IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS SEBAGAI INSTRUMEN PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR IRIGASI: PENDEKATAN DAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASINYA
Oleh SUMARYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa semua pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS SEBAGAI INSTRUMEN PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR IRIGASI: PENDEKATAN DAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASINYA merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 2006
Sumaryanto 965010 Tanggal Lulus:
ABSTRACT
SUMARYANTO. Crop Based Pricing As An Instrument for Improving Irrigation Water Use Efficiency: Approach and Analysis of Factors Affecting Its Implementation (BONAR M. SINAGA as Chairman, PANTJAR SIMATUPANG, KOOSWARDHONO MUDIKDJO and YUSMAN SYAUKAT as Members of the Advisory Committee). In line with population growth, economic development, and higher competition of water utilization among sectors, it is urgently required to improve irrigation water use efficiency. To meet the need, there are strong incentives to place emphasis on water-demand management. Theoretically, water pricing has potential not only to influence users' behaviors towards water saving, but it also contributes reallocation of water towards more profitable crops or other uses. Pricing water is also a way to recover part of the costs incurred by irrigation infrastructure and its operation. This study is aimed to valuate irrigation water, to determine crop based pricing, and to assess factors affecting its implementation. Determination of the crop based pricing utilized shadow price of the irrigation water. The valuation utilized change in net income (CINI) method using mathematical programming. Factors that can affect the implementation of crop based pricing are identified indirectly using ordered logit model. The study is conducted in Brantas Irrigation Area, East Java. Results of the study show that shadow price of irrigation water were equal to zero on December–May and positive on June–November. Within the positive period, the lowest and highest prices were taken place on June (Rp. 11/m3) and September (Rp. 58/m3) respectively. In the crop based pricing indexed, average cost of irrigation water of paddy farming on first cropping season (wet season), second cropping season (first dry season), and third cropping season (second dry season) are 1, 2, and 10 respectively. In the same order, the cost of irrigation water of secondary crop cultivation are 0.3, 0.6 and 5.0. Irrigation water demand function is non linear and in general is inelastic. The demand is elastic if the price level is higher than Rp. 84/m3. Crop diversification as well as crop based pricing was potential to improve both farm's income and irrigation efficiency, but disincentive to increase rice production. Positive factors for implementing the crop based pricing are consolidated land management, higher average farm size, available agricultural labor, sufficiency of capital for farming, significant contribution of wetland farming to household economy, and better performance of the organization of Water User's Association in irrigation management. Key Words: Irrigation, shadow price, crop based pricing, efficiency, diversification.
ABSTRAK SUMARYANTO. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Sebagai Instrumen Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi: Pendekatan dan Analisis Faktorfaktor yang Mempengaruhi Implementasinya (BONAR M. SINAGA sebagai Ketua, PANTJAR SIMATUPANG, KOOSWARDHONO MUDIKDJO dan YUSMAN SYAUKAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, dan kompetisi penggunaan air antar sektor maka peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi semakin dirasakan urgensinya. Strategi yang dipandang sesuai adalah melalui pengelolaan permintaan. Secara teoritis, penerapan harga air bukan hanya potensial untuk mendorong efisiensi penggunaan air, tetapi juga dapat berkontribusi pada realokasi penggunaan air irigasi ke komoditas pertanian yang lebih menguntungkan atau penggunaan lainnya, dan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi. Penelitian ini ditujukan untuk melakukan valuasi air irigasi, menentukan iuran irigasi berbasis komoditas dan menganalisis faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi prospek implementasinya. Penentuan iuran irigasi berbasis komoditas didasarkan atas harga bayangan air irigasi yang dihasilkan dari valuasi sumberdaya tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam valuasi adalah salah satu varian dari Residual Imputation Approach yakni Change In Net Income (CINI) dengan pemrograman matematis. Faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi implementasi iuran irigasi berbasis komoditas diidentifikasi dengan cara tidak langsung dengan model ordered logit. Penelitian dilakukan pada sistem irigasi teknis di Daerah Irigasi Brantas, Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Desember – Mei harga bayangan air irigasi sama dengan nol, sedangkan pada Juni – November positif. Pada periode positif, harga terendah terjadi pada Bulan Juni (Rp. 11/m3), sedangkan yang tertinggi pada Bulan September (Rp. 58/m3). Dengan sistem indeks, biaya irigasi untuk usahatani padi pada Musim Tanam I (Musim Hujan), Musim Tanam II (Musim Kemarau-1), dan Musim Tanam III (Musim Kemarau-2) masing-masing adalah 1, 2, dan 10. Dengan urutan yang sama, untuk usahatani palawija adalah sekitar 0.3, 0.6, dan 5.0. Fungsi permintaan air irigasi tidak linier dan secara umum tidak elastis. Permintaan elastis jika tingkat harga lebih tinggi dari Rp. 84/m3. Diversifikasi usahatani dan iuran irigasi berbasis komoditas potensial untuk meningkatkan pendapatan usahatani, tetapi tidak kondusif untuk meningkatkan produksi padi. Faktor-faktor positif untuk implementasi iuran irigasi berbasis komoditas adalah: lahan sawah garapan usahatani lebih terkonsolidasi, rata-rata luas garapan tidak terlalu kecil, tenaga kerja pertanian cukup tersedia, kemampuan permodalan petani memadai, peranan usahatani dalam ekonomi rumah tangga petani cukup besar, dan kinerja pengurus Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam pengelolaan irigasi lebih baik. Kata Kunci: Irigasi, harga bayangan, iuran irigasi berbasis komoditas, efisiensi, diversifikasi.
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS SEBAGAI INSTRUMEN PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR IRIGASI: PENDEKATAN DAN ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASINYA
Oleh SUMARYANTO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGO R 20 0 6
Judul Disertasi
: Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Sebagai Instrumen Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi: Pendekatan dan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasinya
Nama
: Sumaryanto
NRP
: EPN 965010
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Ketua
Prof. (R) Dr. Ir. Pantjar Simatupang, APU Anggota
Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 24 Februari 2006
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah putra dari Atmosukarto dan Kemidjem. Penulis dilahirkan di Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 1 November 1958; merupakan anak keempat dari 9 bersaudara. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1971 di SD Negeri Selo. Lulus dari pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri II Wates pada tahun 1974, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Wates. Pada tahun 1978, melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat, Proyek Perintis II) diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama di Institut Pertanian Bogor (IPB). Lulus dari Fakultas Pertanian (Departemen Agronomi) IPB tahun 1982, kemudian bekerja pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (kini bernama Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun 1984 melanjutkan studi S2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) atas biaya dari Badan Litbang Pertanian dan lulus pada tahun 1988. Tahun 1996, dengan biaya sendiri penulis melanjutkan studi S3 pada Program Studi Ilmu ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sebagai peneliti, bidang penelitian yang banyak digeluti adalah ekonomi pedesaan, sumberdaya lahan, dan irigasi. Selain melakukan penelitian, penulis aktif mengikuti berbagai forum diskusi ataupun seminar, terutama yang terkait dengan bidang penelitiannya; dan sering menjadi instruktur pelatihan terutama di bidang pengolahan dan analisis data dalam penelitian sosial ekonomi pertanian. Penulis adalah anggota Kemitraan Air Indonesia.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya. Sesuai dengan profesi, sedikit-demi sejak tahun 1995 penulis secara konsisten menekuni penelitian di bidang pengelolaan sumberdaya lahan dan air, terutama di bidang irigasi. Menyadari bahwa semakin banyak yang diketahui semakin banyak pula yang masih belum diketahui, dalam disertasi ini penulis mengkaji nilai ekonomi air irigasi dan kemungkinan pemanfaatannya sebagai instrumen peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya tersebut melalui pendekatan pengelolaan permintaan. Adalah fakta bahwa penyelesaian disertasi ini berkat dorongan, arahan, dan bimbingan dari Komisi Pembimbing. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi dan rasa terima kasih yang sangat mendalam kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing. 2. Prof. (R) Dr. Ir. Pantjar Simatupang, APU selaku Anggota Komisi Pembimbing. 3. Prof. Dr. Ir. Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc. selaku Anggota Komisi Pembimbing. 4. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. selaku Anggota Komisi Pembimbing. 5. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup. 6. Prof. (R) Dr. Effendi Pasandaran, APU selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka. 7. Dr. Ir. Akhmad Fauzi Syam, MSc. selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka. 8. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti studi di Sekolah Pascasarjana IPB. 9. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta seluruh pihak pengelola atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti program studi. 10. Dr. Rustam Syarif atas bantuannya dalam penelitian kolaborasi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian – International Food Policy Research Institute (IFPRI) – Departemen Kimpraswil – Perum Jasa Tirta I sehingga kelengkapan data untuk disertasi ini dapat diperoleh.
11. Dr. Ir. Tahlim Sudaryanto, APU selaku Kepala Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 12. Dr. Ir. Achmad Suryana, APU selaku Kepala Badan Litbang Pertanian atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan sambil tetap bekerja. 13. Rekan-rekan kerja di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, yakni lembaga penelitian tempat penulis bekerja. 14. Jajaran Direksi Perum Jasa Tirta I beserta seluruh staf atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Mark W. Rosegrant, PhD; Charles Rodgers, PhD; dan Claudia Ringler, PhD dari International Food Policy Research Institute (IFPRI) atas masukan dan bantuan kepada penulis, terutama pada saat kerjasama penelitiannya dengan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dimana penulis merupakan salah satu anggota tim penelitian tersebut. Sudah barang tentu, terima kasih yang sangat mendalam penulis sampaikan kepada istri tercinta Ir. Anggraini Sukmawati, MM atas semua kebaikan, bantuan, dan dorongan semangat, serta doanya; dan juga kepada anak-anakku tercinta Mita, Arif, dan Ajeng. Kiranya pada tempatnya pula penulis mengenang Almarhumah Ir. Puti Rosmeilisa Budi Savithry atas semua kebaikan, kesabaran, dorongan semangat dan doanya selama Almarhumah mendampingi penulis. Semoga Allah SWT memberinya tempat yang mulia di sisi-NYA. Kepada semua pihak yang selama ini secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis dan tak dapat disebutkan namanya satu per satu di sini, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga semuanya itu bernilai sebagai ibadah. Penulis telah berusaha maksimal untuk menghasilkan karya ini. Meskipun demikian, sesuai dengan keterbatasan penulis tentu masih banyak kekurangannya. Terlepas dari segala kekurangan itu, semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2006 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv I. PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .....................................................................................
1
1.2. Rumusan Permasalahan ........................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................
8
1.4. Signifikansi Penelitian ..........................................................................
8
1.5. Keterbatasan Penelitian ........................................................................
9
1.6. Kegunaan Hasil Penelitian ................................................................... 10 II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 11 2.1. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Implikasi Terhadap Kebijakan Pengelolaan Air Untuk Pertanian ....................... 11 2.1.1. Ketersediaan Sumberdaya Air: Kondisi Sekarang dan Kecenderungannya .................................................................... 11 2.1.2. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air ........... 15 2.1.3. Implikasi Terhadap Sistem Pengelolaan Irigasi ........................ 20 2.1.4. Implikasi Terhadap Strategi Pengembangan Produksi Pangan .. 25 2.2. Pemberlakuan Pungutan Air Irigasi Sebagai Instrumen Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi Melalui Pendekatan Permintaan ...... 29 2.3. Valuasi Air Irigasi ................................................................................ 34 2.3.1. Permasalahan Konseptual Dalam Spesifikasi Fungsi Produksi .... 37 2.3.2. Pendekatan Kuantitatif Untuk Valuasi Air Irigasi Dengan Metode CINI .............................................................................. 39 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS .................................................... 40 3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 40 3.2. Landasan Teori Valuasi Air Irigasi ...................................................... 45 3.3. Pemrograman Matematis Valuasi Air Irigasi Dengan Metode CINI ..... 48
Halaman 3.4. Faktor-faktor Utama yang Harus Dipertimbangkan Dalam Pemodelan ............................................................................................ 52 3.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pasokan dan Permintaan Air Irigasi ................................................................ 52 3.4.2. Distribusi Spatial Air Irigasi dan Implikasinya ......................... 55 3.4.3. Distribusi Temporal Air Irigasi dan Implikasinya ..................... 63 3.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan Iuran Irigasi Berbasis Komoditas ......................................................... 65 3.5.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola Tanam ........................................................................................ 66 3.5.2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Dalam Membayar Iuran Irigasi ....................................... 70 3.5.3. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Untuk Berdiversifikasi dan Membayar Iuran Irigasi ...... 71 IV. METODE PENELITIAN ............................................................................ 73 4.1. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 73 4.2. Formulasi Fungsi Tujuan, Kendala, dan Asumsi Dalam Pemodelan
75
4.2.1. Fungsi Tujuan dan Aktivitas ...................................................... 76 4.2.2. Kendala Sumberdaya ................................................................. 81 4.2.3. Kendala Historis Pola Tanam .................................................... 89 4.2.4. Kebutuhan Sumberdaya ............................................................. 92 4.3. Spesifikasi Model ................................................................................. 98 4.4. Formulasi Iuran Irigasi Berbasis Komoditas ....................................... 110 4.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan ......... 111 4.5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola Tanam ........... 111 4.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Dalam Pembayaran Iuran Irigasi ............................................... 113 4.5.3. Identifikasi Faktor-faktor Strategis ............................................ 114 4.5.4. Pemilihan Variabel Penjelas ...................................................... 116 4.6. Lokasi Penelitian dan Prosedur Pengambilan Contoh ......................... 123 4.6.1. Lokasi Penelitian ....................................................................... 123 4.6.2. Pengambilan Contoh .................................................................. 124 4.7. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 127
v
Halaman V. SUMBERDAYA AIR, PENGELOLAAN IRIGASI, DAN KERAGAAN USAHATANI DI DAERAH IRIGASI BRANTAS .......... 128 5.1. Keragaan Umum Daerah Aliran Sungai Brantas ............................... 128 5.2. Sumberdaya Air ................................................................................. 129 5.3. Pasokan Air Irigasi ............................................................................. 132 5.4 Kelembagaan Pengelolaan Irigasi ...................................................... 135 5.5. Keragaan Umum Rumah Tangga Petani di Daerah Pesawahan Irigasi Teknis DAS Brantas ............................................................... 139 5.5.1. Penguasaan Lahan .................................................................. 139 5.5.2. Pengusahaan Tanaman Padi di Pesawahan Irigasi Teknis DAS Brantas ............................................................... 144 5.5.3. Penggunaan Masukan dan Produktivitas Usahatani Komoditas Utama ................................................................... 145 5.5.4. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani ........................... 148 VI. VALUASI AIR IRIGASI DAN PENENTUAN IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS USAHATANI .............................................. 152 6.1. Pola Tanam dan Keuntungan Usahatani Pada Solusi Optimal .......... 152 6.2. Penggunaan, Harga Bayangan, dan Kurva Permintaan Air Irigasi .... 155 6.3. Pengaruh Perubahan Pasokan Air Irigasi Terhadap Diversifikasi ..... 163 6.4. Pengaruh Penghematan Konsumsi Air Irigasi ................................... 166 6.5. Potensi Kerugian Akibat Luas Tanam Padi Tidak Optimal ............. 169 6.6. Fungsi Penawaran Normatif Komoditas Padi .................................... 170 6.7. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas ....................................................... 172 6.7.1. Penyederhanaan Sistem Iuran Berbasis Komoditas ............... 177 6.7.2. Sinergi Diversifikasi dan Sistem Iuran Berbasis Komoditas Untuk Mendorong Efisiensi Penggunaan Air Irigasi .............. 183 VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS ......................................... 189 7.1. Keragaan Diversifikasi Usahatani di Pesawahan Irigasi DAS Brantas ............................................................................................... 189 7.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Untuk Berdiversifikasi .................................................................................. 192 7.2.1. Ketersediaan Tenaga Kerja Untuk Usahatani .......................... 195 7.2.2. Kemampuan Permodalan ......................................................... 196 vi
Halaman 7.2.3. Kontribusi Pendapatan Dari Usahatani di Lahan Sawah ....... 197 7.2.4. Kualitas Lahan Sawah ........................................................... 198 7.2.5. Pemilikan Peralatan Untuk Mengatasi Kekeringan ............... 198 7.2.6. Fragmentasi Lahan Garapan .................................................. 199 7.2.7. Tingkat Kerawanan Terhadap Kekeringan ............................ 200 7.2.8. Akses Lahan Sawah Terhadap Prasarana Distribusi Air Irigasi ............................................................................... 201 7.2.9. Karakteristik dan Kapabilitas Managerial Dalam Usahatani 203 7.2.10. Luas dan Status Garapan ....................................................... 203 7.2.11. Probabilitas Petani Untuk Berdiversifikasi ........................... 204 7.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Partisipasi Petani Membayar Iuran Irigasi ..................................................................... 205 7.3.1. Indeks Diversitas ................................................................... 207 7.3.2. Kontribusi Usahatani Padi Terhadap Total Pendapatan Usahatani di Lahan Sawah .................................................... 208 7.3.3. Kualitas Lahan Sawah Garapan ............................................. 209 7.3.4. Intensitas Tanam .................................................................... 209 7.3.5. Kinerja Pengurus HIPPA ....................................................... 210 7.3.6. Status Garapan ....................................................................... 212 7.3.7. Jarak Persil Sawah Garapan Dari Pintu Tertier ..................... 213 7.3.8. Pemilikan Pompa Irigasi ........................................................ 214 7.3.9. Probabilitas Petani Berpartisipasi Dalam Iuran Irigasi ......... 214 7.4. Identifikasi Faktor-faktor Strategis .................................................... 215 VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN ...................................................... 219 8.1. Kesimpulan ........................................................................................ 219 8.2. Implikasi Kebijakan ........................................................................... 223 8.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan ....................................................... 224 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 225 LAMPIRAN .............................................................................................. 236
vii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Perbedaan antara pendekatan SM, DM, dan MDM ................................
61
2.
Pengelompokan komoditas usahatani yang diterapkan dalam pemodelan ..............................................................................................
79
Sebaran temporal aktivitas di setiap Sub DAS yang tercakup dalam model ......................................................................................................
80
Air Irigasi per bulan yang tersedia di pesawahan irigasi teknis di masing-masing Sub DAS Brantas ..........................................................
82
Rata-rata luas dan total biaya yang dikeluarkan petani tidak miskin untuk usahatani di lahan sawah yang tak terkendala air irigasi .............
85
Perkiraan modal yang tersedia untuk biaya tunai usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ...............................
86
Ketersediaan tenaga kerja di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ................................................................................
88
Nilai Rata-rata dan galat baku perbandingan luas tanam antar kelompok komoditas menurut musim tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada periode 1990 – 2000 ..........................
91
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Blok Tertier dan Rumah Tangga Contoh di Lokasi Penelitian .............. 127
10.
Kapasitas tampung beberapa dam besar di DAS Brantas, 1999 ............ 130
11.
Prasarana sumberdaya air di Daerah Irigasi Brantas dan pemanfaatannya ..................................................................................... 131
12.
Rata-rata penggunaan air yang dikelola Perum Jasa Tirta I di DAS Brantas ................................................................................................... 132
13.
Luas Areal Irigasi di DAS Brantas, 1999/2000 ..................................... 132
14.
Efisiensi irigasi pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, 1992 ......... 135
15.
Rata-rata pemilikan lahan rumah tangga petani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 2000 ........................................................... 140
16.
Rata-rata pemilikan lahan sawah di daerah pesawahan DAS Brantas menurut kelompok pemilikan sawah, 1999/2000 .................................. 141
viii
Nomor
Halaman
17.
Rata-rata luas sawah garapan per musim, 1999/2000 ............................ 143
18.
Produksi dan penggunaan input per hektar usahatani padi dan palawija di pesawahan DAS Brantas, 1999/2000 .................................. 146
19.
Struktur pendapatan rumah tangga petani di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ................................................................................ 149
20.
Jumlah rumah tangga petani menurut garis kemiskinan dan kelompok pemilikan sawah di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ...... 150
21.
Pola tanam optimal di areal pesawahan irigasi teknis DAS Brantas ..... 153
22.
Keuntungan usahatani pada pola tanam optimal di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas ................................................................................ 154
23.
Penggunaan air irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada solusi optimal ......................................................................................... 156
24.
Rata-rata harga bayangan air irigasi menurut cakupan perhitungannya .. 158
25.
Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi ... 161
26.
Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap intensitas tanam ....... 165
27.
Pengaruh penghematan konsumsi air dalam usahatani padi terhadap indeks pertanaman ................................................................................. 167
28.
Pengaruh perubahan luas tanam padi terhadap keuntungan usahatani .. 170
29.
Nilai air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani dirinci menurut kelompok komoditas dan periode pengusahaannya ............................... 173
30.
Nilai air irigasi yang digunakan pada usahatani solusi optimal ............. 175
31.
Biaya irigasi di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 .............................................................................................. 176
32.
Biaya irigasi pada usahatani padi di Daerah Irigasi Brantas, 1999/2000 .............................................................................................. 177
33.
Skenario penyederhanaan perhitungan komponen pokok iuran irgasi berbasis komoditas berdasarkan jadwal tanam padi MT I ..................... 179
34.
Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis DAS Brantas .......................................................... 180
ix
Nomor
Halaman
35.
Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis Sub DAS Hulu Brantas .......................................... 181
36.
Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis Sub DAS Tengah Brantas ...................................... 181
37.
Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis Sub DAS Hilir Brantas .......................................... 182
38.
Indeks biaya irigasi berbasis komoditas untuk usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas .................................................. 182
39.
Rata-rata konsumsi air irigasi dan keuntungan usahatani dari beberapa skenario pola tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas . 185
40.
Contoh iuran irigasi berbasis komoditas di P3A atau GP3A di wilayah pesawahan irigasi teknis Sub DAS Brantas Tengah .............................. 187
41.
Pola tanam dominan di wilayah pesawahan DAS Brantas, 1999/2000 ... 189
42.
Luas areal tanam di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 . 191
43.
Sebaran petani menurut pola tanam dan indeks diversitasnya di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ............................... 193
44.
Sebaran petani menurut jumlah jenis komoditas yang diusahakan di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ............................... 193
45.
Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas untuk berdiversifikasi .......... 194
46.
Sebaran petani menurut jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ........... 195
47.
Rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ............................... 196
48.
Sebaran petani menurut pola tanam dan kemampuan permodalan, 1999/2000 .............................................................................................. 197
49.
Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah menurut pola tanam yang diterapkan terhadap pendapatan rumah tangga, 1999/2000 . 197
50.
Sebaran rumah tangga petani menurut peranan sawah sebagai sumber pendapatan dan pilihan pola tanam, 1999/2000 ..................................... 198
x
Nomor
Halaman
51.
Sebaran petani menurut pemilikan pompa irigasi dan pilihan pola tanam, 1999/2000 ................................................................................... 199
52.
Sebaran petani menurut jumlah persil garapan dan pola tanam, 1999/2000 .............................................................................................. 200
53.
Rata-rata proporsi luas lahan yang mengalami kekeringan dan durasi kekeringan untuk masing-masing kategori pola tanam, 1999/2000 ...... 201
54.
Sebaran petani menurut pilihan pola tanam dan akses lahan garapannya terhadap air irigasi dari saluran kuarter, 1999/2000 ........... 202
55.
Probabilitas petani memilih pola tanam dalam usahatani di lahan sawah ...................................................................................................... 205
56.
Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani membayar iuran irigasi .......................................................................... 206
57.
Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan pola tanam .............................................................................................. 207
58.
Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan kontribusi usahatani padi, 1999/2000 .................................................... 208
59.
Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan kelas lahan garapannya, 1999/2000 ................................................................ 209
60.
Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan intensitas tanam yang diterapkan, 1999/2000 ........................................ 210
61.
Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan persepsinya terhadap pengurus HIPPA .................................................. 211
62.
Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan status garapan usahatani, 1999/2000 ................................................................ 213
63.
Sebaran petani menurut partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi dan pemilikan pompa irigasi .................................................................. 214
64.
Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk berdiversifikasi dan berpartisipasi lebih baik dalam iuran irigasi .. 216
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Sistematika pendekatan penelitian .........................................................
44
2.
Ilustrasi grafis fungsi produksi dan nilai produktivitas marginal air .....
46
3.
Fungsi permintaan air irigasi setiap komoditas dan total untuk seluruh komoditas yang tercakup .......................................................................
47
4.
Harga air irigasi pada waktu MT I, MT II, dan MT III .........................
48
5.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai harga bayangan air irigasi ......
53
6.
Skema sederhana distribusi spatial air irigasi dengan pendekatan MDM ......................................................................................................
62
Implikasi pola distribusi temporal kebutuhan dan pasokan air irigasi terhadap harga bayangannya ..................................................................
64
8.
Skema konsep estimasi kebutuhan air irigasi ........................................
94
9.
Prosedur kalkulasi kebutuhan air irigasi untuk tanaman .......................
95
7.
10.
Skema Irigasi di Daerah Irigasi Brantas dan lokasi penelitian .............. 125
11.
Pola curah hujan tahunan di DAS Brantas dari 1956 – 1999 ................ 129
12.
Pola sebaran curah hujan bulanan di DAS Brantas ............................... 130
13.
Perkembangan alokasi air untuk irigasi 1978 – 1996 ............................ 133
14.
Pola curah hujan bulanan dan alokasi air irigasi .................................... 134
15.
Kurva Lorenz pemilikan lahan sawah di DAS Brantas ......................... 142
16.
Proporsi luas areal tanam padi di masing-masing Sub DAS ................. 144
17.
Distribusi temporal bulanan pasokan dan penggunaan air irigasi pada solusi optimal ......................................................................................... 157
18.
Pola sebaran temporal harga bayangan air irigasi per bulan di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas .................................................. 158
19.
Pengaruh variasi tahunan pasokan air irigasi terhadap harga bayangannya .......................................................................................... 160
xii
Nomor
Halaman
20.
Kurva permintaan normatif air irigasi di lahan sawah DAS Brantas ..... 162
21.
Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap diversifikasi ............. 164
22.
Pengaruh pasokan air irigasi terhadap keuntungan bersih usahatani ..... 166
23.
Pengaruh penghematan konsumsi air irigasi pada usahatani padi terhadap keuntungan bersih usahatani ................................................... 168
24.
Fungsi penawaran normatif komoditas padi .......................................... 171
25.
Sebaran bulanan nilai air irigasi yang digunakan dalam usahatani pada solusi optimal ......................................................................................... 175
26.
Sebaran petani menurut tingkat efisiensi teknis dalam usahatani padi .. 203
27.
Sebaran petani menurut probabilitasnya dalam memilih pola tanam .... 204
28.
Hubungan antara Pr_1, Pr_2, Pr_3, dan Pr_4 dalam partisipasi membayar iuran irigasi .......................................................................... 215
29.
Hubungan antara Pr_(1), Pr_(2), Pr_3) dan Pr_(4) dalam penerapan pola tanam diversifikasi dan membayar iuran irigasi ............................ 217
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Operasi dan pemeliharaan irigasi ............................................................ 237 2. Rata-rata penerimaan, biaya, dan laba usahatani di lahan pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ................................................... 245 3. Lokasi penelitian dalam Peta Daerah Aliran Sungai Brantas .................. 248 4. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS Brantas Hulu untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut waktu pengusahaannya ....................................................................................... 249 5. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS Brantas Tengah untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut waktu pengusahaannya ............................................................................ 250 6. Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS Brantas Hilir untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut waktu pengusahaannya ....................................................................................... 251 7. Kebutuhan modal tunai usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 .................................................................................. 252 8. Kebutuhan tenaga kerja usahatani untuk setiap kelompok komoditas di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ................................. 253 9. Pemrograman linier untuk valuasi air irigasi dengan metode CINI ........ 254 10. Estimasi Efisiensi Teknis Usahatani Padi dengan Pendekatan Fungsi Produksi Frontier Stokastik ..................................................................... 261 11. Statistik deskriptif indeks diversitas usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ................................................... 263 12. Rata-rata curah hujan bulanan di DAS Brantas, 1955 – 1999 ................. 264 13. Solusi optimal yang diperoleh dari model valuasi air irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas .................................................... 265 14. Penggunaan air irigasi di lahan sawah irigasi contoh DAS Brantas pada solusi optimal .......................................................................................... 274 15. Penggunaan air irigasi dan harga bayangan air irigasi dari hasil analisis pasca optimal perubahan pasokan air irigasi ........................................... 277
xiv
16. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap pola tanam optimal di Sub DAS Brantas Hulu ............................................................................ 278 17. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap pola tanam optimal di Sub DAS Brantas Tengah ........................................................................ 279 18. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap pola tanam optimal di Sub DAS Brantas Hilir ............................................................................ 280 19. Pola tanam di lahan sawah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 ....... 281
xv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkaran permasalahan ketahanan pangan – kemiskinan – pelestarian lingkungan adalah persoalan klasik. Fenomena yang menarik adalah bahwa di tengah perubahan lingkungan strategis yang di era globalisasi ini dinamikanya sangat
dipengaruhi
oleh
arah
perkembangan
liberalisasi
perdagangan
internasional, permasalahan tersebut merupakan salah satu topik yang banyak dibahas di forum-forum kerjasama internasional. Hal ini terkait dengan paradoks yang kini terjadi bahwa di tengah meningkatnya kemakmuran negara-negara maju ternyata banyak negara-negara kurang berkembang yang semakin terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, pasokan pangan domestik tidak cukup, dan laju degradasi lingkungan berlangsung semakin cepat. Dalam konteks itu, persoalan tentang kemampuan suatu negeri untuk memenuhi kebutuhan pangannya sangat penting karena terkait langsung dengan kebutuhan dasar manusia. Pasokan pangan sangat ditentukan oleh ketersediaan air irigasi. Faktanya, secara global dari seluruh lahan yang dapat digarap, 18 % atau sekitar 237 juta hektar diantaranya dimanfaatkan untuk pertanian beririgasi dan menghasilkan lebih dari 33 % produk pertanian. Dari seluruh areal pertanian beririgasi tersebut, 71 % berlokasi di LDC dimana 60 % diantaranya berlokasi di Asia (Postel, 1994). Secara historis, sejak pasca perang dunia II upaya sebagian besar negaranegara berkembang untuk memenuhi kebutuhan pangan domestiknya ditempuh melalui investasi pendayagunaan sumberdaya air untuk pertanian secara besarbesaran. Fenomena yang tampak adalah laju perluasan lahan pertanian beririgasi berlangsung lebih cepat dari pertumbuhan penduduk. Ini terus berlangsung sampai tahun 1978. Sejak tahun 1979, laju perluasan lahan irigasi itu cenderung turun, bahkan dalam periode 20 tahun terakhir ini diperkirakan berkurang sekitar 6 %. Melambatnya laju perluasan itu menurut Rosegrant and Svendsen (1993) merupakan akibat simultan dari turunnya investasi pemerintah di bidang irigasi akibat beban hutang, resistensi politik, meningkatnya biaya riil untuk investasi irigasi, turunnya harga-harga riil komoditas pangan, dan perluasan perkotaan.
2 Di sebagian besar negara berkembang, melambatnya laju investasi irigasi disebabkan oleh berkurangnya pinjaman internasional untuk pembangunan irigasi. Sebagai contoh, dalam periode 1978 – 1992 rata-rata pinjaman World Bank untuk proyek irigasi turun sekitar 50 % (Wichelns, 1998). Meningkatnya biaya investasi per unit luas areal irigasi dapat disimak dari beberapa hasil penelitian berikut. Dalam Sampath (1992) maupun Rosegrant and Svendsen (1993) dinyatakan bahwa dibandingkan tahun 1970, biaya riil investasi irigasi di Srilangka menjadi 3 kali lipat; di India dan Indonesia menjadi dua kali lipat; di Filipina meningkat sekitar 50 %; dan di Thailand sekitar 40 %. Permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang dalam bidang penyediaan air untuk pertanian (irigasi) bukan hanya biaya investasi yang makin mahal, tetapi juga kinerja irigasi yang telah ada ternyata semakin menurun. Kemunduran kinerja itu disebabkan oleh degradai fungsi infrastruktur dalam sistem irigasi maupun manajemen operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi. Degradasi fungsi infrastruktur antara lain disebabkan oleh kerusakan infrastruktur, sedimentasi di dalam sistem jaringan irigasi, meluasnya tanaman pengganggu di saluran-saluran distribusi maupun saluran drainase, serta perubahan permukaan air tanah yang berlebihan. Di sisi lain, seringkali manajemen OP tidak memiliki kapabilitas yang memadai untuk sekedar mempertahankan kinerja fungsi irigasi seperti disain semula. Ini disebabkan oleh banyak faktor dan beragam diantaranya: (1) disain kelembagaan irigasi yang tidak sesuai dengan aspirasi pengguna, (2) sistem kelembagaan yang tidak efisien karena perilaku free rider dan praktekpraktek rent seeking, dan (3) degradasi kemandirian komunitas petani dalam pengelolaan irigasi akibat kooptasi yang berlebihan dari pemerintah dalam pengembangan irigasi. Degradasi fungsi irigasi tersebut cenderung berlanjut jika kemampuan petani untuk ikut membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi tidak dikembangkan. Ini dilatar belakangi fakta bahwa di sebagian besar negara berkembang, anggaran riil yang dapat disediakan pemerintah untuk membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi semakin menurun (Rosegrant et al, 2002). Air irigasi merupakan sumberdaya pertanian yang sangat strategis. Berbeda dengan input lain seperti pupuk ataupun pestisida yang dimensi
3 peranannya relatif terbatas pada proses produksi yang telah dipilih, peranan air irigasi mempunyai dimensi yang lebih luas. Sumberdaya ini tidak hanya mempengaruhi produktivitas tetapi juga mempengaruhi spektrum pengusahaan komoditas pertanian. Oleh karena itu kinerja irigasi bukan hanya berpengaruh pada pertumbuhan produksi pertanian tetapi juga berimplikasi pada strategi pengusahaan komoditas pertanian dalam arti luas. Di sisi lain, permintaan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, bahkan juga untuk memelihara keberlanjutan fungsi sumberdaya air itu sendiri (misalnya penggelontoran sungai), semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi dan perluasan perkotaan. Dengan demikian kompetisi penggunaan air antar sektor meningkat. Resultante dari faktor-faktor tersebut adalah meningkatnya kelangkaan air yang tersedia untuk pertanian. Pemecahan masalah yang diakibatkan oleh meningkatnya kelangkaan itu membutuhkan pendekatan multi disiplin. Hal ini disebabkan penegakan hak-hak atas air (water rights) tidak sepenuhnya dapat dilakukan sehingga pengalokasian secara efisien melalui pendekatan parsial (misalnya dengan mengandalkan prinsip-prinsip ekonomi saja), seringkali sulit diimplementasikan, bahkan di negara-negara maju sekalipun (Hellegers, 2002). Bagi negara-negara berkembang, meningkatnya kelangkaan sumberdaya air diprediksikan akan menyebabkan turunnya pertumbuhan produksi pangan. Hal ini disebabkan oleh: (1) makin terbatasnya
kemampuan untuk melakukan
perluasan lahan irigasi karena invesatasi irigasi semakin mahal sedangkan kemampuan anggaran makin terbatas, (2) sumberdaya lahan dan air yang layak dikembangkan untuk pertanian beririgasi makin terbatas, (3) kebutuhan air untuk sektor lain (rumah tangga, industri) semakin tinggi sehingga kompetisi penggunaan antar sektor meningkat, dan (4) pada sistem irigasi yang telah ada, terjadi kemunduran kinerja manajemen sistem irigasi dalam skala yang luas (World Bank, 1993; Oi, 1997; Rosegrant et al, 2002). Banyak pakar berpendapat bahwa untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan adanya perubahan yang cukup mendasar. Diperlukan adanya modernisasi irigasi (Oi, 1997; Murty, 1997), bahkan diperlukan adanya reformasi
4 irigasi (Rosegrant et al, 2002, Pasandaran, 2005). Pada tingkat ketersediaan tertentu, produktivitas air irigasi harus ditingkatkan (Molden, 2002; Barker and Kijne, 2001). Sistem pengelolaan irigasi harus diubah dari karakteristik protektif ke karakteristik produktif (Wolter and Burt, 1997). Jika disarikan, orientasi dari semua pendekatan tersebut ternyata konvergen yaitu peningkatan efisiensi irigasi. Dalam konteks itu sebagian besar pakar menyatakan bahwa peningkatan efisiensi irigasi
dengan
mengandalkan
pendekatan
pengelolaan
pasokan
(supply
management) tidak lagi memadai. Seiring dengan meningkatnya kelangkaan sumberdaya air dan kompetisi penggunaan antar sektor, pengelolaan permintaan (demand management) yang berorientasi pada peningkatan efisiensi semakin dirasakan urgensinya (Winpenny, 1994; Grimble, 1999; Rosegrant et al, 2002). 1.2. Rumusan Permasalahan Di Indonesia pada saat ini ada dua agenda pokok permasalahan yang saling terkait dan perlu segera dipecahkan secara simultan yaitu: (1) peningkatan efisiensi atau produktivitas irigasi dan (2) peningkatan kemampuan petani untuk berkontribusi dalam pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi. Peningkatan efisiensi irigasi harus dilakukan karena: 1. Air irigasi semakin langka. 2. Potensi untuk meningkatkan efisiensi cukup terbuka karena yang dicapai masih sangat rendah. 3. Dampak positif peningkatan efisiensi irigasi terhadap ketersediaan air untuk kepentingan yang lebih luas akan sangat nyata karena pangsa penggunaan air untuk irigasi sangat besar. 4. Perluasan lahan irigasi baru (new construction) hanya dapat dilakukan dalam skala yang sangat terbatas. Peningkatan kontribusi petani untuk membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi terutama di level tertier adalah salah satu program Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI); dan konvergen dengan arah reformasi irigasi yang lebih menekankan pada partisipasi dan kemandirian petani. Selain itu juga merupakan syarat kecukupan untuk keberlanjutan kinerja irigasi yang efisien.
