http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
SIKAP DAN PERILAKU APARATUR DALAM MENGELOLA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH La Ode Hasiara (Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda) Abstract
LA ODE HASIARA: The purpose of this research are: (1) to identify the budget realization as the attitude object of apparatus behaviour on local government budget. (2) to describe budget realization as the attitude object of apparatus behaviour in reforming local government budget. (3) to recognise the local government understandings of budget as a part of behavioural accounting. (4) to identify local budget information values as the part of social responsibility. (5) to describe local budget realization report as a part of local government financial accounting. Qualitative method is applied on this research through grounded theory by using systematical procedures with a complete analysis and discussion on the results of the research. Data categoryzation is conducted on each research yields by 3 phases, namely: (1) open coding, (2) Axial Coding, and (3) Selective Coding. Those categories emerged another name as the representative of the former categories with a principle unommitting data meaning covered in the former name. The result of this research indicated that some attitudes have been found on apparatus behavoiurs in impelementing Local and Revenue budget. Those attitudes as a relationship with the emerged behaviors on gornment apparatusselves, namely; passive and active attitude. However, the both attitudes can produce an obedient and comply with attitude in well implementing of local and revenue budget. Keywords :
attitude, apparatus behaviours, implementing of local, and revenue budget management.
PENDAHULUAN Pemerintah secara bersamaan menyempurnakan UU.No. 22 Tahun 1999, dan disempurnakan dengan UU.No.32/2004, tentang Pemerintah Daerah & UU.No.25 Tahun 1999, sebagaimana telah disempurnakan melalui UU.No.33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai dasar penyelenggaraan otonomi daerah yang diikuti dengan pengawasan atas penyelenggaraan kedua UU tersebut. Misi utama dari kedua UU tersebut adalah desentralisasi. Hal telah dijelaskan di dalam UUD 1945. Mardiasmo (2002) menyam-
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
paikan secara umum bahwa reformasi sektor pemerintah mencakup perubahan format lembaga, dan pembaharuan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga pemerintahan di daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparansi, dan akuntabel sehingga cita-cita reformasi, yaitu menciptakan good governance dapat tercapai. Dimensi reformasi lembaga pemerintah daerah dan lembaga di bawahnya dalam rangka pemberian pelayanan publik dengan memberikan otonomi dan desentralisasi tanggungjawab pemerintah daerah lebih diarahkan pada pemberian pelayanan kepada masyarakat secara umum. Pada saat pemerintah menyelenggarakan otonomi daerah, maka peran keuangan (harta kekayaan) daerah merupakan salah satu pilar utama
Riset / 2010
penggerak jalannya roda pemerintahan di daerah. Sehingga tidak terlepas dari pemahaman rencana anggaran, baik rencana anggaran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Untuk memberikan gambaran yang jelas, maka anggaran yang akan dibahas dalam studi ini sebatas anggaran pemerintah daerah. Basri dan Mulyadi (2005:33) yang mengatakan bahwa anggaran merupakan suatu daftar pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara/daerah dalam waktu satu tahun. Sumber pembiayaan merupakan pengeluaran, seperti pembiayaan hutang pokok. Jumlah pendapatan dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan terukur secara rasional dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja (Bratakusumah, 2002:109-110). Khusus dalam hal struktur APBD butir 2 menjelaskan tentang belanja menurut organisasi masing-masing. Di era reformasi keuangan daerah yang menghendaki sistem pencatatan yang digunakan adalah sistem ganda (doble entry system) dengan dasar pencatatan atas dasar kas modifikasi (modified cash basis) mengarah pada akrual basis, mengingat single entry tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi. Karena single entry tidak dapat memberikan informasi yang komprehensif tidak mencerminkan kinerja yang sesungguhnya serta tidak dapat menghasilkan laporan keuangan yang akuntable. Bahkan ada yang membatasinya pada sektor pemerintah saja Kurniawan (1999). Sementara LAN, BPK (1991) menyatakan ada empat konsep yang merupakan komponen penting dari rerangka kerja reformasi sektor pemerintah, keempat konsep tersebut menuntut (1) adanya hubungan akuntabilitas antara (DPR) dan kepala departemen, (2) perbedaan antara outputs dan outcomes, (3) kontrol atas input resources, (4) perbedaan antara purchase dan ownership interests dari pemerintah daerah dalam lingkungan dinas terkait. Profesi akuntansi tentunya harus dapat memfasilitasi gerakan transparansi dan akuntabilitas di bidang sektor pemerintahan, yaitu dengan mengembangkan akuntansi keuangan dan akuntansi keperilakuan. Hal ini dijabarkan lebih luas oleh Mardiasmo (2002) yang mengatakan bahwa perhatian yang lebih luas terhadap praktik akuntan dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah saat ini telah memiliki tempat yang luas. Bagi Pemerintah daerah keuangan merupakan masalah penting baginya dalam mengatur, mengurus rumah tangga daerah. Pentingnya keuangan dan pengelolaan keuangan daerah, Wajong (1985:81) menyatakan bahwa: (1) Pengendalian keuangan mempunyai dampak yang begitu besar kemudian hari. (2) Kepandaian
Riset / 2011
