PERAN KEARIFAN LOKAL DALAM MENJAGA KELESTARIAN HUTAN Oleh : Ahmad Baliyo Eko Prasetyo Universitas Islam Indonesia Yogyakarta E-mail:
[email protected].
Abstrak Kerusakan lingkungan, terutama kerusakan hutan, yang telah berkembang pesat dan tidak terkontrol.Hilangnya ilmu kehutanan Indonesia disebabkan oleh beberapa masalah. Beberapa upaya telah dilakukan untuk menjaga hutan dari kerusakan yang terjadi sekarang ini karena hal itu dapat digunakan untuk kebutuhan sekarang dan sebagai warisan masa yang akan datang.Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan menerapkan kearifan local yang telah dilakukan oleh beberapa kelompok tradisional di Indonesia dan menunjukan keberhasilan perlindungan dan pemeliharaan hutan.Kearifan local adalah ide-ide local yang berkarakteristik bijak, penuh dengan kearifan, dan nilai-nilai kebaikan, yang ditanamkan dan dianut oleh masyarakat. Kearifan local muncul dalam nilai, norma, keyakinan, adat, kepercayaan. Kata kunci: Kearifan lokal, perlindungan hutan dan kerusakan hutan. Abstract The destruction of an environment, in particular forest destructiom, has now occured rapidly and uncontrollable. Indonesian forestry lost caused by various problems. Various efforts have been done to protect forest from current destruction for it can be used for the present needs and heritage for the future. One of the efforts is by implementing local wisdom which have been done by several traditional communities in Indonesia and shown effective to conserve and preserve the forest. Local wisdom is local ideas that is characterized as wise, full of wisdom, and good values, that planted and followed by society. Local wisdom emerges into value, norm, faith, custom, belief, ect. Keywords: Local wisdom, forest conservation, forest destruction. A. Pendahuluan Sepanjang lintasan garis ekuator atau garis tengah lingkaran bumi, wilayah Indonesia adalah wilayah yang paling hijau, paling segar dan paling indah. Itulah mengapa Indonesia dijuluki zamrud Khatulistiwa. Ada juga sebutan paru-paru dunia untuk menggambarkan wilayah Indonesia yang ibarat paru-paru bagi manusia. Dengan wilayah hijaunya yang luas, Indonesia mampu
menjaga ekosistem bumi, menjaga keseimbangan sirkulasi udara, mengimbangi pemanasan
global,
menjaga
siklus
sistem
hyodrostatis,
mengendalikan
keseimbangan cuaca dan selanjutnya menjaga kelangsungan hidup semua makhluk hidup yang tinggal di muka bumi. Julukan-julukan di atas sebenarnya bertolak belakang dengan kenyataan saat ini. Selama bertahun-tahun sampai hari ini, banyak hutan-hutan yang dieksploitasi secara besar-besaran dengan sembarangan demi keuntungan materi, baik oleh mereka yang memiliki izin legal, seperti pengusaha HPH, pemegang izin hak pemanfaatan hasil hutan (HPHH), izin pemanfaatan kayu (IPK) dan lain-lain, maupun oleh mereka pelaku pemanfaatan hutan yang ilegal, seperti penebang liar yang jumlahnya sangat banyak dan juga oleh sebagian masyarakat sekitar hutan. Kondisi ini menyebabkan kerusakan hutan yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Hutan-hutan Pulau Jawa adalah contoh nyata sekaligus korban awal dari praktik-praktik ini. Para pakar lingkungan menyebutkan bahwa Pulau Jawa telah mengalami transisi dari hutan ke padang ilalang secara menyeluruh.1 Nasib yang sama juga dialami oleh wilayah-wilayah lain di seluruh kepulauan Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Menurut data Dinas Kehutanan Sumatera Selatan, tahun 1994 luas kawasan hutan di Sumsel mencapai 10 juta hektar. Tahun 2002, jumlah ini menurun drastis menjadi 4,25 hektar. Lebih parah lagi, hanya dalam waktu satu tahun saja setelah itu, luas kawasan hutan hilang hampir 500.000 hektar. Pada tahun 2003, luas kawasan hutan Sumsel tinggal hanya 3,77 juta hektar. Bahkan, berdasarkan