Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PEMANFAATAN KAPANG Trichoderma viridae DALAM PROSES FERMENTASI UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DAN DAYA CERNA PROTEIN LIMBAH UDANG SEBAGAI PAKAN TERNAK UNGGAS (Utilization of Trichoderma viridae Mold in Fermentation Process to Increase Quality and Digestibility of Shrimp Waste Product as Poultry Feed) RIZKI PALUPI dan A. IMSYA Staf Pengajar pada Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian UNSRI, Jl. Kampus Indralaya km 32 Ogan Ilir, Palembang
ABSTRACT The objective of this experiment was to use Trichoderma viridae in fermentation process to increase quality and digestibility of shrimp waste product as poultry feed. This research was conducted at Nutrition and Feed Laboratory Faculty of Agricultural Sriwijaya University. Material used in this research was waste product of shrimp processing, rice brand and Trichoderma viridae. This research was done based on completely randomized design in factorial with 2 factors. A factor is dosage of Trichoderma viridae (2, 4 and 6%) and B factor is time of fermentation (48 and 96 hours). The result showed that 4% dosage of Trichoderma viridae and times of fermentation of 48 hours was the best treatment with crude protein of 41.27% and protein digestibility of 81.24%. Key Words: Waste Product Processing of Shrimp, Egg Quality ABSTRAK Penilitian ini tentang pemanfaatan Trichoderma viridae pada proses fermentasi untuk meningkatkan kualitas limbah udang dan daya cernanya yang akan digunakan sebagai pakan untuk ternak unggas. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Sriwijaya. Materi pada penelitian adalah limbah udang, dedak padi dan Trichoderma viridae. Rancangan percobaan adalah Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor A adalah dosis Trichoderma viridae (2, 4 dan 6%) dan faktor B adalah lama fermentasi (48 dan 96 jam). Setiap perlakuan diulang 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis inokulum kapang Trichoderma viridae terbaik adalah 4% dengan lama fermentasi 48 jam menghasilkan kandungan protein kasar tepung limbah udang fermentasi sebesar 41,27% dengan daya cerna protein 81,24%. Kata Kunci: Produk Limbah Pengolahan Udang, Kualitas Telur
PENDAHULUAN Setiap tahun produksi limbah udang di Indonesia terus meningkat seiring dengan bertambahnya luas areal tambak udang nasional. Data DITJEN BUDIDAYA DEPARTEMEN KELAUTAN dan PERIKANAN (2009) menunjukkan bahwa areal tambak udang nasional pada tahun 2009 luas areal budidaya udang mencapai 851.852 ha serta volume produksi yang ditargetkan sebanyak 416.616 ton.
672
Meningkatnya produksi udang di Indonesia diiringi dengan peningkatan jumlah limbah udang yang dihasilkan setiap tahunnya. Hal ini dapat mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Pemanfaatan limbah udang sebagai salah satu bahan penyusun ransum ternak unggas dapat dilakukan karena limbah udang mempunyai kandungan zat-zat makanan yang cukup tinggi, terutama kandungan protein. Hasil analisa PALUPI (2005), protein kasar 36,75%, lemak kasar 5,72%, serat kasar 14,49%, kalsium 13,99% dan fospor 1,28%. Berdasarkan hasil analisis laboratorium tersebut, selain
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
kandungan protein yang cukup tinggi, limbah udang juga mengandung serat kasar yang tinggi, yaitu berupa khitin. PURWANINGSIH (2000), menyatakan bahwa limbah udang terdiri dari 30% khitin dari bahan keringnya. Sehingga mengakibatkan adanya keterbatasan dalam penggunaan limbah udang untuk dijadikan bahan penyusun ransum ternak unggas jika digunakan secara langsung kareba rendahnya daya cerna limbah udang tersebut. Teknologi pengolahan bahan pakan yang akan dilakukan adalah dengan proses fermentasi padat, yang memanfaatkan kapang penghasil enzim khitinase, sehingga diharapkan dengan bantuan enzim yang dihasilkan oleh yang digunakan dapat