Seminar Nasional & Call For Paper
DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
ISBN : 978–979–1230–35–3
HAKIKAT KEARIFAN LOKAL DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEBUDAYAAN Tomy Michael Program Studi Ilmu Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
[email protected]
Abstrak Kearifan lokal yang merupakan ciri khas Indonesia merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan sebagai wujud dari Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hakikat kearifan lokal menjadi penting untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan karena terkait dengan perlindungan terhadap daya saing internasional. Di dalam Rancangan Undang-Undang Kebudayaan, hakikat kearifan lokal belum memenuhi unsur Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena tidak adanya ideologi bangsa yang menjadi acuan dan lebih mengarah kepada penghapusan identitas bangsa Indonesia. Saran yang diambil yaitu dengan menggali ideologi yang dianut di Indonesia secara mendalam tanpa adanya politik hukum tertentu sehingga menimbulkan keadilan hukum dan pemerintah agar segera menetapkan Rancangan UndangUndang Kebudayaan menjadi undang-undang agar tidak menimbulkan kekosongan norma. Kata kunci:hakikat, ideologi, keadilan hukum, kearifan lokal.
PENDAHULUAN Mengacu pada konteks historis Indonesia bahwa dalam masa perjalanan kemerdekaan hingga pasca reformasi nampaknya masih menyisakan persoalan tersendiri bagi paradigma pembangunan hukum di Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa “Negara Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum adalah suatu bangunan yang belum selesai disusun dan masih dalam proses pembentukannya yang intensif” (A Mukhtie Fadjar, 2003:3). Di dalam kajian ilmu hukum, peraturan perundang-undangan merupakan hal mutlak yang dibutuhkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana keadilan hukum merupakan tujuan hukum tertinggi disamping kemanfaatan hukum dan kepastian hukum. Sebagai negara pengusung Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka Indonesia harus memiliki konsep peraturan perundang-undangan yang tetap mengutamakan khas Indonesia. Era globalisasi yang semakin menggurita ke berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia semakin menjadikan kajian-kajian kearifan lokal seperti hukum adat bukan semakin mengental tetapi terdesak melawan tatanan global yang “difasilitasi” negara (Ade Saptomo, 2010:45). Mengacu Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id
570
Seminar Nasional & Call For Paper
DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
ISBN : 978–979–1230–35–3
1945 (UUD NRI 1945) bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional lndonesia di tengah peradaban dunia
dengan
menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara
dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Esensi pasal ini telah selaras dengan upaya perlindungan hukum terhadap keragaman Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) tetapi sejak tahun 1945 masih terjadi kekosongan norma dimana tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus – apakah itu kebudayaan. Di dalam tulisan ini, penulis mengacu pada berkas terbaru yaitu berkas pengusulan Rancangan Undang-Undang Kebudayaan tertanggal 17 Desember 2015 (RUUK 2015) bahwa dalam Pasal Pasal 20 ayat (2) bahwa peneguhan jati diri dan pembangunan karakter bangsa dilaksanakan melalui bahasa; adat istiadat; pranata sosial; pendidikan; dialog dan permusyawaratan; kearifan lokal; dan pelestarian cagar budaya. Kekosongan norma ini tidak mencerminkan kebijaksanaan negara dalam melindungi kearifan lokal di Indonesia. Ketika kearifan lokal menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat maka nilai-nilai kultural yang berlaku dalam komunitas masyarakat tertentu tidak mandeg melainkan mempengaruhi masyarakat kebudayaan lain dan dapat mengubah aspekaspek kebudayaan masyarakat yang dipengaruhi. Hal demikian dapat menimbulkan konflik hukum. Oleh karena itu, hakikat kearifan lokal haruslah ditelusuri demi tercapainya keadilan hukum.
