# A
Seminar Nasional KONSELING BERBASIS MULTIKULTURAL
UNNES
BIMBINGAN DAN KONSELING FIP UNNES
PENGARUH IDENTITAS ETNIS TERHADAP ORIENTASI KARIR SISWA KETURUNAN JAWA DAN SISWA KETURUNAN TIONGHOA Zakki Nurul Amin Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang Info Artikel
Abstrak
Keywords: identitas etnis, orientasi karir, siswa keturunan jawa, siswa keturunan tionghoa
Perbedaan kebudayaan antar etnis akan melahirkan sebuah identitas kepribadian yang akan menentukan sikap dan perilaku. Budaya dimana kita dibesarkan akan menurunkan sikap, nilai, norma, dan orientasi hidup dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Suatu ideologi kebudayaan yang dipegang oleh masing-masing etnis akan menghasilkan cara pandang yang berbeda-beda terhadap hidupnya, termasuk pandangan dalam menentukan orientasi karir. Sehingga terdapat hubungan antara keturunan etnis keluarga dengan orientasi karir individu. Etnis Jawa dan etnis Tionghoa (Cina) merupakan dua etnis yang paling menonjol. Hubungan kedua etnis tersebut sering digambarkan sebagai hubungan mayoritas dan minoritas. Sistem nilai budaya Tionghoa (Cina) mempunyai orientasi pada kebudayaan yang memliki jaringan perekonomian yang berdasarkan nilai warisan leluhurnya. Sedangkan sistem nilai budaya keluarga Jawa lebih bervariasi dan menyeluruh pada aspek karir dan dipengaruhi beragam nilai-nilai sosial budaya yang berkembang pada keluarga dan sosial masyarakat tempat ia tinggal. Artikel ini akan membahas mengenai pengaruh identitas etnis terhadap orientasi karir siswa keturunan Jawa dan siswa keturunan Tionghoa. © 2015 Universitas Negeri Semarang
H
Alamat korespondensi: Gedung A2 Lantai 1 FIP Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail:
[email protected]
ISBN 978-602-18084-3-6
76
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015 PENDAHULUAN Dalam tahapan perkembangannya, siswa SMA berada pada masa remaja madya yang berusia antara 15-18 tahun. Siswa SMA telah memiliki minat terhadap pekerjaan yang ditandai dengan mulai memikirkan masa depan secara sungguh-sungguh, hal tersebut juga diwujudkan dalam proses pembentukan orientasi, minat, dan rencana masa depan individu (Desmita, 2009). Jika dilihat dari teori perkembangan karir menurut Super, maka siswa SMA berada pada tahap eksplorasi. Zunker (2006) mengemukan bahwa dalam eksplorasi karir, individu memikirkan berbagai alternative tetapi belum mengambil keputusan yang mengikat. Pada tahap ini, individu mulai mencari gambaran minat, kapasitas, nilai, dan transisi pekerjaan secara tentatif sesuai keadaan individu untuk mengkristalisasi karir yang diminati (Brown, 2002). Kristalisasi merupakan periode individu merumuskan kesempatan dan mengambil keputusan pekerjaan serta memahami hubungan antara perkembangan karir dengan konsep diri dalam menentukan pendidikan atau pekerjaan yang relevan. Karir sendiri diartikan sebagai rentangan peran kehidupan individu yang berjalan sepanjang hayat, baik ketika masa belajar, masa bekerja, ataupun masa pensiun (Manrihu, 1988; Munandir, 1996; Winkel 1997; Supriatna & Budiman, 2009). Pada setiap rentang kehidupan terdapat tugas dan harapan karir, termasuk didalamnya tugas dan harapan karir siswa SMA. Lebih khusus lagi, Conger (dalam Yusuf, 2009) mengemukakan bahwa suatu pekerjaan bagi siswa SMA merupakan sesuatu yang secara sosial diakui sebagai cara untuk memenuhi kepuasan berbagai kebutuhan, mengembangkan perasaan eksis dalam masyarakat, dan memperoleh sesuatu yang diinginkan untuk mencapai tujuan hidup. Akan tetapi pada kenyataannya masih sering dijumpai permasalahan karir baik dari internal maupun eksternal diri siswa (Supriyo, 2008). Permasalahan karir tersebut dapat dihindari dengan memiliki pemahaman akan orientasi karir. Orientasi karir merupakan sikap