mengendalikan daerah tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan abadi tanpa pengendalian keuangan yang baik.(3) Anggaran adalah alat utama dalam pengendalian keuangan daerah. METODE PENELITIAN Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan grounded theory berdasarkan fenomena, pendekatan interpretatif. Model grounded theory lebih mengarah pada pendekatan perspektif emic, dari pada pendapat peneliti. Perspektif emic, lebih memperhitungkan kebenaran informan kunci, tentang bagaimana memandang sesuatu dengan berdasarkan penafsiran atas fenomena, ketimbang memaksakan pandangan peneliti. Setting Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kabupaten Buton, yang terletak di bagian Timur Indonesia, pada Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Butas di Pasarwajo. Analisis dan Kriteria Informan Unit analisis Badan keuangan dan Pengelola dan Kekayan Daerah, adalah Bidang Anggaran, yaitu: (1) Kepala Bidang Anggaran, dan Ka.Sub. Anggaran. (2) Sekretariat, dibantu oleh salah satu Staf yang dapat dipercaya. (3) Kepala Bidang Akuntansi Keuangan Daerah, dibantu oleh Ka.Sub. Bagian Akuntansi Keuangan Daerah. (4) Kepala Bid. Perbendaharaan, dan dibantu oleh Ka.Sub. Bidang Perbendaharaan. (5) Bidang Kekayaan Daerah, dan dibantu oleh Ka.Sub.Bidang Kekayaan Daerah. (6) Bendaharan Umum Daerah. Jumlah informan kunci dalam penelitian sekitar sembilan orang. Kesembilan orang ini merupakan kunci dalam mencari berbagai sumber informasi sensasi dan persepsi aparatur dalam akuntansi keuangan daerah di kabupaten “Butas” di Indonesia. Data Penelitian Data penelitian ini diperoleh dari interpretasifenomena.Peneliti dapat mencermati melalui pengamatan, menelaahan, berdasarkan fenomena yang dapat diamati, misalnya:(a) hasil observasi, (2) wawancara mendalam dengan berbagai nara sumber, (3) dokumentasi, baik dokumen pribadi, maupun dokumen resmi berupa laporan keuangan akuntansi keuangan pemerintah daerah, maupun dokumen pendukung lainnya. Instrumen Penelitian Instrumen utama dalam penelitian ini, adalah peneliti sendiri dan dilengkapi dengan instrumen lain, seperti: (1) buku catatan, (2) kamera, (3)
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id handycam, dan (4) radio tape dan lain-lain instrumen yang dapat digunakan sebagai penunjang dalam perolehan data di lapangan. Harun (2007) alat untuk merumuskan permasalahan dan fokus serta tujuan penelitian, peneliti sebagai instrumen utama dan dibantu oleh informan kunci. HASIL DAN PEMBAHASAN Mekanisme Penerimaan Dana Mekanisme penerimaan dana yang dilakukan aparatur pemerintah daerah di Kabupaten Buton bertujuan untuk menertibkan pelayanan. Pelayanan dilakukan kepada aparatur yang membidangi pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Adanya mekanisme penerimaan dana dapat memberikan beban kerja yang sama untuk semua aparatur pemerintah. Penerimaan dari Pemerintah Pusat dan Provinsi Mekanisme penerimaan dari pemerintah pusat yang dilakukan oleh aparatur daerah bertujuan untuk menyeragamkan penerimaan. Mekanisme yang digunakan sesuai dengan mekanisme yang dituntut oleh Permendagri1. Dalam Permendagri juga dijelaskan bahwa sumber penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat merupakan dana perimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten. Penerimaan Kabupaten Buton dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat yang terdiri atas 4 jenis penerimaan. Keempat jenis penerimaan yang menjadi pemasukan bagi pemerintah kabupaten, yaitu: (a) DAU, (b) DAK, (c) dana bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak (SDA), dan (d) transfer dari pemerintah pusat sebagai dana penyesuaian. Kedua, penerimaan yang berasal dari provinsi terdiri atas: (a) pajak tingkat I (provinsi), dan (b) penerimaan dari daerah sendiri, yaitu pajak dan retribusi. Khusus pajak dan retribusi lebih diarahkan pada pemberian kewenangan kepada pemerintah kabupaten. Pengelolaan dana yang diterima dari berbagai sumber tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing jenis dana tersebut saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Artinya, dana yang masuk ke kasda antara satu dengan yang lainnya saling menopang sesuai prioritas anggaran masing-masing SKPD. Pasal 10 (Ayat:1-2), UU Otonomi Daerah2. Semua jenis penerimaan harus melalui ke kas daerah. Beberapa hal yang berkaitan dengan mekanisme penerimaan keuangan daerah diungkapkan oleh beberapa informan berikut.
1
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. 2 . Undang-Undang No.25/1999, dan Undang-Undang No.33/2004, tentang Keuangan Daerah.
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
”Sepanjang yang kami ketahui, semua jenis penerimaan harus melalui kas daerah. Apalagi dana yang berkaitan dengan dana perimbangan APBN. Dana APBN dapat memberikan kepastian pendanaan kepada daerah. Biasanya, penerimaan dana bantuan APBN seperti DAU dari pemerintah pusat tidak penah terlambat. Umumnya, dana tersebut masuk ke kas daerah setiap tanggal 2 Januari tahun yang bersangkutan. BUD biasanya mencari informasi tentang penerimaan DAU. Setelah ada informasi bahwa dana tersebut telah masuk ke kas daerah, BUD melakukan pengecekan kepada bank pembangunan daerah. Setelah dana tersebut jelas telah masuk ke kas daerah maka BUD langsung melakukan pencatatan secra global. BUD juga menyampaikan laporan kepada bagian akuntansi untuk dilakukan pencatatan” (Fauzan-Kepala Bagian Aset Daerah di BPKAD). “Semua dana yang masuk harus melalui kas daerah. Misalnya; DAU dan DAU 2009 masuk ke kas daerah pada tanggal 2 Januari 2009. BUD selalu berusaha mencari informasi tentang DAU. BUD selalu melakukan pengecekan ke bank pembangunan daerah, apakah DAU tersebut benar-benar telah masuk ke kas daerah. Jika benar DAU telah masuk ke kas daerah, BUD langsung melakukan pencatatan secara global. Setelah itu, BUD menyampaikan laporan kepada bagian akuntansi sehingga pada saat itu pula bagian akuntansi melakukan pencatatan. (Missila-Sekretaris BPKAD). “Kebiasaan setiap tahun bahwa dana yang masuk ke daerah harus melalui kas daerah. Contoh seperti; DAU dan DAU 2009, masuk ke kas daerah pada tanggal 2 Januari 2009. Dan pada saat itu BUD melakukan pengecekan ke bank pembangunan daerah, apakah DAU tersebut benar-benar telah masuk ke kas daerah, jika benar DAU telah masuk ke kas daerah maka BUD langsung melakukan pencatatan secara global. Namun sebelum cairnya dana tersebut biasanya BUD berusaha untuk menghubungi pemerintah pusat. Kalau hari tersebut belum mendapatkan informasi maka akan berusaha pada hari-hari berikutnya. Setelah itu BUD menyampaikan laporan kepada bagian akuntansi sehingga pada saat itu pula bagian akuntansi melakukan pencatatan. (Wa Ode Siti Raymuna-Kepala Bagian Akuntansi di BPKAD). Dari ketiga wawancara tersebut dapat diketahui bahwa semua dana penerimaan harus melalui kas daerah. Sebelum ada dana masuk ke kas daerah aparatur selalu menanyakan kepada pemerintah pusat tentang kepastian kapan dana bisa masuk. Jika sudah ada informasi bahwa dana telah masuk maka aparatur melakukan pengecekan ke Bank Pembangunan Daerah. Setelah dana benarbenar ada, BUD melakukan pencatatan secara global. Selain itu, BUD juga melaporkan kepada bagian akuntansi dan bagian akuntansi juga melakukan pencatatan.
