Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PROFIL TATA LAKSANA PEMELIHARAAN DAN PAKAN SAPI POTONG PEMBIBITAN DI DAERAH SENTRA INDUSTRI TEPUNG TAPIOKA SKALA RAKYAT: STUDI KASUS DI KECAMATAN PUNDONG, KABUPATEN BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (The Profile of Breeding and Feeding Management of Beef Cattle Breeding System in the Centre of Tapioca Home Industry: The Case Studies in Pundong District, Bantul Regency, Daerah Istimewa Yogyakarta) RISA ANTARI dan U. UMIYASIH Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan, Grati, Pasuruan
ABSTRACT The objective of this study was to determine the profile of breeding and feeding management of beef cattle breeding system. The study was carried out in the farms located within the area of tapioca home industry to analyse the use of the industrial waste for animal feed and accordingly to a field survey in Pundong District Bantul, Yogyakarta. The interview was conducted for 30 respondents selected randomly. Secondary data were characteristics of soils and a primary data consisted feeding management while, supporting data were consisting animal pens, reproductive status and animal health. The data were analyses descriptively. The results showed that roughages were provided from grass and concentrates were agricultural waste rice bran depending on harvesting period (utilizing owned harvesting waste) and industrial waste of tapioca such as gabul/onggok in a wet form and dry cassava peels. The animals were fed on fresh field grasses or kolonjono at 10 – 40 kg/head/day for 1 – 2 times daily. Additional feeds were provided as gabul/onggok and cassava feel in a different weight such as 1 to 3 kg/head/day by 70% respondents, 4 to 6 kg/head/day by 30% respondents, and 3% respondents were depend on body weight. Rice brans were given between 1 – 2 kg/head/day during harvesting. The feeding management between dry season and wet season was not different in this location which was using the same animal feed. Cassava waste could be used as animal feed throughout the year since provided locally and from other regencies (Magelang and Semarang). It is concluded the integrated farming system between cassava and beef cattle has been recognized in Pudong District. The farmers has applied to feed the animals with additional feed, but the amount of additional feed is in appropriate. Key Words: Feed, Cattle, Breeding, Tapioca Home Industry ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil tata laksana pakan sapi potong di sentra industri tepung tapioka skala rakyat untuk mengetahui sejauh mana limbah dari industri tersebut digunakan sebagai pakan sapi potong. Penelitian dilakukan dengan cara survei di wilayah sentra industri tepung tapioka skala rakyat di wilayah padat sapi potong dengan sistem pembibitan/penghasil pedet di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul–Daerah Istimewa Yogyakarta. Wawancara dilakukan terhadap 30 responden yang dipilih secara random. Data sekunder berupa karakteristik lahan dan data primer tentang manajemen pakan dan data penunjang yang lain meliputi perkandangan, reproduksi dan kesehatan. Data yang diperoleh dievaluasi dan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan hijauan berasal dari rumput lapangan dan rumput unggul sedangkan pakan penguat diberikan dari limbah pertanian seperti dedak yang sangat tergantung pada musim panen (memanfaatkan limbah panen milik sendiri) dan industri tapioka seperti gabul/onggok dalam bentuk basah dan kulit ubi kayu kering. Peternak memberikan rumput lapangan ataupun kolonjono sebanyak 10 – 40 kg/ekor/hari dengan frekwensi pemberian 1 – 2 kali sehari dalam bentuk segar. Sedangkan pemberian pakan tambahan berupa gabul/onggok dan kulit singkong jumlahnya bervariatif antara 1 – 3 kg dilakukan oleh 70% responden sedangkan yang memberikan 4 – 6 kg/ekor/hari sebanyak 30%
