PERAN ELIT LOKAL MASYARAKAT DALAM KONFLIK HUTAN GUNUNG CIREMAI Conflict over Mount of Ciremai Forest: the Role of Local Elites Versanudin Hekmatyar *) dan Soeryo Adiwibowo Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor *) E-mail:
[email protected]
Diterima 02 Juli 2015
ABSTRACT The objective of this study is to identify the roots and causal factors of conflict over forest of Mount Ciremai, and to analyze the role and contribution of the local elites towards the emergence and process of the conflict as well as its resolution. By combining the qualitative and quantitative approach of study data are collected. The results are as follows. First, conflict over Mount Ciremai forest are rooted from two initiatives, the establishment of Gunung Ciremai National Park at 2004, and the proposed geothermal project at 2011. Second, local elites provide significant roles in creating and raising resistance over those two mentioned initiatives, by (i) increase political awareness of the mass in particular concerning power and access toward Mount Ciremai natural resources; (ii) rallying political resistance with ulama, thug, activists, local indigenous people, academician, as well as NGOs; (iii) mobilizing and organizing resistance massively through Gempur, campaign, video publications, petition, and demo; (iv) lobbying and negotiating with local government and local parliament. Third, the public pressure toward geothermal project dwindle when the project management announce the withdrawal of the proposed project at Mount Ciremai. However, the Mount Ciremai National Park still continue and develop until present. Keywords: Conflict, conflict processes, local elite, Mount Ciremai PENDAHULUAN Kegiatan ekonomi dengan memberikan porsi kepada pemanfaatan sumber daya alam yang tidak diikuti dengan penataan yang baik, melahirkan praktik sistem penguasaan sumberdaya alam yang semakin tidak jelas dan menjadi ruang konflik pemanfaatan. Negara sering kali berusaha mengejar pembangunan ekonomi, dan terkadang mengabaikan aspek perlindungan lingkungan hidup. Muhdar dan Nasir (2012) menyatakan bahwa Konflik pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya dapat dipicu oleh status hukum terhadap penguasaan lahan sumber daya alam, ketidakadilan dalam pendistribusian, kebijakan pemerintah yang dipersepsikan sebagai bagian dari perlindungan investor, perusakan dan/atau pencemaran lingkungan (pengaruh negatif terhadap kawasan sebagai dampak dari kegiatan tertentu). Pembaruan hukum tanah Agrarische Wet 1870 menjadi UU No. 5 Tahun 1960, dengan melakukan penghapusan Domein Verklaring yang menjadi alat legitimasi pemerintah kolonial untuk melakukan monopoli atas tanah terbukti tidak mampu menuntaskan konflik agraria yang terjadi. Selain UUPA, persoalan terkait tanah dalam bentuk penguasaan lahan juga diatur dalam Undang‐Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Antoro (2013)
juga menyebutkan reformasi hukum di bidang kehutanan, baik UU No 5 tahun 1967 maupun UU No 41 tahun 1999 yang menggantikan Ordonansi 1927 juga tidak mampu menuntaskan konflik agraria di sektor ini. Bahkan, kegiatan pertambangan dengan memanfaatkan kawasan hutan sebagai wilayah pertambangan barang tambang, minyak bumi, mineral, dan gas yang jumlahnya terus mengalami peningkatan dengan merujuk data WALHI dalam Julikawati (2014) menunjukkan bahwa pemanfaatan kawasan hutan menjadi pertambangan pada 2007 adalah 248 Ha, pada 2008 meningkat menjadi 38 ribu Ha dan pada 2009 mencapai 63 ribu Ha. Kondisi ini memunculkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan, masyarakat dengan pemerintah, dan untuk kasus tertentu masyarakat dengan masyarakat, yang pada umumnya terkait dengan konflik lahan. Julikawati (2014) mengungkapkan bahwa Komnas HAM rata-rata menerima sekitar lima ribu aduan setiap tahun. Di tahun 2008 jumlah pengaduan atas tindakan perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran HAM mencapai 748 perusahaan, sedangkan jumlah pengaduan atas tindakan aparat kepolisian lebih dari seribu aduan. Data tersebut termasuk kasus yang menyangkut soal pertambangan.
1
Adanya konflik pertentangan kepentingan selanjutnya menempatkan masyarakat di posisi tersubordinasi dan melahirkan pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sekaligus aktor-aktor yang berusaha memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan ini beragam, mulai dari kepentingan pribadi hingga pada kepentingan kelompok komunitasnya. Dengan memusatkan analisa pertentangan sosial pada kemunculan kelompok-kelompok bertentangan melalui hubungan kekuasaan. Pada akhirnya pertentangan kepentingankepentingan ini melahirkan elit-elit yang menjadi minoritas untuk melaksanakan kekuasaan. Dimana mobilisasi menjadi komponen utama untuk menggerakan tindakan perseorangan dan kelompok-kelompok yang mana mobilisasi itu mengikat mereka berdasarkan posisi mereka dalam masyarakat. Pada tahap ini, konflik yang terjadi tersebut sudah bukan konflik dalam pengertian perbedaan pemikiran atau pandangan, tetapi sudah pada tatanan muncul kepermukaan dalam bentuk tindakan dari masing‐masing pihak yang berkonflik. Penelitian ini berusaha untuk menganalisis peran dan kontribusi elit lokal masyarakat terhadap munculnya konflik, proses konflik, dan resolusi konflik hutan Gunung Ciremai. PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Latar Belakang Konflik Pada dasarnya, konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001). Tidak jauh berbeda, Soekanto (2002) juga menjelaskan konflik sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan, dimana umumnya terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik, diantaranya seperti perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan dan perubahan sosial. Kemudian Aprianto (2013) menuliskan bahwa konflik pengelolaan sumberdaya alam terjadi karena adanya perebutan tata kelola dan penataan tata ruang atas sumbersumber agraria. Sementara Antoro (2013) menyebutkan tujuh butir yang menjadi akar konflik agraria yang tak berkesudahan. 1) peraturan perundangan terkait agraria banyak yang bertentangan secara substansi dengan UUD 1945; 2) sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan yang mengatur sumberdaya alam dan lingkungan hidup belum terjadi; 3) ketidaksinkronan antara peraturan percepatan pertumbuhan ekonomi (umumnya yang dirujuk adalah MP3EI) dengan peraturan perundangan yang mengatur sumberdaya alam dan lingkungan hidup; 4) peraturan daerah didominasi oleh peraturan dengan semangat yang eksploitatif dan bermotif jangka pendek; 5) kebijakan perijinan bagi usaha skala besar belum memperhatikan tata kelola yang baik; 6) 2
konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang / badan hukum yang menimbulkan kesenjangan sosial di sektor agraria; dan 7) perjanjian-perjanjian bilateral/multilateral yang bertentangan dengan semangat keberlanjutan sosial / lingkungan hidup. Hal ini serupa dengan yang disampaikan Muhdar dan Nasir (2012) bahwa konflik pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya dapat dipicu oleh status hukum terhadap penguasaan lahan‐sumber daya alam, ketidakadilan dalam pendistribusian, kebijakan pemerintah yang dipersepsikan sebagai bagian dari perlindungan investor, perusakan dan/atau pencemaran lingkungan (pengaruh negatif terhadap kawasan sebagai dampak dari kegiatan tertentu). Proses Konflik Antoro (2013) mengungkapkan proses konflik dilandasi oleh argumentasi awal 1) kebijakan dan konflik agraria telah berlangsung jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, setidaknya bersamaan dengan kolonialisme. Bermula dari pemutusan hubungan-hubungan agraria secara paksa oleh pemerintah kolonial kepada pribumi melalui kebijakankebijakan agraria yang menguntungkan perusahaan baik negara/swasta, konflik agraria hadir sebagai respons rakyat atas kebijakan agraria negara dari jaman ke jaman. 2) ketika konflik agraria adalah bentuk respons (antitesis) dari kebijakan agraria (tesis), maka penyelesaian konflik agraria dihadirkan oleh negara sebagai sintesis, namun, dalam situasi tertentu, apa yang dimaksudkan sebagai sintesis ini belum beranjak dari tesis pendahulunya sehingga kembali menarik kehadiran antitesis. Hal ini serupa dengan yang disampaikan Herwati (2013) yang menyebutkan bahwa konflik berawal dari latar belakang sejarah perampasan-perampasan tanah petani yang dilakukan perusahaan-perusahaan perkebunan di masa lalu, dibawah pemerintah kolonial, yang akibatakibatnya masih terjadi sampai sekarang. Kemudian Afandi (2013) mengungkapkan sepanjang sejarahnya perkebunan telah mengakibatkan terjadinya perampasan tanah-tanah petani di seluruh pelosok nusantara yang kemudian direspon oleh petani dengan melakukan perlawananperlawanan melalui beragam cara. Kemudian Aprianto (2013) mengungkapkan bagaimana perlawanan masyarakat sebagai respon atas proses perampasan tanah berlangsung di Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Konflik yang terjadi tidak saja berbentuk pertarungan kekerasan fisik, tapi juga terjadi pertarungan pada wilayah ide, karena terdapat upaya menundukkan yang lain dengan menggunakan legitimasi akademik dan kultural, dalam rangka memuluskan jalannya perampasan tanah. Selanjutnya Afandi (2013) menuliskan dalam proses perlawanannya, masyarakat mengalami transformasi dari perlawanan secara tertutup, berubah menjadi legal, hingga ekstra legal yang dilakukan melalui reklaiming. Salim (2013) juga menuliskan bahwa dalam prosesnya, mobilisasi yang masif dari semua sikap acuh oleh warga berhasil digerakkan, Begitu juga halnya
