Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR SOSIAL EKONOMI YANG MEMPENGARUHI PERCEPATAN ADOPSI TEKNOLOGI USAHA TERNAK: KASUS PADA USAHA TERNAK SAPI POTONG DI BOYOLALI, JAWA TENGAH (Analysis of Socioeconomic Factors Affecting Technology Adoption: Case of Beef Cattle Business in Boyolali, Central Java) RACHMAT HENDAYANA Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No.10, Bogor 16114
ABSTRACT Accelerating technology adoption of cattle business became an important phenomenon in supporting of the Beef Sustainability Programe (BSP). This paper aims to examine the influence of socioeconomic factors to the acceleration of technology adoption of beef cattle business. The survey was conducted in Boyolali, Central Java, in 2009 to 30 selected people respondents. Socioeconomic factors as predictors (independent variables), namely: age, formal education, family responsibility, experience of raising cattle, beef cattle ownership, and distance from settlement to location of livestock enterprises, to highway, to market inputoutput, sources of capital and technology resources. Meanwhile, as dependent variable was the acceleration of adoption. By using logit models, the results showed: (1) There were functional relationship between the acceleration of technology adoption with socio-economic factors. (2) Acceleration of adoption is negatively related to age, residential distance to the location of livestock enterprises, residential distance to the location of input markets and residential distance to the location of the output market. However, all variables statistically did not have apparent effect, except for residential distance to the location of input markets, (3) factors that significantly affect accelerations was education level of respondents, the number of cattle ownership, accessibility to the highway, and accessibility to technology resources. It is suggested that to accelerate technology adoption of livestock enterprises should be supported by improving knowledge (eg with a field school) and increase accessibility to highway, support of inputs market availability, and technological assistance. Key Words: Beef Cattle Business, Technology, Accelerating Adoption, Accessibility, Assistance, BSP ABSTRAK Percepatan adopsi teknologi usaha ternak menjadi fenomena penting dalam mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS). Makalah bertujuan menguji pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi terhadap percepatan adopsi teknologi usaha ternak sapi potong. Survei dilakukan di Boyolali Jawa Tengah, tahun 2009 terhadap 30 orang peternak sapi potong sebagai responden yang terpilih secara acak sederhana. Pengujian dilakukan dengan memasukkan faktor-faktor sosial ekonomi sebagai prediktor (independent variable), yakni: umur, pendidikan formal, tanggungan keluarga, pengalaman beternak sapi, pemilikan sapi potong dan jarak dari pemukiman ke lokasi usaha ternak, ke jalan raya, ke pasar input, pasar output, sumber modal dan sumber teknologi. Sementara itu sebagai peubah terikat (dependent variable) adalah percepatan adopsi. Analisis data menggunakan regresi model logit. Hasil analisis menunjukkan: (1) Terdapat hubungan fungsional antara percepatan adopsi teknologi dengan faktor-faktor sosial ekonomi yang dikaji; (2) Percepatan adopsi berhubungan negatif dengan faktor umur, jarak pemukiman ke lokasi usaha ternak, jarak pemukiman ke lokasi pasar input dan jarak pemukiman ke lokasi pasar output. Namun demikian semua peubah tersebut secara statistik pengaruhnya tidak nyata, kecuali jarak pemukiman ke lokasi pasar input; (3) Faktor yang berpengaruh nyata terhadap percepatan adopsi adalah tingkat pendidikan responden, jumlah pemilikan sapi, aksesibilitas ke jalan raya, dan aksesibilitas ke sumber teknologi. Implikasi dari temuan pengkajian ini memberikan petunjuk, untuk mempercepat adopsi teknologi usaha ternak perlu didukung langkah
243
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
peningkatan pengetahuan (misalnya dengan sekolah lapang) dan meningkatkan aksesibilitas jalan raya, dukungan ketersediaan pasar input dan pengawalan teknologi. Kata Kunci: Sapi Potong, Teknologi, Percepatan Adopsi, Aksesibilitas, Pengawalan, PSDS
