http://karyailmiah.polnes.ac.id
SIKAP DAN PERILAKU APARATUR DALAM MELAKSANAKAN ANGGARAN PEBDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DI KABUAPETEN XYZ Asran Bidjaa (Staf Politeknik Negeri Samarinda) Abstrak
ASRAN BIDJAA: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan sikap dan aparatur pemerintah dalam melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kabuten XYZ. Metode penelitian ini menggunakan kualitatif, dengan pendekatan interpetasi atas fenome yang tampak di depan mata. Pendekatan tersebut lebih menekankan pada proses penyimpulan deskripsi dan induktif serta analisis terhadap dinamika adanya keterkaitan antar fenomena yang diamati dengan kehidupan sehari-hari. Hasil studi ini diperoleh dari pemahaman sikap dan perilaku aparatur yang bersumber dari Id, Ego dan Super-Ego. Realitas menemukan dalam perilaku aparatur pemerintah daerah yang dilakukan secara nyata, dapat diamati secara cermat dan diramalkan. Proses saling menafsirkan makna atas sikap dan perilaku aparatur dalam melaksanakan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Keywords :
Sikap, perilaku aparatur dalam melaksanakan, APBD.
pada pelaksanaan APBD itu sendiri dan patuh pada peraturan daerah. PENDAHULUAN Pelaksanaan APBD sangat berkaitan dengan terealisasinya berbagai komponen APBD yang meliputi pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Oleh karena itu, komponen-komponen tersebut berhubungan langsung dengan arus kas masuk dan arus keluar kas dari kas umum daerah. Dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang baik dan benar hendaknya berbagai kaidah dalam pelaksanaannya harus dipatuhi oleh semua pihak terkait. Untuk melaksanakan pengelolaan keuangan daerah yang baik maka diperlukan adanya persiapan-persiapan agar pelaksanaan APBD dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sehingga dalam pelaksanaan APBD tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai harapan semua pihak. Keinginan aparatur membuat rencana pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) merupakan objek sikap yang patut diancungi jempol. Oleh karena itu, dasar pelaksanaan APBD harus tunduk dan patuh kepada peraturan
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
Sikap aparatur atas rencana pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah merupakan respon yang dapat melibatkan pihak-pihak terkait atas pengelolaan keuangan daerah tersebut. Pengelolaan keuangan tersebut tetap mengacu pada PP RI No.55/2005, Ketentuan Pasal 26, Pasal 37, dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 33/2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Setelah rencana penyusunan anggaran, pengesahan, dan penetapan anggaran selesai, siklus APBD berikutnya adalah pelaksanaan APBD. Pelaksanaan APBD dimulai setelah APBD selesai dievaluasi oleh gubernur provinsi Sulawesi Tenggara di Kendari. Hasil evaluasi tersebut dapat diwujudkan dalam suatu peraturan daerah tentang APBD. Inti permasalahan yang paling mendasar pada tahap pelaksanaan APBD adalah bagaimana merealisasikan APBD dengan baik sehingga dapat menjangkau semua kebutuhan yang telah direncanakan. Harapannya, APBD tersebut dapat direalisasi secara maksimal.
Riset / 2192
Pelaksanaan APBD sangat berkaitan dengan terealisasinya berbagai komponen APBD yang meliputi pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Oleh karena itu, komponen-komponen tersebut berhubungan langsung dengan arus kas masuk dan arus keluar kas dari kas umum daerah. Dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang baik dan benar hendaknya berbagai kaidah dalam pelaksanaannya harus dipatuhi oleh semua pihak terkait. Untuk melaksanakan pengelolaan keuangan daerah yang baik maka diperlukan adanya persiapan-persiapan agar pelaksanaan APBD dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sehingga dalam pelaksanaan APBD tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai harapan semua pihak. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan pendekatan interretasi, atas fenomena. Bungin (2007: 147), Harun (2007: 5) Moleong (2006: 5), Strauss dan Corbin (2003: 191), Muhadjir (2000: 93), Bogdan dan Biklem (1990: 35) menyatakan bahwa pendekatan tersebut lebih menekankan pada proses penyimpulan deskripsi dan induktif serta analisis terhadap dinamika adanya keterkaitan antar fenomena yang diamati dengan kehidupan sehari-hari. Dinamika dan fenomena dalam kehidupan sehari-hari merupakan hubungan interaksi dalam berbagai aktivitas antar individu yang satu dengan yang lain. Pendekatan tersebut dilakukan karena ada beberapa alasan yang disampaikan oleh para ahli, misalnya Bungin (2007: 228229), Harun (2007: 15-18), Mulyana (2007: 4-9), Bogdan dan Biklen (1990: 33-36) mengatakan, penelitian kualitatif memiliki cici-ciri sebagai berikut. Pertama, memiliki latar alamiah, karena sumber datanya langsung dari informan. Kedua, alat utama sebagai instruen penelitian adalah manusia (peneliti sendiri) dengan melibatkan bantuan orang lain (informan). Ketiga, bersifat deskriptif, karena data yang diperoleh peneliti verumber dari transkrip wawancara berupa kata-kata, catatan lapangan, foto, dokumen dan catatan resmi. Keempat, lebih mengutamakan proses ketimbang hasil atau prouk semata. Kelima, bersifat induktif, karena peneliti tidak mencari data atau bukti-bukti untuk menguji dan menolak pertanyaan penelitian. Keenam, lebih meneankan makna dibalik fenomena. Ketujuh, menerapkan adanya batas fokus, karena fokus sebagai permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Kedelapan, peneliti merundingkan dengan informan kunci, serta dikonsultasikan dengan pemimbing (promotor). Fenomenologi lahir sebagai reaksi dari metodologi positivistik yang diperkenalkan Comte (dalam Waters, 1994: 30). Pendekatan positivistik selalu mengandalkan fakta sosial yang bersifat objektif tampak mengemuka. Pendekatan positivistik tersebut selalu mengandalkan seperangkat statistik
