265
BAB IX BIROKRASI LOKAL DALAM MENGELOLA PEMBANGUNAN MASYARAKAT LOKAL Pada bab terdahulu1 telah dijelaskan bagaimana proses birokrasi pemerintahan lokal berjalan, terutama dalam pelaksanaan perencanaan dan penganggaran APBD di Kab. Agam. Masalah yang hendak dijelaskan di sini adalah bentuk birokrasi lokal, proses kemunculannya serta bagaimana pembangunan masyarakat lokal dikelola oleh birokrasi lokal ini. Pumpunan analisisnya adalah proposisi birokrasi rasional, sistem otoritas tradisional serta legal rasional dari Max Weber (1978). Dalam hal bentuk birokrasi lokal, pertanyaan adalah apakah bentuk birokrasi lokal tersebut sesuai dengan proposisi Weber mengenai birokrasi legal-rasional, tradisional-patrimonialisme seperti yang berlangsung dalam birokrasi Pemerintahan Orde Baru, atau hibriditas diantara birokrasi
legal-rasional
dan
tradisional-patrimonial?
Berkenaan
dengan
kemunculan birokrasi lokal, apakah birokrasi itu muncul dari perpanjangan tangan sistem kepartaian patrimonial (oligarki) seperti kesimpulan Weber (1978), Crouch (1985), Haris (2005), atau terdapat mekanisme lain yang berkenaan dengan kontinuitas otoritas tradisional lokal (Minangkabau), sebagai mana kesimpulan Manan (2005), Hadler (2010), Abdullah (2010) yang telah dijabarkan pada bab VI terdahulu. Akhirnya, bagaimana birokrasi lokal tersebut dapat mengusung kepentingan bagi pembangunan masyarakat lokal. 9.1. Karateristik Birokrasi Lokal Dalam menganalisis bentuk dan karakteristik Birokrasi, Weber (1978) membedakan tiga karakterstik birokrasi dari sudut pandang legitimasi yang diberikan, yakni legal-rasional, tradisional dan kharisma. Karakteristik dua terakhir, tradisional dan kharisma, dapat dikategorikan bersumber dari hal yang sama yakni dari sesuatu yang dianggap suci serta telah menjadi tradisi serta diwariskan melalui dari generasi yang satu kepada generasi yang lain. Sedangkan yang pertama, otoritas legal-rasional, merupakan konsekuensi dari evolusi modernitas, rasionalitas dan pembagian kerja yang semakin terspesialisasi. 1
Bab VII dan VIII
266
Adapun karakteristiknya : (1) terdiri dari susunan birokrat yang terikat dengan peraturan dalam melaksanakan fungsinya, (2) terdapat pembagian kerja yang terspesialisasi, (3) struktur jabatan tersusun hierarkhis, (4) legitimasi diberikan karena penguasaan terhadap pengetahuan dan teknis, (5) sarana produksi dan administratif tidak dimiliki secara pribadi. (6), sumberdaya organisasi harus bebas dari monopoli pejabat, pemimpin, penguasa. (7) tindakan, keputusan dan peraturan harus dirumuskan dan tertulis (Weber 1978:217-226). Menurut Weber, birokrasi legal-rasional tersebut di atas hanya dapat tumbuh subur di Barat. Sedangkan di Asia, karakteristik birokrasi yang justru tumbuh subur adalah birokrasi patrimonial (dalam Turner 1984). Birokrasi patrimonial ini merupakan salah satu bagian dari otoritas tradisional, yang kuat dipengaruhi oleh budaya non-rasional, seperti etnis, agama dan budaya (Weber 1978). Crouch (1985) dan Webber (2006), dalam studinya membuktikan pendapat Weber tersebut , bahwa birokrasi di Asia, termasuk di Indonesia, bersifat patrimonial. Menurut Weber (Weber, 1978: 1006-1015), Patrimonialisme bersifat patriarki. Terdapat dua bentuk patrimonialisme, yakni pertama, bentuk patrimonialisme dicirikan oleh struktur atas-bawah (hierakhris), bapakisme atau relasi patron-client. Kedua, bentuk lain adalah Feodalisme Eropa Barat yang kemudian berkembang menjadi monarki konstitusional. Karakteristik
birokrasi
pemerintahan
lokal
di
Kab.Agam
juga
menunjukkan beberapa karakteristik dari birokrasi yang mendapat legitimasi melalui otoritas tradisional, namun, sebahagian lainnya bercirikan birokrasi legalrasional. Birokrasi pemerintahan lokal ini berada di tengah antara birokrasi yang dilegitimasi oleh otoritas tradisional dan Legal-rasional. Sebagaimana telah dijelaskan praktiknya dalam ranah perencanaan dan penganggaran APBD, BP lokal ini memiliki beberapa karakteristik. Karakteristik pertama, para birokrat memiliki kepentingan partikular (khusus) yang bersumber dari Otoritas Tradisional. Hal ini berawal dari proses Pemilu Legislatif dan Kepala Daerah, di mana yang menjadi pengurus partai politik, calon legislatif2 dan kepala
2
Kajian ini sesuai dengan temuan Haris (2005), bahwa di Sumatera Barat yang menjadi pengurus partai dan calon legislatif adalah unsur otoritas tradisional Minangkabau, seperti dimaksud di atas.
267
daerah adalah unsur otoritas tradisional Minangkabau yang berasal dari NagariNagari,
seperti
ninik-mamak,
ulama,
cendikia,
bundo
kanduang
dan
pemuda/anak/kemanakan. Unsur Otoritas tradisional Minangkabau ini dibesarkan dengan falsafah alam dan adat yang kental di dalam Nagarinya. Sehingga, menjadi logis ketika memilih dan terpilih menjadi anggota DPRD, lebih mementingkan kampung Nagari asalnya. Karakterisitik kedua, adalah cenderung heterarki.3 Hal ini terlihat pada ranah penganggaran di mana SKPD, TAPD, Bupati yang semestinya memiliki kedudukan dan wewenang yang hirarkis serta terspesialisasi sesuai pembagian kerja masing-masing, namun cenderung menjadi heterarki karena kepentingankepentingan khusus yang dibawa anggota DPRD. Sebagai bukti, dapat dilihat pada, Tabel 8.13 hingga Tabel 8.16, pada bab sebelumnya4 yaitu perbandingan Jumlah Belanja Langsung KUA- PPAS dengan APBD pada enam SKPD tahun anggaran 2007-2009. Dalam tabel tersebut terlihat perubahan yang cukup menyolok di antara dua tahap penganggaran tersebut yang menunjukkan adanya kontestasi yang dinamis, di mana keenam SKPD tersebut tidak puas menerima alokasi anggaran yang telah ditetapkan dalam KUA-PPAS oleh TAPD. Sehingga, SKPD kemudian berkompromi dengan DPRD agar membantu memperjuangkan peningkatan anggaran SKPD ketika membahas RAPBD bersama TAPD. Dalam birokrasi legal-rasional, dengan prinsip pembagian kerja, impersonal dan hierarkis, semestinya praktek SKPD berkompromi dengan DPRD ini tidak perlu terjadi, mengingat TAPD, Bupati dan merupakan atasan SKPD. Sehingga sebagai penganut otoritas Legal-rasional, bawahan harus patuh dan mengikuti wewenang atasan. Begitu pula perubahan-perubahan yang terjadi antara satu tahap ke tahap lanjutan yang lain, baik dalam ranah perencanaan maupun ranah penganggaran APBD, menunjukkan bahwa tahap-tahap tersebut ditandai dengan kontestasi dan kompromi. Tahap-tahap tersebut mirip salah satu tradisi adat Minangkabau yang mencari penyelesaian masalah melalui musyawarah mencapai mufakat secara
3
dalam ilmu sosial, heterarchies adalah jaringan dari elemen di mana setiap elemen berbagi sama "horisontal" posisi kekuasaan dan otoritas, masing-masing memainkan peran yang sama secara teoritis. 4 Bab VIII
268
