Weka Puspita Akbar
Peran Masyarakat Sipil Global dalam Rekonstruksi Pasca Konflik di Angola Weka Puspita Akbar Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga ABSTRAK Artikel ini fokus pada peran masyarakat sipil global dalam proses rekonstruksi pasca konflik di Angola. Perang sipil selama 27 tahun (1975-2002), salah satunya menciptakan masyarakat miskin kota yang memiliki ikatan sosial rendah. Lemahnya ikatan sosial masyarakat Angola adalah bahaya laten yang berpotensi memicu perang sipil baru. Dengan mengambil contoh Development Workshop, penulis berargumen cara-cara yang dilakukan oleh Development Workshop telah berhasil memperkuat ikatan sosial dengan menumbuhkan kembali kepercayaan diantara mesyarakat melalui bantuan finansial yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat penerima bantuan. Kata Kunci: peran masyarakat sipil global, rekonstruksi pasca konflik, Development Workshop Angola Article focuses on the role of global civil society in the process of post-conflict reconstruction in Angola. Angola suffered civil wars for 27 years (1975-2002). Civil war has created poor urban society with low social bond. It could trigger a new civil war if not maintained properly. By using Development Workshop as a case study, author argues that social bond could be strengthened through financial aids that manage independently by society themselves. Keyword: role of global civil society, post-conflict reconstruction, Development Workshop Angola
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
63
Peran Masyarakat Sipil Global dalam Rekonstruksi Pasca Konflik di Angola
Setelah merdeka dari Portugal pada tahun 1975, Angola mengalami perang sipil selama 27 tahun. Perang sipil Angola disebabkan oleh adanya power struggle antara Popular Movement for the Liberation of Angola (MPLA) dengan dukungan National Front for the Liberation of Angola (FNLA) dan National Union for Total Independence of Angola (UNITA) untuk memperebutkan kursi pemerintahan di Angola (bbc.com 2013). Perang sipil Angola diperlama oleh dukungan dari Uni Soviet kepada MPLA dan Amerika Serikat kepada UNITA pada masa Perang Dingin. Meski sempat mencapai persetujuan damai Bicesse pada tahun 1991 dan menggelar pemilihan umum setelahnya, namun UNITA menolak hasil dari keduanya dan melanjutkan konflik sipil. Persetujuan damai kembali disepakati pada tahun 1994 yang disebut dengan Lusaka Protocol Peace Accord namun kembali gagal membendung jeratan konflik di Angola. Perang sipil di Angola berakhir pada tahun 2002 setelah kematian pemimpin UNITA, Jonas Savimbi, dalam baku tembak antara UNITA dan MPLA, yang berujung pada penandatanganan kesepakatan gencatan senjata pada April 2002. Perang 27 tahun tersebut menewaskan 500 ribu tentara dan masyarakat sipil (bbc.com 2013). Tidak hanya itu, perang sipil 27 tahun tersebut menyebabkan terpuruknya aspek ekonomi dan sosial yang ditandai oleh krisis pengungsi dan banyaknya penanaman ranjau darat di daerah pertanian warga (bbc.com 2013). Akibatnya banyak masyarakat sipil yang melakukan urbanisasi ke daerah sepanjang garis pantai Angola dan ke kota Luanda. Grafik 1 menunjukkan bahwa pada masa pasca Perang Angola, pertumbuhan masyarakat urban di daerah Luanda naik ke angka 4,5 juta penduduk yang merupakan displaced people yang mencari rumah baru setelah konflik.
