PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
DIAH ZUHRIANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi.
Bogor, Agustus 2012 Diah Zuhriana E361070041
ABSTRACT
DIAH ZUHRIANA. The Socio Economic Development of the Buffer Zone Community of Gunung Ciremai National Park. Under the direction of: HADI S. ALIKODRA, SOERYO ADIWIBOWO, and ERVIZAL A.M. ZUHUD The objectives of this research are, first, to explore in-depth the problems and the socio economic conditions of the community living in the buffer zone of Gunung Ciremai National Park (GCNP). Second, to simulate and analyze the impact of the agroforestry and ecotourism development to local labor absorption, income and forest cover. Third, to formulate the strategy for socio economic development of the buffer zone’s Park. The research carried out in the five villages located at the buffer zone of the GCNP. Data were obtained through field survey by interviewing several amount of respondents, direct field observations, focus group discussion and secondary data collections. Data were analyzed through supply and demand analysis, descriptive analysis, stakeholder’s analysis, and dynamic system analysis. Three scenarios are simulating in the last mentioned analysis i.e. business as usual, moderate and optimist scenario. Regarding the first objective, the existing socio economic conditions of the buffer zone’s Park are describe as follows. First, most of the community living in the buffer zone work as land owner-farmer or labor-farmer and educated from elementary school. Second, the agroforestry activities contribute up to 56 percent of the total household income whereas, the ecotourism contribute to amount of 41 percent. Third, the attitude of the local people toward national park conservation is considered low due to fewer park’s benefit perceived by the local people. Concerning the second objective of the research, the optimist scenario is the best path way for developing the future socio-economic conditions of the buffer zone. However, with regards to third objective of the research, the best strategy for developing the socio economic conditions of the buffer zone is through improving the infrastructure facilities for ecotourism, intensifying the frequency of agroforestry extension, sustained local community assistance as well as enhancing local community participation toward ecotourism and agroforestry development. Keywords: buffer zone, national park, ecotourism, agroforestry, community development.
RINGKASAN
DIAH ZUHRIANA. Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai. Dibimbing oleh HADI SUKADI ALIKODRA, SOERYO ADIWIBOWO, DAN ERVIZAL A.M. ZUHUD. Keberhasilan pengelolaan taman nasional sangat ditentukan oleh intensitas interaksi dan dukungan yang diberikan oleh masyarakat sekitar kawasan taman nasional. Jika upaya pelestarian dianggap sebagai sesuatu hal yang akan memberi manfaat,
maka masyarakat setempat akan melindungi
kawasan tersebut (MacKinnon 1990). Penelitian ini bertujuan untuk, pertama, menelaah permasalahan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Kedua, menganalisis dan melakukan simulasi dinamis pengembangan program ekowisata dan agroforestri, dan ketiga, merumuskan strategi pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC melalui kegiatan ekowisata dan agroforestri. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga Mei 2011 di daerah penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Provinsi Jawa Barat. Sebanyak 5 desa yang memiliki potensi ekowisata dan/atau agroforestri dipilih secara purposive sebagai desa sampel. Data diperoleh melalui metode survei dengan wawancara kepada sejumlah responden, observasi langsung di lapangan, Focus Group Discussion (FGD), data sekunder dan literatur. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode : 1) analisis deskriptif, 2) analisis penawaran
(supply)
dan
permintaan
(demand),
3)
analisis
pemangku
kepentingan (stakeholder), serta 4) analisis sistem dinamik dengan perangkat lunak STELLA 9.02. Model yang dibangun terdiri dari tiga sub model yaitu: 1) Sub model kesempatan kerja, 2) Sub model pendapatan, dan 3) Sub model kelestarian TNGC.
Variabel
kunci
yang
digunakan
untuk
menganalisis
pengaruh
pengembangan ekowisata terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat adalah: 1) pengembangan fasilitas ekowisata, 2) jumlah program/ kegiatan dari stakeholder yang mendukung ekowisata, dan 3) jumlah anggota masyarakat yang terlibat dalam program/kegiatan ekowisata. Adapun variabel kunci yang digunakan untuk menganalisis pengaruh pengembangan agroforestri terhadap tenaga kerja dan pendapatan adalah: 1) frekuensi penyuluhan, 2)
frekuensi pendampingan, 3) jumlah program/kegiatan dari stakeholder, dan 4) jumlah anggota masyarakat yang terlibat dalam program/kegiatan agroforestri. Tiga skenario pengembangan ekowisata dan agroforestri disimulasikan dalam studi ini: skenario bussiness as usual; moderat dan optimis. Kondisi sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC secara singkat adalah sebagai berikut. Pertama, masyarakat daerah penyangga sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani dan berpendidikan tamat Sekolah Dasar.
Kedua, alternatif mata pencaharian di
sektor ekowisata dapat memberikan kontribusi pendapatan sebesar 41% dari total pendapatan masyarakat dan dari kegiatan agroforestri dapat memberikan kontribusi sebesar 56,29%. Ketiga, sikap masyarakat yang kurang mendukung upaya konservasi TNGC disebabkan kurangnya manfaat yang langsung dirasakan oleh masyarakat dari keberadaan TNGC. Adapun untuk menganalisis sistem dinamis pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga diperoleh hasil sebagai berikut. Untuk skenario eksisting (bussiness as usual), hasil simulasi menunjukkan bahwa dalam 10 tahun mendatang tenaga kerja yang diserap di ekowisata akan meningkat sebesar 135,78%; dan pendapatan per kapita per bulan warga masyarakat yang terlibat
dalam
usaha
ini
akan
meningkat
sebesar
60,76%.
Adapun
pengembangan agroforestri akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 38,27% dan meningkatkan pendapatan berusaha di usaha ini sebesar 5,73%.
warga masyarakat yang
Dampak lanjutan dari hal ini adalah
meningkatnya penutupan hutan TNGC dari 5.132 ha menjadi seluas 5.231 hektar atau meningkat sebesar 1,92%. Adapun analisis pengembangan ekowisata dan agroforestri dengan skenario moderat menunjukkan beberapa hal sebagai berikut. Dalam 10 tahun mendatang
jumlah tenaga kerja yang akan diserap akibat pengembangan
ekowisata diperkirakan meningkat sebesar 200% dengan pendapatan per kapita per bulan meningkat sebesar 119,16%. Sementara jumlah tenaga kerja yang akan diserap akibat pengembangan agroforestri diperkirakan meningkat sebesar 213,64% dengan pendapatan per kapita per bulan meningkat sebesar 78,68%. Dampak lebih lanjut dari hal ini adalah bertambahnya luas penutupan hutan TNGC dari 5.132,00 hektar (tahun 2009) menjadi 6.580 hektar (tahun 2019) atau mengalami peningkatan sebesar 28,21%.
Adapun hasil simulasi untuk skenario optimis pengembangan ekowisata dan agroforestri menunjukkan hal sebagai berikut. Dalam 10 tahun mendatang, jumlah tenaga kerja yang diserap ekowisata diperkirakan akan meningkat sebesar 200% dan pendapatan per kapita per bulan anggota masyarakat diperkirakan meningkat sebesar 119,16%. Sementara untuk pengembangan agroforestri, tenaga kerja yang diserap akan meningkat sebesar 481,72% dan pendapatan per kapita per bulan meningkat sebesar 176,16%. Implikasi lebih lanjut dari situasi ini adalah luas penutupan hutan TNGC bertambah dari 5.132 hektar (pada tahun 2009) menjadi 7.286 hektar (pada tahun 2019) atau mengalami peningkatan sebesar 41,96%. Apabila akan ditempuh pengembangan ekowisata dan agroforestri menurut skenario moderat, maka strategi yang perlu ditempuh oleh stakeholder Pemerintah (Balai TNGC dan Pemda Kabupaten Kuningan) adalah melibatkan secara aktif peran dunia usaha atau LSM sebagai mitra dalam pengembangan program ekowisata dan agroforestri. Adapun program-program yang perlu dijalankan adalah pertama, pengembangan fasilitas ekowisata dari kondisi kurang baik menjadi cukup baik dengan fokus pelayanan pengunjung dan pengembangan usaha. Kedua, peningkatan frekuensi penyuluhan minimal empat bulan sekali dengan fokus ketrampilan teknik penanggulangan hama dan penyakit, peningkatan produksi jenis tanaman unggulan dan pemasaran hasil. Ketiga, pendampingan kelompok dengan fokus pada fasilitasi usaha produktif dan peningkatan nilai tambah produksi agroforestri. Keempat, keberlanjutan program ekowisata dan agroforestri minimal dua kali per tahun, dengan fokus permodalan dan pelatihan peningkatan usaha wisata dan agroforestri, serta kelima, pelibatan masyarakat yang lebih merata dengan prioritas pada masyarakat yang belum pernah dilibatkan dalam program. Namun bila akan ditempuh
pengembangan ekowisata dan agroforestri
menurut skenario optimis, maka strategi yang perlu ditempuh oleh stakeholder Pemerintah (Balai TNGC dan Pemda Kabupaten Kuningan) adalah melibatkan secara aktif peran dunia usaha dan juga LSM sebagai mitra dalam pengembangan
sosial
ekonomi
masyarakat
daerah
penyangga
dengan
membentuk sebuah wadah organisasi pengelolaan bersama. Program-program yang perlu dijalankan adalah pengembangan fasilitas ekowisata menjadi sangat baik, pengembangan agroforestri melalui peningkatan frekuensi penyuluhan minimal dua bulan sekali, pendampingan masyarakat minimal tiga kelompok per
desa, program-program dari stakeholder dilakukan secara kontinyu minimal tiga kali per tahun, serta pelibatan masyarakat dalam program ditingkatkan minimal tiga kali dari kondisi saat ini. Pengembangan ekowisata dan agroforestri tersebut dengan fokus yang sama dengan skenario moderat. Seluruh
program
dilakukan
melalui
pendekatan
pengembangan
masyarakat dari semula memandang masyarakat sebagai pihak lemah dan tidak berdaya (hanya sebagai objek perubahan) menjadi pendekatan yang lebih berorientasi pada perubahan sikap, tingkah laku dan budaya yang mengarah pada kemandirian masyarakat (sebagai subjek perubahan). Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan daerah penyangga yang berbasis pada pengembangan sosial ekonomi masyarakat melalui kegiatan ekowisata di desa Cisantana, desa Manis Kidul dan desa Pajambon, serta kegiatan agroforestri di desa Karangsari, desa Seda dan desa Pajambon akan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat, jika terdapat sinergitas diantara stakeholder, dilakukan dengan memberikan peran yang lebih besar pada masyarakat dalam pengelolaan daerah penyangga,
melalui
pendekatan
pengembangan masyarakat
yang
lebih
memperhatikan proses dari pada hasil serta memberikan kemudahan akses ilmu pengetahuan dan teknologi, akses modal dan akses terhadap sumberdaya alam kepada masyarakat daerah penyangga.
PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
DIAH ZUHRIANA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS 2. Dr. Ir. Tutut Sunarminto, M.Si. Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc. 2. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi
: Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai
Nama
: Ir. Diah Zuhriana, M.Pd.
NIM
: E 361070041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M.S. Ketua
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S. Anggota
Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, M.S. Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, M.S.
Tanggal Ujian :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus :
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Indramayu Jawa Barat pada tanggal 31 Oktober 1967, merupakan putri kedua dari enam bersaudara, keluarga Bapak Moh. Djuhadi (alm) dan Ibu Siti Afifah. Lulus SD Negeri Halimun II Bandung pada tahun 1979, SMP Negeri Karangampel lulus pada tahun 1982, dan SMA Negeri I Indramayu lulus pada tahun 1985. Mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 1990, dan memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) dari Program Studi Pendidikan Teknologi Kejuruan, Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada tahun 2001. Pada tahun 2007 penulis masuk program S3 Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT). Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor, penulis menyusun Disertasi dengan judul ”Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai”, dengan Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M.S., sebagai Ketua, Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S, dan Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M Zuhud, M.S. masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Penulis mulai bekerja sebagai Guru di Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Pekanbaru pada tahun 1993 – 2002, sebagai Sekretaris Jurusan pada Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Bogor, Jurusan Kehutanan tahun 2002 - 2004, dan sebagai Widyaiswara pada Balai Diklat kehutanan Bogor tahun 2004 hingga sekarang. Penulis menikah dengan Endras Wahyudi dan dikaruniai 4 orang putra putri.
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga proses penelitian dan penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, M.S, Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S, dan Prof. Ervizal, A.M. Zuhud, M.S, sebagai komisi pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. 2. Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo DEA, atas bimbingan dan ilmu pemodelan yang telah diajarkan. 3. Kepala Taman Nasional Gunung Ciremai (Bapak Ir. Kurung waktu itu) beserta segenap jajarannya, Pak Maman, Bu Nisa, Pak Rachmat, Pak Mufti, Pak Ichwan, dan lainnya yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. 4. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S dan Dr. Ir. Tutut Sunarminto, M.Si, sebagai penguji pada ujian tertutup yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan. 5. Para narasumber di lapangan, Bapak Inda, Kepala Desa Karangsari, Bapak Rachmat dari LSM Kanopy, Bapak Mulyadi Ketua Kompepar, Bapak Kusnadi, Bapak Engkos aparat Desa Seda, para Penyuluh Kehutanan Lapangan di Kabupaten Kuningan, dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan, yang telah menyediakan waktu dan tenaga membantu pelaksanaan penelitian di lapangan. 6. Staf pendidikan pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Departemen
KSHE
pada
khususnya,
dan
staf
pendidikan
Sekolah
Pascasarjana IPB pada umumnya, yang telah membantu kelancaran studi. 7. Para pegawai di lingkungan Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata atas bantuan dan kerjasamanya selama menjalankan studi. 8. Kepala Pusat Diklat Kehutanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi S3 di IPB dan Kepala Balai Diklat Kehutanan Bogor atas perkenannya sehingga penulis dapat menempuh studi S3.
9.
Rekan-rekan di lingkungan Seksi Penyelenggaraan Diklat Pusat Diklat Kehutanan dan Balai Diklat Kehutanan Bogor atas segala doa dan dukungannya.
10. Dr. Sigit Nugroho dan Dr. Moh. Haryono atas segala bantuan dan dukungannya. 11. Rekan-rekan seperjuangan menempuh studi S3, Dr. Garsetiasih, Dr. Siti Badriyah Rusharyati, Dr. Sri Rahayu dan rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, sebagai teman diskusi dan berbagi motivasi. 12. Ibunda Siti Afifah dan Lilik Kustini, serta keluarga besar Moh. Djuhadi dan Kamari Santoso, atas segala doa dan supportnya yang tiada henti. 13. Khusus kepada suami Endras Wahyudi dan anak-anakku tercinta, Jihad, Dhifa, Fathan dan Fakhri, atas segala pengertian, doa yang senantiasa dipanjatkan dan pengorbanan yang tak terhingga selama perjalanan menempuh studi ini. 14. Rekan-rekan, saudara, dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, Semoga segala bantuan, dukungan, pengorbanan dan doa yang telah dipanjatkan, dapat menjadi ladang amal yang mendapat ganjaran dari Allah Subhanahu Wata’ala. Amin. Semoga disertasi ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL...........………………………………………………….…….….…
xiii
DAFTAR GAMBAR...........……………………………………………………..……
xv
DAFTAR LAMPIRAN................……………………………………………….……
xvii
I
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
II
Latar Belakang......….............……………...………………………….…. Rumusan Masalah...................……………….………………….………. Tujuan Penelitian......................…………………...…………………….. Manfaat Penelitian................................................................................ Novelty...................……………………………………………….…….…. Kerangka Pemikiran.............................................................................
METODE PENELITIAN 2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................ 2.2 Penentuan Contoh................................................................................ 2.2.1 Penentuan Wilayah Daerah Penyangga dan Desa Contoh.... 2.2.2 Penentuan Responden............................................................. 2.3 Pengumpulan Data Penelitian.............................................................. 2.3.1 Teknik pengumpulan Data......................................................... 2.3.2 Jenis Data yang Dikumpulkan................................................... 2.4 Metode Analisis Data........................................................................... 2.4.1 Analisis Deskriptif...................................................................... 2.4.2 Analisis Penawaran (Supply) dan Permintaan (Demand)........ 2.4.3 Analisis Stakeholder................................................................. 2.4.4 Analisis Sistem Dinamik............................................................
III
1 6 7 7 7 8 11 11 11 13 14 14 17 19 19 19 19 21
PROFIL TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DAN DAERAH PENYANGGA 3.1 Profil Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)................................ 3.1.1 Luas, Letak dan Sejarah Kawasan.......................................... 3.1.2 Kondisi Fisik............................................................................. 3.1.3 Kondisi Biotik........................................................................... 3.1.4 Potensi Ekowisata TNGC........................................................ 3.1.5 Potensi Sumberdaya Air.......................................................... 3.1.6 Potensi Panas Bumi/Geotermal............................................... 3.2 Profil Daerah Penyangga TNGC Wilayah Kabupaten Kuningan....... 3.2.1 Luas dan Letak Kabupaten Kuningan..................................... 3.2.2 Kondisi Biofisik......................................................................... 3.2.3 Potensi Wilayah Kabupaten Kuningan.................................... 3.2.3.1 Potensi Kehutanan dan Perkebunan.......................... 3.2.3.2 Potensi Budaya, Wisata dan Sumberdaya Air............ 3.2.4 Infrastruktur.............................................................................. 3.2.5 Kependudukan......................................................................... 3.2.2 Jenis Usaha..............................................................................
x
24 24 26 26 28 28 30 31 31 31 33 34 36 37 39 40
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC....... 4.1.1 Pemanfaatan TNGC oleh Masyarakat Desa Penyangga......... 4.1.1.1 Akses Sebelum Ditetapkan Sebagai Taman Nasional 4.1.1.2 Akses Setelah Ditetapkan Sebagai Taman Nasional.. 4.1.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Contoh................... 4.1.2.1 Masyarakat yang Bekerja di Ekowisata....................... 4.1.2.2 Masyarakat yang Bekerja di Agroforestri..................... 4.2 Sikap Masyarakat terhadap Konservasi TNGC................................... 4.2.1 Pemahaman Responden terhadap Dampak Kerusakan Hutan 4.2.2 Pemahaman Responden trhadap Fungsi dan Manfaat TNGC 4.2.3 Sikap Responden terhadap Konservasi TNGC....................... 4.2.4 Perilaku Responden dalam Konservasi TNGC........................ 4.3 Analisis Permasalahan Konservasi TNGC 4.3.1 Kondisi Kerusakan TNGC........................................................ 4.3.2 Kondisi Pengelolaan Daerah Penyangga TNGC..................... 4.3.3 Permasalahan Sosial Ekonomi dan Sikap Masyarakat............ 4.3.3.1 Permasalahan dalam Pengembangan Ekowisata...... 4.3.3.2 Permasalahan dalam Pengembangan Agroforestri.... 4.4 Potensi Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC............................................................................... 4.4.1 Penawaran dan Permintaan Ekowisata.................................... 4.4.1.1 Kondisi Penawaran Ekowisata.................................... 4.4.1.2 Kondisi Permintaan Ekowisata TNGC........................ 4.4.1.3 Potensi Kesempatan Kerja ......................................... 4.4.2 Penawaran dan Permintaan Agroforestri.................................. 4.4.2.1 Kondisi Penawaran Agroforestri.................................. 4.4.2.2 Kondisi Permintaan Agroforestri.................................. 4.4.2.3 Potensi Kesempatan Kerja ......................................... 4.5 Model Sistem Dinamik Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC 4.5.1 Identifikasi sistem.................................................................... 4.5.2 Sub Model pada Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC ................................. 4.5.3 Persamaan dalam Model......................................................... 4.5.4 Simulasi Model......................................................................... 4.5.5 Pengujian Kinerja Model ......................................................... 4.6 Strategi Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC............................................................................... 4.6.1 Peran Stakeholder................................................................... 4.6.1.1 Pengembangan Ekowisata......................................... 4.6.1.2 Pengembangan Agroforestri...................................... 4.6.1.3 Peningkatan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi TNGC....................................................... 4.6.2 Pengembangan Masyarakat Daerah Penyangga TNGC........ 4.7 Implikasi............................................................................................... 4.7.1 Pengembangan Ekowisata....................................................... 4.7.2 Pengembangan Agroforestri.....................................................
xi
42 42 42 46 49 52 58 63 63 65 67 71 76 76 80 82 85 86 91 91 91 108 118 126 126 142 147 150 152 155 161 162 173 177 177 180 190 198 200 219 222 225
V
SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan.............................................................................................. 5.2 Saran...................................................................................................
230 231
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
233
LAMPIRAN ........................................................................................................
245
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan daerah penyangga TNGC.........................................................................................................
13
2. Jumlah responden penelitian…..................................................................
13
3. Data pengelolaan dan pemanfaatan potensi TNGC..................................
17
4. Data pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC…..………………………………………….……………………………
18
5. Ukuran kuantitatif terhadap pemetaan Stakeholder…...............................
20
6. Matriks resultante posisi masing-masing Stakeholder...............................
21
7. Metode analisis data…...............................................................................
23
8. Sejarah penunjukkan dan penetapan TNGC.............................................
24
9. Keadaan fisik berdasarkan kelas lereng.....................................................
26
10. Tipe vegetasi di TNGC..............................................................................
27
11. Obyek wisata alam di kawasan TNGC......................................................
28
12. Data potensi mata air TNGC.....................................................................
29
13. Data lahan kritis pada daerah penyangga TNGC......................................
32
14. Tata guna lahan dan perkebunan Kabupaten Kuningan...........................
34
15. Kapasitas produksi hasil hutan Kabupaten Kuningan...............................
34
16. Komoditas perkebunan rakyat ..................................................................
35
17. Penggunaan lahan kering di Kabupaten Kuningan ..................................
35
18. Pemanfaatan air dari kawasan TNGC.......................................................
36
19. Potensi obyek wisata TNGC......................................................................
37
20. Jumlah angkatan kerja penduduk Kabupaten Kuningan ..........................
39
21. Penduduk kecamatan daerah penyangga.................................................
40
22. Jenis usaha yang ada di Kabupaten Kuningan ........................................
40
23. Karakteristik Desa Contoh.........................................................................
51
24. Kondisi sosial ekonomi lima Desa Contoh.. ..............................................
52
25. Karakteristik responden yang bekerja di ekowisata ..................................
53
26. Pendapatan responden dari usaha ekowisata ..........................................
55
27. Karakteristik responden petani agroforestri ..............................................
59
28. Rata-rata pendapatan responden petani agroforestri ...............................
60
29. Pengeluaran responden petani agroforestri..............................................
61
30. Kegiatan agroforestri di Desa Seda, Desa Pajambon dan Desa Karangsari ................................................................................................
62
xiii
31. Pemahaman responden terhadap dampak kerusakan hutan ...................
64
32. Kondisi luas penutupan lahan kawasan TNGC ……….........………..........
76
33. Jumlah masyarakat bekas penggarap kawasan TNGC pada Desa Contoh ......................................................................................................
83
34. Kondisi fasilitas pada tiga obyek ekowisata TNGC...................................
98
35. Penawaran produk ekowisata oleh masyarakat........................................
100
36. Jumlah unit usaha dan jumlah masyarakat yang bekerja di tiga lokasi ekowisata...................................................................................................
106
37. Karakteristik responden ekowisatawan TNGC .........................................
109
38. Permintaan ekowisatawan terhadap produk ekowisata...........
112
39. Kesenjangan fasilitas, pelayanan dan jenis usaha ekowisata antara permintaan dan penawaran....................................................................... 119 40. Peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat di sektor ekowisata......
121
41. Responden yang berminat dan rata-rata kesediaan membayar...............
122
42. Pemanfaatan potensi SDA dan SDM daerah penyangga bagi pengembangan jenis usaha ekowisata......................................................
124
43. Potensi komoditas pertanian desa-desa agroforestri………………….......
134
44. Potensi komoditas tanaman kehutanan desa-desa agroforestri……........
134
45. Keuntungan rata-rata per tahun dari tanaman pertanian dan kehutanan serta persentase petani yang menanam di Desa Karangsari ................... 135 46. Keuntungan rata-rata per tahun dari tanaman pertanian dan kehutanan serta persentase petani yang menanam di Desa Seda............................. 138 47. Keuntungan rata-rata per tahun dari tanaman pertanian dan kehutanan serta persentase petani yang menanam di Desa Pajambon..................... 139 48. Kebutuhan kayu bakar masyarakat Desa Contoh………………………....
143
49. Komoditas tanaman pertanian yang disukai masyarakat………………....
148
50. Komoditas tanaman kehutanan yang disukai masyarakat……………......
149
51. Peningkatan jumlah ekowisatawan karena adanya peningkatan fasilitas jumlah program/kegiatan, dan jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program/kegiatan....................................................................................... 159 52. Peningkatan produksi agroforestri karena adanya peningkatan frekuensi penyuluhan, pendampingan, jumlah program/kegiatan dan jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program/kegiatan .............................. 161 53. Prediksi kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan luas penutupan hutan TNGC sesuai kondisi saat ini........................................................... 163 54. Prediksi kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan luas penutupan hutan TNGC pada skenario moderat......................................................... 167 55. Prediksi kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan luas penutupan hutan TNGC pada skenario optimis .......................................................... 169 56. Rekapitulasi hasil perhitungan pada skenario moderat dan optimis.........
170
xiv
57. Kondisi variabel kunci pada model kelestarian TNGC...............................
172
58. Prediksi peningkatan luas hutan TNGC pada skenario moderat dan opimis ........................................................................................................ 172 59. Program pengembangan masyarakat di daerah penyangga TNGC.........
178
terhadap 60. Pengaruh dan kepentingan keterlibatan stakeholder pengembangan ekowisata TNGC.............................................................. 185 61. Peran stakeholder dalam pembukaan kesempatan kerja pada program pengembangan ekowisata TNGC.............................................................. 187 62. Peran stakeholder dalam pengembangan jenis usaha masyarakat di sektor ekowisata TNGC............................................................................. 189 terhadap 63. Pengaruh dan kepentingan keterlibatan stakeholder pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC........................ 194 64. Peran Stakeholder dalam pembukaan kesempatan kerja bagi masyarakat pada program pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC...…………………………............................................... 196 65. Peran stakeholder dalam peningkatan produksi tanaman agroforestri......
196
66. Kegiatan penyuluhan dan pendampingan pada program agroforestri.......
197
67. Peran Stakeholder dalam peningkatan sikap masyarakat daerah penyangga TNGC terhadap konservasi TNGC......................................... 198 68. Program pemberdayaan masyarakat pada desa-desa penyangga TNGC......................................................................................................... 203 69. Pemetaan pengembangan masyarakat yang telah dilakukan di desa penyangga.................................................................................................. 205
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemikiran penelitian……………………............................
10
2.
Peta desa sampel pada daerah penyangga TNGC.........................
12
3.
Matriks kuadran posisi stakeholder ................................................
21
4.
Peta penyebaran potensi wisata alam TNGC ................................
30
5.
Peta pariwisata Kabupaten Kuningan .............................................
38
6.
Peta desa-desa daerah penyangga TNGC .....................................
41
7.
Contoh lahan garapan masyarakat di dalam kawasan TNGC ........
47
8.
Proporsi pendapatan dari ekowisata ...............................................
56
9.
Persepsi responden terhadap fungsi dan manfaat TNGC ..............
67
10.
Sikap responden terhadap konservasi TNGC ................................
71
11.
Perilaku responden dalam konservasi TNGC .................................
75
12.
Luas hutan primer wilayah TNGC pada tahun 1996 dan tahun 2006 ................................................................................................
77
13.
Peta penutupan hutan TNGC berdasarkan citra lansat tahun 2009
78
14.
Akses menuju obyek wisata Bumi Perkemahan Palutungan (a) dan Lembah Cilengkrang (b)...........................................................
96
15.
Kondisi fasilitas di Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang ....
98
16.
Jenis usaha warung makanan dan minuman di Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang ................................................................
101
17.
Jenis usaha souvenir di Buper Palutungan dan Cibulan ................
102
18.
Jenis usaha penitipan kendaraan di Buper Palutungan, Cibulan dan Lembah Cilengkrang ................................................................
103
19.
Jenis usaha atraksi outbond di Buper Palutungan...........................
104
20.
Jenis usaha penyewaan kamar bilas di Pemandian Cibulan
104
21.
Jenis usah penyewaan peralatan renang di Pemandian Cibulan ...
105
22.
Hubungan jarak dari pusat kota dengan jumlah unit usaha.............
107
23.
Jumlah wisatawan TNGC ...............................................................
108
24.
Produksi tanaman hortikultura utama .............................................
127
25.
Produksi tanaman perkebunan .......................................................
127
26.
Produksi kayu utama di Kabupaten Kuningan ................................
127
27.
Persentase dari total biaya untuk tenaga kerja ...............................
132
28
Tenaga kerja anak dalam pemanenan hasil agroforestri.................
133
29.
Pola tanam agroforestri di Desa Karangsari ...................................
136
30.
Pola agroforestri antara tanaman Melinjo, Cengkeh, Kopi, Lada
xvi
dengan tanaman Mahoni dan Kayu Afrika di Desa Seda ...............
138
31.
Pola tanam agroforestri di Desa Pajambon ....................................
140
32.
Pasar grosir sayuran .......................................................................
143
33.
Industri pengolahan kayu (panglong) di Kabupaten Kuningan .......
146
34.
Penggunaan kayu bakar untuk industri batu bara ..........................
147
35.
Diagram lingkar akibat (causal loop) model pengembangan daerah penyangga TNGC................................................................
152
36
Simulasi model kesempatan kerja sesuai kondisi saat ini...............
162
37
Simulasi model pendapatan sesuai kondisi saat ini.........................
163
38
Simulasi model penutupan hutan TNGC sesuai kondisi saat ini.....
163
39
Simulasi model kesempatan kerja pada skenario moderat.............
165
40
Simulasi model pendapatan pada skenario moderat ......................
166
41
Simulasi model penutupan hutan TNGC pada skenario moderat ...
166
42
Simulasi model kesempatan kerja pada skenario optimis...............
168
43
Simulasi model pendapatan pada skenario optimis ......................
168
44
Simulasi model penutupan hutan TNGC pada skenario optimis ...
168
45
Luas penutupan hutan TNGC pada skenario moderat dan optimis
172
46
Diagram jumlah ekowisatan pada obyek wisata TNGC...................
174
47
Diagram jumlah ekowisatan hasil simulasi......................................
175
48
Diagram PDRB perkapita di Kabupaten Kuningan..........................
175
49
Diagram pendapatan masyarakat hasil simulasi ............................
175
50
Matriks tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap program pengembangan ekowisata TNGC....................................
185
Matriks tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap program pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC
195
52
Siklus pengembangan masyarakat…………………………………..
218
53
Peran stakeholder dalam pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga..................................................…..
221
51
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Data masyarakat bekas penggarap kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai wilayah Kabupaten Kuningan ..............................
245
2.
Rekapitulasi persepsi, sikap dan perilaku responden .....................
246
3.
Gambar struktur model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC ...........................................
249
4.
Persamaan dan gambar sub model kesempatan kerja...................
250
5.
Persamaan dan gambar sub model pendapatan masyarakat........
252
6.
Persamaan dan gambar sub model kelestarian hutan TNGC ........
264
xvii
1
BAB. I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hutan dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, memiliki peran penting dalam menyangga kehidupan manusia. Aspek stabilitas, fungsi dan keberlanjutan dari ekosistem global bergantung pada keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa yang berfungsi penting bagi kesejahteraan manusia (Poore and Sayer 1988). Oleh karena itu dibutuhkan upaya untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati tersebut agar kehidupan tetap berkelanjutan dan menjamin agar fungsi dan manfaatnya senantiasa dirasakan oleh generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Agar tujuan pemanfaatan berkelanjutan dapat dicapai, maka diperlukan implementasi konservasi, yang salah satunya diwujudkan melalui sistem pengelolaan taman nasional. Pengelolaan taman nasional mengemban tiga misi konservasi yaitu; perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya hayati dan ekosistemnya. Tujuan pengelolaan taman nasional adalah terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya dan mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (UU no.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Pada saat ini kerusakan terhadap kawasan taman nasional telah terjadi di banyak negara di dunia. Machlis dan Tichnell (1985) melaporkan bahwa dari 100 taman nasional di 49 negara, teridentifikasi 1611 ancaman, dimana 95% di antaranya terjadi di negara berkembang. Ancaman yang terjadi 65% diantaranya disebabkan oleh manusia, dan 69% terjadi di dalam batas taman nasional. Sepuluh jenis ancaman terbesar yang dihadapi oleh 43 kawasan konservasi yang paling terancam di dunia adalah perambahan, perburuan, tidak memadainya sumberdaya untuk pengelolaan, perubahan dalam tata air atau pembangunan dam, pembangunan lahan di perbatasan, pembangunan internal yang tidak sesuai, pertambangan dan sumberdaya berpotensi tinggi, konflik ternak, kegiatan militer, dan kegiatan kehutanan (IUCN 1984 dalam Wells dan Brandon 1992).
2
Ancaman terhadap taman nasional juga terjadi di Indonesia, yang memiliki 50 taman nasional dengan luas 16.375.251,31 ha. Ancaman ini telah menyebabkan kawasan taman nasional terdegradasi akibat beberapa aktifitas masyarakat
dalam
kawasan
seperti
penggunaan
lahan
untuk bertani,
pemukiman, penggembalaan ternak, pengambilan hasil hutan kayu/non kayu, perburuan,
pembakaran
hutan
untuk
dijadikan
ladang,
serta
kegiatan
pertambangan pasir dan emas. Beberapa contoh taman nasional yang mengalami permasalahan yaitu TN Gunung Halimun Salak dalam bentuk penyerobotan lahan seluas 621,849 ha dan penebangan liar seluas 42 ha, TN Ujung Kulon dalam bentuk pemukiman liar seluas 2.188,276 ha dan perladangan liar seluas 1.143,375, TN Kerinci Seblat dalam bentuk pemukiman liar seluas 1.665 ha yang melibatkan 1.085 KK, TN Gunung Palung dalam bentuk penebangan liar sebanyak 12,62 m3 dan perladangan liar oleh 140 KK, TN Kutai dalam bentuk pemukiman dan perladangan liar seluas 4.977 ha dan pencurian hasil hutan sebanyak 2.145,17 batang (Zakaria 2003 dalam Suporahardjo 2003), serta TN Gunung Ciremai yang telah megalami kerusakan sekitar 3.799,29 ha, atau sekitar 43% dari luas kawasan. Kerusakan ekosistem pada taman nasional memberikan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat karena mereka banyak bergantung pada produk dan jasa hutan (Poore dan Sayer 1988; Machlis dan Tichnell 1985). Dampak sosial dan ekonomi dari hilangnya fungsi taman nasional adalah kehilangan plasma nutfah, bahan pangan dan obat-obatan penunjang kehidupan, erosi, banjir, longsor dan kekeringan. Eksistensi dan keberadaan taman nasional menjadi salah satu pelindung dari peningkatan angka kemiskinan. World Bank (2003) menunjukkan bahwa 204 juta orang penduduk dunia berada di sekitar hutan, yang berarti 18,5% dari 1,3 milyar penduduk tinggal pada lingkungan yang rawan. Sejumlah besar ancaman dan penyalahgunaan terhadap taman nasional tersebut disebabkan oleh masalah sosial dan ekonomi (Devall 1990; Alikodra 2011). MacKinnon, et al. (1993) menyatakan bahwa kegiatan illegal terhadap kawasan dapat dihentikan secara lebih efektif apabila mereka diberikan alternatif kesempatan kerja setempat. Pernyataan yang sama dikemukakan Mangunjaya (2006) bahwa kondisi kemiskinan memicu masyarakat pinggiran hutan merambah hutan dan kawasan konservasi. Sehingga meskipun dunia internasional telah mengetahui taman nasional menjadi asset dunia, namun bila
3
tidak disertai dengan pengalihan mata pencaharian atau insentif ekonomi lain, mereka akan tetap menggantungkan kehidupan mereka pada sumberdaya hutan tersebut. Berbagai kasus lingkungan hidup termasuk kerusakan hutan, kepunahan spesies, baik pada lingkup global maupun nasional sebagian besar juga adalah masalah sikap moral, dan bersumber dari perilaku manusia (Brown 1987; Keraf 2006), dan hanya bisa diatasi dengan perubahan cara pandang/persepsi dan perilaku manusia terhadap alam yang tidak hanya menyangkut orang per orang tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan (Naess 1993 dalam Devall 1990). Kelestarian
taman
nasional
sangat
tergantung
pada
dukungan
masyarakat sekitar. Apabila masyarakat memandang pelestarian taman nasional sebagai penghalang, maka akan menggagalkan upaya pelestarian, dan jika upaya pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang memberi manfaat, maka masyarakat setempat akan melindungi kawasan tersebut (MacKinnon 1993). Oleh karena itu keberadaan taman nasional harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya, karena salah satu tujuan pengelolaan taman nasional adalah meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal, namun aktivitas mereka tidak merugikan kelestarian taman nasional (Davey 1998; MacKinnon, et al. 1993). Untuk menjaga integritas keanekaragaman hayati taman nasional, dan membantu menjaga keseimbangan antara konservasi keanekaragaman hayati dengan kebutuhan manusia diperlukan strategi pengelolaan daerah penyangga yaitu daerah yang terletak di luar kawasan taman nasional dan berada di sekeliling taman nasional (Sayer and Campbell
2004) yang dibentuk untuk
melindungi kawasan taman nasional sekaligus sebagai wilayah pembangunan bagi masyarakat perdesaan di sekitarnya (Meffe dan Carroll 1994; MacKinnon, et al. 1993). Bentuk-bentuk pengembangan kegiatan di daerah penyangga yang dapat memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat sekaligus berperan penting bagi kelestarian kawasan taman nasional dapat diwujudkan melalui program pengembangan ekowisata, penangkaran satwa liar, budidaya tanaman hias, budidaya tanaman obat dan konservasi lahan melalui sistem agroforestri (H de Foresta et al 2000). Berbagai bentuk program pengembangan di daerah penyangga tersebut ditujukan bagi peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Perubahan pemahaman dan sikap
4
masyarakat yang lebih baik terhadap pelestarian kawasan taman nasional diharapkan terjadi seiring dengan membaiknya kondisi sosial dan ekonomi. Pengembangan pengembangan
daerah
masyarakat,
penyangga oleh
karena
pada itu
hakekatnya
adalah
program-program
yang
dikembangkan pada daerah penyangga semestinya dilakukan melalui berbagai strategi yang mengedepankan pemanfaatan sumber-sumber yang ada dalam masyarakat tersebut dan dilakukan dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan masyarakat (Ife dan Tesoriero 2008) serta diprioritaskan bagi dimensi pengembangan sosial, ekonomi dan lingkungan. Situasi kerusakan taman nasional juga terjadi di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dimana saat ini sekitar 42,54% dari luas TNGC atau sekitar 3.799,27 ha telah mengalami kerusakan. Pemilihan sebagai wilayah penelitian didasarkan atas permasalahan yang dihadapi TNGC (Balai TNGC 2010), yaitu; 1. Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 pada tanggal 19 Oktober 2004, dengan luas 15.500 ha yang terdiri dari 8.931,27 ha termasuk wilayah Kabupaten Kuningan dan 6.933,13 ha termasuk wilayah Kabupaten Majalengka. Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan Gunung Ciremai merupakan hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani, yang dalam pengelolaannya menerapkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Adanya perubahan status kawasan
tersebut,
maka
dilakukan
penyesuaian
pengelolaan
dan
pemanfaatannya sesuai dengan tujuan pengelolaan taman nasional. Perubahan ini membawa konsekwensi berhentinya kegiatan penggarapan lahan dalam kawasan oleh masyarakat melalui program PHBM. 2. Kerusakan yang sangat luas disebabkan oleh pembukaan hutan di lereng Gunung Ciremai untuk dijadikan lahan pertanian masyarakat seluas 1.817 ha pada ketinggian 1.800 meter dpl. 3. Kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun, terbesar pada tahun 2002 seluas 2.000 ha. 4. Pencurian kayu (1999 hingga 2004) mencapai 30.757 batang, dengan total kerugian
mencapai
10,676
milyar
rupiah,
sehingga
berkurangnya luas penutupan hutan. 5. Berkurangnya sumber mata air dari 430 titik menjadi 156 titik.
mengakibatkan
5
6. Perburuan satwa liar terjadi di beberapa desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGC yang mengakibatkan belum terjaminnya kelestarian satwa liar. Salah satu sebab terjadinya perburuan liar adalah adanya gangguan terhadap lahan milik masyarakat oleh beberapa satwa liar seperti babi hutan akibat kondisi habitat di dalam kawasan TNGC yang mengalami gangguan. Faktor sosial ekonomi seringkali dijadikan alasan oleh masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam kawasan TNGC yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan taman nasional. Hal ini erat hubungannya dengan upaya masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Terdapat indikasi bahwa luas kepemilikan lahan garapan masyarakat belum dapat memberikan hasil untuk memenuhi tingkat kehidupan kecukupan. Luas kepemilikan lahan garapan sebagian besar anggota masyarakat yang ada di sekitar kawasan TNGC tergolong sempit (< 0.3 ha) (Bappeda 2010). Padahal kehidupan masyarakat masih tergantung pada kegiatan pertanian. Hal ini telah mendorong masyarakat melakukan berbagai kegiatan ilegal dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, seperti: perambahan hutan, pencurian kayu/non kayu dan perburuan satwa. Kerusakan hutan TNGC akan menyebabkan terjadinya degradasi keanekaragaman hayati dan fungsi jasa lingkungan kawasan tersebut, termasuk juga ancaman bagi satwa langka dilindungi dan endemik Jawa yang terdapat di TNGC, seperti Macan Kumbang (Panthera pardus), Surili (Presbytis comata), dan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), mengancam pasokan air bagi masyarakat Kuningan, Majalengka, Cirebon dan Indramayu, dan juga akan dapat menurunkan sumber mata pencaharian masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Daerah setempat. Sekitar 131.621 jiwa masyarakat yang bermukim di 45 desa di daerah penyangga TNGC kondisi ekonominya sangat bergantung pada kelestarian kawasan TNGC. Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) memiliki beragam potensi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap TNGC. Potensi wisata alam TNGC tersebar di sekeliling kawasan dengan jumlah 19 obyek wisata alam yang telah dikembangkan dan beberapa obyek wisata masih dalam tahap eksplorasi. Kawasan Gunung Ciremai memiliki 43 buah sungai dan 156 titik mata air yang dimanfaatkan untuk irigasi, perikanan, industri dan kegiatan ekonomi lainnya.
6
Kondisi tanah yang subur dan ketersediaan sumberdaya air yang melimpah menjadikan lahan yang subur bagi tumbuhnya berbagai jenis tanaman. Bentukbentuk pengembangan kegiatan di daerah penyangga yang dapat memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat sekaligus berperan penting bagi kelestarian kawasan taman nasional dapat diwujudkan melalui pengembangan ekowisata (Alikodra 2011) dan konservasi lahan melalui sistem agroforestri, dimana bentuk penggunaan lahan ini sudah lama dipraktekkan oleh masyarakat perdesaan dalam beragam bentuk dan model (H de Foresta et al. 2000). Program pengembangan masyarakat di daerah penyangga TNGC telah dilakukan oleh berbagai stakeholder namun belum memberikan hasil yang optimal. Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) telah dilakukan sejak tahun 2001 oleh Perum Perhutani, namun belum dapat mencapai sasaran (Yuniandra 2006), pelatihan pemandu ekowisata/interpreter dan pelatihan kerajinan tangan untuk cinderamata telah dilakukan sejak tahun 2009 oleh Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, namun belum dapat diimplementasikan oleh masyarakat dan belum mampu membuat masyarakat menjadi berdaya dan mandiri melalui ketrampilan yang diperolehnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam upaya menjaga kelestarian TNGC, diperlukan adanya pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga yang dilakukan melalui kegiatan pengembangan masyarakat sesuai dengan potensi taman nasional maupun potensi yang dimiliki oleh masyarakat daerah penyangga, bagi peningkatan kondisi sosial ekonomi dan sikap masyarakat terhadap konservasi TNGC. 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan pokok kesejahteraan masyarakat dan kelestarian TNGC yang belum terwujud yang diajukan dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut : 1.
Bagaimana kondisi sosial ekonomi dan sikap masyarakat terhadap konservasi TNGC pada saat ini ?
2.
Apa permasalahan konservasi TNGC yang dihadapi saat ini ?
3.
Bagaimana potensi pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga dalam program ekowisata dan agroforestri untuk mendukung konservasi TNGC ?
7
4.
Bagaimana strategi pengembangan daerah penyangga TNGC khususnya melalui pengembangan ekowisata dan agroforestri ?
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah merumuskan pengembangan daerah penyangga, yang mendukung kelestarian TNGC. Adapun tujuan antara dari penelitian ini adalah : 1.
Menelaah permasalahan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC.
2.
Melakukan analisis permasalahan konservasi TNGC yang dihadapi saat ini
3.
Menganalisis potensi dan melakukan simulasi dinamis pengembangan program ekowisata dan agroforestri di daerah penyangga untuk mendukung konservasi TNGC
4.
Merumuskan strategi pengembangan daerah penyangga TNGC khususnya melalui pengembangan ekowisata dan agroforestri.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan bidang konservasi biodiversitas tropika, khususnya yang berbasis pada pengembangan masyarakat. 2. Bagi pengambil kebijakan penelitian ini bermanfaat sebagai dasar dan masukan dalam kebijakan pengembangan daerah penyangga TNGC melalui pengembangan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian 3. Bagi masyarakat daerah penyangga TNGC dan dunia usaha, penelitian ini bermanfaat sebagai acuan untuk meningkatkan keterlibatannya dalam pengelolaan TNGC. 1.5 Novelty Penelitian tentang pengembangan daerah penyangga hingga saat ini masih berbasis pada peningkatan sosial dan ekonomi masyarakat. Umar (2004) melihat dari sisi valuasi ekonomi agroforestri, Upe (2005) meneliti tentang kesesuaian lahan serta kelayakan usaha pada beberapa pola penggunaan lahan di daerah penyangga, dan Basuni (2005) mengkaji mengenai inovasi institusi daerah penyangga.
8
Beberapa penelitian mengenai pengembangan masyarakat, dapat dilihat fokus kajian seperti yang telah dilakukan oleh Hibbard dan Tang (2004) dengan fokus pada kolaborasi antara pemerintah, lembaga semi pemerintah, NGO dan masyarakat lokal, serta pengembangan peran wanita pada konservasi mangrove. Pengembangan kapasitas masyarakat dalam kepemimpinan, aksi bersama dan hubungan antar organisasi dilakukan oleh Bessant (2005), keuntungan-keuntungan partisipasi
bagi
anggota
masyarakat
dan
para
pelaksana untuk keberlanjutan proses community development (Schafft and Greenwood
2003),
upaya
community
development
melalui
partisipasi
pemerintahan, kesejahteraan sosial dan infrastruktur lingkungan (Beard 2007), serta pengembangan masyarakat dengan fokus pada kolaborasi antar stakeholder melalui sharing pendanaan sosial (Bowen 2005). Penelitian pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga ini selain bertujuan untuk meningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat, juga mengkaji mengenai sikap masyarakat sebagai faktor penting yang harus diperhatikan dalam upaya mencari dukungan masyarakat untuk upaya konservasi taman nasional. Kebaruan dari penelitian ini adalah bagaimana tujuan peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat dicapai melalui pengembangan program yang bersumber dari potensi taman nasional dan potensi masyarakat daerah penyangga dengan mempertimbangkan aspek sikap masyarakat terhadap konservasi taman nasional, serta melalui strategi pengembangan masyarakat yang lebih memperhatikan aspek kemandirian masyarakat. Muara dari strategi ini adalah terwujudnya kelestarian taman nasional dan kesejahteraan masyarakat daerah penyangga. 1.6 Kerangka Pemikiran Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan taman nasional memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah (MacKinnon 1993; Alikodra 2011) karena adanya berbagai keterbatasan sumber daya dan akses informasi, sehingga mereka banyak bergantung kepada kawasan hutan. Namun ketergantungan
yang
tinggi
terhadap
kawasan
taman
nasional
dapat
menurunkan fungsi sosial dan ekologi taman nasional (Machlis dan Tichnell 1985), karena daya dukung ekologi kawasan
sangat terbatas, sedangkan
keinginan manusia tidak terbatas. Oleh karena itu agar kelestarian taman nasional dapat terwujud, maka pendekatan pembangunan yang dapat diimplementasikan adalah melalui peningkatan kapasitas sosial ekonomi
9
masyarakat di sekitar kawasan, sebagai kompensasi terhadap masyarakat lokal karena kehilangan akses dengan sumberdaya di daerah inti (Poore & Sayer 1988). Peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat ini dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan dukungan masyarakat, karena menurut MacKinnon, et al. (1993) kelestarian taman nasional sangat tergantung pada dukungan masyarakat sekitar. Apabila masyarakat memandang pelestarian taman nasional sebagai penghalang, maka akan menggagalkan upaya pelestarian, dan jika upaya pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang memberi manfaat, maka masyarakat setempat akan melindungi kawasan tersebut. Agar kelestarian kawasan taman nasional tetap terjaga, maka program yang dikembangkan untuk peningkatan sosial ekonomi masyarakat dilakukan di daerah penyangga, sesuai dengan fungsinya yaitu untuk memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan taman nasional sekaligus bermanfaat bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat perdesaan di sekitarnya (Meffe dan Carroll 1994). Pengembangan daerah penyangga taman nasional yang dilaksanakan dengan bersumber pada potensi taman nasional dan potensi daerah penyangga, berpedoman pada Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya, mengatur tentang
bentuk-bentuk
pemanfaatan yang bisa dilakukan di dalam taman nasional,
Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang mengatur tentang bentuk pemanfaatan jasa lingkungan, Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam no 44/KPTS/Dj-VI/1997
tentang
Petunjuk
Teknis
Pengembangan
Daerah
Penyangga, serta Surat Edaran Mendagri No. 660.1/269/V/Bangda tahun 1999 tentang Pengelolaan Daerah Penyangga. Pengembangan masyarakat daerah penyangga merupakan proses yang dirancang untuk menciptakan kondisi sosial ekonomi yang lebih maju, dimana kegiatan ini dilakukan dengan mengedepankan pemanfaatan sumber-sumber yang ada dalam masyarakat serta dilakukan sesuai kemampuan dan kekuatan masyarakat (Ife dan Tesoriero 2008). Peran para pihak adalah membantu jika sumber kekuatan dan kemampuan masyarakat tidak tersedia. Pengembangan daerah penyangga yang berbasis pada pengembangan sosial ekonomi masyarakat
ini bertumpu pada dimensi sosial, ekonomi dan
10
lingkungan, dengan fokus pada peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Sikap masyarakat yang mendukung terhadap upaya konservasi TNGC diharapkan terwujud seiring dengan meningkatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sikap yang mendukung akan dapat mengurangi tekanan terhadap kawasan TNGC, sehingga peningkatan luas penutupan hutan TNGC yang merupakan indikasi kelestarian taman nasional dapat terwujud. Berdasarkan potensi yang ada, penelitian ini memfokuskan kegiatan pengembangan sosial ekonomi masyarakat melalui program-program yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan kelestarian dan kepentingan ekonomi bagi masyarakat, yaitu melalui program ekowisata dan agroforestri. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
Kerusakan taman nasional
Daerah Penyangga 1. Potensi biofisik 2. Potensi sosial ekonomi masyarakat
Rendahnya kondisi sosial dan ekonomi masyarakat
Pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga melalui ekowisata dan agroforestri
Potensi Taman Nasional
Sikap masyarakat terhadap konservasi TNGC Kesempatan kerja dan pendapatan -ekowisata -agroforestri
feedback
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian (modifikasi dari Poore and Sayer 1988; Ife dan Tesoriero
2008; MacKinnon 1993)
Luas penutupan hutan TNGC
11
BAB II. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitiandilaksanakan di daerah penyangga kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) wilayah kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat pada bulan Maret 2010 sampai dengan bulan Mei 2011. 2.2 Penentuan Contoh 2.2.1 Penentuan Wilayah Daerah Penyangga dan Desa Contoh Taman
Nasional
Gunung
kabupatenyaituKabupaten
Ciremai(TNGC)
terletak
MajalengkadanKabupaten
berbatasandengantujuhkecamatan, KabupatenMajalengkadantujuhkecamatan
18 27desa
dua
Kuningan, desa
di
di
di
KabupatenKuningan.
Daerah penelitian ini dibatasi hanya di wilayah Kabupaten Kuningan didasarkan atas empat alasan; 1) 56,3% luas kawasan TNGC termasuk dalam wilayah kabupaten Kuningan, 2) 60% dari seluruh desa di daerah penyangga dan 64% dari
jumlah penduduk di daerah penyangga TNGC berada di Kabupaten
Kuningan, 3) Desa-desa di daerah penyangga TNGC yang termasuk dalam zona merah (rawan ancaman dan gangguan) sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Kuningan serta 4) Luas lahan kritis kawasan TNGC, 60% termasuk dalam wilayah Kabupaten Kuningan (Balai TNGC dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan 2010). Pemilihan lima desa contoh yang terletak di daerah penyangga TNGC merupakan desa-desa yang potensial dikembangkan untuk ekowisata dan agroforestri.
Penentuanlima
desacontohdilakukansecarapurposive
sampling,
yaitu 1) desa Cisantana dengan obyek wisata Bumi perkemahan, 2) desa Manis Kidul dengan obyek wisata Pemandian Cibulan, dan 3) desa Pajambon dengan obyek wisata air terjun Lembah Cilengkrang, serta potensi agroforestri yaitu 1) desa Karangsari, 2) desa Seda, dan 3) desa Pajambon (Gambar 2).
12
Gambar2 Petadesa contoh padadaerahpenyangga TNGC (SumberBalai TNGCTahun 2010) Keterangan Gambar 2 : 1. Warna merah : Zona Inti seluas ±5.640,33 ha (36,39%). 2. Warna kuning : Zona Rimbaseluas ± 1.490,54 ha (9,62%). 3. Warna biru : Zona Rehabilitasi seluas± 8,092,56 ha (52,21%) 4. Warna hijau : Zona Pemanfaatan± 250,63 ha (1,62%) 5. Warna ungu : Daerah Penyangga TNGC 6. Tanda X : Desa-desa Contoh
13
2.2.2Penentuan Responden Populasidalampenelitianiniadalahmasyarakatdaerah bekerja
ekowisata
di
TNGC
dan
agroforestri.
penyangga Penentuan
yang sampel
dilakukansecarapurposive, dengan jumlah contoh sebanyak 63 orang yang bekerja di ekowisata (44,37% dari total populasi 142 orang) dan 55 orang yang aktif mengelola agroforestri (26% dari total populasi).Respondenekowisata di tiga lokasi ekowisata dipilih secara acak masing-masing sebanyak 30 orang, sehingga
jumlah
keseluruhan
responden
ekowisata
sebanyak
90
orang.Responden konsumen kayu yang terdiri dari masyarakat pengguna kayu bakar, pengelola industri pengolahan kayu dan pengelola industri batu bata. Dari hasil identifikasi dengan metode snowball, stakeholder yang berperan dalam program ekowisata dan agroforestri dikelompokkan menjadi tiga, yaitu Pemerintah, Dunia Usaha dan LSM/Masyarakat, dengan jumlah keseluruhan sebanyak 10 stakeholder, seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan daerah penyangga TNGC No
Jenis
1
Pemerintah
2
Dunia Usaha
3
LSM/Masyarakat
Stakeholder a. b. c. d. a. b. c. a. b. c.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Jawa Barat Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Kuningan CV Wisata Putri Mustika LSM Kanopi LSM Akar Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata (Kompepar)
Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 224 orang, dengan rincian disajikan pada Tabel 2. Tabel2Jumlah responden penelitian No 1
Penentuan Sampel Ekowisata
2
Agroforestri
3
Stakeholder
Populasi a. Masyarakat yang bekerja di ekowisata b. Ekowisatawanpada tiga obyek wisata a. Masyarakat yang bekerja di agroforestri b. Konsumen pengguna kayu bakar, industri kayu dan batu bata Stakeholder yang berperandalam program ekowisata danagroforestri Total Jumlah Sampel
Jumlah Responden 63 90 55 6 10 224
14
2.3Pengumpulan Data Penelitian 2.3.1 Teknik Pengumpulan Data Data yang dihimpun dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperolehsecara langsung dari responden melalui
wawancara dan pengisian kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil penelusuran dokumen yang meliputiProfil Desa, Profil Kabupaten Kuningan, laporan tahunan, Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (RPJM), Rencana Strategis (Renstra), Statistik Kabupaten Kuningan, Kuningan dalam Angka serta dokumen lain yang mendukung. Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi pada wilayah penelitian, maka data yang dihimpunmeliputi profil TNGC serta daerah penyangganya, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang bekerja di sektor ekowisata dan agroforestri
sertasikap
masyarakat
terhadap
konservasi
TNGC,
peran
stakeholder bagi konservasi TNGC, permasalahan yang dihadapi dalam konservasi TNGC yang berkaitan dengan kesempatan kerja, pendapatan dan sikap masyarakat terhadap konservasi TNGC,serta solusi pengembangan daerah penyangga TNGC yang pro konservasi berbasis pada ekowisata dan agroforestri. Dengan adanya pemetaan kondisi ini maka dapat dirumuskan model pengembangan daerah penyangga TNGC. Profil TNGC serta daerah penyangganya diperoleh melalui hasil wawancara dengan pihak Balai TNGC dan penelusuran dokumenlaporan tahunan serta Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (RPJM). Jenis data dan parameternya disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Informasi mengenai kondisi sosial ekonomi dan sikap masyarakat diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner terhadap responden masyarakat yang bekerja di ekowisata dan agroforestri, serta penelusuran dokumen.Informasi yang dihimpun meliputi karakteristik responden masyarakat yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas kepemilikan lahan, mata pencaharian,serta pendapatan dan pengeluaran rumah tangga responden.Dokumen yang digunakan yaitu Profil Desa, Profil Kabupaten Kuningan, serta Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Bappeda Kabupaten Kuningan tahun 2009-2013. Sikapmasyarakat diindikasikan dengan 1) pemahaman masyarakat terhadap dampak yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan, 2)pemahaman terhadap fungsi dan manfaat TNGC,3)tingkat dukungan terhadap konservasi
15
TNGC, serta mengetahui seberapa besar tingkat partisipasi masyarakat terhadap konservasi TNGC. Skala pengukuran menggunakan skala ordinal berupa pengukuran sikap. Teknik pengukuran sikap dilakukan dengan menggunakan skala Likert dengan tingkatan skor 1 (sangat tidak setuju), 2 (setuju), 3 (raguragu), 4 (setuju) dan 5 (sangat setuju).Kuesioner yang disebarkan kepada 100 orang responden (data yang dapat dianalisis 95 kuesioner)diuji validitas dan reliabilitasnya. Validitas adalah sejauh mana kuesioner tersebut mampu mengungkapkan apa yang ingin diukur, sedangkan reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauhmana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Singarimbun dan Effendi 2006).Perhitungan validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan program SPSSversi18.
Hasil uji
validitas dan reliabilitas menunjukkan instrumen penelitian dinyatakan valid dengan nilai koefisien validitas di atas 0,60. Tingkat reliabilitas instrumen ditentukan berdasarkan skala Alpha Cronbach 0–1. Hasil menunjukkan instrumen penelitian dinyatakan reliabel dengan nilai 0,617 (Azwar 2003). Informasi
mengenai
peran
stakeholder
meliputi
pengaruh
dan
kepentingan keterlibatan serta kontribusinya dalam pengembangan ekowisata dan
agroforestri.
stakeholder
serta
Informasi
diperoleh
penelusuran
melalui
dokumen
hasil
Rencana
wawancara
dengan
Pengelolaan
Jangka
Menengah (RPJM) dan Rencana Strategis (Renstra). Informasi mengenai potensi ekowisata dan agroforestri diperoleh dari hasil
wawancara
dengan masyarakat
yang
bekerja
di
ekowisata
dan
ekowisatawan, sedangkan potensi agroforestri diperoleh dari hasil wawancara dengan masyarakat yang bekerja di agroforestri dan konsumen kayu, yaitu industri kayu, industri batu bata dan masyarakat pengguna kayu bakar. Penutupan
lahan
merupakan
status
lahan
secara
ekologi
dan
penampakanpermukaan lahan secara fisik, yang dapat berubah karena adanya intervensimanusia, gangguan alam, atau suksesi tumbuhan (Helms 1998 dalam Yatap
2005).
Perubahanpenggunaan
lahan
tidak
selalu
menyebabkan
perubahan penutupan lahan secarasignifikan. Perubahan penutupan lahan dapat dibagi menjadi dua bentuk (FAO 2000dalam Yatap 2008) yaitu:a) konversi dari suatu kategori penutupan lahan menjadi kategori yang lain,contohnya dari hutan menjadi padang rumput, b) modifikasi dari suatu kategori, contohnya dari hutan rapat menjadi hutan jarang.
16
Kondisi penutupan hutan TNGC dapat diketahui dengan menganalisis peta penutupan lahan berdasarkan penafsiran citra landsat dari Badan Planologi Kehutanan. Untuk melihat perubahan kondisi penutupan hutan TNGC, peta penutupan lahan yang diperhitungkan adalah peta tahun 1996, 2000, 2003, 2006, dan peta tahun 2009. Kondisi kerusakan hutan dapat diketahui dari peta penutupan hutan TNGC tersebut dengan melihat seberapa besar persentase perubahan dari areal yang seharusnya merupakan areal berhutan (primer maupun sekunder) menjadi areal selain hutan (ladang, sawah, pekarangan, kebun dan perubahan lahan dalam bentuk lainnya).
Peningkatan kerusakan
hutan TNGC dapat diperkirakan dari berkurangnya luas penutupan hutan TNGC dari tahun ke tahun, karena adanya kebakaran hutan, perubahan penggunaan menjadi lahan pertanian dan perkebunan, serta penyebab lainnya. Data primer diperoleh dengan melakukan pengumpulan data sebagai berikut; 1. Diskusi
dan
wawancara
dengan
stakeholder
yang
terlibat
dalam
pengembangan daerah penyangga yaitu Balai TNGC, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat,untuk mengetahui pengaruh dan kepentinganketerlibatannya dalam pengembangan program ekowisata dan agroforestri serta mengetahui peran stakeholder yang meliputi jenis kegiatan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan, frekwensi kegiatan, masyarakat daerah penyangga yang dilibatkan, serta bagaimana kegiatan tersebut dilaksanakan 2. Wawancara dengan masyarakat yang bekerja pada kegiatan ekowisata untuk mengetahui a)kondisi sosial dan ekonomi, b) penyediaan produk wisata oleh masyarakat (penawaran) serta c) persepsi, sikap dan perilaku terhadap konservasi TNGC. 3. Wawancara dengan pengunjung dilakukan untuk mengetahui kondisi demand (permintaan) ekowisata TNGC. Wawancara difokuskan pada aspek motivasi pengunjung, daya tarik obyek wisata alam, informasi obyek wisata TNGC, kondisi assesibilitas, serta fasilitas ekowisata termasuk penyediaan produk ekowisata oleh masyarakat. 4. Wawancara dengan masyarakat yang bekerja pada agroforestri untuk mengetahui a)kondisi sosial dan ekonomi, b) pengelolaan agroforestri dan
17
kendala yang dihadapi serta c) persepsi, sikap dan perilaku terhadap konservasi TNGC. 5. Wawancara dengan konsumen pengguna kayu bakar, pengelola industri penggergajian kayu dan industri bata untuk mengetahui kondisi permintaan produk kayu 2.3.2 Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan dikelompokkan menjadi dua, yaitu data pemanfaatan
potensi
TNGC
dan
data
pengembangan
social
ekonomimasyarakatdaerah penyangga TNGC melalui program ekowisata dan agroforestri. Jenis data dan parameter pengelolaan dan pemanfaatan potensi TNGC yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Data pengelolaan dan pemanfaatan potensi TNGC No. 1. 2.
Jenis Data Sejarah kawasan TNGC Peta kawasan TNGC
3. 4 5.
Kondisi fisik Kondisi Biologi Pemanfaatan potensi ekowisata dan air TNGC Rencana Pengelolaan TNGC dalam pemanfaatan potensi Gangguan terhadap kawasan TNGC
6. 7. 8 9.
Program Pengembangan Masyarakat Statistik TNGC
10.
Kebijakan
11 12.
Potensi TNGC Pengembangan potensi ekowisata, dan agroforestri di daerah penyangga
13.
Pemanfaatan potensi TNGC bagi pengembangan ekowisata dan agroforestri
Parameter Kronologis penunjukan dan penetapan kawasan Wilayah kerja, luas, daerah penyangga TNGC, dan obyek wisata alam Tipe iklim, jenis tanah, topografi dan hidrologi Tipe ekosistem dan jenis flora/fauna Potensi ekowisata (jenis, jumlah dan cara pemanfaatan) dan potensi air (cara pemanfaatan) Program dan jenis kegiatan Jenis gangguan (kebakaran, perambahan dan pencurian kayu/non kayu/flora/fauna), Intensitas (frekwensi dan besar gangguan), nilai kerugian Jenis kegiatan, lokasi, pelaksanaan, keberlanjutan program Kerusakan kawasan, bekas penggarap kawasan, data ekowisatawan obyek wisata TNGC Pengelolaan daerah penyangga dan tata ruang kabupaten Jenis dan bentuk pemanfataan potensi TNGC Program/kegiatan pengembangan, pihak yang terlibat dalam program, pengaruh dan kepentingan dalam program, manfaat dan keuntungan bagi masyarakat, kendala dan permasalahan Potensi ekowisata (jenis, jumlah, pemanfaatan oleh masyarakat) ,potensi agroforestri, potensi air bagi petani/masyarakat (jumlah dan cara pemanfaatan)
Jenis data yang diperlukan untuk analisis pengembangan sosialekonomimasyarakatdaerah penyangga TNGC di sajikan pada Tabel 4.
18
Tabel 4 Data pengembangan sosialekonomimasyarakatdaerah penyangga TNGC No. 1 2. 3. 4.
5.
Jenis Data Aspek legalitas daerah penyangga Kebijakan dan Perda yang terkait dengan daerah penyangga TN Lokasi daerah penyangga Potensidesa contoh bagi pengembangan ekowisata dan agroforestri Potensi ekowisata
6.
Kondisi sosial ekonomi responden yang bekerja di ekowisata
7.
Kondisi sosial ekonomi responden masyarakat yang bekerja di agroforestri
8. 9.
Sikap dan perilaku konservasi masyarakat Permintaan ekowisata
10
Permintaan agroforestri
11
Pengaruh dan kepentingan stakeholder dalam pengembangan ekowisata dan agroforestri di daerah penyangga Kebijakan dan peran stakeholder dalam program ekowisata dan agroforestri
12
Parameter SK penetapan daerah penyangga Jenis kebijakan dan Perda, Implementasi Peta lokasi, desa-desa yang masuk daerah penyangga Potensi biofisik, pemanfaatan lahan ,sosial ekonomi masyarakat (Mata pencaharian, tingkat pendidikan masyarakat, perekonomian, budaya, dll, sarana prasarana umum) Jenis dan jumlah obyek wisata, pihak pengelola, sarana dan prasarana, aksesibilitas, produk wisata ,ekowisatawan. -Karakteristik responden masyarakat (umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, mata pencaharian, pendapatan, kepemilikan lahan), -Kondisi obyek wisata, promosi, aksesinilitas, fasilitas ekowisata dan penyediaan produk wisata, serta harapan terhadap pengembangan ekowisata TNGC -bentuk partisipasi masyarakat bagi kelestarian TNGC -Karakteristik responden masyarakat (umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah anggota keluarga, mata pencaharian, pendapatan, kepemilikan lahan), -Produksi tanaman agroforestri, jenis tanaman Kendala dan harapan terhadap pengembangan agroforestri -bentuk partisipasi masyarakat bagi kelestarian TNGC Sikap dan perilaku terhadap konservasi TNGC Karakterisik ekowisatawan (umur, pendidikan, pekerjaan, asal daerah, pendapatan), motivasi ekowisatawan, daya tarik obyek ekowisata, promosi dan informasi, assesibilitas, fasilitas ekowisata dan produk ekowisata serta harapan terhadap pengembangan ekowisata TNGC Karakterisik petani agroforestri (umur, pendidikan, kepemilikan lahan, pendapatan),Jenis dan jumlah produk agroforestri,harapan terhadap pengembangan agroforestri Pengaruh dan kepentingan stakeholder dalam pengembangan ekowisata dan agroforestri di daerah penyangga
-Peraturan-peraturan , implementasi di lapangan -Peran stakeholder dalam program/kegiatan yang telah, sedang dan akan dilakukan.
19
2.4 Metode Analisis Data Data hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan beberapa metode. Untuk mengetahui profil TNGC, profil daerah penyangga TNGC, kondisi kerusakan hutan TNGC, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan sikapdan perilaku
masyarakat
terhadap
konservasi
TNGC,
serta
analisis
permasalahandigunakan analisis deskriptif. Untuk mengetahui peran stakeholder dalam pengembangan ekowisata dan agroforestri di daerah penyangga TNGC dilakukan analisis stakeholder, dan solusi pemecahan masalah melalui potensi pengembangan ekowisata dan agroforestri digunakan analisis penawaran (supply) dan permintaan (demand). Selanjutnyauntuk membangun model pengembangan sosial ekonomi msyarakat daerah penyangga TNGC digunakan analisis sistem dinamik. 2.4.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan dengan caramenggambarkan apa adanya mengenai suatu gejala atau keadaan pada saat penelitian dilakukan, tanpa bermaksud untuk menguji hipotesis (Arikunto 1998). 2.4.2Analisis Penawaran (supply) dan Permintaan (demand) Analisis penawaran (supply) dan permintaan (demand)dilakukan dengan membandingkan antara kondisi penawaran dan permintaanuntuk melihat kemungkinan terjadinya kesenjangan atau gap.Kesenjangan yang terjadi dapat menjadi input atau potensi pengembangan.Pembandingan dalam ekowisata dilakukan terutama terhadap variabel yang berpengaruh terhadappeningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat yaitu;motivasi ekowisatawan, obyek daya tarik ekowisata,informasi dan promosi ekowisata, aksesibilitas, serta fasilitas
dan
masyarakat
pelayanan dan
ekowisata,
harapan
penyediaan
terhadap
produk
ekowisata
pengembangan
oleh
ekowisata
TNGC.Pembandingan dalam agroforestri dilakukan terutama terhadap parameter yang
berpengaruh
terhadap
pengembangan
agroforestri
yaitu
melalui
produksitanaman pertanian dan tanaman kehutanan, sertaharapan terhadap pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC. 2.4.3 Analisis Stakeholder Kebijakan dan implementasi pengembangan daerah penyangga TNGC melalui program ekowisata dan agroforestri sangat bergantung kepada peran
20
stakeholder yang terkait.Stakeholder kunci dapat diidentifikasi perannya berdasarkan tingkat pengaruh dan tingkat kepentingannya terhadap program pengembangan ekowisata dan agroforestri. Pemetaan stakeholder ini dilakukan dengan menggunakan analisis stakeholder (Reed, et al. 2009).Menurut Grimble, R. dan Man-Kwan Chan dalam Suporahardjo (2005) peran analisis stakeholder untuk menutup kesenjangan antar stakeholder dengan cara memberi suatu pendekatan yang mulai dengan suatu kepentingan yang berbeda-beda dari bermacam-macam stakeholder pada suatu program. Penetapan kuantitatif skor pertanyaan pada pemetaan stakeholder mengacu pada pengukuran data berjenjang lima, yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Ukuran kuantitatif terhadap pemetaan stakeholder Skor
Nilai
Kriteria
Keterangan Kepentingan Stakeholder
5 4 3 2 1
17 – 20 13 – 16 9 – 12 5–8 0–4
5
17 – 20
4
13 – 16
3
9 – 12
2
5–8
1
0–4
Sangat tinggi Tinggi Cukup tinggi Kurang tinggi Rendah
Sangat bergantung pada keberadaan program Ketergantungan tinggi pada keberadaan program Cukup bergantung pada keberadaan program Ketergantungan pada keberadaan program kecil Tidak tergantung pada keberadaan program Pengaruh Stakeholder Sangat tinggi Jika responnya berpengaruh nyata terhadap aktivitas stakeholder lain Tinggi Jika responnya berpengaruh besar terhadap aktivitas stakeholder lain Jika responnya cukup berpengaruh terhadap Cukup tinggi aktivitas stakeholder lain Jika responnya berpengaruh kecil terhadap aktivitas Kurang tinggi stakeholder lain. Jika responnya berpengaruh nyata terhadap Rendah aktivitas stakeholder lain.
Alat analisis yang digunakan adalah ‘”stakeholder grid” dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel XLSTAT 7.1. Hasil analisis digambarkan dalam bentuk matriks, dimana stakeholder dikategorikan berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya terhadap suatu aktivitas tertentu.Diagram hasil analisis stakeholder disajikan padaGambar 3. Skor jawaban terhadap pengaruh dan tingkat kepentingan dari masingmasing stakeholder dikelompokkan menurut jenis indikatornya, kemudian dipetakan sehingga membentuk koordinat.
Selanjutnya diterjemahkan dalam
bentuk matriks resultante yang memetakan stakeholder dalam empat kuadran (Reed et al. 2009).
21
TINGGI
KUADRAN I
K E P E N T I N G A N
KUADRAN II KEY PLAYER
SUBJECT
KUADRAN III
KUADRAN IV CONTEX SETTER
CROWD
RENDAH
TINGGI PENGARUH
Gambar 3Matriks kuadran posisi stakeholder Posisi pada kuadran dapat menggambarkan posisi dan peranan dari masing-masing stakeholderyaitu : 1) Subject (kepentingan tinggi tetapi pengaruh rendah); 2) Key Player (kepentingan dan pengaruh tinggi), 3)Crowd (kepentingan dan pengaruh rendah), dan 4) Context Setter (kepentingan rendah tetapi pengaruh tinggi).
Matriks resultante posisi masing-masing stakeholder pada
empat kuadran dapat dilihat pada Tabel 6 berikut : Tabel 6Matriks resultante posisi masing-masing stakeholder Pengaruh Rendah
Pengaruh Tinggi
Kepentingan Tinggi
Kuadran I : Subject Kelompok stakeholder yang penting, namun berpengaruh lemah
Kuadran II : Key Player Kelompok stakeholder dengan derajat pengaruh dan kepentingan tinggi
Kepentingan Rendah
Kuadran III : Crowd Kelompok stakeholder yang paling rendah kepentingan dan pengaruhnya
Kuadran IV : Context Setter Kelompok stakeholder berpengaruh tinggi, namun derajat kepentingannya rendah
2.4.4Analisis Sistem Dinamik Untuk memprediksi kondisi sosial ekonomi masyarakat melalui program ekowisata
dan
agroforestri
dimasa
mendatang,
maka
dibuat
model
pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC dengan menggunakan analisis sistem dinamis.Model yang dibangun ini tidak akan sama persis dengan sistem sebenarnya, karena semakin banyak variabel yang dimasukkan dalam model, semakin sulit untuk menjelaskan proses yang terjadi (Hartrisari 2007).
Oleh karena itu variabel penelitian yang digunakan dalam
22
penyusunan model ini dibatasi pada variabel kesempatan kerja, pendapatan, dan kelestarian TNGC. Penentuan horison waktu dilakukan untuk melihat perubahan yang terjadi. Horison waktu yang digunakan adalah tahun. Pemodelan sistem akan dilakukan dengan tahapanberikut (Purnomo 2005) ; a. Identifikasi isu dan tujuan Dalam penelitian ini isu utama adalah pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC. Tujuannya adalah membuat model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC melalui program ekowisata dan agroforestri, bagi peningkatan kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan kelestarian TNGC. b. Konseptualisasi Model Berdasarkan
isu
yang
telah
ditetapkan
kemudian
dilakukan
konseptualisasi model.Berdasarkan model konseptual tersebut, kemudian dirinci menjadi diagram stok dan aliran.
Proses ini dibuat dengan menggunakan
perangkat lunak STELLA 9.02.
Model
Pengembangan siaial ekonomi
masyarakat daerah penyangga TNGC ini terdiri dari 3 sub model, yaitu 1)Sub model kesempatan kerja, 2). Sub model pendapatan masyarakat, dan 3) Sub model kelestarian TNGC c. Spesifikasi model Pada tahap spesifikasi ini kuantifikasi dan perumusan hubungan antar elemen dilakukan sehingga model dapat dijalankan pada komputer. d. Pengujian Model Tahapan ini dilakukan untuk mengenali keterbatasan kinerja model sehingga dapat ditentukan kesesuaian penggunaan model dalam rangka penyelesaian permasalahan yang dihadapi. Untuk mengetahui ketepatan model yang dibuat akan dilakukan evaluasi dengan cara validasi model (evaluasi kelogisan model) dan simulasi model (perbandingan dengan dunia nyata). Validasi model dilakukan dengan cara membandingkan dengan data-data dari instansi terkait. e. Penggunaan model. Model yang telah dievaluasi selanjutnya akan digunakan untuk menentukan skenario-skenario pemecahan masalah. Uraian dari masing-masing metode analisis data, tahapan analisis serta tujuan yang ingin dicapai, disajikan pada Tabel 7.
23
Tabel 7Metode analisis data Metoda Analisis Data Analisis Deskriptif
Tahapan Analisis 1. 2. 3.
4.
Analisis penawaran (Supply)danpe rmintaan (Demand) ekowisata dan agroforestri
5. 1.
2.
3.
Analisis Stakeholder
1.
2. Analisis Sistem Dinamik
1. 2. 3. 4. 5.
Pengumpulan data profil TNGC dan daerah penyangga, Pengumpulan data penutupan hutan TNGC Pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat yang bekerja di ekowisata dan agroforestri Pengumpulan datasikap dan perilaku masyarakat thp konservasi TNGC Analisis data Rekapitulasi hasil wawancara dengan responden masyarakat dan stakeholder untuk penawaran ekowisata, dan responden ekowisatawanuntuk permintaan. Rekapitulasi hasil wawancara dengan responden masyarakat danstakeholderuntuk penawaran agroforestri , dan responden konsumen kayu untuk permintaan agroforestri. Membandingkan antara kondisi penawaran dan permintaan. Pemetaan peran stakeholder yang terlibat dalam pengembangan ekowisata dan agroforestri Menganalisis peran stakeholder Identifikasi isu dan tujuan Konseptualisasi model Spesifikasi model Evaluasi model Penggunaan model
Data yang dianalisis 1. Profil TNGC dan daerah penyangga 2. Luas penutupan hutan TNGC 3. Kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Tujuan Mengetahuikondisi saat ini mengenai; potensi TNGC, dan daerah penyangga, kerusakan TNGC, sosial ekonomi masyarakat sertasikapperilaku masyarakat terhadap konservasi TNGC
4. Sikap dan perilaku masyarakat terhadap konservasi TNGC.
1. Ekowisata -permintaan dan penawaran ekowisata; daya tarik obyek, informasi, assesibilitas, fasilitas danproduk ekowisata 2. Agroforestri -Jenis dan jumlah komoditas, produksi tanaman pertanian dan kehutanan
Mengetahui kesenjangan/gap antara kondisi penawaran dan permintaan ekowisata dan agroforestri untuk mengetahui potensi pengembangan peluang kerja dan pendapatan .
-Besarnya tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap program ekowisata dan agroforestri di daerah penyangga TNGC -Peran stakeholder dalam ekowisata dan agroforestri
Menentukan peran stakeholder dalam pengembangan ekowisata dan agroforestri di daerah penyangga TNGC.
1.
Membuat model pengembangan sosek masyarakat daerah penyangga TNGC berbasis ekowisata dan agroforestri
2. 3.
Data sub model kesempatan kerja Data sub model pendapatan masyarakat Data sub model kelestarian TNGC
24
III. PROFIL TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DAN DAERAH PENYANGGA 3.1 Profil Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) 3.1.1 Luas, Letak, dan Sejarah Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) memiliki luas sekitar 15.859,17 ha yang secara administrasif meliputi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Kuningan 8.931,27 ha (56,32%) dan Kabupaten Majalengka seluas 6.927,90 ha (43,68%) (RPJM Balai TNGC 2010). Data ini berbeda dengan luas kawasan TNGC berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 424/ Menhut-II/2004 Tanggal 19 Oktober Tahun 2004 yaitu seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) ha. Hal ini dikarenakan penentuan luas kawasan pada saat penetapan kawasan dilakukan melalui peta yang kurang akurat (berdasarkan informasi dari staf Balai TNGC). Untuk selanjutnya dalam penelitian ini penentuan luas kawasan TNGC yang digunakan adalah berdasarkan data RPJM Balai TNGC tahun 2010 yaitu seluas 15.859,17 ha. Secara geografis TNGC terletak pada 1080 19’ 10” – 1080 27’ 55” BT dan 60 47’ 5” – 60 58’ 20” LS, berbatasan sebelah Utara dengan Kabupaten Cirebon, Selatan dengan Kabupaten Kuningan, Barat dengan Kabupaten Majalengka dan Timur dengan Kabupaten Kuningan. Berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS), TNGC termasuk pada lima DAS, yaitu DAS Ciwaringin, Cisanggarung, Cimanuk Hilir, Cilitung dan Ciberes Bangkaderes. Pada awalnya TNGC merupakan Kelompok Tutupan Hutan Gunung Ciremai yang pertama kali ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Pemerintah Hindia Belanda, selanjutnya sejarah penunjukan dan penetapan TNGC secara rinci disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sejarah penunjukan dan penetapan TNGC No. 1
Tahun 1978
Surat Keputusan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 143/Kpts/Um/3/1978 Tanggal 10 Maret 1978, tentang Wilayah kerja Unit Produksi (Unit III) Perum Perhutani Jawa Barat
Perihal/Penunjukan dan Penetapan Wilayah kerja Perum Perhutani Unit III meliputi seluruh areal hutan yang berada di di Daerah TK. I. Jawa Barat, dan Kelompok Hutan Gunung Ciremai termasuk dalam wilayah kerja KPH Kuningan dan KPH Majalengka, kecuali areal Suaka Alam dan Hutan Wisata
2
2003
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 195/Kpts-II/ 2003 tanggal 4 Juli 2003, tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Jawa Barat seluas 816. 603 ha
Kelompok Hutan Produksi Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka yang pengelolaannya oleh Perum Perhutani melalui KPH Kuningan dan KPH Majalengka ditunjuk sebagai Kawasan Hutan Lindung
3
2004
Surat Bupati Kuningan Nomor 522/1480/Dishutbun, tanggal 26 Juli 2004,
Usulan kepada Menteri Kehutanan perubahan fungsi kawasan hutan lindung pada kelompok hutan
25
No.