berjenjang naik dan bertangga turun, di mana mekanisme musyawarahnya juga berdasarkan tawar menawar dan kompromi (bermufakat). Musyarawah hanya mungkin terjadi karena berlakunya prinsip-prinsip heterarki. Di dalam adat Minangkabau yang berlaku di dalam Nagari-Nagari, musyawarah dalam mencapai kesepakatam merupakan mekanisme pengambilan keputusan (Benda-Beckman 1984). Hal ini pula yang terjadi di dalam praktek penganggaran APBD seperti telah dijelaskan sebelumnya, musyawarah telah menjadi suatu mekanisme pengambilan keputusan. Perubahan-Perubahan program, alokasi, Rencana Anggaran Biaya, penempatan program, terjadi dan diputuskan dalam musyawarah. Sedang peraturan positif, seperti undang-undang, Peraturan Pemerintah serta Permendagri, hanya sebagai justifikasi. Bukti ini dapat dilihat, dalam bab terdahulu (ragam peran kolektif anggota DPRD yang meminta “jatah” Rp.500 juta per orang yang berasal dari dana DAK (Dana Alokasi Khusus) merupakan pelanggaran terhadap norma-norma spesialisasi, aturanaturam umum serta impersonal dari birokrasi. Norma-norma tersebut dikalahkan oleh hasil mufakat dalam musyawarah. Bukti lain dari karakteristik heterarki birokrasi lokal adalah pengalokasian anggaran PILKADA Bupati dan Gubernur tahun 2011. Pada penyusunan anggaran APBD tahun 2010, proposal yang dibuat oleh KPUD adalah ± 8 Milyar rupiah untuk satu putaran. Sedangkan kemampuan keuangan Pemda, menurut hitungan TAPD, hanya berkisar 4 Milyar rupiah. Terhadap kesenjangan anggaran tersebut, KPUD dan TAPD dari mulai akhir tahun 2009 hingga akhir tahun 2010, terlibat proses penetapan anggaran PILKADA yang ditandai oleh prilaku tawar menawar antar kedua belah pihak. Tawar menawar tersebut juga terjadi secara berjenjang, dari mulai Bappeda, TAPD, Sekda hingga Bupati yang mengambil ruang formal (kantor Pemda), hingga ruang informal.5 Dalam birokrasi legalrasional, semestinya ini tidak perlu terjadi, karena, para ahli yang tersusun berdasarkan spsialaisasi kerja dapat menghitung dengan seksama, berapa jumlah alokasi anggaran yang layak. Sehingga, ketika anggaran telah dipelajari dan dibahas, keputusan yang diambil tidak perlu melalui proses tawar-menawar,
5
Salah satu tempat yang menjadi tempat melakukan tawar menawar adalah sebuah restoran di Bukit Tinggi, yang dilakukan pada malam hari.
269
karena norma-norma hierarkis dan impersonal yang terkandung dalam birokrasi. Tiga karakteristik utama dari birokrasi lokal, birokrat memiliki kepentingan khusus, heterarki serta kontestasi dan kompromi dalam musyawarah mencapai mufakat, menyebabkan karakteristik birokrasi Weberian terdegradasi. Terdegradasinya birokrasi Weberian terlihat jika membandingkan karakteristik diantara keduanya, birokrasi legal-rasional Weber dengan birokrasi lokal yang berkembang di Kab.Agam. Beberapa yang menyolok diantara, jika birokrasi Weberian memiliki yuridiksional yang jelas dan metodis, maka birokrasi lokal pada tataran normatif tampilan area yuridiksional dan turunannya menjadi tidak jelas ketika perebutan anggaran terjadi. Selanjutnya, Pada tataran normatif, seluruh proses perencanaan dan penganggaran melalui dokumen dan terdokumentasi. Namun, tidak sedikit proses penganggaran yang tidak terdokumentasi, seperti manuver
kolektif anggota
DPRD, manuver Bupati dalam membangun Sport Center, serta manuver birokrat lain dalam mencapai tujuan mendapatkan alokasi anggaran. Secara normatif, birokrat dalam menjalankan pekerjaan dengan prinsip impersonalistik (sine ira et studio). Namun, dalam birokrasi lokal, SKPD, TAPD, Bupati, DPRD bekerja tidak berdasarkan prinsip impersonal. Masing-masing memiliki kepentingan dan peran yang ingin dicapai dengan memakai birokrasi sebagai alatnya. Di samping itu, meski birokrasi lokal, secara normatif memiliki peraturan yang bersifat umum yang kemudian memandu jalannya perencanaan dan penganggaran, namun, pada prakteknya peraturan ini dimanipulir. Penjelasan lain terdegradasinya birokrasi Weberian, dapat dilihat dalam tabel 9.1. Matriks Proposisi Birokrasi Weber dan Birokrasi Lokal dibawah ini;
270
Tabel 9.1. Matriks Proposisi Birokrasi Weber Dan Birokrasi Lokal Birokrasi Lokal (Dalam Penganggaran APBD) Terdapat area yurisdiksional, ditetapkan secara resmi, diatur dengan kaidah hukum dan adminstratif. Namun area yurisdiksional ini (pembagian kerja pada umumnya) sering menjadi tidak jelas ketika perebutan anggaran terjadi. Sehingga kontestasi terjadi dalam BP 2 Ada Hierarki jabatan dan tingkat Jabatan secara normatif bersifat hierarki, namun kewenangan berjenjang yang jelas dalam praktek perencanaan, terutama penganggaran, hirarkis menjadi tersamar, berubah menjadi heterarki. Persaingan anggaran maksimal, menyebakan Bupati, TAPD, SKPD dan DPRD menjadi relatif setara (Heterarki). Ketetapan TAPD dalam penetapan PPAS, RKA SKPD dapat di rubah, baik oleh Bupati, maupun DPRD, sehingga alokasi anggaran SKPD dapat bertambah serta berkurang. 3 Manajemen didasarkan pada dokumen- Pada tataran normatif, seluruh proses dokumen tertulis dan resmi serta perencanaan dan penganggaran melalui dokumen terdokumentasi dan terdokumentasi. Namun, terdapat pula proses penganggaran yang tidak terdokumentasi, seperti manuver kolektif anggota DPRD, manuver Bupati dalam membangun Sport Center , serta manuver birokrat lain dalam mencapai tujuan mendapatkan alokasi anggaran 4 Manajemen jabatan berdasarkan Terdapat Spesialisasi dan pelatihan rutin pada Spesialisasi. Terdapat pelatihan yang birokrasi lokal, namun pengaruh kekerabatan, cermat dan berdasarkan keahlian kolegialitas turut berperan 5 Menjalankan pekerjaan dengan prinsip SKPD, TAPD, Bupati, DPRD bekerja tidak impersonalistik (sine ira et studio) berdasarkan prinsip impersonal. Masing-masing memiliki kepentingan dan peran yang ingin dicapai dengan memakai birokrasi sebagai alatnya. 6 Manajemen kantor mengikuti peraturan Secara normatif memiliki peraturan yang bersifat umum, stabil dan dipatuhi oleh umum yang kemudian memandu jalannya seluruhnya serta dapat dipelajari perencanaan dan penganggaran. Namun, pada prakteknya peraturan umum dimanipulir. Sumber: Weber (1978) dan data empiris (diolah) 2010. No 1
Birokrasi Rasional : Karakteristik Weber 6 Terdapat area yurisdiksional, ditetapkan secara resmi, diatur dengan kaidah hukum dan administratif seperti aktivitas regular, otoritas dan perangkat metodis
Jika dibandingkan otoritas legal rasional dan otoritas tradisional Weber dengan otoritas birokrasi lokal, maka birokrasi lokal memiliki karakteristik di antara legal-rasional dan otoritas tradisional Weberian. Karakteristiknya dapat dijelaskan, pertama, berdasarkan tolak ukur legitimasi, maka birokrasi lokal dalam perencanaan dan penganggaran memperlihatkan bahwa meski memiliki aturan yang jelas seperti petunjuk pelaksana, petunjuk teknis berikut peraturan perundang-undangan, dari UU No.25/2004 SPPN, UU No.17/2003 Keuangan 6