Riset / 2193
sebagai alat untuk mengolah data. Kemampuan daya serap positivistik sebatas fenomena yang tampak pada kulit luarnya saja. Sehingga hal tersebut tidak mampu mengungkapkan dan memahami makna di balik fenomena. Seiring dengan perkembangan tersebut menimbulkan protes dari para peneliti ilmu sosial. Peneliti ilmu sosial tidak puas dengan cara kerja kelompok positivistik yang menamakan dirinya sebagai peneliti kualitatif (Mantra, 2005:25). Berdasarkan paham tersebut sehingga fenomenologi disebut sebagai paham fenomenologi (fenomena sama dengan yang tampak di depan mata). Terjadi pada masa lalu/forwelt, dunia sekitar/umwelt, dunia serta/mitwelt, dan masa depan/falgetwelt, (Schutz dalam Audifax, 2008: 206). Fenomenologi dikemukakan penemunya, yaitu Husserl (hidup sekitar 1895-1938) secara inklusif menceritakan tentang pengalaman manusia secara umum memiliki kepedulian khusus, tentang pengalaman dapat dideskripsikan, dianalisis secara intuitif (Siregar, 2005: 7). Dan fenomenologi berasal dari kata Yunani phaienin, suatu padanan dari bahasa Inggris phenomenon yang berarti memperlihatkan dengan bentuk pasifnya terlihat atau tampil dengan jelas. Berdasarkan pernyataan tersebut, Moleong (2006), Siregar (2005), Gadamer (2004), Mantra (2004), Hardiman (2003), Muhadjir (2003), Nasution (2003), Salomon (2003), Strauss dan Corbin (2003), Salim (2001), Sanders (2001), Harlambos (2000), Arifin (1996) menyatakan bahwa fenomenologi merupakan metode yang menginterpretasikan fenomena kegiatan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Berarti fenomena tersebut tidak tunggal melainkan cukup banyak fenomena atas kegiatan manusia. Husserl dalam Siregar (2005: 45), Husserl dalam Muhadjir (2000, 17), Basrowi dan Soenyono (2004: 5) mengemukakan tentang kesadaran bukan segala-galanya, melainkan ada keterkaitan dengan lainnya terhadap tindakan yang paling utama. Kedua jenis kesadaran ini, Husserl tidak meragukan fenomenologi, karena setiap tindakan kesadaran terdapat dua kutub yang sering disebut dengan istilah noetic dan noematic. Noetic merupakan kesadaran aktivitas yang dilakukan, sedangkan neometic merupakan intensional yang mengarah kepada sesuatu yang disadari. Husserl dalam Muhadjir (2000: 18) mengemukakan jika fenomenologi dipakai sebagai metode maka harus ada pembentukan pendekatan holistik dan mendudukkan objek dalam konstruksi ganda, serta melihat objeknya dalam satu konteks yang natural. Harun (2007: 27-29) mengemukakan beberapa alasan aksioma ontologi dalam penerapan fenomenologi. Pertama, adanya kenyataan ganda. Kedua, dapat mencari tahu. Ketiga, tujuan inkuiri mengembangkan pengetahuan idiografik dalam bentuk pertanyaan penelitian harus sesuai. Keempat, seluruh keadaan saling mempertajam secara
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
http://karyailmiah.polnes.ac.id simultan, sehingga tidak membedakan sebab dan akibat. Kelima, inkuiri terikat oleh pemaknaan nilai. SITUS PENELITIAN Tempat merupakan lokasi dimana dilakukan penelitian. Harun (2007: 52), Arifin dan Mike (1996: 60), serta Milles dan Huberman (1992: 360) mengatakan tempat/situs merupakan tempat atau lokasi dimana penelitian tersebut dilakukan. Sesuai pernyataan tersebut maka situs penelitian ini dilakukan pada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) di Kabupaten XYZ. Selain itu, juga membahas aspek pengungkapan unsur-unsur yang dapat dipahami dalam sikap dan perilaku aparatur dalam melaksanakan akuntansi keuangan pemerintah daerah. Harun (2007: 51) menyatakan bahwa lingkup kegiatan mencakup ruang, aktor dan aktivitas. Lingkup penelitian ini dilakukan di Badan pengelola keuangan dan aset daerah (BPKAD). Kegiatan peneliti mencermati aktor yang melakukan aktivitas antar individu di BPKAD. BPKAD merupakan badan yang ditunjuk pemerintah daerah Kabupaten XYZ sebagai pusat aktivitas pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten XYZ. Badan pengelola keuangan dan aset daerah (BPKAD) tersebut melayani 7 unit badan, 13 unit dinas, 11 unit kantor setingkat dinas, 21 kecamatan, 21 unit UPTD dinas pendidikan, 19 unit UPTD dinas kesehatan, 42 unit SMPN dan 14 unit SMAN dan 2 unit SMKN. Semua dinas, badan, kantor, dan UPTD (SKPD) tersebut melakukan pengelolaan keuangan, baik penerimaan maupun pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan dari SKPD terkait melalui badan pengelola keuangan dan aset daerah (BPKAD). Instrumen Penelitian Harun (2007), Abidin (2006) dan Soekanto (2005), Mantra (2004), Muhadjir (2000), Nasution (1996) menyatakan instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri sebagai pemersatu kesadaran, ide, pikiran, dan mengikatnya dalam satu kesatuan yang harmonis. Instrumen penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai kunci keberhasilan penelitian yang diinginkan. Kemudian dapat dilengkapi dengan instrumen lain, misalnya (1) buku catatan lapangan, (2) kamera, (3) handycam, dan instrumen lain yang dapat digunakan sebagai penunjang dalam perolehan data di lapangan (Bogdan, 1990: 93-94). Jadi peneliti sendiri sebagai kata kunci keberhasilan penelitian yang dilakukan. Niat. Taylor (2008: 117-118), dan Al-Asyqar (2007: 57) menyatakan landasan niat berasal dari iman dan keimanan bagi aparatur pemerintah daerah bermula dari ketaatan, karena hati selalu taat kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan bangkit mengingat