individu terhadap pilihan karirnya, baik itu pilihan studi lanjut ataupun pilihan pekerjaan yang ditunjukkan dengan adanya pengetahuan diri, pemahaman diri, kemampuan diri, dan perencanaan masa depan (Super, dalam Sharf, 1992). Selanjutnya Super (dalam Munadir, 1996) mengungkapkan bahwa orientasi karir seseorang dipengaruhi beberapa faktor, antara lain adalah pengaruh lingkungan keluarga dan stimulus budaya keluarga. Budaya dan nilai-nilai keluarga sebagai makanisme kontrol pola pikir dan keterkaitannya dengan orientasi karir dapat dilihat pula dari keberagaman etnis. Etnis merupakan pencerminan budaya yang melekat pada tiap individu. Perbedaan kebudayaan antar etnis akan melahirkan sebuah kepribadian yang akan menentukan sikap dan perilaku. Budaya dimana kita dibesarkan akan menurunkan sikap, nilai, norma, dan orientasi hidup dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Suatu ideogi kebudayaan yang dipegang oleh masing-masing etnis akan menghasilkan cara pandang yang berbeda-beda terhadap orientasi karir. Budaya keluarga sebagai makanisme kontrol pola pikir dan keterkaitannya dengan orientasi karir dapat dilihat pula dari keberagaman etnis. Etnis merupakan suatu konsep yang menggambarkan sekelompok manusia yang mempunyai ikatan kebudayaan dan kesamaan identitas yang berasal dari persamaan kebangsaan, suku, ras, maupun agama (Koentjaraningrat, 1986; Santrock, 2003; Abdul Rahman, 2009). Seseorang yang berasal dari keturunan keluarga etnis tertentu akan mempunyai suatu identitas yang menjadikan dirinya merasa memiliki dan menjadi bagian dari kelompok suatu etnis (Sjamsudin, 2008). Perbedaan kebudayaan antar etnis akan melahirkan sebuah kepribadian yang akan menentukan sikap, perilaku, nilai dan orientasi hidup, termasuk didalamnya akan menghasilkan perbedaan orientasi pada karir individu. Etnis Jawa dan etnis Tionghoa (Cina) merupakan dua etnis yang paling menonjol. Hubungan kedua etnis tersebut sering digambarkan sebagai hubungan mayoritas dan 77
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015 minoritas. Fenomena yang berkembang, etnis Tionghoa dinilai mempunyai orientasi dan ambisi karir yang lebih baik dari etnis Jawa (Christiana, 2005). Walaupun demikian, masih sering dijumpai konflik dalam pilihan karir anak akibat terjadi pertentangan antara tuntutan keluarga dan minat keinginan anak. Permasalahan tersebut membuat seorang anak mengalami problematika psikologis dalam karir yang menimbulkan kecemasan, takut, stress dalam gambaran karir masa depannya (Sholikin & Aziz, 2011; Fouad & Winston, 2005; Keller & Brown, 2013) . Konflik pilihan karir sangat rentan terjadi pada budaya keluarga yang berorientasi komunitas, termasuk pada keluarga etnis Jawa maupun etnis Tionghoa. Terlebih pada keluarga etnis Tionghoa dimana pola komunikasi dan pengambilan keputusan mengalir dari pihak yang statusnya lebih tinggi (Geldard, 2011). Selain identitas etnis, perbedaan gender antara laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminim) turut berpengaruh pada konflik dan kecemasan karir serta orientasi karir secara umum (Sutantoputri, 2013; Hardin dkk, 2006; Vignoli dkk, 2005). Hal itu dialami oleh pula oleh Valentine dan Hendry (siswa keturunan Tionghoa yang bersekolah di Salatiga), masing-masing mengungkapkan terdapat perbedaan dan pertentangan pilihan karir antara dirinya dengan keluarga. Berdasarkan pendahuluan diatas artikel ini akan membahas mengenai