Weber (1978; 956-958)
271
Negara, hingga Permendagri No.59 Tahun 2007 tentang pengelolaan keuangan daerah, namun penyusunan anggaran empiris memperlihatkan bukti-bukti pelaksanaan normatif peraturan perundang-undangan berjalan tidak sesuai dengan pelaksanaan pada tingkat lapangan. Pada indikator rekrutmen, otoritas legal-rasional merekrut pegawai berdasarkan pertimbangan profesionalitas dan azas legal-rasional. Sedangkan Otoritas tradisional merekrut pegawai, pejabat atau pemimpin berdasarkan peraturan tradisi (turun temurun). Berbeda dengan birokrasi lokal, yang memilih para birokrat, seperti Kepala Daerah, DPRD, SKPD, TAPD di samping berdasarkan penguasaan teknis dan legal rasional, aspek-aspek kekerabatan, kelompok genealogis turut menjadi penentu.7 Pada indikator susunan jabatan, otoritas legal rasional mengindikasikan bahwa organisasi bersifat hierarkis, hak kontrol dan komplain terperinci. Sedang pada otoritas tradisional ditandai dengan tidak terstruktur. Namun, pada birokrasi lokal Hierarkis, hak kontrol dan komplain menjadi mandul akibat ikut campur DPRD dan OTM. Pada indikator Hukum, otoritas legal-rasional mengindikasikan bahwa aturan-aturan diarahkan pada jabatan, baik secara teknis maupun legal, sehingga profesionalitas sangat dibutuhkan. Di sisi lain, otoritas tradisional mengindikasikan penciptaan hukum baru yang berlawanan dengan norma-norma tradisional dianggap tidak mungkin terjadi. Sedangkan pada birokrasi lokal, aturan-aturan diarahkan pada jabatan, baik secara teknis maupun legal, namun sering bercampur dengan hukum kesepakatan di antara Eksekutif-Legislatif. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 9.2. Matriks Proposisi Otoritas Tradisional Dan Legal Rasional Weber di bawah ini.
7
lihat bab VII, proses pemilihan DPRD dan Bupati di Kab.Agam.
272
Tabel 9.2. Matriks Proposisi Otoritas Tradisional Dan Legal Rasional Weber Dengan Birokrasi Lokal Proposisi Sistem Otoritas Legal Rasional Dan Tradisional Weber8
Hubungan Jabatan dengan Pejabatnya
Pemegang jabatan tidak sama atau lekat pada jabatannya. (Jabatan hanya sementara)
Birokrasi Lokal Tugas-tugas menyusun belanja tidak langsung berkesinambungan, namun penyusunan belanja langsung tidak berkesinmabungan dipengaruh oleh OTM Bupati, DPRD dan SKPD di pilih berdasarkan Penguasaan teknis dan bersifat legal, namun dipengaruhi OTM (peraturan tradisional) Tugas-tugas dibagi atas bidang-bidang berdasarkan fungsi dilengkapi otoritas dan sanksi-sanksi Hierarkis, hak kontrol dan komplain menjadi mandul akibat ikut campur DPRD dan OTM Pemegang jabatan tidak sama atau lekat pada jabatannya. (Jabatan hanya sementara)
Perubahan
Organisasi Berubah sesuai dengan kebutuhan seiring dengan rasionalisasi dan pembagian kerja
Organisasi Berubah sesuai dengan kebutuhan seiring dengan rasionalisasi dan pembagian kerja
Hukum
Aturan-aturan diarahkan pada pada jabatan, baik secara teknis maupun legal, sehingga profesionalitas dibutuhkan
Aturan-aturan diarahkan pada pada jabatan, baik secara teknis maupun legal, namun bercampur dengan hukum kesepakatan di antara Eksekutif-Legislatif
Administrasi
Berdasarkan dokumen tertulis, memiliki kantor sebagai pusat administrasi
Berdasarkan dokumen tertulis, memiliki kantor mengunakan dokumen tertulis namun bersifat longgar
Legitimasi
Legal Rasional Weber Tugas-tugas pejabat berdasarkan aturan yang berkesinambungan
Rekrutmen
Pejabat dipilih berdasarkan penguasaan teknis dan bersifat legalrasional
Wewenang
Tugas-tugas dibagi atas bidang-bidang berdasarkan fungsi dilengkapi otoritas dan sanksi-sanksi Hierarkis, hak kontrol dan komplain terperinci
Susunan Jabatan
Sumber: Weber (1978) dan data empiris (diolah) 2010
8
sumber : Weber (1978; 217-218; 226-227)
Tradisional Weber Bersumber dari peraturan yang sangat tua dan suci
Tidak memfasilitasi perubahan sosial, cenderung tidak rasional dan tidak konsisten, dan melanggengkan status quo. Penciptaan hukum baru yang berlawanan dengan norma-norma tradisional dianggap tidak mungkin
Pemimpin dipilih berdasarkan peraturan tradisional
Diwariskan melalui keturunan
Tidak terstruktur secara hirarkis
Penggunaan otoritas dilekatkan pada pemimpin secara individual.
Tidak tertulis dan tidak memiliki kantor sebagai pusat administrasi
273
9.2. Terbentuknya Birokrasi Pemerintahan Lokal Terbentuknya birokrasi pemerintahan lokal, seperti yang terlihat pada proses perencanaan dan penganggaran dalam bab terdahulu, merupakan hasil sintesis tiga gejala, yakni perpolitikan Nasional yang bersifat patrimonial serta perubahan Rezim (Orde Baru) yang mengikutinya, OTM yang masih kuat dianut rakyat di Nagari-Nagari, serta Minimnya kandungan sumberdaya alam yang dimiliki Kab.Agam. Ketiga kondisi struktural dan kultural ini menjadi prasyarat terbentuknya ruang dialog di antara ketiganya, sehingga membentuk karakteristik kepolitikan lokal yang kemudian mempengaruhi proses Pemilihan Umum. Pada akhirnya, kepentingan-kepentingan partikular yang diusung oleh anggota Legislatif dan Kepala Daerah terpilih mewarnai Birokrasi Pemerintahan Lokal. Untuk menjelaskan kaitan di antara kondisi struktural dan kultural tersebut, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai Kepolitikan Patrimonial Nasional, Sumberdaya alam Agam yang terbatas dimiliki Agam serta Kepekatan OTM di Agam, Hasil dialogis OTM dan Kepolitikan Patrimonial Pusat, serta Sistem Kepolitikan Lokal dan Kepentingan Partikular. 9.2.1. Politik Kepartaian Nasional, Dari Patrimonial Menjadi Kartel Seperti telah dijelaskan di atas,menurut Weber (1978), birokrasi modern yang bercirikan legal-rasional seperti yang berkembang di Barat, terkendala tumbuh kembang di Asia. Hal ini disebabkan adanya hambatan kultural (adat tradisi, agama dan pemikiran) sehingga tidak dapat menjadi lahan tumbuh yang subur bagi birokrasi legal-rasional. Weber menyebut Birokrasi di Asia masih pekat dilingkupi oleh birokrasi patrimonial (Turner, 1984). Hasil kajian Crouch (1985) di Asia Tenggara, mendukung serta memperkuat pendapat Weber tersebut, yang menyimpulkan Negara Philipina dan Negara di Asia Tenggara lainnya seperti, Indonesia, Singapore, Malaysia, masih dikungkung
oleh birokrasi
patrimonial. Hanya saja, berbeda dengan Weber, Crouch justru melihat sistem patrimonial tersebut menjadi salah satu unsur pendukung pembangunan ekonomi di Negara-Negara di Asia Tenggara tersebut. Birokrasi patrimonialisme ini kemudian juga memunculkan politik kepartaian new-patrimonial (Webber, 2006) yang oligarkhis (Haris, 2005).