ketika kelompok tak terorganisir saat ini menjadi jauh lebih terorganisir, termasuk pembentukan aktor. Elit Lokal Pareto dalam Dahrendorf (1986) membagi kelas elit menjadi dua kategori, yakni: (1) elit yang memerintah (governing elit) yaitu orang-orang yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi bagian dan mempunyai peranan penting dalam pemerintahan, mereka ini adalah orang-orang karena kedudukannya memiliki kekuasaan dan wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan strategis, dipatuhi, dan dihormati oleh masyarakat. (2) elit yang tidak memerintah (non governing elit) yaitu orangorang yang aktifitasnya berada di luar urusan pemerintahan namun mempunyai pengaruh kuat dalam formulaisasi kebijaksanaan. Aron dalam Dahrendorf (1986) mempersempit ide tentang elit menjadi minoritas yang melaksanakan kekuasaan. Mosca sebagaimana ditulis Dahrendorf (1986) melangkah lebih jauh lagi, menurutnya minoritas penguasa biasanya terdiri dari individu-individu yang superior terhadap massa yang menguasai kekayaan materil, intelektual, bahkan juga kehormatan moral, atau minoritas penguasa ini setidaknya adalah terdiri dari anakcucu individu-individu yang diberkati dengan kekayaan serupa itu. Selanjutnya, elit yang diposisikan sebagai pelaku (agency) oleh Giddens (2010) harus mampu menggunakan sederet kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain. Seorang agen tidak lagi mampu berperan demikian jika dia kehilangan kemampuan untuk ‘mempengaruhi’, yaitu menggunakan suatu jenis kekuasaan. Lebih tepatnya, konsep tersebut menjelaskan hubungan antara elit yang diposisikan sebagai pelaku (agency) dengan struktur (structure) yang dikonseptualisasikan sebagai aturan (rules) dan sumber daya (resources). Struktur dinyatakan oleh Giddens selain dapat membatasi atau mengekang (constraining), dapat pula memberdayakan (enabling) pelaku. Terakhir, Dahrendorf (1986) juga mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam struktur sosial yang berbeda di masyarakat akan menentukan kualitas otoritas yang dimiliki oleh lapisan tertentu terhadap lapisan lainnya. Kerangka Pemikiran Berbagai perubahan status pengelolaan yang terjadi di kawasan hutan Gunung Ciremai memiliki implikasi tersendiri pada pola akses dan kontrol sumberdayanya, terutama bagi petani yang sangat tergantung dengan sumberdaya hutan. Sumberdaya alam dipandang sebagai ruang di mana relasi-relasi kekuasaan bertemu dalam berbagai kepentingan. Dalam proses perjalanannya muncullah bentuk-bentuk konflik dan strategi perlawanan dari masyarakat. Sehingga mengamati akses sumberdaya hutan Gunung Ciremai menjadi jalan untuk melihat kontestasi para aktor yang bersaing memperebutkan penguasaan atas sumberdaya hutan. Pada Gunung Ciremai, setidaknya terdapat dua kontestasi kepentingan yang terjadi, yakni; Pertama, penetapan kawasan hutan Gunung
Ciremai menjadi Taman Nasional pada tahun 2004. Kedua, masuknya rencana operasi pertambangan geothermal pada tahun 2011 dengan segenap persoalan yang mengikutinya. Disini kita melihat, arti bagaimana akses atas sumberdaya hutan Gunung Ciremai begitu penting. Penelitian ini, berusaha memperlihatkan periodisasi latar belakang konflik hutan Gunung Ciremai. Kemampuan negara untuk mengakses dan mengontrol sumberdaya pada akhirnya meningkatkan penolakan masyarakat di tingkat lokal dengan melakukan pemberontakan melawan kontrol negara atau pihak pemodal terhadap sumberdaya yang ada di sekitar masyarakat. Disatu sisi, akses masyarakat dalam kaitannya sebagai aktor yang berkontestasi tentu mengalami pasang surut ketidakpastian. Pada penelitian ini, melihat relasi aktor dan relasi kekuasaan serta kekuatan politik menjadi salah satu tujuan dalam memahami pemanfaatan sumberdaya hutan Gunung Ciremai. Pada akhirnya pertentangan kepentingan-kepentingan ini melahirkan elitelit masyarakat di tingkat lokal yang menjadi minoritas untuk melaksanakan kekuasaan. Dimana mobilisasi menjadi komponen utama untuk menggerakan tindakan perseorangan dan kelompok-kelompok. Penelitian ini juga berusaha, menganalisis peran dan kontribusi elit lokal masyarakat terhadap munculnya reaksi negatif dikalangan masyarakat terhadap penetapan TNGC dan rencana operasi geothermal yang kemudian mempengaruhi proses berlangsungnya konflik dan resolusi konflik.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis penelitian yang muncul adalah sebagai berikut “Elit lokal masyarakat diduga memberi kontribusi yang siknifikan terhadap munculnya reaksi negatif dikalangan masyarakat dalam penetapan TNGC dan adanya rencana operasi pertambangan geothermal yang kemudian mempengaruhi proses berlangsungnya konflik dan resolusi konflik” PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah metode kualitatif yang didukung dengan data kuantitatif. Metode kualitatif dilaksanakan dengan cara wawanacara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi terkait, sekaligus untuk menguji substansi dan susunan pertanyaan dalam 3
rancangan kuesioner. Setelah kuesioner diperbaiki, selanjutnya proses pengumpulan data sesuai metode kuantitatif dapat dilaksanakan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Cisantana Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan. Lokasi ini dipilih secara purposive dengan pertimbangan lokasi merupakan yang terkena dampak langsung dari rencana operasi pertambangan geothermal. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga minggu, yaitu terhitung sejak minggu ketiga bulan Februari 2015 sampai minggu ketiga bulan Maret 2015. Teknik Penentuan Informan dan Responden Subjek yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah warga di Desa Cisantana Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan yang lahannya termasuk pada wilayah kerja pertambangan. Unit analisis yang diambil adalah individu dengan jumlah responden 30 orang dengan pertimbangan kejenuhan data dan informasi. Metode penarikan sampel yang digunakan pada penelitian adalah pengambilan sampel acak distratifikasi. Pertama, dengan memperhatikan status kepengurusan (Gempur) seseorang. Artinya, responden dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang pengurus dan mereka yang non pengurus. Dengan demikian, data yang didapat akan beragam menurut status kepengurusan, dan keterlibatan mereka dalam melakukan perlawanan. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang diolah dan dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menggunakan uji regresi pada SPSS 16.0 untuk melihat pengaruh antara peran elit lokal masyarakat proses berlangsungnya konflik dan resolusi konflik pemanfaatan sumberdaya alam. Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Pertama ialah proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Kedua ialah penyajian data yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. Guna mengurangi kemungkinan salah interpretasi, digunakan beragam prosedur yang disebut triangulasi. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN RESPONDEN Desa Cisantana yang menjadi fokus penelitian ini merupakan bagian dari Kecamatan Cigugur. Desa ini merupakan desa penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dan termasuk kedalam wilayah kerja 4
pertambangan geothermal. Wilayah kerja pertambangan ini meliputi area seluas 24.330 hektar yang mencangkup 158 desa di Kabupaten Kuningan dan 4 Desa di Kabupaten Majalengka. Dengan luasan itu, wilayah kerja pertambangan tidak hanya menggusur wilayah pertanian tetapi juga pemukiman warga. Desa Cisantana memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah karena letak geografisnya yang berada di lereng Gunung Ciremai, sehingga memungkinkan kondisi tanahnya kaya akan unsur hara. Pada aspek penggunaan lahan di Desa Cisantana memiliki komposisi penggunaan lahan untuk persawahan yang relatif tinggi yaitu sebesar 136 hektar. Hal ini menjadikan sebagian besar penduduk di Desa Cisantana bermatapencaharian sebagai petani (petani penggarap dan buruh tani. Namun, pada tahun 2004 melalui SK. Menteri Kehutanan No. 424/MenhutII/2004 yang menjadi dasar pembentukan Taman Nasional Gunung Ciremai mengalihkan fungsi hutan produksi ke hutan konservasi. Akibatnya masyarakat yang awalnya menggarap lahan perhutani dilarang untuk menggarapnya lagi karena telah berada pada wilayah Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Dengan adanya TNGC mengakibatkan alih profesi warga kebanyakan warga yang ada disekitar lereng gunung yaitu warga palutungan. Sebagian warga berinisiatif menggali batu di galian C, buruh tani serta ada yang pergi ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih layak dan tak sedikit yang menjadi pengangguran. Jumlah petani yang terusir dari lahan Perhutani ada ±100 orang dengan total luas lahan ±40 Ha. Petani yang terusir merupakan warga Dusun Palutungan. Mereka adalah yang terkena dampak riil dari adanya TNGC. Pada penelitian ini, seluruh responden yang diwawancarai pernah terlibat secara langsung dalam sebuah aksi, seperti aksi-aksi demonstrasi. Selain itu, mereka juga terlibat secara tidak langsung, seperti menyiapkan logistik maupun konsumsi untuk keperluan aksi. Responden pada penelitian ini, diposisikan sebagai pelaku (agency) yang akan dilihat sikap dan persepsinya dalam konteks tindakan pelaku (agency). Dalam posisinya sebagai pelaku, responden sangat mungkin memperoleh pembatasan (constraining) atau pemberdayaan (enabling) dari struktur (structure). Hubungan ini dipengaruhi kesadaran praktis (practical consciousnes) dan kesadaran diskursif (discursive consiousness) dari pelaku. LATAR BELAKANG KONFLIK HUTAN GUNUNG CIREMAI Akar Konflik Penetapan TNGC Pada Tahun 2004, Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan mencanangkan Kabupaten Kuningan sebagai kabupaten konservasi dengan mengusulkan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional melalui Surat Nomor. 522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 perihal “Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam”. Berdasarkan potensi flora
