Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
PENGARUH PERBAIKAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN PEDET SAPI POTONG TERHADAP KINERJA REPRODUKSI INDUK PASCABERANAK (STUDI KASUS PADA SAPI INDUK PO DI USAHA TERNAK RAKYAT KABUPATEN PATI JAWA TENGAH) (Effect of Improved Management on Ongole Grade Calves Rearing on Post Calving Reproductive Performance) LUKMAN AFFANDHY, A. RASYID dan N.H. KRISHNA Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan Grati, Pasuruan 67184
ABSTRACT The weaning and mating managements on post postpartum cow will have impact on conception rate and length of calving interval (CI). The research was done to shorten the length of unestrous post calving and to lower days open and to improve survival growth rate of calves before weaning by improved management. The improvement was done through technology of restricted suckling that was conducted at small holder farmer cows at Tanjung Sekar and Kepuh Kencono Village, Pucakwangi Sub Distrc, Pati District Central Java. There were 60 cows observed; they were divided into two management treatments, namely (A) 30 cows were treated free suckling since calving up to 60 days post postpartum and then restricted suckling at 60 up to 120 days and (B) 30 cows were treated free suckling since calving up to 120 days post postpartum as control. The observation of heat was done visually by inseminator or farmers and rectal palpation was done 60 days after mating. Data was analyzed using DMRT between two treatments, with the parameter: anoestrous post postpartum (APP), service per conception (S/C), conception rate (CR) and average daily gain (PBBH) of calf and rearing cost. Result showed that reproductive performances at treated by mains is demarcation of weaned calf in Pati of Central Java show number of APP (69,0 ± 21,0 days) and DO (74,1 ± 18,2 days) shorter ( P < 0,05) than control mains, that the APP is 93,7 ± 14,8 days and DO is 97,7 ± 13,0 days; so that its calving interval is shorter treatment (359,1 ± 18,2 equivalent day 12 months) than control that is 382,7 ± 13,0 days. So, the CR of treatment cows show number 73,3 was % higher than control, that the CR is 26,7 %; but S/C is both treatments do not show difference, that is < 2; body weighing of weaned calf at 4 months old of treatment of ADG were 705,9 ± 155,2 g/day (P < 0,01) compared to control (261,5 ± 190,9 g/day. Its concluded that with restricted suckling of calf of cow post calving could shortening the APP, DO, CI while its do not effect to calf of pre-weaning. Key Words: Beef Cattle, Restricted Suckling, Reproductive ABSTRAK Pola penyapihan pedet dan perkawinan induk yang kurang tepat serta gizi yang rendah pada induk pascaberanak akan berdampak terhadap rendahnya angka konsepsi dan panjangnya jarak beranak. Penelitian ini bertujuan mempercepat terjadinya birahi atau kawin pertama setelah beranak dan memperpendek days open induk serta mempercepat pertumbuhan pedet pada sapi potong dengan memperbaiki manajemen pemliharaan post partus. Perbaikan dilakukan dengan pembatasan menyusu pada pedet dilakukan di usaha sapi potong rakyat di desa Tanjung Sekar dan Kepuh Kencono Kecamatan Pucakwangi Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah pada bulan Januari sampai dengan. Desember 2009. Materi penelitian