Riset / 2012
Ungkapan informan tersebut dapat memberikan berbagai informasi yang dapat melahirkan beberapa sikap dan perilaku aparatur pemerintah. Sikap yang dimunculkan dari informasi tersebut adalah pertama, sikap aparatur pemerintah di BUD yang bersedia menjalankan mekanisme penerimaan keuangan daerah. Sikap ini didorong oleh stimulus dari luar, yaitu aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Jika aparatur tidak menjalankan mekanisme seperti yang telah ditentukan maka aparatur akan mendapatkan kesulitan di kemudian hari. Kedua, sikap aparatur di BUD yang bersedia mencari informasi tentang pencairan dana dan informasi kapan DAU akan turun ke pemerintah daerah. Sikap ini didorong oleh keinginan aparatur agar dana dari pemerintah pusat segera cair. Dana perimbangan APBN adalah dana yang sangat penting bagi pembangunan daerah. Jika dana tersebut mengalami keterlambatan tentunya pembangunan dan operasional daerah akan menjadi terhambat. Kedua sikap tersebut dapat memunculkan beberapa perilaku. Sikap yang pertama memunculkan empat perilaku, yaitu Pertama, perilaku aparatur pemerintah yang langsung melakukan pengecekkan ke Bank Pembangunan Daerah. Kedua, BUD melakukan pencatatan secara global. Ketiga, BUD melaporkan penerimaan tersebut kepada bagian akuntansi. Setelah bagian akuntansi menerima laporan tersebut, muncul perilaku yang keempat, yaitu bagian akuntansi melakukan pencatatan atas penerimaan dana DAU dengan cara mendebet kas daerah dan mengkredit pendapatan DAU. Sikap yang kedua memunculkan perilaku aparatur yang selalu proaktif dalam menanyakan masuknya dana dari pemerintah pusat. Aparatur akan selalu bertanya kepada pemerintah pusat sampai dana tersebut cair. Penerimaan DAU berbeda dengan DAK, dana bagi hasil pajak, dana bagi hasil bukan pajak,dan dana transfer. Perbedaan tersebut didasarkan atas perlakuan yang berbeda pula. Akibatnya, pencairannyapun tidak sama. Perbedaan tersebut terletak pada penyampaian RAPBD ke pemerintah pusat. Hal ini diungkapkan oleh informan berikut. “Yang paling duluan cair adalah dana alokasi umum (DAU), sedangkan DAK, dana bagi hasil pajak, dan dana bagi hasil bukan pajak belum cair. Pemerintah daerah harus sabar menunggu dana cair terutama dari dana bagi hasil pajak dan dana bukan pajak. Berapapun jumlah yang diberikan pemerintah pusat harus diterima dengan lapang dada. Kami tidak mempersoalkan jumlah yang diberikan pemerintah pusat kepada kami, yang terpenting bagi kami di daerah telah berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi semua persyaratan yang dianjurkan pemerintah pusat. Karena itu, setiap awal minggu ke4 bulan Desember tahun yang bersangkutan BUD menanyakan informasi DAU”, (Misila, 22 Juli 2008).
Riset / 2013
Dana alokasi umum (DAU) lebih dulu cair. DAK, dana bagi hasil pajak, dan dana bagi hasil bukan pajak cair kemudian. Bagi pemerintah daerah, menunggu dana cair terutama dari dana bagi hasil pajak dan dana bukan pajak harus sabar, berapapun jumlah yang diberikan pemerintah pusat harus diterima dengan lapang dada. Kami tidak mempersoalkan jumlah yang diberikan pemerintah pusat kepada kami, yang terpenting bagi kami di daerah telah berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi semua persyaratan yang dianjurkan pemerintah pusat” (Wa Ode Siti Raymuna-Kepala Bagian Akuntansi di BPKAD). Dari kedua keterangan informan di atas, diketahui bahwa DAU lah yang cair lebih dahulu. Sementara DAK, dana bagi hasil pajak dan dana bagi hasil bukan pajak cairnya tidak bersamaan dengan DAU. Dalam menyikapi hal itu aparatur sabar. Selain itu, mereka juga menerima berapapun dana yang datang dari pemerintah pusat. Mereka tidak pernah menuntut atau protes terhadap dana yang cair dari pemerintah pusat. Meskipun mereka menerima dengan lapang dada, bukan berarti lantas mereka bekerja asal-asalan. Mereka tetap berusaha maksimal memenuhi persyaratan yang dianjurkan pemerintah pusat. Hasil wawancara dan uraian di atas menunjukkan beberapa sikap dan perilaku pada diri aparatur. Sikap yang pertama adalah sabar. Aparatur sabar dalam menunggu cairnya DAK dana hasil pajak maupun bukan pajak. Sikap ini mengindikasikan bahwa aparatur memang selalu tunduk pada ketentuan dari pusat. Mereka tidak banyak menuntut pada pemerintah pusat. Sikap yang kedua yaitu menerima dengan lapang dada berapapun dana yang dicairkan oleh pemerintah pusat. Sikap yang ketiga yaitu berusaha semaksimal mungkin memenuhi semua persyaratan dari pemerintah pusat. Ketiga sikap tersebut memunculkan perilaku sebagai berikut. Pertama, perilaku aparatur yang menunggu cairnya dana DAK, dana bagi hasil pajak, dan bagi hasil bukan pajak. Mereka selalu bertanya kapan dana tersebut bisa dicairkan. Kedua, perilaku aparatur yang tidak menuntut kepada pemerintah pusat mengenai jumlah dana yang dicairkan oleh pemerintah pusat. Ketiga, perilaku aparatur yang selalu memenuhi persyaratan yang dianjurkan oleh pemerintah pusat. Sikap dan perilaku tersebut menunjukkan bahwa aparatur pemerintah daerah Kabupaten Buton mendahulukan kewajiban daripada hak mereka. Mereka tetap berusaha bekerja sebaik-baiknya dengan selalu melengkapi dan menaati peraturan dari pemerintah pusat. Namun, mereka tidak mau menuntut pemerintah baik dalam hal waktu maupun jumlah dana yang akan dicairkan. Sikap dan perilaku aparatur seperti yang telah diuraikan di atas sesuai dengan ketentuan dan