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
Tuhan dari tempat menetapnya iman. Jadi kesuksesan pekerjaan aparatur sangat bergantung pada niatnya. Keyakinan. Al-Alwani (2005: 67) menyatakan keyakinan tertentu merupakan kekayaan terbesar dan kemuliaan teragung, dan tidak dapat meremehkan konsekuensi psikologi dari keyakinan. Al-Alwani (2005: 65) mencontohkan pada pekerjaan yang sementara dilakoni seseorang, yakin selesai dan memperoleh hasil maksimal sesuai harapan. Sementara para ahli yang lain banyak menyatakan keyakinan tertentu diletakkan pada garis terdepan untuk membentuk profesi aparatur, berdasarkan dimensi waktu dan ruang. Hegel dalam (Solomon, 2003: 392) menjelaskan isi buku Hegel yang berjudul The Phenomenology of Spirit, mengatakan bahwa kebenaran tidak mengacu pada fakta semata, melainkan mencakup segalanya, yaitu filosofis yang beraneka ragam tentang hakikat pengetahuan, terutama yang berasal dari agama, etika, seni, dan sejarah. Kejujuran. Jeddawi, 2008: 32), Tasmara (2006: 84,94-95) Sukanto dan Hasyim (1996: 143) menyampaikan kejujuran dan kedisiplinan melakukan pekerjaan merupakan sebuah sikap positif, memiliki nilai-nilai yang tinggi, walaupun itu dalam tataran konsep abstrak tidak berwujud. Selain itu, unsur tanggung jawab masuk dalam ranah sikap aparatur terhadap pekerjaan tertentu. Hal yang sama disamaikan Tasmara (2006) bahwa honest bergandengan dengan ketulusan dan kesucian hati (holiness) sebab kejujuran merupakan nyala api suci yang tumbuh dari dalam hati nurani sehingga tidak tercemar oleh noda kebatilan yang merusak seluruh struktur bangunan kepribadian manusia secara total. Teknik Pengumpulan Data Bungin (2007: 134-142), Harun (2007: 6271), Moleong (2006: 157), Mulyana (2004: 180-181), Nawawi (2003: 100-101) mengatakan, data penelitian ini diperoleh dari interpretasi fenomena. Peneliti dapat mencermati melalui pengamatan, penelaahan berbagai fenomena yang dapat diamati, misalnya: (1) dari hasil observasi, (2) wawancara mendalam dengan berbagai narasumber di lapangan, dan (3) dokumentasi, dokumen resmi seperti laporan realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah, neraca daerah, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Dari dokumen tersebut dianalisis berdasarkan konteks masingmasing bahasan. Mantra (2004: 28-29), Strauss dan Corbin (2003: 120-121), Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (2000: 44) menjelaskan teknik pengumpulan data pada penelitian tersebut adalah menggunakan: observasi, wawancara, dokumentasi, dan triangulasi.
Riset / 2194
a.
Harun (2007), Ridjal (2007), Kerlinger (2006), Moleong (2004), Nawawi (2003), Lincoln dan Guba dalam Sonhadji (1996) menyatakan pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini sebaiknya menggunakan observasi. Peneliti berusaha membangun persepsi berdasarkan hasil observasi yang diamati di lapangan. Pengumpulan data mengharuskan peneliti membenamkan dari dalam realita sehari-hari untuk memahami fenomena yang dihadapi di lapangan. Observasi pasif dilakukan pada tahapan pendahuluan atau awal di mana peneliti masih melakukan penjajakan maupun pengenalan, baik instansi secara umum maupun aparatur (Ridjal, 2007, dan Kerlinger (2006). b.
Menggunakan Wawancara Parker (2008: 42-143), Harun (2007:69), Bungin (2007:134-138), Moleong (2006:186), Mulyana (2004:180), dan Moleong (2004: 135-146) menyatakan, pengumpulan data melalui wawancara tidak lain adalah sebuah proses interview, dengan berbagai cara yang ditempuh peneliti, paling tidak minimal dilakukan dalam tiga tahapan. (1) Peneliti melakukan pengumpulan data awal melalui pengamatan dan mewawancarai beberapa orang aparatur pemerintah daerah. (2) Peneliti melakukan wawancara secara mendalam dengan informan kunci yang dianggap mampu, karena di samping memiliki pengetahuan yang cukup mengenai penyelenggaraan akuntansi keuangan pemerintah daerah, juga memiliki pengalaman yang cukup atas pengelolaan akuntansi keuangan pemerintah daerah. Wawancara menurut Badan Penelitian Pengembangan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI (2000) mengemukakan hal-hal mendasar harus dipahami interviewer, yaitu unsur-unsur dalam proses tanya-jawab hingga memperoleh data dan keterangan yang memadai.
c.
neraca daerah, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan pemerintah daerah. Sedangkan dokumen berbentuk gambar, seperti foto, gambar, sketsa, dan lain-lain. Data dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi, dan wawancara. Hasil penelitian yang diperoleh dari berbagai teknik observasi, wawancara, dan dokumen dapat dilakukan triangulasi lebih kredibel dan dapat dipercaya jika didukung berbagai data penunjang lain yang lengkap.