menggunakan 60 ekor induk sapi potong; yang terbagi menjadi 30 ekor sebagai kelompok perlakuan (A) dan 30 ekor sebagai kontrol (B). Kedua perlakuan dilakukan pengumpulan pedet dan induk selama 24 jam hingga umur pedet mencapai 60 hari; selanjutnya dilakukan perlakuan penyapihan yang berbeda pada masing-masing kelompok. Perlakuan A dilakukan suplementasi dan pembatasan menyusui induk terhadap pedetnya pada 60 hingga 120 hari pascaberanak dengan frekuensi menyusu sebanyak dua kali sehari; sedangkan pada Perlakuan B (Kontrol) induk tidak dilakukan suplementasi dan pembatasan menyusui pedetnya sejak pedet dilahirkan hingga pedet berumur 120 hari selama 24 jam. Penyapihan pedet pada kedua perlakuan dilakukan pada umur lebih dari empat bulan. Pengamatan birahi dilakukan secara visual oleh peternak dan atau inseminator; induk
40
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
dikawinkan secara kawin suntik/inseminasi buatan (IB) pada umur lebih dari 50 hari pascaberanak. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan secara palpasi rektal pada lebih dua bulan setelah terjadinya perkawinan. Analisis data menggunakan uji beda nyata (t test) antar dua perlakuan; dengan parameter meliputi: An-estrus post partus (APP), service per conception (S/C), conception rate (CR), Days Open (DO) dan pertambahan berat badan harian (PBBH) pedet, biaya ekonomi pemeliharaan dan estimasi jarak beranak. Hasil penelitian performans reporoduksi pada sapi induk yang diperlakukan suplementasi dan pembatasan menuyusu pedet di Kabupaten Pati JawaTengah menunjukkan angka APP (69,0 ± 21,0 hari) dan DO (74,1 ± 18,2 hari) lebih pendek (P < 0,05) daripada induk kontrol, yaitu APP nya 93,7 ± 14,8 hari dan DO nya 97,7 ± 13,0 hari; sehingga calving interval pada sapi perlakuan lebih pendek (359,1 ± 18,2 hari setara 12 bulan) daripada sapi kontrol yaitu 382,7 ± 13,0 hari. Demikian pula CR pada sapi induk kelompok perlakuan menunjukkan angka 73,3 % lebih tinggi daripada sapi kontrol yaitu CR-nya 26,7 %; namun nilai S/C kedua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan, yaitu < 2; hasil pengamatan terhadap pedet prasapih setelah pedet berumur 4 bulan, pada sapi perlakuan menunjukan PBBH 705,9 ± 155,2 g/hari lebih tinggi (P < 0,01) dibandingkan dengan sapi kontrol (261,5 ± 190,9 g/hari). Disimpulkan bahwa dengan perlakuan pembatasan menyusui pedet pada induk pascaberanak pada sapi potong yang disertai suplemetasi akan memperpendek anestrus post partus (APP), days open (DO) dan jarak beranak dengan tidak berpengaruh negatif terhadap pertambahan badan harian pedet prasapih. Kata Kunci: Sapi Potong, Pembatasan Menyusu, Kinerja Reproduksi
PENDAHULUAN Salah satu faktor penyebab penurunan populasi dan produktivitas sapi potong pada usaha peternakan rakyat adalah rendahnya kinerja reproduksi sapi induk setelah beranak, yang ditunjukkan dengan anestrus post partus (APP) yang panjang, kawin berulang (S/C > 2 kali) dan tingkat kebuntingan yang rendah sehingga jarak beranaknya (CI) menjadi panjang. Usaha pembibitan sapi potong rakyat sebagai pemasok utama sapi bakalan dalam negeri, sebagian besar masih berorientasi pada produksi pedet yang dihasilkan dan belum memperhatikan kinerja reproduksi induk sebagai bioproduksi pedet. Kondisi ini dapat ditunjukkan dengan pakan diberikan pada