IX HUKUM DAN KEBIJAKAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
Tujuan pembelajaran: Memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Juga, menelusuri kebijakan operasional pemerintah dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi kawasan konservasi. Ketentuan hukum dianalisis dari prinsip-prinsip global dalam bentuk konvensi maupun kode etik bersama. Ketentuan konvensi biasanya memerlukan peraturan ratifikasi pada tingkat nasional. Sedangkan ketentuan kode etik langsung dijabarkan dalam bentuk program aksi, tanpa ketentuan hukum yang mengikat (soft law).
9.1 Definisi Ada tiga terminologi penting yang sering digunakan dalam pembahasan pada bab ini, ialah: hukum, peraturan, dan kebijakan. Definisi dari ketiga istilah ini agak sulit dirumuskan karena masingmasing ahli hukum mempunyai pandangan yang berbeda. Definisi istilah tersebut pada bahasan ini dibuat melalui sintesis berbagai definisi yang berbeda dan disesuaikan dengan kepentingan konservasi. Hukum didefinisikan sebagai suatu sistem aturan atau adat dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan, ditetapkan oleh lembaga atau instansi yang berwenang, sebagai pedoman tindakan seluruh masyarakat Indonesia, mengikat dan dikenakan sanksi jika terjadi pelanggaran – sistem aturan ialah berbagai komponen peraturan yang terkait satu sama lain menjadi satu kesatuan. Peraturan didefinisikan sebagai tatanan, petunjuk, kaidah atau ketentuan yang dibuat untuk mencapai sasaran (goal) dari pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Dengan demikian, hukum tentang Kawasan Konservasi Perairan bisa dikatakan sebagai himpunan seluruh peraturan yang saling terkait satu sama lain dan mengatur tentang pengelolaan kawasan. Kebijakan ialah rangkaian konsep dan asas terkait dengan kawasan konservasi yang menjadi pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi untuk mencapai tujuan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan berbeda dari prosedur atau protokol – dia menentukan apa dan mengapa suatu tindakan konservasi diperlukan. Sedangkan prosedur atau protokol mencakup keseluruhan tentang apa, siapa, bagaimana, dimana, dan kapan kegiatan dilakukan untuk mencapai sasaran (tujuan) Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan juga bisa dikatakan sebagai pernyataan kehendak, statement of intent, atau komitmen
325
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
untuk melakukan tidakan yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian sasaran pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.
9.2 Peraturan dan Kebijakan Dibidang Kaw asan Konservasi Perairan Perkembangan hukum dan kebijakan dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia sangat terkait dengan keharusan atau komitmen bangsa untuk mengadopsi ketentuan hukum internasional tentang konservasi kawasan. Selain itu, pemerintah juga mengadopsi beberapa prinsip Standar Tingkah Laku Internasional (global) tanpa mengesampingkan identitas bangsa dan ketentuan hukum dan kebijakan di Indonesia. Dengan demikian, penyerasian proses hukum dan kebijakan secara internasional dilakukan karena kewajiban dan tanggung jawab negara kepada dunia global serta adopsi kode etik yang sesuai dan memungkinkan untuk dilakukan di wilayah perairan Indonesia.
9.3 Peraturan dan Kebijakan Internasional dan Regional Pada tanggal 13 Desember tahun 1957, Indonesia menyatakan secara sepihak Wilayah Perairan Nusantara yang disebut dengan Deklarasi Djuanda. Pada saat yang hampir sama, dunia membahas kepentingan usaha penangkapan ikan dan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai. Hak Indonesia sebagai negara berdaulat atas wilayah perairan akhirnya diterima pada tahun 1982. Namun pada saat yang sama, kita juga harus bertanggung jawab untuk menyusun langkah-langkah nyata terkait dengan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai melalui konservasi di dalam Wilayah Perairan Nasional. Secara berurutan ketentuan hukum, peraturan dan kebijakan global yang mendorong berkembangnya Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, ialah sebagai berikut: 1) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas 1958 2) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982; 3) Agenda 21 UNCED (United Nations Convention on Environment and Development); 4) United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), 1992; 5) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), 1992; 6) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), 1995; Sedangkan beberapa ketentuan regional yang terkait, antara lain ialah: 1) Coral Triangle Initiative (CTI) on Coral Reefs, Fisheries and Food Security, 2007; 2) Arafura Timor Seas Expert Forum (ATSEF).