PENDAHULUAN Percepatan adopsi teknologi usaha ternak menjadi fenomena penting dalam mendukung Pencapaian Swasembada Daging Sapi (PSDS). Menurut perhitungan Ditjen Peternakan, kebutuhan daging sapi tahun 2014 diprediksi mencapai sekitar 467 ribu ton. Untuk memenuhi kebutuhan daging itu, pemerintah mengutamakan bersumber dari penyediaan daging sapi produksi lokal dan kekurangannya dari impor. Untuk mendukung pencapaian produksi daging itu, pemerintah melaksanakan program PSDS melalui lima kegiatan pokok yang dijabarkan ke dalam 13 jurus teknologi. Program pokok yang dimaksud adalah: (1) Penyediaan bakalan/daging sapi lokal; (2) Peningkatan produktivitas dan reproduktivitas sapi lokal; (3) Pencegahan pemotong sapi betina produktif; (4) Penyediaan bibit sapi dan (5) Pengaturan Stock daging sapi dalam negeri. Teknologi yang dikembangkan meliputi 13 jurus, yaitu: (1) Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal; (2) Pengembangan pupuk organik dan biogas; (3) Pengembangan integrasi; (4) Peningkatan kualitas RPH; (5) Optimalisasi IB dan INKA; (6) Penyediaan pakan dan air; dan (7) Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan; (8) Penyelamatan Betina Produktif; (9) Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan usaha pembibitan; (10) Pengembangan pembibitan sapi potong melalui VBC; (11) Penyediaan bibit melalui subsidi bunga (KUPS); (12) Pengaturan stock daging sapi dalam negeri dan (13) Pengaturan distribusi dan pemasaran ternak sapi dan daging (BAHRI, 2011). Di dalam prakteknya percepatan adopsi teknologi usaha ternak dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adalah faktor sosial ekonomi. Keputusan petani untuk menerima atau menolak teknologi merupakan proses yang berjalan secara gradual dan bertahap, sehingga terjadi adoption lag atau senjang adopsi yaitu gap antara kondisi sadar adanya teknologi hingga menerapkannya secara aktual
244
(ROGERS dan SHOEMAKER dalam HANAFI, 1981; KENNETH, 2009). Kecenderungan terjadinya senjang adopsi itu biasanya teridentifikasi dari lambatnya tingkat pemanfaatan inovasi. Menurut SIMATUPANG (2004), hal itu ada hubungannya dengan segmen rantai pasok inovasi pada subsistem penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem). Dari sisi waktu, kesenjangan itu bisa mencapai 2 – 3 tahun (MUNDY, 2000). Senjang waktu adopsi yang dialami setiap adopter bervariasi, tergantung pada banyak faktor. Kondisi keragaman senjang waktu adopsi itu jika digambarkan secara grafis akan menunjukkan kurva S atau dikenal dengan sigmoid (BALDWIN dan RAFIQUZZAMAN, 1998; STANLEY et al., 2001). HENDAYANA (2006) mengidentifikasi aspek yang memberikan andil terhadap akselerasi adopsi antara lain terjadinya kesenjangan antara teknologi yang diintroduksikan dengan teknologi yang dibutuhkan petani dan tidak efektif stock-nya cara penyebaran informasi teknologi (infotek), serta kurangnya pelibatan penyuluh di lapangan. Faktor lainnya menurut LINDER (1982), SUKARTAWI (1988) dan SUBAGIYO et al. (2005) adalah aspek jarak tempat tinggal petani dari sumber informasi, tingkat pendidikan/pengetahuan petani, motivasi, keterlibatan dalam organisasi, komunikasi interpersonal, tingkat kosmopolitan dan terpaan media masa, kebijakan pemerintah, peran tokoh informal dan tokoh agama, dan sistem sosial dan nilainilai/norma juga berpengaruh. ROGERS (1983) berpendapat, kecepatan adopsi dan difusi inovasi teknologi terkait dengan persepsi petani terhadap sifat- sifat inovasi itu sendiri. Faktor yang tak kalah pentingnya adalah faktor lingkungan strategis (FAGI, 2008). Secara teoritis proses adopsi dikatakan cepat jika waktu adopsi lebih pendek dari target waktu yang ditentukan, jumlah adopter relatif lebih banyak dari adopter lainnya dalam kurun waktu yang sama, dan kombinasi perpendekan waktu dengan peningkatan jumlah adopter. Namun demikian yang menjadi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
perhatian adalah, percepatan adopsi tidak mengabaikan muatan adopsi sehingga tetap efektif didasari motivasi intrinsik dan ekstrinsik sekaligus (SLAMET, 2000). Percepatan adopsi yang efektif ini dapat menjadi suatu strategi pencapaian sasaran (JAUCH dan GLUECK, 1998 dalam KEMALA, 2007). Makalah ini bertujuan untuk menguji pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi terhadap percepatan adopsi teknologi usaha ternak sapi potong. Hasil kajian akan bermanfaat menyediakan informasi bagi kebijakan percepatan adopsi teknologi usaha ternak dalam rangka mendukung PSDS.