induk saat akhir kebuntingan dan selama laktasi belum sesuai dengan kebutuhan ternak. Rendahnya nutrisi yang dikonsumsi induk selama laktasi serta penyusuan pedet tanpa pembatasan dapat menurunkan tingkat asupan nutrisi untuk pemeliharaan tubuh dan sistem reproduksi. Penyapihan pedet sapi potong di peternakan rakyat umumnya dilakukan antara umur 4 – 12 bulan (AFFANDHY et al., 1998; ARIFIN dan RIANTO, 2001; AFFANDHY dan PAMUNGKAS, 2007). Pedet-pedet tersebut berkumpul dengan induknya selama 24 jam (YUSRAN dan AFFANDHY, 1996), sehingga berpengaruh terhadap aktivitas ovarium pascaberanak maupun timbulnya anestrus post partus (APP) (KOMARUDIN MA'SUM et al.,
2000; AFFANDHY et al., 2001b; HAFEZ, 2000; MARGERISON et al., 2002). Penyusuan merangsang sekresi prolaktin (Luteotropic Hormone) oleh kelenjar susu. Kondisi prolaktin yang tinggi menyebabkan tingkat progesteron meningkat sehingga estrogen menjadi rendah yang pada akhirnya berpengaruh terhadap aktualisasi estrus (HADISUTANTO, 2008). Terlambatnya estrus menyebabkan periode anoestrus post partus semakin panjang (MARKEY et al., 2000). Penyapihan pedet yang lebih dini akan mempercepat pemulihan organ reproduksi induk sehingga aktivitas reproduksinya cepat kembali normal; tetapi biasanya akan berakibat negatif terhadap pertumbuhan pedet berikutnya. Kebiasaan peternak di Kecamatan Nguling Kabupaten Pasuruan yang menjual pedet pada umur tiga bulan, menyebabkan periode APP dan calving interval menjadi lebih pendek (384 hari) (YUSRAN and TELENI, 2000; AFFANDHY et al., 2008). Untuk meningkatkan produktivitas sapi induk dan pedetnya selama laktasi adalah perbaikan manajemen pemeliharaan induk laktasi melalui perbaikan pakan dan pola penyapihan pedet dengan sistem penyusuan terbatas dengan harapan dapat meningkatkan efisiensi reproduksi yang berdampak langsung terhadap pendapatan petani. Tujuan penelitian ini adalah mempercepat terjadinya birahi dan kawin pertama setelah beranak pada induk melalui pembatasan
41
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
penyusuan pedet sebelum penyapihan serta mempercepat pertumbuhan pedet prasapih. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Desa Tanjung Sekar dan Kepuh Kencono Kecamatan Pucakwangi Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah tahun 2009. Sebanyak 60 ekor induk sapi Peranakan Ongole (PO) milik peternak masing-masing kelompok menggunakan sebanyak 30 ekor sapi induk PO yang baru beranak maksimal 20 hari post partus. Pola percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua kelompok yaitu kelompok perlakuan (A) dan kelompok kontrol (B), Kelompok perlakuan adalah mendapat suplemen dan pembatasan menyusu pedet, sedangkan kelompok kontrol tidak mendapat perlakuan (pola peternak). Pada kelompok perlakuan, pedet setelah dilahirkan akan dikumpulkan dengan induknya selama 24 jam hingga umur pedet mencapai 60 hari; selanjutnya dilakukan pembatasan menyusu, hingga pedet berumur 120 hari dengan frekuensi menyusu sebanyak dua kali sehari. Penyapihan dilakukan pada umur minimal empat bulan. Pedet yang digunakan berasal dari induk PO yang baru beranak maksimal 20 hari post partus. Pada induk perlakuan diberikan tambahan pakan penguat selama 60 hari sejak partus mendampingi pakan basal berasal dari biomassa lokal. Jumlah pakan penguat yang