MODAL SOSIAL MASYARAKAT KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL KUTAI (TNK) DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA
POPPY OKTADIYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Modal Sosial Masyarakat Kawasan Penyangga Taman Nasional Kutai (TNK) dalam Pengembangan Ekowisata adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010
Poppy Oktadiyani NRP E 352080071
ABSTRACT POPPY OKTADIYANI. Social Capital of Communities in Kutai National Park Buffer Zone for Ecotourism Development. Under supervision of E.K.S. HARINI MUNTASIB and ARZYANA SUNKAR. Kutai National Park (KNP) is bordered by a coal mining company, PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC). Communities living between the TNK and the company were those living in Kabo Jaya Hamlet of Swarga Bara Village and G III Hamlet of Singa Gembara Village, who were economically dependent on this company. A main concern to the post-mining period in 2021 is a lost source of livelihood which could trigger the exploitation of the national park by the communities. Alternative sources of livelihood were natural resources available in Prevab-KNP, Tanjung Bara Beach, and Tanjung Bara Mangrove which could be use for ecotourism development. The objective of this research was to study the social capital of ecotourism development in the KNP buffer zone area. Data were collected using several methods including field observation, participative observation, in depth interview, and literature study. The social capitals were valued using Social Capital Assessment Tools (SCAT) to assess the community’s social capitals, Confirmatory Factor Analysis (CFA) to assess the relationships between social capital variables, and descriptive analysis to evaluate each stakeholder’s ecotourism development policies. Social capital adequacy value for Kabo Jaya Hamlet of Swarga Bara Village was 173 (high) and G III Hamlet of Singa Gembara Village was 159 (average), suggesting that ecotourism development in Kabo Jaya Hamlet would be easier to develop than Singa Gembara village, due to the existence of Kabo Jaya Ecotourism Group. Results showed that the social capital inter-variables relationship’s (T-value) for Kabo Jaya Hamlet were: trust (27.45) with coefficient of effect ( ) of 0.63; network participation (31.75) with ( ) of 0.88; social norms (37.37) with ( ) of 1.00; proactive actions (31.98) with ( ) of 0.84; and concern for others and the environment (25.75) with ( ) of 0.66. Every element of social capital in Kabo Jaya Hamlet significantly affects the social capital, and the most significant element was social norm. While T-values for G III Hamlet were: 29.00 for trust with ( ) of 0.77; 28.66 for network participation with ( ) of 0.81; 27.72 for social norms with ( ) of 0.81; 28.99 for proactive actions with ( ) of 0.16; and 31.88 for concern for others and the environment with ( ) of 1.00. Every element of social capital in G III Hamlet significantly affects the social capital with the most significant element was concern for others and the environment. Keywords: Community, Ecotourism, G III Hamlet, Kabo Jaya Hamlet, Social Capital.
RINGKASAN POPPY OKTADIYANI. Modal Sosial Masyarakat Kawasan Penyangga Taman Nasional Kutai (TNK) dalam Pengembangan Ekowisata. Dibimbing oleh E.K.S. HARINI MUNTASIB dan ARZYANA SUNKAR. Letak Taman Nasional Kutai (TNK) berbatasan langsung dengan PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC). Sehingga masyarakat yang menetap di wilayah antara TNK dan PT. KPC yaitu di Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara dan Dusun G III, Desa Singa Gembara menggantungkan hidupnya pada PT. KPC. Memasuki masa pasca tambang PT. KPC tahun 2021, dikhawatirkan masyarakat akan kehilangan mata pencaharian dan berpeluang merambah TNK. Sebagai alternatif keberadaan potensi sumberdaya ekowisata Prevab-TNK, Pantai Tanjung Bara, dan Hutan Mangrove Tanjung Bara dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata. Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah modal sosial dalam pengembangan ekowisata di kawasan penyangga TNK melalui identifikasi unsurunsur modal sosial, penilaian unsur-unsur modal sosial, pengukuran hubungan unsur-unsur modal sosial terhadap modal sosial yang dimiliki masyarakat, dan memberikan arahan kebijakan pengembangan ekowisata berdasarkan modal sosial yang ada. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapang, observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Penilaian modal sosial menggunakan Social Capital Assessment Tools (SCAT), untuk melihat hubungan pengaruh antar variabel modal sosial melalui Confirmatory Factor Analysis (CFA), dan analisis deskriptif untuk analisis kebijakan dan dukungan pengembangan ekowisata setiap stakeholder. Unsur modal sosial yang ada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III terdiri dari: (a) kepercayaan terhadap PT. KPC paling tinggi; (b) partisipasi dalam suatu jaringan yang ada yaitu dalam bentuk kerjasama dengan PT. KPC dalam pengembangan Ekowisata Kabo Jaya, di Dusun Kabo Jaya; (c) ketaatan terhadap norma agama, susila dan kesopanan lebih tinggi di Dusun Kabo Jaya; (d) tindakan yang pro aktif secara umum masih rendah kecuali dalam berbagi pengalaman dengan sesama di kedua dusun tinggi; serta (e) kepedulian terhadap sesama dan lingkungan di kedua dusun cukup tinggi. Nilai modal sosial untuk Dusun Kabo Jaya adalah 173 (tinggi) dan Dusun G III adalah 159 (sedang) yang berarti bahwa ekowisata dapat dikembangkan di kedua dusun tersebut namun akan lebih mudah mengembangkannya di Dusun Kabo Jaya, terkait dengan keberadaan Kelompok Ekowisata Kabo Jaya. Unsur modal sosial bernilai rendah yang ditemukan di kedua dusun adalah tindakan proaktif, hal ini disebabkan karena banyaknya curahan waktu yang dipergunakan untuk bekerja. Khusus di Dusun G III jaringan sosial juga merupakan unsur modal sosial yang bernilai rendah, hal ini disebabkan karena belum adanya jaringan sosial yang mengarah kepada kegiatan pengembangan ekowisata. Hasil analisis hubungan pengaruh nyata (T-Value) antar unsur modal sosial untuk Kabo Jaya, Desa Swarga Bara mendapatkan hasil sebagai berikut: kepercayaan (27,45) dengan estimasi koefisien pengaruh ( ) 0,63; partisipasi
dalam suatu jaringan (31,75) dengan ( ) 0,88; norma sosial (37,37) dengan ( ) 1,00; tindakan yang proaktif (31,98) dengan ( ) 0,84; serta kepedulian terhadap sesama dan lingkungan (25,75) dengan ( ) 0,66. Semua unsur modal sosial di Dusun Kabo Jaya berpengaruh nyata terhadap modal sosial dengan unsur yang paling berpengaruh adalah norma sosial. Sedangkan untuk Desa Singa Gembara diperoleh nilai T-Value sebagai berikut: kepercayaan (29,00) dengan ( ) 0,77; partisipasi dalam suatu jaringan (28,66) dengan ( ) 0,81; norma sosial (27,72) dengan ( ) 0,81; tindakan yang proaktif (28,99) dengan ( ) 0,16; serta kepedulian terhadap sesama dan lingkungan (31,88) dengan ( ) 1,00. Semua unsur modal sosial di Dusun G III berpengaruh nyata terhadap modal sosial dengan unsur modal sosial yang paling berpengaruh adalah kepedulian terhadap sesama dan lingkungan. Hubungan unsur-unsur modal sosial di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III semua berpengaruh nyata terhadap modal sosial, hal ini berarti bahwa semua unsur modal sosial berpengaruh terhadap terbentuknya modal sosial. Unsur modal sosial yang paling kuat kontribusi pengaruhnya di Dusun Kabo Jaya adalah norma sosial ) 1,00 dalam bentuk ketaatan terhadap norma agama, kesusilaan dan kesopanan yang berpengaruh positif terhadap pengembangan ekowisata ke arah pengembangan ekowisata budaya, sedangkan di Dusun G III yang paling kuat kontribusi pengaruhnya adalah kepedulian terhadap sesama dan lingkungan ) 1,00 berpengaruh positif dalam pengembangan ekowisata yang memprioritaskan keunggulan dan kepedulian terhadap alam. Arahan kebijakan pengembangan ekowisata untuk Dusun Kabo Jaya adalah ekowisata ke arah pengembangan ekowisata budaya yang lebih dimunculkan dengan didukung kondisi masyarakat yang multi-etnik dengan dukungan kebijakan pengembangan ekowisata dari pihak PT. KPC dan TNK. Sedangkan untuk Dusun G III ke arah pengembangan ekowisata yang memprioritaskan keunggulan alam dengan didukung kebijakan pengembangan ekowisata Pantai Mangrove Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara dari PT. KPC dan Pemerintah Daerah Kutai.
Kata Kunci: Dusun G III, Dusun Kabo Jaya, Ekowisata, Masyarakat, Modal Sosial
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan mengutip tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
MODAL SOSIAL MASYARAKAT KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL KUTAI (TNK) DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA
POPPY OKTADIYANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Ir. Soewartono, MM.
Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok
: Modal Sosial Masyarakat Kawasan Penyangga Taman Nasional Kutai (TNK) dalam Pengembangan Ekowisata : Poppy Oktadiyani : E352080071
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS. Ketua
Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 1 Juli 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala KaruniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Januari 2010 ini ialah modal sosial, dengan judul Modal Sosial Masyarakat Kawasan Penyangga Taman Nasional Kutai (TNK) dalam Pengembangan Ekowisata. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS. dan Ibu Dr. Ir. Arzyana Sunkar, MSc. selaku pembimbing, serta Bapak Ir. Soewartono, MM. selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. selaku pimpinan sidang pada ujian tesis yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada masyarakat Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara; Dusun G III, Desa Singa Gembara; dan PT. KPC atas segala dukungan materi serta teman-teman Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan angkatan 2008, Pascasarjana IPB atas segala dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga atas segala do’a dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2010 Poppy Oktadiyani
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 15 Oktober 1982 dari pasangan Yoyo Wartoyo, S.Pd. dan Euis Komariah. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ciamis dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2008, penulis diterima di Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balai Konservasi Sumberdaya Hutan Sulawesi Tengah, Kementrian Kehutanan sejak tahun 2010.
i
DAFTAR ISI DAFTAR ISI .......................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2 Tujuan ......................................................................................................... 3 1.3 Manfaat ....................................................................................................... 3 1.4 Perumusan Masalah .................................................................................... 3 1.5 Kerangka Pemikiran .................................................................................... 4 II. KONDISI UMUM ............................................................................................ 5 2.1 PT. Kaltim Prima Coal ................................................................................ 5 2.2 Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat .................................... 6 2.3 Desa Swarga Bara ....................................................................................... 8 2.4 Desa Singa Gembara ................................................................................... 9 III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 11 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 11 3.2 Peralatan dan Obyek Kajian ...................................................................... 12 3.3 Jenis Data .................................................................................................. 12 3.4 Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 14 3.5 Analisis Data ............................................................................................. 15 3.6 Sintesis Data .............................................................................................. 18 IV. IDENTIFIKASI UNSUR MODAL SOSIAL ............................................. 19 4.1 Unsur Modal Sosial ................................................................................... 19 4.1.1
Kepercayaan (Trust) ........................................................................ 19
4.1.2
Jaringan Sosial (Social Networking) ............................................... 25
4.1.3
Norma Sosial (Social Norms) ......................................................... 32
4.1.4
Tindakan yang Pro Aktif ................................................................. 33
4.1.5
Kepedulian terhadap Sesama dan Lingkungan ............................... 35
4.1.6
Kondisi Sosial Ekonomi .................................................................. 35
ii
4.2 Potensi dan Aplikasi Modal Sosial dalam Pengembangan Ekowisata ..... 44 4.2.1
Dusun Kabo Jaya............................................................................. 44
4.2.2
Dusun G III ..................................................................................... 48
4.3 Potensi Ekowisata ..................................................................................... 49 4.3.1
Dusun Kabo Jaya............................................................................. 49
4.3.2
Dusun G III ..................................................................................... 60
V. PENILAIAN DAN PENGUKURAN HUBUNGAN UNSUR-UNSUR MODAL SOSIAL TERHADAP MODAL SOSIAL ................................. 67 5.1 Penilaian Unsur Modal Sosial ................................................................... 67 5.1.1
Kepercayaan (Trust) ........................................................................ 69
5.1.2
Jaringan Sosial (Social Networking) ............................................... 70
5.1.3
Norma Sosial (Social Norm) ........................................................... 72
5.1.4
Tindakan yang Pro Aktif ................................................................. 73
5.1.5
Kepeduliaan terhadap Sesama dan Lingkungan ............................. 74
5.1.6
Kondisi Sosial Ekonomi .................................................................. 74
5.1.7
Ketercukupan Modal Sosial dalam Pengembangan Ekowisata ...... 78
5.2 Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial terhadap Modal Sosial .. 79 5.2.1
Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial Dusun Kabo Jaya80
5.5.2
Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial Dusun G III ........ 80
VI. KEBIJAKAN DAN DUKUNGAN PENGEMBANGAN EKOWISATA 81 6.1 Kebijakan Pengembangan Ekowisata ....................................................... 81 6.1.1
Taman Nasional Kutai (TNK)......................................................... 81
6.1.2
PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC) .................................................. 82
6.1.3
Pemerintah Daerah Kutai Timur ..................................................... 82
6.2 Dukungan Pengembangan Ekowisata ....................................................... 83 6.2.1
Pemerintah Desa/Kepala Desa ........................................................ 83
6.2.2
Tokoh Adat/Tokoh Masyarakat ...................................................... 83
6.2.3
Masyarakat ...................................................................................... 84
6.2.4
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ........................................... 84
6.3 Arah Kebijakan Pengembangan Ekowisata .............................................. 85 6.3.1
Dusun Kabo Jaya............................................................................. 85
6.3.2
Dusun G III ..................................................................................... 85
iii
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 87 7.1 Kesimpulan ............................................................................................... 87 7.2 Saran.......................................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 91
iv
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Agama dan sarana peribadatan di Kecamatan Sangatta Utara tahun 2008 ..................................................................................................... 7 Tabel 2.2 Kondisi pendidikan di Kecamatan Sangatta Utara tahun 2008 .............. 7 Tabel 2.3 Persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha utama dan jenis kelamin di Kabupaten Kutai Timur tahun 2008.......................... 7 Tabel 2.4 Agama yang dipeluk dan sarana agama yang ada di Desa Swarga Bara 8 Tabel 2.5 Tingkat pendidikan penduduk Desa Swarga Bara ................................. 9 Tabel 2.6 Mata Pencaharian penduduk Desa Swarga Bara .................................... 9 Tabel 2.7 Kondisi penduduk Desa Singa Gembara .............................................. 10 Tabel 3.1 Jenis data yang diambil ........................................................................ 12 Tabel 3.2 Selang nilai terendah – tertinggi setiap unsur modal sosial ................. 15 Tabel 3.3 Peubah, indikator dan parameter penelitian ......................................... 17 Tabel 4.1 Beberapa bentuk program CSR PT. KPC untuk masyarakat Kecamatan Sangatta Utara (Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III termasuk di dalamnya) yang telah dilaksanakan ................................................... 20 Tabel 4.2 Laporan pelaksanaan kegiatan belanja langsung Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur tahun anggaran 2008 ............... 21 Tabel 4.3 Data kriminal dari Polisi Kampung di Kabupaten Kutai Timur .......... 23 Tabel 4.4 Peristiwa kejahatan dan pelanggaran di Kabupaten Kutai Timur ........ 23 Tabel 4.5 Pertumbuhan penduduk Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara 36 Tabel 4.6 Sarana komunikas dan transportasi di Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara .................................................................................. 37 Tabel 4.7 Kondisi pembangunan di Desa Singa Gembara ................................... 38 Tabel 4.8 Penetapan penerimaan bantuan perbaikan perumahan penduduk miskin perbaikan sarana dan prasarana umum lingkungan pedesaan (swakelola) tahun anggaran 2009 di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ....................................................................................................... 38 Tabel 4.9 Mata pencaharian masyarakat di Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara............................................................................................. 39 Tabel 4.10 Kondisi keamanan Desa Singa Gembara ........................................... 40
v
Tabel 4.11 Kemampuan kelembagaan di Kabupaten Kutai Timur ...................... 40 Tabel 4.12 Tingkat pendidikan masyarakat Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara............................................................................................. 41 Tabel 4.13 Sarana pendidikan di Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara .. 42 Tabel 4.14 Fasilitas kesehatan di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ................. 43 Tabel 4.15 Kelompok Minat (Pokmin) Ekowisata Kabo Jaya ............................. 46 Tabel 4.16 Harga paket Ekowisata Kabo Jaya ..................................................... 46 Tabel 4.17 Menu makanan wisata kuliner Ekowisata Kabo Jaya ........................ 47 Tabel 5.1 Nilai kepercayaan masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ..... 70 Tabel 5.2 Nilai jaringan sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III .. 71 Tabel 5.3 Nilai norma sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ..... 72 Tabel 5.4 Nilai tindakan yang pro aktif masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ................................................................................................... 73 Tabel 5.5 Nilai kepedulian terhadap sesama dan lingkungan masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Desa G III .................................................................. 74 Tabel 5.6 Nilai karakteristik masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ..... 74 Tabel 5.7 Ketercukupun modal sosial dalam pengembangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ............................................................... 78
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian .................................................................. 4 Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian ....................................................................... 11 Gambar 4.1 Jaringan sosial umum Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III .............. 26 Gambar 4.2 Interaksi antar individu dalam satu kelompok ................................. 27 Gambar 4.3 Interaksi antar individu beda kelompok .......................................... 28 Gambar 4.4 Interaksi antar individu dengan kelompok ...................................... 28 Gambar 4.5 Interaksi antar kelompok ................................................................. 29 Gambar 4.6 Potret anak-anak Kampung Bugis sedang bermain ......................... 30 Gambar 4.7 Struktur organisasi Ekowisata Kabo Jaya........................................ 44 Gambar 4.8 Pengunjung dalam dan luar negeri Prevab, TNK ............................ 50 Gambar 4.9 Orangutan (Pongo pygmaeus) dan habitatnya ................................. 50 Gambar 4.10 Aktivitas pengunjung di pusat penelitian Orangutan Prevab ........ 51 Gambar 4.11 Sarana dan prasarana yang ada di stasiun penelitian Orangutan Prevab............................................................................................ 55 Gambar 4.12 Sarana dan prasarana Dusun Kabo Jaya yang dapat mendukung kegiatan Ekowisata Kabo Jaya ...................................................... 59 Gambar 4.13 Daya tarik Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara ....................................................................................................... 62 Gambar 4.14 Beberapa aktivitas pengunjung Pantai Tanjung Bara .................... 63 Gambar 4.15 Sarana prasarana ekowisata di Pantai Tanjung Bara ..................... 66
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Suku adat ………………………………………………………..,95 Lampiran 2. Jenis-jenis tumbuhan dan jamur yang ditemukan di sepanjang looptrail menuju sarang Orangutan ……………………………..138
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Taman Nasional Kutai (TNK) merupakan taman nasional yang berbatasan
langsung dengan PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC) yaitu perusahaan pertambangan batu bara terbesar di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur. PT. KPC yang telah beroperasi sejak tahun 1982 dan akan berakhir masa tambangnya pada tahun 2021. Bermukim di antara TNK dan PT. KPC adalah masyarakat Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara dan masyarakat Dusun G III, Desa Singa Gembara yang pada umumnya bekerja di PT. KPC dan perusahaan kontraktornya (Darwono 1995). Memasuki masa pasca tambang PT. KPC, dikhawatirkan masyarakat akan kehilangan mata pencahariannya dan akan merambah TNK, sehingga diperlukan sebuah alternatif sumber pendapatan. TNK memiliki pusat penelitian Orangutan (Pongo pygmaeus) di Prevab yang berbatasan langsung dengan Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara yang merupakan kawasan penyangga TNK. Sedangkan PT. KPC memiliki wilayah operasi yang meliputi Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara, di Desa Singa Gembara. Mempertimbangkan keberadaan potensi sumberdaya wisata di Prevab TNK, Pantai Tanjung Bara, dan Hutan Mangrove Tanjung Bara, maka ekowisata dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif pekerjaan
melalui
pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata tidak hanya didukung oleh potensi sumberdaya alam, tetapi juga oleh dukungan dari masyarakat sebagai penggerak lokal kegiatan ekowisata. Coleman dalam Dharmawan (2001) menyatakan bahwa terdapat 3 unsur utama modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), jaringan sosial (social networking), dan norma sosial (social norms). Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil beberapa penelitian Rahmayulis (2008), mengidentifikasi unsur kepercayaan masyarakat adat terhadap pimpinan adatnya, terhadap sesama anggota komunitasnya, serta terhadap norma adat yang dijadikan landasan dalam kehidupan sosial sebagai unsur utama dalam pengembangan ekowisata di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK). Hasil ini juga diperkuat oleh Rachmawati
2
(2010) yang menemukan bahwa unsur-unsur sistem sosial yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan wisata alam di kawasan Gunung Salak Endah (GSE) adalah kepercayaan antar individu, kekuasaan dan kewenangan, status dan peran, serta norma dan sanksi sosial. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengetahuan mengenai modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah
yang
akan
dikembangankan
merupakan
bagian
integral
dari
pengembangan ekowisata. Hasbullah (2006) melengkapi, unsur pokok modal sosial terdiri dari partisipasi dalam suatu jaringan, timbal balik (reciprocity), kepercayaan (trust), norma sosial, nilai-nilai, dan tindakan yang proaktif. Unsur modal sosial yang akan diamati dalam penelitian ini, yaitu kepercayaan, jaringan sosial, norma sosial, tindakan yang proaktif, kepedulian terhadap sesama dan lingkungan, serta kondisi sosial dan ekonomi. Modal sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru. Sumberdaya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok (Hasbullah 2006). Pentingnya mengetahui modal sosial dalam pengembangan ekowisata karena keberhasilan pengembangan ekowisata di suatu kawasan memerlukan adanya keseimbangan antara aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya (Goeldner et al. 2000 dan Milic et al. 2008). Menurut UNEP dan WTO (2002) dalam Deklarasi Quebec 2002, masyarakat sebagai salah satu komponen sosial memiliki
peran
dan
tanggung
jawab
untuk
menentukan
keberhasilan
pengembangan ekowisata melalui pembangunan modal sosial. Penelitian modal sosial dalam bidang ekowisata masih sangat terbatas karena pada umumnya modal sosial digunakan dalam pembangunan suatu wilayah seperti dijelaskan dalam penelitian Fadli (2007) dan Syahra (2003) serta Hasbullah (2006). Sehingga dalam rangka pengembangan ekowisata sebagai
3
alternatif kegiatan pasca tambang perlu diidentifikasi unsur-unsur yang membentuk modal sosial pada masyarakat target. Selain itu, karakter multi-etnis yang dimiliki masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III yang sebagian besar adalah pendatang memberikan tantangan yang unik dalam penelitian modal sosial.
1.2
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah modal sosial bagi
pengembangan ekowisata di kawasan penyangga Taman Nasional Kutai (TNK), melalui: a. Identifikasi unsur-unsur modal sosial. b. Penilaian unsur modal sosial. c. Pengukuran hubungan unsur-unsur modal sosial terhadap modal sosial yang dimiliki komunitas masyarakat. d. Memberikan arahan kebijakan pengembangan ekowisata di setiap lokasi penelitian berdasarkan modal sosial yang ada di tempat tersebut.
1.3
Manfaat 1. Memberikan gambaran modal sosial masyarakat kepada para pihak pengambil keputusan untuk pengembangan ekowisata pasca tambang PT. KPC. 2. Menjaga kelestarian sumberdaya alam TNK dengan adanya kegiatan ekowisata.
1.4
Perumusan Masalah Masyarakat yang berada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III sebagai
kawasan penyangga TNK yang kondisi mata pencahariannya saat ini bergantung kepada PT. KPC dan perusahaan kontrkatornya sebagai perusahaan pertambangan batu bara. Mengadapi masa pasca tambang tahun 2021, dikhawatirkan masyarakat di kawasan penyangga TNK ini akan kehilangan mata pencahariannya dan akan merambah TNK, sehingga diperlukan alternatif mata pencaharian lain.
4
Keberadaan Prevab TNK, Dusun Kabo Jaya, Pantai Tanjung Bara, Hutan Mangrove Pantai Tanjung Bara serta potensi lain di sekitar PT. KPC dapat dijadikan alternatif dalam mempersiapkan kemandirian masyarakat pada pasca tambang, yaitu dengan pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata ini perlu dukungan modal sosial yang dimiliki masyarakat sebagai penggerak pengembangan ekowisata. Masyarakat sekitar PT. KPC yang sebagian besar adalah pendatang dari berbagai etnik, hal ini cukup unik untuk dikaji mengenai kondisi modal sosial yang dimiliki dari masyarakat dengan latar belakang etnik yang beragam dalam mendukung pengembangan ekowisata, untuk mengetahui bagaimana kondisi dari unsur-unsur modal sosial yang terdiri dari kepercayaan, jaringan sosial, norma sosial, tindakan yang pro aktif, kepedulian terhadap sesama dan lingkungan, serta kondisi sosial ekonomi.
1.5
Kerangka Pemikiran
Potensi SDA Prevab, TNK a. Kebijakan Pengembangan Ekowisata dari TNK, PT. KPC, dan Pemda Kutai Timur b. Dukungan Pengembangan Ekowisata dari Kepala Desa, Tokoh Adat/Tokoh Masyarakat, masyarkat, dan LSM
Analisis Deskriptif
Masyarakat
Potensi SDA Pantai dan Hutan Mangrove Tanjung Bara
Ekowisata
Masyarakat Multi Etnik Unsur Modal Sosial: a. Kepercayaan b. Jaringan Sosial c. Norma Sosial d. Tindakan yang Pro Aktif e. Kepedulian terhadap Sesama dan Lingkungan
Penilaian Unsur Modal Sosial dengan Social Capital Assessment Tool (SCAT) Modifikasi (Krishna dan Shrader , 1999)
Pengumpulan Data: a. Observasi lapang b. Observasi partisipatif c. In depth interview d. Studi Pustaka
Analisis Data Tingkatan modal sosial: a. Tinggi b. Sedang c. Rendah
Analisis CFA: Hubungan pengaruh unsur-unsur modal sosial terhadap modal sosial Sintesis Data MODAL SOSIAL
Arahan Kebijakan Pengembangan Ekowisata
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
5
II. KONDISI UMUM
2.1
PT. Kaltim Prima Coal PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC) merupakan perusahaan pertambangan
batu bara terbesar di wilayah Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur yang beroperasi sejak tahun 1982 yang setiap tahunnya produksi batu baranya terus meningkat, untuk tahun 2010 ini target produksi sebesar 70.000 ton. Ijin operasi pertambangan batu bara PT. KPC sampai tahun 2021. Lokasi PT. KPC berada di Kecamatan Sangatta Utara dan Kecamatan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Adapun batas adminitrasi daerah operasinya, yaitu (PT. KPC 2005): Utara : Kecamatan Kaliorang dan Sangkulirang Timur : Selat Makassar Selatan : Taman Nasional Kutai (TNK) Barat : Kecamatan Bengalon dan Sangatta Utara Pemukiman penduduk yang berbatasan dengan TNK dan daerah operasi PT. KPC, yaitu Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara dan Dusun G III, Desa Singa Gembara, Kecamatan Sangatta Utara. PT. KPC sebagai perusahaan yang bergerak dalam pengekspoiltasian Sumber Daya Alam (SDA) memiliki tanggung jawab moral terhadap lingkungan atas SDA yang diambilnya. Tanggung jawab moral tersebut disalurkan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang ditujukan untuk lingkungan atau masyarakat yang berbatasan langsung dengan daerah operasi PT. KPC maupun yang tidak berbatasan langsung yang dibagi ke dalam 3 ring wilayah sasaran CSR PT. KPC (PT. KPC 2008), yaitu: 1. Ring 1: desa-desa yang bersentuhan langsung dengan daerah operasi PT. KPC (Desa Swarga Bara, Desa Singa Gembara, Teluk Lingga, Kenyamukan dan Bengalon). 2. Ring 2: kecamatan-kecamatan di luar Sangatta yang berada di Kabupaten Kutai Timur.
