PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN OLEH MASYARAKAT PEDULI API (MPA) TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
NURUL FADLILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengendalian Kebakaran Hutan oleh Masyarakat Peduli Api (MPA) Taman Nasional Gunung Ciremai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2017 Nurul Fadlillah NIM 351130071
RINGKASAN NURUL FADLILLAH. Pengendalian Kebakaran Hutan oleh Masyarakat Peduli Api (MPA) Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI dan TUTUT SUNARMINTO. Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) merupakan Taman Nasional (TN) dengan fungsi utama sebagai daerah tangkapan air. Kebakaran hutan di TNGC terjadi setiap tahun dan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Kebakaran hutan merusak ekosistem dan menggangu fungsi TNGC. MPA merupakan salah satu bentuk pola kemitraan dengan masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan (dalkarhut). Pola kemitraan dengan masyarakat tidak akan pernah berhasil tanpa adanya partisipasi serta keberadaan peraturan tidak dapat menjamin kinerja yang baik apabila tidak diimplementasikan. Tujuan penelitian adalah menggambarkan persepsi dan partisipasi Masyarakat Peduli Api (MPA) terhadap pengendalian kebakaran hutan di TNGC, mengidentifikasi implementasi kebijakan mengenai MPA, dan merumuskan strategi peningkatan partisipasi dalkarhut MPA TNGC. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, obsevasi, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan MPA mempersepsikan positif bahwa faktor kemarau panjang sebagai faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan, dan faktor aktivitas manusia yang menimbulkan api sebagai faktor penyebab langsung kebakaran hutan. Persepsi masyarakat tidak selamanya sejalan dengan partisipasi. Persepsi yang kuat tidak menjamin terjadinya partisipasi yang tinggi, mungkin sebaliknya (partisipasinya rendah). Partisipasi MPA dalam pengendalian kebakaran hutan tertinggi dalam kegiatan pemadaman kebakaran hutan. Faktor yang mempengaruhi partisipasi MPA dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan adalah faktor ekonomi yaitu upah, logistik, dan barang. Faktor tersebut berpengaruh paling besar pada kegiatan pemadaman kebakaran hutan. Ketidaksesuaian yang muncul antara aturan dan kondisi di lapangan sebesar 80,95%. Persepsi yang tidak sejalan dengan partisipasi dan ketidaksesuaian yang muncul diduga menyebabkan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA TNGC belum berhasil. Peningkatan keberhasilan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA TNGC dilakukan dengan (1) penguatan kelembagaan (pembinaan, sarana prasarana, reward and punishment, serta pendanaan); (2) penyusunan peraturan Kepala Balai TNGC tentang MPA TNGC; (3) penguatan pemangku kepentingan terkait dalam peran dan tanggung jawab dalkarhut; (4) kegiatan wisata dalam rangka peningkatan ekonomi MPA. Kata kunci: ketidaksesuaian, MPA, partisipasi, pengendalian kebakaran hutan, persepsi.
SUMMARY NURUL FADLILLAH. Forest Fire Control by The Anti Fire Community (MPA) of Mount Ciremai National Park. Supervised by SAMBAS BASUNI and TUTUT SUNARMINTO. Mount Ciremai National Park (TNGC) is a National Park (TN) which has enormous ecological functions, especially as a water catchment area. Forest fires in TNGC occur every year and fluctuated from year to year. Forst fires destroy ecosystems and interfere the function of TNGC. Anti fire community (MPA) is a partnership which consist of local communities involved in forest fire control. Community partnership will never succeess without the MPA’s participation. The objectives of this research are as follows: to describe the perception of the community, to describe the participation of MPA in the forest fire control, to identify the implementation of the regulation on MPA, and to formulate a strategy to increase participation of MPA on forest fire control. This research method is done by questionnaires, observation, and interviews. The results showed that MPA positively perceive that dry season as supporting factors and community activities that involve a fire as direct factors of forest fires. The public perception is not always in line with the participation. A strong perception does not guarantee a high participation, it might be the opposit (low participation). The highest MPA’s participation in forest fires control is in forest fighting activities. Affecting factors on MPA's participation in forest fire control activities are economic factors ie wage, logistics, dan goods. Occuring gap between the rules and real conditions is 80,95 percent. Perceptions which is not in line with the participation and the emerge gap is suspected to cause forest fire control conducted by MPA of TNGC has not been succesfull. Increasing the succes of forest fire control by MPA of TNGC could be conducted through (1) the institutional strengthening (nurturing, infrastructure, reward and punishment, and funds); (2) drafting of the Head of the TNGC Regulation on MPA; (3) strengthening of the relevant stakeholders regarding the roles and responsibilities on forest fire controls; and (4) tourism activities in order to improve the economics of MPA. Keywords: forest fire control, gap, MPA, participation, perception.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN OLEH MASYARAKAT PEDULI API (MPA) TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
NURUL FADLILLAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir Lailan Syaufina, MSc.
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunia yang diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian adalah kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yang masih terjadi dari tahun ke tahun dan keberadaan Masyarakat peduli Api (MPA) di TNGC belum bisa menjawab permasalahan kebakaran hutan di TNGC menjadi penelitian dengan judul “Pengendalian Kebakaran Hutan oleh Masyarakat Peduli Api (MPA) Taman Nasional Gunung Ciremai”. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. dan Dr. Ir. Tutut Sunarminto, M.Si. selaku komisi pembimbing atas segala arahan, masukan dan saran selama penelitian sampai dengan tersusunnya karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, MS selaku Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika. 3. Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc selaku dosen penguji luar komisi. 4. Ir. Padmo Wiyoso selaku Kepala Balai TNGC beserta staf Balai TNGC (Indri Hapsari, Nisa Syachera, Dina, Sylvi, Gugun, dan staf Balai TNGC lainnya) yang telah membantu selama pengumpulan data. 5. Anggota MPA TNGC yang telah berbagi informasi dan pengalaman. 6. Suamiku Abdurrakhman Hidayat, Ibunda Sumarni, Ayahanda Munjahid, Anakku Muhammad Asyam Haniif, dan seluruh keluarga yang telah memberi dukungan doa, semangat, pengertian, dan kasih sayangnya. 7. Rekan-rekan KVT Angkatan 2013, Fasttrack KVT Angkatan 2014, dan Pak Sofwan atas bantuan dan kerjasamanya selama kuliah dan menyusun karya ilmiah ini. 8. Staf Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KemenLHK (Ferdian Krisnanto, Eny Haryati, Franky Zamzani dan staf lainnya) yang telah memberi masukan dan saran. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2017
Nurul Fadlillah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pikir Penelitian
1 1 3 3 4 4
2 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Sumber, Aspek Penelitian, Jenis Data, dan Variabel Penelitian Alat dan Bahan Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Sintesis dan Penarikan Kesimpulan
6 6 6 7 7 9 9
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah Studi Persepsi Masyarakat Partisipasi Masyarakat Peduli Api (MPA) Implementasi Peraturan Perundang-undangan MPA Strategi Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan oleh MPA
10 10 12 23 28 34
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
38 38 39
DAFTAR PUSTAKA
39
LAMPIRAN
13
RIWAYAT HIDUP
15
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Data luas kebakaran hutan di TNGC Sumber, aspek penelitian, jenis data, dan variabel penelitian Identifikasi implementasi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 Alokasi dana pengendalian kebakaran hutan TNGC Implementasi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 Sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan TNGC
2 6 8 24 29 32
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kerangka pikir penelitian Skema pengambilan contoh Peta batas administrasi TNGC Persepsi masyarakat terhadap faktor alam Persepsi masyarakat terhadap faktor manusia Persepsi pemangku kepentingan terhadap faktor alam Persepsi pemangku kepentingan terhadap faktor manusia Persepsi masyarakat terhadap kerugian akibat kebakaran hutan Persepsi pemangku kepentingan terhadap kerugian akibat kebakaran hutan Tingkat partisipasi MPA dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan Faktor yang mempengaruhi partisipasi MPA dalam pengendalian kebakaran hutan Kerangka hasil analisis implementasi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014
5 7 12 13 16 18 19 20 22 23 27 34
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Kuesioner Masyarakat Kuesioner Anggota MPA
44 46
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan salah satu ancaman yang mengganggu keberadaan hutan hujan tropis Indonesia. Kebakaran hutan dan perubahan lingkungan yang diakibatkan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap kondisi atmosfer, siklus karbon, dan fungsi ekosistem. Kebakaran hutan berpengaruh signifikan terhadap emisi karbon dan perubahan iklim global. Kebakaran hutan juga menyebabkan masalah pada manusia (Page et al. 2013). Menurut Tacconi (2003) kebakaran hutan 1997-1998 di Indonesia mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi yang menelan biaya ekonomi sekitar US$ 1,62 s.d. 2,7 miliar, pencemaran kabut asap sekitar US$ 674 s.d. 799 juta, dan emisi karbon mencapai US$ 2,8 miliar. Hasil penghitungan WALHI (2008) terhadap kerugian dari kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 yaitu Sumatera mencapai US$ 7,8 miliar dan Kalimantan mencapai US$ 5,8 miliar. Kawasan Gunung Ciremai ditunjuk sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang perubahan fungsi kelompok hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai seluas ±15.500 hektar yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional. Gunung Ciremai mempunyai fungsi ekologi yang sangat besar khususnya sebagai water catchment area atau daerah tangkapan air yang sangat berperan penting sebagai penyediaan air baik sebagai bahan baku air minum maupun air irigasi pertanian bagi tiga kabupaten di sekitarnya yaitu Kuningan, Majalengka dan Cirebon (BTNGC 2010). Potensi flora yang dimiliki Taman Nasional Gunung Ciremai adalah 32 jenis vegetasi pohon. Potensi fauna yang dimiliki di Taman Nasional Gunung Ciremai adalah terdapat 37 jenis mamalia (9 jenis dilindungi, 7 jenis endemik), 118 jenis burung (23 jenis dilindungi, 10 jenis endemik), 56 jenis herpetofauna (5 jenis endemik), dan 48 jenis moluska (1 jenis endemik). TNGC memiliki keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem yang penting dijaga keutuhan dan kelestariannya dari berbagai gangguan, antara lain gangguan kebakaran hutan. Gunawan dan Subiandono (2013) menyebutkan kerusakan ekosistem TNGC terdapat pada ketinggian 400 hingga 2.000 mdpl yang antara lain disebabkan oleh kebakaran hutan. Kebakaran hutan di TNGC selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Hapsari (2013) menyebutkan bahwa kejadian kebakaran hutan tahunan di TNGC mengalami fluktuasi dan menjadi ancaman aktual bagi keutuhan dan keberadaan ekosistem. Tingkat kerawanan kebakaran hutan meningkat saat memasuki musim kemarau setiap tahunnya (sekitar bulan Juli hingga Oktober) pada lokasi-lokasi rawan kebakaran yaitu di Kabupaten Kuningan (Kecamatan Pesawahan, Mandirancan, dan Cilimus), dan Kabupaten Majalengka (Kecamatan Sindawangi) (BTNGC 2014). Data luas kebakaran hutan di TNGC selama 5 tahun terakhir disajikan dalam Tabel 1.
2 Tabel 1 Data luas kebakaran hutan di TNGC No
Tahun
Luas (Ha)
1. 2. 3. 4. 5.
2011 2012 2013 2014 2015
544,83 1174,65 14,96 266,03 665,94
Sumber : Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (2016)
Permasalahan kebakaran hutan di Indonesia akan tetap ada selama penyebab-penyebabnya belum ditangani dengan benar (Candrasekharan 1999 seperti yang dikutip Sukrismanto 2012). Menurut Harrison et al. (2009) kebakaran hutan di Indonesia secara umum disebabkan oleh aktivitas ilegal manusia. Usaha untuk mengatasi kebakaran hutan disebut dengan pengendalian kebakaran hutan. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan (PermenLHK Nomor 32 Tahun 2016) pengendalian kebakaran hutan meliputi usaha/kegiatan/tindakan pengorganisasian, pengelolaan sumberdaya manusia dan sarana prasarana serta operasional pencegahan, pemadaman, penanganan pasca kebakaran, dukungan evakuasi dan penyelamatan, dan dukungan manajemen pengendalian kebakaran hutan. Telah disebutkan di atas bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia, sehingga usaha pengendalian kebakaran hutan perlu dilakukan bersama dengan pihak-pihak lain. Pihak lain tersebut diantaranya adalah masyarakat. Seperti yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Nomor 5 Tahun 1990) yaitu rakyat dapat berperan aktif dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara terorganisasi melalui kelompok-kelompok masyarakat. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (PP Nomor 45 Tahun 2004) Pasal 23 Ayat (1) menyebutkan bahwa upaya pencegahan kebakaran hutan dilakukan dengan pola kemitraan dengan masyarakat. Peran serta masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dilakukan melalui wadah yang disebut dengan Masyarakat Peduli Api (MPA). Menurut Peraturan Direktur Jenderal PHKA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pembentukan dan Pembinaan Masyarakat Peduli Api (Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014) Masyarakat Peduli Api adalah masyarakat yang secara sukarela peduli terhadap pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang telah dilatih/diberi pembekalan serta dapat diberdayakan untuk membantu kegiatan pengendalian kebakaran hutan. MPA TNGC pertama kali dibentuk oleh Balai TNGC pada tahun 2007. Sampai dengan tahun 2015, Balai TNGC sudah membentuk MPA sebanyak 23 kelompok dengan jumlah anggota 350 orang. Kelompok MPA tersebut tersebar di desa sekitar kawasan TNGC. MPA dengan jumlah anggota yang cukup banyak sudah dibentuk, akan tetapi kebakaran hutan masih terus terjadi, tidak dapat diprediksi, dan fluktuatif luasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengendalian kebakaran hutan oleh MPA belum berhasil. Keberhasilan mengacu pada kemampuan melaksanakan tugas sesuai standar. Penekanannya pada kualitas hasil. Hasil pengendalian kebakaran hutan oleh MPA adalah terkendalinya kebakaran hutan. Keberhasilan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA dipengaruhi oleh
3 berbagai faktor. Identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada keberhasilan pengendalian kebakaran hutan sangat penting dilakukan. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui permasalahan utama yang terjadi dan merumuskan strategi peningkatan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA TNGC. Perumusan Masalah Syaufina (2008) menyebutkan faktor alam memegang peranan yang sangat kecil dalam menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Menurut Syahadat dan Suanturi (2009) serta Nursoleha (2014) unsur ketidaksengajaan atau kelalaian manusia berpengaruh sangat dominan dalam menyebabkan kebakaran hutan di TNGC, dan faktor utama yang mendorong terjadinya kebakaran hutan adalah faktor ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, alam merupakan faktor pendukung dan manusia merupakan faktor penyebab kebakaran hutan. Permasalahan utama kebakaran hutan di TNGC adalah masyarakat sekitar TNGC. Persepsi masyarakat terhadap kebakaran hutan penting untuk dikaji karena persepsi seseorang akan mempengaruhi sikap seseorang terhadap masalah lingkungan. Persepsi pada hakekatnya adalah pandangan, interpretasi, penilaian, harapan dan atau inspirasi seseorang terhadap obyek (Harihanto 2001). Seperti apa persepsi masyarakat sekitar TNGC terhadap kebakaran hutan? MPA merupakan salah satu bentuk pola kemitraan dengan masyarakat dalam dalkarhut. Pola kemitraan dengan masyarakat tidak akan pernah berhasil tanpa adanya partisipasi. Anggota sebuah perkumpulan/organisasi terlibat dalam perkumpulan/organisasi tersebut karena mereka suka dan ingin terlibat di dalamnya bukan karena tekanan dan paksaan dari orang lain (Putnam 1993). Keefektifan pengendalian kebakaran hutan (dalkarhut) oleh MPA dipengaruhi oleh partisipasi anggota MPA. Seperti apa partisipasi MPA TNGC dalam dalkarhut? Keberhasilan keberadaan peraturan tidak dapat menjamin kinerja yang baik apabila peraturan tersebut tidak dilaksanakan/diimplementasikan di lapangan. Menurut North (1990) aturan-aturan diciptakan manusia untuk membuat tatanan (order) yang baik dan mengurangi ketidakpastian (uncertainty) di dalam proses pertukaran. Perdirjen PHKA 2/2014 adalah peraturan yang mengatur MPA dalam rangka menata keterlibatan masyarakat dan mendorong keberhasilan usaha pengendalian kebakaran hutan. Bagaimana pelaksanaan/implementasi Perdirjen PHKA 2/2014 di lapangan? Apakah timbul ketidaksesuaian atau gap? Seperti apa gap yang muncul? Bagaimana menghilangkan gap yang muncul?
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mendapatkan gambaran persepsi masyarakat terhadap kebakaran hutan 2. Mendapat gambaran partisipasi MPA TNGC dalam usaha pengendalian kebakaran hutan. 3. Menganalisis implementasi peraturan perundang-undangan MPA. 4. Merumuskan strategi peningkatan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA TNGC.