9.3.1 Konvensi Jenew a, 1958 Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional tentang hukum laut (Conference on the Law of the Sea) di Jenewa Swiss. Indonesia berhasil mengirim delegasi untuk ikut dalam koferensi. Pertemuan memutuskan 3 (tiga) konvensi sebagai berikut: a) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas, b) Convention on the Continental Shelf, dan 326
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
c) Convention of the High Seas. Ketiga konvensi ditanda tangani pada tanggal 29 April 1958 dan mulai berlaku efektif pada tanggal 20 Maret 1966. Indonesia, secara formal menyetujui (ratifikasi) ketiga konvensi Jenewa melalui Undang-Undang No. 19 tahun 1961. Ketentuan tentang Kawasan Konservasi Perairan terutama tercantum pada konvensi pertama, Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas, antara lain ialah: •
Setiap negara pantai (coastal state) mempunyai hak untuk menangkap ikan di wilayah perairan nasionalnya. Namun pada saat yang sama, setiap negara pantai berkewajiban mengadopsi atau bekerja sama dengan negara lain dalam melakukan langkah-langkah nyata terkait dengan konservasi di wilayah perairan nasionalnya untuk kepentingan konservasi sumber daya hayati di lepas pantai (high seas);
•
Ekspresi dari konservasi sumber daya hayati lepas pantai merupakan ukuran agregat dari hasil tangkap optimal yang diperbolehkan bagi masing-masing negara pantai;
•
Setiap negara pantai harus melaksanakan program konservasi dengan mengutamakan ketahanan pangan dan penyediaan ikan bagi konsumsi masyarakat global.
Teks pada konvensi, menyebutkan kata konservasi sampai 20 kali dalam 22 pasal di dalam konvensi. Konservasi dinyatakan sebagai salah satu alat pemanfaatan sumber daya hayati laut secara berkelanjutan. Kata konservasi, di Indonesia didefinisikan melalui tiga kata kunci, ialah perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara berkelanjutan dari sumber daya atau keanekaragaman hayati. Sedangkan tingkatan konservasi dibedakan menjadi kategori: konservasi kawasan (in-situ), konservasi spesies dan konservasi genetik.
9.3.2 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982 Draft final United Nations Convention on the Law of the Sea diselesaikan pada sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-tiga di New York, tertanggal 30 April 1982. UNCLOS ditanda tangani oleh 118 negara (termasuk Indonesia) pada tanggal 9 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Mulai saat itu, UNCLOS dinyatakan mulai berlaku dan mengikat semua negara anggota PBB. Selain ikut menjadi pelaku dalam menanda tangani perjanjian tersebut, secara resmi Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi melalui Undang-Undang No. 17 tahun 1985. Beberapa ketentuan yang mengatur konservasi di wilayah laut negara pantai ialah sebagai berikut: •
Setiap negara pantai (coastal state), berdasarkan informasi terbaik yang tersedia, harus melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam konservasi dan perlindungan sumber daya hayati untuk mencegah penangkapan (pengambilan) berlebih dari sumber daya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif masing-masing negara pantai;
•
Setiap negara pantai diharuskan bekerja sama dengan organisasi internasional, baik pada tingkat subregional, regional maupun pada tingkat global dalam menjamin kelangsungan atau konservasi sumber daya hayati laut di wilayah negaranya;
•
Setiap negara pantai yang menangkap ikan di wilayah perairannya harus mengikuti ketentuan konservasi yang berkalu. Setiap negara pantai harus menyampaikan tata waktu terkait dengan penyelesaian peraturan konservasi dan pengelolaan sumber daya di wilayah nasionalnya;
Teks pada UNCLOS menyebutkan kata konservasi sampai 34 kali, sebagai alat untuk mempertahakan perikanan secara berkelanjutan.
327
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
9.3.3 United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), 1992 UNCBD ialah salah satu hasil konvensi pada Agenda 21 yang dicetuskan oleh PBB di Rio de Jeneiro Brasil, pada tanggal 13 Juni tahun 1992. Agenda 21 menghasilkan 40 konvensi yang tersusun dalam 4 (empat) bagian besar. Salah satu konvensi yang dihasilkan ialah UNCBD, terkait dengan kawasan konservasi (in-situ conservation). Tujuan utama dari aturan dalam teks UNCBD ialah: mencapai konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati, dan pembagian secara adil terhadap keuntungan yang timbul dari pemanfaatan sumber daya hayati. Secara keseluruhan, tujuan konvensi ialah untuk mendorong kegiatan aksi yang mengarah pada usaha pemanfaatan berkelanjutan. Beberapa ketentuan dalam konvensi tersebut ialah: •
Sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan azas-azas hukum internasional, setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional negara tersebut. Namun setiap negara juga harus mengemban tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksi-nya atau kendalinya tidak akan menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasionalnya;
•
Setiap negara, dengan kondisi dan kemampuan khususnya, wajib mengembangkan strategi, rencana atau program nasional untuk konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati atau menyesuaikan strategi, rencana atau program yang sudah ada untuk maksud tersebut, yang harus mencerminkan, diantaranya, upaya yang dirumuskan dalam konvensi ini yang berkaitan dengan kepentingan negara masing-masing;
•
Setiap negara wajib memadukan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program dan kebijakan sektoral atau lintas sektoral yang berkaitan, sejauh yang mungkin dilakukan;
•
Setiap negara wajib mengembangkan sistem kawasan konservasi atau kawasan yang memerlukan penanganan khusus untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati;
•
Setiap negara wajib mengembangkan pedoman untuk penyelesaian, pendirian dan pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan-kawasan yang memerlukan upaya-upaya khusus untuk konservasi keanekaragaman hayati;
•
Setiap negara wajib mengusahakan terciptanya kondisi yang diperlukan untuk keselarasan antara pemanfaatan kini dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara berkelanjutan komponen komponennya;
9.3.4 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) UNFCCC juga merupakan bagian dari Agenda 21, termasuk dalam 40 konvensi yang dihasilkan dari pertemuan tersebut. Konvensi ditanda tangani di Rio de Jeneiro pada tanggal 16 Juni 1992, oleh 178 negara, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia memandang perlu dan meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang No. 6 tahun 1994. Teks yang tertuang dalam konvensi tidak secara khusus membahas kepentingan kawasan konservasi. Hal ini disebabkan karena materi pembahasan utama terkait dengan perubahan iklim global. Namun peran Kawasan Konservasi Perairan (MPA) selalu dibahas pada setiap pertemuan IPCC (Inter-Governmental Parties on Climate Change).