Tahun
Surat Keputusan tentang Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai kawasan Pelestarian Alam
Perihal/Penunjukan dan Penetapan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.
4
2004
Surat Bupati Majalengka Nomor 522/2394/Dishutbun Tanggal 13 Agustus 2004, tentang Usulan Gunung Ciremai sebagai kawasan Pelestarian Alam
Usulan kepada Menteri Kehutanan perubahan fungsi kawasan hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai
5
2004
Surat Bupati Kuningan kepada Ketua DPRD Kabupaten Kuningan Nomor 522.6/1653/ Dishutbun Tanggal 13 Agustus 2004, Perihal Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam
6
2004
Surat Pimpinan DPRD Kabupaten Kuningan No. 661/266/DPRD, Tanggal 1 September 2004 kepada Menteri Kehutanan
Dukungan Atas Usulan Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai Sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
7
2004
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 424/ Menhut-II/2004 Tanggal 19 Oktober Tahun 2004
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) ha terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi TNGC.
8
2004
Surat Gubernur Jawa Barat Nomor 522/3325/Binprod 22 Oktober 2004, Kepada Menteri Kehutanan
Pengkajian Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam.
9
2004
Surat Keputusan Dirjen PHKA No: SK.140/IV/Set-3/2004 Tanggal 30 Desember 2004, Tentang Penunjukan Pengelola 17 Taman Nasional termasuk Gunung Ciremai.
Penunjukan BKSDA Jabar II sebagai pengelola TN Gunung Ciremai sampai terbentuknya organisasi TNGC yang definitf
10
2005
Surat Direktur Konservasi Kawasan kepada Kepala BKSDA Jabar II No. S.41/IV/KK1/2005 tanggal 31 Januari 2005 perihal Tindak lanjut Penunjukan TNGC
Penempatan beberapa orang staf BKSDA Jabar II di TNGC untuk melakukan koordinasi, sosialisasi dan pengamanan kawasan.
11
2005
Surat Perintah Tugas Kepala BKSDA Jabar II No: PT 322/IV-K 12/Peg 2005 Tanggal 1 Maret 2005,
Staf BKSDA Jabar II ditunjuk untuk membantu Kepala Balai KSDA Jabar II melaksanakan pengelolaan TNGC
12
2005
Surat Perintah Tugas Kepala BKSDA Jabar II No: PT 434/IV-K 12/Peg 2005. Tanggal 28 Maret 2005
Penunjukan Kasi Konservasi Wilayah I selaku Koodinator Pengelolaan TNGC untuk membantu Kepala Balai KSDA Jabar II dalam pelaksanaan Pengelolaan TNGC
13
2005
Surat Keputusan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat II nomor SK.193/IV-K.12/2005 tanggal 1 Juni 2005 tentang Susunan Organisasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat.
Pengelolaan TNGC berada di wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah I dengan di bantu oleh 2 Satuan kerja dan 10 Resort TNGC dengan jumlah personil sebanyak 31 Orang
14
2005
Tanggal 14 Juli 2005, deklarasi TNGC oleh Menteri Kehutanan di Pendopo Bupati Kuningan.
-
15
2006
Pencanangan Organisasi Balai Taman Nasional Gunung Ciremai oleh Menteri Kehutanan pada tanggal 3 Mei 2006
-
16
2006
Penerbitan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.29/Menhut-II/2006 Tanggal 2 Juni 2006, tentang Perubahan Pertama atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tentang Organisasi Tata Kerja Balai Taman Nasional Sumber: RPJM-Balai TNGC 2010
-
26
3.1.2 Kondisi Fisik Jenis tanah yang terdapat di TNGC adalah regosol coklat kelabu, asosiasi regosol kelabu, regosol coklat kelabu, latosol, asosiasi andosol coklat, latosol coklat dan latosol coklat kemerahan dengan penyebaran a) regosol coklat kelabu, asosiasi regosol kelabu, regosol coklat kelabu dan latosol menyebar mulai puncak sampai bagian lahan yang landai di Kecamatan Jalaksana dan sebagian Kec. Mandirancan sebesar 77,44%, b) asosiasi andosol coklat menyebar pada daerah-daerah tinggi di sekeliling puncak sebesar 11,02%, dan c) latosol coklat dan latosol coklat kemerahan menyebar di daerah yang lebih rendah secara merata sebesar 11,54%. Iklim TNGC berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Fergusson termasuk tipe iklim B dan C dengan rata-rata curah hujan 2.000-4.000 mm/tahun dan temperatur udara 8–220 C, sedangkan di Barat TNGC kisaran suhu antara 18,837,0°C dengan kelembaban sekitar 63%-89%. Curah hujan rata-rata tertinggi 295,14 mm dan rata-rata terendah 48,71 mm. Angin pada umumnya bertiup dari arah Selatan dan Tenggara, kecuali bulan April–Juli bertiup dari arah Barat Laut dengan kecepatan 3–6 knot. Topografi TNGC pada umumnya berombak, berbukit dan bergunung dengan kemiringan bervariasi mulai dari landai (0-8%) sebesar 12% sampai curam (di atas 8%) sebesar 88%. Geologi TNGC secara umum dari batuan hasil aktivitas vulkanik Gunung Ciremai, yaitu batuan endapan vulkanik, baik vulkanik tua sebesar 35% di bagian Selatan dan 5% di bagian Utara maupun vulkanik muda sebesar 60% di bagian Utara. Gunung Ciremai ialah gunung tertinggi di Provinsi Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 m dpl. Tabel 9 Keadaan fisik berdasarkan kelas lereng Kelas lereng 0 - 8% 8 - 25% 25 - 40% > 40% Jumlah
Deskripsi Landai Bergelombang Curam Sangat Curam
Luasan (ha) Persentase (%) 1.796,440 12% 8.840,129 56% 3.027,858 20% 1.835,573 12% 15.500 100%
3.1.3 Kondisi Biotik Hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai memiliki ekosistem sebagian kecil merupakan hutan sekunder yang berumur sekitar 35 tahun dan sebagian besar merupakan hutan alam primer dengan empat tipe hutan yaitu;
27
Tabel 10 Tipe Vegetasi di TNGC Tipe vegetasi Sub Alpine (> 2500 m dpl) Montana (2000 - 2500 m dpl) Sub Montana (1200 - 2000 m dpl) Dataran rendah (< 1200 m dpl) Lainnya Jumlah
Luas (ha) 728,426 1.661,217 5.671,158 3.343,858 4.095,341 15.500
Persentase (%) 5% 11% 36% 22% 26% 100%
Vegetasi yang ada di kawasan TNGC diantaranya Pinus (Pinus merkusii), Saninten (Castanopsis javanica), kitandu (Fragraera blumii), nangsi (Villubrunes rubescens), mahang (Macaranga denticulatan), pasang (Lithocarpus sundaicus) dan medang (Elacocarpus stipularis), beringin (Ficus, sp), dan lain-lain. Jenis tanaman langka yang terdapat di kawasan Gunung Ciremai yaitu lampeni (Ardisia cymosa DC.), kandaca (Platea latifolia Blume), Villebrunea rubescens, Prunus javanica, Symplocos theaefoli, dan Eurya acuminata. Jenis tumbuhan yang ditemukan di TNGC yaitu 40 koleksi anggrek dan 79 koleksi non anggrek. Jenis-jenis anggrek yang mendominasi adalah jenis anggrek Vanda tricolor Lindh, Eria multiflora (BI) Lindh, Eria hyancinthoides (BI) Lindh, Eria compressa (BI), Coelogyne miniata (BI) Lindh, Pholidota imbricata W.J Hooker, dan Liparis latifolia (BI) Lindh. Untuk jenis anggrek terestial yang mendominasi adalah Calenthe triplicata, Macodes sp, Cymbidium lancefolium Hook, Cymbidium finlaysonianum Lindh, dan Malaxis iridifolia (Roxb.) Rch.f. Pada kawasan dataran tinggi kering, vegetasi non anggrek didominasi oleh Pinanga javana, Pandanus sp. Tepus (Nicolaia sp.), sedangkan vegetasi dataran tinggi basah di dominasi dengan tumbuhan paku tiang Cyathea sp. Secara umum vegetasi hutan Gunung Ciremai banyak ditumbuhi keluarga huru (Litsea spp), mareme (Glochidion sp), mara (Macaranga tanarius), saninten (Castanopsis sp), sereh gunung (Cymbophogon sp), Hedychium sp, Ariasema sp. Koleksi yang berpotensi sebagai tanaman hias adalah Nephenthes gymnaflora yang merupakan anggota dari suku kantong semar (Nepenthaceae) dan Rosaceae. Jenis tegakan yang menarik adalah dadap jingga (Erythrina sp). Beberapa jenis satwa di kawasan Gunung Ciremai, antara lain: Macan Kumbang (Panthera pardus), Surili (Presbytis comata), dan Elang Jawa (Spyzaetus bartelsi), lutung (Presbytis cristata), kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus, sp), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), dan ular sanca (Phyton, sp.). Jenis yang ditemukan yaitu dua jenis burung terancam punah yaitu Cica Matahari (Crocias albonotatus) dan Poksai Kuda (Garrulax rufrifons), serta dua jenis burung status rentan yaitu Ciung Mungkal Jawa (Cochoa azurea)
28
dan Celepuk Jawa (Otus angelinae), sehingga kawasan TNGC menjadi daerah penting untuk burung ( Important Bird Area ) (Stattersfield dkk. 1998, dalam Rombang & Rudyanto 1999). 3.1.4 Potensi Ekowisata TNGC Kawasan TNGC memiliki objek wisata alam yang sangat kaya potensi keindahan alamnya. Objek-objek wisata alam dikawasan TNGC disajikan pada Tabel 11. Peta potensi wisata TNGC pada Gambar 4 memperlihatkan obyek wisata alam yang menyebar secara merata di sekeliling TNGC. Tabel 11 Objek wisata alam di Kawasan TNGC No 1
2
Kabupaten KUNINGAN
Nama Lokasi a. Telaga Remis b. Situ Cicereum c. Bumi Perkemahan Cikole d. Pemandian Paniis dan Bumi Perkemahan Singkup e. Sumur Cikajayaan f. Bumi Perkemahan Cibeureum g. Jalur Pendakian Linggarjati h. Jalur Pendakian Palutungan i. Bumi Perkemahan Hulu Ciawi j. Bumi Perkemahan Cibunar k. Bumi Perkemahan Balong Dalam l. Pemandian Alam Cibulan dan Sumur Tujuh m. Lembah Cilengkrang n. Pemandian Alam Cigugur o. Bumi Perkemahan Palutungan dan Curug Putri
Jenis Daya Tarik Danau Danau Aktivitas berkemah Aktivitas berkemah Wisata Air Aktivitas berkemah Aktivitas pendakian Aktivitas pendakian Aktivitas berkemah Aktivitas berkemah Aktivitas berkemah Wisata air Air terjun Wisata Air Aktivitas berkemah
MAJALENGKA
a. b. c. d.
Aktivitas pendakian Aktivitas berkemah Air terjun Wisata air
Jalur Pendakian Apuy Bumi Perkemahan Cipanten Curug Sawer Situ Sangiang
Sumber; BTNGC (2010)
3.1.5 Potensi Sumberdaya Air Kawasan Gunung Ciremai memiliki 43 buah sungai yang dimanfaatkan untuk irigasi, perikanan, industri dan kegiatan ekonomi lainnya, dan 156 titik mata air dimana 147 titik mata air mengalir sepanjang tahun, empat mata air mengalir selama sembilan bulan dalam setahun, tiga mata air mengalir selama enam bulan dalam setahun, dan dua mata air mengalir selama tiga bulan dalam setahun dengan debit rata-rata 50-2.000 liter/detik, dengan kualitas air yang memenuhi standar kriteria kualitas air minum. Sumber mata air di kawasan Barat Ciremai (Majalengka) terdapat 36 sumber mata air dengan debit 0,5-40 liter/detik dan 7 sungai dengan debit 50-200 liter/detik. Sistem perekonomian masyarakat yang sebagian besar agraris banyak ditunjang oleh ketersediaan air yang berasal
29
dari kawasan TNGC. Peranan jasa hidrologi TNGC mampu memberikan nilai kesejahteraan kepada masyarakat sebesar Rp 894.096.000 per tahun (Ramdhan 2006). Tabel 12 Data potensi mata air TNGC No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Mata Air Balong Sumur Galing Salam Cikacu Manggong Curug ceret Hulu ciawi Cibeureum NN. kadrem Cimanggu Cigorowong Panandaan Seda Cibubur Arca Paniis Cingkup Cileutik Cikajayaan Cibuluh Bujangga Cicerem Telaga remis Cibulan Ceng alin Sumur geulis Cigedong Cimancang Cilengkrong Cigugur Batu nganjul Ciputri / Pagar Paciosan Blok awi Cw. Randa Cibunai Kininggang Ciarca Cikole Suriam Pakuwon Palulupu Pinus
Sumber : Mukhtar 2008
Posisi Geografis 6o55”11’ S 108o28”30’ E 6o53”59’ S 108o27”30’ E 6o54”23’ S 108o27”40’ E 6o52”49’ S 108o27”30’ E 6o52”49’ S 108o27”30’ E 6o52”49’ S 108o27”31’ E 6o51”51’ S 108o27”22’ E 6o50”47’ S 108o28”20’ E 6o50”47’ S 108o28”2’ E 6o51”3’ S 108o27”22’ E 6o50”58’ S 108o27”20’ E 6o50”54’ S 108o27”17’ E 6o50”10’ S 108o21”14’ E 6o50”15’ S 108o28”24’ E 6o50”2’ S 108o26”23’ E 6o48”59’ S 108o26”40’ E 6o48”53’ S 108o26”24’ E 6o48”43’ S 108o25”59’ E 6o48”18’ S 108o25”38’ E 6o48”1’ S 108o25”20’ E 6o48”18’ S 108o24”43’ E 6o47”51’ S 108o25”23’ E 6o47”19’ S 108o24”57’ E 6o54”33’ S 108o29”13’ E 6o55”11’ S 108o28”30’ E 6o53”59’ S 108o27”30’ E 6o53”16’ S 108o27”52’ E 6o55”13’ S 108o27”11’ E 6o56”21’ S 108o26”48’ E 6o58”1’ S 108o27”20’ E 6o56”53’ S 108o26”17’ E 6o56”41’ S 108o26”04’ E 6o58”11 S 108o23”58 E 6o58”40’ S 108o23”57’ E 6o51”51’ S 108o28”22’ E 6o53”14’ S 108o27”24’ E 6o53”29’ S 108o27”26’ E 6o56”93’ S 108o24”80’ E 6o48”13’ S 108o24”59’ E 6o53”16’ S 108o27”52’ E 6o54”16’ S 108o27”02’ E 6o56”46’ S 108o25”56’ E 6o50”57’ S 108o24”59’ E
Ketinggian (m,dpl) 603 828 828 719 732 733 596 683 558 633 683 667 550 560 640 412 411 446 424 378 432 331 250 532 603 828 708 867 920 684 1135 1139 1151 1166 596 1152 835 458 708 1100 1210 690
Lokasi Desa Babakan mulya Sayana Sayana Setianegara Setianegara Linggajati Setianegara Cibeureum Randobawagirang Trijaya Kertawinangun & Seda
Kaduela Manis kidul
Cigugur
Puncak
Padang matang Cisantana
30
Gambar 4 Peta penyebaran potensi wisata alam TNGC Gambar 4 memperlihatkan daerah berwarna hijau tua yang menyebar di sekeliling kawasan TNGC merupakan titik-titik letak posisi obyek wisata alam yang menjadi potensi wisata alam di TNGC dengan luas areal yang berbeda. 3.1.6 Potensi Panas Bumi/Geotermal Selain potensi wisata, di sekitar kawasan TNGC juga terdapat potensi panas bumi/geotermal yang telah ditelaah secara ekonomi.
Potensi tersebut
berada di dua lokasi, yaitu potensi lapangan panas bumi Sangkanhurip dan potensi prospek Pejambon yang berada di dalam kawasan TNGC.
Adapun
potensi lapangan panas bumi Sangkanhurip mencakup luasan 10 km2 dengan temperatur reservoir sekitar 2100C, sedangkan potensi prospek Pejambon mencakup luasan sekitar 20 km2 dan temperatur reservoir sekitar 2100C. Selanjutnya disebutkan bahwa prospek geotermal di Sangkanhurip (prospek timur Ciremai) berada pada aktivitas vulkanik aktif dan instrusi andesit pada
31
batuan sedimen tersier di kedalaman di sekeliling manifestasi Sangkanhurip yang bertindak sebagai sumber panas.
Potensi cadangan terduga panas bumi
Gunung Ciremai sebesar 100 MW untuk Pejambon (hipotetis) dan Sangkanhurip 50 MW dengan temperatur cut of 1800C. Potensi panas bumi yang berada di sekitar kawasan TNGC cukup menarik bagi peminat investor yang tertarik dalam pengembangan sumber energi. Sebab dari segi infrastruktur telah tersedia jaringan gardu induk PLN Sutet 500 KV Jawa Bali yang melintas dekat Sangkanhurip dan gardu induk di Mandiracan dengan jarak tidak lebih dari 7 km. Selain itu daerah reservoar sudah dekat dengan infrastruktur jalan negara maupun provinsi. 3.2 Profil Daerah Penyangga TNGC Wilayah Kabupaten Kuningan 3.2.1 Luas dan Letak Kabupaten Kuningan Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Provinsi Jawa Barat berada diantara 108º 23' - 108º 47' Bujur Timur dan 60º 47' - 70º 12' Lintang Selatan dengan luas wilayah 117.857,55 ha. Secara administratif, Kabupaten Kuningan terdiri atas 32 Kecamatan, 15 Kelurahan dan 361 Desa, serta berbatasan disebelah Timur dengan Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah, sebelah Selatan dengan Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Ciamis Provinsi Jabar, sebelah Barat dengan Kabupaten Majalengka dan disebelah Utara dengan Kabupaten Cirebon. Wilayah Kabupaten Kuningan berada pada ketinggian 25–3.078 m dpl, merupakan bagian hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Cijolang, DAS Cisanggarung, DAS Ciberes Bangkaderes. Dalam pembinaan dan penanganan sumber daya hutan dan lahan mengacu kepada pendekatan DAS yang terbagi ke dalam 8 wilayah kerja UPTD daerah aliran sungai. Daerah penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) wilayah Kabupaten Kuningan termasuk dalam wilayah administratif tujuh kecamatan dan 27 desa yang mengelilingi kawasan TNGC. 3.2.2 Kondisi Biofisik Jenis tanah yang mendominasi wilayah Kabupaten Kuningan terdiri dari tujuh golongan yaitu Golongan Andosol, Aluvial, Podsolik, Grumosol, Mediteran, Latosal dan Regosol. Kedalaman Efektif tanah berkisar 30 cm–90 cm, curah hujan antara 3.000–4.000 mm/tahun pada bagian barat dan selatan, sedangkan
32
pada bagian timur dan utara berkisar antara 2000 – 3000 mm/tahun, dengan suhu udara berkisar 18ºC – 32ºC. Luas lahan kritis berdasarkan hasil survey tahun 2008 tercatat 3.975,97 ha tersebar di 31 Kecamatan. Tingkat erosi pada DAS Cijolang 110,41 ton/ha/th, masih diatas Tolerable Soil Lost (TSL) sebesar 7,25 ton. dengan Nisbah Pelepasan Sendimen (NPS) 59 %, DAS Cisanggarung dengan tingkat erosi 54 ton/ha/th dengan TSL 6 ton/ha/th dan NPS 60 %, sedangkan di DAS Ciberes dan Bangkaderes tingkat erosi 45,6 ton/ha/th dengan TSL 16,07 ton/ha/th dan NPS 70% (BPDAS 2004). Topografi bervariasi antara datar hingga bergelombang, Ketinggian dari permukaan laut antara 8–1.000 m dpl. Luas lahan kritis di tujuh kecamatan daerah penyangga TNGC pada awal tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Data lahan kritis pada daerah penyangga TNGC No
1. 2 3 4 5 6 7
Kecamatan
Kramatmulya Cigugur Mandirancan Darma Jalaksana Pasawahan Cilimus Jumlah
Fungsi Lahan Budidaya (Ha)
Lindung (Ha)
Sangat Kritis (Ha)
18,50 119,82 39,50 567,00 46,00 11,42 802,24
40,80 27,00 2,00 32,50 102,3
6,50 6,5
Tingkat Kekritisan Agak Kritis kritis (Ha) (Ha) 15,00 10,00 71,92 3,00 30,00 151,00 416,00 41,00 13,42 164 587,34
Potensial kritis (Ha) 3,50 78,70 32,00 32,50 146,7
Jumlah (Ha) 18,50 160,62 39,50 567,00 73,00 13,42 32,50 904,54
Sumber: Rencana Strategis Dinas Kehutanan dan Perkebunan 2009-2013
Tabel 37 memperlihatkan bahwa fungsi lahan untuk budidaya dan lindung pada tujuh kecamatan yang termasuk dalam daerah penyangga TNGC yaitu seluas 904,54 ha, sementara lahan yang termasuk dalam kategori sangat kritis 0,72%, kritis sebanyak 18,13%, dalam kategori agak kritis mencapai 64,93% dan potensial kritis sebesar 16,22%. Aktifitas pola tata ruang Jawa Barat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat yang mengamanatkan proporsi kawasan lindung 45% dan kawasan budidaya 55% menghadapi kendala dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Kawasan-kawasan konservasi masih mengalami masalah dalam mengatur dan mengendalikan pertumbuhan lahan terbangun, sehingga ancaman terhadap daya dukung lingkungan menjadi semakin besar. Hal ini juga diikuti terjadinya degradasi lingkungan di wilayah selatan dimana terjadi perusakan hutan besar-besaran yang akan mengancam daya dukung lingkungan. Selain itu, terjadinya pergeseran tutupan lahan hutan dan sawah menjadi permukiman dan
33
industri menjadi hal akan terjadi terus-menerus bila tidak dikendalikan secara benar. Dalam kurun waktu 1994-2005, luas hutan mengalami penurunan yang cukup besar yaitu hutan primer berkurang sebesar 30,8%, hutan sekunder berkurang 26,1%, sawah berkurang 27,1%, permukiman bertambah 110,3%, dan kawasan/zona industri bertambah sebesar 37,9%. Oleh karena itu upaya reboisasi dan rehabilitasi lahan ditujukan tidak hanya pada kawasan lindung, namun juga pada lahan budidaya masyarakat. Pola tanam dengan sistem agroforestri dapat menjadi pilihan agar terjadi keseimbangan antara konservasi tanah dengan faktor ekonomi bagi masyarakat. 3.2.3 Potensi Wilayah Kabupaten Kuningan Kabupaten Kuningan yang terletak di sebelah Timur Gunung Ciremai yang merupakan Gunung tertinggi di Jawa bagian Barat, dengan ketinggian 3.078 m dan merupakan Gunung Berapi yang masih aktif menjadikan daerah Kuningan sebagai daerah yang subur, nyaman, sejuk dan indah. Dalam perspektif pembangunan Kabupaten Kuningan, daerah penyangga TNGC wilayah Kabupaten Kuningan termasuk kedalam Zona Pengembangan Barat, Zona Pengembangan Utara, Zona Pengembangan Tengah, dan Zona Pengembangan Selatan, dimana kebijakan pengembangannya diarahkan sebagai berikut (Bappeda 2010). a. Zona pengembangan Barat, kegiatan utama didominasi oleh kegiatan nonbudidaya terutama hutan lindung dan kawasan lindung diluar kawasan hutan lindung, seperti kawasan perlindungan setempat dan plasma nutfah. Adapun sebagian kecil berupa kegiatan budidaya perkebunan dan pertanian lahan kering. Cakupan zona pengembangan barat meliputi; Jalaksana dan sebagian wilayah Pasawahan, Kramatmulya, Nusaherang, Darma, Cigugur. b. Zona pengembangan Utara dengan kegiatan utama berupa pertanian tanaman pangan (sawah), kawasan hutan lindung, perkebunan dan kawasan pengembangan pariwisata. Kegiatan pertanian di zona ini berupa sawah beririgasi teknis dan semi teknis perlu dipertahankan keberadaannya. Cakupan zona pengembangan utara meliputi; Cilimus, Mandirancan, Pancalang, Cigandamekar, Japara dan sebagian wilayah Pasawahan. c. Zona pengembangan Tengah dengan kegiatan utama berupa kegiatan perkotaan, antara lain pemerintahan, permukiman, perdagangan dan jasa, serta lahan pertanian dengan irigasi teknis. Cakupan zona pengembangan tengah
meliputi;
Kuningan,
Sindangagung,
Cipicung,
Ciawigebang,
34
Kalimanggis, Cidahu, Luragung, Garawangi, Maleber, Lebakwangi, Cimahi dan sebagian wilayah Jalaksana, Kramatmulya, Cigugur. d. Zona pengembangan Selatan dengan kegiatan utama berupa kawasan lindung, perkebunan, tegalan, pertanian lahan kering, pertambangan dan galian. Cakupan zona pengembangan selatan meliputi; Kadugede, Ciniru, Selajambe, Subang, Cilebak, Karangkancana, Ciwaru, Cibeureum, Hantara, Cibingbin dan sebagian wilayah Darma, Nusaherang. Dari keempat zona pengembangan tersebut, kawasan lindung terdapat pada tiga zona, pengembangan pariwisata di fokuskan pada satu zona, yaitu zona pengembangan utara, serta pertanian lahan kering/tegalan terdapat pada zona pengembangan barat dan zona pengembangan selatan. 3.2.3.1 Potensi Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan memiliki potensi sumber daya alam yang cukup potensial berupa hutan seluas 52.968,16 ha yang terdiri atas hutan negara, hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani KPH Kuningan, hutan konservasi Balai TNGC dan hutan rakyat. Tata guna lahan dan perkebunan kabupaten Kuningan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Tata guna lahan dan perkebunan Kabupaten Kuningan No. 1 2 3 4. 5.
Tata Guna Lahan Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Hutan Konservasi -Taman Nasional -Taman Wisata Alam Hutan Rakyat Jumlah
Luas (hektar) 124,20 7.162,65 19.907,20 8.987,35 8.975,85 11,5 16.798.26 52.979,67
Persentase 0,23% 13,52% 37,58% 16,96% 16,94% 0,02% 31,71% 100%
Sumber; Bappeda Kabupaten Kuningan (2010)
Khusus hutan rakyat/hutan hak terdiri dari berbagai jenis tanaman kayukayuan dan tanaman MPTS. Pada Tahun 2008 produksi kayu yang dipanen berdasarkan Surat Izin Tebang (SIT) sebanyak 104.977 pohon dengan produksi kayu sebanyak 37.423,21 m3. Kapasitas produksi hasil hutan di Kabupaten Kuningan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Kapasitas Produksi Hasil Hutan Kabupaten Kuningan Jenis Hasil Hutan Jati Sonokeling Mahoni Pinus Rawa
2004 8.011,820 6,790 6.714,150 1.210,010 338,600
2005 12.022,152 8,060 6.453,519 331,267 923,986
Tahun (M3) 2006 2007 13.532,413 12.770,114 172,084 158,756 13.570,900 12.669,573 930,725 526,760 3.957,859 6.483,769
2008 16.317,217 89,733 14.327,839 702,848 9.585,360
2009 15.199,427 65,516 13.547,266 1.057,944 2.398,614
35
Sumber; Bappeda Kabupaten Kuningan (2010)
Dalam bidang perkebunan terdiri dari Perkebunan Besar swasta (PBS) seluas 318 ha dengan komoditi utama karet, dan perkebunan rakyat seluas 16.524,958 ha seperti disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Komoditas perkebunan rakyat di Kabupaten Kuningan No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis komoditas Kelapa Melinjo Kopi Cengkeh Tebu Nilam Tembakau
Luas (ha) 7.246,38 2.455,28 1.650,97 2.319,51 822,66 92 48,20
Produksi (ton) 3.619,19 599,54 641,73 229,04 4.472,18 219,91 79,99
Sumber; Bappeda Kab. Kuningan (2010)
Status lahan pada daerah penyangga TNGC adalah lahan milik masyarakat dengan penggunaan lahan berbentuk sawah dan lahan kering dalam bentuk pekarangan, kebun/tegalan, ladang/huma, pengangonan, dan lainnya seperti tersaji pada Tabel 17. Tabel 17 Penggunaan lahan kering di Kabupaten Kuningan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Penggunaan Pekarangan Tegalan/Kebun Ladang/huma Pengangonan Hutan rakyat Hutan negara Perkebunan Lain-lain Jumlah
Tahun 2005 19.917 31.364 20.389 2.770 6.862 25.718 2.434 3.084 77.512
Tahun 2006 10.156 16.012 11.857 1.388 8.837 24.331 2.368 4.488 79.437
Tahun 2007 10.395 14.178 12.963 1.619 8.037 23.600 2.586 4.596 77.974
Tahun 2008 9.780 13.088 13.577 1.606 7.929 26.177 2.598 3.928 78.683
Sumber: Profil Kabupaten Kuningan Tahun 2010
Tabel 17 memperlihatkan luas delapan jenis penggunaan lahan kering yang berfluktuasi pada periode tahun 2005 hingga 2008. Penggunaan lahan kering untuk ladang sejak tahun 2006 meningkat, sedangkan penggunaan lahan kering untuk pekarangan dan tegalan/kebun cenderung mengalami penurunan. Penyebabnya adalah alih penggunaan untuk pemukiman, industri, sarana jalan, dll, mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian sehingga walaupun kontribusi sektor pertanian paling dominan namun dilihat dari peningkatan produksi cenderung menunjukkan penurunan, terutama tanaman bahan makanan (Bappeda 2010). Jenis tanaman yang banyak dibudidayakan yaitu hortikultura sayuran (kentang, wortel, bawang daun, sawi) dan buah-buahan (pisang, jambu, dll), tanaman perkebunan (kopi, cengkeh, melinjo, lada, dll) serta tanaman kayu-
36
kayuan, seperti pinus, sonokeling, mahoni, dan jati, dan jenis kayu sengon, waru, pisuk dan kayu afrika. 3.2.3.2 Potensi Budaya, Wisata dan Sumberdaya Air Kabupaten Kuningan memiliki objek dan daya tarik wisata alami, yang didukung oleh budaya dan kesenian daerah yang beragam dan memiliki kekhasan. Ada 21 potensi objek dan daya tarik wisata yang masih dalam tahap pengembangan, dan 25 obyek wisata yang masih dalam tahap eksplorasi. Obyek wisata di Kabupaten Kuningan berupa wisata air, wisata religi, tempat-tempat bersejarah, bumi perkemahan dan agrowisata. Denah
lokasi pariwisata
Kabupaten Kuningan disajikan pada Gambar 5. Beberapa jenis kebudayaan yang masih terus secara periodik dilakukan setiap tahunnya atau di saat acara peringatan tertentu diantaranya adalah Seren Taun, merupakan tradisi acara adat syukuran atas hasil panen yang diperoleh, Saptonan merupakan tradisi ketangkasan menunggang kuda, Pacuan Kuda dan Panahan, serta tradisi Kawin Cai dengan maksud dan tujuan untuk menghargai air sebagai sumber kehidupan dan dijauhkan dari bencana kekeringan. Potensi 48 mata air dan 43 sungai yang mengalir ke daerah penyangga TNGC telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan irigasi, perikanan, industri, rumah tangga dan kegiatan ekonomi lainnya. Sedangkan pemanfaatan yang bersifat komersil dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Kuningan sebagai pemasok kebutuhan air untuk Pertamina Cirebon, Pabrik semen PT Indocement Cirebon dan PDAM Kabupaten Cirebon. Jumlah mata air TNGC yang dimanfaatkan oleh kelima Desa contoh sekitar 10 mata air dengan debit 6.705 liter per detik, yang merupakan 12% dari total 81 mata air TNGC. Pemanfaatan air dari kawasan TNGC pada lima desa contoh disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Pemanfaatan air dari kawasan TNGC No
Desa contoh
1. 2.
Karangsari Cisantana
Jumlah Mata Air 1 4
Nama Mata Air 1. Hulu lingga 1. Cibunian 2. Gandok 3. Kopi Gandasoli 4. Lamping Kidang
Debit (liter/ detik) 1.000 1.800 1.500 1.800
Peruntukan Irigasi, MCK dan air minum air minum dan MCK PT. Trio Bromo Putra/Fresti Mitra Cai (swadaya masyarakat) Ds. Cisantana PDAM Kuningan, air minum dan MCK desa
37
3. 4
Pajambon Maniskidul
1 1
1. Cilengkrang 1. Cibulan
5.
Seda
3
1. Cigorowong 2. Cibulak kidul 3. Ciayakan
10
tetangga. - Irigasi, MCK dan air minum 30 Irigasi, masyarakat (MCK dan minum), wisata 400 Pertanian dan Masyarakat 25 (air minum dan MCK) 150 6.705
Sumber : Balai TNGC 2009
Obyek wisata yang berada dalam kawasan TNGC wilayah Kabupaten Kuningan dan menjadi kewenangan pengelolaan Balai TNGC sebanyak 15 obyek wisata (32,60% dari jumlah obyek wisata di Kabupaten Kuningan) dan didominasi oleh wisata air, berkemah dan pendakian, dengan rincian seperti tersaji pada Tabel 19. Tabel 19 Potensi obyek wisata TNGC No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama Lokasi Obyek Wisata Telaga Remis Situ Cicereum Bumi Perkemahan Cikole Pemandian Paniis dan Bumi Perkemahan Singkup Sumur Cikajayaan Bumi Perkemahan Cibeureum Jalur Pendakian Linggarjati Jalur Pendakian Palutungan Bumi Perkemahan Hulu Ciawi Bumi Perkemahan Cibunar Bumi Perkemahan Balong Dalam Pemandian Alam Cibulan dan Sumur Tujuh Lembah Cilengkrang Pemandian Alam Cigugur Bumi Perkemahan Palutungan dan Curug Putri
Jenis Daya Tarik Danau Danau Aktivitas berkemah Aktivitas berkemah Wisata Air Aktivitas berkemah Aktivitas pendakian Aktivitas pendakian Aktivitas berkemah Aktivitas berkemah Aktivitas berkemah Wisata air Air terjun Wisata Air Aktivitas berkemah
Sumber ; Balai TNGC (2010)
3.2.4 Infrastruktur Kondisi kemantapan jalan kabupaten pada tahun 2009 mencapai 87,74 % dimana dari panjang jalan kabupaten sepanjang 416 Km dalam kondisi baik 323 Km, kondisi sedang 42 Km sedangkan dalam kondisi rusak ringan 39 Km dan rusak berat 12 Km. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pekerjaan umum di Kabupaten Kuningan pada tahun 2009 memperlihatkan peningkatan kinerja,
antara
lain
ditunjukkan
dengan
kemantapan
jalan
mengalami
peningkatan yang signifikan, dimana lima tahun kebelakang kondisi kemantapan jalan kabupaten hanya sebesar 78,84% (Bappeda 2010).
Gambar 5. Denah Lokasi Pariwisata Kabupaten Kuningan Keterangan Obyek Pariwisata Kabupaten Kuningan: 1. Telaga Remis 2. Bumi Perkemahan Cipaniis 3. Bumi Perkemahan Cibeureum 4. Situ Cicereum 5. Gedung Perundingan Linggarjati 6. Gunung Mahayana 7. Linggarjati Indah 8. Open Space Glery 9. Curug Sidomba 10. Kebon Balong
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Wisata Pedesaan Sitonul Balong Dalem Pemandian Cibulan Bumi Perkemahan Palutungan Air Panas Ciniru Curug Lembah Cilengkrang Gua Maria Situ Cidahu Taman Purbakala Cipari Curug Landung
21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Balong Ikan Cigugur Curug Bangkong Gedung Paseban Tri Panca Tunggal Kolam Renang Sangga Riang Balong Keramat Darmaloka Waduk Darma Tirta Agung Mas Indah Dalem Cijulang Padurasa Air Panas Subang
38
39 3.2.5 Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Kuningan sebanyak 1.145.597 jiwa terdiri dari laki – laki 580.796 orang dan perempuan 564.801 orang. Laju pertumbuhan penduduk 0,85% (Sumber:Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kuningan, 2009). Mata pencaharian utama petani dengan luas garapan antara 0,1
– 0,3 ha/KK. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan sebagian besar adalah petani (57%), pegawai (14%), pedagang (8%) dan lainnya (21%). Kondisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Kuningan cukup tinggi pada tahun 2009 mencapai 72,15. Berdasarkan klasifikasi UNDP, IPM Kabupaten Kuningan termasuk ke dalam kategori menengah atas (IPM Menengah Atas : 66 ≤ IPM < 80). Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kuningan pada tahun 2008 sebesar 572.000 rupiah, tahun 2009 sebesar 634.500 rupiah, dan mengalami kenaikan menjadi sebesar 700.000 rupiah pada tahun 2010. Jumlah angkatan kerja penduduk di Kabupaten Kuningan disajikan pada Tabel 20. Daerah penyangga TNGC wilayah Kabupaten Kuningan terdiri dari tujuh kecamatan (21,9% dari 32 kecamatan di Kabupaten Kuningan) dan 27 desa (7,2% dari 374 desa). Jumlah penduduk yang tinggal di desa-desa di daerah penyangga TNGC berjumlah 131.621 jiwa, terbagi dalam 40.483 KK. Sebanyak 84.313 jiwa (64,06%), yang terbagi dalam 24.197 KK (59,84%) berada di desa penyangga TNGC wilayah Kabupaten Kuningan, dengan pertambahan penduduk dari tahun 2002 sampai tahun 2006 sebesar 241 jiwa. Tabel 20 Jumlah Angkatan Kerja Penduduk Kabupaten Kuningan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Bekerja 330.980 161.918 492.898
Tidak Bekerja 15.349 345.493 360.842
Jumlah 15.349 507.411 522.760
*) Sumber Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kuningan, data sampai dengan Juni 2009.
Jumlah penduduk daerah penyangga TNGC pada tujuh kecamatan disajikan pada Tabel 21.
25
40
Tabel 21 Penduduk pada tujuh kecamatan di daerah penyangga No. 1 2 3 4 5 6 7
Kecamatan Darma Pasawahan Mandirancan Cigugur Cilimus Jalaksana Kramatmulya
Laki-laki 29.546 12.501 12.077 22.136 23.747 21.521 26.001
Jumlah Penduduk Perempuan 27.932 12.021 12.204 20.889 23.368 21.086 24.843
Jumlah 57.478 24.522 24.281 43.025 47.115 42.602 50.844
Sumber: Kabupaten Kuningan Dalam Angka Tahun 2008
3.2.6 Jenis Usaha Dalam upaya pembangunan Kabupaten Kuningan diberbagai sektor, maka pengembangan dilakukan terhadap jenis usaha skala kecil, menengah dan besar. Jenis usaha yang ada di Kabupaten Kuningan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Jenis Usaha yang ada di Kabupaten Kuningan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perkebunan dan Perikanan Industri pengolahan Listrik, gas dan air Bangunan Perdagangan, Rumah Makan, dan Hotel Angkutan, Penggudangan, dan Komunikasi Keuangan, Asuransi (Perbankan) Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan Jumlah
Sumber; Bappeda Kab. Kuningan (2010)
Kecil 4
Menengah 2
Besar 1
157 1 123 14 10 35 344
5 1 2 6 2 24 3 45
2 1 1 5 2 2 2 16
25
41
x
x
x x x x
x
x
x x
Gambar 6 Peta desa-desa daerah penyangga TNGC Wilayah Kabupaten Kuningan
42
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC Sebelum membahas mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, maka terlebih dulu akan dijelaskan bagaimana akses pemanfaatan TNGC oleh masyarakat daerah penyangga. Dalam penelitian ini akses dibatasi sebagai kemampuan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam bentuk benda, jasa, ilmu pengetahuan dan lain-lain melalui individu, organisasi, komunitas masyarakat, kelompok tani, dan sebagainya (Ribbon dan Peluso, 2003). 4.1.1 Pemanfaatan TNGC oleh Masyarakat Desa Penyangga Sebagai salah satu jenis sumber daya alam, taman nasional mempunyai bermacam manfaat bagi kehidupan manusia, yakni manfaat ekologis, sosial dan ekonomis. Manfaat ekologis taman nasional dapat berupa manfaat hidroorologis, sumber plasma nutfah, keanekaragaman hayati, siklus nutrisi, produksi carbon, pencegah erosi, dan lain-lain, manfaat sosial dapat berupa nilai estetika, spiritual, dan budaya, dan manfaat ekonomis dapat berupa produksi hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu (seperti madu, daging, buah, getah), menyerap tenaga kerja, dan lain-lain. Penelitian ini mengkaji akses masyarakat daerah penyangga baik
secara
individu maupun
kelompok terhadap pemanfaatan TNGC.
Mengingat historis kawasan taman nasional sangat berpengaruh terhadap akses masyarakat daerah penyangga terhadap TNGC maka kajian dibagi menjadi dua yakni periode sebelum dan setelah ditetapkan sebagai TNGC. 4.1.1.1 Akses Sebelum Ditetapkan Sebagai Taman Nasional Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, status kawasan Gunung Ciremai mengalami beberapa kali perubahan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 419/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat seluas sekitar 1.045.071 ha, kawasan hutan di Gunung Ciremai seluas 15.518,23 ha yang terletak di perbatasan Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Hutan Lindung (7.748,75 ha), Hutan Produksi (2.690,48 ha), Hutan Produksi Terbatas ((4.943,62 ha), dan Areal Penggunaan Lain (135,38 ha). Kelompok hutan tersebut dikelola oleh Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani).
43
Pada periode tersebut tingkat penjarahan hutan di Kabupaten Kuningan cukup tinggi. Selama tahun 1998–2001 luas penjarahan hutan di Kabupaten Kuningan mencapai 3.062,32 ha dengan taksiran kerugian mencapai Rp 2.997.567.330 (Anonim 2002). Mengingat tingginya tingkat kerusakan hutan akibat penjarahan tersebut, serta menyadari pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, Perum Perhutani menerapkan
program baru
pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat sekitar yang diberi nama Perhutanan Sosial (PS). Program tersebut selanjutnya berkembang menjadi Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang kemudian disempurnakan menjadi program PMDH Terpadu. Namun demikian program tersebut ternyata tidak mampu memperbaiki kondisi kesejahteraan masyarakat dan mencegah timbulnya berbagai macam kerusakan hutan. Kondisi ini terjadi karena program tersebut menempatkan masyarakat sebagai obyek dan bukan sebagai subyek dalam sistem pengelolaan hutan. Selanjutnya pada
tahun 2000, berdasarkan Keputusan Direksi Perum
Perhutani Nomor 1061/Kpts/Dir/2000,
Perhutani
menerapkan program baru
pengelolaan hutan yang diberi nama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Keputusan tersebut selanjutnya diganti dengan Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Meskipun implementasi PHBM di tingkat lapangan masih banyak menemui masalah, namun telah menunjukkan hasil positif pada aspek kelestarian hutan, terutama dalam hal percepatan rehabilitasi hutan dan penurunan tingkat kerusakan
hutan
akibat
pencurian
kayu.
Berdasarkan
data
Kesatuan
Pemangkuan Hutan (KPH) Kuningan tahun 2005, dalam periode tahun 20002004 telah berhasil dilakukan rehabilitasi hutan kritis seluas 9.448 Ha. Selain itu tingkat pencurian kayu menurun dari 15.694 pohon pada tahun 1999 menjadi 6.017 pohon pada tahun 2000, kemudian turun menjadi 1.766 pohon pada tahun 2002, dan 549 pohon pada tahun 2004. Hal tersebut semakin menguatkan keyakinan bahwa kegagalan pengamanan hutan bukan disebabkan oleh masalah teknis tetapi masalah sosial masyarakat sekitar. Selain itu, berdasarkan hasil evaluasi PHBM yang dilakukan oleh Universitas Kuningan pada tahun 2004 menunjukkan bahwa pendapatan peserta PHBM rata-rata meningkat sebesar Rp 177.000,- per tahun atau mengalami kenaikan sebesar 7,8 % dibandingkan dengan sebelum mengikuti PHBM.
44
Terkait dengan pelaksanaan PHBM dalam hubungannya dengan akses masyarakat terhadap TNGC, peneliti melakukan studi kasus di Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya, Kabupaten Kuningan. Pajambon
dilaksanakan
melalui
beberapa
Program tahapan,
PHBM di Desa yaitu
sosialisasi,
pembentukan forum PHBM, pemetaan, inventarisasi, perencanaan desa, NKB (Nota Kesepakatan Bersama), NPK (Nota Perintah Kerja), dan pembuatan Peraturan Desa.
Pelaksanaan PHBM
di
Desa Pajambon telah dituangkan
dalam Peraturan Desa (Perdes) Pejambon Nomor 5 /Pemdes/IV/2003. Dasar penyusunan Perdes tersebut adalah 1) Nota Kesepakatan Bersama (NKB) antara PT.
Perhutani
KPH Kuningan dengan Pemerintah Desa Pejambon
tanggal 29 Desember 2001 tentang PHBM, dan 2) Perjanjian kerjasama antara PT. Perhutani KPH Kuningan dengan Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (POKTAPEPAR) Pajambon dalam rangka PHBM. Nota Kesepakatan Bersama (NKB) adalah sebuah kesepakatan umum tentang pelaksanaan PHBM antara masyarakat Desa Pajambon yang diwakili oleh Ketua BPD Desa Pajambon dengan PT. Perhutani yang diwakili oleh Administratur Perhutani KPH Kuningan. Sedangkan NPK adalah sebuah perjanjian yang bersifat teknis pelaksanaan PHBM di Desa Pejambon antara PT Perhutani yang diwakili oleh Administratur Perhutani KPH Kuningan dengan KTH/Poktapepar Desa Pajambon, yang diwakili oleh Ketua KTH/ Poktapepar. PHBM di Desa Pajambon dilaksanakan pada kawasan lindung dan hutan negara dibawah pengelolaan PT Perhutani, yang masuk dalam wilayah administratif Desa Pajambon. Beberapa ketentuan umum bagi kelompok tani hutan (KTH) yang diatur dalam Perdes tersebut adalah : 1.
KTH bersama para anggotanya melakukan penanaman, pemeliharaan dan penjagaan hutan tanaman, mencegah terjadinya longsor, kebakaran dan pengrusakan hutan.
2.
KTH dan komponen poktapepar lainnya melakukan bimbingan dan pengawasan kepada para anggota dalam mengambil/ memanfaatkan hasil sumber daya hutan termasuk hasil budidaya antara lain, pertanian/tanaman keras, dll dari areal yang telah ditetapkan, sesuai peruntukannya.
3.
KTH dan komponen poktapepar mengkoordinir kegiatan anggotanya dalam pengawasan dan pencegahan gangguan terhadap flora dan fauna oleh oknum masyarakat setempat maupun masyarakat dari luar.
45
Untuk menjaga kelestarian hutan Gunung Ciremai, pada Perdes tersebut dicantumkan beberapa larangan bagi masyarakat, sebagai berikut : 1.
Siapapun dilarang keras melakukan tindakan yang langsung maupun tidak langsung berakibat pada kerusakan hutan lindung di wilayah desa Pajambon.
2.
Tanaman musiman di lahan kawasan hutan lindung dihentikan dan dilarang diteruskan sejak bulan Agustus 2003, usaha tani dialihkan ke tanaman keras dan jasa ekowisata.
3.
Siapapun dilarang keras berburu satwa di kawasan hutan lindung dan objek ekowisata Cilengkrang
4.
Siapapun dilarang keras memotong atau mengambil tumbuhan di dalam kawasan hutan lindung dan obyek ekowisata Lembah Cilengkrang. Sedangkan kewajiban masyarakat yang diatur pada Perdes tersebut
adalah : 1.
Seluruh masyarakat desa Pajambon wajib turut melakukan pencegahan terhadap gangguan hutan atau pelanggaran terhadap larangan tersebut, baik dengan lisan maupun dengan cara melaporkan kepada aparat pemerintahan desa
2.
Setiap anggota KTH (pemilik andil garapan) wajib mengembalikan hak garapnya apabila diperlukan bagi kepentingan yang lebih luas, oleh PWC (Pengelola Ekowisata Cilengkrang) dan atau pemerintah.
3.
Setiap pedagang atau kegiatan usaha di lokasi ekowisata dikenakan retribusi oleh PWC melalui poktapepar. Dari Perdes tersebut dapat dilihat bahwa sejak tahun 2003 Perum
Perhutani sudah mulai melarang masyarakat
untuk
melakukan penanaman
tanaman semusim di kawasan hutan lindung dan menggantikan dengan tanaman keras dan usaha jasa ekowisata. Sedangkan untuk di hutan produksi masyarakat masih diberi kesempatan untuk melakukan penanaman tanaman semusim dan memelihara tegakan pohon milik Perhutani. Kebijakan yang tertuang dalam Perdes tersebut menunjukkan bahwa kedua belah pihak (Perhutani dan masyarakat) mempunyai kesamaan pandangan untuk memberi akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan di kawasan Gunung Ciremai dengan melakukan penanaman yang bernilai ekonomi, dan disisi lain menjaga kondisi hutan lindung yang mempunyai fungsi sangat penting dalam penyediaan air bersih bagi masyarakat. Selain itu melalui Perdes tersebut
46
masyarakat
mulai didorong untuk memanfaatkan jasa ekowisata pada hutan
lindung di kawasan Gunung Ciremai sebagai alternatif sumber pendapatan. Selanjutnya pada tahun 2003 status kawasan hutan di Gunung Ciremai mengalami perubahan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Jawa Barat seluas 816.605 ha, status kawasan Gunung Ciremai berubah menjadi Hutan Lindung. Perubahan status kawasan tersebut pada dasarnya merubah legalitas akses masyarakat sekitar terhadap sumberdaya alam di kawasan Gunung Ciremai. Namun karena perubahan status sebagai Hutan Lindung tersebut relatif singkat (hanya sekitar satu tahun), maka ditingkat lapangan tidak banyak menyebabkan perubahan akses masyarakat
terhadap sumber daya
alam di Gunung Ciremai. 4.1.1.2 Akses Setelah Ditetapkan Sebagai Taman Nasional Status kawasan Gunung Ciremai selanjutnya mengalami perkembangan. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas 15.500
ha Terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka
Provinsi Jawa Barat, status kawasan Gunung Ciremai berubah menjadi Taman Nasional. Perubahan status kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai menimbulkan reaksi berbeda dari beberapa stakeholders.
Sebagian stakeholders, antara lain Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Kuningan dan Universitas Kuningan (UNIKU) menyambut positif perubahan status menjadi taman nasional.
Namun sebagian stakeholders
lainnya, yakni Lembaga Pelayanan Implementasi (LPI) PHBM dari unsur LSM dan kelompok masyarakat yang terlibat dalam PHBM di Gunung Ciremai menolak atau mengkritisi kebijakan tersebut.
Alasan tidak setujunya mereka
terhadap perubahan status kawasan tersebut karena terdapat 25 desa pada 7 kecamatan di kawasan Gunung Ciremai yang termasuk Kabupaten Kuningan yang telah dalam proses implementasi PHBM. Dari 25 desa tersebut, 18 desa diantaranya telah menandatangani Nota Kesepakatan Bersama (NKB), dan lima desa lain telah menandatangi Nota Perjanjian Kerjasama (NPK) dengan Perum Perhutani, artinya pada lima desa masyarakat telah melaksanakan pengelolaan hutan di lapangan. Dengan perubahan fungsi menjadi taman nasional maka
47
kewenangan pengelolaan hutan berganti dan kesepakatan kerjasama tersebut tidak berlaku lagi. Secara tegas, salah satu anggota LSM AKAR sesuai hasil diskusi pada tanggal 7 Februari 2011, menyatakan bahwa pada prinsipnya LSM Akar kurang setuju dengan perubahan fungsi menjadi Taman Nasional tersebut mengingat ketidak siapan pemerintah dalam mencari jalan keluar bagi masyarakat yang selama ini terlibat dalam program PHBM. Secara operasional, pengelolaan TNGC untuk sementara dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat II. Selama masa transisi pengelolaan oleh Balai KSDA Jawa Barat tersebut, masyarakat tetap diberi akses untuk melakukan kegiatan-kegiatan di kawasan TNGC seperti yang terdapat dalam program PHBM. Selanjutnya pada tahun 2005 dengan dibentuknya Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) maka pengelolaan TNGC beralih dari Balai KSDA Jawa Barat ke BTNGC. Pada awal pengelolaan oleh BTNGC tersebut masyarakat
masih tetap
diberi akses untuk melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan TNGC untuk budi daya tanaman. Contoh lahan garapan masyarakat di kawasan TNGC dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Contoh lahan garapan masyarakat di dalam kawasan TNGC Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan
wawancara
dengan
masyarakat, didapatkan bahwa jenis tanaman yang dibudidayakan oleh masyarakat di kawasan TNGC sangat bervariasi, ada yang menanam tanaman sayuran,
seperti
di
Desa
Karangsari
dan
Cisantana,
dan
ada
yang
membudidayakan tanaman MPTS/buah-buahan seperti masyarakat di desa Seda dan Pajambon. Masyarakat di Desa Karangsari menaman tanaman sayuran petsay, bawang daun, dan kubis, sedangkan di Desa Cisantana jenis sayuran yang dibudidayakan adalah wortel, bawang daun dan petsay.
48
Masyarakat di Desa Seda membudidayakan tanaman melinjo, cengkeh, pisang dan kopi dan di Desa Pajambon menanam alpuket, durian dan kopi. Pada
tahun 2009, Balai TNGC mulai melakukan langkah-langkah
penertiban terhadap penggarapan lahan di kawasan TNGC. Langkah tersebut mendapatkan dukungan dari Bupati Kuningan yang diwujudkan dalam bentuk surat perintah Bupati Kuningan kepada Camat dan Kepala Desa di sekitar TNGC untuk menghentikan usaha tani tanaman sayuran di kawasan TNGC,
serta
Instruksi Bupati Kuningan Nomor 3 Tahun 2009 tentang Penertiban Penggunaan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) sebagai Lahan Pertanian dan Perkebunan. Upaya penertiban tersebut cukup berhasil, sekitar 2.331 orang penggarap (1.654 KK) telah menghentikan aktifitasnya dari kawasan TNGC tanpa menimbulkan gejolak yang besar di lapangan seperti yang biasa terjadi di lokasi lain. Jumlah bekas penggarap kawasan TNGC disajikan pada Lampiran 1. Saat ini Balai TNGC bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Kuningan, Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) dan Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar), mengembangkan usaha masyarakat berbasis jasa ekowisata. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa desa yang terdapat obyek wisata alam, seperti desa Cisantana, desa Pajambon dan desa Manis Kidul, dimana masyarakat sekitar diberi kesempatan untuk terlibat dalam beberapa jenis kegiatan ekowisata, seperti
sebagai pemandu, penitipan kendaraan,
pengelola loket masuk, penjual makanan dan minuman, serta penjual souvenir. Selain itu dalam upaya pengembangan masyarakat di daerah penyangga TNGC, Pemerintah Kabupaten Kuningan melalui dinas terkait saat ini mengembangkan intensifikasi pemanfaatan lahan melalui program agroforestri seperti di desa Karangsari, desa Seda dan desa Pajambon. Pada program tersebut
masyarakat menanam jenis tanaman pertanian seperti cabe rawit,
jagung, padi huma, kubis, sawi, melinjo, cengkeh, kelapa, dll, dan jenis tanaman kehutanan seperti sengon, mahoni, kayu afrika, mindi, waru, pinus, jati dll. Undang-undang
no
5
tahun
1990
mengatur
kemungkinan
lahan
pekarangan sebagai salah satu status lahan yang diperbolehkan menjadi daerah penyangga, yang terpenting adalah pengembangan daerah penyangga harus memperhatikan
perencanaan
tata
ruang,
yaitu
kebijakan
peruntukan
pemanfaatan ruang bagi berbagai kegiatan pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu (Direktorat Jendral Perlindungan dan Pelestarian Alam 1997). Selanjutnya bahwa penetapan
49
daerah penyangga juga tidak mengurangi hak atas tanah, tetapi hanya bersifat pengaturan cara pengolahan agar daerah penyangga tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi bagi peningkatan taraf hidup masyarakat serta menjadi pendukung untuk menjaga kelestarian taman nasional. Pemanfaatan potensi kawasan taman nasional oleh masyarakat di daerah penyangga hanya dalam bentuk pemanfaatan jasa lingkungan hutan dan ekowisata. Berbagai bentuk pemanfaatan ini pada umumnya dilakukan oleh masyarakat
sekitar kawasan dengan mempertimbangkan kondisi sosial,
ekonomi dan budaya yang berkembang di masyarakat. Pasal 26 Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan, a) pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam, dan b) pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam ini dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan (Pasal 27) dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Agar kelestarian fungsi kawasan tetap terjaga, maka daerah penyangga ini mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu untuk mengurangi tekanan penduduk ke dalam kawasan pelestarian dan suaka alam, memberikan kegiatan ekonomi masyarakat dan merupakan kawasan yang memungkinkan adanya interaksi manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat dengan kawasan konservasi. Daerah penyangga merupakan kawasan penting sebagai pendukung kawasan konservasi dan merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikelola guna mempertahankan kelestarian biodiversitas dan ekosistem taman nasional, baik sebagai asset ekowisata alam, penyangga kawasan konservasi, kawasan budidaya, sumber penghasil pangan, kayu bakar dan obat-obatan. Fungsi daerah penyangga ini juga dapat diwujudkan secara optimal dengan pengelolaan pemanfaatan jasa lingkungan, nilai ekonomi dan konservasi lahan masyarakat, melalui rehabilitasi lahan kritis dalam sistem hutan kemasyarakatan, hutan rakyat atau agroforestri. 4.1.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Contoh Pengertian desa secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian. Egon Bergel dalam Rahardjo (2004) mendefinisikan desa sebagai “setiap
50
pemukiman para petani”. Ciri utama yang melekat pada desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal (menetap) dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Dengan perkataan lain, suatu desa ditandai oleh keterikatan warganya pada suatu wilayah tertentu. Keterikatan terhadap wilayah ini disamping terutama untuk tempat tinggal juga untuk menyangga kehidupan mereka. Sementara Paul Landis (Rahardjo 2004) mengemukakan ciri-ciri desa adalah mempunyai pergaulan hidup yang saling saling mengenal antara ribuan jiwa, ada pertalian perasaan yang sama
tentang kesukaan terhadap kebiasaan, serta cara
berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi oleh alam seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan. Oleh karena itu sebelum membahas mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat yang bekerja di ekowisata dan agroforestri, maka terlebih dulu dianalisis mengenai karakteristik dari setiap Desa contoh.
Desa-desa contoh terdiri dari desa yang memiliki
potensi ekowisata, yaitu Desa Cisantana, Manis Kidul dan Pajambon dan desa yang memiliki potensi agroforestri yaitu Desa Karangsari, Seda dan juga termasuk Pajambon. Lima desa contoh ini memiliki karakteristik yang berbeda, baik dalam potensi fisik maupun sosial ekonomi seperti disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 memperlihatkan bahwa mata pencaharian masyarakat dominan sebagai petani dan buruh tani, kecuali desa Maniskidul yang sebagian besar adalah pedagang, karena adanya potensi obyek wisata Cibulan yang sangat diminati oleh wisatawan. Pada Desa Pajambon dan Seda, proporsi buruh tani yang lebih besar menunjukkan tingkat kepemilikan lahan yang sempit yaitu dibawah 0,250 ha. Jarak pemukiman terdekat dengan kawasan adalah antara satu hingga tiga kilometer, sedangkan lahan pertanian masyarakat berbatasan dengan dengan kawasan TNGC. Penggunaan lahan sebagian besar desa adalah sawah dan tegalan, kecuali pada Desa Cisantana yang didominasi oleh hutan milik negara. Meskipun secara persentase luas hutan negara mencapai 50,52%, namun luas lahan untuk usaha tani (sawah, tegalan, ladang dan perkebunan rakyat) di Desa Cisantana tetap memiliki luasan yang lebih besar diantara desa lainnya, sehingga komoditas hasil pangan cukup banyak diproduksi di desa ini. Demikian juga di Desa Karangsari, sebagian besar penggunaan lahan adalah tegalan/ladang, yang ditanami palawija dan pohon berkayu. Desa Cisantana merupakan sentra produksi susu sapi di Kecamatan Cigugur dengan kepemilikan ternak sapi mencapai 1.726 ekor sapi perah.
51
Tabel 23 Karakteristik Desa Contoh No
1 2 3 4 5
6
7
8
9
10
11
Aspek
Luas (ha) Jarak dari TNGC (km) Jumlah Penduduk - Laki-laki - Perempuan KK Mata Pencaharian (%) - Petani - Buruh tani - Peternak - Pedagang - PNS - Swasta/Jasa Agama (%) - Islam - Katolik - Kristen Pendidikan (%) - Tidak Tamat SD - Tamat SD - Tamat SMP - Tamat SLTA - > SLTA Penggunaan Lahan (%) - Sawah - Tegalan/ladang - Perkebunan Rakyat - Pekarangan - Pemukiman - Hutan Negara dll Komoditas - Hasil Pangan (ha) - Tanaman Obat (ha) - Hijauan Pakan Ternak (ha) - Ternak (ekor) Unggas Non Unggas (sapi, kambing dan babi) Pemanfaatan Air - Mata Air - Anak Sungai/Sungai - Air Terjun - Sumber Air Panas Potensi -Wisata alam
Sumber ; Profil Desa tahun 2009
Cisantana
Manis Kidul
Pajambon
Karangsari
Seda
1.199,5 1 6.420 3.342 3.058 1.760
137,201 3 6.131 3.121 3.010 1.232
83,59 1 2.648 1.322 1.325 686
277 2,5 2.138 1.079 1.058 588
215,614 1 2.513 1.330 1.193 651
54,25 2,34 12,46 2,34 3,90 0,85
10,47 14,25 38,72 4,59 15,95
31,99 35,33 2,04 0,85 29,23
40,18 24,88 0,80 2,99 1,1 0,98
29,36 56,03 7 2,83 0,54 4,24
64,88 22,07 13,15
Tidak ada data
100 -
99,86 0,14 -
100 -
46,38 17,23 15,25
80,17
35,57
Tidak ada data
42,14 24,09 21,52 12,25
10,83 72,72 9,03 4,69 2,73
32,59 36,28 11,97 19,16 Tidak ada data
73,60 13,35 13,06 7,18 36,42 1,57 3,01 2,35 50,52
Tidak ada data
189 3 10
237,5 -
106 10 1
172,43 5 0,5
2.432 1.830
6.000 475
t.a.d 425
30.020 262
1 1 2
3 2
7 2 2 2 air terjun di desa, 2 di TNGC
Tidak ada data
Pemandian dan wisata religi
2 sumber air panas di TNGC
Potensi Bumi Perkemahan
Tidak ada data
Tidak ada
52
Berdasarkan hasil analisis terhadap desa contoh, pada saat ini kondisi sosial ekonomi masyarakat pada lima desa contoh disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Kondisi sosial ekonomi lima Desa Contoh No.
Desa
Kategori
1.
Cisantana
Rata-rata sejahtera Pra sejahtera
2.
Pajambon
3.
Manis Kidul
Rata-rata sejahtera
4.
Karangsari
5.
Seda
Pra sejahtera Rata-rata sejahtera
Persentase Mata Pencaharian Petani (54,25%)
Persentase Angkatan Kerja (usia 15–55 thn) 61,69%.
Buruh tani (35,33%),
33,46% (bekerja penuh) 45,51% (bekerja tidak menentu) 48,00%
Pedagang/ wiraswasta (38,72%) Petani 40,18% Buruh tani 56,03%
45,51%, 75,00%
Persentase Tingkat Pendidikan Sebagian besar tamat SD (73,60%) Sebagian besar tamat SD (80,17%) Sebagian besar tamat SD (46,38%) Sebagian besar tamat SD (35,57%) Sebagian besar tamat SD (40,00%)
Sumber : profil desa Cisantana, Pajambon, Manis Kidul, Karangsari, Seda dan wawancara dengan perangkat desa (2010)
Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat bahwa rata-rata masyarakat desa bekerja sebagai petani dan buruh tani dengan dengan luas garapan rata-rata 0,250 ha, serta berpendidikan sebagian besar tamat SD. Lima Desa contoh ini dapat dikatakan mewakili kondisi sosial ekonomi masyarakat desa di daerah penyangga secara keseluruhan yang berjumlah 27 desa, yang secara umum dapat menjadi potret masyarakat daerah penyangga TNGC, karena berdasarkan data Bappeda (2010), mata pencaharian penduduk Kabupaten Kuningan sebagian besar adalah petani (57%) dengan luas garapan antarara 0,1 – 0,3 ha/KK, dan sebagian besar berpendidikan sekolah dasar. 4.1.2.1 Masyarakat yang Bekerja di Ekowisata Konsep ekowisata yang digunakan mengacu pada Ceballos-Lascurain (1998) dalam Mc Neely, et.al. (1992) mendefinisikan wisata alam sebagai kegiatan wisata dalam bentuk perjalanan ke kawasan alami yang relatif masih asli dengan tetumbuhan dan satwa liarnya beserta manifestasi aspek-aspek kebudayaan yang ada, baik yang merupakan warisan budaya masa lampau maupun yang berlaku saat ini. Keuntungan aktual masyarakat dari ekowisata, dapat diperoleh dari berbagai peluang usaha seperti usaha akomodasi yaitu pondok wisata, bumi perkemahan, karavan dan penginapan remaja, usaha makanan dan minuman, usaha sarana wisata tirta, angkutan wisata, usaha cindera mata dan sarana budaya (ICEL 1999).
53
Pada saat ini masyarakat daerah penyangga desa contoh yang bekerja di ekowisata sekitar 142 orang, 41 orang di lokasi obyek wisata Lembah Cilengkrang, 34 orang di lokasi obyek wisata Buper Palutungan, dan 67 orang di lokasi obyek wisata Cibulan. Menurut Biro Pusat Statistik, bekerja artinya melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit satu jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu, termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi. Responden yang bekerja di sektor ekowisata sebagian besar berusia 41 hingga 50 tahun, berpendidikan SD dan bekerja sebagai pedagang. Sebagian besar tidak memiliki lahan, dengan pendapatan rata-rata per bulan antara Rp 700.000 hingga Rp 1.500.000, serta pernah menggarap di lahan TNGC selama lebih dari 10 tahun. Sebagian besar tidak pernah mengikuti penyuluhan dan pelatihan dari TNGC. Karakteristik responden yang bekerja di ekowisata secara lengkap disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Karakteristik responden yang bekerja di ekowisata. No 1
2
3
4
5
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Umur - 21 – 30 tahun - 31 – 40 tahun - 41 – 50 tahun - 51 – 60 tahun - 61 – 70 tahun - 71 – 80 tahun Pendidikan - Tidak tamat SD - Tamat SD - SLTP - SLTA - Dipolma Tanggungan Keluarga - 0 – 2 orang - 3 – 4 orang - > 5 orang Kepemilikan Lahan - Tidak punya lahan - 0,01 – 0,25 ha - 0,251 – 0,50 ha Pekerjaan Utama - Buruh tani - Tani - Dagang - Pengelola wisata - Lain-lain
Jumlah 14% 19% 27% 14% 11% 14% 8% 59% 16% 14% 3% 43% 54% 3% 66% 32% 2% 5% 32% 46% 11% 5%
54
No 6
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pendapatan per bulan - 0 – Rp 700.000 - Rp 700.000 – Rp 1.500.000 - Rp 1.500.000 – Rp 2.500.000 - > Rp 2.500.000 7 Lama menggarap TN - 0- 5 tahun - 6 – 10 tahun - > 10 tahun 8 Mengikuti Penyuluhan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun - 3 – 4 kali setahun 9 Mengikuti Pelatihan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun - 3 – 4 kali setahun 10 Menerima bantuan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun - 3 – 4 kali setahun Sumber: data primer
Menurut
Sensus
Sosial
Ekonomi
Jumlah 31% 34% 25% 10% 21% 24% 45 % 58% 34% 8% 64% 34% 2% 68% 31% 1%
Daerah
(SUSEDA)
Kabupaten
Kuningan, kelompok umur penduduk yang termasuk sebagai angkatan kerja dalam masyarakat adalah mereka yang berumur antara 15-64 tahun. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan rasio antara kelompok penduduk yang bekerja dan mencari kerja dengan kelompok penduduk usia 15 tahun ke atas. Bidang usaha yang dilakukan sebagian besar masyarakat di sektor ekowisata adalah sebagai pedagang makanan dan minuman serta pedagang souvenir. Pekerjaan sebagai pedagang di sektor ekowisata bagi 46% responden merupakan pekerjaan utama. Sebagian besar responden (66%) tidak memiliki lahan pertanian, dan 32% memiliki lahan antara 0,01 sampai 0,25 ha. Bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan, berusaha di sektor wisata menjadi pekerjaan utama. Bekerja di sektor wisata biasanya dilakukan dengan melibatkan tenaga istri dan anak, seperti menunggu warung, berjualan souvenir, sementara kepala keluarga bekerja sebagai petani, buruh tani, ojek dan pekerjaan lainnya. Masyarakat yang bekerja sebagai pengelola obyek wisata, bertugas sebagai penjaga loket, petugas kebersihan, pengawas wisatawan, bagian keamanan dan penjaga kamar bilas di pemandian. Kontribusi usaha di sektor ekowisata terhadap pendapatan masyarakat cukup bervariasi. Dari hasil analisis, proporsi pendapatan tertinggi dari ekowisata
55
adalah sekitar 60% dan terendah 16% dengan rata-rata proporsi pendapatan sebesar 41% dari total pendapatan per tahun. Pendapatan per bulan dari kegiatan ekowisata dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Pendapatan responden dari usaha ekowisata No
Jenis usaha
1 2.
Souvenir Warung makanan dan minuman Pemandu wisata Pengelola obyek ekowisata Atraksi Outbond
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Penitipan kendaraan Penyewaan toilet umum Penyewaan peralatan renang Pendapatan total Pendapatan rata-rata per tahun Pendapatan rata-rata per bulan
Pendapatan ekowisata
Pendapatan lain
Total Pendapatan
Proporsi
Biaya hidup
Pendidikan
Kesehatan
2.975.452
6.582.000
16.750.200
23.332.200
28%
21.056.168
501.667
15.951.708
10.482.520
26.434.228
60%
10.975.667
1.000.000
285.000
1.866.400
9.673.333
11.539.733
16%
15.020.000
1.000.000
260.000
6.800.000
6.133.333
12.933.333
53%
14.898.000
866.800
290.000
6.000.000
10.200.000
16.200.000
37%
9.443.000
300.000
425.000
5.240.000
14.533.333
19.773.333
27%
19.660.200
1.174.200
172.500
7.200.000
4.800.000
12.000.000
60%
13.200.000
0
120.000
6.000.000
7.200.000
13.200.000
45%
12.000.000
600.000
300.000
55.640.108
79.772.720
135.412.828
116.253.035
7.916.452
2.354.167
6.955.014
9.971.590
16.926.604
14.531.629
989.557
294.271
579.585
830.966
1.410.550
1.210.980
82.463
24.523
41%
Sumber: data primer
Tabel 26 memperlihatkan rata-rata pendapatan dari sektor ekowisata adalah sebesar Rp. 6.955.014 per tahun atau sekitar Rp. 579.584 per bulan, dan merupakan 41% dari total pendapatan rata-rata per KK per bulan sebesar Rp. 1.410.550. Proporsi 59% dari pendapatan yaitu rata-rata Rp. 830.966,- per bulan, berasal dari sumber lain seperti bertani, buruh tani, ojek, pensiunan PNS, pedagang sayuran di pasar dan peternak. Diversifikasi mata pencaharian dalam keluarga dimaksudkan untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang ratarata mencapai Rp 1.317.955 per bulan. Pengeluaran responden di alokasikan untuk tiga kebutuhan utama, yaitu biaya hidup, yang meliputi pangan, sandang, papan, kebutuhan untuk kebersihan, dan kebutuhan sosial (kematian, hajatan dan iuran), biaya untuk kesehatan (dokter, bidan dan obat-obatan) serta biaya pendidikan (buku, baju seragam, biaya dan transport sekolah, iuran sekolah, serta keperluan sekolah lainnya). Pengeluaran masyarakat rata-rata per kapita per bulan untuk biaya hidup adalah sebesar Rp. 302.742,27, untuk biaya pendidikan sebesar Rp. 20.615,77 serta biaya kesehatan sebesar Rp. 6130,65, dengan total pengeluaran sebesar Rp. 329.488,69 per kapita perbulan. Proporsi biaya untuk pendidikan sangat minim, hanya sekitar 6,26% per bulan, sedangkan untuk kesehatan sekitar 1,96%. Sebagian besar responden hanya menyekolahkan anaknya
56
hingga tamat sekolah dasar yang terdapat di desa tersebut. Sekolah setingkat SLTP tidak terdapat di desa Cisantana dan Pajambon, sehingga ketika harus mengeluarkan biaya sekolah dan biaya transportasi yang cukup mahal ke SLTP terdekat (karena harus menggunakan ojek), responden memilih untuk tidak melanjutkan menyekolahkan anaknya karena kekurangan biaya. Demikian juga jika sakit, responden cukup mengkonsumsi obat-obatan yang dibeli di warung. Pergi ke dokter merupakan alternatif terakhir jika sakit yang diderita sudah mengganggu aktifitas kerja. Sebagian besar porsi pengeluaran adalah untuk kebutuhan pangan. Proporsi pendapatan dari usaha ekowisata disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Proporsi pendapatan dari ekowisata Gambar 8 memperlihatkan proporsi pendapatan tertinggi adalah dari jenis usaha warung makanan dan minuman serta penyewaan toilet umum (60%), dan terendah sebagai pemandu wisata sebesar 16% karena ekowisatawan jarang sekali membelanjakan uangnya untuk jasa pemanduan. Hampir sebagian besar ekowisatawan membelanjakan uangnya di warung-warung yang ada di lokasi wisata. Hal ini sesuai dengan pendapat Warpani (2007) bahwa keberadaan warung makan ini cukup penting karena pengeluaran untuk makanan dan minuman
proporsinya dapat mencapai 20% hingga 35% dari belanja
ekowisatawan. Usaha warung ini cukup banyak menyerap tenaga kerja masyarakat. Data PUSPAR UGM (1998) dalam Fandeli (2001) menemukan bahwa penyerapan tenaga kerja terbesar adalah dari jenis usaha penyediaan akomodasi, kemudian usaha penyediaan makan dan minum, usaha angkutan ekowisata, serta usaha pemandian alam. Curahan waktu kerja responden di ekowisata rata-rata 10 jam per hari, dari pukul 8 pagi hingga 5 sore. Pada hari Sabtu sekitar 20% responden yang
57
bekerja pada obyek wisata perkemahan akan membuka warung hingga malam hari, terutama jika wisatawan yang berkemah terdiri dari rombongan dalam jumlah besar (lebih dari 50 orang). Bagi responden yang memiliki lahan, pagi hari biasanya digunakan untuk mengolah lahannya, sementara usaha di wisata akan dilakukan oleh anggota keluarganya. Potensi masyarakat yang bekerja di ekowisata di desa Cisantana, dusun Palutungan diantaranya adalah keahlian memasak yang dimiliki ibu-ibu pemilik warung, sehingga seringkali dimanfaatkan untuk menyediakan katering bagi rombongan wisatawan dalam jumlah besar. Potensi lain adalah hasil pertanian seperti wortel, kembang kol, kubis dan bawang daun yang berkualitas baik, dan hasil peternakan berupa susu sapi segar yang dapat dijual sebagai souvenir. Potensi hasil tanaman buah jambu merah yang dijual kepada wisatawan dalam bentuk buah segar terdapat di desa Pajambon. Tanaman bambu yang banyak terdapat di sekitar desa belum dimanfaatkan
secara
optimal
untuk
dibuat
barang-barang
kerajinan
tangan/cenderamata yang dapat dijual kepada wisatawan. Pelatihan kerajinan tangan yang pernah diikuti oleh beberapa anggota masyarakat di desa Pajambon belum dipraktekkan secara langsung karena kurangnya modal dan pembinaan. Sebagian besar responden (66%) tidak memiliki lahan pertanian, dan 32% memiliki lahan 0,01 sampai 0,25 ha. Kondisi serba kekurangan ini mendorong petani yang memiliki lahan sempit untuk melakukan berbagai cara agar dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga, yaitu dengan menerapkan pola nafkah ganda dan memaksimalkan tenaga kerja keluarga, baik anak maupun istri. Pola nafkah ganda dilakukan melalui penganekaragaman bidang mata pencaharian termasuk bekerja di sektor wisata, sedangkan pemaksimalan tenaga kerja dilakukan dengan melibatkan anak-anak dan wanita (istri) untuk turut serta dalam pekerjaan. Hal ini mendukung pendapat Deere dan Wasserstrom (1980) dalam McReynolds (1998) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa sebagian besar dari pemilik lahan sempit di Amerika Latin menjadi pekerja di berbagai sektor. Diversifikasi ekonomi ini merupakan cara yang efektif dari peningkatan pendapatan dan menurunkan resiko bagi petani. Sumber-sumber pendapatan dari bukan pertanian tersebut ternyata cukup signifikan bagi petani yang melakukan kegiatan tersebut, dan cukup penting bagi petani yang yang tidak memiliki lahan.
58
4.1.2.2 Masyarakat yang Bekerja di Agroforestri Mengingat konsep agroforestri yang meliputi rentang yang luas dari sistem-sistem pemanfaatan lahan secara tradisional dan moderen, maka dalam penelitian ini diperlukan adanya batasan yang jelas kapan atau bilamana suatu sistem dapat dikategorikan dalam agroforestri. Konsep agroforestri dalam penelitian ini mengacu kepada Lundgren dan Raintree (1982) dalam Rianse dan Abdi (2010) yang menitikberatkan pada dua karakter pokok, yaitu dalam pemanfaatan lahan dengan pola agroforestri 1) adanya pengkombinasian yang terencana/disengaja dalam satu bidang lahan antara tumbuhan berkayu (pohon), tanaman pertanian dan/atau ternak baik secara bersamaan ataupun bergiliran, dan 2) adanya interaksi ekologis dan/atau ekonomis yang nyata, baik positif dan atau negatif antara komponen sistem yang berkayu maupun tidak berkayu. Masyarakat desa Karangsari, Seda dan Pajambon sebagian besar bekerja sebagai petani dan buruh tani, baik di sawah maupun tegalan/ladang. Luas pemanfaatan lahan di desa Seda yang berupa ladang/tegalan adalah seluas 78,216 ha, pada desa Karangsari seluas 201,43 ha, dan desa Pajambon seluas 20,14 ha. Tidak seluruhnya luas tegalan/ladang tersebut ditanam dengan pola agroforestri. Ada juga yang ditanami secara monokultur, seperti jambu merah yang telah berkembang dan mendominasi areal pesawahan dan tegalan di desa Pajambon. Masyarakat di tiga Desa contoh yang memiliki lahan tegalan dan bertani dengan pola agroforestri sekitar 687 orang di desa Karangsari, 130 orang di desa Pajambon, dan 327 orang di desa Seda. Namun tidak seluruhnya petani tersebut aktif secara terus menerus dalam mengelola lahannya, terutama kaum muda yang sebagian besar bermigrasi ketika menunggu musim panen tiba. Seperti pada masyarakat desa Seda, dimana pada saat ini hanya tersisa sekitar 30 orang petani agroforestri yang tinggal di desa dan aktif mengelola lahan agroforestri. Pada awalnya masyarakat bertani dengan pola agroforestri pada lahan kawasan TNGC. Petani dengan modal besar selain mengolah lahan kawasan juga mengolah lahan miliknya. Setelah tidak lagi menggarap dalam kawasan, bagi petani yang memiliki lahan, mereka mulai mengolah lahan miliknya, sedangkan bagi petani yang tidak memiliki lahan, ada yang tetap bertani dengan menyewa lahan, beralih menjadi buruh tani atau sebagai petani pengepul (bandar).
59
Responden masyarakat yang bertani agroforestri sebagian besar berusia 41 hingga 60 tahun, berpendidikan SD dengan pekerjaan utama sebagai petani dan sebagian besar memiliki pekerjaan sampingan sebagai buruh tani dan peternak. Sebanyak 36% responden memiliki luas lahan antara 0 - 0,250 ha, dan sebagian besar pernah menggarap di lahan TNGC antara 0 hingga 5 tahun. Dalam hal mengikuti penyuluhan, 56% responden tidak pernah mengikuti penyuluhan, 76% responden tidak pernah mengikuti pelatihan dan 62% tidak pernah
menerima
bantuan.