data dari sebuah LSM, dalam satu menit, Indonesia kehilangan hutan seluas empat kali lapangan bola.2 Data tersebut mungkin sudah tidak sesuai lagi bahkan sejak data tersebut dikeluarkan, karena pada waktu yang sama, praktik-praktik penebangan hutan, terutama yang ilegal (illegal logging), terus berlangsung tanpa ada yang mampu menghentikan. Sungguh tragis nasib sang zamrud katulistiwa dan paru-paru Surat kabar Harian KOMPAS, 3/1/2004. Lebiih lanjut baca Ali Akbar, Local Wisdom of Baduy Community and Kampung Kuta for Forest Conservation: A Preliminary Research, (Jakarta: Jurusan Arkeologi Fakultas Humaniora Universitas Indonesia, 2010). 1 2
dunia ini. Bukan tidak mungkin segala julukan indah tersebut nantinya tinggal kenangan apabila kondisi yang sangat tidak menguntungkan ini terus berlangsung. Bencana lokal seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan sudah sering dirasakan oleh bangsa Indonesia. Bencana global jangka panjang akibat pemanasan global yang salah satunya terjadi akibat efek turunan dari sakitnya paru-paru dunia ini sangat mungkin terjadi di masa mendatang. Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya telah banyak mengeluarkan kebijakan dan aturan untuk masalah pelestarian lingkungan hayati dan perlindungan satwa. Pemerintah bahkan telah meratifikasi kesepakatan United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) No 49/155 tahun 1994, bersama 175 negara lain.3 Kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melestarikan hutan, di antaranya adalah dengan membuat areal hutan lindung atau hutan konservasi dan Taman Nasional yang dikelola oleh Dinas Kehutanan atau Perhutani. Akan tetapi, kebijakan ini justru membuka peluang yang lebih besar kepada pelaku perusakan hutan. Ketika sebuah kawasan hutan dijadikan kawasan hutan lindung atau taman nasional, masyarakat dilarang tinggal dalam radius tertentu dari kawasan hutan dan masyarakat setempat tidak memiliki hak pengelolaan terhadap hutan. Kawasan itu kemudian hanya dijaga oleh petugas yang jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan luas kawasan yang harus dijaga. Penjagaan yang minimal dan hilangnya peran masyarakat setempat seperti adat, kepercayaan dan gotong-royong, yang secara tidak langsung berfungsi sebagai bentuk pelestarian hutan - membuat para penjarah hutan ilegal lebih leluasa bergerak, ditambah dengan kemungkinan adanya kolusi antara para penjarah dengan aparat. Semakin lengkaplah lingkaran setan perusakan hutan itu. Masyarakat sekitar hutan dengan segala keterbatasannya sebenarnya memiliki potensi peran yang besar sebagai pelestari hutan. Kehidupan mereka yang dekat dengan hutan bisa menumbuhkan ikatan-ikatan imajiner antara mereka dengan alam hutan. Ikatan dengan alam tersebut akan memberikan
3
www.agroindonesia.com.
pengetahuan,
dan
pikiran
bagaimana
mereka
memperlakukan
alam
lingkungannya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengembangkan etika, sikap kelakuan, gaya hidup, dan tradisi-tradisi yang mempunyai implikasi positif terhadap pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup.4 Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang tampak dari kerusakan hutan yang terus terjadi setiap tahun akibat praktik-praktik penebangan hutan secara legal yang tidak terkontrol dan penebangan ilegal yang tidak dapat dicegah adalah kurangnya pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam penanggulangan kerusakan ini sebagai bagian dari upaya pelestarian hutan. Masyarakat sekitar hutan sesungguhnya memiliki kearifan-kearifan tradisional yang dinamis dalam interaksi mereka dengan alam yang bisa digunakan untuk menanggulangi perusakan hutan, selanjutnya untuk jangka panjang bisa menjadi bentuk pelestarian hutan yang efektif dan murah.
B.