diberikan adalah 1% bobot badan induk dengan tujuan mempertahankan skor kondisi tubuh 5 – 7 (NICHOLSON dan BUTTERWOTH, 1986). Pakan penguat yang diberikan mengandung PK > 13%, SK 13 – 17% dan TDN > 60%. Pemberian pakan tambahan (konsentrat) untuk pedet dilakukan sebanyak 1 kg/ekor/hari selama pembatasan menyusu hingga disapih umur 120 hari. Teknologi ini mengacu pada hasil penelitian AFFANDHY et al., 2000a; AFFANDHY et al., 2000b; AFFANDHY et al., 2001a). Pakan yang diberikan mengandung PK > 10% dan TDN > 65%. Pengamatan birahi dilakukan secara visual oleh peternak/petugas lapangan. induk dikawinkan pada umur > 50 hari. Kondisi induk yang bunting diketahui melalui pemeriksaan kebuntingan dengan cara palpasii
42
”rektal” pada > dua bulan setelah terjadinya perkawinan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji beda nyata sederhana (t test) antar dua perlakuan dan analisis ekonomi menggunakan R/C rasio. Parameter yang diukur meliputi: An-estrus post partus (APP), service per conception (S/C), conception rate (CR), Days Open (DO) dan pertambahan berat badan harian (PBBH) pedet, biaya pemeliharaan dan jarak beranak. Jarak beranak didasarkan prediksi berdasarkan days open ditambah dengan lama kebuntingan (280 hari). HASIL DAN PEMBAHASAN Performans produksi dan reproduksi induk Hasil penelitian terhadap performans reproduksi sapi induk yang mendapat perlakuan suplementasi dan pembatasan menyusu pedet menunjukkan angka APP sebesar 69,0 ± 21,0 hari dan DO sebesar 74,1 ± 18,2 hari, lebih pendek (P < 0,05) dari pada induk kontrol, dengan APP sebesar 93,7 ± 14,8 hari dan DO 97,7 ± 13,0 hari (Tabel 1). Calving interval atau jarak beranak pada kelompok sapi perlakuan lebih pendek (359,1 ± 18,2 hari setara 12 bulan) daripada kelompok sapi kontrol yaitu 382,7 ± 13,0 hari setara 13 bulan (P < 0,05). Demikian pula calving rate (CR) pada sapi induk perlakuan menunjukkan angka 73,3% lebih tinggi (P < 0,05) daripada sapi kontrol yaitu 26,7%; namun S/C pada kedua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan (Tabel 1). Perlakuan pembatasan menyusu dan suplementasi pada sapi induk setelah beranak berpengaruh nyata terhadap APP, DO dan calving interval, seperti pendapat WESTHUIZEN et al. (2001) yang menyatakan bahwa penyapihan pedet yang lebih awal akan mempercepat kembalinya kondisi badan induk dan kembalinya sekresi hormon yang mendukung perkembangan ovarium yang akan memperpendek APP. Penyusuan akan merangsang sekresi prolaktin (Luteotropic hormone) oleh kelenjar susu; kondisi prolaktin yang tinggi menyebabkan tingkat progesteron meningkat sehingga estrogen menjadi rendah yang akhirnya berpengaruh terhadap aktualisasi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 1. Performans reproduksi sapi potong induk dengan perlakuan di Kabupaten Pati Jawa Tengah 2009 Parameter
Perlakuan A
B
Kinerja reproduksi induk An-estrus post partus/APP (hari) Service per conception (kali) Conception rate/CR (%) Days Open/DO (hari)
69,0 ± 21,0a a
93,7 ± 14,8b
1,1 ± 0,4
1,3 ± 0,7a
73,3a
26,7b
74,1 ± 18,2a
97,7 ± 13,0b
a
382,7 ± 13,0b
Berat badan awal (kg)
351,9 ± 52,8
343,3 ± 51,4
Berat badan akhir (kg)
354,8 ± 58,9
318,1 ± 50,6
Calving interval (hari)
359,1 ± 18,2
Kinerja produksi induk
PBBH induk (kg/hari)
0,08 ± 0,5
a
-0,077 ± 0,5b
