Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
DIFUSI INOVASI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN SECARA BERKESINAMBUNGAN PADA DOMBA MELALUI PENDEKATAN PARTISIPATIF DI DESA TEGALSARI, PURWAKARTA DAN DESA PASIRIPIS, MAJALENGKA (Diffusion of Innovative Technology of Sustainable Parasite Control in Sheep through Participatory Approach in Tegalsari Village, Purwakarta District and Pasiripis Village, Majalengka District) A. HANAFIAH1 dan DWI YULISTIANI2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16001
2
ABSTRACT Gastrointestinal parasites infection is one of disease that hindered sheep productivity especially in grazing management system. The most effective method to overcome this problems is through empowering sheep farmers by improving their knowledge on some aspects of productivity and health, aiming to improve sheep productivity and reduce worm infection. The study was conducted to obtain the information of the difussion of innovative technology of sustainable parasites control in sheep through participatory approach. Study was carried out in Tegalsari village, Purwakarta District and Pasiripis village of Majalengka District. Innovative technology introduced based on the problem present and based on farmer’s need on both villages. To know how far the technology introduced to farmer cooperators was dessiminated to non cooperator farmers at the end the research, survey was conducted by interviewing non cooperator farmers. Number of respondents interviewed were 14 and 17 farmers, respectively for Tegalsari village, Purwakarta District and Pasiripis village of Majalengka District. Interviewed was conducted using questionaire. Data were analized using descriptive method. Results of the study showed that all the respondens adopted innovation on chemical deworming and tree legume supplementation. The reason that farmers selected the technology was the result of applying technology. Totally non cooperator farmers who already applied the technology packaged introduced to control parasites infection in sheep were 24 farmers in Tegalsari village and 30 farmers in Pasiripis village. Key words: Sheep, gastrointestinal parasite, control, technology, diffusion ABSTRAK Penyakit infeksi cacing pada saluran pencernaan pada domba merupakan salah satu penyakit yang menghambat produksi ternak domba terutama pada sistem pemeliharaan secara digembalakan. Cara yang lebih efektif untuk mengatasi masalah penyakit ini adalah melalui pemberdayaan dengan membekali pengetahuan peternak mengenai beberapa aspek produksi dan kesehatan ternak dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi infeksi cacing. Penelitian dilakukan untuk mengetahui difusi inovasi teknologi pengendalian secara berkesnambungan penyakit infeksi cacing saluran pencernaan pada domba melalui pendekatan partisipatif di Desa Tegalsari, Kabupaten Purwakarta dan Desa Pasiripis, Majalengka. Inovasi teknologi yang diintroduksi berdasarkan problem yang ada dan dirasakan oleh peternak di kedua desa tersebut. Survai dilakukan menggunakan metode wawancara dengan peternak non kooperator masing-masing 14 orang di Desa Tegalsari dan 17 orang di Desa Pasiripis. Responden diambil secara acak sederhana dengan berpedoman pada nama-nama peternak yang sudah pernah berhubungan dengan peternak kooperator. Data yang terkumpul diolah secara deskriptif. Dari hasil wawancara didapat hasil bahwa semua responden (100%) telah mengadopsi pengobatan cacing pada domba dan suplementasi pakan dengan hijauan legum. Dasar pertimbangan responden mengaplikasikan tersebut adalah hasil yang didapat dengan menggunakan teknologi tersebut paling meyakinkan dan mudah diaplikasikan, dapat diketahui manfaatnya dalam waktu yang relatif singkat. Secara keseluruhan berdasarkan informasi dari peternak (kooperator dan
360