233
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
responden; dan yang telah menghitung pemberian pakan berdasarkan berat badan hanya 3% responden. Penggunaan dedak sebagai pakan ternak hanya berkisar 1 – 2 kg dan hanya diberikan saat panen padi. Tata laksana pemberian pakan baik pada musim kemarau maupun musim penghujan di daerah pengamatan tidak berbeda, yaitu dengan menggunakan pakan yang sama. Limbah ubi kayu dapat digunakan secara terus menerus tidak tergantung pada musim panen karena selain berasal dari lokasi setempat ubi kayu juga didatangkan dari luar daerah (Semarang dan Magelang). Disimpulkan bahwa di daerah sentra industri tepung tapioka di Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul pola integrasi limbah ubi kayu-sapi potong telah dikenal oleh sebagian besar peternak. Peternak telah mengenal pemberian pakan tambahan sebagai pakan sapi potong pembibitan, namum jumlah pemberiannya belum sesuai dengan standar kebutuhan. Kata Kunci: Pakan, Sapi, Pembibitan, Industri Tapioka
PENDAHULUAN Biaya pakan pada usaha peternakan sapi potong dapat mencapai 60% dari total biaya pemeliharaan. Makin sulitnya penyediaan pakan yang memadai baik secara kualitas maupun kuantitas antara lain disebabkan karena bersaingnya lahan dalam penanaman pakan ternak dengan tanaman pangan. Pada pakan penguat juga terkendala dengan semakin mahalnya harga pakan dikarenakan banyak komponen pakan yang masih harus diimpor. Beberapa usaha telah dilakukan untuk mengatasi kesulitan penyediaan pakan dengan pendekatan pola pemeliharaan sapi yang terintegrasi dengan tanaman pangan dan agroindustrinya, sehingga limbah dari tanaman pangan dan agroindustrinya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak; dengan demikian terbentuk pola zero waste. Salah satu andalan sumber hijauan pakan ternak di daerah dengan pakan kurang dan lahan kering adalah limbah pertanian, baik dalam keadaan segar maupun dalam keadaan kering seperti halnya jerami, namun jerami memiliki lignoselulosa dengan kadar lignin dan silikat yang tinggi yang menyebabkan daya cernanya rendah (SUWANDYASTUTI; 1988). Limbah pertanian sangat bergantung kepada budidaya pertanian terutama pertanian tanaman pangan. Limbah pertanian seperti jerami umumnya digunakan sebagai pakan sumber serat dengan nilai nutrisi yang relatif rendah. Pakan tambahan yang sering diberikan oleh peternak antara lain adalah dedak padi dan limbah ubi kayu seperti gabul/onggok dan kulit ubi kayu. Dedak padi merupakan hasil ikutan pengolahan padi (Oriza sativa) menjadi beras yang sebagian besar terdiri dari lapisan kulit ari
234
(DEWAN STANDARISASI NASIONAL, 1996). Penggunaan dedak padi sebagai pakan ternak telah banyak dilakukan oleh peternak terutama di saat musim panen padi. Nutrisi yang terkandung di dalam dedak padi adalah protein kasar (PK) sebesar 7,85%; lemak kasar (LK) sebesar 9,10% dan serat kasar (SK) sebesar 16,75% (hasil analisa di Laboratorium Loka Penelitian Sapi Potong, 2003). Dilihat dari kadar seratnya yang tidak terlalu tinggi maka dedak baik digunakan sebagai pakan tambahan (penguat). Tanaman ubi kayu (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Termasuk dalam famili Eupharbiceae. Banyak dijumpai nama lokal dari ubi kayu antara lain singkong, kaspe, budin, sampen dan lain-lain. Tanaman ubi kayu dapat tumbuh dengan mudah hampir di semua jenis tanah dan tahan terhadap serangan hama maupun penyakit; pada umumnya diambil umbinya sebagai pangan sumber karbohidrat yang utama (54,20%); industri tepung tapioka (19,70 %); industri pakan ternak (1,80%); industri non pangan lainnya (8,50%) dan sekitar 15,80% diekspor (MARIYONO dan KRISHNA, 2008). Kandungan nutrisi di dalam limbah pertanian termasuk limbah ubi kayu pada umumnya rendah namun dapat diatasi dengan meningkatkan nilai gizi dan kecernaannya melalui perlakuan fisik, kimia maupun biologi menggunakan bantuan mikroorganisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil tata laksana pakan di daerah sentra industri tepung tapioka skala rakyat terutama tentang pemanfaatan limbah industri tersebut sebagai pakan sapi potong.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