328
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
9.3.5 Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), 1995 Untuk mencegah terjadinya penangkapan berlebih, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menetapkan suatu kode etik perikanan yang bertanggung jawab, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Dalam kode etik, ditentukan prinsip-prinsip standar tingkah laku internasional tentang praktek-praktek yang bertanggung jawab terkait dengan (termasuk) usaha penangkapan ikan. Walaupun bersifat sukarela, ketentuan dalam kode etik bersifat global, ditujukan bagi negara, pemerintah maupun non-pemerintah dan seluruh pihak swasta perikanan baik yang menjadi anggota maupun bukan anggota PBB. CCRF diadopsi sejak tanggal 31 Oktober 1995, dan termasuk kategori soft law. Dengan demikian Pemerintah Indonesia tidak merasa perlu untuk menetapkan peraturan khusus dalam meratifikasi CCRF. Seluruh aturan dalam CCRF ditujukan untuk membantu negara-negara pantai di dunia dalam membangun dan mengembangkan perikanan, dengan dasar pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya perikanan. CCRF menjelaskan bagaimana perikanan harus diatur secara bertanggungjawab, dan bagaimana kegiatan perikanan harus diterapkan sesuai dengan peraturan nasional masing-masing negara. Walaupun tidak menyebutkan Kawasan Konservasi Perairan secara khusus, CCRF memandang konservasi sebagai salah satu pendekatan yang sangat penting dalam pengelolaan perikanan. CCRF menyebutkan kata konservasi sampai 70 kali, dalam pendekatan pemanfaatan sumber daya perikanan berkelanjutan. Beberapa ketentuan konservasi tersebut antara lain, ialah: •
Para pihak dan pengguna sumber daya ikan harus melakukan tindakan konservasi terhadap ekosistem perairan (laut). Hak menangkap ikan harus diikuti dengan kewajiban untuk melakukan konservasi dan pengelolaan sumber daya perairan secara efektif
•
Pengelolaan perikanan harus mampu mempertahankan kualitas, diversitas dan ketersediaan sumber daya ikan bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Langkah-langkah pengelolaan tidak hanya ditujukan pada konservasi ikan-ikan yang menjadi target penangkapan, tapi juga spesies lain yang menempati ekosistem yang sama dan ikan lain yang tergantung dari keberadaan ikan target;
•
Setiap negara yang terlibat dalam penangkapan ikan di laut harus melakukan prinsip atau pendekatan kehati-hatian dalam konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya ikan sesuai dengan informasi terbaik yang tersedia saat itu. Namun kurangnya informasi ilmiah ini tidak dijadikan alasan untuk menunda langkah-langkah konservasi terhadap spesies target.
•
Semua jenis habitat penting untuk perikanan, seperti lahan basah, bakau, terumbu karang, tempat pembesaran dan pemijahan ikan harus dilindungi dan direhabilitasi. Pengelola perikanan harus mengambil langkah-langkah yang penting untuk melindungi habitat tersebut dari perusakan, degradasi, polusi dan dampak lain yang disebabkan oleh aktifitas manusia, yang bisa menurunkan kesehatan (viabilitas) sumber daya ikan.
•
Setiap negara, harus mengintegrasikan kepentingan perikanan tangkap, termasuk kebutuhan untuk konservasi sumber daya perikanan, dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu;
•
Keragaman hayati pada habitat dan ekosistem perairan harus dikonservasi, ikan yang terancam punah harus dilindungi;
329
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
9.3.6 Coral Triangle Initiative (CTI), 2007 Pada sidang Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) tahun 2007 di Australia, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmen untuk melindungi terumbu karang di Indonesia bagi kepentingan perikanan dan ketahanan pangan. Presiden menyatakan komitmen untuk mencapai pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan secara efektif, seluas 20 juta ha pada tahun 2020. Pada saat yang sama, Presiden meminta 5 (lima) negara tetangga untuk mendukung komitmen tersebut. Gagasan ini selanjutnya dikenal dengan istilah Coral Triangle Initiative (CTI), suatu gagasan yang secara formal dicetuskan bersama oleh 6 (enam) negara, ialah: Indonesia, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan kepulauan Solomon. Tujuan dan sasaran dari CTI ialah: pengelolaan wilayah bentang laut (sea scape) secara efektif, pengelolaan perikanan melalui pendekatan ekosistem, pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan atau Marine Protected Areas (MPA) secara efektif, langkah-langkah adaptasi terhadap perubahan iklim, dan peningkatan status dari spesies yang terancam mengalami kepunahan.