5 Sejak sepuluh tahun terakhir ini kinerja ketersediaan air irigasi semakin tidak kondusif untuk mendukung keberlanjutan produktivitas usahatani yang tinggi. Insiden banjir dan kekeringan semakin sering terjadi dan cakupan wilayah yang terkena semakin meluas (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1996;
Sumaryanto dan Friyatno, 1999). Menurunnya kinerja irigasi pada
umumnya terlihat dari: (1) pada musim kemarau, luas areal layanan irigasi cenderung menyusut dari tahun ke tahun, (2) pada areal yang terairi itu, ketersediaan air yang cukup di musim kemarau cenderung semakin pendek rentang waktunya, dan (3) pada musim hujan hamparan sawah layanan irigasi semakin rentan terhadap banjir. Penyebab utama menurunnya kinerja irigasi adalah: (1) memburuknya kinerja jaringan irigasi, (2) menurunnya ketersediaan air yang menjadi sumber air irigasi, dan (3) kombinasi dari keduanya. Memburuknya kinerja jaringan irigasi selain disebabkan oleh disain jaringan irigasi yang tidak tepat (Arif, 1996), juga disebabkan oleh sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang jelek, atau kombinasi dari keduanya (Osmet, 1996). Sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang tidak memadai itu antara lain disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang tersedia. Sebagaimana dinyatakan dalam Syarif (2002), meskipun sejak 1987 anggaran yang disediakan untuk kegiatan O&P mencapai $ 70 – 80 juta/tahun, namun alokasinya sebagian besar (60-85 %) habis untuk membayar gaji pegawai dan biaya administrasi. Sisanya, yakni sekitar (15-40 %) pada umumnya hanya cukup untuk membiayai perbaikanperbaikan yang bersifat mendesak agar air dapat disalurkan ke tempat yang memerlukan sehingga pemeliharaan rutin seringkali tidak dapat tercukupi. Penurunan sumber pasokan air irigasi terutama disebabkan oleh menurunnya fungsi sungai yang dicirikan oleh stabilitas debit yang semakin rendah. Hal ini terkait dengan degradasi lingkungan daerah tangkapan air (catchment area) yang ternyata sampai saat ini sulit diatasi. Di Indonesia upaya peningkatan efisiensi irigasi melalui pendekatan pasokan sudah sering dilakukan misalnya melalui sistem irigasi bergilir, sistem alir terbatas (low flow management), sistem alir-putus-alir (intermittent), dan sebagainya. Pendekatan ini masih dapat dilanjutkan dan perlu disempurnakan.
6 Meskipun demikian, mengingat bahwa: (1) air irigasi yang tersedia makin langka, (2) upaya untuk menambah ketersediaannya semakin sulit, dan (3) kompetisi penggunaan sumberdaya air antar sektor semakin tinggi, maka pendekatan tersebut tidak memadai untuk mendorong efisiensi irigasi dan atau produktivitas irigasi. Pendekatan lain yang diharapkan cukup efektif adalah melalui pengelolaan permintaan (demand management). Strategi untuk meningkatkan efisiensi irigasi melalui pendekatan pengelolaan permintaan dapat ditempuh melalui dua jalur. Jalur pertama adalah melalui maksimisasi output. Artinya, berbasis pada air irigasi yang tersedia diupayakan agar diperoleh output atau pendapatan yang maksimal. Jalur kedua adalah melalui minimisasi input. Artinya, untuk memproduksi sejumlah output tertentu atau memperoleh sejumlah keuntungan tertentu diupayakan agar kuantitas air irigasi yang digunakan diminimalkan. Jika sasaran utama efisiensi irigasi adalah untuk mendukung realokasi air ke sektor lain, maka strategi kedua yang lebih harus diterapkan. Sebaliknya jika realokasi air irigasi ke sektor lain tidak mendesak maka strategi pertama yang harus ditempuh. Mengacu pada kondisi empiris, dapat dinyatakan bahwa bagi Indonesia yang saat ini harus diprioritaskan adalah efisiensi irigasi melalui strategi maksimisasi. Instrumen untuk mendorong efisiensi irigasi dan sekaligus juga kondusif untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan operasi dan pemeliharaan irigasi dalam pendekatan pengelolaan permintaan melalui strategi maksimisasi produktivitas itu harus memenuhi kriteria: (1) sesuai dengan azas pengelolan irigasi partisipatif, dan (2) sistem kelembagaannya efisien. Salah satu instrumen yang layak dipertimbangkan adalah penerapan sistem iuran irigasi berbasis nilai produktivitas marginal sumberdaya tersebut. Dalam konteks itu ada dua aspek yang secara simultan tercakup yaitu: konsumsi air irigasi untuk usahatani dan nilai ekonomi air irigasi yang mencerminkan tingkat kelangkaannya. Pemaduan kedua aspek itu dapat ditempuh melalui penciptaan sistem iuran irigasi yang besarannya didasarkan atas perkiraan konsumsi air irigasi dan harga bayangan sumberdaya tersebut. Dengan cara itu, tercipta insentif untuk menerapkan diversifikasi usahatani ke komoditas pertanian yang lebih hemat air yang menguntungkan; terutama pada saat air irigasi semakin langka.
7 Penerapan model tersebut membutuhkan kajian melalui pendekatan normatif maupun positif. Pendekatan normatif berupa valuasi air irigasi untuk mengetahui nilai produktivitas marginal atau harga bayangan air irigasi yang selanjutnya dipergunakan untuk merumuskan sistem iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas. Dari pendekatan normatif ini juga dihasilkan pola tanam optimal, yakni pola tanam yang menghasilkan keuntungan usahatani maksimal. Prospek penerapan model tersebut sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam mendayagunakan faktor-faktor yang mempengaruhi arah perubahan menuju sosok normatif tersebut. Faktor-faktor positif (kondusif) maupun yang sifatnya negatif terhadap peluang pengembangan diversifikasi usahatani dan tingkat partisipasi petani dalam pembayaran iuran pelayanan irigasi perlu diidentifikasi. Ini dapat dikaji dengan pendekatan positif berdasarkan kondisi empiris di lapangan. Secara teoritis sistem iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas potensial untuk mendorong efisiensi irigasi. Dalam batas-batas tertentu, dengan menerapkan sistem ini maka jumlah biaya yang harus dikeluarkan petani untuk irigasi adalah proporsional dengan kuantitas air irigasi yang dipergunakan. Oleh karena itu ada insentif untuk meningkatkan efisiensi irigasi dan kondusif untuk mendorong diversifikasi usahatani. Sebaliknya, dengan berdiversifikasi ke komoditas pertanian hemat air maka biaya irigasi yang harus ditanggung petani juga menjadi lebih rendah. Jadi, ada hubungan sinergis antara sistem iuran berbasis komoditas dengan diversifikasi usahatani. Kerangka hukum (legal framework) yang dianut Indonesia menyatakan bahwa sumberdaya air dikuasai negara. Konsep pemilikan individual secara penuh tidak dibenarkan, dan karenanya sistem distribusi air irigasi melalui mekanisme pasar adalah tidak sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku. Meskipun demikian bukan berarti bahwa sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang formulasinya didasarkan atas hasil valuasi dengan mengasumsikan berlakunya mekanisme pasar tidak dapat diterapkan.
Formulasi yang dihasilkan dari
pendekatan ini difokuskan untuk memperoleh ukuran kuantitatifnya, sedangkan kelembagaan penerapannya dapat dikemas dalam bentuk kelembagaan non pasar agar sesuai dengan kerangka hukum yang dianut.
8 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk mempelajari kemungkinan penerapan sistem iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas dan pengembangan diversifikasi usahatani dalam rangka meningkatkan produktivitas air irigasi serta mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi prospek penerapan sistem iuran tersebut. Secara rinci tujuan penelitian adalah: 1.
Melakukan valuasi air irigasi dan optimasi pola tanam di lahan irigasi.
2.
Memformulasikan sistem iuran irigasi berbasis komoditas.
3.
Mengkaji prospek penerapan iuran pelayanan irigasi berbasis komoditas dengan cara tidak langsung melalui estimasi probabilitas petani untuk berdiversifikasi dan kualitas partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi.
4.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi probabilitas petani untuk berdiversifikasi dan kualitas partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi.
1.4. Signifikansi Penelitian Di Indonesia, meningkatnya kelangkaan air irigasi dan implikasinya terhadap sistem pengelolaan irigasi belum memperoleh perhatian yang memadai. Selama ini, sebagian besar penelitian empiris yang telah dilakukan pada umumnya terfokus pada aspek kelembagaan ataupun keteknikan dan orientasinya berkisar pada perbaikan sistem pengelolaan irigasi berbasis pasokan. Penelitian empiris di bidang sosial ekonomi tentang peningkatan efisiensi irigasi dengan pendekatan permintaan seperti yang dilakukan dalam penelitian ini masih sangat langka. Dalam penelitian ini, valuasi air irigasi menggunakan salah satu varian dari Residual Imputation Approach (RIA) yakni Change in Net Income (CINI) dengan pemrograman matematis. Variasi spatial dan terutama distribusi temporal ketersediaan dan kebutuhan air irigasi sangat diperhitungkan dalam elaborasi model. Dengan demikian variasi spatial dan sebaran temporal harga bayangan air irigasi beserta implikasinya terhadap iuran irigasi berbasis komoditas dapat diketahui. Selanjutnya, dengan pendekatan positif dilakukan pula analisis faktorfaktor yang diduga mempengaruhi prospek implementasi sistem iuran tersebut.
9 1.5. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian merupakan implikasi pendekatan yang digunakan dan sejumlah penyederhanaan yang secara langsung maupun tidak langsung sangat terkait dengan ketersediaan data. Keterbatasan yang dimaksud adalah: 1. Keterbatasan yang terkait dengan implikasi dari pendekatan yang digunakan untuk valuasi air irigasi dengan pemrograman linier dimana harga-harga masukan maupun harga keluaran usahatani diperlakukan sebagai variabel eksogen. Secara teoritis, model non linier dengan memperlakukan harga-harga tersebut sebagai variabel endogen mungkin lebih sesuai dengan dunia empiris. 2. Keterbatasan yang muncul sebagai implikasi dari pendekatan normatif dan bersifat deterministik sehingga pengaruh acak dari kesalahan pengukuran ataupun galat yang sifatnya stokastik tidak dapat dikaji dengan baik. 3. Keterbatasan yang terkait dengan penyederhanaan tujuan petani. Pemodelan didasarkan atas asumsi bahwa tujuan petani adalah tunggal yaitu memaksimumkan keuntungan usahatani; padahal sangat mungkin tujuan petani dalam berusahatani adalah bersifat jamak. 4. Keterbatasan yang terkait dengan ruang lingkup dalam pemodelan dimana faktor yang diperhitungkan mempengaruhi ketersediaan dan permintaan air irigasi hanya curah hujan. Pengaruh alokasi air untuk pemenuhan kebutuhan lain (industri, kebutuhan rumah tangga, dan sebagainya) tidak diperhitungkan. 5. Keterbatasan yang terkait dengan disagregasi kebutuhan maupun ketersediaan air irigasi yaitu: (1) disagregasi spatial disederhanakan hanya menjadi tiga sub wilayah irigasi, dan (2) disagregasi temporal adalah bulanan. Secara teoritis, hasil estimasi akan lebih akurat jika tingkat disagregasi lebih rinci. 6. Keterbatasan yang terkait dengan agregasi komoditas. Basis pengagregasian komoditas difokuskan pada keserupaan komoditas dalam konteks kebutuhan tanaman terhadap air irigasi. Implikasinya, mungkin ada sifat-sifat khusus lainnya yang secara teoritis terabaikan. 7. Keterbatasan yang terkait dengan cakupan komoditas. Dalam penelitian ini, komoditas ternak dan ikan tidak tercakup.
10 1.6. Kegunaan Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan positif. Dari pendekatan normatif akan dihasilkan tiga informasi penting yaitu: harga bayangan air irigasi, iuran irigasi berbasis komoditas, dan pola tanam optimal. Dari pendekatan positif akan diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani dalam diversifikasi dan pembayaran iuran irigasi. Harga bayangan air irigasi bukan hanya berguna untuk menentukan besaran dari iuran irigasi berbasis komoditas. Dalam konteks yang lebih luas, pengetahuan tentang nilai (kelangkaan) ekonomi air irigasi sangat dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Bagi pemerintah, dapat dimanfaatkan dalam merumuskan kebijaksanaan pengelolaan irigasi khususnya maupun sumberdaya air pada umumnya. Bagi petani ataupun masyarakat pada umumnya, pengetahuan tentang nilai kelangkaan air irigasi dapat meningkatkan apresiasi terhadap
sumberdaya ini sehingga kondusif untuk mewujudkan sistem
pemanfaatan yang sesuai dengan azas-azas efisiensi dan kelestarian. Selain kondusif untuk meningkatkan produktivitas air irigasi, penerapan iuran irigasi berbasis komoditas juga sangat potensial untuk meningkatkan kemampuan Organisasi Petani Pemakai Air (P3A) dalam membiayai operasi dan pengelolaan irigasi. Oleh karena itu sesuai untuk menjawab tantangan yang dihadapi P3A dalam era pembaharuan pengelolaan irigasi. Sesuai dengan makna yang terkandung dalam konsep pola tanam, informasi tentang pola tanam optimal menyajikan sosok normatif tentang komoditas pertanian apa, kapan, seberapa banyak, dan dimana sebaiknya diusahakan. Selain itu, pola tanam optimal juga bermanfaat sebagai acuan dalam evaluasi kondisi aktual sehingga arah perbaikan menjadi lebih jelas. Hasil identifikasi faktor-faktor yang kondusif untuk partisipasi petani dalam diversifikasi dan pembayaran iuran irigasi dapat dimanfaatkan untuk merumuskan strategi penerapan iuran berbasis komoditas. Dalam konteks yang lebih luas, informasi tersebut berguna dalam perumusan program pengembangan diversifikasi usahatani dan atau peningkatan produktivitas air irigasi.
11 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Implikasi Terhadap Kebijakan Pengelolaan Air untuk Pertanian Perubahan paradigma pendayagunaan sumberdaya air merupakan salah satu topik yang secara langsung maupun tidak langsung mempunyai implikasi yang sangat serius terhadap strategi pembangunan pertanian, khususnya sub sektor pangan. Hal ini disebabkan: (1) sektor pertanian merupakan pengguna terbesar sumberdaya air, dan (2) pengembangan sumberdaya air untuk pertanian merupakan determinan dari keberhasilan pengembangan produksi pangan. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa keberhasilan sebagian besar negaranegara berkembang dalam memacu pasokan pangan bagi penduduknya ditentukan oleh ekskalasi pendayagunaan sumberdaya air, khususnya pengembangan irigasi yang terjadi sejak revolusi hijau mendunia (Rosegrant and Svendsen, 1993; World Bank, 1982; Gleick, 1998; Gleick, 2000; Johansson, 2000). Latar belakang perubahan paradigma terkait dengan upaya menghindari skenario buruk dari arah perkembangan yang mungkin terjadi apabila kecenderungan permintaan dan ketersediaan air tetap seperti sekarang ini (business as usual). Rosegrant and Hazell (2000) menyatakan bahwa tanpa adanya perubahan yang nyata dalam pengelolaan irigasi, penyediaan pangan di negaranegara berkembang akan sangat rawan karena pasokan air untuk pertanian akan terus berkurang. Hal itu juga terkait dengan fakta bahwa sampai saat ini kemampuan memitigasi anomali perilaku iklim masih belum handal sehingga banjir dan kekeringan masih merupakan salah satu ancaman paling nyata terhadap usahatani (Bouman, 2003; Katumi et al, 2002; Molden, 2002). 2.1.1. Ketersediaan Sumbedaya Air: Kondisi Sekarang dan Kecenderungannya Diperkirakan bahwa ketersediaan air tawar terbarukan (renewable fresh water - RFW) di bumi ini adalah sekitar 47000 Km3/tahun. Dari jumlah itu, sekitar 41000 Km3 diantaranya potensial untuk dieksploitasi/didayagunakan. Kebutuhan manusia saat ini berkisar antara 38 – 64 % dari jumlah potensial tersebut (Gleick, 1998). Walaupun dalam jangka panjang berbagai kemajuan
12 teknologi memungkinkan peningkatan persentase air yang dapat diekstraksi, diperkirakan bahwa RFW yang tersedia secara relatif tidak akan mengalami perubahan yang sangat besar. Sementara itu populasi dunia yang pada tahun 1998 adalah sekitar 5.93 milyar, diproyeksikan pada tahun 2025 akan mencapai 8.039 milyar dan pada tahun 2050 akan mencapai 9.367 milyar jiwa (World Resources Institute, 1998). Berdasarkan angka-angka itu diperkirakan air tawar yang tersedia pada tahun 1998, 2025 dan 2050 adalah sekitar 6 918, 5 103 dan 4 380 m3 per orang per tahun; yang berarti pasokan air per kapita akan semakin berkurang. Rata-rata kebutuhan minimum air tawar di negara maju adalah sekitar 1000 m3/tahun. Dengan teknologi dan manajemen yang sangat canggih (seperti di Israel misalnya), bagi negara-negara di wilayah semi-arid kebutuhan itu dapat ditekan menjadi 500 m3/kapita/tahun (Gleick, 1998). Angka 500 m3/kapita/tahun merupakan standard minimal untuk kehidupan (Seckler et al, 1998). Sejak 30 tahun terakhir ini, perilaku iklim global cenderung berubah. Hal itu berimplikasi pula terhadap ketersediaan air tawar per kapita. Pola sebaran curah hujan antar tempat dan waktu mengalami perubahan-perubahan yang besar. Insiden banjir akibat curah hujan yang ekstrim tinggi terjadi di beberapa wilayah permukaan bumi, sementara itu di sisi lain curah hujan yang sangat sedikit dan musim kering yang berkepanjangan semakin banyak terjadi di berbagai tempat. Meskipun berbagai kemajuan teknologi telah dicapai, ternyata masih belum memadai untuk secara tepat memprediksi perilaku iklim dalam suatu periode yang cukup untuk melakukan berbagai tindakan mitigasi yang baik. Diduga perubahan perilaku iklim itu disebabkan oleh peningkatan suhu global yang terkait dengan fenomena efek rumah kaca (greenhouse gases) akibat meningkatnya konsentrasi CO2, gas Methane, Nitrous Oxide, dan CFC-11. Beberapa pakar menyatakan bahwa meningkatnya frekuensi dan durasi El Nino berkaitan dengan meningkatnya suhu global (Trenberth and Hoar, 1996). Pada sektor pertanian, El Nino berdampak negatif karena mengacaukan proses dan siklus produksi pertanian. Secara umum anomali perilaku iklim cenderung berdampak negatif terhadap semua aspek kehidupan karena kemampuan untuk mengantisipasi dan memitigasi anomali tersebut pada umumnya kurang memadai.
13 Distribusi air tawar antar tempat dan antar waktu sangat bervariasi sehingga sebaran manfaat yang dirasakan oleh setiap komunitas juga bervariasi antar tempat dan waktu. Pada tahun 1994, 26 negara mengalami kekurangan pasokan untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduk di wilayahnya. Persoalan itu di beberapa negara, terutama di Afrika dan Timur Tengah menjadi semakin kompleks karena dibarengi pula oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi (Gleick, 1998; Postel, 1994). Meskipun secara agregat ketersediaan air tawar per kapita di Benua Asia di masa mendatang masih melimpah (tahun 2025 diperkirakan masih mencapai 2400 m3/kapita), tetapi di sejumlah negara atau wilayah di benua ini diprediksikan akan mengalami kekurangan air tawar yang serius. Sebagai ilustrasi, pada 2050 ketersediaan air tawar di India adalah sekitar 1207 m3/kapita/tahun; bahkan di Negara Bagian Tamil Nadu diperkirakan hanya sekitar 490 m3/kapita/tahun yang berarti di bawah ambang batas minimum (Seckler et al, 1998). Di Indonesia, berkurangnya ketersediaan air tawar juga semakin nyata. Kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan untuk pertanian seperti di Nusa Tenggara Timur dan beberapa kabupaten di bagian selatan Pulau Jawa sering terjadi. Di beberapa wilayah pedesaan, kegagalan panen akibat kekeringan semakin sering terjadi dan dalam lima belas tahun terakhir kekurangan air irigasi di musim kemarau cenderung semakin dini (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1996). Meluasnya areal irigasi yang keandalan pasokannya menurun juga tampak dari ekskalasi kekeringan akibat pengaruh El Nino, seperti pada kejadian tahun 1997 yang menyebabkan produksi padi anjlok. Prediksi Soenarno dan Syarif (1994) menunjukkan bahwa secara agregat air yang tersedia pada tahun 1995 diperkirakan masih lebih tinggi dari pada kebutuhan (122 697 versus 63 720 juta m3/tahun). Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut ternyata ada 3 tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah mengalami defisit (kebutuhan lebih tinggi dari ketersediaan) yaitu di DAS Cisadane-Ciliwung (3 406 vs 4 471 juta m3/tahun), DAS Citarum Hilir (6 619 vs 7 670 juta m3/tahun), dan DAS Brantas Hilir (4 637 vs 4 788 juta m3/tahun). Kajian tersebut juga membuat pemilahan DAS utama di Jawa berdasarkan tingkat kekritisan sumber
14 air menjadi 5 kategori: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan aman. Diperoleh kesimpulan bahwa dari seluruh (28) DAS utama di Pulau Jawa ternyata 3 DAS termasuk kategori sangat tinggi, 8 termasuk kategori tinggi, 3 termasuk kategori sedang, 7 termasuk rendah dan hanya 3 yang masih termasuk kategori aman. Jumlah DAS kritis di Indonesia meningkat terus dari tahun ke tahun. Ciri utama DAS kritis adalah kadar sedimen tinggi, perbedaan debit maksimum – minimum sangat tinggi, waktu untuk mencapai permulaan puncak banjir maupun surut kembali sangat cepat. Pada tahun 1985, dari 85 DAS yang diamati terdapat 22 DAS kritis. Tahun 1990, meningkat menjadi 35 DAS yang kritis dan pada tahun 1995 meningkat lagi menjadi 60 DAS yang kritis bahkan 20 diantaranya terkategorikan sangat kritis. DAS-DAS tersebut terutama berada di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Proses degradasi terus berlanjut, bahkan makin parah sejak terjadinya krisis ekonomi. Menurut data dari Departemen Kehutanan, pada tahun 2005 terdapat 76 DAS yang kondisinya sangat kritis. Dari jumlah itu, 16 DAS terdapat di P. Jawa dan 60 DAS di luar P. Jawa. Rincian menurut wilayah adalah di Jawa Barat (6), Jawa Tengah (3), Daerah Istimewa Yogyakarta (1), Jawa Timur (6), Sumatera (16), Sulawesi (12), Nusa Tenggara Barat dan Bali (1), Nusa Tenggara Timur (5), Kalimantan (4), Maluku (2), dan Papua (4). Degradasi sumberdaya air tidak hanya teramati dari menurunnya fungsi sungai, tetapi juga menyangkut kondisi air tanah (groundwater). Di beberapa lokasi yang intensitas penggunaan pompa irigasinya sangat padat (Nganjuk, Jombang, Kediri), derajat interferensi sumur pompa dengan sumur penduduk semakin meningkat. Di perkotaan, debit dan mutu air sumur penduduk semakin menurun. Di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, sebagaimana sering diberitakan di berbagai media massa, lebih dari 80 % sumur penduduk telah tercermar bakteri E. Colli. Di Bandung, seretnya aliran air PDAM di musim kemarau dan semakin dalamnya permukaan air sumur sudah sejak lama diketahui. Di Kalimantan, pada Musim Kemarau di beberapa kawasan Sungai Barito dan Sungai Sampit semakin sering dijumpai adanya beberapa perahu yang kandas karena susut volume air sungai melampui ambang batas normal. Kesemuanya itu menunjukkan bukti-bukti bahwa ketersediaan sumberdaya air semakin langka.
15 2.1.2. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air Air adalah unsur pendukung utama dasar kehidupan. Eksistensi makhluk hidup tergantung pada sumberdaya ini sehingga peranannya sangat strategis. Secara historis, ketersediaan sumberdaya air merupakan salah satu determinan pertumbuhan ekonomi dan wilayah. Dalam konteks ini, peranan sungai sangat besar. Ketika eksploitasi sumberdaya alam belum intensif, sungai merupakan pemasok kebutuhan air paling dominan. Di masa lampau, ketika kondisi debit air sungai masih normal, cukup banyak sungai yang berfungsi pula sebagai jalur transportasi yang murah. Oleh sebab itu secara historis lokasi-lokasi pusat pertumbuhan ekonomi ataupun pusat-pusat peradaban di masa lampau seringkali berada di dekat sungai. Di era modern, meskipun konstelasi nilai dalam pembangunan peradaban mengalami perubahan, sumberdaya air masih tetap berperan besar sebagai determinan keberhasilan pembangunan ekonomi. Banyak contoh menunjukkan bahwa keberhasilan sebagian besar negara agraris menghindarkan diri dari ekskalasi kelaparan ditentukan oleh keberhasilan investasi dalam pengembangan sumberdaya air (irigasi). Peran strategis sumberdaya air tampak pula dari keterkaitannya yang sangat erat dalam kancah konflik. Secara historis, perebutan sumberdaya air sering menjadi obyek pemicu konflik. Sebaliknya, dalam rangka melumpuhkan lawan, (prasarana) sumberdaya air sering dijadikan sasaran penghancuran. Beberapa kasus menonjol dapat disimak misalnya dalam Gleick (1998) sebagai berikut. Dalam penggal waktu antara 3000 SM – 323 SM tercatat ada 15 peristiwa konflik antar negara ataupun antar komunitas yang melibatkan kekuatan militer. Kemudian sejak abad XV – sekarang tercatat ada 37 peristiwa konflik. Dari jumlah itu terdapat 28 peristiwa konflik yang melibatkan kekuatan militer baik dalam bentuk perang (23 kasus) maupun sekedar manuver ancaman (5 kasus). Berpijak dari fenomena tersebut, masuk akal jika pengelolaan sumberdaya air menjadi salah satu agenda yang penting dalam mendukung perdamaian dunia, karena di dunia ini terdapat ratusan daerah aliran sungai yang bersifat lintas negara (international river basin – IRB) dari yang hanya melibatkan dua atau tiga negara sampai yang melibatkan lebih dari 10 negara. Pada saat ini tercatat ada 261
16 IRB (Wolf et al, 1999 dalam Gleick, 2000). Jumlah IRB terbanyak adalah di Benua Afrika. Dari keseluruhan IRB, terdapat 19 IRB dimana jumlah negara pemanfaatnya lebih dari 5 negara per IRB tersebut. Sebagai ilustrasi, di Benua Asia terdapat 5 IRB dengan karakteristik seperti itu yakni: Tarim yang cakupan wilayahnya meliputi suatu kawasan sangat luas yang otoritasnya berada di 7 negara yang berbeda (China, Kyrgizstan, Pakistan, Tajikistan, Kazakhstan, Afganistan, dan India); Ganges/Brahmaputra/Meghna yang mencakup wilayah yang termasuk dalam 6 negara (India, China, Nepal, Bangladesh, Buthan, dan Myanmar); Jordan (Jordania, Israel, Syria, West Bank, Lebanon, dan Mesir); Tigris-Euphrat/Shatt al Arab (Irak, Turki, Iran, Syria, Jordan, dan Saudi Arabia); Mekong (Laos, Thailand, China, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar). Paradigma yang berkembang pada masa yang lampau, yakni ketika kelangkaan dan degradasi sumberdaya air belum menampakkan sosoknya; adalah bagaimana mengembangkan rekayasa teknik-sosial-budaya
dalam
rangka
mengeksploitasi sumberdaya air sedemikian rupa sehingga kebutuhan terpenuhi. Muatan dimensi lingkungan dalam strategi investasi pengembangan sumberdaya air sangat kurang, dan pendekatannya seringkali mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. Fokus sasaran pengembangan adalah bagaimana memaksimalkan keuntungan ekonomi secara agregat dan cenderung bersifat jangka pendek. Strategi pendayagunaan sumberdaya air yang tercipta dari paradigma seperti itu termanifestasikan
secara
jelas
dalam
perencanaan,
pengoperasian
dan
pemeliharaan dam-dam raksasa dan sistem irigasi skala besar yang menjadi trend di hampir semua negara berkembang bersamaan dengan berlangsungnya revolusi hijau. Secara ringkas, paradigma tersebut mendorong pengembangan sumberdaya air berbasis pengelolaan pasokan (supply management) Secara empiris, pendekatan pengelolaan pasokan tersebut berhasil mendorong pertumbuhan produksi pangan secara dramatis sehingga dalam waktu yang relatif pendek beberapa negara berhasil mencapai swasembada pangan. Akan tetapi setelah 2 – 4 dasawarsa kemudian, beberapa dampak negatif mulai muncul. Secara teknis pengembangan dam-dam besar dan sistem irigasi skala besar mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat besar dalam
arsitektur
hamparan (landscape), perubahan drastis dalam habitat alami, dan dalam kasus-
17 kasus tertentu terjadi pemindahan komunitas setempat secara paksa. Di sisi yang lain, keberhasilan peningkatan produksi pangan yang terfokus pada jenis-jenis komoditas pangan tertentu (terutama beras) mendorong pula terjadinya perubahan menu konsumsi masyarakat yang berujung pada meningkatnya ketergantungan yang terlampau tinggi pada komoditas tertentu dan kurang terdiversifikasi. Pada akhirnya yang terjadi – terutama di negara berkembang – adalah perlombaan antara laju pertumbuhan kebutuhan pangan dan laju pertumbuhan pasokan; dimana laju pertumbuhan pasokan semakin melambat seiring dengan degradasi fungsi dam-dam tersebut sebagai akibat dari terabaikannya prinsip-prinsip pelestarian. Di beberapa negara berkembang di wilayah arid dan semi-arid damdam raksasa dan sistem-sistem irigasi skala besar itu fungsinya semakin tidak memadai; dan karenanya manfaat investasi tidak sesuai harapan semula (Postel 1992 dalam Gleick, 1998). Di masa mendatang pengembangan sistem irigasi besar dengan dukungan dam-dam raksasa semakin tidak populer. Alasannya adalah investasi yang dibutuhkan sangat besar, sementara itu berbagai keberatan yang berkaitan dengan efektivitas pembiayaannya, masalah lingkungan, dan gejolak sosial yang timbul akibat pemindahan komunitas lokal tampaknya terlampau kuat untuk dipatahkan oleh argumen yang berpijak pada manfaat ekonomi yang diharapkan dapat dipetik. Dengan kata lain, semakin sulit untuk memperoleh bantuan pinjaman dari lembaga donor internasional apabila suatu negara mengembangkan investasi di bidang sumberdaya air dengan orientasi seperti masa lampau yang umumnya kurang mengedepankan aspek pelestarian lingkungan dan prinsip demokrasi. Dalam berbagai forum seminar internasional, sederetan dampak negatif tersebut semakin banyak didiskusikan bersamaan dengan meluasnya wacana tentang hak-hak asasi manusia, demokratisasi dan perlunya pelestarian lingkungan di tengah situasi liberalisasi perdagangan. Hasil-hasil diskusi kemudian ditindak lanjuti dengan berbagai studi empiris di berbagai negara yang dibiayai oleh lembaga-lembaga dana internasional. Rekomendasi yang dihasilkan dari berbagai studi tersebut adalah perlunya mengubah paradigma pendayagunaan sumberdaya air. Maka sejak paruh kedua dasawarsa 90-an era baru dalam pendayagunaan sumberdaya air semakin menampakkan sosoknya.
18 Pada prinsipnya, paradigma baru dalam pendayagunaan sumberdaya air adalah bagaimana mendayagunakan sumberdaya tersebut secara bijaksana dengan cara mengedepankan prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya alam, hak-hak asasi manusia, demokrasi, dan efisiensi sedemikian rupa sehingga kemakmuran dan keadilan yang tercipta dapat dinikmati oleh semua; untuk generasi sekarang dan generasi mendatang. Dalam paradigma baru, kuatnya komitmen untuk mengimplementasikan prinsip hak-hak asasi manusia dilandasi pertimbangan bahwa air merupakan unsur utama pendukung kehidupan sehingga akses tiap individu terhadap air harus dapat dijamin. Komitmen tersebut semakin relevan pula untuk mengkondisikan perdamaian mengingat secara empiris di dunia ini terdapat ratusan IRB. Penegasan prinsip demokrasi dan pelestarian sumberdaya alam merupakan konsekuensi logis dari sistem pengelolan sumberdaya alam yang berkelanjutan, sedangkan efisiensi merupakan jawaban terhadap meningkatnya kelangkaan. Upaya-upaya
memasyarakatkan
paradigma
baru
tersebut
kepada
masyarakat global tidak dapat dipisahkan dari suatu deklarasi yang disebut "Dublin Principle". Pada Bulan Januari 1992, sekitar 500 wakil dari 100 negara, 80 LSM internasional dan berbagai organisasi non pemerintah lainnya bertemu di Dublin, Irlandia dalam rangka persiapan Earth Summit di Rio de Janeiro, Bulan Juni 1992. Pada waktu itu dirumuskan empat pedoman yang terkenal dengan nama "Dublin Principle" yakni: (1) Fresh water is a finite and vulnerable resource, essential to sustain life, development and environtment, (2) Water development and management should be based on a participatory approach, involving users, planners and policy-makers at all levels, (3) Women play a central part in the provision, management and safeguarding of water, and (4) Water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic goods. Pada Bulan Agustus 1996 setelah melalui proses panjang sejak beberapa tahun sebelumnya, 9 lembaga internasional sepakat membentuk The World Water Council (WWC). Kesembilan lembaga internasional tersebut adalah: International Water Resources Association (IWRA), International Commision on Irrigation and Drainage (ICID), Canadian International Development Agency (CIDA), The
19 World Bank (WB), International Association on Water Quality (IAWQ), International Water Supply Association (IWSA), United Nations Development Programme (UNDP), The World Conservation Union (WCU), dan The Water Supply and Sanitation Collaborative Council (WSSCC). Markas besar WWC adalah di Marseilles, Perancis. Lembaga ini dirancang untuk berfungsi sebagai "the world's water-policy thinktank". Salah satu keluaran yang telah dihasilkan forum pertemuan WWC adalah "Vision for Water, Life, and the Environtment" yang sasarannya adalah untuk melakukan analisis dan pengintegrasian berbagai aktivitas terkait yang mempengaruhi kehidupan manusia dan ekosistemnya dan dimaksudkan untuk opsi-opsi kebijakan yang berkenaan dengan pemantapan ketahanan pangan melalui aquakultur, lahan kering, dan pertanian beririgasi, penyediaan pasokan air dan jasa sanitasi, pengelolaan sumberdaya air untuk fungsi-fungsi ekonomi termasuk produksi listrik, dan proteksi lingkungan termasuk kawasan pantai dan lahan basah. Sebenarnya, lahirnya Dublin Principle terkait pula dengan berbagai konferensi tentang perlunya memperlakukan air sebagai barang ekonomi yang sejak awal 90-an cukup banyak dibahas para pakar ekonomi sumberdaya di berbagai forum internasional. Sebagai ilustrasi adalah sebagai berikut. Second World Water Forum (SWWF 2000) menekankan bahwa analisis tentang nilai air sangat penting sebagai salah satu acuan dalam alokasi air antar pengguna yang berkompetisi. Konferensi internasional tentang air dan lingkungan (International Conference on Water and the Environment – ICWE) di Dublin pada Bulan Januari 1992 mengemukakan bahwa sangat rendahnya kesadaran tentang nilai air merupakan salah satu sebab terjadinya kerusakan pendayagunaan sumberdaya dan lingkungan (ICWE, 1992). Terkait dengan itu The United Nations Conference on Environment and Development pada Bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro juga menggaris bawahi bahwa peranan air sebagai suatu sumberdaya ekonomi dan sosial seharusnya tercermin dari mekanisme pengelolaan kebutuhan akan sumberdaya tersebut. Lembaga internasional lain seperti World Bank (1993) maupun FAO (1994) juga menekankan pentingnya perubahan strategi pendayagunaan sumberdaya air yang lebih menekankan pada peningkatan efisiensi penggunaan dalam kerangka pembangunan yang lebih ramah lingkungan.