MATERI DAN METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei, dilakukan di wilayah Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, waktu survei dilakukan pada bulan Mei 2009. Lokasi ini merupakan daerah padat sapi potong terutama sapi PO; sekaligus merupakan daerah sentra industri tapioka. Data yang dikumpulkan terdiri dari dua macam data yaitu data sekunder didapatkan dari monografi desa, meliputi kondisi dan karakteristik lokasi sedangkan data primer didapatkan dengan wawancara langsung terhadap 30 peternak yang terpilih sebagai responden. Responden adalah peternak yang menggarap lahan sawah atau tegalan, mempunyai usaha pembuatan tapioka dan mempunyai ternak sapi meliputi aspek teknis dan sosial mencakup identitas peternak, kepemilikan ternak, profil kandang, manajemen pemeliharaan, dan reproduksi serta manajemen pakan. Data penelitian disajikan dalam bentuk deskriptif, dilengkapi dengan tabel dari variabel-variabel yang dianalisis, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan karakteristik lahan Kecamatan Pundong, kabupaten Bantul terletak sekitar 15 km di sebelah Selatan kota Yogyakarta. Dari aksesibilitas, desa ini sangat mudah dijangkau karena terletak tidak jauh dari jalan raya. Kondisi jalan desa yang sebagian besar sudah diperkeras dengan semen ataupun batu menjadikan seluruh wilayah di desa ini dapat dijangkau kendaraan roda empat sekalipun musim penghujan. Ketinggian wilayah 20 meter dpl, suhu udara dapat mencapai 24 – 30°C dengan curah hujan rata-rata 238 mm per tahun. Bentuk wilayahnya terdiri dari 67% datar sampai berombak, 30% berombak sampai berbukit dan 3% berbukit sampai bergunung. Luas wilayah Kecamatan Pundong adalah 23.682.000, yang sebagian besar digunakan sebagai lahan persawahan yang mencapai 17.520.000 ha atau sekitar 60% dari luas total. Kecamatan Pundong merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bantul yang terkenal
dengan industri tepung tapioka skala rakyat yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan mie, kerupuk dan aneka bahan pangan lain yang berasal dari ubi kayu. Profil peternak Data survei mengenai identitas peternak yang diperoleh dengan wawancara terhadap 30 peternak yang terpilih sebagai responden tertera dalam Tabel 1. Tabel 1. Identitas peternak Identitas peternak
Jumlah
Pengalaman beternak < 10 tahun
23%
> 10 tahun
77%
Pendidikan SD
70%
SMP
20%
SMA
10%
Pekerjaan utama Petani
64%
Peternak
7%
Lain-lain
29%
Pekerjaan tambahan Peternak
80%
Lain-lain
20%
Pemilikan sapi Milik sendiri
85%
Gaduhan
15%
Pengalaman beternak yang telah dimiliki peternak relatif cukup tinggi namun peternak umumnya masih belum memahami tata laksana pemeliharaan yang benar, seperti penggunaan indukan yang terlalu gemuk yang dapat menyebabkan sulit untuk bunting kembali karena peternak pembibitan di daerah pertanian intensif umumnya menggunakan sistem kereman sehingga sapi induk cepat menjadi gemuk, namun induk yang terlalu gemuk dapat terganggu reproduksinya atau menyebabkan kemajiran (HADI dan ILHAM, 2002). Kondisi tersebut sulit untuk diminimalisir dengan teknik umbaran/penggembalaan karena banyak peternak yang khawatir ternak mereka akan
235
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