9.4 Analisis Hukum dan Kebijakan Internasional Tentang Kaw asan Konservasi Sejak tahun 1958, Indonesia mempunyai kewajiban dan mengemban tanggung jawab untuk menerapkan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dalam usaha penangkapan ikan di wilayah perairan nasional Indonesia. Hal ini dimulai dari peran serta pemerintah dalam konvensi Jenewa yang dilanjutkan dengan penanda tanganan 3 (tiga) naskah konvensi ketika itu. Salah satu naskah konvensi ialah tentang Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Selain itu, pemerintah juga melakukan ratifikasi terhadap ketiga naskah melalui UU No. 19 tahun 1961. Naskah konvensi mengharuskan setiap negara pantai (coastal state) untuk melakukan langkah konservasi dan pengelolaan berkelanjutan dalam operasi penangkapan ikan di wilayah perairan nasional masing-masing negara. Namun pendekatan kawasan sebagai salah satu alat ukur (tool) tidak disebutkan secara tertulis di dalam naskah konvensi – Naskah konvensi Jenewa bisa dikatakan sebagai peraturan yang bersifat tidak langsung dalam perkembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Indonesia meratifikasi naskah UNCLOS melalui UU No. 17 tahun 1985. Secara strategis UNCLOS merupakan pengakuan terhadap wilayah perairan laut dari setiap negara berdaulat, termasuk Indonesia. Dengan demikian, Deklarasi Djuanda yang diumumkan sepihak oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1957 mendapat pengakuan formal setelah UNCLOS disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di dunia. Namun pada saat yang sama, Indonesia juga dikenakan tanggung jawab untuk bekerja sama dengan negara lain terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan. Konservasi ialah pendekatan penting yang harus dilakukan oleh setiap negara pantai (kata konservasi disebut 34 kali pada naskah konvensi). Namun kawasan konservasi tidak disebutkan secara tertulis sehingga UNCLOS bisa dikatakan sebagai peraturan global yang tidak langsung mempengaruhi kebijakan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Indonesia ialah peserta konperensi UNCED (United Nations Conference on Environment and Development) yang diadakan di Rio de Jeneiro Brasil pada tahun 1992. Konperensi menghasilkan 40 konvensi, salah satu diantaranya ialah tentang keanekaragaman hayati, United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD). Peraturan global ini diratifikasi oleh pemerintah melalui UU No. 5 tahun 1994 (Indonesia ialah negara ke-delapan yang menyatakan mengadopsi UNCBD dan menanda tangani naskah tersebut di Brasil pada tahun 1992). Naskah ini menyebutkan secara jelas tentang kawasan konservasi. Naskah konvensi menyatakan bahwa konservasi keanekaragaman hayati harus dilakukan dalam 3 (tiga) pendekatan, ialah: konservasi kawasan, konservasi spesies dan konservasi genetik. Konservasi kawasan termasuk dalam kategori konservasi in-situ.
330
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dan Coral Triangle Initiative (CTI) ialah dua jenis kebijakan yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan Kawasan Konservasi Perairan. Indonesia tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memenuhi semua ketentuan yang tertuang dalam naskah CCRF dan CTI. Naskah CCRF menyarankan setiap negara pantai untuk mengitegrasikan perencanaan pengelolaan perikanan dengan rencana pengelolaan Wilayah Pesisir. Walaupun tidak disebutkan secara tertulis, naskah CCRF mengandung inisiatif tentang Kawasan Konservasi Perairan yang terintegrasi didalam pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan CTI sudah secara tegas menyebutkan (tiga dari lima sasaran CTI) pendekatan Kawasan Konservasi Perairan. Sebagai ringkasan, Indonesia paling tidak telah mengadopsi 5 (lima) ketentuan internasional terkait dengan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, baik ketentuan yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Dari jumlah tersebut, 3 (tiga) diantaranya ialah dalam bentuk hukum internasional yang mengikat Indonesia – Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas (1958), UNCLOS (1985) dan UNCBD (1992). UNCBD ialah satusatunya ketentuan internasional yang mengatur tentang kawasan konservasi (termasuk Kawasan Konservasi Perairan) dengan tujuan untuk perlindungan keanekaragaman hayati (biological diversity). CCRF dan CTI ialah dua bentuk kebijakan yang tidak mengikat terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi. CCRF menyebutkan integrasi rencana pengelolaan perikanan ke dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan CTI secara tegas menyebutkan tentang pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. 9.5 Kebijakan dan Hukum Tentang Kaw asan Konservasi di Indonesia Tata urutan (hierarchical structure) dari peraturan yang berlaku di Indonesia sudah sangat jelas, dimulai dari: •
Undang-Undang Dasar 1945;
•
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
•
Undang-Undang;
•
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
•
Peraturan Pemerintah;
•
Peraturan/Keputusan Presiden; dan
•
Peraturan Daerah.
Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yang lebih tinggi Tata urutan peraturan terkait dengan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia ialah sebagai berikut: •
Konstitusi/UUD 1945;
•
Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN 1993 – 1998;
•
Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN 1998 – 2003;
•
UU No. 19 tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa tahun 1958;
•
UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (diganti dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan);
331
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
•
UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (diganti dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup);
•
UU No. 5 tahun 1985 tentang Perikanan;
•
UU No. 17 tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS;
•
UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;
•
UU No. 24 tahun 1992 Penataan Ruang;
•
UU No. 5 tahun 1994 tentang pengesahan UNCBD (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai keanekaragaman hayati);
•
UU No. 6 tahun 1994 tentang UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Perubahan Iklim);
•
UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
•
UU No. 23 tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup (diganti dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup);
•
UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;
•
UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan;
•
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
•
UU No. 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Protocol Cartagena;
•
UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
•
UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ;
•
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
•
PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
•
PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan;
•
Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
•
PerMen Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ;
9.5.1 Undang-Undang Dasar 1945 Sampai tahun 2002, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah mengalami beberapa kali peninjauan dan/atau perubahan. Pada perubahan ke-empat (2002), ketentuan pada Pasal 33 (4) menjadi sebagai berikut: “Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas Demokrasi Ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Ketentuan pada Pasal 33(4), terutama pada frase “Berwawasan Lingkungan”, merupakan ketentuan peraturan tertinggi dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. istilah konservasi kawasan tidak disebutkan karena naskah konstitusi pada umumnya hanya mengatur ketentuan pokok, sementara ketentuan lebih detail dibuat pada peraturan pelaksana yang lebih rendah.
332
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
9.5.2 Ketetapan Majelis Perm usyaw aratan Rakyat (TAP MPR) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN 1993 - 1998), menyinggung aspek konservasi kawasan melalui peran lingkungan hidup sebagai berikut: •
Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari ekosistem yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi diarahkan pada terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pembangunan lingkungan hidup bertujuan meningkatkan mutu, memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, merehabilitasi kerusakan lingkungan, mengendalikan pencemaran dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
•
Sumber daya alam di darat, di laut maupun di udara dikelola dan dimanfaatkan dengan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup agar dapat mengembangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang memadai untuk memberikan manfaat bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi masa kini maupun bagi generasi masa depan;
•
Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta keunikan alam terus ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem;
•
Konservasi hutan tanah kering, hutan rawa, dan hutan perairan serta kekhasan alam, termasuk flora dan faunanya, ditingkatkan untuk melindungi plasma nutfah, keanekaragaman hayati, dan ekosistem beserta unsur-unsur, juga untuk mengembangkan cagar alam wisata.
•
Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta keunikan alam terus ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN 1998 – 2003), juga menyinggung aspek konservasi kawasan melalui perannya dalam lingkungan hidup melalui beberapa pernyataan, sebagai berikut: •
Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup agar kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan pembangunan nasional serta usaha pemanfaatan sumber daya alam termasuk air, tanah, dan udara berlangsung secara berkelanjutan;
•
Pembangunan lingkungan hidup dilakukan melalui penataan ruang serta keterpaduan kegiatan pembangunan dalam wilayah, didukung oleh peran serta aktif masyarakat dan dunia usaha serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
•
Fungsi hutan lindung, hutan cadangan pangan, hutan suaka, cagar alam, taman nasional, taman hutan raya, hutan wisata, kawasan pelindung, sempadan sungai dan danau, terumbu karang, dan kawasan konservasi alam terus dilestarikan dan ditingkatkan pengelolaannya agar kelestariannya terjamin dan memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan budaya;
•
Rehabilitasi hutan dan lahan kritis; konservasi hutan, sungai, danau, rawa, dan hutan bakau; pelestarian gua-gua alam, karang laut, flora, dan fauna langka; dan pengembangan fungsi daerah aliran sungai terus ditingkatkan dan makin disempurnakan untuk memulihkan kesuburan tanah, tata air dan kelestarian daya dukung lingkungan;
•
Konservasi ekosistem darat, laut, dan udara terus ditingkatkan untuk melindungi fungsi ekosistem sebagai pendukung dan penyangga sistem kehidupan
333
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
GBHN 1998 – 2003 secara jelas dan tegas menyebutkan tentang kawasan konservasi dalam berbagai kategori, seperti hutan lindung, hutan cadangan pangan, hutan suaka, cagar alam, taman nasional, taman hutan raya, hutan wisata, kawasan pelindung, sempadan sungai, sempadan danau dan terumbu karang. Namun ketentuan ini belum sampai pada tingkat implementasi karena perubahan kepemimpinan nasional sebagai dampak dari reformasi.
9.5.3 UU No. 5 tahun 1967, Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Ketentuan Pasal 3 pada UU No. 5 tahun 1967 menyebutkan pembagian Hutan Negara ke dalam bentuk: •
Hutan Lindung;
•
Hutan Produksi;
•
Hutan Suaka Alam; dan
•
Hutan Wisata; dan
•
Hutan Suaka Alam.