4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan yaitu memperkaya penelitian mengenai kebakaran hutan; dan manfaat bagi pemerintah yaitu sebagai bahan dalam merumuskan kebijakan Masyarakat Peduli Api (MPA) baik di Taman Nasional Gunung Ciremai maupun di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem dan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kerangka Pikir Penelitian Persepsi adalah proses seseorang mengelola informasi dari lingkungannya (Richards 1976). Menurut Langevelt (1966) seperti yang dikutip Harihanto (2001) persepsi adalah pandangan individu terhadap suatu obyek atau stimulus. Individu memberikan reaksi (respon) berupa penerimaan atau penolakan terhadap stimulus tersebut. Dalam konteks persepsi, pengendalian kebakaran hutan dan kondisinya dapat berperan sebagai stimulus yang dapat menimbulkan persepsi pada individu yang melihat, mencium, dan merasakan. Persepsi seseorang akan mempengaruhi sikap seseorang terhadap masalah lingkungan. Persepsi positif akan menunjang partisipasi MPA dalam keberhasilan pengendalian kebakaran hutan. Persepsi yang akan dianalisis adalah persepsi masyarakat terhadap faktor pendukung kebakaran hutan (faktor alam), faktor penyebab kebakaran hutan (faktor manusia), dan kerugian akibat kebakaran hutan. Partisipasi secara umum didefinisikan sebagai keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan. Menurut Bornby (1974) dan Webster (1976) seperti yang dikutip Theresia et al. (2014) partisipasi adalah tindakan untuk mengambil bagian dari kegiatan atau pernyataaan dengan maksud memperoleh manfaat. Partisipasi anggota MPA dalam dalkarhut mempengaruhi keberhasilan dalkarhut oleh MPA. Menurut Lingani et al. (2011) proses partisipatif dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti keuntungan ekonomi dan keinginan untuk melestarikan hutan. Adapun menurut Slamet (1985) seperti yang dikutip Theresia et al. (2014) faktor yang mendorong pastisipasi adalah kemauan, kemampuan, dan kesempatan. Pengendalian kebakaran hutan terdiri dari pencegahan, pemadaman, dan penanganan paska. Keefektifan pengendalian kebakaran hutan dinilai dari 3 aspek tersebut. Partisipasi MPA dianalisis berdasarkan tugas dan fungsi MPA yang tertera pada Perdirjen PHKA 2/2014 yaitu (1) pencegahan kebakaran hutan yang terdiri dari pertemuan rutin MPA, penyuluhan secara mandiri, penyebarluasan informasi peringkat bahaya kebakaran hutan, agen informasi terkait kejadian kebakaran hutan; (2) pemadaman kebakaran hutan yaitu aktif dalam kegiatan pemadaman kebakaran hutan; dan (3) penanganan paska kebakaran yaitu aktif dalam kegiatan penanganan pasca kebakaran hutan. Sedangkan faktor yang mempengaruhi partisipasi anggota MPA melihat dari faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor lingkungan. Wiliamson (2000) mendefinisikan institusi sebagai lingkungan eksternal kelembagaan (institutional environment) yang disebut sebagai aturan main formal
5 atau institusi formal. Institusi formal berkaitan dengan aturan hukum (khususnya hak kepemilikan), konstitusi, peraturan perundang-undangan, lembaga-lembaga yudikatif dan birokrasi. Institusi formal diharapkan akan menciptakan aturan main formal yang baik (first-order economizing). Tujuan institusi adalah menciptakan tata kelola yang baik (second-order economizing). Peraturan perundang-undangan diterbitkan untuk mengatur, menata, dan mengelola. Identifikasi implementasi peraturan perundang-undangan MPA di lapangan dalam meningkatkan dalkarhut oleh MPA (perbandingan antara kondisi di lapangan dan kondisi ideal sesuai aturan). Parameter yang diidentifikasi adalah sistem pembinaan, sistem penghargaan, sarana prasarana, dan pendanaan. Identifikasi pelaksanaan/implementasi peraturan perundang-undangan MPA untuk menemukan ketidaksesuaian atau gap. Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka pemikiran penelitian disajikan dalam Gambar 1.
Keseimbangan Ekosistem
Kawasan Hutan TNGC
Aktivitas Masyarakat
Kebakaran Hutan di TNGC terjadi setiap tahun
Pengendalian Kebakaran Hutan (Dalkarhut)
1. 2. 3.
Pencegahan Pemadaman Penanganan paska karhut
Upaya Dalkarhut bersama masyarakat Peraturan Dirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014
MPA
Persepsi
Partisipasi Aturan main yang mengikat
Implementasi peraturan
Analisis
Analisis
Strategi Peningkatan Keefektifan Dalkarhut oleh MPA
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
6
2 METODE Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian survei yaitu pengumpulan informasi dari responden dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data pokok. Data dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi. Unit analisa dalam penelitian survei adalah individu (Singarimbun dan Effendi 2006). Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu Juli s.d. September 2015 dan April 2016. Lokasi penelitian adalah desa sekitar kawasan TNGC di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, yang dibedakan berdasarkan tingkat kerawanan kebakaran yaitu desa sangat rawan, desa rawan, dan desa tidak rawan (berdasarkan penelitian Nursoleha 2014). Penggelompokkan tingkat kerawanan desa tersebut menggunakan data sebaran hotspot, penggunaan lahan, data curah hujan TNGC tahun 2006-2012, topografi, arah lereng, aksesibiltas pemukiman, dan aksesibiltas sungai. Sumber, Aspek Penelitian, Jenis Data, dan Variabel Penelitian Data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini meliputi persepsi masyarakat, partisipasi MPA, dan implementasi peraturan perundang-undangan MPA. Data dan informasi tersebut dapat bersifat primer maupun sekunder. Data dan informasi tersebut dijabarkan menjadi sumber data, aspek penelitian, jenis data, dan variabel penelitian yang disajikan dalam tabel berikut: Tabel 2 Sumber, aspek penelitian, jenis data, dan variabel penelitian No 1.
Sumber Data Primer (tidak diketahui dan dikumpulkan langsung di lapangan)
Aspek Penelitian Persepsi Masyarakat
Partisipasi MPA
2.
Sekunder (Diketahui/sudah ada, dikumpulkan dari berbagai sumber)
Implementasi Peraturan PerundanganUndangan MPA Persepsi Masyarakat
Partisipasi MPA Implementasi Peraturan PerundanganUndangan MPA
Jenis Data dan Variabel Penelitian Data Penunjang (Rujukan) Persepsi masyarakat non Karakteristik anggota MPA masyarakat non MPA dan anggota MPA Persepsi masyarakat anggota (Biografi, Ekonomi, MPA Pengetahuan, dan Persepsi Pemangku Budaya) Kepentingan Tingkat Partisipasi MPA Informasi kegiatan dalkarhut MPA Faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi Kondisi di lapangan Informasi kegiatan (Pembinaan, Penghargaan, dalkarhut MPA Sarana Prasarana, dan Pendanaan Hasil penelitian Data kependudukan sebelummnya tentang Kabupaten Kuningan persepsi masyarakat tentang dan Majalengka kebakaran hutan di TNGC Data kegiatan dalkarhut yang Anggaran dalkarhut dilakukan BTNGC BTNGC Data Pokok (Analisis)
Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014
Peraturan perundangundangan lain yang relevan
7 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain alat perekam suara untuk merekam percakapan saat wawancara, kamera untuk dokumentasi penelitian, dan kuesioner serta panduan wawancara. Subyek penelitian adalah anggota Masyarakat Peduli Api.
Metode Pengumpulan Data Data dan informasi dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data dan teknik pengambilan contoh sebagai berikut : 1. Persepsi masyarakat Data dan informasi persepsi masyarakat dikumpulkan melalui kuesioner tertutup dengan skala likert. Skala likert adalah skala untuk mengukur karakter dan ciri kepribadian (Likert 1932). Sugiyono (2009) menyebutkan bahwa skala model Likert adalah skala mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Menurut Singarimbun dan Effendi (2006) kuesioner tertutup adalah daftar pertanyaan dengan pilihan jawaban yang sudah ditentukan dan responden tidak diberi kesempatan memberikan jawaban lain. Masyarakat dibedakan menjadi masyarakat non anggota MPA, masyarakat anggota MPA, dan para pihak. Teknik pengambilan contoh masyarakat non anggota MPA dan masyarakat anggota MPA dilakukan secara stratified random sampling yaitu pengambilan contoh dari populasi yang dibagi dalam kelompok yang seragam, dan dari setiap kelompok diambil sampel secara acak sehingga tiap unit penelitian dari kelompok mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun dan Effendi 2006). Data masyarakat non anggota MPA diperoleh dari data kependudukan, sedangkan data anggota MPA diperoleh dari Balai TNGC. Jumlah responden masyarakat non anggota MPA sebanyak 30 orang pada tiap desa dan responden MPA dilakukan secara sensus pada kelompok dengan jumlah anggota kurang atau sama dengan 30. Jumlah responden masyarakat non anggota MPA sebanyak 180 orang dan jumlah responden masyarakat anggota MPA sebanyak 120 orang. Skema pengambilan contoh dalam penelitian disajikan dalam Gambar 2. BTNGC
Kabupaten Majalengka
Kabupaten Kuningan
Desa MPA Sangat Rawan
:
Rawan
:
Tidak Rawan
:
Padabeunghar (30org)
Desa Non MPA
Pasawahan (30 org)
Desa MPA
Satianegara (30org)
Desa Non MPA
Desa Paniis (30 org)
Desa MPA
Sangkanerang (15 org)
Desa Non MPA
Pajambon (30 org)
: Sangat Rawan
: Rawan
: Tidak Rawan
Desa MPA
Padaherang (15 org)
Desa Non MPA
Teja (30 org)
Desa MPA
Payung (15 org)
Desa Non MPA
Sunia (30 org)
Desa MPA
Indrakila (15 org)
Desa Non MPA
Argalingga (30 org)
Gambar 2 Skema pengambilan contoh
8 Teknik pengambilan contoh persepsi para pemangku kepentingan diambil secara purposive sampling yaitu data dan informasi dikumpulkan dari aktoraktor kunci yang terkait dengan objek penelitian. Pemangku kepentingan yang diambil datanya adalah Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Kabupaten, Perusahaan/Swasta, Balai TNGC, dan LSM. Pertanyaan kuesioner meliputi faktor penyebab kebakaran hutan, faktor pendukung kebakaran hutan, dan kerugian akibat kebakaran hutan. Skoring jawaban setiap pertanyaan dibagi menjadi 7 berdasarkan karakteristik masyarakat Indonesia yaitu: Sangat Tidak Setuju skor 1, Tidak Setuju skor 2, Kurang Setuju skor 3, Biasa Saja skor 4, Agak Setuju skor 5, Setuju skor 6, dan Sangat Setuju skor 7. Adapun pola pemaknaan dari setiap nilai dapat digubah sesuai dengan kebutuhan (Avenzora 2008). 2. Partisipasi MPA Data dan informasi partisipasi MPA dikumpulkan melalui kuesioner tertutup dengan skala likert. Teknik pengambilan contoh data dan informasi dilakukan secara stratified random sampling. Responden partisipasi MPA adalah responden yang sama dalam pengambilan data persepsi. Pertanyaan partisipasi MPA didasarkan pada tugas dan fungsi MPA yaitu pencegahan, pemadaman, dan penanganan paska kebakaran hutan. Adapun pertanyaan faktor yang mempengaruhi partisipasi didasarkan pada faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor lingkungan. Skoring jawaban setiap pertanyaan dibagi menjadi 7. Pola pemaknaan dari setiap nilai dapat digubah sesuai dengan kebutuhan. 3. Implementasi peraturan perundang-undangan MPA Data dan informasi implementasi peraturan perundang-undangan MPA (Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014) dilakukan melalui identifikasi implementasi peraturan yang kemudian dibandingkan untuk menemukan ada tidaknya ketidaksesuaian/gap, wawancara dengan MPA dan Balai TNGC, dan penelusuran dokumen. Menurut Suratmo (2003) pengendalian kebakaran hutan adalah suatu kegiatan manajemen yang diselenggarakan berdasarkan perencanaan yang seksama. Perencaaan pengendalian kebakaran hutan dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya (manusia, sarana-prasarana, dan dana) yang memadai. Berdasarkan hal tersebut elemen yang diidentifikasi yaitu sistem pembinaan, sistem penghargaan/reward, sarana prasarana, dan pendanaan (Tabel 3). Tabel 3 Identifikasi implementasi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 Elemen, Kriteria, dan Indikator Sistem pembinaan Sistem penghargaan Sarana Prasarana Pendanaan
Kondisi Ideal sesuai Aturan
Kondisi di Lapangan
Keterangan
9 Metode Analisis Data Analisis yang digunakan yaitu analisis kualitatif. Analisis kualitatif merupakan alat untuk menganalisis proses sosial yang berlangsung dan makna dari fakta-fakta yang tampak di permukaan. Analisis kualitatif digunakan untuk memahami sebuah proses dan fakta (Bungin 2010). Analisis persepsi masyarakat Analisis persepsi masyarakat dilakukan dengan (1) menghitung rata-rata skoring jawaban tiap responden yang disajikan dalam bentuk grafik; dan (2) analisis deskriptif untuk menjelaskan persepsi masyarakat. Analisis partisipasi MPA Analisis partisipasi MPA dilakukan dengan (1) menghitung rata-rata skoring jawaban tiap responden yang disajikan dalam bentuk grafik; dan (2) analisis deskriptif untuk menjelaskan partisipasi MPA. Analisis implementasi peraturan perundang-undangan MPA Implementasi kebijakan mengenai MPA dilakukan melalui observasi, identifikasi kondisi di lapangan dan kondisi ideal sesuai aturan yang kemudian dibandingkan untuk menemukan ada tidaknya ketidaksesuaian/gap dalam sistem. Observasi tersebut didukung dengan wawancara dengan pengelola, MPA, dan penelusuran dokumen yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan di TNGC. Analisis implementasi peraturan menggunakan ketidaksesuaian/gap yang muncul dan melakukan penelaahan penyebab ketidaksesuaian/gap secara deskriptif untuk menjelaskan implementasi peraturan di lapangan. Strategi peningkatan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA Stategi peningkatan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA TNGC disusun berdasarkan hasil analisis persepsi masyarakat, partisipasi MPA, dan implementasi peraturan yang didukung dengan studi pustaka. Analisis deskriptif yang digunakan untuk menjelaskan persepsi, partisipasi, dan implementasi peraturan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan atas proses dan fakta yang ada di lapangan. Strategi disusun berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut.
Sintesis dan Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan dilakukan secara terus menerus selama berada di lapangan dan berdasarkan hasil analisa data. Pada saat di lapangan/pengumpulan data, peneliti mencari arti dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh responden, mencatat keteraturan pola, penjelasan-penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan dibuat secara longgar/terbuka, namun kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar. Sedangkan berdasarkan hasil analisa data, peneliti mencari pengertian yang lebih luas tentang hasil yang didapatkan dari analisa. Hal tersebut dilakukan dengan membandingkan hasil analisa yang diperoleh dengan kesimpulan peneliti lain, dan menghubungkan kembali hasil interpretasi dengan teori (Singarimbun dan Effendi, 2006).
10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah Studi Secara geografis Taman Nasional Gunung Ciremai terletak pada 108019’ 10”108 27’55” BT dan 6047’5” – 6058’20” LS. Taman Nasional Gunung Ciremai mempunyai luas sekitar 15.859,17 ha yang secara administrasif meliputi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kuningan 8.931,27 ha (56,32%) dan Kabupaten Majalengka seluas 6.927,90 ha (43,68%). Aksesibilitas menuju kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dapat diakses dari Kabupaten Cirebon, Kab. Kuningan dan Kab. Majalengka dengan kondisi jalan dan transportasi yang relatif baik dan lancar. Tanah di Taman Nasional Gunung Ciremai berjenis regosol coklat kelabu, asosiasi regosol kelabu, regosol coklat kelabu dan latosol yang menyebar mulai dari puncak sampai bagian lahan yang landai. Gunung Ciremai adalah gunung tertinggi di Provinsi Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 mdpl dengan topografi umumnya berombak, berbukit dan bergunung dengan kemiringan bervariasi mulai dari landai (0-8%) sebesar 26,52% sampai curam (di atas 8%) sebesar 73,48%. Geologi Taman Nasional Gunung Ciremai secara umum dari batuan hasil aktivitas vulkanik Gunung Ciremai, yaitu batuan endapan vulkanik, baik vulkanik tua sebesar 35% di bagian Selatan dan 5% di bagian Utara maupun vulkanik muda sebesar 60% di bagian Utara. Iklim Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson termasuk tipe iklim B (basah) dengan rata-rata curah hujan 2.000-4.000 mm/tahun dan temperatur bulanan 18–220C. Potensi flora yang dimiliki Taman Nasional Gunung Ciremai adalah 32 jenis vegetasi pohon antara lain Saninten (Castanopsis javanica), kitandu (Fragraera blumii), ki pulusan (Villubrunes rubescens), kalimorot (Castanopsis javanica), mara (Macaranga denticulata), ki keper (Engelhardia spicata). Terdapat juga jenis tanaman langka yaitu lampeni (Ardisia cymosa DC.), kakaduan (Platea latifolia Blume), Villebrunea rubescens, Prunus javanica, Symplocos theaefoli, Eurya acuminata. Selain itu ditemukan 119 koleksi tumbuhan terdiri dari 40 koleksi anggrek dan 79 koleksi non anggrek. Jenis-jenis anggrek yang mendominasi adalah jenis anggrek Vanda tricolor Lindh, Eria multiflora (BI) Lindh, Calenthe triplicata, Macodes sp, Cymbidium lancefolium Hook, Cymbidium finlaysonianum Lindh, dan Malaxis iridifolia (Roxb.). Adapun vegetasi non anggrek didominasi oleh Pinanga (daerah kering) dan tumbuhan paku tiang Cyathea sp. (daerah basah). Jenis tegakan yang cukup menarik adalah diketemukannya koleksi dadap jingga (Erythrina sp). Potensi fauna yang dimiliki di Taman Nasional Gunung Ciremai adalah terdapat 37 jenis mamalia (9 jenis dilindungi, 7 jenis endemik), 118 jenis burung (23 jenis dilindungi, 10 jenis endemik), 56 jenis herpetofauna (5 jenis endemik), dan 48 jenis moluska (1 jenis endemik). Satwa yang ada di Taman Nasional Gunung Ceremai antara lain Lutung (Presbytis cristata), Kijang (Muntiacus muntjak), Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Ular Sanca (Phyton molurus), Meong Congkok (Felis bengalensis), Elang Hitam (Ictinaetus malayensis), Ekek Kiling (Cissa thalassina), Sepah Madu (Perictorus miniatus), Walik (Ptilinopuscinctus), Anis (Zoothera citrina). Jenis satwa langka yang ada di kawasan Gunung Ciremai 0
11 antara lain Macan Kumbang (Panthera pardus), Surili (Presbytis comata), dan Elang Jawa (Spyzaetus bartelsi). Adapun jenis burung yang terancam punah yaitu Cica Matahari (Crocias albonotatus) dan Poksai Kuda (Garrulax rufrifons), serta burung dengan status rentan yaitu Ciung Mungkal Jawa (Cochoa azurea) dan Celepuk Jawa (Otus angelinae) sehingga dapat dikatakan kawasan TNGC merupakan daerah penting untuk burung (Important Bird Area).. Potensi wisata yang dimiliki Taman Nasional Gunung Ciremai antara lain wisata jalur pendakian, wisata panorama alam, wisata religi/sejarah, wisata pendidikan, dan bumi perkemahan sebanyak 22 lokasi (17 lokasi terletak di Kabupaten Kuningan dan 5 lokasi terletak di Kabupaten Majalengka). Letak objek wisata tersebut sebagian besar tidak bergabung dengan kawasan hutan Ciremai secara keseluruhan, akan tetapi terletak terpisah dan dikelilingi oleh tanah milik masyarakat. Taman Nasional Gunung Ciremai mempunyai sungai sebanyak 43 buah dan 156 mata air yang dimanfaatkan untuk irigasi, perikanan, industri dan kegiatan ekonomi lainnya. Dari 156 mata air, dimana 147 mata air mengalirkan air sepanjang tahun, 4 mata air mengalir selama sembilan bulan dalam setahun, 3 mata air mengalir selama enam bulan dalam setahun dan 2 mata air mengalir selama tiga bulan dalam setahun dengan debit rata-rata 50–2.000 l/detik yang kualitas airnya memenuhi standar kualitas air minum. Selanjutnya berdasar hasil inventarisasi sumber mata air di kawasan Barat Ciremai (Majalengka) terdapat 36 sumber mata air dan 7 sungai. Debit sumber mata air berkisar antara 0,5 – 40 liter/detik dan 50 200 liter per detik untuk debit sungai. Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai terbagi menjadi 11 resort yaitu Pesawahan, Mandirancan, Cilimus, Jalaksana, Cigugur, Darma, Sangiang, Argalingga, Argamukti, Gunung Wangi, dan Bantar Agung. Desa penyangga kawasan TNGC berjumlah 45 (empat puluh lima) desa yang terdiri dari 27 desa dan 7 kecamatan berbatasan dengan Satuan Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Kuningan, dan 18 desa dan 7 kecamatan berbatasan dengan Satuan Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Majalengka. Dari 45 desa penyangga TNGC, teridentifikasi 37 desa yang masyarakatnya melakukan kegiatan penggarapan di dalam kawasan. Potensi sumberdaya ekonomi produktif masyarakat desa penyangga TNGC sebagian besarnya dari sektor pertanian dan peternakan. Jumlah penduduk setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan, menurut Buku Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2010-2035 yang disusun oleh Badan Pusat Statistik tahun 2013, jumlah penduduk untuk Propinsi Jawa Barat rata-rata meningkat sebesar 5,21 % pertahunnya (BTNGC 2015). Berdasarkan hasil penelitian Gunawan dan Soebiandono (2013) masyarakat sekitar TNGC sebanyak 74% berpendidikan SD, 81% merupakan petani, dan 36,2% dari petani tersebut merupakan penggarap lahan TNGC. Peta batas adminstrasi disajikan dalam Gambar 3.
