POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API
SELVI CHELYA SUSANTY
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
POTENSI KEBAKARAN HUTAN DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO BERDASARKAN CURAH HUJAN DAN SUMBER API
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Begor
Oleh : Selvi Chelya Susanty E14204064
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN Selvi Chelya Susanty (E14204064). Potensi Kebakaran Hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Berdasarkan Curah Hujan dan Sumber Api. Dibimbing oleh Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. Saat ini keadaan hutan di Indonesia semakin lama semakin rusak. Dari segi kecepatan perusakan dan akibat yang ditimbulkan, kebakaran merupakan salah satu faktor perusak yang paling membahayakan. Oleh karenanya perlu dilakukan penanggulangan terhadap kebakaran hutan, antara lain dengan dikembangkannya suatu sistem yang dapat menduga tingkat bahaya kebakaran (fire danger) disuatu daerah hutan pada saat tertentu (terutama pada musim kebakaran). Untuk itu diperlukan penilaian bahaya kebakaran (fire danger rating) dari berbagai unsur yang meliputi unsur bahan bakar, cuaca dan sumber api kebakaran. Bahaya kebakaran ini digunakan sebagai dasar dalam melakukan peringatan dini, baik untuk pencegahan, persiapan pemadaman, maupun pemadamannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis curah hujan di TNGP dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2003-2007) kaitannya dengan tingkat kerawanan terjadinya kebakaran hutan, serta mengkaji potensi sumber api yang menjadi penyebab kebakaran hutan di TNGP. Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dan di Desa Sukaresmi Kecamatan Megamendung Bogor, pada bulan September-November 2008. Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data kebakaran hutan yang terjadi di lokasi penelitian dari tahun 19972007, data sekunder mengenai TNGP dan Desa Sukaresmi, data curah hujan bulanan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2003-2007) dan pada tahun 1997 (saat terjadi el-Nino), daftar pertanyaan untuk wawancara mendalam bagi masyarakat dalam kaitannya dengan cara pembersihan lahan, serta daftar kuisioner untuk mengumpulkan data mengenai perilaku pengunjung dalam penggunaan api di dalam kawasan TNGP. Berdasarkan nilai curah hujan selama 5 tahun (2003-2007) dengan nilai rata-rata curah hujan tahunan mencapai 3226 mm maka kawasan TNGP termasuk ke dalam kategori tidak rawan terhadap bahaya kebakaran. Peristiwa kebakaran di TNGP disebabkan oleh 100% ulah manusia antara lain pembuatan perapian di hutan oleh masyarakat, pengunjung, dan/atau pemburu liar; pembuatan arang oleh masyarakat, dan adanya aktivitas pembakaran di lahan pertanian milik masyarakat; serta didukung oleh kondisi lingkungan (seperti kondisi iklim yang kering pada musim kemarau, pengaruh El-Nino, dan masih aktifnya Gunung Gede). Potensi sumber api dari masyarakat dalam kegiatan pembersihan lahan dengan menggunakan api dinilai kecil karena masyarakat sudah menggunakan teknik pembakaran terkendali dan pembersihan lahan yang lebih ramah lingkungan. Sedangkan perapian dari pendaki berpotensi menyebabkan terjadinya kebakaran hutan.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Potensi Kebakaran Hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Berdasarkan Curah Hujan dan Sumber Api
Nama Mahasiswa
: Selvi Chelya Susanty
NRP
: E14204064
Menyetujui Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. NIP 131 849 392
Mengetahui Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. 131 578 788
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Kebakaran Hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Berdasarkan Curah Hujan dan Sumber Api adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skipsi ini.
Bogor Februari 2009
Selvi Chelya Susanty NRP E14204064
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 2 April 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Syarif Hidayat dan Emi Suhaemi. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 5 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Masuk Bersama (SPMB). Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Departemen Sosial Politik Ekonomi Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2005-2006, staf Komisi Internal Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) tahun 2005-2006, staf Departemen Sosial Kemasyarakatan DKM Al-Hurriyyah (2005-2006), staf DKM Ibaadurrahmaan selama 2 periode (2005-2007), dan ketua Komisi Khusus Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) tahun 2006-2007. Selama perkuliahan penulis telah melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Getas Ngawi pada tahun 2007 yang merupakan kerjasama antara Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Kemudian dilanjutkan dengan Praktek Umum Kehutanan di Baturaden-Cilacap. Selain itu penulis juga berkesempatan melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman, Lampung pada tahun 2008. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis telah menyelesaikan skripsi yang berjudul Potensi Kebakaran Hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Berdasarkan Curah Hujan dan Sumber Api dibawah bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim, Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penulisan skripsi ini dengan baik. Selama melakukan penyusunan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Syarif Hidayat dan ibunda Emi Suhaemi, adikku Serli, dan saudaraku Sena atas segala do’a dan kasih sayangnya. 2. Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan berharga dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. 3. Ir. Sucahyao Sudyo, MS sebagai dosen penguji wakil dari Departemen Hasil Hutan dan Ir. Nandi Sumaryandi, M.Sc.F sebagai dosen penguji wakil dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 4. Pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango atas bantuan data dalam penyusunan skripsi ini, juga volunteer Montana atas bantuannya. 5. Bapak Wardana yang telah memberikan bantuannya. 6. Temanku Gayatri yang selalu bersedia menemani selama penelitian, dan juga Tuti, Alfia, serta Macik atas bantuan secara langsung dalam penelitian ini. 7. Rekan-rekan seperjuangan di Fahutan khususnya 41 dan adaik-adikku 42, 43, 44, serta semua pihak yang telah membantu yang tidak mungkin disebut satu persatu, semoga Allah SWT mencatatnya sebagai suatu kebaikan di sisi-Nya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan. Bogor, Februari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR.........................................................................................
i
DAFTAR ISI.......................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL...............................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN............................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .........................................................................................
1
1.2. Kerangka Pemikiran..................................................................................
3
1.3. Tujuan.......................................................................................................
4
1.4. Manfaat.....................................................................................................
4
II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................
5
2.1. Kebakaran Hutan......................................................................................
5
2.2. Faktor Penyebab Kebakaran.....................................................................
6
2.3. Cuaca Kebakaran Hutan...........................................................................
7
2.4. Penilaian Kebakaran Huttan (Fire Danger Rating)..................................
10
III. METODE PENELITIAN..............................................................................
12
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian...................................................................
12
3.2. Bahan dan Data.........................................................................................
12
3.3. Prosedur Pengumpulan Data.....................................................................
13
3.3.1. Jenis Data............................................................................................
13
3.3.2. Metode Pengumpulan Data.................................................................
13
3.4 Pengolahan dan Analisis Data...................................................................
14
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN.................................................
15
4.1. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango...............................................
15
4.2. Desa Sukaresmi.........................................................................................
19
V. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................
21
5.1. Kejadian Kebakaran di TNGP..................................................................
21
5.2. Potensi Kebakaran di TNGP.....................................................................
24
5.2.1. Curah Hujan........................................................................................
24
5.2.2. Pembersihan Lahan Masyarakat.........................................................
28
5.2.3. Pembuatan Perapian oleh Pendaki......................................................
35
VI. KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................................
44
6.1. Kesimpulan..............................................................................................
44
6.2. Saran.........................................................................................................
44
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
45
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Kondisi Kelas Kelerengan Kawasan TNGP Sebelum Perluasan....................
16
2. Kondisi Iklim Kawasan TNGP.......................................................................
17
3. Kondisi Geografis Desa Sukaresmi................................................................
19
4. Jumlah dan Kepadatan Penduduk....................................................................
20
5. Komposisi Penduduk Menurut Matapencaharian...........................................
20
6. Kejadian Kebakaran Hutan di TNGP Tahun 1997-2007.................................
21
7. Rincian Kejadian Kebakaran Hutan pada Tahun 1997....................................
23
8. Kondisi Curah Hujan Tahun 2003 – 2007 di Lokasi Penelitian.....................
25
9. Kelas Kerawanan Kebakaran Hutan Berdasarkan Curah Hujan.....................
26
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Skema Kerangka Penelitian............................................................................
3
2. Segitiga Api....................................................................................................
5
3. Peta Lokasi Penelitian.....................................................................................
12
4. Peta Geologi Kawasan TNGP.........................................................................
17
5. Jumlah Bulan Kering di Lokasi Penelitian pada Tahun 2003 – 2007.............
27
6. Curah Hujan Bulanan pada Tahun 1997 di Lokasi Penelitian.........................
28
7. Sampah Organik Sisa Tnaman Buncis............................................................
30
8. Pola Pembakaran Tumpuk (Pile Burning) dengan Beberapa Tumpukan.......
31
9. Pola Pembakaran Tumpuk (Pile Burning) dengan Satu Tumpukan...............
32
10. Alat yang Digunakan dalam Pembersihan Lahan..........................................
35
11. Sampah di Pinggir Larikan untuk Pembersihan Lahan dengan Penimbunan
35
12. Bekas Pembuatan Perapian di TNGP............................................................
36
13. Persentase Pengetahuan Pendaki akan Larangan Membuat Api Unggun.....
37
14. Persentase Pendapat akan Larangan Membuat Api Unggun.........................
38
15. Persentase Alat Penerangan yang Digunakan Selama Berkemah..................
38
16. Persentase Responden yang Pernah Membuat Perapian di TNGP................
40
17. Persentase Responden akan Pembuatan Api Unggun....................................
41
18. Persentase Tindakan Pencegahan yang Dilakukan Pendaki..........................
42
19. Persentase Keadaan Perapian Saat Ditinggalkan Pendaki.............................
43
20. Persentase Cara Yang Digunakan Pendaki untuk Memadamkan Perapian...
43
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Data Curah Hujan Kabupaten Bogor.............................................................
49
2. Desa Penyangga di Wilayah TNGPB Tahun 2007 ........................................
50
3. Jumlah Pengunjung TNGP Tahun 2002-2007................................................
53
4. Ketentuan Umum Pendakian Gunung Gede Pangrango.................................
54
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Hutan merupakan sumber daya alam anugrah Allah SWT yang memiliki nilai penting bagi kehidupan manusia, yang harus dilindungi serta dimanfaatkan secara bijak dan lestari bagi pembangunan yang berkelanjutan. Peranan hutan yang utama adalah sebagai pelindung ekosistem, sebagai sumber devisa negara dan mempunyai peranan langsung terhadap kehidupan masyarakat di sekitar hutan. Dengan demikian hutan mempunyai peranan yang sangat luas baik dari aspek perlindungan ekosistem, sosial ekonomi, dan budaya (Haeruman 1988). Keadaan hutan Indonesia semakin lama semakin rusak dimana banyak faktor yang menyebabkan kerusakan hutan tersebut, dan salah satunya adalah kebakaran hutan. Dari segi kecepatan perusakan dan pengaruh
yang
ditimbulkannya kebakaran hutan dapat digolongkan sebagai faktor perusak hutan yang paling membahayakan. Api dari kebakaran hutan dalam waktu yang relatif singkat dapat melanda beberapa hektar, puluhan, bahkan sampai ribuan hektar kawasan hutan. Selain itu, api pun dapat menjalar ke luar kawasan hutan. Berdasarkan penyebabnya kebakaran hutan dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam berkaitan dengan iklim, kondisi lahan dan sumber bahan bakar. Sedangkan kebakaran yang disebabkan faktor manusia dapat terjadi karena disengaja (pembakaran hutan) maupun tidak disengaja (unsur kelalaian). Taman Nasional sebagai kawasan konservasi memilki fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawet keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta sebagai pemanfaatan secara lestari sumberdaya hayati dan ekosistemnya. Mengingat begitu pentingnya peranan Taman Nasional maka diperlukan tindakan pencegahan terhadap berbagai gangguan yang terjadi di Taman Nasional, khususnya dari kebakaran hutan. Untuk dapat melakukan pencegahan kebakaran hutan perlu dikembangkan suatu sistem yang dapat menduga tingkat bahaya kebakaran (fire danger) disuatu daerah hutan pada saat tertentu (terutama pada musim kebakaran). Untuk itu
diperlukan penilaian bahaya kebakaran (fire danger rating) dari berbagai unsur yang meliputi unsur bahan bakar, cuaca dan sumber api kebakaran. Tingkat bahaya kebakaran ini digunakan sebagai dasar dalam melakukan peringatan dini, baik untuk pencegahan, persiapan pemadaman, maupun pemadamannya. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa potensi kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dari beberapa unsur penilaian bahaya kebakaran meliputi unsur cuaca (berupa curah hujan) dan sumber api kebakaran. Sumber api kebakaran dilakukan dengan mengkaji cara masyarakat setempat dalam melakukan pembersihan lahan dan perilaku pendaki dalam penggunaan api di dalam kawasan hutan kaitannya terhadap potensi terjadinya kebakaran di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
1.2. Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang serta hal yang ingin dicapai, kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat terlihat dalam gambar berikut: Potensi Kebakaran Hutan di TNGP
Penyebab Faktor Pendukung (Sumber Api)
Alam
- kondisi iklim yang kering - pengaruh El-Nino - masih aktifnya Gunung Gede
Manusia
Sengaja
Tidak Sengaja
- Api dari pembuatan arang oleh masyarakat. - Pemburu liar/ masyarakat masuk kawasan tanpa ijin dan membuat perapian di hutan. - Pembuatan perapian oleh pengunjung. - Masyarakat membuat perapian dan menjalar. - Membuang puntung rokok sembarangan.
