ANALISIS KERENTANAN DAN DETERMINAN KEMISKINAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK WILAYAH DI KABUPATEN BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN
ABUSTAN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 vii
Surat Pernyataan Mengenai Disertasi dan Sumber Informasi
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Analisis Kerentanan dan Determinan Kemiskinan Berdasarkan Karakteristik Wilayah di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan adalah merupakan karya saya sendiri dan belum diajukan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2010
Abustan H061060071
i
ABSTRACT ABUSTAN. Analysis of Vulnerability and Poverty Determinant Based on Regional Characteristic in Barru Regency South Sulawesi Province (AKHMAD FAUZI as Chairman, BAMBANG JUANDA and ERNAN RUSTIADI as Member of the Advisory Committee). Poverty is related not only to economic aspect, but also to social, culture, politic and spatial aspect and susceptible to externalities. Islam (2001), said that susceptible can take place because shock in micro level such as illness of wage earner or deathness, and in meso level such as harvest fail, fluctuation of product price, and environment degradation, and in macro level because financial crisis. This study intend to: (i) to identify poor household characteristic according to area tipology; (ii) to analyze the influence of education level, healthy, accessibility, household economic condition, communities participation in development process, and regional aspect to poverty vulnerability; (iii) to analyze the susceptibility level of poor household based on regional characteristics; (iv) to analyze the influence of economic growth, government expenditure, regional genuine income, inflation, sector share to PDRB, and financial crisis, against poverty in Barru Regency. This study used descriptive and quantitative methodologies. Data consists of primary data from survey and interview and secondary data that related to poverty determinant. Sampling was done with multistage area sampling to determine study village i.e. 6 coastal villages, 3 lowland villages and 3 highland villages. The number respondents were 480 households, consists of 240 households from coastal villages, 120 households from lowland villages and 120 from highland villages. Results of the study show that household characteristics were different among region. Household characteristic on highland region were featured by low education level, low health level, limited access to health insurance, low access to formal financial institution, limited access to state electricity, limited access to middle education and limited access to telecomunication compared to household in coastal and lowland region. Furthermore, communities participation level in development process was highest in lowland region, followed by highland region, and the lowest in coastal region. Household vulnerabilities against poverty based micro perspective were influenced by some variables i.e. (i) woman household head; (ii) large amount of family burden; (iii) low education level of household level; (iv) low access to formal financial institution; (v) low health of household head; (vi) limited access to state electricity; (vii) low participation in development process; and (viii) low value of productive assets property. In addition, poverty vulnerability associated with regional aspect, household living in highland region has less vulnerability compare to household living in coastal and lowland region. Moreover, determinant or factors that influence to the decreasing of poor population amount based on macro perspective consists of: (i) government expense on education, health, agriculture, and infrastructure; (ii) PDRB per capita; (iii) increasing contribution of agriculture sector and industrial sector to PDRB; and (iv) policy of fiscal decentralization. Factors that have positive influence against the increasing poor population, consist of (i) increasing area native income; (ii) increasing price of product and service (GDP_ deflator); and (iii) monetary crisis. Based on simulation of poverty reduction policy, there are three macro agendas that strategically can accelerate poverty reduction in Barru Regency. The three macro agendas are (i) increasing public expenditure to education, health, agriculture, and infrastructure; (ii) increasing productivity of agriculture sector, (iii) increasing productivity of industry sector; (iv) economic growth with equity; and (v) price control of goods and services to maintain purchasing power parity of the communities. Keywords : vulnerability, poverty determinant, regional characteristic, Barru Regency
ii
RINGKASAN ABUSTAN. Analisis Kerentanan dan Determinan Kemiskinan Berdasarkan Karakteristik Wilayah di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. (AKHMAD FAUZI sebagai Ketua, BAMBANG JUANDA dan ERNAN RUSTIADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Pengentasan kemiskinan memiliki tantangan yang sangat besar untuk dicapai, karena permasalahan dan fenomena kemiskinan memiliki sifat dan karakteristik yang sangat beragam. Kemiskinan bukan hanya terkait dengan aspek ekonomi, akan tetapi juga terkait dengan aspek sosial, budaya, politik dan dimensi wilayah (spatial) serta rentan terhadap eksternalitas. Standing (2006) memandang sebab-sebab kemiskinan tidak berasal dari gejala sesaat, tetapi merupakan masalah struktural yang disebutnya “kerentanan ekonomi” (economic insecurity), yang dipengaruhi oleh risiko-risiko sosial ekonomi dan ketidakpastian serta kemampuan yang terbatas untuk mengatasi dan memulihkan diri (to recover). Sedangkan Islam (2001), menyebutkan bahwa kerentanan dapat terjadi karena adanya guncangan pada tingkat mikro seperti pencari nafkah sakit atau meninggal dunia, pada tingkat meso seperti adanya gagal panen, fluktuasi harga produk dan degradasi lingkungan, dan pada tingkat makro karena krisis moneter atau finansial. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah bahkan melibatkan lembaga internasional dan lembaga swadaya masyarakat (Non Government Organization/NGO) dengan waktu dan biaya yang tidak terhitung jumlahnya. Seiring dengan implementasi otonomi daerah yang dibarengi dengan desentralisasi fiskal, dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan besar dalam menetapkan kebijakan publik melalui APBD termasuk dalam alokasi anggaran pengentasan kemiskinan. Berdasarkan pada berbagai program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan tersebut dan semakin meningkatnya atau membaiknya asumsi-asumsi makroekonomi, maka seyogyanya jumlah penduduk miskin dapat ditanggulangi secara signifikan dan permanen. Namun demikian, upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimal sesuai dengan indikator sasaran yang telah ditetapkan. Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengkaji kerentanan dan determinan kemiskinan berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk: (i) mengidentifikasi karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan tipologi wilayah; (ii) menganalisis pengaruh tingkat pendidikan, kesehatan, aksesibilitas, kondisi ekonomi rumah tangga, dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan terhadap kerentanan kemiskinan; (iii) menganalisis tingkat kerentanan rumah tangga miskin berdasarkan karakteristik wilayah; dan (iv) menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah, pendapatan asli daerah, inflasi, share sektor terhadap PDRB, dan krisis moneter terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru.
iii
Penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah. Analisis kuantitatif dilakukan dengan pendekatan ekonometrika, yaitu persamaan logit untuk melihat kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan dari perspektif mikro berdasarkan wilayah. Sedangkan untuk melihat determinan atau faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan berdasarkan aspek makro dilakukan dengan ekonometrika metode kuadrat terkecil. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terkait dengan determinan kemiskinan, dan data primer (survei dan wawancara) untuk analisis kerentanan dan karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah. Teknik penarikan sampel dilakukan dengan penarikan contoh area secara bertahap (multistage area sampling) untuk menentukan desa lokasi penelitian, meliputi 6 desa pada wilayah pesisir, dan masing-masing 3 desa untuk wilayah dataran rendah dan pegunungan. Jumlah responden atau sampel adalah 480 rumah tangga, yang terdiri dari 240 rumah tangga pada wilayah pesisir dan masing-masing 120 rumah tangga pada wilayah dataran rendah dan pegunungan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik rumah tangga miskin berbeda karakteristiknya antara wilayah. Karakteristik rumah tangga miskin pada wilayah pegunungan dicirikan oleh rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesehatan, terbatasnya akses ke jaminan kesehatan, terbatasnya akses ke lembaga keuangan formal, terbatasnya akses ke PLN, terbatasnya akses pelayanan pendidikan menengah ke atas, dan terbatasnya akses ke telekomunikasi dibanding dengan rumah tangga pada wilayah pesisir dan dataran rendah. Sedangkan tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan tertinggi pada wilayah dataran rendah, kemudian disusul pada wilayah pegunungan dan terendah pada wilayah pesisir. Kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan berdasarkan perspektif mikro dipengaruhi beberapa variabel, yaitu (i) kepala rumah tangga perempuan; (ii) jumlah tanggungan keluarga yang besar; (iii) rendahnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga; (iv) rendahnya akses ke lembaga kuangan formal; (v) rendahnya kesehatan kepala rumah tangga; (vi) terbatasnya akses ke PLN; (vii) rendahnya partisipasi dalam proses pembangunan; dan (viii) rendahnya nilai asset produktif yang dimiliki. Di samping itu, kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan berasosiasi dengan aspek wilayah, dimana rumah tangga yang berdomisili pada wilayah pegunungan memiliki kerentanan yang lebih rendah dibanding rumah tangga yang berdomisili pada wilayah pesisir dan dataran rendah. Hasil analisis parsial kerentanan berdasarkan wilayah ditemukan bahwa variabel nilai asset produktif yang dimiliki rumah tangga berpengaruh nyata secara statistik dalam kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan pada wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Variabel yang berpengaruh terhadap kerentanan rumah tangga pada wilayah pesisir dan dataran rendah adalah akses ke lembaga keuangan formal, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap wilayah pegunungan. Selanjutnya, variabel jumlah tanggungan rumah tangga berpengaruh pada wilayah dataran rendah dan pegunungan, akan tetapi tidak berpengaruh pada wilayah pesisir. Sedangkan variabel pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh pada wilayah iv
pegunungan dan wilayah pesisir, akan tetapi tidak berpengaruh pada wilayah dataran rendah. Variabel lainnya seperti jenis kelamin rumah tangga (perempuan) dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga (petani) hanya berpengaruh pada wilayah dataran rendah, variabel tingkat partisipasi dalam proses pembangunan hanya berpengaruh pada wilayah pesisir, sedangkan variabel akses ke PLN hanya berpengaruh pada wilayah pegunungan. Determinan atau faktor-faktor yang memengaruhi penurunan jumlah penduduk miskin berdasarkan perspektif makro meliputi: (i) belanja pemerintah yang diarahkan pada belanja pendidikan, kesehatan, pertanian, dan infrastruktur; (ii) PDRB per kapita; (iii) peningkatan kontribusi sektor pertanian dan sektor industri terhadap PDRB; dan (iv) kebijakan desentralisasi fiskal. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin, meliputi: (i) peningkatan pendapatan asli daerah; (ii) peningkatan harga barang dan jasa (GDP_Deflator); dan (iii) krisis moneter. Berdasarkan hasil simulasi kebijakan penanggulangan kemiskinan, maka terdapat lima agenda makro yang dianggap strategis untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Barru. Lima angenda makro tersebut adalah (i) peningkatan belanja publik yang lebih diarahkan untuk bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, dan infrastruktur; (ii) peningkatan produktivitas sektor pertanian; (iii) peningkatan produktivitas sektor industri; (iv) pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan; dan (v) pengendalian harga barang dan jasa untuk mempertahankan kemampuan daya beli masyarakat. Kata Kunci : kerentanan, determninan kemiskinan, karakteristik wilayah, Kabupaten Barru
v
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vi
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec 2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS 2. Dr. Roberto Akyuwen, STP, SE, M.Si
viii
Judul
: Analisis Kerentanan dan Determinan Kemiskinan Berdasarkan Karakteristik Wilayah di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan
Nama
: Abustan
NRP
: H061060071
Program Studi
: Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. Anggota
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Tanggal Ujian : 27 Juli 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
ix
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan judul “Analisis Kerentanan dan Determinan Kemiskinan Berdasarkan Karakteristik Wilayah di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan”. Begitu besar perhatian dan komitmen untuk menanggulangi kemiskinan namun pada kenyataannya kemiskinan masih menjadi fenomena yang aktual untuk diteliti. Sebagai seorang yang bergelut di birokrasi termotivasi untuk lebih mendalami permasalahan dan fenomena kemiskinan terutama yang terkait dengan judul di atas. Kemiskinan menjadi isu sentral dan menjadi perhatian semua pihak dan bahkan menjadi perdebatan, karena masalah kemiskinan bisa berdampak pada krisis sosial dan ekonomi. Bahkan beberapa peneliti menyebutkan pentingnya penanggulangan kemiskinan karena bisa berdampak pada aspek kemanusiaan, aspek ekonomi, aspek sosial dan politik, dan aspek keamanan. Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi kerentanan kemiskinan yang disebabkan oleh kemampuan rumah tangga atau individu untuk menghadapi fenomena kemiskinan yang dihadapi. Disamping itu, juga untuk mengkaji faktor-faktor yang menentukan kemiskinan (determinant) dari aspek makro ekonomi. Sehingga pada akhirnya dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan kebijakan penanggulangan kemiskinan khususnya di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, dan Indonesia pada umumnya. Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS, dan Dr. Ir Ernan Rustiadi, M.Agr atas curahan waktu dan pikirannya dalam membimbing kami sejak penulisan ide, perumusan masalah, membangun pola pikir, mengarahkan dalam menentukan metode analisis dan arahannya dalam analisis data sampai penulisan akhir disertasi ini. Terima kasih pula kami sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah, P.hD yang dari awal telah memberikan pelajaran dan membuka wawasan penulis dalam mengikuti pendidikan di IPB, semoga beliau diberi kesehatan oleh ALLH SWT, Amin. Selanjutnya, kepada Bapak Prof. Dr. Hermanto Siregar, M.Ec dan Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr, atas kesediaan beliau menjadi penguji luar komisi pada saat ujian tertutup, dan telah memberikan koreksi dan masukan berharga bagi penulis. Begitupula kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dharmawan Salman, MS dan Dr. Roberto Akyuwen, STP, SE, M.Si sebagai penguji luar komisi dalam ujian terbuka dan telah memberikan kritik dan masukan berharga yang sifatnya dalam menyempurnakan penulisan disertasi ini. Terima kasih pula kami haturkan kepada Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si atas bimbingan dan arahan selama kami mengikuti kuliah di PWD IPB serta kesediaan beliau untuk mewakili Program Studi PWD dalam ujian tertutup dan ujian terbuka dilaksanakan. Terkhusus dan teristimewa kami haturkan terima kasih kepada kepada Bapak Bupati Barru (H. Andi Muhammad Rum) sekeluarga dan Bapak H. Andi Pamadengrukka Mappanyompa sekeluarga, yang telah memberikan dukungan penuh
x
baik moril maupun meteril yang tak terhitung nilainya kepada kami selama mengikuti pendidikan di IPB sampai sekarang yang tidak pernah akan bisa terbayarkan. Lebih khusus lagi kepada Ayahanda H. Andi Bintang Pamiringi (Alm), yang sejak kecil selalu menekankan pentingnya pendidikan dan berkorban apapun untuk menyekolahkan kami dengan berbagai korbanan yang tidak dapat kami hitung secara materi. Dukungan moril dan bantuan materil serta doa yang tidak henti-hentinya kami peroleh dari Ibunda tercinta Hj. Andi Rukaya Maggalatung, Istri saya tercinta Milawaty Djamain yang selalu tabah dan iklas membimbing anak-anak tanpa kami dampingi selama mengikuti pendidikan, anak-anak saya A.M. Ikhsan Noer Abustan. A. St. Nurul Farihah Abustan, A.M. Ilham Febriansyah Abustan, dan A.M Irfan Maulana Abustan serta Bapak Mertua Bapak H. Djamain Mana yang selama ini memberikan dukungan moril dan perhatian kepada istri dan anak-anak saya selama kami mengikuti pendidikan di IPB. Terima kasih juga saya sampaikan kepada saudara-saudara saya A. Baharuddin, A. Syafarnaeni, A. Bulkis. A. Salahuddin, A. Darmi, dan A. Juliadi, serta ipar saya A. Massakkirang, A. Joken Tiro, A. Jenni, Hasniar, Fitriany, Gustiawati, Anas Fathurrahman atas dukungannya selama kami mengikuti pendidikan di IPB. Berbagai pihak yang telah memberikan dukungan sehingga memudahkan dalam proses penelitian, khususnya kepada para PPL (Bapak Nurtang, Syafri, Aziz, Suratmo, Bahar, dan Ibu Sumarni) yang secara ikhlas memberi bantuan tenaga dan pikiran sebagai enumerator selama pengumpulan data primer kami lakukan. Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh kepala Desa/Lurah se Kabupaten Barru yang selama ini memberikan dukungan dan mendampingi kami selama penelitian. Terima kasih juga kami sampaikan kepada teman-teman dari Pemerintah Daerah Kabupaten Barru yang selama ini memberikan dukungan moril dan materil: Drs. H. Syamsu Rijal M.Si (Sekda Barru), Drs. H. Andi Malingkaan Pieter (Kepala Bappeda Barru), Ir. Nasruddin, Ir. H. Nahruddin, Ir. Muhammad Rusdy M.Si. Andi Muhammad Bau Massepe, SE, M.Si, Ir. Arfain, MP, Ir. A. Nasser Musa, dan seluruh staf BPMD Kabupaten Barru serta teman-teman lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini. Rasanya tidak sempurna tanpa menyampaikan terima kasih kepada temanteman se angkatan di Program Studi PWD maupun diluar program studi: Ir. Fadli R. Muliadi, MSi; Ir. Yunus Arifin, M.Si; Ir. Syamsul Bakri M.Si; Ir. Bambang R. Widyatmoko; M.Si, Ir. Nindiarto, M.Si; Allan Syani Baelado, SH, M.Si; Ir. St. Nurani Sirajuddin, M.Si; Ir. Novi Khususnawaty, M.Si; La Ode Samsul Barani, M.Si; Weren Fredius, SE, M.Si; Galuh Syahbana, ST, MSi; Nelson Sayori, SP, MSi; Paulina Paiman SP, M.Si; Anne SP, MSi; Abul Matdoan SP. MSi; Demikian juga kepada teman-teman PWD angkatan 2007: Amir Khalid, SE, MSi; Ir. Mahyuddin Riwu, M.Si; Junaedi, SE, M.Si; Ir. Muhammad Saad, M.Si; dan Drs. Bambang Priadi, M.Si serta teman PWD lainnya yang tidak disebutkan namanya satu persatu. Selanjutnya dan terkhusus kepada teman-teman dari Forum Wacana IPB Sulawesi Selatan: Dr. Ir. Syahrir Akil, Ir. Harris Bahrun, M.Si, Ir. Muh. Hatta Jamil, M.Si, Nurham Tabau, SP, M.Si, Syahrir Lagoo Sambari, SP, M.Si, Filza Wajdi, Sp. xi
MSi, serta seluruh teman-teman dari Sulawesi Selatan yang tidak disebutkan namanya satu persatu. Penulis menyadari bahwa disertasi ini memiliki keterbatasan dan kelemahan yang tidak lain hanya karena keterbatasan kemampuan dan kompetensi penulis. Oleh karena itu, maka kami mengharapkan kritik dan masukan yang sifatnya konstruktif dan membangun demi penyempurnaan disertasi ini sangat diharapkan. Atas masukan dan perhatian dari semua pihak, penulis menghaturkan terima kasih. Demikian kami sampaikan semoga apa yang akan kami teliti ini, nantinya bermanfaat bagi masyarakat Barru khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, khususnya bagi penulis dalam menjalankan tugas sebagai birokrat, Amin.
Penulis
Abustan
xii
RIWAYAT HIDUP Abustan, lahir di Bone Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 4 November 1968, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara. Ayah bernama H. Andi Bintang Pamiringi (Alm) dan Ibu Hj. Andi Rukaya Maggalatung. Ia mengikuti pendidikan dasar pada Sekolah Dasar 113 LebbaE Desa LebbaE Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone pada tahun 1980, kemudian melanjutkan pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pompanua Kabupaten Bone. Setelah menamatkan pendidikan menengah atas, kemudian penulis melanjutkn pendidikan sarjana di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas “45” Makassar pada tahun 1990. Tahun 1998 menyelesaikan program magister (S2) pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah (PPW) di Universitas Hasanuddin, Makassar. Selanjutnya pada tahun 2006 melanjutkan Program Doktor (S3) di Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa dari Pemerintah Daerah Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 1994 oleh Pemerintah Pusat (Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah/BANGDA) Departemen Dalam Negeri, yang diperbantukan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Barru sampai sekarang. Kariernya sebagai PNS, dimulai sebagai staf pada Bidang Ekososbud Bappeda Kabupaten Barru, kemudian diangkat menjadi Kasie Penyusunan Program pada Bagian Penyusunan Program Setda Pemda Kabupaten Barru pada tahun 19951997. Selajutnya diangkat menjadi Kepala Bidang Ekososbud pada Bappeda Kabupaten Barru pada tahun 1999-2003. Jabatan selanjutnya adalah Camat Kecamatan Barru pada tahun 2003-2004, dan jabatan terakhir sebelum melanjutkan pendidikan di IPB adalah Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dari tahun 20042007, dengan pangkat terakhir adalah Pembina (IV/a). Setelah menikah dengan Milawaty Djamain pada tahun 1999, penulis dikaruniai tiga orang putra, A.M. Ikhsan Noer Abustan (10 tahun), A.M. Ilham Febriansyah Abustan (5 tahun), dan A.M. Irfan Maulana Abustan (3 tahun), serta seorang putri A. St. Nurul Farihah Abustan (8 tahun).
xiii
DAFTAR ISI ….………………………………………………………
i
…………………………………………………………………….
ii
Ringkasan ……………………………………………………………………….
iii
…………………………………………………………
vi
……………………………………………………………….
vii
…………………………………………………………
ix
Kata Pengantar
………………………………………………………………..
x
Riwayat Hidup
……………………………………………………………….
xiii
…………………………………………………………………
xiv
Halaman Pernyataan Abstract
Halaman Hak Cipta Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Daftar Isi
……..………………………………………………………… xviii
Daftar Tabel
………………………………………………………………
Daftar Gambar Daftar Grafik
....................................................................................................
Daftar Lampiran
…………………………………………………………….
BAB I. PENDAHULUAN
……….…………………………………………
1.1. Latar Belakang
…………………………………………………
1.2. Perumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Kegunaan Penelitian
xxi xxii 1 1
…………………………………………..
7
……………………………………………..
13
…..……………………………………….
1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
14
………………………..
14
. ...................................................
15
………………………...…………………
16
1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
xx
2.1. Pengertian dan Penyebab Kemiskinan 2.2. Ukuran-Ukuran Kemiskinan
…………………………
16
……………………………………
23
2.3. Pertumbuhan, Kesenjangan, dan Kemiskinan 2.4. Kerentanan dan Determinan Kemiskinan
…………………
27
...................................
35
2.5. Konsep, Karakteristik Wilayah dan Kemiskinan ........................
42
2.6. Kemiskinan dari Perspektif Ilmu Sosial
…………………….....
46
2.7. Perangkap Kemiskinan (Poverty Trap)
…………………….....
49
xiv
2.8. Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia ............................................................................. 2.9. Tinjauan Studi Terdahulu Tentang Kemiskinan BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran 3.2. Hipotesis
…………….
……………………
51 57 66
…………………………………………..
66
……………………………………………………….
75
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN
…………………………………..
77
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
……….…………………………
77
4.2. Teknik Penarikan Sampel .............................................................
78
4.3. Analisis Data
……………………..………….…………………
80
4.3.1. Analisis Deskriptif
…………..…………………....................
80
4.3.2. Analisis Kerentanan
.............................………………………
82
..................................................................
83
4.3.2.2. Pendugaan Parameter Koefisien Model Logit ...............
84
4.3.2.3. Pendugaan Parameter Ragam Koefisien Model Logit .....
84
4.3.2.1. Model Logit
4.3.2.4. Pengujian Model Logit dan Pendugaan Selang Kepercayaan Koefisien .................................................
86
4.3.2.5. Interpretasi Parameter Koefisien Model Logit ................
86
…………...........................
86
.........................................................
88
4.3.3.2. Prosedur Pembentukan dan Penerapan Model ..................
89
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………
90
4.3.3. Analisis Determinan Kemiskinan 4.3.3.1. Metode Pendugaan
5.1. Kondisi Umum Kabupaten Barru 5.1.1. Kondisi Geografis
……………............................
90
……………………………………………
90
5.1.2. Profil Perekonomian Kabupaten Barru
………………………
91
5.1.2.1. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Barru ………………
91
5.1.2.2. Struktur Perekonomian Kabupaten Barru ………………
94
5.1.3. Indeks Pembangunan Manusia ……………………………….
95
5.1.4. Keuangan Daerah
…………………………………………….
97
……………………………………………….
99
5.1.5. Sosial Budaya
xv
………………………………………….
99
5.1.5.2. Kesehatan
……………………………………………….
99
5.1.5.3. Pendidikan
……………………………………………
101
5.1.5.1. Kependudukan
5.2. Karakteristik Rumah Tangga Miskin Berdasarkan Wilayah … 5.2.1. Profil Umum Rumah Tangga
104
………………………….
106
5.2.2. Kondisi Perumahan
……………………………………
110
5.2.3. Tingkat Pendidikan
…………………………………….
116
5.2.4. Kesehatan Kepala Rumah Tangga ………………
119
5.2.5. Kepemilikan Lahan dan Nilai Asset Produktif
…………
121
5.2.6. Akses ke Lembaga Keuangan
………………………….
122
5.2.7. Akses ke Pelayanan Publik
…..…………………….
124
5.2.8. Tingkat Partisipasi dalam Proses Pembangunan ……..
125
5.3. Kerentanan Rumah Tangga Miskin 5.3.1. Jenis Kelamin
…………………………
127
………………………………………….
129
…………………………
132
……………………
133
5.3.2. Jumlah Tanggungan Keluarga
5.3.3. Pendidikan Kepala Rumah Tangga 5.3.4. Akses ke Lembaga Keuangan
………………………….
5.3.5. Kesehatan KRT dan Jaminan Kesehatan
……………….
135 137
5.3.6. Akses ke Energi Listrik (PLN) …………………………. 139 5.3.7. Partisipasi dalam Proses Pembangunan
………………..
140
5.3.8. Nilai Asset Rumah Tangga ……………………………..
143
5.4. Kerentanan Kemiskinan Berdasarkan Wilayah …………………
145
5.5. Perbandingan Variabel Kerentanan RT berdasarkan Wilayah …..
150
……………………………………….
153
5.6. Determinan Kemiskinan
………..
154
……………………………………………..
158
5.6.3. Pengaruh Peningkatan PAD terhadap Kemiskinan ………
162
5.6.4. Pengaruh Inflasi (GDP Deflator) terhadap Kemiskinan …
164
5.6.5. Pengaruh Kontribusi Sektor terhadap Kemiskinan ..……
166
5.6.1. Pengaruh Belanja Publik terhadap Kemiskinan 5.6.2. Pertumbuhan Ekonomi (PDRB per kapita) dan Kemiskinan
xvi
5.6.6. Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan ….
168
5.6.7. Pengaruh Krisis Moneter terhadap Kemiskinan
……….
170
……………
172
…………………………………..
177
………………………………………………….
177
……………………………………………..
178
5.7. Simulasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
6.2. Saran Kebijakan
6.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan DAFTAR PUSTAKA
……………………………
……………………………………………………….
180 181
xvii
DAFTAR TABEL Tabel 1.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Wilayah Periode 2000 – 2008 ..………………………………
5
Tingkat Perkembangan Rumah Tangga Miskin (RTM) di Kabupaten Barru (1990 – 2008) ……………............................
6
Garis Kemiskinan Menurut Daerah dan Komponennya 2007-2008 (Rp/Kapita/Bulan) ...................................................................
24
Tabel 4.
Karakteristik Wilayah dan Kemiskinan
45
Tabel 5.
Karakteristik Sosial Demografi Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga Tidak Miskin di Indonesia Menurut Wilayah, tahun 2008....
Tabel 2. Tabel 3.
...................................
……………........
46
Tabel 6.
Deskripsi Teori Utama tentang Kemiskinan
49
Tabel 7.
Tujuan Penelitian, Jenis Data dan Metode Analisis ......................
77
Tabel 8.
Variabel Karakteristik Rumah Tangga ..........................................
81
Tabel 9.
Tingkat Perkembangan PDRB, PDRB per Kapita, dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Barru, periode 1990-2008 .....
92
Tabel 10. Perbandingan Nilai PDRB Daerah Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004-2008 (Rp.Juta) ……………………..
93
Tabel 11. Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Barru Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 1990-2008 (%) ………
94
Tabel. 12. Perbandingan Komponen IPM Menurut Kabupaten di Sulawesi Selatan Tahun 2006-2007 ………………………………………
96
Tabel 13. Tingkat Perkembangan APBD, PAD dan Pertumbuhan APBD Kabupaten Barru, Tahun 1990 – 2008 .........................................
98
Tabel 14. Kondisi Perumahan Masyarakat Berdasarkan Karakteristik Wilayah di Kabupaten Barru Tahun 2009 ................................................ 110 Tabel 15. Tingkat Aksesibilitas Penduduk ke Pelayanan Publik Berdasarkan Wilayah, Tahun 2009 ..................................................................
124
Tabel 16. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembangunan Berdasarkan Wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009 .............
126
Tabel 17. Hasil Pendugaan Model Persamaan Logit Kerentanan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru ..…………………………..
128
Tabel 18. Perbandingan Variabel yang Memengaruhi Kerentanan Rumah Tangga terhadap Kemiskinan Berdasarkan Wilayah di Kabupaten Barru ... 151
xviii
Tabel 19. Hasil Estimasi Model Persamaan Regresi Determinan Kemiskinan di Kabupaten Barru ……………….. ………….
154
Tabel 20. Hasil Simulasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan ……
173
xix
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kategori Kemiskinan Kronik, Kemiskinan Transisi, dan Tidak Miskin
................................................................................
23
Gambar 2. Kurva Lorenz
…………………………………………………….
26
Gambar 3. Kurva Kuznets “U-terbalik” …………………………..…………
31
Gambar 4. Gambaran Kemiskinan di Indonesia Sesudah dan Sebelum Krisis Ekonomi Pada Tahun 1997
........................................................
Gambar 5. Peta Konseptual dari Teori-teori Penyebab Kemiskinan Gambar 6. Lingkaran Perangkap Kemiskinan
47
……………………………
50
...................................................
74
.................................................................
78
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Penelitian Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian
………..
38
Gambar 9. Ilustrasi Penarikan Sampel dari Lokasi Penelitian Gambar 10. Bagan Alir Tahapan Studi Empiris
........................
...............................................
80 89
xx
DAFTAR GRAFIK Grafik 1. Perkembangan Kemiskinan di Kabupaten Barru Berdasarkan Wilayah Tahun 1990 – 2008 …………........................................... Grafik 2.
Grafik 3. Grafik 4. Grafik 5. Grafik 6. Grafik 7. Grafik 8. Grafik 9.
11
Insiden Kemiskinan Berdasarkan Wilayah di Kabupaten Barru 1990-2008 ………………………………………………..
105
Klasifikasi Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga dan Jumlah Tanggungan Rumah Tangga Berdasarkan Wilayah …………….
106
Jumlah Tanggungan dan Jumlah Anggota Keluarga Rumah Tangga Miskin yang Bekerja Berdasarkan Wilayah ……………..
108
Klasifikasi Kelompok Umur Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009 …………………….
109
Status Kepemilikan Rumah dan Tanah Perumahan Rumah Tangga di Kabupaten Barru, Tahun 2009 ……………………..
111
Kondisi Pemenuhan Kebutuhan Sumber Air Bersih Penduduk di Kabupaten Barru, Tahun 2009 ……………………………..
113
Kondisi Sumber Penerangan Rumah Tangga di Kabupaten Barru, Tahun 2009 …………………………………………………….
114
Kondisi Jamban Keluarga Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru, Tahun 2009 ………………………………………………..
115
Grafik 10. Perkembangan Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru, Tahun 2009 ……………………...
117
Grafik 11. Tingkat Kesehatan Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009 …………………………….
120
Grafik 12. Kondisi Kepemilikan Lahan dan Nilai Asset Produktif Rumah Tangga Miskin Berdasarkan Wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009. … 122 Grafik 13. Aksesibilitas Rumah Tangga terhadap Lembaga Keuangan Berdasarkan Wilayah di Kabupaten Barru ……………………
123
Grafik 14. Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga di Kabupaten Barru, Tahun 2009 ……………………………………………………..
134
Grafik 15. Pertumbuhan PAD dan Kontribusinya terhadap APBD Kabupaten Barru, Periode Tahun 1990 – 2008 (Rp.Juta). ………………….
163
Grafik 16. Hubungan antara Inflasi dan Perkembangan Rumah Tangga Miskin Berdasarkan Wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 1990-2008 …..
165
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Analisis Anova Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan Wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009
……….. 190
Lampiran 2. Output Pendugaan Parameter Persamaan Logit pada Analisis Kerentanan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru ………..
213
Lampiran 3. Output Pendugaan Parameter Persamaan Linier pada Analisis Kerentanan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru ………… 217 Lampiran 4. Correlation Matrix Model Persamaan Determinan Kemiskinan di Kabupaten Barru …………………………………………….. 218 Lampiran 5. Bagan Uji Histogram-Normalitas Persamaan RTM
………….
219
………………………….
220
Lampiran 7. Data Makroekonomi Penelitian ………………………………
226
Lampiran 8. Data Primer (Survei) Rumah Tangga Miskin Tahun 2009 ……
228
Lampiran 8. Daftar Kuesioner Penelitian
262
Lampiran 6. Uji Stationer Data Penelitian RTM
…………………………………
xxii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengentasan kemiskinan (poverty allevation) telah menjadi komitmen dan kesepakatan bagi semua pihak. Secara global kesepakatan merujuk pada Tujuantujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) dengan sasaran indikator yang ingin dicapai yaitu mengurangi setengah angka kemiskinan pada tahun 2015. Di Indonesia urusan penanggulangan kemiskinan dijamin secara tegas dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam pengentasan kemiskinan secara terinci dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 yang disusun berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK, 2005), dengan target untuk mengurangi angka kemiskinan dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009. Pengentasan kemiskinan memiliki tantangan yang sangat besar untuk dicapai, karena permasalahan dan fenomena kemiskinan memiliki sifat dan karakteristik yang sangat beragam. Kemiskinan bukan hanya terkait dengan aspek ekonomi, akan tetapi juga terkait dengan aspek sosial, budaya, politik dan dimensi wilayah (spatial) serta rentan terhadap eksternalitas (RPJM 2004-2009 dan Smeru 2008). Standing (2006) memandang sebab-sebab kemiskinan tidak berasal dari gejala sesaat, tetapi merupakan masalah struktural yang disebutnya “kerentanan ekonomi” (economic insecurity), yang dipengaruhi oleh risiko-risiko sosial ekonomi dan ketidakpastian serta kemampuan yang terbatas untuk mengatasi dan memulihkan diri (to recover). Di Indonesia terdapat pergerakan yang signifikan keluar masuknya penduduk di bawah garis kemiskinan. Contohnya, 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 ternyata tidak miskin pada tahun 2003 (Bank Dunia 2006). Di Kabupaten Barru juga terjadi pergerakan keluar masuknya rumah tangga di bawah garis kemiskinan, sekitar 14 persen rumah tangga miskin pada tahun 2006 tidak miskin pada tahun 2005. Guncangan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga seperti kehilangan pekerjaan, gagal usaha, gagal panen, krisis moneter, kenaikan 1
harga BBM, bencana alam dan hilangnya pendapatan yang disebabkan oleh sakit dan biaya pengobatan, atau naiknya harga bahan pokok makanan seperti beras, dapat menyebabkan perubahan-perubahan mendadak dalam tingkat kemiskinan rumah tangga miskin (Smeru, 2008). Sedangkan Islam (2001), menyebutkan bahwa kerentanan dapat terjadi karena adanya guncangan pada tingkat mikro seperti pencari nafkah sakit atau meninggal dunia, pada tingkat meso seperti adanya gagal panen, fluktuasi harga produk dan degradasi lingkungan, dan pada tingkat makro karena krisis moneter atau finansial. Bank Dunia (2006) melaporkan bahwa angka kemiskinan nasional “menyembunyikan” sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Hampir 42 persen dari seluruh penduduk Indonesia hidup diantara garis kemiskinan US$1 – dan US$2 per hari. Hal ini menunjukkan bahwa kerentanan rumah tangga untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Dengan demikian, maka penelitian dan pemahaman tentang kerentanan dalam penanggulangan kemiskinan dianggap sangat penting, mengingat bahwa risiko sebagian besar rumah tangga di Indonesia akan jatuh ke bawah garis kemiskinan ketika terjadi ketidakpastian ekonomi atau guncangan (shock). Dalam kebijakan pengentasan kemiskinan aspek makro ekonomi yang sering dianggap perlu adalah pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi, merupakan syarat perlu tapi belumlah cukup, artinya perlu kebijakan lain seperti pengendalian tingkat inflasi dan tingkat suku bunga. Kebijakan yang terkait dengan individu atau rumah tangga dalam tataran mikro serta aspek spasial perlu menjadi perhatian khusus, karena terkait dengan kemampuan internal dalam pengentasan kemiskinan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan kemiskinan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif menunjukkan hasil yang berbeda antara satu lokasi dan waktu. Dari aspek makro beberapa penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruh masing-masingnya relatif kecil (Wahyuniarti dan Siregar 2007; Ravallion, 2001; dan Adams 2004). Peningkatan share sektor pertanian dan share 2
sektor industri juga signifikan mengurangi jumlah kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif besar pengaruhnya terhadap penurunan jumlah kemiskinan adalah pendidikan. Fenomena kemiskinan berdasarkan wilayah menunjukkan karakteristik dan penciri yang berbeda sebagaimana dilaporkan beberapa penelitian terdahulu, terutama di negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Harniati (2007) di Indonesia menunjukkan bahwa kemiskinan berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem. Tipologi kemiskinan berbeda pada setiap agroekosistem dimana hutan memiliki insiden kemiskinan tertinggi dibandingkan agroekosistem lainnya diikuti oleh lahan campuran. Agroekosistem dataran tinggi, lahan basah dan lahan kering serta pesisir/pantai insiden kemiskinannya berada di bawah angka insiden nasional. Namun, jumlah rumah tangga miskin di lahan kering dan dataran tinggi jauh lebih besar daripada di lahan basah dan pesisir/pantai. Selanjutnya disebutkan bahwa, kerentanan terhadap kemiskinan di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan misalnya perubahan harga barang dan jasa yang termasuk dalam bundel garis kemiskinan. Ternyata, rumah tangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Studi yang dilakukan oleh Usman et al. (2005) di Indonesia menemukan bahwa pada sisi karakteristik wilayah, daerah pegunungan ternyata memiliki risiko kemiskinan lebih tinggi dibandingkan daerah pantai dan dataran rendah. Sementara itu, daerah pantai memiliki risiko kemiskinan paling rendah. Daerah pegunungan dengan potensi yang terbatas seperti lahan tandus, berada pada kemiringan, terisolir serta terbatasnya infrastruktur fisik dan sosial ekonomi. Kondisi ini menyebabkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan penduduk dalam melakukan aktivitas ekonominya membutuhkan biaya tinggi sehingga produktivitasnya rendah sebagai penyebab tingginya risiko penduduk terhadap kemiskinan. Di samping itu, perbedaan potensi dan kondisi infrastruktur fisik, sosial dan ekonomi antar wilayah menyebabkan perbedaan peluang-peluang ekonomi rumah tangga antar wilayah pula. Selanjutnya, hal ini berpengaruh pula pada perbedaan peluang atau kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan. Sejalan dengan itu, 3
pemahaman tentang karakteristik wilayah dan keluarga miskin pada tataran mikro secara lokalitas dianggap penting dan strategis dalam konteks pendalaman permasalahan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat miskin, serta diagnosis dalam perumusan intervensi kebijakan penanggulangan kemiskinan ke depan. Dalam studi ini karakteristik wilayah disesuaikan dengan demografi dan tipologi Kabupaten Barru sebagai lokasi penelitian. Kabupaten Barru mempunyai tiga tipologi wilayah, yaitu wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Lima kecamatan dari tujuh kecamatan yang ada di Kabupaten Barru merupakan wilayah kecamatan yang memiliki pantai/pesisir dan dua kecamatan lainnya tidak memiliki wilayah pesisir dan pantai. Dari 54 desa/kelurahan yang ada, 29 diantaranya berada pada lokasi pesisir/pantai dan 13 desa/kelurahan berada pada daerah pegunungan serta 12 desa/kelurahan merupakan daerah dataran rendah. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah bahkan melibatkan lembaga internasional dan lembaga swadaya masyarakat (Non Government Organization/NGO) dengan waktu dan biaya yang tidak terhitung jumlahnya. Hal ini seiring dengan diimplementasikannya otonomi daerah yang dibarengi dengan desentralisasi fiskal, dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan besar dalam menetapkan kebijakan publik melalui APBD termasuk dalam alokasi anggaran pengentasan kemiskinan. Berdasarkan pada berbagai program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan tersebut dan semakin meningkatnya atau membaiknya asumsi-asumsi makroekonomi, maka seyogyanya jumlah penduduk miskin dapat ditanggulangi secara signifikan dan permanen. Namun demikian, upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimal sesuai dengan yang telah ditetapkan. Secara nasional target penurunan jumlah kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009 seperti dijelaskan sebelumnya sudah dapat dipastikan tidak akan tercapai. Realitas di sebagian besar daerah Kabupaten/Kota di Indonesia menunjukkan bahwa hal ini belum terpenuhi (Hirawan 2007). Indikasi
menguatnya
permasalahan
atau
melemahnya
kinerja
penanggulangan kemiskinan dapat dilihat dari naik-turunnya jumlah penduduk miskin, baik antar waktu maupun antar wilayah. Pada periode 2003-2004 proporsi penduduk miskin mengalami penurunan dari 20,23 persen menjadi 20,11 persen 4
pada daerah perdesaan, dan di perkotaan menurun dari 13,57 persen menjadi 12,13 persen. Dalam periode 2005-2006, proporsi penduduk miskin mengalami peningkatan yang relatif signifikan, dimana pada daerah perdesaan meningkat dari 19,5 persen menjadi 21,9 persen dan di perkotaan dari 11,4 persen menjadi 13,4 persen. Sedangkan pada periode 2007-2008 secara proporsional terjadi penurunan kembali yaitu dari 20,37 persen menjadi 18,93 persen di daerah perdesaan dan di daerah perkotaan menurun dari 12,52 persen menjadi 11,65 persen (BPS 2008). Secara umum perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia pada periode 2000-2008 menunjukkan hasil yang berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat ada kecenderungan menurun pada periode 20002005 sebagaimana dilihat pada Tabel 1 berikut (BPS 2008). Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Wilayah, periode 2000-2008. Jumlah Penduduk Miskin (juta) Kota Desa Kota+ Desa 20002) 12,30 26,40 38,70 20012) 8,60 29,30 37,90 20021) 13,30 25,10 38,40 20033) 12,20 25,10 37,30 20043) 11,40 24,80 36,10 20053) 12,40 22,70 35,10 20063) 14,49 24,81 39,30 20073) 13,56 23,61 37,17 20083) 12,77 22,19 34,96 Catatan:Dihitung dengan metode 1998
Tahun
1) 2) 3)
Persentase Penduduk Miskin (%) Kota Desa Kota+ Desa 14,60 22,38 19,14 9,76 24,84 18,41 14,46 21,10 18,20 13,57 20,23 17,42 12,13 20,11 16,66 11,68 19,98 15,97 13,47 21,81 17,75 12,52 20,37 16,58 11,65 28,93 15,42
Dihitung berdasarkan data Susenas Kor 2000 dan 2001 Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Feb 2003, 2004, dan 2005 Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007, dan 2008
Sedangkan perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Kabupaten Barru tahun 1990-2008, juga menunjukkan hasil yang berfluktuasi pada tiga dimensi wilayah. Tingkat persentase rumah tangga miskin di Barru yang tertinggi adalah pada wilayah pesisir, disusul wilayah pegunungan dan paling rendah pada wilayah dataran rendah. Pada periode yang sama kecenderungan terjadinya fluktuasi pada semua wilayah sebagaimana digambarkan Tabel 2. Dari Tabel 2 tersebut, dapat disimpulkan bahwa penanganan masalah kemiskinan baik di Indonesia maupun di Kabupaten Barru belum berhasil dengan baik dan menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi. Keluar masuknya rumah tangga di bawah garis kemiskinan, di samping disebabkan oleh ketidakmampuan 5
untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang melilitnya, juga dipengaruhi oleh adanya eksternalitas seperti kebijakan pengentasan kemiskinan dan gejolak atau guncangan ekonomi. Artinya, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama ini masih bersifat universal terhadap rumah tangga di satu sisi, padahal di sisi lain rumah tangga miskin memiliki karakteristik permasalahan yang berbeda antara satu dengan lainnya (individu dan rumah tangga) serta antar waktu dan antar wilayah. Di samping itu, sebagian besar program pengentasan kemiskinan masih bersifat top-down, parsial dan tidak berkelanjutan serta kurangnya inovasi baru dari pemerintah daerah dalam kebijakan pengentasan kemiskinan yang disesuaikan dengan fenomena dan permasalahan lokal yang dihadapi (Smeru 2008 dan Hardojo et al, 2008). Tabel 2. Tingkat Perkembangan Rumah Tangga Miskin (RTM) berdasarkan karakateristik wilayah di Kabupaten Barru (1990-2008) Tahun
Jumlah RTM
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
5715 5886 6054 6222 6388 5949 5912 4980 4337 6225 8962 11960 13010 11864 12244 10802 13284 13266 13364
RTM Pesisir
3473 3567 3661 3756 3849 2861 2977 2795 2049 3932 5049 6406 6964 6914 6609 6008 6986 7397 7247
Persentase (%)
Jumlah RTM D. Rendah
Persentase (%)
Jumlah RTM Pegunungan
Persentase (%)
60.77 60.60 60.47 60.36 60.25 48.09 50.35 56.12 47.24 59.06 56.34 53.56 54.53 58.28 53.98 55.62 54.98 53.43 54.23
1040 1076 1107 1143 1172 1143 1035 837 930 1258 1618 2481 2708 2410 2465 1906 2422 2571 2635
18.19 18.28 18.29 18.37 18.35 19.21 17.51 12.79 21.45 19.21 18.05 20.74 20.81 20.31 20.13 17.64 19.06 18.57 19.72
1202 1243 1348 1323 1367 1945 1900 1638 1358 1045 2297 3073 3338 2540 3170 2888 3298 3876 3482
21.03 21.12 22.27 21.26 21.39 32.70 32.14 32.89 31.31 21.73 25.63 25.69 25.66 21.41 25.89 26.74 25.96 27.99 26.05
Sumber : Diolah dari data Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Barru 1990-2008. Mengacu pada uraian dan beberapa hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan kompleksitas permasalahan kemiskinan baik dari segi penyebab, lokasi dan hirarki penanganannya. Kemiskinan merupakan masalah yang sangat 6
besar dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, karena pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang besar pada keberlangsungan suatu negara (Tambunan 2003). Bahkan, Smeru (2001) mengatakan bahwa setidaknya ada empat aspek utama mengapa upaya pengentasan kemiskinan menjadi penting bagi daerah maupun secara nasional, yaitu aspek kemanusiaan, aspek ekonomi, aspek sosial dan politik, dan aspek keamanan. Menyadari pentingnya pengentasan kemiskinan, maka dalam penelitian ini di fokuskan pada kerentanan dan determinan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan mikro dan makro yang dikaitkan dengan karakteristik wilayah pada lokasi dan unit analisis yang lebih kecil di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. 1.2. Perumusan Masalah Kemiskinan
identik
dengan
ketidakadilan,
ketidakberdayaan
atau
ketidakmampuan, ketidakadaan akses, dan keterbelakangan. Serba ketidakadaan ini mengepung orang miskin dan menjadi perangkap kemiskinan “poverty trap” sehingga orang miskin sulit untuk keluar dari garis kemiskinan. Munandar (2003) menyebutkan bahwa penduduk menjadi miskin karena terbatasnya sumberdaya yang mereka miliki, pendidikan rendah, kekurangmampuan mereka dalam hal teknis dan manajemen, keterbatasan akses pada sumber permodalan, ketimpangan distribusi lahan, ketimpangan jender, bencana alam, dan kealpaan pemerintah melalui kebijakan yang kurang berpihak pada penduduk miskin. Kondisi kemiskinan tidak hanya membuat mereka memiliki pendapatan rendah, melainkan juga menghadapi kerentanan yang tinggi, suara mereka kurang didengar, keberadaan mereka luput diperhatikan, dan mereka tersingkir dari komunikasi global. Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan sangat beragam, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu wilayah dengan wilayah lain, bahkan dari satu waktu ke waktu lain. Karena itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang bersifat universal dan sifatnya memberi santunan tidak terlalu tepat. Secara umum permasalahan kemiskinan dipengaruhi oleh beberapa faktor 7
yang terkait dengan aspek mikro-makro ekonomi dan aspek wilayah sebagai berikut (Menko Kesra 2007; Smeru 2006; Todaro dan Smith 2003; dan Rustiadi et al. 2009) : 1. Ketidakadilan
dalam
memperoleh
akses
di
bidang
permodalan,
pendidikan, kesehatan, pangan dan insfrastruktur serta peluang usaha dan peluang kerja yang berakibat kegagalan kepemilikan terhadap tanah dan modal. Ketidakadilan tersebut berdampak pada tingkat pendidikan, derajat kesehatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan rendahnya produktivitas masyarakat yang pada akhirnya berpengaruh kepada tingkat pendapatan masyarakat karena upahnya pun rendah 2. Ketidakadilan pertumbuhan dalam strata ekonomi, antar daerah dan antar sektor. Pertumbuhan ekonomi merupakan variabel utama yang digunakan untuk mengukur kemajuan suatu negara atau wilayah serta digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Namun demikian, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penanggulangan kemiskinan sangat dipengaruhi oleh ketimpangan
pendapatan
masyarakat.
Artinya,
pertumbuhan
ekonomi
berpengaruh secara signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan ketika ketimpangan awal tidak terlalu lebar, dan juga terjadi secara signifikan pada negara-negara maju atau negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sementara pada negara yang pertumbuhan ekonominya rendah dengan ketimpangan pendapatan yang lebar pengaruh pertumbuhan ekonomi tidak signifikan dalam menanggulangi kemiskinan. Blank (2003) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan memiliki hubungan tergantung pada waktu dan tempat. 3. Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi guncangan karena: krisis ekonomi, kegagalan panen, PHK, konflik sosial politik, korban kekerasan sosial dan rumah tangga, bencana alam dan musibah. Ketidakmampuan menghadapi guncangan atau eksternalitas karena kekurangmampuan atau keterbatasan sumberdaya sosial, ekonomi, dan politik yang dimiliki. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang berfokus pada rumah tangga miskin tanpa memerhatikan secara mendalam klasifikasi atau kategori kemiskinan, seperti kemiskinan kronik, miskin serta rumah tangga yang rentan 8
atau berada sedikit di atas garis kemiskinan memicu pelaksanaan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan yang tidak optimal yang ditunjukkan oleh adanya kecenderungan keluar masuknya rumah tangga dalam kemiskinan tanpa terkendali. 4. Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruknya ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena: tidak ada kepastian hukum, kebijakan publik yang tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan serta rendahnya posisi tawar masyarakat miskin. 5. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor. Kebijakan pembangunan yang berfokus pada perkotaan tanpa memerhatikan keterkaitan antara kota dan desa yang baik memicu timbulnya eksploitasi yang saling merugikan, di perkotaan muncul fenomena berupa polusi, pengangguran, kemacetan, kriminalitas dan lainnya. Sementara di perdesaan memicu matinya inovasi dan kreasi yang diakibatkan oleh adanya backwash effect yang massif dan terjadinya brain drain. 6. Adanya perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi antar wilayah. Perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan sektor ekonomi antar wilayah menyebabkan produktivitas dan tingkat pembentukan modal berbeda. Di samping itu, perbedaan tersebut menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa intervensi program penanggulangan kemiskinan harusnya berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. 7. Keterbelakangan dan keterisolasian secara geografis. Keterbelakangan dan keterisolasian menyebabkan produktivitas yang tidak maksimal yang diakibatkan dengan tingginya biaya produksi dan biaya mobilitas tenaga kerja dan produksi. Perbedaan biaya produksi antar wilayah menyebabkan perbedaan kesempatan untuk meraih peluang-peluang ekonomi antar wilayah, sehingga berdampak pada perbedaan dalam tingkat kesejahteraan. Dalam penelitian ini beberapa permasalahan kemiskinan tersebut di atas, dijadikan sebagai rujukan untuk melihat fenomena kemiskinan yang terkait dengan kerentanan dan determinan kemiskinan di Kabupaten Barru. Kabupaten 9
Barru merupakan salah satu dari 199 kabupaten tertinggal di Indonesia yang ditetapkan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (Keputusan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor. 001/KEP/M-PDT/2005). Dalam kurun waktu 1990-2008 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Barru selalu positif, kecuali tahun 1998 (-5,97%). Demikian halnya dengan indikator indeks pembangunan manusia (IPM) menunjukkan hasil yang semakin baik selama lima tahun terakhir. Diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal berimplikasi juga pada meningkatnya secara signifikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yaitu dari Rp. 6.165.778.857 pada tahun 1990 meningkat menjadi Rp. 329.189.948.546 pada tahun 2007. Jumlah investasi juga mengalami peningkatan
dari
Rp.
2.885.575.000,-
pada
tahun
2004
menjadi
Rp. 5.278.999.000,- pada tahun 2007. Di samping itu, jumlah kredit investasi dan modal kerja yang disalurkan oleh perbankan juga mengalami peningkatan sebesar Rp. 13.992.000.000,- pada tahun 2000 menjadi sebesar Rp. 36.993.000.000, pada tahun 2004 atau mengalami peningkatan sebesar 62.18 persen (BPS Kabupaten Barru 2008). Angka kemiskinan di Kabupaten Barru memperlihatkan kecenderungan yang berfluktuasi dan masih berada di atas rata-rata kemiskinan Provinsi Sulawesi Selatan dan nasional. Proporsi atau persentase rumah tangga miskin berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, menunjukkan bahwa rumah tangga miskin yang terbesar persentasenya berada pada wilayah pesisir, kemudian disusul oleh wilayah pegunungan dan terkecil pada wilayah dataran rendah (Grafik 1). Dari Grafik dapat ditunjukkan bahwa pada saat krisis moneter tahun 1997/1998 terjadi peningkatan kemiskinan di Kabupaten Barru dan mencapai puncaknya pada tahun 2002. Demikian halnya pada wilayah pesisir pada awalnya mengalami penurunan pada tahun 1998, hal ini diakibatkan oleh meningkatnya harga komoditi perikanan pada awal resesi ekonomi. Di sisi lain, peningkatan harga komoditi perikanan yang memiliki nilai ekspor sifatnya hanya sementara, karena dengan terjadinya krisis moneter juga berdampak pada kontraksi pertumbuhan ekonomi yang berdampak menurunnya sisi permintaan. Di samping
10
itu, peningkatan harga komoditi perikanan tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak dan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Hal tersebut dibuktikan oleh meingkatnya jumlah penduduk miskin pada tahun 1999, yang diindikasikan bukan hanya disebabkan oleh krisis moneter pada tahun 1997/1998, akan tetapi juga dipengaruhi oleh terjadinya bencana alam berupa banjir yang melanda Kabupaten Barru khususnya pada wilayah pesisir dan dataran rendah pada tahun 1998. Banjir yang melanda Kabupaten Barru pada tahun 1998, menyebabkan penduduk yang berdomisili di wilayah pesisir dan dataran rendah mengalami gagal panen (sawah dan tambak). Di samping kegagalan panen yang terjadi pada wilayah pesisir dan dataran rendah akibat banjir juga berdampak pada rusaknya rumah penduduk pada kedua wilayah. Kedua kondisi ini berperan dalam mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin terutama pada wilayah pesisir dari 47,24 persen pada tahun 1998 menjadi 59,06 persen pada tahun 1999.
70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00
Pesisir (%)
D.Rendah (%)
Pegunungan (%)
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
0.00 1990
Persentase RTM thdp Total RT Kab Barru (%)
Grafik 1. Perkembangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru Berdasarkan Karakteristik Wilayah (1990-2008).
Total (%)
Sumber : Diolah dari Data Badan Kependudukan dan Catatan Sipil dan BPS Kabupaten Barru, 1990-2008.
Selanjutnya, di wilayah pegunungan pada saat krisis moneter tahun 1997/1998 pada awalnya mengalami penurunan jumlah penduduk miskin, akan tetapi
berangsur-angsur
mengalami
peningkatan,
tetapi
tidak
sebesar
dibandingkan peningkatan jumlah penduduk miskin pada wilayah pesisir. Penurunan penduduk miskin pada wilayah pegunungan disebabkan oleh beberapa 11
hal seperti meningkatnya harga produk pertanian yang memiliki nilai eksport tinggi seperti coklat, kemiri, kopi dan jambu mete. Di samping itu, fluktuasi kemiskinan di wilayah pegunungan juga disebabkan oleh adanya bencana alam berupa angin puting beliung (Angin Barubu) yang secara siklus terjadi dan terparah pada tahun 2004. Dari uraian dan data tersebut di atas menunjukkan bahwa, adanya eksternalitas seperti bencana alam dan krisis moneter berdampak pada meningkatnya penduduk miskin. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab gagalnya program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam mengatasi masalah kemiskinan. Selain penyebab tersebut, menurut Prihatini (2008) bahwa pada dasarnya ada dua faktor penting yang menyebabkan kegagalan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Kedua, yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga programprogram penanggulangan kemiskinan serta program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal dan waktu. Sementara itu Sumodiningrat 2005; Ritonga 2003; dan Mega 2003; menyatakan bahwa kegagalan program-program penanggulangan kemiskinan disebabkan oleh beberapa kelemahan mendasar, antara lain (1) pembangunan terlalu berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi dan kurang memerhatikan
pemerataan, (2) cenderung lebih menekankan pendekatan sektoral dan kuatnya arogansi sektoral, (3) kurang mempertimbangkan persoalan-persoalan kemiskinan yang multidimensi, (4) cenderung terfokus pada orientasi kedermawanan, (5) menganggap diri lebih hebat dan tahu segala-galanya, (6) monopoli pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan, dan (7) kurangnya pemahaman tentang akar penyebab kemiskinan.
12
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan tipologi wilayah di Kabupaten Barru? 2. Bagaiamana pengaruh tingkat pendidikan, kesehatan, aksesibilitas, kondisi ekonomi rumah tangga, dan tingkat partisipasi dalam proses pembangunan terhadap kerentanan kemiskinan di Kabupaten Barru?. 3. Apakah kerentanan rumah tangga miskin di Kabupaten Barru berbeda magnitutnya berdasarkan karakteristik wilayah (pesisir, dataran rendah, dan pegunungan?. 4. Apakah pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah, pendapatan asli daerah, inflasi, share sektor terhadap PDRB, dan krisis moneter berpengaruh secara nyata dan signifikan terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan tipologi wilayah di Kabupaten Barru. 2. Menganalisis pengaruh tingkat pendidikan, kesehatan, aksesibilitas, kondisi ekonomi rumah tangga, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangungan, serta aspek kewilayahan terhadap kerentanan kemiskinan di Kabupaten Barru. 3. Menganalisis
tingkat
kerentanan
rumah
tangga
miskin
berdasarkan
ekonomi,
belanja
pemerintah,
karakteristik wilayah di Kabupaten Barru. 4. Menganalisis
pengaruh
pertumbuhan
pendapatan asli daerah, peningkatan harga barang dan jasa (GDP_Deflator), share sektor terhadap PDRB, dan krisis moneter terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru.