12
Gambar 3 Peta batas administrasi TNGC Persepsi Masyarakat Persepsi mempengaruhi sikap seseorang. Sikap masyarakat dan pemangku kepentingan terhadap kebakaran hutan di TNGC yang terjadi setiap tahun dipengaruhi oleh persepsi masing masing. Data persepsi yang dikumpulkan yaitu persepsi terhadap faktor alam sebagai faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan, persepsi terhadap faktor manusia sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan, dan persepsi terhadap kerugian akibat kebakaran hutan. Persepsi masyarakat terhadap faktor alam Syaufina (2008) menyebutkan faktor alam memegang peranan yang sangat kecil dalam menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Indonesia yang merupakan negara tropis jarang mengalami kejadian kebakaran yang disebabkan oleh alam. Alam merupakan faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Persepsi masyarakat terhadap faktor alam sebagai faktor pendukung kebakaran hutan disajikan pada Gambar 4.
Gesekan kayu/daun Benturan batu Tumpukan seresah Sambaran petir Singkapan batubara Kemarau panjang
Kuningan
Majalengka
Desa Sangat Rawan Kebakaran
Kuningan
Majalengka
Desa Rawan Kebakaran
Kuningan
Argalingga (Non MPA)
Indrakila (MPA)
Pajambon (Non MPA)
Sangkanerang ( MPA)
Sunia (Non MPA)
Payung (MPA)
Paniis (Non MPA)
Setianegara (MPA)
Teja (Non MPA)
Padaherang (MPA)
Gunung meletus Pasawahan (Non MPA)
7 6 5 4 3 2 1 0
Padabeunghar (MPA)
Skor Persepsi
13
Majalengka
Desa Tidak Rawan Kebakaran
Kelompok Masyarakat Keterangan:
n: 300 Skor Persepsi:
1=Sangat Tidak Setuju, 2=Tidak Setuju, 3=Agak Tidak Setuju, 4=Biasa Saja, 5= Agak Setuju, 6=Setuju, 7=Sangat Setuju
Gambar 4 Persepsi masyarakat terhadap faktor alam Gambar 4 menunjukkan bahwa masyarakat (MPA dan Non MPA) pada kelompok desa sangat rawan kebakaran, desa rawan kebakaran, dan desa tidak rawan kebakaran mempersepsikan kemarau panjang sebagai faktor alam yang mendukung terjadinya kebakaran hutan pada skor paling tinggi dibandingkan faktor alam lainnya yaitu pada skor 5,6 sampai dengan 6 (setuju). Tingginya persepsi musim kemarau dikarenakan penyimpangan iklim atau kemarau panjang merupakan faktor yang mendukung terjadinya kebakaran hutan. Pradopo (2012) menyebutkan bahwa kebakaran pada dasarnya tergantung pada ketersediaan bahan bakar. Bahan bakar tidak akan rentan terhadap api ketika tetap basah dan lembab. Suhu yang tinggi pada saat musim kemarau membuat bahan bakar cepat mengering dan mudah terbakar. Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan yang kerap terjadi setiap tahun di kawasan hutan Gunung Ceremai khususnya pada puncak musim kemarau pada lokasi-lokasi rawan kebakaran yaitu di Kabupaten Kuningan (Kecamatan Pesawahan, Mandirancan, dan Cilimus), dan Kabupaten Majalengka (Kecamatan Sindawangi) (BTNGC 2014). Selain musim kemarau, gunung meletus juga dipersepsikan positif sebagai faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan yaitu pada skor 4,2 (biasa saja) sampai dengan 5,6 (agak setuju). Menurut Caldararo (2002) faktor alam yang selalu dikaitkan dengan kebakaran adalah petir dan gunung berapi. BTNGC (2010) menyebutkan bahwa gunung Ciremai termasuk dalam klasifikasi A (strato) atau magmatik (aktif). Gunung Ciremai merupakan gunung api soliter yang terpisah dari klaster gunung api lainnya di pulau Jawa yang terbentuk secara berlapis, pembentukannya dimulai sejak permulaan zaman Kuarter (Plistosen). Gunung Ciremai mempunyai kawah ganda, yaitu di Barat beradius 400 m dan di Timur beradius 600 m dengan kedalaman masing-masing 250 m. Pada ketinggian 2.900 m di lereng Selatan Gunung Ciremai terdapat bekas titik letusan dengan diameter 30 m. Gunung Ciremai pernah meletus sebanyak tujuh kali yaitu tahun 1698, 1772,
14 1775, 1805, 1917, 1924 dan 1938, akan tetapi hanya menimbulkan kerusakan sekitar daerah puncak. Tumpukan seresah sebagai faktor alam pendukung terjadinya kebakaran hutan dipersepsikan oleh masyararakat pada skor 3,6 (biasa saja) sampai dengan 5 (agak setuju). Positifnya persepsi terhadap tumpukan seresah sebagai faktor pendukung kebakaran karena kayu dan seresah merupakan bahan yang mudah terbakar apabila ada sumber api. Pradopo (2012) menyebutkan bahwa penyebab tidak langsung kebakaran hutan di TNGC adalah adanya akumulasi bahan bakar berupa rumput dan alang-alang di beberapa luasan kawasan hutan TNGC yang didominasi oleh tipe tegakan homogen sehingga lebih mudah terbakar. Api akan lebih mudah menjalar apabila berada pada satu tegakan sejenis (dalam hal ini adalah Pinus merkusii). Sambaran petir dipersepsikan oleh masyarakat pada skor 2,9 (agak tidak setuju) oleh MPA Desa Setianegara, sampai dengan 5 (agak setuju) oleh Masyarakat Non MPA Desa Sunia. Planet bumi disambar petir hingga 100.000 kali per hari. Lewis (1989) seperti yang dikutip Caldararo (2002) menyebutkan bahwa sambaran petir yang menimbulkan kebakaran perbandingannya berkisar antara 1:1 sampai dengan 1:1000 ataupun tidak sama sekali tergantung pada objek yang tersambar, kondisi objek dan cuaca. Namun, menurut Rowe (1969) seperti yang dikutip Caldararo (2003) menyebutkan bahwa sangat jarang sekali terjadi kebakaran semak-semak akibat sambaran petir. Adapun menurut Sahardjo (2003) petir merupakan sumber api potensial dan banyak merugikan di beberapa negara seperti Amerika, Australia, dan Kanada. Hal ini dikarenakan kondisi cuaca yang membuat prosesnya berjalan baik yaitu setelah petir tidak segera diikuti dengan hujan. Akan tetapi petir bukanlah sumber api potensial di Indonesia, karena setelah petir berlangsung segera diikuti oleh hujan atau petir terjadi selama turunnya hujan. Sangat jarang terjadi kebakaran hutan selama musim penghujan di TNGC. Adapun gesekan kayu/daun oleh masyarakat dipersepsikan pada variasi skor yang sama dengan sambaran petir yaitu skor 2,8 (agak tidak setuju) oleh MPA Desa Indrakila, sampai dengan 5,07 (agak setuju) oleh masyarakat Non MPA Desa Teja. Kondisi yang ada di lapangan yaitu belum pernah terjadi kebakaran hutan di TNGC yang disebabkan oleh gesekan kayu/daun. Api yang timbul oleh gesekan kayu/daun sangat jarang/sulit terjadi. Persepsi masyarakat Non MPA Desa Sunia yang menyatakan agak setuju terhadap sambaran petir dan Masyarakat Non MPA Desa Teja terhadap gesekan kayu/daun sebagai faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan diidentifikasi karena masyarakat desa tersebut memiliki informasi yang tidak benar sehingga persepsi mereka-pun menjadi tidak benar. Persepsi masyarakat terhadap faktor benturan batu bervariasi yaitu dari skor 2,07 (tidak setuju) sampai dengan 4,7 (agak setuju). Persepsi masyarakat yang menyatakan agak setuju diidentifikasi disebabkan pengetahuan mereka selama ini yaitu benturan atau gesekan batu dapat menimbulkan api. Di daerah pegunungan, benturan dapat terjadi pada saat terjadinya longsor. Adapun persepsi masyarakat yang menyatakan tidak setju dikarenakan sampai saat ini belum pernah ditemukan kejadian longsor di TNGC yang menyebabkan batu berbenturan dan menimbulkan api sehingga menyebabkan kebakaran hutan. Longsor yang terjadi di TNGC yaitu banjir lumpur (BTNGC 2015). Sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat terhadap benturan batu sebagai penyebab kebakaran hutan merupakan hasil informasi yang tidak benar dan terbatasnya pengetahuan.
15 Faktor alam dipersepsikan lemah oleh masyarakat yaitu singkapan batubara pada skor 2 (tidak setuju) sampai dengan 4 (biasa saja). Sampai saat ini belum ada kejadian kebakaran hutan akibat singkapan batubara di Gunung Ciremai. Hal tersebut sesuai dengan Sahardjo (2003) yang menyatakan bahwa untuk membuat batubara menyala membutuhkan starting point sebagai sumber penyulutan. Batubara yang terdapat dalam kawasan berhutan tidak mungkin menyebabkan kebakaran hutan karena batubara belum tersingkap dan masih tertutup oleh vegetasi dan tanah di atasnya. Berdasarkan gambar 4 masyarakat Non MPA Desa Sunia dan Desa Teja, mempersepsikan positif faktor alam sebagai pendukung terjadinya kebakaran hutan dibanding kelompok masyarakat lainnya. Jenis perkerjaan responden masyarakat Desa Teja dan Sunia yaitu petani, buruh tani, pedagang, karyawan swasta, dan buruh swasta. Sattar (1985) menyebutkan bahwa persepsi adalah penilaian, penglihatan, atau pandangan seseorang yang diperoleh melalui proses psikologi yang selektif terhadap suatu objek atau segala sesuatu dalam lingkungannya. Masyarakat menerima aspek-aspek situasi yang khususnya berhubungan dengan aktivitas mereka. Mereka beranggapan bahwa aktivitas manusia di dalam hutan sangat jarang, sehingga faktor alam seperti gesekan kayu, tumpukan seresah, benturan batu, singkapan batubara, sambaran petir, musim kemarau, dan gunung meletus sangat mendukung terjadinya kebakaran hutan di TNGC. Persepsi anggota MPA terhadap faktor alam sebagai pendukung terjadinya kebakaran hutan negatif kecuali faktor musim kemarau. Profesi responden anggota MPA terdiri dari perangkat desa 10,83 %, wirasawasta 18,33 %, petani 60,83%, dan buruh 10%. Berbagai macam profesi anggota MPA dengan persepsi yang sama diidentifikasi disebabkan anggota MPA mendapatkan pengalaman di luar profesinya yaitu sebagai masyarakat yang peduli terhadap kebakaran hutan. Robbins dan Judge (2013) menyatakan pengalaman di masa lalu sebagai bagian dasar informasi juga menentukan pembentukan persepsi seseorang. Pengalaman yang diidentifikasi membentuk persepsi MPA yaitu sosialisasi dan pelatihan mengenai pengendalian kebakaran hutan yang meliputi pengenalan tentang bahaya kebakaran hutan, penyebab kebakaran hutan, hal-hal yang bisa dilakukan dalam mencegah kebakaran hutan dan teknik memadamkan kebakaran secara manual (menggunakan alat sederhana). Persepsi masyarakat terhadap faktor manusia Menurut Syahadat dan Sianturi (2009) serta Nursoleha (2014) unsur ketidaksengajaan atau kelalaian manusia berpengaruh sangat dominan dalam menyebabkan kebakaran hutan di TNGC. Persepsi masyarakat terhadap faktor manusia sebagai faktor penyebab kebakaran hutan disajikan pada Gambar 5.
Mencari kayu bakar Memancing Berburu dengan menggunakan api Penebangan liar dengan menggunakan api Penyiapan Lahan dengan membakar Bekas api unggun
Kuningan
Majalengka
Desa Sangat Rawan Kebakaran
Kuningan
Majalengka
Desa Rawan Kebakaran
Kuningan
Argalingga (Non MPA)
Indrakila (MPA)
Pajambon (Non MPA)
Sangkanerang ( MPA)
Sunia (Non MPA)
Payung (MPA)
Paniis (Non MPA)
Setianegara (MPA)
Teja (Non MPA)
Padaherang (MPA)
Membuang puntung rokok Pasawahan (Non MPA)
7 6 5 4 3 2 1 0
Padabeunghar (MPA)
Skor Persepsi
16
Majalengka
Desa Tidak Rawan Kebakaran
Kelompok Masyarakat Keterangan:
n: 300 Skor Persepsi:
1=Sangat Tidak Setuju, 2=Tidak Setuju, 3=Agak Tidak Setuju, 4=Biasa Saja, 5= Agak Setuju, 6=Setuju, 7=Sangat Setuju
Gambar 5 Persepsi masyarakat terhadap faktor manusia Aktivitas manusia seperti berburu dengan menggunakan api, penebangan liar dengan menggunakan api, penyiapan lahan dengan membakar, bekas api unggun, dan membuang puntung rokok dipersepsikan positif oleh MPA pada skor 5,07 (agak setuju) sampai dengan 6,07 (setuju). Aktivitas manusia mengubah perilaku api secara mendasar di daerah tropis. Sumber penyulut meningkat secara drastis dalam perubahan lanskap yang disebabkan oleh manusia. Penebangan dan fragmentasi hutan meningkatkan beban bahan bakar, pengeringan, sehingga hutan mudah terbakar (Cochrane dan Laurance 2008). Aktivitas manusia yang menyebabkan kebakaran antara lain pembersihan lahan (land clearing) untuk pertanian; pembakaran secara sengaja; api sebagai senjata untuk mengusir hewan pengganggu; api yang tidak disengaja yaitu api unggun, puntung rokok, dan perapian bekas memasak (Cochrane 2003, Tacconi dan Vayda 2006, Harrison et al. 2009). Masyarakat yang masuk ke dalam TNGC untuk perburuan liar, penebangan liar, perambahan hutan, dan pendakian meninggalkan bekas api unggun dan puntung rokok. Aktivitas masyarakat di dalam hutan yang masih tinggi berpotensi menimbulkan kebakaran hutan apabila masyarakat lalai menggunakan api. Bentuk kelalaian tersebut antara lain bekas api unggun yang tidak padam dan membuang puntung rokok sembarangan. Hal ini terjadi karena hampir seluruh kawasan TNGC berbatasan langsung dengan lahan/kebun milik masyarakat. Masyarakat masih menggunakan pembersihan lahan dengan membakar. Selain berbatasan langsung dengan lahan masyarakat, TNGC juga berbatasan langsung dengan jalan umum, bahkan di beberapa wilayah terdapat jalan setapak di dalam kawasan. Adanya jalan setapak tersebut memudahkan akses masyarakat ke dalam hutan. Disamping itu, kebakaran yang terjadi di TNGC juga disebabkan oleh faktor alam berupa tingginya tingkat ketersediaan bahan bakar di lapangan berupa alang-alang dan semak belukar serta serasah daun pinus yang sudah mengering dan tebal. Aktivitas masyarakat
17 menimbulkan api dan alam menyediakan bahan bakar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia dan alam sangat berkaitan dalam terjadinya kebakaran hutan. Masyarakat Non MPA Desa Sunia mempersepsikan aktivitas berburu dengan menggunakan api, penebangan liar dengan menggunakan api, penyiapan lahan dengan membakar, bekas api unggun, dan membuang puntung rokok pada skor 4,1 (biasa saja) sampai dengan 4,9 (agak setuju); dan Masyarakat Non MPA Desa Argalingga pada skor 3,7 (biasa saja) sampai dengan 5 (agak setuju). Jenis pekerjaan kelompok masyarakat desa sangat rawan kebakaran, desa rawan kebakaran, dan desa tidak rawan kebakaran hampir sama yaitu sebagian besar berprofesi sebagai petani dan buruh tani, namun masing-masing kelompok masyarakat mempunyai persepsi yang berbeda-beda pada faktor manusia sebagai penyebab kebakaran. Robbins dan Judge (2013) menyatakan bahwa persepsi cenderung dipengaruhi oleh dasar intrepretasi seseorang yaitu sikap, minat, dan latar belakang dibanding stimulus itu sendiri. Hasil skoring menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap kriteria-kriteria penilaian tidak seragam. Setiap kelompok mempunyai persepsi kuat maupun lemah. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap faktor penyebab kebakaran hutan disebabkan oleh sikap dan minat dari masing masing individu. Menurut Baron dan Byrne (2004) berbagai perbedaan dalam memproses informasi dapat secara kuat mempengaruhi penyimpulan, keputusan, dan penilaian kita tentang seseorang atau sesuatu. Bervariasinya persepsi masyarakat Desa Non MPA diduga karena penerimaan informasi yang tidak benar atau informasi yang tidak sampai ke masyarakat. Hal tersebut didukung oleh psikologi masyarakat yang belum sepenuhnya rela dan sadar dengan status hutan TNGC, serta konflik kepentingan masyarakat terhadap kawasan hutan TNGC. Sampai saat ini, masyarakat masih berharap untuk diberi kesempatan mengolah kawasan hutan TNGC. Aktivitas manusia yang dipersepsikan negatif oleh masyarakat (MPA dan Non MPA) yaitu aktivitas mencari kayu bakar pada skor 3,27 (agak tidak setuju) sampai dengan 4 (biasa saja). Hal tersebut dikarenakan masyarakat sudah jarang mencari kayu bakar untuk memasak. Kebijakan Pemerintah berupa pengadaan gas subsidi 3 kg berpengaruh pada berkurangnya penggunaan kayu untuk bahan bakar memasak. Sugiyanto (1996) yang menjelaskan bahwa persepsi seseorang terhadap suatu objek akan positif apabila objek tersebut sesuai dengan kebutuhannya, sebaliknya akan negatif apabila bertentangan dengan kebutuhan orang tersebut. Kayu bakar sudah tidak menjadi kebutuhan utama masyarakat, sehingga aktivitas mencari kayu bakar sebgai faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dipersepsikan negatif. Persepsi masyarakat (MPA dan Non MPA) terhadap aktivitas memancing bervariasi yaitu pada skor 3,2 (agak tidak setuju) sampai dengan 5,7 (setuju). Kelompok masyarakat yang setuju bahwa memancing menyebabkan kebakaran hutan yaitu MPA Desa Setianegara. jarang dilakukan oleh masyarakat. TNGC memiliki banyak sungai, akan tetapi sampai sekarang belum ada data tentang kekayaan satwa air yang ada di TNGC (BTNGC 2015). Aktivitas memancing yang dilakukan masyarakat kemungkinan melibatkan api yaitu puntung rokok dan api untuk memasak. Lay (1957) seperti yang dikutip Caldararo (2002) menyebutkan bahwa pembakaran baik kecil dan terkontrol dapat meningkatkan resiko terjadinya kebakaran hutan.