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
non kooperator) di Desa Tegalsari telah ada 24 orang dan di Desa Pasiripis sudah ada 30 orang peternak non kooperator yang sudah mengadopsi inovasi teknologi pengendalian penyakit cacing saluran pencernaan pada domba. Kata kunci: Domba, penyakit cacing, pengendalian, teknologi, difusi
PENDAHULUAN Domba adalah ternak yang banyak diusahakan oleh masyarakat pedesaan Indonesia secara tradisional dan mampu beradaptasi dengan kondisi agroekosistem yang ada. Daerah dengan agroekosistem yang dikelola secara intensif, petani biasanya memelihara ternak domba dengan cara diberi pakan di kandang (cut and carry). Sedangkan di daearah dengan pengelolaan agroekosistem yang ekstensif, pinggiran hutan, daerah perkebunan kebanyakan petani memelihara ternak dengan cara digembalakan dan dikandangkan pada malam hari. Ternak ini mempunyai fungsi sebagai tabungan, penghasil daging, dan penghasil pupuk kandang. Penyakit cacing khususnya cacing gastrointestinal nematoda merupakan salah satu penyakit yang menghambat produktivitas ternak. Penyakit ini menyebabkan penurunan bobot badan sebesar 38% dan kematian sampai 17%pada ternak yang di pelihara di daerah Jawa Barat (BERIAJAYA dan STEVENSON, 1986 dalam BERIAJAYA dan SUHARDONO, 1998). dan Sedangkan menurut HANDAYANI GATENBY (1988) dalam BERIAJAYA dan SUHARDONO (1998), pada daerah dimana ternak digembalakan di bawah pohon karet angka kematian ternak domba karena infeksi cacing dapat mencapai 28%. Upaya penanggulangan penyakit parasit cacing gastrointestinal nematoda pada ternak ruminansia kecil, sebaiknya dilakukan secara terpadu antara manajemen, nutrisi dan obat cacing (BERIAJAYA dan SUHARDONO, 1998). Disamping itu penanggulangan ini perlu ditangani dengan cara memberdayakan peternak melalui peningkatan pengetahuan peternak yang berhubungan dengan produksi ternak dan penyakit. Segala upaya ini akan dapat memberikan hasil terbaik apabila dilakukan melalui partisipasi aktif peternak. Dalam rangka menanggulangi infeksi parasit cacing gastrointestinal pada ruminansia kecil secara berkelanjutan melalui pendekatan partisipatif telah dilakukan penelitian
kerjasama antara Puslitbang Peternakan dengan ILRI (International Liverstock Research Institute). Dengan berprinsip pada keberlanjutan dan partisipasi peternak, maka inovasi teknologi yang diintroduksikan merupakan teknologi yang sudah disesuaikan dengan permasalahan di lokasi penelitian dan berdasarkan kebutuhan peternak, dengan harapan teknologi ini dapat diadopsi oleh petani. Permasalahan dan kebutuhan peternak digali sebelum implementasi teknologi dilakukan. Inovasi teknologi pengendalian penyakit parasit cacing yang diintroduksi meliputi manajemen kesehatan dengan pemberian obat cacing, manajemen perkandangan dan sanitasi, suplementasi leguminosa dan pengelolaan sistem perkawinan dengan introduksi pejantan berkualitas dan menghindarkan perkawinan sedarah (inbreeding). Adopsi adalah suatu keputusan untuk menerima suatu inovasi atau sesuatu yang baru dan bermanfaat (HANAFI, 1986), menurut WIRIAATMADJA (1985) adopsi adalah perubahan sikap mental atau perubahan perilaku. Untuk mengetahui manfaat teknologi yang diintroduksi kepada petani maka perlu untuk melihat tingkat adopsi teknologi tersebut oleh petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana teknologi yang sudah diintroduksi pada peternak kooperator di Desa Tegalsari, Kabupaten Purwakarta dan Desa Pasiripis Kabupaten Majalengka telah menyebar dan diadopsi oleh peternak non kooperator. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Desa Tegalsari, Kabupaten Purwakarta dan Desa Pasiripis, Kabupaten Majalengka pada bulan Desember 2003, setelah 1,5 tahun teknologi yang diintroduksikan pada peternak kooperator sudah diimplementasikan (mulai dimplementasikan bulan Juni 2002). Pada awal penelitian telah diintroduksi teknologi penggunaan obat