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id peraturan pemerintah yang berada di atasnya. Surat edaran Menteri Dalam Negeri yang ditujukkan kepada Gubernur, Bupati, dan Walikota di seluruh Indonesia menyatakan agar penerimaan dan pengeluaran dana dari kas daerah harus melalui mekanisme dan prosedur. Hal ini senada dengan bunyi Pasal 308 dan Pasal 309 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintah daerah. Amanat tersebut antara lain adalah pemberian pedoman sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah, mencakup tata cara penatausahaan dan akuntansi, pelaporan serta pertanggungjawaban. Berkenaan dengan ketentuan di atas, Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah menerbitkan pedoman sistem dan prosedur penatausahaan dan akuntansi, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah, yang substansinya meliputi sistem dan prosedur penerimaan melalui bendahara penerima. Pedoman tersebut merupakan suatu keharusan yang dijadikan acuan bagi pemerintah daerah untuk melakukan penerimaan, pengeluaran, dan pengawasan serta pertanggungjawaban pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Berdasarkan peraturan Menteri Dalam Negeri bahwa semua dana yang masuk dan keluar dari kas daerah harus melalui mekanisme. Tujuan penerapan mekanisme tersebut untuk menetapkan kesetaraan sesama aparatur pemerintah. Kesetaran tersebut tentu berdasarkan hak dan kewajiban di masing-masing SKPD. Dengan menerapkan mekanisme atau prosedur tersebut maka perlakuan atas pertanggungjawaban di semua bendahara pengeluaran pembantu adalah sama. Selain untuk melakukan pemerataan di semua lini, juga menepis pemikiran-pemikiran yang negatif. Untuk mengurangi prasangka negatif maka pemerintah pusat membuat peraturan melalui Permendagri3. Dana yang ditransfer dari pemerintah pusat tidak penuh semuanya. Dana yang ditransfer hanya sebesar 1/12 dari total anggaran yang disetujui. Artinya, hanya 1/12 dari pagu anggaran untuk semua SKPD yang ada di Kabupaten Buton. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan berikut. ”Penerimaan DAU, DAK, bagi hasil pajak, dan bukan pajak ditransfer langsung dari pusat. Pencairan pertama hanya 1/12 kali total anggaran tahun bersangkutan. Artinya, DAU 1/12, ini sudah menjadi kebijakan pusat. Dana tersebut ditransfer setiap tanggal 2 s.d. 10 bulan berikutnya. Transfer dana langsung masuk ke kas daerah tanpa melalui KPKN seperti tahun-tahun sebelumnya. Sejak tahun 2007 3
Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
sampai sekarang dana ditransfer langsung dari pusat masuk ke kas daerah. Ini cukup melegakan buat kami yang ada di daerah. Semua dana langsung masuk ke kas daerah. Setelah dana tersebut masuk ke kas daerah baru daerah mengalokasikan lagi kepada masing-masing SKPD sesuai anggaran yang disetujui. Jadi, dana itulah yang akan dibagi untuk semua SKPD. Pencairan dana tersebut menggunakan formulir SP2D, SPP-UP/SPP-GU/SPP-TU/SPPLS, atau SPM-UP/SPM-GU/SPM-TU/SPM-LS. Khusus gaji, barang dan jasa menggunakan formulir SPP-LS atau SMP-LS (H. La Zani-Kuasa BUD). Berdasarkan ungkapan informan di atas dapat diketahui bahwa dana anggaran yang diajukan tidak turun semuanya. Dana yang turun hanya 1/12 nya. Jadi, dari total anggaran oleh pemerintah pusat dicairkan setiap bulan. Bulan pertama cair 1/12 dari total anggaran. Dengan demikian, aparatur mau tidak mau hanya bisa membagi dana yang ada itu untuk semua SKPD sesuai anggaran yang disetujui. Tentunya, persentase yang dicairkan juga 1/12 dari total anggaran yang disetujui dari masing-masing SKPD. Selain itu, ada perubahan kebijakan tentang mekanisme pencairan dana dari pemerintah pusat. Sejak 2007, dana langsung ditransfer ke kas daerah tidak lagi melalui KPKN. Diketahui juga bahwasannya untuk mekanisme pencairan dana diperlukan beberapa formulir khusus. Uraian di atas menginformasikan beberapa sikap dan perilaku aparatur pemerintah daerah Buton. Sikap yang pertama, aparatur pemerintah daerah bersedia menerima kebijakan dari pemerintah pusat bahwa dana yang cair setiap bulan adalah 1/12 dari dana DAU. Kedua, sikap aparatur pemerintah daerah yang senang dengan perubahan mekanisme pencairan dana dari pemerintah pusat masuk ke daerah yang tidak melalui KPKN. Ketiga, adalah sikap aparatur masing-masing SKPD yang bersedia mematuhi mekanisme dalam pencairan dana. Sikap-sikap di atas dapat menimbulkan perilaku sebagai berikut. Pertama, perilaku aparatur yang mengalokasikan dana DAU yang masuk ke kas daerah kepada masing-masing SKPD. Kedua, perilaku aparatur atas dana yang cair tersebut BPKAD mengalokasikan sesuai proporsi masingmasing SKPD di Kabupaten Buton. Keempat, perilaku aparatur SKPD mengajukkan permintaan dana kepada BPKAD dengan menggunakan formulir SP2D, formulir yang lain seperti SPP-UP/SPP-GU/SPPTU/SPP-LS, atau SPM-UP/SPM-GU/SPM-TU/SPMLS. Khusus gaji, barang dan jasa menggunakan formulir SPP-LS atau SMP-LS. Penerimaan dari Daerah Penerimaan daerah berasal dari objek pendapatan daerah yang bersumber dari pajak dan retribusi. Pemerintah daerah mengikuti mekanisme yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Rambu-
Riset / 2014