18 Pembakaran terjadi karena adanya bahan bakar, oksigen, dan sumber api yang dikenal dengan segitiga api. Melemahnya/hilangnya salah satu faktor menyebabkan pembakaran tidak mungkin terjadi. TNGC memiliki faktor alam berupa tingginya tingkat ketersediaan bahan bakar di lapangan berupa alang-alang dan semak belukar serta serasah daun pinus yang sudah mengering dan tebal pada musim kemarau. Oksigen tersedia bebas tanpa batas di dalam udara. Alang-alang, semak belukar, seresah daun pinus, dan kaliandra yang terbakar dipicu oleh masyarakat yang lalai membawa sumber api dan masuk ke dalam hutan. Pradopo (2012) menyebutkan manusia merupakan faktor penyebab langsung dan alam merupakan faktor pendukung langsung kebakaran hutan di TNGC.
Skor Persepsi
Persepsi pemangku kepentingan terhadap faktor alam Persepsi pemangku kepentingan terhadap faktor alam sebagai pendukung terjadinya kebakaran hutan menunjukkan bahwa musim kemarau dipersepsikan positif pada skor 5 (agak setuju) sampai dengan 6 (setuju) yang disajikan pada Gambar 6. 7 6 5 4 3 2 1 0
Gesekan kayu/daun Benturan batu Tumpukan seresah Sambaran petir Singkapan batubara Kemarau panjang Gunung meletus
Pemangku Kepentingan Keterangan:
n: 24 Skor Persepsi:
1=Sangat Tidak Setuju, 2=Tidak Setuju, 3=Agak Tidak Setuju, 4=Biasa Saja, 5= Agak Setuju, 6=Setuju, 7=Sangat Setuju
Gambar 6 Persepsi pemangku kepentingan terhadap faktor alam Hapsari (2013) menyebutkan tingkat kerawanan kebakaran hutan di TNGC meningkat saat memasuki musim kemarau setiap tahunnya. Positifnya persepsi dikarenakan intensitas kejadian kebakaran di TNGC meningkat pada saat musim kemarau. Tumpukan seresah cepat mengering dan mudah terbakar pada musim kemarau. Hal tersebut sesuai dengan Varma (2003) yang menyebutkan bahwa kemarau panjang yang merupakan efek dari El-Nino mendukung terjadinya kebakaran hutan di Indonesia apabila ada sumber api. El-Nino merupakan fenomena pemanasan permukaan laut Pasifik sebelah timur di daerah tropika. Dalam keadaan El-Nino angin yang membawa hujan berbalik ke arah timur sehingga Indonesia tidak mendapat hujan atau kering.
19
Skor Persepsi
Persepsi pemangku kepentingan terhadap faktor manusia Persepsi pemangku kepentingan terhadap faktor manusia sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat seperti berburu dengan menggunakan api, penebangan liar dengan menggunakan api, penyiapan lahan dengan membakar, bekas api unggun, dan membuang puntung rokok dipersepsikan positif pada skor 4,83 (agak setuju) sampai dengan 6 (setuju) yang disajikan pada Gambar 7. 7 6 5 4 3 2 1 0
Mencari kayu bakar Memancing Berburu dengan menggunakan api Penebangan liar dengan menggunakan api Penyiapan Lahan dengan membakar Bekas api unggun Membuang puntung rokok
BTNGC
Desa
Kecamatan
Kabupaten
Perusahaan
LSM
Pemangku Kepentingan Keterangan:
n: 24 Skor Persepsi:
1=Sangat Tidak Setuju, 2=Tidak Setuju, 3=Agak Tidak Setuju, 4=Biasa Saja, 5= Agak Setuju, 6=Setuju, 7=Sangat Setuju
Gambar 7 Persepsi pemangku kepentingan terhadap faktor manusia Positifnya persepsi pemangku kepentingan terhadap faktor manusia sebagai penyebab kebakaran dikarenakan aktivitas masyarakat di dalam hutan meninggalkan api seperti bekas api unggun dan puntung rokok. Menurut Cochrane dan Laurance (2008) api adalah kekuatan yang paling kuat dalam menata ekosistem, yang mempengaruhi aspek biotik dan abiotik. Ketika ekosistem hutan hujan tropis terbakar, efeknya dapat merusak atau transformatif/membangun. Sumber api tersebut timbul karena kelalaian masyarakat dalam beraktivitas. Masyarakat dan pemangku kepentingan bersinggungan dan berkepentingan langsung dengan TNGC. Masyarakat Non MPA merupakan pemilik lahan yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGC, begitu juga dengan anggota MPA yang mayoritas berprofesi sebagai petani. BTNGC, Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, dan Pemerintah Kabupaten merupakan pemegang kebijakan yang mempunyai kepentingan terhadap pengelolaaan dan kelestarian TNGC. Perusahaan/Swasta merupakan pengambil manfaat ekonomi dari TNGC. Adapun LSM mempunyai latar belakang dan kepentingan terhadap kelestarian TNGC. Persepsi masyarakat dan pemangku kepentingan terhadap faktor penyebab kebakaran hutan didasarkan pada kepentingan, latar belakang dan harapanharapannya. Sesuai dengan Robbins (2004) yang dikutip Sudaryono (2014) menyebutkan bahwa seseorang melihat sesuatu didasarkan pada kepentingan, latar belakang, dan harapan-harapannya. Permasalahan yang muncul yaitu masyarakat dan pemangku kepentingan mempersepsikan dengan kuat bahwa aktivitas masyarakat yang menimbulkan api menyebabkan kebakaran hutan, akan tetapi juga mempersepsikan secara positif musim kemarau (faktor alam) mendukung terjadinya kebakaran hutan.
20 Psikologi masyarakat desa sekitar kawasan TNGC belum sepenuhnya rela dan sadar dengan status hutan TNGC. Sampai saat ini konflik kepentingan masyarakat terhadap kawasan hutan TNGC masih ada. Masyarakat masih berharap untuk diberi kesempatan mengolah kawasan hutan TNGC. Ketergantungan masyarakat terhadap hutan yang tinggi, kondisi alam, dan faktor kelalaian masyarakat mendesak TNGC untuk melaksanakan kampanye, penyuluhan, dan penyebarluasan informasi mengenai dalkarhut secara intensif untuk membangun kesadaran dan membentuk perilaku masyarakat. Hal tersebut didukung dengan menciptakan sumber penghasilan baru yang dapat menjamin kehidupan masyarakat. Dengan hal tersebut, masyarakat tidak lagi berharap untuk menggarap hutan dan aktivitas masyarakat di hutan TNGC dapat terkendali. Dengan terkendalinya aktivitas masyarakat, diharapkan sumber api hilang dan kebakaran hutan dapat diminimalisir.
Skor Persepsi
Persepsi masyarakat terhadap kerugian akibat kebakaran hutan Persepsi masyarakat terhadap kerugian akibat kebakaran dari aspek ekonomi, kesehatan, sosial, dan lingkungan disajikan pada Gambar 8 yang menunjukkan bahwa kerugian terhadap lingkungan dipersepsikan positif yaitu pada skor 4,42 (biasa saja) sampai dengan 5,38 (agak setuju). Kerugian ekonomi dipersepsikan setingkat lebih rendah yaitu pada skor 4,09 (biasa saja) sampai dengan 4,79 (agak setuju). Desa Sangat Rawan Kebakaran Kuningan Padabeunghar (MPA)
7 6 5 4 3 2 1 0
Desa Sangat Rawan Kebakaran Kuningan Pasawahan (Non MPA) Desa Sangat Rawan Kebakaran Majalengka Padaherang (MPA) Desa Sangat Rawan Kebakaran Majalengka Teja (Non MPA) Desa Rawan Kebakaran Kuningan Setianegara (MPA) Desa Rawan Kebakaran Kuningan Paniis (Non MPA) Desa Rawan Kebakaran Majalengka Payung (MPA) Desa Rawan Kebakaran Majalengka Sunia (Non MPA) Desa Tidak Rawan Kebakaran Kuningan Sangkanerang (MPA) Desa Tidak Rawan Kebakaran Kuningan Pajambon (Non MPA) Desa Tidak Rawan Kebakaran Majalengka Indrakila (MPA)
Ekonomi
Kesehatan
Sosial
Lingkungan
Desa Tidak Rawan Kebakaran Majalengka Argalingga (Non MPA)
Kerugian Akibat Kebakaran Hutan
Keterangan:
n: 300 Skor Persepsi:
1=Sangat Tidak Setuju, 2=Tidak Setuju, 3=Agak Tidak Setuju, 4=Biasa Saja, 5= Agak Setuju, 6=Setuju, 7=Sangat Setuju
Gambar 8 Persepsi masyarakat terhadap kerugian akibat kebakaran hutan Kerugian akibat kebakaran hutan yang dipersepsikan positif oleh masyarakat dan MPA yaitu kebakaran hutan merugikan lingkungan. Suratmo (2003) menyebutkan bahwa dampak kebakaran hutan pada aspek lingkungan yaitu hilangnya hara (nutrisi), perubahan tekstur tanah, penurunan proses dekomposisi, terjadiya suksesi alami, terganggunya siklus hidrologi, terganggunya produki bahan organik, rusaknya habitat satwa, peningkatan suhu global, dan terganggunya stabilitas ekologis. Kerugian alam yang langsung diderita ketika kebakaran hutan terjadi antara lain (1) perubahan vegetasi (antara lain rusaknya habitat sebagai
21 sumber pakan burung, terbakarnya tanaman endemik dan langka), dan (2) terjadinya banjir lumpur dan tanah longsor karena tidak adanya tutupan vegetasi yang menghambat aliran air dan tanah. Kerugian lingkungan yang berdampak jangka panjang yaitu terbakarnya hutan menyebabkan tidak adanya vegetasi yang mengikat air yang berakibat sumber air berkurang. Fungsi hidrologis Gunung Ciremai sangat mempengaruhi sistem hidrologis bagi wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan (Ciayumajakuning) dan Brebes. Beberapa perusahaan yang mengunakan jasa hidrologis air dari dalam kawasan TNGC antara lain PDAM Kab. Kuningan, PDAM Kota Cirebon, PDAM Kab. Cirebon, PT Pertamina, PT Indosement dan perusahaan lainnya terutama perusahaan air minum skala kecil (BTNGC 2010). Persepsi masyarakat (MPA dan Non MPA) desa sangat rawan, desa rawan, dan desa tidak rawan kebakaran terhadap kerugian kesehatan dan sosial cenderung negatif yaitu pada skor 3,16 (agak tidak setuju) sampai dengan 4,45 (biasa saja). Hal tersebut dapat diartikan bahwa kejadian kebakaran hutan di TNGC belum berdampak langsung dan merugikan baik aspek ekonomi, kesehatan, maupun sosial. Sampai saat ini belum ada kejadian kebakaran hutan di TNGC yang menyebabkan masyarakat sekitar hutan mengalami gangguan kesehatan seperti penyakit sesak nafas, asma, maupun ISPA. Kerugian kesehatan dialami oleh anggota MPA yang ikut serta dalam kegiatan pemadaman kebakaran hutan. Adapun kerugian aspek ekonomi dan sosial hanya berdampak lokal pada desa yang berbatasan langsung dengan kawasan. Masyarakat sekitar hutan dirugikan dengan adanya kebakaran hutan yaitu kekhawatiran apabila kebakaran merambat ke ladang, sawah, dan rumah penduduk; serta berkurangnya pendapatan dari sektor wisata. McCaffrey (2006) menyebutkan bahwa meningkatnya persepsi tentang resiko api tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku. Masyarakat telah mengakui secara sadar bahwa kebakaran hutan TNGC menimbulkan kerugian (khususnya kerugian lingkungan), akan tetapi usaha (perilaku) untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan belum terlihat nyata (kebakaran hutan di TNGC masih terjadi, fluktuatif, dan acak). Pembiaran tersebut memiliki resiko jangka panjang yaitu kebakaran hutan menjadi tidak terkendali. Jika hal ini terjadi, upaya untuk meningkatkan persepsi tentang resiko dapat dilakukan dengan bagaimana upaya untuk mengurangi resiko tersebut. Upaya nyata yang dilakukan untuk mengendalikan kebakaran hutan di TNGC dapat dilakukan melalui peningkatan kesadaran masyarakat melalui pembelajaran, penyuluhan dan kampanye; partisipasi masyarakat dalam kegiatan pencegahan kebakaran hutan; dan manajemen vegetasi. Adapun untuk mengatasi konflik kepentingan antara masyarakat dengan TNGC dapat diminimalisir dengan memberdayakan masyarakat sekitar TNGC melalui kegiatan ekowisata, memanfaatkan daya tarik TNGC. Persepsi pemangku kepentingan terhadap kerugian akibat kebakaran hutan Persepsi pemangku kepentingan terhadap kerugian akibat kebakaran hutan menunjukkan bahwa kerugian kesehatan dan kerugian lingkungan merupakan kriteria kerugian dengan skor paling tinggi yaitu 5,32 (agak setuju) sampai dengan 6 (setuju) disajikan pada Gambar 9.
Skor Persepsi
22 7 6 5 4 3 2 1 0
BTNGC Desa Kecamatan Kabupaten Perusahaan LSM Ekonomi
Kesehatan
Sosial
Lingkungan
Kerugian Akibat Kebakaran Hutan
Keterangan: n: 24 Skor Persepsi:
1=Sangat Tidak Setuju, 2=Tidak Setuju, 3=Agak Tidak Setuju, 4=Biasa Saja, 5= Agak Setuju, 6=Setuju, 7=Sangat Setuju
Gambar 9 Persepsi pemangku kepentingan terhadap kerugian akibat kebakaran hutan Kerugian lingkungan dipersepsikan positif oleh pemangku kepentingan yaitu berkurangnya debit air/keringnya sumber air. Hal tersebut berdasarkan fungsi utama TNGC sebagai daerah tangkapan air. Kebakaran hutan menyebabkan vegetasi mati. Apabila kondisi tersebut dibiarkan dalam waktu lama, dikhawatirkan vegetasi habis terbakar dan berdampak pada berkurangnya debit air/keringnya sumber air. BTNGC merupakan pihak yang dirugikan dengan adanya kebakaran hutan yaitu gagalnya program perlindungan hutan, perlindungan sumber/mata air, matinya vegetasi, matinya satwa, tidak adanya pendapatan dari sektor pariwisata karena kawasan untuk sementara ditutup, serta gagalnya program pencegahan kebakaran hutan oleh BTNGC bersama MPA. Sampai saat ini, kerugian dari aspek ekonomi, kesehatan, dan sosial akibat kebakaran hutan di TNGC belum terlihat nyata. Akan tetapi apabila tidak ditangani, maka kemungkinan apa yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan terjadi juga di TNGC. Sangat penting untuk memahami apakah konsep resiko/kerugian akibat kebakaran hutan yang dimiliki oleh masyarakat dengan pemangku kepentingan sebagai pemegang kebijakan sama atau tidak. Jika masyarakat memahami seberapa tinggi resiko/kerugian yang mereka tanggung, maka secara alami masyarakat akan melakukan sesuatu untuk mengurangi resiko/kerugian tersebut (McCaffrey 2006). Masyarakat menganggap kebakaran hutan TNGC adalah hal biasa, terjadi setiap tahun, dan tidak terlalu merugikan. McCaffrey (2006) menyebutkan juga bahwa individu akan menekankan aspek yang berbeda dalam menentukan risiko, satu orang fokus pada kemungkinan (probabilitas) yang terjadi sementara yang lain menekankan pada konsekuensi negatif tertentu. Hasil kuesioner menunjukkan bahwa kerugian aspek ekonomi, aspek kesehatan, dan sosial merupakan kemungkinan (probabilitas) yang akan terjadi. Hal ini bisa dipahami karena belum ada kebakaran hutan di TNGC yang terjadi secara luas dan masif yang berdampak langsung pada ekonomi, kesehatan, dan sosial masyarakat sekitar TNGC. Kesamaan persepsi masyarakat dengan pemangku kepentingan tentang kerugian akibat kebakaran hutan di TNGC yaitu kebakaran hutan merugikan lingkungan yaitu lebih spesifik pada sumber air. Masyarakat setuju bahwa kebakaran hutan di
23 TNGC dapat menyebabkan keringnya/berkurangnya sumber air. Dengan persamaan persepsi tersebut pendekatan yang dipakai dalam meningkatkan kesadaran masyarakat adalah pentingnya menjaga kawasan hutan TNGC dari kebakaran hutan adalah untuk menjaga tetap berlanjutnya ketersediaan air bagi masyarakat. Wariskanlah mata air kepada anak cucu kita dan bukan mewariskan air mata.