Pengertian Kearifan Lokal 1. Alam Pikiran Tradisional Tentang Lingkungan Corak alam pikiran tradisional pada umumnya didasarkan pada cara
berpikir yang bersifat kosmis dan komunal. Cara berpikir kosmis didasarkan pada anggapan bahwa kehidupan manusia harus selaras dan mengikuti alur tata irama alam semesta, karena manusia merupakan bagian integral dari kosmos itu sendiri. Ketertiban pada masyarakat sebenarnya tidak terlepas dari tata tertib alam semesta.5 Cara berpikir ini terwujud dalam falsafah-falsafah hidup dan ritual-ritual adat. Ajaran adat ini mengajarkan bahwa segala kejadian alam semesta ini dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, keterkaitan manusia dengan alam semesta bukan hanya sekedar makna fungsional, akan tetapi juga menunjukkan makna inspiratif yang manifestasinya adalah hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam semesta.
Emil Salim, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1979), h. 29. Lihat Juga Mohamad Soerjani, dan Bahrin Samad (editor). Manusia dalam Keserasian Lingkungan, (Jakarta: Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, 1983), h. 98. 5 Hardjasoemantri, et al, Hukum dan bencana Alam di Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan JICA – Kedutaan Besar Jepang, 2003) h. 25. 4
Cara berpikir yang kedua adalah komunal. Masyarakat tradisional melihat bahwa manusia merupakan spesies yang keberadaannya tidak terlepas dari kelompoknya di mana ia bersama-sama menyelenggarakan kehidupan. Dalam masyarakat Jawa ada istilah urip bebarengan atau bebrayan. Artinya, kodrat hidup manusia tidak dapat lepas satu dengan lainya, sehingga timbul konsekuensi untuk mempertahankan eksistensi secara bersama-sama, termasuk dalam berhubungan dengan alam.6 Pola pikir komunal dalam praktik hubungannya dengan alam bentuknya lebih jelas, seperti konsensus adat dan sebagainya. Di daerah-daerah pedesaan atau pedalaman sekitar hutan masih sering kita temui peraturan-peraturan adat, misalnya tidak boleh menebang pohon-pohon tertentu pada hari-hari tertentu.
2. Local Wisdom dan Local Genius Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Local Wisdom pada mulanya berasal dari istilah ini. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini.7 Antara lain Haryati Soebadio mengatakan
bahwa
local
genius
adalah
juga
cultural
identity,
identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.8 Sementara Moendardjito mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah: a. Mampu bertahan terhadap budaya luar b. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar c. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli d. Mempunyai kemampuan mengendalikan e. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.9
6 7
Ibid., h. 27. Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h.
18. 8 9
Ibdi., h. 18-19. Ibdi., h. 40-41.
Local genius adalah nilai-nilai yang dipertahankan atau nilai-nilai yang mampu bertahan sebagai bagian dari budaya asli sebuah kelompok masyarakat yang mampu memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka. Dari local genius inilah tampaknya local wisdom muncul. Local wisdom atau kearifan lokal lebih bersifat aktif dan pro-aktif. Dalam
bahasa
yang
identik,
Zimmermann
(dalam
Zein,
1979)