Karakteristik
responden
petani
agroforestri
selengkapnya disajikan pada Tabel 27 Tabel 27 Karakteristik responden petani agroforestri No 1
Kondisi Sosial Ekonomi Responden Umur - 20 – 40 tahun - 41 – 60 tahun - 61 – 80 tahun 2 Pendidikan - Tidak tamat SD - Tamat SD - Tamat SLTP 3 Pekerjaan Sambilan - Buruh tani - Peternak - Pengepul - Pedagang - Tukang bangunan - Tidak ada 4 Luas Kepemilikan Lahan - 0 – 0,25 ha - 0,251 – 0,50 ha - > 0,51 ha 5 Luas Lahan Agroforestri - 0 – 0,25 ha - 0,251 – 0,50 ha - > 0,51 ha 7 Lama menggarap - 0- 5 tahun - 6 – 10 tahun - > 10 tahun 8 Frekuensi Penyuluhan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun - 3 – 4 kali setahun 9 Frekuensi Pelatihan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun - 3 – 4 kali setahun 10 Frekuensi bantuan - Tidak pernah - 1 – 2 kali setahun Sumber: data primer
Jumlah 18 % 57 % 25 % 7% 86 % 7% 25 % 25 % 7% 14 % 14 % 15 % 36 % 36 % 22 % 54 % 36 % 10 % 51 % 20 % 28 % 56 % 35 % 9% 76 % 20 % 4% 62 % 38 %
60
Keterbatasan pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki petani Desa Pajambon, Seda dan Karangsari (86% hanya tamat SD) berpengaruh terhadap kemampuannya dalam bertani. Ketrampilan dalam mengelola agroforestri diperoleh secara otodidak berdasarkan pengalaman yang diperoleh secara turun temurun. Pengetahuan mengenai ilmu pertanian dan kehutanan kurang dimiliki secara benar, sehingga berbagai masalah yang muncul seperti serangan hama dan penyakit pada tanaman tidak dapat diatasi secara maksimal. Hal ini mengakibatkan produksi tanaman pertanian dan kehutanan menjadi kurang optimal. Selain pengaruh di atas, keterbatasan pendidikan juga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat dalam mengadopsi pengetahuan dan teknologi bertani yang baru. Berdasarkan hasil analisis, rata-rata pendapatan masyarakat dari agroforestri di tiga Desa contoh dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Rata-rata pendapatan responden petani agroforestri Desa
Tanaman pertanian (Rp)
Tanaman kehutanan (Rp)
Total pendapatan Agroforestri (Rp)
Pendapatan dari usaha lain (Rp)
Total rata-rata pendapatan per kapita per bulan (Rp)
Proporsi pendapatan agroforestri
Karangsari
327.666,67
191.585,00
519.251,67
388.484,81
907.736,48
57,20%
Seda
248.815,13
213.779,75
462.594,88
327.750,00
790.344,88
58,53%
Pajambon
80.729,17
15.208,33
95.937,50
120.825,00
216.762,50
44,26%
Total
657.210,96
420.573,08
1.077.784,04
837.059,81
1.914.843,85
Rata-rata 219.070,32 Sumber: data prmer
140.191,03
359.261,35
279.019,94
638.281,28
56,29%
Tabel 28 memperlihatkan besarnya pendapatan rata-rata per kapita per bulan responden masyarakat di tiga Desa contoh, yaitu Rp. 638.281,28, dimana nilai ini lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebesar Rp. 700.000 per bulan. Kontribusi pendapatan dari agroforestri sebesar Rp. 359.261,35 atau sebesar 56,29% dari total pendapatan, sedangkan pendapatan lain sebesar 43,71% diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh tani, pengepul hasil agroforestri, berdagang, pensiunan, dan usaha lainnya. Proporsi pendapatan dari agroforestri ini lebih rendah dari hasil penelitian serupa, yaitu agroforestri Repong Damar di Kecamatan Pesisir Selatan Krui Lampung memberikan kontribusi sebesar 61,8% dari total pendapatan rumah tangga per tahun de Foresta and Michon (1994) dan Suharjito, dkk, (2003), serta di TN Meru Betiri kontribusi dari lahan agroforestri dapat memenuhi lebih dari 60% kebutuhan rumah tangga petani (Aliadi, 2006).
61
Agroforestri di tiga Desa contoh masih bersifat subsisten, artinya dalam pengelolaannya masih bersifat tradisional belum menggunakan teknologi yang memadai, baik dari aspek pengolahan lahan, pola tanam, penanganan hama penyakit serta pemanenan, sehingga hasil yang diperoleh kurang maksimal. Sebagai contoh, tanaman melinjo masyarakat di desa Seda saat ini sebagian besar terserang oleh penyakit pucuk, sehingga menurunkan produksinya hampir mencapai 10%. Namun sampai saat ini belum ditangani secara intensif, sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat. Selain pendapatan, perhitungan juga dilakukan terhadap pengeluaran untuk kebutuhan hidup masyarakat, yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu biaya hidup yang mencakup pangan, sandang, papan dan kebutuhan sosial, serta pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan, yang tersaji pada Tabel 29. Tabel 29 Pengeluaran responden petani agroforestri Desa
Biaya hidup
Pendidikan
Kesehatan
Rata-rata Pengeluaran Per kapita per bulan
Karangsari
533.971,00
19.277,00
12.444,00
565.692,00
Seda
657.012,00
33.325,00
15.568,00
705.905,00
Pajambon
375.537,50
6.250,00
38.750,00
420.537,50
1.566.520,50
58.852,00
66.762,00
1.692.134,50
522.173,50
19.617,33
22.254,00
564.044,83
Total Rata-rata
Sumber: data primer
Dari hasil perhitungan, diperoleh rata-rata pengeluaran per kapita per bulan masyarakat sebesar Rp. 564.044,83. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pendapatan masyarakat belum mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan standar yang layak, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan. Hal ini terlihat dari pola pengeluaran rumah tangga keluarga yang lebih banyak ntuk kebutuhan pangan, minimnya jumlah anak-anak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (lebih tinggi dari SLTP) serta pengobatan yang sederhana. Kebanyakan petani agroforestri di Desa contoh adalah petani tradisional, dimana penggunaan teknologi dalam sistim agroforestri belum diterapkan, sehingga seluruh pekerjaan dilakukan dengan mengandalkan tenaga kerja manusia, terutama dengan melibatkan tenaga kerja keluarga. Ketika anak sudah lulus sekolah dasar, bagi petani dengan tingkat kepemilikan lahan rendah, maka
62
anak sudah diandalkan untuk membantu bekerja di lahan milik atau menjadi buruh tani, terutama pada saat panen. Tabel 30 Kegiatan Agroforestri di desa Seda, desa Pajambon dan desa Karangsari Jenis Kegiatan Penanaman Kayu
Peningkatan luas hutan rakyat Jenis-jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan Petani penggarap lahan TNGC
Desa Seda - Hasil penanaman bersifat subsisten berubah ke ekonomis - Sengon berkembang baik - Umur tanaman sekarang rata-rata di atas 20 tahun
Desa Pajambon - Luas kepemilikan lahan milik relatif rendah - Pola monokultur
Desa Karangsari - Dilakukan sejak tahun 1972 - Sistem tumpangsari di hutan produksi - Hasil penanaman bersifat Subsisten berubah ke ekonomis
- 10%
- 28%
- 14 %
- mahoni, albizia dan kayu afrika
- sengon, mahoni dan kayu afrika
- albizia, kayu afrika dan suren
- 363 orang
- 20 orang
- 50 orang
Sumber: data primer
Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa sebagian besar pemuda desa memiliki pandangan sempit terhadap pekerjaan pertanian. Mereka tidak berminat mengembangkan usaha pertanian dan cenderung memilih usaha di luar sektor pertanian. Persepsi mereka adalah bahwa petani merupakan pekerjaan yang tidak akan mengangkat mereka dari garis kemiskinan, karena terbatasnya lahan dan sumberdaya lain yang dimiliki, sehingga tidak memungkinkan untuk dikembangkan. Pada saat ini petani agroforestri di tiga Desa contoh didominasi oleh petani yang berusia diatas 40 tahun, yaitu 57% berusia antara 40 sampai 60 tahun dan 25% berusia diatas 61 tahun. Kondisi ini cukup mempengaruhi keberlanjutan agroforestri dimasa mendatang. Saat ini hampir 30% anak muda di Desa Seda merantau ke Jakarta, Bandung dan kota lainnya untuk bekerja di sektor informal (pedagang, buruh bangunan, dan pekerjaan dengan ketrampilan rendah lainnya), sehingga banyak petani di Desa Seda kekurangan tenaga kerja untuk berbagai kegiatan pertanian. Oleh karena itu, pengembangan agroforestri dalam penelitian ini ditujukan bagi peningkatan nilai ekonomisnya agar menjadi pekerjaan yang diminati pemuda desa, disamping meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai manfaat agroforestri. Dalam memperbaiki kualitas hidup di perdesaan, Von Maydell (1986) dalam Hairiah, dkk (2003) menyatakan bahwa agroforestri bertujuan mengusahakan peningkatan pendapatan dan ketersediaan pekerjaan yang menarik serta mempertahankan orang-orang muda
63
di pedesaan. Hasil penelitian Afifudin (2006) menyatakan bahwa faktor pendidikan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam membangun dan mempertahankan agroforestri tembawang pada masyarakat melayu Sintang dan Sanggau. Hasil survei terhadap responden masyarakat yang bekerja di ekowisata dan
agroforestri
membuktikan
bahwa
rata-rata
pendapatan
responden
masyarakat masih rendah (dibawah UMK Rp 700.000 per bulan). Sehingga dikhawatirkan masyarakat akan memiliki keinginan untuk kembali menggarap kawasan TNGC. 4.2 Sikap Masyarakat terhadap Konservasi TNGC Sikap berisikan komponen berupa cognitive (pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan lain-lain), affective (emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan lain-lain) dan behavioral/overt actions (perilaku, kecenderungan bertindak). Sikap merupakan kecenderungan bertindak (tend to act), dan sikap sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia dan sangat menentukan perilaku (behavior) seseorang (Rosenberg dan Hovland 1960; Krech, Crutchfield & Ballachey 1962). Sikap terhadap konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dapat dikaji dari sejauhmana pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap TNGC. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap dampak dari kerusakan hutan terhadap komponen manusia, satwa, tumbuhan, air, udara, tanah dan hasil pertanian, serta bagaimana pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan manfaat TNGC. Sikap masyarakat terhadap konservasi TNGC ditunjukkan dengan pernyataan dukungan mereka terhadap konservasi TNGC. Jika masyarakat bersikap positif terhadap TNGC maka cenderung untuk berperilaku positif terhadap konservasi TNGC. Perilaku positif masyarakat terhadap TNGC dapat diwujudkan melalui partisipasi masyarakat dalam kegiatan perlindungan kawasan, seperti tidak melakukan aktifitas yang dapat merusak hutan serta turut serta menjaga kawasan dari berbagai kerusakan/gangguan. 4.2.1 Pemahaman Responden Terhadap Dampak Kerusakan Hutan Secara umum masyarakat telah memahami dengan baik bahwa kerusakan hutan akan berdampak secara nyata terhadap manusia, satwa, tumbuhan, air, udara, tanah dan hasil pertanian, seperti tersaji pada Tabel 28.
64
Tabel 31 Pemahaman responden terhadap dampak kerusakan hutan No. 1 2 3 4 5 6 7
Dampak Kerusakan Hutan Terhadap Komponen Manusia Satwa Tumbuhan Air Udara Tanah Hasil Pertanian Rata-rata
Pemahaman Responden Nyata (%) Tidak nyata (%) 74 26 82 18 81 19 80 20 79 21 65 35 81 19 77 23
Tabel 31 memperlihatkan sebanyak 77% responden masyarakat menganggap bahwa kerusakan hutan berdampak nyata terhadap ketujuh komponen tersebut, dengan persentase tertinggi adalah dampak kerusakan hutan terhadap satwaliar (82%). Nilai ini mengandung makna bahwa menurut pandangan masyarakat, dampak kerusakan hutan yang paling terlihat jelas dan merugikan adalah terhadap satwaliar. Sedangkan dampak kerusakan hutan terhadap tanah, menurut 35% pendapat masyarakat dianggap tidak nyata. Persepsi ini kemungkinan disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap fungsi ekologis dari kawasan hutan, padahal seringkali informasi mengenai kejadian erosi dan longsor yang diakibatkan rusaknya kawasan hutan disiarkan melalui berbagai media ataupun menjadi materi penyuluhan oleh berbagai pihak. Pemahaman ini belum dimiliki masyarakat, salah
satunya
karena belum mengetahui atau mengalami kondisi tersebut. Siagian (2004) menyebutkan bahwa pengetahuan dan pengalaman merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi persepsi individu. Pengalaman yang dialami sendiri oleh masyarakat akan lebih kuat dan sulit dilupakan dibandingkan dengan melihat pengalaman orang lain. Namun secara umum masyarakat telah memahami dampak yang akan terjadi jika hutan mengalami kerusakan. Pemahaman ini cukup penting dimiliki masyarakat, sebagai bagian dari proses pembelajaran untuk lebih berhati-hati dalam menjaga lingkungannya dan respek terhadap segala kegiatan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan. Davidoff menyatakan bahwa dengan persepsi, individu dapat menyadari dan mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya, dan juga tentang keadaan individu yang bersangkutan (Walgito 2003) dan persepsi seseorang akan berpengaruh terhadap perilakunya (Siagian 2004).
65
4.2.2 Pemahaman Responden terhadap Fungsi dan Manfaat TNGC Pemahaman responden terhadap tujuan dibentuknya taman nasional untuk menjaga keberadaan hutan agar tetap lestari direspon oleh sebagian besar responden dengan pernyataan sangat tidak setuju (34%) dan tidak setuju (18%), sedangkan respon setuju dan sangat setuju dilakukan oleh 23% dan 15% responden. Sebagian besar responden menyatakan sangat setuju (21%) dan setuju (19%) bahwa fungsi taman nasional adalah menjamin ketersediaan air, namun responden yang tidak sependapat juga cukup banyak (tidak setuju 31% dan sangat tidak setuju 7%). Hal ini karena dalam hal mendapatkan air untuk berbagai kebutuhan, responden menyatakan tidak merasa kesulitan sebelum kawasan menjadi TN. Pemahaman ini mungkin karena sejumlah masyarakat daerah penyangga memperoleh air bukan berasal dari kawasan TNGC, namun dari mata air yang ada di wilayah desa. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sejak timbulnya kerusakan pada kawasan TNGC karena semakin menyebarnya kebun kopi, sebagian masyarakat desa Seda sudah merasakan kesulitan air pada awal musim hujan karena keringnya mata air pada kawasan TNGC bagian atas (hasil wawancara dengan perangkat desa Seda 2011). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian LIPI (2006) yang menyatakan bahwa mata air kawasan TNGC sudah berkurang sebesar 36,28% (dari 430 titik menjadi 156 titik). Pemahaman reponden terhadap penyebab kerusakan kawasan TNGC yang sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan manusia dan karena adanya penggarapan lahan pertanian dalam kawasan, belum sepenuhnya dipahami. Sebagian besar responden menyatakan tidak setuju (34%) pada pernyataan pertama, dan pada pernyataan kedua sebagian besar responden (50%) menyatakan tidak setuju. Namun demikian sebagian besar responden telah memahami dan menyatakan setuju (42%) dan sangat setuju (14%) bahwa keberadaan tumbuhan dan satwa liar dalam kawasan TNGC berguna bagi manusia oleh karena itu harus dilestarikan, didukung oleh pernyataan sebagian besar responden (63%) bahwa sebelum menjadi taman nasionalpun menurut mereka
perburuan
terhadap
perlindungan terhadap kenyataannya
satwaliar
tidak
sering
tumbuhan dan satwaliar
responden
cukup
memahami,
terjadi.
dalam
bahkan
Dalam
hal
kawasan, pada masyarakat
desa
Karangsari pernah melaporkan kepada petugas ketika ada macan kumbang yang masuk ke ladang mereka. Demikian juga masyarakat desa Karangsari, Seda dan Pajambon tidak berusaha membunuh sekawanan babi hutan dan monyet
66
yang sering menjadi hama pada tanaman pertanian mereka. Cara mereka mengatasi hanya dengan mengadakan ronda malam pada ladang masingmasing.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arjunan et al. (2005) yang
membuktikan bahwa sekelompok masyarakat miskin, apakah menerima manfaat atau
tidak,
cenderung
untuk
mendukung
konservasi
harimau
karena
mengkonservasi satwa liar tidak berdampak terhadap mata pencahariannya. Baik masyarakat yang mampu atau miskin, hanya memiliki rasa khawatir terhadap konservasi hutan dalam kaitannya dengan ketergantungan mereka terhadap produk-produk hutan. Sebagian besar responden (50%) belum memahami mengenai manfaat taman nasional bagi pengembangan wisata, namun 40% responden dapat memahami bahwa udara sejuk dan bersih yang mereka rasakan merupakan salah 1 manfaat adanya hutan TNGC, serta 54% responden memahami bahwa hutan TNGC yang lestari juga dapat mencegah terjadinya erosi dan banjir. Tujuan dibuatnya peraturan perlindungan TNGC agar tidak menyebabkan meluasnya kerusakan kawasan TNGC belum secara baik dipahami masyarakat. Sebagian besar responden (61%) menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju. Demikian juga dengan pernyataan jika hutan lestari maka kehidupan masyarakat akan sejahtera, 80% responden menyatakan ketidaksetujuannya. Pernyataan ketidaksetujuan ini dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat tentang fungsi serta manfaat ekologis dan sosial dari TNGC. Berdasarkan pengalaman masyarakat dalam menggarap kawasan sebelum menjadi taman nasional, keberadaan kawasan hutan selalu dikaitkan dengan manfaat ekonomis yang dapat diperoleh secara langsung melalui kegiatan budidaya tanaman di dalam kawasan hutan. Aturan pengelolaan taman nasional yang berbeda dengan Perhutani yang menerapkan sistim Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dipandang merugikan masyarakat karena tertutupnya akses untuk menggarap lahan dalam kawasan taman nasional. Pembentukan TNGC sudah enam tahun berjalan, dan masyarakat masih belum dapat memahami dengan baik perbedaan fungsi dan aturan tersebut. Meskipun, terlepas dari siapa yang bersalah, fakta di lapangan membuktikan bahwa pengelolaan hutan dengan sistem PHBM pada kawasan lindung Gunung Ciremai selama lebih dari 11 tahun (sejak ditetapkan pada
tahun 2000, berdasarkan Keputusan Direksi Perum
Perhutani Nomor 1061/Kpts/Dir/2000,
Perhutani
menerapkan program baru
pengelolaan hutan yang diberi nama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat),
67
telah menyisakan kerusakan hutan yang mencapai luas 3.799,27 atau sebesar 42,54%. Secara umum responden ternyata kurang memahami fungsi dan manfaat TNGC (53,18%), dan hanya 34,64% responden dalam kategori memahami fungsi dan manfaat TNGC, sedangkan 13,08% sisanya ragu-ragu dalam memahami fungsi dan manfaat TNGC. Gambaran persepsi responden terhadap fungsi dan manfaat TNGC secara lengkap disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Persepsi responden terhadap fungsi dan manfaat TNGC Keterangan Notasi : 1. Tujuan dibentuknya taman nasional adalah untuk menjaga keberadaan hutan agar tetap lestari 2. Keberadaan taman nasional menjamin ketersediaan air yang terus menerus 3. Tumbuhan dan satwa liar yang ada dalam taman nasional berguna bagi umat manusia 4. Salah satu penyebab kerusakan hutan adalah penggarapan lahan menjadi lahan pertanian 5. Salah satu manfaat taman nasional adalah pengembangan wisata 6. Satwa dan tumbuhan yang berada dalam taman nasional dilindungi 7. Udara sejuk yang dirasakan adalah karena hutan yang lestari 8. Kerusakan yang dialami taman nasional sebagian besar akibat perbuatan manusia 9. Jika hutan lestari maka kehidupan masyarakat akan sejahtera 10. Bertanam sayur di lahan taman nasional tidak akan menyebabkan kerusakan hutan
4.2.3 Sikap Responden terhadap Konservasi TNGC Sikap (attitude) dapat dinyatakan melalui perasaan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju terhadap suatu benda/obyek/kejadian/ fenomena tertentu (Rosenberg 1960). Pernyataan responden terhadap pembentukan taman nasional sebagian besar (61%) menyatakan sangat tidak setuju dan tidak setuju, dan hanya 28% responden yang menyatakan sangat setuju dan setuju. Pendapat ini muncul karena setelah menjadi taman nasional, menurut sebagian besar responden (47%) mereka tidak mudah lagi dalam memperoleh kayu bakar dan pakan ternak, dan 58% tidak merasakan manfaat yang lebih besar sejak kawasan hutan menjadi taman nasional.
68
Dalam menyatakan sikapnya terhadap konservasi TNGC, responden sebagian besar tidak setuju bahwa semua gangguan seperti perburuan satwa, pencurian kayu/tanaman serta kebakaran hutan banyak terjadi sebelum kawasan menjadi TN, mereka tidak setuju bahwa saat ini hutan di taman nasional mengalami kerusakan yang parah dan semua itu diakibatkan oleh ulah manusia. Makna dari pernyataan sikap responden adalah bahwa meskipun kawasan hutan tidak menjadi TN, semua gangguan dan kerusakan tersebut tidak banyak terjadi. Sebagian besar responden (64%) setuju bahwa pendapatan mereka menurun setelah kawasan hutan dijadikan taman nasional. Hal ini karena sebagian besar responden pernah menggarap di dalam kawasan TNGC rata-rata lebih dari 10 tahun. Mata pencaharian masyarakat yang berasal dari aktivitas yang pertanian dalam kawasan, mampu menopang kebutuhan hidup masyarakat dari hasil bertani, buruh tani, ojek, pengepul, dan pekerjaan lainnya. Sehingga ketika masyarakat pada November 2010 tidak diperkenankan lagi menggarap di kawasan, cukup banyak masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya (terutama yang tidak memiliki lahan). Hal ini dipertegas dengan pernyataan responden yang sebagian besar (80%) sangat tidak setuju dan tidak setuju hukuman diterapkan kepada orang yang menggarap lahan taman nasional untuk bertani, namun sebagian besar (50%) sangat setuju dan setuju jika hukuman diberlakukan pada orang yang mencuri kayu/satwa di kawasan TN. Dalam hal mata pencaharian, ada satu sistim nilai yang dianut masyarakat. Mereka menyatakan bahwa ‘orang yang hidup dekat laut, akan bekerja dan mencari penghasilan di laut, dan orang yang hidup dan tinggal dekat hutan, bekerja dan mencari penghasilan dari hutan”.
Kalimat ini mencerminkan ketergantungan
yang besar terhadap kawasan hutan sebagai sumber mata pencaharian. Responden yang mengatakan bahwa kondisi hutan tidak mengalami kerusakan, tidak selalu bermakna bahwa fungsi hutan tersebut masih baik, namun dapat berarti bahwa masyarakat setempat masih dapat menggantungkan kehidupan sosial ekonominya akibat keberadaan hutan. Selama kegiatan tersebut masih dapat berlangsung tanpa hambatan, maka selama itu pula masyarakat akan menganggap kondisi hutan masih baik, terlepas dari seberapa besar penurunan fungsi tersebut dirasakan masyarakat. Masalahnya adalah tidak selalu masyarakat yang menyebabkan menurunnya fungsi hutan tersebut merasakan akibatnya. Seperti kasus di desa Cipulus (Majalengka), dimana kondisi hutannya sudah banyak terbuka karena menjadi lahan sayuran kentang
69
hingga ketinggian di atas 1.000 m dpl, masyarakat desa tidak merasakan kekurangan air, tapi justru desa-desa yang berada dibawahnya yang seringkali mengalami kesulitan air, padahal tidak ada 1pun penggarap kawasan TN berasal dari desa yang berada di bawah tersebut. Sikap positif masyarakat ditunjukkan dari respon sebagian besar responden (76%) yang merasa senang jika mendapatkan penyuluhan tentang manfaat dan fungsi taman nasional. Demikian juga 61% responden merasa yakin bahwa masyarakat mampu menjaga taman nasional dari gangguan pihak manapun. Hal ini dipertegas dengan sikap 36% responden yang setuju bahwa kebanyakan masyarakat yang tidak menjaga dan melindungi taman nasional karena mereka tidak tahu manfaat taman nasional. Sikap responden terhadap tujuan peraturan pengelolaan taman nasional bagi kelestarian hutan, memberikan respon yang hampir seimbang antara responden yang setuju (42%) dan tidak setuju (41%). Aturan pengelolaan taman nasional yang berbeda dengan Perhutani yang menerapkan sistim Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dipandang merugikan masyarakat karena tertutupnya akses untuk menggarap lahan dalam kawasan taman nasional. Pembentukan TNGC sudah enam tahun berjalan, dan masyarakat masih belum dapat menerima dengan baik perbedaan fungsi dan aturan tersebut.
Hal ini
dikarenakan kehadiran petugas TNGC belum mampu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang taman nasional, yang dibuktikan dengan jawaban responden yang sebagian besar (56%) menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju bahwa pemahaman tentang taman nasional diperoleh dari petugas Balai TNGC, serta tidak setuju (43%) dan sangat tidak setuju (5%) bahwa keberadaan petugas TNGC membantu masyarakat lebih paham taman nasional. Meskipun demikian sebagian besar responden (43%) setuju bahwa perlindungan kawasan taman nasional merupakan tanggung jawab petugas dan masyarakat. Namun dalam hal sikapnya jika diminta untuk berpartisipasi terhadap perlindungan kawasan TNGC, 49% responden menyatakan tidak setuju. Artinya bahwa kepedulian responden dalam melindungi kawasan taman nasional merupakan potensi yang dapat dikembangkan melalui peran aktif petugas dalam mensosialisasikan fungsi dan manfaat taman nasional secara lebih komprehensif, tidak hanya sebatas sosialisasi aturan dan larangan (berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dusun Palutungan desa Cisantana, Januari 2011).
70
Dalam kaitannya dengan pentingnya pemahaman masyarakat terhadap konservasi TNGC, hasil penelitian Oakley (1991) dalam Daoutopoulos and Pyrovetsy (1999) menemukan bahwa ternyata ada sebuah asumsi umum dari pemerintah yang menyatakan masyarakat desa sama sekali tidak memahami issu yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya alam dan oleh karena itu tidak dapat dipercayakan terhadap tanggung jawab tersebut. Asumsi
ini
tentu
saja
keliru,
keterbukaan
terhadap
berbagai
permasalahan lingkungan, termasuk masalah kerusakan yang terjadi di taman nasional,
apalagi
menyangkut
tempat
hidup
masyarakat
desa
harus
dikomunikasikan secara adil kepada masyarakat. Adil dalam arti, bahwa semua faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan diungkapkan secara terbuka, tidak dimaksudkan untuk menyudutkan pihak manapun (seperti yang sering dikeluhkan oleh masyarakat Desa contoh), dan berupaya mencari akar permasalahan dan solusi pemecahan. Pada dasarnya masyarakat dapat diberikan tanggung jawab untuk dapat mengatasi permasalahan tersebut bersama-sama dengan pihak manapun. Daoutopoulos, G, and Pyrovetsy, M. (1999) telah membuktikan melalui penelitiannya bahwa untuk mencapai kelestarian lingkungan, penting bagi para pembuat keputusan konservasi dan pegawai untuk mendapatkan informasi kepedulian petani terhadap isu-isu lingkungan, mengembangkannya jika perlu, dan menjadikan petani sebagai kunci penting dalam agenda konservasi. Sesuai dengan apa yang dikemukakan Walgito (2003) bahwa sikap seseorang terhadap obyek sikap, dipengaruhi oleh pengalaman langsung orang tersebut dengan obyek sikap tersebut. Orang akan bersikap negatif atau positif terhadap obyek sikap atas dasar pengalamannya. Secara umum sikap responden terhadap TNGC dalam kategori kurang mendukung (49,94%), kategori mendukung sebesar 36,19% dan 13,88% dalam kategori ragu-ragu untuk menyatakan apakah mendukung atau tidak mendukung terhadap konservasi TNGC. Gambaran pemetaan sikap responden terhadap konservasi TNGC disajikan pada Gambar 10.
71
Persentase Responden
Gambar 10 Sikap responden terhadap konservasi TNGC Keterangan Notasi : 1. Saya senang kawasan hutan dijadikan taman nasional 2. Saya menjadi mudah memperoleh kebutuhan kayu bakar dan pakan ternak sejak kawasan hutan menjadi taman nasional 3. Saya merasa kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sebelum kawasan hutan menjadi taman nasional 4. Saya merasakan manfaat yang lebih besar sejak kawasan hutan menjadi taman nasional 5. Mengambil kayu atau hasil hutan bukan kayu di dalam hutan tidak akan menimbulkan kerusakan hutan 6. Saya senang kawasan hutan menjadi taman nasional karena satwa liar menjadi terlindungi 7. Pendapatan masyarakat menjadi menurun setelah kawasan hutan menjadi taman nasional 8. Saya senang mendapatkan penyuluhan mengenai fungsi dan manfaat taman nasional 9. Hukuman perlu diterapkan kepada orang yang menggarap lahan taman nasional untuk bertani sayur 10. Perlindungan terhadap taman nasional merupakan kewajiban petugas dan masyarakat 11. Saya yakin masyarakat mampu menjaga agar taman nasional tidak mendapat gangguan dari pihak manapun 12. Peraturan dalam konservasi taman nasional dibuat agar hutan tetap terjaga 13. Saya senang jika diminta partisipasi untuk menjaga dan melindungi taman nasional 14. Pemahaman tentang taman nasional diperoleh dari petugas Balai Taman Nasional Gunung Ciremai 15. Keberadaan petugas taman nasional membantu masyarakat lebih paham taman nasional 16. Kebanyakan masyarakat yang tidak menjaga dan melindungi taman nasional karena mereka tidak tahu manfaat taman nasional
4.2.4 Perilaku Responden dalam Konservasi TNGC Perilaku manusia pada dasarnya didorong oleh motif tertentu sehingga manusia itu berperilaku. Dorongan ini berkaitan dengan kebutuhan manusia tersebut. Bila manusia itu mempunyai kebutuhan dan ingin memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi ketegangan dalam diri manusia tersebut. Bila manusia berperilaku dan dapat memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi pengurangan atau reduksi dari dorongan-dorongan tersebut (Crider 1983 dalam Walgito 2003). Oleh karena itu memahami dorongan atau motif masyarakat dalam berperilaku terhadap konservasi TNGC menjadi penting, selain memahami sikap. Secara umum sikap responden kurang mendukung terhadap konservasi TNGC. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap
72
fungsi dan manfaat kawasan taman nasional, meskipun cukup memahami dampak dari kerusakan hutan. Sikap yang kurang mendukung tersebut berdampak terhadap perilaku masyarakat dalam perlindungan kawasan TNGC. Perilaku responden secara nyata dapat diwujudkan melalui partisipasinya dalam kegiatan perlindungan kawasan TNGC. Hasil pengamatan di lapangan terhadap perilaku
nyata
masyarakat,
akan
dapat
memperkuat
pernyataan
yang
diungkapkan oleh responden melalui kuesioner. Hasil analisis terhadap perilaku responden, diuraikan sebagai berikut; Hasil penilaian terhadap perilaku responden menunjukkan bahwa sebagian besar (69%) responden tidak melakukan kembali penggarapan dalam kawasan, namun ada 11% responden yang menjawab menggarap kembali. Penggalian lebih mendalam terhadap 11% responden tersebut berhasil menemukan jawaban, bahwa maksud sesungguhnya dari menggarap kembali menurut responden adalah masih dilakukannya kegiatan memanen kopi dari dalam kawasan meskipun tidak lagi mengelola, memelihara dan meremajakan kembali tanaman tersebut. Jika yang dimaksud menggarap kembali adalah memanen kopi dan atau hasil lainnya tanpa memelihara atau memperluas kegiatan budidaya, maka kegiatan ini masih diijinkan oleh pihak Balai TNGC. Meskipun sikap responden sebagian besar kurang mendukung terhadap keberadaan TNGC, namun langkah hukum yang harus ditempuh jika ada masyarakat yang melanggar aturan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional, khususnya kegiatan penggarapan lahan di dalam kawasan TNGC membuat masyarakat takut akan resiko yang harus diterima. Hal tersebut terungkap dari jawaban masyarakat yang merasa takut resiko hukuman penjara jika melanggar aturan. Perilaku sadar hukum dari masyarakat ini menjadi bagian yang harus dihargai dan didukung melalui pendekatan yang lebih baik tanpa harus menakutnakuti, sehingga masyarakat tidak melakukan pelanggaran bukan karena rasa takut, tapi karena kesadaran akan dampak kerusakan yang akan timbul. Perilaku positif yang ditunjukkan oleh responden meskipun dalam persentase kecil adalah 16% pernah melaporkan pihak-pihak yang melakukan pencurian kayu dan hasil hutan lainnya kepada petugas Balai TNGC, serta 18% responden ikut berpartisipasi ketika ada gangguan terhadap taman nasional, seperti kebakaran hutan yang hampir terjadi setiap tahun serta penangkapan terhadap satwa liar yang keluar dari kawasan. Sebagian besar responden (23%) pernah ikut menjelaskan arti penting taman nasional kepada masyarakat lain
73
yang belum paham. Dalam hal partisipasi terhadap kegiatan penanaman pohon di dalam kawasan, sebanyak 58% responden menyatakan tidak pernah berpartisipasi. Demikian juga dalam hal partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pengamanan kawasan, sebagian besar responden (62%) mengaku tidak pernah membantu kegiatan patroli. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Konservasi Wilayah Kuningan, pada saat terjadi kebakaran hutan kawasan TNGC Agustus 2011, masyarakat di sekitar lokasi kebakaran tidak berusaha membantu petugas untuk memadamkan api. Mereka hanya menyelamatkan ladangnya masing-masing dari rambatan api. Bantuan pemadaman hanya dilakukan oleh beberapa anggota masyarakat yang tergabung dalam Manggala Agni yang telah terbentuk sebelumnya, dengan fasilitas dan biaya operasional yang sudah dianggarkan oleh Balai TNGC. Masalah penggarapan lahan dalam kawasan sampai saat ini masih sering menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat. Harapan masyarakat untuk dapat kembali menggarap lahan di kawasan TNGC selalu disampaikan ketika mengadakan pertemuan. Pernah terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh bekas penggarap kawasan TNGC (dusun Palutungan Desa Cisantana) menuntut adanya kompensasi bantuan bagi mereka yang tidak lagi menggarap di dalam kawasan TNGC (Hasil wawancara dengan Petugas TNGC 2011). Salah satu bentuk demonstrasi tersebut adalah dengan memblokir jalan menuju lokasi ekowisata yang melalui jalan kampung mereka. Sejak tidak lagi menggarap kawasan TNGC, sumber pendapatan masyarakat desa Cisantana menurun drastis dari rata-rata per bulan Rp. 2.039.858,00 (pendapatan dari menggarap lahan TNGC untuk budidaya sayuran sebesar Rp. 1.324.879,00, ditambah pendapatan dari usaha lain sebesar Rp. 714.979,00), menjadi hanya Rp. 714.979,00 atau mengalami penurunan sebesar 65%. Sulit bagi masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya ketika pendapatan yang tersisa hanya 35%, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan dan hanya mengandalkan garapan dari kawasan TNGC. Pendekatan persuasif yang telah dilakukan oleh pihak Balai TNGC adalah dengan memberikan bantuan berupa ternak domba sebanyak 26 ekor betina dan dua ekor jantan kepada masyarakat yang diprioritaskan bagi mereka yang tidak memiliki lahan, serta melibatkan masyarakat dalam kegiatan ekowisata. Meskipun penambahan pendapatan dari kegiatan ekowisata ini lebih kecil dari pendapatan pada saat menggarap di
74
kawasan, namun manfaat keberadaan TNGC dapat tetap dirasakan, sehingga dapat meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap manfaat TNGC. Pada dasarnya motif yang mendasari sikap dan perilaku masyarakat dusun Palutungan adalah kebutuhan yang masih dalam taraf pemenuhan kebutuhan fisiologis yang berupa pangan, sandang dan papan. Menurut Siagian (2004) banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berperilaku negatif, selain karateristik individu seperti usia, status perkawinan, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, juga latar belakang sosial, kepribadian, nilai-nilai yang dianut, persepsi mengenai kehidupan dalam lingkungannya dan motivasi dalam melakukan sesuatu. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memahaminya adalah dengan menganalisis kebutuhan manusia yang beranekaragam. Haeruman (1982) dan Sugandhy (1995) berpendapat bahwa sikap yang baik ternyata belum cukup untuk mempengaruhi perilaku atau menjadi motivasi yang dapat melahirkan tindakan nyata dalam usaha perbaikan lingkungan. Meskipun sikap masyarakat tentang pentingnya memelihara lingkungan semakin meningkat, namun sikap untuk berbuat sesuatu untuk mencegah perusakan lingkungan masih merupakan kelemahan utama. Jika dikaitkan dengan hasil penelitian ini, maka pernyataan tersebut patut menjadi perhatian, jika sikap yang baik saja belum tentu melahirkan tindakan nyata yang sadar lingkungan, apalagi sikap yang kurang mendukung, tindakan nyata dari masyarakat yang diharapkan terhadap konservasi TNGC tentu masih jauh dari harapan. Namun potensi masyarakat untuk dapat ditingkatkan mengenai pemahaman, sikap positif dan partisipasinya terhadap konservasi TNGC sangat dimungkinkan, karena masyarakat daerah penyangga wilayah Kabupaten Kuningan adalah masyarakat yang agamis dan menjunjung tinggi norma agama dan sosial. Secara umum perilaku responden dalam kategori kurang berpartisipasi (47,67%), dalam kategori berpartisipasi dalam perlindungan TNGC (34,83%), dan selebihnya 17,5% tidak menunjukkan kedua perilaku tersebut. Gambaran pemetaan partisipasi responden dalam perlindungan kawasan TNGC secara lengkap disajikan pada Gambar 11.
75
Persentase Responden
Gambar 11 Perilaku responden dalam konservasi TNGC Keterangan Notasi : 1. Melakukan kembali penggarapan lahan pertanian di kawasan taman nasional 2. Membantu petugas melaporkan pihak-pihak yang melakukan pencurian kayu atau hasil hutan lainnya 3. Ikut membantu petugas dalam kegiatan pemadaman kebakaran dan penangkapan satwa liar yang keluar 4. Berpartisipasi dalam kegiatan gerhan di dalam kawasan TNGC 5. Membantu menjelaskan arti penting taman nasional kepada masyarakat lain yang belum paham 6. Ikut membantu melakukan patroli pengamanan terhadap kawasan taman nasional
Berdasarkan analisis sikap dan perilaku responden terhadap konservasi TNGC, dapat disimpulkan bahwa secara umum masyarakat cukup memahami bahwa kerusakan terhadap kawasan TNGC dapat memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan yang ada di dalam dan di luar kawasan hutan, namun responden sebagian besar kurang memahami mengenai fungsi dan manfaat kawasan TNGC. Pemahaman terhadap manfaat tidak langsung dari kawasan penting untuk selalu dikomunikasikan kepada masyarakat, karena telah dipersepsikan secara keliru oleh responden. Pemahaman yang kurang terhadap arti penting kawasan ternyata menumbuhkan sikap yang kurang mendukung terhadap konservasi TNGC. Hal ini ternyata sangat berdampak terhadap perilaku responden yang kurang berpartisipasi terhadap perlindungan kawasan TNGC, atau responden akan berpartisipasi jika ada kompensasi berupa upah kerja. Beberapa anggota masyarakat sudah terbiasa untuk menerima upah dalam melakukan kegiatan restorasi dari Balai TNGC, kegiatan rehabilitasi dari Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, serta kegiatan patroli yang dilakukan Balai TNGC. Kegiatan yang bersifat keproyekan seringkali membuat masyarakat menjadi kurang mandiri, karena sebagian besar mereka berpartisipasi jika ada imbalan. Hal ini mendukung pernyataan De Janvry dan Sadoulet (2001) berdasarkan hasil penelitiannya terhadap pola-pola deforestrasi di Mexico,
76
menemukan bahwa konservasi hutan justru berhasil sebagian besar pada masyarakat tanpa proyek kehutanan komersil. 4.3 Analisis Permasalahan Konservasi TNGC Usaha melestarikan lingkungan seringkali menjadi masalah dalam pembangunan karena terjadi konflik kepentingan antara kepentingan sosial ekonomi dengan manfaat ekologi. Demikian juga yang terjadi dalam upaya konservasi
Taman
Nasional
Gunung
Ciremai
(TNGC).
Ketergantungan
masyarakat terhadap sumberdaya pada kawasan TNGC telah menimbulkan berbagai kerusakan pada kawasan. Oleh karena itu berdasarkan kondisi potensi TNGC dan daerah penyangga, kondisi sosial ekonomi dan sikap masyarakat terhadap konservasi TNGC serta peran stakeholder, maka dapat dianalisis mengenai seberapa jauh permasalahan yang terjadi dalam upaya konservasi TNGC, yang dapat diuraikan sebagai berikut; 4.3.1 Kondisi Kerusakan TNGC Kerusakan
hutan
pada
TNGC
sudah
sangat
mengkhawatirkan.
Penggarapan lahan oleh masyarakat sejak masih berfungsi sebagai kawasan hutan produksi, kemudian menjadi hutan lindung gunung ciremai hingga menjadi kawasan taman nasional yang sudah berlangsung hampir 10 tahun (2001 sampai 2011), telah menyisakan berbagai kerusakan pada kawasan. Kerusakan tersebut berupa berkurangnya luas penutupan hutan sejak awal ditetapkan menjadi taman nasional pada tahun 2004 yaitu seluas kurang lebih 15.500 ha. Sugandhy (1999) menyatakan bahwa kerusakan hutan dapat diindikasikan secara kuantitatif dengan penyusutan luas kawasan hutan. Kondisi Penutupan Hutan TNGC pada tahun 1996, 2000, 2003, 2006, berdasarkan penafsiran citra landsat dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32
Kondisi luas penutupan lahan kawasan TNGC
No
Peta tahun
Hutan lahan kering primer (ha)
1 2
1996 2000
6.820,68 tad
Hutan lahan kering sekunder (ha) tad 11.719,83
Hutan tanaman industri
Pertanian lahan kering (ha)
Pertanian lahan kering+ semak
Sawah (ha)
tad
8679,32 1.205,61
tad 1.305,49
tad 977,27
1.35,85 3 2003 1.370,79 3.501,15 3.422,92 1.098,39 1.870,45 232,88 4 2006 1.343,23 3.647,37 6.762,82 1.131,14 1.886,77 245,78 Sumber: Data diolah berdasarkan hasil interpretasi citra landsat (Badan Planologi Kehutanan) Keterangan: t a d = tidak ada data yang dapat diinterpretasikan
Semak belukar+ tanah terbuka (ha) tad tad 2.153,41 435,44
Pemukiman (ha) tad tad 43,40 47,47
77
Tabel 32 memperlihatkan pengurangan luas hutan primer dari sekitar 44% dari luas 15.500 ha pada tahun 1996, menjadi sekitar 8,67% pada tahun 2006. Peningkatan luas hutan tanaman industri meningkat sebesar 0,88% (tahun 2000) menjadi 43,63% (tahun 2006). Hutan tanaman industri dalam interpretasi peta ini yaitu tutupan pohon yang relatif seragam jenis maupun umur. Jenis pohon yang ditanam oleh Perhutani pada wilayah ini adalah pinus. Luas pertanian lahan kering meningkat dari 16,20% (200) menjadi 19,47% (2006). Ini berarti luas penutupan hutan menjadi semakin berkurang.
Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (1996-2006) luas penutupan hutan (primer, sekunder, hutan tanaman) mengalami fluktuasi berturut-turut 44%, 76,49%, 53,52% dan 75,83%. Sementara luas lahan non hutan (pertanian lahan kering, sawah, semak belukar, tanah kosong dan pemukiman) berturut-turut 56%, 22,51%, meskipun mengalami fuktuasi, namun tetap memiliki persentase yang cukup besar. Padahal sejak tahun 2004 kawasan ini telah berubah menjadi taman nasional, aktifitas pertanian dalam kawasan seharusnya sudah tidak ada. Secara umum pengurangan luas penutupan hutan terjadi pada seluruh kawasan TNGC. Sebagai gambaran adanya penurunan luas penutupan hutan pada tahun 1996 dan 2006 dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Luas hutan primer wilayah TNGC pada tahun 1996 dan tahun 2006 Gambar 12 memperlihatkan warna hijau tua pada peta sebelah kanan (tahun 2006) menunjukkan hutan primer yang mengalami penyusutan sekitar 35,33% dibanding tahun 1996 pada peta sebelah kiri. Sementara itu luas penutupan hutan TNGC wilayah Kabupaten Kuningan hanya merupakan perkiraan melalui penafsiran citra landsat untuk wilayah
78
Kabupaten Kuningan, karena dalam pemecahan citra landsat, yang paling kecil adalah dalam wilayah provinsi. Luas penutupan hutan TNGC wilayah Kabupaten Kuningan pada saat penetapan adalah seluas 8.931,27 ha. Berdasarkan citra landsat tahun 2009, luas penutupan hutan kawasan TNGC adalah 4.422 ha, atau sekitar 54,14% dan selebihnya adalah berbentuk kebun campuran, sawah, semak, tanah kosong dan ladang yang mencapai luas 26,86%. Data pada Balai TNGC pada tahun 2010, menunjukan luas penutupan hutan adalah sekitar 5.132,00 ha, artinya telah terjadi kerusakan pada kawasan hutan TNGC seluas 3.799,27 atau sebesar 42,54%. Gambar 10 memperlihatkan kondisi penutupan lahan pada kawasan TNGC tahun 2009.
Warna hijau tua menunjukkan hutan alam, hijau muda
adalah hutan lahan kering, coklat muda adalah ladang dan abu-abu merupakan kebun campuran.
Gambar 13 Peta penutupan hutan TNGC berdasarkan citra landsat tahun 2009 Penggarapan lahan menjadi ladang pertanian ini telah mencapai ketinggian 1.800 meter dpl. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak
79
mungkin dalam beberapa tahun kedepan, luas hutan alam akan semakin habis. Akibat yang paling terasa adalah telah berkurangnya sumber mata air dari dari 430 titik menjadi 156 titik (LIPI, 2006), padahal ketersediaan air merupakan faktor yang sangat penting bagi usaha pertanian masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Faktor lain yang menyebabkan kerusakan pada kawasan TNGC adalah kebakaran hutan dalam kawasan TNGC, biasanya terjadi pada saat musim kemarau, antara bulan Juni hingga Oktober. Kebakaran hutan kawasan TNGC terjadi mulai tahun 2006 hingga tahun 2009 dengan masing-masing luasan kebakaran yaitu 2.200 ha, 415 ha, 474 ha dan 710 ha. Data terakhir kebakaran hutan pada bulan Februari 2012 adalah sekitar 427 ha. Hal ini disebabkan oleh kurangnya/terbatasnya dukungan sistem pengendalian kebakaran, personel, sarana dan prasarana yang memadai serta pemahaman masyarakat akan pentingnya kelestarian kawasan konservasi TNGC. Demikian juga dengan pencurian kayu yang masih ditemukan di beberapa tempat. Perburuan satwa liar terjadi di beberapa desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGC yang mengakibatkan belum terjaminnya kelestarian satwa liar. Salah satu sebab terjadinya perburuan liar adalah adanya gangguan terhadap lahan milik masyarakat oleh beberapa satwa liar seperti babi hutan akibat kondisi habitat di dalam kawasan TNGC yang mengalami gangguan. Identifikasi terhadap peta daerah penyangga TNGC (pada Bab Metode Penelitian) menunjukkan daerah berwarna merah merupakan zona inti TNGC, kuning merupakan zona rimba, biru merupakan zona rehabilitasi, zona pemanfaatan digambarkan dengan warna hijau, serta wilayah berwarna merah muda yang mengelilingi kawasan TNGC merupakan daerah penyangga TNGC yang merupakan wilayah administratif desa yang berjumlah 45 desa. Dari peta tersebut terlihat bahwa hampir separuh luas kawasan TNGC adalah areal yang harus direhabilitasi yaitu sekitar 4.487,95 ha (rencana rehabilitasi pada kawasan TNGC 2012). Zona ini sebagian besar adalah areal bekas penggarapan lahan oleh masyarakat. Luasan ini bermakna kerusakan yang sudah sedemikian parah, dan harus mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak. Permasalahan lain yang dihadapi dalam upaya konservasi TNGC adalah pada wilayah Kabupaten Kuningan rekontruksi pal batas baru akan dilaksanakan oleh BPKH pada tahun 2012, tetapi berdasarkan kegiatan investigasi dan patroli rutin oleh pihak Balai TNGC, di beberapa kawasan TNGC telah terjadi
80
pemindahan pal batas dan juga kepemilikan lahan oleh pemerintah desa yang telah disertifikatkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pada wilayah Majalengka, rekonstruksi pal batas di SPTN Wilayah II Majalengka sudah dilakukan oleh BPKH sepanjang 94.747 m dengan jumlah pal batas sebanyak 1.615 buah pada tahun 2006. Namun kepastian hukum tentang batas kawasan TNGC di SPTN Wilayah II Majalengka berdasarkan hasil kegiatan patroli tata batas yang dilaksanakan belum clear and clean karena ada 17 (tujuh belas) pal batas yang belum terpasang akibat terjadi tumpang tindih kepemilikan lahan antara Balai TNGC dengan masyarakat. Penataan batas kawasan TNGC yang belum secara keseluruhan dilaksanakan berdampak terhadap proses penataan zonasi yang merupakan acuan dalam pengelolaan kawasan TNGC. Pada saat ini pengelolaan TNGC berjalan berdasarkan pada peta zonasi indikatif. Hal ini berpengaruh terhadap pengelolaan yang belum dapat dilaksanakan secara maksimal. 4.3.2 Kondisi Pengelolaan Daerah Penyangga TNGC Sebelum menganalisis mengenai kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat di daerah penyangga TNGC, maka perlu terlebih dahulu diketahui bagaimana kondisi daerah penyangga TNGC sejak ditetapkannya kawasan hutan Gunung Ciremai yang semula dikelola oleh Perum Perhutani menjadi taman nasional. Informasi ini penting sebagai dasar dalam menganalisis kondisi sosial ekonomi masyarakat dan peran stakeholders yang terlibat dalam proses pengembangan daerah penyangga. Hal ini berkaitan dengan kebijakan peruntukan pemanfaatan ruang bagi berbagai kegiatan pembangunan yang akan dilakukan oleh stakeholder dan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sampai saat ini pengelolaan Daerah penyangga TNGC masih dalam tahap pembahasan di tingkat Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten belum secara jelas disebutkan dan ditetapkan mengenai daerah penyangga TNGC, hanya ada penentuan tiga kawasan strategis yaitu kawasan strategis yang berkaitan dengan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, kawasan strategis yang memiliki kepentingan sosial ekonomi dan kawasan strategis bidang pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi (Bappeda Kabupaten Kuningan 2010).
81
Belum
adanya
kekuatan
hukum
penetapan
daerah
penyangga
menyebabkan lemahnya legitimasi (pengakuan) daerah penyangga oleh stakeholder. Demikian pula organisasi pengelolaan daerah penyangga TNGC seperti yang diatur dalam Surat Edaran Mendagri No. 660.1/269/V/Bangda tahun 1999 tentang Pengelolaan Daerah Penyangga, sampai saat ini belum terbentuk. Program-program yang dilaksanakan oleh stakeholder pada daerah penyangga bersifat sektoral. Pemerintah daerah kabupaten, melalui dinas-dinas teknis terkait belum secara khusus merancang dan melaksanakan program pengembangan daerah penyangga TNGC, sehingga
tidak ada perbedaan
perlakuan antara masyarakat yang tinggal di daerah penyangga TNGC dan masyarakat yang tinggal di luar daerah penyangga TNGC. Demikian pula stakeholder lain seperti dunia usaha dan LSM belum menunjukkan peranannya yang signifikan dalam pengembangan daerah penyangga TNGC. Program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh stakeholder di daerah penyangga
belum
bersinergi sehingga kurang memberikan manfaat bagi peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Beberapa faktor yang menjadi penyebab belum efektifnya implementasi kebijakan di bidang pengelolaan daerah penyangga taman nasional adalah : 1)
Belum adanya Keputusan Menteri yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari PP, seperti dimaksud PP No. 28 tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
2)
Instruksi dan Surat Edaran Mendagri No. 660.1/269/V/Bangda tahun 1999 tentang Pengelolaan Daerah Penyangga, belum ditindaklanjuti dengan penyusunan peraturan terkait di tingkat daerah.
3)
Kurangnya pemahaman aparat pemerintah daerah terhadap pentingnya pengelolaan daerah penyangga taman nasional, hal ini diindikasikan dengan kurangnya program pemerintah serta kurangnya kontinyuitas dari program yang diimplementasikan oleh stakeholder pada masyarakat daerah penyangga.
4)
Lemahnya koordinasi antara pengelola taman nasional dengan pemerintah daerah dalam hal pengelolaan daerah penyangga. Pemberian program yang overlap menjadi salah satu indikator kurangnya koordinasi.
82
4.3.3 Permasalahan Sosial Ekonomi dan Sikap Masyarakat Setelah Balai TNGC melakukan penertiban terhadap masyarakat yang menggarap lahan dalam
kawasan konservasi pada tahun 2009 yang
mendapatkan dukungan dari Bupati Kuningan melalui Instruksi Bupati Kuningan Nomor 3 Tahun 2009 tentang Penertiban Penggunaan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) sebagai Lahan Pertanian dan Perkebunan, maka sekitar 2.331 orang penggarap (1.654 KK) pada bulan November 2010 telah menghentikan aktifitasnya dari kawasan TNGC tanpa menimbulkan gejolak yang besar di lapangan seperti yang biasa terjadi di lokasi lain. Jumlah bekas penggarap kawasan TNGC pada masing-masing desa di daerah penyangga TNGC wilayah Kabupaten Kuningan disajikan pada lampiran 1. Penurunan
penggarap ini
membawa
konsekuensi
hilangnya
mata
pencaharian masyarakat dari hasil menggarap lahan dalam kawasan TNGC yang rata-rata telah lebih dari sepuluh tahun menghidupi masyarakat. Untuk selanjutnya, aktifitas masyarakat yang berkaitan dengan mata pencaharian, pada kasus Desa contoh, yaitu; 1) bagi masyarakat yang memiliki lahan, dan sebelumnya tidak menggarap lahan miliknya, maka aktifitas pertanian beralih pada lahan milik. Jika lahan miliknya termasuk kategori sempit (dibawah 0,250 ha) maka untuk mencukupi kebutuhan masyarakat mencari alternatif pekerjaan lain, yaitu sebagai buruh tani atau pedagang pengepul (bandar) dan migrasi ke Jakarta, Cirebon, dan kota lainnya 2) masyarakat yang tidak memiliki lahan, alternatif pekerjaan lain adalah menyewa lahan (bagi yang memiliki modal) atau menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil, menjadi buruh tani, dan migrasi keluar daerah, 3) bagi masyarakat yang memiliki lahan cukup luas (diatas 0,50 ha) maka akan menggarap lahannya lebih intensif, yang selama ini tidak digarap atau disewakan, 4) bagi masyarakat yang sebelumnya telah bekerja di ekowisata sambil menggarap lahan dalam kawasan TNGC, setelah penggarapan lahan dalam kawasan ditinggalkan, maka mereka lebih fokus bekerja di ekowisata, sebagai pengelola dan atau membuka usaha warung makanan. Beberapa masyarakat bekas penggarap mendapat kesempatan bekerja di ekowisata yaitu sebagai pengelola penitipan kendaraan, pedagang dan usaha . lainnya, namun jumlahnya hanya sekitar lima persen dari sekitar 693 orang bekas penggarap yang berasal dari Desa contoh, seperti tersaji pada Tabel 33.
83
Tabel 33
Jumlah masyarakat bekas penggarap kawasan TNGC pada Desa contoh
No 1 2 3 4 5
Desa Jumlah penggarap (Orang) Karangsari 50 Cisantana 260 Pajambon 20 Maniskidul Tidak ada Seda 363 Jumlah 693 Sumber: Balai TNGC 2010
KK 45 189 15 Tidak ada 204 453
Persentase (%) 7,22 37,52 2,89 Tidak ada 52,38
Jumlah yang mendapat kesempatan kerja ini tidak sebanding dengan sekitar 658 orang yang harus berjuang untuk mendapatkan kembali mata pencaharian lain, terutama bagi Desa Seda dan Desa Cisantana yang memiliki jumlah bekas penggarap terbanyak. Belum lagi jumlah angkatan kerja di Desa contoh yang terus bertambah, menjadi pesaing dalam mengisi peluang kerja yang tersedia. Kekhawatirannya adalah, masyarakat kembali menggarap lahan kawasan TNGC, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi untuk melakukan aktifitas budidaya tanaman pada lahan TNGC karena adanya tekanan pemenuhan kebutuhan hidup. Apalagi berdasarkan hasil analisis sikap konservasi, responden cenderung ingin kembali menggarap kawasan TNGC karena kesulitan mendapat alternatif pekerjaan lain. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat menurut Maslow adalah dimulai dari kebutuhan fisiologis yang berupa pangan, sandang dan papan. Sebagai kasus, sejak tidak lagi menggarap kawasan TNGC, sumber pendapatan masyarakat desa Cisantana menurun drastis dari rata-rata per bulan Rp 2.039.858,00
(pendapatan
dari
menggarap
lahan
TNGC
sebesar
Rp
1.324.879,00, ditambah pendapatan dari usaha lain sebesar Rp 714.979,00), menjadi hanya Rp 714.979,00 atau mengalami penurunan sebesar 65%. Sulit bagi masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup ketika pendapatan yang tersisa hanya 35%, terutama bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan dan hanya mengandalkan garapan dari kawasan TNGC. Pada saat ini rata-rata pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor ekowisata adalah sebesar Rp 6.955.014 per tahun atau sekitar Rp 579.584 per bulan, dan merupakan 41% dari total pendapatan rata-rata per KK per bulan sebesar Rp 1.410.550. Pengeluaran masyarakat rata-rata per kapita per bulan untuk biaya hidup adalah sebesar Rp 302.742,27, untuk biaya pendidikan sebesar Rp 20.615,77 serta biaya kesehatan sebesar Rp 6.130,65, dengan total
84
pengeluaran sebesar Rp. 329.488,69 per kapita perbulan. Proporsi biaya untuk pendidikan sangat minim, hanya sekitar 6,26% per bulan, sedangkan untuk kesehatan sekitar 1,96%. Sebagian besar responden hanya menyekolahkan anaknya hingga tamat sekolah dasar yang terdapat di desa tersebut. Sekolah setingkat SLTP tidak terdapat di desa Cisantana dan Pajambon, sehingga ketika harus mengeluarkan biaya sekolah dan biaya transportasi yang cukup mahal ke SLTP terdekat (karena harus menggunakan ojek), responden memilih untuk tidak melanjutkan menyekolahkan anaknya karena kekurangan biaya. Demikian juga jika sakit, responden cukup mengkonsumsi obat-obatan yang dibeli di warung. Pergi ke dokter merupakan alternatif terakhir jika sakit yang diderita sudah mengganggu aktifitas kerja. Sebagian besar porsi pengeluaran adalah untuk kebutuhan pangan. Rata-rata pendapatan responden masyarakat di tiga Desa contoh yang bekerja di agroforestri per kapita per bulan, yaitu Rp. 638.281,28, dimana nilai ini lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebesar Rp. 700.000 per bulan. Kontribusi pendapatan dari agroforestri sebesar Rp. 359.261,35 atau sebesar 56,29% dari total pendapatan, sedangkan pendapatan lain sebesar 43,71% diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh tani, pengepul hasil agroforestri, berdagang, pensiunan, dan usaha lainnya. Dari hasil perhitungan, diperoleh ratarata pengeluaran per kapita per bulan masyarakat sebesar Rp. 564.044,83. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pendapatan masyarakat belum mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan standar yang layak, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan. Hal ini terlihat dari pola makan keluarga, minimnya jumlah anak-anak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (lebih tinggi dari SLTP) serta pengobatan yang sederhana jika menderita sakit. Kebanyakan petani agroforestri di Desa contoh adalah petani tradisional, dimana penggunaan teknologi dalam sistim agroforestri belum diterapkan, sehingga seluruh pekerjaan dilakukan dengan mengandalkan tenaga kerja manusia, terutama dengan melibatkan tenaga kerja keluarga. Ketika anak sudah lulus sekolah dasar, bagi petani dengan tingkat kepemilikan lahan rendah, maka anak sudah diandalkan untuk membantu bekerja di lahan milik atau menjadi buruh tani terutama pada saat panen. Hasil penelitian terhadap responden masyarakat yang bekerja di ekowisata dan agroforestri membuktikan bahwa rata-rata pendapatan responden masyarakat masih rendah (dibawah UMK Rp 700.000 per bulan). Sehingga
85
dikhawatirkan masyarakat akan memiliki keinginan untuk kembali menggarap kawasan TNGC. Apalagi jika melihat sikap masyarakat yang sebagian besar (64%) responden setuju bahwa pendapatan mereka menurun setelah kawasan hutan dijadikan taman nasional. Hal ini karena sebagian besar responden pernah menggarap di dalam kawasan TNGC rata-rata lebih dari 10 tahun. Dari hasil analisis sikap masyarakat terbukti bahwa sebagian besar (53,18%) masyarakat kurang memahami mengenai fungsi dan manfaat taman nasional sehingga hal ini menyebabkan kurangnya dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap konservasi TNGC. Mata pencaharian masyarakat yang berasal dari aktivitas pertanian dalam kawasan, mampu menopang kebutuhan hidup masyarakat dari hasil bertani, buruh tani, ojek, pengepul, dan pekerjaan lainnya. Sehingga ketika masyarakat pada November 2010 tidak diperkenankan lagi menggarap di kawasan, cukup banyak masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya (terutama yang tidak memiliki lahan). Hal ini dipertegas dengan pernyataan responden yang sebagian besar (80%) sangat tidak setuju dan tidak setuju hukuman diterapkan kepada orang yang menggarap lahan taman nasional untuk bertani, namun sebagian besar (50%) sangat setuju dan setuju jika hukuman diberlakukan pada orang yang mencuri kayu/satwa di kawasan TN. Oleh karena itu peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta sikap terhadap konservasi TNGC mutlak dilakukan pada daerah penyangga TNGC. Pengembangan ekowisata dan agroforestri telah menjadi pilihan kegiatan yang dapat dikembangkan pada daerah penyangga. Kedua kegiatan ini secara teori dan berbagai hasil penelitian telah diyakini mampu memberikan porsi yang seimbang antara pelestarian lingkungan dan peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Namun terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangannya khususnya pada daerah penyangga TNGC, yaitu sebagai berikut: 4.3.3.1 Permasalahan dalam Pengembangan Ekowisata Akses terhadap informasi merupakan faktor yang sangat penting bagi masyarakat daerah penyangga. Pelaporan dan pemberitaan mengenai jenis usaha informal skala kecil di sektor ekowisata, seperti penyewaan tenda, pemandu wisata, usaha outbond dan pekerjaan informal lainnya jarang diberitakan dan kurang mendapat perhatian. Bidang-bidang pekerjaan yang seringkali muncul adalah bidang pekerjaan dalam skala besar, yang dimiliki pemodal besar seperti perhotelan, restoran besar, agen-agen wisata, pengusaha
86
pakaian/factory outlet, dan lainnya yang banyak terdapat di wilayah Kabupaten Kuningan, sehingga pekerjaan-pekerjaan skala kecil tersebut menjadi kurang terexpose. Oleh karena itu sangat penting bagi stakeholder untuk meningkatkan akses bagi masyarakat daerah penyangga TNGC dan memfasilitasi mereka untuk lebih dikenali keberadaannya oleh masyarakat luas, terutama wisatawan sebagai pengguna produk wisata, termasuk akses informasi, modal finansial, pendidikan/pelatihan dan infrastruktur yang mudah diperoleh di wilayah desa. Berdasarkan data profil desa dan hasil observasi, sebagian besar penggunaan lahan masyarakat adalah untuk tegalan/ladang/kebun masyarakat (desa Pajambon seluas 20,14 ha, desa Cisantana seluas 436,812 ha, desa Karangsari seluas 201,43 ha dan desa Seda seluas 78,216 ha). Sebagian besar tegalan/ladang ini didominasi oleh tanaman kayu-kayuan, tanaman buah-buahan, kebun kopi, serta tanaman bamboo dan pemandangan alam di lingkungan desa. Jenis-jenis tanaman ini belum dimanfaatkan sebagai bahan baku bagi pembuatan fasilitas/sarana untuk pengembangan usaha misalnya bahan baku pembuatan souvenir/cenderamata. Oleh karena itu peran stakeholder dalam pembinaan lebih difokuskan pada pembangunan /pengembangan pelayanan ekowisata serta peningkatan pembinaan kepada masyarakat untuk mencari peluang usaha baru di sektor ekowisata. Berdasarkan informasi keberadaan potensi obyek wisata, pada Gambar 4 terlihat bahwa lokasi obyek wisata menyebar secara merata disekeliling kawasan TNGC. Apabila pengembangan pariwisata hanya difokuskan pada zona pengembangan utara, maka lokasi obyek wisata di zona ini akan berkembang dengan baik dan menjadi tempat favorit kunjungan wisatawan, sementara lokasi lain akan mengalami kekurangan wisatawan, yang dapat menyebabkan usaha masyarakat daerah penyangga di sektor wisata tidak dapat berkembang. Oleh karena
itu
pengembangan
zona
tata
ruang
wilayah
sebaiknya
juga
mempertimbangkan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang terdapat pada desa-desa penyangga. 4.3.3.2 Permasalahan dalam Pengembangan Agroforestri Beberapa faktor yang terkait dengan kelemahan masyarakat dalam mengembangkan agroforestri yaitu pengetahuan dan ketrampilan (60%), modal usaha (30%) dan pemasaran (10%). Sempitnya kepemilikan lahan pertanian masyarakat yaitu rata-rata 0,250 ha, menjadi kendala utama sulitnya masyarakat
87
dalam mengatur jenis tanaman. Keinginan masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan sebanyak mungkin berbenturan dengan kebutuhan menanam tanaman pertanian yang dapat segera menghasilkan. Kendala lain adalah terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan masyarakat terhadap penanganan penyakit pada tanaman pertanian dan kehutanan dan pemilihan jenis tanaman yang ekonomis. Pada umumnya produktivitas per orang yang bekerja di sektor ini sangatlah rendah karena faktor-faktor modal yang rendah, penggunaan alat-alat produksi masih bersifat tradisional, tidak cukup menggunakan pupuk, teknik produksi yang tidak efisien dan pemilikan tanah sempit. Pada tiga Desa contoh pemilihan jenis tanaman di masing-masing desa relatif seragam, baik masyarakat dengan kemampuan modal lebih maupun yang memiliki modal terbatas. Pada proses pengolahan tanah, pembelian bibit dan penanaman masih dapat ditangani dengan modal yang ada. Namun pada proses pemeliharaan tanaman seperti pemupukan dan pemberantasan penyakit menjadi tidak optimal karena mahalnya harga pupuk dan obat, sehingga produksi yang dihasilkan juga tidak optimal. Sebagai contoh di desa Karangsari, pada saat penelitian dilakukan, tanaman petsay memiliki harga yang tinggi. Banyak masyarakat yang tertarik untuk menanam meski paham bahwa modal yang diperlukan cukup tinggi, karena mahalnya harga bibit dan tingginya biaya pemupukan dan pengobatan. Pada akhirnya, meskipun harga tinggi, pada luasan yang sama, bagi masyarakat dengan kemampuan modal terbatas keuntungan yang diperoleh tidak sebesar masyarakat yang memiliki cukup modal, karena kualitas petsay yang dihasilkan relatif lebih rendah (seperti warna daun yang lebih pucat dan produksi yang lebih rendah). Penjualan hasil pertanian masyarakat dilakukan kepada pengepul, sehingga harga lokal ditentukan oleh pengepul. Meskipun demikian, sebagian besar petani tetap menjual hasilnya pada pengepul, karena biasanya pengepul merupakan petani desa setempat, sehingga sifat kekeluargaan dan saling membantu lebih dominan daripada perhitungan untung rugi, meskipun harga yang ditawarkan relatif lebih rendah sekitar 20%. Namun pada petani dengan kemampuan modal terbatas, kehadiran pengepul terkadang menjadi penyelamat, karena kebutuhan untuk pembelian sarana produksi pertanian dapat meminjam sampai saat panen tiba, juga bagi petani yang memiliki keterbatasan kemampuan untuk menjual langsung ke pasar (upah angkut, biaya transport dan jarigan pembeli). Ketiga kendala ini saling berkaitan, sehingga pemberian modal
88
saja tidak dapat menyelesaikan masalah dalam meningkatkan produksi hasil tanaman agroforestri. Ketiga faktor tersebut harus secara simultan dibangun melalui kegiatan yang dapat memperbaiki teknik budidaya yang baik, sejak pemilihan
bibit tanaman
pertanian dan
kehutanan,
teknik
penanaman,
pemeliharan tanaman, penggunaan pupuk dan obat-obatan, perlakuan terhadap tanah, hingga proses pemanenan dan pemasaran. Penggunaan teknologi pengelolaan usaha tani agroforestri yang lebih baik ini diharapkan mampu meningkatkan hasil produksi tanaman agroforestri. Keseluruhan proses ini dapat ditempuh melalui peningkatan program penyuluhan, pendampingan masyarakat serta program-program dari stakeholder yang mendukung pengembangan agroforestri. Peningkatan frekuensi penyuluhan secara langsung dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat. Berbekal ilmu dan ketrampilan yang lebih meningkat, masyarakat dapat lebih efisien dalam mengelola lahan, sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman agroforestri. Penyuluhan yang berdampak signifikan terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat memiliki kriteria dan prasyarat tertentu sesuai dengan kaidah penyuluhan yang meliputi materi dan teknik penyuluhan. Penyuluhan yang telah diprogramkan oleh Balai P4K sudah sangat baik dalam hal perencanaan, dimana satu orang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) mempunyai wilayah kerja satu hingga dua desa, dan satu orang Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) memiliki wilayah kerja satu hingga dua kecamatan karena keterbatasan sumberdaya manusia. Kendala dalam agroforestri adalah permasalahan kewenangan dalam memberikan pembinaan terhadap petani agroforestri.
Pembinaan
petani
dalam
pengelolaan
tanaman
pertanian
semestinya dilakukan oleh Dinas Pertanian, dan pembinaan terhadap tanaman kehutanan oleh Dinas Kehutanan. Namun dalam kenyataan, petani agroforestri tidak banyak tersentuh oleh Dinas Pertanian. Pembinaan terhadap petani agroforestri lebih banyak dilakukan oleh BP4K melalui PPL, namun
itupun
sangat terbatas karena faktor pengetahuan dan sumberdaya PPL (hasil wawancara dengan penyuluh 2011). Berdasarkan hasil wawancara, petani sesungguhnya masih sangat memerlukan penyuluh sebagai tempat bertanya dalam mengatasi permasalahan di lapangan, meskipun ada juga petani yang merasa kehadiran penyuluh tidak banyak membantu karena mereka merasa lebih mengetahui seluk beluk tanaman dibanding penyuluh. Sangat disadari
89
bahwa terdapat keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan PPL dalam menguasai berbagai jenis tanaman pertanian. Kondisi di lapangan, pada satu bidang lahan agroforestri rata-rata terdapat lebih dari tiga jenis tanaman pertanian. Sebagai contoh di desa Karangsari, responden dengan lahan agroforestri seluas satu bata (sekitar 0,1428 ha) menanam cabe rawit dan jagung sebagai tanaman utama, ketela pohon sebagai tanaman pagar, beberapa pohon pisang dan kopi, serta sengon dan kayu afrika. Ada juga yang bertanam padi huma sebagai tanaman utama diselingi tanaman lada, tanaman buah-buahan serta pinus dan waru. Seandainya dalam satu desa terdapat 50 orang petani agroforestri, dan setiap petani menanam satu jenis saja tanaman pertanian yang berbeda, maka seorang PPL harus menguasai 50 jenis tanaman palawija (cabe rawit, jagung, padi huma, ketela pohon, tomat, dan lain-lain), buah-buahan (pisang, nangka, petai, sukun, dll) dan atau perkebunan (lada, cengkeh, kopi, melinjo). Berbeda dengan jenis tanaman kehutanan yang relatif homogen dan tidak banyak jenisnya. Sebagai contoh jenis yang ditanam masyarakat desa Karangsari hanya berkisar pada jenis-jenis sengon, suren, mahoni, kayu afrika, pinus, waru, manglid dan jati. Bibit tanaman kehutanan biasanya cukup mengambil dari sekitar desa (tidak membeli), sehingga masyarakat cenderung untuk menanam jenis tersebut.
Penguasaan pengetahuan dan ketrampilan
terhadap jenis tanaman kehutanan tersebut lebih mudah dilakukan oleh PKL. Kendala yang dihadapi justru pada terbatasnya jumlah PKL, yaitu satu orang PKL memiliki wilayah binaan satu hingga dua kecamatan, sehingga frekuensi pertemuan dengan petani juga terbatas. Sesungguhnya, kegiatan penyuluhan tidak saja dilakukan oleh pemerintah melalui BP4K, namun dapat juga dilakukan oleh penyuluh swadaya, dunia usaha (PDAU) dan LSM (Akar dan Kanopi) sehingga frekuensi penyuluhan dapat ditingkatkan hingga tiga kalinya dan jumlah masyarakat yang dapat dilibatkan juga akan dapat ditingkatkan. Penguasaan PPL dan PKL terhadap teknik penyuluhan sesungguhnya tidak diragukan. Karena sebagian besar berpendidikan Sarjana dan telah mendapat bekal ilmu penyuluhan (Buku Laporan BP4K 2010). Namun karena permasalahan di lapangan begitu kompleks dan lebih cepat berkembang, maka diperlukan kesungguhan para penyuluh untuk selalu meng up date pengetahuan dan meng up grade kemampuan, sehingga PPL dan PKL memiliki kemampuan untuk mengajak masyarakat menerapkan pengetahuan dan ketrampilan terkini
90
tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal. Penerapan hasil-hasil penelitian yang melibatkan
petani
secara
aktif
dapat
difokuskan
pada masalah
yang
berhubungan dengan jenis tanaman, tempat tumbuh, metode penanaman, memelihara dan pengaturan pohon. Kehadiran seorang penyuluh terkadang diperlukan sebagai motivator dan fasilitator bagi petani dalam menghadapi permasalahan dan dalam pengembangan usaha. Kebijakan pada agroforestri sesungguhnya tidak bersifat pengaturan pada land tenure, dan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan keinginan masyarakat, karena agroforestri diusahakan pada lahan milik masyarakat. Namun demikian, karena letaknya di daerah penyangga taman nasional, ada beberapa pengaturan penggunaan lahan yang disesuaikan dengan tujuan konservasi taman nasional. Kebijakan tersebut diantaranya adalah pola penggunaan lahan, terutama pada lahan dengan kemiringan yang rawan terhadap erosi, maka masyarakat didorong untuk menanam pohon berkayu. Pada masyarakat di tiga Desa contoh, kebijakan hanya bersifat memberikan alternatif penyelesaian permasalahan pada usaha agroforestri masyarakat, seperti pemilihan jenis tanaman, pengelolaan tanaman, pengaturan hasil, dan pemasaran. Luasan lahan kritis di Kabupaten Kuningan sampai awal tahun 2009 adalah 3.975,97 ha. Kondisi tersebut sudah seharusnya disikapi dan ditindaklanjuti dengan upaya penanggulangan secara terencana dan berkelanjutan, sehingga fungsi lahan baik dari segi ekologis maupun ekonomis dapat berjalan dengan optimal. Selain itu secara geografis wilayah Kabupaten Kuningan memliki topografi bergelombang hingga berbukit sehingga pola pemanfaatan lahannya harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungannya. Oleh karena itu penataan lahan kering dan hutan milik harus dilakukan tanpa menapikan fungsi ekonomi lahan dimaksud. Dari segi luasan hutan/kebun rakyat di Kabupaten Kuningan masih relatif kecil dengan pemilikan lahan rata–rata 0,30 ha/KK, walaupun demikian, prospek hutan rakyat dan agroforestri masih cukup potensial untuk dikembangkan. Adanya budaya menanam pada masyarakat Kuningan sebagai investasi/ tabungan merupakan modal positif untuk mengembangkan hutan/kebun rakyat. Upaya penanganan masalah tersebut tidak bisa hanya dilakukan oleh Pemerintah saja namun harus melibatkan partisipasi aktif sinergitas stakeholder.
91
4.4 Potensi Pengembangan Daerah Penyangga TNGC Berdasarkan
hasil
analisis
permasalahan
dan
kebutuhan
dalam
konservasi TNGC, maka diperlukan upaya untuk mengatasi permasalahan kesempatan kerja bagi masyarakat, peningkatan pendapatan, serta sikap masyarakat terhadap konservasi TNGC. Upaya tersebut ditempuh melalui pengembangan daerah penyangga TNGC yang sesuai dengan potensi TNGC, dengan mempertimbangkan kondisi kerusakan kawasan TNGC, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan sikap masyarakat. Analisis ini diperlukan dalam menentukan potensi pengembangan pada program yang dipilih, yaitu ekowisata dan agroforestri. Potensi ekowisata dan agroforestri dilakukan dengan pendekatan supply (penawaran) dan demand (permintaan ekowisata) 4.4.1 Potensi Pengembangan melalui Penawaran dan Permintaan Ekowisata Keberhasilan pengembangan pariwisata di suatu destinasi antara lain diukur dari banyaknya belanja wisatawan. Semakin besar belanja yang dikeluarkan oleh wisatawan, semakin besar pula penerimaan industri pariwisata (Fandeli 2001). Sebagai gambaran, pengeluaran wisatawan pada obyek wisata di Indonesia pada tahun 1999 adalah sebesar US$ 81,79 per orang per hari (BPS 2000 dan Hennings 2000 dalam Fandeli 2001), dengan urutan pertama untuk belanja makan dan minum, berbelanja dan akomodasi, transportasi lokal, dan
belanja lainnya. Karena tujuan utama pengembangan ekowisata adalah
peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat setempat, maka pengembangan terhadap ekowisata TNGC ditujukan bagi berkembangnya aspek-aspek yang dapat meningkatkan belanja wisatawan. 4.4.1.1 Kondisi Penawaran Ekowisata Peluang
usaha
di
sektor
ekowisata
dapat
diupayakan
melalui
pengembangan potensi ekowisata, dimana tujuan utamanya adalah menarik minat ekowisatawan untuk berkunjung dan berbelanja di lokasi ekowisata. Ekowisata merupakan sebuah sistim yang terdiri dari beberapa elemen, dimana dalam
pengembangannya dapat dikaji
dari komponen permintaan dan
penawaran/sediaan (Gunn 1988). Komponen permintaan terdiri atas elemen minat orang yang melakukan perjalanan (wisatawan) dan kemampuan melakukannya, sedangkan komponen penawaran/sediaan adalah daya tarik
92
ekowisata, asessibilitas/perangkutan, informasi dan promosi serta pelayanan. Potensi pengembangan ekowisata TNGC yang dikaji berdasarkan kondisi penawaran (supply) dan permintaan (demand) diuraikan sebagai berikut; 1) Obyek dan Daya Tarik Ekowisata Obyek dan daya tarik ekowisata adalah segala sesuatu yang menjadi penyebab ekowisatawan mengunjungi suatu daerah tertentu. Daya tarik wisata dapat berupa obyek alamiah seperti air terjun, lembah ngarai, panorama alam, flora fauna, dan situs sejarah, maupun obyek daya tarik binaan, pendakian gunung, perkemahan, pemandian wisata air, dan kegiatan lainnya (Warpani dan Warpani, 2007). a. Potensi sumber daya alam Ditinjau dari aspek ekowisata, saat ini di TNGC wilayah kabupaten Kuningan terdapat 15 obyek ekowisata yang telah dikelola sebagai obyek dan daya tarik wisata, yang meliputi tujuh obyek (47%) berupa bumi perkemahan, dua obyek (13%) berupa danau, tiga obyek (20%) berupa pemandian alam, dua obyek (13%) berupa jalur pendakian, dan satu (7%) berupa air terjun dan sumber air panas (BTNGC 2010, data diolah). Bumi Perkemahan Bumi perkemahan (buper) yang terdapat di TNGC terdiri dari tujuh lokasi yaitu bumi perkemahan Cikole, Singkup, Cibeureum, Hulu Ciawi, Cibunar, Balong Dalam dan bumi perkemahan Palutungan. Pada umumnya selain buper, obyek wisata alam lain yang menyertai adalah berupa air terjun (di buper Palutungan) dan pemandian (di buper Singkup). Pada lokasi ini ekowisatawan dapat melakukan aktivitas berkemah, menikmati air terjun dan indahnya panorama alam gunung Ciremai. Wisatawan juga dapat melihat beranekaragam jenis burung dan primata yang terdapat di buper. Lokasi bumi perkemahan yang menjadi sampel penelitian adalah buper Palutungan dan buper Lembah Cilengkrang. Kedua lokasi ini merupakan tempat terbaik untuk berkemah dan kegiatan ekowisata. Buper Palutungan terletak di Desa Cisantana Kecamatan Cigugur + 9 km dari kota Kuningan, dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua atau empat dengan kondisi jalan yang sudah beraspal dan cukup baik. Memiliki luas 36 hektar, namun baru 9 hektar yang efektif digunakan sebagai areal perkemahan. Kegiatan ekowisata yang banyak diminati adalah berkemah dan mandi di air terjun Curug Putri dan Curug Landung yang merupakan air terjun alami.
