerintah Daerah. Personil kelembagaan harus memiliki pengetahuan tentang masyarakat, adat lokal dan laut.
8.2. Kelembagaan untuk Pengelolaan Kawasan Perairan Beberapa hal yang menjadi dasar pikir untuk merancang bangun kelembagaan lokal untuk tujuan konservasi dan pengelolaan kawasan perairan laut adalah: Perlu diakui bahwa ketersediaan sumberdaya laut pada pulau-pulau kecil di masa depan akan sangat terbatas akibat pertambahan penduduk dan modernisasi alat tangkap. Untuk itu perlu kelembagaan konservasi yang berbasis kelembagaan lokal. Sebagai akibatnya sudah harus dipikirkan penciptaan sektor usaha baru seperti pariwisata laut dengan memperhatikan kelestarian lingkungan pantai dan laut. Perlu pengelolaan kawasan laut pulau melalui pembentukan kelembagaan adat antar ohoi, ratschap dan antar pulau. Tujuannya untuk perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya agar terjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan sumberdaya laut/pesisir dan darat pulaupulau kecil demi pemeliharaan dan peningkatan kualitas nilai dan keanekaragaman. Pengelolaan secara bersama, tapi pemanfaatan sumberdaya alam sesuai hak kepemilikan.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
86
Untuk menuju pada rancang bangun satu kelembagaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan atau kawasan yang mengintegrasikan kepentingan sosial-ekonomi masyarakat dengan kepentingan konservasi di masyarakat adat, maka perlu diperhatikan beberapa hal: Kelembagaan Adat dan Tantangan Ke Depan Globalisasi yang memperkenalkan nilai-nilai budaya baru (budaya pasar bebas) banyak mempengaruhi berbagai kelembagaan adat, terutama terkait dengan terkikisnya berbagai nilai budaya lokal sebagai motor dan energi penggerak kelembagaan itu. Akibat pertemuan kedua nilai itu, timbul konflik antara pemikiran tradisional dengan pengetahuan modern yang rasional (yang menolak legenda, mitos, dan sejarah lisan). Di lain pihak, lembaga adat masih berpatokan kepada hal-hal tersebut dalam menyelesaikan berbagai permasalahan (penyelesaian dengan sirih-pinang). Kehidupan yang subsistensi beralih ke komersial, membuat perubahan perilaku dan konflik antar kerabat, antar kampung dan antar wilayah adat. Jawaban Permasalahan dan Tantangan bagi Kelembagaan Adat Permasalahan yang dihadapi kelembagaan adat ini harus dijawab melalui: penguatan kelembagaan adat lokal. UU No. 5 Tahun 1979 sebagai upaya penyeragaman telah merusak tatanan lembaga adat dan merendahkan budaya lokal serta kearifan lokal. Perda harus berpihak pada kepentingan masyarakat adat dan harus dapat mengakomodir struktur kelembagaan adat yang positif. Kekuatan otak (rasional) harus lebih dikembangkan ketimbang otot. Revitalisasi kelembagaan adat/lokal dengan jalan pengembangan status, fungsi dan peran kelembagaan adat. Menghilangkan berbagai pertentangan di dalam satu lembaga dan antar lembaga. Kelembagaan adat baru yang ingin dibentuk untuk menjawab kebutuhan modernisasi harus dibangun di atas dasar nilai-nilai budaya lokal. Tuntutan Kelembagaan Modern Kelembagaan adat baru yang ingin dibentuk perlu menyesuaikan dengan tuntutan kelembagaan modern, seperti: Harus terbuka dan memperhitungkan masa depan. Perlu manajemen pengambilan keputusan. Disiplin, ketaatan dan kepatuhan pada keputusan. Anggota harus kreatif, inovatif, dan mementingkan kualitas. Mementingkan prestasi. Kerjasama yang kuat untuk pencapaian tujuan bersama. Membaca peluang pasar (produksi, konsumsi, jasa dan tenaga).
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
87
Strategi Penguatan Beberapa langkah strategi untuk penguatan kelembagaan dimaksud adalah: Pengelolaan wilayah laut dengan sumberdaya lautnya harus diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat pesisir setempat Pembagian zona-zona petuanan laut sesuai adat dan pengetahuan lokal tentang kelautan serta pola pemanfaatannya harus dipakai sebagai modal dasar pemanfaatan sumberdaya laut oleh Pemerintah maupun swasta dalam membantu berkembangnya lembaga adat. Sasi laut dan kelembagaannya harus diaktifkan lagi untuk menjawab kelangkaan sumberdaya laut. Sasi laut harus diaktifkan di tingkat ohoi dan ratschap; meliputi wilayah ohoi dan lintas ohoi. Sasi perlu didukung dan diperkuat dengan Perda.