64
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
Weka Puspita Akbar
Grafik 1 Pertumbuhan Masyarakat Urban di Luanda tahun 19402005
(Cain 2007) Perang sipil juga memecah belah komunitas dan rantai tanggung jawab yang menyebabkan hancurnya kepercayaan dan solidaritas sosial diantara masyarakat Angola (Cain 2007). Tidak hanya itu perang sipil 27 tahun melemahkan institusi pada semua tingkatan. Kebanyakan dari displaced family kehilangan aset mereka, termasuk di dalamnya adalah tanah, properti, dan akumulasi kekayaan akibat perang. Besarnya gelombang urbanisasi ini juga menghancurkan homogenitas karena masyarakat urban memiliki beragam latar belakang etnis dan agama. Masyarakat urban juga tidak mengalami perbaikan kualitas hidup sebelum dan sesudah melakukan urbanisasi. Sulitnya akses terhadap lahan dan kompetisi ekonomi menjadikan mereka juga mengalami kesulitan untuk meningkatkan kualitas hidup. Tanah menjadi poin kritis dalam potensi konflik diakibatkan tingginya aktivitas displaced person yang melakukan urbanisasi. Ditambah lagi kebanyakan dari para penduduk urban ini teridentifikasi miskin dan tidak memiliki tanah secara legal (Cain 2007). Adanya akumulasi akibat perang dan kegiatan urbanisasi yang tinggi kemudian memunculkan kekhawatiran adanya pemicu konflik di masa mendatang. Keadaan masyarakat sosial yang belum sembuh dari trauma perang ditambah kegiatan urbanisasi yang menambah gesekan sosial diantara masyarakat Angola pasca perang menjadi penting untuk diatasi sebelum berujung pada babak baru perang sipil.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
65
Peran Masyarakat Sipil Global dalam Rekonstruksi Pasca Konflik di Angola
Hal ini yang kemudian menjadi perhatian dari kelompok organisasi masyarakat sipil Land Network. Land Network beranggotakan ACORD, ADRA, Caritas, Development Workshop, FONGA, Mosaiko, NCC, NPA, National Democratic Institute, Oikos dan World Learning yang bekerja bersama-sama dengan pemerintah Angola untuk mengatasi permasalahan lahan masyarakat miskin urban (Cain 2007). Permasalahan lahan dianggap sebagai permasalahan utama dari masyarakat Angola pascaperang sipil 27 tahun. Selanjutnya dalam tulisan ini penulis menjelaskan mengenai peran masyarakat sipil global pada rekonstruksi pasca konflik, khususnya peran Development Workshop yang merupakan bagian dari Land Network dalam mengatasi krisis lahan pada level mikro dan meminimalisasi gesekan sosial masyarakat Angola pada level makro. Melalui tulisan ini penulis membuktikan bahwa masyarkat sipil global tidak hanya berperan dalam mengangakat isu-isu yang tidak tersentuh oleh pemerintah semata, namun memiliki peran yang lebih masif dan mendalam, terutama dalam situasi pasca konflik. Peran Masyarakat Sipil Global dalam Rekonstruksi Pasca Konflik Sebelum lebih jauh mengidentifikasi peran masyarakat sipil global dalam rekonstruksi pasca konflik di Angola, sebaiknya terlebih dulu mendefinisikan peran masyarakat sipil global dalam rekonstruksi pasca konflik di negara-negara Afrika agar memperoleh gambaran utuh mengenai pembahasan tulisan. Menurut Britannica (t.t.) yang dimaksud sebagai peran adalah tingkah laku seorang individu dalam status dan posisi sosialnya yang dapat diidentifikasi melalui aksi dan juga kualitasnya. Sedangkan yang dimaksud dengan rekonstruksi pasca konflik adalah proses pembangunan kembali keadaan sosial, ekonomi, kemasyarakatan, dan infrastruktur di negara yang tidak dalam keadaan damai maupun perang (Florea 2005). Keadaan rekonstruksi pasca konflik adalah keadaan transisi dari konflik menuju damai dan oleh karenanya segala bentuk gesekan sosial menjadi hal sensitif yang mampu menjadi potensi konflik di masa mendatang.
