OMBO SEBAGAI WUJUD KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAILI DALAM MENJAGA HARMONISASI ALAM OMBO AS THE ENTITY OF LOCAL WISDOM OF KAILI SOCIETY IN MAINTENANCE NATURE HARMONY I Wayan Nitayadnya Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah Jalan Untad I, Bumi Roviga, Tondo, Palu 94118 Telepon (0451) 4705498; 421874 / Faksimile (0451) 421843 Pos-el:
[email protected] Diterima: 20 Januari 2014; Direvisi: 14 Maret 2014; Disetujui: 12 Mei 2014 ABSTRACT Ombo was established in Kaili society in many years ago. Ombo is the agreement between indigenous leader, indigenous stakeholder, ruler, and common people, creating tolerance between people and king or ruler and also creating nature harmony. In this research, it will be described only the local wisdom of Kaili society in PDQDJLQJWKHQDWXUHZKLFKLVUHÀHFWHGLQ2PER7KHPHWKRGDSSOLHGDUHOLWHUDWXUHVWXG\DQGDQDOLWLFGHVFULSWLYH PHWKRG7KHUHVXOWVKRZVWKDWORFDOZLVGRPRI.DLOLVRFLHW\UHÀHFWHGLQ2PER are the wisdom of preserving the neighbourhoods, protecting the particular animal and plant, preserving the forest and sea, preserving the spring and watershed, protecting the society and indigenous area, and preventing the plague. Keywords: ombo, givu, hukum adat, local wisdom, nature harmony ABSTRAK Ombo pada zaman dahulu diberlakukan di dalam masyarakat Kaili. Ombo itu diputuskan berdasarkan kesepakatan bersama antara tokoh adat, pemangku adat, penguasa, dan masyarakat umum demi terciptanya toleransi antara rakyat dan raja atau penguasa dan terciptanya keharmonisan alam. Penelitian ini hanya mengungkap kearifan lokal masyakat etnik Kaili dalam mengelola alam yang tercermin dalam Ombo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kepustakaan dan deskriptif analitik. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa kearifan lokal masyarakat Kaili yang tercermin dalam Ombo adalah kearifan dalam menjaga kelestarian lingkungan permukiman, melindungi hewan dan tanaman tertentu, menjaga kelestarian hutan, menjaga Kelestarian laut, menjaga kelestarian mata air dan daerah aliran sungai, melindungi lahan masyarakat dan lahan adat, dan menjaga agar tidak terjangkitnya wabah penyakit. Kata kunci: ombo, givu, hukum adat, kearifan lokal, harmonisasi alam
PENDAHULUAN Ditinjau dari sejarah perkembangan peradaban dan kebudayaan, komunitas etnik Kaili yang mendiami hampir setengah wilayah Provinsi Sulawesi Tengah dahulu kala memiliki aturan adat tersendiri yang tertuang dalam Atura Nu Ada (seperangkat hukum adat). Aturan yang tertuang dalam Atura Nu Ada itu dahulu kala dijadikan pedoman untuk mengatur segala perilaku kehidupan warga masyarakat Kaili yang tinggal dalam wilayah yang bersangkutan. Fungsi dan peranan aturan adat itu adalah untuk mengatur masyarakat Kaili di bidang adat. Hal ini berarti
setiap komunitas adat yang ada di wilayah Kaili mempunyai kedudukan yang bersifat otonom, yakni setiap komonitas adat tersebut berdiri sendiri menurut Atura Nu Ada yang telah dirumuskan, dilaksanakan, dan dijadikan pedoman bertindak bagi segenap warga masyarakat yang berdomisili dalam suatu wilayah tertentu. Apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan adat itu, warga dapat dikenakan tindakan atau sanksi yang dilaksanakan oleh dewan adat. Sanksi adat tersebut ada yang berwujud denda dan ada yang bersifat psikologis, seperti disisihkan dari masyarakat, tidak diajak bicara, tidak diikutkan dalam kegiatan 131
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 131—129 masyarakat, bahkan dapat diusir dari wilyah yang bersangkutan. Atura Nu Ada merupakan seperangkat aturan yang bersifat lisan yang mengatur tata kelakuan masyarakat Kaili dari aspek posumba (ucapan), ampena (kelakuan), dan kainggua (tindakan). Aturan itu diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Aturan adat ini dirumuskan, dilaksanakan, dan dijadikan pedoman bertindak bagi warga masyarakat yang berada di wilayah komunitas Kaili. Tujuannya adat itu adalah untuk menanamkan pendidikan budi pakerti bagi warga dan menciptakan norma agar warga tidak berbuat sewenang-wenang kepada warga lain atau kepada alam. Jadi, pemberlakuan aturan adat ini dimaksudkan untuk menciptakan keharmonisan hidup masyarakat sehingga warga masyarakat yang ada di wilayah Kaili dapat hidup damai, tenteram, dan berkeadilan. Hal-hal yang diatur dalam Atura Nu Ada masyarakat Kaili adalah sebagai berikut. (1) Kategori pelanggaranan. (2) Jenis-jenis pelanggaran etika sosial atau Vaya. (3) Jenis-jenis pelarangan yang harus dipatuhi oleh warga atau Ombo. (4) Givu ‘sanksi’ yang diberikan kepada warga yang melanggar norma sosial atau Vaya dan melanggar larangan atau Ombo (Bauwo, 2012:15-49). Pelanggaran dalam aturan adat Kaili dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni Sala Kana, Sala Baba, dan Sala Mbivi. Sala Kana merupakan pelanggaran yang dikategorikan paling berat, misalnya berzina atau membunuh. Sala Baba merupakan pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran sedang, misalnya mengintip wanita yang sedang berganti pakaian atau mandi, Sala Mbivi merupakan pelanggaran yang dikategorikan ringan, misalnya mengolok-olok orang secara berlebihan sehingga orang itu tersinggung, memaki-maki orang, dan berbohong. Vaya merupakan jenis perbuatan yang melanggar etika sosial. Misalnya, berzina dengan orang yang masih memiliki hubugan darah, seperti bapak dengan anak kandungnya, ibu dengan anak kandungnya, kakak dengan adiknya, mertua dengan menantunya, dan nenek dengan cucunya. Ombo merupakan larangan yang diberlakukan di dalam masyarakat Kaili berdasarkan kesepakatan bersama antara tokoh adat, pemangku adat, 132
penguasa, dan masyarakat umum. Misalnya, larangan mengalihfungsikan lahan milik adat, larangan untuk penebangan hutan secara liar, dan larangan untuk mencemari sungai. Terakhir, Givu merupakan sanksi yang diberikan kepada warga yang melanggar norma sosial atau Vaya dan melanggar larangan atau Ombo, misalnya, seorang bapak berzina dengan anak kandungnya. Perbuatan kedua orang itu dikategorikan pelanggaran Sala Kana dan Givu ‘sanksi’ yang dikenakan adalah Nipali, yakni kedua orang itu diasingkan atau diusir dari kampung. Seiring dengan perkembangan zaman, aturan adat itu sudah mulai dilupakan dan bahkan mulai dilanggar, padahal dalam aturan adat itu norma kebajikan yang patut dijalankan manusia, baik dalam hubungan manusia dengan manusia lain maupun hubungan manusia dengan alam, diatur dengan tertib. Akibatnya, akhir-akhir ini di dalam komunitas Kaili sendiri terjadi berbagai peristiwa bencana kemanusiaan yang susulmenyusul, di antaranya munculnya pertikaian antarkampung antara Desa Kaleke dan Pebunu (2005); Kaleke dan Dolo (2011) di Kabupaten Sigi; Padende dan Binangga, Tinggede dan Tatura, dan Nunu dan Tavanjuka (2012) di Kota Palu. Peristiwa-peristiwa itu telah menelan korban jiwa dan kehancuran sarana dan prasarana yang luar biasa. Adanya peristiwa itu menunjukkan bahwa telah terjadinya pergeseran etika dan moral dalam komunitas tersebut. Komunitas Kaili yang dahulu dikenal lebih mengutamakan kekeluargaan, persaudaraan, toleransi, dan kegotong royongan kini telah mengalami degradasi moral. Ini artinya norma-norma moral dan etika yang dahulu kala pernah dijunjung tinggi oleh leluhurnya mulai dilupakan oleh mereka. Tidak hanya norma yang mengatur hubungan manusia dengan manusia yang mengalami degradasi, tetapi juga norma yang mengatur hubungan manusia dengan alam mengalami hal serupa. Di beberapa wilayah komunitas Kaili kini telah terjadi kegiatan eksploitasi alam yang tidak terkendali, misalnya terjadinya pembabatan hutan secara liar untuk lahan produktif, penambangan liar, pengerukan material alam tanpa terkendali, dan reklamasi yang terlalu berlebihan. Jika hal itu tidak dikendalikan, kegiatan itu akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang lebih parah.