6
3. Ring 3: kabupaten-kabupaten di luar Kabupaten Kutai Timur yang berada di Provinsi Kalimantan Timur (18 kabupaten, 135 desa). Kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC) difokuskan dalam 7 (tujuh) bidang program, yaitu: pengembangan agribisnis peningkatan kesehatan masyarakat; pengembangan pendidikan dan pelatihan;
pengembangan
koperasi,
usaha
kecil
dan
menengah;
pembangunan/peningkatan infrastruktur masyarakat; pelestarian alam dan budaya; dan penguatan kapasitas pemerintah dan masyarakat. 2.2
Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Kondisi sosial budaya masyarakat Sangatta memiliki suku bangsa yang
multi etnik dari berbagai daerah dengan suku masyarakat asli adalah Suku Dayak dan Suku Kutai. Suku Kutai merupakan suku melayu asli Kalimantan Timur, yang awalnya mendiami wilayah pesisir Kalimantan Timur. Suku pendatang di Sangatta antara lain Toraja, Timur (NTB dan NTT), Bugis, Jawa, dan Banjar. Kondisi suku asli Suku Dayak dan Suku Kutai tergeserkan keberadaannya di Sangatta. Hal ini karena banyaknya suku pendatang dari berbagai wilayah di Indonesia yang datang ke Sangatta untuk bekerja di PT. KPC maupun kontraktornya PT. KPC. Suku Dayak dan Suku Kutai masih banyak terdapat di daerah pedalaman di Kecamatan Kaliorang, Sangkulirang, dan Kombeng. Namun untuk di daerah perkotaannya, suku asli ini masih banyak terdapat di Kecamatan Sangatta Selatan (Sangatta Lama). Bahasa yang digunakan oleh masyarakat dalam komunikasi antar suku menggunakan Bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa komunikasi yang digunakan antar sesama suku menggunakan bahasa suku masing-masing, seperti Bahasa Dayak, Kutai, Toraja, Timur (NTB dan NTT), Bugis, Banjar, dan Jawa. Agama yang dianut oleh masyarakat Sangatta Utara antara lain Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan lain-lain (Tabel 2.1). Masyarakat asli Kalimantan Timur kaya akan kebudayaan, baik dalam bentuk seni musik, seni suara, seni berpantun, seni tari, tradisi adat istiadat maupun kearifan tradisional. Budaya pengobatan secara tradisional, tolak bala, hajatan, perkawinan, selamatan,
7
dan upacara adat kematian dari Suku Dayak sangat terkenal. Hasil kebudayaan masyarakat Dayak dalam bentuk senjata tradisional antara lain Mandau-Manau, Gayang, Keris-Buritkang, Sumpit-Potaat, Perisai-Keleubet, dan Tombak– Belokang. Tabel 2.1 Agama dan sarana peribadatan di Kecamatan Sangatta Utara tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6
Agama Islam Protestan Katholik Hindu Budha Lain-lain
Penganut (Orang) 44.126 7.812 1.739 111 53 9
Sarana Ibadat (Unit) 17 2 27 1 0 0
Sumber: Kantor Departemen Agama Kabupaten Kutai Timur dalam BPS (2009)
Kondisi pendidikan di Kecamatan Sangatta Utara cukup memadai yang dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kondisi pendidikan di Kecamatan Sangatta Utara tahun 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tingkatan dan Status Sekolah
Jumlah Sekolah (Buah)
TK Negeri TK Swasta SD/MI Negeri SD/MI Swasta SMP/MTs Negeri SMP/MTs Swasta SMA/MA/SMK Negeri SMA/MA/SMK Swasta Jumlah
1 13 9 10 3 11 3 4 54
Jumlah Murid (Orang) 139 2.435 3.444 4.854 1.076 1.828 1.002 942 15.720
Jumlah Guru (Orang) 21 143 317 247 76 135 94 66 1.099
Sumber: Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Kutai Timur dalam BPS (2009)
Mata pencaharian penduduk di Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur beragam. Persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha utama dan jenis kelamin di Kabupaten Kutai Timur dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Persentase penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha utama dan jenis kelamin di Kabupaten Kutai Timur tahun 2008 No 1 2 3 4 5
Lapangan Usaha Utama Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri Listrik, air, dan gas Konstruksi
Laki-laki (%) 52,75 14,59 0,23 0,56 2,99
Perempuan (%) 51,48 2,69 1,25 0,06 0,11
Laki-laki dan Perempuan (%) 52,46 11,86 0,47 0,45 2,33
8
Lanjutan Tabel 2.3 No
Lapangan Usaha Utama
6 7 8 9 10
Perdagangan Transportasi dan komunikasi Keuangan Jasa Lainnya Jumlah
Laki-laki (%)
Perempuan (%)
5,43 0,84 1,54 13,84 7,21 100
12,73 0,06 2,21 21,72 7,70 100
Laki-laki dan Perempuan (%) 7,11 0,66 1,70 15,65 7,32 100
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional dalam BPS (2009)
2.3
Desa Swarga Bara Desa Swarga Bara merupakan desa yang berbatasan langsung dengan
daerah operasi PT. KPC dan Taman Nasional Kutai (TNK) serta merupakan daerah penyangga TNK, masuk ke dalam Kecamatan Sangatta Utara. Desa Swarga Bara terdiri dari 6 dusun, yaitu Dusun Kabo Jaya, Bumi Etam, Senior, Lembah Hijau, Panorama, dan Bukit Batu Bara. Dusun yang berbatasan langsung dengan TNK dan sudah mengarah kepada kegiatan pengembangan ekowisata dengan adanya Kelompok Ekowisata Kabo Jaya, yaitu Dusun Kabo Jaya. Potensi ekowisata yang dimiliki di Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara terdiri dari Prevab di TNK; agrowisata di Kampung Jawa, dan Dusun Kabo Jaya menggambarkan kondisi multi etnik yang dapat berpotensi sebagai wisata budaya. Jumlah penduduk Desa Swarga Bara pada tahun 2009 menurut profil Desa Swarga Bara, sebanyak 9.444 jiwa, terdiri dari 5.481 jiwa laki-laki dan 3.963 jiwa perempuan dengan 1.830 KK. Agama, pendidikan, dan mata pencaharian penduduk Desa Swarga Bara dapat dilihat pada Tabel 2.4 sampai Tabel 2.6. Tabel 2.4 Agama yang dipeluk dan sarana agama yang ada di Desa Swarga Bara No 1 2 3 4 5
Agama Islam Kristen Khatolik Hindu Budha
Sumber: Desa Swarga Bara (2009)
Penganut (Orang) 6.375 2.264 750 50 5
Sarana Ibadah (Unit) 10 7 1
9
Tabel 2.5 Tingkat pendidikan penduduk Desa Swarga Bara No 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Sekolah Dasar (SD) SMP/SLTP SMA/SLTA D1 – D3 S1 – S3 Belum sekolah
Jumlah (Orang) 250 1.300 2.280 3.150 240 416 1.367
Sumber: Desa Swarga Bara (2009)
Tabel 2.6 Mata Pencaharian penduduk Desa Swarga Bara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Mata Pencaharian PNS Karyawan swasta Wiraswasta/pedagang Tani Pertukangan Buruh tani Pensiunan Nelayan Pemulung
Jumlah (Orang) 72 2.552 65 150 20 11 40 10 5
Sumber: Desa Swarga Bara (2009)
2.4
Desa Singa Gembara Desa Singa Gembara berada di dalam daerah operasi PT. KPC, namun
untuk lokasi pemukiman masyarakat berada di luar daerah operasi PT. KPC. Di Desa Singa Gembara memiliki potensi ekowisata Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Pantai Tanjung Bara yang lokasinya berada di dalam daerah operasi PT. KPC, yaitu di Tanjung Bara, Dusun G VI, Desa Singa Gembara. Pemukiman terdekat dengan hutan mangrove Pantai Tanjung Bara adalah Dusun G III, dusun ini bukan merupakan daerah penyangga TNK namun secara akses memudahkan masyarakat Dusun G III masuk ke dalam TNK sehingga termasuk ke dalam kawasan penyangga. Sama halnya dengan kondisi di Dusun Kabo Jaya, di Dusun G III pun terdiri dari multi etnik dari berbagai wilayah di nusantara, seperti Suku Toraja, Timur (NTB dan NTT), Bugis, Banjar, dan Jawa. Namun, di Dusun G III masih terdapat suku asli Suku Kutai dan Suku Dayak. Di desa ini belum ada kegiatan ekowisata yang digerakkan oleh masyarakat, seperti yang sudah berjalan di Dusun Kabo Jaya. Di Dusun G III hanya baru ada aktivitas kegiatan ekowisata di Pantai Tanjung Bara yang masih dikelola oleh PT. KPC karena lokasinya di dalam
10
daerah operasi PT. KPC, hal ini dengan pertimbangan untuk keselamatan pengunjung. Kondisi kependudukan di Desa Singa Gembara dapat dilihat pada Tabel 2.7 berikut ini. Tabel 2.7 Kondisi penduduk Desa Singa Gembara No 1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Jumlah 2 Kepala Keluarga (KK) 3 Tingkat Pendidikan Pendididan Umum a. Taman Kanak-kanak (TK) b. Sekolah Dasar (SD) c. Sekolah Menengah Pertama (SMP) d. Sekolah Menengah Atas (SMA) e. Akademi/D1 – D3 f. Sarjana (S1 – S3) Pendidikan Khusus a. Pondok Pesantren b. Madrasah c. Pendidikan Keagamaan d. Sekolah Luar Biasa e. Kursus/Keterampilan Belum Sekolah Jumlah 4 Mata Pencaharian a. Pegawai Negeri Sipil (PNS) b. ABRI c. Swasta d. Wiraswasta/Pedagang e. Tani f. Pertukangan g. Buruh Tani h. Pensiunan i. Nelayan j. Pemulung k. Jasa l. Belum Bekerja (bukan usia kerja dan usia kerja) Jumlah Sumber: Desa Singa Gembara (2009)
Jumlah (Orang) 9.876 7.083 16.959 4.000 894 2.040 3.036 4.011 345 234 115 84 35 10 1.644 4.511 16.959 234 15 3.028 947 628 435 76 5 32 11.559 16.959
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di dusun kawasan penyangga TNK dan berbatasan
dengan PT. KPC serta yang memiliki potensi sumberdaya ekowisata untuk kegiatan ekowisata, yaitu Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara dan Dusun G III, Desa Singa Gembara (Gambar 3.1). Penelitian ini dilaksanakan selama 2 (dua) bulan, yaitu Bulan Januari sampai Februari 2010.
KPC Pantai dan Hutan Mangrove Tanjung Bara
Dusun Kabo Jaya Dusun G III Mentoko
TNK
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sumber: Kabupaten Kutai Timur (2009)
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survei yang bersifat menggali permasalahan dan fenomena sosial yang ada. Arah penelitian adalah menemukan fakta atas dasar fenomena faktual tentang modal sosial masyarakat yang merupakan unsur modal sosial yang akan dinilai sebagai pendukung pengembangan ekowisata.
Peralatan yang digunakan adalah panduan wawancara semi terstruktur, perekam audio, alat tulis, dan kamera digital. Obyek kajian adalah masyarakat dusun di kawasan penyangga TNK dan yang berbatasan langsung dengan PT. KPC serta memiiliki potensi sumberdaya untuk kegiatan ekowisata, yaitu Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara dan Dusun G III, Desa Singa Gembara. Responden lain yang diwawancarai adalah informan kunci yang sarat informasi sesuai dengan fokus penelitian. Informan kunci tersebut antara lain: 1. Kepala Desa. 2. Tokoh masyarakat yaitu tetua kampung atau tokoh adat. 3. Pihak PT. KPC. 4. Pihak Taman Nasional Kutai (TNK). 5. Pemerintah setempat (Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa).
3.3
Jenis Data Data merupakan sekumpulan informasi tentang sesuatu hal yang disusun
secara sistematis sesuai dengan tujuan tertentu. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Jenis data yang diperlukan adalah (Tabel 3.1): Tabel 3.1 Jenis data yang diambil No Data Unsur Modal Sosial 1 Kepercayaan (trust) a. Terhadap PT. KPC b. Terhadap tokoh masyarakat/tokoh adat c. Terhadap norma-norma adat d. Terhadap sesama e. Terhadap penyelenggaraan upacara adat f. Terhadap pihak luar/LSM g. Terhadap pemerintah daerah
Sumber Data
Teknik
Kepala Desa, Tokoh adat/Tokoh masyarakat, Masyarakat setempat
In depth interview, Observasi lapang, Observasi partisipasi
a. Ikatan kerjasama dengan pemerintah daerah b. Ikatan kerjasama dengan PT. KPC c. Ikatan kelembagaan d. Jaringan kerjasama antar sesama e. Keterbukaan dalam jaringan sosial dengan siapapun f. Motivasi untuk melakukan jaringan sosial g. Keaktifan dalam menyelesaikan konflik h. Keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan jaringan sosial 3 Norma-norma sosial (social norms) a. Keberadaan norma sosial b. Ketaatan terhadap norma kesusilaan c. Ketaatan terhadap norma kesopanan d. Ketaatan terhadap norma agama e. Ketaatan terhadap norma adat f. Ketaatan terhadap aturan pemerintah 4 Tindakan yang proaktif a. Membagi pengalaman terhadap sesama b. Frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial c. Jumlah organisasi sosial yang diikuti d. Partisipasi dalam pengambilan keputusan pada organisasi sosial 5 Kepedulian terhadap sesama dan lingkungan a. Tingkat kepedulian terhadap sesama b. Tingkat kepedulian terhadap lingkungan c. Kedekatan dengan orang yang diberi perhatian d. Motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain e. Motivasi untuk menjaga dan melestarikan lingkungan Kondisi Umum Lokasi 1 Kawasan PT. KPC, Desa Swarga Bara, dan Desa Singa Gembara
Tokoh adat/Tokoh masyarakat, Masyarakat setempat
Observasi lapang, Observasi partisipasi
Kepala Desa, Tokoh adat/Tokoh masyarakat Masyarakat setempat,
In depth interview Observasi lapang, Observasi partisipasi
Kepala Desa, Tokoh adat/Tokoh masyarakat Masyarakat setempat,
In depth interview Observasi lapang, Observasi partisipasi
Kepala Desa, Tokoh adat/Tokoh masyarakat, Masyarakat setempat,
In depth interview, Observasi lapang, Observasi partisipasi
PT. KPC, Desa Swarga Bara,
Studi pustaka
1
2
Sosial: a. Kependudukan - Lamanya tinggal - Banyaknya rumah tangga - Kondisi penduduk b. Aksesibilitas - Kondisi aksesibilitas - Fasilitas akses (kantor pos, internet, telepon, dan angkutan umum) c. Jaminan keamanan d. Pendidikan - Kondisi sarana pendidikan - Tingkatan pendidikan - Keterbelakangan/buta huruf e.Kesehatan - Kondisi sarana kesehatan - Program kesehatan (untuk kesejahteraan) Ekonomi: a.Ketersediaan lapangan kerja b. Kondisi perumahan
Kondisi Ekowisata 1 Kebijakan pengembangan ekowisata TNK, PT. KPC, dan Pemerintah Daerah Kutai Timur 2
Dukungan pengembangan ekowisata Dari kepala desa, tokoh adat/tokoh masyarakat, masyarakat, dan LSM
3.4
Metode Pengumpulan Data
Kepala Desa, Tokoh Adat/Tokoh Masyarakat, Masyarakat setempat BPS (Badan Pusat Statistik), BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), Dinas terkait
In depth interview, Observasi lapang, Studi pustaka
Tokoh Adat/Tokoh Masyarakat, Masyarakat setempat, BPMD BPS (Badan Pusat Statistik)
In depth interview, Observasi lapang, Studi pustaka
TNK PT. KPC Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kepala Desa, Tokoh adar/tokoh masyarakat, Masyarakat, LSM
In depth interview, Studi pustaka
In depth interview
Pengumpulan data primer diperoleh langsung dari responden melalui observasi partisipasi yaitu pengamatan dengan melibatkan diri di dalam kegiatankegiatan masyarakat yang diteliti dan tinggal selama beberapa waktu di lokasi penelitian.
Selain observasi dilakukan pula wawancara mendalam (indepth
interview) dengan menggunakan panduan pertanyaan semi terstruktur dan daftar
dimodifikasi sesuai dengan fokus penelitian. Metode
pengumpulan
data
melalui
wawancara
mendalam
mensyaratkan jumlah minimal responden yang harus diwawancarai.
tidak
Hal ini
disebabkan karena melalui metode ini kedalaman data dapat diperoleh (Denzin dan Lincoln 1997). Pemilihan lokasi penelitian, yaitu dusun yang berbatasan langsung dengan TNK dan PT. KPC sebagai kawasan penyangga TNK serta memiliki potensi sumberdaya ekowisata. Sedangkan jumlah responden yang diambil adalah 200 orang yaitu 100 orang pada setiap dusunnya dengan keterwakilan setiap suku (Suku Toraja, Timur/NTB dan NTT, Bugis, Banjar, Jawa, Kutai, dan Dayak). Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka yaitu laporan yang berkaitan dengan topik penelitian baik yang berasal dari PT. KPC, pemerintah setempat, dan lembaga kemasyarakatan maupun sumber lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.
3.5
Analisis Data
a. Analisis Unsur Modal Sosial Data yang diperoleh dinilai berdasarkan nilai dalam Social Capital Assessment Tool (SCAT) (Krishna dan Shrader 1999) yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian dengan kisaran nilai tiap unsur modal sosial (Tabel 3.2). Tabel 3.2 Selang nilai terendah – tertinggi setiap unsur modal sosial No 1 2 3 4 5 6
Unsur Modal Sosial Kepercayaan Jaringan sosial Norma sosial Tindakan pro aktif Kepedulian terhadap sesama dan lingkungan Karakteristik masyarakat Total
Selang Nilai Terendah – Tertinggi (7 – 21) (8 – 16) (6 – 17) (4 – 12) (5 – 15) (37 – 124) (67 – 205)
Modal sosial yang dimiliki komunitas masyarakat akan dikategorikan
rendah, dengan selang nilai berdasarkan perhitungan rataan quartil statistik: Selang Nilai = X max – X min = 205 – 67 = 46 N
3
Dimana: X max : Nilai maksimum (205: hasil penjumlahan nilai max) X min : Nilai minimum (67: hasil penjumlahan nilai min) N : Jumlah kategori tingkatan (3: rendah, sedang, dan tinggi) sehingga skala penilaian yang didapatkan sebagai berikut: a. Modal sosial dalam kegiatan ekowisata tinggi, jika jumlah skor mencapai 160 – 205 (dalam arti ekowisata dapat dengan mudah dikembangkan dilihat dari modal sosial yang dimiliki) b. Modal sosial dalam kegiatan ekowisata sedang, jika jumlah skor mencapai 114 – 159 (dalam arti ekowisata dapat dikembangkan dilihat dari modal sosial yang dimiliki tetapi tidak semudah pada point a dengan kriteria modal sosial tinggi) c. Modal sosial dalam kegiatan ekowisata rendah, jika jumlah skor mencapai 67 – 113 (dalam arti ekowisata sulit untuk dikembangkan dilihat dari modal sosial yang dimiliki) b. Analisis Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial terhadap Modal Sosial Untuk menganalisis hubungan pengaruh antar unsur-unsur modal sosial digunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan program software SPSS 18 dan LISREL 8.30 dengan modal sosial (Y) sebagai variabel laten dan unsurunsur modal sosial (X1), (X2), (X3), (X4), dan (X5) sebagai variabel teramati (Tabel 3.3). Jika T-Value ≥ T-Tabel (1,96), maka variabel unsur modal sosial berpengaruh nyata. Nilai estimasi koefisien pengaruh ( ) menggambarkan semakin besar nilainya maka kontribusi pengaruhnya sangat kuat (Wijayanto 2007). Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), defenisi operasional adalah suatu informasi yang ilmiah yang amat membantu peneliti.
Dari informasi
tersebut peneliti akan dapat mengetahui bagaimana cara mengukur variabel yang dipakai.
oleh masyarakat yang dapat memperkuat jaringan sosial/kerja yang positif, terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan, menumbuhkan kepedulian dan solidaritas yang tinggi dan dapat mendorong tingkat kepercayaan antara sesama dalam rangka tercapainya tujuan bersama dengan sejumlah parameter seperti yang terlihat dalam Tabel 3.3. Tabel 3.3 Peubah, indikator dan parameter penelitian Variabel Laten
Modal Sosial (y)
Parameter (Xi)
Indikator (Xii)
1. Kepercayaan (trust) (X1)
a. b. c. d. e. f. g.
Terhadap PT. KPC (X11) Terhadap tokoh masyarakat atau tokoh adat (X12) Terhadap norma-norma adat (X13) Terhadap sesama (X14) Terhadap penyelenggaraan upacara adat (X15) Terhadap pihak luar (X16) Terhadap pemerintah daerah (X17)
2. Partisipasi dalam suatu jaringan (X2)
a. b. c. d. e.
3. Norma sosial (X3)
a. b. c. d. e. f.
4. Tindakan yang proaktif (X4)
a. b. c. d.
Membagi pengalaman terhadap sesama (X41) Frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial (X42) Jumlah organisasi sosial yang diikuti (X43) Partisipasi dalam pengambilan keputusan pada organisasi sosial (X44)
5. Kepedulian terhadap sesama dan lingkungan (X5)
a. b. c. d.
Tingkat kepedulian terhadap sesama (X51) Tingkat kepedulian terhadap lingkungan (X52) Kedekatan dengan orang yang diberi perhatian (X53) Motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain (X54) Motivasi untuk menjaga dan melestarikan lingkungan
Kerjasama dengan pemerintah (X21) Kerjsama dengan PT. KPC (X22) Ikatan kelembagaan (X23) Jaringan kerjasama antar sesama (X24) Keterbukaan dalam jaringan sosial dengan siapapun (X25) f. Motivasi untuk melakukan jaingan sosial (X26) g. Keaktifan dalam menyelesaikan konflik (X27) h. Keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan jaringan sosial (X28)
e.
Keberadaan norma sosial (X31) Ketaatan terhadap norma agama (X32) Ketaatan terhadap norma kesusilaan (X33) Ketaatan terhadap norma kesopanan (X34) Ketaatan terhadap norma adat (X35) Ketaatan terhadap aturan pemerintah (X36)
Analisis kebijakan pengembangan ekowisata dari TNK, PT. KPC, dan Pemerintah Daerah Kutai Timur serta dukungan pengembangan ekowisata dari kepala desa, tokoh adat/tokoh masyarakat, masyarakat, dan LSM dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk disintesiskan dengan modal sosial dalam pengembangan ekowisata.
3.6
Sintesis Data Sintesis data dengan cara melihat kondisi modal sosial masyarakat di
Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III disintesiskan dengan kebijakan pengembangan ekowisata dari TNK, PT. KPC, dan Pemerintah Daerah Kutai Timur serta dukungan pengembangan ekowisata dari kepala desa, tokoh adat/tokoh masyarakat, masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III, serta LSM yang sudah terlibat dalam pengembangan ekowisata untuk mendapatkan arah kebijakan pengembangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III.
4.1
Unsur Modal Sosial Modal sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi
untuk mendapatkan sumberdaya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumberdaya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Dimensi modal sosial cukup luas yaitu modal manusia (human capital), yaitu segala keahlian yang dimiliki oleh seorang individu, sedangkan modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok (Hasbullah 2006).
4.1.1
Kepercayaan (Trust) Kepercayaan menurut pandangan Fukuyama (2002) dalam Hasbullah
(2006) adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Masyarakat di kedua dusun pada umumnya percaya terhadap PT. KPC. Hal ini disebabkan selama ini perusahaan banyak memberikan bantuan kepada masyarakat dalam bidang pemberdayaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) (Tabel 4.1).
termasuk di dalamnya) yang telah dilaksanakan No Jenis CSR Lokasi/Sasaran I Pengembangan Agribisnis 1 Pendirian Balai Pelatihan dan Percontohan Usaha Sangatta Tani Konservasi (BPPUTK) 2 Budidaya sapi di lahan reklamasi tambang Lahan reklamasi tambang (Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara) II Pendidikan dan Pelatihan 1 Peningkatan kapasitas guru Pendidikan a. Pelatihan Kurikulum Muatan Lokal Agribisnis Dinas Kabupaten Kutai Timur Kec. Sangatta Utara, b. Pelatihan Kreatifitas dan Metode Pembelajaran Bengalon, Rantau Pulung, Sengatta Selatan untuk guru SD 2 Bantuan pendidikan melalui forum MSH-CSR SMP Ma’Arif, Sangatta Utara III Peningkatan Kesehatan Masyarakat 1 Program pengendalian Tuberkolosis Kec. Sangatta Utara, Sangatta Selatan, dan Bengalon 2 Penyuluhan kesehatan Radio Gema Warna Prima (GWP) Sangatta Utara 3 Bakti sosial dan pengobatan masal Kec. Sangatta Utara, Bengalon, dan Rantau Pulung 4 Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi Dusun Kabo Jaya, Desa (PERGIZI) Swarga Bara dan Dusun G III, Desa Singa Gembara, Kec. Sangatta Utara; Desa Tanjung Labu, Kec. Rantau Pulung; Desa Sangatta Selatan, Kec. Sangatta Selatan; Desa Sekerat dan Desa Sepaso Selatan Kec. Bengalon IV Pengembangan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah 1 Pewarnaan alami Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara, Kec. Sangatta Utara 2 Pelatihan pembuatan kemasan Kec. Sangatta Utara, Sengatta Selatan, Bengalon, dan Rantau Pulung V Peningkatan Infrastruktur Masyarakat 1 Pembangunan sarana umum Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara dan Dusun G III, Desa Singa Gembara, Kec. Sangatta
masyarakat Dusun Kabo Jaya kadang kadang mempercayai, sedangkan untuk masyarakat Dusun G III tidak ada kepercayaan terhadap Pemda Kutai Timur. Hal ini disebabkan karena program kegiatan dari pemda di masyarakat sangat sedikit berbeda halnya dengan program kegiatan yang diberikan dari PT. KPC untuk masyarakat di kedua dusun ini dan program tersebut tidak dikhususkan untuk kedua dusun ini tetapi umum untuk Kabupaten Kutai Timur (Tabel 4.2). Kondisi kepercayaan terhadap pemda perlu diperhatikan karena selepas pasca tambang yang berperan adalah pemerintah daerah sehingga diharapkan PT. KPC dapat menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah daerah. Tabel
No 1
2
3
4
4.2
Laporan pelaksanaan kegiatan belanja langsung Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur tahun anggaran 2008 Kegiatan
Pelatihan keterampilan/praktek bagi anak terlantar
Lokasi
Kabupaten kerja Kutai Timur (termasuk Desa Swarga Bara dan Singa Gembara) Program pemberdayaan Kecamatan melalui bantuan biaya Sangatta Utara pengembangan tanah kas (termasuk Desa desa Swarga Bara dan Singa Gembara) dan Sangatta Selatan Program kemiskinan melalui Seluruh bantuan keuangan perbaikan Kecamatan perumahan penduduk miskin Kabupaten dan perbaikan sarana umum Kutai Timur pedesaan lainnya (termasuk Desa Swarga Bara dan Singa Gembara) Bulan Bhakti Gotong Royong Kecamatan Masyarakat Tingkat Provinsi Sangatta Utara Kaltim Tahun 2008 (termasuk Desa Swarga Bara dan Singa Gembara)
Pelaksana Kegiatan
Sumber Dana
Drs. Simon APBD II Salombe
Husrani, S.Hut.
APBD II
Ernawaty, SE. APBD II MSi.
Rudi Bawan, APBD II S.Sos, MSi.
Kegiatan
6
7
8
Swarga Bara dan Singa Gembara) Pelatihan SDM Lembaga Sangatta, luar Adat daerah Provinsi Kalimantan Timur (termasuk Desa Swarga Bara dan Singa Gembara) Gelar TTG tingkat kabupaten Sangatta dan dan tingkat nasional Semarang (termasuk Desa Swarga Bara dan Singa Gembara) Pemberian stimulant Sangatta peralatan TTG (termasuk Desa Swarga Bara dan Singa Gembara)
Dana
Drs. Abdullah APBD II Djagat
Sitti Syarifa, APBD II S.Sos.
Subandi, S.Sos.
APBD II
Sumber: Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur (2009)
Kepercayaan masyarakat terhadap tokoh adat dan norma adat bersifat kadang-kadang karena peranan dari tokoh adat sudah mulai tergeserkan oleh peranan pemerintahan desa. Harmonisasi yang terdapat dalam kehidupan masyarakatnya yang multi-etnik mengurangi peran tokoh adat. Tokoh adat diberi kepercayaan dalam menyelsesaikan konflik antar suku, kondisi sekarang konflik tersebut sangat jarang terjadi hanya perselisihan biasa antar warga yang terjadi. Apabila terjadi perselisihan antar warga diselesaikan ke kantor desa, sehingga yang banyak berperan dalam penyelesaian konflik warga adalah Pemerintah Desa. Namun untuk hal-hal tertentu seperti masalah pengetahuan mengenai adat istiadat warga mempercayai terhadap tokoh masyarakat atau tokoh adatnya masingmasing. Hal ini dibuktikan ketika melakukan wawancara kepada setiap warga suku baik di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III, semua responden menganggap yang mengetahui segala hal tentang adat istiadat suku adalah tokoh adatnya. Kepercayaan terhadap norma adat dan penyelengaraan upacara adat
perantauan ini. Hanya yang menonjol adanya norma adat dan upacara adat, yaitu pada Suku Toraja terutama di Dusun Kabo Jaya. Upacara adat yang masih dilaksanakan adalah mengenai upacara kematian dan pernikahan (Lampiran 11.1. Suku Toraja). Kepercayaan antar sesama warga baik di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III bersifat kadang-kadang, karena masih ada tindakan kejahatan (Tabel 4.3 dan Tabel 4.4) di lingkungannya walaupun dengan tingkat yang rendah menurut masyarakat, sehingga masyarakat tetap waspada terhadap sesama warganya. Tabel 4.3 Data kriminal dari Polisi Kampung di Kabupaten Kutai Timur No
Tahun
1 2 3 4 5
2004 2005 2006 2007 2008
Pencurian
Jumlah Peristiwa Kriminal Perampokan Pembunuhan 87 3 33 4 103 3 74 9 74 9
5 2 4 4
Sumber: Kantor Poresta Kabupaten Kutai Timur dalam Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan BPS Provinsi Kalimantan Timur (2009)
Tabel 4.4 Peristiwa kejahatan dan pelanggaran di Kabupaten Kutai Timur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jenis Kejahatan/Pelanggaran Pembakaran Kebakaran Memalsukan materai/surat/merek Perzinahan Perjudian Penculikan Pembunuhan Penganiayaan berat Penganiayaan ringan Pemcurian dengan pemberatan Pencurian ringan Pencurian dengan kekerasan Pemerasan Penggelapan Penipuan Merusak Penadahan Pemerkosaan
7 -
1 2 4
Tahun 2006 3 10 4
2 4 1 23 21 25
5 5 19 2 22
62 3 2 15 3 3 -
11 4 2 13 12 2 -
2004
2005
2007
2008
1 11 4
10 4
2 8 2 3 28 2
3 3 4 4 34 14
6 4 13 18 59
101 3 3 15 14 8 5 7
60 9 7 19 12 5 2 9
15 9 5 16 7 6 2 2
Sumber: Kantor Poresta Kabupaten Kutai Timur dalam Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan BPS
bersifat kadang kadang, hasil wawancara menyatakan bahwa apabila ada kedekatan dengan Kepala Desa peluang kerja di perusahaan akan lebih besar. Hasil penelitian Darwono (1995), juga menyatakan sebagian besar warga masyarakat Sangatta beranggapan semakin dekat dengan pihak perusahaan, peluang kerja akan semakin besar, namun sebenarnya hal tersebut tidak demikian. Kepercayaan antara individu sesama suku lebih tinggi dibandingkan dengan kepercayaan individu antara suku, seperti contoh kasus yang diamati di lapangan, ibu akan menitipkan anaknya lebih percaya kepada ibu sesama sukunya dibandingkan dengan ibu yang berbeda suku.
Menurut Hasbullah (2006),
kepercayaan seperti ini akan mengarah terhadap pembentukan modal sosial terikat (bonding sosial capital) yang cendrung ke arah ekslusif dalam sesama sukunya (homogenitas). Hal ini disebabkan karena terfokus pada upaya menjaga nilai-nilai yang turun menurun telah diakui dan dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku (code of conduct) dan perilaku moral (code of ethics) dari suku tersebut. Tetapi hasil dari pengamatan di lapangan, walaupun kepercayaan individu dalam sesama suku lebih tinggi setiap suku yang ada di kedua dusun ini mau menerima suku lain dan
berakulturasi
dengan
budaya
lain
untuk
memperkaya
wawasan,
pengembangan kesempatan, dan saling membagi pengalaman. Kepercayaan warga Dusun Kabo Jaya terhadap pihak luar, misalnya pengunjung yang datang ke daerahnya masyarakat cukup percaya karena warga mau terbuka dan menerima. Kedatangan pengunjung akan menjadikan Dusun Kabo Jaya dikenal masyarakat lebuh luas. Warga yakin pengunjung yang datang tidak akan membuat kerusuhan di kampungnya. Kepercayaan masyarakat Dusun G III terhadap pihak luar, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak percaya karena banyaknya program yang dijanjikan oleh LSM yang tidak terlaksana dan LSM bagi masyarakat Dusun G III bukan untuk kemaslahatan dari apa yang diperjuangkan tetapi untuk sekedar mengiklankan diri dan aktifitas guna memuaskan sponsor dana untuk kepentingan mencapai posisi tawar yang lebih tinggi. Hal ini diperkuat pendapat Hasbullah
kepercayaan terhadap suatu lembaga kemasyarakatan yang terbentuk di masyarakat akan kehilangan orientasi dan jati diri. Berbeda halnya dengan masyarakat di Dusun Kabo Jaya yang masih memiliki kepercayan terhadap LSM, terbukti
dengan
adanya
program-program
pendampingan
pengembangan
Ekowisata Kabo Jaya oleh CIFOR, PILI, dan BIKAL.
4.1.2
Jaringan Sosial (Social Networking) Jaringan sosial menurut Calchoun et al. (1994) merupakan sebuah
hubungan sosial yang terpola atau disebut juga sebagai pengorganisasian sosial. Rogers dan Kincaid (1980) juga menyatakan jaringan sosial juga menggambarkan jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang saling terkait baik langsung maupun tidak langsung. Jaringan sosial terbangun dari komunikasi antar individu yang memfokuskan pada pertukaraan informasi sebagai sebuah proses untuk mencapai tindakan bersama, kesepakatan bersama, dan perhatian bersama. Modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan akan terletak pada kecenderungan yang tumbuh dalam satu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi berikut membangun jaringannya. Salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial. Jaringan sosial masyarakat terjadi interaksi antara individu dalam satu kelompok, individu beda kelompok, individu dengan kelompok, dan antar kelompok. Gambaran jaringan sosial yang mengarah kepada pengembangan ekowisata ada di Dusun Kabo Jaya sudah dapat tergambarkan, sedangkan di Dusun G III belum adanya jaringan sosial yang mengarah kepada pengembangan ekowisata, hanya ada jaringan sosial umum (Gambar 4.1).