274
Menurut Weber (1978:1006-1069), patriamonialisme sebagai sebuah sistem birokrasi pemerintahan, yang bertanggung jawab hanya pada penguasa. Unsur-unsur pentingnya, kekuasaan (dalam birokrasi pemerintahan) bersifat sewenang-wenang, serta berada di bawah kontrol langsung dari sang penguasa yang dicirikan oleh struktur hubungan kekuasaan atas-bawah (patron-client) atau bapakisme, di mana
penguasa sebagai patron (pengayom, penjamin
kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan) dan rakyat sebagai obyek yang diayomi dan dijamin kenyamanan, keamanan dan kesejahteraannya. Lebih lanjut menurut Weber, patrimonialisme merupakan bentuk dominasi otoritas tradisional di mana : obyek ketaatan terhadap otoritas pribadi yang dia nikmati berpijak pada status tradisional. Kelompok organisasi yang menjalankan otoritas, dalam kasus yang paling sederhana, terutama berdasar pada hubungan loyalitas individu, yang dikembangbiakkan melalui proses pendidikan. Individu yang menjalankan otoritas bukanlah orang yang ‘hebat’, tetapi seorang ‘pemimpin’. Staf administratifnya tidak terdiri dari para pegawai, tetapi pelatih pribadi. Apa yang menentukan hubungan staf administratif dengan pemimpin bukanlah kewajiban kantor yang bersifat impersonal, tetapi loyalitas individu kepada sang pemimpin. (Weber, 1978). Ada banyak contoh birokrasi pemerintahan patrimonial. Di Indonesia, di bawah pemerintahan Suharto, sering dikutip sebagai birokrasi pemerintahan patrimonial dalam politik-ekonominya (Schwarz, 2004). Castles (1983) jauh hari telah menyimpulkan pada hasil kajiannya bahwa birokrasi pemerintahan Indonesia bercirikan patrimonial yang bertali temali dengan rangkaian kontinuitas sejarah dari masa kerajaan Mataram, Kolonial Belanda, Demokrasi Parlementer, Terpimpin dan Pancasila. Bahkan, birokrasi Orba kembali ke arah pra-kolonial, monarkhi Jawa. Sistem
pemerintahan
patrimonial
tersebut
mempengaruhi
sistem
kepartaian di Indonesia yang juga bercirikan patrimonial (Fortuna Anwar, 1985) di mana pada satu sisi, di dalam birokrasi pemerintahan orde baru jumlah partai politik dibatasi, diayomi serta dinafkahi oleh sang penguasa dengan relasi kekuasaan patron-client. Di sisi lain, internal partai politik, otoritas yang
275
dibangun pada susunan hierarkis organisasi partai juga pekat dengan karakteristik patrimonial. Studi yang telah dilakukan Robinson (1986) dan Muhaimin (1990) menyimpulkan, dari pelaksanaan birokrasi pemerintahan patrimonial tersebut telah menjadi kekuatan sosial dan kultural lahirnya pengusaha-pengusaha yang memiliki kaitan erat dengan birokrasi pemerintahan, baik hanya relasi bisnis, maupun menjadi bagian dari dari birokrasi pemerintahan (menjadi anggota DPR dan MPR). Para pengusaha yang muncul bertali temali dengan elite birokrasi, baik memiliki hubungan saudara, kolega, pertemanan atau hubungan simbiosis mutualisme dan transaksional. Gejala ini kemudian melahirkan pengusahapengusaha yang usahanya tergantung dengan proyek-proyek pembangunan, Pemerintah serta kemudahan akibat kebijakan yang dihasilkan oleh Birokrasi Pemerintahan yang kemudian menyalurkan sebahagian keuntungannya pada partai penguasa. Organisasi kepartaian yang bersifat patrimonial tersebut mengalami perubahan penting ketika reformasi terjadi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Pada kepartaian Nasional, jatuhnya Orde Baru sama dengan jatuhnya patron (“sang bapak” yakni pemimpin Orde Baru) yang telah lama bertindak sebagai pengawas, pengayom, pelindung, pemberi nafkah partaipartai. Jatuhnya birokrasi pemerintahan patrimonial Orde Baru menyebabkan sumber “kehidupan” partai-partai terganggu, kalaupun tidak hilang sama sekali. Pada sisi lain, kontrol terhadap jumlah partai dengan basis aliran juga menurun, sehingga menyebabkan munculnya partai-partai baru dengan berbagai aliran (Litbang Kompas 2002 ; 2004).9 Untuk menghadapi krisis keuangan, serta dapat bertahan dan menafkahi organisasinya, partai-partai kemudian membentuk kartel (Cartel Party). Tujuan pembentukan kartel ini, agar dapat memiliki akses langsung kepada sumbersumber keuangan Negara, melalui perburuan rente terhadap jabatan Birokrasi Pemerintahan serta Program Kerja APBN (Ambardi 2009). Sumber-sumber keuangan partai yang dimaksud bukanlah anggaran Negara yang telah
9
Pada tahun 2004, jumlah partai peserta Pemilu 24 Partai (Bappenas, 2004), kemudian meningkat menjadi 34 partai ditambah 6 partai lokal (Aceh), Litbang Kompas, 2009.
276
dialokasipada untuk partai-partai politik, melainkan uang yang diperoleh melalui perburuan rente (rent seeking) dari jabatan-jabatan Negara (eksekutif) seperti program-program pembangunan dan sumber keuangan Negara lainnya, maupun dengan jabatan Legislatif melalui kebijakan (legislasi, budgeting dan pengawasan) yang dilakukan. Terbentuknya politik kartel (kartelisasi) oleh partai-partai disebabkan semua partai memiliki kepentingan yang sama, yakni untuk memelihara kelangsungan kolektif mereka (Katz and Mair, 1994;55). Katz dan Mair merinci karakteristik partai kartel yang paling penting adalah terlihat pada perubahan karakter kompetisi atau kooperasi antar partai. Jika semula partai-partai saling berkompetisi amat keras dengan tujuan untuk melakukan reformasi sosial (seperti melakukan pemberdayaan politik dan ekonomi bagi kaum buruh, miskin dan petani), namun kini kompetisi antar partai hanya berkaitan dengan isu teknis, yakni isu-isu manajemen pemerintahan yang jauh dari ideologi kerakyatan. Kartelisasi partai, dalam rangka perburuan rente untuk memelihara kelangsungan kolektif partai juga dilakukan pada daerah-daerah “surplus” yang memiliki sumberdaya alam dan pendapatan asli daerahnya yang tinggi. Daerahdaerah ini menjadi ajang perebutan partai untuk menempatkan kadernya, baik sebagai Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota), Anggota DPRD, bahkan kepala Dinas yang memiliki anggaran maksimal.10 Pada daerah-daerah dengan anggaran dan pendapatan asli daerah minimal, partai-partai lebih membutuhkan pengumpulan jumlah suara, penempatan anggota Legislatif yang maksimal, dengan anggaran partai yang minimal (Haris 2005). Partai hanya memberikan prinsip-prinsip dan kebijakan bersama partai (common flatform), partai di daerah diberi otonomi seluas-luasnya menjalan programnya.11 Di Kab.Agam, hal kedua yang berlangsung, di mana partai Nasional hanya membutuhkan pengumpulan suara baik untuk calon Kepala Daerah yang diusungnya, penempatan anggota DPR, DPRD I dan DPRD II yang maksimal. 10
Hasil wawancaran dengan litbang partai P, G dan D di Jakarta. Menurut hasil wawancara, persaingan dalam menempatkan kadernya untuk duduk dalam jabatan kepala Dinas, baik Provinsi maupun Kab/Kota, terjadi dalam dua mekanisme. Mekanisme pertama, PNS yang secara implisit merupakan anggota partai, yang kemudian diangkat menjadi Kepala Dinas. Mekanisme kedua, beberapa PNS menghampiri Partai minta Jabatan Kepala Dinas dengan imbalan yang disesuaikan dengan perjanjian dan kepentingan. 11 Hasil wawancara dengan Ketua Partai PKS, PBB, Demokrat, Golkar dan PAN di Kab.Agam.
