PENGEMBANGAN KOLABORASI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI: KAJIAN MELALUI RISET AKSI
ARIF ALIADI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai: Kajian Melalui Riset Aksi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011 Arif Aliadi E.051050191
ABSTRACT
ARIF ALIADI. Collaborative Development of Mount. Ciremai National Park: An Action Research. Under the direction of RINEKSO SOEKMADI and HERRY PURNOMO. Conflict over natural resource management in Kuningan district rose due to access restriction since establishment of Ciremai Mountain National Park according to Ministry of Forestry Decree No. SK.424/Menhut-II/2004. Local communities from 26 villages surround National Park could not get access to their agroforest they have developed before establishment of the Park. The objectives of the research are to develop a process of conflict resolution as well as to develop a collaborative Ciremai Mountain National Park management. An action research had been done to achieve those objectives during September 2006 to September 2010. The result showed conflict was resolved. There were attitude changes among stakeholders involved in conflict from confrontation into collaborative attitude. This attitude changed was a strong foundation to establish collaboration among stakeholders. This research also showed collaborative national park management has been developed and implemented up to now.
RINGKASAN ARIF ALIADI. Pengembangan Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai: Kajian Melalui Riset Aksi. Dibimbing oleh RINEKSO SOEKMADI dan HERRY PURNOMO. Konflik dalam pengelolaan Taman Nasional (TN) Gunung Ciremai terjadi ketika masyarakat di sekitar TN Gunung Ciremai kehilangan akses untuk mengelola kebun campuran (agroforest) yang sudah mereka kembangkan sebelum Gunung Ciremai diubah statusnya menjadi Taman Nasional pada bulan Oktober 2004 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004. Sebanyak 26 desa di sekitar Gunung Ciremai yang termasuk dalam Kabupaten Kuningan, sebelumnya telah membuat kesepakatan dengan Perhutani yang menyatakan bahwa obyek kerjasama adalah lahan di hutan lindung dengan total luas 8.645 hektar. Lahan tersebut dapat dikelola dengan pola agroforestri. Perubahan status dari hutan lindung menjadi Taman Nasional membuat kesepakatan yang dibuat menjadi tidak berlaku lagi. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konflik yang terjadi dan proses penyelesaian yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut, serta mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Penelitian dilakukan mulai dari bulan September 2006 sampai September 2010. Metode Riset Aksi (Action Research) dilakukan untuk mengumpulkan data dan dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis konflik (Moore, 1996) dan analisis kemungkinan kolaborasi (Borrini-Fayerabend, 1996) digunakan untuk menggambarkan sejauh mana kolaborasi sudah dikembangkan. Proses penyelesaian konflik yang dilakukan melalui 8 tahap yaitu investigasi, analisis stakeholder, persiapan negosiasi, mendiskusikan pilihanpilihan skenario, negosiasi, pro-aktif dalam menanggapi hasil negosiasi, konsolidasi setelah negosiasi dilakukan, dan internalisasi hasil negosiasi. Proses penyelesaian konflik yang dilakukan berhasil mengubah sikap konfrontatif para pihak menjadi kolaboratif. Sikap ini menjadi landasan yang kuat bagi pengembangan strategi kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Strategi kolaborasi yang dikembangkan untuk pengelolaan TN Gunung Ciremai meliputi konseptualisasi, advokasi kebijakan TN Gunung Ciremai, diskusi payung hukum kolaborasi, membuat pedoman kolaborasi, serta melaksanakan kolaborasi. Kolaborasi yang telah dikembangkan cukup berhasil didorong menjadi pendekatan dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Pendekatan kolaborasi telah diimplementasikan oleh pengelola TN Gunung Ciremai dalam bentuk berbagai kerjasama dengan masyarakat dengan para pihak (stakeholders) di daerah.
© Hak cipta milik Arif Aliadi, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
PENGEMBANGAN KOLABORASI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI: KAJIAN MELALUI RISET AKSI
ARIF ALIADI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji luar komisi : Dr. Ir. Didik Suharjito, M.Si.
Judul Makalah : Nama NIM
: :
Pengembangan Kolaborasi Taman Nasional Gunung Ciremai: Kajian Melalui Riset Aksi Arif Aliadi E051050191
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi M.Sc.F. M.Comp. Ketua
Dr. Ir. Herry Purnomo, Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto MS. M.Sc.Agr
Dr. Ir. Dahrul Syah,
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2006 ini adalah kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. dan Bapak Dr. Ir. Herry Punomo, M.Comp. yang telah banyak memberi saran. Di samping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sanusi K. Wijaya, Bapak Usep Sumirat, saudara Rachmat Firmansyah dan kawan-kawan dari LSM Kanopi dan Para Penggiat PHBM di Kabupaten Kuningan, yang telah membantu selama pengumpulan data. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011 Arif Aliadi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 1967 dari ayah Ali Moertolo dan ibu Isminah. Penulis merupakan putra keempat dari lima bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 2005, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2011. Penulis bekerja sebagai pekerja sosial di Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) sejak tahun 1990 dan mengelola berbagai program yang terkait dengan kehutanan masyarakat. Bidang yang menjadi tanggung jawab penulis ialah pendampingan masyarakat, tata kelola kehutanan, dan pengembangan kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI
...................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .............................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... iv PENDAHULUAN ............................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. Taman Nasional ....................................................................................... Aktivitas Yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan di Taman Nasional ... Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional ........................................... Solusi Yang Dilakukan ........................................................................... Kesenjangan antara Konflik dan Solusi .................................................. Pengelolaan Taman Nasional secara Kolaboratif ...................................
8 8 9 12 13 15 16
METODOLOGI ................................................................................................ Kerangka Pemikiran .............................................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. Metode ...................................................................................................
19 19 32 33
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... Hasil Penelitian ....................................................................................... Siklus 1: Konflik dan Penyelesaiannya ........................................ Siklus 2: Strategi Kolaborasi ........................................................ Pembahasan .............................................................................................. Metode Riset Aksi ...................................................................... Jenis Konflik ................................................................................. Proses Penyelesaian Konflik ....................................................... Tingkat Kolaborasi ....................................................................... Pengelolaan TN Gunung Ciremai di Masa Depan ......................
42 42 42 59 71 71 75 81 87 90
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 92 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 93 LAMPIRAN ....................................................................................................... 98
i
DAFTAR TABEL Halaman 1. Permasalahan Taman Nasional .....................................................................
1
2. Kegiatan yang Dilarang dan Boleh Dilakukan di Taman Nasional ............. 11 3. Tipologi Partisipasi Masyarakat ................................................................... 22 4. Perbedaan Riset Aksi dengan Penelitian Formal Kuantitatif ....................... 37 5. Prosedur Kerja Riset Aksi Yang Dilakukan ................................................. 38 6. Tahapan Terjadinya Konflik dalam Penetapan Taman Nasional Gunung Ciremai ........................................................................................................ 49 7. Peran Peneliti dan Para Penggiat PHBM dalam Pengembangan Kolaborasi . 60
ii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka Permasalahan
...........................................................................
6
2.
Tahapan Konflik ....................................................................................... 24
3.
Desain Kolaborasi
4.
Skema Manajemen Kolaboratif …………………………………………. 31
5.
Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Gunung Ciremai .................... 33
6.
Spiral Action Research Yang Digunakan ................................................. 35
7.
Contoh Matriks Klasifikasi Stakeholder Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan ............................................................................................ 40
8.
Siklus 1: Konflik dan Penyelesaiannya ..................................................... 43
9.
Klasifikasi Para Pihak di Kabupaten Kuningan Berdasarkan Tingkat Kepentingan Pelibatan (importance) dan Pengaruh (influence) ................ 54
.................................................................................... 29
10. Siklus 2: Strategi Kolaborasi ..................................................................... 59 11. Strategi Kolaborasi Pengelolaan TN Gunung Ciremai .............................. 61
iii
DAFTAR LAMPIRAN 1.
Halaman Profil Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (LPI PHBM) ......................................................................... 99
2.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.424/Menhut-II/2004 .............. 100
3.
Desa-desa di Sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai yang sudah membuat Kesepakatan dengan Perhutani KPH Kuningan ........................ 103
4.
Peta Taman Nasional Gunung Ciremai
5.
Notulensi Pertemuan LPI tanggal 25 Oktober 2004 ................................. 105
6.
Informasi tentang Taman Nasional dan Hutan Lindung ........................... 108
7.
Proses Usulan Kawasan Konservasi menurut Kepmenhut No. 70/KptsII/2002 tanggal 15 Maret 2001 jo No. SK. 48/Kpts-II/2004 tanggal 23 Januari 2004 ............................................................................................ 110
8.
Materi Dialog Taman Nasional Gunung Ciremai
9.
Catatan Pertemuan dengan Kepala Sub-Direktorat Pengembangan Kawasan Konservasi, Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. 112
................................................... 104
.................................... 111
10. Catatan Pertemuan Peneliti dengan Kepala BKSDA Jabar II tanggal 14 Desember 2004 ....................................................................................... 114 11. Catatan Pertemuan antara Peneliti bersama sebagian Anggota LPI PHBM dengan Kasubdit Pengembangan Kawasan Konservasi Ditjen PHKA Dephut ....................................................................................................... 118 12. Kronologis Peristiwa dalam Perubahan Status Hutan Lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai ................................ 120 13. Bahan Rapat tanggal 8 Oktober 2004 ....................................................... 124 14. Surat Para Penggiat PHBM Kuningan tanggal 5 Februari 2005 ................ 125 15. Daftar Stakeholder Yang Terkait dengan TN Gunung Ciremai ................. 132 16. Nota Kesepakatan Bersama antara BKSDA Jabar II dengan Pemerintah Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, Kabupaten Kuningan tentang Implementasi Sistem Pengelolaan Hutan Bersama (PHBM) di Taman Nasional Gunung Ciremai ....................................................................... 134 17. Nota Perjanjian Kerjasama antara BKSDA Jabar II dengan Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (POKTAPEPAR) Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, Kabupaten Kuningan tentang Pengelolaan Hutan Lembah Cilengkrang melalui Sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai ...................................................................................... 140
iv
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan taman nasional di Indonesia masih belum berhasil membuat kehidupan masyarakat di sekitarnya menjadi lebih baik.
Jarang
sekali ada kelompok masyarakat yang memperoleh manfaat langsung dari keberadaan taman nasional. Mungkin di beberapa taman nasional, masyarakat masih bisa mengambil hasil hutan non-kayu dari dalam kawasan, namun mereka harus bersedia membayar sejumlah kompensasi kepada petugas kawasan atau mereka akan disebut sebagai pencuri, perambah, dan berbagai cap negatif lain. Keadaan ini membuat eksistensi taman nasional terancam.
Effendi
(2000) menyebutkan beberapa ancaman yang disebabkan oleh manusia di kawasan taman nasional di seluruh Indonesia. Bentuk-bentuk ancaman yang dilaporkan adalah pemukiman, perladangan, pertambangan, penggembalaan ternak, penggunaan lahan untuk bertani, tumpang tindih peruntukan, penebangan pohon, pengambilan hasil hutan non kayu, penangkapan ikan, perburuan, pengambilan biota laut, dan penebangan mangrove. Suporahardjo (2003) memberikan contoh permasalahan yang terjadi di kawasan Taman Nasional (Tabel 1). Tabel 1. Permasalahan Taman Nasional Nama Taman Nasional
Jenis Permasalah
Volume
3. TN Kerinci Seblat
Pemukiman liar Kebakaran Hutan PETI Penebangan Liar Penyerobotan lahan Pemukiman liar Perladangan liar Pemukiman liar
59 ha 42 ha 3 ha 47,75 ha 621,84 ha 2188,27 ha 1143,37 ha 1665 ha
5. TN Kutai
Pemukiman dan perladangan liar
4977
1. TN Gunung Halimun
2. TN Ujung Kulon
Sumber: Suporahardjo (2003) Contoh serupa juga ditemui di negara lain.
Armend dan Armend,
(1992) dalam McNeely et al. (1994) yang mereview kawasan konservasi di 1
ha
Amerika Selatan menemukan bahwa 86% dari semua kawasan konservasi telah dihuni oleh manusia yang melakukan aktivitas ekonomi.
Keadaan
demikianlah yang menyebabkan terjadinya banyak kasus di taman nasional. Machlis dan Technell (1985) dalam McNeely (1989) melaporkan bahwa dari 100 taman nasional yang diteliti di seluruh dunia, terdapat 1611 ancaman spesifik terhadap taman nasional, dimana 95% di antaranya terjadi di negara berkembang. Sepuluh ancaman yang paling berbahaya adalah pemindahan satwa liar yang ilegal, kurang memadainya manajemen personalia, penebangan pohon/vegetasi, erosi tanah, sikap-sikap lokal, konflik atas lahan, api, human harrasment of animals, kerusakan/kehilangan habitat, dan vegetation trampling. Hasil penelitian di atas juga diperkuat dengan penelitian oleh IUCN. Wells et.al. (1992) menyebutkan di dalam bukunya, bahwa pada awal tahun 1980-an, ada suatu studi yang dilakukan oleh IUCN (1984) yang meringkas jenis-jenis ancaman yang dihadapi oleh 43 kawasan konservasi yang paling terancam di dunia.
Sepuluh ancaman terbesar adalah tidak memadainya
sumberdaya untuk pengelolaan, perambahan, perubahan dalam tata air atau pembangunan dam, perburuan, adjacent land development, pembangunan internal yang tidak sesuai (misalnya jalan), pertambangan dan sumberdaya berpotensi tinggi, konflik ternak, kegiatan militer, dan kegiatan kehutanan. Permasalahan yang diungkap dimuka menunjukkan tidak adanya dukungan dari masyarakat, khususnya masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan konservasi.
Tanpa dukungan masyarakat, petugas kawasan
konservasi bekerja sendiri mengamankan kawasannya. Dengan keterbatasan sumberdaya manusia dan fasilitas, maka tidak ada satu orang pun yang dapat menjamin keamanan kawasan konservasi. Ancaman akan semakin besar. Sementara itu, banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak semua kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat bersifat merusak kawasan taman nasional. Agroforestri adalah suatu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bertentangan dengan tujuan konservasi. Muda (2005) menyatakan bahwa pola agroforest “Napu” ditemui di dalam kawasan TN Kelimutu (NTT) yang didominasi jenis tanaman kopi, dadap (pohon 2
pelindung), jeruk, dan salak.
Keberadaan “Napu” sudah ada sebelum
terjadinya penetapan TN Kelimutu. Agroforest “Napu” merupakan pola usaha tani yang tidak bertentangan dengan defisini dan tujuan pengelolaan taman nasional. Selanjutnya Muda (2005) menjelaskan bahwa agroforest “Napu” memberi keuntungan secara ekologis, ekonomis maupun sosial. Manfaat agroforestri juga diungkapkan oleh Aliadi dan Kaswinto (2000) yang menyatakan bahwa manfaat agroforestri tumbuhan obat yang dikembangkan di zona rehabilitasi TN Meru Betiri Jawa Timur sesuai dengan fungsi-fungsi taman nasional, yaitu fungsi taman nasional, yaitu (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (b) pengawetan plasma nutfah, dan (c) pelestarian pemanfaatan keragaman hayati. Permasalahan muncul ketika agroforestri yang telah dikembangkan oleh masyarakat di kawasan taman nasional tidak dapat diakomodir dalam pengelolaan taman nasional. Hal ini terjadi di TN Gunung Ciremai. Kawasan hutan Gunung Ciremai ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai pada tanggal 19 Oktober 2004, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas 15.500 ha, yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.
Pada awalnya
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 419/Kpts-II/1999, fungsi kawasan hutan di Gunung Ciremai seluas 15.518,23 Ha yang terletak di perbatasan Kabupaten Kuningan dan Majalengka serta merupakan gunung tertinggi di Propinsi Jawa Barat (3.078 m) ialah hutan lindung (7.748,75 Ha), hutan produksi (2.690,48 Ha), hutan produksi terbatas (4.943,62 Ha) dan areal penggunaan lain (135,38 Ha). Kemudian, pada tahun 2003 berubah menjadi hutan lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/KptsII/2003 tanggal 4 Juli 2003. Hermawan et.al. (2005) menyebutkan bahwa sebanyak 47% lahan di Gunung Ciremai telah dikelola melalui sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Hasil penelitian Dewi (2006) di Desa Seda, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan menunjukkan bahwa kelompok rumah 3
tangga miskin dan menengah memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pengelolaan lahan PHBM, terlihat dari nilai persentase luasan asset lahan sebesar 39 % (rumah tangga miskin) dan 35 % (rumah tangga menengah). Kondisi ini terjadi dikarenakan keberadaan nilai asset lahan pribadi yang minin serta tidak mencukupi kebutuhan livelihood rumah tangga, akibatnya kelompok rumah tangga miskin dan menengah memiliki ketergantungan akan lahan PHBM. Untuk kelompok ruman tangga miskin, sebanyak 62 % pendapatan rumah tangga berasal dari hasil lahan seperti : padi gogo, melinjo, cengkeh dan kopi. Sedangkan untuk kelompok rumah tangga menengah, sebanyak 34 % pendapatan rumah tangga diperoleh dari hasil lahan, seperti : padi gogo, cengkeh, dan melinjo. Sumber pendapatan dari lahan merupakan hasil dari pola agroforestri yang dikembangkan masyarakat di dalam kawasan Gunung Ciremai, sebelum kawasan tsb. ditetapkan sebagai Taman Nasional. Perumusan Masalah Perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional
berdasarkan
SK
Menhut
No.
424/Menhut-II/2004,
telah
menyebabkan hilangnya akses masyarakat untuk mengelola kebun campuran yang telah dikembangkan sebelum Gunung Ciremai diubah statusnya. Ketika status Gunung Ciremai masih hutan lindung dan dikelola oleh Perhutani, masyarakat telah membuat kesepakatan kerjasama dengan Perhutani yang dituangkan dalam Nota Kesepakatan Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK). Sampai tahun 2004, sudah ada 26 desa di sekitar Gunung Ciremai yang membuat NKB yang menyatakan bahwa wilayah hutan lindung yang termasuk dalam wilayah administrasi desa adalah obyek kerjasama. Total luas hutan lindung yang menjadi obyek kerjasama mencapai 8.645 hektar. Di antara 26 desa tersebut, 8 desa di antaranya telah membuat NPK yang merupakan perjanjian yang lebih detail antara lain mengatur bentuk pemanfaatan hutan lindung berupa agroforest atau kebun campuran. Perjanjian kerjasama berupa NKB dan NPK merupakan salah satu wujud kerjasama dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat 4
(PHBM).
Perubahan status kawasan dari hutan lindung menjadi Taman
Nasional berimplikasi pada perubahan pengelola hutan.
Hutan lindung
dikelola oleh Perhutani sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor kehutanan. Sedangkan Taman Nasional dikelola oleh Balai Taman Nasional yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan. Perubahan status kawasan hutan dan pengelola telah membuat masyarakat yang tinggal di 26 desa sekitar TN Gunung Ciremai menjadi resah dan bertanya-tanya. Keresahan dan pertanyaan yang paling banyak diutarakan adalah apakah PHBM yang selama ini dilakukan, dianggap merusak hutan sehingga pola pengelolaannya harus diganti dengan sistem Taman Nasional? Mengapa tidak ada proses evaluasi terlebih dahulu terhadap PHBM sebelum pola Taman Nasional ditetapkan sebagai pengganti ? Masyarakat juga kuatir bahwa mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil dari tanaman yang mereka telah tanam sebelum Gunung Ciremai diubah statusnya menjadi Taman Nasional.
Kekuatiran
mereka semakin besar ketika sejumlah pertanyaan tidak ada penjelasan atau jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain: •
Kalau misalnya pengelolaan TN Gunung Ciremai tidak bisa menerima PHBM sebagai pola pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, pola apakah yang bisa mengakomodir kepentingan masyarakat untuk tetap dapat memperoleh akses dan manfaat dari kawasan TN Gunung Ciremai ?
•
Bagaimana bentuk kemitraan dan kesepakatan kerjasama yang akan dikembangkan antara masyarakat dengan pengelola TN Gunung Ciremai? Keresahan
dan
pertanyaan-pertanyaan
yang
tidak
terjawab
menimbulkan ketidak pastian bagi masyarakat. Apabila ketidak pastian ini dibiarkan berlarut-larut bisa berakibat fatal karena menimbulkan sejumlah resiko. Resiko yang akan terjadi antara lain munculnya konflik secara terbuka maupun tersembunyi.
Apabila resiko ini dibiarkan terjadi, maka taman
nasional akan rusak. Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan seperti Gambar 1. 5
Aktifitas masyarakat di dalam kawasan taman nasional Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aktifitas masyarakat di dalam kawasan taman nasional
Teori-teori konservasi dan kaitannya dengan aktifitas masyarakat di dalam kawasan taman nasional
Hal-hal yang boleh dan dilarang menurut peraturan perundangan konservasi
Hal-hal yang boleh dan dilarang menurut teori-teori konservasi
Penerapan konservasi di Indonesia mengacu pada peraturan perundangan dan paragima konservasi konvensional, dimana penetapan dan pengelolaan taman nasional tidak mempertimbangkan aktifitas masyarakat yang telah dilakukan sebelum penetapan taman nasional
Muncul ketidak jelasan bagi masyarakat mengenai hak-hak masyarakat dalam memanfaatkan lahan yang sudah diakses sebelum penetapan taman nasional
Masyarakat kehilangan akses untuk memanfaatkan sumberdaya hutan di dalam kawasan taman nasional
Status perjanjian antara masyarakat dengan pengelola hutan sebelumnya menjadi tidak jelas
Masyarakat kehilangan peluang untuk memperoleh pendapatan
Pendapatan masyarakat menurun
Resiko-resiko yang akan muncul
Konflik terbuka, misal perambahan, penebangan kayu, pemungutan hasil hutan non kayu, protes dengan demo, tindak kekerasan seperti merusak pos jaga, dll.
Konflik tersembunyi, misal masyarakat “menerima” taman nasional tapi melakukan berbagai aksi penolakan diamdiam seperti memindahkan pal batas, “mematikan” bibit pohon untuk rehabilitasi, melakukan suap
Akibat: Taman Nasional rusak, keanekaragaman hayati terancam
Gambar 1. Kerangka Permasalahan
6
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk
(a) mengembangkan proses
penyelesaian konflik, dan (b) mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat member gambaran tentang konflik yang terjadi dan cara penyelesaian konflik melalui kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai. Gambaran tentang strategi kolaborasi yang dikembangkan, baik desain kolaborasi maupun tahapan membangun kolaborasi diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola taman nasional lain di Indonesia yang sedang menghadapi konflik. Penggunaan metode Riset Aksi (Action Research) dalam proses penyelesaian konflik dan pengembangan kolaborasi diharapkan dapat digunakan dalam pengelolaan taman nasional lain di Indonesia.
7
TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Sesuai dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan (1999) menetapkan kebijaksanaan pembangunan dan pengelolaan taman nasional sebagai berikut: 1.
Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayti dan ekosistemnya.
2.
Taman Nasional dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
3.
Taman Nasional dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai keperluan. Zona inti adalah bagian dari kawasan Taman Nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman Nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan pengunjung, dan zona lain adalah zona di luar tertentu seperti zona rimba dan zona pemanfaatan tradisional.
4.
Kegiatan yang diperbolehkan dilakukan di dalam kawasan taman nasional meliputi penelitian dan ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak mengurangi fungsi pokok dari kawasan taman nasional tersebut.
5.
Kegiatan pariwisata dan rekreasi dapat dikembangkan secara terbatas pada zona pemanfaatan taman nasional, serta pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan pariwisata alam kepada BUMN/BUMD atau swasta atau 8
koperasi selama jangka waktu tiga puluh tahun untuk penyediaan sarana dan prasarana pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional berdasarkan Rencana Pengelolaan Pariwisata Alam Taman Nasional. 6.
Pembangunan dan pengelolaan taman nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan serta saling terkait dan menunjang dengan kepentingan pembangunan wilayah di sekitarnya (Integrated Conservation and Development Program), sehingga mampu menjamin upaya konservasi sumber daya alam hayati dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
7.
Kewenangan pembangunan dan pengelolaan di dalam kawasan Taman Nasional sepenuhnya berada dalam tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan.
Sementara itu kegiatan pembangunan dan
pengelolaan di luar kawasan taman nasional dan berkaitan dengan kepentingan masyarakat berada dalam tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Dinas/Instansi terkait.
Aktifitas yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan di Taman Nasional Masyarakat boleh melakukan aktifitas di taman nasional sepanjang sesuai dengan tujuan umum yang dijelaskan dalam PP 68 1998 Pasal 3, yaitu mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan.
Selanjutnya,
aktifitas masyarakat yang dilakukan juga harus sesuai dengan fungsi taman nasional yang dijelaskan dalam PP 68 1998 Pasal 4 yaitu, a. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya; c. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemanfaatan kawasan hutan ditegaskan kembali dalam UU No. 41 tahun 1999 Pasal 24 dan PP 34 tahun 2002 Pasal 16 yang menyatakan bahwa pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan 9
kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Lebih lanjut dijelaskan tentang pemanfaatan apa saja yang boleh dilakukan. Dalam UU No. 5 tahun 1990 Pasal 26 yang boleh dilakukan adalah pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Selanjutnya UU No. 5 tahun 1990 Pasal 31 menambahkan kegiatan lain yang boleh dilakukan di dalam taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam yaitu kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam dan harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan. Khusus untuk kegiatan wisata, UU No. 5 tahun 1990 Pasal 34 (3) menjelaskan bahwa di dalam zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat dibangun sarana kepariwisataan berdasarkan rencana pengelolaan.
Untuk
kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat. Di sisi lain, ada pula kegiatan-kegiatan yang tidak boleh dilakukan di dalam kawasan taman nasional, seperti disebutkan dalam UU No. 5 tahun 1990 Pasal 33, yaitu: 1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. 2. Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. 3. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
10
Secara lebih detail, kegiatan yang boleh dilakukan dan dilarang di dalam kawasan taman nasional diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan (Tabel 2). Tabel 2. Kegiatan yang dilarang dan boleh dilakukan di Taman Nasional No. 1 2 3 4
Kegiatan Menanam tanaman pangan Menanam pohon
Dilarang/tidak Dilarang
Pemukiman Penebangan pohon untuk komersial Pengambilan herba dan kayu bakar
dilarang dilarang
Tidak
Keterangan PP 68 thn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2) PP 68 thn 1998 Pasal 41 (1d, 2), 17 (2)
PP 68 thn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2) 5 tidak PP 68 thn 1998 Pasal 49, 21, 22, 23, 50, 25, 28, 23, 51, 25, 26, 27, 28, 23 6 Berburu dilarang PP 68 thn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2) 7 Menangkap ikan dilarang PP 68 thn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2) 8 Berkemah tidak • UU No. 5 thn 1990 Pasal 34 • PP 16 thn 1994 Pasal 1 (2, 4), 3 (1a) • PP 68 thn 1998 Pasal 31 (1), 50, 51, 25, 26, 27, 28, 23 9 Koleksi ilmiah dengan ijin tidak • UU RI No.5 Thn 1990 Pasal 1 (14), Pasal 30 • PP 68 thn 1998 Pasal 39, 40. 41, 48 (1, 2), 21, 22, 23 10 Pengelolaan habitat tidak PP 68 thn 1998 Pasal 41 (1d, 2), 17 (2) 11 Introduksi non-eksotik tidak PP 68 thn 1998 Pasal 41 (1d, 2), 17 (2) 12 Pengambilan rotan dan Dilarang/kasuistik PP 68 thn 1998 Pasal 44 kayu dengan ijin Ayat 3 13 Eksplorasi mineral tidak PP 68 thn 1998 Pasal 39, 40, 41, 49, 59, 51 tujuan penelitian. 14 Pengendalian margasatwa Tidak PP 68 thn 1998 Pasal 41 (1d, 2), 17 (2) 15 Pemanfaatan oleh Tidak • UU No. 5 thn 1990 Pasal pengunjung 34 • PP 16 thn 1994 Pasal 1 (2, 4), 3 (1a) • PP 68 thn 1998 Pasal 31 (1), 50, 51, 25, 26, 27, 28, 23 16 Introduksi eksotik dilarang PP 68 thn 1998 Pasal 44 (1, 2, 3, 4), 19 (2) Sumber : Sumardja, et al. 1984; UU No. 5/ 1990; PP No. 68/1998; dan PP No. 16/1994 11
Konflik Pemanfaatan Lahan di Kawasan Taman Nasional Fazriyas (1998) menyebutkan bahwa program penanganan perladangan di dalam kawasan TN Kerinci Seblat melalui relokasi para peladang kurang berhasil karena petani peladang yang direlokasi banyak kembali menggarap lahan di dalam kawasan TN Kerinci Seblat. Mereka menggarap lahan menjadi kebun/ladang dan bahkan menjadi pemukiman, sehingga mengakibatkan sering terjadinya benturan antara pengelola TN Kerinci Seblat dengan masyarakat. Beberapa alasan petani kembali menggarap lahan di dalam kawasan adalah: •
Petani merasa terpaksa untuk melakukan perladangan karena tidak memiliki lahan usaha tani di luar TN Kerinci Seblat. Kalaupun ada sangat kecil.
•
Menganggap bahwa lahan tersebut telah lama digarap oleh para orang tua (warisan) sebelum adanya TN Kerinci Seblat.
•
Lahan yang dikelola telah jadi milik karena ladang dibeli dari pihak lain.
•
Untuk menambah pendapatan keluarga Permasalahan yang diakibatkan oleh keberadaan penduduk sekitar
kawasan menurut Soekmadi (1995) dalam Prabandari (2001) biasanya berupa (a) pemukiman penduduk di dalam kawasan, (b) penggunaan kawasan untuk kepentingan lain, (c) penggembalaan ternak dalam kawasan, dan (d) pengambilan/perburuan hasil hutan secara tidak terkendali. Selanjutnya Soekmadi (1995) dalam Prabandari (2001) menyebutkan tiga faktor utama yang menyebabkan interaksi masyarakat dengan kawasan konservasi adalah (a) tingkat pendapatan penduduk sekitar kawasan yang umumnya di bawah standar layak hidup, (b) latar belakang pendidikan yang merupakan dasar pola pikir konservatif-produktif masih rendah, (c) rendahnya tingkat pemilikan/penguasaan lahan per kapita akibat sistem “bagi waris” dan pertanian kurang intensif. Muda (2005) memberi contoh konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola TN Kelimutu di NTT. Sejak ditetapkan TN Kelimutu pada tahun 1997, konflik sering terjadi, seperti (a) klaim kepemilikan lahan oleh
12
masyarakat adat, (b) penyerobotan lahan, (c) penebangan liar, (d) perladangan berpindah, (e) kebakaran, (f) pembangunan jalan, dan (g) pencabutan pal batas. Mulyani (1997) menyatakan bahwa hambatan paling serius dalam pendirian suatu taman nasional dan kawasan konservasi pada umumnya adalah timbulnya konflik dengan penduduk lokal karena penduduk lokal yang umumnya tergolong miskin kehilangan akses atas sumberdaya hutan yang sebelumnya menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebihlebih bila pemilikan tanah di dalam kawasan dikuasai oleh pemilikan adat (suku).
Undang-undang, peraturan, kegiatan patroli atau penataan batas
seringkali bukan merupakan penghalang bagi penduduk untuk melakukan aktifitasnya di dalam kawasan. Mulyani (1997) dalam penelitiannya di TN Siberut menyatakan bahwa sebanyak 73.33% responden telah mengetahui TN Siberut, namun kebanyakan (90.09%) tidak tahu tujuan taman nasional. Mereka beranggapan bahwa hutan yang sekarang statusnya menjadi taman nasional adalah merupakan hutan nenek moyang mereka yang boleh dimanfaatkan untuk kepentingan hidup (56.67%), merupakan tempat mata pencaharian mereka (36.67%) misal untuk mengumpulkan rotan, dan mempunyai fungsi perlindungan dan tata air (6.67%).
Oleh karena itu tidak heran apabila hampir semua responden
(96.67%) mengatakan perlu memelihara hutan untuk kelangsungan hidup mereka. Dan apabila dilihat dari segi preferensi masyarakat, maka sebanyak 80% responden tidak mengingkan untuk meninggalkan tempat tinggalnya saat ini, walaupun sudah menjadi taman nasional.
Solusi yang Dilakukan Solusi yang dikembangkan di beberapa taman nasional pada umumnya bertujuan untuk mengalihkan tekanan masyarakat terhadap taman nasional atau mengurangi ketergantungan masyarakat ke dalam taman nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Prabandari (2001), yang menyatakan bahwa sebagai upaya untuk menjembatani kepentingan konservasi dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi, pemerintah telah membuat program pembinaan daerah penyangga. Tujuan program ini adalah 13
mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumberdaya hutan di kawasan konservasi, dengan cara meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Muda (2005) memberi contoh solusi atas konflik di TN Kelimutu, yaitu (a) sosialisasi akan keberadaan dan fungsi taman nasional, (b) koordinasi dengan instansi terkait lainnya, (c) penyuluhan, (d) diselesaikan dengan sumpah adat dan pelaku membuat surat pernyataan, (e) pal batas ditanam kembali, (f) pembongkaran pondok milik petani, dan (g) barang temuan diselamatkan untuk diselesaikan lebih lanjut melalui proses hukum. Sementara itu, solusi yang dilakukan oleh pengelola TN Kerinci Seblat menurut Fazriyas (1998) adalah relokasi petani ke luar taman nasional. Namun mereka kembali lagi berladang di TN Kerinci Seblat. Solusi
lain
dilakukan
melalui
pendekatan
ICDP
(Integrated
Conservation and Development Program). Menurut oleh Wells, Hanah dan Brandon (1992) komponen utama ICDP terdiri atas tiga, yaitu (a) pengelolaan taman nasional (inventarisasi dan monitoring sumberdaya biologi, patroli, penyediaan fasilitas, infrastruktur, penelitian, pendidikan konservasi), (b) kawasan penyangga (kegiatan yang mendatangkan keuntungan biologi dan sosial ekonomi), dan (c) pembangunan sosial ekonomi masyarakat sekitar taman nasional (meningkatkan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja baru, penyediaan sumberdaya lain atau pelayanan sosial dan pengembangan wisata alam, pembangunan sarana jalan untuk penyediaan akses pasar. Kebijakan pemerintah pusat yang dinyatakan oleh Fathoni (2005) dalam Sarasehan Nasional Konservasi terkait dengan solusi atas konflik di taman nasional adalah mengembangkan hubungan yang harmonis antara masyarakat dengan petugas taman nasional. Untuk itu akan dilakukan empat program yaitu (a) menyusun rencana detail pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga, (b) mengembangkan kapasitas sumberdaya manusia yang profesional
untuk
melakukan
proses
pemberdayaan
masyarakat,
(c)
meningkatkan income dan kesejahteraan masyarakat di daerah penyangga, (d) meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kawasan konservasi. 14
Mustafa (2002) menyatakan bahwa tercapainya resolusi konflik dalam pengelolaan kawasan konservasi salah satunya ditandai dengan terbukanya ruang atau akses kepada komunitas-komunitas lokal di sekitar kawasan, atau dibukanya ruang partisipasi yang mengarah pada perbaikan taraf hidup komunitas. Adanya pengakuan hak kelola masyarakat untuk ikut mengelola kawasan bisa diukur dengan dilibatkannya kelompok-kelompok masyarakat tertentu dalam pengelolaan kawasan yang dalam perjalanan waktu jumlah individu dan kelompoknya semakin membesar. Mustafa (2002) memberi contoh resolusi konflik yang dilakukan di TN Meru Betiri Jawa Timur melalui kesepakatan aturan main yang diatur dalam perjanjian kerjasama antara pengelola TN Meru Betiri dengan masyarakat lokal. Kesepakatan tsb. cukup ditaati oleh masyarakat. Hal ini antara lain disebabkan oleh (a) pendekatan yang digunakan untuk tercapainya normanorma kontrak adalah partisipatif dengan melibatkan beragam stakeholders, (b) adanya harapan manfaat ke depan dari semua stakeholders yang terlibat dalam kesepakatan tersebut untuk mencapai kondisi yang lebih baik jika normanorma kontrak tersebut bisa tercapai, dan (c) adanya program pemberdayaan dari pihak pendamping yang berupaya agar tujuan membantu kehidupan ekonomi masyarakat miskin dan tujuan konservasi kepentingan ekologis yang berdimensi jangka panjang bisa berjalan selaras. Suraji (2003) yang melakukan penelitian Taman Hutan Raya Gunung Betung Lampung menyatakan bahwa keberadaan kebun campur dalam kawasan hutan tidak semata-mata kesalahan masyarakat, sebab masyarakat sudah ada sebelum berbagai kebijakan terhadap kawasan diberlakukan. Kenyatan bahwa Register 19 adalah Taman Hutan Raya perlu dijaga kelestariannya. pengelolaan
Pembatasan areal lahan garapan dengan kepastian ijin mampu
meningkatkan
kepercayaan
masyarakat
dan
mempengaruhi pola perencanaan lahan yang dilakukan.
Kesenjangan antara Konflik dengan Solusi Konflik yang terjadi di kawasan taman nasional terutama menyangkut tentang
pemanfaatan
lahan,
seperti
untuk
perladangan,
pemukiman, 15
kepentingan adat, pembukaan jalan, dsb. Salah satu konflik yang menarik untuk menjadi masalah penelitian adalah konflik pemanfaatan lahan untuk kepentingan perladangan dalam rangka membangun agroforestri.
Banyak
contoh agroforestri yang dikemukakan menunjukkan adanya kesejalanan antara praktek agroforestri dengan asas-asas konservasi. Di sisi lain, pengembangan agroforestri menghadapi kendala ketidak jelasan hak akses, kelola, dan kontrol terhadap agroforestri yang dikembangkan. Oleh karena ketidak jelasan hakhak tsb. menyangkut masalah tenurial system, maka solusi utama yang harus dikembangkan adalah memperjelas hak-hak tsb. Sayangnya, masih sedikit sekali contoh-contoh penyelesaian konflik atas lahan di taman nasional, melalui penyusunan kesepakatan kerjasama yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat dan pengelola taman nasional. Pada umumnya solusi yang dilakukan adalah melalui pengembangan kegiatan ekonomi di luar taman nasional atau di zona penyangga yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap taman nasional.
Pengelolaan Taman Nasional secara Kolaboratif Wulandari dan Djatmiko (2005) menyatakan ada tiga hal yang melatari munculnya kebutuhan untuk bermitra, bekerja sama atau berkolaborasi dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia, yaitu: 1.
Pengelolaan taman nasional yang cenderung soliter telah menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan.
Rata-rata pengelola di lapangan
menjustifikasi buruknya prestasi pengelolaan kawasan dengan alasan keterbatasaan dan kekurangan sumberdaya (man, money, materials, methods) sehingga sangat tidak mungkin untuk membangun dan mengoperasikan sebuah bentuk pengelolaan yang ideal. Dari alasan ini, muncul kebutuhan dari pengelola untuk membangun jaringan kerjasama agar kendala kekurangan sumberdaya tersebut dapat diatasi melalui kontribusi pihak-pihak lain. 2.
Konflik dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir banyak terjadi karena dirangsang oleh meningkatnya kecerdasan dan keberanian arus bawah 16
untuk memperjuangkan harapan-harapannya, yang pada akhirnya direspon oleh pengelola dengan membuka ruang-ruang akses dan peran masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Dari situasi ini kebutuhan tentang kemitraan atau kolaborasi mulai dirasakan manfaatnya karena dapat menjadi alat peredam konflik. 3.