Ombo sebagai Wujud Kearifan... I Wayan Nitayadnya
Untuk itu, komunitas Kaili bersama-sama pemerintah daerah semestinya berupaya mencari solusinya agar kelak alam dan lingkungan yang berada di wilayah komunitas Kaili tersebut terjaga keharmonisannya. Sehubungan dengan itu, penelitian ini berupaya mengungkap kearifan lokal masyakat etnik Kaili dalam mengelola alam yang tercermin dalam Atura Nu Ada, khususnya aturan-aturan adat yang terdapat dalam Ombo. Pengertian Ombo dalam Kamus Kaili-Ledo (Evans, 2003:145) adalah sesuatu yang menyebabkan bencana karena melanggar tabu atau malapetaka. Bauwo (2012:41) menyatakan bahwa secara etimologis kata Ombo memiliki arti sebagai berikut; (1) rusak, misalnya naombo banua ‘rumah yang rusak,’ sou naombo ‘pondok yang rusak,’ dan vala naombo ‘pagar yang rusak’; (2) runtuh, seperti tanah runtuh, longsor (erosi) dan pengikisan pantai (abrasi); (3) kedukaan karena wafatnya seorang raja; dan (4) bencana lingkungan hidup. Secara terminologis, Ombo diartikan sebagai upaya (1) membatasi gerak manusia dalam merusak alam; (2) menjaga kelestarian alam; dan (3) bentuk keprihatinan atas peristiwa yang menimpa suatu kampung. Kedua pengertian itu mencerminkan bahwa di dalam Ombo terdapat berbagai aturan adat yang mengatur sikap dan perilaku manusia yang berada di wilayah Kaili agar mereka selalu menjaga keharmonisan alam dan menunjukkan sikap hormat terhadap raja dan kerabatnya. Penelitian ini mengkaji teks ungkapan atau istilah mengenai aturan Ombo yang terdapat dalam Atura Nu Ada masyarakat Kaili. Teks ungkapan atau istilah itu dikaji dengan menggunakan teori interpretasi guna menemukan muatan kearifan lokal yang tercermin di dalamnya. Berdasarkan hal itu, rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana wujud kearifan lokal masyarakat Kaili dalam menjaga dan melestarikan alam yang tercermin dalam aturan Ombo? Dari rumusan masalah itu tergambar secara jelas tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu untuk mengungkap makna istilah atau ungkapan yang terdapat dalam Ombo; mengungkap hal-hal apa saja yang diatur dalam aturan adat itu; mengetahui sanksi apa saja yang diberikan bagi orang yang melanggarnya; dan mengungkap bentukbentuk kearifan lokal masyarakat Kaili dalam
menciptakan keharmonisan alam yang tercermin dalam Ombo itu. Penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan pemahaman dan kesadaran masyarakat, khususnya masyarakat etnik Kaili, dalam menjaga dan melestarikan alam dan lingkungannya. Sumber data yang berupa teks ungkapan atau istilah aturan adat yang terdapat dalam Ombo diperoleh dalam Atura Nu Ada Ante Givu Nu Ada To Kaili ri Livuto Nu Palu (Bauwo, 2012) yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2012. Pemaknaan teks, baik dari segi harfiah maupun terminologis, diperoleh dari Kamus Bahasa Kaili-Ledo Indonesia Inggris yang disusun oleh Evans (2003). Aturan pelarangan dan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggar digali dari informasi secara langsung dari beberapa narasumber yang berkompeten, seperti tokoh adat, pelaku adat, dan budayawan Kaili. Sedangkan, pengungkapan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kaili yang tercermin dalam aturan Ombo itu dilakukan dengan cara interpretasi. Teks ungkapan atau istilah Ombo yang terdapat dalam Atura Nu Ada Kaili ini dikaji dengan menggunakan teori interpretasi guna menemukan muatan kearifan lokal yang tercermin di dalamnya. Teori ini sering disebut dengan hermeneutika atau penafsiran. Teori ini pertama NDOLPXQFXOVHFDUDGH¿QLWGDODPNDU\D'DQQDKDXHU dalam bukunya yang berjudul Hermeneutika Sacra Sive Methodus Exponendarums Scrarum Littrarum (lihat Palmer, 1969:34). Kemudian, teori ini berkembang dan muncul ke permukaan ketika diperkenalkan oleh Scheiermacher dan Wilhelm Dilthey. Scheiermacher (dalam Susanto, 2011:199201) menyatakan bahwa teori penafsiran GLJXQDNDQXQWXNPHQJDQJNDW¿OLORJLGDQVHJDOD disiplin penafsiran kepada level Kunstlehre, yakni kumpulan metode yang tidak terbatas pada kegiatan penafsiran yang parsial atau prinsip penafsiran yang bersifat umum. Kegiatan penafsiran teks dilakukan melalui penafsiran gramatikal dan penafsiran psikologis. Prinsip yang paling penting dalam penafsiran gramatikal ada dua, yakni (1) segala sesuatu yang memerlukan ketetapan makna dapat dilakukan melalui lapangan 133
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 131—129 kebahasaan yang berlaku di antara pengarang dan publik pendengar dan (2) makna dari sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada konsistensinya dengan kata-kata lain di sekelilingnya. Penafsiran psikologis dilakukan dengan cara merekonstruksi subjektivitas pengarang sehingga penafsir dapat memahami dengan lebih daripada tafsiran pengarangnya. Penafsiran gramatikal dan penafsiran psikologis tidak jauh berbeda dengan pendapat Ricceur (lihat Hani’ah, 2007:21-25). Tahapan penafsiran gramatikal oleh Ricceur disebut tahapan rekontruksi teks dan tahapan penafsiran SVLNRORJLVGLVHEXWWDKDSDQUHÀHNVL3DGDWDKDSDQ merekonstruksi teks, analisis bertolak dari bahasa sebagai wacana. Wacana adalah tempat pembicara mengatakan sesuatu tentang sesuatu. Atas dasar itu, memahami teks adalah gerak dari “apa” yang dikatakan (sense) ke “tentang apa” yang dikatakan (reference 3DGDWDKDSUHÀHNVLLWXSDGDGDVDUQ\D teori penafsiran mulai bekerja karena pada tahap ini penafsir mulai beraktivitas untuk menafsirkan atau mengangkat proses yang tak disadari ke kesadaran atau yang menjernihkan yang samar di dalam teks. Usaha ini menghasilkan transformasi GLULDWDXUHÀHNVL Pada sisi yang lain, Dithey (dalam Susanto, 2011:201) mengembangkan metode ¿ORVR¿V XQWXN VHMDUDK GDQ LOPX NHPDQXVLDDQ Metode itu diyakini yang memroduksi makna objektif pengetahuan dan menghindari reduksi, mekanisme, skema penjelasan ilmu alam yang ahistoris. Ia sangat setuju bahwa teks, ujaran verba, dan tindakan adalah ekspresi makna kesatuan yang mental contents atau membutuhkan tujuan untuk dikomprehensifkan. Lebih lanjut ditegaskannya bahwa proses penafsiran sebagai peristiwa sejarah dan bukan peristiwa mental. Penafsiran dipahami secara konseptual sebagai memahami dan bukan menjelaskan. Menafsirkan dalam pengertian memahami adalah proses untuk memahami teks sebagai bagian ekspresi sejarah. Yang perlu direproduksi bukan kondisi batin pengarang, melainkan makna-makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks. Baginya, pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tetapi sejarah yang menentukan maknanya atau sejarahlah yang berhak atas teks tersebut. Idealisme dan intense 134