merusak lahan pertanian yang ada, namun dapat diantisipasi dengan menggunakan teknologi pemberian pakan dan air minum yang seimbang. Tingkat pendidikan mayoritas adalah SD, namun demikian peternak di Kecamatan Pundong relatif mudah menerima dan menerapakan informasi yang berasal dari luar, terbukti bahwa program-program pemerintah seperti IB telah masuk dan diterima dengan baik oleh sebagian besar peternak. Usaha peternakan pembibitan sapi potong merupakan usaha sampingan, dan bukan yang utama sedangkan pekerjaan utamanya adalah petani, sehingga perhatian terhadap pemeliharaan ternak tidak dapat penuh. Karena merupakan pekerjaan sampingan maka kepemilikannya pun relatif rendah hanya berkisar 1-2 ekor/peternak dengan alasan sulit menyediakan pakan bagi ternak. Usaha sampingan yang lain adalah sebagai pengrajin industri tepung tapioka yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kerupuk dan mie yang dipasarkan melalui pedagang pengepul. Karakteristik ternak yang dipelihara Jenis ternak yang dipelihara di Kecamatan Pundong cukup bervariasi, diantaranya sapi, kerbau, kambing/domba, kuda, ayam ras petelur/pedaging dan ayam kampung. Jumlah ternak yang dipelihara di Kecamatan Pundong tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Populasi ternak di Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta Jenis ternak
Jumlah (ekor)
Populasi sapi potong seperti tertera dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa Kecamatan Pundong merupakan wilayah yang padat sapi potong dengan populasi ternak betina yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ternak jantan karena di wilayah tersebut merupakan pengembangan sapi potong sebagai penghasil pedet. Ternak tidak digunakan sebagai penggarap sawah dan hanya dikembangbiakkan. Pedet yang dihasilkan akan dijual pada umur sapih (± 5 bulan) jika berjenis kelamin jantan dan akan dipertahankan sebagai indukan jika berjenis kelamin betina. Perkandangan Hasil wawancara tentang model perkandangan usaha peternakan sapi potong pembibitan seperti tertera dalam Tabel 3. Tabel 3. Model perkandangan Uraian Luas/ekor sapi
Keterangan 4 – 5 m2
Atap Genting
97%
Seng
3%
Dinding Terbuka
43%
Bambu
36%
Lain-lain
21%
Lantai Semen
34%
Tanah
66%
Kebersihan Kotor
20%
Jantan
Betina
Sedang
67%
1.198
2.729
Bersih
13%
Kerbau
9
23
Kuda
1
2
1.603
Sapi potong
Kambing Domba
86
Tempat pakan Ada
87%
2.581
Tidak ada
13%
392
Tempat minum
53.533
Ada
Ayam ras petelur
1.816
Tidak ada
Ayam ras pedaging
12.121
Ayam buras
Sumber: DATA MONOGRAFI KECAMATAN PUNDONG (200)
236
100% 0%
Prosesing limbah Ada
10%
Tidak ada
90%
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Bentuk kandang yang digunakan sebagai kandang pembibitan adalah kandang individu, dengan luas kandang perekor sapi relatif cukup luas. Penggunaan kandang individu memerlukan pengamatan terhadap aktivitas reproduksinya terutama saat birahi (RASYID dan HARTATI, 2007) hal ini untuk mempermudah keberhasilan perkawinannya. Atap kandang mayoritas menggunakan genting yang mudah didapatkan dengan harga relatif murah. Penggunaan seng tidak disukai oleh peternak karena Kecamatan Pundong merupakan dataran rendah di dekat pantai dengan kondisi temperatur udara yang panas sehingga penggunaan seng akan meningkatkan panas lingkungan kandang, sehingga mayoritas dinding kandang adalah terbuka. Lantai kandang menggunakan tanah dengan kondisi kebersihan sedang. Feses yang dihasilkan digunakan untuk pupuk tanaman di sawahnya sendiri/tidak dijual dan tanpa dilakukan proses pengolahan terlebih dahulu; hanya 10% yang melakukan proses pengolahan limbah dengan menggunakan teknik fisik yaitu dengan membolah-balik feses sampai kering dan siap unuk digunakan sebagai pupuk. Sarana kandang lainnya adalah tempat pakan dan minum. Mayoritas peternak telah menyediakan tempat pakan berbentuk palungan/bank pakan sehingga ternak dapat makan sewaktu-waktu, sedangkan tempat minum berupa ember yang juga digunakan untuk memberian pakan comboran. Namun pemberian minum bagi