66
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
Weka Puspita Akbar
Hal ini berarti bahwa peran masyarakat sipil global dalam lingkungan pasca konflik berperan dalam proses pembangunan kembali keadaan sosial, ekonomi, kemasyarakatan, dan infrastruktur di negara yang tidak dalam keadaan damai maupun perang untuk menghindari potensi konflik pada masa mendatang. Menurut Boutros Boutros-Ghali, Sekretaris Jenderal PBB (dalam Florea 2005), dalam memahami keadaan pasca konflik hal pertama yang harus dilakukan oleh negara adalah mengidentifikasi situasi yang dapat memproduksi konflik melalui diplomasi aktif. Tahapan ini disebut juga sebagai tahapan pencegahan. Ketika momentum pencegahan konflik gagal, hal yang pertama harus dilakukan adalah mengatasi isu yang menginisiasi konflik, atau disebut sebagai tahapan peace-making operation yang mampu berlanjut pada tahapan the emergency and relief phase untuk menyediakan kebutuhan darurat dasar bagi masyarakat yang terkena dampak koflik. The emergency and relief phase berfokus untuk menyelamatkan jiwa daripada pengaturan konflik. Setelah nature of war telah berubah, tahapan selanjutnya adalah peace-building. Namun tahapan peace-making hingga peace-building membutuhkan fase transisi yang merupakan tahapan vital untuk pencegahan terjadinya kembali krisis serta menentukan sukses atau tidaknya rekonstruksi pasca konflik nantinya. Fase transisi diartikan sebagai proses dan tindakan yang menciptakan kondisi bagi stabilitas politik, sosial, dan ekonomi, serta membantu proses pengamanan persamaan, keadilan, dan perdamaian sosial (UNDG dalam Florea 2005). Fase setelahnya adalah fase rekonstruksi yang bertujuan untuk: (1) memfasilitasi fase transisi menuju perdamaian berkelanjutan setelah gencatan senjata; (2) mendukung perkembangan sosial dan ekonomi (icnl.org 2007). The International Center for Not—for-Profit Law (ICNL) menemukan bahwa pada tahapan the emergency and relief phase, masyarakat sipil global memerankan peran vital jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan humaniter darurat. Ketika negara telah memasuki transisi krisis menuju rekonstruksi dan konsolidasi, masyarakat sipil global yang lebih matang akan bergerak diluar kegiatan humaniter dan memperluas aktivitasnya yang lebih berorientasi jangka panjang seperti aktivitas sosial, aktivitas advokasi, pengembangan sektor-sektor yang terkena dampak konflik, dan sebagainya.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
67
Peran Masyarakat Sipil Global dalam Rekonstruksi Pasca Konflik di Angola
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Florea (2005) yang menyatakan bahwa peran masyarakat sipil global terutama dibutuhkan pada fase transisi dan fase rekonstruksi. Tidak hanya itu, masyarakat sipil global juga memiliki peran vital untuk mempromosikan partisipasi publik dan inklusi lokal dalam proses rekonstruksi (icnl.org 2007). Keberadaan masyarakat sipil global dalam suatu wilayah bisa berperan sebagai kendaraan masyarakat untuk berasosiasi, mengekspresikan diri, dan mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka sebagai masyarakat secara kolektif. Dengan bergerak secara kolektif antara masyarakat lokal dan gerakan masyarakat sipil global, masyarakat pada akhirnya memiliki pengalaman mengenai proses pengambilan keputusan secara konsensus, mentoleransi berbagai sudut pandang, dan perilaku-perilaku pluralistik pada masyarakat demokratis (icnl.org 2007). Peran inilah yang diambil oleh masyarakat sipil global dalam lingkungan masyarakat pasca konflik pada umumnya. PBB juga secara eksplisit mengakui peran penting masyarakat sipil global pada lingkungan pasca konflik: NGOs occupy a unique place in this constellation. For many decades, you have been our partner on the ground: delivering humanitarian assistance in places struck by conflict or natural disaster, and in quieter places, helping people who are striving to build stable communities and effective institutions. Today this extraordinarily fruitful cooperation is closer than ever (un.org 2002). Namun keberhasilan masyarakat sipil global dalam memenuhi peran-peran tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti situasi keamanan, legitimasi pemerintahan pasca konflik, nature of engagement dari komunitas internasional dan organisasi multilateral, kredibilitas dan kapasitas masyarakat sipil global, dan partisipasi dari masyarakat lokal terhadap proses rekonstruksi (icnl.org 2007). Area peran dari masyarakat sipil global tergantung pada keadaan dan kebutuhan negara konflik, namun umumnya masyarakat sipil global mengambil peran dalam area demiliterisasi, perdamaian dan keamanan, bantuan kemanusiaan, dukungan kepada displaced person, memantau isu hak asasi manusia, perkembangan infrastruktur, dan juga perkembangan ekonomi (icnl.org 2007).