93
Berdasarkan hasil wawancara, 60% responden menyatakan motivasi kedatangannya ke obyek ekowisata adalah karena kondisi hutan yang masih asli dan alami, 30% pemandangan alamnya yang indah, dan 10% karena lokasi obyek wisata alam cukup dekat dengan tempat tinggal. Air Terjun Obyek wisata alam air terjun/curug yang terdapat di TNGC yaitu Lembah Cilengkrang dan Curug Putri. Lembah Cilengkrang yang menjadi sampel penelitian terletak disebelah Barat Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya atau ± 13,5 km dari pusat kota Kuningan, memiliki luas sekitar 30 ha dan merupakan tempat yang indah untuk mendaki (hiking) dan berkemah. Keistimewaan/daya tarik utama dari Lembah Cilengkrang adalah keberadaan 4 buah curug, yaitu Curug Sabuk dengan ketinggian 30 m, Curug Sawer dengan ketinggian 50-60 m, Curug Kembar dengan ketinggian 40 m, dan Curug Citapa dengan ketinggian 30-40 m. Selain itu juga terdapat pemandian air panas alami dan jika beruntung akan dapat melihat satwa khas TNGC yaitu Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi). Untuk mencapai air terjun dari pintu masuk lokasi wisatawan harus melalui jalur trecking sepanjang sekitar 500 meter dengan waktu tempuh sekitar 0,5 jam melalui jalan yang cukup mendaki. Aktivitas ekowisata yang dapat dinikmati wisatawan pada lokasi ini adalah mandi di air terjun, berendam di air panas, berkemah, menikmati aliran air sungai yang jernih, serta menikmati indahnya panorama alam dan berbagai jenis flora dan fauna. Pemandian Alam Obyek ekowisata pemandian alam yang terdapat di TNGC yaitu Pemandian Alam Cibulan dan Sumur Tujuh, Pemandian Alam Cigugur dan Sumur Cikajayaan serta Pemandian Alam Paniis. Kolam Pemandian Cibulan yang menjadi lokasi contoh terletak di Desa Manis Kidul, 7 km di sebelah utara Kota Kuningan. Keistimewaan kolam adalah adanya Ikan Kancra Bodas (Lebeobarbus doumensis) atau disebut Ikan Dewa, yang dikeramatkan oleh penduduk setempat. Pemandian Cibulan juga merupakan tempat ekowisata religi, dimana terdapat 7 buah mata air yang disebut sebagai ”Sumur Tujuh” yang dipercaya sebagai Petilasan Prabu Siliwangi. Akses menuju Cibulan dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi roda dua atau empat, dan kendaraan umum (angkutan kota atau ojek) dengan kondisi jalan yang sangat baik.
94
Danau Obyek wisata alam danau yang terdapat di TNGC yaitu Telaga Remis dan Situ Cicereum. Talaga Remis berjarak ± 37 km dari pusat kota Kuningan. Objek wisata alam Telaga Remis menyimpan keanekaragaman flora dan fauna, terdapat kurang lebih 160 jenis tumbuhan diantaranya sonokeling, malaka dan kosambi. Salah satu daya tarik tempat ini adalah adanya jenis tumbuhan langka yaitu Pisang Hyang, yang menjadi obyek wisata budaya yang cukup terkenal di dalam dan luar negeri. Fasilitas yang tersedia adalah perahu motor, sepeda air, saung dan jalan setapak. Jalur Pendakian Gunung Ciremai Jalur pendakian yang dapat ditempuh oleh ekowisatawan jika hendak menuju Gunung Ciremai dari arah Kabupaten Kuningan, yaitu dari arah timur melalui Linggarjati (580 mdpl), dari arah selatan melalui Palutungan (1.227 mdpl). Jalur Linggarjati dan Palutungan adalah jalur yang paling banyak dilalui dan merupakan jalur yang dianjurkan oleh pihak PERHUTANI pengelola kawasan hutan di sekitar Gunung Ciremai. Linggarjati adalah jalur yang relatif populer dikalangan pendaki. Linggarjati memiliki jarak tempuh menuju puncak yang paling singkat diantara jalur lainnya, 6-8 jam, dengan konsekuensi jalur yang lebih menanjak dan menantang. Palutungan adalah jalur yang lebih landai, namun lebih lama waktu tempuhnya, 8-11 jam. b) Potensi Budaya Tradisional dan Souvenir Budaya tradisional yang dapat menjadi obyek daya tarik ekowisata di TNGC adalah Cingcowong (upacara minta hujan), Sintren, Goong Renteng, Goong Renteng, Tari Buyung & Seren Taun, Tayuban, Pesta Dadung, Gembyung Terbangan, Sandiwara Rakyat, Wayang Golek, Reog, Calung dan tradisi Kawin Cai. Meskipun kegiatan ini sebagian besar dilaksanakan di kota, namun setelah ekowisatawan menikmati obyek wisata alam TNGC, biasanya menyempatkan untuk menikmati tradisi budaya masyarakat ini. Setiap perhelatan Seren Taun, dapat mendatangkan ribuan pendatang wisatawan domestik maupun mancanegara. Hanya saja dilihat dari sisi ekonomis belum dapat memberikan efek ekonomi kepada masyarakat daerah penyangga, karena acara dilakukan di kota Kabupaten. Souvenir berupa barang-barang kerajinan dan beragam jenis makanan khas Kabupaten Kuningan juga menjadi salah satu daya tarik ekowisatawan. Cinderamata tersebut diantaranya adalah; batu onyx, batu granit, bonsai, calung,
95
peti antik dan bermacam-macam kerajinan bambu. Sedangkan makanan khas yang sering menjadi oleh-oleh ekowisatawan adalah emping melinjo, peuyeum ketan yang dikemas dalam ember-ember plastik berwarna hitam, wajit, leupeut dan gemblong, serta buah alpuket. 2) Perangkutan/Aksessibilitas Ekowisata Fungsi utama perangkutan adalah memindahkan orang dari asal tempat tinggal ekowisatawan ke tempat tujuan ekowisata. Oleh karena itu keandalan layanan sistim perangkutan menjadi prasyarat dan faktor dominan, bukan saja bagi perjalanan ekowisatawan, tapi juga bagi pengangkutan barang ekowisata, seperti jasa boga, kerajinan/cinderamata, dll. Distribusi sarana jalan dan angkutan penumpang merupakan komponen vital dalam elemen perangkutan ini, agar perjalanan ekowisata menjadi mudah dan nyaman (Gunn 1988). Aksessibilitas menuju kawasan TNGC dapat ditempuh dari Kabupaten Cirebon, Kuningan dan Majalengka dengan kondisi jalan dan transportasi yang relatif baik dan lancar. Kondisi kemantapan jalan kabupaten pada tahun 2009 mencapai 87,74 % dimana dari panjang jalan kabupaten sepanjang 416 Km dalam kondisi baik 323 Km, kondisi sedang 42 Km sedangkan dalam kondisi rusak ringan 39 Km dan rusak berat 12 Km. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pekerjaan umum di Kabupaten Kuningan pada tahun 2009 memperlihatkan peningkatan kinerja, antara lain ditunjukkan dengan kemantapan jalan mengalami peningkatan yang signifikan, dimana lima tahun sebelumnya kondisi kemantapan jalan kabupaten hanya sebesar 78,84%. Jalan-jalan utama memiliki kualitas yang sangat baik hingga mencapai batas lokasi ekowisata. Hampir tidak ada kendala dalam mencapai lokasi ekowisata baik untuk kendaraan roda dua maupun roda empat. Kendaraan angkutan kota juga tersedia dengan trayek-trayek yang melewati tempat ekowisata. Untuk mencapai lokasi ekowisata yang cukup jauh dan tidak tersedia angkutan kota, dapat menggunakan jasa ojek yang cukup banyak tersedia. Hal ini sesuai dengan pendapat responden yang menyatakan bahwa kondisi jalan dan angkutan baik (85%) dan cukup baik (15%). Serta dalam hal kemudahan mendatangi lokasi ekowisata, 70% menyatakan mudah dan 30% menyatakan cukup mudah. Akses menuju obyek wisata alam Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang disajikan pada Gambar 14.
96
a
b
Gambar 14 Akses menuju obyek wisata Bumi Perkemahan Palutungan (a) dan Lembah Cilengkrang (b) 3) Informasi dan Promosi Kegiatan promosi dan publikasi oleh Balai TNGC dilakukan melalui media cetak dalam bentuk penerbitan booklet obyek wisata alam sebanyak 100 eksemplar (eks) dan kalender duduk sebanyak 100 eks, dan media elektronik berupa siaran radio sebanyak tiga kali pada tahun 2009. Pada tahun 2010 publikasi yang disebarkan dalam bentuk leaflet sebanyak 2.000 eks, kalender dinding TNGC sebanyak 100 buah, buku keanekaragaman hayati Situ Sangiang dan Lembah Cilengkrang sebanyak 200 eks, serta penerbitan artikel di koran lokal seminggu sekali. Sedangkan untuk tahun 2011 promosi yang dilakukan dalam bentuk buletin triwulan TNGC sebanyak 200 eks serta pembuatan leaflet dan spanduk pencegahan kebakaran. Pelayanan informasi dan promosi juga disampaikan melalui facebook, blog dan email. 4) Pelayanan terhadap Wisatawan Informasi dan pelayanan terhadap ekowisatawan yang berkunjung ke obyek wisata alam TNGC diserahkan kepada masing-masing pengelola obyek ekowisata, kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendakian harus mengurus perijinan berupa Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) di Kantor Balai TNGC. Pengelola obyek ekowisata di TNGC terdiri dari swasta (CV Wisata Putri Mustika), masyarakat melalui Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar), Desa melalui pihak ketiga, serta perusahaan milik Pemda Kabupaten Kuningan (Perusahaan Daerah Aneka Usaha/PDAU). Perbedaan sistim pelayanan pada setiap obyek wisata alam dikarenakan adanya perbedaan pihak pengelola. Pelayanan tiket masuk wisatawan dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.223/Menhut-
97
II/2004 yang mengatur tentang pembagian rayon Taman Nasional dalam rangka penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Berdasarkan ketentuan tersebut harga tiket masuk wisatawan
ke kawasan TNGC (termasuk Rayon II) sebesar Rp
1.500 untuk wisatawan nusantara dan Rp15.000 untuk wisatawan mancanegara. Harga tiket masuk kendaraan roda dua sebesar Rp 2.000 dan roda empat sebesar Rp 4.000. Pengelola obyek wisata alam untuk Buper Palutungan dikelola oleh CV Wisata Putri Mustika, Lembah Cilengkrang dikelola oleh Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) dan Pemandian Cibulan dikelola oleh pihak Desa Manis Kidul. Saat ini, ketiga pengelola masih dalam tahap pengurusan ijin IPPA (Ijin pengusahaan Pariwisata Alam) kepada Kementrian Kehutanan. Tarif masuk yang berlaku (termasuk PNBP) untuk Buper palutungan sebesar Rp 6.000, Lembah Cilengkrang sebesar RP 5.000, dan pemandian Cibulan sebesar Rp 7.500. Alokasi tarif masuk tersebut selain untuk PNBP, terdapat persentase untuk kegiatan konservasi kawasan TNGC, dana pembangunan desa dan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Terhadap
besarnya
tarif masuk
tersebut,
61%
responden
yang
mengunjungi Buper palutungan menyatakan mahal dan 39% menyatakan tidak mahal, untuk Lembah Cilengkrang, 86% responden menyatakan karcis tidak mahal, dan 14% menyatakan mahal, sedangkan di obyek wisata alam Cibulan, 45% responden menyatakan mahal dan 55% menyatakan tidak mahal. Dalam saran-sarannya, 75% responden menyatakan bahwa tarif masuk hendaknya disesuaikan dengan jenis dan jumlah obyek daya tarik wisata yang dapat dilihat dan dinikmati oleh wisatawan. Tanggapan ekowisatawan terhadap pelayanan petugas/pengelola obyek ekowisata yaitu 43% responden menyatakan kurang baik, 53% responden menyatakan cukup baik, dan 4% responden yang menyatakan baik. Pelayanan pengelola dinyatakan kurang baik, menurut ekowisatawan karena tidak adanya petugas yang dapat menjelaskan lokasi obyek ekowisata dengan baik dan tidak adanya buku panduan (booklet) atau peta denah lokasi obyek ekowisata sebagai sarana untuk mempermudah dan memperlancar kegiatan. 5) Fasilitas Ekowisata Elemen fasilitas dan pelayanan dari ekowisata menurut Gunn (1988) termasuk elemen penunjang yang membuat proses kegiatan ekowisata menjadi lebih mudah, nyaman, aman dan menyenangkan.
98
Dalam penelitian ini, fasilitas yang dimaksud adalah fasilitas umum yang disediakan oleh pengelola ekowisata dan fasilitas yang disediakan oleh masyarakat setempat. a Fasilitas Umum yang disediakan Pengelola Fasilitas umum yang disediakan pihak pengelola serta kondisinya di masing-masing obyek ekowisata dapat dilihat pada Tabel 34 dan Gambar 17. Tabel 34 Kondisi fasilitas pada tiga obyek ekowisata TNGC No
Jenis Fasilitas
Bumi Perkemahan Palutungan Jumlah Kondisi 6 75 % kurang baik
Pemandian Cibulan
Jumlah 3
Kondisi 50% kurang baik
Jumlah 10
cukup baik
2
2
1 -
cukup baik -
2
50% kurang baik baik
Kondisi 50% baik, 50% cukup baik cukup baik
2 32
baik baik
1 3 2 2
cukup baik kurang baik Kurang baik cukup baik
1 1 20 3
cukup baik cukup baik cukup baik cukup baik
1 9 0 10
cukup baik baik Cukup baik
1.
Toilet umum/MCK
2
Mushola
1
3 4
Ruang informasi Ruang ganti pakaian Pos jaga Shelter Papan petunjuk Tempat sampah
5 6 7 8
Lembah Cilengkrang
Gambar 15 menyajikan kondisi fasilitas di obyek ekowisata Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang
Gambar 15 Kondisi fasilitas di Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang Secara umum tanggapan responden terhadap kondisi fasilitas di ketiga obyek wisata alam TNGC yaitu 8% responden menyatakan baik, 40% responden menyatakan cukup baik, 48% menyatakan kurang baik, dan 4% responden menyatakan tidak baik. Kurangnya jumlah papan petunjuk, kurang jelasnya
99
tulisan pada papan petunjuk, kondisi MCK yang kurang layak, shelter yang kurang berfungsi dengan baik, serta jalur trecking yang tidak jelas merupakan indikator penilaian dari responden. b Fasilitas Produk Ekowisata yang disediakan Masyarakat Menurut Gunn (1988) dan Warpani (2007) fasilitas yang disediakan oleh masyarakat setempat berupa produk ekowisata seperti akomodasi (pondokan, wisma, homestay, penyewaan kamar di rumah penduduk dan perkemahan), rumah makan, souvenir/cenderamata, pemandu ekowisata dan jenis produk lainnya. Produk wisata adalah sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar agar orang tertarik perhatiannya, ingin memiliki, memanfaatkan dan mengonsumsi untuk memenuhi keinginan dan mendapat kepuasan (Kotler, Bowen dan Makens 1999 dalam Fandeli 2001). Pengembangan produk ekowisata ini dikaji berdasarkan potensi masyarakat yang merupakan bagian dari usaha/mata pencaharian. Oleh karena itu produk ekowisata yang disediakan masyarakat selanjutnya disebut sebagai usaha di sektor ekowisata. Salah satu prinsip ekowisata menurut The International Ecotourism Society (2005) adalah adanya penghasilan bagi masyarakat, yaitu dengan adanya keuntungan secara aktual bagi masyarakat setempat melalui perdagangan sektor informal. Gunn (1988) menyatakan bahwa perdagangan sektor informal adalah elemen yang tidak kalah penting karena merupakan mata rantai akhir yang bersentuhan langsung dengan para ekowisatawan. Jenis usaha yang ditawarkan pada setiap lokasi obyek ekowisata tidak seluruhnya sama, tergantung pada karakteristik obyek ekowisata. Penjelasan masing-masing usaha masyarakat pada Desa contoh disajikan pada Tabel 35
100
Tabel 35 Penawaran produk ekowisata oleh masyarakat No
1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Usaha
Warung Makanan dan Minuman Souvenir Jasa Pemandu Ekowisata Penitipan Kendaraan Atraksi Outbond Penyewaan Kamar Bilas Penyewaan Peralatan Renang Penyewaan Toilet Umum
Jumlah Unit Usaha
41 31 5
Harga rata-rata per Unit (Rp)
10.000 20.000 5.000 20.000 25.00 50.000
Jumlah pengguna jasa di hari kerja
Jumlah pengguna jasa di hari libur
Jumlah KK yang terlibat
Pendapatan KK per bulan
5-7
50 - 100
41
1.329.309
20
75
31
548.500
Tidak ada
1
5
155.000
2.000 4.000 5.000 15.000
5 - 20
160 - 220
28
436.000
Tidak beroperasi
50
8
500.000
32
5000
20-50
150-200
2
566.000
8
5.000 10.000
5
20
8
500.000
2
1.000
10
50
1
600.000
3 1
Tabel 35 memperlihatkan ada delapan jenis usaha yang ditawarkan oleh masyarakat lokal yang bekerja di ekowisata. Seluruh jenis usaha ini dimiliki oleh masyarakat secara perorangan, kecuali penyewaan kamar bilas yang merupakan fasilitas yang dimiliki oleh pengelola obyek wisata Cibulan. Jenis usaha terbanyak adalah warung makanan dan souvenir yang melibatkan 72 KK. Pada hari libur, hampir seluruh jenis usaha ini memperoleh pendapatan melalui jumlah uang yang dibayarkan oleh ekowisatawan, kecuali pemanduan rata-rata hanya satu orang pada hari libur. Pendapatan terbanyak diperoleh dari penjualan makanan dan minuman. Meskipun jumlah unit usaha ini relatif banyak, namun karena minat masyarakat untuk berbelanja makanan cukup tinggi, sehingga tetap dapat memberikan pendapatan yang relatif lebih banyak kepada pengelolanya. Warung makanan dan minuman ini menyediakan jenis makanan seperti indomie, makanan ringan, kue-kue serta bermacam jenis minuman, seperti aqua, teh botol, dll. Makanan khas daerah setempat seperti leupeut, gemblong, kripik sukun dll, hanya ditemukan pada warung di Cibulan. Responden pemilik warung menyatakan bahwa jenis makanan yang dijual adalah yang dapat bertahan lama (awet) untuk menghindari resiko kerugian jika tidak terjual.
Menurut Warpani (2007), keberadaan warung makan ini cukup
penting karena pengeluaran untuk makanan dan minuman proporsinya dapat
101
mencapai 20% hingga 35% dari belanja ekowisatawan. Kondisi warung di lokasi ekowisata dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16
Jenis usaha warung makanan dan minuman di Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang
Keberadaan souvenir (cinderamata) menjadi salah satu daya tarik obyek ekowisata, apalagi jika merupakan kerajinan khas daerah setempat. Menurut Warpani (2007) keberadaan penjaja souvenir selain dapat melayani beberapa kebutuhan ekowisatawan, tidak jarang mereka juga menjadi obyek ekowisata. Kenyataan ini hanya ditemukan di obyek ekowisata Cibulan, dimana penjual souvenir tertata cukup rapi berupa kios-kios yang menjual souvenir berwarnawarni yang dapat menjadi obyek wisata lanjutan setelah mengunjungi obyek ekowisata utama. Sebagian besar souvenir berupa kerajinan dari rotan, bambu dan kayu yang berupa alat-alat rumah tangga, hiasan rumah, tas dan pernak pernik (gantungan kunci, kalung, dll), juga menjual makanan khas seperti tape ketan, leupeut, aneka keripik (melinjo, pisang, singkong, sukun) dan buah alpuket. Dengan harga dan jenis yang cukup beragam ini, ekowisatawan dapat membeli souvenir sesuai dengan kemampuannya. Sekitar 80% souvenir ini didatangkan dari luar daerah, kerajinan anyaman didatangkan dari Tasikmalaya dan kerajinan kayu berasal dari Jogyakarta, sehingga keuntungan yang diperoleh penjual hanya sekitar 20% saja. Perlu adanya pembinaan, agar masyarakat dapat membuat sendiri souvenir ini, sehingga dapat lebih meningkatkan nilai tambah dari produk kayu atau bambu, karena bahan baku untuk membuat souvenir cukup tersedia di sekitar desa. Jenis souvenir di lokasi ekowisata TNGC disajikan pada Gambar 17.
102
Gambar 17 Jenis usaha souvenir di Buper Palutungan dan Cibulan Jumlah pemandu ekowisata di ketiga lokasi hanya lima orang, yaitu dua orang di Lembah Cilengkrang, satu orang di Buper Palutungan dan dua orang di Cibulan. Keberadaan pemandu cukup penting dirasakan oleh ekowisatawan. Sebagai contoh, adanya permintaan dari Pembina perkumpulan pasukan pengibar bendera yang terdiri dari murid-murid SLTP terhadap pemandu di Lembah Cilengkrang untuk memberikan materi tentang upaya konservasi di kawasan
ekowisata.
menyatakan
Berdasarkan
membutuhkan
hasil wawancara,
pemandu
dan
57%
43%
ekowisatawan
menyatakan
kurang
membutuhkan. Menurut pemandu, frekwensi pemanduan belum optimal, dalam satu bulan hanya dua hingga tiga kali saja. Hal ini kemungkinan besar karena ekowisatawan kurang mengetahui informasi dimana dan bagaimana cara mendapatkan jasa pemanduan, karena tidak adanya informasi atau promosi dalam bentuk apapun mengenai jasa ini. Usaha penitipan kendaraan menjadi bagian yang penting dari kegiatan ekowisata. Kendaraan milik ekowisatawan tidak dapat masuk ke lokasi obyek ekowisata sehingga menitipkan kendaraan merupakan solusi jika ekowisatawan ingin melakukan kegiatan ekowisata dengan aman dan nyaman. Jasa penitipan kendaraan pada tiga lokasi ekowisata selalu ramai karena sebagian besar ekowisatawan menggunakan kendaraan sendiri baik roda dua maupun roda empat. Lahan yang digunakan untuk penitipan kendaraan di Lembah Cilengkrang merupakan tanah milik desa (tanah gege) yang terkadang tidak cukup untuk menampung kendaran yang datang pada hari Minggu, sehingga harus menyewa lahan milik penduduk. Lahan parkir di Buper Palutungan dan Cibulan termasuk kedalam kawasan TNGC, sehingga tidak ada pengeluaran untuk sewa lahan. Pengelola di Lembah Cilengkrang adalah anggota Karang Taruna sebanyak 14 orang, di Buper Palutungan pengelola penitipan kendaraan adalah anggota Kelompok Tani sebanyak 8 orang dan di Cibulan sebanyak 6 orang.
103
Usaha penitipan kendaraan di ketiga lokasi ekowisata dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Jenis usaha penitipan kendaraan di Buper Palutungan, Cibulan dan Lembah Cilengkrang Usaha atraksi outbond terdapat di Buper Palutungan dan di Cibulan masing-masing satu buah. Seluruh pengelola atraksi adalah masyarakat setempat. Pengelola atraksi outbond di Buper Palutungan diwadahi dalam satu perkumpulan yang bernama Palutungan Outbond Activity (PAOBA) dengan anggota berjumlah delapan orang yang merupakan perwakilan dari tiap kampung di Desa Cisantana. Jenis permainan yang tersedia di Buper Palutungan yaitu flying fox, jembatan goyang, air soft gun, fun games, raffling dan jaring laba-laba, sedangkan di Cibulan hanya flying fox, karena ada keterbatasan lahan. Sebanyak 20% responden menyatakan atraksi outbond merupakan salah satu daya tarik mengunjungi buper Palutungan dan Cibulan. Teknik pemasaran yang dilakukan PAOBA yaitu melalui penyebaran brosur dan leaflet. Selain kepada wisatawan buper, pemasaran juga dilakukan dalam bentuk paket-paket permainan sesuai pesanan konsumen dengan tarif Rp 25.000 per paket. Konsumen yang sering memanfaatkan diantaranya adalah mahasiswa
Universitas
Kuningan
(UNIKU)
dan
Dinas
Bina
Marga.
Pengembangan selanjutnya direncanakan kepada murid-murid TK dan SD (wawancara dengan pengelola, Agustus 2011). Sedangkan atraksi outbond oleh pengelola di Cibulan
hanya berdasarkan wisatawan yang berminat. Hasil
pendapatan digunakan untuk kas dan perawatan alat, sisanya dibagikan kepada anggota. Sedangkan di Cibulan, keempat anggota pengelola langsung mendapatkan
hasil
kerjanya
setelah
selesai
kegiatan.
Jika
usaha
ini
berkembang, PAOBA berniat untuk menarik sebanyak mungkin tenaga kerja dari masyarakat setempat. Pengelolaan usaha outbond ini melibatkan sekitar 12 KK. Promosi usaha atraksi outbond pada buper Palutungan dapat dilihat pada Gambar 19.
104
Gambar 19 Jenis usaha atraksi outbond di Buper Palutungan Penyewaan kamar bilas hanya terdapat di Cibulan. Aktifitas sebagian besar wisatawan adalah mandi dan berenang, oleh karena itu keberadaan penyewaan kamar bilas menjadi sangat penting. Penyewaan kamar bilas dibawah pengelolaan obyek ekowisata Cibulan sehingga pendapatan yang diperoleh masuk kedalam perhitungan pemasukan bagi pengelola. Petugas hanya bersifat menjaga dan tidak memperoleh pendapatan langsung dari hasil penyewaan ini. Penyewaan kamar bilas dapat juga dikembangkan di Lembah Cilengkrang dan Buper Palutungan karena memiliki obyek wisata alam pemandian air terjun/curug. Permintaan kamar bilas/ruang ganti pakaian tersebut sudah dinyatakan oleh responden yang mengunjungi Palutungan dan Lembah Cilengkrang. Kondisi kamar bilas di Pemandian Cibulan dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Jenis usaha penyewaan kamar bilas di Pemandian Cibulan Penyewaan peralatan renang hanya terdapat di Cibulan. Usaha penyewaan peralatan renang di lokasi pemandian Cibulan dapat dilihat pada Gambar 21.
105
Gambar 21 Jenis usaha penyewaan peralatan renang di Pemandain Cibulan Penyewaan toilet umum hanya terdapat di Cibulan, dimiliki oleh masyarakat sebanyak satu unit, dan satu unit lainnya termasuk dalam pengelolaan obyek ekowisata Cibulan. Wisatawan yang menggunakan jasa toilet umum ini cukup banyak karena terbatasnya toilet yang disediakan oleh pihak pengelola ekowisata. Pengelola di ketiga obyek wisata alam TNGC berasal dari masyarakat desa setempat. CV Wisata Putri Mustika, pengelola buper Palutungan, selain pemilik, mempunyai tenaga kerja sebanyak empat orang yang bertugas untuk mengelola loket masuk. Obyek wisata alam Cibulan dikelola oleh pihak Desa Manis Kidul, memiliki 12 orang tenaga kerja, enam orang bertugas untuk menjaga pintu masuk areal parkir dan parkir kendaraan, dua orang bertugas mengelola kamar bilas/ganti, satu orang bagian pemeriksaan tiket, dua orang bagian keamanan dan satu orang bagian loket karcis masuk. Obyek wisata alam Lembah Cilengkrang dikelola oleh Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata (KOMPEPAR) berjumlah 19 orang. Bertugas secara bergantian (sistim shift), dengan pembagian tugas per hari sebanyak empat orang pada hari Senin hingga Sabtu. Pada hari Minggu dan saat musim liburan hampir semua anggota terlibat. Tugas dari pengelola meliputi penjagaan loket masuk, bagian informasi, menjaga keamanan wisatawan serta kebersihan obyek wisata alam. Pendapatan pengelola ekowisata bervariasi.
Untuk anggota pengelola obyek ekowisata
Cibulan, gaji tetap per bulan rata-rata sebesar Rp 550.000 dan mendapat biaya makan Rp 10.000 per hari. Pada hari minggu dan saat libur lebaran dan tahun baru, tambahan diberikan pada insentif biaya makan menjadi Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per hari. Obyek ekowisata alam Lembah Cilengkrang dikelola oleh Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata (KOMPEPAR) beranggotakan 19 orang. Pendapatan pengelola berasal dari pemasukan yang diterima setiap bulan dari karcis masuk. Setelah dipotong biaya kas kelompok dan biaya pemeliharaan
106
obyek wisata, sisanya dibagi merata kepada setiap anggota. Setiap bulan ratarata setiap anggota menerima Rp 150.000 sampai Rp 200.000. Setiap tahun ada peningkatan pendapatan sebesar 20% sampai 25%. Pendapatan rata-rata pengelola di tiga obyek ekowisata setiap bulan adalah sekitar Rp 566.660 per orang dan menyerap tenaga kerja sebanyak 33 orang. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dapat dipetakan jumlah unit usaha ekowisata yang tersedia dan jumlah masyarakat yang terlibat dalam usaha tersebut seperti disajikan pada Tabel 36. Tabel 36 Jumlah unit usaha dan jumlah masyarakat yang bekerja di tiga lokasi ekowisata No
1.
Jenis Produk dan Jasa Ekowisata
Lembah Cilengkrang
Buper Palutungan Jumlah unit usaha 13
Jumlah masyarakat 13
Cibulan
Jumlah unit usaha 8
Jumlah masyarakat 8
Jumlah unit usaha 10
Jumlah masyarakat 10
Tidak ada 2
1
1
30
30
Jumlah Masyarakat (KK)
2.
Warung makanan/ minuman Souvenir
3.
Pemandu ekowisata
Tidak ada 2
1
1
2
2
5
4
Penitipan kendaraan
1
14
1
7
1
6
27
5.
Atraksi outbond
8
1
4
12
Penyewaan peralatan renang Toilet umum
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada 17
1
6.
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada 1
Tidak ada Tidak ada Tidak ada 1
Tidak ada Tidak ada Tidak ada 5
8
8
8
2
1
1
1 1
Tidak ada 6
Tidak ada 28
12
41
18
34
56
67
142
7. 8. 9.
Penyewaan kamar bilas Pengelola obyek ekowisata Jumlah
30 31
Ada sembilan jenis usaha yang tersedia dan tujuh diantaranya dimiliki oleh masyarakat (selain penyewaan kamar bilas dan pengelola obyek ekowisata) dengan penyerapan jumlah tenaga kerja masyarakat sebanyak 142 KK. Dari 86 unit usaha yang terdapat di tiga lokasi ekowisata, terbanyak berada di obyek ekowisata Cibulan yaitu sebanyak 56 unit usaha, dan seluruh jenis usaha ekowisata ini terdapat di Pemandian Cibulan. Hal ini karena lokasinya relatif lebih dekat dari kota, mudah ditempuh dan kondisi areal usaha yang lebih strategis. Jenis dan jumlah unit usaha di obyek ekowisata Lembah Cilengkrang paling sedikit, yaitu hanya empat jenis dengan 12 unit usaha. Berdasarkan hasil analisis terhadap jenis usaha masyarakat di tiga lokasi ekowisata, ada hubungan yang berbanding terbalik antara jumlah jenis usaha,
107
jumlah unit usaha dan jarak dari kota (Kuningan). Semakin jauh jarak obyek ekowisata dari kota, semakin sedikit jenis usaha dan jumlah unit usaha masyarakat. Artinya bahwa, peluang kesempatan kerja lebih banyak pada lokasi ekowisata yang dekat dengan kota, dan semakin terbatas jika jauh dari kota. Namun demikian jumlah masyarakat yang terlibat dalam usaha ekowisata ternyata tidak mengikuti pola tersebut. Jumlah masyarakat yang bekerja di ekowisata ternyata tidak tergantung pada banyaknya jumlah jenis usaha, tetapi tergantung pada kebutuhan dari setiap unit usaha. Sebagai contoh, satu unit usaha atraksi outbond di Palutungan membutuhkan tenaga kerja sebanyak 8 orang, sedangkan di Cibulan cukup ditangani empat orang. Hal ini dikarenakan usaha atraksi outbond di Palutungan memiliki jenis permainan yang lebih beragam serta areal yang dipergunakan lebih luas. Grafik hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 22
Gambar 22 Hubungan jarak dari pusat kota dengan jumlah unit usaha Implikasi hubungan ini adalah kepada strategi yang dapat digunakan oleh stakeholder dalam pengembangan ekowisata khususnya yang menyangkut usaha masyarakat. Peluang usaha masyarakat agar lebih dikembangkan di lokasi ekowisata yang berjarak lebih jauh dari kota dengan melihat contoh usaha yang telah ada. Meskipun masing-masing lokasi ekowisata memiliki potensi, peluang pengembangan dan karakteristik masyarakat yang berbeda, namun secara umum jenis usaha masyarakat yang dapat dikembangkan hampir seragam, hanya teknik mengemasnya saja yang lebih disesuaikan dengan kondisi disetiap lokasi ekowisata. Aspek pengembangan usaha masyarakat tersebut tidak terlepas dari keberadaan wisatawan. Informasi mengenai preferensi wisatawan sebagai konsumen sangat diperlukan sebagai acuan jenis usaha yang layak dikembangkan. Menarik sebanyak mungkin belanja wisatawan baik dari segi kuantitas (besarnya) dan kualitas (proporsi yang diterima masyarakat setempat) harus menjadi tujuan utama pengembangan usaha
108
masyarakat. Oleh karena itu sangat diperlukan kajian mengenai demand wisatawan. 4.4.1.2 Kondisi Permintaan Ekowisata TNGC Sejak tahun 2007 hingga 2011 jumlah wisatawan TNGC mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2007 rata-rata sebanyak 8.478 orang, tahun 2008 rata-rata 21.123 orang, tahun 2009 sebanyak 49.510 orang, tahun 2010 rata-rata 147.495 orang, dan pada tahun 2011 rata-rata 141.435 orang. Musim libur sekolah dan hari raya merupakan saat terjadinya lonjakan wisatawan. Rata-rata tingkat kunjungan wisatawan per bulan untuk Buper palutungan sebanyak 2.883 orang atau 12,23% dari total wisatawan, Lembah Cilengkrang sebanyak 5.452 orang atau 23,13% dan Cibulan sebanyak 365 orang atau 1,55% dengan rata-rata tingkat kunjungan di tiga obyek ekowisata tersebut sebanyak 2.900 orang per bulan atau sekitar 12,30% dari jumlah total wisatawan TNGC per bulan (BTNGC 2011 data diolah). Jumlah wisatawan TNGC tahun 2007 hingga 2011 dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Jumlah wisatawan TNGC Hasil identifikasi menggambarkan, responden wisatawan TNGC sebagian besar berasal dari daerah sekitar TNGC, yaitu kabupaten Kuningan dan Cirebon, berpendidikan SLTA, berusia antara 10 hingga 30 tahun, dan bekerja sebagai pegawai swasta dan pelajar/mahasiswa. Meskipun sebagian besar (36%) wisatawan anak-anak muda tersebut belum berpenghasilan, namun dari segi pengeluaran, ternyata 55% dari wisatawan membelanjakan uangnya antara 50 ribu hingga 100 ribu rupiah setiap kali berkunjung. Artinya bahwa wisatawan
anak-anak
muda
ini
cukup
potensial
sebagai
penyumbang
perekonomian masyarakat setempat. Hasil pengamatan lapangan membuktikan bahwa sebagian besar pembeli di warung-warung adalah anak-anak muda yang pada umumnya enggan untuk membawa bekal sendiri, berbeda dengan
109
wisatawan dari kalangan dewasa yang telah menyiapkan perbekalan/konsumsi dari tempat tinggalnya. Ekowisatawan tersebut sebagian besar sudah lebih dari tiga kali mengunjungi lokasi ekowisata yang sama. Strategi promosi TNGC sebaiknya lebih difokuskan pada pasar/konsumen luar daerah, sehingga dapat menarik lebih banyak wisatawan dari luar daerah, sehingga diharapkan terdapat komponen belanja wisatawan yang lebih besar terutama untuk akomodasi dan konsumsi yang merupakan porsi terbesar pengeluaran ekowisata. Karakteristik responden ekowisatawan TNGC disajikan pada Tabel 37. Tabel 37 Karakteristik responden ekowisatawan TNGC No 1
2
3
4 5
6
Kondisi Sosial Ekonomi Responden Asal Pengunjung - Cirebon - Kuningan - Indramayu - Bekasi - Jakarta - Majalengka - Mojokerto Umur - 10 – 20 tahun - 21 – 30 tahun - 31 – 40 tahun - 41 –50 tahun - 51 – 60 tahun - > 61 tahun Pendidikan - SLTP - SLTA - Diploma - Sarjana Jenis Kelamin - Perempuan - Laki-laki Pekerjaan - Karyawan swasta - Pelajar - Mahasiswa - Dagang - PNS - Buruh - Sopir Pendapatan per bulan - 0 - < Rp 500.000 - Rp 500.000 – Rp 1.500.000 - Rp 1.500.000 – Rp 3.500.000 - Rp 3.500.000 – Rp 6.500.000 - Rp 6.500.000 - < Rp 10.000.000 - > Rp 10.000.000
Jumlah 29% 53% 4% 2% 5% 5% 2% 36% 47% 9% 5% 0% 2% 7% 67% 7% 18% 47% 53% 31% 27% 18% 13% 5% 4% 2% 36% 11% 31% 11% 2% 4% 5%
110
Potensi perekonomian masyarakat sekitar dari belanja ekowisatawan cukup besar, dari hasil wawancara 55% ekowisatawan membelanjakan uangnya sebesar Rp 50.000 – Rp 100.000, 5% membelanjakan Rp 100.000 – Rp 150.000, 20% membelanjakan Rp 150.000 – Rp 200.000 dan 20% membelanjakan Rp 200.000 – Rp 250.000, dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 127.500 per hari, sementara rata-rata belanja wisatawan nusantara adalah Rp 110.000 per hari (Warpani 2007). Jika
20%-35% dari pengeluaran itu dialokasikan untuk
makanan/minuman (Warpani 2007), pengeluaran untuk akomodasi sebesar 25%30% dari pengeluaran, dan untuk angkutan setempat hanya 5% dari pengeluaran (Yoeti 1988), maka keseluruhan pengeluaran wisatawan untuk akomodasi, makanan dan angkutan setempat diperkirakan sebesar 50%-70%.
Dengan
asumsi pengeluaran ditempat tujuan ekowisata sebesar 50% nya, maka akan tersisa 25% hingga 35% dari belanja wisatawan yang belum diserap. Jika mampu untuk menarik sisa dari belanja ini, maka proporsi ini sangat berarti bagi pendapatan masyarakat. Masyarakat tinggal mengemas dari aspek apa saja wisatawan akan membelanjakan jumlah uang yang tersisa ditempat mereka berkunjung. Souvenir, atraksi wisata, jasa pemanduan, dan jenis produk wisata lainnya menjadi alternatif yang harus diperhitungkan. a Permintaan Ekowisatawan terhadap Komponen Ekowisata Komponen ekowisata meliputi obyek daya tarik wisata di TNGC, perangkutan/assesibilitas, promosi dan informasi, pelayanan wisatawan, serta fasilitas yang disediakan oleh pihak pengelola ekowisata. Permintaan responden terhadap komponen ekowisata tersebut dijelaskan sebagai berikut : Berdasarkan tujuan utama mengunjungi daerah ekowisata TNGC, 75% responden bermaksud untuk menikmati keindahan panorama/pemandangan alam, 15% untuk menikmati obyek wisata alam yang ada, seperti pemandian atau bumi perkemahan, 10% untuk rekreasi dan 5% responden bertujuan untuk melihat dan mengamati tumbuhan dan satwa khas/unik. Karena keindahan alam TNGC ini, 64% responden menyatakan bukan merupakan kunjungan yang pertama. Sebanyak 36% responden pernah berkunjung ke daerah ekowisata TNGC sebanyak dua kali, 36% pernah berkunjung sebanyak tiga hingga lima kali, 20% pernah berkunjung lebih dari sembilan kali, dan 8% responden pernah berkunjung sebanyak enam hingga sembilan kali. Sebagian besar (77%) responden menghabiskan waktu kurang dari satu hari dan tidak menginap. Terhadap besarnya tarif masuk kawasan ekowisata TNGC, secara umum 57%
111
responden menyatakan tidak mahal dan 43% lainnya menyatakan
mahal.
Terhadap tarif masuk ini ekowisatawan berharap bahwa besarnya tarif masuk hendaknya disesuaikan dengan obyek wisata yang ditawarkan. Promosi yang telah dilakukan oleh Balai TNGC dan pihak pengelola belum secara maksimal dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat responden yang sebagian besar menyatakan bahwa mendapatkan informasi obyek wisata alam dari teman/saudara sebanyak 65% responden, 15% mendapatkan informasi dari media cetak (leaflet, booklet, majalah, koran), 7% mendapatkan informasi dari media elektronik (televisi, radio, internet) dan 13% dari sumber lain. Sebanyak 55% responden berkunjung ke TNGC didorong keinginannya untuk membuktikan informasi yang telah diperoleh. Upaya promosi yang dilakukan oleh Balai TNGC dan pengelola ekowisata tersebut belum secara optimal dilakukan, terutama promosi di luar daerah Kuningan dan sekitarnya. Hal ini terbukti dari jumlah responden yang sebagian besar yaitu 82% berasal dari Kabupaten Kuningan dan Cirebon, dan hanya 18% yang berasal luar kedua daerah tersebut (Indramayu, Majalengka, Jakarta, Bekasi dan Jawa Tengah). Promosi melalui media cetak dan elektronik terbukti belum efektif dalam menarik minat wisatawan, karena hanya 22% responden yang mendapatkan informasi dari media cetak dan elektronik. Promosi melalui pameran sebaiknya ditingkatkan setiap tahun, agar keberadaan TNGC lebih dikenal oleh ekowisatawan dari luar Jawa Barat. Tanggapan responden terhadap pelayanan petugas/pengelola lokasi obyek wisata alam secara umum, 43% responden menyatakan kurang baik, 53% responden menyatakan cukup baik, dan hanya 2% yang menyatakan baik. Pelayanan pengelola dinyatakan kurang baik, menurut responden salah satunya karena tidak adanya petugas yang dapat menjelaskan lokasi obyek dan tidak adanya buku panduan (booklet) atau peta denah lokasi obyek ekowisata sebagai sarana untuk mempermudah dan memperlancar kegiatan ekowisata. Pelayanan merupakan salah satu faktor yang menentukan minat ekowisatawan untuk berkunjung (Fandeli 2000), baik pelayanan oleh pengelola maupun oleh masyarakat. Oleh karena itu pengetahuan mengenai teknik melayani wisatawan harus menjadi salah satu materi dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi, Balai TNGC dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan.
112
Secara umum tanggapan responden terhadap kondisi fasilitas di tiga lokasi ekowisata TNGC yaitu 8% responden menyatakan baik, 40% responden menyatakan cukup baik, 48% menyatakan kurang baik, dan 4% responden menyatakan tidak baik. Tidak adanya peta denah lokasi obyek wisata, kurangnya jumlah papan petunjuk, kurang jelasnya tulisan pada papan petunjuk, kondisi pintu MCK yang tidak berfungsi, kondisi shelter yang kurang layak pakai, mushola yang kurang terawat, serta jalur tracking yang tidak jelas merupakan indikator penilaian dari ekowisatawan mengenai kurang baiknya fasilitas. Setelah melakukan kunjungan ke lokasi ekowisata TNGC, sebagian besar (79%) responden tetap menyatakan berminat untuk kembali mengunjungi lokasi ekowisata TNGC karena mereka mendapat kesan yang menyenangkan yaitu dapat menikmati hutan yang masih alami, pemandangan/panorama alam yang indah dan menarik, serta udara yang sejuk. b. Permintaan Ekowisatawan terhadap Produk Ekowisata Pendapat responden dalam hal produk ekowisata yang disediakan oleh masyarakat disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Permintaan ekowisatawan terhadap produk ekowisata No 1
2
3
4
Produk Ekowisata Makanan dan minuman - Menyediakan banyak ragam makanan dan minuman - Harga murah - Menyediakan makanan khas Souvenir a. Tanggapan mengenai souvenir Souvenir adalah benda ciri khas (pin, sticker, topi, kaos dll) Pakaian dan mainan Makanan khas b. Kisaran harga yang diminati responden Rp 5.000–Rp 25.000 Rp 26.000–Rp 50.000 > Rp 50.000 Pemandu wisata a. Kebutuhan penggunaan jasa pemandu Membutuhkan pemandu wisata Cukup membutuhkan Tidak membutuhkan b. Kesanggupan membayar tarif bagi pemandu Tarif < Rp 25.000 per jam Tarif Rp 25.000–Rp 50.000 per jam Tarif >Rp 50.000 per jam Penitipan kendaraan - Membutuhkan untuk keamanan - Cukup membutuhkan - Tidak membutuhkan
Jumlah 45 % 32 % 23 % 57 % 23 % 20 % 75 % 20 % 5% 20 % 45 % 35 % 37 % 52 % 11 % 65 % 35 % -
113
No 5
6
7 8
9
10
11
12
Produk Ekowisata Tarif atraksi outbond - Rp 5.000–Rp 15.000 - Rp 15.000–Rp 25.000 - > Rp 25.000 Penyewaan peralatan renang - Berminat - Cukup berminat - Tidak berminat Toilet umum - Tarif Rp 2.000 per satu kali sewa - Tarif > Rp 2.000–Rp 3.000 Penyewaan kamar bilas a. Kebutuhan kamar bilas Membutuhkan kamar bilas Cukup membutuhkan Tidak membutuhkan b. Tarif kamar bilas Rp 2.000 Rp 2.000–Rp 5.000 > Rp 5.000 Penyewaan Tenda - Tarif < Rp 25.000 per malam - Tarif Rp 25.000 – Rp 50.000 per malam - Tarif Rp 50.000 – Rp 75.000 per malam Penitipan Pakaian - Tarif < Rp 2.000 - Tarif Rp 2.000–Rp 5.000 - Tarif > Rp 5.000 Homestay/Pondokan - Tarif < Rp 50.000 per malam - Tarif Rp 50.000–Rp 100.000 per malam - Tarif > Rp 100.000 per malam Rumah makan/Restoran - Tarif sekali makan < Rp 20.000 - Tarif sekali makan Rp 20.000–Rp 30.000 - Tarif sekali makan > Rp 30.000
Jumlah 65 % 26 % 9% 22 % 20 % 58 % 98 % 2% 56 % 44 % 60 % 35 % 5% 13 % 62 % 25 % 45 % 30 % 25 % 55 % 38 % 7% 47 % 45 % 8%
Menurut responden, selain bersih dan sehat, kriteria utama yang harus dipenuhi oleh warung agar banyak pembeli adalah jika warung menyediakan banyak ragam makanan yang dijual menurut 45% responden, 32% responden menyatakan jika makanan yang dijual harganya murah, dan jika warung tersebut menyediakan makanan khas daerah setempat (23% responden). Tanggapan responden mengenai souvenir, sebagian besar (57%) menginginkan souvenir yang menggambarkan ciri khas TNGC (seperti gantungan kunci, pin, stiker, topi, kaos dan asesoris lainnya bergambar TNGC). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara di tiga obyek ekowisata tidak ditemukan souvenir yang berciri khas TNGC, seperti yang diinginkan responden yaitu pin, gantungan kunci, kaos dan jenis lainnya yang menunjukkan keberadaan TNGC. Padahal melalui souvenir ini dapat menjadi ajang informasi
114
dan promosi yang lebih efektif bagi pelestarian TNGC. Masyarakat akan lebih mengenal TNGC berdasarkan benda yang digunakannya sehari-hari, demikian juga jika souvenir ini diberikan sebagai oleh-oleh kepada kerabat yang jauh, akan dapat memperluas jangkauan informasi keberadaan TNGC. Pendapat responden mengenai pemandu ekowisata, sebagian besar (45%) responden menyatakan cukup membutuhkan. Keberadaan pemandu cukup dibutuhkan responden, namun sebagian besar responden menyatakan tidak mengetahui informasi mengenai pemandu. Jumlah pemandu yang ada di tiga obyek wisata alam hanya berjumlah lima orang. Berdasarkan pengamatan di lapangan, wisatawan yang memerlukan pemandu harus lebih dulu bertanya kepada petugas di pos jaga atau bertanya kepada masyarakat yang bekerja di wisata. Kurangnya informasi mengenai pemandu mengakibatkan ekowisatawan kurang memanfaatkan jasa pemandu. Frekuensi pemanduan menjadi hanya dua hingga tiga kali sebulan, dan berdampak terhadap kecilnya pendapatan yang diterima pemandu.
Kapasitas pemandu di Lembah Cilengkrang dari segi
pengetahuan dan ketrampilan cukup baik. Beberapa pelatihan mengenai teknik pemanduan dan interpretasi sudah pernah diikuti, namun keberadaannya belum banyak diketahui oleh wisatawan. Peran Balai TNGC atau stakeholder lainnya diperlukan untuk membuatnya menjadi lebih go public. Penitipan kendaraan merupakan jenis usaha yang cukup menguntungkan karena jumlah wisatawan yang menggunakan kendaraan pribadi semakin meningkat setiap tahun. Hanya perlu sebidang tanah yang tidak terlalu jauh dari lokasi wisata dan tidak perlu ketrampilan khusus bagi pengelolanya. Tarif penitipan kendaraan bervariasi untuk tiap lokasi, tapi rata-rata Rp 2.000 untuk kendaraan roda dua, dan Rp 4.000 untuk kendaran roda empat. Beberapa wisatawan mempertanyakan tentang tarif penitipan kendaraan ini, karena mereka sudah dikenakan biaya parkir yang masuk dalam komponen tarif masuk. Namun pengelola menyatakan bahwa tarif parkir berbeda dengan tarif penitipan kendaraan, karena jika membayar biaya penitipan maka akan ada jaminan keamanan terhadap kendaraan yang dititipkan. Meskipun biaya yang dikeluarkan wisatawan untuk kendaraan menjadi dua kali lipat (biaya parkir dan penitipan kendaraan), namun usaha ini tidak pernah sepi di masing-masing lokasi ekowisata. Kegiatan penjagaan terhadap kendaraan ini dilakukan oleh pengelola dengan sistim bergantian.
115
Minat responden terhadap atraksi outbond cukup tinggi, baik di Palutungan maupun di Cibulan. Ada enam jenis atraksi outbond di Palutungan, dan satu jenis di Cibulan yaitu flyng fox. Kegiatan ini hanya ada pada hari Sabtu, Minggu dan hari-hari libur terutama libur lebaran. Menurut responden, keberadaan atraksi outbond menjadi salah satu daya tarik mengunjungi obyek wisata Palutungan dan Cibulan. Sebagian besar responden (82%) menyatakan sebaiknya ada penambahan frekwensi kegiatan, tidak hanya pada hari minggu dan liburan (sekolah dan lebaran), juga pada libur natal, hari besar keagamaan, dll.
Penambahan
jenis
permainan
menurut
responden
akan
semakin
memperbesar minat wisatawan untuk bermain. Pada saat ini atraksi outbond di Cibulan masih terus berjalan, sedangkan di Palutungan sudah sekitar enam bulan tidak aktif, karena belum adanya kesepakatan mengenai kerjasama antara pengelola outbond, pengelola obyek wisata dan pihak Balai TNGC. Pada obyek ekowisata air terjun/pemandian pada umumnya wisatawan membawa sendiri perlengkapan renang. Namun usaha penyewaan peralatan renang di lokasi Cibulan cukup diminati oleh sekitar 22% responden. Menurut responden yang terpenting adalah pemeliharaan kebersihan peralatan. Jumlah dan kebersihan toilet umum dinyatakan oleh sebagian besar responden
sebagai
faktor
yang
menentukan
minat
wisatawan
untuk
menggunakannya. Saat ini toilet umum hanya ada di Cibulan sebanyak dua unit, satu unit terletak di dalam areal obyek ekowisata milik pengelola dan satu unit lagi di luar areal milik masyarakat. Pada saat musim liburan, menurut responden keberadaan toilet menjadi sangat penting. Jika toilet yang disediakan oleh pengelola kurang terawat atau terbatas jumlahnya, maka pilihan wisatawan adalah toilet umum. Menurut reponden, toilet umum yang bersih dan cukup jumlahnya perlu ada pada setiap lokasi wisata. Tanggapan responden terhadap penyewaan kamar bilas, sebagian besar (56%) responden menyatakan membutuhkan kamar bilas. Di tiga obyek ekowisata, salah satu aktifitas yang dapat dinikmati wisatawan adalah berenang/mandi, sehingga keberadaan kamar bilas dan penitipan pakaian dibutuhkan. Saat ini kamar bilas hanya ada di Cibulan, dan termasuk dalam pengelolaan tempat wisata Cibulan. Belum ada usaha kamar bilas yang dimiliki masyarakat. Menurut responden, keberadaan kamar bilas sangat diperlukan di lokasi wisata yang memiliki air terjun atau pemandian, karena terbatasnya jumlah toilet.
116
Minat responden terutama anak sekolah dan remaja untuk berkemah cukup tinggi, apalagi saat liburan sekolah. Salah satu kendala aktifitas tersebut adalah ketersediaan tenda dan perlengkapannya. Selain karena harganya cukup mahal, membawa ke lokasi pun cukup merepotkan, sehingga solusi terbaik adalah menyewa di lokasi berkemah. Menurut responden informasi mengenai penyewaan dan tarif sewa tenda sangat dibutuhkan. Sebagian besar responden (62%) menyatakan bersedia membayar sewa tenda untuk ukuran standar (4-5 orang) sebesar Rp 25.000 hingga Rp 50.000 per malam. Aktifitas wisatawan di ketiga obyek wisata alam diantaranya adalah berenang/mandi, sehingga menurut 65% responden tempat untuk menitipkan pakaian menjadi suatu kebutuhan ketika mereka beraktifitas. Sebanyak 45% responden bersedia membayar uang sewa jasa dibawah Rp. 2.000, 30% responden bersedia membayar Rp 2.000 hingga Rp 5.000, dan 25% responden bersedia membayar di atas Rp 5.000. Pada saat ini di ketiga lokasi ekowisata belum ada tempat untuk menitipkan pakaian. Akomodasi merupakan salah satu komponen belanja wisatawan yang cukup tinggi dan dapat menjadi peluang usaha yang potensial untuk dikembangkan. Menurut Warpani dan Warpani (2007) belanja wisatawan tertinggi adalah pada komponen akomodasi yang mencapai 30%. Keberadaan tempat menginap menjadi salah satu kebutuhan penting bagi ekowisatawan, khususnya yang berasal dari tempat yang jauh dari lokasi ekowisata. Banyak alternatif tempat untuk menginap seperti hotel, motel, wisma, cottage, villa dan bentuk lainnya. Wisatawan dapat menentukan pilihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan finansialnya. Ketiga lokasi obyek wisata alam berjarak cukup dekat dengan kota (7 km hingga 12,5 km), dimana terdapat beragam pilihan tempat menginap. Namun di sekitar obyek wisata alam tidak ditemukan tempat untuk menginap, padahal minat responden terhadap tempat menginap di sekitar lokasi wisata cukup tinggi. Berdasarkan hasil wawancara, responden yang berminat untuk menginap dekat dengan obyek ekowisata adalah mereka yang ingin lebih menikmati suasana hutan termasuk flora dan fauna. Alasan responden menginap di sekitar lokasi adalah untuk efisiensi waktu serta ingin lebih menikmati suasana alami hutan. Responden yang berminat untuk menginap di sekitar lokasi sebanyak 37%, berasal dari kota Mojokerto, Jakarta, Bekasi, Cirebon dan Indramayu.
117
Tempat menginap yang menjadi pilihan adalah pondokan/home stay dan penyewaan rumah penduduk. Menurut responden, salah satu kriteria homestay/ pondokan dan rumah penduduk yang diinginkan adalah tempatnya cukup luas dan bersih, sehingga dapat menampung jumlah orang yang cukup banyak untuk keluarga atau rombongan. Dalam hal tarif sewa, sebagian besar responden (55%) bersedia untuk membayar sewa kamar per malam dibawah Rp 50.000, 38% responden bersedia membayar Rp 50.000 hingga Rp 100.000 dan 7% responden bersedia membayar di atas Rp 100.000. Keberadaan rumah makan/restoran di lokasi wisata cukup penting. Kenyamanan wisatawan dalam melakukan kegiatan salah satunya ditunjang oleh faktor konsumsi. Menurut sebagian besar responden (65%), rumah makan yang bersih dan murah di lokasi ekowisata merupakan suatu kebutuhan, karena terkadang konsumsi kurang dipersiapkan dengan baik ketika melakukan kegiatan wisata. Berdasarkan hasil wawancara, untuk satu kali makan sebagian besar responden (47%) bersedia membayar dibawah Rp 20.000. Secara umum kesan responden terhadap informasi/promosi TNGC, perangkutan/assesibilitas, sarana prasarana dan pelayanan cukup baik. Temuan ini mendukung hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh PUSPAR UGM pada tahun 2000 (Fandeli 2001), bahwa kualitas pelayanan dari pelaku ekowisata terhadap ekowisatawan masih berada pada proporsi cukup baik. Persepsi dan preferensi masyarakat dan wisatawan dapat dipergunakan sebagai bahan dalam menentukan arah/pola pengembangan seluruh komponen ekowisata, baik produk maupun pasar ekowisata. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui adanya kesenjangan (gaps) antara kondisi dan penawaran dan permintaan komponen ekowisata serta produk ekowisata TNGC, sebagai berikut; 1) Ekowisatawan tertarik mengunjungi obyek wisata alam TNGC namun kegiatan ekowisata menjadi tidak nyaman karena kondisi fasilitas yang kurang baik. 2) Menurut ekowisatawan, kualitas pelayanan oleh pengelola ekowisata di TNGC perlu ditingkatkan. 3) Ekowisatawan berminat untuk berbelanja makanan dan minuman di lokasi ekowisata, namun jenis makanan kurang beragam. 4) Ekowisatawan menginginkan souvenir yang menggambarkan ciri khas TNGC namun belum tersedia di lokasi ekowisata.
118
5) Ekowisatawan berminat untuk menggunakan jasa pemandu, namun informasi tentang keberadaan pemandu ekowisata belum dikelola dengan baik. 6) Jenis atraksi outbond sangat diminati ekowisatawan, namun saat ini frekwensi kegiatan dan jenis permainan yang ada terbatas jumlahnya. 7) Ekowisatawan sangat membutuhkan toilet umum yang terawat dan berfungsi dengan baik terutama pada musim liburan. Namun saat ini penyediaan oleh masyarakat masih terbatas dalam hal jumlah dan kualitas. 8) Berkemah di bumi perkemahan menjadi faktor yang paling menarik bagi ekowisatawan, namun penyewaan tenda tidak tersedia di lokasi ekowisata. 9) Berenang dan mandi merupakan aktifitas yang diminati oleh ekowisatawan. Ruang/kamar untuk bilas dan tempat penitipan pakaian menjadi kebutuhan ketika aktifitas tersebut dilakukan, namun belum tersedia di Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang. 10) Penginapan di rumah penduduk, home stay atau pondok wisata diminati oleh ekowisatawan terutama dari luar daerah, namun masyarakat setempat belum siap menyediakan. 11) Minat ekowisatawan terhadap keberadaan rumah makan/restoran yang bersih dan relatif murah cukup tinggi, namun di lokasi ekowisata belum tersedia. Berdasarkan uraian di atas, peluang belanja ekowisatawan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal meliputi kebutuhan akan akomodasi, transportasi lokal, makan, minum, pemanduan dan cinderamata, dimana menurut Fandeli (2001) persentase komponen ini mencapai 59% – 65%. Jenis permintaan ekowisatawan yang belum disediakan dan yang potensial untuk dikembangkan sebagai bentuk usaha oleh masyarakat sekitar adalah homestay/pondokan di rumah penduduk, rumah makan/restoran, penyewaan tenda untuk berkemah, penjualan souvenir khas TNGC, pemandu wisata, penyewaan kamar untuk bilas, penitipan pakaian, penyewaan peralatan renang, atraksi outbond dan toilet umum. 4.4.1.3 Potensi Kesempatan Kerja Terdapat kesenjangan antara fasilitas, pelayanan wisatawan serta jenis usaha produk yang dapat disediakan oleh masyarakat, dengan permintaan dari ekowisatawan. Kesenjangan ini dapat menggambarkan potensi peningkatan jumlah ekowisatawan dan peluang usaha bagi masyarakat, seperti disajikan pada Tabel 39.
119
Tabel 39 Kesenjangan fasilitas, pelayanan dan jenis usaha ekowisata antara permintaan dan penawaran No
Permintaan ekowisatawan
Penawaran masyarakat
Pengembangan fasilitas, pelayanan dan jenis usaha ekowisata Peningkatan kuantitas dan kualitas fasilitas umum seperti : papan petunjuk, MCK, shelter dan jalur treking.
1
Kuantitas dan kualitas fasilitas yang tersedia di lokasi wisata di tingkatkan dalam hal : jumlah dan kualitas papan petunjuk, MCK, shelter dan jalur treking.
Fasilitas yang tersedia di lokasi obyek ekowisata dalam kategori : 8% ekowisatawan menyatakan baik, 40% cukup baik, 48% kurang baik, dan 4% tidak baik. 1. Kurangnya jumlah papan petunjuk 2. Kurang jelasnya tulisan pada papan petunjuk, 3. Kondisi MCK kurang layak, 4. shelter kurang berfungsi dengan baik, 5. Jalur treking tidak jelas
2
Kualitas pelayanan berupa penyediaan booklet di lokasi, penjelasan mengenai obyek ekowisata oleh pengelola, dan penyediaan peta denah/jalur treking di lokasi obyek ekowisata ditingkatkan.
Pelayanan pengelola terhadap wisatawan dalam kategori : 43% responden menyatakan kurang baik, 53% cukup baik 4% baik. 1.Booklet/leaflet tidak tersedia di lokasi obyek ekowisata 2.Pengelola belum terbiasa menjelaskan mengenai obyek ekowisata tanpa diminta oleh ekowisatawan 3.Peta denah/jalur treking belum terpampang di areal masuk obyek ekowisata.
Peningkatan kualitas pelayanan terhadap ekowisatawan dalam hal penyediaan booklet di lokasi, penjelasan mengenai obyek ekowisata oleh pengelola, dan penyediaan peta denah/jalur treking lokasi obyek ekowisata.
3
Jenis makanan dan minuman di warung beragam.
Warung makan dengan jenis makanan dan minuman yang homogen
Penganekaragaman jenis makanan/minuman.
4
Adanya Souvenir khas TNGC
Souvenir dengan jenis yang homogen
Pengadaan jenis souvenir khas TNGC
120
No
Permintaan ekowisatawan
Penawaran masyarakat
Pengembangan fasilitas, pelayanan dan jenis usaha ekowisata Informasi keberadaan pemandu ekowisata dan jumlah pemandu
5
Informasi Pemandu ekowisata mudah dan jumlahnya memadai
Jumlah dan informasi Pemandu ekowisata terbatas
6
Daya tampung penitipan kendaraan diperluas dan menjamin keamanan kendaraan yang dititipkan.
Daya tampung terbatas karena keterbatasan lahan dan ada kasus pencurian pada kendaraan yang dititipkan
Perluasan daya tampung parkir kendaraan dan jaminan keamanan kendaraan
7
Penambahan frekwensi dan jenis atraksi outbond
Frekwensi dan jenis atraksi outbond terbatas
Penambahan frekwensi kegiatan, jumlah dan jenis atraksi outbond
8
Penyewaan peralatan renang pada Buper Palutungan dan Cilengkrang
Penyewaan hanya ada di Cibulan. Kurangnya kebersihan peralatan renang .
Peningkatan jumlah dan kebersihan peralatan renang
9
Penambahan toilet umum pada saat musim liburan
Toilet umum hanya ada di Cibulan. Jumlah dan kebersihan toilet terbatas
Peningkatan jumlah dan kebersihan toilet umum, terutama musim liburan.
10
Penyewaan kamar bilas di Buper Palutungan dan Cilengkrang
Kamar bilas milik pengelola hanya ada di Cibulan
Pengadaan kamar bilas pada lokasi Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang
11.
Penyewaan Tenda
Belum ada
Pengadaan dan informasi penyewaan tenda
12.
Penitipan pakaian
Belum ada
Pengadaan penitipan pakaian
13.
Home stay/pondokan di rumah penduduk
Belum ada
Pengadaan homestay atau pondokan di rumah penduduk
14.
Rumah makan/restoran
Belum ada
Pengadaan rumah makan/restoran
Tabel 39 memperlihatkan adanya unsur kesenjangan atau gap fasilitas, pelayanan,
serta
produk
ekowisata
yang
tersedia
dengan
permintaan
ekowisatawan. Berdasarkan kesenjangan/gap yang telah diketahui, maka dapat diperkirakan kesempatan kerja pada berbagai jenis usaha di sektor ekowisata yang dapat dikembangkan oleh masyarakat seperti terlihat pada Tabel 40.
121
Tabel 40 Peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat di sektor ekowisata No.
Pengembangan fasilitas pelayanan dan jenis usaha ekowisata Peningkatan kuantitas dan kualitas fasilitas umum seperti : papan petunjuk, MCK, shelter dan jalur treking.
Peluang kesempatan kerja masyarakat Pembuatan dan pemeliharaan papan petunjuk, shelter dan peta pada lokasi ekowisata
2.
Peningkatan kualitas pelayanan dalam hal penyediaan booklet di lokasi, penjelasan mengenai obyek ekowisata oleh pengelola, dan penyediaan peta denah/jalur trecking lokasi obyek ekowisata.
Pembuatan booklet mengenai obyek ekowisata yang terdapat di wilayahnya (sebagai contoh Desa Cisantana memiliki 2 obyek ekowisata)
3.
Pengadaan jenis souvenir khas TNGC
1. Pembuat kerajinan tangan berupa souvenir khas TNGC 2. Penjual souvenir khas TNGC
4.
Informasi keberadaan pemandu wisata
1. Biro jasa informasi pemandu
5.
Perluasan daya tampung parkir kendaraan dan jaminan keamanan kendaraan
1. Pengelola penitipan kendaraan 2. Penyewaan lahan parkir
6.
Penambahan frekwensi kegiatan, jumlah dan jenis atraksi outbond
Pengelola atraksi outbond dengan jenis atraksi yang belum tersedia
7.
Peningkatan jumlah dan kebersihan toilet umum, terutama musim liburan.
Pengelola toilet umum
8.
Pengadaan kamar bilas pada lokasi Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang
Pengelola kamar bilas pada buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang
9.
Pengadaan dan informasi penyewaan tenda
Pengelola penyewaan tenda
10.
Pengadaan penitipan pakaian
Pengelola penitipan pakaian
11.
Pengadaan home stay atau pondokan di rumah penduduk
1. Pengusaha homestay/pondokan di sekitar lokasi wisata 2. Pengusaha penyewaan rumah penduduk 3. Biro perjalanan/biro jasa
12.
Pengadaan rumah makan/restoran
1. Pengusaha restoran/rumah makan 2. Suplier bahan makanan untuk restoran/rumah makan
1.
Tabel 40 memperlihatkan adanya 17 peluang jenis usaha di sektor ekowisata yang dapat menjadi lapangan kerja bagi masyarakat. Pengembangan ini dapat dilakukan pada jenis usaha yang telah tersedia dalam bentuk penambahan jumlah unit usaha pada lokasi obyek ekowisata, maupun bentuk penciptaan jenis usaha baru. Berdasarkan hasil wawancara, banyaknya responden ekowisatawan yang berminat terhadap produk ekowisata yang dimaksud berkisar antara 15% hingga
122
76%. Dari 14 jenis usaha baru yang disajikan pada Tabel 39, jenis usaha yang terkait langsung dengan belanja ekowisatawan ada enam, yaitu souvenir khas TNGC, penitipan pakaian, penyewaan kamar bilas, penyewaan tenda, restoran dan toilet umum. Oleh karena itu perhitungan dalam model hanya didasarkan kepada keenam jenis produk ekowisata tersebut. Persentase responden yang berminat dan rata-rata kesediaan membayar (uang yang dibelanjakan) dari pengembangan jenis usaha baru disajikan pada Tabel 41. Tabel 41 Responden yang berminat dan rata-rata kesediaan membayar No
Permintaan Ekowisatawan
1.
Pengadaan kamar/ruang bilas pada lokasi Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang Pengadaan Souvenir khas TNGC Penyewaan tenda Penitipan pakaian Home stay dan pondokan di rumah penduduk Rumah makan/restoran
2. 3. 4. 5. 6.
Persentase Responden yang Berminat 40% 76% 28% 30% 25% 36%
Rata-rata kesediaan membayar (WTP) (Rp) 5.000 7.500 25.000 5.000 50.000 15.000
Tabel 41 memperlihatkan persentase minat responden terhadap pengembangan produk ekowisata yang belum tersedia. Minat responden tertinggi adalah pada produk souvenir khas TNGC yaitu 76%, dan terendah pada homestay/pondokan dan penyewaan rumah penduduk (25%), karena sebagian besar responden wisatawan berasal dari daerah yang relatif dekat, yaitu Kuningan, Cirebon dan Indramayu, sehingga minat untuk menginap sangat kecil. Nilai Willingness To Pay (WTP) adalah nilai harga yang sanggup dibayarkan oleh responden terhadap produk yang diminati (Virza 2005), sebagai contoh harga yang bersedia dibayar responden untuk satu buah souvenir khas TNGC seperti gantungan kunci, stiker, dan pin rata-rata sebesar Rp 7.500 setiap buah. Demikian juga untuk nilai yang lain. Nilai harga ini kemudian dirata-ratakan dari masing-masing responden. Demikian juga dengan rata-rata WTP penyewaan kamar bilas yaitu sebesar Rp 5.000 sekali sewa, penyewaan tenda sebesar Rp. 25.000 per malam dengan ukuran standar (4-5 orang), homestay/pondokan dan penyewaan rumah penduduk sebesar RP 50.000 per kamar per malam serta rata-rata WTP rumah makan/restoran sebesar Rp. 15.000 untuk sekali makan. Rata-rata WTP ini sebagai acuan bagi nilai belanja ekowisatawan pada setiap jenis usaha ekowisata. Kontribusi pendapatan yang berasal dari ekowisata ini cukup signifikan mempengaruhi pendapatan total masyarakat yang bekerja di ekowisata, dimana 37% bekerja sebagai buruh tani dan petani dengan lahan sempit. Bekerja di
123
sektor non pertanian menjadi pilihan dalam upaya memenuhi kebutuhan rumah tangga. Meskipun sebagian besar masyarakat memiliki tingkat pendidikan rendah, dengan bantuan modal kerja dan fasilitas lainnya, beberapa peluang pekerjaan di ekowisata dapat dimasuki karena tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi, seperti penyewaan tenda, pengelola toilet umum, pengusaha warung, pengelola penitipan pakaian, usaha homestay/pondokan dan pengusaha rumah makan. Dari analisis ini dapat disimpulkan bahwa pendapatan dari non pertanian yaitu berusaha di sektor wisata memiliki kontribusi yang cukup besar bagi masyarakat yaitu rata-rata sebesar 41%. Pendapatan ini cukup penting mengingat keterbatasan pendidikan, ketrampilan dan modal yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Reardon et al (2000) yang mengemukakan bahwa pendapatan non pertanian rata-rata menyumbang 42% dari total pendapatan rumah tangga pedesaan di Afrika, 40% di Amerika Latin, dan 32% di Asia. Berdasarkan data profil desa dan hasil observasi, sebagian besar penggunaan lahan masyarakat adalah untuk tegalan/ladang/kebun masyarakat (desa Pajambon seluas 20,14 ha, desa Cisantana seluas 436,812 ha, desa Karangsari seluas 201,43 ha dan desa Seda seluas 78,216 ha). Sebagian besar tegalan/ladang ini didominasi oleh tanaman kayu-kayuan, tanaman buah-buahan, kebun kopi, serta tanaman bambu. Jenis-jenis tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai
bahan
baku
bagi
pembuatan
produk/fasilitas/sarana
untuk
pengembangan usaha ekowisata. Selain sebagai potensi sumber bahan baku, kondisi alam di desa-desa daerah penyangga menuju kawasan obyek wisata TNGC dapat dijadikan sebagai obyek wisata. Sebagai contoh di desa Pajambon, tanaman monokultur jambu merah yang ditanam hampir sepanjang jalan menuju obyek wisata Lembah Cilengkrang dapat menjadi obyek wisata yang sangat menarik sebagai wisata agro, apalagi jika mengemas wisata sekaligus dengan petik buah jambu. Buah jambu dapat dijual kepada wisatawan dalam bentuk buah segar atau dibuat jus buah dengan kemasan yang dibuat semenarik mungkin. Meskipun terdapat beberapa keterbatasan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan usaha baru di sektor ekowisata, namun masyarakat memiliki ketrampilan dalam bercocok tanam, bertukang, berdagang dan jasa boga yang dapat menjadi modal dasar dalam pengembangan usaha di sektor ekowisata. Beberapa anggota masyarakat pernah mendapatkan pelatihan
124
interpreter, pembuatan kerajinan dari bambu, dan pembibitan tanaman yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Propinsi dan Balai TNGC. Pengetahuan ini dapat dikembangkan dibawah pembinaan stakeholder.
Masyarakat dapat
memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada di desanya. Biaya atau modal untuk pengembangan usaha di ekowisata tetap diperlukan, namun relatif dapat ditekan seminimal mungkin. Pemanfaatan potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia SDM daerah penyangga bagi pengembangan jenis usaha ekowisata disajikan pada Tabel 42. Tabel 42 Pemanfaatan potensi SDA dan SDM daerah penyangga bagi pengembangan jenis usaha ekowisata No.
Jenis Usaha
Potensi SDA yang dimanfaatkan Tanaman kayukayuan
1.
Pengusaha pembuat papan petunjuk, shelter dan peta pada lokasi ekowisata
2.
Pengrajin souvenir khas TNGC
Tanaman kayu dan bambu
3
Penyewaan lahan parkir
Lahan masyarakat yang tidak produktif
4
Pengelola kamar bilas pada buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang
5.
Potensi SDM
Peruntukan
Masyarakat yang berprofesi sebagai tukang kayu atau masyarakat yang memiliki ketrampilan pertukangan
Bahan baku pembuatan papan petunjuk, peta, dan shelter
Masyarakat yang sudah mengikuti pelatihan pembuatan kerajinan/cenderamata Masyarakat yang memiliki lahan di sekitar lokasi wisata
Bahan baku pembuatan souvenir
Tanaman kayu dan bambu
Masyarakat yang berprofesi sebagai tukang kayu atau yang memiliki ketrampilan pertukangan.
Bahan baku pembuatan ruangan/ kamar bilas (yang tidak permanen)
Pengelola penitipan pakaian
Tanaman kayu dan bambu
Masyarakat yang berprofesi sebagai tukang kayu atau yang memiliki ketrampilan pertukangan.
Bahan baku pembuatan loker untuk tempat penitipan pakaian (tidak permanen)
6
Pengusaha homestay/pondokan di sekitar lokasi wisata
-Tanaman kayu dan bambu -lahan yang berada di sekitar lokasi wisata/tanah gege -mata air/sungai
Masyarakat yang berprofesi sebagai tukang kayu atau yang memiliki ketrampilan pertukangan
Bahan baku pembuatan pondokan (umah panggung yang artistik dan menarik). Kebutuhan air terpenuhi dari sungai/mata air
7
Penyewaan rumah penduduk
Rumah penduduk yang layak untuk disewakan
Masyarakat yang memiliki rumah yang layak
Penyewaan kamar untuk pengunjung
8
Pengusaha rumah makan/restoran
-Tanaman kayu dan bambu -lahan yang berada dekat lokasi wisata
Masyarakat yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan memasak
Pembuatan warung makan
9
Suplier bahan makanan/minuman untuk rumah makan/restoran
Hasil-hasil pertanian dan perkebunan masyarakat
Petani dan peternak
Penjualan hasil pertanian/perkebunan/ peternakan kepada pengusaha rumah makan/ restoran, di daerah penyangga atau di kota.
Penggunaan lahan untuk parkir kendaraan pengunjung
125
No.
Jenis Usaha
10
Pengelola penyewaan tenda
11
Agrowisata tanaman hortikultura/buahbuahan/pohon
Potensi SDA yang dimanfaatkan -
Tanaman hortikultura/buahbuahan/pohonpohonan
Potensi SDM
Peruntukan
Masyarakat atau kelompok masyarakat yang berminat
Penyewaan tenda kepada pengunjung
Masyarakat pemilik/penyewa, milik desa.
Agrowisata (kondisi alam dan hasil tanaman)
Tabel 42 memperlihatkan berbagai potensi alam yang dimiliki desa-desa penyangga jika dapat dieksplor dengan cermat, secara nyata dapat menjadi sumber alternatif pekerjaan di sektor wisata. Ditunjang dengan berbagai ketrampilan yang dimiliki oleh masyarakat, maka perpaduan ini dapat menjadi potensi peluang kerja yang cukup besar. Menurut Fandeli (2001) pada umumnya tolok ukur keberhasilan pengembangan kepariwisataan dilakukan dengan menggunakan parameter terkuantifikasi, diantaranya adalah parameter jumlah pengunjung, penciptaan kesempatan kerja termasuk pendapatan pada masyarakat setempat dan pemerintah baik pusat maupun daerah. Namun saat ini perubahan dilakukan ke arah tolok ukur yang sifatnya lokal, tidak hanya kuantitatif namun juga kualitatif, berkeadilan, pemerataan dan mempertimbangkan aspek sosial budaya, ekonomi dan lingkungan di daerah. Aspek sosial ekonomi dan budaya dari pengembangan fasilitas ekowisata pada Tabel 42 ditujukan bagi pengembangan jenis usaha masyarakat baik kuantitas maupun kualitas. Peluang bekerja bagi sebagian besar masyarakat bukan hanya berpeluang meningkatkan pendapatan, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan harga diri bagi individu atau keluarga dalam kedudukannya di masyarakat. Dalam kebijakan kehutanan, seharusnya memperhitungkan hutan dalam kaitannya dengan peningkatan mata pencaharian masyarakat yang memilih hidup dalam lingkungan hutan, atau tidak memiliki pilihan namun harus melanjutkan kehidupan. Menurut Levang, Dounias, & Sitorus (2003) dalam Theophile (2006), bagi beberapa orang yang tinggal di dalam lingkungan hutan, kunci bagi peningkatan mata pencaharian adalah meninggalkan lingkungan hutan. Hal ini juga berimplikasi kepada peningkatan pengelolaan jasa lingkungan hutan untuk masyarakat yang hidup dalam lingkungan hutan.
126
4.4.2 Penawaran dan Permintaan Agroforestri Hasil panen tanaman pertanian dan kehutanan diharapkan dapat terserap oleh konsumen/pasar. Oleh karena itu diperlukan informasi kondisi permintaan konsumen terhadap produk tanaman pertanian dan kehutanan yang dihasilkan. Menurut Bentley, WR. (2001) salah satu hal spesifik yang penting dari hasil penelitian untuk pengembangan agroforestri adalah
penaksiran hubungan
supply dan demand, karena kesalahan dalam memahami pasar akan berakibat pada kesalahan dalam investasi. Potensi pengembangan agroforestri dilakukan melalui analisis kesenjangan antara potensi agroforestri yang dapat disediakan oleh masyarakat dengan permintaan dari konsumen. Uraian kondisi penawaran dan permintaan komoditas agroforestri dijelaskan sebagai berikut; 4.4.2.1 Kondisi Penawaran Agroforestri Komponen tempat tumbuh serta sosial ekonomi dan budaya masyarakat sangat menentukan keberhasilan
pengembangan agroforestri
dan akan
mempengaruhi produksi tanaman pertanian dan kehutanan. Oleh karena itu kajian terhadap potensi sumber daya alam dan sosial budaya masyarakat dilakukan untuk melihat potensi pengembangan agroforestri bagi peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. a) Potensi Sumber Daya Alam Daerah penyangga TNGC wilayah Kabupaten Kuningan memiliki jenis tanah Andosol, Aluvial, Podsolik, Grumosol, Mediteran, Latosal dan Regosol, dengan kedalaman efektif tanah berkisar 30 cm–90 cm, serta curah hujan antara 3.000–4.000 mm/tahun menjadikan wilayah ini subur dan memiliki iklim yang kondusif bagi tumbuhnya berbagai macam flora. Potensi sumberdaya air yang telah dimanfaatkan yaitu 43 sungai yang mengalir ke daerah penyangga TNGC, yang dimanfaatkan untuk irigasi, perikanan, industri, rumah tangga kegiatan ekonomi lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap perkembangan produksi tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan utama di Kabupaten Kuningan yang cenderung mengalami peningkatan, seperti diperlihatkan pada Gambar 24.
127
Produksi (ton)
Gambar 24 Produksi tanaman hortikultura utama
Produksi (ton)
Gambar 25 Produksi tanaman perkebunan Jenis kayu yang berasal dari kebun-kebun milik masyarakat di Kabupaten Kuningan sebagian besar terdiri dari jenis jati, sonokeling, mahoni, pinus dan kayu sengon, pisuk, mindi, suren an kayu afrika. Perkembangan produksi kayu rakyat ini berfluktuasi dari tahun ke tahun, sejak tahun 2004 hingga tahun 2009 karena adanya penjarangan sehingga kayu yang diproduksi berukuran kecil, seperti dilihat pada Gambar 26.
Produksi (m3)
Gambar 26 Produksi kayu utama di Kabupaten Kuningan
128
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani agroforestri dan industri pengolahan kayu, pada kawasan daerah penyangga TNGC sebagian besar kayu yang dihasilkan adalah dari jenis kayu sengon, pisuk dan afrika (dengan istilah setempat disebut kayu rawa) karena masa panen yang relatif lebih cepat. Penurunan produksi kayu pada tahun 2008 dikarenakan kayu yang dipanen hanya bersifat penjarangan, sehingga kayu yang dihasilkan berkualitas rendah. b) Potensi Sosial Ekonomi dan Budaya Desa penyangga yang potensial untuk pengembangan agroforestri, yaitu desa Karangsari, Seda dan Pejambon. Kebiasaan masyarakat untuk menanam jenis tanaman tertentu serta pola tanamnya dipengaruhi budaya atau kebiasaan masyarakat yang sudah dilaksanakan turun temurun. Di Desa Karangsari, budaya masyarakat untuk menanam tanaman kehutanan sudah dilakukan sejak tahun 1972. Pada saat itu masyarakat desa yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani sawah dan petani lahan kering banyak yang ikut serta dalam kegiatan penanaman di hutan produksi Perhutani dengan sistem tumpangsari. Kegiatan ini lambat laun membuat masyarakat memiliki ketrampilan dalam menanam tanaman kehutanan, khusunya pinus. Kebutuhan masyarakat akan kayu yang digunakan untuk membangun rumah dan fasilitas umum lainnya, seperti mesjid, dll, membuat masyarakat berfikir untuk menanam kayu dilahan milik yang selama ini diperoleh dengan cara membeli. Pada awalnya masyarakat memperoleh bibit kayu dengan cara “mencuri” di persemaian Perhutani.