aksesibilitas ke sumber teknologi, ukuran aksesibilitas unsur-unsur tersebut dinyatakan dengan satuan km. Aspek percepatan adopsi sebagai peubah terikat, dalam Analisis Regresi Model Logit diukur dengan kategori adopsi cepat (< 1 tahun) dan adopsi lambat (> 1 tahun). Dengan memasukkan faktor-faktor sosial ekonomi tersebut ke dalam model pengujian, dibangun model empiris sebagai berikut: LnY
MATERI DAN METODE Data dan sumber data Makalah dikembangkan dari sebagian hasil pengkajian adopsi inovasi pertanian di Kabupaten Boyolali Jawa Tengah, tahun 2009. Pengumpulan data dilakukan melalui survei terstruktur terhadap 30 orang peternak sapi potong sebagai responden yang terpilih secara acak sederhana. Data primer yang dikumpulkan adalah karakteristik responden (umur, pendidikan, tanggungan keluarga, pengalaman beternak sapi, dan pemilikan sapi), dan gambaran aksesibilitas wilayah usaha ternak yang ditunjukkan oleh jarak pemukiman (rumah) ke lokasi usaha ternak, jaraknya ke jalan raya, ke pasar input dan pasar output, ke sumber permodalan dan jarak pemukiman ke sumber teknologi terdekat. Analisis data Untuk menguji dugaan faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi percepatan adopsi teknologi dilakukan dengan Analisis Regresi Model Logit. Faktor sosial ekonomi sebagai peubah bebas (independent variable) yang diuji pengaruhnya terhadap percepatan adopsi (dependent variable) meliputi faktorfaktor: umur (tahun), pendidikan (tahun), tanggungan keluarga (jiwa), pengalaman beternak sapi (tahun), jumlah pemilikan sapi (ekor), dan aksesibilitas lokasi usaha ternak terkait dengan kondisi jalan raya, pasar input, pasar output, sumber permodalan dan
: a + b1LnAGE + b2LnEDUC b3LnFRESP + b4LnEXP b5LnOWNC + b6LnSETTL b7LnHIGHW + b8LnINPM b9LnOUTM + b10LnCAPT b11LnTECH + e
+ + + + +
LnY
: percepatan adopsi, dinyatakan dengan satuan biner 1 atau 0 (1: adopsi < 1 tahun; 0: adopsi > 1 tahun) LnAGE : umur (tahun) LnEDUC : pendidikan (tahun) LnFRESP : tanggungan keluarga (jiwa) LnEXP : pengalaman beternak LnOWNC : pemilikan sapi (ekor) LnSETTL : jarak tempat pemukiman ke lokasi usaha ternak (km) LnHIGHW: jarak pemukiman ke jalan raya (km) LnINPM : jarak pemukiman ke pasar input LnOUTM : jarak pemukinan ke pasar output (km) LnCAPT : jarak pemukiman ke sumber permodalan (km) LnTECH : jarak pemukiman ke sumber teknologi (km) e : disturbance term atau faktor pengganggu (eror) a : konstanta bi : koefisien regresi (i= 1,2,3,...,11) HASIL DAN PEMBAHASAN Profil responden Keragaan pemeliharaan ternak sapi di lokasi pengkajian relatif beragam, seirama dengan dengan profil responden yang dicirikan oleh keragaman umur (tahun), tingkat pendidikan (tahun), tanggungan keluarga (jiwa), pengalaman beternak sapi (tahun) dan
245
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
penguasaan/pemilikan (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik pengkajian
ternak
sapi
(ekor)
di
lokasi
responden