20 2.1.3. Implikasi Terhadap Sistem Pengelolaan Irigasi Dalam lingkup global, hasil kajian Shiklomanov (1998) menyebutkan bahwa pada tahun 1995 dari total penyadapan (withdrawal) sebesar 3765 Km3/tahun, sekitar 66 % diantaranya adalah untuk sektor pertanian. Jika ditinjau dari sisi penggunaannya (consumptive use), maka dari total penggunaan sekitar 2329 Km3/tahun, 86 % diantaranya adalah untuk sektor pertanian1. Laju pertumbuhan kebutuhan sektor non pertanian yang lebih tinggi dari sektor pertanian (terutama untuk kebutuhan rumah tangga memperoleh prioritas utama) dalam 25 tahun menyebabkan pangsa sektor pertanian memang mengalami sedikit penurunan. Meskipun demikian, Shiklomanov memprediksi bahwa penyadapan dan penggunaan sektor pertanian masih akan mencapai 60 – 83 %. Estimasi Seckler et al (1998) menyebutkan bahwa pada tahun 1990 penggunaan air oleh sektor pertanian adalah sekitar 2084 Km3/tahun dan akan mencapai 3376 Km3/tahun; tetapi jika dapat dilakukan peningkatan efisiensi irigasi secara signifikan maka dapat ditekan menjadi 2432 Km3/tahun. Terdapat dua sumber air yang lazim dimanfaatkan untuk irigasi yaitu air permukaan dan air tanah. Air permukaan yang digunakan untuk irigasi berasal dari air limpasan curah hujan yang selanjutnya mengalir di sungai atau tersimpan dalam cekungan permukaan bumi seperti danau ataupun situ-situ. Air tanah terdiri dari dua kategori yakni yang berada di dalam celah bebatuan di bawah tanah (subsurface water) maupun dalam celah bebatuan yang sepenuhnya jenuh air (groundwater) (Hardjoamidjojo, 1999). Untuk memperoleh pasokan air irigasi dari air permukaan itu dilakukan pengumpulan dan penyimpanan (reservoir) dengan cara membangun waduk, atau dengan cara membendung sungai. Penyadapan air tanah untuk irigasi dilakukan dengan pemompaan. Lazimnya distribusi air irigasi (baik irigasi permukaan maupun air tanah) ke lahan pertanian memanfaatkan daya gravitasi melalui saluran air terbuka ataupun saluran tertutup.
1
Ada tiga istilah penting dalam konteks penggunaan air: water use, withdrawal, dan consumption use. Interpretasinya (Gleick, 1998) sebagai berikut. Water use merupakan istilah umum untuk penggunaan air, jadi dapat berupa withdrawal, gross water use, ataupun consumptive use. Withdrawal mengacu pada kegiatan penyadapan air dari suatu sumber untuk disimpan ataupun digunakan. Consumption use mengacu pada penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan untuk berlangsungnya suatu proses atau kegiatan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan kembali (reuse) dari (sebagian) air tersebut tidak dapat terjadi dengan segera.
21 Meskipun hasil estimasi para pakar bervariasi, tetapi ada 2 kesimpulan umum yang konvergen (Seckler et al, 1998; Shiklomanov, 1998). Pertama, penggunaan air masih belum efisien dan lebih rendah dari rata-rata agregat. Kedua, sektor pertanian merupakan pengguna air terbesar (50 – 90 %) dan diperkirakan masih akan tetap dominan sampai seperempat abad ke depan. Para pakar dari International Water Management Institute (IWMI) mengemukakan bahwa salah satu strategi yang efektif untuk meningkatkan efisiensi irigasi agar produksi pangan dapat ditingkatkan meskipun sumberdaya air semakin langka adalah dengan cara meningkatkan produktivitas air irigasi (Molden 1997; Molden et al, 2001; Barker and Kijne 2001). Gerakan "more crop per drop" yang dicanangkan oleh International Water Management Institute (IWMI) merupakan salah satu bentuk sosialisasi pendekatan tersebut di atas. Selain itu, diperlukan pula tindakan-tindakan yang ditujukan untuk menghemat air yang tersedia misalnya dengan cara recycling, perbaikan kehandalan pasokan (reliability in supplies), irigasi tepat jumlah dan tepat waktu (precision on irrigation), aplikasi irigasi berbiaya murah di lahan tadah hujan (low-cost precision irrigation technologies for rain-fed areas), serta adanya dukungan kebijaksanaan, institusi dan sistem insentif untuk efisiensi irigasi (International Water Management Institute – IWMI, 2000). Selain instrumen kebijakan yang ditujukan untuk mendorong pelaku pengguna air irigasi berupaya meningkatkan efisiensi irigasi, upaya mewujudkan peningkatan produktivitas air irigasi membutuhkan pula perbaikan teknologi di bidang agronomi maupun pengelolaan irigasi. Di bidang agronomi, langkahlangkah yang perlu ditempuh antara lain adalah: (1) perbaikan varietas tanaman, terutama penciptaan dan penerapan varietas genjah unggul berdaya hasil tinggi, (2) perbaikan pola tanam, dengan cara mengutamakan komoditas tanaman pangan hemat air, dan (3) perbaikan teknik budidaya yang mencakup perbaiki pengolahan tanah,
pemupukan,
serta
pemberantasan
gulma
dengan
teknik
yang
memungkinkan konsumsi air lebih rendah. Di bidang pengelolaan air, langkahlangkah yang diperlukan adalah: (1) irigasi tepat waktu, (2) teknik irigasi yang efisien, misalnya dengan cara mengurangi praktek irigasi alir (flow irigation) atau dengan cara mengembangkan furrow irrigation, sprinkkler irrigation, maupun
22 drip irrigation jika layak, dan (3) realokasi air ke komoditi pertanian yang bernilai ekonomi bernilai tinggi. Kini pakar-pakar internasional di bidang pangan dan irigasi semakin tertarik melakukan pengkajian tentang prospek pemanfaatan jenis-jenis tanaman yang hemat air sebagai sumber pangan masa depan. Dalam konteks demikian itu, usahatani padi konvensional cenderung menjadi inferior karena dengan teknologi yang selama ini diaplikasikan, termasuk kategori boros air. Beberapa hasil penelitian, misalnya Pimental et al. (1997) dan Tuong and Bhuiyan (1994) menyebutkan bahwa untuk menghasilkan 1 Kg padi, dibutuhkan air 1900 – 5000 liter. Angka itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan kebutuhan air untuk kentang, gandum, dan jagung yang masing-masing hanya berkisar pada 500 – 1500, 900 – 2000, dan 1000 – 1800 liter. Salah satu implikasi pokok perubahan paradigma pendayagunaan sumberdaya
adalah
perlunya
penyesuaian
kebijaksanaan
dan
strategi
pengembangan atau pengelolaan sumberdaya tersebut. Ini membutuhkan sejumlah pembaharuan yang seringkali bersifat sangat mendasar karena menyentuh langsung pilar-pilar pokok kerangka hukum (legal framework) yang selama ini dianut oleh suatu negara. Oleh karena itu proses penyesuaian/pembaharuan tersebut tidak mudah dilakukan. Sejumlah resistensi muncul karena khawatir pembaharuan – yang secara empiris memang disponsori oleh lembaga-lembaga internasional dan para pakar dari negara penganut paham liberal/kapitalis – itu pada akhirnya bermuara pada kepentingan kaum kapitalis. Di Indonesia proses pembahasan pembaharuan kerangka hukum pengelolaan sumberdaya air
juga telah dirintis sejak awal dasawarsa 90-an.
Sampai tahun 1997 pembahasan konsep pembaharuan tersebut tidak mengalami kemajuan yang berarti, tetapi sejak tahun 1998 – seiring dengan reformasi politik dan ekonomi yang terjadi sejak krisis ekonomi melanda negeri ini – pembahasan dan perumusan konsep pembaharuan tersebut mengalami kemajuan nyata. Dengan adanya INPRES No. 3/1999, secara formal pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi dicanangkan; yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 77/2001. Selanjutnya diterbitkan Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 529
23 tahun 2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi (PPI) kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayan P3A. Air adalah sumberdaya publik yang sangat vital. Oleh karena itu arah kebijakan di bidang irigasi khususnya maupun sumberdaya air pada umumnya sangat dipengaruhi oleh arah perkembangan sosial politik. Sebagai contoh, hal ini tampak misalnya dari perbedaan yang terjadi antara strategi dan kebijakan keirigasian dari PP 77/2001 dengan arah dan strategi kebijakan yang dapat dirumuskan jika mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2004. Pada PP 77/2001, orientasi untuk mengurangi peranan pemerintah dan meningkatkan kemandirian organisasi petani dalam pengelolaan irigasi lebih jelas dan terarah. Sementara itu, dari UU Nomor 7 Tahun 2004 tersirat bahwa semangat untuk memandirikan petani justru mengendur dan di sisi lain dominasi peranan pemerintah meningkat. Diduga, hal ini merupakan akibat dari kecenderungan untuk menciptakan kebijakan yang populis yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan dinamika politik terjadi sejak era reformasi terjadi di negeri ini. Jika dikaitkan dengan esensi pokok dari sistem pengelolaan irigasi yang berazaskan efisiensi, pemerataan, keberlanjutan dan kemandirian maka orientasi kebijakan sebagaimana tersirat dalam PP 77/2001 tampaknya lebih sesuai. Berdasarkan justifikasi itu, tinjauan terhadap UU No. 7 Tahun 2004 berikut implikasinya terhadap kebijakan di bidang keirigasian tidak dibahas lebih lanjut. Selain itu, adalah fakta bahwa sampai saat ini proses perumusan kebijakan yang merupakan tindak lanjut UU tersebut belum selesai. Secara umum dapat dikatakan adanya perubahan mendasar pada PP 77/2001 jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yakni PP 23/1982, terutama yang berkenaan dengan tujuan dan sasaran pengelolaan irigasi yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan pendapatan petani (pasal 2 dan pasal 6 ayat 2). Pasal-pasal ini juga menunjukkan bahwa orientasi pengelolaan irigasi tidak lagi untuk mendukung swasembada beras semata, tetapi sudah mengantisipasi munculnya diversifikasi tanaman seperti juga ditekankan dalam penjelasan umum PP 77/2001.
24 Jika pembaharuan kebijakan pengelolaan irigasi sebagaimana yang dimaksud dalam PP 77/2001 terwujud maka karakteristik irigasi akan berubah dari irigasi protektif ke arah irigasi produktif. Perbedaan karakteristik antara irigasi protektif dengan irigasi produktif adalah sebagai berikut (Wolter and Burt, 1987):
Unsur pembeda
Tipe pengelolaan sistem irigasi Irigasi protektif
Irigasi produktif
1. Tujuan
Menyelamatkan tanaman dari kekurangan air akibat penyimpangan cuaca
Optimum kecukupan air untuk budidaya tanaman
2. Azas manajemen irigasi
Pemerataan perolehan air di seluruh petak yang dilayani
Nilai produktivitas lahan yang memperoleh layanan irigasi
3. Tanaman yang dibudidayakan
Tanaman pangan sebagai bagian dari subsistence farming
Tanaman niaga yang dibutuhkan pasar
4. Orientasi produksi
Kepastian usahatani
Produksi optimal (keuntungan maksimum)
5. Status air irigasi
Sebagai peredam risiko dalam proses produksi
Sebagai modal usahatani dan sarana produksi
6. Sistem manajemen yang dikehendaki
Penyebaran air di seluruh petak layanan
Pemberian air dengan produk-tivitas usahatani yang optimal
7. Hak atas air dan keadilan (equity)
Jatah pasokan ditentukan oleh volume maksimum untuk menghindari gagal panen
Jatah pasokan air ditentukan oleh nilai manfaat
Dalam PP 77/2001, upaya untuk mewujudkan good governance for irrigation ditempuh dengan melakukan pembagian peran yang lebih jelas antara pemerintah dan masyarakat. Peran pemerintah terdiri dari 4 fungsi yaitu: (1) sebagai regulator, (2) sebagai enabler, (3) sebagai fasilitator, dan (4) apabila masyarakat belum atau tidak mampu untuk melakukannya dapat bertindak sebagai penyedia barang dan jasa secara terbatas. Pelaksanaan manajemen irigasi bergeser dari joint management pemerintah – petani menjadi manajemen provisi dimana petani menjadi pelaku utama. Kesimpulannya, pada PP 77/2001 ini orientasi untuk lebih memberdayakan petani dalam pengelolaan irigasi telah dikondisikan dalam aturan main yang lebih jelas.
25 2.1.4. Implikasi Terhadap Strategi Pengembangan Produksi Pangan Secara umum prinsip utama dari strategi pengembangan produksi pangan yang sesuai dengan paradigma baru dalam pendayagunaan sumberdaya air adalah bahwa pertumbuhan produksi pangan akan berkelanjutan (sustainable) jika ketersediaan sumberdaya air juga sustainable; dan pendayagunaannya dilandasi filsafat bahwa air itu langka, setiap individu berhak memperoleh air, dan karakteristik intrinsik air tunduk kepada hukum-hukumnya secara mandiri (hidrologi). Dimensi yang tercakup dalam aspek keberlanjutan adalah kuantitas, kualitas, waktu, dan tempat. Dalam paradigma baru, tidak sesuai lagi menerapkan pandangan bahwa air harus didayagunakan sesuai dengan kebutuhan usahatani. Pandangan yang relevan adalah seraya mempertimbangkan tuntutan pasar produksi pertanian, usahatani harus menyesuaikan diri dengan ketersediaan air. Bagi Indonesia urgensi reformulasi strategi pengembangan produksi pangan bukan sekedar mengikuti trend penyesuaian terhadap perubahan paradigma, tetapi sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari cara pemecahan permasalahan empiris. Menyimak kondisi empiris, butir-butir permasalahan pokok yang dihadapi Indonesia di bidang pangan saat ini maupun masa mendatang adalah sebagai berikut. Pertama, pada sisi permintaan terlihat bahwa kebutuhan pangan terus meningkat dan ketergantungan terhadap beras masih sangat tinggi. Mengacu pada data SUSENAS, rata-rata konsumsi beras dalam periode 10 tahun terakhir adalah sekitar 125 Kg/kapita/tahun. Diversifikasi konsumsi pangan sumber karbohidrat belum mencapai sasaran yang diharapkan karena: (1) diversifikasi justru mengarah pada gandum, (2) untuk golongan menengah ke bawah meningkatnya pendapatan diiringi pula peningkatan konsumsi beras per kapita. Kedua, di sisi pasokan terjadi kemunduran laju pertumbuhan. Hal ini dapat disimak misalnya pada Rosegrant et al (1997), Dillon et al (1999), Simatupang (2000), Sawit (2001), BAPPENAS – USAID (2000), BAPPENAS (2001a) dan BAPPENAS (2001b). Salah satu kesimpulan dari terbitan tersebut antara lain menyebutkan bahwa sejak dasawarsa terakhir kapasitas negeri ini dalam menyediakan pangan secara mandiri cenderung turun. Ketiga, ketersediaan sumberdaya air sebagai kendala pengembangan produksi padi makin nyata. Insiden banjir di musim hujan maupun kekeringan di musim
26 kemarau semakin sering dan secara agregat luasannya meningkat (Sumaryanto dan Friyatno, 1999). Selain merupakan akibat dari perilaku iklim yang makin sulit diprediksi, hal ini disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor berikut: (1) degradasi daerah tangkapan air akibat kerusakan hutan, (2) menyusutnya ruang-ruang retensi air, (3) menurunnya fungsi sungai, (4) implementasi tata ruang cenderung kurang mempedulikan aspek pelestarian lingkungan. Pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor yaitu pertambahan areal panen dan peningkatan produktivitas. Berdasarkan data empiris, kajian Simatupang (2000) maupun Dillon et al (1999) menyimpulkan bahwa dalam dasawarsa terakhir ini terjadi kemandegan dalam peningkatan produktivitas. Dalam
kaitan
ini,
mengingat
prospek
perluasan
areal
tanam
melalui
pengembangan areal pesawahan baru (new construction) sangat terbatas maka perlu diupayakan peningkatan intensitas tanam dan minimisasi puso melalui penerapan pola tanam yang optimal. Peran penting irigasi dalam pertumbuhan produksi pangan nasional dapat disimak dari kontribusinya dalam memproduksi pangan maupun peran relatifnya dalam pertumbuhan produksi pangan. Lebih dari 90 % produksi padi nasional berasal dari lahan pertanian beririgasi (sawah). Hasil studi World Bank (1982) menyimpulkan bahwa kontribusi irigasi terhadap laju kenaikan produksi padi di Indonesia selama kurun waktu 1972 – 1981 tak kurang dari 16.5 %; dan bersamasama dengan faktor-faktor input utama (varietas unggul, pupuk buatan, pestisida) secara simultan kontribusinya mencapai 75 %. Menyimak perkembangan yang terjadi dalam dua dekade terakhir, diduga kuat fenomena tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti, sehingga ketersediaan air irigasi masih tetap merupakan determinan dari pasokan pangan domestik. Dalam jangka panjang, strategi penyediaan pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan yang mantap harus disesuaikan dengan paradigma baru dalam pendayagunaan sumberdaya air sebagaimana disebut di atas. Strategi yang harus ditempuh adalah: seraya tetap mendorong pertumbuhan produksi padi dengan penggunaan air irigasi secara efisien, diversifikasi pertanian khususnya pangan harus lebih diprioritaskan. Dalam konteks itu, kebijakan pemerintah untuk
27 mendorong berkembangnya sistem pertanian komersial sangat diperlukan. Ini dapat ditempuh misalnya melalui pengembangan infrastruktur pedesaan, peningkatan aktivitas penelitian dan pengembangan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi, peningkatan akses petani terhadap kapital, dan sebagainya (Pingali and Rosegrant, 1995). Sudah barang tentu realisasinya membutuhkan sejumlah intervensi pemerintah yang bahwa untuk mewujudkannya membutuhkan waktu yang panjang karena keberhasilan diversifikasi pangan mensyaratkan pendekatan dari sisi pasokan maupun permintaan secara simultan. Pada hakekatnya, ketahanan pangan yang berkelanjutan pada komunitas di wilayah tropika memang memerlukan diversifikasi pangan sebagai salah satu pilar. Secara alamiah (fitrah), wilayah tropika ditakdirkan kaya keanekaragaman hayati: lebih banyak species, tetapi populasi massive per jenis species lebih sedikit.
Oleh sebab itu, suatu sistem pendayagunaan yang mengakibatkan
dominasi suatu species secara eksesif berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem
dan
dapat berakibat
munculnya
hambatan
permanen dalam
mengoptimalkan sumberdaya lingkungan untuk memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang berguna bagi kehidupan dalam arti luas. Keberhasilan diversifikasi pangan mengandung makna mendekatkan diri dengan kondisi alamiah wilayah tropika. Berkurangnya konsumsi beras per kapita bukan hanya mengurangi kebutuhan air untuk pertanian, tetapi juga mempunyai implikasi meluasnya persediaan lahan untuk pangan karena spektrum pangan meluas – status lahan tadah hujan sebagai lumbung pangan meningkat karena dalam pola konsumsi pangan yang lebih terdiversifikasi, anggota gugus pangan bertambah banyak. Meskipun diversifikasi pangan perlu dikembangkan, peningkatan produksi padi juga harus tetap dilakukan. Dalam hal ini ada dua opsi penting yang harus ditempuh: (1) pengembangan padi lahan kering/gogo, (2) peningkatan produktivitas padi sawah. Pengembangan padi lahan kering perlu didukung penelitian pemuliaan tanaman yang diarahkan untuk memperoleh varietas yang rasanya lebih enak dan produktivitasnya lebih tinggi, dan teknik budidaya yang lebih baik. Dalam pengembangan padi sawah terdapat tiga aspek penting yang
28 perlu diperhatikan: (1) pada saat ketersediaan air tidak langka (musim hujan), pola mina-padi perlu memperoleh prioritas pengembangan (dengan demikian produktivitas air meningkat), (2) efisiensi irigasi harus ditingkatkan, dan (3) eksistensi lahan sawah produktif harus dipertahankan. Upaya untuk mempertahankan eksistensi lahan sawah diwujudkan melalui pengendalian atau meminimalkan alih fungsi (konversi) lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Hal ini dilandasi pengalaman empiris bahwa alih fungsi lahan sawah tidak hanya menyebabkan menciutnya areal pesawahan yang tersisa, tetapi dampak rambatannya adalah terjadinya degradasi kualitas sawah di sekitarnya dan terjadinya percepatan laju alih fungsi lahan sawah tersebut secara agregat (Sumaryanto et al, 1996; Sumaryanto and Suhaeti, 1997; Sumaryanto dan Sudaryanto, 2005). Untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah dibutuhkan law enforcement yang memadai dalam implementasi kebijaksanaan tata guna lahan yang telah ada selama ini secara tegas dan konsisten. Dalam jangka panjang, pembangunan areal pesawahan yang baru (new construction) memang perlu dilakukan. Berdasarkan kondisi empiris, hal itu hanya dapat dilakukan di Luar P. Jawa. Namun perlu digaris bawahi bahwa pendekatan yang diperlukan tidak sama dengan pola pengembangan yang lalu. Dari sudut pandang pembiayaan, pengembangan irigasi skala besar dengan dukungan dam-dam raksasa tidak prospektif. Pembangunan dam-dam raksasa akan populer hanya jika sifat multipurpose-nya sangat menonjol, aspek pelestarian lingkungan dikedepankan, dan keseluruhan proses pembangunannya (sejak perencanaan)
dilakukan
melalui
pendekatan
partisipatif
seluruh
lapisan
masyarakat secara demokratis. Tanpa pemenuhan kondisi tersebut sulit memperoleh dukungan dari lembaga keuangan internasional. Untuk dam-dam raksasa yang telah ada, mengingat investasi untuk membangunnya sangat mahal maka upaya peningkatan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan harus secara simultan dapat dimaksimalkan. Dalam jangka pendek – menengah perbaikan kinerja irigasi sangat urgen karena secara empiris pada saat ini banyak jaringan irigasi yang kinerjanya sangat rendah jika dibandingkan dengan disain awal. Padahal keberlanjutan fungsi sawah
29 ditentukan oleh kinerja irigasi. Turunnya kinerja irigasi antara lain terlihat dari semakin pendeknya ketersediaan air yang cukup di musim kemarau dan rentannya hamparan sawah terhadap bahaya banjir di musim hujan. Penyebab utamanya adalah: (1) memburuknya kinerja jaringan irigasi, (2) menurunnya ketersediaan air yang menjadi sumber air irigasi, dan (3) kombinasi dari keduanya. Memburuknya kinerja jaringan irigasi disebabkan oleh: (1) disain jaringan irigasi yang tidak tepat, (2) sistem operasi dan pemeliharaan irigasi yang jelek, atau (3) kombinasi dari keduanya (Arif, 1996 dan Osmet, 1996). Sementara itu turunnya pasokan air yang menjadi sumber untuk irigasi disebabkan oleh degradasi fungsi sungai maupun daerah tangkapan air di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). 2.2. Pemberlakuan Pungutan Air Irigasi Sebagai Instrumen Peningkatan Efisiensi Irigasi Melalui Pendekatan Pengelolaan Permintaan Seperti di kemukakan di atas, untuk mengantisipasi meningkatnya kelangkaan air irigasi ada dua strategi yang dapat ditempuh yaitu: (1) melalui pengelolaan pasokan (termasuk pengembangan prasarana baru) dan (2) melalui pengelolaan permintaan dengan cara mengoptimalkan penggunaan air irigasi. Ketika air semakin terbatas, pendekataan pengelolaan permintaan
perlu
digalakkan karena dipandang lebih memadai (Winpenny 1994; Hellegers 2002). Instrumen
yang dapat dimainkan dalam pendekatan pengelolaan
permintaan tergantung pada kerangka perundang-undangan (legal framework) yang dianut. Secara teoritis, dalam komunitas petani yang menganut sistem pertanian komunal terkomando, dapat ditempuh melalui pengaturan pola tanam dengan sistem jatah. Keberhasilan sistem kelembagaan seperti itu sangat tergantung pada keberhasilan menegakkan aturan bagi anggota kelompoknya (law enforcement). Kelemahan pendekatan ini adalah: (1) sulit diimplementasikan pada wilayah irigasi yang sangat luas, terlebih-lebih jika konfigurasi hamparan yang tercakup dalam sistem layanan irigasi melibatkan berbagai kelompok masyarakat tani yang kulturnya beragam, (2) tingkat efisiensi yang dapat dicapai sangat tergantung pada ketepatan disain pola tanam dan dukungan prasarana fisik, dan (3) kurang populer di era demokrasi karena pola ini dianggap kurang aspiratif.
30 Instrumen lain yang banyak dibahas para pakar adalah dengan menciptakan insentif untuk melakukan efisiensi dengan penetapan harga air (water pricing –
untuk selanjutnya dalam penelitian ini disingkat WP).
Sebagaimana dinyatakan dalam Johansson (2000), salah satu cara memperbaiki alokasi, efisiensi, dan mendorong konservasi penggunaan air irigasi adalah melalui penetapan harga air ("Water pricing, wether by administrative mandate or by market force, is an important way to impprove water allocations and to encourage conservation").
Secara teoritis, WP dapat dimanfaatkan untuk
mendukung tujuan (Unver and Gupta, 2002): 1.
Finansial: untuk membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi dan menutup (sebagian) modal investasi.
2.
Efisiensi: mendorong alokasi sumberdaya ke penggunaan yang lebih produktif.
3.
Pemerataan: potensial untuk mereduksi senjang distribusi pendapatan. Fungsi WP untuk mengkondisikan pemerataan pendapatan masih banyak
diperdebatkan. Molle (2002) cenderung skeptis karena "user pays principle" yang merupakan landasan penerapan WP dapat berdampak buruk bagi petani miskin. Akan tetapi ia sependapat bahwa WP kondusif untuk meningkatkan produktivitas air irigasi maupun realokasi air irigasi ke usahatani komoditas hemat air. Upaya penerapan WP sebagai instrumen untuk meningkatkan efisiensi irigasi terkait pula dengan keinginan untuk mengakhiri kesalahan persepsi tentang nilai ekonomi air. Selama ini air dinilai terlalu rendah sehingga pemanfaatannya boros – water is consistenly undervalued, and as a result is chroniclly overused (Postel, 1992; World Bank, 1993; Asian Development Bank – ADB, 2000). Secara empiris, efektivitas WP untuk mendorong efisiensi penggunaan air di sektor domestik dan industri adalah sangat berbeda jika dibandingkan dengan di sektor pertanian (irigasi). Di sektor domestik dan industri peningkatan harga air pada umumnya efektif untuk mendorong penghematan konsumsi air (Dinar and Subramanian, 1997). Di sektor pertanian performanya berbeda. Penerapan WP di sektor pertanian dapat dikatakan masih dalam perjalanan awal dan sosok perkembangannya di berbagai negara juga beragam beragam. Beberapa penelitian dari IFPRI (International Food Policy Research Institute) dan beberapa penelitian
31 yang disponsori oleh Bank Dunia di beberapa negara di Amerika Selatan, Asia Tengah, Asia Selatan, Afrika Tengah, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa penegakan hak-hak atas air yang ditindak lanjuti dengan kajian penentuan harga air (water pricing) ternyata dapat diimplementasikan dan cukup efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi (Johansson, 2000). Di sisi lain, beberapa studi empiris juga menunjukkan sejumlah hambatan yang dihadapi dalam aplikasi WP. Sebagai ilustrasi, penelitian Gomez-Limon and Berbel (2000) di tiga lokasi di Spanyol memperoleh kesimpulan bahwa meningkatnya biaya irigasi akibat penerapan WP menyebabkan pendapatan petani turun sehingga penerapannya mengalami hambatan. Penelitian Ray (2002) di India kawasan barat memperoleh kesimpulan bahwa peningkatan biaya irigasi akibat penerapan WP, karena tidak diikuti oleh peningkatan harga komoditas pertanian, mengalami hambatan politis. Di Mesir, penerapan WP dengan metode volumetric pricing memang berhasil menurunkan penggunaan air irigasi sebesar 15 %, tetapi pendapatan petani juga turun 25 % sehingga tidak dapat berkembang karena dianggap tidak realistis (Perry, 1996). Pelajaran penting yang dapat dipetik dari hasil-hasil studi tersebut adalah bahwa penerapan water pricing harus mempertimbangkan aspek yang lebih luas. Secara historis, nilai-nilai yang tercakup dalam pengembangan sumberdaya air untuk pertanian memang berbeda dengan apa yang terjadi pada sektor non pertanian. Penerapan water pricing harus dikemas dalam bentuk kelembagaan yang dapat menampung aspirasi masyarakat luas karena terkait dengan aspek-aspek sosial, budaya, bahkan aspek politik sehingga cenderung sensitif (Varela-Ortega et al 1998; Hellegers, 2002). Terdapat beberapa metode WP yang dapat diterapkan, antara lain: volumetric pricing, output pricing, per unit area, tiered pring, two-part tariff, dan betterment levy (Boss and Walter, 1990; Tsur and Dinar, 1997). Dalam volumetric pricing, biaya air yang harus dikeluarkan didasarkan pada volume air yang dikonsumsi. Pada output pricing, biaya air ditentukan oleh kuantitas output yang dihasilkan dari penggunaan air tersebut. Sesuai dengan istilahnya, pada metode per unit area, dasar perhitungannya adalah luas garapan usahatani yang menggunakan air irigasi. Metode tiered pricing adalah suatu multi-rate volumetric pricing dimana harga air per unit volume bervariasi jika volume air yang
32 dikonsumsi melebihi suatu ambang batas tertentu. Pada two-part tariff, biaya air terdiri dari dua komponen yaitu biaya tetap pertahun yang dikenakan untuk hak penggunaan air, dan pungutan air yang didasarkan pada didasarkan pada harga marginal yang tetap untuk setiap unit volume air yang dikonsumsi. Dalam metode betterment levy, biaya air dipungut per area dimana nilainya didasarkan atas peningkatan nilai lahan akibat adanya irigasi. Tingkat kemudahan untuk mengimplemantasikan skim (pricing scheme) dan mengontrol permintaan dari masing-masing metode tersebut berbeda. Perbandingan antar metode tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut (Boss and Walter, 1990): Skim harga (pricing scheme)
Implementasi
Kemampuan untuk mengontrol permintaan
Volumetric pricing
Sulit
Mudah
Output pricing
Relatif mudah
Relatif mudah
Per area pricing
Paling mudah
Sulit
Tiered pricing
Relatif sulit
Relatif mudah
Two-part tariff
Relatif sulit
Relatif mudah
Betterment levy
Relatif sulit
Sulit
Secara teoritis metode yang paling efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air adalah volumetric pricing. Jelas bahwa penerapan metode ini membutuhkan peralatan yang dapat digunakan untuk mengontrol volume sampai di
tingkat
pengguna/konsumen
dan
dari
sudut
pandang
kelembagaan
dimungkinkan berlakunya mekanisme pasar. Oleh karena itu pada sistem irigasi permukaan penerapannya sangat terbatas, bahkan hampir mustahil. Metode ini dapat diterapkan pada sistem irigasi yang distribusinya menggunakan sistem saluran tertutup dan secara teknis volume maupun wilayah layanan mudah dikontrol. Contoh populer adalah pada sistem irigasi pompa. Pada sistem irigasi pompa, volume konsumsi air irigasi dapat ditaksir dari debit (discharge) dikalikan jangka waktunya (jam pemompaan) dan biasanya luas areal layanan irigasi (command area) relatif kecil.
33 Secara empiris metode water pricing yang paling luas diterapkan di bidang irigasi adalah per unit area (area basis). Hasil penelitian Boss and Walter (1990) di beberapa negara menunjukkan bahwa pada wilayah irigasi seluas sekitar 12.2 juta hektar (agregat dari beberapa negara), lebih dari 60 % menerapkan per unit area, 25 % menggunakan volumetric pricing, dan sekitar 15 % menerapkan kombinasi kedua metode tersebut. Fenomena seperti itu masih terjadi sampai sekarang, terutama di negara-negara berkembang (Rosegrant et al, 2002). Sampai saat ini penentuan biaya irigasi yang dibebankan kepada petani di Indonesia didekati dari sisi penyediaan (supply management) yang didasarkan pada sistem pengelolaan kemitraan (joint management) pemerintah – petani sebagaimana yang dimaksudkan dalam PP 23/1982. Kerangka pemikirannya adalah sebagai berikut. Dengan sasaran akhir petani dapat membiayai operasi dan pemeliharaan (OP) irigasi secara mandiri maka petani (melalui Perkumpulan Petani Pemakai Air – P3A) dilatih ikut menanggung biaya OP irigasi di petak tertier. Untuk itu di wilayah irigasi yang investasi pembangunannya disponsori oleh pemerintah (irigasi teknis) dan kinerja irigasinya baik, diberlakukan Iuran Pelayanan Air Irigasi (IPAIR). Jumlah IPAIR per hektar adalah sama dengan biaya OP di petak tertier ditambah dengan biaya pengumpulannya kemudian dibagi dengan luas layanan irigasi dalam petak tertier tersebut. Nilai IPAIR/hektar bervariasi antar daerah. Pada awal perkembangan (1987 – 1992) IPAIR yang dibebankan ke petani adalah berkisar antara Rp. 8000 – Rp. 12 000/hektar. Sejak tahun 1995/1996 meningkat menjadi Rp. 18 000 – Rp. 24 000/hektar. Pengelolaan dana IPAIR dikoordinasikan oleh Dinas Pengairan. Biasanya digunakan untuk menambah biaya perbaikan jaringan irigasi (di level tertier) yang rusak dan memerlukan perbaikan mendesak. Penentuan jumlah maupun lokasi sasaran dilakukan oleh pemerintah (melalui Dinas Pengairan). Dalam praktek, jumlah IPAIR yang terkumpul ternyata jauh dari memadai jika dibandingkan dengan total biaya yang dibutuhkan untuk operasi dan pemeliharaan irigasi. Dalam praktek, biaya irigasi yang ditanggung petani tidak hanya IPAIR. Terdapat sejumlah biaya irigasi lainnya seperti iuran P3A, iuran desa (yang terkait dengan usahatani padi), dan (kadang-kadang) biaya irigasi yang sifatnya
34 informal. Bahkan sebagian petani yang kebutuhan airnya tak dapat dipenuhi dari irigasi permukaan harus mengeluarkan pula biaya tambahan untuk irigasi pompa. Pada dasarnya, IPAIR termasuk kategori per area pricing. Kelemahan mendasar dari pola pembiayaan OP irigasi di level tertier dengan pendekatan seperti tersebut di atas adalah: 1.
Tidak ada insentif untuk menggunakan irigasi secara efisien.
2.
Mekanisme kontrol dalam pengelolaan IPAIR tidak efektif.
3.
Tidak ada insentif bagi P3A untuk meningkatkan kapabilitasnya dalam pembiayaan OP irigasi.
4.
Hanya efektif diterapkan di petak-petak tertier yang kinerja irigasinya baik. Sesuai dengan PP 77/2001 telah dikemukakan bahwa di masa mendatang
kapabilitas P3A untuk membiayai OP irigasi di petak tertier harus ditingkatkan. Selain itu, P3A juga dihadapkan pada: (1) perkembangan sistem usahatani yang semakin berdiversifikasi (secara normatif P3A memang harus mengembangkan diversifikasi usahatani agar pendapatan usahatani meningkat), dan (2) karena air irigasi akan semakin langka maka penggunaannya harus semakin efisien. Oleh karena itu perlu diciptakan sistem pungutan air irigasi (water charging) yang sesuai. Ini dapat didekati dengan metode pemberlakuan harga air (water pricing) yang aplikasinya disesuaikan dengan kerangka hukum yang berlaku. 2.3. Valuasi Air Irigasi Secara teoritis, sistem pungutan pelayanan air irigasi yang kondusif untuk mendorong efisiensi penggunaan air irigasi dapat diciptakan dengan menerapkan "user's pay principle" (Tiwari and Dinar, 2000). Untuk itu langkah awal yang harus ditempuh adalah melakukan valuasi yakni suatu upaya yang ditujukan untuk mengestimasi harga1 sumberdaya tersebut. Valuasi memiliki dua sisi mata uang: di satu sisi, mensyaratkan berlakunya asumsi bahwa obyek yang dikaji dapat didekati dengan ilmu ekonomi; di sisi lain mempunyai implikasi bahwa hasil valuasi relevan untuk menyusun kebijaksanaan di bidang ekonomi yang terkait.
1
Valuation: 1. the act of process of valuing, 2. the estimated or determined market value of a thing, 3. judgment or appreciation of worth or character (Webster's Ninth New Collegiate Dictionary).