Namun oleh pihak petugas Perhutani
(Mandor dan Mantri) kegiatan itu dibiarkan saja, dengan satu alasan, jika masyarakat dapat menghasilkan kayu di lahan milik, maka akan mengurangi tingkat pencurian kayu di kawasan hutan Perhutani (hasil wawancara dengan Kepala Desa Karangsari, yang pernah bertugas sebagai Mandor dan Mantri di desa Karangsari 2011).
Budaya menanam kayu ini kemudian berkembang
hingga saat ini, dan mengalami perbedaan kepentingan. Jika dahulu 95% hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten masyarakat, namun dengan meningkatnya berbagai kebutuhan masyarakat saat ini sudah mengarah kepada kepentingan ekonomis. Masyarakat sudah mulai menjual pohon kayunya untuk memenuhi kebutuhan seperti hajatan dan biaya sekolah. Namun demikian, budaya masyarakat untuk membangun rumah bagi keluarga dengan menggunakan kayu dari lahan milik sampai saat ini masih terus dilakukan dan menjadi prioritas
129
utama tujuan menanam pohon. Hal ini terlihat dari masih tingginya keinginan masyarakat untuk menanam tanaman kayu-kayuan meskipun membutuhkan masa panen lebih lama dibandingkan hasil sayuran, palawija dan kopi yang menjadi komoditas unggulan masyarakat Karangsari. Demikian juga dengan masyarakat desa Seda.
Penanaman kayu
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mendirikan atau merenovasi rumah bagi keluarga, serta untuk fasilitas umum, masih menjadi budaya masyarakat hingga saat ini. Hal ini berdampak pada kegiatan penanaman tanaman kayu-kayuan, khususnya sengon yang berkembang dengan baik. Umumnya warisan orang tua kepada keturunannya diberikan dalam bentuk kebun,
sehingga di desa ini
terlihat baik tanaman serbaguna (Multi Purpose Tree System/MPTS) maupun tanaman kehutanan pada lahan agroforestri rata-rata sudah berumur diatas 20 tahun dan dalam tahap regenerasi.
Masyarakat sebagian besar sudah
menikmati hasil penjualan kayu seperti mahoni dan menggunakannya untuk membeli kebun. Perkembangan kegiatan agroforestri di lahan milik di desa Pajambon tidak sebaik Karangsari dan Seda, pertama karena luas kepemilikan lahan milik di desa Pajambon relatif lebih rendah (rata-rata 0,2 ha) dan kedua, pada saat ini masyarakat Pajambon lebih senang menanam dengan pola monokultur, seperti jambu biji merah dan jahe yang terlihat berkembang dengan baik, bahkan banyak lahan persawahan yang beralih penggunaan menjadi tegalan untuk ditanami jambu merah.
Meskipun demikian, keterbatasan lahan tidak menjadi
penghambat bagi masyarakat untuk tetap menerapkan pola agroforestri meski dalam skala kecil. Dalam hal potensi kayu rakyat, peningkatan luas hutan rakyat dari tahun 2004 hingga tahun 2007 untuk Kecamatan Darma (desa Karangsari) sebesar 14%, dengan jumlah pohon terbanyak albizia, afrika dan suren. Kecamatan Mandirancan (desa Seda) mengalami peningkatan sebesar 10%, dengan jumlah pohon terbanyak mahoni, albizia dan afrika, sedangkan Kecamatan Kramatmulya (desa Pajambon) mengalami kenaikan sebesar 28%, dengan jumlah pohon terbanyak sengon, mahoni dan afrika (Bappeda 2007). Dari data terlihat bahwa albizia dan afrika merupakan dua jenis tanaman kehutanan yang paling banyak dibudidayakan. Uraian ketiga desa contoh diatas memberikan suatu gambaran bagaimana kegiatan usaha tani sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
130
dari kegiatan masyarakat di desa penyangga, jauh sebelum mereka menggarap lahan di kawasan Perhutani, setelah kawasan menjadi taman nasional hingga saat ini setelah tidak lagi menggarap di lahan taman nasional. Pekerjaan sebagai petani masih tetap dilakukan meski dengan keterbatasan kepemilikan lahan yang sempit dan rendahnya modal kerja. Hal ini menurut Mubyarto (1991) karena bagi petani, pertanian tidak hanya sebagai mata pencaharian, tetapi sudah menjadi way of life yang menyangkut unsur ekonomi, sosial, budaya dan spiritual. Oleh karena itu alternatif mata pencaharian kepada bidang lain hanya bersifat diversifikasi pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Jumlah keseluruhan petani yang pernah menggarap lahan TNGC pada tiga desa contoh adalah sebanyak 433 KK, dengan rincian desa Karangsari sebanyak 50 orang, Seda 363 orang dan desa Pajambon 20 orang. Setelah tidak lagi menggarap di kawasan TNGC, sebagian besar masyarakat masih tetap bertani pada lahan milik, dengan pekerjaan sampingan sebagai buruh tani, pengepul, suplier kayu, peternak, tukang bangunan, ojek, pedagang dan bekerja di kota. Pada saat menggarap dalam kawasan TNGC lahan milik ini tidak dikelola secara intensif, bahkan ada yang dibiarkan begitu saja dengan alasan kurang subur serta keterbatasan modal. Keterbatasan pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki petani Desa pajambon, Seda dan Karangsari (86% hanya tamat SD) berpengaruh terhadap kemampuannya dalam bertani. Kemampuan dalam pengelolaan agroforestri diperoleh mereka secara otodidak berdasarkan pengalaman yang mereka miliki. Pengetahuan mengenai ilmu-ilmu pertanian dan kehutanan kurang mereka miliki secara benar. Berbagai masalah yang muncul seperti serangan hama dan penyakit tidak dapat diatasi secara maksimal. Hal ini mengakibatkan produksi tanaman pertanian dan kehutanan menjadi tidak maksimal. Selain pengaruhpengaruh di atas, keterbatasan pendidikan juga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan perangkat desa, sebagian besar pemuda desa memiliki pandangan sempit terhadap pekerjaan pertanian. Mereka tidak berminat mengembangkan usaha pertanian dan cenderung memilih usaha di luar bidang pertanian karena mereka berpikiran bahwa petani merupakan pekerjaan yang tidak akan mengangkat mereka dari garis kemiskinan. Oleh karena itu petani agroforestri di ketiga Desa contoh didominasi oleh petani yang berusia diatas 40 tahun, yaitu 57% berusia antara 40 sampai 60 tahun dan 25%
131
berusia diatas 61 tahun. Kondisi ini akan mempengaruhi keberlanjutan agroforestri dimasa mendatang jika tidak ada regenerasi. Oleh karena itu pengembangan agroforestri harus ditujukan bagi peningkatan nilai ekonomisnya agar menjadi pekerjaan yang diminati generasi muda, serta peningkatan pendidikan/
pengetahuan pada
para
pemuda
desa
mengenai
manfaat
agroforestri. Dalam memperbaiki kualitas hidup di perdesaan, Von Maydell (1986) dalam Hairiah, dkk, (2003) menyatakan bahwa agroforestri bertujuan mengusahakan peningkatan pendapatan dan ketersediaan pekerjaan yang menarik serta mempertahankan orang-orang muda di pedesaan. Hasil penelitian Afifudin (2006) menyatakan bahwa faktor pendidikan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam membangun dan mempertahankan agroforestri tembawang pada masyarakat melayu Sintang dan Sanggau. Kesempatan kerja
pada agroforestri terbuka melalui pengembangan
produksinya. Semakin meningkatnya produksi agroforestri akan membuka lapangan kerja melalui kegiatan pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Dari hasil analisis, persentase responden petani yang bertanam kopi di desa Karangsari sebanyak 53%, di desa Seda 45% dan di desa Pajambon sebanyak 60%. Banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan dalam budidaya kopi adalah 12 HOK untuk lahan seluas 0,1428 hektar, dengan produksi = 2,5 kwintal (1,75 ton/hektar), sedangkan untuk budidaya sayuran dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 50 HOK untuk lahan seluas 0,1428 hektar, dengan produksi = 54,70 kwintal. Untuk dua komoditas ini penyerapan tenaga kerja mencapai 62 HOK. Sebanyak 35% dari keseluruhan HOK tersebut adalah pada pekerjaan pemanenan hasil (hasil FGD dengan petani agroforestri 2011). Sebagai gambaran, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Smits untuk mengetahui lamanya kerja per hektar untuk kegiatan penanaman dan pemanenan pertanian pada musim hujan, yaitu kegiatan menanam di Cirebon lamanya 289 jam per ha dan di Banten 151 jam per ha, sedangkan kegiatan pemanenan di Cirebon 946 jam per ha (36%) dan di Banten 1104 jam per ha (31%). Berdasarkan hasil penelitian di Desa contoh dapat dikatakan bahwa pekerjaan pemanenan hasil merupakan pekerjaan yang potensial menyerap tenaga kerja lebih banyak pada kegiatan agroforestri. Sebagai perbandingan dalam hal produktifitas petani, hasil kerja petani untuk tanaman jagung adalah 3,7 kg per jam, padi ladang 1,4 kg per jam, kopi 0,4 kg per jam dan lada 0,2 kg per jam (Sajogyo 1982). Pembagian kerja
132
sepanjang tahun adalah yang paling penting bagi seorang petani. Hanya pembagian kerja yang baik akan menjamin hasil kerja keluarga terbesar. Kenyataan ini didukung oleh hasil penelitian McReynolds (1998) yang mengungkapkan bahwa pada kegiatan pertanian, tenaga kerja dengan porsi pengeluaran terbesar adalah pada saat pemanenan, kedua saat pembersihan lahan dan ketiga saat penanaman, seperti dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27 Persentase dari total biaya untuk tenaga kerja (Sumber : MAG-OSPA-PERA 1987 dalam McReynolds 1998) Kebanyakan petani agroforestri di Desa contoh adalah petani tradisional, dimana penggunaan teknologi dalam sistim agroforestri belum diterapkan, sehingga seluruh pekerjaan dilakukan dengan mengandalkan tenaga kerja manusia, terutama dengan melibatkan tenaga kerja keluarga. Ketika anak sudah lulus sekolah dasar, bagi petani dengan tingkat kepemilikan lahan rendah, maka anak sudah diandalkan untuk membantu bekerja di lahan milik atau menjadi buruh tani terutama pada saat panen. Seperti contoh yang disajikan pada Gambar 28, yang terjadi di Desa Karangsari, tiga orang anak dipekerjakan oleh Pengepul (Bandar) untuk membantu menjadi tenaga panen dan angkut singkong dengan upah Rp. 100 per kilogram jika jarak antara lokasi panen dengan tempat pengumpulan dekat (kurang dari 100 meter) dan Rp. 200 jika jauh (lebih dari 100 m). Dalam satu hari bekerja rata-rata setiap anak berhasil mengumpulkan uang antara Rp 10.000 hingga Rp 15.000.
133
Gambar 28 Tenaga kerja anak dalam pemanenan hasil agroforestri Hasil penelitian McReynolds (1998) juga menyimpulkan bahwa, hubungan antara ukuran kepemilikan lahan dengan tenaga kerja yang diperkerjakan adalah banyaknya tenaga kerja per hektar meningkat sebanding dengan menurunnya ukuran luas kepemilikan lahan. Hal ini karena tenaga kerja lebih murah daripada teknologi yang tidak mampu diinvestasikan oleh petani kecil, yang biasanya memiliki pendidikan yang rendah dan memiliki akses yang rendah terhadap orang yang dapat membantu untuk mengajarkan bagaimana menggunakan teknologi tersebut serta biasanya lahan-lahan petani kecil terdapat di lerenglereng bukit yang sulit untuk dicapai oleh teknologi traktor atau bajak. Tanah dan modal merupakan sumberdaya yang terbatas, sedangkan tenaga kerja paling penting digunakan dalam pertanian kecil. Stevens dan Jabara (1988) dalam Wijayanto (2002) mempunyai pendugaan bahwa tenaga kerja hampir 80%-85% dari total nilai sumberdaya yang digunakan dalam sistem pertanian tradisional. Untuk pertanian dengan sistem keluarga seperti yang dilakukan oleh petani di Desa contoh, juga memperkerjakan petani-petani lain di sekitarnya, sehingga dapat memberikan kesempatan bagi petani lain untuk dapat bekerja di bidang pertanian c) Potensi Ekonomi Agroforestri Sebagian besar (90%) hasil dari tanaman pertanian pada lahan agroforestri di tiga desa dijual kepada Bandar (Pengepul). Sedangkan untuk tanaman kehutanan sekitar 60% tanaman yang berupa kayu-kayuan digunakan untuk kebutuhan sendiri, dan jika telah terpenuhi maka sisanya dijual kepada suplier kayu yang akan datang ke lokasi untuk membeli dalam bentuk tegakan pohon. Harga sebatang pohon dihitung berdasarkan besar diameter dan jarak dari jalan mobil. Potensi pengembangan agroforestri di tiga Desa contoh dengan pemilihan jenis komoditas yang paling disukai dan bernilai ekonomis dapat dilihat
134
pada Tabel 43, sedangkan potensi untuk masing-masing desa dijelaskan sebagai berikut; Tabel 43 Potensi komoditas pertanian desa-desa agroforestri Desa
No
Komoditas Pertanian
Keuntungan Ratarata Per tahun
Persentase Petani yang Menanam
Karangsari
1 2 3
Cabe rawit Jagung Kopi
1.893.800 3.111.250 2.504.625
67% 53% 53%
Seda
1 2 3
Melinjo Cengkeh Kopi
1.350.000 5.280.000 3.381.500
82% 45% 45%
Pajambon
1 2 3
Kopi Kunyit Bawang daun
1.245.000 960.000 300.000
60% 25% 24%
Tabel 44 Potensi komoditas tanaman kehutanan desa-desa agroforestri Desa
No
Komoditas Tanaman Kehutanan
Keuntungan Ratarata Per tahun 3.462.852 19.929.421
67% 60%
1.777.143 5.666.667
88% 38%
180.000 240.000
60% 40%
Karangsari
1 2
Kayu Afrika Sengon
Seda
1 2
Mahoni Sengon
Pajambon
1 2
Kayu Afrika Sengon
Persentase Petani yang Menanam
(1) Desa Karangsari Penanaman tanaman palawija dengan tanaman kehutanan sudah dilakukan sejak masyarakat desa Karangsari menggarap di lahan kawasan Perhutani melalui PHBM. Jenis tanaman pertanian cabe rawit, jagung, singkong dan kopi mendominasi hampir sebagian besar tanaman pertanian masyarakat, sedangkan untuk jenis tanaman kehutanan didominasi oleh tanaman sengon, kayu afrika dan pinus. Keuntungan rata-rata dari tanaman pertanian dan kehutanan per tahun serta persentase petani yang menanam jenis tanaman pertanian dan kehutanan dilihat pada Tabel 45.
135
Tabel 45 Keuntungan rata-rata per tahun dari tanaman pertanian dan kehutanan serta persentase petani yang menanam di Desa Karangsari Komoditas Tanaman Pertanian
Tanaman Kehutanan
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Tanaman Jagung Petsay Cabe rawit Singkong Lada Kopi Alpuket Pisang Petai Sengon Suren Mahoni Kayu afrika Pinus Waru Manglid Jati
Keuntungan rata-rata per tahun (Rp) 3.111.250 5.743.333 1.893.800 440.000 6.379.400 2.504.625 3.207.143 2.721.364 4.125.001 19.929.421 1.871.893 1.211.070 3.462.852 319.370 1.846.628 397.953 4.977.000
Persentase Petani yang Menanam 53% 40% 67% 53% 27% 53% 47% 73% 27% 60% 40% 20% 67% 60% 53% 20% 7%
Hasil perhitungan pada Tabel 45 memperlihatkan bahwa keuntungan ratarata responden dari tanaman pertanian berturut-turut dari yang terbesar yaitu tanaman lada, petsay, petai, alpuket, jagung, pisang, kopi, cabe rawit, dan singkong. Meskipun lada dan petsay memberikan keuntungan yang relatif besar, namun hanya 27% saja responden yang menanam lada dan 40% menanam petsay.
Hal ini karena diperlukan modal yang relatif besar untuk menanam
kedua komoditas tersebut, terutama untuk pembelian bibit (lada) dan pupuk (petsay).
Sebagian besar responen (73%) menanam pisang, karena mudah
tumbuh dan tidak memerlukan modal, serta hasilnya cukup menguntungkan. Tiga tanaman pertanian yang paling banyak ditanam masyarakat adalah cabe rawit, jagung dan kopi. Pemilihan ketiga komoditas pertanian ini didasarkan pada hasil yang relatif menguntungkan, modal yang tidak begitu besar serta kemudahan dalam penanaman. Luas areal penanaman jagung di Kecamatan Darma seluas 1.703 ha, dengan luas panen 1.472 ha, dengan produksi 5.298 ha, sehingga menghasilkan produktivitas sebesar 41,54 kwintal per ha. Faktor iklim terutama angin, hama babi dan penyakit tanaman merupakan faktor dominan yang dapat mengurangi produktifitas tanaman pertanian ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, penurunan hasil panen tanaman pertanian akan terjadi 10% diakibatkan oleh angin, 20% karena hama babi dan 10% karena adanya penyakit. Oleh karena itu pengembangan tanaman pertanian sebaiknya di utamakan pada ketiga komoditas ini, baik dalam hal peningkatan pengetahuan
136
dan ketrampilan budidayanya, termasuk penanggulangan akibat hama dan penyakit, maupun pengembangan modal serta pemasaran. Tanaman kehutanan yang memberikan keuntungan rata-rata relatif besar di desa Karangsari adalah sengon (Paraserianthes falcataria) sebesar Rp 19.929.421 per tahun, jati (Tectona grandis) sebesar Rp 4.977.000 per tahun serta kayu afrika (Maesopsis eminii) sebesar Rp 3.462.852 per tahun. Meskipun dari sisi keuntungan tanaman jati relatif besar, namun hanya sekitar 7% saja masyarakat yang menanam. Hal ini dikarenakan jati memiliki masa panen yang cukup lama, dibanding tanaman lainnya. Kayu afrika dan sengon menjadi tanaman yang paling banyak di pilih masyarakat untuk ditanam, karena memiliki masa panen relatif singkat, untuk Sengon berumur lima hingga enam tahun, memiliki harga yang berlaku di tempat yaitu sekitar Rp 500.000 per pohon (dalam kondisi berdiri), sedangkan untuk kayu afrika dengan dengan umur 10 tahun, memiliki harga sekitar Rp. 800.000 per pohon. Beberapa contoh pola tanam agroforestri masyarakat dan kegiatan pemanenan di desa Karangsari disajikan pada Gambar 29.
Gambar 29 Pola tanam agroforestri di Desa Karangsari (2) Desa Seda Penanaman tanaman dengan pola agroforestri sudah dikembangkan selama puluhan tahun oleh 70% masyarakat desa Seda. Campuran antara tanaman cengkeh dan melinjo dengan tanaman sengon, kayu afrika dan mahoni paling banyak dibudidayakan. Dari hasil perhitungan, keuntungan rata-rata pertahun dari tanaman pertanian berturut-turut dari yang terbesar yaitu tanaman cengkeh sebesar Rp. 5.280.000, kopi Rp. 3.381.500, dan melinjo Rp. 1.350.000. Oleh karena itu ketiga jenis tanaman banyak dipilih masyarakat untuk ditanam, yaitu 82% menanam melinjo, 45% menanam cengkeh, dan 45% menanam kopi.
137
Budidaya jenis tanaman ini sudah dilakukan selama puluhan tahun. Para orang tua di desa ini mewariskan tanah yang berupa kebun kepada keturunannya secara turun temurun. Karena tanaman ini berkembang dengan baik, maka sebagian besar masyarakat tidak berusaha untuk merubah jenis tanaman. Beberapa petani pernah mencoba untuk menanam coklat, namun mengalami kegagalan karena tidak dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara, hama babi dan monyet serta penyakit tanaman merupakan faktor dominan yang mengurangi produksi tanaman pertanian di desa Seda. Penurunan hasil panen tanaman pertanian seperti pisang, ketela pohon dan kelapa terjadi sebesar 20% karena adanya hama babi dan monyet, serta 20 % karena adanya penyakit, untuk tanaman cengkeh dan melinjo. Oleh karena itu pengembangan tanaman pertanian sebaiknya di utamakan pada ketiga komoditas tersebut, dengan cara peningkatan pengetahuan dan ketrampilan budidaya tanaman khususnya penanggulangan penyakit, pengembangan modal serta pemasaran. Sebagian besar daerah pertanian dan kebun/ladang penduduk di daerah penyangga sangat berdekatan dengan batas taman nasional, sedangkan jarak pemukiman dengan batas kawasan rata-rata sekitar satu hingga dua km. Dalam beberapa kasus, dekatnya jarak ini menjadi permasalahan, karena gangguan hama seperti babi hutan dan monyet yang menyerang tanaman pertanian dan kebun masyarakat
seringkali
terjadi. Rombongan babi
hutan
biasanya
menyerang pada sore atau malam hari dengan jumlah 10 hingga 20 ekor. Ancaman ini berpengaruh nyata terhadap produksi tanaman dan berdampak terhadap pendapatan masyarakat. Untuk mencegah serangan hama tersebut, masyarakat mengadakan sistim jaga malam di ladangnya masing-masing terutama menjelang panen. Belum ada solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah ini. Keuntungan rata-rata pertahun dari tanaman pertanian dan persentase petani yang menanam disajikan pada Tabel 46.
138
Tabel 46
Keuntungan rata-rata per tahun dari tanaman pertanian dan kehutanan serta persentase petani yang menanam di Desa Seda
Komoditas Tanaman Pertanian
Tanaman Kehutanan
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1 2 3 4 5
Jenis tanaman Melinjo Cengkeh Duren Lada Pisang Kelapa Kopi Sengon Kayu afrika Mahoni Waru Pinus
Keuntungan ratarata per tahun (Rp) 1.350.000 5.280.000 316.700 200.000 372.000 412.500 3.381.500 5.666.667 832.143 1.777.143 100.000 450.000
Persentase Petani yang menanam 82% 55% 27% 18% 45% 18% 45% 38% 88% 88% 25% 13%
Tanaman kehutanan yang memberikan keuntungan rata-rata per tahun relatif besar di desa Seda adalah sengon (Paraserianthes falcataria) sebesar Rp 5.666.667 mahoni (Swietenia mahagoni) sebesar Rp 1.777.143, dan kayu afrika (Maesopsis eminii), sebesar Rp 832.143, Kayu afrika dan mahoni menjadi tanaman yang paling banyak di pilih masyarakat untuk ditanam (88%), karena disamping relatif lebih baik dijadikan bahan bangunan untuk keperluan membangun/merenovasi rumah, juga memiliki harga relatif tinggi. Umumnya, untuk mahoni dengan masa panen 20 tahun (diameter sekitar 40 cm) seharga Rp 1.000.000 per ponon dan kayu afrika dengan masa panen 10 tahun seharga Rp 500.000 per pohon. Contoh pola tanam agroforestri masyarakat di desa Seda disajikan pada Gambar 30 berikut ini;
Gambar 30 Pola agroforestri antara tanaman Melinjo, Cengkeh, Kopi, Lada dengan tanaman Mahoni dan Kayu Afrika di Desa Seda. (3) Desa Pajambon Penanaman dengan pola agroforestri di lahan milik masyarakat belum dikembangkan dengan baik di desa Pajambon. Hal ini karena kepemilikan lahan
139
masyarakat yang sangat terbatas, yaitu sekitar 99,75% petani memiliki tanah milik dibawah 0,5 ha, serta budaya masyarakat yang lebih menyukai menanam tanaman sayuran (tomat dan sawi) dan tanaman monokultur jambu biji merah. Dari hasil perhitungan, keuntungan rata-rata pertahun dari tanaman pertanian berturut-turut dari yang terbesar yaitu tanaman kopi sebesar Rp 1.245.000, kunyit sebesar Rp 960.000 dan bawang daun sebesar Rp 300.000.
Meskipun
memberikan keuntungan yang relatif besar, namun hanya kopi yang banyak diminati untuk ditanam yaitu 60%, sedangkan bawang daun dan kunyit hanya 24% dan 25%. Petani lebih senang menanam pisang dan cabe rawit dilahan kebunnya, karena faktor harga dan kemudahan dalam budidaya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, penyakit tanaman merupakan faktor dominan yang dapat mengurangi produksi tanaman pertanian di desa Pajambon.
Penurunan hasil tanaman pertanian terjadi sebesar 10%
karena adanya penyakit. Keuntungan rata-rata pertahun dari tanaman pertanian dan persentase petani yang menanam disajikan pada Tabel 47. Tabel 47 Keuntungan rata-rata per tahun dari tanaman pertanian dan kehutanan serta persentase petani yang menanam di Desa Pajambon Komoditas Tanaman Pertanian
Tanaman Kehutanan
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1 2 3 4 5
Jenis Tanaman Cabe rawit Pisang Kopi Bawang daun Kunyit Lada Afrika Waru Mindi Sengon Mahoni
Keuntungan ratarata per tahun (Rp) 70.000 210.000 1.245.000 300.000 960.000 80.000 180.000 300.000 250.000 240.000 80.000
Persentase Petani yang menanam 40% 55% 60% 24% 25% 15% 60% 20% 45% 40% 25%
Tabel 47 memperlihatkan bahwa di desa Pajambon, tanaman kehutanan yang memberikan keuntungan rata-rata pertahun relatif besar adalah Waru (Hibiscus tiliaceus) sebesar Rp 300.000, mindi (Melia azedarach) sebesar Rp 250.000, serta sengon (Paraserianthes falcataria) sebesar Rp 240.000. Kayu afrika (60%), mindi (45%) dan sengon (40%) menjadi tanaman yang paling banyak di pilih masyarakat untuk ditanam, meskipun dalam luasan kecil dan sedikit jumlahnya.
Contoh pola tanam agroforestri di Desa Pajambon dapat
dlihat pada Gambar 31.
140
Gambar 31 Pola tanam agroforestri di Desa Pajambon Secara umum dari sisi
ekonomi, agroforestri telah memberikan
keuntungan bagi masyarakat di tiga desa, tidak hanya dalam bentuk yang dapat secara langsung dikonsumsi seperti padi, sayuran dan buah, serta kayu bakar, namun juga dalam bentuk pendapatan tunai bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti biaya hidup sehari-hari, menyekolahkan anak, keperluan kesehatan serta kebutuhan sosial. Agroforestri telah membuktikan sebagai sistem pemanfaatan lahan yang mampu mendukung orientasi ekonomi, tidak hanya pada tingkatan subsisten saja, namun juga pada tingkatan semi komersial hingga komersial (Nair 1989). Sebagai contoh, proporsi pendapatan agroforestri Repong Damar di Kecamatan Pesisir Selatan Krui Lampung memberikan kontribusi sebesar 61,8% dari total pendapatan rumah tangga per tahun H de Foresta and Michon (1994) dan Suharjito, dkk. (2003), serta di TN Meru Betiri kontribusi dari lahan agroforestri dapat memenuhi lebih dari 60% kebutuhan rumah tangga petani (Aliadi 2006). Hal ini karena agroforestri di tiga Desa contoh masih bersifat subsisten, artinya dalam pengelolaannya masih bersifat tradisional belum menggunakan teknologi yang memadai, baik dari aspek pengolahan lahan, pola tanam, penanganan hama penyakit serta pemanenan, sehingga hasil yang diperoleh kurang maksimal. Sebagai contoh, tanaman melinjo masyarakat di desa Seda saat ini sebagian besar terserang oleh penyakit pucuk, sehingga menurunkan produksinya hampir mencapai 10%. Namun sampai saat ini belum ditangani secara intensif, sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat. Proporsi pendapatan dari agroforestri di desa Seda adalah paling tinggi yaitu sebesar Rp. 462.594,88 atau sebesar 58,65% dari pendapatan total sebesar Rp. 790.344,88 per bulan. Sebagian besar masyarakat Seda memiliki
141
kebun melinjo dan cengkeh yang berumur rata-rata diatas 10 tahun, dan dalam kondisi normal, produksi dari kedua komoditas ini relatif stabil setiap tahun. Desa Karangsari memiliki pendapatan per kapita per bulan tertinggi, yaitu Rp. 907.736,48, dengan proporsi dari agroforestri sebesar dimana sebagian besar dalam bentuk investasi tanaman kayu-kayuan terutama sengon, yang memiliki masa panen lima tahun. Agroforestri di desa Karangsari mengalami perkembangan yang relatif baik, sehingga menjadi
salah satu percontohan
agroforestri di Kabupaten Kuningan. Melalui demplot agroforestri seluas 25 hektar yang merupakan salah satu program Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat,
Pembentukan Model Desa Konservasi (MDK) oleh balai TNGC juga
dibentuk di desa ini untuk mewadahi kegiatan masyarakat yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kelestarian TNGC. Desa Pajambon memiliki pendapatan per kapita per bulan yang paling rendah yaitu Rp 216.762,50, jauh di bawah UMK, dengan kontribusi dari hasil agroforestri sebesar Rp 95.937. Kegiatan agroforestri di desa Pajambon sangat terbatas karena sempitnya kepemilikan lahan (rata-rata dibawah 0,2 ha). Namun di desa Pajambon ada potensi ekowisata yang bila dikembangkan bersamasama dengan potensi agroforestri akan mampu meningkatkan proporsi pendapatan masyarakat, yaitu dari ekowisata sebesar Rp. 272.812,50 ditambah dengan agroforestri sebesar Rp. 95.937,00, dan pendapatan dari usaha lain sebesar Rp. 120.825,00, maka total pendapatan per kapita per bulan menjadi Rp. 489.574,50. H de Foresta and Michon (1994) dan Suharjito, dkk, (2003), menyatakan bahwa sebagai suatu sistem produksi, agroforestri memberikan kontribusi pendapatan terhadap pengelolanya dan terhadap perekonomian daerah setempat, serta menghasilkan kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja. Keberhasilan pengelolaan agroforestri ini dapat dicapai jika berjalan sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya serta kemampuan masyarakat setempat. Von Maydell (1986) dalam Hairiah (2003) menyatakan bahwa salah satu tujuan agroforestri dalam memperbaiki kualitas hidup di perdesaan adalah memelihara nilai-nilai budaya masyarakat. Jenis-jenis
tanaman
kehutanan
(tanaman
kayu)
yang
sudah
dibudidayakan dari generasi ke generasi dan lazim digunakan sehari-hari seharusnya diutamakan dan menjadi perhatian utama dalam proses penyuluhan atau pembinaan oleh instansi terkait. Keunggulan strategi agroforestri ini
142
sebaiknya dipertimbangkan oleh penentu kebijakan untuk dikembangkan di daerah penyangga TNGC. Foresta dan Michon (2000) menyatakan bahwa strategi agroforestri seyogyanya diekstrapolasikan paling tidak ke daerah-daerah dimana tekanan terhadap hutan-hutan yang tersisa sudah sedemikian tinggi sementara upaya-upaya pemulihan sumberdaya hutan mengalami berbagai hambatan. 4.4.2.2 Kondisi Permintaan Agroforestri Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Kuningan, pada tahun 2007 laju pertumbuhan di sektor pertanian mengalami peningkatan sebesar 2,84% setelah pada tahun sebelumnya mengalami penurunan laju pertumbuhan sebesar 1,46%. Pada tahun 2003-2008 rata-rata peranan sektor pertanian sebesar 39%, dan jika dibandingkan setiap tahun peranan sektor pertanian mengalami penurunan, namun peranannya masih dikisaran di atas 30%. Banyaknya pembangunan rumah dan gedung (fisik) menyebabkan berkurangnya lahan pertanian sehingga walaupun kontribusi sektor pertanian paling dominan namun dilihat dari peningkatan produksi cenderung menunjukkan penurunan, terutama tanaman bahan makanan. Produksi tanaman pertanian dan kehutanan yang dihasilkan oleh petani agroforestri diharapkan dapat seluruhnya terserap oleh pasar. Hal ini ditentukan oleh tingkat permintaan konsumen yang menggunakan hasil tanaman tersebut. Sebagian besar hasil tanaman pertanian yang dihasilkan oleh masyarakat desa penyangga dijual kepada pengepul setempat, kemudian oleh para pengepul diangkut ke pasar grosir untuk dijual, sedangkan konsumen produk hasil tanaman kehutanan adalah industri kayu (panglong), industri batu bata, dan masyarakat pengguna kayu bakar. Berikut akan diuraikan bagaimana permintaan dari konsumen tersebut. 1) Pasar Grosir Komoditas Pertanian Pasar grosir komoditas pertanian merupakan tempat dimana berbagai jenis komoditas pertanian diperdagangkan dalam partai besar. Komoditas pertanian ini berasal dari seluruh wilayah kabupaten Kuningan yang hanya memiliki satu pasar grosir. Aktifitas transaksi pasar hampir 24 jam berjalan, terutama pada musim panen. Pembeli yang datang umumnya adalah para pedagang bronjong (semacam agen) yang nantinya akan menjual kembali kepada pedagang eceran. Selain untuk memenuhi kebutuhan sayuran di
143
Kabupaten Kuningan, beberapa permintaan dari kota Cirebon dan Indramayu juga dipenuhi dari pasar grosir ini. Komoditas pertanian yang diperjualbelikan biasanya tergantung musim. Dengan adanya pasar grosir yang cukup besar ini, maka hampir seluruh komoditas pertanian masyarakat melalui pola agroforestri dapat terserap oleh pasar. Kegiatan pada pasar grosir sayuran terlihat pada Gambar 32.
Gambar 32 Pasar grosir sayuran 2) Kayu Bakar untuk Kebutuhan Rumah Tangga Permintaan masyarakat desa terhadap kayu bakar cukup tinggi. Sekitar 20% dari masyarakat desa Pajambon menggunakan kayu bakar untuk memasak, desa Karangsari 30% dan desa Seda 30%. Berdasarkan hasil wawancara, kebutuhan kayu bakar per rumah tangga (KK) per bulan (dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 5 orang) adalah 2 (dua) m3, dengan harga 1 (satu) m3 sekitar Rp 25.000,-. Dari informasi tersebut dapat diperkirakan jumlah kayu bakar yang dibutuhkan masyarakat dan biaya pengadaan kayu bakar dalam satu bulan, seperti disajikan pada Tabel 48. Tabel 48 Kebutuhan kayu bakar masyarakat Desa contoh No
Desa
Jumlah KK
Pengguna Kayu bakar*
1.
Pajambon
686
20%
Jumlah Pengguna (KK/ Rumah Tangga) 137
Jumlah Penggunaan kayu Bakar per Bulan (m3)
Biaya Pengadaan Kayu Bakar (Rp/Bulan)
2
Total Kebutuhan Kayu Bakar per Bulan (m3) 274
2.
Karangsari
588
30%
176
2
352
17.600.000
3.
Seda
651
30%
195
2
390
19.500.000
Jumlah Total
1925
80%
508
6
1016
50.800.000
13.700.000
keterangan : (*) wawancara dengan Perangkat Desa, 2011
Berdasarkan tabel 48 konsumsi kayu bakar masyarakat per bulan ternyata cukup tinggi yaitu 1016 m3, dengan perkiraan biaya pengadaan sebesar Rp. 50.800.000,-. Kebutuhan masyarakat terhadap kayu bakar sepertinya tidak akan berakhir, bukan saja karena harga minyak tanah dan gas elpiji yang kurang
144
terjangkau oleh masyarakat kurang mampu, namun berdasarkan pengamatan di lapangan, bagi masyarakat yang mampu, memasak dengan dengan kayu bakar sudah menjadi budaya. Alasan pertama adalah kekhawatiran akan terjadinya ledakan pada tabung elpiji seperti yang seringkali mereka dengar melalui media, dan kedua menurut responden rasa masakan relatif lebih enak jika dibandingkan memasak dengan kompor. Jumlah pengguna pada Tabel 48 merupakan estimasi berdasarkan wawancara dengan perangkat desa dan masyarakat pengguna kayu bakar, mungkin saja jumlah pengguna lebih banyak karena sejumlah masyarakat memasak menggunakan kompor gas dan kayu bakar secara bergantian. Kebutuhan kayu bakar per bulan pada perhitungan di atas hanya ditujukan bagi Desa contoh, dan estimasi kebutuhan kayu bakar untuk seluruh rumah tangga di 27 desa penyangga Kabupaten Kuningan (24.197 KK/RT) dapat dihitung dengan menggunakan asumsi tertentu. Jika diperkirakan 20% dari jumlah rumah tangga desa penyangga menggunakan kayu bakar (4.839 KK), maka kebutuhan kayu bakar per bulan mencapai 9.679 m3 atau 116.146 m3 per tahun, dengan besarnya biaya pengadaan sebesar Rp. 483.940.000 per bulan atau Rp. 5.807.280.000 per tahun. Cernea (1998) menyatakan bahwa sesungguhnya agroforestri dapat memenuhi konsumsi kayu bakar masyarakat yang meliputi 80% konsumsi kayu di negara berkembang. Estimasi
konsumsi
masyarakat
terhadap
kayu
bakar
tersebut
membuktikan bahwa, permintaan/kebutuhan kayu dari lahan agroforestri akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Oleh karena itu pengembangan agroforestri menjadi salah satu solusi untuk menekan biaya pengadaan kayu bakar untuk masyarakat dan paling penting adalah menjaga agar hutan lindung dan hutan di kawasan TNGC aman dari tekanan. 3) Industri Pengolahan Kayu (Panglong) Berdasarkan hasil wawancara dengan pengusaha industri pengolahan kayu, kebutuhan masyarakat akan kayu dari kebun-kebun masyarakat semakin meningkat. Konsumsi kayu bulat dalam satu tahun mencapai 85% hingga 90%. Hal ini karena kayu Kalimantan harganya sudah sangat mahal, dan pemakaian sudah ketat karena maraknya illegal logging, akhirnya konsumen beralih ke kayu masyarakat karena lebih murah. Meskipun sudah banyak yang beralih ke rangka baja, namun harganya cukup mahal, sehingga hanya orang tertentu yang mampu menggunakan.
145
Banyaknya industri pengolahan kayu di Kabupaten Kuningan sekitar 100 buah, dengan kebutuhan kayu bulat per bulan sekitar 200 m3 hingga 300 m3 dan produksi kayu sekitar 10 m3 per hari, sehingga kebutuhan industri secara keseluruhan adalah sekitar 20.000 m3 hingga 30.000 m3 kayu bulat per bulan. Konsumen yang secara rutin membutuhkan kayu olahan adalah proyek-proyek (perumahan, sekolahan, bangunan kantor), industri mebeler (kursi, meja, bufet, dll) serta industri makau/kusen (lemari, kusen, pintu, dll). Satu industri palet di kabupaten Cirebon
juga secara rutin membutuhkan bahan baku kayu,
khususnya sengon, serta pabrik plywood yang baru beroperasi pada tahun 2010 di Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan. Kayu-kayu hasil olahan sebagian besar (90%) dikirim keluar daerah Kuningan seperti Indramayu, Cirebon, Jakarta, Bandung, Semarang, bahkan hingga Surabaya, dan hanya sekitar 10% saja yang dikonsumsi masyarakat Kabupaten
Kuningan,
itupun
sebagian
besar
untuk
kebutuhan
proyek
perkantoran, sekolah dan perumahan. Hal ini karena masyarakat Kuningan sebagian besar menanam sendiri pohon-pohonan untuk kebutuhan rumah tangganya. Ada juga industri yang melakukan pemasaran tetap berjumlah 10 toko, yaitu toko material Indramayu dan Cirebon dalam bentuk kayu bangunan (kusen, kaso, balok), proyek sekolahan Jakarta dan Bekasi, serta industri furnitur Plered Cirebon. Bahan baku rutin dari supplier per minggu, 50% bahan baku kayu berasal dari hutan rakyat dan 50% dari kebun rakyat dari daerah penyangga TNGC. Bahan baku kayu tersebut berasal dari Kec. Kadugede (5 desa), Kec Cigugur (Desa Cisantana) serta Kec Jalaksana (Sukamukti, Babakan mulya, Sayana dan Sangkan Herang). Jenis kayu yang banyak diminati konsumen adalah jenis kayu berkelas seperti jati, pinus dan mahoni, sedangkan kayu yang banyak ditanam masyarakat adalah kayu rawa seperti sengon, afrika, alpuket, mindi. Namun untuk industri pengolahan jenis kayu rawa paling banyak digunakan. Gambaran industri pengolahan kayu di Kabupaten Kuningan dapat dilihat pada Gambar 33
146
Gambar 33 Industri pengolahan kayu (panglong) di Kabupaten Kuningan 4) Industri Batu Bata Industri batu bata menggunakan kayu sebagai bahan baku dalam proses pembakaran batu bata sampai siap digunakan. Kayu yang digunakan untuk membakar adalah kwalitas tiga atau jenis kayu seberan dengan harga satu mobil sebesar Rp 200.000 atau sekitar Rp 30.000 per m3. Kayu ini diperoleh dari industri pengolahan kayu. Proses pembakaran sejumlah 20.000 sampai 25.000 batu bata memerlukan waktu sekitar 50 hari jika cuaca terang, dan membutuhkan tiga mobil pick up kayu, dengan volume satu mobil adalah 7 m3. Ini berarti bahwa setiap tahun industri ini melakukan proses pembakaran sebanyak 7,3 kali, dan setiap kali proses pembakaran memerlukan 21 m3 kayu, sehingga jumlah kayu yang diperlukan dalam satu tahun sekitar 153,3 m3 untuk setiap industri batu bata. Kabupaten Kuningan memiliki sekitar 500 industri batu bata, sehingga dalam satu tahun jumlah kayu yang diperlukan sebanyak 76.650 m3, dan jika dinilai dengan uang, setara dengan biaya sebesar Rp. 2.299.500.000 per tahun. Kayu kwalitas tiga yang dibutuhkan oleh industri batu bata cukup terbatas jumlahnya karena
keterbatasan
produksi
yang
dihasilkan
oleh industri
pengolahan kayu. Oleh karena itu jika tidak mencukupi, maka kayu yang dihasilkan oleh industri pengolahan kayu dibagi secara merata kepada industri batu bata yang membutuhkan. Keterbatasan banyaknya kayu untuk proses pembakaran disiasati oleh industri batu bata dengan cara mengganti kayu dengan bambu. Namun ternyata selain batu bata yang dihasilkan kurang bagus, juga proses pembakaran dengan bahan bakar bambu relatif lebih lama. Oleh karena itu harapan dari pemilik industri batu bata adalah tersedianya bahan baku kayu untuk proses pembakaran secara kontinyu dalam jumlah yang cukup. Penggunaan kayu bakar untuk industri batu bata dapat dilihat pada Gambar 34.
147
Gambar 34 Penggunaan kayu bakar untuk industri batu bata 4.4.2.3 Potensi Kesempatan Kerja Berdasarkan hasil wawancara, pengembangan agroforestri ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor ketersediaan modal, terutama untuk kegiatan budidaya tanaman pertanian (30%), faktor kurangnya pengetahuan dan ketrampilan mengenai teknik budidaya
tanaman
yang benar, terutama
penanganan hama dan penyakit tanaman (60%), serta sistim pemasaran hasil pertanian dan kayu (10%). Menurut Vink dalam Sajogyo (1982) pekerjaan dalam suatu kegiatan yang dekat dengan alam seperti pertanian, tidak memiliki faktor yang mendekati kepastian matematis, seperti yang kebanyakan terdapat dalam industri. Banyak faktor alam seperti hujan, cahaya matahari, dingin dan panas, persediaan air, keadaan tanah, tumbuhnya semak, keadaan anaman, angin, mencegah kerusakan hama dan penyakit, dan lainnya. Selain itu terdapat pula faktor tenaga pribadi, kecenderungan, pandangan dan kecocokan, tersedianya tenaga kerja yang banyak atau sedikit dalam keluarga dan banyak atau sedikitnya kesanggupan untuk menyewa tenaga kerja dari luar, sehingga umumnya prestasi kerja ditentukan oleh tiga faktor, yaitu alam, kerja dan modal. Penurunan hasil panen tanaman pertanian agroforestri sebagian besar disebabkan oleh tiga hal, yaitu angin, hama babi dan monyet serta akibat penyakit tanaman. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, untuk desa Karangsari yang menyebabkan penurunan produktifitas tanaman pertanian adalah iklim (angin) sebesar 10 %, hama babi 20 % serta karena penyakit (busuk akar) sebesar 10 %. Untuk desa Seda disebabkan karena faktor hama babi dan monyet untuk tanaman ketela pohon, pisang dan kelapa (20%), serta faktor penyakit tanaman (30%) yang mengakibatkan bunga cengkeh dan melinjo tidak berkembang menjadi buah. Sedangkan di desa Pajambon, lebih banyak karena faktor penyakit (10%). Keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan petani
148
terhadap
perkembangan
teknik
budidaya
tanaman,
khususnya
dalam
pencegahan hama dan penyakit merupakan faktor utama yang mempengaruhi penurunan produktifitas. Padahal menurut Vink, G.J dalam Sajogyo (1982) sifat, tenaga dan ketrampilan pekerja adalah hal yang penting bagi semua pekerjaan. Oleh karena itu pengetahuan dan ketrampilan petani perlu ditingkatkan. Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
responden,
petani
masih
mengandalkan para penyuluh pertanian atau pihak pendamping dalam mengatasi masalah tersebut karena dipandang lebih efektif, dibandingkan jika petani mengikuti pendidikan dan latihan yang sangat terbatas jumlahnya. Hasil analisis terhadap produktifitas tanaman pertanian dan kehutanan yang paling banyak dibudidayakan petani (yang memiliki produksi relatif tinggi), didapatkan beberapa komoditas yang perlu dikembangkan seperti disajikan pada Tabel 49. Tabel 49 Komoditas tanaman pertanian yang disukai masyarakat No
Desa
1
Karangsari
Jumlah petani Agro forestri** 687
2
Seda
327
3
Pajambon
130
Tanaman pertanian
Luas lahan (ha) Total
1. Jagung 2. Cabe rawit 3. Kopi 1. Melinjo 2. Cengkeh 1. Cabe rawit 2. Kopi
0,877 1,097 0,921 1,16 0,67 0,0328 0,0328
Rata -rata 0,11 0,11 0,11 0,13 0,11 0,02 0,02
Produksi (kg) Total 19.400 1.296 2.323 6075 570,5 8,24 415
Ratarata 2425 129,60 290,38 675 95,08 4,12 207.50
Harga/kg* (Rp.) 2.800 14.000 8.000 2.000 55.000 17.000 6.000
*Harga berlaku saat penelitian **Hasil wawancara dengan perangkat Desa
Tabel 49 memperlihatkan bahwa cabe rawit merupakan komoditas tanaman pertanian yang menjadi unggulan di desa Karangsari dan Seda, hal ini dikarenakan harga cabe rawit meningkat tajam pada saat penelitian dilakukan dari harga rata-rata Rp 8.000, menjadi sekitar Rp 14.000 sampai Rp 17.000. Di desa Seda komoditas perkebunan cengkeh dan melinjo sejak dahulu tetap menjadi unggulan, bahkan menjadi unggulan Kabupaten Kuningan. Oleh karena itu penurunan produktifitas akibat penyakit tanaman pada kedua komoditas ini harus menjadi fokus perhatian stakeholder. Komoditas tanaman kehutanan di tiga Desa contoh yang menjadi unggulan adalah sengon. Menurut sebagian besar responden karena tanaman sengon memiliki masa panen yang relatif lebih cepat, sehingga dapat segera menghasilkan kayu. Komoditas tanaman kehutanan yang disukai masyarakat disajikan pada Tabel 50.
149
Tabel 50 Komoditas tanaman kehutanan yang disukai masyarakat No
Desa
1
Karangsari
2
Seda
3
Pajambon
Tanaman kehutanan 1. Sengon 2. Kayu afrika 1. Sengon 2. Mahoni 1. Kayu afrika 2. Sengon
Luas lahan (ha) Total 2,685 1,872 0,414 0,977 0,0283 0,0283
Rata-rata 0,298 0,187 0,138 0,143 0,0141 0,0141
Produksi (batang) Total Rata-rata 1803 200,3 446 44,6 170 56,67 362 52 113 4 75 3
Harga/pohon (Rp.) 500.000 800.000 500.000 1.000.000 400.000 400.000
Jenis tanaman sengon, kayu afrika dan mahoni menjadi tiga komoditas tanaman kehutanan yang disukai masyarakat. Berdasarkan wawancara, permintaan konsumen terhadap jenis tanaman kehutanan ini cenderung meningkat baik dari segi volume maupun harga. Peningkatan produksi jenis tanaman ini akan berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan petani agroforestri, oleh karena itu perhatian terhadap ketiga jenis komoditas tanaman kehutanan ini harus lebih diutamakan oleh stakeholder terkait, terutama penyuluh pertanian dan penyuluh kehutanan. Kombinasi jenis tanaman pertanian dan kehutanan yang dipilih oleh masyarakat disarankan untuk dikembangkan, hal ini sesuai dengan pendapat Satjapradja (1982) bahwa untuk pengembangan dan keberhasilan sistem agroforestri, jenis tanaman yang dikembangkan harus memenuhi beberapa persyaratan bukan saja meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga aspek sosial, fisik dan biologi. Salah satu persyaratan keberhasilan agroforestri adalah jenis tanaman yang dikembangkan sudah dikenal dan disukai masyarakat, oleh karena itu peningkatan produksi tanaman pertanian dan kehutanan pada ketiga Desa contoh dilakukan terhadap komoditas tanaman pertanian dan kehutanan yang disukai, namun memiliki nilai ekonomis yang dapat memenuhi kebutuhan petani. Suharjito, dkk (2003) menyatakan bahwa di tingkat petani keputusan untuk menerapkan dan mengembangkan agroforestri mencakup berbagai hal yang jauh lebih kompleks dari sekedar untung rugi. Suatu sistim penggunaan lahan dinilai dari bagaimana sistim tersebut dapat memenuhi kebutuhan dasar petani, termasuk pangan, papan dan penghasilan tunai. Masyarakat desa yang diprioritaskan untuk bekerja pada beberapa jenis usaha yang dikembangkan sebaiknya adalah masyarakat yang pernah menggarap pada lahan kawasan TNGC (berakhir pada bulan November 2010). Hal ini dilakukan untuk memberikan alternatif sumber mata pencaharian dan sumber pendapatan lain melalui kesempatan kerja di sektor ekowisata dan
150
agroforestri. Jumlah masyarakat yang pernah menggarap lahan di kawasan TNGC pada desa-desa contoh berdasarkan data terakhir Balai TNGC November 2010 yaitu; Desa Seda 363 orang, Desa Cisantana 260 orang, Desa Karangsari 50 orang dan desa Pajambon 20 orang. Disamping itu lahan yang mereka miliki juga termasuk dalam kategori sempit (dibawah 0,5 ha), bahkan banyak yang tidak memiliki lahan pertanian. Menurut Heriawan (2006) berdasarkan jumlah Rumah Tangga Pertanian (RTP) di seluruh Indonesia terdapat 13,3 juta RTP yang hanya menguasai (belum tentu memiliki) luas bidang tanah kurang dari 0,5 hektar. 4.5 Model Sistem Dinamik Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC Tujuan pengembangan masyarakat adalah menciptakan kondisi yang lebih maju dalam hal sosial dan ekonomi, melalui proses penyadaran dan peningkatan kemandirian. Pelaksanaan pengembangan masyarakat pada daerah penyangga TNGC pada prinsipnya tidak terbatas pada selang waktu tertentu, apabila masyarakat telah memasuki tahap kemandirian maka dapat berpindah dengan tidak menghentikan sama sekali kegiatan yang bersifat konsultatif dan dan informatif. Namun untuk mengefektifkan kegiatan ini, maka diawali dengan mengembangkan ide atau inovasi kepada masyarakat melalui pengembangan program ekowisata an agroforestri. Mardikanto (2010) menyampaikan bahwa salah satu upaya yang sering dilakukan untuk memperoleh kepercayaan masyarakat terhadap ide yang ditawarkan adalah menunjukkan manfaat atau keunggulan ekonomi (dan non ekonomi) dari ide atau upaya yang ditawarkan. Keunggulan sosial ekonomi ekowisata dan agroforestri tercermin melalui seberapa besar manfaat dalam bentuk penyerapan tenaga kerja serta penerimaan yang diperoleh dari kedua kegiatan tersebut untuk jangka panjang. Untuk itu melalui upaya perumusan model pengembangan ekowisata dan agroforestri dengan menggunakan pendekatan sistem dinamis ini akan dapat diprediksi seberapa besar manfaat yang diterima oleh masyarakat. Dengan gambaran ini, diharapkan adanya peningkatan motivasi masyarakat untuk ikut mengembangkan program ini, dengan dua tujuan, yaitu mendapatkan manfaat sosial ekonomi sehingga meningkatkan sikap dan dukungannya terhadap upaya konservasi TNGC serta meningkatnya luas penutupan hutan TNGC.
151
Pembinaan terhadap masyarakat daerah penyangga merupakan tugas bersama antara Pemerintah (Pemda setempat melalui instansi terkait dan Balai TNGC), dunia usaha (pihak pengelola ekowisata, Perusahaan Daerah Aneka Usaha dan Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia cabang Kabupaten Kuningan) serta LSM lokal (Akar dan Kanopy). Pada saat ini pemerintah lebih dominan berperan dalam program-program pengembangan masyarakat, melalui berbagai kegiatan pelatihan, bantuan, dan kegiatan lainnya. Namun karena keterbatasan sumberdaya (terutama anggaran dan SDM), maka dalam pelaksanaannya mengalami berbagai kendala. Dalam pengembangan ekowisata, sesuai dengan fokus pengembangan hasil analisis supply dan demand, kendala yang dihadapi adalah pada pembangunan fasilitas ekowisata, kontinyuitas/jumlah program yang digulirkan, serta keterbatasan pelibatan masyarakat dalam program, sedangkan pada pengembangan agroforestri kendala yang dihadapi pada kegiatan penyuluhan, pendampingan, kontinyuitas/ jumlah program yang digulirkan, adanya keterbatasan dalam pelibatan masyarakat dalam program, serta kendala iklim, hama dan penyakit tanaman. Keterbatasan kemampuan pemerintah terhadap implementasi programprogram pengembangan ekowisata dan agroforestri pada saat ini berpengaruh terhadap aspek kesejahteraan masyarakat daerah penyangga yang bekerja di kedua sektor tersebut. Oleh karena itu dalam program pengembangan masyarakat daerah penyangga khususnya pada kegiatan ekowisata dan agroforestri dibutuhkan peran yang lebih besar dari stakeholder dunia usaha dan LSM. Kontribusi terhadap program pengembangan ekowisata dan agroforestri dari dua stakeholder (pemerintah dan dunia usaha atau LSM) diharapkan akan dapat mewujudkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang lebih baik. Namun kondisi optimal akan dicapai jika ketiga stakeholder pemerintah, dunia usaha dan LSM dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam menghadapi kendala pengembangan ekowisata dan agroforestri.
Atas dasar peran stakeholder
tersebut, maka dalam penyusunan simulasi model untuk memprediksi besarnya manfaat yang diperoleh dari pengembangan ekowisata dan agroforestri, dilakukan dengan tiga skenario, yaitu pertama adalah skenario sesuai kondisi saat ini/eksisting (bussiness as usual), dimana hanya pihak pemerintah saja yang berperan, kedua adalah skenario moderat, dimana terdapat dua stakeholder yang berperan (pemerintah dengan dunia usaha atau pemerintah dengan LSM) dan ketiga adalah skenario optimis, yang merupakan skenario
152
ideal, dimana ketiga kelompok stakeholder berperan secara nyata terhadap pengembangan ekowisata dan agroforestri. 4.5.1 Identifikasi sistem Pengembangan daerah penyangga TNGC merupakan sebuah sistem yang kompleks, yang terdiri dari berbagai elemen yang saling berinteraksi dan terorganisir. Isu utama pembuatan model adalah bagaimana pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC dibangun dalam suatu model
dinamik.
Tujuan
khusus
dari
pembuatan
model
adalah
untuk
mengembangkan daerah penyangga melalui ekowisata dan agroforestri yang ditujukan bagi peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat serta tercapainya kelestarian TNGC. Berdasarkan pengertian permasalahan dan mekanisme sistem yang akan dibangun, maka diagram lingkar sebab akibat menggambarkan tiga sub sistem, yaitu sub sistem kesempatan kerja, sub sistem pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata dan agroforestri di daerah penyangga dan sub sistem luas penutupan hutan TNGC. Diagram lingkar akibat (causal loop) tersebut, diilustrasikan pada Gambar 35.
Kondisi sosial ekonomi +
Sikap Konservasi
+
Kesempatan kerja dan Pendapatan +
─
Pengembangan Daerah Penyangga (ekowisata dan agroforestri)
Gangguan terhadap hutan
+
(penggarapan dalam kawasan, kebakaran, pencurian) +
+
Kelestarian TNGC (Luas penutupan hutan )
Gambar 35 Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC Gambar 35 memperlihatkan hubungan antara komponen yang saling berinteraksi. Pengembangan daerah penyangga TNGC melalui ekowisata dan agroforestri akan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Peningkatan kedua aspek ini akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, taraf hidup yang semakin meningkat, pendidikan dan
153
kesehatan yang semakin membaik, dapat menjadi pendorong terbentuknya sikap yang positif terhadap konservasi TNGC. Tingkat gangguan terhadap kawasan TNGC akan semakin menurun sejalan dengan membaiknya sikap dan dukungan masyarakat
terhadap
keberadaan
TNGC,
sehingga
diharapkan
mampu
meningkatkan kelestarian TNGC dengan indikasi semakin luasnya penutupan hutan yang pada saat ini mengalami kerusakan sebesar 43%. Diagram lingkar sebab akibat mencerminkan efek jangka panjang dari mekanisme yang terjadi dalam sistem pengembangan daerah penyangga, kemudian menjabarkannya dalam struktur model. Pengembangan terhadap kegiatan ekowisata dan agroforestri bertujuan untuk melihat seberapa besar kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan dari kedua kegiatan tersebut. Pengembangan yang dimaksud didasarkan pada hasil analisis supply demand ekowisata dan agroforestri. Konseptual model yang dibangun dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa pengembangan fasilitas ekowisata dan penyediaan jenis usaha masyarakat secara langsung akan meningkatkan jumlah ekowisatawan. Dari belanja ekowisatawan akan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Jumlah wisatawan menjadi faktor yang mempengaruhi besarnya belanja wisatawan dan akan mempengaruhi pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor wisata. Peningkatan jumlah wisatawan dan peningkatan belanja wisatawan merupakan tujuan utama dari program pengembangan ekowisata. Namun mempertahankan
kualitas
lingkungan pada kepariwisataan
alam
mutlak
diperlukan sebab daya tarik utamanya adalah pada lingkungan tersebut, oleh karena itu jumlah pengunjung harus dibatasi sesuai daya dukung kawasan TNGC, karena menurut Fandeli (2001) faktor yang signifikan mempengaruhi daya dukung lingkungan obyek ekowisata atau kawasan adalah jumlah wisatawan, aktifitas wisatawan, perilaku wisatawan, intensitas pemanfaatan dan daya pulih secara alami obyek ekowisata serta tingkat pengelolaan. Oleh karena itu jumlah wisatawan harus dikontrol agar tidak melebihi daya dukung kawasan, namun tetap memberikan kontribusi dalam bentuk belanja wisatawan bagi peningkatan perekonomian masyarakat, khususnya yang berada di sekitar obyek ekowisata. Menurut Douglass (1975) dalam Fandeli (2001), jumlah wisatawan yang diperkenankan untuk mengunjungi areal hutan yang dikembangkan untuk wisata
154
agar tidak menimbulkan kerusakan adalah lima orang wisatawan per hektar per hari. Untuk Buper Palutungan (petak 27) dengan luas kawasan wisata 5 hektar, maka jumlah wisatawan yang diperkenankan adalah 9.000 orang setiap tahun (5 ha x 360 hari x 5 wisatawan). Pada saat ini jumlah wisatawan Buper Palutungan setiap tahun rata-rata berjumlah 34.596 orang, atau kelebihan sekitar 25.596 orang atau sekitar 73,98% dari ambang batas jumlah wisatawan yang diperkenankan. Untuk lembah Cilengkrang dengan luas 30 ha, jumlah wisatawan yang diperkenankan adalah 54.000 orang per tahun, sedangkan saat ini rata-rata jumlah wisatawan adalah 65.424 orang per tahun (kelebihan sekitar 11.424 orang per tahun atau sekitar 17,46%), sehingga perlu ada pembatasan jumlah wisatawan agar kerusakan kawasan obyek ekowisata dapat dicegah. Lokasi pemandian Cibulan memiliki luas 5,95 ha, maka jumlah wisatawan yang diperkenankan adalah 10.710 orang setiap tahun, sedangkan saat ini baru sekitar 4.380 wisatawan setiap tahun atau baru sekitar 40,90% dari dari total jumlah wisatawan yang diperkenankan. Berdasarkan perhitungan jumlah maksimal wisatawan menurut Douglass tersebut, maka peningkatan jumlah wisatawan hanya dimungkinkan pada lokasi obyek ekowisata Pemandian Cibulan, dan harus ada pembatasan pada lokasi obyek ekowisata Buper Palutungan dan Lembah Cilengkrang. Peningkatan
produksi
agroforestri
di
daerah
penyangga
akan
meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Peningkatan kedua variabel ini diharapkan dapat mencegah sikap dan perilaku yang dapat merusak kawasan hutan TNGC, sehingga kelestarian TNGC dapat tercapai. Peningkatan produksi yang ingin dicapai pada pengembangan agroforestri dilakukan melalui kebijakan. Sadoulet dan Janvry (1995) dalam Rianse dan Abdi (2010) memformulasikan fungsi produksi agroforestri dengan persamaan yang memasukkan faktor tetap seperti infrastruktur dan pelayanan penyuluhan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi produksi agroforestri. Berdasarkan isu, tujuan, dan konseptual tersebut maka dibangun tiga sub model yaitu: 1) Sub model kesempatan kerja, 2) Sub model pendapatan masyarakat, dan 3) Sub model kelestarian TNGC. Gambar struktur model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC disajikan pada Lampiran 3.
155
Analisis dilakukan untuk sepuluh tahun yang akan datang sejak tahun 2009 hingga tahun 2019. Beberapa asumsi yang digunakan dalam pemodelan ini adalah : 1. Kesempatan kerja masyarakat dilihat dari jumlah tenaga kerja yang dapat diserap dalam kegiatan ekowisata dan agroforestri. Masyarakat yang menjadi prioritas adalah yang pernah menggarap kawasan TNGC pada masingmasing desa, dengan asumsi setelah turun dari kawasan, masyarakat tersebut dalam kondisi belum bekerja. 2. Perhitungan pendapatan masyarakat dari ekowisata adalah berdasarkan pendapatan masyarakat di daerah penyangga yang terlibat secara langsung dalam usaha ekowisata TNGC yang terdiri dari: pengelola obyek wisata, warung makanan/minuman, penjual souvenir, pemandu wisata, penitipan kendaraan, penyewaan peralatan renang, penyewaan kamar bilas, atraksi outbond, usaha toilet umum, serta pendapatan dari pengembangan usaha penyewaan
tenda,
makan/restoran,
homestay/pondokan
penitipan
pakaian.
di
rumah
Pendapatan
penduduk,
rumah
masyarakat
dalam
perhitungan dimaksud adalah pendapatan per kapita per bulan. 3. Perhitungan pendapatan masyarakat dari agroforestri adalah berdasarkan produksi tanaman pertanian dan kehutanan yang ditanam pada tegalan/ ladang/kebun milik masyarakat. 4. Seluruh perhitungan pendapatan masyarakat hanya yang berasal dari kegiatan ekowisata dan agroforestri. 5. Kelestarian TNGC diperhitungkan dalam bentuk peningkatan luas tutupan hutan, karena adanya kegiatan penanaman (RHL) dan pengurangan akibat perambahan dan kebakaran hutan pada kawasan TNGC. 4.5.2 Sub Model pada Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC a) Sub Model Kesempatan Kerja Masyarakat Kesempatan kerja pada sub model ini adalah banyaknya anggota masyarakat yang dapat terserap atau bekerja pada berbagai jenis usaha ekowisata dan kegiatan agroforestri. Kesempatan kerja yang dikembangkan dari ekowisata yaitu sebagai pengelola ekowisata, warung makanan dan minuman, penjual souvenir, pemandu wisata, pengelola penitipan kendaraan, atraksi outbond, penyewaan kamar bilas, penyewaan peralatan renang, toilet umum,
156
rumah makan/restoran, penyewaan tenda, homestay/penyewaan di rumah penduduk dan penitipan pakaian (hasil analisis supply demand). Kesempatan kerja masyarakat yang akan dikembangkan dari agroforestri dibatasi hanya sebagai petani agroforestri (on farm). Struktur model dinamik sub model kesempatan kerja dan persamaannya disajikan pada lampiran 4. b) Sub Model Pendapatan Masyarakat Pendapatan masyarakat pada sub model ini adalah pendapatan yang berasal dari pengembangan 13 jenis usaha ekowisata yang dihasilkan dari analisis supply demand (pada sub bab potensi pengembangan ekowisata) dan diperoleh dari sub model kesempatan kerja, sedangkan besarnya pendapatan masyarakat dari agroforestri diperoleh dari hasil produksi tanaman pertanian dan kehutanan. Semakin tinggi produksi tanaman pertanian dan kehutanan, maka akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Struktur model dinamik sub model pendapatan masyarakat dan persamaannya disajikan pada lampiran 5. Disamping pendapatan dari kegiatan ekowisata TNGC dan agroforestri, masyarakat juga mempunyai sumber pendapatan lain, karena kegiatan ekowisata dan agroforestri belum dapat dijadikan sebagai satu-satunya sumber mata pencaharian. Dalam model ini pengeluaran masyarakat dikelompokkan menjadi pengeluaran untuk kebutuhan hidup sehari-hari, kesehatan, dan pendidikan. Peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata dan agroforestri tidak terlepas dari peran stakeholder. Pengembangan ekowisata yang dilakukan oleh stakeholder adalah dalam bentuk peningkatan fasilitas ekowisata,peningkatan program/kegiatan per tahun yang mendukung ekowisata TNGC, serta peningkatan jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program/kegiatan ekowisata. Peningkatan ketiga aspek ini akan berdampak terhadap jumlah ekowisatawan dan peningkatan produk dan jasa ekowisata oleh masyarakat. Dengan adanya peningkatan usaha produk ekowisata, maka akan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu variabel kunci yang digunakan dalam pengembangan ekowisata adalah 1) Fasilitas ekowisata, 2) program/kegiatan per tahun, dan 3) Jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program/kegiatan. Peran stakeholder dalam pengembangan program/kegiatan agroforestri di daerah penyangga TNGC secara langsung akan berpengaruh terhadap
157
peningkatan produksi tanaman
agroforestri.
Peningkatan produksi
pada
agroforestri selanjutnya berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Variabel kunci yang digunakan adalah 1) Frekuensi penyuluhan, 2) Banyaknya kelompok pendampingan, 3) Jumlah program /kegiatan per tahun, 4) Jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program /kegiatan, serta adanya 5) Faktor iklim, hama dan penyakit. Uraian dari masing-masing variabel kunci pada program ekowisata dan pengaruhnya terhadap peningkatan jumlah usaha di sektor ekowisata adalah sebagai berikut; 1) Fasilitas Ekowisata Peningkatan jumlah dan kualitas fasilitas pada lokasi obyek wisata sangat penting karena fasilitas menurut Gunn (1988) termasuk elemen penunjang yang membuat proses kegiatan ekowisata menjadi lebih mudah, nyaman, aman dan menyenangkan. Fasilitas yang dimaksud adalah fasilitas umum yang disediakan oleh pengelola, seperti papan petunjuk, shelter, mushola, MCK, pos jaga, pos informasi dan tempat sampah, serta fasilitas jenis usaha produk wisata yang diminati oleh pengunjung dan dapat disediakan oleh masyarakat setempat. Dengan adanya peningkatan jumlah dan kondisi fasilitas umum dan fasilitas berupa jenis produk ekowisata ini, maka diharapkan terjadi peningkatan jumlah pengunjung dan belanja pengunjung. 2) Jumlah program/kegiatan yang mendukung ekowisata per tahun Faktor kedua yang mempengaruhi peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat adalah banyaknya program/kegiatan yang mendukung pengembangan
ekowisata
yang
ditujukan
bagi
peningkatan
kapasitas
masyarakat diantaranya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat. Peran stakeholder diperlukan dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat tersebut melalui berbagai jenis pelatihan dan pembinaan pasca pelatihan. Berdasarkan
hasil
wawancara
32%
menyatakan
bahwa
faktor
pengetahuan dan ketrampilan dalam usaha di sektor wisata mempengaruhi minat masyarakat dalam membuka usaha. Kurangnya pengetahuan mengenai suatu jenis usaha dapat mengurungkan niat untuk mencoba membuka usaha baru. Jenis pelatihan yang diinginkan oleh responden adalah yang berkaitan dengan ketrampilan strategi pemasaran, pembuatan souvenir, jenis-jenis usaha di bidang ekowisata, dan pelatihan yang berkaitan dengan pemanfaatan potensi di
158
lingkungan desa. Semakin banyak pelatihan yang diselenggarakan oleh stakeholder, maka diharapkan semakin meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat mengenai bidang ekowisata,
yang akan menambah
motivasi dan minat masyarakat dalam membuka lapangan usaha baru. Saat ini frekuensi pelatihan bidang ekowisata yang telah dilaksanakan oleh stakeholder rata-rata satu kali dalam setahun, seperti pelatihan teknik interpretasi wisata bagi masyarakat yang diselenggarakan oleh Balai TNGC dan pelatihan ketrampilan pembuatan souvenir oleh Balai TNGC bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Propinsi, (hasil penelusuran RPJM/Renstra Balai TNGC, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan). Berdasarkan
hasil
observasi
terhadap
masyarakat
yang
pernah
mendapatkan pelatihan, tanpa adanya pembinaan lebih lanjut, pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh tidak terlihat dampaknya, karena tidak diterapkan oleh masyarakat. Padahal biaya yang sudah dikeluarkan untuk mengadakan pelatihan cukup besar. Berdasarkan hasil wawancara, pembinaan yang dibutuhkan oleh responden adalah pembinaan minat dan motivasi, informasi permodalan, informasi strategi pemasaran, informasi promosi bagi yang sudah dilatih menjadi pemandu wisata, dan pembinaan dalam kaitannya dengan persaingan usaha. Pembinaan yang intensif dan berkualitas akan dapat meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dalam membuka usaha baru di bidang ekowisata, dan selanjutnya akan dapat meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat. Pada saat ini frekuensi pembinaan terhadap masyarakat yang berusaha di bidang ekowisata masih terbatas, yaitu rata-rata satu kali per tahun. 3) Jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program/kegiatan Faktor ketiga adalah jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program/ kegiatan ekowisata. Keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh stakeholder menjadi pembatas jumlah masyarakat yang dapat dilibatkan dalam program pelatihan atau pembinaan. Dalam setiap kali pelatihan biasanya hanya mengikutsertakan masyarakat sekitar 20 hingga 50 orang. Bahkan jika penyelenggaraan pelatihan oleh stakeholder mencakup wilayah yang luas, maka dari satu desa hanya mengikutsertakan perwakilan dua hingga lima orang. Peningkatan kesempatan kerja masyarakat karena adanya peningkatan fasilitas jenis usaha produk ekowisata yang diminati oleh pengunjung,
159
peningkatan jumlah program/kegiatan per tahun serta peningkatan jumlah masyarakat yang dilibatkan, dapat dilihat pada Tabel 51. Tabel 51 Peningkatan jumlah ekowisatawan karena adanya peningkatan fasilitas, jumlah program/kegiatan dan jumlah masyarakat yang dilibatkan Pengembangan
Kualitas fasilitas ekowisata Jumlah Program/kegiatan
Indikator
Kurang baik (*) Cukup baik Sangat baik Jumlah program 1 x per tahun (*) Jumlah program 2 x per tahun Jumlah program 3 x pertahun
Jumlah masyarakat Yang dilibatkan
20 - 50 orang (*) 2 kali lipat dari kondisi saat ini 3 kali lipat dari kondisi saat ini Keterangan (*) = kondisi saat ini
Tingkat
1 2 3 1 2 3
Rata-rata peningkatan jumlah pengunjung 5% 10 % 20 % 5% 10 % 20 %
1 2 3
5% 10% 20%
Uraian dari masing-masing variabel kunci pada peningkatan produksi agroforestri dan pengaruhnya terhadap peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat dapat dijabarkan sebagai berikut : 1) Frekuensi penyuluhan Penyuluhan merupakan salah satu bentuk peran stakeholder yang diinginkan oleh masyarakat petani agroforestri dalam upaya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden stakeholder BP4K, saat ini satu orang penyuluh pertanian membawahi wilayah satu sampai dua desa, sedangkan satu orang penyuluh kehutanan membawahi wilayah satu sampai dua kecamatan. Hadirnya penyuluh di desa secara rutin dan teratur akan sangat membantu petani dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam budidaya tanaman, dan akan berdampak secara langsung dalam peningkatan produksi. 2) Jumlah kelompok pendampingan Keberadaan LSM Kanopi dalam kegiatan pendampingan kelompok masyarakat cukup efektif. Peran pendamping sebagai fasilitator dan mediator banyak membantu petani dalam mencari solusi permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam melakukan aktifitasnya, termasuk kegiatan agroforestri. Pada saat ini pendampingan oleh LSM Kanopi di desa Pajambon berjumlah satu kelompok masyarakat yang berjumlah 20 orang.
160
3) Jumlah program/kegiatan yang mendukung agroforestri per tahun Jumlah program/kegiatan per tahun yang diimplementasikan oleh stakeholder dalam mendukung pengembangan program agroforestri cukup berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Sejak tahun 2009, melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)/Renstra dapat diketahui bahwa terdapat minimal satu kali program/kegiatan per tahun yang berkaitan dengan kegiatan agroforestri. Sebagai contoh, pada tahun 2010 Dinas Kehutanan Propinsi melakukan demplot agroforestri di desa Karangsari, dengan jenis tanaman buah-buahan pada lahan seluas 25 ha. Dengan adanya perluasan lahan untuk agroforestri dan perbanyakan tanaman, maka akan dapat meningkatkan produksinya. 4) Jumlah masyarakat yang dilibatkan dalam program Semakin banyak masyarakat yang dilibatkan dalam program/kegiatan pada poin tiga di atas, maka semakin besar pula peningkatan produksinya. Bertambahnya masyarakat yang dilibatkan dalam program/kegiatan apakah dalam bentuk pelatihan atau bantuan langsung yang mendukung pengembangan agroforestri akan berpengaruh terhadap produksinya. Peningkatan ini dilakukan dengan
memperluas
lahan
yang
diusahakan
(ekstensifikasi)
dan
atau
mengintensifkan pengelolaan lahan agroforestri (intensifikasi). Berdasarkan hasil FGD stakeholder dan responden petani agroforestri, besarnya pengaruh frekuensi penyuluhan, pendampingan, jumlah kegiatan dan jumlah masyarakat yang dilibatkan terhadap peningkatan produksi agroforestri disajikan dalam Tabel 52.
161
Tabel 52
Peningkatan produksi agroforestri karena adanya peningkatan frekuensi penyuluhan, pendampingan, jumlah program/kegiatan dan jumlah masyarakat yang dilibatkan
Pengembangan
Frekuensi > 5 bulan 1 kali (*) Frekuensi 4 bulan 1 x Frekuensi 2 bulan 1 1 kelompok (20 orang) (*) 2 kelompok (40 orang) 3 kelompok (60 orang)
1 2 3 1 2 3
Rata-rata peningkatan produksi 5% 10 % 20 % 10 % 20 % 30 %
Jumlah program/kegiatan
Jumlah program 1 x per tahun (*) Jumlah program 2 x per tahun Jumlah program 3 x pertahun
1 2 3
5% 10 % 20 %
Jumlah masyarakat yang dilibatkan
20 - 50 orang (*) 2 kali lipat dari kondisi saat ini 3 kali lipat dari kondisi saat ini
1 2 3
5% 10% 20%
Penyuluhan
Pendampingan
Indikator
Tingkat
Iklim, hama dan penyakit tanaman
30% 20% (*) 10% Keterangan (*)= kondisi sekarang
1 2 3
c) Sub Model Kelestarian TNGC Kelestarian
kawasan
hutan
TNGC
ditunjukkan
dengan
adanya
penambahan luas hutan TNGC karena adanya kegiatan restorasi kawasan dan pengurangan kerusakan hutan.
Restorasi ini berasal dari kegiatan Gerakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), yang dilakukan oleh Balai TNGC dan instansi lainnya melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Penambahan luas hutan ini akan terus meningkat jika tidak ada gangguan dari masyarakat seperti perambahan, serta pengurangan akibat adanya kebakaran hutan. Gangguan dalam kawasan ini dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Struktur model dinamik sub model kelestarian TNGC dan persamaannya disajikan pada Lampiran 6. 4.5.3 Persamaan dalam Model Beberapa persamaan yang digunakan dalam perhitungan model secara garis besar yaitu; 1. Pengembangan daerah penyangga = f (ekowisata, agroforestri) 2. Kesempatan kerja dan pendapatan ekowisata = f (pengunjung, usaha sektor ekowisata) 3. Kesempatan kerja dan pendapatan agroforestri = f (produksi tanaman pertanian, produksi tanaman kehutanan)
162
4. Gangguan hutan = f (perambahan, kebakaran hutan) 5. Kelestarian TNGC (luas penutupan hutan) = f (restorasi, gangguan hutan) 4.5.4 Simulasi Model Simulasi adalah kegiatan atau proses percobaan dengan menggunakan suatu model untuk mengetahui perilaku sistem dan akibat pada komponenkomponen dari suatu perlakuan pada berbagai komponen.
Simulasi dapat
berfungsi sebagai pengganti percobaan di lapangan yang akan banyak menggunakan waktu, tenaga dan biaya (Suratmo 2002). Berdasarkan kondisi saat ini/eksisting (Bussines as usual) dari masingmasing variabel kunci, dapat dibangun simulasi model pengembangan kesempatan kerja
dan pendapatan masyarakat melalui ekowisata
dan
agroforestri, serta kelestarian TNGC seperti disajikan berikut ini. a) Simulasi Sesuai Kondisi Saat Ini/Eksisting (Bussiness as usual) Simulasi model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC ditujukan untuk mengetahui sampai sejauh mana tujuan kelestarian TNGC dapat dicapai melalui kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat dari ekowisata dan agroforestri pada kondisi saat ini. Simulasi dilakukan pada sepuluh tahun yang akan datang sesuai kondisi saat ini dari masing-masing variabel kunci. Simulasi model kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat pada ekowisata dan agroforestri serta penutupan hutan TNGC dapat dilihat pada Gambar 36, 37, 38.
Gambar 36 Simulasi model kesempatan kerja sesuai kondisi saat ini.
163
Gambar 37 Simulasi model pendapatan sesuai kondisi saat ini.
Gambar 38 Simulasi model penutupan hutan TNGC sesuai kondisi saat ini. Berdasarkan simulasi tersebut dapat diprediksi luas penutupan hutan TNGC, kesempatan kerja dan pendapatan pada sepuluh tahun yang akan datang seperti disajikan pada Tabel 53. Tabel 53 Tahun
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Prediksi kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan luas penutupan hutan TNGC sesuai kondisi saat ini Serapan tenaga kerja ekowisata (Orang) 204 247 276 310 350 385 401 419 437 458 481
Serapan tenaga kerja agroforestri (Orang) 93 95 97 100 102 105 109 113 118 122 129
Pendapatan perkapita ekowisata (Rp/bulan)
Pendapatan perkapita agroforestri (Rp/bulan)
241.667 273.944 301.093 313.540 325.891 338.123 349.261 358.767 368.484 378.398 388.496
392.409 405.902 401.232 398.233 396.785 396.778 398.106 400.669 404.375 409.139 414.881
Luas penutupan hutan TNGC (Ha) 5.132 4.927 4.730 4.636 4.543 4.452 4.569 4.674 4.864 5.049 5.231
164
Gambar 36 memperlihatkan bahwa serapan tenaga kerja pada ekowisata lebih tinggi dibandingkan agroforestri, karena bidang usaha yang dapat diupayakan masyarakat pada ekowisata relatif lebih banyak (13 jenis usaha berdasarkan
hasil
analisis
supply
demand).