Peubah
Nilai
Umur (tahun)
32 – 40
Lama tempuh pendidikan formal (tahun)
9 – 12
Jumlah tanggungan keluarga (jiwa)
1–2
Pengalaman beternak sapi (tahun)
12 – 20
Jumlah pemilikan sapi (ekor)
2–3
Umumnya peternak berada pada usia produktif, sehingga dapat diandalkan untuk dapat mengembangkan usaha ternak sapi potongnya dengan baik. Usaha ternak berpeluang untuk terus ditingkatkan karena didukung oleh sumberdaya manusia produktif. Kondisi usia yang produktif itu didukung latar belakang pendidikan formal yang rata-rata mengalaminya 9 tahun identik tamat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), bahkan ada juga yang 12 tahun, setara tamat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Dalam menjalankan usaha ternaknya itu, sekitar 80% responden mengandalkan tenaga kerja keluarga karena rata-rata setiap rumah tangga memiliki anggota keluarga yang berada pada usia kerja (> 15 tahun) antara 1 – 2 jiwa, bahkan ada juga yang memilikinya lebih dari 4 orang. Tanggungan keluarga tidak termasuk anggota keluarga yang sudah pindah rumah atau berkeluarga. Usaha ternak sapi potong di daerah ini sudah dilakukan secara turun temurun. Berdasarkan identifikasi di lapangan, diketahui pengalaman peternak dalam memelihara sapi potong ini lebih dari 10 tahun, dengan rataan pada 11 tahun. Meskipun demikian, jumlah ternak sapi yang dipelihara oleh setiap rumah tangga tidak lebih dari 3 ekor. Kalaupun ada yang memiliki lebih dari 3 ekor, pemilikannya terbatas oleh beberapa orang peternak. Relatif rendahnya pemilikan ternak sapi potong di daerah ini merupakan cerminan terjadinya jual beli. Motivasi memelihara ternak sapi itu umumnya sebagai usaha sampingan yang dijadikan “tabungan” masa depan untuk
246
diuangkan kapan saja diperlukan. Sebelum di jual, biasanya petani memanfaatkan sapi itu untuk tenaga kerja pengolahan sawah dan penarik gerobak. Aksesibilitas wilayah Aksesibilitas wilayah menjadi faktor kunci yang memiliki peran penting dalam mendukung atau menghambat keberhasilan usaha ternak. Indikator aksesibilitas wilayah di lokasi pengkajian ditentukan antara lain oleh jarak tempuh dari rumah responden ke lokasi kegiatan usaha ternak, jaraknya ke jalan raya, pasar input, pasar output, sumber permodalan dan sumber teknologi. Tabel 2. Aksesibilitas wilayah di lokasi pengkajian Peubah Jarak pemukiman ke lokasi usaha ternak
Nilai (km) 0–1
Jarak pemukiman ke jalan raya
2–6
Jarak pemukiman ke pasar input
2 – 10,5
Jarak pemukiman ke pasar output
2 – 10,5
Jarak pemukiman ke sumber modal
1–4
Jarak pemukiman ke sumber teknologi
5