pengarang direduksi menjadi refleksi atau dominasi kekuatan-kekuatan dalam sejarah yang menentukan penulisan teks. Berdasarkan uraian itu, dapat disimpulkan bahwa tahap penafsiran teks, sebagaimana dikemukakan oleh Scheiermacher, Ricceur, dan Dilthey, pada intinya bertujuan untuk menghindari salah pemahaman dalam menafsirkan teks dan untuk memahami teks dengan lebih baik. METODE Data primer penelitian ini adalah teks Ombo yang terdapat dalam Atura Nu Ada Kaili dan data sekundernya adalah tulisan, ulasan, dan kritik yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Kaili, mulai dari lokasi, mata pencaharian, bahasa, religi DWDXVLVWHPNHSHUFD\DDQGDQVWUDWL¿NDVLVRVLDOQ\D Metode yang digunakan untuk memeroleh kedua data itu adalah metode studi kepustakaan (library research) dan metode wawancara. Metode studi kepustakaan ini digunakan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder yang bersifat tertulis, sedangkan metode wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi tentang makna teks. Data primer maupun data sekunder yang berhasil dijaring, selanjutnya diseleksi dengan menggunakan teknik identifikasi dan NODVL¿NDVL.HGXDWHNQLNGLWHUDSNDQGDODPUDQJND menemukan ciri-ciri atau unsur-unsur pengenal suatu objek. Tulisan ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Untuk itu, pada tahap penganalisisan data metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitik, yakni mendeskripsikan faktafakta yang kemudian disusul dengan analisis (lihat Ratna, 2004:53; Nazir (1988:65). Tahapan analsis data merupakan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkrip-transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya. Tahapan ini melibatkan pengerjaan pengorganisasian, pemecahan dan sintesis data serta pencarian pola-pola, pengungkapan hal-hal yang penting dan penentuan apa yang dilaporkan (Ikbar, 2012:186). Sehubungan dengan itu, langkahlangkah yang ditempuh pada tahapan analisis data (1) melakukan pembacaan teks Ombo yang terdapat dalam Atura Nu Ada Kaili secara
Ombo sebagai Wujud Kearifan... I Wayan Nitayadnya
pembacaan gramatikal, yakni mencari makna VHFDUDKDU¿DKGDQWHUPLQRORJLV PHQJXUDLNDQ pantangan, jenis pelanggaran, dan sanksi adat yang ditimpakan pada seseorang melanggar Ombo tersebut, (3) melakukan penafsiran psikologis DWDXPHUHÀHNVLNDQWHNVGHQJDQFDUDPHQHPXNDQ makna teks Ombo dalam kaitannya dengan upaya pelestarian alam atau upaya mengharmonisasikan alam, dan (4) menguji kembali kevalidan data dan ketajaman analisis dan interpretasi. PEMBAHASAN Ombo sebagai Wujud Kearifan Lokal Masyarakat Kaili dalam Menjaga Harmonisasi Alam Buku Atura Nu Ada Ante Givu To Kaili ri Livuta nu Palu yang ditulis oleh Bauwo, dkk (2012) pada intinya menguraikan tentang (1) Vaya, aturan yang mengatur jenis pelanggaran yang berkaitan dengan etika sosial, (2) Ombo, aturan adat yang mengatur larangan yang harus ditaati oleh masyarakat Kaili, (3) kategori pelanggaranan, (4) Givu, sanksi yang diberikan kepada seorang warga yang melanggar etika sosial (Vaya) dan melanggar larangan (Ombo). Kaitannya dengan penelitian ini, tidak semua aturan-aturan adat yang terdapat dalam buku itu akan dibahas. Penelitian ini hanya mengkaji aturan mengenai larangan atau Ombo sebab dalam aturan itu tercermin adanya nilai-nilai budaya atau kearifan lokal etnik Kaili di dalam menjaga keharmonisan alam, sedangkan aturan yang tertuang dalam Vaya lebih mencerminkan adanya kearifan lokal masyarakat Kaili dalam menjaga harmonisasi sosial. Sehubungan dengan itu, ruang lingkup kajian penelitian ini meliputi kajian tentang makna butir-butir aturan OmboGLWLQMDXGDULDVSHNKDU¿DK maupun terminologis dan kajian tentang Givu, yaitu sanksi yang diberikan kepada orang yang melanggar aturan tersebut. Ombo dalam aturan adat masyarakat Kaili dibagi menjadi sepuluh butir, yakni (1) Ombo yang diberlakukan pada saat meninggalnya raja, (2) Ombo yang diberlakukan untuk menjaga kepunahan tumbuhan, (3) Ombo yang diberlakukan untuk menjaga kepunahan binatang, (4) Ombo yang diberlakukan untuk menjaga kepunahan tanaman, (5) Ombo yang diberlakukan
untuk menjaga kelestarian hutan, (6) Ombo yang diberlakukan untuk menjaga terjangkitnya wabah penyakit, (7) Ombo yang diberlakukan untuk menjaga kelestarian habitat dan biota laut, (8) Ombo yang diberlakukan untuk menjaga kelestarian daerah aliran sungai, (9) Ombo yang diberlakukan untuk menjaga kelestarian sumber mata air, dan (10) Ombo yang diberlakukan untuk menjaga kelestarian tempat-tempat umum atau ruang publik. Apabila dicermati butir-butir aturan dalam Ombo tersebut, sembilan dari sepuluh butir aturan adat itu menunjukkan adanya kearifan lokal masyarakat Kaili dalam menata atau mengelola alam. Satu butir aturan dalam Ombo yang tidak menunjukkan adanya kaitan dengan pengelolaan alam adalah Kamate Numaradika. Dalam Buku Kamus Kaili-Ledo (2004:117119), kata kamate berasal dari kata dasar mate yang berarti mati, kemudian mendapat awalan ka yang menyatakan keadaan atau kondisi. Jadi, kata kamate berarti kematian. Kata numaradika berasal dari kata maradika yang berarti raja atau penguasa, kemudian tambahan klitika nu-. Frasa kamate numaradika berarti kematian seorang raja. Ombo ini diberlakukan pada saat salah satu raja, kerabat raja, tetua adat ‘pemuka adat’ di tanah Kaili wafat. Larangan-larangan yang diberlakukan dalam Ombo ini di antaranya larangan memasak, membuat minyak kelapa, dan menggoreng apa saja di dalam rumah, serta melakukan aktivitas menenun di dalam rumah, larangan mencuci rambut dan mencuci pakaian bagi perempuan, larangan menyembelih hewan di dalam kampung, dan larangan main kuda-kudaan bagi anak-anak. Bagi pejalan kaki yang berasal dari luar daerah, dilarang mengenakan kopiah atau topi sejak memasuki batas wilayah diberlakukan Ombo yang biasanya ditandai dengan tanda novera ‘janur kuning. Orang dari luar daerah atau warga setempat yang bepergian menggunakan kuda, dokar, atau kendaraan modern, seperti mobil, motor dan sepeda diharuskan turun dari tunggangannya atau kendaraannya, kecuali kusir dan pengendara atau sopir yang masih diperkenankan di atas mobil untuk menjalankan dokar atau mobilnya. Selain itu, dalam Ombo terdapat larangan yang berkaitan dengan hal memikul, yakni dilarang memikul sesuatu secara berimbang atau kedua 135