68
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
Weka Puspita Akbar
Dalam rangkaian penjelasan diatas dapat dilihat bahwa masyarakat sipil global telah memiliki peran yang vital dan telah diakui pihakpihak terkait pada lingkungan pasca konflik. Adapun sintesa dari peran masyarakat sipil dalam rekontrukturasi lingkungan pasca konflik berdasar dari uraian diatas adalah: (1) peran jangka pendek dalam menyediakan kebutuhan humaniter darurat pada tahapan the emergency and relief phase; (2) peran jangka panjang dalam fase transisi dan rekonstruksi yang terdiri dari rangkaian kebutuhan rekonstruksi (terdiri dari mengawal penguatan institusi pemerintah; mengembalikan orde dan hukum; merekonstruksi, menjaga, dan meningkatkan infrastruksur sosial yang termasuk di dalamnya transportasi dan komunikasi; membangun kembali ekonomi; membantu penduduk yang terkena imbas perang melalui reintegrasi displaced person, demobilisasi dan reintegrasi mantanmantan kombatan, restorasi kesempatan kerja, dan dukungan kepada kelompok-kelompok perempuan); (3) mempromosikan partisipasi publik dan nilai-nilai demokrasi yang berujung pada pembentukan stabilitas masyarakat. Development Workshop dalam Rekonstruksi Pasca Konflik Angola Sebelum lebih jauh melihat peran yang dilakukan oleh Development Workshop dalam rekonstruksi pasca konflik di Angola, perlu untuk mengetahui latar belakang pergerakan Development Workshop sebagai masyarakat sipil global. Development Workshop adalah organisasi non-profit yang didirikan pada 1973 dengan tujuan untuk menyediakan bantuan bagi masyarakat miskin dan komunitas yang memerlukan bantuan di negara-negara berkembang. Organisasi ini bekerja di lebih dari 30 negara di Afrika, Asia, dan Amerika. Dalam operasinya Development Workshop mempromosikan bantuan teknis seperti training, proyek penelitian, membantu menyediakan shelter, menyediakan jasa-jasa dasar, infrastuktur, dan perkembangan ekonomi dan kehidupan masyarakat lokal (dwangonet.org t.t.). Development Workshop tidak menghimpun dana dari publik secara langsung. Development Workshop didanai oleh basis-basis proyek dari dana bantuan NGO, yayasan privat, dan agensi nasional dan internasional (dwangonet.org t.t.).