Partisipasi Masyarakat Peduli Api (MPA)
Tingkat Partisipasi
Partisipasi MPA dalam pengendalian kebakaran hutan di TNGC Partisipasi merupakan keikutsertaan seseorang di dalam kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya di luar pekerjaaan dan profesinya sendiri (Theodorson 1969 seperti yang dikutip Theresia et al. 2014). Data partisipasi MPA pada kegiatan pencegahan, pemadaman, dan penanganan paska kebakaran hutan diperlukan untuk mengidentifikasi seberapa besar peran MPA dalam pengendalian kebakaran hutan di TNGC. Responden anggota MPA berprofesi sebagai perangkat desa sebanyak 10,83 %, wirasawasta sebanyak 18,33 %, petani sebanyak 60,83%, dan buruh sebanyak 10%. Hasil skoring menunjukkan bahwa MPA lebih banyak terlibat dalam kegiatan pemadaman dibanding kegiatan pencegahan dan penanganan paska kebakaran (Gambar 10). Desa sangat rawan kebakaran Padabeunghar
7 6 5 4 3 2 1 0
Desa rawan kebakaran Setianegara Desa tidak rawan kebakaran Sangkanerang Desa sangat rawan kebakaran Padaherang Desa rawan kebakaran Payung Desa tidak rawan kebakaran Indrakila
Pencegahan
Pemadaman
Paska Kebakaran
Kegiatan Pengendalian Kebakaran Hutan
Keterangan: n: 120 Tingkat Partisipasi:
1=Sangat Tidak Aktif, 2=Tidak Aktif, 3=Agak Tidak Aktif, 4=Biasa Saja, 5= Agak Aktif, 6=Aktif, 7=Sangat Aktif
Gambar 10 Tingkat partisipasi MPA dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan Gambar 10 menunjukkan bahwa anggota MPA baik di desa sangat rawan kebakaran, desa rawan kebakaran, dan desa tidak rawan kebakaran tingkat partisipasi dalam kegiatan pemadaman kebakaran hutan lebih tinggi dibanding pencegahan kebakaran hutan dan penanganan paska kebakaran hutan. Partisipasi anggota MPA dalam kegiatan pemadaman yang paling tinggi yaitu MPA Padabeunghar pada skor 5,72 (aktif). Partisipasi adalah sebuah proses yang dinamis. Partisipasi cenderung dibentuk oleh pengalaman seseorang dalam berpartisipasi (Samah dan Aref 2009). Dalam rentang waktu yang lebih lama tersebut terbentuk
24 pengalaman berpartisipasi. Pengalaman lebih dulu dan lebih lama tersebut diidentifikasi mempengaruhi tingkat partisipasi menjadi lebih tinggi. Padabeunghar termasuk dalam desa sangat rawan kebakaran. Setiap tahun, kebakaran hutan terjadi di Desa Padabeunghar. Dengan kejadian kebakaran yang tinggi, anggota MPA Padabeunghar mempunyai rentang waktu yang lama ikut serta dalam pemadaman kebakaran hutan dibanding anggota MPA di desa lainnya. Partisipasi MPA dalam kegiatan pemadaman lebih tinggi dibandingkan kegiatan pencegahan ataupun penanganan paska kebakaran hutan. Hal tersebut diidentifikasi karena sampai saat ini kegiatan pemadaman masih menjadi fokus utama kegiatan pengendalian kebakaran hutan. Kebakaran hutan merupakan permasalahan nasional, apabila terjadi kebakaran hutan maka menjadi kewajiban bagi pemangku kepentingan untuk segera memadamkan. Anggota lebih banyak terlibat dalam kegiatan pemadaman dibanding kegiatan pencegahan dan penanganan paska kebakaran hutan. Setiap kejadian kebakaran, Balai TNGC membentuk tim pemadaman yang terdiri dari pegawai dan anggota MPA. Pelaksanaan kegiatan tidak terlepas dari dukungan dana/anggaran. Ketergantungan MPA terhadap Balai TNGC menunjukkan hubungan antara pastisipasi MPA dengan anggaran dalakarhut Balai TNGC. Anggaran pencegahan, pemadaman, dan penanganan paska kebakaran hutan BTNGC bersifat fluktuatif. Alokasi anggaran pengendalian kebakaran hutan di BTNGC selama tiga tahun terakhir disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Alokasi dana pengendalian kebakaran hutan TNGC No
Tahun
Kegiatan
Sub Kegiatan
1.
2013
Pencegahan Kebakaran Hutan
Penyuluhan dan Kampanye Pencegahan Karhut Pemeliharaan Sekat Bakar Apel Siaga dan Temu MPA Pembentukan dan Penyegaran MPA Peralatan MPA Pemadaman Dini Regu Dalkarhut Pemadaman Kebakaran Hutan Intelejen dan Penanganan Paska Kebakaran
Pemadaman Kebakaran Hutan
2.
3.
2014
Penanganan Pasca Kebakaran Hutan Jumlah Toral Pencegahan Kebakaran Hutan
2015
Pemadaman Kebakaran Hutan Penanganan Pasca Kebakaran Hutan Jumlah Total Pencegahan Kebakaran Hutan
Pemadaman Kebakaran Hutan Penanganan Pasca Kebakaran Hutan Jumlah Total
Jumlah (Rp)
Jumlah Total (Rp.)
Persentase (%)
23.180.000 26.495.000 43.940.000 138.680.000 132.000.000 151.380.000 45.680.000 64.510.000
364.295.000
58,21
197.060.000 64.510.000
31,49 10,3
625.865.000 Patroli Partisipatif Regu Dalkarhut MPA Pemeliharaan Sekat Bakar Pemadaman Kebakaran Hutan Intelejen dan Penanganan Paska Kebakaran
143.910.000
Pemeliharaan Sekat Bakarr Patroli Partisipatif Regu Dalkarhut MPA Revitalisasi Sarpras Dalkarhut Pemadaman Kebakaran Darat Penanganan Paska Kebakaran
4.620.000 20.400.000
28.560.000 107.538.000 65.760.000
172.470.000 107.358.000 65.760.000
49,89 31,05 19,06
345.768.000
10.000.000 150.000.000 21.740.000
35.020.000 150.000.000 21.740.000
16,94 72,55 10,51
206.760.000
Sumber: Laporan Tahunan Balai TNGC Tahun 2013, 2014, dan 2015 Tabel 4 menunjukkan bahwa dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 anggaran pengendalian kebakaran mengalami penurunan, akan tetapi luas kebakaran hutan TNGC dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 mengalami kenaikan (Tabel 1). Hal tersebut diidentifikasi pengendalian kebakaran hutan bukan fokus utama kegiatan TNGC dan didukung dengan penyusunan anggaran yang tidak terencana serta tidak berbasis pada kebutuhan lapangan. Tabel 4 menunjukkan juga bahwa anggaran pencegahan tahun 2013 dan 2014 lebih besar daripada anggaran pemadaman, dan tahun 2015 anggaran pencegahan lebih kecil daripada
25 anggaran pemadaman. Besar kecilnya anggaran pencegahan tidak diikuti dengan tingkat partisipasi MPA. Selain itu, jenis kegiatan pencegahan kebakaran hutan semakin berkurang. Kegiatan pencegahan kebakaran hutan pada tahun 2014 dan 2015 hanya patroli partisipatif dan pemeliharaan sekat bakar. Berdasarkan hasil wawancara dengan BTNGC, berkurangnya anggaran dan jenis kegiatan pencegahan disebabkan oleh penghematan. Penghematan yang dilakukan merubah output dan volume kegiatan, sehingga kegiatan pencegahan tidak mencapai sasaran yang sesuai dengan rencana awal kegiatan. Adapun berdasarkan wawancara dengan MPA, MPA secara jumlah dan waktu lebih banyak dilibatkan dalam kegiatan pemadaman dibanding pencegahan yaitu keterlibatan MPA dalam pencegahan terbatas pada anggota yang aktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pencegahan kebakaran hutan belum tepat sasaran baik pelaksana maupun hasil yang diinginkan. Sebagian besar tantangan yang dihadapi dalam proses partisipasi adalah budaya organisasi yang mendanai, mengelola, dan yang bertanggung jawab (Uzonna dan Budak 2013). Berdasarkan hal tersebut, BTNGC sebagai organisasi/lembaga yang mendanai dan bertanggung jawab terhadap MPA harus merubah/mereformasi sistem pengelolaan yang ada selama ini. Kegiatan utama dalam pengendalian kebakaran hutan adalah pencegahan. Mencegah lebih baik daripada memadamkan. Anggota MPA belum secara mandiri secara dana dan tenaga dalam pengendalian kebakaran hutan. Partisipasi anggota MPA masih tergantung pada BTNGC. Latar belakang pendidikan anggota MPA yaitu Diploma/Sarjana sebanyak 10,83%, SMA sebanyak 5,83%, SMP sebanyak 11,67%, dan SD sebanyak 71,67 %. Seperti yang dikatakan oleh Gani (2007) bahwa mutu sumberdaya manusia menentukan peningkatan partisipasi masyarakat. Mayoritas pendidikan anggota MPA yaitu Sekolah Dasar (SD) dengan pekerjaan sebagai petani. Latar belakang pendidikan dan pekerjaan mempengaruhi pola pikir anggota MPA. Pemikiran anggota MPA masih terbatas pada apa yang BTNGC mampu berikan kepada mereka melalui kegiatan pengendalian kebakaran hutan. Kemampuan untuk mandiri masih sangat rendah. Partisipasi MPA dalam kegiatan penanganan paska kebakaran pada skor 2,4 (tidak aktif) sampai dengan 2,8 (agak tidak aktif). Kegiatan penanganan paska kebakaran hutan meliputi kegiatan penghitungan luas areal kebakaran, penghitungan kerugian kebakaran, dan penyidikan penyebab kebakaran. Penghitungan kerugian akibat kebakaran yaitu kegiatan menghitung kerugian sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan; adapun penyidikan kebakaran merupakan kegiatan mencari dan menelusuri sumber api serta mencari bukti fisik dan keterangan kejadian kebakaran. Rendahnya partisipasi MPA dalam kegiatan penanganan akibat kebakaran disebabkan kegiatan tersebut memerlukan keahlian khusus seperti ahli kebakaran, ahli tanah; serta melibatkan pihak yang berwenang (penyidik). Disamping itu, kerahasiaan informasi merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi sehingga hanya pihak tertentu yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Selain aspek keahlian dan kerahasiaan, rendahnya partisipasi diidentifikasi disebabkan juga oleh anggaran kegiatan penanganan paska kebakaran BTNGC (Tabel 4) persentasenya tidak berubah selama 3 tahun yaitu sebesar 10 % dari keseluruhan anggaran dalkarhut dengan jenis kegiatan yang sama, bahkan berkurang pada tahun 2015.
26 MPA adalah masyarakat yang tinggal di desa sekitar hutan sehingga dekat dengan kejadian kebakaran. Jarak yang dekat memudahkan MPA mengetahui api lebih awal dan mampu memadamkannya sebelum menjadi besar. Anggota MPA merupakan masyarakat asli dan atau masyarakat yang sudah lama tinggal di sekitar TNGC (lebih dari 20 tahun) yang mengenal kawasan TNGC dengan baik. Anggota MPA termasuk dalam kelompok umur produktif yaitu umur 25 sampai dangan 55 tahun. Jarak yang dekat, pemahaman kawasan, dan umur produktif merupakan aset yang potensial dimanfaatkan dalam kegiatan pencegahan, pemadaman, dan penanganan paska kebakaran hutan. Marbyanto (2004) seperti yang dikutip Akbar (2008) menyebutkan bahwa masyarakat mempunyai potensi sumber daya tenaga yang sangat besar untuk menunjang kegiatan pengendalian kebakaran hutan sebagai pelengkap sumber daya tenaga Pemerintah yang masih terbatas. Luas TNGC sekitar 15.859,17 ha dengan jumlah pegawai Balai TNGC sebaanyak 79 orang (BTNGC 2016). Perbandingan ruang lingkup wilayah kerja yang luas dengan sumber daya manusia yang dimiliki tidak seimbang, sehingga penanganan pengendalian kebakaran hutan membutuhkan bantuan masyarakat. Ostrom (1990) menyebutkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan merupakan fungsi dari organisasi informal. Linggani et al (2011) menyebutkan partisipasi masyarakat lokal sangat penting dilakukan dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan kebakaran hutan TNGC yang terkendali antara lain yaitu penurunan luasan areal kebakaran hutan, BTGC membutuhkan partisipasi masyarakat lokal yaitu MPA. TNGC merupakan kawasan hutan yang mempunyai banyak akses/pintu masuk ke dalam kawasan. Jumlah pegawai TNGC tidak mencukupi mengawasi TNGC siang malam selama 24 jam. MPA merupakan mitra utama TNGC karena MPA merupakan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan yang bersinggungan langsung dengan kawasan dan orang pertama yang tahu apabila terjadi kebakaran dan mampu melakukan pemadaman awal/dini terhadap kebakaran sehingga kebakaran tidak meluas dan membesar. Partisipasi tidak hanya terbatas pada memberikan pendapat akan tetapi terlibat langsung pada proses. Kenyataan yang ada di lapangan yaitu partisipasi MPA dalam kegiatan dalkarhut masih bergantung pada kegiatan dalkarhut BTNGC. Putnam (1993) menyebutkan bahwa kegagalan dalam bekerjasama untuk saling menguntungkan tidak selalu menandakan ketidaktahuan atau irasionalitas atau bahkan kebencian. Akan lebih baik jika semua orang bisa bekerjasama. Akan tetapi karena ketiadaaan koordinasi dan komitmen bersama, kerjasama tersebut tidak pernah terjadi. Ostrom (1997) seperti yang dikutip Uzonna dan Budak (2013) menyebutkan bahwa keberhasilan jangka panjang dari proses partisipatif tergantung pada reformasi kelembagaan yang sesuai sehingga stakeholder memiliki akuntabilitas, tanggung jawab sosial, serta memiliki rasa saling percaya. Dengan adanya ketidakpercayaan tersebut menunjukkan adaya ketidakharmonisan kerjasama dan komunikasi yang tidak lancar antara MPA dan BTNGC. Verhagen (1979) yang dikutip Theresia et al. (2014) menyatakan bahwa partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian wewenang, tanggung jawab, dan manfaat. Tumbuhnya interaksi dan komunikasi tersebut dilandasi oleh adanya kesadaran yang dimiliki yang bersangkutan. Partisipasi MPA masih terpusat pada kegiatan pemadaman. Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi dan komunikasi mengenai pembagian
27 wewenang dan tanggung jawab antara BTNGC dan MPA dalam pengendalian kebakaran hutan TNGC belum berjalan.
Skor Persepsi
Faktor yang mempengaruhi partisipasi MPA dalam pengendalian kebakaran hutan di TNGC Faktor yang mempengaruhi partisipasi MPA dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan dikelompokkan menjadi tiga yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hasil skoring menunjukkan bahwa faktor yang kuat berpengaruh pada partisipasi adalah faktor ekonomi pada skor 5,5 sampai dengan 6 (setuju) (Gambar 11). 7 6 5 4 3 2 1 0
Desa sangat rawan kebakaran Padabeunghar Desa rawan kebakaran Setianegara Desa tidak rawan kebakaran Sangkanerang Desa sangat rawan kebakaran Padaherang Desa rawan kebakaran Payung Desa tidak rawan kebakaran Indrakila
Ekonomi
Sosial
Lingkungan
Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi
Keterangan:
n: 120 Skor Persepsi:
1=Sangat Tidak Setuju, 2=Tidak Setuju, 3=Agak Tidak Setuju, 4=Biasa Saja, 5= Agak Setuju, 6=Setuju, 7=Sangat Setuju
Gambar 11 Faktor yang mempengaruhi partisipasi MPA dalam pengendalian kebakaran hutan Gambar 11 menunjukkan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang mempengaruhi partisipasi anggota MPA dalam kegiatan dalkarhut terutama pada kegiatan pemadaman kebakaran hutan. Partisipasi didefinisikan sebagai suatu proses aktif dimana kelompok mempengaruhi arah dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dalam hal pendapatan, pertumbuhan pribadi, kemandirian atau nilai-nilai lainnya (Little 1994 seperti yang dikutip Linggani et al 2011). Menurut Vroom (1964) seperti yang dikutip Lunenburg (2011) keikutsertaan seseorang dalam sebuah organisasi dipengaruhi oleh keinginan seseorang dalam memperoleh manfaat seperti uang, barang, status sosial ataupun tantangan. Orang akan memilih di antara alternatif-alternatif tersebut untuk mendapat hasil yang terbaik bagi mereka pribadi. Adapun Linggani et al (2011) dan Ruiz-Mallen et al (2015) menyatakan bahwa keuntungan ekonomi merupakan motivasi yang mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam sebuah kegiatan/organisasi. Anggota MPA adalah masyarakat sekitar hutan yang masih bergantung dan memanfaatkan hutan TNGC. Anggota MPA berprofesi sebagai perangkat desa sebanyak 10,83 %, wirasawasta sebanyak 18,33 %, petani sebanyak 60,83%, dan buruh sebanyak 10%. Penghasilan MPA per bulan rata-rata 1,5 juta per bulan dengan jumlah tanggungan 3 (tiga) sampai dengan
28 5 (lima) orang dalam satu keluarga. Dengan Aktivitas ekonomi di dalam kawasan hutan TNGC (Hutan Tanaman Rakyat seperti pada saat Gunung Ciremai dikelola oleh Perhutani) dilarang, sehingga masyarakat beralih pada kegiatan yang dianggap mendatangkan manfaat ekonomi. Anggota MPA berperan aktif pada kegiatan pengendalian kebakaran hutan yang mereka anggap mendatangkan manfaat ekonomi. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri karena kegiatan dalkarhut BTNGC seperti pembuatan sekat bakar, patroli pencegahan, pemadaman kebakaran mendatangkan manfaat berupa upah, logistik, dan barang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi MPA tidak selamanya sejalan dengan partisipasi. Persepsi positif tidak menjamin terjadinya partisipasi yang tinggi, mungkin sebaliknya (partisipasinya rendah). Banyak faktor yang berpengaruh, terutama kepentingan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Perkembangan dan menguatnya sebuah institusi tergantung dari dukungan/partisipasi masyarakat pemangku institusi. Soetomo (2014) menyebutkan bahwa komitmen masyarakat terhadap institusi semakin kuat apabila masyarakat merasakan manfaat dari keberadaan institusi yang bersangkutan. Uzonna dan Budak (2013) menyebutkan bahwa program pengelolaan sumber daya alam bersama masyarakat didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat memiliki kepentingan yang lebih besar dan dengan begitu dapat mengkoordinasikan kepentingan/kebutuhan mereka sendiri secara efektif, baik secara lokal atau tradisional, baik dalam proses dan prakteknya. Ketika anggota MPA mengganggap bahwa kegiatan dalkarhut merupakan sesuatu yang mereka butuhkan dan merupakan kepentingan diri mereka sendiri, maka secara otomatis mereka berpartisipasi dalam proses dan prakteknya. Hal yang penting dilakukan adalah membangun/membuat persepsi bagi masyarakat (anggota MPA maupun tidak) bahwa dalkarhut adalah kepentingan/kebutuhan mereka sendiri. Ruiz-Mallen et al. (2015) menyebutkan keseriusan masyarakat lokal dalam melestarikan hutan perlu di gugah dengan berbagai macam cara yang menghasilkan efek yang sinergi. Upaya untuk menggugah dan meningkatkan kesadaran MPA bahwa masyarakat sekitar hutan lah orang yang pertama kali merasakan manfaat dari hutan yang lestari. Masyarakat sekitar hutan merupakan pengambil manfaat pertama dari kelestarian hutan. Apabila hutan tidak terjaga/rusak, maka masyarakat sekitar hutan lah yang pertama kali menerima dampaknya.