Gambar 1 Skema kerangka pemikiran penelitian
1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis curah hujan di TNGP dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2003-2007) dalam kaitannya dengan tingkat kerawanan terjadinya kebakaran hutan. 2. Mengkaji potensi sumber api yang menjadi penyebab kebakaran hutan di TNGP.
1.4. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berdasarkan kondisi cuaca (berupa curah hujan) dan berdasarkan sumber api kebakaran, guna mendukung upaya kegiatan pencegahan terutama deteksi kebakaran hutan serta tindakan yang perlu diambil dalam pengendalian kebakaran hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan adalah peristiwa pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan. Bahan bakar yang ada di hutan itu sendiri sangat beragam dan tersebar dari lantai hutan hingga puncak pohon dan lapisan tajuk hutan, yang kesemuanya merupakan bagian dari biomassa hutan. Bahan bakar yang ada di dalam hutan dapat berupa serasah, rumput, ranting/cabang, pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan, dan pohon-pohon (Suratmo et al. 2003). Sedangkan menurut Sahardjo (2003), kebakaran hutan yaitu setiap kebakaran yang bukan dilakuakan secara sengaja pada areal-areal yang tidak direncanakan. Apabila kebakaran terjadi karena adanya unsur kesengajaan, maka tidak disebut kebakaran melainkan pembakaran. Cauntryman (1975) diacu dalam DeBano, Neary dan Ffollot (1998) menyatakan bahwa ada tiga komponen penting yang diperlukan untuk api agar dapat menyala dan mengalami proses pembakaran, yaitu (1) tersedianya bahan bakar yang dapat terbakar; (2) panas yang cukup untuk digunakan dalam menaikkan temperatur bahan bakar hingga ke titik penyalaan; (3) diperlukan adanya suplai O2 yang cukup dalam menjaga proses pembakaran agar tetap berlangsung dan untuk mempertahankan suplai panas yang cukup dan memungkinkan terjadinya pembakaran bahan bakar yang sulit terbakar. Ketiga komponen tersebut (bahan bakar, panas dan O2) membentuk segitiga api atau The Fire Triangle (Brown dan Davis, 1973) yang digambarkan sebagai berikut : Oksigen (O2)
API
Bahan bakar
Sumber panas
Gambar 2 Segitiga api (Brown dan Davis, 1973)
Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa proses pembakaran merupakan kebalikan dari proses fotosintesis, yang dapat dijelaskan dengan rumus kimia sebagai berikut : Proses Fotosintesis : 6CO2 + 6H2O + Energi Matahari
(C6H12O6)n + 6O2
Proses Pembakaran : (C6H12O6)n + 6O2 + kindling temperatur
6CO2+ 6H2O + Energi Panas
2.2. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan Secara garis besar kebakaran hutan dapat disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Adapun faktor alam dapat terjadi karena petir, batu bara, dan gesekan kayu. Sedangkan faktor manusia diantaranya sengaja membakar, puntung rokok yang disambung dengan botol yang berisi minyak tanah untuk penyulut api, konflik sosial, api unggun, operasi pembalakan (Sahardjo 2003). Sebagai faktor alam, api dari petir sangat kecil menjadi penyebab kebakaran hutan Indonesia. Sebagai negara dengan curah hujan tinggi, di Indonesia bila ada petir maka akan disertai turunnya hujan, sehingga dapat langsung memadamkan api bila sempat terjadi nyala api akibat petir. Faktor cuaca pernah melatarbelakangi terjadinya kebakaran hutan tahun 1997-1998 dan 2002, yaitu karena adanya pengaruh kemarau panjang akibat El-Nino. Di Indonesia kejadian alam yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan jarang terjadi. Kebakaran hutan oleh faktor manusia kasusnya akan menjadi lebih kompleks. Dalam hal ini faktor sosial ekonomi dan ketidaktahuan penduduk merupakan pendorong utama atas terjadinya kebakaran hutan (Mangandar 2000). Kebakaran hutan di Indonesia menurut Asian Development Bank (ADB) tahun 1997/1998 diacu dalam Sumantri (2003) disebabkan 99% oleh perbuatan manusia dan 1% oleh faktor alam. Kasus kebakaran akibat manusia dapat terjadi karena disengaja (pembakaran hutan) maupun tidak disengaja (unsur kelalaian). Pembakaran hutan umumnya dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu, yang sering sekali sangat kompleks dan sukar untuk ditelusuri. Hal ini yang menyulitkan upaya pendekatan untuk penanggulangan masalah kebakaran hutan.
Siswanto (1993) mengungkapkan beberapa motivasi manusia untuk menimbulkan api di hutan bermacam-macam, misalnya: a. Perladangan berpindah, yang masih merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang hidup di dalam hutan. b. Pembakaran alang-alang dalam rangka melaksanakan reboisasi di lahan kritis, yang seringkali atau terkadang tidak dapat dikendalikan lagi sehingga berakibat pada terjadinya kebakaran yang luas. c. Pembakaran alang-alang pada padang penggembalaan dengan tujuan mendapatkan rumput-rumput baru yang segar sebagai pakan ternak. d. Perburauan binatang liar di hutan yang sering tejadi dan umumnya disertai dengan membuat sumber api, baik untuk menghangatkan diri ataupun untuk merangsang hewan buruan. e. Rekreasi dan perkemahan di hutan yang kurang hati-hati sehingga dapat mengakibatkan menjalarnya sisa sumber api yang ditinggalkan. f. Khusus untuk hutan di Pulau Jawa sering dijumpai adanya unsur kesengajaan membakar hutan sebagai akibat dari adanya rasa sakit hati kepada petugas pengelola hutan, pengalihan perhatian petugas untuk mempermudah pengambilan rencek (kayu bakar), merangsang turunnya hujan dan sebagainya.
2.3. Cuaca Kebakaran Hutan Sebagai salah satu unsur segitiga lingkungan api, iklim dan/atau cuaca memegang peran sangat penting dalam terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Chandler et al. (1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim berhubungan dengan kebakaran hutan melalui dua jalan, yaitu menentukan panjang dan keparahan musim kebakaran serta menentukan jumlah bahan bakar hutan pada suatu daerah. Menurut Syaufina (2008) iklim atau cuaca mempengaruhi kebakaran hutan secara berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu menentukan jumlah bahan bakar yang tersedia, kerasnya musim kebakaran yang panjang, mengatur kadar air dan flamabilitas dari bahan bakar mati, mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran bahan bakar hutan.
Cuaca
kebakaran
(Fire
Weather)
adalah
kondisi
cuaca
yang
mempengaruhi awal munculnya api dan penjalarannya. Beberapa faktor cuaca atau iklim yang berpengaruh diantaranya : 2.3.1. Suhu Udara Menurut Chandler et al. (1983) suhu udara merupakan salah satu indikator dari kondisi bahan bakar hutan untuk menyala dan kecepatan pembakaran. Suhu bahan bakar dipengaruhi oleh penyerapan radiasi matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan sekitarnya. Daerah yang mempunyai suhu tinggi akan mempercepat terjadinya pengeringan bahan bakar dan memudahkan terjadinya kebakaran terutaman jika terjadi pada musim kemarau panjang. Suhu udara selanjutnya merupakan faktor pengatur perubahan tekanan udara, kelembaban udara dan evaporasi. Peningkatan suhu udara di suatu tempat menyebabkan penurunan kerapatan udara yang akan diikuti oleh penurunan tekanan. Hal sebaliknya terjadi pada suhu udara menurun. Peningkatan suhu udara juga menyebabkan peningkatan kapasitas udara menampung uap air, sehingga walaupun jumlah molekul uap tetap kelembaban relatif akan menurun jika suhu udara meningkat. Peningkatan suhu udara juga akan meningkatkan evaporasi, karena turunnya kelembaban (RH) akan meningkatkan defisit tekanan uap yang merupakan salah satu pembangkit penguapan. Suhu akan berangsur-angsur turun dengan meningkatnya ketinggian tempat, sehingga banyaknya satuan panas berbeda-beda. Ada 3 alasan yang menyebabkan kejadian ini, yaitu : 1. sumber pemanasan utaman udara adalah bumi. 2. kerapatan uap air menurun dengan menurunnya ketinggian, jadi panas sedikit dapat disimpan di udara. 3. suhu menurun yang merupakan hasil ekspansi dari udara yang naik dari permukaan bumi. Menurut Sahardjo (2003), pada pagi hari dengan suhu yang cukup rendah sekitar 20C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada titik. Sementara siang hari dengan suhu
30-35C sedangkan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-rubah karena pengaruh angin. 2.3.2. Kelembaban Udara Menurut Fuller (1991), di dalam hutan kelembaban udara akan sangat mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan terbakar, hal ini dikarenakan kelembaban (kadar air udara) dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Semakin sedikit kadar air di udara (RH kecil) maka semakin mudah bahan bakar mengering. Kelembaban udara dari siang hari berkisar antara 80-85 % akan membuat proses kebakaran berlangsung cepat karena kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%), sebaliknya pada pagi hari kelembaban relatif tinggi yaitu sekitar 90-95% ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. 2.3.3. Curah Hujan Curah hujan dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh di permukaan tanah dan diukur sebagai tinggi air dalam satuan mm (millimeter) sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi dan peresapan atau perembesan ke dalam tanah. Curah hujan berpengaruh terhadap kelembaban bahan bakar. Jika curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar juga akan tinggi sehingga menyulitkan terjadinya kebakaran (Septicorini 2006). Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi yang tinggi dengan kejadian kebakan hutan dan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan akumulasi bahan bakar rerumputan (van Wilgen et al. 1990; Soares dan Sampaio 2000). Hamzah (1985) diacu dalam Triani (1995) menyatakan bahwa faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap luasnya areal yang terbakar adalah masa kemarau yang terlalu panjang. Sebagian besar hujan dihasilkan oleh penurunan suhu pada arus udara yang naik pada lereng pegunungan atau oleh adanya perbedaan pemanasan lokal antara satu tempat dengan tempat lainnya. Keadaan tersebut masing-masing akan menimbulkan sirkulasi udara untuk mencapai keseimbangan hingga memungkinkan memberikan dampak pola cuaca lokal.
2.3.4. Angin Menurut Chandler et al. (1983) angin merupakan salah satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin membantu pengeringan bahan bakar yaitu sebagai pembawa air yang sudah diuapkan dari bahan bakar. Angin juga mendorong meningkatkan pembakaran dengan mensuplai udara secara terus-menerus dan peningkatkan penjalaran melalui kemiringan nyala api yang terus merembet pada bagian bahan bakar yang belum terbakar.