Falsafah pengetahuan pengelolaan sumberdaya alam menyebutkan bahwa informasi dan pengetahuan sumberdaya ekosistem tidak didominasi oleh satu pihak saja tetapi tersebar di berbagai pihak. Pengetahuan ini terutama dimiliki oleh masyarakat yang telah lama hidup di dalam dan di sekitar kawasan, para professional yang membawa pesan-pesan ilmiahnya, pengelola yang telah berpengalaman tentang masalah-masala pengelolaan, dan lain-lain.
Idealnya, dalam sebuah manajemen sumberdaya alam,
kelengkapan informasi dan pengetahuan tentang aset dan aspek-aspek lain yang mempengaruhinya adalah sangat vital, sehingga perlu ada proses penggabungan pengetahuan yang hanya bisa dicapai dengan cara mengajak para pihak pemegang pengetahuan untuk sama-sama terlibat dalam pengelolaan. Selain itu, sumberdaya alam selalu menjadi property yang disengketakan karena banyak pihak yang bergantung pada kemanfaatannya. 4.
Pengetahuan dan teori pengelolaan sumberdaya milik publik sangat memesankan pentingnya kemitraan, walaupun bentuknya nanti akan bermacam-macam, tergantung situasi dan kondisi setiap lapangan yang berbeda-beda. Posisi konflik di dalam pengetahuan tersebut tidak lebih dari
sekedar
implikasi
atas
tidak
terpraktekkannya
pesan-pesan
pengetahuan tentang keharusan untuk bekerjasama antar pemegang pengetahuan dan pemangku kepentingan. Holling (1978) dan Lee (1993) dalam Wulandari dan Djatmiko (2005) menyatakan agar setiap aksi pengelolaan memperhatikan dua dimensi penting, yaitu dimensi pengelolaan adaptif dan dimensi politik. Dimensi pengelolaan adaptif mengharuskan kemitraan dalam pengelolaan berjalan layaknya uji coba yang dilakukan secara terus-menerus dan mengandalkan perubahan dan pengalaman-pengalaman baru yang muncul selama proses berlangsung sebagai 17
aset untuk memperbaiki perjalanan selanjutnya. Sementara dimensi politik mengharuskan segala keputusan yang diambil dalam kerangka pengelolaan adaptif didasari oleh kesepakatan-kesepakatan banyak pihak yang terlibat melalui analisis bersama terhadap berbagai faktor dan gejala-gejala baru yang muncul.
Dimensi politik juga menjaga agar tidak ada kesenjangan antara
unsur-unsur legal dengan situasi aktualnya. Sebenarnya gagasan, inisiatif dan model kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi sudah berjalan sebelum tahun 2005. Dalam Saresehan Nasional Membangun Kemitraan Taman Nasional di Indonesia yang diadakan pada bulan Agustus 2005, telah diidentifikasi 47 gagasan, inisiatif dan model kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional yang terdistribusi pada 37 kawasan Taman Nasional (Nugroho, 2005). Sejak tahun 2005 Departemen Kehutanan telah memulai inisiatif Taman Nasional Model, dengan kolaborasi sebagai salah satu komponen utama dari Taman Nasional Model (Fathoni, 2005). Namun demikian, kolaborasi dalam pengelolaan taman nasional masih dianggap tidak optimal karena alasan-alasan (1) belum terencana secara komprehensif walaupun telah tersusun Permenhut No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif, (2) kolaborasi yang efektif dan efisien dalam pengelolaan Taman Nasional belum dipahami oleh pengelola maupun para pihak yang lain, (3) belum didasarkan pada collaborative planning sehingga setiap pihak berpikir dan bekerja berdasarkan institusinya masing-masing, (4) sumberdaya yang meliputi “4m” yaitu man (sumberdaya manusia), money (anggaran/dana), material (peralatan), dan method (metode/cara) selain belum memadai juga sangat tidak terintegrasi dengan baik .
Perlu digaris bawahi bahwa sumberdaya yang
dibutuhkan tersebut tidak seluruhnya dimiliki oleh Departemen Kehutanan, tetapi tersebar di berbagai pihak seperti LSM, penyandang dana, Pemerintah Daerah, dan bahkan swasta. Oleh karena itu kemitraan atau kolaborasi adalah keniscayaan dalam inisiasi Taman Nasional Model (Fathoni, 2005).
18
METODOLOGI Kerangka Pemikiran Konsep Konservasi Secara konseptual, konservasi dapat dibedakan menjadi tiga aliran, yaitu
(1)
Romantic-trancendental
Conservation
Ethic,
(2)
Resource
Conservation Ethic, dan (3) Evolutionary-Ecological Land Ethic (Noss dan Cooperrider,1994). Romantic-trancendental Conservation Ethic. Konsep ini berkembang sejak pertengahan abad ke-19. Beberapa tokoh yang mengembangkan konsep ini adalah Ralph Waldo, Henry David Thoreau, dan John Muir. Menurut konsep ini, alam diciptakan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi semata, tetapi alam juga mempunyai fungsi religius, yaitu untuk pencucian jiwa. Pendapat ini telah mendapat dukungan dari beberapa kelompok masyarakat dan mereka telah membentuk organisasi, yaitu Sierra Club. Resource Conservation Ethic. Konsep ini berkembang pada pergantian abad ke-19 menjadi abad 20. Tokohnya adalah Gifford Pinchot. Pendekatan yang digunakan dalam konsep ini adalah utilitarian, artinya alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Dengan demikian sumberdaya alam
berfungsi sebagai bahan baku untuk menjalankan perekonomian. Dari konsep ini berkembang ilmu ekonomi sumberdaya alam. Menurut Pinchot: -
Konservasi adalah penggunaan semberdaya alam yang sebaik-baiknya untuk sebanyak-banyaknya orang dan dalam jangka waktu yang selama mungkin
-
Konservasi pada akhirnya ditujukan untuk pembangunan
-
Konservasi menekankan pemerataan, yaitu pembagian sumberdaya alam yang adil bagi konsumen, baik masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang, termasuk efisiensi dan meminimalkan limbah.
-
Praktek konservasi diarahkan kepada pemanfaatan multi-guna (multipleuse) dalam pemanfaatan sumberdaya tanah dan air. Kedua konsep di atas mempunyai pendapat yang saling bertolak
belakang. Kelompok John Muir menekankan perlindungan sumberdaya alam, 19
sedangkan kelompok Pinchot menginginkan pemanfaatan sumberdaya alam tetapi terbatas. Evolutionary-Ecological Land Ethic. Konsep ini mulai berkembang sejak tahun 1949, ketika Aldo Leopold mempublikasikan “A Sand County Almanac”.
Sebenarnya Leopold termasuik penganut konsep Romantic-
trancendental Conservation Ethic. Tetapi dalam perkembangannya, Leopold merasa bahwa konsep tersebut kurang memadai dan kurang ilmiah. Pendapat seperti itu muncul setelah Leopold melihat bahwa dalam ilmu ekologi dan evolusi, alam tidaklah sesederhana yang dibayangkan, melainkan sangat rumit dan di dalamnya terjadi interaksi yang sangat padu.
Menurut konsep ini
equilebrium tidak ada, yang ada adalah keseimbangan dinamis atau nonequilibrium. Selain itu alam juga menyangkut dimensi waktu yang sangat panjang, karena alam merupakan hasil dari proses evolusi. Dari konsep ini berkembang ilmu conservation biology, ecological-economic dan ecologicalanthropology. Bagi
Indonesia
pembentukan kawasan
konsep
yang
paling
berpengaruh
pada
awal
lindung adalah konsep Romantic-trancendental
Conservation Ethic, yang salah satu tokohnya adalah John Muir.
Dia
mempengaruhi pandangan konservasi sebagian orang-orang Eropa, termasuk bangsa Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic yang dianut Belanda itulah yang diterapkan di Indonesia, yaitu berupa penetapan kawasankawasan lindung yang relatif kecil. Bentuk kawasan waktu itu adalah suaka margasatwa dan cagar alam. Suaka margasatwa ditujukan untuk melindungi satwa tertentu saja, sedangkan cagar alam lebih ditekankan pada perlindungan spesies tumbuhan tertentu. Dalam konsep ini keberadaan manusia diabaikan, yang dipentingkan adalah kelestarian spesies tumbuhan dan satwa. Sejak itu penetapan kawasan lindung lebih banyak memusatkan perhatian pada perlindungan jenis. Pendekatan seperti itulah yang mempengaruhi Indonesia sampai dengan diselenggarakannya III World Congress on National Park and Protected Areas di Bali tahun 1992.
20
Tema Kongres adalah Parks and Sustainable Development. Peserta yang hadir dalam Kongres cukup berimbang, artinya proporsi peserta dari negara maju seimbang dengan peserta dari negara berkembang. Hal ini sangat mendukung bagi munculnya pemikiran baru yang mendorong lahirnya konsep konservasi yang mungkin sesuai untuk negara berkembang.
Walaupun
demikian perbedaan pendapat tetap terjadi, antara kelompok Environmentalist dengan kelompok International Conservationitst. Kelompok Environmentalist adalah kelompok yang mempertahankan konsep konservasi lama. Mereka tetap menghendaki agar Taman Nasional merupakan tempat yang dilindungi untuk kepentingan rekreasi, pendidikan, dan tempat untuk merenungkan nilai-nilai dasar kehidupan manusia. Dengan demikian manajemen Taman Nasional diarahkan untuk kepentingan tersebut. Seandainya timbul dampak positif berupa perlindungan tata air dan tanah dari erosi, maka hal tersebut tidak dimasukkan menjadi bagian dari manajemen kawasan. Kelompok International Conservationists merupakan kelompok yang menginginkan agar Taman Nasional dapat memberikan sumbangannya terhadap masyarakat lokal, karena keberadaan suatu Taman Nasional sesungguhnya tergantung dari dukungan masyarakat lokal. Dengan demikian seharusnya keberadaan masyarakat lokal menjadi salah satu bahan yang dipertimbangkan dalam penyusunan manajemen Taman Nasional. Oleh karena itu kelompok ini menginginkan pendekatan multiple-use approach, dengan penerapan sistem zonasi, misalnya zona inti dan zona penyangga.
Peluang Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional Pimbert (1994) menyampaikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi terdiri atas tujuh tipe, yaitu (1) Passive participation, (2) Participation in Information Giving, (3) Participation by Consultation, (4) Participation for Material Incentives, (5) Functional Participation, (6) Interactive Participation, dan (7)
Self-Mobilization.
Ketujuh tipe partisipasi masyarakat beserta ciri-cirinya dijelaskan pada Tabel 3.
21
Tabel 3. Tipologi Partisipasi Masyarakat No.
Tipologi Partisipasi
Keterangan
1
Passive participation
Masyarakat diberi tahu apa yang sedang atau sudah terjadi. Informasi disampaikan oleh pengelola proyek atau pengelola kawasan tanpa memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menanggapi. Informasi hanya disebarkan kepada pihak luar yang professional.
2
Participation in Information Giving
Masyarakat ditanya oleh peneliti atau penglelola proyek dengan menggunakan kuesioner. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memeriksa hasil kajian, apalagi mempengaruhi hasil kajian.
3
Participation by Consultation
Masyarakat diajak berkonsultasi. Pihak luar mendengarkan pendapat masyarakat, tetapi pihak luarlah yang mendefinisikan masalah dan solusi dengan sedikit memasukkan pandangan dari masyarakat. Proses konsultasi tidak memberi ruang untuk proses pengambilan keputusan dan pihak luar tidak memiliki kewajiban untuk menjamin diterimanya masukan dari masyarakat.
4
Participation for Material Incentives
Masyarakat berpartisipasi dengan berkontribusi sesuatu, misalnya tenaga kerja, untuk memperoleh sesuatu bisa berupa uang, makanan dll.
5
Functional Participation
Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan tertentu yang berhubungan dengan proyek, dan bisa difasilitasi oleh pihak luar seperti organisasi sosial. Keterlibatan masyarakat belum tentu dimulai dari tahap perencanaan proyek tetapi bisa ketika proyek sudah berjalan atau setelah keputusan tentang proyek telah dibuat. Kelompok masyarakat seringkali tergantung pada fasilitator dari luar tetapi cenderung akan menjadi mandiri.
6
Interactive Participation
Masyarakat terlibat dalam analisis bersama yang akan berujung pada penyusunan rencana aksi dan pembentukan kelompok baru atau memperkuat kelompok yang sudah ada. Partisipasi tingkat ini melibatkan metode multi-disiplin dan mengakomodir berbagai pandangan dan menggunakan system pembelajaran yang sistematis dan terstruktur. Pada tingkat ini, kelompok telah berperan dalam pengambilan keputusan.
7
Self-Mobilization
Masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatiatif mandiri untuk mengubah system. Inisiatif tsb. mungkin saja memberi tantangan terhadap ketidak seimbangan power.
22
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam memberikan peluang bagi masyarkat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan Taman Nasional. Dalam Pasal 35 PP No. 28 tahun 2011 tentang Pemanfaatan Taman Nasional disebutkan pada ayat (1) bahwa Taman Nasional dapat dimanfaatkan antara lain untuk pemanfaatan tradisional. Pada ayat (2) disebutkan yang dimaksud dengan pemanfaatan tradisional dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi. Selanjutnya dalam Pasal disebutkan pada ayat
49 tentang Pemberdayaan Masyarakat
(2) bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan
masyarakat meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan KSA atau KPA. Pada ayat (3) disebutkan bahwa Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui (a) pengembangan desa konservasi, (b) pemberian izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam; dan (c). fasilitasi kemitraan pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.
Konflik Pengertian konflik (Fuad & Maskanah, 2000) adalah benturan yang terjadi antara dua pihak/lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya. Menurut Fisher et al. (2001), konflik adalah hubungan antara dua pihak/lebih (individu/kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Berdasar kedua pengertian ini, dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia dan konflik sangatlah sulit untuk dipisahkan. Menurut Moore (1996), ada 5 jenis konflik berdasarkan sumber penyebab, yaitu: 1.
Konflik nilai: konflik yang terjadi karena adanya perbedaan kriteria dalam mengevaluasi ide-ide/perilaku; tujuan yang secara intrinsik paling bernilai bersifat eksklusif; perbedaan cara hidup, ideologi atau agama. 23
2.
Konflik struktural : konflik yang terjadi karena adanya pola perilaku atau interaksi yang destruktif; kontrol, kepemilikan atau distribusi atas sumberdaya yang timpang; kekuasaan dan kewenangan yang tidak setara; faktor-faktor geografi, fisik atau lingkungan yang menghalangi kerjasama; kendala waktu.
3.
Konflik kepentingan: konflik yang terjadi karena adanya kompetisi yang dirasakan/nyata atas kepentingan substansi (isi); kepentingan tata cara; kepentingan psikologis.
4.
Konflik hubungan: konflik yang terjadi karena adanya emosi-emosi yang kuat; salah persepsi atau stereotipe; kurang/salah komunikasi; perilaku negatif yang berulang-ulang.
5.
Konflik data: konflik terjadi karena kurang/salah informasi; perbedaaan pandangan tentang apa yang relevan; perbedaaan interpretasi atas data; perbedaan prosedur penilaian. Selain dari jenis konflik, maka konflik juga bisa dilihat dari proses
terbentuknya konflik (Doucet, 2006). Tahapan Yang Dilalui Konflik
Formation (pembentukan)
Eskalation (eskalasi/peningkatan)
Endurance (bertahan)
Improvement (perbaikan)
Settlement/resolution
Reconstrution and reconciliation
endurance escalation Formation
improvemment/ de-escalation settlement/ resolution reconstruction and Reconciliation
Gambar 2. Tahapan Konflik (Doucet, 1996)
24
Masing-masing tahapan tahapan konflik secara rinci oleh Doucet (1996: hal 12-18) dijelaskan secara jelas dan ringkas. Pada tahap pertama di dalam perkembangan konflik, berkaitan dengan kemunculan suatu konflik, yaitu bergerak dari konflik tersembunyi berkembang menjadi konflik mencuat lalu menjadi konflik terbuka. Dan pada saat inilah konflik mulai kelihatan wujudnya. Jika keberadaan mekanisme kelembagaan yang tersedia tak mampu merespon secara konstruktif dan para pihak yang berkonflik telah sampai pada titik dimana sikap permusuhan
telah diekspresikan secara terbuka, maka
eskalasi konflik akan terus meningkat. Dan konflik ini akan bertahan dalam jangka waktu tertentu atau konflik mungkin akan berlarut-larut dan berkepanjangan karena perbedaaan telah berpindah pada suatu kondisi perang terbuka, kekerasan menjadi bagian yang diakui pada tahap konflik ini, proses negosiasi telah mengalami jalan buntu. Menurut Doucet Ada waktunya konflik mengalami perbaikan atau deeskalasi. Kondisi ini sering dibantu oleh keadaan ketika konflik telah mencapai tingkat yang stabil dimana para pihak yang bersengketa mulai merasa tidak nyaman dengan pengorbanan yang sangat merugikan bagi mereka. penyelesaian
Para pihak mulai memikirkan untuk melakukan usaha-usaha dan melakukan interaksi yang lebih konstruktif. Bahkan
terkadang mulai meminta bantuan pihak ketiga untuk melakukan proses mediasi. Selain itu, mulai juga ada inisiatif proses pre-negoasiasi antara para pihak yang berkonflik. Proses ini memberikan kesempatan pada perwakilan para pihak yang bersengketa untuk berinteraksi, mengakui bahwa dialog yang konstruktif paling tidak memungkinkan dan menghasilkan
ide-ide dan
perspekstif baru. Di dalam proses ini partisipan mengembangkan suatu tingkat kepercayaan. Mereka dapat menemukan rentang pandangan, kebutuhan dan prioritas pada sisi yang lain mengindentifikasi area yang fleksibel, menghasilkan ide untuk membangun kepercayaan yang terukur dimana akan mengkonsolidasikan proses-proses eskalasi dan bergerak ke arah formal dan proses negosiasi publik.
25
Sering pada tahap perbaikan atau deeskalasi ini dicapai beberapa kali, tetapi kadang tidak dapat berkelanjutan dan konflik segera memasuki kembali pada tahap bertahan (endurance), upaya penyelesaian konflik menjadi buntu atau macet lagi. Di dalam penyelesaian konflik (settlement or resolution), para pihak yang bersengketa mulai mengarah ke perubahan perilaku dan sikap. Perubahan perilaku seperti para pihak mengakhiri kekerasan secara langsung dan tidak terlalu ngotot terhadap beberapa tujuan mereka demi pencapaian kepentingan yang lain.
Walaupun perasaan permusuhan, ketakutan dan kecurigaan,
persepsi ketidakadilan dan ketidasetaraan yang bersifat struktural yang melandasi terjadinya konflik mungkin masih tersisa. Pada tahap ini mungkin akan ditemukan solusi yang kompromistik, yang nantinya dapat menjadi landasan untuk mendapatkan solusi kolaborasi yang lebih sejati, tetapi mungkin juga tidak, karena penyelesaian (settlement) merupakan suatu cara mencapai suatu kesepakatan tentang aspek khusus dari konflik dari pada untuk mencapai kesapakatan atas konflik secara keseluruhan. Sebaliknya penyelesaian konflik (conflict resolution),
adalah suatu
jalan keluar yang menyeluruh, dimana sumber penyebab yang utama dari konflik dihilangkan agar supaya tidak menjadi laten, seperti elemen-elemen sisa yang mungkin akan memicu terjadi kembali kekerasan. Ada 7 dimensi dari penyelesaian konflik sejati, yaitu (Doucet, 1996: hal 16): 1.
completeness— isu-isu dalam konflik dilenyapkan atau penting untuk menghentikannya;
2.
acceptability---jalan keluar dapat diterima oleh seluruh pihak, tidak hanya satu atau kelompok elit;
3.
self –supporting—tidak cukup ada sangsi dari pihak ketiga untuk memelihara kesapakatan;
4.
satisfactory—seluruh pihak memandang jalan keluar sesuai dengan sistem nilai mereka;
5.
uncompromising—tidak ada tujuan dirahasiakan di dalam bentuk solusi yang bersifat kompromis;
26
6.
innovative—solusi baru yang ditetapkan positif dan mengabsahkan hubungan baru antara para pihak;
7.
uncoerced—kesepakatan yang telah dicapai tanpa pemaksaan oleh kekuatan dari luar. Reconstruction dan reconciliation
ini merupakan
dua komponen
paling penting dari tahap pasca kesepakatan. Rekontruksi dan rekonsiliasi adalah dua proses yang saling berkaitan dan saling mendukung. Melalui dua proses tersebut, pelaksanaan kesapakatan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk bekerja bersama dalam aksi konkrit. Rekonstruksi lebih bersifat fisik (perbaikan infrastruktur, membangun kembali rumah sakit, sekolahan, pabrik, perbaikan pasokan air), ekonomi (pelatihan, pekerjaan, pendapatan, reformasi agraria), politik (penetapan kewenangan sipil, kekuatan polisi dan pengadilan yang mandiri, reformasi konstitusi dan pemilihan umum), dan sosial (mengintegraikan kembali rakyat yang menjadi korban perang, pemukiman kembali pengungsi, mengurangi mobillisasi tentara). Keberhasilan pelaksanaan rekontruksi ni adalah penting untuk membangun kembali masyarakat yang dirobek oleh perang dan untuk membantu kelancaran proses rekonsiliasi dalam jangka panjang. Rekonsiliasi dapat digambarkan sebagai perbaikan hubungan antara orang, selain juga antara orang dan lingkungan. Ini harus diingatkan bahwa proses ini dapat menjadi sulit, butuh waktu yang sangat lama dan mensyaratkan rasa sensitif yang besar serta dorongan. Berbagai konflik yang terjadi memerlukan penyelesaian agar kawasan konservasi dapat dikelola dengan baik, sehingga tujuan pengelolaan dapat tercapai.
Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara atau
proses. Negosiasi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan konflik. Menurut Fisher (1995), ada tiga fase penting dari proses membangun konsensus, yaitu: pre-negosiasi, negosiasi dan pelaksanaan (or post-negosiasi), yaitu: 1.
Fase Pra-negosiasi memulai inisiatif 27
perwakilan menyusun aturan main dan agenda bersama pencarian fakta bersama 2.
Fase Negosiasi menemukan pilihan yang saling menguntungkan mengemas kesepakatan memproduksi kesepakatan mengikat para pihak untuk berkomitmen Ratifikasi
3.
Fase Pelaksanaan atau Pasca Negosiasi mencari keterkaitan kesepakatan dengan kebijakan formal. Dalam hal ini coba dikaji adakah kendala untuk melaksanakan kesepakatan yang telah disetujui, terutama dari sisi kebijakan yang ada; Monitoring menegosiasikan kembali jika diperlukan
Konflik dan Kolaborasi Means, Cynthia, Nielsen dan Vitoonviriyasakltorn (2002) dalam Suporahardjo (2005) menyatakan bahwa konflik kadang-kadang memiliki sejarah panjang dalam hal dampaknya di dalam suatu kawasan sebelum aktivitas manajemen kolaboratif dimulai.
Hal ini dapat disebabkan oleh
hubungan dan persaingan kekuasaan yang berkembang antara atau antar desa, atau hubungan buruk yang telah berlangsung lama antar kelompok masyarakat dan agen luar.
Kadang-kadang ada warisan hubungan permusuhan,
kecurigaan, aliansi dan usaha pendamaian konflik yang gagal. Konflik yang ada mungkin menyangkut masalah persaingan sumberdaya, kelangkaan, pembagian keuntungan hasil hutan yang tidak merata, kurang terlibatnya pengguna kunci dalam pengambilan keputusan, dsb. Selanjutnya Means
et.al. (2002) menyatakan bahwa memulai
manajemen kolaboratif mensyaratkan agar konflik dapat diidentifikasi dan ditanggapi.
28
Pendekatan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadversarial approach) untuk penyelesaian problem dan penyelesaian konflik (Straus, 2002). Sehingga dalam prakteknya kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam konflik multi-pihak.
Kolaborasi Kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajaki dan bekerja melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi keuntungan bersama (Gray, 1989).
Desain Kolaborasi Ada empat desain kolaborasi yaitu (1) perencanaan yang apresiatif; (2) strategi secara kolektif, (3) dialog, dan (4) menegosiasikan penyelesaian (Gray; 1989). Hasil yang diharapkan
FaktorPeningkatan faktor yang berbagi visi memotivasi
Pertukaran informasi
Kesepakatan bersama
Perencanaan yang apresiatif - Search conference - Pengumpulan informasi bersama komunitas
Strategi kolektif - Kemitraan swasta – komunitas - Usaha bersama (joint venture) - Konsorsium riset dan pengembangan Negosiasi penyelesaian - Negosiasi peraturan - Status kepemilikan tanah - Pilihan cara penyelesaian (peradilan, musyawarah, jalur politik, kolaborasi)
Dialog - Dialog kebijakan - Pertemuan publik
Penyelesaian konflik
Gambar 3. Desain Kolaborasi (Gray, 1989)
29
Untuk
desain
perencanaan
yang
apresiatif,
tujuannya
meningkatkan penyelidikan bersama atas problem yang terjadi.
adalah Dalam
perencanaan ini belum dibebani harapan adanya kesepakatan yang secara eksplisit akan dicapai. Kerja Utama dalam perencanaan ini adalah melakukan eksplorasi dan analisis bersama secara mendalam atas problemnya. Perencanaan ini mendorong penyelidikan bersama oleh para pihak yang bersengketa dalam konteks problem dan saling ketergantungan.
Dari sini
diharapkan akan muncul secara ideal bersama sehingga meningkatkan kesadaran tentang suatu ranah problem dan memperoleh suatu nilai bersama untuk basis perencanaan masa depan. Perencanaan ini dapat juga menjadi perangsang munculnya inisiatif-inisiatif baru untuk dijadikan agenda yang harus dinegesiasikan untuk diselesaikan. Untuk menghasilkan perencanaan yang apresiatif ini dapat menggunakan berbagai cara seperti search conference/future gathering (sejenis lokakarya dengan menyelidiki masa depan yang diinginkan), community gathering (mengumpulkan informasi bersama komunitas). Strategi kolektif biasanya dimotivasi untuk berbagi visi, dapat merupakan tindak lanjut dari perencanaan apresiatif dengan menciptakan kesepakatan khusus yang ditujukan untuk mengatasi problem atau untuk merealisasikan visi. Strategi kolektif ini dapa dalam bentuk kemitraan atau joint venture. Dialog antara para pihak yang bersengketa merupakan bentuk pertemuan penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses kolaborasi. Tujuan dialog ini adalah untuk mengeskplorasi perbedaan, memperjelas area ketidak sepakatan dan menyeldiki landasan bersama tanpa dibebani harapan atas kesepakatan yang mengikat. Tujuan dialog yang sebenarnya ini perlu dipahami oleh para pihak yang bersengketa, karena dalam banyak kasus sering mekanisme dialog ini diposisikan sebagai forum untuk membangun kesepakatan yang mengikat. Misalnya dalam pertemuan public dan dialog kebijakan, dialog ini lebih fokus pada pertukaran informasi dan kemungkinan menghasilkan usulan kebijakan untuk dipertimbangkan oleh para pihak legislative atau lembaga pemerintahan. 30
Penyelesaian yang harus dinegosiasikan oleh para pihak yang bersengketa ini dimotiviasi oleh keinginan menyelesaikan konflik dan harapan membangun kesepakatan bersama.
Untuk kasus sengketa pengelolaan
sumberdaya alam, isu-isu apa saja yang perlu diselesaikan dan dinegosiasikan, misalnya masalah status kepemilikan atas tanah, berbagai peraturan kebijakan yang perlu dicabut dan direvisi.
Pilihan cara-cara penyelesaian sengketa
melalui peradilan, musyawarah, jalur politik atau strategi kolaborasi.
Manajemen Kolaboratif Istilah Collaborative Management atau Manajemen Kolaboratif digunakan oleh Borrini-Fayerabend (1996) untuk menggambarkan suatu situasi dimana keterlibatan beberapa (atau semua) stakeholder dalam kegiatan manajemen melalui cara yang substansial. Lebih spesifik lagi, dalam proses manajemen kolaboratif, pengelola kawasan yang dilindungi mengembangkan kemitraan (partnership) dengan stakeholder lain yang relevan, terutama masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab. Dalam proses kerjasama itu dapat terjadi beberapa kemungkinan, seperti terlihat pada Gambar 4. Pengawasan penuh oleh pengelola
Kerjasama dalam mengontrol antara pengelola dengan stakeholder
Pengawasan penuh oleh stakeholder
Manajemen Kolaboratif pada suatu kawasan konservasi Proses konsultasi
Mencari konsensus
Tidak ada kontribusi dari stakeholder yang lain
Negosiasi (terlibat dalam proses pembuatan keputusan dan mengembangkan perjanjian yang spesifik)
Berbagi otoritas dan tanggung jawab dalam bentuk formal
Pelimpahan otoritas dan tanggung jawab Tidak ada kontribusi dari pengelola
Meningkatnya harapan stakeholder Meningkatnya kontribusi, komitmen, dan ‘akuntabilitas’ stakeholder
Gambar 4. Skema Manajemen Kolaboratif (Borrini-Feyerabend, 1996) Penjelasan dari ketujuh kemungkinan kolaborasi seperti yang ada pada Gambar 3 adalah:
31
1. pengelola kawasan yang dilindungi mengabaikan kapasitas stakeholder dan meminimalkan hubungan mereka dengan kawasan, atau 2. memberi informasi kepada stakeholder tentang isu-isu yang relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengelola, atau 3. secara aktif berkonsultasi dengan stakeholder tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat, atau 4. mencari kesepakatan tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan yang dibuat, atau 5. membuka peluang negosiasi dengan stakeholder yang terbuka (dan pada gilirannya membuka kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan), atau 6. berbagi otoritas dan tanggung jawab dengan stakeholder secara formal, misalnya melibatkan mereka dalam Management Board, atau 7. melimpahkan sebagian atau semua otoritas dan tanggung jawab kepada satu atau beberapa stakeholder. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan TN Gunung Ciremai yang termasuk dalam Kabupaten Kuningan, di desa-desa yang sudah pernah menandatangani perjanjian atau kesepakatan kerjasama dalam program PHBM dengan Perhutani.
Penelitian juga akan dilakukan di Jakarta dan Bogor,
terutama untuk mengumpulkan informasi, data serta diskusi dengan pihak Departemen Kehutanan, khususnya Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA).
Penelitian dilakukan mulai bulan
September 2006 sampai September 2010.
32
i
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Gunung Ciremai
Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah action research (Riset Aksi). Pengertian action research dikutip dari Dick (1997) adalah suatu proses dimana terjadinya suatu perubahan dan meningkatnya pemahaman terhadap situasi yang berubah, dapat dicapai dalam waktu yang sama. Riset Aksi biasanya digambarkan sebagai siklus, dengan aksi dan refleksi kritis yang terjadi secara bergantian. Refleksi digunakan untuk mengkaji Aksi terdahulu dan menyusun rencana untuk siklus berikutnya. Riset Aksi digunakan dalam situasi tertentu. Dick (1997) menyarankan bahwa Riset Aksi dapat digunakan ketika situasi di lokasi penelitian sangat dinamis sehingga membutuhkan tanggapan yang cepat atau dengan kata lain, penelitian juga harus responsive terhadap dinamika atau perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, penelitian juga dituntut untuk memiliki fleksibilitas yang tinggi. Selain itu Dick (1997) juga menyatakan bahwa Riset Aksi bersifat partisipatif.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, “Siapa yang harus
berpartisipasi? Partisipasi dalam kegiatan apa?” Dalam konteks partisipasi, 33
Riset Aksi biasanya dilakukan oleh sekelompok orang, walaupun kadangkadang juga dilakukan oleh individu, namun keduanya sama-sama bertujuan untuk memperbaiki suatu praktek atau kegiatan untuk melakukan suatu perubahan. Riset Aksi yang dilaksanakan di Kabupaten Kuningan melibatkan LPI PHBM (Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), yaitu organisasi multi-pihak dan terdiri atas berbagai instansi pemerintah Kabupaten Kuningan, perwakilan petani, LSM, Perhutani KPH Kuningan, serta individu pemerhati lingkungan (Lampiran 1). LPI PHBM adalah organisasi yang lahir pada waktu terjadi konflik antara masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Negara, dengan Perhutani KPH Kuningan. LPI PHBM berperan untuk memfasilitasi proses negosiasi antara masyarakat dengan Perhutani. Mereka juga berperan mendorong kebijakan Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk mengalokasikan dana untuk pengembangan PHBM. Dalam konflik perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional, LPI PHBM mengalami perpecahan, dan sebagian anggota bergabung dalam wadah yang disebut Para Penggiat PHBM. Mereka adalah perwakilan petani, individu dan LSM yang peduli terhadap masyarakat yang terkena dampak negative dari perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional, dan ingin mencari solusi. LPI PHBM maupun Para Penggiat PHBM adalah pihak-pihak atau mitra yang dilibatkan dalam Riset Aksi. Mereka menjalankan beberapa peran. Menurut Dick (1997) ada 7 bentuk peran yang dijalankan oleh mitra, yaitu (a) peran sebagai informan untuk menyediakan data, (b) peran sebagai interpreter untuk menginterpretasikan data, (c) peran sebagai perencana dan pengambil keputusan, (d) peran sebagai pelaksana, (e) peran sebagai fasilitator, (f) peran sebagai peneliti dan asisten peneliti yang merancang penelitian, (g) peran sebagai resipien yang berarti mitra hanya diinformasikan hasil penelitian dan implikasinya. Dalam riset aksi, orang-orang atau para pihak tersebut secara sadar dan konsisten bergerak mengikuti suatu siklus yang berulang, yang terdiri atas: memahami masalah melalui proses Refleksi, menyusun Rencana, melakukan 34
Aksi atau tindakan, melakukan Monitoring, rencana
refleksi dan kembali menyusun
untuk siklus berikutnya (siklus “Action Research Spiral” ini
dipaparkan oleh Kemmis and McTaggart, 1988a).
Gambar 6. Spiral Action Research yang digunakan [diadaptasi dari Kemmis and McTaggart, 1988a] Siklus Riset Aksi dijelaskan oleh Kemmis and McTaggart (1988a) terdiri atas Refleksi, Perencanaan, Aksi, dan Monitoring, dan selanjutnya ke siklus berikutnya untuk melakukan Refleksi. Pengertian dari setiap langkah di dalam satu siklus Riset Aksi adalah: •
Refleksi adalah upaya untuk memahami masalah dan mengkritisi apa yang sudah terjadi.
Menigkatnya pemahaman yang muncul akibat proses
refleksi kritis kemudian digunakan untuk merancang langkah selanjutnya (Dick, 2000). •
Rencana merupakan kegiatan untuk merespon masalah yang dihadapi berupa langkah-langkah yang akan dilakukan
•
Melakukan aksi atau tindakan merupakan pelaksanaan dari rencana yang dilakukan, dan di dalamnya juga termasuk hasil dari tindakan
•
Melakukan monitoring merupakan upaya untuk menilai dampak dari kegiatan atau Aksi yang telah dilakukan dan melihat sejauh mana perubahan telah terjadi. Apabila ada perbaikan, maka perlu dikaji apakah data yang dimiliki bisa menjadi bukti terjadinya perubahan? Apabila tidak 35
terjadi perubahan, maka perbaikan apa yang harus dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih baik ? (Ferrance, 2000). Lebih jauh lagi, Dick (2000) menyatakan bahwa Riset Aksi cenderung untuk: • Siklus – langkah-langkah yang sama cenderung berulang, dalam urutan yang sama • Partisipatif – klien dan informan terlibat sebagai mitra, atau paling tidak sebagai partisipan aktif, dalam proses penelitian • Kualitatif – lebih sering menggunakan cerita daripada angka dan • Reflektif – refleksi kritis terhadap proses dan outcomes adalah bagian penting dari setiap siklus Menurut Uhlmann (1995), Riset Aksi berbeda dengan riset lainnya. Riset Aksi lebih mementingkan perubahan.
Untuk bisa terjadi perubahan
diperlukan partisipasi dari orang-orang yang terlibat pada situasi yang ingin diubah atau yang akan terkena dampak dari suatu keadaan. Partisipasi dalam Riset Aksi sangat penting karena: •
Stakeholder
lebih
mengenal
situasi
sehingga
mereka
dapat
mengidentifikasi isu yang mereka hadapi secara jelas •
Mereka mengetahui sejarah dan dapat menceritakan apa yang sudah dicoba dan apa yang bisa diterima secara kultural
•
Mereka mampu melakukan aksi dan mengevaluasi aksi dan solusi yang dihasilkan sesuai dengan lingkungan yang mereka hadapi.
•
Mereka akan tetap berada di lokasi penelitian, setelah Riset selesai dilakukan dan mereka sanggup melakukan perbaikan karena mereka akan belajar bagaimana mengatasi masalah sepanjang waktu.
•
Mereka juga akan membangun hubungan atau relasi yang lebih baik sepanjang waktu, yang juga akan membantu mereka dalam mencapai kemajuan dari Aksi yang mereka lakukan
Perbedaan Riset Aksi dengan riset lainnya juga dinyatakan oleh Alwasilah (2001). Beberapa perbedaan Riset Aksi dengan penelitian formal ditulis pada Tabel 4. 36
Tabel 4. Perbedaan Riset Aksi dengan Penelitian Formal Kuantitatif Riset Aksi Tujuannya memecahkan persoalan lokal dengan populasi yang terbatas. Tidak memerlukan pelatihan formal yang ketat. Dilakukan untuk mengetahui atau mengkoreksi problem lokal yang dihadapi.
Penelitian Formal Mengembangkan atau menguji teori dan menghasilkan pengetahuan yang dapat digeneralisasi bagi populasi yang lebih besar. Memerlukan pelatihan formal yang sangat ketat. Dilakukan untuk meneliti isu-isu yang relative besar.
Kurang ketat (rigorous)
Lazimnya dilakukan oleh peneliti yang tidak terlibat langsung dalam penelitian.
Biasanya tidak bebas nilai.
Lebih ketat (rigorous). Seringkali bebas nilai
Peran Peneliti Peneliti memiliki beberapa peran dalam riset aksi.
Pertama, peneliti
berperan sebagai fasilitator. Menurut Roger (1994), akar kata fasilitasi adalah “facilitation” yang mempunyai arti “membuat sesuatu menjadi mudah”. Dari segi proses, facilitation didefinisikan sebagai suatu proses dimana seseorang membantu pihak lain untuk menyelesaikan pekerjaannya dan memperbaiki cara mereka bekerja bersama. Sedangkan sebagai keahlian, facilitation adalah keahlian mengelola suatu pertemuan (a meeting management skill).
Oleh
karena itu, facilitation juga dikatakan sebagai cara membantu kelompok bekerja bersama di dalam pertemuan. Peran kedua adalah peran untuk meningkatkan kapasitas.
Hal ini
dilakukan dengan memberi informasi tentang kerangka teori yang bisa digunakan untuk membantu proses penyelesaian konflik. Salah satu contohnya adalah analisis stakeholder. Peneliti member informasi tentang teori analisis stakeholder dan juga memfasilitasi proses analisis stakeholder, sesuai dengan teori yang diberikan. Peran ketiga, peneliti berperan untuk menganalisis proses yang terjadi dan membandingkan dengan kerangka teori yang sudah ada. 37
Prosedur Kerja Riset Aksi Prosedur kerja Riset Aksi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi (a) pengumpulan data, (b) memfasilitasi proses diskusi, (c) melakukan komunikasi dengan pengambil keputusan untuk bernegosiasi, (d) melakukan mediasi pada proses negosiasi, (e) melakukan dokumentasi proses, (f) menyusun hasil Riset Aksi dan (g) melakukan analisis atau pembahasan terhadap hasil Riset Aksi. Tabel 5. Prosedur Kerja Riset Aksi Prosedur Kerja Pengumpulan Data dilakukan melalui: Diskusi informal Focus Group Discussion Melakukan kunjungan ke desa
Keterangan Diskusi informal dilakukan sepanjang Riset Aksi dilakukan. Diskusi informal bisa dilakukan dengan cara kunjungan silaturahmi ke rumah atau terlibat dalam “obrolan” kelompok tertentu. Tujuannya untuk membangun hubungan dan kepercayaan stakeholder terhadap peneliti, serta mengumpulkan informasi yang tidak bisa diperoleh dari diskusi formal. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk memperoleh informasi yang spesifik, dengan peserta diskusi yang spesifik juga. Peserta FGD terbatas, tidak lebih dari 10 orang agar efektif. Tujuan kunjungan ke desa adalah untuk memahami kepentingan dan pandangan masyarakat lokal terhadap perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional.