fauna yang ada pada Gunung Ciremai serta fungsi sebagai tandon air, akhirnya Gunung Ciremai di daulat untuk menjadi kawasan konservasi Taman Nasional pada tahun 2004 melalui SK Menteri Kehutanan No. 424/MenhutII/2004 yang menjadi dasar pembentukan Taman Nasional Gunung Ciremai seluas ± 15.500 (lima belas ribu lima ratus) hektar terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional. Perubahan fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional memunculkan reaksi berbeda dari berbagai kalangan. Pergolakan dalam perubahan status hutan Gunung Ciremai terjadi akibat tarik-menarik kepentingan antara para pihak yang memanfaatkan hutan Gunung Ciremai. Sebagian pihak, antara lain Pemerintah Kabupaten Kuningan dan Universitas Kuningan menyambut positif perubahan kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Sebagian pihak yang lain, seperti sejumlah personil Lembaga Pelayanan ImplementasiPengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (LPI-PHBM) dari unsur LSM dan perorangan serta masyarakat pelaku kegiatan PHBM di kawasan hutan Gunung Ciremai menolak (Yuniandra et al. 2007). Sejak diberlakukannya status kawasan menjadi Taman Nasional, para petani Gunung Ciremai tidak lagi dapat menggarap lahan hutan eks PHBM. Dalam keadaan demikian, dimata rakyat pemaksaan penegakan hukum itulah kejahatan, dan ini berdampak pada apa yang disebut “moral ekonomi” mereka (Scott 1976 dalam Peluso 2006). Penetapan TNGC dianggap tergesa-gesa. Terlebih, keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutang Gunung Ciremai sebagai kawasan Taman Nasional hanya 11 hari setelah ekspose Gunung Ciremai selesai tanpa melalui rangkaian proses sesuai perundangan yang berlaku (Deni, 2014). Oleh karenanya sebagian pihak merasa proses ini cacat hukum dan membuat arus perlawanan dari berbagai pihak muncul. Balai Taman Nasional Gunung Ciremai oleh masyarakat dianggap sebagai “Londo ireng1” yang merampas akses terhadap tanah leluhur mereka yang menjadi penyangga kehidupan mereka. Puncaknya adalah pada tahun 2009 ketika seluruh warga yang mengerjakan lahan di kawasan Taman Nasional harus benar-benar turun gunung meninggalkan kawasan Taman Nasional. Terputusnya akses terhadap alat produksi (tanah) berdampak pada penghilangan identitas kehidupan petani. Situasi ini mendorong terciptanya krisis subsistensi dan proletarisasi massal yang berskala besar. Deni (2014) menuliskan bahwa, sejak tahun 2009 petani mulai mendapatkan perlakuan represif jika masih menggarap lahan eks PHBM di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Pembatasan akses dan kontrol masyarakat di
sekitar kawasan hutan dan Taman Nasional merupakan salah satu penyebab dari proses mejauhkan masyarakat dari ruang hidupnya yang mendorong terjadinya proses pemiskinan. Secara tofografi mereka tetap bermukim di areal rumah yang selama ini mereka huni yang terletak disekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Namun, akses terhadap tanah untuk kegiatan produksi dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) tidak lagi dapat mereka lakukan. Gunung Ciremai menjadi tertutup bagi masyarakat dan secara langsung telah mengakibatkan turunnya kondisi ekonomi masyarakat yang sebelumnya mengelola kawasan hutan Ciremai. Dalam kondisi demikian, petani mencoba melakukan usaha-usaha untuk bertahan hidup dengan pilihan-pilihan yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Akar Konflik Geothermal
Rencana
Operasi
Pertambangan
Belum selesai persoalan masyarakat atas tata kelola Gunung Ciremai yang beralih menjadi hutan konservasi dibawah Taman Nasional Gunung Ciremai. Pada Tahun 2006, prospek potensi panas bumi wilayah Gunung Ciremai pertama kali dilakukan survei pendahuluan potensi panas bumi oleh pemerintah provinsi Jawa Barat dengan mengacu pada data yang dimiliki oleh Pertamina. Kemudian pada tahun 2007 diajukan kepada Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral untuk ditetapkan sebagai Wilayah Kerja Pertambangan. Berdasarkan permohonan ini, pihak Kementerian ESDM melakukan evaluasi dan menyatakan bahwa prospek panas bumi wilayah Gunung Ciremai belum bisa ditetapkan karena dinilai data yang tersedia belum memadai. Selanjutnya, pada Tahun 2010, secara khusus, Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas ESDM mengalokasikan anggaran untuk melengkapi kekurangan data-data Magnetic Telurric (MT), Peta Citra dan data-data pendukung lainnya. Setelah dilakukan penambahan dan kompilasi data-data baru kemudian diajukan kembali pada Menteri ESDM. Atas upaya tersebut, pada 21 April Tahun 2011 Menteri ESDM menetapkan Prospek panas bumi wilayah Gunung Ciremai sebagai WKP Gunung Ciremai berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1153 K/30/MEM/2011 tentang penetapan wilayah kerja pertambangan panas bumi di daerah Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat dengan luas WKP 24.330 Ha dan cadangan energi terduga sebesar 150 Mwe. Belum jelasnya lokasi pengeboran untuk proyek tambang geothermal menambah keresahan masyarakat yang takut terkena dampak langsung dari proyek pertambangan. Jika mengacu pada potensi panas bumi yang dikeluarkan
1
Berdasarkan penuturan dari Kuwu Desa Cisantana, dapat diartikan sebagai penjajah yang berasal dari bangsa sendiri. 5
Pemerintah Kabupaten Kuningan lokasi pengeboran diperkirakan terletak di daerah Pejambon, Ciniru dan Sangkanhurip. Sedangkan, ketiga lokasi tersebut merupakan daerah pemukiman padat penduduk. Ancaman relokasi karena dampak yang ditimbulkan operasi tambang geothermal menjadi hal yang paling dikhawatirkan masyarakat. Disisi lain, Kuningan adalah wilayah yang kaya dengan Cagar budaya, khususnya di wilayah Gunung Ciremai. Menurut data dari Disparbud Kabupaten Kuningan, terdapat 141 situs2. Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah serta ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Namun, kemudian Gunung Ciremai dijadikan salah satu tempat eksplorasi panas bumi. Dengan adanya rencana operasi pertambangan geothermal, jelas mengancam keberadan situs-situs yang merupakan kekayaan dan juga identitas seluruh masyarakat, khususnya masyarakat Kuningan. Hal ini tentu saja telah bertentangan dengan UU No.27 tahun 2003 tentang Panas Bumi itu sendiri (pasal 16 ayat 3 poin a) yang secara jelas menyatakan bahwa tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat tidak dapat dilaksanakan usaha pertambangan panas bumi. Puncaknya pada tahun 2013 setelah Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 540/Kep.1269DisESDM/2011 tentang panitia lelang wilayah kerja pertambangan panas bumi Gunung Ciremai bocor ke masyarakat yang memuat 162 desa sebagai WKP rencana operasi Geothermal di Lereng Gunung Ciremai. Sampai disini masyarakat masih memilih melakukan gerakan bawah tanah dengan secara pribadi menolak dan mengajak warga lain yang dekat dirinya untuk ikut menolak adanya rencana operasi pertambangan geothermal. Konflik-konflik ini merupakan konsekuensi dari menguatnya kepentingan kapitalisme global yang bekerja dalam bentuk korporasi-korporasi raksasa serta gagalnya negara dalam menyelesaikan sengketa-sengketa pertanahan. PROSES KONFLIK HUTAN GUNUNG CIREMAI Aktor yang Terlibat dalam Konflik Hutan Gunung Ciremai Gunung Ciremai telah mengalami serangkaian perubahan kebijakan yang mempengaruhi bentuk-bentuk pengelolaan termasuk akses hutan yang diperoleh masyarakat lokal. Bentuk-bentuk pengelolaan hutan Gunung Ciremai telah dimulai sejak Era Kolonial Belanda (pemberlakuan 2
http://kuningankab.go.id/sites/default/files/filehalaman/disparbud_daftar_situs.pdf 6
perlindungan hutan), Era Pemerintahan Orde Baru (penetapan sebagai kaasan hutan produksi Perhutani), Era Reformasi (pemberlakuan PHBM dan penetapan sebagai kawasan Taman Nasional). Maka dari itu, dalam bagian ini diuraikan dengan menggunakan pendekatan proses untuk menangkap perubahan tersebut. Proses konflik hutan Gunung Ciremai terjadi tidak hanya bermakna perebutan tata kelola dan penataan tata ruang atas sumbersumber agraria. Lebih jauh dari itu, dalam proses berlangsungnya juga bermakna menata ulang hubungan kebudayaan antara manusia dengan tanah. Perubahan kebijakan pada pengelolaan Gunung Ciremai merupakan hasil konstruksi relasi aktor (agency) dan kekuasaan berbagai dimensi baik lokal, nasional bahkan internasional. Jaringan relasi dengan proporsi kekuasaan yang ada pada tiap relasi kekuasaan dapat membentuk dominasi kontruksi kebijakan. Dengan demikian, proses tersebut membutuhkan analisis tak hanya dalam konteks politik ekonomi hubungan internasional, nasional, regional dan lokal melainkan juga dari perspektif para aktornya yang di bawah maupun diatas (Peluso, 2006). Kontestasi beragam aktor dan kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan hutan Gunung Ciremai setidaknya dapat ditelusuri dari dua babak momentum penting yang terjadi, yakni; Pertama, momen penetapan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional pada tahun 2004. Kedua, masuknya rencana operasi pertambangan geothermal pada tahun 2011 dengan segenap persoalan yang mengikutinya hingga sekarang. Pada kedua momen ini nampak bagaimana beragam pihak yang berkepentingan dengan wilayah hutan Gunung Ciremai saling mempertarungkan kepentingan masingmasing. Sebagian besar turunan masalah yang ditimbulkan dari kedua momen ini menjadi tonggak penting bagi perubahan tata kelola dan kebijakan penataan ruang di kawasan Gunung Ciremai hingga sekarang. Semakin besar konflik dan banyaknya kelompok yang memiliki interes, maka semakin rumit diselesaikan karena berbagai elemen dan kepentingan masuk didalamnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Giddens (2010) bahwa hubungan ini mengandaikan bahwa menjadi seorang agen harus mampu menggunakan sederet kekuasaan kausal, termasuk mempengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain. Jejaring kerja para aktor berkontestasi memperebutkan hak pada pengelolaan sumberdaya hutan yang mempengaruhi aspek penggunaan hutan serta aspek pendapatan seseorang. Jejaring kerja tersebut dalam implementasinya berpengaruh nyata terhadap sikap dan perilaku pelaksana kebijakan dan masyarakat secara keseluruhan, termasuk masyarakat Desa Cisantana.