Hutan Suaka Alam dibedakan berdasarkan kategori Suaka Alam dan Suaka Margasatwa. Sedangkan Hutan Wisata dibedakan berdasarkan kategori Taman Wisata dan Taman Buru. Sistem penamaan kategori hutan ini tidak konsisten dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (dibahas kemudian).
9.5.4 UU No. 5 tahun 1990, Konservasi Sum ber daya Alam Hayati dan Ekosistem nya Sebelum UU No. 5 tahun 1990, Pemerintah menetapkan UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Pasal 12 dari Undang-Undang ini menyebutkan bahwa ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan pada Pasal 12 inilah yang mendorong Pemerintah untuk menetapkan UU No. 5 tahun 1990. UU No. 5 tahun 1990 terintegrasi dengan Peraturan Pelaksana yang ditetapkan 8 (delapan) tahun berikutnya, ialah PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Pasal 5 dari UU No. 5 tahun 1990 menyatakan: Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Untuk tujuan perlindungan, Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan (Pasal 8(1.a)). Ketentuan dalam pasal inilah yang menentukan adanya kawasan konservasi yang selanjutnya diatur pada PP No. 68 tahun 1998. Pada Pasal 11 dinyatakan bahwa: pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan: (a) pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (b) pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Selanjutnya, Pasal 12 menyebutkan bahwa: pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli. PP No. 68 tahun 1998 membagi kawasan suaka alam menjadi 2 (dua) kategori, ialah: Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM). Pasal 26 dari UU No. 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa: pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (a) pemanfaatan kondisi lingkungan 334
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
kawasan pelestarian alam; (b) pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pasal ini melahirkan istilah kawasan pelestarian alam (KPA) yang selanjutnya dibahas pada PP No. 68 tahun 1998. Selanjutnya, Pasal 29 menyebutkan bahwa: Kawasan pelestarian alam terdiri darikategori: (a) Taman Nasional; (b) Taman Hutan Raya; dan (c) Taman Wisata Alam. Dari uraian di atas, UU No. 5 tahun 1990 ialah peraturan pertama di Indonesia tentang kawasan konservasi, dibedakan berdasarkan fungsinya melalui kegiatan yang boleh dilakukan di dalamnya, ialah: Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Selanjutnya, KSA dibedakan dalam bentuk Cagar Alam dan Suaka Margasatwa (SM). Sedangkan KPA dibedakan menjadi: Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman Wisata Alam (TWA). Semua kategori kawasan konservasi tersebut mencakup wilayah darat maupun laut. Hal ini sesuai dengan definisi kawasan suaka alam (Pasal 1(1)) ialah ialah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sedangkan kawasan pelestarian alam (Pasal 1(13)) didefinisikan sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
9.5.5 UU No. 31 tahun 2004, Perikanan UU No. 31 tahun 2004 harus dikaitkan dengan peraturan pelaksananya yang ditetapkan 3 (tiga) tahun kemudian, PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. Artinya, kedua ketentuan ini ditetapkan untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan, ialah pemanfaatan secara berkelanjutan atau lestari. Pasal 13(1) dari UU No. 31 tahun 2004 menyatakan sebagai berikut: Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan. Pasal 13 ini diterjemahkan sebagai konservasi sumber daya ikan pada PP No. 60 tahun 2007. Konservasi sumber daya ikan didefinisikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dankeanekaragaman sumber daya ikan. Sedangkan konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang. Pasal 8(1) dari PP No. 60 tahun 2007 menyatakan bahwa terkait dengan konservasi ekosistem, satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan dapat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Selanjutnya, Pasal 8(2) menyatakan bahwa Kawasan Konservasi Perairan terdiri atas Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan. Undang-Undang No. 31 tahun 2004 membuat nomenklatur baru tentang kawasan konservasi yang dibuat khusus berlaku pada wilayah perairan.
9.5.6 UU No. 27 tahun 2007, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 memperkenalkan istilah baru kawasan konservasi yang berlaku untuk Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil . Konservasi Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil didefinisikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan 335
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
kesinambungan sumber daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (Pasal 1(19)). Sedangkan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan (Pasal 1(20)). Pasal 28(4) menyatakan bahwa kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Setahun kemudian, Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan Peraturan Menteri No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 4(1) dari Peraturan Menteri ini menyatakan bahwa Kategori Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , terdiri dari: •
Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , yang selanjutnya disebut KKP3K;
•
Kawasan Konservasi Maritim, yang selanjutnya disebut KKM;
•
Kawasan Konservasi Perairan, yang selanjutnya disebut KKP; dan
•
Sempadan Pantai.
Selanjutnya, Pasal 5 menyatakan bahwa jenis KKP3K terdiri dari kategori: •
Suaka pesisir;
•
Suaka pulau kecil;
•
Taman pesisir; dan
•
Taman pulau kecil.