Pengaruh Identitas Etnis dan Peran Gender terhadap Orientasi Karir Siwa Keturunan Jawa dan Siswa Keturunan Tionghoa. Harapannya dengan artikel ini dapat dijadikan bahan pengayaan teori dan menambah wawasan dalam bidang ilmu bimbingan dan konseling, khususnya terkait orientasi karir siswa berdasarkan latar belakang keluarga keturunan Jawa dan keturunan Tionghoa. KONSEP KUNCI a. Orientasi Karir Super (Sharf, 2006) mengemukakan sebuah istilah yang diberi nama Orientasi Karir (Career Orientation). Di mana orientasi karir merupakan sebuah pendirian umum tentang kematangan karir siswa yang harapannya akan
memberikan sebuah ringkasan atau kumpulan dari apa yang diharapkan siswa dengan istilah orientasi menuju karir. Orientasi karir yang dimaksud ialah readiness of individuals to make choice, yang berarti kesiapan individu untuk membuat keputusankeputusan yang tepat (Super dalam Sharf, 2006). Super menambahkan orientasi karir merupakan arah kecenderungan dalam mengambil kesimpulan terhadap harapan karir di masa depan. Secara objektif orientasi karir terdiri dari dua aspek yaitu aspek perkembangan sikap terhadap karir yang terdiri dari perencanaan dan eksplorasi, serta aspek perkembangan pengetahuan dan keterampilan karir yang terdiri dari membuat keputusan dan informasi karir. Crites (dalam Sharf, 2006) menjelaskan orientasi karir adalah "attitudes toward work whether pleasure-oriented or work-oriented", yang berarti sikap terhadap pekerjaan yang ditunjukkan dengan bertujuan jelas untuk mencapai kepuasaan kerja ataupun hanya serta merta untuk bekerja. Sedangkan Derr (Havran, et al., 2003) orientasi karir adalah pemahaman seseorang terhadap gambaran pribadi yang mendorong untuk melakukan pemilihan karir. Derr percaya bahwa orientasi karir sangat dipengaruhi dan diperkuat oleh faktor-faktor internal seseorang. Menurut Maier mengungkapkan "career orientations can be defined as attitudes expressed by super ordinate intentions of an individual that will influence career-related decisions" (Gerber, et. al., 2009). Gerber, et. al. menambahkan bahwa orientasi karir merefleksikan kecenderungan seseorang terhadap hubungan antara kesempatan, keadaan diri sendiri, dan tipe-tipe karir. Dengan demikian, orientasi karir didefinisikan sebagai sikap seseorang terhadap pengambilan keputusan karir yang ditunjukkan dengan menetapkan pusat perhatian serta pemahaman diri dan kesempatan karir. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa orientasi karir merupakan sikap individu terhadap pilihan karirnya, baik itu pilihan studi lanjut ataupun pilihan pekerjaan yang ditunjukkan dengan adanya pengetahuan diri, pemahaman diri, kemampuan diri, dan 78
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015 perencanaan masa depan. Sedangkan aspek melahirkan beberapa dimensi psikologis antara orientasi karir terdiri dari pengetahuan, sikap, lain kesadaran etnis (ethnic awareness) dimana dan keterampilan. Aspek ini, sesuai dengan seseorang menyadari memiliki etnis sendiri yang formulasi Career Orientation Total yang berbeda dengan kelompok lain; identifikasi-diri dikemukakan oleh Super. Orientasi karir etnis (ethnic self-identification), label yang diberikan memiliki dua komponen, yaitu Career pada kelompoknya sendiri; sikap etnis (ethnic Development Attitude (Perkembangan Sikap attitudes), perasaan tentang dirinya dan kelompok terhadap Karir) dan Career Development Knowledge lain; dan tingkah laku etnis (ethnic behaviors), polaand Skill (Perkembangan Pengetahuan dan pola tingkah laku yang khas ada pada suatu Keterampilan Karir) (Sharf, 2006). kelompok etnis