2.4. Penilaian Bahaya Kebakaran Hutan (Fire Danger Rating) Penilaian bahaya kebakaran hutan (Fire Danger Rating) diartikan sebagai sutu sistem manajemen pemberantasan kebakaran yang disesuaikan atau diintegrasikan dengan pengaruh atau akibat dari faktor-faktor bahaya kebakaran yang dinyatakan dalam satu atau lebih nilai kualitatif atau indeks dari keperluan cara perlindungan (Suratmo 1985). Lebih lanjut Suratmo menyatakan bahwa untuk menentukan nilai bahaya kebakaran hutan, diperlukan sejumlah elemen bahaya kebakaran hutan yang terdiri atas elemen tetap (iklim, radiasi matahari, keadaan vegetasi, jumlah dan sifat bahan bakar, tanah, topografi, altitude, penyebab kebakaran kebakaran, nilai kerusakan, gejala yang tampak, serta organisasi tim pemberantas kebakaran) dan elemen tidak tetap (kadar air bahan bakar, angin, temperatur udara, tekanan udara, keadaan udara lapisan atas, hujan, air tanah, serta kelembaban). Menurut Husaeni (1988) diacu dalam Husaeni (1994), penilaian bahaya kebakaran merupakan kegiatan penting dalam pengendalian kebakaran hutan (Fire control). Apabila tingkat bahaya kebakaran di daerah hutan tertentu pada suatu waktu dapat diketahui, maka persiapan pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dapat direncanakan dengan seksama dan tepat. Selanjutnya Husaeni menjelaskan bahwa bahaya kebakaran (Fire danger) adalah resultante dari faktor-faktor tetap dan faktor-faktor berubah yang menentukan terjadinya nyala api, penjalaran api, kerusakan yang mungkin terjadi, dan menentukan pula tingkat kesukaran dalam pemadamannya. Faktor-faktor berubah adalah faktor-faktor yang selalu berubah secara harian, musiman, dan
tahunan, seperti semua unsur cuaca, kadar air bahan bakar, dan variasi penyebab kebakaran. Bahaya kebakaran mencakup risk dan hazard. Risk adalah peluang atau kemungkinan terjadinya nyala api, yang ditentukan oleh ada tidaknya faktor penyebab kebakaran (sumber api). Hazard merupakan istilah yang digunakan pada bahan bakar yang menimbulkan ancaman, baik dalam hal kesukaran pemadaman bila terbakar maupun kemungkinan untuk terbakar karena lokasinya. Kadar air bahan bakar merupakan faktor penentu bahaya kebakaran karena merupakan indikator kemudahan bahan bakar terbakar. Kadar air dapat diukur secara langsung maupun tidak langsung, yaitu dengan membuat korelasi dengan unsur-unsur cuaca tertentu. Arah dan kecepatan angin merupakan faktor lain yang penting karena mempengaruhi arah dan kecepatan penjalaran api. Penilaian bahaya kebakaran (Fire Danger Rating) adalah proses penilaian, dalam bentuk angka indeks, dari bahaya kebakaran berdasarkan pengukuran integral dari unsur pokok, baik alami maupun disebabkan oleh manusia. Pengintegrasian biasanya dilakukan dengan menggunakan fire danger meter. Tujuan penilaian bahaya kebakaran menurut Deeming (1995) adalah untuk menyediakan informasi mengenai nyala vegetasi pada daerah yang rawan untuk mendukung upaya kegiatan pencegahan dan deteksi kebakaran, kesiap-siagaan tenaga pemadaman kebakaran dan tindakan yang perlu segera diambil bila ada laporan kebakaran.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dan Desa Sukaresmi kecamatan Megamendung, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-November 2008. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3. Peta Petunjuk Lokasi Jawa Barat BOGOR
Serang
DEPARTEMEN KEHUTANAN
JAKARTA
DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
Bekasi
Tangerang Pandeglang
Rangkasbitung
Karawang
Gadog
Ciawi
Bogor
Purwakarta Cianjur
BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Jl. Raya Cibodas-Cipanas Cianjur
Indramayu Subang
KETERANGAN
Cirebon
Sumedang
Majalengka Sukabumi
BANDUNG
TNGP
Cisarua
Garut
Tasikmalaya
Tapos
Kuarter Vulkanik Gegerbentang
Kuningan
Kuarter Vulkanik pangranggo Muda
Ciamis
Gunung Mas Puncak
Cisarua
Kuarter Vulkanik Gede Cimacan
Cimande
Kuarter Vulkanik Pangranggo Tua Kuarter Vulkanik Larva Gede
Cipanas Cibodas
Kuarter Vulkanik Gede Muda Gn. Putri Batas Kabupaten
Bodogol
Cicurug
Sarongge
TNGP
Jalan Raya/kabupaten/Desa
G.Pangrago
G. Masigit
G. Gede
Gedeh
CIANJUR
Nagrak Cimungkat
PETA GEOLOGI
Situgunun g Selabintana
TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Gekbrong
Warung Kondang
Cibadak
N Karang Tengah
0
2500
Cisaat Sukaraja
SUKABUMI
Keterangan : : Desa Sukaresmi Sumber : Statistik TNGGP 2007
Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian
3.2. Bahan dan Data Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : a. Data kebakaran hutan yang terjadi di lokasi penelitian dari tahun 1997-2007. b. Data sekunder mengenai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Desa Sukaresmi.
5000
10.000
c. Data cuaca berupa curah hujan bulanan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (tahun 2003-2007), dan pada tahun 1997 (saat terjadi el-Nino) d. Daftar pertanyaan untuk wawancara mendalam bagi masyarakat dalam kaitannya dengan cara pembersihan lahan. e. Daftar kuisioner untuk mengumpulkan data mengenai perilaku pendaki dalam penggunaan api di dalam kawasan TNGP.
3.3. Prosedur Pengumpulan Data 3.3.1. Jenis Data Data yang digunakan terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud yaitu data-data yang diperoleh melalui wawancara, kuisioner, dan pengamatan langsung di lapangan yang meliputi: cara pembersihan lahan oleh masyarakat, dan perilaku pendaki dalam penggunaan api di dalam kawasan TNGP. Sedangkan data sekunder yang digunakan antara lain: data kebakaran hutan di TNGP, data sekunder mengenai TNGP dan desa Sukaresmi, data curah hujan bulanan di TNGP pada tahun 1997 dan tahun 2003-2007, serta data-data pendukung lainnya.
3.3.2. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara terhadap masyarakat desa Sukaresmi, petugas TNGP, dan Satgas Polhut; melalui kuisioner yang diberikan kepada para pendaki TNGP; serta observasi lapang. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), serta Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Untuk mengetahui kaitan kebakaran hutan dengan pembersihan lahan oleh masyarakat sekitar maka dilakukan wawancara mendalam mengenai cara pembersihan lahan yang dilakukan masyarakat sekitar. Wawancara di lakukan terhadap masyarakat yang berladang yang ada di desa Sukaresmi, yaitu salah satu desa di sekitar kawasan TNGP dimana pernah terjadi kebakaran hutan pada lokasi yang berbatasan dengan desa tersebut dan kebakaran diperkirakan terjadi akibat pembersihan lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Cara
mendapatkan responden/ informan dilakukan dengan teknik bola salju (snawball method), dimana dalam teknik ini peneliti pada awalnya mengenal beberapa informan kunci dan meminta mereka memperkenalkannya pada responden lain. Menurut Sitorus (1998), subjek penelitian adalah orang-orang yang memberikan informasi tentang dirinya yang mencangup pendapat, perasaan, dan tindakan yang dilakukan. Sedangkan untuk mengetahui perilaku pendaki dalam kaitannya dengan potensi kebakaran hutan di TNGP dilakukan melalui pemberian kuisioner kepada para pendaki yang berkaitan dengan perilaku pendaki dalam penggunaan api di dalam kawasan. Adapun banyaknya pendaki yang dijadikan responden adalah sebanyak 30 orang, dimana intensitas sampling yang digunakan adalah 37,5 %. Menurut Gay (1981) diacu dalam Ruseffendi (1994) bahwa untuk penelitian deskriptif sampel minimum adalah 10% dari populasi dan untuk populasi yang lebih kecil sebesar 20%. Jumlah populasi diperoleh dari rata-rata jumlah pendaki yang datang ke TNGP setiap harinya dari data jumlah pendaki pada tahun 2002-2007. Data curah hujan bulanan TNGP diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika yang diambil dari pengamatan curah hujan di stasiun pengamatan terdekat yang terletak di Gunung Mas.
3.4. Pengolahan dan Analisis Data Penilaian potensi kebakaran di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dilakukan melaui analisis data dan mendeskripsikannya sehingga diperoleh gambaran kondisi curah hujan, kegiatan pembersihan lahan masyarakat, dan perilaku penggunaan api oleh pendaki dalam kaitannya dengan potensi kebakaran hutan di TNGP.
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) 4.1.1. Keadaan Umum Kawasan Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi untuk keperluan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya tumbuhan dan/atau satwa, pariwisata dan rekreasi. TNGP sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA), mempunyai tugas dan fungsi utama didalam melindungi sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan menyediakan sumber daya alam hayati untuk pemanfaatan secara berkelanjutan sesuai dengan amanat yang terkandung didalam Undang-Undang No. 5 tahun 1990 dan Undang-Undang No. 41 tahun 1999. Kawasan yang dikelola secara intensif ini menjadikannya memiliki sumber daya hutan yang relatif masih terjaga dengan baik serta menjadi harapan dan benteng terakhir keberadaan hutan di Jawa Barat. TNGP memiliki luas kawasan 15.196 Ha dan sesuai dengan surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGP mengalami perluasan dari Perum Perhutani menjadi 21.975 Ha (Statistik Balai TNGP, 2007). a. Letak Secara geografis TNGP terletak antara 106º 51’ - 107º 02’ BT dan 6º 41’- 6º 51’ LS dan secara administratif pemerintahan, wilayah TNGP mencakup 3 Kabupaten, yaitu : Sukabumi, Bogor dan Cianjur. Batas kawasan ini: Sebelah Utara
: Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor
Sebelah Barat
: Wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor
Sebelah Selatan
: Wilayah Kabupaten Sukabumi
Sebelah Timur
: Wilayah Kabupaten Cianjur
b. Topografi Topografi TNGP bervariasi mulai dari landai hingga bergunung, dengan kisaran ketinggian antara 700 m dan 3000 m dpl. Jurang dengan kedalaman
sekitar 70 m banyak dijumpai di kedua kawasan tersebut. Sebagian besar kawasan TNGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagian kecil lagi merupakan daerah rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum yaitu Rawa Gayonggong. Pada bagian Selatan kawasan yaitu daerah Situgunung, memiliki kondisi lapangan yang berat karena terdapatnya bukit-bukit (seperti bukit masigit) dengan kelerengan 20-80 %. Kawasan Gunung Gede yang terletak di bagian Timur dihubungkan Gunung Pangrango oleh punggung bukit yang berbentuk tapal kuda, sepanjang ± 2.500 meter dengan sisi-sisinya yang membentuk lereng-lereng curam berlembah menuju dataran Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Data kelas lereng kawasan TNGP seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Kondisi kelas kelerengan kawasan TNGP sebelum perluasan Simbol Kelas Lereng Luas Prosentase Keterangan (%) (ha) (%) A 0–3% 227,94 1,5 Datar B 3–8% 531,86 3,5 Landai C 8 – 15 % 759,80 5 Berombak D 15 – 25 % 2.127,44 14 Bergelombang E 25 - 40 % 4.102,92 27 Berbukit F > 40 % 7.446,04 49 Bergunung JUMLAH 15.196,00 100 Luas Total TNGP Sumber : Statistik Balai TNGP 2007
c. Geologi dan Vulkanologi Gunung Gede dan Gunung Pangrango merupakan bagian rangkaian gunung berapi yang membujur dari Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, terbentuk sebagai akibat pergerakan lapisan kulit bumi secara terus menerus selama periode kuarter, sekitar 3 juta tahun lalu, dan dalam skala waktu geologi kedua gunung termasuk ke dalam golongan gunung muda. Gunung Gede dan Pangrango telah mengalami beberapa kali letusan, dan letusan terakhir terjadi pada tanggal 13 Maret 1957 pukul 19.14 - 19.16 WIB disertai suara gemuruh dan awan dengan ketinggian 3 Km. Gunung Gede adalah salah satu dari 35 gunung api yang masih aktif pada jalur ini, sedangkan Gunung Pangrango telah dinyatakan mati karena tidak terdapat tanda-tanda keaktifannya
(Statistik Balai TNGP, 2007). Keadaan geologi kawasan TNGP telah terpetakan seperti pada Gambar 4 . Peta Petunjuk Lokasi Jawa Barat BOGOR
Serang
DEPARTEMEN KEHUTANAN
JAKARTA
DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
Bekasi
Tangerang Pandeglang
Rangkasbitung
Karawang
Gadog
Ciawi
Bogor
Purwakarta Cianjur
BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Jl. Raya Cibodas-Cipanas Cianjur
Indramayu Subang
KETERANGAN
Cirebon
Sumedang
Majalengka Sukabumi
BANDUNG
TNGP
Cisarua
Garut
Tasikmalaya
Tapos
Kuarter Vulkanik Gegerbentang
Kuningan
Kuarter Vulkanik pangranggo Muda
Ciamis
Gunung Mas Puncak
Cisarua
Kuarter Vulkanik Gede Cimacan
Cimande
Kuarter Vulkanik Pangranggo Tua Kuarter Vulkanik Larva Gede
Cipanas Cibodas
Kuarter Vulkanik Gede Muda Gn. Putri Batas Kabupaten
Bodogol
Cicurug
Sarongge
Jalan Raya/kabupaten/Desa
G.Pangrago G. Masigit
G. Gede
Gedeh
CIANJUR
Nagrak Cimungkat
PETA GEOLOGI
Situgunun g Selabintana
TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Gekbrong
Warung Kondang
Cibadak
N Karang Tengah
0
2500
5000
10.000
Cisaat
Sumber : Statistik Balai TNGPSUKABUMI 2007
Sukaraja
Gambar 4 Peta geologi kawasan TNGP
d. Iklim Berdasarkan klasifikasi iklim Schmid-Ferguson, TNGP termasuk kedalam tipe iklim A dengan curah hujan yang tinggi. Oleh karena itu TNGP merupakan salah satu daerah terbasah di pulau Jawa. Berikut data kondisi iklim kawasan TNGP sebagaimana pada Tabel 3 di bawah ini : Tabel 2 Kondisi iklim kawasan TNGP Iklim (Klasifikasi Schmidt Tipe A – Fergusson) Nilai Q = 5 – 9 % Curah hujan Tinggi Rata-rata 3000 – 4000 mm Suhu 10 º C (Siang hari) dan 5 º C (Malam hari) Kelembaban udara 80 – 90 % Kelembaban tinggi menyebabkan terbentuk tanah yang khas ”peaty soil” Angin Muson Bulan Desember – Maret (Penghujan); angin bertiup dari arah Barat Daya dengan kecepatan tinggi Musim Kemarau, angin bertiup dari arah Timur Laut dengan kecepatan rendah Sumber : Statistik Balai TNGP 2007
4.1.2. Biologi Kawasan a. Tipe Ekosistem Secara umum tipe-tipe ekosistem kawasan TNGP dibedakan menurut ketinggiannya yaitu Ekosistem Sub Montana (≤1.500 m dpl), Ekosistem Montana (1.500-2.400 m dpl) dan Ekosistem Sub Alpin (>2.400 m dpl). Ekosistem hutan Sub Montana dan Montana memiliki keanekaragaman hayati vegetasi yang tinggi dengan pohon-pohon besar, tinggi dan memiliki 3 strata tajuk. Strata paling tinggi (30 – 40 m) didominasi oleh jenis litsea spp. Pada ekosistem sub alpin, keanekaragaman vegetasinya lebih rendah dibandingkan kedua tipe ekosistem lain. Vegetasi tipe ekosistem sub alpin memiliki strata tajuk sederhana dan pendek yang disusun oleh jenis-jenis pohon kecil (kerdil), dengan tumbuhan bawah yang tidak terlalu rapat. Tinggi pohon tidak lebih dari 10 m, hanya memiliki satu lapisan kanopi yang berkisar antara 4 dan 10 m. Pepohonan di hutan ini berdiameter kecil dan pada batangnya diselimuti dengan lumut Usnea yang tebal. Keanekaragaman jenis jauh lebih rendah dibanding dengan tipe hutan lain. Selain tiga tipe ekosistem utama tersebut ditemukan beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat, ekosistem tersebut adalah ekosistem rawa, ekosistem kawah, ekosistem danau dan ekosistem hutan tanaman (Statistik Balai TNGP, 2007). b. Flora Kawasan TNGP memiliki potensi kekayaan flora yang tinggi. Lebih kurang 1.000 jenis flora dengan 57 famili ditemukan di kawasan ini, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) 925 jenis, tumbuhan paku 250 jenis, lumut 123 jenis, dan jenis ganggang, Spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya. Pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m dapat ditemukan di sekitar jalur pendidikan wilayah Resort Cibodas. Jenis puspa terbesar dengan diameter 149 cm ditemukan di jalur pendakian Selabintana – Gunung Gede, dan pohon jamuju terbesar di wilayah Pos Bodogol. Kawasan ini juga memiliki jenis-jenis unik dan menarik, diantaranya Nephentes gymnamphora, Rafflesia rochusseni, dan Strobilanthus cernua. Kawasan TNGP kaya dengan jenis anggrek, tercatat 199 jenis anggrek di kawasan ini. (Statistik Balai TNGP, 2007).