26
Perusahaan Swasta Lembaga Adat
Pemerintah Daerah
Individu – individu Suku Timur
Individu – individu Suku Toraja
Individu – individu Suku Timur
Individu – individu Suku Toraja
Individu – individu Suku Dayak
Individu – individu Suku Banjar
Lembaga Adat
Individu – individu Suku Banjar
Pemerintah Desa
Lembaga Adat
Pemerintah Desa
Individu – individu Suku Jawa Individu – individu Suku Bugis
Individu – individu Suku Jawa Individu – individu Suku Bugis
Individu – individu Suku Kutai
Komunitas Dusun G III
Komunitas Dusun kabo jaya
Pendatang: 1. Tamu 2. Pengunjung 3. Pedagang
Lembaga Swadaya Masyarakat
Gambar 4.1 Jaringan sosial umum Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
27
Ikatan kerjasama masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III dengan pemerintah bernilai rendah, sedangkan kerjasama antara masyarakat dengan pihak swasta (PT. KPC) terutama dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat tinggi. Khusus Dusun Kabo Jaya ada kerjasama antara PT. KPC dan Mitra Kutai dengan CIFOR, PILI, dan BIKAL dalam pengembangan Ekowisata Kabo Jaya yang dikelola oleh masyarakat setempat dengan TNK. Ikatan kerjasama ini menciptakan terjadinya beberapa bentuk interaksi yaitu antar individu dalam satu kelompok, antar individu beda kelompok, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok. Interaksi antar individu dalam kelompok Ekowisata Kabo Jaya (Gambar 4.2). Masing-masing anggota kelompok memiliki fungsi dan peranan dalam kelompok tersebut, sehingga terjadi interaksi antar individu tanpa adanya persaingan karena masing-masing mempunyai fungsi, peranan, dan tujuan yang akan dicapai untuk kepentingan bersama. Menurut Jones (2005), interaksi yang terjalin antar individu dalam satu kelompok yang memiliki status dan peran yang berbeda umumnya bersifat primer positif yang mengarah pada kerjasama. Sedangkan interaksi antar individu yang memiliki status dan peranan yang sama cenderung bersifat sekunder negatif yang mengarah persaingan. Sifat interaksi yang positif, baik primer maupun sekunder sebenarnya bisa menjadi modal dasar untuk membangun jaringan sosial yang dapat mendukung keberhasilan pengembangan ekowisata. Sedangkan interaksi yang negatif, baik primer maupun sekunder, akan menghambat terbangunnya jaringan sosial. Jaringan sosial sangat diperlukan untuk keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan ekowisata di suatu kawasan.
Anggota Ekowisata Kabo Jaya A
Anggota Ekowisata Kabo Jaya B
Anggota Ekowisata Kabo Jaya C
Anggota Ekowisata Kabo Jaya D
Kelompok Ekowisata Kabo Jaya
Gambar 4.2 Interaksi antar individu dalam satu kelompok
28
Interaksi antar individu beda kelompok, terjadi antara individu Kelompok Minat (Poknat) fasilitas kelompok Ekowisata Kabo Jaya dengan individu yang mempunyai ketingting dalam kelompok penyewa ketingting (Gambar 4.3). Interaksi antar individu yang berbeda kelompok akan mendukung terjadinya jaringan sosial bersifat interaksi sekunder (tidak langsung) atau bahkan bersifat negatif yang mengarah kepada persaingan dan perpecahan. Hal ini akan menyebabkan lemahnya jaringan sosial. Sebaiknya untuk memperkuat jaringan sosial, kelompok ketingting ini direkrut menjadi bagian dari kelompok Ekowisata Kabo Jaya, sehingga tidak akan ada kecurigaan mengenai hal besarnya pembayaran dan apabila diperlukan segera ketingting untuk mengantarkan pengunjung ke Prevab akan segera terlayani. Anggota Poknat Sarana dari Kelompok Ekowisata Kabo Jaya
Anggota dari Kelompok Penyewa Ketingting
Gambar 4.3 Interaksi antar individu beda kelompok Interaksi antar individu dengan kelompok adalah interaksi yang terjadi antara ketua dengan para anggotanya (Soekanto 2009). Interaksi individu dengan kelompok (Gambar 4.4), terjadi antara Koordinator Ekowisata Kabo Jaya dengan Kelompok Minat (fasilitas, wisata alam, wisata agro, dan seni, budaya serta kuliner). Poknat Fasilitas
Koordinator Ekowisata Kabo Jaya
Poknat Wisata Alam
Poknat Wisata Agro Poknat Seni, Budaya, dan Kuliner
Gambar 4.4 Interaksi antar individu dengan kelompok
29
Kelompok mempunyai pengertian sebagai suatu kumpulan dari orangorang yang mempunyai hubungan dan berinteraksi, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan tumbuhnya perasaan bersama (Abdulsyani 2002). Interakasi antar kelompok yang terjadi, yaitu antara kelompok Ekowisata Kabo Jaya, PT. KPC, TNK, Mitra Kutai, CIFOR, PILI, BIKAL, dan Kelompok penyewa ketingting (Gambar 4.5).
PT. KPC dan Mitra Kutai PILI
TNK
Ekowisata Kabo Jaya Penyewa Ketingting
BIKAL
CIFOR
Gambar 4.5 Interaksi antar kelompok Menurut Stone dan Hughes (2002), ukuran jaringan sosial dilihat dari ikatan
kelembagaan
memiliki
karakteristik
adanya
kepercayaan
dalam
kelembagaan yang ada, misalnya pada ikatan dalam sistem kelembagaan dan hubungan kekuasaan. Ikatan kelembagaan di kedua dusun tidak ada karena kelembagaan dianggap kurang penting dan masyarakat tidak memiliki waktu banyak
untuk
aktif
dalam
kegiatan
kelembagaan,
masyarakat
banyak
menggunakan waktu untuk bekerja sebagai karyawan PT. KPC dan perusahaan kontraktornya. Dari tinjauan sosial budaya, dalam masyarakat yang seperti ini akan terjadi interaksi di antara mereka yang memiliki budaya yang berbeda. Interaksi itu dapat berupa suatu kerjasama, pembauran, atau perselisihan. Suatu konflik sosial dapat saja sewaktu-waktu terjadi. Konflik sosial ini diawali oleh tumbuhnya rasa curiga bahwa kelompoknya diperlakukan secara tidak adil dalam kehidupannya, yang antara lain adalah dalam memperoleh kesempatan kerja maupun partisipasi dalam berbagai kegiatan bersama. Seperti yang dirasakan masyarakat di Kampung
30
Timur, Dusun Kabo Jaya mereka merasa tersisihkan dalam berbagai kegiatan bersama dalam lingkungannya. Menurut beberapa masyarakat Kampung Timur ini, dalam kegiatan bersama banyak dilibatkan adalah warga dari Kampung Bugis karena menurut mereka kedekatan Kepala Dusun Kabo Jaya ke warga Kampung Bugis, seperti dalam kegiatan kepanitian acara 17 Agustus panitian yang banyak dilibatkan dari warga Kampung Bugis dan biasanya mereka pilih pertandingan olahraga yang banyak dikuasai warga Kampung Bugis, seperti sepak takraw. Dalam kehidupan sehari-hari pun terjadi gesekan yaitu antara warga Kampung Bugis dengan Kampung Timur, sedangkan dengan warga kampung lainnya sangat jarang terjadi perselisihan. Hal ini disebabkan karena kedua kampung ini sangat berdekatan dan pada dasarnya masing-masing watak sangat keras. Beberapa contoh kasus yang ditemukan selama penelitian, dalam satu lapangan sepak bola ada 2 kelompok yang bermain sepak bola, yaitu warga Kampung Bugis dan Kampung Timur, jadi lapang sepak bola itu dibagi menjadi 2 bagian. Mereka tidak mau bermain bersama, yang terkena imbas dengan kondisi ini yaitu anakanak kecil dari kedua kampung ini juga bermain dengan masing-masing kampungnya, padahal mereka sangat berdekatan kampungnya. Hal ini jelas kurang mendukung tumbuhnya rasa persatuan dalam lingkungan. Kelompok yang lemah merasa curiga bahwa mereka diperlakukan tidak adil, sedangkan kelompok yang kuat kadang-kadang suka membanggakan diri. Rasa curiga dan rasa tidak senang ini berpotensi terjadinya perpecahan (disintergrasi) dalam masyarakat.
Gambar 4.6 Potret anak-anak Kampung Bugis sedang bermain Upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah ini, yaitu tetua dari masing-masing suku dipertemukan untuk membahas masalah tersebut yang sudah
31
berlangsung lama. Sehingga anak-anak tidak dipersalahkan dengan kondisi tersebut karena anak-anak hanya mengikuti kondisi yang sudah ada dari orang tuanya. Kerelaan dalam membangun jaringan kerjasama antar sesama di Dusun Kabo Jaya pada umumnya warga rela membangun jaringan antar sesama dalam berbagai kegiatan seperti bergabung dengan Kelompok Ekowisata Kabo Jaya, kegiatan Kelompok Tani, PKK, Posyandu, Karang Taruna, perkumpulan keagamaan, dan olahraga. Berbeda dengan di Dusun G III, hal ini karena warga Dusun G III mempunyai pandangan bahwa masyarakat di Dusun G III sebagai besar karyawan perusahaan dengan sistem kerja 24 jam (sistem pembagian waktu kerja siang dan malam) sehingga pada umumnya warga habis waktunya untuk bekerja dan pada saat libur dipergunakan untuk beristirahat. Sedangkan menurut Hasbullah (2006), kemampuan masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok masyarakat. Hubungan sosial ini dilakukan diantaranya atas prinsip kesukarelaan. Sistem komunikasi antara Pemerintah Desa, baik di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III dengan masyarakat dari Rukun Tetangga (RT) kemudian disampaikan kepada masyarakat. Dalam hal ini RT sebagai media perantara antara Pemerintah Desa dengan masyarakat. Kegiatan perkumpulan di desa tidak rutin dilakukan hanya menurut keperluan saja. Proses sosialisasi antar warga di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III, yaitu melalui kegiatan ibadah keagamaan masing-masing agama seperti pengajian mingguan umat muslim bapak dan ibu-ibu maupun kebaktian bagi umat Kristiani, arisan bulanan ibu-ibu per RT. Selain itu juga melalui berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada seperti Posyandu, PKK, kelompok olahraga, karang taruna, dan di Dusun Kabo Jaya ada kelompok Ekowisata Kabo Jaya. Keterbukaan dalam melakukan hubungan dengan pihak luar di Dusun Kabo Jaya pada umumnya warga terbuka melakukan kerjasama dengan pihak luar asalkan dapat membangun ke arah yang lebih baik. Beberapa kerjasama yang dilakukan warga Dusun Kabo Jaya dengan pihak luar diantaranya dalam
32
pengembangan Ekowisata Kabo Jaya (PT. KPC, Mitra Kutai, PILI, CIFOR, dan BIKAL), pelatihan-pelatihan (PT. KPC), bantuan Pembangunan Nasional Pemberdayaan Masyarakat (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), bantuan ternak untuk warga (PT. KPC), layanan pendidikan dan kesehatan (PT. KPC), pembuatan fasilitas umum (PT. KPC). Sedangkan keterbukaan dalam melakukan hubungan dengan pihak luar di Dusun G III lebih rendah dibandingkan dengan Dusun Kabo Jaya karena warga tidak percaya khususnya kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tetapi Dusun G III masih tetap melakukan kerjasama dengan pihak luar diantaranya, pelatihan pembibitan (PT. KPC), bantuan Pembangunan Nasional Pemberdayaan Masyarakat (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), pelatihan-pelatihan keterampilan anggota PKK (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), layanan pendidikan dan kesehatan (PT. KPC), serta pembuatan fasilitas umum (PT. KPC). Keaktifan dalam memeliharaan dan mengembangkan jaringan sosial tidak ada walaupun motivasi untuk menciptakan hubungan atau jaringan sosial/kerja ada karena masyarakat berpendapat bahwa kerjasama harus dapat memberikan manfaat dan kemajuan bagi masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya bantuan yang diberikan pihak PT. KPC untuk pemberdayaan masyarakat, sehingga menyebabkan ketidakaktifan masyarakat dalam mencari peluang kerjasama. Jaringan kerjasama dengan sesama warga dan keaktifan dalam penyelesaian konflik, pada masyarakat Dusun G III yang sebagian besar adalah karyawan swasta, tidak ada karena sebagian besar waktu digunakan untuk bekerja. Selain itu mereka berpendapat bahwa konflik di masyarakat jarang terjadi dan jika terjadi merupakan tanggung jawab Ketua Rukun Tetangga (RT) atau Kepala Desa untuk menyelesaikan.
4.1.3
Norma Sosial (Social Norms) Norma sosial adalah norma yang mengatur masyarakat ada yang bersifat
formal maupun non formal. Norma formal bersumber dari lembaga masyarakat yang formal atau resmi. Norma ini biasanya tertulis, misalnya konstitusi, surat
33
keputusan dan peraturan daerah. Norma non formal biasanya tidak tertulis dan jumlahnya banyak dibandingkan norma yang formal, misalnya kaidah dan aturanaturan yang terdapat di masyarakat, seperti pantangan-pantangan, aturan di dalam keluarga dan adat istiadat (Maryati dan Surjawati 2004). Norma sosial masih tetap berlaku dalam kehidupan sehari-hari baik dalam masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III, seperti berpakaian sopan, menjaga tidak melakukan perselingkuhan, tamu lebih dari 24 jam wajib lapor, menghormati orang yang lebih tua, menghormati pendapat orang lain, norma untuk hidup sehat, dan norma untuk tidak mencurangi orang lain. Begitu juga dengan norma agama tetap mereka pegang. Masing-masing agama mempunyai aturannya masing-masing tapi pada intinya mereka saling menghormati antar agama yang ada. Norma adat kadang-kadang dipakai dalam kehidupan sehari-hari karena mereka sudah berbaur dengan berbagai etnik dari berbagai daerah. Menurut Hasbullah (2006), jika di dalam suatu komunitas, asosiasi, kelompok atau group norma tersebut tumbuh, dipertahankan, dan kuat akan memperkuat masyarakat dalam modal sosial. Ketaatan terhadap norma agama, kesusilaan, dan kesopanan untuk masyarakat Dusun Kabo Jaya masih sangat dipertahankan dan di Dusun G III bersifat kadang-kadang. Sehingga untuk Dusun Kabo Jaya, norma sosial dapat dijadikan sebagai modal utama dalam pengembangan ekowisata ke arah budaya dengan dukungan kondisi multi etnik di dusun ini masih terlihat. Sedangkankan nilai ketaatan terhadap norma adat dan aturan pemerintah di kedua dusun bersifat kadang-kadang. Aturan yang berlaku di dalam masyarakat baik di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III adalah aturan sesuai dengan undang-undang yang berlaku dari pemerintah. Aturan adat yang dipakai sudah tidak seketat adat aslinya, aturan yang dipakai aturan universal karena kebanyakan adalah warga pendatang.
4.1.4 Tindakan yang Pro Aktif Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan masyarakat dalam suatu kegiatan masyarakat. Menurut
34
Hasbullah (2006), masyarakat melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dari sisi material tapi juga kekayaan hubungan sosial dan menguntungkan kelompok tanpa merugikan orang lain secara bersamasama. Tindakan yang pro aktif yaitu bahwa masyarakat cenderung tidak menyukai bantuan-bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih banyak melayani secara proaktif. Pada umumnya warga masyarakat di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III cukup senang melakukan berbagi pengalaman, terutama dengan keluarga intinya dan kemudian teman-temannya atas apa yang mereka alami dalam pengalaman bekerja. Berbagi pengalaman ini akan membentuk komunikasi dengan pihak lain, baik dalam keluarga maupun dengan lingkungan yang lebih luas. Sayangnya hal ini tidak diikuti oleh tindakan pro aktif yang lain, seperti frekuensi mengikuti organisasi, jumlah organisasi yang diikuti, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan yang masih tergolong rendah. Frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya sedang dibandingkan dengan masyarakat Dusun G III yang rendah. Hal disebabkan oleh banyaknya curahan waktu yang dipergunakan untuk bekerja, sehingga tidak dapat pro aktif dalam
kegiatan
organisasi
kemasyarakatan.
Namun
demikian
frekuensi
keikutsertaan dalam kegiatan organisasi di Dusun Kabo Jaya bernilai sedang karena masih berjalannya kegiatan-kegiatan organisasi kemasyarakatan. Contoh kegiatan organisai masyarakat Dusun Kabo Jaya diantaranya kegiatan PKK mengikuti pelatihan-pelatihan, Pos Yandu (penimbangan balita, imunisasi, pengobatan Lanjut Usia/Lansia, pengobatan TBC dan perbaikan gizi). Pelatihan yang dilakukan yaitu pelatihan TBC, pemberdayaan perempuan, gerakan PKK, Musrenbang. Kegiatan rutinnya diantaranya arisan dan pengajian mingguan bagi umat muslim sedangkan untuk agama Kristen Protestan dan Kristen Khatolik melaksanakan kebaktian mingguan serta latian rutin paduan suara dalam mempersiapkan upacara keagamaan, seperti Natal dan Paskah. Diadakan juga perlombaan rumah sehat, lomba Pos Yandu (Juara 3 se-Kutim), lomba masak, pada umumnya seluruh ibu-ibu aktif dalam PKK.
35
Jumlah organisasi yang diikuti masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III < 10 organisasi, hal ini berdasarkan survei langsung kepada masyarakat. Hal ini karena waktu banyak dipergunakan untuk bekerja, sehingga waktu untuk berorganisi sedikit. Begitu halnya dalam pengambilan keputusan pada organisasi sosial pun di kedua dusun ini adalah rendah.
4.1.5 Kepedulian terhadap Sesama dan Lingkungan Kepedulian masyarakat di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III terhadap sesama dan lingkungan cukup peduli. Mengingat mereka pada umumnya hidup merantau sehingga semua orang mereka sudah menganggap sebagai saudaranya. Apalagi kepedulian terhadap sesama suku akan lebih tinggi, seperti saling membantu dalam meringankan musibah, menjenguk atau mengurus orang yang sakit, membantu dalam kegiatan perayaan pernikahan, maupun upacara kematian. Begitu juga dengan kepedulian terhadap lingkungan pada umumnya masyarakat sudah memahami akan pentingnya lingkungan karena pada semua masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III berpendidikan cukup, yaitu sebagian besar tamatan Sekolah Menengah Atas (SMU) (Desa Swarga Bara 2009 dan Desa Singa Gembara 2009). Kepedulian terhadap lingkungan untuk masyarakat Dusun G III lebih tinggi. Hal ini dilihat adanya kegiatan pro aktif masyarakat dalam bekerja bakti dalam membersihkan lingkungan yang dilakukan secara rutin, lingkungan tempat tinggal pada umumnya sudah memperhatikan kesehatan, dan pada umunya masyarakat sudah mengerti akan pentingnya lingkungan bagi kehidupan. Sehingga dengan kondisi modal sosial ini dan didukung adanya potensi objek ekowisata di Desa Singa Gembara yaitu Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara, pengembangan ekowisata diarahkan ke pengembangan ekowisata yang memprioritaskan keunggulan dan kepedulian terhadap alam.
4.1.6
Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi masyarakat untuk melihat modal sosial menurut Krishna
dan Shrader (1999), yaitu terdiri aspek kependudukan, aksesibilitas, perumahan,
36 pendidikan, dan kesehatan. Aspek kependudukan dilihat dari lamanya masyarakat
tinggal, banyaknya rumah dalam komunitas, pertumbuhan penduduk dalam 3 tahun terakhir, ketersediaan lapangan kerja, dan kesediaan masyarakat tetap tinggal pasca tambang. Aspek aksesibilitas dilihat dari rute dalam menjangkau komunitas lain dan ketersediaan serta mutu sarana komunikasi. Aspek perumahan dilihat dari ketersediaan dan kondisi rumah dalam komunitas. Aspek sosial dilihat dari taraf hidup dan jaminan keamanan. Aspek pendidikan dilihat dari kondisi saran pendidikan, tingkat pendidikan komunitas, dan anggota komunitas yang buta huruf. Aspek kesehatan dilihat dari sarana kesehatan yang dimiliki komunitas. Masyarakat kedua dusun pada umumnya berdasarkan hasil survey sudah tinggal di dusun tersebut antara 10 sampai 20 tahun dan terdiri dari > 250 Kepala Keluarga (KK). Pertumbuhan penduduk dari tahun 2006 sampai tahun 2009 Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III tidak ada data secara terperinci per dusun sehingga pertumbuhan penduduk Desa Swarga Bara proyeksi dari Dusun Kabo Jaya dan Desa Singa Gembara proyeksi dari Dusun G III dapat dilihat pada Tabel 4.5. Kondisi penduduk dalam 3 tahun terakhir dari kedua dusun semakin meningkat karena faktor penyediaan lapangan pekerjaan yang menjadi faktor utama. Sehingga kelahiran bukan merupakan penyebabkan pertambahan penduduk, tetapi faktor urbanisasi yang merupakan penyebab pertambahan penduduk dari kedua dusun tersebut. Tabel 4.5 Pertumbuhan penduduk Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara No 1 2 3
Tahun 2006 2007 2009
Desa Swarga Bara (Orang) 9.444 6.083 9.444
Desa Singa Gembara (Orang) 7.305 8.773 16.959
Sumber: Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan BPS Kabupaten Kutai Timur (2008), Desa Swarga Bara (2009), Desa Singa Gembara (2009)
Kesediaan tinggal pasca tambang berdasarkan hasil wawancara, di Dusun Kabo Jaya sebanyak 96 % dan Dusun G III sebnayak 93 % untuk bersedia tetap tinggal. Hal ini merupakan salah satu modal kesedian sumberdaya manusia dalam pengembangan ekowisata.
37
Rute utama yang digunakan dalam menjangkau komunitas selama musim penghujan dan kemarau di kedua dusun melalui jalan aspal dengan kendaraan kebanyakan menggunakan mobil dan sepeda motor karena kondisi jalan di kedua dusun ini sudah beraspal begitu juga untuk dusun terdekat lainnya. Sarana komunikasi dan transportasi dapat dilihat pada Tabel 4.6, karena data yang tersedia per desa sehingga untuk Desa Swarga Bara proyeksi Dusun Kabo Jaya dan Desa Singa Gembara proyeksi Dusun G III. Tabel 4.6 Sarana komunikas dan transportasi di Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara No A 1 2 3 B 1 2 3 4 5 6
Bidang Pembangunan Sarana Komunikasi Pesawat telepon Pesawat TV Antena parabola Sarana Transportasi Sepeda Sepeda motor Oplet/mikrolet Mobil pribadi Taksi Truk
Satuan
Desa Swarga Bara
Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit
Desa Singa Gembara 2.078 3.025 34
200 800 30 20 20
546 1.875 30 24 16
Sumber: Desa Swarga Bara (2009) dan Desa Singa Gembara (2009)
Menurut hasil penelitian Darwono (1995), PT. Pos Indonesia sudah hadir di Sangatta Baru (Swarga Bara) yang dapat diakses warga Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III sejak tahun 1992 dengan pelayanan dalam 3 tahun terakhir berdasarkan hasil wawancara masyarakat kedua dusun meningkat dan untuk mutu pelayanan saat ini untuk Dusun Kabo Jaya menilai baik dan untuk Dusun G III menilai sangat baik. Kemudian pada pertengahan tahun 1995 PT. Telkom membangun sentral telepon otomat dengan kode area tersendiri di Sangatta. Sangatta yang semula terpencil, sekarang telah mempunyai akses yang cukup tinggi ke dunia luar melalui jasa PT. Pos Indonesia, jasa paket lainnya seperti TIKI dan JNE, PT. Telkom (telepon), dan internet melalui warnet maupun ponsel sudah dapat diakses masyarakat, hal ini didukung oleh hasil survei di kedua dusun setengah dari komunitas sudah mempergunakan akses internet. Pelayanan sistem angkutan umum di kedua dusun tersedia setiap hari dengan kualitas jasa angkutan umum berdasarkan hasil wawancara masyarakat
38
untuk Dusun Kabo Jaya meningkat dengan dipergunakan oleh kebanyakan komunitas dan Dusun G III tidak berubah dengan dipergunakan oleh setengah komunitas, hal ini dapat dilhat dalam Tabel 4.6 kondisi kepemilikan kendaraan pribadi lebih banyak di Dusun G III, sehingga masyarakat banyak menggunakan kendaraan pribadi. Kondisi perumahan dari komunitas dilihat dari ketersediaan dan kondisi perumahan dalam komunitas (Tabel 4.7). Kondisi perumahan yang tidak layak dihuni, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Kutai Timur memberikan bantuan pembangunan rumah melalui Surat Keputusan Bupati Kutai Timur No. 188.4.45/634/HK/X/2009, tanggal 9 Oktober 2009 tentang Penetapan Penerima Bantuan Perbaikan Perumahan Penduduk Miskin dan Perbaikan Sarana dan Prasarana Umum Lingkungan Pedesaan (Swakelola) Tahun Anggaran 2009, adapun daftar nama-nama keluarga yang menerima bantuan perbaikan rumah dari Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.7 Kondisi pembangunan di Desa Singa Gembara No Kondisi Rumah 1 Rumah permanen 2 Rumah semi permanen 3 Rumah non permanen
Satuan Unit Unit Unit
Jumlah 600 -
Sumber: Desa Singa Gembara (2009)
Tabel 4.8 Penetapan penerimaan bantuan perbaikan perumahan penduduk miskin perbaikan sarana dan prasarana umum lingkungan pedesaan (swakelola) tahun anggaran 2009 di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III No Dusun 1 Dusun Kabo 1. Jaya 2. 3.
2
Dusun G III
4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Yulianto Petrus Palungan Wedelinus Bernandus Nong Pareha Tenri A. Rahman Anggia Murni Arpiah Hasniah Fatimah Ali Alfianto Supiansyah Ashari Ani Nurhayati Asfianor
Alamat 1. Jl. Poros Kabo Jaya RT. 06 Gg. Bersama No. 5 2. J. Sawi RT. 4 No. 16 Kabo Jaya 3. Jl. Sawi RT. 4 4. Jl. Porodisa RT. 5 Kabo Jaya 5. Jl. Bayam No. 2 Kabo Jaya 6. Jl. Bayam No. 20 RT. 2 Kabo Jaya 7. Jl. Bayam No. 59 RT. 2 Kabo Jaya 1. RT. 10 2. RT. 15 3. RT. 7 4. RT. 3 5. RT. 3 6. RT. 3 7. Jl. Patimura Gg. Pasundan RT. 20 6/V
Sumber: Lampiran SK. Bupati Kutai Timur No: 188.4.45/634/HK/X/2009
39
Berdasarkan Tabel 4.7 dan wawancara dengan masyarakat ketersediaan rumah di kedua dusun cukup dan dengan berdasarkan Tabel 4.8 serta wawancara masyarakat kondisi rumah 3 tahun terakhir di Dusun Kabo Jaya meningkat dan di Dusun G III tidak ada perubahan. Kondisi sosial melihat dari aspek mata pencaharian karena tidak tersedia secara terperinci data mata pencaharian per dusun sehingga menggunakan data per desa (Tabel 4.9) dan keselamatan serta jaminan keamanan (Tabel 4.10 dan Tabel 4.11). Kehadiran PT. KPC untuk melakukan operasi penambangan batu bara di Sangatta banyak membuka jenis lapangan pekerjaan. Aktivitas operasi PT. KPC telah menciptakan lapangan kerja, baik secara langsung untuk memenuhi kebutuhan operasional perusahaan maupun secara tidak langsung dalam memenuhi kebutuhan lain bagi kehidupan karyawan beserta keluarganya. Dengan kata lain PT. KPC ikut serta membuka lapangan kerja dalam dimensi yang lebih luas tidak hanya sekedar bekerja secara langsung di perusahaan itu. Masyarakat setempat memperoleh kesempatan mengisi lapangan-lapangan kerja akibat keberadaan PT. KPC. Tabel 4.9 Mata pencaharian masyarakat di Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara No
Mata Pencaharian
1
Pegawai Negeri Sipil (PNS) ABRI Swasta Wiraswasta/Pedagang Tani Pertukangan Buruh Tani Pensiunan Nelayan Pemulung Jasa Jumlah
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Desa Swarga Bara (Orang) 72
Desa Singa Gembara (Orang) 234
2.552 65 150 20 11 40 10 5 2.925
15 3.028 947 628 435 76 5 32 5.400
Sumber: Desa Swarga Bara (2009) dan Desa Singa Gembara (2009)
Kondisi keamanan di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III sudah dikatakan sangat aman. Di Dusun Kabo Jaya karena sudah aman sistem Siskamling dan ronda malam bagi masyaralat sudah tidak diperlukan lagi. Sedangkan di G III walaupun kondisi lingkungan aman namun warga tetap
40
mempergunakan Siskamling dan ronda malam, namun kebanyakan ronda malam dibayarkan kepada orang yang bersedia melakukan ronda malam. Hal ini karena pada umumnya warga di Dusun G III adalah karyawan perusahaan sehingga waktunya banyak dihabiskan untuk bekerja. Kondisi sarana dan prasarana keamanan, kentraman dan ketertiban (Tabel 4.10), dan kemampuan Lembaga Perlindungan Masyarakat (Linmas) dalam melindungi masyarakat (rasio penduduk per Polisi) (Tabel 4.11). Tabel 4.10 Kondisi keamanan Desa Singa Gembara No 1 2
3
4
Uraian Jumlah Hansip terlatih Alat pemandam kebakaran Ketentraman dan Ketertiban a. Kejadian criminal b. Bencana alam c. Operasi penertiban d. Penyuluhan e. Pos Kamling f. BALAKAR g. Kenakalan remaja h. Peronda kampung i. Satpam j. Posko bencana k. Posko hutan lindung Pembinaan dan Pengawasan Bekas NAPI/TAPOL G. 30 S/PKI a. NAPI b. G. 30 S/PKI
Satuan Orang Unit
Jumlah 5 -
Kali Kali Kali Kali Unit Kali Kali Kelompok Orang Unit Unit
24 44 -
Orang Orang
2 -
Sumber: Desa Singa Gembara (2009)
Tabel 4.11 Kemampuan kelembagaan di Kabupaten Kutai Timur No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jumlah Petugas Linmas (Orang) 401 431 456 1.387 1.609 1.700 1.743 2.000 1.877
Jumlah Penduduk (Orang) 146.510 157.163 161.946 165.461 168.529 175.106 203.156 208.662 213.762
Jumlah Polisi
383
Rasio Penduduk per Linmas 365 365 355 119 105 103 117 104 114
Rasio Penduduk per Polisi
Sumber: Bappeda Kabupaten Kutai Timur dan BPS Provinsi Kalimantan Timur (2009)
544
41
Berdasarkan hasil wawancara masyarakat, mutu taraf hidup (ketersediaan pekerjaan, keselamatan, dan jaminan keamanan) untuk Dusun Kabo Jaya meningkat dan untuk Dusun G III tidak berubah dengan taraf hidup di kedua dusun termasuk dalam rata-rata, adanya jaminan keamanan (Tabel 4.10 dan Tabel 4.11) dan jasa kemanan disediakan oleh warga sendiri karena sudah dianggap aman dengan mutu pelayanan keamanan dalam 3 (tiga) tahun terakhir menurut Dusun Kabo Jaya meningkat sedangkan Dusun G III tidak berubah. Tingkat pendidikan masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III karena data yang tersedia per desa sehingga untuk Desa Swarga Bara proyeksi dari Dusun Kabo Jaya dan Desa Singa Gembara proyeksi dari Dusun G III. Dilihat dari aspek kondisi sarana pendidikan, tingkat pendidikan masyarakat (Tabel 4.12), ketersediaan sarana pendidikan (Tabel 4.13), ketersediaan guru, dan kondisi masyarakat yang buta huruf. Tabel 4.12 Tingkat pendidikan masyarakat Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara No Tingkat Pendidikan I Pendididan Umum 1 Taman Kanak-kanak (TK) 2 Sekolah Dasar (SD) 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP) 4 Sekolah Menengah Atas (SMA) 5 Akademi/D1 – D3 6 Sarjana (S1 – S3) II Pendidikan Khusus 1 Pondok Pesantren 2 Madrasah 3 Pendidikan Keagamaan 4 Sekolah Luar Biasa 5 Kursus/Keterampilan 6 Belum Sekolah Jumlah
Desa Swarga Bara
Desa Singa Gembara
250
894
1.300 2.280
2.040 4.011
3.150
3.036
240 416
345 234
25 24 10 3 466 1.280 9.444
115 84 35 10 1.644 4.511 16.959
Sumber: Desa Swarga Bara (2009) dan Desa Singa Gembara (2009)
42
Tabel 4.13 Sarana pendidikan di Desa Swarga Bara dan Desa Singa Gembara No
Sarana Pendidikan
Pendidikan Umum Kelompok Bermain 1) Gedung 2) Guru 3) Murid 2 Taman Kanak-kanak (TK) 1) Gedung 2) Guru 3) Murid 3 Sekolah Dasar (SD) 1) Gedung 2) Guru 3) Murid 4 Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1) Gedung 2) Guru 3) Murid 5 Sekolah Menengah Atas (SMA) 1) Gedung 2) Guru 3) Murid 6 Akademi 1) Gedung 2) Mahasiswa 3) Dosen 7 Institut/Sekolah Tinggi/Universitas 1) Gedung 2) Mahasiswa 3) Dosen II Sekolah Khusus 1 Pondok Pesantren 2 Balai Latihan Kerja (BLK) 3 Kursus
Satuan
Desa Swarga Bara
Desa Singa Gembara
I 1
Unit Orang Orang
2
-
Unit Orang Orang
3
-
Unit Orang Orang
5
1 15 675
Unit Orang Orang
1
1 20 9.076
Unit Orang Orang
-
Unit Orang Orang
-
Unit Orang Orang
1
Unit Unit Unit
2 1 -
Sumber: Desa Swarga Bara (2009) dan Desa Singa Gembara (2009)
Kondisi sarana pendidikan di kedua dusun dari hasil observasi lapang dan didukung hasil wawancara masyarakat serta data sekunder dalam kondisi baik. Tingkat
pendidikan masyarakat di kedua dusun kebanyakan tingkat SMU (Tabel 2.5 dan Tabel 2.7). Ketersediaan pendidikan dasar umum (wajib belajar 9 tahun/tingkat SLTP) di kedua dusun tersedia (Tabel 4.13). Jumlah komunitas yang buta huruf di kedua dusun berdasarkan hasil wawancara masyarakat sangat sedikit. Minat belajar masyarakat di kedua dusun ini sangat tinggi. Para orang tua yang belum menyelesaikan pendidikan wajibnya mereka mengikuti Paket B untuk
43
SMP kemudian lanjut Paket C untuk tingkat SMA. Minat masyarakat untuk sekolah cukup tinggi dengan banyaknya masyarakat yang sudah tua mengikuti Paket B dan Paket C. Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan masyarakat. Pendidikan yang lebih tinggi akan memperluas pengetahuan masyarakat dan mempertinggi rasionalitas pemikiran mereka. Masyarakat mampu mengambil keputusan yang lebih tepat. Selain itu dengan pengetahuan yang lebih baik dapat menjadi bekal untuk mengadakan berbagai pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, salah satunya dalam pengembangan ekowisata. Dengan demikian tingkat pendidikan yang lebih tinggi sebagai modal masyarakat akan dapat menjamin perbaikan yang berkelanjutan. Kondisi kesehatan masyarakat dilihat dari aspek ketersediaan fasilitas kesehatan yang ada di dalam komunitas (Tabel 4.14). Tabel 4.14 Fasilitas kesehatan di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III No 1 2 3 4 5 6 7 8
Fasilitas Kesehatan
Satuan
Desa Swarga Bara
Desa Singa Gembara
Rumah Sakit Umum Pemerintah Rumah Sakit Umum Swasta Puskesmas Pembantu Rumah Bersalin Posyandu Apotek Dokter Umum Dokter Gigi
Unit
-
-
Unit
-
-
Unit Unit Unit Unit Orang Orang
1 1 1 1 -
1 1 1 -
Sumber: Desa Swarga Bara (2009) dan Desa Singa Gembara (2009)
Berdasarkan hasil wawancara masyarakat dan survei lapangan mengenai ketersediaan sarana kesehatan di kedua dusun (Tabel 4.14) dinilai cukup memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan modal kesehatan yang baik, maka masyarakat akan dapat berkarya dengan baik pula. Produktivitas individu warga sangat bergantung kepada kondisi kesehatannya. Suatu masyarakat yang mempunyai taraf kesehatan tinggi dengan disertai oleh pengetahuan dan keterampilan serta motivasi yang tinggi akan memiliki produktivitas yang tinggi, yang sangat diperlukan dalam pembangunan. Seperti dalam mengeksploitasi
44
potensi ekowisata dan mampu mengolah potensi tersebut menjadi produk ekowisata yang ada di lingkungannya.