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
69
Peran Masyarakat Sipil Global dalam Rekonstruksi Pasca Konflik di Angola
Development Workshop Angola adalah salah satu bagian dari Development Workshop International yang telah bekerja untuk memenuhi kebutuhan transisi dan rekonstruksi pasca konflik di Angola sejak tahun 1981 (dwangonet.org t.t.). Telah banyak proyek-proyek yang berhasil dilakukan oleh Development Workshop Angola seperti sanitasi dan air, perencanaan partisipatif, finansial mikro, shelter, penelitian dan strategi, peace-building dan kemasyarakatan, desentralisasi, monitoring, dan land tenure. Mengacu pada sintesa peran masyarakat sipil global yang telah dijelaskan diatas, Development Workshop berfokus pada peran kedua yakni dalam fase transisi dan rekontruksi. Secara lebih spesifik, pada perannya di masa transisi dan rekontruksi, khususnya dalam bidang infrastruktur; membantu reintegrasi displaced person, mantan kombatan, dan kelompok perempuan. Setelah periode perang berakhir pada tahun 2002, gelombang migrasi berpindah menuju Luanda. Banyak dari masyarkat Angola yang tidak kembali ke daerah asal mereka, namun memilih mendirikan pemukiman permanen tempat mereka ditampung sebagai pengungsi. Keluarga yang melakukan migrasi ke daerah kota biasanya tidak memiliki aset, dan oleh karenanya perumahan bukanlah prioritas mereka. Mereka lebih menitikberatkan kepada aspek survivalitas yang dapat menjamin kebutuhan dasar mereka dalam jangka pendek. Kebutuhan dasar ini telah dipenuhi oleh organisasi humaniter (Cain 2007). Namun, belum ada pihak yang mempermudah masyarakat miskin urban untuk mengakses tempat tinggal yang layak pada tanah baru mereka. Masyarakat urban migran menilai bahwa mereka bisa bertahan dalam kehidupan perkotaan jika mereka memiliki rumah sendiri. Oleh karenanya banyak hal dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut, seperti menyewa, membangun, maupun membeli perumahan. Langkah-langkah informal banyak ditempuh karena terbatasnya akses dan sulitnya administrasi yang ada dalam tatanan pemerintah (Cain 2007). Menempuh jalur resmi untuk mendapatkan tanah tempat tinggal dapat memakan waktu lama dan bahkan menghabiskan biaya yang mahal. Oleh karenanya memperoleh lahan untuk perumahan adalah tahapan paling sulit pada masa pasca konflik di Angola.
70
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
Weka Puspita Akbar
Tantangan selanjutnya adalah permasalahan finansial. Dalam fase pasca konflik, masyarakat secara umum memiliki akses terbatas terhadap ekonomi. Ekonomi dan finansial adalah hal yang harus direvitalisasi pada masa pemulihan negara pasca konflik. Di Angola terjadi eksklusi ekonomi pada masyarakat miskin urban yang menghalangi mereka untuk berpartisipasi penuh dalam kesembuhan pada masa pasca konflik. Sebagian pelaku pasar informal adalah perempuan. Namun keberadaannya tidak diakui oleh pemerintah yang menyebabkan mereka tidak memiliki akses terhadap kredit untuk meningkatkan taraf hidup karena tidak memiliki aset kekayaan akibat kekacauan perang. Hanya para elit yang memiliki aset dan akses terhadapnya yang bisa mendapatkan kredit dari bank untuk kepentingan bisnis. Memberikan kredit terhadap masyarakat miskin dianggap berisiko tinggi karena mereka dianggap tidak bisa menjamin pembayaran. Ketiadaan dan ketidakmampuan masyarakat miskin untuk mengusahakan perbaikan hiduplah yang kemudian menjadi salah satu faktor penghambat rekonstruksi pasca konflik. Tantangan-tantangan inilah yang ingin diatasi oleh Development Workshop melalui program-programnya