c. Fauna Selain flora, ekosistem kawasan TNGP menyediakan habitat bagi beranekaragaman fauna, antara lain Mammalia, Reptilia, Amfibia, Aves, insekta dan kelompok satwa tidak bertulang belakang. Terdapat burung (Aves) 251 jenis atau lebih dari 50 % dari jenis burung yang hidup di Jawa. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) ditetapkan sebagai “Satwa Dirgantara“ melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal 9 Januari 1993. Kawasan TNGP juga merupakan habitat bagi 110 jenis Mammalia, diantaranya Owa Jawa (Hylobates moloch) yang langka, endemik dan unik; Anjing Hutan (Cuon alpinus) yang sudah semakin langka dan Kijang (Muntiacus muntjak). Selain itu tedapat serangga (Insecta) lebih dari 300 jenis, Reptilia sekitar 75 jenis, Katak sekitar 20 jenis dan berbagai jenis binatang lunak (Molusca) (Statistik Balai TNGP, 2007). 4.2. Desa Sukaresmi 4.2.1. Letak dan Batas Wilayah Desa Sukaresmi merupakan salah satu desa di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP). Desa Sukaresmi berada di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Batas wilayah desa Sukaresmi sebagai berikut: Sebelah Utara
: Desa Sukamanah
Sebelah Selatan
: Kehutanan (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango)
Sebelah Barat
: Desa Bojong Murni
Sebelah Timur
: Desa Sukagalih
4.2.2. Kondisi Geografis Kondisi geografis di lokasi penelitian disajikan pada tabel 4. Tabel 4 Kondisi Geografis Desa Sukaresmi No. Kondisi Geografis 1. Tinggi tempat dari permukaan laut 2. Curah hujan rata-rata per tahun 3. Keadaan suhu rata-rata Sumber : Monografi Desa tahun 2007
Keterangan 600/700 m 2045 mm 30-34 º C
4.2.3. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Jumlah dan kepadatan penduduk di lokasi penelitian disajikan pada tabel 5 Tabel 5 Jumlah dan Kepadatan Penduduk No. 1. 2. 3. 4. 5.
Keterangan
Jumlah 2065 Jiwa 1923 Jiwa 3988 Jiwa 0,062 Per Km² 913 KK
Laki-laki Perempuan Jumlah seluruhnya Kepadatan penduduk Jumlah kepala keluarga
Sumber : Monografi Desa tahun 2007
4.2.4. Matapencaharian Pola matapencaharian penduduk di lokasi penelitian disajikan pada tabel 6 Tabel 6 Komposisi Penduduk menurut Matapencaharian Sub Sektor
Status
Jumlah
%
(orang)
total
Tanaman
a. Pemilik Tanah Sawah
110
12%
Pangan
b. Pemilik Tanah Tegal/Ladang
80
8,7 %
c. Penyewa/Penggarap
98
10,7 %
Perkebunan dan a. Pemilik Hutan Rakyat
25
2,7 %
Kehutanan
b. Buruh Perkebunan
10
1,1 %
Peternakan
a. Pemilik Ternak Kambing
95
10,3 %
b. Pemilik Ternak Ayam
226
24,6 %
c. Pemilik Ternak Kerbau
3
0,3 %
d. Pemilik Ternak Domba
93
10,1 %
e. Pemilik Ternak lainnya
2
0,2 %
Jasa /
a. PNS/ TNI/ POLRI
32
3,5 %
Perdagangan
b. Pensiunan TNI/ POLRI/
15
1,6 %
35
3,8 %
c. Warung
65
7,1 %
d. Angkutan Sepeda Motor/
31
3,4 %
920
100 %*
SIPIL
Persentase
31,4 %
3,8 %
45,5 %
19,4 %
Ojek e. Mobil Kendaraan Umum Jumlah Keterangan : * Jumlah tidak tepat 100 karena pembulatan Sumber : Monografi Desa tahun 2007
100 %*
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kejadian Kebakaran di TNGP Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) sebagai salah satu Kawasan Pelestarian Alam (KPA) tidak luput dari berbagai gangguan terhadap kawasan hutannya. Salah satu jenis gangguan yang terjadi adalah kebakaran hutan. Dari berbagai sumber data yang diperoleh diketahui bahwa di TNGP telah terjadi beberapa kali kebakaran hutan, yaitu pada tahun 1997, 1999, 2004, 2006, dan 2007. Padahal sebagai salah satu Kawasan Pelestarian Alam (KPA), TNGP memiliki peran yang sangat penting, dimana kawasan tersebut memiliki fungsi yaitu
sebagai
perlindungan
sistem
penyangga
kehidupan,
pengawet
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga kebakaran yang terjadi pada kawasan tersebut dapat mengancam keberadaan dan kelestarian jenis tumbuhan dan satwa yang ada serta ekosistem yang ada. Tabel 6 Kejadian Kebakaran Hutan di TNGP Tahun 1997-2007 No Tahun
Luas
Lokasi
1.
1997
307,6 Ha
Gn. Sela, Gn.Pangrango, Gn. Masigit, Alun-alun Suryakencana, Lapangan Golf, Perum Perhutani, Geger Bentang, Arcamanik,Balekambing
2.
1999
0,8 Ha
Hutan cadangan perkebunan gunung Mas PTP Nusantara VIII.
Perkiraan Penyebab Kebakaran Pembuatan perapian oleh pengunjung; masyarakat membuat perapian dan menjalar; pemburu liar/ masyarakat masuk kawasan tanpa ijin dan membuat perapian; masyarakat membuat arang
-
3.
2004
0,15 Ha
Blok Pasir Kuta dan Balekambing.
Pembuatan perapian oleh masyarakat, pengunjung, dan pemburu liar; serta adanya aktivitas pembakaran di lahan pertanian milik masyarakat.
4.
2006
6,94 Ha
Blok Ciparay, Pasir Pogor, Candrata, Cicapit, Tapos, Bunikasih, Pancawati,
Pembuatan perapian oleh masyarakat, pengunjung, dan pemburu liar; serta adanya
Arca, dan Alun-alun Suryakencana. 5.
2007
0,0008 Ha
aktivitas pembakaran di lahan pertanian milik masyarakat.
Blok Tangkil
-
Keterangan: - tidak diketahui Sumber: Statistik Balai TNGP 1999, 2006, dan 2007 Wibowo 2008
Jumlah kejadian kebakaran dan luasan areal terbakar yang terjadi di TNGP pada tahun tersebut berbeda-beda. Luas kebakaran tertinggi terjadi pada tahun 1997 yang mencapai 307,6 Ha. Sedangkan terendah pada tahun 2007 yaitu 0,0008 Ha. Adapun tipe kebakaran yang terjadi di TNGP adalah tipe kebakaran permukaan dan tipe kebakaran atas. Dimana yang dimaksud dengan kebakaran bawah (Ground Fire)
merupakan tipe kebakaran yang mengkonsumsi bahan
bakar yang terdapat di lantai hutan baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolokdolok yang bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. Sedangkan yang dimasud dengan kebakaran tajuk (Crown Fire) merupakan tipe kebakaran yang mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagaunya (Sahardjo 2003). Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di TNGP pada tahun 1997 merupakan kebakaran terluas yang melanda TNGP. Kebakaran tersebut tidak hanya terjadi di dalam kawasan TNGP, namun juga terjadi di sekitar kawasan TNGP. Kerugian yang ditanggung TNGP dalam kebakaran tersebut sebesar Rp 153,355 milyar. Dan kerugian tersebut belum termasuk kerugian akibat terganggunya aktivitas masyarakat, fungsi-fungsi hutan, serta hilangnya keanekaragaman hayati (Statistik Balai TNGP, 1999). Besarnya kejadian kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 dikarenakan adanya pengaruh El-Nino South Oscillation (ENSO) yang melanda Indonesia pada tahun tersebut. Pengaruh ini menyebabkan musim kemarau yang terjadi jauh lebih panjang dari biasanya, sehingga ketersediaan maupun pengeringan bahan bakar hutan semakin tinggi, sehingga rawan terbakar. Selain itu, karena kering dan biasanya disertai tiupan angin maka bila terjadi kebakaran
di satu titik membuat penjalaran api mudah terjadi, sehingga kebakaran hutan cepat menyebar dan meluas. Kondisi tersebut menyulitkan upaya pemadaman kebakaran, sehingga luas areal yang terbakar pun besar. Rincian kejadian kebakaran hutan pada tahun 1997 disajikan dalam Tabel 8. Sedangkan pada tahun 1999 dan tahun 2004 terjadi penurunan luas areal yang terbakar, yaitu 0,8 Ha pada tahun 1999 dan 0,15 Ha pada tahun 2004. Kemudian pada tahun 2006 terjadi peningkatan luas areal hutan dan lahan yang terbakar yaitu menjadi 6,94 Ha. Kerugian yang diderita pihak TNGP akibat kebakaran pada tahun 2006 mencapai Rp 10.243.750. Dan pada tahun 2007 terjadi penurunan kembali luas areal yang terbakar menjadi 0,0008 Ha.
Tabel 7. Rincian Kejadian Kebakaran Hutan pada Tahun 1997
No
Waktu Kejadian
Lokasi
Luas Kerugian (Rp) (Ha)
Tipe Vegetasi
1.
13 Gn. Sela September 1997
32
15.585 x 106
Centigi, edelweiss, (hutan sub Alpin)
Pemburu liar yang membuat perapian
2.
22 Gn. September Pangrango 1997
0,1
20 x 106
Edelweiss
Pengunjung tidak disiplin
3.
26 Gn. Masigit September 1997
250
125.000 x Hutan 106 Montana Primer
Pemburu liar/ masyarakat masuk kawasan tanpa ijin
4.
27 Alun-alun 11 September Suryakencana 1997
5.500 x 106
Pembuatan perapian oleh
Centigi, edelweiss
Penyebab
pengunjung 5.
13
Goal Para
Oktober 1997
(Perum Perhutani)
5
2.500 x 106
Hutan Produksi /Perhutani
Pembuatan arang oleh masyarakat
6.
1 Arcamanik November (Perbatasan 1997 TN)
3,5
1.750 x 106
Hutan alam
Masyarakat membuat perapian dan menjalar
7.
1 Bale November Kambang 1997 (Hutan Lindung)
5
2.500 x 106
Perkebunan teh PTP VIII, TSI
Masyarakat membuat perapian dan menjalar
8.