277
Hal ini disebabkan Kab.Agam adalah masuk dalam kategori daerah minus, memiliki sumberdaya alam terbatas serta Pendapatan Asli Daerahnya juga rendah. Untuk itu, partai memberi kebebasan pada masyarakat Lokal untuk menjalankan partai sesuai dengan konteks sosial, sesuai dengan prinsip-prinsip dan kebijakan partai Nasional.12 9.2.2. Sumberdaya Kab.Agam Terbatas Seperti dijelaskan pada Bab V, Kab.Agam merupakan daerah agraris. Luas daerah Kabupaten Agam mencapai 2.232,30 Km2, yang terdiri dari Danau seluas 9.500 Ha, 21 DAS (Daerah Aliran Sungai) yang luasnya mencapai 217.212 Ha. Dua gunung serta 15 bukit yang ketinggiannya antara 1.200 hingga 3000 m dpl, serta Hutan serta Kepulauan. Dari 80.100 Ha lahan yang dapat ditanami, 54.250 Ha telah ditanami padi sawah. Sedangkan mengenai penduduk dan angkatan kerja, hasil Susenas 2007 menunjukkan persentase penduduk Kab.Agam yang termasuk angkatan kerja sebesar 70,55%, yang telah bekerja sebesar 65,41%, sedangkan 5,14% di antaranya tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Dari jumlah persentase angkatan kerja yang terlah bekerja tersebut, 48,07% bekerja sebagai petani. Sisanya, yakni sebesar 28,48% bekerja di sektor perdagangan, perternakan, Nelayan, Pegawai Negri Sipil, industri kecil dan transportasi. Kab.Agam tidak memiliki sumberdaya alam yang besar, untuk dapat diandalkan dalam peningkatan pendapatan asli daerah serta menampung angkatan kerja di luar sektor pertanian. Menurut data APBD 2000 hingga 2011, pendapatan asli daerah (PAD) Kab.Agam hanya mencapai 2 Milyar rupiah pada tahun 2000, kemudian meningkat menjadi 11 Milyar rupiah pada tahun 2005 dan kembali meningkat mencapai 36 Milyar rupiah pada tahun 2011. Namun, angka tersebut berkisar 2% hingga 5% dari jumlah keseluruhan APBD. Ini menunjukkan, sebahagian besar sumber pendanaan APBD berasal dari pemerintah Pusat. Untuk melihat perbandingan PAD dan Jumlah APBD Kab. Agam dari 2000 hingga 2011, dapat dilihat dalam grafik berikut ini,
12
dari hasil wawancara bersama informan Partai PKS, PAN, G dan PBB
278
900 800 700
GRAFIK PERBANDINGAN APBD DAN PAD KAB.AGAM 2000-2011
600 500 400
APBD
300
PAD
200 100 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber: APBD Kab.Agam, 2000-2011 (diolah)
Gambar 9.1. Grafik Perbandingan APBD dan PAD Kab.Agam 2000-2011 Di samping sumberdaya alam dan pendapatan asli daerah yang rendah, APBD Kab.Agam juga dapat dikatakan cukup rendah untuk belanja langsung. Penggunaan belanja anggaran terbesar, rata-rata hampir mencapai 70% APBD, dipergunakan untuk membayar gaji pegawai dan belanja rutin operasional kantor Dinas dan Badan (SKPD). Rata-rata belanja langsung dalam bentuk program, dari tahun 2007-2011, berkisar di antara Rp.100 Milyar hingga hingga Rp.150 Milyar rupiah. Bandingkan dengan kebutuhan, terutama pembangunan prasarana jalan, jembatan dan irigasi yang mencakup 332 Jorong, 82 KaNagarian, 16 Kecamatan. Untuk lebih jelasnya, diagram perbandingan belanja pegawai, belanja langsung, SILPA dan Jumlah APBD dari tahun 2007-2011, adalah sebagai berikut;
Billions
279
800 700 600
Diagram Perbandingan Belanja APBD Kab.Agam 2007-2011
500 400 300 200
2007 2008
100
2009
-
2010 2011
Sumber : Penjabaran APBD Kab.Agam 2007-2011 (diolah).
Gambar 9.2. Digram Perbandingan Belanja APBD Kab.Agam 2007-2011 Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa Kab.Agam bukan merupakan daerah surplus dengan berkelimpahan sumberdaya alam dan memiliki PAD yang besar. Sehingga, terkait gejala kartelisasi kepartaian dan patrimonial pusat, tidak menjadikan Kab.Agam sebagai lahan potensial pemburu rente partai kartel dengan karakteristik patrimonial. 9.2.3. Kepekatan OTM di Agam Otoritas tradisional Minangkabau masih menunjukkan kepekatannya dalam Nagari-Nagari di Agam hingga otonomi daerah dilaksanakan.13 Pada masa otonomi daerah, kepekatan OTM cenderung menguat melalui penyandangnya seperti Ninik-Mamak, Cadiak Pandai, Ulama dan Bundo Kanduang (Haris 2005; Sjahmunir 2006; Biezeveld 2008/2009). Penguatan peran tokoh adat ini (elite strategis)14 di dalam Nagari-Nagari merupakan konsekuensi dari politik perubahan batas-batas dan mendefenisi ulang identitas Minangkabau (Benda-Beckman 2007). 13
Lihat Bab VI dalam tulisan ini konsep elite strategis yang dikenakan pada tokoh adat dalam tulisan ini, seperti Ninik-Mamak, Ulama, Cendikia dan Bundo Kanduang, berasal dari Haris (2005). Namun, pada tahun 1992, penulis pernah terlibat penelitian bersama Hans Dieters Evers mengenai ekspansi pasar tenaga Sumatera Barat. Pada satu kesempatan diskusi, beliau menjelaskan pengertian konsep elite strategis dalam teori yang dibangunnya dan mengkategorikan tokoh adat Minangkabau sebagai elite strategis karena fungsinya sebagai pemecah masalah. 14
280
Politik perubahan batas-batas merupakan konsekuensi dari gerakan politik kembali ke pemerintahan Nagari, dari sebelumnya pemerintahan Desa. Kembali kepada pemerintahan Nagari ini merupakan salah satu produk era reformasi dan Otonomi Daerah di Sumatera Barat.