KAJIAN PUSTAKA Hakikat Dapat dimengerti sebagai: a. Studi tentang ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari Yang Ada dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti: “apa itu Ada-dalamdirinya-sendiri?” “Apa hakikat Ada sebagai Ada?” b. Cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi, aktualitas ataupotensialitas, nyata atau tampak, perubahan, waktu, eksistensi atau non eksistensi, esensi, keniscayaan, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal terakhir, dasar. c. Cabang filsafat yang mencoba a) melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna), b) menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya, c) menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu. Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id
571
Seminar Nasional & Call For Paper
DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
ISBN : 978–979–1230–35–3
d. Cabang filsafat a) yang melontarkan pertanyaan “Apa arti ADA, BERADA?” (Pertanyaan yang sama dilontarkan tentang kategori-kategori atau konsep-konsep lain yang digunakan dalam (2) dan b) yang menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan ADA, Berada. e. Cabang filsafat yang a) menyelidiki status realitas suatu hal (misalnya, “Apakah objek pencerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)?” “apakah bilangan itu nyata?” “Apakah pikiran itu nyata?”, b) menyelidiki jenis realitas yang dimiliki hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang dimiliki bi-langan? Persepsi? Pikiran?”), dan c) yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas dan/atau ilusi (misalnya, “Apakah realitas – atau ciri ilusif – suatu pikiran atau objek tergantung pada pikiran kita, atau pada suatu sumber eksternal yang independen?”) (Lorens Bagus, 2002, 746-747).
Kearifan Lokal Di dalam Pasal 26 ayat (1) RUUK 2015, kearifan lokal ditegaskan dapat tercapai dengan: a. penerapan kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari; b. pengenalan kearifan lokal melalui pendidikan formal, non formal, dan/atau informal; c. sosialisasi kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat; dan d. pengkajian mengenai pelestarian kearifan lokal. Makna kearifan lokal yang tidak definitif dalam RUUK 2015 tersebut dapat menimbulkan penafsiran ganda. Di dalam hal ini, penulis memberikan pemahaman bahwa kearifan lokal menurut RUUK 2015 adalah cara bertindak untuk menyikapi segala hal terkait dengan hidup manusia dengan lingkungannya. Sementara itu dalam Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Kebudayaan (NARUUK), kearifan lokal merupakan gagasan atau pemikiran “otentik” mengenai sesuatu untuk menyikapi hal-hal yang berkenaan dengan hidup dan lingkungan mereka yang lahir dalam suatu masyarakat, kelompok, atau sukubangsa tertentu, seperti lingkungan di mana mereka tinggal, tata-cara perkawinan, cara bertahan hidup, tradisi berkesenian, sistem ekonomi, tata-cara pengobatan, dan seterusnya yang lingkupnya sangat lokal. Oleh karenanya, kearifan lokal disebut juga sebagai indigenous knowledge, local wisdom, ataupun local knowledge. Kearifan lokal ini termanifestasi ke dalam praktik sehari-hari melalui aturan-aturan sosial, mitos, religi, sistem kekerabatan, dan lain sebagainya serta berlaku pada wilayah “budaya” masyarakat tertentu saja. Dengan berlakunya pada wilayah “budaya” masyarakat tertentu saja, maka kearifan lokal memiliki sifat khusus.
Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id
572
Seminar Nasional & Call For Paper
DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
ISBN : 978–979–1230–35–3
Sifat khusus tersebut menimbulkan konsekuensi hukum bahwa ketika kearifan lokal diatur secara normatif maka akan menimbulkan dilema. Di satu sisi, kearifan lokal yang sifatnya tidak tertulis berubah menjadi tertulis walaupun dalam kajian ilmu hukum dapat disebut sebagai hukum kebiasaan. Mengacu pada pemikiran Tom Bingham bahwa: “If the terms of the legislation are clear and unambiguous, they must be given effect to, whether or not they carry out Her Majesty’s treaty obligations, for the sovereign power of the Queen in Parliament extends to breaking treaties, and any remedy for such a breach of an international obligation lies in a forum other than Her Majesty’s own courts. Thus crtiis or parliamentary sovereignty have no difficulty conceiveing of flagrantly unjust and objectionable statutes: to deprive Jews of their nationality, to prohibit Christians from marrying non-Christians, to dissolve marriages between blacks and whites, to confiscate the property of red-haired women, to require all blueeyed babies to be killed, to deprive large sections of the population of the right to vote, to authorize officials to inflict punishment for whatever reason they might choose. No one thinks it all likely that Parliament would enact legislation of this character, or that the public would accept it if it did, but it is possible to conceive of less extreme and less improbable statutes which would nonetheless infringe fundamental rights, and the mere possibility that Parliament might act in such a way gives rise to the argument that parliamentary sovereignty cannot, or cannot any longer, be fully respected.” (Tom Bingham, 2010). Dari pemikiran Tom Bingham tersebut tentu saja memiliki konsekuensi tersendiri jika diterapkan secara mutlak di Indonesia karena adanya keanekaragaman SARA di Indonesia. Negara hukum konteks Indonesia juga lebih mengutamakan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat dimana kebiasaan tersebut adakalanya menjadi yang dinormakan ataupun tetap menjadi kebiasaan yang mengesampingkan hukum tertulis (soft law to hard law). Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia telah dibuat norma-norma yang dikodifikasikan dan bersifat universal, antara lain adalah Magna Charta (1215), Bill of Rights (1968) di Inggris, Declaration des droits de I’ home et du Citoyen (1791) Bill of Rights (1978) di Amerika, Declaration of Human Rights (1948) (Tomy Michael, 2016:79). Menurut Ross, timbulnya hukum sebagai aturan yang bersifat wajib meliputi: a. Tahap pertama; hukum adalah sistem paksaan yang aktual; yakni situasi masyarakat diatur melalui paksaan. Masyarakat semacam ini disebut oleh Ross sebagai suatu sistenm aktual paksaan; b. Tahap kedua dimulai bila orang-orang mulai takut akan paksaan. Karena takut akan rasa ini, anggota-anggota komunitas mengembangkan suatu cara berlaku yang sesuai dengan tuntutan yang diwajibkan kepadanya. Hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan
Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id
573
Seminar Nasional & Call For Paper
DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
ISBN : 978–979–1230–35–3
dan keinginan anggota komunitas; Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan; c. Tahap Ketiga adalah situasi dimana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara hidup yang sedemikian dan lama-kelamaan mulai memandang cara hidup itu, sebagai sesuatu yang seharusnya. Maka karena terpengaruh oleh kekuasaan sugestif sosial dan kebiasaan, orang sudah mulai berbicara tentang sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis, hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum; d. Tahap Keempat, situasi hidup bersama dimana norma-norma kelakuan ditentukan oleh instansi-instansi yang berwibawa. Orang akhirnya terbiasa merasa wajib untuk mentaati apa yang diputuskan oleh pihak yang berwenang atau berwibawa. Supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya. Berdasarkan uraian diatas maka suatu keharusan yuridis memang unsur realitas sosial, dalam mana kita hidup. Keharusan yuridis sebagai realitas sosial, menyatakan diri sebagai suatu totalitas organis dalam mana perbuatan sosial dan psiko-fisis saling berjalin. Ross juga mengkonstatasi bahwa metode akal budi praktis yang dianut dalam pendidikan hukum konvensional yang mengandalkan doktrin-legalistik, tidak sejalan untuk menjelaskan sifat wajib dari hukum (Bernard L Tanya, 2006:142). Penjelasannya bahwa terkait dengan indigenous knowledge, local wisdom, ataupun local knowledge maka kearifan lokal sama halnya dengan hukum tidak tertulis namun memiliki kemampuan untuk mengikat. Kearifan juga bersifat logis karena apabila tidak logis akan bertentangan dengan eksistensinya sendiri (Dientia Dinnear, 2014:232).
Keadilan Hukum Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, bagaimana mewujudkan suatu keadilan jika tidak mengetahui apa arti keadilan. Untuk itu perlu dirumuskan definisi yang paling tidak mendekati dan dapat memberi gambaran apa arti keadilan (Mahdi Bin Achmad Mahfud dan Vinaricha Sucika Wiba, 2015:70). Definisi keadilan hukum dalam ilmu hukum memiliki banyak arti dan bersifat abstrak. Keadilan hukum bertujuan untuk melingkupi kemanfaatan hukum dan kepastian hukum. Mengutip pemikiran Ibnu Taymiyyah (661-728 H) bahwa memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta; tidak berat sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak;
Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id
574
Seminar Nasional & Call For Paper
DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
ISBN : 978–979–1230–35–3
mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan yang telah ditetapkan. Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, baik individual, keluarga, dan masyarakat. Keadilan tidak hanya menjadi idaman setiap insan bahkan kitab suci umat Islam menjadikan keadilan sebagai tujuan risalah samawi (Angkasa, 2010:105). Sedangkan keadilan menurut Notohamidjojo adalah iustitia creativa yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang untuk bebas menciptakan sesuatu sesuai dengan daya kreativitasnya dan iustitia protectiva yaitu keadilan yang memberikan pengayoman kepada setiap orang, yaitu perlindungan yang diperlukan dalam masyarakat (Angkasa, 2010:105). Hal berbeda diungkapkan oleh Socrates yang ditulis Plato dalam The Great Dialogues Of Plato dan Republik bahwa keadilan lebih mengarah pada sesuatu hal yang bersifat awangawang. Tidak ada realisasi sehingga keadilan yang dimaksud dapat menimbulkan penafsiran ganda.
PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang Tentang Kebudayaan Di dalam berkas pengusulan Rancangan Undang-Undang Kebudayaan tertanggal 10 Juli 2014 (RUUK 2014), yaitu dalam Pasal 18 termaktub bahwa “perwujudan hak berkebudayaan dilaksanakan di bidang ideologi, politik, ekonomi dan sosial”. Dapat diketahui bahwa ideologi memilik peranan penting sebagai landasan mewujudkan hak berkebudayaan. Hakikat pasal ini sejalan dengan maksud dan tujuan MEA. Penulis menggunakan definisi ideologi dari Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 yaitu ide atau gagasan. Kata “ideologi” ini berasal dari bahasa Perancis idéologie, merupakan gabungan 2 (dua) kata yaitu, idéo yang mengacu kepada gagasan dan logie yang mengacu kepada logos, kata dalam bahasa Yunani untuk menjelaskan logika dan rasio. Ia menggunakan kata ini dalam pengertian etimologinya, sebagai “ilmu yang meliputi kajian tentang asal usul dan hakikat ide atau gagasan”. Lebih lengkapnya Perhaps his most famous one was the second of June 20, 1796, in which he launched a new (more agnostic) name for this new “science of ideas.” It would be called “ideology,” the exact Greek transcription of science of ideas, rather than metaphysics, which was too discredited by the Enlightenment even though philosophers continued to use it. Nor could it be called psychology which denotes a knowledge of the soul, which he stated rhetorically “You certainly do not flatter yourselves as having” (Emmet Kennedy (Washington), 23). Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id
575
Seminar Nasional & Call For Paper
DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
ISBN : 978–979–1230–35–3
Mengacu pada RUUK 2015, ideologi bukanlah bagian dari perwujudan hak berkebudayaan. Di dalam Pasal 18 RUUK 2015 termaktub bahwa” perwujudan hak berkebudayaan dilaksanakan di bidang kepercayaan, hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, teknologi, dan hubungan internasional”. Padahal hak berkebudayaan dalam Pasal 1 angka 7 RUUK 2015 diartikan sebagai hak yang secara kodrati melekat kepada setiap orang sebagai manusia yang berbudaya. Seharusnya hak berkebudayaan ini dilandasi oleh ideologi. Pasal 18 RUUK 2015 ini menjadi tidak sejalan dengan Pasal 6 huruf f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan (UU No. 12-2011) bahwa “asas bhinneka tunggal ika adalah Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Serta tidak sejalan dengan Pasal 5 UU No. 12-2011: a. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundangundangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. c. Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa
dalam
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
harus
benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. d. Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. e. Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. f. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id
576
Seminar Nasional & Call For Paper
DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
ISBN : 978–979–1230–35–3
g. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hakikat Kearifan Lokal Dalam RUUK 2015 Dalam konsiderans bagian landasan filosofis RUUK 2015 termaktub bahwa “kebudayaan nasional Indonesia merupakan perwujudan cipta, karya, dan karsa bangsa Indonesia yang dikembangkan untuk mempertinggi dan memuliakan harkat dan martabat manusia Indonesia, memajukan peradaban bangsa, serta untuk meneguhkan kesadaran dan identitas nasional yang merupakan kristalisasi nilai budaya dan agama yang diikat dengan jiwa bhinneka tunggal ika dengan berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dan landasan sosiologisnya termaktub bahwa “pengelolaan kebudayan nasional Indonesia harus memperhatikan keragaman budaya, agama, dan tradisi yang hidup di masyarakat, serta pengaruh globalisasi sebagai upaya perlindungan, pengakuan, pelestarian dan penguatan identitas dan jati diri budaya bangsa”. Landasan filosofis sebagai alasan utama mengapa peraturan perundang-undangan dibutuhkan merupakan suatu dasar hukum untuk membentuk pasal-pasal didalamnya. Terlihat jelas bahwa kebudayaan nasional harus tetap dikembangkan dengan memperhatikan jiwa bhinneka tunggal ika dengan berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – kebudayaan nasional tidak dilepas mengikuti perkembangan global karena akan menghilangkan esensi kebudayaan nasional itu sendiri. Di dalam Pasal 5 RUUK 2015 termaktub bawah pengelolaan kebudayaan dilakukan berdasarkan prinsip: a. hak berkebudayaan; b. kearifan lokal; c. kelestarian alam dan lingkungan hidup; d. koordinasi dan keterpaduan secara sinergis antar pemangku kepentingan; dan e. jati diri bangsa, harmoni kehidupan, dan etika global tentang kebudayaan. Kearifan lokal secara hierarki terletak di atas politik hukum antar pemangku kepentingan sehingga seharusnya kearifan lokal menunjukkan hakikatnya dalam RUUK 2015. Kearifan lokal tidak boleh menjadi hilang karena ketiadaan kejelasan definitif.
Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id
577
Seminar Nasional & Call For Paper
DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
ISBN : 978–979–1230–35–3
Sebuah sistem sosial menurut teori sibenertika yang digagas oleh Talcott Parson menunjukkan bahwa sistem sosial merupakan suatu sinergi antara berbagai sub sistem sosial yang saling mengalami ketergantungan dan keterkaitan. Adanya hubungan yang saling keterkaitan, interaksi dan saling ketergantungan. Contoh keterkaitan antara hukum, agama, pendidikan, budaya, ekonomi, politik, sosial yang tak dapat terpisahkan dan saling berinteraksi. Menurut Talcott Parson, ada 4 (empat) sub sistem yang menjalankan fungsi utama dalam kehidupan masyarakat antara lain: a. Fungsi adaptasi dilaksanakan oleh sub sistem ekonomi, contoh: melaksanakan produksi dan distribusi barang-jasa. b. Fungsi pencapaian tujuan dilaksanakan oleh sub sistem politik, contoh: melaksanakan distribusi distribusi kekuasaan dan memonopoli unsur paksaan yang sah (negara) c. Fungsi integrasi dilaksanakan oleh sub sistem hukum dengan cara mempertahankan keterpaduan antara komponen yang beda pendapat/konflik untuk mendorong terbentuknya solidaritas sosial. d. Fungsi mempertahankan pola dan struktur masyarakat dilaksanakan oleh sub sistem budaya menangani urusan pemeliharaan nilai-nilai dan norma-norma budaya yang berlaku dengan tujuan kelestarian struktur masyarakat dibagi menjadi sub sistem keluarga, agama, pendidikan (Ria Casmi Arrsa, 2012:4-5). Oleh karena itu di dalam melakukan analisa tentang hakikat kearifan lokal dalam Pasal 39 RUUK 2014 bahwa penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindungan sejarah dan warisan budaya melalui kepercayaan lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c diwujudkan dengan: a. pelestarian terhadap keberadaan kepercayaan lokal; b. penyediaan fasilitas untuk pelestarian kepercayaan lokal; c. publikasi; d. pembentukan dan revitalisasi paguyuban; e. pertemuan rutin tahunan; dan f. kegiatan upacara bersama. Sedangkan dalam Pasal 39 RUUK 2015 penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindungan sejarah dan warisan budaya melalui tradisi lisan diwujudkan dengan: a. inventarisasi dan dokumentasi; b. publikasi; dan c. dorongan mewariskan tradisi lisan dalam masyarakat.
Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id
578
Seminar Nasional & Call For Paper
DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
ISBN : 978–979–1230–35–3
Adanya perubahan isi pasal tersebut menjadikan Pasal 40 ayat (1) RUUK 2015 yaitu penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindungan sejarah dan warisan budaya melalui kepercayaan lokal diwujudkan dengan: a. pelestarian terhadap keberadaan kepercayaan lokal; b. penyediaan fasilitas untuk pelestarian kepercayaan lokal; c. publikasi; d. pembentukan dan revitalisasi paguyuban; e. pertemuan rutin tahunan; dan f. kegiatan upacara bersama. Pasal ini mendukung Pasal 61 dan Pasal 64 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU No. 23-2006) dimana kepercayaan lokal sebagai wujud kearifan lokal mendapat legalisasi melalui RUUK 2015 tetapi legalisasi ini bersifat kiasan karena dalam UU No. 23-2006 tidak terdapat pengakuan secara normatif terkait wujud kearifan lokal. Kearifan lokal dalam RUUK 2015 tidak memiliki kesamaan tujuan akhir dengan UU No. 23-2006 sehingga menimbulkan kekaburan norma didalamnya.