yakni KixiCredito yang menangani permasalahan ekonomi mikro, dan KixiCasa yang mengatasi permasalahan lahan di Angola. Tidak hanya terbatas pada kedua program saja, Development Workshop juga turut mengawal menajemen pengaturan kota agar menjadi nyaman untuk ditinggali bagi para penduduknya. Program pertama adalah KixiCredito yang pada awalnya bernama Sustainable Livelihoods Program (SLP). Program ini dibentuk oleh Developmental Workshop bersama dengan Luanda Urban Poverty Program (Cain 2007). Namun pada akhirnya Development Workshop memutuskan untuk mentransformasi program mikrofinansial SLP menjadi institusi otonomi bernama KixiCredito yang terdaftar dibawah hukum pemerintah Angola. Program ini membangun kembali modal sosial dari masyarakat miskin urban dan mentransformasi ekonomi informal pasca konflik sehingga masyarakat miskin urban juga memperoleh keuntungan atas kekayaan negara pasca konflik (Cain 2007). Ekonomi informal dipilih karena dianggap paling tepat dan efektif. Model yang digunakan oleh KixiCredito adalah model mikrofinansial seperti yang dilakukan oleh Grameen Bank di Bangladesh dengan menggunakan metodologi group-lending solidarity yang terdiri dari 15-20 orang.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
71
Peran Masyarakat Sipil Global dalam Rekonstruksi Pasca Konflik di Angola
Mekanisme penggunaan kelompok-kelompok solidaritas adalah dengan memberikan pinjaman pada kelompok yang secara kolektif menjamin pengembalian pinjaman. Hal ini berkaitan dengan akses terhadap pinjaman berikutnya yang ditentukan oleh keberhasilan tingkat pengembalian pinjaman oleh semua anggota (Lukman et.al. t.t.). Dengan mekanisme ini anggota-anggota kelompok akan berupaya untuk saling mendukung anggota lain agar secara teratur mengembalikan pinjaman. Penggunaan kelompok-kelompok solidaritas adalah cara yang dirasa efektif untuk mengembangkan badan-badan ekonomi dari masyarakat yang trauma karena perang yang harus bermigrasi ke kota. Selain itu penggunaan kelompok solidaritas di dalam KixiCredito membantu merekonstruksi kohesi sosial yang menjadi lemah akibat perang dan menerapkan peranperan baru bagi perempuan dalam keluarga, komunitas, dan ekonomi (Cain 2007). Pada awalnya KixiCredito hanya diberlakukan di daerah Luanda saja. Namun pada tahun 2007 KixiCredito juga telah membuka cabang di kota-kota lain seperti Huombo dan Ovimbudu. Huombo merupakan provinsi yang terkena dampak perang paling besar serta merupakan basis etnis dari gerakan pemberontak (UNITA). Development Workshop merasa bahwa strategi KixiCredito yang dikembangkan di Luanda juga bisa menjadi alat yang efektif dalam peace-building dan rehabilitasi komunikasi pasca perang (Lemos dalam Cain 2007). Seperti di Luanda, populasi urban di Huombo juga meningkat selama masa perang karena gerakan migran para pengungsi yang mencari lingkungan yang aman untuk tempat tinggal. Namun ketika perang usai, banyak dari migran-migran ini yang tidak kembali dan menetap di daerah perkotaan. Pada akhir tahun 2002, program mikrofinansial Development Workshop SLP telah memiliki lebih dari 5000 klien dan lebih dari 300 kelompok solidaritas. Pada tahun 2007, program ini telah berkembang dengan 14,000 klien usaha kecil menengah dan telah meminjamkan total lebih dari US$ 15 juta. Pinjaman jangka pendek diberikan kurang lebih lima bulan dengan jangkauan hutang dari 50- US$ 250 pada tahap awal, namun besarnya hutang mampu mencapai US$ 2500 ketika kelompok solidaritas telah terbukti mampu menjamin pengembalian hutang pada tahap-tahap sebelumnya (Cain 2007).