mendegradasi dan melarutkan khitin yang terdapat dalam limbah udang dan meningkatkan kandungan nutrisi limbah udang. Terdapat beberapa jenis kapang yang dapat mengahasilkan enzim khitinase, salah satunya kapang Trichoderma viridae (YURNALIZA, 2002; VOLK, 2004) yang dapat mendegrasi khitin pada limbah udang. Penggunakan kapang Trichoderma viridae dalam proses pengolahan bahan pakan memiliki kelebihan antara lain, protein enzim yang dihasilkan oleh kapang tersebut kualitas yang sangat baik jika dibandingkan dengan jenis kapang lainnya (GILBERT dan TSAO, 1983). Berdasarkan uraian diatas telah dilakukan penelitian tentang pemanfaatan enzim khitinase yang dihasilkan Trichoderma viridae dalam proses fermentasi limbah udang untuk mendegradasi khitin sehingga dapat meningkatkan kualitas dan daya cerna limbah udang yang akan digunakan sebagai sumber protein untuk ternak unggas. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) tahap yaitu: Tahap fermentasi limbah udang yang merupakan tahapan penentuan dosis optimum kapang Trichoderma viridae dan lama fermentasi optimum menghasilkan kualitas protein limbah udang terbaik. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Metode penelitian yang dilakukan adalah eksperimental yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap
Pola Faktorial. Perlakuan pada penelitian tahap pertama ini adalah: Faktor A merupakan dosis kapang Trichoderma viridae yang terdiri dari: A1 = 2%; A2 = 4%; A3 = 6%. Faktor B merupakan lama fermentasi, yang terdiri dari: B1 = 48 jam; B2 = 96 jam. Ulangan dilakukan pada setiap kombinasi perlakuan sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh 18 unit percobaan. Substrat fermentasi terdiri dari 80% limbah udang dan 20% dedak. Proses fermentasi tepung limbah udang, dimulai dengan proses penggilingan limbah udang menjadi tepung. Selanjutnya tepung limbah udang dicampur dengan dedak padi dengan perbandingan 80% : 20%, kemudian campuran tersebut di outoclove selama 15 menit. Substrat tersebut didinginkan, kemudian dilakukan proses inokulasi dan inkubasi sesuai dengan perlakuan pada masing-masing faktor pada penelitian tahap I ini. Limbah udang hasil fermentasi pada penelitian tahap pertama dianalisa kandungan protein kasar dengan menggunakan Analisa Proksimat dan dianalisa kandungan khitinnya dengan menggunakan Metode HONG (1989). Selanjutnya dilakukan penelitian tahap kedua yaitu: Pengukuran daya cerna protein dari hasil penelitian tahap pertama setelah penentuan kandungan protein kasar terbaik dan kandungan khitin terbaik hasil fermentasi. Pengukuran daya cerna protein ini dilakukan dengan metode in vitro di laboratorium dengan menggunakan larutan pepsin yang terbuat dari: 90 ml HCl dilarutkan atau diencerkan menjadi 1,5 liter larutan sebelum digunakan (HAND dan PERSONS, 1991). Larutan pepsin 0,2% disiapkan dengan cara menghangatkan larutan HCl tadi hingga suhu 42 – 45C. Larutan tersebut diaduk pelan-pelan. Hasilnya adalah larutan pepsin 0,2% dalam HCl 1,25 N. Selanjutnya sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 150 ml larutan pepsin. Erlenmeyer ditutup dan digoyang pada shaker water bath selama 16 jam. Sesudah itu larutan didiamkan selama 15 menit dan supernatannya disaring dengan kertas saring. Kemudian residunya dicuci. Residu yang diperoleh selanjutnya akan dianalisa kandungan proteinnya untuk mengetahui persentase daya
673
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
cerna dari limbah udang hasil olahan. Sampel dalam pengukuran daya cerna protein ini adalah limbah udang hasil fermentasi sesuai dengan perlakuan pada penelitian tahap pertama. Data peneltian dianalisa secara statistik sesuai dengan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial yang digunakan. Jika terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan, akan dilakukan lanjut dengan uji lanjut Duncan’s Multi Range Test (1993).