35 Menurut Young (1996) terdapat tiga pendekatan yang lazim digunakan untuk melakukan valuasi air atau mengestimasi nilai ekonomi air yaitu: (1) residual imputation approach (RIA), (2) hedonic approach (HA), dan (3) the alternative cost approach (ACA). Kesesuaian penerapan masing-masing pendekatan tersebut tergantung pada substansi permasalahan yang dihadapi. RIA merupakan metode pendekatan yang sering digunakan, meskipun tidak berarti sesuai untuk semua keadaan. Prinsip metode ini adalah mengestimasi harga bayangan (shadow pricing). Dalam RIA, incremental contribution setiap input dalam proses produksi harus ditentukan. Jika harga-harga semua masukan yang digunakan dapat teridentifikasi (ada pasarnya) kecuali satu – air irigasi, maka sisa dari nilai produk diperhitungkan sebagai residual input (Heady, 1952). Pendekatan kedua yakni HA lebih sesuai diaplikasikan jika faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku penawaran dan permintaan air irigasi relevan untuk mengukur willingness to pay (WTP). Ini merupakan salah satu bentuk dari pendekatan valuasi non-market secara tidak langsung (Fauzi, 2004). Metode ini lebih lazim diterapkan pada kajian permintaan air untuk kebutuhan konsumtif, ataupun pada valuasi air dalam konteks lingkungan; bukan untuk permintaan air sebagai intermediate goods. Jika diaplikasikan dalam valuasi air irigasi, aplikasi metode HA didekati melalui estimasi harga lahan sehingga disebut "land value approach" (Young, 1996). Ini dapat dilakukan jika pasar lahan di lokasi yang diteliti cukup kompetitif sehingga perbandingan nilai lahan yang diderivasikan dari penggunaan lahan untuk tiap sektor perekonomian dapat diidentifikasi dengan baik dan meyakinkan (reliable). Pendekatan ketiga yakni ACA didasarkan pada sudut pandang bahwa WTP untuk suatu barang atau jasa publik tidak lebih besar daripada biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan barang dan jasa tersebut apabila menggunakan proses atau teknologi yang lain (alternatif).
Pendekatan ini paling sesuai
diaplikasikan dalam valuasi air untuk proyek pengembangan sumberdaya air yang bersifat sasaran ganda atau multipurpose water projects (Young, et al, 1982). Aplikasi pendekatan ini membutuhkan data dan informasi yang sangat lengkap.
36 Dari argumen tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang paling sesuai diterapkan dalam penelitian ini adalah RIA. Beberapa penelitian yang relatif baru seperti Tsur et al (2002) maupun Berbel and Gomez-Limon (2000) pada dasarnya juga menerapkan pendekatan seperti itu. Derivasi RIA memerlukan dua postulat pokok. Pertama, keseimbangan kompetitif mensyaratkan harga-harga sumberdaya (masukan) sama dengan nilai marginal produk yang dihasilkan. Dalam hal ini, produsen diasumsikan memaksimalkan laba. Kedua, dengan asumsi bentuk fungsi produksinya adalah fungsi homogen berderajat satu (constant return to scale) maka terpenuhi syarat bahwa total nilai produk dapat dibagi habis oleh sumbangan dari masing-masing masukan sehingga setiap masukan "dibayar" menurut produktivitas marginalnya (memenuhi teorema Euler). Ilustrasi ringkas adalah sebagai berikut. Misalkan dalam suatu proses produksi pertanian, untuk menghasilkan suatu produk Y dipergunakan masukan: modal (K), tenaga kerja (L), masukan lain (R) dan air irigasi (W). Maka fungsi produksi tersebut dapat dituliskan:
Y f ( K , L, R, W )
(1)
Dengan asumsi pasar masukan dan keluaran bersaing sempurna, harga diasumsikan tetap (given). Berdasarkan postulat kedua tersebut di atas maka: TVPY = (VMPK x QK) + (VMPL x QL) + (VMP R x QR) + (VMPW x Q W)
(2)
dimana TVP adalah total nilai produk, VMPK, VMPL, VMPR, VMPW masingmasing adalah nilai produk marginal K, L, R, dan W; sedangkan Q merupakan kuantitas masing-masing input tersebut. Dengan postulat pertama, maka TVPY ( PK QK ) ( PL QL ) ( PR QR ) PW QW
(3)
Dengan demikian, harga air irigasi dapat ditentukan sebagai berikut:
PW *
TVPY ( PK QK ) ( PL QL ) ( PR QR ) QW
(4)
Salah satu varian pendekatan RIA adalah metode perubahan pendapatan bersih (change in net income - CINI). Ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari metode RIA yang lazim pula disebut "the Valuation of Productivity Change"
37 atau VPC (Young, 1996). Dengan metode CINI estimasi harga air dari proses produksi multi-product dengan multi input mudah dilakukan. Misalkan Y adalah vektor keluaran komoditas-komoditas yang diusahakan dan X adalah vektor masukan yang digunakan, dan P adalah harga-harga masukan dan keluaran. Dengan asumsi bahwa petani adalah price taker maka pendapatan bersih (Z) yang diperoleh dari pengusahaan seperangkat jenis komoditas dapat dipresentasikan: m
n
Z Yi* Pyi X i* Pxj i 1
j 1
(5)
dan perubahan pendapatan bersih adalah:
Z Z1 Z0
(6)
dimana 'subscript' 0 dan 1 menunjukkan status ketersediaan air. Z menunjukkan tambahan surplus ekonomi yang diperoleh dari status 0 ke status 1. Dalam aplikasi CINI dibutuhkan sejumlah a priori judgment terutama menyangkut: (a) luas usahatani per jenis tanaman, (b) respon tanaman terhadap penggunaan air, dan (c) teknologi distribusi air yang digunakan. Ini diperlukan agar model yang dikembangkan tidak menghasilkan solusi yang "artificial" – dalam arti jauh sekali dari realitas (Young, 1996). Itu dapat dilakukan melalui pemahaman kondisi empiris yang berkaitan dengan pola pengusahaan komoditas secara komprehensif. 2.3.1. Permasalahan Konseptual Dalam Spesifikasi Fungsi Produksi Dari pembahasan di atas tampak bahwa dalam valuasi air irigasi dalam pengembangan model water-crop production function (w-cpf) merupakan langkah pertama yang harus ditempuh. Dalam konteks itu muncul dua jenis permasalahan konseptual berikut. Pertama, berkaitan dengan kelengkapan daftar masukan yang digunakan dalam proses produksi. Semakin banyak jumlah variabel (masukan) yang tidak terikutkan dalam model maka hasil valuasi semakin bias ke atas (overstated). Ketidak lengkapan jumlah variabel yang dicakup dalam model umumnya terjadi manakala pendekatan jangka pendek (short run) digunakan untuk merepresentasikan kondisi jangka panjang (long run) sehingga masukan
38 yang seharusnya bersifat variabel diasumsikan bersifat tetap. Masalah kedua berkaitan dengan akurasi pendugaan respon tingkat output terhadap jenis masukan tertentu (Young, 1996). Selain kedua permasalahan tersebut, kesulitan yang dihadapi dalam pengukuran empiris penggunan air irigasi juga mengakibatkan spesifikasi peranan air dalam fungsi produksi tidak dapat ditentukan. Pada sistem irigasi permukaan (surface irrigation) dengan teknik alir-genang (flow irrigation), petani tidak pernah mengukur kuantitas air yang digunakan dalam usahataninya sehingga pengumpulan data melalui metode survey sosial ekonomi tidak dapat ditempuh. Oleh sebab itu, para peneliti umumnya lebih menyukai estimasi w-cpf melalui percobaan (experimental production function). Dengan pendekatan ini respon produksi terhadap tingkat penggunaan air irigasi dapat diketahui dengan tepat. Bouman dan Tuong (2000) berdasarkan suatu meta analysis terhadap sejumlah hasil penelitian (lebih dari 30) menyimpulkan bahwa respon produksi padi terhadap air merupakan suatu fungsi "negative exponential growth" dengan bentuk persamaan:
YA YP 1 e (W W0 , dimana YA adalah produktivitas
aktual, YP adalah produktivitas potensial yaitu produktivitas yang dicapai pada kondisi air tidak merupakan pembatas, W adalah tingkat penggunaan air (mm), W0 adalah ambang batas penggunaan air (no-yield water application threshold), dan adalah efisiensi penggunaan air semula (initial water use efficiency). Perlu dicatat bahwa produksi pada YP tidak sama dengan evapotranspirasi padi, karena produksi optimal padi masih memerlukan adanya tambahan air untuk penggenangan pada tahap-tahap tertentu pertumbuhannya. Bentuk hubungan yang lain adalah seperti yang dikemukakan dalam Dinar and Letey (1996) maupun Rosegrant et al (2000) dalam studinya di Maipo River Basin di Chile sebagai berikut:
w YA YP a0 a1 i Emax
w a 2 ln i Emax
dimana wi menunjukkan air yang meresap (infiltrated water), Emax
adalah
evapotranspirasi maksimum, sedangkan a 0 , a 1 , dan a2 adalah koefisien dugaan.
39 2.3.2. Pendekatan Kuantitatif Untuk Valuasi Air Irigasi Dengan Metode CINI Metode kuantitatif yang lazim digunakan untuk mengetahui hubungan antara produksi dan tingkat penggunaan masukan dapat berupa pendekatan ekonometrik ataupun pendekatan pemrograman matematis. Jika data kuantitatif produksi dan seluruh masukan yang digunakan dalam proses produksi tersedia dan handal (reliable), dan model ekonometrik yang dikembangkan tepat sehingga hampir semua variasi perilaku produksi dapat diterangkan dengan baik oleh variasi variabel penjelasnya maka hasil estimasi harga air melalui pendekatan ekonometrik adalah lebih baik karena merupakan pendekatan positif. Kesulitan aplikasi model ekonometrik untuk pendugaan respon produksi terhadap air irigasi terkait dengan dua faktor berikut: 1. Data tentang kuantitas air yang digunakan dalam proses produksi pada umumnya hanya dapat diperoleh dari percobaan. Oleh karena itu sulit digali dari survey sosial ekonomi. 2. Secara empiris, ketersediaan air tidak hanya mempengaruhi produktivitas usahatani tetapi juga mempengaruhi spektrum komoditas yang diusahakan. Akibatnya, himpunan komoditas yang akan dihasilkan sulit dispesifikasikan karena selalu berubah seiring dengan perubahan kuantitas air yang tersedia. Pendekatan dengan pemrograman matematis (mathematical programming, MP) dapat mengatasi persoalan yang ditimbulkan oleh peranan ganda dari air irigasi seperti itu (butir 2). Kelebihan lain dari pendekatan dengan pemrograman matematis terletak pada: (1) fleksibilitasnya dalam mengakomodasikan tujuan penggunaan sumberdaya yang dilandasi motivasi yang bersifat ganda dan multi dimensi, dan (2) elegansinya untuk menginkorporasikan implikasi dari distribusi spatial dan temporal air irigasi (Hazell and Norton, 1986; Rae, 1994). Bahkan dalam Young (1996) dinyatakan bahwa pemrograman matematis juga memiliki keunggulan dalam situasi dimana terdapat suatu keragaman dalam aplikasi teknologi untuk masing-masing aktivitas. Keterbatasan utama pendekatan ini adalah merupakan pendekatan normatif, dan bersifat deterministik sehingga pengaruh acak dari kesalahan pengukuran ataupun galat yang sifatnya stokastik tidak dapat dikaji dengan baik.
III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
3.1. Kerangka Pemikiran Air adalah sumberdaya vital yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan. Oleh karena itu, kebutuhan air akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan ekonomi, dan perkembangan peradaban. Di sisi lain meskipun pada hakekatnya kuantitas air di bumi adalah tetap, akan tetapi ketersediaan air yang layak dikonsumsi semakin langka. Meningkatnya kelangkaan yang dialami oleh setiap individu/kelompok individu bervariasi tergantung pada waktu dan tempat karena distribusi spatial dan temporal dari air yang tersedia maupun kebutuhan bervariasi. Meningkatnya kelangkaan juga dipercepat oleh terjadinya degradasi lingkungan di wilayah-wilayah tangkapan air maupun kerusakan sarana/prasarana pendayagunaan air. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, pembangkit listrik, aktivitas sosial, dan irigasi semakin langka. Secara teoritis, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah kelangkaan sumberdaya adalah meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya tersebut. Dalam konteks itu, peningkatan efisiensi irigasi mempunyai peran yang sangat strategis karena: 1.
Sektor pertanian merupakan pengguna terbesar (lebih dari 80 %) sehingga dampaknya terhadap keseluruhan sektor pengguna air sangat tinggi.
2.
Secara teoritis peluang peningkatan efisiensi penggunaan air di sektor pertanian cukup terbuka karena sampai saat ini tingkat efisiensi yang dicapai masih rendah (kurang dari 70 %). Peningkatan efisiensi irigasi dapat ditempuh melalui dua pendekatan
secara parsial maupun secara simultan yaitu: (1) melalui pengelolaan pasokan (supply management), dan (2) melalui pengelolaan permintaan (demand management). Secara historis, selama ini pendekatan yang digunakan adalah pengelolaan pasokan (sistem gilir, intermittent, low flow management, dan sebagainya). Akan tetapi pendekatan pengelolaan saja tidak memadai. Seiring dengan makin ketatnya kompetisi penggunaan antar sektor dan meningkatnya
41 kelangkaan air irigasi, pendekataan pengelolaan permintaan dipandang lebih efektif untuk menjawab permasalahan (Winpenny 1994; Hellegers 2002). Sebagaimana dinyatakan di muka, penelitian ini difokuskan untuk memformulasikan dan menentukan besaran iuran irigasi berbasis komoditas yang diharapkan efektif sebagai instrumen peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi. Selanjutnya, agar hasil penelitian mempunyai kemampuan penerapan yang lebih baik maka dilakukan pula kajian tentang prospek penerapan sistem iuran tersebut. Dalam sistem iuran irigasi berbasis komoditas, jumlah iuran irigasi yang ditanggung petani terdiri dari dua komponen yaitu: 1.
Komponen utama/pokok yang nilainya kurang lebih setara dengan nilai air irigasi yang digunakan dalam usahatani. Perhitungannya didasarkan atas perkiraan volume kebutuhan air irigasi masing-masing komoditas tersebut dikalikan harga bayangan air irigasi. Oleh karena itu nilainya bervariasi antar jenis komoditas, antar wilayah maupun antar waktu karena: (1) harga bayangan air irigasi antar tempat dan antar waktu bervariasi, (2) air irigasi yang dibutuhkan untuk setiap tanaman bervariasi.
2.
Komponen penunjang yaitu biaya pelayanan irigasi yang nilai per hektarnya tetap (area based) yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan petani dalam rapat pleno P3A. Komponen penunjang diperuntukkan sebagai insentif pengumpulan iuran irigasi. Jumlah komponen penunjang harus lebih kecil daripada komponen pokok, karena secara teoritis semakin kecil nilai komponen penunjang maka semakin besar efek komponen pokok untuk mendorong peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi. Volume air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani ditentukan oleh: (1)
jenis atau kelompok jenis komoditas, (2) periode pengusahaan, dan (3) adanya pasokan air dari sumber lain, terutama curah hujan. Kebutuhan air antar komoditas pertanian berbeda karena: (1) laju evapotranspirasi berbeda, (2) adanya perbedaan kebutuhan air untuk pengolahan tanah, pesemaian, dan bahkan untuk jenis komoditas tertentu (misalnya padi) membutuhkan penggenangan. Pada jenis komoditas yang sama, air yang dibutuhkan juga tidak sama jika periode pengusahaannya berbeda karena: (1) laju evapotranspirasi dipengaruhi oleh
42 temperatur dan kelembaban udara, dan (2) adanya perbedaan kebutuhan air antar fase pertumbuhan tanaman. Secara teoritis, harga bayangan air irigasi ditentukan oleh kelangkaannya. Semakin langka, semakin tinggi nilainya. Pada hakekatnya kelangkaan adalah suatu ukuran relatif dalam arti ditentukan oleh perbandingan relatif antara kebutuhan terhadap ketersediaan. Dalam kondisi optimal, jika kebutuhan lebih tinggi daripada ketersediaan sehingga seluruh air irigasi yang tersedia terpakai habis maka harga bayangannya positif. Sebaliknya jika pada kondisi optimal tersebut kebutuhan lebih kecil dari ketersediaan sehingga air irigasi yang tersedia itu tersisa maka harga bayangannya adalah nol. Dalam sistem irigasi permukaan, pasokan air irigasi yang tersedia untuk tanaman tidak ajeg. Ini disebabkan oleh: (1) adanya fluktuasi debit air irigasi yang dialirkan dari reservoir, (2) adanya kehilangan air irigasi dalam proses penyaluran dan pada saat pemberian air ke tanaman, dan (3) adanya tambahan air irigasi di sepanjang saluran ketika musim hujan karena sistem penyaluran menggunakan saluran terbuka (Sosrodarsono dan Takeda, 1978). Dengan asumsi bahwa petani berusaha memaksimumkan keuntungan usahatani maka secara teoritis pola tanam optimal mengarah pada meningkatnya proporsi komoditas pertanian yang kebutuhan air irigasi per unit luas usahatani lebih sedikit tetapi menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Diperkirakan hal itu menyebabkan berkurangnya proporsi areal tanam padi dan meningkatnya proporsi areal tanam palawija dan sayuran di lahan sawah irigasi teknis yang berarti pola tanam di lahan tersebut lebih berdiversifikasi. Dengan pola tanam seperti itu per unit air irigasi yang tersedia dapat dihasilkan lebih banyak produksi pertanian dan keuntungan usahatani. Jadi, terjadi peningkatan produktivitas air irigasi yang berarti terjadi peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi. Mengingat bahwa sistem iuran irigasi berbasis komoditas selama ini belum dikenal maka prospek implementasinya hanya dapat dikaji melalui pendekatan tidak langsung. Dalam pendekatan tidak langsung ini landasan pemikiran yang dianut adalah sebagai berikut. Logikanya, petani dapat menekan biaya irigasi dan atau meningkatkan pendapatan usahataninya jika pola tanam lebih berdiversifikasi
43 ke komoditas hemat air yakni komoditas selain padi. Sementara itu, hambatan penerapan iuran irigasi berbasis komoditas semestinya lebih kecil jika sebelumnya petani telah berpengalaman dalam penerapan iuran irigasi meskipun dalam bentuk yang lain. Dengan demikian ada dua substansi permasalahan pokok yang menentukan prospek penerapan sistem itu: 1. Partisipasi petani untuk melakukan diversifikasi usahatani. Perubahan ke arah bentuk pola tanam yang mendekati pola optimal lebih mudah diwujudkan jika jika selama cukup banyak petani yang telah berpengalaman dalam menerapkan pola tanam diversifikasi. Semakin tinggi partisipasi petani untuk berdiversifikasi, semakin kondusif suasana yang tercipta untuk penerapan sistem iuran berbasis komoditas. 2. Partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Kemungkinan untuk dapat mengadopsi sistem iuran irigasi yang baru lebih terbuka jika secara empiris kualitas partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi pada sistem yang selama ini berlaku sangat baik. Kesesuaian antara faktor-faktor positif yang mendorong partisipasi petani untuk membayar iuran irigasi yang selama ini telah berlaku dengan faktor-faktor kondusif yang dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam membayar iuran irigasi berbasis komoditas dapat dimanfaatkan untuk merancang strategi penerapan sistem iuran tersebut. Berlandaskan kerangka pemikiran tersebut di atas maka penelitian ini perlu menggunakan pendekatan normatif dan positif yang dilakukan dalam dua tahapan. Pendekatan normatif digunakan dalam valuasi air irigasi untuk mengetahui nilai produktivitas marginal (harga bayangan) air irigasi. Hasil valuasi merupakan input utama untuk mengestimasi nilai air irigasi berbasis komoditas yaitu dengan menggandakan harga bayangan tersebut dengan taksiran kebutuhan air irigasi untuk masing-masing kelompok komoditas yang dirinci menurut periode
pengusahaannya.
Pendekatan
positif
ditujukan
untuk
mengkaji
kemungkinan penerapan sistem iuran berbasis komoditas tersebut. Dalam konteks ini, model yang dikembangkan dalam pendekatan positif mengacu pada hasil ataupun implikasi dari pendekatan normatif. Secara ringkas sistematika pendekatan penelitian dapat dipresentasikan dalam skema pada Gambar 1.
44
Ketersediaan air menurun: - iklim makin tidak stabil - DAS, fungsi sungai, prasarana (waduk) mengalami degradasi
Dana O&P irigasi sangat terbatas
Kebutuhan air meningkat: - non irigasi (rumah tangga, industri, pembangkit listrik, dan lain-lain) - pertanian (irigasi)
Kelangkaan air irigasi meningkat
Kinerja O & P irigasi buruk
Pendekatan pengelolaan pasokan
Efisiensi penggunaan air irigasi harus ditingkatkan Kemampuan P3A membiayai O&P irigasi harus ditingkatkan
Peningkatan efisiensi melalui pengelolaan permintaan (demand management)
Maks
Z
n
k
i1
j1
ij
s .t A X B
X
ij
um pa n bal i k
Situasi dan kondisi sosial ekonomi yang mempengaruhi efisiensi irigasi di level pengguna utama air irigasi (petani)
Pola tanam optimal: - jenis komoditas - skala pengusahaan - waktu tanam Harga bayangan air irigasi
Keterangan :
Sistem iuran irigasi berbasis komoditas
1 k 1 exp( x j m ) m 2 pij Pr( y j i) exp( x j i ) k 1 exp( x j m )
: pendekatan positif
Gambar 1. Sistematika pendekatan penelitian
i 1
, jika
i 1
pij Pr( y j i ) Pr i 1 x j β u i
Faktor-faktor yang mempengaruhi prospek penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas
Kesimpulan dan Saran
: pendekatan normatif
, jika
45 Sebagai sosok normatif, sistem iuran irigasi berbasis komoditas sangat dipengaruhi oleh simpul strategis seperti dikemukakan di atas. Kajian tentang prospek penerapannya dapat dilakukan secara tidak langsung melalui dua tahapan berikut. Pertama, kajian yang ditujukan untuk memahami partisipasi petani untuk melakukan diversifikasi dalam usahatani sehingga pola yang diterapkannya mendekat ke arah pola tanam optimal. Kedua, kajian tentang partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi khususnya partisipasinya untuk membayar iuran irigasi sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Kedua aspek strategis tersebut dapat dikaji melalui pendekatan positif dengan memanfaatkan data sosial ekonomi di tingkat usahatani. Model analisis yang akan digunakan diharapkan menghasilkan informasi tentang: (1) probabilitas petani untuk berdiversifikasi dan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi, dan (2) keragaan tentang partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi, terutama identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi probabilitas petani untuk memilih kualitas partisipasi yang baik dalam membayar iuran irigasi. Sintesis dari butir-butir pokok kesimpulan yang diperoleh dari kedua pendekatan tersebut menghasilkan sejumlah kesimpulan yang diharapkan dapat menjawab tujuan penelitian ini. Sudah barang tentu, dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan disertakan pula sejumlah saran untuk penelitian lanjutan.
3.2. Landasan Teori Valuasi Air Irigasi Sebagaimana dikemukakan di atas, iuran irigasi berbasis komoditas dapat dirumuskan jika harga bayangan air irigasi diketahui. Oleh karena itu langkah awal yang harus ditempuh adalah menentukan harga bayangan air irigasi. Ini dapat dilakukan dengan melakukan valuasi air irigasi. Dengan asumsi bahwa air irigasi dapat diperlakukan sebagai masukan (intermediate input) dalam usahatani, landasan konseptual untuk valuasi air irigasi dapat mengacu pada teori permintaan masukan sebagaimana lazimnya dalam teori produksi (Just et al, 1982; Freeman, 1993; Johanson, 1993). Anggaplah suatu kasus seorang petani memproduksi suatu komoditi tunggal (y) dengan input tunggal yakni air (q) dengan fungsi produksi y = f(q). Sampai suatu titik tertentu
46 pertambahan penggunaan air meningkatkan produksi dengan pertambahan yang semakin berkurang (deminishing return) sebagaimana tampak pada Gambar 2. Rp./m3 pf(q)
w1
w2
pf' q(w1)
q(w2)
f (q) adalah fungsi produksi; f '(q) f/q adalah produktivitas marginal air irigasi, pf(q) diukur dalam unit Rp., pf ' (q) diukur dalam unit harga (Rp./m3); sedangkan p dan w masing-masing menunjukkan harga output dan harga air.
air irigasi (m3)
Gambar 2. Ilustrasi grafis fungsi produksi dan nilai produktivitas marginal air Misalkan w dan p masing-masing melambangkan harga air dan harga produk yang dihasilkan. Dengan asumsi petani price taker dan berusaha memaksimumkan keuntungan, maka
pf (q) w(q) dan keuntungan ( ) maksimum dicapai pada saat:
w 0 atau f (q) , dan f " (q) 0 w p Jadi, permintaan terhadap air adalah: w f dan q(w) adalah permintaan air pada q ( w) f 1 dimana f q p harga w (sebagaimana tampak pada Gambar 2 di atas).
Untuk m jenis komoditas, maka keuntungan adalah:
p j f j (q j ) wq j m
j 1
dimana fj adalah fungsi produksi komoditi j sedangkan qj adalah air yang digunakan sebagai input untuk komoditi tersebut, dan p j adalah harga komoditi j, sedangkan j = 1, 2, …, m. Kondisi derajat pertama maksimisasi keuntungan adalah:
47
1 w 0 atau f j (q j (w)) sehingga q j ( w) , j 1, 2, , m. q j f ( w / p) p Jadi, permintaan terhadap air sebagai input dalam proses produksi tersebut adalah: m
m
j 1
j i
q ( w) q j ( w)
1 f j ( w / p )
Ilustrasi grafis untuk kasus 3 komoditas tertera dapat disimak pada Gambar 3. w p f 1( q )
f 2 ( q )
f 3 ( q )
w1 p
fj'(q) adalah produktivitas marginal air untuk komoditas j. Fungsi permintaan dalam bentuk inverse untuk semua komoditas merupakan penjumlahan horizontal permintaan setiap komoditas
Penjumlahan horizontal f 1, f 1, dan f 3
w2 p
q1 ( w1 )
f j ( q )
q 2 ( w1 )
Gambar 3.
q ( w1 ) q1 ( w1 ) q 2 ( w1 ) q 3 ( w1 )
q air irigasi
q ( w 2 ) q1 ( w 2 ) q 2 ( w 2 ) q 3 ( w 2 )
q 3 ( w1 )
Fungsi permintaan air irigasi setiap komoditas dan total untuk seluruh komoditas yang tercakup
Perluasan untuk kasus n petani dan m komoditas adalah analog. Misalkan
f ij (q) melambangkan fungsi produksi komoditas j yang dihasilkan petani i. Maka: qi (w)
m
f ij 1 ( w / p ) adalah fungsi permintaan untuk petani–i, sedangkan
j
untuk keseluruhan petani adalah: n
q ( w) q i ( w ) i 1
n
m
i 1 j 1
f ij 1 ( w / p )
Sudah barang tentu tambahan jenis input yang lain (lahan, tenaga kerja, modal, dan lain-lain) dapat diinkorporasikan dalam model tersebut.
48 Sampai saat ini pasar air irigasi pada sistem irigasi permukaan belum terbentuk. Pasokan air irigasi yang didistribusikan ke petani tidak tergantung pada tingkat harga tetapi pada kuantitas air yang tersedia dan secara kelembagaan dialokasikan untuk irigasi. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa bentuk fungsi penawarannya inelastis sempurna. Selanjutnya, jika diasumsikan pasokan air irigasi pada Musim Tanam (MT) I, MT II, dan MT III masing-masing adalah adalah q1, q2, dan q3; sedangkan fungsi permintaan dari hasil valuasi
p q maka harga air irigasi pada waktu MT I, MT II, dan MT III secara hipotetis dapat dipresentasikan seperti Gambar 4. P SMT III
SMT II
SMT I
p3
p2
p q p1 D q3
q2
q1
Q
Gambar 4. Harga air irigasi pada waktu MT I, MT II, dan MT III 3.3. Pemrograman Matematis Valuasi Air Irigasi Dengan Metode CINI Sebagaimana dibahas dalam Bab Tinjauan Pustaka, metode valuasi yang sesuai diterapkan dalam penelitian ini adalah Residual Imputation Approach (RIA). Dalam penelitian ini yang dipilih adalah salah satu varian dari pendekatan tersebut yaitu change in net income (CINI) dengan pemrograman linier (LP). Misalkan untuk memperoleh pasokan air irigasi tidak ditarik biaya (gratis); tetapi pasokannya terbatas pada level x. Berapakah petani ingin membayar untuk memperoleh tambahan sebesar unit? Perhatikan bahwa pada saat volume air yang digunakan berada di level x maka penerimaannya adalah pf(x). Tambahan kuantitas air sebanyak menciptakan tambahan revenue sebesar p[f(x+) – f(x)].
49 Dengan kata lain, untuk memperoleh tambahan p[f(x+) – f(x)] petani akan membayar seharga
p f ( x ) f ( x ) untuk
tambahan air sebanyak m3 air.
Pada yang cukup kecil harga tersebut sama dengan pf'(x). Dengan demikian, pf'(x) merupakan (maksimal) harga dimana petani akan membayarnya untuk melonggarkan kendala per satu (marginal) unit; ini disebut shadow price air tersebut. Seperti yang kita lihat di atas, pf'(x) adalah inverse water demand. Jadi, secara formal sebenarnya masalah yang dihadapi adalah mencari solusi dari persoalan maksimisasi dengan kendala yang dapat diperesentasikan secara matematis sebagai berikut: Maxq pf (q ) dengan kendala q r . Dengan pendekatan fungsi Lagrange
pf (q) (q x) , kondisi derajat pertama
untuk optimasi (Kuhn-Tucker
condition) mencakup: (i) (ii) (iii)
L 0 pf (q) , q L 0 q x , dan (q x) 0 (complimentary slackness).
Jika f'(x) > 0, maka pf'(x) > 0 untuk semua q x (ii). Oleh karenanya kondisi derajat pertama (i) yakni 0 , berimplikasi kondisi (iii) bahwa air digunakan sampai pada batas q = x dan pf (x). Terlihat di atas bahwa bila harga air adalah w = pf'(x), maka kuantitas yang diminta petani adalah x. Jadi, pendekatan ini merupakan bayangan cermin (dual) dari pendekatan sebelumnya. Dengan cara mengubah kendala x dan menghitung shadow price ( ) yang bersangkutan, kita memperoleh ( x) pf ( x) fungsi permintaan inverse turunannya. Pendekatan ini sangat berguna karena dengan mudah diperluas untuk situasi dengan berbagai tambahan jenis input. Misalkan, selain air ada k input lainnya
z ( z1 , z 2 , , z k ) dengan harga r (r1 , r2 ,, rk ) dan input primer
(misalnya lahan) s ( s s , s 2 , sk ) yang tak perlu dibeli di pasar, tetapi terbatas
50 kuantitasnya sebanyak b (b1 , b2 ,, bk ) . Lalu misalkan fungsi produksinya adalah F(q,z,s). Maka persoalannya adalah: Max ( x, b, p, r ) Max{q, z ,s} pF (q, z , s ) (r1 z1 r2 z 2 rk z k ) dengan kendala q x dan s b Dalam bentuk Lagrange: pF(q, z, s) (r1 z1 r2 z2 rk zk ) (q x) 1 (s1 b1 ) 2 (s2 b2 ) l (sl bl )
Pengganda Lagrange ( ) pada kendala air ( q x ) pada titik optimum adalah harga bayangan air, dimana jika dihitung untuk seluruh level air yang feasible, akan membentuk fungsi inversi permintaan terhadap air. Untuk fungsi produksi non linier F(q,z,s), maka persoalannya adalah optimasi non-linear programming (NLP). Dalam kasus khusus, misalnya jika fungsi produksinya adalah Leontief (fix coefficient) maka bentuknya adalah: F(v1, v2, …, vm) = min{v1 / a1 , v2 / a2 ,, vm / a m } untuk a1, a 2, …, a m. Dengan demikian persoalannya menjadi Linear Programming, dan algoritmenya dapat dilakukan dengan lebih sederhana (metode Simplex). Sebagai contoh, misalkan ada m komoditas dengan 4 input: lahan, air, tenaga kerja, dan pupuk. Per hektar komoditas j membutuhkan a 1j m3 air, a 2j hari kerja, a 3j kg pupuk, dan menghasilkan yj kg output, j = 1, 2, …, m. Parameter yj, a1j, a2j, dan a3j, j = 1, 2, …, m berupa Leontief production technology. Output komoditas j dalam kasus ini adalah: q j z1 j z 2 j L j y j L j Min , , , j = 1, 2, …, m. a1 j a2 j a3 j
dimana q j, z1j dan z2j masing-masing adalah per hektar air, tenaga kerja, dan input untuk komoditi j, dan Lj adalah lahan yang dialokasikan untuk komoditi j. Misalkan r1 dan r2 melambangkan upah tenaga kerja dan harga pupuk. Tidak termasuk dengan biaya untuk lahan dan air, per hektar pendapatan untuk komoditi j adalah:
j p j y j r1 z1 j r2 z 2 j y j ( p j r1 j a 2 j r2 a3 j ) .
51 Misalkan L dan x melambangkan kendala lahan dan air irigasi, maka maksimisasi keuntungan adalah: m
Max L j j j 1
dengan kendala: m
L j a1 j x (kendala air) j 1 m
L j L (kendala lahan) j 1
L j 0 , j = 1, 2, … , m (kendala non negativitas).
Hasil optimasi mencakup alokasi optimal lahan, air irigasi, dan pengganda Lagrange untuk setiap kendala. Pengganda Lagrange ( ) kendala air irigasi adalah harga bayangan air irigasi. Harga bayangan inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk menentukan komponen pokok biaya irigasi dalam sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang dimaksud dalam penelitian ini. Selanjutnya melalui analisis pasca optimal (post optimality analysis) perubahan penggunaan air irigasi akibat adanya perubahan ketersediaan air irigasi (x) dan mencatat harga bayangan ( ) untuk setiap hasil optimasi tersebut dapat diperoleh hubungan antara penggunaan air irigasi (x) dengan harga bayangan air irigasi ( ), yang tak lain adalah fungsi permintaan normatif dalam bentuk inversi. Dengan manipulasi matematika sederhana tentu saja dapat diperoleh bentuk fungsi permintaan normatif air irigasi. Analisis pasca optimal juga dapat dilakukan untuk memperoleh informasiinformasi penting lainnya. Sebagai contoh, analisis pasca optimal perubahan harga gabah dapat menghasilkan hubungan antara harga gabah dengan produksi gabah (melalui perhitungan sederhana dari luas areal padi pada solusi optimal yang diperoleh) sehingga dapat diperoleh kurva penawaran normatif padi. Dapat pula dilakukan analisis tentang pengaruh ketersediaan air irigasi terhadap diversifikasi; bahkan dapat dilakukan kajian tentang potensi kerugian yang diakibatkan oleh kelebihan luas tanam padi. Informasi ini cukup penting dalam analisis kebijakan yang terkait dengan strategi pengembangan produksi pangan.
52 3.4. Faktor-faktor Utama yang Harus Dipertimbangkan Dalam Pemodelan 3.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pasokan dan Permintaan Air Irigasi Per definisi model adalah abstraksi dunia nyata yang dipresentasikan dalam suatu bentuk yang telah disederhanakan. Dengan demikian langkah awal dalam pemodelan adalah pemahaman yang komprehensif tentang fenomena empirisnya. Dalam konteks ini, faktor-faktor apa yang bekerja dan bagaimana konstelasi hubungannya harus dikenali dengan baik. Harga bayangan atau nilai produktivitas marginal air irigasi ditentukan oleh pasokan maupun permintaannya dan perilakunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Sebagian dari faktor-faktor tersebut bersifat eksternal (tak dapat dikontrol), sedangkan lainnya bersifat internal (perilakunya dapat dikendalikan). Pada sisi pasokan, faktor-faktor yang berpengaruh adalah iklim terutama curah hujan, kondisi fisik-lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama daerah tangkapan air (catchment area), sarana dan prasarana irigasi, teknologi pendayagunaan air yang terkait dengan keirigasian, dan kelembagaan pengelolaan irigasi baik di tingkat petani maupun supra strukturnya (Gambar 5). Curah hujan sangat menentukan volume air yang dapat didayagunakan untuk irigasi karena mempengaruhi volume air di reservoir (waduk), debit sungai, bahkan ketersediaan air di hamparan lahan petani. Curah hujan berperan di dua sisi sekaligus yakni di sisi pasokan maupun permintaan terhadap air irigasi. Kondisi DAS sangat menentukan kapasitas wilayah tangkapan untuk menyimpan air. Kondisi DAS yang sangat terdegradasi, kapasitasnya untuk menyimpan air di dalam tanah menjadi sangat rendah. Kondisi ini berakibat meningkatnya intensitas banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Kondisi sarana dan prasarana irigasi merupakan salah satu determinan reliabilitas (keandalan) pasokan air irigasi. Ada tiga komponen sarana dan prasarana yang vital yaitu: reservoir (waduk, dam, bendung gerak), saluran distribusi (primer, sekunder, tertier, kuarter), dan saluran pembuang (drainage). Penurunan fungsi salah satu atau kombinasi dari komponen-komponen tersebut dapat mengakibatkan menurunnya tingkat keandalan pasokan air irigasi.