Peningkatan
kedatangan
ekowisatawan TNGC yang signifikan, merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap meningkatnya serapan tenaga kerja di ekowisata. Tabel 53 memperlihatkan bahwa apabila tidak ada perubahan variabel kunci pada kegiatan ekowisata dan agroforestri, maka jumlah masyarakat yang mendapat kesempatan bekerja pada ekowisata sebanyak 204 orang (pada tahun 2009) menjadi 481 orang (pada tahun 2019) dan pendapatan total per kapita per bulan masyarakat dari ekowisata meningkat dari Rp. 241.666,67 menjadi Rp 388.496,01, dan pendapatan dari agroforestri meningkat dari Rp. 392.409,13 menjadi Rp. 414.880,97. Secara keseluruhan pendapatan total per kapita per bulan dari ekowisata dan agroforestri mencapai Rp. 317.037,90 (pada tahun 2009) menjadi Rp. 456.150,99 (pada tahun 2019). Melalui
peningkatan
kesempatan
kerja
dan
pendapatan
tersebut,
peningkatan yang terjadi pada luas penutupan hutan TNGC yaitu dari 5.132 ha (pada tahun 2009) menjadi 5.231 ha (pada tahun 2019). Luas penutupan hutan TNGC pada tahun kesepuluh ini masih cukup jauh untuk mencapai luas penutupan hutan TNGC pada awal penetapan yaitu seluas 8.931,27 ha untuk wilayah Kabupaten Kuningan. Berdasarkan hasil simulasi tersebut dapat dilihat bahwa apabila tidak ada perubahan pada variabel kunci sampai sepuluh tahun yang akan datang, maka tidak akan terjadi peningkatan secara signifikan bagi kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat, serta luas penutupan hutan TNGC. Hal ini terlihat dari tenaga kerja yang terserap dalam kurun waktu sepuluh tahun di sektor ekowisata meningkat sebesar 135,78% dan agroforestri meningkat sebesar 38,27%. Pendapatan masyarakat dari ekowisata meningkat sebesar 60,76%, dan dari agroforestri meningkat hanya sebesar 5,73%, sehingga rata-rata peningkatan pendapatan dari ekowisata dn agroforestri meningkat sebesar 26,70%. Peningkatan luas hutan TNGC dalam sepuluh tahun yang akan datang hanya sebesar 1,92%. Diperlukan peningkatan seluar 3.700,27 ha (73,08%) agar luas hutan TNGC mencapai luas hutan pada awal penetapan yaitu 8.931,27 ha. Berdasarkan kenyataan tersebut, perubahan terhadap variabel kunci harus dilakukan melalui peningkatan peran stakeholders. Jika tidak dilakukan
165
intervensi, maka peningkatan tersebut bergerak dalam waktu yang cukup lama dan dengan persentase peningkatan yang kurang signifikan. Pengembangan ekowisata dan agroforestri melalui peningkatan peran stakeholders diperlukan untuk mempercepat proses peningkatan ketiga variabel tersebut bagi tercapainya kelestarian TNGC. b) Simulasi dengan Skenario Model Skenario model dilakukan sebagai suatu strategi untuk meningkatkan kesempatan
kerja
dan
pendapatan
masyarakat
melalui
pengembangan
ekowisata dan agroforestri di daerah penyangga TNGC. Skenario yang dibangun terdiri dari : 1) skenario moderat dan 2) skenario optimis. Skenario moderat diartikan sebagai kondisi dimana seluruh atau beberapa variabel kunci pada kinerja sistem mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dari kondisi eksisting (pesimis). Sedangkan skenario optimis diartikan sebagai kondisi dimana seluruh atau beberapa variabel kunci pada kinerja sistem mengalami perubahan ke arah yang lebih baik dari skenario moderat. Skenario model dibuat dengan mempertimbangkan kapasitas dan peranserta tiga kelompok stakeholder dalam program pengembangan ekowisata dan agroforestri. Skenario dibuat agar lebih mudah dalam mengatur strategi pengembangan, dengan melihat perubahan kinerja sistem sesuai dengan dinamika waktu yang akan terjadi pada masa yang akan datang. 1) Simulasi Model Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga dengan Skenario Moderat Simulasi model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC melalui kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat pada skenario moderat dilakukan pada sepuluh tahun yang akan datang dari masingmasing variabel kunci, disajikan pada Gambar 39, 40,41.
Gambar 39 Simulasi model kesempatan kerja pada skenario moderat.
166
Gambar 40 Simulasi model pendapatan masyarakat pada skenario moderat
Gambar 41 Simulasi model penutupan hutan TNGC pada skenario moderat Berdasarkan simulasi pada skenario moderat tersebut dapat diprediksi kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata TNGC dan agroforestri, serta luas penutupan hutan TNGC pada sepuluh tahun yang akan datang, seperti disajikan pada Tabel 54.
167
Tabel 54 Prediksi kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan luas penutupan hutan TNGC pada skenario moderat Tahun
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Serapan tenaga kerja ekowisata (Orang) 204 262 310 368 437 518 592 612 612 612 612
Serapan tenaga kerja agroforestri (Orang) 88 96 104 113 122 135 151 169 194 227 276
Pendapatan perkapita ekowisata (Rp/bulan)
Pendapatan perkapita agroforestri (Rp/bulan)
Luas penutupan hutan TNGC (Ha)
241.667 302.869 347.008 380.059 415.922 454.876 497.229 526.000 529.631 529.631 529.631
392.409 400.699 430.245 460.990 492.499 524.629 557.493 591.336 626.421 662.972 701.157
5.132 4.927 4.829 4.733 4.639 4.639 5.050 5.444 5.830 6.209 6.580
Gambar 39, 40,41 dan Tabel 54 memperlihatkan bahwa jika dilakukan pengembangan pada skenario moderat, pada sepuluh tahun yang akan datang jumlah masyarakat yang dapat terserap pada kegiatan ekowisata meningkat dari 204 orang (pada tahun 2009) menjadi 612 orang (pada tahun 2019) atau meningkat sebesar 200%, dan pada agroforestri meningkat dari 88 orang menjadi 276 orang, atau meningkat sebesar 213,64%. Peningkatan pendapatan per kapita per bulan masyarakat dari ekowisata, dari Rp 241.667,67 menjadi Rp 529.631,91 (meningkat sebesar 119,16%) dan pendapatan dari agroforestri meningkat dari Rp 392.409,13 menjadi Rp 701.157,33 (meningkat sebesar 78,68%). Serapan tenaga kerja total dari ekowisata dan agroforestri meningkat dari 292 orang (pada tahun 2009) menjadi 888 orang atau meningkat sebesar 204,11%, serta
pendapatan total per kapita per bulan dari ekowisata dan
agroforestri meningkat dari Rp 634.075,80 menjadi Rp 1.230.788,24 (pada tahun 2019), meningkat
sebesar 94,11%. Sedangkan peningkatan luas penutupan
hutan TNGC dari 5.132 ha (pada tahun 2009) menjadi 6.580 ha (pada tahun 2019) atau meningkat sebesar 28,21%. Masih diperlukan luas penutupan hutan TNGC sekitar 2.351,27 ha (45,79%) pada tahun kesepuluh pada skenario moderat ini agar mencapai luas penetapan awal 8.931,27 ha
168
2) Simulasi Model Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga dengan Skenario Optimis Simulasi model pengembangan daerah penyangga TNGC melalui kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat dapat dilakukan pada sepuluh tahun yang akan datang pada skenario optimis dari masing-masing variabel kunci, seperti disajikan pada Gambar 42, 43, dan 44.
Gambar 42 Simulasi model kesempatan kerja pada skenario optimis
Gambar 43 Simulasi model pendapatan masyarakat pada skenario optimis
Gambar 44 Simulasi model penutupan hutan TNGC pada skenario optimis Berdasarkan simulasi pada skenario optimis tersebut dapat diprediksi kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata dan
169
agroforestri, serta luas hutan TNGC pada sepuluh tahun yang akan datang seperti disajikan pada Tabel 55. Tabel 55 Prediksi kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan luas penutupan hutan TNGC pada skenario optimis Tahun
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Serapan tenaga kerja ekowisata (Orang) 204 324 456 568 612 612 612 612 612 612 612
Serapan tenaga kerja agroforestri (Orang)
Pendapatan perkapita ekowisata (Rp/bulan)
Pendapatan perkapita agroforestri (Rp/bulan)
93 109 126 147 173 206 244 293 356 437 541
241.667 302.869 373.953 434.748 497.483 529.631 529.631 529.631 529.631 529.631 529.631
392.409 399.972 452.430 510.279 573.659 642.753 717.813 799.143 887.060 981.841 1.083.679
Luas penutupan hutan TNGC (Ha) 5.132 4.927 4.829 4.830 4.830 4.831 5.344 5.837 6.320 6.802 7.286
Sesuai simulasi pada Gambar 42, 43, dan 44 serta prediksi pada Tabel 55 dapat dilihat bahwa apabila skenario optimis diterapkan pada pengembangan ekowisata dan agroforestri, maka pada sepuluh tahun yang akan datang jumlah tenaga kerja yang dapat terserap pada ekowisata dan agroforestri mengalami peningkatan. Untuk kegiatan ekowisata mengalami peningkatan dari 204 orang (pada tahun 2009) menjadi 612 (pada tahun 2019) atau meningkat 200%, sedangkan pada agroforestri meningkat dari 93 orang menjadi 541, meningkat sebesar 481,72%. Serapan tenaga kerja total dari ekowisata dan agroforestri meningkat dari 297 orang menjadi 1.153 orang, atau meningkat sebesar 288,22%. Pendapatan per kapita per bulan dari ekowisata meningkat dari Rp 241.667,67 menjadi Rp 529.631,91 (meningkat sebesar 119,16%) dan pendapatan dari agroforestri meningkat dari Rp 392.409,13 (tahun 2009) menjadi Rp
1.083.679,03
(tahun
2019),
meningkat
sebesar
176,16%.
Secara
keseluruhan, pendapatan total masyarakat per kapita per bulan dari ekowisata dan agroforestri mengalami peningkatan dari Rp 634.075,80 (pada tahun 2009) menjadi Rp 1.613.309,66 (pada tahun 2019), meningkat sebesar 154,43%. Peningkatan pada luas penutupan hutan TNGC dari 5.132,00 ha (pada tahun 2009) menjadi 7.701,00 ha (pada tahun 2019), masih diperlukan sekitar 1.230,27 ha agar luas penutupan hutan TNGC pada tahun kesepuluh pada
170
skenario optimis ini mencapai
luas penetapan awal kawasan TNGC yaitu
8.931,27 ha. Berdasarkan hasil simulasi tersebut dapat dilihat bahwa apabila dilakukan pengembangan pada skenario optimis, maka pada sepuluh tahun yang akan datang, terjadi peningkatan secara signifikan bagi kesempatan kerja dan pendapatan pendapatan masyarakat serta luas penutupan hutan TNGC. Hal ini terlihat dari tenaga kerja yang terserap di sektor ekowisata dan agroforestri dalam kurun waktu sepuluh tahun terserap sebesar 288,22%, serta pendapatan total masyarakat dari ekowisata dan agroforestri meningkat sebesar 154,43%. Peningkatan yang signifikan pada kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat tersebut akan dapat berkontribusi dalam meningkatkan luas penutupan hutan TNGC dalam sepuluh tahun yang akan datang sebesar 41,96% dari kondisi saat ini. Diperlukan luas hutan 1645,77 ha (32,04%) agar dapat seperti luas pada awal penetapan yaitu 8931,27 ha. Berdasarkan hasil perhitungan pada tiga skenario tersebut, maka pengambilan keputusan untuk pengembangan ekowisata dan agroforestri didasarkan atas skenario yang dapat memberikan hasil terbaik bagi peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat agar tercapai kelestarian TNGC. Hasil dari skenario moderat dan optimis dapat dilihat pada Tabel 56. Tabel 56 Rekapitulasi hasil perhitungan pada skenario moderat dan optimis No. 1
Variabel Serapan tenaga kerja pada ekowisata
Eksisting (Pesimis) 204 - 481 orang (135,78%)
Peningkatan Moderat 204 - 612 orang (200%)
Optimis 204 – 612 orang (200,00%)
2
Serapan tenaga kerja pada agroforestri
93 – 129 orang (38,27%)
88 – 276 orang (213,64%)
93 – 541 orang (481,72%)
3
Pendapatan per kapita per bulan dari ekowisata
Rp 241.666,67 Rp 388.496,28 (60,76%)
Rp 241.666,67 Rp 529.630,91 (119,16%)
Rp 241.666,67 – Rp 529.630,91 (119,16%)
4
Pendapatan per kapita per bulan dari agroforestri
Rp 392.409,13 – Rp 414.880,97 (5,73%)
Rp 392.409,13 Rp 701.157,33 (78,68%)
Rp 392.409,13 –Rp 1.083.678,75 (176,16%)
5
Serapan tenaga kerja total dari ekowisata dan agroforestri
297 orang – 610 orang (105,22%)
292 orang – 888 orang (204,11%)
297 orang – 1153 orang (288,22%)
6
Pendapatan total masyarakat per kapita per bulan
Rp 634.075,80 Rp 803.377,25 (26,70%)
Rp 634.075,80 – Rp 1.230.788,24 (94,11%)
Rp 634.075,80 -Rp 1.613.309,66 (154,43%)
7
Luas penutupan hutan TNGC (awal = 8.931,27 ha)
5.132 ha - 5.231 ha (1,92%)
5.132 ha - 6.580 ha (28,21%) Kurang=2351,27 ha (45,79%)
5.132 ha - 7.286 ha (41,96%) Kurang=1645,27 ha (32, 04%)
Kurang = 3700,27 ha (73,08%)
Tabel 56 memperlihatkan besarnya persentase peningkatan pada tiga variabel. Pengembangan ekowisata dan agroforestri pada skenario optimis
171
memberikan hasil terbaik dibanding skenario moderat. Pada skenario moderat juga memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kondisi eksisting, namun selisih peningkatan pendapatan total dengan skenario optimis mencapai 84,11%. Demikian juga dengan peningkatan luas penutupan hutan pada skenario moderat hanya mencapai selisih 26,29% dibanding kondisi eksisting, sedangkan pada skenario optimis memiliki selisih lebih tinggi yaitu 40,04%. Peningkatan pendapatan masyarakat dari ekowisata pada sepuluh tahun yang akan datang sesuai kondisi saat ini (tidak ada perubahan pada variabel kunci) mencapai 105, 83%, sedangkan pada agroforestri hanya sebesar 5,73%. Faktor penyebab kecilnya peningkatan ini, karena faktor iklim (angin), hama dan penyakit tanaman memiliki porsi yang cukup besar dalam mengurangi produksi tanaman pertanian dan kehutanan, sehingga mengurangi pendapatan. Demikian juga pada skenario moderat, persentase peningkatan pendapatan dari ekowisata tetap lebih tinggi dari agroforestri. JIka faktor pengurang produksi (iklim, hama dan penyakit) dapat ditekan sekecil mungkin melalui peningkatan frekuensi penyuluhan dan pendampingan, maka pada skenario optimis pendapatan agroforestri meningkat secara signifikan yaitu 176,16%%, sedangkan pada ekowisata peningkatan pada skenario optimis, tidak merubah pendapatan. Hal ini karena jumlah ekowisatawan yang merupakan faktor penentu dari peningkatan pendapatan masyarakat, harus dibatasi agar tidak melebihi daya dukung kawasan ekowisata TNGC. 3) Skenario Model Kelestarian Hutan TNGC Kegiatan restorasi kawasan TNGC telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh Balai TNGC maupun oleh instansi dan lembaga lain melalui program Coorporate Social Responsibility (CSR). Kegiatan ini melibatkan masyarakat daerah penyangga TNGC dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman, penanggulangan terhadap bahaya kebakaran hutan, serta pencegahan perambahan kembali pada kawasan TNGC. Skenario meningkatnya luas tutupan hutan TNGC karena adanya kegiatan restorasi dan pengurangan perambahan dan kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 57.
172
Tabel 57 Kondisi variabel kunci pada model kelestarian TNGC Variabel kunci
Eksisting
Moderat
Optimis
1% 2%
2% 2%
3% 3%
0,5% 1%
0,1% 0,2%
0 0,05%
Rate penanaman CSR Rate penanaman TNGC Rate perambahan Rate kebakaran hutan
Peningkatan luas tutupan hutan TNGC dari pengembangan kegiatan restorasi dan penurunan perambahan serta kebakaran hutan pada masingmasing skenario dapat dilihat pada Gambar 45.
Gambar 45 Luas penutupan hutan TNGC pada skenario moderat dan optimis Berdasarkan
simulasi
pada
Gambar
45, maka
dapat
diprediksi
peningkatan luas tutupan hutan TNGC pada masing-masing skenario, seperti disajikan pada Tabel 58. Tabel 58 Prediksi peningkatan luas hutan TNGC pada skenario moderat dan optimis Tahun ke 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Eksisting 5.132 4.927 4.730 4.636 4.543 4.452 4.569 4.674 4.864 5.049 5.231
Luas Penutupan Hutan (ha) Moderat 5.132 4.927 4.829 4.733 4.639 4.639 5.050 5.444 5.830 6.209 6.580
Optimis 5.132 4.927 4.829 4.830 4.830 4.831 5.344 5.837 6.320 6.802 7.286
Dari Tabel 58 dan Gambar 45 dapat dilihat bahwa, melalui peningkatan kegiatan restorasi kawasan, yang dilaksanakan oleh Balai TNGC serta instansi PDAM Cirebon, Hotel Ayong Kuningan, perusahaan air minum dalam kemasan,
173
serta Yayasan Penabur, maka luas penutupan hutan akan meningkat.
Hasil
simulasi pada skenario optimis menunjukkan bahwa jika laju penanaman oleh instansi lain melalui CSR dan Balai TNGC masing-masing ditingkatkan menjadi sebesar 3% per tahun, laju perambahan kawasan dihentikan hingga angka 0, dan laju kebakaran hutan dapat diturunkan hingga 0,05% maka dalam sepuluh tahun yang akan datang luas penutupan hutan TNGC akan mencapai 7.286 ha, meningkat dari kondisi saat ini yaitu seluas 5.132 ha. Luas penutupan hutan yang sama dari tahun ke 0 hingga tahun ke 5 dikarenakan tanaman masih pada fase semai atau pancang, sehingga belum terlihat menutup lahan kawasan TNGC. Mulai tahun ke 6, secara bertahap mulai terlihat adanya peningkatan luas tutupan hutan TNGC, dan pada skenario optimis, penutupan luas hutan mengalami peningkatan tertinggi (41,96%). Jika menggunakan skenario moderat, dimana laju penanaman oleh CSR dan Balai TNGC masing-masing sebesar 2% per tahun, laju perambahan kawasan dihentikan hingga angka 0,1%, dan laju kebakaran hutan dapat diturunkan hingga 0,2%, maka dalam sepuluh tahun yang akan datang luas penutupan hutan TNGC akan mencapai 6.580 ha, meningkat sebesar 28,21% dari kondisi saat ini. Restorasi, perambahan kawasan dan kebakaran hutan TNGC menjadi tiga faktor yang penting dalam mencapai kelestarian kawasan TNGC. Kegiatan restorasi relatif lebih mudah dilakukan, asalkan tersedia dana dan tenaga kerja yang memadai, namun tidak demikian halnya dengan pencegahan perambahan dan kebakaran hutan, yang cukup sulit dilakukan apalagi jika menyangkut dengan sumber mata pencaharian masyarakat yang berada di daerah penyangga TNGC. Oleh karena itu skenario moderat atau optimis dapat menjadi pilihan untuk dua tujuan, peningkatan pendapatan masyarakat dan pencapaian kelestarian TNGC. 4.5.5 Pengujian Kinerja Model Pengujian terhadap model pengembangan daerah penyangga TNGC dilakukan untuk mengetahui bahwa model yang dikembangkan sesuai dengan sistem nyata. Cara untuk menguji model yang biasa dilakukan adalah membandingkan hasil simulasi komputer dengan data empiris di lapangan. Jika hasil simulasi komputer sesuai/mirip dengan data empiris, maka model yang dikembangkan dinyatakan sahih.
Model yang sahih merupakan model yang
174
teruji dan dapat dijadikan sebagai alat percobaan untuk menganalisis kebijakan yang dapat diterapkan. Pengujian model pada kasus desa-desa yang memiliki potensi ekowisata dan agroforestri tidak membandingkan kuantitas data antara hasil simulasi dengan data empiris, tetapi hanya membandingkan pola perilaku saja. Hal ini dikarenakan hasil simulasi hanya berlaku pada desa contoh, yang merupakan bagian dari Kabupaten Kuningan, sedangkan data empiris yang dibandingkan merupakan data se Kabupaten Kuningan. Pada kasus model pengembangan daerah penyangga TNGC, pengujian model dilakukan dengan membandingkan antara pola perilaku hasil simulasi dan beberapa perilaku sistem yang diamati, yaitu jumlah ekowisatawan, produktifitas tanaman pertanian dan kehutanan serta pendapatan hasil simulasi dengan data empiris jumlah ekowisatawan TNGC dan Pendapatan Domestik Regional Bruto Kabupaten Kuningan yang telah berhasil dihimpun dari lapangan. Data ini bersumber dari Balai TNGC dan Bappeda Kabupaten Kuningan. Gambar 46 memperlihatkan jumlah ekowisatawan pada obyek wisata di Desa contoh meningkat dengan stabil pada periode waktu tersebut, dimana hasilnya tidak jauh berbeda dengan pola peningkatan ekowisatawan TNGC berdasarkan data empiris di lapangan. Demikian juga dengan pendapatan masyarakat dari ekowisata dan agroforestri mengalami peningkatan yang sejalan dengan peningkatan PDRB Kabupaten Kuningan.
Gambar 46 Diagram jumlah ekowisatawan pada obyek wisata TNGC
175
Gambar 47 Diagram jumlah ekowisatawan hasil simulasi
Gambar 48 Diagram PDRB per kapita Kabupaten Kuningan
Gambar 49 Diagram pendapatan masyarakat hasil simulasi Lapangan pekerjaan pertanian merupakan sektor yang paling dominan dalam menyerap tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan. Tingginya lapangan kerja di sektor pertanian ini disebabkan sektor pertanian tidak terlalu membutuhkan tenaga kerja terdidik, disusul kemudian oleh sektor perdagangan dan jasa. Dari hasil simulasi ini diperoleh gambaran bahwa variabel-variabel dalam pengembangan ekowisata dan agroforestri yang digunakan dalam penyusunan model ini, merupakan faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kesempatan kerja, pendapatan dan luas penutupan hutan TNGC. Sesuai tujuan yang ingin
176
dicapai dalam pengembangan daerah penyangga. Oleh karena itu model pengembangan sosial ekonomi daerah penyangga TNGC dalam hal ini adalah pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga yang menjadikan program ekowisata dan agroforestri sebagai program yang dapat dikembangkan, melalui peran stakeholder dalam kegiatan peningkatan fasilitas ekowisata, peningkatan
jumlah
program/kegiatan
yang
mendukung
ekowisata,
dan
peningkatan pelibatan masyarakat dalam kegiatan ekowisata. Pada agroforestri, melalui
peningkatan
kegiatan
penyuluhan,
pendampingan
masyarakat,
peningkatan program/kegiatan yang mendukung agroforestri dan peningkatan pelibatan masyarakat dalam kegiatan agroforestri. Skenario yang dibangun dalam model ini adalah dalam kondisi ideal, dan asumsi yang dibangun pada kegiatan pembangunan fasilitas ekowisata, frekuensi penyuluhan, pendampingan yang diberikan pada masyarakat, jumlah program yang dgulirkan, serta pelibatan masyarakat sesuai dengan kondisi dan kemampuan stakeholder riil saat ini dari pihak pemerintah yaitu BP4K, Balai TNGC, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan. Skenario moderat dan optimis dibangun dengan asumsi meningkatnya lima program/kegiatan
tersebut
pada
ekowisata
dan
agroforestri,
karena
meningkatnya peran dari pihak swasta yaitu Persatuan Hotel Seluruh Indonesia (PHRI), Pengusaan Daerah Aneka Usaha (PDAU), dan pengelola ekowisata CV Wisata Putri Mustika serta peran dari LSM Kanopi dan LSM Akar. Dari hasil penyusunan skenario tersebut dapat dilihat bahwa peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pendapatan dari ekowisata dan agroforestri diharapkan mampu membangkitkan motivasi masyarakat untuk memperluas dan mengembangkan kedua program tersebut didasarkan atas potensi yang dimiliki masyarakat. Peran stakeholder adalah membantu dari aspek kebijakan, infrastruktur, program-program yang mendukung, permodalan/perkreditan dan bimbingan dalam menjalankan usaha.
177
4.6 Strategi Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Daerah Penyangga TNGC 4.6.1 Peran Stakeholder Pemerintah daerah melalui dinas terkait, Balai TNGC, LSM dan dunia usaha
melalui
pengembangan
program-programnya,
telah
masyarakat
rangka
dalam
melakukan
berbagai
peningkatan
upaya
kesejahteraan
masyarakat di daerah penyangga TNGC. Program pengembangan masyarakat tersebut telah dilakukan sejak sebelum kawasan TNGC ditetapkan menjadi taman nasional, yakni ketika masih berfungsi sebagai hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani, melalui program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program ini telah diimplementasikan di Kabupaten Kuningan sejak tahun 2001 yang meliputi 131 desa. Program pengembangan masyarakat yang telah dilakukan oleh stakeholder pada masa ini berupa pelatihan (lebah madu), bantuan langsung (paket alat lebah madu, dana bergulir),
pembuatan
persemaian,
pembinaan
fasilitator
PHBM
dan
pengembangan wisata alam dengan pemerintah desa. Dampak ekonomi dari program ini telah memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga petani sebesar 7,71% per tahun dan mampu menurunkan tingkat kemiskinan di Kabupaten Kuningan sebesar 0,23% per tahun (Yuniandra 2006). Setelah menjadi kawasan taman nasional yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (Balai TNGC), program pengembangan masyarakat diimplementasikan dalam bentuk pelatihan kepada masyarakat (pelatihan budidaya lebah madu telah dilaksanakan pada 24% dari seluruh desa penyangga), pengelolaan obyek wisata alam di kawasan konservasi, interpretasi wisata alam dan pelatihan kerajinan tangan untuk cinderamata, serta bantuan langsung dalam bentuk stup lebah madu, ternak domba dan kambing pada 11% dari seluruh desa penyangga, bibit tanaman buah-buahan dan kehutanan serta bantuan pembangunan bak penampung air. Kegiatan lain adalah dalam bentuk pelibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi kawasan (pembibitan dan penanaman pada program Gerhan) serta pembentukan Model Desa Konservasi (MDK), seperti disajikan pada Tabel 59. Tabel 59 memperlihatkan bahwa program pengembangan sosial ekonomi masyarakat di daerah penyangga TNGC telah dilakukan oleh stakeholder, namun dalam perjalanannya, program-program ini belum dapat mencapai sasaran. Sebagai contoh, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
178
sudah dilaksanakan sejak tahun 2001, namun ada beberapa kelemahan dalam implementasinya diantaranya adalah kelembagaan Kelompok Tani Hutan (KTH) belum berfungsi Tabel 59 Program pengembangan masyarakat di daerah penyangga TNGC No
Stakeholder
Tahun
Bentuk Pengembangan Masyarakat 1. Kegiatan PHBM berbasis lahan dengan sistim tumpangsari 1. Pembuatan persemaian 2. Bantuan dana bergulir sebesar 30 juta rupiah per desa 3. Sosialisasi TNGC 4. Pembinaan fasilitator PHBM tingkat kecamatan 1. Pelatihan lebah madu sebanyak 2 kelompok 2. Bantuan dana bergulir sebesar 20 juta rupiah 1. Bantuan ternak kambing di 2 desa 2. Bantuan tanaman jati dan cengkeh (1 desa) Kegiatan penyadaran lingkungan kepada para siswa sekolah, pendaki gunung dan masyarakat luas. 1. Pelatihan budidaya lebah madu di 11 desa penyangga 2. Bantuan ternak domba di 5 desa penyangga 3. Pembentukan Model Desa Konservasi (2 desa) 1. Pelatihan lebah madu (1 desa) 2. Pembentukan Model Desa Konservasi (1 desa ) 3. Kegiatan rehabilitasi kawasan konservasi/lindung dan di kawasan TNGC seluas 1.800 ha 1. Pembentukan Model Desa Konservsi (1 desa) 2. Pelatihan interpreter ekowisata 1. Penanaman agroforestri 2. Pelatihan kerajinan tangan untuk cinderamata 3. Pembentukan Model Desa Konservasi (MDK) 1. Program agrobisnis pedesaan Pendampingan masyarakat untuk kegiatan pembuatan kebun bibit desa dalam rangka pelaksanaan program Model Desa Konservasi (MDK) bermitra dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Bantuan ternak domba sebanyak 114 betina, 24 jantan di 6 desa penyangga yaitu Dusun Palutungan Desa Cisantana, Desa Sukamukti, Desa Sayana, Desa Pasawahan, Desa Padabeunghar dan Desa Trijaya.
1.
Perum Perhutani
2001
2
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan
2005
2006 2007 3
LSM Akar
2007
4.
Balai TNGC
2009
2010
5
Dinas Kehutanan Provinsi
2009 2010
6. 7.
Dinas Pertanian LSM Kanopi
2010 2010
8.
Balai TNGC
2011
Sumber : LPI-PHBM Kuningan, Balai TNGC, LSM Kanopi/Akar, DishutbunKuningan, Dishut Provinsi Jabar
dalam mewadahi kepentingan anggotanya, kemampuan petani dalam budidaya tanaman pertanian dan kehutanan masih terbatas, dan peran instansi dalam forum PHBM belum maksimal. Dampak negatif dari kebijakan PHBM terhadap
179
masyarakat adalah sebagian besar masyarakat menganggap PHBM hanya sekedar bantuan dan merupakan hadiah. PHBM hanya merupakan pelegalan masyarakat menggarap hutan yang selama ini tidak terpantau atau sengaja tidak dipantau oleh petugas lapangan Perum Perhutani, sehingga masyarakat merasa tenang masuk ke dalam hutan karena adanya kepastian hukum (Yuniandra 2006). Program pengembangan masyarakat di daerah penyangga TNGC umumnya tidak berkelanjutan. Contoh kasus, di desa Seda Kabupaten Kuningan. Jumlah ternak domba yang sudah disalurkan kepada masyarakat di desa Seda tahun 2009 adalah 20 ekor, sampai dengan tahun 2010 berkembang menjadi 45 ekor. Namun ternyata ternak ini hanya dimiliki oleh 20 orang saja tanpa mengalami perguliran kepada anggota kelompok lainnya sesuai kesepakatan yang telah ditentukan, bahkan pada tahun 2011, keberadaan domba tersebut sudah tidak terpantau lagi baik kepemilikan maupun jumlahnya. Hal ini disebabkan kurangnya monitoring dan evaluasi dari pihak Balai TNGC. Demikian juga dengan bantuan stup lebah madu tidak berkembang, baik kuantitas maupun kualitasnya, pelatihan yang telah diberikan tidak dapat diterapkan oleh masyarakat karena tidak adanya pembinaan lebih lanjut atau program yang mendukung jenis pelatihan tersebut tidak berlanjut. Pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan oleh stakeholder belum optimal melibatkan masyarakat. Sebagai contoh pelaksanaan pelatihan pemandu yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi hanya melibatkan dua anggota masyarakat dari setiap desa penyangga. Jumlah ini terlalu sedikit dibandingkan jumlah masyarakat yang bekerja di wisata, sehingga peningkatan pengetahuan dan ketrampilan untuk mengembangkan usaha di sektor wisata belum dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Secara
umum
dapat
dikatakan
bahwa
program
pengembangan
masyarakat di desa-desa daerah penyangga TNGC belum berhasil. Hal ini diindikasikan dengan; 1) program yang digulirkan stakeholder belum berkembang sesuai harapan stakeholder dan masyarakat, 2) Program-program yang dikembangkan
belum mampu
menciptakan
kemandirian masyarakat,
3)
Stakeholder masih fokus dengan programnya masing-masing, belum adanya keterpaduan dalam implementasi program dan kegiatan pengembangan masyarakat di daerah penyangga TNGC. 4) tidak adanya kontinyuitas program, program-program
yang
diimplementasikan
seringkali
hanya
bersifat
180
bantuan/keproyekan dengan tujuan utama pada target pencapaian dan bukan pada hasil jangka panjang terutama pada aspek kemandirian masyarakat, 5) Dalam pemilihan desa yang akan dilakukan pengembangan masyarakat belum memiliki kriteria yang jelas, sehingga ada desa penyangga yang belum pernah menerima program pengembangan masyarakat, namun disisi lain ada desa yang mendapatkan beberapa kali bantuan dari berbagai stakeholder. Berdasarkan hasil penelitian LATIN (2005), jumlah masyarakat miskin di desa-desa di sekitar kawasan TNGC masih cukup banyak. Stakeholder yang terlibat dalam pengembangan daerah penyangga TNGC secara umum terdiri dari organisasi pemerintah dan non pemerintah, serta masyarakat. Stakeholder dapat meliputi organisasi dan kelompok-kelompok sosial dan komunitas masyarakat lokal. Peran stakeholder dalam pengembangan daerah penyangga TNGC dipetakan berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya terhadap dua program yaitu ekowisata dan agroforestri di daerah penyangga TNGC. Tingkat pengaruh stakeholder terhadap suatu program mengindikasikan kemampuan stakeholder untuk mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan suatu program dan tingkat kepentingan keterlibatan stakeholder terhadap sebuah program mengindikasikan adanya peluang partisipasi
dan
berkaitan
dengan
dampak
yang
akan
diterima
oleh
stakeholder(Hermawan et al. 2005). Semakin besar dampak yang akan diterima oleh stakeholder, semakin tinggi tingkat keterlibatannya. Berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya, Reed et al. (2009) mengelompokkan stakeholder kedalam empat bagian yaitu; 1) stakeholder subject yang memiliki tingkat pengaruh rendah, namun memiliki kepentingan yang tinggi, 2) stakeholderkey player yang memiliki tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi, 3) stakeholdercontext setter yang memiliki tingkat pengaruh
yang
tinggi
namun
memiliki
kepentingan
rendah,
serta
4)
stakeholdercrowd yang memiliki tingkat pengaruh dan kepentingan yang rendah terhadap program pengembangan daerah penyangga TNGC. 4.6.1.1 Pengembangan Ekowisata Salah satu fungsi penting pengelolaan TNGC adalah pemanfaatan secara lestari jasa lingkungan dan ekowisata yang merupakan potensi TNGC. Peran stakeholder dalam pengembangan ekowisata TNGC tercermin dari program yang telah dan sedang dilakukan oleh masing-masing stakeholder. Stakeholder yang memiliki peran terhadap pengembangan ekowisata TNGC adalah; 1) Balai
181
TNGC, 2) Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 3) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan, 4) Dunia Usaha (Perusahaan Daerah Aneka Usaha/PDAU dan Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia Kabupaten Kuningan), dan 5) LSM (Kelompok
Penggerak
(Kanopy dan Akar) dan Kelompok Masyarakat Pariwisata/KOMPEPAR).
Peran
masing-masing
stakeholder diuraikan sebagai berikut; a) Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengelola Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Balai TNGC mempunyai peran yang sangat besar dalam pengembangan ekowisata di TNGC, baik dari aspek promosi, penataan kawasan, pembangunan sarana-prasarana, pelayanan pengunjung, dan pengembangan masyarakat dalam pengelolaan ekowisata. Berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) Periode 2010-2015, kebijakan Balai TNGC dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah optimalisasi jasa lingkungan dan wisata alam. Sedangkan program/kegiatan yang dilakukan oleh Balai TNGC dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Sosialisasi pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam Identifikasi pemanfaatan kawasan Membangun media informasi dan promosi Pengelolaan obyek wisata Pengelolaan pengunjung Pengembangan fasilitas Pengembangan media dan fasilitas interpretasi lingkungan Pengelolaan bersama dalam penyelenggaraan pariwisata alam Pemantapan pengelolaan kawasan wisata melalui profesionalisme pengelolaan, kondisi alamiah, dan pemasaran
b) Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Nomor: 522.1/123/Kpts/Sekr/2009, mengenai rencana strategis Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat tahun 2008-2013 disebutkan bahwa visi Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jawa Barat (Jabar) Tahun 2008-2013 adalah ”Terwujudnya pengelolaan hutan lestari bagi kesejahteraan masyarakat”. Dalam rangka pengembangan ekowisata di provinsi Jabar, Dishut Provinsi Jabar menetapkan kebijakan strategis yakni pengembangan pemanfataan jasa lingkungan, dengan pendanaan sekitar 60% hingga 70%. Sampai saat ini Dishut Provinsi Jabar mempunyai peran yang sangat terbatas dalam pengembangan ekowisata TNGC, karena terbatasnya anggaran
182
pengembangan ekowisata yang ada bagi beberapa lokasi taman nasional dan taman wisata alam di provinsi Jabar. Program/kegiatan
yang dilakukan oleh
Dishut Provinsi Jabar dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah: 1) Pelatihan interpreter bagi petugas Balai TNGC 2) Pelatihan pemandu bagi masyarakat di kawasan wisata di daerah penyangga 3) Pelatihan/pengembangan masyarakat dalam rangka pembentukan Model Desa Konservasi 4) Pendampingan masyarakat oleh LSM lokal dalam rangka Model Desa Konservasi 5) Pelatihan peningkatan kerajinan tangan untuk cinderamata bagi masyarakat c) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 06 Tahun 2009 Tanggal 18 Juni 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Kuningan tahun 2009–2013 ditetapkan Visi pembangunan Kabupaten Kuningan adalah “Kuningan lebih Sejahtera Berbasis Pertanian dan Pariwisata yang Maju dalam Lingkungan Lestari dan Agamis Tahun 2013”. Visi tersebut mengandung makna bahwa keadaan yang akan diupayakan terwujud dalam periode pembangunan 2009-2013 adalah masyarakat Kuningan yang memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi secara material (ekonomi) dan nonmaterial (non-ekonomi), dengan tulangpunggung bidang pertanian dan pariwisata yang produktif dan berkembang pesat, dalam kondisi lingkungan sosial yang agamis serta sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang lestari. Dengan Visi tersebut terdapat empat misi yang telah ditetapkan dimana dua diantaranya berkaitan dengan program pengembangan ekowisata TNGC, yaitu: misi 2;Meningkatkan pengembangan agropolitan dan kepariwisataan daerah melalui penguatan sarana dan prasarana, sinergitas sektor dan wilayah, produktifitas dengan berorientasi pada pengembangan perekonomian rakyat, dan misi 4; Meningkatkan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam kerangka Kabupaten Konservasi dengan berorientasi pada perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari. Sebagai penjabaran lebih lanjut dari Visi dan Misi tersebut, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Kuningan mempunyai kebijakan sebagai berikut; 1) Peningkatan mutu sarana dan prasarana serta pelayanan jasa pariwisata dan jasa penunjang dengan tetap memelihara kebudayaan daerah, 2) Pembinaan pelestarian peninggalan sejarah dan promosi objek-objek pariwisata dilakukan sesuai dengan perkembangan kepariwisataan,
183
dan 3) Kegiatan kepariwisataan diarahkan untuk penggalian objek wisata baru. Program/kegiatan yang dilakukan oleh Disparbud Kabupaten Kuningan dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah: 1) 2)
Pembangunan Open Space Gallery Penataan secara bertahap (pembangunan jalan, pintu gerbang, lahan parkir, toilet, musholla, loket karcis, penjualan souvenir, jalan setapak, dll) pada obyek wisata Cigugur, Cibulan, Balong Dalem, Telaga Remis, Cibunar, Curug Cilengkrang dan Bumi Perkemahan Palutungan. 3) Pengembangan Jenis dan Paket Wisata 4) Pendataan potensi pariwisata 5) Penyusunan rencana (masterplan) pengembangan ODTW 6) Membangun kemitraan dengan pemangku kepentingan (stakeholder) kepariwisataan 7) Menjalin kerjasama dengan pelaku usaha kepariwisataan, media cetak dan media elektronik 8) Pameran Pariwisata Tingkat Lokal dan Regional 9) Study Banding ke daerah lain yang lebih maju 10) Pengadaan sarana dan prasarana promosipariwisata (Internet, Leaflet, booklet, banner, billboard, kalender, poster, dll.) d) Dunia usaha Dunia usaha mempunyai peran penting dalam pengembangan ekowisata di suatu daerah, karena pengembangan ekowisata membutuhkan modal yang besar dalam pembangunan infrastruktur yang diperlukan, seperti saranaprasarana jalan, akomodasi, perhotelan dan lain-lain. Dunia usaha yang telah berperan dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) dan Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI Kabupaten Kuningan).Program/kegiatan yang dilakukan oleh PDAU Kabupaten Kuningan dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah; 1) 2) 3) 4) 5)
Penyusunan site plan pengembangan obyek ekowisata Penataan dan pembangunan sarana dan prasarana serta fasilitas di lokasi obyek ekowisata. Pengelolaan tiket masuk dan pengunjung Promosi dan publikasi Pengembangan masyarakat yang membuka usaha di sekitar lokasi wisata Sedangkan program/kegiatan yang dilakukan oleh PHRI Kabupaten
Kuningan dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah; 1) Penyusunan master plan Rencana Pengembangan Pariwisata Daerah (REPDA) bersama Pemda Kabupaten Kuningan. 2) Pembinaan kepada anggota (hotel dan restoran) di Kabupaten Kuningan dalam hal perijinan dan perpajakan.
184
3) Pembinaan terhadap homestay masyarakat 4) Pengembangan pelatihan bagi pegawai hotel dan restoran e) Lembaga Swadaya Masyarakat dan Kelompok Masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kelompok masyarakat memiliki peran penting dalam meningkatkan peranserta masyarakat daerah penyangga dalam pengembangan ekowisata. LSM dan kelompok masyarakat yang berperan dalam pengembangan ekowisata di TNGC adalah LSM Kanopy, LSM Akar,dan Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata (KOMPEPAR). Program/kegiatan yang dilakukan oleh LSM Kanopy dalam pengembangan ekowisata adalah; 1) 2)
3) 4)
5)
Pengembangan model pemanfaatan wisata alam Lembah Cilengkrang sebagai Obyek Wisata Konservasi Berbasis Masyarakat di Pajambon Pembuatan film partisipatif, leaflet dan poster tentang profil desadesa hutan, profil kegiatan-kegiatan usaha kelompok dan teknis pembuatan makanan dan minuman olahan di seluruh desa hutan dampingan. Pembuatan buletin/koran petani sebagai media berbagi pengetahuan dan pengalaman antar masyarakat desa hutan di seluruh desa hutan dampingan. Fasilitasi proses penyusunan/perbaikan perjanjian kerjasama tertulis antara masyarakat desa hutan dengan pihak pengelola kawasan hutan (Perum Perhutani atau Balai TNGC) tentang pengelolaan hutan kolaborasi bersama masyarakat di seluruh desa hutan dampingan Peningkatan kapasitas masyarakat desa hutan melalui metoda pelatihan, magang, dan studi banding (belajar antar petani lokal /BAPEL) di seluruh masyarakat desa hutan dampingan Program/kegiatan yang dilakukan oleh LSM Akar dalam pengembangan
ekowisata TNGC adalah: 1) 2) 3)
Kegiatan rutin Gerakan Sapu Gunung (GSG) pada lokasi pendakian Ciremai Kegiatan penyadaran lingkungan kepada para siswa sekolah, pendaki gunung dan masyarakat Mengkoodinasikan kelompok-kelompok pencinta alam di Kabupaten Kuningan Program/kegiatan yang dilakukan oleh KOMPEPAR dalam pengembangan
ekowisata TNGC adalah; 1) 2) 3) 4)
Pengelolaan tiket masuk Pemanduan (guiding) Pengamanan pengunjung Pembersihan lokasi ekowisata Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, informasi tingkat pengaruh dan
kepentingan keterlibatan stakeholderterhadap pengembangan ekowisata TNGC dapat dilihat pada Tabel 60.
185
Tabel60.Pengaruh dan kepentingan keterlibatan pengembangan ekowisata TNGC Stakeholder Balai TNGC Dishut Provinsi Jawa Barat Disparbud Kabupaten Kuningan Dunia usaha (PDAU dan PHRI) LSM (Kanopi dan Akar) dan kelompok masyarakat
Berdasarkan
Pengaruh
pengaruh
terhadap
Kepentingan Keterlibatan
Tinggi. Akan mempengaruhi semua aspek kebijakan konservasi TNGC Tinggi. Wilayah teritorial, implementasi dan keberhasilan program Tinggi. Memiliki kebijakan pembinaan pariwisata Rendah. Tidak memiliki akses terhadap kebijakan. Rendah. Tidak memiliki akses terhadap kebijakan.
tingkat
stakeholder
dan
Tinggi. Penyelenggaraan konservasi di dalam dan di luar kawasan. Rendah. Tidak menerima dampak Tinggi. Pengelolaan ekowisata di wilayahnya Tinggi. Menerima manfaat, terlibat dalam implementasi Tinggi. Menerima manfaat, terlibat dalam implementasi
kepentingannya,
selanjutnya
stakeholder dimasukkan dalam matriks kuadran untuk menentukan subyek (subject), pemain kunci (key player), penghubung (context setter) dan penonton (crowd). Hal ini dilakukan untuk menentukan stakeholderyang dapat berperan lebih besar dan stakeholder yang mempunyai resiko bagi ketidakberhasilan program. Matriks kuadran posisi stakeholder dapat dilihat pada Gambar 50
Kepentingan Tinggi
SUBJECT
KEY PLAYER Dunia usaha
(PDAU)
LSM (Kanopi dan Akar) dan Kelompok Masyarakat
Kepentingan Rendah
Balai TNGC Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan
Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat CROWD
Pengaruh Rendah
CONTEXT SETTER
Pengaruh Tinggi
Gambar 50Matriks tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap program pengembangan ekowisata TNGC Gambar 50memperlihatkanstakeholderpada kuadran satu (subyek), dengan tingkat kepentingan tinggi namun mempunyai pengaruh rendah dalam
186
pengembangan ekowisata TNGC yaitu dunia usaha (PDAU dan PHRI), LSM, dan kelompok masyarakat. Stakeholder ini yang akan menjalankan kebijakan dan bertanggung jawab bagi implementasi pengembangan ekowisata, meskipun tidak harus menjadi pengambil keputusan. Sebagai penerima manfaat, maka kepentingan stakeholder ini harus dilindungi melalui upaya-upaya peningkatan kemampuan dan peningkatan kesadaran konservasi dalam pengembangan ekowisata. Manfaat yang diterima oleh PDAU, PHRI dan kelompok masyarakat khususnya adalah dalam bentuk pendapatan yang diperoleh sebagai pengelola obyek wisata maupun pengelola fasilitas wisata. Sedangkan LSM menerima manfaat dalam bentuk kegiatan fasilitasi dan pendampingan terhadap kelompok masyarakat. Upaya peningkatan kesadaran dimaksudkan agar dalam mengelola obyek dan fasilitas ekowisata selalu menerapkan prinsip daya dukung dan kelestarian kawasan TNGC. Posisi kuadran kedua (key players) dalam pengembangan ekowisata TNGC adalah Balai TNGC dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan.Stakeholderini mempunyai pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap keberhasilan pengembangan ekowisata TNGC,karena kewenangannya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan ekowisata. Stakeholder yang berpengaruh namun memiliki tingkat kepentingan yang rendah
dalam
pencapaian tujuan
pengembangan ekowisata di
daerah
penyangga TNGC dikelompokkan dalam kuadran ketiga (context setter), yaitu Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan
hasil identifikasi tersebut tidak ada stakeholder yang
termasuk dalam kuadran keempat (crowd) yaitu yang mempunyai tingkat kepentingan dan pengaruh kecil dalam pengembangan ekowisata TNGC. Berdasarkan hasil kajian terhadap dokumen perencanaan dan pelaporan stakeholder serta wawancara dengan masyarakat, diperoleh data peran stakeholder dalam pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat pada program ekowisata TNGC, sebagaimana disajikan pada Tabel 61. Peran stakeholder dalam peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat dari sektor ekowisata dilakukan melalui pengembangan berbagai jenis usaha masyarakat. Peran tersebut dapat berbentuk pembangunan fisik seperti pembangunan fasilitas dalam obyek wisata, dalam hal ini pihak TNGC memiliki kewenangan penuh, karena pembangunan dilakukan dalam kawasan taman nasional yang memiliki aturan tersendiri.
187
Tabel 61Peran stakeholder dalam pembukaan kesempatan kerja pada program pengembangan ekowisata TNGC No.
Jenis Lapangan Pekerjaan
Jumlah Lapangan Pekerjaan (orang) 31
1.
Penjual souvenir
2.
Pengusaha warung makanan dan minuman
30
3.
Pemandu wisata (interpreter)
5
4.
Pengelola ekowisata
27
5.
Pengelola atraksi outbond
12
6.
Pengelola penitipan kendaraan.
27
7.
Pengelola toilet umum
1
8.
Pengelola penyewaan peralatan renang
8
9.
Pengusaha restoran
Belum ada
10.
Pengusaha
Belum ada
Stakeholder (peran) a. Dinashut Prop Jabar (pelatihan kerajinan) b. LSM Kanopy (peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pelatihan, magang dll) a. Dishut Prov Jabar (pendanaan pendampingan masyarakat desa konservasi) b. PDAU (pengembangan masyarakat) c. PHRI (pelatihan dan pembinaan) a. Balai TNGC dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kab Kuningan (pembangunan media informasi, promosi dan interpretasi) b. Dinashut Prop Jabar (pelatihan pemanduan dan interpretasi) c. Kompepar (penyiapan SDM ) d. LSM Kanopy (peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pelatihan, magang dll) a. Balai TNGC dan Disparbud Kuningan (informasi, promosi dan pelatihan) b. PHRI (pelatihan dan pembinaan) c. PDAU (pengelolaan tiket masuk) d. Kompepar (penyiapan SDM) e. LSM Akar (advokasi gerakan sapu gunung) a. Balai TNGC (pengelolaan bersama/ kolaborasi, informasi dan promosi)) b. Dinashut Prop Jabar (pendampingan masyarakat desa konservasi) c. PDAU (pengembangan masyarakat) d. LSM Kanopy (peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pelatihan, magang dll) a. Balai TNGC (pembangunan fasilitas) b. Kompepar (penyiapan SDM) c. LSM Kanopy (peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan, magang dll) a. Balai TNGC dan Disparbud Kuningan (pembangunan fasilitas ) a. LSM Kanopy (peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pelatihan, magang dll) a. Dinashut Prop Jabar (pendampingan masyarakat desa konservasi) b. PDAU (pengembangan masyarakat) c. PHRI (pelatihan dan pembinaan) d. LSM Kanopy (peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pelatihan, magang dll) a. Dinas Parbud Kuningan (kemitraan)
188
No.
Jenis Lapangan Pekerjaan
Jumlah Lapangan Pekerjaan (orang)
homestay/penyewaan di rumah penduduk
11.
Pengelolaan penyewaan kamar bilas
Belum ada
12.
Pengelolaan penitipan pakaian
Belum ada
13.
Pengelolaan penyewaan tenda
Belum ada
Stakeholder (peran) b. Dinashut Prop Jabar (pendampingan masyarakat desa konservasi) c. Balai TNGC (informasi dan promosi) d. PDAU (pengembangan masyarakat) e. PHRI (pelatihan dan pembinaan) f. LSM Kanopy (peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pelatihan, magang dll) a. Balai TNGC (pembangunan fasilitas) b. Kompepar (penyiapan SDM) c. LSM Kanopy (peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pelatihan, magang dll) a. Balai TNGC (pembangunan fasilitas) b. Kompepar (penyiapan SDM) c. LSM Kanopy (peningkatan kapasitas masyarakat, melalui pelatihan, magang dll) a. Dinashut Prop Jabar (pendampingan masyarakat desa konservasi) b. PDAU (pengembangan masyarakat) c. PHRI (pelatihan dan pembinaan) d. Balai TNGC (informasi dan promosi)
Pelatihan dan pembinaan terhadap masyarakat dalam upaya peningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dapat dilakukan secara bersamaan oleh beberapa stakeholder. Sebagai contoh, Persatuan Hotel Seluruh Indonesia (PHRI) Kabupaten Kuningan setiap tahun mengadakan pelatihan bagi karyawan perhotelan, dimana 70% karyawan hotel merupakan penduduk Kabupaten Kuningan. Pihak TNGC dan PDAU dapat berkerjasama untuk mengirimkan masyarakat daerah penyangga dalam kegiatan pelatihan tersebut. Rahman (2003) menyatakan bahwa pendidikan dan kontak penyuluhan memegang peran penting dalam meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya Dalam hal kemampuan mengakses informasi dan promosi terhadap bidang pekerjaan, masyarakat daerah penyangga termasuk sangat kurang, baik informasi untuk memasuki pekerjaan informal, maupun informasi tentang berbagai jenis pelatihan dan pembinaan yang dilaksanakan oleh stakeholder. Selain kualifikasi yang disyaratkan oleh jenis pekerjaan tersebut umumnya tidak dapat dipenuhi masyarakat (dalam hal tingkat pendidikan dan ketrampilan), juga karena informasi pekerjaan yang ada, tidak berupaya untuk mengangkat potensi masyarakat.
189
Peran stakeholder dalam ekowisata terutama ditujukan bagi peningkatan kuantitas dan kualitas fasilitas umum serta faktor-faktor yang terkait dengan pengembangan jenis produk ekowisata yang dapat disediakan masyarakat sesuai kesenjangan yang dihasilkan dari analisis supply demand. Berdasarkan permasalahan pokok yang dihadapi responden yang bekerja di ekowisata, bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan jenis usaha masyarakat, yaitu modal,
pengetahuan
dan
ketrampilan.
Dengan
memperhatikan
peran
stakeholderyang terlibat dalam pengembangan ekowisata terkait dengan pembangunan fasilitas serta peningkatan pelayanan dan pelatihan yang telah dilakukan
selama
ini,
maka
peningkatan
peran
stakeholder
dalam
pengembangan unit usaha masyarakat dapat dirumuskan dalam Tabel 62. Tabel 62 Peran stakeholder dalam pengembangan jenis usaha masyarakat di sektor ekowisata TNGC No.
Stakeholder
Jenis peran
1
Balai TNGC, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan
2
Dinas Kehutanan Prov. Jabar, PDAU, PHRI.
Pembangunan dan penataan fasilitas : 1. Papan petunjuk 2. Shelter 3. Peta obyek wisata di lokasi 4. Jalur trecking 5. Toilet umum 6. Kamar bilas 7. Penitipan pakaian Promosi 1. Booklet di lokasi wisata 2. Informasi Pemandu 3. Biro jasa/travel Pelatihan, pembinaan dan magang
3
LSM Akar dan Kanopy Kompepar, Pengelola Obyek Wisata
4
Pendampingan Masyarakat dan fasilitasi Penyediaan SDM dan data dasar potensi sumberdaya alam dan sosial budaya masyarakat
Strategi pengembangan kesempatan kerja bagi masyarakat Mengadakan kerja sama dengan masyarakat dalam pembuatan dan pemeliharaan fasilitas dan penyediaan sarana promosi (leaflet dan booklet).
Materi pelatihan dan pembinaan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dalam pengembangan jenis usaha : pembuatan souvenir khas TNGC, interpretasi, pelayanan pengunjung, kursus pembuatan makanan dan strategi pemasaran. Mediator masyarakat dengan pasar dan investor. Data dan informasi potensi sda di daerah penyangga serta ketrampilan masyarakat yang dapat dikembangkan seperti : pemanfaatan berprofesi masyarakat dengan peluang usaha (contoh; tukang kayu menjadi pengrajin souvenir)
190
4.6.1.2 Pengembangan Agroforestri Peran
stakeholder
dalam
pengembangan
agroforestri
di
daerah
penyangga TNGC tercermin dari program yang telah dan akan dilakukan oleh masing-masing
stakeholder.
Berdasarkan
hasil
identifikasi
didapatkan
stakeholder yang mempunyai peran terhadap pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah : 1)Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan, 3) Balai TNGC, 4) Dunia Usaha (Perusahaan Daerah Aneka Usaha/PDAU), dan 5) LSM(Kanopy dan Akar). Peran masing-masing stakeholder diuraikan sebagai berikut : a) Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Berdasarkan Gunung Ciremai dengan
Rencana Strategis (RENSTRA) Balai Taman Nasional Periode 2010-2015,
kebijakan
Balai TNGC yang terkait
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah: 1)
Pembentukan kelembagaan dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, dan 2) Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan RHL. Dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga, Balai TNGC tidak secara langsung terlibat, seperti bantuan bibit tanaman atau sarana produksi lainnya yang berkaitan dengan
usaha
agroforestri.
Keterlibatan
Balai
TNGC
adalah
melalui
pembentukan model desa konservasi di desa Pajambon dan Karangsari, sebagai wadah bagi masyarakat dalam berbagai kegiatan seperti restorasi kawasan TNGC. Kegiatan ini dapat menambah pengetahuan dan ketrampilan masyarakat khususnya
mengenai
pengayaan
jenis-jenis
tanaman
kehutanan.
Program/kegiatan yang dilakukan oleh Balai TN. Gunung Ciremai
dalam
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah: 1) 2) 3) 4)
Pembentukan Model Desa Konservasi Peningkatan usaha ekonomi masyarakat Kerjasama dengan investor dan pasar untuk pendukung usaha alternatif petani hutan Sinkronisasi kegiatan pemberdayaan masyarakat
b) Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Kebijakan Dinas Kehutanan Provinsi
Jawa Barat yang terkait dengan
pengembangan agroforestri adalah 1) meningkatkan rehabilitasi lahan dan kawasan konservasi dan
2)
peningkatan kapasitas ekonomi dan kemitraan
masyarakat sekitar hutan.Mengingat terbatasnya anggaran dan luasnya wilayah kerja Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, maka pengembangan agroforestri
191
yang sudah dilakukan di Program/kegiatan
daerah penyangga TNGC masih sangat terbatas.
pengembangan agroforestri
di daerah penyangga TNGC
yang dilaksanakan baru pada tahap kegiatan pelatihan budidaya tanaman suren, mahoni dan jambu biji, kegiatan pengelolaan Kebun Bibit Desa (KBD), serta pemberian bibit tanaman kehutanan dan MPTS buah-buahan. Program/kegiatan yang
dilakukan
oleh
Dinas
Kehutanan
Provinsi
Jawa
Barat
dalam
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah: 1) Pelatihan budidaya tanaman suren, mahoni dan jambu biji, 2) Kegiatan pengelolaan Kebun Bibit Desa (KBD) 3) Pemberian bibit tanaman kehutanan dan MPTS buah-buahan. c) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan Berdasarkan Rencana Strategis DinasKehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan Periode Tahun 2009 sampai 2013, kebijakan strategis yang terkait dengan pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah: 1) peningkatan pengelolaan sumber daya hutan dan kebun melalui perlindungan dan pengamanan, pemanfaatan, rehabilitasi hutan dan lahan, penyediaan bibit berkualitas serta peningkatan partisipasi masyarakat, 2) peningkatan usaha kehutanan dan perkebunan melalui kemitraan dan penerapan teknologi tepat guna, dan 3)
peningkatan kapasitas SDM kehutanan dan
perkebunan melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan. Program/kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah: 1)
2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Pembinaan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dan pemanfaatan Agensia Hayati dan Insektisida Nabati Pembuatan demplot pengelolaan lahan hutan dan perkebunan berbasis teknologi dan pengetahuan lokal Program diversifikasi dan pengembangan usaha Hutbun berbasiskan komoditas unggulan lokal Kegiatan swadaya masyarakat berupa gerakan penananam dan pemeliharaan pohon Peningkatan kemampuan kelompok tani hutan dan kebun melalui pelatihan dan temu teknis Program Peningkatan Produksi Dan Pemasaran Hasil Pertanian /Perkebunan Pemanfaatan lahan di bawah tegakan dan pengembangan hasil hutan non kayu Pembentukan Model Desa Konservasi (MDK) Pembuatan model agroforestri di kawasan lindung.
192
10) Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK dan GERHAN) dan pemeliharaan tanaman d)Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Kuningan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanandan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Kuningan merupakan instansi dibawah Pemerintah Kabupaten Kuningan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan penyuluhan kepada masyarakat dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan dibidang pertanian, perikanan, peternakan dan kehutanan. Mengingat tugas pokok dan fungsi tersebut, maka BP4K mempunyai peran penting dalam mendukung keberhasilan program pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC yang dilaksanakan oleh instansi teknis. Saat ini terdapat 295 orang petugas penyuluh yang tersebar pada seluruh desa di Kabupaten Kuningan. Satu orang penyuluh pertanian memiliki wilayah kerja satu hingga dua desa, sedangkan penyuluh kehutanan karena jumlahnya yang terbatas, setiap penyuluh mempunyai wilayah kerja satu hingga dua kecamatan. Program/kegiatan yang dilakukan oleh BP4K Kabupaten Kuningan dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Pembentukan dan pembinaan kelompok tani, Gapoktan dan Koperasi tani Peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap petani dalam penerapan teknologi budidaya tanaman pertanian dan tanaman kehutanan Peningkatan aksesibilitas petani terhadap informasi teknologi, modal dan sarana produksi Pendampingan program pengembangan petani melalui penerapan teknologi dan informasi pertanian. Pelatihan bagi petani yang berdomisili di dalam dan di sekitar hutan, di bidang teknologi, sosial dan ekonomi Penyuluhan/sosialisasi peraturan pemerintah tentang kehutanan (penebangan kayu, perdagangan kayu illegal dan penghijauan hutan) Pengembangan kepemimpinan dan kelembagaan petani
e) Dunia usaha Dunia
usaha
mempunyai
peran
yang
cukup
penting
dalam
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC, dimana salah satunya adalahPerusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) Kabupaten Kuningan, yang dibentuk melalui Surat Keputusan Bupati Kuningan. Perusahaan Daerah Aneka Usaha Kabupaten Kuningan telah berperan dalam mendukung pembangunan agroforestri di daerah penyangga TNGC, meskipun kegiatannya masih sangat
193
terbatas (hanya sekitar 10%), itupun bersama-sama dengan kegiatan bidang industri
dan
telekomunikasi.Program/kegiatan
PDAU
yang
mendukung
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGCyaitu pembuatan pupuk organik dan pengembangan minyak atsiri (minyak yang berasal dari buah pala). f) Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat memiliki peran melakukan pendampingan kepada masyarakat dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC. Ada dua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berperan yaitu LSM Kanopy dan LSM Akar. Program/kegiatan yang dilakukan oleh LSM Kanopy dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah: 1)
Penyusunan rencana pembangunan hutan dan desa berbasis masyarakat dan ekosistem di desa Puncak, Pajambon, Linggajati, dan Padabeunghar. 2) Pengembangan usaha kelompok pembuatan kebun bibit (jenis endemik Ciremai, MPTS buah-buahan, kayu rakyat, dan kayu hutan lainnya) di desa Karangsari, Puncak, Pajambon, Linggajati, Trijaya, Seda, dan Padabeunghar. 3) Pengembangan usaha kelompok pemanfaatan lahan di bawah tegakan (nilam, jahe, laja, kunyit, lada, tanaman obat, iles-iles / porang, dan buahbuahan lokal unggulan) melalui pola agroforestri di kawasan hutan di desa Padabeunghar, Seda, Trijaya, Linggajati, Pajambon, dan Puncak. 4) Pengembangan credit union/usaha bersama kelompok masyarakat melalui pola iuran/arisan/tabungan anggota di desa Puncak, Trijaya, Seda, dan Padabeunghar. 5) Peningkatan kapasitas masyarakat desa hutan melalui metoda pelatihan, magang, dan studi banding (belajar antar petani lokal/BAPEL), di seluruh masyarakat desa hutan dampingan 6) Sekolah Lapang Komuniti Forestri (SLKF) di desa desa hutan di desa Puncak, Seda, dan Padabeunghar. 7) Fasilitasi proses penyusunan/perbaikan perjanjian kerjasama tertulis antara masyarakat desa hutan dengan pihak pengelola kawasan hutan (Perum Perhutani atau Balai TNGC) tentang pengelolaan hutan kolaborasi bersama masyarakat seluruh desa hutan dampingan. 8) Penyadaran masyarakat desa hutan tentang kelestarian/konservasi kawasan hutan di seluruh desa hutan dampingan. 9) Pengembangan Model Desa Konservasi melalui Sistem PKKBM di seluruh desa hutan dampingan di sekitar kawasan TNGC 10) Pengembangan pola agroforestri dalam pemanfaatan kawasan hutan dengan jenis tanaman kayu hutan, MPTS buah-buahan, dan tanaman obat di seluruh desa hutan dampingan. 11) Pendampingan masyarakat untuk kegiatan pembuatan kebun bibit desa dalam rangka pelaksanaan program Model Desa Konservasi (MDK) di Desa Pajambon,bermitra dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat.
194
Sedangkan program/kegiatan yang dilakukan oleh LSM Akar dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah: 1) 2)
Advokasi berbagai kebijakan yang berkaitan dengan lingkungan dan masyarakat. Kegiatan penyadaran lingkungan kepada para siswa sekolah, pendaki gunung dan masyarakat. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, tingkat pengaruh dan kepentingan
stakeholderterhadap program pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC dapat dilihat pada Tabel 63. Tabel 63 Pengaruh dan kepentingan keterlibatan stakeholder terhadap pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC Stakeholder Balai TNGC Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat
Pengaruh
Kepentingan Keterlibatan
Tinggi. Mempengaruhi aspek kebijakan konservasi TNGC Tinggi. Implementasi dan keberhasilan program
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Kuningan BP4K Kab. Kuningan
Tinggi. Memiliki kebijakan pembinaan
Dunia usaha (PDAU)
Rendah. Tidak memiliki akses terhadap kebijakan.
LSM (Kanopi dan Akar)
Rendah. Tidak memiliki akses terhadap kebijakan.
Berdasarkan
Tinggi. Keberhasilan program
tingkat
pengaruh
dan
Rendah. Tidak menerima dampak langsung Tinggi. Menerima dampak langsung keberhasilan program Tinggi. Pengelolaan sumber daya hutan di wilayahnya Tinggi. Langsung terlibat dalm implementasi Tinggi. Menerima manfaat, langsung terlibat dalam implementasi Tinggi. Menerima manfaat, langsung terlibat dalam implementasi
kepentingannya,
selanjutnya
stakeholder dimasukkan dalam matriks kuadran untuk menentukan subyek (subject), pemain kunci (key player), penghubung (context setter) dan penonton (crowd). Hal ini dilakukan untuk menentukan stakeholderyang dapat berperan lebih besar dan stakeholder yang mempunyai resiko bagi ketidakberhasilan program. Matriks kuadran posisi stakeholder dapat dilihat pada Gambar 51.
195
Kepentingan Tinggi
SUBJECT
KEY PLAYER
Dishutbun BP4K
LSM dan Dunia usaha Kelompok (PDAU) Masyarakat
Dinas Kehutanan Prop. Jabar
Balai TNGC Kepentingan Rendah
CROWD Pengaruh Rendah
CONTEXT SETTER Pengaruh Tinggi
Gambar 51Matriks tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder terhadap program pengembangan agroforestri di daerah penyanggaTNGC Pada tingkat
Gambar 51 dapat dilihat bahwa stakeholder yang mempunyai
kepentingan
tinggi
namun
mempunyai
pengaruh
kecil
dalam
pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah PDAU, dan LSM. Stakeholder yang mempunyai tingkat kepentingan dan pengaruh tinggi dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, BP4K, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan. Stakeholder yang mempunyai tingkat kepentingan kecil namun mempunyai pengaruh tinggi dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC adalah Balai TNGC. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut tidak ada stakeholder yang mempunyai tingkat kepentingan dan pengaruh kecil dalam pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC. Berdasarkan hasil kajian terhadap dokumen perencanaan (Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) atau Renstra, dan pelaporan stakeholder(laporan tahunan), serta wawancara dengan masyarakat, diperoleh data peran stakeholder dalam pembukaan kesempatan kerja bagi masyarakat pada program agroforestri di daerah penyangga TNGC, sebagaimana disajikan pada Tabel 64. Peran stakeholder dalam agroforestri terutama ditujukan bagi peningkatan produktifitas tanaman pertanian dan kehutanan. Sesuai dengan permasalahan pokok yang dihadapi responden, bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap produksi agroforestri, yaitu modal (30%), pengetahuan dan ketrampilan mengenai teknik budidaya tanaman terutama penanganan hama
196
Tabel 64
No.
Peran Stakeholder dalam pembukaan kesempatan kerja bagi masyarakat pada program pengembangan agroforestri di daerah penyangga TNGC.
1.
Jenis lapangan pekerjaan Petani agroforestri
Jumlah lapangan pekerjaan (orang) 543
2.
Buruh tani
116
3.
Pengepul
9
Stakeholder (peran) a. Balai TNGC (kerjasama dengan investor, peningkatan usaha ekonomi) b. Dinas Kehutanan Prop Jawa Barat (pelatihan: budidaya tanaman, pengelolaan kebun bibit) c. Dishutbun Kab Kuningan (diversifikasi usaha kehutanan, pelatihan kelompok tani, peningkatan produksi dan pemasaran) d. BP4K (penyuluhan dan pembinaan petani) e. Kerjasama LSM Kanopy (Pengembangan usaha kebun bibit, pengembangan usaha agroforestri, kredit usaha, peningkatan kapasitas masyarakat, pendampingan)
dan penyakit tanaman (60%) dan sistim pemasaran hasil (10%). Dengan memperhatikan peran stakeholder terkait dengan frekuensi penyuluhan dan pembinaan yang telah dilakukan selama ini, maka peran stakeholder dalam peningkatan produksi tanaman agroforestri dapat dirumuskan dalam Tabel 65.
Tabel 65 Peran stakeholder dalam peningkatan produksi tanaman agroforestri No. 1
Stakeholder Dishut Prop. Jabar, Dishutbun Kab Kuningan, BP4K
2
PDAU
3
LSM Akar dan Kanopy
4.
Balai TNGC
Jenis Peran Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan teknik budidaya tanaman pertanian dan kehutanan, serta bantuan bibit tanaman yang berkualitas Pelatihan dan magang
Pengembangan permodalan masyarakat melalui credit union/usaha bersama kelompok dan Perbaikan sistim pemasaran hasil, Bantuan bibit tanaman
Hasil yang diharapkan Intensifikasi lahan melalui penerapan teknologi budidaya tanaman
Meningkatnya usaha pembuatan pupuk organik oleh masyarakat untuk kebutuhan pemeliharaan tanaman agroforestri Meningkatnya modal petani untuk meningkatkan kualitas pemeliharaan tanaman serta semakin baiknya sistim pemasaran hasil Meningkatnya kualitas
197
kehutanan yang berkualitas serta pelatihan teknik konservasi tanah.
tanaman kehutanan dan produktifitas lahan.
Saat ini frekuensi kegiatan penyuluhan dan pendampingan masyarakat (oleh LSM) dirasakan belum optimal.
Berdasarkan hasil wawancara dengan
stakeholder BP4K, satu orang penyuluh kehutanan pertanian membawahi wilayah satu hingga dua desa, sedangkan satu orang penyuluh kehutanan membawahi wilayah satu hingga dua kecamatan. Pendampingan masyarakat oleh LSM Kanopi saat ini yang terdapat di desa Pajambon, hanya untuk satu kelompok masyarakat yang beranggotakan 20 orang. Pentingnya pendampingan telah dibuktikan pada sistim agroforestriyang dikembangkan dalam hutan kemasyarakatan di Provinsi Sulawesi Selatan melalui program pendampingan, pelatihan masyarakat, dan program rehabilitasi lahan dengan mengkombinasikan tanaman hutan dan tanaman serbaguna yang biasa dikelola masyarakat, ternyata dari hasil tanaman sela telah memberikan peningkatan pendapatan masyarakat 100% sampai 300%, dan memberikan mata pencaharian baru dalam pengembangan hutan kemasyarakatan di areal 2.000 ha yaitu sejumlah 53.000 HOK (Dephut 2001). Peran stakeholderdianalisis melalui indikator banyaknya program kegiatan yang bertujuan meningkatkan produksi agroforestri serta jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Frekuensi penyuluhan dan pendampingan yang pada saat ini dilakukan oleh stakeholder pada tiga Desa contoh disajikan pada Tabel 66. Tabel 66 Kegiatan penyuluhan dan pendampingan pada program agroforestri No
Desa
1. 2. 3.
Karangsari Seda Pajambon
Frekuensi penyuluhan 3 bulan sekali 4 bulan sekali 4 bulan sekali
Jumlah kelompok pendampingan 0 0 1 kelompok (@20 orang)
Dalam hal ini penyuluh pertanian dan kehutanan memiliki peran yang strategis dalam upaya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat, karena penyuluh bukan saja berperan dalam prakondisi masyarakat agar tahu, mau dan mampu berperan serta dalam pelestarian kawasan TNGC, akan tetapi penyuluh kehutanan harus terus menerus aktif dalam melakukan proses pendampingan masyarakat sehingga tumbuh kemandirian dalam usaha/kegiatan berbasiskehutanan, sedangkan kegiatan pendampingan terutama diarahkan
198
dalam memfasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat dan kegiatan usaha ke arah masyarakatyang mandiri. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani agroforestri sebaiknya dilakukan pada semua aspek bidang pertanian dan kehutanan sehingga dapat memperluas wawasan petani. Identifikasi terhadap komoditas yang diprioritaskan untuk dikembangkan sangat dibutuhkan, sehingga kegiatan penyuluhan, pendampingan dan program/kegiatan yang dikembangkan oleh stakeholderakan secara signifikan membantu petani mengembangkan usahanya. Kemudahan akses terhadap kredit usaha, penyediaan input-input produksi (terutama bibit dan pupuk), peningkatan teknologi usaha tani yang mampu diserap petani, serta kemudahan terhadap akses pasar, merupakan jenis kegiatan yang dapat dikemas dalam bentuk program tahunan stakeholder. 4.6.1.3 Peningkatan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi TNGC Disamping berperan dalam pengembangan ekowisata dan agroforestri, stakeholder juga berperan dalam peningkatan sikap masyarakat daerah penyangga terhadap konservsi TNGC. Peran stakeholder dalam peningkatan sikap masyarakat daerah penyangga terhadap konservasi TNGC disajikan pada Tabel 67. Tabel 67 Peran Stakeholder dalam peningkatan sikap masyarakat daerah penyangga terhadap konservasi TNGC No. 1.
Stakeholder Balai TNGC
2.
Dinas Kehutanan Prop. Jawa Barat
3.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab Kuningan
4.
BP4K
5.
LSM Kanopy
Jenis Peran Penyediaan media informasi tentang konservasi Sosialisasi konservasi Pembentukan Model Desa Konservasi (MDK) Pembentukan Model Desa Konservasi (MDK) Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan Gerakan penanaman dan pemeliharaan pohon Gerakan rehabilitasi lahan kritis Pembentukan MDK Penyuluhan peraturan bidang kehutanan Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental masyarakat penyangga Penyadaran masyarakat desa hutan tentang kelestarian/ konservasi kawasan hutan
199
No.
Stakeholder
6.
LSM Akar
Jenis Peran Penyediaan media informasi tentang konservasi Pelatihan, magang dan studi banding bagi masyarakat Pembentukan MDK Gerakan Sapu Gunung Bina Cinta Alam bagi siswa dan pendaki
Berdasarkan Tabel 64 beberapa peranstakeholder yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan kesadaran konservasi masyarakat, gerakan sapu gunung sudah rutin dilakukan LSM Kanopy, pembentukan Model Desa Konservasi sudah menjadi program Dinas Kehutanan Provinsi Jabar, Bina Cinta Alam merupakan program rutin Balai TNGC. Program penyadaran melalui pelatihan, penyuluhan dan pendidikan cukup efektif untuk meningkatkan kepedulian masyarakat, namun harus dilakukan secara kontinyu dan melibatkan sebanyak mungkin masyarakat. Faktanya, program-program penyadaran masyarakat tersebut belum terkoordinir dengan baik diantara sesama stakeholder. Belum ada suatu kegiatan yang menjadi program bersama diantara stakeholder tersebut yang dilakukan secara bersama-sama sejak perencanaan hingga monitoring dengan pembagian tugas dan wewenang yang jelas. Kerja sama biasanya hanya berupa permintaan bantuan dari satu stakeholder kepada stakeholder lain pada saat dibutuhkan. Sebagai contoh, ketika ada kegiatan sosialisasi mengenai penurunan penggarap dari kawasan TNGC, pihak Balai TNGC meminta bantuan BP4K dalam kegiatan sosialisasi tersebut, dan bantuan tersebut berakhir ketika kegiatan sosialisasi tersebut selesai. Contoh lain, Gerakan Sapu Gunung (GSP) merupakan program yang sangat mendukung upaya konservasi kawasan TNGC. Semestinya menjadi program bersama antara Balai TNGC dan LSM Akar yang dapat direncanakan dan dikelola dengan lebih baik, namun nyatanya inisiatif dan kontribusi sumberdaya lebih banyak dilakukan oleh LSM Akar. Tidak terbentuk sebuah kerja sama yang sinergis, saling berbagi tugas dan kewenangan secara proporsional (misalnya LSM Akar sebagai pelaksana dan Balai TNGC selaku tuan rumah, sebagai penyedia logistik), sehingga menghasilkan satu program yang kontinyu dan tepat sasaran. Pada akhirnya karena adanya keterbatasan, program GSP hanya dilaksanakan oleh LSM Akar ketika sumberdaya (khususnya pendanaan) tersedia.
200
4.6.2Pengembangan Masyarakat Daerah Penyangga TNGC Istilah pengembangan masyarakat sangat beragam di dasarkan pada fokus apa yang menjadi tujuan pengembangan dan ‘ideologi’ yang dianut. Dalam sudut partisipasi dan kemandirian masyarakat, menurut Ife pengembangan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife 1995). Pengembangan masyarakat merupakan upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat, dengan kata lain adalah bagaimana menolong masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri.Untuk pembahasan
selanjutnya
yang
akan
digunakan
adalah
terminologi
pengembangan masyarakat agar tidak terjebak kedalam konsep atau istilah pemberdayaan masyarakat yang seringkali digunakan dalam konteks programprogram pemerintah/dunia usaha/LSM yang sangat berbeda dengan konsep yang dimaksud oleh Ife. Pengembangan masyarakat merupakan bagian yang esensi dari pembangunan, dimana dalam penelitian ini adalah pembangunan sebuah daerah penyangga yangmemiliki tujuan untuk melindungi kawasan taman nasional dari berbagai kerusakan yang ditimbulkan dari luar kawasan, dan tujuan untuk yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal disekitarnya. Dalam mengembangkan daerah penyangga TNGC ini, sangat diisadari bahwa jumlah masyarakat yang bermukim di desa penyangga TNGC wilayah Kabupaten Kuningan yaitu sebanyak 84.313 jiwa atau sekitar 7,4% dari penduduk Kabupaten Kuningan, merupakan sebagian kecil saja dari jumlah penduduk yang menjadi fokus perhatian pemerintah daerah Kabupaten Kuningan. Demikian pula, dari 374 desa di Kabupaten Kuningan hanya 27 desa yang menjadi penyangga kawasan TNGC atau hanya sekitar 7,2% saja. Namun mengingat dukungan masyarakat daerah penyangga sangat penting terhadap kelestarian Taman Nasional Gunung Ciremai yang memberikan kontribusi cukup besar dalam PAD Kabupaten Kuningan, maka menjadi lebih bijaksana jika pemerintah daerah memberikan porsi perhatian yang lebih besar terhadap masyarakat pada desa-desa penyangga TNGC. Secara umum, dalam kaitannya dengan pelaksanaan pengembangan masyarakat yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah, Balai TNGC dan LSM/NGO pada masyarakat yang bermukim di desa-desa daerah penyangga dari sisi program, belum menunjukkan keberhasilan jika mengacu pada konsep Ife yang lebih menekankan pada kemandirian. Selama ini pengembangan selalu
201
diartikan sebagai “memberi sesuatu”, apakah dalam bentuk bantuan barang (ternak domba, setup lebah madu, bibit tanaman dan dana bergulir) ataupun dalam bentuk pengetahuan dan ketrampilan melalui pelatihan, magang, sosialisasi, penyediaan media informasi dan pembentukan Model Desa Konservasi (MDK). Ketika program-program dalam bentuk bantuan ini selesai dilaksanakan sesuai target yang biasanya pada besarnya volume bantuan serta jumlah masyarakat yang menerima bantuan, maka selesai pula kegiatan pengembangan masyarakat pada program tersebut, dan berikutnya dikucurkan kembali dalam bentuk program yang lain. Upaya pembinaan selanjutnya hanya dilakukan ketika timbul permasalahan atau ketika ada kegiatan monitoring. Berdasarkan pengalaman pelaksanaaan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh pihak Balai TNGC dan pemerintah daerah melalui instansi terkait, dari sisi kebijakan, menunjukkan bahwa seluruh program pengembangan sangat tergantung pada tugas pokok dan fungsi dari masing-masing stakeholder yang tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra), Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP), yang memuat
tujuan
kegiatan
pengembangan,
bagaimana
program
tersebut
dilaksanakan, sumberdaya yang dialokasikan, serta sasaran yang diharapkan, sebagai indikator keberhasilan. Dari dokumen perencanaan tersebut tergambar bentuk-bentuk pengembangan masyarakat yang direncanakan, dan dari dokumen laporan tahunan, akan jelas terlihat bahwa indikator keberhasilan dari program pengembangan adalah realisasi program/kegiatan. Apalagi jika kebijakan
pemda
lebih dominan
pada
pencapaian
target
PAD, maka
pengembangan masyarakat hanya menjadi sesuatu yang lebih bersifat charity(belas kasihan). yang
dilaksanakan
Demikian halnya dengan pengembangan masyarakat oleh
LSM/NGO.