Memfasilitasi proses diskusi
diskusi untuk melakukan refleksi, menyusun rencana, menggali pendapat para pihak dan mempersiapkan negosiasi,
Berkomunikasi dengan pejabat Departemen Kehutanan
Komunikasi bisa dilakukan secara informal, terutama untuk menentukan jadwal dan agenda pertemuan. Setelah itu ditindak lanjuti dengan mengadakan pertemuan. Peneliti berkomunikasi dengan Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II, Kepala Sub Direktorat Pengelolaan Kawasan Konservasi, Direktur Kawasan Konservasi, Kepala Biro Hukum Departemen Kehutanan, serta Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan.
Melakukan mediasi
Yang dilakuan peneliti adalah memfasilitasi persiapan negosiasi, memfasilitasi pertemuan dengan Departemen Kehutanan, memfasilitasi perumusan hasil negosiasi
Melakukan dokumentasi proses
Mencatat dan mengumpulkan semua dokumen yang dihasilkan selama Riset Aksi berlangsung.
Menyusun hasil Riset Aksi secara sistematis
Informasi yang diperoleh dari hasil dokumentasi proses disusun secara sistematis berdasarkan siklus Riset Aksi.
Melakukan analisis berdasarkan kerangka teori yang ada
Kerangka analisis digunakan untuk membandingkan antara informasi atau temuan yang diperoleh dari dokumentasi proses dengan teori yang ada
38
Analisis Stakeholder Menurut Bisset (1998) dalam Ramirez (2003) yang dimaksud dengan parapihak (stakeholders) adalah individu yang berkepentingan dan mempunyai perhatian terhadap sesuatu. Sedangkan Freeman (1984) mendefinisikan parapihak sebagai kelompok atau individu yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tujuan suatu korporasi. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, Röling dan Wagemakers (1998) menawarkan definisi yang lebih tepat: parapihak adalah pemanfaat dan pengelola sumberdaya alam. Secara umum dapat dinyatakan bahwa parapihak adalah merujuk pada kelompok atau institusi yang berkepentingan atau yang berperan aktif dalam suatu sistem. Parapihak yang berkepentingan inilah yang seharusnya diakomodasikan kepentingannya dalam penyusunan suatu sistem, termasuk didalamnya penyusunan sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui kepentingan dan peran parapihak ini adalah yang disebut sebagai analisis parapihak (stakeholders analysis). Analisis parapihak merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan parapihak dari basis kedudukan, hubungan, dan kepentingan parapihak tersebut terhadap suatu masalah atau sumberdaya (Ramirez, 2003). Analisis ini telah banyak digunakan pada berbagai bidang yang mencakup bisnis, hubungan internasional, penyusunan kebijakan, penelitian partisipatif, ekologi dan pengelolaan sumberdaya alam. Terdapat beberapa manfaat ang diperoleh dari analisis parapihak. Beberapa manfaat tersebut adalah (Röling and Wagemakers 1998): a. Untuk mengetahui pola interaksi empirik yang ada b. Dapat dianalisis untuk peningkatan model intervensi c. Sebagai alat untuk pengambilan keputusan, dan d. Sebagai alat untuk memprediksikan konflik. Lebih jauh lagi, analisis parapihak pada saat ini juga merupakan topik utama dalam manajemen konflik untuk memperoleh resolusi dari sudut pandang para aktor sosial.
39
Masing-masing stakeholders dapat diidentifikasi jenis kepentingan (interest), hak (right), pengaruh (influence), dan tingkat kepentingan keterlibatan (importance) dalam pengelolaan kawasan konservasi Gunung Ciremai. Kepentingan (interest) dalam hal ini adalah berupa tingkat utilitas yang diharapkan oleh parapihak, sedangkan hak (right) adalah merujuk pada hak individu/kelompok terhadap KKGC. Pengaruh (influence) adalah merujuk pada kekuatan stakeholders tertentu, sedangkan kepentingan keterlibatan (importance) adalah merujuk pada prioritas tingkat kebutuhan dan interest masing-masing stakeholders (Grimble and Wellard, 1997). Dengan mengkombinasikan pengaruh dan kepentingan dari setiap stakeholder dalam sebuah matriks, maka asumsi dan resiko tentang stakeholder bisa diidentifikasi.
Dalam matriks berukuran 2 x 2, setiap stakeholder
dipetakan berdasar dua criteria, yaitu pengaruh dan kepentingan. Pemetaan ini mengindikasikan potensial koalisi yang mungkin dibangun (DFID, 1995). high
A
*2
↑ Importance low
*1
*5
D
B *3
*4
C *7
high
Influence →
*6 low
Gambar 7. Contoh Matriks Klasifikasi Stakeholder Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan (DFID, 1995)
Kotak A, B dan C adalah stakeholder kunci, yaitu mereka yang mempunyai pengaruh signifikan, dan juga yang paling penting dalam mencapai tujuan suatu proyek. Implikasi dari setiap kotak adalah: A. Kotak A diisi oleh stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan tingi, tetapi pengaruh yang kecil
Implikasinya adalah mereka membutuhkan
special inisiatif khusus apabila kepentingan mereka ingin dilindungi (stakeholders 2,1, and 5)
40
B. Kotak B diisi oleh stakeholder yang memiliki pengaruh tinggi dan juga memiliki tingkat kepentingan yang tinggi pula. Implikasinya adalah staf proyek perlu membina hubungan baik dengan stakeholder ini untuk memastikan
koalisi
yang
efektif
dan
dapat
mendukung
proyek
(stakeholders 3 and 4). C. Kotak C diisi oleh stakeholder yang memiliki pengaruh tinggi, yang bisa juga mempengaruhi hasil dari proyek, tetapi kepentingan mereka bukanlah target dari proyek. Stakeholder ini mungkin merupakan sumber resiko yang tinggi, dan mereka perlu dimonitor dan dikelola secara hati-hati. Stakeholder ini bisa jadi menghambat proyek (stakeholder 6). D. Kotak D diisi oleh stakeholder dengan pengaruh dan tingkat kepentingan yang rendah. Mereka bukanlah stakeholder yang perlu dilibatkan dalam proyek (stakeholder 7). Hasil dari matriks stakeholder akan memberi informasi, siapa yang harus diajak bernegosiasi (DFID, 1995).
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus riset aksi (Kemmis and McTaggart, 1988a) akan dijadikan rujukan untuk menguraikan hasil yang telah diperoleh, sekaligus akan dibahas. Hasil dan pembahasan akan diuraikan dalam beberapa siklus, dimana satu siklus mencakup (a) refleksi (b) penyusunan rencana, (c) tindakan, serta (d) monitoring dan kembali lagi ke refleksi untuk memulai siklus berikutnya, dan seterusnya. Ada 2 siklus riset aksi yang telah dilalui dalam penelitian ini, sesuai dengan Kemmis and McTaggart (1998a). Kedua siklus riset aksi tersebut adalah: •
Siklusi I : Konflik yang terjadi ketika status Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai diubah menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, mulai dari proses terjadinya konflik sampai penyelesaian konflik
•
Siklus II :
Pengembangan kolaborasi yang dilakukan setelah proses
penyelesaian konflik selesai
Hasil Penelitian Siklus I: Konflika dan Penyelesaiannya Siklus pertama yang akan digambarkan dimulai dari masalah yang terjadi ketika status Gunung Ciremai diubah menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Setelah itu dilakukan proses refleksi.
Salah satu hal yang
direfleksikan adalah dampak dari perubahan status kawasan hutan terhadap masyarakat yang tinggal di desa-desa di lereng Gunung Ciremai.
Tahap
selanjutnya adalah menyusun rencana, melakukan aksi dan diakhiri dengan monitoring. Setelah itu, dimulai siklus 2 dengan proses refleksi.
42
MASALAH: Hilangnya akses masyarakat ke kawasan hutan Negara, akibat perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional
REFLEKSI: Lebih kurang 30.000 keluarga yang tinggal di 26 desa tidak bisa mengakses 8.645 ha kawasan hutan yang sudah disepakati dengan Perhutani
REFLEKSI
RENCANA: Memahami konflik Analisis stakeholder Menyusun strategi penyelesaian konflik
MONITORING: Perubahan dalam organisasi LPI PHBM:
• •
Mencegah konflik menjadi anarkis Perbedaan pendapat yang tajam sehingga menimbulkan perpecahan
Perubahan dalam wadah Para Penggiat PHBM
• • •
Perubahan sikap dari konfrontatif menjadi kolaboratif Meningkatnya pemahaman terhadap gambar besar dari konflik yang terjadi Meningkatnya kesadaran untuk membangun aliansi
AKSI:
1. Memperjelas informasi perubahan status kawasan 2. Analisis stakeholder 3. Negosiasi dengan Departemen Kehutanan
Gambar 8. Siklus 1. Konflik dan Penyelesaiannya Masalah: Perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai yang semula dikelola oleh Perum Perhutani menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No. SK.424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 (Lampiran 2), memunculkan konflik. Sebagian kawasan hutan Gunung Ciremai yang berada di wilayah Kabupaten Kuningan, terdapat 26 desa yang telah melaksanakan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) (Lampiran 3 dan Lampiran 4). Sebagian di antaranya telah melaksanakan negosiasi dan penandatanganan Nota Kesepatan Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK) dengan Perum Perhutani, serta melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di lapangan. Dengan perubahan fungsi kawasan menjadi Taman Nasional, berarti pengelola kawasan hutan akan berganti (tidak lagi Perhutani) dan kesepakatan kerja sama yang telah dibuat menjadi tidak berlaku lagi. Inilah yang memicu konflik. 43
Refleksi: Refleksi dilakukan oleh para pihak yang tergabung dalam LPI PHBM (Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Kuningan. Refleksi dilakukan oleh sebagian anggota LPI PHBM pada tanggal 25 Oktober 2004 dalam bentuk diskusi (Lampiran 5). Peserta diskusi adalah Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, Perhutani dan LSM AKAR. Setelah itu proses refleksi juga dilakukan pada tanggal 30 Oktober 2011 dalam bentuk diskusi informal di rumah Ketua LPI PHBM, dan dihadiri oleh LSM Kanopi, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, serta 4 orang wakil petani yang juga pengurus Paguyuban Masyarakat Tani Hutan (PMTH). Refleksi yang dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2011 membahas kebutuhan untuk klarifikasi dari pihak-pihak yang mengusulkan perubahan status kawasan Ciremai menjadi Taman Nasional, sikap stakeholder Kuningan terhadap perubahan status tersebut, serta meminta LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) 1 untuk menjadi mediator. Dalam proses refleksi tersebut juga muncul kebutuhan untuk memperjelas hal-hal apa yang boleh dilakukan di Taman Nasional, serta kejelasan proses pengusulan Taman Nasional sesuai peraturan yang ada. Dalam proses refleksi itu, peneliti belum terlibat dalam diskusi tetapi peneliti selalu diberi informasi tentang perkembangan yang terjadi di Kuningan, termasuk hasil dari kedua diskusi yang disebut di atas. Oleh karena itu, peneliti menanggapi
perkembangan yang terjadi di Kuningan, dengan
memberi informasi yang relevan dengan perubahan status kawasan hutan lindung menjadi taman nasional.
Informasi yang diberikan adalah
perbandingan pola pengelolaan taman nasional dan hutan lindung (Lampiran 7) dan proses usulan kawasan konservasi (Lampiran 6), sesuai dengan Undangundang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 1
LATIN adalah LSM yang berkantor di Bogor dan sudah bekerja di Kabupaten Kuningan sejak tahun 2001 untuk mengembangkan kolaborasi multi-pihak dalam pengelolaan hutan. Peneliti adalah staf LATIN yang ditugaskan sebagai fasilitator pengembangan kolaborasi dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Kuningan sejak tahun 2001.
44
jo No. SK.48/Kpts-II/2004. Informasi pola pengelolaan taman nasional dan hutan lindung yang disampaikan adalah definisi, kriteria, tujuan pengelolaan, lembaga pengelola, peraturan yang terkait, hal-hal yang dilarang, serta hal-hal yang diperbolehkan. Proses refleksi selanjutnya pada tanggal 30 Oktober 2004, menegaskan sikap untuk menolak Taman Nasional dan konsolidasi sikap para petani untuk menolak Taman Nasional. Proses penolakan ini muncul setelah mendiskusikan dampak dari perubahan status kawasan hutan terhadap masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar Gunung Ciremai, pola pengelolaan taman nasional dan proses pengusulan kawasan konservasi. Oleh karena itu, LPI PHBM dan masyarakat yang melakukan proses refleksi mempunyai 3 peran, (dari 7 peran yang diidentifikasi oleh Dick (1997)), yaitu (a) peran sebagai informan untuk menyediakan data, (b) peran sebagai interpreter untuk menginterpretasikan data, (c) peran sebagai perencana dan pengambil keputusan, dan (d) peran sebagai pelaksana. Setelah mendiskusikan informasi taman nasional dan hutan lindung, maka masyarakat menolak perubahan status dari hutan lindung menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Alasan yang dikemukakan oleh masyarakat adalah: •
pertama , proses penetapan TNGC tidak partisipatif, karena tidak melibatkan masyarakat di desa-desa hutan di Gunung Ciremai; Hal ini tidak sesuai dengan proses usulan kawasan konservasi, yang salah satu tahapnya komunikasi dan sosialisasi untuk membangun persepsi, pengertian, kesepakatan dan dukungan terhadap usulan kawasan konservasi.
•
kedua,
perjanjian kerjasama PHBM dengan Perhutani yang dicapai
melalui proses yang panjang dan melelahkan dan sudah mulai dilaksanakan akan batal karena Perhutani akan keluar dari TN Gunung Ciremai diganti oleh pengelola TN Gunung Ciremai yang baru. Ada 26 desa di lereng Gunung Ciremai yang termasuk Kabupaten Kuningan. Seluruh 26 desa tersebut telah membuat kesepakatan dengan Perhutani wilayah Kuningan. Ada dua kesepakatan yang dibuat. Pertama NKB (Nota Kesepakatan Bersama) yang menyatakan wilayah kerjasama yang 45
merupakan hutan negara tetapi ada di wilayah administrasi desa. Luas total area kerjasama yang ada di 26 desa mencapai 8.645 ha. Perjanjian kedua adalah NPK (Nota Perjanjian Kerjasama) yang menyatakan kegiatan apa saja yang akan dilakukan sampai kepada pembagian tanggung jawab dan manfaat. Sampai bulan Desember 2004, ada 8 desa yang sudah membuat kesepakatan NPK dengan Perhutani. Bentuk-bentuk kegiatan berupa pengelolaan lahan menjadi kebun campuran (agro-forestri). Informasi tentang kesepakatan masyarakat dengan Perhutani berupa NKB dan NPK yang dikemukakan oleh LPI PHBM dan masyarakat menunjukkan peran keduanya sebagai informan. •
ketiga, tidak ada jaminan kepastian bahwa kesepakatan PHBM yang telah dibuat dengan Perhutani
akan bisa dilanjutkan, mengingat dalam
pengelolaan TN aktifitas yang boleh dilakukan masyarakat lebih terbatas. Hal ini muncul setelah pembahasan kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan di Taman Nasional dan Hutan Lindung. Kegiatan yang terkait dengan PHBM yang boleh dilakukan adalah penunjang budidaya, sementara kegiatan budidaya di hutan lindung masih dapat dilakukan dengan tetap memelihara fungsi lindung kawasan yang bersangkutan. •
keempat, masyarakat sudah menanam investasi yang cukup besar dalam program PHBM di Gunung Ciremai, baik dalam bentuk tenaga kerja, waktu, pikiran, dana, maupun bibit tanaman, dll. Dari berbagai pertimbangan tersebut, tampaknya
yang paling
mengkhawatirkan masyarakat adalah kelanjutan peran serta mereka dalam pengelolaan hutan sebagaimana sudah dimulai melalui kerjasama PHBM dengan Perhutani.
Masyarakat kuatir kalau mereka akan dikeluarkan dari
kawasan hutan Gunung Ciremai, karena mereka melihat bahwa Perhutani yang merupakan BUMN bisa dikeluarkan. Situasi di masyarakat pada waktu itu sebenarnya sudah cukup panas, bahkan beberapa tokoh masyarakat desa di lereng Gunung Ciremai yang menolak penetapan TN Gunung Ciremai sempat hendak melaksanakan demonstrasi ke kabupaten, namun berhasil dicegah oleh LPI PHBM dan LSM Kanopi yang merupakan pendamping masyarakat. 46
Rencana: Berdasarkan proses refleksi yang dilakukan, LPI PHBM dan masyarakat menyusun rencana penyelesaian masalah atas konflik yang terjadi. Rencana yang disusun adalah mencari kejelasan tentang perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai kepada para pihak yang berkepentingan terhadap Kepmenhut tsb., serta sikap mereka terhadap perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Untuk mencari kejelasan informasi tentang perubahan status kawasan hutan, LPI PHBM
telah menyusun
bahan dialog berupa pertanyaan-
pertanyaan untuk stakeholder yang dianggap berkepentingan (Lampiran 8). Informasi yang terkumpul, diharapkan dapat menggambarkan situasi konflik yang terjadi, paling tidak kronologis terjadinya konflik akibat perubahan status kawasan hutan lindung Gunung Ciremai. Rencana di atas juga akan didukung dengan rencana untuk melakukan analisis stakeholder. Setelah memahami konflik dan sikap para pihak, perlu dikaji lebih jauh pihak mana yang mempunyai otoritas dan kewenangan yang paling besar untuk diajak bernegosiasi menyelesaikan konflik. Apabila sudah diidentifikasi, maka negosiasi adalah langkah berikutnya yang harus dilakukan. Pada saat penyusunan rencana, maka peran LPI PHBM dan masyarakat adalah peran sebagai perencana dan pengambil keputusan.
Sementara itu,
peran peneliti adalah sebagai fasilitator. Namun ketika menyusun rencana untuk analisis stakeholder dan negosiasi, maka peneliti menawarkan kerangka analisis stakeholder yang dapat digunakan, serta menjelaskan tahapan negosiasi.
Dengan demikian peneliti juga berperan dalam meningkatkan
kapasitas LPI PHBM dan masyarakat. Analisis stakeholder menggunakan kerangka teori DFID (2005) yang bertujuan untuk memetakan stakeholder berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya. Sedangkan tahapan negosiasi menggunakan kerangka teori Fisher (1995).
47
Aksi Aksi 1: Memperjelas informasi perubahan status Gunung Ciremai Aksi untuk melaksanakan rencana yang telah disusun dimulai dari memperjelas informasi perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional.
Kegiatan ini dilakukan oleh LPI PHBM dan peneliti.
Dengan
demikian peran LPI PHBM maupun peneliti adalah pelaksana. LPI PHBM mendapat tugas untuk melakukan dialog dengan para pihak di Kabupaten Kuningan yang dianggap bertanggung jawab dalam proses perubahan status kawasan hutan lindung Ciremai menjadi Taman Nasional. Kegiatan ini dilakukan oleh LPI PHBM pada rentang waktu akhir Oktober sampai November 2004. Sedangkan peneliti mencari informasi di Departemen Kehutanan, baik di pusat (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam/Ditjen PHKA) maupun Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen PHKA, yaitu Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II (BKSDA Jabar II) yang pada saat itu masih diberi kewenangan oleh Departemen Kehutanan untuk mengelola TN Gunung Ciremai, sampai dibentuk Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah mengadakan pertemuan dengan Kepala Sub Direktorat Pengembangan Kawasan Konservasi, Ditjen PHKA Dephut) pada tanggal 22 Oktober 2004 (Lampiran 9). Setelah itu peneliti juga berdiskusi dengan Kepala BKSDA Jabar II pada tanggal 14 Desember 2004 (Lampiran 10).
Peneliti bersama sebagian anggota LPI PHBM berdiskusi
dengan KaSubdit Pengembangan Kawasan Konservasi pada tanggal 15 Desember 2004 (Lampiran 11). Hasil dari Aksi untuk memperjelas informasi tentang perubahan status kawasan hutan adalah tersusunnya kronologis perubahan status kawasan (Lampiran 12).
Apabila dibandingkan dengan teori Doucet (2006) tentang
tahapan terbentuknya konflik, maka kronologis perubahan status kawasan Gunung Ciremai bisa diringkas sesuai dengan tahapan terjadinya konflik, dimulai dari tahap formasi, diikuti dengan tahapan eskalasi atau memuncaknya 48
konflik, dan dilanjutkan dengan tahapan bertahan, yaitu situasi dimana konflik terus terjadi dan belum ada tanda-tanda konflik akan selesai atau bisa mencapai solusi yang diinginkan. Tabel 6. Tahapan Formasi
Tahapan Terjadinya Konflik Nasional Gunung Ciremai
dalam
Peristiwa
Ciri-ciri Tahapan Konflik
5 Juli 2003 – 19 Oktober 2004
Seminar tentang Kawasan Gunung Ciremai oleh STIKKU di Gedung DPRD Kuningan
Konflik masih tersembunyi ketika Seminar dan Kajian Pengelolaan Gunung Ciremai dilakukan. Para pihak mulai menyadari bahwa usulan Bupati dan DPRD Kuningan yang berbeda dapat memicu konflik.
Usulan Bupati Kuningan kepada Menteri Kehutanan untuk mengkaji kemungkinan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam Rekomendasi DPRD Kuningan tentang usulan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam
19 Oktober 2004
8 Oktober 2004, pertemuan stakeholder Kuningan dengan Departemen Kehutanan di Departemen Kehutanan membahas tim terpadu mengkaji kemungkinan perubahan status kawasan Gunung Ciremai (Lampiran 13). 19 Oktober keluar Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/ Menhut-II/2004 2004 Tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.
Endurance (Bertahan)
Taman
Waktu
Kajian Pengelolaan Kawasan Lindung Gunung Ciremai
Eskalasi
Penetapan
November 2004
LPI PHBM mengusulkan dialog publik kepada Bupati untuk membahas kedua surat tersebut tapi tidak ditanggapi. Hal ini menimbulkan kecurigaan. Konflik mulai mencuat dan meningkat. Kecurigaan dari LPI PHBM semakin menguat ketika mereka diajak ikut pertemuan tanggal 8 Oktober. Ternyata pertemuan tersebut diklaim oleh Departemen Kehutanan sebagai konsultasi publik multi stakeholder. Hal ini menimbulkan kemarahan. Kemarahan semakin memuncak ketika Kepmenhut No. 424 terbit. Masyarakat semakin marah dan mereka berencana untuk demo ke Bupati. Anggota LPI PHBM ada yang membangun opini publikdi media massa tentang penolakan Kepmenhut No. 424
Perdebatan antara pihak-pihak yang pro dan kontra terhadap perubahan fungsi Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional.
Opini di media massa memicu polarisasi yang semakin tajam di antara pihak-pihak yang setuju dan tidak terhadap Kepmenhut No. 424.
Bupati Kuningan mengundang kepala-kepala desa dan menginstruksikan untuk mengamankan Kepmenhut No. 424.
Opini publik di media massa mendorong Pemkab Kuningan membuka dialog. Dialog dilakukan beberapa kali tetapi tidak mencapai kesepakatan. Masing-masing pihak mempertahankan posisi.
Petani yang tinggal di desa-desa sekitar TN Gunung Ciremai berkonsolidasi untuk menolak TNGC, antara lain dengan demo
Perbedaan pendapat yang tajam di dalam LPI PHBM membuat sebagian anggota yang tidak setuju dengan Kemenhut bersepakat membentuk wadah sendiri yang disebut dengan Para Penggiat PHBM
49
Tahap formasi atau terbentuknya konflik dimulai sejak ada Seminar yang membahas masa depan pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai. Seminar tersebut ditindak lanjuti oleh UNIKU (Universitas Kuningan, yang sebelumnya masih berupa STIKKU/Sekolah
Tinggi
Ilmu Kehutanan
Kuningan). Dalam laporan kajian tsb. dipaparkan tentang potensi, ancaman dan kemungkinan perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Hutan Raya (Tahura), Taman Wisata alam dan Taman Nasional. Laporan kajian diserahkan kepada Bupati Kuningan, dan selanjutnya Bupati Kuningan bersikap untuk menindaklanjuti laporan tersebut dengan membuat usulan kepada Menteri Kehutanan agar mengkaji kemungkinan perubahan status kawasan Gunung Ciremai, sesuai dengan rekomendasi hasil kajian dari UNIKU. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Gubernur Jawa Barat. Sampai pada tahap ini, konflik masih belum terlihat. Tahap berikutnya, konflik mulai terlihat dan bergerak menuju eskalasi. Pada tahap eskalasi ini, tercatat ada beberapa peristiwa. Pertama, pihak DPRD Kabupaten Kuningan yang setuju dengan Bupati Kuningan untuk membuat usulan kepada Menteri Kehutanan, ternyata mengeluarkan rekomendasi yang dikirim kepada Menteri Kehutanan. Namun surat rekomendasi dari DPRD Kuningan menyatakan bahwa kawasan Gunung Ciremai perlu diubah statusnya menjadi Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Jadi surat DPRD Kuningan bukan untuk mengkaji kemungkinan untuk mengubah status tetapi langsung mengusulkan perubahan status.
Peristiwa berikutnya adalah pertemuan
stakeholder Kuningan dengan Departemen Kehutanan pada tanggal 8 Oktober 2004 di Jakarta. Ternyata pertemuan ini dianggap sebagai proses sosialisasi dan konsultasi publik untuk mendukung perubahan status kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Berdasarkan surat dari Bupati dan DPRD Kuningan, serta pertemuan tanggal 8 Oktober 2004 itu, maka Departemen Kehutanan langsung meresponnya dengan mengubah status Gunung Ciremai pada tanggal 19 Oktober 2004, melalui Kepmenhut No. SK 424/MenhutII/2004. Proses perubahan status tersebut membuat kaget banyak pihak di Kuningan, terutama para petani yang tinggal di desa-desa sekitar Gunung Ciremai. Pada tahap inilah konflik mencapai tahap eskalasi. Tahap eskalasi 50
merupakan proses berjalannya konflik mencapai puncak (Doucet, 2006). Puncak dari konflik adalah tahap endurance (bertahan), yang ditandai dengan semakin tajamnya perdebatan para pihak yang setuju dan tidak setuju terhadap perubahan status Gunung Ciremai. Perbedaan pendapat yang semakin tajam juga menyebabkan semakin terpolarisasinya kedua belah pihak. Selain itu muncul pula tanda-tanda kekerasan, seperti yang direncanakan oleh para petani.
Para petani melakukan konsolidasi untuk menolak Kepmenhut
tsb.antara lain melalui surat penolakan dan demonstrasi di jalan. Sementara para pihak yang mendukung Kepmenhut semakin kuat bertahan dengan segala argumentasinya. Sikap di dalam LPI PHBM terbelah menjadi dua, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak Kepmenhut.
Masalah TN Gunung Ciremai
menjadi pro-kontra, mengingat lembaga ini merupakan lembaga kerja sama multi pihak yang personilnya terdiri dari berbagai unsur, antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Lingkungan Hidup, Perum Perhutani, beberapa LSM, dan perorangan.
Ketua LPI PHBM mengakui bahwa
perbedaan dalam tubuh LPI-PHBM Kuningan mengenai masalah TN Gunung Ciremai sangat tajam. Beberapa pokok perbedaan pandangan antara
pihak yang pro dan
kontra di LPI-PHBM Kuningan terhadap TNGC adalah: •
Pertama, mengenai prosedural atau tidak proseduralnya proses terbitnya SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004 mengenai perubahan fungsi menjadi TNGC. Satu pihak mengatakan bahwa prosesnya sudah prosedural sedangkan pihak yang kontra menganggap itu tidak prosedural karena tidak didahului oleh proses yang lazim;
•
Kedua, mengenai Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat yang baru disampaikan tanggal 22 Oktober 2004 sedangkan SK menhut sudah diterbitkan tanggal 19 Oktober 2004. Satu pihak menganggap hal itu tidak masalah karena toh substansinya sama, sedangkan pihak lain menganggap hal itu merupakan masalah;
•
Ketiga, mengenai kajian tim terpadu yang harus dilakukan sebelum penetapan TN. Satu pihak mengatakan kajian itu belum dilakukan, 51
sedangkan pihak lain mengatakan kajian yang dilakukan UNIKU dianggap sebagai hasil kajian dimaksud ; •
Keempat,
kajian yang mendasari usulan Bupati, yakni kajian yang
dilakukan oleh UNIKU. Satu pihak menilai kajian tersebut tidak lengkap sedangkan pihak lain mengatakan sudah lengkap.; •
Kelima, kepastian akses masyarakat yang sudah menandatangani nota perjanjian kerjasama (NPK). Satu pihak mamandang bahwa tidak ada jaminan kepastian bahwa TN akan mengakomodasi hal tersebut, sedangkan pihak yang lain menganggap bahwa pengelolaan model PHBM bisa dilaksanakan di TN;
•
Keenam, surat usulan Bupati kepada Menhut No 522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 meminta agar dilaksanakan pengkajian oleh tim terpadu, tetapi ternyata hal itu belum dilakukan sudah terbit SK Menhut tersebut. Satu pihak mengusulkan agar Bupati mengirim surat lagi ke Menhut, sedangkan yang lain menganggap itu tidak perlu. Masalah dan pro-kontra penetapan TN Gunung Ciremai merupakan
ujian bagi LPI PHBM yang merupakan lembaga multi-pihak. Hal itu dapat dipahami karena perbedaan pandangan yang tajam mengenai masalah TN Gunung Ciremai tentu sedikit banyak berpengaruh pada suasana kerja sama secara keseluruhan. Akhirnya pada bulan November 2004, sebagian anggota LPI PHBM yang tidak setuju dengan Kepmenhut No. 424, memilih untuk mendirikan wadah baru yang disebut dengan Para Penggiat PHBM. Para Penggiat PHBM terdiri atas beberapa orang atau individu, yaitu Avo Juhartono, Komarudin, Sanusi K. Wijaya, Frederik Amallo, Rachmat Firmansyah, dan Usep Sumirat. Sebenarnya beberapa orang di antara Para Penggiat PHBM berasal dari organisasi seperti Usep Sumirat dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, Komarudin dari Perhutani KPH Kuningan, Avo Juhartono dan Frederik Amallo dari LSM AKAR, dan Rachmat Firmansyah dari LSM KANOPI. Namun kecuali individu yang berasal dari LSM, maka Usep Sumirat dan Komarudin tidak mengatas namakan lembaga, tetapi atas nama individu.
52
Para Penggiat PHBM langsung bekerja dan berdiskusi dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan. Hasil diskusi dikirim kepada Departemen Kehutanan (Lampiran 14).
Aksi 2: Analisis stakeholder Setelah kronologis perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional diketahui dan dipahami sebagai tahapan terbentuknya konflik, maka peneliti memfasilitasi analisis stakeholder.
Tujuan analisis stakeholder
terutama untuk mengetahui siapa pihak yang mempunyai pengaruh paling besar dan kepentingan paling tinggi dalam perubahan status kawasan Gunung Ciremai. Pihak ini adalah pihak yang paling penting dalam bernegosiasi. Analisis stakeholder dilakukan oleh Para Penggiat PHBM dengan difasilitasi
oleh peneliti.
Peran Para Penggiat PHBM
adalah penyedia
informasi, yaitu siapa saja stakeholder yang terkait dengan perubahan status kawasan
hutan
Gunung
Ciremai,
serta
peran
menginterpretasi
data
stakeholder. Sedangkan peran peneliti adalah sebagai fasilitator. Analisis stakeholder mengacu pada DFID (2005), yang dimulai dengan mengidentifikasi siapa saja stakeholders, dilanjutkan dengan pemetaan stakeholders berdasarkan matriks 2 x 2 berdasarkan kriteria pengaruh dan kepentingan. Stakeholders
yang
berhasil
diidentifikasi
adalah
Departemen
Kehutanan, Perum Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuninga, masyarakat lokal,
BKSDA Jabar II, Bupati Kuningan, Bappeda
Kuningan, Dinas Pertanian, Dinas Pendapatan Daerah,
Dinas Pariwisata
Daerah, PDAM, Perusahaan Air Minum Kemasan, Pecinta Alam, Badan Pemberdayaan Masyarakat, PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), LPI PHBM, LSM, Universitas Kuningan, TNI, DPRD, dan Donor Internasional (Lampiran 15). Seluruh stakeholder yang telah diidentifikasi kemudian dipetakan berdasarkan pengaruh dan kepentingannya. Hasil pemetaan stakeholder dapat dilihat pada Gambar ....
53
A Tinggi
A1
A3 A4
B
A2
Kepentingan
B6
A6
B2
Rendah
D
D3 D4
C
D6
D5 D1 D2
Kecil
B1
B7
A5
C1
B5 B4
B3
C2 C3
Pengaruh
Besar
Keterangan Gambar ... A1: Dinas Pertanian A2: PDAM A3: Pengusaha Air Minum Kemasan A4: Dinas LHK A5: Pecinta Alam A6: Dinas Pariwisata Daerah D1: Bappeda D2: Dispenda D3: Badan Pemberdayaan Masyarakat D4: PHRI D5: TNI D6: Donor Internasional
B1: Departemen Kehutanan B2: Dinas Kehutanan dan Perkebunan B3: Masyarakat Lokal B4: BKSDA Jabar II B5: Bupati B6: LPI B7: LSM C1: Perguruan Tinggi (UNIKU) C2: DPRD C3: Perum Perhutani
Gambar 9. Klasifikasi Para Pihak Berdasarkan tingkat kepentingan pelibatan (importance) dan Pengaruh (influence) Berdasarkan hasil analisis stakeholder, dapat dilihat bahwa stakeholder yang memiliki pengaruh besar dan kepentingan yang tinggi, yaitu kelompok stakeholder yang masuk dalam kotak B. Ada 7 stakeholder yang masuk dalam kotak B,
dan di antara ketujuh stakeholder di dalam Kotak B, maka
stakeholder yang memiliki pengaruh paling besar dan kepentingan paling tinggi adalah Departemen Kehutanan.
Dengan demikian pada tahap
selanjutnya, pihak yang Hasil ini penting karena akan digunakan untuk menentukan proses selanjutnya, yaitu negosiasi. 54
Aksi 3: Negosiasi Negosiasi dilakukan oleh Para Penggiat PHBM dan difasilitasi oleh peneliti. Peran para penggiat PHBM adalah sebagai perencana dan pengambil keputusan.
Sedangkan peneliti berperan sebagai (a) menghubungi pihak
Departemen Kehutanan yang akan diajak bernegosiasi, yaitu Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, (b) fasilitator untuk memfasilitasi diskusi persiapan negosiasi, (c) mediator dalam proses negosiasi dengan Departemen Kehutanan, (d) memfasilitasi diskusi untuk merumuskan hasil negosiasi. Peneliti menghubungi Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan jalur informal secara langsung yaitu sms dan telepon.
Komunikasi ini dapat
dilakukan karena antara peneliti dengan Sekjen Dephut sudah terjalin hubungan baik, sehingga Sekjen Dephut menanggapi permintaan audiensi dengan cepat. Hubungan baik merupakan salah satu alasan memilih Sekjen Dephut sebagai pihak yang diajak bernegosiasi. Selain itu, Sekjen Dephut juga merupakan orang yang memiliki kewenangan cukup tinggi dalam proses pengambilan keputusan, dan bisa menjadi perantara untuk menyampaikan aspirasi kepada Menteri Kehutanan. Proses negosiasi dilakukan dalam 3 tahap yaitu persiapan negosiasi, pelaksanaan negosiasi dan pasca negosiasi. Pada tahap persiapan negosiasi, peneliti sebagai fasilitator menggali pendapat Para Penggiat PHBM tentang tawaran solusi atas konflik yang terjadi dalam penetapan TN Gunung Ciremai.
Tujuan dari diskusi adalah
mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi dalam negosiasi, mulai dari kemungkinan terburuk yaitu dead-lock, sampai kemungkinan terbaik yaitu diterimanya tuntutan masyarakat sepenuhnya. kemungkinan-kemungkinan
tersebut,
maka
Untuk mengantisipasi Para
Penggiat
PHBM
mendiskusikan dan menyusun beberapa tawaran yang akan dinegosiasikan. Metode menggali pilihan solusi dilakukan dengan role-play atau bermain peran. Dalam bermain peran, maka sebagian Para Penggiat PHBM diminta untuk berperan sebagai Sekretaris Jenderal Dephut. Dengan berperan sebagai Sekjen Dephut, maka mereka akan berpikir tentang bagaimana 55
mempertahankan kebijakan Departemen Kehutanan, yaitu Kepmenhut No. 424. Sementara itu, sebagian Para Penggiat PHBM tetap mengajukan tuntutan kepada Departemen Kehutanan. Dari proses diskusi dengan metode bermain peran ini muncul kesadaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses negosiasi. Faktor-faktor tersebut adalah (a) tidak mempertahankan posisi, (b) jangan hanya memiliki satu tawaran solusi saja. Dalam konteks perubahan status Gunung Ciremai, posisi Para Penggiat PHBM adalah menolak Kepmenhut No. 424.
Apabila posisi ini dipertahankan maka akan terjadi dead-lock atau
negosiasi mengalami jalan buntu.
Sementara itu, tawaran solusi yang
dihasilkan juga lebih dari satu. Beberapa tawaran solusi antara lain (a) masyarakat menolak TN Gunung Ciremai, SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai harus dicabut, (b) SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai tidak perlu dicabut, tetapi proses penetapan TN Gunung Ciremai harus diulang dari awal karena tidak ada proses konsultasi publik yang transparan, (c) SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai tidak perlu dicabut, proses tidak perlu diulang tetapi untuk menjamin PHBM bisa diakomodir dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai, maka LPI PHBM harus terlibat dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai.
Ketiga tawaran tsb. tidak dikeluarkan
sekaligus tetapi satu per satu, tergantung situasi pada saat diskusi. Setelah tahap persiapan selesai, maka selanjutnya adalah pelaksanaan negosiasi.
Negosiasi dengan Sekjen Departemen Kehutanan dilakukan di
Manggala Wanabhakti tanggal 27 Desember 2004. Dalam kesempatan tersebut Para Penggiat PHBM Kuningan menyampaikan tiga tawaran solusi yang telah didiskusikan sebelumnya, secara satu per satu. Pihak Departemen Kehutanan tampaknya merespon aspirasi para pihak di Kuningan tersebut, yakni dengan diterbitkannya Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No S.56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005 yang ditujukan kepada Bupati Kuningan dan Bupati Majalengka. Dalam surat Dirjen PHKA tersebut disebutkan beberapa hal penting dalam rangka tindak lanjut TNGC, yakni : (1) Perlu dilakukan kajian lebih lengkap dan 56
komprehensif; (2) Kajian melibatkan para pihak secara partisipatif; (3) Pelaksanaan kajian difasilitasi Pemda; (4) Perlunya pembahasan multi pihak mengenai bentuk pengelolaan TNGC secara kolaboratif sesuai Permenhut No P. 19/Menhut-II/2004 yang berbasis masyarakat, termasuk PHBM; (5) program PHBM yang sudah berjalan dapat dilanjutkan selama sesuai dengan fungsi taman nasional. Hasil negosiasi cukup memuaskan bagi Para Penggiat PHBM. Oleh karena itu, setelah Para Penggiat PHBM kembali ke Kuningan, mereka melakukan konsolidasi melalui dialog multi-pihak.