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 131—129 ujung pikulan terisi barang yang dikenal dengan istilah molemba. Pikulan diharuskan dengan cara mobantia, yakni memikul sesuatu hanya pada satu ujung pikulan saja dan pikulan bagian depan harus ditekan dengan tangan. Bagi orang-orang yang melanggar larangan yang diberlakukan dalam Ombo itu dikenakan Givu ‘sanksi’ berupa samporesi tovau, yakni didenda dengan seekor kambing yang gemuk dan sehat. Aturan Ombo ini lebih mengarah pada kearifan lokal yang berkaitan dengan pengabdian, rasa bakti, dan rasa hormat masyarakat Kaili kepada penguasa atau rajanya atau dengan kata lain sebagai bentuk ungkapan belasungkawa warga kepada rajanya. Oleh sebab itu, aturan dalam Ombo itu tidak menjadi objek kajian dalam penelitian ini. Objek kajian penelitian ini hanya terfokus pada butir 2-10. Bagaimanakah isi teks aturan adat Kaili yang terdapat Ombo tersebut, bagaimanakah laranganlarangan yang diberlakukannya, bagaimanakah sanksi yang dikenakan kepada orang yang melanggarnya, dan bagaimana kearifan lokal masyarakat Kaili yang tercermin di dalamnya, berikut ini pembahasannya. a. Menjaga Kelestarian Lingkungan Permukiman Pelestarian lingkungan permukiman merupakan upaya atau tindakan untuk memelihara, mengamankan, dan melindungi sumber daya, baik hayati maupun nonhayati, yang terdapat di lingkungan permukiman agar terpelihara dengan baik sehingga dapat dimanfaatkan dan dikelola oleh masyarakat sekitarnya demi mewujudkan kesejahteraan mereka. Sumber daya hayati yang perlu dipelihara, diamankan, dan dilindungi di lingkungan permukiman dapat berupa tanaman produksi seperti padi, jagung, kelapa, sagu, dan mangga; tanaman pelindung seperti mahoni, angsana, ketapang, kayu jawa, dan gamal; tanaman hias seperti anggrek hitam, mawar, melati, dan kenanga; hewan produksi seperti ayam, itik, sapi, kerbau, kambing, dan ikan. Sumber daya nonhayati yang perlu dilestarikan adalah telaga atau kolam, tanah, bebatuan, dan sebagainya. Bila potensi sumber daya hayati maupun nonhayati dapat dikelola dengan baik 136
dapat memberikan keuntungan dan kesejahteraan bagi masyarakat yang bermukim di daerah permukiman tersebut. Sebaliknya, pengelolaan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan konsep pelestarian akan mengakibatkan sumber daya hayati maupun nonhayati yang terdapat dalam daerah permukiman itu akan semakin rusak. Hal itu tentu berpengaruh pada semakin sulitnya masyarakat yang ada di daerah permukiman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena cadangan makanan yang diperlukan semakin berkurang atau kebutuhan hidup secara rohani semakin tidak terpenuhi. Upaya pemeliharaa, pengamanan, dan pelindungan sumber daya, baik hayati maupun nonhayati, yang terdapat dalam lingkungan permukiman sangat penting dilakukan. Untuk itu, peran aktif masyarakat dalam upaya pelestarian itu merupakan hal yang sangat vital karena hanya masyarakatlah yang lebih banyak mengetahui permasalahan yang ada dan akan terjadi di lingkungan permukimannya. Hanya masyarakat yang tinggal di daerah permukiman itu saja yang tahu tentang sesuatu dibutuhkan demi kesinambungan kawasan yang dilestarikan dan dampak langsung yang ditimbulkan dari upaya pelestarian lingkungan permukiman itu demi peningkatan kesejahteraan mereka. Dalam hal ini kesamaan persepsi dan partisipasi masyarakat penghuni permukiman sangat dibutuhkan karena kesamaan persepsi dan partisipasi tersebut merupakan salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk menentukan keberhasilan dalam kegiatan pelestarian. Adapun kesamaan persepsi yang dimaksud dalam hal ini mencakup kesamaan pandangan dari masyarakat penghuni lingkungan permukiman untuk menata sumber daya alam yang di daerah tersebut. Kesamaan persepsi belumlah cukup untuk menata lingkungan permukiman itu, tetapi perlu diimbangi dengan partisipatif aktif secara jasmani maupun rohani dari masyarakat yang bermukim di lokasi permukiman itu. Kesamaan persepsi dan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya memelihara, mengamankan, dan melindungan sumber daya, baik hayati maupun nonhayati, yang terdapat dalam lingkungan permukiman telah lama dihayati dan dilaksanakan oleh masyarakat etnik Kaili yang berada di Lembah Palu. Hal
Ombo sebagai Wujud Kearifan... I Wayan Nitayadnya
itu dapat dibuktikan dari aturan Ombo yang diberlakukan dalam masyarakat tersebut. Ombo yang mengatur upaya pemeliharaan, pengamanan, dan pelindungan sumber daya lingkungan permukinan adalah Pekanaolu Nungata. Dalam Kamus Kaili-Ledo (2004:131), kata pekanaolu berasal dari kata naulu yang berarti teduh, payung, kemudian mendapat awalan peka- yang bermakna menjadi. Arti yang sebenarnya kata itu adalah menjadi teduh atau menjadikan sesuatu seperti payung. Kata pekanoulu mengalami perluasan makna menjadi pelestarian. Kata nungata berasal dari kata dasar ngata yang berarti kampung, daerah, kota, dan mendapat klitika nu-. Jadi, frasa pekanaolu nungata dapat diartikan pelestarian sebuah permukiman atau perkampungan Ombo atau larangan yang terdapat dalam Pekanaolu Nungata berisikan tentang larangan membuang sampah atau membakar sampah secara sembarangan; larangan menebang pohon pelindung; larangan agar tidak mengolah tanah secara sembarangan; larangan memanen tanaman atau buah yang belum masanya, baik itu tanaman milik sendiri maupun tanaman milik orang lain; dan larangan memanen ikan di rano ‘danau’ atau di salu ‘air payau atau rawa-rawa’ yang belum tiba masanya dipanen. Larangan-larangan itu dipahami, dihayati, kemudian diimplementasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sanksi yang ditimpakan kepada orang yang melanggar larangan itu diperlakukan secara adil dan bijaksana, tidak pandang bulu. Sanksi yang diberikan kepada orang melanggar Ombo itu berupa samporesi tovau. Larangan-larangan yang terdapat Pekanaolu Nungata itu menunjukkan adanya kearifan lokal masyarakat etnik Kaili dalam upaya menata lingkungan permukiman mereka demi mewujudkan kedamaian, kesehatan, dan kesejahteraan mereka secara rohani maupun jasmani. Sampah-sampah diatur pembuangannya agar tidak merusak pemandangan permukiman dan mengganggu kesehatan masyarakat yang bermukim di lingkungan permukiman tersebut. Demikian juga dalam kaitannya dengan pembakaran sampah, masyarakat etnik Kaili mengatur tata kelola pembakaran sampah itu agar tidak sampai membahayakan permukiman atau asap dari pembakaran sampah itu dapat
mengganggu kesehatan warga. Apabila aktivitas pembuangan dan pembakaran sampah itu diabaikan, akan berakibat fatal bagi kesehatan warga. Oleh karena itu, orang yang melanggarnya dikenai Givu atau sanksi yang lumayan berat agar timbul rasa jera bagi pelanggarnya. Tanaman pelindung di jalan, rumah, sawah diatur sedemikian agar dapat memberikan kenyaman dan kesejukan bagi pemukimnya. Dapat dibayangkan betapa tidak nyamannya jika jalan-jalan, rumah, maupun tepian sawah tidak memiliki tanaman pelindung. Suasananya tentu akan menjadi gersang, panas, dan tidak nyaman. Tanaman pelindung itu difungsikan oleh mereka untuk menyejukan suasana permukiman, penyimpan serapan air, memperkuat komposisi tanah. Jika ada yang melanggar ketentuan itu dikenakan sanksi yang amat berat. Larangan mengolah tanah secara sembarangan juga diatur dalam aturan adat Kaili. Bagi mereka yang memperlakukan tanah semenamena akan dikenakan sanksi yang amat berat, misalnya melakukan pemupukan dengan bahan kimia yang terlalu berlebihan sehingga membuat kerusakan unsur hara