72
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
Weka Puspita Akbar
Kelompok solidaritas ini nyatanya mampu menjadi mekanisme yang tepat terhadap jaminan pengembalian kredit secara penuh dan tepat waktu. Kredit pengembalian hutang diberikan setiap dua minggu sekali. Program kedua adalah KixiCasa yang merupakan salah satu dari kepanjangan program KixiCredito. Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen investasi hutang KixiCredito digunakan untuk membeli tanah, membangun rumah, dan aktivitas-aktivitas pembangunan perumahan lainnya. Investasi dalam aspek perumahan dinilai tidak menghasilkan keuntungan dan timbal balik secara langsung. Nilai kredit yang kecil dan waktu yang singkat juga tidak mencukupi untuk membangun perumahan yang baik dan layak. Oleh karenanya pada tahun 2005, Development Workshop memutuskan untuk memberikan nilai kredit yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama kepada klien yang telah sukses melengkapi siklus pinjaman bertingkat sebanyak empat atau lima kali (klien ini disebut sebagai graduate clients) tanpa kredit macet maupun default (Cain 2007). KixiCasa menawarkan pinjaman mikro untuk pembangunan perumahan kepada masyarakat miskin tanpa kepemilikan tanah sekalipun. Risiko ditekan seminimal mungkin dengan mempertahankan jumlah pinjaman yang kurang dari 2500 USD dengan periode pembayaran yang juga relatif singkat yakni 10 bulan. Selain itu Development Workshop juga bekerja dengan komunitas dan pemerintah lokal untuk membantu mengadvokasi mengenai hak kepemilikan dari kredit perumahan (Cain 2007). Pada tahun pertama operasinya, KixiCasa telah berhasil mencapai angka pembayaran hutang sebesar 97 persen. Hal ini berarti program ini secara cepat mampu mencapai keberlangsungan finansial dalam level lokal (Cain 2007). Ada sebanyak 51 klien pada KixiCasa pada tahun pertama dan 41 orang (80 persen) diantaranya adalah perempuan. Proyek bernama Bairro Fatima Pilot Land Tenure Project yang merupakan kerjasama antara pemerintah provinsi Huombo, Development Workshop, National Institute for Physical Planning (INOTU), National Cadastral Institute (IGCA), dan Centre for Environment and Human Settlements in Edinburgh (CEHS), menjadi salah satu program inovatif dalam bidang perumahan.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
73
Peran Masyarakat Sipil Global dalam Rekonstruksi Pasca Konflik di Angola
Kontribusi paling inovatif dari proyek ini adalah inisiasi proses regulasi pertanahan yang memfasilitasi pengadaan perumahan bagi masyarakat Huombo yang didasarkan dari penempatanpenempatan yang terencana. Proyek pilot ini kemudian dapat diterima oleh publik secara umum. Kedua program yang ada menunjukkan peran dari Development Workshop pada rekonstruksi pasca konflik Angola terutama peran jangka panjangnya (Cain 2007). Pertama, terlihat melalui KixiCasa, Development Workshop turut merekonstruksi, menjaga, dan meningkatkan infrastruksur sosial, yang dalam hal ini adalah pembangunan perumahan. Kedua, KixiCasa juga turut me-reintegrasi displaced person yang terusir dari tanah kelahirannya akibat perang dengan membantu proses settlement dan pembangunan perumahan. Ketiga, program KixiCredito juga turut menggerakkan perekonomian lokal dengan memberikan kredit pada masyarakat yang menggeluti ekonomi informal. KixiCredito menyediakan modal yang mendukung masyarakat miskin untuk mengembangkan usahanya. Tujuan dari kredit ini adalah meningkatkan skala usaha para klien dari mikro ke skala kecil dan pada akhirnya menjadi badan usaha skala menengah. Hal inilah yang diharapkan mampu mentrasformasi kebutuhan survivalitas menjadi kebutuhan hidup layak. Keempat, bahwa kedua program Development Workshop menunjukkan adanya dukungan pada kelompok-kelompok perempuan untuk lebih aktif dalam pembangunan perumahan dan ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya persentase partisipasi perempuan dalam kedua program. Pada KixiCasa misalnya, 80 persen dari klien mereka adalah perempuan (Cain 2007). Namun ada satu peran yang belum teridentifikasi dalam analisis diatas, yakni peranannya dalam mempercepat pulihnya kepercayaan masyarakat atau yang penulis sebut sebagai fostering society trust. Maksudnya adalah bahwa mekanisme program yang dibawa oleh Development Workshop melalui kelompokkelompok solidaritas dalam metode pembayaran diatas mampu memberikan koneksi antara masyarakat Angola yang sedikit banyak telah rusak akibat dampak perang sipil selama 27 tahun. Meski berawal dari kelompok-kelompok kecil, namun hal ini efektif untuk secara perlahan-lahan menumbuhkan rasa kepedulian satu sama lain. Kepercayaan diantara masyarakat adalah penting dalam