Implementasi Peraturan Perundang-undangan MPA Djogo et al. (2003) menyebutkan bahwa kebijakan adalah intervensi pemerintah (dan publik) untuk mencari cara pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik. Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 tentang pembentukan dan pembinaan MPA merupakan peraturan untuk memperjelas kedudukan MPA dan mengatur sistem di dalam MPA. Gap merupakan ketidaksesuaian tujuan atau harapan. Gap dalam peningkatan keefektifan pengendalian kebakaran hutan dapat muncul ketika tujuan yang ingin dicapai yang sudah diatur dalam peraturan tidak diimplementasikan di lapangan. Tujuan tersebut tidak mampu diimbangi dengan sumberdaya yang dimiliki.
29 Kebijakan hanya akan menjadi kebijakan atau cita-cita semata kalau tidak dapat dilaksanakan (Djogo et al. 2003). Implementasi/pelaksanaan di lapangan sangat penting untuk melihat keberhasilan kebijakan yang telah dibuat Implementasi peraturan perundang-udangan MPA yang diidentifikasi terbagi dalam 4 elemen yaitu sistem pembinaan, sistem penghargaan, sarana dan prasarana, serta pendanaan. Elemen tersebut terbagi lagi dalam kriteria dan indikator yaitu sebanyak 42 indikator (Tabel 5). Tabel 5 Implementasi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 Elemen, Kriteria, dan Indikator Sistem Pembinaan a. Pertemuan Rutin 1. Bulanan 2. Per 3 bulan 3. Per 6 bulan b. Pelatihan 1. Pelatihan Pencegahan Kebakaran Hutan 2. Pelatihan dasar Pemadaman Kebakaran hutan 3. Pelatihan dasar penanganan paska kebakaran hutan Sistem Penghargaan a. Tipe penghargaan 1. Perorangan 2. Kelompok b. Bentuk penghargaan 1. Piagam 2. Uang Sarana Prasarana Tiap Kelompok a. Ruang pertemuan/Kantor b. ATK c. GPS d. PETA e. Kompas f. Papan tulis g. Papan peringkat bahaya kebakaran h. Komputer 1. Personal Computer (PC) 2. Printer i. Alat komunikasi 1. Handy Talky (HT) 2. Handphone (HP) 3. Internet j. Peralatan Tangan 1. Kapak dua fungsi 2. Garu pacul 3. Gepyok 4. Garu tajam 5. Pompa punggung 6. Obor sulut k. Pelatan mekanik 1. Pompa induk 2. Pompa portable 3. Pompa jinjing 4. Pompa apung 5. Selang kirim 6. Tangki air lipat Pendanaan a. Sumber dana 1. Pemerintah Pusat 2. Pemerintah Daerah 3. Perusahaan (CSR) 4. Swadaya Masyarakat 5. LSM b. Bentuk pendanaan a. Uang b. Pelatihan c. Sarana prasarana Jumlah Total Indikator Jumlah Indikator yang sesuai dan persentaenya Jumlah Gap dan persentasenya
Kondisi Ideal sesuai Aturan
Kondisi di Lapangan
Keterangan
V V V
X X V
Tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai
setahun sekali setahun sekali setahun sekali
V V x
Sesuai Sesuai Tidak sesuai
V V
X X
Tidak sesuai Tidak sesuai
V v
X X
Tidak sesuai Tidak sesuai
1 unit 1 paket 1 buah Peta desa 1 buah 1 buah 1 buah
X X X X X X X
Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai
1 buah 1 buah
X X
Tidak sesuai Tidak sesuai
1 buah 1 buah Tersedia
X X X
Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai
4 buah 6 buah 6 buah 3 buah 1 buah 2 buah
X X X X X X
Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai
1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 4 buah 2 buah
X X X X X X
Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai
V V V V V
V V X X X
Sesuai Sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai
V V V
V V V
Sesuai Sesuai Sesuai 42 8/19,05% 34/80,95%
Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 42 indikator implementasi peraturan perundang-undangan MPA terdapat 34 indikator yang bertentangan atau muncul ketidaksesuaian/gap. Ketidaksesuain/gap tersebut sebesar 80,95% dari keseluruhan indikator. Tingginya ketidaksesuaian/gap atau rendahnya implementasi diidentifikasi karena kebijakan mengenai MPA masih umum dan terbatas pada pembentukan dan pembinaan MPA, dan belum mengatur secara luas aspek yang berhubungan dengan penghargaan, sarana prasarana, dan pendanaan. Tidak adanya
30 sanksi membuat posisi hukum kebijakan tersebut sangat lemah. Muhammadiyah (2014) menyebutkan bahwa samarnya isi perundang-undangan (kebijakan) yaitu tujuan yang tidak terperinci, sarana-sarana dan penetapan prioritas, program yang terlalu umum berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan/implementasi peraturan/kebijakan. Ketidaksesuaian/gap yang muncul dalam sistem pembinaan adalah pertemuan rutin anggota MPA TNGC tidak dilakukan secara rutin tiap bulan. Berdasarkan wawancara, pertemuan anggota MPA sering dilakukan secara informal dan hanya melibatkan beberapa orang. Pertemuan ini dirasakan lebih bermanfaat karena sifatnya yang tidak kaku, kekeluargaan, dan tepat sasaran. Akan tetapi pertemuan ini hanya melibatkan anggota MPA yang aktif saja. Anggota MPA belum diberdayakan seluruhnya. Kehadiran sebagian anggota hanya sebagai pemenuhan target tanpa ada sumbangsih yang nyata. Kegiatan Apel Siaga Dalkarhut yang dilaksanakan setahun sekali bisa dikatakan pertemuan rutin tahunan. Selama tiga tahun dari tahun 2012 s.d. 2014 kegiatan Apel Siaga baru dilaksanakan satu kali yaitu pada tahun 2013 dan 2014. Pertemuan tahunan ini sering terkendala dengan anggaran yaitu tidak dianggarkan setiap tahun. Intensitas pertemuan MPA dengan BTNGC hanya terjadi pada saat musim kemarau saja. Di luar musim kemarau pertemuan sangat jarang atau tidak dilakukan. Hal tersebut yang menyebabkan MPA merasa dianggap sebelah mata/disepelekan. Untuk mengatasi masalah yang ada perlu dilakukan komunikasi yang intesif yang diwujudkan dengan sosialisasi, penyuluhan, kampanye, pelatihan, dan pembinaan yang dilakukan sepanjang tahun baik pada saat musim kemarau maupun musim penghujan. Berdasarkan laporan tahunan BTNGC, kegiatan pembentukan dan penyegaran MPA tahun 2012 dilaksanakan sebanyak 1 kali di Kuningan dengan peserta sebanyak 75 orang. Pada tahun 2013 dilaksanakan sebanyak satu kali di Kuningan dengan peserta sebanyak 350 orang. Adapun pada tahun 2014 tidak ada realisasi kegiatan. Tidak adanya kegiatan pembentukan dan penyegaran MPA dikarenakan adanya penghematan anggaran sehingga kegiatan tersebut dikurangi/dihilangkan (BTNGC 2015). Kegiatan pembentukan dan penyegaran MPA yang dilakukan tidak spesifik pada upaya peningkatan kemampuan/kompetensi anggota MPA. Jenis dan tingkatan pelatihan yang diselenggarakan belum berjenjang. Tidak ada perencanaan yang komprehensif, terencana dan terukur dalam melaksanakan kegiatan pembentukan dan penyegaran MPA. Kurikulum dan silabi pelatihan yang berjenjang/bertingkat secara nasional bagi penyelenggaraan pelatihan belum ada/belum disusun. Penyegaran MPA hanya dilakukan untuk menyegarkan/mengingatkan/mengasah kembali kemampuan pencegahan dan pemadaman anggota MPA. Sehingga kegiatan tersebut bersifat monoton/tidak berubah dan tidak meningkatkan kemampuan anggota MPA. Berdasarkan wawancara, kegiatan pembinaan baik pertemuan maupun pelatihan dalkarhut paling banyak dilakukan sebanyak dua kali menyesuaikan dengan dana dan waktu yang tersedia, dengan mekanisme mengumpulkan perwakilan dari kelompok MPA. Mekanisme tersebut dirasakan oleh anggota MPA tidak efektif karena tidak ada transfer informasi dan keterampilan dari anggota yang menjadi perwakilan terhadap anggota lainnya. Ketidakefektifan tersebut dipengaruhi lagi dengan permasalahan bahwa orang yang menjadi perwakilan kelompok adalah orang yang sama pada tiap pertemuan/pelatihan.
31 Sistem pembinaan MPA sudah diatur dalam Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 pada bab V Pasal 12 ayat 1 yaitu “Pembinaan.......dilakukan dalam bentuk pemberian motivasi, pengetahuan, dan keterampilan pengendalian kebakaran hutan konservasi dan lahan”, dan ayat 2 yaitu “Pembinaan.......dilakukan oleh Unit pelaksana Teknis dengan mekanisme: (a) pertemuan rutin dalam rangka penguatan kelembagaan; dan (b) pelatihan (inhouse training) pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara bertahap dan berkesinambungan”. Materi pelatihan dicantumkan dalam lampiran II berupa materi teori dan praktek pembekalan teknis calon MPA; dan lampiran III berupa silabus materi pelatihan dan praktek lapangan bagi MPA. Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pertemuan dan pelatihan merupakan jenis pembinaan yang diberikan kepada MPA, akan tetapi belum diatur secara detail berapa kali volume pertemuan rutin dilakukan dalam setahun, serta jenis pelatihan dan tingkat pelatihan yang harus diberikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa isi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 masih bersifat umum. Anggaran bidang pengendalian kebakaran hutan TNGC selama tiga tahun yaitu dari tahun 2013 s.d. tahun 2015 belum ada alokasi anggaran kegiatan penghargaan terhadap MPA baik kelompok maupun perorangan. Berdasarkan wawancara, penghargaan penting dilakukan untuk meningkatkan partisipasi MPA. Penghargaan yang diberikan kepada kelompok MPA antara lain dalam bentuk peralatan ataupun kegiatan yang menunjang keberhasilan pengendalian kebakaran hutan. Penghargaan diberikan apabila target tercapai yaitu terkendalinya kejadian kebakaran di masing-masing wilayah kelompok MPA. Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 mengatur sistem penghargaan MPA pada bab III pasal 10 yaitu “Anggota MPA dapat diberikan penghargaan apabila: (a) berpartisipasi aktif secara mandiri dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan penyuluhan kepada masyarakat; (b) menggalang masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran untuk tidak melakukan pembakaran, memeberikan informasi secara cepat kepada manggala agni sebagai upaya peringatan dini; (c) ikut aktif membantu manggala agni dalam pemadaman kebakaran hutan dan lahan”. Acuan diberikannya penghargaan kepada MPA sudah dijelaskan akan tetapi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 belum secara detail mengatur tipe dan bentuk penghargaan yang diberikan kepada MPA. Hal tersebut menunjukkan bahwa Perdirjen PHKA 2/2014 isinya masih bersifat umum dan belum diimplementasikan oleh BTNGC. Sarana prasarana adalah peralatan dan fasilitas yang digunakan untuk mendukung pengendalian kebakaran hutan. Keberhasilan pengendalian kebakaran hutan bergantung tidak hanya pad SDM dan metode yang diterapkan, tetapi juga pada ketersediaan peralatan dan fasilitas yang memadai (Suratmo 2003). Adapun Akbar (2008) menyatakan bahwa sistem pengendalian kebakaran berbasis masyarakat seperti MPA perlu difasilitasi melalui pelatihan ketrampilan pemadaman, pengetahuan lingkungan, dan bantuan alat pemadam sederhana yang dapat digunakan secara praktis dan efektif. Ketidaksesuaian/gap pada sarana prasarana kelompok MPA yaitu minimnya ketersediaan peralatan tangan/peralatan sederhana dan tidak tersedianya peralatan mekanik di tiap kelompok MPA. Sarana dan Prasarana dalkarhut hanya terdapat pada kantor resort yang kemudian diditribusikan/digunakan oleh MPA apabila ada kegiatan seperti pembuatan sekat bakar dan pemadaman. Sarana dan prasarana dalkarhut yang ada merupakan Barang Milik Negara (BMN). Peralatan tersebut tidak dimiliki oleh MPA. Peralatan
32 digunakan saat pelaksanaan kegiatan pencegahan, pemadaman, dan penanganan paska yang kemudian dikumpulkan lagi di kantor resort saat kegiatan sudah selesai. Menurut Akbar (2008) salah satu hambatan aktual pengendalian kebakaran yang sering dialami adalah terbatasnya sarana prasarana serta pendanaaan. Sarana prasarana yag dimiliki oleh BTNGC masih terbatas dan belum sesuai dengan Perdirjen PHKA 2/2014. Sarana dan prasarana yang dimiliki BTNGC disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Sarana dan prasarana pengendalian kebakaran hutan TNGC Nomor 1 2 3 4 5 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jenis Pompa Tangan (pompa portable) Pompa Lainnya (pompa apung) Mobil Pemadam Kebakaran Garpu pacul Garpu Senter Alat Pemadam Kebakaran Sprayer (Pompa Punggung) Eye Googles Golok Collapsible Water Tank Baju Pengaman Masker Helm
Jumlah
Satuan
3 1 1 3 6 5 8 70 15 4 2 10 15 15
Unit Unit Unit Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah Buah
Sumber: Data Barang Milik Negara (BMN) Balai TNGC (2016) Sarana dan Prasarana MPA diatur dalam Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 pada bab IV pasal 12 ayat (1) yaitu “Sarana dan Prasarana sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf c, dapat berupa alat tulis, GPS, peta, Kompas, papan tulis, komputer, alat komunikasi, peralatan tangan dan mekanik”. Jenis sarana dan prasarana yang dipergunakan oleh MPA dijelaskan lebih lanjut pada lampiran VI dan VII yaitu peralatan tangan (handtools) berupa kapak dua fungsi, garu pacul, gepyok, garu tajam, pompa punggung, dan obor sulut; peralatan mekanik berupa pompa induk, pompa portable, pompa jinjing, pompa apung, selang kirim, dan tangki lipat. Jenis fasilitas dan peralatan sudah disebutkan, akan tetapi belum secara detail mengatur jumlah per jenis fasilitas dan peralatan yang harus tersedia pada tiap kelompok MPA. Pengendalian kebakaran hutan dapat tercapai secara optimal apabila didukung oleh dana yang memadai yang dipergunakan secara tepat guna dan tepat sasaran. Dana tersebut dapat digali dari sumber-sumber dana pemerintah (APBN dan APBD) dan non-pemerintah yang bersifat tidak mengikat. Kondisi saat ini, sumber dana dalkarhut paling besar dari Balai TNGC. Pemangku kepentingan lainnya belum mengalokasikan secara khusus dana dalkarhut. Pengalokasian anggaran khusus dalkarhut pada pemangku kepentingan besarannya tidak mencukupi. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sudah mengalokasikan dana yang berkaitan dengan dalkarhut, akan tetapi terbatas pada kegiatan pemadaman kebakaran. Pencairan dana tersebut harus memenuhi kriteria khusus yaitu apabila kebakaran hutan yang terjadi sudah ditetapkan statusnya sebagai bencana. Pendanaan dalkarhut disesuaikan dengan anggaran yang dimiliki oleh BTNGC dan realisasi pendanaan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan
33 waktu yang tersedia. Tabel 4 menunjukkan bahwa pada tahun 2015 anggaran pengendalian kebakaran hutan berkurang dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil wawancara, penurunan anggaran disebabkan adanya penghematan anggaran. Hal ini didukung dengan rendahnya kejadian kebakaran hutan pada tahun 2013 dan 2014. Sistem pendanaan diatur dalam Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 bab VI pasal 15 yaitu “Pembiayaan pembentukan MPA dapat bersumber dari dana Pemerintah atau pemerintah Daerah atau sumber dana lain yang tidak mengikat”. Pasal tersebut hanya mengatur tentang pembiayaan pembentukan MPA, adapun pembiayaan pembinaan seperti pertemuan rutin, pelatihan, dan pengadaan sarana prasarana tidak diatur secara jelas. Pasal tersebut hanya menjelaskan sumber dana dalam pengertiannya sebagai uang, tidak dijelaskan sumber dana dalam bentuk lain seperti sumbangan sarana dan prasarana. Hasil analisis menunjukkan isi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 masih bersifat umum dan terbatas pada mekanisme pembentukan dan pembinaan MPA. Peraturan perundang-undangan (kebijakan) berfungsi sebagai instrumen pengendali perilaku apabila memiliki kekuatan hukum yang berjenjang secara hierarkhis, serta memiliki kecukupan isi. Kecukupan isi peraturan perundangundangan (kebijakan) dicirikan adanya kejelasan tujuan, objek hukum, sanksi serta pemberian kewenangan yang jelas bagi pelaksana (Mazmanian dan Sabatier 1983 yang dikutip Muhammadiyah 2014). Purwanto dan Sulisyastuti (2012) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan berhasil tidaknya implementasi adalah kualitas peraturan (kebijakan) yang meliputi kejelasan tujuan dan kejelasan pelaksana. Dalam Perdirjen PHKA 2/2014, kelompok sasaran yang diatur sudah cukup jelas yaitu MPA. Akan tetapi kepentingan MPA yang diatur secara jelas dan rinci hanya sebatas pada persyaratan dan mekanisme perekrutan anggota MPA, pembinaan, dan pelatihan. Hal teknis lain seperti manfaat, sumber daya, dan pelaksana tidak dijelaskan secara rinci. Berdasarkan isi Perdirjen PHKA 2/2014 perubahan yang diinginkan hanya sebatas perekrutan, pembentukan, dan pembinaan/pelatihan menjadi semakin rapi dan terstuktur. Tujuan yang lebih besar dan penting seperti keberhasilan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA tidak termuat di dalam Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014. Grindle (1980) seperti yang dikutip Safkaur (2014) menyebutkan bahwa isi kebijakan (content of policy) mencakup, pertama sejauh mana kepentingan kelompok sasaran (target groups) termuat dalam isi kebijakan. Kedua, jenis manfaat yang diterima oleh target groups. Ketiga, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan. Keempat, apakah letak sebuah program sudah tepat. Kelima, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementator dengan rinci. Dan keenam, apakah program tersebut didukung dengan sumber daya yang memadai. Tingginya gap atau rendahnya implementasi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 diidentifikasi karena terbatasnya sumberdaya manusia dan dana yang dimiliki oleh BTNGC. Salah satu upaya untuk meminimalisir gap yaitu menyusun aturan lebih lanjut yang memuat hal teknis secara detail, mencakup segala hal yang menyangkut MPA TNGC dalam sebuah aturan di tingkat TNGC. Aturan tersebut disusun berdasarkan kondisi di lapangan dan karakteristik MPA TNGC khususnya sarana prasarana serta hak dan kewajiban MPA. Hal ini untuk meminimalisir adanya multi tafsir/interpretasi yang berbeda, kesalahfahaman, dan untuk mempunyai kedudukan hukum yang mengikat sehingga wajib dilaksanakan.