mengatakan bahwa ketika kemajuan-kemajuan yang dicapai manusia justru menimbulkan kerusakan di bumi, maka kearifan dan akal budi manusia itu akhirnya yang dapat menjadi sumber daya utama pembuka rahasia dan hikmah alam semesta. Kearifan ini bisa muncul dari corak kehidupan tradisional yang di dasari oleh budaya yang lahir dan berkembang dari masyarakat itu sendiri, yang disebut dengan kearifan lokal atau yang didasari oleh kepercayaan-kepercayaan, adat istiadat, nilai-nilai tradisional dan petuah-petuah dari leluhur.10
C. Peran Kearifan Lokal dalam Pelestarian Hutan 1. Tradisi dalam Pemanfaatan Hutan Sumintarsih dkk. dalam penelitiannya menemukan bahwa kearifan lokal para petani di daerah pedesaan DIY berupa aspek-aspek kehidupan budaya diantaranya ada yang mempunyai implikasi positif terhadap pelestarian alam. Dengan kata lain, eksploitasi yang dilakukan petani terhadap lingkungan secara tidak langsung selalu didasarkan pada tata-cara yang bisa mempertahankan keseimbangan ekosistem, tidak semata-mata mendapatkan keuntungan dari lingkungan.11 Di desa Purwosari Kabupaten Kulonprogo DIY, ada satu contoh yang sangat bagus mengenai kearifan lokal untuk menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat setempat memiliki pedoman ngengehi anak putu ben komanan. Maksud dari ungkapan ini adalah ketika memanfaatkan kekayaan alam mereka selalu teringat bahwa isi dan kekayaan alam lingkungannya tersebut tidak hanya untuk generasi mereka saja, tetapi juga untuk generasi anak-cucu mereka. Mereka mempunyai pendapat: Zein, M.T. (ed)., Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup, (Jakarta: Gramedia, 1979), h. 56. Sumintarsih, et al. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Hubungannya dengan pemeliharaan Lingkungan Hidup Dareh istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994). 10 11
“Manungsa, alam paringane Gusti. Mila manungsa kedah menfaataken kanthi dipun jagi ingkang sae. Awit kabetahanipun tiyang gesang: toya, siti lan sanesipun, kawula menawi mboten dipun mekaraken mangkenipun badhe mboten cekap.” Maksudnya, bahwa manusia dan alam adalah ciptaan Tuhan, sehingga manusia harus memanfaatkan dan menjaganya dengan baik. Kekayaan alam yang dimanfaatkan dan dijaga dengan baik tentu akan dapat mencukupi kebutuhan manusia sampai generasi yang akan datang. Tetapi apabila tidak dimanfaatkan dengan baik pasti akan merugikan manusia sendiri.12 Pemanfaatan sumber daya alam dengan berlandaskan tradisi-tradisi lokal yang sarat dengan pesan-pesan moral ini secara tidak langsung menjadi mekanisme kultural untuk mengontrol pemanfaatan sumber daya alam hutan agar tidak berlebihan sehingga bisa merusak keseimbangan ekosistem hutan.
2. Tradisi dalam Pemeliharaan Hutan Hubungan masyarakat lokal dengan lingkungan hutan didasari pada pola pikir kosmis sekaligus komunal. Masyarakat berpandangan bahwa manusia secara kolektif adalah bagian dari alam dan hal ini akan menciptakan keseimbangan hubungan saling menguntungkan yang berkesinambungan sampai generasi-generasi berikutnya secara bersama-sama. Apabila manusia melakukan
perbuatan
yang
buruk
terhadap
lingkungan
hutan,
maka
keseimbangan ini akan rusak. Beberapa pola hubungan antara masyarakat dengan alam (hutan) didasari pada beberapa instrumen adat, di antaranya adalah: a. Peraturan adat. Suatu komunitas masyarakat tradisonal biasanya memiliki hukum dan peraturan tidak tertulis yang merupakan hasil kesepakatan bersama atau merupakan peraturan-peraturan yang telah dijalani secara turun-temurun. Itulah peraturan adat. Peraturan adat berfungsi, baik sebagai pedoman dalam hubungan sosial antar anggota masyarakat maupun dalam hubungan dengan lingkungan alam sekitar. Dahulu, peraturan adat sering didasarkan pada mitos-
12
Ibid.