Menggunakan Observasi
Menggunakan Dokumen Bungin (2007: 142), Harun (2007: 71), Badan Penelitian dan Pengembangan Otonomi Daerah (2000: 178), Bogdan dan Biklen (1992: 106) menyatakan, dokumen merupakan catatan atas peristiwa atau kejadiankejadian yang telah berlalu. Dokumen memiliki banyak ragam, ada yang berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan seperti laporan keuangan pemerintah daerah, laporan realisasi anggaran,
Riset / 2195
d.
Menggunakan Triangulasi Soenarto (1993) menyatakan triangulasi bertujuan untuk mencocokan data dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama. Singkatnya triangulasi bertujuan untuk menguji kebenaran bebagai data yang diperoleh dari obeservasi, wawancara, dan dokumen. Dan triangulasi merupakan teknik pengumpulan data yang bersifat gabungan. Sebagai contoh, peneliti melakukan wawancara data dengan aparatur (SPKD) yang membidangi akuntansi keuangan pemerintah daerah pada tingkat BPKAD berkaitan dengan pelaksanaan akuntansi keuangan pemerintah daerah, baik pelaksanaan penerapan sistem baru dari single entry ke double entry. Petunjuk pengelolaan keuangan bagi aparatur (SKPD) terkait dengan pengelolaan akuntansi keuangan pemerintah daerah. Selanjutnya, peneliti melakukan wawancara dengan SKPD pada dinas pendapatan daerah bidang penagihan pajak daerah. Wawancara selanjutnya dilakukan dengan SKPD pada dinas pendidikan nasional. Jika ketiga sumber informasi tersebut menemukan jawaban yang sama berarti informasi tersebut dapat digunakan (Yin, 1996: 103116).
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini mempersiapkan bahawa penunjukkan pejabat-pejabat yang terlibat dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut secara penuh dan berkesinambungan dari periode ke periode. Informan menyatakan bahwa aparatur pemerintah daerah ada yang secara spontan tergerak dalam proses pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Hal ini disebabkan adanya desakan dari dalam hati yang paling dalam. Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemahaman tentang kegunaan APBD telah menyatu dalam kalbu masing-masing aparatur pemerintah daerah di Kabupaten Buton. Wiramihardja (2009: 193) dan Koswara (1991: 36) menyatakan bahwa aparatur yang memiliki kemampuan berpikir luas sangat cocok sebagai
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
http://karyailmiah.polnes.ac.id pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Jika dianalisis berdasarkan teori Freud, kemampuan tersebut dipengaruhi id aparatur pemerintah daerah. Id tersebut mendorong keinginan aparatur sehingga mereka termotivasi untuk melakukan pelaksanaan APBD (Tasmara, 2002: 58). Aparatur pemerintah daerah dapat melaksanakan anggaran karena adanya energi psikis yang mendorong ego sehingga anggaran tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Tasmara (2002: 44) menyatakan bahwa sikap spontanitas aparatur atas pelaksnaan anggaran merupakan panggilan hati yang paling dalam untuk melaksanakan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Disamping itu, juga akan dipersiapkan penunjukkan pejabat-pejabat yang akan terlibat dalam pengelolaan keuangan daerah secara penuh dan berkesinambungan dari periode ke periode. Freud berpesan dalam Friedman dan Shutack (2008: 77) menyatakan bahwa pejabat yang menjalankan fungsi sebagai pengelola keuangan daerah harus melakukannya berdasarkan norma-norma, etika, dan moral yang baik. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) merupakan objek sikap yang dapat menggerakkan aparatur pemerintah daerah untuk menyusun struktur belanja tersebut. Sikap dan perilaku aparatur atas struktur anggaran pendapatan daerah dan belanja daerah tersebut diupayakan agar semua jenis pendapatan yang masuk ke kas umum daerah harus melalui rekening bendahara umum daerah. Struktur anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, misalnya: (1) pendapatan daerah. (2) belanja daerah, dan (3) pembiayaan daerah. Selisih antara anggaran pendapatan dan belanja daerah akan mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Hal ini disampaikan oleh informan bahwa Struktur Anggaran tersebut adalah. Tabel Struktur APBD di Kabupaten ”XYZ”
Sumber : BPKAD Kabupaten XYZ
Kelebihan anggaran dapat memberikan informasi yang menggembirakan aparatur pemerintah daerah. Kelebihan dana dapat ditambahkan pada pendapatan daerah di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan karena pemerintah menetapkan salah satu sumber pembiayaan adalah sisa kelebihan perhitungan anggaran tahun lalu. Adapun sisa anggaran dapat diperoleh melalui penggunaan dana cadangan, penerimaan pinjaman, hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan, penerimaan kembali pinjaman atau penerimaan piutang daerah (Darise, 2007: 32). Pendapatan Daerah
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
Riset / 2196