Dialog ini merupakan
tahap pasca negosiasi. Dialog dimaksudkan untuk membangun kesamaan pemahaman dan komitmen yang dikristalkan dalam Rencana Tindak Lanjut. Hasil keluaran dari pertemuan tersebut adalah Rencana Aksi, yang kemudian menjadi keputusan Bupati Kuningan: SK Nomor 522.81/KPTS.251-Dishutbun/2005 tanggal 11 Juli 2005 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Taman Nasional Gunung Ciremai. Tim dibagi kedalam 3 (tiga) kelompok Kerja (Pokja). Pokja I bertugas mengkaji kebijakan, Pokja II bertugas membentuk format kelembagaan dan mekanismenya dan Pokja III bertugas menyiapkan konsep penataan zonasi.
Monitoring: Ada dua hal yang diamati dan dipantau. Pertama, LPI PHBM sebagai lembaga yang selama ini mendampingi masyarakat dalam pelaksanaan Program PHBM dan kedua sikap para pihak terhadap perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Pengaduan masyarakat tentang kasus Ciremai menunjukkan bahwa masyarakat menaruh kepercayaan kepada LPI PHBM. Kepercayaan ini diraih LPI PHBM karena peran lembaga ini dalam memfasilitasi masyarakat untuk bernegosiasi dengan Perhutani dalam membuat kesepakatan kerjasama, dianggap netral dan membantu masyarakat, terutama untuk mendiskusikan implikasi dari kesepakatan yang dibuat.
Selama bekerja memfasilitasi
57
masyarakat LPI PHBM selalu mendorong terjadinya dialog dan menghindari kekerasan. Ketika organisasi LPI PHBM terpecah, dan di antaranya membentuk Para Penggiat PHBM, maka monitoring dilakukan terhadap Para Penggiat PHBM. Para Penggiat PHBM menjalankan peran mediasi. Para Penggiat PHBM secara sadar berusaha untuk mengembangkan pilihan-pilihan solusi dan setiap pilihan solusi telah dipertimbangkan manfaat dan resikonya. Upaya Para Penggiat PHBM juga menunjukkan sikap berpikir terbuka, artinya mereka tidak terpaku hanya pada pola menang-kalah atau terpatok pada satu solusi saja. Sikap berpikir terbuka ini merupakan sikap yang penting untuk dimiliki oleh Para Penggiat PHBM. Upaya yang dilakukan oleh Para Penggiat PHBM, secara sadar atau tidak juga merupakan upaya untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan dari pihak-pihak yang berkonflik, terutama masyarakat atau petani maupun Pemerintah Kabupaten Kuningan serta Departemen Kehutanan. Proses negosiasi dengan Departemen Kehutanan telah meningkatkan kapasitas Para Penggiat PHBM dalam memandang suatu persoalan. Kapasitas yang dimaksud adalah meningkatnya pemahaman tentang ”gambar besar” dari persoalan yang dihadapi.
Yang dimaksud dengan ”gambar besar” adalah
keterkaitan peristiwa yang terjadi di tingkat Kabupaten Kuningan dengan peritiwa yang terjadi di tingkat nasional berupa dikeluarkannya Kepmenhut No. 424. Gambar besar ini berimplikasi pada semakin tingginya kerumitan penyelesaian masalah dan ketidak pastian.
Hal ini jauh berbeda dengan
pengalaman sebelumnya ketika LPI PHBM membangun kolaborasi dalam pengelolaan hutan dengan Perhutani KPH Kuningan. Pengalaman tersebut hanya terkait dengan peristiwa di Kabupaten Kuningan, sehingga proses penyelesaian masalah bisa dilakukan hanya di tingkat Kabupaten Kuningan. Keluarnya Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No S.56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005 cukup berhasil meredam konflik dan mengurangi ketegangan para pihak yang berbeda pendapat. Bahkan SK Bupati Kuningan untuk membentuk Tim Pengkajian 58
Taman Nasional Gunung Ciremai, adalah hasil dari dialog dari para pihak yang semula berbeda pendapat dan akhirnya menemukan kesamaan pandangan dalam konflik ini.
Siklus II : Strategi Kolaborasi
Gambar 10. Siklus 2: Strategi Kolaborasi Refleksi: Strategi jangka pendek untuk meredam konflik cukup berhasil dilaksanakan.
Keberhasilan ini merupakan momentum untuk merancang
strategi berikutnya. Ada dua hal penting dari Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No S.56/IV-KK/2005. Salah satu butir penting dari Surat Dirjen tsb. adalah perlunya pembahasan multi pihak mengenai bentuk pengelolaan TNGC secara kolaboratif sesuai Permenhut No P. 19/Menhut-II/2004 yang berbasis masyarakat, termasuk PHBM.
Butir ini
adalah langkah maju harus dibangun setelah konflik bisa diselesaikan, yaitu membangun kolaborasi pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai.
59
Proses refleksi dilakukan melalui dialog multi-pihak yang bertujuan untuk membangun kesamaan pemahaman dan komitmen yang dikristalkan dalam strategi kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, ”Strategi kolaborasi seperti apa yang harus dikembangkan untuk mengelola Taman Nasional Gunung Ciremai?” Rencana: Rencana yang disusun untuk tahap ini adalah mengembangkan Strategi Kolaborasi. Strategi kolaborasi yang disusun meliputi lima tahap, yaitu (a) konseptualisasi kolaborasi pengelolaan TN Gunung Ciremai, (b) advokasi kebijakan pengelolaan TN Gunung Ciremai, (c) mendiskusikan payung hukum yang tepat untuk menjalankan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai, serta (d) membuat pedoman kolaborasi dan (e) melaksanakan kolaborasi.
Setiap tahapan dalam pengembangan kolaborasi melibatkan
peneliti dan Para Penggiat PHBM dengan peran yang berbeda-beda. Tabel 7.
Peran Peneliti dan Para Penggiat PHBM dalam Pengembangan Kolaborasi
Tahapan
Peran Peneliti
Peran Para Penggiat PHBM
Konseptualisasi
Memfasilitasi aliansi Para Penggiat PHBM dengan akademisi yang tergabung dalam INFRONT
Peran Peneliti: Melakukan kajian kebijakan, kelembagaan, dan zonasi untuk masukan draft RP TNGC
Advokasi
Menyediakan kerangka proses penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya alam desa, untuk bahan negosiasi tingkat desa
Peran Fasilitator: • Mendorong konsultasi publik dalam penyusunan RP TNGC • Memfasilitasi perjanjian tingkat desa
Diskusi payung hukum
Menerima informasi
Peran Pelaksana: • Menyusun draft MoU • Menghubungi Ditjen PHKA • Diskusi dengan Ka BTNGC Peran Fasilitator: Memfasilitasi kesepakatan Bupati dengan Ka BTNGC
Membuat pedoman kolaborasi
Menerima informasi
Peran Perencana: • Menyusun PKKBM
Melakukan kolaborasi
Menerima informasi
Peran Penerima Informasi
60
Aksi: Aksi dilakukan sesuai dengan tahapan pengembangan kolaborasi yang telah direncanakan sebelumnya.
Secara ringkas, tahapan pengembangan
kolaborasi dan kegiatan yang dilakukan dalam setiap tahapan bisa dilihat pada Gambar 11. Konseptualisasi Tim Kajian Kolaboratif Draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai
Aliansi dengan INFRONT Buku berjudul “Model Pemanfaatan lahan di TN Gunung Ciremai”
Advokasi Kebijakan Pengelolaan TN Gunung Ciremai
Mendorong proses konsultasi publik untuk memberi masukan untuk revisi Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai yang disusun oleh konsultan TN GUnung Ciremai
• Masyarakat desa diposisikan sebagai mitra • Pelibatan para pihak dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai • Penentuan zonasi harus mempertimbangkan aspek sosial
Uji coba kolaborasi di tingkat desa
Desa Pajambon berhasil membuat kesepakatan dengan TN G Ci i Desa Seda dan Trijaya berhasil menyusun rencana pengelolaan sumberda alam desa tetapi tidak berhasil membuat kesepakatan dengan pengelola TN Gunung
Mendiskusikan Payung Hukung Kolaborasi Pengelolaan TN Gunung Ciremai dan menghasilkan MoU yang ditandatangani oleh Bupati Kuningan dan Kepala Balai TN Gunung Ciremai Penyusunan Pokok-pokok Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat (PKKBM) sebagai pedoman untuk melaksanakan kolaborasi yang dimandatkan dalam MoU
Melaksanakan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai : Pembentukan Desa-desa Konservasi
Pembentukan Forum Kemitraan Kawasan Lindung Gunung Ciremai (FKKLGC), pada 25 Maret 2010.
Penegakan hokum dan rehabilitasi kawasan hutan
Gambar 11. Strategi Kolaborasi Pengelolaan TN Gunung Ciremai
61
Tahap pertama: Konseptualisasi Dua kegiatan yang dilakukan
dalam tahap Konseptualisasi adalah
pembentukan Tim Kajian Kolaboratif dan membangun aliansi dengan INFRONT (Institute for Forest and Environment), yaitu wadah atau forum bagi dosen muda dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Tim Kajian Kolaboratif dibentuk berdasar Surat Keputusan Nomor 522.81/KPTS.251-Dishutbun/2005 tanggal 11 Juli 2005 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Taman Nasional Gunung Ciremai. Berdasarkan SK tersebut Tim yang telah terbentuk dibagai kedalam 3 (tiga) kelompok Kerja (Pokja). Pokja I bertugas mengkaji kebijakan, Pokja II bertugas membentuk format kelembagaan dan mekanismenya dan Pokja III bertugas menyiapkan konsep penataan zonasi. Hasil yang telah dicapai kelompok kerja tersebut ditulis dalam Hasil Rumusan Tim Formatur Dewan Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai, yang berisi (a) Konsep Nota Kesepahaman antara Direktur Jenderal PHKA dengan Bupati Kuningan tentang Pengelolaan TN Gunung Ciremai Kolaboratif; (b) Konsep Pembentukan Organisasi dan Mekanisme Kerja Lembaga Kolaborasi TN Gunung Ciremai dan (c) Konsep Penataan Zonasi TN Gunung Ciremai.
Secara keseluruhan hasil dari Tim
Kajian Kolaboratif adalah draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai versi stakeholders Kuningan. Aliansi yang dibangun dengan INFRONT menghasilkan laporan kajian pemanfaatan lahan di TN Gunung Ciremai, yang diterbitkan oleh Pustaka Latin pada tahun 2005.
Tahap kedua: Advokasi Kebijakan Pengelolaan TN Gunung Ciremai Tahap advokasi kebijakan bertujuan untuk meyakinkan pengelola TN Gunung Ciremai terhadap PHBM. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan uji coba kolaborasi di tingkat desa, yaitu Desa Pajambon, Trijaya dan Seda, serta mendorong konsultasi publik dalam menyusun Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Pada tahap uji coba ini, kesepakatan kolaborasi berhasil dicapai di Desa Pajambon
berupa kesepakatan dalam bentuk Nota Kesepakatan Bersama 62
(NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (Lampiran 16 dan 17) sedangkan desa Seda dan Trijaya tidak berhasil mencapai kesepakatan. Desa Pajambon bisa diterima karena: •
Obyek perjanjian adalah pengembangan ekowisata berupa air terjun.
•
Adanya rencana pengelolaan ekowisata yang disusun masyarakat yang terdiri atas hasil inventarisasi potensi ekowisata antara lain air terjun, tumbuhan obat dan tanaman penunjang ekowisata berupa buah-buahan, rencana pengembangan kapasitas pengelola ekowisa, rencana rehabilitasi lahan, rencana pembibitan,
rencana pembangunan fasiltias, rencana
pembagian hasil usaha, kelembagaan yang jelas (struktur organisasi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga). •
Masyarakat mau melakukan pembibitan tanaman endemik yang bibitnya berasal dari dalam TN Gunung Ciremai, dan hasil pembibitan akan digunakan untuk mengganti tanaman semusim yang ditanam masyarakat melalui pola agroforestri
•
Pengelola TN Gunung Ciremai mau mengakomodir tanaman buah-buahan masyarakat dan menyebutnya sebagai tanaman pendukung ekowisata Praktek penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya alam Desa Seda
telah meningkatkan kesadaran masyarakat Desa Seda tentang potensi sumberdaya alam yang ada di desanya, baik yang termasuk di dalam kawasan hutan Negara maupun yang berada di luar. Selain itu, mereka juga mempunyai pemahaman yang lebih luas tentang stakeholders yang bisa diundang untuk mendukung atau membantu masyarakat Desa Seda untuk menjalankan program yang telah disusun.
Artinya, mereka juga mempunyai pilihan sumberdaya
alam yang lebih banyak untuk dikelola. Ketika rencana pengelolaan Desa Seda mulai disusun, ada asumsi bahwa rencana yang dihasilkan akan dapat digunakan untuk membangun kesepakatan dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Namun setelah rencana pengelolaan Desa Seda selesai disusun, maka kesepakatan dengan pengelola TN Gunung Ciremai menjadi tidak mutlak. Yang lebih penting bagi masyarakat Desa Seda adalah mengelola semua potensi sumberdaya alam dengan optimal untuk kesejahteraan masyarakat secara lestari. 63
Pola pemanfaatan lahan (pengelolaan berbasis lahan) yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan TN Gunung Ciremai merupakan salah satu hal yang membuat pihak Balai TN Gunung Ciremai belum merespon keinginan masyarakat untuk mengkaji ulang NKB dan NPK yang baru. Sikap kaku dan pemahaman yang masih konvensional dari pihak Balai TN Gunung Ciremai terhadap aturan yang ada bahwa taman nasional harus steril dari akses manusia merupakan salah satu alasannya. Sementara masyarakat sudah eksis di dalam kawasan jauh sebelum Gunung Ciremai menjadi taman nasional dan secara legal diakui keberadaannya sejak adanya PHBM. Kegiatan pengelolaan kawasan oleh masyarakat melalui penerapan PHBM sebetulnya sudah banyak yang sesuai dengan fungsi kawasan. Salah satu contoh adalah pengembangan agroforestry tanaman kayu hutan dengan jenis MPTS (multi purpose trees species) buah-buahan dan tanaman bawah tegakan seperti lada, nilam, dan lain-lain. Contoh lain adalah pemanfaatan potensi alam sebagai obyek wisata alam. Memang masih ada masyarakat di beberapa desa yang pola pemanfaatan lahannya belum sesuai dengan fungsi kawasannya, yakni dengan kegiatan pertanian sayuran. Namun secara bertahap mereka telah mulai beralih komoditi dengan menanam jenis MPTS buahbuahan sebagai pengganti sayuran, walaupun masih dengan skala-skala kecil karena keterbatasan kemampuan secara swadaya. Masyarakat sebetulnya sudah menyatakan siap dan berkomitmen bila NKB dan NPK segera dikaji ulang dan ditandatangani, maka mereka akan segera beralih komoditi dari sayuran menjadi jenis MPTS buah-buahan, termasuk menanam jenis tanaman tumbuhan endemik asal kawasan hutan Ciremai. Apalagi bila ada fasilitasi pendanaan atau dukungan program dari pihak Balai TN Gunung Ciremai maupun pemerintah daerah.
Hanya
masyarakat mengusulkan agar mereka diberi waktu atau masa tenggang (transisi) sekitar 5 tahun untuk peralihan tersebut.
Masyarkat juga meminta
agar komposisi jenis tanaman adalah 40% : 60%, dimana 40% adalah tumbuhan endemik Ciremai dan 60% adalah tanaman buah-buahan. Pihak Balai TN Gunung Ciremai hanya memberikan masa transisi 3 tahun dan komposisi jenis tanaman 70% : 30% antara tanaman endemik dan 64
buah-buahan. Namun proses transisi tidak bisa berjalan karena (a) pernyataan ini diungkapkan hanya secara lisan (tidak dituangkan menjadi kebijakan tertulis Balai TN Gunung Ciremai), (b) lemahnya proses pengawalan pelaksanaan kebijakan di lapangan, serta (c) tidak segera dilakukannya kaji ulang NKB dan NPK. Faktor lain yang menyebabkan tidak berjalannya proses transisi adalah tidak adanya aturan yang memayungi pemanfaatan kawasan Taman Nasional berbasis lahan serta penanaman dengan jenis MPTS buah-buahan. Guna mengisi kekosongan aturan-aturan yang selalu dijadikan alasan yang akhirnya dirasakan menghambat kegiatan-kegiatan di lapangan, para pihak di Kabupaten Kuningan mendorong untuk dibuatnya kesepakatan bersama antara Balai TN Gunung Ciremai dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan. Kegiatan lain yang dilakukan dalam advokasi kebijakan adalah mendorong konsultasi publik dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Tujuan konsultasi publik adalah mensinergikan hasil Tim Kajian Kolaboratif yang dibentuk oleh Bupati Kuningan dengan hasil Rencana Pengelolaan yang disusun oleh konsultan TN Gunung Ciremai.
Proses
konsutasi publik dilakukan pada tanggal 16 dan 31 Mei 2006 pihak BKSDA Jabar II mengundang para pihak dari Kabupaten Kuningan dan Majalengka untuk membahas Draft Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai (RPTNGC). Secara keseluruhan materi draft tersebut masih mencerminkan sistem pengelolaan Taman Nasional konvensional. Hasil penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai jauh dari harapan para pihak khususnya di Kabupaten Kuningan yang sedang berproses mencari bentuk pengelolaan TN Gunung Ciremai secara kolaboratif. Berdasarkan hal tersebut disepakati untuk membentuk Tim yang anggotanya terdiri atas unsur para pihak Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, BKSDA Jabar II dan konsultan, untuk memperbaiki draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai, agar dalam implementasinya dapat diterima dan didukung para pihak di kedua kabupaten tersebut.
65
Perubahan mendasar yang dihasilkan dalam perbaikan draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai antara lain yaitu : 1. Keberadaan masyarakat desa sekitar hutan beserta kearifan
lokalnya,
diposisikan sebagai potensi dalam perlindungan dan pengamanan hutan serta memberikan peluang kepada masyarakat sebagai mitra Balai TN Gunung Ciremai dengan menerapkan manajemen kolaborasi dan berbagi/sharing sesuai tanggung jawabnya. 2. Mengakomodasi
pelibatan
para pihak
secara partisipatif sebagai
perwujudan pengelolaan TN Gunung Ciremai secara kolaboratif, terutama dalam proses penyusunan Rencana Pengelolaan, penataan zonasi kawasan dan penataan kelembagaan. 3. Dalam analisa penentuan zonasi selain mendasarkan pada aspek potensi sumberdaya alam dan ekosistemnya serta karakteristik biofisik wilayah, juga memperhatikan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar TN Gunung Ciremai. Perbaikan draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai tersebut dilakukan melalui serangkaian focus group discussion dan workshop yang dilakukan di Kabupaten Kuningan maupun Majalengka selama kurun waktu bulan Juni-September 2006. Rangkaian pertemuan para pihak tersebut pada intinya adalah untuk mengintegrasikan hasil kajian pokja-pokja dari Tim Pengkajian TN Gunung Ciremai, terutama integrasi sistem pengelolaan yang telah ada yakni PHBM ke dalam rumusan hasil tim konsultan. Rencana
Pengelolaan
TN
Gunung
Ciremai
ternyata
tidak
mengakomodir hasil kajian Tim Pengakajian TN Gunung Ciremai yang dibentuk oleh Bupati.
Ternyata hal ini terjadi karena proses penyusunan
Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai harus dilakukan oleh pihak ketiga (konsultan), dan tidak bisa dilakukan oleh Tim Pengkajian TN Gunung Ciremai. Hasil dari Tim Pengkajian hanya sebatas masukan dan rekomendasi yang belum tentu diterima oleh konsultan. Di sisi lain, konsultan bekerja berdasarkan perintah dari pemberi pekerjaan atau TN Gunung Ciremai. Dengan demikian apa pun masukan yang diberikan oleh pihak lain, pihak konsultan pasti akan berkonsultasi terlebih 66
dahulu kepada pemberi pekerjaan, apakah setuju atau tidak. Dalam hal ini, setelah melihat hasil pekerjaan konsultan, maka ternyata banyak usulan atau masukan dari Tim Pengkajian TN Gunung Ciremai yang tidak diakomodir dalam Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Kendala lain dalam memantau revisi draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai adalah keterbatasan akses dalam memperoleh informasi dari pengelola TN Gunung Ciremai, termasuk dari konsultan TN Gunung Ciremai. Hal ini bisa saja terjadi karena memang tidak ada kewajiban dari pengelola TN Gunung CIremai untuk memberi akses kepada pihak lain dalam memantau proses revisi.
Tahap ketiga: Diskusi Payung Hukum Kolaborasi Tahap ketiga adalah mendiskusikan payung hukum, yang menghasilkan kesepakatan
atau MoU (Memorandum of Understanding) antara Bupati
Kuningan dengan Kepala Balai TN Gunung Ciremai. Mulai pertengahan tahun 2007, pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan, LSM Kanopi, dan personal-personal yang tergabung dalam LPI PHBM beserta Balai TN Gunung Ciremai kemudian merancang draft kesepakatan bersamanya. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya nota kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Kepala Balai TN Gunung Ciremai dan Bupati Kuningan pada tanggal 2 Februari 2008 tentang Optimalisasi Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Salah satu tujuan dari pembuat Kesepakatan bersama tersebut untuk memayungi kegiatan-kegiatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan Gunung Ciremai melalui PHBM, terutama yang telah sesuai dengan aspek-aspek konservasi. Kesepakatan ini dimaksudkan untuk mengharmoniskan harapan dan kepentingan para pihak di daerah dengan kepentingan pusat beserta aturanaturan pengelolaannya.
Tahap keempat: Menyusun Pedoman Kolaborasi Tahap keempat menyusun pedoman kolaborasi sesuai dengan MoU yang telah ditanda tangani.
Pedoman kolaborasi yang dihasilkan adalah 67
PKKBM (Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat). Konsep PKKBM diharapkan dapat menjadi payung untuk sistem pengelolaan yang akan diimplementasikan di kawasan TN Gunung Ciremai. Konsep ini disusun untuk mengintegrasikan sistem pengelolaan yang telah ada sebelumnya yakni PHBM ke dalam sistem pengelolaan taman nasional yang diatur berdasarkan aturan-aturan yang ada sebelumnya. Pengintegrasian PHBM ini tentu saja melalui penyesuaian-penyesuaian dengan fungsi kawasan konservasi saat ini, misalnya tidak lagi berorientasi pada hasil kayu melainkan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan, serta tidak mengokupasi lahan baru melainkan mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang telah ada secara lestari dengan tanaman MPTS buah-buahan maupun tanaman bawah tegakan.
Tahap kelima: Melaksanakan Kolaborasi Tahap kelima adalah melaksanakan kolaborasi.
Salah satu bentuk
kolaborasi adalah pemanfaatan jasa lingkungan berupa air.
Produk air
merupakan sumberdaya yang potensial karena banyak mata air di Gunung Ciremai memasok air ke Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon. Mata air di wilayah Gunung Ciremai berjumlah 156 buah dan sungai sebanyak 43 buah digunakan untuk irigasi dan kegiatan pariwisata, diantaranya Waduk Darma, Darmaloka, Balong Cigugur, Balong Dalem dan Telaga Remis. Potensi air dari wilayah Gunung Ciremai yang dimanfaatkan untuk industri dan perekonomian, yaitu : 1.
Suplai air untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Cirebon sebesar 200 l / detik dengan imbalan Rp 12.000.000,- per tahun
2.
Suplai air untuk PDAM Kota Cirebon sebesar 800 l / detik dengan imbalan Rp 384.000.000,- per tahun
3.
Suplai air untuk Pertamina Cirebon sebesar 50 l / detik dengan imbalan Rp 12.000.000,- per tahun
4.
Suplai air untuk PT. Indocement Cirebon sebesar 36 l / detik dengan imbalan Rp 96.000.000,- per tahun
5.
PDAM Kabupaten Kuningan tahun 2002 berkontribusi pada PAD sekitar Rp 51.000.000,68
6.
Kegiatan pertanian, perkebunan tebu dan pabrik gula memerlukan suplai air sebesar 2.500 l / detik Berawal dari kebutuhan untuk adanya mekanisme kerjasama pengelolaan
jasa lingkungan air dan wisata alam antara hulu-hilir, saat ini telah disepakati oleh para pihak di CIAYUMAJAKUNING (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) untuk membentuk kelembagaan kolaborasi multipihak. Kesepakatan ini dibangun secara bersama oleh Balai TNGC, pemerintah kabupaten/ kota, LSM, perguruan tinggi, masyarakat desa maupun pihak swasta di Ciayumajakuning melalui dua kali workshop dan rangkaian FGD lanjutannya yang telah difasilitasi Balai TNGC dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Mengingat pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam hanyalah bagian kecil saja dari sistem pengelolaan TN Gunung Ciremai, para pihak tersebut sepakat bahwa kelembagaan kolaborasi ini nantinya tidak hanya mengurusi persoalan kerjasama hulu-hilir kedua potensi itu saja. Kelembagaan tersebut diharapkan dapat mengawal juga kolaborasi pengelolaan TN Gunung Ciremai secara keseluruhan, misalnya kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan lainnya (karbon dan keanekaragaman hayati), harmonisasi pemanfaatan lahan secara lestari, penanganan dan penanggulangan bencana seperti kebakaran hutan dan illegal logging, maupun sinergitas kebijakan dan program pembangunan pemerintah pusat dan daerah). Setelah workshop tanggal 6 Juli 2009 yang difasilitasi Balai TNGC dan tanggal 22 Juli 2009 yang difasilitasi Dishut Provinsi Jawa Barat serta serangkaian FGD lanjutannya, disepakati nama (sementara) kelembagaan kolaborasi tersebut adalah Dewan Kemitraan Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Keanggotaannya terdiri dari perwakilan unsur Balai TNGC, Pemprov Jawa Barat, Pemkab dan Pemkot, perguruan tinggi, LSM, masyarakat desa, serta swasta/perusahaan yang ada di Ciayumajakuning. Direncanakan dewan kemitraan ini akan dilegalkan melalui SK Gubernur Jawa Barat, namun masih dalam proses pembahasan kelembagaannya. Beberapa kekhawatiran masih ada terutama dari institusi pemerintah, baik Balai TN Gunung Ciremai maupun dinas/instansi pemerintah daerah. 69
Kekuatiran mereka adalah dewan kemitraan ini akan menjadi super body yang akan mengambil alih dan menghilangkan kewenangan
pemerintah.
Kekhawatiran lain datang dari pihak swasta terutama dalam pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam. Pengusaha kuatir akan ada pungutan baru yang dibebankan kepada mereka selaku pengguna jasa-jasa tersebut. Sehingga sampai saat ini dewan kemitraan tersebut belum definitif karena masih terus dibahas dan disusun oleh tim kecil kedalaman kelembagaannya agar kekhawatiran para pihak tadi tidak terjadi atau paling tidak diminimalisir.
Monitoring: Beberapa capaian Para Penggiat PHBM adalah (a) berhasil mendorong adanya konsultasi publik dalam penyusunan Rencana Pengelolaaan TN Gunung Ciremai; (b) berhasil menunjukkan contoh Pajambon dan sekarang menjadi salah satu Model Desa Konservasi yang dipromosikan oleh pengelola TN Gunung Ciremai untuk dijadikan sebagai contoh bagi desa-desa lain; dan (c) MoU Bupati dan Kepala Balai TN Gunung Ciremai berhasil ditanda tangani. Sementara itu, sikap para pihak/nilai-nilai yang berhasil dibangun dalam proses dan praktek kolaborasi adalah (a) berusaha mencari win-win solution; (b) mencari solusi konflik tanpa kekerasan dan selalu melalui dialog; (c) membangun contoh lembaga atau pranata sosial sebagai tempat mengadu yang dapat dipercaya oleh masyarakat; (d) berpikir terbuka dan berusaha mencari pilihan-pilihan solusi;
Perubahan
sikap
tersebut
mengindikasikan berubahnya pendekatan konfrontatif yang terjadi ketika konflik mulai mencuat, menjadi pendekatan kolaboratif.
70
Pembahasan Metode Riset Aksi Metode Riset Aksi yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan yang dirasakan selama melakukan penelitian adalah: •
Riset Aksi bersifat responsif.
Riset Aksi dilakukan dalam suatu situasi
yang tidak pasti atau tidak menentu.
Dalam kasus perubahan status
Gunung Ciremai, tanggapan dari masyarakat yang menolak perubahan status dan tanggapan dari para pihak yang setuju dengan perubahan status bersifat dinamis dan tidak pasti. Penelitian konvensional mungkin dapat menangkap fenomena pada suatu waktu tertentu yang pendek, misalnya siapa saja pihak yang saling bertentangan pendapat dan apa motivasinya ketika perubahan status Gunung Ciremai baru terjadi.
Namun dalam
beberapa bulan berikutnya, situasi bisa berubah. Hal ini terjadi ketika Surat Dirjen PHKA yang mengakomodir PHBM dan mendorong partisipasi stakeholder dalam menyusun Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai dikeluarkan. Hal ini mendorong perubahan sikap para pihak, sehingga terjadi konsolidasi. Para pihak yang semula bertentangan bisa bersatu dan mendorong pengelola TN Gunung Ciremai untuk membuka ruang partisipasi bagi stakeholders. Situasi seperti ini yang dapat direspon dengan Riset Aksi. •
Riset Aksi meningkatkan kesadaran pengguna untuk belajar dari pengalaman. Baik peneliti, LPI PHBM dan Para Penggiat PHBM sebagai pihak yang menggunakan Riset Aksi mempunyai banyak kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan mengambil pembelajaran (lessons learned), yang kemudian digunakan untuk memperbaiki kesalahan atas tindakan yang telah lalu. Pengalaman seperti ini telah dilakukan selama Riset Aksi berjalan lebih kurang empat tahun, sehingga memungkinkan terjadinya proses internalisasi di dalam individu pelaku Riset Aksi. Internalisasi akan mendorong pelaku Riset Aksi untuk melakukan proses
71
yang sama, ketika menghadapi masalah setelah Riset Aksi ini selesai dilakukan. •
Riset Aksi bersifat partisipatif.
Berbagai bentuk partisipasi telah
dilakukan, baik oleh peneliti, LPI PHBM maupun Para Penggiat PHBM. Hal ini dapat meningkatkan rasa kepemilikan terhadap proses penelitian, sehingga para pelaku Riset Aksi secara sukarela mengumpulkan informasi yang dibutuhkan.
Contoh pada Siklus I, di dalam Aksi I untuk
memperjelas informasi tentang perubahan status Gunung Ciremai, peran LPI PHBM adalah melakukan dialog dengan para pihak di Kabupaten Kuningan yang dianggap bertanggung jawab dalam proses perubahan status Gunung Ciremai. informasi
di
Sementara itu, peran peneliti adalah mencari
Departemen
Kehutanan.
Pembagian
peran
untuk
mengumpulkan informasi ini juga meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam mencari data. Pada Aksi 2 di Siklus 1 tentang analisis stakeholder, peran LPI PHBM adalah pelaku yang melakukan analisis stakeholder, sedangkan peneliti sebagai fasilitator. Peran LPI PHBM sebagai pelaku analisis stakeholder dapat menghasilkan analisis yang kaya karena mereka betul-betul paham siapa stakeholder. •
Berorientasi pada solusi. Riset Aksi mementingkan solusi atas masalah yang dihadapi. Jadi Riset Aksi tidak hanya memotret masalah, menyusun laporan dan memberi rekomendasi, seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian konvensional. Selain kelebihan dari metode Riset Aksi, selama penelitian dijumpai
pula kekurangan dari Riset Aksi, yaitu: •
Riset Aksi membutuhkan trust atau kepercayaan dari mitra yang akan diajak menjadi pelaku Riset Aksi. Tanpa kepercayaan, sulit bagi peneliti untuk mengajak orang agar mau terlibat dalam Riset Aksi. Trust dapat diraih dengan cara menunjukkan kredibilitas dan komitmennya dalam membantu stakeholders untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti telah bekerja bersama dengan stakeholder
di
Kabupaten
Kuningan
sejak
tahun
2001
untuk 72
mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan hutan, yang melibatkan masyarakat sekitar hutan, Perhutani dan Pemerintah Kabupaten Kuningan. •
Riset Aksi tidak banyak diketahui dan tidak diajarkan di perguruan tinggi, sehingga informasi tentang Riset Aksi harus dipelajari sendiri.
•
Berbeda dengan riset konvensional, dimana studi pustaka dilakukan sebelum riset dilakukan untuk membangun argumentasi terhadap hipotesis, maka Riset Aksi baru mencari literatur setelah Riset Aksi dilakukan, karena literatur yang dicari haruts disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi
•
Riset Aksi lebih lama pelaksanaannya dibanding riset konvensional. Hal ini wajar karena orientasi dari Riset Aksi adalah solusi, yang tidak mungkin diperoleh dalam waktu singkat.
Proses Riset Aksi yang
dilaksanakan oleh peneliti berjalan lebih kurang empat tahun.
Peran Peneliti dalam Riset Aksi Peneliti dalam Riset Aksi menjalankan peran yang bermacam-macam. Ada persamaan dan perbedaan peran antara peneliti Riset Aksi dengan peneliti konvensional. Peran yang sama dengan peran peneliti konvensional, yaitu peran sebagai pengumpul data, analisis data dan penyusun laporan penelitian. Sedangkan peran yang tidak dilakukan oleh peneliti konvensional adalah peran sebagai fasilitator dan mediator. Menurut Braakman dan Edward (2002), kata fasilitasi mempunyai arti “membuat sesuatu menjadi mudah”. Dari segi proses, fasilitasi didefinisikan sebagai suatu proses dimana seseorang membantu pihak lain untuk menyelesaikan pekerjaannya dan memperbaiki cara mereka bekerja bersama. Sedangkan sebagai keahlian,
fasilitasi
adalah keahlian mengelola suatu
pertemuan (a meeting management skill). Oleh karena itu, fasilitasi juga dikatakan sebagai cara membantu kelompok bekerja bersama di dalam pertemuan. Dalam konteks Riset Aksi yang telah dilakukan, peran peneliti sebagai fasilitator di antaranya dilakukan ketika memfasilitasi proses analisis 73
stakeholder dan persiapan negosiasi.
Dalam proses analisis stakeholder,
peneliti membantu LPI PHBM dengan menyediakan kerangka teori analisis stakeholder dan memfasilitasi proses analisis stakeholder. Sementara itu, dalam proses negosiasi, peran fasilitator dilakukan ketika persiapan negosiasi. Peneliti memfasilitasi diskusi untuk merumuskan tawaran-tawaran solusi dengan teknik bermain peran. Teknik bermain peran adalah salah satu keterampilan teknik diskusi yang harus dikuasai oleh fasilitator. Ada berbagai keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang fasilitator. Menurut Braakman dan Edwards (2002), keterampilan fasilitasi terdiri atas 3 tingkat, yaitu (a) keterampilan fasilitasi dasar, misalnya mendengar, menyimak, bertanya, mengamati, merangkum, (b) keterampilan memfasilitasi suatu pertemuan, dan (c) keterampilan memfasilitasi suatu kesepakatan. Semua keterampilan tersebut sebenarnya bisa dilatih melalui suatu pelatihan yang terstruktur, dan selanjutnya bisa diasah atau dipertajam selama Riset Aksi berlangsung. Peran peneliti dalam Riset Aksi, selain sebagai fasilitator juga sebagai mediator.
Menurut Moore (1996), mediator membantu para pihak yang
secara sukarela bersedia mencapai suatu
penyelesaian yang dapat saling
diterima atas isu-su yang disengketakan. Peran mediator dilakukan oleh peneliti ketika memediasi pertemuan antara Para Penggiat PHBM dengan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan pada bulan Desember 2004 di Jakarta. Sebagai mediator, peneliti melakukan dua hal, yaitu membuka komunikasi dengan pihak Departemen Kehutanan, dan memfasilitasi proses negosiasi.
Dua hal ini adalah peran
mediator dari 9 peran mediator yang diidentifikasi oleh Moore (1996). Berdasarkan kelebihan dan kekurangan dari metode Riset Aksi serta peran peneliti dalam Riset Aksi, maka ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan apabila ingin menggunakan metode Riset Aksi, yaitu: • Apabila peneliti ingin membantu mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh sekelompok orang, maka Riset Aksi bisa digunakan. Namun, apabila peneliti hanya ingin memotret atau menggambarkan 74
suatu fenomena tertentu dan setelah itu memberikan rekomendasi, maka Riset Aksi tidak perlu digunakan. • Sebaiknya telah memperoleh trust dari orang-orang yang akan dilibatkan melakukan Riset Aksi • Penelitian tidak dibatasi oleh waktu yang singkat • Peneliti memiliki keterampilan sebagai fasilitator
Netralitas Peneliti Peneliti sejak awal tidak bersikap netral. Peneliti berpihak terhadap masyarakat yang kehilangan akses terhadap kawasan Taman Nasional. Keberpihakan ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: •
Keberpihakan terhadap masyarakat yang kehilangan akses ke kawasan Taman Nasional merupakan keberpihakan terhadap masyarakat yang hakhaknya dilanggar. Keberpihakan ini bersifat universal.
•
Peneliti yang juga menjadi staf LATIN telah bekerja mengembangkan program kolaborasi dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Kuningan sejak tahun 2001.
Pengalaman ini telah menimbulkan hubungan
emosional yang dekat antara peneliti dengan masyarakat. •
Program kolaborasi yang dibangun sejak tahun 2001 juga telah menimbulkan kepercayaan para pihak terhadap peneliti, karena salah satu mitra kerja LATIN sejak 2002 adalah LPI PHBM.
Jenis Konflik Menurut Moore (1996),
ada 5 jenis konflik berdasarkan sumber
penyebab, yaitu konflik nilai, konflik kepentingan, konflik data,
konflik
hubungan, dan konflik struktural. Kelima jenis konflik tersebut juga terjadi dalam perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai.
1. Konflik Nilai Konflik nilai tercermin dalam kasus perubahan status kawasan Gunung Ciremai. Konflik nilai terjadi antara dua paradigm konservasi, yaitu paradigm
75
preservatism dalam pengelolaan taman nasional, dengan paradima Human Welfare Ecology . Nilai konservasi yang sudah berkembang di Indonesia sebenarnya dipengaruhi oleh konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic, yang salah satu tokohnya adalah John Muir.
Dia mempengaruhi pandangan
konservasi sebagian orang-orang Eropa
(Noss dan Cooperrider, 1994),
termasuk bangsa Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic yang berkembang di Eropa itulah yang dianut Belanda dan diterapkan di Indonesia. Dalam konsep ini keberadaan manusia diabaikan, yang dipentingkan adalah kelestarian spesies tumbuhan dan satwa. Pandangan seperti ini mencerminkan paradigma konservasi yang disebut dengan preservationisme (Eckersley (1992). Paradigma ini ditandai dengan pembentukan kawasan Taman Nasional sebanyak-banyaknya (WCMC, 1992). Dalam kasus perubahan status kawasan Gunung Ciremai, jelas sekali terlihat bahwa Departemen Kehutanan juga berupaya untuk memperbanyak kawasan Taman Nasional. Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/MenhutII/2004 yang mengubah status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional bersama dengan 11 taman nasional lainnya, pada tahun 2004 adalah contoh nyata gambaran paradigm preservationism. Paradigma preservationism sebenarnya tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia, karena terbukti banyak kegiatan masyarakat di sekitar hutan yang sesuai dengan tujuan konservasi.