13
1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia akademik dalam memperkaya khasanah pengetahuan tentang pengentasan kemiskinan di Indonesia, terutama yang terkait dengan kerentanan dan determinan kemiskinan pada wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengambilan kebijakan
yang terkait
dengan percepatan
penanggulangan kemiskinan di Indonesia pada umumnya dan khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. 1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian. Penelitian ini difokuskan pada analisis kerentanan rumah tangga miskin yang terkait dengan aspek mikro atau aspek internal rumah tangga dan individu. Dalam aspek mikro variabel yang terkait dengan kerentanan rumah tangga miskin meliputi jenis kelamin, umur, jumlah anggota/tanggungan rumah tangga, pendidikan, kesehatan, kepemilikan lahan/aset, akses ke pelayanan publik, tingkat partisipasi dalam proses pembangunan, dan aspek kewilayahan. Sedangkan dalam aspek makro, faktor determinan yang berpengaruh dalam penelitian ini adalah variabel yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi (PDRB per kapita), belanja pemerintah (yang diarahkan untuk bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pertanian), pendapatan asli daerah (PAD), peningkatan harga barang dan jasa secara keseluruhan (GDP_Deflator), share sektor terhadap PDRB, dummy desentralisasi fiskal dan dummy krisis moneter. Dalam menganalisis karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah dilakukan dengan pendekatan deskriptif berupa tabel dan grafik. Namun, untuk mempertegas perbedaan karakteristik rumah tangga berdasarkan wilayah dilakukan analisis atau uji beda nilai tengah (Anova). Sementara dalam menganalisis kerentanan rumah tangga miskin dilakukan dengan pendekatan ekonometrika dengan persamaan regresi logit (Binary Logistic Regression). Sedangkan untuk menganalisis determinan kemiskinan atau faktor-faktor yang memengaruhi
kemiskinan
berdasarkan
aspek
makro
dianalisis
dengan
menggunakan pendekatan ekonometrika dengan persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least Square atau OLS). 14
1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian. Kebaruan “novelty” dari penelitian analisis kerentanan dan determinan kemiskinan berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru dapat dilihat dari dua aspek sebagai berikut : 1. Mengkonfirmasi atau mengkonfrontir beberapa hasil penelitian terkait dengan kerentanan rumah tangga miskin berdasarkan karakteristik wilayah. Usman (2005) menyebutkan bahwa kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan tertinggi pada wilayah pegunungan, demikian halnya dengan insiden kemiskinan terbesar pada wilayah pegunungan. Sedangkan Harniati (2007) menyebutkan bahwa kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan tertinggi pada agroekosistem lahan basah dan rumah tangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibanding agroekosistem lainnya. 2. Pendekatan kebijakan tidak bisa dilakukan secara universal atau homogen pada seluruh wilayah Indonesia, maka diperlukan penelitian atau pengkajian fenomena dan karakteristik kemiskinan secara lokalitas, dimana Di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan belum ada penelitian yang mengkaji tentang kerentanan dan determinan kemiskinan.
15
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Penyebab Kemiskinan. Pemahaman tentang definisi kemiskinan mutlak untuk dipahami, agar persepsi dan interpretasi tentang kemiskinan tidak multitafsir serta dalam intervensi kebijakan tidak salah sasaran. Secara umum kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya dan tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut (TKPK 2006 dan SNPK 2005). Dalam RPJM Nasional kemiskinan di definisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik perempuan maupun laki-laki. Sedangkan kemiskinan (ketertinggalan) wilayah ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur bagi penduduk di wilayah bersangkutan. Selain dari itu, Sumodiningrat (2005) menyebutkan bahwa masyarakat miskin secara umum ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut: 1. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation). 2. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness). 3. Ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi (inaccecibilty). 4. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan menentukan nasib dirinya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis; dan 5. Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor). 16
Pendefinisian yang lebih tegas dan mendalam disampaikan oleh KIKIS (2002) yaitu kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia. Kebutuhan asasi, meliputi: kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang. Kemiskinan subsistensi terjadi karena rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Kemiskinan perlindungan terjadi karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar. Kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam. Kemiskinan pemahaman terjadi karena kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan. Kemiskinan partisipasi terjadi karena adanya diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses pengambilan
keputusan,
sedangkan
kemiskinan
identitas
terjadi
karena
dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan hancurnya nilai sosio-kultural yang ada. Di sisi lain, Chambers (2001) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri (proper), (2) ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), (4) ketergantungan (dependence), dan (5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sedangkan Mas’oed (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan (artificial). Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumberdaya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya, sarana, dan fasilitas sosial ekonomi yang ada secara merata. Di Indonesia, pengertian kemiskinan didasarkan pada pengertian yang ditetapkan berdasarkan kriteria dari tiga institusi (BPS 2008) yaitu: 1. Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari. Data 17
kemiskinan yang digunakan oleh BPS terdiri dari data Susenas dan untuk menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Data Susenas merupakan data yang bersifat makro, data ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa, dimana alamatnya secara rinci, data ini hanya digunakan untuk mengevaluasi pertambahan/pengurangan jumlah penduduk miskin. Sedangkan untuk menyalurkan BLT dalam rangka kompensasi BBM, sifatnya mikro yang dapat menunjukkan nama kepala keluarga yang berhak menerima BLT dan lokasi tempat
tinggalnya.
Sedangkan
untuk
mengukur
kemiskinan
dengan
menggunakan kebutuhan dasar makanan (setara 2.100 kalori per kapita per hari) dan bukan makanan (variabel kuantitatif), penentuan rumah tangga penerima BLT didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga dengan menggunakan 14 variabel kuantitatif penjelas kemiskinan. Ke 14 variabel yang digunakan adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan, bahan bakar, membeli daging, ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian baru, kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan rumah tangga, dan asset yang dimiliki rumah tangga. 2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, apabila memenuhi kriteria berikut (BPS 2008) : a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian. d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah. e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. 3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1,00 per kapita per hari (BPS 2008). Ketiga kriteria tersebut di atas, belum mampu menunjukkan rumah tangga miskin dengan tepat dan benar, sehingga seringkali menyulitkan pelaksana dalam implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan. Banyaknya komplain dan 18
reaksi yang menolak beberapa program dan kegiatan merupakan bukti lemahnya sistem pendataan yang dilakukan selama ini, terutama dalam penyaluran bantuan yang sifatnya sementara seperti bantuan langsung tunai (BLT). Beberapa lembaga seperti Smeru dan Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional mendorong pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Namun demikian, dalam prakteknya sangat sedikit pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia yang melakukan kreativitas terkait dengan kriteria kemiskinan tersebut. Setiabudi (2002); Chambers, 2008; dan Waidl et al. (2008) tanpa menafikan ketiga kriteria tersebut dalam memberikan informasi, mereka menyarankan beberapa pendekatan seperti penggunaan pendekatan sosiologis dengan metode referer, dimana setelah kita dapat menemukan satu rumah tangga miskin kemudian meminta yang bersangkutan memilih rumah tangga lain yang status sosial-ekonominya setara atau lebih rendah dari dia. Alternatif lainnya, adalah menggunakan pendekatan partisipatif seperti partisipatory rural appraisal (PRA) pada level yang paling rendah seperti rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Pendekatan ini telah diimplementasi oleh beberapa kabupaten/kota di Indonesia dan memberikan hasil yang memuaskan walaupun menggunakan waktu dan biaya yang lebih besar. Selain pengertian kemiskinan tersebut di atas, penyebab kemiskinan juga penting untuk dipahami. Ada banyak penyebab kemiskinan dan tak ada satupun jawaban yang mampu menjelaskan semuanya secara sekaligus. Ini ditunjukkan oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat tertentu yang mecoba mencari penyebab kemiskinan. Smeru (2001) menyimpulkan bahwa penyebab dasar kemiskinan antara lain; (i) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (ii) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (iii) kebijakan yang bias perkotaan dan bias sektor; (iv) adanya perbedaan kesempatan diantara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (v) adanya perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (vi) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (vii) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang 19
mengelola sumber daya alam dan lingkungannya; dan (viii) tidak adanya tata kepemerintahan yang bersih dan baik (good governance). Sedangkan Nasikun (2001) menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, antara lain : a.
Policy induce processes; proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru
melestarikan dan
menyuburkan kemiskinan. b.
Socio-economy dualism; Negara eks koloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.
c.
Population growth; perspektif yang di dasari pada teori Malthus bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan seperti deret hitung.
d.
Resources management and the environment; adanya unsur kesalahan manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
e.
Natural cycles and processes; kemiskinan terjadi karena siklus alam, misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terjadi secara
terus
menerus. f.
The marginalization of woman; peminggiran kaum perempuan karena perempuan masih dianggap kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
g.
Cultural and etnic factor; bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.
h.
Exploitatif
intermediation;
keberadaan
penolong
menjadi
penodong,
seperti rentenir (lintah darat). 20
i.
Internal political fragmentation and civil strata; suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan.
j.
International
processes;
bekerjanya
sistem-sistem
internasional
(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin miskin. Selanjutnya, selain beberapa faktor tersebut di atas, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di daerah perdesaan disebabkan oleh keterbatasan asset yang dimiliki (Suryawati 2005), yaitu: a. Natural assets; seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan kurang memadai untuk mata pencahariannya. b. Human assets; menyangkut kualitas sumberdaya manusia yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi). c. Physical assets; minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di perdesaan. d. Financial assets; berupa tabungan (saving) serta akses untuk memperoleh modal usaha. e. Social assets; berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Namun demikian, secara umum penyebab kemiskinan dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, antara lain (Makmun 2003) : 1. Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat. 2. Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya nilai-nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk; dan
21
3. Kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering, maupun keterisolasian. Sedangkan Chronic Poverty Research Centre (CPRC) dalam Shepherd (2007) menggambarkan kategorisasi dinamika kemiskinan menjadi tiga bagian yaitu meliputi: selalu miskin dan biasa miskin (chronically poor), kemiskinan transisional meliputi kemiskinan yang fluktuatif dan kadang-kadang miskin (transitorily poor), dan tidak miskin (non-poor). Penduduk yang berada pada kategori kronis bukan hanya miskin di dalam pendapatan akan tetapi juga sangat terbatas dalam pendidikan, nutrisi, akses ke pelayanan kesehatan, atau mungkin terisolasi dan dieksploitasi oleh para elit. Dalam beberapa konteks perempuan miskin dan anak-anak perempuan, anak-anak perempuan dan orang tua (terutama janda) cenderung terjebak dalam kemiskinan. Selanjutnya penduduk yang berada dalam kategori transisional lebih rentan terhadap kemiskinan. Penyebabnya bisa disebabkan oleh faktor internal karena penduduk kategori ini tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kondisi eksternal. Di samping itu, guncangan dalam bentuk kesehatan karena sakit, guncangan lingkungan, bencana alam, kekerasan, dan ketidakpastian hukum dan rontoknya perekonomian penyebab keluar masukanya rumah tangga dalam kemiskinan. Ketika penduduk hanya memiliki asset terbatas, layanan dasar yang tidak memadai dan tidak efektifnya perlindungan sosial menjadi jebakan orang dalam kemiskinan. Memahami kemiskinan dengan pengkategorisasian tersebut mempermudah pengambil kebijakan dalam menentukan sifat dan jenis intervensi kebijakan yang akan dilakukan. Pengkategorisasian ini dapat juga membantu mengidentifikasi jalan keluar terhadap kemiskinan sebelum kondisi mereka menjadi kronik sebagaimana dijelaskan pada Gambar 1 berikut ini.
22
Gambar 1. Kategorisasi dinamika kemiskinan, CPRC dalam Sherperd 2007. 2.2. Ukuran-Ukuran Kemiskinan Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan propinsi di Indonesia) yang berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap sebagai “dasar” dan diperlukan dalam jangka waktu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan (poverty line). Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan (i) biaya untuk memperoleh sekeranjang “bundle” makanan dengan kandungan 2.100 kalori per kapita per hari, dan (ii) biaya untuk memperoleh “sekeranjang” bahan bukan makanan yang dianggap dasar seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, dan pendidikan (BPS 2008). Garis kemiskinan yang banyak dirujuk untuk menentukan jumlah penduduk miskin dan tidak miskin diajukan oleh Sajogyo (1977). Pada awalnya garis kemiskinan adalah setara dengan harga beras 240 kg beras per orang per tahun untuk perdesaan dan 360 kg per orang per tahun untuk perkotaan. Perkembangan 23
selanjutnya ketentuan garis kemiskinan pun berubah menjadi lebih rinci yaitu di bawah 240; 240-320; 320-480; dan lebih dari 480 kg ekuivalen beras. Klasifikasi ini biasa digunakan untuk mengelompokkan penduduk lebih secara rinci. Kelompok paling bawah disebut sangat miskin, selanjutnya miskin, hampir berkecukupan, dan berkecukupan. Secara umum perkembangan garis kemiskinan di Indonesia berdasarkan wilayah dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Garis Kemiskinan Menurut Daerah dan Komponennya 2007-2008 (Rp/Kapita/Bulan) Daerah/Tahun
Makanan (GKM)
Bukan Makanan (GKNM)
Jumlah (GK)
Perkotaan Maret 2007 Maret 2008
132.259 143.897
55.683 60.999
187.942 204.896
Perdesaan Maret 2007 Maret 2008
116.265 127.207
30.572 34.624
146.837 161.831
Kota + Desa Maret 2007 Maret 2008
123.993 135.270
42.704 47.366
166.697 182.636
Sumber : Badan Pusat Statistik, Jakarta Indonesia 2008. Beberapa ukuran atau indeks kemiskinan yang sering digunakan dalam berbagai studi empiris seperti yang dilakukan oleh Blackwood and Lynch (1994) dalam Nanga (2006) dan Harniati (2007) adalah sebagai berikut: 1. Poverty Headcount yang mengukur jumlah atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Bentuk formula poverty headcount dapat ditulis sebagai berikut : ……………………………………………………………
(1)
dimana H adalah poverty headcount, q adalah jumlah penduduk atau persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dan n adalah jumlah penduduk. Dengan demikian, poverty headcount tidak lain adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (poverty line) terhadap jumlah penduduk.
24
2. Poverty Gap atau biasa disebut sebagai income shortfall, digunakan untuk menghitung jumlah pendapatan yang dibutuhkan untuk mengangkat penduduk miskin ke atas garis kemiskinan atau keluar dari kemiskinan. Bentuk formula dari poverty gap, dapat dinyatakan sebagai berikut : I=z–μ
…………………………………………………………… (2)
dimana I adalah kekurangan pendapatan rata-rata (average income shortfall) yang mengukur jumlah uang yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan dari rata-rata penduduk miskin ke atas garis kemiskinan, μ adalah pendapatan rata-rata dari penduduk miskin, dan z adalah garis kemiskinan. 3. Distribusi pendapatan diantara penduduk miskin. Ukuran ini berhubungan dengan pembagian atau distribusi pendapatan diantara penduduk secara keseluruhan, sebab ukuran kemiskinan absolut (absolute poverty measures) perdefinisi bergantung secara ekslusif pada pendapatan dari penduduk miskin. Untuk mengukur distribusi pendapatan salah satu ukuran populer yang sering digunakan dalam penelitian empiris adalah koefisien gini (Gini Coefficient) dan kurva Lorenz (Lorenz Curve). Formula koefisien atau rasio gini (Tambunan 2003) adalah sebagai berikut : …………………………
(3)
Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan
sempurna
(setiap
orang
mendapat
porsi
yang
sama
dari
pendapatan) dan bila 1: ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati sebagian besar pendapatan negara tersebut. Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva Lorenz. Koefisien gini adalah rasio: (a) daerah di dalam grafik tersebut yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis kemerataan sempurna (yang membentuk sudut 45 derajat dan titik 0 dari sumbu y dan x) terhadap (b) daerah segi tiga antara garis kemerataan tersebut dan sumbu y dan x. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati satu atau semakin menjauh dari kurva Lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan, seperti dalam Gambar 2 berikut. 25
Gambar 2. Kurva Lorenz Ukuran lain yang biasa digunakan untuk mengukur kemiskinan adalah indeks
keparahan
dan
kedalaman
kemiskinan.
Indeks
keparahan
dan
kedalaman kemiskinan dapat diukur dengan menggunakan formulasi Foster, Greer, dan Thorbecke yang biasa disebut sebagai FGT index (BPS 2008; dan Todaro et al. 2009). Formula FGT terdiri dari insiden kemiskinan, indeks kedalaman, dan indeks keparahan, dengan formulasi sebagai berikut : ...……………………………………………… (4) dimana : Pα
= Indeks FGT
Yi
= Pendapatan dari penduduk miskin ke i, dimana i = (1,2,…..H)
Yp
= Garis Kemiskinan
N
= Total Jumlah Penduduk
H
= Jumlah penduduk miskin
α = 0,1,2 merupakan parameter yang menyatakan ukuran kedalaman dan keparahan kemiskinan. Semakin besar α, semakin besar bobot insiden kemiskinan. Jika α = 0 disebut sebagai Headcount ratio, H/N yang mengindikasikan proporsi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, maka P0 = H/N. Dengan demikian, bila 30 persen penduduk dari total penduduk diklasifikasikan miskin, maka P0 = 0,3. Jika α = 1, disebut sebagai ketimpangan kemiskinan atau rata-rata kedalaman kemiskinan yang dinyatakan 26
sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan. Ketika α = 1 maka P1 = (1/N)Σ(zYi/z)1 sehingga ketika P1 = 0,3 berarti kesenjangan antara total penduduk (miskin dan tidak miskin) adalah 30 persen. P1/P0 = 1/H Σ(z-Yi/z) adalah rata-rata kedalaman kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan. Jika α = 2, adalah jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan tersebut. 2.3. Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan Salah satu ukuran kesejahteraan yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara (measure of economic welfare) adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pada waktu PDB naik, diasumsikan bahwa rakyat secara materi makin bertambah baik posisinya. Ukuran yang digunakan adalah PDB atau PDRB per kapita (Dornbusch et al. 1987 dan Mankiw 2007). Pada bagian lain Mankiw menyebutkan output barang dan jasa suatu perekonomian (GDP) bergantung pada (1) jumlah input, yang disebut faktor-faktor produksi, dan (2) kemampuan untuk mengubah input menjadi output. GDP yang ditentukan dari kedua faktor tersebut disebutkannya sebagai sisi penawaran dari pendapatan nasional (GDP). Selanjutnya output atau GDP dari sisi penggunaannya terdiri dari konsumsi (C), Investasi (I), Pembelian Pemerintah (G) dan Ekspor-Netto (NX). GDP dari sisi penggunaannya disebut sebagai sisi permintaan dari pendapatan nasional. Bank Dunia (2006) menjelaskan bahwa ada tiga cara untuk membantu mengangkat diri dari kemiskinan adalah melalui pertumbuhan ekonomi, layanan masyarakat, dan pengeluaran pemerintah. Masing-masing cara tersebut menangani minimal satu dari tiga ciri utama kemiskinan di Indonesia, yaitu: kerentanan, sifat multi-dimensi, dan keragaman antar daerah. Selanjutnya dijelaskan bahwa strategi pengentasan kemiskinan yang efektif bagi Indonesia terdiri dari tiga komponen, yaitu sebagai berikut : 1) Membuat pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi rakyat miksin. Pertumbuhan ekonomi telah dan akan menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan. Pertama, langkah membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan 27
proses pertumbuhan-baik dalam konteks perdesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan berdasarkan daerah dan pulau. Kedua, dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya konsentrasi
distribusi
pendapatan
di
Indonesia,
apapun
yang
dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi kemiskinan serta kerentanan kemiskinan. Dari era 1970-an sampai dengan akhir tahun 1990-an, pertumbuhan ekonomi berjalan dengan pesat dan telah menjangkau masyarakat miskin: setiap poin persentase kenaikan pengeluaran rata-rata menghasilkan penurunan 0,3 persen angka kemiskinan. Strategi untuk membantu masyarakat miskin memetik manfaat dari pertumbuhan ekonomi terdiri dari beberapa unsur. Pertama, penting untuk memelihara stabilitas makroekonomi; kuncinya adalah inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil dan
kompetitif.
Negara-negara
yang
mengalami
guncangan
(shock)
makroekonomi memiliki pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan yang lebih lamban dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki pengelolaan makroekonomi yang lebih baik (Bank Dunia 2005). Kedua, masyarakat miskin perlu dihubungkan dengan peluang-peluang pertumbuhan. Akses yang lebih baik terhadap jalan, telekomunikasi, kredit dan pekerjaan di sektor formal dapat dikaitkan dengan tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Ketiga, yang penting adalah melakukan investasi untuk meningkatkan kemampuan (kapabilitas) masyarakat miskin, yakni menyiapkan mereka agar bisa dengan baik menarik manfaat dari berbagai kesempatan bagi pertumbuhan pendapatan yang muncul di depan mereka. Baik di daerah perdesaan maupun di perkotaan, tingkat pendidikan yang lebih tinggi bagi kepala rumah tangga terkait dengan tingkat konsumsi yang lebih tinggi. Investasi dalam pendidikan untuk masyarakat miskin akan memacu masyarakat miskin untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan. 2) Membuat layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin. Penyediaan layanan sosial bagi rakyat miskin baik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swastaadalah mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di 28
Indonesia. Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya angka kematian ibu yang tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan yang berkaitan dengan pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan perbaikan sistem pertanggung jawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan bahkan proses kepemerintahan. Kedua, ciri keragaman antar daerah kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat layanan masyarakat bermanfaat bagi masyarakat miskin merupakan kunci dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah. Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun nonpendapatan). Pertama, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikatorindikator pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan. Pertumbuhan
ekonomi
meningkatkan
pendapatan
rata-rata,
yang
selanjutnya memiliki dampak menurunkan kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi
juga
meningkatkan
ketimpangan
(inequality),
yang
kemudian
meningkatkan kemiskinan (trade off antara pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi). Beberapa negara pada tahun 1970-an dan 1980-an dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Semakin tinggi PDB atau semakin besar pendapatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya (Tambunan 2003). Sebagai suatu perbandingan, hasil studi dari ADB di tahun 1980-an terhadap 29
sepuluh negara di Asia, termasuk India, China, Malaysia, Bangladesh, Korea, Sri Lanka dan Filipina, memperlihatkan bahwa kesejahteraan dari kelompok masyarakat termiskin membaik hanya di negara-negara yang laju pertumbuhan ekonominya sangat besar. Hasil studi ini menunjukkan bahwa memang ada spread effect dan trickle down effect di negara-negara tersebut. Akan tetapi, hasil analisis dengan pendekatan lintas negara (cross-section) tidak menunjukkan adanya suatu relasi yang kuat antara tingkat pendapatan dan tingkat kemerataan dalam distribusi pendapatan (Dowling dan Soo 1983; Bhanoji 1980
dalam
Tambunan 2003). Permasalahan yang timbul adalah kemacetan mekanisme trickle down effects, dimana mekanisme tersebut sebenarnya sangat diyakini akan terbentuk sejalan dengan meningkatnya akumulasi kapital dan perkembangan institusi ekonomi yang mampu menyebarkan kesejahteraan yang merata. Dengan kata lain, di satu sisi penerapan pendekatan ini berhasil membangun akumulasi kapital yang cukup besar, namun di sisi lain juga telah menciptakan proses kesenjangan secara simultan, baik kesenjangan desa oleh kota, maupun kesenjangan antar kelompok di masyarakat (Wiranto 2007). Kesenjangan
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
pada
dasarnya
diakibatkan oleh faktor (1) sosial ekonomi rumah-tangga atau masyarakat, (2) struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumahtangga atau masyarakat, (3) potensi regional (sumberdaya alam, lingkungan, dan infrastruktur) yang memengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan (4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Literatur mengenai evolusi atau perubahan kesenjangan pendapatan pada awalnya didominasi oleh apa yang disebut dengan hipotesis Kuznets. Simon Kuznets mengatakan bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan-seperti yang diukur dengan koefisien Gini, tampak seperti 30
kurva berbentuk U-terbalik, seiring dengan naiknya GNI per kapita, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut (Tambunan 2003 dan Todaro 2009).
Koefisien Gini
0,75
0,50
0,35 0,25
0
Pendapatan Nasional bruto per kapita
Gambar 3. Kurva Kuznets “U-Terbalik” Dari periode 1970-an hingga sekarang sudah banyak studi empiris yang menguji hipotesis Kuznets tersebut dengan menggunakan data agregat dari sejumlah negara, diantaranya Kravis (1970, 1973), Watkins (1995), Adelman dan Morris (1973), Chenery et al. (1974), Chen dan Ravillon (1997) dan Deininger dan Squire (1995a, b, 1996) dalam Tambunan (2003). Beberapa catatan penting dari penemuan studi-studi tersebut diantaranya sebagai berikut. Pertama, sebagian besar studi-studi mendukung hipotesis Kuznets, sedangkan sebagian lainnya menolak atau tidak menemukan adanya korelasi seperti gambar 1 di atas. Kedua, walaupun secara umum hipotesis itu diterima, namun sebagian besar dari studistudi tersebut menunjukkan bahwa relasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dalam distribusi pendapatan nasional pada periode jangka panjang terbukti hanya untuk kelompok negara-negara maju (negara-negara dengan tingkat pendapatan yang tinggi). Ketiga, bagian kesenjangan dari kurva Kuznets (bagian kiri dari gambar 1) cenderung lebih tidak stabil dibandingkan porsi kesenjangan menurun dari kurva tersebut (bagian kanan). Kesenjangan cenderung menurun untuk negara-negara pada tingkat pendapatan menengah hingga tinggi. Jadi, seperti telah dijelaskan sebelumnya, sejak bagian kesenjangan dari kurva tersebut terdiri dari negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah, maka relasi itu lebih tidak stabil untuk negara-negara tersebut. 31
Sama halnya dengan kesenjangan antar kelompok atau antar golongan, kesenjangan antar wilayah juga terjadi dalam negara-negara berkembang. Berdasar pada hal tersebut beberapa ahli ekonomi mencoba mengembangkan suatu pemikiran tentang pembangunan ekonomi wilayah sebagai reaksi atas kurang berhasilnya pemerataan kesejahteraan antar wilayah. Pemikiran tentang pertumbuhan ekonomi wilayah ini dimulai sejak tahun 50-an pada saat perhatian terhadap pembangunan daerah meningkat. Pemikiran tentang pertumbuhan ekonomi wilayah bertujuan untuk membahas secara rinci faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Perhatian terhadap hal ini timbul karena dalam kenyataannya laju pertumbuhan ekonomi wilayah sangat bervariasi, ada yang pertumbuhannya sangat tinggi dan ada pula yang sangat rendah. Di samping itu, juga tujuan lainnya adalah untuk membahas hubungan antara pertumbuhan ekonomi wilayah dengan ketimpangan pembangunan antara wilayah (Syafrizal 2008). Konsep pembangunan wilayah yang dianut selama ini mengacu pada konsep-konsep
pembangunan
klasik
yang
mengedepankan
pertumbuhan
ekonomi daripada pemerataan. Simon Kuznet (1966) dengan teorinya yang dikenal
yaitu
“The
first
fundamental
theorem
of
welfare
economic”
menyatakan bahwa negara yang baru berkembang atau pendapatannya rendah, dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonominya harus mengorbankan dulu tujuan pemerataan pembangunan (trade off antara pertumbuhan dan pemerataan). Hal ini telah memberi legitimasi dominasi peranan pemerintah untuk memusatkan pengalokasian sumber-sumber daya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah
yang
berpotensi
besar
dalam
menyumbang
pada
pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya “net transfer” sumberdaya daerah ke pusat kekuasaan secara besar-besaran melalui ekspor ke negara-negara maju. Implikasi dari penekanan pertumbuhan ekonomi adalah terjadinya polarisasi spasial (geografi) alokasi sumberdaya (capital investment) antar wilayah melalui aglomerasi industri di tempat-tempat yang kompetitif (perkotaan). Sehingga program dalam bentuk bantuan pembangunan daerah tidak mampu untuk mengurangi ketimpangan yang terjadi. 32
Lewis dalam Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan modernisasi pembangunan dibutuhkan adanya “transfer surplus” dari sektor/kawasan pertanian (perdesaan) ke sektor industri di perkotaan. Transfer surplus dapat terjadi melalui pengambilan dan penarikan sumber daya manusia (tenaga kerja), modal dan sumberdaya lainnya oleh perkotaan atas nama kepentingan pembangunan. Dalam alam pikir seperti itu, upaya-upaya mengakselerasi (mempercepat pertumbuhan industri dan transmisi menuju masyarakat urban menjadi agenda pembangunan yang dianggap sangat penting). Namun, pada kenyataannya transfer surplus tersebut menyebabkan “backwash effect” yang masif, eksploitasi terhadap perdesaan semakin meningkat menyebabkan hilangnya inovasi dan berakibat pada meningkatnya kemiskinan di perdesaan. Di samping itu, mendorong terjadinya urbanisasi yang besar-besaran dan berdampak pada meningkatnya pengangguran dan kemiskinan di perkotaan. Para penganut teori klasik berkeyakinan bahwa mekanisme pasar, dalam jangka panjang dapat menciptakan struktur perkembangan wilayah yang seimbang. Sedangkan Myrdal (1957) dalam Rustiadi et al. (2009), berpendapat lain, bahwa dengan adanya faktor sebab-akibat kumulatif (circular cumulative causation) dalam proses pembangunan dalam jangka panjang justru ketimpanganketimpangan ekonomi wilayah tersebut akan semakin melebar. Ada dua kekuatan penting yang dikemukakan Myrdal yaitu (i) wilayah-wilayah yang sudah maju menciptakan keadaan yang menghambat perkembangan wilayah-wilayah yang masih terkebelakang (back wash effects) dan (ii) wilayah-wilayah yang telah maju menciptakan keadaan yang mendorong perkembangan wilayah-wilayah yang masih terkebelakang (spread effects). Selanjutnya Myrdal menyebutkan beberapa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya backwash effects (Rustiadi et al. 2009) yaitu : 1. Corak perpindahan penduduk dari wilayah yang masih terkebelakang ke wilayah maju. Sejumlah tenaga kerja yang berpendidikan / berkualitas lebih dinamis
dan
selalu
mencari
alternatif
yang
lebih
baik.
Adanya 33
perkembangan ekonomi di wilayah-wilayah yang lebih maju merupakan daya tarik bagi perpindahan tenaga kerja berkualitas tersebut. Sedangkan di wilayahwilayah yang terkebelakang tinggal orang-orang yang pada umumnya lebih konservatif.
Keadaan
demikian
sangat
tidak
menguntungkan
bagi
perkembangan wilayah yang masih terkebelakang karena setiap saat kehilangan putra-putri daerahnya yang bermutu (brain drain). 2. Arus investasi yang tidak seimbang. Karena struktur masyarakatnya yang lebih konservatif maka permintaan modal di wilayah terkebelakang sangat minimal. Di samping itu, produktivitas yang rendah tidak menarik investor dari luar. Bahkan modal yang ada di dalam justru mengalir secara terus menerus ke luar wilayah (wilayah yang lebih maju) karena lebih terjamin untuk menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. 3. Pola dan aktivitas perdagangan yang didominasi oleh industri-industri di wilayah yang lebih maju. Sehingga wilayah terkebelakang sangat sukar mengembangkan pasar bagi hasil-hasil industrinya. Braun (2007) mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya ketimpangan adalah adanya berbagai tatanan sosial yang bersifat dualistis. Tatanan sosial yang lebih tradisional dengan yang lebih modern seringkali ditemui secara bersamaan pada suatu wilayah. Tatanan sosial modern merupakan produk interaksi sosial dengan tatanan luar yang di adopsi, sedangkan tatanan sosial tradisional merupakan corak khas milik pribumi. Hal ini menyebabkan timbulnya dualisme dalam berbagai aspek seperti dualisme teknologi dan dualisme finansial. Berbagai jenis dualisme tersebut ternyata berkaitan erat dengan aspek kewilayahan. Sektor modern pada umumnya berada di daerah perkotaan sedangkan sektor tradisional berada pada daerah perdesaan. Ketimpangan produktivitas antara kota dan desa menyebabkan ketimpangan penanaman modal dan pembangunan di kedua sub wilayah tersebut. Dengan demikian, akibatnya adalah
terjadi
jurang
ketimpangan
yang
bertambah
lebar
antara
perkembangan wilayah kota yang cukup pesat, sementara perkembangan perdesaan sangat lambat. Kenyataan inilah yang dikenal dengan dualisme regional (Mbawu dan Thorbecke 2001; dan Rustiadi et al. 2009). 34
Berdasar pada asumsi ini pelaku pembangunan terutama di negara-negara berkembang
pada
pertumbuhan
ekonomi
awal
pembangunannya
sebesar-besarnya
tanpa
mengedepankan
memerhatikan
aspek
pemerataan. Hal ini menjadi jebakan dan pada akhirnya disadari bahwa pertumbuhan yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan masyarakat karena menimbulkan
bukan
hanya
pertumbuhan
ekonomi
yang
tidak
berkesinambungan, akan tetapi dapat menimbulkan gejolak sosial dan depresi lingkungan yang pada akhirnya meruntuhkan atau merobohkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Pola Marx (dalam Hayami 2001) tentang pertumbuhan ekonomi yang muncul pada fase awal industrialisasi, menyebabkan perekonomian negara berkembang mengalami ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi, meningkatnya ketimpangan pendapatan dapat menyebabkan pada gangguan sosial (social shock) dan menghancurkan dasardasar sosial politik aktivitas ekonomi. Marx memprediksi bahwa terjadi semakin meningkatnya ketimpangan dalam proses pembangunan kapitalis. Sejalan dengan menurunnya tingkat kepentingan lahan melalui perkembangan lebih lanjut dalam industrialisasi sejak era Ricardo, dimana pendapatan nasional diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu upah sebagai pengganti untuk tenaga kerja, keuntungan sebagai pengganti untuk modal, dan nilai sewa untuk pengganti lahan bagi tuan tanah. Marx menganalisis bagaimana pendapatan nasional terbagi diantara dua kategori yaitu upah dan keuntungan. Hal ini memprediksi bahwa pendapatan nasional akan mengalir lebih besar untuk keuntungan perusahaan dibanding untuk upah. Hal ini menyebabkan konsentrasi pendapatan pada para pemilik modal dan menyebabkan kemiskinan di pihak buruh atau penduduk yang tidak memiliki lahan atau keterampilan sebagaimana yang dibutuhkan pada sektor industri. 2.4. Kerentanan dan Determinan Kemiskinan
Kerentanan dan kemiskinan “poverty and vurnerability”, diakui semakin mendapat perhatian sebagai sebuah aspek penting dalam menelaah fenomena kemiskinan (World Bank, 2000). Kerentanan bukan hanya diarahkan pada kondisi rumah tangga sekarang berkenaan dengan garis kemiskinan tertentu, tetapi lebih 35
daripada risiko atau peluang rumah tangga menjadi miskin dalam beberapa periode yang akan datang (Mcculloch et al. 2001). Kerentanan terhadap kemiskinan di definisikan sebagai kerentanan terhadap garis kemiskinan (Vurnerability to Poverty Line) yaitu risiko atau probabilitas rumah tangga jatuh ke dalam garis kemiskinan. Peluang atau risiko rumah tangga menjadi miskin bukan hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor rumah tangga dan individu serta aspek kewilayahan. Kerentanan menurut Chambers dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu (Chambers, 1983). Kerentanan dapat juga diartikan sebagai suatu kondisi dimana rumah tangga miskin tidak memiliki kesiapan baik mental maupun material dalam menghadapi situasi sulit yang dialaminya. Kerentanan mengacu pada kecenderungan orang jatuh atau tinggal, di bawah pra-kebutuhan dasar hidup minimal yang telah ditentukan (Dasgupta, 1997; Pritchett et al. 2000; Halder dan Husain, 1999; Hashemi, 1997; Rahman, 1995). Pada dasarnya kemiskinan dan kerentanan bagai dua sisi mata uang tidak bisa dibedakan. Pengamatan status dari rumah tangga miskin (biasa didefinisikan hanya dengan apakah atau tidak tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga berada di atas atau di bawah garis kemiskinan yang telah ditetapkan) merupakan realisasi ex-post dari suatu keadaan probabilitas ex-ante yang dapat diambil untuk menetapkan tingkat kerentanan rumah tangga. Jadi, memprediksi probabilitas dari kemiskinan bagi rumah tangga dengan berbagai set karakteristik memperkirakan kerentanan rumah tangga (Chaudhuri et al. 2001). Dalam penelitian ini, kerentanan kemiskinan didekati berdasarkan berbagai karakteristik dari rumah tangga, individu, dan kewilayahan. Dalam konteks ini, kerentanan dilihat dari seberapa besar kesiapan atau daya tahan suatu rumah tangga atau individu dalam menghadapi fenomena dan permasalahan yang terkait dengan kemiskinan. Pengukuran kerentanan kemiskinan diestimasi dengan menggunakan teknik ekonometrika dengan persamaan logit. Teknik ini dipilih karena lebih memberikan keleluasaan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang 36
memengaruhi risiko terhadap kemiskinan dan memungkinkan untuk menganalisis magnitud tingkat kerentanan dengan menggunakan data primer. Di samping itu, permasalahan besar yang dihadapi di dalam pengentasan kemiskinan yaitu masih besarnya risiko-risiko sosial ekonomi dan rendahnya kemampuan yang dimiliki oleh penduduk miskin untuk mengatasi atau memulihkan diri akibat adanya eksternalitas berupa guncangan (shock) ekonomi dan juga akibat kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan sosial. Selanjutnya, kerentanan berdasarkan karakteristik rumah tangga dan individu tersebut di atas, dalam penelitian ini juga diarahkan untuk menganalisis determinan kemiskinan atau faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan seperti pertumbuhan ekonomi, krisis ekonomi, inflasi, dan kontribusi sektor terhadap PDRB. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997/1998, bukan hanya berdampak pada dimensi ekonomi akan tetapi juga pada dimensi sosial dan politik. Krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada kemiskinan, dimana terjadi lonjakan jumlah penduduk miskin dari 34,01 juta jiwa pada tahun 1996 menjadi 49,5 juta jiwa pada tahun 1998 atau secara proporsional meningkat dari 17,47 persen pada tahun 1996 menjadi 24,23 persen pada tahun 1998 (BPS 2008). Gambaran tentang dampak krisis ekonomi pada tahun 1997 mengakibatkan peningkatan kemiskinan lebih dari sepertiga kali dapat dilihat pada Gambar 4 berikut (World Bank 2006). Dari gambar tersebut, dapat dibuktikan bahwa krisis ekonomi memiliki dampak yang sangat besar terhadap kemiskinan. Bahkan, pada tahun 1997-1998 ada kecenderungan terjadinya stagflasi, dimana laju pertumbuhan ekonomi menurun dari 7,82 persen pada tahun 1996 menjadi 4,7 persen pada tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 yaitu (-13,13 persen). Pada tahun yang sama, laju inflasi negara kita mencapai angka yang cukup fantastis selama Orde Baru, yaitu 77,63 persen. Padahal tahun 1997 hanya 11,05 persen dan tahun-tahun sebelumnya dibawah satu digit (Djunedi 2006).
37
Gambar 4. Gambaran kemiskinan di Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi pada tahun 1997. Namun demikian, diakui bahwa krisis multidimensi tahun 1997 memiliki dampak terhadap perekonomian, akan tetapi di sisi lain dampaknya berbeda pada daerah-daerah yang memiliki komoditi ekspor non-migas. Rustiadi (2007), menyebutkan bahwa dampak krisis multidimensi tahun 1997 memiliki dampak yang berbeda pada kawasan perdesaan dan perkotaan. Pertama, dampak krisis di daerah perkotaan ternyata lebih parah dibandingkan dengan daerah perdesaan. Kedua, dampak krisis ini sangat heterogen, dimana terdapat beberapa daerah yang mengalami kesulitan parah sementara daerah-daerah lain relatif baik keadaannya. Namun demikian, di Pulau Jawa baik daerah perdesaan maupun perkotaan samasama mengalami dampak yang lebih serius. Beberapa daerah di Pulau-pulau lain, khususnya sebagian besar Sumatera, Sulawesi, dan Maluku mengalami dampak krisis yang tidak terlalu besar, bahkan beberapa daerah yang memiliki komoditi ekspor seperti coklat, kopi, karet, dan udang merasa lebih beruntung dengan terjadinya krisis. Ketiga, terdapat kaitan yang kecil antara tingkat kemiskinan awal dengan derajat besarnya dampak krisis, dimana terdapat beberapa daerah yang relatif miskin yang ternyata tidak begitu terkena krisis, sementara terdapat beberapa daerah lain yang lebih makmur ternyata mengalami dampak krisis yang besar. Artinya, guncangan krisis ekonomi pada tahun 1997 diakui dampaknya sangat besar akan tetapi tidak berlaku secara umum untuk beberapa wilayah.
38
Guncangan selanjutnya yang memengaruhi kemiskinan, yaitu adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005, harga premium naik menjadi Rp 4.500,- per liter yang sebelumnya hanya Rp 2.400,- (naik 87,5 persen), harga solar menjadi Rp 4.300,per liter yang semula Rp 2.100,- (naik 104,76 persen) dan harga minyak tanah menjadi Rp 2.000,- per liter yang semula Rp 700,- (naik 185,7 persen). Kenaikan harga yang berlaku sejak 1 Oktober 2005 ini berdampak pada meningkatnya harga bahan kebutuhan dasar atau lonjakan inflasi yang sangat tinggi yaitu sebesar 17 persen. Peningkatan laju inflasi yang sangat tinggi menyebabkan garis kemiskinan pada tahun 2006 naik secara signifikan sehingga meningkatkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (RPJM 2004-2009 dan Djunedi 2006). Sirait (2003) menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM membuat masyarakat semakin terpuruk kondisi ekonominya, ditengah-tengah kenaikan komoditas-komoditas kebutuhan hidup lain. Kenaikan BBM ini akan berdampak langsung terhadap semakin tingginya biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat lapisan rentan miskin, miskin, dan sangat miskin. Dampak yang ditimbulkan akan sangat berpengaruh signifikan terhadap perubahan pola kehidupan dan pola pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, ini dikarenakan kenaikan tersebut tidak diikuti dengan kenaikan tingkat kesejahteraan atau pendapatan. Perubahan pola perilaku kehidupan atau pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dapat berupa perilaku mengurangi kuantitas yang dikonsumsi dan pengalihan alokasi konsumsi. Intinya, bahwa kenaikan BBM berdampak langsung pada penurunan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan (kualitas pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, dan kesehatan) dan perubahan ini akan merubah potret kemiskinan di Indonesia. Peningkatan harga bahan kebutuhan dasar ini berdampak besar kepada menurunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat berakibat pada menurunnya permintaan terhadap barang dan jasa yang pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi (Mankiw 2007). Di samping itu, dampak dari peningkatan inflasi lainnya adalah pertambahan jumlah penduduk miskin. 39
Menurut Sadli (2005) bahwa peningkatan
inflasi 1 persen berdampak pada
peningkatan 0,1 persen penduduk miskin. Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh penduduk miskin, adalah rendahnya akses ke lembaga permodalan (bank). Sebagian besar penduduk miskin bekerja pada sektor informal dengan usaha skala kecil dan mikro. Dalam mengembangkan usahanya memerlukan pembiayaan yang besar, namun di sisi lain mereka tidak memiliki akses ke lembaga permodalan karena terkendala dengan persyaratan administrasi berupa agunan. Di samping itu, permodalan yang bisa diakses melalui perbankan mengisyaratkan suku bunga yang tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan kebijakan mikro yang dapat meningkatkan pendapatan melalui pembangunan modal fisik, manusia dan finansial. Muhammad Yunus (2007) peraih hadiah nobel perdamaian tahun 2006, meyakini bahwa penyediaan modal mikro bagi si miskin merupakan hak-hak asasi. Wibisono (2008) menjelaskan salah satu jalan keluar untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan kebijakan mikro melalui penyediaan modal finansial. Efektivitas kebijakan kredit mikro dalam mengentaskan kemiskinan memerlukan banyak kualifikasi. Pertama, adanya program peningkatan aset fisik dan modal manusia secara simultan. Ini dikarenakan modal finansial saja tidak mencukupi untuk membuat si miskin meningkatkan pendapatannya. Modal finansial membutuhkan faktor produksi lain seperti modal fisik dan modal manusia agar dapat menjadi produktif secara optimal. Karena itu, program technical assistance dan reformasi aset finansial seharusnya berjalan beriringan dengan program kredit mikro. Kedua, adanya lingkungan makro yang kondusif seperti kebijakan moneter dan perbankan yang berpihak atau setidaknya netral terhadap sektor riil, kebijakan fiskal dan redistribusi yang berkeadilan, kebijakan perdagangan dan investasi yang tidak memarginalkan kelompok miskin. Kebijakan mikro seperti mikro kredit, bisa terhapus seketika oleh kebijakan makro yang tidak bersahabat, seperti suku bunga yang tinggi dan pajak retribusi yang tinggi. Secara umum kredit mikro di perbankan sangat mahal dengan suku bunga antara 15-20 persen per tahun.
40
Dalam tingkat suku bunga yang tinggi menyebabkan usaha mikro yang digeluti oleh kaum miskin tidak mampu bersaing dengan usaha yang berskala besar. Usaha mikro umumnya memiliki risiko usaha yang tinggi (risk premium). Dalam sistem bunga, tingginya risiko usaha dikompensasi oleh suku bunga yang lebih tinggi untuk mengantisipasi kegagalan pembayaran modal dan bunganya (Wibisono 2008 dan Mankiw 2007). Hal ini mencipatakan lingkaran yang tidak berujung, risiko tinggi membawa pada harga kredit yang tinggi, tetapi suku bunga yang tinggi membawa pada peluang kegagalan mengembalikan kredit yang tinggi pula. Dalam kondisi demikian, kreditor kredit mikro selalu ditempatkan pada posisi yang lemah dan rentan sehingga melemahkan motivasi si miskin untuk menjadi wirausahawan dan memperkecil peluang usahanya berhasil. Bahkan biasa berakhir dengan jatuhnya ke dalam rimba kemiskinan yang paling dalam ketika agunan yang serba terbatas harus dijual untuk menutupi hutang-hutang dari kreditor tersebut. Selanjutnya, guncangan lain yang sering mempengaruhi kemiskinan adalah melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan instrumen kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui dua pendekatan yaitu belanja pemerintah (government expenditure) dan pajak (taxation). Sebagaimana di ketahui bahwa peningkatan belanja pemerintah berpengaruh pada output perekonomian. Mankiw (2007) mencontohkan bahwa kenaikan satu satuan belanja pemerintah dapat meningkatkan GDP sebesar 1,93. Artinya peningkatan Rp. 100 milyar dalam belanja pemerintah meningkatkan GDP sebesar Rp. 193 milyar. Di sisi lain kebijakan fiskal lainnya seperti peningkatan pajak berdampak pada penurunan output perekonomian. Kenaikan satu satuan pajak berdampak pada penurunan GDP atau PDRB sebesar (-1,19). Artinya, kenaikan pajak sebesar Rp. 100 milyar menurunkan GDP atau PDRB sebesar Rp. 119 milyar. Peningkatan pajak daerah atau retribusi bukan hanya berpengaruh pada output perekonomian, akan tetapi secara langsung juga berpengaruh pada menurunnya daya beli masyarakat. Dana yang siap untuk dibelanjakan semakin berkurang yang pada akhirnya memengaruhi permintaan terhadap barang dan jasa. Oleh karena itu, perlu dilakukan kebijakan fiskal yang berkeadilan dengan 41
melakukan pengenaan pajak yang proporsional berdasarkan garis kemiskinan dan kedalaman kemiskinan (Smeru 2008). 2.5. Konsep dan Karakteristik Wilayah dan Kemiskinan Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, definisi wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Isard (1975) menganggap pengertian suatu wilayah pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batas-batas tertentu, namun suatu area yang memiliki arti (meaningful) karena adanya masalah-masalah yang ada di dalamnya sedemikian rupa, sehingga ahli regional memiliki interest didalam menangani permasalahan tersebut, khususnya karena menyangkut permasalahan sosial-ekonomi. Sedangkan Johnston dalam Stimson et al. (2006) memandang wilayah sebagai bentuk istilah teknis klasifikasi spasial dan merekomendasikan dua tipe wilayah: (1) wilayah formal, merupakan tempat-tempat yang memiliki kesamaankesamaan karakteristik, dan (2) wilayah fungsional atau nodal, merupakan konsep wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau lokasi/tempat. Murty (2000) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik (kabupaten), dan perdesaan. Tapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan suatu kesatuan ekonomi, politik, sosial, administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian. Dengan demikian, istilah wilayah menekankan interaksi antara manusia dengan sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu (Rustiadi et al. 2009). Sedangkan BPS (2008) mengklasifikasikan desa dengan empat pendekatan wilayah, yaitu hutan (di dalam dan tepi hutan), pesisir/pantai, lahan basah, lahan kering, lahan campuran, dan berdasarkan topografi yaitu dataran rendah dan dataran tinggi (pegunungan). Dengan demikian, dalam penelitian ini dimensi wilayah di definisikan sebagai wilayah yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik dan fungsional, yaitu wilayah pesisir, dataran rendah, dan wilayah 42
pegunungan yang dibatasi dengan batas administrasi desa dan kelurahan. Pengelompokan ini dilakukan untuk mempermudah dalam mengidentifikasi fenomena kemiskinan berdasarkan wilayah dan sebagai alat untuk memprediksi fenomena kemiskinan itu sendiri. Permasalahan kemiskinan berdasarkan wilayah pada umumnya memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tingkat pendapatan yang rendah, pendidikan rendah, keterampilan terbatas, derajat kesehatan yang rendah, asset yang terbatas, serta akses ke pelayanan publik terbatas. Namun secara spesifik, permasalahan kemiskinan juga memiliki karakteristik dan penciri yang berbeda antara satu lokasi atau wilayah. Pada wilayah pesisir dimana penduduknya mayoritas nelayan, permasalahan kemiskinan lebih dipengaruhi oleh struktur alamiah sumberdaya ekonomi dan fluktuasi penangkapan serta relasi tidak berimbang antara pelaku ekonomi (Kusnadi 2002). Sedangkan Sudarso (2004) menjelaskan bahwa yang memengaruhi sulitnya mengangkat masyarakat nelayan yang miskin sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Keterbatasan pendidikan, kurangnya kesempatan untuk mengakses dan menguasai teknologi yang lebih modern, dan tidak dimilikinya modal yang cukup adalah faktor-faktor internal yang menghambat. Di sisi lain, sejumlah faktor eksternal, seperti makin terbatasnya potensi sumber daya laut yang bisa dimanfaatkan nelayan, persaingan yang makin intensif, mekanisme pasar, posisi tawar nelayan dihadapan tengkulak, keadaan infrastruktur pelabuhan perikanan, dan yuridksi daerah otonomi adalah beban tambahan yang makin memperparah keadaan. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa tekanan kemiskinan struktural yang melanda kehidupan nelayan tradisional, sesungguhnya oleh faktorfaktor yang kompleks (Satria 2002; dan Suyanto 2003). Faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumberdaya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan atau Revolusi Biru yang mendorong terjadinya eksploitasi sumber daya laut secara berlebihan. 43
Rumah tangga miskin pada wilayah dataran rendah sebagian besar bekerja sebagai petani dengan luas lahan yang sempit. Di samping itu, rumah tangga miskin pada daerah dataran rendah mayoritas dengan tingkat pendidikan yang rendah, derajat kesehatan yang rendah, terbatasnya kepemilikan aset (lahan), di dominasi oleh lahan tadah hujan, akses ke sarana dan prasarana sosial ekonomi terbatas, walaupun ketersediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi lebih tersedia dibanding pada daerah pegunungan atau dataran tinggi. Kemiskinan pada daerah pegunungan atau dataran tinggi dengan kemiringan yang curam, kondisi lahan yang berbatuan, tidak subur, tandus, sehingga rawan erosi atau longsor memiliki harga atau nilai yang rendah sebagai sumberdaya kehidupan (Harniati 2007). Selanjutnya, ketersediaan infrastruktur yang sangat terbatas diperparah oleh kurangnya alternatif mata pencaharian, sehingga produktivitas masyarakat rendah. Kondisi demikian berpengaruh pada rendahnya investasi yang menjamin diversifikasi mata pencaharian yang berkelanjutan. Di samping itu, wilayah pegunungan sebagian besar terisolasi, kurangnya infrastruktur seperti listrik, telekomunikasi dan infrastruktur transportasi, sehingga terjebak dalam perangkap kemiskinan spasial. Dengan demikian, maka aktivitas ekonomi pada suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh antara lain faktor biofisik sumberdaya alam sebagai sumberdaya utama kehidupan masyarakat, faktor sumberdaya manusia (human and social capital), infrastruktur fisik dan sosial. Keragaman aktivitas ekonomi pada setiap topografi wilayah berkaitan dengan perbedaan harga atau nilai sumberdaya yang merupakan determinan untuk meraih peluang-peluang ekonomi (economic opportunity). Aktivitas ekonomi ini pada akhirnya yang menentukan pendapatan dan pengeluaran setiap rumah tangga (Rustiadi et al. 2009). Gambaran mengenai karakteristik wilayah dan kemiskinan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
44
Tabel 4. Karakteristik Wilayah dan Kemiskinan. Karakteristik wilayah Definisi*
Topografi**: - ketinggian - kemiringan Tingkat Pendidikan** Kepemilikan aset**: - Lahan (sawah & lahan kering) - Perahu
Mata Pencaharian**
Infrastruktur***; - Jalan - Listrik - Telekomunikasi - Air bersih Akses ke pelayanan umum
Wilayah Pesisir Desa/kelurahan yang berbatasan dengan garis pantai atau laut dengan corak kehidupan masyarakatnya baik tergantung maupun tidak tergantung pada potensi laut
Wilayah Dataran Rendah Desa/Kelurahan yang sebagian besar wilayahnya rata atau datar dengan corak masyarakatnya tergantung pada pertanian dan peternakan
Wilayah Pegunungan (Dataran Tinggi) Desa/Kelurahan yang sebagian besar wilayahnya berbukit sampai pegunungan dengan corak kehidupan masyarakatnya baik tergantung maupun tidak tergantung pada potensi hutan
0 sd 30 mdpl 0–3% 4-5 tahun
30 sd 500 mdpl 3 – 45 % 5-6 tahun
500 mdpl 45 % < 4 tahun
-
< 0,5 Ha
< 0,5 Ha
- Perahu (kecil) - Mesin PK kecil - Jangkauan terbatas - Nelayan, buruh nelayan - Kurang variatif
-
-
- Petani dan - Petani, buruh tani, Buruh Tani dan hasil hutan - Relatif variatif - Kurang variatif
-
-
Baik Baik Baik Kurang baik Relatif baik
Relatif Baik Baik Relatif Baik Relatif baik Relatif baik
-
Kurang baik Terbatas Terbatas Kurang baik Kurang baik
Sumber: Diolah dari beberapa sumber (*PP 72/2005; BPS 2005; ***Nanga 2006; **Harniati 2007)
Selanjutnya karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin dapat dijelaskan dari beberapa aspek seperti rata-rata jumlah anggota rumah tangga, persentase wanita sebagai kepala rumah tangga, rata-rata usia kepala rumah tangga, dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 5 berikut (BPS 2008).
45
Tabel 5. Karakteristik Sosial Demografi Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga Tidak Miskin di Indonesia Menurut Wilayah, tahun 2008. Karakteristik Rumah Tangga/Wilayah Miskin Tidak Miskin 1. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga (jiwa): - Perkotaan (K) - Perdesaan (D) - Perkotaan + Perdesaan (K+D) 2. Persentase wanita sebagai kepala rumah tangga (%): - Perkotaan (K) - Perdesaan (D) - Perkotaan + Perdesaan (K+D) 3. Rata-rata usia Kepala Rumah Tangga (tahun): - Perkotaan (K) - Perdesaan (D) - Perkotaan + Perdesaan (K+D) 4. Rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga (tahun) : - Perkotaan (K) - Perdesaan (D) - Perkotaan + Perdesaan (K+D)
4,70 4,61 4,64
3,86 3,74 3,79
14,18 12,30 12,91
14,15 13,03 13,52
48,57 47,86 48,09
45,47 47,33 46,51
5,19 4,06 4,40
9,06 5,78 7,23
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, Jakarta (2008) 2.6. Kemiskinan Dari Perspektif Ilmu Sosial Dari
perspektif
ekonomi,
Blank
(2003)
mengidentifikasi
enam
perspektif yang digunakan oleh ahli ekonomi dan pengambil kebijakan untuk memahami kemiskinan. Perspektif tersebut, meliputi keterbelakangan ekonomi (economic underdevelopment), modal manusia (human capital), kontradiksi di dalam kapitalisme (contradiction in capitalism), penyebab struktural (structural causes), karakteristik masyarakat miskin dan efek insentif dari program kesejahteraan (characteristics of the poor and the incentive effect of welfare programs), seperti digambarkan pada Gambar 5. Dalam perspektif keterbelakangan ekonomi dan kurang berfungsinya pasar secara efektif, menyebabkan kemiskinan di dunia ketiga. Dia menunjukkan bahwa kemiskinan dapat dikurangi melalui ekspansi pasar ke daerah-daerah miskin, termasuk ke daerah yang mengalami stagnasi ekonomi. Pengambil kebijakan umumnya percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Namun studi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan di Amerika Serikat menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Jung et al. (2006) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan menunjukkan hubungan negatif hingga tahun 1970-an. 46
Namun, mulai dari akhir tahun 1970-an hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan secara statistik menjadi tidak jelas. Jung menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan memiliki hubungan tergantung pada waktu dan tempat.
1. MACRO: The economy is underdeveloped or inefficient.
LIBERAL AND NEO LIBERAL ECONOMICS 2. MICRO: Poor people lack skill and ability.