Pengelompokkan sumber-sumber pendapatan daerah merupakan id sebagai pendorong aparatur pemerintah daerah (Dayakisni dan Hudaniah, 2009: 89). Pengelompokkan tersebut dapat memperjelas sumber-sumber pendapatan daerah seperti: (1) Pendapatan asli daerah. (2) Dana Perimbangan, dan (3) Lain-lain pendapatan asli daerah sah. Freud (dalam Sobur (2009: 114) menyatakan bahwa sebenarnya pusat hanya berfungsi sebagai mediator, karena transfer dana dari pemerintah pusat bukan merupakan uang pemerintah pusat, tetapi uang tersebut merupakan uang yang diterima pemerintah pusat dari pemerintah daerah lainnya. Tanpa disadari, uang yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerinta daerah tertentu sebenarnya merupakan uang dari daerah tersebut. Namun, pusat mempunyai kewenangan untuk mengalokasikan uang tersebut kepada daerah yang berhak atas uang tersebut. Pendapatan Asli Daerah Freud dalam Friedman dan Schutack (2008: 169) menyatakan bahwa ide-ide untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) berasal dari SKPD terkait. Ide tersebut merupakan ide yang perlu ditelaah super ego atas objek-objek pendapatan yang belum tersentuh oleh daerah, serta tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi (Freud dalam Subur, 2008: 114). Cukup banyak objek pajak daerah yang belum tersentuh, akan tetapi pemerintah daerah tidak menyadarinya. Sumber penerimaan daerah dapat diciptakan sendiri oleh pemerintah daerah. Sipayung (2010: 68-69) menyatakan bahwa pemerintah daerah dalam kondisi seperti ini harus berpikir kreatif agar dapat menciptakan peluang-peluang untuk penerimaan daerah. Pasal 6 Undang-undang No.33/2004, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyatakan bahwa sumbersumber pendapatan asli daerah bersumber dari: (1) Pajak daerah, (2) Retribusi daerah, (3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan (4) Lain-lain PAD yang sah. Namun, empat komponen tersebut belum dimaksimlkan secara penuh oleh pemerintah daerah. Kelemahan yang timbul dalam pengelolaan PAD tersebut adalah adanya ketidaksadaran pemerintah untuk mengoptimalkan sumber-sumber PAD secara maksimal (Freud dalam Friedman dan Schutack, 2008: 77). Pernyataan tersebut sebagai realiatas (ego) agar PAD dapat dikelola berdasarkan norma-norma hukum yang berlaku/super ego (Santoso, 2010: 44; dan Boeree, 2008: 93). Pajak Daerah Pajak daerah dipungut berdasarkan UU No.34/2000, tentang perubahan UU No.18/1997,
Riset / 2197
tentang pajak daerah. Aturan pelaksanaannya diatur dalam PP No.65/2001, tentang pajak daerah. Berdasarkan PP No.65/2001, objek pajak daerah yang dipungut saat ini adalah pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C, dan pajak parkir. Namun, pajak parkir belum dipikirkan oleh pemerintah daerah untuk dipungut (Sipayung,2010: 68-69). Tidak dipungutnya objek pajak tersebut disebabkan ketidaksadaran pemerintah daerah untuk menggali potensi penerimaan daerah yang dimiliki oleh daerah tersebut (Freud dalam Ma’rat & Kartono, 2006: 64). Selanjutnya, Freud (yang dikutip Brigham (1991) dalam Walgito (2007: 99)) menyatakan bahwa manusia mempunyai ketidaksadaran sehingga tidak mampu untuk melihat hal-hal yang bersifat abstrak. Retribusi Daerah Soetjipto dan Kosasi (1999: 42) menyatakan bahwa sikap yang baik untuk diterapkan oleh aparatur dalam pemungutan pajak dan retribusi adalah menganut asas kepatutan. Freud dalam Suryabrata (2008: 128), dan Ma’rat dan Kartono (2006: 65) menyatakan bahwa super ego aparatur untuk melakukan pemungutan pajak dan retribusi daerah harus berdasarkan UU No.34/2000, sebagai penyempuranaan UU No.18/1997, tentang pajak daerah. Aturan pelaksanaannya diatur dalam PP No.65/2001, tentang pajak daerah. Namun, untuk daerah Kabupaten Buton pajak daerah yang dapat dipungut adalah pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C, sedangkan pajak parkir belum dipungut. Hal itu seperti yang disampaikan Sipayung (2010: 68-69) bahwa pemerintah daerah belum memaksimalkan PAD yang ada. Sementara Freud dalam Soekanto dan Hasyim (1996: 9) menganjurkan kepada aparatur pemerintah daerah agar lebih mengintensifkan penyuluhan kepada masyarakat wajib pajak, agar penerimaan daerah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari dua puluh empat jenis retribusi daerah terlihat bahwa pemerintah daerah telah memaksimalkan potensi yang dimiliki daerah. Freud dalam Koswara (1991: 63) menyatakan bahwa manusia diberi daya pikir agar mampu meningkatkan sumbersumber penerimaan daerah. Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Freud (dalam Santoso (2010: 43-44), Freud dalam Wiramihardja (2009: 122-125), dan Boeree (2008: 93) menyatakan bahwa ada objek penerimaan yang tak disadari pemerintah daerah untuk meningkatkan pengelolaan keuangan daerah yang dipisahkan, misalnya investasi pemda kepada BUMN
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