Contoh kegiatan
masyarakat yang sesuai dengan konservasi genetik dilaporkan oleh Dolvina Damus (1992) dalam Nasution et.al., (1995). Untuk konservasi tingkat jenis, contoh diberikan oleh Purwantoro (1992) dan Darnaedi (1992). Sedangkan contoh kegiatan masyarakat yang sesuai dengan konservasi tingkat ekosistem cukup banyak dijumpai, antara lain dilaporkan oleh de Foresta, Kusworo, Michon, Djatmiko (2000), Darusman (2000), Purwanto dan Walujo (1992), Hilwan (1995), dan Soedjito (1995). Fakta berupa contoh-contoh kegiatan masyarakat yang sesuai dengan tujuan konservasi, baik untuk pelestarian tingkat genetik, tingkat jenis, maupun 76
tingkat ekosistem, sesungguhnya menuntut perubahan paradigm konservasi yang diterapkan di Indonesia.
Paradigma konservasi yang mungkin sesuai
dengan situasi di Indonesia adalah paradigm Human Welfare Ecology (Eckersley, 1992) yang mementingkan kualitas lingkungan dan isu-isu sosial yang selama ini diabaikan, seperti hak-hak masyarakat, keseimbangan akses ke sumberdaya
alam,
rekreasi
dan
religi,
serta
kebutuhan
psikologis.
Implementasi paradigm Human Welfare Ecology mendasari pengelolaan ekosistem yang menuntut keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan. Menurut Pimbert (1994), keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan kawasan konservasi dapat dibedakan menjadi 7 tingkat. Tingkat partisipasi stakeholder tersebut adalah (1) passive participation, (2) participation in information giving, (3) participation by consultation, (4) participation for material incentives, (5) functional participation, (6) interactive participation, (7) self-participation. Dalam kasus perubahan status kawasan Gunung Ciremai, keterlibatan publik, baik masyarakat maupun stakeholders di Kabupaten Kuningan masih rendah. Tidak ada proses konsultasi publik yang dilakukan oleh pemerintah sebelum keputusan dibuat, walaupun ada pertemuan tanggal 8 Oktober 2004 yang dianggap sebagai konsultasi publik. Namun sesungguhnya pertemuan itu bukanlah konsultasi publik, karena hanya melibatkan beberapa orang dan tidak bisa mewakili seluruh stakeholder di Kabupaten Kuningan.
Berdasarkan
kerangka teori partisipasi Pimbert (1994), tingkat partisipasi seperti itu masih berada pada tingkat yang paling rendah, yaitu Passive Participation. Tingkat partisipasi yang agak maju terjadi ketika proses penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional. Stakeholder di Kabupaten Kuningan membuat draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai, sementara itu pihak pengelola TN Gunung Ciremai juga telah menyewa konsultan untuk menyusun Rencana Pengelolaan. Secara ideal, hasil dari kedua belah pihak dapat saling melengkapi. Oleh karena itulah diadakan konsultasi publik yang bertujuan untuk mensinergikan draft Rencana Pengelolaan yang dihasilkan baik oleh stakeholder Kuningan maupun konsultan TN Gunung Ciremai.
Pada saat
konsultasi publik, berbagai masukan yang substansial dikemukakan oleh 77
stakeholder Kuningan.
Namun hasil akhir dari Rencana Pengelolaan TN
Gunung Ciremai, ternyata tidak mengakomodir masukan tersebut. Mengacu pada Pimbert (1994), maka partisipasi yang seperti ini termasuk dalam tingkat ketiga, yaitu Participation by Consultation. Tingkat partisipasi yang lebih tinggi terjadi ketika ada proses negosiasi untuk membuat kesepakatan kerjasama pengelolaan obyek wisata di Desa Pajambon. Dalam proses negosiasi tersebut, masyarakat difasilitasi oleh Para Penggiat PHBM untuk mempersiapkan substansi dan proses negosiasi. Namun dalam proses negosiasi, masyarakat sendiri yang mengambil keputusan. Menurut Pimbert (1994), tingkat partisipasi seperti itu sudah mencapai tahap functional participatipation. Berdasarkan analisis di atas, ternyata konflik nilai berimplikasi pada tingkat partisipasi stakeholder dalam pengambilan keputusan, baik untuk penetapan suatu kawasan taman nasional sampai pada pengelolaan taman nasional. 2. Konflik Data Pada tahap awal, ketika ada usulan dari Bupati Kuningan (yang direkomendasikan oleh UNIKU), konflik yang terjadi adalah konflik data. Konflik ini disebabkan oleh perbedaan jenis data yang diungkap dalam usulan tersebut. Di dalam proposal hanya diungkapkan hasil studi UNIKU tentang potensi Gunung Ciremai untuk menjadi taman nasional, seperti potensi keanekaragaman hayati, situs-situs bersejarah, sumber-sumber mata air, serta ancaman terhadap Gunung Ciremai. Sementara itu, para pihak yang menolak penetapan usulan, mempertanyakan tentang tidak adanya data petani yang telah menandatangani kesepakatan PHBM dengan Perum Perhutani KPH Kuningan.
3. Konflik Hubungan Dalam proses selanjutnya, terjadi konflik hubungan karena muncul stereotype bagi para pihak yang mendukung dan yang menolak pengusulan Gunung Ciremai menjadi taman nasional. Para pendukung menanggap bahwa para pihak yang menolak usulan adalah orang-orang yang tidak setuju dengan 78
konservasi dan malah mendorong ekspansi atau perluasan perambahan hutan di Gunung Ciremai, dengan cara melegalkan pola-pola pemanfaatan lahan di kawasan hutan. Pandangan ini juga ada di Ditjen PHKA, yang menganggap bahwa PHBM selain berbasis lahan, juga berorientasi pada pemanfaatan kayu, dimana kedua hal ini tidak boleh dilakukan di kawasan taman nasional. Sementara itu, para pihak yang menolak usulan, lebih melihat keterlibatan UNIKU sebagai tokoh atau pihak di balik proses pengusulan Gunung Ciremai menjadi taman nasional.
Dengan demikian mereka berpandangan bahwa
UNIKU memiliki agenda tersembunyi dalam proses tersebut, misalnya UNIKU ingin memperoleh proyek-proyek konsultasi dan penelitian setelah Gunung Ciremai menjadi taman nasional, baik dari pemerintah, pengelola taman nasional maupun dari donor luar negeri. UNIKU dianggap tidak pro-rakyat dan hanya memprioritaskan kepentingan sendiri. Sesungguhnya, kedua jenis konflik yang terjadi di atas dapat diselesaikan melalui beberapa kegiatan. Konflik data yang terjadi diselesaikan dengan cara menyampaikan data kesepakatan PHBM antara masyarakat dengan Perum Perhutani KPH Kuningan. Data disampaikan secara tertulis kepada Bupati Kuningan. Para pihak yang menolak usulan juga mengirim surat klarifikasi kepada Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. Sementara itu, konflik hubungan diselesaikan dengan cara dialog dan penyampaian data tertulis.
Sasaran utama dari dialog adalah Ditjen PHKA Departemen
Kehutanan dan Sekjen Departemen Kehutanan.
Sasaran ini dipilih karena
selain untuk mengklarifikasi pandangan Departemen Kehutanan tentang PHBM, juga untuk menyampaikan pernyataan sikap dan juga mendiskusikan solusi. Sementara itu, pihak UNIKU tidak diajak berdialog, tetapi para pihak yang menolak usulan lebih mementingkan dialog dengan Bupati Kuningan, yang bertujuan untuk membangun kepercayaan Bupati terhadap kelompok yang menolak usulan Gunung Ciremai menjadi taman nasional. Cara yang dilakukan adalah melakukan silaturahmi sambil menyampaikan data dan argumentasi.
79
4. Konflik Struktural Jenis konflik yang ketiga, dan ini konflik yang paling mendasar adalah konflik struktural. Sumber penyebab konflik adalah kontrol, kepemilikan atau distribusi atas sumberdaya yang timpang, serta kekuasaan dan kewenangan yang tidak setara.
Dengan adanya penetapan TN Gunung Ciremai pada
Oktober 2004, maka masyarakat yang sudah mengelola lahan dengan pola PHBM menjadi kehilangan kontrol dan akses atas lahan yang dikelola. Hal ini senada dengan pendapat Firmansyah (2004) yang menyatakan bahwa sejak awal dilakukannya inisiatif pengelolaan hutan, terjadi penggusuran besarbesaran terhadap hak atas sumberdaya hutan (tenurial rights) yang disandang oleh masyarakat lokal. Kesepakatan yang dibangun menjadi tidak berlaku lagi.
Hal ini
menunjukkan terjadinya kekuasaan atau kewenangan yang tidak setara. Pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dengan kekuasaannya telah menunjuk Gunung Ciremai menjadi taman nasional, sementara itu pengelola hutan sebelumnya, yaitu Perum Perhutani KPH Kuningan, tidak mempunyai kekuasaan untuk menolak kebijakan itu. Akibatnya, masyarakat yang menjadi mitra Perhutani juga terkena dampaknya.
Mereka sama sekali tidak bisa
menolak walaupun mereka telah membuat kesepakatan dengan Perhutani. Setelah Gunung Ciremai menjadi taman nasional dan dikelola oleh BKSDA Jabar II dan kemudian diganti oleh Balai TN Gunung Ciremai, maka ketimpangan dan ketidak setaraan masih terjadi. Tuntutan masyarakat agar Balai TN Gunung Ciremai mengkaji ulang kesepakatan yang dulu dibuat antara masyarakat
dengan
Perum
Perhutani
KPH
Kuningan,
tidak
pernah
dilaksanakan. Padahal kajian ini bisa meningkatkan posisi masyarakat menjadi lebih setara dengan Balai TN Gunung Ciremai. Selain itu, review terhadap kesepakatan juga dapat mendorong munculnya kesepakatan baru, sehingga dapat memimalkan ketimpangan dalam hal kontrol atau akses terhadap sumberdaya alam. Demikian pula yang terjadi ketika upaya untuk terlibat dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai tidak bisa dilakukan,
80
maka ini menunjukkan bahwa Balai TN Gunung Ciremai mempunyai kewenangan yang lebih besar daripada Pemerintah Kabupaten Kuningan. Solusi untuk konflik struktural inilah yang masih terus dicari sampai sekarang. Upaya yang dilakukan berupa mendorong lahirnya “pengecualian kebijakan” telah dilakukan, misalnya dalam bentuk SK Dirjen PHKA dan MoU antara Bupati Kuningan dengan Balai TN Gunung Ciremai.
Proses Penyelesaian Konflik Langkah-langkah yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai adalah: 1.
Memperjelas informasi tentang perubahan status Gunung Ciremai dan proses terjadinya konfllik. Upaya ini dilakukan oleh LPI PHBM Kuningan dan bertujuan untuk mempelajari proses terjadinya konflik dan jenis konflik yang muncul. Kegiatan yang dilakukan adalah meminta klarifikasi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kuningan dan UNIKU, serta Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II dan Kepala Sub-Direktorat Pengelolaan
Kawasan
Konservasi,
dan
mencari
surat-surat
yang
berhubungan dengan perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.
Proses investigasi ini
memperoleh informasi yang cukup jelas. Hal ini bisa dilakukan karena di dalam organisasi LPI PHBM ada anggota yang berasal dari instansi pemerintah kabupaten Kuningan yang bisa meminta informasi atau mengcopy surat yang dicari. Selain itu hubungan dengan BKSDA Jabar II juga dijaga supaya tidak konfrontatif, sehingga proses klarifikasi bisa dilakukan dengan terbuka. 2.
Analisis stakeholder untuk melihat posisi dan kepentingan para stakeholder, serta melihat peluang dan kesamaan pandangan dari para pihak yang bisa dijadikan sebagai titik masuk untuk menyelesaikan konflik.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa stakeholder utama
yang diharapkan bisa menjadi titik awal untuk menyelesaikan konflik adalah pemerintah pusat, Departemen Kehutanan. Dalam proses analisis stakeholder terlihat polarisasi antara kelompok yang setuju dan yang tidak 81
setuju dengan perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Hasil lain yang diperoleh dari analisis stakeholder adalah titik temu atau kesamaan pandangan bahwa Gunung Ciremai harus dilindungi apa pun statusnya, asalkan tetap mempertimbangkan aspek social.
Selain itu
proses perubahan status diprotes karena tidak dilakukan melalui proses konsultasi seperti yang diatur dalam peraturan. Satu hal yang penting adalah sikap para pihak di Kabupaten Kuningan untuk tidak saling menyalahkan satu sama lain tetapi berorientasi pada mencari penyelesaian konflik. 3.
Persiapan negosiasi. Dalam persiapan negosiasi dengan Departemen Kehutanan didiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam negosiasi. Hal ini dilakukan dengan metode permainan peran atau “role play”.
Melalui “role play”, Para Penggiat PHBM yang akan
bernegosiasi dengan Departemen Kehutanan, diminta berpikir dan menyatakan pendapat atau berposisi sebagai pejabat Departemen Kehutanan. Dari “role play” diperkirakan isu-isu yang mungkin dan tidak mungkin untuk dinegosiasikan. adalah
mencabut
Surat
SK.424/Menhut-II/2004
dan
Isu yang tidak mungkin dinegosiasikan
Keputusan mengulang
Menteri proses
Kehutanan konsultasi
No. publik.
Departemen Kehutanan tidak mungkin mencabut keputusan atau mengulangi proses yang sudah terjadi. Hal ini akan mengurangi wibawa Departemen Kehutanan. Sedangkan isu yang mungkin bisa dinegosiasikan adalah pertimbangan sosial atau keberadaan PHBM dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. 4.
Mendiskusikan pilihan-pilihan solusi dan menyusun skenario. Upaya ini dilakukan oleh Para Penggiat PHBM yang akan bernegosiasi dengan Departemen Kehutanan. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan kisaran solusi, mulai dari solusi yang paling diinginkan oleh Para Penggiat PHBM sampai solusi yang paling diinginkan oleh Departemen Kehutanan. Cara untuk menyampaikan pilihan-pilihan solusi atau skenario negosiasi juga didiskusikan.
Skenario yang dimaksud meliputi cara dan urutan
penyampaian dan membuat suasana atau situasi negosiasi atau perdebatan. 82
Pilihan solusi ini ternyata efektif dalam proses negosiasi karena proses diskusi dapat berlangsung dengan kemungkinan dead-lock yang kecil. Kemungkinan dead-lock akan besar apabila salah satu pihak hanya berpikir hanya satu solusi saja.
Dan ini tidak diinginkan oleh Para
Penggiat PHBM. 5.
Negosiasi.
Proses negosiasi dilakukan di ruangan kantor Sekretaris
Jenderal Departemen Kehutanan di Jakarta. Pihak yang diajak negosiasi adalah Sekjen Dephut pada waktu itu, yaitu Ir. Wahyudi Wardoyo, MS. Beberapa alasan dipilihnya Sekjen untuk bernegosiasi adalah (a) Sekjen adalah pejabat di bawah Menteri Kehutanan yang diharapkan dapat membuat keputusan, (b) Sekjen dikenal sebagai mantan pejabat di bidang konservasi namun memiliki kepedulian terhadap aspek social sehingga diharapkan dapat berpikir cukup terbuka dalam menerima usulan solusi. Dalam proses negosiasi ternyata Sekjen juga memanggil Direktur Pengelolaan Kawasan Konservasi sehingga selain negosiasi dapat dilakukan klarifikasi tentang alasan dan proses perubahan status Gunung Ciremai oleh Direktur Pengelolaan Kawasan Konservasi, dan klarifikasi Para Penggiat PHBM tentang keberadaan PHBM di kawasan TN Gunung Ciremai. Proses klarifikasi ini menjadi penting karena masing-masing pihak dapat menerima informasi langsung dari pihak yang paling berkepentingan. Proses klarifikasi membuat negosiasi menjadi berjalan lebih lancar karena masing-masing pihak memiliki informasi yang sama. 6.
Bersikap pro-aktif dalam mengantisipasi hasil negosiasi. Setelah melalui perdebatan tentang solusi-solusi yang ditawarkan, akhirnya disepakati solusi yang menjadi jalan tengah. Bagi Para Penggiat PHBM, solusi jalan tengah inipun sebenarnya sudah didiskusikan menjadi salah satu pilihan. Dengan demikian mereka siap untuk mengantisipasi keluarnya solusi jalan tengah. Dan setelah disepakati secara lisan dan negosiasi selesai, maka Para Penggiat PHBM langsung berkumpul kembali hari itu juga untuk merumuskan hasil negosiasi secara tertulis dan sekaligus membuat draft surat keputusan dari Departemen Kehutanan tentang hasil negosiasi. Draft 83
surat keputusan tersebut diserahkan pada hari yang sama kepada Direktur Pengelolaan Kawasan Konservasi. Dan draft surat keputusan itulah yang kemudian menjadi Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No S.56/IV-KK/2005. 7.
Konsolidasi para pihak. Surat Dirjen PHKA No. S.56/IV-KK/2005 dapat membuat situasi konflik di TN Gunung Ciremai yang tegang menjadi mereda.
Kesempatan ini digunakan oleh Para Penggiat PHBM untuk
melakukan konsolidasi, antara lain melalui dialog multi-pihak. Dialog tersebut dimaksudkan untuk membangun kesamaan pemahaman dan komitmen yang dikristalkan dalam Rencana Tindak Lanjut. Hasil keluaran dari pertemuan tersebut adalah Rencana Aksi, yang kemudian menjadi keputusan Bupati Kuningan. 8.
Formalisasi melalui keputusan Bupati. Proses konsolidasi para pihak di Kabupaten Kuningan diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati Kuningan SK Nomor 522.81/KPTS.251-Dishutbun/2005 tanggal
11 Juli 2005
tentang Pembentukan Tim Pengkajian Taman Nasional Gunung Ciremai. Berdasarkan SK tersebut Tim yang telah terbentuk dibagai kedalam 3 (tiga) kelompok Kerja (Pokja).
Pokja I bertugas mengkaji kebijakan,
Pokja II bertugas membentuk format kelembagaan dan mekanismenya dan Pokja III bertugas menyiapkan konsep penataan zonasi. Proses penyelesaian konflik yang telah dilakukan, merupakan upaya untuk mencapai konsensus.
Menurut Fisher (2005), ada 3 tahap untuk
mencapai konsensus yaitu pra-negosiasi, negosiasi, dan pasca negosiasi. Apabila mengacu pada teori Fisher (2005), maka proses pra-negosiasi yang telah dilakukan mencakup langkah 1 sampai dengan 3; tahap negosiasi adalah langkah 4, 5, 6 dan 7; dan tahap pasca negosiasi adalah langkah 8. Namun, sebenarnya langkah yang dilakukan untuk setiap tahap, tidak seratur persen sesuai dengan teori Fisher (2005).
Langkah pra-negosiasi
menurut Fisher mencakup (a) memulai inisiatif, (b) menentukan keperwakilan, (c) menyusun aturan main dan agenda bersama, dan (d) pencarian fakta bersama.
Apabila dilihat dari kegiatan yang dilakukan dalam tahap pra-
84
negosiasi, maka terlihat bahwa ada dua pihak yang terlibat.
Berbeda dengan
Fisher (2005), di dalam pelaksanaan pra-negosiasi dalam kasus perubahan status Gunung Ciremai dilakukan secara sepihak. Proses mencari kejelasan informasi dan konflik yang terjadi, analisis stakeholder, dan persiapan negosiasi, dilakukan oleh LPI PHBM dan Para Penggiat PHBM. Pihak yang akan diajak berunding, yaitu Departemen Kehutanan tidak dilibatkan. Pada pelaksanaannya,
proses
yang
dilakukan
sepihak
ini
cukup
berhasil
mempersiapkan Para Penggiat PHBM dalam bernegosiasi dengan Departemen Kehutanan. Pada tahap negosiasi, Fisher (2005) menyebutkan ada 5 kegiatan yang dilakukan, yaitu (a) menemukan pilihan yang saling menguntungkan, (b) mengemas kesepakatan, (c) memproduksi kesepakatan, (d) mengikat para pihak untuk berkomitmen, dan (e) ratifikasi. Sementara itu, dalam pelaksanaan negosiasi dilakukan 3 kegiatan, yaitu persiapan negosiasi,
mendiskusikan
pilihan-pilihan solusi dan menyusun scenario, melaksanakan negosiasi, serta konsolidasi stakeholder di Kabupten Kuningan. Apabila dibandingkan antara pelaksanaan negosiasi dengan teori negosiasi Fisher (2005), maka ada kesesuaian kegiatan yaitu kegiatan menemukan pilihan yang saling menguntungkan, mengemas kesepakatan, dan memproduksi kesepakatan, serta kegiatan untuk mengikat para pihak berkomitmen dalam melaksanakan kesepakatan. Namun tidak ada kegiatan ratifikasi. Pada tahap pasca negosiasi, Fisher (2005) menyatakan ada 3 kegiatan yang dilakukan, yaitu mencari keterkaitan
kesepakatan dengan kebijakan
formal, monitoring dan menegosiasikan kembali kesepakatan, jika diperlukan. Yang dilakukan dalam tahap pasca negosiasi adalah internalisasi.
Proses
internalisasi dilakukan dengan mendorong keluarnya SK Bupati Kuningan untuk melegitimasi kesepakatan yang telah dibuat. Berdasarkan pelaksanaan negosiasi dalam kasus perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai, maka dapat disimpulkan bahwa hasil negosiasi cukup berhasil, tetapi pelaksanaan hasil negosiasi ternyata kurang berhasil. Apabila kenyataan tersebut dibandingkan dengan teori Fisher (2005), 85
maka beberapa hal yang penting dilakukan adalah keterlibatan kedua belah pihak sedari awal negosiasi, ratifikasi hasil negosiasi, monitoring pelaksanaan negosiasi, serta menegosiasikan kembali kesepakatan. Keterlibatan para pihak yang bernegosiasi sedari awal tidak dilakukan oleh Para Penggiat PHBM. Pada tahap negosiasi tampaknya hal itu tidak menjadi masalah, karena proses negosiasi ternyata membawa hasil yang cukup baik. Namun apabila dilihat secara keseluruhan, terutama pasca negosiasi dan pelaksanaan hasil negosiasi, maka tidak terlibatnya kedua pihak sejak awal mungkin menjadi penyebab hasil negosiasi sulit untuk dilaksanakan.
Oleh
karena itu apabila akan dilaksanakan negosiasi ulang, maka proses pranegosiasi dari Fisher (2005) lebih baik diikuti. Ratifikasi hasil atau kesepakatan yang dibuat perlu dilakukan, antara lain dalam bentuk penanda tanganan dokumen kesepakatan oleh Departemen Kehutanan dan Bupati Kuningan. Proses ratifikasi juga harus memasukkan kegiatan sosialisasi hasil kesepakatan yang diratifikasi, baik kepada pengelola TN Gunung Ciremai, maupun stakeholder di Kuningan termasuk masyarakat. Monitoring
pelaksanaan
kesepakatan
yang
tidak
dilakukan
menyebabkan pengingkaran hasil kesepakatan dilakukan tanpa ada sangsi, dan tanpa ada upaya untuk memperbaiki penyimpangan tersebut. Monitoring perlu dilakukan oleh kedua belah pihak, dengan menyepakati kriteria dan indikator yang akan digunakan dalam monitoring. Peluang untuk menegosiasikan ulang kesepakatan harus tetap dibuka. Hal ini yang tidak dilakukan dalam pelaksanaan negosiasi di lapangan. Akibatnya, hasil negosiasi menjadi tidak berarti dan tidak berjalan. Apabila diperlukan, proses negosiasi ulang dapat mengundang pihak ketiga yang disepakati.
Pembelajaran dari Proses Penyelesaian Konflik Proses penyelesaian konflik dalam 8 langkah merupakan proses yang dihasilkan dari proses riset aksi dan menghasilkan beberapa pembelajaran (lessons learned). Pembelajaran pertama, dalam analisis stakeholder, selain memahami siapa saja pihak yang berkepentingan dan apa kepentingan serta 86
bagaimana pengaruh mereka, maka analisis stakeholder juga mengidentifikasi kekuatiran pihak lawan dan bagaimana mengantisipasinya.
Kedua, dalam
proses analisis stakeholder tidak boleh memunculkan sikap saling menyalahkan tetapi mencari kesamaan yang bisa ditindak lanjuti. Ketiga, kesamaan bisa diidentifikasi ketika para pihak mau mendiskusikan tujuan dan bukannya posisi. Keempat, dalam proses negosiasi harus menemukan orang yang tepat dan bisa mengambil keputusan sehingga proses dapat dilakukan lebih cepat. Kelima mengantisipasi kemungkinan hasil negosiasi dengan menyiapkan berbagai pilihan solusi yang mungkin dilakukan.
Keenam, formalisasi hasil
negosiasi melalui keputusan Bupati dapat melegitimasi proses konsolidasi para pihak. Pembelajaran yang diperoleh dari proses penyelesaian konflik sebenarnya merupakan sikap kolaboratif. Sikap kolaboratif ini menjadi penting dalam mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai.
Tingkat Kolaborasi Kolaborasi yang terjadi di Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan Borrini-Fayerabend (1996) berada pada tahap yang berbeda-beda, berdasarkan tingkatan dan para pihak yang berinteraksi. Kolaborasi yang cukup sukses terjadi di tingkat desa, khususnya di Desa Pajambon yang berhasil membuat kesepakatan kerjasama dengan pengelola TN Gunung Ciremai. Kesepakatan berisi tentang pengelolaan obyek wisata air terjun Cilengkrang, termasuk pembagian tugas, tanggung jawab dan wewenang, sampai kepada pembagian keuntungan. Menurut BorriniFayerabend (1996), kondisi tersebut menunjukkan kolaborasi yang cukup maju karena telah berada pada tahap “Berbagi otoritas dan tanggung jawab dalam bentuk formal”. Contoh di Desa Pajambon menunjukkan bahwa pengelola TN Gunung Ciremai telah mengubah peran dari pengawasan penuh oleh pengelola menjadi kerjasama antara pengelola TN Gunung Ciremai dengan masyarakat dalam mengontrol
sumberdaya
alam
bahkan
dalam
beberapa
hal
telah
mendelegasikan sebagian pengawasan kepada stakeholder. 87
Dalam konteks kerjasama antara pengelola TN Gunung Ciremai dengan masyarakat, telah dilakukan upaya mencari kesepakatan atau konsensus tentang isu-isu yang relevan, yaitu obyek wisata yang akan dikelola dan lahan yang sudah digarap oleh masyarakat dengan system agroforestri.
Hal ini
menggambarkan bahwa konsensus yang ingin dicapai terkait dengan akses masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam di dalam kawasan TN Gunung Ciremai. Sementara itu, dalam konteks pembagian otoritas dan tanggung jawab, kolaborasi yang telah berjalan di Desa Pajambon telah melalui tahap negosiasi. Pada tahap negosiasi ini dibahas dengan lebih detail tentang sejauh mana akses masyarakat yang bisa disepakati, baik untuk obyek wisata maupun lahan agroforestri. Obyek wisata alam berupa air terjun bisa disepakati tanpa perdebatan yang terlalu panjang. Hal ini disebabkan karena masyarakat telah berhasil menunjukkan kapasitas dan pengalamannya dalam mengelola obyek wisata ini. Kedua, obyek air terjun merupakan bagian dari jasa lingkungan berupa wisata, yang juga diperbolehkan untuk dikelola sesuai dengan peraturan perundangundangan tentang konservasi. Di sisi lain, pemanfaatan lahan berupa agroforestri yang terletak di sepanjang jalan setapak menuju obyek wisata air terjun, diperdebatkan cukup panjang.
Hal ini disebabkan pemanfaatan lahan di dalam kawasan taman
nasional tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang konservasi, bahkan cenderung untuk dilarang. Selain itu, jenis tanaman yang ditanam melalui system agroforestri lebih banyak tanaman buah-buahan yang dikombinasikan dengan tanaman palawija. Jenis tanaman inilah yang menjadi keberatan pengelola TN Gunung Ciremai.
Pihak pengelola TN Gunung
Ciremai lebih menginginkan tanaman endemik sebagai pengganti tanaman buah-buahan.
Akhirnya masyarakat berhasil meyakinkan bahwa tanaman
buah-buahan bisa menjadi penunjang obyek wisata karena dapat dimanfaatkan pula oleh pengunjung, dan pohon buah-buahan juga berfungsi untuk melindungi tanah dari erosi dan menjaga fungsi tata air. Sedangkan tanaman
88
palawija secara perlahan-lahan akan diganti dengan empon-empon dan tanaman lain yang tahan naungan yang juga bernilai ekonomi. Negosiasi akhirnya menyepakati bahwa tanaman yang ditanam melalui system agroforestri dapat diterima dengan menyatakan bahwa tanaman tersebut adalah tanaman penunjang wisata. Selain itu negosiasi juga membahas tentang pembagian tugas, tanggung jawab dan wewenang, sampai kepada pembagian keuntungan. Kondisi ini semakin memperjelas bahwa tahap kolaborasi di Desa Pajambon berada pada tahap “Berbagi otoritas dan tanggung jawab dalam bentuk formal”. Hal ini menarik karena contoh kolaborasi yang dibangun di Desa Pajambon ternyata tidak diikuti dengan pengembangan kolaborasi di desa-desa lain. Dan bahkan perkembangan terakhir (Maret 2011), pengelola TN Gunung Ciremai menghendaki agar kesepakatan yang dibangun diubah menjadi Ijin Pemanfaatan Jasa Lingkungan. Dengan demikian kelompok masyarakat harus mengikuti prosedur untuk memperoleh Ijin tersebut. Masyarakat keberatan dengan usulan dari pengelola TN Gunung Ciremai, karena pihak yang berhak meminta ijin adalah perorangan, bukan kelompok tani atau koperasi. Ketua kelompok pengelola ekowisata menolak karena selama ini perjanjian sudah diusulkan, dibahas dan dinegosiasikan secara berkelompok. Dengan demikian sudah ada kesepakatan dan pembagian tugas dengan anggota kelompok. Apabila permohonan ijin dilakukan hanya oleh perorangan, maka dikuatirkan anggota kelompok tidak akan merasa terlibat dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan ekowisata. Kolaborasi yang terjadi di tingkat kawasan diharapkan dapat membangun kesepakatan tentang kerjasama para pihak untuk mengelola seluruh kawasan TN Gunung Ciremai secara kolaboratif.
Kegiatan yang
dilakukan adalah mendorong konsultasi public untuk memberi masukan terhadap Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai.
Masukan dari hasil
konsultasi public memang dicatat tetapi tidak dijamin menjadi perbaikan Rencan Pengelolaan TN Gunung Ciremai.
Satu isu yang masih menjadi
persoalan adalah PHBM dalam konteks pemanfaatan kawasan berbasis lahan. Belum tuntasnya isu ini menunjukkan bahwa proses kolaborasi yang dibangun 89
baru pada tahap mencari consensus, dengan demikian proses selanjutnya tidak bisa berjalan. Isu pemanfaatan kawasan berbasis lahan sesungguhnya juga menjadi persoalan ketika bicara kolaborasi di tingkat desa. Desa Pajambon berhasil mencapai kesepakatan karena obyek kerjasama adalah wisata air terjun, bukan pemanfaatan lahan. Sementara itu Desa Seda dan Trijaya mengusulkan PHBM berbasis lahan. Kegiatan kolaborasi baik di tingkat desa maupun tingkat kawasan akan lebih berkelanjutan apabila masalah akses masyarakat untuk memanfaatkan lahan di dalam kawasan TN Gunung Ciremai bisa dituntaskan.
Masalah
pemanfaatan berbasis lahan merupakan akar konflik yang diidentifikasi sejak awal dan sempat dianggap tuntas ketika keluar Surat Dirjen PHKA pada tahun 2005, yang mengakui adanya PHBM. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, ternyata Surat Dirjen PHKA ini masih belum memiliki kekuatan untuk mendorong pengelola Balai TN Gunung Ciremai untuk mengakomodir PHBM. Perlu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya Peraturan Menteri Kehutanan bahkan Peraturan Pemerintah. Namun, pada waktu itu belum ada peraturan yang bisa menjadi payung hukum yang bisa digunakan.
Pengelolaan TN Gunung Ciremai di Masa Depan Pengelola TN Gunung Ciremai telah menunjukkan langkah-langkah kolaborasi dengan mengembangkan desa-desa konservasi dan membentuk Forum Kemitraan Kawasan Lindung Gunung Ciremai.
Kolaborasi yang
dilaksanakan akan lebih berarti apabila dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Mengubah paradigm pengelolaan Taman Nasional, dari Preservatism menjadi Human Welfare Ecology. Perubahan paradigm ini harus diikuti oleh kemampuan atau kapasitas pengelola TN Gunung Ciremai untuk tidak hanya mengelola ekosistem tetapi juga mengelola isu-isu sosial yang selama ini diabaikan. Selain itu, pelaksanaan paradigm Human Welfare Ecology juga menuntut keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan.
90
2.
Membuka ruang partisipasi publik dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Hal ini dapat dilakukan dengan mengakomodir hak masyarakat untuk dapat memanfaatkan kebun campuran yang berada di dalam kawasan TN Gunung Ciremai. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah melakukan negosiasi ulang tentang kesepakatan yang telah dibuat dan dituangkan dalam Surat Dirjen PHKA No. S.56/IV-KK/2005. Hal ini dapat dilakukan, sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang memberikan peluang bagi masyarkat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan Taman Nasional. Dalam Pasal 35 PP No. 28 tahun 2011 tentang Pemanfaatan Taman Nasional disebutkan pada ayat (1) bahwa Taman Nasional dapat dimanfaatkan antara lain untuk pemanfaatan tradisional. Pada ayat (2) disebutkan yang dimaksud dengan pemanfaatan tradisional dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi. Selanjutnya dalam Pasal 49 tentang Pemberdayaan Masyarakat disebutkan pada ayat (2) bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan KSA atau KPA.
Pada ayat (3) disebutkan bahwa
Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui (a) pengembangan desa konservasi, (b) pemberian izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam; dan (c) fasilitasi kemitraan pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.
91
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Perubahan status kawasan hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai pada bulan Oktober 2004 telah menimbulkan konflik. Konflik yang terjadi telah menimbulkan polarisasi yang tajam antara kelompok yang pro dan kontra dalam perubahan status tersebut, dan cenderung mengarah kepada sikap konfrontatif.
Proses penyelesaian konflik yang
dilakukan melalui 3 tahap (memperjelas informasi tentang perubahan status Gunung Ciremai, analisis stakeholder dan negosiasi) berhasil mengubah sikap konfrontatif para pihak menjadi kolaboratif. Sikap ini menjadi landasan yang kuat bagi pengembangan strategi kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Strategi kolaborasi yang dikembangkan untuk pengelolaan TN Gunung Ciremai meliputi konseptualisasi, advokasi kebijakan TN Gunung Ciremai, diskusi payung hukum kolaborasi, membuat pedoman kolaborasi, serta melaksanakan kolaborasi
Saran Selama membangun strategi kolaborasi, masalah utama yang sulit untuk dinegosiasikan adalah pemanfaatan lahan di dalam kawasan TN Gunung Ciremai.
Selama masalah itu tidak dapat diselesaikan maka kemungkinan
kolaborasi seperti yang digambarkan oleh Borrini-Fayerabend (1996) hanya akan mencapai tahap mencari konsensus. Masalah pemanfaatan lahan (PHBM berbasis lahan) di dalam kawasan Taman Nasional harus diselesaikan tuntas agar kolaborasi bisa berkembang atau berkelanjutan.
92
DAFTAR PUSTAKA
Aliadi, A dan Kaswinto. 2000. Dari 7 ha Menjadi 1000 ha, Apa Maknanya ? Pengalaman Pendampingan Masyarakat di Desa-desa Penyangga TN Meru Betiri. Artikel dalam Aliadi, A. dan B. Kismadi. 2000. Berbagi Pengalaman Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat. Pustaka LATIN. Bogor. Alwasilah, A.C. 2011. Pokoknya Action Research. Kiblat. Bandung. Braakman, L and K. Edward. 2002. The Art of Building Facilitation Capacities: A Training Manual. Bangkok. RECOFTC. Borrini-Feyerabend, G. 1996. Collaborative Management of Protected Areas: Tailoring the Approach to the Context. International Union for the Conservation of Nature. Gland, Switzerland. Darusman, D., (Ed.). 2000. Ketika Rakyat Mengelola Hutan: Pengalaman dari Jambi. WARSI. Jambi. Darnaedi, S.Y. 1992. Kearifan Budaya Dalam Tradisi Pengobatan Orang Sumbawa Barat Daya, Nusa Tenggara Barat. Dalam R.E. Nasution, S. Riswan, P. Tjitropranoto, E.B. Walujo, W. Martowikrido, H. Roemantyo, S.S. Wardoyo. 1992. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pertanian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Perpustakaan Nasional. Jakarta. De Foresta, H., A. Kusworo, W.A. Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia, Sebuah Sumbangan Masyarakat. ICRAF. Bogor. Dewi, R. 2006. Analisis Penghidupan Masyarakat di Desa Seda, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan. Laporan Penelitian. LATIN. Bogor. DFID, 1995. Stakeholder Participation and Analysis. Social Development Division Department for International Development (DFID), London, UK. Dick, B. 1997. Action learning and action research [On line]. Available at http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/actlearn.html. Download tanggal 10 Juni 2006. ---------. 1997. You want to do an Action Research Thesis? Available at http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/.
[On line].