4.2
Potensi dan Aplikasi Modal Sosial dalam Pengembangan Ekowisata
4.2.1
Dusun Kabo Jaya Aplikasi modal sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya yang sudah diterapkan
mengarah dalam pengembangan ekowosata, diantaranya: a. Kelompok Ekowisata Kabo Jaya Masyarakat
di
Dusun
Kabo
Jaya
sudah
membentuk
kelompok
pengembangan Ekowisata Kabo Jaya sejak Bulan Oktober 2009 dengan pendampingan dari PILI (Pusat Informasi Lingkungan Indonesia), CIFOR (Center for International Forestry Research), dan BIKAL (Yayasan Bina Kelompok Cinta Lingkungan) dengan dukungan materi dari PT. KPC dan Mitra Kutai. Masyarakat yang aktif dalam pengembangan Ekowisata Kabo Jaya sebanyak 25 orang dari berbagai suku yang ada di Dusun Kabo Jaya dengan struktur organisasinya (Gambar 4.7).
Koordinator Umum Juahim
Poknat Wisata Alam Akhrah Halid
Poknat Wisata Agro Simon
Bendahara 1. Dina 2. Fatmawati
Poknat Seni, Budaya & Kuliner Dina
Poknat Fasilitas Eriyanto
Gambar 4.7 Struktur organisasi Ekowisata Kabo Jaya Pada awalnya masyarakat Dusun Kabo Jaya belum mengerti apa yang dinamakan dengan ekowisata. Pendamping-pendamping ini yang berperan dalam menumbuhkan pemahaman dan gambaran tentang ekowisata. Pendekatan yang dilakukan oleh BIKAL kepada masyarakat melalui proses Share Learning dengan beberapa rangkaian kegiatan, yaitu Focus Group Discussion (FGD), dan training kepada masyarakat. FGD dilakukan dalam rangka untuk menggali potensi wisata
45
di Dusun Kabo Jaya berdasarkan persepsi masyarakat. Training ekowisata kepada masyarakat untuk memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat mengenai ekowisata. Gambaran persepsi masyarakat terkait pengambangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya menurut hasil wawancara dengan Awang pendamping dari BIKAL: 1. Pada awalnya masyarakat belum memahami secara memadai apa itu ekowisata,
tetapi
sekarang
sudah
mulai
tertarik
dan
berminat
mengembangkan ekowisata. 2. Ekowisata adalah kegiatan bisnis. 3. Ekowisata memiliki dampak ikutan untuk kegiatan ekonomi masyarakat (peluang usaha). 4. Dalam pengembangan ekowisata harus dipikirkan sarana pendukung, terutama akses jalan menuju objek. 5. Masyarakat dari kelompok petani sudah tahu potensi Dusun Kabo Jaya yang
dapat
dikembangkan
untuk
mendukung
ekowisata,
namun
masyarakat dari kelompok pekerja kontraktor di PT. KPC menilai tidak ada potensi itu, namun setelah diberikan pemahaman dan pelatihan dari pendampingan pengembangan Ekowisata Kabo Jaya, mereka sudah mulai paham akan potensi yang ada di lingkungannya. 6. Khusus untuk objek ekowisata Prevab, masyarakat mengetahui bahwa objek tersebut merupakan tujuan ekowisata mancanegara, namun sebagian besar belum pernah berkunjung ke objek tersebut. Materi training yang diberikan oleh PILI, CIFOR, dan BIKAL yaitu, pengenalan definisi wisata dan ekowisata, pengenalan bentuk-bentuk wisata, membangun
persepsi
dan
harapan
masyarakat
tentang
ekowisata,
dan
mengidentifikasi potensi wisata Kabo Jaya. Kendati telah diberikan materi-materi tersebut, peserta pelatihan belum dapat memahami apa yang dimaksud ekowisata. Proses pendampingan selanjutnya pada Bulan November 2009 dibuat satu aktifitas (simulasi) untuk memberikan gambaran tentang ekowisata yang bertanggungjawab, sehingga pada akhirnya masyarakat mulai mengerti tentang ekowisata.
46
Berdasarkan potensi ekowisata yang dimiliki, diperoleh 4 Kelompok Minat (Pokmin) (Tabel 4.15) dan harga dari setiap paket Ekowisata Kabo Jaya dapat dilihat pada Tabel 4.16. Tabel 4.15 Kelompok Minat (Pokmin) Ekowisata Kabo Jaya No
Wisata Agro
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Simon Karappe Gerson Lusiana Yakobus L Vikal Asman Chistina Yohanes
Wisata Alam Buyung Georgerius A. Abd. Rahman Hakra Halide Aris Rahman Fatma Aldin Andy Rahmad H.
Wisata Budaya Dina Rippin Thomas R.P. Tenri A. Rahman
Fasilitas & Peningkatan Kapasitas Eryanto Asman Wahyuddin Juahim
Tabel 4.16 Harga paket Ekowisata Kabo Jaya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Biaya Ekowisata Prevab – Mentoko/orang Tiket kamera/unit Tiket handycam/unit Transport/ketingting Wisata kuliner/orang Wisata agro/orang Guide ekowisata Guide wisata agro Wisata budaya/pertunjukan Homestay/malam/kamar
Harga (Rp) 15.000,3.000,12.500,150.000,25.000,10.000,100.000,50.000,1.500.000,150.000,-
Usaha dalam peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk pengembangan Ekowisata Kabo Jaya, CIFOR mengadakan share lerning di Bontang mengenai ekowisata, PT. KPC mengajak BIKAL dan 2 orang dari Kabo Jaya (Pak Juahim sebagai Koordinator Ekowisata Kabo Jaya dan Pak Anton sebagai Kepala Desa Swarga Bara) untuk mengikuti share learning tersebut. Setelah mengikuti share learning yang diselenggarakan oleh CIFOR tersebut peserta dari Dusun Kabo Jaya baru dapat memahami mengenai potensi yang ada di Kabo Jaya sebagai potensi pengembangan ekowisata. Penanaman pemahaman ekowisata merupakan hal yang sangat mendasar sebagai modal dalam pengembangan ekowisata. Selain itu, PT. KPC pada Bulan Desember 2009 mengadakan kunjungan studi banding ke Bali dalam rangka peningkatan
47
Sumberdaya Manusia (SDM) untuk pengembangan Ekowisata Kabo Jaya. Studi banding ini diikuti dari pihak PILI (2 orang), BIKAL (1 orang), pemuda Dusun Kabo Jaya (3 orang), dan Kepala Desa Swarga Bara sebagai kordinator. b. Keterampilan yang Dimiliki Masyarakat Ibu-ibu khususnya Dusun Kabo Jaya pada umumnya aktif dalam kegiatan PKK. Kegiatan yang dilaksanakan di PKK bermacam-macam seperti lomba memasak, berbagai pelatihan-pelatihan, dan kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Dari hasil kegiatan ini, muncul kreativitas-kreativitas dari masyarakat, seperti terampil dalam memasak berbagai menu masakan daerah masing-masing. Ibu-ibu yang minatnya bidang catering oleh pemuda Ekowista Kabo Jaya dilibatkan dalam pengelolaan Ekowisata Kabo Jawa yaitu masuk ke dalam Kelompok Minat Wisata Kuliner. Ibu-ibu yang terlibat dalam wisata kuliner saat ini 5 orang terdiri dari 1 orang dari Kampung Jawa, 1 orang dari Kampung Bugis, 2 orang dari Kampung Toraja, dan 1 orang dari Kampung Banjar. Tabel 4.17 Menu makanan wisata kuliner Ekowisata Kabo Jaya No 1 2
Banjar Bugis
Daerah
3
Toraja
4
Jawa
Menu Soto Banjar Coto Makasar Rica-rica Bebek Mayana Burak Mayana Ikan Pangi Rangi Rawon Gudeg
Selain itu, ibu-ibu PKK Dusun Kabo Jaya mengirimkan perwakilannya dalam
mengikuti
pelatihan
membuat
hiasan
pasir
dalam
botol
yang
diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian Perdagang Koperasi dan UMKM dengan pelatih didatangkan dari Samarinda. Utusan dari PKK Dusun Kabo Jaya sebanyak 5 orang. Hiasan lukisan pasir dalam botol dapat dijadikan souvenir Ekowisata Kabo Jaya. Rencana ke depan ibu-ibu PKK yang mengikuti pelatihan ini akan mengembangkan indutri ini sebagai souvenir kunjungan ke Kabo Jaya
48
dengan desain berdasarkan potensi yang ada seperti gambar Orangutan (Pongo pygmaeus). Pelatihan kerajinan lainnya yang diikuti warga Dusun Kabo Jaya yaitu pewarnaan kain dari warna alami seperti dari getah-getah pohon, warna kuning dari kunyit, daun ketapang untuk warna hijau, jati dan bakau untuk warna coklat, warna biru dari serbuk alami serta pelatihan membuat tas-tas dari kain yang menyelenggarakan PT. KPC. Semua hasil kerajinan ini dapat dijadikan souvenir untuk pengunjung. PT. KPC juga dalam menyiapkan sumber daya untuk menunjang kegiatan Ekowisata Kabo Jaya memberikan pelatihan komputer, internet, dan desain gambar khusus untuk pengelola Ekowisata Kabo Jaya. c. Potensi Lain yang Dimiliki Masyarakat Potensi lain yang dimiliki dalam pengembangan Ekowisata di Dusun Kabo Jaya, karena berlatar belakang etnik yang beragam (Lampiran 1) begitu juga dengan bangunan rumah ada beberapa yang mengikuti bangunan daerah asalnya. Sehingga potensi ini dapat dikembangkan sebagai homestay. Rumah warga yang dijadikan sebagai homestay ada 4 rumah, yaitu rumah Ibu Lusiana (Kampung Timur), rumah Fatma dan rumah Bapak Dayat (Kampung Bugis), serta rumah Bapak Simon B. (Kampung Tortor). Warga Dusun Kabo Jaya yang memiliki ketingting dilibatkan dalam kegiatan Ekowisata Kabo Jaya dalam hal penyediaan sarana transportasi menuju Prevab, TNK.
4.2.2
Dusun G III Di Dusun G III belum ada kegiatan pengembangan ekowisata walaupun
terdapat objek yang cukup menarik yaitu Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara yang berpotensi dijadikan objek ekowisata, namun karena lokasinya berada di dalam daerah operasional PT. KPC sehingga pengelolaannya dipegang langsung oleh pihak PT, KPC. Keterampilan
yang
dimiliki
masyarakat
yang
dapat
mendukung
pengembangan ekowisata, diantaranya ibu-ibu rumah tangga di Dusun G III aktif dalam kegiatan PKK terampil menjahit salah satunya. Kegiatan menjahit ini bisa digunakan sebagai dasar dalam membuat atau menciptakan kerajinan atau barang
49
souvenir daerah. Sedangkan modal yang dimiliki masyarakat yang khusus mengarah ke pengembangan ekowisata belum ada, berbeda halnya dengan warga di Dusun Kabo Jaya yang sudah melaksanakan perencanaan pengembangan Ekowisata Kabo Jaya dan dengan adanya dukungan mulai dari warga, Kepala Desa, tokoh adat/tokoh masyarakat serta lembaga-lembaga lainnya yang dikombinasikan dengan potensi berlatar belakang multi etnik dan sumberdaya alam yang mendukung.
4.3
Potensi Ekowisata
4.3.1
Dusun Kabo Jaya Potensi ekowisata di Dusun Kabo Jaya, TNK, dan sekitarnya dapat
dikelompokkan menjadi potensi ekowisata, agrowisata, wisata budaya, dan wisata kuliner. 4.3.1.1 Stasiun Penelitian Orangutan Prevab, TNK Stasiun penelitian Orangutan Prevab berada di bagian sebelah utara TNK, terletak di sebelah barat Kota Sangatta, untuk mencapai lokasi harus ditempuh dengan ketinting (perahu motor) menyusuri Sungai Sangatta ke arah hulu. Dari dermaga Papa Charlie, dusun terakhir yaitu Kabo Jaya sekitar 20 menit. Sementara Mentoko berada di sebelah utara Prevab, dicapai kurang lebih 1 sampai 1,5 jam dari Prevab ke arah hulu Sungai Sangatta. Berdasarkan data yang tercatat di pos Resort Prevab TNK, pengunjung yang datang ke pos Prevab sangat bervariasi (Gambar 4.8). Mereka dari kalangan peneliti, institusi pendidikan, karyawan perusahaan yang berada di Bontang maupun Sangatta serta para wisatawan mancanegara. Keberadaan Orangutan liar dari sub spesies Pongo pygmaeus morio (Gambar 4.9a) yang sering dijumpai di kawasan Prevab menjadi daya tarik utama bagi para pengunjung, khususnya pengunjung mancanegara sebagai pengunjung terbanyak. Orangutan ini mempunyai homerange yang sudah dapat dipetakan (lokasi tidur, makan, dan bermain) (Gambar 4.9b) dengan kelompoknya. Selain itu potensi lain yang belum tergali, yaitu potensi keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat tinggi,
50
tingkat rendah, dan jamur yang bisa ditemukan di sepanjang looptrail menuju habitat Orangutan (Lampiran 2).
Gambar 4.8 Pengunjung dalam dan luar negeri Prevab, TNK
Sumber: Anggoro et al. (2009)
(a)
(b)
Keterangan: (a) Orangutan (Pongo pygmaeus) dan (b) Pohon tebu item yang dijadikan sarang Orangutan (Pongo pygmaeus)
Gambar 4.9 Orangutan (Pongo pygmaeus) dan habitatnya Aktivitas yang dapat dilakukan oleh pengunjung di pusat penelitian Orangutan Prevab adalah, penelitian, pendidikan lingkungan, ekowisata pengamatan Orangutan, birdwatching, pengamatan flora, tracking, dan fotografi (Gambar 4.10).
51
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan: (a) Kegiatan fotografi, (b) pengamatan Orangutan dan Birdwatching, (c) dan (d) Tracking
Gambar 4.10 Aktivitas pengunjung di pusat penelitian Orangutan Prevab
Pengunjung yang ingin ke pos Prevab dikelola langsung oleh pihak TNK yang ada di Bontang atau di kantor Seksi Sangatta dan sekarang sudah dapat dikelola oleh Kelompok Ekowisata Kabo Jaya. Secara profesional belum ada operator wisata yang mengelola sebuah paket wisata ke daerah ini, sekarang sedang dirintis pengembangan Ekowisata Kabo Jaya yang salah satu paketnya berupa Ekowisata Prevab. Prevab ini dijadikan sebagai objek ekowisata karena adanya objek Orangutan liar dan kegiatan penelitian.
52
Prevab dalam sejarah perkembangannya telah menjadi salah satu pusat penelitian Orangutan yang penting. Hal ini tidak lepas dari inisiasi dan keberadaan seorang peneliti Orangutan berkebangsaan Jepang bernama Akira Suzuki yang telah melakukan penelitian tentang perilaku Orangutan selama kurang lebih 25 tahun dan mendirikan sebuah base camp penelitian di daerah Prevab ini yang diberi nama Camp Kakap. Banyak mahasiswa dan peneliti baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri yang melakukan penelitian di Prevab sampai saat ini. Stasiun penelitian Orangutan Prevab merupakan salah satu lokasi di TNK yang cukup memiliki infrastruktur dan fasilitas pendukung kegiatan penelitian dan wisata terbatas yang memadai (Gambar 4.11). Sarana dan prasarana tersebut antara lain; pos jaga polisi hutan yang sekaligus guest house untuk tamu, Camp Kakap khusus untuk penelitian Orangutan yang dilakukan oleh Akira Suzuki, dermaga ketingting Papa Charlie, ketingting, guide dari pengelola Ekowisata Kabo Jaya maupun dari TNK, jaket pelampung, boardwalk dari darmaga ketinting menuju guest house, rute pendidikan lingkungan (rute kancil), boardwalk dalam rute pendidikan lingkungan (rute kancil), jembatan gantung di sepanjang rute kancil, jembatan kayu yang melintasi Sungai Leang yang merupakan anak Sungai Sangatta, papan informasi, papan petunjuk arah, papan peringatan, kode lokasi, shelter istirahat di sepanjang rute kancil, MCK di dalam dan di luar guest house dan perangkat satelit sebagai penerima sinyal untuk siaran TV/radio. Keseluruhan fasilitas ini masih dalam kondisi operasional tetapi tampak kurang adanya perawatan rutin.
(a)
(b)
53
(c)
(d)
(e)
(f)
(g) (h)
54
(i) (j)
(k)
(l)
(n)
(m)
(o)
55
(p) Keterangan: (a) Pos jaga TNK sekaligus sebagai guest house (b) dan (c) Camp Kakap khusus untuk penelitian Orangutan (d) Dermaga ketingting Papa Charlie (e) Ketingting (f) Guide dari pengelola Ekowisata Kabo Jaya maupun dari TNK (g) Jaket pelampung (h) Boardwalk dari darmaga ketinting menuju guest house (i) Rute pendidikan lingkungan (rute kancil) (j) Boardwalk dalam rute pendidikan lingkungan (rute kancil) (k) Jembatan gantung di sepanjang rute kancil (l) Jembatan kayu yang melintasi Sungai Leang yang merupakan anak Sungai Sangatta (m) Papan informasi (n) Papan petunjuk arah (o) Papan peringatan (p) Kode lokasi
Gambar 4.11 Sarana dan prasarana yang ada di stasiun penelitian Orangutan Prevab
Dalam konteks pelayanan informasi kepada para pengunjung saat ini, pemandu dari masyarakat Dusun Kabo Jaya cenderung mengasah kemampuan interpretasinya secara mandiri dengan bekal pengalaman di lapangan yang cukup sering seperti yang dituturkan oleh Bapak Udin (pemandu lokal). Itupun dirasa masih kurang optimal dalam penyediaan profesional dalam usaha wisata. Sekarang mulai terjalin kerjasama dengan pihak pengelola Ekowisata Kabo Jaya dalam kegiatan ekowisata ke Prevab. Setiap tamu yang berkunjung ke Prevab harus melalui pengelola Ekowisata Kabo Jaya dalam pengurusan tiket masuk dan pengelola Ekowisata Kabo Jaya yang menyediakan fasilitas ketingting dan guide.
56
Potensi kerjasama antar pihak masih sangat terbuka, terlebih diharapkan dengan keterlibatan stakeholder lokal seperti Dinas Pariwisata, Pemerintah Kabupaten, Dinas Lingkungan Hidup, beberapa perusahaan yang ada di Kutai Timur dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Sekarang ini kerjasama dalam pengembangan ekowisata Prevab melalui pengembangan Ekowisata Kabo Jaya yang dikelola oleh masyarakat Dusun Kabo Jaya dengan pendampingan dari PILI, BIKAL, dan CIFOR atas dukungan dari PT. KPC dan Mitra Kutai. Stasiun penelitian Prevab termasuk daerah yang sangat terbatas untuk aksesibilitas publik. Satu-satunya alat transportasi yang memungkinkan ialah menggunakan perahu tradisional bermesin atau ketinting. Bagi para pengunjung, ketinting dapat disewa dari masyarakat Dusun Kabo Jaya. Dusun Kabo Jaya merupakan titik terakhir sebelum menuju ke kawasan Prevab. Sehingga pelibatan masyarakat Dusun Kabo Jaya sangat diperlukan dalam pengembangan ekowisata Prevab. Dusun Kabo Jaya ke depan dapat sebagai sebuah desa pendukung untuk aktifitas wisata alam di dalam TNK bisa terwujud. Usaha ini secara tidak langsung dapat meminimalisir tekanan terhadap keutuhan kawasan TNK.
4.3.1.2 Dusun Kabo Jaya Dusun Kabo Jaya merupakan salah satu dusun yang berbatasan langsung dengan kawasan TNK. Dari kota Sangatta dapat ditempuh kurang lebih 30 menit menuju ke dusun ini. Di Dusun Kabo Jaya ini terdapat sebuah dermaga sungai yang terkenal dengan sebutan ”Papa Charlie” sebagai tempat penyeberangan menuju stasiun penelitian Orangutan Prevab di TNK. Para pengunjung yang akan menuju ke Prevab untuk melihat Orangutan liar secara langsung pasti akan menyinggahi dusun ini terlebih dahulu. Masyarakat Dusun Kabo Jaya terdiri dari beragam latar belakang etnis dan budaya yang hidup saling berdampingan secara harmonis. Sebagian besar penduduk dusun ini bekerja pada perusahaan tambang PT. KPC dan perusahanperusahaan kontraktornya yang ada di sekitar Kota Sangatta. Di dusun ini juga terdapat sekelompok masyarakat yang bekerja sebagai petani dengan lahan
57
pertanian yang ada di sekitar dusun ini, yaitu Kampung Jawa yang sebagian besar berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. Dusun Kabo Jaya mempunyai beberapa obyek daya tarik yang bisa dikembangkan sebagai daya tarik wisata. Hal-hal yang menarik dicermati antara lain; segi keragaman etnis dan budaya (Lampiran 1) dari penduduk Kabo Jaya (Jawa, Bugis, Banjar, Toraja, dan Timor/NTB dan NTT), kekhasan praktekpraktek kehidupan sosial masyarakat yang berasal dari berbagai etnis, ada beberapa corak bangunan rumah masyarakat yang mencirikan budaya asal, adanya beberapa penduduk yang melakukan usaha kerajinan tangan (ukiran dan bordir kain motif lokal), usaha pembuatan kain dengan pewarnaan alami (teknik celup), keunikan beberapa rumah penduduk yang bangunannya berasal dari kayu Ulin, dan praktek-praktek kegiatan pertanian tradisional masyarakat. Dari segi keanekaragaman sumberdaya alam, terdapat beberapa kegiatan pertanian dan perkebunan yang cukup menarik yaitu; terdapat lahan-lahan yang digunakan untuk kebun buah-buah tropis (rambutan, nangka, salak, cempedak, lai, durian, dan jeruk) di Kampung Jawa (Lampiran 1 – 1.5. Suku Jawa). Ditinjau dari sarana dan prasarana yang dapat mendukung untuk pengembangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya, dusun ini sudah mempunyai fasilitas yang cukup memadai (Gambar 4.12), yaitu antara lain pusat informasi Ekowisata Kabo Jaya, pendopo untuk berbagai acara pentas seni budaya, beberapa rumah penduduk yang dapat dikembangkan menjadi homestay, kios souvenir, instalasi pengolahan sampah terutama sampah plastik, infrastruktur jalan menuju dusun ini yang mudah diakses dengan saran transportasi yang cukup mudah didapat, tersedia fasilitas air bersih, listrik, telepon dan bahkan jaringan internet, mini market dan toko untuk mendapatkan kebutuhan konsumsi, perpustakaan desa, sarana peribadatan yang beragam, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Pembantu sebagai tempat penyedia layanan kesehatan, dan Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling).
58
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(g)
(f)
(h)
59
(i)
(k)
(j)
(l)
Keterangan: (a) Pusat informasi Ekowisata Kabo Jaya (b) Pendopo untuk berbagai acara pentas seni budaya (c) rumah penduduk yang dapat dikembangkan menjadi homestay (d) Kios souvenir (e) Instalasi pengolahan sampah terutama sampah plastik (f) Infrastruktur jalan yang mudah diakses dengan saran transportasi (g) Tersedia fasilitas air bersih (h) Perpustakaan desa (i) dan (j) Sarana peribadatan yang beragam (k) Puskesmas Pembantu sebagai tempat penyedia layanan kesehatan (l) Poskamling
Gambar 4.12 Sarana dan prasarana Dusun Kabo Jaya yang dapat mendukung kegiatan Ekowisata Kabo Jaya Dusun Kabo Jaya sebagai salah satu lokasi yang berpotensi untuk pengembangan ekowisata dengan mengutamakan potensi multi etnik dan norma sosial didasarkan hasil kajian lapangan yang menunjukkan bahwa Dusun Kabo Jaya mempunyai beragam potensi baik dari segi budaya, kekhasan praktek-
60
praktek kehidupan sosial masyarakat yang berasal dari berbagai etnis, praktekpraktek kegiatan pertanian tradisional masyarakat (praktek pertanian organik dan agrowisata) yang kesemuanya dapat dikembangkan sebagai bentuk atraksi wisata. Melihat potensi yang ada untuk selanjutnya perlu dilakukan perencanaan bersama, pembentukan dan penguatan kelompok usaha wisata (ekowisata) masyarakat, pelaksanaan operasional kegiatan wisata, dan pemantauan perkembangan kegiatan ekowisata.
4.3.2
Dusun G III
Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara berada dalam wilayah teritori pertambangan PT. KPC sekitar 30 menit perjalanan dari Kota Sangatta ke arah utara, tepatnya berada di Dusun 6, dengan lokasi pemukiman terdekat berada di Dusun G III. Saat ini Pantai Tanjung Bara masih merupakan tempat rekreasi khusus bagi anggota atau karyawan PT. KPC tetapi beberapa masyarakat umum sering memanfaatkan untuk berwisata pantai. Kawasan Pantai Tanjung Bara ini sepenuhnya dikelola oleh PT. KPC secara profesional, sedangkan Hutan Mangrove Tanjung Bara belum dilakukan pengembangan ekowisata. Daya tarik utama dari kawasan Pantai Tanjung Bara adalah pemandangan pantai Selat Makasar yang seringkali dipenuhi oleh kapal-kapal tanker yang akan mengangkut muatan batu bara dari PT. KPC. Selain pemandangan pantai, lokasi ini sering digunakan sebagai dermaga untuk memulai kegiatan diving di lokasilokasi tertentu yang lebih ke tengah laut.
Masyarakat juga sering dijumpai
melakukan kegiatan memancing di sekitar pantai ini, berenang, dan berkeliling pantai menggunakan perahu. Di sekeliling Pantai Aquatic Tanjung Bara terdapat ekosistem hutan bakau yang menawarkan daya tarik untuk pengamatan keanekaragaman hayati seperti burung, binatang melata, dan primata (monyet ekor panjang) yang hidup secara bebas. Daya tarik Hutan Mangrove Tanjung Bara adalah terdapatnya berbagai jenis mangrove dengan berbagai bentuk profil yang khas dan menarik.
61
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
62
(g) Keterangan: (a) Laut Selat Malaka (b) Kapal tanker pengangkut batu bara (c) dan (d) Hutan mangrove Tanjung Bara (e) Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
(f) Burung enggang (g) Kadal
Gambar 4.13 Daya tarik Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara
(a)
(c)
(b)
(d)
63
(e) Keterangan: (a) Berenang (b) Bermain pasir (c) Memancing di pinggir pantai
(d) Persiapan memancing ke tengah laut (e) Menikmati panorama laut lepas
Gambar 4.14 Beberapa aktivitas pengunjung Pantai Tanjung Bara
Fasilitas yang sudah ada di Pantai Tanjung Bara seperti tempat makan, perahu atau boat memang disediakan untuk anggota, club diving, anjungan untuk melihat pemandangan ke laut lepas, shelter di pinggir pantai, papan peringatan, papan informasi, toilet, shower untuk membersihkan badan setelah berenang, area parkir, pos keamanan dari TNI AL, dan tempat sampah (Gambar 4.15). Hutan Mangrove Tanjung Bara belum memiliki fasilitas karena belum dikembangkan.
(a)
(b)
64
(c)
(d)
(e)
(g)
(f)
(g)
(h)
65
(i) (j)
(k)
(l)
(m)
66 Keterangan: (a) Rumah makan (b) Perahu boat (c) Anjungan untuk melihat laut (d) Shelter di pinggir pantai (e) – (h) Papan peringatan
(i) Toilet (j) Shower untuk membersihkan badan (k) Area parkir (l) Pos keamana dari TNI AL (m) Tempat sampah
Gambar 4.15 Sarana prasarana ekowisata di Pantai Tanjung Bara Pada saat ini, Pantai Tanjung Bara cenderung lebih banyak dikunjungi oleh karyawan PT. KPC sebagai tempat berlibur dan bersantai. Walaupun demikian, ada masyarakat umum yang juga memanfaatkan kawasan pantai ini sebagai tempat berwisata dan hal ini jumlah cenderung meningkat setiap waktu. Dikarenakan sifat lokasinya yang khusus dan dekat dengan lokasi loading batu bara, maka pihak PT. KPC di masa datang secara pelan-pelan berencana untuk menutup kawasan ini bagi umum selama masa operasi tambang dengan pertimbangan keselamatan pengunjung.