kapang Trichoderma viridae 4% berbeda nyata (P < 0,05) pengaruhnya dengan dosis inokulum kapang Trichoderma viridae 6% terhadap kandungan protein kasar tepung limbah udang hasil fermentasi. Tabel 1 memperlihatkan bahwa kandungan protein kasar tertinggi terjadi pada fermentasi dengan dosis inokulum sebesar 4% per substrat hasil fermentasi tepung limbah udang yaitu dengan rataan 42,62%. Jika dibandingkan dengan kandungan protein kasar substrat sebelum dilakukan fermentasi, maka terjadi peningkatan sebesar 27,5% yaitu dari 30,92% yang berasal dari 36,75% dari tepung limbah udang dan 10,58% dari dedak padi menjadi 42,62%. Hal ini disebabkan bahwa kapang Trichoderma viridae mampu memanfaatkan bahan organik yang terkandung dalam substrat untuk dirombak serta mengkonversikannya menjadi peningkatan pada kandungan protein kasar substrat tepung limbah udang dan dedak tersebut. Sesuai dengan pendapat POESPONEGORO, (1976) bahwa kapang Trichoderma viride mempunyai kemampuan meningkatkan protein bahan pakan dan pada bahan berselulosa dapat merangsang dikeluarkannya enzim selulase. Pada Tabel 1 tersebut juga diperlihatkan bahwa lama fermentasi 48 jam berbeda nyata (P < 0,05) pengaruhnya dengan lama fermentasi 96 jam terhadap kandungan protein kasar tepung limbah udang. Semakin lama waktu fermentasi, semakin menurunkan kandungan protein kasar tepung limbah udang hasil fermentasi. Hal ini disebabkan karena kapang Trichoderma viridae akan selalu memanfaatkan bahan organik pada substrat tepung limbah udang dan dedak, semakin lama
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh perlakuan terhadap kandungan protein kasar Berdasarkan hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa interaksi antara dosis inokulum dan lama fermentasi tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kandungan protein kasar tepung limbah udang hasil fermentasi. Sementara itu dosis inokulum berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kandungan protein kasar limbah udang hasil fermentasi, begitu juga dengan lama fermentasi berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kandungan protein kasar limbah udang tersebut. Seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil uji lanjut dengan Duncan Multi Range Test menunjukkan bahwa dosis inokulum kapang Trichoderma viridae 2% berbeda nyata (P < 0,05) pengaruhnya dengan dosis inokulum kapang Trichoderma viridae 4% dan berbeda nyata (P < 0,05) dengan dosis inokulum kapang Trichoderma viridae 6% terhadap kandungan protein kasar tepung limbah udang hasil fermentasi. Begitu juga dengan dosis
Tabel 1. Rataan kandungan protein kasar tepung limbah udang hasil fermentasi (%) Lama fermentasi 48 jam
96 Jam
Rataan
Dosis inokulum
Ulangan
Rataan
2%
4%
6%
1
38,62
43,80
40,50
2
38,00
44,88
42,00
3
39,18
44,17
40,29
1
32,76
38,76
39,00
2
32,50
41,62
37,38
3
34,28
42,54
35,89
a
42,62
39,81 c
39,83b
Superscript yang berbeda pada lajur atau baris yang sama, berbeda nyata (P < 0,05)
674
41,27a
37,63b
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