Politik ini ditandai ketika kembali ke
pemeirntahan Nagari, muncul gerakan tokoh-tokoh adat yang kemudian mempertanyakan serta memperjuangkan batas-batas wilayah, kewenangan Nagari mereka. Bertindak sebagai aktor politik perubahan batas-batas ini adala, pertama, sesama tokoh adat pada tingkat paruik, kaum dan suku di dalam Nagari. Kedua, antar sesama tokoh adat Nagari-Nagari pada tingkat supra Nagari. Ketiga, antara tokoh-tokoh adat Nagari-Nagari dengan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kab./Kota). Isu-isu utama yang menjadi topik dialog adalah kembali kepada pemerintahan Nagari yang mana? Apakah jumlahnya harus sesuai dengan jumlah Nagari ketika masa sebelum menjadi pemerintahan Desa, yakni 543 Nagari? Apakah dimungkinkan untuk membentuk Nagari baru? Di samping politik perubahan batas-batas, sumber Nagari-Nagari juga menjadi gugatan. Setelah kembali menjadi pemerintahan Nagari, bagaimana hakhak Ulayat Nagari yang lama?15 Bagaimana sumber dan pengelolaan keuangan Nagari,16 apakah merujuk pada aturan sebelumnya? Siapa yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumber-sumber Nagari, WaliNagari yang mewakili pemerintahan Nagari dan Pemerintah Daerah, atau KAN (Kerapatan Adat Nagari) yang mewakili masyarakat adat. Dalam melaksanakan kompromi-kompromi dan perundingan yang menghasilkan kerjasama produktif, sehubungan politik batas-batas tersebut di atas, peran unsur-unsur OTM seperti tokoh adat kembali menguat dalam Nagari. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari ragam peran yang mereka lakukan dalam memperjuangkan penyatuan kembali Nagari, berikut hak-hak Nagari. Mereka bertindak sebagai tokoh sentral, wakil dan penggugat Nagari terhadap sumber-sumber Nagari.
15
Tema dialog di antara Tokoh Adat dan Pemerintah adalah, pengeloalaan Hutan, karena menurut Adat Hutan adalah Milik Nagari. Tanah-tanah ulayat yang sebahagian telah dikuasai BUMN maupun kelompok usaha. 16 Tema dialog utama adalah apakah pasar, balai kembali pengelolaannya kepada Nagari, sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan Nagari.
281
Politik batas-batas berkenaan dengan permasalahan sosial, administratif, geografis serta penggugatan sumber-sumber Nagari. Namun, seiring bergulirnya politik
batas-batas,
identitas
Minangkabau
juga
dirundingkan
kembali.
Mendefinisikan Minangkabau telah lama menjadi masalah, bukan hanya bagi pejabat pemerintah kolonial Belanda tetapi juga bagi orang Indonesia yang bukan etnis Minangkabau (Kahn 1993). Meskipun telah banyak upaya penulis Minangkabau secara aktif menjabarkan pandangan adat Minangkabau ketika berjumpa dengan kebudayaan lain, namun jawabannya selalu menimbulkan silang sengketa. Pada umunya, terdapat relasi atau interaksi tiga konsepsi utama yang sering mengakibatkan ditafsirkannya kembali identitas Minangkabau. Ketiga konsepsi yang saling berinteraksi dinamis tersebut adalah Adat Minangkabau, Islam dan Negara17 (Abdullah 1966). Perjumpaan Adat Minangkabau (OTM) dengan Islam, melalui perang Paderi yang kemudian mengundang pemerintahan kolonial Belanda, telah mengakibatkan redefenisi identitas Minangkabau. dialektika keduanya (Islam dan Adat) kemudian menghasilakan sistesis baru yakni identitas baru Minangkabau yakni bahwa adat Minangkabau bersendikan sara’, sara’ bersendikan adat.18 Pada era lain, perjumpaan Otoritas Tradisional Minangkabau dengan pembangunan dan modernitas yang dibawa pemerintah kolonial Belanda serta Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah memperkenalkan pandangan dunia sosial dan politik baru ke dalam Nagari-Nagari. Pada era perjumpaan OTM dengan
pemerintah
kolonial
Belanda
berujung
pada
fenomena
Orang
Minangkabau kemudian tampil menjadi salah satu etnis pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan memiliki lanskap terkemuka dalam perpolitikan di awal berdirinya Negara Indonesia. Peran ini kemudian mengalami pengerdilan pasca PRRI serta selama pemerintahan Orde Baru. Navis (1995) menamakan fenomena 17
Birokrasi Pemerintahan Menurut Benda-Backman (2007) dan Hadler (2010) identitas Minangkabau yang digambarkan dalam pepatah Adat Bersendi Sara’, Sara’ bersendi Kitabullah (ABS-SBK) merupakan pepatah yang muncul kemudian. Pepatah asli yang merupakan kompromi Kaum Adat dan Paderi adalah “adat bersendi sara’, sara’ bersendi adat”. Penulis, samapai sejauh ini, bersepakat dengan penulis di atas, karena ketika Pemda Prov.Sumbar hendak membangun tugu peringatan “sumpa Sati Marapalam” yang melahirkan ikrar Adat Bersendi Sara’-Sara’ Bersendi Kitabullah. Tim peneliti Unand diminta untuk meneliti kapan, di mana, siapa saja yang terlibat, bagaimana terjadinya sumpah antara kaum adat dan Paderi tersebut ternyata menghasilkan kesimpulan bahwa tidak terdapat bukti otentik bahwa sumpah itu pernah dilangsungkan. 18
282
ini sebagai “musibah intelektual” bagi orang Minangkabau, karena orang Minangkabau kehilangan perannya dalam panggung politik Nasional, dan hanya puas dengan peran sebagai client pemerintahan Orde Baru. Pada masa Otonomi Daerah, setelah kejatuhan Orde Baru, menyusutnya tekanan politik dan ideologis dari pemerintah Pusat telah mengakibatkan euforia “Keminangkabauan”. penyandang OTM dalam Nagari-Nagari, para perantau, birokrat pemerintahan, cendikia Minangkabau yang berada di Nagari, Kab/Kota, Provinsi hingga Nasional, Politisi, Perantau secara massif terlihat dalam diskursus mendefenisi ulang identitas Minangkabau (Benda-Beckman 2007; Biezeveld 2009; Hadler 2010). Musyawarah dalam rangka mendefenisikan kembali identitas Minangkabau, meski mendapat hasil yang beragam, namun pada tingkat Nagari cenderung identitas merujuk kembali kepada karakteristik Otoritas Tradisional Minangkabau Tradisional yakni, pertama, Nagari-Nagari mirip negara-negara mini yang satu sama lainnya otonom. Rakyat Nagari tidak dilihat sebagai saudara, tetapi sebagai warga. Dipimpin oleh pejabat resmi yakni Walinagari. Terdapat para spesialis, seperti kaum adat, kaum cendikia, kaum agama (ulama), Bundo Kanduang dan Pemuda.
Terdapat pula dewan-dewan, yakni Kerapatan Adat
Nagari (KAN), atau Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari (BPRN). Pada pemimpin dan dewan tersebut dipilih dan memiliki jabatan dengan jangka waktu terbatas dan memilki deskripsi tugas yang telah ditentukan secara jelas. Pemimpin, selain memiliki kekuasaan yang terbatas, juga jika dianggap gagal dalam melaksanakan tugasnya, dapat digantikan. Karateristik kedua, sistem Otoritas Tradisional Minangkabau ini adalah seluruh pengambilan keputusan, baik dalam masalah sengketa, maupun diluar sengketa.19 Karakteristik ketiga, otoritas di dalam Nagari terpilah-pilah dalam beragam kepemimpinan (bersifat heterarki) seperti Mamak Kaum, Mamak Rumah, Wali Nagari, Datuk Suku, Urang nan ampek jinih. Karakteristik OTM tersebut, jika dibandingkan dengan proposisi Weber mengenai bagaimana sebuah organisasi mendapat legitimasi, maka posisinya berada di antara kontinum Legal-rasional dan tradisional. Seperti terlihat dalam matriks berkut ini; 19
Seperti menentukan jodoh, hari dan tempat pernikahan.