Sebagai
lembaga
non
profit
program/kegiatan yang dilaksanakan oleh LSM Kanopy sesungguhnya telah mencerminkan proses-proses pengembangan masyarakat, seperti kegiatan pendampingan masyarakat untuk kegiatan pembuatan kebun bibit desa di Desa Pajambon. Namun kendala utama adalah, aktivitas LSM Kanopy sangat bergantung kepada pendanaan dari pihak luar, baik untuk pelaksanaan program maupun untuk menggaji karyawan. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi keberlanjutan program. Uraian gambaran secara umum kondisi pengembangan masyarakat tersebut terjadi di seluruh desa penyangga melalui peran stakeholder pemerintah
202
provinsi, pemerintah kabupaten, Balai TNGC, dunia usaha dan LSM, seperti disajikan pada Tabel 68. Beberapa pendekatan pengembangan masyarakat yang telah banyak digunakan yaitu socio charity, socio economic, socio reformation dan sociotransformation (Hasim dan Remiswal 2009). Keempat bentuk pendekatan pengembangan tersebut memiliki pengertian yaitu;1) Sosio karikatif adalah suatu bentuk community development (CD) yang dilandasi oleh anggapan bahwa masyarakat
adalah miskin,
masalahnya.
menderita
dan
tidak
mampu
memecahkan
Masyarakat dianggap tidak mampu menolong dirinya sendiri.
Mereka perlu ditolong dan dikasihani. 2) Sosio ekonomis adalah suatu bentuk CD yang dilandasi oleh anggapan bahwa bila pendapatan masyarakat ditingkatkan atau bila kebutuhan ekonomi terpenuhi persoalan yang lainnya dengan sendirinya akan terpecahkan. 3) Sosio reformis adalah suatu bentuk CD yang dilandasi oleh anggapan bahwa masyarakat dalam keadaan darurat (resque), seperti menderita bencana alam, bencana sosial atau lainnya. Oleh karena itu, maksud dari pendekatan ini adalah hanya untuk mengembalikan pada keadaan semula. 4) Sosio tranformatif adalah suatu bentuk CD yang dilandasi oleh anggapan bahwa pengembangan dan pembangunan masyarakat pada dasarnya adalah perubahan sikap, tingkah laku, pandangan dan budaya, yang mengarah pada keswadayaan dalam melaksanakan pemecahannya dan mengevaluasi. Berdasarkan hasil penelitian dapat ditemukan bahwa, program-program yang selama ini dilaksanakan oleh stakeholder lebih banyak didasarkan pada bantuan atau pemberian kepada masyarakat yang dianggap dalam kondisi tidak berdaya, seperti bantuan ternak domba, stup lebah madu, kebun bibit desa, persemaian, pemberian bibit, dan kegiatan lainnya. Pemberian dana bergulir yang diperuntukan bagi modal kelompok dan berbagai jenis pelatihan seperti tersaji pada Tabel 69 juga menjadi salah satu program yang dikembangkan. Dukungan kebijakan dalam bentuk pengembangan Model Desa Konservasi sudah diimplementasikan pada beberapa desa penyangga. Untuk lebih jelasnya dapat dipetakan pendekatan pengembangan masyarakat yang telah digunakan oleh stakeholder pada masyarakat daerah penyangga TNGC, seperti tersaji pada Tabel 69.
Tabel 68 Program pemberdayaan masyarakat pada desa-desa penyangga TNGC No
Resort
Kecamatan
Desa ≤ 2007
1
2
3
Pasawahan
Mandiranca
Darma
Pasawahan
Mandirancan
Darma
2008
1
Padangbeunghar
-
-
2
Pasawahan
-
-
3
Singkup
-
-
4
Cibuntu
ternak sapi (Dinsos)
5
Paniis
6
Padamatang
7
Kaduela
-
8
Seda
-
9
Trijaya
-
-
10
Randobawagirang Gunung sirah
-
-
11
12
Karangsari
-
13
Sagahariang
-
Kegiatan pemberdayaan 2009 2010 pelatihan lebah bantuan Sapi (Dinsos) madu
2011 domba (TNGC), Kebun Raya Kuningan (dishutbun)
Rencana 2012 MDK (Dishut propDishutbun)
pelatihan lebah madu (Dishut prop), tumpangsari (Parpol) pelatihan lebah madu pelatihan lebah madu
-
domba (TNGC)
-
-
-
-
-
-
MDK (Dishutbun)
-
-
-
-
bantuan ternak (TNGC) pelatihan lebah madu
MDK (Dishutbun) MDK (Dishutbun)
-
domba (TNGC)
MDK (dishut prop), silvopasture (dishutbun)
-
-
-
pelatihan lebah madu
PNPM Mandiri pembangunan poskesdes ,RHL (Dishutbun)
TNGC
MDK (TNGC)
-
-
penanaman agroforestri (Dishut)
Agroforestri (Dishutbun)
-
-
PNPM Mandiri pembangunan posyandu
LMDK,water meter,dombalebah madu (TNGC), Pengkayaan cengkeh dan pala (Dishutbun) TNGC
203
175
4
5
6
Cigugur
Cilimus
Jalaksana
Cigugur
Cilimus
Jalaksana
Keramatmulya
-
-
14
Puncak
-
-
bantuan ternak (TNGC)
-
Kebun dinas, KBR (dishutbun)
Kebun bibit permanen (dishutbun)
15
Cisantana
-
-
-
-
ternak domba (tiket donasi buper), LMDK (TNGC)
MDK (dishutbun)
16
Cigugur
17
Linggarjati
-
-
-
Bandorasa kulon
-
-
18
-
19
Setianegara
-
-
-
-
-
20
Cibeureum
-
-
-
-
Pengkayaan cengkeh (dishutbun ) Pelatihan HPT (dishutbun)
21
Linggasana
-
Sangkanerang
-
23
Babakan mulya
24
Sukamukti
bantuan ternak kambing (Dishutbun) Raksa Desa (prop jabar), PPK pusat dan pemda bibit jati dan cengkeh,ternak domba (dishutbun),
-
-
22
25
Sayana
26
Maniskidul
27
Pajambon
bantuan ternak (BP3K)
pelatihan lebah madu
MDK (dishutbun)
-
-
MDK (TNGC)
bantuan sapi (pemda), LMDK (TNGC)
MDK (dishutbun)
-
-
-
Pembangunan sarana wisata (TNGC)
MDK (Dishutbun)
-
-
-
TNGC
-
-
-
-
Program Usaha Agrobisnis Pedesaan Rp 100 juta (Dinas pertanian-2010)
Domba (TNGC )
Arboretum (dishutbun)
-
-
-
-
-
MDK (Dishut-2009)
-
Bibit jambu merah (TNGC), pembinaan MDK (dishut prop)
Sumber: Balai TNGC 2010
204
205
Tabel 69Pemetaan pengembangan masyarakat yang telah dilakukan di desa penyangga TNGC Pendekatan CD Aspek Pengembangan 1. Bantuan dana bergulir (sebesar 30 juta rupiah per desa dan 20 juta rupiah per desa)
Sosio Karitatif √
2. Peningkatan kapasitas para pelaku dalam hal -sosialisasi TNGC, -pembinaan fasilitator PHBM, -pelatihan lebah madu -pelatihan interpreter wisata -pelatihan kerajinan tangan 3. Bantuan pendampingan oleh LSM Kanopi bermitra dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jabar 4. Bantuan sarana produksi : -ternak kambing -tanaman cengkeh dan jati
√
5. Dukungan kebijakan/peraturan -pembentukan Model Desa Konservasi (MDK) 6. Penyediaan infrastruktur -sekolah, posyandu, puskesmas pembantu
Sosio Ekonomis √ (Sebagai dana kelompok/modal bergulir)
Sosio Reformis √
Sosio Transformatif √ (Sebagai dana kelompok/modal bergulir)
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
7. Alih teknologi; pembuatan persemaian
√
8. Peningkatan pendapatan masyarakat (melalui upah kerja) -penanaman agroforestri -rehabilitasi kawasan
√
9. Pemeliharaan/Konservasi : -penanaman agroforestri -rehabilitasi kawasan
√
√
Berdasarkan keempat pendekatan community development di atas, program pengembangan masyarakat yang selama ini telah dilakukan pada masyarakat daerah penyangga TNGC ternyata lebih banyak menggunakan pendekatan sosio karikatif dan sosio ekonomis, meskipun ada sedikit kegiatan yang menggunakan pendekatan sosio reformis dan sosio transformatif, namun perlu dicermati apakah benar-benar telah melalui proses transformasi.
206
Tabel 69 memperlihatkan bahwa sebagian besar pengembangan masyarakat dilakukan melalui pendekatan sosio ekonomis, dengan tujuan utama peningkatan pendapatan masyarakat. Pendekatan sosio transformatif sudah mulai dilakukan, melalui bantuan dana bergulir, pelatihan-pelatihan, bantuan pendampingan dan alih teknologi pembuatan persemaian. Namun berdasarkan hasil penelitian, pendekatan sosio transformatif ini belum sesuai dengan tujuan utama yaitu mengarah kepada keswadayaan dan kemandirian masyarakat, karena faktanya begitu pelatihan atau program selesai, maka selesai pula kegiatan tersebut. Selanjutnya yang terjadi di lapangan adalah masyarakat yang pernah mengikuti pelatihan dan mendapat program tidak mampu untuk memanfaatkan hasil dari program tersebut apalagi sampai pada tingkat kemandirian. Sebagai contoh, anggota masyarakat dari desa Pajambon yang pernah mengikuti pelatihan kerajinan untuk cinderamata tidak mampu untuk mengembangkan hasil pelatihan, karena keterbatasan akses terhadap modal dan pasar. Pembinaan selanjutnya terhadap kegiatan tersebut tidak dilakukan untuk memantau seberapa jauh masyarakat telah memanfaatkan dan bagaimana program tersebut
mampu
dikembangkan
oleh
masyarakat.
Seluruh
kegiatan
pengembangan masyarakat yang dilaksanakan oleh stakeholder berasal dari program-program yang dikucurkan dari atas (top-down), masyarakat daerah penyangga tinggal menerima dan melaksanakan program tersebut. Meskipun terkadang program tersebut dilaksanakan berdasarkan permintaan dari sejumlah anggota
masyarakat
(seperti
bantuan
ternak
domba)
namun
belum
mencerminkan kebutuhan yang berasal dari masyarakat yang sesungguhnya, karena hanya diwakili oleh sebagian kecil anggota masyarakat. Program-program pengembangan masyarakat yang telah di gulirkan selama
inikhususnya
yang
berbentuk
bantuan,
hanya
menciptakan
ketergantungan pada masyarakat, dalam artian, ketika program datang, ada reaksi dari masyarakat penerima yang hampir sama pada seluruh program yang digulirkan. Reaksi tersebut adalah; penerimaan bantuan, pendistribusian pada masyarakat
penerima
bantuan,
dan
administrasi
pelaporan.
Setelah
bantuan/program selesai terlihat tidak ada tindak lanjut dari program tersebut. Hal ini diindikasikan dengan kurang berkembangnya program-program yang digulirkan. Di desa Pajambon, kebun bibit desa dapat dikatakan gagal karena bibit hasil persemaian masyarakat tidak dapat dipasarkan. Selain karena akses pasar yang tidak dimiliki masyarakat, juga bibit yang disemaikan bukan yang
207
dibutuhkan oleh pasar. Di desa Seda, domba yang diberikan kepada masyarakat sebanyak 20 ekor, seharusnya bergulir kepada anggota masyarakat lainnya, namun saat ini tidak sesuai tujuan. Kurangnya monitoring dan pengawasan dari stakeholder kemandirian
menjadikan masyarakat.
program Untuk
tersebut lebih
semakin melihat
jauh
dari
sejauhmana
harapan program
pengembangan masyarakat telah benar-benar menjadi transformatif, berikut ini disajikan sebuah contoh kasus program pengembangan masyarakat pada satu kelompok masyarakat di desa Pejambon. 4.6.2.1 Studi Kasus Proses Pengembangan Masyarakat Sebagai gambaran sejauh mana inisiatif pengembangan masyarakat telah dilakukan pada masyarakat daerah penyangga TNGC, maka peneliti melakukan studi kasus terhadap komunitas masyarakat yang terdapat di dua desa, yaitu komunitas masyarakat yang bekerja di ekowisata dengan nama Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata (Kompepar) yang berada di Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, serta komunitas masyarakat yang bekerja di agroforestri dengan nama Lembaga Masyarakat Desa Konservasi (LMDK) Rimba Sari di Desa Karangsari. a) Kelompok Masyarakat Penggerak Pariwisata (Kompepar) Kompepar didirikan pada tahun 2001 pada saat TNGC masih berstatus sebagai kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola oleh PT Perhutani. Pada awalnya, saat TNGC masih berstatus sebagai hutan produksi, kelompok ini merupakan bagian dari Kelompok Tani Hutan (KTH) yang mengelola lahan dengan sistim tumpangsari melalui program PHBM, dengan nama Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (Poktapepar).
Poktapepar yang
semula melaksanakan pengelolaan hutan yang berbasis lahan dalam kawasan lindung dan produksi, berubah menjadi Kompepar yang merupakan kelompok yang lebih berorientasi pada wisata alam dengan pengesahan dari Bupati Kuningan melalui SK no 9 tahun 2001. Aktifitas Kompepar selanjutnya adalah sebagai pelaksana Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan kegiatan wisata alam di Lembah Cilengkrang yang dilaksanakan pada kawasan lindung dan hutan negara yang masuk dalam wilayah administratif Desa Pajambon.PHBM dikelola oleh PT Perhutanidan obyek wisata Lembah Cilengkrang dikelola oleh Pengelola Wisata alam Cilengkrang (PWC) yang merupakan sebuah lembaga gabungan antara PT
208
Perhutani KPH Kuningan, unsur pemerintah Desa Pajambon serta Kelompok Tani Hutan (KTH). Sebagai pelaksana PHBM, Kompepar juga adalah sebagai anggota KTH, dimana jabatan Ketua KTH juga sekaligus sebagai ketua Kompepar, dengan anggota sebanyak 20 orang. Sejak tahun 2003 ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan PHBM telah dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes) Pajambon Nomor 5/Pemdes/IV/2003 dengan dasar penyusunan adalah Nota Kesepahaman Bersama (NKB) dan Nota Perintah Kerja (NPK). Beberapa poin penting dari Perdes tersebut adalah bahwa KTH dan Kompepar bertugas mengkoordinir dan melakukan bimbingan kepada para anggotanya dalam kegiatan penjagaan, perlindungan dan pemanfaatan hasil sumberdaya pertanian dan sumber daya hutan, serta larangan untuk menanam tanaman semusim di hutan lindung dan menggantinya dengan tanaman keras dan jasa wisata, sedangkan pada hutan produksi masyarakat masih diperkenankan untuk melakukan tanaman semusim dan memelihara tegakan pohon milik Perhutani. Setelah status kawasan menjadi hutan lindung pada tahun 2003, maka tidak ada lagi aktifitas masyarakat yang melakukan penanaman tanaman semusim dan menggantinya dengan tanaman keras yaitu kopi, dan buah-buahan alpukat dan durian.Pada tahun 2004, status kawasan Gunung Ciremai selanjutnya mengalami perubahan menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).Secara operasional pengelolaan TNGC untuk sementara dilakukan oleh Balai Konservasi Sumberdaya Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat II, sambil menunggu organisasi TNGC terbentuk. Setelah perubahan status ini, masyarakat masih diberikan akses untuk melakukan kegiatan-kegiatan di dalam kawasan TNGC seperti yang terdapat dalam program PHBM. Sementara dengan adanya perubahan status ini Kompepar merevisi NKB dan NPK karena adanya perubahan pengelola dari PT Perhutani kepada Balai KSDA Jawa Barat II. Perjanjian tersebut berubah nama menjadi Nota Perjanjian Kemitraan (NPK) antara Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat II dengan Kompepar tentang Pengelolaan Hutan Lembah Cilengkrang Melalui Sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai. Nota Perjanjian Kemitraan tersebut secara garis besar berisi landasan perjanjian, tujuan dan sasaran, obyek dan ruang lingkup kemitraan, rencana pengelolaan, kewajiban dan hak pihak pertama, kewajiban dan hak pihak kedua, monitoring dan evaluasi, tarif dan mekanisme sharing, jangka waktu, sanksi,
209
force majuure, perselisihan dan lainnya. Nota Perjanjian Kemitraan tersebut diketahui oleh Kepada Desa pajambon, Camat Kramatmulya dan disetujui oleh Bupati Kuningan.Dengan demikian, keberadaan perjanjian kerjasama tersebut memiliki kekuatan hukum yang jelas bagi Kompepar dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan Lembah Cilengkrang.Tujuan utama dari perjanjian ini adalah terjaminnya kelestarian TNGC melalui optimalisasi fungsi dan manfaat sumberdaya
hutan
dalam
mendukung
kesejahteraan
masyarakat
serta
memperjelas peran, tanggung jawab, kewajiban dan hak para pihak.Sebagai obyek kemitraan adalah kawasan hutan lembah Cilengkrang TNGC seluas 30 ha yang
termasuk
dalam
wilayah
administrasi
Desa
Pajambon.
Rencana
pengelolaan yang disepakati meliputi jenis kegiatan wisata alam seluas 0,5 ha, bumi perkemahan seluas 1 ha, rehabilitasi kawasan
dengan luas 28,5 ha,
potensi tanaman obat sebanyak 57 jenis, dan jasa lingkungan lainnya. Pembagian tugas mengelola
obyek wisata
Lembah
Cilengkrang,
dilakukan dengan sistem pergiliran/shift. Pada hari Senin hingga Jumat, hanya sekitar empat orang anggota yang bertugas di lokasi obyek wisata, sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu atau hari libur lainnya hampir seluruh anggota yang berjumlah 20 orang ikut serta mengelola obyek wisata karena banyaknya jumlah pengunjung yang datang. Pembagian tugas anggota di lokasi obyek wisata meliputi penjagaan karcis masuk, petugas kebersihan, penjagaan keamanan pengunjung serta penjagaan kolam air panas dan air terjun Lembah Cilengkrang. Dengan adanya pergiliran tersebut, rata-rata setiap anggota bertugas sebanyak lima hingga enam kali dalam satu bulan. Dengan demikian, besarnya pendapatan yang diterima tergantung pada jumlah pengunjung, semakin banyak pengunjung yang datang, semakin banyak pula pendapatan yang diperoleh anggota Kompepar. Banyaknya jumlah pengunjung yang datang pada satu waktu yang sama, tentu membawa konsekwensi terhadap dampak yang ditimbulkan terhadap kawasan. Namun hal ini cukup menjadi perhatian anggota Kompepar.Dari hasil pengamatan terhadap aktifitas anggota Kompepar pada kawasan obyek wisata pada saat hari libur, terlihat bahwa anggota Kompepar melakukan penjagaan terhadap aktifitas pengunjung sejak pintu masuk kawasan hingga lokasi obyek wisata utama yaitu empat buah air terjun pada Lembah Cilengkrang.Aktifitas pengunjung yang didominasi anak-anak muda sangat beragam, baik positif maupun negatif.Aktifitas negatif diantaranya adalah membuang sampah sembarangan, vandalisme pada pepohonan, batu-batuan,
210
bangunan dan papan petunjuk dan merusak tanaman muda.Tugas dari anggota Kompepar adalah mengawasi dan menegur pengunjung yang melakukan aktifitas yang negatif. Hasil
pengelolaan
hutan
Lembah
Cilengkrang
bersumber
dari
penyelenggaraan wisata alam yang berasal dari tarif masuk pengunjung, yang terdiri dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), biaya operasional pengelolaan, serta biaya asuransi kecelakaan pengunjung. Pada saat ini biaya tarif masuk ke obyek wisata alam Lembah Cilengkrang adalah sebesar Rp. 5.000 dengan komposisi pembagian, 1) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 1.500, asuransi sebesar Rp 500, dan donasi sebesar Rp 3.000. Besarnya dana donasi dialokasikan untuk pemerintah Desa Pajambon sebesar 12,5%, dana konservasi sebesar 7,5%, Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat (PKKBM) sebesar 5%, Rp 60 untuk pengadaan tiket dan sebesar 5% dipergunakan alat tulis kantor, selebihnya dibagikan kepada 20 orang anggota Kompepar.Pendapatan rata-rata setiap anggota berkisar antara Rp 150.000 hingga Rp 200.000 setiap bulan. Setiap anggota Kompepar harus mengikuti arisan kelompok sebesar Rp 25.000 per bulan, agar setiap anggota memiliki dana tabungan untuk persiapan kebutuhan dalam bentuk uang tunai. Penyelenggaraan kegiatan pembagian hasil ini dilakukan secara terbuka dengan proses administrasi yang cukup tertib dan catatan pembukuan yang cukup baik. Penyerahan hasil kegiatan dilakukan setiap akhir bulan dalam bentuk uang tunai. Nota Perjanjian Kemitraan ini berlaku untuk jangka waktu lima tahun, dan dapat diperpanjang sesuai permohonan pihak Kompepar. Berdasarkan pembagian tersebut, dapat dilihat bahwa pendapatan yang diterima dari karcis masuk wisata telah menyertakan tiga komponen lainnya yaitu pihak Desa Pajambon, PKKBM dan alokasi dana yang dikembalikan untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi konservasi pada kawasan TNGC (seperti pemeliharaan papan petunjuk, pemeliharaan jalur trecking, dan lain-lain), yang sangat dibutuhkan mengingat terbatasnya anggaran Balai TNGC. Selain mengelola obyek wisata, hingga saat ini anggota Kompepar masih mendapat akses untuk melakukan pemanenan kopi dan buah alpukat pada kawasan TNGC seluas 5 ha.Dengan jumlah anggota 20 orang, maka masingmasing anggota dapat memanen kopi dan alpukat pada lahan seluas 0,250 ha.Pendapatan dari hasil panen ini rata-rata sebesar Rp 800.000 hingga Rp 1.000.000 per anggota per tahun.
211
Selain pendapatan dari kedua kegiatan tersebut, lima anggota Kompepar mendapatkan kesempatan untuk membuka warung di dalam kawasan obyek wisata, sedangkan bagi masyarakat yang bukan anggota Kompepar, letak warung berada di luar kawasan. Warung ini biasanya dikelola oleh keluarga (istri dan anak) dari anggota, sedangkan apabila sedang tidak bertugas di lokasi obyek wisata, anggota Kompepar melakukan kegiatan bertani, menjadi buruh tani atau pekerjaan lainnya (ojek, dan lain-lain). Melalui wadah Kompepar ini, program pengembangan masyarakat telah dilakukan khususnya oleh Balai TNGC seperti pemberian bibit jambu merah pada tahun 2011 untuk ditanam pada masing-masing lahan milik.Pemberian bibit jambu ini didasarkan atas pengajuan dari Kompepar kepada pihak Balai TNGC.Program lainnya seperti pendidikan lingkungan kepada siswa SD dan SLTP, penyuluhan, kegiatan analisis vegetasi dan pengamatan burung Elang Jawa hanya bersifat meminta bantuan tenaga ketua Kompepar untuk kegiatan tersebut,
dan
bukan
Kompepar.Anggota
merupakan
hanya
kegiatan
mengetahui
untuk
adanya
seluruh
kegiatan
anggota
berdasarkan
pemberitahuan dari Ketua. Dari hasil pengamatan terhadap aktifitas Kompepar, terlihat bahwa peran ketua Kompepar sangat dominan baik di dalam interen kelompok, maupun hubungan dengan Balai TNGC, sehingga dalam hal urusan yang menyangkut kelompok
pengambilan
keputusan
dilakukan
oleh
ketua.
Salah
satu
penyebabnya adalah perbedaan pengetahuan, wawasan dan pengalaman Ketua Kompepar berbeda cukup jauh dengan para anggotanya. Pihak Balai TNGC atau stakeholderlain lebih sering bahkan dapat dikatakan selalu mempercayakan suatu kegiatan melalui Ketua atau hanya meminta bantuan Ketua. Kaderisasi dan pembagian tugas belum terlihat jelas dilakukan, sehingga hampir semua aktifitas kegiatan dilakukan oleh Ketua, sementara pelibatan anggota sebatas mengelola obyek wisata dan hadir pada pertemuan bulanan.Selama ini pihak Balai TNGC sangat jarang secara langsung mengumpulkan seluruh anggota baik untuk
sosialisasi
pengembangan
aturan
maupun
masyarakat
penyuluhan.
semestinya
Padahal
memungkinkan
dalam
proses
keterlibatan
orang/anggota kelompok dalam pengambilan keputusan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh Balai TNGC, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan dalam bentuk pelatihan
212
interpreter, studi banding dan lokakarya lebih banyak mengikutsertakan ketua, sehingga
distribusi
peningkatan
kapasitas
anggota
kelompok
kurang
proporsional. Kapasitas pengetahuan dan pengalaman ketua menjadi semakin kuat, dan membuat jarak yang semakin jauh dengan anggota. Balai TNGC dan stakeholder lain tidak berusaha untuk melakukan perbaikan secara bersama sama baik secara individu maupun kelompok secara terbuka, dan tidak berusaha mengajak dan membimbing ketua agar mendiskusikan berbagai hal dengan para anggotanya secara terbuka didasari oleh sikap saling percaya. Keberadaan Kompepar dengan segala hak dan kewenangannya untuk mengelola obyek wisata Lembah Cilengkrang telah menimbulkan kecemburuan sosial pihak Desa Pajambon dan masyarakat desa lainnya.Mereka menganggap Kompepar adalah sebuah kelompok eksklusif yang memperoleh perlakuan istimewa, khususnya dari Balai TNGC.Karena anggapan ini, pihak desa dan masyarakat lainnya cenderung kurang berpartisipasi terhadap kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan obyek wisata Lembah Cilengkrang.Mereka menyerahkan semua kondisinya kepada Kompepar.Kondisi ini diperparah dengan kurangnya komunikasi antara pihak Balai TNGC dengan aparat desa dan masyarakat sekitar.Kedatangan pihak Balai TNGC di Desa Pajambon hanya terbatas ketika ada kegiatan pada obyek wisata, seperti monitoring, sosialisasi dan kegiatan lainnya dan itupun lebih banyak dilakukan di lokasi obyek wisata.Hal ini menimbulkan hubungan yang kurang harmonis antara pihak desa dan masyarakat dengan pihak Balai TNGC dan Kompepar. Di samping itu, program Masyarakat Peduli Api (MPA) yang berkoordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) bentukan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan serta Mitra Polhut dalam kegiatan keamanan kawasan TNGC, hanya diikuti oleh anggota Kompepar. Seluruh kondisi tersebut, berdampak pada kurangnya dukungan dari seluruh masyarakat Desa Pajambon dalam upaya perlindungan kawasan. Usaha-usaha untuk membuka ruang dan kegiatan untuk menjalin hubungan dan dialog yang baik antar masyarakat dan komunitas sangat penting dilakukan, sehingga kesadaran yangtumbuh akan lebih cepat berkembang dan merata. Pertemuan dan dialog antar komunitas dan masyarakat juga tidak terjadi, padahal kegiatan ini bertujuan positif untuk saling berbagi beragam pengalaman dan perasaan ketidakadilan sehingga proses kesamaan empati bisa lebih cepat terjalin, sekaligus upaya untuk membuka kemungkinan tindakan bersama antar
213
masyarakat dan desa. Tindakan bersama akan lebih efektif dalam mendorong kesamaan persepsi, sikap dan perilaku terhadap upaya-upaya perlindungan kawasan TNGC. Untuk mewadahi kegiatan masyarakat lainnya yang tidak tergabung dalam Kompepar, pada tahun 2009 atas dasar kesepakatan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Balai TNGC dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuninganmengembangkan program Model Desa Konservasi (MDK) dan membentuk Lembaga Masyarakat Desa Konservasi (LMDK) Mekar Kemuning di Desa pajambon yang beranggotakan 60 orang. Fokus kegiatan yang dilaksanakan oleh LMDK berbasis pada kegiatan kehutanan, seperti pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD).Hubungan antara Kompepar dengan LMDK terjalin cukup baik.Tenaga pendamping pada LMDK adalah Ketua Kompepar yang bertugas untuk mendampingi dalam kegiatan teknis pembuatan kebun bibit, dan fasilitator pengembangan masyarakat dari LSM Kanopi Kabupaten Kuningan melakukan pendampingan kelembagaan dan administrasi.Sekitar delapan orang anggota Kompepar juga menjadi anggota LMDK, dimana keanggotaan ini atas sepengetahuan anggota Kompepar lainnya.Pada kegiatan pertemuan anggota LMDK, Ketua Kompepar juga menjadi motivator bagi para anggota LMDK yang relatif memiliki pengetahuan yang baru dalam kegiatan organisasi.Dengan demikian proses komunikasi antara Kompepar dan LMDK dapat berlangsung dengan baik. Insentif yang diterima oleh kedua tenaga pendamping atas tugas pelaksanaan pendampingan ini diperolehdari Dinas Kehutanan Provinsi sebesar Rp 400.000 per orang per bulan, selama tiga bulan pada tahap I. Selanjutnya untuk tahap II, pendampingan terhadap LMDK diserahkan kepada petugas aparat desa Pajambon (Bagian Ekonomi Pembangunan) agar terjadi proses pembelajaran bersama. b) Lembaga Masyarakat Desa Konservasi (LMDK) Rimba Sari Sebagai studi kasus kelompok agroforestri adalah kelompok petani agroforestri di Desa Karangsari, Kecamatan Darma. Pada awalnya, para petani tidak tergabung secara khusus menjadi satu kelompok yang memiliki kesamaan matapencaharian sebagai petani agroforestri. Beberapa program pengembangan masyarakat dilakukan oleh stakeholder, diantaranya adalah pada tahun 1984Dinas Kehutanan dan Perkebunan memberikan bantuan ternak domba sebanyak 40 ekor untuk 40 orang. Pada tahun 2003 mendapatkan bantuan dari Dinas Sosial berupa lebah madu sekitar 2.000 ekor, yang diberikan melalui
214
aparat desa. Namun bantuan ini ternyata tidak disalurkan ke masyarakat. Antara tahun 2007 hingga 2009, program pengembangan masyarakat untuk kegiatan agroforestri mengalami kekosongan. Baru pada tahun 2010 masyarakat mendapatkan program berupa demplot agroforestri seluas 25 ha dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Kuningan. Demplot ini melibatkan sekitar 100 orang petani sebagai pemilik tanah di areal demplot. Jenis-jenis yang ditanam adalah jenis jati, sengon dan suren, serta buah-buahan pete, cengkeh, pala dan rambutan. Pada awal tahun 2010 petani mendapatkan bibit kentang sebanyak tiga ton dari Dinas Pertanian. Bibit kentang ini diberikan kepada 20 orang petani yang akan membuat pembibitan kentang. Kelompok tani yang bekerja sebagai petani agroforestri di desa Karangsari baru terbentuk menjadi suatu wadah Lembaga Masyarakat Desa Konservasi (LMDK) Rimba Sari padabulan Maret tahun 2011. Lembaga ini beranggotakan 20 orang yang seluruhnya merupakan petani agroforestri Desa Karangsari. Pertemuan bulanan secara rutin dilakukan untuk membahas berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan LMDK. Kantor Resort Darma Balai TNGC juga berfungsi sebagai sekretariat LMDK sehingga pembinaan dari Balai TNGC dapat secara intensif dilakukan. Setelah terbentuknya lembaga ini, program pengembangan masyarakat dari stakeholder disalurkan melalui LMDK. Program yang digulirkan oleh Balai TNGC yaitu berupa bantuan water meter untuk menyalurkan air dari sumber mata air TNGC ke rumah-rumah pendudukyang mencakup 250 KK. Masyarakat yang menerima penyaluran air, membayar sesuai dengan banyaknya volume air yang digunakan setiap hari, dengan besarnya tarif Rp 300 per m3. Penerimaan dari penggunaan air ini dikelola oleh LMDK untuk biaya operasional dan terutama untuk pemeliharaan alat. Pada tahun yang sama LMDK mendapatkan bantuan pengkayaan tanaman durian dari Dishutbun Kabupaten Kuningan, namun hanya di sekitar mata air. Pada tahun 2011 LMDK telah mengajukan proposal untuk menjadi pengelola Bumi Perkemahan di kawasan TNGC, yang masih termasuk dalam wilayah Desa Karangsari. Proposal tersebut sedang dalam tahap menunggu keputusan dari Balai TNGC. Pelatihan yang diikuti oleh anggota LMDK pada tahun 2011 sebanyak satu kali, dengan perwakilan sebanyak dua orang. Materi pelatihan adalah persiapan menjelang musim kemarau dalam kaitannya dengan masyarakat
peduli
api.
Kegiatan
studi
banding
juga
diikuti
dengan
215
mengikutsertakan lima orang anggota. Pendanaan pelatihan dan studi banding ini bersumber dari Balai TNGC. Untuk tahun 2012 ini, mendapatkan program dari Balai TNGC menjadi pengawas
lapangan
persemaian bibit
endemik
pada
zona rehabilitasi.
Persemaian bibit ini merupakan kerjasama Balai TNGC dengan JICA, yang bejumlah 4.000 bibit dengan jenis jamuju, tania, saninten, dadap dan rasamala. Hingga saat ini belum ada keuntungan ekonomis yang diterima oleh anggota LMDK, karena belum ada usaha kelompok yang dikelola bersama. Namun pada saat ini anggota LMDK sedang melakukan penataan pada areal yang direncanakan sebagai lokasi ekowisata Bumi Perkemahan seluas 3 ha. Kegiatan penataan dilakukan setiap hari minggu dan bersifat swadaya anggota, dimulai dengan merencanakan denah lokasi dan pembangunan MCK.
Pada
tahun 2013 areal Bumi Perkemahan ini baru akan mendapatkan bantuan sarana prasarana dari Balai TNGC. Pada tahun 2013 juga melalui dana Pembangunan Daerah (Bangda) Departemen Dalam Negridirencanakan akan diberikan bantuan berupa bibit cengkeh dan reservoir air untuk kebun buah masyarakat. Belum banyak yang dapat dikaji mengenai program pengembangan masyarakat dan dinamika kelompok yang terdapat pada LMDK Rimba Sari karena masih baru terbentuk. Namun dilihat dari prospeknya, kegiatan yang berbentuk usaha sampingan menjadi pengelola ekowisata bumi perkemahan dan usaha sektor wisata lainnya,
akan membantu meningkatkan pendapatan
anggota kelompok dan menjadikan kelompok lebih dinamis. Namun bekerja sebagai petani agroforestri tetap dapat dijalankan sebagai pekerjaan utama, agar lahan yang dimiliki dapat tetap produktif. Hubungan antara LMDK dan pihak desa Karangsari cukup baik. Kepala Desa Karangsari sangat mendukung keberadaan LMDK sebagai wadah yang diharapkan dapat menjadi contoh bagi masyarakat desa lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan perlindungan kawasan TNGC. Namun penting untuk selalu diingatkan agar LMDK tidak menjadi kelompok yang merasa diistimewakan, sehingga akan menimbulkan jarak dengan masyarakat lainnya. Dari studi kasus tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat masih diperlakukan sebagai objek pelaksana program dan bukan sebagai pelaku perubahan.Pendampingan yang dilakukan oleh stakeholder belum mampu untuk menumbuhkan pengembangan
sikap
masyarakat
masyarakat
yang
masihterlihat
terbuka
dan
mandiri.
Proses
bersifat
top
downdan
masih
216
menganggap
masyarakat
Konsep bottomup tidak
tidak
berdaya
dan
samadengan partisipasi,
harus
sejauh
selalu
dibantu.
masyarakat
hanya
digerakkan untuk membuat usulan, membuat perencanaan sementara keputusan tetap berada pada sumber di luar masyarakat, dalam hal ini stakeholder yang melaksanakan program-program pengembangan masyarakat.Partisipasi harus menyiratkan kemandirian didalamnya dan sebaliknya. Belum terlihat adanya kemandirian dari Kompepar, meskipun organisasi sudah berjalan hampir 10 tahun, sedangkan pada LMDK belum terlihat bagaimana perubahan sikap dan kemandirian masyarakat karena kelompok ini belum
lama
terbentuk.
Namun
keduanya
terlihat
sama
dalam
hal
ketergantungannyayang masih masih cukup besar terhadap program-program pengembangan dari Balai TNGC dan stakeholder lain. Meskipun pembinaan stakeholder, khususnya Balai TNGC, kepada LMDK terlihat lebih intensif dibandingkan kepada Kompepar, sehingga diharapkan proses pengembangan masyarakat akan berjalan lebih baik. Dari kedua contoh kasus yang telah diuraikan dapat dikatakan bahwa baik peningkatan kapasitas masyarakat maupun dukungan kebijakan berupa pembentukan Model Desa Konservasi (seperti tersaji pada Tabel 69) sudah mengarah kepada perubahan sikap masyarakat, namun belum sepenuhnya dapat merubah tingkah lakudan budaya yang mengarah pada kemandirian masyarakat dalam memecahkan serta mengevaluasi permasalahan yang terjadi dalam kelompoknya. Proses pembangunan komunitas (community building) Kompepar masih belum
berhasil,
dimana
hal
tersebut
dicirikan
diantaranya:
1)
usaha
pembangunan Kompepar yang masih mendasarkan pada obyek perubahan dan bukan sebagai subjek pelaku perubahan dan modal sosial, 2)
belum
dilakukannya penguatan hubungan antar Kompepar dengan masyarakat lainnya, 3)belum dilakukannya upaya yang membantu memperlancar proses komunikasi satu kelompok masyarakat satu dengan yang lain 4) belum dilakukan upaya untuk membantu usaha untuk menyelesaiakan atau jika bisa menghindari masalah perpecahan, pengasingan
dan individualisme, serta 5) belum
menjadikan Kompepar sebagai sebuah kelompok yang mandiri, melakukan perbaikan terus menerus secara bersama sama baik secara individu maupun kelompok dengan prinsip saling percaya. Program pengembangan masyarakat yang telah diimplementasikan pada masyarakat desa penyangga belum mengarah pada suatu keyakinan bahwa
217
pengembangan pembangunan masyarakat pada dasarnya adalah suatu perubahan pandangan, pemikiran, sikap dan tingkah laku bersama seluruh anggota masyarakat menuju pada keswadayaan dan kemandirian. Kompepar adalah salah satu kelompok yang dipandang oleh stakeholder sudah cukup berhasil, sehingga seringkali menjadi contoh bagi kelompok-kelompok lainnya. Padahal setelah digali lebih mendalam, banyak hal yang sebaiknya dibenahi agar dapat mencapai transformasiyakni pendekatan yang lebih melihat masyarakat kecil, lemah dan tidak berdaya tersebut sebagai masyarakat yang telah menunjukkan
kemampuan
luar
biasa
dalam
pergulatan
hidup
melawan kemiskinan mereka. Oleh karena itu tidak hanya Kompepar, dan LMDK namun masyarakat desa penyangga tidak perlu dikasihani. Mereka hanya perlu diberi motivasi, kesempatan, pengetahuan serta ketrampilan sehingga mereka lebih
mampu
merencanakandan
mengembangkan
potensi yang
mereka
miliki.Dalam kondisi yang demikian akan jauh lebih baik dan secara obyektif diakui bahwa program pendampingan dibuat oleh orang luar, tetapi untuk diterimanya
oleh
masyarakat
dilakukan
melalui
proses
pemahaman
dengan Keputusan Ada di Tangan Masyarakat. Wilson (Mardikanto 2010) mengemukakan bahwa dalam suatu kegiatan kegiatan pengembangan masyarakat, pada setiap individu dalam suatu organisasi merupakan suatu siklus kegiatan seperti yang disampaikan dalam gambar 52. Hal ini dapat menjadi acuan bagi stakeholder dalam melaksanakan pendampingan dalam proses pengembangan masyarakat di desa penyangga TNGC, terutama perubahan sikap terhadap upaya-upaya perlindungan TNGC.
218
Keinginan untuk berubah Tumbuhnya kompetensi untuk berubah
Kemauan dan keberanian untuk berubah
Peningkatan efektivitas dan efisiensi pemberdayaan
Kemauan untuk berpartisipasi
Tumbuhnya motivasi baru untuk berubah
Peningkatan Partisipasi
Gambar 52 Siklus pengembanganmasyarakat (Wilson 2004) Tahapan tersebut yaitu : Pertama,, menumbuhkan keinginan pada diri seseorang untuk berubah dan memperbaiki, yang merupakan titik awal perlunya upaya pemberdayaan. Tanpa adanya keinginan untuk berubah dan memperbaiki, maka semua upaya pengembangan masyarakat yang dilakukan tidak akan memperoleh perhatian, simpati, atau partisipasi masyarakat. Kedua,, menumbuhkan kemauan dan keberanian untuk melepaskan diri dari kesenangan dan atau hambatan hambatan-hambatan hambatan yang dirasakan, untuk kemudian mengambil keputusan mengikuti pengembangan pe demi terwujudnya perubahan dan perbaikan yang diharapkan; Ketiga, mengembangkan gkan kemauan untuk mengikuti / mengambil bagian dalam kegiatan pemberdayaan dayaan yang memberikan manfaat atau perbaikan keadaan; Keempat,, peningkatan peran atau partisipasi dalam kegiatan pengembangan pengembangan yang telah dirasakan manfaat/perbaikannya; Kelima,,
peningkatasn efektivitas dan
efisiensi kegiatan
pengembangan pengembangan
masyarakat Keenam,,
peningkatan efektivitas dan efisiensi kegiatan pengembangan pengembangan
masyarakat
219
Ketujuh, peningkatan kompetensi untuk melakukan perubahan melalui kegiatan pengembangan masyarakat yang baru. Dari uraian dan studi kasus pada dua kelompok masyarakat tersebut dapat diambil
suatu
kesimpulan
bahwa
program
pengembangan
masyarakat
hendaknya didasarkan pada : a.
Proses, karena dalam proses sudah mencerminkan prinsipcommunity development. Dalam praktiknya dari proses dilakukan sendiri
oleh
masyarakat, diawasi, dilestarikan oleh masyarakat b.
Berdasarkan pada kebutuhan masyarakat, berdasarkan pada kesepakatan bersama, sehingga masyarakat merasa memiliki program tersebut, dan bukan hanya sekedar hadiah atau bantuan.
c.
Program dilakukan secara kontinyu dan sesuai dengan program yang mendukung, serta adanya pembinaan yang berkelanjutan.
d.
Berorientasi pada
proses dan hasil. Peningkatan sosial ekonomi
masyarakat berupa kesempatan kerja dan pendapatan dapat dicapai melalui program-program pengembangan dan intervensi stakeholder, namun memelihara kondisi ini jauh lebih sulit. Oleh karena itu pendekatan pengembangan
masyarakat
berupaya
untuk
menjaga
kemandirian
masyarakat dengan kondisiyang telah dicapai. e.
Dalam proses pengembangan masyarakat proses dan perencanaan jauh lebih penting daripada hasil. Karena itu yang perlu dilihat adalahproses dan perencanaannya terlebih dahulu, apakah sudah melibatkan masyarakat secara penuh atau belum, baru kemudian melihat hasilnya.
4.7 Implikasi Kebijakan pengelolaan daerah penyangga yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dalam Pasal 45 ayat 4 mengamanatkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerahharus melakukan pengelolaan daerah penyangga melalui; 1) penyusunan rencana pengelolaan daerah penyangga, 2) rehabilitasi, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan dan 3) pembinaan fungsi daerah penyangga. Penyusunan rencana pengelolaan daerah penyangga menjadi agenda penting yang harus menjadi prioritas Balai TNGC dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan melalui instansi teknisnya. Berdasarkan Peraturan
220
Pemerintah tersebut, pengelolaan daerah penyangga mencakup kegiatan yang sangat luas, sehingga pembinaan terhadap fungsi daerah penyangga tentu membutuhkan perencanaan yang baik. Apalagi jika daerah penyangga merupakan wilayah administratif desa-desa seperti kasus pada daerah penyangga TNGC, dimana terdapat 45 desa dengan karakteristik potensi biofisik dan sosial ekonomi masyarakat yang beragam, maka persoalan pengelolaan daerah penyangga menjadi semakin berat. Oleh karena itu dipandang penting untuk membentuk sebuah forum/lembaga pengelola daerah penyangga TNGC yang beranggotakan pihak-pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam pengelolaan daerah penyangga, yaitu Balai TNGC, pemerintah daerah, dunia usaha, LSM, dan pihak lainnya. Dengan adanya lembaga ini maka diharapkan kegiatan pengelolaan menjadi lebih fokus dan terarah, serta lebih proporsional untuk masing-masing desa penyangga. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan daerah penyangga pada hakekatnya adalah pengembangan masyarakat desa yang ditujukan bagi berkembangnya kondisi sosial ekonomi yang lebih maju serta sikap yang lebih baik terhadap konservasi TNGC. Melalui kegiatan ekowisata dan agroforestri, masyarakat daerah penyangga didorong untuk memanfaatkan setiap potensi yang ada pada kawasan taman nasional dalam menemukan berbagai peluang usaha bagi peningkatan pendapatan tanpa mengabaikan faktor kelestarian kawasan TNGC, sehingga akan lebih meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan manfaat TNGC yang akan mempengaruhi sikapnya terhadap konservasi TNGC. Strategi pengembangan ekowisata dan agroforestri yang mampu meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kelestarian kawasan TNGC secara cepat tentunya ingin menjadi pilihan, namun diperlukan prasyarat tertentu
karena
adanya
berbagai
keterbatasan
yang
dimiliki
oleh
stakeholderdalam hal pendanaan, tenaga dan fasilitas. Salah satu prasyarat tersebut adalah mengembalikan peran stakeholderagar lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya. Dengan demikian, maka kontribusi stakeholder terhadap pembinaan masyarakat daerah penyangga tidak tumpang tindih/overlap, dapat saling
bersinergi,
sehingga
berpengaruh
nyata
terhadap
peningkatan
kesejahteraan masyarakat daerah penyangga. Stakeholder yang berperan dalam pengembangan daerah penyangga disajikan pada Gambar 53.
221
PERAN STAKEHOLDER
Fasilitas Ekowisata
BTNGC Disparbud
Penyuluhan
Pendampingan
BP4K
LSM
EKOWISATA
Kontinyuitas Program
BTNGC Disparbud Dishutprop
Dishutprop Dishutbun BP4K BTNGC
Pelibatan Masyarakat
BTNGC Disparbud Dishutprop Dunia usaha LSM
Dishutprop Dishutbun BP4K BTNGC Dunia usaha LSM
AGROFORESTRI
Gambar 53 Peran stakeholder dalam pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga Gambar 53 di atas memperlihatkan pemetaan stakeholder yang berperan penting dalam lima strategi yang diimplementasikan bagi kegiatan ekowisata dan agroforestri. Adanya perbedaan stakeholder dalam pembinaan pada masingmasing strategi, hanya disebabkan adanya perbedaan dalam tugas pokok dan fungsi instansi atau adanya perbedaan kebijakan. Sebagai contoh, penyuluh pada BP4K lebih menitikberatkan pada pembinaan masyarakat bidang pertanian dan kehutanan. Pembinaan terhadap masyarakat di sektor ekowisata, sebaiknya lebihdiperhatikan oleh penyuluh yang terdapat pada kantor Balai TNGC. Perbedaan ini bermanfaat bagi terlaksananya pembinaan yang lebih fokus dan terarah, sehingga lebih memudahkan dalam koordinasi. Kebijakan pengembangan daerah penyangga yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Surat Edaran Mendagri no 660.1/269/V/Bangda tahun 1997 tentang Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional, serta SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam no 44/KPTS/Dj-VI/1997
tentang
Petunjuk
Teknis
Pengembangan
Daerah
Penyangga, memiliki kesamaan mengenai pentingnya pengembangan dan pembinaan terhadap masyarakat yang berada di daerah penyangga kawasan konservasi, meskipun tidak secara rinci menyebutkan pihak mana saja yang memiliki peran dan kewenangan dalam melaksanakan pembinaan tersebut. Kegiatan pengembangan dalam rangka pembinaan daerah penyangga yang dimaksud dalam SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam no
222
44/KPTS/Dj-VI/1997
tentang
Petunjuk
Teknis
Pengembangan
Daerah
Penyangga, secara umum sesungguhnya telah meliputi aspek-aspek yang diperlukan dalam mengembangkan suatu daerah penyangga, yaitu peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, rehabilitasi lahan, peningkatan produktifitas lahan, dan kegiatan lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hanya saja pada kenyataannya, ketika stakeholder yang terlibat dalam pengembangan daerah penyangga menggunakan aturan ini dalam implementasi di lapangan, maka kendala yang dihadapi adalah adanya kesenjangan program/kegiatan yang digulirkan pada desa-desa penyangga.
Ada desa yang mendapat kucuran
program yang berlebihan hampir setiap tahun, sementara ada desa yang hampir tidak tersentuh oleh program/kegiatan. Sangat penting untuk membuat kriteria mengenai desa-desa penyangga yang
seyogyanya
mendapatkan
prioritas
untuk
dikembangkan,
dengan
pertimbangan potensi, kondisi sosial ekonomi masyarakat, permasalahan yang dihadapi dan kriteria lain yang dapat menjamin adanya perhatian dari stakeholder secara proporsional. Kriteria ini sebaiknya dituangkan dalam bentuk aturan untuk memperkuat posisinya dalam implementasi, karena kriteria yang selama ini digunakan dalam pemilihan desa yang akan dikembangkan masih belum jelas. Desa yang terlihat berkembang dengan masyarakat yang relatif “menurut”, akan lebih banyak mendapatkan program/kegiatan dibanding desa yang lainnya. Oleh karena
itu,
penting
untuk
mereview
kembali
aturan-aturan
mengenai
pengembangan dan pembinaan daerah penyangga yang disesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi taman nasional, wilayah kabupaten, kecamatan dan desa, serta
perkembangan dinamika masyarakat daerah
penyangga dewasa ini. 4.7.1 Pengembangan Ekowisata Menurut Fandeli (2001) pada umumnya tolok ukur keberhasilan pengembangan kepariwisataan dilakukan dengan menggunakan parameter terkuantifikasi, diantaranya adalah parameter jumlah pengunjung, penciptaan peluang kerja termasuk pendapatan pada masyarakat setempat dan pemerintah baik pusat maupun daerah. Namun saat ini perubahan dilakukan ke arah tolok ukur yang sifatnya lokal, tidak hanya kuantitatif namun juga kualitatif,
223
berkeadilan, pemerataan dan mempertimbangkan aspek sosial budaya, ekonomi dan lingkungan di daerah. Pengembangan fasilitas ekowisata ditujukan bagi pengembangan jenis usaha masyarakat baik kuantitas maupun kualitas. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan TN, THR dan TWA, Pasal 4 menyebutkan bahwa luas kawasan yang dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam maksimum 10% dari luas zona pemanfaatan Taman Nasional, blok pemanfaatan Taman Hutan Rakyat dan blok pemanfaatan Taman Wisata Alam yang bersangkutan. Luas zona pemanfaatan indikatif pada TNGC adalah ± 250,63 ha (1,62%), maka berdasarkan PP tersebut luas pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam maksimum adalah sekitar 25 ha. Dengan luasan yang terbatas ini, maka pengembangan fasilitas harus dilakukan dengan prioritas. Kriteria dapat dibangun salah
satunya
dengan mempertimbangkan tingkat urgensinya
berdasarkan kebutuhan wisatawan. Ekowisata merupakan kegiatan yang bermodalkan kondisi dan kualitas alam. Sementara kualitas alam yang bagus dan merupakan atraksi wisata alam pada umumnya memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Apabila kualitas alam berubah secara langsung akan berpengaruh terhadap ekowisatawan, sebab kepuasan ekowisatawan yang berwisata ke alam sangat ditentukan oleh terjaga atau tidaknya kondisi alam sebagai atraksi wisata. Oleh karena itu kondisi hutan yang terjaga dan lestari merupakan prasyarat penting bagi pengembangan ekowisata, dan menjamin sektor ekowisata yang berkelanjutan. Berkaitan dengan aspek lingkungan, salah satu perbedaan penting antara mass tourism dan green tourism (ekowisata) adalah pada mass tourism, tenaga kerja berasal dari luar, tenaga kerja dari pertanian terserap ke pariwisata, serta masyarakat terbebani dengan social cost, sedangkan pada green tourism, tenaga kerja berasal dari daerah setempat, sektor pertanian akan semakin kuat serta pelaku pariwisata terbebani biaya mengkonservasi lingkungan. Biaya mengkonservasi lingkungan dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan yang diberikan bagi perlindungan dan kelestarian kawasan oleh semua unsur pemanfaat TNGC, baik pengelola, pengunjung dan masyarakat yang berusaha di sektor wisata. Upaya peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat di sektor ekowisata membutuhkan perhatian dan bantuan pihak lain (stakeholder).
224
Hal ini karena masyarakat daerah penyangga mempunyai berbagai keterbatasan seperti pendidikan, ketrampilan, modal, akses kepada pasar, dan lainnya. Begitu juga dengan kebutuhan stakeholder terhadap pengembangan sektor ekowisata, seharusnya terjadi timbal balik yang saling menguntungkan. Berdasarkan potensi yang telah dimiliki masyarakat, maka kontribusi stakeholder dapat lebih terarah dalam pengembangan usaha masyarakat, diantaranya untuk menyediakan modal bagi perluasan jenis dan jumlah usaha masyarakat di sektor ekowisata, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas produk dan jasa seperti ketrampilan pembuatan souvenir khas TNGC, ketrampilan pengelolaan outbond, pemasaran usaha, dan ketrampilan lainnya, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
terutama
peningkatan
pembinaan
yang
kontinyu
terhadap
masyarakat yang bekerja di ekowisata. Peluang bekerja bagi sebagian besar masyarakat bukan hanya berpeluang meningkatkan pendapatan, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan harga diri bagi individu atau keluarga dalam kedudukannya di masyarakat. Harapan pemerintah daerah terhadap pengembangan ekowisata TNGC adalah adanya kontribusi langsung pengelolaan ekowisata terhadap pendapatan asli daerah (PAD) serta peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat setempat. Selain itu melalui pengembangan produk dan jasa ekowisata, dapat meningkatkan kunjungan wisatawan ke TNGC yang diharapkan dapat mempromosikan potensi daerah baik pada tingkat nasional maupun internasional
(wawancara
dengan
Dinas
Pariwisata
dan
Kebudayaan
2011).Peningkatan kesempatan kerja merupakan faktor utama khususnya di Kabupaten Kuningan, karena angka pengangguran di Kabupaten Kuningan terus berfluktuasi. Pada tahun 2004 tercatat angka pengangguran sebesar 3,61%, meningkat tajam pada tahun 2005 menjadi sebesar 4,49%. dan puncaknya terjadi pada tahun 2008 yang mencapai angka sebesar 5,79%(BPS kabupaten Kuningan).Berdasarkan prediksi Bappeda Kabupaten Kuningan (2010), Jumlah pengangguran di Kabupaten Kuningan untuk tahun 2011-2013 akan mengalami pertumbuhan sebesar 0,8%, dimana 66% pencari kerja yang telah mendaftar berpendidikan SLTA, dan 4% yang berpendidikan SD. Akses terhadap informasi merupakan faktor yang sangat penting bagi masyarakat. Pelaporan dan pemberitaan jarang sekali menyebutkan mengenai jenis-jenis usaha informal skala kecil di sektor ekowisata. Yang muncul seringkali
225
bidang-bidang pekerjaan dalam skala besar, yang dimiliki pemodal besar seperti perhotelan, restoran besar, agen-agen wisata, pengusaha pakaian/factory outlet, dan bidang pekerjaan lainnya. Oleh karena itu sangat penting bagi stakeholder untuk meningkatkan akses bagi masyarakat daerah penyangga TNGC dan memfasilitasi mereka untuk memasuki pekerjaan-pekerjaan di sektor ekowisata. Akses tersebut termasuk informasi, modal finansial, pendidikan/pelatihan dan infrastruktur yang mudah diperoleh masyarakat yang bekerja di sektor ekowisata khususnya dan masyarakat daerah penyangga pada umumnya. 4.7.2 Pengembangan Agroforestri Agroforestri sangat potensial untuk dikembangkan pada lahan tegalan, ladang, kebun dan pekarangan milik masyarakat daerah penyangga. Promosi terhadap sistem ini sangat penting dilakukan, selain memberikan manfaat ekonomis yang cukup signifikan, juga mengingat fungsi lahan untuk budidaya dan lindung pada tujuh kecamatan yang termasuk dalam daerah penyangga TNGC yaitu seluas 904,54 ha termasuk dalam kategori sangat kritis 0,72%, kritis sebesar 18,13%, kategori agak kritis mencapai 64,93% dan potensial kritis sebesar 16,22%. Namun kepemilikan lahan masyarakat yang sempit (rata-rata 0,1-0,3/KK) menjadi kendala dalam pengembangan agroforestri. Luasnya
zonarehabilitasi
yang
mencapai
4.487,95
ha
(rencana
rehabilitasi pada kawasan TNGC 2012), merupakan salah satu potensi untuk masyarakat dapat berperan serta dalam kegiatan rehabilitasi (restorasi kawasan), melalui penanaman pohon endemik taman nasional, termasuk buahbuahan endemik yang bernilai ekonomis bagi masyarakat.Kesempatan ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 42 ayat 1 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat. Sebagai contoh pelaksanaan peranserta masyarakat dalam kegiatan penanaman dengan pola tumpangsari yaitu pada zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) yang sudah berlangsung selama13 tahun (dimulai pada tahun 1999), seluas sekitar 4.000 ha.Jenis tanaman yang ditanam terdiri dari tanaman keras Multi Purpose Tree Species (MPTS) seperti petai, nangka, durian dan rambutan, tanamankemiri (Aleurites moluccana), pakem (Pangium edule)dan kedawung (Parkia timoriana), serta tanaman dibawah tegakan seperti kunyit, jahe dan cabe jawa. Masing-masing anggota masyarakat mendapatkan
226
kesempatan untuk merehabilitasi lahan rata-rata seluas 0,250 ha. Pendapatan masyarakat dari tanaman semusim buah-buahan rata-rata sebesar Rp 1.635.000 per tahun dan dari tanaman di bawah tegakan rata-rata Rp 500.000 per tahun. Pendapatan yang diperoleh masyarakat dari kegiatan tersebut rata-rata sekitar Rp 7.375.000 per tahun (Garsetiasih 2012). Tambahan pendapatan akan diperoleh masyarakat apabila diberikan kesempatan untuk berperanserta dalam merehabilitasi kawasan TNGC melalui penanaman MPTS dan tanaman dibawah tegakan yang endemik TNGC.Juga penanaman rumput pakan ternak untuk mencukupi kebutuhan pakan ternak sapi dan kambing yang banyak dimiliki oleh masyarakat daerah penyangga. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hendaknya tidak hanya dalam bentuk pembibitan, persemaian dan keiatan penanaman, melalui sistim upah. Namun lebih jauh masyarakat diberi peran untuk bersama-sama merasa memiliki
terhadap
kawasan
dengan
cara
memberi
kesempatan
untuk
mendapatkan hasil yang berkelanjutan dari pohon-pohon buah, tanaman dibawah tegakan serta pakan ternak. Dengan demikian maka masyarakat akan dapat melindungi kawasan secara sadar dan sukarela, karena didalamnya terdapat sumber pendapatan bagi mereka. Untuk menghindari adanya “pelegalan” kawasan TNGC oleh masyarakat yang berperanserta dalam rehabilitasi kawasan ini dikemudian hari, maka harus ada perjanjian kerjasama (MOU) antara pihak Balai TNGC dan masyarakat. Perjanjian ini harus memiliki dasar hukum yang kuat dan diketahui oleh pihak desa, atau atas nama desa, sehingga pihak desa dapat ikut serta memantau kegiatan masyarakat. Seperti halnya di Taman Nasional Meru Betiri, MOU antara pihak Balai TNMB dan masyarakat diwakili oleh Sekretaris Desa. Dalam kegiatan ini, peran LSM dan penyuluh menjadi penting untuk mendampingi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 69 ayat 2 UU no 41 tahun 1999, yang menyebutkan dalam melaksanakan rehabilitasi hutan, masyarakat dapat meminta pendampingan, pelayanan dan dukungan kepada LSM, pihak lain atau Pemerintah. Kebijakan pada agroforestri sesungguhnya tidak bersifat pengaturan pada land tenure, dan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan keinginan masyarakat, karena agroforestri diusahakan pada lahan milik masyarakat. Namun demikian, karena letaknya di daerah penyangga taman nasional, ada beberapa pengaturan penggunaan lahan yang disesuaikan dengan tujuan kelestarian taman nasional
227
sekaligus memberikan sumbangan peningkatan sosial ekonomi masyarakat. Kebijakan tersebut diantaranya adalah pola penggunaan lahan, terutama pada lahan dengan kemiringan yang rawan terhadap erosi, maka masyarakat didorong untuk menanam pohon berkayu. Pada masyarakat di tiga desa sampel, kebijakan hanya bersifat memberikan alternatif penyelesaian permasalahan pada usaha agroforestri masyarakat, seperti pemilihan jenis tanaman, pengelolaan tanaman, pengaturan hasil, dan pemasaran. Jenis-jenis yang ditanam pada lahan agroforestri masyarakat selain tanaman yang disukai, juga dapat dilakukan pengayaan jenis tanaman yang potensial. Jenis tanaman ini plasma nutfahnya berasal dari hutan TNGC yang dapat
dikembangkan
pada
lahan
agroforestri
seperti
jenis
pohon
Saninten(Castanopsis javanica) dan pasang (Lithocarpus sundaicus). Jenis tanaman hias yang dapat dikembangkan adalah Nephenthes gymnaflora yang merupakan anggota dari suku kantong semar (Nepenthaceae) dan jenis-jenis anggrek. Jenis tanaman obat yang sudah dibudidayakan masyarakat, namun baru sebatas ditanam pada tanah pekarangan adalah jenis katumbel dan merah darah.Pengembangan terhadap tanaman di bawah tegakan seperti nilam, jahe, laja, kunyit, lada dan iles-iles/porang, buah-buahan lokal unggulan juga dapat dikembangkan melalui pola agroforestri. Penanaman tanaman pakan ternak juga dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak bagi desa-desa yang memiliki potensi ternak sapi dan kambing yang cukup banyak, yaitu Desa Cisantana, Desa Pajambon, Desa Karangsari serta Desa Seda. Dari segi ekonomi, program/kegiatan yang dapat digulirkan oleh stakeholder dapat berupa insentif dan fasilitas kredit, berupa pinjaman dana bergulir, serta pembinaan terhadap petani agroforestri dalam hal manajemen pemasaran. Meskipun dari segi pasar lokal dan regional sudah terdapat peluang. Namun diperlukan bantuan arahan dalam hal mekanisme pemasaran, sehingga investasi masyarakat dari menanam pohon, akan memperoleh pengembalian yang cukup. Agroforestri yang diusahakan oleh masyarakat daerah penyangga TNGC lebih merupakan sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga, yaitu melalui hasil produksi dari agroforestri tersebut. Tidak berarti bahwa petani subsisten tidak berfikir dalam biaya dan penerimaan. Namun yang dimaksud adalah tidak dalam bentuk pengeluaran biaya tunai, tapi dalam kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi dalam kegiatan adat.
228
Peningkatan frekuensi penyuluhan secara langsung dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat. Berbekal ilmu dan ketrampilan yang lebih meningkat, masyarakat dapat lebih efisien dalam mengelola lahan, sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman agroforestri. Penyuluhan yang berdampak signifikan terhadap peningkatan pengetahuan masyarakat memiliki kriteria dan prasyarat tertentu sesuai dengan kaidah penyuluhan yang meliputi materi dan teknik penyuluhan. Penyuluhan yang telah diprogramkan oleh Balai P4K sudah sangat baik dalam hal perencanaan, dimana satu orang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) mempunyai wilayah kerja satu hingga dua desa, dan satu orang Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL) memiliki wilayah kerja satu hingga dua kecamatan karena keterbatasan sumberdaya manusia. Kendala dalam agroforestri adalah permasalahan kewenangan dalam memberikan pembinaan terhadap petani agroforestri. Pembinaan petani dalam pengelolaan tanaman pertanian semestinya dilakukan oleh dinas pertanian, dan pembinaan terhadap tanaman kehutanan oleh dinas kehutanan. Namun dalam kenyataan, petani agroforestri tidak tersentuh oleh dinas pertanian. Pembinaan terhadap petani agroforestri hanya dilakukan oleh BP4K melalui PPL. Namun itupun sangat terbatas karena faktor pengetahuan dan sumberdaya PPL (hasil wawancara dengan penyuluh 2011). Berdasarkan hasil wawancara, petani sesungguhnya masih sangat memerlukan penyuluh sebagai tempat bertanya dalam mengatasi permasalahan petani. Meskipun ada juga petani yang merasa kehadiran penyuluh tidak banyak membantu karena mereka merasa lebih mengetahui seluk beluk tanaman dibanding penyuluh. Sangat disadari bahwa terdapat keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan PPL dalam menguasai berbagai jenis tanaman pertanian. Kondisi di lapangan, pada satu bidang lahan agroforestri rata-rata terdapat lebih dari tiga jenis tanaman pertanian. Sebagai contoh di desa Karangsari, petani sampel dengan lahan agroforestri seluas satu bata (sekitar 0,1428 ha) menanam cabe rawit dan jagung sebagai tanaman utama, ketela pohon sebagai tanaman pagar, beberapa pohon pisang dan kopi, serta sengon dan kayu afrika. Ada juga yang bertanam padi huma sebagai tanaman utama diselingi tanaman lada, tanaman buah-buahan serta pinus dan waru. Seandainya dalam satu desa terdapat 50 orang petani agroforestri, dan setiap petani menanam dua jenis saja tanaman pertanian yang berbeda, maka seorang PPL harus menguasai 100 jenis tanaman.
229
Berbeda dengan jenis tanaman kehutanan yang relatif homogen dan tidak banyak jenisnya. Sebagai contoh jenis yang ditanam masyarakat desa Karangsari hanya berkisar pada tujuh jenis, yaitu sengon, suren, mahoni, kayu afrika, pinus, waru, manglid dan jati. Bibit tanaman kehutanan biasanya cukup mengambil dari sekitar desa (tidak membeli), sehingga masyarakat cenderung untuk menanam jenis tersebut.
Penguasaan pengetahuan dan ketrampilan
terhadap jenis tanaman kehutanan tersebut lebih mudah dilakukan oleh PKL. Kendala yang dihadapi justru pada terbatasnya jumlah PKL, yaitu satu orang PKL memiliki wilayah binaan satu hingga dua kecamatan, sehingga frekwensi pertemuan dengan petani juga terbatas. Namun sesungguhnya, berdasarkan skenario optimis, dengan frekwensi penyuluhan 2 bulan sekali, sudah cukup signifikan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dari agroforestri. Penguasaan PPL dan PKL terhadap teknik penyuluhan sesungguhnya tidak diragukan. Karena sebagian besar berpendidikan Sarjana dan telah mendapat bekal ilmu penyuluhan (Buku Laporan BP4K 2010). Namun karena permasalahan di lapangan begitu kompleks dan lebih cepat berkembang, maka diperlukan kesungguhan para penyuluh untuk selalu meng up date pengetahuan dan meng up grade kemampuan, sehingga PPL dan PKL memiliki kemampuan untuk mengajak masyarakat menerapkan pengetahuan dan ketrampilan terkini tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal. Penerapan hasil-hasil penelitian yang melibatkan
petani
secara
aktif
dapat
difokuskan
pada
masalah
yang
berhubungan dengan jenis tanaman, tempat tumbuh, metode penanaman, memelihara dan pengaturan pohon. Kehadiran seorang penyuluh terkadang diperlukan sebagai motivator bagi petani dalam menghadapi permasalahan dan dalam pengembangan usaha. Pesan inti dari World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg adalah bahwa tidak ada solusi “peluru perak” yang ada untuk mengurangi baik kemiskinan maupun kerusakan sumberdaya alam. Mendukung langkah-langkah praktis dengan berbagai pertimbangan diperlukan untuk menekan masalah-masalah tersebut. Meskipun demikian sebagian besar pengembangan masyarakat internasional melanjutkan untuk menganggap bahwa penurunan kemiskinan dapat dan akan menjamin keberlanjutan lingkungan.
230
BAB V.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan 1.
Sebagian besar masyarakat daerah penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani dengan tingkat pendidikan tamat Sekolah Dasar. Sebagai bentuk pemanfaatan potensi TNGC, kondisi sosial ekonomi masyarakat dapat ditingkatkan melalui alternatif pekerjaan di sektor ekowisata, yang saat ini memberikan kontribusi pendapatan sebesar 41% dari total pendapatan, serta melalui kegiatan agroforestri yang saat ini memberikan kontribusi sebesar 56,29% dari total pendapatan. Dengan adanya manfaat yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dari keberadaan TNGC, maka akan dapat meningkatkan sikap dan perilaku masyarakat terhadap upaya konservasi TNGC.
2.
Berkurangnya luas penutupan hutan TNGC sekitar 42,54%, belum efektifnya implementasi kebijakan pada pengelolaan daerah penyangga taman nasional, permasalahan hilangnya mata pencaharian dan berkurangnya pendapatan masyarakat setelah ditetapkannya kawasan menjadi taman nasional TNGC, karena tidak lagi dapat menggarap lahan dalam kawasan TNGC. Kurangnya dukungan masyarakat terhadap konservasi TNGC karena kurangnya manfaat yang langsung dirasakan dari keberadaan TNGC, merupakan permasalahan penting yang dapat mempengaruhi keberhasilan upaya konservasi TNGC
3.
Potensi ekowisata dan agroforestri dapat menyediakan kesempatan kerja bagi masyarakat daerah penyangga. Pengembangan sektor ekowisata dapat dilakukan melalui pengembangan jenis usaha yang berbasis pada potensi sumberdaya alam yang ada di wilayah desa penyangga, serta potensi ketrampilan masyarakat desa penyangga berdasarkan demand wisatawan, seperti berbagai jenis pohon-pohonan yang dapat dijadikan bahan baku pengembangan sarana dan produk ekowisata, berbagai hasil pertanian dan peternakan masyarakat yang dapat menjadi produk unggulan desa. Pengembangan
agroforestri
dapat
dilakukan melalui
pengembangan
berbagai spesies tanaman pertanian dan kehutanan unggulan (disukai masyarakat dan bernilai ekonomis) sesuai demand konsumen kayu,
231
pengayaan berbagai jenis pohon ekonomis endemik TNGC seperti Saninten, serta pengembangan agroforestri sebagai obyek agrowisata. 4.
Strategi pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC dilakukan melalui; a. Peningkatan peran stakeholder dalam pendampingan masyarakat yang ditujukan bagi program penyuluhan pada ekowisata dengan fokus pelayanan pengunjung dan pengembangan usaha, sedangkan pada agroforestri yaitu ketrampilan teknik penanggulangan hama dan penyakit, peningkatan produksi jenis tanaman unggulan dan pemasaran hasil, program pendampingan kelompok di desa dengan fokus pada fasilitasi usaha
produktif
sektor
wisata
dan
peningkatan
nilai
tambah.
Keberlanjutan program dengan fokus pada permodalan dan pelatihan peningkatan usaha wisata dan agroforestri, serta pelibatan masyarakat yang lebih merata dengan prioritas pada masyarakat yang belum pernah dilibatkan dalam program. b. Perubahan pendekatan dalam pengembangan masyarakat dari semula memandang masyarakat sebagai pihak lemah dan tidak mampu memecahkan masalahnya (bersifat sosio karikatif dan sosio ekonomis) menjadi pendekatan yang lebih berorientasi pada perubahan sikap, tingkah laku an budaya masyarakat yang mengarah kepada kemandirian masyarakat (bersifat sosio transformatif). c. Review terhadap kebijakan yang mendukung pengelolaan daerah penyangga, khususnya pengembangan sosial ekonomi masyarakat, diantaranya adalah peran masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi kawasan TNGC yang lebih mendatangkan manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat, serta penentuan desa-desa daerah penyangga yang mendapatkan
prioritas
pengembangan
yang
disesuaikan
dengan
perkembangan kondisi potensi sumberdaya alam serta sosial ekonomi masyarakat desa yang bersangkutan. 5.2 Saran 1.
Pengelolaan daerah penyangga TNGC seyogyanya menjadi prioritas bagi stakeholder, karena adanya berbagai keterbatasan akses yang dimiliki oleh masyarakat dan kepentingan kelestarian kawasan TNGC.
232
2.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang bekerja di ekowisata dapat ditingkatkan dengan cara memperluas informasi mengenai pekerjaan sektor informal yang selama ini digeluti oleh masyarakat, seperti pemanduan wisata, pengelola outbond, dan lain-lain.
3.
Besarnya belanja pengunjung saat ini masih dapat ditingkatkan melalui perluasan usaha akomodasi yang diminati ekowisatawan, untuk itu agar dapat mempertahankan dan meningkatkan demand pengunjung, maka perbaikan dan pengembangan fasilitas ekowisata harus menjadi prioritas stakeholder terkait.
4.
Jika hasil pada skenario optimis menjadi pilihan, maka peran stakeholder dalam
pengembangan
ekowisata
dan
agroforestri
adalah
melalui
peningkatan frekuensi penyuluhan minimal enam kali per tahun, jumlah kelompok pendampingan minimal tiga kelompok per desa, program-program dari stakeholder dilakukan secara kontinyu minimal tiga kali per tahun, serta jumlah masyarakat ditingkatkan sebesar tiga kali dari kondisi saat ini. 5.
Kelestarian TNGC akan tercapai apabila terdapat multiplier effect berupa meningkatnya kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat serta meningkatnya dukungan terhadap konservasi TNGC secara simultan pada daerah penyangga TNGC. Oleh karena itu model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga dengan ketiga variabel tersebut dapat diimplementasikan pada daerah penyangga taman nasional lainnya, dengan memperhatikan karakteristik wilayah dan masyarakatnya.
6.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam proses pengembangan masyarakat agar menuju pendekatan yang bersifat sosio transformatif yaitu lebih memperhatikan proses daripada hasil, serta pendampingan yang sistematis dan sistemik pada masyarakat melalui kegiatan ekowisata dan agroforestri dengan memberi akses ilmu pengetahuan dan teknologi, akses modal dan akses terhadap sumberdaya alam, sehingga terjadi perubahan sikap, tingkah laku, pandangan dan budaya, yang mengarah pada kemandirian masyarakat daerah penyangga.
7.
Keterbatasan kepemilikan lahan usaha tani masyarakat dapat diatasi dengan cara memberikan kesempatan pada masyarakat berperan serta dalam pelaksanaan rehabilitasi kawasan TNGC pada zona rehabilitasi melalui penanaman tanaman MPTS dan tanaman pakan ternak yang bernilai ekonomis bagi masyarakat secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Afiff, S. 2005. Tinjauan Atas Konsep Tenure Security Dengan Beberapa Rujukan Pada Kasus-Kasus di Indonesia. Tulisan di Wacana Edisi 20, Tahun VI 2005, halaman: 225-247. Afifudin, Y. 2006. Penilaian Ekonomi Agroforest Tembawang di Kabupaten Sintang dan Sanggau Propinsi Kabar. Thesis IPB. Tidak dipublikasikan. ______. 1999. Demokrasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (Prociding Lokakarya Reformasi Hukum di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam). Indonesia Center for Environmental Law (ICEL). Jakarta. Alikodra, H.S. 2011. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Suatu Upaya untuk Menyelamatkan Bumi dari Kerusakan. UGM Press. Jogyakarta. ______. 1998. Daerah Penyangga Taman Nasional dalam Satu Sistem Pengembangan Konsep ICDP. Makalah disampaikan pada Seminar daerah Penyangga, 16 Oktober 1998. Taman safari, Cisarua Bogor. Anonim. 2010(a). Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Taman Nasional Gunung Ciremai Tahun 2011 – Tahun 2015. Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan. ______. 2010(b). Dokumen Teknis Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kuningan Tahun 2011-Tahun 2030. Bapeda Kabupaten Kuningan. Kuningan. ______. 2008. Kuningan dalam Angka. Bapeda Kabupaten Kuningan. Kuningan. ______. 2005. Nota Perjanjian Kemitraan Nomor: S 2558/IV-K.12/2005 (BKSDA Jawa Barat II) jo Nomor: 02/Poktapepar/07/2005 (Poktapepar desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan, tentang Pengelolaan Hutan Lembah Cilengkrang melalui sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai. ______. 2004. TOT Substansi Social Forestry. Departemen Kehutanan-Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan. Bogor. ______. 2003. Peraturan Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan. ______. 2001. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan RI. Jakarta. ______. 2000. Pedoman Survei Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI. Jakarta.
234
______. 1999. Garis Besar Pedoman Pengembangan Ekowisata Indonesia. Direktorat Jenderal Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya. Jakarta. Arikunto, S. 1995. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta, PT. Jakarta. Arjunan, M, Christopher Holmesb, Jean-Philippe Puyravaudc, Priya Davidara. 2005. Do developmental initiatives influence local attitudes toward conservation? A case study from the Kalakad–Mundanthurai Tiger Reserve, India. Journal of Environmental Management 79 (2006) 188– 197 Baral, N and Heinen, J. 2007. Resources use, Conservation Attitudes, Management Intervention and Park-People Relations In The Western Terai Landscape of Nepal. Journal of Environmental Conservation: page 1 of 9 © 2007 Foundation for Environmental Conservation. Barkin, D. 2000. Local Governance : A Model of Sustainable Rural Resources Management for the Third World. Journal of International Agricultural Resources, Governance and Ecology, 1 (1):43-45. Barrett, B.C, David R. Lee and John G. Mcpeak. 2005. Institutional Arrangements for Rural Poverty Reduction and Resource Conservation. Journal of World Development Vol. 33, No. 2, pp. 193–197. NY, USA. Basuni, S. 2003. Inovasi Institusi untuk Meningkatkan Kinerja Daerah Penyangga Kawasan Konservasi (Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat). Disertasi Program Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Beard, V. A. 2007. Household Contributions to Community Development in Indonesia. Journal of World Development Vol. 35, No. 4, pp. 607–625, 2007 Bentley, WR. 2001. Penerapan Ilmu Sosial dalam Agroforestri di Asia (terjemahan) Social Science Aplications In Asian Agroforestry. IPK-IPB. Bogor. Berger, R. 1990. Malaysia’s Forests, A Resources Without a Future. Packard Publishing Limited. Chichester. Bessant, C.K. 2005. Community Development Corporations as Vehicles of Community Economic Development: The Case of Rural Manitoba. COMMUNITY DEVELOPMENT: Journal of the Community Development Society, Vol. 36, No. 2, 2005 Boedojo. 1986. Arsitektur, Manusia, dan Pengamatannya. Jakarta. Penerbit Djambatan. Bowen, Glenn A. 2005. Local-Level Stakeholder Collaboration: A Substantive Theory of Community-Driven Development. Journal of the Community Development Society, Vol. 36, No. 2, 2005.
235
Bhattacharyya, Jnanabrata. 2004. Theorizing Community Development. Journal of the Community Development Society Vol. 34 No. 2 2004 Brockman, Christian FrankF. 1973. Recreational Use of Wild lands. McGraw-Hill Inc. New York Brown, Les. 1987. London.
Conservation and Practical Morality.
MacMillan Press.
Burch, Jr., WR and JK. Parker. 1992. Social Science Applications in Asian Agroforestry. Winrock International, USA and South Asia Books, USA. Cernea, M. 1988. Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan, VariabelUniversitas variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. Indonesia. Jakarta. Chase, LC, David R, Lee, William D.Schulze, Deborah J.Anderson. 1998. Ecotourism Demand and Differential Pricing of National Park Access in Costa Rica.. Journal of Land Economics. November 1998,74 (4) : 46682. Daoutopoulos, G, and Pyrovetsy, M. 1999. Conservation education in Greece. Management (1999) 56, 147 – 157.
Farmer Needs for Nature Journal of Environmental
Damanik J, and Weber HF. 2006. Perencanaan Ekowisata dari Teori ke Aplikasi. Andi. Yogyakarta. Davey, GA. 1998. National System Planning for Protected Areas. University – IUCN (The World Conservation Union).
Cardiff
Daley, J. M. & J. Angulo. 1990. People-centered community planning. Journal of the Community Development Society 21(2): 288-103. De Janvry, A. and Sadoulet, E. 2001. Income Strategies Among rural Households in Mexico: The Role of Off-farm Activities. Journal of World Development Vol. 29, No. 3,pp 467-480. Devall, B. 1990. Simple in Means Rich in Ends : Practising Deep Ecology. Green Print. London. Dewobroto, K.K, Kartiko, K.Kadarsin, M. Soekarno dan Soemarsono. 1995. Kamus Konservasi Sumberdaya Alam. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta Djatmiko, W. dan Firmansyah, R. 2004. Membangun Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Pustaka Latin. Bogor. Djogo, Tony, Sunaryo, Didik Suharjito, dkk. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Agroforestry. World Agroforestry Centre (ICRAF) Bogor.
236
E. Earle Reybold and Ray V. Herren. 1999. Education and Action In magnoloia Community : Rethinking Community Development. Journal of the Community Development Society Vol. 30 No 1 1999. Eriyatno, dan Sofyar, F. 2007. Riset Kebijakan, Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor. Esther Farmer. 2005. Community Development as Improvisational Performance: A New Framework for Understanding and Reshaping Practice. Journal of the Community Development Society, Vol. 36, No. 2, 2005 Fandeli, C. 2001. Perencanaan Kepariwisataan Alam. PT Perhutani Persero dan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta FAO.
1982. National Conservation Plan For Indonesia. National Park Development Project INS/78/061. Bogor.
Fennell, D.A. 1999. Ecotourism an Introduction. Routledge London Gary E. Machlis and David L.Tichnell. 1985. The State of The World’s Parks. Westview Press. London. Garsetiasih, R. 2012. Manajemen Konservasi Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) dengan Masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB.. Tidak dipublikasikan. Ghee, L.T. dan Gomes A.G. 1993. Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Grimble, R. dan Man-Kwan Chan. Stakeholder Analysis for Natural Resources Management Developing Countries; Some Practical Guideline for Making management More Participatory and Effective dalam Suporahardjo. 2005. Manajemen Kolaborasi Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Pustaka Latin. Bogor. Gunn and Clare A. 1988. Tourism Planning. Taylor & Francis. London. H de Foresta, A Kusworo, G Michon dan WA Djatmiko. 2000. Ketika kebun berupa hutan -Agroforest khas Indonesia - Sumbangan masyarakat bagi pembangunan berkelanjutan. International Centre for Research in Agroforestry. Bogor. Indonesia. Haeruman, H. 1982. Analisis Dampak Lingkungan bagi Penentuan Kebijaksaan Pemerintah dalam Pembangunan Nasional. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Hairiah, K., M.A. Sardjono dan S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestri. World Agroforestry Centre. Bogor. Indonesia.