A: Suplemen dan pembatasan menyusu pedet B: Tanpa suplemen dan penyusuan bebas; a,b Superskrips yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05)
estrus (HADISUTANTO, 2008). Terlambatnya estrus menyebabkan periode anoestrus post partus semakin panjang (MARKEY et al., 2000). Bobot badan sapi induk selama laktasi terjadi penurunan hal tersebut disebabkan oleh pakan yang dikonsumsi induk selain untuk kebutuhan hidup pokoknya sendiri juga untuk memproduksi susu. Penurunan berat badan ini dapat dikendalikan dengan penambahan suplemen (pakan penguat) sehingga pada sapi perlakuan penurunan PBBH-nya lebih kecil 0,08 ± 0,4 kg/hari (P < 0,05) dibandingkan dengan sapi kontrol, yaitu PBBH nya -0,077 kg/haril (Tabel 1). Kondisi bobot badan induk setelah melahirkan akan berpengaruh terhadap kinerja reproduksi induk. Penurunan atau persentase kehilangan berat badan setelah partus sampai menyapih ini sangat terkait dengan kontinuitas pasokan nutrisi pakan dan kapasitas sekresi air susu yang dihasilkan selama laktasi. Pasokan pakan yang kurang terutama bahan kering pakan (BK) dan protein kasar (PK) dapat menyebabkan penurunan BB induk laktasi hal ini harus diantisipasi dengan pemberian suplemen pakan. Penurunan berat badan pada perlakuan masih dalam batas normal, artinya kondisi tersebut tidak akan berpengaruh pada fungsi ovarium induk. Hal ini sesuai dengan penyataan WINUGROHO (1992) bahwa
penurunan berat badan pada induk laktasi antara 16 – 22% dapat mengganggu fungsi ovarium induk. Pakan induk Perbaikan pakan tambahan pada sapi induk laktasi sebanyak 1% dari BB hidup atau sekitar 3,5 kg/ekor/hari telah melebihi kebutuhan BK pakan yang telah dianjurkan NRC yaitu sebesar 8,7 kg/hari (NRC, 1984). Hasil pengamatan pada sapi perlakuan menunjukkan konsumsi pakan sebesar 12,4 ± 2,4 kg/hari berarti bahwa pasokan BK telah melebihi kebutuhan dengan selisih sebesar 43,4% (3,8 kg/hari), demikian pula pada ternak kontrol terdapat juga kelebihan pasokan BK sebesar 23% (1,8 kg/hari). Ditinjau dari pemenuhan BK, pada sapi perlakuan dan kontrol sudah memenuhi kebutuhan hidup pokok menurut NRC (1984) sebagaimana terlihat pada tabel 2. Performans pedet prasapih Berat badan pedet pra-sapih sebelum pedet berumur 4 bulan menunjukkan bahwa pada sapi perlakuan menunjukkan pertambahan sebesar 705,9 ± 155,2 g/hari lebih tinggi (P < 0,01) dibandingkan dengan sapi kontrol, PBBH - nya sebesar 261,5 ± 190,9 g/hari
43
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
(Tabel 3). HAMMACK (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan pedet selama prasapih sangat ditentukan oleh induknya terutama dalam memenuhi kebutuhan susu untuk pedetnya melalui air susunya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka pemberian suplemen pada ternak perlakuan pada awal laktasi diharapkan akan dapat mengendalikan
penyebab terjadinya penurunan kemampuan induk dalam mencukupi kebutuhan nutrient untuk pedetnya. Demikian pula pengaruh perlakuan suplemen pakan dan penyapihan tampak pada sapi perlakuan menunjukkan pertumbuhan pedet yang lebih baik daripada sapi kontrol (gambar 1).
Tabel 2. Konsumsi pakan induk sapi potong induk dengan perlakuan pembatasan penyapihan pedet dan pemberian suplemen di Kabupaten Pati Jawa Tengah 2009 Perlakuan
Parameter
A
B
Konsumsi BK (kg/ekor/hari)
12,4 ± 2,4
9,8 ± 1,7
Kebutuhan BK (kg/ekor/hari)*