361
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
cacing dengan bahan aktif Albendazole, pengelolaan perkandangan dan sanitasi lingkungan kandang, suplementasi leguminosa, pemeliharaan induk beranak, dan pengelolaan sistem perkawinan (penggunaan pejantan berkualitas dan mencegah perkawinan sedarah). Teknologi ini diperkenalkan kepada petani kooperator melalui pelatihan dan penyuluhan berkala bulanan di kelompok tani. Pada fase percobaan ini petani perlu data teknis untuk meyakinkan, untuk mencoba sendiri dan melihat orang yang sudah berhasil (WIRIAATMAJA, 1985). Untuk mengetahui tingkat adopsi dan difusi inovasi yang diintroduksi, dilakukan wawancara dengan petani kooperator tentang penyebarluasan teknologi yang diintroduksi kepada petani non kooperator (petani dampak), kemudian dilakukan “check cross” kepada petani non kooperator yang memperoleh informasi teknologi introduksi tersebut, dengan melakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Responden peternak domba non kooperator dipilih secara acak dengan dasar bahwa responden tersebut sudah pernah mendapat informasi dari peternak kooperator. Responden yang diwawancara di Desa Tegalsari sebanyak 14 orang, sedangkan di Desa Pasiripis sebanyak 17 orang. Data yang diperoleh diolah secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada dasarnya petani di kedua desa penelitian sudah mengetahui bahwa ternak mereka kurang sehat, banyak anak yang mati dan ukuran ternak mereka kecil. Para petani melihat penampilan ternak domba mereka terserang penyakit cacing, dengan tanda yang dapat dilihat seperti badannya kurus, nafsu makan rendah, mencret pada musim hujan dan bulunya kaku dan kusam (HANAFIAH et al., 2001). Oleh karena itu mereka berupaya untuk mengobati ternak domba mereka dengan cara tradisional dan menggunakan obat cacing untuk manusia yang tersedia di warung setempat. Namun demikian upaya mereka kurang berhasil. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa para petani mempunyai motivasi untuk mencoba berbagai cara, baik yang diperoleh secara turun temurun (indigenous technology)
362
maupun teknologi yang tersedia, meskipun belum tepat, tetapi hal ini merupakan dorongan untuk mencari teknologi baru dan memecahkan masalah. Dalam tahapan adopsi para petani tersebut sudah berada pada tahap mencoba, dan bila dilihat dari golongan adopter, para petani yang telah mencoba berbagai cara pengobatan ternak domba tersebut termasuk golongan petani pengetrap dini (WIRIAATMADJA, 1985) atau si tauladan, yang biasanya dicari oleh agen pembaharu untuk dijadikan teman dalam penyebaran inovasi, untuk mempercepat proses adopsi (HANAFI, 1986). Para petani kooprator tergolong ke dalam golongan tersebut di atas, karena mereka mempunyai sebagian ciri-ciri seperti yang dikemukakan WIRIAATMADJA (1985) dan HANAFI (1986) yaitu suka mencoba, terbuka untuk hal-hal yang baru, dan suka bekerja sama dengan pihak luar, seperti Dinas-dinas, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi dan sebagainya. Peran kelembagaan dalam proses adopsi teknologi Proses adopsi tidak dapat berjalan sendiri, tetapi memerlukan kelembagaan penghubung. Kelembagaan adalah organisasi formal atau kumpulan norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial (WARISO dalam WAHYUNI, 2003). Penghubung ini adalah adanya peneliti yang membawa teknologi, adanya penyuluh yang harus bertindak sebagai komunikator (Change agent) dan kelompok tani sebagai kelas belajar para petani dan sasaran adopsi. Selain itu diperlukan pula sarana produksi dan sarana penunjang lainnya (WIRIAATMADJA, 1985 dan MOSHER, 1978). Seluruh pihak yang terlibat dan berperan dalam proses adopsi disebut lembaga. Untuk memperlancar kegiatan yang dilakukan di dua desa terpilih yaitu di Desa Tegalsari, Purwakarta dan Pasiripis, Majalengka, tim penelitian membentuk 2 kelompok kerja yaitu: Kelompok Kerja Nasional (NWG) yang terdiri dari peneliti Balai Penelitian Ternak dan Balai Penelitian Veteriner, dan Kelompok Kerja Regional (RWG) terdiri dari Peneliti dan Penyuluh BPTP serta staf dan penyuluh Dinas.