tertentu. b. Identitas Etnis c. Siswa Keturunan Jawa Didalam suatu keluarga terdapat nilai yang ditanamkan dan diinternalisasikan oleh masing-masing anggota keluarga sebagai acuan yang mendasari dalam bersikap dan bertingkah laku. Nilai yang berasal dari budaya keluarga tersebut membentuk identitas bagi masingmasing anggotanya. Apabila dikaitkan dengan identitas seseorang dalam keluarga etnis, menunjukkan kepada seseorang dari keturunan keluarga yang mengidentifikasikan dirinya pada satu kelompok etnis tertentu, rasa memiliki kelompok etnis itu dan merupakan bagian dari pikiran, persepsi, perasaan dan tingkah lakunya karena ia menjadi anggota dari kelompok etnis itu. Identitas etnis terpisah dari identitas pribadi selaku individu, meskipun keduanya saling mempengaruhi satu sama lain (Sjamsudin, 2008). Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Phinney (dalam Sjamsudin, 2008) yang mengungkapkan identitas etnis adalah suatu konstruk dinamis, multidimensional yang merujuk kepada identitas diri, atau ia merasa diri sebagai anggota dari satu kelompok etnis tertentu. Menurut pandangannya seseorang mengklaim suatu identitas dalam konteks satu sub-kelompok mempunyai kesamaan keturunan dan memiliki bersama satu kebudayaan yang sama, ras, agama, bahasa, kekerabatan, atau tempat asal-usul. Istilah-istilah kelompok-kelompok etnis dan etnisitas digunakan pertama kali dalam antropologi untuk menunjukkan kepada orangorang yang dianggap berafiliasi dengan kelompok kultural yang sama dan yang memiliki kesamaan adat-istiadat, bahasa dan tradisitradisi. Sjamsudin (2008) mengungkapkan bahwa identitas etnis yang ada pada seseorang akan
Siswa keturunan dipahami sebagai siswa yang mempunyai garis keturunan dari suatu keluarga tertentu. Hal ini berhubungan pula dengan identitas etnis yang dikembangkan oleh masing-masing pribadi. Pada umumnya, anak akan secara langsung mewarisi etnis dari kedua orang tuanya apabila kedua orang tua bersal dari etnis yang sama. Namun seringkali identitas etnis merupakan sebuah gagasan afiliatif (affiliative construct) di mana seorang individu dipandang oleh mereka sendiri dan oleh orang lain termasuk pada satu etnis atau kelompok kultural tertentu. Satu individu dapat memilih untuk mengasosiasikan dirinya dengan satu kelompok terutama jika ada pilihan lain (misalnya seseorang adalah dari etnis campuran atau keturunan ras campuran). Afiliasi itu dapat dipengaruhi oleh faftor-faktor ras, kelahiran, dan lambang (Cheung, dalam Sjamsudin, 2008). Dalam perkawinan campuran antara dua etnis yang berbeda, anak-anak dari keduanya akan memilih berafiliasi kepada salah satu etnis. Misalnya lelaki etnis Jawa, menikah dengan perempuan etnis Sunda, bermukim di Tasikmalaya, anak-anak mereka menjadi "separuh Jawa-separuh Sunda." Anak-anaknya bebas memilih berafiliasi ke mana, mungkin ke Sunda jika ia masih tetap tinggal di Tasikmalaya atau di wilayah-wilayah geografis dikenal sebagai tanah "Pasundan." Tetapi umumnya anak-anak yang sudah menjadi "Indonesia" ini jarang mempermasalahkan identitas etnisnya lagi, kecuali untuk mengurus KTP (Kartu Tanda Penduduk). Itu pun mereka bebas memilih, etnis ayahnya, atau etnis ibunya. Dari pendapat diatas, dapat dimaknai bahwa siswa keturunan etnis Jawa hakikatnya 79
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015 merupakan sesuatu identitas etnis pada siswa yang mempunyai latar belakang dan karakteristik khusus keluarga etnis Jawa. Pada siswa keturunan etnis Jawa, adalah siswa yang mempunyai garis keturunan berasal dari keluarga Jawa dan mempunyai karaktersitik khusus budaya Jawa. d.