67
V. PENILAIAN DAN PENGUKURAN HUBUNGAN UNSURUNSUR MODAL SOSIAL TERHADAP MODAL SOSIAL 5.1
Penilaian Unsur Modal Sosial Modal sosial telah dicoba diukur dalam berbagai cara. Walaupun demikian
diakui bahwa untuk mendapatkan satu ukuran sebagai ukuran tunggal dan benar akan sangat sulit. Modal sosial cakupannya demikian luas dan multidimensional, selain itu modal sosial merupakan gambaran pada unit komunitas atau masyarakat yang sangat kompleks. Beragam pendekatan diperlukan berkaitan dengan tujuan penggunaan modal sosial tersebut. Fukuyama (1999) memaparkan formula perhitungan modal sosial, yaitu SC = ∑ (1/rn) rp cn ) 1…t, dimana n adalah besaran anggota suatu kelompok, t banyaknya kelompok, c sebagai tingkat kohesifitas, rp sebagai radius kepercayaan, dan rn adalah ukuran dari radius ketidakpercayaan. Formula ini mengandung unsur modal sosial yang terdiri dari jaringan sosial tergambar oleh banyaknya kelompok dan tingkat kohesifitas serta kepercayaan. Formula ini sudah digunakan oleh Putnam (2002) dalam Hasbullah (2006) dalam mengukur modal sosial dengan cara menghitung keanggotaan dan jumlah organisasi (nonpemerintahan). Namun hasil yang diperoleh masih mengundang banyak pertanyaan, terkait dengan kesulitan menentukan derajat kohesifitas hubungan internal dari masing-masing organisasi dan unsur modal sosial yang diperhitungan terbatas pada anggota kelompok, jumlah kelompok serta kepercayaan sedangkan modal sosial merupakan kondisi yang kompleks. Krishna dan Shrader (1999) menyusun Social Capital Assessment Tool (SCAT) yaitu merupakan seperangkat indikator dan metodologi untuk mengukur tingkat kognitif dan struktur modal sosial dalam masyarakat yang ditunjuk sebagai penerima proyek-proyek pembangunan atau pengembangan. SCAT mengacu pada data kualitatif dan kuantitatif berguna untuk menentukan tingkat dasar dari modal sosial. SCAT ini telah dipergunakan dalam 26 kegiatan penelitian di 15 negara untuk melihat potensi pembangunan wilayah terkait bantuan yang akan diberikan oleh Bank Dunia.
68
Komponen yang dipergunakan dalam SCAT adalah tingkat komunitas yang mengintegrasikan metode kualitatif partisipatif dengan instrumen survei masyarakat untuk menilai berbagai unsur modal sosial, termasuk identifikasi profil masyarakat, tindakan kolektif yang pro aktif, solidaritas kepedulian terahadap sesama, resolusi dan penyelesaian konflik, pro aktif dalam pengambilan keputusan, jaringan kelembagaan, kepadatan organisasi, dan profil organisasi yang dirancang untuk melukiskan hubungan dan jaringan yang ada di antara lembaga formal dan informal dengan menggunakan sistem penilaian. Lenggono (2004) melakukan penelitian modal sosial dalam pengelolaan tambak di Desa Muara Pantau, Kabupaten Kutai Kartanegara dengan menggunakan SCAT dari Krishna dan Shrader (1999) kemudian mengkalisfikasikannya menjadi 4 (empat) tingkatan modal sosial sesuai dengan usulan Uphoff, yaitu minimal, rendah, sedang, dan tinggi. Unsur-unsur modal sosial yang digunakan dalam penelitian modal sosial berbeda-beda. Seperti halnya menurut Hasbullah (2006), Social Capital Community Bencmark Survey di Amerika menggunakan unsur-unsur modal sosial yang terdiri dari sosialisasi, kepercayaan, jaringan sosial, tipe organisasi, tindakan yang pro aktif, frekuensi kontak antar keluarga, frekuensi penggunaan internet, dan partisipasi dalam mengunjungi tempat ibadah. Sedangkan Survey of Civic Involment di Amerika menggunakan unsur-unsur modal sosial yang terdiri dari keterlibatan sosial, keterkaitan dan keterikatan pada komunitas, serta keterlibatan politik. Di Inggris pengumpulan data modal sosial yang dilakukan oleh United Kingdom Nasional Statistics, menggunakan unsur-unsur modal sosial yang terdiri dari kepercayaan (trust), keimbalbalikan (reciprocity), jaringan (network), partisipasi publik, keterlibatan sipil (civil engagement), dan norma (norm). Statistics Canada juga melakukan penelitian modal sosial dengan fokus unsur modal sosial yaitu pemberian (giving), tugas sukarela (volunteering), dan partisipasi (participating). Australia melalui Australian Bureau of Statistics (ABS) melakukan survey modal sosial pada tahun 2002 dengan menggunakan unsurunsur modal sosial yang terdiri dari jaringan sosial dan struktur pemberian dukungan, partisipasi sosial dan komunitas, keterlibatan dan pemberdayaan sipil, tingkat rasa percaya pada sesama dan institusi, toleransi, dan pekerjaan yang
69
bersifat voluntir. Sedangkan di New South Walles, Bullen dan Jenny Onyx pada tahun 1998 melakukan survei modal sosial dengan judul Social Capital: Family Support Services, Neighbourhood and Community, and Community Centres in New South Walles dengan menggunakan 8 unsur modal sosial yang terdiri dari partisipasi di komunitas lokal, tindakan pro aktif dalam kegiatan sosial, perasaan percaya dan aman, koneksi antar tetangga, koneksi antar teman dan keluarga, toleransi, nilai hidup dan kehidupan, serta jaringan kerja. Beberapa peneliti menggunakan indikator (unsur modal sosial) komposit, yang merupakan gabungan dari beberapa unsur modal sosial. Beberapa lainnya cenderung menggunakan sederetan indikator semata untuk membandingkan dan mengetahui besaran dan kecenderungan masing-masing unsur-unsur modal sosial (Hasbullah 2006). Penelitian modal sosial masyarakat di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III menggunakan pendekatan beberapa unsur modal sosial yang membentuk modal sosial untuk mengetahui kontribusi pengaruh setiap unsur modal sosial terhadap modal sosial dengan unsur-unsur dan penilaian modal sosial modifikasi dari SCAT Krishna dan Shrader (2009) dan menggunakan unsur-unsur pembentuk modal sosial yang mengarah kepada pengembangan ekowisata, yaitu kepercayaan, jaringan sosial, norma sosial, tindakan yang pro aktif, kepedulian terhadap sesama dan lingkungan, serta kondisi sosial ekonomi. Setelah modal sosial berhasil dinilai secara kuantitatif, selanjutnya mengklasifikasikannya menjadi 3 tingkatan yaitu rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan perhitungan rataan quartil statistik. Hubungan pengaruh unsur-unsur modal sosial terhadap modal sosial dilihat dengan menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) (Wijayanto 2007).
5.1.1
Kepercayaan (Trust) Nilai kepercayaan masyarakat dari masing-masing dusun berdasarkan
Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada Tabel 5.1.
70
Tabel 5.1 Nilai kepercayaan masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III No
Sub Unsur Kepercayaan
1 2
Kepercayaan terhadap PT. KPC Kepercayaan terhadap tokoh masyarakat/tokoh adat Kepercayaan terhadap norma adat Kepercayaan terhadap sesama warga Kepercayaan terhadap penyelenggaraan upacara adat Kepercayaan terhadap pihak luar/LSM Kepercayaan terhadap pemerintah daerah Jumlah
3 4 5 6 7
Dusun Kabo Jaya ∑ RataSkor rata 280 2,80 ≈ 3 226 2,26 ≈ 2
Dusun G III ∑ RataSkor rata 282 2,82 ≈ 3 227 2,27 ≈ 2
248 224 248
2,48 ≈ 2 2,24 ≈ 2 2,48 ≈ 2
246 242 149
2,46 ≈ 2 2,42 ≈ 2 1,49 ≈ 1
166 198
1,66 ≈ 2 1,98 ≈ 2
139 149
1,39 ≈ 1 1,49 ≈ 1
15
12
Keterangan: masing-masing dusun 100 responden; nilai 1 (tidak ada); 2 (kadang-kadang); dan 3 (ada)
Pada umumnya masyarakat di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III lebih percaya kepada PT. KPC dibandingkan dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Kutai Timur. Hal ini disebabkan keberadaan Pemda Kutai Timur bermula dari adanya PT. KPC. Kepercayaan masyarakat terhadap tokoh adat dan norma adat bernilai sedang karena peranan dari tokoh adat sudah mulai tergeserkan oleh peranan pemerintahan desa. Harmonisasi yang terdapat dalam kehidupan masyarakatnya yang multi-etnik mengurangi peran tokoh adat. Kepercayaan terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Dusun G III bernilai rendah karena banyaknya program yang dijanjikan oleh LSM yang tidak terlaksana. Berbeda halnya dengan masyarakat di Dusun Kabo Jaya yang masih memiliki kepercayan
terhadap
LSM,
terbukti
dengan
adanya
program-program
pendampingan pengembangan Ekowisata Kabo Jaya oleh CIFOR, PILI, dan BIKAL.
5.1.2
Jaringan Sosial (Social Networking) Nilai jaringan sosial masyarakat dari masing-masing dusun berdasarkan
Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada Tabel 5.2.
71
Tabel 5.2 Nilai jaringan sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III No
Sub Unsur Jaringan Sosial
1 2
Ikatan kerjasama dengan pemerintah Ikatan kerjasama dengan swasta/perusahaan Ikatan kelembagaan Kerelaan dalam membangun jaringan kerjasama antar sesama Keterbukaan dalam melakukan hubungan atau jaringan sosial/kerja dengan siapapun Motivasi untuk melakukan hubungan atau jaringan sosial/kerja Keaktifan dalam menyelesaikan konflik Keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan hubungan atau jaringan sosial/kerja yang lebih baik Jumlah
3 4 5 6 7 8
Dusun Kabo Jaya ∑ RataSkor rata 136 1,36 ≈ 1 172 1,72 ≈ 2
Dusun G III ∑ Skor 107 174
Ratarata 1,07 ≈ 1 1,74 ≈ 2
116 162
1,16 ≈ 1 1,62 ≈ 2
103 149
1,03 ≈ 1 1,49 ≈ 1
160
1,60 ≈ 2
149
1,49 ≈ 1
160
1,60 ≈ 2
164
1,64 ≈ 2
158 134
1,58 ≈ 2 1,34 ≈ 1
125 102
1,25 ≈ 1 1,02 ≈ 1
13
10
Keterangan: masing-masing dusun 100 responden, nilai 1 (tidak ada) dan nilai 2 (ada)
Ikatan kerjasama masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III dengan pemerintah bernilai rendah, yang ditunjukkan oleh banyaknya kerjasama antara masyarakat dengan pihak swasta (PT. KPC) terutama dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Khusus Dusun Kabo Jaya ada kerjasama antara PT. KPC dengan CIFOR, PILI, dan BIKAL dalam pengembangan Ekowisata Kabo Jaya yang dikelola oleh masyarakat setempat dengan TNK. Ikatan kerjasama ini menciptakan terjadinya beberapa bentuk interaksi yaitu antar individu dalam satu kelompok, antar individu beda kelompok, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok. Ikatan kelembagaan di kedua dusun ini rendah karena kelembagaan dianggap kurang penting dan masyarakat tidak memiliki waktu banyak untuk aktif dalam kegiatan kelembagaan, masyarakat banyak menggunakan waktu untuk bekerja sebagai karyawan PT. KPC dan perusahaan kontraktornya. Keaktifan dalam memeliharaan dan mengembangkan jaringan sosial juga rendah walaupun motivasi untuk menciptakan hubungan atau jaringan sosial/kerja tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya bantuan yang diberikan pihak PT. KPC untuk pemberdayaan masyarakat, sehingga menyebabkan ketidakaktifan masyarakat dalam mencari peluang kerjasama. Jaringan kerjasama dengan sesama warga dan
72
keaktifan dalam penyelesaian konflik, pada masyarakat Dusun G III yang sebagian besar adalah karyawan swasta, tidak ada karena sebagian besar waktu digunakan untuk bekerja. Selain itu mereka berpendapat bahwa konflik di masyarakat jarang terjadi dan jika terjadi merupakan tanggung jawab Ketua Rukun Tetangga (RT) atau Kepala Desa untuk menyelesaikan. Nilai motivasi dalam melakukan jaringan kerjasama di kedua dusun ini tinggi. Masyarakat berpendapat bahwa kerjasama harus dapat memberikan manfaat dan kemajuan bagi masyarakat. Sedangkan untuk nilai keterbukaan masyarakat di Dusun G III rendah dibandingkan dengan Dusun Kabo Jaya karena belajar dari pengalaman sebelumnya beberapa LSM melakukan kerjasama tetapi tidak berhasil terlaksana.
5.1.3
Norma Sosial (Social Norm) Nilai norma sosial masyarakat dari masing-masing desa berdasarkan
Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Nilai norma sosial masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III No
Sub Unsur Norma Sosial
1
Adanya norma sosial dalam komunitas Ketaatan terhadap norma agama Ketaatan terhadap norma kesusilaan yang berlaku Ketaatan terhadap norma kesopanan yang berlaku Ketaatan terhadap norma adat Ketaatan terhadap aturan pemerintah Jumlah
2 3 4 5 6
Dusun Kabo Jaya ∑ RataSkor rata 196 1,96 ≈ 2
Dusun G III ∑ Skor 196
Ratarata 1,96 ≈ 2
284 284
2,84 ≈ 3 2,84 ≈ 3
248 245
2,48 ≈ 2 2,45 ≈ 2
284
2,84 ≈ 3
245
2,45 ≈ 2
240 232
2,40 ≈ 2 2,32 ≈ 2 15
213 216
2,13 ≈ 2 2,16 ≈ 2 12
Keterangan: masing-masing dusun 100 responden, nilai 1 (tidak ada/tidak taat), nilai 2 (ada/kadang-kadang), dan nilai 3 (taat)
Norma sosial, yang terdiri dari norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan adat dalam komunitas dapat ditemui dan diakui keberadaanya oleh masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III walaupun multi-etnik dan multi agama tetapi mereka saling menghargai perbedaan. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya, nilai ketaatan terhadap norma agama, kesusilaan, dan kesopanan untuk masyarakat Dusun Kabo Jaya bernilai tinggi dan di Dusun G III adalah
73
bernilai sedang. Sedangkankan nilai ketaatan terhadap norma adat dan aturan pemerintah di kedua dusun adalah bernilai sedang. Sehingga untuk Dusun Kabo Jaya, norma sosial dapat dijadikan sebagai modal utama dalam pengembangan ekowisata ke arah budaya.
5.1.4 Tindakan yang Pro Aktif Nilai tindakan yang pro aktif masyarakat dari masing-masing desa berdasarkan Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Nilai tindakan yang pro aktif masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III No
Sub Unsur Tindakan yang Pro Aktif
1
Tingkat keinginan untuk menambah dan membagi pengalaman terhadap sesame Frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial Jumlah organisasi yang diikuti Partisipasi dalam pengambilan keputusan pada organisasi sosial Jumlah
2 3 4
Dusun Kabo Jaya ∑ RataSkor rata 222 2,22 ≈ 2
Dusun G III ∑ Skor 209
Ratarata 2,09 ≈ 2
156
1,56 ≈ 2
126
1,26 ≈ 1
120 138
1,20 ≈ 1 1,38 ≈ 1
106 116
1,06 ≈ 1 1,16 ≈ 1
6
5
Keterangan: masing-masing dusun 100 responden, nilai 1 (rendah), nilai 2 (sedang), dan nilai 3 (tinggi)
Tindakan pro aktif yang sangat mencolok pada masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III adalah keinginan untuk menambah dan membagi pengalaman terhadap sesama. Sayangnya hal ini tidak diikuti oleh tindakan pro aktif yang lain, seperti frekuensi mengikuti organisasi, jumlah organisasi yang diikuti, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan yang masih tergolong rendah. Menurut masyarakat, hal ini disebabkan oleh banyaknya curahan waktu yang dipergunakan untuk bekerja, sehingga tidak dapat pro aktif dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan. Namun demikian frekuensi keikutsertaan dalam kegiatan organisasi di Dusun Kabo Jaya bernilai sedang karena masih berjalannya kegiatan-kegiatan organisasi kemasyarakatan, seperti Kelompok Ekowisata Kabo Jaya, Kelompok Tani Maju Makmur, PKK, Posyandu, dan LKMD.
74
5.1.5
Kepeduliaan terhadap Sesama dan Lingkungan Nilai kepedulian terhadap sesama dan lingkungan masyarakat dari masing-
masing desa berdasarkan Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Nilai kepedulian terhadap sesama dan lingkungan masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Desa G III No 1 2 3 4 5
Sub Unsur Kepedulian terhadap Sesama dan Lingkungan Kepedulian terhadap sesama Kepedulian terhadap lingkungan Kedekatan dengan orang yang diberi perhatian Motivasi untuk memperhatikan dan membantu orang lain Motivasi untuk menjaga dan melestarikan lingkungan Jumlah
Dusun Kabo Jaya ∑ RataSkor rata 238 2,38 ≈ 2 240 2,40 ≈ 2 244 2,44 ≈ 2
Dusun G III ∑ RataSkor rata 246 2,46 ≈ 2 252 2,52 ≈ 3 233 2,33 ≈ 2
254
2,54 ≈ 3
237
2,37 ≈ 2
260
2,60 ≈ 3
264
2,64 ≈ 3
12
12
Keterangan: masing-masing dusun 100 responden, nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi)
Masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III cukup peduli terhadap sesama dan lingkungan yang ditunjukkan oleh nilai untuk setiap unsurnya berkisar antara sedang sampai tinggi. Kepedulian ini didasarkan pada perasaan senasib karena sama-sama berada di perantauan. Pada umumnya masyarakat sudah paham akan pentingnya lingkungan karena semua masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun III G memiliki tingkat pendidikan yang cukup baik yaitu sebagian besar tamatan Sekolah Menengah Atas (SMU) (Desa Swarga Bara 2009 dan Desa Singa Gembara 2009).
5.1.6
Kondisi Sosial Ekonomi Nilai sosial ekonomi masyarakat dari masing-masing desa berdasarkan
Social Capital Assessment Tools dapat dilihat pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Nilai karakteristik masyarakat Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III Dusun Kabo Jaya Sub Unsur Karakteristik ∑ Skor / Kriteria Masyarakat Penilaian A. Kependudukan 1 Lama tinggal di 206 lokasi yang bersangkutan 2 Banyak rumah > 250 KK No
Desa G III Ratarata
∑ Skor
Ratarata
2,06 ≈2
193
1,93 ≈2
1
> 250 KK
1
75
Lanjutan Tabel 5.6
Sub Unsur Karakteristik Masyarakat tangga dalam komunitas 3 Dalam 3 tahun terakhir jumlah orang yang tinggal dalam komunitas 4 Dalam 3 tahun terakhir kondisi ketersediaan lapangan pekerjaan 5 Kesediaan tinggal pasca tambang B. Aksesibilitas 1 Rute utama yang digunakan untuk menjangkau komunitas selama musim hujan 2 Rute utama yang digunakan untuk menjangkau komunitas selama musim kemarau 3 Ketersediaan sarana komunikasi (pesawat telepon/hp, TV, dan antena parabola) 4 Ketersediaan kantor pos 5 Pelayanan kantor pos dalam 3 tahun terakhir 6 Pelayanan kantor pos sekarang ini 7 Anggota komunitas yang mendapat akses No
Dusun Kabo Jaya ∑ Skor / Kriteria RataPenilaian rata
Desa G III ∑ Skor
Ratarata
Meningkat
3
Meningkat
3
Meningkat
3
Meningkat
3
192 atau 96 % bersedia 1,92 tinggal pasca tambang ≈2
186 atau 93 % bersedia 1,86 tinggal pasca tambang ≈2
Jalan aspal
7
Jalan aspal
7
Jalan aspal
7
Jalan aspal
7
Tersedia
2
Tersedia
2
Ada
2
Ada
2
286
2,86 ≈3
290
2,90 ≈3
444
4,44 ≈4
464
4,64 ≈5
272
2,72 ≈3
261
2,61 ≈3
76
Lanjutan Tabel 5.6
Sub Unsur Karakteristik Masyarakat internet 8 Pelayanan sistem angkutan umum 9 Angkutan umum yang tersedia 10 Pada 3 tahun terakhir kualitas jasa dari angkutan umum 11 Penggunaan angkutan umum yang ada 12 Alat transportasi yang digunakan menuju komunitas lain C. Perumahan 1 Ketersediaan rumah untuk komunitas 2 Kondisi perumahan dalam komunitas dalam 3 tahun terakhir D. Kondisi Sosial 1 Mutu dari hidup masyarakat yang tinggal dalam komunitas (mata pencaharian, keselamatan dan jaminan keamanan, lingkungan, rumah) dalam 3 tahun terhakhir 2 Taraf hidup komunitas 3 Jaminan No
Dusun Kabo Jaya ∑ Skor / Kriteria RataPenilaian rata
Desa G III ∑ Skor
Ratarata
Ya dilayani
2
Ya dilayani
2
Setiap hari
3
Setiap hari
3
258
2,58 ≈3
238
2,38 ≈2
366
3,66 ≈4
323
3,23 ≈3
484
4,84 ≈5
477
4,77 ≈5
196
1,96 ≈2
192
1,92 ≈2
284
2,84 ≈3
234
2,34 ≈2
264
2,64 ≈3
235
2,35 ≈2
288
2,88 ≈3 2
288
2,88 ≈3 1,93
200
193
77
Lanjutan Tabel 5.6
Sub Unsur Karakteristik Masyarakat keamanan 4 Penyediaan jasa keamanan 5 Peruntukan penyediaan jasa keamanan 6 Mutu pelayanan keamanan dalam 3 tahun terakhir E. Pendidikan 1 Kondisi sarana pendidikan 2 Kondisi tingkat pendidikan komunitas (umur belum sekolah tidak diperhitungkan) 3 Ketersediaan sekolah 4 Komunitas yang buta huruf F. Kesehatan 1 Ketersediaan klinik kesehatan 2 Ketersediaan perlengkapan klinik kesehatan: a. Obat-obatan dasar b. Alat perlengkapan c. Kamar perawatan d. Ambulance e. Dokter f. Perawat g. pegawai kesehatan Jumlah No
Dusun Kabo Jaya ∑ Skor / Kriteria RataPenilaian rata
Desa G III ∑ Skor
Ratarata ≈2 3
Warga
3
Warga
346
3,46 ≈3
339
3,39 ≈3
258
2,58 ≈3
237
2,37 ≈2
246
2,46 ≈2 3
244
2,44 ≈2 3
Tersedia
2
Tersedia
2
Sangat sedikit
4
Sangat sedikit
4
Tersedia
2
Tersedia
2
Cukup
3
Cukup
3
Cukup
3
Cukup
3
Cukup
3
Cukup
3
Cukup Cukup Cukup Cukup
3 3 3 3
Cukup Cukup Cukup Cukup
3 3 3 3
112
108
Keterangan: Masing-masing dusun 100 responden (untuk sub unsur A1, B3, B5-B7, B10-BB12, C1-C2, D1-D3, D5-D6, dan E1). Sumber penilaian dari hasil wawancara mendalam dengan pihak terkait dan dokumen-dokumen yang mendukung item penilaian sub unsur karakteristik masyarakat
78
Kondisi sosial
ekonomi
masyarakat (kependudukan,
aksesibilitas,
perumahan, sosial, pendidikan, dan kesehatan) berdasarkan hasil penilaian di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III dapat dikatakan baik, dengan nilai untuk Dusun Kabo Jaya (112) dan Dusun G III (108). Hal ini tidak terlepas dari pengaruh keberadaan PT. KPC yang menyediakan beragam fasilitas dan layanan umum banyak disediakan oleh perusahaan, sebagai mana diutarakan hasil penelitian Darwono (1995).
5.1.7
Ketercukupan Modal Sosial dalam Pengembangan Ekowisata Ketercukupan modal sosial untuk pengembangan ekowisata di Dusun
Kabo Jaya dan Dusun G III berdasarkan hasil penilaian mengunakan modifikasi Social Capital Assessment Tools dari Krishna dan Shrader (1999) dapat dilihat pada Tabel 5.7. Tabel 5.7 Ketercukupun modal sosial dalam pengembangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III Skor No 1 2 3 4 5 6
Unsur Modal Sosial Kepercayaan Jaringan sosial Norma sosial Tindakan pro aktif Kepedulian terhadap sesama lingkungan Karakteristik masyarakat Total
Dusun Kabo Jaya 15 13 15 6 12
dan
Dusun G III 12 10 12 5 12
112 108 173 159 (TINGGI) (SEDANG)
Selang Nilai Terendah – Tertinggi (7 – 21) (8 – 16) (6 – 17) (4 – 12) (5 – 15) (37 – 124) (67 – 205)
Selang Nilai = X max – X min = 205 – 67 = 46 3 3 Dimana: X max : Nilai maksimum (205: hasil penjumlahan nilai max) X min : Nilai minimum (67: hasil penjumlahan nilai min) N : Jumlah kategori tingkatan (3: tidak cukup, sedang, dan cukup)
Sehingga skala penilaian yang didapatkan sebagai berikut: a. Modal sosial dalam kegiatan ekowisata tinggi, jika jumlah skor mencapai 160 – 205 (dalam arti ekowisata dapat dengan mudah dikembangkan dilihat dari modal sosial yang dimiliki)
79
b. Modal sosial dalam kegiatan ekowisata sedang, jika jumlah skor mencapai 114 – 159 (dalam arti ekowisata dapat dikembangkan dilihat dari modal sosial yang dimiliki tetapi tidak semudah pada point a dengan tingkatan modal sosial tinggi) c. Modal sosial dalam kegaitan ekowisata rendah, jika jumlah skor mencapai 67 – 113 (dalam arti ekowisata sulit untuk dikembangkan dilihat dari modal sosial yang dimiliki). Nilai modal sosial di Dusun Kabo Jaya adalah 173 (tinggi) dan di Dusun G III adalah 159 (sedang) yang berarti bahwa ekowisata dapat dikembangkan di kedua dusun tersebut, namun akan lebih mudah mengembangknnya di Dusun Kabo Jaya terkait dengan sudah terbentuknya Kelompok Ekowisata Kabo Jaya seperti halnya menurut Weiler dan Laing (2009), bahwa keterlibatan stakeholder atau organisasi kelompok akan terbentuk jaringan sosial yang merupakan modal sosial untuk mendukung keberhasilan dan keberlanjutan suatu pengembangan ekowisata. Unsur modal sosial yang bernilai rendah di kedua dusun unsur tindakan pro aktif. Sedangkan khusus untuk Dusun G III, unsur modal sosial yang juga dinilai rendah adalah jaringan sosial. Menurut Hasbullah (2006), angka-angka yang dihasilkan dari perhitungan modal sosial tidak harus dipandang sebagai the end result. Melainkan harus dipandang sebagai indikator simbolik yang memberi sinyal bahwa dimensi modal sosial merupakan pilihan fokus kebijakan pembangunan atau pengembangan. Maka, setelah nilai dan hubungan pengaruh unsur-unsur modal sosial diketahui selanjutnya membuat arahan kebijakan untuk pengembangan ekowisata.
5.2
Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial terhadap Modal Sosial Hubungan pengaruh unsur-unsur modal sosial terhadap modal sosial yang
terbentuk menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) sesuai Wijayanto (2007), model CFA tepat digunakan untuk pengambilan kesimpulan ilmiah dalam ilmu sosial yang kompleks. CFA terdiri dari variabel laten (modal sosial) dan variabel teramati (unsur-unsur modal sosial). Model pengukuran ini berusaha untuk mengkonfirmasi apakah unsur-unsur modal sosial sebagai variabel teramati
80
merupakan refleksi dari modal sosial sebagai variabel laten. CFA menggunakan software SPSS 18 dan LISREL 8.30. 5.2.1
Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial Dusun Kabo Jaya Hasil analisis hubungan pengaruh nyata (T-Value) antar variabel unsur
modal sosial terhadap modal sosial untuk Dusun Kabo Jaya mendapatkan hasil sebagai berikut: (a) kepercayaan (27,45) dengan estimasi koefisien pengaruh ( ) 0,63; (b) partisipasi dalam suatu jaringan (31,75) dengan ( ) 0,88 ; (c) norma sosial (37,37) dengan (β) 1,00; (d) tindakan yang proaktif (31,98) dengan ( ) 0,84; serta (e) kepedulian terhadap sesama dan lingkungan (25,75) dengan ( ) 0,66. Jika T-Value ≥ T-Tabel (1,96), maka variabel unsur modal sosial berpengaruh nyata terhadap modal sosial. Semua unsur modal sosial di Dusun Kabo Jaya berpengaruh nyata terhadap modal sosial. Nilai estimasi koefisien pengaruh menggambarkan semakin besar nilainya maka semakin besar kontribusi pengaruhnya terhadap modal sosial. Unsur modal sosial di Dusun Kabo Jaya yang paling berpengaruh adalah norma sosial dengan ( ) 1,00.
5.5.2 Hubungan Pengaruh Unsur-unsur Modal Sosial Dusun G III Hasil analisis hubungan pengaruh nyata (T-Value) antar variabel unsur modal sosial terhadap modal sosial untuk Dusun G III mendapatkan hasil sebagai berikut: (a) kepercayaan (29,00) dengan ( ) 0,77; (b) partisipasi dalam suatu jaringan (28,66) dengan ( ) 0,81; (c) norma sosial (27,72) dengan ( ) 0,81; (d) tindakan yang proaktif (28,99) dengan ( ) 0,16; serta (e) kepedulian terhadap sesama dan lingkungan (31,88) dengan ( ) 1,00. Jika T-Value ≥ T-Tabel (1,96), maka variabel unsur modal sosial berpengaruh nyata. Unsur modal sosial di Dusun G III berpengaruh nyata semua terhadap modal sosial. Nilai estimasi koefisien pengaruh menggambarkan semakin besar nilainya maka semakin besar kontribusi pengaruhnya terhadap modal sosial. Unsur modal sosial di Dusun G III adalah kepedulian terhadap sesama dan lingkungan dengan ( ) 1,00.
81
VI. KEBIJAKAN DAN DUKUNGAN PENGEMBANGAN EKOWISATA
6.1
Kebijakan Pengembangan Ekowisata Modal sosial adalah sebuah konsep yang menggambarkan suatu situasi
sosial. Menurut Hasbullah (2006), modal sosial sebagai suatu konsep akan kehilangan makna pentingnya ketika konsep tersebut tidak atau kurang diterapkan ke dalam kebijakan-kebijakan. Arah kebijakan pengembangan ekowisata Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III dapat dirumuskan berdasarkan kondisi modal sosial yang dimiliki masyarakat dengan melihat kebijakan pengembangan ekowisata yang sudah ada dari setiap stakeholder (TNK, PT. KPC, dan Pemerintah Daerah Kutai Timur).