53
Iklim (terutama curah hujan) Penguasaan lahan pertanian Kondisi Daerah Aliran Sungai
Ketersediaan tenaga kerja pertanian
Pasokan air dari curah hujan
Ketersediaan modal usahatani
Sarana & Prasarana Irigasi Pasokan air irigasi
Permintaan air irigasi
Teknologi di bidang irigasi
Nilai produktivitas marginal air irigasi Kelembagaan Pengelolaan Irigasi
Pola pengusahaan komoditas pertanian di lahan irigasi: - jenis komoditas - waktu pengusahaan - skala pengusahaan - teknik budidaya - teknik pengairan
Kapabilitas managerial usahatani Penguasaan teknologi usahatani Harga-harga keluaran usahatani Harga-harga masukan usahatani
Kebijaksanaan pemerintah
Gambar 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga bayangan air irigasi 53
54 Kondisi sarana dan prasarana irigasi adalah perangkat keras. Perangkat lunaknya (software) adalah teknologi pengairan dan kelembagaan pengelolaan irigasi. Teknologi irigasi sangat menentukan kinerja fisik sistem distribusi, efisiensi
penyimpanan,
penyaluran,
maupun
pembuangan;
sedangkan
kelembagaan pengelolaan merupakan sangat menentukan pengoperasian sistem. Kelembagaan pengelolaan menentukan
kinerja
irigasi
irigasi merupakan faktor
secara
umum.
Sesungguhnya,
yang sangat kelembagaan
pengelolaan irigasi adalah determinan utama kinerja irigasi karena dalam kelembagaan pengelolaan irigasi tersebut faktor-faktor yang bekerja di sisi pasokan dan sisi permintaan diorganisasikan. Di sisi kebutuhan, faktor yang paling menentukan permintaan air irigasi adalah pola pengusahaan komoditas usahatani yang dimensinya mencakup: jenis komoditas yang diusahakan, skala dan waktu pengusahaannya, teknik budidaya pertanian, dan teknik pengairan yang diterapkan. Pola pengusahaan komoditas merupakan outcomes dari tujuan petani untuk memaksimumkan keuntungan. Dengan demikian faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengusahaan komoditas adalah: ketersediaan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal), kemampuan managerial usahatani, penguasaan teknologi, dan harga-harga baik harga masukan untun usahatani maupun harga keluaran usahatani. Secara empiris ada beberapa faktor yang perilakunya berpengaruh pada sisi pasokan maupun sisi permintaan (Gambar 5). Faktor terpenting adalah curah hujan. Curah hujan tidak hanya mempengaruhi ketersediaan air tetapi juga mempengaruhi alternatif pola tanam. Pengaruh faktor ini semakin tinggi apabila reliabilitas pasokan air irigasi semakin rendah. Selain curah hujan, faktor lain yang secara tidak langsung mempengaruhi pola pengusahaan komoditas adalah kelembagaan pengelolaan irigasi. Dalam praktek, petani tidak sepenuhnya bebas untuk menentukan pola tanam. Penggunaan air irigasi diatur dalam suatu sistem kelembagaan berdasarkan prinsip-prinsip pemanfaatan "sumberdaya publik". Dengan demikian secara normatif pola pengusahaan komoditas harus selalu mengacu pada aturan main yang telah disepakati dalam komunitas yang terkait.
55 Kebijaksanaan pemerintah berperan di dua sisi. Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan sumberdaya air sangat menentukan kinerja pasokan air dalam arti luas maupun pasokan air irigasi khususnya. Peranannya dapat di bidang investasi, penggunaan air antar sektor, kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sebagainya. Peranan pemerintah di sisi permintaan dapat berupa kebijaksanaan di bidang harga (masukan maupun keluaran), kebijakan di bidang penyediaan modal untuk usahatani, maupun bantuan teknis dalam bentuk pengembangan kemampuan teknis dan managerial petani melalui program penyuluhan pertanian. 3.4.2. Distribusi Spatial Air Irigasi dan Implikasinya Pada dasarnya distribusi spatial sumberdaya air bersifat alamiah dan ditentukan oleh resultante interaksi hukum-hukum hidrologi dan konfigurasi geografis. Jika menyerahkan sepenuhnya pada pengaruh hukum alam tersebut maka ketersediaan air irigasi bagi petani yang berada di hilir akan sangat tergantung pada penggunaan air irigasi yang dilakukan oleh petani yang berada di hulu. Sebaliknya, ketika air sangat berlebih maka upaya mengatasi dampak kelebihan air yang dialami oleh petani yang berada di hulu juga memerlukan kesediaan petani yang berada di hilir untuk menerima limpahan air dari hulu. Dalam konteks ini ada persepsi yang berlaku umum bahwa: 1. Kelebihan pasokan air pada musim hujan dialami oleh semua pihak baik petani di hulu, tengah, maupun hilir dan cara mengatasinya adalah membuang ke wilayah yang lebih hilir. Cara ini secara teknis paling mudah dilakukan karena secara alamiah air mengalir ke tempat yang lebih rendah dan secara ekonomi ongkos sosialnya paling murah. Selain itu oleh karena terminal terakhir pembuangan limpahan adalah wilayah bebas (laut) maka persepsi tersebut diterima masyarakat luas. Legitimasinya kuat karena hal tersebut juga dikukuhkan dalam aturan perundang-undangan. 2. Secara historis irigasi dibangun untuk mengatasi kelangkaan air yang dibutuhkan untuk tanaman. Oleh karena itu substansi permasalahan yang lebih mengemuka adalah bagaimana mengatur pembagian sumberdaya yang langka tersebut, bukan membuang kelebihan air. Kedua hal itu berimplikasi bahwa substansi pokok yang menjadi sumber ketergantungan adalah persoalan alokasi pasokan. Sifat ketergantungannya
56 asymetric dimana ketergantungan petani di hilir kepada petani yang berada di hulu jauh lebih tinggi daripada sebaliknya; dan bersifat rekursif dimana pasokan air irigasi untuk petani yang berada di wilayah yang lebih hilir dipengaruhi oleh penggunaan air irigasi para petani yang berada di wilayah yang berada di hulu. Bentuk ketergantungan seperti itu mempengaruhi alokasi optimal air irigasi dalam suatu sistem. Secara teoritik dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalkan dalam suatu Sistem Irigasi skala besar terdapat tiga Sub Sistem yaitu A, B, dan C dimana A berada di hulu, B di tengah, dan C berada di hilir. Selanjutnya misalkan P 1, P2, dan P3 masing-masing adalah petani di daerah A, B, dan C yang memproduksi y (y1 untuk A, y2 untuk B, dan y3 untuk C). Diasumsikan A, B, maupun C menghadapi harga y yang sama yakni p. Jika diasumsikan bahwa produktivitas usahatani merupakan fungsi dari tingkat ketersediaan air irigasi, maka maksimisasi keuntungan ketiga petani tersebut dapat dituliskan:
1 max py1 f ( y1 )
(1)
2 max py 2 g ( y 2 , y1 )
(2)
3 max py3 h ( y3 , y 2 , y1 )
(3)
y1
y2
y3
dimana fungsi f, g, dan h adalah biaya produksi masing-masing petani P1, P2, dan P3. Jika masing-masing petani bebas dan tak ada koordinasi (anarchic) maka solusi optimal yang dihadapi harus memenuhi kondisi derajat pertama berikut:
f ( y1 ) g ( y2 , y1 ) h( y3 , y2 , y1 ) p y1 y 2 y3
(4)
artinya semua petani tersebut menyamakan biaya privat marginal usahataninya dengan harga. Oleh karena p tetap maka hal itu berarti bahwa semakin banyak air yang digunakan di hulu maka semakin sedikit air yang tersedia untuk petani di hilir sehingga produk yang dapat dihasilkan oleh petani yang berada di hilir juga lebih rendah agar biaya privat marginalnya dapat dipertahankan sama dengan harga produk (p). Jika ketiga (kelompok) petani tersebut berada di dalam satu sistem pengelolaan irigasi yang terkoordinasi maka persoalannya adalah bagaimana
57 memaksimumkan keuntungan untuk satu sistem secara keseluruhan. Dengan demikian maksimisasi keuntungan yang dihadapi dalam usahatani adalah:
1 23 max ( y1 y 2 y3 ) f ( y1 ) g ( y 2 , y1 ) h( y3 , y 2 , y1 )
(5)
y1 , y2 , y3
dan kondisi derajat pertama yang harus dipenuhi untuk solusi optimal adalah: P1 : P2 : P3 :
f ( y1 ) g ( y 2 , y1 ) h( y3 , y 2 , y1 ) p y1 y1 y1 g ( y2 , y1 ) h ( y3 , y2 , y1 ) p y 2 y 2 h( y3 , y2 , y1 ) p y3
(6) (7) (8)
Dari persamaan tersebut tampak bahwa kondisi optimal untuk seluruh sistem mensyaratkan bahwa petani-petani yang berada di hulu harus peduli dengan petani yang berada di hilir. Dengan kata lain, petani di hulu harus ikut menanggung beban petani yang berada di hilir. Biaya sosial marginal potensial yang harus ditanggung oleh petani di Hulu (P1) dan di Tengah (P2) adalah: P1 : P2 :
g ( y 2 , y1 ) h( y3 , y 2 , y1 ) y1 y1 h( y3 , y 2 , y1 ) y2
Adalah logis bahwa setiap mendahulukan
kepentingan
dirinya
(9) 10) individu (termasuk petani) cenderung sebelum
orang
lain.
Implikasinya,
implementasi prinsip-prinsip efisiensi dan pemerataan (persamaan (6) – (10)) dalam alokasi air irigasi pada sistem irigasi skala besar dengan menggunakan mekanisme pasar sangat sulit. Dalam sistem irigasi permukaan skala besar (large scale surface irrigation) dengan sistem penyaluran air irigasi menggunakan saluran terbuka dan jumlah petani yang tercakup dalam sistem tersebut sangat banyak, mekanisme pasar hampir mustahil diterapkan karena kendala teknis sangat sulit diatasi dan nilai-nilai sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat menyebabkan adanya resistensi yang sangat tinggi. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan adalah kelembagaan non pasar dengan menerapkan sistem kuota (sistem jatah). Dalam sistem jatah, pasokan diatur sedemikian rupa sehingga distribusi air irigasi per satuan luas (liter per detik – lt/dt) antar wilayah
58 (hulu, tengah, dan hilir) relatif sama. Teknisnya adalah dengan cara mengatur durasi pembukaan (buka – tutup) pintu-pintu air irigasi baik di saluran primer, sekunder maupun tertier. Pengelolaan irigasi membutuhkan batas yurisdiksi, aturan representasi, dan pengakuan terhadap hak pemilikan yang jelas. Komunitas dan atau wilayah mana saja yang tercakup (batas yurisdiksi), siapa melakukan apa (aturan representasi), dan bagaimana meletakkan hak kepemilikan dalam sistem organisasi, harus dirumuskan dan dijabarkan dalam bentuk yang dapat dioperasionalkan. Di sisi lain, mengingat jumlah petani yang terlibat sangat banyak maka perlu adanya pemahaman dan persepsi yang sama agar terbentuk aksi kolektif yang konvergen azas-azas dengan pengelolaan irigasi yang efisien dan adil. Pada sistem irigasi teknis skala besar (large scale surface irrigation) dimana investasi pembangunan/pengembangannya dilakukan oleh pemerintah, otoritas distribusi air berada di tangan pemerintah (Dinas Pengairan). Di lapangan, Aparat Dinas Pengairan yang secara langsung bertugas mengatur distribusi air irigasi (dari saluran induk sampai tertier) bekerja berdasarkan petunjuk teknis sistem pembagian air yang merupakan penjabaran operasional dari prinsip tersebut di atas. Dalam istilah setempat petugas tersebut populer dengan sebutan Penjaga Pintu Air. Secara teoritis, sistem jatah sangat mungkin tidak menghasilkan keuntungan maximum untuk seluruh sistem (global maximum). Oleh karena itu sistem jatah bukan first best solution untuk maksimisasi keuntungan ataupun efisiensi. Akan tetapi sistem jatah merupakan pendekatan pragmatis yang lebih mudah ditempuh untuk menjamin terpenuhinya azas pemerataan. Terkait dengan kelemahan yang melekat dalam sistem penjatahan maka ada dua prasyarat yang harus dipenuhi agar mekanisme penjatahan berjalan baik. Pertama, pengorganisasiannya harus dikoordinasikan oleh suatu badan yang memiliki otoritas yang legitimasinya didukung oleh kerangka hukum yang berlaku dan secara kelembagaan efektif. Kedua, adanya dukungan infrastruktur yang memadai sehingga secara teknis dapat diimplementasikan. Selain kedua prasyarat
59 tersebut, alokasi air irigasi dengan mekanisme penjatahan juga harus mempertimbangkan hal-hal berikut: 1. Kuantitas air yang dapat dialokasikan untuk irigasi adalah bervariasi. Meskipun sudah didisain sebagai sistem irigasi teknis, pengaruh curah hujan masih besar karena sistem penyampaian dan pembuangan air menggunakan saluran terbuka. Selain itu, curah hujan langsung jatuh ke hamparan lahan juga merupakan tambahan pasokan air yang tersedia untuk tanaman yang harus diperhitungkan. Di sisi lain harus pula diperhitungkan alokasi air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, dan lain-lain yang berdasarkan aturan perundang-undangan justru mempunyai prioritas yang lebih tinggi. 2. Sebagian besar sumber pasokan air irigasi untuk seluruh sistem terletak di bagian yang lebih hulu, kemudian dialirkan ke arah hilir. Oleh karena itu, air irigasi yang terdapat di hulu lebih tinggi daripada kebutuhannya, sedangkan yang di hilir cenderung lebih rendah dari kebutuhan di wilayah tersebut. 3. Secara keseluruhan, total volume air irigasi yang dilepas dari sumber pasokan lebih tinggi daripada total volume yang sampai di tingkat usahatani karena adanya kehilangan dalam penyaluran. Meskipun demikian karena ada tambahan pasokan air dari curah hujan maka ada kalanya total volume air yang tersedia di hamparan usahatani justru lebih tinggi. 4. Penjatahan air irigasi hanya relevan dilakukan pada periode pasokan air irigasi langka yang biasanya berlangsung sejak Bulan Juni – November. Pada periode lainnya (Desember – Mei) tidak diperlukan adanya sistem penjatahan karena: (1) kebutuhan tanaman terhadap air dari sistem irigasi lebih rendah dari ratarata (karena sebagian telah terpebuhi dari curah hujan), dan (2) pasokan air irigasi lebih banyak dari rata-rata. 5. Sumber pasokan air irigasi cukup banyak dan tersebar di hulu, tengah, maupun hilir dengan memanfaatkan sumberdaya air dari anak-anak sungai Brantas dan atau dam-dam setempat. Oleh karena itu, Sub DAS Hilir tidak sepenuhnya tergantung pada pasokan air irigasi dari Sub DAS Tengah maupun Sub DAS Hulu; demikianpun halnya pasokan air irigasi untuk Sub DAS Tengah tidak sepenuhnya tergantung pada pasokan dari Sub DAS Hulu.
60 Azas pemerataan yang menjadi acuan dalam mekanisme penjatahan diwujudkan melalui penerapan sistem proporsi sehingga variasi volume pasokan air irigasi antar wilayah ditentukan oleh luas areal layanan irigasi masing-masing wilayah tersebut. Sistem proporsi juga berlaku dalam konteks temporal sehingga fluktuasi pasokan air irigasi di setiap wilayah berbanding lurus pula dengan fluktuasi total volume air irigasi untuk seluruh sistem. Selain itu, dalam alokasi air irigasi harus ada sejumlah volume air yang dicadangkan untuk mengatasi insiden kekekeringan yang mungkin dialami di wilayah-wilayah tertentu. Jadi, kecenderungan untuk bersikap konservatif juga diperlukan mengingat dampak kerugian yang timbul akibat kekeringan dianggap lebih besar daripada potensi kerugian akibat adanya sejumlah kuantitas air irigasi yang tak termanfaatkan. Pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, alokasi spatial melalui sistem jatah tersebut telah berlangsung sejak sistem irigasi tersebut beroperasi. Prosedur teknis tentang tatacara pembagian air dalam operasi dan pemeliharaan irigasi dapat disimak pada Lampiran 1. Alokasi
spatial
dengan
mekanisme
penjatahan
tersebut
di
atas
menggunakan pendekatan pengelolaan pasokan (supply management - SM). Dalam kondisi air irigasi langka, upaya peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi lebih sesuai jika didekati melalui pengelolaan permintaan (demand management – DM) (Winpenny, 1994; Rosegrant et al, 2002). Berbeda dengan pendekatan SM dimana penyediaan air irigasi untuk suatu wilayah ditentukan oleh pihak pemasok, pada pendekatan DM pasokan air irigasi untuk suatu wilayah tergantung pada permintaan atau kebutuhan petani. Dengan demikian peran aktif petani lebih besar pada pendekatan DM. Selama ini petani sudah sangat terbiasa dengan pendekatan SM sehingga perubahan pendekatan dari SM ke DM membutuhkan proses adaptasi, baik di pihak pemasok maupun pengguna air irigasi (petani). Secara teoritis, petani lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan yang sifatnya gradual daripada perubahan yang terjadi secara total dalam waktu singkat. Berdasarkan justifikasi demikian itu, model yang dikembangkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan transisi dari SM ke DM
yang dalam penelitian ini diistilahkan DM yang
61 dimodifikasi (modified demand management – MDM). Perbedaan antara ketiga jenis pendekatan tersebut adalah sebagai berikut (Tabel 1). Tabel 1. Perbedaan antara pendekatan SM, DM, dan MDM Faktor pembeda
SM
DM
MDM
Alokasi air (termasuk distribusi antar wilayah)
Ditentukan pemasok
Tergantung permintaan
Kombinasi dari pendekatan SM dan DM.
Pemegang inisiatif utama
Pemasok
Pengguna air irigasi
Kedua belah pihak, sesuai situasi dan kondisi
Tingkat kesulitan untuk memenuhi azas pemerataan
Rendah
Tinggi
Sedang
Kesesuaiannya untuk mendorong efisiensi
Rendah
Tinggi
Sedang
Tingkat kesulitan dalam implementasi
Lebih rendah
Lebih tinggi
Sedang
Sebagai salah satu bentuk pendekatan transisi, alokasi spatial air irigasi melalui MDM perlu mengkombinasikan pendekatan SM dan DM. Salah satu prinsip yang diadopsi dari pendekatan SM adalah bahwa dalam alokasi air irigasi, setiap wilayah yang tercakup dalam areal layanan irigasi (command area) berhak atas pasokan air irigasi sesuai dengan kebutuhan minimalnya. Oleh karena itu, volume air irigasi yang dialokasikan ke setiap wilayah terdiri dari dua komponen yaitu: (1) untuk memenuhi kebutuhan minimal, dan (2) untuk memenuhi permintaan dimana alokasinya mengarah pada produktivitas yang lebih tinggi. Misalkan air yang terdapat di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah W1 , W2 , dan W3 ; sedangkan w1min , w2min , dan w3min melambangkan kebutuhan minimum di masing-masing Sub DAS tersebut.
Selanjutnya, misalkan air irigasi yang dialokasikan dari Hulu ke Tengah adalah T1 (dengan efisiensi penyaluran c1 ), sedangkan yang dialokasikan dari Tengah ke Hilir adalah T2 (dengan efisiensi penyaluran c2 ). Maka pasokan air irigasi (endogen) untuk wilayah irigasi di Sub DAS Hulu ( W1* ), Sub DAS Tengah ( W2* ), dan Sub DAS Hilir ( W3* ) dengan pendekatan MDM dapat diekspresikan sebagai berikut (Gambar 6).
62
W 1* W 1 T1 dimana: W1* w1min
Hulu
W 2* W 2 c1 T1 T2 dimana: W2* w2min
Tengah
W3* W3 c 2 T2 dimana: W3* w3min
Hilir
Keterangan: : Reservoir (waduk, bendungan, dll.) : Saluran primer : Saluran sekunder
: Saluran tertier : Saluran pembuang : Blok (petak) tertier
Gambar 6. Skema sederhana distribusi spatial air irigasi dengan pendekatan MDM
63 Data ketersediaan air irigasi di level tertier masing-masing Sub DAS diperoleh dari nilai rata-rata debit air irigasi pada petak-petak terier contoh. Untuk memperoleh tingkat ketersediaan air irigasi di level usahatani, angka-angka tersebut dikalikan dengan tingkat efisiensi irigasi di level usahatani (on-farm use efficiency – FUEF). Rata-rata FUEF di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir (SAPS, 1982) masing-masing adalah 0.75, 0.70, dan 0.65. Dalam penelitian ini, kebutuhan minimum untuk masing-masing Sub DAS diasumsikan setara dengan rata-rata debit air irigasi pada petak-petak tertier yang terjadi pada tahun-tahun kering dari data deret waktu sepuluh tahun (1989 – 1999) dan untuk Sub DAS Tengah dan Hilir diasumsikan mengandalkan sebagian besar pasokan air irigasi dari sumber setempat. Data ini dikumpulkan dari Seksi Cabang Pengairan dimana petak-petak terteir contoh berada dan dilengkapi dengan informasi dari Juru Pengairan di petak-petak tertier yang bersangkutan.
3.4.3. Distribusi Temporal Air Irigasi dan Implikasinya Nilai ekonomi sumberdaya ditentukan oleh tingkat kelangkaannya. Semakin langka semakin tinggi nilai ekonominya. Konsep kelangkaan adalah relatif terhadap kebutuhan. Oleh karena itu jika sumberdaya yang tersedia lebih banyak dari yang dibutuhkan maka didefiniskan sebagai tidak langka dan karenanya nilai ekonominya nol. Air yang tersedia untuk usahatani terutama berasal dari dua sumber yaitu air hujan dan air irigasi. Pada sistem irigasi permukaan, pasokan air yang berasal dari irigasi juga dipengaruhi oleh curah hujan. Pada musim hujan, total pasokan air yang tersedia untuk tanaman sangat berlebih karena: (1) pasokan air dari curah hujan yang jatuh di lahan petani sangat banyak, (2) pasokan air dari irigasi meningkat. Sebaliknya pada musim kemarau curah hujan sangat sedikit, bahkan pada bulan-bulan tertentu tidak ada. Pada musim ini pasokan air irigasi juga menurun. Dengan demikian, total air yang tersedia untuk tanaman menjadi sangat terbatas. Secara hipotetis pola sebaran temporal ketersediaan air untuk pertanian dan implikasinya terhadap nilai ekonomi air irigasi dapat diilustrasikan pada Gambar 7.
64 Kuantitas Air Total (irigasi + curah hujan) Curah hujan Pasokan air irigasi Kebutuhan air irigasi
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Nilai ekonomi air irigasi
0
Musim Hujan
Musim Kemarau
3
Rp. / m
SMK SMH PwMK
E MK
EMH
PwMH
DAI Qw MK
Qw MH
Qair irigasi (m3)
Gambar 7. Implikasi pola distribusi temporal kebutuhan dan pasokan air irigasi terhadap harga bayangannya Lazimnya jika curah hujan berlangsung normal, musim penghujan terjadi pada Bulan Oktober – Maret, sedangkan musim Kemarau pada Bulan April – September. Dengan pola sebaran temporal seperti itu, air yang tersedia di lahan pesawahan pada Bulan November – Maret lebih tinggi dari kebutuhan, sedangkan
65 pada Bulan April – akhir September air yang dibutuhkan lebih banyak daripada yang tersedia. Oleh karena itu pada bulan November – Maret harga bayangan air irigasi sangat rendah sedangkan pada April – September cukup tinggi. Harga bayangan air irigasi semakin meningkat seiring dengan kelangkaannya dan diperkirakan puncaknya terjadi pada Bulan Agustus atau September. Jika disederhanakan maka penawaran air irigasi pada musim hujan dan musim kemarau dapat diilustrasikan sebagaimana gambar terbawah. Misalkan SMH dan SMK masing-masing menggambarkan penawaran air irigasi pada musim hujan dan musim kemarau. Selanjutnya jika diasumsikan bahwa bentuk fungsi permintaan air irigasi serupa dengan masukan usahatani lainnya sehingga elastisitasnya negatif, maka bentuk sederhana grafik fungsi permintaannya adalah DAI. Dengan asumsi pasar air irigasi berlaku, maka keseimbangan pada musim hujan terjadi pada EMH dimana jumlah yang diminta adalah QWMH dengan harga PwMH. Pada musim kemarau, keseimbangan terjadi pada EMK dimana jumlah yang diminta adalah QWMK , sedangkan harganya adalah PwMK. Pelajaran terpenting yang dapat ditarik dari pembahasan di atas adalah bahwa dalam membangun model yang akan digunakan untuk melakukan valuasi air irigasi pola maka sebaran temporal harus diperhitungkan dengan baik. Secara umum dapat dinyatakan bahwa model yang dikembangkan semakin mendekati fenomena empiris apabila distribusi temporal kebutuhan dan ketersediaan air irigasi dapat didisagregasikan sampai pada tingkat yang sangat rinci. 3.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Secara implisit istilah "prospek" berarti "kemungkinan yang (diharapkan atau diperkirakan) akan terjadi.
Istilah "kemungkinan" itu sendiri memiliki
asosiasi sangat kuat dengan "probabilitas atau peluang". Jadi analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi prospek penerapan iuran irigasi berbasis komoditas dapat didekati dengan cara tidak langsung melalui analisis faktor-faktor yang menentukan probabilitas dari sejumlah alternatif yang merupakan komponen pokok sistem iuran irigasi berbasis komoditas tersebut.
66 Prospek penerapan iuran irigasi berbasis komoditas seharusnya tercermin dari keberhasilan mendorong perubahan pola tanam dan partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi sedemikian rupa sehingga mengarah pada sosok normatif. Jika dibandingkan dengan kondisi aktual, sosok normatif dicirikan oleh dua karakteristik utama yaitu: 1.
Pola tanam lebih berdiversifikasi
2.
Total nilai iuran irigasi menjadi lebih tinggi dan semakin tinggi jika sebagian besar luas garapan usahatani pada musim kemarau adalah padi. Dengan demikian prospek penerapan semakin besar jika probabilitas
petani untuk berdiversifikasi lebih tinggi dan partisipasi membayar iuran irigasi lebih baik. Informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peluang tersebut sangat dibutuhkan dalam merancang strategi penerapan. Oleh karena itu perlu dikaji berdasarkan data empiris. 3.5.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola Tanam Konsep pola tanam mengacu pada komposisi komoditas pertanian yang diusahakan dalam satu tahun kalender pertanian. Oleh karena itu secara garis besar ada 3 unsur yang tercakup dalam pengertian pola tanam yaitu: (1) jumlah jenis (diversitas), (2) skala pengusahaan masing-masing jenis, dan (3) waktu pengusahaan. Secara garis besar pola tanam dapat dipilah menjadi dua kategori yaitu: (1) monokultur, yang maknanya adalah bahwa dalam horizon waktu acuan (lazimnya satu tahun) mengusahakan satu jenis komoditas, dan (2) diversifikasi yakni dalam horizon waktu acuan mengusahakan lebih dari satu jenis komoditas. Mengacu pada dimensi yang tercakup dalam konsep pola tanam, maka konsep diversifikasi mencakup dimensi kualitatif dan kuantitatif. Dimensi kualitatif mengacu pada jenis atau kelompok jenis komoditas yang diusahakan, sedangkan dimensi kuantitatif mengacu pada komposisi skala pengusahaan. Secara kualitatif, diversifikasi dapat dipilah menjadi dua berdasarkan kategori komoditas yang diusahakan yaitu: (1) diversifikasi dengan mengusahakan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi, dan (2) komoditas pertanian yang tidak bernilai ekonomi tinggi. Secara kuantitatif, komposisi skala pengusahaan
67 ditentukan oleh jumlah jenis dan pangsa masing-masing jenis tersebut terhadap keseluruhan komoditas yang tercakup dalam unit waktu acuan. Terdapat beberapa metode yang dapat dipakai untuk memperoleh ukuran kuantitatif yang merefleksikan diversifikasi misalnya Indeks Entrophy, Indeks Herfindahl, Indeks proporsi maksimum, Indeks Simpson, dan sebagainya (Pandey and Sharma, 1996; Chand, 1996; Joshi et al, 2004). Dalam penelitian ini digunakan Indeks Entrophy yang formulanya adalah (Theil and Finke, 1983): n
E pi ln pi i 1
dimana:
E = indeks Entropy pi = luas pengusahaan komoditas jenis i terhadap total luas pengusahaan dalam kurun waktu tertentu (dalam penelitian ini adalah satu tahun) n = jumlah jenis komoditas yang diusahakan. Nilai E dapat digunakan untuk memenuhi dua macam tujuan. Pertama, untuk mengetahui deskripsi tentang tingkat diversifikasi (rata-rata, sebaran). Kedua, sebagai landasan untuk menentukan cara pemilahan. Jika sebarannya relatif homogen maka pemilahan menurut dimensi kualitatif adalah lebih bermakna daripada pemilahan dari menurut dimensi kuantitatif. Sebaliknya jika sebaran tingkat diversitas menurut dimensi kuantitatif menunjukkan sangat heterogen, pemilahan perlu mengkombinasikan dimensi kualitatif dan kuantitatif. Dalam dimensi kualitatif, secara garis besar ada tiga alternatif pilihan pola tanam yang lazim diterapkan petani : 1. Tidak berdiversifikasi (monokultur padi), 2. Berdiversifikasi dengan mengusahakan (kelompok) komoditas pertanian yang tidak bernilai ekonomi tinggi 3. Berdiversifikasi dengan mengusahakan (kelompok) komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi Secara teoritis, jika acuan yang digunakan adalah potensinya untuk menghasilkan keuntungan maka alternatif (3) dapat dikatakan lebih tinggi daripada alternatif (2) karena alternatif (3) lebih besar peluangnya untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar. Akan tetapi alternatif (2) tidak selalu lebih tinggi nilainya daripada alternatif (1) karena tidak ada jaminan bahwa
68 keuntungan yang dapat diperoleh dari alternatif (2) lebih tinggi daripada alternatif (1). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa antar ketiga kategori tersebut tidak ada jenjang yang konsisten; artinya tidak bersifat berjenjang. Model yang lazim diterapkan untuk mengestimasi probabilitas pilihan terhadap sejumlah alternatif tak berjenjang dimana jumlah alternatif yang dipilih lebih dari dua adalah model multinomial logistic (mlogit) atau multinomial probit (mprobit). Atas dasar pertimbangan itu, dalam penelitian ini yang diaplikasikan adalah mlogit. Model ini dikenal pula dengan istilah polytomous logistic regression. Sebagaimana dinyatakan dalam Greene (2003) dan Long and Freese (2003), model umum mlogit adalah sebagai berikut. Misalkan ada tiga kategori (1, 2, 3) yang dijadikan pilihan (outcomes), dan misalkan basis outcome adalah alternatif 1. Probabilitas bahwa respon untuk individu ke-j sama dengan outcome ke-i adalah:
1 k 1 exp(x j m ) m2 pij Pr(y j i) exp(x j i ) k 1 exp(x j m ) m2
, jika i 1
, jika i 1
dimana: xj
= vektor baris variabel-variabel bebas individu ke-j
m
= vektor koefisien untuk outcome m.
Log pseudolikelihood adalah: k
ln L w j I i ( y j ) ln pik j
i 1
dimana wj adalah suatu pembobot opsional, dan
1, jika y j i Ii ( y j ) 0, jika lainnya Estimasi parameter yang digunakan dalam model mlogit adalah maximum likelihood. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam penelitian ini ada tiga alternatif
69 yang ingin diketahui probabilitasnya dan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan terhadap masing-masing kategori tersebut. Misalkan (1), (2), dan (3) masing-masing menunjukkan himpunan koefisien parameter untuk alternatif 1, 2, dan 3 maka probabilitas untuk memilih masing-masing alternatif tersebut adalah: (1)
e xβ
Pr( y 1)
(1)
(2)
(3)
e xβ e xβ e xβ (2)
Pr( y 2)
exβ (1)
(2)
(3)
exβ exβ e xβ (3)
Pr( y 3)
e xβ (1)
(2)
(3)
e xβ e xβ e xβ
Agar dapat dihitung maka salah satu harus dijadikan basis. Misalkan alternatif 1 dijadikan basis outcome maka (1) = 0, sehingga probabilitas masingmasing adalah:
1
Pr( y 1)
(2)
(3)
1 exβ e xβ (2)
e xβ
Pr( y 2)
(2)
(3)
1 exβ exβ (3)
exβ
Pr(y 3)
(2)
(3)
1 exβ exβ
Probabilitas relatif y = 2 terhadap basis adalah:
Pr( y 2) x β(2) e Pr( y 1) Probabilitas relatif tersebut dapat pula disebut sebagai rasio risiko relatif. Selanjutnya, jika vektor X = (x1, x2, … , xk) dan vektor k( 2) ( 1( 2 ) , 2( 2) ,, k( 2) ) , maka rasio risiko relatif untuk suatu perubahan satu unit dalam xi adalah: ( 2)
e
( 2)
(2)
(1) x1 ( i ) ( xi 1) ( k ) x k (2)
e
( 2)
( 2)
(1) x1 (i ) xi ( k ) x k
( 2)
e
(i )
Jadi risiko memilih alternatif 2 daripada laternatif 1 dari suatu perubahan satu unit variabel tertentu adalah sama dengan nilai eksponensial koefisien tersebut.
70 3.5.2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Dalam Membayar Iuran Irigasi Salah satu ukuran yang merefleksikan partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi adalah kepatuhannya terhadap ketentuan sistem pembayaran yang telah disepakati oleh komunitas petani pemakai air irigasi (P3A). Secara garis besar biaya irigasi yang dikeluarkan petani dapat dipilah menjadi 2 kategori: 1.
Biaya irigasi yang dilembagakan yang umumnya terdiri dari Iuran Pelayanan Irigasi (IPAIR) dan Iuran P3A (di Jawa Timur disebut Iuran HIPPA). Secara umum jumlah IPAIR lebih kecil daripada Iuran HIPPA.
2.
Biaya irigasi yang tidak dilembagakan dan bersifat insidentil. Tercakup dalam kategori ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar (menyuap) petugas pembagian air di lapangan agar memperoleh kemudahan pelayanan air irigasi, biaya yang dikeluarkan untuk irigasi pompa. Secara teoritis hampir semua petani menanggung biaya irigasi yang
termasuk kategori (1) dan hanya sebagian kecil yang mengeluarkan biaya irigasi untuk kategori (2). Selain itu, rata-rata biaya irigasi yang harus dikeluarkan petani untuk kategori (1) juga lebih besar daripada kategori (2). Oleh karena itu, evaluasi harus lebih difokuskan pada biaya irigasi yang dilembagakan (kategori 1). Dalam konteks ini, terdapat 4 (empat) alternatif bentuk partisipasi petani yaitu: 1.
Tidak membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA.
2.
Membayar IPAIR tetapi tidak membayar Iuran HIPPA.
3.
Membayar Iuran HIPPA tetapi tidak membayar IPAIR.
4.
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA. Ditinjau dari sudut pandang kuantitas, total jumlah iuran irigasi alternatif 3
adalah lebih besar dari alternatif 2. Dengan demikian keempat alternatif ini dapat dikatakan bersifat berjenjang (naturaly ordered) karena jumlah pembayaran untuk alternatif 4 > 3 > 2 > 1. Oleh karena hubungan antar alternatif bersifat berjenjang maka estimasi probabilitas petani dalam memilih alternatif tersebut lebih tepat didekati dengan model ordered logistic (ologit). Model ordered logistic (ologit) digunakan untuk mengestimasi hubungan antara suatu variabel tak bebas ordinal dan suatu himpunan variabel tak bebas.