Siswa Keturunan Tionghoa Pada bahasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa siswa dengan garis keturunan suatu etnis keluarga tertentu pada hakikatnya merupakan suatu identitas etnis pada siswa dengan latar belakang dan karakteristik khusus etnis keluarga. Dengan identitas etnis yang ada pada seseorang akan menjadikan dirinya merasa memiliki dan menjadi bagian dari kelompok suatu etnis serta menjadi acuan dalam berpikir, merasa, dan berperilaku yang mengarahkan pada identitas kelompoknya. Dalam bahasan ini akan diuraikan terlebih dahulu alasan pemilihan dan penggunaan istilah Tionghoa dan Cina yang terdapat dalam penelitian ini. Penggunaan istilah tersebut memang rawan akan isu ras yang kerap kali menimbulkan kesan rancu dan gamang. Namun istilah Tionghoa, Tiongkok, Cina, Chinese di Indonesia sangat erat kaitannya dengan sejarah nasional bukan hanya etimologi semata. Namun istilah yang sering dipakai sebagai wujud keseragaman adalah Tionghoa dan Cina. Istilah Tionghoa muncul dalam UUD 1945 pasal 26 tentang warga negara dan penduduk. Sedangkan istilah Cina muncul dalam instruksi Presiden nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Namun pada tahun 2000 pada masa pemerintahan presiden Abdurahman Wahid, istilah Tionghoa kembali dimunculkan dimana keberagaman dan kebersamaan lebih dotonjolkan. Sehingga mulai saat itu istilah Tiongkok, Tionghoa tercampur aduk dengan istilah Cina, China, dan Chinese, namun tetap mengedapankan kesatuan sebagai warga nagara Indonesia (Suryadinata, 2003). Sedangkan secara umum etnis Tionghoa di Indonesia terbagi menjadi dua golongan yaitu Cina totok dan Cina keturunan atau peranakan. Golongan Cina totok adalah kaum imigran dan keturunannya (hasil perkawinan antara sesama
Cina), masih berbahasa Cina dan kebudayaannya berorientasi Cina. Golongan Cina keturunan atau peranakan adalah masyarakat peranakan yang terdiri dari orangorang dewasa maupun anak- anak yang dilahirkan di Indonesia dan merupakan campuran antara orang Cina dan orang Indonesia, mempunyai orientasi pada tradisi Cina yang memudar, menggunakan bahasa setempat untuk pembicaraan sehari-hari. Golongan kedua inilah yang umumnya banyak ditemukan di Indonesia. Selanjutnya dapat dipahami bahwa siswa keturunan etnis Tionghoa adalah siswa yang mempunyai garis keturunan berasal dari keluarga Cina dan mempunyai karakteristik khusus warga Cina, seperti dialeg ataupun fisik khusus yang menampilkan ciri warna kulit kuning, mata sipit, rambut hitam dengan tinggi badan kategori sedang (seperti ras mongoloid). PEMBAHASAN a. Pengaruh Identitas Etnis terhadap Orientasi Karir Siswa Keturunan Jawa Budaya (culture) didefinisikan sebagai tingkah laku, pola-pola, keyakinan, dan semua produk dari kelompok manusia tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi (Santrock, 2003). Sejalan hal tersebut, Matsumoto (2004) mengungkapkan bahwa budaya merupakan sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya Kebudayaan sangat penting artinya dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan dengan perilaku setiap individu, karena apapun yang dilakukan manusia dalam kesehariannya terdapat campur tangan kebudayaan dari masing-masing yang dimiliki oleh individu (Suparlan, 1999). Suparlan (1999) berpendapat bahwa hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungannya dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dimiliki manusia. Pola-pola kebudayaan tersebut nantinya akan tercermin dalam alur pikir serta tingkah laku individu dalam lingkungannya. 80
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015 Etnis erat kaitannya dengan budaya, karena etnis merupakan salah satu gambaran nilai budaya dalam suatu masyarakat majemuk. Santrock (2003) mengungkapakan bahwa etnis berhubungan dengan warisan budaya, karakteristik kewarganegaraan, ras, agama, dan bahasa. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebudayaan antar etnis merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, dimana kebudayaan itu sendiri digunakan untuk memahami lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong tindakan-tindakan manusia di dalam lingkungannya dan diterapkan dalam cerminan suatu identitas golongan manusia dikarenakan adanya perbedaan pekerjaan, perbedaan agama, perbedaan latar belakang kebangsaan maupun perbedaan pandangan hidup. Dalam keluarga masing-masing etnis, terdapat suatu pola yang menjadi karakteristik dalam sistem kehidupan yang berasal dari budaya dan gaya hidup yang secara turun temurun diwariskan dalam keluarga. Santrock (2003) menjelaskan beberapa perbedaan yang terlihat dalam pola sistem keluarga antar etnis. Karakteristik pertama adalah mengenai peranan masing-masing anggota keluaraga, seperti bagaimana seharusnya peranan ayah di dalam keluarga, sejauh mana sistem pendukung tersedia bagi keluarga, dan bagaimana seharusnya anakanak diatur dalam keluarga. Selanjutnya, perbedaan juga tampak dalam hal ukuran, struktur, komposisi, dan tingkat ketergantungan pada jaringan kekerabatan, dan tingkat pendapatan, serta pendidikan. Pendidikan pada keluarga etnis Jawa tidak bertujuan untuk menghasilkan anak yang dapat berdiri sendiri, melainkan lebih menekankan agar anak-anak mereka pada nantinya dapat menjadi orang yang berjiwa sosial dan bersikap budiluhur, lebih mengutamakan tercapainya kebahagiaan serta keselarasan hidup. Sedangkan dalam hal pemilihan karir dan pekerjaan bagi orang Jawa sangat tergantung dari aspek karir dan kondisikondisi tempat dimana ia tinggal, misalnya ketika orang Jawa yang berada di daerah lereng gunung, ia akan lebih memilih menjadi petani, ketika
berada pada daerah industri, sebagian besar akan memilih untuk menjadi karyawan pabrik, namun pada hakikatnya satu hal yang menjadi khas dari orang Jawa adalah berupaya untuk mencari ketenangan dan keselerasan hidup dengan berusaha mencari pekerjaan yang memberikan jaminan penghidupan yang pasti, konstan, dan sedikit tidak bernai melawan resiko agar tetap pada zona "nyaman"-nya akan karir, seperti pilihan karir untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Keunikan masyarakat Jawa, menurut Magnis & Suseno (dalam Suparlan, 1999) terletak pada kemampuannya mempertahankan keaslian budaya meskipun dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Namun saat ini, orientasi hidup etnis Jawa telah mengalami pergeseran. Kehidupan yang relatif adem ayem serta selalu memegang falsafah "nriman lan pasrah" (menerima apa adanya dan pasrah) telah berubah seiring dengan perkembangan zaman. Etnis Jawa dari hari ke hari terus bekerja keras untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi. Perubahan pola pikir etnis Jawa merupakan hasil akulturasi budaya dengan etnis Cina. b.
Pengaruh Orientasi Tionghoa
Identitas Etnis terhadap Karir Siswa Keturunan
Di Indonesia, identitas etnis seseorang jelas jika ia berasal dari ibu dan ayah dari etnis yang sama, berdiam di sebuah wilayah tertentu yang memang turun temurun berdiam di suatu tempat wilayah, menggunakan bahasa daerah tertentu, berserta segala atribut-atribut budaya yang memang diakui menjadi miliknya dan diakui pula secara implisit atau eksplisit oleh etnis lain. Sebagai contoh, etnis Madura, mereka berdiam di Madura, menggunakan bahasa Madura. Ketika mereka pindah ke Jawa, misalnya ke Madiun, mereka oleh etnis Jawa diakui tetap diakui sebagai orang Madura, walaupun lambat-laun setelah berbaur lama ia juga dapat berbahasa Jawa. Begitu pula dengan etnis Tionghoa sebagai kelompok perantauan di Indonesia, walaupun telah berbaur dengan masyarakat Indonesia dan bahkan telah menjadi warga negara Indonesia, 81
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015 akan tetapi tetap saja dalam kehidupan tidak dapat memisahkan dari garis keturunan dan kebudayaan nenek moyang yang telah diwariskan dalam ciri fisik maupun norma nilai dalam bersikap. Berbicara mengenai kebudayaan keluarga etnis Tionghoa, Setiawan (2001) mengemukakan bahwa pada umumnya masyarakat Tionghoa/Cina yang berada di Jawa mempunyai lingkungan tempat tinggal yang terpisah dari masyarakat Jawa. Hampir disetiap kota di Jawa ada suatu daerah yang disebut PeCinan, yang berarti pemukiman orang-orang Cina. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari orang Cina bergaul dengan orang Jawa, mereka jarang mau mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Jawa karena kebanyakan dari mereka menganggap dirinya lebih tinggi dari orang Jawa. Hal ini disebabkan oleh tradisi mereka dimana memegang teguh adat. Selain itu orang Cina mempunyai motif berkuasa, karena pada dasarnya mereka merasa sebagai bangsa minoritas tetapi mempunyai pandangan bahwa mereka adalah bangsa yang superior (Suryadinata, 2003). Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari sejarah, diman pada zaman kolonial Belanda, orang Cina diberi kedudukan lebih atas orang-orang pribumi sebagai "orang kaya", yang berakibat tercipta iklim ekslusif dalam diri orang Cina dan membuat lingkup pergaulan mereka lebih banyak dengan sesamanya (Coppel, 2002). Oleh karena itu, srtuktur sosial masyarakat Cina di Indonesia merupakan dasar yang telah ada sejak nenek moyang mereka, yakni struktur masyarakat sebagai "kelompok terkecil yang terpadu" dan mencakup "keluarga yang mendukung". Arti yang lebih luas dari ini adalah bahwa keluarga masih merupakan unit terkecil, bahwa keluarga sanggup mencukupi kebutuhan sendiri, bahwa keluarga tidak membaur ke masyarakat luas secara alami, bahwa keluarga mempunyai semangat bersaing, dan anggota termotivasi oleh kebutuhan untuk melindungi dan meningkatkan kekayaan keluarga yang merupakan tiang penyangga kehidupan. Dalam hal pemilihan karir Tionghoa, erat kaitannya dengan
warga tradisi
berbisinis, berdagang, pengusaha, dan wiraswasta yang sudah lama ada karena latar belakang sejarah secara turun temurun. Berdasarkan catatan sejarah sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia, warga Tionghoa dikenal sebagai kelompok yang mahir berdagang dan berbisnis. Bahkan dengan kepandaiannya tersebut, warga Tionghoa menguasi perdagangan di Indonesia, bahkan di dunia. Hal tersebut tidak lepas dari orientasi perekonomian warga Tionghoa adalah keuntungan materi yang sebesar-besarnya dengan prinsip ekonomi pengeluaran harus dibawah pendapatan, walau dengan cara yang tak lazim sekalipun yang bertujuan untuk mendongkrak identitas mereka sebagai kaum minoritas (Hanaco, 2011). Dari beberapa hal yang disampaikan diatas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berasal dari keturunan keluarga etnis tertentu akan mempunyai suatu identitas yang menjadikan dirinya merasa memiliki dan menjadi bagian dari kelompok suatu etnis serta menjadi acuan dalam berpikir, merasa, dan berperilaku yang mengarahkan pada identitas kelompoknya. Lebih jauh lagi, identitas etnis ini akan turut mempunyai pengaruh dalam prosesproses sosial termasuk seseorang dalam memilih teman dalam hubungan sosial, memilih teman hidup untuk masa akan datang, persepsi tentang kesempatan-hidup, dan reaksi-reaksi yang lain dalam lingkungan sosial seseorang. SIMPULAN Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan kebudayaan antar etnis akan melahirkan sebuah identitas kepribadian yang akan menentukan sikap dan perilaku. Budaya dimana kita dibesarkan akan menurunkan sikap, nilai, norma, dan orientasi hidup dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Suatu ideologi kebudayaan yang dipegang oleh masing-masing etnis akan menghasilkan cara pandang yang berbeda-beda terhadap hidupnya, termasuk pandangan dalam menentukan orientasi karir. Sehingga terdapat hubungan antara keturunan etnis keluarga dengan orientasi karir individu. 82
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015 Pengembangan Karir terhadap Kinerja Karyawan Etnis Jawa dan Etnis Cina (studi kasus pada
Etnis Jawa dan etnis Tionghoa (Cina) merupakan dua etnis yang paling menonjol. Hubungan kedua etnis tersebut sering digambarkan sebagai hubungan mayoritas dan minoritas. Sistem nilai budaya Tionghoa (Cina) mempunyai orientasi pada kebudayaan yang memliki jaringan perekonomian yang berdasarkan nilai warisan leluhurnya, kebanyakan dari anak keturunan Cina sudah dipersiapkan nantinya ketika dewasa untuk dapat meneruskan pekerjaan dan juga bisnis keluarganya.
Perusahaan Distribusi Rokok Djarum PT. Lokaniaga Adipermata). Tesis: Universitas Diponegoro. Coppel, Charles. 2002. Kendala-kendala Sejarah dalam Penerimaan Etnis Cina di Indonesia yang Multikultural. Jurnal Antropologi, th. 2007. Desmita. 2008. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Fouad, Nadya and Winston, Angela. 2005. Cultural
Etnis Cina di Jawa erat kaitannya dengan tradisi berbisinis, berdagang, pengusaha, dan wiraswasta yang sudah lama ada karena latar belakang sejarah secara turun temurun. Etnis Tionghoa juga mempunyai sikap dan konsep diri yang positif terhadap karir dengan mengembangkan sifat-sifat seperti ulet, rajin dan tekun, tahan banting, inovatif, perencanaan matang, kemampuan pemasaran, melibatkan keluarga dalam perencaan dan pengambangan karir.