Organisasi Akar Rumput: Gempur Gempur sebagai elemen gerakan rakyat mengawali perjuangan setelah adanya riset partisipatif (Participation action research) dari dosen-dosen Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) yang dilakukan dalam kurun waktu JuniSeptember 2012 yang berhasil menghimpun data tentang penurunan ekonomi masyarakat di Desa Cisantana semenjak adanya Taman Nasional yang menghilangkan akses masyarakat atas kawasan hutan Gunung Ciremai. Didukung juga dengan adanya informasi yang beredar terkait tender WKP geothermal yang telah dimenangkan oleh PT. Jasa Daya Chevron ikut menambah keresahan pada masyarakat. Puncaknya pada tahun 2013 setelah Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 540/Kep.1269DisESDM/2011 tentang panitia lelang wilayah kerja pertambangan panas bumi Gunung Ciremai bocor ke masyarakat. Hasil lelang yang menetapkan 162 desa sebagai wilayah kerja pertambangan (WKP) termasuk desa Cisantana semakin membuat masyarakat khawatir akan masa depan mereka. Hasilnya adalah konflik yang terjadi di Desa Cisantana semakin mengemuka, aksi-aksi demonstrasi juga semakin sering dilakukan. Informasiinformasi ini di kelola oleh Okky Satrio cs untuk mengkonsolidasikan perjuangan masyarakat. Okky Satrio merupakan salah satu orang yang mempunyai pengaruh cukup besar di Kecamatan Cigugur. Ia adalah anak menantu dari Rama Djati Kusuma, pemimpin dari masyarakat adat Cigugur dan di anggap cukup gigih dan konsisten dalam perjuangan. Selanjutnya dimulailah babak baru perlawanan terhadap rencana operasi pertambangan geothermal dengan tujuan untuk mempertahankan tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat. Strategi perjuangan Gempur juga semakin beragam, perjuangan tidak hanya dilakukan di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya. Gempur terus berupaya untuk mengampanyekan tentang apa yang terjadi di Kuningan melalui berbagai media sosial, mengabarkan sekaligus membangun jaringan tentang perjuangan yang dilakukan untuk menolak rencana operasi pertambangan geothermal. Kampanye didunia maya ini cukup mendapatkan perhatian, dibuktikan dengan tanggapan langsung dari gubernur jawa barat melalui akun twitter resminya yang saat itu membantah telah melakukan penjualan terhadap Gunung Ciremai. Kampanye juga dilakukan dilingkungan kampus dengan berbagai media kampanye yang difasilitasi oleh Just Lib dan SOFI Institute diantaranya adalah dengan pembuatan video dokumenter pergerakan masyarakat lereng Ciremai yang diunggah di youtube dan pembuatan petisi melalui change.org/saveCiremai. Kemudian dengan mengadakan seminar kedaulatan sumber daya alam “antara kepentingan investor dan kesejahteraan masyarakat lokal” dikampus IAIN Cirebon untuk melakukan penguatan argumen fakta-fakta akademik yang difasilitasi Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam.
Gempur juga melakukan perjuangan yang bersifat spiritual diantaranya dengan mengambangkan jejaring dan mengikuti forum bathsul masail di pondok pesantren Buntet Cirebon dan menghasilkan fatwa haram atas proyek tambang geothermal di Kabupaten Kuningan dikarenakan lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya untuk rakyat. Fatwa tersebut adalah mencegah dampak buruk harus didahulukan dari pada mengambil manfaat (Dar ul mafasid muqoddamun ‘ala jaibilmasolih). Selain itu, gerakan-gerakan yang bersifat spiritual juga disisipkan pada setiap khutbah jumat dengan argumennya yang paling terkenal adalah cinta tanah air adalah bagian dari iman. Selain menyebarkan informasi di luar Gempur, mereka juga melakukan penguatan ke dalam. Yaitu dengan melakukan berbagai kegiatan bersama. Seperti melakukan acara pemutaran video dokumenter di desa-desa sebagai bentuk pemahaman akan proyek geothermal, menghidupkan kembali cerita-cerita mitos yang ada di masyarakat sebagai bentuk perlawanan budaya atas rencana operasi pertambangan geothermal. Setidaknya ada tiga argumen penolakan, pertama terkait dengan Dampak Sosial dan Ekonomi yakni, menurunnya penghasilan masyarakat Desa Lereng Ciremai yang bertumpu disektor Pertanian dan Perikanan karena perubahan Mata Pencaharian masyarakat. Pada proses transisi mata pencaharian penduduk tersebut, maka akan memunculkan banyak permasalahan sosial bawaan lainnya. Kedua terkait dengan dampak ekologis dan lingkungan yakni, kekhawatiran terhadap penurunan kuantitas dan kualitas air, serta kerusakan hutan. Ketiga, Dampak Budaya dimana Kuningan merupakan daerah yang kaya dengan Cagar budaya, khususnya di wilayah Gunung Ciremai. Menurut data dari Disparbud Kabupaten Kuningan, terdapat 141 situs yang dalam UU No.27 tahun 2003 tentang Panas Bumi (pasal 16 ayat 3 poin a) secara tegas menyatakan bahwa tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat tidak dapat dilaksanakan usaha pertambangan panas bumi. Pemerintah Kabupaten Kuningan Kompetisi pada arena legitimasi terjadi sebagaimana ide penetapan Taman Nasional yang tidak lepas dari dukungan Bupati Kuningan yang dalam hal ini memperoleh pemberdayaan (enabling) dari struktur (structure) menginginkan status Gunung Ciremai menjadi kawasan konservasi Taman Nasional. Aang Hamid Suganda sebagai Bupati Kuningan memiliki kepentingan politik yang dibawa sejak menjabat sebagai Bupati. Ide Taman Nasional sejalan dengan paradigma yang ingin diusung oleh Aang Hamid Suganda sejak dia terpilih menjadi Bupati yaitu membangun Kuningan melalui paradigma konservasi. Sehingga setelah beberapa rangkaian ide-ide pembangunan di Kuningan yang berazaskan konservasi dimunculkan (salah satunya mengusulkan Gunung Ciremai sebagai hutan konservasi Taman Nasional) yang 7
diharapkan dapat menjadi ikon Kabupaten Konservasi yang sukses.
nasional
sebagai
orang luar dan antar masyarakat sendiri dalam rangka akses pada sumberdaya lokal) (Peluso, 1996; dalam Deni, 2014).
Hal ini mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan mengusulkan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional melalui Surat Nomor. 522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 perihal “Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam”.