mitos yang biasanya diperkuat dengan cerita-cerita ataupun dongeng-dongeng dari para orang tua dan sesepuh. Menurut kepercayaan, omongan sesepuh biasanya bertuah, jadi harus didengarkan. Dalam perkembangannya, peraturan adat yang dibuat saat ini telah banyak yang didasarkan pada hal-hal empirik, namun tetap mempertahankan semangat kearifan tradisional. Seperti peraturan adat yang dibuat oleh masyarakat desa Buluhcina, Kabupaten Kampar, Riau yang memiliki kawasan hutan lindung, atau hutan adat yang dikembangkan oleh penduduk setempat menjadi kawasan hutan lindung adat seluas seribu hektar. Penerapan hutan lindung adat ini berlangsung di dalam kehidupan tradisional mereka dan diatur dalam aturan-aturan adat yang sangat ketat. Sejauh ini, kondisi hutan adat lindung ini berjalan dengan baik. Aturan-aturan adat seperti tidak boleh menebang pohon, berburu, menggunakan bom dan potasium untuk menangkap ikan di danau, dan sebagainya diikuti dengan sanksi-sanksi yang ketat, sehingga bisa berjalan dengan baik dalam komunitas desa Buluhcina itu secara intensif.13 b. Gotong-royong. Pola pikir komunal yang dimiliki oleh sebagian masyarakat tradisional Indonesia terwujud dalam kegiatan bersama-sama untuk tujuan tertentu yang biasa disebut dengan istilah gotong-royong. Seperti diketahui sejak dulu, gotongroyong merupakan lembaga sosial yang cukup menonjol pada masyarakat tradisional, khususnya masyarakat pedesaan. Pada dasarnya, gotong-royong adalah pengungkapan kehendak baik yang harmonis, kesadaran bermasyarakat, dan kesadaran untuk saling tolongmenolong untuk mencapai tujuan bersama. Sikap ini merupakan bagian dari adat-istiadat dan sistem nilai dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan pelestarian hutan, kegiatan bersama-sama ini dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan, baik sebagai tindakan pencegahan, pemeliharaan dan penyelesaian kerusakan-kerusakan hutan yang terjadi.14 Salah satu contoh nyata adalah apa yang telah dilakukan oleh masyarakat desa Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi ketika
Aji, http://www.damar.or.id. Diunduh 17 Maret 2012. Lebih Lanjut baca Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati (Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2), h. 56. 13 14
mempertahankan kelestarian hutannya dari kerusakan akibat penebangan hutan oleh perusahaan HPH dan penebangan liar (illegal logging) sejak tahun 80-an.15 Menurut Datuk Muhammad Rasyid, mantan kepala desa Batu Kerbau, sejak kawasan hutan desa menjadi areal hak pengusahaan hutan (HPH) tahun 1981, warga desa tidak bisa lagi mengambil hasil hutan nonkayu seperti rotan, damar, manau dan getah jernang, untuk menambah penghasilan dari kebun karet. Pada musim kemarau air sungai kotor akibat operasi alat berat perusahaan HPH di hulu sungai. Pada musim hujan air sungai keruh, terjadi longsor dan banjir. Setiap tahun masyarakat desa ini mengalami wabah penyakit muntaber. Datuk Rasyid kemudian mengajak warga untuk mempertahankan kawasan hutan agar tidak dibabat oleh perusahaan HPH (saat itu PT. Mugi triman dan PT. Rimba Karya Indah, keduanya sekarang sudah tutup). Ajakan ini disambut baik oleh warga yang telah merasakan kesulitan-kesulitan akibat eksploitasi hutan ini. Pada masa reformasi, usaha masyarakat Batu Kerbau ini difasilitasi oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) untuk mengadvokasi perjuangan mereka terhadap kawasan hutan dan sungai dengan memperkenalkan pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat. Melalui proses panjang yang melelahkan, akhirnya Bupati Bungo mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 1249 Tahun 2002 tentang pengukuhan Hutan Adat Desa batu Kerbau yang terdiri dari lima lokasi, yaitu Hutan Lindung Batu Kerbau 776 hektar, Hutan Lindung Belukar Panjang 361 hektar, Hutan Adat Belukar Panjang 472 hektar, dan Hutan Adat tebat 360 hektar. Perjuangan bersama ini juga membuahkan penghargaan Kalpataru dari pemerintah untuk kategori penyelamat lingkungan tahun 2004.16 Contoh lain adalah usaha warga Dusun Turgo dan Kaliurang serta dusun-dusun di sekitarnya dengan dukungan pemerintah daerah, merehabilitasi hutan merapi milik Perhutani dengan menanam berbagai jenis pohon di kawasan hutan Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, dan hutan tutupan milik Perhutani di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kegiatan ini merupakan gerakan reboisasi untuk merehabilitasi kawasan hutan tutupan dan lahan penduduk guna menjaga ketersediaan air bagi
15 16
Surat Kabar harian KOMPAS, 17/7/2004. Ibid.
penduduk
sekitar
maupun
kebutuhan
masyarakat
Yogyakarta
yang
menggantungkan ketersediaan air pada hutan gunung Merapi.17 Contoh
di
atas
membuktikan
bahwa
gotong-royong
yang
berkesinambungan ditambah dengan sistem nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat mampu memelihara kelestarian hutan karena kegiatan apapun yang dilakukan secara bersama-sama dengan didasari oleh nilai-nilai adat yang juga disepakati bersama lebih mampu mengikat individu-individu yang terlibat di dalamnya baik secara fisik, psikologis, emosional bahkan spiritual. c. Kepercayaan dan Ritual Kepercayaan dan ritual-ritual masyarakat tradisional ini berkaitan dengan pola pikir kosmis yang dimiliki oleh mereka. Pola pikir ini membawa asumsi bahwa alam memiliki kehidupan, atau asumsi bahwa tempat-tempat tertentu seperti sumber air dianggap keramat dan ada “penunggunya”. Sebagaimana dijelaskan oleh Sumintarsih (1994) dalam penelitiannya di Purwosari, pengeramatan terhadap sumber air itu tampak dengan adanya larangan mengambil buah dan menebang pohon di dekat sumber air, yang secara tersirat sebenarnya bermaksud melindungi sumber air dari kerusakan.18 Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk mencegah penebangan pohon dengan seenaknya, sehingga sumber air akan tetap terjaga dan selanjutnya lingkungan secara umum juga terjaga kelestariannya. Dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, kepercayaan semacam ini memang telah terkikis, kecuali pada beberapa generasi tua. Akan tetapi, meskipun kepercayaan tersebut telah berkurang, nilai-nilai kearifan berupa pelestarian lingkungan yang terkandung dalam kepercayaan-kepercayaan semacam ini seharusnya tetap dijaga dan dipegang teguh oleh setiap anggota masyarakat. Contoh
yang
bagus
tentang
bagaimana
kearifan
lokal
berupa
kepercayaan tradisional mampu menjaga kelestarian hutan seca maksimal adalah komunitas warga Suku Baduy di Kabupaten Lebak Banten. Mereka memiliki kepercayaan yang dipegang teguh oleh setiap anggota warganya. Agama warga Baduy adalah Sunda Wiwitan (Sunda Kuno) yang menyembah 17 18
Sartini, Menggali, h. 58. Sumintarsih, et al. Kearifan, h. 34.
beberapa Dewa dengan Batara Tunggal sebagai Dewa Tertinggi. Doktrin utama agama mereka sangat selaras dengan alam, yaitu lojor teu menang dipotong, pondok teu menang disambung. Doktrin ini artinyamereka harus menjalani hidup ini dengan lurus dan selaras dengan alam sekitar mereka dan mereka harus menjaga kelestarian dan keaslian alam sekitar mereka dengan sebaik-baiknya. Hutan bagi mereka adalah tempat yang suci.19 Untuk menjaga hutan, warga Suku Baduy memberlakukan beberapa larangan bagi siapapun yang akan masuk ke dalam kawasan hutan mereka. Beberapa larangan tersebut di antaranya adalah: 1) Dilarang memakai sandal 2) Dilarang mengenakan perhiasan 3) Dilarang menggunakan pakaian hitam 4) Dilarang buang air dan meludah 5) Dilarang membawa alat-alat elektronik dalam bentuk apapun 6) Dilarang berbicara kotor dan kasar 7) Dilarang mengambil apapun dari hutan untuk dibawa pulang 8) Dilarang menebang ranting-ranting dan pohon-pohon 9) Pejabat dan pegawai pemerintah dilarang memasuki hutan 10) Wanita yang sedang haid dilarang memasuki hutan 11) Dilarang memasuki hutan bagi selain warga Baduy kecuali hari Senin dan Jum’at 12) Sebelum masuk hutan harus mendapatkan ijin dari kuncen (ketua tertinggi suku Baduy) hutan.20 Kepercayaan warga Suku Baduy ini terbukti menjaga kelestarian dan keaslian hutan di kawasan tersebut. Jika nilai-nilai semacam ini bisa diterapkan, tentu proses pelestarian hutan di Indonesia bisa dimaksimalkan. D.
Simpulan Kearifan lokal dalam pola perilaku di atas bisa menjadi bentuk partisipasi
aktif masyarakat tradisional dalam menjaga kelestarian hutan. Peran ini dapat terwujud dengan baik apabila dilaksanakan melalui mekanisme yang jelas.
19 20
Ali Akbar, Local Wisdom, h. 17. Ibid.
Misalnya, melalui program pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) dengan model yang bisa disesuaikan dengan latar belakang masyarakat setempat. Model-model PHBM seperti pembentukan hutan adat, hutan desa, hutan kampung, hutan keluarga, hutan kemasyarakatan, dan lain-lain. Beberapa model PHBM ini telah berhasil dalam pelaksanaannya, seperti kasus desa Batu Kerbau, Jambi.21 Hutan yang terjaga kelestariannya merupakan investasi multi-bentuk yang sangat besar nilainya. Sebut saja, ia menjadi wilayah serapan air yang menjadi sumber penyedia air bersih dengan jumlah tak terbatas. Kemudian, hutan yang lestari berpotensi menjadi daerah tujuan wisata alam yang eksotis. Lebih dari itu, hutan yang lestari bisa menjadi warisan tak ternilai bagi anakcucu kita di masa-masa yang akan datang. REFERENSI Aji, Gutomo Bayu. tt. Pengelolaan Hutan Adat dan Partisipasi Masyarakat Desa Buluhcina, Kabupaten Kampar, Riau. http://www.damar.or.id/artikel/pengelolaanhutanadat.php. Diakses pada 8 Maret 2012. Akbar, Ali, Local Wisdom of Baduy Community and Kampung Kuta for Forest Conservation: A Preliminary Research, Jakarta: Jurusan Arkeologi Fakultas Humaniora Universitas Indonesia, 2010. Banjir dalam Sikap “Myopic” Pemerintah, KOMPAS, 17/7/2004. Dephut siapkan dana rehabilitasi hutan sebesar Rp. 2,32 triliun, 18 Juni 2004. http://www.agroindonesia.com/agnews/ind/2004/Juni/18%20Juni%20 230.html. Diakses pada 8 Maret 2012. Djogo, Toni, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat: Wacana Dan Pelaksanaannya. http://www.beritabumi.or.id/artikel3.php?idartikel=36. Diakses pada 8 Maret 2012. Hardjasoemantri, et al. Hukum dan bencana Alam di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan JICA – Kedutaan Besar Jepang. http://www.damar.or.id/artikel/pengelolaanhutanadat.php. Diakses pada 8 Maret 2012. Industri Kehutanan Menunggu Talak Tiga, KOMPAS, 17/7/2004. Menjaga Hutan dengan Kearifan Adat, KOMPAS, 17/7/2004. Ratusan Warga Rehabilitasi Hutan Merapi Milik Perhutani, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/29/daerah/103337.htm 21 Djogo, Toni. 2004. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat: Wacana Dan Pelaksanaannya. http://www.beritabumi.or.id/artikel3.php?idartikel=36. Diakses pada 8 Maret 2012.
Salim, Emil, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Penerbit Mutiara, 1979. Sartini. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Schiffman, H.R. Sensation and Perception, New York: Jhon Willey and Son, 1996. Soerjani, Mohamad, dan Bahrin Samad (editor, Manusia dalam Keserasian Lingkungan, Jakarta: lembaga Penerbit Universitas Indonesia, 1983. Sumintarsih, et al., Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Hubungannya dengan pemeliharaan Lingkungan Hidup Dareh istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994. Ulah Segelintir Orang yang Menyengsarakan, KOMPAS, 3/1/2004. Zein, M.T. (ed)., Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta: Gramedia, 1979.