Hanaco, Indah. 2011. Belajar Dagang Dengan Orang
Sedangkan sistem nilai budaya keluarga Jawa lebih bervariasi dan menyeluruh pada aspek karir dan dipengaruhi beragam nilai-nilai sosial budaya yang berkembang pada keluarga dan sosial masyarakat tempat ia tinggal, misalnya keluraga yang berada pada sistem sosial kemasyarakatan bercocok tanam, akan lebih condong untuk berorientasi karir menjadi petani dan keluarga yang berada pada sistem sosial kemasyarakatan industri akan lebih memilih menjadi karyawan, selain itu banyak pula keluarga keturunan Jawa yang memilih untuk menjadi pegawai negeri sebagai jaminan rasa aman tunjangan masa depan. DAFTAR PUSTAKA
Context of Career Choice: Meta-analysis of Race/Ethnicity Differences. The Career
Development Quartely: Vol 53 Geldard, Kathryn & David. 2011. Ketrampilan Praktik Konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gerber, Marius, et al. 2009. Exploring types of career orientation: A latent class analysis approach. International Articel 2009 Elsevier Inc.
TiongHoa. Jakarta:Agogos Publishing. Hardin, Erin dkk. 2006. Anxiety and Career exploration: Gender differences in the role of Self Control.
Journal of Vocational Behavior Elsevier Inc. Havran, Hilda, et al. 2003. The Internal Career Orientation Of Permanent And Contracting Information Technology Staff. SA Journal of Industrial Psychology, 2003, 29 (3), 53-60.
Keller, Chad and Brown, Chris. 2013. Conflictual Independence, Adult Atatchment Orientation and Career Indecesion Among Asian America Student.
Journal of Career Development SAGE. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Antropologi Sosial dan
Budaya. Jakarta : Balai Pustaka. Manrihu, Muhammad Thayeb. 1992. Pengantar Bimbingan dan Konseling Karir. Jakarta: Bumi
Aksara. Matsumoto, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Munandir. 1996. Program Bimbingan Karir di Sekolah.
Jakarta:Depdiknas. Santrock, Jhon W. 2003. Adolescence, 6h Edition. Jakarta:Erlangga. Sharf, Richard S. 2006. Applying Career Development Theory Of Counseling. California: Brooks/Cole Publishing Company. Sjamsudin, Helius, 2008. Identitas-identitas Etnik dan
Abdul Rahman, Hamidah. 2009. Konsep-konsep Asas Hubungan Etnik. dalam E-Book. Adv. 2013. Sekolah Berorientasi Entreprenuer di Era Nasional dalam Perspektif Pendidikan Global. Suara Merdeka, edisi kamis 12 Multikultural. Makalah dalam bentuk E-Book. September 2013. Solikin Asep, Azis Subhan. 2011. Problematika Brown, Duane. 2002. Career Choice and Development 4th. Psikologis dalam Karir dan Usaha USA: Jossey Bass Willey Company Pencegahannya. Jurnal Bimbingan dan Konseling Christiana, Hilda. 2005. Pengaruh Aspek Tanggung Jawab,
Wewenang
dan
Kompensasi
dalam
STIE La Tansa Mashiro.
83
Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang 2015 Supriatna, Mamat & Budiman, Nandang. 2009. Bimbingan Karir di SMK. Dalam e-book.
Winkel, W.S & Hastuti, Sri. 2007. Bimbingan dan
Supriyo.
Media Abadi. Yusuf, Syamsu. 2009. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Zunker, Vernon G. 2006. Career Counseling a Holistic Approach. USA:Thomson Brooks
2008.
Studi Kasus Bimbingan Konseling.
Semarang: CV. Niew Setapak. Vignoli, Emmanuele dkk. 2005. Career Exploration in Adolescent: The Role of Anxiety, attachment, and
parenting style. Journal of Vocational Behavior Elsevier Inc.
Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta :
84