9.5.7 UU No. 32 tahun 2004, Pem erintahan Daerah Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 18(1) menyatakan bahwa: daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Selanjutnya, Pasal 18(3) menyatakan bahwa: Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Selain satu pasal ini, UU No. 32 tahun 2004 tidak mempunyai ketentuan khusus tentang konservasi. Arti kata pengelolaan tidak disebutkan dengan jelas. Dalam tata peraturan dan kebijakan, UU No. 32 tahun 2004 mempunyai kedudukan yang sama dengan tiga undang-undang lainnya: UU No. 5 tahun 1990; UU No. 31 tahun 2004 dan UU No. 27 tahun 2007. Ketentuan pada Pasal 18 telah menimbulkan preseden dua Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia yang ditetapkan dengan menggunakan Peraturan Bupati: Peraturan Bupati Berau No. 31 tahun 2005 tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau; Peraturan Bupati Raja Ampat No. 66 tahun 2007 tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Raja Ampat; Peraturan Bupati Klungkung No. 12 tahun 209 tentang Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida.
9.6 Analisis Hukum dan Kebijakan Nasional Tentang Kaw asan Konservasi Istilah konservasi secara tersirat terdapat pada semua tata urutan peraturan di Indonesia, dari konstitusi atau UUD 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Undang-Undang yang pertama kali secara tegas membahas tentang kawasan konservasi ialah UU No. 5 tahun 1990. Kawasan konservasi dibedakan berdasarkan fungsinya, ialah: perlindungan keanekaragaman hayati, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber 336
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
daya hayati. Kawasan konservasi dibedakan dalam 5 (lima) kategori, ialah: Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM), Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya (TAHURA). Kawasan konservasi pada aturan ini mencakup wilayah darat maupun wilayah perairan, termasuk di laut. Pada tahun 1999, Pemerintah menetapkan UUU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagai pengganti dari UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan). Pada Undang-Undang ini, pemerintah menetapkan tiga jenis hutan, ialah: Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi). Selanjutnya, hutan konservasi dibedakan atas kategori: Kawasan Hutan Suaka Alam, Kawasan Hutan Pelestarian Alam dan Taman Buru. Kedua istilah kawasan tersebut (Suaka Alam dan Pelestarian Alam) telah digunakan pada UU No. 5 tahun 1990 yang dilengkapi dengan PP No. 68 tahun 1998. Perbedaan antara Kawasan Suaka Alam, KSA (pada UU No. 5 tahun 1990) dengan Kawasan Hutan Suaka Alam (pada UU No. 41 tahun 1999) agak sulit untuk dijelaskan, selain kata tambahan, hutan. Pada tahun 2004, Pemerintah menetapkan UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Salah satu pendekatan dalam pengelolaan perikanan ialah melalui Kawasan Konservasi Perairan, KKP. Pengelolaan Kawasan Konservasi (perairan) pada UU No. 31 tahun 2004 lebih difokuskan pada perikanan yang berkelanjutan. Sementara pengelolaan kawasan konservasi pada UU No. 5 tahun 1990 juga mempunyai tujuan yang hampir sama: perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber daya hayati. Namun masing-masing peraturan menggunakan istilah yang berbeda tentang kawasan konservasi. Kategori Kawasan Konservasi Perairan terdiri dari: Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan dan Suaka Perikanan. Untuk kepentingan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , Pemerintah juga menetapkan UU No. 27 tahun 2007. Undang-Undang ini mengadopsi istilah baru tentang kawasan konservasi, terdiri dari: Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan Sempadan Pantai. Melalui UU No. 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola wilayah perairan laut di dalam wilayah yang menjadi jurisdiksi daerah. Pada UndangUndang ini, konservasi tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun kewenangan ini telah dipergunakan untuk penunjukan atau penetapan kawasan konservasi dengan sebutan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Atau Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Undang-Undang No. 2004 juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menetapkan Kawasan Konservasi Perairan dengan sebutan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Mereka menggunakan dasar hukum Peraturan Desa. Dari tinjauan hukum dan peraturan tentang Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia, ada beberapa pembelajaran yang bisa diambil, ialah sebagai berikut: Pengelolaan kawasan konservasi menggunakan beberapa Undang-Undang yang berbeda, namun istilah yang berbeda. UU No. 5 tahun 1990 menggunakan istilah Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Sedangkan UU No. 41 tahun 1999 menggunakan istilah Kawasan Hutan Suaka Alam (KHSA) dan Kawasan Hutan Pelestarian Alam (KHPA). Kedua jenis kawasan bisa berada pada wilayah yang sama; Kawasan konservasi di wilayah perairan juga menggunakan istilah yang berbeda. UU No. 31 tahun 2004 menggunakan istilah Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Sedangkan UU No. 27 tahun 2007 menggunakan istilah Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil . Kategori kawasan dari kedua Undang-Undang ini juga berbeda, sementara sangat memungkinkan keduanya berada pada wilayah yang saling tumpang tindih; Kewenangan daerah dalam mengelola kawasan konservasi (khusus perairan) ditetapkan melalui Undang-Undang yang berbeda dengan peraturan konservasi. Hal ini bisa dilihat sebagai suatu kesempatan dan tanggung jawab, sehingga muncul beberapa Kawasan Konservasi Perairan baru dengan sistem penamaan yang berbeda dengan peraturan lainnya. 337
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
Gambar 9.1
Sistem penamaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia dengan menggunakan peraturan yang berbeda (Sumber: dianalisis dari UU No. 5 tahun 1990; UU No. 41 tahun 1999; UU No. 31 tahun 2004; UU No. 32 tahun 2004; dan UU No. 27 tahun 2007).