---------. 1997. Participative processes [On line]. Available http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/partproc.html
at
---------. 1997. Approaching an action research thesis: an overview [On line]. Available at http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/phd.html
93
---------. 2000. Cycles within cycles. Available http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/cycles.html. tanggal 10 Juni 2006.
on line: Download
---------. (2000). A beginner's guide to action research [On line]. Available at http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/guide.html. Download tanggal 10 Juni 2006. Doucet, Ian (editor). 1996. Resource Pack for Conflict Transformation; a Collection of Material for Trainers, Trainees, Faciliitator and Others inerested in Transformaing Violent conflict. London: International Alert. Eckersley, R. 1992. Environmentalism and political theory. Toward an ecocentric approach, p. 33-45,49. London, University College London Press. Effendi, E. 2000. Technical Report Analisis Keuangan Taman Naisonal di Indonesia: Pendekatan Inovatif Penggalangan Dana Tambahan Konservasi dan Ide Penerapan Desentralisasi Sistem Pembiayaan Taman Nasional. NRM/EPIQ. Jakarta. FAO. 1995. "Combating deforestation" and the Non-legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on the Management, Conservation and Sustainable Development of All Types of Forests. Report of the Secretary-General. United Nations Economic and Social Council, Commission on Sustainable Development. Third session, 11-28 April 1995. New York. Fathoni, T. 2005. Kolaborasi dalam Pengelolaan Taman Nasional Model. Makalah dalam Prosiding Sarasehan Nasional Membangun Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional Indonesia. 2005. Departemen Kehutanan, MFP DFID, Birdlife, LATIN, RMI, Sylva Indonesia, PILI, CIFOR, KEHATI, WARSI, WWF, ESP dan CI. Jakarta. Fazriyas. 1998. Analisis Sosial Ekonomi Petani Peladang di Taman Nasional Kerinci Seblat dan Petani Peladang Peserta Transmigrasi di Propinsi Jambi. Thesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Firmansyah. 2004. Studi Konflik Lahan Perkebunan Kopi Rakyat dalam Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ferrance, E. 2000. Action Research. LAB Northeast and Islands Regional Educational Laboratory at Brown University. Fisher, S.; D.I. Abdi; J. Ludin; R. Smith; S. Williams & S. Williams. 2001. Mengelola Konflik: Kemampuan & Strategi Untuk Bertindak. S.N. Kartikasari; M.D. Tapilatu; R. Maharani & D.N. Rini (Penterjemah). The British Council. Jakarta. Terjemahan
94
Fisher, Roger and Ertel, Danny. 1995. Getting Ready to Negotiate: The Getting to Yes Workbook. New York. Penguin Books. USA Inc. Freeman, R.E. 1984. Strategic Management: a Stakeholder Approach. Pitman, Boston, MA, USA. Fuad, F.H. & S. Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka LATIN. Bogor Grimble, R. and Wellard, K., 1997. Stakeholder Methodologies in Natural Resource Management: a review of principles, contexts, experiences and opportunities. Agricultural Systems. Gray, B. 1989. Collaborating: Finding Common Ground for Multyparty Problems. Jossey-Bass. Publishers. San Francisco. Hermawan, T., A. Affianto, A. Susanti, E. Soraya, W. Wardhana, dan S. Riyanto. (2005). Pemanfaatan Ruang dan Lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai. Pustaka LATIN. Bogor. Hilwan, I. 1995. Sekilas Tentang Etnobotani Suku Baduy di Banten, Jawa Barat. Dalam R.E. Nasution, H. Roemantyo, E.B. Walujo, S. Kartosedono. 1995. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani II, buku 2. Puslitbang Biologi LIPI, Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada, Ikatan Pustakawan Indonesia. Ilyas, A.F. 2005. Penguatan Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan Konflik Sosial di Kelurahan Margasari Kecamatan Margacinta Kota Bandung. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. John D. Farell. dan Richard. G. Weaver. 2000. The Practical Guide to Facilitator: A Self-Study Resource. San Francisco. Barrett-Koehler Publisher. Inc. Kemmis, Stephen and Robin McTaggart (eds) 1988a. The Action Research Planner. Deakin University, Australia: Deakin University opress (3rd edition). McNeely, J.A. 1989. Protected Areas and Human Ecology: How National Parks Can Contribute to Sustaining Societies of the Twenty-first Century. In Western, D. & M. Pearl. 1989. Conservation for the Twenty-fisrt Century. Oxford University Press. New York. McNeely, J.A., Harrison, J. And Dingwall, P (eds). 1994. Protecting Nature: Regional Reviews of Protected Areas. IUCN. Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Meffe, G.K. & R. Carroll. 1994. Principles of Conservation Biology. Sinauer Associates, Sunderland, MA. Moore, Christopher W. 1996. The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Muda, Y.T.D. 2005. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Keputusan Petani dalam Memilih Pola Agroforest “Napu” (Kasus di daerah
95
penyangga TN Kelimutu Kabupaten Ende, Propinsi NTT). Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Thesis.
Mulyani, S. 1997. Pendekatan Sistem Kawasan Konservasi Alam Terpadu untuk Pengembangan Daerah Penyangga (Studi Kasus di Taman Nasional Siberut). Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Munggoro, D.W. 1999. Manajemen Kemitraan: Meretas Kemelut Kawasan Konservasi. Makalah Dalam Widodo dan Aliadi (eds.). 1999. Prosiding Seminar Pemberdayaan Aset Perekonomian Rakyat Melalui Pengembangan Kemitraan Dalam Mengelola Sumberdaya Alam di Kabupaten Jember. Pustaka Latin. Bogor. Mustafa. 2002. Dinamika Konflik dan Model Institusi Pengelolaan Kawasan yang Berkelanjutan. Studi Kasus pada Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nasution, R.E, S. Riswan, P. Tjitropranoto, E.B. Walujo, W. Martowikrido, H. Roemantyo, S.S. Wardoyo. 1992. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pertanian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Perpustakaan Nasional. Jakarta. Noegroho, T. 2005. Membangun Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Workshop Kabupaten Konservasi, 29 Nopember 2005. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Tropenbos Indonesia, WWF Indonesia, CIFOR, Departemen Dalam Negeri. Tidak diterbitkan. Noss, R.F. & A.Y. Cooperrider. 1994. Saving Nature’s Legacy: Protecting and Restoring Biodiversity. Island Press, Washington, D.C. Ostrom, Elinor and Schlager, Edella (1996), ‘The Formation of Property Rights’, in Hanna, Susan, Folke, Carl, and Mäler, Karl-Göran (eds), Rights to Nature, Washington, DC, Island Press, 127-156. Prabandari, F. 2001. Perancangan Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Berdasarkan Karakteristik Pemanfaatan Hasil Hutan dan Lahan Hutan (Studi kasus di daerah penyangga Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur). Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purwanto, Y., & E.B. Walujo. 1992. Etnobotani Suku Dani di Lembah Baliem Irian Jaya: Suatu Telaah Tentang Pengetahuan Dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Tumbuhan. Dalam R.E. Nasution, S. Riswan, P. Tjitropranoto, E.B. Walujo, W. Martowikrido, H. Roemantyo, S.S. Wardoyo. 1992. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pertanian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Perpustakaan Nasional. Jakarta. 96
Purwantoro, R.S. 1992. Keanekaragaman Pemanfaatan Tanaman Untuk Obat-obatan Tradisional: Studi Kasus Masyarakat Pedesaan Di Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Dalam R.E. Nasution, S. Riswan, P. Tjitropranoto, E.B. Walujo, W. Martowikrido, H. Roemantyo, S.S. Wardoyo. 1992. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pertanian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Perpustakaan Nasional. Jakarta. Pimbert, M.P., 1994. Field observations on Joint Forest Management in West Bengal and report on an international workshop on JFM. Co-organised by the Ford Foundation, the WWF-UNESCO-Kew Gardens People and Plants initiative, the Government of West Bengal, the Indian Institute of Biosocial Research and Development and the Society for the Promotion of Wastelands Development, 7-18 November 1994, WWF-International. Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan, P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor. Jakarta. Purwanto, Y., & E.B. Walujo. 1992. Etnobotani Suku Dani di Lembah Baliem Irian Jaya: Suatu Telaah Tentang Pengetahuan Dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam Tumbuhan. Dalam R.E. Nasution, S. Riswan, P. Tjitropranoto, E.B. Walujo, W. Martowikrido, H. Roemantyo, S.S. Wardoyo. 1992. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pertanian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Perpustakaan Nasional. Jakarta. Ramirez, R. 2003. Concept Society. The International Development Research Centre. Canada Roger M. Scharz. 1994. The Skilled Facilitator: Practical Wisdom for Developing Effective Groups. San Francisco. Jossey-Bass Publishers. Röling, N. and Wagemakers, M., ed. 1998. Facilitating Sustainable Agriculture: Participatory Learning and Adaptive Management in Times of Environmental Uncertainty. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Schlager, Edella and Ostrom, Elinor (1992), ‘Property Rights Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis’, 68 Land Economics, 249262. Soedjito, H. 1995. Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestari Plasma Nutfah. Dalam R.E. Nasution, H. Roemantyo, E.B. Walujo, S. Kartosedono. 1995. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani II, buku 2. Puslitbang Biologi LIPI, Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada, Ikatan Pustakawan Indonesia. Straus, D. 2002. How to Make Collaboration Work: Powerful Way to Build Consensus, Solve Problems, and Make Decisions. Berret-Koehler Publisher, Inc. San Francisco.
97
Suporahardjo. 2003. Mengelola Konflik di Kawasan Lindung. Bahan Bacaan untuk Pelatihan Mahasiswa Kehutanan Indonesia 2003. 10 – 17 Februari 2003. Dilaksanakan oleh Pengurus Pusat dan Pengurus Cabang Silva Indonesia UNPAD. Bandung. Tidak diterbitkan. Suporahardjo. 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Pustaka LATIN. Bogor. Suraji.
2003. Keterkaitan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Sistem Pengelolaan Kebun Campuran dalam Hutan Kemasyarakatan Berbasis Fungsi Lingkungan (Studi Kasus di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman Register 19 Gunung Betung Provinsi Lampung. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Uhlmann, V. 1995. Action research and participation [On line]. Available at http://www.scu.edu.au/schools/gcm/ar/arp/partic.html Wells, M. K. Brandon, and Hannah. 1992. People and Parks. Lingking Protected Area Management with Local Communities. The World Bank. The World Wildlife Fund. US Agency for International Development. Washington, D.C. Wiratno, D. Indriyo, A. Syarifudin, dan A. Kartikasari. 2002. Berkaca di Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. FOReST Press, The Gibbon Foundation, dan PILI – NGO Movement. Bogor. Wulandari, C., dan W.A. Djatmiko. 2005. Prosiding Membangun Kemitraan Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan, MFP DFID, Birdlife, LATIN, RMI, Sylva Indonesia, PILI, CIFOR, KEHATI, WARSI, WWF, ESP dan CI. Jakarta.
98
LAMPIRAN
99
Lampiran 1 Profil Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (LPI PHBM) Untuk pengawalan proses dan penggalian ide-ide kreatif dalam pelaksanaan sistem PHBM di Kuningan, semua pihak menyepakati membentuk wadah kolaborasi yang lebih operasional untuk melayani kebutuhan masyarakat desa hutan serta para pihak di Kabupaten, sehingga pada tahun 2000 dibentuk lembaga kolaborasi dengan nama Advisory Working Group (AWG) PHBM. Pada tahun 2002 anggota dari AWG PHBM mendapat pengakuan dan pengukuhan dari Pemerintah Kabupaten Kuningan melalui Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522/KPTS.455/KLH/2002 bulan Agustus tahun 2002 dengan nama Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (LPI PHBM), sebagai lembaga kolaborasi multipihak yang mengawal sistem PHBM di Kuningan. Lembaga kolaborasi ini anggotanya berasal dari unsur Pemerintah Daerah/Kabupaten (Dinas-dinas Pemkab Kuningan), LSM, Perum Perhutani dan Tokoh Masyarakat yang jumlahnya mencapai ± 21 Orang. Produk-produk yang dihasilkan oleh lembaga LPI PHBM dalam mengawal implementasi sistem PHBM Kuningan yaitu : a. MoU antara Bupati Kuningan dengan Dirut Perum Perhutani tentang Penyusunan Protokolprotokol baru dalam pengelolaan hutan negara di Kabupaten Kuningan; b. Konsepsi sistem PHBM dan Pokok-pokok Implementasi sistem PHBM; c. Rencana Strategis implementasi sistem PHBM Kuningan; d. Prinsip, Kriteria dan Indikator PHBM Kuningan; e. Tahapan proses implementasi PHBM di Desa Hutan. f. Draft Naskah Nota Kesepahaman Bersama dan Nota Perjanjian Kerjasama sistem PHBM. g. Pengkajian Pola Pemanfaatan dan Tata Guna Lahan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) ; h. Mempersiapkan konsepsi Taman Nasional Gunung Ciremai yang Kolaboratif berbasis masyarakat ; i. Memberikan input untuk Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai yang saat ini masih sedang disusun secara bersama-sama.
100
Lampiran 2 Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.424/Menhut-II/2004
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.424/Menhut-II/2004 TENTANG PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN LINDUNG PADA KELOMPOK HUTAN GUNUNG CIREMAI SELUAS ± 15.500 (LIMA BELAS RIBU LIMA RATUS) HEKTAR TERLETAK DI KABUPATEN KUNINGAN DAN MAJALENGKA, PROVINSI JAWA BARAT MENJADI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
MENTERI KEHUTANAN, Menimbang :
a. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 tanggal 4 Juli 2003 telah ditunjuk areal hutan di Provinsi Jawa Barat seluas ± 816.603 (delapan ratus enam belas ribu enam ratus tiga) hektar sebagai kawasan hutan diantaranya Kawasan Hutan Lindung di Kelompok Hutan Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Majalengka; b. bahwa Kawasan Hutan Lindung tersebut butir a merupakan ekosistem yang relatif masih utuh dengan tipe hutan dataran rendah, hutan hujan pegunungan, dan hutan pegunungan yang diantaranya memiliki vegetasi hutan alam primer; c. bahwa Kawasan Hutan Lindung tersebut butir a memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi antara lain berbagai jenis flora seperti Pinus (Pinus merkusii), Saninten (Castanopsis javanica), Randu tiang (Fagraera blumii), Nangsi (Villubrunes rubescens), Mahang (Macaranga denticulatan), Pasang (Lithocarpus sundaicus), Medang (Elacocarpus stipularis), Beringin (Ficus sp.), diantaranya jenis langka seperti Lampeni (Ardisia cymosa), dan Kandaca (Platea latifolia), berbagai jenis satwa langka seperti Macan kumbang (Phantera pardus), Kijang (Muntiacus muntjak), Landak (Zaglossus brujini), Surili (presbytis comata), berbagai jenis burung yang dilindungi seperti Elang Jawa (Spizaetus bartelsii), berbagai jenis reptil seperti Ular sanca (Phyton sp.) dan berbagai jenis burung; d. bahwa kawasan hutan tersebut butir a selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, merupakan daerah resapan air bagi kawasan di bawahnya dan beberapa sungai penting di Kabupaten Kuningan, Majalengka dan Cirebon 101
serta sumber beberapa mata air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat, pertanian, perikanan, suplai PDAM, dan industri, memiliki potensi ekowisata seperti panorama alam yang indah, keindahan air terjun Curug Sawer dan Curug Sabuk, hasil hutan non kayu seperti tumbuhan obat, budidaya lebah madu dan kupu-kupu, potensi untuk penelitian dan pendidikan, situs budaya, dan bangunan bersejarah, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan; e. bahwa dengan sistem pengelolaan Taman Nasional, diharapkan mampu untuk melindungi, melestarikan dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistem Gunung Ciremai secara optimal, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat; f. bahwa berhubung dengan itu, untuk menjamin perlindungan, kelestarian dan pemanfaatan potensi kawasan hutan tersebut, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, maka dipandang perlu untuk mengubah fungsi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai seluas ± 15.500 (lima belas ribu lima ratus) hektar terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan fungsi Taman Nasional, dengan Keputusan Menteri Kehutanan.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990; 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992; 3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997; 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999; 5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002; 11. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001; 12. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 123/Kpts-II/2001; 13. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003; 14. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 jo. Nomor SK.48/Menhut-II/2004. Memperhatikan : 1. Surat Bupati Kuningan Nomor 522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004; 2. Surat Bupati Majalengka Nomor 522/2394/hutbun tanggal 13 Agustus 2004. MEMUTUSKAN
102
Menetapkan : PERTAMA
: Mengubah fungsi Kawasan Hutan Lindung di Kelompok Hutan Gunung Ciremai seluas ± 15.500 (lima belas ribu lima ratus) hektar, terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat sebagai Taman Nasional Gunung Ciremai.
KEDUA
: Batas sementara Taman Nasional tersebut diktum PERTAMA, adalah sebagaimana terlukis pada peta lampiran keputusan ini, sedangkan batas tetapnya akan ditentukan setelah diadakan penataan batas di lapangan.
KETIGA
: Memerintahkan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam untuk melakukan pengelolaan atas Taman Nasional Gunung Ciremai.
KEEMPAT
: Memerintahkan kepada Kepala Badan Planologi Kehutanan untuk mengatur pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini.
KELIMA
: Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : J A K A R T A Pada tanggal : 19 Oktober 2004 MENTERI KEHUTANAN . MUHAMMAD PRAKOSA
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth. : 1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. 2. Menteri Negara Lingkungan Hidup. 3. Menteri Dalam Negeri. 4. Menteri Pertanian. 5. Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 6. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. 7. Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 8. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan. 9. Gubernur Jawa Barat. 10. Bupati Kuningan. 11. Bupati Majalengka. 12. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. 13. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan. 14. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Majalengka. 15. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. 16. Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yogyakarta.
103
Lampiran 3
Desa-desa di Sekitar Taman Nasional Gunung Ciremai yang sudah membuat Kesepakatan dengan Perhutani KPH Kuningan
DESA-DESA DI SEKITAR TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI YANG SUDAH MEMBUAT KESEPAKATAN DENGAN PERHUTANI KPH KUNINGAN S.D. BULAN : DESEMBER 2004 Kesepakatan Yang Dibuat No.
Desa dan Tahun
Kecamatan
NKB
Luas di NKB (Ha)
NPK
1
Pajambon (PHBM 2001)
Kramatmulya
√
30
√
2
Pasawahan
√
789,6
√
3
Pasawahan (PHBM 2002) Padabeunghar (PHBM 2002)
4
Kaduela (PHBM 2002)
Pasawahan
√
91,4 975,66
Pasawahan
√
1200,46
√
5
Setianegara (PHBM 2002)
Cilimus
√
6
Linggasana (PHBM 2002)
Cilimus
√
341,29
7
Jalaksana
√
367,54
8
Sayana (PHBM 2002) Babakan Mulya (PHBM 2002)
9
Seda (PHBM 2002)
Mandirancan
10
Trijaya (PHBM 2002)
Mandirancan
√
405,14
√
11
Sagarahiang (PHBM 2002)
Darma
√
588,25
√
12
Singkup (PHBM 2003)
Pasawahan
64,6
13
Paniis (PHBM 2003)
Pasawahan
37,45
14
Cibuntu (PHBM 2003) Randobawa Girang (PHBM 2003)
Pasawahan
935,72
Karangsari (PHBM 2003) Gunung sirah (PHBM 2003)
Darma
72,63
Darma
324,5
Cilimus
19
Linggarjati (PHBM 2003) Bandorasa kulon (PHBM 2003)
20
Cibeureum (PHBM 2003)
Cilimus
21
Sukamukti (PHBM 2003)
Jalaksana
413,15
22
Jalaksana
7,14
23
Manis Kidul (PHBM 2003) Sangkanerang (PHBM 2003)
24
Puncak (PHBM 2003)
Cigugur
√
211,7
25
Cisantana (PHBM 2003)
Cigugur
√
722,34
26
Padamatang (PHBM 2004)
Pasawahan
15 16 17 18
Jumlah
Jalaksana
Mandirancan
√
21,25 281,25
√
√
Cilimus
Jalaksana
√
12,05
394,83
√
253,85 √
√
12,56
83,44
√
7,25 8645,05
104
Lampiran 4 Peta Taman Nasional Gunung Ciremai
Gambar 1. Peta Taman Nasional Gunung Ciremai Ciremai
Gunung Ciremai
105
Lampiran 5 Notulensi Pertemuan LPI tanggal 25 Oktober 2004
NOTULENSI PERTEMUAN LPI Hari / Tgl. : Selasa, 25 Oktober 2004 Waktu
: 20.00 – 22.45 WIB
Tempat
: Perum Perhutani
Partisipan : Usep Sumirat, Cucu Suparman, Komaruddin, Avo Juhartono, Amallo (AKAR) , Eman Sulaeman (AKAR) , Andri S (AKAR). Agenda
: Klarifikasi Kebenaran Penetapan Taman Nasional Ciremai.
Usep Sumirat: Berdasarkan data yang kami terima (email yang kami punya) , bahwa Gunung Ciremai saat ini sudah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sebagai Taman Nasional sebelum Menhut diganti. Untuk hal tersebut saya mohon masukan rekan-rekan semuanya, bagaimana kita menyikapi hal ini. Amallo : Menyimak isi dari email tersebut bahwa betul kalau Ciremai telah ditetapkan sebagai Taman Nasional, hal ini menunjukkan bahwa diantara rekan kita (stakeholder Kuningan) ada yang berkhianat tentang kebersamaan & kesepakatan bersama terhadap nilai-nilai dalam PHBM. Sebetulnya saya bersikeras pada saat pembahasan Perda PHBM bahwa apapun bentuknya ke depan hutan di Kuningan harus dikelola secara bersama-sama dengan ujung tombaknya masyarakat. Karena Sekarang sudah ada penunjukkan Ciremai, mari kita lakukan caracara untuk mengkalrifikasi hal ini, agar lembaga-lembaga yang mengambil inisiatif, melegalisasi dan mendorong seperti (Pemkab Kuningan/Bupati/Dishutbun; FAHUTAN UNIKU (Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan) dan DPRD) bertanggung jawab dan berdialog dengan kita serta masyarakat. Apa yang menjadi motivasi pengusulan Taman Nasional? Apa tidak mempertimbangkan baik buruknya untuk akses masyarakat dan kewenangan daerah?. Padahal dengan PHBM kita dulu berjuang untuk memperbesar akses para pihak (Pemda dan Masyarakat) untuk terlibat secara aktif dalam system pengelolaan hutan. Avo Juhartono : Kita 2 kali dikhianati melalui pengingkaran dari hasil kesepakatan yaitu; a. Pertama, pada saat rapat di Bapeda Kuningan (sebelum berangkat ke Jakarta) bahwa yang hadir kesana kalau digiring untuk menjustifikasi usulan perubahan Ciremai menjadi Taman Nasional kita menolak, saat itu pimpinan rapat Bapak Usmadi setuju kalau ke Jakarta hanya memenuhi undangan Dephut. b. Kedua, kesimpulan pimpinan rapat di Jakarta bahwa Ciremai perlu dikaji lebih dahulu oleh Tim terpadu dan tidak ada kesimpulan rapat kalau Ciremai harus menjadi Taman Nasional, sebab LPI PHBM, LSM AKAR dan Wakil KTH (Kelompok Tani Hutan) menolak secara tegas kalau rapat saat 106
itu harus menanda tangani Berita Acara atau menyetujui Ciremai menjadi Taman Nasional. Cucu Suparman : Lembaga pengusul sangat pandai menyusun strategi, sehingga kita semua bisa dikelabui termasuk Bupati. Karena hal ini sudah terjadi, kita harus menyiapkan beberapa opsi yang sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat serta stakeholder Kuningan. Komaruddin : Sepengetahuan saya, apabila jadi Taman Nasional, akses masyarakat sangat terbatas, apalagi kalau menyimak PP No 68/1998 celah masyarakat untuk memanfaatkan kawasan sangat kecil, apalagi vegetasi dalam kawasan Taman Nasional harus dibailkkan kepada kondisi alaminya. Sehingga peluang masyarakat untuk tumpangsari baik itu tanaman tahunan maupun semusim pasti akan dibatasi bahkan dihilangkan di zona tertentu. Ammallo : Pengingkaran janji-janji tersebut mungkin merupakan startegi dari awal. Kondisi ini menunjukkan bahwa kewenangan dalam pengelolaan hutan diserahkan kembali kepada Pusat, padahal dengan MoU PHBM dan Prinsipprinsipnya kita ingin mensejajarkan para pihak dalam posisi yang sejajar mulai dari perencanaan sampai dengan pemanfaatan. KESIMPULANNYA 1. Kita tidak menyerah, tapi kita harus mencari beberapa strategi yaitu bagaimana kalau Taman Nasional itu : a. Kita terima dengan syarat harus ada jaminan mengakomodasi kepentingan masyarakat, maksudnya punya kesepakatan untuk berkolaborasi secara legal, terjamin dan disepakati bersama, dalam bentuk tertulis (seperti MoU PHBM). b. Kita Tolak bila tidak mengakomodasi kepentingan kita di daerah, SK agar dicabut, sebab prosesnya dilanggar sendiri. 2. Kita harus mencari mediator, dengan alternatif LPI PHBM; Forum Peduli Ciremai atau kita minta LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) ? 3. Disepakati agar LATIN untuk memediasi sekaligus diharapkan bisa menghadirkan dari Dephut (minimal dari BAPLAN dan Ditjen PHKA). Tapi yang harus hadir seorang pejabat pengambil keputusan (Dirjen atau Direktur) dan siap menanda tangani MoU untuk berkolaborasi dalam system, pengelolaan kawasan hutannya. 4. Partisipan: Stakeholder Kuningan agar diperbesar lembaga-lembaga yang saat ini segaris dengan kita (menolak kehadiran Taman Nasional) seperti WALHI, dan kalau memungkinkan ajak dari stakeholder dari Kabupaten Majalengka. 5. Kita harus merancang acara ini secara baik, termasuk membangun pemahaman yang benar kepada masyarakat sekitar hutan, khususnya tentang akses masyarakat apabila Ciremai sudah menjadi Taman Nasional. (Saat pertemuan di Jakarta banyak dihembuskan angin surga yang belum ada buktinya di lapangan). 6. Sebelum melangkah ke arah sana, AKAR akan membuat public opinion melalui media massa yang intinya : pengingkaran akan janji-janji, proses penetapan yang tidak mencerminkan kepentingan pihak lain bahkan melanggar aturan yang sudah dibuat, Pemda yang tidak mempertimbangkan resiko di kemudian hari (banyak
107
energi yang sudah dibuat akan mubazir) dan penanggalan hak-hak masyarakat selama ini. (Mudah-mudahan Kompas dan PR). 7. LPI agar mengambil peran untuk membangun public opinion sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang sama dengan kita-kita pada saat dialog multipihak tersebut. 8. Perda PHBM agar dicermati kembali, bahkan system PHBM harus diberlakukan disemua kawasan hutan yang masuk dalam wilayah Kuningan. 9. Komunikasi diantara kita harus ditingkatkan, untuk merapatkan barisan dan membangun pemahaman yang sejalan berkaitan dengan hal ini serta menjadi cermin kita semua. Notulis : us.
108
Lampiran 6 Informasi tentang Taman Nasional dan Hutan Lindung Definisi
Taman Nasional Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi
Kriteria kawasan
Kriteria kawasan Taman Nasional adalah: • kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; • memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; • memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; • memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; • merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
Tujuan Pengelolaan
Pengelolaan Kawasan Taman Nasional dilakukan sesuai dengan fungsi kawasan: • sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; • sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya; • untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Lembaga Pengelola
UPT (Unit Pengelola Teknis)Taman Nasional di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan
Peraturan yang terkait
PP 68/1998 ttg Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70 tahun 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan
Hutan Lindung Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Kriteria kawasan hutan lindung adalah : • Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175, dan/atau; • Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih, dan/atau; • Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih. Perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidroologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan. Di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, hutan lindung dikelola oleh Perum Perhutani. Sedangkan di Yogyakarta dan luar Jawa hutan lindung dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten. Keppres RI No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Menteri Kehutanan No. 70 tahun 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, 109
SK Menhut No. 32/2001 ttg Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan
Hal-hal yang dilarang
Hal-hal yang diperbolehkan
Upaya pengawetan Kawasan Taman Nasional dan Taman Hutan Raya dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungssi kawasan, yaitu: • merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya; • merusak keindahan alam dan gejala alam; • mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan; • melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang. • memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan; • membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, menangkap, berburu, menebang, merusak, memusnahkan dan mengangkut sumber daya alam ke dan dari dalam kawasan.
Kawasan Taman Nasional dapat dimanfaatkan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya. Zona inti dapat dimanfaatkan untuk keperluan : • penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; • ilmu pengetahuan; • pendidikan; dan atau • kegiatan penunjang budidaya. Zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk keperluan : • pariwisata alan dan rekreasi; • penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; • pendidikan (karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil-hasil penelitian serta peragaan dokumentasi tentang potensi kawasan tersebut); dan atau • kegiatan penunjang budidaya. Zona Rimba dapat dimanfaatkan untuk keperluan : • penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan; • ilmu pengetahuan; • pendidikan; • kegiatan penunjang budidaya; • wisata alam terbatas
Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan SK Menhut No. 32/2001 ttg Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan Di dalam kawasan lindung dilarang melakukan kegiatan budi daya, kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung.
Pengelolaan kegiatan budi daya dilakukan dengan tetap memelihara fungsi lindung kawasan yang bersangkutan.
110
Lampiran 7
Proses Usulan Kawasan Konservasi menurut Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2002 tanggal 15 Maret 2001 jo No. SK. 48/Kpts-II/2004 tanggal 23 Januari 2004
PROSES USULAN KAWASAN KONSERVASI Pasal 19 UU No. 41/1999 dan Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 15 Maret 2001 jo No. SK.48/Kpts-II/2004 23 Januari 2004 KAJIAN DATA & INFORMASI POTENSI SDAH&E
IDENTIFIKASI DAN KAJIAN PERMASALAHAN DAN USULAN KAWASAN KONSERVASI
USULAN KAWASAN KONSERVASI KEPADA MENTERI KEHUTANAN Pertimbangan teknis Dinas Kehutanan Rekomendasi Bupati dan Gubernur Peta sekala minimal 1 : 100.000
PENYUSUNAN RANCANGAN STRATEGI DAN TINDAK LANJUT USULAN KAWASAN KONSERVASI
KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI UNTUK MEMBANGUN PERSEPSI, PENGERTIAN, KESEPAKATAN DAN DUKUNGAN TERHADAP USULAN KAWASAN KONSERVASI
PERTIMBANGAN TEKNIS ESELON I TERKAIT INTERNAL DEPARTEMEN KEHUTANAN
PENELITIAN TIM TERPADU (Pusat dan Daerah) Kompetensi dan otoritas ilmiah, independen dan obyektif
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI
PERSETUJUAN ATAU PENOLAKAN MENTERI KEHUTANAN
TATA BATAS DI LAPANGAN
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENUNJUKAN KAWASAN KONSERVASI
111
Lampiran 8 Materi Dialog Taman Nasional Gunung Ciremai A. DISHUTBUN 1. Mengapa proses menuju TN tidak dilaksanakan secara bersama? 2. Atas dasar apa Dishutbun membuat surat usulan ke Menhut untuk ditandatangani Bupati? 3. Mengapa Dishutbun sebagai staf Bupati tidak pernah melakukan kajian terhadap gagasan Uniku? 4. Apakah sistem PHBM belum cukup untuk menjamin kelestarian pengelolaan Gunung Ciremai? 5. Bagaimana posisi Bapak Kadishutbun sebagai Kadishutbun Kuningan atau sebagai orang Pusat? 6. Bagaimana Bapak menghubungkan kewenangan Taman Nasional dengan Perda Pendakian dan retribusi pendakian? 7. Bagaimana bentuk akses masyarakat terhadap TN? 8. Dengan menerima kajian Uniku apakah Dishutbun merasa bahwa Dishutbun tidak mampu mengelola Kawasan Ciremai. Cat : Apabila kesimpulan Dishutbun tetap mengelak tidak pernah membuat usulan ke Menhut, Dishutbun harus membuat surat penolakan TN ke Menhut. B. UNIKU : 1. Sesuai dengan pernyataan Pak Dekan pada saat rapat tanggal 7 Oktober di Bapeda, bahwa Bapak menyatakan kajian belum lengkap dan merupakan lontaran gagasan awal. 2. Motivasi apa yang menjadi latar belakang gagasan Uniku untuk merubah kawasan gunung Ciremai menjadi TN? C. BAPPEDA : 1. Bagaimana pemahaman bapak tentang Taman Nasional dan PHBM? 2. Bagaimana Bapak menghubungkan RUTR dan RDTR dengan kewenangan Taman Nasional? 3. Bagaimana alokasi dana untuk RUTR dan RDTR? D. DPRD 1. Bgm proses terbitnya srt dukungan no. 061/266/DPRD tgl 1 Sept 2004 tentang mendukung usulan pengelolaan kawasan hutan gunung ciremai sbg kawasan pelestarian alam. 2. Apakah dukungan tsb berdasarkan aspiratif atau substantif atau sekedar formatif? 3. Bagaimana Bapak menghubungkan Perda-perda mengenai RUTR dan RDTR dengan kewenangan Taman Nasional? E. BUPATI Untuk mengetahui input yang sebenarnya yang masuk ke Bupati. F. Gubernur Laporan proses perkembangan di Kuningan & mempertanyakan proses surat usulan Gubernur Jabar. G. Departemen Kehutanan Mempertanyakan proses ke luarnya SK Menhut ttg TNGC yang melanggar ketentuan proses pengusulan kawasan konservasi yang peraturannya dibuat Dephut sendiri.
112
Lampiran 9
Catatan Pertemuan Peneliti dengan Kepala Sub Direktorat Pengembangan Kawasan Konservasi Ditjen PHKA Dephut tanggal 22 Oktober 2004
Tempat & waktu: Kantor PIKA (Pusat Informasi Konservasi Alam) Bogor, 22 Oktober 2004 Hadir: Arif, Bowie, Budjo (LATIN) dan Pak Agus Sriyanto Proses penetapan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional telah berjalan sejak seminar yang membahas Gunung Ciremai yang diselenggarakan oleh UNIKU. Sejak itu proses berjalan terus dan menimbulkan pro dan kontra di antara stakeholder Kuningan. Proses terakhir yang terjadi adalah pertemuan yang diselenggarakan oleh Departemen Kehutanan di Jakarta dengan mengundang para stakeholder dari Kabupaten Kuningan dan Majalengka pada tanggal 8 Oktober 2004. Sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda bahwa Gunung Ciremai akan segera ditetapkan menjadi Taman Nasional, walaupun disadari bahwa ‘bola’ sudah berada di tangan Departemen Kehutanan. Oleh karena itu dilakukan upaya untuk mencari informasi sejauh mana ‘bola’ akan dimainkan oleh Dephut. Hari Jumat, 22 Oktober 2004, LATIN mendapat kesempatan untuk diskusi dengan Pak Agus Sriyanto, Kepala Sub Direktorat Pengembangan Kawasan Konservasi, yang juga terlibat dalam proses penetapan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Berikut adalah catatan pertemuan tsb.: 1. Menteri Kehutanan (Prakosa) telah menandatangani SK penetapan 10 taman nasional di Indonesia, salah satunya adalah Gunung Ciremai. Penandatangan SK ini dilakukan sebelum Prakosa turun dari jabatannya sebagai Menteri Kehutanan. Dasar keluarnya SK adalah UU No. 41 yang memberi kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan perubahan fungsi kawasan hutan. 2. Menurut Pak Agus, proses penandatangan SK tsb., khususnya untuk Gunung Ciremai sudah melalui prosedur yang berlaku (lihat lampiran). Pak Agus menyatakan bahwa salah satu hal yang mempercepat proses penandatangan SK Ciremai adalah keinginan dari pihak Kuningan sendiri (baik dari Pemda dan DPRD) yang mengusulkan agar Ciremai dijadikan Taman Nasional. Selain itu dalam pertemuan tanggal 8 Oktober 2004 yang juga dihadiri oleh berbagai stakeholder, termasuk dari LSM juga kelihatan mendukung. Pak Agus sedikit menceritakan bahwa walaupun dalam pertemuan tsb. terjadi pro dan kontra tetapi pada akhir pertemuan, tampaknya rencana penetapan TN Ciremai didukung. 3. Dalam diskusi juga disampaikan bahwa di kawasan Gunung Ciremai sudah ada Program PHBM, dimana sudah terjadi penandatanganan perjanjian kerjasama antara masyarakat dengan Perhutani, yang menyangkut beberapa jenis tanaman seperti pinus, serta menyangkut akses masyarakat untuk mengelola lahan di kawasan hutan dengan sistem tumpang sari. 4. Menanggapi hal tsb. Pak Agus mengatakan bahwa konsep Taman Nasional yang akan dibangun adalah konsep Pengelolaan Taman Nasional secara Kolaboratif, yang melibatkan masyarakat dan stakeholder lain. Untuk itu, dalam jangka pendek perlu ada masa transisi dimana proses-proses yang sudah terjadi sebelumnya akan disepakati kembali dengan pengelola yang baru. Dalam pengelolaan TN secara kolaboratif itu juga tidak akan terjadi pengusiran masyarakat dari dalam kawasan. Kegiatan-kegiatan yang tidak diperbolehkan dilakukan di dalam kawasan TN antara lain menebang pohon, melakukan penambangan. Kegiatan-kegiatan yang menunjang kehidupan masyarakat tetap diperbolehkan seperti pemanfaatan hasil 113
hutan non kayu. Kegiatan tsb. bisa dilakukan di zona lain, sesuai dengan PP No. 68/1998, Pasal 30 (2) (lihat lampiran). 5. Peranan stakeholder setempat dimungkinkan dalam pengelolaan Taman Nasional, misalnya terlibat dalam Dewan Pengelola (semacam steering committee) Taman Nasional yang memberi arahan kepada Pengelola TN yang ditunjuk pemerintah. Untuk sementara dalam masa transisi ini, pengelola TN Ciremai diserahkan kepada BKSDA Jabar II yang berkedudukan di Ciamis, yang dikepalai oleh Ir. Ikin Zainal Mutaqin. 6. Proses pengelolaan TN secara kolaboratif ini ingin dikembangkan oleh Ditjen PHKA (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) Dephut setelah melihat begitu banyaknya kawasan konservasi yang menghadapi konflik karena dikelola dengan cara-cara konvensional, yang hanya mengandalkan pada upaya perlindungan semata, dengan menerapkan berbagai larangan. 7. Namun disadari bahwa saat ini Dephut masih sedang mencari bentuk, dan diyakini bahwa penerapan manajemen kolaborasi harus mempertimbangkan karakteristik setempat, sehingga penerapannya harus site spesific. 8. Di sisi lain, ternyata dari segi legal aspect atau peraturan perundangan, Ditjen PHKA masih belum punya aturan yang bisa memayungi pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif. Demikian catatan pertemuan yang terkait dengan proses penetapan kawasan Gunung Ciremai menjadi kawasan Taman Nasional.