http://karyailmiah.polnes.ac.id dan pihak swasta. Darise (2007: 37) membagi jenis pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan menjadi bagian laba atas penyertaan modal daerah pada perusahaan milik daerah (BUMD), bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah (BUMN), dan bagian laba atas penyertaan modal kepada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. Namun, kondisi tersebut belum dimanfaatkan oleh pemerintah daerah di Kabupaten Buton. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Freud dalam Santoso (2010: 231), dan Freud dalam Schutack (2008:169) menyatakan bahwa id aparatur untuk memaksimalkan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah merupakan kekuatan yang independen dan bersifat psikis. Darise (2007: 37) mengelompokkan hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, penerimaan atas tuntutan ganti rugi, penerimaan komisi, potongan atau bentuk lain sebagai akibat dari penjualan/pengadaan barang atau jasa oleh daerah. Selama ini, Pemerintah daerah Kabupaten Buton tidak menyadari bahwa masih ada berapa sumber-sumber penerimaan daerah yang hilang dengan sia-sia dan tidak dimanfaatkan. Dana Perimbangan Freud dalam Parker (2008:159) menyatakan bahwa dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari pemerintah pusat sehingga ada kesetaraan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Mengingat dana-dana tersebut dialokasikan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), maka pemerintah pusat harus mengidentifaksi kebutuhan masing-masing daerah (Freud dalam Walgito,2004). Tindakan identifikasi tersebut merupakan super ego sehingga tidak terjadi penyalagunaan yang melanggar norma-noram hukum yang berlaku (Freud dalam Suryabrata, 2008: 128). Dana perimbangan tersebut bertujuan untuk membantu kebutuhan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Darise, 2007: 38). Dana bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Nimran (1997: 13-14) menyatakan bahwa sikap dan perilaku yang diambil pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sangat penting. Hal itu disebabkan dana bagi hasil pajak merupakan dana yang bersumber dari pemerintah pusat. Artinya, pemerintah pusat masih ada perhatian kepada pemerintah daerah (Soetjipto dan Kosasi, 1999: 52). Perhatian tersebut merupakan id yang menggerakan pemerintah pusat sehingga terpanggil untuk mengalokasikan sebagian dana untuk pembangunan yang ada
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
di daerah (Freud dalam Santoso, 2010: 43; dan Freud dalam Sobur, 2009: 114). Dana Alokasi Umum (DAU) Dana alokasi umum merupakan dana yang bersumber dari dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal ini terlaksana karena adanya id yang mendorong pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana tersebut (Freud dalam Santoso, 2010, 175). Selain itu, Freud dalam Suryabrata (2008: 129) menyatakan bahwa faktor id sebagai resevoir yang mendorong pemerintah pusat untuk menyediakan dana tersebut. Dana alokasi umum didistribusi kepada pemerintah daerah dengan tujuan pemerataan potensi darah yang diukur atas dasar luas daerah, kedaan geograis, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju dan daerah yang belum verkembang dapat diperkecil. Dana Alokasi Khusus Dana alokasi khusus merupakan dana alokasi yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBN) yang dialokasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Teralokasinya DAK tersebut didasarkan atas id yang mendorong energi psikis yang menggerakkan pemerintah pusat (Freud dalam Santoso, 2010: 43; dan Suryabrata, 2008: 125,131). Tujuan dana alokasi khusus tersebut adalah untuk membantu pembiayaan kebutuhan kegiatan khusus yang ada di daerah. Sementara Tasmara (2002: 58) menyatakan bahwa dorongan yang muncul dari dalam diri pemerintah pusat merupakan motivasi bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan pembangunan yang ada di daerah Kabupaten Buton. Klasifikasi Belanja dan Pembiayaan Daerah Belanja daerah dapat mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah untuk 1 tahun anggaran harus dikeluarkan pemerintah daerah. Pengeluaran tersebut tidak akan diterima kembali oleh pemerintah daerah dalam tahun yang bersangkutan. Pengklasifikasian belanja daerah dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Klasifikasi belanja menurut fungsinya adalah klasifikasi yang didasarkan pada fungsi-fungsi utama pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kedua, klasifikasi belanja menurut organisasi, yaitu belanja yang dikeluarkan pemerintah daerah atas dasar SKPD masing-masing, misalnya Kepala Daerah, Sekretaris Daerah, Sekretaris DPRD, dan semua SKPD yang ada di daerah, UPT, Kecamatan dan Kelurahan. Ketiga, klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan yang disesuaikan dengan kewenangan masing-masing berdasarkan organisasi pemerintahan. Keempat, klasifikasi belanja berdasarkan kegiatan dari program yang dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sebagai bagian dari pencapaian sasaran.