waktu fermentasi ini tidak diiringi dengan peningkatan kandungan gizi yang terdapat pada substrat tepung limbah udang dan dedak tersebut. Sehingga bahan organik yang terdapat dalam substrat menjadi habis atau tidak tersedia untuk dirombak menjadi protein kasar hasil fermentasi. Jika keadaan ini terus berlanjut dapat menyebabkan pembusukan pada substrat fermentasi. Sesuai dengan pendapat WINARNO (1993), bahwa selama fermentasi kapang membutuhkan waktu untuk perkembangbiakan dan pertumbuhan miselia dan menafaatkan bahan organik untuk proses degradasi. Literatur pendukung lainnya bahwa peningkatan jumlah massa mikroba akan menyebabkan meningkatkan kandungan produk fermentasi, dimana kandungan protein merupakan refleksi dari jumlah massa sel (NURHAYANI, 2000 ) Dimana dalam proses fermentasi mikroba akan menghasilkan enzim yang akan mendegradasi senyawa-senyawa kompleks menjadi lebih sederhana, dan mikroba juga akan mensistesis protein yang merupakan proses protein enrichment yaitu pengkayaan protein bahan. Semakin lama waktu fermentasi semakin menurunkankan kandungan protein kasar, dimana waktu yang optimal adalah 48 jam kemudian pada hari berikutnya ada yang mengalami penurunan (fase kematian) dan ada yang mengalami titik kestabilan (fase stationer), dimana ditinjau dari peningkatan jumlah mikroba dan bakteri pada variabel perbedaan penambahan sumber nitrogen pada waktu yang optimal fementasi substrat limbah udang dan dedak padi. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa tahapan-tahapan pertumbuhan mikroba yang utama ada 4 yaitu: lag phase (fase adaptasi), dimana pada saat ini posisi pertumbuhan lambat dan cenderung mikroba
beradaptasi menyesuaikan lingkungan yang baru; exponential/logarithmic phase (fase pertumbuhan); stationary phase (fase stasioner /fase dimana kematian seimbang dengan pertumbuhan); death phase (fase kematian), Kematian lebih besar daripada pertumbuhan (DWIDJOSEPUTRO, 1984). Pengaruh perlakuan terhadap kandungan khitin Khitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa yang mempunyai rumus kimia; poli (2-asetamida-2dioksi-ß-D-glukosa) dengan ikatan ß-glikosidik (1,4) yang berhubungan antar unit ulangnya. Struktur khitin mirip dengan selulosa, hanya dibedakan oleh gugus yang terikat pada atom C2. Jika pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH, maka pada khitin yang terikat adalah gugus asetamida (MUZARELLI et al., 1986). Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara dosis inokulum kapang Trichoderma viridae dan lama fermentasi tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kandungan khitin limbah udang hasil fermentasi. Selanjutnya dosis inokulum kapang Trichoderma viridae juga tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kandungan khitin limbah udang hasil fermentasi. Begitu juga dengan lama fermentasi tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap kandungan khitin limbah udang hasil fermentasi. Adapun rataan kandungan khitin tepung limbah udang hasil fermentasi dapat dilihat pada Tabel 2. YURNALIZA (2002) menyatakan bahwa ada beberapa jenis jamur yang dapat menghasilkan enzim khitinase yang dapat mendegradasi
Tabel 2. Rataan kandungan kitin tepung limbah udang hasil fermentasi (%) Lama fermentasi 48 jam
96 Jam
Rataan
Dosis inokulum
Ulangan
Rataan
2%
4%
6%
1
3,29
2,95
2,83
2
3,38
3,10
2,69
3
3,25
2,81
2,75
1
3,47
2,85
2,97
2
3,62
2,76
3,07
3
3,25
2,42
2,87
3,36
2,82
2,86
3,01
3,02
675
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