8,6 ± 0,0
8,0 ± 0,0
Kecukupan kebutuhan BK (%)
143,4
123,0
9581,0 ± 1768,1
4662,3 ± 1898,5
Harga pakan (Rp/hari)
A: Suplemen dan pembatasan menyusu pedet; B: Tanpa suplemen dan penyusuan bebas; * NRC (1984) Tabel 3. Performans pedet para-sapih dengan perlakuan pembatasan penyapihan pedet dan pemberian suplemen di Kabupaten Pati Jawa Tengah 2009 Perlakuan
Parameter
A
B
Berat badan awal (kg)
36,6 ± 13,6
36,8 ± 15,6
Berat badan akhir (kg)
115,4 ± 15,8b
81,8 ± 19,3a
PBBH pedet (g/hari)
705,9 ± 155,2b
261,5 ± 190,9a
A: Suplemen dan pembatasan menyusu pedet; B: Tanpa suplemen dan penyusuan bebas; a,b Superskrips yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,01) Tabel 4. Analisis ekonomi (BC rasio) penyapihan pedet dan pemberian suplemen sapi potong induk di Kabupaten Pati 2009 selama satu tahun Biaya pemeliharaan Pakan tambahan
432.000
-
Peralatan(obat, alat)
47.840
51.420
Penyusutan kandang Tenaga kerja merumput Jumlah
170.833
173.050
1.825.000
1.825.000
2.475.673
2.069.470
4.038.033
2.863.671
Pendapatan Hasil penjualan pedet Hasil kompos Jumlah Keuntungan BC rasio
438,000
438,000
4.476.033
3.301.671
2.475.668
1.232.201
1,0
0.6
A: Suplemen dan pembatasan menyusu pedet ; B: Tanpa suplemen dan penyusuan bebas
44
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
140
120
100
Bobot (kg)
80
60
40 Perlakuan
20
Kontrol
0 0.5
1
2
3
4
Umur (bl)
Gambar 1. Pertumbuhan pedet prasapih di Kabupaten Pati Provinsi Jawa tengah
Analisis ekonomi Hasil analisis ekonomi (BC rasio) menunjukkan bahwa kelompok induk sapi perlakuan di Kabupaten Pati (Jawa Tengah) tampak lebih menguntungkan dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan nilai BC rasio untuk Kabupaten Pati masing-masing sebesar 1,0 vs 0,6. Perhitungan harga pedet didasarkan pada bobot badan umur 4 bulan dengan asumsi harga per kg berat hidup pedet sebesar Rp. 35.000. Biaya pakan rumput peternak di dasarkan pada upah tenaga kerja dengan asumsi tenaga kerja sehari sebesar Rp. 5.000. KESIMPULAN Disimpulkan bahwa dengan perlakuan pembatasan menyusu pedet pada induk pascaberanak pada sapi potong yang disertai suplementasi akan akan memperpendek anestrus post partus (APP), days open (DO) dan jarak beranak dengan tidak berpengaruh negatif terhadap pertambahan badan harian pedet prasapih.
DAFTAR PUSTAKA AFFANDHY, L. dan D. PAMUNGKAS. 2007. Hasil Inseminasi Buatan Sapi Potong di Wilayah Agroekosistem Kering dan Basah Jawa Tengah. Pros. Semimar Nasional. dalam Rangka Dies Natalis ke -38. Yogyakarta, 8 November 2007. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. hlm. 23 – 2 9. AFFANDHY, L., M.A. YUSRAN and MARIYONO. 1998. Effect of Weaning Age on Post-Partum an Oestrous of Peranakan Ongole Cows Under Smallholder Farmers in East Java. Bull. Anim. Sci. Supplement edd. Dec. 1998. Publish. Fac. of Anim. Sci. Gadjah Mada Univ. Yogyakarta, Indonesia. hlm. 312 – 315. AFFANDHY, L., M.A. YUSRAN dan M. WINUGROHO. 2000a. Teknologi Penyapihan Dini Pada Sapi Potong. Makalah dipresentasikan dalam Temu Informasi Teknologi Pertanian Subsektor Peternakan di IPPTP Wonocolo, Surabaya, 18 – 19 Februari 2000. hlm. 1 – 6. AFFANDHY, L., M. WINUGROHO and E. TELENI. 2000b. Rearing of Early-weaned Peranakan Ongole Calver Under Indonesian Condition. Asian-Aus. J. Anim. Sci. Vol. 13, July 2000. Supplement: 310.