Riset / 2198
Pencapaian sasaran diukur berdasarkan program yang terdiri dari sekumpulan kegiatan yang dilakukan aparatur pemerintah daerah. Kelompok belanja pada setiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) diklasifkasikan juga diklasifikasikan seperti: (a) belanja langsung, (b) belanja tidak langsung, dan (c) pembiayaan, dengan catatan pembiayaan tersebut masih dalam batas-batas kewajaran. Kewajaran atas semua belanja tersebut sangat dipengaruhi oleh kompleksitas kegiatan atau program yang akan dilakukan masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait. Pertanggungjawaban uang-uang tersebut dilakukan setiap awal bulan berikutnya. Umumnya pertanggungjawaban dilakukan setiap tanggal 1 s.d. tanggal 10 bulan berikut dengan dilampiri dengan buktibukti sah dari penjual dan dokumen pendukung lainnya yang dianggap penting. Dokumen-dokumen tersebut dibuat sebagailampiran (SPJ/LPJ) di masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Bukti-bukti transaksi yang dapat digunakan, seperti: (a) pengajuan SPP-UP, (b) penerbitan SP2D-UP, (c) Pengajuan SPPGU, (d) Penerbitan SP2D-GU, (e) Pengajuan SPP-TU, (f) Penerbitan SP2D-TU, (g) pengajuan SPP-LS gaji dan tunjangan, (h) penerbitan SPP-LS barang dan jasa, (i) pengajuan SPP-LS barang dan jasa, dan (y) penerbitan SPP-LS barang dan jasa. Penjelasan untuk poin-poin di atas sebagai berikut. KESIMPULAN Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) juga merupakan objek sikap, yang dapat menggerakan aparatur pemerintah daerah (Suryabrata, 2008: 128-129). Rencana keuangan yang bersifat tahunan tersebut merupakan aktivitas rutin yang dilaksanakan aparatur pemerintah daerah (Jung dalam Suryabrata, 2008: 158). Sikap dan perilaku aparatur terhadap anggaran pendapatan daerah dan belanja daerah tersebut diupayakan dibahas dan disetujui bersama antara pemerintah daerah dan DPRD sebelum kemudian ditetapkan dengan peraturan daerah. Semua proses tersebut merupakan objek sikap. Objek sikap tersebut kadang mendapatkan tanggapan dan kadang tidak oleh SKPD terkait. Pengelompokan sumber-sumber pendapatan daerah juga merupakan sikap dan perilaku aparatur pemerintah daerah (Dayakisni dan Hudaniah (2009: 89). Adanya pengelompkan tersebut dapat memperjelas sumber-sumber pendapatan daerah seperti: (1) Pendapatan asli daerah. (2) Dana Perimbangan, dan (3) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan dari daerah sendiri. Pemberian pendapatan asli daerah untuk daerah sendiri bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada daerah agar menggali sumber-sumber pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Riset / 2199
Dari pernyataan tersebut dapat disimulkan bahwa temuan atas mekanisme pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dikemukakan sebagai berikut. (a) sikap yang dapat diamati berdasarkan rencana pelaksanaan APBD adalah keinginan aparatur membuat rencana pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD, (b) Perilaku yang dilihat berdasarkan pelaksanaan APBD adalah terlaksananya pembuatan rencana pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), (c) Sikap aparatur yang ada adalah adanya keinginan untuk menyusun struktur belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah, (d) Perilaku yang dapat diamati berdasarkan kegiatan pelaksanaan penyusunan struktur APBD. Salah APBd tersebut adalah (1) Pendapatan daerah, yang terdiri atas (a) pendapatan asli daerah, (b) dana perimbangan, dan (c) lain-lain PAD. (2) Belanja dan jenis daerah yang terdiri atas (a) belanja langsung, (b) belanja tidak langsung. (3) Pembiayaan daerah. (4) Pejabat pengelola keuangan daerah secara langsung adalah (a) BUD dan kuasa BUD, (b) bendahara penerimaan pembantu, dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabanya sebagai penerima, pengumpul PAD, menyetorkan ke kas daerah melalui bank pembangunan daerah dan mempertanggungjawabkan semua dana-dana yang diterima melalui bukti setor ke dinas pendapatan daerah dan ditembuskan kepada badan pengelola keuangan dan aset daerah (c) bendahara pengeluaran pembantu, mempunyau tugas dan tanggungjawab untuk mempertanggungjawabkan uang-uang yang diterima dari bendahara umum daerah. Pertanggungjawaban tersebut dilakukan setiap tanggal 1 s.d. tanggal 10 bulan berikutnya melalui SPJ/LPJ. Sikan dan perilaku tersebut yang dapat mengantarkan aparatur pemerintah daerah di Kabupaten XYZ untuk melaksanakan akuntansi keuangan pemerintah daerah. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zainal. 2006. Fisafat Manusia, Memahami manusia melalui filsafat, Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Al-Alwani, Taha Jabir. 2005. Bisnis Penerbit Ak Grouo.Yogyakarta.
Islam,
Al-Asyqar, Umar Sulaiman, Abdullah. 2007. Menyelami telaga ikhlas Konsep dan Metode Memurnikan Ibadah Semata Kepada Allah SWT, Penerbit Mitra Pustaka. Jakarta. Arifin,Imron dan Mike,S.1996. Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan, Penerbit Kalimasahada Press. Malang. Arifin,Imron. 2006. Rancang Bangun Studi Kasus; Kasus Tunggal, Multi Situs, dan
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
http://karyailmiah.polnes.ac.id Multi Kasus dalam Penelitian Kualitatif. Jurnal Pendidikan, Jilid 15 (2). Juli 2006. Audifax. 2008. Research Sebuah Pengantar Untuk Mencari Ulang Metode Penelitian Dalam Psikologi, Penerbit Jalasutra. Jogyakarta. Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Republik Indonesia. 2000.Metode Penelitian Sosial(Terapan dan Kebijaksanaan). Jakarta.