tanah, pengalihan fungsi tanah untuk hal-hal yang tidak menguntungkan orang banyak, dan penggalian tanah yang tidak terencana. Sanksi itu diberikan kepada mereka yang melanggar agar tumbuh kesadaran mereka bahwa tanah ini memiliki peran penting bagi kehidupan manusia, tumbuhan, dan hewan. Pada tanahlah tanaman itu bisa tumbuh. Ini berarti kalau tanahnya subur akan menyebabkan tanaman itu tumbuh dengan subur. Tanaman yang subur akan memberi kehidupan bagi hewan dan manusia. Dapat dibayangkan jika tanah itu tandus dan kritis, tanaman tentu tidak dapat tumbuh dengan subur. Hal ini juga akan berdampak pada kehidupan manusia dan hewan. Dengan demikian melalui larangan ini, diharapkan warga etnik Kaili dapat mengelola tanahnya secara arif dan bijaksna agar tanah dapat bermanfaat bagi kehidupan tanaman, hewan, dan manusia. Selain itu, aturan ini juga untuk mencegah lahan agar tidak menjadi kritis. Memanen tananam dan buah-buahan juga dikelola dengan baik oleh masyarakat etnik Kaili. Tanaman dan buah-buahan yang telah matang saja yang boleh dipanen, sedangkan tanaman dan buahan yang belum siap dipanen tidak 137
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 131—129 diperbolehkan dipanen sama sekali, meskipun yang memanen adalah pemiliknya sendiri. Hal ini dilakukan mengingat tanaman dan buah-buahan yang muda jika dipanen akan menyebabkan tanaman atau pohon induknya menjadi rusak dan hasil panen tidak memiliki nilai jual yang memadai. Tentu hal ini dapat merugikan petani. Berdasarkan hal itu, dalam Ombo diatur secara ketat mengenai masalah pemanenan. Siapa pun yang melanggar akan dikenai sanksi secara adat. Larangan itu memiliki kesamaan dengan larangan memanen ikan di danau dan rawa-rawa pada ikan yang belum siap dipanen. Hal itu akan menganggu perkembangbiakan ikan di tempat itu. Sanksi adat bagi yang melanggarnya amat berat. b. Melindungi Hewan dan Tanaman Tertentu Kehidupan di bumi merupakan sistem ketergantungan antara manusia, hewan, tumbuhan, dan alam sekitarnya. Hewan dan tumbuhan memerlukan alam yang baik untuk tumbuh dan berkembang biak. Manusia memerlukan hewan, tumbuhan, dan alam untuk kelangsungan hidupnya. Manusia, hewan, tumbuhan, alam sekitar merupakan unsur alam yang hidup saling bergantung. Jika hal itu tidak seimbang, kehidupan akan menjadi timpang. Dengan kata lain, terputusnya salah satu mata rantai dari sistem tersebut akan mengakibatkan gangguan dalam kehidupan.Oleh karena itu, kelestarian flora, fauna, maupun alam merupakan hal yang mutlak diperhatikan oleh manusia demi kelangsungan hidupnya. 8SD\DXQWXNPHQMDJDNHOHVWDULDQÀRUDGDQ fauna agar tidak mengalami kepunahan telah lama dilakukan oleh masyarakat etnik Kaili. Hal ini dapat dilihat aturan-aturan adat yang terdapat dalam Ombo yang lebih menekankan pada pelarangan perburuan atau memperdagangkan hewan-hewan langka khas Pulau Sulawesi, seperti anoa, burung alo, burung egrang, tregiling, ular hitam, harimau Sulawesi, dan tapir. Selain itu, ada juga aturan dalam Ombo yang melarang pembabatan liar tumbuhan-tumbuhan khas Sulawesi Tengah, seperti anggrek hitam, kayu eboni, dan kayu gaharu. Pelarangan dalam Ombo yang disepakati oleh adat dalam rangka membatasi gerak orang-orang yang tidak bertanggung 138
jawab dalam memperperjualbelikan hewan dan tumbuhan khas Sulawesi Tengah itu demi keuntungan pribadinya. Bila hal itu tidak dibatasi, lambat laun hewan-hewan maupun tumbuhan yang merupakan identitas daerah akan punah. Ada dua aturan Ombo dalam hukum adat Kaili yang mengatur tentang pelarangan perburuan liar atau perdagangan bebas hewanhewan tertentu dan pembalakan atau pembabatan secara liar terhadap tumbuhan-tumbuhan tertentu. Ombo yang mengatur pelarangan perburuan liar atau perdagangan bebas hewan-hewan tertentu adalah Pekanaolu Olo-olo. Dalam Kamus Kaili-Ledo (2004:131), kata pekanaolu berarti pelestarian dan kata olo-olo berarti hewan. Jadi, frasa pekanolu olo-olo dapat diartikan pelestarian hewan. Larangan yang diberlakukan dalam Ombo itu adalah larangan membunuh, menganiaya, memburu, dan memperjualbelikan hewan-hewan tertentu yang ada di wilayah adat Kaili.Siapa pun yang melanggar keputusan adat itu akan dikenakan sanksi berupa samporesi tovau. Sanksi yang serupa juga diberikan kepada seseorang jika melanggar aturan dalam Ombo tentang larangan pembalakan atau pembabatan secara liar terhadap tumbuhan-tumbuhan tertentu. Ombo yang menyatakan hal itu adalah Pekanolu Nutuda-tuda. Dalam Kamus Kaili-Ledo (2004:257), kata pekanolu berarti lestari dan kata nutuda-tuda berasal dari kata dasar tuda-tuda yang berarti tanaman. Kata tuda-tuda dibubuhi klitika nu-. Jadi, frasa pekanolu nutuda-tuda dapat diartikan pelestarian tanaman. Larangan yang diberlakukan dalam Ombo itu adalah larangan mengambil, merusak, dan memperjualbelikan tanaman tertentu (tanaman endemik) yang ada di wilayah adat Kaili. Adanya larangan membunuh, menganiaya, memburu, dan memperjualbelikan hewan-hewan tertentu dan larangan untuk mengambil, merusak dan memperjualbelikan tanaman tertentu yang ada di wilayah adat Kaili menunjukkan bahwa para leluhur masyarakat Kaili pada zaman dahulu telah memikirkan tentang strategi untuk penyelamatan hewan dan tanaman khas Sulawesi Tengah. Pelestarian keanekaragaman hayati daerah Sulawesi Tengah itu bertujuan untuk menjaga sumber daya alam hayati itu agar dapat tumbuh dan berkembang di habitat aslinya, sebab
Ombo sebagai Wujud Kearifan... I Wayan Nitayadnya
karakteristik tumbuhan atau hewan tertentu sangat terancam kelestariannya apabila dipindahkan ke tempat lain. c. Menjaga Kelestarian Hutan Akhir-akhir ini bencana banjir dan tanah tanah longsor sering terjadi di wilayah etnik Kaili di Sulawesi Tengah. Bencana itu telah menimbulkan banyak kerugian, baik kerugian material maupun kerugian jiwa. Mengapa bencana itu bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah gundulnya hutan sehingga menyebabkan penyerapan air hujan oleh akar tumbuhan dalam hutan tidak berjalan secara normal dan pengikisan tanah akan terus-menerus sehingga memicu terjadinya tanah longsor. Dewasa ini jumlah hutan di wilayah komunitas etnik Kaili semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kesadaran manusianya akan arti penting hutan bagi kehidupan. Masyarakat terus menerus mengambil sumber daya alam yang ada di hutan tanpa perencanaan yang tepat untuk menjaga peletariannya. Pohonpohon ditebang untuk dimanfaatkan tanpa menanam pohon lain sebagai penggantinya. Akibatnya, hutan menjadi gundul. Gundulnya hutan dapat menyebabkan tanah longsor atau banjir pada saat musim penghujan tiba. Dampak yang lebih parah yang ditimbulkan oleh hal itu adalah bumi ini akan semakin panas dan alam tidak seimbang lagi. Sebagaimana diketahui bersama bahwa hutan adalah paru-paru dunia, seperti halnya paru-paru dalam tubuh manusia. Paru-paru dalam tubuh manusia berfungsi mengatur pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam tubuh. Begitu pula dengan hutan, ia sangat penting bagi kehidupan manusia karena hutan akan memberikan udara yang segar dan sejuk. Bukan hanya bagi kehidupan kita, tapi juga hewan-hewan yang tinggal di hutan. Jika hutan ditebangi untuk kepentingan manusia sendiri, selain suplai oksigen di bumi menjadi berkurang, hewan-hewan pun akan kehilangan tempat hidupnya. Oleh karena itu, upaya pelestarian hutan sangatlah penting dilakukan. Apabila dicermati secara saksama, Ombo dalam aturan adat Kaili diatur tentang larangan
