TINJAUAN ANTROPOLOGI PELIBATAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN ODING AFFANDI,S.HUT Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara PENGANTAR Dari judul di atas penulis mencatat beberapa kata kunci yang masing-masing kata harus kita pahami, karena mempunyai arti yang luas dan berbeda, tapi merupakan satu kesatuan yang utuh. Kata kunci tersebut mencakup : 1. Persepektif antropologi : Tinjauan atau pandangan dari segi antropologis. Antropologi menurut Koentjaraningrat (1996), adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia yang mencakup masalah asal-usul (Paleoantropologi), masalah terjadinya ragam manusia (Antropologi Fisik), masalah sejarah dan perekembangan bahasa (Etnolinguistik), masalah perekembangan dan penyebaran kebudayaan (Prasejarah), dan masalah suku-suku bangsa. 2. Pelibatan : Adanya keterlibatan atau peran-serta semua pihak yang terlibat secara menyeluruh dalam seluruh aspek suatu kegiatan 3. Masyarakat Lokal (Masyarakat Adat/Tradisional) : a. Suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun, hidup di wilayah tertentu, memiliki sistem nilai, ideologi, sistem politik, budaya dan sosial yang khas. Mereka ada sebelum RI ini berdiri. b. Komunitas yang leluhurnya dianggap pemula, tinggal di suatu wilayah tertentu, memperoleh penghidupan dari sumberdaya lokal. Mereka merupakan satu kesatuan berdasarkan kesamaan keturunan, adat, bahasa, hukum, pola hidup yang diwarisi dari kearifan leluhurnya. Tidak selalu mengenal kepemimpinan struktural, tidak harus dipimpin oleh kepala adat, tidak selalu mengenal konsep pemerintahan adat. (Konvensi ILO No. 169, 27 Juni 1989, tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat) 4. Pembangunan Kehutanan: Kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk berubah ke arah yang lebih baik dalam bidang kehutanan. PENDAHULUAN Hutan sebagai modal pembangunan nasional mengandung potensi manfaat yang besar bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik dari asas/manfaat ekonomi, sosial budaya, maupun lingkungan. Karena manfaatnya yang besar sudah sepantasnya hutan tetap dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan sesuai dengan kaidah-kaidah kelestarian. Sistem pemeritahan yang sentralistik (terpusat) dan bersifat top down ternyata telah memberikan dampak yang buruk pada segi kehidupan termasuk dalam bidang pembangunan kehutanan. Dampak-dampak tersebut antara lain : terjadinya krisis kehutanan seperti rusaknya hutan dan ekosistemnya (lingkungan). Dimana hal ini terjadi karena adanya kebijakan pengelolaaan hutan yang berorientasi ekonomi yanitu mengejar hasil hutan dalam bentuk kayu, terpinggirkannya masyarakat lokal (adat), yang tinggal di dalam maupun sekitar kawasan hutan dan memiliki kearifan tradisional dalam megelola dan memnafaatkan sumbedaya termasuk hutan serta tidak dilibatkannya mereka 2002 digitized by USU digital library
1
dalam pengelolaan hutan. Keadaan hal ini berakibat pada : terjadinya perambahan hutan, penjarahan lahan, pencurian hasil hutan, penebangan liar, dll. Di masa era reformasi telah dihasilkan suatu perubahan yang mendasar yaitu dengan adanya perubahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralisasi dan sejalan dengan telah dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam bidang kehutanan, dengan Otonomi Daerah telah menetapkan pilihan untuk memberi tanggung jawab dan wewenang yang luas kepada daerah untuk mengelola sumberdaya alam termasuk hutan. Disamping hal itu, telah juga terjadi perubahan paradigma (pola pikir) dalam pengelolaan hutan. Perubahan paradigma tersebut, diantaranya bahwa hutan tidak hanya terdiri dari pohon (berupa kayu) tapi juga terdapat hasil hutan non kayu dan kehidupan sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Disamping itu juga terjadi perubahan pola pokir dari pengelolaan hutan yang menitikberatkan pada ekonomi (kayu) ke arah kelestarian sumberdaya dan pemberdayaan masyakat (baca masyarakat lokal). Perubahan pola pikir ini intinya adalah dari pengelolaan kayu ke orinetasi menghasilkan barang (produk) dan jasa hutan secara berkelanjutan dalam kantitas dan kualitas dengan melibatkan/berbasiskan masyarakat, yang lebih dikenal dengan sebutan CBFM (Community Based Forest Management), PSDHBM (Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat), atau SHK (Sistem Hutan Kerakyatan). Perubahan paradigma ini juga telah didukung oleh lahirnya UU No. 41 tanhun 1999 tentang Kehutanan yang sangat kental dengan semangat kemasyarakatan. MEMBANGUN DENGAN KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT LOKAL Penduduk Indonesia yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal), umumnya memiliki pengalaman hidup dan kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya alam sekaligus dalam pemanfaatannya yang dikembangkan secara turun-temurun. Zakaria (1994) mendefinisikan kearifan tradisional sebagai pengetahuan kebudayaan yang yang dimiliki suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Dari pengertian ini kita dapat melihat bahwa pada dasarnya kearifan tradisional merupakan hasil akumulasi pengetahuan berdasarkan pengamatan dan pengalaman masyarakat di dalam proses interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan yang ada di sekitarnya dan bisa mencakup generasi yang berbeda. Kearifan tradisional ini merupakan sumberdaya yang berharga untuk kegiatan-kegiatan pembangunan karena ia merupakan : Dasar kemandirian dan keswadayaan Memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan Menjamin daya hidup dan keberlanjutan Mendorong penggunaan teknologi tepat guna Menjamin pendekatan yang efektif dari segi biaya Memberikan kesempatan untuk memahami dan memfasilitasi perancangan pendekatan pembangunan yang sesuai, dll. BENTUK NYATA KEARIFAN TRADISIONAL MASYARAKAT LOKAL Di Indonesia, berbagai jenis sistem pengelolaan sumberdaya alam yang berdasarkan kearifan tradisional sangat banyak ragamnya. Namun demikian dalam 2002 digitized by USU digital library
2
prakteknya tidak semua masyarakat lokal mempunyai kearifan tradisional tersebut. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda yang bersumber dari pemahamannya terhadap alam sekitar dan menadaptasikannya pada praktek pengelolaan sumberdaya alam pada berbagai jenis kondisi lingkungan hidup. Bentuk yang bisa kita lihat, misalnya bagaimana masyarakat lokal mengelolaa hutan. Bagi masyarakat, hutan dan segala isinya bukanlah hanya sekadar komoditi dari segi ekonomi saja, melainkan sebagai bagian dari sistem kehidupan, dimana hutan memilki nilai magis dan kepercayaan yang mereka pegang teguh. Oleh karena itu pemanfaatan hutan tidak didasari oleh keinginan-keingina eksploitatif tetapi lebih didasarkan pada usaha-usaha memelihara keseimbangan dan kelestarian sumberdaya hutan. Contoh-contoh yang bisa kita lihat antara lain : Pengelolaan Kebun Kemenyan di Tapanuli Utara : Hutan kemenyan sudah diusahakan sejak abad ke-17 dan samapai tahun 1994 luasnya sudah mencapai 10.000 ha (LATIN, 1994). Selain menghasilkan getah kemenyan dihasilkan juga buah-buahan. Hasil dari getah kemenyan ini menjadi sumber pendapatan yang penting bagi pengelolaanya sehingga keberadaannya terus berlanjut sampai sekarang. Pengelolaan Kebun Damar di Krui Lampung Barat :Masyarakat telah mengelolaa kebun damar dalam bentuk Agroforestry sejak seratus tahun yang lalu. Dalam kebun damar ini tumbuh tanaman utama berupa pohon damar yang menghasilkan getah damar mata kucing. Disamping itu juga tumbuh jenis-jenis lain seperti pohon penghasil buah-buahan, tanaman obat, tumbuhan bawah, bahakan berkembang jenis-jenis satwa layaknya di hutan alam. Dan sampai kini pengembangannya terus berlanjut. Kegiatan Perladangan masyarakat Dayak di Kalimantan Timur : Mereka memiliki pengetahuan dan teknologi berladang yang tidak merusak lingkungan. Kawasan hutan yang dibuka hanya sebatas kawasan adat mereka. Setiap peladang yang akan membuka hutan selalu menyisakan areal hutan di sekeliling ladangnya yang berfungsi sebagai pagar untuk mencegah erosi tanah. Begitu juga ketika ladang hendak ditinggalkan, mereka tidak pernah meninggalkan begitu saja, melainkan ditanami pohon buah-buahan, karet, rotan, dan tanaman palawija. Sehingga kelak, setelah sekian tahun ke depan bekas ladang tersebut telah menjadi ladang yang subur kembali, PELUANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN Konsepsi peningkatan peran dan peluang bagi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan hutan antara lain melalui : Penerapan pola kemitraan antara masyarakat, pengusahasaha kecil, dan pengusaha besar (HPH/HPHTI/BUMN/BUMD) dengan posisi transaksi yang adil dan seimbang. Pengusaha keci, koperasi, atau kelompok masyarakat menjadi sub kontraktor kegiatan pengusahaan hutan (pembibitan, pembukaan lahan, penanaman, dll) sehingga perekonimian terintegrasi sebagai usaha bersama Penciptaan dan pengembangan model-model pemberdayaan ekonomi masyarakat. Model-model tersebut seperti pengembangan hutan rakyat, Hutan Kemasyarakatan (HKm), Pengembangan Kawasan Penyangga (Buffer Zone), PMDH, dll
2002 digitized by USU digital library
3