SIMPULAN Hakikat kearifan lokal dalam RUUK 2015 tercermin dalam Pasal 26 ayat (1) sedangkan tidak memiliki kesinkronan dengan pasal-pasal lainnya. Hal ini menimbulkan implikasi hukum ketika RUUK 2015 ditetapkan menjadi undang-undang akan muncul uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi. Kearifan lokal yang tidak memiliki arti definitif menjadi lebih sulit dicerna dalam RUUK 2015 dan tidak tepat diterapkan dalam MEA. Perubahan paradigma (kerangka berpikir) antara RUUK 2014 dan RUUK 2015 yaitu tidak adanya penguatan ideologi dalam RUUK 2015 sehingga dapat menghilangkan apakah sebenarnya kearifan lokal khas Indonesia tersebut. Saran yang diambil yaitu untuk bagi pihak legislatif agar melepaskan unsur politik dalam pembentukan RUUK 2015 sehingga Pasal 32 ayat (1) UUD NRI 1945 benar-benar terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saran berikutnya yaitu melakukan elaborasi lebih mendalam tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik agar tidak timbul kekosongan norma dan melakukan sinkronisasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No. 39-1999), UU No. 23-2006, UU No. 12-2011, RUUK 2014 dan RUUK 2015.
Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id
579
Seminar Nasional & Call For Paper
DIES NATALIS XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
ISBN : 978–979–1230–35–3
Hal ini menjadi sangat penting karena dalam kajian ilmu hukum, pemahaman RUUK 2015 dapat ditafsirkan secara bebas dan sikap tersebut bertentangan dengan sifat undangundang yang berusaha mencapai keadilan hukum.
DAFTAR PUSTAKA Achmad Mahfud, Bin Ahmad dan Wiba, Vinaricha Sucika, Teori Hukum Dan Implementasinya, (2015), R.A.De.Rozarie, Surabaya. Angkasa, Filsafat Hukum (Materi Kuliah), (2010), Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Arrsa, Ria Casmi, Rekonstruksi Paradigmatik Negara Hukum Pancasila Rekonstruksi Paradigmatik Negara Hukum Pancasila (Analisis Terhadap Pemikiran Negara Hukum Dalam Perkembangan Konstitusi Indonesia), (2012), Tesis Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya. Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (2002), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Bingham, Tom, The Rule Of Law, (2010), Penguin, London. Dinnear, Dientia, “Penggunaan Kewenangan Grasi Presiden” dalam [DIALEKTIK] Jurnal Ilmiah Indonesia Jilid III “I”, Februari 2014, CV.R.A.De.Rozarie, Surabaya. Fadjar, Mukhtie A, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik, (2003), In-Trans, Malang. Kennedy (Washington), Emmet, The secularism of Destutt de Tracy’s “IDEOLOGY”, pdf. Michael, Tomy, “Implikasi Lampiran Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor: KEP/D/101/1978 Terkait SARA Di Indonesia” dalam Prosiding Seminar Nasional Fakultas Dharma Duta “Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Radikalisme Berbasis SARA” 2016, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Denpasar. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Kebudayaan. Plato, The Great Dialogues Of Plato, (1984), Penguin Books Canada Limited, Canada. _____, Republik, (2002), Bentang Budaya, Jogjakarta. Rancangan Undang-Undang Kebudayaan tertanggal 10 Juli 2014. Rancangan Undang-Undang Kebudayaan tertanggal 17 Desember 2015. Saptomo, Ade, Hukum & Kearifan Lokal, (2010), Grasindo, Jakarta. Tanya, Bernard L, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (2006), Penerbit CV. Kita, Surabaya.
Jl. KH. Agus Salim No. 10 Surakarta, Telp. (0271) 714751 Fax. 740160 Website http://uniba.ac.id
580