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 1. Persentase peternak non kooperator yang mengadopsi inovasi teknologi introduksi di Desa Tegalsari dan Pasiripis Teknologi Penggunaan obat cacing a. Obat cacing hewan b. Ketepatan dosis c. Ketepatan waktu - Tidak tentu - Selektif - Musim hujan - Musim hujan dan selektif d. Periode pemberian - Tidak tentu - Diulang tiap 3 bulan Penggunaan pejantan a. Garut b. BC c. Komposit d. Komposit dan BC Perbaikan pakan a. Suplementasi legum b. Pakan tambahan induk menyusui - Air beras + garam - Pepaya rebus - Dedak + garam + air - Bubur beras - Singkong rebus Perkandangan a. Panggung b. Membersihkan lantai - Tiap hari - 1 kali/minggu c. Membersihkan pupuk kandang - Tiap hari - 1 kali/minggu - 1 kali/bulan - 1 kali/4 bulan - 1 kali/tahun d. Pit - Ada - Tidak ada e. Selokan - Ada - Tidak ada f. Tempat pakan - Ada - Tidak ada g. Ventilasi - Kurang - Cukup - Baik
Tingkat adopsi (%) Tegalsari
Pasiripis
100 100
100,0 100,0
0 8,4 58,3 33,3
5,0 5,0 35,0 55,0
8,3 91,7
85,0 15,0
50 25 16,7 8,3
40,0
100
100,0
33,4 16,7 33,3 8,3 8,3
15,0 0 10,0 5.0 0
100
100
66,7 33,3
25,0 75,0
8,3
0 15,0 20.0 55,0 10,0
66,7 25.00
33.3 66,7
45,0 55,0
16,7 83,3
40,0 60,0
75,0 25,0
45,0 55,0
16,7 83,3 0
15,0 80 5,0
363
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Kelompok tani menjadi kunci dalam sistem adopsi dan difusi teknologi di desa penelitian. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan mereka mengelola pejantan untuk digunakan bersama, mengelola obat cacing, membeli obat cacing melalui dinas Peternakan, mengaplikasi obat cacing berdasarkan dosis, periode dan musim, serta memberdayakan petani anggota dan petani non anggota dalam pengadaan obat cacing untuk ternak. Kemasan obat cacing yang besar dan penjualnya jauh dari tempat tinggal petani, membuat petani harus membeli dan menggunakannya secara berkelompok. Hal ini mendorong terciptanya norma yang berlaku di antara anggota kelompok tani. Kelembagaan sarana produksi peternakan seperti penjual dedak (konsentrat), mineral dan obat cacing hewan sudah dapat diakses oleh petani. Obat cacing hewan dan mineral diperoleh petani melalui Dinas Peternakan Kabupaten Majalengka. Rangkaian kelembagaan yang telah disebutkan di atas telah berperan dan berfungsi sebagai sumber inovasi, saluran, dan penerima inovasi dalam model komunikasi. Menurut HANAFI (1986) sumber inovasi, saluran dan penerima inovasi merupakan bagian dari unsur-unsur difusi dalam model komunikasi S – M – C – R – E (source – Message – Channel – Receiver – Effect). Tingkat adopsi dan difusi inovasi pada petani Paket teknologi yang diintroduksi kepada petani kooperator diasumsikan diadopsi oleh petani kooperator, karena pada awal penelitian mereka menyepakati untuk mengaplikasi paket teknologi tersebut. Dalam prakteknya pentahapan proses adopsi tidak perlu secara berurutan harus dilaluinya, dapat saja suatu tahap dilampaui, karena tahap tersebut dilaluinya secara mental (WIRIAATMADJA, 1985). Menurut HANAFI (1986) adopsi berarti keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Jadi petani kooperator yang pada umumnya sudah berada pada tahap mencoba, pada saat bekerjasama dalam penelitian mendapat pelatihan dan mendapat bantuan penggunaan obat cacing serta mendapat informasi teknis, mereka berpartisipasi aktif dalam kegiatan
364