Bahan Bacaan Utam a: FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Rome, Italy. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). 41p FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, Italy. FAO: 41p Jepson, P., & R.J. Whittaker (2002). Histories of Protected Areas: Internationalisation of Conservationist Values and their Adoption in the Netherlands Indies (Indonesia). Environment and History 8(129-172). PP. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998. Tentang Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132. PP. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007. Tentang Konservasi Sumber daya Ikan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134. Santosa, A. (Ed) 2008 Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengeloaan & Kebijakan. Bogor. POKJA kebijakan Konservasi. 14x21 cm; xi+ 50 hal UN, 1958. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Geneva, Switzerland. UN Treaty Series, vol. 559, p. 285; 338
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
UN, 1958. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Geneva, Switzerland. UN Treaty Series, vol. 559, p. 285; UNCBD, 1992. United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD). New York, US. UN. 28p UNCLOS, 1982. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Geneva, Switzerland. UN. 208p UNFCCC, 1992. United Nations Framework Convention on Climate Change. New York, US. UN. 24p UU, 1961. Undang Undang No. 19 Tahun 1961. Tentang : Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut. LN 1961/276; TLN NO. 2318
UU, 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68. UU. 1961. Undang Undang No. 19 Tahun 1961 Tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut. LN 1961/276; TLN NO. 2318. UU. 1967. Undang-undang 5 Tahun 1967. Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. LN 1967/8; TLN NO. 2823. UU. 1982. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 . Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 12. UU. 1985. Undang Undang No. 17 Tahun 1985. Tentang : Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut). LN 1985/76; TLN NO. 3319. UU. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990. Tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49. UU. 1992. Undang Undang No. 24 Tahun 1992. Tentang Penataan Ruang. LN 1992/115; TLN NO. 3501. UU. 1994. Undang Undang No. 6 Tahun 1994. Tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim). LN 1994/42; TLN NO. 3557. UU. 1994. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994. Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41. UU. 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996. Tentang Perairan Indonesia. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647. UU. 1997. Undang Undang No. 23 Tahun 1997.Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. LN 1997/68; TLN NO.3699. UU. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167. UU. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004. Tentang Pengesahan Cartagena Protocol On Biosafety To The Convention On Biological Diversity (Protokol Cartagena TentangKeamanan Hayati Atas Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati). Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4414.
339
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan
UU. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004. Tentang Perikanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433. UU. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintahan Daerah. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437. UU. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007. Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil . Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84. UU. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.
Ringkasan: 1. Dokumen Kode Etik Perikanan bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) memberikan indikasi atau langkah awal konservasi dan pengelolaan perikanan tangkap melalui Kawasan Konservasi Perairan. Sebutkan pernyataan di dalam teks yang mendukung hal ini; 2. Sebutkan peraturan global yang secara tegas menyatakan pendekatan konservasi kawasan dalam pengelolaan sumber daya dan keanekaragaman hayati, dan Indonesia meratifikasi peraturan global tersebut. 3. Sebutkan peraturan formal di Indonesia yang pertama kali secara jelas menunjukkan pendekatan Kawasan Konservasi Perairan sebagai alat perlindungan keanekaragaman hayati, bersama peraturan pelaksananya; 4. Zona perikanan berkelanjutan dimungkinkan untuk dibuat secara formal dalam suatu Kawasan Konservasi Perairan. Sebutkan peraturan formal yang mendukung pernyataan ini; 5. Buktikan bahwa peraturan tentang Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia saat ini mengalami tumpang tindih, terutama dalam pengelolaan kawasan; 6. Buatlah nomenklatur atau kategori kawasan konservasi di Indonesia dengan menggunakan kombinasi dasar hukum UU No. 5 tahun 1990 dengan UU No. 41 tahun 1999; 7. Buatlah nomenklatur atau kategori Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia dengan menggunakan kombinasi dasar hukum UU No. 31 tahun 2004, UU No. 27 tahun 2007 dan UU No. 32 tahun 2004; 8. Jelaskan, bagaimana pengaruh Deklarasi Djuanda terhadap perkembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia; 9. Buktikan bahwa secara nasional Indonesia sudah lebih dulu mengadopsi prinsip-prinsip perlindungan keanekaragaman hayati, sebelum penetapan UNCBD pada tahun 1992; 10. Hukum dan peraturan tentang kawasan konservasi di Indonesia cukup banyak dan bervariasi. Hal ini bisa menyebabkan saling tumpang tindih dalam kewenangan. Bagaimana menyatakan atau harmonisasi semua peraturan tersebut sehingga menjadi kekuatan yang optimal dalam mencapai tujuan konservasi kedepan?
340
Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan