UPAYA MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN HUTAN DENGAN MEMANFAATKAN KEARIFAN LOKAL PADA MASYARAKAT DESA HUTAN
SKRIPSI
Disusun oleh: Hananto Widhiaksono D 0303031
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 PENG ESAHAN
i
LEMBAR PENGESAHAN Telah Disetujui Untuk Dipertahankan Di Hadapan Dewan Penguji Fakultas Ilmu Social Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta,
Pembimbing,
Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si. NIP. 131 792 197
ii
PENGESAHAN Telah Dipertahankan di Hadapan Dewan Penguji Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana Sosial
Pembimbing Utama
(Dra. Trisni Utami, M.Si) Anggota Dewan Penguji 1. Drs. Jefta Leibo, S.U.
_____________________
2. Dra. Rahesli Humsona, M.Si.
_____________________
3. Dra. Trisni Utami, M.Si.
_____________________
Mengesahkan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UNS Dekan,
Drs. Supriyadi S.N., S.U.
iii
Bila jiwa mempunyai tekad yang besar, Niscaya tubuh akan lelah karenanya….
iv
PERSEMBAHAN Aku persembahkan karya kecil ini untuk : Bapak….,dengan sentuhanmu Ibu…., dengan doamu Kakakku…, dengan motivasimu Adik-adikku, dengan kerelaannya Dan segenap keluarga yang memberiku dukungan
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah swt atas telah terselesaikannya penyusunan skripsi berjudul “Upaya Mempertahankan Kelestarian Hutan dengan Memanfaatkan Kearifan Lokal pada Masyarakat Desa Hutan” ini. Karya kecil ini merupakan syarat untuk memperoleh derajat sarjana sosial. Penulisan karya ini memang cukup lama dengan banyak aktifitas pendamping baik sengaja maupun tidak sengaja yang cukup mengurangi konsentrasi penulis dalam penyelesaiaannya akan tetapi, alhamdulillah, dengan dukungan berbagai pihak karya ini telah cukup pantas untuk menjadi bahan pewacanaan dalam konsep pengelolaan hutan. Penulis merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Drs. Supriyadi, S.N. ,S.U. , selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.
2.
Dra. Trisni Utami, M.Si, selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan hingga skripsi ini terselesaikan.
3.
Rekan-rekan
dari
lembaga
SUPHEL,
atas
pendampingan
dan
keramahtamahan selama proses penyelesaian skripsi. 4.
Rekan-rekan Perum Perhutani KPH Cepu atas bantuan izin dan kemudahan dalam pengambilan data.
5.
Seluruh rekan mahasiswa yang telah memberikan bantuan dan dorongan hingga selesainya skripsi ini. Penulis merasa sebagai sebuah karya ilmiah, tulisan ini perlu ditingkatkan
bobot kualitasnya. Kritik dan saran akan mampu memperluas khasanah
vi
keilmuan yang sebenarnya sangat banyak apabila kita mengkaji secara lebih mendalam. Harapan penulis, tulisan ini mampu menjadi awal yang baik dalam memperbaiki wacana atau fokus perhatian berbagai pihak yang belum peduli akan keberlangsungan proses kehidupan kita di masa yang akan datang demi anak cucu kita, yaitu lingkungan hutan.
Surakarta, 13 Maret 2009
Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman Judul…………………………………………………………………...
i
Halaman Pengesahan………………………………………………….................
ii
Motto……………………………………………………………………………..
iv
Halaman Persembahan…………………………………………………………...
v
Kata Pengantar…………………………………………………………………...
vi
Daftar Isi…………………………………………………………………………
viii
Daftar Tabel……………………………………………………………………
xi
Daftar Gambar…………………………………………………………………
xii
Daftar Lampiran………………………………………………………………….
xii
Abstrak…………………………………………………………………………… xiii Bab I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………………………………………………
1
1.2. Perumusan Masalah…………………………………………………..
5
1.3. Tujuan Penelitian……………………………………………………..
7
1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………………
7
1.5. Jenis Penelitian………………………………………………………..
8
1.6.. Sumber Data…………………………………………………………..
9
1.7. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………
10
1.8.. Teknik Analisis Data………………………………………………….
11
1.9. Validitas Data…………………………………………………………
11
viii
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………...
13
2.1.1. Hutan Dan Sumber Daya Hutan..............................……….……
19
2.1.2. Sumber Daya Hutan Dan Manusia...............................................
24
2.1.3. Kearifan Lokal terhadap Lingkungan Hutan................................
28
2.2. LANDASAN TEORI………………………………………………….
25
2.3. KERANGKA PEMIKIRAN…………………………………………..
28
BAB III. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 3.1. DESKRIPSI WILAYAH KABUPATEN BLORA……………………
34
3.2. SEJARAH KABUPATEN BLORA…………………………………... 36 3.3. GAMBARAN UMUM KPH CEPU……...…………………………… 42
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN……………………...
45
4.1.1. Para Aktor Kehutanan Di KPH Cepu …………………………..
49
4.1.2. Partisipasi Masyarakat Desa Hutan……………………………..
64
4.2. HASIL INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN……………... 83 4.2.1. Pengetahuan Lokal Masyarakat Desa Hutan…………………
83
4.2.2. Budaya Lokal Masyarakat Desa Hutan…………………………
91
4.2.3. Kearifan Lingkungan Masyarakat Desa Hutan…………………
100
ix
BAB V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan……………………………………………………………
108
5.2. Implikasi……………………………………………………………….
109
5.3. Saran…………………………………………………………………
GLOSARIUM……………………………………………………………….......
112
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....
117
LAMPIRAN……………………………………………………………………...
120
x
DAFTAR TABEL Tabel 1.
Matriks waktu tertata. Perubahan-Perubahan Dalam Perubahan Program Pengelolaan Hutan KPH Cepu
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Model sistem ekologi manusia
Gambar 2.
Model komplek ekologi
Gambar 3.
Skema ketergantungan hutan dan masyarakat
Gambar 4.
Kerangka pemikiran
Gambar 5.
Peta Kabupaten Blora
Gambar 6.
Rencek dibawa dari hutan
Gambar 7.
Salah satu ngare
Gambar 8.
Seorang pencari daun
xii
ABSTRAK HANANTO WIDHIAKSONO, D0303031, ”UPAYA MEMPERTAHANKAN KELESTARIAN HUTAN DENGAN MEMANFAATKAN KEARIFAN LOKAL PADA MASYARAKAT DESA HUTAN”, Skripsi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kelestarian hutan merupakan hasil dari berbagai proses yang terjadi dalam kehidupan ekologi hutan. Di dalam hutan terdapat berbagai Interaksi. Sebuah ekosistem hutan memiliki sistem sosial yang terdiri dari manusia dengan prosesproses sosial dan kemudian terdapat lingkungan ekosistem hutan itu sendiri. Kelestarian hutan tak akan tercapai apabila terdapat hubungan yang tidak sehat dalam proses-proses sosial yang terkait dengan sumber daya hutan. Tulisan ini merupakan sebuah studi etnografi yang ditutujukan untuk untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat desa hutan dalam upaya melestarikan hutan. Selain itu, penelitian ini berupaya pula agar dapat memetakan kekuatan sosial masyarakat desa hutan sebagai dasar pembentukan hutan lestari.Tulisan ini mencoba melihat permasalahan diatas pada salah satu lingkungan hutan di Kesatuan Pemangkuan Hutan(KPH) Cepu, Kabupaten Blora Jawa Tengah. Di dalamnya terdapat beberapa aktor kehutanan yang saling berinteraksi dalam sebuah pengelolaan hutan baik langsung atau tidak langsung mempengaruhi kelestarian hutan. Beberapa aktor tersebut diantaranya adalah masyarakat desa hutan, KPH perhutani Cepu serta lembaga swadaya masyarakat SUPHEL. Ada berbagai dimensi yang membentuk kearifan lokal masyarakat desa hutan baik secara struktural maupun secara kultural. Secara struktural diakibatkan oleh adanya proses sosial panjang yang menyebabkan adanya struktur masyarakat desa hutan dalam lapisan sosial paling rendah untuk mendapatkan hak atas sumber daya lingkungan hutan. Secara kultural, kearifan lokal masyarakat desa hutan dimana keterbatasan akses terhadap lingkungan hutan menyebabkan munculnya budaya masyarakat desa hutan dalam bentuk ide-ide, perilaku serta berbagai benda yang dipergunakan dalam keseharian mereka. Pelajaran paling terkait dengan penelitian ini adalah adanya kearifan lokal masyarakat desa hutan. Pikiran, perilaku dan berbagai benda warga masyarakat desa hutan adalah sebuah produk budaya yang mendukung kelestarian sumber daya hutan di wilayah KPH Perhutani Cepu. Namun, dibalik kelestarian hutan yang ada, beberapa nilai-nilai kearifan lokal mengandung benih konflik dan kerawanan terhadap kelestarian hutan itu sendiri. Bentuk kearifan lokal yang ditemukan adalah narimo ing pandum, maka kearifan lokal yang merupakan produk budaya ini hanya membentuk kelestarian hutan saat ini, tetapi tidak untuk jangka panjang. Ketika budaya masyarakat berkembang secara dinamis, dari segi cara masyarakat, maka dapat dikhawatirkan akan memunculkan keinginan untuk menuntut hak yang lebih besar daripada apa yang telah didapatkan selama ini. Hal ini secara mudah dapat diterangkan bahwa kelestarian hutan yang terbentuk pada saat ini hanyalah kelestarian tegakan hutan tetapi kelestarian pengelolaan hutan belum tentu terwujud. Karena tujuan akhir dari pengelolaan hutan adalah kesejahteraan seluruh warga dan para pelaku kehutanan serta bagi lingkungan hutan itu sendiri. Ketiadaan perubahan inilah yang akan mengancam kelestarian hutan apabila tujuan pengelolaan hutan tidaklah untuk mensejahterakan dan menjadikan hubungan harmonis dalam setiap unsur yang merupakan aktor-aktor kehutanan di KPH Cepu.
xiii
ABSTRACT HANANTO WIDHIAKSONO. Student number D0303031. Defending the Forest Sustainability by the Using of the Indigenous Knowledge of The Society in Forest Village. Thesis. Sociology Department of Bachelor degree. Faculty of Social Science and Political Science. Sebelas Maret University. In 2009 The forest sustainability is the result of many processes happening in the forest ecology. There is an interaction process in forest. The ecosystem in forest has social system consisting human with their social process and the ecological environment in forest. The forest can not be reached if there is no a good interaction between that social process and the natural resources. This research is a etnographic studies aims to know the indigenous knowledge of the society in forest village in order to maintain the forest. This research also tries to identify the social power of the society in forest village as the basic of forest sustainability. The research tries knowing that discourse above. This research takes place in Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), Cepu, Blora, Central Java. There are many “actor” who interact in the term of forest management. It directly or indirectly influences the forest sustainability. The “actor” are the society in forest village, KPH CEPU, and SUPHEL.
There are some cases causing the indigenous knowledge of the society in forest village such as in structural and cultural terms. Structurally, that is caused by long social process causing a structure of society in forest village which exists in low social grade. They want to get their right of the forest resources. Culturally, the indigenous knowledge of the society in forest village that there actually is limited access in forest cause the emerged of culture of the society in forest village such as ideas, manner, and the means which is used by them in daily their activities. The main concept of this research is there is an indigenous knowledge of the society in forest village. Thought, manner and means are the cultural product that can encourage the attempt to maintain forest resources in KPH Perhutani CEPU. In the other hand, there are any values of indigenous knowledge which can cause conflict in maintaining the forest. In this case, indigenous knowledge deals with narimo ing pandum. So that is why, the indigenous knowledge as cultural product makes the forest sustainability just at that moment. Actually, culture dynamically develops in the term of society point of view its also causes an expectation to get their right more. To sum up, the forest management sustainability is still no exist now. However, the aim of the forest management sustainability is to make the society and the environment get the beneficial of forest resources and their welfare. If the aims of forest management do not make the society become prosperous and cause good relation between the actors in KPH CEPU, that will attack the forest sustainability.
BAB I
xiv
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Sejarah wilayah sama tuanya dengan sejarah masyarakat atau manusia. Setiap masyarakat yang hidup di sebuah wilayah dengan karakteristik tertentu akan mengalami proses interaksi yang khusus pula. Interaksi ini akan menghasilkan budaya yang berbeda dengan budaya pada masyarakat lain. Demikian halnya dengan masyarakat yang menetap di areal yang berdekatan atau bahkan berada di dalam kawasan hutan, yang akan mempunyai interaksi khas dengan lingkungan sekitarnya itu, dan menghasilkan bentuk budaya yang tidak ditemukan di wilayah lain. Akhirnya muncul istilah masyarakat desa hutan dengan karakteristik masyarakat yang berbeda dengan sekelompok masyarakat lain. Masyarakat desa hutan dengan hutan yang ada di wilayahnya pada umumnya memiliki hubungan yang erat dan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Betapa tidak?, mereka hidup dan berinteraksi secara intens dengan hutan semenjak lahir bahkan mungkin hingga mati. Lamanya interaksi ini secara otomatis akan menghasilkan budaya. Berbagai contoh dapat kita lihat pada berbagai masyarakat serta sukusuku yang ada di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia. Di hutan Kalimantan, masyarakat Dayak dengan ketergantungan yang luar biasa terhadap hutan, lingkup kehidupannya menghasilkan sistem pertanian yang bersistem rotasi ladang serta memunculkan kearifan lokal berupa terbentuknya kawasan-kawasan hutan larangan yang disebut hutan adat Simpunk. Hal serupa dapat kita jumpai pada alas wengkon di masyarakat desa hutan di Jawa, sistem
xv
hutan khepong damar dan Lembok di masyarakat desa hutan di Sumatra, sistem Sasi di kepulauan Maluku yang khusus untuk hutan terdapat Sasi Sagu dan Sasi Ewang, serta berbagai sistem di wilayah lain yang belum diungkap. Berbagai sistem serta budaya dalam masyarakat sekitar kawasan hutan mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian hutan. Apabila di saat sekarang terdapat paradigma bahwa masyarakat desa hutan adalah pihak yang menyebabkan kerusakan hutan maka yang perlu kita pahami adalah penyebab mereka melakukan hal tersebut. Negara dalam hal ini pemerintah yang mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan telah mencerabut masyarakat desa hutan dari wilayahnya sendiri. Akses terhadap hutan dibatasi bahkan ditutup sehingga masyarakat desa hutan ibarat ”anak ayam mati di lumbung padi”. Kembali pada konsep bahwa sejarah wilayah sama tuanya dengan sejarah masyarakat maka apabila penyebab kerusakan hutan ditimpakan pada masyarakat desa hutan, mengapa hutan pada saat ini masih ada? Kerusakan hutan akibat perilaku masyarakat desa hutan belum cukup terbukti. Fakta di lapangan, perusak terbesar hutan di Indonesia adalah karena pengelolaan hutan yang berada ditangan negara dan menggunakan paradigma State Based Forest Management (SBFM). Contoh paling nyata adalah masa Orde Baru dimana kerusakan hutan di Jawa dan terlebih khusus di luar Jawa mengalami fase terparah. Sejarah Indonesia bidang kehutanan memperlihatkan, enam tahun setelah kepergian rimbawan bangsa Belanda, pada tahun 1963 status pengelola hutan di Jawa berubah dari Jawatan ke Perusahaan Negara dengan nama PN Perhutani, kecuali untuk daerah Jawa Barat dan Daerah Istimewa Jogjakarta. Tujuan perubahan itu untuk meningkatkan pendapatan negara dari hutan Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta beberapa kelompok hutan di Tarakan, Sampit
xvi
dan Balikpapan (Kalimantan Timur), serta Pulau Laut (Kalimantan Selatan). Perubahan status itu ditangkap oleh para pengelola kehutanan sebagai amanat pemerintah untuk meningkatkan intensifikasi pemungutan hasil hutan sehingga memperoleh keuntungan yang besar bagi pembangunan nasional yang berada dalam krisis ekonomi. Kurang dari 10 tahun PN Perhutani mengemban tugas menggali dana untuk pembangunan semesta berencana, ternyata nilai rapor yang diperoleh sangat mengecewakan. Unit-unit di Kalimantan yang pelaksanaannya bekerja sama dengan Jepang ternyata dinyatakan rugi ribuan dolar. Melihat hal ini, akhirnya PN Perhutani dilikuidisir, Jawa tengah dan Jawa timur menjadi Perum Perhutani., unit-unit kerja di Kalimantan Timur menjadi PT Inhutani I, unit di Kalimantan Selatan menjadi Inhutani II, dan unit di Kalimantan Tengah menjadi Inhutani III. Selama itu pulalah kerusakan hutan Indonesia bertambah tiap tahun, ditambah pula dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang membuat kebijakan yang sangat dipengaruhi oleh para pengusaha waktu itu. Akhirnya lembaga-lembaga diatas pun tunduk dan patuh pada amanat pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang dekat pada para pengusaha kapitalis. Sejarah kehutanan Indonesia selalu menyebutkan adanya masyarakat di sekitar hutan yang ikut serta dalam proses pembangunan kehutanan. Sebagai contoh adalah hutan jati di Jawa. Hutan jati di Jawa telah menjadi sumber utama bahan baku industri kapal selama lebih dari lima abad, maka masyarakat dan pemerintah di Jawa telah lama
pula menguasai manfaat dan
selukbeluknya. Pada setiap masyarakat kehutanan waktu itu terdapat hak ulayat yaitu hak yang berfungsi untuk mengendalikan sumber daya hutan jati masuk dalam
xvii
aturan wilayah administrasi terkecil yaitu desa. Zaman Belanda yang menjajah Indonesia selama kurang lebih tiga setengah abad berupaya untuk memupus hak ulayat ini dalam kerangka untuk menguasai kayu jati untuk dijadikan kapal ke Eropa. Dan inilah pula yang sampai saat ini tetap dilakukan oleh negara dalam bentuk PT Perhutani yaitu dengan tidak memberikan satu wilayah hutan pun bagi para warga masyarakat tetapi diakui sebagai wilayah hutan negara. Inilah beberapa data terakhir kehutanan Indonesia, Irdika Mansur (2005), Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, menyatakan : ”upaya serius untuk menyelamatkan hutan Indonesia harus benar-benar dilakukan sesegera mungkin karena laju kerusakan hutan di tanah air telah mencapai 2,8 juta hektare per tahun atau setara dengan enam lapangan sepakbola per menit. Seiring dengan itu, maka akan diikuti pula dengan hilangnya spesies pohon hutan, khususnya pohon komersial”. Kawasan hutan lindung, telah terancam keberadaannya oleh perusahaan multinasional yang berparadigma pada eksploitasi alam semata. Hutan-hutan tersebut diantaranya, hutan lindung Gag-papua yang sekarang menjadi lokasi proyek PT Gag Nickel, Tahura (Taman Hutan Rakyat) Poboya Paneki oleh PT Citra Palu Lestari, Taman Nasional Meru Betiri di Jember oleh PT Jember Metal, Taman Nasional Lore Rindu di Sulteng oleh PT Mandar Uli Minerals, Taman Nasional Kerinci Seblat oleh PT Barisan Tropikal Mineral dan Sari Agrindo Andalas. Serta hutan Cepu dan Bojonegoro yang saat ini dikenal sebagai blok Cepu juga sudah dikuasai oleh PT Exxon Mobile. Beberapa hal diatas menimbulkan dampak pada ketidakadilan distribusi penguasaan sumber daya alam ini sehingga konflik sosial adalah sesuatu yang riil terjadi di masyarakat.
xviii
Oleh sebab itu, upaya pengelolaan hutan agar tetap lestari tidak boleh menghilangkan kearifan masyarakat lokal di sekitar hutan. Mereka mempunyai pengetahuan lokal sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan baik lingkungan biotik, fisik maupun lingkungan antar manusia itu sendiri.
1.2. Perumusan Masalah Masyarakat desa hutan dengan karakteristiknya adalah hasil interaksi antara lingkungan hutan dengan anggota-anggotanya. Interaksi tersebut dilakukan dalam lingkup lingkungan biotik, lingkungan fisik dan lingkungan antar manusia itu sendiri. Proses interaksi ini akan menghasilkan sebuah budaya. Budaya yang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri dapat kita sebut sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal akan lebih bersifat sebagai interaksi positif antara hutan dengan masyarakat. Sentiment community terbentuk dalam tubuh dan jiwa masyarakat. Hal ini muncul karena masyarakat desa hutan mendapatkan manfaat dari hutan sehingga secara otomatis mereka akan berusaha untuk mempertahankan kelestarian hutan agar manfaat yang mereka peroleh dari hutan tetap didapatkan. Pembangunan hutan
Indonesia
yang menghasilkan berbagai pola
pengelolaan hutan ikut mempengaruhi kearifan lokal di masyarakat desa hutan. Kearifan lokal dapat dilihat sebagai sebuah proses sosial sehingga ia dapat berubah sesuai tuntutan kebutuhan dan zaman. Akan tetapi dasar dari kearifan lokal adalah untuk tetap dapat melestarikan hutan demi tetap adanya kemanfaatan hutan yang kontinyu. Kearifan lokal sebagai sebuah budaya, mengandung ide-ide atau sebuah gagasan tentang sebuah pengelolaan hutan lestari. Selain ide, di dalam kearifan
xix
lokal juga terbentuk pola perilaku yang menjadi pedoman dan cara untuk berinteraksi. Masyarakat desa hutanpun akan mempunyai berbagai benda hasil budaya sebagai wujud budaya yang kongkret. Berdasarkan pandangan diatas, maka permasalahan yang ingin digali dalam penelitian ini adalah: a)
Bagaimana interaksi yang dilakukan masyarakat desa hutan dalam lingkup biotik, lingkup fisik, maupun lingkungan antar manusia itu sendiri?
b)
Bagaimana hasil interaksi sosial masyarakat desa hutan terhadap kelestarian hutan dalam kerangka terbentuknya kearifan lokal?
1.3. Tujuan Penelitian Setelah mengkaji latar belakang serta rumusan masalah sebagaimana dipaparkan di muka, maka penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat desa hutan dalam upaya melestarikan hutan. Selain itu, penelitian ini berupaya pula agar dapat memetakan kekuatan sosial masyarakat desa hutan sebagai dasar pembentukan hutan lestari.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu: a)
Manfaat praktis Secara praktis hasil penelitian akan bermanfaat dalam pembuatan kebijakan pihak pemerintah c.q. KPH Cepu dalam rangka menjalankan upaya pelestarian hutan. Bagi masyarakat desa hutan sendiri, hal ini merupakan salah satu bentuk penyadaran atas apa yang mereka lakukan
xx
selama
ini
dan
dengan
itu
dapat
terus
menjaga
maupun
mengembangkan kearifan lokalnya dengan lebih maksimal. b)
Manfaat teoritis Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi sebuah tambahan pengetahuan dan dapat ditambahkan dalam body of knowledge dari ilmu Sosiologi khususnya dalam kajian Sosiologi pedesaan maupun Sosiologi kehutanan.
1.5. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif etnografi yang bermaksud untuk menjelaskan gejala-gejala sosial dalam segi kebudayaannya yang telah melembaga. Setiap gejala sosial tersebut dijelaskan dalam deskripsi pola atau pattern-nya. Para ahli etnografi bertanya, ”bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan?”. Etnografi terutama memperhatikan perilaku manusia yang berlangsung pada jenjang ”diterima sebagai sesuatu yang sudah seharusnya demikian”. Menurut tokoh yang lain, prof. Dr. Noeng Muhadjir, studi etnografi adalah suatu deskripsi tentang cara mereka berpikir, hidup, berperilaku. Etnografi bukan deskripsi kehidupan masyarakat primitif (seperti konsep etnografi di tahun 1950-an), melainkan deskripsi kehidupan masyarakat kita dalam beragam situasinya, sebagaimana adanya: dalam kehidupan kesehariannya, cara mereka memandang kehidupan, perilakunya, dan semacamnya. Prof. Hasanu Simon seorang pakar Sosiologi kehutanan UGM mengungkapkan pandangannya tentang penelitian kualitatif, ”Pendeknya rimbawan harus dapat meniru ilmu Nabi Sulaiman alaihissalam pada waktu berkunjung ke lapangan,
xxi
khususnya untuk menggali problematika yang akan bermanfaat bagi evaluasi manajemen hutan. Berdialog dengan petani di sekitar hutan pun lebih cocok dengan ilmu Nabi Sulaiman dibanding dengan menggunakan kuesioner, ilmunya orang Eropa dan Amerika”.
1.6. Sumber Data Jenis data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung dari sumbernya. Keuntungan menggunakan data ini adalah data-data tersebut dapat dipercaya. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain yang telah mengumpulkan dan mengolahnya. Sumber data penelitian ini berasal dari beberapa stake holder yang diambil datanya dengan metode wawancara dan pengamatan di lapangan. Mereka antara lain adalah KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Perhutani Cepu yang merupakan representasi dari pengelolaan hutan oleh negara. Salah satu informan terpenting dari Perhutani adalah Kepala Bagian Sub Lapangan KPH Cepu. Kepala Sublap inilah yang sering terjun ke lapangan dan berinteraksi dengan masyarakat desa hutan. Selain itu, LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) yaitu sebuah wadah beranggotakan warga desa hutan terutama para tokoh-tokoh masyarakat yang karena kelebihan tertentu menjadi pengurus LMDH. Warga masyarakat sekitar hutan, serta beberapa LSM lokal. Salah satunya adalah LSM yang bernama Lembaga Suphel (Solidaritas Untuk Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup).
1.7. Teknik Pengumpulan Data Penelitian kualitatif ini akan menggunakan metode observasi sebagai jalan untuk mengetahui dan mengamati secara seksama berbagai proses yang berlangsung dalam
xxii
interaksi sosial masyarakat. Metode pengamatan yang dilakukan adalah model pengamatan bebas dan rendah hati. Selain itu, metode wawancara mendalam juga akan dilakukan guna mencari penjelasan-penjelasan yang lebih detail dari informan. Para informan akan di pilih dari para stake holder terkait. Akan tetapi, penelitian akan lebih banyak pada informan yang berasal dari warga masyarakat desa hutan yang sifat wilayahnya tersebar dan terpusat. Sebuah ciri khas masyarakat pedesaan dalam pemilihan tempat tinggal. Setiap wilayah hutan dimana terdapat warga masyarakat desa hutan akan kita datangi dan akan kita jumpai setiap warga yang sedang melakukan aktifitas dalam hutan. Perlu diketahui, setiap hari warga masyarakat sekitar hutan pasti melakukan aktifitas-aktifitas dalam hutan. Tidak hanya hutan di wilayah tempat tinggalnya tapi hingga kawasan hutan di tempat lain yang jaraknya cukup jauh dari wilayah hutan mereka. Peralatan pembantu dalam penelitian ini adalah audio tape sehingga akan menampilkan hasil rekaman wawancara. Selain itu kamera juga akan di gunakan untuk memperlihatkan berbagai aktifitas interaksi warga masyarakat desa hutan dengan hutan dalam bentuk gambar. Daftar pertanyaan untuk tiap-tiap informan akan dibedakan sesuai dengan kapasitas serta kebutuhan penelitian akan data dari informan tersebut.
1.8. Teknik Analisis Data Penelitian ini akan menggunakan teknik analisis data kualitatif model alir yaitu dengan melakukan tiga proses penelitian kualitatif baik reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi dapat dilakukan selama masa pengumpulan data sehingga pasca pengumpulan data dapat segera dilaporkan.
xxiii
Setiap data yang didapatkan dalam penelitian langsung akan dianalisis dan akan dihubungkan dengan konsep serta teori dasar yang digunakan. Beberapa prinsip dalam menganalisis data yang diperoleh baik melalui observasi maupun wawancara adalah dengan prinsip penemuan studi dalam makna yang terdiri dari prinsip relasional, prinsip kegunaan, prinsip kemiripan serta prinsip kontras.
1.9. Validitas Data Pada positivisme dikenal validitas dan reliabilitas. Pada model paradigma kualitatif keduanya diganti dengan kredibilitas. Menurut Prof. Dr. Noeng Muhadjir, pada etnografi maupun etnometodologi terdapat dua konsep yang dapat dipakai untuk mengganti konsep validitas reliabilitas maupun konsep kredibilitas dengan indeksikalitas dan refleksikalitas. Indeksikalitas adalah keterkaitan makna kata, perilaku dan lainnya pada konteksnya. Sedangkan refleksikalitas adalah tata hubungan atau tata susunan sesuatu dengan atau dalam sesuatu yang lain. Sebagai bentuk usaha kesahihan terhadap data yang diperoleh, maka selalu dilaksanakan proses trianggulasi penyelidikan artinya melakukan pengujian pada situasi yang sama oleh orang yang berbeda (lebih dari seorang).
xxiv
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Tinjauan Pustaka Berdasarkan pokok pembahasannya, sering dijumpai pembagian sosiologi ke dalam dua bagian utama. Nama yang diberikan berbeda-beda. Leonard Broom dan Philip Selznick (1977), misalnya membedakan antara tata mikro(micro order) yang terdiri dari interaksi-interaksi terpola, perilaku peranan, kelompokkelompok primer, dan hubungan-hubungan antar manusia dalam kelompokkelompok terorganisasi serta institusi-institusi, dan tata makro(macro order) yang terdiri dari hubungan antar kelompok, pola-pola organisasi sosial yang komprehensif, serta komunitas- komunitas dan masyarakat-masyarakat. Jack Douglas (1973) mengadakan perbedaan antara dua perspektif sosiologi: perspektif struktural atau makrososial, yang memandang masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan meletakkan fokus pada saling kesalingtergantungan antar bagian masyarakat. Perspektif kedua, kehidupan sehari-hari atau mikrososial, yang meletakkan fokus pada tindakan-tindakan serta komunikasi yang dapat diamati.1 Menurut George Simmel, seorang sosiolog bertugas untuk meneliti bentuk interaksi masyarakat yang terpola seperti jaring laba-laba, bagaimana mereka terjadi dan mewujud di dalam kehidupan sejarah dan seiring budaya berbeda. Lapangan penyelidikan utama sosiolog adalah sosiasi yaitu pola-pola dan bentuk-bentuk khusus manusia dalam melakukan asosiasi dan interaksi satu sama lain. Masalah-masalah yang dipelajari sosiologi terletak pada deskripsi dan 1
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi: Suatu Bunga Rampai, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985
xxv
analisis bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial manusia dan kristalisasinya dalam kelompok dengan karakteristiknya masing-masing. Sosiologi menurut Hasanu Simon (2004) merupakan suatu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Baik lingkungan biotik, fisik maupun lingkungan antar manusia sendiri. Pengertian ini merupakan sebuah pengertian yang bernuansa ekologi manusia. Semula masalah sosial dan sosiologi bukan sesuatu yang menonojol. Di bidang pendidikan, menengah, maupun perguruan tinggi, sosiologi pada awalnya sederhana saja dan tidak menarik minat siswa maupun mahasiswa. Di bidang praktis, masalah sosial jauh tidak menonjol dibandingkan dengan bidang-bidang yang sudah lama keren, seperti kedokteran, teknik, pertanian bahkan masalah ekonomi dan sejarah. Akan tetapi, dengan semakin kompleksnya masyarakat dan program pembangunan karena meningkatnya teknologi, ternyata masalah sosial dan sosiologi menjadi semakin menunjukkan peranan yang penting.2 Mengingat sangat mendesaknya persoalan lingkungan yang terjadi, maka sebagai konsekuensi atas pembahasan tersebut, sudah saatnya sosiologi mengembangkan kajian keilmuannya tidak sebatas berkutat pada kajian tentang interaksi antar manusia saja, sebagaimana yang seringkali kita terima dalam mata kuliah pengantar sosiologi. sudah saatnya para sosiolog atau calon sosiolog turut merefleksikan kembali kajian tentang hubungan antara manusia atau masyarakat dengan lingkungannya3 Profesor Sosiologi Amerika, John J. Macionis dalam Sociology mengakui tentang masih terbatasnya peran sosiologi dalam persoalan-persoalan lingkungan 2
Hasanu Simon, Aspek Sosio-Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004. 3 Rachmad K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan Dari Pegunungan Di Kota Batu Malang, , Paper Dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Sosiologi Se-Jawa Timur, Universitas Muhammadiyah Malang, 26 Desember 2004
xxvi
(ekologi), terutama ketika memberikan bukti-bukti ilmiah dan fisik mengenai kerusakan lingkungan. namun demikian demi mengembangkan sosiologi yang berperan dalam persoalan lingkungan, satu kata kunci adalah bahwa tidak ada satu persoalan lingkungan yang produk dunia alamiah dan berjalan dengan sendirinya. berangkat dari hal tersebut persoalan lingkungan adalah produk interaksi antar manusia. dengan demikian, para sosiolog otomatis dapat mengambil peran didalamnya, seperti: a) Sosiolog bisa menggali(explore) tentang arti atau makna lingkungan bagi masyarakat yang berlatang belakang sosial beragam. b) Sosiolog bisa memonitor denyut nadi(pulse) masyarakat pada persoalanpersoalan lingkungan. Membuat laporan tentang pikiran, harapan dan ketakutan mereka. Termasuk, menganalisa mengapa kategori tertentu dari individu atau masyarakat mendukung atau menolak pihak tertentu. c) Sosiolog bisa menunjukkan bagaimana pola-pola sosial manusia menyebabkan tekanan yang memuncak pada lingkungan alamiah. Dalam kaitan ini, sosiolog mengambil peran yang spesifik dalam menunjukkan bagaimana pola-pola kebudayaan dan konstelasi politik dan ekonomi secara khusus mempengaruhi lingkungan alam.4 Kajian-kajian sosiologi di setiap universitas akan memasukkan materi ekologi sosial atau ekologi manusia. Ekologi manusia didasarkan pada suatu perspektif sosiologi yang luas serta telah dikembangkan sejak awal oleh Malthus dan Darwin. Albercht dan Murdock (1985) mengemukakan bahwa ekologi manusia didasarkan pada anggapan bahwa untuk mempertahankan hidup, manusia, harus melakukan adaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial yang
4
ibid
xxvii
mereka miliki. Hal ini dilaksanakan oleh perangkat teknologi dan praktekpraktek
budaya
bahwa
bentuk
penggunaan
lingkungan
dan
bentuk
pengembangan organisasi sosial boleh untuk adaptasi seperti itu.5 Selain Albert dan Murdock, Hawley (1950) menggambarkan ekologi manusia sebagai suatu penyesuaian dari manusia terhadap lingkungan hidupnya (habitat) sebagai suatu perkembangan masyarakat dengan mempertunjukkan kedua hubungan antara bentuk simbiotik dengan komensalistik.6 Rambo (1980) menawarkan sebuah model ekologi manusia. Model ini mempunyai dua subsistem yang independen yaitu ekosistem alam dan sistem manusia yang divisualisasikan sebagai saling berhubungan melalui perubahan energi, material dan informasi. Konsekuensinya, adanya perubahan dalam salah satu dari kedua subsistem akan mengakibatkan suatu perubahan dari subsistem lainnya dengan perubahan pula pada aliran energi, material, dan informasi. Jadi, kedua subsistem dapat dilihat sebagai kegunaan hubungan dialektika yang tidak ada habisnya dan merupakan suatu kerjasama yang evolusioner. Rambo7 menekankan terdapat empat aspek dalam model sistem ekologi manusia, yaitu: a) input dari ekosistem ke dalam sistem sosial. b) Input dari sistem sosial ke dalam ekosistem c) Perubahan di dalam perbaikan kelembagaan sistem sosial dalam merespon input dari ekosistem. d) Perubahan didalam ekosistem dalam merespon terhadap input dari sistem sosial.
5
San Afri Awang,Dekonstruksi Social Forestry:Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan, Yogyakarta, Bigraf Publishing, 2004 6 7
Loc.cit ibid
xxviii Keterangan:
xxix
Selain model sistem ekologi Rambo, Duncan8 (1959) juga menawarkan sebuah model ekologi yang disebut model komplek ekologi. Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Secara rinci, empat elemen dari model kompleks ekologi yang berinteraksi adalah sebagai berikut: a. Penduduk (P) Penduduk merupakan unit analisis dalam ekologi. Atribut (kelengkapan) variabel penduduk seperti kepadatan penduduk persatuan luas, tingkat pertumbuhan penduduk, umur, ras etnik, komposisi, pembagian jenis kelamin, dan faktor sosio-kultural, mungkin memiliki dampak pada lingkungan dan
adaptasi organisasi penduduk( Poston dkk dalam
Awang,2004) b. Organisasi Sosial (O) Organisasi sosial mempunyai arti tanggung jawab bersama terhadap perubahan kondisi lingkungan dan persyaratan untuk bertahannya suatu sistem. Dengan kata lain organisasi ekologis. Merefleksikan suatu adaptasi penduduk pada kemungkinan-kemungkinan dan keterbatasan-keterbatasan
8
ibid
xxx
lingkungannya. Menurut Berry dan Kasarda (dalam Awang,2004) bahwa organisasi adalah seluruh jaringan yang mempunyai hubungan simbiotik dan komensalistik,
yang
memungkinkan
penduduk
melestarikan
anorganik
dan
sendiri
lingkungannya. c. Lingkungan (E) Lingkungan
meliputi
lingkungan
organik
yang
mempengaruhi penduduk. Lampard dalam Awang (2004) menggambarkan lingkungan termasuk semua kekuatan luar dimana seseorang penduduk mungkin akan mempengaruhi penggunaan sumber daya material lainnya. Dengan kata lain, lingkungan dipandang sebagai suatu kumpulan kondisi terbatas, baik luas atau sempit, tergantung pada ukuran teknologi dan model organisasi yang berlaku dalam suatu masyarakat. d. Teknologi (T) Teknologi merupakan suatu elemen kritis untuk adatasi manusia. Inovasi teknologis merupakan faktor yang berpengaruh di dalam teori ekologievolusioner
dari
masyarakat
manusia
(Lenski
dan
Lenski
dalam
Awang,2004). Teknologi meningkatkan variasi ekosistem oleh masukan fasilitas ke dalam lingkungan. 2.1.1. Hutan Dan Sumber Daya Hutan Hutan menurut UU No 41 tahun 1999 merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Menurut statusnya sesuai dengan UU kehutanan, hutan hanya dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu (1)hutan negara, hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah; dan
xxxi
(2)hutan hak, hutan yang dibebani hak atas tanah yang biasanya disebut sebagai hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas lahan milik rakyat, baik petani secara perorangan maupun bersama-sama.9 Sumber Daya Hutan merupakan bagian dari sumber daya alam yang berupa hutan. San Afri Awang mendefinisikan masyarakat desa hutan sebagai masyarakat yang
berada di dalam hutan maupun berbatasan
langsung dengan hutan dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun hasilhasil hutan lain. Saat ini, kondisi lingkungan khususnya hutan diseluruh penjuru bumi sedang mengalami degradasi yang luar biasa. Sebagai contoh pada tahun 1970-an dan 1980-an kita dapat menyaksikan suatu peningkatan dramatis dalam perampokan dan pengalihan sumber daya alam hutan di Amazon Brazil, Kalimantan di Indonesia, Filipina dan yang terakhir di Mekong di Vietnam.10 kerusakan-kerusakan ini sangat terkait erat dengan sistem politik maupun ekonomi. Indonesia sendiri mengalami kasus yang serupa. Masalah kehutanan di Indonesia adalah deforestasi yang meningkat dalam beberapa dekade. Sebagaimana dilaporkan oleh Bank Dunia (2003) dan Departemen Kehutanan Indonesia tingkat deforestasi sudah mencapai lebih dari dua juta hektar per tahun. Secara total, luas hutan telah mengalami pengurangan yang sangat signifikan. Apabila di tahun 1950, terdapat 162 juta hektar hutan, pada tahun 1985, hutan kita tinggal 119 juta hektar. Angka ini terus mengalami penurunan, karena pada tahun 2000, hutan kita tinggal 96 juta hektar. Apabila tingkat kehilangan ini terus terjadi sebesar 2 juta hektar per tahun maka dalam kurun waktu 48 tahun kedepan, wilayah Indonesia akan menjadi 9
San Afri Awang dkk, Hutan Rakyat;Social Ekonomi Dan Pemasaran, Yogyakarta, BPFE,2002 Ton Dietz, Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam,Yogyakarta, Insist Press, 2005
10
xxxii
gurun pasir yang gundul dan panas. Penting juga dicatat, bahwa hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan, dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982, sekarang tinggal 3,24 juta hektar pad tahun 1987 dan menjadi 2,06 juta hektar pada tahun 199511 Masalah kehutanan Indonesia secara kewilayahan dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah masalah hutan di Jawa dan kedua, masalah kehutanan di luar pulau Jawa Masalah hutan dan masyarakat di pulau Jawa antara lain: a. pertumbuhan penduduk yang cepat tetapi tidak didukung oleh sumber daya lahan yang tersedia. b. Jumlah penduduk yang sangat banyak di Jawa. Lebih dari 130 juta jiwa dengan luas areal 6% dari luas Indonesia. Sehingga pemilikan lahan setiap keluarga sekitar 0,2-0,3 hektar dan berdampak pada masalah sosial politik dan ekonomi yang luas. c. Peluang kerja dan berusaha di pedesaan sangat terbatas, padahal angkatan kerja banyak di desa. Dengan demikian sektor ekonomi pedesaan menerima beban yang sangat tinggi untuk menanggulangi pengangguran. d. Kebutuhan air akan terus meningkat pada masa yang akan datang untuk kepentingan keluarga, indutri dan kegiatan lainnya baik di desa maupun di kota. Hutan memegang peranan penting dalam mengatur air tanah di Jawa, dan e. Hutan komunal adat hutan rakyat belum disejajarkan dengan hutan negara/publik dalam hukum Indonesia, padahal hutan rakyat tersebar merata di pulau Jawa. Hutan adat telah terbukti mampu dijaga fungsinya 11
Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa, Kearifan Lingkungan Untuk Indonesiaku, Yogyakarta, 2006.
xxxiii
oleh masyarakat, dan mampu menjadi penyangga kebutuhan air di pulau Jawa di mas yang akan datang. Diperkirakan dengan kondisi hutan saat ini, suplai air di Jawa hanya akan mampu mendukung sekitar 45% di total kebutuhan masyarakat di pulau Jawa. Persoalan hutan di luar pulau Jawa sudah sedemikian kompleks, hampir semua komponen masyarakat seperti pengusaha, aparat pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat , dan lain-lain tidak mampu menyelesaikan terjadinya proses degradasi alam hutan tropika kita sendiri-sendiri. Masalah hutan dan masyarakat di luar pulau Jawa antara lain: a.
terdapat mitos selama orde baru bahwa hutan alam produksi dikuasai dan dimiliki oleh pemegang HPH dan BUMN seperti Inhutani. Masyarakat umum, masyarakat pedesaan sekitar, dan pemerintah daerah sangat apatis, tidak punya akses, dan asset terhadap sumber daya hutan sekalipun sumber daya hutan tersebut berada di wilayah mereka.
b.
Terjadi ketidakadilan di tengah masyarakat sebagai akibat dari sistem penguasaan sumber daya alam hutan seperti disebutkan diatas. Hakhak masyarakat adat tergusur oleh sistem penguasaan HPH.
c.
Selama orde baru, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat selalu dianggap musuh oleh pihak penguasa dan pemerintah sehingga tidak terbentuk proses dan mekanisme penyadaran dari pengusaha hutan dan kontrol yang dilakukan masyarakat dianggap tidak konstruktif. Ketika hutan sudah hancur, baru dirasakan bahwa peran aktif masyarakat diperlukan untuk melindungi sumber daya hutan.
xxxiv
Klaim atas lahan hutan dari masyarakat lokal dan dari pengusaha terus berlangsung tanpa ada upaya-upaya penyelesaian pembagian manfaat yang berkeadilan antara kedua belah pihak. Akibatnya adalah kedua belah pihak selalu berusaha menguasai lahan hutan dengan segala caranya masingmasing. Akibatnya hutan mengalami kerusakan yang serius.
2.1.2. Sumber Daya Hutan dan Manusia Sumber daya hutan dan fungsinya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh manusia dalam memanipulasi penggunaan dan pemanfaatan sumber daya hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan. Hutan dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ketergantungan antara kedua belah pihak dapat digambarkan secara skematik sebagai berikut:
Kebutuhan masyarakat (need of People)
Aliran produksi/jasa hutan (production flow)
Gambar 3. skema ketergantungan hutan dan masyarakat
Jutaan masyarakat pedesaan kehidupannya tergantung kepada produksi dan jasa hasil hutan dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun. Namun demikian, jutaan manusia lainnya baik regional dan mondial yang berada diluar orbit pedesaan juga memerlukan produksi dan jasa dari sumber daya hutan, misalnya untuk rekreasi, penelitian, sumber ekonomi, penjaga lingkungan dan penjaga kelestarian plasma nutfah untuk kebutuhan umat manusia, tumbuhan, hewan, dan lain-lain. xxxv
Skematik diatas menjadi sangat terganggu ketika hubungan hutan dan masyarakat hanya dilihat sebagai faktor ekonomi belaka, kemudian memarjinalkan kehadiran masyarakat didalam membangun hutan tersebut. Di sebagian besar belahan dunia, masyarakat dijadikan musuh oleh pemerintah karena distigmasi sebagai perusak sumber daya hutan(SDH). Bukankah masyarakat tidak bersahabat dengan alamnya karena mereka memang dijauhkan secara politik dan ekonomi oleh pemerintah. Selama ini masyarakat dianggap sebagai pesaing pemanfaat SDH oleh pengusaha dan pemerintah.12
2.1.3. Kearifan Lokal Dalam Kehutanan 2.1.3.1. Definisi Kearifan Lokal Kearifan lokal adalah kematangan masyarakat ditingkat komunitas yang tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal(material maupun non material)yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik dan positif13. Kearifan lokal dapat dilihat dari dua perspektif yaitu, struktural dan kultural. Perspektif struktural sebagai kaca mata kearifan lokal dipahami dari keunikan struktur sosial yang berkembang di lingkungan masyarakat. Struktur sosial tersebut tidak saja menjelaskan tentang institusi sosial, organisasi sosial, kelompok sosial yang hadir di tengah masyarakat lokal, tapi juga bertautan dengan dominasi wewenang dan kekuasaan yang melahirkan
12
San Afri Awang, Politik Kehutanan Masyarakat, Yogyakarta, Center For Critical Social Studies(CCSS),2003 13 Petunjuk pemakaian modul penguatan keserasian social melalui pelatihan tenaga pelatih(TOT) Pemantapan Pendamping Sosial
xxxvi
kelas atau stratifikasi sosial atau tipologi masyarakat. Pertumbuhan setiap institusi sosial/lembaga /organisasi sosial pada setiap masyarakat berbeda. Perbedaan ini dipelajari tidak hanya dari pembentukannya melainkan pola pertumbuhan perkembangannya dan dinamika strukturalnya dan fungsifungsinya untuk menjalankan peran-peran sosial universal. Perspektif kultural lebih menekankan konteks kearifan lokal sebagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan dari masyarakat sendiri dan karena kemampuannya mampu bertahan dan menjadi pedoman hidup masyarakat. Secara nyata masyarakat lokal/tingkat bawah memiliki sumber dan potensi yang bersifat khusus kedaerahan dalam wujud nilai-nilai kearifan lokal yang dipatuhi dan mempengaruhi pola pikir, pola hidup dan pola tindak komunitas masyarakat mencakup pengetahuan lokal, budaya lokal, sumber daya lokal, ketrampilan lokal dan proses sosial lokal. Pengetahuan lokal berkaitan dengan data dan informasi tentang karakter keunikan lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat untuk menghadapi masalah dan kebutuhan serta cara pemecahannya. Budaya lokal berkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan yang telah terpolakan dan sekaligus sebagai tradisi. Ketrampilan lokal berkaitan dengan keahlian dan kemampuan masyarakat setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang diperoleh. Sumber daya lokal berkaitan dengan ketersediaan potensi dan sumber daya lokal yang unik, sementara proses sosial lokal berkaitan dengan bagaimana masyarakat menjalankan fungsifungsi sosialnya, sistem sosial tindakan yang dilakukan, tata hubungan sosial diantara mereka serta kontrol sosial yang dilakukan.
xxxvii
Secara sederhana konteks kearifan lokal dapat dilihat dengan kaca mata wujud budaya seperti yang dikemukakan oleh Julian Hoxley. Julian Hoxley berpendapat bahwa terdapat tiga wujud budaya yaitu: 1. Mentifact Mentifact adalah budaya bersifat abstrak yang berupa aspek mental yang melandasi perilaku dan hasil karya. Didalamnya terdapat ideologi, sikap kepercayaan dan pemikiran. 2. Sosiofact Sosiofact adalah kebudayaan yang menempatkan manusia sebagai anggota masyarakat. 3. Artefact Artefact adalah kebudayaan material( kebendaan ). Selain
Hoxley,
tokoh
Antropologi
Indonesia,
Koentjaraningrat
menyebutkan bahwa kebudayaan dapat berwujud tiga hal yaitu: 1. Suatu hal yang kompleks dari ide, gagasan, norma, nilai, dan peraturan. 2. Suatu
kompleks
aktifitas
dan
tindakan
berpola
manusia
bermasyarakat. 3. Benda hasil karya manusia.
2.1.3.2. Kearifan Lokal terhadap Lingkungan Hutan Masyarakat Indonesia yang beraneka ragam mempunyai variasi kearifan lokal masing-masing. Menurut Fazlun Khalid seorang pendiri Islamic Foundation For Ecology And Environmental Studies(IFEES), Indonesia
xxxviii
sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia mempunyai kepedulian terhadap persoalan lingkungan. Banyak sekali masyarakat Indonesia yang mempunyai empati mendalam terhadap alam aslinya dan saat inilah waktu untuk mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa pelestarian habitat dapat diaplikasikan dengan sangat baik melalui tradisi-tradisi Islam yang mereka miliki. Kearifan lokal di berbagai daerah sangat beragam. Di masyarakat Maluku dikenal sasi. Lembaga sasi adalah salah satu ketentuan hukum adat yang bertujuan untuk membatasi ruang gerak anggota masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Contoh lain adalah pada masyarakat ammatowa di kajang sulawesi selatan yang masih menyimpan nilai-nilai budaya pasang yaitu memandang hutan sebagai sumber penghidupan sehingga apabila merusak hutan samalah artinya dengan merusak masyarakat. Peninggalan masa lalu ini masih dapat kita lihat pada kawasan hutan yang dikeramatkan di ammatowa.14di lampung barat terdapat tradisi kehutanan masyarakat krui yang disebut khepong damar(awang, 2004). Praktik kearifan lokal lain dapat kita temui pada masyarakat adat dayak dimana terdapat sistem simpunk, yang didasari konsep lati tana(hhutan tanah) yang menggambarkan suatu keseimbangan antara unsur dua dunia yaitu unsur manusia(senarinknk) dan dunia atas(prejadiq bantinknk). Konsep ini akhirnya dituangkan dalam pembagian ruang yang lebih operasional dan fungsional pada pembagian hutan dan lahan seperti belay, lubakng, kampukng, sophan, umaq, bengkar, dan simpunkg.
14
Pusat pengelolaan lingkungan hidup regional Jawa, kearifan lingkungan untuk Indonesiaku, ibid.
xxxix
2.2. Landasan Teori Sangat sukar menentukan teori-teori sosiologi yang langsung berkaitan dengan lingkungan, disebakan kajian lingkungan dalam sosiologi masih terbilang baru sehingga belum memiliki infrastruktur teori yang mapan, seperti paradigma yang telah berkembang dalam sosiologi pedesaan maupun sosiologi industri. tetapi, setidak-tidaknya ada gagasan-gagasan umum dan penting dari para ilmuwan sosiologi yang bisa kita diskusikan. Pertama, gagasan dari Frederick Buttel. ia menjelaskan bahwa terdapat banyak perkembangan dan tahapan yang mengawali adanya sosiologi lingkungan modern15. 1) Perkembangan tentang sosiologi sumber daya alam(natural resource sociology), dimana penelitian sosiologis terfokus pada pertamanan, perkebunan, manajemen dan kebijakan tanah milik umum dan perencanaan penggunaan lahan. 2) penilaian tentang dampak sosial(social impact assesment), dalam kaitan ini lebih khusus pada komunitas yang bergantung pada sumber daya alam, seperti: komunitas petani dan nelayan.16 3) penelitian tentang tradisi gerakan sosial, yakni mencurahkan perhatian atas penelitian tentang gerakan sosial, gerakan kolektif dan perspektif opini publik dalam environtmentalisme modern dan persoalan manajemen sumber daya alam. 15
Frederick Buttel, Environmental And Resources Sociology:Theoretical Issues And Opportunities For Synthesis In Rural Sociology,1996, hal. 56-75 16 dalam kaitan dengan komunitas yang bergantung pada sumber daya alam(resource dependent communities) hampir sama dengan yang dikemukakan sebagai teori dominasi lingkungan dan teori ekologi budaya. dalam teori dominasi lingkungan Donald l. hardesty menyatakan bahwa ingkungan fisik memainkan peranan dominant sebagai pembentuk utama masyarakat, baik terkait dengan perilaku individu(individual attitude), kehidupan kelompok(group life), kepribadian, moral, budaya dan agama. sementara teori ekologi budaya diperkenalkan julian h. steward menyatakan bahwa lingkungan dan budaya terbentuk melalui proses timbale balik atau dialektika. baik lingkungan maupun budaya sama-sama menjadikan.
xl
4) pendekatan ekologi manusia neo durkheimian, dalam kaitan ini sosiologi membangun pengenalan pada dasar-dasar material pada struktur sosial dan kehidupan sosial. sosiologi mencakup pandangan tentang struktur sosial dan kehidupan sosial yang memiliki dimensi biofisik dan material secara krusial. Kedua, gagasan Tindall (1995), ia menyatakan 8 sub dominan dari sosiologi lingkungan yaitu:17 1. Penilaian dampak sosial. 2. Penelitian desain lingkungan. 3. Pendekatan ekonomi politik. 4. Pendekatan ekonomi organisasional. 5. Psikologi sosial masalah lingkungan. 6. Konstruksi sosial masalah lingkungan. 7. Teori tindakan kolektif. 8. Gerakan sosial. Ketiga, gagasan Goldman dan Schurman (2000) mencoba memetakan sosiologi lingkungan terdiri atas empat gagasan, yakni:18 1.
Marxisme Ekologis. Gagasan ini menyatakan kerusakan lingkungan adalah dampak dari perkembangan kapitalisme.
2.
Ekologi Politik Baru.
17
Rachmad K. Dwi Susilo, Sosiologi Lingkungan Dari Pegunungan Di Kota Batu Malang, , Paper Dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Sosiologi Se-Jawa Timur, Universitas Muhammadiyah Malang, 26 Desember 2004 18
Jalal, Menuju Sosiologi Lingkungan Atau Sosiologi Ramah Lingkungan, makalah dalam diskusi pada kongres Ikatan Sosiologi Indonesia, Bogor, 28 Agustus 2002.
xli
Gagasan ini mencoba membongkar relasi kuasa dalam hubungan antarmanusia pengelola-pengguna dalam suatu lingkungan yang dipolitisir. 3.
Feminisme Lingkungan. Gagasan ini berupaya membongkar ide-ide dominan maskulin mengenai
klasifikasi
apakah
yang
alamiah
dan
berupaya
menghapuskan ketimpangan yang diproduksi ide-ide tersebut. 4.
Ilmu Pengetahuan. Gagasan ini ingin mengetahui pengetahuan serta kekuasaan yang dominan dalam kerangka hubungan antara klaim pengetahuan dan kekuasaan.
2.3. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan berikut ini:
Sumber Daya Hutan
Interaksi
Masyarakat Desa Hutan
Kearifan Lokal
BUDAYA LOKAL Sosiofact
Mentifact
xlii Kelestarian
Artefact
Gambar 4. kerangka pemikiran penelitian
Dalam bagan diatas sebuah kearifan lokal dapat dilihat secara lebih terfokus sebagai sebuah budaya. Setiap budaya mempunyai wujud. Tiga wujud tersebut adalah mentifact, sosiofact dan artefact. Mentifact adalah bentuk kebudayaan yang bersifat abstrak, kompleksitas dari ide, gagasan, norma, nilai dan peraturan serta muncul dalam rupa aspek mentalitas. Sosiofact adalah suatu kompleksitas aktifitas dan tindakan berpola dalam menempatkan manusia sebagai anggota masyarakat yaitu patuh pada berbagai peraturan seperti norma, nilai maupun hukum yang ada baik positif maupun adat. Artefact adalah kebudayaan material yang berbentuk benda-benda hasil karya manusia. Tiga unsur ini bersimultan dalam masyarakat desa hutan sebagai sebuah kearifan lokal. . Dalam kehidupan budaya manusia, alam tak pernah luput didalamnya. Bagi masyarakat desa hutan, hutan dianggap sama pentingnya dengan sesama manusia. Sehingga tak luput dalam bagian dari kearifan lokalnya.
xliii
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
3.1. DESKRIPSI WILAYAH KABUPATEN BLORA Secara geografis Kabupaten Blora terletak di antara 111’016' s/d 111’338' Bujur Timur dan diantara 6’528' s/d 7’248' Lintang Selatan. Secara administratif terletak di wilayah paling ujung (bersama Kabupaten Rembang) disisi timur Propinsi Jawa Tengah. Jarak terjauh dari barat ke timur adalah 57 km dan jarak terjauh dari utara ke selatan 58 km. Batas wilayah ketataprajaan adalah: Utara
: Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati
Timur
: Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur
Selatan
: Kabupaten Ngawi Propinsi Jawa Timur
Barat
: Kabupaten Grobogan
Kabupaten Blora dengan luas wilayah administrasi 1820,59 km persegi (182058,797 ha) memiliki ketinggian 96,00-280 m diatas permukaan laut, Wilayah Kecamatan terluas terdapat di Kecamatan Randublatung dengan luas 211,13 km persegi sedangkan tiga kecamatan terluas selanjutnya yaitu Kecamatan Jati, Jiken dan Todanan yang masing-masing mempunyai luas 183,62 km persegi, 168,17 km persegi dan 128,74 km persegi. untuk ketinggian tanah kecamatan Japah relatif lebih tinggi dibanding kecamatan yang lain yaitu mencapai 280 meter dpi. Kabupaten Blora dengan luas wilayah 1820,59 Km2, terbesar penggunaan arealnya adalah sebagai hutan yang meliputi hutan negara dan hutan rakyat, yakni 49,66 %, tanah sawah 25,38 % dan sisanya digunakan sebagai pekarangan, tegalan,
xliv
waduk, perkebunan rakyat dan lain-lain yakni 24,96 % dari seluruh penggunaan lahan. Luas penggunaan tanah sawah terbesar adalah Kecamatan Kunduran (5559,2174 Ha) dan Kecamatan Kedungtuban (4676,7590 Ha) yang selama ini memang dikenal sebagai lumbung padinya Kabupaten Blora. Sedangkan kecamatan dengan areal hutan luas adalah Kecamatan Randublatung, Jiken dan Jati, masing-masing melebihi 13 ribu Ha. Untuk jenis pengairan di Kabupaten Blora, 12 kecamatan telah memiliki saluran irigasi teknis, kecuali Kecamatan Jati, Randublatung, Kradenan, dan Kecamatan Japah yang masing-masing memiliki saluran irigasi setengah teknis dan tradisional. Waduk sebagai sumber pengairan baru terdapat di tiga Kecamatan Tunjungan, Blora, dan Todanan disamping dam-dam penampungan air di Kecamatan Ngawen, Randublatung, Banjarejo, Jati, Jiken. Banyaknya hari hujan di Kabupaten Blora selama tahun 2005 relatif baik bila dibanding dengan tahun sebelumnya. Hari hujan terbanyak tercatat pada bulan Pebruari dan Nopember dengan banyaknya hari hujan mencapai 15 dan 15 hari, sedangkan paling sedikit tecatat dibulan Agustus yakni hanya terjadi 1 hari hujan. Untuk rata-rata hari hujan tertinggi terdapat pada Kecamatan Blora, yakni sebanyak 105 hari dengan rata-rata curah hujan di kabupaten Blora 1566 mm per tahun untuk tahun 2005. Di beberapa kecamatan alat pengukur curah hujan mengalami kerusakan yakni Kecamatan Cepu, Jepon, Banjarejo, Ngawen, Japah, dan Todanan, sehingga data dari kecamatan tersebut tidak dapat tercatat. Rata-rata banyaknya curah hujan tertinggi tercatat di bulan Maret sebanyak 182 mm sampai 547 mm diwilayah Blora.
xlv
3.2. SEJARAH KABUPATEN BLORA Sejarah kabupaten blora berlangsung menarik karena berproses cukup panjang sehingga ikut serta pula dalam perjalanan pengelolaan hutan. 3.2.1. Blora Era Kerajaan A. Blora dibawah Kadipaten Jipang Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir ( Hadiwijaya ) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.
B. Blora dibawah Kerajaan Mataram Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mtaram bagian Timur atau daerah Bang Wetan. Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = � hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.
C. Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)
xlvi
Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta. Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora. D. Blora dibawah Kasultanan Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian
dari daerah
Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya.
3.2.2. Blora Kabupaten Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749
xlvii
Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA.Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.
3.2.3. Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu.. Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh SAMIN SURASENTIKO. Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain : ·
Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora
·
Perubahan pola pemakaian tanah komunal
·
pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan
protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu
xlviii
gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur. Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial. Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar Jawa pada tahun 1914.
xlix
Tahun
1908,
Penangkapan
Samin
Surosentiko
tidak
memadamkan
pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa. Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati. Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan. Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun. Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orangorang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi. Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak.
Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah
Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh
Ajaran Politik Samin Surosentiko adalah dengan mengajak pengikutpengikutnya untuk melawan Pemerintahan Kolonial Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap : 1.
Penolakan membayar pajak
2.
penolakan memperbaiki jalan
3.
penolakan jaga malam (ronda)
l
4.
penolakan kerja paksa/rodi
Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.
3.3.GAMBARAN UMUM WILAYAH PEMANGKUAN KPH CEPU Kantor KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Cepu terletak di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora yang terkenal dengan penghasil jati kualitas terbaik. Perjalanan menuju KPH Cepu dapat ditempuh kendaraan roda empat atau bus melalui jalur Surakarta-Ngawi-Cepu (122 kilometer), Surakarta-Purwodadi-Blora-Cepu (161 km), Semarang-Purwodadi-Blora-Cepu (162 km), Semarang-Kudus-Rembang-Cepu (182 km), dan Surabaya-Bojonegoro-Cepu (149 km). Khusus perjalanan yang ditempuh dari Surakarta, meskipun agak jauh namun lebih menguntungkan bagi wisatawan. Sebab pada jalur ini, wisatawan dapat singgah terlebih dulu di Museum Purbakala Sangiran Kabupaten Sragen, atau menyaksikan keajaiban alam Bledug Kuwu di Grobogan. Bledug Kuwu merupakan daerah penghasil garam tradisional, dimana bahan baku air asinnya bersumber dari kawah yang terlontar dari dalam tanah. Wilayah pemangkuan hutan KPH dengan wilayah administratif seringkali berbeda. Hal ini telah diatur menurut pembagian kawasan hutan semenjak zaman Belanda. Perusahaan Belanda bernama Djatibedrijf telah mempetak-petak wilayah hutan dan pembagian itu diadopsi oleh Perum Perhutani hingga saat ini. hal ini menyebabkan KPH Cepu yang berkantor di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora
li
mengurusi hutan tidak hanya di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora semata tetapi juga pada beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Gambar di bawah ini adalah peta dari kabupaten Blora dimana didalamnya terdapat delapan wilayah pemangkuan hutan perhutani Cepu:
Wilayah yang menjadi bagian dari KPH Cepu dalam wilayah administratif kabupaten Blora: · Kec. Blora · Kec. Bogorejo · Kec. Jiken · Kec. Jepon · Kec. Banjarejo · Kec. Sambong · Kec. Kedungtuban
· Kec. Cepu
Sumber: KPU Jateng
Gambar 5. Peta Kabupaten Blora
Hutan Jati di KPH ini berada pada diketinggian 25-250 m diatas permukaan laut, dengan suhu udara 220- 340C. Pimpinan KPH disebut Administratur,
yang
memimpin dibawah koordinasi Perum Perhutani unit I Jawa Tengah. Obyek wisata geologi adalah merupakan wisata alam atau kegiatan wisata dibidang ilmu kebumian dengan obyek berupa lokasi yang berkaitan erat hasil proses geologi yang terkandung dan tersimpan didalam alam antara lain Geologi Wisata yang berhubungan dengan minyak dan gas bumi. Wisata Geologi ini kebanyakan berada di perbukitan dan ditengah-tengah kawasan hutan jati yang lebat yang berada diwilayah Kabupaten Blora, dan sekitarnya, namun sangat mudah dijangkau baik dangan kendaraan roda dua ataupun dengan roda empat.
lii
Sumur minyak dan gas bumi di wilayah Kabupaten Blora yang pertama kali di ketemukan oleh BPM pada tahun 1890, jumlah sumur + 648 buah, 112 buah sumur diantaranya dapat memproduksi minyak diantaranya + 16.550.790 m2, sedangkan ladang gas bumi yang berada di wilayah Cepu ; berada di Balun dan Tobo. Adapun disekian banyak sumur minyak yang di ketemukan baik di wilayah Kabupaten Blora sendiri atau disekitarnya, terdapat sumur minyak tua yang ditambang secara tradisional oleh masyarakat setempat dengan menggunakan tali dan timba yang ditarik + sejumlah 15 orang diwilayah Wonocolo, tetapi masih masuk dikawasan hutan jati KPH Cepu Kabupaten Blora. Karena pada umumnya kawasan lokasinya berada di perbukitan dan ditengah kawasan hutan hal ini sangat menarik, unik dan menawan, sehingga banyak dikunjungi baik Wisatawan Nusantara maupun Mancanegara. Pengelolaan hutan jati di KPH Cepu juga dibantu oleh adanya LMDH atau lembaga masyarakat desa hutan. Sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengatur dan mengelola hutan baik dalam hasil hutan maupun sumber daya manusia di masyarakat desa dimana LMDH itu berada. LMDH menjadi mitra Perhutani dalam melaksanakan program PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat).
BAB IV
liii
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah menentukan informan. Peneliti menggunakan langkah-langkah yang dilakukan oleh James Spradley. Spradley menjelaskan bahwa terdapat dua belas langkah dalam metode etnografi, dan langkah pertama adalah menentukan informan. Penetapan informan didasarkan pada pertimbangan etika suatu penelitian. Informan yang penulis pilih untuk pertama kali adalah dari pihak Kesatuan Pemangkuan Hutan(KPH) Cepu. Selain untuk meminta informan dari KPH Cepu, peneliti juga melakukan perkenalan sekaligus ijin melakukan penelitian. Menurut Bogdan (1993:66), Perkenalan secara terbuka ini penting. Dengan ini peneliti akan dapat bergerak secara leluasa dalam ‘memburu’ informasi yang dibutuhkan, serta memperoleh kemudahan dari organisasi atau kelompok-kelompok di masyarakat, dan dalam menjelaskan tujuan penelitian cukup sekedar penjelasan umum, berkatalah yang sebenarnya pada saat permulaan penelitian(Bogdan 1993: 72-73). Penulis merasa bersyukur dengan kemudahan perkenalan karena memang pernah berinteraksi selama 1,5 bulan ketika menjalani masa magang pada LSM SUPHEL dengan lokasi yang sama. Pihak Perhutani yang penulis temui adalah, bapak Eko Teguh Prasetyo, supervisor lapangan KPH Cepu yang lebih dikenal sebagai KSS PHBM(Kepala Sub Seksi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Nama KSS PHBM dimaksudkan agar lebih menuansakan kesamaan derajat atau lebih merakyat. Pak Eko menyarankan kepada penulis agar menghubungi Mas Agus staf beliau yang mempunyai kelebihan merupakan warga asli Blora dan lebih mengenal lapangan karena dialah yang paling sering terjun ke lapangan. Mas Agus inilah yang penulis tetapkan sebagai informan pertama dan sekaligus informan kunci penelitian ini. Orang seperti Mas Agus inilah inilah yang disebut oleh Agar(1980:85) sebagai liv
‘profesional stranger handler’, yaitu sebagai orang pertama yang memberi penjelasan pada ‘orang luar’ seperti peneliti. Orang seperti ini disebut juga sebagai ‘natural relation expert’ (Agar 1950). Orang-orang seperti ini dapat memberikan penjelasan yang memuaskan pada ‘orang luar’ (peneliti) tanpa merugikan masyarakatnya. Menurut Pak Agus ini, Cepu(KPH Cepu) mempunyai potensi lebih dibanding dengan KPH lain. Tetapi apa kelebihannya(ini sebuah pertanyaan etnografis juga). Sebuah informasi yang juga perlu diperhatikan dari beliau, adalah bahwa di KPH Cepu ini tidak ada hutan adat. Tetapi pertanyaan lain yang mengemuka dalam benak peneliti adalah apakah masyarakat punya hutan kolektif? Informasi ini bagi saya cukup mempengaruhi proses apa yang harus dilakukan selanjutnya. Karena konsep kearifan lokal yang menjadi pokok penelitian ini dalam gambaran awal peneliti adalah dalam bentuk adanya hutan khusus yang sifatnya merupakan hutan adat seperti hutan adat dalam pengertian kehutanan secara umum yaitu hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Bentuknya adalah hutan alam yang sudah secara turun temurun dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial ekonomi dan budaya yang sifatnya kolektif dengan pengaturan dan pengelolaan dibuat dan ditetapkan oleh hukum adat(Awang, 2003:113).Atau hutan rakyat dengan ciri adalah kegiatan penanaman pohon tersebut dilaksanakan di atas lahan milik rakyat atau dapat juga dilaksanakan di atas lahan Negara yang diperuntukkan untuk kegiatan penanaman pohon dan manfaatnya untuk masyarakat(Awang,2003:111). Jawaban atas pertanyaan ini tetap tersimpan dalam benak peneliti dan akan terjawab ketika bertemu dengan informan lain dari masyarakat desa hutan. Sebelum memasuki konteks kearifan lokal masyarakat desa hutan, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui sistem besar apa yang melingkupi kehidupan masyarakat desa hutan. Sistem besar yang dimaksud disini adalah sistem kebijakan
lv
dari pengelola kebijakan dalam bidang kehutanan di wilayah penelitian. Hal ini merupakan landasan untuk melihat hubungan antara kearifan lokal dalam berbagai bentuknya(budaya, ketrampilan, sumber daya, pengetahuan dan proses sosial lokal) dengan sistem yang dapat mempengaruhi bahkan merubah pola dan isi dari kearifan lokal. Bidang kehutanan di lokasi penelitian dikelola oleh KPH(Kesatuan Pemangkuan Hutan) Cepu. Pertanyaan pertama dan mendasar kepada Bapak Agung Sugiarta, staf KSS PHBM(Kepala Sub seksi pengelolaan hutan bersama masyarakat) adalah mengenai hak masyarakat desa hutan terhadap hutan yang dikelola Perhutani. Jawaban untuk pertanyaan ini adalah pada kenyataannya masyarakat desa hutan tidak mempunyai hak terhadap hutan. Hak masyarakat sebenarnya hanyalah sebuah nilai atas kerja yang dilakukan masyarakat untuk sebuah program yang merupakan inisiatif dari Perhutani. Nilai tersebut berupa uang bayaran. Sebagai dasar untuk mengetahui perkembangan pengelolaan hutan, maka mau tidak mau kita harus melihat para actor yang ikut serta dalam membangun atau bahkan melakukan hal-hal yang bersifat membangun maupun yang kontradiktif dengan proses pencapaian hutan lestari . Tiga actor tersebut adalah Perum Perhutani KPH Cepu, masyarakat desa hutan termasuk LMDH di dalamnya dan lembaga swadaya masyarakat., satu diantaranya adalah Suphel.
4.1.1. Para Actor Kehutanan Di KPH Cepu A. KPH Perhutani Cepu Kantor KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Cepu terletak di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora yang terkenal dengan penghasil jati kualitas terbaik. Kesatuan pemangkuan hutan adalah sebuah bentuk pembagian pengelolaan wilayah hutan oleh pihak Perhutani. Wilayah lvi
pemangkuan hutan KPH dengan wilayah administratif seringkali berbeda. Hal ini telah diatur menurut pembagian kawasan hutan semenjak zaman Belanda. Perusahaan Belanda bernama Djatibedrijf telah mempetak-petak wilayah hutan dan pembagian itu diadopsi oleh perum Perhutani hingga saat ini. Sehingga KPH Cepu yang berkantor di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora mengurusi hutan tidak hanya di Kecamatan Cepu Kabupaten Blora semata tetapi juga pada beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Wilayah kabupaten Blora sendiri memiliki tiga kesatuan pemangkuan hutan yaitu KPH Blora, KPH Randublatung dan KPH Cepu. Sebuah bukti akan kayanya sumber daya hutan di wilayah kabupaten Blora sehingga mendorong pemerintah Hindia Belanda mengatur dan membagi pengelolaan hutan di wilayah ini menjadi tiga organisasi pengelolaan hutan.Hutan Jati di KPH ini berada pada diketinggian 25-250 m diatas permukaan laut, dengan suhu udara 220- 340C. Pimpinan KPH disebut Administratur yang pemilihannya merupakan penunjukan langsung dari Perum Perhutani unit I Jawa Tengah.
B. Masyarakat Desa Hutan Menurut San Afri Awang yang disebut masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang berada di dalam hutan maupun berbatasan langsung dengan hutan dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun hasil-hasil hutan lain. Jadi walaupun masyarakat tersebut berada diwilayah tepi hutan atau jauh dari hutan, tetapi selama ia memanfaatkan hasil hutan, maka ia merupakan bagian dari masyarakat desa hutan. Definisi San Afri Awang ini di lapangan berbeda. Pak Yadi salah satu
lvii
warga masyarakat desa hutan mendefinisikan masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang memang tinggal dalam kawasan hutan atau istilah dalam kehutanan disebut sebagai enclave. Inilah salah satu karakteristik masyarakat desa hutan. Ia mengemukakan contoh bahwa orang yang memanfaatkan hasil hutan terutama para perencek rata-rata bukan warga masyarakat dimana kawasan hutan itu berada. Istilah bagi para perencek semacam ini adalah ngare. Para ngare ini mencari kayu dan menjualnya baik ke pasar maupun ke desa tempat tinggalnya sendiri. Baik untuk digunakan sendiri maupun untuk dijual di sepanjang perjalanan. Para aktivis lingkungan hidup hingga saat ini masih belum bersepakat tentang pengistilahan masyarakat desa hutan karena terkesan merendahkan. Hal inilah yang disampaikan oleh Heri Santoso seorang aktifis lingkungan hidup dari Javlec(Java Learning Centre). Ia menulis:
Taruhlah setelah sekian lama kita menceburkan diri ke dalam suatu hirukpikuk dan silang sengkarut laku kehidupan orang-orang yang tinggal di sekitar hutan, yang kemudian lazim dinamakan sebagai masyarakat desa hutan – suatu istilah yang sepertinya secara lugas memposisikan desa sebagai bagian dari kawasan hutan –, kita ingin berkata sesuatu tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi di sana, bagaimana sosok sebuah desa hutan, ke mana mereka hendak menyongsong hari depan, seperti apa pergulatan-pergulatan batin dan pikiran para warganya, dan lain sebagainya-dan lain sebagainya. Kita barangkali bisa menampilkan sebuah laporan tentang berbagai tindakan melanggar hukum, perilaku kejahatan, suatu hal-hal negatif yang keluar dari standar nilai, norma, dan moral sosial – mencuri kayu misalnya –, sebagaimana yang sering kita dengar dari berbagai kesempatan perbincangan normatif mengenai arti sebuah kesadaran lingkungan bagi sekelompok masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Kita bisa juga menampilkan suatu cerita tentang berbagai tindakan perambahan yang mengancam kelestarian hutan.
Tulisan ini sebenarnya apabila dikaji lebih mendalam menunjukkan adanya stigma negatif terhadap masyarakat desa hutan. Tetapi terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum kita mengiyakan adanya stigma negatif ini. Apa yang memunculkan aktifitas-aktifitas warga yang
lviii
disebut mengancam kelestarian hutan? Interaksi antara masyarakat desa hutan dengan sumber daya hutan pada hakikatnya bersifat saling ketergantungan. Teori ekologi Rambo menyebutkan adanya hubungan pengaruh yang merupakan sebuah dialektika antara sistem sosial masyarakat desa hutan dengan sistem ekosistem hutan. Apabila dalam satu sistem tersebut terjadi masalah maka akan mempengaruhi sistem lain. Sehingga apabila muncul stigma negatif terhadap masyarakat desa hutan yang aspek perilakunya mengancam kelestarian hutan maka dapat disebut, dalam sistem sosial masyarakat desa hutan sedang mengalami masalah sehingga ekosistem hutan mengalami gangguan pula. Saat ini terdapat satu ciri khas kelompok masyarakat yang dibentuk pasca munculnya sebuah kebijakan di lingkungan Perhutani. Kelompok tersebut disebut lembaga masyarakat desa hutan atau lebih terkenal dalam singkatan; LMDH. Kebijakan ini merupakan sebuah input dari sistem sosial ke dalam ekosistem. Dengan adanya perbaikan kelembagaan sosial ini, memang diharapkan akan dapat meningkatkan kelestarian ekosistem hutan secara umum dengan tidak melupakan kesejahteraan masyarakat desa hutan. Untuk lebih memahami proses perubahan sosiokultural masyarakat desa hutan ini dapat dilihat pada sejarah pengelolaan hutan di Cepu secara khusus dan kehutanan di Jawa secara umum. Sejarah pengelolaan ini berkisar pada satu masalah pokok yaitu pengakuan hak atas sumber daya hutan. SUPHEL melalui koordinator advokasi dan kebijakan, Wasista Daru Darmawan mengatakan bahwa masyarakat desa hutan dapat dikatakan tidak mempunyai hak. Apabila adapun, sebenarnya itu bukanlah hak. Ia mengatakan, “yang namanya hak kan mau diambil boleh tidak diambil boleh,
lix
mereka dapat bekerja di perhutanipun kalau mereka (Perhutani) ngasih...”. Sebagai contoh, ada sistem banjarharian yaitu pelaksanaan proses pembuatan hutan dengan melibatkan warga masyarakat dalam penanaman kemudian diberi upah. Upah yang diterima sebenarnya adalah sebuah kaidah umum yaitu orang bekerja maka mendapat imbal jasa berupa uang. Hal lain yang dapat disebut hak adalah dibolehkannya pengolahan lahan hutan secara tumpang sari, dengan catatan si pesanggem (istilah untuk warga masyarakat yang mendapatkan kesempatan pengolahan lahan hutan) wajib menjaga hutan milik Perhutani. Dua contoh perlakuan terhadap masyarakat desa hutan diatas merupakan sebuah contoh dari hak pengelolaan sumber daya hutan yang masih bertumpu pada State Based Forest Management (SBFM) dalam hal ini sumber daya hutan dikelola oleh perum Perhutani. Pada Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) 2001 di Hotel Hilton Jakarta, 21 Pebruari 2001 diterangkan bahwa Pengelolaan hutan yang bersifat sentralistik selama ini telah membawa dampak yang sangat merugikan bagi kelestarian alam dan lingkungan serta sistem sosial di tengah masyarakat daerah. Oleh sebab itu perlulah saat ini ada sebuah perubahan pola pengelolaan dari sentralistik ke desentralistik. Pengelolaan hutan melalui sistem desentralisasi juga akan memberikan kesempatan bagi pengembangan otonomi daerah. Diberikannya kewenangan kepada daerah dalam mengelola hutan berarti mendukung penyelenggaraan otonomi daerah dimana diakuinya hak-hak daerah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Hal ini juga memberikan hak kepada daerah untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber pendapatan daerah. Dengan demikian kebutuhan finansial daerah
lx
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagian akan terpenuhi dari hasil pengelolaan hutan. Selanjutnya dengan desentralisasi kehutanan dapat ditingkatkan pemanfaatan sumber daya alam hutan secara optimal. Hal ini dapat dilakukan karena melibatkan secara langsung unsur daerah (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) dalam perencanaan dan pengelolaan hutan. Karena pemerintah daerah dan masyarakat mungkin lebih mengetahui dan memahami karakteristik sumber daya alam yang dimiliki daerahnya.
C. SUPHEL SUPHEL adalah singkatan dari solidaritas masyarakat untuk penyelamatan hutan dan lingkungan hidup. Sebuah lembaga nirlaba yang berorientasi pada pengembangan sikap masyarakat agar lebih kritis terhadap persoalan pembangunan yang berdampak pada kerusakan lingkungan terutama kerusakan hutan. SUPHEL berbentuk perkumpulan berdiri 5 Juni 2004 di Solo, dengan Akte Notaris No 21, kantor Notaris Sunarto, SH yang disahkan oleh Pengadilan Negeri Karanganyar nomor 18 tahun 2004. SUPHEL bersifat independen, profesional, non partisan, dan berperspektif gender yang memiliki visi terciptanya pengelolaan lingkungan (terutama sumber daya hutan) yang berkeadilan dan berkelanjutan berbasis pengakuan hak-hak masyarakat.
`
SUPHEL bertujuan untuk memberikan sumbangan secara proaktif guna mengantisipasi masalah lingkungan terutama kerusakan hutan, sebagai dampak pembangunan dan modernisasi. SUPHEL berupaya meningkatkan
lxi
pemahaman dan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan dan peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. SUPHEL juga melakukan advokasi-advokasi masyarakat dan konservasi sumber daya alam (hutan) yang berbasiskan prinsip keadilan, non diskriminatif, gender dan berwawasan lingkungan. Hal-hal ini pula yang menjadi visi SUPHEL yaitu, menciptakan pengelolaan sumber daya alam (hutan) yang berkeadilan, berwawasan lingkungan, berperspektif gender, dan nondiskriminatif untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan generasi mendatang. SUPHEL didirikan oleh beberapa aktifis dan praktisi yang memiliki berbagai latar belakang pengalaman dan keahlian dibidang pengembangan masyarakat, peningkatan kebutuhan dasar, pengalaman sumber daya hutan dan lingkungan, advokasi kebijakan dan
penelitian. Lembaga SUPHEL
mempunyai dua struktur yaitu badan pengurus dan badan pelaksana. Misi SUPHEL ada tiga hal yaitu: 1. Mendorong penguatan dan dan pendidikan kritis masyarakat terhadap modernisasi pembangunan yang dapat menjamin keberlanjutan sumber daya alam (hutan) untuk kesejahteraan masyarakat dan
generasi
mendatang. Penguatan dan pendidikan kritis merupakan pengembangan kualitas setiap warga masyarakat dalam mendapatkan hak secara lebih manusiawi. Selama ini, warga masyarakat hanya berprofesi sebagai pesanggem. Sebagai pesanggem, kesejahteraan tak bisa diperoleh, akhirnya muncul praktek-praktek yang cenderung merusak kondisi hutan.
lxii
Fenomena yang pernah ditemui oleh SUPHEL adalah pada beberapa kondisi tanaman yang sering gagal tumbuh di beberapa wilayah desa hutan di KPH Cepu. Pada saat pohon jati telah mencapai KU (kelompok umur) muda (umur 1-2 tahun) banyak pohon jati yang tumbuh cacat. Baik berupa batang jati yang tumbuh tidak lurus, pohon jati yang tumbuh lebih lambat serta berbagai macam kerusakan lain. Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata memang terdapat kesenjangan yang mencolok antara kesejahteraan
masyarakat dengan apa yang
didapatkan oleh pihak Perhutani. Hal ini memunculkan adanya semacam aksi protes tetapi bukan secara vulgar dilakukan terhadap Perhutani tetapi pada sumber daya hutan yang dikelola Perhutani. Penjelasan dari pihak Perhutani menerangkan tentang adanya pengambilan daun pada pohon-pohon kelompok umur muda yang sebenarnya hal tersebut tidak boleh dilakukan. Biasanya, para pengambil daun mengambil pada trubusan tetapi mengapa para pengambil daun mengambil dari pohon (KU) muda?, inilah sebuah bentuk protes sosial. Contoh diatas membuktikan teori yang disampaikan oleh John J. Macionis bagaimana pola-pola sosial manusia menyebabkan tekanan yang memuncak pada lingkungan alamiah. Dalam kaitan ini, sosiolog perlu mengambil peran yang spesifik dalam menunjukkan bagaimana pola-pola kebudayaan dan konstelasi politik dan ekonomi secara khusus mempengaruhi lingkungan alam.
lxiii
2. Memperjuangkan hak-hak masyarakat untuk terlibat dan memanfaatkan sumber daya alam (hutan) yang ada dengan mengedepankan prinsip keberlanjutan dan kemanfaatan. Pedoman yang digunakan oleh SUPHEL untuk melaksanakan kegiatan di KPH Cepu adalah beberapa prinsip yang dituangkan dalam prinsip dan kriteria FSC standar pengelolaan hutan fokus pada aspek sosial. FSC adalah singkatan dari Forest Stewardship Council. Sebuah lembaga yang mempunyai fungsi sebagai penilai sekaligus pemberi sertifikat terhadap hasil produksi kayu agar mampu diterima oleh pasar kayu internasional. Terdapat tiga syarat yang harus terpenuhi adalah dilaksanakannya tiga aspek yang akan dinilai yaitu aspek sosial, aspek produksi dan aspek lingkungan. Tugas yang dibebankan pada SUPHEL adalah pada aspek sosialnya. Beberapa prinsip tersebut adalah: a) Ketaatan Terhadap Hukum dan Prinsip- Prinsip FSC. Pengelolaan kehutanan harus menghormati semua hukum yang berlaku di negara dimana mereka berada dan persetujuan serta kesepakatan internasional yang ditandatangani oleh negara itu, dan mematuhi semua Prinsip dan Kriteria FSC. b) Tanggung Jawab dan Hak Tenure. Hak guna tenure jangka panjang atas sumber daya lahan dan hutan harus dipaparkan dengan jelas, didokumentasikan dan ditegaskan secara hukum. c) Hak-Hak Penduduk Asli.
lxiv
Hak hukum dan adat masyarakat pribumi untuk memiliki, menggunakan dan mengelola tanah, daerah, dan sumber daya alam harus diketahui dan dihormati. d) Hubungan Kemasyarakatan dan Hak-Hak Pekerja. Operasi-operasi
pengelolaan
kehutanan
harus
menjaga
atau
meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi jangka panjang para pekerja kehutanan dan komunitas lokal. e) Keuntungan Hutan. Operasi pengelolaan hutan harus mendorong penggunaan produk dan jasa hutan secara efisien guna menjamin kelangsungan hidup ekonomi dan keuntungan lingkungan dan sosial berjangkauan luas. f) Dampak Lingkungan. Pengelolaan kehutanan harus melindungi keanekaragaman hayati dan nilai-nilai yang berhubungan, sumber air, tanah, dan ekosistem dan bentang
alam
yang
unik
dan
rapuh,
dan
dengan
begitu,
mempertahankan fungsi ekologis dan integritas hutan. g) Rencana Pengelolaan. Rencana pengelolaan disini mengandung arti bahwa lembaga mempunyai skala yang layak dan intensitas operasi yang tertulis, dan dilaksanakan, serta diperbarui. Tujuan jangka panjang pengelolaan, dan alat-alat untuk menyelesaikannya, harus disebutkan dengan jelas. h) Pengawasan dan Perkiraan. Pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan skala dan intensitas pengelolaan hutan untuk memperkirakan kondisi hutan, pengambilan
lxv
hasil hutan, rangkaian pemeliharaan, aktivitas pengelolaan serta dampak sosial dan lingkungan i) Pemeliharaan Faktor Konservasi Bernilai Tinggi. Aktivitas pengelolaan pada hutan bernilai konservasi tinggi harus mempertahankan sifat-sifat yang mencirikan hutan. Keputusan mengenai
hutan
bernilai
konservasi
tinggi
harus
selalu
dipertimbangkan dalam konteks pendekatan kewaspadaan. j) Penanaman Ulang. Penanaman ulang harus dirancang dan diatur sesuai dengan Prinsipprinsip dan Kriteria 1 - 9, dan Prinsip 10 dan Kriterianya. Apabila rancangan ini bisa memberikan keuntungan sosial dan ekonomi, dan dapat memberi kepuasan bagi kebutuhan dunia atas produk-produk hutan,
maka
rancangan
ini
harus
melengkapi
pengelolaan,
mengurangi tekanan terhadap dan mendukung pemulihan dan konservasi hutan alami.
Sepuluh
prinsip
diatas
apabila
dicermati
mempunyai
keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat. Kita lihat pada prinsip kedua, ketiga dan keempat, kesemua prinsip tersebut menjelaskan mengenai kewajiban Perhutani apabila ingin mendapatkan sertifikat dari FSC. KPH Perhutani harus melaksanakan beberapa butir-butir yang dicantumkan dalam prinsip yang disebutkan. Pada prinsip kedua misalnya, maksud dari tanggung Jawab dan hak tenure adalah perlunya Perhutani KPH Cepu untuk memperhatikan aspek-aspek sosial seperti ada batas wilayah yang jelas, tidak merubah
lxvi
status hutan, adanya pemetaan partisipatif, adanya dokumen lokal yang menyebutkan adanya pengakuan hak tenure serta ada evaluasi lokasi dari hak tenurial yang diberikan. Pada prinsip ketiga mengenai hak-hak penduduk asli atau penduduk lokal, disebutkan beberapa aspek sosial antara lain: adanya penjelasan teknis pengelolaan pada masyarakat lokal, penyelesaian sengketa, tidak ada konflik (kebersamaan dan kesetaraan), kebutuhan masyarakat lokal terpenuhi dengan keterlibatannya dalam program pengelolaan, adanya pelestarian budaya lokal/kearifan lokal misalnya pada beberapa situs budaya lokal, ada peta partisipatif serta ada pengaturan untuk masyarakat dalam pembagian hasil usaha yang diatur dalam PERDA (Peraturan Daerah). Di dalam pengaturan hak-hak kemasyarakatan disebutkan aspek-aspek sosial sebagai berikut: tenaga kerja dari penduduk lokal, adanya rekruitmen kontraktor yang terbuka (sawmill/chainsaw), ada pelatihan peningkatan SDM dan ada kesempatan orang lokal menjadi manajer, ada dukungan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur,
kontrak kerja yang jelas, Jamsostek,
Tunjangan keluarga dan lain sebagainya.
3. Mendorong proses kebijakan yang partisipatif dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam(hutan) dengan melibatkan multi pihak(stakeholder) dalam pembuatan. Dalam mencapai tujuan dan visi serta misi diatas, SUPHEL membuat beberapa program kerja antara lain:
lxvii
a) Pemberdayaan dan penguatan petani sekitar hutan berbasis kelompok. Hal ini dilakukan SUPHEL ketika melakukan pendampingan di masyarakat Desa Sambeng, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Dalam pelaksanaannya, SUPHEL yang salah satu pendirinya adalah dosen senior UGM, San Afri Awang, memfasilitasi masyarakat melalui penguatan kelembagaan lokal. Melalui Kelompok Tani Hutan(KTH) Pertiwi Subur, SUPHEL membantu melakukan negoisasi dengan Perhutani untuk mengangkat sebuah usulan warga tentang plong. Yaitu sebuah sistem tanam teknis yang membagi tanah/lahan menjadi dua jalur. Satu jalur adalah areal yang dikelola masyarakat yang dapat diusahakan tanaman pertanian atau kayukayuan dengan pola kebun. Satu jalur lain, berisi tanaman hutan yang dikelola Perhutani. Berbagai hal dilakukan oleh SUPHEL dilaksanakan sebagai bentuk penguatan kapasitas masyarakat. Oleh sebab itu dalam badan pengurus SUPHEL dimasukkanlah sebuah bagian yang disebut Pengembangan Kapasitas Dan Sumber daya manusia. b) Melakukan studi analisis dan pendapatan(pemetaan) masalah atau potensi desa yang menjadi daerah dampingan atau program. Program kerja kedua ini dilaksanakan dalam dua tahap yang merupakan
langkah-langkah
awal
dalam
setiap
permulaan
pendampingan yang dilaksanakan oleh SUPHEL. Langkah pertama adalah survey dampak sosial(SDS). Pelaksanaan SDS di cepu ini diusahakan untuk mengetahui perkembangan hutan terhadap
lxviii
kondisi sosial masyarakat dalam berbagai aspeknya. Tahap kedua yang dilaksanakan adalah PRA dan PCP. PRA adalah Participatory Rural Appraisal dan PCP adalah Participatory Conservation Planning dua buah metode pendekatan dalam lingkup ilmu sosial yang digunakan untuk mendapatkan penyelesaian atas masalah sosial yang ada dengan mengungkapkan berbagai kekuatan yang berasal dari dalam masyarakat sendiri dan mengikutsertakan masyarakat yang bersangkutan dalam setiap langkah penyelesaian masalah. c) Memfasilitasi pelibatan masyarakat atau petani dalam perencanaan dan pembuatan kegiatan. Hal ini dilakukan di semua daerah dampingan SUPHEL. Beberapa diantaranya dilaksanakan dalam forum-forum mediasi yang difasilitatori oleh SUPHEL. Mediasi tersebut mempertemukan berbagai pihak antara lain: KBKPH, KKPH, KSPH, Ajun, biro pembinaan SDH, Tim PRA Perhutani (unsur-unsur dalam Perhutani), kelompok tani hutan (KTH), serta LSM. d) Membangun jaringan antar petani dan multipihak(stake holder) dalam pembuatan kebijakan tentang pengelolaan hutan. Jaringan antar petani yang dibuat oleh SUPHEL pernah dilaksanakan dalam sebuah momen besar yang diselenggarakan di Jogyakarta. Even tersebut bertajuk Pekan Raya Hutan dan Masyarakat 2006 diadakan di Grha Sabha Pramana UGM Yogyakarta, tanggal 19-22 September 2006. Dengan memadukan konsep pertemuan para pihak (summit) dan ajang promosi inisiatif
lxix
kehutanan
masyarakat
diharapkan
menjadi
(community ajang
forestry
untuk
saling
festival), berdialog
event dan
mempertemukan berbagai inisiatif Community Forestry (CF) di Indonesia. Salah satu acara yang merupakan wujud adanya jaringan antar petani adalah Belajar Antar Petani (BAP). e) Mengupayakan pengakuan (advokasi) atas hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam (hutan) berbasis masyarakat. Advokasi atas masyarakat agar dapat ikut serta dalam mengelola sumber daya hutan berbasis masyarakat dilakukan dengan terlebih dahulu mempersiapkan warga masyarakat dari sisi kapasitas yang dimiliki baik kemampuan berbicara, kemampuan konseptual
kemampuan
mengorganisir
sebuah
musyawarah.
Masyarakat desa hutan yang diadvokasi didorong agar mampu sejajar dengan perum Perhutani. Salah satu caranya adalah menghimpun warga masyarakat desa hutan agar dapat menyusun konsep yang dapat ditawarkan kepada pihak Perhutani. Konsep yang sesuai dan layak sesuai dengan kerja yang dilakukan. Beberapa kali usaha semacam ini berhasil. Sebagai contoh adalah pada pendampingan masyarakat dua dusun di Desa Sambeng, yaitu Dusun Kedungdawung dan Klumpit. Wilayah kedua dusun ini termasuk dalam kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani KPH Telawa, Unit I Jawa Tengah. Bentuk konsep yang merupakan gagasan masyarakat dituangkan dalam Proposal Pengelolaan Hutan Sekitar Desa oleh Masyarakat. Sebagai sarana untuk melaksanakan tugas advokasi, dalam badan pengurus SUPHEL dibentuklah salah
lxx
satu bagian yang disebut Advokasi dan Kebijakan. Beberapa contoh lain terkait dengan usulan masyarakat terhadap Perhutani dapat dibaca pada bab selanjutnya, PHBM. f) Pengembangan dan peningkatan kapasitas organisasi/ kelompok tani sekitar hutan. Melakukan studi kebijakan, seminar, focuss discussion, dokumentasi dan Pengembangan informasi guna memperkuat hakhak petani dalam pengelolaan sumber daya hutan.
4.1.2. Partisipasi Masyarakat Desa Hutan Sub bab ini diceritakan dan dianalisis dalam kerangka untuk memperlihatkan dasar-dasar kearifan local secara struktural. Dari masa ke masa, sejarah masyarakat desa hutan menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat desa hutan rendah dan terbatas. Pembahasan mengenai “hak” masyarakat desa hutan dapat
kita bagi
dalam dua masa yaitu masa pra PHBM dan ketika program PHBM telah dilaksanakan. Pra PHBM dilaksanakan sebenarnya sudah dilakukan beberapa program yang sifatnya bernuansa kerakyatan dengan sistem kerja sama. Program tersebut adalah program mantri lurah(Ma-Lu), program perhutanan sosial , tetapi program-program tersebut bukanlah program yang mempunyai dasar hukum. Sehingga ketika terjadi sesuatu sangat sulit untuk diselesaikan atau dipertanggungjawabkan. Bentuk dari program–program
tersebut adalah
penggunaan wilayah lahan hutan Negara untuk masyarakat untuk tanaman yang bisa dijual. Perhutani menamakan hal ini dengan istilah Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan(PLDT). Ketika pihak Perhutani membutuhkan tanah tersebut dapat saja dengan mudah tanaman atau apapun yang ada di wilayah hutan
lxxi
Negara dihancurkan dan itu tidak dapat dipermasalahkan karena memang belum berlandasan hukum. Pengakuan dari Perhutani yang disampaikan oleh Pak Agung ini memang diakui bahwa Perhutani memang cenderung arogan pada masa pra PHBM. Ia berkata dalam wawancara,”kalau kita dibilang arogan, ya bisa juga dibilang arogan, maksudnya pihak managemen bebas mengajak masyarakat atau tidak dalam mengelola hutan”. Pendapat bapak Agung mengenai masyarakat desa hutan apabila dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mencari makna dibalik setiap pernyataan, maka dengan cara mengkontraskan sebuah fenomena sosial dengan fenomena sosial yang lain. Maka dapat dikatakan bahwa perhutani memang bersikap arogan. Bagaimana tidak kesempatan MDH hanyalah memanfaatkan lahan-lahan dibawah tegakan secara tumpangsari maupun dengan adanya pengambilan hasil hutan ikutan. Berbicara mengenai tanaman tumpang sari, LSM SHOREA yang mendampingi masyarakat desa hutan di wilayah gunung kidul pernah mengalami pengalaman di masyarakat bahwa tumpangsari adalah sebuah konsesi dari apa yang disebut sebagai hutan kemasyarakatan. Tumpang sari yang dilakukan ini dilaksanakan diantara tanaman-tanaman pokok seperti jati atau yang lain. Program hutan kemasyarakatan sendiri adalah Sebuah program kehutanan yang melibatkan masyarakat sebagai mitra pengambil kebijakan kehutanan dalam bentuk utamanya adalah izin mengelola hutan dimulai dari pembenihan, penanaman, pemeliharaan tetapi tidak mendapatkan hak untuk melakukan pemanenan..Mengapa? karena masyarakat desa hutan hanya mendapatkan hak pengelolaan hutan hanya selama lima tahun. Padahal nilai ekonomis hutan jati berlangsung lebih dari lima tahun bahkan lima belas tahunpun belum dapat menjadikan jati tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi,
lxxii
baru ketika usia jati tigapuluh lima tahun, jati tersebut sudah layak menjadi bahan baku produksi. Maka bagaimana mereka mendapatkan sesuatu dari kerja keras mereka?
A. MASA KERAJAAN NUSANTARA Sebelum Belanda memasuki wilayah nusantara, terlebih dulu telah ada kerajaan-kerajaan yang berdiri sebagai pengelola pemerintahan. Wilayah Indonesia yang subur menjadikan banyaknya pepohonan yang tumbuh subur pula. Kekayaan flora dan fauna Indonesia sangat banyak dan beragam. Pulau Jawa mempunyai kayu jati alam, wilayah Sulawesi mempunyai kayu eboni/ kayu hitam, wilayah Ambon mempunyai kayu Cendana, wilayah Kalimantan mempunyai kayu Meranti dan banyak pula yang lain. Pada masa masa kerajaan, pengelolaan hutan tidaklah serapi sekarang. Belanda ketika awal datang melihat wilayah nusantara yang pertama dilakukan adalah berdagang. Yang kemudian, mereka membentuk sebuah kongsi dagang yang disebut VOC. Belanda melihat di sepanjang wilayah pantai utara Jawa tampak sederetan pohon jati yang tumbuh berderet memanjang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, mulai dari kabupaten Batang sampai ke Sedayu. Lamongan. Para pedagang Belanda pun melihat adanya pusat-pusat industri pembuatan kapal dengan model yang lebih maju dibanding kapal yang mereka pakai sendiri. Industri kapal di pesisir utara pulau Jawa sudah sejak lama berkembang. Pada era Singasari, perkembangan industri kapal di Jawa mendapat kekuatan baru dengan hadirnya pelaut-pelaut dari Cina yang membelot menghadapi penjajahan bangsa Mongol. Para pelaut tersebut ada yang mengabdi pada
lxxiii
pemerintah Singosari, misalnya sebagai pejabat kepala pelabuhan Pasuruan, tetapi ada pula yang berwiraswasta membangun pabrik kapal. Hal inilah yang menyebabkan kerajaan Singasari mendapat perhatian yang luar biasa dari kerajaan Mongol, sehingga dapat kita ketahui dalam catatan sejarah, raja Kubilai Khan mengirim
utusannya ke Singasari. Ia kagum dengan
kemampuan Singasari mengatur lalu lintas selat Malaka yang ramai dan merupakan urat nadi utama perdagangan serta kekuasaan negara-negara Asia. Perkembangan industri kapal di Jawa pada abad ke 13 inilah yang memungkinkan pemerintah Majapahit dapat membangun kapal layar yang canggih. Melampaui kecanggihan kapal VOC yang dibuat beberapa abad kemudian. Kerajaan Majapahit memang terkenal sebagai kerajaan maritim yang mampu mengontrol kekuasaan atas kepulauan nusantara yang sangat luas juga mengembangkan perdagangan internasional hingga sampai wilayah Madagaskar. Pengamatan atas pesisir pulau Jawa ini menimbulkan rasa ingin tahu yang mendalam sehingga mereka melakukan investigasi intensif. Mereka datang ke Tuban untuk meneliti potensi masyarakat dalam membangun. Mereka memasuki perguruan Sunan Mbonang dan mempelajari apa saja yang diajarkan oleh perguruan ini. Akhirnya mereka membawa pulang buku induk yang diajarkan pesantren tersebut. Sekarang, kitab tersebut masih tersimpan di museum Leiden dan terkenal dengan het book van mbonang. Pada masa Mataram, Sultan Mataram sudah mempunyai regu kerja khusus dari penduduk sekitar hutan yang mempunyai keterampilan kerja yang tinggi untuk menebang dan mengangkut kayu jati yaitu orang kalang. Pada masa ini, pemanfaatan hutan adalah dengan eksploitasi yaitu
lxxiv
mengambil secara langsung hasil hutan alam untuk dimanfaatkan sesuai keperluan. Prof. Hasanu Simon menyebutkan masa ini sebagai masa timber extraction. Sejarah kerajaan terutama di tanah Jawa sering mengungkapkan adanya proses-proses pembukaan hutan. Pada beberapa kisah perpindahan pusat kerajaan, sering disebutkan tentang pembukaan hutan oleh raja beserta pasukannya. Sehingga hingga saat ini, dalam cerita kesenian Ketoprak sering disebut adanya kisah babad. Beberapa diantaranya adalah kisah babad alas mentaok oleh sultan Pajang Hadiwijaya. Ketika memindah pusat kerajaan Demak Bintoro ke Pajang. Kisah babad ini menggambarkan kepada kita bahwa hutan atau wana merupakan milik raja sehingga sang rajalah yang berhak untuk mengelola hutan termasuk menyerahkan wilayah hutan tertentu kepada orang yang dianggap oleh sultan berjasa. Tetapi, warga masyarakat desa hutan diberikan hak-hak ulayat terhadap sebagian besar wilayah hutan. Hak ulayat ini adalah kekuasaan mengendalikan sumber daya hutan jati dalam lingkup administrasi terkecil yang disebut desa. Istilah untuk kawasan hutan jati ini adalah wewengkon desa dimana kayu-kayu jati di kawasan tersebut hanya boleh dimanfaatkan oleh warga masyarakat sekitar hutan tersebut. Selainnya harus meminta izin kepada demang wilayah yang bersangkutan. Selain pada saat pembukaan hutan, penebangan kayu-kayu hutan juga dilaksanakan ketika membangun istana kerajaan. Kerajaan-kerajaan di Jawa masih menggunakan kayu-kayu jati untuk tiap bagian istana. Contoh paling kongkrit adalah ketika Keraton Solo mengalami kebakaran pada tahun 1993, maka diadakanlah pengambilan kayu-kayu jati alam yang didahului dengan
lxxv
upacara-upacara kejawen pada saat penebangan tiap batang kayunya, Di wilayah hutan Randublatung, Blora. Boleh dikatakan pada masa kerajaan-kerajaan terdapat beberapa struktur sosial masyarakat yaitu rakyat jelata yang merupakan bagian terendah, kemudian diatasnya terdapat orang-orang berketrampilan kehutanan yang disebut orang kalang kemudian adalah para pejabat administrasi di tingkat desa seperti demang kemudian kepada orang-orang yang berada dalam lingkungan keraton.
B. MASA PENJAJAHAN Kegiatan timber extraction pada masa kerajaan-kerajaan nusantara dilanjutkan oleh VOC. Setelah investigasi intensif atas potensi hutan jati Jawa yang seakan-akan tidak akan pernah habis, maka VOC merencanakan peningkatan intensitas penebangan kayu jati. Untuk mencapai tujuannya, VOC melihat peluang lain yang dapat digali dari industri kapal yang sudah ada dari Tegal hingga Pasuruan, dengan pusatnya Tuban dan Jepara. Para pedagang Belanda merencanakan membangun negerinya dengan Amsterdam dan Rotterdam sebagai kota pelabuhan penghasil kapal seperti Tuban dan Jepara. Kualitas kayu jati untuk membuat kapal dipandang setara dengan kualitas kayu oak yang dipakai oleh Inggris, Perancis dan Italia, para produsen kapal terbesar waktu itu. Para saudagar Belanda, menjadikan pabrik-pabrik kapal di Jawa sebagai industri hulu, sedang Amsterdam dan Rotterdam dijadikan pabrik kapal yang besar dengan desain Eropa. Hal ini terwujud, sehingga negeri Belanda menjadi
lxxvi
produsen kapal; yang menyamai reputasi ketiga Negara produsen kapal yang tersebut diatas. Amsterdam dan Rotterdam benar-benar menjadi kota pelabuhan terkemuka dan salah satu jalan masuk untuk Negara-negara Eropa tengah. Hambatan utama yang dihadapi Belanda adalah adanya hak ulayat yang masih sangat kuat. Hak ulayat ini memberikan kesulitan utama bagi bangsa Belanda karena apabila hak ulayat ini masih tetap berlangsung maka pengelolaan hutan atau lebih tepatnya pengeksploitasian hutan tetap berada di tangan warga masyarakat. Oleh karena itu, disusunlah rencana untuk menghilangkan kekuasan hak ulayat ini. Langkah-langkah yang dilaksanakan Belanda berlangsung secara bertahap dan tidak menimbulkan gejolak sosial. Langkah pertama, aturan hak ulayat adalah bahwa yang dapat menebang hutan jati hanyalah warga setempat, maka VOC menjalin kerjasama dengan penguasa lokal , mulai dari bekel, demang sampai sultan. Kerja sama ini berlangsung dengan mudah karena kemiskinan Jawa membuat para pejabat itu dapat dengan mudah di iming-imingi dengan harta dan barang-barang modern dari Eropa. Sultan memberikan konsesi kepada Belanda untuk dapat memanfaatkan masyarakat desa hutan menjadi sumber tenaga kerja diwilayah hutan yang diberi sultan. Setelah mendapat konsesi wilayah kerja hutan, VOC menawarkan wilayah-wilayah hutan kepada para pengontrak tebangan yang disebut perceel. Boleh dikata, sistem ini mirip dengan sistem HPH (Hak Penguasaan Hutan) pemerintah Indonesia tahun 1960-an. Tetapi wilayah perceel yang dikelola para pengontrak tebangan ini adalah wilayah yang jauh dari pemukiman termasuk akses-akses jalan. Sementara wilayah hutan yang dekat pemukiman langsung dikelola oleh VOC dengan
lxxvii
pekerja dari wilayah setempat. Dengan cara inilah volume penebangan bisa meningkat tajam serta menghasilkan keuntungan yang besar bagi Belanda. Langkah kedua, mendirikan blandongdiensten (dinas blandong) yaitu sebuah dinas penebangan kayu. Dinas ini membuat jatah tahunan kepada para demang dan bekel penguasa hutan untuk memberikan sejumlah kayu jati sekian kubik, yang disesuaikan dengan jatah tahunan pasokan industri kapal. Agar tidak bertentangan dengan hak ulayat maka dinas ini masih mempekerjakan warga masyarakat desa sekitar hutan. Langkah
ketiga,
menerapkan
profesionalisme
blandong.
Ketika
blandongdiensten telah menjadi persepsi umum para penguasa pribumi dan masyarakat desa sekitar hutan jati, VOC membuat kebijakan profesionalisme tenaga penebang. Para blandhong memang mendapat gaji tinggi sehingga hidup mereka terbilang makmur. Pekerjaan blandhong menjadi incaran para pencari kerja. Aturan VOC yang kemudian diberlakukan adalah tidak semua orang dapat diterima sebagai blandhong apabila tidak mempunyai ketrampilan tertentu. Akibatnya, yang terpilih menjadi blandhong tidak lagi dari wilayah desa setempat tetapi juga berasal dari wilayah desa lain. Dengan aturan ini, terjadilah perubahan persepsi terhadap hak ulayat, yaitu blandhong tidak harus dari warga setempat. Tetapi adalah orang –orang yang terampil. Langkah keempat, mengangkat mandor yang menggantikan peran demang dan bekel. Para tenaga blandhong yang professional dan berasal dari berbagai desa telah menggantikan peran demang dan bekel. Oleh sebab itu diangkatlah mandor sebagai koordinator penebangan kayu jati di hutan. Langkah keempat ini telah menamatkan sejarah hak ulayat yang kokoh. Selanjutnya pengelolaan hutan jati terus berada dibawah pemerintah kerajaan
lxxviii
Belanda setelah VOC mengalami kebangkrutan. Posisi masyarakat desa hutan dalam pengelolaan hutan tetap belum meningkat kecuali sebagai buruh-buruh upahan. Struktur sosial masa penjajahan (VOC s.d. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda) adalah sebagai berikut: 1. Masyarakat desa hutan. 2. Bekel dan demang (pemegang wewenang hak ulayat) 3. Penguasa persil (VOC dan para Pengontrak persil) 4. Para sultan. Setelah mengalami perjalanan yang cukup lama, akhirnya hilanglah hak ulayat yang menjadikan hilangnya peran bekel dan demang dalam proses pengelolaan hutan. Pada masa penjajahan Jepang yang singkat, wilayah hutan nyaris dilupakan karena pemerintah Jepang waktu itu lebih memperhatikan pada penanaman jarak yang menghasilkan minyak jarak sebagai penghasil utama pelumas untuk mesin-mesin tempur kerajaan Jepang di perang dunia kedua. Pada masa penjajahan Jepang pula pemerintah pernah menurunkan bibit tanaman kapas kepada masyarakat. Masyarakat dipaksa menanam kapas untuk memenuhi kebutuhan bahan tekstil tentara Jepang yang sedang terlibat Perang Dunia II. Pemaksaan ini membuat terbengkalai pengurusan hutan juga kegiatan petani bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka tidak menanam padi ataupun bahan makanan lain. Panenan pun terlewatkan. Akibatnya, rakyat sangat menderita karena kurang pangan.
lxxix
C. MASA KEMERDEKAAAN Pengelolaan hutan pada masa kemerdekaan dimulai setelah pemerintah kerajaan Belanda mengakui kedaulatan pemerintah Indonesia dengan ditandai oleh penandatanganan antara kerajaan Belanda dan pemerintah Indonesia. Setelah berdaulat penuh, maka mulai tahun 1950, pengelolaan hutan dikembalikan pada masa sebelum kedatangan Jepang tahun 1942. Organisasi pengelola hutan Jawa juga diatur dengan menggunakan istilah-istilah berbahasa Indonesia untuk mengganti istilah Belanda. Begitu pula istilah Boschwezen diganti dengan Jawatan kehutanan. Pada dasawarsa inilah, pulau Jawa terjadi perubahan kondisi sosial ekonomi yang pengaruhnya cukup signifikan dalam pengelolaan hutan dan juga partisipasi masyarakat dalam kehutanan. Masa Jawatan kehutanan partisipasi masyarakat cukup tinggi dalam bentuk menjadi calon pekerja tanaman. Banyaknya calon pekerja tanaman ini menyebabkan dimunculkannya aturan baru dengan membatasi luas andil hanya 0,25 ha/KK. Peraturan seperti ini belum pernah ada sebelumnya. Pada dekade tahun 1950-an luas rata-rata lahan pertanian per keluarga petani sudah mendekati 1 ha/KK, dengan rentang 0,1-5,0 ha, sehingga sudah mulai banyak keluarga petani yang memiliki lahan pertanian di bawah kebutuhan minimum. Indikasi lain adanya perubahan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan jati adalah meningkatnya intensitas gangguan atas hutan seperti pencurian kayu, penggembalaan ternak, kebakaran dan bibrikan lahan. Sebelum kedatangan Jepang, intensitas pencurian kayu belum menyebabkan suatu petak menjadi lahan kosong. Selain itu, pencurian kayu hanya terjadi di waktu paceklik atau menjelang hari raya Idul Fitri. Biasanya wilayah hutan
lxxx
yang dicuri kayunya adalah wilayah hutan yang sudah diteres (dikeringkan dengan dipotong akar sehingga tidak menerima asupan makanan dari dalam tanah lagi). Tetapi karakter pencurian ini sudah berubah. Perubahan itu menyangkut tiga hal diatas yaitu, waktu pencurian, hutan yang dicuri serta jumlah pencurian yang meningkat tajam. Apa yang ditulis diatas hampir sama dengan apa yang ditulis oleh Thomas Sikor dan Tran Ngoc Thanh dalam jurnal ASEF Alliance yang berjudul Forest Common Vs The State: The need to look afresh at relations between states and local communities becomes apparent when we consider the changes in forest policy currently taking place across much of Asia and Eastern Europe. Governments are in the process of decentralising power and responsibilities to local authorities; many are also devolving ownership and quasi-ownership rights over forests to local public authorities, communities and other local actors. As a result of this world-wide trend, communities today manage 11% of the world’s forests and 22% of the forests in developing countries.
D. PHBM Penjelasan mengenai hal ini kita bagi dalam dua masa yaitu masa pra PHBM dan ketika program PHBM telah dilaksanakan 1. Pra PHBM Pada saat Pra PHBM dilaksanakan sebenarnya sudah dilakukan beberapa program yang sifatnya bernuansa kerakyatan. Program tersebut adalah program mantri lurah (Ma-Lu), program perhutanan sosial, tetapi programprogram tersebut bukanlah program yang mempunyai dasar hukum. Artinya hubungan antar pihak tidak terikat dengan aturan hukum apapun Tidak adanya hitam di atas putih ini menyebabkan ketika terjadi sesuatu sangat sulit untuk diselesaikan atau dipertanggungjawabkan. Bentuk dari program– program tersebut adalah penggunaan wilayah lahan hutan Negara untuk masyarakat untuk tanaman yang bisa dijual. Perhutani menamakan hal ini
lxxxi
dengan istilah pemanfaatan lahan dibawah tegakan (PLDT). Ketika pihak Perhutani membutuhkan tanah tersebut dapat saja dengan mudah tanaman atau apapun yang ada diwilayah hutan Negara dihancurkan dan itu tidak dapat dipermasalahkan karena memang belum berlandasan hukum. Pengakuan dari Perhutani yang disampaikan oleh Pak Agung ini memang diakui bahwa Perhutani memang cenderung arogan pada masa pra PHBM. Program Mantri Lurah atau disingkat Ma-Lu adalah salah satu dari program Prosperity Approach yang digulirkan semenjak tahun 1974 mengikuti arus besar pemikiran pengelolan sumber daya hutan waktu itu yaitu multiple use of forest land. Menurut Prof. Simon, pendekatan Mantri Lurah menunjukkan kecerdasan pencetusnya tentang perpaduan antara perencanaan kehutanan konvensional dengan perencanaan sosial ekonomi masyarakat. Tetapi lanjut beliau, semua kegiatan tersebut memerlukan rencana yang disusun secara komprehensif, tidak cukup dengan perencanaan tambal sulam seperti yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Bagaimana bentuk tambal sulam tersebut? Yaitu dengan tidak adanya rencana rigid yang merupakan hasil kolaborasi dari dua penentu kebijakan tersebut. Perum perhutani masih menggunakan pola timber management yang merupakan pola-pola teknis pengelolaan hutan yang memandang hutan dari sisi kayu. Padahal dalam perencanaan sosial ekonomi masyarakat tidak dapat diserupakan dengan pola-pola teknis dalam timber management itu. Professor Hasanu Simon pada akhirnya mengatakan bahwa masalah sosial ekonomi masyarakat memerlukan keluwesan rencana kerja yang landasannya adalah kerjasama saling menguntungkan, saling pengertian dan saling kepercayaan dan kejujuran yang semuanya tidak mudah diwujudkan dalam angka-angka.
lxxxii
Inilah evaluasi beliau tentang program Prosperity Approach yang mengalami kegagalan. Angin segar dibawa ketika pada tahun 1978 diadakan Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta 1978, pengelolaan hutan nasional mengikuti strategi kehutanan sosial. Kongres kehutanan ini termasuk yang terrbaik karena merupakan titik tolak perubahan strategi pengelolaan hutan dari conventional strategy menuju social forestry strategy. Tetapi wacana yang ada dalam kongres inipun mentah karena ada berbagai sebab antara lain: sumber daya rimbawan Indonesia yang masih sangat terbatas, orientasi pengelolaan hutan Indonesia yang berubah dari Jawa ke luar Jawa yang dianggap lebih modern, padahal sistem HPH luar Jawa adalah bentuk praktek kehutanan primitif yaitu timber extraction. Hal ketiga yang menjadi alasan adalah pemakaian alat-alat modern untuk mengeruk hasil hutan sebesar-besarnya di luar Jawa lebih nampak hasilnya daripada kehutanan Jawa yang hanya menghasilkan hasil-hasil hutan yang bernilai rendah dan hanya bernilai dalam rupiah dibandingkan dengan kayu-bulat ekspor kalimantan yang menghasilkan dolar. Program Perhutanan Sosial, adalah program yang dicetuskan pada tahun 1980-an ketika perhutani mendapatkan bantuan dari Ford Foundation untuk mengatasi masalah sosial dalam pengelolaan hutan jati di Jawa. Pelaksanaan dari program ini diawali dengan sebuah penelitian lapangan yang merupakan gabungan dari doctor-doktor antropologi kenamaan dengan para sarjana kehutanan Indonesia yang berada dalam jajaran perhutani. Salah satu diantaranya adalah mahasiswa doctoral bernama Nancy Lee Peluso yang meneliti di Balapulang dan akhirnya mengarang sebuah buku berjudul Rich
lxxxiii
Forest Poor People. Tetapi kelihatannya hasil penelitiannya tidak dijadikan pedoman sama sekali. Maka jadilah program perhutanan sosial hanya berupa system tumpangsari yang berada pada tanah antara sela tanaman jati yang diperlebar untuk dapat ditanami oleh warga masyarakat dengan nanas, atau buah-buahan lain.
2.
Masa PHBM Kebijakan yang dikenal dengan nama pengelolaan hutan bersama masyarakat atau lebih dikenal dengan singkatan PHBM memunculkan adanya sebuah lembaga masyarakat desa hutan (LMDH). Ketika program PHBM diluncurkan pada tahun 2001 KPH Cepu baru mulai melaksanakannya pada tahun 2003. beda program ini dengan programprogram sebelumnya, adalah adanya landasan hukum yang mendasarinya. Pada program ini dibentuklah LMDH-LMDH atau lembaga masyarakat desa hutan yang dinotariskan. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah dengan sistem sharing yaitu penentuan proporsi bagi hasil dalam bentuk uang. Salah satu ucapan yang dikatakan mengenai aktifitas warga masyarakat desa hutan adalah,”dalam PHBM kan ada pembinaan,jadi kita berusaha merubah pola pikir mereka dan diharapkan ada penurunan kebiasaan atau interaksi mereka dengan hutan,”apabila kita kaji lebih mendalam, upaya untuk menurunkan kebiasaan masyarakat berinteraksi dengan hutan adalah sesuatu yang musykil. Penulis dalam latar belakang penelitian ini menulis bahwa masyarakat desa hutan dengan hutan yang ada di wilayahnya pada umumnya memiliki hubungan yang erat dan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Betapa tidak? Mereka hidup dan berinteraksi secara
lxxxiv
intens dengan hutan semenjak lahir bahkan mungkin hingga mati. Lamanya interaksi ini secara otomatis akan menghasilkan budaya. Kebiasaan dan tradisi di masyarakat desa hutan apa yang menyebabkan kelestarian hutan tidak terjadi? Pendapat penulis, tidak ada! Berbagai sistem serta budaya dalam masyarakat sekitar kawasan hutan mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian hutan. Apabila di saat sekarang terdapat paradigma bahwa masyarakat desa hutan adalah pihak yang menyebabkan kerusakan hutan maka yang perlu kita pahami adalah penyebab mereka melakukan hal tersebut. Negara dalam hal ini pemerintah yang mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan telah mencerabut masyarakat desa hutan dari wilayahnya sendiri. Akses terhadap hutan dibatasi bahkan ditutup sehingga masyarakat desa hutan ibarat ”anak ayam mati di lumbung padi” Gagasan Perhutani tentang PHBM ini bisa disebut merupakan sebuah perubahan dari paradigma ecototaliter menjadi paradigma ecopopulisme (ekologi kerakyatan). Ekologi kerakyatan terbagi menjadi dua pendekatan yaitu ekologi garis keras yang menekankan pentingnya belajar dari pengalaman-pengalaman orang-orang lokal dan, sebaliknya juga, dari inovasi-inovasi keliru yang diperkenalkan dari luar. Bagi kaum ekopopulis garis keras, hanya yang bersifat lokal saja yang menarik. Dunia luar sering dilihat sebagai ancaman dan musuh yang tidak dipercaya. Orang-orang yang mewakili Negara (pemerintah) adalah orang-orang yang harus dihindari. Berbicara tentang hak masyarakat desa hutan, maka perlu pula kita mendengar dari lembaga swadaya masyarakat SUPHEL. SUPHEL adalah singkatan dari Solidaritas Masyarakat Untuk Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Hidup. Wawancara ini merupakan sarana untuk mengetahui
lxxxv
hubungan antara masyarakat desa hutan, KPH Perhutani Cepu serta hutan itu sendiri. Informan dari SUPHEL adalah Wasista Daru Darmawan. Ia dalam SUPHEL menjabat sebagai koordinator advokasi kebijakan. Peneliti mengajukan pertanyaan pada SUPHEL, hak-hak apakah yang dipunyai oleh masyarakat desa hutan terhadap kawasan hutan? Jawaban untuk pertanyaan ini adalah tidak ada. Apabila adapun, sebenarnya itu bukanlah hak. Sebagai contoh, ada sistem banjarharian yaitu pelaksanaan proses pembuatan hutan dengan melibatkan warga masyarakat dalam penanaman kemudian diberi upah. Ataupun dengan melakukan pengolahan lahan hutan secara tumpang sari, dengan catatan si pesanggem(istilah untuk warga masyarakat yang mendapatkan kesempatan pengolahan lahan hutan) wajib menjaga hutan milik Perhutani. Ketika penulis melakukan pengamatan di wilayah KPH Cepu, banyak warga yang mengambil daun, rencek, arang, maupun akar. Tetapi hal ini menurut Mas Wasis, salah satu anggota dari SUPHEL sebenarnya adalah aktifitas ilegal. Tetapi, hal ini memegang diperbolehkan oleh KPH Cepu. Mengapa hal itu dilarang tetapi tetap diperbolehkan? Karena KPH Perhutani belum mempunyai solusi terhadap aktifitas yang dilaksanakan. Apabila terdapat pelarangan, itu sama artinya dengan membunuh masyarakat. Dengan kata lain, inilah kebijakan lokal
dari KPH Cepu. Kebijakan local yang
berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi local masyarakat. Jadi hak masyarakat terhadap hutan memang tidak ada. Kecuali mereka berperan dalam proses-proses pengelolaan hutan yang dilaksanakan atas inisiatif Perhutani. Apakah ini merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat desa hutan di Jawa? MDH mampu dengan sabar hidup dalam kondisi dimana
lxxxvi
akses sangat dibatasi sehingga tidak ada kesempatan memanfaatkan hutan kecuali sedikit. Ada sebuah nilai yang masih berlaku dan dianggap biasa yaitu tentang status sosial pegawai Perhutani yang digolongkan kaum priyayi. MDH mempercayai hal ini, dan para pegawai Perhutani pun merasa demikian. Penulis mengetahui bahwa budaya feodal masih sangat kental di dalam jajaran perum Perhutani. Di saat sekarang, ketika program PHBM dilaksanakan ada sedikit perubahan yaitu dengan sistem sharing(pembagian hasil berupa uang dari hasil panenan hutan baik dari tebang penjarangan maupun untuk tebang produksi untuk masyarakat desa hutan) padahal pembagian uang ini adalah agar masyarakat “berperan” dalam artian tidak mengambil hasil hutan. Inipun sebuah pola yang sama dengan yang selama ini sudah ada bukan? Untuk lebih jelasnya, perlu bagi kita untuk membaca sebuah tulisan karya aktivis lingkungan yang juga akademisi kehutanan UGM tentang PHBM ini.Pada pelaksanaaan di wilayah lain, bentuk dan pola kerjasama dalam PHBM antara masyarakat dengan pihak Perhutani bisa saja berbeda. Menurut Agus Affianto, seorang anggota LSM kehutanan di Javlec (Java Learning Centre) hasil sharing yang besarnya 25% masih memendam sedikit ketidakadilan. Ia menulis permasalahan ini dalam karangan berjudul: Mekanisme Bagi Hasil dalam PHBM: Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat atau Pengelolaan Hutan Biaya Murah? kalimat pembuka dalam karangan tersebut bernada keras yaitu, apabila dalam suatu usaha, saudara berkontribusi modal 2 bagian sedang pihak lain 1 bagian, apakah saudara akan bersedia membagi pendapatan usaha tersebut dengan proporsi yang sama(1:1) dengan pihak lain?
lxxxvii
Penentuan sharing atau bagi hasil dalam kawasan hutan Perhutani diatur oleh keputusan direksi perum Perhutani no.001/KPTS/DIR/2002 tentang pedoman berbagi hasil hutan kayu, proporsi hasil bagi maksimum yang berhak diterima masyarakat desa hutan adalah sebesar 100% untuk penjarangan pertama, 25% untuk penjarangan lanjutan dan 25% untuk hasil tebangan habis. Artinya pada seluruh wilayah kerja Perhutani, masyarakat desa hutan akan menerima proporsi maksimum sebesar seperti yang dikemukakan diatas apabila kerjasama dimulai dari tanah kosong. Sementara proporsi bagi hasil akan semakin kecil apabila kerjasama dimulai dari areal yang bertegakan. Agus Affianto mengajukan tiga pertanyaan evaluatif yaitu: a. Dapatkah proporsi sebagaimana yang trcantum dalam keputusan tersebut diberlakukan secara umum
di seluruh wilayah kerja
Perhutani? b. Dapatkah prosentase bagi hasil ditetapkan secara berbeda pada satu proses produksi yang sama? c. Apa dasar penentuan munculnya angka 100%(untuk penjarangan pertama) dan maksimum 25% (untuk penjarangan lanjutan dan terakhir) tersebut? Pertanyaan point (a) muncul lebih dilatarbelakangi oleh perbedaan karakteristik pada wilayah kerja Perhutani. Jangkauan wilayah kerja Perhutani di pulau Jawa yang mencakup provinsi Banten hingga Jawa timur tentunya harus dipertimbangkan dalam penentuan proporsi bagi hasil
lxxxviii
tersebut. Bukankah terdapat perbedaan baik dari sisi umur maupun dari jenis tanaman . Munculnya pertanyaan poin (b) dan (c) lebih didasarkan pada pola pikir sederhana saja. Pertama, kegiatan penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan dan penjarangan adalah serangkaian aktifitas yang merupakan input dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan tegakan siap tebang pada umur yang dikehendaki. Apabila memang demikian halnya, dapatkah proporsi bagi hasil untuk penjarangan dan tebangan akhir tersebut dibedakan? Sebagai contoh, berdasarkan penghitungan petani disalah satu desa dalam lingkup KPH Kuningan, nilai proporsi bagi hasil kayu jati adalah sebesar 45% untuk masyarakat dan 55% untuk Perhutani. Melihat contoh proporsi bagi hasil berdasarkan penghitungan masyarakat diatas, mungkin akan timbul pertanyaan,”apakah masyarakat akan benar-benar dapat mengidentifikasi
besaran
input
pengelolaan
yang
dikeluarkan
oleh
perusahaan(Perhutani)? Terlepas dari benar tidaknya hasil penghitungan proporsi yang dilakukan masyarakat tersebut, paling tidak masyarakat telah memiliki dasar perhitungan untuk memperjuangkan hal-hak mereka. Justru inilah diperlukan adanya keterbukaan dari masing-masing pihak untuk duduk bersama mendiskusikan proporsi bagi hasil yang sesuai dengan jiwa “bersama” seperti yang disebutkan dalam keputusan no 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat menekankan bahwa nilai dan proporsi bagi hasil ditetapkan sesuai dengan nilai faktor produksi yang diberikan oleh masing-masing pihak(Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak lain).
lxxxix
Tabel 1. Matriks Waktu Tertata Perubahan-Perubahan dalam Perubahan Program Pengelolaan Hutan KPH Cepu KOMPONEN PERUBAH Hak masyarakat terhadap hutan Bentuk kompensasi Keorganisasian MDH Kebijakan dalam pengelolaan hutan Agen-agen program
PRA PHBM 1 (Program Prosperity Approach) Tidak ada
PRA PHBM 2 (Program Perhutanan Sosial) Tidak ada
PHBM Sharing produksi kayu
Gaji dari proyek Gaji dari proyek PerbaikanPerhutani (INDIVIDU) Perhutani perbaikan fasilitas (INDIVIDU) sosial masyarakat. Tidak ada Tidak ada Ada dan berbadan hukum Arogansi management Arogansi Perhutani (1 pihak) management Perhutani (1 pihak)
Kerja sama
Mantri-Mandor
Mantri-Lurah
LMDH+KPH
(Ma-Ma)
(Ma-Lu)
Hasil penelitian tingkat partisipasi masyarakat desa hutan diatas dapat dikatakan bahwa masyarakat desa hutan masih mengalami proses marginalisasi akibat dari tidak adanya pengakuan hak masyarakat desa hutan terhadap hutan, tempat tinggalnya. 4.2. HASIL INTERAKSI MASYARAKAT DESA HUTAN 4.2.1. Pengetahuan Lokal Masyarakat Desa Hutan Unsur dalam kearifan lokal antara lain adalah pengetahuan lokal yang kemudian pengetahuan ini dapat menjadi ketrampilan lokal. Pengetahuan lokal yang penulis temukan pada saat penelitian ini antara lain adalah pengetahuan tentang pemanfaatan hasil hutan non kayu tegakan, kayu tegakan adalah milik Perhutani. Sehingga, masyarakat dalam interaksinya terus menerus berpikir bagaimana agar
xc
hidup bisa terus berjalan. Oleh sebab itu, masyarakat memanfaatkan hasil hutan lain diantaranya rencek, daun(ron), brongkol, gelam, tunggak, arang. Setelah cukup lama melakukan observasi, penulis bertemu dengan satu warga masyarakat desa hutan di wilayah Nglobo, salah satu wilayah yang mempunyai potensi hutan tinggi. Begitu pula dengan wilayah yang ada di sekitarnya seperti Blungun, Temengeng hingga Pasar Sore.. Selama perjalanan memang cukup banyak yang melakukan pengambilan rencek dan juga daun jati. Selain jati tersebut banyak juga pohon Ploso yang sedang berbunga. Bunganya yang berwarna merah atau oranye berada di pucuk-pucuk pohon, sebuah pemandangan yang indah di tengahtengah meranggasnya daun-daun jati. Pak Yadi adalah seorang warga Nglobo. Penulis bertemu dengan beliau di lahan persemaian dan pembibitan secara tidak sengaja ketika sedang mengamati dan mengambil gambar pohon Ploso. Beliau menjadi bagian dari Perhutani juga. Tepatnya di KPH Cepu. Banyak istilah dan pengetahuan baru yang didapat dari beliau. Beliau menyebutkan bahwa masyarakat desa hutan yang dimaksud oleh penulis adalah yang berada di wilayah-wilayah desa dalam hutan. Bukan yang berada di tepi-tepi hutan. Beliau berkata demikian untuk menjelaskan bahwa para pengambil rencek yang menggunakan sepeda kebanyakan bukan berasal dari wilayah desa hutan sekitar petak hutan tetapi berasal dari desa lain. Seperti Jepon, Mblora yang berada ditepi-tepi hutan. Menurut San Afri Awang yang disebut masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang berada di dalam hutan maupun berbatasan langsung dengan hutan dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun hasil-hasil hutan lain. Jadi walaupun masyarakat tersebut berada diwilayah tepi hutan atau jauh dari hutan, tetapi selama ia memanfaatkan hasil hutan, maka ia merupakan bagian dari masyarakat desa hutan.
xci
A. Rencek Para pengambil rencek yang kebanyakan berasal dari luar desa diwilayah hutan tersebut beliau sebut sebagai ngare. Ketika saya tanyakan artinya kepada beliau, ia menjawab tidak tahu artinya tetapi sejak dulu istilah dimasyarakat sudah seperti itu. Para ngare ini mencari kayu dan menjualnya baik ke pasar maupun ke desa tempat tinggalnya sediri. Baik untuk digunakan sendiri maupun untuk dijual di sepanjang perjalanan. Bahkan biasanya, belum sampai kerumah, seorang ngare bersepeda telah habis renceknya, karena ada yang membeli di
jalan dan
membelinya. Nilai rencek saksepedha berkisar antara 25 ribu hingga tiga puluh ribu rupiah. Beberapa istilah dalam perencekan: a. Gendhel, ukuran paling kecil jumlahnya sekitar 4-5 batang. b. Bongkok, ukuran lebih besar dari gendhel. c. Pikul, sakpikul artinya dua bongkok. Perencek menggunakan pikulan untuk membawa rencek sekaligus alat ukur penjualan rencek. d.
Sepedha, perencek yang menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi dan alat ukur penjualan rencek. Nilai jual 25-30 ribu rupiah.
Gambar 6. Rencek dibawa dari hutan
xcii
Perlu diketahui pula biasanya para perencek sudah memiliki kelompok-kelompok pencari rencek dan juga telah melakukan perjanjian-perjanjian dengan pihak pengepul, kapan dan dimana pengambilannya. Di lokasi penelitian, banyak sekali ditemukan aktifitas warga yang mengambil hasil hutan ikutan (HHI). Setiap hari kurang lebih mulai pukul 08.00 WIB akan banyak ditemukan para pengambil rencek yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasinya. Jarang sekali mereka menggunakan sepeda motor. Entah memang mereka tidak punya atau memang lebih mudah menggunakan sepeda. Tapi alasan yang lebih kuat adalah alasan yang pertama. Karena beberapa hal sebagai berikut: a. Pekerjaan mengambil rencek, daun, arang atau apapun dalam hutan Negara adalah sesuatu yang sebenarnya illegal. Tidak banyak yang berprofesi ini kecuali karena kebutuhan hidup yang mendesak. b. Sepeda mempermudah penghitungan nilai penjualan rencek. Beberapa hal yang perlu diketahui, bahwa penjualan rencek dihitung dengan satuan-satuan tertentu. Beberapa istilah satuan yang sering digunakan adalah seiket, sasepedha, maupun Sakgendhong. c. Para perencek mempunyai ikatan dengan pihak pengepul. Para pengepul inilah yang mempunyai mobil pick up terbuka untuk mengambil kayu-kayu rencek diberbagai petak hutan terutama yang berada di jalur jalanraya. Para perencek walaupun pengambilan renceknya dilaksanakan hingga jauh kedalam hutan tetapi pengumpulan hasil selalu disatukan di sebuah tempat yang telah disepakati oleh perencek dengan pengepul. Kapan jamnya, berapa jumlahnya dan lain-lain.
xciii
d. Aktifitas para ngare ini adalah salah satu aktifitas untuk mengisi waktu luang dalam masa menunggu panen. Sehingga waktu bukan sebuah ukuran yang tegas. Mereka tidak mempunyai keterikatan waktu. Sehingga dengan sepeda yang alon-alon asal kelakon maka pilihan menggunakan sepeda adalah pilihan yang tepat.
Gambar 7. Salah Satu Ngare
B. Daun(Ron)
Selain tunggak, rencek dan jati, masih ada satu hasil hutan lain yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa hutan yaitu daun atau ron dalam bahasa jawa. Terdapat banyak ron yang dimanfaatkan oleh warga. Tetapi daun utama yang sering digunakan dan dicari adalah daun jati. Karena memang terdapat semacam kelebihan daun jati dibanding daun yang lain. Selain kph cepu merupakan kph dengan hutan produksi jati sehingga daun jati berlimpah juga karena daun jati mempunyai banyak manfaat ketika dipergunakan sehari-hari. Biasanya daun jati dipergunakan sebagai bungkus makanan. Menurut Bu Warsi, rasa nasi akan lebih enak apabila dibungkus dengan daun jati. Kalau tidak percaya maka coba rasakan belalang yang makan daun jati. Rasanya pasti enak. Ini menurut Bu Warsi. Pak Yadi juga berpendapat sama kripik belalang disini adalah makanan kecil yang mudah dijumpai di warung-warung pinggir hutan maupun dalam hutan. Bahkan pernah ketika penulis mampir di salah satu warung di wilayah Sekaran, ketika penulis minta nasi untuk makan siang, sang xciv
penjual hanya tertawa dan menjelaskan bahwa warungnya tidak menjual nasi. Yang ada hanya kopi kothok, ketan dan keripik belalang. Tetapi ketika penulis mencoba tiga-tiganya rasanya memang luar biasa. Wisata kuliner di tengah hutan menyajikan masakan-masakan sederhana dari lingkungan alam hutan. Apabila penulis memikirkan mengapa keripik belalang itu enak, jawabnya adalah karena belalang hutan jati adalah belalang yang makananannya alami(daun jati) jauh dari obat-obatan sehingga pantas saja rasanya juga nikmat. Kembali pada daun jati, para pencari daun jati sangat telaten. Mulai dari pagi-pagi hingga pukul 09.00 biasanya meraka sudah mulai mengumpulkan daun. Ketika selesai, para pencari daun dalam satu kelompok istirahat sambil menunggu mobil angkutan baik yang merupakan angkutan resmi bahkan sopir-sopir sukarelawan yang mau diboncengi hingga ke pasar. Para pencari daun jati menggulung daun jati hingga gulungan sebesar diameter kurang lebih 70 sentimeter. Yang penulis tanyakan adalah, bagaimana cara mereka menggulungnya? Selain jati, daun lain yang digunakan adalah daun ploso. Pada masa terak jati, yaitu ketika bulan jati meranggas, pohon ploso tidak mengalami kekeringan. Daun ploso tetap tumbuh berwarna hijau. Pada masa terak jati ini, para pencari daun mengalihkan perburuannya dari daun jati ke daun ploso. Daun lain yang biasa dimanfaatkan masyarakat adalah daun lempuyang, kunci, ndayakan, kesambi dan trengguli. Kesemuanya merupakan jenis semak dan bukan pohon. Lempuyang banyak dimanfaatkan untuk obat-obatan. Kunci yang banyak bermunculan di bulan Februari dimanfaatkan sebagai campuran sayur. Daun ndayakan dan kesambi mempunyai manfaaat yang hampir sama yaitu untuk mengasamkan masakan. Di daerah Cepu salah satu masakannya adalah asem-asem. Untuk mengasamkan sayuran ini, dipergunakanlah dua daun ini. Tetapi daun ndayakan menurut Pak Yadi lebih bagus rasa asamnya. Daun trengguli lain lagi
xcv
manfaatnya. Masyarakat memanfaatkan daun trengguli untuk memasakkan buahbuahan yang masih muda atau mentah. Fungsinya hampir sama dengan apabila kita menggunakan karbit. Tetapi manfaat daun trengguli ini lebih bagus hasilnya. Selain alami juga murah. Pengetahuan masyarakat desa hutan tentang silvikultur sebenarnya sudah ada. Istilah silvikultur adalah istilah kehutanan untuk menunjukkan berbagai karakteristik tanaman atau pohon-pohon hutan. Pada bulan meranggasnya jati istilah masyarakat terak jati, yaitu bulan Agustus sampai November, pohon ploso merupakan pemandangan yang indah bagi penulis. Di tengah suasana udara yang panas dan kering masih nampak hijauan daun ploso apalagi apabila ditambah dengan bunga-bunga ploso berwarna merah muda dipucuk-pucuk daun. Ketika penulis menanyakan hal ini, salah satu informan juga mengungkapkan demikian. Bahkan bukan itu saja, beliau pun menunjukkan sebuah pengetahuan baru yaitu bahwa pohon ploso terutama bunga ploso merupakan “ketaran”. Ketaran adalah istilah yang dipakai warga masyarakat desa hutan untuk penunjuk atau meramalkan sesuatu. Bentuknya, apabila bunga ploso merah masih banyak dan belum rontok maka dapat diramalkan bahwa musim hujan masih jauh atau dapat disebut dalam istilah masyarakat, laboh. Proses mencari daun jati adalah dengan mencari tumbuhan jati trubusan yaitu pohon jati kecil, tunas-tunas baru baik tumbuh sendiri maupun di daerah tebang penjarangan. Gambar 8. Seorang pencari daun
xcvi
C. Brongkol dan Tunggak Beberapa pemanfaatan hasil hutan oleh para warga warga masyarakat desa hutan adalah yang disebut dengan brongkol. Brongkol sebenarnya adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan kayu sisa hasil tebangan. Di wilayah madiun brongkol disebut dengan wungkal, Perhutani memang hanya mengambil batang kayu jati saja.tetapi ranting, akar, kulit maupun daun tidak diambil. Kayu brongkol biasanya bentuknya tidak karuan. Karena memang terpendam dalam tanah setelah dilakukan tebangan. Jadi mungkin sudah dimakan rayap ataupun kotor karena tanah. Kualitas yang lebih tinggi dari brongkol adalah tunggak. Apabila brongkol hanya untuk kayu bakar dan hampir sama dengan rencek maka yang disebut dengan tunggak manfaatnya lebih tinggi karena mampu dimanfaatkan sebagai meja, kayu, kursi maupun perhiasan yang nilainya tinggi. Ini pula usaha yang ada di wilayah Cepu. Kurang lebih ada delapan pengrajin berpusat di KPH Cepu dari 13 pengrajin di wilayah kabupaten Blora. D. Gelam Gelam adalah kulit kayu jati. Biasanya gelam diambil oleh masyarakat desa hutan diwilayah teresan. Menurut cerita, dua tahun sebelum ditebang pohon jati mesti dimatikan terlebih dengan cara diteres. Proses ini merupakan upaya mengurangi kadar air di dalam kayu. Dengan langkah tersebut kelak akan diperoleh kayu jati berkualitas tinggi, lebih awet, tidak mudah pecah, ringan waktu diangkut, dan mudah dikerjakan. Setelah mengalami teresan selama dua tahun, pohon jati baru ditebang. Penebangan dilakukan para blandong, yaitu tukang tebang professional yang tinggal di seputar hutan.
xcvii
Gelam dapat digunakan sebagai dinding rumah atau atap. Kulit pohon jati memang cukup tebal. Kurang lebih ketebalannya mencapai 2-3 cm. Sehingga apabila kita memasuki wilayah teresan, maka akan dijumpai beberapa tegakan jati yang sudah mulus tinggal tampak kayunya karena gelamnya sudah diambil dari bawah sampai ke puncaknya. E. Arang Para pengusaha arang juga cukup banyak di wilayah KPH Cepu. Mereka membuat arang di tengah-tengah hutan, membakar kayu di tengah-tengah hutan kemudian esok paginya baru diambil biasanya sekaligus dengan saat pengambilan hasil hutan ikutan yang lain. Walaupun hal ini mengandung resiko kebakaran hutan, tetapi para pembuat arang bersikap hati-hati dengan ikut serta menjaga kayu arang atau dengan membuat pagar batu yang membatasi pembakaran kayu menjadi arang.
4.2.2. Budaya Local Masyarakat Desa Hutan Budaya dapat diartikan sebagai kebiasaan dan nilai-nilai yang diakui secara umum oleh suatu masyarakat yang tinggal disuatu tempat tertentu. Budaya merupakan produk kolektif yang menghasilkan suatu ukuran dan rangkaian tindakan yang dipakai suatu acuan untuk menilai tindakan orang lain. Kita mempelajari budaya sejak kecil dari orang tua, keluarga, lingkungan sosial masyarakat, para pemimpin agama atau adat, para guru dan dari media. Budaya tidak bersifat statis. Melainkan selalu berubah karena pengaruh internal dan eksternal. Budaya menentukan cara kita bertindak dan bertingkahlaku dalam interaksi baik interaksi dengan lingkungan sosial, lingkungan biotik maupun lingkungan fisik. Berbagai tradisi dan nilai budaya lokal di masyarakat yang mengandung kearifan
xcviii
lokal yang apabila digali dan dihubungkan dengan kelestarian hutan maka akan menunjukkan hubungan yang saling menguatkan. Budaya mempunyai wujud sehingga dapat kita lihat, rasakan dan kita laksanakan. Wujud budaya dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu mentifact, sosiofact dan artifact. Tiga hal tersebut saling bersinergi membentuk kesatuan budaya yang khas pada masyarakat tertentu. Masyarakat desa hutan sebagai salah satu jenis masyarakat juga mempunyai budayanya sendiri. Memang sebagai produk kolektif interaksi manusia, maka dapat pula kita lihat beberapa atau banyak persamaan dengan budaya pada masyarakat lain yang mempunyai karakter hampir sama dengan masyarakat desa hutan. A. Mentifact Mentifact yaitu sebuah budaya yang bersifat abstrak yang berupa aspek mental yang melandasi perilaku dan hasil karya. Didalamnya terdapat ideologi, sikap kepercayaan dan pemikiran. Semua hal tersebut dapat kita jumpai pada masyarakat desa hutan di wilayah KPH Cepu. Masyarakat berpandangan cukup sederhana. Ferdinand Tonnies mengemukakan sifat-sifat desa yang menurutnya masih berpikiran tradisional. Masyarakat mempunyai pola pikir yang diistilahkan narimo ing pandum. Konsep ini adalah sebuah bentuk kepasrahan terhadap adanya takdir yang telah dikehendaki oleh Tuhan. Apa-apa yang ia dapatkan (pandum) maka ia terima (narimo). Berbagai aktifitas yang dilaksanakan dalam keseharian masyarakat merupakan bentuk sikap narimo ing pandum ini. Di tengah-tengah hutan yang dikelola Perhutani, masyarakat desa hutan hanya mengambil hasil hutan yang nilainya tak seberapa. Hidup masyarakat desa hutan sebagaimana yang anda lihat semata. Pagi mencari apa yang dapat ia cari asalkan mampu
xcix
menjadi uang yang mampu
memenuhi kebutuhan hidup. Apakah ada semacam subsistensi? Apabila dilihat dari komposisi di jelaskan dalam angka maka inilah datanya: Nama desa
Sifat desa
Jumlah
petani
Buruh tani
penduduk Nglobo
enclave
2.129 jiwa
217
108
Nglebur
enclave
5.112 jiwa
2382
1588
Ngraho
enclave
4.477 jiwa
461
1.029
Bagaimana cara membaca data yang sedemikian? perlulah kita memahami dan kritis secara benar-benar kritis. Bahwa terdapat banyak kesenjangan. Saya tidak menganggap rendah profesi petani. Tetapi petani atau buruh tani yang seperti apa yang ada di wilayah hutan “milik” Perhutani ini? Ketika melakukan observasi lapangan, hampir tidak dapat penulis lihat adanya lahan-lahan yang dapat dikelola sebagai pertanian yang konsisten. Yang jelas hanya sebuah lahan dibawah tegakan pohon-pohon jati yang tidak seberapa dan sebelum mengolahnya pun diberikan syarat untuk membayar. Dari salah seorang warga yang saya temui di wilayah pasar sore diketahui bahwa perbulan mereka wajib membayar uang “kendhilan” sebesar 8.000 rupiah setiap bulan. Tetapi penulis tidak tahu seluas apa tanah yang disebut kendhilan tersebut? Dalam buku yang pernah saya baca karangan Hasanu Simon, terdapat istilah andil yaitu petak-petak tanah hutan yang dapat ditanami dengan membayar sejumlah uang kepada Perhutani. Inilah yang penulis sebut sebagai sebuah hal yang perlu dikritisi juga, masyarakat yang tidak punya hak apapun untuk mengelola tanah ketika ingin mengelola tanah Negara pun wajib membayar apakah ini semacam upeti?sebuah bentuk feodalisme yang masih nampak!
c
Beberapa masalah yang belum kita jawab dan masih tersimpan dalam benak peneliti yaitu tentang hutan adat ataupun hutan rakyat akhirnya terjawab juga. Masyarakat desa sekitar hutan diwilayah KPH Cepu yang mempunyai tanah hak milik tetap menggunakan tanah-tanah mereka untuk menanam tanaman-tanaman keras. Biasanya memang jati karena tanah disitu memang cocok. Dengan cara penanamannya berada di tepi-tepi tanah hak milik tersebut. Sementara sisa tanah yang ada tetap dimanfaatkan sebagai ladang tanaman palawija atau mungkin padi. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pemanfaatan tanaman-tanaman tersebut? Beliau menjawab, ya dibiarkan saja mas, kecuali memang kalau ada butuh ya tinggal potong kemudian dijual, baik ke perajin atau mungkin orang yang butuh kayu. Hery Santoso, seorang aktifis lingkungan hidup dari Javlec (Java Learning Centre) menyatakan bahwa konsep narimo ing pandum adalah sebuah strategi bertahan masyarakat desa hutan. Etos ini baik untuk kelestarian hutan, tetapi buruk untuk pengembangan kehidupan masyarakat. Apabila dikaji lebih mendalam, nilai narimo ing pandum adalah bentuk inferioritas dari masyarakat desa hutan dalam lingkungannya. Di tengah-tengah hutan yang kaya (rich forest) tetapi masyarakat hidup dengan segala keterbatasan (poor people, meminjam istilah Nancy Lee Peluso). Kekayaan hutan yang dimaksud disini adalah kayu jati yang merupakan kayu produksi unggulan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan membawa kemakmuran dan keuntungan financial tinggi bagi Perhutani sebagai pengelola tunggal di kawasan hutan produksi di Jawa. Akan tetapi dilain pihak, masyarakat desa hutan yang tinggal di wilayah hutan mungkin semenjak lahir bahkan mati disitu tidak dapat mendapatkan sesuatu dari hutan kecuali sedikit. Konsep lain dari narimo ing pandum ini adalah konsep mangan ora mangan kumpul. Ini pulalah sebuah strategi masyarakat desa hutan dalam mengatasi
ci
sempitnya lahan untuk diolah guna menghasilkan tanah pertanian. Seperti diketahui, masyarakat yang tinggal dan hidup di kawasan hutan tidak mempunyai tanah yang cukup luas dan baik untuk melakukan usaha cocok tanam. Hanya diantara sela-sela pohon jati di atas tanah negara, para warga dapat melakukan penanaman tanaman palawija. Pihak Perhutani menamakan ini sebagai pemanfaatan lahan di bawah tegakan atau sering disingkat PLDT. Para petani hutan yang memanfaatkan lahan ini biasa disebut pesanggem. Di dalam hutan jati perhutani sendiri dikenal sebuah istilah tanaman tepi atau tanaman pagar. Hal ini adalah sebuah upaya perhutani dalam rangka memisahkan secara tegas antara masyarakat desa hutan dengan wilayah hutan negara. Tanaman tepi yang dipergunakan pun adalah tanaman secang yang mempunyai duri-duri besar sehingga tidak dapat dimasuki oleh hewan maupun oleh manusia apabila tanpa membawa alat pemotong seperti arit atau bendo. Bentuk mentifact lain adalah pandangan yang menempatkan para pegawai Perhutani sebagai status sosial yang tinggi. Sejarah kehutanan di Jawa menyebutkan bahwa pada zaman Djatibedrijf sedang kokoh-kokohnya, para pegawainya mendapatkan kemakmuran yang luar biasa dan mempunyai kharisma yang tinggi di masyarakat. Prof. Hasanu Simon menulis, Ketaatan atau ”ketakutan” masyarakat terhadap pemerintah kolonial, khususnya mereka yang bertempat tinggal di sekitar hutan, dapat dilukiskan sebagai berikut: dalam konsep undangundang kehutanan antara lain disebutkan bahwa rakyat tidak diperkenankan masuk kedalam hutan tanaman jati dengan membawa senjata tajam seperti parang dan kapak. Di musim kemarau, lantai hutan jati penuh ditaburi oleh daun kering yang gugur karena sifat pohon jati sebagai jenis decidious. Oleh karena itu, kalau dalam musim kering ada orang masuk kedalam hutan, walaupun jumlah pejabat kehutanan sangat sedikit dan hanya sebulan sekali masyarakat melihat mereka masuk hutan, orang tersebut akan berjalan dengan sangat pelan-pelan karena suara kaki menginjak daun-daun kering dapat didengar sampai jauh. Tidak hanya berjalan pelan-pelan untuk menghindari suara kemresek juga orang tersebut berjalan sambil membawa daun-daun jati kering untuk menutupi setiap bekas injakan kaki yang daun-daunnya rusak karenanya.
cii
Perasaan sebagai priyayi mendominasi pandangan para pegawai Perhutani. Sementara itu, masyarakat desa hutan pun mempunyai pandangan yang sama. Pandangan ini menyebabkan warga masyarakat sering menunjukkan pola perilaku seperti mengirimkan makanan pada pegawai Perhutani ketika melaksanakan acaraacara tertentu, istilah di masyarakat disebut punjung. Apabila melihat kondisi seperti ini dapat dianalisis bahwa budaya feodal warisan pemerintah kolonial masih sangat kental di dalam jajaran perum Perhutani. Feodalisme adalah suatu tertib sosial yang ditandai dengan memerintahnya golongan aristrokat atau bangsawan. Seorang administratur yang lebih sering dipanggil “Pak Adm” merupakan jabatan yang “wah”. Tidak mudah untuk menemui beliau. Bahkan untuk staff-nya sendiri. Fasilitas yang luar biasa diperoleh para administratur ini. Biasanya pada setiap KPH dapat dijumpai rumah dinas Adm yang mewah. Pola ini merupakan warisan dari apa yang terjadi pada masa Djatibedrijf. Prof . Hasanu Simon menulis, Pada waktu itu, Boshwezen telah memisahkan antara pengelolaan hutan jati dengan nonjati, masing-masing disebut Djati-hout dan Wild-hout Boschen. Kedua badan tersebut bernaung dibawah Jawatan Kehutanan Jawa Madura, tetapi masing-masing ditangani secara terpisah yaitu pengelola hutan jati dan pengelola hutan rimba. Bagi para pejabat Boschwezen, bekerja di Djatibedrijf dianggap lebih bergengsi dibanding kalau menjadi pejabat yang mengelola hutan rimba. Hal ini disebabkan karena pendapatan Djatibedrijf lebih tinggi dibanding dengan pendapatan pegawai hutan rimba, dan masalah yang dihadapi jauh lebih kompleks dan menantang.
Berbagai istilah untuk para pejabat kehutanan di Perhutani menjadi sebuah simbol-simbol status, istilah-istilah tersebut masih dipakai oleh masyarakat hingga saat ini. Beberapa contoh diantaranya adalah,
polisi hutan yang pada masa
Djatibedrijf bernama boschwagter di lidah masyarakat Jawa menjadi pak waker, pejabat bagian pendidikan disebut ndoro BA dari istilah Belanda Bosch-Architeck. Adapula istilah pak sinder dan pak siner untuk menyebut bagian opziener yaitu para
ciii
pejabat lapangan Djatibedrijf dan bagian pendidikan kehutanan. Sapaan-sapaan diatas hingga saat ini masih terbawa.
B. Sosiofact Banyak sekali aktifitas sosial yang termasuk tradisi masyarakat terkait dengan kehutanan. Para petani pesanggem yang mempunyai ladang-ladang di bawah tegakan pohon jati memiliki tradisi bancakan. Bentuknya adalah syukuran makanmakan yang dilaksanakan pada berbagai momentum. Beberapa momentum diantaranya adalah: 1. Ritual sebelum tebang hutan Sebelum proses penebangan, biasanya malam sebelumnya diadakan ritual bancakan dengan mengundang seluruh orang yang ada kaitan dengan proses penebangan. Tujuan diadakannya bancakan adalah untuk mencari keselamatan bagi semuanya. 2. Sebelum membuka Ladang baru bekas tebangan. Pasca penebangan hutan, biasanya tanah hutan dibiarkan selama satu tahun atau bahkan lebih. Biasanya masa-masa ini digunakan oleh para warga masyarakat desa hutan untuk menanam palawija. Bahkan bagi para pencari tunggak, ini adalah saatnya mencari tunggak untuk diolah. Tetapi, para pencari tunggak memang menungggu satu tahun atau kurang karena pasca penebangan akan ada operasi dari pihak Perhutani yang oleh warga masyarakat disebut sebagai lacak balak yang bertugas mengecek sisa tebangan yang sudah diberi nomor untuk melakukan supervisi. Jadi selama masa satu tahun tanah hutan didiamkan oleh Perhutani maka masyarakat memanfaatkannya sebagai lahan
civ
untuk ditanami. Upacara penanaman biasanya menggunakan petungan atau pencarian hari-hari baik sebelum menanam. Beberapa hari sebelum penanaman masyarakat desa hutan mengadakan bancakan dengan sajian utama panggang pitik atau ayam panggang. 3. Undhuh-undhuh. Undhuh-undhuh adalah masa ketika para petani pesanggem di lahan hutan akan melakukan panen diatas ladang atau lahan hutan, baik yang merupakan andil yang ia punyai atau sewa maupun di lahan terbuka pasca penebangan. 4. Tampa seren Tampa Seren adalah bancakan warga ketika bertemu dengan tanggal satu Sura atau satu Muharram. Yaitu memperingati tahun baru dalam kalender komariyah/tahun baru Islam. Sebagai tambahan, karena penelitian ini dilaksanakan pada bulan Syaban menjelang bulan Ramadhan maka bancakan juga dilaksanakan di masyarakat desa hutan ini. Istilah yang disebutkan untuk menyebutkan tradisi ini adalah mapag dan nutup. Mapag adalah bancakan untuk menyambut atau menyongsong(mapag) bulan Ramadhan. Sedang nutup adalah bancakan untuk menutup atau bersiap-siap mengakhiri bulan Ramadhan sehingga hati menjadi tenang dan dosa-dosa benarbenar dilebur oleh Allah Sang Pencipta. Sajian yang disediakan di tradisi mapag dan nutup berbeda. Apabila mapag berisi nasi lengkap dengan lauk (biasanya lauk utama adalah ayam panggang) tetapi di nutup, selain nasi ada tambahan berupa Apem. Aktifitas-aktifitas diatas adalah aktifitas yang lebih didorong adanya kepatuhan terhadap aturan adat istiadat di lingkungan sosial. Pada peraturan lain yaitu peraturan yang dikeluarkan oleh Perhutani artinya aturan terhadap hukum positif, masyarakat desa hutan pun sama.
cv
Pada saat PHBM dilaksanakan, budaya masyarakat yang lebih tampak menonjol adalah budaya musyawarah yang lebih kental. Hal ini tampak dengan cara pemilihan pengurus LMDH yang sangat terbuka. Dengan dukungan luas dari pihak kelurahan, warga melakukan musyawarah dengan mengundang seluruh warga masyarakat desa secara terbuka melalui undangan yang berstempel pamong desa di tempat-tempat umum. Hal ini penulis temukan ketika melaksanakan observasi di wilayah Ngadenan desa Cabak kecamatan Sambong, salah satu kawasan hutan dengan potensi hutan yang relatif tinggi. Budaya musyawarah semakin menguat sebagai akibat adanya pemberian sharing. Hasil sharing yang besar membutuhkan kepercayaan bersama dalam pengelolaaanya. Sehingga hal ini menuntut musyawarah antar warga. Demikian pula dalam proses pendirian, LMDH sebagai salah satu syarat adanya pemberian sharing, membuat warga masyarakat desa hutan secara otomatis meningkatkan pola musyawarah dalam setiap keputusan. C. Artifact Wujud budaya yang termasuk artifact adalah peralatan-peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa hutan. Peralatan-peralatan tersebut kita bagi menurut kesesuaian alat dengan aktifitas masyarakat. Setiap aktifitas diatas mempunyai peralatan-peralatan pendukung. Ilmu antropologi meyebutnya sebagai traits. Peralatan ini merupakan wujud kebudayaan yang disebut sebagai artifact. a. Perencekan Peralatan yang digunakan dalam aktifitas ini antara lain: bendo, pethel, precel, prekul, tatah dan graji. b. Pengambil daun
cvi
Peralatan yang digunakan dalam aktifitas ini adalah ani-ani. c. Pengambil tunggak dan brongkol Peralatan yang digunakan dalam aktifitas ini antara lain: ganco, prekul, Linggis dan arit. Berbagai alat yang disebutkan diatas, dalam masyarakat lain juga ditemukan. Ada yang mempunyai kesamaan fungsi tetapi ada pula yang memiliki perbedaan. Salah satu alat tersebut adalah ani-ani. Di desa-desa pertanian, ani-ani adalah alat untuk memotong padi tetapi di desa-desa hutan mengalami alih fungsi sebagai alat pemotong daun. Cara pemakaian ani-ani relatif sama. Tetapi pemaknaan antara ani-ani di dua hal ini apakah sama?apabila di desa-desa pertanian, pemakaian aniani adalah bentuk penghormatan terhadap dewi pertanian, Dewi Sri, sebuah kepercayaan yang hingga saat ini masih kuat menempel dalam diri masyarakat agraris terutama di Jawa, tetapi pemaknaan tentang hal ini di desa hutan KPH Cepu ini dapat dikatakan tidak ada.
4.2.3. Kearifan Lingkungan Masyarakat Desa Hutan Warisan yang sangat berharga dari nenek moyang kita adalah tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Indonesia mempunyai kemajemukan religi, akar budaya dan keragaman kearifan tradisional, yang dapat menjadi modal dasar dalam menjalankan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Kearifan lingkungan (KL) adalah tata nilai dalam kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi bahkan religi, dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan berada di tengah-tengah masyarakat. Ciri yang melekat dalam kearifan lingkungan adalah sifatnya yang dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima di
cvii
masyarakat. Kearifan lingkungan mewujud dalam bentuk agama, aturan, pengetahuan, dan juga keterampilan serta tata nilai dan etika yang mengatur tatanan sosial komunitas dan terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi. Banyak contoh baik yang ada di masyarakat desa hutan di Indonesia maupun di bagian hutan-hutan diseluruh dunia. Bagaimana pengetahuan masyarakat dari hasil
pengalaman-pengalaman
dengan
hutan
mampu
menjadikan
warga
masyarakatnya mampu menghadapi alam yang ganas. Sebagaimana yang tersebut dalam jurnal internasional yang diterbitkan oleh Swedish Biodiversity Centre karangan Thomas Elmqvist berjudul Indigenous Institutions, Resilience And Failure of Co-Management of Rain Forest Preserves In Samoa. Elmqvist menulis,
In Samoa, an archipelago in the western part of Polynesia, local societies use an array of institutions and management techniques to cope with uncertainties in their environment. Tropical cyclones are highly unpredictable both on a temporal and spatial scale and may cause widespread destruction of villages and plantations. Examples of institutions and resource management systems used under these circumstances include a sophisticated land tenure system enabling a buffer capacity for growing crops, the use of taboos for protecting specific species and techniques for long-term storage of food and. The extent of damage to crops by cyclones is very variable both within and between crop species.
Inilah sebuah wujud adanya budaya masyarakat lokal yang luar biasa sebagai wujud strategi menghadapi alam. Alam berhasil ditaklukkan. Tetapi terkadang kearifan masyakat desa hutan ini dilemahkan oleh pihak pemerintah karena dianggap tidak ilmiah dan kuno. Padahal di Samoa tidak terbukti apa yang ditakutkan oleh pemerintah. Elmqvist melanjutkan, Several local indigenous initiatives to conserve biodiversity were taken in the early 1990’s and resulted in village-based rain Forest preserves that are owned, controlled and managed by the villagers. Although these preserves appear to be a robust local approach to rain forest conservation, their establishment resulted in significant conflicts between the villagers and Western NGOs that assisted in raising funds for the preserves. The principles of indigenous control were unexpectedly difficult to accept by some western conservation organizations that ultimately were unwilling tocede decision-making authority to the indigenous leaders. In this case, co-management failed completely when a village decided to severe all relationships and refuse any further financial assistance from the Western NGOs. The reasons for co-management failure need to be analyzed in the context of the crucial role of local institutions and the importance of mutual trust.
cviii
Pengetahuan-pengetahua lokal/indegenuous knowledge ini hampir tidak dapat dilakukan oleh masyarakat di luar masyarakat desa hutan itu sendiri. Seperti LSM baik dari pemerintah maupun LSM internasional. Ini menunjukkan perlunya pemberdayaan dalam arti pemberian hak untuk mengelola hutan dalam rangka menjaga kelestarian hutan. Salah satu gerakan lingkungan yang terkenal di wilayah kabupaten Blora adalah gerakan lingkungan yang dipelopori oleh Samin Surya Sentiko. Gerakan ini berkembang semasa penjajahan kolonial belanda. Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator penyebab adanya pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain : berbagai macam pajak diimplementasikan
di daerah Blora, perubahan pola
pemakaian tanah komunal, pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk. Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur. Masyarakat desa hutan di wilayah hutan KPH Cepu dapat dikatakan mempunyai potensi kearifan lingkungan yang cukup tinggi. Akan tetapi, potensi ini masih dapat dioptimalkan lagi untuk membangun lingkungan yang lebih baik dan bernilai positif. Bentuk optimalisasi ini adalah dalam bentuk pemberdayaan yaitu dengan meningkatkan partisipasi masyarakat desa hutan dalam proses pengelolaan hutan. Salah satu contoh kasus adalah apa yang penulis temukan di wilayah Nglebur. Pak Rais mengungkapkan kesyukurannya menjadi warga masyarakat desa
cix
hutan di wilayah Nglebur. Alasan pertama yang ia kemukakan adalah kekayaan sumber daya hutan Nglebur yang luar biasa. Alasan yang kedua adalah kedekatan antara warga masyarakat dengan para pejabat Perhutani. Persaudaraan di daerah nglebur antar warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan Perhutani berlangsung dengan sinergis dan akrab. Mendengar beberapa alasan ini, maka dapat dianalisis bahwa keterangan yang diberikan oleh Mas Wasis dari LSM SUPHEL dan Pak Agung Sugiartha staf KSS PHBM bahwa Nglebur adalah wilayah di KPH Cepu yang potensi hutannya tinggi adalah benar. Begitu pula teori yang dikemukakan oleh Rachmat K. Dwi Susilo yang mengemukakan bahwa tidak ada satupun masalah social yang
merupakan produk dunia alamiah dan berjalan dengan sendirinya.
Tetapi persoalan lingkungan adalah produk interaksi antar manusia. Keyakinan penulis adalah proses kelestarian hutan di Nglebur tidak lepas dari kearifan dalam berinteraksi social diantara actor-aktor dalam wilayah hutan. tambahan lagi, interaksi warga Nglebur dengan hutan juga berlangsung dengan arif. Walaupun hutan adalah milik Perhutani, tetapi warga tetap menganggap bahwa hutan itu adalah miliknya. Sehingga apabila warga mengambil sesuatu hasil hutan, maka akan diambil sesuai kebutuhan saja. Pak Rais bercerita, bahwa ketika masa 1998 dimana penjarahan dimana-mana marak, wilayah nglebur tidak demikian. Hal ini memang sudah disadari warga nglebur. Dan akhirnya kesadaran ini memang menghasilkan kemanfaatan yang lebih kontinyu. Sekarang, apabila warga nglebur dalam mencari rencek, mencari daun, mencari gelam ataupun hasil hutan lain, maka disekitarnya mudah didapat. Beda dengan wilayah lain, desa-desa lain yang pada tahun 1998 dijarah dan dirusak maka sekarang untuk mencari rencek, mencari daun serta hasil hutan lain harus keluar dari desanya. Hal ini merepotkan katanya, dan lagi pula kayu-kayu hasil penjarahan masih tersimpan dan tidak tahu mau dijual dimana
cx
selain itupula uang hasil penjarahan juga malah habis tanpa bekas yang dirasakan dampaknya. Proses pengelolaan hutan dengan partisipasi masyarakat didalamnya ada berbagai macam pola. Apabila kita mempelajari pada berbagai kasus yang terjadi di berbagai wilayah kehutanan dimana disitu terdapat beberapa aktor kehutanan, maka akan kita ketahui berbagai variasi bentuk partisipasi dan pemberdayaan. Sebagai contoh yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, yaitu bentuk pengelolaan hutan di wilayah Sambeng Boyolali yang melibatkan masyarakat dalam penjagaan kelestarian hutan. Disitu muncul sistem plong, yang bermanfaat untuk menambal lahan hutan yang bolong yang manfaatnya dapat diterima oleh setiap aktor kehutanan di wilayah Sambeng itu sendiri. Dengan model plong, ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh kedua pihak. Misalnya, model plong memungkinkan petani bisa ikut terlibat menjaga hutan. Kemudian, dari lahan plong tersebut bisa diperoleh hasil pertanian cukup berarti untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, penggarapan lahan oleh petani juga bisa lebih intensif. Penulis mendapatkan sesuatu yang baru yaitu dengan apa yang dinamakan kawasan perlindungan setempat( KPS) yang merupakan kawasan yang tidak dilaksanakan proses produksi didalamnya. Artinya tidak ada proses penebangan, proses penjarangan dan lain-lain yang sifatnya merubah bahkan menghilangkan vegetasi di kawasan tersebut. Intinya wilayah hutan yang dilestarikan. Pertanyaan sekarang, penentuan suatu wilayah menjadi KPS itu apa? Pak Agung menyebutkan bahwa penentuannya adalah karena kawasan tersebut dipakai oleh warga dan disitu terdapat sesuatu yang berguna seperti mata air dan merupakan tempat yang dipercaya masyarakat mempunyai keistimewaan. Hal yang menurut saya luar biasa adalah jumlah kawasan ini mencapai jumlah sebanyak 1024 KPS yang tersebar di
cxi
seluruh wilayah KPH CEPU. Tetapi apabila melihat luas KPS yang diberikan perhutani, maka dapat dikatakan sangat kecil apabila disebut sebagai sebuah signifikansi upaya pelestarian hutan. Walaupun begitu, praktek-praktek masyarakat dalam upaya pelestarian hutan dapat cukup terbukti dengan adanya wilayah KPS. Kasus lain yang merupakan bukti pentingnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat adalah kasus hutan rakyat di wilayah kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat petani di desa dekat hutan Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, mencatat langkah maju. Sistem pengelolaan hutan rakyat yang mereka terapkan, pada September 2006 berhasil mendapatkan sertifikat ekolabel dari badan sertifikasi bertaraf internasional. Peristiwa bersejarah bagi praktek pengelolaan hutan rakyat di Gunungkidul itu berlangsung di Auditorium Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, 21 September 2006. Penyerahan sertifikat itu merupakan bagian dari rangkaian acara dalam Pekan Raya Hutan dan Masyarakat oleh Fakultas Kehutanan UGM bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Java Learning Center (Javlec). Dalam perhelatan tersebut, pengurus dan anggota Koperasi Wana Manunggal Lestari Gunungkidul layak disebut sebagai aktor utama. Sebab, kepada merekalah sertifikat ekolabel tersebut diserahkan oleh lembaga sertifikasi berkaliber dunia yang berbasis di Jerman, melalui perwakilannya di Indonesia, PT TUV International Indonesia. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan bahwa masyarakat anggota koperasi tersebut telah melakukan pengelolaan hutan rakyat secara lestari. Sebagai tambahan, dapat kita sebutkan satu contoh lagi di wilayah Ngawi Jawa Timur. Rendahnya penghasilan dan kerasnya perjuangan hidup petani di desa dekat hutan membuat para generasi muda pedesaan enggan menekuni pekerjaan bertani.
cxii
Paryono adalah salah satu contohnya. Lelaki muda asal Desa Dampit, Kecamatan Bringin, Ngawi, Jawa Timur, ini pernah pergi dari kampungnya untuk mengejar impian memperbaiki kesejahteraan dan kehidupan yang lebih mapan dengan bertransmigrasi ke Sumatera pada 1990. Pada awalnya ia memang dapat mewujudkan harapan itu. Tapi krisis ekonomi pada 1997 membuat berantakan kehidupan yang telah ia bangun. Terutama oleh fanatisme daerah di kalangan warga asli yang berujung pada ketegangan etnis dengan para pendatang, termasuk Paryono dan beberapa rekan sekampungnya yang pada saat itu ikut bertransmigrasi. Situasi tersebut membuat Paryono dan kawan-kawan sekampungnya asal Dampit tak lagi merasa aman. Dan akhirnya mereka pun memutuskan pulang kampung, kendati di benak mereka belum terlintas akan melakukan apa untuk menyambung hidup. Semenjak 1998 hingga 2000, penjarahan kayu jati di hutan negara marak di hampir seluruh wilayah Jawa, tak terkecuali di hutan jati dekat kampung Paryono. Bagi Paryono dan warga Dampit yang menganggur, membabat kayu jati di hutan negara merupakan pilihan untuk mendapatkan penghasilan yang sulit dielakkan. Rata-rata tiap orang bisa memperoleh pemasukan Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu per hari dari berdagang kayu jati hasil curian. Kian hari makin banyak orang menjarah hutan jati. Peristiwa itu tak hanya berlangsung di Desa Dampit, melainkan juga di Desa Kenongorejo, dan Desa Bringin di kecamatan yang sama. Pada September 1998 massa menjarah dan merusak 5.000 hektare hutan jati yang dikelola Perum Perhutani di Wilayah Kabupaten Ngawi. Bentrok fisik antara massa dengan polisi pun pecah mengakibatkan seorang warga tewas. Polisi menahan 115 orang. Akibatnya, hutan jati di Kecamatan Bringin ludes dalam sekejap. Kondisi alam pun berubah kering dan gersang di musim kemarau, sementara di musim hujan banjir dan tanah longsor mudah datang. Mereka miris melihat bencana alam yang datang
cxiii
menyusul gundulnya hutan di kampung mereka. Maka, ketika orang-orang masih terus menjarah isi hutan, Paryono dan rekan-rekan sekampungnya memutuskan berhenti ikut menguras kayu jati di hutan. Lebih-lebih ketika mereka menyadari bahwa menjarah hutan tak serta merta membuat hidup mereka lebih sejahtera. Bersama beberapa pemuda sekampungnya, Paryono lantas bekerjasama dengan Perum Perhutani untuk melakukan penghijauan Kecamatan Bringin yang gundul. Sebagai imbalan atas jerih payah mereka, Perhutani memang tak memberi upah harian, melainkan mereka dibolehkan memanfaatkan 1/3 lahan hutan Perhutani tadi untuk ditanami tanaman pertanian. Inisiatif model penanaman selangseling yang lazim disebut “model plong” atau alley cropping ini datang dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Studi Ekosistem Hutan (Lesehan) yang berkedudukan di Madiun. Bagi Paryono dan kawan-kawannya sesama penggarap lahan hutan, itu merupakan awal perjuangan mereka menghindarkan diri dari nasib para petani hutan pendahulu mereka. Itulah beberapa contoh kearifan lingkungan yang menunjukkan pentingnya partisipasi dan pemberdayaan dari setiap aktor kehutanan. Adanya satu pihak yang lebih mendominasi pengelolaan hutan tidak serta merta memperbaiki alam lingkungan hutan akan tetapi memunculkan adanya masalah laten yang dapat sewaktu-waktu meledak menjadi konflik yang besar pengaruhnya bagi kehidupan ekologi yang melibatkan unsur dalam ekosistem dan sistem sosial.
cxiv
cxv
cxvi
cxvii
cxviii
cxix
cxx
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pelajaran tentang ekologi dapat kita ketahui dari hasil penelitian dalam tulisan ini. Pelajaran paling terkait dengan tulisan ini adalah adanya kearifan lokal yang dipunyai oleh masyarakat desa hutan. Pikiran, perilaku dan berbagai benda yang dimiliki oleh warga masyarakat desa hutan adalah sebuah interaksi yang dapat ikut serta dalam mendukung kelestarian sumber daya hutan hutan milik KPH Perhutani Cepu. Namun, dibalik kelestarian hutan yang ada, beberapa nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan produk budaya dan ditemukan di dalam masyarakat desa hutan ini mengandung benih konflik dan kerawanan terhadap kelestarian hutan itu sendiri. Bentuk kearifan lokal yang ditemukan adalah narimo ing pandum, maka kearifan lokal yang merupakan produk budaya ini hanya membentuk kelestarian hutan saat ini, tetapi tidak untuk jangka panjang. Ketika budaya masyarakat berkembang secara dinamis, dari segi cara berpikir masyarakat, maka dapat dikhawatirkan akan memunculkan keinginan untuk menuntut hak yang lebih besar dariapada apa yang telah didapatkan selama ini. Hal diatas secara mudah dapat diterangkan bahwa kelestarian hutan yang terbentuk pada saat ini hanyalah kelestaraian tegakan hutan tetapi kelestarian pengelolaan hutan belum tentu terwujud. Karena tujuan akhir dari pengelolaan hutan adalah kesejahteraan seluruh warga dan para pelaku kehutanan serta bagi lingkungan hutan itu sendiri. 5.2. Implikasi 5.2.1. Implikasi Empiris
cxxi
Hasil penelitian menjelaskan perlu adanya perubahan yang lebih bersifat memunculkan nuansa kebersamaan dan kesetaraan antara berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengelolaan hutan agar cita-cita besar kelestarian hutan sebagai keberhasilan kelestarian ekologi bisa benar-benar tercapai yaitu dengan meningkatkan kerja sama dan interaksi yang dapat men”damai”kan antara berbagai pihak. Damai di dalam pengertian ini adalah kesetaraan dan kebersamaan. Adalah hal yang tidak mungkin apabila kelestarian hutan hanya dibebankan pada satu pihak dengan mengorbankan satu pihak padahal dengan adanya kerjasama yang memiliki dua sifat diatas maka akan menghasilkan kerja yang harmonis dan dengan itu pula menghasilkan output kelestarian hutan yang lebih maksimal dengan manfaat-manfaat yang dapat dinikmati secara adil dan merata. 5.2.2. Implikasi Teoritis Hasil penelitian mendukung pernyataan Rachmat K. Dwi Susilo
yang
mengemukakan bahwa tidak ada satupun masalah social yang merupakan produk dunia alamiah dan berjalan dengan sendirinya. Tetapi persoalan lingkungan adalah produk interaksi antar manusia. Selain itu, teori ekologi manusia dari Albert& Murdock maupun Hawley, Masih relevan. Inti dari 2 pendapat ini adalah, ekologi manusia adalah adaptasi yang dilakukan manusia dalam menghadapi lingkungan hidupnya baik sosial maupun fisik. Serupa dengan atas, Model ekologi manusia dari Rambo ataupun dari Duncan. Masih mampu menggambarkan bagaimana interaksi dari berbagai unsur pembentuk ekologi. Dalam hal ini unsur ekologi tersebut adalah manusia yang dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sosial di wilayah kehutanan dapat dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan. Inti dari dua model ini adalah unsur-unsur
cxxii
pembentuk kesatuan ekologi dengan hubungan antar unsur yang bersifat dialektika abadi.
5.2.3. Implikasi Metodologis Dalam sisi proses penelitian, perlu adanya perubahan sudut pandang atau pola pembahasan penelitian dari mencari-cari bentuk budaya semata kearah penelitian yang berusaha untuk mengetahui bentuk budaya semacam apa yang seharusnya ada sebagai sarana mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari, yang dengan itu pula kesejahteraan masyarakat desa hutan bisa terjamin. Hasil-hasil penelitian dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya dengan mulai berusaha untuk mencari celah-celah dari hal-hal apa yang dapat diambil dan dikembangkan dari budaya masyarakat desa yang sudah ada sekarang menuju tujuan akhir dari perlunya kelestarian ekologi hutan secara komprehensif. Selain itu, kemudahan bagi peneliti perlu pula diperhatikan. Salah satunya adalah akses atau keterjangkauan lokasi penelitian dengan domisili peneliti. Wilayah KPH Cepu yang jauh dari kota Surakarta cukup mempersulit peneliti. Selain itu perlu pula mempertimbangkan kemampuan dana yang dimiliki peneliti. Wilayah KPH Cepu merupakan wilayah dengan biaya hidup yang cukup tinggi akibat adanya pengaruh perusahaan asing exxon mobile di wilayah ini. Jadi konsep KUWAT yaitu
Kesempatan, Uang, Waktu, Alat dan Tenaga harus serius
diperhatikan. 5.3. Saran Ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan untuk menghadapi beberapa kesulitan dalam proses penelitian maupun dari hasil penelitian ini.
cxxiii
Pertama, dalam sisi proses penelitian, perlu adanya perubahan sudut pandang atau pola pembahasan penelitian. Dari mencari-cari bentuk budaya semata, kearah penelitian yang berusaha untuk mengetahui bentuk budaya semacam apa yang seharusnya ada sebagai sarana mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari, yang dengan itu pula kesejahteraan masyarakat desa hutan bisa terjamin. Hasil-hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya dengan mulai berusaha untuk mencari celah-celah dari hal-hal apa yang dapat diambil dan dikembangkan dari budaya masyarakat desa yang sudah ada sekarang menuju tujuan akhir yaitu kelestarian ekologi hutan secara komprehensif. Kedua, dalam sisi hasil penelitian. Hasil penelitian perlunya adanya perubahan yang lebih bersifat memunculkan nuansa kebersamaan dan kesetaraan antara berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengelolaan hutan agar citacita besar kelestarian hutan sebagai keberhasilan kelestarian ekologi bisa benarbenar tercapai yaitu dengan meningkatkan kerja sama dan interaksi yang dapat men”damai”kan antara berbagai pihak. Damai di dalam pengertian ini adalah kesetaraan dan kebersamaan. Inilah saran penulis kepada perum perhutani, juga kepada lembaga masyarakat desa hutan. Dengan penyamaan persepsi dan sinergisitas langkah akan menghasilkan output kelestarian hutan yang lebih maksimal dengan manfaat-manfaatnya yang dapat dinikmati secara adil dan merata.
cxxiv
DAFTAR PUSTAKA Agar, Michael H. The Professional Stranger :An Informal Introduction to Ethnography. Orlando: Academic Press Inc. 1980 Anonymous, Ada Apa dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia. Surakarta. Gema Pembebasan. 2004 Awang, San Afri. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta. Center For Critical Social Studies(CCSS). 2003 Awang, San Afri. Dekonstruksi Social Forestry;Reposisi Masyarakat Dan Keadilan Lingkungan.Yogyakarta. Bigraf Publishing. 2004 Bogdan, R & Taylor Steven, J. Kualitatif : Dasar – Dasar Penelitian.Surabaya. Usaha Nasional. 1983 Buttel, Frederick, Environmental And Resources Sociology:Theoretical Issues And Opportunities For Synthesis In Rural Sociology,1996, hal. 56-75 Dietz, Ton. Pengakuan Hak Atas Sumber Daya Alam; Kontur Geografi Lingkungan Politik. Insistpress. 2005
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 2006 Mangunjaya, Fachruddin M. Dkk. Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, Dan Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007 Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta. Penerbit universitas Indonesia. 1992 Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Penerbit Rake Sarasin. 1989 Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa. Kearifan Lingkungan Untuk Indonesiaku, Yogyakarta. Kementrian Negara Lingkungan Hidup Ri. 2006 Santana, Septian K, Menulis Ilmiah; Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2007 Simon, Hasanu. Membangun Kembali Hutan Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2004 Simon, Hasanu. Aspek Sosioteknis Pengelolaan Hutan Jati Di Jawa. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2004 Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi. Jakarta. CV Rajawali. 1985 Spradley, James P.. Metode Etnografi.Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya. 1997
cxxv
Sumber lain: Affianto, Agus. Mekanisme Bagi Hasil dalam PHBM: Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Atau Pengelolaan Hutan Biaya Murah? Artikel dalam situs Javlec(Java Learning Centre) di down load tanggal 6 Juli 2007 Dwi Susilo, Rachmad K., Sosiologi Lingkungan Dari Pegunungan Di Kota Batu Malang, , Paper Dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Sosiologi Se-Jawa Timur, Universitas Muhammadiyah Malang, 26 Desember 2004 C. Filer dkk. Interactions Between Local/Indigenous Communities and the Natural Environment in Far North Queensland and Southern New Guinea. A Partial Review of Research To Date. Series: Resource Management in Asia-Pacific Working Paper No. 52 http://rspas.anu.edu.au/papers/rmap/Wpapers/rmap_wp52.pdf. tanggal down load 26 Mei 2009. Jalal, Menuju Sosiologi Lingkungan Atau Sosiologi Ramah Lingkungan, makalah dalam diskusi pada kongres Ikatan Sosiologi Indonesia, Bogor, 28 Agustus 2002. Elmqvis, Thomast. Indigenous institutions, resilience and failure of co-management of
rainforest preserves in Samoa. http://dlc.dlib.indiana.edu/archive/00000568/00/elmqvistt041300.pdf. di down load tanggal 26 Mei 2009 www.infojawa.org. Geliat Pinggir Hutan. Di down load tanggal 6 Juli 2007
cxxvi
Lampiran
cxxvii
CATATAN LAPANGAN
Langkah pertama yang dilakukan peneliti adalah menentukan informan. Peneliti menggunakan langkah-langkah yang dilakukan oleh James Spradley. Spradley menjelaskan bahwa terdapat dua belas langkah dalam metode etnografi, dan langkah pertama adalah menentukan informan. Penetapan informan didasarkan pada pertimbangan etika suatu penelitian. Informan yang penulis pilih untuk pertama kali adalah dari pihak Kesatuan Pemangkuan Hutan(KPH) Cepu. Selain untuk meminta informan dari KPH Cepu, peneliti juga melakukan perkenalan sekaligus ijin melakukan penelitian. Menurut Bogdan (1993:66),Perkenalan secara terbuka ini penting. Dengan ini peneliti akan dapat bergerak secara leluasa dalam ‘memburu’ informasi yang dibutuhkan, serta memperoleh kemudahan dari organisasi atau kelompok-kelompok di masyarakat, dan dalam menjelaskan tujuan penelitian cukup sekedar penjelasan umum, berkatalah yang sebenarnya pada saat permulaan penelitian(Bogdan 1993: 72-73). Penulis merasa bersyukur dengan kemudahan perkenalan karena memang pernah berinteraksi selama 1,5 bulan ketika menjalani masa magang pada LSM SUPHEL dengan lokasi yang sama. Pihak Perhutani yang penulis temui adalah, bapak Eko Teguh Prasetyo, supervisor lapangan KPH Cepu yang lebih dikenal sebagai KSS PHBM(Kepala Sub Seksi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Nama KSS PHBM dimaksudkan agar lebih menuansakan kesamaan derajat atau lebih merakyat. Pak Eko menyarankan kepada penulis agar menghubungi Mas Agus staf beliau yang mempunyai kelebihan merupakan warga asli Blora dan lebih mengenal lapangan karena dialah yang paling sering terjun ke lapangan. Mas Agus inilah yang penulis tetapkan sebagai informan pertama dan sekaligus informan kunci penelitian ini.
cxxviii
Orang seperti Mas Agus inilah inilah yang disebut oleh Agar(1980:85) sebagai ‘profesional stranger handler’, yaitu sebagai orang pertama yang memberi penjelasan pada ‘orang luar’ seperti peneliti. Orang seperti ini disebut juga sebagai ‘natural relation expert’ (Agar 1950). Orang-orang seperti ini dapat memberikan penjelasan yang memuaskan pada ‘orang luar’ (peneliti) tanpa merugikan masyarakatnya. Menurut Pak Agus ini, Cepu(KPH Cepu) mempunyai potensi lebih dibanding dengan KPH lain. Tetapi apa kelebihannya(ini sebuah pertanyaan etnografis juga). Sebuah informasi yang juga perlu diperhatikan dari beliau, adalah bahwa di KPH Cepu ini tidak ada hutan adat. Tetapi pertanyaan lain yang mengemuka dalam benak peneliti adalah apakah masyarakat punya hutan kolektif? Informasi ini bagi saya cukup mempengaruhi proses apa yang harus dilakukan selanjutnya. Karena konsep kearifan lokal yang menjadi pokok penelitian ini dalam gambaran awal peneliti adalah dalam bentuk adanya hutan khusus yang sifatnya merupakan hutan adat seperti hutan adat dalam pengertian kehutanan secara umum yaitu hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Bentuknya adalah hutan alam yang sudah secara turun temurun dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan sosial ekonomi dan budaya yang sifatnya kolektif dengan pengaturan dan pengelolaan dibuat dan ditetapkan oleh hukum adat(Awang, 2003:113).Atau hutan rakyat dengan ciri adalah kegiatan penanaman pohon tersebut dilaksanakan di atas lahan milik rakyat atau dapat juga dilaksanakan di atas lahan Negara yang diperuntukkan untuk kegiatan penanaman pohon dan manfaatnya untuk masyarakat(Awang,2003:111). Jawaban atas pertanyaan ini tetap tersimpan dalam benak peneliti dan akan terjawab ketika bertemu dengan informan lain dari masyarakat desa hutan.
cxxix
Sebelum memasuki konteks kearifan lokal masyarakat desa hutan, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui sistem besar apa yang melingkupi kehidupan masyarakat desa hutan. Sistem besar yang dimaksud disini adalah sistem kebijakan dari pengelola kebijakan dalam bidang kehutanan di wilayah penelitian. Hal ini merupakan landasan untuk melihat hubungan antara kearifan lokal dalam berbagai bentuknya(budaya, ketrampilan, sumber daya, pengetahuan dan proses sosial lokal) dengan sistem yang dapat mempengaruhi bahkan merubah pola dan isi dari kearifan lokal. Bidang kehutanan di lokasi penelitian dikelola oleh KPH(Kesatuan Pemangkuan Hutan) Cepu. Pertanyaan pertama dan mendasar kepada Bapak Agung Sugiarta, staf KSS PHBM(Kepala Sub seksi pengelolaan hutan bersama masyarakat) adalah mengenai hak masyarakat desa hutan terhadap hutan yang dikelola Perhutani. Jawaban untuk pertanyaan ini adalah pada kenyataannya masyarakat desa hutan tidak mempunyai hak terhadap hutan. Hak masyarakat sebenarnya hanyalah sebuah nilai atas kerja yang dilakukan masyarakat untuk sebuah program yang merupakan inisiatif dari Perhutani. Nilai tersebut berupa uang bayaran. Pembahasan mengenai “hak” masyarakat desa hutan dapat kita bagi dalam dua masa yaitu masa pra PHBM dan ketika program PHBM telah dilaksanakan. Pra PHBM dilaksanakan sebenarnya sudah dilakukan beberapa program yang sifatnya bernuansa kerakyatan dengan sistem kerja sama. Program tersebut adalah program mantri lurah(Ma-Lu), program perhutanan sosial , tetapi program-program tersebut bukanlah program yang mempunyai dasar hukum. Sehingga ketika terjadi sesuatu sangat sulit untuk diselesaikan atau dipertanggungjawabkan. Bentuk dari program– program tersebut adalah penggunaan wilayah lahan hutan Negara untuk masyarakat untuk tanaman yang bisa dijual. Perhutani
cxxx
menamakan hal ini dengan istilah
Pemanfaatan
Lahan
Dibawah
Tegakan(PLDT).
Ketika
pihak
Perhutani
membutuhkan tanah tersebut dapat saja dengan mudah tanaman atau apapun yang ada di wilayah hutan Negara dihancurkan dan itu tidak dapat dipermasalahkan karena memang belum berlandasan hukum. Pengakuan dari Perhutani yang disampaikan oleh Pak Agung ini memang diakui bahwa Perhutani memang cenderung arogan pada masa pra PHBM. Ia berkata dalam wawancara,”kalau kita dibilang arogan, ya bisa juga dibilang arogan, maksudnya pihak managemen bebas mengajak masyarakat atau tidak dalam mengelola hutan”. Pendapat bapak Agung mengenai masyarakat desa hutan apabila dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mencari makna dibalik setiap pernyataan, maka dengan cara mengkontraskan sebuah fenomena sosial dengan fenomena sosial yang lain. Maka dapat dikatakan bahwa perhutani memang bersikap arogan. Bagaimana tidak kesempatan MDH hanyalah memanfaatkan lahan-lahan dibawah tegakan secara tumpangsari maupun dengan adanya pengambilan hasil hutan ikutan. Berbicara mengenai tanaman tumpang sari, LSM SHOREA yang mendampingi masyarakat desa hutan di wilayah gunung kidul pernah mengalami pengalaman di masyarakat bahwa tumpangsari adalah sebuah konsesi dari apa yang disebut sebagai hutan kemasyarakatan. Tumpang sari yang dilakukan ini dilaksanakan diantara tanamantanaman pokok seperti jati atau yang lain. Program hutan kemasyarakatan sendiri adalah Sebuah program kehutanan yang melibatkan masyarakat sebagai mitra pengambil kebijakan kehutanan dalam bentuk utamanya adalah izin mengelola hutan dimulai dari pembenihan, penanaman, pemeliharaan tetapi tidak mendapatkan hak untuk melakukan pemanenan..Mengapa? karena masyarakat desa hutan hanya mendapatkan hak pengelolaan hutan hanya selama lima tahun. Padahal nilai ekonomis hutan jati berlangsung lebih dari lima tahun bahkan lima belas tahunpun
cxxxi
belum dapat menjadikan jati tersebut mempunyai nilai jual yang tinggi, baru ketika usia jati
tigapuluh lima tahun, jati tersebut sudah layak menjadi bahan baku
produksi. Maka bagaimana mereka mendapatkan sesuatu dari kerja keras mereka? Program Mantri Lurah atau disingkat Ma-Lu adalah salah satu dari program Prosperity Approach yang digulirkan semenjak tahun 1974 mengikuti arus besar pemikiran pengelolan sumber daya hutan waktu itu yaitu multiple use of forest land. Menurut
Prof.Simon,
pendekatan
Mantri
Lurah
menunjukkan
kecerdasan
pencetusnya tentang perpaduan antara perencanaan kehutanan konvensional dengan perencanaan sosial ekonomi masyarakat. Tetapi lanjut beliau, semua kegiatan tersebut memerlukan rencana yang disusun secara komprehensif, tidak cukup dengan perencanaan tambal sulam seperti yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Bagaimana bentuk tambal sulam tersebut? Yaitu dengan tidak adanya rencana rigid yang merupakan hasil kolaborasi dari dua penentu kebijakan tersebut. Perum perhutani masih menggunakan pola timber management yang merupakan pola-pola teknis pengelolaan hutan yang memandang hutan dari sisi kayu. Padahal dalam perencanaan sosial ekonomi masyarakat tidak dapat diserupakan dengan pola-pola teknis dalam timber management itu. Professor Hasanu Simon pada akhirnya mengatakan bahwa masalah sosial ekonomi masyarakat memerlukan keluwesan rencana kerja yang landasannya adalah kerjasama saling menguntungkan, saling pengertian dan saling kepercayaan dan kejujuran yang semuanya tidak mudah diwujudkan dalam angka-angka. Inilah evaluasi beliau tentang program Prosperity Approach yang mengalami kegagalan. Program Perhutanan Sosial, adalah program yang dicetuskan pada tahun 1980-an ketika perhutani mendapatkan bantuan dari Ford Foundation untuk mengatasi masalah sosial dalam pengelolaan hutan jati di Jawa. Pelaksanaan dari program ini
cxxxii
diawali dengan sebuah penelitian lapangan yang merupakan gabungan dari doctordoktor antropologi kenamaan dengan para sarjana kehutanan Indonesia yang berada dalam jajaran perhutani. Salah satu diantaranya adalah mahasiswa doctoral bernama Nancy Lee Peluso yang meneliti di Balapulang dan akhirnya mengarang sebuah buku berjudul Rich Forest Poor People. Tetapi kelihatannya hasil penelitiannya tidak dijadikan pedoman sama sekali. Maka jadilah program perhutanan sosial hanya berupa system tumpangsari yang berada pada tanah antara sela tanaman jati yang diperlebar untuk dapat ditanami oleh warga masyarakat dengan nanas, atau buahbuahan lain. Ketika program PHBM diluncurkan pada tahun 2001 KPH Cepu baru mulai melaksanakannya pada tahun 2003. beda program ini dengan program-program sebelumnya, adalah adanya landasan hukum yang mendasarinya. Pada program ini dibentuklah LMDH-LMDH atau lembaga masyarakat desa hutan yang dinotariskan. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah dengan sistem sharing yaitu penentuan proporsi bagi hasil dalam bentuk uang. Salah satu ucapan yang dikatakan mengenai aktifitas warga masyarakat desa hutan adalah,”dalam PHBM kan ada pembinaan,jadi kita berusaha merubah pola pikir mereka dan diharapkan ada penurunan kebiasaan atau interaksi mereka dengan hutan,”apabila kita kaji lebih mendalam, upaya untuk menurunkan kebiasaan masyarakat berinteraksi dengan hutan adalah sesuatu yang musykil. Penulis dalam latar belakang penelitian ini menulis bahwa masyarakat desa hutan dengan hutan yang ada di wilayahnya pada umumnya memiliki hubungan yang erat dan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan. Betapa tidak? Mereka hidup dan berinteraksi secara intens dengan hutan semenjak lahir bahkan mungkin hingga mati. Lamanya interaksi ini secara otomatis akan menghasilkan
cxxxiii
budaya. Kebiasaan dan tradisi di masyarakat desa hutan apa yang menyebabkan kelestarian hutan tidak terjadi? Pendapat penulis, tidak ada! Berbagai sistem serta budaya dalam masyarakat sekitar kawasan hutan mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian hutan. Apabila di saat sekarang terdapat paradigma bahwa masyarakat desa hutan adalah pihak yang menyebabkan kerusakan hutan maka yang perlu kita pahami adalah penyebab mereka melakukan hal tersebut. Negara dalam hal ini pemerintah yang mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan telah mencerabut masyarakat desa hutan dari wilayahnya sendiri. Akses terhadap hutan dibatasi bahkan ditutup sehingga masyarakat desa hutan ibarat ”anak ayam mati di lumbung padi”. Apa sajakah kebiasaan-kebiasaan dan tradisi –tradisi masyarakat itu? Berbicara tentang hak masyarakat desa hutan, maka perlu pula kita mendengar dari lembaga swadaya masyarakat SUPHEL. SUPHEL adalah singkatan dari Solidaritas Masyarakat Untuk Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Hidup. Sebuah lembaga nirlaba yang berorientasi pada pengembangan sikap masyarakat agar lebih kritis terhadap persoalan pembangunan yang berdampak pada kerusakan lingkungan terutama kerusakan hutan. Wawancara ini merupakan sarana untuk mengetahui hubungan antara masyarakat desa hutan, KPH Perhutani Cepu serta hutan itu sendiri. Informan dari SUPHEL adalah Wasista Daru Darmawan. Ia dalam SUPHEL menjabat sebagai koordinator advokasi kebijakan. Beberapa Hal Penting Dari SUPHEL. Peneliti mengajukan pertanyaan pada SUPHEL, hak-hak apakah yang dipunyai oleh masyarakat desa hutan terhadap kawasan hutan? Jawaban untuk pertanyaan ini adalah tidak ada. Apabila adapun, sebenarnya itu bukanlah hak. Sebagai contoh, ada sistem banjarharian yaitu pelaksanaan proses pembuatan hutan dengan melibatkan warga masyarakat dalam penanaman kemudian diberi upah. Ataupun dengan
cxxxiv
melakukan pengolahan lahan hutan secara tumpang sari, dengan catatan si pesanggem(istilah untuk warga masyarakat yang mendapatkan kesempatan pengolahan lahan hutan) wajib menjaga hutan milik Perhutani. Ketika penulis melakukan pengamatan diwilayah KPH Cepu, banyak warga yang mengambil daun, rencek, arang, maupun akar. Tetapi hal ini menurut Mas Wasis, salah satu anggota dari SUPHEL sebenarnya adalah aktifitas ilegal. Tetapi, hal ini memegang diperbolehkan oleh KPH Cepu. Mengapa hal itu dilarang tetapi tetap diperbolehkan? Karena KPH Perhutani belum mempunyai solusi terhadap aktifitas yang dilaksanakan. Apabila terdapat pelarangan, itu sama artinya dengan membunuh masyarakat. Dengan kata lain, inilah kebijakan lokal dari KPH Cepu. Kebijakan local yang berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi local masyarakat. Jadi hak masyarakat terhadap hutan memang tidak ada. Kecuali mereka berperan dalam proses-proses pengelolaan hutan yang dilaksanakan atas inisiatif Perhutani. Apakah ini merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat desa hutan di Jawa? MDH mampu dengan sabar hidup dalam kondisi dimana akses sangat dibatasi sehingga tidak ada kesempatan memanfaatkan hutan kecuali sedikit. Ada sebuah nilai yang masih berlaku dan dianggap biasa yaitu tentang status sosial pegawai Perhutani yang digolongkan kaum priyayi. MDH mempercayai hal ini, dan para pegawai Perhutani pun merasa demikian. Penulis mengetahui bahwa budaya feodal masih sangat kental di dalam jajaran perum Perhutani. Hal ini perlu dibuktikan! Dan pembuktian ini akan diketemukan pada tulisan berikutnya. Di saat sekarang, ketika program PHBM dilaksanakan ada sedikit perubahan yaitu dengan sistem sharing(pembagian hasil berupa uang dari hasil panenan hutan baik dari tebang penjarangan maupun untuk tebang produksi untuk masyarakat desa hutan) padahal pembagian uang ini adalah agar masyarakat “berperan” dalam artian
cxxxv
tidak mengambil hasil hutan. Inipun sebuah pola yang sama dengan yang selama ini sudah ada bukan? Untuk lebih jelasnya, perlu bagi kita untuk membaca sebuah tulisan karya aktivis lingkungan yang juga akademisi kehutanan UGM tentang PHBM ini. Menurut Agus Affianto, seorang anggota LSM kehutanan di Javlec(Java Learning Centre)hasil sharing yang besarnya 25% masih memendam sedikit ketidakadilan. Ia menulis permasalahan ini dalam karangan berjudul: mekanisme bagi hasil dalam PHBM: pengelolaan hutan bersama masyarakat atau pengelolaan hutan biaya murah?kalimat pembuka dalam karangan tersebut bernada keras yaitu, apabila dalam suatu usaha, saudara berkontribusi modal 2 bagian sedang pihak lain 1 bagian, apakah saudara akan bersedia membagi pendapatan usaha tersebut dengan proporsi yang sama(1:1)dengan pihak lain? Penentuan sharing atau bagi hasil dalam kawasan hutan Perhutani diatur oleh keputusan direksi perum Perhutani no.001/KPTS/DIR/2002 tentang pedoman berbagi hasil hutan kayu, proporsi hasil bagi maksimum yang berhak diterima masyarakat desa hutan adalah sebesar 100% untuk penjarangan pertama, 25% untuk penjarangan lanjutan dan 25% untuk hasil tebangan habis. Artinya pada seluruh wilayah kerja Perhutani, masyarakat desa hutan akan menerima proporsi maksimum sebesar seperti yang dikemukakan diatas apabila kerjasama dimulai dari tanah kosong. Sementara proporsi bagi hasil akan semakin kecil apabila kerjasama dimulai dari areal yang bertegakan. Beginilah redaksi keputusan direksi perum Perhutani no.001/KPTS/DIR/2002 tentang pedoman berbagi hasil hutan kayu: KEPUTUSAN DIREKSI PT PERHUTANI(PERSERO) NO.001/KPTS/DIR/2002 TENTANG PEDOMAN BERBAGI HASIL HUTAN KAYU: Bagian Kedua Tebangan yang Direncanakan Pasal 5 cxxxvi Proporsi hak kelompok masyarakat desa hutan terhadap hasil hutan kayu jati atau kayu selain jati yang perjanjian kerjasamanya dilakukan pada kondisi hutan
Agus Affianto mengajukan tiga pertanyaan evaluative yaitu: d. Dapatkah proporsi sebagaimana yang tercantum dalam keputusan manajemen perhutani tersebut diberlakukan secara umum
di seluruh wilayah kerja
Perhutani? e. Dapatkah prosentase bagi hasil ditetapkan secara berbeda pada satu proses produksi yang sama? f. Apa dasar penentuan munculnya angka 100%(untuk penjarangan pertama) dan maksimum 25%(untuk penjarangan lanjutan dan terakhir) tersebut? Pertanyaan point (a) muncul lebih dilatarbelakangi oleh perbedaan karakteristik pada wilayah kerja Perhutani. Jangkauan wilayah kerja Perhutani di pulau Jawa yang mencakup provinsi banten hingga Jawa
timur tentunya harus dipertimbangkan
dalam penetuan proporsi bagi hasil tersebut. Bukankah terdapat perbedaan baik dari sisi umur maupun dari jenis tanaman . Munculnya pertanyaan poin (b) dan (c) lebih didasarkan pada pola pikir sederhana saja. Pertama, kegiatan penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan dan penjarangan adalah serangkaian aktifitas yang merupakan input dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan tegakan siap
tebang pada umur yang
dikehendaki. Apabila memang demikian halnya, dapatkah proporsi bagi hasil untuk penjarangan dan tebangan akhir tersebut dibedakan? Sebagai contoh, berdasarkan penghitungan petani disalah satu desa dalam lingkup KPH kuningan, nilai proporsi
cxxxvii
bagi hasil kayu jati adalah sebesar 45% untuk masyarakat dan 55% untuk Perhutani. Melihat contoh proporsi bagi hasil berdasarkan penghitungan masyarakat diatas, mungkin akan timbul pertanyaan,”apakah masyarakat akan benar-benar dapat mengidentifikasi
besaran
input
pengelolaan
yang
dikeluarkan
oleh
perusahaan(Perhutani)? Terlepas dari benar tidaknya hasil penghitungan proporsi yang dilakukan masyarakat tersebut, paling tidak masyarakat telah memiliki dasar perhitungan untuk memperjuangkan hal-hak mereka. Justru inilah diperlukan adanya keterbukaan dari masing-masing pihak untuk duduk bersama mendiskusikan proporsi bagi hasil yang sesuai dengan jiwa “bersama” seperti yang disebutkan dalam keputusan no 136/KPTS/DIR/2001 tentang pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat menekankan bahwa nilai dan proporsi bagi hasil ditetapkan sesuai dengan nilai factor produksi yang diberikan oleh masing-masing pihak(Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak lain). Sebelum program PHBM dilaksanakan, konsep Perhutani yang diterapkan adalah sistem tanaman tepi yang bertujuan untuk memisahkan masyarakat dengan lingkungan hutan. Tanaman tepi yang digunakan adalah tanaman secang yang mempunyai duri-duri tajam sehingga masyarakat dan hewan ternak gembalaan tidak bisa masuk. Tetapi, manusia yang telah dikaruniai akal serta dorongan kebutuhan hidup membuat tanaman tepi itupun bisa disikapi dengan cara tertentu. Seperti apa cara tertentu itu? Inilah suatu hal yang akan kita cari. Bahwa masyarakat yang hidup didalam hutan dengan tidak ada hak terhadap hutan kecuali terdapat kesempatan yang diberikan Perhutani dalam bentuk kesempatan menjadi buruh atau memanfaatkan lahan untuk menjadi ladang, padahal mereka hidup disitu tentu akan melakukan berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagaimana akan memenuhi kebutuhan hidupnya apabila akses terhadap hutan malah ditutup kecuali
cxxxviii
hanya sebagian kecil kesempatan?tentu ada strategi di masyarakat desa hutan untuk mempertahankan hidupnya secara kontinyu dengan hutan yang berada di sekitar kehidupan mereka. Lalu seperti apakah yang diperbuat mereka?inilah sesuatu yang akan kita cari ketika kita akan berada di Cepu dan turun lapangan bertemu warga masyarakat secara langsung. Wawancara Dengan Masyarakat Desa Hutan Setelah cukup lama melakukan observasi, penulis bertemu dengan satu warga masyarakat desa hutan di wilayah Nglobo, salah satu wilayah yang mempunyai potensi hutan tinggi. Begitu pula dengan wilayah yang ada di sekitarnya seperti Blungun, Temengeng hingga Pasar Sore. Setelah wawancara tak terstruktur dengan Pak Yadi penulis melakukan obervasi pada daerah-daerah yang telah disebutkan diatas. Selama perjalanan memang cukup banyak yang melakukan pengambilan rencek dan juga daun jati. Selain jati tersebut banyak juga pohon Ploso yang sedang berbunga. Bunganya yang berwarna merah atau oranye berada di pucuk-pucuk pohon, sebuah pemandangan yang indah di tengah-tengah meranggasnya daun-daun jati. Beberapa Hal Penting Dengan Pak Yadi. Pak Yadi adalah seorang warga Nglobo. Penulis bertemu dengan beliau di lahan persemaian dan pembibitan secara tidak sengaja ketika sedang mengamati dan mengambil gambar pohon Ploso. Beliau menjadi bagian dari Perhutani juga tepatnya di KPH Cepu. Banyak istilah dan pengetahuan baru yang didapat dari beliau. Beliau menyebutkan bahwa masyarakat desa hutan yang dimaksud oleh penulis adalah yang berada di wilayah-wilayah desa dalam hutan. Bukan yang berada di tepi-tepi hutan. Beliau berkata demikian untuk menjelaskan bahwa para pengambil rencek yang menggunakan sepeda kebanyakan bukan berasal dari wilayah desa hutan sekitar
cxxxix
petak hutan tetapi berasal dari desa lain. Seperti Jepon, Mblora yang berada ditepitepi hutan. Menurut San Afri Awang yang disebut masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang berada di dalam hutan maupun berbatasan langsung dengan hutan dan memanfaatkan sumber lahan hutan maupun hasil-hasil hutan lain. Jadi walaupun masyarakat tersebut berada diwilayah tepi hutan atau jauh dari hutan, tetapi selama ia memanfaatkan hasil hutan, maka ia merupakan bagian dari masyarakat desa hutan. Para pengambil rencek yang kebanyakan berasal dari luar desa diwilayah hutan tersebut beliau sebut sebagai ngare. Ketika saya tanyakan artinya kepada beliau, ia menjawab tidak tahu artinya tetapi sejak dulu istilah dimasyarakat sudah seperti itu. Para ngare ini mencari kayu dan menjualnya baik ke pasar maupun ke desa tempat tinggalnya sediri. Baik untuk digunakan sendiri maupun untuk dijual di sepanjang perjalanan. Bahkan biasanya, belum sampai kerumah, seorang ngare bersepeda telah habis renceknya, karena ada yang memanggilnya di jalan dan membeli rencek bawaannya. Nilai rencek saksepedha berkisar antara 25 ribu hingga tiga puluh ribu rupiah. Beberapa istilah dalam perencekan: a.
Gendhel, ukuran paling kecil jumlahnya sekitar 4-5 wilah rencek
b.
Bongkok, ukuran lebih besar dari gendhel.
c.
Pikul, sakpikul artinya dua bongkok. Perencek menggunakan pikulan untuk membawa rencek sekaligus alat ukur penjualan rencek.
d.
Sepedha, perencek yang menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi dan alat ukur penjualan rencek. Nilai jual 25-30 ribu rupiah.
Perlu diketahui pula biasanya para perencek sudah memiliki kelompok-kelompok pencari rencek dan juga telah melakukan perjanjian-perjanjian dengan pihak yang kita sebut saja pengumpul. Kapan dan dimana pengambilannya.
cxl
Beberapa pemanfaatan hasil hutan oleh para warga warga masyarakat desa hutan adalah yang disebut dengan brongkol. Brongkol adalah istilah yang dipakai untuk menyebut alat yang digunakan untuk mendapatkan kayu sisa hasil tebangan yang disebut pula dengan brongkol tetapi yang sudah lama dan rusak. Di wilayah Madiun brongkol disebut dengan wungkal, Perhutani memang hanya mengambil batang kayu jati saja.tetapi ranting, akar, kulit maupun daun tidak diambil. Kayu brongkol biasanya bentuknya tidak karuan. Karena memang terpendam dalam tanah setelah dilakukan tebangan. Jadi mungkin sudah dimakan rayap ataupun kotor karena tanah. Kualitas yang lebih tinggi dari brongkol adalah tunggak. Apabila brongkol hanya untuk kayu bakar dan hampir sama dengan rencek maka yang disebut dengan tunggak manfaatnya lebih tinggi yaitu dengan mampu dimanfaatkan sebagai meja, kayu, kursi maupun perhiasan yang nilainya tinggi. Ini pula usaha yang ada di wilayah Cepu. Di wilayah Nglobo, terdapat satu pengusaha tunggak. Selain tunggak, rencek dan jati, masih ada satu hasil hutan lain yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa hutan yaitu daun atau ron dalam bahasa jawa. Terdapat banyak ron yang dimanfaatkan oleh warga. Tetapi daun utama yang sering digunakan dan dicari adalah daun jati. Karena memang terdapat semacam kelebihan daun jati dibanding daun yang lain. Selain kph cepu merupakan kph dengan hutan produksi jati sehingga daun jati berlimpah juga karena daun jati mempunyai banyak manfaat ketika dipergunakan sehari-hari. Biasanya daun jati dipergunakan sebagai bungkus makanan. Menurut Bu Warsi, rasa nasi akan lebih enak apabila dibungkus dengan daun jati. Kalau tidak percaya maka coba rasakan belalang yang makan daun jati. Rasanya pasti enak. Ini menurut Bu Warsi. Pak Yadi juga berpendapat sama kripik belalang disini adalah makanan kecil yang mudah dijumpai di warung-warung pinggir hutan maupun dalam hutan. Bahkan pernah ketika penulis mampir di salah
cxli
satu warung di wilayah sekaran, ketika penulis minta nasi untuk makan siang, sang penjual hanya tertawa dan menjelaskan bahwa warungnya tidak menjual nasi. Yang ada hanya kopi kothok, ketan dan keripik belalang. Tetapi ketika penulis mencoba tiga-tiganya rasanya memang luar biasa. Wisata kuliner di tengah hutan menyajikan masakan-masakan sederhana dari lingkungan alam hutan. Apabila penulis memikirkan mengapa keripik belalang itu enak, jawabnya adalah karena belalang hutan jati adalah belalang yang makananannya alami(daun jati) jauh dari obat-obatan sehingga pantas saja rasanya juga nikmat. Kembali pada daun jati, para pencari daun jati sangat telaten. Mulai dari pagi-pagi hingga pukul 09.00 biasanya meraka sudah mulai mengumpulkan daun. Ketika selesai, para pencari daun dalam satu kelompok istirahat sambil menunggu mobil angkutan baik yang merupakan angkutan resmi bahkan sopir-sopir sukarelawan yang mau diboncengi hingga ke pasar. Para pencari daun jati menggulung daun jati hingga gulungan sebesar diameter kurang lebih 70 sentimeter. Yang penulis tanyakan adalah, bagaimana cara mereka menggulungnya? Selain jati, daun lain yang digunakan adalah daun ploso. Pada masa terak jati, yaitu ketika bulan jati meranggas, pohon ploso tidak mengalami kekeringan. Daun ploso tetap tumbuh berwarna hijau. Pada masa terak jati ini, para pencari daun mengalihkan perburuannya dari daun jati ke daun ploso. daun ploso selain sebagai pengganti daun jati, sebenarnya pohon ploso sendiri merupakan sebuah ketaran. Ketaran adalah sarana untuk mengetahui atau membaca alam. Apabila kembang atau bunga ploso berwarna orange atau merah masih banyak dan belum rontok, maka laboh berarti masih berjalan. Laboh adalah masih jauhnya musim penghujan. Daun lain yang dicari adalah daun daun yang tergolong dalam empon-empon seperti lempuyang, kunci, ndayakan, kesambi dan trengguli. Masing masing daun mempunyai manfaat. Kesambi digunakan untuk bahan campuran masakan asem-
cxlii
asem, lempuyang biasanya digunakan sebagai obat atau jamu, kunci sebagai campuran sayur, trengguli sebagai alat untuk memasakkan buah yang masih belum matang atau separuh matang. Mungkin masih banyak lagi daun yang dimanfaatkan warga masyarakat. Tetapi memang hanya ini yang baru penulis dapatkan. Setiap aktifitas diatas mempunyai peralatan-peralatan pendukung. Ilmu antropologi meyebutnya sebagai traits. Peralatan ini merupakan wujud kebudayaan yang disebut sebagai artifact. Pada aktifitas perencekan, beberapa alat yang sering digunakan adalah: -
Bendo
-
Pethel
-
Precel
-
Tatah
-
Graji
-
Ungkal Aktifitas mencari tunggak dibantu peralatan seperti prekul, ganco, linggis dan juga arit. Pada aktifitas mencari daun, digunakanlah ani-ani.
Hidup masyarakat desa hutan sebagaimana yang anda lihat semata. Pagi mencari apa yang dapat ia cari asalkan mampu
menjadi uang yang mampu memenuhi
kebutuhan hidup. Apakah ada semacam subsistensi? Apabila dilihat dari komposisi di jelaskan dalam angka maka inilah datanya: Nama desa
Sifat desa
Jumlah
petani
Buruh tani
penduduk Nglobo
enclave
2.129 jiwa
217
108
Nglebur
enclave
5.112 jiwa
2382
1588
Ngraho
enclave
4.477 jiwa
461
1.029
cxliii
Bagaimana cara membaca data yang sedemikian?perlulah kita memahami dan kritis secara benar-benar kritis. Bahwa terdapat banyak kesenjangan. Saya tidak menganggap rendah profesi petani. Tetapi petani atau buruh tani yang seperti apa yang ada di wilayah hutan “milik” Perhutani ini? Ketika melakukan observasi lapangan, hampir tidak dapat penulis lihat adanya lahan-lahan yang dapat dikelola sebagai pertanian yang konsisten. Yang jelas hanya sebuah lahan dibawah tegakan pohon-pohon jati yang tidak seberapa dan sebelum mengolahnya pun diberikan syarat untuk membayar. Dari salah seorang warga yang saya temui di wilayah pasar sore diketahui bahwa perbulan mereka wajib membayar uang “kendhilan” sebesar 8.000 rupiah setiap bulan. Tetapi penulis tidak tahu seluas apa tanah yang disebut kendhilan tersebut? Dalam buku yang pernah saya baca karangan Hasanu Simon, terdapat istilah andil yaitu petak-petak tanah hutan yang dapat ditanami dengan membayar sejumlah uang kepada Perhutani. Inilah yang penulis sebut sebagai sebuah hal yang perlu dikritisi juga, masyarakat yang tidak punya hak apapun untuk mengelola tanah ketika ingin mengelola tanah Negara pun wajib membayar apakah ini semacam upeti?sebuah bentuk feodalisme yang masih nampak! Beberapa masalah yang belum kita jawab dan masih tersimpan dalam benak peneliti yaitu tentang hutan adat ataupun hutan rakyat akhirnya terjawab juga. Masyarakat desa sekitar hutan diwilayah KPH Cepu yang mempunyai tanah hak milik tetap menggunakan tanah-tanah mereka untuk menanam tanaman-tanaman keras. Biasanya memang jati karena tanah disitu memang cocok. Dengan cara penanamannya berada di tepi-tepi tanah hak milik tersebut. Sementara sisa tanah yang ada tetap dimanfaatkan sebagai ladang tanaman palawija atau mungkin padi. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pemanfaatan tanaman-tanaman tersebut? Beliau
cxliv
menjawab, ya dibiarkan saja mas, kecuali memang kalau ada butuh ya tinggal potong kemudian dijual, baik ke perajin atau mungkin orang yang butuh kayu. Banyak sekali tradisi masyarakat yang terkait dengan ladang-ladang di bawah tegakan. Bentuknya adalah syukuran makan-makan yang disebut bancakan tetapi pelaksanaanya pada berbagai momentum. Beberapa momentum diantaranya adalah: 5. Ritual sebelum tebang hutan Sebelum proses penebangan, biasanya malam sebelumnya diadakan ritual bancakan dengan mengundang seluruh orang yang ada kaitan dengan proses penebangan. Tujuan diadakannya bancakan adalah untuk mencari keselamatan bagi semuanya. 6. Sebelum membuka hutan baru Pasca penebangan hutan, biasanya tanah hutan dibiarkan selama satu tahun atau bahkan lebih. Biasanya masa-masa ini digunakan oleh para warga masyarakat desa hutan untuk menanam palawija. Bahkan bagi para pencari tunggak, ini adalah saatnya mencari tunggak untuk diolah. Tetapi, para pencari tunggak memang menungggu satu tahun atau kurang karena pasca penebangan akan ada operasi dari pihak perhutani yang oleh warga masyarakat disebut sebagai lacak balak yang bertugas mengecek sisa tebangan yang sudah diberi nomor untuk melakukan supervisi. Jadi selama masa satu tahun tanah hutan didiamkan oleh perhutani maka masyarakat memanfaatkannya sebagai lahan untuk ditanami. Upacara penanaman biasanya menggunakan petungan atau pencarian hari-hari baik sebelum menanam. Beberapa hari sebelum penanaman masyarakat desa hutan mengadakan bancakan dengan sajian utama panggang pitik atau ayam panggang. penebangan. 7. Undhuh-undhuh.
cxlv
Undhuh-undhuh adalah masa ketika para petani pesanggem di lahan hutan akan menlakukan panen diatas ladang atau lahan hutan, baik yang merupakan andil yang ia punyai atau sewa maupun di lahan terbuka pasca penebangan. 8. Tampa seren Tampa seren adalah bancakan warga ketika bertemu dengan tanggal satu sura atau satu muharram. Yaitu memperingati tahun baru dalam kalender komariyah.
Sebagai tambahan, karena penelitian ini dilaksanakan pada bulan syaban menjelang bulan ramadhan maka bancakan juga dilaksanakan di masyarakat desa hutan ini. Istilah yang disebutkan untuk menyebutkan tradisi ini adalah mapag dan nutup. Mapag adalah bancakan untuk menyambut atau menyongsong(mapag) bulan ramadhan. Sedang nutup adalah bancakan untuk menutup atau bersiap-siap mengakhiri bulan ramadhan sehingga hati menjadi tenang dan dosa-dosa benarbenar dilebur oleh Allah sang pencipta. Tetapi sajian yang disediakan di tradisi mapag dan nutup berbeda. Apabila mapag berisi nasi lengkap dengan lauk(biasanya lauk utama adalah ayam panggang) tetapi di nutup, selain nasi ada tambahan berupa apem.
Terkadang saya bingung dengan langkah penelitian yang saya lakukan. Apakah benar itu sebuah kearifan local ataukah hanyalah sebuah suatu keumuman? Data yang saya dapatkah lebih mirip sebuah deskripsi dari kehidupan warga masyarakat desa hutan yang memang hidup dihutan dan seperti itulah mereka hidup dengan perkakas yang memang dipergunakan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
cxlvi
Ataukah sebenarnya ada lebih yang bisa mereka lakukan tetapi karena memang tidak adanya kesempatan dan keinginan maupun kemudahan yang dapat mereka temui sehingga mereka hanya berkutat dalam kehidupan yang cenderung sederhana, mungkin juga sebenarnya berat. Artinya mereka hidup dalam kepasrahan semata?Baik kepasrahan terhadap alam atau kepasrahan terhadap system social yang kuat melembaga yaitu para pejabat Perhutani? Hanya apabila secara kritis direnungi, upaya peningkatan kesejahteraan oleh pihak Perhutani hanya kecil saja dari apa yang seharusnya diberikan sebagai bentuk penghargaan terhadap kesalahan atau bukan kesalahan tetapi lebih tepatnya adalah ketidakpedulian terhadap nasib manusia yang seharusnya juga menjadi perhatian penting apabila dibanding dengan kehidupan pepohonan yang ada
Ada fenomena lain ketika penulis melakukan perjalanan ke Nglebur. Ketika itu, ban motor yang penulis gunakan bocor. Akhirnya penulis mencari tambal ban dan kebetulan penulis berada dekat di dekat tambal ban milik Pak Rais Nitisastro. Beliau adalah seorang anggota masyarakat desa hutan yang bekerja lepas. Ia seorang wiraswasta ia membuka tambal ban kecil dan mempunyai sebuah mobil L300 yang dibuat oplet seperti yang biasa kita lihat dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Ia adalah mantan sopir. Tetapi, karena terdapat perbedaan yang mencolok antara pengeluaran dengan pendapatan ketika ia menjadi supir, maka sekarang ia mengistirahatkan mobilnya kecuali untuk melayani pesanan tetangga untuk membawakan rencek atau panenan. Wilayah Nglebur masuk Kecamatan Bleboh termasuk berada di KPH Cepu RPH Jiken. Tempat tinggal Pak Rais berada dekat dengan rumah dinas “kemantren”, sebuah istilah pada percakapan keseharian
cxlvii
masyarakat untuk menyebut pejabat Perhutani setingkat Asper( Asisten Perhutani) yang setingkat dengan lurah apabila disejajarkan dengan wilayah administrative pemerintahan daerah. Pak Rais mengungkapkan kesyukurannya menjadi warga masyarakat desa hutan di wilayah Nglebur. Alasan pertama yang ia kemukakan adalah kekayaan sumber daya hutan Nglebur yang luar biasa. Alasan yang kedua adalah kedekatan antara warga masyarakat dengan para pejabat Perhutani. Persaudaraan di daerah nglebur antar warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan Perhutani berlangsung dengan sinergis dan akrab. Mendengar beberapa alasan ini, maka dapat dianalisis bahwa keterangan yang diberikan oleh Mas Wasis dari LSM SUPHEL dan Pak Agung Sugiartha staf KSS PHBM bahwa nglebur adalah wilayah di KPH Cepu yang potensi hutannya tinggi adalah benar. Begitu pula teori yang dikemukakan oleh Rachmat K. Dwi Susilo yang mengemukakan bahwa tidak ada satupun masalah social yang merupakan produk dunia alamiah dan berjalan dengan sendirinya. Tetapi persoalan lingkungan adalah produk interaksi antar manusia. Keyakinan penulis adalah proses kelestarian hutan di Nglebur tidak lepas dari kearifan dalam berinteraksi social diantara actor-aktor dalam wilayah hutan. tambahan lagi, interaksi warga Nglebur dengan hutan juga berlangsung dengan arif. Walaupun hutan adalah milik Perhutani, tetapi warga tetap menganggap bahwa hutan itu adalah miliknya. Sehingga apabila warga mengambil sesuatu hasil hutan, maka akan diambil sesuai kebutuhan saja. Pak Rais bercerita, bahwa ketika masa 1998 dimana penjarahan dimana-mana marak, wilayah nglebur tidak demikian. Hal ini memang sudah disadari warga nglebur. Dan akhirnya kesadaran ini memang menghasilkan kemanfaatan yang lebih kontinyu. Sekarang, apabila warga nglebur dalam mencari rencek, mencari daun, mencari gelam ataupun hasil hutan lain, maka
cxlviii
disekitarnya mudah didapat. Beda dengan wilayah lain, desa-desa lain yang pada tahun 1998 dijarah dan dirusak maka sekarang untuk mencari rencek, mencari daun serta hasil hutan lain harus keluar dari desanya. Hal ini merepotkan katanya, dan lagi pula kayu-kayu hasil penjarahan masih tersimpan dan tidak tahu mau dijual dimana selain itupula uang hasil penjarahan juga malah habis tanpa bekas yang dirasakan dampaknya. Penulis mendapatkan sesuatu yang baru yaitu dengan apa yang dinamakan kawasan perlindungan setempat(KPS) yang merupakan kawasan yang tidak dilaksanakan proses produksi didalamnya. Artinya tidak ada proses penebangan, proses penjarangan dan lain-lain yang sifatnya merubah bahkan menghilangkan vegetasi di kawasan tersebut. Intinya wilayah hutan yang dilestarikan. Pertanyaan sekarang, penentuan suatu wilayah menjadi kps itu apa? Pak Agung menyebutkan bahwa penentuannya adalah karena
kawasan tersebut
dipakai oleh warga dan disitu terdapat sesuatu yang berguna seperti mata air dan merupakan tempat yang dipercaya masyarakat mempunyai keistimewaan. Hal yang menurut saya luar biasa adalah jumlah kawasan ini mencapai jumlah sebanyak 1024 KPS yang tersebar di seluruh wilayah KPH CEPU. Tetapi apabila melihat luas KPS yang diberikan perhutani, maka dapat dikatakan sangat kecil apabila disebut sebagai sebuah signifikansi upaya pelestarian hutan. Walaupun begitu, praktek-praktek masyarakat dalam upaya pelestarian hutan dapat cukup terbukti dengan adanya wilayah KPS.
cxlix
PEDOMAN WAWANCARA A. UNTUK MASYARAKAT DESA HUTAN
· · · ·
Adakah hak masyarakat terhadap hutan? Jenis hasil hutan apa yang dimanfaatkan oleh anda? Apakah pengambilan hasil hutan dapat mensejahterakan hidup anda? Dapatkah saudara menceritakan keseharian anda dalam pengambilan(sebut salah satu hasil hutan ikutan) Ada berapa orang kawan sepekerjaan dengan saudara? Berapa lama saudara melakukan hal ini? Adakah yang lebih dari
· · anda? · Adakah hutan adat atau hutan khusus di wilayah ini? · Bagaimana proses terbentuknya lmdh ini?termasuk bagaimana anda terpilih menjadi pengurus lmdh? · apa kesulitan-kesulitan anda ketika berproses menjadi anggota/ pengurus lmdh? B. UNTUK KPH PERHUTANI CEPU
· · · · · · · · · ·
Berapa tahun anda mengabdi di perum perhutani? Pada bagian apa bapak/ibu/saudara bertugas? bagaimana pandangan bapak terhadap warga masyarakat desa hutan di kawasan ini dalam hubungannya dengan usaha pelestarian hutan? apakah anda melihat kekhasan pada masyarakat desa hutan disini? Adakah hak masyarakat terhadap hutan? apakah pernah terjadi konflik antara perhutani dengan MDH sini? apa keunggulan yang dimiliki warga disini dibanding dengan warga di luar kawasan hutan cepu? Adakah hutan adat atau hutan khusus di wilayah ini? Apa program-program perhutani dalam menjaga kelestarian hutan? Bagaimana pelaksanaan tugas harian anda selama ini?
C. UNTUK LSM SUPHEL ·
Adakah hak masyarakat terhadap hutan?
·
Bagaimana peran suphel dalam upaya pelestarian hutan di cepu ini?
·
Apa program-program suphel dalam ikut serta melestarikan hutan?
·
Seperti apakah interaksi suphel dengan pihak-pihak lain di kph cepu ini?
cl
cli