114
Lampiran 10
Catatan Pertemuan Peneliti dengan Kepala BKSDA Jabar II tanggal 14 Desember 2004
Arif/LATIN menerima undangan dari BKSDA (Balai Konservasi Sumberdaya Alam) Jabar (Jawa Barat) II yang berkantor di Ciamis melalui sms dari Yeti (staf BKSDA Jabar II) pada hari Senin 13 Desember 2004. Yeti meminta LATIN untuk memberi masukan tentang konsep rencana pengelolaan Taman Nasional (TN) Gunung Ciremai yang sedang dia susun dan harus diserahkan kepada Departemen Kehutanan di Jakarta pada hari Kamis, 16 Desember 2004. Komunikasi informal melalui sms ini sudah beberapa kali dilakukan, khususnya setelah Gunung Ciremai ditunjuk menjadi kawasan Taman Nasional. Komunikasi informal ini bisa terjadi karena sebelumnya, sudah ada kerjasama antara LATIN dengan BKSDA Jabar II, untuk kasus pengelolaan hutan di Kabupaten Garut dan ketika LATIN memfasilitasi workshop pengelolaan Suaka Margasatwa Gunung Sawal secara kolaboratif. Saat ini, kawasan TN G. Ciremai memang berada di bawah tanggung jawab BKSDA Jabar II, sebelum Balai Taman Nasional G. Ciremai dibentuk. Salah satu tugas BKSDA Jabar II adalah mempersiapkan pra-kondisi untuk menyusun rencana pengelolaan TN G. Ciremai. Sehubungan dengan hal itu, LATIN diminta memberi masukan kepada BKSDA Jabar II. Pertemuan dilaksanakan pada hari Selasa, 14 Desember 2004 di kantor BKSDA Jabar II Ciamis dari jam 14.00 – 16.00. Pertemuan hanya dihadiri oleh Arif Aliadi (LATIN), Ikin (Kepala BKSDA Jabar II) dan Yeti (staf BKSDA Jabar II yang diminta Pak Ikin untuk membuat draft rencana pengelolaan TN Gunung Ciremai). Dalam pertemuan itu, LATIN memberi usulan tertulis sebanyak 3 halaman (terlampir). Suasana pertemuan cukup terbuka dan santai. Pertemuan membahas beberapa topik, yaitu konsep pengelolaan TN Gunung Ciremai menurut BKSDA dan LATIN, posisi BKSDA, kekuatiran BKSDA dan peluang masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Konsep BKSDA tentang pengelolaan TN Gunung Ciremai dimulai dari tahap sosialisasi, dilanjutkan dengan pengembangan kelembagaan yang meliputi pelaksanaan PRA (Participatory Rapid Appraisal), pembentukan Kelompok Konservasi Desa, dan pembentukan forum-forum konservasi. Pengembangan kelembagaan harus diikuti dengan pengembangan ekonomi masyarakat yang meliputi pengelolaan jasa lingkungan berupa air, budidaya anggrek, penangkaran rusa, dan budidaya jamur. Usulan LATIN tentang pengelolaan TN Gunung Ciremai bisa dilihat pada Lampiran catatan proses ini. Posisi BKSDA Jabar II dalam perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional adalah: • Melaksanakan Keputusan Menteri Kehutanan dan tidak berwenang mengambil keputusan • Selalu berpegang pada aturan yang sudah ditetapkan • Takut berinisiatif dan mengambil keputusan sendiri karena pernah ditegur atasan • Tidak akan menerima tuntutan untuk mencabut SK 424 • Akan melakukan dialog Selain membahas posisi BKSDA Jabar II, dibahas pula kekuatiran BKSDA Jabar II, yaitu: • kuatir masyarakat ditunggangi, sehingga hanya akan bicara dengan aparat desa formal seperti kepala desa, BPD dan perangkat desa lainnya. • Apabila SK dicabut atau ditunda pemberlakuannya maka akan terjadi kekosongan pengelola sehingga membuka peluang penjarahan baru dan situasi anarkis • Ada target waktu dan output sehingga dialog mungkin membawa hasil yang tidak optimal BKSDA Jabar II juga menyampaikan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai, yaitu: • Masyarakat bisa menyusun peta partisipatif untuk wilayah PHBM
115
• MPTs dan berbagai tumbuhan lain yang ditanam dan dirawat masyarakat akan memperoleh kompensasi Pembelajaran (lessons learned) yang diperoleh peneliti dari pertemuan dengan BKSDA Jabar II adalah: • BKSDA akan menjadikan dialog sebagai cara utama untuk mempersiapkan pengelolaan TN G Ciremai. Yang perlu diberi masukan adalah bagaimana cara melaksanakan dialog yang konstruktif untuk menemukan solusi bersama (bukan dialog yang bertahan pada posisi masing-masing), serta perlu diberi informasi tentang siapa saja yang perlu diajak berdialog. • Gambaran tentang pola PHBM bagi BKSDA juga kurang jelas, terutama tentang jenisjenis tanaman yang sudah ditanam masyarakat. Oleh karena itu perlu informasi tentang PHBM di Kuningan. Lampiran Catatan Pertemuan Peneliti dengan Kepala BKSDA Jabar II USULAN DARI LATIN TENTANG PENYUSUNAN KONSEP PENGELOLAAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI Oleh: Arif Aliadi Penyusunan konsep pengelolaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai pada saat ini menurut kami dari LATIN belum tepat saatnya untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena situasi di lapangan masih belum kondusif. Masyarakat masih resah dengan kebijakan penetapan kawasan TN Gunung Ciremai. Banyak pertanyaan yang mengganjal di masyarakat tentang kebijakan ini, terkait dengan keterlibatan mereka selama ini dalam PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Keresahan dan pertanyaan yang paling banyak diutarakan adalah apakah PHBM yang selama ini dilakukan, dianggap merusak hutan sehingga pola pengelolaannya harus diganti dengan sistem Taman Nasional? Mengapa tidak ada proses evaluasi terlebih dahulu terhadap PHBM sebelum pola Taman Nasional ditetapkan sebagai pengganti ? Hal ini wajar sekali muncul karena dalam PHBM, masyarakat telah berkontribusi terhadap kawasan hutan dengan menanam berbagai jenis tanaman buah-buahan dan tanaman pokok kehutanan seperti pinus. Secara fisik, pola PHBM telah menghasilkan suatu kebun campuran atau agroforestri yang merupakan kombinasi tanaman kehutanan dengan buah-buahan dan tanaman lain yang bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat seperti kopi, pisang dan berbagai tanaman palawija (sampai kira-kira 3 tahun). Masyarakat berharap bahwa mereka juga akan dapat memanen buah-buahan dan memperoleh sebagian keuntungan dari pemanenan pohon pinus. Semua itu diatur dalam perjanjian kerjasama antara masyarakat dengan Perum Perhutani dalam bentuk Nota Perjanjian Kerjasama (NPK) dan Nota Kesepakatan Bersama (NKB). Penetapan TN Gunung Ciremai telah terjadi dan masyarakat semakin kuatir apakah pola PHBM tetap bisa diakomodir di dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Masyarakat juga kuatir bahwa mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh hasil dari tanaman yang mereka telah tanam sebelum Gunung Ciremai ditetapkan menjadi Taman Nasional. Kekuatiran mereka semakin besar ketika sejumlah pertanyaan tidak ada penjelasan atau jawabannya selama proses penetapan TN Gunung Ciremai. Pertanyaanpertanyaan itu antara lain: • Bagaimana hasil kayu dan non kayu yang sudah diatur dalam perjanjian kerjasama (NPK) ? • Kalau misalnya pengelolaan TN Gunung Ciremai tidak bisa menerima PHBM sebagai pola pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, maka bagaimana kompensasi yang akan diterima masyarakat sebagai konsekuensi dari tidak terlaksananya NPK dan NKB ?
116
• • •
Apa bentuk kompensasinya, bagaimana menghitungnya dan siapa yang menjamin bahwa kompensasi itu akan diberlakukan ? Kalau tidak dengan PHBM, pola apakah yang bisa mengakomodir kepentingan masyarakat untuk tetap dapat memperoleh akses dan manfaat dari kawasan TN Gunung Ciremai ? Bagaimana bentuk kemitraan dan kesepakatan kerjasama yang akan dikembangkan antara masyarakat dengan pengelola TN Gunung Ciremai?
Pertanyaan-pertanyaan tsb. sebenarnya sudah diajukan kepada Bupati Kuningan melalui surat dari Lembaga Pelayanan Implementasi (LPI) PHBM tanggal 1 Oktober 2004, dan juga diajukan secara lisan kepada pihak Departemen Kehutanan dalam rapat tanggal 8 Oktober 2004 di Jakarta. Namun, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak ada yang menjawabnya secara tuntas dan masyarakat masih dalam keadaan bingung. Ketika masyarakat masih bingung, tiba-tiba saja terbit SK Menhut No. 424/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar Terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat Menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Proses menjadikan Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional tidak mengikuti prosedur seperti diatur dalam Pasal 19 UU No. 41/1999 dan Kepmenhut no. 70/KptsII/2001 tanggal 15 Maret 2001 jo No. SK. 48/Kpts-II/2004 23 Januari 2004 tentang Proses Usulan Kawasan Konservasi, yaitu: 1. Kajian data dan informasi potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya 2. identifikasi dan kajian permasalahan dan usulan kawasan konservasi 3. penyusunan rancangan strategi dan tindak lanjut usulan kawasan konservasi 4. komunikasi dan sosialisasi untuk membangun persepsi, pengertian, kesepakatan dan dukungan terhadap usulan kawasan konservasi 5. usulan kawasan konservasi kepada Menteri Kehutanan (Pertimbangan teknis Dinas Kehutanan, Rekomendasi Bupati dan Gubernur, Peta skala minimal 1:100.000) 6. Penelitian tim terpadu (pusat dan daerah) yang kompeten, mempunyai otoritas ilmiah, independen dan obyektif 7. persetujuan atau penolakan Menteri Kehutanan 8. Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan konservasi 9. tata batas di lapangan 10. keputusan Menteri Kehutanan tentang penetapan kawasan konservasi Dari kesepuluh langkah proses tsb., paling tidak langkah keempat, kelima dan keenam tidak dilakukan dengan tepat. Proses komunikasi dan sosialisasi yang dibangun tidak bertujuan untuk membangun persepsi, pengertian dan kesepakatan, melainkan bertujuan untuk melegitimasi usulan yang telah dibuat oleh pemerintah Kabupaten. Jadi memang betul ada beberapa pertemuan misalnya tanggal 7 Oktober 2004 di Bappeda Kuningan dan 8 Oktober 2004 di Departemen Kehutanan Jakarta, tetapi pertemuanpertemuan tsb. Belum mencapai suatu persepsi dan pengertian yang sama tentang usulan TN Gunung Ciremai, apalagi kesepakatan. Begitu pula dengan rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat, yang baru turun tanggal 22 Oktober 2004, justru setelah SK Menhut No. 424 terbit tanggal 19 Oktober 2004. Demikian pula dengan proses penelitian tim terpadu (pusat dan daerah), yang ternyata tidak ada. Jadi setelah pertemuan tanggal 8 Oktober 2004 di Departemen Kehutanan Jakarta, masyarakat dan stakeholder di Kabupaten Kuningan masih menunggu turunnya Tim Terpadu tsb., dengan harapan dapat menyalurkan aspirasinya dengan lebih tepat dan dalam proses yang tidak tergesa-gesa. Namun, kenyataannya Tim Terpadu tsb. tidak pernah ada dan tanggal 19 Oktober 2004 langsung terbit SK Menhut No. 424. Proses keluarnya SK Menhut No. 424 yang tidak memenuhi prosedur tsb. juga menjadi pertanyaan dan keresahan masyarakat, karena masyarakat menjadi bingung bagaimana mereka dapat menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah (Departemen Kehutanan). 117
Oleh karena itu, kami dari LATIN mengusulkan kepada Departemen Kehutanan, bahwa sebelum Rencana Pengelolaan Kawasan TN Gunung Ciremai disusun, perlu dilakukan dialog atau konsultasi dengan masyarakat dan stakeholder di kedua kabupaten untuk berdiskusi tentang konsep pengelolaan TN Gunung Ciremai, melalui proses dialog yang terbuka, jujur dan transparan, serta tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Proses dialog bisa dimulai dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini diutarakan oleh masyarakat, seperti tertulis di bagian atas tulisan ini. Proses dialog ini penting dilakukan untuk mengatasi kekuatiran dan keresahan yang dihadapi oleh masyarakat. Proses dialog itu juga penting untuk membangun rasa saling percaya antara masyarakat dengan pemerintah. Oleh karena itu perlu disadari bahwa proses dialog ini akan memakan waktu cukup lama, diperkirakan bisa sampai satu tahun. Proses dialog yang diusulkan adalah sbb.: • Pertemuan dengan seluruh stakeholder untuk memahami hak, tanggung jawab, manfaat yang diperoleh dari kawasan hutan, serta hubungan di antara stakeholder pada saat ini • Pertemuan dengan seluruh stakeholder untuk memahami posisi, kekuatiran dan harapan masing-masing pihak • Pertemuan untuk mencari titik temu berdasarkan kekuatiran dan harapan masingmasing pihak, serta menyusun rencana tindak lanjut • Menyepakati kriteria dan indikator untuk memonitor perkembangan pelaksanaan rencana tindak lanjut. • Melakukan rencana tindak lanjut tsb. • Melakukan proses monitoring secara reguler. Demikian usulan dari LATIN terhadap rencana penyusunan konsep pengelolaan TN Gunung Ciremai. Kami berharap proses dialog seperti diusulkan di atas dapat menjadi bibit bagi pengelolaan TN Gunung Ciremai yang kolaboratif, dengan melibatkan banyak pihak (multi-pihak).
118
Lampiran 11
Hadir
:
Tujuan
:
Tempat : Waktu :
Catatan Pertemuan antara Peneliti bersama sebagian Anggota LPI PHBM dengan Kasubdit Pengembangan Kawasan Konservasi Ditjen PHKA Dephut
Arif (LATIN/Peneliti), Usep Sumirat (LPI PHBM/Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Kuningan), Rachmat Firmansyah (LSM KANOPI), dan Pak Agus Sriyanto (Kasubdit Pengembangan Kawasan Konservasi Ditjen PHKA Dephut) Mempertanyakan dan meminta klarifikasi atas proses penetapan TN Gunung Ciremai yang tidak sesuai dengan prosedur. Kantor Subdit Pengembangan Kawasan Konservasi/PIKA, jl. Pajajaran Bogor 10.30 – 12.30
Proses pertemuan cukup lancar dan Pak Agus juga bersikap terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang proses perubahan status Gunung Ciremai. Beberapa pertanyaan dan jawaban yang muncul dalam pertemuan adalah:
1.
2.
3.
Mengapa Kepmenhut No. 424 keluar pada tanggal 19 Oktober 2004, sebelum ada surat rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat yang dikeluarkan tanggal 22 Oktober 2004? Pak Agus menjawab bahwa surat dukungan Gubernur bisa menyusul karena surat dari Bupati sudah dianggap cukup. Mengapa Kepmenhut No. 424 tidak dilengkapi dengan peta TN Gunung Ciremai? Pak Agus menjawab bahwa peta yang tidak terlampir ada di Biro Hukum dan merupakan rahasia negara yang tidak bisa diperoleh sembarangan. Mengapa tidak ada proses konsultasi dengan stakeholder Kuningan sebelum Kepmenhut 424 keluar? Pak Agus menjawab bahwa proses konsultasi dengan stakeholder Kuningan sudah terjadi pada tanggal 8 Oktober sehingga tim tidak perlu datang ke lapangan, karena sudah percaya dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan bahwa proses sosialisasi sudah beres.
Dalam pertemuan juga digali posisi Pak Agus terhadap perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai. Posisi Pak Agus adalah: • Tidak akan mendukung pencabutan sk 424 • Akan menjalankan proses dialog sesuai dengan Kepmenhutn No. 19/2004 tentang kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi • Dalam proses dialog masih ada kemungkinan terjadinya perubahan fungsi kawasan selain TN, tetapi selama ini belum ada pengalaman seperti itu. • PHBM dianggap eksploitatif, berdasarkan pengalaman melihat PHBM di sekitar TN Halimun • Proses dialog akan menghasilkan peta yang sudah lengkap dengan zonasinya, rencana tindak lanjut untuk menyusun pengelolaan kawasan, dsb. Selain menggali posisi Pak Agus, digali pula kekuatiran Pak Agus, baik terhadap PHBM maupun tuntutan LPI PHBM untuk mencabut Kepmenhut 424. Kekuatiran Pak Agus adalah: • Apakah PHBM di Kuningan eksploitatif seperti yang dijumpai di sekitar TN Halimun salak? • Pencabutan Kepmenhut akan berdampak pada tidak tersedianya dana untuk melakukan proses dialog Pak Agus juga menyampaikan beberapa informasi lain yaitu tentang proses tata batas dan organisasi pengelola TN Gunung Ciremai. Badan planologi akan melakukan proses tata batas secara partisipatif, yang secara teknis di lapangan akan dilakukan oleh Badan Pemantapan Kehutanan (BPK) Jogja. Untuk pengelola TN Gunung Ciremai akan dipersiapkan UPT Balai TN Gunung Ciremai.
119
Pembelajaran (lessons learned) yang diperoleh peneliti dan LPI PHBM dari pertemuan ini adalah: • terjadi sharing kekuatiran, tentang PHBM di Kuningan yang eksploitatif dan sejauh mana sistem TN bisa fleksibel menerima PHBM. Oleh karena itu perlu disiapkan informasi tentang PHBM di Kuningan yang jelas dan argumentatif, serta meminta kejelasan informasi tentang fleksibilitas sistem TN dalam mengadopsi PHBM. • ada proses klarifikasi tentang proses penetapan TNGC • disepakati bahwa dialog adalah jalan yang akan ditempuh, bukan provokasi atau anarki
120
Lampiran 12
Kronologis Peristiwa dalam Perubahan Status Hutan Lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai
Waktu
Peristiwa
5 Juli 2003
Seminar Sehari tentang Masa Depan Kawasan Hutan Gunung Ciremai oleh STIKKU (Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Kuningan) di Gedung DPRD Kuningan
Jan-Mei 2004
Kajian tentang Pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai, oleh Fakultas Kehutanan UNIKU. Pada halaman 12, disebut beberapa kemungkinan pengelolaan kawasan Gunung Ciremai yaitu: (a) KPHL, (b) Tahura, (c) TN, dan (d) TWA.
26 Juli 2004
Bupati Kuningan telah mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk mengajukan pengkajian perubahan fungsi kawasan hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi kawasan pelestarian alam, melalui Surat Nomor 522/1480/Dishutbun Perihal: Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai kawasan Pelestarian Alam,
13 Agustus 2004
Bupati Kuningan menyampaikan surat kepada Ketua DPRD Kabupaten Kuningan (surat Nomor 522.6/1653/ Dishutbun Perihal Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai sebagai Kawasan Pelestarian Alam/KPA).
1 September 2004
Pimpinan DPRD Kabupaten Kuningan menyampaikan surat No. 661/266/DPRD kepada Menteri Kehutanan Perihal Dukungan Atas Usulan Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai Sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
8 Oktober 2004
Pertemuan atau Rapat Rencana Pengkajian Tim Terpadu atas Usulan Perubahan Fungsi Hutan Lindung – Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas serta Perubahan Status Bukan Hutan menjadi Kawasan Pelestarian Alam Gunung Ciremai di Provinsi Jawa Barat
19 Oktober 2004
Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 424/Menhut-II/2004 2004 Tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi TNGC.
22 Oktober 2004
Gubernur Jawa Barat menyampaikan surat Nomor: 522/3325/ Binprod Kepada Bapak Menteri Kehutanan Republik Indonesia perihal 121
Pengkajian Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam. 25 Oktober 2004
Diadakan diskusi tentang Kebenaran Penetapan Taman Nasional Ciremai, diskusi diadakan di kantor Perum Perhutani KPH Kuningan.
30 Oktober 2004
Perwakilan petani dari Paguyuban Masyarakat Tani Hutan (PMTH) menyampaikan pengaduan kepada LPI PHBM Kuningan, diterima oleh Ketua LPI PHBM
1-4 Nov 2004
Pelatihan social forestry oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kuningan, sekaligus dinyatakan bahwa Dishutbun Kuningan siap berdialog tentang penetapan TN Gunung Ciremai
3 November 2004
Pertemuan di ruang Dispenda Kuningan, antara Kepala Dishutbun, Dekan Fakultas Kehutanan UNIKU dengan camat, kepala-kepala dinas, kepala-kepala desa sekitar Gunung Ciremai. Dalam pertemuan itu disampaikan bahwa Bupati meminta peserta yang hadir untuk mengamankan Surat Keputusan TN Gunung Ciremai karena merupakan kebijakan Menteri Kehutanan. Yang menentang berarti melanggar hukum.
6 November 2004
PMTH bertemu dengan LSM pendamping (KANOPI). Peserta menyepakati (a) membuat surat ke Menteri Kehutanan untuk menyatakan menolak TNGC, (b) PMTH mengadakan konsolidasi petani dengan mengadakan pertemuan per wilayah, (c) menolak segala jenis dialog apabila hanya berupa pengarahan dan dilakukan dengan pihak yang tidak lengkap dan tidak melibatkan pembuat keputusan.
6 November 2004
Dinas Kehutanan dan Perkebunan mengundang LPI PHBM untuk buka puasa bersama, dan sekaligus membahas masalah TN Gunung Ciremai, dengan Dekan Fahutan UNIKU sebagai nara sumber. Dalam dialog itu, Kepala Dishutbun menyatakan bahwa TN Gunung Ciremai sudah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan, dan sistem pengelolaan TN Gunung Ciremai akan menggunakan PHBM. Kadishutbun juga meminta silang pendapat tentang TN Gunung Ciremai dihentikan dan jangan ada upaya untuk membangun opini publik yang sifatnya sepihak.
7 November 2004
PMTH mengadakan pertemuan petani di wilayah Gunung Ciremai bagian Masyarakat sepakat selatan-tengah (Kecamatan Darma-Cigugur). menolak dan siap menandatangani surat pernyataan
8 November 2004
Sebagian anggota LPI PHBM berdiskusi untuk menyusun rencana dialog (a) dengan Dishutbun, UNIKU, DPRD, Bupati, Departemen Kehutanan, (b) menyusun materi dialog untuk setiap lembaga yang akan diajak dialog
122
9 November 2004
Sebagian anggota LPI PHBM melanjutkan pertemuan untuk membahas surat Gubernur Jawa Barat tanggal 22 Oktober 2004 tentang pengkajian usulan perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi kawasan pelestarian alam Menyepakati bahwa LPI PHBM tidak bisa digunakan sebagai lembaga untuk menyelesaikan konflik TN Gunung Ciremai karena di dalamnya ada Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta dinas-dinas yang lain, yang mempunyai kepentingan. Oleh karena itu sebagian anggota LPI PHBM bersepakat membentuk Para Penggiat PHBM, yang terdiri atas Avo Juhartono, Frederik Amalo, Komarudin, Rachmat Firmansyah, Sanusi K. Widjaja dan Usep Sumirat.
10 November 2004
PMTH mengadakan pertemuan petani sekitar Gunung Ciremai wilayah tengah-utara (Kecamantan Jalaksana-Pasawahan) di Balai Desa Linggarjati.
11 November 2004
Diadakan diskusi penggiat PHBM Kuningan dengan Dishutbun Kuningan untuk menyikapi penetapan Gunung Ciremai sebagai Taman Nasional.
14 Desember 2004
Penggiat PHBM Kuningan mengirim surat kepada Menteri Kehutanan, Gubernur Jawa Barat, Bupati Kuningan dan Majalengka, Pimpinan DPRD Kuningan dan Majalengka tentang hasil diskusi tanggal 11 November 2004.
14 Desember 2004
Pertemuan LATIN dengan Kepala BKSDA Jabar II di Ciamis dilanjutkan pertemuan LATIN dengan Para Penggiat PHBM di Kuningan
15 Desember 2004
Pertemuan LATIN, Para Penggiat PHBM dengan Kasubdit Pengembangan Kawasan Konservasi, Ditjen PHKA Departemen Kehutanan di Bogor.
30 Desember 2004
BKSDA Jabar II ditunjuk sebagai pengelola TN Gunung Ciremai sampai terbentuknya organisasi TNGC yang definitif berdasarkan Surat Keputusan Dirjen PHKA No: SK.140/IV/Set-3/2004
123
Lampiran 13 Bahan Rapat tanggal 8 Oktober 2004
124
125
Lampiran 14 Surat Para Penggiat PHBM Kuningan tanggal 14 Desember 2004
PARA PENGGIAT PHBM KUNINGAN No. : Istimewa-04/PP_PHBM Kng/XII/2004 Lamp. : 1 (satu) berkas Hal. : Hasil Diskusi TNGC Kepada Yth.: 1. Menteri Kehutanan 2. Gubernur Provinsi Jawa Barat 3. Bupati Kuningan dan Bupati Majalengka 4. Pimpinan DRPD Kuningan dan DPRD Majalengka diTempat Dengan Hormat, Bersama ini kami sampaikan hasil diskusi tentang Taman Nasional Gunung Ciremai dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Nopember 2004 sebagaimana terlampir. Maksud kami melakukan diskusi tersebut adalah untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya dari masalah Taman Nasional Gunung Ciremai yang selama ini berkembang atau banyak dibicarakan serta untuk menemukan solusi bagi para pihak. Hasil diskusi tersebut kemudian kami rujukan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan pengetahuan serta pengalaman kami dalam penyelenggaraan sistem pengelolaan hutan kolaboratif (sistem PHBM di Kuningan) maupun dalam penyelenggaraan pengelolaan Taman Nasional yang sudah ada di Indonesia. Semula kami bermaksud melengkapinya dengan hasil audiensi dengan Bupati Kuningan. Namun setelah 2 (dua) kali kami meminta audiensi dengan Beliau tidak terlaksana (mengingat berbagai kesibukannya) maka hasil diskusi ini kami sampaikan tanpa dilengkapi dengan hasil audiensi tersebut. Dengan disampaikannya hasil ini, kami berharap agar duduk persoalan tentang masalah Taman Nasional Gunung Ciremai menjadi jelas, sehingga semua pihak yang berkepentingan bisa memahami dan mengambil sikap secara bijaksana sesuai dengan peraturan yang berlaku. Atas perhatiannya, kami haturkan terima kasih. Kuningan, 14 Desember 2004 Para Penggiat PHBM Kuningan, Avo Juhartono
Frederik Amallo
Komarudin
Rachmat Firmansyah
Sanusi Wijaya K.
Usep Sumirat 126
Tembusan disampaikan Kepada Yth.: 1. Menko Kesra di Jakarta; 2. Menteri Lingkungan Hidup di Jakarta; 3. Mensesneg di Jakarta; 4. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat di Bandung; 5. Kepala BPLHD Provinsi Jawa Barat di Bandung; 6. Kepala Bakorwil Cirebon di Cirebon; 7. Kepala Badan/Dinas lingkup Pemkab Kuningan dan Majalengka; 8. Kepala Desa se-lereng Gunung Ciremai; 9. Para Pihak lainnya yang berkepentingan (sebagai akuntabilitas moral dan sosial kami). Lampiran: Hasil Diskusi 11 Nopember 2004 RANGKUMAN HASIL DISKUSI TENTANG TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI DENGAN DISHUTBUN KABUPATEN KUNINGAN Kamis, 11 Nopember 2004 Guna menggali informasi tentang permasalahan yang berhubungan dengan upaya Pemerintah Kabupaten Kuningan untuk menjadikan kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional, kami para penggiat PHBM Kuningan (di luar para penggiat PHBM dari Dishutbun Kuningan) telah melakukan diskusi dengan pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan sebagai unit kerja Pemerintah Kabupaten di bidang kehutanan dan perkebunan pada tanggal 11 Nopember 2004 di RM Laksana-Sangkanurip. Maksud kami melakukan diskusi tersebut adalah untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya dari isu Taman Nasional yang selama ini berkembang atau banyak dibicarakan serta untuk menemukan solusi bagi para pihak, terutama bagi Pemerintah Kabupaten Kuningan dan Departemen Kehutanan. Menyimak diskusi tersebut ternyata masih terdapat perbedaan yang prinsipil antara Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan dengan kami dari unsur Penggiat PHBM Kuningan (Avo Juhartono, Frederik Amallo, Komarudin, Rachmat Firmansyah, Sanusi Wijaya K., dan Usep Sumirat). Berikut ini kami sajikan rangkuman hasil diskusi tersebut yang merupakan hasil dari proses-proses, a.) menyimak ungkapan-ungkapan Kadishutbun yang ada dalam kaset rekaman; b.) merujukkannya dengan peraturan perundangan yang berlaku; dan c.) pengetahuan dan pengalaman kami di dalam hal penyelenggaraan sistem pengelolaan hutan kolaboratif —yaitu sistem PHBM di Kabupaten Kuningan— dan penyelenggaraan pengelolaan Taman Nasional yang sudah ada di Indonesia. Rangkuman tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: 1.
Prosedur Keluarnya SK Menhut No. SK.424/Kpts-II/2004 Kadishutbun beranggapan bahwa proses keluarnya SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar Terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat Menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, sudah prosedural. Sedangkan menurut pemahaman kami, proses keluarnya SK dimaksud tidak sesuai dengan prosedur yang diatur oleh: [1] UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (Pasal 19); dan [2] Kepmenhut No. 70/KptsII/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan jo No. 48/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 127
tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan; yang menetapkan setidaknya ada 8 (delapan) langkah/tahapan proses untuk sampai kepada keputusan Menteri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Konservasi. Adapun ketidaksesuaian tersebut antara lain terletak pada tahapan proses berikut: a.
Tidak dilaksanakannya tahapan proses “Komunikasi dan Sosialisasi untuk Membangun Persepsi, Pengertian, Kesepakatan, dan Dukungan terhadap Usulan Kawasan Konservasi”. Sedangkan Kadishutbun dalam kaitan ini menganggap bahwa proses tersebut sudah dilakukan yaitu dengan diadakannya Seminar Sehari tanggal 5 Juli 2003 tentang Masa Depan Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai yang diselenggarakan STIKKU di Gedung DPRD Kuningan. Menurut kami, seminar tersebut tidak bisa dianggap memenuhi tahapan proses sebagaimana diatur dalam aturan di atas. Selain karena seminarnya cuma sehari dan baru satu kali, juga pembahasannya tidak intensif. Dan yang lebih penting lagi dari seminar tersebut menyimpulkan bahwa bentuk pengelolaan kawasan Gunung Ciremai ke depan sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan tidak mengarahkan kepada satu pilihan Taman Nasional, melainkan setidaknya tiga bentuk pilihan (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan KPHL) yang urutan-urutan penulisan itu sama sekali tidak untuk menunjukkan prioritas pilihan. Pada waktu itu juga dikemukakan bahwa seminar ini tidak untuk menetapkan bentuk-bentuk pengelolaan kawasan Gunung Ciremai karena penentuan dan penetapannya akan dibicarakan lebih lanjut secara bersama-sama melalui beberapa kali seminar dan pengkajian.
b.
Pada tahapan proses “Usulan Kawasan Konservasi kepada Menteri Kehutanan”, surat rekomendasi yang diajukan oleh Gubernur Provinsi Jawa Barat ke Menteri Kehutanan, tercatat tanggal 22 OKTOBER 2004 dengan No. 522/3325/Binprod perihal Pengkajian Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Gunung Ciremai Menjadi Kawasan Pelestarian Alam, sedangkan SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004, tercatat tanggal 19 OKTOBER 2004. Padahal menurut prosedur sebagaimana disebut di atas, harusnya penerbitan SK Menhut tersebut dilakukan setelah diterbitkannya surat rekomendasi Gubernur. Selanjutnya, mengapa juga surat rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat yang jelas-jelas menurut ketentuan Proses Usulan Kawasan Konservasi sangat dibutuhkan, tidak dimasukkan dalam konsideran ‘Memperhatikan’ dari SK Menhut tersebut? Untuk yang satu ini kami mengetahuinya, yaitu karena SK Menhut diterbitkan sebelum adanya surat rekomendasi Gubernur Jawa Barat. Dari sini saja sudah menimbulkan pertanyaan: “Apakah surat Gubernur Jawa Barat yang terlambat terbit?” atau “SK Menhut yang diterbitkan terburu-buru?” Padahal di dalam surat Gubernur itu jelas-jelas tercantum permohonan untuk melakukan pengkajian ke lapangan terlebih dahulu. Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa penerbitan SK Menhut tersebut tidak menganut Tertib Administrasi Pemerintahan yang baik atau dengan kata lain cacat prosedur. Dengan demikian, kami menilai bahwa proses perjalanan menuju terbitnya SK Menhut dimaksud tidak sesuai dengan prosedur atau hal ini berbeda dengan yang dinyatakan oleh Kadishutbun.
c.
Tahapan proses “Penelitian Tim Terpadu (Pusat dan Daerah)” tidak pernah dilaksanakan. Sedangkan menurut Kadishutbun, peserta rapat di Dephut pada tanggal 8 Oktober 2004 merupakan Tim Terpadu yang melakukan penelitian. Padahal pada materi/bahan rapat tersebut secara jelas dan tegas tertulis bahwa, -
Dalam poin C nomor 4 disebutkan: “Gubernur Jawa Barat kepada Menteri Kehutanan dengan surat Nomor ………, tanggal ………, mohon untuk segera menerjunkan Tim Terpadu ke lapangan guna meneliti secara cermat usulan dimaksud bersama-sama Tim dari Provinsi.”
128
-
Dalam poin C nomor 5 disebutkan: “Sesuai ketentuan dalam SK Menhut Nomor 70/KptsII/2001 jo Nomor SK. 48/Menhut-II/2004, usulan perubahan fungsi hutan perubahan status bukan hutan menjadi Kawasan Pelestarian Alam dimaksud masih diperlukan kelengkapan rekomendasi kegiatan penelitian/pengkajian oleh Tim Terpadu.”
-
Dalam poin C nomor 6 disebutkan: “Tim Terpadu yang terdiri dari unsur LIPI, KLH, Dephut, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten dan KPH Kuningan dan Majalengka direncanakan melaksanakan pengkajian secara komprehensif dengan fasilitasi dari pemohon (Pemerintah Kabupaten Kuningan, Majalengka, dan Kabupaten/Kota Cirebon).”
Sampai saat ini, bukannya Tim Terpadu yang turun ke lapangan untuk melakukan penelitian, tapi malah langsung keluarnya SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004. 2.
Kajian Fakultas Kehutanan UNIKU Menurut pemahaman kami, hasil kajian pihak Fakultas Kehutanan UNIKU tentang Pengelolaan Kawasan Gunung Ciremai seharusnya perlu dikaji ulang oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan c/q Dinas Kehutanan dan Perkebunan, karena secara substansial kajian tersebut belum menjangkau pada aspek kebijakan Pemkab dan aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat. Misalnya: [1] nasib atau kedudukan Perda No. 38/2002 tentang RUTR Gunung Ciremai, Perda No. 14/2004 tentang Pengelolaan Pendakian Gunung Ciremai, serta Perda No. 15/2004 tentang Retribusi Pendakian Gunung Ciremai; [2] nasib MoU PHBM antara Bupati Kuningan dengan Direktur Umum Perum Perhutani sepanjang yang menyangkut kawasan Gunung Ciremai; [3] nasib NKB dan NPK antara masyarakat desa hutan di lereng Gunung Ciremai dengan Perhutani KPH Kuningan; dan terutama yang ke-[4] konsekuensi logis atau kompensasi untuk petani-petani hutan yang telah banyak melakukan “investasi” di dalam kawasan. Ketika hal tersebut dibicarakan dengan Kadishutbun, tidak secara eksplisit menjawab apakah Pemkab melakukan pengkajian ulang atau tidak terhadap hasil kajian Fakultas Kehutanan UNIKU tersebut. Padahal disinilah letak pentingnya kenapa kaji ulang perlu dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan c/q Dinas Kehutanan dan Perkebunan karena menyangkut pemerintahan dan sosial ekonomi masyarakat.
3.
Akses Masyarakat Menurut Kadishutbun, dengan PP 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dan PP 18/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, akses masyarakat akan tetap terjamin seperti dalam PHBM sekarang ini. Sementara menurut pemikiran kami, landasan hukum tersebut belum cukup kuat karena konteknya berbeda dengan realitas yang saat ini ada dan sedang dilaksanakan oleh masyarakat. Selain itu belum ada bukti konkrit di lapangan dari pihak pengelola Taman Nasional-Taman Nasional di tempat lain di Indonesia yang benar-benar kolaboratif dengan masyarakat, bahkan cenderung akses masyarakat sangat dibatasi. Padahal sistem pengelolaan Taman Nasional-Taman Nasional tersebut juga diatur oleh PP 68/1998 dan PP 18/1994. Selain itu dalam proses penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional oleh pihak pengelola Taman Nasional, hingga saat ini juga belum ada bukti yang penyusunannya dilakukan secara partisipatif. Selain itu, tidak semua desa hutan di lereng Gunung Ciremai memiliki potensi wisata yang dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud oleh PP 18/1994. Sehingga kegiatan mereka selama ini berupa pengelolaan hutan yang berbasiskan lahan melalui pamanfaatan ruang untuk penghijauan (misalnya dengan budidaya tanaman buah-buahan) dengan menganut sistem sharing. Dengan berubahnya fungsi kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional maka harapan masyarakat desa yang tidak memiliki potensi wisata untuk mendapatkan sharing hasil dari investasi yang sudah banyak dilaksanakannya, menjadi hilang 129
karena sistem pengelolaan Taman Nasional berbeda. Bahkan di desa hutan yang memiliki potensi wisata pun, sebagian besar masyarakatnya tetap memanfaatkan lahan untuk menanam pohon buah-buahan. Jadi menurut pemahaman kami, PP 68/1998 dan PP 18/1994 belum bisa menjamin dilaksanakannya sistem PHBM (pengelolaan hutan kolaboratif) sebagaimana yang sedang dijalankan sekarang ini oleh masyarakat di lereng Gunung Ciremai bila ditetapkan menjadi Taman Nasional. Hal ini diperkuat oleh adanya pernyataan Kepala Subdit Pengembangan Kawasan Konservasi Ditjen PHKA – Dephut, bahwa “Dari segi legal aspect atau peraturan perundangan, Ditjen PHKA masih belum punya aturan yang bisa memayungi pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif.” Tapi di pihak lain, Kadishutbun selalu menekankan bahwa dalam pengelolaan Taman Nasional di Kuningan, NANTI AKAN BERBEDA dengan Taman Nasional-Taman Nasional yang lain yang sudah ada. 4.
Surat Usulan Bupati No. 522/1480/Dishutbun yang Meminta Pengkajian Menurut informasi yang kami terima dari Kadishutbun, bahwa surat usulan yang diajukan Bupati Kuningan ke Menteri Kehutanan berbentuk permintaan pengkajian. Sementara jawaban dari Departemen Kehutanan adalah langsung keluarnya SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004. Sehingga, berarti ada ketidaksesuaian antara yang “diminta” dengan yang “diberikan”. Tapi dalam hal ini, Kadishutbun menyatakan bahwa itu sudah bukan urusan daerah (kabupaten), melainkan sudah merupakan persoalan departemen. Menurut hemat kami, sekalipun hal tersebut merupakan keputusan Departemen Kehutanan, sudah selayaknya dan wajar apabila Pemkab membuat tanggapan resmi kepada Departemen Kehutanan terhadap terbitnya SK Menhut dimaksud untuk meluruskan kembali sesuai surat usulan/permohonan yang disampaian terdahulu oleh Pemkab kepada Menteri Kehutanan. Atau tegasnya untuk meminta pencabutan/penangguhan sementara pelaksanaan SK Menhut tersebut. Hal ini secara administratif pemerintahan merupakan hal yang dibenarkan dan bukan sesuatu hal yang dilarang atau bukan perbuatan yang tidak fatsun, bahkan merupakan feed back yang mempunyai nilai positif dan korektif. Dihubungkan dengan surat Gubernur No. 522/3325/Binprod pun maka tanggapan dari Pemkab Kuningan yang isinya meminta pencabutan/penangguhan dan kembali pada surat usulan terdahulu, akan sangat sejalan dengan isi surat Gubernur tersebut. Selain itu, dengan langkah tersebut akan menambah kredibilitas dan respek yang sangat positif dari para pihak terhadap Pemerintah Kabupaten Kuningan. Sebaliknya apabila Pemkab turut mengamankan SK dimaksud; pertama, akan menguras energi yang banyak; kedua, khawatir akan menimbulkan penilaian bahwa Pemkab sama-sama tidak cermat serta dikhawatirkan pula akan mendapatkan resistensi dari para pihak yang memahami permasalahan tersebut. Selain itu, penyelenggaraan Taman Nasional bukan merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten sebab Balai Taman Nasional merupakan unit kerja Departemen Kehutanan.
5.
Bentuk Sistem Pengelolaan Hutan di Taman Nasional Pihak Dishutbun mengajak kami untuk menyusun konsep sistem pengelolaan hutan Taman Nasional ke depan yang kolaboratif. Dalam hubungan ini sesungguhnya —sekalipun kami tidak pernah mengklaim sebagai orang-orang ahli di bidang kehutanan— sedikit atau banyak kami sudah memiliki gambaran tentang sistem pengelolaan Taman Nasional yang kolaboratif, baik yang menyangkut aspek legal maupun aspek-aspek sosial dan teknikal. Akan tetapi, yang menjadi titik persoalan adalah bukan terletak pada kesediaan atau ketidaksediaan kami untuk menggagas hal tersebut, melainkan lebih kepada hal-hal yang menyangkut proses perjalanan dan output berupa SK Menhut yang cacat prosedur. Sehingga menurut hemat kami, konsep sistem pengelolaan Taman Nasional yang harus disiapkan (yang oleh Kadishutbun disebut position paper) seharusnya disiapkan sebelum 130
Pemerintah Kabupaten Kuningan melayangkan surat usulan. Apabila hal tersebut dilaksanakan maka pengajuan position paper dari Pemerintah Kabupaten Kuningan akan mempunyai posisi tawar yang kuat. Sebaliknya, apabila konsep position paper itu baru akan dirancang dan diajukan sekarang, kami meragukan (pesimis) akan keberhasilannya mengingat itu tadi: aturan-aturan yang mengatur Taman Nasional, bukti-bukti empiris dari Taman Nasional-Taman Nasional yang sudah ada di Indonesia, dan perencanaannya yang bersifat sentralistis. 6.