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan aksesibilitas wilayah relatif baik, ditandai oleh jarak yang pendek dari rumah ke lokasi kegiatan usaha ternak (< 1 km), didukung kualitas jalan usaha tani yang juga relatif baik, diperkeras dengan batu, dapat dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat. Aksesibilitas lokasi usaha ternak ke jalan raya secara umum cukup kondusif, jaraknya tidak lebih dari 10 km sehingga memudahkan pengangkutan input dan output hasil usaha tani/ternak. Aksesibilitas lokasi ini bisa menekan pengeluaran biaya pengangkutan sehingga meningkatkan efisiensi biaya. Pada kasus usaha ternak di Jawa Tengah, jarak dari kandang sapi ke jalan raya kisarannya berada antara 2 – 6 km. Terhadap lokasi pasar hewan sebagai sasaran penjualan ternak, rata-rata jarak yang harus ditempuh dari pemukiman sekitar 10,53 km dengan jarak terdekat sekitar 2 km dan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
yang terjauh adalah 16 km. Pasar hewan terdekat berada di kecamatan tetangga, sedangkan yang terjauh di luar kabupaten. Ketika peternak memerlukan teknologi untuk meningkatkan kinerja usaha ternaknya, upaya yang ditempuh adalah melakukan komunikasi ke penyuluh di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), tidak ke peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Hal itu dilakukan karena jarak tempuh ke BPP relatif dekat (sekitar 5 km) dibandingkan dengan jarak ke BPTP. Pendugaan parameter dengan analisis regresi model logit Hasil analisis regresi model logit ditampilkan pada Tabel 3. Dari hasil Uji Wald terlihat peubah-peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap percepatan adopsi teknologi usaha ternak sapi potong pada taraf nyata 5% adalah pendidikan (lnEDUC), pemilikan sapi (LnOWNC), aksesibilitas ke jalan raya (LnHIGW), dan aksesibilitas terhadap sumber teknologi (lnTECH). Sedangkan pada taraf nyata 10% terjadi pada peubah aksesibilitas ke pasar input (LnINPM) dan aksesibilitas ke sumber modal (LnCAPT). Dari nilai rasio odds (Exp B) pada regresi model logit, diketahui peubah yang
berpengaruh secara signifikan terhadap percepatan adopsi teknologi usaha ternak sapi potong adalah peubah pendidikan, jumlah pemilikan sapi, dan aksesibilitas ke sumber teknologi dengan masing-masing nilai rasio odds 1.128 untuk pendidikan, 2.009 untuk pemilikan sapi dan 3,017 untuk aksesibilitas ke sumber teknologi. Dengan nilai rasio odds sebesar 1,128 pada peubah pendidikan menjadi petunjuk bahwa jika petani terus dibekali pengetahuan tentang usaha ternak sapi potong, maka kecenderungan (peluang) untuk terjadi percepatan adopsi teknologi usaha ternak akan meningkat sekitar 1,1 kali lipat dari sebelumnya setiap dibekali pengetahuan. Dari nilai rasio odds pada pemilikan sapi yang nilainya 2,009 hal itu mengandung arti jika sapi yang dipelihara peternak statusnya adalah milik sendiri, maka setiap tambahan satu ekor sapi yang dimiliknya sendiri terdapat peluang untuk mempercepat adopsi teknologinya sekitar 2 kali lipat. Dalam hubungan dengan aksesibilitas terhadap sumber teknologi, dengan nilai rasio odds sebesar 3,017 maka setiap pengurangan jarak (semakin dekat) 1 km dari lokasi pemukiman petani ke sumber teknologi berpeluang meningkatkan percepatan adopsi usaha ternak sekitar 3 kali lebih cepat.