Kelembagaan Lokal untuk Tujuan Konservasi Berdasarkan hasil penelitian, diajukan model kelembagaan konservasi di tingkat ohoi dan di tingkat ratschap yang mengacu pada kelembagaan lokal (sasi). Gambar 19. Kelembagaan sasi di tingkat ohoi yang diusulkan Badan Saniri Ohoi
Orang Kay
Tuan Tan Wak-wak
Sasi Masyarakat
Dalam pengelolaan sasi yang berbatasan wilayah laut, maka untuk mencegah sengketa wilayah, kelembagaan sasi yang diusulkan adalah seperti Gambar 19. Dewan Adat di sini dimaksudkan sebagai yang terdiri dari para pemangku status adat di ohoi/ratschap yang merupakan suatu forum.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
88
Gambar 20. Kelembagaan sasi di tingkat Ratschap / antar ohoi yang diusulkan
Pemerintah Daerah
Rat
Dewan Adat Ratschap
Orang Kay
Rat
Badan Saniri Ohoi
Orang Kay
Tuan tan
Tuan tan Wak-wak
Wak-wak
SASI
SASI
MASYARAKAT
MASYARAKAT
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
89
DAFTAR PUSTAKA Adhuri, Dedi Supriadi. 1998. “Saat Sebuah Desa Dibakar Menjadi Abu: Hak ulayat laut dan konflik antar kelompok di Pulau Kei Besar”. Antropologi Indonesia, No.57:92-108. Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tenggara. 2011. Kei Kecil Barat dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tenggara. 2011. Kei Kecil dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tenggara. 2011. Angka 2011.
Maluku Tenggara Dalam
Ellen, Roy dan Hermien L. Soselisa. 2012a. “A Comparative Study of the Sociocultural Concomitants of Cassava (Manihot esculenta): Diversity, Local Knowledge and Management in Eastern Indonesia”. Ethnobotany Research and Applications 10:15-35. Ellen, Roy dan Hermien L. Soselisa. 2012b. “Cassava Diversity and Toxicity in Relation to Environmental Degradation and Food Security in the Moluccas”, dalam A.-K. Hornidge dan C. Antweiler (eds.), Environmental Uncertainty and Local Knowledge: Southeast Asia as a Laboratory of Global Change, Bielefeld: LIT Verlag. Huliselan, Mus. 2013. “Kelembagaan Adat di Maluku Tenggara”. Paper dipresentasikan pada Lokakarya Pengembangan dan Penguatan Pendekatan Berbasis Hak Masyarakat di Bidang Perikanan: Tantangan dan Peluang untuk Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pesisir. Ambon, 8-10 April 2013. Kabupaten Maluku Tenggara. 2009. Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 03 Tahun 2009 tentang Ratshap dan Ohoi. Levi-Strauss, Claude. 1997. Mitos, Dukun dan Sihir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Namsa, Thomas T. 2012. Pengelolaan Wilayah Pulau Sepuluh (Nuhu Vut) dan Konflik Dian-Debut, Kecamatan Kei Kecil Kabapaten Maluku Tenggara. Thesis S2. Program Studi Sosiologi Program Pascasarjana Universitas Pattimura, Ambon. Ngamel, Alexander J. 1992. Sejarah Nufit. Ohoitimur, Yohanis. 1983. Beberapa Sikap Hidup Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan. Skripsi Sarjana. Sekolah Tinggi Seminari Pineleng Manado. Rahail, J.P. 1993. Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei bertahan menghadapi arus perubahan. Jakarta: Yayasan Sejati.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
90
Rahail, J.P. 1995. Bat Batang Fitroa Fitnangan: Tata Guna Tanah dan Laut Tradisional Kei. Jakarta: Yayasan Sejati. Soselisa, Hermien. 2001. “Sasi Laut di Maluku: Pemilikan Komunal dan Hak-hak Komunitas dalam Manajemen Sumber Daya Kelautan”, dalam F & K von BendaBeckmann and Juliette Koning (eds.), Sumber Daya Alam dan Jaminan Sosial, hal.227-260. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Soselisa, Hermien L. 2004. Fishers of Garogos: Livelihood and Resource Management in a Maluku Island, Indonesia. Darwin: Charles Darwin University Press. Soselisa, Hermien L. 2005. “Pengelolaan Lingkungan Dalam Budaya Maluku”, dalam Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, Maluku Menyambut Masa Depan. Hal.198-214 Van Wouden, F.A.E. 1968. Types of Social Structure in Eastern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff. Yayasan Hualopu, Fakultas Hukum Unpatti, Pusat Studi Maluku Unpatti. 1991. Laporan Penelitian Hak Adat Kelautan di Maluku. Ambon.
Studi Kelembagaan Masyarakat Lokal Kawasan Kei Kecil bagian Barat – 2013
91