6.1.1
Taman Nasional Kutai (TNK) Pengembangan pariwisata alam di kawasan TNK secara yuridis diatur
dalam UU No 5 Tahun 1990, PP No 36 Tahun 2010, dan PP No 68 Tahun 1998 menyebutkan bahwa pengembangan pariwisata alam di kawasan taman nasional diarahkan pada tercapainya pelestarian Sumbedaya Alam Hayati dan Ekosistem serta mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat. Berdasarkan Keppres No 32 Tahun 1990, TNK merupakan kawasan lindung dan termasuk ke dalam kawasan suaka alam dan cagar budaya yang mempunyai fungsi uatama sebagai kawasan pelestarian alam. Sehingga pengembangan ekowisata dilakukan dengan pelibatan masyarakat sekitar, seperti pelibatan Kelompok Ekowisata Kabo Jaya dalam kegiatan ekowisata Prevab. Selain itu Undang-undang nomor 10 Tahun 2009 mengatur pengembangan pariwisata alam di TNK sebagai bagian integral dari pembangunan kepariwisataan daerah dan kepariwisataan nasional. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Kutai khusus untuk ekowisata dengan visi terwujudnya sumberdaya alam di TNK yang memberi manfaat untuk kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat. Adapun misinya yaitu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan secara berkelanjutan dan berkeadilan sosial
82
6.1.2
PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC) PT. KPC mendukung pengembangan kepariwisataan regional atau lokal di
areal bekas atau sekitar tambang dengan mengacu pada regulasi di daerah serta persepsi dan preferensi masyarakat sebagai bentuk realisasi paradigma baru pengelolaan hutan untuk memperdayakan masyarakat. PT. KPC menurut Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam (2009), mempunyai desain restorasi ekosistem lahan bekas tambang yang disinkronisasikan dengan RENSTRA Daerah dengan mendesain zonasi wisata 10 % dari luas areal perusahaan dengan konsep wisata antara lain ekowisata, agrowisata, wisata buru, areal wisata buatan, taman rekresi, dan danau buatan. Kebijakan lainnya adalah menetapkan pengembangan Ekowisata Kabo Jaya sebagai prioritas utama selama masa operasi pertambangan untuk pengalihan wisata menuju Pantai Tanjung Bara dengan pertimbangan keselamatan pengunjung.
6.1.3
Pemerintah Daerah Kutai Timur Kebijakan pengembangan ekowisata Kabupaten Kutai Timur yang
tertuang dalam Masterplan Pengembangan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur 2009 (Bappeda Kabupaten Kutai Timur 2009), diprioritaskan pada pengembangan zona wisata Sangata dengan produk yang akan dikembangkan berupa wisata perkotaan, wisata pantai, dan ekowisata ditempatkan pada prioritas pertama dalam pengembangan. Faktor yang dipertimbangkan dalam tahapan pengembangan kewilayahan ini adalah kemudahan pengembangan infrastruktur yang signifikan dengan sistem perkotaan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai Timur. Penetapan Kawasan Sangata sebagai tahap pertama pengembangan adalah berdasarkan pertimbangan perlunya pusat fasilitas dan informasi yang akan berperan sebagai gerbang atau pintu masuk bagi pengembangan pariwisata di Kutai Timur. Kebijakan dalam pengembangan ekowisata Prevab adalah membantu TNK dalam kegiatan promosi. Namun Pemerintah Daerah Kutai Timur belum memiliki kebijakan secara khusus untuk pengembangan ekowisata Dusun Kabo Jaya, Pantai Tanjung Bara, dan Hutan Mangrove Tanjung Bara.
83
6.2
Dukungan Pengembangan Ekowisata
6.2.1
Pemerintah Desa/Kepala Desa Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes),
Dusun Kabo Jaya sebagai lokasi uji coba pengembangan wisata bertanggung jawab berbasis masyarakat. Berdasarkan komposisi penduduk beranekaragam suku yang menjadi potensi wisata budaya (PILI et al. 2010). Kepala Desa Desa Swarga Bara sangat mendukung pengembangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya. Kepala Desa Swarga Bara sebagai pelindung Ekowisata Kabo Jaya dan ikut aktif terlibat langsung dalam setiap kegiatan, seperti mengikuti pelatihan dan studi banding pengembangan ekowisata yang diadakan oleh PILI, dan BIKAL. Selain itu, kepala desa memberikan kebijakan untuk sementara waktu perpustakaan desa dijadikan pusat informasi Ekowisata Kabo Jaya. Kepala Desa Singa Gembara pada saat ini belum mempunyai kebijakan dalam pengembangan ekowisata di Dusun G III karena kegiatan ekowisata di sekitar Dusun G III berupa ekowisata Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara masih dikelola oleh PT. KPC sehingga pemerintah desa tidak terlibat dalam kegiatan ekoiwsata tersebut. Namun memasuki pasca tambang dan objek Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kutai Timur, Kepala Desa Singa Gembara mendukung pengembangan ekowisata Pantai dan Hutan Mangrove Tanjung Bara dengan pelibatan masyarakat Dusun G III sebagai masyarakat terdekat ke objek tersebut.
6.2.2
Tokoh Adat/Tokoh Masyarakat Tokoh adat atau tokoh masyarakat di Dusun Kabo Jaya sangat mendukung
pengembangan ekowisata yang sekarang sedang dirintis dalam kegiatan Ekowisata Kabo Jaya, terutama ekowisata yang mengarah terhadap pengenalan budaya masing-masing suku. Sehingga masyarakat dapat memperkenalkan dan melestarikan budaya masing-masing sukunya di daerah perantauan.
84
Tokoh adat atau tokoh masyarakat di Dusun G III pada dasarnya mendukung pengembangan ekowisata dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Namun saat ini kegiatan ekowisata di Dusun G III yang dikelola masyarakat belum ada karena masih dikelola langsung oleh PT. KPC dengan pertimbangan keselamatan pengunjung dan lokasi objek ekowisata berada dalam daerah objek vital nasional.
6.2.3
Masyarakat Masyarakat Dusun Kabo Jaya mendukung pengembangan ekowisata. Hal
ini dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara, bahwa 92 % masyarakat bersedia tetap tinggal di dusun pasca tambang PT. KPC dan 56 % masyarakat bersedia terlibat dalam pengembangan ekowisata. Masyarakat Dusun G III pada saat sekarang masih kurang mendukung pengembangan ekowisata. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat 86 % masyarakat bersedia tetap tinggal di dusun pasca tambang PT. KPC dan 33 % masyarakat bersedia terlibat dalam pengembangan ekowisata. Kesediaan masyarakat terlibat dalam pengembangan ekowisata rendah karena hal ini pada umumnya masyarakat di Dusun G III bekerja sebagai karyawan PT. KPC dan perusahaan kontraktor PT. KPC serta kegiatan ekowisata yang ada di Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara masih dikelola oleh PT. KPC.
6.2.4
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sudah terlibat dalam
pengembangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya, yaitu CIFOR, Mitra Kutai, PILI, dan BIKAL. CIFOR yang pertama kali mengidentifikasi potensi objek ekowisata terutama untuk di kawasan TNK (Prevab) dan untuk pendampingan masyarakat dalam pengembangan ekowisata dilakukan oleh PILI dan BIKAL dengan dukungan dana dari PT. KPC dan Mitra Kutai. Berdasarkan potensi ekowisata yang dimiliki, dibagi dalam 4 kelompok minat (Pokmin), yaitu wisata alam,
85
wisata agro, wisata seni dan budaya, serta wisata kuliner. Sedangkan di Dusun G III belum ada LSM yang terlibat dalam pengembangan ekowisata.
6.3
Arah Kebijakan Pengembangan Ekowisata
6.3.1
Dusun Kabo Jaya Kondisi modal sosial untuk pengembangan ekowisata di Dusun Kabo Jaya
tinggi dengan unsur modal sosial yang paling kuat kontribusi pengaruhnya terhadap modal sosial adalah unsur norma sosial dan didukung dengan kebijakan pengembangan ekowisata dari TNK dan PT. KPC dengan pelibatan masyarakat Dusun Kabo Jaya yaitu pengembangan ekowisata ke arah budaya yang lebih dimunculkan.
6.3.2
Dusun G III Kondisi modal sosial untuk pengembangan ekowisata di Dusun G III
cukup dengan unsur modal sosial yang paling kuat kontribusi pengaruhnya terhadap modal sosial adalah unsur kepedulian terhadap sesama dan lingkungan serta didukung dengan kebijakan pengembangan ekowisata dari PT. KPC dan Pemerintah Daerah Kutai Timur dalam pengembangan ekowisata Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara sebagai potensi sumberdaya ekowisata di Desa Singa Gembara dan pemukiman terdekat dengan objek adalah Dusun G III, yaitu melalui pengembangan ekowisata yang memprioritaskan keunggulan dan kepedulian terhadap alam.
86
87
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan 1. Unsur modal sosial yang ada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III terdiri dari: (a) kepercayaan terhadap PT. KPC paling tinggi; (b) partisipasi dalam suatu jaringan yang ada yaitu dalam bentuk kerjasama dengan PT. KPC dalam pengembangan Ekowisata Kabo Jaya, di Dusun Kabo Jaya; (c) ketaatan terhadap norma agama, susila dan kesopanan lebih tinggi di Dusun Kabo Jaya; (d) tindakan yang pro aktif secara umum masih rendah kecuali dalam berbagi pengalaman dengan sesama di kedua dusun tinggi; serta (e) kepedulian terhadap sesama dan lingkungan di kedua dusun cukup tinggi. 2. Nilai modal sosial untuk Dusun Kabo Jaya adalah 173 (tinggi) dan Dusun G III adalah 159 (sedang) yang berarti bahwa ekowisata dapat dikembangkan di kedua dusun tersebut namun akan lebih mudah mengembangkannya di Dusun Kabo Jaya, terkait dengan keberadaan Kelompok Ekowisata Kabo Jaya. Unsur modal sosial bernilai rendah yang ditemukan di kedua dusun adalah tindakan pro-aktif, hal ini disebabkan karena banyaknya curahan waktu yang dipergunakan untuk bekerja. Khusus di Dusun G III jaringan sosial juga merupakan unsur modal sosial yang bernilai rendah, hal ini disebabkan karena belum adanya jaringan sosial yang mengarah kepada kegiatan pengembangan ekowisata. 3. Hubungan unsur-unsur modal sosial di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III semua berpengaruh nyata terhadap modal sosial, hal ini berarti bahwa semua unsur modal sosial berpengaruh terhadap terbentuknya modal sosial. Unsur modal sosial yang paling kuat kontribusi pengaruhnya di Dusun Kabo Jaya adalah norma sosial
) 1,00 dalam bentuk ketaatan
terhadap norma agama, kesusilaan dan kesopanan yang berpengaruh positif terhadap pengembangan ekowisata ke arah pengembangan ekowisata budaya, sedangkan di Dusun G III yang paling kuat kontribusi pengaruhnya adalah kepedulian terhadap sesama dan lingkungan
) 1,00
88
berpengaruh
positif
dalam
pengembangan
ekowisata
yang
memprioritaskan keunggulan dan kepedulian terhadap alam. 4. Arahan kebijakan pengembangan ekowisata untuk Dusun Kabo Jaya adalah ekowisata ke arah pengembangan ekowisata budaya yang lebih dimunculkan dengan didukung kondisi masyarakat yang multi-etnik dengan dukungan kebijakan pengembangan ekowisata dari pihak PT. KPC dan TNK. Sedangkan untuk Dusun G III ke arah pengembangan ekowisata yang memprioritaskan keunggulan alam dengan didukung kebijakan pengembangan ekowisata Pantai Mangrove Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara dari PT. KPC dan Pemerintah Daerah Kutai.
7.2
Saran 1. Di Dusun Kabo Jaya, Desa Swarga Bara kegiatan ekowisata sudah mulai dikembangkan sesuai dengan kebijakan pengembangan ekowisata dari TNK dan PT. KPC, namun perlu adanya pendampingan dalam hal pembuatan program dan pelaksanaan pengembangan ekowisata yang lebih mengarah terhadap norma sosial sebagai unsur modal sosial yang paling berpengaruh serta peningkatan tindakan yang pro aktif yang masih terlihat kurang melalui cara penggerakan kegiatan dalam Kelompok Ekowisata Kabo Jaya maupun dalam kegiatan kelompok lain yang mendukung kegiatan Ekowisata Kabo Jaya tersebut karena dengan melihat potensi modal sosial yang dimiliki tinggi (173) untuk pengembangan ekowisata. 2. Di Dusun G III, Desa Singa Gembara dengan kondisi modal sosial yang sedang (159) untuk pengembangan ekowisata tetapi tetap perlu perhatian dalam pemberdayaan masyarakatnya yang lebih mengarah kepada kepedulian terhadap sesama dan lingkungan sebagai unsur modal sosial yang paling berpengaruh. Di Desa Singa Gembara ada objek Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Pantai Tanjung Bara yang nantinya kemungkinan selepas pasca tambang akan dikembangan menjadi objek ekowisata, sehingga sejak dini masyarakat sudah mulai dilibatkan dalam pengelolaan ekowisata mangrove Pantai Tanjung Bara, hal ini terkait
89
dengan unsur modal sosial yang paling berpengaruh, yaitu kepedulian terhadap sesama dan lingkungan ke arah pengembangan ekowisata yang memprioritaskan keunggulan dan kepedulian terhadap alam. 3. Berdasarkan nilai estimasi koefisien pengaruh ( ), unsur modal sosial di Dusun Kabo Jaya yang paling berpengaruh adalah norma sosial (1,00) dari masyarakat yang multi-etnik, maka pengembangan ekowisata ke arah budaya yang lebih dimunculkan dengan didukung kondisi masyarakat yang multi-etnik dengan keragaman bentuk rumah, masakan, kesenian, adat istiadat, dan kampung yang mencirikan kondisi setiap etnik (Suku Toraja, Timur/NTT dan NTB, Bugis, Banjar, dan Jawa) merupakan unsur modal sosial yang sangat berpengaruh terhadap modal sosial dalam pengembangan ekowisata. 4. Berdasarkan nilai estimasi koefisien pengaruh ( ), unsur modal sosial yang sangat berpengaruh di Dusun G III adalah kepedulian terhadap sesama dan lingkungan (1,00), maka pengembangan ekowisata dengan memprioritaskan keunggulan dan kepedulian masyarakat terhadap alam dan didukung keberadaan potensi Pantai Tanjung Bara dan Hutan Mangrove Tanjung Bara di tengah-tengah areal bekas tambang dengan adanya masyarakat terdekat adalah di Dusun G III. Hal ini dengan pertimbangan kebijakan Pemerintah Daerah Kutai Timur prioritas pengembangan wisata di zona Sangatta dengan salah satu produknya berupa wisata pantai dan ekowisata serta pasca tambang kawasan ini akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kutai Timur. 5. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah di kedua dusun lebih rendah dibandingkan kepada PT. KPC, hal ini perlu diperhatikan karena selepas pasca tambang yang berperan nanti adalah pemerintah daerah. PT. KPC harus dapat menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah daerah. 6. Para pihak sebaiknya dapat memahami kondisi modal sosial yang dimiliki masyarakat tersebut dalam pengembangan ekowisata sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam pengembangan ekowisata secara bersama.
90
91
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 2002. Sosiologi: Skematik, Teori, dan Terapan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Anggoro, AD.; Firdausi, AR.; Wijaya, A.; Utomo, NA.; Jinarto, S. 2009. Objek Daya Tarik Wisata dan Potensi Pengembangan “Responsible Tourism” di Kawasan Taman Nasional Kutai dan Sekitarnya. Sangatta, Kutai Timur: TNK, CIFOR, PILI, PT. Kaltim Prima Coal, dan BIKAL. [Bapemas] Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur. 2009. Laporan Realisasi Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur Tahun 2008. Sangatta, Kutai Timur: Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Kutai Timur. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Timur. 2009. Masterplan Pengembangan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur. Sangatta, Kutai Timur: Bappeda. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Timur. 2009. Kutai Timur dalam Angka (Kutai Timur in Figure). Sangatta, Kalimantan Timur: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Timur dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Timur. Calchoun, C.; Donald, L.; Suzanne, K. 1994. Sociology. New York: Mc Graw Hill Inc. Darwono, RW. 1995. Dampak Sosial Ekonomi dari Kehadiran PT. Kaltim Prima Coal terhadap Ketahanan Wilayah Sangatta. Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana, Program Pengkajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia. Daud, A. 1997. Islam dan Masyarakat Banjar; Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Jakarta: Rajawali Press. Denzin, NK.; Lincoln, YS. 1997. Collecting and Interpretating Qualitative Materials 3 Edition. Sage Publications. Desa Singa Gembara. 2009. Monografi Desa Singa Gembara. Sangatta, Kutai Timur: Pemerintah Desa Singa Gembara. Desa Swarga Bara. 2009. Monografi Desa Swarga Bara. Sangatta, Kutai Timur: Pemerintah Desa Swarga Bara. Dharmawan, A. 2001. Farm Household Livelihood Strategieas and Socio Economics Changes in Rural Indonesia.Wissenchaftsverlag Vauk Kiel KG. Fadli. 2007. Peran Modal Sosial dalam Percepatan Pembangunan Desa Pasca Tsunami (Kasus Pembangunan Perumahan dan Peningkatan Pendapatan Keluarga di Beberapa Desa di Kabupaten Aceh Besar). Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.
92
Fukuyama, F. 1999. Social Capital and Civil Society. The Isntitute of Public Policy, George Mason University. Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Glencoe, Illinois: The Free Press. Goeldner, CR.; Ritchie, B.; McIntosh, RW. 2000. Tourism: Principle, Practice, Philosophies. Ed ke 8. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Hasbullah, J. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR-United Press Jakarta. Jones, S. 2005. Community-Based Ecotourism: The Significance of Social Capital. Annals of Tourism research, Vol. 32, No. 2: 303-324. Kabupaten Kutai Timur. 2009. Peta Wilayah Administrasi Kecamatan Sangatta Utara. Kabupaten Kutai Timur. Sangatta, Kutai Timur: Kabupaten Kutai Timur. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kementarian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kementarian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Kementarian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Kementarian Hukum dan Hak Asasi Manusia – Republik Indonesia. Kidnesia. 2010. Rumah Lamin: Rumah Adat Suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur. http://www.kidnesia.com/Kidnesia/Indonesiaku/Propinsi/KalimantanTimur/Seni-Budaya/Rumah-Lamin. [Diakses 28 Maret 2010]. Krishna, A.; Shrader, E. 1999. Social Capital Assessment Tool (Makalah pada Conference on Social capital and Poverty Reduction). Washington DC: The World Bank. Lenggono, P.S. 2004. Modal Sosial dalam Pengelolaan Tambak (Studi Kasus pada Komunitas Petambak di Desa Muara Pantuan Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara). Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Maryati, K.; Surjawati, J. 2004. Sosiologi. Jakarta: Erlangga. Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
93
Milic, JV.; Jovanovic, S.; Krstic, B. 2008. Sustainability Performance Management System of Tourism Enterprises. Facta Universitatis. Series: Economis and Organization, Vol. 5, No. 2: 123 – 131. [PILI] Pusat Informasi Lingkungan Indonesia; [BIKAL] Yayasan Bina Kelompok Cinta Lingkungan; [PT. KPC] PT. Kaltim Prima Coal; Mitra Kutai. 2010. Rencana Aksi Wisata Bertanggung Jawab. Bogor. [PT. KPC] PT. Kaltim Prima Coal. 2005. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL): Studi Amdal Peningkatan Produksi Batubara Hingga 48 Juta Ton per Tahun PT. KPC, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Sangatta: PT. Kaltim Prima Coal. [PT. KPC] PT. Kaltim Prima Coal. 2008. Laporan Implementasi Corporate Social Responsibility Tahun 2008. Sangatta, Kalimantan Timur: PT. Kaltim Prima Coal. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.2009. Desain Restorasi Ekosistem Lahan Bekas Tambang Batubara PT. Kaltim Prima Coal Kalimantan Timur. Bogor: Departemen Kehutanan. Rachmawati, E. 2010. Sistem Sosial Pengembangan Wisata Alam di Kawasan Gunung Salak Endah. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Rahmayulis, R. 2008. Modal Sosial dalam Pengembangan Ekowisata pada Masyarakat Adat di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK), Kalimantan Barat. Skripsi. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB. Rogers EM.; Kincaid, DL. 1980. Communication Network: Toward A New Paradigm of Research. New York: The Free Press. Sandiantoro. 2010. Kelembutan Gadis Bugis di Belantara Metropolis. http://www.kelola.or.id/newskata.asp?id=109&idT=2&bhs=I. [Diakses 23 Maret 2010]. Singarimbun, M.; Effendi, S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Soekanto, S. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Stone, W.; Hughes, J. 2002. Social Capital: Empirical Meaning and Measurement Validity. Research Paper No. 27, June 2002. Australia: Australian Institute of Family Studies. Sultan, A. 2007. Mantra (Magic Word): Ilmu Tradisi Suku Banjar. http://kerajaanbanjar.wordpress.com/2007/03/10/mantra-magic-wordilmu-tradisi-suku-banjar/. [Diakses 22 Februari 2010]. Surat Keputusan Bupati Kutai Timur No: 188.4.45/634/HK/X/2009, 9 Oktober 2009 Tentang Penetapan Penerima Bantuan Perbaikan Perumahan Penduduk Miskin dan Perbaikan Sarana dan Prasarana Umum Lingkungan Pedesaan (Swakelola) Tahun Anggaran 2009. Sangatta, Kutai Timur: Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur.
94
Syahra, R. 2003. Studi Diagnostik Peningkatan Keberdayaan Komunitas Melalui Pengembangan Modal Sosial di Kota Sawahlunto. Makalah. Seminar Hasil Penelitian di Pemerintah Kota Sawahlunto. [UNEP] United Nations Environment Programme dan [WTO] World Tourism Organization. 2002. Quebec Declaration on Ecotourism. Quebec City, Canada: World Ecotourism Summit. Weiler, B.; Laing, J. 2009. Developing Effective Partnerships for Facilitating Sustainable Tourism Associated with Protected Areas. The Sustainable Tourism Cooperative Research Centre, The Australian Commonwealth Government. Wijayanto, SH. 2007. Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wikipedia Ensiklopedi Bebas. 2010. Kalimantan Selatan. http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Selatan. [Diakses 23 Maret 2010].
95 Lampiran 1. Suku Adat Suku adat di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III sangat beranekaragam, namun suku adat mayoritas yang ada bukan merupakan suku asli daerah setempat yaitu Suku Kutai dan Suku Dayak, melainkan suku-suku pendatang seperti Suku Banjar, Suku Bugis, Suku Toraja, Suku Timur (NTB dan NTT), dan Suku Jawa. Dusun Kabo Jaya merupakan dusun yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kutai (TNK) dan PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC) serta Dusun G III merupakan dusun yang berbatasan langsung dengan PT. KPC. Suku-suku pendatang ini datang ke Sangatta untuk bekerja di PT. KPC maupun perusahaan kontraktornya PT. KPC. Sedangkan suku aslinya (Suku Kutai dan Suku Dayak) di Dusun Kabo Jaya sudah tidak ada dan di Dusun G III masih ada namun hanya sebagian kecil saja. Suku Kutai dan Suku Dayak banyak ditemukan di daerah Sangatta lama (seberang Sungai Sangatta), Kecamatan Sangatta Selatan. Adat istiadat dari masing-masing suku pendatang tidak dibawa semuanya ke daerah perantauan ini, hanya sebagian kecil yang mereka masih terapkan hal ini karena situasi dan kondisi yang ada, seperti keterbatasan sarana dan prasarana adat. Namun demikian, dari setiap suku ini mempunyai identitas suku yang bisa membedakan dengan suku yang lainnya sesama suku perantau. Setiap suku ini mempunyai tokoh yang dituakan terutama berperan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antar suku, namun konflik tersebut sekarang sudah berkurang. 1. 1.1
Suku yang Ada di Lokasi Penelitian Suku Toraja
Masyarakat Toraja di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ini pada umumnya tinggal di Kampung Tortor yang berada di kedua dusun tersebut. Namun Kampung Tortor yang pertama kali berdiri yaitu Kampung Tortor di Dusun Kabo Jaya, dengan dipimpin oleh tokoh Suku Toraja bernama Bapak Singubungbunan yang tinggal di Kampung Tortor Dusun Kabo Jaya, kemudian di Kampung Tortor berkembang di Dusun G III dengan tokoh adatnya Bapak Yulianus. Kondisi perumahan yang ada tidak sama dengan rumah tradisional Toraja (Tongkonan) (Gambar 1), namun bentuk rumah yang dibuat masih dalam bentuk panggung yang cukup tinggi tetapi bentuk atapnya tidak berbentuk ciri khas Toraja dan menggunakan genting (Gambar 2). Tetapi untuk tempat ibadat yaitu Gereja Toraja atapnya masih berciri khas Toraja seperti yang terdapat di Dusun G III (Gambar 3). Bahasa komunikasi yang digunakan untuk sesama masyarakat Suku Toraja masih menggunakan bahasa Toraja Sa’dan sedangkan bahasa komunikasi antar suku yang lain menggunakan Bahasa Indonesia.
Gambar 1 Rumah tradisional Toraja (Tongkonan) Sumber: Wikipedia Suku Toraja (2009)
96
Gambar 2 Bentuk rumah di Kampung Tortor Dusun Kabo Jaya
Gambar 3 Gereja Toraja di Kampung Tortor, Dusun G III Pranata sosial Suku Toraja di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III tidak mengenal strata sosial pada umumnya semua masyarakat Kampung Tortor sama strata sosialnya. Berbeda halnya dengan di daerah asalnya yang dikenal dengan sebutan Suke Dibonga, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam 3 strata sosial. Suku Toraja walaupun berada di daerah perantauan namun mereka mempunyai perasaan persaudaraan yang kuat antar sesama sukunya. Hal ini karena mereka mempunyai ikatan aturan dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo, yang secara harfiahnya berarti negeri yang bulat seperti bulan dan matahari. Aturan ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat asal mereka. Adanya anggapan bahwa tidak ada aturan hukum manapun yang bisa memisahkan dan membagi Toraja, Suku Toraja tetap satu walaupun dari daerah yang berbeda dari asalnya. Suku Toraja memiliki hubungan yang kuat secara emosional dan ekonomi antar sesamanya. Pertalian yang paling dasar adalah Rarabuku, yang bisa diterjemahkan sebagai keluarga. Suku Toraja memandang
97 kelompok ini sebagai hubungan darah dan tulang, yang dimaksud sebagai hubungan di antara orang tua dan anak atau keluarga inti. Sehingga walaupun di daerah perantauan kesatuan mereka sangat kuat dalam wadah Kerukunan Kesatuan Toraja. Upacara adat Toraja yang masih dilaksanakan di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III karena situasi dan kondisi hanya upacara Rambu Solo, itupun tidak sesempurna yang biasa dilaksanakan di tanah kelahirannya dan tidak semua masyarakat Suku Toraja mampu melaksanakan upacara kematian tersebut, hanya beberapa keluarga saja yang melaksanakannya. Mereka hanya melaksanakan kegiatan inti upacara kematian seperti mengadakan pesta yang berlangsung antara 1 sampai 7 malam (disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga) sambil memotong hewan kerbau. Kerbau yang dipotong pun bukan seperti kerbau yang biasa mereka potong untuk upacara kematian di Tana Toraja karena dikondisikan dengan sumberdaya yang ada. Setelah melakukan pesta kemudian jenazah diusung keliling kampung dan dimakamkan di tempat pemakaman. Upacara pemakaman ini memperlihatkan pentingnya hubungan melalui partisipasi dan kontribusi dari sanak saudara dalam membantu pembiayaan upacara tersebut. Sedangkan untuk acara pernikahan sama dengan pernikahan secara nasional sesuai agama yang dianut (Kristen Katholik dan Kristen Protestan). Hanya saja, pakaian yang digunakan masih menggunakan pakaian adat Toraja seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Pakaian adat Toraja dalam pernikahan Biaya yang dihabiskan untuk upacara kematian ini memakan biaya yang besar bisa mencapai puluhan juta. Menurut keterangan dari Kepala Dusun Kabo Jaya dan hasil observasi di lapangan, ada kecenderungan Suku Toraja yang hidup di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III hidup sangat sederhana makan dengan menu seadanya hanya cukup dengan nasi dan ikan asin. Mereka makan dengan menu demikian bukan karena mereka tidak mampu karena pendapatan sebagai karyawan PT. KPC dan karyawan kontraktor PT. KPC cukup tinggi. Uang pendapatan mereka ditabung untuk biaya upacara kematian di tanah kelahirannya Tana Toraja. Ada rasa kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Suku Toraja ini, setiap sanak saudara yang meninggal di Tana Toraja, mereka akan mengirimkan sumbangan sejumlah uang untuk biaya perayaan upacara kematian dan pemakaman yang dapat menghabiskan biaya yang sangat besar. Bantuan sumbangan tersebut merupakan sebuah utang yang apabila ada sanak saudara yang pernah memberikan sumbangan kematian tersebut wajib untuk membayarnya apabila ada yang
98 meninggal. Selain itu, tradisi ini membuktikan bahwa mereka yang memberi sumbangan ini ingin memamerkan status sosialnya yang sekarang. Pada umumnya masyarakat Suku Toraja yang ada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III menganut Kristen Katholik dan Kristen Protestan. Sedangkan menurut tokoh adat Toraja, nilai tradisi dan keagamaan dalam kepercayaan asli masyarakat di Tana Toraja disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di bumi ini hanya untuk sementara. 1.2
Suku Timur (Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat)
Suku yang berada di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III digolongkan menjadi Suku Timur. Di Dusun Kabo Jaya Suku Timur ini bertempat tinggal mengelompok yang di Kampung Timur dengan tokoh adat bernama Bapak Takari, sedangkan keberadaan Suku Timur di Dusun G III bertempat tinggal terpencar dengan tokoh adat bernama Bapak Saka. Menurut keterangan tokoh masyarakat Kampung Timur Bapak Takari, masyarakat yang berasal dari NTB di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III terdiri dari 3 etnis, yaitu Suku Sasak, Suku Bima atau Suku Mbojo, dan Suku Sumbawa. Sedangkan masyarakat yang berasal dari NTT tinggal di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III sangat banyak sub etnisnya, diantaranya Ende Lio, Mahamere, Sikka-Krowe, Kemak, Kedang, Ngada, Manggarai Riung, Deing, Kemang, Kui, Abui, Flores Timur, Sumba, Rote, Pulau Alor, Helong, Dawan, Tetun, Marae, Sabu/Rae Havu, Lamaholor, dan Labala. Adapun menurut Melalatoa (1995) penjelasan beberapa suku-suku dari Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai berikut: 1. Suku Ende Lio Pola pemukiman masyarakat baik di Ende maupun Lio umumnya bermula dari keluarga batih/inti baba (bapak), ine (mama), dan ana (anak-anak) kemudian diperluas sesudah menikah maka anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk ataupun sekitar rumah induk. Rumah sendiri umumnya secara tradisional terbuat dari bambu beratap daun rumbia maupun alang-alang. Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki Ria Bewa, lapisan bangsawan menengah disebut Mosalaki Puu dan Tuke Sani untuk masyarakat biasa. Sedangkan masyarakat Ende bangsawan disebut Ata Nggae, turunan raja Ata Nggae Mere, lapisan menegah disebut Ata Hoo dan Budak Dati Ata Hoo disebut Hoo Tai Manu. 2. Suku Sikka Pelapisan sosial dari masyarakat Sikka, lapisan atas disebut sebagai Ine Gete Ama Gahar yang terdiri para raja dan bangsawan. Tanda umum pelapisan itu di zaman dahulu ialah memiliki warisan pemerintahan tradisional kemasyarakatan, di samping pemilikan harta warisan keluarga maupun nenek moyangnya. Lapisan kedua ialah Ata Rinung dengan ciri pelapisan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan dan melanjutkan semua amanat terhadap masyarakat biasa/orang kebanyakan umumnya yang dikenal sebagai lapisan ketiga yakni Mepu atau Maha. 3. Suku Kemak Struktur pemerintahan menurut adat yang pernah berlaku pada masyarakat Kemak, seperti halnya pada suku bangsa lainnya di Pulau Timor, dikuasai oleh kelompok kerabat tertentu. Kelompok kerabat ini menganggap dirinya sebagai keturunan pembuka pertama daerah yang didudukinya. Mitologi mereka menggambarkan golongan itu sebagai keturunan dewa yang turun dari langit dan kemudian mendirikan kerajaan. Penguasa adat yang tertinggi adalah loro (raja). Stratifikasi sosial dalam masyarakat didasarkan pada dekat atau jauhnya
99 hubungan darah dengan raja, yaitu keturunan raja, kaum bangsawan, golongan tua-tua adat, dan rakyat biasa. 4. Suku Ngada Arti keluarga kekrabatan dalam masyarakat Ngada umumnya selain terdekat dalam bentuk keluarga inti Sao maka keluarga yang lebih luas satu simbol dalam pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu, dan Bagha). Ikatan nama membawa hak-hak dan kewajiban tertentu. Contoh setiap anggota kekerabatan dari kesatuan adat istiadat harus taat kepada kepala suku, terutama atas tanah. Setiap masyarakat pendukung mempunyai sebuah rumah pokok (rumah adat) dengan seorang yang mengepalai bagian pangkal Ngadhu Ulu Sao Saka Puu. Rumah tradisional disebut juga Sao, bahan rumah terbuat seperti di Ende/Lio (dinding atap, dan lantai/panggungnya). Secara tradisional rumah adat ditandai dengan Weti (ukiran). Ukiran terdiri dari tingkatan-tingkatan misalnya Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda. Pelapisan sosial teratas disebut Ata Gae, lapisan menengah disebut Gae Kisa, dan pelapisan terbawah disebut Ata Hoo. Sumber lain menyebutkan pelapisan sosial biasa dibagi atas 3, Gae (bangsawan), Gae Kisa/ kuju, dan golongan rendah (budak). Ada pula yang membagi atas 4 strata, Gae (bangsawan pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja (bangsawan ketiga), dan Bheku (bangsawan keempat). Para istri dari setiap pelapisan terutama pelapisan atas dan menengah disebut saja Inegae/Finegae dengan tugas utama menjadi kepala rumah yang memutuskan segala sesuatu di rumah mulai pemasukan dan pengeluaran. Masyarakat Nagekeo pendukung kebudayaan Paruwitu (kebudayaan berburu), masyarakat Soa pendukung Reba (kebudayaan tahun baru, pesta panen), Pendukung kebudayaan bertani dalam arti yang lebih luas ialah Ngadhu/Peo, terjadi pada sebagian kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada. 5. Suku Manggarai Riung Pembentukan keluarga batih terdiri dari bapak, mama dan anak-anak yang disebut Cak Kilo. Perluasan Cak Kilo membentuk klen kecil Kilo, kemudian klen sedang Panga dan klen besar Wau. Beberapa istilah yang dikenal dalam sistim kekrabatan antara lain Wae Tua (turunan dari kakak), Wae Koe (turunan dari adik), Ana Rona (turunan keluarga mama), Ana Wina (turunan keluarga saudara perempuan), Amang (saudara lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema Koe (adik dari bapak), Ema Tua (kakak dari bapak), Ende Koe (adik dari mama), Ende Tua (kakak dari mama), Ema (bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki), dan Enu (saudara wanita atau istri). Strata masyarakat Manggarai terdiri atas 3 golongan, kelas pertama disebut Kraeng (Raja/bangsawan), kelas kedua Gelarang (kelas menengah), dan golongan ketiga Lengge (rakyat jelata). Raja mempunyai kekuasaan yang absolut, upeti yang tidak dapat dibayar oleh rakyat diharuskan bekerja rodi. Kaum Gelarang bertugas memungut upeti dari Lengge (rakyat jelata). Kaum Gelarang ini merupakan penjaga tanah raja dan sebagai kaum penyambung lidah antara golongan Kraeng dengan Lengge. Status Lengge adalah status yang selalu terancam. Kelompok ini harus selalu bayar pajak, pekerja rodi, dan berkemungkinan besar menjadi hamba sahaya. 6. Suku Flores Timur Orang yang berasal dari Flores Timur sering disebut orang Lamaholot, karena bahasa yang digunakan bahasa suku Lamaholot. Konsep rumah adat orang Flores Timur selalu dianggap sebagai pusat kegiatan ritual suku. Rumah adat dijadikan tempat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (wujud tertinggi yang mengciptakan dan yang empunya bumi).