penelitian ini. Namun tidak seluruh paket teknologi dapat diadopsi petani kooperator dengan sempurna. Petani di Desa Tegalsari, maupun di Desa Pasiripis, memilih teknologi yang paling meyakinkan, mudah diaplikasi, dan dapat diketahui manfaatnya dalam waktu yang relatif cepat. Seluruh petani dampak (non kooperator) di kedua desa memilih penggunaan obat cacing hewan untuk menanggulangi penyakit cacing dengan dosis yang tepat (100%). Kebanyakan petani di Desa Tegalsari memberikan obat cacing pada ternak domba pada musim hujan (58,3%), pada musim hujan dan selektif (33,3%) dan secara selektif 8,4%. Sedangkan di Desa Pasiripis kebanyakan petani memberikan obat cacing pada musim hujan dan selektif (55%). Hanya pada musim hujan saja 35%, selektif 5% dan tidak tentu 5%. Yang dimaksud selektif adalah pemberian obat cacing hanya dilakukan pada ternak yang secara klinis tampak sakit, seperti kurus, tidak nafsu makan dan/atau mencret 91,7% petani non kooperator di Desa Tegalsari memberikan obat cacing dengan periode 3 bulan sekali dan 8,3% tidak tentu. Sedangkan di Desa Pasiripis kebanyakan petani (85,0%) memberikan obat cacing dengan periode tidak teratur dan hanya 15,0% yang memberikan obat cacing dengan periode teratur 3 bulan sekali. Yang dimaksud tidak teratur adalah jarak pemberian obat cacing kurang atau lebih dari 3 bulan. Pejantan Introduksi di Desa Tegalsari digunakan oleh seluruh petani dampak. Tetapi yang menjadi pilihan tertinggi petani adalah pejantan domba Garut (50%), Barbados (25%), selebihnya petani memilih composit dan komposi dan Barbados masing-masing 16,7% dan 8,3%. Pemilihan dan penggunaan pejantan introduksi di Desa Tegalsari lebih bervariasi, karena tersedianya tiga bangsa pejantan. Sedangkan di Desa Pasiripis hanya tersedia pejantan Garut, dimana hanya ada 1 ekor pejantan pada setiap kelompok, disamping itu prioritas pemanfaatan pejantan diutamakan untuk peternak kooperator, sehingga menyebabkan keterbatasan pemanfatan pejantan oleh peternak non kooperator, sebagai akibatnya adopsi pemanfaatan pejantan di Pasiripis lebih rendah dibanding di Desa Tegalsari. Akan tetapi pilihan terhadap pejantan bangsa Garut di Desa Tegalsari
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
maupun di Pasiripis cukup tinggi. Di Desa Tegalsari peternak memilih pejantan Garut yang berbulu putih, karena untuk keperluan kurban harganya lebih mahal dibandingkan domba berbulu hitam. Suplementasi Leguminosa, terutama glirisidia telah dilakukan petani dampak (100%) di kedua desa, hanya cara pemberiannya berbeda. Di Desa Tegalsari selain di penggembalaan, diberikan juga di kandang sebagai pakan tambahan. Sedangkan di Desa Pasiripis domba memakan leguminosa di tempat penggembalaan atau diberikan sambil digembala, karena di Pasiripis banyak tanaman glirisidia tumbuh di sepanjang jalan ke tempat penggembalaan. Penggunaan obat cacing dan suplementasi leguminosa dilakukan oleh seluruh petani dampak, karena manfaatnya dapat dilihat langsung dari penampilan ternak domba mereka seperti: ternak domba mereka gemuk, nafsu makannya baik, geraknya lincah dan bulunya lembut. Selain itu pada saat monitoring dan pertemuan, petani diberi informasi data teknis oleh peneliti tentang penurunan tingkat infeksi cacing pada ternaknya (epg) dan kenaikan berat badan ternak domba mereka. Sedangkan inovasi lainnya seperti perkandangan dan sanitasinya masih dianggap hal yang tidak berpengaruh langsung pada ternak. Menurut petani di kedua lokasi, penampilan ternak domba mereka yang gemuk, kuat dan sehat, menjadi daya tarik dan perhatian bagi peternak lain, baik di kampung maupun di tempat penggembalaan. Sebagian dari petani non kooperator meminta informasi kepada petani kooperator tentang cara pemeliharaan ternak domba. Kebanyakan informasi yang diberikan adalah tentang penggunaan obat cacing untuk domba dan pemberian pakan leguminosa. Petani yang meminta informasi bukan saja petani dari dalam desa yang sama, tetapi juga petani yang berasal dari luar desa, terutama yang bertemu di tempat penggembalaan. Petani dari luar desa yang tertarik dengan informasi tersebut ada yang menitip membeli obat cacing, ada pula yang datang sendiri dan meminta ternaknya yang kurus untuk diobati oleh anggota kelompok yang trampil. Di Desa Pasiripis, obat cacing diadopsi dengan baik oleh petani, hal ini terbukti bahwa