283
Tabel 9.3. Matriks Proposisi Otoritas Tradisional-Legal Rasional Weber dan OTM Proposisi Sistem Otoritas Legal Rasional Dan Tradisional Weber 20 Legal Rasional Weber Tugas-tugas pejabat berdasarkan aturan yang berkesinambungan
Legitimasi
Rekrutmen
Pejabat dipilih berdasarkan penguasaan teknis dan bersifat legal-rasional
Wewenang
Tugas-tugas dibagi atas bidang-bidang berdasarkan fungsi dilengkapi otoritas dan sanksi-sanksi Hierarkis, hak kontrol dan komplain terperinci Pemegang jabatan tidak sama atau lekat pada jabatannya. (Jabatan hanya sementara) Organisasi Berubah sesuai dengan kebutuhan seiring dengan rasionalisasi dan pembagian kerja
Susunan Jabatan Hubungan Jabatan dengan Pejabatnya
Perubahan
Hukum
Administrasi
Aturan-aturan diarahkan pada pada jabatan, baik secara teknis maupun legal, sehingga profesionalitas dibutuhkan Berdasarkan dokumen tertulis, memiliki kantor sebagai pusat administrasi
OTM Bersumber dari peraturan tradisional namun dapat berubah, seperti dari hubungan adat, agama dan Negara Pemimpin dipilih, dibesarkan, berdasarkan kaitan paruik-kaum dan suku namun memiliki kemampuan teknis Diberikan melalui jabatan atas dasar pemilihan dan dibesarkan (bukan ditunjuk)
Tradisional Weber Bersumber dari peraturan yang sangat tua dan suci
Heterarki, terstruktur
Tidak terstruktur secara hirarkis Penggunaan otoritas dilekatkan pada pemimpin secara individual.
Melekat dalam jabatan, namun dapat dipilih dan diberhentikan Selain Sistem Matrilineal, dapat berubah. Perubahan diadaptasi untuk mempertahankan adat Hukum tertinggi adalah kesepakatan. Oleh karenanya dapat berubah
Ada kantor WaliNagari danWalijorong, mengunakan dokumen tertulis namun bersifat longgar.
Pemimpin dipilih berdasarkan peraturan tradisional
Diwariskan melalui keturunan
Tidak memfasilitasi perubahan sosial, cenderung tidak rasional dan tidak konsisten, dan melanggengkan status quo. Penciptaan hukum baru yang berlawanan dengan norma-norma tradisional dianggap tidak mungkin Tidak tertulis dan tidak memiliki kantor sebagai pusat administrasi
Sumber: Weber (1978) dan data Empiris 2010 (diolah).
9.2.4. OTM, Kepolitikan Patrimonial Nasional dan Politik Lokal Ketiga gejala tersebut di atas, yakni kepolitikan patrimonial nasional, sumberdaya Agam yang terbatas, serta menguatnya keberadaan OTM dalam Nagari-Nagari, menjadi kekuatan struktural dan kultural mengakibatkan munculnya sistem politik lokal yang khas. Sistem kepartaian patrimonial Nasional dengan gejala kartelisasi, tidak menjadikan Kab.Agam sebagai sasaran perburuan rente (rent seeking). Hal ini disebabkan rendahnya potensi sumberdaya yang dimiliki Kab.Agam. Sehingga dengan politik patrimonial, akan membutuhkan dana yang besar untuk menjaring massa di Agam. Di samping itu menguatnya identitas OTM, memiliki konsekuensi sulitnya mendapatkan perolehan suara melalui strategi politik 20
sumber : Weber (1978; 217-218; 226-227)
284
berbasis patron-client. Oleh karenanya, agar partai muncul dan mendapat perolehan suara yang signifikan, strategi desentralisasi politik dan administrasi dari partai pusat kepada partai di daerah diterapkan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan kultural. Pelaksanaan strategi desentralisasi ini dilakukan dengan cara, partai pusat hanya memberi common platform kepada cabang partai yang berada di Kab.Agam, kemudian diberi otonomi seluas-luasnya untuk menjalankan kebijakan dan strategi politik untuk mencapai perolehan suara dan kursi kekuasaan legislatif (DPRD Kab/Kota, Prov/Pusat) sebanyak-banyaknya.21 OTM, memanfaatkan kesempatan yang diberikan partai Nasional tersebut untuk mendudukkan unsur-unsurnya, seperti anak, kemanakan, Mamak, Bundo Kanduang, Ulama dan kaum Cerdik Pandai untuk menjadi pengusur partai dan menjadi calon legislatif agar dipilih menjadi anggota DPRD (lebih lanjut lihat Bab VII). Untuk jelasnya, gambar bagan alir proses kemunculan birokrasi lokal dapat dilihat dalam gambar berikut;
PROSES KEMUNCULAN BIROKRASI LOKAL
1
STRUKTURAL
Hasil dialog dan Adaptasi 1,2 dan 3
KEPOLITIKAN PATRIMONIAL NASIONAL
Agraris Petani Rasional
Proses Perekrutan Elite Politik Lokal denganmenyesuaikan pada tradisi OTM. Cirinya Partai yang mencari Caleg pada nagari-nagari, untuk mendapatkan calon dan kursi
3 Pendapatan Asli Daerah Sumber Daya Alam
RUANG DIALOG : 1,2,3.
RENDAH
SISTEM KEPOLITIKAN LOKAL
2 dikontrol Kondisi seperti ini, sulit menggerakkan kepolitikan Patrimonial yang mahal
OTM
KULTURAL
Kontinuitas Sejarah
EKSEKUTIF
BIROKRASI LOKAL Perencanaan & Penganggaran APBD
LEGISLATIF
•Mengusung Kepentingan Jorong dan Nagari (konstituen) •Setiap tahap terjadi kontestasi berujung kompromi •Heterarki •Kepentingan partikular •Matrlilineal
PEMILU
Dalam ruang dialog, Partai Pusat menganggap daerah ini minus, untuk menghindari tersedotnya dana partai pusat, partai memberi kebebasan bagi pengurus partai lokal untuk menggerakkan sistem kepartaian secara lokal Yang penting eksistensi partai terlihat dengan jumlah kursi yang signifikan
Sumber : Data Empiris, 2010
Gambar 9.3. Bagan Alir Proses Kemunculan Birokrasi Lokal
21
hasil wawancara dengan lima pengurus partai yang menjadi informan penelitian ini. Menurut informan, untuk pendanaan partai (di Kab.Agam), diperoleh dengan beragam sumber, seperti dana sumbangan dana aspirasi, operasional partai dari APBD, serta pemotongan honor anggota DPRD yang mencapai 25-40%, tergantung kebijakan partai. Sedangkan dana dari partai, baik provinsi maupun Nasional tidak diperoleh.
285
9.3. Pengelolaan Pembangunan Masyarakat Melalui Birokrasi Lokal Birokrasi lokal muncul dalam rangka mendukung pembangunan masyarakat lokal. Bukti-bukti empiris telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya (bab VII dan VIII). Kepentingan diusungnya pembangunan masyarakat lokal dalam Birokrasi lokal tersebut dapat dimengerti lebih baik dengan memperhatikan proses kemunculan serta jalannya birokrasi dalam ranah penganggaran APBD. Proses kemunculan birokrasi lokal, telah pula dijelaskan di atas, di mana keterkaitan dengan pengusungan pembangunan masyararakat lokal telah tertanam secara kultural pada calon legislatif dan calon Kepala Daerah yang kemudian diikat dalam perjanjian informal dengan masyararakat Nagari (konstituen) melalui Pemelihan Umum Lansung. Pelaksanaan Pemilu ditandai oleh satu ciri khas bahwa masyarakat Nagari atau Jorong hanya mau memilih calon yang berasal dari Nagari mereka dan memiliki hubungan kekerabatan. Peran utama yang diberikan adalah agar dapat memperjuangkan alokasi belanja anggaran fisik (infrastruktur Pertanian, Nagari dan Jorong) pada Nagari. Terpilihnya Caleg menjadi anggota DPRD memiliki ragam makna. Ragam makna tersebut dapat dipahami lebih baik dengan membedakan dari sudut pandang invidu, maupun dari sudut pandang kelompok kekerabatan. Dari sudut pandang individu, menjadi anggota DPRD sebagai salah satu mobilitas sosial vertikal.