71 Berbeda dengan mlogit, dalam ologit urutan angka ordinal
(skor) tertentu
merepresentasikan peringkat dari masing-masing kategori (dalam ologit, istilah lazim untuk 'alternatif' adalah 'kategori'). Kategori yang diasumsikan memiliki peringkat yang lebih tinggi dipresentasikan dengan skor yang lebih besar. Dalam ologit, makna suatu skor diduga sebagai suatu fungsi linier variabel-variabel tak bebas dan suatu himpunan dari titik-titik potong (cutpoints). Probabilitas pilihan terhadap kategori i: Pr(outcome j = i) = Pr(i-1 < 1x1j + 2x2j + … + k xkj + u j i ) diasumsikan terdistribusikan secara logistik dalam logit berjenjang, dimana:
i = koefisien parameter, i = 1, … k i = titik potong ke-i, i = 1, …k xij = variabel-variabel tak bebas kategori-i pengamatan-j k = jumlah kategori Sebagaimana dijelaskan di muka, dalam ologit maka kategori i = 1 didefinisikan sebagai nilai (jenjang) terendah, i = 2 sebagai jenjang berikutnya, dan seterusnya. Probabilitas suatu individu-j untuk memilih kategori-i adalah:
pij Pr( y j i ) Pr i 1 x j β u i
1 1 1 exp( i x j β) 1 exp( i1 x j β)
dimana 0 didefinisikan sangat kecil (- ) dan k sangat besar (+ ) Log likelihood-nya adalah:
N
k
j 1
i 1
ln L w j I i ( yi ) ln pij
dimana wj adalah suatu pembobot opsional, dan 1, jika y j i Ii ( y j ) 0, jika lainnya
3.5.3. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Untuk Berdiversifikasi dan Membayar Iuran Irigasi Jika partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi yang telah berlaku adalah sangat baik maka strategi penerapan iuran irigasi berbasis komoditas dapat difokuskan pada upaya mendorong penerapan diversifikasi usahatani. Hasil
72 analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk memilih suatu kategori pola tanam (sebagaimana dimaksud pada 3.5.1) dapat dimanfaatkan untuk keperluan tersebut. Sebaliknya, jika secara empiris sebagian besar petani telah menerapkan diversifikasi maka yang lebih diperlukan adalah upaya untuk mendorong partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Untuk itu, perumusan strategi penerapan dapat memanfaatkan hasil analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi sebagaimana yang dimaksud pada 3.5.2 di atas. Jika secara empiris partisipasi petani untuk membayar iuran irigasi maupun berdiversifikasi relatif rendah, maka perumusan strategi penerapan iuran irigasi berbasis komoditas membutuhkan hasil identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk berdiversifikasi maupun membayar iuran irigasi secara terintegrasi. Dalam konteks ini, pemilihan untuk menentukan kategori pilihan dapat dilakukan dengan mengkombinasikan kedua aspek tersebut. Iuran irigasi berbasis komoditas dapat dikatakan efektif untuk mendorong peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi jika penerapan sistem iuran tersebut berhasil meningkatkan partisipasi petani dalam menerapkan pola tanam yang lebih berdiversifikasi pada komoditas pertanian yang hemat air. Dengan asumsi bahwa petani rasional maka pola tanam cenderung mengarah pada diversifikasi, utamanya pada jenis-jenis komoditas hemat air agar ekspektasinya memperoleh keuntungan bersih yang lebih tinggi tercapai. Secara umum jika pola tanam diversifikasi diperlakukan sebagai pola tanam yang superior (lebih diinginkan) sedangkan monokultur pada komoditas tidak hemat air (padi) diperlakukan inferior maka kategori-kategori tersebut sifatnya dapat dikatakan berjenjang. Di sisi lain, sebagaimana telah dibahas di atas himpunan kategori dalam konteks pembayaran iuran irigasi adalah bersifat berjenjang. Implikasinya, himpunan kategori yang disusun dengan mengkombinasikan pilihan pola tanam dan pilihan dalam membayar iuran irigasi dapat dipandang sebagai kategori-kategori yang sifatnya berjenjang. Sebagaimana telah dibahas di atas (Sub Bab 3.5.2), untuk mengestimasi probabilitas individu untuk memilih suatu kategori dalam himpunan kategori yang sifatnya berjenjang dapat didekati dengan model ologit.
IV. METODE PENELITIAN 4.1.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilandasi ekspektasi bahwa diversifikasi usahatani dan
penerapan sistem iuran irigasi berbasis pengusahaan komoditas dapat digunakan sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi. Ruang lingkup pengertian air irigasi dibatasi pada air yang digunakan untuk aktivitas usahatani di hamparan lahan yang tercakup dalam wilayah layanan (command area) irigasi yang pasokannya berasal dari sistem irigasi permukaan yang bersangkutan. Didefinisikan, penggunaan air irigasi tersebut sama dengan total air yang digunakan untuk usahatani dikurangi dengan air yang berasal dari curah hujan yang secara langsung jatuh di hamparan lahan sawah. Air yang berasal dari irigasi pompa ataupun dari sumber lain (mata air) tidak diperhitungkan dengan alasan: (1) untuk cakupan wilayah yang dikaji pangsanya sangat kecil, dan (2) data yang cukup lengkap dan akurat tidak tersedia. Penelitian difokuskan pada sistem irigasi yang dalam istilah keirigasian di Indonesia disebut sistem irigasi teknis. Justifikasinya terkait dengan dua alasan berikut. Pertama, investasi yang telah dikeluarkan untuk membangun sistem irigasi teknis jauh lebih besar daripada sistem irigasi lainnya. Jadi, tuntutan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi lebih relevan. Kedua, iuran irigasi berbasis komoditas membutuhkan estimasi harga bayangan air irigasi maupun volume penggunaan menurut kelompok jenis komoditas. Data untuk keperluan itu hanya tersedia pada sistem irigasi teknis karena sampai saat ini berbagai fasilitas penunjang yang dibutuhkan untuk mengukur dan memantau volume pasokan air irigasi dan sistem distribusinya hanya tersedia pada sistem irigasi tersebut. Unit analisis adalah wilayah. Kasus yang diteliti adalah sistem irigasi teknis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Justifikasi adalah sebagai berikut. Sistem iuran irigasi berbasis komoditas adalah salah satu bentuk modifikasi dari metode 'volumetric pricing'. Prospeknya lebih baik jika diterapkan pada sistem irigasi yang telah maju. Secara empiris sistem irigasi teknis di DAS Brantas adalah paling maju di Indonesia sehingga persyaratan tersebut dapat dipenuhi.
74 Secara teoritis tingkat kelaikan penerapan suatu hasil penelitian empiris adalah semakin tinggi jika model yang dikembangkan mampu menangkap tingkat keragaman yang lebih luas. Dalam elaborasi model, variasi spatial maupun variasi temporal ketersediaan maupun kebutuhan terhadap sumberdaya (air irigasi) harus didisagregasi sampai pada tingkat yang relatif rinci, dalam arti relevan dengan tingkat rincian yang secara empiris layak diterapkan. Menurut dimensi spatial, sistem irigasi teknis di DAS Brantas dirinci menjadi tiga bagian yaitu: Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir yang terkait dalam suatu bentuk hubungan searah dari Hulu ke Hilir. Rincian ini perlu diperlukan berdasarkan pertimbangan: 1.
Meskipun dalam perencanaan distribusi pasokan air irigasi antar Sub DAS telah diupayakan agar merata, tetapi dalam praktek ternyata berbeda.
2.
Adanya perbedaan yang nyata dalam pola tanam, produktivitas, maupun harga-harga masukan keluaran usahatani antar Sub DAS. Dalam dimensi temporal, kebutuhan maupun pasokan air irigasi dalam
satu tahun dirinci lebih lanjut menjadi unit-unit waktu yang lebih pendek sehingga pola sebaran temporalnya diketahui. Selama ini unit waktu yang paling banyak digunakan adalah musim dimana dalam satu tahun kalender pertanian terdapat dua musim yaitu: (1) musim penghujan, disingkat MH (berlangsung pada periode Oktober/November – Maret/April), dan (2) musim kemarau, disingkat MK (berlangsung pada periode April/Mei – September/Oktober). Perincian lain yang juga lazim adalah berdasarkan Musim Tanam (MT). Sebagaimana yang dibahas dalam kerangka pemikiran, untuk lahan pesawahan irigasi terdapat tiga musim tanam yaitu: MT I (MH), MT II (MK-1), dan MT III (MK-2). Jika dikaitkan dengan kondisi empiris di lapangan, ternyata tingkat rincian seperti itu kurang memadai karena terlampau agregat. Faktanya, dalam satu musim tanam saja terdapat terdapat variasi yang cukup besar. Sebagai ilustrasi, awal pengusahaan tanaman padi untuk usahatani pada MT I tidak hanya terjadi pada Bulan Oktober atau November saja. Cukup banyak petani yang menanam padi pada Bulan Desember, bahkan ada juga yang baru menanam pada Bulan Januari. Hal ini mempunyai implikasi yang sangat serius terhadap sebaran
75 temporal kebutuhan air irigasi dan segala implikasinya. Sebagai contoh, dengan teknik pemberian air ke tanaman yang sama, kebutuhan air irigasi per hektar untuk menerapkan pola tanam padi – padi – kedele yang awal pengusahaannya dimulai pada Bulan Oktober berbeda dengan yang dimulai pada Bulan November. Secara teoritis tingkat perincian temporal yang ideal haruslah mengacu pada pertimbangan agronomi.
Persoalannya,
tingkat rincian seperti itu
membutuhkan model yang sangat kompleks dan dalam tataran pragmatis seringkali juga tidak sulit dipraktekkan. Berpijak pada keterbatasan data yang tersedia, disagregasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah per bulan. Implikasinya, informasi yang dihasilkan adalah: (1) pola distribusi bulanan kebutuhan dan perbandingan relatifnya dengan ketersediaan air irigasi, (2) harga bayangan air irigasi per bulan, dan (3) pola optimal pengusahaan komoditas pertanian dalam unit pengamatan bulanan. Adalah fakta bahwa di lapangan komoditas yang diusahakan oleh petani di lahan sawah irigasi sangat beragam. Bukan hanya padi, tetapi juga palawija dan sayuran, tebu, tembakau, rumput gajah, bahkan juga tanaman tahunan seperti jeruk dan mangga. Dalam penelitian ini jenis-jenis komoditas yang pangsa luas pengusahaannya sangat kecil (kurang dari 1 %) tidak diperhitungkan. Oleh karena itu komoditas tanaman tahunan seperti jeruk, mangga, rambutan, rumput gajah, ataupun tanaman semusim seperti labu kuning, gambas, dan sebagainya tidak tercakup dalam penelitian. 4.2. Formulasi Fungsi Tujuan, Kendala, dan Asumsi Dalam Pemodelan Dengan asumsi bahwa peranan air irigasi dalam usahatani merupakan masukan antara (intermediate input) maka metode valuasi dapat didekati dengan Residual Imputation Approach (RIA) (Young, 1996). Penelitian ini menggunakan salah satu varian RIA tersebut yaitu metode Change in Net Income (CINI) dengan pemrograman linier. Metode ini relatif sederhana tetapi lazim digunakan (Berbel and Gomez-Limon, 2000, Tsur et al, 2002, Florencio-Cruz et al, 2002). Formulasi fungsi tujuan, kendala, dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
76 4.2.1. Fungsi Tujuan dan Aktivitas Sesungguhnya tujuan petani adalah memaksimumkan kesejahteraan yang dalam model rumah tangga petani (farm household model) didekati dari maksimisasi utilitas dengan kendala sumberdaya rumah tangga (Nakajima 1986, Singh et al, 1986). Sesuai dengan tujuan dan fokus penelitian, maka dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan. Dengan asumsi petani adalah rasional, dibatasi bahwa fungsi tujuan adalah maksimisasi keuntungan bersih usahatani. Keuntungan bersih usahatani untuk setiap komoditas adalah sama dengan total penerimaan dikurangi total biaya usahatani. Tercakup dalam total biaya usahatani adalah nilai (imputed) sarana produksi yang tidak perlu dibeli (misalnya benih milik sendiri), nilai tenaga kerja dalam keluarga yang dicurahkan, sewa lahan, dan bunga pinjaman. Kompensasi terhadap manajemen usahatani tidak diperhitungkan atau diasumsikan tidak ada, dengan alasan: (i) data untuk mengestimasi kompensasi terhadap manajemen usahatani tidak tersedia, (ii) sebagian besar petani adalah petani kecil sehingga kompensasi terhadap manajemen lazimnya telah tercakup dalam nilai tenaga kerja dalam keluarga. Estimasi koefisien fungsi tujuan yaitu keuntungan bersih untuk setiap kelompok komoditas menggunakan pendekatan rataan terbobot (weighted average). Justifikasinya: (a) variasi keuntungan usahatani antar jenis komoditas dalam satu kelompok yang sama cukup besar, (b) pangsa luas garapan antar jenis komoditas bervariasi. Pembobot yang digunakan adalah luas garapan. Jadi:
G m
i
ij
j 1
ij
m
G j 1
ij
dimana: i = rata-rata terbobot keuntungan bersih aktivitas i. Gij = luas pengusahaan komoditas i yang termasuk kelompok aktivitas j
ij
= keuntungan bersih per hektar usahatani komoditas i yang termasuk kelompok komoditas j
Diasumsikan bahwa dalam kategori tenaga kerja yang sama substitusi antara tenaga kerja rumah tangga rumah tangga dengan tenaga kerja upahan
77 berlangsung sempurna sehingga tingkat upah dapat digunakan sebagai "harga" tenaga kerja dalam keluarga. Nilai sewa lahan diperoleh dari contoh. Pada status garapan bukan sewa (milik, bagi hasil, dan lain sebagainya) maka nilai sewa lahan diasumsikan sama dengan
rata-rata nilai sewa dari petani contoh berstatus
garapan sewa. Unit analisis untuk memperoleh estimasi nilai sewa lahan adalah blok tertier contoh karena nilai sewa antar blok tertier contoh cukup bervariasi. Dalam penelitian ini data tentang sumber modal usahatani yang berasal dari pinjaman sangat terbatas dan tidak cukup reliable untuk dianalisis. Di sisi lain, menurut Young (1996), agar hasil valuasi air irigasi tidak bias ke atas (over estimate) maka semua komponen biaya (termasuk bunga modal usahatani) harus diperhitungkan. Dengan menyadari keterbatasannya, dalam penelitian ini diasumsikan bahwa bunga modal pinjaman adalah sekitar 12 persen per tahun, atau 1 persen per bulan. Nilai penerimaan, biaya, dan keuntungan bersih maupun tunai usahatani masing-masing kelompok komoditas tertera pada Lampiran 2. Secara empiris bukan hanya padi yang diusahakan petani di lahan sawah tetapi juga palawija, sayuran (hortikultura), dan tanaman industri (tebu, tembakau, dan lain-lain). Bahkan ada juga yang mengusahakan tanaman tahunan seperti jeruk, mangga, dan sebagainya. Dalam penelitian ini yang diperhitungkan adalah 22 jenis komoditas, yakni komoditas tanaman pangan, hortikultura, dan tanaman tebu yang secara historis banyak diusahakan oleh petani di lokasi penelitian. Sebagaimana telah dibahas di muka, harga bayangan air irigasi dipengaruhi oleh distribusi spatial dan temporal ketersediaan maupun kebutuhan terhadap sumberdaya tersebut. Untuk mengetahui pengaruh spatial dilakukan pemilahan Sistem Irigasi Teknis DAS Brantas menjadi 3 wilayah Sub DAS yaitu: 1.
Sub DAS Brantas Hulu. Lokasi yang dijadikan contoh adalah Wilayah Irigasi Lodoyo-Tulungagung dengan luas hamparan 12 321 hektar. Sumber utama air irigasi adalah dari Dam Wlingi.
2.
Sub DAS Brantas Tengah. Lokasi contoh adalah Wilayah Irigasi Mrican seluas 28 904 hektar yang terdiri dari Mrican Kanan (16 334 Ha) dan Mrican Kiri (12 570 Ha). Sumber utama air irigasi adalah dari Sungai Brantas yang mekanisme pengaturannya menggunakan Bendung Gerak (Barrage) Mrican.
78 3.
Sub DAS Brantas Hilir. Lokasi yang diambil sebagai contoh adalah Wilayah Irigasi Delta Brantas dengan luas hamparan 27 362 hektar. Sumber utama air irigasi adalah dari Dam Lengkong. Untuk mengetahui pengaruh distribusi temporal kebutuhan maupun
ketersediaan air irigasi maka setiap komoditas dirinci lebih lanjut berdasarkan periode pengusahaannya. Kecuali untuk komoditas tebu dan ubikayu, tingkat rincian yang digunakan adalah bulanan sehingga untuk setiap jenis komoditas dirinci lebih lanjut menjadi 12 aktivitas. Aplikasi metode tersebut berimplikasi pula terhadap keuntungan usahatani karena variasi bulanan terjadi pula pada harga masukan, harga keluaran, dan adanya variasi produktivitas usahatani antar musim. Disagregasi menurut dimensi spatial dan dimensi temporal sperti tersebut di atas adalah berimplikasi pada jumlah aktivitas yang tercakup dalam model. Secara keseluruhan terdapat (2112 3) (1 3)) 759 aktivitas
yang harus
dicakup dalam model. Oleh karena itu dilakukan penyederhanaan. Dalam penelitian ini, penyederhanaan dilakukan dengan cara mengagregasikan 22 komoditas yang telah teridentifikasi dalam penelitian ini menjadi 4 kelompok komoditas.
Basis pengelompokan adalah kedekatan karakteristik komoditas
dalam konteks kebutuhan air irigasi yaitu: 1. Kedekatan karakteristik dalam durasi kebutuhan air irigasi untuk satu siklus usahatani yang dihitung sejak penyiapan lahan sampai dengan panen 2. Kedekatan karakteristik dalam cara pemberian air untuk tanaman yang lazim diaplikasikan petani. Secara garis besar ada dua macam cara pemberian air ke tanaman yang dipraktekkan petani yaitu: (1) Dengan penggenangan. Secara empiris, penggenangan hanya diaplikasikan untuk tanaman padi; khususnya pada saat pengolahan tanah, fase pertumbuhan vegetatif awal, dan fase pertumbuhan generatif awal yakni menjalang pembungaan – akhir masa pengisian biji. (2) Tanpa penggenangan. Lazimnya petani menerapkannya dalam usahatani untuk sebagian besar komoditas pertanian selain padi.
79 Keempat kelompok komoditas tersebut adalah: padi, palawija/hortikultur/ tanaman industri kategori-1, palawija/hortikultur/tanaman industri ketegori-2, dan tebu. Jenis komoditas yang tercakup di setiap kelompok tersebut dapat disimak pada Tabel 2. Tabel 2. Pengelompokan komoditas usahatani yang diterapkan dalam pemodelan Komoditas yang tercakup
Kelompok komoditas
Komoditas Utama
Komoditas lainnya
1. Padi
Padi
-
2. Palawija/hortikultur/ tanaman industri kategori-1 (P/H_1)
Jagung
Kacang panjang Tomat Bengkoang Ubi jalar Cabai rawit Cabai merah besar Cabai keriting Tembakau
3. Palawija/hortikultur/ tanaman industri kategori-2 (P/H_2)
Kedele
Kacang tanah Kacang hijau Bawang merah Terong Paria Mentimun Krai Semangka Blewah
4. Tebu
Tebu
Ubikayu
Dengan penyederhanaan seperti tersebut di atas maka jumlah aktivitas di setiap Sub DAS adalah 37. Oleh karena dalam model dilakukan pula disagregasi spatial menjadi 3 Sub DAS maka secara teoritis terdapat 111 aktivitas yang tercakup dalam model. Sebaran temporal kebutuhan air irigasi di masing-masing Sub DAS berbeda meskipun aktivitas dan sebaran temporal pengusahaannya sama karena rata-rata laju evapotranspirasi untuk setiap aktivitas antar Sub DAS berbeda. Daftar aktivitas dan sebaran temporal pengusahaannya di setiap Sub DAS dapat disimak pada Tabel 3.
80 Tabel 3. Sebaran temporal aktivitas di setiap Sub DAS yang tercakup dalam model Waktu pengusahaan Kelompok Musim Kode komoditas tanam aktivitas*) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags sep Padi
MH
MK-1
MK-2
Palawija/ MH hortikultura/ tanaman industri_1 MK-1
MK-2
Palawija/ MH hortikultura/ tanaman industri_2 MK-1
MK-2
Lainnya *):
-
(x/y/z)_1 (x/y/z)_2 (x/y/z)_3 (x/y/z)_4 (x/y/z)_5 (x/y/z)_6 (x/y/z)_7 (x/y/z)_8 (x/y/z)_9 (x/y/z)_10 (x/y/z)_11 (x/y/z)_12
vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv
vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_13 (x/y/z)_14 (x/y/z)_15 (x/y/z)_16 (x/y/z)_17 (x/y/z)_18 (x/y/z)_19 (x/y/z)_20 (x/y/z)_21 (x/y/z)_22 (x/y/z)_23 (x/y/z)_24
vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv
vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv
(x/y/z)_25 vvv vvv vvv (x/y/z)_26 vvv vvv vvv (x/y/z)_27 vvv vvv vvv (x/y/z)_28 vvv vvv vvv (x/y/z)_29 vvv vvv vvv (x/y/z)_30 vvv vvv vvv (x/y/z)_31 vvv vvv vvv (x/y/z)_32 vvv vvv vvv (x/y/z)_33 vvv vvv vvv (x/y/z)_34 vvv vvv vvv (x/y/z)_35 vvv vvv vvv (x/y/z)_36 vvv vvv vvv (x/y/z)_37 vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv vvv
x = aktivitas di Sub DAS Hulu y = aktivitas di Sub DAS Tengah z = aktivitas di Sub DAS Hilir
81 4.2.2. Kendala Sumberdaya Dalam konteks spatial, terdapat dua kategori sumberdaya yaitu: (1) bersifat spesifik wilayah, dan (2) bersifat lintas wilayah. Suatu sumberdaya dikategorikan bersifat spesifik wilayah jika mobilitas spatialnya sangat kecil atau nol, dan dikategorikan bersifat lintas wilayah jika mobilitas spatialnya sangat tinggi. Sifat lintas wilayah dapat dipilah lebih lanjut: (1) satu arah (misalnya air irigasi), dan (2) dua arah (misalnya tenaga kerja). Dalam penelitian ini ada 4 macam sumberdaya yang tercakup sebagai kendala dalam maksimisasi keuntungan usahatani yaitu lahan, air irigasi, modal, dan tenaga kerja. Rincian masing-masing kendala tersebut adalah sebagai berikut. 4.2.2.1. Lahan Kendala sumberdaya lahan bersifat spesifik wilayah karena mobilitas spatialnya dianggap nol. Dalam model yang diterapkan pada penelitian ini terdapat dua jenis kendala yaitu: (1) ketersediaan sumberdaya, dan (2) definisi. Lahan yang tersedia adalah luas lahan sawah yang berada dalam cakupan layanan irigasi
(command
area).
Kendala
definisi
berupa
persamaan
yang
mengekspresikan persyaratan bahwa aktivitas pada waktu t dapat dilakukan jika aktivitas pada waktu t-1 telah selesai siklusnya sehingga ada lahan yang tersedia. Ketersediaan sumberdaya lahan di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 12 321 hektar, 28 904 hektar, dan 27 362 hektar. 4.2.2.2. Air Irigasi Secara teoritis kendala air irigasi tidak bersifat spesifik lokal per Sub DAS karena pasokan air irigasi di Sub DAS hulu (yang lebih atas) mempengaruhi pasokan air irigasi di Sub DAS yang lebih bawah dalam suatu yang sifatnya hubungan rekursif. Mengingat bahwa model merupakan penyederhanaan dan abstraksi dunia nyata (Sinaga, 1997) maka model yang baik harus semaksimal mungkin dapat merefleksikan kondisi empiris. Secara empiris, alokasi spatial air irigasi pada Sistem Irigasi Teknis DAS Brantas menggunakan pendekatan pengelolaan pasokan (supply management – SM) dengan pendekatan sistem jatah. Di sisi lain, pada penelitian ini alokasi
82 spatial air irigasi menggunakan pendekatan pengelolaan permintaan yang dimodifikasi (modified demand management – MDM) yang dalam penelitian dianggap relevan sebagai transisi dari pendekatan SM ke pendekatan DM (demand management). Sebagaimana dijelaskan di muka, data yang dibutuhkan dalam pendekatan MDM ada dua jenis yaitu: (1) kuantitas air irigasi yang dapat digunakan sebagai perkiraan kebutuhan minimum di masing-masing Sub DAS, dan (2) ketersediaan air irigasi di masing-masing Sub DAS. Data tersebut diperoleh dari data "Dasarian" yang tercatat di Seksi-seksi Cabang Pengairan dimana blok-blok tertier contoh berlokasi. Agar representatif untuk menggambarkan kondisi "normal" maka yang digunakan adalah rata-rata pasokan air irigasi dari data deret waktu selama 10 tahun terakhir. Pada data yang tersedia, satuannya adalah dalam liter per detik per hektar yang dalam penelitian ini dikonversikan dalam m3/bulan. Ketersediaan air irigasi di masing-masing Sub DAS tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Air Irigasi per bulan yang tersedia di pesawahan irigasi teknis di masing-masing Sub DAS Brantas (106 m3/Bulan) Bulan
Air irigasi yang tersedia di setiap wilayah contoh*)
Sub DA Hulu Sub DAS Tengah (28 904 Ha) (12 321 Ha) Oktober 26.188 – A10 21.499 + c10.A10 – B10 November 29.655 – A11 31.918 + c11.A11 – B11 Desember** 41.406 65.560 Januari** 42.622 68.342 Februari** 41.131 64.716 Maret** 39.174 60.390 April** 35.957 52.347 Mei** 31.792 43.304 Juni 31.405 – A6 34.745 + c6.A6 – B6 Juli 26.684 – A7 22.423 + c7.A7 – B7 Agustus 26.077 – A8 21.205 + c8.A8 – B8 September 25.186 – A9 20.491 + c9.A9 – B9
Sub DAS Hilir (27 362 Ha) 17.907 + g10.B 10 26.958 + g11.B 11 61.862 63.572 61.251 56.905 49.529 42.772 31.822 + g6.B6 18.749 + g7.B7 17.862 + g8.B8 16.498 + g9.B9
Kebutuhan minimum**) Hulu
Tengah
Hilir
11.391 15.184 16.673 12.236 11.600 10.665
24.405 34.918 38.919 26.490 24.542 23.438
23.091 32.142 36.591 23.907 23.280 21.656
Keterangan:
At ct Bt gt * **
= = = = = =
air yang ditransfer dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS Tengah pada waktu-t efisiensi penyaluran At dimana ct < 1 air yang ditransfer dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir pada waktu-t efisiensi penyaluran Bt dimana gt < 1 sebagian ditransfer ke wilayah lain estimasi kebutuhan minimum air irigasi untuk Bulan Desember – Mei tidak diperlukan karena secara empiris air irigasi tidak menjadi pembatas.
83 4.2.2.3. Modal Tunai Untuk Usahatani Modal tunai dibutuhkan untuk membeli sarana produksi, membayar tenaga kerja upahan, menyewa lahan (jika lahan garapannya berstatus sewa), dan sebagainya. Sewa lahan ternyata bervariasi, ada yang per musim tanam ataupun per tahun (lintas musim tanam). Untuk sewa lahan yang sifatnya lintas musim tanam diasumsikan nilai sewa antar musim adalah sama sehingga nilai sewa per hektar per musim tanam sama dengan total nilai sewa lahan dibagi dengan frekuensi pengusahaannya (musim tanam). Secara empiris modal tunai merupakan salah satu kendala yang dihadapi petani dalam berusahatani. Petani yang kemampuan permodalannya sangat terbatas cenderung menerapkan pola tanam yang hemat kapital. Oleh karena itu partisipasi petani miskin dalam mengusahakan komoditas-komoditas bernilai ekonomi tinggi pada umumnya sangat rendah karena pengusahaan komoditas seperti itu cenderung padat modal meskipun sebenarnya secara potensial dapat memberikan keuntungan yang lebih besar. Data tentang ketersediaan modal tunai usahatani pada suatu wilayah tidak dapat digali secara langsung sehingga perlu diestimasi dengan pendekatan tidak langsung. Dalam estimasi itu diperlukan asumsi-asumsi yang disesuaikan dengan kondisi empiris dan kerangka pikir teoritis. Kondisi empiris yang harus diperhitungkan dalam mengembangkan metode estimasi antara lain adalah: 1. Sebagian besar petani mengandalkan cara swadana untuk memenuhi kebutuhan modal usahataninya. Hal ini antara lain disebabkan akses petani terhadap lembaga perkreditan formal pada umumnya sangat rendah. Di pihak lain lembaga perkreditan formal di pedesaan pada umumnya lebih tertarik melayani kredit untuk usaha non pertanian seperti industri kerajinan rakyat, perdagangan, ataupun jasa-jasa lainnya. 2. Oleh karena sebagian besar petani mengandalkan sumber permodalan untuk usahatani dari modal sendiri maka kemampuan permodalan usahatani tergantung pada pendapatan rumah tangga yang bersangkutan. Jadi, kemampuan permodalan berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita.
84 3. Sumber pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usahatani tetapi juga berasal dari bekerja dan atau berusaha pada kegiatan non usahatani seperti berburuh tani, berburuh/bekerja di sektor non pertanian (termasuk pula jika yang bersangkutan menjadi pegawai swasta/negeri), berdagang, usaha industri kecil, dan lain sebagainya; bahkan termasuk pula kiriman dari anggota rumah tangganya yang bekerja di kota/luar negeri sebagai migran sirkuler. 4. Dalam mengalokasikan pendapatan rumah tangga tidak ada pemilahan eksklusif. Dengan demikian, anggaran yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan modal usahatani tidak hanya berasal dari penerimaan usahatani. 5. Sebagian besar petani yang tidak dapat memenuhi kebutuhan modal usahataninya cenderung meminjam dari petani lainnya (sebagai implikasi dari definisi petani maka pedagang saprodi atau pedagang hasil-hasil pertanian juga merupakan anggota populasi petani jika mereka mengelola usahatani). 6. Dalam transaksi kredit, faktor yang berpengaruh adalah lokasi (jarak). Petani mengandalkan sumber pinjaman dari petani lain yang lokasinya lebih dekat. Terkait dengan ketersediaan modal tunai untuk usahatani tersebut diasumsikan bahwa: 1. Jika air irigasi tidak menjadi kendala maka pola tanam yang diterapkan hanya dibatasi oleh modal yang tersedia. 2. Pengetahuan dan kemampuan teknis petani dalam berusahatani homogen. 3. Mobilitas modal usahatani dalam satu Sub DAS sempurna, sedangkan antar Sub DAS mobilitasnya dianggap nol karena jarak antar Sub DAS relatif jauh (Peta wilayah pada Lampiran 3). 4. Jika petani tidak dapat memenuhi kebutuhan modal usahataninya maka sumber pinjaman yang dapat diakses adalah dari petani lain yang tidak miskin. 5. Petani contoh yang dijadikan responden mewakili populasi petani di lokasi penelitian. Berdasarkan pertimbangan kondisi empiris (butir 1 sampai 6) dan asumsi (butir 1 sampai 5) tersebut di atas maka maksimum modal usahatani yang tersedia
85 dapat diproksi dari rata-rata biaya per hektar yang dikeluarkan oleh petani yang berada di atas garis kemiskinan pada usahatani di persil-persil lahan sawah yang tidak mengalami kendala air irigasi. Dengan demikian dapat dipresentasikan sebagai berikut: MR
CR LR GR
dimana M R modal tunai usahatani yang tersedia di Sub DAS R contoh
C R rata-rata modal usahatani per tahun yang dikeluarkan petani tidak miskin (di atas garis kemiskinan) pada persil-persil sawah garapan di Sub DAS R contoh yang tidak mengalami kendala air irigasi. GR rata-rata luas sawah garapan tersebut pada C R
LR total luas sawah di Sub DAS R contoh Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah petani tidak miskin yang menguasai persil-persil sawah garapan dengan pasokan air irigasi cukup (air irigasi tidak menjadi kendala) di Sub DAS Brantas Hulu, Tengah, dan Hilir masing-masing adalah 37, 22, dan 34 %. Rata-rata luas garapan maupun rata-rata biaya usahatani tunai yang dikeluarkan pada persil-persil lahan sawah tersebut dapat disimak pada Tabel 5. Tabel 5. Rata-rata luas dan total biaya yang dikeluarkan petani tidak miskin untuk usahatani di lahan sawah yang tak terkendala air irigasi Wilayah Sub DAS Hulu
Jumlah petani n (%) 44 36.67
Garapan (Ha)
( = GR ) 0.826
Rata-rata biaya usahatani (Rp.103/Th) Total ( = CR ) Per hektar 5 949.8 7 203.2
Sub DAS Tengah 44
22.00
1.447
10 712.6
7 403.3
Sub DAS Hilir
34.38
1.038
7 473.7
7 200.1
55
Dengan pendekatan seperti tersebut di atas, maka perkiraan modal tunai untuk usahatani yang tersedia di masing-masing Sub DAS adalah sama dengan hasil pembagian kolom 5 dengan kolom 4 pada Tabel 5 dikalikan dengan luas lahan sawah di masing-masing Sub DAS tersebut. Hasil estimasi modal tunai usahatani yang tersedia di masing-masing Sub DAS tertera pada Tabel 6.
86 Tabel 6. Perkiraan modal yang tersedia untuk biaya tunai usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 Modal tunai yang tersedia (Rp.106/Th) Total luas sawah (Hektar) Total Per Hektar Sub DAS Brantas Hulu 12 321 88 747.1 7.203 Sub DAS Tengah 28 904 213 988.4 7.403 Sub DAS Hilir 27 362 196 998.8 7.200 Wilayah
4.2.2.4. Tenaga Kerja Tenaga kerja dipilah menjadi dua kategori yaitu tenaga kerja manusia dan tenaga kerja mesin. Tenaga kerja manusia dapat dipilah lebih lanjut menjadi dua jenis yaitu pria dan wanita. Dalam penelitian ini diasumsikan substitusi tenaga kerja manusia antar kategori adalah sempurna sehingga tenaga kerja wanita yang tersedia dapat dikonversikan dalam unit pengukuran untuk tenaga kerja pria. Faktor konversi adalah perbandingan total tingkat upah (termasuk upah dalam bentuk natura) tenaga kerja wanita terhadap total tingkat upah tenaga kerja pria. Ketersediaan tenaga kerja manusia diestimasi dengan cara berikut. Langkah pertama adalah menentukan populasi rumah tangga yang bekerja dalam aktivitas usahatani. Diasumsikan bahwa rumah tangga yang bekerja di usahatani hanya terdiri dari dua: (1) rumah tangga petani, dan (2) buruh tani murni. Langkah kedua, mengestimasi pasokan tenaga kerja per rumah tangga untuk aktivitas usahatani yang diproksi dari rata-rata jumlah tenaga kerja per rumah tangga yang bekerja dan atau membantu bekerja di usahatani. Oleh karena tenaga kerja rumah tangga juga dialokasikan pada kegiatan di luar usahatani lahan sawah, maka ratarata Hari Orang Kerja (HOK) yang tersedia per musim tanam untuk usahatani di lahan sawah diasumsikan sama dengan pangsa HOK pada usahatani di lahan sawah terhadap total HOK rumah tangga yang dicurahkan untuk seluruh aktivitas ekonomi dikalikan dengan 90 (asumsi HOK efektif per musim tanam). Bobot untuk anggota rumah tangga usia kerja yang statusnya bekerja di usahatani adalah satu, sedangkan yang statusnya membantu bekerja adalah setengah. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa mobilitas spatial tenaga kerja adalah sempurna. Di sisi lain, fakta memperlihatkan bahwa di pedesaan terdapat variasi musiman dalam ketersediaan tenaga kerja, terutama tenaga kerja manusia.
87 Hal ini disebabkan adanya migrasi tenaga kerja ke kota yang sifatnya musiman. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, pada penelitian ini ketersediaan tenaga kerja tidak dipilah menurut Sub DAS tetapi hanya dipilah berdasarkan musim tanam. Terkait dengan potensi intensitas tanam yang dapat diterapkan, di wilayah pertanian beririgasi teknis dikenal tiga musim tanam yaitu: (1) Musim Tanam (MT) I yang umumnya berlangsung pada periode Oktober – Januari, (2) MT II (Februari – Mei), dan (3) MT III (Juni – September). Selain itu, meskipun sesungguhnya tidak akurat Musim Tanam I seringkali juga disebut usahatani Musim Hujan (MH), sedangkan MT II dan MT III masing-masing disebut pula usahatani Musim Kemarau-1 (MK-1) dan Musim Kemarau-2 (MK-2). Populasi rumah tangga petani di masing-masing region diestimasi dari data primer, sedangkan estimasi populasi rumah tangga buruh tani murni diperoleh dari data sekunder yang dikumpulkan dari desa-desa lokasi penelitian dengan sejumlah penyesuaian. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut: 3
TKTAN m TKTAN Rm R 1
dimana: TKTAN Rm TKPTAN Rm
UPAHWR TKWTAN Rm UPAHPR
TKPTAN Rm
LR HOKPUSH Rm JARPK R 0.5 JARPBK R HOKEFm lR HOKPTOTRm
TKWTAN Rm
LR HOKWUSH Rm JARWK R 0.5 JARWBK R HOKEFm lR HOKWTOTRm
dimana:
TKTANRm
= jumlah tenaga kerja untuk usahatani di Sub DAS R pada musim m yang tersedia
TKPTANRm
= jumlah tenaga kerja pria untuk usahatani di Sub DAS R pada musim m yang tersedia
TKWTANRm
= jumlah tenaga kerja pria untuk usahatani di Sub DAS R pada musim m yang tersedia
LR
= luas lahan sawah di Sub DAS R
lR
= rata-rata luas pemilikan sawah di Sub DAS R
JARPK R
= rata-rata jumlah anggota rumah tangga pria yang bekerja
88 JARPBK R JARWK R
= rata-rata jumlah anggota rumah tangga pria berstatus membantu kerja = rata-rata jumlah anggota rumah tangga wanita yang bekerja
= rata-rata jumlah anggota rumah tangga wanita berstatus membantu kerja HOKPUSH Rm = rata-rata jumlah hari kerja pria untuk usahatani JARWBK R
HOKPTOTRm = rata-rata jumlah hari kerja pria untuk kegiatan ekonomi HOKWUSHRm = rata-rata jumlah hari kerja wanita untuk usahatani HOKWTOTRm = rata-rata jumlah hari kerja wanita untuk usahatani HOKEFm = jumlah hari orang kerja (HOK) efektif per musim (sebagaimana dijelaskan di atas adalah 90 HOK) R
= 1, 2, dan 3 masing-masing melambangkan Sub DAS Brantas Hulu Sub DAS Brantas Tengah, dan Sub DAS Brantas Hilir.
m
= 1, 2, dan 3 masing-masing adalah MH, MK-1 dan MK-2
Di lapangan, tenaga kerja mesin yang paling penting adalah untuk kegiatan pengolahan tanah. Berdasarkan pertimbangan itu, dalam penelitian ini tenaga kerja mesin yang diperhitungkan adalah traktor. Estimasi ketersediaan tenaga kerja traktor didasarkan atas data dan atau informasi yang diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Lokasi Penelitian (Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Sidoarjo). Berdasarkan data dan informasi yang tersedia, dapat diestimasi kapasitas kerja (pengolahan) dari traktor yang tersedia.