Kebijakan hutan Gunung Ciremai yang mengubah hutan produksi perusahaan Negara (Perhutani) ke Taman Nasional merupakan hubungan kekuasaan yang tidak setara antara Pemerintah (Pemerintah Pusat dan Daerah) dan masyarakat petani di sisi lain. Kekuatan yang tidak setara ini ditunjukan dari keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutang Gunung Ciremai sebagai kawasan Taman Nasional hanya 11 hari setelah ekspose Gunung Ciremai selesai tanpa melalui rangkaian proses sesuai perundangan yang berlaku. Oleh karenanya sebagian pihak merasa proses ini cacat hukum dan membuat arus perlawanan dari berbagai pihak muncul. Pemerintah baik pusat maupun daerah menggunakan wewenang kekuasaannya untuk dapat mengajukan dan menetapkan status hutan Taman Nasional dalam rangka perlindungan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati.
“Hasil dari ekspose di Departemen Kehutanan pada tanggal 8 Oktober 2004 setidaknya memiliki dua petunjuk yaitu: 1) Karena alasan kekritisan maka harus segera dilakukan upaya penyelamatan Kawasan Gunung Ciremai dengan cara meningkatkan status kawasan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam melalui SK Menhut; 2) untuk mencari bentuk pengelolaan Kawasan Pelestraian Alam ini, Menhut harus membentuk tim terpadu yang akan melakukan kajian-kajian secara komprehensif. Namun, tak disangka tak diduga, Menhut malah telah mengeluarkan SK Penetapan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai hanya 11 hari setelah ekspose ini selesai tanpa melalui rangkaian proses sesuai perundangan yang berlaku. Oleh karenanya sebagian pihak merasa proses ini cacat hukum dan membuat arus perlawanan dari berbagai pihak muncul termasuk LSM AKAR salah satu pengusung penyelamatan hutan Gunung Ciremai (Deni, 2014). Penolakan penetapan TNGC juga datang dari masyarakat di beberapa desa di lereng Ciremai dengan alasan terkait kelanjutan masa depan mereka dalam pengelolaan hutan sebagaimana sudah dimulai melalui kerjasama PHBM dengan Perhutani. Petani merasa khawatir dengan nasib pendapatannya setelah status kawasan berubah menjadi Taman Nasional. Masyarakat merasa bahwa mereka sudah pasti tidak dapat lagi menggarap tanah hutan seperti waktu adanya PHBM. Pemerintah Pusat Kepentingan negara dalam penggunaan sumberdaya terutama ada 2 hal yaitu terkait dengan: (1) Power (kekuasaan) yang mencakup pengawasan dan kemampuan untuk mengatur; (2) ekonomi. Perjuangan kekuasaan dilakukan secara terus menerus di dalam hal alokasi, kontrol dan akses sumberdaya. Kontrol terhadap sumberdaya meningkatkan kontrol sosial oleh negara (Barber, 1989 dalam Deni, 2014). Kompetisi pada arena legitimasi dilakukan dalam banyak dimensi dengan skala yang berbeda: dalam negara sendiri (antara lembaga, antar menteri dan antar faksi politik); dalam berbagai arena internasional (antar kelompok yang berbeda kepentingan dalam sumberdaya alam, komoditi perdagangan, produksi dan konservasi); dan pada daerah luar kota (non perkotaan, dimana ada lokasi sumberdaya dan dimana pengguna lokal mungkin berkompetisi dengan 8
Selanjutnya terkait dengan rencana operasi pertambagan geothermal, Pemerintah Provinsi Jawa Barat pertama kali melakukan survei prospek panas bumi wilayah Gunung Ciremai pada tahun 2006 dengan mengacu pada data awal yang merupakan hasil survei Pertamina. Kemudian, Menteri ESDM menetapkan Prospek panas bumi wilayah Gunung Ciremai sebagai WKP Gunung Ciremai melalui Keputusan Menteri ESDM No. 1153 K/30/MEM/2011 tentang penetapan wilayah kerja pertambangan panas bumi di daerah Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat. WKP Ciremai memiliki luas 24.330 ha dan cadangan terduga 150 Mwe. Proyek PLTP Gunung Ciremai merupakan perkawinan kepentingan pusat (Kementrian ESDM) dan Pemerintah Daerah yang direncanakan masuk dalam Crash Program 10.000 MW Tahap II sesuai Permen ESDM No. 21/2013 dengan rencana pengembangan 2 x 55 MW. Setelah penetapan wilayah kerja pertambangan oleh Menteri ESDM, selanjutnya WKP Ciremai diserahkan kembali kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk dilelangkan secara terbuka. Pelaksanaan lelang tahap 1 WKP Gunung Ciremai pada 10 Oktober 2011 yang diikuti oleh 2 peserta, yaitu, PT. Hitay Renewable Energy dan PT. Jasa Daya Chevron. Berdasarkan hasil evaluasi lelang WKP peserta yang lolos ke tahap ke-2 adalah PT. Jasa Daya Chevron dan selanjutnya menjadi pemenang tender. PLTP Ciremai 2 x 55 MW direncanakan untuk COD pada Tahun 2020 dengan perkiraan investasi PT. Jasa Daya Chevron sekitar 400 Juta USD. Untuk memahami fenomena tersebut, terlebih dahulu perlu kiranya perlu dipahami mengenai esensi kekayaan sumber daya alam sebagai komoditas ekonomi. “Pertama, kekayaan sumber daya alam ini merupakan faktor dasar penghasil kapital sebagai basis aktivitas ekonomi suatu negara sehingga diperlukan penanganan khusus. Kedua, Adanya penanganan khusus tersebut
membutuhkan adanya kekuatan monopoli untuk mengekstrasikan sumber daya alam tersebut dalam bentuk pendapatan sehingga dalam hal ini kepemilikan akan kekuatan modal dan teknologi yang tinggi menjadi prioritas tertinggi dalam pengelolaan sumber daya alam” (Stiglitz, 2007) Dua hal tersebut memberikan porsi terbesar bagi negara maupun korporasi dalam mengelola sumber daya alam sebagai penghasil kapital. Negara diberi peran sebagai regulator dan korporasi sebagai eksekutor di lapangan. Munculnya dua aktor hegemonik dalam pengelolaan sumber daya alam ini merupakan salah satu penyebab dari proses mejauhkan masyarakat dari ruang hidupnya dan mendorong terjadinya proses pemiskinan. Sebagaimana hasil lelang yang belakangan masyarakat ketahui pada tahun 2013 dengan menetapkan 162 desa sebagai wilayah kerja pertambangan termasuk Desa Cisantana semakin membuat masyarakat khawatir akan masa depan dari ruang hidupnya.
dan negara yang hendak menempatkan kapitalisme sebagai kekuatan ekonomi politik dan 2) kekuatan sosial (masyarakat) yang dirugikan oleh kapitalisme. Keduanya membentuk hubungan diantara aktor dalam hubungan terhadap akses atas sumber daya. Seperti akses pengendalian dan mempertahankan mempunyai kesamaan dengan gagasan Marx mengenai hubungan buruh dan pemilik modal. Kemudian kedua kekuatan itu bertemu dalam arena perebutan 1) akses ruang dan alat produksi; 2) arena kekuasaan di ranah kebijakan; dan 3) wacana untuk legitimasi sosial. Hubungan antara aktor yang mempunyai modal dan yang berperan sebagai buruh secara paralel berhubungan dengan aktor yang mengontrol akses dan aktor yang mempertahankan akses mereka. Di dalam kontestasi kekuasaan antara kekuatan ekonomi politik kapitalisme dan kekuatan sosial inilah, konflik struktural lahir dan mengemuka. Secara umum aktor-aktor yang terkait dapat dilihat pada gambar 2.
Korporasi Adalah Gunung Ciremai yang menjadi satu kawasan yang ingin “dibebaskan” oleh kekuatan modal. Skemanya, Gunung Ciremai harus diubah dari kawasan konservasi menjadi kawasan industri pertambangan. Gunung Ciremai menyimpan cadangan energi panas bumi terduga sebesar 150 Mwe yang tersebar di tiga daerah yakni, Sangkanhurip, Ciniru, dan Pejambon. PT. Jasa Daya Chevron yang dalam hal ini adalah sebagai pemenang tender wilayah kerja pertambangan Gunung Ciremai belum memiliki IUP yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat karena sedang dalam tahap negosiasi shareholder BUMD dengan pemenang lelang. PLTP Ciremai 2 x 55 MW direncanakan untuk COD pada Tahun 2020 dengan perkiraan investasi PT Jasa Daya Chevron sekitar 400 Juta USD. Selanjutnya pada 12 desember 2012 Pemerintah Kabupaten Kuningan mngirimkan undangan kepada perangkat desa untuk melakukan sosialisasi perihal proyek geothermal di Kabupaten Kuningan yang dilaksanakan di Desa Cisantana. Gagasan yang dikembangkan adalah pentingnya energi terbaharukan dan ramah lingkungan untuk mengantisipasi peningkatan permintaan listrik. Ini merupakan pemantik terjadinya situasi pro dan kontra di masyarakat dalam menyikapi kehadiran rencana industrialisasi di kawasan Gunung Ciremai. Masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam proses perencanaan hadirnya industrialisasi tersebut. Tiba-tiba saja sudah ada proses sosialisasi yang dibungkus dengan penjaringan aspirasi masyarakat. Bermula dari sini, dimulailah penolakan dan perlawanan masyarakat terhadap rencana operasi pertambangan geothermal dengan tujuan untuk mempertahankan tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat.