khitin, yaitu: Mortierella sp, Mucor subtillisimum, Aspergillus fumitus dan Trichoderma viridae. Enzim khitinase yang dihasilkan mikroorganisme tersebut merupakan enzim yang mampu merombak polimer khitin menjadi unit monomer N-asetil glokosamin. Adapun kandungan khitin pada cangkang atau limbah udang berkisar antara 20 – 30%. Kandungan khitin yang tinggi pada limbah udang menyebabkan sulit untuk dicerna oleh ternak unggas, karena ternak unggas tidak memiliki enzim khitinase dalam saluran pencernaannya (MUZARELLI et al., 1986). Sementara setelah dilakukan proses fermentasi dengan kapang Trichoderma viridae rataan kandungan khitin pada tepung limbah udang sebesar 3,01%. Kandungan khitin yang rendah ini tidak bersifat faktor pembatas lagi dalam susunan ransum ternak unggas. Sehingga limbah udang hasil fermentasi dengan kapang Trichoderma viridae ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan penyusun ransum ternak unggas. Berdasarkan kandungan protein kasar terbaik (tertinggi) dapat disimpulkan bahwa dosis inokulum kapang Trichoderma viridae terbaik adalah 4% dengan lama fermentasi 48 jam (2 hari). Selanjutnya dilakukan analisa terhadap daya cerna protein tepung limbah udang hasil fermentasi terbaik tersebut dengan mengguna-kan metode HAND dan PERSON (1991). Nilai daya cerna protein tepung limbah udang hasil fermentasi dengan Trichoderma viridae 4% selama 96 jam tersebut adalah 81,24%. Daya cerna protein tepung limbah udang hasil fermentasi ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya. PALUPI (2005) melaporkan bahwa daya cerna tepung limbah udang olahan yang terbaik adalah 67,82%, dimana sebelumnya limbah udang tersebut diolah dengan cara perendaman dengan filtrat air abu sekam selama 24 jam yang kemudian dilanjukan dengan pengukusan selama 45 menit. Angka daya cerna protein ini lebih tinggi disebabkan karena khitin pada limbah udang hasil fermentasi sangat kecil, sehingga protein yang terikat dalam bentuk protein-khitin-kalsium menjadi mudah untuk dicerna. Sesuai dengan pendapat (MANDELS et al., 1970) bahwa enzim yang dihasilkan Trichoderma viridae mempunyai kemampuan dapat memecah selulosa menjadi glukosa sehingga mudah dicerna oleh ternak. Selain itu kapang Trichoderma viridae mempunyai kemampuan meningkatkan protein bahan pakan dan pada bahan berselulosa dapat merangsang dikeluarkannya enzim selulase (POESPONEGORO, 1976). Miselium Trichoderma dapat menghasilkan suatu enzim yang bermacam-macam, termasuk enzim selulase (pendegradasi selulosa) dan khitinase (pendegradasi khitin). Oleh karena adanya enzim selulase, Trichoderma dapat tumbuh secara langsung di atas kayu yang terdiri atas selulosa sebagai polimer dari glukosa. Oleh karena adanya khitinase, Trichoderma dapat bersifat sebagai penghambat bagi jamur yang tidak menguntungkan (VOLK, 2004). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dosis inokulum kapang Trichoderma viridae terbaik adalah 4% dengan lama fermentasi 48 jam (2 hari) menghasilkan kandungan protein kasar tepung limbah udang fermentasi sebesar 41,27% dengan daya cerna protein 81,24%. DAFTAR PUSTAKA ALEXOPOULOS, C.J. and C.W. MIMS. 1979. Introductory Mycology Third edition. John Wiley and Sons, New York.
FOSTER, A.B. and J.M. WEBBER. 1960. Advances in Carbohydrate Chemistry. Vol. 15. Academic Prss. Inc., New York, London.
AUSTIN, P.R., C.J. BRINE, S.E. CASTLE and J.P. ZEKAKIS. 1981. Chitin: New Facet of Research. Science 212: 794.
FRAZIER, W.C. and D.C. WESTHOFF. 1981. Food Microbiology. Tata McGraw Hill. Publishing Co. Ltd. New Delhi.
BPS. 2009. Statistik Perdaganan Luar Negeri Indonesia. Eksport. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
GOODAY, G.W. 1999. Aggressive and defensive roles for chitinases, EXS 87: 157 – 169.