5. MICRO: Poor people make choices.
CLASSICAL ECONOMICS
THEORY OF POVERTY
6. MICRO: Social welfare program causes poverty.
3. MACRO: Capitalism causes poverty. 4. MACRO: Social and political forces causes poverty.
POLITICAL ECONOMICS
Gambar 5. Peta konseptual dari teori-teori penyebab kemiskinan (Blank 2003). Dalam pengembangan
perspektif modal
kedua, manusia
dia dimana
mengatakan
bahwa
individu-individu
kurangnya tidak
dapat
berpartisipasi dan bekerja dalam dunia kerja. Dalam perspektif ketiga, dia menyatakan bahwa pasar tidak berfungsi secara inheren dan dengan demikian menciptakan kemiskinan. Perspektif keempat mengidentifikasi kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang terjadi diluar pasar, seperti sikap politik dan adanya rasisme serta diskriminasi yang berkontribusi terhadap kemiskinan. Perspektif kelima dikaitkan dengan karakteristik pilihan dan perilaku individu, seperti perkawinan, ukuran keluarga, dan penyimpangan substansial. Nilai-nilai tentang pekerjaan dan pendidikan yang mendasari perspektif ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan adalah dikontrol oleh masyarakat 47
miskin itu sendiri dan karena itu dibutuhkan kebijakan dan program untuk memengaruhi pilihan-pilihan melalui insentif dan pencegahan. Perspektif keenam dan terakhir menunjukkan bahwa kemiskinan sebagaimana yang disebut sebagai dependensi kesejahteraan atau perangkap kemiskinan. Blank, menyatakan bahwa keenam perspektif kemiskinan itu merupakan perspektif teoritis ekonomi. Dua perspektif yaitu keterbelakangan ekonomi dan kurangnya modal manusia merupakan pendekatan umum dalam ekonomi liberal yang tokoh utamanya adalah John Maynard Keynes, yang mempercayai bahwa pasar dapat mendorong pembangunan ekonomi. Yang kedua adalah teori Marxian, yaitu kapitalisme dan kekuatan sosial ekonomi dan politik penyebab kemiskinan. Terakhir dari persepktif perilaku individu dan dependensi kesejahteraan sebagai penyebab kemiskinan mencerminkan pandangan tradisional dari ekonomi klasik. Para ekonom klasik menyatakan bahwa intervensi pemerintah untuk mengurangi kemiskinan menciptakan perilaku buruk bagi masyarakat miskin dan harus dihentikan. Cheyne, O’Brien dan Belgrave (2000), mengemukakan bahwa ada dua teori utama (grand theory) tentang kemiskinan, yaitu: (1) teori neo-liberal, dan (2) teori sosial demokrat. Teori neo-liberal pada intinya mengatakan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Menurut Sherraden (2006) teori tersebut memfokuskan diri pada tingkah laku individu yang merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan modal manusia (human capital). Para pendukung teori neo-liberal berargumen bahwa, kemiskinan merupakan persoalan individu yang disebabkan kelemahan-kelemahan individu atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Strategi penanggulangan kemiskinan bersifat “residual”, sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya atau lembaga keagamaan. Sebaliknya,
teori
sosial
demokrat
memandang bahwa kemiskinan
bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya
ketidakadilan
dan
ketimpangan
dalam
masyarakat
akibat 48
tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas, kaum sosial demokrat tidak memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai sesuatu yang jahat. Kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif. Kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi. Perbedaan antara kedua teori tersebut disajikan dalam Tabel 6 berikut. Tabel 6. Deskripsi Teori Umum tentang Kemiskinan Teori Utama Landasan teoritis Konsepsi kemiskinan Prinsip
Teori Neo-Liberal Individual Kemiskinan absolute Residual Dukungan saling menguntungkan
Penyebab Kemiskinan
Kelemahan dan pilihanpilihan individu Lemahnya pengaturan pendapatan Lemahnya kepribadian (malas, pasrah, bodoh) Penyaluran pendapatan terhadap orang miskin secara selektif Memberikan pelatihan dan keterampilan pengelolaan keuangan
Strategi penaggulangan kemiskinan
Teori Sosial Demokrat Struktural Kemiskinan relative Institusional Redistribusi pendapatan vertikal dan horizontal Aksi kolektif Ketimpangan struktural dan politik Ketidakadilan sosial
Penyaluran pendapatan dasar secara universal Perubahan fundamental dalam pola-pola pendistribusian pendapatan melalui intervensi negara.
Sumber : Cheyne, O’Brien dan Belgrave (2000).
2.7. Perangkap Kemiskinan (Poverty Trap). Berbagai pandangan yang terkait dengan jebakan kemiskinan telah menjadi pandangan umum bagi pengambil kebijakan namun sampai saat ini belum terlihat formula mempuni yang dapat mengeluarkan penduduk miskin dari jebakan kemiskinan tersebut. Lingkaran setan kemiskinan salah satunya sebagaimana yang telah diungkap oleh Nurkse (1953) dalam Rustiadi et al. (2009) yang dikenal sebagai “The Vicious Circle” secara skematik dapat dilihat pada gambar 3. Di sektor masyarakat tradisional banyak sekali sumberdaya alam yang belum terkelola dan dikembangkan secara optimal (1) sebagai akibat masih terkebelakangnya masyarakat tersebut; (2) dan kurangnya modal untuk mengelola sumberdaya tersebut; (3) Kenyataan ini menyebabkan tingkat 49
produktivitas di sektor tersebut sangat rendah yang berimplikasi terhadap tingkat pendapatan yang rendah; (4) pada kondisi tingkat pendapatan yang rendah tersebut; (5) selain kemampuan menabung yang rendah; (6) juga tingkat permintaannya rendah. Karena tingkat permintaan yang rendah tidak mampu mendukung terhadap perkembangan ekonomi wilayah, sehingga tidak menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya atau investasi rendah; (7) Akhirnya jumlah modal yang terbentuk; dan (8) di wilayah tersebut masih tetap di bawah yang dibutuhkan untuk memutuskan lingkaran perangkap kemiskinan tersebut.
Kekayaan alam yang kurang dikembangkan (1) Masyarakat masih terkebelakang (2) Kurangnya Modal (3) Pembentukan Modal Rendah (8) Rangsangan Investasi Rendah (7)
Tabungan Rendah (6)
Produktivitas Rendah (4)
Pendapatan Riil Rendah (5)
Gambar 6. Lingkaran Perangkap Kemiskinan (Nurkse 1953 dalam Rustiadi et al. (2009)
Berbeda dengan Daimon (2001) yang menjelaskan bahwa tidak ada daerah yang miskin, akan tetapi yang ada hanya orang miskin, yang secara geografis terkonsentrasi di lokasi tertentu. Masalahnya adalah keberadaan pada lingkaran kemiskinan yang terkunci di suatu lokasi, kemiskinan tidak ditempatkan secara acak atas ruang tetapi berpola secara sistematis. Fenomena ini yang disebut sebagai perangkap kemiskinan spasial “spatial trap poverty”, yang menjelaskan hubungan struktural antara ruang geografis dan akibat kemiskinan. Perangkap kemiskinan spasial terjadi dimana situasi kemiskinan disebabkan lokasi tertentu dimana faktor biaya mobilitas yang cukup tinggi. Perangkap kemiskinan spasial biasanya dicirikan oleh kurangnya transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur 50
yang menjadikan mobilitas tenaga kerja mahal. Tradisi masyarakat lokal, hambatan budaya dan agama (misalnya sistim kasta di India) akan menambah biaya substansial non-ekonomi. Jenis hambatan kelembagaan di negara-negara berkembang juga membuat biaya mobilitas tenaga kerja yang tinggi. Sedangkan Barret (2007), menjelaskan bahwa perangkap kemiskinan disebabkan oleh beberapa kasus, seperti ketidaksempurnaan pasar (market imperfection),
pengetahuan
yang
tidak
keterbatasan
rasionalitas
(bounded
(coordination
failures),
kelembagaan
sempurna
rationality), tidak
(imperfect kegagalan
berfungsi
secara
learning), koordinasi ekonomi
(economically dysfunctional institutions) pada tingkat ruang dan waktu yang berbeda. 2.8. Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. Tujuan utama penanggulangan kemiskinan adalah membebaskan dan melindungi masyarakat dari kemiskinan dalam arti luas, jadi bukan hanya mencakup upaya mengatasi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi juga sejauh mana masyarakat miskin atau kelompok miskin mempunyai akses terhadap berbagai aspek kebutuhan dasar lainnya, seperti kesehatan, pendidikan, dan partisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik secara penuh. Untuk mengatasi problema kemiskinan dirumuskan lima strategi utama, yaitu (1) Strategi Perluasan Kesempatan. Strategi ini ditujukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; (2) Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Strategi ini dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar; (3) Strategi Peningkatan Kapasitas. Dilakukan untuk
mengembangkan
kemampuan
dasar
dan
kemampuan
berusaha 51
masyarakat
miskin
baik
laki-laki
maupun
perempuan
agar
dapat
memanfaatkan perkembangan lingkungan; (4) Strategi Perlindungan Sosial. Dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan (perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, kemampuan berbeda/penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru baik lakilaki maupun perempuan yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial; dan (5) Strategi Kemitraan Global. Dilakukan untuk mengembangkan dan menata ulang hubungan dan kerjasama global, regional, nasional, dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke empat strategi di atas (TKPK 2006). Selama 30 tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai
upaya
penanggulangan
kemiskinan,
baik
melalui
pendekatan
sektoral, regional, kelembagaan, maupun strategi dan kebijakan khusus. Pada era Orde
Baru
pemerintah
misalnya,
pembangunan
saat
sehingga
itu,
ekonomi
merupakan
program-program
dan
fokus
utama
strategi
yang
dilaksanakan tidak dinyatakan secara resmi untuk tujuan penanggulangan kemiskinan, melainkan hanya diletakkan dalam kerangka pembangunan nasional melalui pendekatan sektoral (Pelita). Baru
pada
1994-1998
diperkenalkan
secara
eksplisit
program
penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan regional, yaitu IDT (Instruksi Presiden tentang Desa Tertinggal). Dalam pelaksanaannya, IDT didampingi oleh P3DT (Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal) yang didanai oleh berbagai
dana
internasional.
Pada 2001,
P3DT diubah menjadi
P2D
(Pengembangan Prasarana Desa). Pada saat krisis ekonomi, pemerintah Indonesia merancang program penanggulangan kemiskinan di bawah payung Program JPS (Jaring Pengaman Sosial), di antaranya untuk bidang pendidikan dan kesehatan, yang diikuti dengan program lainnya, baik dari LSM lokal maupun lembaga keuangan internasional. Beberapa di antaranya masih berlangsung sampai sekarang, walaupun telah beberapa kali mengalami perubahan nama dan orientasi kegiatan. Salah satu contohnya adalah OPK (Operasi Pasar Khusus), bantuan pangan yang 52
dilaksanakan sejak 1998 sebagai bagian dari Program JPS dalam rangka meminimalisasi dampak krisis ekonomi. Pada 2001, dengan tujuan untuk mempertajam penetapan sasaran, program ini berubah nama menjadi Program Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Berbagai evaluasi dan studi terhadap program OPK dan Raskin menunjukkan kelemahan program tersebut, terutama dalam penetapan sasaran. Program
Subsidi
Langsung
Tunai
(SLT)
merupakan
program
kompensasi kenaikan harga BBM kepada rumah tangga miskin yang diluncurkan pemerintah pada kuartal terakhir 2005. Melalui kantor-kantor cabang PT Pos Indonesia, setiap rumah tangga miskin menerima Rp.100.000 per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Kemudian digantti nama menjadi Bantuan Langsung Tunai yang dilaksanakan sampai sekarang. Program P4K (Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil) yang merupakan kerja sama antara Departemen Pertanian dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Indikator keberhasilan yang ditetapkan untuk Program P4K adalah tumbuh dan berkembangnya KPK (kelompok petani-nelayan kecil) menjadi kelompok mandiri yang ditandai dengan pengurus dan anggota yang aktif, dana bersama yang terus berkembang, dan terintegrasinya Program P4K ke dalam program pembangunan daerah. Namun demikian, dari dokumen-dokumen yang ada, baik dalam petunjuk pelaksanaan maupun hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh pihak internal dan eksternal, tidak ditemukan adanya pedoman mengenai bagaimana indikator-indikator keberhasilan tersebut bisa tercapai dan bagaimana strategi pengakhiran program. Dalam beberapa dokumen disebutkan bahwa salah satu penggerak utama program
ini
adalah
para
PPL
(petugas
penyuluh
lapangan),
yang
bertugas mendampingi KPK dalam mengembangkan usaha mereka dan sekaligus membantu mengelola uang hasil pinjaman. Dengan berakhirnya program, maka tidak ada lagi insentif yang akan diterima PPL terutama dalam penetapan sasaran. PPK
(Program
Pengembangan
Kecamatan)
dan
P2KP
(Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) adalah program penanggulangan 53
kemiskinan berbasis masyarakat yang merupakan kerja sama Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia, dan diluncurkan pada kurun waktu 1998-1999 dengan tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan sarana perkotaan (P2KP) dan pedesaan (PPK). PPK dan P2KP terdiri dari beberapa fase dan pada fase terakhir tercakup di dalamnya strategi pengakhiran. Pada program PPK, tujuan strategi pengakhiran adalah terjadinya alih kelola program kepada masyarakat dan pemerintah daerah agar prinsip, tujuan, dan sistem PPK dapat melembaga sebagai suatu sistem pembangunan partisipatif di desa dan kecamatan (PPK 2006). Sementara itu, pada P2KP, strategi pengakhiran dilakukan pada fase terminasi yang bertujuan untuk menjamin agar indikator keberlanjutan P2KP dapat tercapai. Langkah-langkah penyiapan yang dilakukan pada fase ini di antaranya: evaluasi partisipatif P2KP di tingkat kelurahan, penguatan kembali lembaga lokal, perluasan program oleh masyarakat, dan mengintegrasikan P2KP dengan program lainnya (P2KP, 2005). Namun, rencana strategi pengakhiran kedua program ini menjadi pertanyaan karena pada 2007, seiring dengan pengembangan kebijakan payung (umbrella policy) untuk program-program pemberdayaan masyarakat, PPK dan P2KP diintegrasikan di bawah payung PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) dan direvisi menjadi PNPM Mandiri dan diimplementasikan sampai sekarang. Semua program pengentasan kemiskinan yang diuaraikan di atas di rancang dan di desain oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah, walaupun dalam pelaksanaannya beberapa program telah melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Permasalahan yang muncul seringkali dalam implementasi program tidak terjadi sinkronisasi dan terjadi pemahaman yang parsial antara semua level baik di birokrasi maupun dalam level masyarakat. Tidak menyatunya dan lemahnya komitmen antara pemerintah di semua level berdampak pada banyaknya program yang diimplementasikan hanya berorientasi proyek, ketika akhir anggaran berakhir maka selesai pula program tersebut. Hal ini diperparah karena tidak adanya strategi pengalihan program antara pemerintah pusat dan daerah serta kepada masyarakat sebagai sasaran kegiatan. Akhirnya, 54
yang terjadi adalah banyaknya program pengentasan kemiskinan tidak mampu menurunkan atau mereduksi jumlah penduduk miskin secara permanen dan bahkan diindikasikan justru menimbulkan budaya malas dan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah yang semakin meningkat. Mengacu pada program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan nasional,
pemerintah
daerah
Kabupaten
Barru
mempertegas
komitmen
penanggulangan kemiskinan melalui Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) tahun 2003-2008 berdasarkan Surat Keputusan Bupati Barru Nomor 11 Tahun 2003. SPKD ini merupakan payung hukum penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Barru dengan sasaran yang ingin dicapai yaitu menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 60% dari 11.864 KK pada tahun 2003 menjadi 7.118 KK pada tahun 2008. Pada tahun yang sama di bawah Komite Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten
Barru
melakukan
kajian
berdasarkan
pengalaman
empiris
implementasi program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Hal ini dilakukan mengingat upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama ini pada umumnya berorientasi terhadap permasalahan ekonomi, bersifat parsial, sektoral dan tidak terintegrasi. Hasilnya, secara absolut memang terjadi penurunan angka kemiskinan, tetapi hal itu tidak tahan terhadap berbagai kerentanan baik yang berdimensi ekonomi, sosial, sumberdaya alam maupun politik yang terjadi disekitarnya. Hal ini terbukti oleh masih tingginya jumlah penduduk miskin dan menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi terutama setelah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997/1998. Menyadari akan kondisi dan kejadian yang tercipta pada berbagai upaya penanggulangan kemiskinan tersebut dan sekaligus menghindari replikasi kelemahan dan kekurangan yang terjadi, maka pada tataran Pemerintah Daerah Kabupaten Barru, dilakukan upaya khusus dengan mengangkat isu kemiksinan sebagai “arus utama” tujuan dan sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam proses mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Upaya khusus tersebut dikemas dalam bentuk “Pilot Proyek Penanggulangan Kemiskinan Terpadu dan Terintegrasi atau disingkat dengan PIK-PAKET”. 55
Prinsip-prinsip yang dianut dalam pelaksanaan PIK-PAKET tersebut, adalah transparansi, partisipasi, akuntabilitas, keberlanjutan, dan kolaborasi. Prinsip transparansi mengisyaratkan bahwa serangkaian proses manajemen kegiatan dan organisasi yang dilakukan oleh unit pengelola kegiatan dapat dilakukan dengan jelas, terbuka dan mudah diketahui oleh semua pihak yang terkait, khususnya masyarakat termasuk kemudahan cara untuk mengakses dan mengetahuinya. Prinsip partisipasi, mengisyaratkan bahwa setiap langkah kegiatan PIK-PAKET harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa memiliki dan proses belajar dan bekerja bersama dari para pihak. Partisipasi dibangunan dengan penekanan bahwa partisipasi dimulai dari tahap identifikasi masalah, identifikasi potensi, identifikasi peluang, perencanaan kegiatan, pengorganisasian, pemupukan sumberdaya, pelaksanaan kegiatan hingga tahap monitoring dan evaluasi serta keberlanjutan hasil. Prinsip akuntabilitas, mengandung isyarat bahwa setiap bentuk kegiatan yang dilakukan harus jelas siapa yang bertanggung jawab tentang apa, dan kepada siapa serta bagaimana caranya dan kapan dilakukan. Selanjutnya, prinsip keberlanjutan mengisyaratkan bahwa segala bentuk kegiatan yang dilakukan haruslah selalu mempromosikan dan menumbuhkan peluang pemindahan kemampuan dan kekuasaan pengelolaan kegiatan kepada masyarakat miskin sehingga segala bentuk ketergantungan masyarakat miskin terhadap sumberdaya dari luar sedapat mungkin dielaminir baik dari segi jumlah maupun dari segi rentang waktu. Terakhir, prinsip kolaborasi mengisyaratkan bahwa setiap tahap pelaksanaan haruslah dilakukan dengan melibatkan pihak terkait dalam suatu bentuk kerja sama yang melembaga sehingga dapat menciptakan sinkronisasi energi dalam mencapai keluaran dan hasil pada tiap tahapan kegiatan. Organisasi pengelolaan dilakukan dengan jelas dan tegas termasuk dalam pengaturan tata peran tiap pelaku pada semua level dari tingkat kabupaten sampai pada tingkat kelompok masyarakat miskin (POKMAS). Dalam pelaksanaan di lapangan dilakukan dengan pendekatan partisipatif “Partisipatory Rural Appraisal/PRA”, dengan memberi ruang gerak sebesar-besarnya kepada masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Namun, dalam perjalanannya 56
pelaksanaan PIK-PAKET mengalami hambatan dan kendala terutama dalam mengorganisir instansi teknis terkait dalam memberdayakan anggota kelompok masyarakat miskin, termasuk dalam komitmen pembiayaan dan belum berjalannya kolaborasi antar semua stakeholder dalam semua proses pelaksanaan program tersebut. 2.9. Tinjauan Studi Terdahulu tentang Kemiskinan Upaya untuk memahami tentang faktor-faktor yang memengaruhi dan menyebabkan kemiskinan dapat dilakukan melalui beberapa penelitian empirik yang dilakukan oleh beberapa ahli dan peneliti. Beberapa hasil penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan untuk mempertegas dasar-dasar pemahaman tentang fenomena kemiskinan, baik yang dilakukan pada beberapa negara maupun yang dilakukan di Indonesia sendiri. Beberapa hasil studi yang dilakukan pada beberapa negara dapat diuraikan pada bagian berikut. Kesatu, Studi oleh Ravallion (2001) dengan menggunakan data 50 negara sedang berkembang dalam tahun 1990-an, menemukan bahwa (1) terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan pendapatan rata-rata dengan kemiskinan dengan koefisien elastisitas sebesar -2,5; (2) tidak terdapat hubungan yang sistematis diantara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan; (3) pertumbuhan ekonomi akan memiliki dampak mengurangi kemiskinan yang kuat jika tingkat ketimpangan awal pendapatan rendah; dan (4) terdapat tanda konvergen di dalam ketimpangan pendapatan antar negara di dunia. Kedua, studi yang dilakukan Adams (2004) yang mencoba mengestimasi hubungan antara pertumbuhan di dalam pendapatan rata-rata dan ketiga ukuran kemiskina yaitu poverty incidence, poverty gap, dan squared poverty gap. Sampel dalam studi ini terdiri dari 50 negara-negara sedang berkembang. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa koefisien parameter dengan regresi kemiskinan terhadap pertumbuhan pendapatan rata-rata memiliki tanda yang negatif sesuai dengan yang diharapkan dan secara statistik signifikan. Koefisien elastisitas dengan menggunakan pendapatan rata-rata $1 AS/hari sebagai ukuran tingkat kemiskinan, adalah sebesar -5,75 kalau negara-negara Asia Tengah dan Eropa Timur dimasukkan sebagai sampel, dan sebesar -2,59 tanpa negara-negara Asia 57
Tengah dan Eropa Timur. Sedangkan koefisien elastisitas untuk poverty gap dan squared poverty gap terhadap mean income, masing-masing adalah sebesar 3,04 dan 3,39, jauh lebih besar dibandingkan dengan 2,59 yang menunjukkan bahwa ukuran poverty gap atau squared poverty gap lebih sensitif atau elastis terhadap pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan pendapatan rata-rata). Adams mengatakan bahwa ketika ia menggunakan GDP per kapita, hasilnya tidak jelas dan juga tidak berpengaruh nyata secara statistik. Selain itu, diungkapkan bahwa negara-negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan mula-mula yang rendah mengalami penurunan kemiskinan yang jauh lebih besar daripada negara-negara yang memiliki tingkat ketimpangan awal yang tinggi. Ketiga, studi oleh Dagderivan et al. (2002) dengan menggunakan data 50 negara sedang berkembang selama kurun waktu 1980-an-1990-an, menyimpulkan bahwa (1) pertumbuhan ekonomi saja tidak selalu merupakan cara terbaik untuk mengurangi kemiskinan; (2) suatu kombinasi pertumbuhan ekonomi dan redistribusi pendapatan merupakan cara yang paling efektif (the most effective way) untuk mengurangi kemiskinan di banyak negara; dan (3) dikatakan bahwa tidak semua kebijakan redistribusi efektifnya sama untuk setiap negara berkembang. Keempat, studi yang dilakukan oleh Tsangarides et al. (2004) yang meneliti determinan dan tingkat kemiskinan untuk negara-negara Afrika dan negara-negara anggota OECD dengan menggunakan data untuk periode 1960-1999. Studi ini menemukan beberapa hal (1) tingkat inflasi yang rendah dan pertumbuhan penduduk yang rendah memiliki dampak yang kuat terhadap penurunan kemiskinan; (2) faktor sumberdaya alam, capaian pendidikan, guncangan term of trade, memiliki dampak yang relatif lemah terhadap kemiskinan; (3) keterbukaan perdagangan, tingkat investasi, tingkat demokrasi, dan harapan hidup memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh, tetapi tidak berpengaruh langsung terhadap pendapatan kaum miskin; dan (4) kebijakan yang mampu menurunkan tingkat inflasi, mengurangi government size, mengurangi defisit anggaran, meningkatkan kedalaman sektor keuangan (deepen the financial
58
sector), dan meningkatkan pendidikan (educational attainment) merupakan jenis kebijakan yang sangat memihak kaum miskin (super-pro poor policies). Kelima, Studi yang dilakukan oleh Fan et al. (2005). Dalam studinya mengenai dinamika kemiskinan desa-kota yang dilakukan di Cina dan India dia menggunakan
pendekatan
ekonometrika
(persamaan
regresi).
Studi
ini
menemukan bahwa dinamika hubungan antara sektor perdesaan dan perkotaan di negara-negara berkembang masih dicirikan oleh dualisme ekonomi, dengan kata lain koeksistensi sektor modern di perkotaan dan sektor tradisional di perdesaan. Hipotesis yang dibangun adalah dengan mengurangi atau memperbaiki urban bias akan menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih besar di sektor perdesaan, dan upaya penanggulangan kemiskinan pada kedua daerah sebagai hasil yang lebih dari keterkaitan desa-kota. Di Cina, hasil yang diperoleh bahwa pertumbuhan sektor pertanian berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan. Namun, efek terhadap kemiskinan di perdesaan lebih besar dibanding di perkotaan. Di sisi lain kontribusi pertumbuhan sektor perkotaan hanya berpengaruh pada penanggulangan kemiskinan di perkotaan dan berpengaruh negatif dan siginifikan pada kemiskinan perdesaan. Sedangkan di India, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor perdesaan berpengaruh pada penanggulangan kemiskinan di perdesaan serta secara nyata terhadap penanggulangan kemiskinan di perkotaan. Di sisi lain, pertumbuhan sektor perkotaan berpengaruh kuat pada penanggulangan kemiskinan perkotaan, namun pengaruhnya tidak nyata terhadap penanggulangan kemiskinan di perdesaan. Hasil analisis ekonometrika dari studi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian memiliki dampak yang signifikan pada kemiskinan perdesaan dan sama dengan kasus di Cina juga berpengaruh pada kemiskinan perkotaan. Karena itu, dia menyarankan agar kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan di sektor pertanian dan mempromosikan keterkaitan desa-kota yang lebih baik memiliki potensi besar dalam mengurangi kemiskinan. Di samping itu, juga ditemukan bahwa rasio atau keuntungan pembangunan jalan desa memiliki manfaat empat kali lebih besar daripada jalan perkotaan 59
terhadap pertumbuhan PDB nasional. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap Yuan yang diinvestaikan di perdesaan jauh lebih berpengaruh terhadap kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Salah satu dampak langsung dari pertumbuhan sektor perdesaan terhadap kemiskinan perkotaan adalah penurunan harga makanan, penurunan harga makanan secara proporsional lebih menguntungkan miskin perkotaan daripada miskin perdesaan. Seperti yang digambarkan oleh Fan, Fang, dan Zhang (2002) dan Fan et al. (2005) bahwa peningkatan penelitian dan pengembangan (R&D) di sektor pertanian berdampak pada peningkatan produksi pangan, yang menjadi salah satu alasan dibalik pengurangan kemiskinan di daerah perkotaan baik di India maupun di Cina. Penelitian tanpa pertanian, maka harga pangan akan meningkat yang berdampak pada meningkatnya kemiskinan di perkotaan. Keenam, studi oleh Braun (2007) dalam penelitiannya tentang keterkaitan desa-kota untuk pertumbuhan, ketenagakerjaan dan penanggulangan kemiskinan, menemukan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas keterkaitan antara perdesaan dan perkotaan. Peningkatan kualitas keterkaitan desa-kota dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas infrastruktur sebagai jembatan yang menghubungkan antara desa-kota sehingga perdagangan dapat terjadi secara efisien. Agar tidak terjadi eksploitasi sektor perkotaan terhadap perdesaan maka harus didukung kelembagaan pasar untuk menghindari terjadinya kegagalan pasar (market failure) dan menekan terjadinya informasi asimetris antara permintaan dan penawaran (supply and demand) atau antara desa-kota. Kelembagaan pasar lebih fokus pada penguatan kapasitas petanipetani kecil untuk mengintegrasikan produsen dan konsumen dengan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak dalam bentuk kontrak. Dengan adanya perjanjian yang saling menguntungkan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin di perdesaan dengan membantu mengurangi biaya transaksi dan variabilitas harga produk pertanian. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya adalah menciptakan akses yang lebih baik ke sumber permodalan, informasi dan teknologi pertanian yang aplikabel. 60
Memfasilitasi kebijakan diversifikasi transformasi ekonomi perdesaan, sehingga meningkatkan diversifikasi kegiatan usaha diluar sektor pertanian di perdesaan. Hal ini penting untuk penduduk perdesaan yang tidak memiliki lahan dan terbatas. Pertumbuhan sektor non-pertanian di perdesaan merupakan kontributor penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Di samping itu, kajian ini juga menemukan bahwa perlu mendorong pengembangan kota-kota kecil dan menengah untuk menghindari terjadinya urbanisasi yang massif. Kota kecil dan menengah dapat memainkan peranan sebagai titik kontinum perdesaan dan perkotaan dan menjadi determinasi dalam pembagian keuntungan antara perdesaan dan perkotaan melalui penyediaan barang konsumsi, produksi dan pola kerja berbagai jenis kegiatan sosial dan ekonomi. Di Indonesia sendiri, penelitian yang mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan telah banyak dilakukan para ahli. Kesatu, adalah studi yang dilakukan oleh Bidani dan Ravallion (1993). Hasil estimasi yang dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square/OLS) maupun metode instrumental variable membuktikan bahwa; (1) pengeluaran konsumsi rata-rata sebagai persentase terhadap garis kemiskinan (poverty line) dan indeks gini ternyata memiliki pengaruh nyata terhadap berbagai ukuran kemiskinan headcount poverty (Po), poverty gap ratio (P1 ), dan squared poverty gap (P2) dengan arah pengaruh yang negatif dan positif; dan (2) pengeluaran konsumsi rata-rata juga memiliki pengaruh nyata secara statistik terhadap indeks gini provinsi di Indonesia dengan tanda positif, yang menunjukkan bahwa hubungan U-terbalik sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Kuznets tidak berlaku di Indonesia. Kedua, adalah studi yang dilakukan Booth (2000) yang menemukan bahwa produktivitas pertanian per hektar dan luas pemilikian lahan merupakan determinan yang signifikan dari variasi di dalam kemiskinan di daerah perdesaan (rural poverty) di berbagai provinsi di Indonesia. Di dalam kaitan ini, dikatakan bahwa penekanan lebih lanjut pada pembangunan pertanian dan perdesaan merupakan hal yang penting apabila diinginkan terjadi pengurangan kemiskinan 61
di Indonesia. Namun, program-program pembangunan perdesaan hendaknya bukan hanya difokuskan pada tanaman (crop-focused) seperti yang terjadi di masa lalu, tetapi lebih difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan spesifik dari penduduk miskin di daerah-daerah miskin (poor regions). Program-program pembangunan perdesaan yang lebih efektif juga akan membantu dalam membatasi meluasnya kemiskinan perkotaan. Ketiga, adalah studi yang dilakukan oleh Asra (2000) yang melakukan dekomposisi atas perubahan insiden kemiskinan agregat di Indonesia menurut sektor (desa-kota). Beberapa diantara temuan penting dari studi tersebut adalah bahwa (1) penurunan kemiskinan di daerah perdesaan merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan kemiskinan secara agregat, dan pertumbuhan ekonomi merupakan komponen terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan (poverty reduction) di Indonesia; (2) elastisitas kemiskinan terhadap distribusi pertumbuhan awal untuk ketiga ukuran FGT (headcount poverty, poverty gap index, dan
distributionally sensitive index) di daerah perdesaan lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah perkotaan, yang menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan lebih elastis atau sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi; dan (3) hasil simulasi dekomposisi menunjukkan bahwa pergeseran di dalam angkatan kerja dan perbaikan peluang kerja di sektor perkotaan memainkan peranan penting dalam mengurangi kemiskinan agregat. Keempat, adalah studi yang dilakukan oleh Daimon (2001) dalam penelitiannya mengenai dimensi kesejahteraan dan kemiskinan spasial: Belajar dari Program Pentargetan di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan ekonometrika (Maximun likelihood Estimation/MLE), menemukan bahwa perangkap kemiskinan spasial, sangat dipengaruhi oleh kurangnya sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur sehingga menyebabkan mobilitas tenaga kerja sangat mahal. Kelima,
adalah
studi
Simatupang
dan
Dermoredjo
(2003)
yang
menyimpulkan beberapa hal seperti (1) dampak produk domestik bruto (PDB) terhadap insiden kemiskinan bervariasi menurut sektor; (2) PDB sektor pertanian memiliki dampak lebih besar terhadap kemiskinan di perdesaan sedangkan 62
kemiskinan di perkotaan terutama oleh PDB sektor industri; (3) PDB sektor lain (non pertanian dan industri) juga berpengaruh terhadap kemiskinan di perdesaan; (4) kemiskinan agregat dipengaruhi oleh PDB sektor pertanian dan PDB sektor non pertanian; (5) insiden kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras; (6) strategi pembangunan yang efektif untuk pengentasan kemiskinan adalah strategi pembangunan yang lebih efektif pada pembangunan di sektor pertanian, khususnya sektor tanaman pangan. Keenam, adalah studi yang dilakukan oleh Balisacan et al. (2003) menemukan bahwa (1) kesejahteraan penduduk miskin (the poor) yang diukur dengan pendapatan dari kaum miskin dipengaruhi secara nyata (signifikan) oleh pertumbuhan ekonomi; (2) faktor lain yang berpengaruh nyata terhadap kesejahteraan masyarakat miskin adalah modal manusia (human capital) yang diukur dari rata-rata lama sekolah, infrastruktur (jalan) dan akses terhadap teknologi. Selain itu, dikemukakan bahwa mengurangi kemiskinan tidak cukup hanya dengan pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga harus memerhatikan faktor kelembagaan dan pendistribusian pendapatan. Ketujuh, adalah studi yang dilakukan oleh Yudhoyono (2004) menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi, upah, dan dummy reformasi. Sedangkan di perkotaan dipengaruhi oleh pengeluaran untuk infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dummy reformasi, dan dummy desentralisasi. Selain itu, dikemukakan bahwa kombinasi skenario peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian sebesar 15 persen dan peningkatan upah sebesar 20 persen, merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek yang potensial terutama dalam mengurangi kemiskinan. Kedelapan, adalah studi yang dilakukan Suryahadi et al. (2006) melakukan
penelitian
tentang
pertumbuhan
ekonomi
dan
pengurangan
kemiskinan di Indonesia. Hasil studi ini menjelaskan bahwa pertumbuhan pada sektor jasa dan perdesaan berdampak pada penurunan jumlah rumah tangga miskin pada semua sektor dan lokasi. Namun pertumbuhan jasa di perkotaan memberikan nilai elastisitas kemiskinan yang tinggi dari semua sektor kecuali 63
pertanian perkotaan. Pertumbuhan sektor pertanian di perdesaan memberikan dampak yang besar terhadap penurunan kemiskinan di sektor pertanian perdesaan, dan memberi kontribusi terbesar dalam penurunan jumlah kemiskinan di Indonesia. Studi ini menekankan bahwa cara yang paling efektif untuk mempercepat pengurangan kemiskinan adalah mendorong pertumbuhan sektor pertanian di perdesaan dan sektor jasa di perkotaan. Namun, dalam jangka panjang penekanannya harus lebih difokuskan dan di arahkan pada pencapaian pertumbuhan menyeluruh dan memiliki keterkaitan yang kuat dalam sektor jasa. Kesembilan, Studi yang dilakukan oleh Wahyuniarti dan Siregar (2007), yang melakukan penelitian terkait dengan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, dengan metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan ekonometrika. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan,
namun
besaran
pengaruh
masing-masingnya
relatif
kecil.
Peningkatan share sektor pertanian dan share sektor industri juga signifikan mengurangi jumlah kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif besar pengaruhnya terhadap penurunan jumlah kemiskinan ialah pendidikan. Implikasi
kebijakan
yang
disarankan
dalam
tulisan
ini
adalah
pertumbuhan ekonomi yang dibutukan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin adalah pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan. Investasi sebagai penyumbang pertumbuhan
harus dilakukan dalam bentuk
mempercepat
industrialisasi pertanian/perdesaan, akumulasi modal manusia melalui pendidikan dan pelatihan, serta pengembangan dan perbaikan infrastruktur perdesaan (modal fisik). Pengendalian inflasi wajib dilakukan untuk mempertahankan daya beli masyarakat sehingga peningkatan pendapatan yang diperolehnya menjadi lebih berarti dalam memenuhi kebutuhan dasar atau meningkatkan kualitas hidup mereka. Pengendalian inflasi hendaknya lebih terfokus pada kawasan perdesaan. Laju pertumbuhan populasi penduduk perlu dikendalikan secara lebih efektif, terutama pada golongan penduduk miskin. Hal ini dapat dilakukan dengan menggalakkan kembali program keluarga berencana. 64
Kesepuluh, studi yang dilakukan oleh Santoso et al. (2007) menemukan bahwa kebijakan moneter yang ekpansif dapat menurunkan tingkat kemiskinan dalam jangka pendek. Namun, adanya fluktuasi business cycle dan tidak dikuasainya inflasi yang tinggi membuat efek positif yang dihasilkan hanya bersifat temporer. Dalam jangka panjang, inflasi yang rendah dan stabilitas ekonomi makro yang baik berasosiasi secara signifikan dengan tingkat kemiskinan yang lebih rendah dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Kebijakan moneter yang bersifat hati-hati “prudent policy” (menjaga kestabilan harga dan kondisi ekonomi makro) memiliki efek positif yang permanen dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan meratakan distribusi pendapatan. Kesebelas, adalah studi yang dilakukan oleh Papilaya (2006) yang meneliti mengenai akar penyebab kemiskinan menurut rumah tangga miskin dan strategi penanggulangannya dengan menggunakan pendekatan penelitian ekploratorieksplanatori dan penelitian partisipatori. Beberapa simpulan terutama yang terkait dengan dimensi wilayah adalah sebagai berikut: (1) Faktor-faktor determinan yang berpengaruh secara positif dan nyata terhadap perilaku rumah tangga miskin, meliputi: Pada tipologi kemiskinan perkotaan adalah faktor modal sosial, yaitu tingkat partisipasi sosial dan faktor modal manusia yaitu tingkat pendidikan formal dan non formal; dan (b) Pada tipologi kemiskinan perdesaan, adalah faktor modal sosial, yaitu tingkat partisipasi sosial, dan budaya gotong royong; faktor modal alamiah, yaitu akses rumah tangga miskin terhadap sumberdaya alam; dan faktor manusia, yaitu kepribadian melankolis dan kepribadian plegmatis; (2) Tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin menurut tipologi kemiskinan perdesaan lebih tinggi dari perkotaan; dan (3) Tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin berbeda secara nyata menurut tipologi berdasarkan kondisi sosio-ekonomi berbasis mata pencaharian utama. Tingkat kesejahteraan nelayan lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor informal, petani dataran rendah dan dataran tinggi.
65
III.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Pemikiran Saat ini komitmen global menempatkan masalah kemiskinan sebagai prioritas utama. Begitu pentingnya masalah kemiskinan, sehingga Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2009 mengambil tema “Peningkatan Kesejahteraan dan Penanggulangan Kemiskinan”. Implikasinya adalah bahwa hampir semua kebijakan pembangunan diarahkan untuk penanggulangan kemiskinan. Puluhan program dan trilyunan rupiah dana yang digulirkan setiap tahunnya selama 20 tahun terakhir, pada kenyataannya belum mampu memberikan hasil yang optimal untuk menurunkan jumlah penduduk miskin secara permanen, bersifat fluktuatif dan memiliki kerentanan baik dalam tataran mikro, meso, dan makro. Kemiskinan merupakan masalah yang multikompleks, dinamis, dan berkaitan dengan ruang, waktu serta tempat dimana kemiskinan itu dilihat dari berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, untuk memahami permasalahan kemiskinan yang multikompleks dan multidimensi harus didekati secara komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu “multidisiplin” pula. Upaya penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara universal, karena fenomena dan permasalahan kemiskinan berbeda pada suatu negara dengan negara lain begitupula antara wilayah dengan wilayah lain dalam suatu negara. Berangkat dari penjelasan di atas dan mengacu pada kajian pustaka terdahulu serta beberapa penelitian empiris, maka upaya penanggulangan kemiskinan melalui intervensi kebijakan tidak bisa dilakukan dari satu arah atau bukan hanya dalam pemenuhan kebutuhan makanan saja. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, intervensi kebijakan seyogyanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan dua arah, baik dari eksternal maupun internal. Di satu sisi, kebijakan dari luar bukan hanya menyentuh aspek ekonomi, akan tetapi perlu dilakukan secara komprehensif yang mempertimbangkan aspek-aspek eksternal dan aspek non ekonomi yang berpengaruh. Di sisi lain, upaya penanggulangan kemiskinan harus mempertimbangkan karakteristik rumah tangga dan individu, sehingga intervensi kebijakan dapat mengentaskan kemiskinan secara optimal dan permanen. 66
Seseorang dapat dikatakan hidup layak, bukan hanya dilihat dari pemenuhan kebutuhan makan saja, tetapi perlu dilakukan pemenuhan kebutuhan dasar bukan makanan, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, dan pelayanan publik lainnya yang memadai seperti jalan, listrik, dan air bersih. Hal ini sejalan dengan BPS (1999) yang membedakan garis kemiskinan pada dua komponen utama, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan. Karakteristik rumah tangga dan individu menjadi penting untuk dipahami secara baik dan mendalam dalam konteks penanggulangan kemiskinan. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan membagi karakteristik rumah tangga menjadi empat kelompok, yaitu modal manusia (human capital), modal fisik produktif (physical productive capital), status pekerjaan, dan karakteristik wilayah (Ikhsan, 1999). Sedangkan Harniati (2007), membagi aspek-aspek yang memengaruhi kemiskinan dalam perspektif mikro (rumah tangga) menjadi tiga kelompok, yaitu (a) modal manusia (human capital) yang meliputi profil umum kepala rumah tangga, variabel kondisi kesehatan rumah tangga, dan variabel kondisi ekonomi rumah tangga, (b) variabel modal fisik yang dimiliki rumah tangga miskin, serta (c) variabel tempat tinggal. Dalam disertasi ini, aspek-aspek tersebut di atas dijadikan sebagai acuan, namun dalam perspektif mikro karakateristik rumah tangga dijadikan sebagai variabel untuk mengukur kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan. Karaktersitik rumah tangga dibagi menjadi enam komponen utama, (i) profil umum rumah tangga yang meliputi jenis kelamin kepala rumah tangga, umur kepala rumah tangga, jumlah tanggungan, dan jumlah anggota keluarga yang bekerja; (ii) variabel modal manusia yang meliputi tingkat pendidikan kepala rumah tangga, rata-rata lama sekolah anggota rumah tangga, dan kemampuan baca tulis kepala rumah tangga, kesehatan kepala rumah tangga dan jaminan kesehatan rumah tangga; (iii) varibel aksesibilitas rumah tangga ke pelayanan publik yang meliputi pelayanan pemerintahan, akses ke lembaga keuangan formal, akses terhadap listrik, dan akses terhadap sarana telekomunikasi; (iv) variabel ekonomi yang meliputi kepemilikan lahan atau nilai aset yang dimiliki kepala rumah tangga; dan (v) variabel partisipasi dalam proses pembangunan; serta (vi) 67
variabel wilayah yang meliputi tempat tinggal pada wilayah pesisir, dataran rendah dan pegunungan. Keenam komponen karakteristik rumah tangga tersebut di atas merupakan komponen utama dan penciri penting dalam kemiskinan. Daya tahan rumah tangga terhadap kemiskinan sangat dipengaruhi oleh keenam komponen. Keberagaman penciri rumah tangga berimplikasi pada intervensi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang akan dibuat. Kepala rumah tangga dengan jenis kelamin pria berbeda intervensinya dengan kepala rumah tangga yang berjenis kelamin perempuan. Demikian halnya dengan jumlah tanggungan rumah tangga berpengaruh terhadap kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga berupa kebutuhan makanan dan bukan makanan seperti pendidikan dan kesehatan, sehingga intervensinya juga berbeda. Pendidikan diyakini menjadi salah satu faktor yang memiliki kekuatan pendorong (driving force) transformasi sosial sebagai daya gebrak memutus tali rantai kemiskinan (Departemen Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia 2008; Sjafii dan Hidayati 2009; dan Goetz 2007). Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat pendidikan yaitu jumlah tahun bersekolah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, angka melek huruf, dan angka partisipasi sekolah (APS). Pendidikan menjadi driving force, artinya semakin tinggi pendidikan keluarga tersebut maka akan semakin tinggi kemungkinan keluarga tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi (Ikhsan 1999, Usman et al. 2005, Smeru 2008, TKPK 2006). Pendidikan dan kesehatan memiliki keterkaitan sangat erat dengan pembangunan ekonomi. Di satu sisi modal kesehatan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian investasi yang dicurahkan untuk pendidikan, karena kesehatan merupakan faktor penting agar seseorang bisa hadir di sekolah dalam proses pembelajaran formal seorang anak. Harapan hidup yang lebih panjang dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan; sementara kesehatan yang lebih baik akan menyebabkan rendahnya tingkat depresiasi modal pendidikan. Di sisi lain, modal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam kesehatan. 68
Tingkat pendidikan dan derajat kesehatan yang tinggi mampu mendorong masyarakat untuk bekerja lebih efektif dan dengan demikian dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, perbaikan akses masyarakat (si miskin) ke pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan perlu ditingkatkan. Peningkatan akses perlu dilakukan secara merata dan dibarengi dengan peningkatan mutu layanan pendidikan dan kesehatan, terutama pada wilayah perbatasan dan terpencil. Peningkatan akses ke pelayanan publik bisa dilakukan melalui penyediaan infrastruktur yang baik dan memadai. Bank Dunia (2002) menjelaskan bahwa infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Selain itu, memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah yang bersangkutan. Indikator pembangunan infrastruktur yang penting adalah irigasi, akses listrik, dan kondisi jalan utama transportasi, serta sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan. Dengan meningkatnya infrastruktur secara otomatis dapat meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan publik terutama dalam akses ke pelayanan pendidikan, kesehatan, dan aktivitas ekonomi serta pelayanan administrasi pemerintahan, yang pada akhirnya dapat mereduksi kemiskinan. Dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dan sosial kemasyarakatan memberi peluang bagi penduduk untuk meraih peluang-peluang sosial ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatannya. Di samping itu, dengan meningkatnya aktivitas sosial kemasyarakatan dapat meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pada kondisi demikian, maka akan tercipta modal sosial yang kuat di tengah-tengah masyarakat yang dicirikan oleh adanya interaksi, aturan-aturan atau norma, dan terjadinya kepercayaan diantara masyarakat (Dharmawan 2002; Rustiadi et al. 2009). Pelibatan
masyarakat
dalam
proses
pembangunan,
seperti
dalam
perencanaan pembangunan merupakan hak yang dimiliki oleh masyarakat untuk dapat terlibat secara demokratis dalam menentukan pelbagai hal menyangkut kehidupannya (Kartasasmita 1996; dan Nurcholis et al. 2008). Pelibatan penduduk miskin dalam proses pembangunan memberi dampak bukan hanya pada 69
penguatan kapasitas masyarakat miskin, akan tetapi juga memberi peluang untuk dapat mengakses aktivitas ekonomi produktif yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatannya. Di lain pihak, dengan pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan pembangunan karena masyarakat mempunyai rasa memiliki terhadap program dan kegiatan yang telah direncanakan. Akhirnya, pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan dapat dilakukan dengan tepat sasaran, tepat waktu dan tepat guna. Pada tingkat wilayah ada beberapa karakteristik yang mungkin berkaitan dengan kemiskinan. Hubungan karakteristik dengan kemiskinan tersebut sesuai dengan kondisi wilayah tersebut. Wilayah perkotaan dengan karakteristik umumnya bekerja di sektor informal, berbeda karakteristik kemiskinannya di perdesaan yang umumnya bekerja pada sektor pertanian. Demikian halnya, pada wilayah pesisir berbeda karakteristiknya pada wilayah dataran rendah dan pegunungan. Namun demikian, secara umum wilayah yang memiliki ciri-ciri seperti terpencil secara geografis, sumberdaya alam yang terbatas, rawan bencana, rawan konflik, infrastruktur yang terbatas seperti jalan, irigasi, listrik, bangunan sekolah, tingkat kemiskinannya akan tinggi. Di sisi lain, perspektif makro juga menjadi determinan atau faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan. Variabel makro dalam disertasi ini meliputi pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah daerah yang terdiri dari belanja publik dan belanja langsung yang diperuntukkan bagi rumah tangga miskin. Belanja publik dalam hal ini meliputi belanja di bidang pendidikan, kesehatan, bidang pertanian, dan infrastruktur. Di samping itu, variabel makro lainnya yang dianggap berpengaruh terhadap kemiskinan yaitu inflasi yang dalam disertasi ini adalah GDP_deflator, PDRB per kapita, pendapatan asli daerah (PAD), kontribusi sektor terhadap PDRB yang meliputi sektor pertanian dan industri, desentralisasi fiskal serta krisis moneter. Dalam konteks makro ekonomi, ukuran kesejahteraan masyarakat dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dan tingkat pendapatan per kapita masyarakat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau biasa disetarakan dengan produk domestik regional bruto (PDRB) maka dapat 70
disimpulkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut (Mankiw 2007; dan Dornbush et al. 1987). Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tidak
menjamin
meningkatnya
kesejahteraan
masyarakat
secara
menyeluruh. Masyarakat golongan bawah (miskin) kurang mempunyai akses terhadap faktor produksi (tenaga kerja, modal, tanah, dan enterpreneur). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diyakini dapat menurunkan insiden kemiskinan ketika dibarengi dengan perbaikan distribusi pendapatan secara adil. Dalam kegiatan ekonomi faktor produksi disinergikan untuk menciptakan nilai tambah (value added), yang agregasinya merupakan produk domestik bruto. Nilai tambah merupakan balas jasa faktor produksi (tenaga kerja mendapatkan upah, modal mendapatkan dividen, tanah mendapatkan sewa, dan enterpreneur mendapatkan keuntungan). Dari perekonomian yang berlangsung, dua hal yang mungkin. Pertama, kesenjangan pendapatan semakin tinggi, dikarenakan sebagian kecil masyarakat menguasai faktor produksi dan sisanya, penduduk miskin, tidak, sehingga mereka tetap miskin. Kedua, andaikata penguasa faktor produksi adalah investor asing, maka akan mengurangi kue ekonomi domestik, dimana nilai tambah “value added” lebih banyak kembali kepada pemilik modal (Heru 2006). Pertumbuhan ekonomi secara kausalitas berkorelasi dengan peningkatan PDRB dan PDRB per kapita, serta peningkatan investasi. Pertumbuhan ekonomi mendorong pertumbuhan pendapatan secara agregat, oleh karena itu pertumbuhan ekonomi harus dibarengi dengan distribusi pendapatan yang berkeadilan. Peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanan dan pakaian. Meningkatkan permintaan akan barang-barang buatan lokal memberikan rangsangan yang lebih besar kepada produksi lokal, memperbesar kesempatan kerja lokal, dan menumbuhkan investasi lokal, serta mendorong pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita (Todaro dan Smith 2006; 2009). PDRB sebagai salah satu ukuran kesejahteraan yang telah disepakati oleh para ahli ekonomi dan praktisi, dari sisi demand salah satu pendukungnya adalah Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Meningkatnya APBD dan APBN berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik dan pengurangan 71
kemiskinan. Dalam teori ekonomi pembangunan diketahui bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah (APBN dan APBD) mempunyai hubungan timbal balik yang positip (Mankiw 2007 dan Dornbusch et al. 1987). Belanja pemerintah (government expenditure) diyakini pula memiliki peranan penting yang dapat mendorong percepatan penanggulangan kemiskinan dan menjadi hajat hidup orang banyak. Anggaran yang berpihak bagi kaum papa (pro poor budgeting) merupakan bentuk tindakan afirmatif yang didukung oleh kebijakan pro kaum miskin yang diarahkan untuk membiayai belanja penyediaan sarana dan prasarana pelayanan publik. Melalui belanja yang berpihak kepada kaum miskin, seperti belanja bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan belanja yang secara langsung diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan (Smeru 2001; Tambunan 2006; Hardojo et al. 2008). Beberapa temuan empiris menunjukkan bahwa peningkatan satu satuan belanja negara atau daerah dapat menurunkan jumlah rumah tangga miskin sebesar 0,3 persen (Jung et al. 2006). Sejalan dengan diimplementasikannya otonomi daerah yang disertai dengan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah menerima dana perimbangan yang sangat besar terutama setelah tahun 2001. Besarnya dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah daerah diyakini oleh beberapa ekonom dapat mereduksi kemiskinan, karena fenomena atau permasalahan yang dihadapi masyarakat miskin dapat diselesaikan dengan baik dan tepat oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, belanja pemerintah daerah di samping mendorong pertumbuhan ekonomi juga dapat meningkatkan investasi yang secara langsung dapat meningkatkan pembukaan lapangan kerja. Dengan demikian, belanja pemerintah akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan dapat mereduksi kemiskinan, ketika belanja tersebut diarahkan untuk penyediaan infrastruktur dan penyediaan pelayanan publik yang berpihak bagi kaum miskin. Sebelum krisis ekonomi melanda dunia pada tahun 1997/1998, model pembangunan Indonesia diakui berhasil menurunkan angka kemiskinan secara bermakna. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS, dalam kurun waktu 1976-1996 jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dari 54,2 juta jiwa atau sekitar 40 persen dari total penduduk 72
menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11 persen. Namun setelah krisis ekonomi terjadi lonjakan yang sangat besar dalam jumlah penduduk miskin, baik secara nasional maupun secara lokal di Kabupaten Barru. Pengaruh krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998, merupakan guncangan (shock) yang sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan insiden kemiskinan. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan harga yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli tidak saja terjadi terhadap kebutuhan pokok berupa makanan tetapi juga ke berbagai kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Kenaikan harga bahan pokok mendorong menanjaknya inflasi yang bukan hanya berdampak pada rendahnya daya beli masyarakat, akan tetapi juga berpengaruh pada menurunnya upah riil buruh utamanya upah gaji tetap (fixed income earner). Secara bersamaan dampak krisis ekonomi menyebabkan kontraksi pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam dan bahkan mengarah kepada terjadinya stagflasi dimana pertumbuhan ekonomi menjadi minus, disisi lain terjadi lonjakan inflasi yang sangat besar. Oleh karena itu, dalam disertasi ini kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan merupakan hal yang esensial untuk dipahami secara mendalam agar kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan baik sejalan
dengan
perubahan-perubahan
eksternal
lainnya.
Kebijakan
penanggulangan kemiskinan yang bersifat top-down dan universal, seringkali tidak mampu mengurangi jumlah insiden kemiskinan dan yang terjadi justru sebaliknya. Kerangka pemikiran konseptual analisis kerentanan dan determinan kemiskinan berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru dapat diringkaskan pada Gambar 7 berikut.
73
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian 74
3.2. Hipotesis Dari beberapa penjelasan teoritis dan hasil studi yang dipaparkan di atas serta beberapa pengalaman empiris, maka hipotesis dalam penelitian dibangun berdasarkan dengan tujuan penelitian, yaitu kedalam dua kelompok yang meliputi aspek mikro dan wilayah serta aspek makro sebagai berikut : 1. Hipotesis terkait aspek mikro dan wilayah, meliputi : a. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan memiliki kerentanan atau peluang yang lebih besar untuk menjadi miskin dibandingkan dengan rumah tangga dengan kepala rumah tangganya laki-laki b. Semakin besar jumlah tanggungan rumah tangga berpengaruh secara nyata terhadap kerentanan atau peluang rumah tangga untuk menjadi miskin. Besarnya jumlah tanggungan berasosiasi dengan besarnya biaya hidup baik untuk konsumsi makanan maupun untuk konsumsi non makanan. c. Tingkat pendidikan dan kesehatan kepala rumah tangga, serta akses ke pelayanan pendidikan dan kesehatan berpengaruh secara nyata terhadap kerentanan atau peluang rumah tangga untuk menjadi miskin. d. Rumah tangga yang memiliki akses ke lembaga keuangan formal dan sumberdaya listrik (PLN) memiliki kerentanan atau peluang untuk menjadi miskin yang lebih kecil dibanding tumah tangga yang tidak memiliki akses. e. Penduduk yang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan memiliki kerentanan atau peluang yang kecil untuk menjadi miskin, karena memiliki peluang untuk mempromosikan kesejahteraan mereka melalui informasi peluang ekonomi dan terlibat dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka. f. Rumah tangga yang mempunyai nilai asset produktif yang tinggi memiliki kerentanan yang kecil terhadap kemiskinan. Rumah tangga yang memiliki asset produktif tinggi memiliki peluang untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dibanding rumah tangga yang memiliki asset produktif yang rendah. g. Kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan berbeda secara nyata berdasarkan karakteristik wilayah, dimana rumah tangga yang berdomisili 75
pada wilayah pegunungan lebih kecil kerentanannya dibanding dengan wilayah pesisir dan dataran rendah. 2. Hipotesis terkait aspek makro, meliputi : a. Pertumbuhan ekonomi atau PRDB perkapita berpengaruh secara nyata terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. b. Peningkatan
belanja
pembangunan
daerah
yang
diarahkan
untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pertanian dan belanja langsung bagi masyarakat miskin berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. c. Peningkatan kontribusi sektor pertanian dan sektor industri berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, namun besar pengaruhnya berbeda. d. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dibarengi dengan dana perimbangan sebagai penerimaan daerah memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk merumuskan alokasi anggaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin. e. Peningkatan penerimaan daerah (PAD) yang diperoleh dari penarikan retribusi dan pajak daerah tanpa memerhatikan kemampuan dan skala usaha masyarakat berdampak positif pada peningkatan jumlah penduduk miskin. f. Krisis moneter bukan hanya berpengaruh terhadap peningkatan inflasi akan tetapi juga berpengaruh pada penurunan pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat dan berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin.
76
IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa tingkat kemiskinan di Kabupaten Barru relatif masih tinggi dan menunjukkan kecenderungan kemiskinan yang berfluktuasi. Di samping itu, Kabupaten Barru juga memiliki tiga tipologi wilayah (wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan). Penelitian ini dilaksanakan mulai pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2009. Secara rinci penelitian ini dapat dijelaskan dalam Tabel 7 dan lokasi penelitian dapat digambarkan pada Gambar 8. Tabel 7. Tujuan Penelitian, Jenis Data dan Metode Analisis Tujuan
Jenis Data
1. Mengidentifikasi karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan tipologi wilayah di Kabupaten Barru
Profil Umum RT, Kondisi Pendidikan, Kondisi Kesehatan, Kewilayahan, Akses RT ke Pelayanan Publik, Kondisi Ekonomi Rumah Tangga, Kelembagaan dan Partisipasi RT Profil Umum, Tingkat Pendidikan, derajat kesehatan, pendapatan, aksesibilitas, tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, dan aspek kewilayahan
- Data Primer (Survei dan Wawancara)
Datar Primer (survei, dan wawancara)
Model Persamaan Regresi Logit / Minitab
Domisili rumah tangga (wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan), Jumlah RTM Rumah Tangga Miskin; PDRB; PDRB/Kapita; Belanja Pemerintah; Inflasi, kebijakan desentralisasi fiskal, Jumlah RTM
Datar Primer (survei, wawancara dan FGD)
Model Persamaan Regresi Logit / Minitab
Kab. Barru Dalam Angka; Data RTM BKKBN; PDRB Kab Barru; BPS (Kab. B arru Dalam Angka); APBD; Lap. Monitoring APBD
Ekonometrika (OLS)/ E-Views
2. Menganalisis pengaruh aspek mikro seperti tingkat pendidikan, kesehatan, aksesibilitas, kondisi ekonomi rumah tangga, kewilayahan, dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan karakteristik wilayah terhadap kerentanan kemiskinan. 3. Menganalisis tingkat kerentanan rumah tangga miskin berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru 4. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, PDRB, PDRB per kapita, belanja pemerintah, PAD, desentralisasi fiskal, krisis moneter, dan inflasi, terhadap tingkat kemiskinan di Kabupaten Barru.
Sumber Data
Metode Analisis Analisis Deskriptif dengan Tabel dan Grafik Serta Analisa Varian (Anova)
77
Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian
78
4.2. Teknik Pengambilan Sampel. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Untuk menjawab tujuan penelitian nomor 1, 2, dan 3 pada bab pendahuluan, maka data yang digunakan adalah data primer dengan teknik wawancara. Sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian nomor empat digunakan data sekunder dari berbagai instansi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah penarikan contoh area secara bertahap (multistage area sampling)
untuk
penentuan
desa
lokasi.
Hal
ini
dilakukan
dengan
mempertimbangkan karakteristik wilayah penelitian di Kabupaten Barru, yaitu wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Penentuan lokasi desa/kelurahan sebagai lokus penelitian di dasarkan pada wilayah fungsional (pesisir, dataran rendah, dan pegunungan). Banyaknya desa/ kelurahan yang menjadi lokus penelitian antara 20 – 25 % untuk wilayah dataran rendah, wilayah pegunungan dan untuk wilayah pesisir. Sampel untuk wilayah dataran rendah sama dengan 25 persen dari 12 desa/kelurahan (3 desa/ kelurahan), sampel untuk wilayah pegunungan sama dengan 25 persen dari 13 desa (3 desa/ kelurahan), dan sampel untuk wilayah pesisir sama dengan 20 persen dari 29 desa/ kelurahan (6 desa/kelurahan). Total desa yang dijadikan lokasi penelitin sebanyak 12 desa/kelurahan dengan mempertimbangkan faktor jarak (Desa/kelurahan yang terjauh dari ibukota kecamatan dan desa/kelurahan dalam ibukota kecamatan). Penentuan sampel rumah tangga dilakukan dengan penarikan contoh acak berlapis (stratified random sampling) dengan populasi sasaran rumah tangga miskin dan rumah tangga tidak miskin. Jumlah responden ditentukan melalui kuota sebanyak 40 rumah tangga pada masing-masing desa/kelurahan dengan pertimbangan homogenitas populasi. Dengan demikian, maka jumlah responden secara keseluruhan adalah 480 rumah tangga. Dari setiap desa/kelurahan diambil 30 rumah tangga miskin masing-masing desa berdasarkan data sekunder dari BPS dan BKKBN dan 10 sampel bukan orang miskin yang ditentukan secara acak. Dengan kriteria ini dianggap sudah mewakili rumah tangga miskin dan tidak miskin berdasarkan wilayah masing-masing. Untuk lebih jelasnya dapat diringkaskan pada Gambar 9 berikut. 79
Kabupaten Barru 54 desa/kelurahan Wilayah Pegunungan dengan 13 Desa/Kelurahan
Wilayah Dataran Rendah dengan 12 desa/kelurahan
Wilayah Pesisir dengan 29 desa/kelurahan
3 Desa/ Kelurahan
3 desa/ kelurahan
6 desa/ kelurahan
n= 120 RT
n = 120 RT
n = 240 RT
Gambar 9. Ilustrasi penarikan sampel dari lokasi penelitian. 4.3. Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif dilakukan untuk melihat karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah dengan menggunakan tabel dan grafik. Selanjutnya, untuk mempertegas keragaman karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah dilakukan analisis ragam (Analisis of Variance atau Anova). Analisis kuantitatif dilakukan untuk melihat tingkat kerentanan dan determinan kemiskinan di Kabupaten Barru. Analisis kerentanan dilakukan dengan menggunakan data primer yang diperoleh dari survei dan wawancara yang terkait dengan perspektif mikro rumah tangga. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan persamaan logit. Sedangkan untuk analisis determinan kemiskinan dengan perspektif makro dilakukan dengan menggunakan ekonometrika metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square/ OLS). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut : 4.3.1. Analisis Deskriptif. Analisis deskriptif atau kualitatif dilakukan untuk mengetahui karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah. Karakteristik rumah tangga miskin merupakan penciri umum untuk mengidentifikasi secara fisik rumah tangga dan dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan penanggulangan kemiskinan.
80
Variabel pengamatan yang terkait dengan karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah dapat diuraikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8. Variabel karakteristik rumah tangga. No A B
C
D
E
F
G
H
Variabel Rumah Tangga Miskin (RTM) Profil Umum Kepala Rumah Tangga 1. Jenis Kelamin KRT 2. Umur KRT 3. Jumlah tanggungan RT 4. Pekerjaan KRT 5. Jumlah anggota keluarga yang bekerja 6. Status kepemilikan rumah 7. Status kepemilikan lahan perumahan 8. Sumber air bersih Kondisi Pendidikan KRT 1. Rata-rata lama sekolah KRT 2. Jenjang pendidikan KRT
3. Kemampuan baca tulis KRT Kondisi Kesehatan Rumah Tangga 1. Tingkat kesehatan KRT. 2. Jaminan kesehatan rumah tangga Akses Rumah Tangga ke Pelayanan Publik 1. Akses ke sekolah dasar 2. Akses ke SMP/sederajat 3. Akses ke SMU/sederajat 4. Akses rumah tangga ke pelayanan kesehatan /Puskesmas 5. Akses rumah tangga ke pelayanan kesehatan / Rumah Sakit 6. Akses ke Pusat Pemerintahan/ Kecamatan 7. Akses ke pelayanan listrik 8. Akses ke pelayanan telekomunikasi 9. Akses ke lembaga keuangan formal Kondisi Ekonomi Rumah Tangga 1. Nilai asset yang dimiliki rumah tangga 2. Kepemilikan lahan 3. Konsumsi bahan makanan 4. Konsumsi bukan bahan makanan Aspek Partisipasi Rumah Tangga 1. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan 2. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan 3. Partisipasi dalam pengendalian pelaksanaan pembangunan Kewilayahan 1. Domisili pada wilayah pesisir 2. Domisili pada wilayah dataran rendah 3. Domisili pada wilayah pegunungan
Indikator Persen (%) 1 = Laki-laki, 0 = Perempuan Tahun Jiwa 1 = Petani, 0 = Lainnya Jiwa 1 = Milik, lainnya = 0 1 = Milik ; 0 = lainnya. 1 = Leding; 0 = lainnya Tahun D1 = 1, Tamat SMP ke bawah; dan 0, jika lainnya D2 = 1, Tamat SMA ke atas 0, lainnya 1 = Ya, dan 0 = lainnya 1= sehat, lainnya =0 1 = Ya, lainnya = 0 Waktu tempuh (menit) Waktu tempuh (menit) Waktu tempuh (menit) Waktu tempuh (menit) Waktu tempuh (menit) Waktu tempuh (menit) 1 = Ya, lainnya = 0 1 = Ya, lainnya = 0 1 = Ya, lainnya = 0 (Rp. Juta) (Ha) Rupiah Rupiah D1 = 1, jika terlibat dalam proses perencanaan, dan 0 = jika lainnya D2 = 1, jika terlibat dalam pelaksanan dan pengendalian, dan 0 = jika lainnya D1 = 1, jika domisili di Pegunungan, dan 0 = jika lainnya D2 = 1, jika domisili di wilayah Pesisir, dan 0 = jika lainnya
Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga Kabupaten Barru Tahun 2009.
81
Dalam analisis ini aspek-aspek yang akan diamati, meliputi profil umum rumah tangga, tingkat pendidikan rumah tangga, tingkat kesehatan rumah tangga, kondisi sumberdaya alam dan kewilayahan, akses ke pelayanan publik, kondisi ekonomi rumah tangga, dan tingkat partisipasi rumah tangga dalam proses pembangunan. Hasil analisis ini menggambarkan karakteristik wilayah yang dapat dijadikan
sebagai
rujukan
dalam
menyusun
strategi
dan
kebijakan
penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Barru. Dari hasil analisis deskriptif untuk memperjelas perbedaan karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah dilakukan analisis keragaman yang dikenal sebagai analisis ragam (Analysis of Variance atau Anova). Analisis ragam dilakukan untuk menentukan keragaman karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah yaitu pada wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan dengan persamaan sebagai berikut : ……………………………………………….
(1)
dimana : Yij
= Pengamatan ke-j dari sampel ke-i
μ
= Nilai tengah pengamatan ke-i
α
= Tipologi wilayah
εij
= Simpangan pengamatan ke-j dari nilai tengah sampel ke-i
Untuk menguji apakah pengamatan menyebar normal pada semua wilayah dilakukan uji statistik-F dengan hipotesis statistiknya, adalah : H0 = μ1 = μ2 = ………= μk, = 0 H1 = Sekurang-kurangnya satu nilai tengah tidak sama. Apabila terdapat perbedaan yang signifikan, selanjutnya dilakukan uji beda terkecil (least significant different/LSD). 4.3.2. Analisis Kerentanan Analisis kerentanan dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan. Kerentanan rumah tangga dalam penelitian ini adalah peluang (probability) rumah tangga untuk menjadi miskin atau berada di bawah garis kemiskinan. Kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan dalam penelitian adalah kerentanan terhadap garis 82
kemiskinan yang didasarkan pada garis kemiskinan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009, yaitu sebesar Rp. 200.262 (BPS Sulawesi Selatan 2009). Analisis kerentanan atau peluang rumah tangga untuk menjadi miskin dilakukan dua tahap. Tahap kesatu yaitu untuk wilayah kabupaten secara keseluruhan dan tahap kedua dilakukan analisis kerentanan berdasarkan wilayah dengan parameter yang sama pada semua wilayah. Untuk analisis ini dilakukan dengan menggunakan model persamaan logit. 4.3.2.1. Model Logit Model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang logistik kumulatif yang dispesifikasi (Juanda, 2008) sebagai berikut : (2) e merepresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e= 2.718...). Pemilihan sebaran logistik kumulatif ini karena interpretasinya logis dan dapat ditunjukkan bahwa : 0 ≤ E(Y│Xi ) = Pi ≤ 1 Selain itu, dari sisi matematika merupakan fungsi yang sangat fleksibel dan mudah digunakan serta parameter koefisiennya mudah diinterpretasi. Dengan menggunakan aljabar biasa, persamaan dapat ditunjukkan menjadi :
(3) Peubah Pi/(1-Pi) dalam persamaan (3) disebut odds, yang sering juga diistilahkan dengan risiko atau probabilitas, yaitu rasio peluang terjadi pilihan-1 (miskin) terhadap peluang terjadi pilihan-0 alternatifnya (tidak miskin). Dalam ilustrasi ini, jika sebuah rumah tangga dengan pendapatan tertentu peluang menjadi miskin sama dengan 0.2 maka peluang tidak miskinnya sama dengan 0.8. Dengan demikian, odds ini, makin besar peluang rumah tangga miskin ¼ dari peluang tidak miskin. Makin besar odds ini, makin besar peluang rumah tangga menjadi miskin. Jika peluang miskin sama dengan ½ maka odds-nya sama dengan 1. Jika peluang miskin 0.8 (lebih dari ½) maka nilai odds-nya 4 (lebih dari 1), artinya peluang menjadi miskin 4 kali dari peluang tidak menjadi miskin. Oleh karena itu,
83
nilai odds merupakan suatu indikator kecenderungan sebuah rumah tangga menentukan pilihan-1 (menjadi miskin, dalam ilustrasi ini). 4.3.2.2. Pendugaan Parameter Koefisien Model Logit Pada umumnya pendugaan parameter koefisien model logit menggunakan penduga kemungkinan maksium atau maximum likelihood (ML) estimator. Prosedur ML dalam menduga parameter koefisien model logit adalah sebagai berikut : Pi = P(Y=1│xi) = P(Xi)
: peluang bahwa Y=1 jika diketahui X=xi
1-Pi = P(Y=0│xi = 1-P(xi)
: peluang bahwa Y =0 jika diketahui X=xi
4.3.2.3. Pendugaan Parameter Ragam Koefisien Model Logit Untuk generalisasi secara umum, untuk menduga model regresi logistik ganda (multiple logistic regression model) dengan k-1 peubah bebas. Misalkan k1 peubah bebas (berskala interval) dinotasikan dengan X’=(X2, X3, ....., Xk) yang merupakan vektor peubah bebas, dan peluang bersyarat X=xi bahwa responnya pilihan-1 adalah (P(Y=1│xi)=Pxi), maka logit dari model regresi logistik gandanya adalah : (4) Atau lebih rinci dapat dijabarkan sebagai berikut :
……… (5)
Variabel bebas (Xj) dalam pengamatan ini dapat diringkaskan sebagai berikut : Pi(RTM) = Peluang bahwa suatu obyek pengamatan ke-i akan tergolong dalam rumah tangga miskin berdasarkan nilai tertentu dari variabel bebas Xj D1JNKL = Dummy Jenis Kelamin (1 = laki-laki; 0 = lainnya) Umur = Umur Kepala Rumah Tangga (Tahun) D2_PKKRT = Pekerjaan Kepala Rumah Tangga (1, jika petani/nelayan, 0 = lainnya) JMTG = Jumlah Tanggungan Rumah Tangga (Jiwa) D3PDKRT = Peubah Dummy, yaitu : D1, dimana 1, jika berpendidikan SD dan 0 jika lainnya D2, dimana 1, jika berpendidikan SMP ke atas, dan 0, jika lainnya. Ls_ART = Lama Sekolah Anggota Rumah Tangga (Tahun) 84
D4_BCTLS RT_SAK D5_AkLKeu D6_KESRT D7_JMKES D8_AkPLN D9_PPEMB
KepLHN NlAsset D10_Telek D11_Wil
= Kemampuan Baca Tulis Kepala RumahTangga (1, jika Ya, dan 0, jika lainnya) = Rata-rata Lama Sekolah Anggota Keluarga (Tahun) = Dummy Akses ke Lembaga Keuangan (1 = ya; 0=lainnya). = Tingkat Kesehatan Kepala Rumah Tangga (1, jika sehat, dan 0 jika lainnya). = Jaminan Kesehatan (1, jika dapat, dan 0, jika lainnya) = Dummy Akses ke PLN (1= Ya; 0=tidak). = Peubah dummy, yaitu : D1 = 1, jika berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan dan 0, jika lainnya. D2 = 1, jika berpartisipasi dalam pelaksanaan dan pengendalian 0, jika selainnya. = Kepemilikan Lahan (Ha) = Nilai asset produktif yang dimiliki masyarakat (Rp Juta). = Akses ke Telekomunikasi (1, jika Ya, dan 0, jika lainnya) = Peubah dummy, yaitu: D1 = 1, jika domisili di wilayah pegunungan, dan 0, jika lainnya. D2, = 1, jika domisili di wilayah pesisir dan 0, jika lainnya
dan model regresi logistik gandanya : (6) Metode pendugaan ragam-peragam (variances and covariances) dari dugaan koefisien berdasarkan teori pendugaan kemungkinan maksimum yang telah dikembangkan dengan baik (lihat Rao, 1973 dalam Juanda 2008). Teori menyatakan bahwa penduga ragamnya diperoleh matriks turunan parsial kedua dari fungsi log likelihood. Turunan parsial kedua ini mempunyai bentuk umum sebagai berikut :
dan
untuk j,u = 1,2,...,k dan P(Xi) = πi untuk meringkaskan tulisan. Misalkan matriks │(β) berisi negatif dari komponen-komponen dalam persamaan sehingga matriks tersebut berukuran (k x k), yang disebut sebagai matriks informasi. Ragam dan
85
peragam dari dugaan koefisien diperoleh dari kebalikan matriks tersebut, yang dinotasikan dengan Ʃ(β) = │-1(β). Untuk pengujian koefisien dan pendugaan selang kepercayaan, digunakan dugaan simpangan baku (standar error) dari dugaan koefisien dengan notasi : Ŝe( ) =
2
j]
0.5
=
(7)
j
4.3.2.4. Pengujian Model Logit dan Pendugaan Selang Kepercayaan Koefisien
Setelah dugaan model (6) diperoleh, langkah selanjutnya menguji apakah model logit tersebut secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan kualitatif (Y). Hipotesis statistik yang diuji dalam hal ini adalah : H0 : β2=β3=.....=βk = 0
(model tidak dapat menjelaskan)
H1 : minimal ada βj ≠ 0, untuk j=2,3,..k (model dapat menjelaskan) Untuk menguji faktor mana (βj ≠ 0) yang berpengaruh nyata terhadap pilihannya, perlu diuji statistik lanjut. Dalam hal ini kita dapat menguji signifikansi dari parameter koefisien secara parsial dengan statistik uji Wald yang serupa dengan statistik uji-t atau uji-Z dalam regresi linear biasa. 4.3.2.5. Interpretasi Parameter Koefisien Model Logit. Setelah diperoleh dugaan model logit yang dianggap cocok dan dugaan koefisiennya (pengaruh peubahnya) signifikan secara statistik maupun secara ekonomi, maka kita dapat menarik kesimpulan-kesimpulan praktis dari koefisien dalam model. Untuk menginterpretasikan digunakan odds ratio (ѱ) yang di definisikan sebagai rasio odds untuk x=1 terhadap odds untuk x=0, yang diekspresikan di bawah ini. Nilai odds untuk x=1 dan x= 0 adalah sebagai berikut:
Nilai odds rasio biasa diinterpretasikan: “beberapa kali kemungkinan masuk dalam garis kemiskinan akibat pengaruh variabel bebas yang berpengaruh.” Odds rasio ini sering juga digunakan sebagai suatu ukuran asosiasi yang sering ditemukan dalam epidemologi. 4.3.3. Analisis Determinan Kemiskinan Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh variabel makro ekonomi terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru. Variabel-variabel makro ekonomi yang 86
digunakan dan diduga memengaruhi kemiskinan di Kabupaten Barru meliputi: pertumbuhan ekonomi, PDRB per kapita,
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), Pendapatan Asli Daerah (PAD), share sektor terhadap PDRB, kebijakan desentralisasi fiskal, kenaikan harga barang dan jasa (GDP_Deflator), dan krisis ekonomi. Data yang digunakan adalah data deret waktu “time series” (1990-2008) dengan persamaan sebagai berikut: ......... (8)
Keterangan : : Persentase Rumah Tangga Miskin Kabupaten Barru tahun 1990-2008 (%) α : Intersep PtbhEK : Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Barru tahun 1990 – 2008 (%) PDRBKAP : Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Kabupaten Barru berdasarkan harga konstan tahun 1990 – 2008 (Rp. Juta) G_Publik : Belanja Pembangunan Daerah Kabupaten Barru yang dialokasikan pada belanja publik (belanja pendidikan, kesehatan, belanja pertanian, dan belanja infrastruktur) tahun 1990 – 2008 (Rp. Juta) GPov : Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Barru di Bidang Pengentasan Kemiskinan tahun 1990 – 2008 (Rp. Juta) GDP_Def : Perubahan harga secara keseluruhan pada barang dan jasa Kabupaten Barru tahun 1990-2008 (%) SSAGR : Share sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Barru tahun 1990 – 2008 (Rp. Juta) SSIND : Share sektor industri terhadap PDRB Kabupaten Barru tahun 1990 – 2008 (Rp. Juta) PAD : Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Barru tahun 1990 – 2008 (Rp. Juta) DDFIS : Dummy Variabel Desentralisasi fiskal dimulai pada tahun 2001-2008 = 1, lainnya = 0. DKMNT : Dummy Variabel Krisis Moneter, dimana periode krisis ekonomi dimulai pada tahun 1997-2008 =1, lainnya = 0. ε1 : Peubah Pengganggu (disturbance error). RTM
Dalam analisis regresi berganda dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square/OLS) beberapa asumsi yang harus dipenuhi (Verbeek 2004; Nachrowi 2006, dan Juanda 2009) sebagai berikut: 87
1) Peubah Xi merupakan peubah non-stokastik (fixed), artinya sudah ditentukan, bukan peubah acak. Selain itu, tidak ada hubungan linier sempurna antara peubah Xi. 2) a) komponen sisaan εi mempunyai nilai harapan sama dengan nol, dan ragam konstan untuk semua pengamatan i, E(εi) = 0 dan Var(εi) =
2
.
b) tidak ada hubungan atau tidak ada korelasi antara sisaan εi sehingga Cov(εi,εj) = 0, untuk i ≠ 0 c) komponen sisaan menyebar normal. Dalam terminologi statistik asumsi nomor (2) ini bisa diringkaskan dengan simbol εi ~ N(0,
2
), artinya komponen εi menyebar normal, bebas stokastik, dan
identik, dengan nilai tengah sama dengan nol dan ragam konstan untuk 1,2,…,N. Dalam konteks analisis deret waktu (time series data), εi dikenal dengan istilah white noice error yang bersifat stasioner. Sifat kestasioneran deret waktu diperlukan untuk melakukan inferensia terhadap struktur deret waktu tersebut atas dasar pengamatan yang jumlahnya terbatas. Sifat kestasioneran ini menyatakan bahwa hukum peluang yang mengendalikan proses stokastik tersebut tidak berubah dengan berubahnya waktu, yaitu proses berada dalam keadaan equilibrium. Menurut Dalil Gaus-Markov, jika asumsi (1), (2), (2a), dan (2b) di atas telah dipenuhi maka pendugaan parameter koefisien regresi menggunakan metode OLS akan menghasilkan pendugaan tak bias linier terbaik (BLUE = Best Linier Unbiased Estimator). Penduga terbaik dalam pengertian ragamnya paling kecil (paling efisien) diantara semua penduga tak bias linear lainnya. Asumsi 2b berkaitan dengan uji-t dan uji-F, dan jarang dilakukan jika ukuran contohnya relatif besar (>30) dengan argument Dalil Limit Pusat (Central Limit Theorem). 4.3.3.1. Metode Pendugaan Metode pendugaan yang digunakan dalam menaksir pengaruh perubahan variabel makro terhadap determinan kemiskinan adalah metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Squares (OLS). Selanjutnya untuk menguji apakah model yang dirumuskan dalam penelitian ini mengalami korelasi serial atau tidak, digunakan metode Breusch Godfrey Serial Correlation Test. Uji ini mensyaratkan bahwa jika 88
nilai probability Obs* R-Squared lebih besar dari nilai kritis α = 0,10; 0.05 dan 0,01, maka persamaan tersebut tidak terjadi korelasi serial. Sedangkan untuk menguji apakah peubah-peubah penjelas secara parsial berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependent digunakan uji statistik-t dan untuk menguji signifikansi variabel penjelas tersebut secara bersama-sama terhadap variabel dependent digunakan uji statistik-F. 4.3.3.2. Prosedur Pembentukan dan Penerapan Model Model persamaan determinan kemiskinan yang dirumuskan dalam bentuk persamaan ekonometrika, dimaksudkan sebagai perwakilan atau abstraksi dari kondisi aktual kemiskinan di Kabupaten Barru. Prosedur dan penerapan model untuk melihat determinan kemiskinan di Kabupaten Barru secara garis besarnya dilakukan dalam beberapa tahapan dasar, yaitu: (1) formulasi model, (2) pengumpulan data, (3) pendugaan model, (4) pengujian hipotesis, dan (5) interpretasi hasil dugaan model. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan alir (flowchart) berikut. Perumusan Masalah Teori Ekonomi, Pengalaman Lalu, Studi Lainnya
Perumusan (Pengembangan Model)
Pengumpulan Data
Uji Hipotesis Tidak Model Layak
Implikasi Kebijakan
Ya
Interpretasi Model
Peramalan
Gambar 10. Bagan Alir Tahapan Studi Empiris (Juanda 2009)
89
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Kabupaten Barru 5.1.1. Kondisi Geografis Kabupaten Barru merupakan salah satu Kabupaten yang berada di pesisir Barat Provinsi Sulawesi Selatan, terletak antara koordinat 4o 05’ 49” - 4o 47’ 35” Lintang Selatan dan 119o 49’ 16” Bujur Timur. Luas wilayah kurang lebih 1.174,72 km2 (117.427 Ha). Berjarak kurang lebih 100 km sebelah utara Kota Makassar (Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan) dengan garis pantai sepanjang 78 km. Batas wilayah Kabupaten Barru, secara administratif adalah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Kota Parepare dan Kabupaten Sidrap
Sebelah Timur
: Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone
Sebelah Selatan
: Kabupaten Pangkajene Kepulauan
Sebelah Barat
: Selat Makassar
Pada umumnya kondisi topografi Kabupaten Barru berupa dataran tinggi dan perbukitan yang berada pada ketinggian 100 – 1500 meter dari permukaan laut (mdpl) yang terbentang sepanjang bagian Timur Kabupaten, sedangkan ketinggian 0 – 20 mdpl terbentang sepanjang bagian barat yang berhadapan dengan Selat Makassar. Luas wilayah menurut kemiringan lereng terbagi atas: kemiringan 0 – 2 % seluas 26.596 Ha (22,64 %); kemiringan 3 -15 % seluas 7.043 Ha (5,49 %); kemiringan 16 – 40 % seluas 33.246 Ha (28,31 %) dan kemiringan lebih besar dari 40 % seluas 50.587 Ha (43,06 %). Luas wilayah menurut ketinggian terbagi atas: ketinggian 0 – 25 meter dari permukaan laut (m dpl) seluas 26.319 Ha ( 22,40 %); ketinggian 25 - 100 m dpl seluas 12.543 Ha (10,68 %); ketinggian 100 – 500 m dpl seluas 52.781 Ha (44,93 %); ketinggian 500 – 1.000 mdpl seluas 23.812 Ha (20,27 %); ketinggian 1.000 – 1.500 m dpl seluas 1.941 Ha ( 1,65 % ) dan ketinggian lebih dari 1.500 m dpl seluas 75 Ha (0,06 %). Selanjutnya, untuk lebih rinci luas wilayah berdasarkan penggunaan lahan dibagi menjadi dua, yaitu : 90
Luas sawah di Kabupaten Barru adalah 13.026 Ha, terdiri dari : Sawah Irigasi Setengah Teknis
: 1.328 Ha
Sawah Irigasi Sederhana
: 2.956 Ha
Sawah Tadah Hujan
: 8.742 Ha
Luas lahan kering menurut penggunaannya, yaitu 37.175 Ha, meliputi: Perumahan / Pekarangan
: 4.830 Ha
Tegalan / Kebun
: 5.996 Ha
Ladang / Huma
: 3.709 Ha
Padang Rumput
: 1.795 Ha
Tambak / Empang
: 2.570 Ha
Kolam
:
14 Ha
Lahan Tidak Diusahakan
:
695 Ha
Tanah Untuk Tanaman Kayu-Kayuan : 9.292 Ha Perkebunan (Negara / Swasta)
: 8.425 Ha
Luas hutan 65.185 Ha yang terdiri dari Hutan Lindung (49.801 Ha); dan hutan Produksi Terbatas (15.384 Ha). Sementara itu luas lahan kritis 35.558,34 Ha dan yang berada di luar kawasan seluas 20.108 tersebar di Kecamatan Pujananting seluas 2.821 Ha, Tanete Riaja 4.175 Ha, Tanete Rilau 1.326 Ha, Barru 3.193 Ha, Balusu 931 Ha, Soppeng Riaja 1.161 Ha dan Mallusetasi 3.331 Ha. Dengan panjang pantai 78 km dan zona penangkapan selebar 4 mil, maka total area penangkapan seluas 56.160 Ha yang dapat dieksplorasi. 5.1.2. Profil Perekonomian Kabupaten Barru 5.1.2.1. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Barru Pertumbuhan ekonomi sering diartikan sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Dengan pengertian ini, maka pertumbuhan ekonomi, selain mencirikan berkembangnya berbagai sektorsektor usaha dan perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi juga mencirikan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.
Menurut
Mankiw (2007), bahwa para ekonom menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), untuk mengukur 91
pertumbuhan ekonomi. Karena data tersebut selain mengukur jumlah output barang dan jasa total suatu daerah, juga mengukur pendapatan total setiap orang dalam perekonomian. Karena itu, dalam tulisan ini pertumbuhan ekonomi tidak lain adalah pertumbuhan PDRB itu sendiri. Dengan mengamati kinerja pertumbuhan ekonomi Kabupaten Barru dari tahun 1990 – 2008, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Barru sebenarnya mencatat suatu kinerja yang tidak terlalu buruk. Selama periode ini perekonomian rata-rata bertumbuh sekitar 4.99 persen per tahun. Kinerja pertumbuhan ekonomi Kabupaten Barru lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan Provinsi Sulawesi Selatan yaitu 6.38 persen per tahun pada tahun 2008. Perkembangan tingkat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Barru dapat dilihat pada Tabel 9 berikut. Tabel 9. Tingkat perkembangan PDRB, PDRB per Kapita, dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Barru, periode 1990-2008. PDRB PDRB Per Kapita Atas Dasar Atas Atas Atas Harga Dasar Dasar Dasar Tahun Berlaku Harga Harga Harga (Rp. Juta) Konstan Berlaku Konstan (Rp. Juta) (Rp. Juta) (Rp. Juta) 1990 93.397,53 61.833,95 526.784 343.259 1991 105.397,04 65.998,95 589.015 364.206 1992 118.179,04 69.961,64 656.556 383.802 1993 133.879,01 75.050,90 729.031 403.558 1994 147.153,16 136.580,38 893.936 834.816 1995 165.058,33 143.503,73 729.031 871.800 1996 188.615,62 152.140,12 893.936 918.730 1997 214.854,83 159.882,62 996.637 1.030.503 1998 326.032,55 150.332,92 1.133.452 961.207 1999 355.672,49 156.648,11 1.384.820 993.960 2000 378.638,39 158.115,68 2.084.607 995.690 2001 440.056,26 165.363,23 2.256.805 1.033.843 2002 566.585,40 474.796,19 2.384.372 3.082.931 2003 621.853,19 503.074,46 2.751.211 3.203.051 2004 701.643,70 524.304,20 3.678.943 3.318.759 2005 795.558,06 550.220,31 3.959.310 3.464.405 2006 892.995,85 577.189,01 4.441.288 3.624.762 2007 1.010.475,61 605.710,83 5.009.149 3.775.593 2008 1.225.699,23 647.990,05 5.608.037 4.006.567 Sumber : Pendapatan Regional Kabupaten Barru (BPS), 1990-2008.
Pertumbuhan Ekonomi (%) 6.96 6.74 6.00 7.27 2.83 5.07 6.00 5.09 (5.97) 4.20 0.94 4.58 5.86 5.96 4.22 4.94 4.90 4.94 6.98
92
Gambaran makro perekonomian daerah Kabupaten Barru menunjukkan perkembangan yang selalu positif, kecuali pada tahun 1998. Pada tahun 1990 PDRB Kabupaten Barru berdasarkan harga berlaku yaitu Rp. 93.397,53 juta dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp. 1.225.699,23 juta. Sedangkan PDRB berdasarkan harga konstan juga mengalami peningkatan yang signifikan dari Rp. 61.833,95 juta pada tahun 1990 menjadi Rp. 647.990,05 juta pada tahun 2008. Demikian halnya dengan PDRB per kapita peningkatannya juga signifikan dan dibarengi dengan laju pertumbuhan ekonomi dengan rata-rata 4.58 persen. Namun demikian, rata-rata laju pertumbuhan sebelum krisis ekonomi yaitu sekitar 5.75 persen lebih tinggi dibanding rata-rata laju pertumbuhan setelah krisis moneter tahun 1998 yaitu 4.75 persen. Rendahnya pertumbuhan PDRB setelah krisis moneter mengindikasikan besarnya dampak krisis ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Barru. Selanjutnya, perkembangan nilai PDRB Kabupaten Barru dibandingkan dengan daerah lain dibatasi pada daerah yang berbatasan langsung, dapat ditunjukkan bahwa perkembangan PDRB Kabupaten Barru relatif rendah. Jika diamati tingkat kenaikan nilai PDRB selama kurun waktu 2004-2008 terlihat adanya kecenderungan bervariasi, sebagaimana digambarkan pada pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Perbandingan Nilai PDRB Daerah Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2004 – 2008 (Juta Rupiah) 2004 Kab/Kota Nilai
Barru
701.643,70
2006 % Terhadap Sul-Sel 1,44
Nilai 892.995,85
2008 % Terhadap Sul-Sel 1,47
1.225.699,23
% Terhadap Sul-Sel 1,44
Nilai
Pangkep
2.145.349,92
4,40
2.735.861,54
4,92
3.826.203,74
4,49
Soppeng
1.135.236,01
2,33
1.393.497,64
2,29
1.947.832,77
2,29
Bone
3.196.709,36
6,56
3.860.830,96
6,34
5.348.744,99
6,28
Sidrap
1.254.935,48
2,57
1.729.679,95
2,84
2.405.539,60
2,83
679.187,09
1,39
891.232,64
1,46
1.298.778,61
1,53
43.023.894,57
100,00
60.902.823,80
100,00
85.143.191,27
100,00
Pare-pare Sul-Sel
Sumber : Diolah dari PDRB Kabupaten Barru Tahun 2004-2008
93
Dari data tersebut di atas dapat ditunjukkan bahwa nilai PDRB berdasarkan harga berlaku pada tahun 2004, Kabupaten Barru menempati urutan kedua terkecil di bawah kota Pare-pare dan kontribusinya terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Selatan hanya mencapai 1,44 persen. Nilai PDRB tertinggi pada tahun 2004 adalah Kabupaten Bone, kemudian disusul oleh Kabupaten Pangkep, Kabupaten Sidrap, dan Kabupaten Soppeng, dan terendah Kota Parepare. Jika dilihat dari tingkat perkembangan nilai PDRB Kabupaten Barru selama periode 2004 – 2008, terlihat adanya kecenderungan peningkatan dari Rp. 701,64 milyar pada tahun 2004 menjadi Rp. 892,99 milyar pada tahun 2006 dan meningkat menjadi Rp. 1.225,69 milyar pada tahun 2008, namun kontribusinya terhadap PDRB Sulawesi Selatan pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 1,44 persen dari 1,45 persen pada tahun 2007. 5.1.2.2. Struktur Perekonomian Kabupaten Barru Selanjutnya struktur ekonomi wilayah Kabupaten Barru masih didominasi oleh sektor pertanian, akan tetapi kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB mengalami penurunan. Pada tahun 1990 peranan sektor pertanian sebesar 46.43 persen dan mengalami peningkatan pada tahun 1993 sampai pada tahun 1998 yaitu 56.07 persen. Namun, setelah krisis ekonomi pada tahun 1998 kontribusi sektor pertanian mengalami penurunan pada tahun 2001 sebesar 52.72 persen dan pada pada tahun 2008 kontribusi sektor pertanian menurun sampai 44.86 persen sebagaimana digambarkan pada Table 11 berikut. Tabel 11. Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Barru Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 1990-2008 (%) Lapangan Usaha
1990
1995
1998
2001
2004
2008
1. 2. 3. 4. 5. 6.
46.43 50.55 56.07 52.72 50.09 44.86 Pertanian 0.22 0.95 0.86 1.17 1.31 1.26 Pertambangan dan Penggalian 3.52 4.24 5.05 5.12 4.06 3.28 Industri Pengolahan 0.47 0.70 0.51 0.52 0.84 0.77 Listrik, Gas & Air 3.42 6.42 5.07 5.85 6.12 6.40 Bangunan Perdagangan, Restoran & 21.44 13.92 12.72 13.57 11.16 10.34 Hotel 10.29 5.05 4.44 5.01 4.11 4.11 7. Angkutan dan Komunikasi 8. Lemb. Keuangan, Persewaan, 1.14 4.74 4.28 4.35 5.88 5.85 dan Jasa Perusahaan 9.73 13.43 10.90 11.60 16.39 23.12 9. Jasa – jasa Sumber : Diolah dari Pendapatan Domestik Regional Kabupaten Barru, 1990-2008
94
Pergeseran peran sektor yang mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sektor jasa-jasa dari 9.73 persen pada tahun 1990 menjadi 10.90 persen pada tahun 1998 dan meningkat tajam pada tahun 2008 dengan kontribusi sebesar 23.12 persen. Demikian halnya dengan sektor lembaga keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan mengalami peningkatan, namun tidak sebesar dengan sektor jasa-jasa, yaitu dari 1.14 persen pada tahun 1990 menjadi 5.85 persen pada tahun 2008. 5.1.3. Indeks Pembangunan Manusia. Perhatian global sekarang ini, di samping fokus pada isu-isu pertumbuhan ekonomi dan perlunya pelaksanaan reformasi ekonomi, juga diperlukan perhatian terhadap dimensi manusia dalam pembangunan. Pembangunan manusia untuk menciptakan manusia yang berkualitas (human capital), muncul sebagai reaksi dari tujuan pembangunan yang dilaksanakan selama ini dinilai kurang berorientasi pada aspek manusia dan hak-hak azasinya. Hal ini tercermin pada perkembangan pemikiran tentang pembangunan di dunia selama beberapa dekade yang berorientasi pada produksi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sebagaimana dialami Indonesia pada dekade 70-an sampai awal 90-an. Padahal pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan pembangunan manusia yang kuat, bukan hanya menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang rapuh akan tetapi juga berdampak pada aspek sosial dan politik seperti yang terjadi pada tahun 1998. Berdasar pada hal tersebut, orientasi pembangunan mengalami perubahan yang mendasar kepada pembangunan manusia sebagai pilar pembangunan. Untuk mengukur pembangunan manusia, didasarkan pada indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI). IPM Kabupaten Barru pada tahun 2005 berada pada urutan 12 dan mengalami penurunan pada tahun 2007 menjadi urutan ke 13 dari 23 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Selatan dengan indeks sebesar 68.9. Penurunan peringkat IPM Kabupaten Barru tersebut bukan sebagai akibat dari menurunnya perhatian pemerintah daerah dalam pembangunan manusia, akan tetapi lebih disebabkan oleh perkembangan kabupaten/kota lain yang lebih pesat (Bappeda Kabupaten 95
Barru, 2008). Walaupun mengalami penurunan peringkat, akan tetapi tingkat perkembangan IPM Kabupaten Barru pada tahun 2008 tetap mengalami kemajuan yaitu menjadi 69,50. Tingkat perkembanagan IPM Kabupaten Barru secara umum dapat digambarkan pada Tabel 12 berikut. Tabel. 12. Perbandingan komponen IPM Menurut Kabupaten di Sulawesi Selatan Tahun 2006-2007. Kabupaten/ Kota
AHH (Tahun)
AMH
YMS (Tahun)
PPP (Rp.000)
Barru
2006 67,6
2007 67,8
2006 87,7
2007 87,7
2006 7,2
2007 7,2
2006 621,5
2007 624,5
Pangkep
68,1
68,2
84,5
85,6
6,3
6,3
617,5
624,0
Bone
68,2
68,3
84,8
84,8
6,2
6,2
624,6
628,5
Soppeng
71,2
71,6
83,6
84,6
6,5
6,5
622,8
628,4
Pare-Pare
72,9
72,9
95,1
96,2
9,3
9,3
630,0
634,1
Sul-Sel
69,2
69,2
85,7
86,2
7,2
7,2
618,3
652,2
Sumber : Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Barru (BPS, 2008).
Dari data tersebut di atas, angka harapan hidup di Kabupaten Barru pada tahun 2006 adalah 67,6 tahun, meningkat menjadi 67,8 tahun pada tahun 2007 dan 68,20 pada tahun 2008. Namun, apabila dibandingkan dengan wilayah lain yang berbatasan langsung, maka Kabupaten Barru menempati urutan terendah dibanding kabupaten lain dan berada dibawah rata-rata Sulawesi Selatan yaitu 69,2. Angka Melek Huruf (AMH) Kabupaten Barru pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 87,7 menduduki peringkat kedua setelah Kota Pare-Pare yaitu 95,1 tahun 2006 dan 96,2 tahun 2007 serta berada di atas rata-rata Sulawesi Selatan. Demikian halnya dengan rata-rata lama sekolah, Kabupaten Barru menempati urutan kedua setelah Kota Pare-Pare dan sama dengan ratarata Sulawesi Selatan yaitu 7,2 tahun. Sedangkan komponen purchasing power parity (PPP) atau kemampuan daya beli masyarakat Kabupaten Barru juga mengalami peningkatan dari Rp. Rp. 621.500,- menjadi Rp. 624.500,- pada tahun 2007 dan menjadi Rp. 629.000,- pada tahun 2008, namun berada dibawah
96
kabupaten lain dan berada di bawah rata-rata Sulawesi Selatan pada tahun 2007 yaitu Rp. 652.100,5.1.4. Keuangan daerah Pengelolaan Keuangan Daerah pada hakekatnya memiliki ruang lingkup dan aspek yang sangat luas, karena meliputi aspek pendapatan/penerimaan daerah dan belanja/ pengeluaran daerah. Pendapatan/ penerimaan daerah dan belanja/pengeluaran daerah secara totalitas termuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD Pokok Kabupaten Barru mengalami kemajuan yang signifikan terutama setelah diimplementasikannya otonomi daerah yang dibarengi dengan desentralisasi fiskal. Pada tahun 1990 APBD pokok Kabupaten Barru hanya sebesar Rp. 6.165.775.000. Pada tahun 2000, APBD Kabupaten Barru meningkat menjadi Rp. 48.292.392.300, atau mengalami peningkatan sebesar 683.23 persen. Selanjutnya APBD Pokok Tahun Anggaran 2004 direncanakan sebesar Rp. 209.869.391.665 mengalami penambahan Rp. 7.462.576.251 (3,56%), sehingga APBD Perubahan menjadi sebesar
Rp. 217.331.967.916,00
APBD Perubahan Tahun Anggaran 2004 ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Barru Nomor 6 Tahun 2004 tanggal 11 Desember 2004. Namun, penggunaan
APBD
pada
tahun
2004
hanya
terealisasi
sebesar
Rp. 112.527.659.000,- atau 51.77 persen dari APBD yang direncanakan. Selanjutnya, pada tahun anggaran 2008 APBD Kabupaten Barru telah mencapai Rp. 464.296.859.000. Pertumbuhan belanja daerah pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah daerah dalam mencari dan menghimpun dana sesuai dengan bidang kewenangan yang dimilikinya. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang
Otonomi
Daerah,
kemampuan
pendanaan/keuangan
pemerintah daerah mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan. Namun demikian, kalau dilihat dari sisi penerimaan APBD Kabupaten Barru masih didominasi dari dana perimbangan dari Pemerintah Pusat. Peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih sangat rendah dalam alokasi belanja daerah. Pada tahun 1990 kontribusi PAD terhadap APBD total hanya sekitar 5.54 persen. 97
Pada tahun 2008 kontribusi PAD terhadap APBD total Kabupaten Barru justru semakin kecil, yaitu hanya sekitar 3.10 persen. Penurunan kontribusi PAD terhadap APBD pokok Kabupaten Barru disebabkan oleh terjadinya peningkatan dana perimbangan dari pemerintah pusat sejak tahun 2001. Untuk lebih jelasnya, trend APBD dan kontribusi PAD terhadap APBD pokok Kabupaten Barru dapat dijelaskan pada Tabel 13 berikut. Tabel 13. Tingkat perkembangan APBD, PAD dan Pertumbuhan APBD Kabupaten Barru, Tahun 1990 – 2008 (Realisasi). Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Sumber :
APBD (Rp. 0000) 6.165.775 9.147.081 14.081.909 18.693.025 15.231.025 19.094.735 20.129.454 19.358.159 21.259.750 27.209.768 42.482.244 44.078.550 80.355.460 119.716.169 112.527.659 151.585.041 261.611.550 329.189.948 464.296.859
Pertumbuhan APBD (%) 0.00 48.35 53.95 32.74 -18.52 25.37 5.42 -3.83 9.56 28.29 56.13 3.76 82.30 48.98 -6.00 34.71 72.58 25.83 41.04
PAD (Rp.000) 341.877 531.682 448.352 571.755 668.438 779.877 724.409 921.600 1.235.486 1.360.725 1.943.893 2.343.496 3.299.408 9.000.159 9.563.577 10.096.737 10.543.300 14.389.935 14.390.370
Kontribusi PAD terhadap APBD (%) 5.54 5.81 3.18 3.06 4.39 4.08 3.60 4.76 5.81 5.00 4.57 5.32 4.11 7.52 8.50 6.66 4.03 4.37 3.10
Diolah dari Laporan Monitoring Proyek-Proyek Bappeda Kabupaten Barru, Tahun 1990 – 2008.
Dari Tabel 13 di atas, dapat juga dijelaskan bahwa terjadinya lonjakan penerimaan daerah Kabupaten Barru pada tahun 2003 dari Rp. 3.299.408,menjadi Rp. 9.000.159,- yang disebabkan oleh adanya perbaikan sistem manajemen dan informasi obyek pajak (SISMIOP). Perbaikan sistem ini berdampak pula pada peningkatan kontribusi PAD terhadap belanja daerah yaitu dari 4,11 % pada tahun 2002 menjadi 7,52% pada tahun 2003 yang puncaknya pada tahun 2004 menjadi 8,50%. Namun demikian, perbaikan sistem ini hanya pada obyek pajak bumi dan bangunan (PBB) tidak menciptakan peningkatan yang
98
berkesinambungan yang diindikasikan adanya kecenderungan penurunan selama lima tahun terakhir dalam kontribusinya terhadap APBD Kabupaten Barru. 5.1.5. Sosial Budaya Daerah 5.1.5.1. Kependudukan Perkembangan penduduk Kabupaten Barru dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008 tidak menunjukkan perkembangan yang besar dengan rata-rata pertumbuhan 1,24 persen. Jumlah penduduk pada tahun 2000 sebesar 152.101 jiwa mengalami peningkatan menjadi 158.821 jiwa pada tahun 2005 dan pada tahun 2008 hanya mencapai 159.235 jiwa. Dengan jumlah penduduk tersebut, dapat dikategorikan bahwa Kabupaten Barru masih memiliki pertumbuhan penduduk yang stabil dan terkendali dengan kepadatan penduduk pada tahun 2008 yaitu 135.55 jiwa/km2. Dari total jumlah penduduk yang ada, tenaga kerja produktif (usia 10 tahun ke atas) yang bekerja berjumlah 45.203 jiwa (tahun 2005) dan yang mencari pekerjaan sebesar 1.606 jiwa. Tingkat partisipasi angkatan kerja pada tahun 2005 sebesar 49,14 %, pengangguran terbuka 3,43 %. Sedangkan pada tahun 2008, tingkat partisipasi angkatan kerja mencapai 53.64 %, namun jumlah pengangguran terbuka juga meningkat menjadi 9,50% (BPS Kabupaten Barru, 2009). 5.1.5.2. Kesehatan Penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang dilaksanakan melalui upaya promotif, preventif dan proaktif yang didukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif telah memberikan dampak positif terhadap meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa capaian pembangunan kesehatan antara lain: 1) Kematian (Mortality) Indikator pembangunan kesehatan tidak terlepas dari angka kematian bayi, kematian balita, dan kematian neonatal. Di Kabupaten Barru angka kematian bayi mencapai angka 4.32 per 1000 bayi atau 432 bayi yang mati apabila kelahiran mencapai angka 100.000 kelahiran. Sedangkan angka kematian balita di Kabupaten Barru sebanyak 1,01 per 1000 balita atau 101 per 100.000 balita (Bappeda, 2009). Selanjutnya angka kematian neonatal 99
merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan upaya perbaikan gizi masyarakat dan kesehatan ibu dan anak serta partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan pelayaan kesehatan. Angka kematian neonatal mencapai 3,23 per 1.000 kelahiran atau 323 setiap 100.000 kelahiran. Kematian neonatal tertinggi berada di Kecamatan Tanete Riaja mencapai 6,59 per 1.000 kelahiran. 2) Kesakitan (Morbidity)
Penyakit Menular Dari beberapa penyakit menular yang ada, penyakit diare menempati urutan tertinggi menyerang masyarakat Kabupaten Barru pada tahun 2008 yakni 1.075 per 100.000 penduduk, menyusul penyakit ISPA dengan prevalensi 1.058 per 100.000 penduduk, DHF 48 per 100.000 penduduk, Hepatitis 10 per 100.000 penduduk, Campak 6 per 100.000 penduduk, Tetanus 2 per 100.000 penduduk dan Pertusis 1 per 100.000 penduduk.
Penyakit Tidak Menular Selain penyakit menular, masyarakat juga dihadapkan pada risiko terkena penyakit tidak menular seperti: Hypertensi dengan prevalensi 514 per 100.000 penduduk, Diabetes mellitus 105 per 100.000 penduduk dan gangguan pembuluh darah dan jantung 78 per 100.000 penduduk.
3) Status Gizi Status gizi masyarakat Kabupaten Barru menunjukkan bahwa masih terdapat bayi yang lahir dengan berat badan rendah yang sangat memungkinkan terserang penyakit menular yang umumnya disebabkan oleh kekurangan zat gizi. Prevalensi bayi yang lahir dengan berat badan rendah sebanyak 19,40 per 1.000 bayi lahir. Kasus ini lebih banyak terjadi pada rumah tangga miskin dan wilayah terpencil di daerah pegunungan. Sementara gangguan akibat kekurangan Yodium (GAKY) merupakan salah satu indikator status gizi masyarakat. Prevalensi penderita GAKY pada murid SD sebanyak 59,3 per 1.000 murid SD. Selain itu ibu hamil yang
100
menderita KEK sebesar 25,0 per 1.000 ibu hamil dan yang menderita anemia gizi besi sebanyak 22,2 per 1.000 ibu hamil. 5.1.5.3. Pendidikan Berdasarkan data angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni untuk tingkat SD/MI menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun tapi bila dibadingkan antara jumlah siswa usia 7-12 tahun dengan jumlah penduduk yang berusia 7-12 tahun, ternyata masih banyak anak usia sekolah SD yang belum menikmati bangku sekolah. Rendahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan menjadi salah satu pemicu masih banyaknya anak usia sekolah SD yang tidak bersekolah. Di samping itu, kejadian ini paling banyak terjadi pada wilayah pegunungan yang masih terpencil dan kurang terjangkau dengan pelayanan pendidikan dasar. Di sisi lain, upaya pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan pendidikan dasar mengalami kemajuan yang sangat pesat, dimana pada tahun 2009, semua desa sudah tersedia dan terjangkau pelayanan pendidikan dasar dengan konsep pendidikan gratis. Persentase jumlah anak usia 7-12 tahun yang bersekolah meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun ajaran 2000/2001 jumlah anak yang
bersekolah
sebanyak 76 persen (17.602 siswa) meningkat menjadi 84 persen (19.276 siswa) pada tahun 2004/2005. Sementara itu dari sisi APK dan APM menunjukkan peningkatan secara signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, APK dan APM untuk tingkat SD/MI masing-masing sebesar 92,26 persen dan 75,69 persen sementara pada tahun 2005 meningkat menjadi 108,48 persen dan 84,48 persen. Sedangkan pada tahun 2008 APM Kabupaten Barru mencapai 96,75 persen dan 78,72 persen. Angka tersebut bila dibandingkan dengan norma Standar Pelayanan Minimum (SPM) masing-masing sebesar 110 persen dan 90 persen, capaian APK dan APM untuk tingkat SD/MI masih belum optimal. Pada tingkatan SMP/MTs, persentase jumlah siswa usia 12-15 tahun semakin meningkat, pada tahun ajaran 2000 sebesar 50 persen (5.128 siswa) dan pada tahun ajaran 2004 meningkat menjadi 79 persen (6.854 siswa) dan pada tahun 2008 mencapai angka 80,23 persen. Walaupun demikian, bila dibandingkan dengan total penduduk usia 12-15 tahun menunjukkan bahwa jumlah penduduk 101
yang tidak bersekolah masih relatif besar. Sementara itu, APK dan APM untuk tingkat SMP/MTs. menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ajaran 2000 masing-masing sebesar 66,07 dan 50,16 persen menjadi 77,33 dan 62,89 persen pada tahun 2004 serta pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 73,47 persen. Angka tersebut bila dibandingkan dengan norma Standar Pelayanan Minimum (SPM) masing-masing sebesar 90 persen dan 80 persen, capaian APK dan APM untuk tingkat SMP/MTS masih belum optimal. Ditinjau dari aspek pemerataan untuk tingkat SD/MI, angka melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. sebesar 78,37 persen (standar SPM 100 persen); Rasio siswa per guru kelas adalah 16 (norma SPM 30); sedangkan untuk tingkat SMP/MTs angka melanjutkan pendidikan ke SMA/SMK. sebesar 62,92 persen (norma SPM 100 persen); Rasio siswa per guru kelas adalah 28. Sementara pemerataan kesempatan belajar untuk tingkat SD/MI yang dicapai sebesar 1,01 (norma SPM 0,80) dan untuk tingkat SMP/MTs. yang dicapai 0,77 (norma SPM 0,80). Tingkat penyelesaian sekolah yang dicapai untuk tingkat SD/MI sebesar 95,1 persen (norma SPM 90 persen) dan untuk tingkat SMP/MTs. sebesar 97 persen (norma SPM 90 persen). Angka partisipasi anak perempuan untuk tingkat SD/MI sebesar 1,01 (norma SPM 0,80 ) dan untuk tingkat SMP/MTs. sebesar 0,79 (norma SPM 0,80). Capaian ketersediaan Guru dan Kepala Sekolah untuk SD/MI sebesar 70 persen (norma SPM 90 persen) dan untuk tingkat SMP/MTs. sebesar 93,89 persen (norma SPM 90 persen). Ketersediaan tenaga kependidikan non guru untuk tingkat SD/MI yang dicapai sebesar 25 persen (norma SPM 80 persen) dan untuk tingkat SMP/MTs. sebesar 15 persen (norma SPM 80 persen). Sementara untuk kelayakan prasarana sekolah, capaian untuk tingkat SD/MI sebesar 85 persen (norma SPM 90 persen) dan untuk tingkat SMP/MTs. sebesar 65 persen (norma SPM 90 persen). Adapun siswa yang mempunyai buku pelajaran lengkap, capaian untuk tingkat SD/MI sebesar 60 persen (norma SPM 90 persen) dan untuk tingkat SMP/MTs. sebesar 65 persen (norma SPM 90 persen). Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk tingkat SD/MI
102
yang dicapai sebesar 75 persen (norma SPM 90 persen) dan untuk tingkat SMP/MTs. sebesar 90 persen ( norma SPM 90 persen). Berdasarkan data indikator pendidikan; apabila indikator pemerataan (persentase melanjutkan, rasio siswa per kelas) dan indikator mutu (persentase lulusan, persentase guru layak mengajar, persentase mengulang, persentase putus sekolah), serta indikator keberhasilan yang merupakan gabungan indikator pemerataan dan mutu dijadikan ukuran kemajuan pendidikan, maka dari aspek pemerataan yang terdiri dari; angka melanjutkan lulusan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, rasio siswa per kelas, ternyata untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah belum merata. Sedangkan dari aspek mutu yang terdiri dari; persentase lulusan, persentase guru layak mengajar, persentase mengulang dan persentase putus sekolah; jenjang pendidikan SD/MI menunjukkan level belum bermutu, sedangkan SMP/MTs. kurang bermutu. Sementara itu dari aspek keberhasilan yang merupakan gabungan dari indikator pemerataan dan mutu menunjukkan bahwa untuk jenjang pendidikan dasar dan SMP/MTs. adalah belum berhasil (Bappeda Kabupaten Barru, 2008). Permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan adalah masih rendahnya angka partisipasi kasar, masih tingginya guru tidak layak mengajar, masih tingginya peserta didik yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, rendahnya kelayakan prasarana sekolah, rendahnya rasio jumlah siswa dengan jumlah buku pelajaran (Bappeda Kabupaten Barru, 2009). Di samping itu, permasalahan lain yang dihadapi sehingga rendahnya tingkat partisipasi kasar terutama pada tingkat pendidikan SMP dan SMA ke atas, adalah rendahnya aksesibilitas dan kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan karena tingginya biaya transport sebagai akibat keterisolasian wilayah, terutama pada wilayah pegunungan.
103
5.2. Karakteristik Rumah Tangga Miskin Menurut Wilayah di Kabupaten Barru. Karakteristik rumah tangga miskin menjadi penting untuk dikaji agar dapat digambarkan secara detil penciri rumah tangga miskin menurut wilayah, yaitu rumah tangga miskin yang berdomisili di wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Penciri rumah tangga miskin berdasarkan wilayah dilakukan untuk menemukan fenomena dan permasalahan rumah tangga miskin dengan menggunakan analisis deskriptif (Tabel dan Grafik). Untuk mempertegas perbedaan penciri rumah tangga miskin berdasarkan wilayah dilakukan “Analysis of Variance “Anova” yang dikenal dengan analisis ragam (Walpole, 1982). Dengan diketahuinya permasalahan dan karakteristik rumah tangga miskin menurut wilayah, maka intervensi kebijakan dan program dapat dilakukan secara optimal, tepat sararan, dan tepat guna. Bukti empiris menunjukkan bahwa intervensi kebijakan dan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan selama ini yang di desain oleh pemerintah pusat seringkali tidak memerhatikan fenomena kemiskinan berdasarkan wilayah. Hasilnya adalah jumlah penduduk miskin masih tinggi dan capaian sasaran yang ditargetkan tidak dapat dicapai. Proporsi rumah tangga miskin sebagaimana digambarkan pada Grafik 1 di bagian pendahuluan terbesar berada pada wilayah pesisir, yaitu rata-rata 56,68 persen dari total rumah tangga miskin di Kabupaten Barru, kemudian pada wilayah pegunungan yaitu rata-rata 24,77 persen dan proporsi terkecil berada pada wilayah dataran rendah yaitu rata-rata 18,83 persen. Namun, kalau dilihat dari insiden kemiskinan menunjukkan hasil yang berbeda. Pada periode tahun 1990 – 1994, insiden kemiskinan antara wilayah pesisir dan pegunungan relatif sama yaitu sekitar 21 persen dan terendah pada wilayah dataran rendah. Sedangkan pada periode 1995 – 2008 terjadi perubahan insiden kemiskinan, dimana insiden kemiskinan pada wilayah pegunungan yang tertinggi, kemudian disusul pada wilayah pesisir, dan terkecil pada wilayah dataran rendah (Grafik 2). Tingginya insiden kemiskinan pada wilayah pegunungan terutama pada tahun 1995 diindikasikan oleh adanya bencana alam berupa angin puting beliung 104
yang melanda wilayah tersebut. Kemudian mengalami kecenderungan menurun sampai pada tahun 1999, akan tetapi mengalami peningkatan pada periode 20002008, hal ini diindikasikan bukan hanya karena bencana alam yang terjadi secara sikluas tetapi juga dipengaruhi oleh semakin menurunnya daya dukung lingkungan pada wilayah tersebut. Penduduk yang berdomisili pada wilayah pegunungan dominan bekerja sebagai petani dan buruh tani dengan lahan yang sempit serta memiliki nilai economic rent yang rendah pula. Selain itu, pada wilayah pegunungan dengan kemiringan tinggi, relative terisolir, dan terbatasnya sarana dan prasarana merupakan salah satu penyebab tingginya insiden kemiskinan. Selanjutnya, pada periode 2006-2008 menunjukkan kecenderungan menurun, hal ini diindikasikan oleh adanya kebijakan percepatan pembangunan wilayah terpencil yang mana sebagian besar berada pada wilayah pegunungan. Grafik 2. Insiden Kemiskinan Berdasarkan Karakteristik Wilayah di Kabupaten Barru (1990-2008) 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00
% Pesisir
% Dataran Rendah
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
0.00
% Gunung
Sumber : Diolah dari data Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Barru 1990-2008.
Berdasarkan hasil uji Anova ditemukan bahwa karakteristik rumah tangga miskin pada wilayah dataran rendah (0) sama dengan karakteristik wilayah pesisir (2), tapi berbeda secara nyata dengan wilayah pegunungan (1) dengan nilai mean difference sebesar 0.175 (lampiran 1). Perbedaan karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah tersebut, terutama pada wilayah pegunungan mengisyaratkan bahwa, rumah tangga miskin di wilayah pegunungan memiliki penciri yang lebih rendah dibanding dengan rumah tangga miskin di wilayah pesisir dan dataran rendah. Dari hasil observasi dan survei rumah tangga yang 105
dilakukan terkait dengan karakteristik rumah tangga miskin dalam disertasi ini dapat diringkaskan beberapa penciri yang membedakan rumah tangga miskin berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru pada bagian berikut. 5.2.1. Profil Umum Rumah Tangga Miskin. Profil umum rumah tangga miskin dilihat dari beberapa aspek yaitu jenis kelamin kepala rumah tangga miskin, umur kepala rumah tangga miskin, dan jumlah tanggungan rumah tangga miskin. Di samping ketiga aspek tersebut, juga dianalisis tentang kondisi perumahan rumah tangga miskin yang dapat memberikan gambaran tentang kondisi aktual perumahan rumah tangga miskin berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru. Karakteritik tersebut diindikasikan dapat menggambarkan kondisi fisik rumah tangga miskin di Kabupaten Barru. Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga. Jenis kelamin kepala rumah tangga miskin dihitung berdasarkan persentase rumah tangga miskin yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pada wilayah pegunungan kepala rumah tangga miskin yang berjenis kelamin laki-laki memiliki proporsi terbesar yaitu 75,29 %, kemudian pada wilayah pesisir 72,16 % dan terendah pada wilayah dataran rendah yaitu 60,75 %. Dengan perkataan lain, bahwa kepala rumah tangga miskin yang berjenis kelamin perempuan terbesar pada wilayah dataran rendah yaitu 39,25 %, kemudian disusul oleh wilayah pesisir yaitu 27,84 % dan terkecil pada wilayah pegunungan sebesar 24,71 % (Grafik 3). Grafik 3. 80
Klasifikasi Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga Miskin Berdasarkan Wilayah di Kabupaten Barru. 75.29
72.16
70
60.75
60 50
39.25
40 30
Laki-laki (%)
27.84
24.71
Perempuan (%)
20 10 0 Pesisir
Dt. Rendah
Pegunungan
Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga di Kabupaten Barru Tahun 2009
106
Berdasarkan hasil uji Anova, ditemukan bahwa jenis kelamin kepala rumah tangga miskin pada semua wilayah berbeda secara nyata. Jenis kelamin kepala rumah tangga pada wilayah dataran rendah (0) memiliki perbedaan dengan wilayah pegunungan (1) dengan nilai mean difference sebesar -0.162, demikian juga dengan wilayah pesisir (2) perbedaannya adalah -0.104. Sedangkan jenis kelamin kepala rumah tangga miskin pada wilayah pegunungan (1) tidak berbeda secara nyata dengan wilayah pesisir (2) tapi berbeda dengan wilayah dataran rendah, lihat lampiran 1. Besarnya jumlah rumah tangga miskin yang dikepalai oleh perempuan pada wilayah dataran rendah diindikasikan oleh tingginya mobilitas penduduk pada wilayah tersebut. Mobilitas dimaksud sebagaimana hasil wawancara dengan responden yaitu melakukan perantauan ke luar wilayah Sulawesi Selatan, yang berdampak pada tingginya perceraian pada wilayah dataran rendah dibanding dengan wilayah pegunungan dan wilayah pesisir. Jumlah Tanggungan Keluarga. Jumlah tanggungan atau anggota keluarga rumah tangga miskin berdasarkan wilayah menunjukkan perbedaan antara wilayah. Jumlah tanggungan terbesar adalah pada wilayah pegunungan yaitu 4,3 jiwa/rumah tangga, kemudian disusul oleh wilayah pesisir dengan jumlah 3,7 jiwa dan terkecil pada wilayah dataran rendah yaitu 3,4 jiwa. Besarnya jumlah tanggungan rumah tangga miskin pada wilayah pegunungan mengindikasikan bahwa program keluarga berencana kurang berhasil dan tidak merata pada semua wilayah. Di samping itu, juga disebabkan oleh adanya budaya masyarakat yang masih percaya pada fameo “semakin banyak anak semakin banyak rejeki”. Kondisi geografis yang terisolir dan terkebelakang berdampak pada rendahnya aksesibilitas penduduk terhadap informasi tentang keluarga yang sejahtera dan juga disebabkan rendahnya intensitas penyuluhan keluarga sejahtera dibanding wilayah lainnya, merupakan salah satu penyebab tingginya jumlah anggota keluarga pada wilayah pegunungan. Demikian halnya dengan rata-rata jumlah anggota keluarga miskin yang bekerja dapat ditunjukkan bahwa rata-rata anggota keluarga rumah tangga miskin yang berkeja lebih dari satu orang. Namun, bila diurutkan rata-rata anggota keluarga yang bekerja tertinggi pada wilayah pegunungan adalah 1,33 jiwa per 107
rumah tangga, kemudian pada wilayah pesisir 1,31 jiwa per rumah tangga, dan pada wilayah dataran rendah adalah 1,20 jiwa per rumah tangga (Grafik 4). Dari hasil uji beda (Anova) ditemukan bahwa rata-rata anggota keluarga yang bekerja antara wilayah dataran rendah dan wilayah pesisir tidak berbeda secara nyata. Akan tetapi rata-rata anggota keluarga yang bekerja pada wilayah pegunungan (1) berbeda secara nyata antara kedua wilayah yaitu pada wilayah dataran rendah (0) dan wilayah pesisir (2). Artinya jumlah anggota keluarga yang bekerja pada wilayah pegunungan lebih besar dibanding jumlah anggota keluarga yang bekerja pada wilayah pesisir dan dataran rendah. Besarnya jumlah anggota keluarga yang bekerja pada wilayah pegunungan tidak dapat diinterpretasikan bahwa penduduk miskin yang berdomisili pada wilayah pegunungan lebih produktif dibanding dengan wilayah pesisir dan dataran rendah. Besarnya jumlah anggota keluarga yang bekerja pada wilayah pegunungan disebabkan oleh banyaknya anggota keluarga yang bekerja sebagai tenaga kerja tidak di upah bahkan sebagai tenaga kerja di bawah umur. Hal ini diindikasikan oleh besarnya jumlah anak yang putus sekolah pada wilayah pegunungan dibanding pada wilayah pesisir dan dataran rendah. Grafik 4. Jumlah Tanggungan dan Jumlah Anggota Keluarga Rumah Tangga Miskin yang Bekerja Berdasarkan wilayah di Kab. Barru, Tahun 2009.
5
4.3 3.7
3.4
4 3 1.31
2
1.33
1.2
1 0 Pesisir
Dt. Rendah
Rata-rata Jumlah Tanggungan (Jiwa)
Gunung
Rata-rata Anggota Keluaraga Bekerja (Jiwa)
Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga di Kabupaten Barru Tahun 2009
Kelompok Umur Kepala Rumah Tangga Miskin. Gambaran tentang kelompok umur kepala rumah tangga miskin dapat dijadikan sebagai ukuran 108
untuk melihat pangsa tenaga kerja rumah tangga. Di samping itu, dengan memahami karakteristik kelompok umur kepala rumah tangga miskin dapat dijadikan sebagai dasar berpijak dalam menentukan intervensi kebijakan yang akan dilakukan. Pada wilayah pegunungan proporsi kelompok umur kepala rumah tangga miskin yang tertinggi yaitu di atas 55 tahun ke atas sebesar 41,17 persen, kemudian disusul oleh kepala rumah tangga dengan kelompok umur antara 40 – 55 tahun sebesar 30,59 persen dan terendah adalah kelompok umur di bawah 40 tahun yaitu 28,24 persen. Selanjutnya pada wilayah pesisir kelompok umur kepala rumah tangga miskin tertinggi adalah kelompok umur 41-55 tahun yaitu 49,70 persen, kemudian diikuti kelompok umur di atas 55 tahun sebesar 33,50 persen, dan terendah adalah kelompok umur di bawah 40 tahun, yaitu 26,80 persen. Sedangkan pada wilayah dataran rendah menunjukkan komposisi yang hampir sama dengan wilayah pegunungan, dimana kelompok umur di atas 55 tahun memiliki proporsi tertinggi yaitu sebesar 35,51 persen, kemudian diikuti oleh di bawah 40 tahun yaitu 32,72 persen dan terendah pada kelompok umur 40-55 tahun sebesar 31,77 persen (Grafik 5). Grafik 5. 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Klasifikasi kelompok umur kepala rumah tangga miskin berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009. 41.17
39.7 33.5
32.72
35.51 31.77
26.8
Pesisir
≤ 40 tahun
Dt. Rendah
41-55 tahun
30.59
28.24
Gunung
> 55 tahun
Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga di Kabupaten Barru Tahun 2009
Namun demikian, berdasarkan analisis Anova ditemukan bahwa kelompok umur kepala rumah tangga pada semua wilayah tidak berbeda secara nyata. 109
Artinya karakteristik kelompok umur pada semua wilayah dianggap homogen atau tidak berbeda nyata secara statistik (lampiran 1). 5.2.2. Kondisi Perumahan Kondisi perumahan rumah tangga miskin menggambarkan beberapa aspek yang terkait, seperti status kepemilikan rumah, status tanah perumahan, sumber air bersih, jenis penerangan rumah, dan jenis jamban keluarga. Kelima hal ini diindikasikan dapat menggambarkan kondisi fisik rumah tangga berdasarkan karakteristik wilayah. Kondisi perumahan rumah tangga miskin berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru dapat dijelaskan secara ringkas pada Tabel 14 berikut. Tabel 14. Kondisi perumahan rumah tangga miskin berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru Tahun 2009. Karakteristik
Pesisir
Dataran Rendah
Pegunungan
1. Kepemilikan Rumah - Milik (%) 82.47 79.44 89.41 - Bukan Milik (%) 17.53 20.56 10.59 - Total (%) 100.00 100.00 100.00 2. Status Tanah Perumahan 50.52 61.68 84.71 - Milik (%) 49.48 38.32 15.29 - Bukan Milik (%) 100.00 100.00 100.00 - Total (%) 3. Sumber Air Bersih 8.76 7.47 56.47 - Leding (%) 86.09 71.03 15.29 - Sumur (%) 5.15 21.50 28.24 - Lainnya (%) 100.00 100.00 100.00 - Total (%) 4. Jenis Penerangan Rumah 84.54 78.50 60.00 - Listrik (%) 15.46 21.50 40.00 - Non Listrik (%) 100.00 100.00 100.00 - Total (%) 5. Jenis Jamban Keluarga 29.16 31.67 50.00 - Sendiri (%) 22.50 42.50 4.17 - Bersama (%) 48.34 25.83 45.83 - Lainnya (%) 100.00 100.00 100.00 - Total (%) Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga di Kabupaten Barru Tahun 2009
Status
Kepemilikan Rumah.
Perumahan dengan
segala pencirinya
merupakan hak azasi manusia, namun seringkali tidak dapat dipenuhi secara optimal. Dalam hal pemenuhan hak azasi terhadap perumahan, pemerintah dalam satu sisi harus mengambil kebijakan yang dapat memberi peluang kepada 110
masyarakat untuk mendapatkan perumahan yang layak. Di satu sisi, masyarakat harus bekerja keras untuk mencapai cita-cita yang diharapkan terutama dalam pemenuhan kebutuhan perumahan itu sendiri. Keduanya harus menjalin sinergitas untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan perumahan masyarakat yang secara baik dan berkeadilan. Secara umum kepemilikan rumah bagi penduduk miskin di Kabupaten Barru adalah 83,76 persen, artinya masih terdapat 16,24 persen penduduk miskin yang belum memiliki rumah (menyewa dan menumpang). Status kepemilikan rumah menunjukkan bahwa, proporsi kepemilikan rumah yang tertinggi adalah pada wilayah pegunungan (89.41 persen) kemudian disusul oleh wilayah pesisir (82.47 persen) dan terendah pada wilayah dataran rendah (79.4 persen). Hal ini mengindikasikan bahwa pemenuhan perumahan bagi penduduk di Kabupaten Barru khususnya kelompok penduduk miskin belum bisa dipenuhi secara optimal sebagaimana di gambarkan pada Grafik 6 berikut. Grafik 6. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Status Kepemilikan Rumah dan Tanah Perumahan Rumah Tangga Miskin berdasrkan wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009. 89.41
82.47
79.44
84.71
61.68 50.52
Pesisir Rumah Milik (%)
Dt. Rendah
Pegunungan
Tanah Perumahan Milik (%)
Sumber: Diolah dari data primer (survei) rumah tangga Kabupaten Barru, Tahun 2009.
Status Kepemilikan Tanah Perumahan. Kepemilikan rumah saja tidak cukup untuk membuat merasa aman, apalagi kalau tanah perumahan yang ditempati hanya menumpang atau sewa. Berbagai fenomena yang sering dipublikasi baik media cetak maupun elektornik dimana terjadi penggusuran rumah, karena tidak 111
ada jaminan kepemilikan lahan perumahan. Keinginan masyarakat untuk memiliki perumahan dan lahan perumahan dengan status hak miliki (property right) belum dapat dipenuhi secara optimal sesuai yang diamanatkan dalam UUD 1945. Di Kabupaten Barru dapat ditunjukkan bahwa kepemilikan tanah perumahan juga belum dapat dioptimalkan dan secara proporsional berbeda antar wilayah. Status kepemilikan tanah perumahan rumah tangga miskin berbeda berdasarkan wilayah. Rumah tangga miskin dengan status kepemilikan tanah perumahan yang tertinggi berada pada wilayah pegunungan yaitu 84.71 persen, kemudian pada wilayah dataran rendah 61.68 persen dan terendah pada wilayah pesisir hanya 50.52 persen. Ketersediaan lahan yang masih luas pada wilayah pegunungan memungkinkan masyarakat mengakses lahan perumahan dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan pada wilayah pesisir. Indikasi dari temuan ini, perlu dilakukan kebijakan yang memberi akses atau ruang bagi masyarakat terutama penduduk miskin untuk memiliki tanah perumahan terutama pada wilayah pesisir, dimana konsentrasi dan kepadatan penduduk di Kabupaten Barru yang tertinggi berada pada wilayah tersebut. Sumber Air Bersih. Pemenuhan kebutuhan akan air bersih di Kabupaten Barru belum terdistribusi secara merata terutama untuk penyediaan air leding yang dianggap sebagai sumber air bersih dan layak untuk dikonsumsi. Dari Tabel 14 tersebut di atas, menunjukkan bahwa untuk wilayah pesisir rumah tangga miskin yang menggunakan air leding hanya sekitar 8.76 persen dan yang menggunakan sumur sebanyak 86.09 persen. Demikian halnya pada wilayah dataran rendah pemenuhan air bersih lebih rendah dibanding dengan wilayah pesisir yaitu hanya 7.47 persen yang menggunakan air leding, 71.03 persen menggunakan air sumur dan sekitar 21.50 persen menggunakan sumber air lainnya, sebagaimana dapat dilihat pada Grafik 7 berikut. Berbeda dengan wilayah pegunungan, rumah tangga miskin yang menggunakan sumber air bersih dari leding relatif lebih besar dibanding dengan wilayah pesisir dan wilayah dataran rendah yaitu 56.47 persen yang bersumber dari mata air yang dilindungi, dan sekitar 15.29 persen menggunakan sumber air bersih dari sumur dan sekitar 28.24 persen menggunakan sumber air lainnya. 112
Tingginya penggunaan air leding di wilayah pegunungan disebabkan oleh penggunaan mata air pegunungan, yang difasilitasi oleh beberapa program pemerintah seperti penyehatan lingkungan permukiman, bantuan dari lembaga donor seperti JICA, CARE, bantuan pemerintah daerah dan swadaya masyarakat. Sedangkan secara keseluruhan pelayanan air bersih di Kabupaten Barru dengan menggunakan air leding baru mencapai 24.33 persen (Bappeda, 2009). Grafik 7.
Kondisi Pemenuhan Kebutuhan Sumber Air Bersih Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru, Tahun 2009.
80
71.03
68.09
70
56.47
60 50 40
28.24
30 20 10
21.5 8.76
5.15
15.29
7.47
0 Pesisir
Dt. Rendah Leding (%)
Sumur (%)
Pegunungan Lainnya (%)
Sumber: Diolah dari data primer (survei) rumah tangga Kabupaten Barru, Tahun 2009.
Jenis Penerangan Rumah Tangga. Jenis penerangan rumah tangga juga menjadi penciri kemampuan suatu rumah tangga, namun tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali ketersediaan sumberdaya listrik tidak tersedia secara baik dan merata, terutama pada daerah-daerah terpencil. Di Kabupaten Barru akses masyarakat terhadap sumberdaya listrik bervariasi antar wilayah. Wilayah pesisir menempati urutan tertinggi dalam penggunaan listrik sebagai sumber penerangan rumah tangga yaitu sekitar 87.08 persen, kemudian disusul oleh wilayah dataran rendah dengan proporsi sebesar 84.17 persen dan terkecil pada wilayah pegunungan dengan persentase 58.33 persen (Grafik 8). Hasil analisis Anova menunjukkan bahwa karakteristik rumah tangga miskin terhadap akses ke PLN berbeda secara nyata antara wilayah dataran rendah (0) dengan wilayah pegunungan (1), namun sama karakteristiknya dengan wilayah 113
pesisir (2). Sedangkan wilayah pegunungan memiliki karakteristik yang berbeda dengan semua wilayah (lampiran 1). Grafik 8. Kondisi Sumber Penerangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru, Tahun 2009.
100
15.46
21.50
40.00
80 60
84.54
78.50
40
60.00
20 0 Pesisir
Dt. Rendah Listrik (%)
Pegunungan
Non PLN (%)
Sumber: Diolah dari data primer (survei) rumah tangga Kabupaten Barru, Tahun 2009.
Rendahnya akses masyarakat di daerah pegunungan terhadap listrik, bukan hanya disebabkan oleh rendahnya kemampuan masyarakat, akan tetapi juga disebabkan oleh tidak tersedianya jaringan listrik dari PLN. Sumber energi listrik yang tersedia di Kabupaten Barru adalah PLTD berjumlah lima unit dengan kapasitas 208 KVA/KWH. Adapun desa yang terjangkau jaringan listrik (PLN) sebanyak 52 Desa/kelurahan (96,30 persen) dengan jumlah pelanggan sebanyak 27.246 rumah tangga (64,50 persen). Dari 52 desa/kelurahan yang terjangkau jaringan listrik hanya sekitar 70 persen yang tersedia jaringan listrik secara penuh atau dapat menjangkau wilayah secara keseluruhan. Sedangkan yang belum terjangkau ada 2 desa dan sekitar 60 dusun dari 228 dusun terutama pada wilayah pegunungan dan dataran rendah (Bappeda Kabupaten Barru, 2009). Jamban Keluarga. Ketersediaan jamban keluarga menjadi salah satu fasilitas rumah sehat yang sangat penting dalam mendukung pola hidup sehat. Di samping ada atau tidak adanya jamban, indikator penggunaan fasilitas jamban juga penting yang dibedakan atas jamban sendiri, jamban bersama, dan jamban umum. Kondisi jamban keluarga rumah tangga miskin juga berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Rumah tangga miskin yang memiliki jamban 114
keluarga permanen secara proporsional yang tertinggi adalah pada wilayah pegunungan dengan persentase 38,82 persen, kemudian disusul dengan wilayah pesisir sebesar 28,35 persen dan terendah pada wilayah dataran rendah dengan persentase 25,35 persen. Sedangkan yang menggunakan jamban bersama tertinggi pada wilayah pesisir yaitu sebesar 24,23 persen, kemudian disusul pada wilayah dataran rendah sebesar 13,10 persen dan terendah pada wilayah pegunungan yaitu 4,71 persen (Grafik 9). Indikasi dari temuan ini, perlu dilakukan upaya mendorong atau memfasilitasi rumah tangga untuk menyediakan jamban keluarga. Dengan perkataan lain, bahwa pemerintah daerah seyogyanya mengembangkan kembali program penyehatan lingkungan pemukiman yang menyediakan sarana dan prasarana jamban keluarga sebagai salah satu program atau kegiatan yang dapat mendukung terciptanya keluarga dan rumah sehat dengan baik. Sebagaimana diketahui bahwa, salah satu prasyarat utama rumah sehat adalah ketersediaan jamban keluarga, sehingga perlu difasilitasi terutama bagi rumah tangga yang tidak mampu. Grafik 9. Kondisi Jamban keluarga Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru, Tahun 2009. 70 60 50 40 30 20 10 0
61.67
56.47
47.42 38.82 28.35
24.23
25.23 13.1 4.71
Pesisir
Dt. Rendah Sendiri (%)
Bersama (%)
Gunung Lainnya (%)
Sumber: Diolah dari data primer (survei) rumah tangga Kabupaten Barru, Tahun 2009.
115
5.2.3. Tingkat Pendidikan. Hubungan antara kemiskinan dan pendidikan sangat penting, karena pendidikan sangat berperan dalam memengaruhi angka kemiskinan. Orang yang berpendidikan lebih baik akan mempunyai peluang yang lebih kecil untuk menjadi miskin. Karakteristik pendidikan yang diuraikan disini adalah tingkat pendidikan kepala rumah tangga, rata-rata lama sekolah anggota keluarga, dan akses ke pelayanan pendidikan. Status pendidikan kepala rumah tangga miskin berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, menunjukkan perbedaan antara wilayah. Proporsi kepala rumah tangga miskin yang tidak tamat SD tertinggi pada wilayah pegunungan dengan persentase 40.00 persen, kemudian pada wilayah dataran rendah dengan persentase 28.97 persen dan terkecil pada wilayah pesisir yaitu 23.20 persen. Selanjutnya kepala rumah tangga miskin yang tamat SD tertinggi pada wilayah dataran rendah yaitu sekitar 63.55 persen, kemudian pada wilayah pesisir yaitu sekitar 58.76 persen dan yang terkecil pada wilayah pegunungan yaitu 49.41 persen. Untuk kepala rumah tangga miskin dengan tingkat pendidikan SMP, tertinggi berada pada wilayah pesisir, yaitu 13.92 persen, kemudian pada wilayah dataran rendah 9.41 persen dan terkecil pada wilayah pegunungan yaitu hanya sebesar 5.61 persen. Demikian halnya dengan kepala rumah tangga miskin yang memiliki tingkat pendidikan SMA ke atas tertinggi pada wilayah pesisir yaitu 4.12 persen, disusul wilayah dataran rendah yaitu 1.87 persen dan terendah pada wilayah pegunungan yaitu 1.18 persen (Grafik 10). Dari gambaran karakteristik pendidikan rumah tangga miskin berdasarkan wilayah menunjukkan perbedaan antar wilayah, dimana rumah tangga yang berpendidikan tidak tamat SD terbesar pada wilayah pegunungan, kemudian wilayah dataran rendah, dan terkecil pada wilayah pesisir. Selanjutnya, untuk rumah tangga berpendidikan tamat SD terbesar pada wilayah dataran rendah, kemudian pada wilayah pesisir dan terkecil pada wilayah pegunungan. Sedangkan untuk pendidikan menengah (SMP dan SMA) tertinggi pada wilayah dataran rendah, kemudian pada wilayah pesisir, dan terendah pada wilayah pegunungan. 116
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan kepala rumah tangga miskin di Kabupaten Barru terburuk pada wilayah pegunungan dibandingkan dengan tingkat pendidikan pada wilayah dataran rendah dan pesisir. Grafik 10. Perkembangan Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru, Tahun 2009. 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 -
58.76
63.55 49.41
23.20
28.97
34.4 13.92
TTSD (%)
SD (%) Pesisir
Dt. Rendah
9.41
5.61
SMP (%)
4.12 1.87 1.18 SMA (%)
Gunung
Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga di Kabupaten Barru Tahun 2009
Secara tegas perbedaan karakteristik pendidikan kepala rumah tangga berdasarkan wilayah dapat dibuktikan dari hasil analisis Anova. Dari hasil Anova diperoleh bahwa, pendidikan kepala rumah tangga yang berada pada wilayah dataran rendah (0) berbeda secara nyata terhadap wilayah pegunungan (1), namun sama karakteristiknya dengan wilayah pesisir (2). Sedangkan karakteristik pendidikan kepala rumah tangga pada wilayah pegunungan (1) berbeda nyata dengan karakteristik pendidikan pada wilayah dataran rendah (0) dan pada wilayah pesisir (2), lihat lampiran 1. Demikian halnya dengan akses penduduk miskin terhadap pelayanan pendidikan baik untuk SMP maupun SMA memiliki perbedaan yang nyata antar wilayah. Dari hasil analisis Anova, menunjukkan bahwa akses ke pelayanan SMP memiliki perbedaan karakteristik yang nyata antara wilayah dataran rendah (0) dengan wilayah pegunungan (1) dan wilayah pesisir (2), namun magnitudnya berbeda, dimana perbedaan antara wilayah dataran rendah dan pegunungan memiliki nilai pembeda yang lebih tinggi (3.006) dibanding dengan wilayah dataran rendah dan pegunungan (-6.887). Sedangkan wilayah pegunungan karakteristiknya sangat berbeda nyata dengan wilayah pesisir dengan nilai mean 117
difference-nya sebesar -9.894 (lihat lampiran 1). Selain itu, tingkat aksesibilitas rumah tangga terhadap pelayanan SMA memiliki perbedaan yang sangat nyata, dimana akses penduduk pada wilayah pegunungan (1) dengan wilayah dataran rendah (0) dengan nilai mean-difference sebesar -31.137 dan antara dataran rendah dengan wilayah pesisir (2) nilai mean-difference sebesar 2,414. Pada wilayah pegunungan dua dari tiga desa yang menjadi lokus penelitian, akses masyarakat ke sekolah lanjutan (SMP) relatif bagus, kecuali pada Desa Pujananting yang memiliki jarak tempuh ke SMP di atas 40 menit dengan biaya transportasi yang tinggi sehingga banyak tamatan SD yang tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Berbeda dengan dua desa lainnya, yaitu Desa Pattappa dan Desa Paccekke, fasilitas pendidikan menengah (SMP) sudah tersedia di desa masing-masing, sehingga partisipasi dalam pendidikan lanjutan (SMP) lebih tinggi dibanding dengan Desa Pujananting. Di sisi lain, ketiga desa lokus penelitian yang berada pada wilayah pegunungan memiliki akses ke pelayanan pendidikan menengah atas (SMA) sangat rendah, yang berakibat banyaknya tamatan SMP yang tidak melanjutkan sekolah. Hal ini disebabkan oleh jarak tempuh dan biaya transportasi yang mahal, serta kurang tersedianya moda transportasi yang memadai setiap hari. Sedangkan rata-rata lama sekolah anggota rumah tangga tertinggi adalah pada wilayah pesisir dengan rata-rata 5.4 tahun, disusul oleh wilayah dataran rendah yaitu rata-rata 4.4 tahun dan terendah pada wilayah pegunungan dengan rata-rata 3.9 tahun. Namun demikian, kalau dilihat rata-rata lama sekolah anggota keluarga di tingkat kabupaten juga relatif rendah yaitu hanya mencapai 4,8 tahun. Perbedaan karakteristik rata-rata lama sekolah anggota rumah tangga miskin dipertegas dengan hasil analisis Anova yang menunjukkan bahwa karakteristik rata-rata lama sekolah anggota rumah tangga berbeda secara nyata antara wilayah dataran rendah (0) dengan karakteristik rumah tangga pada wilayah pesisir (2), namun karakteristiknya sama dengan wilayah pegunungan (1). Sedangkan karakteristik rata-rata lama sekolah anggota keluarga pada wilayah pegunungan (1) berbeda dengan wilayah pesisir (2), akan tetapi sama karakteristiknya pada
118
wilayah dataran rendah (0). Selanjutnya, karakteristik rata-rata lama sekolah anggota keluarga berbeda secara nyata antara kedua wilayah lainnya. Implikasi dari hasil temuan ini, bahwa penyediaan pelayanan publik di bidang pendidikan di Kabupaten Barru masih mengalami ketimpangan berdasarkan wilayah, terutama pelayanan pendidikan menengah. Dengan demikian, maka diperlukan kebijakan yang dapat meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pendidikan menengah ke atas, khususnya pada wilayah pegunungan. Meningkatnya akses masyarakat ke pelayanan pendidikan menengah ke atas, akan berdampak pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Dengan meningkatnya kualitas sumberdaya manusia khususnya bagi masyarakat miskin maka terbuka peluang untuk memperoleh lapangan pekerjaan pada sektor formal yang menjamin meningkatnya pendapatan mereka. 5.2.4. Kesehatan Kepala Rumah Tangga Miskin Kesehatan kepala rumah tangga sangat terkait dengan tingkat kesejahteraan rumah tangga. Tingkat kesehatan yang baik memberikan peluang untuk bekerja secara produktif, begitu pula sebaliknya ketika tingkat kesehatan kurang baik, maka produktivitas menjadi menurun. Di samping itu, rumah tangga atau kepala rumah tangga yang tidak sehat bukan hanya tidak produktif, akan tetapi juga meningkatkan biaya hidup terutama untuk biaya pengobatan, dan bisa berdampak buruk pada generasi berikutnya. Di Kabupaten Barru proporsi kepala rumah tangga miskin yang sehat tertinggi pada wilayah pesisir yaitu sekitar 89.58 persen. Selanjutnya disusul pada wilayah dataran rendah dengan persentase 81.86 persen dan yang paling rendah tingkat kesehatan kepala rumah tangganya adalah pada wilayah pegunungan yaitu 80.83 persen (Grafik 11). Dengan perkataan lain, jumlah kepala rumah tangga miskin yang sakit terbesar pada wilayah pegunungan, yaitu 19,17 persen. Kesehatan kepala rumah tangga dalam bagian ini adalah kepala rumah tangga yang sakit sehingga tidak produktif atau tidak dapat bekerja karena sakit. Dari hasil analisis Anova menunjukkan bahwa karakteristik kesehatan kepala rumah tangga miskin berdasarkan wilayah berbeda secara nyata. Karakteristik kesehatan kepala rumah tangga antara wilayah dataran rendah (0) 119
sama dengan wilayah pegunungan (1), namun karakteristiknya berbeda dengan wilayah pesisir (2) dengan nilai mean difference -0,115. Sedangkan karakteristik kesehatan kepala rumah tangga pada wilayah pegunungan (1) berbeda secara nyata dengan wilayah pesisir (2) dengan nilai mean difference adalah -0.084. Grafik 11.
Tingkat Kesehatan Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009. 89.58
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
81.86
51.67
80.83
55.83 37.5
Sehat (%) Askes (%)
Pesisir
Dataran Rendah
Pegunungan
Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga Tahun 2009. Di samping tingkat kesehatan kepala rumah tangga, untuk mengurangi beban masyarakat miskin akan biaya pengobatan maka asuransi kesehatan (ASKES) sangat diperlukan. Pemerintah dan Pemerintah Daerah telah membuat kebijakan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin, namun secara kuantitas proporsi rumah tangga miskin yang mendapatkan akses ke pelayanan kesehatan secara baik ditandai dengan adanya asuransi kesehatan belum dapat dipenuhi secara menyeluruh. Pemerintah Pusat melalui asuransi kesehatan nasional (ASKESNAS) dan Pemerintah Daerah melalui asuransi kesehatan daerah (ASKESDA) belum mampu memberikan jaminan kesehatan secara merata kepada seluruh rumah tangga miskin. Distribusi pelayanan ASKES tampak bahwa secara rata-rata baru 48.33 persen rumah tangga miskin yang mendapatkan ASKES. Kalau dilihat berdasarkan wilayah, pada wilayah dataran rendah mendapatkan ASKES tertinggi yaitu 55.83 persen, kemudian disusul pada wilayah pesisir sebesar 51.67 persen dan terendah pada wilayah pegunungan yaitu 37.50 persen.
120
Hasil analisis Anova menunjukkan bahwa karakteristik jaminan kesehatan rumah tangga miskin antara wilayah dataran rendah (0) berbeda secara nyata dengan wilayah pegunungan (1) dengan nilai mean difference adalah 0.161. Sedangkan karakteristik jaminan kesehatan rumah tangga miskin pada wilayah pegunungan (1) berbeda secara nyata terhadap kedua wilayah, yaitu pada wilayah dataran rendah (0) dan wilayah pesisir (2) dengan nilai mean difference wilayah dataran rendah adalah -0,161 lebih besar daripada wilayah pesisir yaitu -0.131. Implikasi dari temuan ini, bahwa intervensi kebijakan penyediaan layanan publik khususnya pelayanan kesehatan dan penyediaan asuransi kesehatan harus ditingkatkan terutama pada wilayah pegunungan. Di samping itu, pelayanan kesehatan gratis bukan hanya diarahkan bagi penyakit menular dan penyakit ringan, akan tetapi perlu diarahkan pada penanganan masalah penyakit yang sifatnya tahunan atau penyakit yang membuat kepala rumah tangga menjadi tidak produktif. Hal ini menjadi penting karena beberapa hasil survei dan wawancara dengan responden ditemukan beberapa kepala keluarga yang tadinya produktif, akan tetapi karena terkena penyakit menahun, sehingga menjadi tidak produktif lagi dan pada akhirnya menjadi miskin. 5.2.5. Kepemilikan Lahan dan Nilai Asset Produktif Kepemilikan lahan dan nilai asset produktif merupakan penciri kemampuan ekonomi suatu rumah tangga serta terkait dengan kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan. Terbatasnya kepemilikan lahan dan asset produktif akan memengaruhi kemampuan rumah tangga untuk mengatasi eksternalitas seperti gejolak ekonomi dalam tataran makro dan guncangan musim pada tataran meso. Gambaran kepemilikan lahan bagi rumah tangga miskin di Kabupaten Barru dapat ditunjukkan bahwa rata-rata kepemilikan lahan terendah pada wilayah pesisir yaitu 0,03 Ha per rumah tangga, kemudian pada dataran rendah adalah 0,09 Ha, dan tertinggi pada wilayah pegunungan yaitu rata-rata 0,21 Ha per rumah tangga (Grafik 12). Namun, kalau dilihat dari nilai asset produktif yang dimiliki rumah tangga miskin di Kabupaten Barru, dapat dijelaskan bahwa tertinggi pada wilayah pesisir yaitu sekitar Rp. 7,81 juta per rumah tangga, kemudian disusul oleh wilayah dataran rendah yaitu Rp. 5,45 juta per rumah tangga, dan terkecil pada wilayah 121
pegunungan yaitu Rp. 2,09 juta per rumah tangga. Hal ini mengindikasikan bahwa luas lahan bukan berarti memiliki nilai yang tinggi, artinya nilai asset produktif tergantung pada nilai intrinsik yang dimiliki, baik berupa tingkat kesuburan maupun terkait dengan lokasi. Grafik 12. Kondisi kepemilikan lahan dan nilai asset produktif rumah tangga miskin berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009.
Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga Tahun 2009. Selanjutnya, dari hasil uji beda (Anova) ditunjukan bahwa karakteristik kepemilikan lahan rumah tangga miskin berbeda antar wilayah. Rumah tangga pada wilayah dataran rendah (0) berbeda secara nyata dengan rumah tangga miskin pada wilayah pegunungan (1) dengan nilai mean difference adalah -0.267 dan tidak berbeda nyata dengan rumah tangga pada wilayah pesisir (2). Selain itu, karakteristik rumah tangga miskin pada wilayah pegunungan (1), berbeda secara nyata dengan kedua wilayah, dengan nilai mean difference dengan wilayah dataran rendah (0) yaitu 0.267 dan wilayah pesisir (2) adalah 0.288. Sedangkan hasil analisis untuk nilai asset produktif yang dimiliki rumah tangga miskin tidak berbeda secara nyata antara wilayah. 5.2.6. Akses ke Lembaga Keuangan Formal Akses ke lembaga keuangan formal merupakan fenomena dan permasalahan yang dihadapi oleh rumah tangga miskin dalam mendapatkan modal usaha. Hal ini disebabkan karena rendahnya kemampuan penduduk miskin dalam memenuhi persyaratan administrasi yang dipersyaratkan oleh lembaga keuangan formal. Di samping keterbatasan administrasi tersebut, ketersediaan lembaga permodalan yang ada di tengah-tengah masyarakat seperti tengkulak, ponggawa bonto 122
(pemodal pada nelayan) dengan suku bunga yang tinggi tidak memberikan solusi bagi masyarakat terutama masyarakat miskin dalam mengembangkan usahanya. Justru yang terjadi adalah sebaliknya yaitu menjadi beban dan penghambat perkembangan usaha kecil dan mikro masyarakat karena terjadinya hubungan eksploitatif. Di Kabupaten Barru karakteristik rumah tangga miskin dalam mengakses lembaga keuangan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Akses penduduk miskin ke pelayanan lembaga keuangan formal tertinggi pada wilayah pesisir yaitu 15,42 persen, kemudian pada wilayah dataran rendah sebesar 7,56 persen, dan terkecil berada pada wilayah pegunungan yaitu hanya 5,78 persen (Grafik 13). Namun demikian, akses masyarakat terhadap lembaga keuangan formal yang hanya berada di bawah 15,42 persen memberikan gambaran bahwa penyediaan modal usaha bagi penduduk, khususnya penduduk miskin masih relatif rendah. Grafik 13. Aksesibilitas rumah tangga terhadap lembaga keuangan formal berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009. 100 80 60
92.44
94.22
84.58
Tdk Akses (%) Akses (%)
40 20 7.56 0 Dtrn Rdh
5.78 Pegunungan
15.42 Pesisir
Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga Tahun 2009. Dari hasil analisis Anova juga menunjukkan bahwa akses penduduk miskin ke lembaga keuangan formal memiliki karakteristik yang berbeda secara nyata antar wilayah (lampiran 1). Antara wilayah dataran rendah (0) berbeda karakteristiknya dengan wilayah pegunungan (1), namun sama karakteristiknya dengan wilayah pesisir (2). Sedangkan karakteristik rumah tangga pada wilayah 123
pegunungan (1) terhadap akses ke lembaga keuangan formal berbeda antara kedua wilayah lainnya, dimana wilayah pesisir (-0.138), lebih besar dibandingkan dengan wilayah dataran rendah (-0.084). 5.2.7. Akses ke Pelayanan Publik. Akses masyarakat ke pelayaan publik yang diamati dalam disertasi ini adalah yang terkait langsung dengan masyarakat, seperti pelayanan kesehatan, pemerintahan, dan pasar. Dalam uraian ini, dapat di gambarkan akses masyarakat ke pelayanan publik yang dilihat dari waktu tempuh ke pusat pelayanan. Akses masyarakat ke pusat pelayanan berbeda antar wilayah, hal ini diakibatkan ketersediaan pelayanan publik yang tidak merata, juga disebabkan oleh kondisi wilayah dengan karakteristik yang berbeda pula. Untuk melihat perbedaan aksesibilitas penduduk miskin terhadap pelayanan publik tersebut, secara ringkas digambarkan pada Tabel 15 berikut. Tabel 15. Tingkat aksesibilitas penduduk ke pelayanan publik wilayah, Tahun 2009. Akses Pegunungan Dataran Rendah 1. Puskesmas pembantu 5.40 4.80 (Waktu tempuh/menit) 2. Puskesmas (Waktu 25.00 7.00 Tempuh/menit) 3. Kantor Desa (Waktu 4.90 3.70 Tempuh/menit) 4. Kantor Camat (Waktu 25.00 7.00 Tempuh/menit) 5. Ibu Kota Kabupaten (Waktu 57.00 23.00 Tempuh/menit) 6. Pasar (Waktu 25.00 10.08 Tempuh/menit)
berdasarkan Pesisir 8.60 12.00 6.80 12.00 33.00 8.25
Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga Kabupaten Barru, Tahun 2009
Berdasarkan data di atas, dapat diuraikan bahwa akses ke pelayanan kesehatan (puskesmas pembantu) relatif sama antar wilayah yang diukur dari waktu tempuh ke pusat pelayanan, yaitu antara 4.80 menit sampai 8.60 menit. Demikian halnya ke pelayanan kantor desa waktu tempuh yang digunakan juga relatif sama yaitu antara 3.70 menit sampai 6.80 menit. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat aksesibilitas masyarakat ke pelayanan kesehatan 124
(puskesmas pembantu) dan kantor desa (pelayanan pemerintahan desa) kalau diukur dari waktu tempuh relatif tinggi. Berbeda dengan pelayanan pemerintah kecamatan yang diukur dari waktu tempuh ke kantor camat, menunjukkan variasi yang berbeda antar wilayah, dimana pada wilayah pegunungan menggunakan waktu tempuh yang tertinggi yaitu rata-rata 25 menit, kemudian disusul wilayah pesisir 12 menit dan terendah pada wilayah dataran rendah yaitu dengan waktu tempuh rata-rata 7 menit. Hal ini sama dengan pelayanan puskesmas, dimana pada setiap ibukota kecamatan terdapat pelayanan puskesmas dan terdapat puskesmas pembantu pada wilayahwilayah strategis terutama pada wilayah pegunungan. Sedangkan untuk pelayanan pemerintahan Kabupaten, menunjukkan bahwa wilayah pegunungan memiliki akses terendah, apabila dikaitkan dengan waktu tempuh ke pusat pelayanan pemerintahan. Wilayah pegunungan dengan waktu tempuh rata-rata 57 menit, kemudian disusul oleh wilayah dataran rendah dengan waktu tempuh sekitar 10.08 menit dan tertinggi aksesnya adalah pada wilayah pesisir dengan rata-rata waktu tempuh 8.25 menit. Dengan kondisi demikian, maka perlu dilakukan penyederhanaan dan distribusi pelayanan publik yang terkait dengan pelayanan perizinan dan pelayanan administrasi ke wilayah kecamatan, terutama pada wilayah pegunungan. Selanjutnya, tingkat aksesibilitas ke pelayanan pasar terlihat adanya perbedaan waktu tempuh, dimana pada wilayah pegunungan menggunakan waktu terlama yaitu rata-rata 25 menit, kemudian disusul oleh wilayah dataran rendah yaitu 10,08 menit, dan terendah pada wilayah pesisir yaitu 8,25 menit. Rendahnya aksesibilitas masyarakat pegunungan terhadap pasar berdampak pada rendahnya interaksi dengan pelaku-pelaku ekonomi yang terpusat pada wilayah perkotaan, serta menyebabkan tingginya biaya transportasi dalam memasarkan produkproduk yang dihasilkan. 5.2.8. Tingkat Partisipasi dalam Proses Pembangunan Eksistensi keberdayaan masyarakat terutama dalam era otonomi daerah dituntut semakin meningkatnya peran serta aktif masyarakat dalam proses pembangunan, yaitu proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian 125
pelaksanaan pembangunan. Hal ini secara tegas diamanatkan dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, diharapkan dimulai dari level pemerintahan yang paling rendah yaitu di tingkat desa/kelurahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes). Di Kabupaten Barru, dapat ditunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada proses pembangunan masih relatif rendah. Dalam proses pembangunan tingkat partisipasi masyarakat yang tertinggi berada pada wilayah dataran rendah, kemudian disusul oleh wilayah pegunungan, dan terendah pada pada wilayah pesisir. Dalam proses perencanaan pembangunan keterlibatan masyarakat pada wilayah dataran rendah mencapai 31,67 persen, kemudian pada wilayah pegunungan sebesar 25,00 persen, dan terendah pada wilayah pesisir hanya 2.92 persen. Dalam pelaksanaan pembangunan keterlibatan masyarakat yang tertinggi juga pada wilayah dataran rendah dengan tingkat partisipasi sebesar 32,50 persen, kemudian pada wilayah pegunungan sebesar 19.17 persen, dan terendah pada wilayah pesisir sebesar 1.25 persen. Demikian juga dalam proses pengendalian pelaksanaan pembangunan partisipasi masyarakat tertinggi juga pada wilayah dataran rendah dengan tingkat partisipasi sebesar 10,00 persen, kemudian wilayah sebesar 5.83 persen, dan terendah pada wilayah pesisir dengan tingkat partisipasi sebesar 0.42 persen, dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009 Wilayah Pegunungan N = 120 Dataran Rendah N = 120 Pesisir N = 240
Perencanaan
Pelaksanaan
Pengendalian
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
30
25.00
23
19.17
7
5.83
38
31.67
39
32.50
12
10.00
7
2.92
3
1.25
1
0.42
Sumber : Diolah dari data primer (survei) rumah tangga Kabupaten Barru Tahun 2009.
126
Hasil analisis Anova, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan karakteristiknya berbeda secara nyata antara wilayah. Karakteristik tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan pada wilayah dataran rendah (0), berbeda secara nyata terhadap wilayah pegunungan (1) dan pada wilayah pesisir (2). Demikian juga nilai mean difference berbeda secara nyata dan yang tertinggi adalah antara wilayah dataran rendah dan pegunungan yaitu -0,373 dan diikuti antara wilayah dataran rendah dan wilayah pesisir dengan nilai mean difference-nya adalah -0.209 (lampiran 1). Implikasi dari temuan penelitian ini, bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan lebih baik pada wilayah dataran rendah. Dengan kondisi demikian, maka dapat disimpulkan bahwa kemajuan masyarakat di daerah dataran rendah lebih baik dibandingkan dengan masyarakat di wilayah pegunungan dan wilayah pesisir, ketika diukur dari tingkat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. 5.3. Kerentanan Rumah Tangga Miskin Hasil
analisis
kerentanan
dengan
menggunakan
persamaan
logit
menunjukkan beberapa variabel yang signifikan secara statistik pada taraf nyata 1 % sampai 10 %. Variabel yang signifikan meliputi variabel jenis kelamin, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, akses ke lembaga keuangan formal, tingkat kesehatan kepala rumah tangga, akses ke pelayanan listrik (PLN), karakteristik wilayah (domisili rumah tangga), partisipasi dalam proses pembangunan, dan nilai asset yang dimiliki (lampiran 2). Dari nilai concordant, dapat disimpulkan bahwa 95,6 persen pengamatan dapat diprediksi dengan benar. Selanjutnya nilai (Somer’s D, Goodman-Kruska Gamma, dan Kendall’s Tau-a), diperoleh nilai masing-masing 0.91, 0.92, dan 0.29. Hal ini menunjukkan bahwa nilainya mendekati nilai 1, berarti prediksi dari model dugaan yang diperoleh semakin baik (Juanda, 2009). Hasil analisis ekonometrika dengan model persamaan logit terhadap kerentanan atau peluang
127
rumah tangga untuk menjadi miskin di Kabupaten Barru dapat diringkas pada Tabel 17. Di samping itu, dari hasil analisis persamaan logistik diperoleh nilai intercept sebesar 12.0217, yang mengindikasikann bahwa peluang rumah tangga menjadi miskin sebesar 12.0217 kali apabila semua variabel X atau variabel bebas lainnya bernilai 0 (nol). Dengan perkataan lain, dapat diartikan bahwa akan terjadi peningkatan persentase rumah tangga miskin sebesar 12,022 persen per tahun di Kabupaten Barru, ketika variabel mikro lainnya seperti jenis kelamin, jumlah tanggungan rumah tangga, pendidikan, kesehatan, akses ke lembaga keuangan, domisili rumah tangga, dan tingkat partisipasi dalam proses pembangunan, serta nilai asset yang dimiliki sama atau konstan. Tabel 17. Hasil pendugaan model persamaan logit kerentanan rumah tangga miskin di Kabupaten Barru. Variabel
Koefisien
P-Value
12.0217 -1.2542 0.2155
0.000 0.083 0.097
Odds Ratio 0.29 1.24
-1.215 -2.517 -2.487 -1.789 -3.934
0.143 0.010 0.000 0.032 0.002
0.30 0.08 0.08 0.17 0.02
D1 = 1, jika tamat SD, 0 lain D2 = 1, jika tamat SMP, 0 lainnya 1 = Ya, 0 lainnya 1 = Sehat, 0 sakit 1 = Akses ke PLN, 0 lainnya
0.018
0.976
1.02
2
-1.619
0.012
0.20
Nilai Asset D11_Kewilayahan 1
-0.067
0.000
0.93
D1 = 1, jika aktif dlm perenc. pemb. dan 0, jika lainnya. D2 = 1, jika aktif dlm pelaksanaan dan pengendalian pemb. dan 0, jika lainnya. (Rp. Juta)
-1.285
0.035
0.28
0.363
0.502
1.44
Intercept D1_JNKL JMTG D3_PDKRT 1 2 D5_AkLKeu D6_KesKRT D8_Ak PLN D9_PrPEMB 1
2
Variabel
1= Laki-laki, 0 perempuan Jml Tanggungan (jiwa)
D1= 1, jika berdomisili di Pegunungan, dan 0 jika lainnya D2= 1, jika berdomisili di Pesisir, dan 0 jika lainnya
Concordant 95,6
128
Penjelasan koefisien dan odds ratio variabel-variabel persamaan
yang
siginifikan secara statistik pada taraf nyata antara 1% sampai 10 %, berturut-turut dapat diuraikan berikut ini. 5.3.1. Jenis Kelamin. Hasil pendugaan variabel jenis kelamin menunjukkan bahwa kerentanan atau peluang rumah tangga yang kepala keluarganya laki-laki untuk menjadi miskin adalah 0.29 kali dibandingkan dengan rumah tangga yang kepala rumah tangganya perempuan, ceteris paribus. Dengan perkataan lain, bahwa rumah tangga yang kepala keluarganya adalah perempuan memiliki kerentanan atau peluang yang lebih besar untuk menjadi miskin dibanding dengan rumah tangga yang kepala keluarganya laki-laki. Permasalahan utama yang dihadapi oleh rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan adalah kemampuan atau kapasitas perempuan yang relatif lebih rendah dibanding laki-laki. Hasil survei yang dilakukan ditemukan bahwa rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan di Kabupaten Barru hanya 3,25 persen yang tamat SD sedangkan selebihnya adalah tidak tamat SD (96,8 %) dan kemampuan baca tulis hanya mencapai 52,8 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa kepala rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan tidak ada yang menamatkan pendidikan menengah (SMP ke atas), sehingga kemampuan dan kapasitas kepala rumah tangga perempuan jauh lebih rendah dibanding dengan kepala rumah tangga laki-laki. Selain itu, kepala rumah tangga perempuan yang berumur di atas 55 tahun adalah 62 kepala rumah tangga (dari 123 KRT) atau sekitar 50,41 persen, dan yang mengalami sakit sehingga tidak dapat bekerja lagi adalah 26,02 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kepala rumah tangga perempuan yang tidak produktif kalau dilihat dari tingkat umur dan sakit adalah tinggi, sehingga menyebabkan mereka hidup dalam kemiskinan kronik. Di sisi lain, keterbatasan perempuan dalam pengambilan kebijakan merupakan salah satu faktor penyebab rentannya terhadap kemiskinan. Dari dokumen perencanaan desa lokus penelitian ditemukan bahwa
tingkat
partisipasi
perempuan
dalam
perencanaan
pembangunan
(musrenbangdes) pada tiga wilayah (pesisir, dataran rendah dan pegunungan) rata129
rata di bawah 5 persen. Selain itu, jenis pekerjaan yang digeluti oleh kepala rumah tangga perempuan lebih banyak pada sektor non formal sehingga secara finansial sangat terbatas dan kurang stabil. Kondisi ini juga menyebabkan posisi tawar perempuan dalam pengambilan keputusan dalam lingkungan masyarakat yang terbatas. Kenyataan ini turut mempersempit sumber-sumber keuangan bagi kaum perempuan, sehingga posisi mereka secara finansial kurang stabil apabila dibandingkan dengan kaum pria. Implikasinya bahwa, kepala keluarga perempuan adalah kemampuan untuk mendapatkan pendapatan (income) dalam keluarga adalah relatif rendah, karena keterbatasan jenis pekerjaan yang sesuai dengan perempuan. Di samping itu, mobilitas untuk mendapatkan pekerjaan relatif sulit, baik di daerah perdesaan maupun di daerah perkotaan (Makmun, 2003). Beberapa kajian yang relevan seperti Amiruddin dan Purnama (2005), menyebutkan bahwa sebagian besar perempuan Indonesia adalah miskin karena tidak hanya secara ekonomi mereka terkebelakang akan tetapi juga dalam hal keterbatasan akses terhadap informasi, pendidikan, politik, kesehatan, dan partisipasi merekapun kurang diberi tempat, baik dalam pengambilan keputusan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat. Hal ini relevan dengan Bank Dunia (2006), yang menyatakan bahwa secara umum peran wanita sebagai kepala rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya biasanya akan mengalami banyak kendala dibanding dengan peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Hal ini berkaitan dengan kodrat wanita yang harus berperan ganda di dalam rumah tangga sebagai pencari nafkah dan ibu yang harus melahirkan, merawat dan membesarkan anak-anaknya. Cherchye et al. (2008) menyebutkan bahwa perempuan yang menjadi janda yang diakibatkan oleh suami meninggal dan menjadi kepala rumah tangga tidak mampu memenuhi dan menyeimbangkan pengeluaran keluarganya dibanding dengan laki-laki. Selain itu, sumber dari permasalahan lainnya yang dihadapi oleh perempuan sebagaimana disampaikan oleh Muhajir (2005), terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai yang hidup di masyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti tercermin dalam 130
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sistem distribusi sumberdaya yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminatif, marjinalisasi, eksploitasi maupun kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan Todaro dan Smith
(2006), menyebutkan bahwa kelemahan-
kelemahan perempuan, biasa dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti (i) rendahnya kesempatan dan kapasitas mereka dalam memiliki pendapatan sendiri; (ii) terbatasnya kesempatan untuk menikmati pendidikan, pekerjaan yang layak di sektor formal, dan berbagai tunjangan sosial; dan (iii) terbatasnya akses ke program-program penciptaan lapangan kerja oleh pemerintah (bias gender policy). Di sisi lain, hasil temuan ini mengisyaratkan bahwa keterbatasan perempuan dalam segala aspek tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena bisa berdampak pada generasi yang akan datang, maka perlu dilakukan pemberdayaan perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam aktivitas sosial, politik dan ekonomi. Hal ini sejalan dengan beberapa ekonom yang menyatakan bahwa, ketika pemberdayaan perempuan dapat ditingkatkan dalam aktivitas ekonomi, maka pengentasan kemiskinan dapat dilakukan secara optimal (Yunus, 2007). Demikian halnya dengan Hayami (2001), yang menyebutkan bahwa kontribusi perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan rumah tangga sangat tinggi, sehingga peran perempuan dalam pengambilan kebijakan, aktivitas non pertanian dan perdagangan perlu ditingkatkan. Salah satu cara untuk meningkatkan peran perempuan dalam perbaikan kondisi sosial ekonomi keluarga adalah peningkatan kualitas pendidikan perempuan dan peningkatan partisipasi dalam proses pembangunan dan pengambilan kebijakan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Todaro dan Smith (2006) menyebutkan bahwa tingkat pengembalian (rate of return) dari pendidikan perempuan lebih tinggi daripada tingkat pengembalian pendidikan laki-laki. Peningkatan pendidikan kaum perempuan tidak hanya menaikkan produktivitasnya, tetapi meningkatkan partisipasi tenaga kerja, 131
fertilitas yang lebih rendah, dan perbaikan kesehatan serta gizi anak-anak. Kesehatan dan gizi anak-anak yang lebih baik serta ibu yang lebih terdidik akan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) terhadap kualitas anak bangsa pada generasi yang akan datang. Bahkan diyakini bahwa perbaikan yang signifikan dalam peran dan status perempuan melalui pendidikan dapat mempunyai dampak penting dalam memutuskan lingkaran setan kemiskinan. Dari hasil pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesehatan, usia lanjut, dan rendahnya partisipasi dalam proses pembangunan diindikasikan sebagai penyebab utama tingginya kerentanan atau peluang rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan untuk menjadi miskin. Di samping itu, budaya patriarki, diskriminasi dalam kepemilikan asset dan kurangnya desain program yang pro jender, serta kurangnya kesempatan yang dimiliki untuk terlibat dalam pengambilan keputusan menjadi penyebab lain rentannya perempuan untuk menjadi miskin dibanding dengan laki-laki. 5.3.2. Jumlah Tanggungan Keluarga. Hasil pendugaan variabel jumlah tanggungan keluarga menunjukkan bahwa rumah tangga dengan jumlah tanggungan yang lebih besar memiliki kerentanan atau peluang untuk menjadi miskin sebanyak 1.24 kali bila dibandingkan dengan rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga atau tanggungan yang kecil, ceteris paribus. Dengan perkataan lain, bahwa rumah tangga dengan jumlah tanggungan yang relatif lebih besar, memiliki kerentanan terhadap kemiskinan yang lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki jumlah tanggungan yang relatif kecil. Besarnya jumlah tanggungan keluarga berpengaruh terhadap pengeluaran rumah tangga atau biaya hidup (cost of living), baik untuk konsumsi makanan maupun untuk konsumsi non makanan. Jumlah tanggungan rumah tangga yang besar berimplikasi kepada kemampuan rumah tangga untuk membiayai keluarganya, terutama dalam memenuhi kebutuhan makanan dan bukan makanan, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, rekreasi dan biaya sosial lainnya yang melekat pada dirinya. 132
Keadaan ini diduga karena pada keluarga yang besar dengan pendapatan yang rendah cenderung untuk memenuhi kebutuhan dasarnya akan makanan dibanding untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang terkait dengan peningkatan kualitas keluarga terutama pemenuhan kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan sangat terbatas. Dari data survei yang dikumpulkan terhadap sampel penelitian diperoleh bahwa tingkat konsumsi masyarakat di Kabupaten Barru lebih besar untuk memenuhi kebutuhan konsumsi makanan, yaitu rata-rata 63,16 persen. Artinya, pendapatan rumah tangga yang diukur dari konsumsi hanya sekitar 36.84 persen yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, rekreasi dan biaya sosial lainnya. Rendahnya konsumsi bukan makanan terutama dalam pendidikan dan kesehatan berpengaruh pada rendahnya peluang untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya, terutama dimasa yang akan datang. Dengan perkataan lain, jumlah anggota rumah tangga yang besar dapat menghambat atau menekan peningkatan kualitas sumberdaya manusia masa depan, yang dalam hal ini adalah anak-anak. Implikasi dari temuan ini adalah bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keluarga kecil dan sejahtera. Oleh karena itu, perlu mengaktifkan atau mengintensifkan kembali program keluarga berencana (KB) yang sedang mengalami kemunduruan sejak era otonomi daerah dilaksanakan. Di samping itu, peningkatan kualitas dan kuantitas penyuluhan akan pentingnya keluarga kecil dan sejahtera yang dibarengi dengan perbaikan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan ibu dan anak mutlak dilakukan untuk menekan pertumbuhan penduduk terutama bagi kaum miskin khususnya pada wilayah dataran rendah dan pegunungan. 5.3.3. Pendidikan Kepala Rumah Tangga Hasil pendugaan variabel pendidikan kepala rumah tangga menunjukkan bahwa kerentanan atau peluang rumah tangga untuk menjadi miskin bagi rumah tangga dengan tingkat pendidikan yang tidak tamat SD (0) sama saja dengan kepala rumah tangga yang tingkat pendidikannya tamat SD (1), akan tetapi peluang untuk menjadi miskin penduduk yang kepala rumah tangganya 133
berpendidikan SMP ke atas (2) adalah 0,08 kali dibandingkan rumah tangga yang berpendidikan tidak tamat SD (0) dan hanya tamat SD (1), ceteris paribus. Dengan perkataan lain, rumah tangga yang pendidikan kepala rumah tangganya SD ke bawah memiliki kerentanan atau peluang yang lebih tinggi untuk menjadi miskin dibandingkan dengan rumah tangga yang kepala rumah tangganya berpendidikan SMP ke atas. Dari hasil survei rumah tangga, dapat ditunjukkan bahwa pendidikan kepala rumah tangga di Kabupaten Barru tertinggi adalah tamat SD yaitu sekitar 59,93 persen, kemudian yang tidak tamat SD adalah 27,54 persen. Sedangkan rumah tangga yang berpendidikan menengah ke atas atau tamat SMP ke atas hanya sekitar 12,83 persen (Grafik 14). Dengan kondisi dimana pendidikan SD ke bawah yang mendominasi rumah tangga di Kabupaten Barru, walaupun memiliki kemampuan baca tulis akan tetapi tidak mampu memperbaiki kemampuannya dan tidak memiliki kekuatan untuk bersaing dalam dunia kerja formal. Dengan pendidikan yang rendah rumah tangga terjebak dalam pekerjaan sektor non formal seperti petani dengan lahan kecil dan buruh tani, nelayan atau buruh nelayan serta tidak memiliki pilihan lain dalam lapangan kerja dengan tingkat penghasilan yang lebih tinggi.
Rumah Tangga Miskin (%)
Grafik 14. Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga di Kabupaten Barru, Tahun 2009. 60 50 40 59.63
30 20
27.54
10
12.83
0 Pendidikan (%)
TTSD 27.54
SD 59.63
≥ SMP 12.83
Sumber : Diolah dari hasil survei rumah tangga di Kabupaten Barru Tahun 2009. Sebagaimana diketahui bahwa hubungan antara kemiskinan dan pendidikan sangat penting, karena pendidikan sangat berperan dalam mengangkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Supriatna (1997) dan Azra (1999), menyebutkan 134
bahwa keterkaitan kemiskinan dengan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu, pendidikan bagi kaum miskin perlu diarahkan pada pendidikan luar sekolah seperti melalui kursus keterampilan, penyuluhan, pendidikan dan latihan, serta penataran atau bimbingan. Sejalan dengan Tujuantujuan pembangunan millennium (MDGs), beberapa penelitian juga menemukan bahwa pendidikan secara signifikan dan besar pengaruhnya dalam mereduksi kemiskinan (Siregar dan Wahyuniarti 2007). Sen (1999), meyakini bahwa pendidikan berperan langsung menciptakan kemampuan manusia (human capability) dalam meningkatkan kesejahteraan manusia. Sen melihat bahwa pendidikan dan pelatihan akan membuat orang semakin efisien dalam proses produksi. Implikasi dari temuan dalam penelitian ini, perbaikan akses dan penciptaan peluang bagi penduduk miskin untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik perlu ditingkatkan. Pembangunan sektor pendidikan bukan hanya ditujukan untuk distribusi fasilitas pelayanan pendidikan, tapi yang tak kalah pentingnya adalah penciptaan peluang yang sebesar-besarnya bagi anak didik untuk mengikuti persekolahan yang lebih baik, terutama pada wilayah pegunungan. Sejalan dengan MDGs (Millenium Development Goals) maka fokus utama di bidang pendidikan yaitu perbaikan kualitas pendidikan dan pemerataan pendidikan pada semua wilayah, sehingga konsep pendidikan untuk semua (education for all) dapat diwujudkan. Selanjutnya, perlu ada regulasi yang memberi ruang dan akses kepada masyarakat miskin dalam pendidikan menengah ke atas melalui pemberian insentif dan disinsentif agar masyarakat miskin terpacu untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikannya. Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Kishore Singh (dalam Naja 2006), bahwa hak akses pendidikan bagi semua orang merupakan hal penting dan hakiki serta merupakan tantangan moral yang besar. 5.3.4. Akses ke Lembaga Keuangan Formal Hasil pendugaan variabel akses ke lembaga keuangan formal berpengaruh nyata secara statistik terhadap penurunan jumlah rumah tangga miskin. Rumah 135
tangga yang mempunyai akses ke lembaga keuangan formal memiliki kerentanan atau peluang untuk menjadi miskin sebesar 0,08 kali dibanding dengan rumah tangga yang tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal. Dengan perkataan lain, kerentanan rumah tangga yang tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal untuk menjadi miskin lebih besar dibanding dengan rumah tangga yang memiliki akses ke lembaga keuangan formal, ceteris paribus. Terbatasnya
akses
penduduk
terhadap
lembaga
keuangan
formal
berimplikasi pada kurangnya akumulasi modal dan berdampak pada kurangnya investasi dan terhambatnya perkembangan usaha kecil dan mikro yang dapat di akses oleh penduduk miskin. Terbatasnya akses ke lembaga keuangan formal berimplikasi pada kurang berkembangnya usaha-usaha non pertanian di perdesaan, penduduk tetap bertahan pada pekerjaan non formal sebagai petani, buruh tani, nelayan, buruh nelayan dengan produktivitas yang semakin menurun akibat semakin menurunnya daya dukung sumberdaya yang dimiliki. Di sisi lain, membantu orang miskin dari kemelaratan hendaknya dilakukan dengan menyediakan sumber permodalan yang dapat dimanfaatkan oleh mereka secara rasional dan komersial, tetapi dengan persyaratan dan kondisi yang sesuai dengan mereka. Karena sebagian besar penduduk miskin tidak mempunyai tanah, kalaupun ada sangat terbatas (sempit) dengan nilai yang rendah, maka bentuk asset lain yang dapat meningkatkan ekonomi mereka antara lain adalah penyediaan modal usaha melalui kredit mikro (Abbas, 2002 dan Yunus 2007). Selain itu, masyarakat golongan kecil atau miskin memiliki kesulitan dalam mengakses lembaga keuangan formal (bank), karena keterbatasan kemampuan untuk memenuhi syarat administrasi yang diwajibkan oleh pihak perbankan. Dengan demikian, maka untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap lembaga keuangan perlu dipercepat pengembangan lembaga keungan mikro (LKM) secara menyeluruh pada semua wilayah, karena LKM mampu memberikan dukungan sumberdaya finansial di saat perbankan komersial tidak mampu menjangkau rumah tangga miskin (Prihatini, 2008). Hal ini sejalan dengan Bintoro (2002), yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan usaha produktif bagi kaum miskin, LKM harus memberikan pelayanan finansial secara 136
ideal dengan beberapa ciri-ciri, seperti: (i) prosedur mendapatkan kredit yang sederhana; (ii) persyaratan administrasi mudah dipenuhi; (iii) biaya perolehan kredit murah; dan pemberian kredit tepat. Di sisi lain, Ismawan (2002) menyatakan bahwa agar LKM dapat melayani masyarakat miskin, maka LKM harus hidup dan berkembang dengan karakteristik yang khas sesuai dengan rakyat miskin. Melakukan “modernisasi“ keuangan mikro dengan mengabaikan karakteristik khas yang dimiliki dengan sendirinya akan meninggalkan konstituen keuangan mikro itu sendiri, yaitu rakyat miskin. Bahkan Muhammad Yunus dengan “Grameen Bank”, yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian 2006, menyatakan bahwa “Mikro Kredit” adalah hak azasi masyarakat. 5.3.5. Kesehatan Kepala Rumah Tangga dan Jaminan Kesehatan Tingkat kesehatan kepala rumah tangga menunjukkan arah yang negatif dan berpengaruh secara nyata terhadap kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan. Hasil pendugaan parameter tingkat kesehatan menunjukkan bahwa, kepala rumah tangga yang sehat memiliki kerentanan 0,17 kali untuk menjadi miskin dibandingkan dengan kepala rumah tangga yang sakit, ceteris paribus. Dengan perkataan lain, bahwa rumah tangga yang mengalami sakit kronis sehingga tidak produktif memiliki kerentanan atau peluang yang lebih besar untuk menjadi miskin. Dari data survei dan wawancara terhadap responden terdapat 83 dari 480 kepala rumah tangga (17 persen) yang menderita sakit menahun dan dari 83 kepala rumah tangga yang sakit tersebut terdapat 59 jiwa (71,08 persen) berusia lanjut atau berumur di atas 55 tahun (lampiran 7). Dari temuan ini mengindikasikan bahwa rumah tangga yang kepala rumah tangganya sakit sehingga tidak bekerja atau tidak produktif lagi secara otomatis memiliki kerentanan atau peluang untuk menjadi miskin sangat besar. Rumah tangga dalam kondisi eksisting sebagaimana digambarkan di atas, diindikasikan menjadi rumah tangga miskin dalam kategori miskin kronis, yang berdampak bukan hanya pada rumah tangga saat ini akan tetapi dapat berimplikasi pada pewarisan kemiskinan pada generasi yang akan datang. 137
Kesehatan merupakan hal penting dalam meningkatkan produktivitas rumah tangga. Kesehatan kepala rumah tangga yang baik memberi peluang untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik, demikian sebaliknya pendapatan yang lebih tinggi memberi peluang kepada rumah tangga untuk memperoleh “membeli” kesehatan yang lebih baik. Namun demikian, permasalahan kesehatan merupakan polemik yang menjadi perhatian, di satu sisi pola pikir masyarakat terhadap pentingnya kesehatan sangat rendah, di sisi lain kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang murah dan tersedia pada semua lokasi masih terbatas. Dalam kondisi kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga mengalmi sakit mendorong mereka untuk melakukan pengobatan walaupun tidak tersedia pembiayaan yang memadai. Dalam konteks ini beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan adalah menjual asset produktif yang dimiliki atau melakukan pinjaman baik pada lembaga keuangan formal maupun non formal seperti rentenir, sehingga secara otomatis mengurangi pendapatan (revenue) yang diperoleh. Kondisi demikian, berpengaruh bukan hanya pada produktivitas dan investasi rumah tangga sekarang, akan tetapi juga berpengaruh pada perekonomian mereka pada masa yang akan datang. Uraian tersebut di atas sejalan dengan hasil penelitian ini, dimana ditemukan beberapa kepala rumah tangga yang menjadi tulang punggung atau pencari nafkah rumah tangga mengalami sakit kronis sehingga tidak dapat bekerja. Dalam kondisi demikian, upaya yang dilakukan untuk sembuh memaksa mereka menjual asset produktif yang mereka miliki untuk berobat, akan tetapi karena penyakit yang diderita tersebut harus dioperasi dan membutuhkan biaya yang besar sehingga hasil penjualan asset produktif tidak cukup. Asset produktif yang dimiliki sebagai satu-satunya sumber mata pencaharian keluarga dijual menyebabkan mereka kehilangan sumber pendapatan dan sebagai sumber jatuhnya rumah tangga ke dalam garis kemiskinan. Permasalahan kesehatan masyarakat dipengaruhi juga oleh pola pikir masyarakat dan ketersediaan pelayanan kesehatan yang terbatas. Program Jaminan Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPBSK) dan Jaminan Asuransi Kesehatan 138
(ASKES) baik yang dibiayai oleh pemerintah maupun pemerintah daerah belum mampu menjangkau secara keseluruhan rumah tangga miskin. Walaupun demikian, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Barru telah menerapkan pelayanan kesehatan gratis pada semua puskesmas, akan tetapi dalam implementasinya masih terdapat banyak kekuarangan dan kelemahan. Di Kabupaten Barru jangkauan ASKES untuk rumah tangga miskin baru mencapai 48,33 persen sehingga penduduk miskin yang sakit masih mengalami kendala untuk memperoleh pelayanan kesehatan terutama pada rumah sakit. Di samping itu, dari hasil diskusi dengan responden menunjukkan bahwa, walaupun sudah mendapat ASKES, namun seringkali tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal. Rumah tangga yang menderita penyakit kronik atau menahun seringkali membutuhkan biaya tambahan yang besar, terutama pembelian obat yang tidak termasuk dalam asuransi. Apalagi kalau membutuhkan operasi dan perawatan khusus, rumah tangga miskin masih mengalami masalah pelayanan dalam bidang kesehatan pada semua level. Implikasi temuan ini, mengisyaratkan perlunya peningkatan jangkauan pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan, serta diarahkan bukan hanya untuk pelayanan kesehatan dasar, akan tetapi perlu ditingkatkan pada pelayanan kesehatan bagi rumah tangga miskin yang mengalami sakit sehingga tidak produktif. Sejatinya, perlu jaminan kesehatan yang optimal agar rumah tangga miskin tidak terpuruk dalam kemiskinan kronik yang dapat berdampak pada generasi yang akan datang. 5.3.6. Akses ke Energi Listrik (PLN) Hasil pendugaan variabel akses rumah tangga terhadap energi listrik (PLN) menunjukkan bahwa kerentanan atau peluang rumah tangga yang memiliki akses ke sumberdaya listrik untuk menjadi miskin adalah 0.02 kali dibanding dengan rumah tangga yang tidak memiliki akses. Dengan perkataan lain, rumah tangga yang tidak memiliki akses ke sumberdaya listrik mempunyai kerentanan atau peluang yang lebih besar untuk menjadi miskin, ceteris paribus.
139
Penggunaan sumber energi lain seperti generator dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) membutuhkan biaya operasional yang mahal, sehingga tidak dijangkau oleh rumah tangga miskin. Di sisi lain ketersediaan sumberdaya energi listrik (PLN) mempunyai dampak yang sangat besar dalam meningkatkan aktivitas ekonomi, terutama yang terkait dengan pengembangan usaha mikro dan kecil. Dengan meningkatnya aktivitas ekonomi masyarakat, secara otomatis dapat meningkatkan pendapatannya dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini relevan dengan LPEM-PSEKP-PSP, 2004 (dalam Usman et al. 2005), yang menyebutkan bahwa listrik dapat menciptakan efisiensi, dimana peningkatan akses rumah tangga miskin ke listrik (PLN) akan mengurangi biaya energi hingga 4 kali lipat yang memungkinkan keluarga miskin dapat menggunakan tabungan ini untuk belanja rumah tangga lainnya seperti untuk memperbaiki status gizi rumah tangga atau pendidikan. Dengan meningkatnya akses kepada sumberdaya listrik, rumah tangga atau penduduk miskin dapat meningkatkan produksinya dengan berbagai macam kegiatan produktif dalam skala rumah tangga. Di samping itu, dengan meningkatnya akses masyarakat terhadap PLN dapat mempermudah untuk memperoleh informasi melalui media elektronik (televisi) yang pada akhirnya dapat memberi peluang untuk melakukan perubahan perilaku ke arah yang lebih produktif melalui informasi yang diperoleh. 5.3.7. Partisipasi dalam Proses Pembangunan Partisipasi dalam proses pembangunan dilihat dari 3 aspek yaitu partisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan. Beberapa kajian dan pandangan mengatakan bahwa semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, semakin besar peluangnya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini terkait dengan semakin meningkatnya peluang masyarakat untuk menentukan kebijakan yang terkait
dengan
kehidupannya. Hasil pendugaan variabel ini menunjukkan bahwa penduduk yang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan (2) memiliki tingkat kerentanan terhadap kemiskinan 140
0,20 kali dibanding dengan penduduk yang tidak terlibat dalam proses pembangunan (0) dan hanya terlibat dalam proses perencanaan pembangunan (1), ceteris paribus. Dengan perkataan lain, penduduk yang tidak berpartisipasi aktif dalam perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, dan pengendalian pelaksanaan pembangunan memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan penduduk yang terlibat aktif dalam proses pembangunan. Sejalan dengan itu, beberapa ahli menyebutkan bahwa keterlibatan penduduk miskin secara aktif dalam
proses
pembangunan
memberikan
peluang
untuk
meningkatkan
kesejahteraan melalui terbukanya informasi peluang usaha dan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan dan kompetensi mereka yang miskin. Temuan ini relevan dengan Nurcholis et al. (2008) yang menjelaskan bahwa dengan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan memberikan nilai tambah, yaitu terjadinya efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan pembangunan, menciptakan kemitraan dan meningkatkan kapasitas para pelaku, meningkatkan ketepatan kelompok sasaran serta mendorong keberlanjutan berbagai aktivitas pembangunan karena masyarakat mempunyai rasa memiliki dan ikut serta menjaga proses maupun hasil dari pembangunan itu sendiri. Dengan demikian, maka masyarakat dapat memiliki akses dan terlibat langsung dalam pelaksanaan
pembangunan
yang pada
akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah. Mengacu pada Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, mengisyaratkan untuk lebih meningkatkan partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya dalam proses pembangunan yang dimulai pada level desa (musrenbangdes). Namun demikian, secara prosedural pelaksanaan musyawarah di tingkat desa sudah berjalan dengan baik di Kabupaten Barru, akan tetapi pelibatan secara optimal khususnya penduduk miskin dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pelaksanaan pembangunan masih relatif rendah. Dari hasil survei dapat ditunjukkan bahwa keterlibatan penduduk miskin dalam proses perencanaan pembangunan di Kabupaten Barru hanya mencapai 5,83 persen. Artinya, walaupun pelaksanaan proses perencanaan 141
pembangunan sudah dilakukan di tingkat desa, akan tetapi tingkat partisipasi penduduk miskin masih rendah dan masih di dominasi oleh para elit desa padahal keterlibatan penduduk miskin dalam proses pembangunan berdampak langsung terhadap penanggulangan kemiskinan. Partisipasi masyarakat miskin dalam proses perencanaan pembangunan merupakan faktor kunci karena dapat memberikan kontribusi penting bagi upayaupaya promosi kesejahteraan dimana penduduk miskin dapat memperoleh informasi peluang ekonomi dan terlibat dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan lapangan kerja yang dapat meningkatkan pendapatan kaum miskin tersebut. Sejalan dengan semakin meningkatnya kepedulian terhadap masalah kemiskinan beberapa lembaga dan ahli memandang bahwa pelibatan masyarakat dalam
perencanaan
harus
seiring
dengan
pelibatan
masyarakat
dalam
penganggaran pembangunan daerah. World Bank (2008); SNPK (2005); dan Waidl et al. (2008) menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran menjadi cara untuk memastikan pembangunan yang berkeadilan terhadap rakyatnya. Sebab, perencanaan dan penganggaran adalah proses yang menentukan ke arah mana anggaran publik (APBD) telah memihak kepentingan rakyatnya. Bahkan dari beberapa pengalaman menunjukkan bahwa partisipasi warga telah menggeser konsep partisipasi dari sekedar kepedulian terhadap “penerima derma” atau “kaum tersisih” menuju kepada pelbagai
bentuk
keikutsertaan
warga dalam
pembuatan kebijakan dan
pengambilan keputusan diberbagai gelanggang sebagai kunci yang memengaruhi kehidupan mereka. Implikasi temuan penelitian ini, bahwa perlu peningkatan kuantitas dan kualitas partisipasi penduduk miskin dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan kehidupan mereka. Peningkatan partisipasi bukan hanya dalam tataran perencanaan pembangunan, akan tetapi yang tak kalah pentingnya bagaimana rumah tangga miskin dapat terlibat secara aktif dalam pelaksanaan dan pengendalian pelakasanaan pembangunan.
142
5.3.8. Nilai Asset Rumah Tangga Asset yang dimiliki penduduk merupakan sarana produksi yang dapat memberikan nilai tambah yang dapat berupa lahan atau alat produksi. Nilai asset rumah tangga menjadi kunci yang menentukan kesejahteraan penduduk. Rustiadi et al. (2009) menyebutkan bahwa economic rent sebidang lahan dapat dibedakan atas (i) nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang lahan, seperti kesuburan dan topografinya sehingga memiliki keunggulan produktivitas lahan dan (ii) nilai yang disebabkan oleh perbedaan lokasional (locational rent). Kalau dikaitkan dengan asset produktif yang dimiliki penduduk yang berprofesi sebagai nelayan, maka nilai intrinsik yang dimiliki oleh nelayan adalah perahu atau alat tangkap dengan keunggulan produktivitas dan jarak jangkauan perahu yang mereka miliki. Aspek tersebut berpengaruh terhadap nilai tambah yang diterima oleh penduduk, dimana penduduk miskin memiliki economic rent yang lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak miskin. Hasil pendugaan variabel asset yang dimiliki oleh masyarakat memiliki peran yang tinggi dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari hasil pendugaan variabel ini ditemukan bahwa rumah tangga dengan nilai asset produktif yang tinggi memiliki tingkat kerentanan atau peluang menjadi miskin 0.93 kali dibanding dengan rumah tangga yang memiliki nilai asset yang rendah, ceteris paribus. Dengan perkataan lain, bahwa rumah tangga yang memiliki nilai asset produktif rendah kerentanannya terhadap kemiskinan lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga dengan nilai asset produktif yang tinggi. Rumah tangga dengan nilai asset produktif tinggi memiliki peluang untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan rumah tangga yang memiliki nilai asset produktif rendah. Ketimpangan kepemilikan sumberdaya atau asset menyebabkan ketimpangan dalam perolehan pendapatan. Kunci pemecahan masalah kemiskinan adalah memberi kesempatan kepada penduduk miskin untuk ikut serta dalam proses produksi dan kepemilikan asset produktif (Kartasasmita, 1998). Implikasi temuan ini, mengisyaratkan agar dilakukan kebijakan yang dapat memberikan akses masyarakat miskin terhadap sumberdaya atau asset produktif, sehingga dapat memperoleh pendapatan yang seimbang. Hal ini sejalan dengan 143
program pemerintah yaitu revitalisasi pertanian yang sampai saat ini belum memberikan hasil yang optimal terutama dalam distribusi lahan. Selanjutnya Todaro dan Smith (2006) menyebutkan bahwa selain ketimpangan harga-harga faktor produksi, penyebab utama ketimpangan distribusi pendapatan per kapita hampir di semua negara berkembang adalah sangat tidak meratanya kepemilikan asset/kekayaan (asset ownership). Oleh karena itu, dia merekomendasikan adanya kebijakan redistribusi melalui reformasi hak pertanahan (land reform). Tujuan utama land reform adalah mengubah petani penggarap (buruh tani) atau penyewa tanah menjadi petani pemilik tanah. Kepemilikan tanah diyakini merupakan insentif yang besar untuk meningkatkan produksi dan pendapatan kaum miskin. Demikian halnya dengan nelayan dan buruh nelayan yang memiliki alat tangkap sederhana perlu dilakukan kebijakan peningkatan penyediaan sarana dan prasarana usaha. Penyediaan akses rumah tangga miskin nelayan tangkap melalui kemudahan untuk memperoleh perahu atau alat tangkap yang representatif dan dapat memberi jaminan peningkatan produktivitas dan pendapatan para nelayan miskin, seharusnya menjadi prioritas. Reformasi pertanahan dalam konteks pengentasan kemiskinan bukan hanya diarahkan pada kepemilikan lahan, akan tetapi dapat juga dilakukan melalui peningkatan akses atau hak pengelolaan terhadap lahan-lahan produktif yang tidak atau kurang dimanfaatkan yang penguasaannya hanya oleh segelintir orang saja. Dari hasil survei diperoleh bahwa di Kabupaten Barru terdapat lahan produktif yang dikuasai dalam bentuk hak guna usaha, akan tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik, dan bahkan ditemukan beberapa lahan yang diterlantarkan.
Di
samping itu, terdapat banyak lahan produktif yang tidak dapat diakses oleh penduduk akibat pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah seperti pada wilayah tapal batas antara hutan lindung dengan hutan produktif, terutama pada wilayah pegunungan. Berdasarkan data sekunder dan hasil survei ditemukan bahwa di Kabupaten Barru terdapat ribuan hektare lahan yang tidak diusahakan dengan baik, di sisi lain penduduk miskin tidak memiliki akses. Misalnya, lahan yang tidak diusahakan seluas 695 Ha, dan padang rumput yang tidak dikelola secara optimal yaitu 1.795 144
Ha (BPS, 2009). Di samping itu, terdapat lahan yang dikuasai dengan status hak guna usaha (HGU) untuk peternakan dengan luas 175 Ha, tidak dimanfaatkan dengan baik, dan bahkan memperlihatkan kecenderungan diterlantarkan. Selanjutnya, luas lahan kritis di luar kawasan yang tidak diolah dengan baik adalah sebesar 14.485 Ha (BPS, 2009). Dari luas lahan yang pengelolaannya tidak optimal tersebut di atas, dianggap perlu untuk melakukan konsolidasi lahan sehingga penduduk miskin mempunyai akses pengelolaan sesuai dengan peruntukan dan fungsi dari lahan masing-masing, akan tetapi dapat memberi nilai tambah bagi penduduk miskin. Implementasi kebijakan revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan yang telah dicanangkan Presiden Republik Indonesia pada tahun 2005 perlu diimplementasikan secara nyata dan efektif. 5.4. Kerentanan Kemiskinan Berdasarkan Wilayah. Kerentanan terhadap kemiskinan dilakukan untuk melihat perbedaan kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan berdasarkan karakteristik wilayah. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh kerentanan berdasarkan wilayah bukan berarti wilayah yang rendah kerentanannya tidak memiliki peluang untuk menjadi miskin. Hasil analisis kerentanan terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa, kerentanan atau peluang rumah tangga untuk menjadi miskin yang berdomisili di wilayah dataran rendah (0) sama saja dengan penduduk yang berdomisili pada wilayah pesisir (2), akan tetapi kerentanan atau peluang penduduk yang berdomisili di wilayah pegunungan (1) adalah 0,28 kali dibandingkan dengan rumah tangga yang berdomisili pada wilayah pesisir dan dataran rendah, ceteris paribus. Dengan perkataan lain, rumah tangga yang berdomisili di wilayah pegunungan mempunyai kerentanan atau peluang untuk menjadi miskin yang lebih kecil dibanding dengan rumah tangga yang berdomisili pada wilayah pesisir dan dataran rendah. Kerentanan rumah tangga pada wilayah pesisir dan dataran rendah yang lebih besar dari rumah tangga pada wilayah pegunungan bukan hanya disebabkan adanya guncangan dalam tataran mikro, akan tetapi juga dipengaruhi oleh guncangan dalam tataran meso dan makro. Dalam tataran mikro kerentanan rumah tangga sesuai dengan hasil analisis dipengaruhi oleh rendahnya tingkat 145
pendidikan, terbatasnya akses ke lembaga keuangan formal, terbatasnya akses dalam proses pembangunan, dan minimnya nilai asset yang dimiliki. Demikian halnya dengan rumah tangga pada wilayah dataran rendah dipengaruhi oleh jenis kelamin kepala rumah tangga (perempuan), jenis pekerjaan kepala rumah tangga (petani), jumlah tanggungan keluarga, akses lembaga keuangan formal, dan juga nilai asset produktif yang dimiliki sangat rendah. Dalam tataran meso rumah tangga yang berdomisili pada wilayah pesisir dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan buruh nelayan rentan terhadap perubahan iklim/cuaca. Ketika terjadi musim barat (cuaca buruk) aktivitas melaut untuk mencari ikan bagi nelayan dengan alat tangkap yang sederhana semakin terbatas, bahkan ada yang tidak melakukan aktivitas selama berminggu-minggu. Ketidakadaan aktivitas tersebut berdampak pada menurunnya pendapatan dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari alternatifnya hanya melakukan pinjaman pada pemodal (ponggawa bonto). Masyarakat miskin nelayan di Kabupaten Barru juga mengalami masalah kerusakan sumberdaya alam berupa kerusakan hutan bakau dan terumbu karang. Kerusakan hutan bakau diakibatkan oleh terjadinya pembukaan lahan tambak yang secara massif dan kerusakan terumbu karang terjadi karena penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan zat kimia. Hal ini berdampak pada rusaknya habitat tempat induk ikan mencari makan dan bertelur. Data dari Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Kabupaten Barru menunjukkan bahwa terjadi kerusakan hutan bakau selama 20 tahun terakhir, yaitu dari sekitar 160 Ha pada tahun 1990, menurun menjadi 57 Ha pada tahun 2008. Degradasi lingkungan pesisir mengakibatkan menurunnya populasi ikan dari 5 – 10% di kawasan perikanan tangkap dan meningkatnya kesulitan nelayan dalam memperoleh ikan (SNPK, 2005: 24). Selain itu, di Kabupaten Barru terjadi peningkatan penggunaan alat tangkap besar yang menggunakan pukat harimau atau trowl yang sebagian besar dimiliki oleh penduduk luar berdampak pada termarjinalnya nelayan lokal yang hanya mengandalkan alat tangkap yang sederhana. Akibatnya, bukan hanya pada menurunnya hasil tangkapan akan tetapi juga diindikasikan terjadinya kebocoran 146
wilayah sebagai akibat meningkatnya transaksi di tengah laut. Terjadinya transaksi di tengah laut berdampak pula pada rendahnya nilai tambah dan bahkan berpengaruh terhadap kinerja ekonomi Kabupaten Barru secara keseluruhan. Selanjutnya, kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan pada wilayah pesisir dan dataran rendah sangat rentan terhadap bencana alam seperti banjir yang seringkali melanda kedua wilayah tersebut. Terjadinya banjir yang seringkali melanda wilayah pesisir dan dataran rendah berdampak pada gagal panen baik untuk pertanian tanaman pangan seperti padi, juga pada petani tambak. Di samping itu, dari hasil pengamatan dapat diindikasikan bahwa rumah tangga pada wilayah pesisir dan dataran rendah lebih terbuka perekonomiannya dibanding dengan rumah tangga yang berdomisili pada wilayah pegunungan. Rumah tangga yang berdomisili pada wilayah pesisir dalam melakukan aktivitasnya membutuhkan investasi yang besar, seperti nelayan dengan menggunakan motor tempel dan petani tambak. Dengan demikian, ketika terjadi perubahan harga seperti perubahan harga bahan bakar bagi nelayan dan sarana produksi bagi petani tambak secara otomatis berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga. Karena perekonomiannya lebih terbuka, maka rumah tangga pada wilayah pesisir dan dataran rendah rentan terhadap adanya guncangan dalam tataran makro seperti krisis ekonomi. Sedangkan rumah tangga yang berdomisili pada wilayah pegunungan kerentanannya lebih kecil dibanding kedua wilayah lainnya. Dari hasil analisis kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan di wilayah pegunungan dari tataran mikro dipengaruhi oleh besarnya jumlah tanggungan keluarga, rendahnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga, terbatasnya akses ke energi listrik (PLN), dan juga rendahnya nilai asset produktif yang dimiliki. Namun demikian, rumah tangga pada wilayah pegunungan dengan mata pencaharian yang dominan sebagai petani dan buruh tani (78,33%) memiliki sumber pendapatan alternatif karena masih tersedianya sumberdaya alam di wilayah tersebut. Keragaman mata pencaharian penduduk yang berdomisili di wilayah pegunungan lebih variatif dan dapat dilakukan tanpa menggunakan investasi besar dibanding dengan rumah tangga yang berdomisili di wilayah pesisir dan dataran rendah. Selain mata 147
pencaharian sebagai petani, rumah tangga di wilayah pegunungan juga memiliki mata pencaharian alternatif lain seperti peternak (besar dan kecil), pengrajin gula merah, pencari madu hutan, pengrajin arang pengganti kayu bakar, dan pencari kemiri
di
kawasan
hutan.
Beragamnya
sumber
pendapatan
alternatif
mempengaruhi tingkat kerentanan rumah tangga pada wilayah pegunungan dibanding dengan di wilayah pesisir dan dataran rendah. Ketika terjadi guncangan dalam tataran meso seperti gagal panen dan dalam tataran makro seperti guncangan ekonomi, rumah tangga di wilayah pegunungan dapat memenuhi kebutuhannya dengan menggunakan sumberdaya alam yang tersedia. Hasil kajian penelitian ini, juga menunjukkan bahwa rumah tangga pada wilayah pegunungan yang memiliki ternak besar dan petani gula merah memiliki kontribusi besar dalam pendapatan rumah tangga. Dengan kondisi demikian, ketika terjadi guncangan eksternal baik dari tataran meso maupun makro rumah tangga pada wilayah pegunungan lebih stabil dibanding rumah tangga pada wilayah pesisir dan dataran rendah. Namun demikian, secara keseluruhan tingkat kesejahteraan penduduk yang berdomisili pada wilayah pegunungan baik dari aspek mikro dan makro masih jauh tertinggal di banding penduduk pada wilayah dataran rendah dan pesisir. Hal ini lebih dipengaruhi oleh keterbatasan sarana dan prasarana sosial ekonomi di wilayah pegunungan. Salah satu kekuatan lain yang dimiliki rumah tangga di wilayah pegunungan dalam menghadapi permasalahan kemiskinan adalah modal sosial. Modal sosial rumah tangga dapat diukur melalui beberapa indikator seperti budaya gotong royong, tingkat partisipasi dalam aktivitas yang bermanfaat terhadap masyarakat, kemauan untuk memberikan bantuan fisik dan finansial, dan tingkat kepercayaan sosial. Modal sosial yang dimiliki rumah tangga merupakan jaring pengaman dan kekuatan internal bagi rumah tangga miskin dalam memecahkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kemiskinan, apabila modal finansial dan modal fisik sudah tidak ada. Dari hasil survei dan wawancara ditemukan bahwa secara keseluruhan indikator modal sosial tersebut lebih tinggi pada wilayah pegunungan dibanding dengan wilayah pesisir dan dataran rendah. Partisipasi rumah tangga dalam 148
aktivitas gotong royong misalnya tertinggi pada wilayah pegunungan yaitu 53,32 persen, kemudian disusul pada wilayah pesisir (38,33 persen), dan terkecil pada wilayah dataran rendah yaitu hanya sekitar 21,67 persen. Demikian halnya dengan kemauan rumah tangga untuk memberikan bantuan berupa uang ketika dilakukan kegiatan sosial yang bermanfaat bagi sebagian besar masyarakat, juga berbeda antara wilayah. Rumah tangga pada wilayah pegunungan yang bersedia untuk memberikan bantuan berupa uang sebesar 72 persen, kemudian disusul oleh wilayah pesisir sebesar 62 persen, dan terkecil pada wilayah dataran rendah, yaitu hanya 35 persen. Dari data tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa rumah tangga yang berdomisili di wilayah pegunungan memiliki modal sosial yang lebih tinggi dibanding dengan wilayah pesisir dan dataran rendah. Tingginya modal sosial membuat rumah tangga pada wilayah pegunungan lebih stabil dalam menghadapi eksternalitas dibanding dengan rumah tangga pada wilayah pesisir dan dataran rendah. Implikasi temuan penelitian ini dalam upaya pengentasan kemiskinan, dimana modal sosial dijadikan sebagai jaring pengaman, perlu dibina dan ditumbuhkembangkan serta dilakukan revitalisasi budaya gotong royong pada semua wilayah terutama pada wilayah pesisir dan dataran rendah. Selain itu, perlu mendorong kepedulian sosial terutama dalam melakukan aktivitas yang terkait dengan kepentingan bersama, melalui kelembagaan sosial yang dapat bermanfaat bukan hanya dalam mengakselerasi pengentasan kemiskinan, akan tetapi dapat bermanfaat dalam segala bidang pembangunan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa temuan dari penelitian ini telah mengkonfirmasi atau mengkonfrontir penemuan Usman et al. (2005) yang menggunakan data nasional bahwa penduduk yang berdomisili pada wilayah pegunungan lebih rentan terhadap kemiskinan dibanding dengan penduduk yang berdomisili pada wilayah dataran rendah dan pesisir. Sedangkan Harniati (2007) menemukan bahwa rumah tangga miskin di lahan basah lebih rentan dibanding rumah tangga di agroekosistem lainnya. Rumah tangga miskin di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan misalnya perubahan harga barang dan jasa yang termasuk dalam bundel garis kemiskinan. Selanjutnya, dikatakan bahwa rumah 149
tangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Perbedaan temuan ini mengindikasikan bahwa fenomena kemiskinan rumah tangga secara nasional berbeda karakteristiknya antar wilayah. Sehingga pentargetan berdasarkan wilayah dalam pengentasan kemiskinan seyogyanya dilakukan secara hati-hati dan memberikan ruang yang besar dan mendorong pemerintah daerah dalam membuat desain program dan kegiatan pengentasan kemiskinan spesifik lokal atau tidak bisa dilakukan secara general pada semua wilayah. Disisi lain, pemerintah daerah juga harus memiliki inovasi dan kreatifitas dalam membuat desain program pengentasan kemiskinan dan tidak hanya bergantung pada program dan kegiatan pengentasan kemiskinan nasional (SNPK, 2005; Smeru, 2008; dan Waild et al.2008). 5.5. Perbandingan Variabel Kerentanan Rumah Tangga Berdasarkan Wilayah. Dari hasil uji probit logit yang dilakukan secara menyeluruh dimana variabel wilayah dijadikan sebagai variabel dummy, maka untuk mempertegas perbedaan variabel yang memengaruhi kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan dilakukan analisis secara parsial pada masing-masing wilayah. Analisis parsial yang dilakukan pada wilayah pesisir dilakukan dengan menggunakan sampel sebesar 240 rumah tangga. Sedangkan untuk wilayah pegunungan dan dataran rendah menggunakan sampel masing-masing 120 rumah tangga. Dari hasil analisis kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan pada tiga wilayah ditemukan beberapa variabel yang signifikan secara statistik. Variabel yang memengaruhi kerentanan rumah tangga
terhadap kemiskinan
memiliki persamaan dan perbedaan antar wilayah (Tabel 18). Variabel yang memengaruhi kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan pada semua wilayah adalah variabel nilai asset produktif rumah tangga. Artinya, rumah tangga yang memiliki nilai asset produktif tinggi (dalam hal ini adalah lahan, perahu, ternak, dan sarana produksi lain yang dimiliki) memiliki kerentanan atau peluang untuk menjadi miskin yang lebih kecil dibandingkan dengan rumah tangga yang hanya memiliki nilai asset produktif yang rendah.
150
Tabel 18. Perbandingan variabel yang memengaruhi kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru Variabel Koefisien P-Value Odds Keterangan Rasio 1. Pesisir : RT_SAK D5_AkLKeu D9_PrPEMB 1
-0.1864 -2.6773
0.051 0.000
0.83 Tahun 0.24 1 = Ya, 0 jika lainnya
0.1441
0.850
1.15
2
-1.5895
0.015
Nilai Asset 2. D. Rendah D1_JNKL D2_PKKRT JMTG D5_AkLKeu Nilai Asset 3. Pegunungan JMTG D3_PDKRT 1 2 D8_Ak PLN Nilai Asset
-0.0307
0.000
D1 = 1, jika tidak aktif dlm proses pemb. dan 0, jika lainnya. 0.20 D2 = 1, jika aktif dlm proses pemb., dan 0, jika lainnya. 0.97 (Rp. Juta)
-3.9557 1.6809 0.4717 -2.8166 -0.0988
0.004 0.089 0.095 0.031 0.014
0.02 5.37 1.60 0.06 0.91
0.2973
0.080
1.35 Jml Tanggungan (jiwa)
-1.0795 -3.7484 -2.0727 -0.0849
0.171 0.002 0.005 0.000
0.34 D1 = 1, jika tamat SD, 0 lainnya 0.02 D2 = 1, jika tamat SMP, 0 lainnya 0.13 1 = Akses ke PLN, 0 lainnya 0.92 (Rp. Juta)
1= Laki-laki, 0 perempuan 1 = Petani, 0 lainnya Jml Tanggungan (jiwa) 1 = Ya, 0 lainnya (Rp. Juta)
Sedangkan variabel akses ke lembaga keuangan formal hanya berpengaruh terhadap kerentanan rumah tangga pada wilayah pesisir dan dataran rendah, tetapi tidak pada wilayah pegunungan. Dari data primer yang diperoleh bahwa akses rumah tangga terhadap lembaga keuangan formal pada wilayah pegunungan adalah homogen atau merata. Artinya, rumah tangga yang miskin dan tidak miskin pada wilayah pegunungan memiliki akses yang terbatas terhadap lembaga keuangan formal, sehingga tidak berpengaruh nyata secara statistik. Sebaliknya, rumah tangga miskin di wilayah pesisir dan dataran rendah memiliki akses yang terbatas terhadap lembaga keuangan formal, sementara rumah tangga tidak miskin memiliki akses ke lembaga keuangan formal yang relatif lebih baik. Selanjutnya, variabel jumlah tanggungan rumah tangga berpengaruh terhadap kerentanan rumah tangga pada wilayah dataran rendah dan pegunungan, akan tetapi tidak berpengaruh pada wilayah pesisir. Pada wilayah pegunungan dan dataran rendah jumlah tanggungan antara rumah tangga miskin dan tidak miskin menyebar relatif tidak seragam. Artinya, rumah tangga miskin memiliki jumlah 151
tanggungan yang besar, sedangkan rumah tangga tidak miskin memiliki jumlah anggota rumah tangga yang kecil. Sedangkan pada wilayah pesisir rata-rata jumlah tanggungan baik bagi rumah tangga miskin maupun rumah tangga tidak miskin relatif seragam. Di sisi lain, tingkat pendidikan dan rata-rata sekolah anggota rumah tangga memengaruhi kerentanan rumah tangga pada wilayah pesisir dan pegunungan, akan tetapi tidak berpengaruh pada wilayah dataran rendah. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan rata-rata lama sekolah anggota keluarga pada wilayah dataran rendah relatif lebih seragam dibanding dengan rumah tangga pada wilayah pesisir dan pegunungan. Seragamnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga pada wilayah dataran rendah penyebab tidak signifikannya variabel ini terhadap kerentanan atau peluang rumah tangga untuk menjadi miskin. Sebaliknya pada wilayah pesisir dan pegunungan, karena tingkat pendidikan antara rumah tangga yang miskin dan tidak miskin tidak seragam berpengaruh nyata dan signifikan secara statistik terhadap kemiskinan rumah tangga. Tiga variabel lain yang berbeda pengaruhnya terhadap kerentanan rumah tangga, yaitu tingkat partisipasi dalam proses pembangunan pada wilayah pesisir, jenis pekerjaan kepala rumah tangga pada wilayah dataran rendah, dan akses ke PLN
pada
wilayah
pegunungan.
Keterlibatan
penduduk
dalam
proses
pembangunan pada wilayah pesisir relatif tidak seragam atau tingkat keterlibatan rumah tangga tidak miskin dalam proses pembangunan lebih dominan dibanding rumah tangga miskin dalam proses pembangunan. Sedangkan pada wilayah dataran rendah dan pegunungan keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan relatif seragam. Artinya, penduduk miskin dan tidak miskin pada wilayah dataran rendah dan pegunungan sama-sama aktif dalam proses pembangunan sehingga tidak berpengaruh nyata dan signifikan secara statistik terhadap kerentanan rumah tangga dalam kemiskinan. Implikasi dari temuan penelititan ini, bahwa kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilakukan dengan menggunakan satu pola umum yang berlaku sama pada semua wilayah, tetapi perlu mengembangkan berbagai model spesifik yang sesuai dengan kerentanan dan karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah.
152
5.6. Determinan Kemiskinan Determinan kemiskinan atau faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan dianalisis dengan menggunakan model persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least Square/OLS). Model persamaan yang dirumuskan terdiri dari 9 (sembilan) variabel bebas, dan hasil analisis menunjukkan bahwa 8 (delapan) variabel bebas berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata mulai dari α = 1 persen sampai dengan 10 persen. Hasil analisis persamaan dalam penelitian ini menghasilkan nilai R-squared (R2) yang cukup besar yakni 0.9871. Hal ini menunjukkan bahwa variasi nilai dari variabel dependen (dependent variabel) dapat dijelaskan oleh peubah penjelas (independent variabel) sebesar 98.71 persen. Dengan kata lain, peubah penjelas dapat menjelaskan perilaku model secara baik dengan nilai Durbin-watson 2,65 (Lampiran 2). Selanjutnya asumsi terjadinya multikolenearity tampaknya tidak menjadi hal yang serius. Hal ini dapat ditunjukkan oleh matrik korelasi (correlation matrix), bahwa semua nilai matriks berada di bawah 0,8 yang mengindikasikan tidak ada multikolinearitas (lampiran 4). Di samping itu, salah satu cara untuk mendeteksi masalah multikolinearitas adalah apabila koefisien determinas (R2) tinggi tapi signifikansi nilai statistik-t rendah (sedikit variabel yang signifikan). Berdasarkan hasil analisis, persamaan yang dibangun dalam penelitian ini memiliki koefisien determinasi (R2) cukup tinggi (98,17 persen), dimana persamaan tersebut juga memiliki signifikansi nilai statisti-t yang tinggi (hanya satu variabel yang tidak signifikan). Dari hasil uji white diperoleh nilai Obs*R-squared pada hasil 18.491 dan nilai probabilitasnya adalah 0.2959 (lebih besar dari α = 5%), maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut tidak bersifat heteroskedasitas atau data tersebut bersifat homoskedasitas (Nachrowi dan Usman 2006; dan Winarno 2007). Selain dari itu, hasil uji Histogram-normality Test, dengan nilai probability Jarque-Bera yaitu 0.4857 (Lampiran 4). Artinya dengan tingkat = 0.10, kita menerima
153
hipotesis yang menyatakan residual terdistribusi normal, dengan demikian persamaan yang dibangun dalam studi ini memenuhi asumsi normalitas. Berdasarkan pada gambaran umum hasil dugaan dari persamaan yang dibangun, serta berbagai hasil pengujian terhadap asumsi-asumsi penting dalam analisis regresi linear, maka dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun dalam penelitian ini cukup baik untuk menjelaskan keragaan determinan kemiskinan di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan selama periode tahun 1990 – 2008. Secara ringkas hasil estimasi model persamaan regresi determinan kemiskinan di Kabupaten Barru dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Hasil Estimasi Model Persamaan Regresi Determinan Kemiskinan di Kabupaten Barru Variabel Intercept G_PUBLIK(-3) G_POV(-3) PDRBKAP(-2) PAD(-3) GDP_DEF(-4) SSAGR(-1) SSIND(-2) Dummy D.Fiskal(-4) Dummy Krisis Moneter(-1) R-Square =98,17
Koefisien 96.069 -0.00012 -0.00051 -0.00462 0.00228 0.09598 -1.45064 -3.20603 -9.79067 5.23922
Std. Error 17.0003 0.00004 0.00084 0.00134 0.00052 0.01430 0.30046 1.51627 2.88093 1.59403
t-Statistic 5.6511 -3.2893 -0.5997 -3.4446 4.2051 6.7111 -4.8281 -2.1144 -3.3984 3.2867
Probability 0.0024 0.0217 0.5749 0.0183 0.0084 0.0011 0.0048 0.0881 0.0193 0.0218
Hasil estimasi persamaan determinan kemiskinan sebagaimana dalam persamaan dan Tabel 19 di atas, diperoleh nilai intercept sebesar 96.069 yang mengindikasikan bahwa akan terjadi peningkatan jumlah rumah tangga miskin sebesar 96.069 persen, ketika semua variabel dependent lainnya (X) tidak berubah, ceteris paribus. Selanjutnya pengaruh variabel dependent lainnya terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru, secara ringkas dan berturut-turut dapat dijelaskan berikut ini. 5.6.1. Pengaruh Belanja Publik terhadap Kemiskinan di Kabupaten Barru. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memuat semua kebijakan yang terbagi ke dalam belanja aparatur dan belanja publik. Dalam 154
penelitian ini difokuskan pada belanja publik dalam 4 (empat) komponen besar yang meliputi belanja di bidang pendidikan, belanja di bidang kesehatan, belanja di bidang pertanian, dan belanja di bidang infrastruktur. Ke empat bidang ini menerima alokasi anggaran terbesar selama periode 1990-2008. Alokasi anggaran yang dialokasikan untuk ke empat komponen belanja publik tersebut, sejalan dengan tujuan fungsi alokasi dan fungsi distribusi, yaitu mensejahterakan masyarakat. Di Kabupaten Barru sendiri memperlihatkan kecenderungan yang semakin baik dalam pengelolaan anggaran (better budget) yang ditandai dengan meningkatnya alokasi anggaran belanja publik dari tahun ke tahun. Persentase belanja publik dua tahun terakhir beralih dari belanja aparatur ke belanja publik, dimana pada tahun 2007 alokasi anggaran untuk belanja publik adalah 42,36 persen masih lebih kecil dibanding dengan belanja aparatur, namun pada tahun 2008 mengalami pergeseran, dimana alokasi belanja publik menjadi 59,39 persen atau lebih besar dibanding dengan belanja aparatur (termasuk dana yang bersumber dari dana alokasi khusus yang di daerahkan dan tertuang dalam APBD Kabupaten Barru). Implikasi dari semakin membaiknya pengelolaan anggaran dan semakin meningkatnya proporsi anggaran belanja publik dibanding belanja aparatur adalah mendorong perbaikan kesejahteraan masyarakat dan dapat mereduksi kemiskinan. Terbukti dari hasil pendugaan variabel belanja publik menunjukkan bahwa peningkatan satu satuan anggaran belanja publik dapat mereduksi rumah tangga miskin sebanyak 0,0000122 persen. Dengan perkataan lain peningkatan Rp. 100 Milyar anggaran belanja publik yaitu dalam bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, dan infrastruktur dapat menurunkan rumah tangga miskin sebanyak 0.0012 persen per tahun pada tahun ke tiga (t-3), ceteris paribus. Artinya, belanja publik yang dilaksanakan tidak secara otomatis berdampak pada tahun tersebut, akan tetapi pengaruhnya terhadap penurunan jumlah penduduk miskin baru dirasakan pada tahun ke tiga. Alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan ditujukan untuk memperbaiki kualitas sumberdaya manusia. Alokasi anggaran pendidikan diprioritaskan pada pendidikan dasar dengan berbagai skenario untuk mendukung wajib belajar 155
sembilan tahun. Program dan kegiatan bidang pembangunan yang dilakukan meliputi pembangunan sarana dan prasarana pada semua level pendidikan, pemberian beasiswa, dan pelaksanaan pendidikan gratis pada tingkat SD yang disertai dengan penyediaan buku tulis secara gratis pada semua murid SD. Sedangkan untuk bidang kesehatan diarahkan juga untuk sarana dan prasarana kesehatan terutama pembangunan rumah sakit, pembangunan puskesmas dan puskesmas pembantu pada wilayah terpencil dan pegunungan yang dibarengi dengan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas secara gratis. Kalau dikaitkan dengan analisis deskriptif dan analisis kerentanan sebelumnya, maka belanja publik di bidang pendidikan dan kesehatan masih perlu dilakukan sinkronisasi dan integrasi yang lebih kuat. Dalam bidang pendidikan misalnya masih perlu perbaikan pemerataan distribusi pelayanan pendidikan terutama pendidikan menengah atau SMP ke atas ke semua wilayah. Sedangkan untuk pelayanan di bidang kesehatan, belanja publik juga perlu penekanan bukan hanya kepada pelayanan kesehatan dasar, akan tetapi juga memberi jaminan kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan biaya besar seperti operasi terutama bagi penduduk miskin. Selain itu, alokasi anggaran di bidang pertanian mencakup pengembangan produktivitas pada semua sektor pertanian, seperti pertanian tanaman pangan, perikanan dan kelautan, peternakan dan kehutanan. Sedangkan belanja di bidang infrastruktur mencakup pembangunan jalan dan jembatan, irigasi dan irigasi desa, dan sarana dan prasana pendukung aktivitas ekonomi lainnya. Hal tersebut sejalan dengan Daimon (2001) yang menemukan bahwa belanja publik yang diarahkan kepada bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, dan infrastruktur yang dapat mendukung perkembangan ekonomi antar sektor dan antar wilayah secara langsung memberi peluang kepada penduduk miskin untuk memperoleh peluangpeluang di bidang ekonomi. Beberapa temuan penelitian lainnya menunjukkan hal yang sama bahwa peningkatan belanja publik yang diarahkan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi berpengaruh secara nyata terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, namun magnitudnya 156
berbeda (Suryadarma dan Suryahadi 2007; Yudoyono, 2004; World Bank 2006; dan Hirawan 2007). Lebih lanjut, Yudoyono (2004) menunjukkan bahwa kombinasi skenario peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian sebesar 15 persen dan peningkatan upah sebesar 20 persen, merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek yang potensial terutama dalam mengurangi kemiskinan. Berbeda dengan belanja publik, belanja langsung yang diarahkan untuk penanggulangan kemiskinan walaupun arahnya negatif, akan tetapi pengaruhnya tidak signifikan secara statistik. Belanja langsung terhadap kemiskinan dalam penelitian ini meliputi program dan kegiatan yang diarahkan secara langsung untuk meningkatkan pendapatan penduduk miskin. Program dan kegiatannya meliputi program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), program penaggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP), program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM), pilot proyek penanggulangan kemiskinan terpadu (PIKPAKET), dan gerakan pembangunan dan pengentasan kemiskinan (GERBANG TASKIN), serta pembinaan keterampilan dan peningkatan kelembagaan penduduk miskin dari semua instansi yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten yang dirangkum dari tahun 1990-2008. Tidak signifikannya pengaruh belanja langsung terhadap kemiskinan, diindikasikan oleh desain program yang ada masih didominasi oleh pemerintah atau masih bersifat top-down, walaupun dalam implementasinya sebagian sudah melibatkan masyarakat dalam proses. Selain itu, banyaknya program yang digelontorkan oleh departemen teknis, diterjemahkan secara parsial di daerah menyebabkan terjadinya ego sektoral yang berdampak pada tidak tepatnya sasaran dan tidak efektif, dan bahkan beberapa rumah tangga miskin terlibat dalam beberapa kegiatan, di sisi lain banyak rumah tangga tidak tersentuh dengan program
penanggulangan
kemiskinan
sama
sekali.
Kondisi
demikian
menyebabkan semakin meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah dan munculnya kecemburuan sosial yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) oleh sebagian masyarakat. Desain program dan kegiatan berorientasi pada pendekatan proyek atau masa tahun anggaran, dan diperparah oleh kurangnya strategi pengalihan program 157
sehingga dengan selesainya tahun anggaran maka selesailah program dan kegiatan tersebut, padahal keberlanjutan dari program perlu dijaga sampai si miskin keluar dari kemiskinan secara mandiri. Untuk menjaga orang miskin keluar dari kemiskinan secara mandiri perlu dilakukan pendekatan dan desain program dan kegiatan secara komprehensif dimulai dari menemukan rumah tangga miskin sampai memperkuat kapasitas institusi masyarakat miskin, sehingga dapat berkembang menjadi institusi yang sehat, kuat, dan mandiri. Sejalan dengan itu, beberapa kajian dan pengalaman membuktikan bahwa untuk menjaga orang miskin keluar dari kemiskinan secara mandiri perlu dilakukan beberapa tahapan dengan berpusat pada beberapa prinsip dasar sebagai berikut (Setiabudi, 2002; SNPK, 2005; Smeru, 2008; dan Yunus, 2007): (i) Menemukan rumah tangga miskin berdasarkan kriteria lokal; (ii) Penumbuhkembangan kesadaran; (iii) Partisipatif; (iv) Keberlanjutan; dan (v) Kemandirian. Implikasi dari temuan ini menunjukkan bahwa kalau pengentasan kemiskinan ingin dipercepat, maka belanja langsung yang diarahkan kepada penanggulangan kemiskinan (budgeting pro poor) harus ditingkatkan. Namun, di sisi lain perlu adanya komitmen yang kuat antar stakeholder terutama bagi masyarakat miskin itu sendiri serta perlu peningkatan kapasitas kelembagaan terutama bagi aparat pelaksana yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan pada semua level pemerintahan. Hal ini diperlukan karena dengan komitmen yang tinggi dan kapasitas yang baik dari pelaksana atau pendamping di lapangan, penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Beberapa kajian dan pandangan menjelaskan bahwa, belanja langsung yang diarahkan bagi rumah tangga miskin berupa perbaikan kualitas sumberdaya manusia (modal manusia) yakni perbaikan keterampilan melalui pelatihan dan kursus serta penyediaan modal usaha dalam bentuk Skim usaha mikro pengaruhnya sangat besar dalam mereduksi kemiskinan (Smeru, 2006, World Bank 2005, dan Todaro dan Smith 2006). 5.6.2. Pertumbuhan Ekonomi (PDRB Per Kapita) dan Kemiskinan Hasil analisis variabel pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini adalah PDRB per kapita menunjukkan bahwa peningkatan 1 satuan PDRB per kapita 158
berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0.0046 persen per tahun, ceteris paribus. Hasil ini mengindikasikan bahwa peningkatan rata-rata pendapatan (PDRB per kapita) di Kabupaten Barru mencerminkan adanya peningkatan pendapatan masyarakat yang dibarengi dengan pemeraataan hasilhasil pembangunan (growth with equity). Namun demikian, pengaruh PDRB per kapita tersebut terhadap penurunan jumlah penduduk miskin masih relatif kecil. Hal ini terjadi lebih dikarenakan oleh faktor-faktor produksi yang tidak terdistribusi dengan baik, seperti lahan atau asset produktif lain yang dimiliki. Sebagaimana diketahui bahwa distribusi pendapatan dapat melalui semakin baiknya distribusi faktor-faktor produksi, yaitu upah bagi pekerja, sewa lahan bagi pemiliki lahan, dan keuntungan bagi entrepreneur. Berdasarkan hasil survei ditemukan bahwa ketiga faktor produksi tersebut tidak terdistribusi dengan baik, seperti lapangan pekerjaan formal tidak dapat diakses oleh keluarga miskin karena kualitas sumberdaya manusia rumah tangga miskin sangat rendah, yaitu rata-rata lama sekolah di bawah 7 tahun atau maksimum tamatan SD. Dengan pendidikan yang rendah, maka produktivitasnya pun rendah sehingga imbalan berupa upah yang diterima tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan dasarnya. Akibatnya, rumah tangga miskin akan menghasilkan keluarga-keluarga miskin pula pada generasi berikutnya (Kartasasmita 1996). Demikian halnya dengan faktor produksi berupa lahan, dimana hasil survei menunjukkan bahwa hampir 90 persen rumah tangga miskin hanya memiliki lahan dibawah 0,5 ha per rumah tangga. Di samping itu, sebagian besar penduduk miskin bekerja sebagai petani dan nelayan, yang semakin hari memiliki nilai tawar yang semakin menurun. Hal tersebut dipengaruhi oleh semakin menurunnya produksi dan produktivitas di sektor pertanian, ditambah lagi semakin meningkatnya harga sarana produksi, yang pada akhirnya berdampak pada semakin menurunnya tingkat pendapatan masyarakat. Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan hasil temuan yang sama. Temuan Adelman dan Morris (1973), menunjukkan bahwa disatu sisi pertumbuhan ekonomi memang memberikan dampak peningkatan 159
pendapatan per kapita, tetapi di sisi lain ternyata meninggalkan masalah yang lain, seperti kemiskinan. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh suatu negara atau wilayah menyembunyikan adanya sekelompok masyarakat yang menjadi bertambah buruk (worse off) dalam hal kondisi sosial ekonomi secara relatif dibandingkan dengan kelompok yang lain, dan bahwa terdapat perbedaan pendapatan yang semakin melebar antar kelompok atau antar golongan masyarakat (Tambunan 2003; Todaro dan Smith 2009). Bank Dunia (2006), mencatat bahwa di Indonesia telah memiliki sukses luar biasa dalam pengentasan kemiskinan sejak tahun 1970-an. Periode dari akhir tahun 1970-an hingga pertengahan tahun 1990-an dianggap sebagai periode pertumbuhan yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor growth) terbesar dalam sejarah perekonomian negara manapun, dengan keberhasilan Indonesia dalam mengurangi angka kemiskinan lebih dari separuhnya. Di Era 1970-an sampai dengan akhir tahun 1990-an, pertumbuhan ekonomi berjalan pesat dan telah menjangkau masyarakat miskin, setiap point persentase rata-rata menghasilkan penurunan 0,3 persen angka kemiskinan. Beberapa penelitian lain yang mendukung bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang hati-hati (prudential) berdampak pada penurunan jumlah rumah tangga miskin, namun magnitudnya berbeda antar suatu lokasi dan waktu (Siregar dan Wahyuniati 2007; Balisacan et al. 2003; Suryahadi et al. 2006; dan Suryadarma dan Suryahadi (2007). Selain itu, Ravallion (2001) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan pendapatan rata-rata dan kemiskinan dengan koefisien elastisitas sebesar -2,5. Sedangkan Adams (2004) dengan mengamati 50 negara sedang berkembang menemukan bahwa koefisien elastisitas dengan menggunakan pendapatan rata-rata US$ 1/hari per kapita terhadap kemiskinan adalah -5,75 pada Negara-negara Asia Tengah dan Eropa Timur, tapi berbeda elastisitasnya tanpa Negara-negara Asia Tengah dan Eropa Timur, yaitu -2,5. Demikian halnya yang ditemukan oleh Squire (1993) bahwa jika terjadi kenaikan 1 persen dalam pertumbuhan ekonomi akan mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 0,24 persen per tahun. Para ekonomi meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan pendapatan rata-rata berpengaruh secara signifikan terhadap 160
penurunan jumlah penduduk miskin, apabila ketimpangan awalnya rendah. Sejalan dengan itu, Dollar dan Kray (2002); Bigsten dan Levin (2000) menyebutkan bahwa pertumbuhan akan memberikan manfaat yang besar bagi penduduk miskin jika pertumbuhan tersebut disertai dengan kebijakan penegakan hukum, disiplin fiskal, dan adanya kebijakan dukungan dan lingkungan kelembagaan (institutional environment) yang tepat. Hal ini mengindikasikan bahwa, untuk menurunkan jumlah orang miskin di Kabupaten Barru, harus dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan dinikmati oleh sebagian besar masyarakat melalui intervensi kebijakan yang memberi peluang kepada sebagian besar masyarakat untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi tersebut. Todaro dan Smith (2009), menyebutkan bahwa intervensi kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, yaitu (i) Mengubah distribusi fungsional, tingkat hasil yang diterima dari faktorfaktor produksi tenaga kerja, tanah dan modal yang sangat dipengaruhi oleh harga masing-masing faktor produksi tersebut, tingkat pendayagunaannya, dan bagian atau persentase dari pendapatan nasional yang diperoleh para pemilik masingmasing faktor tersebut; (ii) Memeratakan distribusi ukuran, distribusi pendapatan fungsional dari suatu perekonomian yang dinyatakan sebagai distribusi ukuran, yang didasarkan pada kepemilikan dan penguasaan atas asset produktif serta keterampilan sumberdaya manusia yang terpusat dan tersebar ke segenap lapisan masyarakat. Distribusi kepemilikan asset dan keterampilan tersebut pada akhirnya akan menentukan merata atau tidaknya distribusi pendapatan secara perorangan; dan (iii) Meratakan (meningkatkan) distribusi ukuran golongan penduduk berpenghasilan rendah, melalui pengeluaran publik yang dananya bersumber dari pajak untuk meningkatkan pendapatan kaum miskin secara langsung (misalnya, melalui “pembayaran transfer” atau disebut pula money transfer) atau tidak langsung (misalnya, melalui penciptaan lapangan kerja dan penyediaan pelayanan publik yang pro-poor). Sedangkan Siregar dan Wahyuniarti (2007) menyebutkan bahwa agar pertumbuhan ekonomi berdampak langsung dalam mereduksi kemiskinan, maka pertumbuhan ekonomi perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana orang 161
miskin bekerja (pertanian dan sektor-sektor yang padat tenaga kerja). Selanjutnya, secara tidak langsung diperlukan pemerintah yang cukup efektif meredistribusi manfaat pertumbuhan yang boleh jadi diperoleh dari sektor modern seperti jasa dan manufaktur yang padat modal ke golongan penduduk miskin. 5.6.3. Pengaruh Peningkatan PAD terhadap Kemiskinan Hasil pendugaan variabel pendapatan asli daerah (PAD) menunjukkan bahwa peningkatan satu satuan PAD berdampak pada meningkatnya jumlah rumah tangga miskin sebesar 0.022 persen per tahun, ceteris paribus. PAD sebagai salah satu sumber pendapatan dan belanja daerah yang diperoleh dari retribusi dan pajak, seyogyanya dapat mensejahterakan masyarakat. Pada kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya, hal ini lebih diakibatkan oleh penarikan pajak dan retribusi selama ini dilakukan secara universal tanpa memperhatikan kemampuan dan jenis usaha masyarakat, termasuk rumah tangga miskin. Peningkatan pendapatan asli daerah yang diperoleh dari retribusi dan pajak daerah berdampak langsung pada ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Biaya ekonomi tinggi mendorong produsen untuk meningkatkan harga produksinya, yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan daya beli masyarakat (purchasing power parity). Di samping itu, biaya ekonomi yang tinggi berdampak pada rendahnya akumulasi modal, terutama usaha-usaha kecil dan mikro yang digeluti oleh rumah tangga. Implikasi selanjutnya, adalah terhambatnya pengembangan usaha kecil dan mikro serta dapat meningkatkan jumlah pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Penarikan retribusi dan pajak secara merata tanpa memperhatikan kemampuan dan skala usaha yang digeluti oleh masyarakat, bukan hanya berdampak pada menurunnya pendapatan riil penduduk akan tetapi juga berdampak pada kurang berkembangnya usaha masyarakat baik usaha mikro dan kecil, maupun usaha menengah. Padahal pengembangan usaha kecil dan mikro berpeluang besar dalam meningkatkan pendapatan perkapita produsesn dan mampu menyerap tenaga kerja kurang terampil. Hal ini sejalan dengan temuan Mahyuddin (2006), yang melakukan penelitian di Sulawesi Selatan bahwa peningkatan retribusi dan pajak yang ditarik pada masyarakat dan usaha mikro, kecil dan menengah berdampak pada penurunan pembukaan lapangan kerja. 162
Di samping itu, terjadinya kontraproduktif antara PAD dan kesejahteraan masyarakat, diindikasikan bahwa belanja pemerintah yang bersumber dari PAD tidak dibelanjakan untuk kepentingan publik, akan tetapi lebih banyak untuk belanja aparatur. Hal ini terjadi sejak awal diimplementasikannya otonomi daerah yang mengisyaratkan bahwa belanja anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan perangkatnya tergantung dari besarnya penerimaan PAD. Implikasinya, ada kecenderungan untuk meningkatkan pendapatan dari PAD secara massif, akan tetapi tidak dilakukan dengan pendekatan yang berpihak pada rumah tangga miskin yang bekerja di sektor non formal dengan skala usaha yang kecil dan modal yang terbatas. Implementasi otonomi daerah merangsang pemerintah daerah untuk meningkatkan sumber-sumber pendapatannya sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan. Di Kabupaten Barru PAD mengalami peningkatan dari Rp. 341.877.000,- pada tahun 1990 menjadi Rp. 1.943.893 pada tahun 2000. Pemerintah Daerah Kabupaten Barru melalui kebijakan perbaikan sistem manajemen informasi objek pajak (SISMIOP) pada tahun 2003 berdampak pada peningkatan yang sangat tajam terhadap penerimaan PAD, yaitu meningkat menjadi Rp. 9.000.159.000 pada tahun 2003 dan pada tahun 2008 meningkat menjadi Rp. 14.390.370.000,- sebagaimana digambarkan pada Grafik 15. Grafik 15. Pertumbuhan PAD dan Kontribusinya terhadap APBD Kabupaten Barru, Periode Tahun 1990 – 2008 (Rp.Juta). 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
200 150 100 50 0
PAD (Rp. 000)
Pertumbuhan PAD (%)
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
-50
Konribusi PAD terhadap APBD (%)
Sumber : Diolah dari data sekunder Kabupaten Barru Tahun 1990 – 2008. Dari Grafik 15 di atas, menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) yang diperoleh dari retribusi dan pajak daerah mengalami peningkatan yang 163
signifikan, akan tetapi kontribusi terhadap belanja daerah sangat kecil dan setelah tahun 2004 sampai tahun 2008 justru mengalami kecenderungan menurun. Menurunnya kontribusi PAD terhadap belanja daerah, disebabkan oleh semakin meningkatnya dana transfer oleh Pemerintah melalui dana alokasi umum dan alokasi khusus serta sumber pembiayaan lain yang sah. Implikasi temuan penelitian ini, mengisyaratkan perlunya pengkajian secara obyektif, realistis, dan proporsional dalam penetapan obyek pajak dengan menjadikan skala usaha dan kemampuan dan karakteristik rumah tangga miskin. Hal ini sejalan dengan Smeru (2008), yang menjelaskan bahwa untuk menghindari terjadinya kontraproduktif dalam peningkatan PAD, maka perlu pengenaan retsribusi dan pajak yang proporsional berdasarkan garis kemiskinan dan kedalaman kemiskinan. 5.6.4. Pengaruh Inflasi (GDP_Deflator) terhadap Kemiskinan Inflasi dalam penelitian ini menggunakan GDP_Deflator, dengan asumsi bahwa perubahan harga pada semua barang dan jasa berpengaruh terhadap daya beli masyarakat secara keseluruhan termasuk rumah tangga miskin. Hasil pendugaan
variabel
GDP_Deflator
menunjukkan
bahwa
peningkatan
GDP_Deflator sebanyak 1 persen per tahun berdampak pada peningkatan angka kemiskinan sebesar 0.096 persen per tahun, ceteris paribus. Peningkatan inflasi yang besar berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin pada semua wilayah, yaitu wilayah pesisir, dataran rendah, dan pada wilayah pegunungan. Peningkatan jumlah penduduk miskin terbesar adalah pada wilayah pegunungan, kemudian pada wilayah dataran rendah dan pesisir. Di sisi lain, pengaruh peningkatan inflasi yang rendah terhadap kemiskinan pada wilayah dataran rendah dan pesisir berdasarkan grafik di atas menunjukkan hubungan yang tidak jelas. Peningkatan jumlah penduduk miskin di wilayah pegunungan akibat peningkatan inflasi beberapa hal yang diindikasikan berpengaruh yaitu peningkatan harga bahan makanan, peningkatan harga sarana produksi dan peningkatan harga bahan bakar minyak (BBM). Peningkatan harga BBM seperti pada tahun 2005 menunjukkan peningkatan grafik jumlah penduduk miskin pada wilayah pegunungan. Peningkatan harga BBM berdampak pada 164
meningkatnya harga sarana produksi akibat meningkatnya biaya transportasi pada wilayah pegunungan yang mana lokasinya masih relatif terpencil dan terisolir. Grafik 16, menunjukkan bahwa peningkatan inflasi yang besar terutama pada saat krisis moneter tahun 1997/1998 berdampak besar pada peningkatan jumlah pendduduk miskin di Kabupaten Barru. Grafik 16. Hubungan antara inflasi dan perkembangan rumah tangga miskin di Kabupaten Barru berdasarkan wilayah. 70 Perentase (%)
60 50 40
Inflasi (%)
30
% Pesisrr
20
% D. Rendah
10
% Pegunungan 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
0
Sumber : Diolah dari data rumah tangga dan inflasi Kabupaten Barru (BKCKB dan Bappeda Kabupaten Barru 1990-2008). Dari temuan itu diindikasikan bahwa perlu pengaturan yang hati-hati terhadap pengendalian inflasi yang disesuaikan dengan perubahan harga yang berpengaruh terhadap penduduk miskin. Sejalan dengan itu, Suryahadi et al (2006) merekomendasikan bahwa pengendalian inflasi wajib dilakukan untuk mempertahankan daya beli masyarakat sehingga peningkatan pendapatan yang diperolehnya menjadi lebih berarti dalam memenuhi kebutuhan dasar atau meningkatkan kualitas hidup mereka. Selanjutnya, Santoso et al. (2007) mengatakan bahwa dalam jangka panjang, inflasi yang rendah dan stabilitas ekonomi makro yang baik berasosiasi secara signifikan dengan tingkat kemiskinan yang lebih rendah dan distribusi pendapatan yang lebih baik. Hasil temuan ini juga sejalan dengan Sadli (2005) yang menyebutkan bahwa peningkatan inflasi 1% menambah jumlah orang miskin sebesar 0.1%. Sedangkan temuan Usman et al. (2005) menemukan bahwa peningkatan inflasi menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin. Sama halnya dengan Siregar dan Wahyuniarti (2007) menemukan bahwa peningkatan inflasi sebesar 1 unit (persen 165
per tahun) dapat menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin sebesar 2.375 orang. Peningkatan inflasi berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat (purchasing power parity), dimana dengan meningkatnya harga barang dan jasa akan menurunkan kemampuan daya beli masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pengendalian inflasi seyogyanya tidak hanya dipandang demi kestabilan makro/moneter, akan tetapi juga untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya pada masyarakat yang memiliki pendapatan rendah (Siregar dan Wahyuniarti, 2007).
Namun
demikian,
inflasi
yang
rendah
tidak
selamanya
bisa
diinterpretasikan sebagai hal yang baik, karena hal ini bisa terjadi sebagai akibat dari ketidakberdayaan sisi permintaan (Hartati, 2005). Akibatnya, dapat menurunkan produksi dan pada akhirnya berakibat pada pemutusan hubungan kerja dan berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Oleh karena itu, perlu kebijakan yang hati-hati (prudential policy) agar inflasi berada pada titik yang diharapkan. 5.6.5. Pengaruh Kontribusi Sektor terhadap Kemiskinan Perubahan struktur perekonomian dari sektor primer ke sektor modern atau dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa menunjukkan kemajuan dalam pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah. Struktur perekonomian Kabupaten Barru masih didominasi oleh sektor pertanian namun menunjukkan trend yang semakin menurun, yaitu dari 46,43 persen pada tahun 1990, meningkat menjadi 50,55 persen pada tahun 1995 dan puncaknya pada tahun 1998 yaitu sebesar 56,07 persen. Setelah itu, mengalami penurunan menjadi 52,72 persen pada tahun 2001, 50,09 persen pada tahun 2004, dan menurun lagi menjadi 44,86 persen pada tahun 2008. Demikian halnya dengan kontribusi sektor industri terhadap PDRB Kabupaten Barru masih rendah dan menunjukkan trend yang menurun sepuluh tahun terakhir, yaitu dari 5,05 persen pada tahun 1998 menjadi 3,28 persen pada tahun 2008. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Barru berpengaruh secara nyata dalam mengurangi kemiskinan. Hasil pendugaan parameter menunjukkan bahwa, peningkatan 166
perubahan satu satuan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Barru dapat menurunkan proporsi rumah tangga miskin 1.45 persen per tahun, ceteris paribus. Meningkatnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB berarti terjadi peningkatan produktivitas atau output sektor pertanian. Mekanisme transmisi peningkatan output pertanian dalam mereduksi kemiskinan terjadi melalui besarnya penduduk miskin yang bekerja di sektor tersebut, sehingga berdampak pada meningkatnya penerimaan penduduk miskin. Temuan dari hasil penelitian ini releven dengan yang ditemukan oleh Suryahadi et al. (2006), yang menunjukkan pertumbuhan sektor di perdesaan (pertanian) memberikan dampak yang besar terhadap penurunan kemiskinan di sektor perdesaan, dan memberi kontribusi terbesar dalam penurunan jumlah kemiskinan di Indonesia. Demikian halnya dengan temuan Booth (2000) bahwa produktivitas pertanian per hektar dan luas pemilikan lahan merupakan determinan yang signifikan di dalam kemiskinan pada daerah perdesaan di berbagai provinsi di Indonesia. Di dalam kaitan ini, dikatakan bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan merupakan hal yang penting apabila diinginkan terjadi pengurangan kemiskinan di Indonesia. Lebih lanjut, Fan et al. (2005) yang melakukan penelitian di China dan India menemukan bahwa pertumbuhan sektor perdesaan (pertanian) memiliki dampak yang signifikan pada kemiskinan perdesaan dan perkotaan. Karena itu, dia menyarankan agar kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan di sektor pertanian dan mempromosikan keterkaitan desa-kota yang lebih baik memiliki potensi besar dalam mengurangi kemiskinan. Salah satu dampak langsung dari pertumbuhan sektor pertanian terhadap kemiskinan perkotaan adalah penurunan harga bahan makanan, yang secara proporsional lebih menguntungkan miskin perkotaan dari pada perdesaan. Sama halnya dengan perubahan kontribusi sektor pertanian, perubahan kontribusi sektor industri juga menunjukkan arah yang sama. Peningkatan kontribusi sektor industri terhadap PDRB Kabupaten Barru juga berkorelasi negatif dan nyata secara statistik terhadap kemiskinan. Hasil
pendugaan
parameter menunjukkan bahwa, peningkatan satu satuan kontribusi sektor industri terhadap PDRB dapat mereduksi kemiskinan sebesar 3.21 persen. 167
Hasil temuan ini sejalan dengan Banerjee dan Siregar (2000) yang menunjukkan bahwa industrialisasi yang dilaksanakan secara cepat, bersifat padat karya dan berbasis pertanian, dapat mengurangi jumlah orang miskin. Hal ini mengindikasikan bahwa transformasi sektor pertanian ke sektor industri memiliki keterkaitan yang sangat besar dalam mereduksi kemiskinan. Oleh karena itu, pengembangan sektor pertanian harus menjadi pendorong pertumbuhan dengan menjadikan sektor pertanian sebagai penyangga sektor industri. Dengan perkataan lain pembangunan pertanian harus terintegrasi dengan pembangunan sektor industri (integrated industrial and agriculture development). Peningkatan keterkaitan antara sektor pertanian dan industri dalam suatu wilayah dapat mengurangi jumlah orang miskin secara signifikan (Todaro dan Smith, 2006). 5.6.6. Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Kemiskinan Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 kemudian direvisi menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, mengindikasikan adanya pemberian kewenangan disertai dengan pembiayaan yang besar kepada pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal yang dilaksanakan secara efektif pada tahun 2001 memberi ruang gerak bagi pemerintah daerah untuk menggali pendapatan dan mengalokasikan anggaran secara mandiri yang diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menurunkan jumlah penduduk miskin. Desentralisasi fiskal berimplikasi pada meningkatnya sumber pendapatan daerah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dana bagi hasil, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Besarnya sumber pembiayaan yang bisa diterima oleh Pemerintah Daerah berdampak pada besarnya anggaran pembangunan daerah yang dapat memperbaiki pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh daerah dan masyarakat setempat. Dengan demikian, maka desentralisasi fiskal akan meningkatkan kreativitas pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran yang berpihak kepada penduduknya, khususnya kaum miskin.
168
Di Kabupaten Barru sejak diimplementasikannya desentralisasi fiskal arah kebijakan umum yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah salah satu kebijakan prioritasnya adalah pengentasan kemiskinan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan melalui percepatan pembangunan perdesaan. Percepatan pembangunan perdesaan tersebut dilakukan melalui program pembukaan keterisolasian daerah-daerah terkebelakang dan terpencil. Kegiatan yang dilakukan meliputi pemerataan sarana dan prasana pendidikan khususnya pendidikan dasar, pemerataan parasarana dan sarana kesehatan, pembangunan irigasi desa, jalan usaha tani, dan penyediaan listrik desa (Bappeda Kabupaten Barru 2009). Sejalan
dengan
implementasi
kebijakan
desentralisasi
fiskal
yang
dilaksanakan pada tahun 2001 berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Barru. Hasil pendugaan parameter desentralisasi fiskal menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal berkorelasi negatif dan nyata secara statistik dalam mereduksi kemiskinan di Kabupaten Barru dengan nilai koefisien -9.791. Namun demikian, implementasi desentralisasi fiskal pada tahun 2001, tidak secara langsung berpengaruh dalam mereduksi kemiskinan, akan tetapi pengaruhnya dapat dilihat setelah tahun ke empat (t-4). Hasil penelitian ini sejalan dengan Sasana (2009) yang melakukan penelitian di Jawa Tengah yang menemukan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan pada tahun 2001 berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan dapat mereduksi kemiskinan di Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Begitupula
dengan
Isdijoso
dan
Wibowo
(2002)
menyebutkan
bahwa
desentralisasi fiskal dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan, kesehatan, dan barang-barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan baik dibandingkan apabila diatur oleh pemerintah pusat. Selanjutnya, Musgrave (1973) menyebutkan bahwa salah satu funsgi pemerintah adalah fungsi ekonomi yang melekat didalamnya fungsi anggaran (fiscal function). Selanjutnya, disebutkan bahwa salah satu funsgi anggaran tersebut adalah adanya funsgi distribusi. Fungsi distribusi dalam kebijakan desentralisasi fiskal bertujuan untuk mengurangi perbedaan-perbedaan pendapatan 169
antar individu dalam masyarakat. Distribusi pendapatan yang optimal merupakan isu yang utama dalam funsgi distribusi. Oleh karena itu, kebijakannya mengarah kepada
mempercepat
pertambahan
pendapatan
masyarakat
kelompok
berpenghasilan rendah (kelompok masyarakat miskin). Penurunan (pengurangan) jumlah penduduk miskin ini merupakan implementasi dari pelaksanaan fungsi distribusi.
Selain
itu,
Hirawan
(2007),
menyebutkan
bahwa
kebijakan
desentralisasi fiskal juga diharapkan bisa mengurangi kemiskinan lewat peningkatan transfer dana spesifik untuk sektor-sektor tertentu yang jadi prioritas karena bersinggungan dengan orang miskin. Dari pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memberi peluang kepada daerah untuk meningkatkan pendapatan dari berbagai sumber penerimaan.
Pendapatan yang dialokasikan
untuk membiayai kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pembiayaan yang diarahkan untuk meningkatkan akses dan aksesibilitas masyarakat terhadap aktivitas sosial ekonomi berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Selain itu, perlu ditingkatkan kreativitas dan sinergitas program dan kegiatan yang berpihak kepada kebutuhan dasar masyarakat dan meminimalisasi terjadinya peningkatan ketimpangan pendapatan yang dapat menimbulkan semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin. 5.6.7. Pengaruh Krisis Moneter terhadap Kemiskinan Sama halnya dengan inflasi (GDP_Deflator), krisis moneter juga menunjukkan dampak terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin. Hasil pendugaan parameter krisis moneter (dummy) menunjukkan bahwa krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998 berdampak pada peningkatan rumah tangga miskin sebesar 5,24 persen. Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi serta pelbagai krisis lainnya berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998 berdampak bukan hanya pada peningkatan inflasi yang sangat besar yaitu 61,38 persen, akan tetapi juga berdampak pada kontraksi pertumbuhan ekonomi yaitu -5,97 persen. Hal ini berakibat terjadinya stagflasi yang berdampak pada menurunnya output 170
perekonomian dan daya beli masyarakat yang pada akhirnya berpengaruh pada menurunnya pemenuhan kebutuhan dasar, terutama yang terkait dengan pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini menyebabkan pengaruh yang buruk bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, bukan hanya terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan makanan, akan tetapi juga terhadap pemenuhan kebutuhan bukan makanan berupa kesehatan dan pendidikan. Di sisi lain dengan terjadinya kontraksi pertumbuhan ekonomi berdampak pada menurunnya sisi permintaan yang secara langsung berpengaruh pada meningkatnya pemutusan hubungan kerja dan kemiskinan. Hal ini diindikasikan oleh terjadinya penutupan beberapa perusahaan yang bergerak dibidang pengolahan ikan seperti PT. PHILIPS Amerika. Dampak langsung dari penutupan perusahaan tersebut adalah pemutusan hubungan kerja sehingga menyebabkan banyak orang yang hilang pekerjaan. Dampak lain yang ditimbulkan adalah kepada nelayan tangkap sebagai pensuplai bahan baku ikan, dimana hasil tangkapan tidak memiliki pasar yang tetap, sehingga menyebabkan nilai tukar yang diterima semakin menurun akibat tidak adanya pasar yang menampung hasil tangkapannya secara tetap. Hasil temuan ini sejalan dengan yang ditemukan oleh Siregar dan Wahyuniarti (2007) yang menyatakan bahwa krisis ekonomi berdampak pada peningkatan
jumlah
rumah
tangga
miskin.
Terjadinya
krisis
moneter
memperlihatkan pengaruh yang besar terhadap peningkatan jumlah orang miskin, yang terjadi karena banyak orang yang kehilangan pekerjaan serta tingginya inflasi saat krisis sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Di samping itu, World Bank (2006), menunjukkan bahwa krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998 menyebabkan peningkatan kemiskinan lebih dari sepertiga kali. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya dampak buruk akibat krisis moneter, maka perlu desain kebijakan moneter yang bersifat hati-hati “prudent policy” (menjaga kestabilan harga dan kondisi ekonomi makro), karena hal ini memiliki efek yang permanen dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan meratakan distribusi pendapatan (Santoso et al. 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa kebijakan moneter yang ekspansif hanya dapat menurunkan tingkat kemiskinan dalam jangka pendek. 171
5.7. Simulasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Simulasi kebijakan dimaksudkan untuk melihat pengaruh beberapa kebijakan terhadap penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Barru. Simulasi dilakukan dengan cara memberi shock pada variabel belanja publik dengan asumsi dapat berpengaruh pada meningkatkan beberapa variabel lain seperti pertumbuhan ekonomi, peningkatan produktivitas sektor pertanian dan industri. Di samping itu, juga dilihat pengaruhnya ketika terjadi peningktan pendapatan asli daerah dan peningkatan harga barang dan jasa terhadap kemiskian. Simulasi ini dianggap relevan dan disesuaikan dengan model persamaan yang telah dibangun. Secara ringkas simulasi kebijakan yang dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut : 1.
Peningkatan belanja publik sebesar 10 persen dengan asumsi dapat mendorong pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 4 persen dan peningkatan share sektor pertanian 2,5 persen dan share sektor industri 2,5 persen.
2.
Peningkatan belanja publik sebesar 10 persen dengan asumsi dapat mendorong pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 4 persen dan peningkatan share sektor pertanian sebesar 5 persen dan sektor industri 2,5 persen.
3.
Peningkatan belanja publik sebesar 20 persen dengan asumsi dapat mendorong pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 4 persen dan peningkatan share sektor pertanian 2,5 persen dan share sektor industri 2,5 persen.
4.
Peningkatan belanja publik sebesar 20 persen dengan asumsi dapat mendorong pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 4 persen dan peningkatan share sektor pertanian 5 persen dan share sektor industri 2,5 persen.
5.
Peningkatan belanja publik sebesar 20 persen dengan asumsi dapat mendorong pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 4 persen dan peningkatan share sektor pertanian 2,5 persen dan share sektor industri 5 persen.
6.
Peningkatan belanja publik sebesar 20 persen dengan asumsi dapat mendorong pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 4 persen dan peningkatan share sektor pertanian 5 persen dan share sektor industri 5 persen.
7.
Peningkatan belanja publik sebesar 20 persen dengan asumsi dapat mendorong pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 4 persen, peningkatan PAD sebesar 15%, dan peningkatan share sektor pertanian 5 persen dan share sektor industri 5 persen.
172
8.
Peningkatan belanja publik sebesar 20 persen dengan asumsi dapat mendorong pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 4 persen, peningkatan PAD sebesar 15%, GDP_Deflator 1 persen, dan peningkatan share sektor pertanian 5 persen dan share sektor industri 5 persen.
9.
Peningkatan belanja publik sebesar 20 persen dengan asumsi dapat mendorong pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 6 persen dan peningkatan share sektor pertanian 5 persen dan share sektor industri 5 persen.
10. Peningkatan belanja publik sebesar 20 persen dengan asumsi dapat mendorong pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 6 persen dan peningkatan share sektor pertanian 7 persen dan share sektor industri 5 persen. Skenario tersebut di atas, diindikasikan relevan dan realistis serta diharapkan
dapat
penanggulangan
menjadi
kemiskinan.
dasar Hasil
dalam
menentukan
simulasi
kebijakan
opsi
kebijakan
penanggulangan
kemiskinan dapat diringkaskan pada Tabel 20 berikut. Tabel 20. Simulasi kebijakan penanggulangan kemiskinan. SKENARIO
Hasil Simulasi (2010)
Perubahan (%)
1. Peningkatan Belanja Publik 10%: PDRB perkapita 4%; SSAGR 2,5%; dan SSIND 2,5% 2. Peningkatan Belanja Publik 10%; PDRB per kapita 4 %; SSAGR 5% dan SSIND 2,5% 3. Peningkatan Belanja Publik 20%: PDRB perkapita 4%; SSAGR 2,5%; dan SSIND 2,5% 4. Peningkatan Belanja Publik 20 %: PDRB perkapita 4%; SSAGR 5%; dan SSIND 2,5% 5. Peningkatan Belanja Publik 20 %: PDRB perkapita 4%; SSAGR 2,5%; dan SSIND 5% 6. Peningkatan Belanja Publik 20 %: PDRB perkapita 4%; SSAGR 5%; dan SSIND 5% 7. Peningkatan Belanja Publik 20 %: PDRB perkapita 4%; PAD 15%; SSAGR 5%; dan SSIND 5% 8. Peningkatan Belanja Publik 20 %: PDRB perkapita 4%; PAD 15%; GDP_Deflator 1%; SSAGR 5%; dan SSIND 5% 9. Peningkatan Belanja Publik 20 %: PDRB perkapita 6%; SSAGR 5%; dan SSIND 5% 10. Peningkatan Belanja Publik 20 %: PDRB perkapita 6%; SSAGR 7 %; dan SSIND 5%
31,46
2,64
31,77
4,27
30,74
3,36
29,83
4,27
30,19
3,91
29,72
4,38
31,51
2,59
31,66
2,44
29,57
4,53
28,83
5,27
Sumber : Hasil perhitungan simulasi kebijakan
173
Skenario Pertama. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketika pemerintah daerah meningkatkan belanja publik sebesar 10 persen dengan asumsi dapat mendorong peningkatan PDRB perkapita 4 persen, peningkatan share sektor pertanian sebesar 2,5 persen dan share sektor industri 2,5 persen berdampak pada penurunan jumlah rumah tangga miskin sebesar 2,64 persen pada tahun 2010. Skenario Kedua. Skenario ini meningkatkan belanja publik sebesar 10 persen, dengan asumsi terjadi pertumbuhan PDRB per kapita sebesar 4 persen yang diperoleh dari peningkatan produktivitas sektor pertanian sebesar 5 persen dan sektor industri sebesar 2,5 persen dapat mereduksi kemiskinan sebesar 4,27 persen pada tahun 2010. Dari scenario pertama dan kedua dapat disimpulkan bahwa peningkatan belanja publik yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian berpengaruh relatif besar dalam mereduksi kemiskinan di Kabupaten Barru. Skenario Ketiga. Skenario ini meningkatkan belanja publik sebesar 20 persen, dengan asumsi terjadi pertumbuhan PDRB perkapita sebesar 4 persen, dan peningkatan share sektor pertanian dan industri masing-masing 2,5 persen, besar pengaruhnya dalam mereduksi kemiskinan relatif lebih besar yaitu 3,36 persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peningkatan belanja publik yang diarahkan kepada bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang pertanian, dan bidang infrastruktur dampaknya dalam mereduksi kemiskinan masih relatif besar. Mekanisme transmisi belanja publik dan kemiskinan apabila belanja publik diinvestasikan untuk meningkatkan kapasitas rumah tangga miskin baik yang terkait dengan aspek pendapatan maupun non pendapatan seperti perbaikan indeks pembangunan manusia. Di samping itu, mekanisme transmisi belanja publik dan kemiskinan ketika dilakukan investasi dalam bidang infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, irigasi, energi listrik, dan telekomunikasi diyakini berdampak besar dalam mereduksi kemiskinan. Skenario Keempat. Hasil simulasi kebijakan dimana pemerintah daerah meningkatkan belanja publiknya sebesar 20 persen dengan asumsi tetap meningkatkan PDRB perkapita sebesar 4 persen, akan tetapi terjadi perubahan struktur perekonmian terutama disektor pertanian meningkat menjadi 5 persen dan sektor industri tetap 2,5 persen, berpengaruh dalam menurunkan jumlah rumah tangga miskin sebesar 4,27 persen. 174
Skenario Kelima. Hasil simulasi menunjukkan, bahwa ketika belanja publik ditingkatkan menjadi 20 persen, dengan asumsi pertumbuhan PDRB perkapita sebesar 4 persen, dan peningkatan sektor pertanian 2,5 persen tetapi peningkatan share sektor industri menjadi 5 persen, pengaruhnya dalam mereduksi kemiskinan adalah sebesar 3,91 persen. Dari scenario keempat dan kelima dapat ditarik kesimpulan bahwa, ketika belanja publik di tingkatkan sebesar 20 persen dengan asumsi mendorong produktivitas sektor industri besar magnitudnya dalam mereduksi kemiskinan tidak sebesar ketika diarahkan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Skenario Keenam. Skenario ini dilakukan dengan meningkatkan belanja publik sebesar 20 persen dengan asumsi terjadi pertumbuhan PDRB perkapita sebesar 4 persen dan meningkatnya produktivitas sektor pertanian dan sektor industri masing-masing 5 persen pengaruhnya terhadap penurunan jumlah rumah tangga miskin sebesar 4,38 persen. Hasil ini mengindikasikan bahwa alokasi belanja publik yang diarahkan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor industri pengaruhnya dalam mereduksi kemiskinan relatif besar, dibandingkan hanya diarahkan pada satu sektor saja. Skenario Ketujuh. Ketika belanja publik ditingkatkan sebesar 20 persen dengan asumsi yang sama yaitu peningkatan PDRB perkapita sebesar 4 persen, peningkatan share sektor pertanian dan sektor industri masing-masing 5 persen, akan tetapi dibarengi dengan peningkatan PAD sebesar 15 persen, pengaruhnya terhadap penurunan jumlah rumah tangga miskin yaitu 2,59 persen. Hasil ini mengindikasikan bahwa peningkatan PAD memiliki persistensi terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru. Skenario Kedelapan. Skenario ini sama dengan skenario keenam di atas, akan
tetapi
diasumsikan
terjadi
peningkatan
harga
barang
dan
jasa
(GDP_Deflator) sebesar 1 persen. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan meningkatnya harga barang dan jasa sebesar 1 persen per tahun, berdampak positif terhadap penningkatan jumlah penduduk miskin, yaitu dari 2,59 persen menjadi 2,44 persen (0,15 persen). Hasil ini mengindikasikan bahwa rumah tangga miskin di Kabupaten Barru rentan terhadap perubahan harga barang dan jasa. 175
Skenario Kesembilan. Skenario ini dilakukan dengan meningkatkan belanja publik sebesar 20 persen dengan asumsi dapat mendorong peningkatan PDRB perkapita sebesar 6 persen, dan meningkatkan share sektor pertanian dan sektor industri masing-masing 5 persen pengaruhnya dalam mereduksi kemiskinan sebesar 4,53 persen. Skenario Kesepuluh. Simulasi ini mengindikasikan peningkatan belanja publik sebesar 20 persen dengan asumsi terjadi peningkatan PDRB perkapita sebesar 6 persen dan berpengaruh terhadap peningkatan share sektor pertanian sebesar 7 persen dan sektor industri sebesar 5 persen pengaruhnya terhadap penurunan jumlah penduduk miskin relatif lebih besar yaitu 5,27 persen. Berdasarkan hasil simulasi kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa peningkatan belanja publik merupakan syarat keharusan
(necessary
condition)
untuk
mengurangi
kemiskinan.
Syarat
kecukupannya (sufficient condition), seperti peningkatan produktivitas sektor pertanian dan sektor industri, artinya perlu peningkatan keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri.
Di samping itu, penarikan retribusi dan pajak
daerah perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan kemampuan dan skala usaha rumah tangga, sehingga peningkatan PAD tidak menjadi beban dan bukan sebagai penghambat pengembangan usaha kecil dan mikro yang digeluti oleh rumah tangga miskin. Selanjutnya, laju peningkatan harga barang dan jasa perlu dikendalikan dengan baik agar kemampuan daya beli rumah tangga dapat dipertahankan. Dari hasil simulasi tersebut di atas, maka terdapat lima opsi kebijakan yang dianggap prioritas dan strategis untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Barru. Kelima agenda makro tersebut adalah (i) peningkatan belanja publik yang diarahkan untuk bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pertanian; (ii) peningkatan belanja publik yang dapat mendorong peningkatan produktivitas sektor pertanian; (iii) peningkatan belanja publik yang dapat mendorong peningkatan produktivitas sektor industri; (iv) pertumbuhan ekonomi yang disertasi dengan pemerataan; dan (v) pengendalian harga barang dan jasa untuk mempertahankan daya beli masyarakat.
176
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dijelaskan pada bab sebelumnya, maka secara khusus dapat disimpulkan bahwa penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara spesifik dan selektif baik yang terkait dengan aspek mikro, aspek makro dan aspek wilayah. Secara umum diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Karakteristik rumah tangga miskin di Kabupaten Barru berbeda secara nyata berdasarkan wilayah. Karakteristik rumah tangga pada wilayah pegunungan dicirikan oleh rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan, jaminan kesehatan, akses ke lembaga keuangan formal, akses ke PLN, akses pelayanan pendidikan menengah ke atas, dan telekomunikasi dibanding dengan rumah tangga pada wilayah pesisir dan dataran rendah. Sedangkan tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan tertinggi pada wilayah dataran rendah, kemudian disusul pada wilayah pegunungan dan terendah pada wilayah pesisir. 2. Kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan dari perspektif mikro dipengaruhi oleh kepala rumah tangga perempuan, jumlah tanggungan rumah tangga yang besar, rendahnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga, tingkat kesehatan kepala rumah tangga, kurangnya akses ke lembaga keuangan formal, kurangnya akses ke energi listrik, rendahnya tingkat partisipasi dalam proses pembangunan, dan rendahnya nilai asset yang dimiliki. 3. Kemiskinan di Kabupaten Barru berasosiasi dengan karakteristik wilayah, dimana rumah tangga yang berdomisili pada wilayah pegunungan memiliki kerentanan atau peluang untuk menjadi miskin lebih kecil dibanding dengan rumah tangga yang berdomisili pada wilayah pesisir dan dataran rendah. 4. Pertumbuhan ekonomi (PDRB per kapita) berpengaruh secara nyata dan signifikan secara statistik dalam penurunan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Barru, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar. 5. Belanja publik yang diarahkan pada bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pertanian signifikan secara statistik dalam mereduksi kemiskinan. Namun, belanja langsung yang diarahkan untuk penanggulangan 177
kemiskinan berkorelasi negatif terhadap kemiskinan akan tetapi tidak signifikan secara statistik. 6. Kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan dalam mereduksi kemiskinan. 7. Peningkatan share sektor pertanian dan share sektor industri terhadap PDRB berpengaruh signifikan dalam mereduksi kemiskinan di Kabupaten Barru, akan tetapi besar pengaruhnya berbeda. 8. Peningkatan harga barang dan jasa (GDP_Deflator), peningkatan PAD dan krisis moneter, berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat yang pada akhirnya berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin. 6.2. Saran Kebijakan Mengacu pada karateristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah, kerentanan dan determinan kemiskinan tersebut, maka ditarik beberapa saran kebijakan pengentasan kemiskinan khususnya di Kabupaten Barru sebagai berikut : 1. Kebijakan peningkatan nilai asset produktif rumah tangga menjadi prioritas utama karena merupakan variabel penentu kerentanan rumah tangga pada semua wilayah. Peningkatan nilai asset rumah tangga dapat dilakukan dengan penerapan reformasi agraria pada wilayah pegunungan dan dataran rendah, serta peningkatan sarana dan prasarana usaha nelayan pada wilayah pesisir melalui bantuan alat tangkap yang representatif. 2. Untuk wilayah pesisir dan dataran rendah, diperlukan kebijakan khusus untuk memperluas akses rumah tangga terhadap lembaga keuangan formal (permodalan). Kebijakan penyediaan modal usaha yang dirancang sesuai dengan persyaratan administrasi yang sederhana dan tidak berbelit-belit mampu meningkatkan akses rumah tangga miskin ke sumber permodalan. 3. Untuk wilayah pesisir, diperlukan kebijakan peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kebijakan peningkatan partisipasi dalam proses pembangunan karena variabel ini menjadi penciri rumah tangga pada wilayah pesisir. Kebijakan peningkatan kualitas sumberdaya manusia anggota rumah tangga bukan hanya diarahkan untuk pendidikan formal akan tetapi juga peningkatan 178
keterampilan (life skill) sehingga mampu mengakses peluang-peluang ekonomi diluar pekerjaan sebagai nelayan dan buruh nelayan. 4. Untuk
wilayah
dataran
rendah,
dibutuhkan
kebijakan
pemberdayaan
perempuan dan diversifikasi lapangan pekerjaan karena merupakan variabel penciri kerentanan kemiskinan bagi rumah tangga pada wilayah ini. Kebijakan pemberdayaan perempuan difokuskan pada kepala rumah tangga perempuan. Selain itu, kebijakan diversifikasi lapangan pekerjaan perlu diperluas agar tidak tergantung hanya pada lapangan kerja sebagai petani dan buruh tani. 5. Khusus untuk wilayah pegunungan, kebijakan difokuskan pada percepatan pembangunan infrastruktur fisik dan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan aksesibilitas penduduk terhadap pelayanan publik seperti energi listrik dan infrastruktur fisik lainnya menjadi kebutuhan utama. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui intervensi kebijakan pendidikan spesifik pegunungan dan perluasan pelayanan kesehatan yang berkeadilan. 6. Kebijakan alokasi belanja publik terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur fisik, dan pertanian perlu lebih ditingkatkan dengan meningkatkan keterkaitan antar sektor dan menyentuh langsung kebutuhan dasar rumah tangga miskin. 7. Kebijakan peningkatan belanja pembangunan daerah terutama yang bersumber dari PAD seyogyanya dilakukan secara selektif tanpa membebani penduduk yang dapat berdampak pada penurunan daya beli dan menghambat pengembangan usaha kecil, mikro dan menengah. 8. Kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi seyogyanya dapat memberi peluang bagi penduduk miskin untuk lebih terlibat dan berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan distribusi pendapatan. 9. Kebijakan peningkatan keterkaitan antara sektor pertanian dan sektor industri. Pembangunan sektor pertanian yang terintegrasi dengan sektor industri dapat menjadi katalis percepatan penanggulangan kemiskinan. Kebijakan ini mampu meningkatkan akumulasi kapital dan menekan kebocoran wilayah serta mendorong perkembangan institusi ekonomi yang mampu menyebarkan kesejahteraan yang merata. 179
10. Kebijakan pengendalian inflasi dan guncangan ekonomi. Pemerintah daerah seyogyanyan menyusun grand desain kebijakan ekonomi sesuai dengan kondisi lokal daerah dalam mengantisipasi terjadinya kenaikan harga barang dan jasa (inflasi) serta mengantisipasi terjadinya dampak krisis keuangan. Grand desain ini memberi proteksi kepada rumah tangga miskin dan rumah tangga yang rentan terhadap kemiskinan agar tidak jatuh lebih dalam di bawah garis kemiskinan dan mempertahankan usaha kecil, mikro dan menengah agar tidak gulung tikar akibat adanya resesi ekonomi. Dengan kebijakan tersebut maka berbagai tindakan preventif memungkinkan untuk dilakukan tanpa harus menunggu kebijakan yang sifatnya nasional dari pemerintah pusat. 6.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan Berdasarkan hasil studi ini, untuk memperluas dan memperdalam temuan studi ini maka disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan topik antara lain sebagai berikut : 1. Penelitian tentang kemiskinan berdasarkan wilayah dikaitkan dengan aliran barang,
jasa,
dan
orang
(migrasi)
diperlukan
sebagai
dasar
untuk
mengidentifikasi pola interaksi fenomena kemiskinan secara spasial. 2. Penelitian yang mengaitkan kemiskinan dengan agroekosistem wilayah dan kecenderungan perubahan lingkungan dan iklim global. 3. Penelitian untuk menentukan bentuk-bentuk kebijakan operasional yang efektif untuk merumuskan kerentanan kemiskinan di tingkat mikro.
180
DAFTAR PUSTAKA Abbas, M. 2002. Pengalaman Yayasan Mitra Usaha Mereplikasi Grameen Bank (Makalah). Disampaikan dalam Temu Nasional Lembaga Kuangan Mikro yang diselenggarakan oleh Gema PKM dan BI serta KPK, Jakarta, 22-25 Juli, 2002. Adams JR., 2004. Economic Growth, Inequality and Poverty: Estiamting the Growth Elasticity of Poverty. World Development Vol. 32, No. 12,pp. www.elsevier.com/locate/worldev. [12 Januari 2010] Adelman, I and Morris C.T. 1973. Economic Growth and Social Equality in Development Countries –Stanford. Stanford University Press. Amiruddin M dan Purnama L, 2005. Tragedi Kelaparan Nasional dan Feminisasi Kemiskinan. Jurnal Perempuan: Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Asra A. 2000. Poverty and Inequality in Indonesia: Estimates, Decomposition and Key Issues. Journal of the Asia Pasific Economiy, 5(1/2): 91-111. Austin MJ., 2006. Bay area Social Services: Understanding Poverty From Multiple Social Perspectives, In Social Service Agencies. University of California, Berkeley.
[email protected] [22 Desember 2009] Azra, Azyumardi, Pendidikan Nasional versus Kemiskinan dalam Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Badan Kependudukan dan Catatan Sipil dan Keluarga Berencana (2008) Kabupaten Barru: Data Rumah Tangga Kabupaten Barru. Bank Dunia, 2006. Era Baru dalam Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. The World Bank Office Jakarta. Website: www.worldbank.or.id. [2 April 2010] Baliscan AM., et al. 2003. Revisiting Growth and Poverty Reduction in Indonesia: What Do Subnational Data Show?. Bulletin of Indonesia Economic Studies, 39(3): 329-351. Banerjee, S. and Siregar, H. (2002) Agriculture as the Leading Sector: An industrial policy framework, Jakarta: UNSFIR. Bappeda Kabupaten Barru, 2009. Laporan Akuntabilitas Pemerintah Daerah Kabupaten Barru Periode Tahun 2008-2009. Bappeda Kabupaten Barru, 2009. Indeks Pembangunan Manusia. Bappeda Kabupaten Barru, 1990-2009, Laporan Monitoring Pelaksanaan Proyek Pembangunan Kabupaten Barru Bappeda Kabupaten Barru, 1990-2009, Pendapatan Regional Kabupaten Barru. Barret CB., 2007. Poverty Traps and Resources Dynamics In Smallholder Agrarian System. Departemen of Apllied Economics and Management, 315 Warren Hall, Cornell University, Ithaca, NY 14853-7801 USA: Email:
[email protected]. [25 Januari 2010] Bidani and Ravallion., 1993. A Regional Poverty Profile for Indonesia. Bulletin of Indonesia Economic Studies, 29(3) : 37-68).
181
Bintoro, B. 2002. Peranan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Penanggulangan Kemiskinan. (Makalah). Disampaikan dalam Temu Nasional Lembaga Kuangan Mikro yang diselenggarakan oleh Gema PKM dan BI serta KPK, Jakarta, 22-25 Juli, 2002. Blank, R.M, 2003. Selecting Among Anti-Poverty Policies: Can an Economist be Both Critical and Caring? Review of Social Economy, 78(4), 466-469. Booth A. 2000. Poverty nd Inequality in the Soeharto Era: The Role of Dualism. Journal of Development Economics, 57(2): 233-257 Braun JV., 2007. Rural-Urban Linkages for Growth, Employment, and Property Reduction. Makalah disampaikan pada United Nations Conference Center, Addis Ababa. Washington, D.C., USA. Brighten, A and Levin J, 2000. Growth Income Distribustion and Poverty: A Review. Working Paper in Economics Departement of Economics. Goteberg University: Retrieved January, 9 2005: http//www//rru/worldbank.org. BPS., 2009. Kabupaten Barru Dalam Angka Tahun 2008. Biro Pusat Statistik Kabupaten Barru. , 2009. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Barru 2008. Biro Pusat Statistik Kabupaten Barru. , 2009. Tingkat Kemiskinan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008. Biro Pusat Statistik Sulawesi Selatan, Makassar BPS, 1999. Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Beberapa Dimensi Sosial Ekonominya. Sebuah Kajian Sederhana. Badan Pusat Statistik, Jakarta , 2006. Berita Resmi Statistik : Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 20052006, No.47/IX/1 September 2006, Jakarta. , 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta Indonesia. , 2008. Profil Kemiskinan di Indonesia, Maret 2008. Berita Resmi Statistik, No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta Indonesia. Chambers, R. 1983. Rural Development: Putting the last first, Longman, Harlow. , 2001. The World Development Report : Concepts, content and a chapter 12. Journal of International Development 13:299-306. , 2006. Poverty Unpercieved: Traps, Biases and Agenda: Institute of Development Studies. Working Paper. University of Sussex Brighton BNI. , 2008. Revolutions in Development Inquiry. Earthscan, London. Pp 232. ISBN 978-1-84407-625-3 Chaudhuri, S; J. Jalan and A. Suryahadi (2001). Assessing Household Vulnerability to Poverty. New York. Columbia University. Cherchye L, et al. (2008) Economic Well-Being and Poverty among the Elderly: An Analysis Based on a Collective Consumption Model. IZA DP No. 3349. Forschungs institute zur Zukunft der Arbeit Institut for the Study of Labor. Cheyne, Christine; Mike O‟Brien & Michael Belgrave., 2000. Social Policy in Aotearoa New Zealand. 2nd edition. Auckland: Oxford University Press. 182
Clayton BD., et al. 2002. Rural Planning in Developing Countries: Supporting Natural Resource Management And Sustainable livelihoods., Daimon T, 2001. The Spatial Dimension of Welfare and Poverty: Lesson of Regional Targeting Program in Indonesia. Working Paper No. 8 Agustus 2001. International Relations, International University of Japan, Niigata, Japan Dagderivan HR., Van Der Hoeven, Weeks J. 2002. Redistribution Does Matter: Growth and Redistribution for Poverty Reduction. Discussion Paper No.2002/5, United Nations University/WIDER, Tokyo. Dasgupta, P. (1997) Nutritional Status, The Capacity to Work and Poverty Traps. Journal of Econometrics. 77 (1):5-37. Departemen Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia, 2008. Mengurai Benang Kusut Masalah Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Dialog Kebijakan Publik. Edisi 3/November/Tahun II/2008. Dharmawan AH., 2002. Kemiskinan Kepercayaan (The Poverty of Trust), Stok Modal Sosial dan Disintegrasi Sosial. (Makalah) Disampaikan pada Seminar dan Kongres Nasional IV Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) bertemakan “Menggalang Masyarakat Indonesia Baru yang Berkemanusiaan”, Bogor 2729 Agustus 2002. Djunedi P, 2006. Ancaman Stgflasi dan APBN 2006. Majalah Warta Anggaran Edisi 3 Tahun 2006, Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan Republik Indonesia. Dollar dan Kraay. 2002. Growth is Good for the Poor: Journal of Economic Growth, 7: 199-225. Dornbusch R, Fischer S. 1987. Makro Ekonomi. Alih Bahasa oleh Mulyadi, J,A, Erlangga, Jakarta, Edisi Keempat. Fan S, et al. 2005. Rural and Urban Dynamics and Poverty: Evidence from China and India. 2033 K Street, NW, Washington, DC 20006-1002 USA • Tel.: +1202-862-5600 •Fax: +1-202-467-4439 •
[email protected] ; [24 Desember 2009] Fan, S, L. Zhang, and S. Zhang, 2002. Growth, Inequality, and Poverty in Rural China: The Role of Public Investment. IFPRS Research Report. Washington D.C. Retrieved. http://www. Worlbank.org. [5 Januari 2010] Gundlach E, et al. 2002. Education is Good for the Poor: A Note on Dollar and Kraay (2001). Kiel Institute of World Economic.
[email protected]. [14 Juni 2010] Halder, S. and A.M. Husain (1999) Identification of the Poorest and the Impact of Credit on them: the case of BRAC. Dhaka. BRAC Research and Evaluation Division. Hardojo AP., 2008. Mendahulukan Si Miskin: Buku Sumber Bagi Anggaran Pro Rakyat. PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta. Harniati 2007. Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan Berbasis Agroekosistem dan Implikasinya pada Kebijakan Pengurangan Kemiskinan (Disertasi) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 183
Hashemi, S. (1997) Those Left Behind: A Note On Targeting The Hardcore Poor. in G. Wood and I. Sharif (eds.) Who Needs Credit: Poverty and Finance in Bangladesh. Dhaka. Zed Books. Hayami Y, 2001. Development Economics: From the Poverty to the Wealh of Nations, Second Edition. Oxford University Press. Heru B, 2006. Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan [Kompas] 26 Agustus 2006 Hirawan S.B, 2007. Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia. Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Ikhsan M, 1999. The Disagregation of Indonesian Poverty, PhD Disertation University of Illions, Urbana-Champaign. Isard W, 1975. Introduction to Regional Science. Prentice-Hal Inc. Englewood Cliffs, New Jesrey. Isdijoso, B dan Wibowo, T. 2002. Analisis Kebijakan Fiskal pada Otonomi Daerah, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6, No. 1. Hal 15-25. Islam, I. 2001. Identifing the Poorest of The Poor in Indonesia, UNSFIR, Jakarta. Ismawan B, 2002. Keuangan Mikro Dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (Makalah). Disampaikan dalam Temu Nasional Lembaga Kuangan Mikro yang diselenggarakan oleh Gema PKM dan BI serta KPK, Jakarta, 22-25 Juli, 2002. Juanda B, 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Institut Pertanian Bogor. , 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan, IPB Press, Institut Pertanian Bogor. Jung SY et al. 2006. The Economics of Poverty: Explanatory Theories to Inform Practice. University of California, Berkeley. Kartasasmita G, 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta. , 1998. Krisis Moneter dan Dampaknya terhadap Repelita VII. Makalah disampaikan pada RAPIM ABRI, Jakarta. www.ginanjar.com. [6 Mei 2010] Kasliwal P, 1995. Development Economics, South-Western College Publishing. An International Thomson Publishing Company. Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2007. Pedoman Umum dan Kelompok Kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Kantor Menko Kesra, Jakarta. KIKIS 2002. Pro Poor Budget: Sudah Saatnya Anggaran Publik Berbasis Hak-hak Orang Miskin. http/www/kikis.or.id [5 Juni 2010] Kusnadi 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Mata Pencaharian: Mata Rantai Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. UNFID, Jakarta.
184
Kurosaki, T. 2004. Consumption Vurnerability to Risk in Rural Pakistan. Journal of Development Studies, Institute of Economic Research, Hitotsubashi University, 21 Naka, Kunitachi Tokyo, 1868603 Japan. Kuznets, S. 1955. Economic Growth and Income Inequality. American Economic Review. 45(1): 1-28. March. Mahyuddin, 2006. Analisis Pasar Tenaga Kerja dan Pertumbuhan Ekonomidi Provinsi Sulawesi Selatan [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Makmun, 2003. Gambaran Kemiskinan dan Action Plan Penanganannya. Jurnal: Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol 7, No, 2 Juni 2003. Mankiw NG., 2007. Makroekonomi, Alih Bahasa Liza F dan Nurmawan, I. PT Gelora Aksara Pratama, Jakarta, Edisi Keenam. Mas‟oed M, 1997. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta. Mbawu E, and Thorbecke E. 2001. Rural Development for Economic Growth and Poverty Reduction at Sub Sahara Africa [Working Paper]. McCulloch N and B. Baulch, 2000. Simulting the Impact of Policy Upon Chronic and Transitory Poverty in Rural Pakistan. Journal of Development Studies. Vol. 36. No. 6. McCulloch, N., A. Winters, and X. Cirera, 2001, Trade Liberalization and Poverty: A Handbook (London: Centre for Economic Policy Research and Department for International Development). Mega F, 2003. Strategi Bersama Masyarakat Sipil Indonesia: Empat Pilar Demokratisasi Untuk Melawan Kemiskinan dan Pemiskinan. Gerakan Anti Pemiskinan (GAPRI), Jakarta. Munandar S, 2003. Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Sektor Pertanian dan Perdesaan [Makalah] Disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Penanggulangan Kemiskinan, yang diselenggarakan oleh Komite Penanggulangan Kemiskinan di Jogya Expo Centre, Yogyakarta. Muhadjir, 2005. Negara dan Perempuan. Penerbit CV Adipura, Jogyakarta. Murty S, 2000. Regional Disparitas: Need and Measure for Balanced Development in Regional Planning and Sustainable Development. Shukla, A (Ed). Kanishka Publisher, Distribution. New Delhi-110 002. Musgrave (1973). Public Finance in Theory and Practice. McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo. Nachrowi DN. et al. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis: Ekonometrika, Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Naja, A.H., 2006. Pendidikan Berkualitas dan Pembangunan SDM: Solusi Utama Masalah Pengangguran dan Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, 7(1), 67-79.
185
Nanga M, 2006. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia: Sebuah Analisis Simulasi Kebijakan (Disertasi). Sekolah Pascasarjan Institut Pertanian Bogor. Nasikun 2001. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan (Diktat Mata Kuliah) Magister Administrasi Publik. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Nurcholis, et al. (2009). Pedoman Pengembangan Perencanaan Pembangunan Partisipatif Pemerintahan Daerah. PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Nugroho R, 2000. Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi: Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. Papilaya EC., 2006. Akar Penyebab Kemiskinan Menurut Rumah Tangga Miskin dan Strategi Penanggulangannya [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009. Prihatini DA., 2008. Perbandingan Total Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia Dengan Peran Strategi Dari Usaha Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan. Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma, Jakarta. Pritchett. L.; A. Suryahadi and S. Sumarto (2000). Quantifying Vulnerability to Poverty: A proposed measure, applied to Indonesia. Working Paper WPS 2437. Washington DC. World Bank. Rahman, H. (1995) Mora Kartik: Seasonal Deficits and the Vulnerability of the Rural Poor. in H. Rahman and M. Hossain (eds.) Rethinking Rural Poverty: Bangladesh as a case study. Dhaka. UPL. Ravallion 2001. Growth, Inequality and Poverty: Looking Beyond Averages. World Bank, Washington, D.C. Ritonga H., 2003. Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan? http:/www.kompas.com [23 Juli 2004] Rustiadi E, 2007. Penataan Ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa Dalam Mendukung Konsep Agropolitan. [Makalah] Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya “Menuju Desa 2030” yang diselenggarakan oleh PKSPL-PSP3P4W LPPM IPB Bogor, tanggal 9-10 Mei 2007. Rustiadi E. et al. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Sach J.D., 2005. The End Poverty: Economic Possibilities for Our Time. Penguin Books Ltd, England. Sadli M, 2005 Inflasi dan Kenaikan Harga BBM. Kolom Pakar Pintar. http://kolom.pasific.net.id. [5 Juni 2010] Sajogyo 1977. Golongan Miskin dan Partisipasi Dalam Pembangunan Desa. Prisma, 3: 10-17.
186
Santoso P. et al. 2007. Mencari Hubungan Antara Kebijakan Moneter Dengan Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan: Kajian Menggunakan Data Regional Indonesia. Sasana H, 2009. Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah: Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 10. No. 1, Juni 2009. Hal 103-124. Satria A, 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT. Pustaka Cidesindo. Saunders P, 2004. Towards A Credible Poverty Framework: From Income To Deprivation. Social Policy Research Centre. Discussion Paper No. 131. Australia. Sen G. 1999. „Empowerment as an Approach to Poverty.‟ Background Paper for HDR97. UNDP. New York. Setiabudi B, 2002. Pendampingan yang Mandiri dan Berkelanjutan dalam Pengembangan Keuangan Mikro Guna Menanggulangi Kemiskinan di Perdesaan. (Makalah). Disampaikan dalam Temu Nasional Lembaga Kuangan Mikro yang diselenggarakan oleh Gema PKM dan BI serta KPK, Jakarta, 22-25 Juli, 2002. Shepherd A, 2007. Understanding and Explaining Chronic Poverty an Evolving Framework for Phase III of CPRC‟s Research. [CPRC Working Papers 80] Overseas Development Institute (ODI) 111 Westminster Bridge Road London SE1 7JD, UK
[email protected] [20 Pebruri 2010] Sherraden M, 2006. Aset untuk Orang Miskin; Perspektif Baru Usaha Kemiskinan, diterjemahkan dari Assets and The Poor: A New American Welfare oleh Sirojuddin Abbas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sirait RA, 2003. Kenaikan BBM semakin Memberikan Beban Masyarakat. [Jurnal) Indonesia Tanah Air Beta: Sosio nasionalis, sosio demokrasi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Siregar H. et,al 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin [Tesis] Brighten Institute, Institut Pertanian Bogor. Slamet RM, 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. IPB Press. Smeru 2001.Paket Informasi Dasar: Penanggulangan Kemiskinan. Disusun untuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK). Agustus, 2001. www.smeru.or.id. [5 Januari 2010] , 2008. Peta Kemiskinan Indonesia: Asal Mula dan Signifikansinya. SMERU No. 26: May-Aug/2008. www.smeru.or.id. [6 Januari 2010] Squire, L. 1993. Fighting Poverty: American Economic Review. Vol. 83. No. 2 Standing G, 2006. The Need for Income Security, Part I. Published in the CPPD Monitor. www.epri.org.za/GuyStandingFullpaper2. [5 Januari 2010] Stimson RJ., et al. 2006. Regional Economic Development: Analysis and Planning Strategy. Second Edition. Springer Berlin Heidelberg New York.