1 Geger November Bentang 1997
1
500 x 106
Hutan Sub Montana (puspa, Ki tanduk pasang)
Pengunjung tidak disiplin
Jumlah
307,6 153.355 x 106
Sumber : Statistik Balai TNGP 1999
Menurut petugas TNGP kejadian kebakaran hutan di TNGP disebabkan oleh 100% ulah manusia, yang juga didukung oleh kondisi lingkungan. Adapun kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan di TNGP antara lain pembuatan perapian di hutan oleh masyarakat, pengunjung, dan/atau pemburu liar; membuang puntung rokok sembarangan; serta pembuatan arang oleh masyarakat. Selain itu di beberapa kawasan perluasan TNGP juga terjadi
peristiwa kebakaran yang diakibatkan adanya aktivitas pembakaran di lahan pertanian milik masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa puntung rokok tidak dapat dijadikan sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan. Hasil observasi lapangan Apriansyah (2004), yang melakukan percobaan pembakaran dengan puntung rokok di bawah tegakan HTI Acacia Mangium di daerah Sumatera Selatan membuktikan hal itu. Potensi kebakaran di daerah tersebut cukup tinggi dengan banyaknya penumpukan bahan bakar di lantai hutan. Namun, hasil percobaan tersebut menunjukan bahwa puntung rokok tidak dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan karena bara puntung rokok tidak cukup panas untuk memanaskan bahan bakar sampai titik nyala. Begitu pula dengan percobaan oleh Purwana (1996) yang dilakukan pada skala laboratorium dengan menggunakan serasah dan jerami menunjukan bahwa panas yang dikeluarkan bara puntung rokok kurang tinggi sehingga tidak dapat dijadikan alasan sebagai penyebab kebakaran hutan. Sedangkan faktor alam yang mendukung terjadinya kebakaran hutan di TNGP menurut petugas antara lain karena adanya kondisi iklim yang kering pada musim kemarau, pengaruh El-Nino, dan masih aktifnya Gunung Gede. Selain itu menurut petugas jika terjadi peristiwa kebakaran di sekitar Gunung Gede yang masih aktif dengan mengeluarkan panas dan asap, akan memicu dan menyebabkan penjalaran api lebih cepat. Keadaan demikian apalagi di musim kemarau mengakibatkan rerumputan, serasah dan tegakan menjadi semakin kering sehingga potensi bahan bakar semakin banyak.
5.2. Potensi Kebakaran Hutan di TNGP 5.2.1. Curah Hujan Iklim atau perubahan cuaca bukanlah penyebab utama terjadinya kebakaran. Namun, tingkat kekeringan yang terjadi akibat pengaruh iklim sangat berpotensi meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di wilayah tertentu yang menggunakan api untuk pengelolaan lahan atau yang memiliki potensi penyulutan
api lainnya. Secara garis besar iklim dapat diwakili oleh suhu (temperatur) dan hujan (presipitasi), sedangkan unsur-unsur lain dapat dipengaruhi atau mempengaruhi kedua unsur tersebut (Hidayati 2001 diacu dalam Sukmawati 2006; Septicorini 2006). Data curah hujan selama 5 tahun terakhir (2003-2007) yang disajikan dalam tabel 9 menunjukan bahwa selama kurun waktu lima tahun tersebut curah hujan di TNGP berkisar antara 2861 mm hingga 3839 mm, dengan nilai rata-rata curah hujan tahunan mencapai 3226 mm.
Tabel 8
Kondisi Curah Hujan dalam Kurun Waktu 5 Tahun (2003-2007) di Lokasi Penelitian
Bulan
Curah Hujan (mm) 2003
2004
2005
2006
2007
Rata-rata
Januari
146
339
668
779
537
493.8
Februari
550
553
626
577
860
633.2
Maret
337
212
441
159
340
297.8
April
239
554
157
364
307
324.2
Mei
113
303
212
175
122
185
Juni
90
53
306
52
130
126.2
Juli
-
87
131
42
29
57.8
Agustus
123
9
149
17
97
79
September
146
205
312
32
44
147.8
Oktober
434
90
194
180
185
216.6
November
153
212
306
101
310
216.4
Desember
530
413
337
455
506
448.2
Jumlah
2861
3030
3839
2933
3467
3226
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
Menurut Gaussen, Chatfort dan Fontanel (1978) diacu dalam Rifai’i (1997), curah hujan (presipitasi) kurang dari 500 mm termasuk iklim sangat kering sehingga memiliki tingkat rawan sangat tinggi terhadap terjadinya kebakaran, dan presipitasi lebih dari 2000 mm termasuk iklim basah yang memiliki tingkat kerawanan tidak rawan. Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka kawasan TNGP yang memiliki nilai rata-rata curah hujan tahunan mencapai 3226 mm termasuk ke dalam katagori tidak rawan terhadap bahaya kebakaran. Lebih lanjut Septicorini (2006) membuat kelas kerawanan kebakaran hutan berdasarkan besarnya curah hujan yang dimiliki suatu daerah dengan menggunakan sistem skoring dari tolak ukur curah hujan Gaussen, Chatfort dan Fontanel (1978). Adapun kelas kerawanan kebakaran hutan yang dibuat Septicorini (2006) tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 9 Kelas Kerawanan Kebakaran Hutan Berdasarkan Banyaknya Curah Hujan
Curah Hujan
Skor
Keterangan
(mm/tahun) < 500 mm
4
Rawan sangat tinggi
501 – 1000
3
Rawan tinggi
1001 – 1500
2
Rawan sedang
1501 – 2000
1
Rawan rendah
> 2000
0
Tidak rawan
Sumber: Septicorini 2006
Selain itu, data curah hujan dalam tabel 9 juga memperlihatkan bahwa selama lima tahun tersebut di TNGP rata-rata terjadi dua kali bulan kering per tahun. Dimana menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson Bulan Kering yaitu bulan dengan curah hujan < 60 mm, sedangkan Bulan Lembab yaitu bulan dengan curah hujan antara 60-100 mm, dan Bulan Basah yaitu bulan dengan curah hujan > 100 mm (Handoko 1994). Pada tahun 2003 di TNGP terdapat satu kali bulan kering yaitu pada bulan Juli dimana pada bulan tersebut tidak terjadi hujan sama sekali. Tahun 2004 terjadi dua kali bulan kering yaitu pada bulan Juni dengan curah hujan 53 mm dan bulan Agustus dengan curah hujan 9 mm. Tahun 2005 tidak terdapat bulan kering sama sekali. Pada tahun tersebut semua bulan merupakan bulan basah dengan curah hujan >100 mm. Sedangkan pada tahun 2006 terdapat bulan kering selama 4 bulan berturut-turut yaitu pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September dimana pada bulan Juni curah hujan mencapai 52 mm, bulan Juli 42 mm, bulan Agustus 17 mm, dan bulan September 32 mm. Dan pada tahun 2007 terdapat dua kali bulan kering yaitu pada bulan Juli dengan curah hujan 29 mm dan bulan September dengan curah hujan 44 mm. Lebih lanjut jumlah bulan kering selama kurun waktu 5 tahun (2003-2007) disajikan dalam Gambar 5.
Jumlah bulan kering 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 5 Jumlah Bulan Kering di Lokasi Penelitian pada Tahun 2003-2007
Pada saat terjadi bulan kering dimana curah hujan < 60 mm perlu dilakukan tindakan kewaspadaan terhadap bahaya kebakaran hutan karena pada bulan tersebut terjadi pengeringan bahan bakar secara intensif sehingga kadar air bahan bakar menjadi rendah dan mudah terbakar. Sebagaimana hasil penelitian Syaufina (1988) yang menunjukan bahwa luas dan frekuensi kebakaran hutan jati di Jawa Tengah berhubungan erat dengan faktor iklim, terutama curah hujan. Luas dan frekuensi kebakaran tertinggi terjadi pada bulan-bulan dengan curah hujan rendah (kurang dari 60 mm), dimana pada periode tersebut terjadi pengeringan bahan bakar secara intensif. Berbeda dengan kondisi curah hujan selama 5 tahun tersebut (2003-2007), jumlah curah hujan di TNGP pada tahun 1997 menunjukan kondisi yang ekstrim, dimana pada tahun tersebut curah hujan tahunan bernilai 1966 mm. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai curah hujan tahunan dalam kurun waktu 2003-2007. Selain itu, pada tahun 1997 di TNGP terdapat 6 kali bulan kering secara berturut-turut, yaitu pada bulan Mei hingga Oktober dengan jumlah
curah hujan antara 0-52 mm, dimana pada bulan September tidak terjadi hujan sama sekali. Masa kemarau yang panjang tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap luasnya areal yang terbakar, sehingga pada tahun tersebut di TNGP luas areal yang terbakar mencapai 307,6 Ha. Data curah hujan pada tahun 1997 disajikan pada Gambar 6.
Curah Hujan (mm)
700 600
589 447
500 400 300
268
257 194
200
108 52
100
6
10
12
0
23
es D
Fe b M ar t A pr l M ei Ju ni Ju li A gu st Se pt O kt N ov
Ja n
0
Bulan
Gambar 6 Curah Hujan Bulanan Tahun 1997 di Lokasi Penelitian
Kondisi kemarau panjang yang melanda TNGP pada tahun tersebut adanya pengaruh ENSO (El-Nino South Oscillation) yang melanda Indonesia pada tahun tersebut. Pengaruh ini menyebabkan musim kemarau yang terjadi jauh lebih panjang dari biasanya. Di Indonesia walupun faktor iklim bukan merupakan penyebab kebakaran, namun iklim sangat berperan dalam menentukan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta perilaku api. Kejadian kebakaran pada tahun 1982,1987, 1991, 1994, 1997/1998, dan 2002 menunjukan kejadian kebakaran yang berhubungan dengan merebaknya kekeringan. Kondisi tersebut erat kaitannya dengan dengan fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) (Anonymous 1998; Lee et al. 2000, diacu dalam Syaufina 2008).
5.2.2. Pembersihan Lahan oleh Masyarakat Pembersihan lahan yang dilakukan oleh masyarakat desa Sukaresmi dalam kaitannya dengan pengunaan api dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu pembersihan yang dilakukan dengan menggunakan api dan pembersihan lahan tanpa menggunakan api. Pembersihan dengan menggunakan api dilakukan dengan cara membersihkan ladang yang akan ditanam dari tumbuhan bawah, rerumputan, dan sisa hasil panen dengan membakar sampah tersebut. Cara ini disebut juga dengan cara bakar (burning). Sedangkan pembersihan ladang tanpa menggunakan api atau tanpa bakar (no burning) dilakukan dengan cara membersihkan ladang dari tumbuhan bawah, rerumputan, dan sisa hasil panen baik dengan membenamkannya di dalam tanah maupun dengan menumpuknya di pinggir ladang. Penggunaan cara pembersihan lahan dengan cara bakar (burning) atau tanpa bakar (no burning) didasarkan pada efisiensi waktu, tingkat kemudahan, serta pupuk yang dihasilkan. Masyarakat pada dasarnya lebih memilih cara pembersihan lahan yang tidak banyak menyita waktu, mudah dilakukan serta dapat menghasilkan pupuk yang dapat menyuburkan lahan mereka. Untuk itu mereka lebih memilih membersihkan lahan dengan cara tanpa bakar (no burning) terutama yang dilakukan dengan cara menimbunnya dalam tanah. Sedangkan pada musim kemarau pada umumnya masyarakat lebih memilih menggunakan cara pembersihan lahan dengan cara bakar (burning) karena lebih cepat dilakukan.
1. Pembersihan Lahan dengan Cara Bakar (Burning) Di Desa Sukaresmi pembersihan lahan dengan cara bakar hanya digunakan dalam kondisi tertentu saja. Adapun beberapa hal yang membuat masyarakat menggunakan cara ini antara lain : a. Cara bakar hanya digunakan pada musim kemarau.
Dalam pembersihan lahan dengan cara bakar, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Salah satu diantaranya adalah tahapan dimana sampah organik (tumbuhan bawah, rerumputan, dan sisa hasil panen) harus dikeringkan terlebih dahulu. Proses pengeringan tersebut dilakukan dengan menjemur sampah tersebut di bawah sinar matahari. Proses pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan kadar air bahan bakar sehingga bahan bakar menjadi kering dapat dengan mudah terbakar. Pada musim penghujan proses pengeringan ini akan sulit dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama. Sedangkan pada musim kemarau proses pengeringan tersebut tidak memerlukan waktu yang lama, dan dapat lebih cepat dibandingkan dengan cara tanpa bakar (no burning), sehingga masyarakat lebih memilih cara tersebut. b. Cara bakar digunakan pada tanaman tertentu Pada sebagian masyarakat permbersihan lahan dengan cara bakar (burning) hanya digunakan pada tanaman tertentu, seperti pada tanaman buncis dan kacang panjang. Hal itu dikarenakan sisa sampah yang dihasilkan dari tanaman tersebut terlalu menggembung. Sehingga apabila pembersihan dilakukan dengan cara tanpa bakar (no burning), khususnya dengan teknik ditimbun dalam tanah dapat menyusahkan peladang dalam pelaksanaannya, karena gundukan tanah yang dibuat akan menjadi terlalu besar. Selain itu sisa tanaman buncis dan kacang panjang sulit terurai menjadi bahan organik, sehingga pembersihan dengan cara tanpa bakar (no burning) akan memerlukan waktu yang lama dalam proses penguraiannya. Khusus pada tanaman buncis, selain karena kedua alasan tersebut pembersihan dengan cara bakar (burning) juga dipilih untuk menghindari adanya serangan hama dari tanaman buncis yang telah dipanen pada tanaman buncis yang baru ditanam.