34 Dengan kejelasan isi tersebut diharapkan mampu meningkatkan partisipasi MPA dan keberhasilan pengendalian kebakaran hutan di TNGC. Sampai saat ini, pengendalian kebakaran hutan di TNGC belum dikatakan berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan masih terjadinya kebakaran hutan di TNGC yaitu kebakaran hutan di TNGC tidak bisa diprediksi, fluktuatif, dan acak. Situasi seperti ini muncul akibat pembuat keputusan tidak melibatkan semua pemangku kepentingan dalam membuat kebijakan pengendalian kebakaran hutan antara lain Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014. Sehingga kebijakan tersebut belum mampu mengartikulasikan pengelolaan yang multi tujuan serta melibatkan banyak pihak. Dengan demikian kebijakan yang dibuat menjadi legal tetapi tidak legitimate. Secara ringkas hasil analisis implementasi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 di TNGC dapat dirangkum seperti dalam Gambar 12.
Pemberdayaan
MPA
Persepsi Sarana dan Prasarana Hak dan Kewajiban Partisipasi
Perdirjen PHKA No 2 Tahun 2014
RESORT
TNGC
Pengendalian Kebakaran Hutan: 1. Pencegahan 2. Pemadaman 3. Penanganan Paska
Teknis dan Administrati
f
Gambar 12 Kerangka hasil analisis implementasi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014
Strategi Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan oleh MPA Menurut Aliadi (2011) terbentuknya TNGC menimbulkan konflik pro dan kontra yang mengarah pada sikap konfrontatif. Sebelum menjadi kawasan taman nasional, saat zaman pemerintahan kolonial Belanda, kawasan hutan Gunung Ciremai sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan tutupan atau hutan lindung. Saat pemerintahan Indonesia yaitu pada tahun 1978, hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai hutan produksi yang pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani. Perhutani mengembangkan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Sistem tersebut mempunyai program melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Salah satu programnya yaitu kegiatan tumpang sari berupa tanaman sayuran di bawah tegakan hutan pinus (BTNGC 2010). Pada Saat dikelola
35 Perhutani kebakaran sudah sering terjadi. Perhutani membentuk kelompok masyarakat yang diberi upah untuk melakukan pemadaman. Apabila kebakaran tidak terkendali, masyarakat hanya berjaga-jaga supaya kebakaran tidak merambat ke ladang/sawah ataupun pemukiman. Berdasarkan sejarah TNGC tersebut, ketergantungan masyarakat terhadap TNGC sangat tinggi. Syahadat dan Sianturi (2006) menyebutkan bahwa faktor paling utama yang mendorong terjadinya kebakaran hutan adalah faktor ekonomi. Sampai saat ini, selama 13 tahun berdirinya TNGC, keinginan masyarakat untuk menggarap hutan masih ada. Aliadi (2011) menyebutkan bahwa permasalahan utama TNGC adalah pemanfaatan lahan di dalam kawasan TNGC. Hal tersebut merupakan ancaman terhadap keutuhan dan kelestarian TNGC. Seperti yang dikemukakan oleh Hapsari (2013) yang menyebutkan bahwa besarnya ketergantungan masyarakat akan lahan dan sumber daya lain di kawasan TNGC mempengaruhi sikap mereka terhadap dukungan dan partisipasi pengelolaan TNGC. Berdasarkan hasil analisis persepsi, partisipasi, dan implementasi peraturan perundang-undangan MPA yang telah dibahas sebelumnya, maka dapat diidentifikasi beberapa kondisi penting yaitu: 1. Persepsi MPA positif terhadap faktor tumpukan seresah, musim kemarau, dan aktivitas masyarakat yang menimbulkan api. 2. Partisipasi MPA paling tinggi pada kegiatan pemadaman kebakaran hutan. 3. Faktor ekonomi mempengaruhi partisipasi MPA, terutama dalam kegiatan pemadaman kebakaran hutan. 4. Gap yang muncul pada implementasi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 sebesar 80,95%. Lemahnya leadership BTNGC terhadap MPA seperti keterbatasan dana pembinaan dan pelatihan, keterbatasan sarana prasarana, sistem pendanaan yang tidak tepat sasaran diduga menyebabkan belum optimal/belum efektifnya kemampuan MPA dalam pengendalian kebakaran hutan di TNGC. Efektifitas pengendalian kebakaran hutan oleh MPA adalah ketepatan sasaran/kesesuaian tujuan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA TNGC yaitu terkendalinya kejadian kebakaran, kebakaran dapat diprediksi, dan tidak fluktuatif. Berdasarkan hasil analisis, maka dapat dirumuskan strategi peningkatan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA TNGC sebagai berikut: 1. Penguatan kelembagaan MPA Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan berdasarkan aspek sosial ekonomi dan budaya, kelembagaaan, dan kebijakan pemerintah memegang peranan penting dalam pengendalian kebakaran hutan (Akbar 2008). Penguatan kelembagaan dilakukan dengan Resort Based Management (RBM) yaitu pengendalian kebakaran hutan berbasis resort. Tujuan pengelolaaan Taman Nasional berbasis resort adalah efektifitas pengelolaan, begitu juga tujuan dalkarhut berbasis resort adalah efektifitas dalkarhut. Anggaran dan kegiatan dikelola dan dilaksanakan per resort disesuaikan dengan kebutuhan masingmasing resort. Hal ini disebabkan masing-masing resort mempunyai karakteristik kawasan, masyarakat, permasalahan dan anggota MPA yang berbeda-beda. Penguatan kelembagaan MPA dilakukan sampai MPA mampu mengelola organisasinya dan melakukan kegiatan dalkarhut secara mandiri. MPA sebagai pelaku utama dan Balai TNGC sebagai pendukung. Adapun dalkarhut berbasis resort diterapkan pada bidang berikut:
36 a. Pembinaan dan pelatihan. Dengan pengelolaan dalkarhut berbasis resort, keefektifan dalkarhut MPA di TNGC dapat dicapai dengan mengedepankan strategi pencegahan dengan MPA sebagai aktor utama di setiap resort sehingga tepat sasaran. Terjalinnya komunikasi yang intesif antara BTNGC dengan MPA dan masyarakat sekitar TNGC lainnya yang diwujudkan dengan sosialisasi, penyuluhan, kampanye, serta penguatan kelembagaan MPA (pelatihan, pembinaan, dan sarana prasarana). Kegiatan tersebut dilakukan sepanjang tahun baik pada saat musim kemarau maupun musim penghujan. Intensitas pembinaan, pelatihan, kampanye, penyuluhan, dan penyebarluasan informasi sangat penting dalam meningkatkan kesadaran, pembentukan persepsi, dan perubahan perilaku yang pada akhirnya pada peningkatan partisipasi. Pelibatan aktif anggota MPA dapat diwujudkan dengan kegiatan kampanye dan penyuluhan yang melibatkan MPA sebagai pihak penyelenggara atau pemateri. b. Sarana dan prasarana. Akbar (2008) menyebutkan bahwa masalah yang sering timbul di dalam pengendalian kebakaran hutan adalah belum adanya peralatan pemadaman sederhana di tataran desa dan terbatasnya sarana dan prasarana serta pendanaan dalkarhut. Inventarisasi sarana prasarana yang dibutuhkan tiap kelompok MPA sangat penting dilakukan supaya anggaran yang disusun sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan tepat sasaran. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh MPA adalah perlengkapan pribadi (personal use) seperti baju tahan api, sepatu safety, helm, masker, sarung tangan, dan senter. Suratmo (2003) menyebutkan bahwa jenis dan jumlah peralatan serta fasilitas yang disediakan harus sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan dan masyarakat setempat agar peralatan dan fasilitas tersebut dapat berfungsi dengan baik untuk pengendalian kebakaran hutan. Adapun peralatan tangan (hand tools) yang dibutuhkan dan cocok dengan kondisi alam TNGC adalah parang, garu, pacul, gepyok dan jetshooter. Peralatan pemadamanan seperti pompa dan selang kurang efektif digunakan dalam melakukan pemadaman, karena medan yang berat, terjal, dan curam. Pemadaman efektif dilakukan dengan ranting basah, pembuatan sekat bakar, dan bakar balas. c. Reward and punishment. Menurut Syahadat dan Sianturi (2006) kebakaran hutan di TNGC disebabkan oleh ketidakadilan dalam kepemilikan lahan, kecemburuan sosial, tidak adanya insetif dan disinsentif ekonomi dan lemahnya hukum yang berlaku. Adapun Djogo et al (2003) menyebutkan bahwa kelembagaan (institusi) bisa berkembang dan berfungsi baik jika ada insentif bagi orang dan organisasi untuk melaksanakannya, mentaati aturan-aturan main, serta bergabung dalam kegiatan kolektif. Penghargaan diberikan pada perseorangan, kelompok, maupun resort yang mampu menjaga daerah/kawasannya dari kebakaran hutan. Penghargaan diberikan dalam bentuk sarana prasarana maupun kegiatan yang menunjang kegiatan dalkarhut.
37 d. Pendanaan kegiatan pengendalian kebakaran hutan. Dana pengendalian kebakaran hutan TNGC bersumber dari Balai TNGC. Adapun dana dari pemangku kepentingan lainnya masih terbatas. Kelemahan tersebut didukung dengan sistem pendanaan yang tidak berbasis pada kebutuhan lapangan, sehingga kegiatan yang dilaksanakan belum tepat sasaran. Keberhasilan sebuah organisasi tidak terlepas dari pendanaan. Strategi yang digunakan dalam sistem pendanaan yaitu penyusunan anggaran pengendalian kebakaran hutan berdasarkan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Jenis dan volume kegiatan pengendalian kebakaran hutan baik pencegahan, pemadaman, dan penanganan paska disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan dengan menitikberatkan pada kegiatan pencegahan kebakaran hutan. Kegiatan pencegahan kebakaran hutan antara lain sosialisasi, penyuluhan, dan kampanye yang dilakukan sepanjang tahun baik musim kemarau maupun musim penghujan. 2. Penyusunan Peraturan Kepala Balai TNGC Sumberdaya manusia, sarana prasarana, dan dana yang terbatas diidentifikasi menyebabkan rendahnya implementasi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014. Untuk meningkatkan implementasi, memperkecil ketidaksesuaian/gap, dan meningkatkan keberhasilan pengendalian kebakaran hutan disusun aturan turunan Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 berupa peraturan Kepala Balai TNGC tentang MPA. Aturan tersebut berupa Surat Keputusan Kepala Balai TNGC yang mengatur MPA TNGC dengan jelas dan terperinci sesuai dengan karakteristik kelompok MPA TNGC di masing-masing resort. Peraturan tersebut diharapkan mampu meminimalisir rendahnya implementasi Perdirjen PHKA Nomor 2 Tahun 2014 khususnya dalam sarana prasarana serta hak dan tanggung jawab MPA. 3. Penguatan pemangku kepentingan dalam peran dan tanggung jawab dalkarhut Alur koordinasi serta pembagian peran dan tanggung jawab tanggung jawab dalkarhut di TNGC belum jelas. Siapa bertanggung jawab sebagai apa? Akbar (2008) menyebutkan bahwa koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi dari seluruh pihak terkait dalam melaksanakan kegiatan dalkarhut belum terlaksana. Persepsi pemangku kepentingan tentang kebakaran hutan belum sama sehingga terkesan pengendalian kebakaran hutan adalah tugas institusi yang mempunyai tupoksi dan wilayah saja. Para pemangku kepentingan (Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten, Swasta, dan LSM) merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam peningkatan keefektifan dalkarhut oleh MPA. Seperti yang dikatakan Pretty (1995a) yang dikutip Uzonna dan Budak (2013) bahwa partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam, perumusan kebijakan, dan pelaksanaan program adalah motor utama yang menggerakkkan proses pencapaian tujuan, untuk berhasil dalam semua proses perlu adanya mitra. Pemerintah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten mempunyai kewenangan wilayah, kebijakan, dan anggaran yang dapat disinergikan/diselaraskan dengan kebijakan TNGC. Koordinasi dengan Pemerintah Desa, Kecamatan, dan Kabupaten untuk menguatkan peran dan tanggung jawab masing masing pihak. Pemerintah Kabupaten mempunyai kewenangan regulasi, Pemerintah Desa dan Kecamatan mempunyai kewenangan wilayah dalam menggerakkan masyarakat. Adapun Perusahaan/Swasta mempunyai dana CSR yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan yang memberdayakan MPA. LSM dapat mendukung dengan
38 melakukan pendampingan terhadap masyarakat. Uzonna dan Budak (2013) menyebutkan adalah wajar pemangku kepentingan untuk meningkatkan partisipasi dan tuntutan serta akses pada berbagai tahap perkembangan. Tantangan terbesar terletak pada semua kelompok pemangku kepentingan untuk dapat membangun visi bersama dan mempraktekkannya, sehingga mereka dapat mencapai tujuan dan merasakan dampaknya secara bersama-sama. 4. Kegiatan wisata dalam rangka peningkatan ekonomi MPA Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor ekonomi berpengaruh pada partisipasi MPA. Perubahan status Hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional mengakibatkan aktivitas ekonomi (Hutan Tanaman Rakyat seperti pada saat Gunung Ciremai dikelola oleh Perhutani) dilarang. Aktivitas yang dianggap mampu mendatangkan manfaat ekonomi dengan dampak paling kecil yaitu kegiatan wisata. Kegiatan wisata diharapkan mampu menjadi sumber penghasilan baru bagi masyarakat khususnya MPA. Dengan manfaat yang diperoleh, diharapkan MPA dengan sendirinya berpartisipasi aktif dalam pengendalian kebakaran hutan. Potensi wisata yang dimiliki Taman Nasional Gunung Ciremai antara lain wisata jalur pendakian, wisata panorama alam, wisata religi/sejarah, wisata pendidikan, dan bumi perkemahan sebanyak 22 lokasi (17 lokasi terletak di Kabupaten Kuningan dan 5 lokasi terletak di Kabupaten Majalengka). BTNGC mendampingi dan membina masyarakat terutama anggota MPA dalam mengelola kegiatan wisata khususnya wisata ekologi, sejarah, dan budaya sehingga masyarakat mampu secara mandiri mengembangkan tradisi, budaya, dan kearifan lokal yang menjadi ciri khas dari masyarakat Gunung Ciremai yang tidak ditemui di tempat lain.