100 Pelapisan sosial masyarakat tergantung pada awal mula kedatangan penduduk pertama, karena itu dikenal adanya tuan tanah yang memutuskan segala sesuatu, membagi tanah kepada Suku Mehen yang tiba kemudian, disusul Suku Ketawo yang memperoleh hak tinggal dan mengolah tanah dari Suku Mehen. Suku Mehen mempertahankan eksistensinya yang dinilainya sebagai tuan tanah, jadilah mereka pendekar-pendekar perang, yang dibantu Suku Ketawo.
(a)
(e)
(b)
(f)
(c)
(g)
Keterangan: (a) Pakaian adat Rote (e) Pakaian adat Ngada (b) Pakian adat Flores Timur (f) Pakaian adat Manggarai (c) Pakaian adat Sikka (g) Rumah adat Sumba (d) Pakaian adat Ende Lio
Gambar 5 Identitas kebudayaan Suku-suku di NTT Sumber: Melalatoa (1995)
(d)
101 Budaya yang dibawa Suku Timur (NTB dan NTT) ke daerah perantauan Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III tidak sama seperti dari daerah aslinya, karena kondisi, situasi, dan ketersediaan sarana prasarana yang ada, seperti rumah Suku Timur yang ada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III pada umumnya terbuat dari bahan kayu dan bukan bentuk panggung (Gambar 6) serta tidak mengikuti bentuk rumah adat daerah asalnya. Hal ini dikondisikan dengan kondisi daerah setempat yaitu bahan yang banyak tersedia bahan kayu, daerah pemukiman dekat areal operasional pertambangan PT. KPC takutnya mudah hancur akibat dari pemboman pertambangan dan harga-harga bahan bangunan seperti pasir sangat mahal karena pasirnya didatangkan dari Sulawesi. Selain itu daerahnya rawa sehingga memilih menggunakan rumah panggung dari kayu.
Gambar 6 Kondisi perumahan di Suku Timur di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III
102 Masing-masing Suku Timur di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III ini memiliki bahasa yang berbeda-beda, seperti bahasa Lio, Lio Ende, Mahamere, Handora, Manggarai, Kupang, Melayu Kupang, Dawan Amarasi, Helong Rote, Sabu, Tetun, Bural, Tewo Kedebang, Blagar, Lamuan Abui, Adeng, Katola, Taangla, Pui, Kolana, Kui, Pura Kang Samila, Kule, Aluru, Kayu Kaileso, Laratuka, Lamaholot, Kedang, Krawe, Palue, Sikka, Naga Keo, Mgada, Ramba, Ruteng, Bakjo, Komodo, Kambera, Wewewa, Anakalang, Lamboya, Mamboro, Wanokaka, Loli, dan Kodi. Banyaknya bahasa yang dimiki warga Suku Timur, maka komunikasi yang digunakan antara sesama sukunya menggunakan bahasa suku masing-masing tetapi untuk komunikasi antar suku dalam Suku Timur sendiri menggunakan Bahasa Indonesia karena walaupun sama-sama dari Timur antar suku sangat berbeda bahasanya. Begitu juga untuk komunikasi di luar komunita Suku Timur menggunakan Bahasa Indonesia. Gejala kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Suku Timur yang sangat dominan adalah ketergantungan dan kepatuhan masyarakat terhadap tokoh adat sebagai panutan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dibuktikan pada saat melakukan wawancara dengan beberapa masyarakat di Suku Timur, terlihat masyarakat sangat menghargai keberadaan tokoh adat (Bapak Takari). Mereka percaya tokoh adat ini serba tahu segala informasi mengenai adat Suku Timur dan berkembangannya di kampung tersebut. Agama yang dianut Suku Timur semuanya menganut Kristen Katholik. Upacara keagamaan yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Suku Timur, yaitu upacara keagamaan Paskah dan Natal. Upacara perayaan ini biasanya digelar semalam suntuk di lapangan sepak bola dengan menampilkan berbagai macam nyanyian dan tarian daerah seperti Tari Gawi, serta menggundang pula warga desa yang berbeda agama dan berbeda suku untuk mengadakan perayaan. Hal ini sudah menjadi tradisi setiap tahun yang menjadikan Suku Timur ini sebagai masyarakat yang menghargai etnis, budaya, agama, dan ras yang lain di dalam tatanan kehidupan dan bermasyarakat. Persiapan acara keagamaan ini biasanya dipersiapan dari jauh hari minimal 1 bulan sebelumnya. Setiap malam mereka mengadakan latihan menyanyi lagu-lagu rohani dan daerah serta menari tarian daerah di gereja setiap malam. Acara latihan ini merupakan sarana komunikasi dan sosialisasi antar warga Suku Timur serta sarana rekreasi setelah seharian bekerja. Berdasarkan hasil wawancara dari Tokoh Adat Suku Timur (Bapak Takari) dan beberapa warga Suku Timur di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III, kerajinan khas yang cukup terkenal dari Suku Timur (NTB dan NTT) adalah tenunan. Suku Timur yang memiliki etnis yang beranekaragam yang tentunya memiliki bahasa, adat, budaya, dan kesenian yang beragam pula. Hal ini yang mempengaruhi sekaligus menerangkan dan menggambarkan begitu banyak corak atau motif kain tradisional tenun Suku Timur. Setiap suku mempunyai ragam hias tenunan khas yang menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuhan, dan juga pengungkapan abstrak yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan kekuatan alam ciptaan Tuhan. Pada suku atau daerah tertentu, corak atau motif binatang atau orang-orang lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, naga, singa, orang-orangan, pohon tengkorak dan lain-lain, sedangkan Timor Tengah Selatan banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, dan buaya. Bagi daerah-daerah lain corak motif bunga-bunga atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif binatang hanya sebagai pemanisnya saja. Contoh tampilan motif kain tenun per daerah dapat dilihat pada Gambar 7.
103
(a)
(b)
(c)
(d)
104
(e)
(f)
(g)
105
(h)
(i)
(j)
106
(k)
(l) Keterangan: (a) Motif tenunan dari Sumba Barat (g) Motif tenunan dari Flores Timur (b) Motif tenunan dari Sumba Timur (h) Motif tenunan dari Sikka (c) Motif tenunan dari Kupang (i) Motif tenunan dari Ende (d) Motif tenunan dari Belu (j) Motif tenunan dari Ngada (e) Motif tenunan dari Alor (k) Motif tenunan dari Manggarai (f) Motif tenunan dari Lembata (l) Motif tenunan dari Rote Ndao
Gambar 7 Tampilan motif kain tradisional tenun NTT per daerah Sumber: Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (2009)
Kain tenun atau tekstil tradisional secara adat dan budaya menurut hasil wawancara beberapa warga Suku Timur memiliki banyak fungsi seperti: 1. Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh. 2. Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat. 3. Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin).
107 4. Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian. 5. Fungsi hukum adat sebagai denda adat untuk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu. 6. Dari segi ekonomi sebagai alat tukar. 7. Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat. 8. Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak atau desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain. 9. Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang. Namun penggunaan kain tenun di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III digunakan hanya untuk kegiatan upara adat pernikahan dan keagamaan. Warga Suku Timur di kedua dusun ini hanya sebagian kecil yang mempunyai kain tenun ini. Dalam masyarakat tradisional Suku Timur tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya atau penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat. Suku Timur yang ada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III tidak ada yang memproduksi sendiri kain tradisional tenun tersebut dan hanya sebagian kecil saja warga Suku Timur yang memiliki kain tradisional tenun yang dipergunakan untuk kebutuhan upacara keagamaan seperti Paskah dan Natal dalam kegiatan menyanyi dan menari tradisional. Sebaiknya dalam pemberdayaan masyarakat diberikan pelatihan membuat kain tradisional tenun, sedangkan untuk proses pewarnaan benangnya warga Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III sudah mendapatkan pelatihan pewarnaan kain dari bahan alami yang diselenggarakan oleh PT. KPC. Sehingga dapat diaplikasikan dalam pewarnaan benang untuk kain tradisional tenun. Hasil produksi kain tradisional tenun Suku Timur ini kedepannya diharapkan dapat dijadikan sebagai souvenir pengunjung Ekowisata Kabo Jaya yang sedang dikembangankan oleh pemuda Dusun Kabo Jaya dengan dukungan dari PT. KPC dengan pendampingan dari Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI), Central International Forestry Research (CIFOR), dan Yayasan Bina Kelompok Cinta Alam (BIKAL), dan tidak menutup kemungkinan juga pelatihan pembuatan kain tenun ini untuk membuka usaha kain tenun masyarakat Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III. 1.3
Suku Banjar
Suku Banjar yang ada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III sudah berakulturasi dengan suku lainnya (bukan asli), walaupun asli keturunan Suku Banjar tetapi mereka dilahirkan di Sangatta dan sekitarnya, sehingga warga Suku Banjar ini tidak terlalu mengetahui adat kebudayaan dari Suku Banjar. Mereka hanya mengetahui secara umum saja. Tokoh yang dituakan dari Suku Banjar di Dusun Kabo Jaya tinggalnya di Sangatta, sedangkan tokoh adat Suku Banjar di Dusun G III bernama Bapak Ridwan Sulaiman. Suku Banjar yang tinggal di Dusun Kabo Jaya tinggal mengelompok di Kampung Banjar tetapi untuk di Dusun G III tempat tinggal mereka menyebar. Bentuk rumah Suku Banjar di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III tidak terlalu sama dengan rumah adat Suku Banjar yang banyak jenisnya (Wikipedia Kalimantan Selatan, 2010), yaitu Rumah Bubungan Tinggi, Rumah Gajah Baliku, Rumah Gajah Manyusu, Rumah Balai Laki, Rumah Balai Bini, Rumah Palimbangan, Rumah Palimasan (Rumah Gajah), Rumah Cacak Burung, Rumah Anjung Surung, Rumah Tadah Alas, Rumah Lanting, Rumah Joglo Gudang, dan Rumah Bangun Gudang (Gambar 8). Bentuk rumah warga Suku Banjar sama dengan bentuk rumah suku lain pada umumnya
108 di Kalimantan Timur, yaitu bentuk panggung dan rumah berlantai dua yang terbuat dari bahan kayu (Gambar 9).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
109
(g) (h)
(i)
(k)
(j)
(l)
110 Keterangan: (a) Rumah Bungbungan Tinggi (b) Rumah Gajah Baliku (c) Rumah Gajah Manyusu (d) Rumah Balai Laki (e) Rumah Balai Bini (f) Rumah Palimbangan
(g) Rumah Palimasan (Rumah Gajah) (h) Rumah Cacak Burung (Rumah Anjung Surung) (i) Rumah Tadah Alas (j) Rumah Lanting (k) Rumah Joglo Gudang (l) Rumah Bangun Gudang
Gambar 8 Jenis-jenis rumah adat Suku Banjar Sumber: Wikipedia Kalimantan Selatan (2010)
Gambar 9 Rumah di Suku Banjar, Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III Semua warga Suku Banjar beragama Islam, seperti halnya menurut Daud (1997), Islam menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak yang ada di sekitarnya yang umumnya masih menganut religi sukunya. Upacara keagamaan sama dengan apa yang dilaksanakan umat muslim di Indonesia pada umumnya memperingati hari besar Agama Islam seperti acara Maulid Nabi Muhammad S.A.W., Isra Mi’raj Nabi Muhammad S.A.W., Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, dan Tahun Baru Islam. Acara peringatan hari besar keagamaan ini dilaksanakan tidak hanya umat muslim Suku Banjar saja tetapi bergabung dengan suku lainnya yang beragama Islam. Menurut Sultan (2007), Suku Banjar menggunakan mantra selalu didahului ucapan Bismillah dan diakhiri la ilaha ilalah muhammad rasulullah. Berikut contoh mantra bagi calon ibu yang susah melahirkan, mantra ini bernama mantra peluncur melahirkan: “Bismillahirrahmanirrahim/Nun kalamun walayar turun/Insya Allah inya ilang aritan/Inya turun/brakat La Ilaha Ilallah Muhammadurrasulullah “Mantra peluncur melahirkan ini biasanya dimiliki oleh para bidan kampung dan selalu dibaca saat membantu persalinan. Menjelang kelahiran, bidan akan terus menerus membaca mantra tersebut. Mantra minimal dibaca 3 kali secara berulang-ulang ditiupkan ke dalam air putih dalam botol atau gelas. Air yang sudah diberi mantra tadi akan diusapkan ke perut wanita yang akan melahirkan. Sedangkan mantra untuk membantu persalinan bayi sungsang sebagai berikut: ”Bismillahirrahmanirrahim/Bungkalang-bungkaling/Tampurung bulubulu/Takalang-tapaling/Kaluar tadahulu/Barakat La Ilaha Ilalallah Muhammadarrasulullah“. Mantra untuk menjaga anak kecil dari gangguan roh jahat atau apabila diyakini sakitnya seorang anak akibat gangguan roh jahat, sebagai berikut: ”Bismillahirrahmanirrahim/Wahai parang, bilamana terjadi sesuatu nang
111 kejahatan/Mangganggu kanak-kanak guring maka minta tulung pada para supaya parang manimpasakan kajahatannya/Barakat La Ilaha Ilallah Muhammadurrasulullah“. Dalam pelaksanaan mantra ini disiapkan sebuah parang (mandau) (Gambar 10) dibuat tanda silang dengan kapur sirih (cacak burung). Parang tersebut diletakkan di bawah ayunan anak yang sedang tidur. Mantra dibaca sebanyak 3 kali dan ditiupkan pada pada parang tersebut sebanyak 3 kali pula. Demikian sekilas mengenai tradisi membaca mantra dalam budaya Banjar, masih banyak mantra yang lain. Warga Suku Banjar yang ada di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III orang-orang yang tua masih menggunakan mantramantra ini tetapi sebagian besar sudah tidak menggunakan mantra ini lagi hanya berdoa sesuai ajaran Agama Islam pada umumnya.
Gambar 10 Mandau Upacara pernikahan warga Suku Banjar di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III dilaksanakan seperti acara pernikahan pada umumnya. Identitas acara pernikahan dari Suku Banjar ini terlihat dari pakaian adat pernikahan yang dikenakan masih mengenakan pakaian adat Suku Banjar (Gambar 11). Warna pakaian adat untuk pernikahan Suku Banjar aslinya berwarna merah tetapi karena sudah mengalami perkembangan sekarang beranekaragam warnanya. Busana pengantin Banjar terdiri 4 macam yaitu: 1. Bagajah Gamuling Baular Lulut, yaitu suatu jenis busana pengantin klasik yang berkembang sejak zaman kerajaan Hindu yang ada di Kalimantan Selatan (Gambar 11a). 2. Baamar Galung Pancar Matahari, yaitu suatu jenis busana pengantin yang berkembang sejak zaman munculnya pengaruh agama Islam dan kerajaan Islam yang ada di Kalimantan Selatan. Amar artinya mahkota kecil yang dipakai pengantin wanita, di Sumatera disebut sunting (Gambar 11b dan 11c). 3. Babaju Kun Galung Pacinan, yaitu suatu jenis busana pengantin yang mencerminkan masuknya pengaruh pedagang Gujarat dan China di Kalimantan Selatan. 4. Babaju Kubaya Panjang, yaitu suatu jenis busana pengantin yang menggunakan kebaya panjang.
112
(a)
(b)
(c)
Keterangan: (a) Busana pengantin Bagajah Gumilang Baular Lulut; (b) dan (c) Busana pengantin Baamar Gulung Pancar Matahari
Gambar 11 Busana Pengantin Suku Banjar Upacara adat yang lainnya seperti syukuran kehamilan 4 bulanan, 7 bulanan, kelahiran bayi, puputan (lepasnya tali pusar bayi), aqiqahan (pemotongan kambing sebagai pembayar gadai anak, untuk bayi laki-laki 2 ekor kambing dan untuk bayi perempuan 1 ekor kambing), pemotongan rambut bayi umur 40 hari, dan upacara kematian pun sama dengan ajaran Agama Islam pada umumnya. Menurut Daud (1997), sub Suku Banjar terdiri dari 3, yaitu Banjar Pahuluan, Banjar Banyu, dan Banjar Kuala. Namun, Suku Banjar yang ada di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III tidak mengerti mereka berasal dari sub suku yang mana karena pada umumnya mereka banyak yang dilahirkan di Sangatta maupun di daerah Kalimantan Timur dan bukan asli Suku Banjar, sehingga mereka hanya tahu berasal dari Suku Banjar. Bahasa yang digunakan untuk komunikasi antar sesama warga Suku Banjar menggunakan Bahasa Banjar tetapi untuk komunikasi antar Suku Menggunakan Bahasa Indonesia. Daud (1997) menjelaskan, Bahasa Banjar pada asasnya adalah Bahasa Melayu yang di dalamnya terdapat banyak sekali kosa kata asal Dayak dan asal Jawa, karena asal Suku Banjar ini dari Sumatera yang menetap di Kalimantan. Makanan khas dari Suku Banjar yang terkenal adalah Soto Banjar (Gambar 12). Makanan ini masih sering dikonsumsi Suku Banjar bahkan dikonsumsi oleh suku-suku lainnya di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III dan masakan ini dapat dengan mudah didapatkan di rumah makan di sekitar Sangatta. Menu Soto Banjar juga sudah masuk ke dalam daftar menu wisata kuliner Ekowisata Kabo Jaya, Dusun Kabo Jaya. Hal ini merupakan pengenalan budaya Suku Banjar untuk masyarakat umum yang berkunjung ke Dusun Kabo Jaya.
Gambar 12 Soto Banjar makanan khas Suku Banjar
113 1.4
Suku Bugis
Awal mula banyak Suku Bugis di Kalimantan Timur karena zaman dahulu di Sulawesi Selatan terjadi pemberontakan, sehingga banyak penduduk Sulawesi Selatan yang berpindah ke pulau lain termasuk diantaranya Kalimantan Timur yang paling dekat. Suku Bugis di Sangatta menurut hasil wawancara dengan Bapak Udin (warga Suku Bugis yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Dusun G III), awalnya tinggal di Kecamatan Sangkima, kemudian menyebar karena adanya lapangan pekerjaan. Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya tinggal di Kampung Bugis, sedangkan di Dusun G III tinggal secara menyebar. Suku Bugis ini berasal dari Sulawesi Selatan dan beragama muslim seluruhnya. Suku Bugis memiliki tokoh masyarakat yang dituakan bernama Bapak Darwis yang tinggal di Kampung Bugis, Dusun Kabo Jaya dan Bapak Hasanuddin yang tinggal di Dusun G III. Bahasa komunikasi yang digunakan antara sesama Suku Bugis menggunakan Bahasa Bugis yang dinamakan Bahasa Ugi, sedangkan untuk komunikasi antar suku menggunakan Bahasa Indonesia. Bentuk rumah Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III tidak terlalu mirip rumah adat Suku Bugis, yaitu Rumah Lego-lego dengan bentuk biasanya memanjang ke belakang dan tambahan di samping bangunan utama dan bagian depan (Gambar 14). Rumah Bugis dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun, semuanya murni menggunakan kayu. Rumah ini memiliki keunikan, yaitu dapat di angkat atau dipindahkan. Bentuk rumah warga Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III sama dengan bentuk rumah suku lain pada umumnya di Kalimantan Timur, yaitu rumah dengan dinding dari kayu dan bahkan ada sebagian yang tidak berbentuk panggung (Gambar 15).
Gambar 14 Rumah adat Suku Bugis (Lego-lego) Sumber: Wikipedia Suku Bugis (2010)
Gambar 15 Kondisi perumahan Suku Bugis
114 Menurut hasil wawancara dengan salah satu warga Suku Bugis di Dusun G III, bernama Bapak Udin di daerah Sangatta Lama seberang Sungai Sangatta, Kecamatan Sangatta Selatan pembuatan rumah orang Suku Bugis masih menggunakan prinsip rumah tradisional Bugis (Lego-lego) yaitu dengan bentuk panggung tinggi dan jarang yang menggunakan paku hanya menggunakan pasak kayu dengan tujuan agar dinding mudah dilepas untuk antisipasi terjadi kebakaran (dinding mudah dicopot). Maksudnya dibuat tinggi panggungnya agar bagian bawahnya (kolong) dapat digunakan untuk menyimpan barang-barang. Upacara keagamaan sama dengan apa yang dilaksanakan umat muslim di Indonesia pada umumnya memperingati hari besar Agama Islam seperti acara Maulid Nabi Muhammad S.A.W., Isra Mi’raj Nabi Muhammad S.A.W., Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, dan Tahun Baru Islam. Acara peringatan hari besar keagamaan ini dilaksanakan tidak hanya umat muslim Suku Bugis saja tetapi bergabung dengan suku lainnya yang beragama Islam. Semua warga Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III beragama Islam. Upacara pernikahan warga Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III dilaksanakan seperti acara pernikahan pada umumnya (Gambar 16), hanya saja dalam prosesinya ada yang dinamakan Mappacci (Malam Pacar) (Gambar 17), yaitu dikenal suatu malam yang disebut dengan istilah Tudang Penni, dengan makna musyawarah malam sebelum akad nikah. Dari segi istilah, maka malam pacar ini dapat disamakan dengan istilah gladi bersih, yang diundang hadir pada acara Mappacci ini ialah kalangan kerabat dekat calon pengantin yang datang berkumpul menyamakan persepsi dan pendapat mereka tentang pelaksanaan acara akad nikah esok harinya. Oleh sebab itu maka acara ini biasanya dilaksanakan malam menjelang acara akad nikah. Maknanya bagi seorang gadis, atau seorang jejaka yang kuku-kuku jari tangannya telah ditandai dengan warna merah dari daun pacar, harus berhati-hati dalam pergaulan. Makna warna merah sebagi simbol warna darah ialah bahwa “dia” tidak boleh lagi digoda atau menggoda orang lain, karena tebusannya sangat menyeramkan: merah atau darah. Itulah sebagian makna dari warna daun pacar yang merah di kalangan Makasar dan Bugis. Identitas lain acara pernikahan dari Suku Bugis ini terlihat dari pakaian adat pernikahan yang dikenakan masih mengenakan pakaian adat Suku Bugis (Gambar 18).
Gambar 16 Prosesi akad pernikahan Suku Bugis
115
Gambar 17 Prosesi Mappacci dalam untaian kegiatan pernikahan Suku Bugis
Gambar 18 Busana pengantin Suku Bugis Suku Bugis dari segi perkawinan lebih suka menjalin perkawinan dengan keluarga terdekat dan perceraian merupakan hubungan sosial yang paling tidak disukai karena dapat meruntuhkan hubungan kekeluargaan dengan nilai-nilai agama. Namun ada juga warga Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III yang menikah dengan pasangannya di luar Suku Bugis, hal ini karena adanya interaksi dan komunikasi antar suku yang ada di lokasi penelitian dengan kondisi suku yang majemuk. Upacara adat yang lainnya seperti syukuran kehamilan 4 bulanan, 7 bulanan, kelahiran bayi, puputan (lepasnya tali pusar bayi), aqiqahan (pemotongan kambing sebagai pembayar gadai anak, untuk bayi laki-laki 2 ekor kambing dan untuk bayi perempuan 1 ekor kambing), pemotongan rambut bayi umur 40 hari, dan upacara kematian pun sama dengan ajaran Agama Islam pada umumnya. Makanan khas Suku Bugis yaitu Burasak Bugis (Gambar 19). Makanan ini masih dibuat oleh warga Suku Bugis terutama pada hari Idul Fitri, Idul Adha, dan acara selamatan pernikahan atau kelahiran. Burasak Bugis ini terbuat dari bahan beras, santan, dan garam yang dibungkus oleh daun pisang. Biasanya makan Burasak Bugis ini dilengkapi dengan Konro Bakar atau Sop Saudara sebagai kuahnya yang merupakan khas Bugis. Konron Bakar bahan utamanya adalah daging sapi yang masih menempel pada tulang kemudian dibakar dan ditambahkan kuah dengan warna coklat kehitaman yang diolah dengan rempah-rempah dan ditambah dengan sambal bumbu dan sambal untuk kuah yaitu jeruk lemon. Sop Sodara juga sama bahan dasarnya daging sapi atau dapat
116 diganti dengan daging kerbau dengan berbagai bumbu rempah-rempah untuk bumbu kuahnya.
(a)
(b)
(c) Keterangan: (a) Burasak Bugis; (b) Konro Bakar, dan (c) Sop Sodara
Gambar 19 Makanan khas Suku Bugis Makanan khas dari Suku Bugis ini merupakan potensi yang dapat disajikan dalam menu wisata kuliner Ekowisata Kabo Jaya. Menu dalam bentuk buras akan lebih menarik selera makan pengunjung karena umumnya kita makan makanan pokok dalam bentuk nasi bukan buras. Tarian dari Suku Bugis yaitu Tari Paduppa (tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan) (Gambar 20a), Tari Mabbissu atau Tari Maggiri (tarian yang selalu mempertontonkan kesaktian penari), Tari Pajoge (tari klasik dari Kerajaan Bone, yang mengambarkan kecantikan perempuan Bugis yang terpancar dari wajah, sikap, dan perilakunya) (Gambar 20b). Namun sayang warga Suku Bugis di Dusun Kabo Jaya maupun di Dusun G III tidak pernah menampilkan tarian daerah ini, padahal kalau mereka dilatih belajar tarian daerah akan menjadi potensi dalam pengembangan seni budaya yang akan dikembangkan di Dusun Kabo Jaya. Pelatihan belajar tarian daerah ini dapat bekerjasama dengan perkumpulan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) yang berkedudukan di Sangatta. Kesenian lainnya seperti seni musik juga dimiliki Suku Bugis hanya tidak ada yang dibawa dan berkembang ke daerah perantauan, seperti seni kecapi, gendang, dan suling.
117
Sumber: Sandiantoro (2010)
(a)
(b)
Keterangan: (a) Tari Paduppa dan (b) Tari Pajoge
Gambar 20 Tari Suku Bugis 1.5
Suku Jawa (Jawa Timur, Jawa Timur, dan Madura)
Suku Jawa di Dusun Kabo Jaya tinggal mengelompok di Kampung Jawa yang lokasinya agak jauh terpisah dengan perkampungan lainnya (Kampung Tortor, Kampung Timur, Kampung Banjar, dan Kampung Bugis). Sedangkan Suku Jawa di Dusun G III tinggal menyebar berbaur dengan suku yang lainnya tidak sesuai suku. Tokoh yang dituakan di Kampung Jawa adalah ketua Rukun Tetangga (RT) karena Bapak Kasnawi ini menetap paling lama (10 tahun), sedangkan tokoh Suku Jawa di Dusun G III bernama Bapak Tunikum. Suku Jawa ini meliputi orang yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. Dalam sistem sosial Suku Jawa di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III tidak ada pembagian golongan sosial semuanya adalah sama status sosialnya. Padahal sejak zaman dahulu Suku Jawa terkenal dengan pembagian status sosial seperti yang diungkapkan oleh Geertz (1960), membagi masyarakat Jawa kepada 3 buah kelompok, yaitu kaum santri, abangan, dan priyayi. Pembagian status sosial ini tidak dibawa ke daerah perantauan, mereka menggap semua orang sesama orang Suku Jawa adalah sama sebagai orang perantau. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara beberapa warga Suku Jawa, karakteristik orang Suku Jawa bermacam-macam sesuai dengan asal daerahnya. Suku Jawa Tengah karakternya lebih halus, sedangkan untuk Suku Jawa Timur dan Madura terkenal gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka terkenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat. Warga Suku Jawa di Kampung Jawa ini agak berbeda dengan Suku Jawa di Dusun G III dan suku yang lainnya. Warga Kampung Jawa hampir semuanya bermata pencaharian sebagai petani (mengolah ladang dan kebun), baik sebagai ladang atau kebun milik sendiri maupun milik orang lain yang digarap oleh warga Kampung Jawa. Kebun dan ladang yang ada di Kampung Jawa digunakan sebagai lokasi Agrowisata Kabo Jaya (Gambar 21). Hal ini merupakan modal dalam pengembangan kegiatan agrowisata. Kesediaan ladang dan kebun mereka dijadikan sebagai lokasi Agrowisata Kabo Jaya sudah mempunyai nilai lebih dalam pengembangan kegiatan agrowisata. Hanya dalam hal ini perlu desain program kegiatan agrowisata dan adanya pelatihan pelayanan pengunjung bagi pemilik kebun dan pengelola Agrowisata Kabo Jaya.