merusak kawasan hutan. Ombo dalam aturan adat Kaili itu berbunyi Pekanaolu Mpangale. Kata pekanaolu berarti pelestarian dan kata mpangale berarti hutan. Jadi, frasa pekanaolu mpangale dapat diartikan pelestarian hutan. Larangan yang diberlakukan dalam Ombo itu adalah larangan mengambil sesuatu dan merusak hutan yang ada di wilayah adat Kaili. Larangan mengambil sesuatu dalam hutan yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang ada di dalam hutan, seperti tumbuhan dan hewan, tidak boleh diambil untuk kepentingan pribadi. Jika hal itu dilanggar akan menyebabkan ketidakseimbangan hutan. Larangan merusak hutan yang dimaksud di sini adalah larangan untuk melakukan aktivitas yang dapat merugikan ekosistem yang ada di hutan, seperti mencoratcoret pohon dan bebabatuan di hutan, membuang sampah plastik secara sembarangan di hutan, melakukan penebangan secara liar atau tanpa izin dari pemuka adat. Sanksi yang diberikan bagi yang melanggar larangan itu berupa samporesi tovau. Seiring dengan perkembangan zaman, aturan yang pada zaman dahulu ditaati oleh masyarakat etnik Kaili kini telah mengalami degradasi. Pengelolaan hutan dewasa ini tidak lagi didasari oleh kearifan lagi. Mereka hanya bisa menebang, tanpa disertai adanya upaya penanaman kembali atau reboisasi. Tindakan mereka itu yang pada akhirnya menimbulkan berbagai bencana yang mengamcam kehidupan mereka pula. d. Menjaga Kelestarian Laut Dalam aturan adat Kaili, upaya pelestarian laut dan lingkungannya tertuang dalam Ombo sebagai berikut, Pekanaolu Livutontasi. Dalam Kamus Kaili-Ledo (2004:108-235), kata pekanaolu berarti lestari dan kata livutontasi dibentuk oleh dua kata, yaitu livu yang berarti usir dan tasi yang berarti laut. Di antara gabungan kata itu kemudian mendapakan sisipan klitika to-. Jadi, frasa pekanaolu livutontasi berarti mengusir orang yang menganggu kelestarian laut. Frasa itu mengalami perluasan makna, yaitu bermakna pelestarian laut. Ombo yang terdapat dalam Pekanaolu Nungata berisikan tentang larangan melakukan reklamasi tepian laut/pantai (kecuali reklamasi dengan penanaman mangrov atau pohon 139
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 131—129 bakau), larangan membuang limbah beracun ke dalam laut, larangan membuang limbah rumah tangga atau sampah ke dalam laut, larangan menebang pohon mangrov, larangan mengambil dan merusak terumbu karang, larangan melakukan pengeboman, peracunan, dan penggunaan pukat harimau, larangan pembuatan bagang yang menggunakan jaring bermata kecil, dan larangan melakukan penambangan material pasir dan pengambilan batu karang secara berlebihan pada bibir pantai. Kerusakan laut, biota laut, maupun pantai yang terjadi dari dahulu hingga saat ini tidak terlepas dari tindakan serakah manusia. Manusia dengan semena-mena memperlakukan laut tanpa memedulikan akibatnya. Misalnya, tindakan manusia mereklamasi pantai dengan penimbunan material batu dan tanah. Alasan mereka mereklamasi pantai itu ada bermacammacam, di antaranya untuk perluasan ruang hunian manusia, memanfaatkan areal yang direklamasi untuk menjadi kawasan bisnis, dan memanfaatkan untuk tujuan pariwisata. Padahal, dampak yang ditimbulkan dari reklamasi itu dapat membahayakan kehidupan manusia, seperti terjadinya abrasi pantai di sekitar pantai yang direklamasi dan dapat merusak pohon manggrov akibat terjangan ombak yang semakin keras. Reklmasi pantai yang diizinkan dalam aturan adat Kaili adalah reklamasi dengan penanaman pohon manggrov. Keberadaan pohon manggrov akan berguna untuk menahan gelombang atau ombak sehingga bibir pantai tidak terjadai abrasi. Pentingnya keberadaan pohon manggrov itu bagi kehidupanan manusia, yang menyebabkan masyarakat Kaili melindungi dan melestarikan pohon itu. Siapa yang berani merusak atau menebang pohon manggrov yang ada di pantai dikenakan sanksi yang amat berat. Pembuangan limbah beracun atau sampah rumah tangga ke laut juga dikenai sanksi yang berat. Limbah beracun maupun sampah dapat mengakibatkan rusaknya terumbu karang dan matinya ikan. Terumbu karang itu adalah bagian dari ekosistem laut yang berbentuk karang batu tempat ikan-ikan, kerang, dan mahluk hidup lain di laut untuk hidup, bertelur, dan berkembang biak. Bila terumbu karang itu rusak, biota laut akan kehilangan hunian untuk berkembang 140
biak dan tempat mencari makanan. Dampaknya adalah akan terjadi penurunan produksi ikan bagi para nelayan. Selain itu, juga berdampak akan terjadinya abrasi sebab terumbu karang yang berada dekat dengan pantai berfungsi untuk menahan hempasan ombak. Aktivitas pengeboman, peracunan, dan penggunaan pukat harimau, serta penggunaan bagang yang menggunakan jaring bermata kecil juga dilarang dalam aturan adat Kaili. Aktivitas pengeboman dan peracunan itu dapat mencemarkan air laut, merusak terumbu karang, dan memusnahkan ikan, baik itu ikan yang ukurannya besar maupun kecil. Penggunaan pukat harimau dan bagang yang menggunakan jaring bermata kecil dapat merusak keberlangsungan hidup ikan, sebab ikan-ikan yang semestinya belum pantas ditangkap ikut juga terjaring dengan alat itu. Sanksi yang diterima oleh pelanggarnya amat berat bila melakukan aktivitas tersebut di atas. Selain itu, penambangan material pasir dan batu karang yang berada di pesisir pantai secara berlebihan juga dilarang dalam hukum adat Kaili. Pengambil pasir maupun batu karang yang berada di pesisir pantai secara berlebihan itu dapat menimbulkan abrasi. Pasir dan batu karang yang berada di pesisir pantai berfungsi untuk menahan terjangan ombak. Bila pasir dan batu karang itu diambil, tidak dapat dihindari terjangan ombak akan sampai ke daratan. Hal itu dapat mengakibatkan abrasi daratan. Untuk menghindari terjadinya bencana abrasi itu, masyarakat Kaili membuatkan sebuah larangan agar masyarakat tidak semena-mena memperlakukan pasir dan batu karang yang ada di pesisir pantai. Sanksi yang diterima bagi yang melanggarnya amat berat. Dengan demikan, larangan yang terdapat dalam aturan adat itu mencerminkan bahwa masyarakat etnik Kaili pada zaman dahulu memandang laut sebagai sumber daya alam yang sangat potensial. Sumber daya laut dianggap memberikan pasokan pangan bagi mereka, seperti pasokan ikan, garam, dan kapur. Salah dalam penanganan atau pengelolaan laut akan berakibat malapetaka bagi kehidupan manusia. Begitu pentingnya arti laut bagi mereka yang menyebabkan mereka membuatkan aturan-aturan yang membatasi gerakan manusia yang tidak