74
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
Weka Puspita Akbar
rekonstruksi masyarakat pasca konflik karena perang sipil tidak hanya menghancurkan aspek-aspek fisik seperti infrastruktur, namun juga menghancurkan aspek-aspek psikis akibat trauma perang sipil. Dengan memperkuat kembali aspek psikis bangsa pasca konflik hal ini juga meminimalisasi adanya potensi konflik di masa mendatang. Kesimpulan Peran masyarakat sipil global bervariasi. Development Workshop sebagai salah satu masyarakat sipil global yang menjadi contoh kasus pada tulisan ini menunjukkan peran yang spesifik baik dalam skala global maupun skala lokal di Angola. Secara khusus dalam rekonstruksi pasca konflik di Angola, Development Workshop tidak sebatas berperan sebagai pengawal pembangunan kembali infrastruktur sosial; reintegrasi displaced person; menggerakkan ekonomi; dan dukungan kepada kelompok-kelompok perempuan, namun juga berperan dalam percepatan pemulihan luka psikis dengan meningkatkan kepercayaan di antara masyarakatnya melalui kelompok-kelompok solidaritas dalam mekanisme pembayaran kredit KixiCredito. Hal ini menjadi penting untuk meningkatkan kohesi sosial yang diperlemah oleh perang sipil dan menurunkan potensi konflik di masa mendatang. Tulisan ini hanya berfokus pada peran Development Workshop pada restrukturisasi pasca konflik Angola. Jika ditelaah lebih dalam, program-program yang dilakukan oleh Development Workshop tidak hanya menjabarkan mengenai peran saja, namun terdapat juga respon, strategi, dan model pergerakan. Oleh karenanya dimungkinkan pembahasan dimasa mendatang mengenai respon dan strategi Development Workshop dalam menangani permasalahan pasca konflik di Angola.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
75
Peran Masyarakat Sipil Global dalam Rekonstruksi Pasca Konflik di Angola
Daftar Pustaka Buku dan Jurnal Cain, Allan, 2007. Housing Microfinance in Post-Conflict Angola, Overcoming Socioeconomic Exclusion Through Land Tenure and Access to Credit. Sage: Environment and Urbanization, Vol 19: 361-390. Florea, Simona, 2005. The Role of NGOs in Post-Conflict Reconstruction: A Partnership with the United Nations. Webster University at Geneva. International Center for Not-for-Profit Law, 2007. Enabling Organizational Development: NGO Legal Reform in PostConflict Settings. The International Journal of Not-for-Profit Law, Vol 9, Issue 4. Lukman, Syukri et.al. t.t. Kajian Upaya Penguatan Peran Microbanking dan Pendekatan Pembiayaan Kelompok dalam Rangka Pengembangan UMK di Sumatera Barat. Centre for Banking Research [online] dalam http%3a%2f%2fwww. bi.go.id%2fid%2fpublikasi%2fperbankan-dan-st abilitas%2farsitektur%2fDocuments%2f2f84b49d 770343169f9f30798d92bfb0JurnalKajianUpayaPe nguatanMicrobankingdiSumateraBa.pdf/RK=0/ RS=zHgUVZnrP9hnDRwjACxnX_B0kn4- [diakses 8 Juli 2014]. Artikel Daring BBC News Afrika, 2013. Angola Profile: Overview. [online] dalam http://www.bbc.com/news/world-africa-13036732 [diakses 8 Juli 2014]. BBC News Afrika, 2013. Angola Profile: Timeline. [online] dalam http://www.bbc.com/news/world-africa-13037271 [diakses 8 Juli 2014].
76
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
Weka Puspita Akbar
Encyclopedia Britanica, t.t. Role. [online] dalam http://www. britannica.com/EBchecked/topic/507038/role [diakses 8 Juli 2014]. United Nation Press Release, 2002. ADDRESSING DPI/NGO CONFERENCE, DEPUTY-SECRETARY-GENERAL STRESSES SHARED ROLE IN RECONSTRUCTION OF POST-CONFLICT SOCIETIES. [online] dalam http:// www.un.org/News/Press/docs/2002/dsgsm168.doc.htm [diakses 8 Juli 2014].
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015
77
78
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VIII, No.1, Januari - Juni 2015