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan MPA mempersepsikan positif faktor musim kemarau sebagai faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan; dan faktor manusia seperti memancing, berburu dengan menggunakan api, penebangan liar dengan menggunakan api, penyiapan lahan dengan membakar, bekas api unggun, dan puntung rokok sebagai faktor penyebab kebakaran hutan. Adapun persepsi masyarakat non MPA terhadap faktor alam sebagai faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan faktor manusia sebagai faktor penyebab kebakaran hutan bervariasi. Bervariasinya persepsi masyarakat tersebut karena persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepribadian, sikap, minat, pengalaman, kepentingan, latar belakang, dan harapan. Skor Persepsi masyarakat terhadap kerugian lingkungan lebih tinggi dibanding kerugian ekonomi, kesehatan dan sosial. Hal tersebut dapat diartikan bahwa kejadian kebakaran hutan di TNGC belum berdampak langsung dan merugikan baik aspek ekonomi, kesehatan, maupun sosial. Partisipasi MPA dalam pengendalian kebakaran hutan tertinggi dalam kegiatan pemadamanan. Faktor yang mempengaruhi partisipasi MPA dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan adalah faktor ekonomi. Faktor tersebut berpengaruh paling besar pada kegiatan pemadaman kebakaran hutan. Persepsi
39 tidak selamanya sejalan dengan partisipasi. Persepsi positif tidak menjamin terjadinya partisipasi yang tinggi, mungkin sebaliknya (partisipasinya rendah). Implementasi peraturan perundang-undangan MPA sangat rendah. Ketidaksesuaian/gap yang muncul sebesar 80,95%. Rendahnya implementasi dan tingginya ketidaksesuaian/gap diidentifikasi karena sumberdaya manusia, sarana prasarana dan dana yang terbatas. Persepsi yang tidak sejalan dengan partisipasi dan gap yang muncul diduga menyebabkan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA TNGC belum optimal/efektif. Peningkatan keberhasilan pengendalian kebakaran hutan oleh MPA TNGC dilakukan dengan (1) penguatan kelembagaan (pembinaan, sarana prasarana, reward and punishment, serta pendanaan); (2) penyusunan peraturan Kepala Balai TNGC tentang MPA TNGC; (3) penguatan pemangku kepentingan terkait dalam peran dan tanggung jawab dalkarhut; (4) kegiatan wisata dalam rangka peningkatan ekonomi MPA.
Saran Partisipasi MPA dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan masih belum berhasil. Apa yang menjadi faktor penyebab belum berhasilnya partisipasi MPA? Apakah disebabkan oleh faktor intern atau faktor ekstern? Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian kelembagaan MPA (Masyarakat Peduli Api) Taman Nasional Gunung Ciremai. Persepsi positif tidak menjamin terjadinya partisipasi yang tinggi, mungkin sebaliknya (partisipasinya rendah). Hal tersebut apakah karena masyarakat yang tidak peduli ataukah karena belum ada wadah yang mampu menampung sumber daya yang mereka miliki. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang modal sosial masyarakat sekitar hutan TNGC. BTNGC melakukan pendampingan terhadap MPA sehingga MPA mampu mengidentifikasi permasalahan yang mereka miliki, dan mampu menemukan pemecahan permasalahannya, serta melakukan tindakan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada secara mandiri.
DAFTAR PUSTAKA Akbar A. 2008. Pengendalian kebakaran hutan berbasis masyarakat sebagai suatu upaya mengatasi risiko dalam REDD. Tekno Hutan Tanaman. Vol 1 No 1 November 2008: 11-22. Aliadi A. 2011. Pengembangan Kolaborasi Taman Nasional Gunung Ciremai: Kajian melalui Riset Aksi [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Avenzora R. 2008. Ekoturisme: Teori dan Praktek. Aceh (ID): BRR NAD-Nias. [BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ceremai. 2010. Rencana Strategis Balai Taman Nasional Gunung Ceremai Tahun 2010 – 2014. Kuningan (ID): BTNGC. [BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ceremai. 2014. Buku Statistik Taman Nasional Gunung Ceremai Tahun 2013. Kuningan (ID): BTNGC.
40 [BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ceremai. 2015. Laporan Tahunan Tahun 2014. Kuningan (ID): BTNGC. [BTNGC] Balai Taman Nasional Gunung Ceremai. 2016. Laporan Tahunan Tahun 2015. Kuningan (ID): BTNGC. Baron RA dan Byrne D. 2004. Psikologi Sosial. Jilid I Edisi Kesepuluh. Jakarta (ID). PENERBIT ERLANGGA. Bungin B. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta (ID): KENCANA PRENADA MEDIA GROUP. Caldararo N. 2002. Human ecological intervension and the role of forest fires in human ecology. The Science of The Total Environment. Vol 292: 141-165. Cochrane MA. 2003. Fire science for rainforests. NATURE. Vol 421: 913-919. Cochrane MA dan Laurance WF. 2008. Synergism among fire, land use, and climate change in the Amazon. Ambio. Vol 37 No 7: 522-527. David FR. 2006. Manajemen Strategis (Strategic Management). Jakarta (ID): Salemba Empat. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2014. Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: P.2/IV-SET/2014 tentang Pembentukan dan Pembinaan Masyarakat Peduli Api. Jakarta (ID): Dirjen PHKA. Djogo T, Sunaryo, Suharjito D, dan Sirait M. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Bogor (ID): ICRAF. Gani DS. 2007. Kebudayaan, Pendidikan, dan Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Indonesia. Jurnal Penyuluhan. September 2007 Vol 3 No. 2: 129135. Gunawan H dan Subiandono E. 2013. Kondisi biofisik dan sosial ekonomi dalam konteks restorasi ekosistem Taman Nasional Gunung Ceremai. Forest Rehabilitation Journal. Vol 1 No 1: 17-37. Hapsari NI. 2013. Penataan Ulang Wilayah Kerja Resort Menggunakan Spasial Multi Criteria Analysis (Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Ceremai) [Tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Harihanto. 2001. Persepsi, Sikap, dan Perilaku Masyarakat terhadap Air Sungai [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Harrison ME., Page SE., dan Limin SH. 2009. The global impact of indonesian forest fires. Biologist. Vol 56 No 3: 156-163. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.12/Menhut-II/2009 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Jakarta (ID): Kemenhut. Likert R. 1932. A technique for the measurement of attitudes. Archives of Psychology. Vol 22 (140): 1-55. Lingani PC, Savadogo P, Tigabu M, Oden P-C. 2011. Factors influencing people's participation in the forest management program in Burkina Faso, West Africa. Economics. 13(4): 292−302.doi: Forest Policy and 10.1016/j.forpol.2011.02.005. Lunenburg FC. 2011. Expextancy theory of motivation: motivating by altering expectations. International Journal of Managemnet, Bussiness, and Administration. Vol 15 (1): 1-6.
41 Mawardi M. 2007. Peranan sosial capital dalam pemberdayaan masyarakat. Jurnal Pengembangan Masyarakat. Vol 2 No. 2: 5-14. McCaffrey S. 2006. What Does “Wildfire Risk” Mean to the Public?. In: McCaffrey S, technical editor. The Public and Wildland Fire Management: Social Science Findings for Managers. Newtown (US): USDA. Muhammadiyah MA. 2014. Analisis Kelembagaan Pemanfaatan Komersial KupuKupu di Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Kapubaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. North DC. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge (UK): Cambridge University Pr. Nursoleha P. 2014. Zonasi tingkat kerawanan kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC) berbasis sistem informasi geografi (SIG). Geo Image. Volume 3 (1) (2014). Page S., Rieley J., Hoscilo A., Spessa A., Spessa W, dan Spessa U. 2013. Current fire regimes, impact and the likely changes – IV: tropical Southeast Asia. In: Golberg JG ed. Vegetation Fires and Global Change – Challenges for concerted International Action A White Paper directed to the United Nations and International Organizations. Kessel Publishing House, pp. 89-99. [PRI] Presiden Republik Indonesia. 1990. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta (ID): Presiden RI. [PRI] Presiden Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan. Jakarta (ID): Presiden RI. Pradopo ST. 2012. Risk Assessment of Javan Hawk-Eagle’s (Spizaetus bartelsi) habitat; the impact of human encroachment and wildfire to the degradation (a case of the Mount Ciremai National Park, Indonesia) [Thesis]. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada University and University of Twente. Purwanto EA, Sulistyastuti DR. 2012. Implementasi Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Yogyakarta (ID): Penerbit Gava Media. Putnam RD. 1993. The prosperous community. The American Prospect. Vol 4 no. 13: 1-11. Ricahrds RJ. 1976. James Gibson’s passive theory of perception, a rejection of the doctrine of specific nerve energies. Philosophy and Phenomenological Research. Vol 37 (2): 218-233. Robbins SP dan Judge TA. 2013. Organizational Behavior. 15th Edition. New Jersey (US): Pearson Education Inc. Ruiz-Mallen I, Schunko C, Corbera E, Rὄs M, Reyes-Gracia V. 2015. Meaning, drivers, and motivations for community-based conservation in Latin America. Ecology and Society. Vol 20 (3): 33. Safkaur TL. 2014. Implementasi kebijakan publik: review teori. Jurnal Ilmu Sosial. Vol. 12 (1): 23-31. Sahardjo BH. Sumber Api. Di dalam : Suratmo FG, Husaeni EA, dan Jaya NS, penyunting. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Samah AA dan Aref F. 2009. Peoples’s participation in community development: a case study in a planned village settlement in Malaysia. World Rural Observations. Vol 1 (2): 45 – 54.
42 Sattar, A.L. 1985. Persepsi Masyarakat Pedesaan terhadap Usaha Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan di DAS Bila Walanae Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Singarimbun M dan Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survai (Edisi Revisi). Jakarta (ID). LP3ES. Soetomo. 2014. Kesejahteraan dan Upaya Mewujudkannya dalam Perspektif Masyarakat Lokal. Yogyakarta (ID). Pustaka Pelajar. Sudaryono. 2014. Budaya dan Perilaku Organisasi. Jakarta (ID). Lentera Ilmu Cendekia. Sugiyanto. 1996. Persepsi Masyarakat Tentang Penyuluhan dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Edisi I, cetakan 8. Bandung (ID): Alfabeta. Sukrismanto E. 2012. Sistem Pengorganisasian Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suratmo FG. 2003. Pedoman Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan. Di dalam : Suratmo FG, Husaeni EA, dan Jaya NS, penyunting. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syahadat E dan Sianturi A. 2009. Kajian faktor sosial ekonomi dan budaya penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan (kasus di Taman Nasional Gunung Ceremai). Jurnal Info SOSIAL EKONOMI. Vol 9 No 1 Maret 2009: 47-62. Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Perilaku Api, Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang (ID): Bayumedia Publishing. Tacconi L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya, dan Implikasi Kebijakan. Bogor (ID): CIFOR Occasional Paper No. 38(i). Tacconi L dan Vayda AP. 2006. Slash and burns and fires in Indonesia: a comment. Ecological Economics. 56: 1-4. Theresia A., Andini KS., Nugraha PGP., dan Mardikanto T. 2014. Pembangunan Berbasis Masyarakat. Bandung (ID). Alfabeta. Uzonna UR dan Budak DB. 2013. Dimensions of various public participation schemes in natural resource management: a review of the discourse on participation and who’s impact?. International Journal of Humanities and Social Science. Vol 3 No. 6: 160-168. Varma A. 2003. The economics of slash and burns: a case study of the 1997-1998 Indoensian forest fires. Ecological Economics. 46: 156-171. WALHI. 2008. WALHI PaperBrief Kebakaran Hutan [Internet]. [diunduh 2014 des 12]. Tersedia pada: http://www.walhi.or.id/wpcontent/uploads/2014/02/WALHI-paperBrief-08-KEBAKARANHUTAN.pdf. Ostrom E. 1990. Governing the Commons: the Evolution of institutions for Collective Action. New York (US): Cambridge University Press. Williamson OE. 2000. The new institusional economics: taking stock, looking ahead. Journal of Economic Literature. Vol. XXXVIII (September 2000): 595-613.
43
LAMPIRAN
44 Lampiran 1 Kuesioner Masyarakat
KUESIONER MASYARAKAT No Kuesioner : Kelompok Masyarakat : I. Data Responden : 1. Nama 2. Alamat 3. Umur 4. Pekerjaan 5. Pendidikan 6. Penghasilan 7. Jumlah Tanggungan
: : : : : : :
II. Persepsi Mohon diberikan Persepsi dengan memberi tanda checklist (√) pada pernyataan yangAanda anggap paling sesuai! Bagian I. Persepsi terhadap faktor alam dan faktor manusia No. Elemen dan Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 1. Faktor alam sebagai faktor pendukung a. Gesekan kayu b. Benturan batu c. Tumpukan seresah d. Sambaran petir e. Singkapan batubara f. Kemarau panjang g. Gunung meletus 2. Faktor manusia sebagai faktor penyebab a. Mencari kayu bakar b. Memancing c. Berburu dengan menggunakan api d. Penebangan liar dengan menggunakan api e. Penyiapan lahan dengan membakar f. Bekas api unggun g. Membuang puntung rokok 1 = Sangat Tidak Setuju 6 = Setuju 7 = Sangat Setuju 2 = Tidak Setuju 3 = Kurang Setuju 4 = Biasa Saja 5 = Agak Setuju
45 Bagian II. Persepsi terhadap dampak/kerugian akibat kebakaran hutan No. Elemen dan Kriteria 1 2 3 4 1. Kebakaran hutan mengakibatkan kerugian ekonomi pada manusia a. Membakar rumah b. Membakar kandang c. Matinya hewan ternak d. Membakar lahan e. Gagal panen f. Turunnya produksi madu lebah hutan g. Turunnya kunjungan wisata 2. Kebakaran hutan merugikan kesehatan manusia a. Iritasi mata b. Iritasi kulit c. Pusing d. Pneumonia e. Bronchitis f. ASMA g. Sesak Nafas/ISPA 3. Kebakaran hutan mengganggu aktivitas sosial masyarakat a. Terganggunya transportasi udara b. Terganggunya transportasi darat c. Sekolah diliburkan d. Kantor Desa/Pemerintahan libur/tutup e. Kantor pelayanan jasa libur/tutup f. Kantor pelayanan kesehatan libur/tutup g. Jaringan komunikasi terputus 4. Kebakaran hutan merugikan lingkungan a. Hilangnya unsur hara tanah b. Pencemaran udara c. Longsor d. Matinya satwa liar e. Naiknya suhu global/udara panas f. Komposisi dan populasi vegetasi terganggu/berubah g. Keringnya sumber air 1 = Sangat Tidak Setuju 4 = Biasa Saja 7 = Sangat Setuju 2 = Tidak Setuju 5 = Agak Setuju 3 = Kurang Setuju 6 = Setuju
5 6 7
46 Lampiran 2 Kuesioner Anggota MPA
KUESIONER ANGGOTA MPA No Kuesioner Kelompok MPA I. Data Responden : 1. Nama 2. Alamat 3. Umur 4. Pekerjaan 5. Pendidikan 6. Penghasilan 7. Jumlah Tanggungan
: :
: : : : : : :
II. Partisipasi Mohon diberikan nilai partisipasi dengan memberi tanda checklist (√) pada pernyataan yang Anda anggap paling sesuai! No. 1.
Elemen dan Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 Kegiatan pengendalian kebakaran hutan a. Pencegahan kebakaran hutan 1. Pertemuan bulanan 2. Pembuatan sekat bakar 3. Penanaman pohon dengan jarak tanam 4. Penyebarluasan informasi peringkat bahaya kebakaran 5. Patroli pencegahan dengan motor/mobil 6. Kampanye pencegahan kebakaran hutan 7. Penyuluhan pengendalian kebakaran hutan b. Pemadaman kebakaran hutan 1. Sumber informasi kejadian kebakaran 2. Pemadaman awal 3. Mobilisasi tim dan peralatan 4. Pembuatan ilaran api/parit 5. Bakar balik 6. Pemadaman area kebakaran 7. Moping up/sapu bersih api c. Penanganan paska kebakaran hutan 1. Perawatan luka bakar/kecelakaan
47 2. Penghitungan luas area yang terbakar 3. Penghitungan kerugian akibat kebakaran 4. Penyidikan penyebab kebakaran 5. Penyelamatan satwa 6. Rehabilitasi area bekas kebakaran 7. Pembiaran area bekas kebakaran/suksesi alami 1 = Sangat Tidak Aktif 2 = Tidak Aktif 3 = Agak Tidak Aktif 4 = Biasa Saja 5 = Agak Aktif 6 = Aktif 7 = Sangat Aktif III. Faktor yang mempengaruhi Partisipasi A. Ekonomi 1. Faktor Ekonomi a. Bisa berladang/berkebun dengan aman b. Mendapat pakan hewan ternak yang memadai c. Rumah aman atau tidak terbakar d. Kandang aman atau tidak terbakar e. Panen berhasil f. Mendapatkan bantuan barang g. Mendapatkan tambahan penghasilan/upah 1 = Sangat Rendah 2 = Rendah 3 = Agak Rendah 4 = Biasa Saja 5 = Agak Tinggi 6 = Tinggi 7 = Sangat Tinggi B. Sosial No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Faktor Sosial Panggilan Jiwa Melaksanakan tugas/kewajiban dari RT/RW/Desa Menaikkan harga diri/prestige Mendapatkan kenalan baru Sukarela Tanggung jawab sosial Amal ibadah
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4
5 6 7
48 1 = Sangat Rendah 6 = Tinggi 2 = Rendah 7 = Sangat Tinggi 3 = Agak Rendah 4 = Biasa Saja 5 = Agak Tinggi C. Lingkungan No. Faktor Lingkungan 1 2 3 4 5 6 1. Terjaganya flora/tumbuhan TNGC (hutan tidak gundul) 2. Tidak terjadi longsor 3. Tidak terjadi banjir 4. Tersedianya sumber air bersih 5. Terlindunginya satwa TNGC 6. Tersedianya udara segar di TNGC 7. Terjaganya kesuburan tanah di TNGC 1 = Sangat Rendah 2 = Rendah 3 = Agak Rendah 4 = Biasa Saja 5 = Agak Tinggi 6 = Tinggi 7 = Sangat Tinggi
7
49
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 12 Oktober 1982. Penulis merupakan anak ketiga dari 4 bersaudara dari pasangan Bapak Munjahid dan Ibu Sumarni. Penulis menikah dengan Abdurrakhman Hidayat pada tahun 2007, dan mendapatkan anugerah seorang putera bernama Muhammad Asyam Haniif pada tahun 2009. Pendidikan SD sampai dengan SMA di tempuh di Kabupaten Kudus. Pendidikan sarjana sejak tahun 2000 ditempuh di Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada dan Lulus pada tahun 2005. Penulis diterima bekerja di Kementerian Kehutanan pada tahun 2006. Pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Saat ini penulis bekerja sebagai staf Subdit Pencegahan Kebakaran Hutan Dan Lahan di Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Dit PKHL) Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen LHK). Karya ilmiah yang berjudul Pengendalian Kebakaran Hutan Oleh Masyarakat Peduli Api di Taman Nasional Gunung Ciremai diterbitkan pada Jurnal Media Konservasi Volume 21 No. 2 Agustus 2016.