Gambar 7 Sampah Organik Sisa Tanaman Buncis
c. Cara bakar digunakan pada lokasi-lokasi tertentu Sebagian masyarakat desa Sukaresmi yang bekerja sebagai buruh tani lebih memilih membersihkan lahan dengan cara menumpuk/membuang sampah yang dihasilkan pada lokasi-lokasi yang tidak digunakan dan jaraknya cukup jauh dari lahan yang mereka garap. Namun, apabila disekitar lahan yang mereka garap itu tidak ditemukan lokasi yang tepat untuk membuang sampah tersebut maka mereka menggunakan cara bakar dalam membersihkan lahannya. d. Jumlah sampah terlalu banyak Pembersihan lahan dengan cara bakar juga digunakan apabila sampah yang dihasilkan dalam jumlah yang sangat banyak dan tidak memungkinkan untuk dilakukan dengan cara tanpa bakar (no burning) karena keterbatasan waktu dan tenaga.
Adapun teknik yang digunakan masyarakat desa Sukaresmi dalam pembersihan lahan dengan cara bakar, yaitu dengan teknik pembakaran tumpuk (Pile burning). Teknik pembakaran tumpuk (Pile burning) merupakan teknik pembakaran yang dilakukan dengan cara mengumpulkan (menumpuk) bahan bakar yang akan dibakar di suatu tempat. Pada pelaksanaannya teknik
pembakaran tumpuk (Pile burning) ini dapat dilakukan dengan berbagai modifikasi. Adapun beberapa cara yang dilakukan masyarakat desa Sukaresmi dalam pembakaran tumpuk (Pile burning) adalah sebagai berikut: 1. Pembakaran dilakukan dalam beberapa tumpukan Pada cara ini bahan bakar yang telah dikeringkan dikumpulkan dalam beberapa tumpukan (gundukan) untuk dibakar. Jarak antar gundukan tidak ditetapkan secara pasti, hanya disesuaikan dalam pelaksanaanya. Pembuataan beberapa gundukan tersebut bertujuan untuk mempermudah pekerjaan peladang dan mempersingkat waktu yang digunakan. Disisi lain salah satu keuntungan dari pembakaran sampah yang dilakukan dalam beberapa gundukan tersebut ialah api yang dihasilkan dari pembakaran tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan pembakaran yang dilakukan hanya pada satu gundukan saja, sehingga mengurangi resiko terjadinya kebakaran maupun perambatan api ke daerah lain dikarenakan api yang terlalu besar.
Ladang
Keterangan : : gundukan sampah/bahan bakar
Gambar 8 Pola Pembakaran Tumpuk (Pile Burning) dengan Beberapa Tumpukan
2. Pembakaran dilakukan dalam satu tumpukan Pada cara ini bahan bakar yang telah dikeringkan dikumpulkan (ditumpuk) menjadi satu tumpukan yang dibuat memanjang di tengah-tengah ladang yang telah dibersihkan. Api tidak disulut hanya dari satu titik saja, melainkan dari beberapa titik dalam gundukan tersebut. Cara ini dilakukan untuk mempersingkat waktu dalam proses pemanasan dan pembakaran bahan bakar.
Ladang
Keterangan : : gundukan sampah/bahan bakar
Gambar 9 Pola Pembakaran Tumpuk (Pile Burning) dengan Satu Tumpukan
Kegiatan pembakaran umumnya dilakukan pada waktu antara pagi hari (yaitu sekitar pukul sepuluh) hingga siang hari. Pembakaran mulai dilakukan ketika bahan bakar telah kering dan matahari telah mulai terasa panas (udara tidak lembab). Karena udara yang lembab dapat membuat kadar air bahan bakar tinggi sehingga sulit terbakar. Proses pembakaran yang dilakukan tidak ditinggalkan begitu saja, melainkan ada pengawasan dari peladang yang bersangkutan. Hal itu untuk menghindari api yang merambat dan menyebabkan terjadinya kebakaran
hutan. Oleh karena itu, pembakaran tidak dilakukan pada waktu sore atau malam hari, yaitu dimana pada waktu tersebut para peladang telah pulang dari ladang. Selain itu pembakaran tersebut dilakukan pada ladang yang telah dibersihkan dari tumbuhan bawah, rerumputan, dan sisa hasil panen sehingga lokasi pembakaran terbebas dari bahan bakar lain yang memungkinkan api merambat ke tempat yang tidak diinginkan. Namun ada juga sebagian kecil peladang yang melakukan pembakaran pada waktu sore hari, karena pada waktu tersebut sampah (bahan bakar) yang dijemur telah benar-benar kering sehingga mudah dan cepat untuk terbakar. Pada pembakaran tersebut tidak dilakukan pengawasan terhadap api yang telah dibuat, dan api ditinggal begitu saja. Cara tersebut itu dilakukan oleh peladang yang lokasi ladangnya tidak terlalu jauh dari pemukimannya. Api ditinggal begitu saja karena menurut mereka api tersebut tidak akan mampu merambat ke daerah lain dan menyebabkan kebakaran dikarenakan gundukan yang mereka bakar berada di tengah ladang yang telah dibersihkan dan tidak ada bahan bakar yang berserakan yang memungkinkan api untuk api menjalar ke luar areal. Adapun tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pembersihan dengan cara bakar (burning) di desa Sukaresmi adalah sebagai berikut: a. Pembersihan lahan Pembersihan dilakukan dari tumbuhan bawah, rerumputan, dan sisa hasil panen. Dalam kegiatan pembersihan umumnya digunakan alat arit, cengkrong, dan parang. b. Pengeringan bahan bakar Pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kadar air bahan bakar sampai bahan bakar kering dan potensial untuk dibakar sehingga proses pembakaran dapat berjalan dengan cepat dan bahan bakar habis terbakar. Pengeringan bahan bakar dilakukan dengan cara menjemur bahan bakar di bawah sinar matahari. Bahan bakar yang tersedia disebar merata ke seluruh areal agar proses pengeringan berjalan cepat dan merata. Lamanya
waktu yang diperlukan dalam proses pengeringan tergantung pada intensitas matahari pada saat penjemuran bahan bakar. c. Penumpukan bahan bakar Bahan bakar yang telah kering dikumpulkan dan ditumpuk untuk dibakar. Tujuan dari penumpukan bahan bakar adalah agar api cepat menghabiskan bahan bakar yang tersedia. Penumpukan bahan bakar tersebut dapat dibuat menjadi satu tumpukan yang memanjang ataupun menjadi beberapa tumpukan yang lebih kecil dimana tinggi dan jarak antar tumpukan tidak ditentukan. d. Pembuatan sekat bakar Sebelum dilakukan pembakaran terlebih dahulu peladang membuat sekat bakar dengan cara membersihkan sisi-sisi ladang dari serasah, rumput, atau bahan bakar lainnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah api merembet ke areal lain. Lebar sekat bakar yang dibuat tidak ditentukan. e. Pembakaran Pembakaran dilakukan dengan teknik tumpuk (Pile burning) dengan berbagai modifikasi.
2. Pembersihan Lahan Tanpa Bakar (No Burning) Ada dua cara yang biasa dilakukan dalam pembersihan lahan tanpa bakar (no burning) yang dilakukan di desa Sukaresmi, yaitu dengan cara menimbun (membenamkan) sampah organik ke dalam tanah pada areal sedang yang dibersihkan dan dengan cara menumpuk (membuang) sampah organik tersebut di pinggir ladang. Dalam pembersihan lahan dengan cara ditimbun, sampah organik dari tumbuhan bawah, rerumputan, maupun sisa hasil panen yang di benamkan di dalam tanah dapat berfungsi sebagai pupuk hijau. Pupuk tersebut dapat membantu meningkatkan kapasitas produksi tanaman. Sebagaimana pendapat Sutanto (2002)
yang menyatakan bahwa pupuk hijau berarti memasukan bahan yang belum terdekomposisi ke dalam tanah yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi tanaman. Ada tiga manfaat utama penggunaan tanaman pupuk hijau dalam pergiliran tanaman, yaitu menambah bahan organik tanah, meningkatkan kandungan nitrogen dan memperbaiki daur hara dan konservasi tanah. Selain karena cepat dan mudah, alasan utama yang membuat masyarakat desa Sukaresmi lebih memilih membersihkan lahan dengan cara menimbunnya dalam tanah adalah karena sampah yang ditimbun dapat dimanfaatkan untuk pupuk hijau. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutanto (2002), bahwa pupuk hijau merupakan salah satu dari sekian banyak bahan yang dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan kesuburan tanah. Alat-alat yang digunakan dalam tahap pembersihan antara lain cengkrong, parang, arit, dan cangkul. Pembersihan tidak hanya dilakukan pada saat setelah panen, tetapi juga dilakukan selama pemeliharaan tanaman. Pada pembersihan selama pemeliharaan, sampah organik yang dihasilkan ditimbun dalam lubang yang telah dibuat di pinggir larikan. Lubang tersebut dibuat dengan kedalaman sekitar 20 cm. Jarak antar lubang tidak ditetapkan, hanya berdasarkan efektifitas dalam melakukan pembersihan. Sedangkan pada pembersihan saat setelah panen, sampah organik tersebut diletakan secara menyebar di pinggir larikan. Kemudian sampah-sampah organik itu ditimbun dengan tanah dari larikan yang ada di sampingnya, sehingga kini timbunan sampah organik tersebut menjadi larikan yang baru menggantikan larikan yang lama.
Gambar 10 Alat yang Digunakan Dalam Pembersihan Lahan : Cengkrong, Parang, Arit Dan Cangkul
Gambar 11
Sampah di Pinggir Larikan untuk Pembersihan Lahan dengan Cara Penimbunan
Sedangkan pada pembersihan lahan dengan cara penumpukan, berbagai sampah organik yang dihasilkan dari pembersihan tersebut dibuang/ditumpuk begitu saja di pinggir lahan. Cara ini sangat mudah dan cepat, namun dengan cara tersebut sisa sampah yang dihasilkan tidak dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan lahan seperti pada cara penimbunan dalam tanah maupun dengan cara pembakaran.
5.2.3. Pembuatan Perapian oleh Pendaki Selain adanya penggunaan api oleh masyarakat dan pemburu liar, pembuatan perapian oleh pendaki pun diduga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan di kawasan TNGP. Hal tersebut didasarkan dari adanya peristiwa kebakaran hutan di beberapa titik lokasi yang memiliki aktivitas wisata alam seperti kebakaran yang terjadi di Alun-alun Suryakencana, serta ditemukan bekas-bekas pembuatan perapian di kawasan tersebut. Selain itu, sampai saat ini petugas TNGP masih menemukan adanya pendaki yang membuat perapian di hutan.
Gambar 12 Bekas Pembuatan Perapian di TNGP (Sumber : Dokumentasi TNGP 2006 dalam Wibowo 2008)
Menurut petugas, pembuatan perapian tersebut bila tidak hati-hati dapat menimbulkan kebakaran hutan. Hal tersebut sangat berbahaya karena pada musim kemarau dimana rumput/serasah sangat kering dan angin bertiup kencang sehingga mudah terjadinya api dan penjalaran api akan cepat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Siswanto (1993) ada bemacam-macam motivasi manusia untuk menimbulkan api di hutan, salah satu diantaranya adalah rekreasi dan perkemahan di hutan yang kurang hati-hati sehingga dapat mengakibatkan menjalarnya sisa sumber api yang ditinggalkan. Sumantri (2003) pun menyatakan bahwa salah satu jenis kegiatan manusia yang sering dilaporkan sebagai penyebab kebakaran hutan adalah pendaki gunung yang meninggalkan api unggun, dan api bekas memasak.