Satuan
kapasitas olah adalah dalam hektar. Konversi ke satuan Hari Kerja Traktor (HKT) dilakukan dengan cara mengalikan kapasitas kerja tersebut dengan rata-rata kebutuhan per hektar tenaga kerja traktor untuk pengolahan tanah. Hasil estimasi ketersediaan tenaga kerja mesin dan tenaga kerja manusia tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Ketersediaan tenaga kerja di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 Kategori Tenaga kerja 1. Manusia 2. Mesin (Traktor)
Satuan 3
10 HOKP 103 HKT
MT I (MH) MT II (MK-1) MT III (MK-2) 12 300.5 193.0
12 291.4 193.0
HOKP = Hari Orang Kerja (setara) Pria (rata-rata 8 jam kerja per hari) HKT = Hari Kerja Traktor (rata-rata 10 jam kerja per hari)
11 201.9 193.0
89 4.2.3. Kendala Historis Pola Tanam Berdasarkan pengalaman selama ini, valuasi air irigasi dengan metode CINI seringkali membutuhkan adanya sejumlah a priori judgment (Young, 1996) yang mengacu pada kondisi empiris yang menggambarkan pola tanam dan teknik pengairan yang diaplikasikan dalam usahatani. Jadi, penyertaan kendala tersebut dalam pemodelan adalah untuk mengkondisikan agar "feasible region" yang diekspresikan dalam model representatif terhadap kondisi empiris. Justifikasinya adalah sebagai berikut. Jika diasumsikan petani adalah rasional, maka pola tanam yang diterapkan mencerminkan pilihan yang diambil dalam rangka mencapai tujuan. Justifikasinya adalah bahwa dalam pola tanam tercakup komposisi komoditas yang yang dimensinya mencakup: jenis komoditas (apa), skala pengusahaan (berapa), dan waktu pengusahaan (kapan). Ketiga aspek itu merupakan substansi strategis dalam proses pengambilan keputusan dalam rasionalitas petani untuk memaksimumkan keuntungan usahataninya berdasarkan sejumlah kendala yang dihadapinya. Sebagai individu yang rasional maka petani juga melakukan penyesuaian terhadap perkembangan yang terjadi di lingkungannya. Oleh karena itu, "peta" historis pola tanam semestinya mencerminkan dinamika dari respon petani terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan yang dilakukannya dalam pengelolaan usahatani. Jika sistem sosial komunitas petani terbuka (tidak terisolasi), maka perkembangan pola tanam sebenarnya juga merupakan wujud dari inovasi dan adaptasi kelembagaan dalam sistem pengelolan usahatani. Terkecuali jika terjadi suatu perubahan lingkungan yang sangat besar dan atau ada intervensi dari luar yang secara cepat (revolusi) mampu mengubah pilihan yang dihadapi oleh suatu komunitas petani, pada umumnya gerak perubahan dan arah perkembangan pola tanam berlangsung sedikit-demi sedikit (gradual). Dengan demikian dalam periode yang pendek variasi pola tanam antar tahun tidak terlalu besar. Jadi, dalam batas-batas tertentu peta historis pola tanam dapat dimaknai sebagai daerah layak (feasible region) pola pengusahaan komoditas yang diterapkan oleh komunitas petani; dan dalam jangka pendek perubahan yang terjadi cenderung mengikuti pola yang diterapkan.
90 Dalam dimensi kuantitatif "peta" yang dimaksud di atas adalah perkembangan luas tanam masing-masing komoditas yang dapat diamati dari data deret waktu. Jika luas tanam masing-masing komoditas per tahun terinci per musim tanam, maka dapat diperoleh "peta" yang lebih rinci. Ada tiga aspek penting yang tercakup dalam data seperti itu: (1) ragam jenis komoditas yang diusahakan, (2) dinamika luas pengusahaan masing-masing komoditas yang diusahakan, dan (3) pola musiman pengusahaan komoditas. Penyajian kuantitatif "peta" historis pola tanam yang ringkas dapat ditempuh melalui pemanfaatan ukuran pemusatan (nilai tengah, median, modus) dan ukuran dispersi (maksimum – minimum, ragam, standar deviasi) perkembangan pola tanam dari data deret waktu yang tersedia. Ukuran pemusatan yang paling lazim digunakan adalah rata-rata aljabar (arithmatic mean), sedangkan ukuran dispersi yang paling luas digunakan adalah galat baku (standard deviation). Dalam penelitian ini yang dipergunakan untuk merepresentasikan "peta historis" pola tanam adalah rata-rata dan galat baku perbandingan luas tanam antar komoditas antar tahun. Justifikasinya: (1) informasi terpenting yang dibutuhkan adalah
komparasi antar komoditas, dan (2) pemanfaatannya lebih fleksibel
daripada besaran absolutnya. Kendala historis pola tanam yang digunakan dalam penelitian ini dapat dipresentasikan sebagai berikut:
BEDRm
p x Ei i1 q xDj j 1
A EDRm Rm
yang dapat pula dituliskan menjadi:
q p A x Ei H EDRm x Dj 0 i1 Rm j 1 Rm dan
q p B x Ei H EDRm xDj 0 i1 Rm j 1 Rm
91 dimana: p x Ei i 1 Rm
= total luas tanam xi dari kelompok komoditas E di Sub DAS R pada musim m
q x Dj j 1 Rm
= total luas tanam xj dari kelompok komoditas D di Sub DAS R pada musim m
A H EDRm
= nilai rata-rata perbandingan luas tanam xi dalam kelompok komoditas E terhadap luas tanam xj dalam kelompok komoditas D di Sub DAS R pada musim m ditambah simpangan bakunya; yang dihitung berdasarkan luas tanam tahun-tahun sebelumnya (data deret waktu).
B H EDRm
= nilai rata-rata perbandingan luas tanam xi dalam kelompok komoditas E terhadap luas tanam xj dalam kelompok komoditas D di Sub DAS R pada musim m ditambah simpangan bakunya; yang dihitung berdasarkan luas tanam tahun-tahun sebelumnya (data deret waktu).
A Data perkembangan luas tanam yang digunakan dalam estimasi H EDRm B maupun H EDRm adalah data sekunder yang diperoleh dari Seksi-seksi Cabang
Pengairan di lokasi contoh yang dilengkapi dengan data yang diperoleh dari wawancara dengan Pengurus P3A contoh. Hasil estimasi tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Rata-rata dan galat baku perbandingan luas tanam antar kelompok komoditas menurut musim tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada periode 1990 - 2000*) P/H-1 terhadap P P/H-2 terhadap P/H-1 Tebu terhadap P Rata-rata STD**) Rata-rata STD**) Rata-rata STD**) Sub DAS MT I 0.047 0.027 0.475 0.094 Hulu MT II 0.217 0.119 0.458 0.130 MT III 7.313 3.732 0.401 0.141 Setahun 0.048 0.009 Sub DAS MT I 0.016 0.008 0.465 0.091 Tengah MT II 0.215 0.114 0.457 0.135 MT III 7.417 3.736 0.406 0.148 Setahun 0.052 0.009 Sub DAS MT I 0.043 0.022 0.458 0.072 Hilir MT II 0.209 0.108 0.464 0.133 MT III 7.420 3.639 0.414 0.150 Setahun 0.059 0.010 *) : P, P/H-1, P/H-2 masing-masing adalah kelompok komoditas padi, palawija/hortikultur kategori 1, dan palawija/hortikultur kategori 2. **) : Galat baku (standard deviation). Sub DAS
Musim Tanam
92 4.2.4. Kebutuhan Sumberdaya 4.2.4.1. Lahan Kebutuhan terhadap sumberdaya (koefisien teknologi) pada persamaan kendala lahan adalah sama dengan 1 (satu) karena satuan untuk koefisien fungsi tujuan maupun koefisien teknologi untuk semua persamaan kendala adalah per hektar. Sebagaimana dibahas pada konteks ketersediaan sumberdaya (Sub Bab 4.2.2), dalam satu tahun kalender pertanian terdapat tiga musim tanam (MT) yaitu MT I yang biasanya berimpit dengan sebagian besar dari periode yang tercakup pada musim hujan (MH), MT II atau musim kemarau-1 (MK-1) dan MT III atau musim kemarau-2 (MK2). Pemilahan menjadi tiga musim tanam karena secara teoritis maupun secara empiris dalam satu tahun dapat dilakukan tiga kali pengusahaan komoditas dominan (padi) di lahan sawah. Mengacu pada fenomena empiris, usahatani dikategorikan termasuk periode MH jika awal pengusahaan tanaman dilakukan pada Bulan-bulan Oktober, November, Desember, atau Januari. Dikategorikan termasuk periode MK-1 jika awal pengusahaannya terjadi pada Bulan-Bulan Februari, Maret, April, atau Mei; dan dikategorikan termasuk periode MK-2 jika awal pengusahaannya dilakukan pada Bulan-bulan Juni, Juli, Agustus, atau September.
4.2.4.2. Kebutuhan air Irigasi Estimasi koefisien teknologi yang merefleksikan kebutuhan air irigasi per kelompok komoditas mengadopsi hasil penelitian Ban (1984) yang dimodifikasi. Peneliti tersebut mengestimasi kebutuhan air irigasi pada sistem irigasi pompa air tanah sehingga air yang berasal dari irigasi permukaan dan curah hujan diklasifikasikan "air dari sumber lain". Dalam penelitian ini, yang diestimasi adalah kebutuhan air irigasi permukaan sehingga yang diklasifikasikan "air dari sumber lain" adalah air dari curah hujan (curah hujan efektif). Air dari irigasi pompa tidak diperhitungkan karena: (i) sumber sadapannya dari air tanah dangkal yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh air irigasi permukaan yang meresap ke dalam tanah, (ii) proporsi pasokan air dari irigasi pompa sangat kecil.
93 Koefisien kebutuhan air irigasi yang dihasilkan dalam penelitian Ban (1984) adalah: (1) kebutuhan bulanan untuk usahatani padi November – Februari (MT I) dan Maret – Juni (MT II), (2) kebutuhan bulanan untuk usahatani palawija Juni – September (MT III), dan (3) untuk usahatani tebu (Oktober – September). Untuk memperoleh koefisien bulanan pada periode-periode pengusahaan yang lain, dilakukan penyesuaian dengan memanfaatkan pola kebutuhan air irigasi bulanan dari konsep yang dikembangkan oleh Dinas Pengairan. Jadi besarannya mendekati hasil penelitian Ban (1984), sedangkan pola sebaran temporalnya menyerupai distribusi temporal kebutuhan air irigasi yang dikembangkan oleh Dinas Pengairan. Hasil estimasi tertera pada Lampiran 4, 5, dan 6. Mengacu pada konsep pengembangan komoditas, maka konsep yang dikembangkan dalam mengestimasi kebutuhan air irigasi diderivasi dari pola tanam yang akan diterapkan (Ban, 1984). Dalam konteks itu, pemahamannya harus memperhitungkan tiga aspek pokok berikut: 1. Konsep-konsep pengembangan pola tanam. Dalam konteks ini perlu dipahami kecenderungan
perubahannya
maupun
konstelasinya
dalam
konsep
pembangunan pertanian dalam arti luas. 2. Aspek sosial ekonomi wilayah. Ini dapat digali dari studi agroekonomi secara komprehensif. Dalam konteks ini, ada dua gugus informasi yang harus diketahui yaitu: (1) keragaan sosial ekonomi rumah tangga petani (penguasaan tanah, struktur pendapatan, aplikasi teknologi usahatani, teknik irigasi yang diterapkan, dan lain-lain), dan (2) struktur perekonomian wilayah, baik kondisi aktual maupun perkiraan tentang arah perkembangannya di masa mendatang. 3. Kondisi sumberdaya alam, terutama iklim (curah hujan, suhu rata-rata, kelembaban, dan sebagainya) dan kondisi tanah. Selanjutnya, dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan air untuk tanaman (evapotranspirasi, laju perkolasi, koefisien tanaman, dan sebagainya) ditentukan kebutuhan air irigasi neto maupun total. Secara ringkas, konstelasi hubungan antar faktor tersebut dapat disimak dari skema yang tertera pada Gambar 8.
94
Mulai
Rancangan Pola Tanam
Konsep pembangunan pertanian Studi agroekonomi Kondisi iklim
Kebutuhan air neto
Evapotranspirasi Koefisien tanaman Laju perkolasi Pudding water Curah hujan efektif
Efisiensi irigasi Diversi kebutuhan air
= (kebutuhan air neto)/(efisiensi irigasi) Air dari sumber lain
Permintaan air di area irigasi
= (diversi kebutuhan air) – (air dari sumber lain)
Selesai
Gambar 8.
Skema konsep estimasi kebutuhan air irigasi
Konsep tersebut merupakan landasan untuk menyusun prosedur kalkulasi kebutuhan air irigasi. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang estimasi kebutuhan air irigasi, disajikan prosedur kalkulasi yang ditempuh Ban (1984) sebagaimana tertera pada Gambar 9. Kebutuhan air irigasi total (GR) untuk suatu areal tertentu ditentukan oleh luas areal (A), kebutuhan neto di lapangan (NR), dan efisiensi irigasi (IE). Formulasinya adalah:
GR A NR IE 1 Sedangkan kebutuhan air irigasi neto di lapangan (net field irrigation requirement = NR) dipengaruhi oleh kebutuhan air untuk pengolahan tanah (LR), kebutuhan tanaman (crop consumptive use of water = Cu), laju perkolasi (PR), kebutuhan air untuk pesemaian (Nr), dan curah hujan efektif (ER) dengan formula: NR LR Cu Nr PR ER
95
Data Meteorologi
=
Estimasi / kalkulasi dengan metode yang tepat/sesuai
1. Curah hujan harian 2. Suhu rata-rata 3. Rata-rata kelembaban relatif 4. Rata-rata kecepatan angin 5. Rata-rata sinar matahari (jam) 6. Rata-rata evaporasi (A-pan)
Evapotranspirasi Potensial (ETo)
Rencana Pola tanam
Kondisi Lahan
Koefisien Tanaman (KC) Penggunaan oleh tanaman (Cu)
Kebutuhan Air untuk Pengolahan Tanah (LR)
Kebutuhan Air untuk Pesemaian (Nr) Laju Perkolasi (PR)
Curah Hujan Efektif (ER)
Kebutuhan Air Neto NR = [ Cu dan/atau Nr + LR +PR – ER]
- Efisiensi penyaluran
Efisiensi Irigasi (IE) = - Efisiensi pengoperasian - Efisiensi aplikasi di hamparan
Kebutuhan Air Total (Diversi) GR = NR/IE
Gambar 9.
Prosedur kalkulasi kebutuhan air irigasi untuk tanaman
96 Laju perkolasi dipengaruhi oleh jenis tanah, terutama faktor-faktor yang mempengaruhi porositas tanah (kadar liat tanah, kadar pasir, bahan organik). Untuk sistem irigasi teknis di DAS Brantas, laju perkolasi yang selama ini dijadikan acuan adalah sekitar 2.2 mm/hari – 4.4 mm/hari. Kebutuhan air untuk pengolahan tanah, dipengaruhi oleh kondisi tanah dan cara pengolahan tanah. Kalkulasi kebutuhan air irigasi untuk pengolahan tanah yang dipergunakan di Indonesia pada umumnya menggunakan metode berikut (Nippon Koei and JICA, 1993):
LR
M e k ( Eo P ) e( M T ) / S e k 1 e ( M T ) / S 1
dimana: M = kebutuhan air untuk mengkompensasi evaporasi dan perkolasi hamparan dalam keadaan jenuh E0 = evaporasi (untuk pengolahan tanah disetarakan = 1 x ET0) P
= perkolasi
T
= periode pengolahan tanah (untuk usahatani padi dihitung 20 hari)
S
= kebutuhan untuk penjenuhan (200 mm) ditambah dengan 50 mm untuk lapisan tanah sehingga S = 200 mm + 50 mm = 250 mm
Kebutuhan air untuk pengolahan tanah yang selama ini dijadikan acuan dalam sistem irigasi teknis di Indonesia adalah sekitar 16 mm/hasi – 20 mm/hari. Kebutuhan tanaman (Cu) ditentukan oleh evapotranspirasi dan koefisien tanaman (crop coefficient = Kc). Evapotranspirasi potensial dipengaruhi oleh iklim, yaitu suhu, kelembaban, angin, dan lama penyinaran matahari (sunshine hours); sedangkan koefisien tanaman tergantung pada jenis atau kelompok jenis tanaman. Pada dasarnya Cu merupakan perkalian antara ETo dengan Kc. Jadi, Cu ETo Kc .
Terkecuali jika pesemaian dilakukan di tempat lain yang terpisah dari hamparan yang akan dijadikan lahan penanaman, kebutuhan air untuk pesemaian lazimnya telah termasuk dalam kalkulasi kebutuhan air untuk pengolahan tanah.
97 Curah hujan efektif yang sering dijadikan acuan dalam sistem irigasi teknis di DAS Brantas adalah sekitar 50 persen (kisaran 48 - 55 persen) yang dihitung berdasarkan persamaan:
Re f 151 R dimana: f
= tingkat curah hujan efektif
Re
= curah hujan efektif dalam mm/hari
R
= curah hujan tengah bulanan minimum pada siklus lima tahunan
4.2.4.3. Modal Tunai Untuk Usahatani Modal tunai diperlukan petani untuk memenuhi biaya usahatani yang secara riil dikeluarkan petani untuk membeli sarana produksi yang tidak dihasilkan sendiri oleh petani, untuk membayar tenaga kerja luar keluarga (buruh tani), untuk membayar sewa lahan, dan sebagainya. Berbeda dengan konsep biaya total (untuk menghitung keuntungan bersih usahatani pada estimasi koefisien fungsi tujuan) dimana nilai setiap komponen biaya adalah imputed, dalam biaya tunai nilai setiap komponen biaya tersebut adalah yang secara riil dikeluarkan oleh petani. Sebagai contoh, pada konsep biaya total estimasi rata-rata nilai sewa lahan menggunakan asumsi bahwa semua petani adalah penyewa lahan; sedangkan pada konsep biaya tunai rata-rata nilai sewa lahan dihitung dari total nilai sewa lahan yang dikeluarkan oleh petani yang secara riil menyewa lahan dibagi dengan seluruh populasi. Oleh karena itu secara umum nilai untuk setiap komponen biaya imputed lebih besar daripada nilai tunai sehingga biaya total pada umumnya besar daripada biaya tunai. Data yang digunakan untuk mengestimasi biaya tunai berupa data primer dari hasil survey di tingkat petani. Estimasi koefisien kebutuhan modal tunai usahatani per hektar untuk masing-masing aktivitas (kelompok komoditas) menggunakan rata-rata terbobot (weighted average) dimana pembobotnya adalah skala pengusahaan komoditas yang bersangkutan. Hasil estimasi tertera pada Lampiran 7.
98 4.2.4.4. Tenaga Kerja Kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani adalah total tenaga kerja yangt dibutuhkan sejak penyiapan lahan sampai dengan panen. Tenaga kerja dipilah menjadi dua: (1) tenaga kerja mekanis, dan (2) tenaga kerja manusia. Penggunaan tenaga kerja mekanis terutama adalah untuk pengolahan tanah. Pada umumnya yang digunakan adalah traktor roda dua, bukan traktor roda empat karena petakan sawah pada umumnya kecil-kecil. Penggunaan tenaga kerja ternak sangat kecil (kurang dari 4 %) sehingga dalam penelitian ini dikelompokkan dalam tenaga kerja manusia dengan cara mengkonversinya ke tenaga kerja manusia. Basis konversi adalah ongkos tenaga kerja yang dikeluarkan untuk tenaga kerja ternak. Lazimnya tenaga kerja manusia dalam usahatani ada tiga kategori: (1) pria, (2) wanita, dan (3) anak-anak. Tenaga kerja kategori (3) tidak diperhitungkan karena dalam pasar tenaga kerja tidak ada (tidak ada upah untuk tenaga kerja anak-anak). Satuan untuk tenaga kerja manusia adalah dalam setara pria (HOKP). Dengan asumsi tingkat upah mencerminkan produktivitasnya, maka konversi Hari Orang Kerja Wanita (HOKW) maupun Hari Kerja Ternak ke HOKP menggunakan perbandingan tingkat upah. Tingkat upah yang digunakan adalah dalam nilai upah per jam kerja, dimana didalam upah tersebut tercakup pula upah yang berbentuk natura (makanan, minuman, rokok/tembakau). Bawon, yakni upah panen padi dikonversikan dalam rupiah berdasarkan harga gabah kering panen karena bawon diberikan dalam bentuk gabah kering panen. Hasil estimasi kebutuhan tenaga kerja masing-masing peubah keputusan (aktivitas) tertera pada Lampiran 8. 4.3. Spesifikasi Model Bentuk umum model valuasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat dipresentasikan secara matematis sebagai berikut. Misalkan xi , yi , dan z i masing-masing melambangkan aktivitas yakni pengusahaan komoditas pertanian di lahan sawah irigasi teknis di Sub DAS Brantas Hulu, Sub DAS Brantas Tengah, dan Sub DAS Brantas Hilir. Dimensi yang tercakup dalam definisi aktivitas adalah jenis komoditas dan periode pengusahaan. Jadi pengusahaan komoditas
99 yang sama didefinisikan sebagai aktivitas
yang berbeda jika periode
pengusahaannya berbeda. Selanjutnya, misalkan:
Xi , Yi , Zi
: keuntungan bersih per hektar dari aktivitas xi , yi , z i
S Xj , S Yj , S Zj
: lahan yang tersedia di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir pada musim tanam ke – j. Berdasarkan kondisi empiris di lapangan, dalam satu tahun kalender pertanian terdapat empat musim tanam (MT) yaitu MT I (MH), MT II (MK-1), dan MT III (MK-2).
Xit , Yit , Zit
: kebutuhan air irigasi per hektar xi , yi , z i pada waktu t
W Xt( I ) , WYt( I ) , WZt( I )
: maksimum air irigasi yang tersedia di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir pada waktu t
W Xt( II ) , WYt( II ) , WZt( II )
: jatah air irigasi sesuai kebutuhan minimum di masingmasing Sub DAS pada waktu t
TXYt , TYZt
: air irigasi yang ditransfer dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS Tengah dan dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir
c XYt , cYZt
: efisiensi penyaluran air irigasi dari Hulu ke Tengah dan dari Tengah ke Hilir pada waktu t
v Xi , vYi , v Zi
: kebutuhan modal tunai per hektar xi , yi , z i
V X , VY , VZ
: modal tunai yang tersedia di Hulu, Tengah, dan Hilir
a Xij , aYij , a Zij
: kebutuhan tenaga kerja mekanis per hektar xi , yi , z i pada musim j
A XYZ j
: total tenaga kerja mekanis yang tersedia pada musim j
bXij , bYij , bZij
: kebutuhan tenaga kerja manusia per hektar xi , yi , z i
B XYZ j
: total tenaga kerja manusia yang tersedia pada musim j
Maka bentuk umum dari model dapat dipresentasikan secara matematis sebagai berikut:
Maks F ( Xi , Yi , Zi ; xi , y i , z i ) xi , y i , z i
(1)
dengan kendala: g X j ( xi ) S X j
(2)
g Y j ( yi ) S Y j
(3)
100 g Z j ( zi ) S Z j
(4)
h Xt ( Xit ; xit ; TXYt ) W Xt( I )
(5)
j Xt ( Xit ; xit ) W Xt( II )
(6)
kYt ( Yit , yit , c XYt , TXYt , TYZt ) WYt( I )
(7)
lYt ( Yit , yit ) WYt( II )
(8)
p Zt ( Zit , z it , cYZt , TYZt ) WYt( I )
(9)
qYt ( ZYit , zit ) WYt( II )
(10)
rX (v Xi , xi ) V X
(11)
rY (vYi , yi ) VY
(12)
rZ (v Zi , zi ) VZ
(13)
s A j ( a Xi , aYi , a Zi ; xi , yi , zi ) AXYZ j
(14)
s B j (bXi , bYi , bZi ; xi , yi , z i ) BXYZ j
(15)
xi 0
(16)
yi 0
(17)
zi 0
(18)
Dalam bentuk fungsi Lagrange:
L(x, y, z, λ) F ( x, y , z ) λgX (S X g X (x))
λgY (S Y g Y (y)) λgZ (S Y g Z (z)) λhXt (WXt( I ) h Xt (x it , TXYt ))
λjXt (WXt( II ) j Xt (x it )) λkYt (WYt( I ) k Yt (y it , c XYt , TXYt , TYZt )) ( II ) λlYt (WYt l Yt (y it ))
λpZt (WZt( I ) p Zt (z it , c YZt , TYZt )) ( II ) λqZt (WYt q Zt (z it ))
λrX (VX rX (x i )) λrY (VY rY (y i )) λrZ (VZ rZ (z i )) λSA (A XYZ s A (x i , y i , z i )) λSB (B XYZ s B (x i , y i , z i ))
(19)
101 Dalam fungsi Lagrange tersebut x, y, z, λ masing-masing adalah vektor aktivitas xi , yi , z i ; sedangkan λ adalah penganda Lagrange (Lagrange multiplier). Semua konstanta dan fungsi yang tertulis pada persamaan (19) adalah vektor fungsi-fungsi kendala sebagaimana tertulis pada persamaan (2) sampai dengan (18) tersebut di atas. Kondisi derajat pertama (fisrt order condition - FOC) untuk maksimisasi harus memenuhi
Kuhn-Tucker conditions (Intriligator, 1971; Chiang, 1974).
Dengan demikian: J F L gX j xi j 1 xi T j Xt jXt xi t 1
T
pZt t 1 J
SAj j 1
n
i 1
xi
T
hXt t 1
T
kYt t 1
h Xt xi
T kYt l lYt Yt xi xi t 1
T R p Zt q r qZt Zt rX X xi xi xi t 1 r 1 J s Aj s Bj SBj 0 , i = 1, 2, … , n xi xi j 1
(20)
J T g X j F h hXt Xt gX j xi xi j 1 t 1 i 1 x i T T T j Xt k l jXt kYt Yt lYt Yt xi xi xi t 1 t 1 t 1 T T R p Zt q r pZt qZt Zt rX X xi xi xi t 1 t 1 r 1
L xi xi
n
J
s Aj
j 1
xi
SAj xi 0 ,
g X j
J
SBj j 1
s Bj xi 0 xi
i = 1, 2, … , n
J T g Y j h Xt F L hXt gY j yi y i j 1 yi yi t 1 T T T j Xt k l jXt kYt Yt lYt Yt yi y i t 1 yi t 1 t 1 T T R p Zt q Zt r pZt qZt rY Y yi yi yi t 1 t 1 r 1 J J s s SAj Aj SBj Bj 0 , i = 1, 2, … , n yi yi j 1 j 1
(21) (22)
(23)
102 n
L
y i 1
yi
i
F
n
i
T
jXt t 1 T
pZt t 1
j 1
i
gY j
yi
T
hXt t 1
h Xt yi
j Xt k l kYt Yt lYt Yt yi y i t 1 yi t 1 T R p Zt q Zt r qZt rY Y yi yi yi t 1 r 1 T
J
s Aj
j 1
yi
SAj
gY j
J
y
T
J
SBj j 1
s Bj yi 0 y i
(24)
yi 0 , i = 1, 2, … , n
(25)
J T g Z j h Xt L F hXt gZ j z i zi zi zi j 1 t 1 T T T j Xt k l jXt kYt Yt lYt Yt z i zi zi t 1 t 1 t 1 T T R p Zt q Zt r pZt qZt rZ Z zi zi zi t 1 t 1 r 1 J J s s SAj Aj SBj Bj 0 , i = 1, 2, … , n zi zi j 1 j 1 n
L
z i 1
zi
i
n
F
i 1
T
jXt t 1 T
pZt t 1
zi 0 ,
j 1
i
gZ j
z i
T
hXt t 1
T j Xt k l kYt Yt lYt Yt z i zi zi t 1 t 1 T R p Zt q Zt r qZt rZ Z zi zi zi t 1 r 1
s Aj
j 1
zi
J
SBj j 1
s Bj zi 0 z i
i = 1, 2, … , n
J
j 1
gX j
L gX j
gX j 0 ,
S
(29)
J
j 1
gX j
j = 1, 2, …, J
L SY j g Y j () 0 gY j
(27) (28)
L S X j g X j () 0 gX j
h Xt zi
T
J
SAj
g Z j
J
z
(26)
Xj
g Xj () 0
(30) (31) (32)
103 J
gY j j 1
L gY j
gY j 0 ,
S J
j 1
gY j
Yj
g Yj () 0
j = 1, 2, …, J
(34)
L S Z j g Z j () 0 gZ j J
gZ j j 1
(35)
J L gZ j S Zj g Zj () 0 gZ j j 1
gZ j 0 ,
j = 1, 2, …, J
hX t t 1
L hX t
hX t 0 ,
(38)
W T
t 1
hX t
(36) (37)
L W Xt( I ) hX t () 0 hX t T
(33)
(I ) Xt
hX t () 0
(39)
t = 1, 2, …, T
(40)
L W Xt( II ) j X t () 0 jX t
(41)
T
jX t t 1
L jX t
jX t 0 ,
W T
t 1
jX t
( II ) Xt
j X t () 0
t = 1, 2, …, T
(43)
L WYt( I ) kYt () 0 kY t T
kY t t 1
(44)
T L kY t WYt( I ) kYt () 0 kY t t 1
kY t 0 ,
t = 1, 2, …, T
lY t t 1
L lY t
lY t 0 ,
(47)
W T
t 1
lY t
(45) (46)
L WYt( II ) lY t () 0 lY t T
(42)
( II ) Yt
lYt () 0
(48)
t = 1, 2, …, T
(49)
L WZt( I ) p Zt () 0 pZ t
(50)
104 T
pZ t t 1
L pZ t
pZ t 0 ,
W T
(I ) Zt
pZ t
t 1
pZt () 0
t = 1, 2, …, T
(52)
L WZt( II ) q Zt () 0 qZ t T
qZ t t 1
L qZ t
lY t 0 ,
(53)
W T
t 1
qZ t
( II ) Zt
q Zt () 0
t = 1, 2, …, T
(54) (55)
L V X rX () 0 rX
rX
(51)
(56)
L rX (V X rX () 0 rX
(57)
rX 0
(58)
L VY rY () 0 rY
(59)
rY
L rY (VY rY () 0 rY
(60)
rY 0
(61)
L VZ rZ () 0 rZ
(62)
rZ
L rZ (VZ rZ () 0 rZ
(63)
rZ 0
(64)
L AXYZ j s A j () 0 SA j
(65)
J
j 1
SA j
L SA j
SA j 0 ,
A J
j 1
SA j
XYZ j
s A j () 0
(66)
j = 1, 2, …, J
(67)
L B XYZ j s B j () 0 SB j
(68)
105 J
SB j j 1
L SB j
SB j 0 ,
B J
j 1
SB j
XYZ j
s B j () 0
j = 1, 2, …, J
(69) (70)
Seluruh variabel, fungsi, dan turunannya dievaluasi pada titik optimal
(x * , y * , z * , λ* ) . Mengingat bahwa solusi atas persamaan (20) sampai dengan (70) harus terjadi secara simultan maka secara intuitif dapat dimengerti bahwa nilai suatu aktivitas maupun suatu pengganda Lagrange dipengaruhi oleh aktivitas lain ataupun sumberdaya lain sesuai dengan sifat hubungan antar aktivitas dan atau antar kendala sumberdaya. Sebagai contoh, harga bayangan air irigasi pada suatu bulan tertentu di Sub DAS Brantas Hilir ( pZ t ) bukan hanya dipengaruhi oleh ketersediaan air irigasi di Sub DAS tersebut pada bulan yang bersangkutan; tetapi dipengaruhi pula oleh ketebutuhan dan ketersediaan air irigasi pada bulan yang lain, baik di Sub DAS itu sendiri maupun di Sub DAS Tengah (akibat adanya transfer air irigasi dari Sub DAS Tengah). Di sisi lain mengingat ketersediaan air irigasi di Sub DAS Tengah juga dipengaruhi oleh air irigasi yang dapat ditransfer dari Sub DAS Hulu maka secara tidak langsung harga bayangan air irigasi di Sub DAS Hilir tersebut juga dipengaruhi oleh kebutuhan dan pasokan air irigasi di Sub DAS Hulu. Selain dipengaruhi oleh kendala air irigasi, harga bayangan air irigasi tersebut juga dipengaruhi oleh kendala sumberdaya lainnya (lahan, modal, dan tenaga kerja) karena nilai aktivitas-aktivitas xi, yi, maupun zi dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya secara keseluruhan; dimana nilai suatu aktivitas juga tergantung satu sama lain karena fungsi tujuan adalah memaksimumkan xi, yi, maupun zi secara bersamaan. Kondisi derajat kedua (second order condition – SOC) adalah bahwa matrix Hessian derivasi partial kedua L (fungsi Lagrange) terhadap setiap instrumennya yang dievaluasi pada ( x * , y * , z * , λ* ) harus definit negatif atau semidefinit negatif. Matrix Hessian tersebut tidak disertakan dalam tulisan ini. Pengganda Lagrange (vektor λ) mempunyai makna yang penting. Nilai λ pada solusi optimal merupakan sensitivitas nilai optimal fungsi tujuan
F * F (x* , y * , z * ) terhadap perubahan ketersediaan sumberdaya (sisi kanan
106 fungsi kendala) yang tak lain adalah harga bayangan (shadow price) sumberdaya. Metode pembuktiannya dapat diikuti dalam Intriligator (1971) halaman 28 – 39. Kondisi derajat pertama maupun kondisi derajat kedua seperti dibahas di atas berlaku pada optimasi fungsi linier maupun non linier. Dengan beberapa keterbatasannya, model yang digunakan dalam penelitian ini adalah linier, baik fungsi tujuan maupun kendala. Asumsi dalam pemodelan adalah: 1.
Diasumsikan, harga-harga masukan dan keluaran bersifat given dalam arti kuantitas masukan yang digunakan ataupun keluaran yang dihasilkan tidak mempengaruhi tingkat harga. Jadi harga harga bersifat eksogen.
2.
Diasumsikan bahwa pengusahaan suatu komoditas bersifat tuntas, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus produksi adalah sama dengan umur tanaman sampai panen selesai ditambah waktu yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan dalam rangka pengusahaan komoditas tersebut.
3.
Diasumsikan tidak terjadi pola tanam tumpang-gilir yaitu melakukan pengusahaan komoditas tertentu dalam hamparan yang sama selagi pengusahaan komoditas pada musim tersebut belum dipanen.
4.
Diasumsikan bahwa teknologi yang diterapkan untuk satu jenis aktivitas yang sama adalah tetap.
5.
Terkecuali untuk aktivitas yang merepresentasikan pola tanam tumpangsari yang dominan sehingga dalam model disebutkan secara eksplisit, diasumsikan bahwa pola tanam lainnya adalah monokultur.
6.
Diasumsikan bahwa ketersediaan faktor-faktor produksi ataupun sumberdaya lain di luar sumberdaya yang diperhitungkan dalam model adalah tidak menjadi pembatas.
7.
Asumsi-asumsi yang melandasi aplikasi programa linear seperti linearitas, proporsionalitas, aditivitas, divisibilitas, deterministik.