Basrowi, M dan Soenyoto. 2004. Teori Sosial dalam tiga Paradigma, Yayasan Kampusina. Surabaya. Boeree, C. George. 2008. Psikologi Sosial. (Penerjemah: Taniputera, Ivan, 2008), Penerbit Prisma Shopie. Yogyakarta. Bogdan, Robert C dan Biklen, Sari Knopp. 1990. Riset Kualitatif untuk Pendidikan Pengantar ke Teori dan Metode. Munandir, 1990 (penerjemah), Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Universitas Terbuka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas/UUC/Bank Dunia. Jakarta. Bugin,
Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Dayakisni, Tri dan Hudaniah. 2009. Psikologi Sosial, Penerbit UMM. Press. Malang. Darise, Nurlan. 2007. Pengelolaan Keuangan pada Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), Penerbit PT Indeks. DKI. Friedman, H. dan Schustack, M. 2008. Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, Penerbit Erlangga. Jakarta. Gadamer, Hans-Georg. 2004. Diterjemahkan Sahidah, Ahmad.Truth and Method (Kebenaran dan Metode). Pengantar Filsafat Hermenuitika, Penerbit Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta. Hardiman, Fransisco, Budi. 2003. Melampau Positivisme dan Modernitas. Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Harlambos dan Holborn.2000. Sosiology Themes and Perspectives.www.Collins Education.com The Support for School and Colleges
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
Harun,
H.Rochjat. 2007. Metode Penelitian Kualitatif Untuk Pelatihan, Penerbit CV Mandar Maju. Bandung.
Yin, Robert K. 1996. Studi Kasus (Desain dan Metode) (Penerjemah: Mudzakir, Djauzi. 1996), Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Kerlinger, Fred N. 2006. Diterjemahkan oleh : Simatupang, Landung R. Asas-asas Penelitian Beharioral, Penerbit Gajdjah Mada University Press. Yogyakarta. Koswara, E. 1991. Teori-teori Kepribadian, Penerbit PT Eresco. Bandung Ma’arat, Samsunuwiyati dan Kartono, Lieke Indieningsih. 2006. Perilaku Manusia, Pengantar Singkat tentang Psikologi, Penerbit Refika Aditama. Bandung. Mantra, Ida Bagoes.2004. Filsafat Penelitian, Metode Penelitian Sosiaol, Penerbit Pustaka Pelajar Ofsset. Yogyakarta. Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi ketiga, Penerbit Rake Sarasin. Yogyakarta. Muhadjir, Noeng. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi keempat. Penerbit Rake Sarasin. Yogyakarta. Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Penerbit PT Remaja Rodakarya. Bandung. Mulyasa, E. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikat Guru, Penerbit PT Remaja Rosda Karya. Bandung. Nasution, S. 1996. Metde Penelitian NaturalistikKuantitatif, Penerbit Tarsito. Bandung. Nasution,S. 2003. Metde Penelitian NaturalistikKuantitatif, Penerbit Tarsito. Bandung. Nawawi, Hadari. (2003). Manajemen Strategik, Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan Dengan Ilustrasi di Bidang Pendidikan, Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Nirman, Umar.1997. Perilaku Organisasi”, Penerbit Citra Media. Surabaya.
Riset / 2200
Parker, Ian. 2008. Psikologi Kualitatif, Penerbit Andi, Yogyakarta. Peraturan Pemerintah Pajak Daerah.
No. 65/2001,
tentang
Santoso, Slamet. 2010. Teori-teori Psikologi Sosial, Penerbit Aditama. Surabaya. Salim,
Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya, Penerbit Tiara Wacana. Yogyakart.
Sanders, Patricia. 2001. Phenomenology: A. New Way of viewing Organizational Research, Academiy of Management Review 7 (3): 353-360. Siregar, Laksmini. 2005. Menyinkap Subjektivitas Fenomena, Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Sipayung, Hendra Halomoan. 2010. Berpikir seperti Filosofi, Penerbit Ar-Ruzz Media. Yogyakata.
Tasmara, Toto. K.H.2006. Spritual Centered Leadership; Kepemimpinan Berbasis Spritual, Penerbit Gema Insani. Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000, tentang Pajak Daerah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Walgito, Bimo. 2004. Psikologi Sosial; Suatu Pengantar, Penerbit CV Andi Offset. Yogyakarta. Waters, M.1994. Modern Sosiological Theory, London: Sage Publicatin. Wiramihardja, Sutardjo A.2009. Pengantar Psikologi Klinis Edisi Revisi, Penerbit Refika Aditama. Bandung.
Sobur, Alex.2009. Psikologi Umum, Penerbit CV Pustaka Setia. Bandung. Sobur,
Alex.2009. Penerbit PT Bandung.
Simiotika Remaja
Komunikasi, Rosdakarya.
Soecipto dan Kosasi Raflis. 1999. Profesi Keguruan, Penerbit: Rineka Cipta. Jakarta. Soenarto.1993. Makalah Desain Penelitian Studi Kasus; Disampaikan pada Penataran Penelitian Studi Kasus: Lembaga Penelitian Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta. Sonhadji, A.1996. Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan. Malang: Penerbit Kalimasahada Press. Suryabrata, Sumadi. 2008. Psikologi Kepribadian, Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Strauss, Anselim dan Corbin, Juliet. 2003. Dasardasar Penelitian Kualitatif. Tatalangkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data, Penerbit Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta. Subur, Jumadi. 2008. 99 Ideas for happy life, Penerbit Zip Books, Bandung. Taylor, Sandra Anne. 2008. Quantum Success Lompatan Dahsyat menuju kekayaan dan Kebahagiaan Sejati, Penerbit Andi. Jogyakarta. Tasmara, Toto. K.H.2002. Membudayakan Etos Kerja Islam, Penerbit Gema Insansi. Jakarta.
Riset / 2201
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357