ternak dirasa sangat kurang karena hanya diberikan seember (± 20 liter) dalam satu hari. Manajemen reproduksi dan kesehatan Hasil wawancara mengenai profil manajemen pemeliharaan dan reproduksi sapi potong di lokasi menunjukkan bahwa dengan skala kepemilikan yang berjumlah 1 – 2 ekor/peternak mempermudah dalam penanganan ternak. Masalah penyediaan pakan, pola penggarapan sawah yang dahulu menggunakan sapi sebagai ternak kerja dan saat ini telah digantikan dengan adanya hand tractor (terutama di daerah irigasi teknis) yang disebabkan karena makin tingginya intensitas tanam, adanya keharusan pola tanam serentak pada komoditas pangan yang membutuhkan
ketepatan olah tanah, menyebabkan adanya kecenderungan penurunan kepemilikan ternak untuk kerja; selain itu program IB yang keberhasilannya masih rendah dan usaha peternakan yang hanya sebagai usaha sampingan juga menjadi penyebab kurangnya optimalnya pengembangan populasi sapi potong. Dari segi reproduksi pada umumnya peternak telah paham tanda-tanda birahi sebagai dasar perkawinan IB, meskipun menurut pengakuan peternak perkawinan menggunakan IB sering gagal namun seluruh peternak (100%) mengaku puas dengan layanan petugas IB, karena sangat cepat dalam merespon laporan peternak jika terdapat ternak dalam keadaan birahi. Sapi yang dimiliki oleh 30 responden terpilih diketahui pernah mengalami kesulitan beranak sebesar 3% dan dapat dibantu dengan mendatangkan petugas medis. Kejadian abortus pernah terjadi sebesar 3% dan setelah itu ternak dikeluarkan/dijual. Sedangkan kejadian plasenta tertinggal tidak ditemukan. Pedet yang dihasilkan dalam usaha pembibitan ini dijual tanpa patokan usia, bahkan sebelum sapih pun telah dijual dengan alasan kebutuhan yang mendesak (100%). Peternak lebih senang mempertahankan ternak dengan jenis kelamin betina yang dipersiapkan sebagai calon indukan. Dari segi kesehatan, penyakit yang sering muncul di daerah ini adalah gom (sariawan), cascado, dan kembung, tetapi mayoritas peternak mengaku sangat jarang ternaknya mengalami sakit. Peternak yang memiliki ternak sakit tidak menangani sendiri penyakit yang menjangkiti ternaknya dan selalu menggunakan tenaga medis seperti mantri ataupun dokter hewan swasta. Manajemen pakan Ditinjau dari segi manajemen pakan, konsep LEISA (low external input sustainable agriculture) telah banyak dilakukan oleh peternak dengan selalu menyediakan jerami padi kering dalam bank pakan sehingga ternak dapat menyenggut makanan sewaktu-waktu. Konsep tersebut sangat tepat diterapkan dalam usaha peternakan sapi potong pembibitan di Kecamatan Pundong, mengingat potensi
237
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
limbah pertanian dan agroindustrinya yang relatif cukup banyak untuk dapat menunjang pemenuhan kebutuhan pakan. Selain itu di daerah ini merupakan sentra industri tapioka skala rakyat yang limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Limbah industri tapioka antara lain adalah ubi kayu afkir, ampas (gabul/onggok) dan kulit ubi kayu. Onggok merupakan hasil ikutan padat dari pengolahan tepung tapioka. Sebagai ampas pati ubi kayu yang mengandung banyak karbohidrat, onggok dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi; nilai gizi yang terkandung di dalam onggok adalah Bahan kering (BK) sebesar 90,05% PK sebesar 2,80%BK; TDN sebesar 62,44%BK; LK sebesar 0,51%BK; dan SK sebesar 8,68%BK. Kulit ubi kayu merupakan limbah dari proses pengolahan ubi kayu menjadi gaplek, tapioka maupun aneka bahan pangan, kulit ubi kayu merupakan bagian yang cepat terdegradasi di dalam rumen, kandungan BK kulit sebesar 94,35%; PK sebesar 4,90%BK; LK sebesar 3,60%BK; dan SK sebesar 19,51%BK, namun bagian kulit singkong mengandung kadar HCN yang paling tinggi yaitu sebesar 143,3 mg/100 g. HCN pada taraf tertentu dapat bersifat toksik