semua peternak kooperator terampil menggunakan obat cacing, adanya petani yang membeli obat cacing secara individual ke Dinas peternakan, bahkan ada petani yang mengusulkan agar ada obat cacing dengan kemasan 200 cc agar dapat dimiliki secara individual. Hal ini dapat dimaklumi karena skala pemilikan ternak domba di Pasiripis jauh lebih besar dibandingkan di Desa Tegalsari, sehingga obat cacing hewan cukup ekonomis untuk digunakan. Di Desa Tegalsari seluruh petani dampak memberikan pakan tambahan kepada induk yang menyusui 33,4% petani dampak memberikan air beras + gara, 33,4% memberikan dedak + garam + air, 16,7% memberikan pepaya rebus, dan masing-masing 8,3% petani dampak memberikan bubur beras dan singkong rebus. Sedangkan di Pasiripis hanya sebagian petani memberi pakan tambahan kepada induk menyusui, yaitu 15% petani memberikan air beras + garam, 10% memberikan dedak + garam + air, 5% memberikan bubur beras dan 70% tidak memberikan pakan tambahan kepada induk yang menyusui. Perkandangan panggung sudah biasa diterapkan oleh petani dampak di kedua desa. Kebanyakan petani di Desa Tegalsari (66,7%) membersihkan lantai kandang setiap hari, sedangkan di Desa Pasiripis, 75% petani membersihkan lantai kandang 1 kali/minggu, 66,7% kandang di Desa Tegalsari dan 55% di Desa Pasiripis kandang domba milik petani dampak tidak mempunyai pit. Kebanyakan kandang domba di kedua desa tidak mempunyai selokan (83,3% di Desa Tegalsari dan 60% di Desa Pasiripis), sedangkan kebanyakan kandang di domba di desa milik petani dampak di Desa Tegalsari (75%) mempunyai tempat pakan dan di Desa Pasiripis hanya 45% yang mempunyai tempat pakan. Ventilasi kandang domba milik petani dampak di kedua desa pada umumnya cukup (di Desa Tegalsari 83,3% dan di Desa Pasiripis 80%), Kandang yang berventilasi baik hanya 5% di Pasiripis, selebihnya tergolong kurang baik. Secara umum kondisi perkandangan di Desa Tegalsari lebih baik dari pada Pasiripis. Hal ini disebabkan di Desa Tegalsari jumlah rata-rata pemilikan ternak masih sedikit dan lahan masih cukup luas, sedangkan di Desa Pasiripis rata-rata jumlah pemilikan ternak
365
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
cukup banyak, sehingga petani di Desa Tegalsari mempunyai waktu yang cukup untuk memelihara ternak dan kandangnya. Pemeliharaan induk yang menyusui dengan cara pemberian pakan tambahan, di Desa Tegalsari diadopsi lebih baik dibandingkan di Desa Pasiripis. Demikian juga pemeliharaan kandang terutama menyapu lantai kandang, di Tegalsari lebih banyak yang membersihkan lantai kandang tiap hari (66,7%) dan membersihkan kolong kandang tiap bulan (66,7%), di Pasiripis 25% dan 20%. Proses pengaliran informasi teknologi dari petani kooperator kepada petani non kooperator merupakan proses difusi teknologi. Menurut SUDANA et al. (1999) proses difusi inovasi adalah perluasan adopsi inovasi dari suatu individu yang telah mengadopsi ke individu yang lain dalam sistem sosial masyarakat sasaran yang sama. Menurut SLAMET (1992) dalam SUDANA et al. (1999) proses difusi inovasi tidak berbeda jauh dengan proses adopsi inovasi, namun dalam proses adopsi pembawa inovsinya dari luar sistem sosial masyarakat, sedangkan dalam proses difusi sumber informasi berasal dari dalam sistem sosial masyarakat itu sendiri. Jadi dalam hal ini tim peneliti berperan dalam proses adopsi inovasi, sedangkan petani kooperator berperan dalam proses difusi. Di Desa Tegalsari dari 10 orang peternak kooperator mampu mendistribusikan informasi kepada 24 orang peternak non kooperator, yang pada