rambu yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten adalah Permendagri Nomor 13/2006 Pasal 190 yang mengatur tata cara pelaksanaan penerimaan daerah yang dikelola oleh Bendahara Penerima Pembantu. Bendahara Umum Daerah (BUD), Bendahara Penerima Pembantu (BPenbt), Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPengbt), dan para pejabat lainnya diangkat berdasarkan SK Bupati. SK Bupati tersebut tetap mengacu kepada peraturan Menteri Dalam Negeri, jadi Bupati sebetulnya hanya menyikapi Kepmendagri di atas. Sikap dan perilaku aparatur pemerintah atas penerimaan PAD adalah mau dan berusaha untuk melakukan berbagai upaya-upaya peningkatan PAD di masing-masing SKPD. SKPD mempunyai kewenangan untuk melakukan berbagai upaya-upaya penyuluhan, penagihan, pemungutan pajak, dan retribusi. Untuk meningkatkan penerimaan PAD. Penerimaan pajak dan retribusi bisa meningkat jika aparatur PAD ingin menfokuskan perhatian pada objek-objek yang belum tersentuh selama ini. Hal ini dinyatakan oleh informan berikut. ”Berbagai usaha-usaha yang dilakukan di bagian yang membidangi pajak dan retribusi. Mereka mengintensifkan penyuluhan, penagihan, dan pemungutan. Usaha tersebut cukup maksimal. Kalau saya tidak keliru, bidang-bidang yang menangani pajak dan retribusi secara kontinyu menggelar pertemuan rutin. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mebahas kendala-kendala yang dihadapi aparatur yang membidangi PAD. Mereka terdiri atas 13 dinas, 3 unit badan, dan 2 unit kantor serta RSUD dan bagian perekonomian Setda. Jadi mereka terlihat sungguh-sungguh untuk meningkatkan PAD sesuai amanat Permendagri. Dan pemerintah daerah juga telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara umum, juga masyarakat wajib pajak juga kami telah lakukan pendekatan persuasif. Pembicaraan ini sebetulnya telah banyak saya sampaikan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya” (Tadjuddin Noor-Staf Ahli di BPKAD) Pernyataan di atas menunjukkan beberapa sikap dan perilaku yang telah dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah. Bapak Tadjuddin Noor juga menyampaikan bahwa ada 19 unit SKPD yang dipercaya Bupati untuk melakukan penyuluhan, penagihan dan pemungut pajak dan retribusi. Sikap yang tampak dari pembicaraan di atas adalah pertama, sikap aparatur pemerintah daerah memiliki kemauan yang tinggi untuk melakukan upaya-upaya guna meningkatkan penerimaan PAD dari pajak dan retribusi. Kedua, sikap aparatur pemerintah yang mau bekerjasama dan berbagi tugas untuk meningkatkan PAD dan membahas masalah atau kendala yang dihadapi di lapangan. Ketiga, sikap aparatur pemerintah ada kemauan melakukan pendekatan-pendekatan melalui dinas
Riset / 2015
pendapatan daerah. Keempat, sikap aparatur pemerintah yang memilki kemauan tinggi untuk melakukan pertemuan rutin. Dari beberapa sikap tersebut memunculkan berbagai perilaku sebagai berikut. Pertama, perilaku aparatur pemerintah dalam melakukan penyuluhan, penagihan, dan pemungutan pajak dan retribusi kepada masyarakat wajib pajak. Kedua, perilaku pemerintah daerah telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara umum. Ketiga, perilaku aparatur pemerintah daerah melalui dinas pendapatan daerah dalam melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada masyarakat wajib pajak. Keempat, perilaku aparatur yang selalu melakukan pertemuan rutin dan berbagi tugas untuk meningkatkan PAD serta membahas kendala-kendala yang ada di lapangan. Sebagaimana disampaikan oleh informan di atas, dinas pendapatan daerah ditunjuk oleh Bupati sebagai koordinator dalam pengelolaan PAD. Hal tersebut telah disinggung pada Bab 4 tentang dinasdinas yang memberi kontribusi atas penerimaan pajak dan retribusi daerah. Pemberi kontribusi tersebut di atas telah diungkapkan bahwa ada 13 unit dinas, 3 unit badan, 2 unit kantor, RSUD, dan Bagian Perekonomian Setda Kabupaten Buton. Kesembilan belas unit SKPD tersebut berpartisipasi penuh dalam meningkatkan pemungutan/penagihan dan pertanggungjawaban seluruh penerimaan pajak dan retribusi secara keseluruhan. Orientasi utamanya adalah kemauan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur di daerah Kabupaten Buton. Hal ini dapat memberikan gambaran yang jelas tentang pentingnya penerimaan PAD terhadap pembangunan. Dengan ditunjuknya dinas pendapatan sebagai koordinator penerimaan dan pengelolaan PAD, semua penerimaan PAD harus dilaporkan dan dipertanggungjawabkan oleh SKPD terkait. Pertanggungjawaban tersebut disampaikan kepada dinas pendapatan Kabupaten Buton. Pertanggungjawaban tersebut juga diungkapkan oleh informan berikut. ”Hampir sama dengan mekanisme penerimaan dari pemerintah pusat, pemungutan pajak dan retribusi menggunakan mekanisme berikut. Pertama,19 unit SKPD ditambah dengan dinas pendapatan daerah melakukan penerimaan atau pemungutan PAD, baik pajak maupun retribusi. Hasil penerimaan pajak dan retribusi daerah disetor ke bank pembangunan daerah pada hari yang bersangkutan. Kedua, ke19 unit SKPD tersebut memberikan laporan kepada dinas pendapatan. Laporan berisi jumlah pajak dan retribusi yang telah disetor ke kas daerah pada tanggal tersebut (lihat tanggal STS). Ketiga, ke-19 unit SKPD plus dinas pendapatan daerah memberikan tembusan kepada BPKAD (bagian sekretaris). Sekretaris BPKAD kemudian memberikan informasi kepada BUD dan bagian akuntansi untuk dilakukan pengecekan dan pencatatan.