Beberapa langkah antisipasi telah dilakukan oleh pihak TNGP untuk mencegah terjadinya kebakaran yang di sebabkan karena pembuatan perapian tersebut. Salah satu diantaranya yaitu dengan dilakukannya penutupan kegiatan pendakian untuk umum di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango pada bulan Agustus (tanggal 1-31 Agustus). Penutupan tersebut didasarkan dari hasil pemantauan cuaca BMG dan LAPAN serta pengamatan selama beberapa tahun terakhir dimana pada bulan Agustus merupakan bulan kering sehingga perlu dilakukan langkah-langkah dalam rangka pengendalian kebakaran hutan. Selain itu, untuk menanggulangi terjadinya kebakaran hutan yang disebabkan oleh pendaki, pihak TNGP pun membuat peraturan yang cukup ketat untuk para pendaki. Salah satu aturan tersebut adalah tidak diperbolehkannya membuat api unggun di dalam kawasan, dikarenakan beresiko tinggi menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Namun, nampaknya peraturan tersebut perlu lebih disosialisasikan kembali. Hal tersebut dikarenakan ternyata masih cukup banyak pendaki yang tidak mengetahui akan peraturan tersebut. Dari 30 orang pendaki yang menjadi responden, sebanyak 17 responden (56,67 %) mengetahui adanya larangan membuat api unggun di dalam kawasan, sedangkan sisanya 13 responden (43,33 %) tidak mengetahui akan adanya larangan membuat api unggun di dalam kawasan.
tidak tahu, 43.33% tahu, 56.67%
Gambar 13 Persentase Pengetahuan Pendaki akan Larangan Membuat Api Unggun
Dari 17 orang responden yang mengetahui adanya larangan tersebut, sebanyak 14 orang responden (82,35 %) menyatakan setuju dengan peraturan
tersebut, sedangkan 3 orang responden (17,65 %) menyatakan tidak setuju dengan aturan tersebut. Responden yang setuju dengan aturan tersebut mengungkapkan bahwa dengan membuat api unggun dalam kawasan hutan dapat merusak lingkungan dan dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Sedangkan responden yang menyatakan tidak setuju dengan aturan tersebut beralasan karena api yang mereka buat hanya digunakan dengan alasan-alasan tertentu saja, seperti untuk menghangatkan badan.
tidak setuju, 17.65%
setuju, 82.35%
Gambar 14 Persentase Pendapat akan Larangan Membuat Api Unggun di Dalam Kawasan
Peristiwa kebakaran hutan yang berasal dari api perkemahan dapat terjadi bukan hanya akibat dari perapian yang dibuat (api unggun), melainkan dapat juga akibat kelalaian dalam penggunaan alat-alat yang memakai api. Dari 30 orang responden, sebanyak 25 orang responden pernah berkemah di dalam kawasan. Dalam perkemahan tersebut adapun alat penerangan yang digunakan oleh 25 orang responden tersebut ialah 15 orang responden (60 %) menggunakan senter, 5 orang responden (20 %) menggunakan senter dan lampu badai, 4 orang responden (16 %) menggunakan senter dan lilin, dan 1 orang responden (4 %) dengan membuat perapian. Jadi terdapat sekitar 40% alat penerangan yang digunakan berpotensi menjadi alat pemicu kebakaran hutan (yaitu : lampu badai, lilin, dan perapian).
senter dan lilin, perapian, 4% 16% senter senter dan lampu badai senter dan lilin perapian
senter dan lampu badai, 20%
senter, 60%
Gambar 15 Persentase Alat Penerangan Yang Digunakan Selama Berkemah
Penggunaan alat-alat penerangan yang menggunakan api, seperti lampu badai, lampu pelita, dan lilin apabila tidak digunakan dengan hati-hati dapat menjadi sumber api penyebab terjadinya kebakaran hutan. Lampu badai, lampu pelita, atau lilin yang masih menyala apabila terjatuh dan mengenai bahan bakar yang mudah terbakar dapat memicu terjadinya api yang lebih besar dan merambat kesekitarnya. Terutama saat musim kemarau dimana rumput/serasah kering dan angin bertiup kencang maka akan memudahkan api untuk menyala dan penjalaran api akan menjadi cepat. Oleh karenanya, dalam menggunakan alat-alat penerangan
yang
menggunakan api di dalam perkemahan diperlukan sikap hati-hati dan juga diperlukan tindakan-tindakan yang mencegah kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Misalnya, dalam penggunaan alat-alat penerangan tersebut perlu diletakan jauh dari bahan bakar yang mudah terbakar. Selain itu, api perlu dipadamkan ketika hendak tidur untuk mencegah kemungkinan terjadinya kebakaran hutan akibat kelalaian. Dalam penerangan yang dilakukan dengan cara membuat perapian (api unggun) diperlukan sikap yang lebih waspada. Selain perlu menjauhkan tempat pembuatan api dari bahan bakar di sekitar dan mematikan api ketika hendak tidur atau meninggalkan tempat tersebut, pendaki pun perlu memastikan bahwa api dan bara dari perapian tersebut telah benar-benar padam. Karena walaupun api telah padam namun apabila bara dari perapian tersebut belum padam, maka jika ada
angin yang meniup bahan bakar yang kering dan mengenai bara tersebut akan dapat memicu terjadinya api. Dari hasil penelitian yang dilakukan di lapangan, meskipun dari 25 orang responden yang pernah bekemah di TNGP hanya 1 orang responden yang menggunakan penerangan dengan cara membuat perapian, namun dari ke 25 orang responden yang pernah berkemah di kawasan TNGP tersebut ternyata sebanyak 13 orang responden pernah membuat perapian di dalam kawasan TNGP, sedangkan sebanyak 12 orang responden menyatakan belum pernah membuat perapaian di dalam kawasan TNGP. Sedangkan dari 5 responden lainnya yang belum pernah berkemah di kawasan TNGP 1 orang responden menyatakan pernah membuat perapian dan 4 orang responden belum pernah membuat perapian. Dengan kata lain dari 30 orang responden yang diambil, sebanyak 14 orang responden (46,67 %) pernah membuat perapian di dalam kawasan TNGP dan sebanyak 16 orang responden (53,33 %) belum pernah membuat perapaian di dalam kawasan TNGP.
pernah, 46.67% tidak pernah, 53.33%
Gambar 16 Persentase Responden yang Pernah Membuat Perapian di TNGP
Pembuatan perapian yang dilakukan oleh pendaki pada umumnya di gunakan untuk menghangatkan badan, karena suhu di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango pada malam hari sangat dingin mencapai 5 C sehingga para pendaki yang bermalam di dalam kawasan tersebut merasa membutuhkan perapaian untuk menghangatkan badan mereka. Selain digunakan untuk
menghangatkan badan, beberapa orang pendaki pun menyatakan bahwa perapian tersebut juga digunakan untuk memasak dan ada pula yang menggunakan perapian tersebut untuk penerangan. Dari 14 orang resonden yang pernah membuat perapaian di kawasan TNGP, 6 orang responden (42,86 %) menyatakan bahwa pembuatan perapian tersebut dapat memicu terjadinya kebakaran hutan apabila dalam penggunaannya tidak hati-hati, jika api terlalu besar, dan api lupa dipadamkan. Sedangkan 8 orang responden lainnya (67,14 %) menyatakan bahwa api dari perapian tersebut tidak dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dikarenakan oleh beberapa hal, diantaranya suhu udara di puncak yang dingin dan basah sehingga tidak memungkinkan api untuk tetap menyala jika ditinggalkan dan merambat ke bahan bakar lain yang ada di hutan. Selain itu ,mereka berpendapat bahwa jika dilakukan tindakan-tindakan yang tepat dalam pembuatan perapian tersebut seperti: tidak lalai meninggalkan api, setelah selesai api langsung dipadamkan, dan dalam membuat perapian disusun dengan rapi serta dijauhkan dari alat-alat yang mudah terbakar, maka perapian yang dibuat tidak akan menyebabkan terjadinya kebakaran hutan.
42.86%
57.14%
dapat menyebabkan kebakaran hutan tidak dapat menyebabkan kebakaran hutan
Gambar 17 Pendapat Responden akan Pembuatan Api Unggun
Kesadaran para pendaki akan bahaya terjadinya kebakaran hutan akibat dari kelalaian dalam pembuatan perapian sangat diperlukan. Sikap yang kurang hati-hati, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya hutan bahaya kebakaran mengakibatkan resiko hutan untuk terbakar semakin besar. Dengan adanya pengetahuan bahwa api dari perapian dapat menjadi awal sumber api dari
peristiwa kebakaran hutan akan membuat para pendaki yang membuat perapian dapat bersikap lebih hati-hati dalam penggunaannya. Selain itu, juga diperlukan langkah-langkah pengamanan agar perapian yang dibuat tidak menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan. Dari 14 orang responden yang pernah membuat perapian di dalam kawasan TNGP, mereka melakukan langkah-langkah pengamanan dengan cara yang berbeda. Lima orang responden melakukan pencegahan dengan cara segera memadamkan api setelah perapian selesai digunakan. Satu orang responden melakukan pencegahan dengan cara tidak membuat perapian di dekat serasah kering atau bahan bakar lainnya yang mudah terbakar. Satu orang responden melakukan pencegahan dengan cara ketika hendak tidur api dipadamkan. Empat orang responden melakukan pencegahan dengan cara tidak membuat perapian di dekat serasah kering atau bahan bakar lainnya yang mudah terbakar dan setelah selesai digunakan api langsung dipadamkan. Dan satu orang responden melakukan pencegahan dengan cara tidak membuat perapian di dekat serasah kering atau bahan bakar lainnya yang mudah terbakar serta ketika hendak tidur api langsung dipadamkan
7.14% 28.57% 50% 7.14%
7.14%
setelah selesai api dipadamkan tidak membakar di dekat serasah/bahan bakar yang mudah terbakar saat tidur api dipadamkan tidak membuat api di dekat serasah/bahan bakar kering dan setelah selesai api langsung dipadamkan tidak membuat api di dekat serasah/bahan bakar kering dan api dipadamkan saat tidur
Gambar 18 Persentase Tindakan Pencegahan yang Dilakukan Pendaki
Selain langkah-langkah pencegahan tersebut, satu hal yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan akibat perapian yang dibuat pendaki yaitu perlu dipastikannya bahwa api dan bara dari perapian tersebut benar-benar telah padam saat pendaki hendak pergi meninggalkan tempat tersebut atau ketika hendak tidur. Karena sebagaimana diketahui bahwa pada musim kering bara yang belum padam apabila tertiup angin dan mengenai bahan bakar kering akan dapat memicu terjadinya api di dalam hutan. Kesadaran pendaki TNGP untuk memadamkan api dan bara dari perapian yang mereka buat sudah cukup tinggi, yaitu dari 14 orang responden yang pernah membuat perapaian di dalam kawasan TNGP 13 orang responden (92,86 %) menyatakan telah memastikan bahwa api dan bara dari perapian yang dibuat telah benar-benar padam ketika hendak meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan 1 orang responden (7,14 %) menyatakan bahwa ketika hendak pergi meninggalkan tempat tersebut ia telah memastikan bahwa api dari perapian yang dibuat telah padam sedangkan baranya dibiarkan masih menyala, karena menurutnya bara dari perapian tersebut tidak akan dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan.
bara belum padam, 7.14%
api dan bara telah padam, 92.86%
api dan bara telah padam bara belum padam
Gambar 19 Persentase Keadaan Perapian Saat Ditinggalkan Pendaki
Namun, dari 14 orang responden yang pernah membuat perapian di kawasan TNGP tersebut terdapat 3 orang responden (21,43 %) memadamkan api dengan cara menginjak-injak perapian tersebut dengan kaki. Sedangkan sisanya
yaitu 9 orang responden (64,28 %) memadamkan perapian dengan menggunakan air dan 2 orang responden (14,29 %) memadamkan perapian dengan menggunakan tanah. Sebagaimana kita ketahui bahwa memadamkan perapian dengan cara menginjak-injak perapian tersebut dan memadamkan perapian dengan menggunakan baju akan dapat membuat api dari perapian tersebut padam namun bara dari perapian tersebut belum benar-benar padam. Sehingga apabila pada musim kering ada angin yang meniup serasah kering dan mengenai bara tersebut akan dapat memicu terjadinya api.
dengan tanah, 14.29%
diinjak dengan kaki, 21.43%
disiram air, 64.28%
disiram air diinjak dengan kaki dengan tanah
Gambar 20 Persentase Cara yang Digunakan Pendaki untuk Memadamkan Perapian
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan nilai curah hujan selama 5 tahun (2003-2007) dengan nilai ratarata curah hujan tahunan mencapai 3226 mm maka kawasan TNGP termasuk ke dalam katagori tidak rawan terhadap bahaya kebakaran. 2. Peristiwa kebakaran di TNGP disebabkan oleh 100% ulah manusia antara lain pembuatan perapian di hutan oleh masyarakat, pengunjung, dan/atau pemburu liar; pembuatan arang oleh masyarakat, dan adanya aktivitas pembakaran di lahan pertanian milik masyarakat; serta didukung oleh kondisi lingkungan (seperti kondisi iklim yang kering pada musim kemarau, pengaruh El-Nino, dan masih aktifnya Gunung Gede). 3. Potensi sumber api dari masyarakat dalam kegiatan pembersihan lahan dengan menggunakan api dinilai kecil karena masyarakat sudah menggunakan teknik pembakaran terkendali dan pembersihan lahan yang lebih ramah lingkungan. 4. Masih terdapat potensi pendaki yang membuat perapian yang dapat membahayakan ekosistem.