waktu wawancara sudah mengadopsi salah satu atau kombinasi dari teknologi yang diintroduksi. Sedangkan peternak dari luar desa yang merupakan 2 desa tetangga yang sudah mengadopsi teknologi introduksi sebanyak 10 orang. Hal ini berarti bahwa setiap 1 orang peternak kooperator mampu berkomunikasi dengan rata-rata lebih dari 2 orang peternak non kooperator dari dalam desa dan 1 orang dari luar desa yaitu Desa Cisarua dan Sukamulya. Sedangkan di Desa Pasiripisdari 17 orang peternak kooperator mampu mendistribusikan informasi kepada 30 orang peternak non kooperator dari dalam desa dan 26 orang peternak non kooperator dari luar desa, dengan kata lain peternak kooperator di Desa Pasiripis rata-rata setiap petani kooperator mampu berkomunikasi dengan hampir 2 orang petani non kooperator
366
dari dalam desa dan lebih dari 1 orang dari luar desa. Di Desa Tegalsari inovasi yang banyak diminati adalah penggunaan obat cacing, suplementasi leguminosa (Glirisidia/Kalameri) dan penggunaan pejantan bangsa Garut, Barbados Cross dan Composit. Sedangkan di Desa Pasiripis inovasi yang banyak diminati petani non kooperator adalah penggunaan obat cacing dan pejantan bangsa Garut. KESIMPULAN Inovasi penggunaan obat cacing dan suplementasi leguminosa di kedua lokasi penelitian diadopsi oleh seluruh peternak non kooperator. Difusi teknologi penggunaan obat cacing dan suplementasi leguminosa disebabkan karena pengaruhnya dapat dilihat langsung oleh petani. Penampilan ternak domba yang gemuk, sehat dan kuat menjadi indikasi bahwa teknologi tersebut dinilai bermanfaat oleh petani. Pejantan bangsa domba Garut lebih disukai peternak, terutama yang bertanduk, badan besar dan warna bulu putih. Kelembagaan merupakan fasilitator dalam mempercepat proses adopsi dan difusi inovasi. Setiap petani kooperator mampu berkomunikasi dengan rata-rata 2 orang non kooperator dari dalam desa dan lebih dari 1 orang dari luar desa. DAFTAR PUSTAKA BERIAJAYA dan SUHARDONO. 1998. Penanggulangan nematodiasis pada ruminansia kecil secara terpadu antara manajemen, nutrisi dan obat cacing. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Bogor HANAFI, A. 1986. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya. HANAFIAH, BERIAJAYA, D. HARYUNINGTYAS, D. YULISTIANI dan G.D. GRAY. 2001. Persepsi peternak terhadap suplementasi UMB dan pemberian obat cacing untuk meningkatkan produktivitas ternak domba di Desa Babadjurang, Majalengka, Jawa Barat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Bogor.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
MOSHER, A.T. 1974. Menciptakan Struktur Pedesaan Progresif. CV Yasaguna. Jakarta. MOSHER, A.T. 1978. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. CV Yasaguna Jakarta. SUDANA. W., NYAK ILHAM, DEWA KETUT SADRA. S dan RITA NUR SUHAETI. 1999. Metodologi Penelitian dan Pengkajian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
WAHYUNI, S. 2003. J. Pengembangan. Badan Pengembangan pertanian.
Penelitian Penelitian
dan dan
WIRIAATMADJA, S. 1985 Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. CV Yasaguna. Jakarta.
DISKUSI Pertanyaan: 1.
Bagaimana dengan kasus resistensi terhadap obat cacing?
2.
Apakah di Indonesia sudah ada kasus resistensi?
Jawaban: Di Indonesia, RIDWAN et al. (2000) melaporkan ditemukan adanya kasus resistensi terhadap albendazole pada peternakan domba di Bogor. Selain itu HARYUNINGTYAS et al. (2001) menemukan adanya kejadian resistensi terhadap anthelmintik golongan benzimidazole di tiga lokasi survai, yaitu di Kendal (Jawa Tengah), Ciomas dan Darmaga (IPB) dengan tingkat resistensi mencapai 70−90%. Walaupun kejadian resistensi anthelmintik masih relatif kecil, tetapi hal ini perlu diwaspadai, mengingat cepat atau lambat kejadian resistensi anthelmintik dapat meluas, sehingga perlu strategi penggunaan antelmintik secara bijaksana.
367