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id Keempat, BUD melakukan pengecekan pada bank pembangunan Kabupaten Buton, apakah setoran pajak dan retribusi tersebut telah masuk atau belum (H. La Zani-Kuasa BUD). Uraian di atas menggambarkan mekanisme penerimaan PAD kabupaten Buton. Dari uraian di atas tampak bahwa mekanisme tersebut dijalankan dengan baik oleh aparatur pemerintah daerah Buton. Selain itu, aparatur yang bertugas di masing-masing bidang juga bersedia menerapkan mekanisme tersebut. Sikap yang tampak dari ungkapan informan di atas adalah pertama, sikap aparatur pemerintah yang bersedia menjalankan mekanisme penerimaan PAD seperti yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Kedua, sikap aparatur yang ingin mendasari perbuatannya dengan payung hukum. Ketiga, sikap aparatur pemerintah adalah mau bertanggung jawab setelah diangkat menjadi penanggung jawab penerimaan daerah. Berdasarkan beberapa pernyataan infoman tersebut dapat memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa lingkup sikap sebetulnya bagian dari ruang kognitif. Ruang tersebut semacam proses kegiatan berpikir namun semua proses tersebut tersimpan dalam pisikis atau dalam ruang kejiwaan manusia. Dari ruang psikis tersebut memunculkan perilaku. Perilaku yang muncul adalah sebagai berikut. Pertama, perilaku aparatur pemerintah yang melaksanakan semua mekanisme penerimaan PAD berdasarkan SK yang diterima dari Bupati, misalnya penyuluhan, penagihan dan pemungutan pajak dan retribusi, menyetorkan dana ke bank pembangunan daerah, menyampaikan pertanggungjawaban kepada dinas pendapatan daerah bersamaan dengan bukti setoran pajak dan retribusi berupa STS, menyampaikan tembusan kepada sekretaris BPKAD, dan BPKAD menyampaikan tembusan kepada BUD. Setelah itu, BUD melakukan pengecekan kepada bank pembangunan daerah, apakah dana tersebut telah masuk. Jika dana telah masuk, maka BUD menyampaikan laporan kepada bagian akuntansi. Setelah itu, bagian akuntansi melakukan pencatatan atas penerimaan daerah dengan perkiraan mendebit kas daerah dengan mengkreditkan pendapatan daerah yang bersumber dari pajak dan retribusi. Perilaku lain yang muncul adalah perilaku aparatur yang mendasari mekanisme penerimaan dan pengangkatan bendahara penerima pembantu dengan SK Bupati. Hal ini merupakan bentuk kehatihatian dari diri aparatur. Perilaku lainnya adalah perilaku aparatur yang selalu siap dengan tanggungjawab karena telah bersedia menerima tanggung jawab atas dana pemerintahan daerah setelah mereka diangkat. Mekanisme tersebut diterapkan untuk menjaga agar tidak terjadi penundaan penyetoran pajak dan retribusi ke kas daerah melalui BPD. Selain men-
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
jaga penundaan penyetoran, mekanisme tersebut berfungsi sebagai alat kontrol masing-masing bendahara penerima pembantu. SKPD yang ditunjuk pemerintah kabupaten diberi mandat agar semua pungutan yang didapat pada hari yang bersangkutan juga harus disetor pada hari yang bersangkutan. Berikut mekanisme dan tata cara penyetoran serta pertanggungjawaban pajak dan retribusi daerah. Kategorisasi di Tahap Open Coding Berdasarkan penyajian paparan dan analisis data di atas dapat dilakukan kategorisasi. Kategorisasi tersebut bertujuan untuk menemukan esensi sikap dan perilaku yang terkandung di dalam pengelolaan dana, baik penerimaan dana dari pemerintah pusat maupun penerimaan dana dari pemerintah daerah. Untuk memberikan pembedaan antara sikap dan perilaku maka dilakukan kategorisasi. Kategorisasi bertujuan untuk melihat sikap dan perilaku yang sama dalam penerimaan, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selain itu, kategorisasi juga digunakan untuk mendata temuan-temuan berkaitan dengan sikap dan perilaku aparatur. Berdasarkan kategorisasi, ternyata, sikap aparatur pemerintah dapat memunculkan lebih dari satu dan bahkan 3 sampai dengan 6 perilaku sebagai dampak yang ditimbulkan oleh sikap tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sikap dan perilaku aparatur tidak selalu berbanding lurus. Artinya, satu sikap tidak selalu memunculkan satu perilaku. Namun berdasarkan kenyataan dari berbagai sumber data menunjukkan bahwa semakin banyak melakukan kategorisasi maka semakin baik, artinya antara sikap dan perilaku yang dimunculkan semakin menunjukan adanya keterkaiatan langsung antara sikap dan perilaku tersebut. Hal ini dapat diamati berdasarkan data yang ada di lapangan berdasarkan hubungan keterkaitan mekanisme penerimaan dana melalui mekanisme pertanggungjawaban penggunaan dana. Kategorisasi hubungan keterkaitan sikap dan perilaku aparatur melaksanakan mekanisme penerimaan dana dan mekanisme pertanggjawaban penggunaan dana. Kategorisasi di Tahap Axial Coding Pada bab terdahulu telah disampaikan bahwa tujuan dilakukan kategorisasi tahap open coding ini adalah untuk mengetahui keterkaitan langsung antara sikap dengan perlaku aparatur dalam menerapkan mekanisme penerimaan dan pertanggungjawaban penggunaan dana oleh masing-masing SKPD terkait. Hubungan Sikap dan Perilaku Aparatur atas Mekanisme Penerimaan Dana
Riset / 2016