Ombo sebagai Wujud Kearifan... I Wayan Nitayadnya
bertanggun jawab untuk melakukan perusakan laut. Siapa pun yang berani melanggar aturan tersebut dikenai sanksi yang cukup berat berupa samporesi tovau. e. Menjaga Kelestarian Mata Air dan Daerah Aliran Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam yang amat penting bagi kehidupan ini. Akan tetapi, ketersediaan sumber daya air semakin hari semakin terbatas, bahkan di beberapa tempat di wilayah berdiamnya etnik Kaili kondisi sumber daya air semakin kritis. Semakin kritisnya sumber daya air di tempat itu disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya pencemaran sumber mata air, penggundulan hutan, kegiatan pertanian yang mengabaikan kelestarian lingkungan, dan perubahan fungsi daerah tangkapan air. Tiap-tiap kebudayaan dan peradaban mempunyai cara tersendiri dalam memelihara dan mengelola air dan ekosistemnya. Misalnya, Subak, yaitu organisasi tradisional dalam masyarakat Bali yang mengatur tata kelola air, PanriahanPamokkahan di Sumatera Utara, Panitia Siring di Sumatera Selatan, Keujruen Blang di Aceh, Raja Bondar di Tapanuli Selatan, Ulu-Ulu di Jawa Timur, Raksabumi di Jawa Barat, Jogo Tirto di Jawa Tengah, Punggawa di Sumbawa, Muang-Fai di Thailand, Zanjeras di Filipina, Khul di India dan Pakistan, dan Karez di Baluchistan (http:// jendelaekologi.or.id/pengelolaan-lingkunganhidup-berkelanjutan/53/Ritual-Ritual-Subak). Meskipun dalam masyarakat Kaili tidak terdapat organisasi tradisional dalam mengatur tata kelola air, tata kelola air itu diatur dalam aturan adat. Ada dua aturan Ombo yang terdapat dalam hukum adat Kaili yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumber mata air dan keletarian daerah aliran sungai, yaitu (1) Pekanaolu Mata Nuuve dan (2) Pekanaolu Karona Binangga Keke. Berkaitan dengan aturan Ombo yang pertama, di dalam Buku Kamus Kaili-Ledo (2004:119-275) dinyatakan bahwa kata pekanolu berarti lestari, kata mata berarti mata, dan kata nuuve berasal dari kata dasar uve yang berarti air yang kemudian mendapat klitika nu- menjadi nuuve yang artinya tidak berbeda dengan kata dasarnya, yaitu air. Jadi, frasa pekanaolu nungata dapat diartikan pelestarian mata air. Larangan-larangan yang terdapat aturan ini
adalah larangan menebang pohon atau hutan yang berada di sekitar mata air, larangan mengambil air di mata air untuk diperjualbelikan, larangan membuang kotoran atau sampah di sekitar areal mata air, larangan menambang material di sekitar mata air, dan larangan membangun rumah di sekitar areal mata air. Pohon-pohonan atau hutan yang berada di sekitar mata air merupakan penyangga utama dalam menyediakan pasokan air bagi mata air tersebut sehingga keberadaannya sangat dijaga kelestariannya oleh komunitas etnik Kaili. Pohonpohon yang berada di sekitar mata air tidak boleh dirusak, lebih-lebih ditebang. Siapa pun yang berani melanggar aturan ini akan dikenakan sanksi berupa samporesi tovau. Aturan ini diberlakukan bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, khususnya masyarakat Kaili, agar menjaga kelestarian pohon atau hutan karena pohon atau hutan yang berada di sekitar mata air adalah pemasok air yang paling utama. Jadi, kelestarian pohon atau hutan sangat menentukan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air di mata air tersebut. Untuk menjaga mata air agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum secara baik, lingkungan di kawasan mata air kelestariannya perlu dijaga. Aturan-aturan yang diberlakukan untuk menjaga keletarian kawasan mata air adalah tidak boleh membuang kotoran atau sampah di sekitar areal mata air, tidak boleh menambang material di sekitar mata air, dan tidak mendirikan bangunan di sekitar areal mata air. Membuang kotoran atau sampah di kawasan mata air akan menimbulkan pencemaran air. Berbagai bibit penyakit yang bersumber dari sampah atau kotoran itu dapat mencemari air di mata air tersebut sehingga hal itu sangat berbahaya bagi kesehatan warga yang memanfaatkannya. Demikian pula dengan pengambilan material dan pendirian bangunan di kawasan mata air, hal itu dapat merusak kualitas dan kuantinuitas air di tempat itu. Oleh karena itu, warga yang berani melanggar aturan itu akan dikenakan sanksi yang amat berat. Selain itu, air yang ada di mata air itu sama sekali tidak boleh diperjualbelikan. Air itu sepenuhnya digunakan untuk kepentingan umum. Warga yang terbukti mengambil air di mata air demi untuk mendapatkan keuntungan pribadi akan mendapat ganjaran secara adat. 141
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 131—129 Berkaitan dengan aturan Ombo yang kedua, di dalam Kamus Kaili-Ledo (2004:2281) dinyatakan bahwa kata pekanaolu berarti lestari, kata karona berarti sungai induk, kata binangga berarti sungai, dan kata keke berarti selokan, got, dan saluran pengairan. Jadi, frasa pekanaolu karona binangga keke sebenarnya berarti pelestarian sungai induk, selokan, got, dan saluran pengairan. Frasa itu mengalami perluasan makna menjadi pelestarian daerah aliran sungai. Larangan yang terdapat dalam Ombo itu adalah larangan membuang bangkai atau kotoran hewan di aliran sungai, larangan membuang sampah rumah tangga di sungai, larangan membuang air besar maupun air kecil di sungai, larangan mengambil material pasir dan batu di sungai, dan larangan membangun rumah di tepian sungai. Sungai memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Kaili. Sungai dimanfaatkan oleh mereka untuk mandi, minum, mencuci, dan sebagainya. Besarnya peranan sungai bagi kehidupan menyebabkan mereka berupaya menjaga kelestariannya, tidak hanya keletarian aliran sungai tetapi juga lingkungan di sekitar sungai. Larangan untuk membuang sampah atau kotoran, baik kotoran manusia maupun hewan ke sungai untuk mengantisipasi agar sungai terus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan ketika musim hujan tidak terjadi banjir. Selain itu, larangan mengambil bahan material, seperti pasir dan batu, di sungai, bertujuan agar tidak terjadi longsor sebab jika material sungai itu diambil demi kepentingan lain penahan tepian sungai tidak ada lagi. Apabila hujan deras akan menyebabkan longsor pada daerah tepian sungai. Membangun tempat hunian di sekitar tepian sungai juga dilarang dalam aturan adat Kaili, sebab jika dibiarkan warga membangun rumah di tepian sungai akan mengakibatkan semakin sempitnya daerah aliran sungai. Sempitnya daerah aliran sungai akan mengakibatkan air meluap ketika terjadi hujan besar. f.