Berdasarkan pada munculnya penolakan dan perlawanan oleh Gerakan Massa untuk Rakyat (Gempur), terlihat bahwa ditetapkannya kawasan Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai telah mengambil alih tata kelola masyarakat atas lahan dan dianggap oleh masyarakat sebagai bagian dari usaha penetrasi kapital yang dalam hal ini dibawah PT. Jasa Daya Chevron selaku pemenang tander wilayah kerja pertambangan kawasan Gunung Ciremai yang berusaha untuk melakukan ekslusi terhadap lahan-lahan masyarakat yang berada pada wilayah kerja pertambangan. Sejauh ini dapat diidentifikasi bahwa masyarakat yang tergabung dalam Gempur adalah masyarakat yang berada dilereng Gunung Ciremai khususnya pada wilayah kerja pertambangan dan mereka yang pernah memperoleh manfaat dari kawasan hutan Ciremai sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional. Dengan melihat status keagrariaan dan kontestasi aktor dan kepentingan yang terlibat dalam konflik pengelolaan sumberdaya alam, secara umum dapat dilihat pada gambar 3.
Hingga pada akhirnya terbentuklah dua kutub kekuatan sebagaimana dituliskan Antoro (2013), yakni; 1) korporasi 9
pemerintah ataupun NGO untuk memperluas dukungan dalam mencapai kemenangan-kemenangan yang diinginkan. Afandi (2013) menyatakan orientasi gerakan seperti ini cenderung memahami negara sebagai sebuah arena politik, dimana kanal-kanal politik yang tersedia dimaknai sebagai suatu metode instrumentasi strategi perjuangan. Dalam praktiknya, perlawanan akan menggunakan kekuatan parlemen (partai) yang dipilih, sebagai pendorong tuntutan yang diinginkan oleh masyarakat dan selanjutnya diperjuangkan dalam jalurjalur politik dan hukum.
Bentuk Konflik dan Strategi Perlawanan Setelah melewati proses panjang dengan kondisi perekonomian yang semakin tidak menentu sejak ditetapkannya hutan Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional, masyarakat tetap berusaha mencari alternatif untuk keluar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Hingga pada tahun 2013 setelah Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 540/Kep.1269-DisESDM/2011 tentang panitia lelang wilayah kerja pertambangan panas bumi Gunung Ciremai beredar di masyarakat dengan memuat 162 desa sebagai WKP proyek Geothermal di Lereng Gunung Ciremai. Selanjutnya mereka mulai membayangkan persoalan-persoalan yang akan muncul dengan adanya penambangan di wilayah mereka. Pada kasus ini, konflik yang mencuat berupa konflik vertikal dimana masyarakat memperjuangkan kedaulatannya dan aksesnya atas hutan Gunung Ciremai yang harus berhadapan langsung dengan negara dan perusahaan-perusahaan. Dan bersifat terbuka dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi. Periode perlawanan terbuka muncul setelah masuknya pendamping dari organisasi gerakan mahasiswa yang memiliki jaringan gerakan secara nasional. Bentuk konfrontasi yang dilakukan adalah dengan gerakan massa atau demonstrasi, kampanye politik dibeberapa organisasai lingkungan dan HAM serta pengaduan untuk meminta bantuan hukum ditingkat nasional pernah dilakukan. Pada periode ini konsolidasi dan mobilisasi massa berlangung intensif dan aksi penolakan rencana operasi pertambangan geothermal yang dilakukan masyarakat memiliki intensitas yang sangat tinggi yang ditandai dengan seringnya demonstrasi turun kejalan dilakukan. Strategi perlawanan legal dan parlementer juga dijalankan dengan tujuan untuk mempertahankan tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat. Dalam perlawanannya digunakan juga kekuatan-kekuatan politik formal yang teroganisir dalam kekuatan negara seperti partai politik, organisasi-organisasi tani resmi bentukan 10
Hasil dari digunakannya strategi perlawanan ini, adalah kesepakatan dengan empat pimpinan DPRD dan komisi C DPRD Kuningan untuk melakukan kontrak politik menolak rencana operasi pertambangan dan menulis surat yang ditujukan kepada gubernur dan kementerian ESDM bahwasanya DPRD Kuningan menolak rencana operasi pertambangan geothermal. Kesepakatan ini, tidak lepas dari peran Rana sebagai Ketua DPRD Kabupaten Kuningan saat itu, dalam memberikan dukungan pada aktivitas penolakan rencana operasi pertambangan geothermal dengan segala kepentingan turunannya terutama dalam rangka menyambut pemilu 2014. Pada tahun 2014, adanya momentum pemilihan umum yang merupakan era transisi politik dan dimaknai masyarakat sebagai kesempatan atau pemberdayaan (enabling), melahirkan peluang dan kesempatan yang selanjutnya dimobilisasi menjadi kekuatan-kekuatan politik untuk meraih kemenangan. Mobilisasi kekuatankekuatan eksternal akan terus berubah seiring dengan situasi politik yang berpihak kepada para masyarakat sebagai pelaku (agency) atau sebaliknya. Pertikaian dan perlawanan juga akan semakin meningkat ketika situasi kehidupan sehari-hari semakin menekan dan melampaui batas toleransi masyarakat. Kemenangan-kemenangan masyarakat diranah politik (legal) ternyata tidak berbanding lurus dengan harapan yang mereka inginkan, dengan masih berkuasanya Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) terhadap hutan Gunung Ciremai, sehingga masyarakat menyebut kemenangan ini dengan istilah “menang diatas kertas”. Pada akhirnya masyarakat akan kembali memilih strategistrategi perlawanan lain. Masyarakat memilih strategi pendudukan lahan sebagai alternatif terakhir untuk mendapatkan tanah mereka. Masyarakat cenderung mempertahankan sumberdaya agraria dimana gesekan konflik penggunaan lahan di lahan eks PHBM masih terjadi sampai dengan sekarang. Namun, beberapa petani seolah tidak peduli dengan peraturan yang ada. Terputusnya akses terhadap alat produksi (tanah) telah berdampak pada penghilangan identitas kehidupan petani. Situasi ini direspon dengan memilih strategi perjuangan ekstra legal melalui tindakan reklaiming (pendudukan lahan).
ELIT LOKAL MASYARAKAT DAN PERANNYA DALAM KONFLIK HUTAN GUNUNG CIREMAI Elit Lokal Masyarakat Memahami keberadaan elit pada hakekatnya membahas pihak yang mempunyai kuasa, dan keberadaan mereka yang mempunyai kuasa hanya akan bermakna manakala dihadapkan pada pihak yang tidak memiliki kuasa. Elit sebagai kelas yang berkuasa mempunyai kewenangan lebih besar dibandingkan dengan kuasa yang melekat pada massa sebagai kelas atau pihak yang dikuasai. Sehingga, elit lokal masyarakat di Desa Cisantana merupakan masyarakat yang memiliki kelebihan secara pengetahuan dan memperoleh pemberdayaan (enabling) dari struktur (structure). Struktur yang ada mempengaruhi tindakan elit lokal dalam konteks memberi peluang berkompetisi untuk memperoleh dan mempertahankan pengaruhnya. Kemudian dengan memposisikan elit sebagai pelaku (agency) peran elit lokal masyarakat dapat dilihat dari sikap dan persepsi tindakan pelaku (agency), yang berupaya menunjukkan kreativitasnya untuk mempengaruhi struktur melalui upaya penyiasatan agar memperoleh kemenangan dalam kompetisi perebutan pengaruh. Dapat dipastikan adanya perubahan tersebut disikapi oleh elit lokal masyarakat sebagai pelaku dengan menyiasatinya agar struktur tidak menjadi pengekang yang menjadi pembatas bagi mereka. Berawal dari kegelisahan terkait permasalahan tata kelola hutan Gunung Ciremai, Okky Satrio salah seorang tokoh masyarakat bersama mahasiswa yang tergabung dalam PMII cabang Kuningan melakukan sebuah diskusi rutin terkait penyelesaian atas tata kelola hutan Gunung Ciremai. Dalam pertemuan tersebut di sepakati untuk membuat sebuah gerakan yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan tata kelola kawasan hutan Gunung Ciremai yang kemudian dikenal dengan Gempur (Gerakan Massa Pejuang untuk Rakyat). Gempur merupakan sebuah ruang atau wadah yang diciptakan oleh kelompok informal melalui adanya kesadaran diskursif (discursive consiousness) dan digunakan untuk membentuk ulang dan mengembangkan kecakapan kultural yang pada prinsipnya adalah jalan perjuangan untuk memperoleh akses tata kelola Hutan Ciremai. Untuk selanjutnya mulailah gerakan ini dengan melakukan pengorganisasian pada 23 desa selama 2 bulan yang berada di wilayah lereng Gunung Ciremai untuk berjuang bersama mendapatkan kembali akses atas kawasan hutan Gunung Ciremai yang saat ini berada dibawah BTNGC. Kehadiran mahasiswa membawa dampak perubahan terhadap semangat perlawanan masyarakat yang telah melemah. Masyarakat mulai agresif melakukan pertemuan-pertemuan terkait permasalahan perjuangan mereka. Pengorganisasian dilakukan dengan mendirikan badan-badan otonom di setiap desa. Tiap-tiap desa memiliki 5-7 orang perwakilan (disebut dengan simpul) yang memiliki tugas untuk mengorganisasikan