sehingga dapat meracuni ternak. Penggunaan kulit ubi kayu sebagai pakan ternak umumnya dilakukan pengeringan terlebih dahulu untuk meminimalisir kandungan HCN karena HCN dapat menguap jika dilakukan pengeringan. Sebagian besar peternak mengaku takut memberikan ubi kayu utuh dalam keadaan segar, dikarenakan pernah terjadi kematian sapi jika diberi ubi kayu segar. Peternak selalu mengeringkan limbah tapioka dalam bentuk gabul/onggok dan kulit ubi kayu sebelum diberikan kepada ternak. Ubi kayu yang pada saat panen bersifat basah, penggunaannya harus secara cepat atau dapat pula dilakukan pengawetan untuk menghambat pembusukan. Proses pengeringan selain dapat digunakan untuk tujuan pengawetan juga dapat mengurangi kandungan HCN, karena sifat HCN mudah menguap jika terkena panas. PURWANTI (2007) mengemukakan bahwa pengeringan kulit ubi kayu dengan oven 1000C mampu menurunkan kadar HCN secara sangat signifikan sebesar 8,88 mg/100 g. Peternak di Kecamatan Pundong selain menggunakan jerami padi juga memberikan rumput lapangan dan kolonjono sebanyak 10 –
238
40 kg/ekor/hari segar. Sedangkan pemberian pakan tambahan berupa gabul/onggok dan kulit singkong jumlahnya bervariatif antara 1 – 3 kg dilakukan oleh 70% dari total responden sedangkan yang memberikan 4 – 6 kg/ekor/hari sebanyak 30% dari total responden, dan yang telah menghitung pemberian pakan berdasarkan berat badan hanya 3% responden. Penggunaan dedak sebagai pakan ternak hanya berkisar 1 – 2 kg dan hanya diberikan saat panen padi. Dari data wawancara diketahui bahwa seluruh peternak di daerah ini telah mengenal pemberian pakan penguat selain pakan basal berupa jerami padi, namun demikian pemberiannya masih belum memperhatikan standar kebutuhan pakan untuk hidup pokok dan berdasarkan status fisiologisnya. Limbah singkong lainnya seperti batang dan daun masih belum digunakan sebagai pakan ternak karena sebagian besar peternak beranggapan limbah tersebut dapat mengakibatkan kematian pada ternak sehingga perlu adanya sosialisasi penggunaan limbah ubi kayu seperti batang dan daun serta teknologi pengolahannya sehingga aman dikonsumsi sebagai pakan ternak. KESIMPULAN Dari uraian di atas disimpulkan bahwa sebagian besar peternak di Kecamatan Pundong telah menerapkan pola LEISA dalam sistem pemeliharaan sapi potong pembibitan di daerah pertanian intensif dan sentra industri tapioka skala rakyat. Limbah pertanian berupa jerami padi sebagian besar diberikan dalam bentuk kering di dalam bank pakan sedangkan limbah ubi kayu dari industri tapioka berupa gabul/onggok dan kulit ubi kayu telah diberikan sebagai pakan tambahan. DAFTAR PUSTAKA HADI, P.U. dan N. ILHAM. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia. J. Litbang Pertanian 21(4). MANTI. I, AZMI, E. PRIYOTOMO dan D. SITOMPUL. 2003. Kajian sosial ekonomi sistem integrasi sapi dengan kelapa sawit (SISKA). Pros. Lokakarya Nasional Sistem Integrasi KelapaSapi. Bengkulu, September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
MARIYONO dan N.H. KRISHNA. 2008. Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ruminansia. Seminar Intern Puslitbang Peternakan, Bogor. RASYID, A. dan HARTATI. 2007. Petunjuk Teknis Perkandangan Sapi Potong. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
SUWANDYASTUTI .S.N.O. 1988. Pemanfaatan limbah agro-industri untuk meningkatkan nilai nutrisi jerami padi. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Puslitbang Peternakan, Bogor.
DISKUSI Pertanyaan: Manajemen dan pemberian pakan sangat bervariasi, mungkin judul diganti dengan pola pemeliharaan sapi. Jawaban: Penelitian ingin mengetahui profil tata laksana pada kawasan sentra industri tapioka di peternak rakyat, dengan tujuan melihat pemanfaatan limbah yang dihasilkan dan dikaitkan dengan pola LEISA, sehingga pemanfaatan pakan akan efisien.
239