Tabel 3. Koefisien peubah model percepatan adopsi pada usaha ternak dengan regresi model logit
LnAGE LnEDUC LnFRESP LnEXP LnOWNC LnSETTL LnHIGHW LnINPM LnOUTM LnCAPT LnTECH Constant (a)
bi -2,819 3,141** 2,329 2,200 2,566** 0,802 5,952** -13,542* -1,557 1,076* 4,085** 29,389
SE 4,837 2,720 2,242 2,168 2,153 1,097 3,816 9,425 1,936 2,490 2,571 19,925
Wald 0,340 1,333 1,078 1,030 1,420 0,534 2,432 2,064 0,647 0,187 2,524 2,175
Sig 0,560 0,048 0,299 0,310 0,033 0,465 0,019 0,051 0,421 0,066 0,012 0,140
Exp (B) 0,060 1,128 1,263 9,029 2,009 0,449 1,424 1,000 0,211 1,341 3,017 5,800
-2 log likelihood 20.769. Jumlah iterasi 9
247
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
KESIMPULAN
GUJARATI. 1998. Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan fungsional antara percepatan adopsi teknologi dengan faktorfaktor sosial ekonomi yang dimasukkan ke dalam model regresi linear semi log maupun regresi model logit. 2. Percepatan adopsi berhubungan negatif dengan faktor umur, jarak pemukiman ke lokasi usaha ternak, jarak pemukiman ke lokasi pasar input dan jarak pemukiman ke lokasi pasar output. Namun demikian semua peubah tersebut secara statistik pengaruhnya tidak nyata, kecuali jarak pemukiman ke lokasi pasar input. 3. Faktor yang berpengaruh nyata terhadap percepatan adopsi usaha ternak sapi potong adalah tingkat pendidikan responden, jumlah pemilikan sapi, aksesibilitas ke jalan raya, dan aksesibilitas ke sumber teknologi. 4. Implikasi dari temuan pengkajian ini memberikan petunjuk bahwa untuk mempercepat adopsi teknologi usaha ternak perlu didukung langkah peningkatan pengetahuan peternak sapi potong (misalnya dengan sekolah lapang) dan meningkatkan aksesibilitas jalan raya, dan aksesibilitas ke sumber teknologi. Untuk mendekatkan teknologi yang ternyata berpengaruh sangat nyata dan berhubungan positif, dapat dikompensasi dengan mengintensifkan pengawalan teknologi oleh peneliti.
HANAFI, A. 1981. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya Press.
DAFTAR PUSTAKA
SIMATUPANG, P. 2004. Prima Tani sebagai langkah awal pengembangan sistem dan usaha agribisnis industrial. Analisis Kebijakan Pertanian (AKP). Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian.
BAHRI, S. 2011. Bahan Koordinasi Mendukung Program PSDSK 2014. Puslitbang Peternakan, Bogor. BALDWIN, R.J. and M. RAFIQUZZAMAN. 1998. The Determinant of The Adoption Lag for Advanced Manufacturing Technologies. Management of Technology, Sustainable Development and Eco-Efficiency. Elsevier Science Ltd., UK. FAGI, A.M. 2008. Alternatif Teknologi Peningkatan Produksi Beras Nasional. Iptek Tanaman Pangan 3(1).
248
HENDAYANA, R. 2006. Lintasan dan peta jalan (Road Map) diseminasi teknologi pertanian menuju masyarakat tani progresif. Pros. Lokakarya Nasional Akselerasi Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Pembangunan Berawal dari Desa. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. KEMALA. 2007. Strategi Pengembangan Sistem Agribisnis Lada untuk Meningkatkan Pendapatan Petani. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Sosial Ekonomi. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. KENNETH, F.G. dan MASUKI, 2009. Determinants of Farm-level Adoption of Water Systems Innovations in Dryland Areas: The Case of Makanya Watershed in Pangani River Basin, Tanzania. LINDER, P. and JARRETT. 1982. Distance To Information Source And The Time Lag Early Adoption of Trace Element Fertilizer. Working Paper 82-2. Departement of Economics University of Adelaide. MUNDY, P., 2000. Adopsi dan Adaptasi Teknologi Baru. PAATP, Bogor. PINDYCK, R.S. and D.I. RUBINFELD. 1981. Econometric Models and Economic Forcast. 3rd Edition. Mc Graw-Hill International Editions, Singapore. ROGERS, E.M. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition, The Free Press, New York.
SUKARTAWI. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. SUBAGIYO. 2005. Kajian Faktor-faktor Sosial yang berpengaruh terhadap Adopsi Inovasi Usaha Perikanan Laut di Desa Pantai Selatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 8(2).
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
SLAMET, M. 2000. Memantapkan posisi dan meningkatkan peran penyuluhan pembangunan dalam pembangunan. Prosiding Seminar pemberdayaan sumberdaya manusia menuju terwujudnya masyarakat madani. Penerbit Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.
STANLEY, W., L. YOU dan W. BAITX. 2001. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C.
249