187
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2005. Sekretariat Kelompok Kerja Perencanaan Makro Penanggulangan Kemiskinan. Bappenas-Komite Penanggulangan Kemiskinan. Sudarso 2004. Tekanan Kemiskinan Struktural Komunitas Nelayan Tradisional di Perkotaan. Jurusan Sosiologi FISIP, Universitas Airlangga. Sumodiningrat G, 2005. Sambutan dan Laporan Panitia Rapat Kerja Nasional Penanggulangan Kemiskinan oleh Sekretaris Komite Penanggulangan Kemiskinan Selaku Sekretaris Panitia Pengarah. Jogyakarta. Supriatna, T, 1997. Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan, Bandung: Humaniora Utama Press. Suryahadi A. et al. 2006. Economic Growth and Poverty Reduction in Indonesia: The Effect of Location and Sectoral Components of Growth. SMERU. Web: www.smeru.or.id. [5 Januari 2010] Suryawati C, 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensi. JMPK Vol. 08/No.03 September/2005 Susilo W, 2007. Orang Miskin, Bukan Sekadar Angka. Jurnal Progresif Indo Prgress Indonesia. Suyanto, Bagong dan Helmy Prasetyo (Ed). 2003. Penyusunan Program Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan Kota Surabaya Tahun 2003-2005. Pemerintahan Kota Surabaya, Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) Kota Surabaya. Syahyuti 2006. Konsep Penting dalam Pembangunan Perdesaan dan Pertanian. PT Bina Rena Pariwara, Jakarta. Syafrizal, 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Badueso Media, Padang, Sumatera Barat. Tambunan T, 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Permasalahan Penting. Ghalia Indonesia Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (2006); Panduan Operasional Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Todaro MP. et al. 2003. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan, Jilid 1. Erlangga, Jakarta _______________ 2009. Economic Development. Tenth Edition. Pearson Addison Wesley, Boston San Fransisco, New York. Tomich T. et al. 1995. Tranforming Agrarian Economies: Opportunities Seized, Opportunities Missed. Cornell University Press, Ithaca and London. Tsangarides CG., et al. 2004. Is Growth Enought? Macroeconomic Policy and Poverty Reduction. IMF Working Paper No. 02/118. International Monetary Fund, Washington, D.C. Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor.
188
Usman et al. 2005. Analisis Determinan Kemiskinan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Fakultas dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor. Verbeek M, 2004. A Guide Modern Econometrics. Edisi Kedua, John Wiley & Sons, Ltd London. Vipriyanti NU, 2007. Studi Sosial Ekonomi tentang Keterkaitan Antara Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah. [Disertasi] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Wahyuniarti D, dan Siregar H. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. [Disertasi] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Walpole, R.E, 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Waidl, A, et al. (2008) Mendahulukan Si Miskin, PT LKiS Pelangi Aksara. Jakarta Wibisono Y, 2008. Menimbang Keuangan Mikro: Perspektif Islam. Republika Selasa 19 Agustus 2008. Hal. 6 Kolom 3. Wibowo, Y.S (2002) Kerangka Hukum dan Pengaturan Bagi Lembaga Keuangan Mikro. Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia, Jakarta Winarno, W.W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan E-Views. Penerbit: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakarta. Wiranto T, 2007. Profil Kemiskinan di Indonesia. Info. URDI Vol. 14. Zeiler M, 2003. Socioeconomics of Rural Development. Institut fur Rurale Entwicklung, George-August-Univesitat, Gottingen. Yudhoyono SB., 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal. [Disertasi] Sekolah Pascasarja Instritut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Yunus, M dan Jalis, A. 2007. Bank Kaum Miskin. Alih Bahasa oleh Irfan Nasution. PT. Cipta Lintas Wacana (CLW), Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421.
189
Lampiran 1.
Hasil analisis Anova Karakteristik Rumah Tangga Berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, Tahun 2009 AN OVA
RTM
D1_J NKL
UMUR
D2_PKKR T
JMTG
JAGB
D3_PD KRT
LS_AK
RT_SAK
D4_BC TLS
D5_AKLKEU
D6_KESR T
D7_J MKES
D8_AKSPLN
D10_PPEMB
AkSMP
AkSMA
KepLH N
NlAs et
D11_Telek
BKMKN
BKBMKN
Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total Bet ween Groups Wit hin Groups Total
Sum of Squares 1. 948 73.643 75.592 1. 666 88.832 90.498 10.532 86787. 060 86797. 592 8. 681 109. 444 118. 125 50.910 1952.556 2003.467 1. 385 303. 207 304. 592 4. 144 159. 823 163. 967 1092.265 102024.2 103116.5 157. 122 3957.341 4114.462 2. 341 87.157 89.498 .814 49.417 50.231 1. 255 67.393 68.648 1. 868 118. 113 119. 981 1. 527 67.773 69.300 8. 504 179. 821 188. 325 7851.004 25102. 921 32953. 925 97419. 271 35846. 927 133266.2 7. 209 131. 930 139. 139 2. 6E+015 4. 6E+017 4. 6E+017 1. 581 116. 667 118. 248 2. 9E+013 5. 5E+015 5. 5E+015 4. 0E+013 3. 6E+015 3. 7E+015
df 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479 2 477 479
Mean Square .974 .154
F 6. 310
Sig. .002
.833 .186
4. 472
.012
5. 266 181. 944
.029
.971
4. 340 .229
18.917
.000
25.455 4. 093
6. 219
.002
.693 .636
1. 089
.337
2. 072 .335
6. 184
.002
546. 133 213. 887
2. 553
.079
78.561 8. 296
9. 469
.000
1. 171 .183
6. 406
.002
.407 .104
3. 931
.020
.628 .141
4. 442
.012
.934 .248
3. 772
.024
.764 .142
5. 375
.005
4. 252 .377
11.279
.000
3925.502 52.627
74.591
.000
48709. 635 75.151
648. 159
.000
3. 604 .277
13.032
.000
1. 282E+015 9. 601E+014
1. 335
.264
.790 .245
3. 231
.040
1. 427E+013 1. 145E+013
1. 246
.289
2. 022E+013 7. 599E+012
2. 661
.071
190
TWOWAY RTM BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1] ANOVA RTM
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.948 73.643 75.592
df 2 477 479
Mean Square .974 .154
F 6.310
Sig. .002
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: RTM LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. .175* .058 -.175* -.116* -.058 .116*
Error .050 .044 .050 .044 .044 .044
Sig. .001 .182 .001 .008 .182 .008
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound .08 .27 -.03 .14 -.27 -.08 -.20 -.03 -.14 .03 .03 .20
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
191
TWOWAY D1_JNKL BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA D1_JNKL
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.666 88.832 90.498
df 2 477 479
Mean Square .833 .186
F 4.472
Sig. .012
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: D1_JNKL LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. -.162* -.104* .162* .059 .104* -.059
Error .055 .048 .055 .048 .048 .048
Sig. .004 .031 .004 .224 .031 .224
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.27 -.05 -.20 -.01 .05 .27 -.04 .15 .01 .20 -.15 .04
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
192
TWOWAY UMUR BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1] ANOVA UMUR
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 10.532 86787.060 86797.592
df 2 477 479
Mean Square 5.266 181.944
F .029
Sig. .971
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: UMUR LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) .067 -.259 -.067 -.326 .259 .326
St d. Error 1.731 1.503 1.731 1.507 1.503 1.507
Sig. .969 .863 .969 .829 .863 .829
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -3.33 3.47 -3.21 2.69 -3.47 3.33 -3.29 2.64 -2.69 3.21 -2.64 3.29
193
TWOWAY D2_PKKRT BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA D2_PKKRT
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 8.681 109.444 118.125
df 2 477 479
Mean Square 4.340 .229
F 18.917
Sig. .000
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: D2_PKKRT LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. -.326* -.026 .326* .300* .026 -.300*
Error .061 .053 .061 .054 .053 .054
Sig. .000 .620 .000 .000 .620 .000
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.45 -.21 -.13 .08 .21 .45 .19 .40 -.08 .13 -.40 -.19
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
194
TWOWAY JMTG BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA JMTG
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 50.910 1952.556 2003.467
df 2 477 479
Mean Square 25.455 4.093
F 6.219
Sig. .002
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: JMTG LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. -.880* -.258 .880* .622* .258 -.622*
Error .260 .225 .260 .226 .225 .226
Sig. .001 .254 .001 .006 .254 .006
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -1.39 -.37 -.70 .19 .37 1.39 .18 1.07 -.19 .70 -1.07 -.18
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
195
TWOWAY JAGB BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA JAGB
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.385 303.207 304.592
df 2 477 479
Mean Square .693 .636
F 1.089
Sig. .337
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: JAGB LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) -.151 -.075 .151 .075 .075 -.075
St d. Error .102 .089 .102 .089 .089 .089
Sig. .141 .396 .141 .397 .396 .397
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.35 .05 -.25 .10 -.05 .35 -.10 .25 -.10 .25 -.25 .10
196
TWOWAY D3_PDKRT BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA D3_PDKRT
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 4.144 159.823 163.967
df 2 477 479
Mean Square 2.072 .335
F 6.184
Sig. .002
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: D3_PDKRT LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. .056 -.153* -.056 -.210* .153* .210*
Error .074 .064 .074 .065 .064 .065
Sig. .449 .018 .449 .001 .018 .001
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.09 .20 -.28 -.03 -.20 .09 -.34 -.08 .03 .28 .08 .34
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
197
TWOWAY LS_AK BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA LS_AK
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1092.265 102024.2 103116.5
df 2 477 479
Mean Square 546.133 213.887
F 2.553
Sig. .079
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: LS_AK LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. Error -1.759 1.876 -3.621* 1.630 1.759 1.876 -1.862 1.634 3.621* 1.630 1.862 1.634
Sig. .349 .027 .349 .255 .027 .255
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -5.45 1.93 -6.82 -.42 -1.93 5.45 -5.07 1.35 .42 6.82 -1.35 5.07
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
198
TWOWAY RT_SAK BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA RT_SAK
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 157.122 3957.341 4114.462
df 2 477 479
Mean Square 78.561 8.296
F 9.469
Sig. .000
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: RT_SAK LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. Error .3591 .3695 -.9366* .3209 -.3591 .3695 -1.2958* .3218 .9366* .3209 1.2958* .3218
Sig. .332 .004 .332 .000 .004 .000
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.367 1.085 -1.567 -.306 -1.085 .367 -1.928 -.663 .306 1.567 .663 1.928
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
199
TWOWAY D4_BCTLS BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA D4_BCTLS
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.341 87.157 89.498
df 2 477 479
Mean Square 1.171 .183
F 6.406
Sig. .002
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: D4_BCTLS LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. .093 -.077 -.093 -.170* .077 .170*
Error .055 .048 .055 .048 .048 .048
Sig. .090 .108 .090 .000 .108 .000
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.01 .20 -.17 .02 -.20 .01 -.26 -.08 -.02 .17 .08 .26
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
200
TWOWAY D5_AKLKEU BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA D5_AKLKEU
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .814 49.417 50.231
df 2 477 479
Mean Square .407 .104
F 3.931
Sig. .020
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: D5_AKLKEU LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. -.009 -.087* .009 -.078* .087* .078*
Error .041 .036 .041 .036 .036 .036
Sig. .830 .016 .830 .031 .016 .031
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.09 .07 -.16 -.02 -.07 .09 -.15 -.01 .02 .16 .01 .15
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
201
TWOWAY D6_KESRT BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA D6_KESRT
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.255 67.393 68.648
df 2 477 479
Mean Square .628 .141
F 4.442
Sig. .012
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: D6_KESRT LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. -.031 -.115* .031 -.084* .115* .084*
Error .048 .042 .048 .042 .042 .042
Sig. .519 .006 .519 .045 .006 .045
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.13 .06 -.20 -.03 -.06 .13 -.17 .00 .03 .20 .00 .17
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
202
TWOWAY D7_JMKES BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA D7_JMKES
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.868 118.113 119.981
df 2 477 479
Mean Square .934 .248
F 3.772
Sig. .024
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: D7_JMKES LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. .161* .030 -.161* -.131* -.030 .131*
Error .064 .055 .064 .056 .055 .056
Sig. .012 .586 .012 .019 .586 .019
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound .04 .29 -.08 .14 -.29 -.04 -.24 -.02 -.14 .08 .02 .24
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
203
TWOWAY D8_AKSPLN BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA D8_AKSPLN
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.527 67.773 69.300
df 2 477 479
Mean Square .764 .142
F 5.375
Sig. .005
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: D8_AKSPLN LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. .084 -.054 -.084 -.138* .054 .138*
Error .048 .042 .048 .042 .042 .042
Sig. .083 .201 .083 .001 .201 .001
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.01 .18 -.14 .03 -.18 .01 -.22 -.06 -.03 .14 .06 .22
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
204
TWOWAY D10_PPEMB BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA D10_PPEMB
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 8.504 179.821 188.325
df 2 477 479
Mean Square 4.252 .377
F 11.279
Sig. .000
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: D10_PPEMB LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. -.373* -.209* .373* .163* .209* -.163*
Error .079 .068 .079 .069 .068 .069
Sig. .000 .002 .000 .018 .002 .018
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.53 -.22 -.34 -.07 .22 .53 .03 .30 .07 .34 -.30 -.03
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
205
TWOWAY AkSMP BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA AkSMP
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 7851.004 25102.921 32953.925
df 2 477 479
Mean Square 3925.502 52.627
F 74.591
Sig. .000
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: AkSMP LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. -6.887* 3.006* 6.887* 9.894* -3.006* -9.894*
Error .931 .808 .931 .811 .808 .811
Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -8.72 -5.06 1.42 4.59 5.06 8.72 8.30 11.49 -4.59 -1.42 -11.49 -8.30
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
206
TWOWAY AkSMA BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA AkSMA
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 97419.271 35846.927 133266.2
df 2 477 479
Mean Square 48709.635 75.151
F 648.159
Sig. .000
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: AkSMA LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. Error -31.137* 1.112 2.414* .966 31.137* 1.112 33.551* .969 -2.414* .966 -33.551* .969
Sig. .000 .013 .000 .000 .013 .000
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -33.32 -28.95 .52 4.31 28.95 33.32 31.65 35.45 -4.31 -.52 -35.45 -31.65
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
207
TWOWAY KepLHN BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA KepLHN
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 7.209 131.930 139.139
df 2 477 479
Mean Square 3.604 .277
F 13.032
Sig. .000
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: KepLHN LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. Error -.2677* .0675 .0209 .0586 .2677* .0675 .2887* .0588 -.0209 .0586 -.2887* .0588
Sig. .000 .721 .000 .000 .721 .000
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.400 -.135 -.094 .136 .135 .400 .173 .404 -.136 .094 -.404 -.173
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
208
TWOWAY NlAset BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA NlAset
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.6E+015 4.6E+017 4.6E+017
df 2 477 479
Mean Square 1.282E+015 9.601E+014
F 1.335
Sig. .264
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: NlAset LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) -6389561.0 -2349992.4 6389561.0 4039568.6 2349992.4 -4039568.6
St d. Error 3975404 3452581 3975404 3461987 3452581 3461987
Sig. .109 .496 .109 .244 .496 .244
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -14201030.98 1421908.91 -9134141.20 4434156.42 -1421908.91 14201030.98 -2763061.90 10842199.19 -4434156.42 9134141.20 -10842199.19 2763061.90
209
TWOWAY D11_Telek BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA D11_Telek
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1.581 116.667 118.248
df 2 477 479
Mean Square .790 .245
F 3.231
Sig. .040
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: D11_Telek LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. -.161* -.073 .161* .088 .073 -.088
Error .063 .055 .063 .055 .055 .055
Sig. .011 .184 .011 .113 .184 .113
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -.29 -.04 -.18 .03 .04 .29 -.02 .20 -.03 .18 -.20 .02
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
210
TWOWAY BKMKN BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA BKMKN
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.9E+013 5.5E+015 5.5E+015
df 2 477 479
Mean Square 1.427E+013 1.145E+013
F 1.246
Sig. .289
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: BKMKN LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) -679364.21 -274065.32 679364.205 405298.881 274065.325 -405298.88
St d. Error 434102.7 377012.0 434102.7 378039.0 377012.0 378039.0
Sig. .118 .468 .118 .284 .468 .284
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound -1532354.26 173625.85 -1014874.86 466744.21 -173625.85 1532354.26 -337528.81 1148126.57 -466744.21 1014874.86 -1148126.57 337528.81
211
TWOWAY BKBMKN BY D9_DWIL /MISSING ANALYSIS /POSTHOC = LSD ALPHA(.05).
Twoway [DataSet1]
ANOVA BKBMKN
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 4.0E+013 3.6E+015 3.7E+015
df 2 477 479
Mean Square 2.022E+013 7.599E+012
F 2.661
Sig. .071
Post Hoc Tests Multi ple Compari sons Dependent Variable: BKBMKN LSD
(I) D9_DWIL 0 1 2
(J) D9_DWI L 1 2 0 2 0 1
Mean Dif f erence (I-J) St d. Error 811395.908* 353667.2 343256.263 307154.8 -811395.91* 353667.2 -468139.65 307991.6 -343256.26 307154.8 468139.645 307991.6
Sig. .022 .264 .022 .129 .264 .129
95% Conf idence Interv al Lower Bound Upper Bound 116457.74 1506334.08 -260287.50 946800.03 -1506334.08 -116457.74 -1073327.61 137048.32 -946800.03 260287.50 -137048.32 1073327.61
*. The mean dif f erence is signif icant at t he .05 lev el.
212
Lampiran 2. Hasil Pendugaan Persamaan Logit pada Analisis Kerentanan Rumah Tangga terhadap Kemiskinan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Binary Logistic Regression: RTM versus D1_JNKL, UMUR, ... Link Function: Logit Response Information Variable Value Count RTM 1 386 (Event) 0 94 Total 480 Logistic Regression Table Predictor Constant D1_JNKL UMUR D2_PKKRT JMTG JAGB D3_PDKRT 1 2 RT_SAK D5_AKLKEU D6_KESRT D8_AKSPLN D9_PPEMB 1 2 KepLHN NlAsset D10_Telek D11_DWIL 1 2
Coef 12.0217 -1.25424 -0.0122319 0.399080 0.215507 -0.316777
SE Coef 2.25864 0.723401 0.0181151 0.458563 0.129779 0.295055
Z 5.32 -1.73 -0.68 0.87 1.66 -1.07
P 0.000 0.083 0.500 0.384 0.097 0.283
-1.21466 -2.51682 -0.124493 -2.48754 -1.78921 -3.93416
0.829698 0.973685 0.100131 0.535340 0.832198 1.27726
-1.46 -2.58 -1.24 -4.65 -2.15 -3.08
0.0180950 -1.61999 -0.915282 -0.0674758 -0.502732
0.613644 0.643893 0.795906 0.0179610 0.435162
-1.28544 0.362638
0.609893 0.540060
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
0.29 0.99 1.49 1.24 0.73
0.07 0.95 0.61 0.96 0.41
1.18 1.02 3.66 1.60 1.30
0.143 0.010 0.214 0.000 0.032 0.002
0.30 0.08 0.88 0.08 0.17 0.02
0.06 0.01 0.73 0.03 0.03 0.00
1.51 0.54 1.07 0.24 0.85 0.24
0.03 -2.52 -1.15 -3.76 -1.16
0.976 0.012 0.250 0.000 0.248
1.02 0.20 0.40 0.93 0.60
0.31 0.06 0.08 0.90 0.26
3.39 0.70 1.91 0.97 1.42
-2.11 0.67
0.035 0.502
0.28 1.44
0.08 0.50
0.91 4.14
Log-Likelihood = -96.022 Test that all slopes are zero: G = 282.745, DF = 18, P-Value = 0.000 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square DF P Pearson 686.363 459 0.000 Deviance 189.271 459 1.000 Hosmer-Lemeshow 13.737 8 0.089 Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic) Group Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Obs 3 15 39 46 47 44 48 48 48 48 Exp 1.5 20.5 37.1 43.3 45.9 46.7 47.4 47.7 47.9 48.0 0 Obs 45 33 9 2 1 4 0 0 0 0 Exp 46.5 27.5 10.9 4.7 2.1 1.3 0.6 0.3 0.1 0.0 Total 48 48 48 48 48 48 48 48 48 48 Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 34700 1529 55 36284
Percent 95.6 4.2 0.2 100.0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
Total 386 94 480
0.91 0.92 0.29
213
PEGUNUNGAN Binary Logistic Regression: RTM versus D1_JNKL, UMUR, ... Link Function: Logit Response Information Variable Value Count RTM 1 84 0 36 Total 120
(Event)
Logistic Regression Table Predictor Constant D1_JNKL UMUR D2_PKKRT JMTG JAGB D3_PDKRT 1 2 RT_SAK D5_AKLKEU D6_KESRT D8_AKSPLN D9_PPEMB 1 2 KepLHN NlAsset D10_Telek
Coef 5.97703 0.259954 -0.0081129 -0.948391 0.297256 -0.381249
SE Coef 1.88264 0.911450 0.0240363 0.792883 0.169793 0.361119
Z 3.17 0.29 -0.34 -1.20 1.75 -1.06
P 0.001 0.775 0.736 0.232 0.080 0.291
-1.07946 -3.74839 0.0440752 1.17611 -0.348850 -2.07266
0.788539 1.22923 0.149058 0.999039 0.808905 0.742508
-1.37 -3.05 0.30 1.18 -0.43 -2.79
0.124960 -0.911167 -0.355003 -0.0848999 -0.607278
0.740619 0.817641 0.455037 0.0243570 0.578680
0.17 -1.11 -0.78 -3.49 -1.05
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
1.30 0.99 0.39 1.35 0.68
0.22 0.95 0.08 0.97 0.34
7.74 1.04 1.83 1.88 1.39
0.171 0.002 0.767 0.239 0.666 0.005
0.34 0.02 1.05 3.24 0.71 0.13
0.07 0.00 0.78 0.46 0.14 0.03
1.59 0.26 1.40 22.97 3.44 0.54
0.866 0.265 0.435 0.000 0.294
1.13 0.40 0.70 0.92 0.54
0.27 0.08 0.29 0.88 0.18
4.84 2.00 1.71 0.96 1.69
Log-Likelihood = -27.303 Test that all slopes are zero: G = 92.002, DF = 16, P-Value = 0.000 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square Pearson 666.738 Deviance 54.606 Hosmer-Lemeshow 12.662
DF 103 103 8
P 0.000 1.000 0.124
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic) Group Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Obs 1 0 2 10 11 12 12 12 12 12 Exp 0.2 1.7 5.1 8.5 10.0 10.7 11.2 11.5 11.7 11.9 0 Obs 11 12 10 2 1 0 0 0 0 0 Exp 11.8 10.3 6.9 3.5 2.0 1.3 0.8 0.5 0.3 0.1 Total 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
Total 84 36 120
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Number Percent Summary Measures Concordant 2966 98.1 Somers' D 0.96 Discordant 55 1.8 Goodman-Kruskal Gamma 0.96 Ties 3 0.1 Kendall's Tau-a 0.41 Total 3024 100.0
214
PESISIR Binary Logistic Regression: RTM versus D1_JNKL, UMUR, ... Link Function: Logit Response Information Variable Value Count RTM 1 195 0 45 Total 240
(Event)
Logistic Regression Table Predictor Constant D1_JNKL UMUR D2_PKKRT JMTG JAGB D3_PDKRT 1 2 RT_SAK D5_AKLKEU D6_KESRT D8_AKSPLN D9_PPEMB 1 2 KepLHN NlAsset D10_Telek
Coef 7.21712 -0.284295 -0.0243034 0.676189 0.0171240 -0.222345
SE Coef 1.66066 0.638108 0.0186820 0.472562 0.137583 0.320799
Z 4.35 -0.45 -1.30 1.43 0.12 -0.69
P 0.000 0.656 0.193 0.152 0.901 0.488
-0.745195 -1.42899 -0.186397 -2.67728 -0.342835 -0.498860
0.688189 0.870808 0.0956824 0.563264 0.811496 0.709305
-1.08 -1.64 -1.95 -4.75 -0.42 -0.70
0.144068 -1.58945 -0.769499 -0.0306929 -0.615704
0.760152 0.654986 1.27264 0.0128141 0.453382
0.19 -2.43 -0.60 -2.40 -1.36
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
0.75 0.98 1.97 1.02 0.80
0.22 0.94 0.78 0.78 0.43
2.63 1.01 4.96 1.33 1.50
0.279 0.101 0.051 0.000 0.673 0.482
0.47 0.24 0.83 0.07 0.71 0.61
0.12 0.04 0.69 0.02 0.14 0.15
1.83 1.32 1.00 0.21 3.48 2.44
0.850 0.015 0.545 0.017 0.174
1.15 0.20 0.46 0.97 0.54
0.26 0.06 0.04 0.95 0.22
5.12 0.74 5.61 0.99 1.31
Log-Likelihood = -42.567 Test that all slopes are zero: G = 146.503, DF = 16, P-Value = 0.000 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square Pearson 86.9436 Deviance 82.3612 Hosmer-Lemeshow 5.6154
DF 221 221 8
P 1.000 1.000 0.690
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic) Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 5 6
1
2
3
4
1 1.4
8 10.7
21 19.3
23 21.3
23 22.4
23 22.6 24
16 13.3 24
3 4.7 24
1 2.7 24
1 1.6 24
7
8
9
10
Total
23 22.9
24 23.2
24 23.4
24 23.6
24 23.8
195
1 1.1 24
0 0.8 24
0 0.6 24
0 0.4 24
0 0.2 24
45 240
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 8470 299 6 8775
Percent 96.5 3.4 0.1 100.0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0.93 0.93 0.28
215
DATARAN RENDAH Binary Logistic Regression: RTM versus D1_JNKL, UMUR, ... Link Function: Logit Response Information Variable Value Count RTM 1 106 0 15 Total 121
(Event)
Logistic Regression Table Predictor Constant D1_JNKL UMUR D2_PKKRT JMTG JAGB D3_PDKRT 1 2 RT_SAK D5_AKLKEU D6_KESRT D8_AKSPLN D9_PPEMB 1 2 KepLHN NlAsset D10_Telek
95% CI Lower Upper
Coef 8.14683 -3.95575 0.0028771 1.68092 0.471729 1.43401
SE Coef 3.52801 1.38202 0.0406744 0.989585 0.282463 0.911616
Z 2.31 -2.86 0.07 1.70 1.67 1.57
P 0.021 0.004 0.944 0.089 0.095 0.116
Odds Ratio 0.02 1.00 5.37 1.60 4.20
0.00 0.93 0.77 0.92 0.70
0.29 1.09 37.36 2.79 25.05
-0.248678 -2.20080 -0.302224 -2.81661 -0.892494 -2.45051
1.36995 1.79149 0.196731 1.30741 1.33169 1.55492
-0.18 -1.23 -1.54 -2.15 -0.67 -1.58
0.856 0.219 0.124 0.031 0.503 0.115
0.78 0.11 0.74 0.06 0.41 0.09
0.05 0.00 0.50 0.00 0.03 0.00
11.43 3.71 1.09 0.78 5.57 1.82
-0.592318 4.64723 -1.48259 -0.0988784 0.563501
1.95103 11.6268 2.06606 0.0404436 0.786591
-0.30 0.40 -0.72 -2.44 0.72
0.761 0.689 0.473 0.014 0.474
0.55 104.30 0.23 0.91 1.76
0.01 25.32 0.00 8.23E+11 0.00 13.03 0.84 0.98 0.38 8.21
Log-Likelihood = -10.059 Test that all slopes are zero: G = 70.572, DF = 16, P-Value = 0.000 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square DF P Pearson 14.0253 104 1.000 Deviance 20.1184 104 1.000 Hosmer-Lemeshow 4.0369 8 0.854 Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic) Group Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Obs 0 9 12 12 12 12 12 12 12 13 Exp 1.6 8.3 10.9 11.6 11.8 11.9 12.0 12.0 12.0 13.0 0 Obs 12 3 0 0 0 0 0 0 0 0 Exp 10.4 3.7 1.1 0.4 0.2 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 Total 12 12 12 12 12 12 12 12 12 13
Total 106 15 121
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Number Percent Summary Measures Concordant 1582 99.5 Somers' D 0.99 Discordant 8 0.5 Goodman-Kruskal Gamma 0.99 Ties 0 0.0 Kendall's Tau-a 0.22 Total 1590 100.0
216
Lampiran 3. Output Pendugaan Persamaan Linier Kuadrat Terkecil (Ordinary Least Square) pada Analisis Determinan Kemiskinan di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan. Dependent Variable: RTM(-3) Method: Least Squares Date: 02/02/10 Time: 08:59 Sample(adjusted): 1994 2008 Included observations: 15 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C G_PUBLIK(-3) GPOV(-3) PDRBKAP(-2) PAD(-3) GDP_DEF(-4) SSAGR(-1) SSIND(-2) DDFIS(-4) DKMNTR(-1)
96.06998 -0.000122 -0.000505 -0.004621 0.002179 0.095984 -1.450643 -3.206034 -9.790673 5.239217
17.00029 3.72E-05 0.000842 0.001342 0.000518 0.014302 0.300461 1.516269 2.880929 1.594029
5.651079 -3.289296 -0.599687 -3.444586 4.205051 6.711095 -4.828053 -2.114424 -3.398443 3.286777
0.0024 0.0217 0.5749 0.0183 0.0084 0.0011 0.0048 0.0881 0.0193 0.0218
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.987064 0.963779 1.484744 11.02232 -18.97312 2.648641
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
25.12200 7.801325 3.863083 4.335116 42.39009 0.000343
Estimation Command: ===================== LS RTM(-3) C G_PUBLIK(-3) GPOV(-3) PDRBKAP(-2) PAD(-3) GDP_DEF(-4) SSAGR(-1) SSIND(-2) DDFIS(-4) DKMNTR(-1) Estimation Equation: ===================== RTM(-3) = C(1) + C(2)*G_PUBLIK(-3) + C(3)*GPOV(-3) + C(4)*PDRBKAP(-2) + C(5)*PAD(3) + C(6)*GDP_DEF(-4) + C(7)*SSAGR(-1) + C(8)*SSIND(-2) + C(9)*DDFIS(-4) + C(10)*DKMNTR(-1) Substituted Coefficients: ===================== RTM(-3) = 96.06998308 - 0.000122260111*G_PUBLIK(-3) - 0.0005047714221*GPOV(-3) 0.004621455443*PDRBKAP(-2) + 0.002179024291*PAD(-3) + 0.09598419855*GDP_DEF(4) - 1.450642827*SSAGR(-1) - 3.206034118*SSIND(-2) - 9.790673122*DDFIS(-4) + 5.239217233*DKMNTR(-1)
217
Lampiran 4. Correlation Matrix Model Persamaan Determinan Kemiskinan di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan.
G_PUBLIK GPOV PDRBKAP PAD GDP_DEF SSAGR SSIND DDFIS DKMNTR
G_PUBLIK
GPOV
PDRBKAP
PAD
GDP_DEF
SSAGR
SSIND
DDFIS
DKMNTR
1.000000 0.752189 -0.511448 0.791463 0.023314 -0.524077 -0.451162 0.677948 0.465401
0.752189 1.000000 -0.326530 0.711542 0.055940 -0.282071 -0.321128 0.531816 0.469334
-0.511448 -0.326530 1.000000 -0.624626 0.181703 0.624931 0.216480 -0.780145 -0.405490
0.791463 0.711542 -0.624626 1.000000 -0.072122 -0.478988 -0.390927 0.834158 0.587470
0.023314 0.055940 0.181703 -0.072122 1.000000 0.446045 0.239004 -0.037596 0.357411
-0.524077 -0.282071 0.624931 -0.478988 0.446045 1.000000 0.752703 -0.357228 0.234923
-0.451162 -0.321128 0.216480 -0.390927 0.239004 0.752703 1.000000 0.014838 0.328879
0.677948 0.531816 -0.780145 0.834158 -0.037596 -0.357228 0.014838 1.000000 0.651339
0.465401 0.469334 -0.405490 0.587470 0.357411 0.234923 0.328879 0.651339 1.000000
218
Lampiran 5.
Uji Stationer Data Penelitian Determinan Kemiskinan di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan.
Date: 02/05/10 Time: 22:00 Sample: 1994 2008 Included observations: 15 Autocorrelation .***| . | . *| .***| . |* . | . |* . | . | . | . *| . |
. . . . . . . . . . . .
| | | | | | | | | | | |
Partial Correlation .***| . *| . *| ****| . **| . *| . *| . **| . *| . | . *| . *|
. . . . . . . . . . . .
| | | | | | | | | | | |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
AC
PAC
Q-Stat
Prob
-0.335 0.040 -0.067 -0.366 0.104 0.046 0.097 0.043 -0.017 0.014 -0.112 0.012
-0.335 -0.081 -0.090 -0.476 -0.305 -0.140 -0.077 -0.213 -0.187 -0.027 -0.109 -0.172
2.0415 2.0734 2.1684 5.2778 5.5544 5.6147 5.9163 5.9821 5.9942 6.0047 6.8005 6.8120
0.153 0.355 0.538 0.260 0.352 0.468 0.550 0.649 0.740 0.815 0.815 0.870
219
Lampiran 6. Uji Stationer Data Penelitian RTM White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
4.540551 18.49095
Probability Probability
0.195280 0.295942
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 02/05/10 Time: 23:20 Sample: 1990 2008 Included observations: 19 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C G_PUBLIK G_PUBLIK^2 GPOV GPOV^2 PDRBKAP PDRBKAP^2 PAD PAD^2 GDP_DEF GDP_DEF^2 SSAGR SSAGR^2 SSIND SSIND^2 DDFIS DKMNTR
-4441.356 -0.000434 1.10E-09 9.01E-05 -2.07E-07 -0.350863 0.000359 0.016108 -9.83E-07 1.698098 -0.004059 239.5081 -2.278674 -847.9463 91.34665 -32.97468 -49.15834
2862.717 0.000245 7.76E-10 0.008814 9.86E-07 0.161309 0.000133 0.012550 5.63E-07 0.930635 0.002657 129.1588 1.269605 310.1810 32.87007 60.87211 50.46219
-1.551448 -1.773533 1.412817 0.010218 -0.209910 -2.175096 2.695266 1.283555 -1.745762 1.824666 -1.527703 1.854369 -1.794790 -2.733715 2.779022 -0.541704 -0.974162
0.2610 0.2181 0.2932 0.9928 0.8532 0.1616 0.1145 0.3279 0.2230 0.2096 0.2662 0.2048 0.2145 0.1118 0.1088 0.6423 0.4327
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.973208 0.758871 4.636423 42.99284 -34.71748 2.879846
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
6.604393 9.441876 5.443945 6.288970 4.540551 0.195280
220
Null Hypothesis: E has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.097743 -2.740613 -1.968430 -1.604392
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 14 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(E) Method: Least Squares Date: 02/05/10 Time: 22:19 Sample(adjusted): 1995 2008 Included observations: 14 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
E(-1)
-1.341015
0.263060
-5.097743
0.0002
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.666242 0.666242 0.865343 9.734641 -17.32157
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
0.044281 1.497863 2.617368 2.663015 1.891353
Null Hypothesis: D(G_PUBLIK,2) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.807122 -2.717511 -1.964418 -1.605603
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 16 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(G_PUBLIK,3) Method: Least Squares Date: 02/05/10 Time: 22:21 Sample(adjusted): 1993 2008 Included observations: 16 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(G_PUBLIK(-1),2)
-2.208054
0.282826
-7.807122
0.0000
R-squared 0.799356 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.799356 S.D. dependent var S.E. of regression 28886.19 Akaike info criterion Sum squared resid 1.25E+10 Schwarz criterion Log likelihood -186.5246 Durbin-Watson stat Null Hypothesis: D(GPOV) has a unit root
7884.562 64487.66 23.44058 23.48886 1.283139
221
Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.930009 -2.708094 -1.962813 -1.606129
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 17 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(GPOV,2) Method: Least Squares Date: 02/05/10 Time: 22:23 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(GPOV(-1))
-1.606180
0.202545
-7.930009
0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.797093 0.797093 1577.487 39815453 -148.7876
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
67.41176 3502.013 17.62208 17.67109 2.177023
Null Hypothesis: D(PDRBKAP) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.144628 -2.728252 -1.966270 -1.605026
0.0004
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 15 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PDRBKAP,2) Method: Least Squares Date: 02/05/10 Time: 22:23 Sample(adjusted): 1994 2008 Included observations: 15 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(PDRBKAP(-1)) D(PDRBKAP(-1),2) D(PDRBKAP(-2),2)
-2.181795 0.801330 0.526674
0.526415 0.406593 0.245276
-4.144628 1.970841 2.147269
0.0014 0.0723 0.0529
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.748394 0.706460 399.7750 1917840. -109.4740
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
-1.317933 737.8735 14.99654 15.13815 1.714090
222
Null Hypothesis: D(PAD) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.149323 -2.708094 -1.962813 -1.606129
0.0036
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 17 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PAD,2) Method: Least Squares Date: 02/05/10 Time: 22:24 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(PAD(-1))
-0.764985
0.242905
-3.149323
0.0062
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.382657 0.382657 1713.187 46960166 -150.1905
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
-11.11765 2180.427 17.78712 17.83613 2.043878
Null Hypothesis: D(GDP_DEF) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.300177 -2.708094 -1.962813 -1.606129
0.0003
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 17 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(GDP_DEF,2) Method: Least Squares Date: 02/05/10 Time: 22:24 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(GDP_DEF(-1))
-1.078149
0.250722
-4.300177
0.0006
R-squared 0.536048 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.536048 S.D. dependent var S.E. of regression 47.11774 Akaike info criterion Sum squared resid 35521.31 Schwarz criterion Log likelihood -89.10169 Durbin-Watson stat Null Hypothesis: D(SSAGR) has a unit root
0.823529 69.17481 10.60020 10.64921 1.994705
223
Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=2) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.216637 -2.708094 -1.962813 -1.606129
0.0031
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 17 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SSAGR,2) Method: Least Squares Date: 02/05/10 Time: 22:25 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(SSAGR(-1))
-0.823431
0.255991
-3.216637
0.0054
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.390653 0.390653 2.055217 67.58267 -35.85313
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
-0.148824 2.632845 4.335662 4.384675 1.940791
Null Hypothesis: D(SSIND) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.096268 -2.717511 -1.964418 -1.605603
0.0004
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 16 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SSIND,2) Method: Least Squares Date: 02/05/10 Time: 22:25 Sample(adjusted): 1993 2008 Included observations: 16 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(SSIND(-1)) D(SSIND(-1),2)
-1.508162 0.401265
0.368180 0.250403
-4.096268 1.602477
0.0011 0.1314
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.603192 0.574849 0.467606 3.061173 -9.472692
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
-0.020625 0.717147 1.434087 1.530660 1.764253
224
Null Hypothesis: D(DDFIS) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.000000 -2.708094 -1.962813 -1.606129
0.0005
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 17 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(DDFIS,2) Method: Least Squares Date: 02/05/10 Time: 22:26 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(DDFIS(-1))
-1.000000
0.250000
-4.000000
0.0010
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.500000 0.500000 0.250000 1.000000 -0.039642
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
0.000000 0.353553 0.122311 0.171323 2.000000
Null Hypothesis: D(DKMNTR) has a unit root Exogenous: None Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=4) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.000000 -2.708094 -1.962813 -1.606129
0.0005
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Warning: Probabilities and critical values calculated for 20 observations and may not be accurate for a sample size of 17 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(DKMNTR,2) Method: Least Squares Date: 02/05/10 Time: 22:26 Sample(adjusted): 1992 2008 Included observations: 17 after adjusting endpoints Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(DKMNTR(-1))
-1.000000
0.250000
-4.000000
0.0010
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.500000 0.500000 0.250000 1.000000 -0.039642
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Durbin-Watson stat
0.000000 0.353553 0.122311 0.171323 2.000000
225
Lampiran 8. Daftar kuesioner penelitian
1 2 3 4
1 2 3 4 5 6
7
KUESIONER PENELITIAN DISERTASI OLEH : ABUSTAN (H061060071) I. IDENTITAS WILAYAH KABUPATEN : BARRU KECAMATAN : DESA/KELURAHAN : KARAKTERISTIK WILAYAH : 1. PESISIR/PANTAI 2. DATARAN RENDAH 3. PEGUNUNGAN II. KETERANGAN KEPALA RUMAH TANGGA Nama Kepala Keluarga : Pekerjaan : Umur : Agama : Jumlah anggota RT : Daerah Asal : a. Pribumi b. Pendatang Kategori Rumah Tangga : a. Miskin b. Tidak Miskin
Komisi Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc 2. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda MS 3. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.
ENUMERATOR / SURVEYOR :
............................................................................................
III. IDENTITAS ANGGOTA RUMAH TANGGA Bila
Untuk 10 Tahun ke atas No
Nama
Jenis Kelamin (kode)
Umur
Status Perkawinan (kode)
(1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
(2)
(3)
(4)
(5)
KETERANGAN KODE Kolom 3 1. laki-laki 2. Perempuan
262
Kolom 6 1. bekerja 2. sekolah 3. IRT 4. Menganggur 5. Bekerja tdk digaji
Aktifitas Jika beutama kerja se minggu (k.6 =1) yg lalu Jenis (kode) Pekerjaan (kode)
(6)
(7)
Status Pendidikan (kode)
(8)
Kolom 7 1. Petani 8. Supir 2. PNS 9. Ojek 3. Wiraswasta 10. Kenek 4. Pedagang 11. Tkg Bangunan 5. Nelayan 12 Buruh Bangunan 6. Peternak 13 Warung 7. Buruh tani 14 Serabutan
pernah bersekolah (K.8 =2.3) tingkat pendidikan (kode)
(9)
Kolom 8 1 Tdk/blm sekolah 2 Masih/ sedang sekolah 3 tdk sekolah lagi
Bila tdk sekolah lagi (K9) (tahun)
(10)
Kolom 9 1. Setingkat SD/MIS 2. Setingkat SMP 3. Setingkat SMA 4. Setingkat D1/D2/Univ.
IV. PERUMAHAN Bisa baca/
1 Luas tanah perumahan (termasuk pekerangan)
: .......................... m2
tulis huruf latin Ya=1 tdk=2
2 Status tanah permahan : 1. Hak Milik 3. Dinas/bebas sewa 2. Kontrak 4. Menumpang/tdk sewa
5. lainnya
3 Status rumah yang ditempati : 1. Hak Milik 3. Dinas/bebas sewa 2. Kontrak 4. Menumpang/tdk sewa
5. lainnya
(11)
1. Setingkat SD/MIS 2. Setingkat SMP 3. Setingkat SMA 4. Setingkat D1/D2/Univ.
263
4 Jenis Dinding terluas 1. Tembok 2. Kayu
2. Bambu 3. Triplek
5. lainnya
5 Jenis lantai terluas : 1. Semen 2. Keramik
3. Tanah 4. Papan
5. Bambu 6. lainnya
6 Jenis atap terluas 1. Genteng 2. Seng
3. Asbes 4. Rumbia
5. lainnya
7 Penerangan rumah : 1. Listrik 2. Generator
3. LTS 4. Petromak
5. Teplok 6. Pelita
8 Sumber air minum : 1. Air dalam kemasan/galon 2. Leding/pompa
3. Sumur 4. Mata Air
7. lainnya
5. Air Sungai 6. Air Hujan
7. Lainnya
IV. Perumahan Lanjutan ........ 8 Fasilitas Kamar Mandi 1. Kamar mandi sendiri 2. Kamar mandi bersama/umum 9 Kelengkapan Rumah Tangga : a. Televisi b. Radio/tape recorder c. Kulkas d. Telepon e. Handphone f. Kasur/tempat tidur g. Lemari/bufet h. Sepeda i. Sepeda motor j. Motor tempel k. Mobil l. Kapal motor. *Coret yang tidak perlu
264
3. Tidak punya (dikali/sungai/ladang/laut)
1. Ada 1. Ada 1. Ada 1. Ada 1. Ada 1. Ada 1. Ada 1. Ada 1. Ada 1. Ada 1. Ada 1. Ada
2. Tidak Ada 2. Tidak Ada 2. Tidak Ada 2. Tidak Ada 2. Tidak Ada 2. Tidak Ada 2. Tidak Ada 2. Tidak Ada 2. Tidak Ada 2. Tidak Ada 2. Tidak Ada 2. Tidak Ada
V. TINGKAT KESEHATAN : 1. Apakah kepala keluarga dalam kondisi sehat ? a. Ya b. Tidak 2. Kalau Tidak, sudah berapa tahun bapak/ibu mengalami sakit ? (...................... Tahun/bulan) 3. Kalau bapak/ibu atau anggota keluarga sakit, kemana berobat? a. Dokter Praktek c. Dukun b. R. Sakit / Puskesmas d. Lainnya (..............................................) 4. Kalau berobat ke dokter/puskesmas, berapa jarak dari rumah anda? (...................... Km)
5. Apakah bapak/ibu masuk sebagai anggota peserta Keluarga Berencana Aktif ? a. Ya b. Tidak 6. Apakah Bapak/ibu mendapat jaminan kesehatan dari pemerintah ? a. Ya b. Tidak 7. Ketika bapak/ibu memilih salah satu jawaban dari point 3 diatas, apa alasannya ? .....................................................................................................................................
265
VI. STRUKTUR KONSUMSI DAN PENDAPATAN RUMAH TANGGA 1.
2.
3.
Jenis pangan pokok yang dikonsumsi : 1. Beras 3. Ubi kayu/jalar 2. Jagung 4. Gaplek
5. lainnya
Bagaimana cara memperoleh bahan makanan pokok tersebut ? 1. Produksi sendiri 2. Membeli 3. Pemberian/minta bantuan
4. Upah kerja panen
a. Apakah mempunyai bahan persediaan bahan makanan pokok untuk seminggu dan sebulan ke depan ? 1. Ya (ke R.4.a) untuk seminggu ke depan 3. Tidak 2. Ya (ke R.4.a) untuk seminggu ke depan atau lebih b. Jika R.3.a=3 (Tidak), apakah mempunyai uang/barang berharga untuk membeli bahan makanan selama untuk seminggu atau sebulan mendatang? 1. Ya 2. Tidak c. Jika tidak mempunyai uang/barang berharga R.3.b=2 (tidak), bagaimana memenuhi kebutuhan bahan makanan pokok untuk seminggu mendatang? 1. Menunggu kiriman 3. Menunggu dr org lain 5. lainnya 2. Mencari pinjaman 4. Menunggu dr pemerintah (.......................)
266
4.
Berapa pengeluaran keluarga untuk kebutuhan konsumsi makanan untuk setiap minggu dan setiap bulannya? Setiap Minggu Setiap Bulan Rp.................................. Rp..........................................
5.
Berapa rata-rata pengeluaran keluarga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bukan makanan sebulan dan setahun? Sebulan Setahun a. Pendidikan Rp. ............................. Rp. ....................................... b. Kesehatan Rp. ............................. Rp. ....................................... c. Sandang Rp. ............................. Rp. ....................................... d. Perumahan Rp. ............................. Rp. ....................................... e. Listrik Rp. ............................. Rp. ....................................... f. Air PDAM Rp. ............................. Rp. ....................................... g. Rekreasi & Transportasi Rp. ............................. Rp. ....................................... h. Lainnya Rp. ............................. Rp. .......................................
4. Upah kerja panen
minggu dan sebulan ke depan ?
6.
Apakah anda pernah meminjam uang ke bank?
7.
Kalau Ya, untuk apa ?
8.
Kalau Tidak, kemana anda biasa meminjam?
a. Rentenir d. Koperasi
9.
Apakah ada anggota keluarga yang biasa menabung ?
a. Ya
a. Usaha
1. Ya
b. Biaya kebutuhan
2. Tidak c. Lainnya (......................................)
10 Jika Ya (R.9=a) dimana biasanya keluarga anda menyimpan uang ? 1. Bank 2. Koperasi 3. Kelompok Masyarakat setempat
b. Keluarga e. Tetangga
b. (tidak)
4. Celengan
11 Apakah anda pernah mendapatkan bantuan atau pinjaman modal usaha dari pemerintah atau swasta ? 1. Ya 2. Tidak 12 Kalau Ya, berapa persen bunganya ? 1. < 1 persen 2. 1-2 persen
a memenuhi kebutuhan bahan
4. > 5 persen
13 Berapa besar bantuan/pinjaman yang pernah anda terima ?
Rp. .............................................................
14 Apabila mempunyai usaha di bidang pertanian, berapa besarnya pendapatan selama setahun yang lalu ? Bidang Usaha Luas lahan Ongkos Produksi m2 Upah/Gaji (Rp) Bahan Baku (Rp) a. Pertanian tanaman pangan b. Pertanian non tanaman pangan c. Peternakan, unggas dan aneka ternak d. Perikanan e. Kehutanan
setiap minggu dan setiap bulannya?
umsi bukan makanan sebulan dan setahun? Rp. ....................................... Rp. ....................................... Rp. ....................................... Rp. ....................................... Rp. ....................................... Rp. ....................................... Rp. ....................................... Rp. .......................................
3. 3-5 persen
15 a. Apakah mempunyai usaha di bidang non pertanian ? 1. Ya 2. Tidak b. Jika Ya, berapa besarnya pendapatan yang diperoleh anggota rumah tangga sebulan yang lalu ? Rp. ................................................. 16 Apakah Bapak/Ibu memeperoleh warisan keluarga ? 1. Ya 2. Tidak 267
15. Apakah Bapak/Ibu mempunyai asset (lahan/alat produksi) sebagai sumber pendapatan keluarga a. Ya b. Tidak c. Lainnya (......................................)
16. Kalau Ya, apa jenisnya/berapa luas atau nilai asset yang bapak/ibu miliki? a. Kalau tanah Luas ......... Ha dan nilainya Rp ………............... b. Assetnya lainnya …………………………………………………… Nilainya Rp ………………………………………………… 17. Kalau tidak, dalam melakukan aktivitas ekonomi sebagai sumber penghasilan keluarga, apakah bapak dapat meng lahan atau alat produksi dari orang lain? a. Ya b. Tidak
c. Lembaga keuangan desa f. Lainnya (...........................)
5. lainnya
18. Kalau Ya, kemana bapak memperoleh nya? a. Tetangga c. Lainnya (.............................................) b. Tuan Tanah
ha dari pemerintah atau swasta ?
19. Berapa orang anggota keluarga yang bekerja ? a. satu c. Tiga b. Dua d. Lainnya (....................................................) Rp. ...................................................................
apatan selama setahun yang lalu ? Ongkos Produksi Bahan Baku (Rp)
20. Berapa penghasilan kepala keluarga dalam satu tahun terakhir ? RP. ............................................................... 21. Berapa penghasilan anggota keluarga dalam satu terakhir ? Rp..........................................................
Pendapatan (Rp)
22. Kalau Bapak/Ibu menghasilkan barang dan jasa, apakah seluruh produksi di jual ? a. Ya b. Tidak 23. Jika Ya (P.22=a) kemana bapak jual ? a. Pedagang pengumpul dalam desa b. Pedagang pengumpul luar desa c. Pengijon
d. Koperasi e. Lainnya (...............................)
24. Kalau bapak/ibu membutuhkan sarana produksi kemana bapak membeli ? a. Toko dalam desa c. Pengijon b. Luar desa d. Lainnya (................................) 268
VII. MODAL SOSIAL : I. RASA PERCAYA (TRUST) : 1. Apakah sebagian besar orang-orang dapat dipercaya, ataukah bapak/ibu harus selalu berhati-hati dalam beri dengan orang lain ? a. Sebagian besar orang dapat dipercaya b. Selalu berhati-hati
ai sumber pendapatan keluarga
Nilainya Rp ………………………………………………………………………….. penghasilan keluarga, apakah bapak dapat mengakses
2. Secara umum, apakah bapak/ibu setujut atau tidak setuju dengan pernyataan berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Sangat Setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat Tidak Setuju
1. 2. 3. 4. 5.
Sangat sedikit Sedikit Sedang Banyak Banyak Sekali
A. Sebagian besar tetangga dapat dipercaya B. Didesa/lingkungan tetangga seseorang mengambil keuntungan dari saya C. Setiap tetangga siap membantu pada saat dibutuhkan D. Orang-orang di desa saling percaya terutama dalam hal pinjam meminjam uang 3. Seberapa besar bapak / ibu mempercayai orang lain ?
e. Lainnya (...............................)
d. Lainnya (................................) 269
A. Orang dari etnis yang sama B. Orang dari etnis lain C. Penjual D. Pegawai Desa/Kelurahan E. Pegawai Kecamatan F. PPL G. Polisi H. Guru I. Perawat dan dokter J. Dukun K. Anggota kelompok yang sama
ah bapak/ibu harus selalu berhati-hati dalam berinteraksi
4. Apakah menurut bapak/ibu, tingkat rasa percaya mempercayai antar penduduk lokal semakin baik, tetap, at buruk dalam lima tahun terakhir ? a. Menjadi semakin baik b. Tetap sama c. Semakin baik Sangat Setuju Setuju Kurang setuju Tidak setuju Sangat Tidak Setuju
5. Apakah kehidupan di tempat Bapak/Ibu tinggal, masih saling bantu membantu ? a. Tidak pernah saling membantu b. Membantu namun jarang c. Hampir selalu membantu d. Selalu membantu
6. Apabila ada kegiatan yang tidak memberi keuntungan langsung bagi bapak/ibu namun bermanfaat bagi seb masyarakat disini, apakah bapak/ibu akan membantu ? A. Fisik B. Uang a. Tidak berpartisipasi sumbangan a. Tidak akan memberi b. Akan berpartisipasi sumbangan b. Akan memberi
Sangat sedikit Sedikit Sedang Banyak Banyak Sekali
VIII. KEGIATAN BERSAMA DAN KERJASAMA (TINGKAT PARTISIPASI) 1. Selama setahun terakhir, apakah Bapak/Ibu melakukan sesuatu aktivtas bersama anggota kelompok lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat keseluruhan ? 1. Ya 2. Tidak 2. Aktivitas apakah yang dilakukan Nama Kegiatan
270
Sukarelawan
ayai antar penduduk lokal semakin baik, tetap, atau semakin
3. Jika tidak mengikuti kegiatan tersebut, apakah sangsi yang diperoleh? ............................................................................................................................................... ............................................................................................................................................... 4. Siapa sajakah yang berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan ? 1. Setiap Orang 2. Lebih dari setengahnya jumlah penduduk 3. Setengahnya dari total penduduk 4. Kurang dari setengah penduduk 5. Tidak satupun 5. Apabila ada salah satu anggota kelompok yang mengalami kesusahan misalnya sakit atau kematian, Apakah anggota lain siap membantu ? 1. Membantu dengan sukarela 2. Membantu sesuai dengan aturan 3. Bisa membantu, bisa juga tidak 4. Tidak membantu 5. Tidak Peduli
sung bagi bapak/ibu namun bermanfaat bagi sebagian besar
a. Tidak akan memberi
6. Apakah bapak/ibu terlibat dalam organisasi kemasyarakatan ?
uatu aktivtas bersama anggota kelompok lainnya 1. Ya
2. Tidak
7. Kalau Ya, organisasi apa yang bapak/ibu ikuti ? Jenis Organisasi Berapa Lama
271
Posisi dalam organisasi
8. Apakah bapak/ibu terlibat dalam proses perencanaan pembangunan di tingkat desa/kelurahan 1. Ya 2. Tidak
............................................................................... ...............................................................................
9. Apakah bapak/ibu terlibat aktif dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di desa ? 1. Ya 2. Tidak
10. Apakah bapak / ibu terlibat secara aktif dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan yang a 1. Ya 2. Tidak IX. Tingkat Aksesibilitas Rumah Tangga Ke Pelayanan Publik
mengalami kesusahan misalnya sakit atau kematian,
Posisi dalam organisasi
Aktif
Pasif
1. Berapa jarak dari rumah anda ke sekolah dasar (SD) ? a. < 1 km c. > 3 s/d 5 km b. > 1 s/d 3 km d. > 5 km e. waktu tempuh ( …………………… menit) 2. Berapa jarak dari rumah anda ke sekolah tingkat pertama atau seserajat (SMP) ? a. < 1 km c. > 3 s/d 5 km b. > 1 s/d 3 km d. > 5 km e. waktu tempuh ( …………………… menit) 3. Berapa jarak dari rumah anda ke Sekolah Menengah Atas (SMU) atau sederajat ? a. < 1 km c. > 3 s/d 5 km b. > 1 s/d 3 km d. > 5 km e. waktu tempuh ( …………………… menit) 4. Apakah anak anda menggunakan kendaraan ke sekolah ? a. SD atau sederajat a. Ya b. SMP atau sederajat a. Ya c. SMU atau sederajat a. Ya d. Perguruan Tinggi a. Ya 5. Kalau pertanyaan 4 diatas Ya, berapa ongkos transport setiap harinya ? Rp. ..........................................
272
ses perencanaan pembangunan di tingkat desa/kelurahan ?
7. Berapa jarak dari rumah anda ke pelayanan kesehatan terdekat yang sering bapak k a. < 1 km d. > 5 km - 10 km b. >1 km - 3 km e. > 10 km c. > 3 km - 5 km
m pelaksanaan pembangunan yang ada di desa ?
8. Berapa lama waktu tempuh anda ke pelayanan kesehatan yang sering bapak kunjun ..................................... Jam
ktif dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan yang ada di desa ? 9. Berapa biaya transport yang anda keluarkan setiap kali berobat ? Rp. .........................................
10. Berapa jauh dari rumah anda ke kantor pemerintah setempat (Kantor Desa/Lurah) a. < 1 km d. > 5 km - 10 km b. >1 km - 3 km e. > 10 km c. > 3 km - 5 km f. waktu tempuh ( ……………… menit)
olah tingkat pertama atau seserajat (SMP) ? 11. Berapa jauh dari rumah anda ke kantor pemerintah kecamatan ? a. < 1 km d. > 5 km - 10 km b. >1 km - 3 km e. > 10 km c. > 3 km - 5 km f. waktu tempuh (……………….
olah Menengah Atas (SMU) atau sederajat ?
Menit)
12. Berapa jauh dari rumah anda ke kantor pemerintah kabupaten ? a. < 1 km d. > 5 km - 10 km b. >1 km - 3 km e. > 10 km c. > 3 km - 5 km f. waktu tempuh (……………….. Menit)
b. Tidak b. Tidak b. Tidak b. Tidak
13. Apakah bapak/ibu memiliki alat telekomunikasi ? a. Telepon rumah b. Handphone
ongkos transport setiap harinya ?
14. Kalau bapak/ibu tidak memiliki alat telekomunikasi, kemana bapak biasa melakuka ada keperluan ? a. Telepon umum b. Wartel c. Tetangga 273
anda ke pelayanan kesehatan terdekat yang sering bapak kunjungi ? d. > 5 km - 10 km
uh anda ke pelayanan kesehatan yang sering bapak kunjungi ?
ng anda keluarkan setiap kali berobat ?
anda ke kantor pemerintah setempat (Kantor Desa/Lurah) ? d. > 5 km - 10 km f. waktu tempuh ( ………………
menit)
anda ke kantor pemerintah kecamatan ? d. > 5 km - 10 km f. waktu tempuh (……………….
Menit)
anda ke kantor pemerintah kabupaten ? d. > 5 km - 10 km f. waktu tempuh (……………….. Menit)
emiliki alat telekomunikasi, kemana bapak biasa melakukan komunikasi ketika
274