warga yang berada didesanya. Pengorganisasian diharapkan meminimalisir ketergantungan perjuangan terhadap sekelompok orang. Salah satu strategi mobilisasi massa dilakukan dengan aksi-aksi demonstrasi menolak rencana operasi pertambangan geothermal yang tidak dapat dilepaskan dari peran penting Okky Satrio cs dalam mengkonsolidasikan perjuangan masyarakat. Kemampuan Okky Satrio dalam memerankan peran tersebut karena ia mempunyai sumber daya sebagai basis dan mampu mengoptimalkannya sehingga pada gilirannya mengantarkannya sebagai elit lokal masyarakat dan berhasil menggalang kekuatan politik dengan kaum ulama, kelompok jawara, aktivis, masyarakat adat, akademisi, serta LSM. Okky Satrio yang merupakan anak menantu dari Rama Djati Kusuma, pemimpin masyarakat adat Cigugur sangat mungkin memperoleh pemberdayaan dari struktur terutama untuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi massa. Kemudian, berkaitan dengan adanya peluang bagi pelaku untuk menyiasati struktur, maka elit lokal masyarakat dalam posisinya sebagai pelaku harus mampu memanfaatkan segenap potensi yang dipunyai dan mempertimbangkan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Hal ini juga yang pada akhirnya membuat Rana ikut memberikan dukungan dalam aktivitas penolakan rencana operasi pertambangan geothermal. Perubahan yang terjadi pada struktur membawa pengaruh pada pelaku; adapun artinya adalah perubahan pemaknaan struktur oleh pelaku dari pembatasan atau pengekangan menjadi pemberdayaan. Dalam konteks ini, Rana sebagai elit lokal masyarakat yang tidak lagi diberdayakan oleh struktur, berupaya menyiasati agar perubahan struktur tidak merugikannya. Paling tidak dengan kemampuan dan kecakapannya berupaya agar posisinya tetap seperti semula dalam arti tidak dirugikan oleh perubahan struktur yang menjadi pengekang baginya. Bagi Rana yang merupakan Ketua DPRD Kabupaten Kuningan saat itu, dengan memberikan dukungan pada aktivitas penolakan rencana operasi pertambangan geothermal sangat mungkin memperoleh kembali pemberdayaan dari struktur terutama dalam rangka menyambut pemilu 2014. Peran elit lokal masyarakat sangat memungkinan untuk dimaknai secara berbeda oleh elit lokal masyarakat yang berasal dari berbagai kalangan. Pada penelitian ini peran elit lokal masyarakat dilihat dari keterlibatannya dalam proses konflik TNGC dan keterlibatannya dalam proses konflik rencana operasi pertambangan geothermal. Keterlibatan Elit Lokal Masyarakat dalam Proses Konflik TNGC Konflik pemanfaatan sumberdaya alam di Desa Cisantana merupakan akibat dari hilangnya akses atas tata kelola masyarakat terhadap kawasan hutan Gunung Ciremai setelah ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) melalui SK. Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004. Bupati adalah pihak yang dianggap 11
paling bertanggung jawab atas ditetapkannya Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional. Hal ini karena ide Taman Nasional tidak lepas dari dukungan Bupati Kuningan yang menginginkan status Gunung Ciremai menjadi kawasan konservasi Taman Nasional. Maka pada titik inilah, aksi perlawanan masyarakat di sekitar kawasan TNGC muncul. Masyarakat melihat konflik sebagai akibat dari ketimpangan struktur penguasaan sumberdaya alam karena dominansi negara. Salah satu tujuan aksi perlawanan masyarakat tersebut adalah untuk menuntut hak akses atas sumberdaya hutan, yang telah terampas dengan adanya kebijakan konservasi TNGC. Masyarakat dan para pihak yang berkepentingan telah melakukan berbagai upaya untuk menjawab kekuatiran yang muncul. Usaha untuk mencari bentuk dan model resolusi konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih adil terus diusahakan. Diantaranya adalah dengan cara mengundang dan meminta dukungan dari kalangan aktivis, akademisi, dan LBH untuk bersedia mendampingi dan berjuang bersama mencari bentuk dan model resolusi konflik dalam pengelolaan hutan Gunung Ciremai yang lebih kolaboratif, partisipatif dan adil. Keterlibatan elit lokal masyarakat dalam proses konflik TNGC pada penelitian ini belum dapat diuraikan secara spesifik. Hal ini dikarenakan dalam periode penelitian yang dilakukan oleh penulis, perhatian masyarakat termasuk juga elit lokal masyarakat lebih terfokus untuk merespon rencana operasi pertambangan geothermal sehingga intensitas konflik dengan TNGC mengalami penurunan. Keterlibatan Elit Lokal Masyarakat dalam Proses Konflik Rencana Operasi Pertambangan Geothermal Tahun 2012 merupakan tonggak awal perjuangan masyarakat lereng Gunung Ciremai menolak rencana operasi pertambangan geothermal, yakni dengan terbentuknya Gerakan Massa Pejuang Untuk Rakyat (Gempur). Saat kesadaran dan keberanian masyarakat mulai terbangun kembali, masyarakat Desa Cisantana dikejutkan dengan beredarnya kabar di sosial media bahwa Gunung Ciremai telah dijual. Hal ini cukup mendapat perhatian dari Gubernur Jawa Barat dengan ikut angkat berbicara melalui akun twitternya dan menyatakan bahwa kabar tersebut adalah tidak benar. Hingga pada akhir tahun 2013, setelah Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 540/Kep.1269- DisESDM/2011 tentang panitia lelang wilayah kerja pertambangan panas bumi Gunung Ciremai beredar ke masyarakat. Hasil lelang ini menetapkan 162 desa sebagai wilayah kerja pertambangan (WKP) termasuk Desa Cisantana semakin membuat masyarakat khawatir akan masa depan mereka. Hasilnya adalah konflik yang terjadi di Desa Cisantana semakin mengemuka. Sampai pada tahap ini, pengorganisasian semakin intensif dilakukan, seperti mengadakan acara pemutaran video dokumenter tentang dampak geothermal, menjadikan khutbah jum’at sebagai mimbar kampanye, dan menghidupkan kembali cerita12
cerita mitos yang ada di masyarakat sebagai bentuk perlawanan budaya atas rencana operasi pertambangan geothermal. Termasuk juga memahami dan memperhitungkan kesadaran masyarakat ditingkat bawah dalam memberikan pemahaman. Dimana, kesadaran masyarakat menyatu dalam ekspresi keseharian baik yang bersifat perilaku politik, maupun cita-cita ekonomi dan bahkan angan-angan budaya. Masyarakat semakin agresif melakukan pertemuan-pertemuan terkait permasalahan perjuangan mereka. Desa Cisantana merupakan salah satu basis perlawanan masyarakat menolak rencana operasi pertambangan geothermal. Sejak tahun 2012, masyarakat Desa Cisantana telah melakukan banyak perlawanan, baik perlawanan yang bersifat terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi, baik secara fisik maupun secara non-fisik. Beberapa inisiator dan tokoh perjuangan juga berasal dari Desa Cisantana. Selanjutnya dalam prosesnya, dimana mobilisasi yang masif dari semua sikap acuh tak acuh oleh masyarakat berhasil digerakkan, begitu juga halnya ketika kelompok tak terorganisir saat ini menjadi jauh lebih terorganisir, termasuk dengan terbentuknya Gempur. Jaringan Gempur pun semakin berkembang dengan penguatan argumen berupa fakta-fakta akademik, kampanye-kampanye juga terus dilakukan dengan berbagai media kampanye diantaranya adalah dengan pembuatan video dokumenter pergerakan masyarakat lereng Gunung Ciremai yang diunggah di youtube bahkan dibuat juga petisi melalui change.org/saveCiremai. Aksi-aksi turun kejalan untuk mendesak pembuat kebijakan juga terus dilakukan. Penggalangan dukungan ke Komnas HAM juga tidak ketinggalan. Hal ini adalah bagian dari peran-peran elit lokal masyarakat di Desa Cisantana dalam proses berlangsungnya konflik hutan Gunung Ciremai. Pada tahap ini uji statistik regresi linier digunakan untuk memperkuat argumen terkait pengaruh nyata elit lokal masyarakat terhadap proses berlangsunya konflik hutan Gunung Ciremai. Secara singkat hasil uji dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel diatas, hasil analisis regresi dengan alpha sebesar 5% atau 0.05 menunjukkan bahwa nilai signifikan kedua variabel menunjukkan angka 0.002 (p < 0.05) dengan demikian variabel peran elit lokal masyarakat berpegaruh nyata terhadap proses konflik. Keterlibatan elit lokal masyarakat dalam proses konflik dapat diidentifikasi dari peran-peran yang dilakukannya diantaranya adalah upaya menaikkan bargaining position