Mendapat kedudukan terpandang, pendapatan yang meningkat serta
mendapat perlakuan yang berbeda dalam Nagari, baik dalam dunia sehari-hari maupun acara-acara adat. Nilai-nilai kemajuan, terus meningkat merupakan nilainilai yang telah terkandung dalam pemikiran orang Minangkabau (Graves 1981). Di samping itu, sebagai individu pula, menjadi anggota DPRD sebagai sebuah kesempatan untuk menjalankan nilai-nilai kultural. Menurut Kato (1982), Naim (1984), Pelly (1984) dan Hadler (2010) orang Minangkabau sangat mencintai adat dan kampung halamannya, bukan hannya mobilitas merantau sirkulasi yang cukup tinggi dilakukan orang Minangkabau dapat menjadi bukti, tetapi melihat jumlah kualitas dan kuantitas hasil yang didapat dari rantau kemudian mengalir ke kampung juga cukup berarti. Di samping itu, salah bukti nyata lainnya adalah masih bertahan dan masih berlangsungnya sistem matrilineal di Sumatera Barat hingga kini (Hadler 2010; Abdullah 2010).
286
Dari sisi pandangan matrial, salah satu pendukung kecintaan orang Minangkabau terhadap Nagarinya karena Nagari dan Jorong tersebut adalah kumpulan harta pusaka, yang dimiliki secara bersama.22 Sehingga, menjadi wajar jika terdapat kewajiban para anggotanya untuk tetap menjaga/melindungi Nagarinya (Navis 1984), kalau tidak mampu menambah, paling tidak menjaga jangan sampai menurun jumlah kunatitas dan fungsinya (Amir 2001). Dari sudut pandang kelompok kekerabatan, orang Minangkabau sangat sadar bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok kekerabatan, disamping memiliki
hak-hak,
juga
memiliki
tanggung jawab
terhadap
kelompok
kekerabatannya (Benda-Beckman 1984). Tanggung jawab utama terhadap kelompok kekerabatan adalah melindungi, membangun seluruh isi Nagari secara berjenjang dari mulai paruik, hingga suku dan Nagari (Navis 1984). Oleh karena itu, selain makna menjadi anggota DPRD dari sudut pandang kekerabatan adalah menjadi kebanggaan kelompok kekerabatan mulai dari tingkat terendah paruik (keluarga), hingga Kaum dan Suku, juga mendapat kesempatan melaksanakan peran kultural melindungi dan membangun paruik, kaum, kampuang dan Nagari. Keterlekatan nilai-nilai kultural (Granovetter 1985) yang berasal dari otoritas tradisional (Weber 1978) kemudian menjadi kepentingan partikular anggota DPRD ketika membahas RAPBD. Dalam ranah pembahasan APBD, akibat kepentingan partikular tersebut, prosesnya menjadi dinamis. Untuk dapat menitipkan usulan pembangunan yang berasal dari OTM, anggota DPRD melakukan hubungan transaksional dengan SKPD (Dinas atau Badan). Pada pihak DPRD, mereka dapat menitipkan program pembangunan prasarana Nagari asalnya. Di pihak SKPD,23 selain jumlah alokasi anggaran bertambah, program kerja yang lain juga akan diperjuangkan DPRD untuk disetujui bersama TAPD. Akibat hubungan transaksional ini, bukan saja birokrat menjadi tidak impersonal, namun otoritas hierarkis jabatan yang melekat di dalam jabatan tersebut menjadi memudar. TAPD sebagai posisi yang
22
Sampai saat penelitian dilakukan, pemilikan harta pribadi dalam bentuk tanah masih belum signifikan di Baso dan Nagari-Nagari di Agam 23 Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu, inisiatif program dapat datang dari angora DPRD, namun dapat pula berasal dari inisiatif SKPD.
287
berwenang menentukan alokasi anggaran SKPD menjadi lemah perannya, karena keputusan yang dihasilkannya dapat dirubah oleh DPRD. Manuver lain, bagaimana pembangunan masyarakat lokal diusung oleh anggota DPRD, adalah dengan tindakan kolektif anggota DPRD yang bersepakat meminta secara terang-terangan bagian alokasi anggaran yang akan dialokasikan pada Nagarinya.24 Untuklebih jelas, bagaimana birokrasi lokal mengusung pembangunan masyarakat lokal dapat lihat pada gambar berikut ini;
PROSES PEMBANGUNAN MASYARAKAT LOKAL DIUSUNG DALAM BIROKRASI PEMERINTAHAN (APBD) Ninik Mamak Kaum/Kampung Walinagari KAN BAMUS/BPRN
Nagari X
BUPATI SKPD KUA-PPAS
Ulama
Nagari Y
DPRD
TAPD
APBD
SEKDA
DINAS-DINAS
RANPERDA
BADAN
PEMUDA
BAPPEDA Bundo Kanduang
Nagari Z
Hasil dialog berupa program pembangunan kebutuhan masyararat yang akan dilaksakan di Nagari-Nagari
AREA BIROKRASI PEMERINTAHAN
Sumber Kepentingan Partikular DPRD (Kaitan=unsur OTM)
Hasil dialog berupa program yang akan menjadi Rencana Kerja Anggaran SKPD
Hubungan Transaksional DPRD-SKPD
Hubungan Transaksional DPRD-BUPATI
Sumber : Data Empiris, 2010
Gambar 9.4. Bagan Alir Proses Pembangunan Masyarakat Lokal Diusung Dalam Birokrasi Pemerintahan Lokal Dari gambar di atas terlihat bahwa kepentingan partikular DPRD berawal dari konstituen (Nagari/Jorong) di mana mereka berasal. Untuk mencapai kepentingan tersebut, DPRD memiliki hubungan transaksional dengan Bupati dan SKPD, hubungan ini dapat mengalahkan hubungan hierarkis dalam pemerintahan daerah (Bupati, BAPPEDA, TAPD, Sekda, Dinas-Dinas) sebagaimana yang diatur 24
Lihat Bab VII
288
dalam peraturan perundang-undangan. Hubungan transaksional tersebut merubah dinamika
birokrasi
pemerintahaan,
khususnya
dalam
perencanaan
dan
pengangaran APBD. Perubahan pada BP tersebut, seperti yang tergambar pada penjelasan bentuk dan karakteristik birokrasi lokal pada awal bab ini. Hanya saja dengan perspektif birokrasi berfungsi untuk melayani dan mensejahterakan rakyat, birokrasi lokal sebagaimana telah dijelaskan di atas memiliki kelemahan-kelemahan, seperti, pertama, tidak seluruh Nagari terwakili suara dan kepentingannya di DPRD karena persaingan dalam Pemilu Legislatif. Sehingga, alokasi anggaran yang hanya mengikuti keberadaan konstituen anggota DPRD, menjadi tidak merata terdistribusi pada seluruh Nagari. Kedua, ketika jumlah alokasi anggaran terbatas, kontestasi anggaran menjadi mengekskalasi sehingga berujung pada jumlah SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) yang meningkat.25
25
Lihat jumlah silpa Agam pada sub bab sumberdaya agam terbatas di atas. Silpa meningkat karena tidak dapat disepakatinya di daerah/Nagari/Jorong mana alokasi program akan di tempatkan. Sehingga, Bupati dan SKPD memutuskan tidak merealisasikan program yang telah dianggarkan. Sehingga dana tidak terserap kemudian menjadi SILPA