4.2 Saran Mengingat pembuatan perapian merupakan suatu kebutuhan bagi para pendaki dikarenakan suhu udara TNGP yang sangat dingin sehingga menyebabkan sulitnya pelarangan bagi pera pendaki dalam pembuatan perapian, maka sebaiknya perlu dibuat suatu tempat khusus untuk para pendaki yang hendak membuat perapian dimana tempat tersebut memungkinkan untuk pembuatan perapian sehingga memudahkan petugas TNGP untuk mengontrol.
DAFTAR PUSTAKA Apriansyah, D. 2004. Pengaruh punting rokok terhadap kebakaran di bawah tegakan Akasia (A. Mangium) di HPH HTI PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Brown A.A, Davis K.P. 1973. Forest Free Controle & Use. New York: McGraw Hill Company. Chandler C, P Cheney, P Thomas, L Traubaud, and D Williams. 1983. Fire in Forestry Volume II : Forest Fire Management and Organization. New York: JohnWiley & Sons, Inc. DeBano, L.F., D.G Neary, and P.F. Ffollot. 1998. Fire’s Effect on Ecosystems. New York: John Willey and Sons, Inc. 319 pp. Deeming, J.E. 1995. Pengembangan System Penilaian Bahaya Kebakaran di Propinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Laporan Akhir Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ), GmbH. Fuller, M. 1991. Forest Fire : An Introduction to Wildland Fire Behaviour, Management, Fire Fighting and Prevention. New York: JohnWiley & Sons, Inc. Handoko.1994. Klimatologi Dasar. Jakarta: Pustaka Jaya. Husaeni, E.A.1994. Hasil Penelitian Kebakaran Huatan yang Dilaksanakan oleh Fakultas Kehutanan IPB. Makalah. Di dalam : Prosiding Diskusi Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. Jakarta, 27 Desember 1993. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Hlm 33-48. Mangandar. 2000. Keterkaitan Sosial Masyarakat di Sekitar Hutan dengan Kebakaran Hutan (Studi kasus di Prvinsi Daerah Tingkat I Riau) tesis.Bogor: Program Pasca Sarjana, Institit Pertanian Bogor. Pratiwi, M.R. 2007. Peran Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Cepu, Perum Perhutani I Jawa Tengah skripsi. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan. Purwana, H. 1996. Peran Bara Puntung Rokok dalam Kebakaran Hutan (Skala Laboratorium) skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Rafi’i, S. 1997. Meteorologi dan Klimatologi. Bandung: Angkasa. Ruseffendi, E.T. 1994. Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksata Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press. Sahardjo, B.H. 2003. Sumber Api. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Hlm 147-149 Septicorini, E.P. 2006. Studi Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan skripsi. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian. Tidak diterbitkan. Siswanto, W. 1993. Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia [makalah]. Di dalam: Prosiding Diskusi Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia; Jakarta 27 Desember 1993. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Hlm 49-67. Soares, R.V. dan O.B. Sampaio. 2000. Wildfire occurrence in a forest district and other Brazilian protected areas. In Proceedings of Forest and Society: the Role of Research. Poster Abstracts Vol. III. XXI IUFRO World Congress. Kuala Lumpur 7-12 Agustus 2000. Malaysian XXI IUFRO World Congress organizing committee. Malaysian. p. 498 Sumantri. 2003. Metode Pencegahan Kebakaran Hutan. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB. Hlm 195-198 Suratmo, F.G, 1985. Ilmu Perlindungan Hutan. Bogor: Bagian Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Suratmo FG, E.A Husaeni, I.N.S Jaya. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan & Pengembangannya. Yogyakarta: Kanikus. Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, Perilaku Api, Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang: Bayumedia. Van Wilgen, B.W., C.S. Everson and W.S.W. Trolope. 1990. Fire Management in Southern Africa: Some examples of current objectives, practices and problems. In J. G. Goldammer ed., Fire in the tropical biota. Ecosystem Processes and Global Challenges Ecological Studies 84. Springer-Verlag. Berlin. Germany.p.179-215
TNGP Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 1999. Statistik Tahun 1999. Cibodas: Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. TNGP Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2006. Statistik Tahun 2006. Cibodas: Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. TNGP Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2007. Statistik Tahun 2007. Cibodas: Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Triani, W. 1995. Keterkaitan Kebakaran Huatan dengan Faktor-faktor Iklim di KPH Banyuwangi Selatan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur skripsi. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan. Wibowo, B.A. 2008. Strategi Pengendalian Kebakaran Hutan di Taman Nasional (Studi Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) skripsi. Bogor: Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Lampiran 1
DATA CURAH HUJAN KABUPATEN BOGOR Lokasi Penakar Hujan
: GUNUNG MAS
Elevasi
: 1109 M
Lintang
:
06,7092 LS
:
106,9674 BT
CURAH HUJAN ( mm ) TAHUN
JAN
PEB
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGST
SEPT
OKT
NOP
DES
1997
589
268
194
257
52
6
10
12
-
23
108
447
2003
146
550
337
239
113
90
-
123
146
434
153
530
2004
339
553
212
554
303
53
87
9
205
90
212
413
2005
668
626
441
157
212
306
131
149
312
194
306
337
2006
779
577
159
364
175
52
42
17
32
180
101
455
2007
537
860
340
307
122
130
29
97
44
185
310
506
Sumber : Badan Metoerologi dan Geomerti (BMG) tahun 2008
Lampiran 2
Desa Penyangga di Wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Tahun: 2007 Resort Bidang PTN I Cianjur
Desa
Kecamatan/Kabupaten
Cibodas
Ciloto Cimacan Cipendawa
Pacet/Cianjur Pacet/Cianjur Pacet/Cianjur
Gunung Putri
Sukatani Ciputri Nyalindung Ciherang
Pacet/Cianjur Pacet/Cianjur Pacet/Cianjur Pacet/Cianjur
Sarongge
Sarampad Padaluyu Sukamulya Galudra Wangunkerta Cirumput
Gedeh
Jumlah
Bunikasih Mekarwangi Tegallega Kebon Peuteuy 17 Desa
Cugenang/Cianjur Cugenang/Cianjur Cugenang/Cianjur Cugenang/Cianjur Cugenang/Cianjur Cugenang/Cianjur Warungkondang/Cianjur Warungkondang/Cianjur Warungkondang/Cianjur Warungkondang/Cianjur
esort Bidang PTN II Sukabumi
Desa
Kecamatan/Kabupaten
Goalpara
Langensari Selaawi Titisan Margaluyu Sukamaju
Sukaraja/Sukabumi Sukalarang/Sukabumi Sukalarang/Sukabumi Sukalarang/Sukabumi Sukalarang/Sukabumi
Salabintana
Cisarua Sukamekar Sudajaya Girang Karawang Undrusbinangun
Sukaraja/Sukabumi Sukaraja/Sukabumi Sukabumi/Sukabumi Sukabumi /Sukabumi Kadudampit/Sukabumi
Situgunung
Gede Pangrango Sukamanis Kadudampit Sukamaju Cipetir
Kadudampit/Sukabumi Kadudampit/Sukabumi Kadudampit/Sukabumi Kadudampit/Sukabumi Kadudampit/Sukabumi
Cimungkat
Cikahuripan Sukamulya Cikembang Seuseupan
Kadudampit/Sukabumi Caringin/Sukabumi Cibadak/Sukabumi Cibadak/Sukabumi
Nagrak
Wangunjaya Ginanjar Cihanjawar Pawenang Babakan Panjang Kalaparea Girijaya Mekarsari
Nagrak/Sukabumi Nagrak/Sukabumi Nagrak/Sukabumi Nagrak/Sukabumi Nagrak/Sukabumi Nagrak/Sukabumi Nagrak/Sukabumi Cicurug/Sukabumi
Jumlah
26 Desa
sort Bidang PTN III Bogor Bodogol
Desa
Kecamatan/Kabupaten
Benda Nanggerang Srogol Watesjaya Pasir Buncir
Cicurug/Sukabumi Cicurug/Sukabumi Cigombong/Bogor Cigombong/Bogor Caringin/Bogor
Cimande
Pancawati Lemah Duhur Tangkil Cinagara
Caringin/Bogor Caringin/Bogor Caringin/Bogor Caringin/Bogor
Tapos
Jambuluwuk Cibeduk Citapen Cileungsi Bojong Murni
Ciawi/Bogor Ciawi/Bogor Ciawi/Bogor Ciawi/Bogor Ciawi/Bogor
Sukagalih Sukaresmi Tugu Selatan Cibeureum Kuta Citeko
Megamendung/Bogor Megamendung/Bogor Cisarua/Bogor Cisarua/Bogor Cisarua/Bogor Cisarua/Bogor
Cisarua
Jumlah Keterangan : - : data tidak diketahui Sumber : Statistik Balai TNGGP 2007
20 Desa
Lampiran 3
Jumlah Pengunjung Taman Nasional Gunung Gede Pangrango tahun 2002 – 2007
Tahun
Jenis Kunjungan Rekreasi DN
LN
Pendakian
Penelitian
DN
LN
DN
LN
Jumlah
Widyawisata/Pendidikan DN
LN
Berkemah DN
Lain-lain
LN
DN
LN
DN
LN
DN+LN
2002
15.814
378
31.627
756
442
7
2.126
0
356
0
473
195
50.838
1.336
52.174
2003
26.395
1.761
37.031
29
693
18
1.959
150
2.348
0
91
16
68.517
1.974
70.491
2004
60.169
1.129
6.453
0
213
0
1.481
18
4.754
0
3.666
0
76.736
1.147
77.883
2005
25.928
455
28.779
15
128
0
624
0
4.320
124
12.839
0
72.618
594
73.212
2006
33.515
363
43.518
70
229
3
510
0
2.435
3
2.714
0
82.921
439
83.360
2007
33.692
383
27.511
310
747
0
1.925
0
2.822
0
585
5
67.282
698
67.980
Keterangan : DN : Pengunjung Dalam Negeri LN : Pengunjung Luar Negeri Sumber : Statistik Balai TNGGP 2007
Lampiran 4
KETENTUAN UMUN PENDAKIAN GUNUNG GEDE PANGRANGO
1. Setiap pendaki harus memiliki Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) yang diproses di Kantor Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dengan ketentuan sebagai berikut : a. Pengajuan SIMAKSI pendakian menggunakan sistem booki8ng dengan batas waktu minimum pengajuan adalah 3 (tiga) hari kerja dan maksimum 1 (satu) bulan kalender sebelum pendakian dilaksanakan. b. Batas maksimum jumlah pendaki per hari adalah 700 orang (pintu masuk Cibodas: 400 orang , Gunung Putri: 200 orang dan Salabintana: 100 orang). c. Batas waktu maksimum pendakian adalah 2 (dua) hari 1 (satu) malam. d. Setiap SIMAKSI pendakian dikeluarkan untuk minimum sejumlah 3(tiga) orang pendaki dan maksimum 10 (sepuluh) orang pendaki. e. Proses pengajuan SIMAKSI bisa dilakukan setiap hari, pukul 08.30 s/d 15.30 WIB f. Calon [pendaki menyerahkan fotocopy Kartu Identitas yang masih berlaku (kartu identitas yang dapat menunjukkan alamat dan tanggal lahir calon pendaki). g. Apabila calon pendaki berumur kurang dari 17 tahun, diwajibkan menyerahkan Surat Izin Orang Tua calon pendaki yang bersangkutan dan ditandatangani di atas materai Rp. 6,000 serta dilampirkan fotocopy KTP Orang Tua yang bersangkutan yang masih berlaku. h. Membayar tiket masuk dan asuransi sebagai berikut: - Wisatawan Domestik : Rp. 5.000,-/orang - Wisatawan Mancanegara : Rp. 40.000,-/orang - asuransi : Rp. 2.000,-/orang 2. Pintu masuk jalur pendakian dibuka mulai 06.00 s/d 21.00 WIB. 3. Petugas Balai Besar TNGGP pada pintu masuk kawasan akan memeriksa barang bawaan dan SIMAKSI sebelum dan sesudah memasuki kawasan. 4. Untuk keselamatan diri, setiap pendaki diwajibkan memakai sepatu serta membawa keperluan pribadi seperti jaket, obat-obatan, tenda, senter, jas hujan, matras, makanan dan minuman secukupnya. 5. Tidak diperbolehkan membawa binatang ke dalam kawasan. 6. Tidak diperbolehkan memetik, memindahkan atau mencabut tanaman di dalam kawasan. 7. Tidak diperbolehkan membuat api unggun di dalam kawasan. 8. Tidak diperbolehkan menganggu, memindahkan atau melakukan vandalisme pada fasilitas yang tersedia di dalam kawasan. 9. Berjalan pada jalur yang sudah ditentukan/disediakan. 10. Tidak diperbolehkan meninggalkan sampah dan wajib membawa turun kembali sampah bawaannya. 11. Wajib mengikuti semua peraturan yang berlaku di Balai Besarr TNGGP.