gerakan masyarakat yang dilakukan dengan mengundang dan mengajak kalangan aktivis, akademisi, dan LBH untuk bersedia mendampingi dan mengawal perjuangan masyarakat. Beberapa diantaranya yang merupakan pemuka agama juga memainkan perannya dengan mengambangkan jejaring dan mengikuti forum bathsul masail di pondok pesantren Buntet Cirebon yang menghasilkan fatwa haram atas proyek tambang geothermal di Kabupaten Kuningan dikarenakan lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya untuk rakyat. Fatwa tersebut adalah mencegah dampak buruk harus didahulukan dari pada mengambil manfaat (Dar ul mafasid muqoddamun ‘ala jaibilmasolih). Usaha-usaha aksi kolektif dan konfrontatif juga terus diusahakan dan ini masih berlangsung hingga kini. Keterlibatan elit lokal masyarakat dalam aksi kolektif merupakan yang paling dominan dilakukan. Kecakapannya dalam masyarakat mengantarkannya untuk sangat mungkin memperoleh pemberdayaan dari struktur terutama untuk melakukan konsolidasi dan mobilisasi massa. Elit lokal masyarakat juga aktif melakukan lobi dan negosiasi kepada pihak pemerintah. Usaha-usaha aksi kolektif dan konfrontatif juga terus diusahakan dan ini masih berlangsung hingga kini. Lobi dan negosiasi dengan pemerintah dan aksi-aksi kolektif konfrontatif dilakukan secara bersamaan. Puncaknya aksi ini menghasilkan kesepakatan dengan empat pimpinan DPRD dan komisi C DPRD Kuningan untuk menolak rencana operasi pertambangan. Kesepakatan ini, tidak lepas dari peran penting Rana sebagai Ketua DPRD Kabupaten Kuningan saat itu, dalam memberikan dukungan pada aktivitas penolakan rencana operasi pertambangan geothermal dengan segala kepentingan turunannya terutama dalam rangka menyambut pemilu 2014. Orientasi gerakan seperti ini cenderung memahami negara sebagai sebuah arena politik, dimana kanal-kanal politik yang tersedia dimaknai sebagai suatu metode instrumentasi strategi perjuangan. Pada tahap ini, proses resolusi konflik belum dapat dikatakan terwujud karena yang bersangkutan, dalam hal ini PT. Jasa Daya Chevron menarik diri. Tepatnya pada 23 januari 2015, dimana masyarakat Kuningan menerima kabar gembira setelah mengetahui Chevron mundur dari rencana operasi pertambangan geothermal di Gunung Ciremai. Hal ini diungkapkan langsung oleh Wakil Bupati Kuningan H. Acep Purnama pada media yang mengaku senang jika informasi tersebut benar. Dia menganggap dengan mundurnya Chevron masalah di hutan Gunung Ciremai telah terselesaikan. Situasi ini mengakhiri pertikaian pihak-pihak yang saling berhadapan, dimana pihak masyarakat merasa dimenangkan dengan kondisi tersebut. Namun hal ini tidak berbanding lurus dengan harapan masyarakat, dengan masih berkuasanya Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) terhadap hutan Gunung Ciremai, sehingga masyarakat menyebut
kemenangan ini dengan istilah “menang diatas kertas”. Masyarakat kembali memilih strategi-strategi perjuangan lain dengan melakukan pendudukan lahan sebagai alternatif terakhir untuk mendapatkan tanah mereka. Masyarakat cenderung mempertahankan sumberdaya agraria dimana gesekan konflik pengelolaan di lahan eks PHBM masih terjadi sampai dengan sekarang. SIMPULAN Kontestasi beragam aktor dan kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan hutan Gunung Ciremai setidaknya dapat ditelusuri dari dua babak momentum penting yang terjadi, yakni; Pertama, momen penetapan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional pada tahun 2004. Kedua, masuknya rencana operasi pertambangan geothermal pada tahun 2011 dengan segenap persoalan yang mengikutinya. Pada kedua momen ini nampak bagaimana beragam pihak yang berkepentingan dengan wilayah hutan Gunung Ciremai saling mempertarungkan kepentingan masing-masing. Hasil penelitian menunjukkan, elit lokal masyarakat memiliki peran penting dalam keterlibatannya pada proses konflik hutan Gunung Ciremai, antara lain dengan (i) membangkitkan kesadaran politik massa (masyarakat) akan kuasa dan akses terhadap sumberdaya alam Gunung Ciremai. Dimana, kesadaran masyarakat menyatu dalam ekspresi keseharian baik yang bersifat perilaku politik, maupun cita-cita ekonomi dan bahkan angan-angan budaya; (ii) menggalang kekuatan politik dengan kaum ulama, kelompok jawara, aktivis, masyarakat adat, akademisi, dan LSM untuk menaikkan bargaining position gerakan masyarakat. Yang selanjutnya dilakukan konsolidasi dan pengorganisasian dengan mendirikan badanbadan otonom di setiap desa. Tiap-tiap desa memiliki 5-7 orang perwakilan (disebut dengan simpul) yang memiliki tugas untuk mengorganisasikan warga yang berada didesanya; (iii) memobilisasi massa secara terorganisir melalui Gerakan Massa Pejuang untuk Rakyat (Gempur). Gempur merupakan sebuah ruang atau wadah yang diciptakan oleh kelompok informal melalui adanya kesadaran diskursif (discursive consiousness) dan digunakan untuk membentuk ulang dan mengembangkan kecakapan kultural yang pada prinsipnya adalah jalan perjuangan untuk memperoleh akses tata kelola Hutan Ciremai. Gempur bersama jaringannya kemudian melakukan aksi penolakan melalui kampanye media sosial, pembuatan video dokumenter, petisi, dan demo ke jalan, serta (iv) melakukan lobi dan negoisasi kepada pihak pemerintah dan DPRD Kabupaten Kuningan dimana negara dimaknai sebagai instrumen politik untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Intensitas penolakan terhadap rencana operasi geothermal berkurang drastis setelah pihak perusahaan pemenang tender geothermal menyatakan mengundurkan diri dari investasi di Gunung Ciremai. Situasi ini mengakhiri pertikaian pihak-pihak yang saling berhadapan, dimana pihak masyarakat merasa dimenangkan dengan kondisi 13
tersebut. Namun hal ini tidak berbanding lurus dengan harapan masyarakat, dengan masih berkuasanya Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) terhadap hutan Gunung Ciremai, sehingga masyarakat menyebut kemenangan ini dengan istilah “menang diatas kertas”. Pada akhirnya masyarakat kembali memilih strategistrategi perjuangan lain dengan melakukan pendudukan lahan sebagai alternatif terakhir untuk mendapatkan akses atas hutan Gunung Ciremai. Masyarakat cenderung mempertahankan sumberdaya agraria dimana gesekan konflik penggunaan lahan di lahan eks PHBM masih terjadi sampai dengan sekarang. DAFTAR PUSTAKA Afandi M. 2013. Perlawanan Ekstra Legal: “Transfromasi Perlawan Petani Menghadapi Korporasi Perkebunan”. [Internet]. [Dikutip 21 Oktober 2014]. Bhumi. 37: 63-95. Dapat diunduh dari : http://www.stpn.ac.id/images/Data/EJurnal/Jurnal %20Bhumi%20No%2037%20Tahun%2012203.pdf Antoro KS. 2013. Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik Agraria: Studi Perbandingan antara Ranah Kebijakan. [Internet]. [Dikutip 21 Oktober 2014]. Bhumi. 37: 28-48. Dapat diunduh dari : http://www.stpn.ac.id/images/Data/EJurnal/Jurnal %20Bhumi%20No%2037%20Tahun%2012203.pdf Aprianto TC. 2013. Perampasan Tanah dan Konflik: Kisah Perlawanan Sedulur Sikep. [Internet]. [Dikutip 21 Oktober 2014]. Bhumi. 37: 157-168. Dapat diunduh dari : http://www.stpn.ac.id/images/Data/EJurnal/Jurnal %20Bhumi%20No%2037%20Tahun%2012203.pdf Dahrendorf R. 1986. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. Jakarta (ID): CV Rajawali. Deni. 2014. Akses dan Kontrol Sumberdaya Hutan Gunung Ciremai. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Fisher S, Abdi DI, Ludin J, Smith R, Williams S, Williams S. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta (ID): The British Council Indonesia. Julikawati PE. 30 Maret 2014. Jelang Pemilu, Jumlah Izin Kelola Hutan Melonjak. Tempo. [Internet]. [dikutip 06 Februari 2015]. Tersedia pada: http://www.tempo.co/read/news/2014/03/30/07856 6548/Jelang-PemiluJumlahIzin-Kelola-HutanMelonjak Muhdar M, Nasir. 2012. Resolusi Konflik terhadap Sengketa Penguasaan Lahan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kertas Kerja Epistema No.03/2012, Jakarta (ID): Epistema Institute. [Internet]. [Dikutip 21 Oktober 2014]. Dapat diunduh dari: http://epistema.or.id/resolusi-konflik/ 14
Peluso NL. 2006. Hutan Kaya Rakyat Melarat. Jakarta (ID) : Konphalindo. Ribot J, Peluso NL. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2): Research Library. Salim MN. 2013. “Menjarah” Pulau Gambut: Konflik dan Ketegangan di Pulau Padang. [Internet]. [Dikutip 21 Oktober 2014]. Bhumi. 37: 96-121. Dapat diunduh dari: http://www.stpn.ac.id/images/Data/EJurnal/Jurnal %20Bhumi%20No%2037%20Tahun%2012203.pdf Scott CJ. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta (ID). Yayasan Obor Indonesia. Stiglitz JE. 2007. Berkelit dari Kutukan Sumber Daya Alam. Bogor (ID) : The Samdhana Institute. Soekanto S. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (ID) : Raja Grafmdo Persada. Yuniandra F, Kusmana C, Nurrochmat DR. 2007. Formulasi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol XIII (3):146-154.