237
Har Darshan Kumar. 1999. Biodiversity and Sustainable Conservation. Science Publishers, Inc. USA. Hardjasoemantri, K. 1999. Press. Jogyakarta.
Hukum Tata Lingkungan. Gajah Mada University
Hardjosentono, H.P. 1978. Kata Sambutan, dalam Soewardi, Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik. Seameo Biotrop. Bogor. Hempel, L.C. 1996. Environmental Governance : The Global Challenge. Island Press. Washington DC. Heriawan. 2006. Implementasi Reformasi Agraria Dari Perspektif Dukungan Penyediaan Data dan Informasi Statistik. Makalah pada Simposium Agraria Nasional 4 Desember 2006 di Makasar. Herimanto dan Winarno. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Bumi Aksara. Jakarta. Hibbard, M and Chin Chun Tang. 2004. Sustainable Community Development : A Social Approach From Vietnam. Community Development Society Vol. 35 No. 2, 2004. Hikmat, H. 2006. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung. Holden, S, bekele Shiferaw, John Pender. 2004. Non-farm Income, Household Welfare, and Sustainable Land Management in a Less-Favoured Area inThe Ethiopian Highlands. Food Policy 29 (2004) 369–392. www.elsevier.com/locate/foodpol. Ichsan, IM. 2007. Analisis Interaksi Masyarakat Desa dengan Hutan : Studi kasus di Desa Sirnarasa kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Thesis S2 ITB. Tidak dipublikasikan. Ife, Jim. 2002. Community Development, Community-based alternatives in an age of globalization. Pearson Education Australia. Ife, Jim., Tesoriero, Frank. 2008. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Community development. Pustaka Pelajar. Irawan dan Soeparmoko, M. 1990. Ekonomi Pembangunan. BPFE. Yogyakarta. Iskandar, J. 2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan. Humaniora Utama Press Bandung. Bandung. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 1994. Guidelines for Protected Areas Management Categories, IUCN Commissions on National Parks and Protected Areas (CNPPA) – World Conservation Monitoring Centre (WCMC), Gland – Switzerland and Cambridge, UK.
238
Jeffrey C. Bridger and Theodore R. Alter. 2006. Place, Community Development, and Social Capital. Journal of the Community Development Society, Vol. 37, No. 1, Spring 2006 Jones, G.E, Davies B, dan Hussain, S. 2000. Introduction. Blackwell Science. London.
Ecological Economics, An
Ka¨chele and Dabbert, H. 2002. An Economic Approach for a Better Understanding of Conflicts Between Farmers and Nature Conservationists—an Application of The Decision Support System MODAM to The Lower Odra Valley National Park. Journal of Agricultural Systems 74 (2002) 241–255. Germany. Keough, N. 1998. Participatory development principals and practice: Reflections of a western development worker. Journal of Community Development 33 (3): 187-196. Keraf, A.S. 2006. Etika Lingkungan. Kompas Media Nusantara PT. Jakarta. Krech, D and R.S. Crutchfield. 1984. Theory and Problema at Social Psychology. Mc Grawhill Book Company Inc. New York. Krech, D., R.S. Crutchfield and E.L. Ballachey 1962. Individual in Society: A Textbook of Social Psychology. Mc Grawhill Book Company Inc. New York. Machlis, G and Tichnell, D. 1985. The State of The World’s Parks An International Assessment for Resource Management, Policy, and Research. Westview Press. United State of America. MacKinnon, JK. Graham Child dan Jim Thorsell. 1993. Pengelolaan kawasan yang Dilindungi Di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Mangunjaya, FM. 2006. Indonesia. Jakarta.
Hidup Harmonis Dengan Alam. Yayasan Obor
Mardiganto, T. 2010. Model-model Pemberdayaan Masyarakat. Sebelas Maret University Press. Solo. Marimin. 2004. Teknik Aplikasi pengambilan Kriteria Majemuk. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. McGray. 2003. Buffer Zones as A Conservation Strategy: The AMISCONDE Case Journal of Sustainable Forestry, vol 16(1/2) 2003. McNaughton, SJ and Publishing.
Wolf LL. 1979.
General Ecology. Saunders College
Mcneely, J.A. 1995. Expanding Partnerships in Conservation. IUCN – The World Conservation Union. Island Press. Washington D.C.
239
McReynolds, SA. 1998. Agricultural Labour and Agrarian Reform in El Salvador : Social Benefit or Economic Burden ?. Rural Studies, Vol. 14, No. 4, pp. 459-473. Great Britain. Meffe, K.G. and C.R. Carroll. 1994. Principles of Conservation Biology. Sinauer Associates, Inc. Sunderland, Massachusetts. Mitchell, B., Setiawan, B. dan Rahmi, D.H. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Morales, H.R. 1999. Changing Role of Civil Society. Asian Review of Public Administration, XI 1):30-¾. Januari-Juni) 1999. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Mukhtar, Abdullah Syarif. 2008. Kajian Sistem Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional, Laporan Hasil Penelitian. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bogor. Munasinghe, M., & J. McNeely. 1995. Key concepts and terminology of sustainable development.Pp.18-56 in M. Munasinghe & W. Shearer (eds.), Defining and Measuring Sustainability:The Biophysical Foundations. Washington, D.C.: World Bank. Mundayat, AA., Gunawan, Indria, S., Putri, E. 2005. Dinamika Kelembagaan Sstim Informasi Desa. Pustaka LATIN. Bogor. Munggoro, dkk. 2000. Prinsip, Kriteria, Indikator Hutan Kemasyarakatan. Pustaka Latin. Bogor. Narso. 2012. Persepsi Penyuluh Pertanian Lapang tentang Perannya dalam Penyuluhan Pertanian Padi di Provinsi Banten. Thesis Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Niehoff, A.H. 1966. A Case Book of Social Change. Aldine Publishing Company. USA. Fundamental of Ecology. WB Saunders Company. Odum, E P. 1959. Philadelphia and London. Park, P. 1993. What is participatory research? A Theoretical and Methodological Perspective. Pp. 1-19 in P. Park, M. Brydon-Miller, B. Hall, & T. Jackson (eds.). Voices of Change. Westport: Bergin & Garvey. Perkin, D.D. Joseph Hughey, and Paul W. Speer. 2002. Community Psychology Perspectives On Social Capital Theory and Community development Practice. Journal of the Community Development Society Vol. 33 No. 1 2002. Perz, Stephen G. 2004. Are Agricultural Production and Forest Conservation Compatible? Agricultural Diversity, Agricultural Incomes and Primary Forest Cover Among Small Farm Colonists in the Amazon. Journal of
240
World Development Vol. 32, No. 6, pp. 957–977. University of Florida, Gainesville, FL, USA. Pfeffer, M, Schelhas, J and Ann, L. 2001. Forest Conservation, Value Conflict, And Interest Formation in A Honduran national Park. Journal of Rural Sociology 66 (3) p 382-402. Rural Sociology Society. USA. Pigg, F. Kenneth. 2002. Three Faces Of Empowerment : Expanding The Theory Of Empowerment In Community Development. Journal of the Community Development Society Vol. 33 No. 1. Poore, D, and J. Sayer. 1988. The Management of Tropical Moist Forest lands. Ecological Guidelines. Gland Switzerland. IUCN. Pranadji, T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian fdan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Priyarsono, Sahara dan Firdaus. 2007. Ekonomi Regional. Penerbit Universitas Terbuka. Jakarta. Purnomo, H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan dan Simulasi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Rahardjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Rahman, Sanzidur. 2003. Environmental impacts of modern agricultural technology diffusion in Bangladesh: an analysis of farmers’ perceptions and their determinants. Journal of Environmental Management 68 (2003) 183–191. Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat. Thesis Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Reardon, T, J. Edward Taylor, Kostas Stamoulis, Peter Lanjouw, Arsenio Balisacan. 2000. Effect on Non-Farm Employment on Rural Income Inequality in Developing Countries: An Investment Perspective. Journal of Agricultural Economics-Volume 51, Number 2-May 2000-Page 266-288. Reed, SM, Mark S. Reed a,*, Anil Graves c, Norman Dandy d, Helena Posthumus c, Klaus Hubacek b, Joe Morris c, Christina Prell e, Claire H. Quinn b, Lindsay C. Stringer b. 2009. Who,s in and Why ? A typology of Stakeholder Analysis Method For Natural Resource Management. Journal of Environmental Management xxx (2009) 1-17. Rianse Usman dan Abdi. 2010. Agroforestri : Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Alfabeta. Bandung Riswandi. 2009. Ilmu Komunikasi. Graha Ilmu Yogyakarta - Universitas Mercu Buana Jakarta. Jogyakarta
241
Ronald J. Hustedde and Jacek Ganowicz. 2002. The Basic : What’s Essential About Theory For Community Development Practice . Journal of the Community Development Society Vol. 33 No. 1 2002 Rosenberg, M.J. and G.I. Hovland. 1960. Cognitive, Affective, and Behavioral Components of Attitudes. In M.J. Rosenberg et al., Attitude Organization and Change. New Haven, Conn. Yale University Press. London. Hal 114. Ross F. Glenn. 1994. The Psychology of Tourism. Hospitality Press. Melbourne. Ruben, R., Marrit Van Den Berg. 2001. Nonfarm Employment and Poverty Alleviation Of Rural Farm Households in Honduras. Journal of World Development Vol. 29, No. 3, pp 549-560, 2001. Elsevier Ltd. Great Britain. Sandi Kusomo. 2001. Upaya Rehabilitasi kawasan di zona Rehabilitasi, Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. IPB, Bogor. Santosa, M.A. 1990. Peran serta Masyarakat dan Potensi Peningkatannya di Indonesia. ICEL. Jakarta. Sajogyo dan Sajogyo, P. 1999. Sosiologi Pedesaan Kumpulan Bacaan. Jilid I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. ______. 1999. Sosiologi Pedesaan Kumpulan Bacaan. Jilid II. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sajogyo. 1987. Ekologi Pedesaan Sebuah Bunga Rampai. Indonesia. Jakarta.
Yayasan Obor
______. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Yayasan Agro Ekonomika. Jakarta. ______. 1974. Modernization Without Development in Rural Java (A Paper Contibuted to the Study of Changes in Agrarian Structure, FAO of UN, 1972-1973). Bogor Agricultural University. Bogor. Sardana, P.K, Veena Manocha, and A.C Gangwar. 1995. Nature and Pattern of Changes in Rural Non-Farm Employment in Haryana. Indian Journal of Agricultural Economics, Vol. 50, No.3, July-Sept.1995. India Satjapradja, O. 1982. Agroforestry Pengembangan Pertanian 1 (2).
Indonesia.
Jurnal
Penelitian
dan
Sayer, J and Campbell, B. 2004. The Science of Sustainable Development. Cambridge University Press. United Kingdom. Schafft Kai A. and Davydd J. Greenwood. 2003. Promises and Dilemmas of Participation : Action Research, Search Conference Methodology, and Community Development. Community Development Society Vol. 34 No. 1 2003.
242
Sembiring, SN, dkk. 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan pengelolaan kawasan Konservasi di Indonesia. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Jakarta. Siagian, SP. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Soedjatmoko. 1995. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
LP3ES dan
Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta Sonya Dewi, Brian Belcher dan Atie Puntodewo. 2005. Village Economic Opportunity, Forest Dependence, and Rural Livelihoods in East Kalimantan, Indonesia. World Development Vol. 33 no 9, pp 1419 – 1434, 2005. Elsevier Ltd. Great Britain. Soewardi, H. 1978, Menyongsong Taman Nasional (National Park) di Indonesia, Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, Direkturat Jenderal Kehutanan. Jakarta. Skephi. 1992. Komersialisasi Hutan Tropik Indonesia, dalam Melestarikan Hutan Tropika, Permasalahan, Manfaat dan Kebijakannya. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sriyanto, A., Sudibyo. 2006. Buku Acuan Kegiatan Magang Calon Pegawai Negeri Sipil Departemen Kehutanan Formasi Tahun 2005 “Pengelolaan Taman Nasional”. Departemen Kehutanan-CTRC. Jakarta. Strædea Steffen and Treueb Thorsten. 2006. Beyond Buffer Zone Protection: A Comparative Study of Park and Buffer Zone Products’ Importance to Villagers Living inside Royal Chitwan National Park and to Villagers Living in its Buffer Zone. Journal of Environmental Management 78 (2006) 251– 267 Sugandi, A. dan Hakim, R. 2007. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Bumi Aksara. Jakarta. Fungsi dan Peran Agroforestri. Suharjito Didik., 2003. Centre. Bogor. Indonesia.
World Agroforestry
Sunderlin, W, et all 2005. Livelihoods, Forests, and Conservation in Developing Countries: An Overview. World Development Vol. 33, No. 9, pp. 1383– 1402, 2005. Elsevier Ltd, Great Britain. Suporahardjo. 2003. Mengelola Konflik di Kawasan Lindung. Bahan Bacaan untuk Pelatihan Mahasiswa Kehutanan Indonesia 2003. 10 – 17 Februari 2003. Dilaksanakan oleh Pengurus Pusat dan Pengurus Cabang Silva Indonesia UNPAD. Bandung. Tidak diterbitkan. ______. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin. Bogor.
243
Theophile, K. 1996. Forests and Employment. Journal of Unasylva 187, vol 47. Thohir, AK. 1991. Butir-butir Tata Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta Tjondronegoro, S.M.P. 1977. The Organization Phenomenon and Planned Development In Rural Communities of Java : A Case Study of Kecamatan Cibadak, West java and Kecamatan Kendal, Central Java. Disertasi , University of Indonesia. Jakarta. Trakolis. 2001. Journal of Environmental Management (2001) 65, 227 – 241. Umar,
Syukur. 2004. Agroforest Sebagai Teknologi Tradisional Untuk Pengelolaan Daerah Penyangga Taman Nasional Lore Lindu: Suatu Pendekatan Valuasi Ekosistem. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan.
UNDP/FAO (berdasarkan karya John MacKinnon, FAO) 1981, National Conservation Plan for Indonesia Volume III, laporan lapangan disediakan untuk Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, Direkturat Jenderal Kehutanan, Bogor, bab 40, hal 3. (2). Upe, Rahman. 2005. Rencana Pengembangan Daerah Penyangga Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone. Thesis Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak diterbitkan. Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Penerbit ANDI Yogyakarta. Yogyakarta. Warpani, S.P, dan Warpani, I.P. 2007. Pariwisata dalam Tata Ruang Wilayah. Penerbit ITB. Bandung. Wells, M and Brandon, K. 1992. People and Park, Linking Protected Area Management With Local Communities. The world Bank-WWF-USAID. Washington DC. Wibowo, Siswantinah. 2005. Analisis Hubungan Preferensi Pengunjung dengan Nilai Jasa Lingkungan Ekowisata Studi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan. Wilkinson, K. P. (1991). The Community in Rural America. New York: Greenwood Press. Wiratno, dkk. 2004. Berkaca di Cermin Retak. Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan taman Nasional. The Gibbon Foundation dan Pili-NGO Movement. Jakarta. Wiryono, P. Kata Pengantar, dalam Widianarko, B. 1998, Ekologi dan Keadilan Sosial, Kanisius, Yogyakarta, hal 9. (6)
244
Yatap, H. 2008. Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi terhadap perubahan penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Halimun. Thesis Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan. Yoeti HOA. 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta. Pradnya Paramita. ______. 1988. Permasalahan Pariwisata. Angkasa. Bandung. Yuniandra, F. 2007. Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Tidak dipublikasikan.
Pustaka Elektronik Ariaini, N. 2006. Forum Masyarakat menghasilkan Kesepakatan Bersama dalam Rangka Pengelolaan TN Sebangau. Online www.wwf.or.id/en/about_wwf/ Whatwedo /forests_species/ where_we_work/sebangau/? United States Census Bureau, IDB Summary Demographic Data for Indonesia, online, http://www.census.gov/cgi-bin/ipc/idbsum?cty=ID and IDB Countries Ranked by Population: 2004, online, http://www.census.gov/cgi-bin/ipc/idbrank.pl diakses04/01/2005. Badan Pusat Statistik, Ulasa n Singkat Nasional : Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000, online, http://www.bps.go.id/sector/population/Pop_indo.htm. diakses 04/01/2005. Putro, H.R. 2001, Participatory Management of National Park and Protection Forest: a New Challenge in Indonesia, online, http://www.nourishin.tsukuba.ac.jp/tasae/2001/Indonesia_2001.pdf. diakses 01/10/2004. Setyowati, FM. 2007. Keanekaragaman pemanfaatan Tumbuhan Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuseur . http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/tngl_francisca%20_sdh_%20rtf.pdf.2007 . . Bidang Botani, Puslit. Biologi – LIPI
LAMPIRAN
245
Lampiran 1. Data masyarakat bekas penggarap kawasan TNGC Wilayah Kabupaten Kuningan Penggarap No 1
2
3
4
5
6
7
Kecamatan
Nama Desa
Pasawahan
Mandirancan
Darma
Cigugur
Cilimus
Jalaksana
Keramatmulya
Jumlah Jiwa 95
Jumlah KK 56
109
77
Jenis Tanaman
Mulai Menggarap
perkebunan
sejak perhutani
perkebunan
sejak perhutani
1
Padabeunghar
2
Pasawahan
3
Singkup
20
11
perkebunan
sejak perhutani
4
Cibuntu
25
13
perkebunan
sejak perhutani
5
Paniis
7
7
perkebunan
sejak perhutani
6
Padamatang
-
-
-
sejak perhutani
7
Kaduela
10
10
perkebunan
sejak perhutani
8
Seda
363
204
perkebunan
sejak perhutani
9
Trijaya
99
83
perkebunan
sejak perhutani
10 11
Randobawagirang Gunung sirah
22 66
18 50
perkebunan sayuran
sejak perhutani sejak program PHBM digulirkan
12
Karang sari
50
45
sayuran
13
Sagahariang
206
134
sayuran
14
Puncak
109
89
sayuran
15
Cisantana
260
189
sayuran
16
Cigugur
17
Linggarjati
18
Bandorasa kulon
19
Setianegara
20
Cibeureum
21
Linggasana
22
Sangkanerang
23
Babakan mulya
24
Sukamukti
25
Sayana
26
Maniskidul
-
-
27
Pajambon
20
15
2.331
1.654
JUMLAH Sumber : BTNGC, 2010
-
-
158
134
sejak dikelola perum perhutani sejak dikelola perum perhutani
perkebunan
20
16
sayuran
348
289
perkebunan
-
-
-
70
45
perkebunan
199
131
sayuran
-
-
-
6
6
sayuran
69
32
sayuran
sayuran
semenjak program PHBM (1998) semenjak program PHBM (1998)
246
Lampiran 2 Rekapitulasi persepsi, sikap dan perilaku responden
Tabel Persepsi Responden terhadap Fungsi dan Manfaat Taman Nasional Persentase No.
Aspek Persepsi
SS
S
TT TS STS
1
Tujuan dibentuknya Taman Nasional adalah untuk menjaga keberadaan hutan agar tetap lestari
15
23
10
18
34
2
Keberadaan taman nasional menjamin ketersediaan air yang terus menerus
21
19
22
31
7
3
Tumbuhan dan satwa liar yang ada dalam taman nasional berguna bagi umat manusia
14
42
6
22
16
4
Salah satu penyebab kerusakan hutan adalah adanya penggarapan lahan menjadi lahan pertanian
10
16
9
50
15
5
Salah satu manfaat taman nasional adalah pengembangan wisata
9
11
30
20
30
6
Sebelum menjadi taman nasional sering terjadi perburuan satwa liar
11
16
10
36
27
7
Udara sejuk dan bersih yang dirasakan adalah karena hutan yang lestari
21
19
22
31
7
8
Kerusakan yang dialami taman nasional sebagian besar akibat perbuatan manusia
4
30
12
34
20
9
Hutan yang lestari dapat mencegah terjadinya erosi dan banjir
25
29
10
26
20
10
Peraturan perlindungan yang dibuat dalam pengelolaan TNGC bertujuan untuk mencegah meluasnya kerusakan hutan TNGC.
10
26
3
42
19
11
Jika hutan lestari maka kehidupan masyarakat akan sejahtera
3
7
10
52
28
247
Tabel Sikap responden terhadap keberadaan Taman Nasional No.
Aspek Sikap
1 2
Saya senang kawasan hutan dijadikan taman nasional Saya menjadi mudah memperoleh kebutuhan kayu bakar dan pakan ternak sejak kawasan hutan menjadi taman nasional Saya merasa kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sebelum kawasan hutan menjadi taman nasional Saya merasakan manfaat yang lebih besar sejak kawasan hutan menjadi taman nasional Mengambil kayu atau hasil hutan bukan kayu di dalam hutan tidak akan menimbulkan kerusakan hutan Saya senang kawasan hutan menjadi taman nasional karena satwa liar menjadi terlindungi Pendapatan masyarakat menjadi menurun setelah kawasan hutan menjadi taman nasional Saya senang mendapatkan penyuluhan tentang manfaat dan fungsi taman nasional Hukuman perlu diterapkan kepada orang yang menggarap lahan taman nasional untuk bertani sayur Perlindungan terhadap taman nasional merupakan kewajiban petugas dan masyarakat Saya yakin masyarakat mampu menjaga agar taman nasional tidak mendapat gangguan dari pihak manapun Saya senang jika diminta partisipasi untuk menjaga dan melindungi taman nasional Peraturan Pengelolaan taman nasional dibuat agar kelestarian hutan dapat terjaga Pemahaman tentang taman nasional diperoleh dari petugas Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Keberadaan petugas taman nasional membantu masyarakat lebih paham taman nasional Kebanyakan masyarakat yang tidak menjaga dan melindungi taman nasional karena mereka tidak tahu manfaat taman nasional
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Persentase SS S TT TS STS 17 11 11 26 35 4 1 5 43 47 3
6
6
61
24
14
5
14
58
9
18 35
16
27
4
5 17
18
41
19
33 32
4
13
18
25 51
10
12
2
7
11
46
34
12 43
7
26
12
11 50
20
13
6
4 31
16
37
12
15 27
17
31
10
6 24
14
34
22
5 29
18
43
5
7 29
35
16
13
2
248
Tabel Perilaku responden terhadap konservasi Taman Nasional No.
Aspek Perilaku
1
Melakukan kembali penggarapan lahan pertanian di kawasan taman nasional Membantu petugas melaporkan pihak-pihak yang melakukan pencurian kayu atau hasil hutan lainnya Ikut membantu petugas dalam kegiatan pemadaman kebakaran danpenangkapan satwa liar yang keluar dari kawasan Berpartisipasi terhadap kegiatan penanaman pohon di dalam kawasan taman nasional Membantu menjelaskan arti penting taman nasional kepada masyarakat lain yang belum paham Ikut membantu melakukan patroli pengamanan terhadap kawasan taman nasional
2 3 4 5 6
Ya
Persentase Tidak menjawab
Tidak
11
20
69
43
16
41
49
18
33
25
17
58
53
24
23
28
10
62
Lampiran 3 Gambar struktur model pengembangan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga TNGC Sub Model Pendapatan
Pendampingan
Penyuluhan
Iklim
Penyakit
Pendampingan 2
Penyuluhan 2
Hama
Iklim 2
Penyakit 2
Hama 2
Pendampingan 3
Penyuluhan 3
Iklim 3
Penyakit 3
Kenaikan Pendampingan 2
Kenaikan Pendampingan
Prod Karangsari1
Total Kenaikan 2
Total Kenaikan In
Out
Prod 3
Kenaikan Peran Stakeholder 2
Total Kenaikan 9
Total Kenaikan 8
T Sampah
In 8
Out7 R Pakaian 2
Kenaikan peran total
Luas Kwsn Htn Kuningan
T Sampah 3
T Sampah 2
In 7
R Pakaian
Ekowisatawan Cisantana
Ekowisatawan Manis Kidul
In 9
Out8 R Pakaian 3
Kenaikan peran total 2
Kenaikan Peran Stakeholder 7
Out9
Kenaikan peran total 3 Kenaikan Peran Stakeholder 9
Kenaikan Peran Stakeholder 8
Persen Luas Htn per kwsn
Peran stakeholder 3 Pengurangan Wisata
Peran stakeholder 7
Jumlah terlibat 2
Jumlah terlibat
Kenaikan total sarpras 3
Papan Petunjuk 3
Papan Petunjuk 2
Total Kenaikan 7 Out 3
Kenaikan Peran Stakeholder 3
Peran stakeholder 2
Peran stakeholder
Peran stakeholder 9
Peran stakeholder 8
Jumlah terlibat 3
Volume Keg 2
Volume Keg
Papan Petunjuk Ekowisatawan Pajambon
In 3
Sarpras 3
Shelter 3
Kenaikan total sarpras 2
Kenaikan total sarpras
Prod Pajambon
Out 2
Mushola 3 R Informasi 3 Pos Jaga 3
Shelter 2
Sarpras
Decre 3
Total Kenaikan 3
In 2
Kenaikan Peran Stakeholder
Shelter
Decre 2
Prod Seda
Mck 3
Sarpras 2
Kenaikan Penyuluhan 3 Prod 2
Decre
R Informasi 2 Mck 2 Mushola 2
Kenaikan Pendampingan 3
Kenaikan Penyuluhan 2 Prod
Pos Jaga 2
Pos Jaga
R Informasi
Mushola
Mck Kenaikan Penyuluhan
Sub Model Kelestarian Hutan
Hama 3
Persepsi ekowistawan Jumlah terlibat 7
Volume Keg 7
bila htn berkurang
Jumlah terlibat 9
Volume Keg 9
Jumlah terlibat 8
Volume Keg 8
Luas kebakaran agro
Pengurangan Wisata 3
Pengurangan Wisata 2
Volume Keg 3
Luas penanaman CSR rate penanaman csr
Luas kebakaran eko
Luas Hutan
rate kebakaran agro rate kebakaran eko
Ekowisatawan Pajambon sigmoid
Ekowisatawan Cisatanan sigmoid
Ekowisatawan Maniskidul sigmoid
Total Ekowisata
Tambah
Penitipan pakaian
rate penanaman TN Sewa kendaraan 2 Peralatan renang 2
Kamar bilas Prod Karangsari1
Prod Seda
Peralatan renang 3 Souvenir khas 2
Sewa tenda Sewa kendaraan Toilet umum
Luas 2
Ekowisatawan Pajambon sigmoid
Petani Seda
Sovenir
Total Pendapatan 2
Penjual Wr mkn Pajambon Masuk 2
Masuk
Keluar 2
Penjual sovenir Pajambon
Rata Pend Perkapita Agro Seda
Penjual sovenir Manis
Keuntungan Souvenir 2
Penjual wr mkn manis
Keuntungan Makan 2
Keuntungan pemandu 2
Tanggungan Karangsari
& kebakaran Agrofor
Pendapatan Sovenir 3
Pendapatan Peng Wisata 3
Pendapatan Wr Makan 3 Pendapatan Pemandu 3
Pendapatan Peng Wisata 2
Rata pend Wr mkn 2 Rata pend Pemandu
Rata pend Pemandu 2
Rata pend Sovenir 2
Rata pend Peng Wisata
Rata pend Wr mkn 3
Rata pend Peng Wisata 2
Rata pend Pemandu 3
Rata pend Sovenir 3
Pend perkapita Rata
Petani pajambon
klasifikasi rate perambahan
& kebakaran eko
Pendapatan Peng Wisata
Rata pend Wr mkn Rata pend Sovenir
Total Pendapatan Agrofoestry
Luas 3
klasifikasi rate perambahan Keuntungan Wisata 3
Keuntungan Keuntungan Wisata 2 Souvenir 3
Pendapatan Pemandu 2 Pendapatan Sovenir 2Pendapatan Wr Makan 2
Pendapatan Pemandu
Rata pend Peng Wisata 3
Pend perkapita Rata
Kotor Eko Pajambon
Pendapatan 3
Pengelola Wisata 3
Keuntungan pemandu 3
Keuntungan Wisata
Pendapatan Wr Makan
Agro Karangsari
Pemandu 3
Jmlh Pemandu Cisatana
Keuntungan Wr Makan 3
Keuntungan pemandu
Pendapatan Sovenir
Rata Pend Perkapita
harga 3
Penjual Wr mknCisatana Wr Makan 3 Penjual sovenir Cisatana
Jmlh Pemandu Manis
Keuntungan Wr Makan Total Petani Seda
Total Petani krsari
Pengelola Wisata 2
Jmlh Pemandu Pajambon
Keuntungan Souvenir
Keluar
Prod Pajambon
Jmlh Peng wst Pajambon
Jmlh Peng wst Cisatana
Sovenir 3
Pemandu 2
Wr Makan 2
Pengelola Wisata
Pendapatan Kotor Karangsari Total Pendapatan
Jmlh Peng wst manis Sovenir 2
Serapan Naker Eko Cisantana
Pemandu
Wr Makan
rate perambahan eko
Delay duration Ekowisatawan Cisatanan sigmoid
Homestay3 Restoran 3
Serapan Naker Eko Pajambon
Homestay
Tanggungan Seda Pendapatan Kotor Seda
rate perambahan agro
Serapan Naker Eko Manis kidul Ekowisatawan Maniskidul sigmoid
Pendapatan 2
Petani kr sari
Luas perambahan eko
Toilet umum 3
Souvenir khas
Peralatan renang
Restoran Luas
Luas perambahan Agro Souvenir khas 3 Kamar bilas 3
harga 2
Pendapatan
Luas penanaman TN
Penitipan pakaian 3 Sewa tenda 3
Restoran 2 harga
Sewa kendaraan 3
Penitipan pakaian 2
Toilet umum 2
Keuntungan Toilet
Kurang
Kotor Ekomanis Kidul Total Rata Pend perkapoita 8 Pend perkapita Rata
Pendapatan Kotor Pajambon Total Rata Pend perkapita 7
Total RataPend Total Pendapatan 3
Masuk 7
Keluar 7
Tanggungan Maniskidul
Masuk 8
Keluar 8
Total Rata Pend perkapita 9
Kotor Eko Cisantanaa
Perkaipta Agrofoestry Masuk 3
Keluar 3 Tanggungan Cisantana Rata pend perkapita eko pajambon
Total Petani pajambon
Keluar 9
Rata pend perkapita TOTAL RATA PEND PERKAPITA EKO
Rata Pend Perkapita
Masuk 9
eko Maniskidul
Pend perkapita rata
Agro Pajambon
agroeko pajambon
Tanggungan Pajambon
TOTAL RATA PEND PERKAPITA AGRO&EKO
Rata pend perkapita eko cisantana
Total serapan naker eko Total serapan naker agro
Sub Model Kesempatan Kerja
TOTAL RATA PEND PERKAPITA EKO
Total RataPend Perkaipta Agrofoestry
Ekowisatawan Cisatanan sigmoid Ekowisatawan Maniskidul sigmoid Ekowisatawan Pajambon sigmoid Total Prod Karangsari Total serapan naker eko Total serapan naker agro Serapan Naker Agro Karangsari
Serapan Naker
Total Prod Pajambon
Pengangguran Karangsari
Eko Manis kidul
Total Prod Seda
Serapan Naker Eko Cisantana
Serapan Naker Out Kerja 3
Pengangguran Pajambon
Eko Pajambon
Pengangguran Seda Serapan Naker Agro Seda
Pengangguran Manis kidul
Pengangguran Cisantana
Serapan Naker Agro Pajambon 3 Out Kerja 4
Out kerja 5
Out kerja 6
Out kerja 2
TOTAL PENGANGGURAN
249
250
Lampiran4Persamaan dan gambar submodelkesempatankerja Persamaan Sub Model Kesempatan Kerja Pengangguran_Cisantana(t) = Pengangguran_Cisantana(t - dt) + (- Out_kerja_6) * dtINIT Pengangguran_Cisantana = 260 OUTFLOWS: Out_kerja_6 = Serapan_Naker__Eko_Cisantana Pengangguran_Karangsari(t) = Pengangguran_Karangsari(t - dt) + (Out_Kerja_3) * dtINIT Pengangguran_Karangsari = 50 OUTFLOWS: Out_Kerja_3 = Serapan_Naker__Agro_Karangsari Pengangguran_Manis_kidul(t) = Pengangguran_Manis_kidul(t - dt) + (Out_kerja_5) * dtINIT Pengangguran_Manis_kidul = 1669 OUTFLOWS: Out_kerja_5 = Serapan_Naker__Eko_Manis_kidul Pengangguran_Pajambon(t) = Pengangguran_Pajambon(t - dt) + (- Out_kerja_2) * dtINIT Pengangguran_Pajambon = 20 OUTFLOWS: Out_kerja_2 = Serapan_Naker__Agro_Pajambon_3+Serapan_Naker__Eko_Pajambon Pengangguran_Seda(t) = Pengangguran_Seda(t - dt) + (- Out_Kerja_4) * dtINIT Pengangguran_Seda = 363 OUTFLOWS: Out_Kerja_4 = Serapan_Naker__Agro_Seda Serapan_Naker__Agro_Karangsari = Total_Prod_Karangsari*.0026 Serapan_Naker__Agro_Pajambon_3 = Total_Prod_Pajambon*.00026 Serapan_Naker__Agro_Seda = Total_Prod_Seda*.0026 Serapan_Naker__Eko_Cisantana = 0.0025*Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid Serapan_Naker__Eko_Manis_kidul = 0.006*Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid Serapan_Naker__Eko_Pajambon = 0.0030*Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid TOTAL_PENGANGGURAN = Pengangguran_Cisantana+Pengangguran_Karangsari+Pengangguran_Manis_ki dul+Pengangguran_Pajambon+Pengangguran_Seda Total_Prod_Karangsari = Prod_Karangsari1[Jagung]+Prod_Karangsari1[Cabe]+Prod_Karangsari1[Kopii]+ Prod_Karangsari1[Melinjo]+Prod_Karangsari1[Sengon:]+Prod_Karangsari1[K_Af rikaa]+Prod_Karangsari1[Mahonii]+Prod_Karangsari1[Cengkeh]+Prod_Karangsa ri1[Rempah]+Prod_Karangsari1[Jahe_merah]+Prod_Karangsari1[Jahe] Total_Prod_Pajambon = Prod_Pajambon[Jagung]+Prod_Pajambon[Cabe]+Prod_Pajambon[Kopii]+Prod_ Pajambon[Melinjo]+Prod_Pajambon[Sengon:]+Prod_Pajambon[K_Afrikaa]+Prod _Pajambon[Mahonii]+Prod_Pajambon[Cengkeh]+Prod_Pajambon[Rempah]+Pro d_Pajambon[Jahe_merah]+Prod_Pajambon[Jahe] Total_Prod_Seda = Prod_Seda[Jagung]+Prod_Seda[Cabe]+Prod_Seda[Kopii]+Prod_Seda[Melinjo]+ Prod_Seda[Sengon:]+Prod_Seda[K_Afrikaa]+Prod_Seda[Mahonii]+Prod_Seda[C engkeh]+Prod_Seda[Rempah]+Prod_Seda[Jahe_merah]+Prod_Seda[Jahe] Total_serapan_naker_agro = Serapan_Naker__Agro_Karangsari+Serapan_Naker__Agro_Seda+Serapan_Nak er__Eko_Pajambon Total_serapan_naker_eko = Serapan_Naker__Eko_Cisantana+Serapan_Naker__Eko_Manis_kidul
251
251
Ekowisatawan Maniskidul sigmoid
Total Prod Karangsari
Ekowisatawan Pajambon sigmoid
Total serapan naker eko
Total serapan naker agro Serapan Naker Agro Karangsari Pengangguran Karangsari
Total Prod Pajambon
Ekowisatawan Cisatanan sigmoid
Serapan Naker Eko Manis kidul
Total Prod Seda
Serapan Naker Eko Cisantana
Serapan Naker Eko Pajambon Out Kerja 3
Pengangguran Seda Serapan Naker Agro Seda
Pengangguran Manis kidul
Pengangguran Cisantana
Pengangguran Pajambon Serapan Naker Agro Pajambon 3 Out Kerja 4 Out kerja 2
TOTAL PENGANGGURAN Gambar Sub model kesempatan kerja
Out kerja 5
Out kerja 6
252
Lampiran 5Persamaan dan gambar sub model pendapatan masyarakat Persamaan Sub Model Pendapatan Masyarakat Ekowisatawan_Cisantana(t) = Ekowisatawan_Cisantana(t - dt) + (In_9 - Out9) * dtINIT Ekowisatawan_Cisantana = 22383 INFLOWS: In_9 = Total_Kenaikan_9 OUTFLOWS: Out9 = Pengurangan_Wisata_3 Ekowisatawan_Manis_Kidul(t) = Ekowisatawan_Manis_Kidul(t - dt) + (In_8 Out8) * dtINIT Ekowisatawan_Manis_Kidul = 17500 INFLOWS: In_8 = Total_Kenaikan_8 OUTFLOWS: Out8 = Pengurangan_Wisata_2 Ekowisatawan_Pajambon(t) = Ekowisatawan_Pajambon(t - dt) + (In_7 - Out7) * dtINIT Ekowisatawan_Pajambon = 14274 INFLOWS: In_7 = Total_Kenaikan_7 OUTFLOWS: Out7 = Pengurangan_Wisata Pendapatan_Kotor_Karangsari(t) = Pendapatan_Kotor_Karangsari(t - dt) + (Masuk - Keluar) * dtINIT Pendapatan_Kotor_Karangsari = 17700000000 INFLOWS: Masuk = Total_Pendapatan OUTFLOWS: Keluar = Pendapatan_Kotor_Karangsari Pendapatan_Kotor_Pajambon(t) = Pendapatan_Kotor_Pajambon(t - dt) + (Masuk_3 - Keluar_3) * dtINIT Pendapatan_Kotor_Pajambon = 630000000 INFLOWS: Masuk_3 = Total_Pendapatan_3 OUTFLOWS: Keluar_3 = Pendapatan_Kotor_Pajambon Pendapatan_Kotor_Seda(t) = Pendapatan_Kotor_Seda(t - dt) + (Masuk_2 Keluar_2) * dtINIT Pendapatan_Kotor_Seda = 3800000000 INFLOWS: Masuk_2 = Total_Pendapatan_2 OUTFLOWS: Keluar_2 = Pendapatan_Kotor_Seda Pend_perkapita_Rata_Kotor_Eko_Cisantanaa(t) = Pend_perkapita_Rata_Kotor_Eko_Cisantanaa(t - dt) + (Masuk_9 - Keluar_9) * dtINIT Pend_perkapita_Rata_Kotor_Eko_Cisantanaa = 2000000 INFLOWS: Masuk_9 = Total__Rata_Pend_perkapita__9 OUTFLOWS: Keluar_9 = Pend_perkapita_Rata_Kotor_Eko_Cisantanaa Pend_perkapita_Rata_Kotor_Eko_Pajambon(t) = Pend_perkapita_Rata_Kotor_Eko_Pajambon(t - dt) + (Masuk_7 - Keluar_7) * dtINIT Pend_perkapita_Rata_Kotor_Eko_Pajambon = 1700000 INFLOWS: Masuk_7 = Total_Rata_Pend_perkapita_7 OUTFLOWS:
253
Keluar_7 = Pend_perkapita_Rata_Kotor_Eko_Pajambon Pend_perkapita__Rata_Kotor_Ekomanis_Kidul(t) = Pend_perkapita__Rata_Kotor_Ekomanis_Kidul(t - dt) + (Masuk_8 - Keluar_8) * dtINIT Pend_perkapita__Rata_Kotor_Ekomanis_Kidul = 5000000 INFLOWS: Masuk_8 = Total_Rata_Pend_perkapoita_8 OUTFLOWS: Keluar_8 = Pend_perkapita__Rata_Kotor_Ekomanis_Kidul Prod_Karangsari1[Jagung](t) = Prod_Karangsari1[Jagung](t - dt) + (In[Jagung] Out[Jagung]) * dtINIT Prod_Karangsari1[Jagung] = 22120 Prod_Karangsari1[Cabe](t) = Prod_Karangsari1[Cabe](t - dt) + (In[Cabe] Out[Cabe]) * dtINIT Prod_Karangsari1[Cabe] = 682 Prod_Karangsari1[Kopii](t) = Prod_Karangsari1[Kopii](t - dt) + (In[Kopii] Out[Kopii]) * dtINIT Prod_Karangsari1[Kopii] = 2581 Prod_Karangsari1[Melinjo](t) = Prod_Karangsari1[Melinjo](t - dt) + (In[Melinjo] Out[Melinjo]) * dtINIT Prod_Karangsari1[Melinjo] = 0 Prod_Karangsari1[Sengon:](t) = Prod_Karangsari1[Sengon:](t - dt) + (In[Sengon:] - Out[Sengon:]) * dtINIT Prod_Karangsari1[Sengon:] = 671 Prod_Karangsari1[K_Afrikaa](t) = Prod_Karangsari1[K_Afrikaa](t - dt) + (In[K_Afrikaa] - Out[K_Afrikaa]) * dtINIT Prod_Karangsari1[K_Afrikaa] = 238 Prod_Karangsari1[Mahonii](t) = Prod_Karangsari1[Mahonii](t - dt) + (In[Mahonii] Out[Mahonii]) * dtINIT Prod_Karangsari1[Mahonii] = 0 Prod_Karangsari1[Cengkeh](t) = Prod_Karangsari1[Cengkeh](t - dt) + (In[Cengkeh] - Out[Cengkeh]) * dtINIT Prod_Karangsari1[Cengkeh] = 0 Prod_Karangsari1[Rempah](t) = Prod_Karangsari1[Rempah](t - dt) + (In[Rempah] - Out[Rempah]) * dtINIT Prod_Karangsari1[Rempah] = 0 Prod_Karangsari1[Jahe_merah](t) = Prod_Karangsari1[Jahe_merah](t - dt) + (In[Jahe_merah] - Out[Jahe_merah]) * dtINIT Prod_Karangsari1[Jahe_merah] = 0 Prod_Karangsari1[Jahe](t) = Prod_Karangsari1[Jahe](t - dt) + (In[Jahe] Out[Jahe]) * dtINIT Prod_Karangsari1[Jahe] = 0 INFLOWS: In[Komoditas] = Total_Kenaikan[Komoditas] OUTFLOWS: Out[Komoditas] = Decre[Komoditas] Prod_Pajambon[Jagung](t) = Prod_Pajambon[Jagung](t - dt) + (In_3[Jagung] Out_3[Jagung]) * dtINIT Prod_Pajambon[Jagung] = 0 Prod_Pajambon[Cabe](t) = Prod_Pajambon[Cabe](t - dt) + (In_3[Cabe] Out_3[Cabe]) * dtINIT Prod_Pajambon[Cabe] = 266 Prod_Pajambon[Kopii](t) = Prod_Pajambon[Kopii](t - dt) + (In_3[Kopii] Out_3[Kopii]) * dtINIT Prod_Pajambon[Kopii] = 13833 Prod_Pajambon[Melinjo](t) = Prod_Pajambon[Melinjo](t - dt) + (In_3[Melinjo] Out_3[Melinjo]) * dtINIT Prod_Pajambon[Melinjo] = 0 Prod_Pajambon[Sengon:](t) = Prod_Pajambon[Sengon:](t - dt) + (In_3[Sengon:] Out_3[Sengon:]) * dtINIT Prod_Pajambon[Sengon:] = 3750 Prod_Pajambon[K_Afrikaa](t) = Prod_Pajambon[K_Afrikaa](t - dt) + (In_3[K_Afrikaa] - Out_3[K_Afrikaa]) * dtINIT Prod_Pajambon[K_Afrikaa] = 5650 Prod_Pajambon[Mahonii](t) = Prod_Pajambon[Mahonii](t - dt) + (In_3[Mahonii] Out_3[Mahonii]) * dtINIT Prod_Pajambon[Mahonii] = 0 Prod_Pajambon[Cengkeh](t) = Prod_Pajambon[Cengkeh](t - dt) + (In_3[Cengkeh] - Out_3[Cengkeh]) * dtINIT Prod_Pajambon[Cengkeh] = 0 Prod_Pajambon[Rempah](t) = Prod_Pajambon[Rempah](t - dt) + (In_3[Rempah] - Out_3[Rempah]) * dtINIT Prod_Pajambon[Rempah] = 0
254
Prod_Pajambon[Jahe_merah](t) = Prod_Pajambon[Jahe_merah](t - dt) + (In_3[Jahe_merah] - Out_3[Jahe_merah]) * dtINIT Prod_Pajambon[Jahe_merah] =0 Prod_Pajambon[Jahe](t) = Prod_Pajambon[Jahe](t - dt) + (In_3[Jahe] Out_3[Jahe]) * dtINIT Prod_Pajambon[Jahe] = 0 INFLOWS: In_3[Komoditas] = Total_Kenaikan_3[Komoditas] OUTFLOWS: Out_3[Komoditas] = Decre_3[Komoditas] Prod_Seda[Jagung](t) = Prod_Seda[Jagung](t - dt) + (In_2[Jagung] Out_2[Jagung]) * dtINIT Prod_Seda[Jagung] = 0 Prod_Seda[Cabe](t) = Prod_Seda[Cabe](t - dt) + (In_2[Cabe] - Out_2[Cabe]) * dtINIT Prod_Seda[Cabe] = 0 Prod_Seda[Kopii](t) = Prod_Seda[Kopii](t - dt) + (In_2[Kopii] - Out_2[Kopii]) * dtINIT Prod_Seda[Kopii] = 0 Prod_Seda[Melinjo](t) = Prod_Seda[Melinjo](t - dt) + (In_2[Melinjo] Out_2[Melinjo]) * dtINIT Prod_Seda[Melinjo] = 5522 Prod_Seda[Sengon:](t) = Prod_Seda[Sengon:](t - dt) + (In_2[Sengon:] Out_2[Sengon:]) * dtINIT Prod_Seda[Sengon:] = 425 Prod_Seda[K_Afrikaa](t) = Prod_Seda[K_Afrikaa](t - dt) + (In_2[K_Afrikaa] Out_2[K_Afrikaa]) * dtINIT Prod_Seda[K_Afrikaa] = 0 Prod_Seda[Mahonii](t) = Prod_Seda[Mahonii](t - dt) + (In_2[Mahonii] Out_2[Mahonii]) * dtINIT Prod_Seda[Mahonii] = 402 Prod_Seda[Cengkeh](t) = Prod_Seda[Cengkeh](t - dt) + (In_2[Cengkeh] Out_2[Cengkeh]) * dtINIT Prod_Seda[Cengkeh] = 950 Prod_Seda[Rempah](t) = Prod_Seda[Rempah](t - dt) + (In_2[Rempah] Out_2[Rempah]) * dtINIT Prod_Seda[Rempah] = 0 Prod_Seda[Jahe_merah](t) = Prod_Seda[Jahe_merah](t - dt) + (In_2[Jahe_merah] - Out_2[Jahe_merah]) * dtINIT Prod_Seda[Jahe_merah] = 0 Prod_Seda[Jahe](t) = Prod_Seda[Jahe](t - dt) + (In_2[Jahe] - Out_2[Jahe]) * dtINIT Prod_Seda[Jahe] = 0 INFLOWS: In_2[Komoditas] = Total_Kenaikan_2[Komoditas] OUTFLOWS: Out_2[Komoditas] = Decre_2[Komoditas] Decre[Komoditas] = Prod[Komoditas]*(Penyakit+Iklim+Hama) Decre_2[Komoditas] = Prod__2[Komoditas]*(Hama_2+Iklim_2+Penyakit_2) Decre_3[Komoditas] = Prod_3[Komoditas]*(Hama_3+Iklim_3+Penyakit_3) Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid = if Ekowisatawan_Cisantana > 64000 then 64000 else Ekowisatawan_Cisantana Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid = if Ekowisatawan_Manis_Kidul > 48250 then 48250 else Ekowisatawan_Manis_Kidul Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid = if Ekowisatawan_Pajambon > 54000 then 54000 else Ekowisatawan_Pajambon Hama = 0.2 Hama_2 = 0.1 Hama_3 = 0.2 harga[Jagung] = 2800 harga[Cabe] = 14000 harga[Kopii] = 8000 harga[Melinjo] = 2000 harga[Sengon:] = 500000 harga[K_Afrikaa] = 800000
255
harga[Mahonii] = 1000000 harga[Cengkeh] = 55000 harga[Rempah] = 0 harga[Jahe_merah] = 0 harga[Jahe] = 0 harga_2[Jagung] = 2800 harga_2[Cabe] = 14000 harga_2[Kopii] = 8000 harga_2[Melinjo] = 2000 harga_2[Sengon:] = 500000 harga_2[K_Afrikaa] = 800000 harga_2[Mahonii] = 1000000 harga_2[Cengkeh] = 55000 harga_2[Rempah] = 0 harga_2[Jahe_merah] = 0 harga_2[Jahe] = 0 harga_3[Jagung] = 2800 harga_3[Cabe] = 14000 harga_3[Kopii] = 8000 harga_3[Melinjo] = 2000 harga_3[Sengon:] = 500000 harga_3[K_Afrikaa] = 800000 harga_3[Mahonii] = 1000000 harga_3[Cengkeh] = 55000 harga_3[Rempah] = 0 harga_3[Jahe_merah] = 0 harga_3[Jahe] = 0 Homestay = Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid*0 Homestay3 = Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid*0 Iklim = 0.1 Iklim_2 = 0 Iklim_3 = 0 Jmlh_Pemandu_Cisatana = 17+(Serapan_Naker__Eko_Cisantana*0.3) Jmlh_Pemandu_Manis = 10+(Serapan_Naker__Eko_Manis_kidul*0.2) Jmlh_Pemandu_Pajambon = 2+(Serapan_Naker__Eko_Pajambon*0.2) Jmlh_Peng_wst_Cisatana = 16+(Serapan_Naker__Eko_Cisantana*0.4) Jmlh_Peng_wst_manis = 30+(Serapan_Naker__Eko_Manis_kidul*0.2) Jmlh_Peng_wst_Pajambon = 28+(Serapan_Naker__Eko_Pajambon*0.2) Jumlah_terlibat = 3 Jumlah_terlibat_2 = 0 Jumlah_terlibat_3 = 2 Jumlah_terlibat_7[Dinas_Prov] = 2 Jumlah_terlibat_7[Dispar] = 1 Jumlah_terlibat_7[BTNGC] = 0 Jumlah_terlibat_7[PDAU] = 0 Jumlah_terlibat_7[LSM] = 3 Jumlah_terlibat_8[Dinas_Prov] = 0 Jumlah_terlibat_8[Dispar] = 2 Jumlah_terlibat_8[BTNGC] = 0 Jumlah_terlibat_8[PDAU] = 0 Jumlah_terlibat_8[LSM] = 0 Jumlah_terlibat_9[Dinas_Prov] = 0 Jumlah_terlibat_9[Dispar] = 2
256
Jumlah_terlibat_9[BTNGC] = 0 Jumlah_terlibat_9[PDAU] = 0 Jumlah_terlibat_9[LSM] = 3 Kamar_bilas = Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid*0 Kamar_bilas_3 = Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid*0 Kenaikan_Pendampingan[Komoditas] = 0.1*Pendampingan*Prod[Komoditas] Kenaikan_Pendampingan_2[Komoditas] = 0.1*Pendampingan_2*Prod__2[Komoditas] Kenaikan_Pendampingan_3[Komoditas] = 0.1*Pendampingan_3*Prod_3[Komoditas] Kenaikan_Penyuluhan[Komoditas] = 0.1*Penyuluhan*Prod[Komoditas] Kenaikan_Penyuluhan_2[Komoditas] = 0.1*Penyuluhan_2*Prod__2[Komoditas] Kenaikan_Penyuluhan_3[Komoditas] = 0.1*Penyuluhan_3*Prod_3[Komoditas] Kenaikan_Peran_Stakeholder[Komoditas] = Peran_stakeholder*Prod[Komoditas]*.01 Kenaikan_Peran_Stakeholder_2[Komoditas] = Peran_stakeholder_2*Prod__2[Komoditas]*.01 Kenaikan_Peran_Stakeholder_3[Komoditas] = Peran_stakeholder_3[Komoditas]*Prod_3[Komoditas]*.01 Kenaikan_Peran_Stakeholder_7[Instansi] = Peran_stakeholder_7[Instansi]*.01 Kenaikan_Peran_Stakeholder_8[Instansi] = Peran_stakeholder_8[Instansi]*.01 Kenaikan_Peran_Stakeholder_9[Instansi] = Peran_stakeholder_9[Instansi]*.01 Kenaikan_peran_total = (Kenaikan_Peran_Stakeholder_7[Dinas_Prov]+Kenaikan_Peran_Stakeholder_7[ Dispar]+Kenaikan_Peran_Stakeholder_7[BTNGC]+Kenaikan_Peran_Stakeholde r_7[PDAU]+Kenaikan_Peran_Stakeholder_7[LSM])*.1*Ekowisatawan_Pajambon Kenaikan_peran_total_2 = (Kenaikan_Peran_Stakeholder_8[Dinas_Prov]+Kenaikan_Peran_Stakeholder_8[ Dispar]+Kenaikan_Peran_Stakeholder_8[BTNGC]+Kenaikan_Peran_Stakeholde r_8[PDAU]+Kenaikan_Peran_Stakeholder_8[LSM])*.1*Ekowisatawan_Manis_Kid ul Kenaikan_peran_total_3 = (Kenaikan_Peran_Stakeholder_9[Dinas_Prov]+Kenaikan_Peran_Stakeholder_9[ Dispar]+Kenaikan_Peran_Stakeholder_9[BTNGC]+Kenaikan_Peran_Stakeholde r_9[PDAU]+Kenaikan_Peran_Stakeholder_9[LSM])*.1*Ekowisatawan_Cisantana Kenaikan_total_sarpras = Sarpras*Ekowisatawan_Pajambon*0.015 Kenaikan_total_sarpras_2 = Sarpras_2*Ekowisatawan_Manis_Kidul*0.01 Kenaikan_total_sarpras_3 = Sarpras_3*Ekowisatawan_Cisantana*0.025 Keuntungan_Makan_2 = 7000 Keuntungan_pemandu = 10000 Keuntungan_pemandu_2 = 10000 Keuntungan_pemandu_3 = 10000 Keuntungan_Souvenir = 5000 Keuntungan_Souvenir_2 = 15000 Keuntungan_Souvenir_3 = 2000 Keuntungan_Toilet = 5000 Keuntungan_Wisata = 200000 Keuntungan_Wisata_2 = 200000 Keuntungan_Wisata_3 = 150000 Keuntungan_Wr_Makan = 3000 Keuntungan_Wr_Makan_3 = 5000 Luas[Jagung] = 0.87 Luas[Cabe] = 1
257
Luas[Kopii] = 0.9 Luas[Melinjo] = 0 Luas[Sengon:] = 2.6 Luas[K_Afrikaa] = 1.87 Luas[Mahonii] = 0 Luas[Cengkeh] = 0 Luas[Rempah] = 0 Luas[Jahe_merah] = 0 Luas[Jahe] = 0 Luas_2[Jagung] = 0.87 Luas_2[Cabe] = 1 Luas_2[Kopii] = 0.9 Luas_2[Melinjo] = 1.16 Luas_2[Sengon:] = 0.4 Luas_2[K_Afrikaa] = 0 Luas_2[Mahonii] = 0.9 Luas_2[Cengkeh] = 0.67 Luas_2[Rempah] = 0 Luas_2[Jahe_merah] = 0 Luas_2[Jahe] = 0 Luas_3[Jagung] = 0 Luas_3[Cabe] = 0.03 Luas_3[Kopii] = 0.03 Luas_3[Melinjo] = 0 Luas_3[Sengon:] = 0.028 Luas_3[K_Afrikaa] = 0.028 Luas_3[Mahonii] = 0 Luas_3[Cengkeh] = 0 Luas_3[Rempah] = 0 Luas_3[Jahe_merah] = 0 Luas_3[Jahe] = 0 Mck = 3 Mck_2 = 3 Mck_3 = 6 Mushola = 2 Mushola_2 = 2 Mushola_3 = 1 Papan_Petunjuk = 2 Papan_Petunjuk_2 = 2 Papan_Petunjuk_3 = 1 Pemandu = 0.04*Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid Pemandu_2 = 0.04*Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid Pemandu_3 = 0.15*Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid Pendampingan = 0 Pendampingan_3 = 1 Pendapatan[Komoditas] = Prod_Karangsari1[Komoditas]*harga[Komoditas]*Luas[Komoditas]*Petani_kr_sar i[Komoditas] Pendapatan_2[Komoditas] = Prod_Seda[Komoditas]*harga_2[Komoditas]*Luas_2[Komoditas]*Petani_Seda[K omoditas]
258
Pendapatan_3[Komoditas] = Prod_Pajambon[Komoditas]*harga_3[Komoditas]*Luas_3[Komoditas]*Petani_paj ambon[Komoditas] Pendapatan_Pemandu = Keuntungan_pemandu*Pemandu Pendapatan_Pemandu_2 = Keuntungan_pemandu_2*Pemandu_2 Pendapatan_Pemandu_3 = Keuntungan_pemandu_3*Pemandu_3 Pendapatan_Peng_Wisata = Keuntungan_Wisata*Pengelola_Wisata Pendapatan_Peng_Wisata_2 = Keuntungan_Wisata_2*Pengelola_Wisata_2 Pendapatan_Peng_Wisata_3 = Keuntungan_Wisata_3*Pengelola_Wisata_3 Pendapatan_Sovenir = Keuntungan_Souvenir*Sovenir Pendapatan_Sovenir_2 = Keuntungan_Souvenir_2*Sovenir_2 Pendapatan_Sovenir_3 = Keuntungan_Souvenir_3*Sovenir_3 Pendapatan_Wr_Makan = Keuntungan_Wr_Makan*Wr_Makan Pendapatan_Wr_Makan_2 = Keuntungan_Makan_2*Wr_Makan_2 Pendapatan_Wr_Makan_3 = Keuntungan_Wr_Makan_3*Wr_Makan_3 Pend_perkapita__rata_agroeko_pajambon = (Rata_Pend_Perkapita_Agro_Pajambon+Rata_pend_perkapita_eko_pajambon) Pengelola_Wisata = 0.05*Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid Pengelola_Wisata_2 = 0.05*Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid Pengelola_Wisata_3 = 0.03*Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid Pengurangan_Wisata = Persepsi_ekowistawan_bila_htn_berkurang*Ekowisatawan_Pajambon Pengurangan_Wisata_2 = Ekowisatawan_Manis_Kidul*Persepsi_ekowistawan_bila_htn_berkurang Pengurangan_Wisata_3 = Ekowisatawan_Cisantana*Persepsi_ekowistawan_bila_htn_berkurang Penitipan_pakaian = Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid*0 Penitipan_pakaian_2 = Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid*0 Penitipan_pakaian_3 = Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid*0 Penjual_sovenir_Cisatana = 1+(Serapan_Naker__Eko_Cisantana*0.1) Penjual_sovenir_Manis = 30+(Serapan_Naker__Eko_Manis_kidul*.01) Penjual_sovenir_Pajambon = 1+(0.1*Serapan_Naker__Eko_Pajambon) Penjual_wr_mkn_manis = 10+(Serapan_Naker__Eko_Manis_kidul*0.4) Penjual__Wr_mknCisatana = 10+(Serapan_Naker__Eko_Cisantana*0.6) Penjual__Wr_mkn_Pajambon = 10+(Serapan_Naker__Eko_Pajambon*0.4) Penyakit = 0.1 Penyakit_2 = 0.2 Penyakit_3 = 0 Penyuluhan = 4 Penyuluhan_2 = 2 Penyuluhan_3 = 2 Peralatan_renang = Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid*0 Peralatan_renang_2 = Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid*0 Peralatan_renang_3 = Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid*0 Peran_stakeholder = Jumlah_terlibat+Volume_Keg Peran_stakeholder_2 = Jumlah_terlibat_2+Volume_Keg_2 Peran_stakeholder_3[Komoditas] = Jumlah_terlibat_3+Volume_Keg_3 Peran_stakeholder_7[Instansi] = Jumlah_terlibat_7[Instansi]+Volume_Keg_7[Instansi] Peran_stakeholder_8[Instansi] = Jumlah_terlibat_8[Instansi]+Volume_Keg_8[Instansi] Peran_stakeholder_9[Instansi] = Jumlah_terlibat_9[Instansi]+Volume_Keg_9[Instansi]
259
Persepsi_ekowistawan_bila_htn_berkurang = if Persen_Luas_Htn_per_kwsn < 0.57 then 0.1 else 0 Petani_kr_sari[Jagung] = 229 Petani_kr_sari[Cabe] = 229 Petani_kr_sari[Kopii] = 229 Petani_kr_sari[Melinjo] = 0 Petani_kr_sari[Sengon:] = 0 Petani_kr_sari[K_Afrikaa] = 0 Petani_kr_sari[Mahonii] = 0 Petani_kr_sari[Cengkeh] = 0 Petani_kr_sari[Rempah] = 0 Petani_kr_sari[Jahe_merah] = 0 Petani_kr_sari[Jahe] = 0 Petani_pajambon[Jagung] = 0 Petani_pajambon[Cabe] = 60 Petani_pajambon[Kopii] = 65 Petani_pajambon[Melinjo] = 0 Petani_pajambon[Sengon:] = 3 Petani_pajambon[K_Afrikaa] = 2 Petani_pajambon[Mahonii] = 0 Petani_pajambon[Cengkeh] = 0 Petani_pajambon[Rempah] = 0 Petani_pajambon[Jahe_merah] = 0 Petani_pajambon[Jahe] = 0 Petani_Seda[Jagung] = 0 Petani_Seda[Cabe] = 0 Petani_Seda[Kopii] = 0 Petani_Seda[Melinjo] = 80 Petani_Seda[Sengon:] = 0 Petani_Seda[K_Afrikaa] = 0 Petani_Seda[Mahonii] = 0 Petani_Seda[Cengkeh] = 80 Petani_Seda[Rempah] = 0 Petani_Seda[Jahe_merah] = 0 Petani_Seda[Jahe] = 0 Pos_Jaga = 1 Pos_Jaga_2 = 1 Pos_Jaga_3 = 1 Prod[Komoditas] = Prod_Karangsari1[Komoditas] Prod_3[Komoditas] = Prod_Pajambon[Komoditas] Prod__2[Komoditas] = Prod_Seda[Komoditas] Rata_pend_Pemandu = Pendapatan_Pemandu/Jmlh_Pemandu_Pajambon Rata_pend_Pemandu_2 = Pendapatan_Pemandu_2/Jmlh_Pemandu_Manis Rata_pend_Pemandu_3 = Pendapatan_Pemandu_3/Jmlh_Pemandu_Cisatana Rata_pend_Peng_Wisata = Pendapatan_Peng_Wisata/Jmlh_Peng_wst_Pajambon Rata_pend_Peng_Wisata_2 = Pendapatan_Peng_Wisata_2/Jmlh_Peng_wst_manis Rata_pend_Peng_Wisata_3 = Pendapatan_Peng_Wisata_3/Jmlh_Peng_wst_Cisatana Rata_Pend_Perkapita_Agro_Karangsari = (Pendapatan_Kotor_Karangsari/Total_Petani_krsari)/Tanggungan_Karangsari/12
260
Rata_Pend_Perkapita_Agro_Pajambon = (Pendapatan_Kotor_Pajambon/Total_Petani_pajambon)/Tanggungan_Pajambon /12 Rata_Pend_Perkapita_Agro_Seda = (Pendapatan_Kotor_Seda/Total_Petani_Seda)/Tanggungan_Seda/12 Rata_pend_perkapita_eko_cisantana = Pend_perkapita_Rata_Kotor_Eko_Cisantanaa/12 Rata_pend_perkapita_eko_Maniskidul = Pend_perkapita__Rata_Kotor_Ekomanis_Kidul/12 Rata_pend_perkapita_eko_pajambon = Pend_perkapita_Rata_Kotor_Eko_Pajambon/12 Rata_pend_Sovenir = Pendapatan_Sovenir/Penjual_sovenir_Pajambon Rata_pend_Sovenir_2 = Pendapatan_Sovenir_2/Penjual_sovenir_Manis Rata_pend_Sovenir_3 = Pendapatan_Sovenir_3/Penjual_sovenir_Cisatana Rata_pend_Wr_mkn = Pendapatan_Wr_Makan/Penjual__Wr_mkn_Pajambon Rata_pend_Wr_mkn_2 = Pendapatan_Wr_Makan_2/Penjual_wr_mkn_manis Rata_pend_Wr_mkn_3 = Pendapatan_Wr_Makan_3/Penjual__Wr_mknCisatana Restoran = Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid*0 Restoran_2 = Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid*0 Restoran_3 = Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid*0 R_Informasi = 0 R_Informasi_2 = 0 R_Informasi_3 = 1 R_Pakaian = 2 R_Pakaian_2 = 2 R_Pakaian_3 = 0 Sarpras = Mck+Mushola+Papan_Petunjuk+Pos_Jaga+R_Informasi+R_Pakaian+T_Sampa h+Shelter Sarpras_2 = Mck_2+Mushola_2+Papan_Petunjuk_2+Pos_Jaga_2+R_Informasi_2+R_Pakaia n_2+T_Sampah_2+Shelter_2 Sarpras_3 = Mck_3+Mushola_3+Papan_Petunjuk_3+Pos_Jaga_3+R_Informasi_3+R_Pakaia n_3+T_Sampah_3+Shelter_3 Sewa_kendaraan = Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid*0 Sewa_kendaraan_2 = Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid*0 Sewa_kendaraan_3 = Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid*0 Sewa_tenda = Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid*0 Sewa_tenda_3 = Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid*0 Shelter = 1 Shelter_2 = 1 Shelter_3 = 1 Souvenir_khas = Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid*0 Souvenir_khas_2 = Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid*0 Souvenir_khas_3 = Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid*0 Sovenir = Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid*0.1 Sovenir_2 = Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid*0.70 Sovenir_3 = Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid*0.2 Tanggungan_Cisantana = 3 Tanggungan_Karangsari = 3 Tanggungan_Maniskidul = 2 Tanggungan_Pajambon = 4
261
Tanggungan_Seda = 2 Toilet_umum = Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid*0 Toilet_umum_2 = Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid*0 Toilet_umum_3 = Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid*0 Total_Ekowisata = Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid+Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid+Ekowisa tawan_Pajambon_sigmoid Total_Kenaikan[Komoditas] = Kenaikan_Pendampingan[Komoditas]+Kenaikan_Penyuluhan[Komoditas]+Kenai kan_Peran_Stakeholder[Komoditas] Total_Kenaikan_2[Komoditas] = Kenaikan_Pendampingan_2[Komoditas]+Kenaikan_Penyuluhan_2[Komoditas]+ Kenaikan_Peran_Stakeholder_2[Komoditas] Total_Kenaikan_3[Komoditas] = Kenaikan_Pendampingan_3[Komoditas]+Kenaikan_Penyuluhan_3[Komoditas]+ Kenaikan_Peran_Stakeholder_3[Komoditas] Total_Kenaikan_7 = Kenaikan_peran_total+Kenaikan_total_sarpras Total_Kenaikan_8 = Kenaikan_peran_total_2+Kenaikan_total_sarpras_2 Total_Kenaikan_9 = Kenaikan_peran_total_3+Kenaikan_total_sarpras_3 Total_Pendapatan = Pendapatan[Jagung]+Pendapatan[Cabe]+Pendapatan[Kopii]+Pendapatan[Melinj o]+Pendapatan[Sengon:]+Pendapatan[K_Afrikaa]+Pendapatan[Mahonii]+Pendap atan[Cengkeh]+Pendapatan[Rempah]+Pendapatan[Jahe_merah]+Pendapatan[J ahe] Total_Pendapatan_2 = Pendapatan_2[Jagung]+Pendapatan_2[Cabe]+Pendapatan_2[Kopii]+Pendapata n_2[Melinjo]+Pendapatan_2[Sengon:]+Pendapatan_2[K_Afrikaa]+Pendapatan_2 [Mahonii]+Pendapatan_2[Cengkeh]+Pendapatan_2[Rempah]+Pendapatan_2[Ja he_merah]+Pendapatan_2[Jahe] Total_Pendapatan_3 = Pendapatan_3[Jagung]+Pendapatan_3[Cabe]+Pendapatan_3[Kopii]+Pendapata n_3[Melinjo]+Pendapatan_3[Sengon:]+Pendapatan_3[K_Afrikaa]+Pendapatan_3 [Mahonii]+Pendapatan_3[Cengkeh]+Pendapatan_3[Rempah]+Pendapatan_3[Ja he_merah]+Pendapatan_3[Jahe] Total_Pendapatan_Agrofoestry = Pendapatan_Kotor_Karangsari+Pendapatan_Kotor_Pajambon+Pendapatan_Kot or_Seda Total_Petani_krsari = 687+Serapan_Naker__Agro_Karangsari Total_Petani_pajambon = 130+Serapan_Naker__Agro_Pajambon_3 Total_Petani_Seda = 327+Serapan_Naker__Agro_Seda Total_RataPend_Perkaipta_Agrofoestry = (Rata_Pend_Perkapita_Agro_Karangsari+Rata_Pend_Perkapita_Agro_Pajambo n+Rata_Pend_Perkapita_Agro_Seda)/3 Total_Rata_Pend_perkapita_7 = (Rata_pend_Pemandu+Rata_pend_Peng_Wisata+Rata_pend_Sovenir+Rata_pe nd_Wr_mkn)/Tanggungan_Pajambon TOTAL_RATA_PEND_PERKAPITA_AGRO&EKO = (Total_RataPend_Perkaipta_Agrofoestry+TOTAL_RATA_PEND_PERKAPITA_E KO)/2 TOTAL_RATA_PEND_PERKAPITA_EKO = (Rata_pend_perkapita_eko_cisantana+Rata_pend_perkapita_eko_Maniskidul+R ata_pend_perkapita_eko_pajambon)/3
262
Total_Rata_Pend_perkapoita_8 = (Rata_pend_Pemandu_2+Rata_pend_Peng_Wisata_2+Rata_pend_Sovenir_2+ Rata_pend_Wr_mkn_2)/Tanggungan_Maniskidul Total__Rata_Pend_perkapita__9 = (Rata_pend_Pemandu_3+Rata_pend_Peng_Wisata_3+Rata_pend_Sovenir_3+ Rata_pend_Wr_mkn_3)/Tanggungan_Cisantana T_Sampah = 3 T_Sampah_2 = 3 T_Sampah_3 = 2 Volume_Keg = 1 Volume_Keg_2 = 0 Volume_Keg_3 = 1 Volume_Keg_7[Dinas_Prov] = 1 Volume_Keg_7[Dispar] = 1 Volume_Keg_7[BTNGC] = 1 Volume_Keg_7[PDAU] = 0 Volume_Keg_7[LSM] = 2 Volume_Keg_8[Dinas_Prov] = 0 Volume_Keg_8[Dispar] = 1 Volume_Keg_8[BTNGC] = 0 Volume_Keg_8[PDAU] = 0 Volume_Keg_8[LSM] = 0 Volume_Keg_9[Dinas_Prov] = 0 Volume_Keg_9[Dispar] = 1 Volume_Keg_9[BTNGC] = 1 Volume_Keg_9[PDAU] = 0 Volume_Keg_9[LSM] = 1 Wr_Makan = 0.81*Ekowisatawan_Pajambon_sigmoid Wr_Makan_2 = 0.81*Ekowisatawan_Maniskidul_sigmoid Wr_Makan_3 = 0.81*Ekowisatawan_Cisatanan_sigmoid Not in a sector Pendampingan_2 = 0
263
Pendampingan
Penyuluhan
Iklim
Penyakit
Iklim 2 Penyakit 2
Penyuluhan 2
Hama
Hama 2
Pendampingan 3
Penyuluhan 3
Iklim 3
Penyakit 3
Hama 3
Kenaikan Pendampingan 2 Kenaikan Penyuluhan 2
Kenaikan Pendampingan
Prod
In
Out
Decre 2
Prod 3
Kenaikan total sarpras 3
Papan Petunjuk 3
Papan Petunjuk 2
Total Kenaikan 9
Total Kenaikan 8
T Sampah
T Sampah 3
T Sampah 2
In 7
R Pakaian
Ekowisatawan Cisantana
Ekowisatawan Manis Kidul
In 8
Out7 R Pakaian 2
Kenaikan peran total
In 9
Out8 R Pakaian 3
Kenaikan peran total 2
Kenaikan Peran Stakeholder 7
Out9
Kenaikan peran total 3 Kenaikan Peran Stakeholder 9
Kenaikan Peran Stakeholder 8
Peran stakeholder 3 Pengurangan Wisata
Peran stakeholder 7
Jumlah terlibat 2
Jumlah terlibat
Out 3
Kenaikan Peran Stakeholder 3
Peran stakeholder 2
Peran stakeholder
Peran stakeholder 9
Peran stakeholder 8
Jumlah terlibat 3
Volume Keg 2
Volume Keg
Papan Petunjuk
Total Kenaikan 7
In 3
Sarpras 3
Kenaikan total sarpras 2 Kenaikan total sarpras Ekowisatawan Pajambon
Out 2
Mushola 3 R Informasi 3 Pos Jaga 3
Shelter 3
Shelter 2
Sarpras
Decre 3
Prod Pajambon
Kenaikan Peran Stakeholder 2
Kenaikan Peran Stakeholder
Shelter
Total Kenaikan 3
In 2
Mck 3
Sarpras 2
Kenaikan Penyuluhan 3
Prod Seda
Total Kenaikan 2
Total Kenaikan
Mck 2 Mushola 2 R Informasi 2
Kenaikan Pendampingan 3
Prod 2
Decre
Prod Karangsari1
Pos Jaga 2
Pos Jaga
R Informasi
Mushola
Mck Kenaikan Penyuluhan
Pengurangan Wisata 3
Pengurangan Wisata 2
Volume Keg 3 Persepsi ekowistawan Table 19
Jumlah terlibat 7
Volume Keg 7
bila htn berkurang
Ekowisatawan Pajambon sigmoid
Ekowisatawan Cisatanan sigmoid
Ekowisatawan Maniskidul sigmoid
Total Ekowisata
Jumlah terlibat 9
Volume Keg 9
Jumlah terlibat 8
Volume Keg 8
Penitipan pakaian Sewa kendaraan 2 Peralatan renang 2
Kamar bilas Prod Karangsari1
Peralatan renang 3 Souvenir khas 2
Sewa tenda Sewa kendaraan Toilet umum
Kamar bilas 3 Serapan Naker Eko Manis kidul
Pendapatan
Ekowisatawan Pajambon sigmoid
Petani Seda
Eko Pajambon
Tanggungan Seda Pendapatan Kotor Seda
Sovenir
Total Pendapatan 2
Penjual Wr mkn Pajambon Masuk 2
Masuk
Keluar 2
Jmlh Peng wst Pajambon
Total Petani Seda
Penjual sovenir Pajambon
Rata Pend Perkapita Agro Seda
Keuntungan pemandu
Keuntungan Wisata
Tanggungan Karangsari
Keuntungan Makan 2
Keuntungan pemandu 2
Petani pajambon Pendapatan 3
Keuntungan Wisata 3
Keuntungan Keuntungan Wisata 2 Souvenir 3
Pendapatan Sovenir 2Pendapatan Wr Makan 2
Pendapatan Peng Wisata 3
Pendapatan Wr Makan 3 Pendapatan Pemandu 3
Pendapatan Peng Wisata 2
Rata pend Wr mkn 2 Rata pend Pemandu
Pendapatan Sovenir 3
Pendapatan Peng Wisata
Rata pend Wr mkn Rata pend Sovenir
Total Pendapatan Agrofoestry
Luas 3
Keuntungan Souvenir 2
Pendapatan Pemandu 2
Pendapatan Pemandu
harga 3
Pengelola Wisata 3
Keuntungan pemandu 3 Keuntungan Wr Makan 3
Pendapatan Wr Makan
Agro Karangsari
Pemandu 3
Jmlh Pemandu Cisatana
Penjual wr mkn manis
Pendapatan Sovenir
Rata Pend Perkapita
Penjual Wr mknCisatana Wr Makan 3 Penjual sovenir Cisatana
Jmlh Pemandu Manis Penjual sovenir Manis
Keuntungan Wr Makan
Total Petani krsari
Eko Cisantana
Pengelola Wisata 2
Jmlh Pemandu Pajambon
Keuntungan Souvenir
Keluar
Prod Pajambon
Wr Makan 2
Jmlh Peng wst Cisatana
Sovenir 3
Pemandu 2
Pemandu Pengelola Wisata
Wr Makan
Pendapatan Kotor Karangsari Total Pendapatan
Sovenir 2
Serapan Naker
Restoran 3 Jmlh Peng wst manis
Serapan Naker
Homestay
Ekowisatawan Cisatanan sigmoid
Homestay3
Ekowisatawan Maniskidul sigmoid Restoran Luas 2
Pendapatan 2
Petani kr sari
Souvenir khas 3
Toilet umum 3
Souvenir khas
Peralatan renang
harga 2 Luas
Penitipan pakaian 3 Sewa tenda 3
Restoran 2 harga
Sewa kendaraan 3
Penitipan pakaian 2
Toilet umum 2
Keuntungan Toilet
Prod Seda
Rata pend Pemandu 2
Rata pend Sovenir 2
Rata pend Peng Wisata
Rata pend Wr mkn 3
Rata pend Peng Wisata 2
Rata pend Pemandu 3
Rata pend Sovenir 3
Pend perkapita Rata
Pend perkapita Rata
Kotor Eko Pajambon
Kotor Ekomanis Kidul
Rata pend Peng Wisata 3
Total Rata Pend perkapoita 8 Pend perkapita Rata
Pendapatan Kotor Pajambon
Total Rata Pend perkapita 7 Masuk 7
Total RataPend Perkaipta Agrofoestry
Total Pendapatan 3 Masuk 3
Keluar 7
Tanggungan Maniskidul
Masuk 8
Total Rata Pend perkapita 9
Keluar 8
Keluar 3 Tanggungan Cisantana Rata pend perkapita eko pajambon
Total Petani pajambon
TOTAL RATA PEND PERKAPITA EKO
Rata Pend Perkapita
Tanggungan Pajambon
agroeko pajambon
Masuk 9
Keluar 9
Rata pend perkapita eko Maniskidul
Pend perkapita rata
Agro Pajambon
Kotor Eko Cisantanaa
Table 20 Table 18
TOTAL RATA PEND PERKAPITA AGRO&EKO
Rata pend perkapita eko cisantana
Gambar sub model pendapatan masyarakat
263
264
Lampiran 6Persamaan dan gambar submodelkelestarian TNGC Persamaan Sub Model Kelestarian Hutan TNGC Luas_Hutan(t) = Luas_Hutan(t - dt) + (Tambah - Kurang) * dtINIT Luas_Hutan = 5132 INFLOWS: Tambah = Luas_penanaman_CSR+Luas_penanaman_TN OUTFLOWS: Kurang = Luas_kebakaran_eko+Luas_kebakaran_agro+Luas_perambahan_Agro+Luas_p erambahan_eko Delay_duration = 5 klasifikasi_rate_perambahan_&_kebakaran_Agrofor = if Total_RataPend_Perkaipta_Agrofoestry < 200 or Total_serapan_naker_agro < 100 then 0.001 else if Total_RataPend_Perkaipta_Agrofoestry > 200 and Total_RataPend_Perkaipta_Agrofoestry < 400 or Total_serapan_naker_agro >100 and Total_serapan_naker_agro < 200 then 0.005 else 0 klasifikasi_rate_perambahan_&_kebakaran_eko = if TOTAL_RATA_PEND_PERKAPITA_EKO < 200 or Total_serapan_naker_eko < 100 then 0.1 else if TOTAL_RATA_PEND_PERKAPITA_EKO > 200 and TOTAL_RATA_PEND_PERKAPITA_EKO < 400 or Total_serapan_naker_eko >100 and Total_serapan_naker_eko < 200 then 0.01 else 0 Luas_kebakaran_agro = Luas_Hutan*rate_kebakaran_agro Luas_kebakaran_eko = Luas_Hutan*rate_kebakaran_eko Luas_Kwsn_Htn_Kuningan = 8931 Luas_penanaman_CSR = rate_penanaman_csr*delay(Luas_Hutan,Delay_duration,5) Luas_penanaman_TN = rate_penanaman_TN*delay(Luas_Hutan,Delay_duration,5) Luas_perambahan_Agro = Luas_Hutan*rate_perambahan_agro Luas_perambahan_eko = Luas_Hutan*rate_perambahan_eko Persen_Luas_Htn_per_kwsn = Luas_Hutan/Luas_Kwsn_Htn_Kuningan rate_kebakaran_agro = if klasifikasi_rate_perambahan_&_kebakaran_Agrofor > 0 then 0.01 else 0 rate_kebakaran_eko = if klasifikasi_rate_perambahan_&_kebakaran_eko > 0 then 0.01 else 0 rate_penanaman_csr = 0.01 rate_penanaman_TN = 0.03 rate_perambahan_agro = if klasifikasi_rate_perambahan_&_kebakaran_Agrofor > 0 then 0.01 else 0 rate_perambahan_eko = if klasifikasi_rate_perambahan_&_kebakaran_eko > 0 then 0.01 else 0
265 265
Luas Kwsn Htn Kuningan Persen Luas Htn per kwsn Luas kebakaran agro
Luas penanaman CSR
Luas kebakaran eko
Luas Hutan
rate penanaman csr
rate kebakaran agro rate kebakaran eko
Tambah rate penanaman TN
Kurang
Luas penanaman TN
Luas perambahan Agro Luas perambahan eko Delay duration
rate perambahan agro rate perambahan eko
klasif ikasi rate perambahan & kebakaran eko
klasif ikasi rate perambahan & kebakaran Agrof or
Total RataPend Perkaipta Agrofoestry TOTAL RATA PEND PERKAPITA EKO
Total serapan naker agro
Total serapan naker eko
Gamba sub model kelestarian TNGC