118
(a)
(c)
(b)
(d)
(f)
(e)
(g)
119
(h) Keterangan: (a) Kebun rambutan (e) dan (f) Kebun pepaya (b) Ladang umbi-umbian (g) Kebun janggung (c) Kebun nenas (h) Kebun singkong (d) Kebun pisang
Gambar 21 Kebun dan ladang di Kampung Jawa yang dijadikan lokasi Agrowisata Kabo Jaya Agama yang dianut oleh Suku Jawa di Dusun Kabo Jaya dan Dusun G III mayoritas beragama Islam. Kegiatan keagamaan yang rutin dilakukan adalah pengajian mingguan di mesjid terdekat dan peringatan hari besar Agama Islam dengan bergabung dengan suku yang lainnya. Bahasa yang digunakan antar sesama Suku Jawa menggunakan Bahasa Jawa dengan berbagai macam dialek sesuai dengan masing-masing asal daerahnya, yaitu dialek bahasa Jawa Tengahan (Bahasa Jawa Solo-Jogja), Bahasa Jawa Blora-Rembang (daerah pesisiran), Bahasa Jawa dialek Banyumasan-Tegal, dan Bahasa Madura. Sedangkan untuk komunikasi antar suku menggunakan Bahasa Indonesia. Tradisi kebudayaan dari Suku Jawa tidak banyak dibawa ke daerah perantuan, seperti upacara pernikahan, kelahiran, kematian, dan upacara yang lainnya menggunakan tata cara secara nasional tidak spesifik mencirikan Suku Jawa. Kesenian tradisional maupun permainan rakyat dari Suku Jawa pun tidak ada di daerah perantuan ini. Begitu juga dengan bentuk bangunan rumah sama dengan bentuk rumah yang ada di daerah setempat (Gambar 22), yaitu berbentuk panggung dengan bahan dari kayu. Begitu juga dengan pakaian adat dalam pernikahan tidak begitu dipergunakan, acara pernikahan dilaksanakan secara sederhana mengadakan pengajian di rumah sebagai rasa syukur
(a)
(b) Gambar 22 Rumah Suku Jawa
120 Kesenian khas dari Suku Jawa cukup banyak seperti Ludruk (Jawa Timur), Reog Ponorogo (Jawa Timur), Tari Remo (Jawa Timur), Ketoprak (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Tari Gambyong, Tari Srimpi, Tari Bondan, dan Tari Kelana (Jawa Tengah). Potensi-potensi kekayaan budaya seperti ini dapat digali dan dikembangkan dengan menggerakan masyarakat Suku Jawa yang didukung dari berbagai pihak untuk pengembangan wisata seni dan budaya Kabo Jaya. Suku Jawa sebenarnya memiliki berbagai macam upacara adat, seperti tingkepan (upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama), babaran (upacara menjelang lahiran bayi), sepasaran (upacara setelah bayi berusia lima hari), pitonan (upacara setelah bayi berusia tujuh bulan), sunatan, dan pacangan. Tetapi upacara adat tersebut tidak dilakukan oleh Suku Jawa baik di Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III. Hanya saja cukup dengan diadakan pengajian mengundang tetangga di rumah. Makanan khas dari Suku Jawa yang masih dimasak dan dikonsumsi oleh warga Suku Jawa adalah Rawon. Menu Rawon ini sudah dijadikan paket menu wisata kuliner Kabo Jaya. Sebaiknya makanan khas Suku Jawa yang begitu banyak dapat dijadikan paket menu wisata kuliner agar lebih banyak variasinya, seperti rujak petis, rujak cingur, rujak uleg, semanggi, lontong balap, sate kerang, lontong kupang, brem, kue bakiak, sale pisang ambon, nasi pecel, keripik tempe, dan kerupuk udang (Jawa Timur) serta tahu takwa, tahu pong, getuk pisang, wingko babat (Jawa Tengah). Potensi makanan khas dari daerah inilah yang perlu digali dalam pengembangan wisata kuliner di Kabo Jaya. 2. 2.1
Suku Asli Suku Kutai
Suku Kutai merupakan suku asli daerah Sangatta, Kutai Timur. Pada zaman dahulu berdasarkan hasil wawancara dengan dengan Bapak Haji Kasmo (Kepala Adat Kutai Sangatta), Suku Kutai banyak tinggal di daerah Dusun Kabo Jaya maupun Dusun G III. Setelah berdiri perusahaan-perusahaan seperti perusahaan kayu PT. Porodisia dan perusahaan pertambangan batu bara PT. KPC Suku Kutai ini semakin tergeserkan oleh suku pendatang (Suku Toraja, Suku Timur/NTB dan NTT, Suku Banjar, Suku Bugis, dan Suku Jawa) yang secara bergelombang datang ke daerah Sangatta. Namun di daerah Sangatta Lama (seberang Sungai Sangatta), Kecamatan Sangata Selatan masih banyak dijumpai suku asli ini. Kutai merupakan kerajaan yang paling tua. Suku Dayak adanya di pedalaman tetapi Suku Kutai ada di pantai atau perkotaan yang lebih moderat dan pusat Suku Kutai adanya di Tenggarong. Sejarah terbentuknya Kota Sangatta, Sangatta artinya dari gelar dari raja-raja “Singa Karti”, “Singa Karta”, “Singa Gembara”, dan “Singa Geweh”. Pada tahun 1989 mau dibentuk Kecamatan dilaporkan namanya Sangatta melihat dari Pertamina sehingga sampai sekarang terkenal dengan nama Sangatta padahal awalnya dari kata “Seungata”. Suku Kutai ini tergabung dalam Lembaga Adat Kutai Sangatta yang terbentuk pada tahun 1678 tetapi karena bentuk kerajanaan itu dianggap bubar dirubah menjadi bentuk negara, baru dibentuk atau diaktifkan kembali lembaga adat ini tahun 1999 dengan dipimpin oleh Sultan Solehuddin II. Daftar kepala adat di Sangatta dapat dilihat pada Tabel 1. No 1 2 3 4 5
Tabel 1 Daftar kepala adat di Sangatta (1678 – 2010) Nama Sebutan Masa Jabatan Gembara Kepala Adat 1678 – 1709 Djanti Kepala Adat 1709 – 1721 Singa Tua Kepala Adat 1721 – 1737 Singa Geweh Kepala Adat 1737 – 1751 Singa Muda Kepala Adat 1751 – 1781
121 No 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Nama Matjan Karti Tali Bungul Sampai Bidjak Adji Masman Sempulan Dachlan Asd. Gani Tjok Abd. Rifay G. M. Pital B. Abd. Hamid K. Ir. Sabir Nawir Syahran S. H.M. Jono LH
Sebutan Kepala Adat Kepala Adat Kepala Adat Kepala Adat Kepala Adat Petinggi Petinggi Petinggi Petinggi Kepala Kampung Kepala Kampung Kepala Kampung Kepala Kampung Kepala Kampung Kepala Desa Kepala Desa Kepala Desa
Masa Jabatan 1781 – 1801 1801 – 1830 1830 – 1842 1842 – 1855 1855 – 1901 1901 – 1911 1911 - 1930 1930 – 1955 1955 – 1960 1960 – 1964 1964 – 1967 1967 – 1972 1972 – 1977 1977 – 1996 1996 – 1999 1999 – 2000 2000 -
Sumber: Hasil wawancara dengan Kepala Adat Kutai Sangatta (2010)
Adapun struktur organisasi Lembaga Adat Kutai Sangatta (Gambar tugas dari masing-masing pengurusnya Lembaga Adat Kutai Sangatta: 1. Dewan Adat adalah orang-orang tua yang membimbing kita atau penasehat, seperti kalau ada masalah harus meminta pertimbangan dahulu. Dewan Adat di sini ada 5 orang (Haji Adri, Haji Tum, Johan Muh. Jono LH. dan Haji Jalil). 2. Kepala Adat adalah sebagai pemimpin Lembaga Adat Kutai. 3. Sekretaris Adat membantu Kepala Adat. 4. Pembantu I Bidang Kesenian. 5. Pembantu II Bidang Perlindungan. 6. Pembantu III Bidang Olahraga Tradisional.
23) dan sebagai terlebih R., Haji
Kepala Adat H. Kasmo Pital Dewan Adat
Sekretaris Adat Erwin Baharuddin Adjir
Wakil Sekretaris Adat Ari Suryadi
Pembantu I Hairudin T.
Pembantu II Suriyan Fradesa
Pembantu III Nanang
Bendahara Ernani
Gambar 23 Bagan struktur Lembaga Adat Kutai Sangatta Sumber: Wawancara dengan Kepala Lembaga Adat Kutai Sangatta (2010)
122 Tugas dari masing-masing bagian dalam struktur organisasi di atas, yaitu setiap kegiatan atau masalah yang ada harus meminta pertimbangan terhadap Dewan Adat kemudian dibantu sesuai dengan bidang kegiatan atau masalahnya masing-masing seperti bidang kesenian, perlindungan, dan olahraga tradisional. Bidang kesenian menangani penyelenggaraan pentas Tari Jepen dan Tari Gambus. Bidang perlindungan menangani kegiatan yang menyangkut terhadap perlindungan lingkungan. Bidang olahraga tradisional menangani kegiatan olahraga tradisional, seperti pertandingan sumpit dan gangsing.
(a) (b) Keterangan: (a) Lembaga Adat Kutai Sangatt dan (b) Kepala Adat Kutai Sangatta
Gambar 24 Lembaga Adat Kutai Sangatta Namun pusatnya Himpunan Suku Kutai adanya di Tenggarong. Lembaga Adat Kutai Sangatta berperan sebagai penyeimbang Pemerintah karena sekarang sudah dalam bentuk pemerintahan dan adat mempunyai aturan tersendiri hanya saja di sini peran Lembaga Adat Kutai Sangatta sebagai penerus atau menjaga kelestarian budaya Kutai. Dalam setiap ada konflik di masyarakat Kepala Adat Kutai ini ikut andil besar dalam menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat, namu sekarang konflik tersebut sudah semakin berkurang. Setiap tahun di pusat Suku Kutai Tenggarong diadakan acara “Erau” (Peras Tanah). “Peras Tanah” maksudnya memberi makan ke makhluk-makhluk halus. Acara ini mementaskan tari-tarian daerah selama 1 minggu yang merupakan pesta besar “Erau”. Keinginan kita setiap tahun dapat menampilkan seni budaya tetapi kendala dari dananya. Di Sangatta diadakan “Plastana” yaitu acara yang menampilkan olahraga tradisional Suku Kutai, yaitu Sumpit (Gambar 25a dan 25b) merupakan alat berburu orang Kutai dan Dayak yang digunakan dengan cara ditiup, selain itu ada permainan Gasing (Gambar 26c), dan seni musiknya berupa Gabus (Gambar 26a). Kapala Lembaga Adat Kutai dan masyarakat Suku Kutai sangat mendukung pengembangan ekowisata. Masyarakat Sangatta sangat haus akan wisata karena di Sangatta sedikit tempat untuk wisata. Masyarakat Kutai sudah siap menghadapi pengembangan wisata tetapi Pemerintah kurang mendukung terhadap acara yang akan diadakan oleh masyarakat Kutai serta kurang pembinaan/perhatian dari Pemerintah itulah kendala utama bagi Suku Kutai. Dana untuk pemberdayaan dari Pemerintah ada tetapi besarnya sedikit dan itupun harus diajukan dalam bentuk proposal kepada Pemerintah Daerah Kutai Timur dengan besarnya dana sebesar Rp. 30.000.000,- tetapi yang disetujui biasanya Rp. 10.000.000,-.
123
(a)
(b)
(c) Keterangan: (a) dan (b) Sumpit serta (c) Gangsing
Gambar 25 Olahraga dan permainan tradisional Suku Kutai Sebagian besar penduduk Suku Kutai beragama Islam. Menurut informasi dari Kepala Adat Kutai Sangatta (Bapak Haji Kasmo), banyaknya Suku Kutai beragama Islam karena Agama Islam ini mulai dikenal di Kerajaan Kutai Kartanegara pada awal abad ke16 dan berkembang pada awal abad ke-17, yakni pada masa pemerintahan Sultan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa (sekitar tahun 1635). Hal ini terbukti dengan adanya Undang Undang Dasar Kerajaan yang disebut Panji Selaten dan Kitab Peraturan yang disebut Undang Undang Beraja Nanti yang bersumber kepada hukum Islam. Sejak itulah Agama Islam berkembang dengan sangat pesat di Kutai. Karakteristik Suku Kutai memiliki sifat yang ramah, jujur, dan memiliki semangat gotong royong yang tinggi. Tamu atau pendatang dari luar sangat dihormati. Masyarakatnya sangat religius dan memiliki rasa toleransi antar umat beragama yang tinggi.
124 Bahasa yang dipergunakan masyarakat Suku Kutai di Sangatta dalam pergaulan antar suku dan acara-acara resmi mempergunakan Bahasa Indonesia, sedangkan Bahasa Kutai hanya dipergunakan dalam komunikasi antar anggota sukunya. Seni suara dan seni musik Kutai banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam, diantaranya adalah: 1. Musik Tingkilan Seni musik khas Suku Kutai adalah musik Tingkilan, kesenian ini memiliki kesamaan dengan kesenian rumpun Melayu. Alat musik yang digunakan adalah Gambus (sejenis gitar berdawai 6) (Gambar 26a), ketipung (semacam kendang kecil) (Gambar 26b), kendang (sejenis rebana yang berkulit sebidang dan besar), dan biola. Musik Tingkilan disertai pula dengan nyanyian yang disebut betingkilan. Betingkilan sendiri berarti bertingkah-tingkahan atau bersahutsahutan. Dahulu sering dibawakan oleh 2 orang penyanyi pria dan wanita sambil bersahut-sahutan dengan isi lagu berupa nasihat-nasihat, percintaan, saling memuji, saling menyindir atau saling mengejek dengan kata-kata yang lucu. Musik Tingkilan ini sering digunakan untuk mengiringi tari pergaulan rakyat Kutai, yakni Tari Jepen.
(a)
(b) Gambar 26 Alat musik Tingkilan
2. Hadrah Kesenian ini mempergunakan alat musik terbang atau rebana. Kesenian ini dibawakan sambil menabuh terbang tersebut disertai nyanyian dalam Bahasa Arab yang diambil dari Kitab Barjanji. Kesenian ini umumnya ditampilkan untuk mengarak pengantin pria menuju ke rumah mempelai wanita, selain itu juga sering ditampilkan pada perayaan hari-hari besar Islam. 2.2
Suku Dayak
Berdasarkan keterangan dari Ibu Selvia (Staf Bagian Budaya, Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur dan sebagai masyarakat asli Suku Dayak di Sangatta) dan informasi dari beberapa warga Suku Dayak di Dusun G III, sukusuku asli yang ada di Kutai Timur yaitu Suku Dayak Kenyah, Dayak Modang, Dayak Bahaw, Dayak Basap, Dayak Kayan, Dayak Wehea, dan Dayak Kapuas. Mayoritas suku
125 Dayaknya adalah Dayak Kenyah, tetapi suku-suku Dayak yang lainnya juga ada sudah membaur di masyarakat Kutai Timur. Hal ini diperkuat dari keterangan Pak Daud (Kabag Kebudayaan Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur) serta Bapak Willis (tokoh masyarakat Suku Dayak dari Sangatta Lama) yang memberikan keterangan yang sama mengenai suku-suku yang ada di Sangatta. Namun di lokasi penelitian Dusun Kabo Jaya tidak ada warga dari Suku Dayak dan di Dusun G III hanya bagian dari warga minoritas saja. Suku Dayak ini banyak tinggal di Sangatta Lama (seberang Sungai Sangatta). Bapak Willis (tokoh masyarakat Suku Dayak dari Sangatta Lama) menambahkan mengenai bahasa, beberapa bahasa sub Suku Dayak yang sudah tidak dipergunakan lagi atau sudah punah adalah bahasa Umaa Wak, Umaa Palaa, Umaa Luhaat, Umma Palog, Baang Kelo, dan Umaa Sam. Bahasa-bahasa tersebut dahulunya lazim dipergunakan oleh masyarakat Suku Dayak. Ditambahkan juga menurut Ibu Selvi (Staf Bagian Kebudayaan Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur), bahasa dari suku-suku Dayak di Kutai Timur berbeda-beda, seperti Bahau, Kayan Wahau, Dialek Kayan Sungai Kayan, dan Modang. Rumah adat Suku Kutai dan Dayak di Kalimantan Timur dikenal dengan nama Rumah Lamin (Gambar 27). Lamin artinya sebagai rumah panjang kita semua. Namun dalam keseharian, Lamin bisa diartikan sebagai rumah bersama yang dihuni banyak orang atau keluarga. Dalam perkembangan sekarang ini, istilah Lamin menjadi lebih luas lagi, sebagai sebuah lambang atau simbol khas daerah. Lamin, rumah adat Suku Dayak Kalimantan Timur merupakan sebuah bangunan besar dan panjang. Bangunan umumnya terbuat dari bahan Kayu Ulin dengan pondasi bangunan yang tinggi di atas permukaan tanah. Kondisi ini, menurut alasan orang Kutai dan Dayak dahulu, adalah untuk mencegah terjadinya serangan binatang buas yang banyak di sekitar bangunan. Penghuni Lamin terdiri dari banyak kepala keluarga. Hanya terdapat 'sekat' berupa barang-barang yang menjadi hak dan kepemilikan keluarga. Selain sebagai tempat tinggal, Lamin juga menjadi ruang serbaguna untuk melakukan berbagai upacara keagamaan, kemasyarakatan dan pertemuan warga. Seiring dengan masuknya perkembangan modern dalam masyarakat suku pedalaman, banyak warga suku yang sudah tidak lagi tinggal di Lamin. Banyaknya perusahaan perkayuan dan pertambangan sedikit banyak sudah menggeser nilai budaya warga pedalaman menjadi lebih mandiri dengan bangunan rumah pribadi. Lamin bukan lagi sebagai tempat tinggal sehari-hari tapi berfungsi sosial dan keagamaan. Namun pada beberapa daerah yang masih terpencil, masih bisa ditemui Lamin yang berfungsi sebagai rumah tinggal sehari-hari. Begitu juga Suku Kutai dan Dayak yang ada di Dusun G III dan Sangatta Lama bentuk rumahnya sudah mengikuti bentuk rumah yang umum ada di masyarakat tetapi masih menggunakan bahan dari kayu. Rumah Lamin ini mulai diperkenalkan lagi kepada pengunjung atau tamu yang datang ke Sangatta dengan dibuatnya Rumah Lamin di tempat objek wisata Pantai Teluk Lombok oleh Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Gambar 28).
Gambar 27 Rumah Lamin Sumber: Kidnesia (2010)
126
Gambar 28 Rumah Lamin di objek wisata Pantai Teluk Lombok yang dibuat oleh Dinas Pemuda Olahraga Kabupaten Kutai Timur masih dalam proses pembuatan Berdasarkan hasil pengamatan dan wawacara dari berbagai sumber (Bu Selvia/Staf Bagian Kebudayaan Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Kutai Timur, Bapak Haji Kasmo/Kepala Adat Kutai Sangatta, Bapak Willis/tokoh masyarakat Dayak Sangatta Lama, dan beberapa warga Suku Kutai dan Dayak di Dusun G III), benda-benda khas Suku Dayak dan Suku Kutai dibedakan berdasarkan fungsinya terdiri dari benda untuk keperluan upacara adat, benda berfungsi untuk keperluan sehari-hari, benda seni, benda hiasan, dan olahraga. Benda-benda tersebut lebih jelasnya dapat dilihat dalam Tabel 5.2 dan Gambar 29 sampai Gambar 33. Tabel 2 Benda-benda Identitas Suku Dayak dan Suku Kutai No Nama Benda Asal Keterangan Benda Upacara Adat 1 Kalung dari taring babi Dayak dipakai dalam acara “Hudog” atau acara Wehea pemujaan untuk mengundang roh dan tidak sembarang dipakai 2 “Mao Belawing” Dayak biasanya ada penunggunya membuatnya (patung manusia Kenyah harus ada ritualnya tidak sembarang purba) orang bisa membuatnya, patungnya berbentuk orang telanjang hanya memakai celana cawet sambil menombak, kalau malam “Mao Belawing” ini matanya merah menyala menandakan ada roh di dalamnya 3 “Tapung Mao” (topi semua Suku terdiri dari bagian wajah dan “kirip” tapung) Dayak dan (tangan), dan bulunya dari burung Suku Kutai pemakan ikan (elang) untuk mengundang roh 4 Tapung dari taring babi Dayak ada yang terbuat dari bahan bulu-bulu dan mute-mute Kenyah dari burung (ini menandakan tingkatannya sudah tinggi), biasanya dipakai saat menari menyambut raja 5 “Hudog” (topeng) Dayak untuk upacara adat Wehea
127 No Nama Benda Asal Benda Keperluan Sehari-hari 6 “Bening” semua Suku Dayak dan Suku Kutai mempunyai
7
“Saung”
Dayak Kayang dan Dayak Kenyah 8 Kotak pinang semua Suku Dayak dan Suku Kutai 9 “Belanyet/Kiba” semua Suku Dayak dan Suku Kutai 10 Kantong dari mute- semua Suku mute Dayak dan Suku Kutai 11 Berbagai macam guci semua Suku Dayak dan Suku Kutai 12 Mangkuk keramik semua Suku Dayak dan Suku Kutai 13 Berbagai macam piring semua Suku Dayak dan Suku Kutai Benda Seni 14 Alat musik petik semua Suku Dayak dan Suku Kutai 15 Alat musik Gambus semua Suku Dayak dan Suku Kutai 16 Kendang semua Suku Dayak dan Suku Kutai 17 Kain tenun semua Suku Dayak dan Suku Kutai 18 Kain batik khas semua Suku Kalimantan Timur Dayak dan
Keterangan alat untuk menggendong bayi. Bahan dari kayu atau rotan yang berbentuk setengah lingkaran pada bagian atas terbuka dan bagian bawahnya ditutup dengan menggunakan papan. Sisi luar dihiasi dengan abhan manik dengan ragam hias motif flora dan fauna. Bening aban (gendongan anak) merupakan alat yang dipakai untuk menggendong anak bepergian baik ke kebun dank e hutan. Cara memakainya dipakai di punggung dengan tali pengait dipasang di bahu (seperti menggunakan ransel). untuk penutup kepala
untuk tempat menyimpan pinang, sirih, dan kapur terbuat dari anyaman rotan untuk tempat ikan untuk kantong untuk tempat menampung air perlengkapan makan tempat menyimpan makanan ada yang terbuat dari kermaik dan kayu mengiringi acara musik tradisional musik Gambus mengiringi acara musik tradisional digunakan untuk hiasan maupun bahan pakaian bahan pakaian
128 No
Nama Benda
Asal Suku Kutai
Benda Hiasan 19 Anting-anting dari semua Suku mute-mute dan batu Dayak dan Suku Kutai 20 Gelang-gelang dari semua Suku mute-mute dan batu Dayak dan Suku Kutai 21 Kalung-kalung dari semua Suku mute-mute dan batu- Dayak dan batu Suku Kutai 22 Hiasan dinding ukiran semua Suku Dayak dan Suku Kutai 23 Perisai/keliau berukir semua Suku Dayak dan Suku Kutai 24 Hiasan ukiran Burung semua Suku enggang Dayak dan Suku Kutai 25 Hiasan patung orang semua Suku Dayak Dayak 26 Berbagai macam semua Suku ukiran Dayak dan Suku Kutai Benda untuk Olahraga 27 Sumpit semua Suku Dayak dan Suku Kutai 28 Gasing semua Suku Dayak dan Suku Kutai
(a)
(b)
Keterangan perhiasan wanita perhiasan wanita perhiasan wanita Hiasan Hiasan Hiasan Hiasan Hiasan
untuk menyumpit keperluan berburu dan perlombaan sumpit Untuk permainan dan perlombaan gasing
(c)
129
(d)
(e)
(f) Keterangan: (a) Kalung dari taring babi (b) “Mao Belawing” (patung masnusia purba) (c) “Mao Belawing” (patung masnusia purba)
(d) “Tapung Mao” (topi tapung) (e) Tapung dari taring babi dan mute-mute (f) “Hudog” (topeng)
Gambar 29 Benda-benda upacara adat Suku Dayak dan Suku Kutai
(a)
(b)
130
(c)
(e)
(d)
(f)
(g)
(h)
131
(i)
(j)
(l)
(k)
(m)
(n)
132
(o)
(p)
(q)
(s)
(r)
(t)
133
(u)
(v)
Keterangan: (a) “Bening” (penggendongan bayi) dari kayu ulin tampak muka (b) “Bening” (penggendongan bayi) dari kayu ulin tampak belakang (c) ”Bening” (penggendongan bayi) dari kain dan mute-mute tampak muka (d) ”Bening” (penggendongan bayi) dari kain dan mute-mute tampak belakang (e) dan (f) “saung” (topi) (g) Kotak pinang (h) “Belayet/Kiba” (i) Kantung mute-mute (j) s/d (n) Berbagai macam guci (o) Mangkuk keramik (p) s/d (s) Berbagai macam piring dari keramik (t) s/d (v) Berbagai macam piring dari kayu
Gambar 30 Benda-benda keperluan sehari-hari Suku Dayak dan Suku Kutai
(a)
(b)
134
(c)
(d)
(e)
(f)
Keterangan: (a) Alat musik petik (b) Alat musik gambus (c) Kendang
(d) s/d (e) Kain tenun corak khas Kalimantan Timur (f) Kain corak batik khas Kalimantan Timur
Gambar 31 Benda-benda seni Suku Dayak dan Suku Kutai
(a)
(b)
135
(c)
(d)
(e)
(g)
(f)
(h)
136
(i)
(j)
(k)
(l)
(m) Keterangan: (a) Anting-anting dari mute-mute dan batu (b) Gelang-gelang dari mute-mute dan batu (c) Kalung-kalung dari mute-mute dan batu (d) Hiasan dinding ukiran
(n) (e) s/d (f) Perisai/keliau berukir (g) s/d (j) Hiasan ukiran Burung enggang (k) Hiasan patung orang Dayak (l) s/d (n) Berbagai macam ukiran
Gambar 32 Benda-benda hiasan Suku Dayak dan Suku Kutai
137
(a)
(b)
(c) Keterangan: (a) Mata sumpit (b) Sumpit
(c) Gasing
Gambar 33 Benda perlengkapan olahraga Suku Dayak dan Suku Kutai
138 Lampiran 2 Jenis-jenis tumbuhan dan jamur yang ditemukan sepanjang looptrail menuju sarang Orangutan No Jenis (Nama Lokal) Lokasi Keterangan 1 Bunga akar belaran Awal masuk Disukai Orangutan looptrail 2 Akar bunsud SP 3 Jenis herba, bunganya kecil-kecil berwarna kuning, dan tidak bisa dimakan 3 Buah limas SP 3 Buahnya asam berwarna merah kecil bergerombol membentuk seperti limas, dapat dimakan manusia dan Orangutan 4 Akar kaspo SP 4 Bentuk akar menggantung seperti buah lumayan besar seperti umbi berwarna kuning, dan tidak dapat dimakan 5 Letup SP 4 Buah menempel pada batang bergerombol seperti dukuh, buah rasanya manis, dapat dimakan manusia dan Orangutan 6 Tilam pelandak SP 4 Perdu, buahnya bulat-bulat berwarna hijau mengumpul di tengah-tenga batang seperti buah salak, dan tidak dapat dimakan 7 Tambu lawak SP 4 Daun dan batangnya melilit pohon besar yang ada di sekitranya, buahnya bergerobol kecil-kecil berwarna merah, digunakan sebagai obat sakit perut 8 Jamur tanah SP 4 Payungnya berwarna putih biasanya tumbuh di atas tanah 9 Gendis SP 4 Buahnya bergerombol seperti kumpulan jarum pentul dengan kepala yang besar dan berwarna hijau, dapat dimakan manusia dan Orangutan 10 Kalay SP 4 Buahnya seperti umbi-umbian di dalam tanah, daunnya berbentuk khas seperti sayap kupu-kupu, dan di bagian ruas tulang daunnya berwarna keputihan perak 11 Jamur kayu SP 4, SP 9 Biasanya menepel pada kayu-kayu yang sudah lapuk berwarna kecoklatan, dan tidak dapat dimakan 12 Jamur cangkir SP 4 Berwarna merah kejinggaan dan bentuk topinya bergerombol tersusun ke atas, dan biasa hidup di atas tanah berserasah 13 Puda SP 4 Hidup di air tergenang, daunnya berduri tajam, dan digunakan sebagai tempat berlindung ikan di
139 No
Jenis (Nama Lokal)
Lokasi
14
Buyu rara
TJ 00
15
Bunga jaung
SP 9
16
Jamur angat
SP 9, SL 3
17
Buah kedapat
SP 11
18
Buah madarah
19
Temali
SL 2
20
Aka
SL 2
21
Kadaka
SL 3
22
Tebu itam
SL 3
23
Ketapa
SL 3
24
Paku rantau
SL 3
Medang SL 00
Keterangan sungai Daunnya lebar-lebar, bunga muncul di ujung ranting pusat yang mencuat ke atas, bentuk bunga kecil-kecil, dapat dimakan dan dipercaya dapat membuat suami sayang sama istri, digunakan dengan cara dibakar kemudian diseduh dan diminumkan buat suami Dapat dimakan manusia dan Orangutan Warna putih gading, pada tengahtengah topinya bagian atas berwarna kehitaman, hidup di atas tanah, dan tidak dapat dimakan Buahnya manis, berwarna kuning, bulat-bulat sedang, dapat dimakan manusia dan Orangutan Kulit buah berwarna kuning, daging buah berwarna putih, ada bijinya seperti buah duku, tidak dimakan manusia tetapi dimakan Orangutan dan burung enggang/tinggang Sejenis herba, bentuk daun oval dengan pinggir bergerigi, dan bunganya bergerombol bulat kecilkecil Sejenis palem, buahnya bergerombol memanjang bulatbulat kecil berwarna hijau, daunnya dapat digunakan untuk membungkus gula atau ketan dan dapat juga digunakan untuk mengikat kerbau Hidup menempel pada pohonpohon besar yang tinggi, dan biasa digunakan sebagai tanaman hias Tumbuhan berkayu, buahnya berwarna hitam rasanya asam paling disukai Orangutan dan kulit kayunya digunakan untuk sayur dimakan manusia Daunnya memanjang seperti tanduk dan bergelombang seperti pakis-pakisan, dan tidak dapat dimakan Jenis herba (kalau di Jawa dinamakan ceker ayam) untuk obat-obatan
140 No 25 26
27
28
Jenis (Nama Lokal) Bunga racun gigi
Lokasi
Keterangan Buah bergerombol merah menyala dan beracun Jamur Tudung SL 3 dan hampir di Jamur bentuk topinya mekar ke pelanduk sepanjang looptrail atas (seperti payung kebalik), berwarna merah kejinggaan, dan tidak dapat dimakan Rambutan hutan Seperti rambutan biasa hanya buahnya lebih kecil dan berbulu lebih pendek dan dapat dimakan seperti rambutan biasa Bawang hutan Bulat berkulit keras sehingga kalau membuka harus dihancurkan, yang biasa digunakan untuk bumbu masak bagian dalamnya SL 3
Sumber: Hasil observasi ke lapangan
(b)
(a)
(c) (d)
141
(e)
(f)
(g)
(i)
(h)
(j)
142
(k)
(l)
(n) (m)
(o)
(p)
143
(q)
(r)
(t) (s)
(v) (u)
144
(w)
(y) Keterangan: (a) Akar bunsud (b) Buah limas (c) Akar kaspo (d) Letup (e) Tilam pelanduk (f) Tambu lawak (g) Jamur tanah (h) Gandis (i) Kalay
(x)
(z) (j) Jamur kayu (k) Jamur cangkir (l) Puda (m) Buyu rara (n) Bunga jaung (o) Jamur angat (p) Kedapat (q) Buah Medang madarah (r) Temali
(s) Aka (t) Tebu itam (u) Ketapa (v) Pakau rantau (w) Bunga racun gigi (x) Jamur tanduk peladuk (y) Rambutan hutan (z) Bawang hutan
Gambar 34 Berbagai jenis tumbuhan dan jamur sepanjang looptrail menuju habitat Orangutan