Kategorisasi ini disampaikan agar memberikan perbedaan yang tampak antara penerimaan dana yang bersumber dari pemerintah pusat berupa DAU, DAK, dana bagi hasil pajak maupun dana bagi hasil bukan pajak (SDA). Mekanisme tersebut hampir sama dengan mekanisme penerimaan dana dari pemerintah daerah. Namun perbedaannya terletak pada tata cara penerimaannya, misalnya DAU, DAK, dana bagi hasil pajak dan dana bagi hasil bukan pajak masuk langsung ke kas daerah. Sedangkan penerimaan dari daerah melalui proses penagihan kepada masyarakat wajib pajak. Pertama, sikap aparatur pemerintah di BUD yang bersedia menjalankan mekanisme penerimaan keuangan daerah. Sikap ini didorong oleh stimulus dari luar, yaitu aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Jika aparatur tidak menjalankan mekanisme seperti yang telah ditentukan maka aparatur akan mendapatkan kesulitan di kemudian hari. Sikap tersebut dapat memunculkan perilaku aparatur pemerintah yang langsung melakukan pengecekkan ke bank pembangunan daerah, pengecekkan tersebut memberikan rasa puas pada diri aparatur pemerintah. Sikap dan perilaku yang ditunjukkan di atas dapat menjembatani sikap dan perilaku yang lainnya. Kedua, adalah sikap sabar. Aparatur sabar dalam menunggu cairnya DAK dana hasil pajak maupun bukan pajak. Sikap ini mengindikasikan bahwa aparatur memang selalu tunduk pada ketentuan dari pusat. Mereka tidak banyak menuntut pada pemerintah pusat. Dan perilaku aparatur yang menunggu cairnya dana DAK, dana bagi hasil pajak, dan bagi hasil bukan pajak. Mereka selalu bertanya kapan dana tersebut bisa dicairkan. Ketiga, sikap yang menerima dengan lapang dada berapapun dana yang dicairkan oleh pemerintah pusat. Perilaku aparatur yang tidak menuntut kepada pemerintah pusat mengenai jumlah dana yang dicairkan oleh pemerintah pusat. Sikap yang kelima yaitu berusaha semaksimal mungkin memenuhi semua persyaratan dari pemerintah pusat. Sikap tersebut menimbulkan perilaku aparatur yang selalu memenuhi persyaratan yang dianjurkan oleh pemerintah pusat. Ketiga, sikap aparatur pemerintah daerah yang senang dengan perubahan mekanisme pencairan dana dari pemerintah pusat masuk ke daerah yang tidak melalui KPKN. Perilaku aparatur atas dana yang cair tersebut BPKAD mengalokasikan sesuai proporsi masing-masing SKPD di Kabupaten Buton. Keempat, sikap aparatur pemerintah daerah memiliki kemauan yang tinggi untuk melakukan upaya-upaya guna meningkatkan penerimaan PAD dari pajak dan retribusi. Perilaku, aparatur pemerintah dalam melakukan penyuluhan, penagihan, dan
Riset / 2017
pemungutan pajak dan retribusi kepada masyarakat wajib pajak. Hubungan Sikap dan Perilaku Aparatur atas Pertanggungjawaban Penggunaan Dana Pertama, sikap bendahara pengeluaran pembantu siap melakukan pertanggungjawaban (SPJ) setiap tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 bulan berikutnya. Berdasarkan sikap tersebut maka perilaku yang muncul dari sikap tersebut adalah bendahara pengeluaran pembantu melakukan pertanggungjawaban (SPJ) setiap tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 bulan berikutnya. Sikap dan perilaku tersebut dapat mewakili sikap dan perilaku yang lainnya, misalnya sikap dan perilaku kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilan. Kedua, sikap aparatur bidang verifikasi adalah menunjukkan keinginan untuk melakukan pemeriksaan keabsahan pertanggungjawaban bendahara pengeluaran pembantu. Perilaku yang muncul dari sikap tersebut adalah aparatur bidang verifikasi melakukan pemeriksaan atas keabsahan pertanggungjawaban bendahara pengeluaran pembantu. Sikap dan perilaku tersebut dapat mewakili atau menjembatani sikap dan perilaku yang lain, misalnya mewakili sikap dan pelaku kesepuluh, dan kesebelas. Setelah diamati bahwa setiap sikap yang dimunculkan aparatur pemerintah juga memunculkan 1 (satu) perilaku. Dan sikap-sikap tersebut selalu diikuti dengan perilaku yang tidak bertentangan dengan arah sikap yang disampaikan aparatur pada saat dilakukan wawancara. Dan bahkan sikap yang pasifpun akan memunculkan perilaku aktif dalam implementasinya, hal ini dapat dilihat kembali hasil wawancara dengan informan pada pembahasan dan analisis bab 3 (tiga), pada analisis dan pembahasan tersebut ada informan yang menyatakan bahwa mereka tidak membuat KUA, namun implementasi KUA dan PPAS tersebut tetap dilakukan aparatur pemerintah daerah dengan baik. Berdasarkan pengerucutan sebagaimana disampaikan di atas, tampak pada diagram gambar di bawah ini yang menunjukkan kategorisasi akhir tentang sikap dan perilaku aparatur dalam melaksanakan mekanisme penerimaan dan pertanggungjawaban penggunaan dana. Mekanisme tersebut bertujuan untuk mengimplementasikan keputusan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang petunjuk pelaksanaan pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Kategorisasi di Tahap Selective Coding Kategorisasi pada tahap akhir ini (Selective Coding) bertujuan untuk mengurangi pengungkapan yang berulang-ulang. Beberapa sikap dan perilaku
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id yang dapat disarikan pada tahap ini adalah sebagai berikut. Pertama, sikap aparatur pemerintah di BUD yang bersedia mematuhi mekanisme penerimaan keuangan dan pertanggungjawaban penggunaan dana setiap bulan. Sikap ini didorong oleh stimulus dari luar, yaitu aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Jika aparatur tidak menjalankan mekanisme seperti yang telah ditentukan maka aparatur akan mendapatkan kesulitan di dalam penerimaan dan pertanggungjawaban penggunaan dana di kemudian hari. Kedua, sikap sabar dalam menunggu cairnya dana penggantian SPJ yang disampaikan bendahara pengeluaran pembantu. Sikap ini mengindikasikan bahwa aparatur memang selalu tunduk dan patuh pada ketentuan dari pusat. Mereka tidak banyak menuntut pada pemerintah pusat. Kesabaran tersebut ditunjukkan dengan kesediaan bendahara menunggu verifikasi pertanggungjawaban bendahara pengeluaran pembantu dalam penggatian dana SPJ yang mereka ajukkan. Ketiga, sikap disiplin menyampaikan pertanggungjawaban (SPJ) setiap tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 bulan berikutnya. Perilaku yang muncul dari sikap tersebut adalah menyampaikan pertanggungjawaban (SPJ) tepat waktu, yaitu setiap tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 bulan berikutnya. Sikap dan perilaku tersebut dapat mewakili sikap dan perilaku yang lainnya. Keempat, sikap amanah aparatur pemerintah daerah. Semua tugas yang diembankan kepada mereka dianggap amanah yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Perilaku yang muncul dari sikap tersebut adalah melakukan pekerjaan di bidangnya masing-masing dengan baik. Tahap selective koding dalam pendekatan grounded theory merupakan tahap analisis yang paling tinggi, karena tahap ini disamping memiliki sifat keabsrakan yang cukup tinggi, namun berada pada tingkat keabstrakan dan tahap tertinggi, tetapi dapat mewakili semua data yang terhimpun baik tahap open coding maupun tahap axial coding. Oleh karena itu, pada tahap selective coding ini merupakan himpunan dari semua datadata yang telah dianalisis di dalam pembahasan terdahulu. Namun tahap akhir ini nantinya akan disajikan kembali dalam topik akhir sebelum penutup disertasi sebagai perwakilan dari masing-masing bab hasil penelitian. Keterkaitan sikap dan perilaku aparatur dalam melaksanakan mekanisme penerimaan dan pertanggungjawaban penggunaan dana pada tahap selective coding. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada beberapa temuan sikap dan perilaku