45
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
AFFANDHY, L., M. A. YUSRAN dan M. WINUGROHO. 2001a. Pertumbuhan Pedet Sapi Peranakan Ongole (PO) sampai umur 24 minggu pada dua tingkat macam kualitas ransum. J. Trop. Anim. Dev. Special Edition (April) 2001: 110 – 117. AFFANDHY, L., M.A. YUSRAN dan M. WINUGROHO. 2001b. Pengaruh Frekuensi Pemisahan Pedet Prasapih Terhadap Tampilan Reproduktivitas Induk dan Pertumbuhan Pedet Sapi Peranakan Ongole. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001. Bogor 17 – 18 Sepptember 2001. Puslibang Peternakan, Bogor. hlm. 147 – 154. AFFANDHY, L., D. PAMUNGKAS dan D. RATNAWATI 2008. Pengaruh Umur Penyapihan Terhadap Reproduksi Induk Sapi dan Pertumbuhan Pedet pada Peternakan Lahan Kering. Widyariset LIPI (inpress). ARIFIN, M. dan E. RIANTO. 2001. Profil produktivitas sapi Peranakan Ongole pada peternakan rakyat: Studi kasus di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. J. Trop. Anim. Dev. Special Edition (April) 2001: hlm. 118 – 123. HADISUTANTO, B. 2008. http://politani.blogspot. com/. (09 Sep. 2008). HAFEZ, E.S.E. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Edition. Reproductive Health Center. IVF Andrology Laboratory. Kiawah Island, South Carolina, USA. p 509. HAMMACK, S.P 2004. Genetic Environtmental Interaction in Beef Production. http: //animal science.amu.edu/anse/publications/beef pubs (24 Sep. 2009). KOMARUDIN, M, E. TELENI, M. WINUGROHO and L. AFFANDHY. 2000. Ovarian response in Indonesian Peranakan Ongole cows to a roughage diet supplemented with a mix of shrub legume leaves. Asian-Aus. J. Anim. Sci. Vol. 13, July 2000. Supplement: hlm. 187. MARGERISON, J.K., T.R. PRESTON and C. J. C. PHILIPST. 2002. Restricted Suckling of Tropical Diary Cows by Their Calf or Their Cows” Calves. J. Anim. Sci. 80: 1663 – 1670.
46
MARKEY, D.R., J.M. SCREENAN, J.F. ROCHET and M.G. DISKIN. 2000. The effect of progesterone alone or in combination with estradiol on follicular dynamyscs, gonadropin profile and estrus in beef cows following isolation and restricted suckling. J. Anim. Sci. 78(7): 1917 – 1929. NICHOLSON, M.J. and M.N. BUTTERWOTH. 1986. A Guide to Condition Scoring of Zebu Cattle. International Livestock Centre for Africa. Addis BABA. pp: 26. NRC. 1984. Nutrient Requirements of Domestic Animals. Sixth Revised Ed. National Academy Press. Whasington D.C. hlm. 2 – 3 PRATIWI, W.C., L. AFFANDHY dan D. RATNAWATI. 2008. Pengaruh umur penyapihan terhadap performans induk dan pertumbuhan pedet sapi potong di kandang kelompok. Pros. Seminar Nasional Sapi Potong. Kerjasama antara Universitas Tadolako dan Sub Dinas Peternakan Distanbunak, Sulteng, Palu, 24 November 2008: hlm. 115 – 122. WESTHUIZEN, R.R., S.J. SCHOEMAN, G.F. JORDAN and J.B. VAN WYK.2001. Genetic Parameters for Reaproductive Traits in A Beef Catlle Herd Estimated Using Multitraits Analysis. http://www.sasas.co.za/ sajas.html (24 September 2009). WINUGROHO, M. 1992. Feeding Draught Animals in Indonesia. eds. Draught Animal Power in the Asian-Australian Region. In: Pryor, W.J., Aciar Proc. No. 46: hlm. 109 – 112. YUSRAN, M.A. dan L. AFFANDHY. 1996. Studi Batasan Ideal Berat Badan Dan Kondisi Tubuh Sapi PO Induk Kaitannya Dengan Aktifitas Reproduksi Yang Normal Dalam Agroekosistem Lahan Kering di Jawa Timur. Pros. Seminar Hasil Penelitian Peternakan TA 1995/1996, IPPTP Grati. YUSRAN, M.A. and E. TELENI. 2000. The Effect of a mix of shurb legumes supplement on the reproductive performance of peranakan ongole cows on dry land small holder farmers in Indonesia. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 13: 461.