676
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
HASHIMOTO, M. and I. TAKESHI. 2000, Expression and characterization of chitin binding domain of chitinase A1 from Bacillus circulans WL12, J. Bacteriol. 182(11): 3045 – 3054. LARRY, R. 1977. Food and Beverage Mycology. Department of Food Science Agricultural Experiment Station. University of Georgia. MANDELS, M. 1970. Cellulases. In: G.T. TSAO (Ed.) Annual Reports on Fermentation Processes. Vol 5. Academic Press, New York. MUDJIMAN, A. 1986. Budidaya Udang Putih. Cetakan ke-4. PT Penebar Swadaya, Jakarta. MUZARELLI, R.A.A, C. JEUNIAUX and W.G. GOODWAY. 1986. Chitin an Nature. Technology. Plenum Press, New York. PALUPI, R. 2005. Pengaruh Lama Pengukusan Limbah Udang yang Direndam Dengan Filtrat Air Abu Sekam Terhadap Kualitas Limbah Udang dan Pemanfaatannya pada Ayam Broiler. Tesis S2 pada Program Studi Ilmu Ternak Pascasarjana Universitas Andalas Padang. PALUPI, R. 2006. Pemanfaatan Tepung Limbah Udang Olahan dalam Ransum terhadap Produksi dan kualitas Telur Ayam Ras Petelur Fase Produksi Pertama. Laporan Penelitian Dosen Muda Tahun 2006. PALUPI, R., AFNUR, I. dan ELISA N. 2008. Identifikasi Bakteri Penghasil Enzim Khitinase dan Pemanfaatannya dalam Fermentasi Limbah Udang Sebagai Bahan Pakan Ternak. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya. PELCZAR, M.J. and R.D. REID. 1974. Microbiology. McGraw Hill Book Company, New York. PURWANINGSIH, S. 2000. Teknologi Pembekuan Udang. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarka. POESPONEGORO, M. 1976. Fermentasi Substrat Padat. Laporan Ceramah Ilmiah. Lembaga Kimia Nasional LIPI.
RAHARJO, Y.C. 1983. Report on Visit to Prawn Shrimp Cracker Factories in Tegal. Unpublished. SANTOSO, I. 1991. Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Udang Sebagai Pengganti Tepung Ikan dalam Ransum terhadap Penampilan ayam Broiler Jantan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. TOMPSON, SE, M. SMITH, M.C. WILKINSON and K. PEEK. 2001, Identification and characterization of a Chitinase antigen from Pseudomonas aeruginosa strain 385, Appl. Environ. Microbiol. 67(9): 4001 – 4008. VOLK, T.J., 2004. Trichoderma viridae, the dark green parasitic mold and maker of fungaldigested jeans. http ://botit. botany.wisc. edu/toms_fungi/ nov2004.html. WANASURIA, S. 1990. Tepung Kepala Udang dalam Pakan Broiler. Poultry Indonesia 122: 19 – 21. WATKINS, B.E. 1976. Evaluation of Shrimp and Crab Processing Waste as a Feed Supplemant for Mink (Mustelavision). M.S. Thesis. Oregon State University, Corvalis. WATKINS, B.E., J. ADAIR and J.E. OLDFIELD. 1982. Evaluation of shrimp and king crab processing by-product as feed supplement for mink. J. Anim. Sci. 55(3): 578 – 580. WHITTENBURI, R., P. MCDONALD and D.G.B. JONES. 1967. A Short revive of some biochemical and microbiological aspects of ensilage. J. Sci. Ed. Agri. 13: 441. WINARNO, F.G. 1993. Kimia Pangan. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. WOOD, T.M. 1985. Aspects of the Biochemistry of Cellulose Degradation. p. 173-187. In: J.F. KENNEDY, G.O. PHILLIPS, D.J. WEDLOCK, and P.A. WILLIAMS (Eds). Cellulose and its Derivate; Chemistry, Biochemistry and Applications. Eleis Horwood Limeted, John Wiley and Sons, New York.
REDDY, V.R., V.R. REDDY and S. QUDRATULLAH. 1996. Squilla – a novel animal protein: can it be used as a complete substitute for fish in poultry ration? Feed International 17(3): 18 – 20.
677