KETERLIBATAN SELURUH PELAKU PEMBANGUNAN Paradigma baru pengelolaan kehutanan secara konseptual merupakan kebijaksanaan menerapakan prioritas keberpihakan kepada masyarakat lokal terutama masyarakat di sekitar hutan, yang pada hakikatnya adalah agar masyarakat sejahtera dan hutannya tetap lestari. Sebelum dapat mengembangkan masyarakat lokal sebagaimana mestinya, harus diketahui dulu potensi masyarakat dan potensi sumberdaya alamnya. Penggalian potensi ini dilakukan melalui inventarisasi potensi secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai (seluruh) pihak yang berkepentingan (stakeholder) seperti masyarakat, pemerintah, swasta, dan lembaga penyangga, yang masingmasing pihak mempunyai peran sendiri-sendiri. Adapun peran dari masing –masing pihak tersebut adalah : Peran Pemerintah : Cita-cita pemerintah yang bermaksud menciptakan masyarakat adil dan makmur harus mengembangkan pengelolaan hutan secara adil dan berkelanjutan, transparan, dan bertanggung jawab. Pemerintah hendaklah menjadi fasilitator dan membuat kebijakan yang menjembatani antara pihak ketiga dan masyarakat dengan cara memaksimumkan pelayanan. Peran Masyarakat : Pengalaman menunjukkan bahwa untuk mewujudkan tuntutan pengelolaan hutan secara adil dan berkelanjutansenantiasa menghadapi tantangan dan kendala yang terkait dengan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kejelasan hak dan kewajiban yang ada pada masyarakat akan menumbuhkan suasana yang aspiratif dan partisipatif yang menempatkan masyarakat sebagaia basis pengelolaan hutan. Keterlibatan masyarakat secara sadar akan berperan dan berfungsi dalam pengelolaan hutan yang lestari sehingga menjamin berkembangnya kapasitas dan pemberdayaan masyarakat serta distribusi manfaat hutan Peran Swasta : Kita sadari bahwa pengelolaan hutan memerlukan modal dan peralatan serta ilmu dan pengetahuan yang memadai dalam hal manajemennya. Sebagai kegiatan bisnis, pengelolaan hutan lestari memerlukan manajemen tersendiri agar tercapai kelestarian usaha. Dalam praktekya, untuk melangsungkan usahanya pihak swasta mau tidak mau harus melibatkan masyarakat sekitar hutan agar tidak terjadi hal-hal yang mengganggu kegiatan usahanya. Upaya ini bisa ditempuh dengan cara saling mennguntungkan anta swasta dengan masyarakat sekitar hutan dengan melakukan kemitraan Peran Lembaga Penyangga : Lembaga penyangga merupakan lembaga swadaya masyarakat dan lembaga lainnya yang mempunyai kepedulian terhadap masalah pemberdayaan masyarakat dan kelestarian lingkungan (seperti Perguruan Tinggi, para akademisi, tokoh masyarakat, dll). Fungsi lembaga ini adalah untuk memaksimumkan layanan akomodatif, korektif, dan suportif agar ineraksi antar stake holder berjalan dengan baik. PENUTUP Dari uraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa masyarakat lokal yang mempunyai kearifan tradisional mampu melahirkan kearifan lingkungan yang ternyata seiring dan sejalan, bahkan sangat menunjang kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam pada kerangka pembangunan nasional. Karena merupakan salah satu ciri kebudayaan nasional, kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat lokal yang telah melibur dalam sistem kehidupannya, patut digali dan dikembangkan lebih lanjut.
2002 digitized by USU digital library
4
Namun demikian kita harus menyadari, tentunya sistem ini tidak serta merta dapat menggantikan sistem pengelolaan hutan modern yang sudah ada. Tapi paling tidak, bisa menunjukkan bahwa ada sistem pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang secara sosial, ekonomi, budaya, dan ekologi bisa dipertanggungjwabkan dan menguntungkan semua pihak. Hal ini akan menjadi lebih maksimal apababila didukung dan ada keterlibtan semua pihak (stake holder). Dan inilah menjadi tantangan bagi kita, khusuanya para penyuluh di lapangan yang merupakan ujung tombak pembangunan, untuk mengidentifikasi dan mengiventarisasi kelompok-kelopok masyarakat yang memiliki kearifan tradisional yang dapat dikembangkan bagi kepentingan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari DAFTAR PUSTAKA Affandi, O. 2000. Mempromosikan Kembali Kearifan Lingkungan Tradisional dalam Konservasi Sumberdaya Alam. Buletin Leuser Edisi Vol. 3 No. 6 Maret 2000. Aliadi, A dan W.A. Djatmiko. 1999. Pengetahuan Lokal dan Konservasi : Menuju Konservasi Yang Bertumpu Pada Masyarakat. . Oktober 1999. Departemen Kehutanan. 1997. Kumpulan Informasi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi. PT. Rineka Cipta. Jakarta Suhardjito,D., A. Khan, W.A Djatmiko, M.T. Sirait, dan S. Evelyna. 2000. Karakteristik Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. PT Aditya Media. Yogyakarta Tadjudin, D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Pustak LATIN. Bogor Winarto, Y. 1998. Pengetahuan Lokal dalam Wacana Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Buletin Seri Kajian Komuniti Forestri. Seri 1 Tahun 1 Maret 1998 Zakaria, Y. 1994. Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. WALHI. Jakarta
2002 digitized by USU digital library
5