Kebiasaan Kolaborasi yang Ditinggalkan Menurut hemat kami, Dishutbun telah meninggalkan kebiasaan kolaborasi yang selama ini sudah terbangun, minimal untuk mengajak berdiskusi masyarakat desa hutan sebagai pelaku utama dalam sistem pengelolaan hutan kolaboratif dan yang terutama karena masyarakat desa hutan-lah yang akan terkena dampak langsung dari perubahan fungsi kawasan tersebut. Padahal Dishutbun sendiri merupakan salah satu pihak yang turut menggagas dan mengembangkan pola pengelolaan hutan kolaboratif di Kuningan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilainya. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen kolaborasi dengan jiwa kebersamaan, kepercayaan, partisipatif, egaliter, dan demokratis telah dilanggar sendiri oleh pihak Dishutbun. Akibatnya, ke depannya pun kami meragukan dalam pengelolaan Taman Nasional di Kuningan akan kolaboratif sebagaimana yang selalu diungkapkan oleh Kadishutbun. Singkatnya, jangankan kolaboratif dan partisipatif dalam pengelolaannya nanti kalau dalam proses awalnya saja sudah tidak dilakukan secara kolaboratif dan partisipatif.
7.
Ide Dasar Munculnya Taman Nasional Memperhatikan proses perjalanan menuju Taman Nasional Gunung Ciremai, menimbulkan pertanyaan pada kami, “Sesungguhnya siapa yang menggagas untuk menjadikan kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional?” Kami semula memperkirakan bahwa gagasan tersebut muncul dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan atau dari Fakultas Kehutanan UNIKU. Mengingat pertama, Fakultas Kehutanan UNIKU (atau STIKKU pada saat itu) telah melaksanakan seminar sehari di Kuningan tanggal 5 Juli 2003 dan kedua, Fakultas Kehutanan UNIKU melakukan ekspos di Departemen Kehutanan tanggal 8 Oktober 2004, yang keduanya didukung dan difasilitasi oleh Dishutbun. Tapi ketika kami menanyakannya, ternyata Kadishutbun menjawab bahwa ide dasar tersebut dari Bupati.
Secara ringkas kami kemukakan bahwa proses pembentukan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) tidak dilaksanakan dengan baik, bahkan sangat jauh dari prinsip Pengelolaan Hutan yang Baik (Good Forest Governance). Sementara bentuk pengelolaan TNGC ke depan yang kolaboratif, belum ada aturan yang dapat menjaminnya secara eksplisit serta belum ada bukti empiris pada Taman Nasional-Taman Nasional lain yang telah ada di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, kami memohon dengan sangat: a)
Dishutbun Kabupaten Kuningan/Bupati Kuningan dan Dishutbun Kabupaten Majalengka/Bupati Majalengka —melalui surat— mengklarifikasi ke pihak Departemen Kehutanan agar meninjau kembali atau mencabut/menangguhkan sementara SK No. 424/Kpts-II/2004 serta meminta Departemen Kehutanan agar menempuh ulang tahapan Proses Usulan Kawasan Konservasi sebagaimana yang diatur dengan Pasal 19 UU No. 41/1999 dan Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 jo SK No. 48/Kpts-II/2004.
b) DPRD Kabupaten Kuningan mengirim surat klarifikasi ke Departemen Kehutanan agar menangguhkan SK No. 424/Kpts-II/2004 karena surat dukungan DPRD Kabupaten Kuningan No. 061/266/DPRD tanggal 1 September 2004 baru sebatas memberi dukungan terhadap surat usulan Bupati Kuningan No. 522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 yang berisi permintaan pengkajian. c)
Gubernur Jawa Barat —juga melalui surat— mengklarifikasi ke pihak Departemen Kehutanan karena surat rekomendasi yang dikeluarkan tidak menjadi dasar dalam konsideran 131
‘Memperhatikan’ dari SK Menhut tersebut, padahal dalam Pasal 18 Kepmenhut No. 48/KptsII/2004, rekomendasi Gubernur merupakan salah satu lampiran yang harus disertakan. Dan Gubernur Jawa Barat juga perlu meminta Departemen Kehutanan untuk melakukan pengkajian lapangan oleh Tim Terpadu antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten setempat sehingga sesuai dengan bunyi surat rekomendasi Gubernur dimaksud. d) Departemen Kehutanan menangguhkan pemberlakuan SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004 serta mencermati dan menempuh ulang tahapan Proses Usulan Kawasan Konservasi sebagaimana diatur dengan Pasal 19 UU No. 41/1999 dan Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 jo SK No. 48/KptsII/2004. Hal lain yang perlu kami tegaskan adalah bahwa permasalahan yang mendasar terletak pada adanya perbedaan-perbedaan sebagaimana yang terungkap di atas. Bukan pada sikap dan tindakan mendukung atau tidak mendukung kepada salah satu institusi, apakah itu kepada Pemerintah Kabupaten, Perhutani, ataupun lembaga Taman Nasional. Dalam kaitan ini, kami tidak memihak kepada proses dan prosedur yang dijalani sekarang serta kepada output berupa terbitnya SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004. Dan hal lain yang juga perlu ditegaskan adalah bahwa apa yang kami lakukan ini sangat jauh dari sikap tendensius serta tidak untuk mengharapkan berbagai kepentingan proyek bagi kami. Kami sangat mendukung ungkapan, bahwa yang penting adalah bagaimana menyelamatkan kawasan Gunung Ciremai dari proses degradasi. Solusi yang paling tepat untuk hal itu adalah: Pertama;
Menggencarkan penyelenggaraan implementasi PHBM di lereng Gunung Ciremai secara konsekuen dan benar oleh para pihak di Kabupaten Kuningan dengan tetap menganut pertimbangan ekologis dan sosial ekonomi masyarakat dari apa yang sudah dan sedang dilakukan sekarang.
Kedua;
Lebih mengoptimalkan peran Pemerintah Kabupaten dalam pelaksanaan tugasnya sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengaturan, perencanaan, pembinaan, dan pengendalian kepada masyarakat secara intensif.
Ketiga;
Mengefektifkan proyek-proyek GNRHL dan APBD di kawasan Gunung Ciremai.
Keempat;
Menutup Galian C secara konsekuen dan berkelanjutan dengan memberikan solusi yang bersifat ekonomis bagi masyarakat yang sebelumnya bekerja dalam kegiatan tersebut.
Kelima;
Melaksanakan reklamasi secara sungguh-sungguh terhadap lahan-lahan eks Galian C.
Keenam;
Menindak secara tegas pelaku illegal logging, dari hulu sampai ke hilir.
Ketujuh;
Memberikan jalan ke luar secara ekonomis bagi masyarakat yang menjadikan kawasan yang tidak layak menjadi kebun sayuran.
Dengan demikian maka usaha untuk menyelamatkan kawasan Gunung Ciremai tersebut, menurut hemat kami tidak perlu repot-repot dengan mencari bentuk lain untuk pengelolaannya. Karena dengan melakukan hal tersebut berarti merupakan satu langkah mundur.
132
Lampiran 15 Daftar Stakeholder Yang Terkait dengan TN Gunung Ciremai Parapihak
Kepentingan Utama Konservasi Sumberdaya Hutan
Hak
Departemen Kehutanan
-
Perum Perhutani
- Wilayah kelola
- kelola hutan
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Masyarakat Lokal
- Pembangunan SDH - Akses lahan - Sumber penghidupan - Konservasi SDH
- pengaturan dan pengendalian - pemanfaatan SDH - Akses
- Pengelolaan wilayah administrasi - pembangunan wilayah
- Regulasi
Dinas Pertanian
- pembangunan pertanian
- koordinasi kegiatan pertanian
Dinas Pariwisata Daerah
- pariwisata
DIS SDAP
- pelestarian SDA
- koordinasi pariwisata ?
BKSDA Jabar II Bupati Badan Perencana Pembangunan Daerah
-
Regulasi Kelola Hutan
-Pengelolaan
- koordinasi pembangunan
Kepentingan Keterlibatan Tinggi. Dukungan kebijakan Rendah. Tidak mempunyai peran dalam pengelolaan Tinggi. Wilayah teritorial Tinggi. Penerima dampak/manfaat langsung Tinggi. Koordinasi pengelolaan Kawasan Konservasi Tinggi. Dukungan kebijakan
Pengaruh Besar. Berpengaruh pada semua aspek kebijakan Besar. Akses kebijakan dan pendanaan Besar. Koordinasi pengelolaan SDH wilayah Besar. Potensi SDM, implementasi, kontrol Besar. Otoritas pengelolaan Besar. Berpengaruh dalam tataran kebijakan
Rendah. menyediakan dukungan hanya pada program yang terkait dengan program institusinya Tinggi. Tinggi intensitas pemanfaatan lahan utk pertanian Tinggi. Koordinasi
Kecil. Dapat bekerjasama akan tetapi tanpa kekuatan intervensi
?
?
Kecil. Dapat bekerjasama akan tetapi tanpa kekuatan intervensi Kecil. Tanpa kekuatan intervensi
133
Dinas LHK
- kelestarian SD dan lingkungan
Dinas Pendapatan Daerah
-pendapatan asli daerah - kontinyuitas pasokan air - kontinyuitas pasokan air -penggunaan kawasan utk kegiatan
PDAM Pengusaha Air Minum Kemasan Pecinta Alam/Penggiat Alam Terbuka Sekunder Badan Pemberdayaan Masyarakat PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia) LPI
Tinggi. Dukungan terhadap kegiatan konservasi Rendah
Kecil. Tanpa kekuatan intervensi
Tinggi. Pemanfaat SDA Tinggi. Pemanfaat SDA Tinggi. SDM
Kecil. Dapat bekerjasama akan tetapi tanpa kekuatan intervensi Kecil. Dapat bekerjasama akan tetapi tanpa kekuatan intervensi Kecil. Tanpa kekuatan intervensi
- Pemberdayaan masyarakat - konsumen wisata - pemanfaatan jasa
rendah
Kecil. Tanpa kekuatan intervensi
rendah
kecil
- Kelestarian SDH
Tinggi. Support dalam komunikasi parapihak Tinggi. interest
Besar. Kekuatan Koordinasi dan implementasi Besar. Mobilisasi sumberdaya, advokasi Besar. Academic authority
LSM
- kelestarian SDH
Perguruan Tinggi (UNIKU)
- field research
TNI
- pemanfaatan kawasan untuk latihan - good forest governance
DPRD Donor Internasional
- Kelestarian SDH dan lingkungan - Penyaluran dana
- Koordinasi pendapatan Pemanfaatan air Pemanfaatan air Akses
- sinkronisasi program - pelibatan dalam proses - Aplikasi teori - pemanfaatan kawasan - kontrol
Rendah. Tidak bergerak dalam tataran operasional Kecil. Tidak bergerak dalam tataran operasional Rendah. Tidak bergerak dalam tataran operasional Rendah. Global issue
Kecil. Tanpa kekuatan intervensi
kecil Besar. Dukungan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan lokal Kecil. Dapat bekerjasama akan tetapi tanpa kekuatan intervensi
134
Lampiran 16 Nota Kesepakatan Bersama antara BKSDA Jabar II dengan Pemerintah Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, Kabupaten Kuningan tentang Implementasi Sistem Pengelolaan Hutan Bersama (PHBM) di Taman Nasional Gunung Ciremai
NOTA KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA
BALAI KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM (BKSDA) JAWA BARAT II DENGAN
PEMERINTAH DESA PAJAMBON KECAMATAN KRAMATMULYA KABUPATEN KUNINGAN TENTANG IMPLEMENTASI SISTEM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
Nomor: S.2557/IV-K.12/2005 Nomor:141/02/Pem/07/2005 Pada hari ini Senin tanggal Sebelas bulan Juli tahun Dua Ribu Lima, bertempat di Balai Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan, kami yang bertandatangan di bawah ini: 1. Nama : Ir. Ikin Zainal Mutaqin Jabatan : Kepala BKSDA Jabar II Alamat : Jl. R.A.A. Kusumasubrata No. 11 Ciamis 46213 Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Balai KSDA Jabar II, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Dirjen PHKA No.: SK.140/IV/Set-3/2004 tanggal 30 Desember 2004 tentang Penunjukan Pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA. 2. Nama : A. Supriyadi Jabatan : Kepala Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan Alamat : Dusun Manis RT 02 RW 01 Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan Dalam hal ini bertindak selaku Pemerintah Desa Pajambon dan atas nama masyarakat Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. Sepakat untuk melaksanakan implementasi Sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai yang turut wilayah administrasi Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang ada di bawah pengelolaan BKSDA Jabar II sebagai perwujudan dari Visi dan Misi Sistem PHBM Kuningan serta Visi dan Misi Departemen Kehutanan dengan ketentuan sebagai berikut. Pasal 1
135
LANDASAN Landasan yang dijadikan pedoman oleh kedua belah pihak di atas dalam membangun kesepakatan ini adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13. 14. 15. 16.
17. 18. 19. 20. 21. 22.
UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. PP Nomor 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. PP Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. PP Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. PP Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP Nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan. PP Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam atau Sekitar Hutan dalam Rangka Social Forestry. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6187/KPTS-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai KSDA. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 390/KPTS-II/2003 tentang Tata Cara Kerjasama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Lindung pada Komplek Hutan Gunung Ciremai Seluas + 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar Terletak di Kabupaten Kuningan, Majalengka, Provinsi Jawa Barat Menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Surat Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dam Konservasi Alam Nomor S.56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005 perihal Tindak Lanjut Taman Nasional Gunung Ciremai. Surat Direktur Konservasi Kawasan Nomor S.41/IV/KK-1/2005 tanggal 31 Januari 2005 perihal Tindak Lanjut Penunjukkan Taman Nasional Gunung Ciremai. Peraturan Bupati Kuningan Nomor 4 Tahun 2005 tentang Kewenangan Camat dalam Kabupaten Kuningan. Perdes Desa Pajambon Nomor 8 tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Wisata. Pokok-pokok Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Kabupaten Kuningan tanggal 17 April 2001. Prinsip, Kriteria, dan Indikator PHBM Kuningan tanggal 4 September 2001. Pasal 2 TUJUAN
Tujuan kesepakatan bersama ini adalah untuk menjaga, melindungi, dan memanfaatkan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang terdapat di dalam kawasan hutan Taman Nasional Gunung Ciremai yang turut wilayah administrasi Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan serta mengoptimalkan fungsi hutan sehingga
136
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Pasal 3 PRINSIP Prinsip yang dipegang dan dikembangkan dalam pelaksanaan kerjasama ini adalah: 1. Prinsip saling percaya; 2. Prinsip kesepahaman; 3. Prinsip kesetaraan; 4. Prinsip keadilan; 5. Prinsip keterbukaan; 6. Prinsip kebersamaan; 7. Prinsip berbagi peran dan tanggung jawab; 8. Prinsip kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 9. Prinsip kelestarian sosial budaya. Pasal 4 BIDANG KERJASAMA 1. Kesepakatan bersama ini meliputi proses/kegiatan pengelolaan hutan negara yang turut wilayah administratif Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang berada di bawah pengelolaan BKSDA Jabar II seluas 30 Hektar (Peta dan Berita Acara Pengesahan Batas Wilayah terlampir) yang penetapan zonasinya akan dilakukan kemudian secara bersama-sama. 2. Ruang lingkup kerjasama pengelolaan hutan sebagaimana ayat (1) di atas meliputi: a. Penyusunan rencana; b. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; c. Rehabilitasi kawasan; d. Perlindungan dan pengamanan hutan; e. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; f. Pengembangan wisata alam; g. Peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat di bidang pengembangan wisata alam; Pasal 5 KELEMBAGAAN 1. Kedua belah pihak sepakat untuk menjadikan Forum PHBM Desa Pajambon sebagai media untuk bermusyawarah, tukar informasi, koordinasi, dan penyelesaian masalah yang timbul dalam melaksanakan Sistem PHBM Kuningan . 2. Kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Lembaga Pengelola yang terdiri dari unsur BKSDA Jabar II, Pemerintah Desa Pajambon, dan Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (POKTAPEPAR) Desa Pajambon dengan ketentuan yang diatur tersendiri.
Pasal 6
137
KEWAJIBAN DAN HAK Kedua belah pihak berkewajiban: 1. Menjamin status dan fungsi hutan sebagai asset negara yang tidak boleh disewakan dan atau diperjualbelikan. 2. Masing-masing pihak sepakat untuk mengutamakan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari. 3. Memegang teguh kesepakatan yang telah dibangun bersama dan prinsip-prinsip PHBM yang diwujudkan dalam Forum PHBM Desa Pajambon. 4. Menjamin/mendukung sepenuhnya terhadap keberlangsungan fungsi, tugas, dan mekanisme Forum PHBM Desa Pajambon. 5. Menyusun rencana kegiatan PHBM dan aturan-aturan secara bersama dalam mengimplementasikan Sistem PHBM melalui Forum PHBM Desa Pajambon. 6. Melakukan monitoring, evaluasi, pengawasan, pengamanan, dan perlindungan hutan baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama. 7. Untuk menjamin keberlangsungan fungsi dan manfaat ekosistem hutan kedua belah pihak sepakat untuk menjalani kerjasama dengan pihak-pihak lain. 8. Berbagi di dalam memberikan masukan dan melakukan proses dalam pelaksanaan Sistem PHBM. 9. Menghormati dan memahami peran dan tanggung jawab masing-masing pihak. 10. Bertanggung jawab atas pelanggaran masing-masing pihak terhadap kesepakatankesepakatan yang telah dibangun bersama. 11. Saling memberikan informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan Sistem PHBM. Kedua belah pihak berhak: 1. Mendapatkan manfaat dari masukan-masukan dan proses-proses yang dilaksanakan dalam implementasi sistem PHBM . 2. Mendapatkan informasi yang berkenaan dengan pelaksanaan sistem PHBM . 3. Mengeluarkan pendapat dan saling memberikan koreksi serta kontribusi. Pasal 7 PELAKSANAAN 1. Pelaksanaan setiap bidang kerjasama sebagaimana dimaksud dalam pasal (4) berpedoman pada: a. Kaidah kelestarian hutan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan nilai manfaat secara lestari. b. Perencanaan dan aturan yang disepakati dalam Forum PHBM Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya serta peraturan perundang-undangan yang terkait. 2. Pelaksanaan setiap bidang kerjasama sebagaimana dimaksud dalam pasal (4) merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepakatan Bersama ini, dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan kedua belah pihak. 3. Setiap bidang kerjasama memuat tentang mekanisme sharing (input, proses, dan output), ketentuan teknis, dan ketentuan lain yang dituangkan dalam Nota Perjanjian Kemitraan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Nota Kesepakatan Bersama ini. 4. Dalam pelaksanaan kemitraan ini PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA dapat melibatkan pihak/unsur terkait lain atas dasar kesepakatan Forum PHBM Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya.
138
5. Setiap Nota Perjanjian Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (3) ditandatangani oleh Kepala Balai KSDA Jabar II dan Ketua POKTAPEPAR dan diketahui oleh Ketua Forum PHBM, Ketua BPD, Kepala Desa Pajambon serta Camat Kramatmulya. 6. Perjanjian-perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disetujui oleh Bupati Kuningan. Pasal 8 JANGKA WAKTU Kesepakatan bersama ini berlaku sejak ditandatangani dan dapat dibatalkan atas kesepakatan para pihak. Pasal 9 PERSELISIHAN 1. Segala bentuk perselisihan, diselesaikan berdasarkan musyawarah mufakat di antara kedua belah pihak dan atau melalui Forum PHBM Desa Pajambon, Forum PHBM Kecamatan Kramatmulya sampai ke Forum PHBM Kabupaten Kuningan. 2. Apabila penyelesaian yang dimaksud pasal 9 ayat (1) di atas tidak tercapai, diselesaikan melalui jalur hukum yang berlaku. Pasal 10 FORCE MAJUURE 1. Apabila terjadi hal-hal di luar kemampuan para pihak yang merupakan force majuure, seperti bencana alam, kebakaran hutan, musibah yang menimpa pengunjung, serta peristiwa-peristiwa di luar kemampuan para pihak maka kedua belah pihak bersama-sama melakukan penanggulangan. 2. Pada saat terjadi force majuure, PIHAK KEDUA segera melaporkan kepada PIHAK PERTAMA paling lama 1 kali 24 jam, baik secara lisan maupun tertulis. 3. Dalam melakukan penanggulangan force majuure tersebut, berkoordinasi dengan para pihak terkait. Pasal 11 PENUTUP 1. Nota kesepakatan ini dibangun bersama sebagai landasan/payung hukum para pihak dalam pelaksanaan Sistem PHBM di Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan. 2. Apabila terdapat kekeliruan atau hal-hal lain yang belum diatur dalam Nota Kesepakatan Bersama ini, diatur atau disepakati kemudian dalam bentuk addendum yang mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Nota Kesepakatan Bersama ini.
PIHAK PERTAMA Kepala Balai KSDA Jabar II,
PIHAK KEDUA Kepala Desa Pajambon,
139
Ir. IKIN ZAINAL MUTAQIN
A. SUPRIYADI Saksi-saksi:
Ketua Forum PHBM Desa Pajambon,
Ketua POKTAPEPAR Desa Pajambon,
KUSMANSYAH
MULYADI
Ketua BPD Desa Pajambon,
Camat Kramatmulya,
S. ANDRIES A.F.
Drs. ALI JUMENA S.P. Menyetujui: BUPATI KUNINGAN,
H. AANG HAMID SUGANDA
140
Lampiran 17
Nota Perjanjian Kerjasama antara BKSDA Jabar II dengan Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (POKTAPEPAR) Desa Pajambon, Kecamatan Kramatmulya, Kabupaten Kuningan tentang Pengelolaan Hutan Lembah Cilengkrang melalui Sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai NOTA PERJANJIAN KEMITRAAN
ANTARA
BALAI KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM (BKSDA) JAWA BARAT II DENGAN KELOMPOK TANI PENGGERAK PARIWISATA (POKTAPEPAR) DESA PAJAMBON KECAMATAN KRAMATMULYA KABUPATEN KUNINGAN TENTANG PENGELOLAAN HUTAN LEMBAH CILENGKRANG MELALUI SISTEM PHBM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
Nomor: S 2558/IV-K.12/2005 Nomor: 02/Poktapepar/07/2005 Pada hari ini Selasa tanggal Dua Belas bulan Juli tahun 2005, bertempat di Balai Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan, kami yang bertandatangan di bawah ini: 3. Nama : Ir. Ikin Zainal Mutaqin Jabatan : Kepala BKSDA Jabar II Alamat : Jl. R.A.A. Kusumasubrata No. 11 Ciamis 46213 Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Balai KSDA Jabar II, sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Dirjen PHKA No.: SK.140/IV/Set-3/2004 tanggal 30 Desember 2004 tentang Penunjukan Pengelola Taman Nasional Gunung Ciremai yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA. 4. Nama : Mulyadi Jabatan : Ketua Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (POKTAPEPAR) Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan Alamat : Dusun Wage RT 8 RW 04 Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Kelompok Tani Penggerak Pariwisata (POKTAPEPAR) Lembah Cilengkrang Desa Pajambon dan atas nama masyarakat Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. Kedua belah pihak sepakat melakukan perjanjian kemitraan dalam rangka pelaksanaan implementasi Sistem PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai yang turut wilayah administrasi Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang ada di bawah pengelolaan BKSDA Jawa Barat II dengan ketentuan sebagai berikut. Pasal 1 LANDASAN
141
Landasan perjanjian kemitraan ini adalah: 1. PP Nomor 59 tahun 1998 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; 2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 878/KPTS-II/1992 tentang Tarif Pungutan Masuk Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut. 3. Nota Kesepakatan Bersama antara BKSDA Jabar II dengan Pemerintah Desa Pajambon Nomor S2557/IV-K.12/2005 dan Nomor 141/02/Pem/07/2005 tanggal 11 Juli 2005 tentang Implementasi Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Taman Nasional Gunung Ciremai; Pasal 2 TUJUAN DAN SASARAN 1. Tujuan perjanjian kemitraan ini adalah: a. Merealisasikan tujuan pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat sebagaimana tertuang dalam Nota Kesepakatan Bersama; b. Terjaminnya kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai melalui optimalisasi fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dalam mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. c. Untuk memperjelas peran, tanggung jawab, kewajiban dan hak para pihak dalam pengelolaan wisata alam dan jasa lingkungan Lembah Cilengkrang. 2. Sasaran perjanjian kemitraan ini adalah terpeliharanya keutuhan dan kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya melalui pengelolaan wisata alam dan jasa lingkungan Lembah Cilengkrang di Taman Nasional Gunung Ciremai, serta terpenuhinya wahana pendidikan konservasi, ilmu pengetahuan, penelitian, dan rekreasi bagi masyarakat. Pasal 3 OBYEK DAN RUANG LINGKUP KEMITRAAN 1. Obyek kemitraan ini adalah: a. Kawasan hutan Lembah Cilengkrang Taman Nasional Gunung Ciremai seluas 30 Ha yang turut wilayah administrasi Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya Kabupaten Kuningan yang berada di bawah pengelolaan BKSDA Jabar II; b. Pengelolaan bersama kawasan hutan pada ayat (1) poin (a) tersebut di atas untuk kegiatan wisata alam dan jasa lingkungan, rehabilitasi, perlindungan, dan pelestarian alam dengan sistem berbagi peran, berbagi tanggung jawab, dan berbagi manfaat. 2. Ruang lingkup kemitraan ini adalah: a. Penyusunan rencana pengelolaan, rehabilitasi, pemeliharaan, perlindungan, promosi dan informasi; b. Peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat di bidang pengelolaan, pengembangan wisata alam dan jasa lingkungan.
Pasal 4 RENCANA PENGELOLAAN
142
Rencana pengelolaan yang disepakati adalah sebagai berikut: Jenis Kegiatan 1. Wisata Alam 2. Bumi Perkemahan 3. Rehabilitasi
4. Potensi Lainnya
Lokasi/Blok
Volume
Cipanas Kopi Gede, Hambulu Kopi Gede, Hambulu, Cipanas, Curug Sabu Kopi Gede, Hambulu
0,5 Ha 1 Ha
5. Jasa Lingkungan
Rencana Kelola
Ket.
28,5 Ha
57 jenis ………
Tanaman Obat P.M.
CATATAN: Rencana Pengelolaan sesuai dengan potensi yang ada dan karakteristik wilayah setempat akan disusun secara bersama-sama yang difasilitasi oleh para pihak selambat-lambatnya 6 bulan setelah ditandatanganinya perjanjian kemitraan ini dan dibuatkan addendum yang tidak terpisahkan dari surat perjanjian ini. Pasal 5 KEWAJIBAN DAN HAK PIHAK PERTAMA 1. PIHAK PERTAMA berkewajiban: a. Memberikan bimbingan dan binaan teknis serta fasilitasi kepada pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Sistem PHBM di Desa Pajambon demi kelancaran dan peningkatan fungsi dan manfaat hutan; b. Melakukan monitoring dan evaluasi secara sendiri dan atau bersama-sama pihak yang berkepentingan; c. Menyediakan sarana dan pra-sarana sesuai program; d. Melaksanakan pengadaan tiket masuk pengunjung dan jasa lainnya di kawasan hutan Lembah Cilengkrang; e. Mengupayakan peningkatan kualitas sumberdaya manusia masyarakat Desa Pajambon; f. Menjaga, memelihara, dan mengefektifkan fungsi, tugas dan mekanisme Forum PHBM Desa Pajambon; g. Bersama-sama PIHAK KEDUA dan Forum PHBM Desa Pajambon melaksanakan rehabilitasi, pengawasan, pemeliharaan, pengamanan, perlindungan, promosi, dan informasi; h. Menyampaikan setiap rencana kegiatan yang terkait dengan Nota Perjanjian Kemitraan ini kepada pihak PIHAK KEDUA dan Forum PHBM Desa Pajambon; i. Melaksanakan pengaturan, pengamanan serta memantau dampak negatif pengunjung dalam rangka menjamin kenyamanan dan keamanan pengunjung; j. Membangun jaringan kerja dengan pihak lain yang terkait dengan bidang kemitraan. 2. PIHAK PERTAMA berhak:
143
a. Melakukan koreksi, teguran, peringatan, dan pembatalan perjanjian kemitraan ini bila terjadi penyimpangan prinsipil dari kesepakatan yang telah dibuat melalui musyawarah Forum PHBM Desa Pajambon; b. Mendapatkan laporan secara periodik dan insidental mengenai pelaksanaan kegiatan PHBM di Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya; c. Mengalihkan hak pengelolaan kepada pihak lain sebagai akibat dibatalkannya perjanjian kemitraan dengan PIHAK KEDUA setelah mempertimbangkan saran/pendapat Forum PHBM Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya; d. Mengkoordinasikan pemanfaatan dana dari PIHAK KEDUA untuk kegiatan konservasi yang mekanismenya diatur dalam pasal 8 Nota Perjanjian Kemitraan ini.
Pasal 6 KEWAJIBAN DAN HAK PIHAK KEDUA 1. PIHAK KEDUA berkewajiban: a. Menjamin status dan fungsi hutan sebagai asset negara yang tidak boleh disewakan dan diperjualbelikan; b. Menyediakan sarana dan pra-sarana sesuai dengan program; c. Membantu PIHAK PERTAMA dalam penyelenggaran retribusi karcis masuk pengunjung dan jasa lainnya di kawasan hutan Lembah Cilengkrang; d. Melakukan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan serta kegiatan pengendalian kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Ciremai; e. Memperhatikan kaidah kelestarian dan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga tidak merusak lingkungan; f. Memberikan laporan kepada PIHAK PERTAMA secara periodik dan insindental mengenai pelaksanaan kegiatan PHBM di Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya; g. Setiap anggota POKTAPEPAR turut berperan aktif dalam menghindari, mencegah, dan menghentikan terhadap upaya-upaya pihak lain yang akan mengganggu dan merusak kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; h. Bersama-sama PIHAK PERTAMA dan atau Forum PHBM Desa Pajambon terlibat dalam proses rehabilitasi, pengawasan, evaluasi, pemeliharaan, pengamanan, perlindungan serta promosi dan informasi; i. Menjaga, memelihara, dan mengefektifkan fungsi, tugas, dan mekanisme Forum PHBM Desa Pajambon; j. Membangun jaringan kerja dengan pihak lain yang terkait dengan bidang kemitraan; k. Melaksanakan pengaturan, pengamanan serta memantau dampak negatif pengunjung dalam rangka menjamin kenyamanan dan keamanan pengunjung; l. Mengkoordinir seluruh anggota POKTAPEPAR serta menyusun dan menyepakati aturan-aturan POKTAPEPAR demi tercapainya tujuan dari Nota Perjanjian Kemitraan ini; m. Mentaati dan menjalankan petunjuk-petunjuk teknis dari PIHAK PERTAMA yang tidak tercantum dalam Nota Perjanjian Kemitraan ini, tetapi berkaitan langsung dengan pelaksanaan Nota Perjanjian Kemitraan ini; n. Memberikan kontribusi dalam bentuk apapun terhadap proses pengelolaan guna mendapatkan sharing manfaat yang sebesar-besarnya melalui musyawarah dengan PIHAK PERTAMA dan Forum PHBM Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya;
144
o. Menyisihkan sebagian hasil yang didapat untuk kepentingan kegiatan konservasi kawasan yang mekanismenya diatur dalam pasal 8 Nota Perjanjian Kemitraan ini. 2. PIHAK KEDUA berhak: a. Mendapatkan seluruh hak yang merupakan kewajiban PIHAK PERTAMA sebagaimana diatur dalam huruf (a) s/d huruf (h) ayat (1) pasal 6 Nota Perjanjian Kemitraan ini; b. Mengoptimalkan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk pengembangan budidaya sepanjang tidak merusak ekosistem alaminya; c. Mengajukan saran dan masukan atau koreksian terhadap kebijaksanaan PIHAK PERTAMA untuk mendukung kelancaran pengelolaan; d. Mendapatkan sharing manfaat sesuai dengan nilai kontribusi yang diberikan yang mekanismenya diatur dalam pasal 8 Nota Perjanjian Kemitraan ini. Pasal 7 MONITORING DAN EVALUASI 1. Monitoring merupakan salah satu fungsi pengelolaan yang dimaksudkan untuk mengawasi seluruh proses/kegiatan pada obyek dan ruang lingkup kerjasama yang dimaksud pada pasal 3 dan mengendalikan hal-hal yang bersifat mengganggu, menghambat, dan menggagalkan tujuan dari Nota Perjanjian Kemitraan ini. 2. Monitoring dilaksanakan secara periodik maupun insidental; 3. Evaluasi dilakukan minimal setiap 1 (satu) tahun sekali untuk mengukur tingkat keberhasilan atas pelaksanaan Nota Perjanjian Kemitraan ini yang dilakukan bersama oleh PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA, dan Forum PHBM Desa Pajambon terhadap seluruh proses/kegiatan pada obyek dan ruang lingkup kemitraan yang dimaksud pasal 3. 4. Evaluasi dijadikan sebagai dasar pertimbangan oleh kedua belah pihak dan Forum PHBM Desa Pajambon untuk menentukan berlanjut atau tidaknya Nota Perjanjian Kemitraan ini. Pasal 8 TARIF DAN MEKANISME SHARING 1. Besarnya tarif masuk pengunjung ke obyek wisata alam dan jasa lingkungan lainnya ditetapkan berdasarkan ketentuan dan peraturan yang berlaku; 2. Tarif masuk pengunjung terdiri dari: a. Penerimaan Negara Bukan Pajak; b. Biaya operasional pengelolaan yang ditimbulkan dengan adanya kesepakatan kemitraan ini dibebankan kepada pengunjung dengan cara menambahkan pada biaya pokok tiket masuk atas dasar kesepakatan; c. Biaya asuransi kecelakaan pengunjung. 3. Perimbangan pembagian hasil tiket masuk wisata alam sebagaimana dimaksud huruf (a) ayat 2 di atas ditetapkan berdasarkan ketentuan dan peraturan yang berlaku; 4. Para pihak yang berhak mendapatkan sharing output sebagaimana dimaksud huruf (b) ayat 2 di atas adalah PIHAK KEDUA, Forum PHBM Desa, Pemerintah Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya, dan Kegiatan Konservasi yang besarnya didasarkan atas hasil musyawarah;
145
5. Sharing output yang bersumber dari kawasan hutan Lembah Cilengkrang di luar penyelenggaraan wisata alam sepenuhnya menjadi hak PIHAK KEDUA yang pengaturan lebih lanjut sejalan dengan maksud ayat 4 di atas. 6. Ruang lingkup sharing: a. Sharing meliputi sharing peran, tanggung jawab, input, proses, maupun output; b. Sharing dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan peningkatan kualitas sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya atas dasar saling menguntungkan; 7. Pelaksanaan sharing output: a. Sharing ouput dari penyelenggaraan wisata alam dilakukan setiap akhir bulan. b. Sharing output di luar sebagaimana huruf (a) ayat 7 di atas dilakukan pada saat diperolehnya pemanfaatan hasil kegiatan. 8. Nilai sharing output: Sharing output masing-masing pihak sebagaimana dimaksud ayat (4) pasal 8 adalah sebagai berikut:
No. 1. 2. 3. 4.
Pihak yang Berhak Mendapatkan Sharing Manfaat PIHAK KEDUA PEMERINTAH DESA FORUM PHBM DESA PAJAMBON DANA KONSERVASI
Wisata Alam 75 % 12,5 % 5% 7,5 %
Jenis Kegiatan Bumi Perkemahan 75 % 12,5 % 5% 7,5 %
Di Luar Wisata Alam 75 % 12,5 % 5% 7,5 %
9. Penyerahan sharing output: a. Penyerahan sharing output dilakukan secara terbuka dengan proses administrasi yang tertib sesuai dengan aturan yang disepakati bersama melalui Forum PHBM Desa Pajambon. b. Penyerahan sharing output dilakukan dalam bentuk uang. c. Penyerahan sharing output dari kegiatan di luar wisata alam sepenuhnya hak PIHAK KEDUA, Forum PHBM Desa Pajambon, Pemerintahan Desa Pajambon Kecamatan Kramatmulya, dan Kegiatan Konservasi. Pasal 9 JANGKA WAKTU 1. Nota Perjanjian Kemitraan ini berlaku sejak ditandatanganinya Nota Perjanjian Kemitraan ini untuk jangka waktu 5 (lima) tahun atas hasil evaluasi sebagaimana ayat (3) pasal 7; 2. Setelah jangka waktu tersebut ayat (1) di atas, Nota Perjanjian Kemitraan ini bisa diperpanjang atas permohonan PIHAK KEDUA; 3. Perjanjian kemitraan ini berakhir apabila: a. Jangka waktu berakhir dan tidak diperpanjang; b. PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA merasa tidak memungkinkan lagi melanjutkan kerjasama kemitraan ini.
146
Pasal 10 SANKSI 1. Apabila berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi salah satu pihak tidak memenuhi sebagian atau seluruh kewajibannya, dikenakan sanksi yang diatur berdasarkan musyawarah dan mufakat di antara kedua belah pihak dan Forum PHBM Desa Pajambon. 2. Sanksi yang dimaksud ayat (1) pasal 10 di antaranya berupa peringatan, koreksian, pencabutan, dan pembatalan Nota Perjanjian Kemitraan ini. Pasal 11 FORCE MAJUURE 1. Apabila terjadi hal-hal di luar kemampuan para pihak di tingkat desa yang merupakan force majuure, seperti bencana alam, kebakaran hutan, musibah yang menimpa pengunjung, serta peristiwa-peristiwa di luar kemampuan para pihak di tingkat desa maka semua pihak secara bersama-sama untuk melakukan penanggulangan. 2. Pada saat terjadi force majuure, PIHAK KEDUA segera melaporkan kepada PIHAK PERTAMA paling lama 1 kali 24 jam, baik secara lisan maupun tertulis. 3. Dalam melakukan penanggulangan force majuure tersebut, berkoordinasi dengan para pihak terkait lainnya. Pasal 12 PERSELISIHAN 1. Segala bentuk perselisihan, diselesaikan berdasarkan musyawarah mufakat di antara kedua belah pihak dan atau melalui Forum PHBM Desa Pajambon, Forum PHBM Kecamatan sampai ke Forum PHBM Kabupaten Kuningan. 2. Apabila penyelesaian yang dimaksud pasal 12 ayat (1) di atas tidak tercapai, diselesaikan melalui melalui jalur hukum yang berlaku. Pasal 13 LAIN LAIN 1. Apabila PIHAK KEDUA sudah cukup layak dan bermaksud untuk mendapatkan Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) sesuai peraturan perundangan yang berlaku maka dapat mengajukan permohonannya ke Menteri Kehutanan RI atas rekomendasi PIHAK PERTAMA; 2. Dalam hal pelayanan pengunjung ke obyek wisata alam, PIHAK KEDUA menggunakan tiket masuk yang diterbitkan oleh Perum Perhutani KPH Kuningan sampai diterbitkannya tiket masuk oleh PIHAK PERTAMA. Pasal 14 PENUTUP 1. Nota Perjanjian Kemitraan ini dibuat sesungguhnya oleh kedua belah pihak dengan disaksikan oleh para pihak lain sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan Sistem PHBM di Desa Pajambon.
147
2. Apabila terdapat kekeliruan atau hal-hal lain yang belum diatur dalam Nota Perjanjian Kemitraan ini, diatur kemudiaan dalam bentuk addendum yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Nota Perjanjian Kemitraan ini. PIHAK PERTAMA Kepala BKSDA Jabar II,
PIHAK KEDUA Ketua POKTAPEPAR,
Ir. Ikin Zainal Mutaqin
Mulyadi Saksi-saksi:
Ketua Forum PHBM Desa Pajambon,
Ketua BPD Desa Pajambon,
KUSMANSYAH
S. ANDRIES A.F.
Kepala Desa Pajambon,
Camat Kramatmulya,
A. SUPRIYADI
Drs. ALI JUMENA S.P. Menyetujui: BUPATI KUNINGAN,
H. AANG HAMID SUGANDA
148