Melindungi Lahan Masyarakat dan Lahan Adat
Lahan merupakan suatu daerah di permukaan bumi yang ciri -cirinya mencakup semua pengenal yang bersifat cukup mantap dan diduga berdasarkan 142
daur dari biosfer, tanah, dan air. Lahan itu dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara material maupun spiritual. Jenis penggunaan lahan oleh manusia meliputi pertanian, lapangan olah raga, rumah mukim, rumah sakit, kuburan, dan sebagainya (Http://geoenviron.blogspot.com/2011/04/ penentuan-fungsi-kawasan-lahan-dan.html). Dewasa ini penguasa tertinggi atas tanah adalah negara. Hal ini berarti negara mempunyai tanggung jawab untuk mengelola tanah dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat. Tujuan negara dalam hal sebagai penguasa tertinggi atas tanah adalah mengatur penggunaan dan penguasaan, persediaan dan pemeliharaan, menentukan dan mengatur hak-hak atas kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, menentukan serta mengatur hubungan hukum antara masyarakat serta perbuatan hukum yang mengenai kekayaan bumi tersebut. Jadi, negara sebagai penjaga hak rakyat memberikan tanah kepada seseorang atau kelompok orang sesuai dengan kesepakatan dan kebutuhannya. Berbeda halnya dengan pada zaman kerajaan, termasuk juga yang terjadi di tanah Kaili, penguasa tertinggi atas tanah pada zaman itu adalah raja atau tetua adat ‘dewan adat.’ Pihak kerajaan mempunyai tanggung jawab yang penuh untuk mengelola tanah dalam rangka menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang ada wilayah kerajaan tersebut. Jadi, pihak kerajaan memberikan tanah kepada seseorang atau kelompok orang sesuai dengan kesepakatan demi terwujudnya kemakmuran bersama. Tanah yang diberikan oleh pihak kerajaan terhadap seseorang atau kelompok orang kemudian disebut dengan tanah adat. Dengan demikian, tanah adat dapat diartikan tanah yang ada dalam penguasaan hukum adat. Tanah tersebut adalah milik bersama yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat umum, seperti lapangan olah raga, pasar, sekolah, klinik berobat, tempat ibadah, dan berbagai keperluan umum lainnya. Sebagai upaya menjaga dan melindungi tanah adat, Dewan Adat Kaili menyepakati untuk menciptakan larangan atau Ombo. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi penyerobotan tanah adat oleh pihak-pihak tertentu demi
Ombo sebagai Wujud Kearifan... I Wayan Nitayadnya
kepentingan pribadinya. Larangan tentang hal itu dalam buku Atura Nu Ada masyarakat Kaili dinyatakan sebagai berikut, yaitu Pekanaolu Tana Ntodea ante Tana Nuada. Dalam Kamus Kaili-Ledo (2004:1-231), kata pekanaolu berarti pelestarian dan kata tana berarti tanah. Kata ntodea dibentuk kata to berarti orang dan dea berarti banyak dan selanjutnya mendapat tambahan klitik n. Kata ntodea dapat diartikan banyak orang atau masyarakat umum. Sedangkan, kata nuada berasal dari kata ada yang berarti adat, kemudian kata itu mendapat klitika nu-. Di antara frasa tana ntodea dan tana nuada dihubungkan dengan konjungsi ante yang berarti dan. Jadi, frasa pekanaolu tana ntodea ante tana nuada berarti pelestarian tanah untuk kepentingan mansyarakat banyak dan tanah adat. Ombo yang terdapat dalam Pekanaolu Tana Ntodea ante Tana Nuada berisikan tentang larangan mengalihfungsikan tanah yang telah menjadi milik masyarakat umum dan tanah yang menjadi milik adat. Selain itu, ada juga larangan menyengketakan tanah rakyat dan tanah adat untuk keperluan tertentu atau kepentingan pribadi. Ombo itu mencerminkan bahwa masyarakat etnik Kaili lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Misalnya, tanah yang telah didirikan bangunan untuk masyarakat umum, seperti tempat ibadah (masjid dan gereja), pasar, sekolah, tempat berobat (dalam hal ini klinik atau puskesmas), sekolah, dan lapangan olah raga tidak boleh dialihfungsikan, seperti dijadikan tempat bisnis, tempat maksiat, atau tempat judi. Demikian juga dengan tanah adat, tanah milik adat, seperti sawah, kebun, ladang, dan balai desa, tempat bantaya “balai pertemuan adat,’ sangat dilarang untuk dialihfungsikan atau diperjualbelikan untuk kepentingan yang tidak ada kaitannya dengan adat. Siapa pun yang berani memperjualbelikan atau menyengketakan tanah milik masyarakat umum atau tanah adat untuk kepentingan pribadinya akan dikenai sanksi berupa samporesi tovau. g. Menjaga agar Tidak Terjangkitnya Wabah Penyakit Wabah merupakan wabah penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang
sejumlah besar orang di daerah yang luas, seperti wabah cacar, disentri, dan kolera (KBBI, 2008:1552). Sejalan dengan itu, Atik, dkk (2012) dalam artikelnya yang berjudul “Penyelidikan Tanah” (online) menguraikan bahwa wabah adalah penjalaran sesuatu penyakit dengan cepat di suatu daerah tertentu, sehingga dalam waktu singkat jumlah penderita menjadi banyak, yang harus dibatasi dengan isolasi si penderita dari orangorang lain di sekitarnya. Lebih lanjut diuraikan bahwa dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 4 th 1984 dinyatakan bahwa wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Upaya melindungi warga masyarakat dari terjangkitnya wabah penyakit bukan suatu hal yang baru bagi masyarakat etnik Kaili. Pada zaman dahulu upaya pelindungan itu telah dilakukan oleh para leluhur mereka. Hal ini dapat dibuktikan dari Ombo yang diberlakukan di wilayah permukiman etnik Kaili. Bunyi Ombo tersebut adalah sebagai berikut Pekanaolu Nudua. Dalam Buku Kamus Kaili-Ledo (2004: 1—231), kata pekanaolu berarti pelestarian dan kata nudua berasal dari kata dua yang berarti penyakit, kemudian kata itu mendapat klitika nu. Arti yang sebenarnya frasa ini adalah pelestarian penyakit. Frasa ini mengalami pembalikan makna, yaitu pelestarian atau pelindungan dari mewabahnya penyakit. Larangan yang terdapat dalam Ombo itu terdiri atas beberapa butir, antara larangan membuang bangkai hewan di sembarang tempat, larangan membuang sisa makanan atau sampah rumah tangga di sembarang tempat, larangan membuang kotoran sisa dari penyembelihan hewan di sungai atau di laut, dan larangan memelihara atau melepas hewan peliharaan yang telah terjangkit penyakit. Larangan-larangan terdapat dalam Ombo itu mencerminkan adanya wujud kearifan lokal masyarakat Kaili dalam mengantisipasi penyebaran atau mewabahnya suatu penyakit di wilayah itu. Bangkai hewan, sisa makanan, kotoran dari penyembelihan hewan bila dibuang sembarang tempat dapat menimbulkan berbagai masalah. Selain menimbulkan pemandangan yang 143
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 131—144 tidak sedap, kotoran itu juga sangat berbahaya bagi kesehatan warga karena pembusukan kotoran itu dapat mengundang berbagai serangga untuk inggap pada kotoran tersebut. Serangga yang telah inggap pada kotoran tersebut akan membawa berbagai bakteri. Apabila serangga itu kemudian inggap pada makanan manusia tentu hal itu sangat membahayakan kesehatan. Berbagai penyakit dapat ditimbulkan dari hal itu, seperti kolera dan disentri. Selain itu, penyebaran penyakit dapat melalui hewan peliharaan. Hewan peliharaan yang telah terjangkit penyakit, seperti penyakit antrak GDQ ÀX EXUXQJ GDSDW PHQXODUL PDQXVLD 2OHK sebab itu, hewan yang telah terjangkit penyakit tidak boleh dilepas begitu saja oleh pemiliknya. Pemilik hewan yang tidak mengindahkan Ombo itu dapat dikenai sanksi adat berupa samporesi tovau, yaitu didenda dengan seekor kambing. PENUTUP Beberapa butir Ombo dalam Atura Nuada Kaili mencerminkan adanya kearifan lokal masyarakat Kaili dalam menjaga kelestarian alam. Berdasarkan hasil analisis mengenai kearifan lokal masyarakat Kaili yang tercermin dalam Ombo adalah kearifan dalam menjaga kelestarian lingkungan permukiman, kelestarian hewan dan tanaman tertentu, keletarian hutan, kelestarian laut, kelestarian mata air dan daerah aliran sungai, kelestarian lahan publik dan lahan adat, dan menjaga agar tidak terjangkitnya wabah penyakit. Dengan demikian, kearifan dalam mengelola alam yang tercermin dalam Ombo itu menunjukkan bahwa pada zaman dahulu masyarakat etnik Kaili telah memiliki konsep yang jelas dalam memanajemen alam dan lingkungannya guna mewujudkan kedamaian, kesehatan, dan kesejahteraan mereka secara rohani maupun jasmani.
144
DAFTAR PUSTAKA Atik, dkk. 2012. Penyelidikan Wabah (online), (http://www.slideshare.net/pie-pien/ penyelidikan-wabah). Diunduh pada tanggal 11 Maret 2013, pukul 10.34 Wita. Bauwo, Timudi Daeng Mangera.2012. “Atura Nuada ante Givu Nuada To Kaili ri Livuto Nu Palu.” Palu: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. Evans, Donna. 2003. “Kamus Kaili-Ledo Indonesia Inggris.” Palu: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah. Hani’ah. 2007. 'DUL 'HNRQWUXNVL NH 5HÀHNVL Apresiasi Susastra dengan Kajian Hermeneutik. Jakarta: Pusat Bahasa, Depatermen Pendidikan Nasional. Http://geoenviron.blogspot.com/2011/04/ penentuan-fungsi-kawasan-lahan-dan.html. Diunduh pada tanggal 10 Feb 2014, Pukul 08.40 Wita. Ikbar, Yanuar. 2012. Metode Penelitian Sosial Kualitatif%DQGXQJ375H¿ND$GLWDPD Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia. Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lumuru, Feybe. 2014. Ritual-Ritual Subak (online). (http://jendelaekologi.or.id/ pengelolaanlingkungan-hidupberkelanjutan).Diunduh pada tanggal 30 Januari 2014, pukul 08.25 Wita. Palmer, R.E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey Heidegger, and Gadamer. Evaton Hill. Ratna, Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.