JURNAL EKSIS Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181
dalam mekanisme penerimaan dana maupun pertanggungjawaban penggunaan dana bagi aparatur. Satu sikap umumnya memunculkan satu perilaku. Pada diagram Gambar 5.5 di atas terlihat ada lima sikap. Kelima sikap tersebut juga memunculkan 5 perilaku. Kategorisasi tahap akhir menunjukkan satu sikap dan satu perilaku aparatur yang dapat menjalankan mekanisme pengelolaan keuangan daerah. Sikap-sikap tersebut berkaitan erat dengan perilaku aparatur dalam menjalankan mekanisme penerimaan keuangan, baik dari pemerintah pusat maupun penerimaan dari pendapatan asli daerah. Hal ini banyak memunculkan perilaku sebagai tuntutan peraturan yang menyatakan bahwa semua penerimaan yang terjadi pada hari yang bersangkutan harus dicatat, disetorkan, dilaporkan, dipertanggungjawabkan, dan disampaikan tembusan kepada sekretaris BPKAD. Kelima sikap tersebut di atas melandasi munculnya perilaku yang tidak berbanding lurus dengan perilaku yang muncul dalam mekanisme penerimaan dana baik dari pusat maupun dari PAD. Sikap dan perilaku yang muncul dalam pertanggungjawaban bendahara penerima pembantu dan bendahara pengeluaran pembantu juga menunjukkan adanya kesetaraan/keseimbangan. Ada sembilan perilaku aparatur pemerintah yang melakukan pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Kesembilan sikap tersebut juga memunculkan sembilan perilaku. Jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata hal itu disebabkan oleh kepatuhan dan ketaatan mereka terhadap peraturan pemerintah. Sebagai bawahan, mereka merasa harus patuh menjalankan perintah atasannya dengan sebaik-baiknya meskipun dalam keadaan sangat terbatas. Keterbatasan aparatur menjadi pemicu aparatur untuk lebih berusaha secara maksimal agar semua yang menjadi hambatan aparatur dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi tertentu, sikap aktif diikuti dengan memunculkan perilaku aktif pula terutama jika dihadapkan pada peraturan baik dari atasan langsung maupun dihadapkan dengan ketentuan berupa norma-norma, hukum, dan atau perundang-undangan yang berlaku di wilayah Republik Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Basri, Y. Z, dan Mulyadi, S. 2005. Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri. Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Bastian, I 2002. Manual Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah: Pusat Pengembangan Akuntansi Fakultas Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta : Penerbit BPFE. Bastian, I 2006. Akuntansi Sektor Publik; Suatu Pengantar, Penerbit Erlangga (Anggota IKAPI). Jakarta.
Riset / 2018
Bratakusumah, D. S. 2002. Otonomi Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Halim, A. 2005. Pengaruh Faktor-faktor Rasional, Politik dan Kultur Organisasi Terhadap Pemanfaatan Informasi Kinerja Instansi Pemerintah Daerah. SNA VIII. Solo, 15-16 September 2005. Harun, H.R. 2007. Metode Penelitian Kualitatif Untuk Pelatihan. Bandung: Penerbit CV Mandar Maju. Wajong. 1985. Administrasi Keuangan Daerah. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Kaho. 1998. Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia:Identifikasi beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: PTRajawali Presada.
Economics”. The Economic Journal Vol. 89, hal.527-57. Undang-undang Republik Indonesia No. 22/1990 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang Republik Indonesia No.25/1990, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Undang-undang Republik Indonesia No.32/2004, tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang Republik Indonesia No.33/2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Dasar 1945. Syamsi.1998. Administrasi Pemerintahan Daerah, Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.
di
Kurniawan, M. 1999. Public Sector Accounting di Indonesia, Apa yang Dilakukan IAI .Media Akuntansi, Edisi 04. LAN, BPKP. 2000. Pengukuran Kinerja Instansi Pemerintah, Modul Sosialisasi Sistem AkunPP.No.24 Tahun 2005. Mamesah. 1995. Sistem Administrasi Keuangan Daerah. Jakarat : Pustaka umum. Mardiasmo. 2002. Value for Money Audit dalam Pemeriksaan Keuangan Daerah Sebagai Upaya Memperkuat Akuntabilitas Publik, Makalah Seminar Strategi Pemeriksaan Keuangan Daerah yang Ekonomis, Efisien, dan Efektif dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Strauss, Geoge dan Sayles, Leonard. 1990. Manajemen Personalia, Segi dalam Organisasi, Individu, Kelompok kerja, Ketermpilan Manajerial, Struktur Organisasi dan Fungsi Personalia, Penerbit PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.39/2007, tentang Organisasi Perangkat Daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13/2006, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.59/2009, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13/2006. Penerbit Fokus Media. Bandung. Sen, A.1979. Personal Utilities and Public Judgements. Or What’s Wrong with Welfare
Riset / 2019
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.1, Mar 2012: 2001 – 2181