Dengan demikian bentuk spesifik model yang digunakan dalam penelitian ini dapat dipresentasikan sebagai berikut:
Maks dengan kendala:
n
n
n
i 1
i 1
i 1
i xi i y i i z i
(1)
107
1. Kendala lahan (per Sub DAS per musim): m
x i 1
ij
SX j ,
m
i 1
xij 0
ij 1
y
ij
(3)
i l
SY j , j = MH, MK-1, MK2
k
p
i 1
i l
yij1 yij 0 m
z i 1
(2)
p
k
x i 1
j = MH, MK-1, MK2
ij
SZ j ,
k
p
i 1
i l
(4)
(5)
j = MH, MK-1, MK2
zij 1 zij 0
(6)
(7)
2. Kendala air irigasi (per sub DAS, per bulan, dan ada transfer dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS Tengah serta dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir): n
i 1
Xit
n
i 1
i 1
(8)
Xit
xit w1t
Yit
yit TYXt TYZt W2t
n
xit TXYt W1t
t = Okt, Nov, … Sep
TYXt c XYt TXYt n
i 1
Yit
yit w2t
Zit
z it TZYt W3t
n
i 1
n
i 1
Zit
z it w3t
(10) (11)
t = Okt, Nov, … Sep
(12)
(13)
TZYt cYZt TYZt
(9)
(14) t = Okt, Nov, … Sep
(15)
108 3. Kendala modal tunai usahatani (per Sub DAS per tahun): n
v x
i i
VX
(16)
v y
i
VY
(17)
i i
VZ
(18)
i 1 n
i 1
i
n
v z i 1
4. Kendala tenaga kerja (per musim j = MH, MK-1, MK2): (a). Tenaga kerja mekanis: m
a i 1
m
m
i 1
i 1
Xij xij aYij y ij a Zij zij AXYZ j
(19)
(b). Tenaga kerja manusiaa: m
m
m
i 1
i 1
i 1
bXij xij bYij yij bZij zij BXYZ j
(20)
5. Kendala historis pola tanam (per Sub DAS per musim): m
m
i 1
h 1
xij( P ) hj( AqpX ) xhj(Q ) 0 m
x i 1
m
(P) ij
m
y i 1 m
i 1
(22)
h 1 m
(P) ij
hj( AqpY ) y hj( Q ) 0
(23)
h 1 m
(24)
h 1
m
i 1
hj( BqpX ) x hj( Q ) 0
y ij( P ) hj( BqpY ) y hj( Q ) 0
z
(21)
m
(P ) ij
hj( AqpZ ) z hj( Q ) 0
(25)
h 1
m
m
i 1
h 1
zij( P ) hj( BqpZ ) z hj(Q ) 0
(26)
Dalam hal ini, P dan Q masing-masing menunjukkan kelompok komoditas padi, palawija/hortikultur-1, dan palawija/hortikultur-2, dan tebu. Khusus untuk tebu tidak per musim tetapi per tahun, dan pembandingnya adalah komoditas utama di lahan sawah yaitu padi.
109 Koefisien hj( Aqp...) menunjukkan rasio
luas tanam maksimum xh dari
kelompok komoditas Q terhadap luas tanam xi dari kelompok komoditas P pada musim j. Sedangkan hj( Bqp...) menunjukkan rasio luas tanam minimum xh dari kelompok komoditas Q terhadap luas tanam xi dari kelompok komoditas P pada musim j. Sebagaimana sebelumnya X, Y, dan Z masing-masing melambangkan Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir. 6. Kendala non negatif:
xi 0,
yi 0,
zi 0
(27)
Keterangan tentang notasi dapat dilihat pada halaman 95 serta beberapa keterangan khusus yang langsung tertulis di bawah presentasi model. Secara keseluruhan terdapat 147 kendala yang tercakup dalam model yang terdiri atas kendala lahan (48), kendala air irigasi (66), kendala modal (3), kendala tenaga kerja (6), dan kendala historis pola tanam sebagai apriori judgement (24). Model operasional (siap untuk komputasi) tertera pada Lampiran 9. Dalam model tersebut sejumlah persamaan yang kurang bermakna tidak disertakan. Sebagai contoh dalam persamaan kendala air irigasi, transfer air irigasi dari Sub DAS Hulu ke Sub DAS Tengah maupun dari Sub DAS Tengah ke Sub DAS Hilir yang diperhitungkan hanya untuk Bulan-bulan Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, dan November. Untuk bulan-bulan lainnya tidak disertakan karena tidak bermakna mengingat pada periode tersebut air irigasi yang tersedia di setiap Sub DAS berlimpah sehingga transfer air dari lokasi yang berada di hulu ke arah hilir tidak mempengaruhi harga bayangan air irigasi. Perangkat lunak yang digunakan untuk mengeksekusi model adalah Lindo for Window. Pertimbangan utamanya adalah bahasa pemrograman maupun tampilan hasil komputasinya sangat komunikatif. Solusi optimal menghasilkan beberapa informasi penting, terutama adalah pola tanam optimal dan harga sumberdaya (harga bayangan). Sesuai dengan tujuan penelitian, analisis akan difokuskan pada harga bayangan air irigasi. Oleh karena pasokan air irigasi dirinci per bulan, maka dapat dihasilkan harga bayangan air irigasi per bulan.
110 Fungsi permintaan normatif air irigasi dapat diperoleh dari analisis pasca optimal (post optimality analysis) perubahan pasokan air irigasi (Young, 1996). Sudah barang tentu, mengingat bahwa hasil post optimality analysis itu berupa inverse demand function (Tsur et al, 2002) maka bentuk fungsi permintaan tersebut dapat diperoleh dari inversinya. Dalam analisis pasca optimal, skenario perubahan ketersediaan air irigasi yang dipergunakan adalah proporsional. Dengan demikian misalkan skenario perubahan adalah satu persen maka perubahan tersebut berlaku untuk Bulan Januari – Desember. Untuk memformulasikan iuran irigasi berbasis komoditas, harga bayangan air irigasi yang akan digunakan adalah hasil dari solusi optimal yang diperoleh dari ketersediaan air irigasi pada kondisi normal. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kondisi normal adalah rata-rata dari data sepuluh tahun terakhir. 4.4. Formulasi Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Iuran irigasi berbasis komoditas adalah sistem pungutan (tarif) air irigasi dimana komponen utamanya dihitung berdasarkan harga bayangan dan volume air irigasi yang digunakan dalam usahatani. Sebagaimana dinyatakan di muka, Iuran Irigasi Berbasis Komoditas terdiri dari dua komponen yaitu: (1) komponen utama, dan (2) komponen penunjang. Formulanya adalah sebagai berikut: t
PW ij CW ( wT AijT ) T 1
Komponen penunjang
Komponen pokok
dimana: PWij
CW
= Nilai iuran irigasi berbasis komoditas untuk kelompok komoditas-i yang diusahakan pada periode-j. = biaya irigasi dari komponen penunjang yang nilai per hektarnya tetap; ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan kelompok (P3A).
wT
= harga bayangan air irigasi pada bulan T
AijT
= air irigasi yang digunakan pada bulan T dalam usahatani kelompok komoditas-i yang diusahakan pada periode-j
t
= periode pengusahaan untuk satu siklus produksi (unit waktu adalah bulan)
111 Dari formula tersebut tampak bahwa: (1) semakin langka air irigasi semakin besar biaya irigasi karena harga bayangannya semakin tinggi, dan (2) biaya irigasi untuk usahatani komoditas yang banyak mengkonsumsi air (padi) adalah lebih besar daripada komoditas yang membutuhkan air yang lebih sedikit. Implementasi dari sistem iuran tersebut membutuhkan penyederhanaan agar lebih praktis. Penyederhanaan yang dapat dijadikan alternatif adalah: 1.
Periode pengusahaan tidak dirinci per bulan tetapi per musim tanam dengan melakukan beberapa skenario pembobotan untuk masing-masing bulan.
2.
Penggunaan sistem indeks berdasarkan perbandingan nilai penggunaan air antar kelompok jenis komoditas dan waktu pengusahaan. Besaran nominal untuk masing-masing kelompok komoditas tergantung pada nilai nominal yang ditentukan untuk indeks basis berdasarkan kesepakatan petani.
3.
Kombinasi dari kedua modifikasi tersebut di atas.
4.5. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prospek Penerapan 4.5.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Pola Tanam Berdasarkan analisis pendahuluan diketahui bahwa indeks diversitas antar petani secara relatif adalah homogen (Lampiran 11). Oleh karena itu pola tanam cukup dipilah menurut dimensi kualitatif saja. Berdasarkan sudut pandang itu, pola tanam dipilah menjadi 3 kategori yaitu: 1. Pola tanam kategori 1 ( i = 1 )
: monokultur padi
2. Pola tanam kategori 2 ( i = 2 )
: diversifikasi kategori-1 (divs_1), yaitu selain menanam padi mengusahakan pula komoditas pertanian bukan padi yang tidak termasuk kelompok komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi (kedele, kacang tanah, jagung non hibrida, dan sebagainya
3. Pola tanam kategori 2 ( i = 3 )
: diversifikasi kategori-2 (divs_2), yaitu selain menanam padi mengusahakan pula komoditas pertanian bukan padi yang bernilai ekonomi tinggi (bawang merah, semangka, melon, cabai, jagung hibrida, tembakau, dan lain sebagainya)
112 Dengan mengasumsikan kategori 1 sebagai basis pilihan, faktor-faktor yang mempengaruhinya probabilitas untuk memilih kategori (i) adalah: 1 15 15 (2) 1 exp exp x x n n( 3 ) n n n 1 n 1 15 x n n( 2 ) exp n 1 15 Pr( y i ) 15 (2) 1 exp exp x x n n( 3 ) n n n 1 n 1 15 exp x n n( 3 ) n 1 15 15 (2) 1 exp exp x x n n( 3 ) n n n 1 n 1
untuk i 1
untuk i 2
untuk i 3
dimana: x1 = tingkat efisiensi teknis (te) yang dicapai petani dalam usahatani padi x2 = jumlah persil lahan sawah garapan x3 = luas lahan sawah garapan (hektar) x4 = pangsa luas garapan yang statusnya bukan milik x5 = jumlah tenaga kerja yang bekerja/membantu kerja dalam usahatani x6 = umur kepala keluarga (tahun) x7 = pendidikan kepala keluarga (diproksi dari tahun tempuh sekolah) x8 = rasio total pendapatan terhadap total pengeluaran rumah tangga x9 = pangsa pendapatan dari usahatani di lahan sawah terhadap total pendapatan rumah tangga x10 = jarak lahan garapan dari pintu tertier x11 = aksesibilitas lahan garapan terhadap saluran kwarter x12 = pangsa lahan sawah yang pada musim kemarau kekurangan air x13 = jumlah hari mengalami kekeringan (proksi dari intensitas kekeringan) x14 = nilai pajak lahan (proksi dari kualitas lahan) x15 = peubah boneka pemilikan pompa irigasi (0 = tidak memiliki, 1= memiliki)
113 4.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Parsisipasi Petani Dalam Pembayaran Iuran Irigasi Secara garis besar iuran irigasi yang ditanggung oleh petani terdiri atas dua komponen yaitu: 1. Iuran Pelayanan Air Irigasi (IPAIR) yaitu biaya irigasi yang dibebankan kepada petani (P3A) yang sistemnya ditentukan oleh pemerintah. Dana IPAIR ditujukan untuk menambah dana operasi dan pemeliharaan irigasi. Pengelolaan IPAIR dikoordinasikan oleh Pemerintah (Dinas Pengairan). Pada tahun 1999/2000 (waktu penelitian) tarif IPAIR sekitar Rp. 22 000/Ha/Th dan berkisar antara Rp. 18 000/Ha – Rp. 25 000/Ha per tahun. 2. Iuran P3A yaitu iuran irigasi yang ditentukan oleh organisasi P3A. Pada tahun 1999/2000, rata-rata Iuran P3A adalah sekitar Rp. 35 000/hektar/tahun. Dalam praktek, biaya irigasi yang dikeluarkan petani tidak hanya terdiri dari dua komponen tersebut karena ada komponen lain yang sifatnya insidentil yaitu: "biaya irigasi pompa" dan biaya irigasi "informal". Dalam penelitian ini, tingkat partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi dievaluasi berdasarkan kepatuhannya dalam membayar IPAIR dan Iuran HIPPA. Sebagaimana dijelaskan di muka, ada empat varian yang berdasarkan besaran maupun kaitannya dengan kualitas pelayanan irigasi yang dapat dinikmati petani dapat diasumsikan bersifat berjenjang (kategori 4 > 3 > 2 > 1): 1.
Kategori 1: Tidak membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA
2.
Kategori 2: Membayar IPAIR tetapi tidak membayar Iuran HIPPA
3.
Kategori 3: Tidak membayar IPAIR tetapi membayar Iuran HIPPA
4.
Kategori 4: Membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA Model yang digunakan dalam analisis adalah Ordered Logistic Regression
(ologit) yang dapat dipresentasikan sebagai:
Pr( y j i ) Pr i 1 x j β u i 1 1 ; 17 17 1 exp i x n n 1 exp i 1 x n n n 1 n 1 0 dan k
114 dimana: x1 = indeks diversifikasi usahatani (E) x2 = jumlah persil lahan sawah garapan x3 = luas lahan sawah garapan (hektar) x4 = pangsa luas garapan yang statusnya bukan milik x5 = umur kepala keluarga x6 = pendidikan kepala keluarga (diproksi dari tahun tempuh sekolah) x7 = pendapatan per kapita per tahun x8 = kontribusi usahatani padi terhadap total pendapatan usahatani sawah x9 = kontribusi pendapatan dari luar pertanian x10 = jarak lahan garapan dari pintu tertier x11 = aksesibilitas lahan garapan terhadap saluran kwarter x12 = pangsa lahan sawah yang pada musim kemarau kekurangan air x13 = jumlah hari mengalami kekeringan (proksi dari intensitas kekeringan) x14 = nilai pajak lahan (proksi dari kualitas lahan) x15 = indeks tanam (total luas garapan dibagi total luas baku lahan) x16 = peubah boneka pemilikan pompa irigasi (0 = tidak memiliki, 1=memiliki) x17 = kinerja Pengurus HIPPA (1=sangat buruk, 2=buruk, 3=sedang, 4=baik, 5=sangat baik).
4.5.3. Identifikasi Faktor-faktor Strategis Secara umum sasaran penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas adalah: (1) peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi yang termanifestasikan melalui peningkatan produktivitas air irigasi, dan (2) peningkatan kapasitas P3A dalam mengakumulasikan dana untuk membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi secara mandiri. Hal ini dapat dicapai jika sistem iuran tersebut mampu meningkatkan partisipasi petani dalam menerapkan pola tanam diversifikasi dan pada saat yang sama berhasil mendorong perbaikan kualitas partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi probabilitas petani untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kondisi itu disebut faktor-faktor strategis karena sangat bermanfaat dalam perumusan kebijakan yang terkait dengan strategi penerapan.
115 Untuk memperoleh opsi-opsi kebijakan yang cakupan implementasinya lebih luas dan efektif maka kategorisasi pilihan perlu dikondisikan agar sifatnya berjenjang. Oleh karena itu dalam identifikasi faktor-faktor tersebut, partisipasi petani dalam penerapan pola tanam hanya dipilah menjadi dua macam yaitu: (1) monokultur, dan (2) diversifikasi. Dengan justifikasi yang sama, kualitas partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi juga dipilah menjadi dua kategori yaitu: (1) baik, dan (2) tidak baik. Paduan dari kedua aspek tersebut menghasilkan empat kategori pilihan sebagai berikut: 1. Kategori 1 (P_1) : pola tanam adalah monokultur padi dan kualitas partisipasi dalam membayar iuran irigasi adalah tidak baik 2. Kategori 2 (P_2) : pola tanam monokultur adalah padi dan kualitas partisipasi dalam membayar iuran irigasi adalah baik 3. Kategori 3 (P_3) : pola tanam adalah berdiversifikasi dan kualitas partisipasi dalam membayar iuran irigasi adalah tidak baik 4. Kategori 4 (P_4) : pola tanam adalah berdiversifikasi dan kualitas partisipasi dalam membayar iuran irigasi adalah baik Mengacu pada sasaran yang ingin dicapai maka pilihan yang paling diharapkan adalah P_4, sedangkan yang terburuk adalah P_1. Selanjutnya dengan alasan bahwa yang diutamakan adalah perubahan pola tanam yang mengarah pada diversifikasi maka P_3 lebih diinginkan daripada P_2. Dengan demikian jenjang keempat kategori pilihan tersebut jika diurutkan dari yang tertinggi (paling diinginkan) ke yang terendah adalah P_4 > P_3 > P_2 > P_1. Selanjutnya, sebagaimana dijelaskan di atas (Sub Bab 4.5.2) pendekatan yang sesuai untuk menganalisis persoalan seperti ini dapat menggunakan model ologit. Model yang digunakan adalah:
Pr( y j i ) Pr i 1 x j β u i 1 1 11 11 1 exp i x n n 1 exp i 1 x n n n 1 n 1 0 dan k
116 dimana: x1 = Fragmentasi lahan sawah, diproksi dari jumlah persil garapan x2 = Luas sawah garapan (hektar) x3 = Proporsi luas garapan yang berstatus bukan milik x4 = Jumlah tenaga kerja yang bekerja/membantu bekerja di pertanian x5 = Kemampuan permodalan, diproksi dengan ratio antara total pendapatan terhadap total pengeluaran rumah tangga x6 = Peranan sawah dalam ekonomi rumah tangga, diproksi dari pangsa pendapatan yang diperoleh dari usahatani di lahan sawah x7 = Intensitas tanam x8 = Kelangkaan air irigasi, diproksi dari hasil perkalian antara rasio luas sawah garapan yang mengalami kekeringan dengan durasi (hari) lahan tersebut mengalami kekeringan x9 = Kelas lahan sawah, diproksi dari nilai pajak lahan sawah garapan x10 = Peubah boneka pemilikan pompa irigasi, (0= tidak memiliki, 0 = memiliki) x11 = Kinerja Pengurus HIPPA (1=sangat buruk, 2=buruk, 3=sedang, 4=baik, 5=sangat baik)
4.5.4. Pemilihan Variabel Penjelas. Sasaran akhir dari serangkaian analisis ini adalah untuk menemukan variabel-variabel kunci yang dibutuhkan untuk merumuskan strategi penerapan dari sistem pembayaran iuran irigasi berbasis komoditas. Oleh karena itu, pemilihan variabel-variabel penjelas (explanatory variable) yang mempengaruhi probabilitas petani dalam konteks pemilihan pola usahatani (monokultur versus berdiversifikasi)
maupun dalam konteks partisipasi pembayaran iuran irigasi
harus dikaitkan dengan kebutuhan untuk perumusan strategi tersebut di atas. Secara teoritis sangat banyak variabel yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan strategi penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas baik yang mencakup aspek teknis maupun sosial ekonomi. Aspek teknis mencakup variabelvariabel yang menentukan kelayakan teknis penerapan, misalnya: teknik distribusi air, teknik pengukuran luas pengusahaan suatu komoditas tertentu, dan sebagainya. Penelitian ini difokuskan pada aspek sosial ekonomi.
117 Dalam aspek sosial ekonomi, himpunan variabel penjelas mencakup variabel yang sifatnya eksternal maupun internal. Aspek sosial ekonomi yang sifatnya eksternal misalnya kebijaksanaan pemerintah di bidang harga masukan dan keluaran usahatani, kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pengembangan irigasi, dan lain sebagainya. Aspek yang sifatnya internal (berada dalam kendali petani) seringkali terkait karakteristik intrinsik petani. Secara hipotetis, faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam pengambilan keputusan dalam penerapan pola tanam dan partisipasi dalam pembayaran iuran irigasi adalah: 1.
kapabilitas managerial usahatani
2.
keuntungan usahatani di lahan sawah per unit luas garapan per tahun.
3.
kemampuan permodalan untuk usahatani
4.
penguasaan lahan untuk usahatani
5.
kontribusi usahatani di lahan sawah terhadap ekonomi rumah tangga
6.
kontribusi pendapatan di luar pertanian terhadap ekonomi tumah tangga
7.
karakteristik rumah tangga petani Selain faktor-faktor tersebut di atas, terdapat pula faktor-faktor lain yang
mempengaruhi katersediaan air irigasi di lahan petani (jarak dari pintu terhadap pintu tertier, akses terhadap saluran kwarter, luas persil lahan garapan yang sering kekurangan air, intensitas kekeringan), kualitas lahan, penguasaan peralatan yang dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan air, dan kinerja organisasi yang menjadi wadah petani dalam pengelolaan irigasi (Organisasi P3A – di Jawa Timur disebut Himpunan Petani Pemakai Air yang disingkat HIPPA). Faktor-faktor ini tidak sepenuhnya berada dalam kendali petani tetapi mempengaruhi keputusan petani dalam usahatani; dan karenanya diinkorporasikan dalam model. 4.5.4.1. Kapabilitas managerial petani dalam usahatani padi Kapabilitas managerial adalah
suatu
konsep
yang merefleksikan
kemampuan seseorang atau lembaga dalam mengorganisasikan informasi, pengetahuan,
teknologi,
dan
sumberdaya
yang
dapat
dikendalikannya
(internalized) dalam rangka mencapai tujuan. Dengan asumsi petani bertujuan memaksimumkan keuntungan maka pengambilan keputusan petani mencakup aspek-aspek: (1) apa yang akan diusahakan, (2) seberapa banyak, (3) kapan, (4)
118 dimana (5) dengan cara apa, dan (6) akan dijual kapan dan dalam bentuk apa serta dimana. Aspek (1) sampai dengan (4) lazimnya menentukan pola tanam, aspek (5) berkaitan dengan teknik budidaya (pra panen dan pasca panen), sedangkan aspek (6) berkaitan dengan masalah pemasaran produk yang dihasilkannya. Perolehan keuntungan maksimum berkaitan erat dengan efisiensi dalam berproduksi. Proses produksi tidak efisien karena dua hal berikut. Pertama, karena secara teknis tidak efisien. Ini terjadi karena ketidak berhasilan mewujudkan produktivitas maksimal; artinya per unit paket masukan (input bundle) tidak dapat menghasilkan produksi maksimal. Kedua, secara alokatif tidak efisien karena pada tingkat harga-harga masukan dan keluaran tertentu, proporsi penggunaan masukan tidak optimum. Ini terjadi karena produk penerimaan marginal (marginal revenue product) tidak sama dengan biaya marginal (marginal cost) masukan yang digunakan. Efisiensi ekonomi mencakup efisiensi teknis maupun efisiensi alokatif. Sebagai individu, petani adalah price taker pasar masukan maupun keluaran usahatani sehingga cara petani untuk memaksimumkan keuntungan adalah melalui peningkatan efisiensi teknis dalam usahataninya. Dengan demikian tingkat efisiensi teknis dapat digunakan sebagai proksi kapabilitas managerial. Metode estimasi tingkat efisiensi teknis (TE) yang banyak digunakan adalah pendekatan stochastic production frontier (SPF). Metode ini diperkenalkan oleh Aigner, Lovell and Schmidt (1977) maupun Meeusen dan van den Broek (1977). Pengembangan berikutnya banyak dilakukan antara lain oleh Greene (1993) dan Coelli (1996). Elaborasi pengaruh risiko dalam pemodelan dan estimasinya dapat disimak misalnya pada Kumbhakar (2002). Estimasi TE dengan model SPF yang digunakan dalam penelitian ini dapat disimak pada Lampiran 10. Kapabilitas managerial dalam usahatani padi dapat berpengaruh positif maupun berpengaruh negatif terhadap peluang berdiversifikasi. Pengaruh positif terjadi jika kapabilitas managerial dalam usahatani yang dicapainya merupakan landasan untuk mengembangkan kapabilitas managerialnya dalam usahatani secara umum. Sebaliknya, berpengaruh negatif terhadap peluang berdiversifikasi apabila tingkat pencapaian kapabilitas managerial dalam usahatani padi merupakan wujud dari dari upaya spesialisasi dalam usahatani padi.
119 4.5.4.2. Keuntungan usahatani di lahan sawah per unit luas garapan per tahun Keuntungan usahatani padi merupakan salah satu tolok ukur dari tingkat keberhasilan petani dalam mengelola usahatani dalam mencapai tujuannya untuk memaksimalkan pendapatan yang diperoleh dari usahatani padi. Jika petani hanya mengusahakan komoditas padi maka secara teoritis ada korelasi yang kuat antara tingkat efisiensi teknis (TE) tersebut di atas dengan keuntungan usahatani. Akan tetapi secara empiris sangat banyak petani yang tidak hanya berusahatani padi tetapi juga komoditas lainnya. Dalam satu tahun keuntungan yang diperoleh petani bukan hanya berasal dari usahatani padi tetapi juga usahatani komoditas yang lain; dan merupakan hasil penjumlahan dari 2, 3, atau bahkan 4 siklus usahatani, tergantung pada intensitas tanam yang diterapkan petani. Secara tunai, keuntungan usahatani per unit luas garapan per tahun adalah sama dengan total penerimaan yang diperoleh dari usahatani itu selama satu tahun dikurangi dengan total biaya tunai usahatani yang dikeluarkan untuk usahatani tersebut. Dalam batas-batas tertentu total keuntungan usahatani per luas garapan per tahun dapat dipandang sebagai produktivitas usahatani (komposit) lahan sawah. Oleh karena itu diduga berpengaruh positif terhadap probabilitas petani untuk berdiversifikasi; dan merupakan berpengaruh positif pula terhadap tingkat partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. 4.5.4.3. Kemampuan permodalan petani Modal yang dibutuhkan petani untuk melakukan usahatani berasal dari modal sendiri maupun pinjaman. Secara empiris akses petani terhadap sumber modal dari lembaga perkreditan (terutama lembaga perkreditan formal) sangat rendah sehingga sebagian besar petani mengandalkan modal sendiri (swadana). Pendapatan rumah tangga petani bukan hanya berasal dari usahatani di lahan sawah tetapi juga dari usahatani di lahan lainnya, dari usaha ternak, dari berburuh tani, kegiatan ekonomi di luar pertanian, bahkan juga dari pendapatan yang diperoleh tanpa mencurahkan tenaga kerja (kiriman dari anggota keluarganya yang bekerja di di kota, dari pensiun, dan sebagainya).
120 Sebagian dari pendapatan tersebut dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan sebagian lainnya dialokasikan untuk usahatani. Dengan asumsi bahwa ketersediaan modal untuk usahatani berbanding lurus dengan surplus pendapatan, maka kemampuan permodalan petani dapat diproksi dari rasio total pendapatan terhadap total pengeluaran. Kemampuan permodalan usahatani diduga berpengaruh positif terhadap probabilitas berdiversifikasi pada komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi, tetapi berpengaruh negatif untuk berdiversifikasi pada komoditas pertanian yang tidak bernilai ekonomi tinggi. Variabel ini diduga juga berpengaruh positif terhadap partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi. 4.5.4.4. Penguasaan lahan usahatani Terdapat tiga variabel penting yang tercakup dalam konteks penguasaan lahan yang diduga berpengaruh terhadap pola usahatani maupun partisipasi dalam pembayaran iuran irigasi. Ketiga variabel tersebut adalah: (1) luas garapan, (2) status garapan (milik versus bukan milik), dan (3) jumlah persil lahan garapan. Diduga luas garapan merupakan faktor positif terhadap probabilitas petani memilih pola tanam berdiversifikasi maupun maupun probabilitasnya untuk berpartisipasi aktif dalam iuran irigasi. Jumlah persil lahan garapan diduga merupakan faktor negatif terhadap probabilitas terhadap kedua hal tersebut di atas. Petani dengan status garapan milik diduga cenderung memilih pola tanam berdiversifikasi. Variabel ini diduga merupakan faktor positif pula untuk mendorong partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Konfigurasi lahan garapan berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan tenaga kerja maupun efektivitas kontrol dalam pengelolaan usahatani. Secara teoritis, pengelolaan usahatani pada hamparan lahan garapan yang terkonsolidasi (tidak terpencar-pencar) relatif lebih mudah. Oleh karena itu, diduga semakin banyak jumlah persil sawah garapan semakin rendah probabilitas petani untuk memilih pola tanam berdiversifikasi. Variabel ini diduga juga berpengaruh negatif terhadap partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi.
121 4.5.4.5. Kontribusi usahatani di lahan sawah terhadap ekonomi rumah tangga Tidak banyak berbeda dengan petani Indonesia pada umumnya, sumber pendapatan rumah tangga petani di daerah pertanian beririgasi juga beragam. Per definisi, usahatani di lahan sawah merupakan salah satu sumber pendapatan yang selalu ada pada setiap rumah tangga petani lahan sawah. Meskipun demikian, kontribusinya beragam, tergantung dari jumlah pendapatan yang diperoleh dari usahatani di lahan sawah maupun pendapatan dari sumber lain. Secara teoritis, semakin luas lahan garapan usahataninya maka semakin besar kontribusi pendapatan yang dapat diperoleh dari lahan sawah. Diduga kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah merupakan faktor positif terhadap probabilitas petani untuk berdiversifikasi, baik diversifikasi dengan mengusahakan komoditas usahatani bernilai ekonomi tinggi maupun lainnya. Variabel ini diduga berpengaruh positif terhadap probabilitas petani untuk berpartisipasi lebih tinggi dalam membayar iuran irigasi. 4.5.4.6. Kontribusi pendapatan dari luar pertanian Kontribusi sektor luar pertanian dalam ekonomi rumah tangga petani cukup penting. Bahkan bagi sebagian besar rumah tangga yang luas garapan usahataninya sempit merupakan sumber pendapatan utama. Jika kontribusi pendapatan dari luar pertanian mencerminkan peranannya dalam ekonomi rumah tangga, maka variabel ini diduga merukapan faktor negatif terhadap probabilitas petani memilih pola tanam berdiversifikasi maupun terhadap probabilitas petani untuk berpartisipasi lebih baik dalam pembayaran iuran irigasi. 4.5.4.7. Karaktersitik rumah tangga petani Karakteristik rumah tangga petani yang diduga berpengaruh terhadap probabilitas petani dalam memilih pola tanam maupun tingkat partisipasi dalam iuran irigasi adalah: (1) jumlah anggota rumah tangga yang bekerja (termasuk yang statusnya hanya membantu) pada kegiatan usahatani di lahan sawah, (2) umur kepala keluarga rumah tangga petani, dan (3) tingkat pendidikan petani.
122 Jumlah anggota rumah tangga yang bekerja pada kegiatan usahatani diduga merupakan faktor positif. Umur kepala rumah tangga diduga merupakan faktor negatif, sedangkan tingkat pendidikan diduga merupakan faktor positif. 4.5.4.8. Akses lahan garapan terhadap saluran irigasi di blok tertier Di tingkat usahatani, akses lahan garapan terhadap saluran irigasi dimana pasokan air didistribusikan terutama ditentukan oleh posisi lahan garapan dari pintu tertier dan saluran kwarter. Sebenarnya ada faktor-faktor lain seperti kualitas saluran-saluran irigasi tersebut maupun topografi hamparan. Akan tetapi dalam penelitian ini data yang berhasil digali dengan baik adalah jarak lahan dari pintu tertier dan tingkat aksesibilitas (kualitatif) lahan terhadap saluran kwarter. Diduga semakin baik aksesibilitas lahan sawah garapan terhadap saluran irigasi semakin tinggi pula probabilitas petani untuk memilih pola tanam yang dianggap paling menguntungkan (berdiversifikasi). Jadi merupakan faktor positif. Kedua variabel tersebut diharapkan juga merupakan faktor positif terhadap tingkat partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. 4.5.4.9. Tingkat kecukupan air irigasi Tingkat kecukupan air irigasi di suatu lahan garapan dipengaruhi oleh: (1) aksesibilitasnya terhadap saluran irigasi, (2) kondisi pasokan air irigasi di saluran tertier maupun kuarter, (3) posisi vertikal relatif lahan tersebut terhadap hamparan lahan garapan petani lain maupun permukaan air di saluran pemasok air irigasi, dan (3) sistem distribusi air irigasi. Ada dua variabel yang dapat digunakan sebagai proksi tingkat kecukupan air irigasi di lahan garapan yaitu: 1.
Luas lahan garapan yang sering mengalami kekurangan air. Ini diproksi dari luas (bagian) hamparan lahan yang pada musim kemarau-1 kebutuhan air irigasinya tidak dapat terpenuhi dari pasokan air irigasi permukaan. Diduga pangsa luas lahan cukup air irigasi merupakan faktor negatif terhadap probabilitas memilih pola tanam berdiversifikasi, tetapi merupakan faktor positif terhadap partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi.
123 2.
Intensitas kekeringan. Ini diproksi dari durasi (berapa hari) lahan garapan tersebut tidak memperoleh pasokan air irigasi yang cukup sehingga petani harus menanggulanginya dengan cara lain, misalnya dengan menggunakan irigasi pompa. Diduga variabel ini merupakan faktor negatif terhadap probabilitas petani untuk berdiversifikasi, maupun partisipasi petani untuk membayar iuran irigasi yang berkualitas.
4.5.4.10. Kualitas lahan Kualitas lahan tidak hanya ditentukan oleh tingkat kecukupan air tetapi juga
kesuburannya, aksesibilitasnya terhadap prasarana transportasi dan
sebagainya. Di wilayah agraris, untuk tipe lahan yang sejenis maka kualitas lahan berkorelasi positif dengan harga lahan tersebut. Akan tetapi dalam penelitian ini data tentang harga lahan garapan tidak lengkap sebagian besar petani (hampir 50 persen) tidak dapat menaksir dengan baik harga lahan garapannya, sedangkan data harga lahan dari sistem administrasi desa tidak tersedia. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kualitas lahan diproksi dari nilai pajak lahan tersebut. Diduga, nilai lahan merupakan faktor positif terhadap probabilitas petani dalam memilih pola tanam berdiversifikasi maupun tingkat partisipasi dalam pembayaran iuran irigasi.
4.6. Lokasi Penelitian dan Prosedur Pengambilan Contoh 4.6.1. Lokasi Penelitian Valuasi air irigasi membutuhkan data pasokan air irigasi yang terukur dengan baik dan data usahatani yang lengkap. Selain itu, aspek lain yang sangat penting dipertimbangkan adalah tingkat apresiasi petani terhadap peranan air irigasi. Apresiasi petani terhadap peranan air irigasi dapat dilihat dari pola tanam, pendayagunaan sumberdaya air untuk irigasi dan mekanisme alokasinya. Logikanya, pendekatan teori ekonomi untuk memecahkan masalah semakin relevan jika apresiasi petani terhadap sumberdaya tersebut lebih banyak berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Berdasarkan pertimbangan itu maka lokasi penelitian adalah di Sistem Irigasi Teknis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, Jawa Timur (lokasi Sub DAS contoh dapat disimak pada Lampiran 3). Sistem pemantauan pasokan air
124 irigasi sampai di pintu air tertier pada sistem irigasi teknis di lokasi ini dilakukan setiap sepuluh ("Dasarian"). Selain data debit, data lain yang dipantau adalah "data tanaman" yaitu luas tanam padi, palawija (jagung, kedele, dan sebagainya, serta tebu). Pencatatan data dilakukan oleh Aparat Seksi Cabang Pengairan dan kemudian dikumpulkan di Kantor Seksi Cabang Pengairan setempat. Luas DAS ini adalah 11800 Km2. Total lahan yang dapat diusahakan untuk pertanian (arable land) adalah 636 000 Ha. Sekitar 324 000 Ha diantaranya adalah lahan pertanian beririgasi (pesawahan) dimana 316 000 Ha diantaranya memperoleh pasokan utama air irigasi dari Sungai Brantas dan anak-anak sungainya. Dari segi ekonomi regional, kontribusi GDP wilayah yang tercakup di DAS Brantas terhadap total GDP Jawa Timur mencapai 65 persen (JICA, 1998).
4.6.2. Pengambilan Contoh Penarikan lokasi contoh dilakukan dengan prosedur berikut. Mula-mula DAS Brantas dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Sub DAS Hulu (Upstream), Tengah (Middlestream) dan Hilir (Downstream). Tahap selanjutnya adalah: 1.
Menentukan wilayah irigasi (Daerah Irigasi) yang dapat mewakili kondisi irigasi di masing-masing Sub DAS.
2.
Menentukan Blok-blok Tertier contoh yang mewakili kondisi pasokan air irigasi (debit) dan pola tanam untuk masing-masing daerah irigasi tersebut.
3.
Menentukan contoh rumah tangga petani berdasarkan hasil sensus rumah tangga petani di masing-masing Blok Tertier contoh. Wilayah irigasi contoh di masing-masing Sub DAS adalah sebagai berikut.
Di Sub DAS Hulu adalah Lodoyo-Tulungagung (Lodoagung), Sub DAS Tengah adalah Mrican Kanan dan Mrican Kiri, sedangkan di Sub DAS Hilir adalah Delta Brantas (Gambar 10). Total jumlah blok tertier contoh ada 12. Jumlah di setiap Sub DAS adalah proporsional dengan luas wilayah irigasi dan populasi petani. Oleh karena itu jumlah Blok Tertier Contoh di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 3, 5, dan 4.
125
Laut Jawa
Laut Jawa Sidoarjo 28440 Ha
Malang 15801 Ha
Delta Brantas 27362 Ha
Gunung Sari dam
Kali Surabaya
Brantas Atas
Sungai Porong
12309 Ha
New Lengkong dam
Menturus 3392 Ha (Losari, Kedungsari, Wates-pinggir)
Jatimlerek 1716 Ha (Bebekan/ Keboan, Gottan, Jatimlerek) Bunder I 159 Ha
Jatikulon 619 Ha
Brantas Bawah
1407 Ha
Blobo dam
Mojoagung 23579 Ha Molek 3984 Ha
Munturus rubber dam
Pare 19772 Ha
Jombang 23595 Ha Jatimlerek rubber dam Bunder II 175 Ha
Blitar 32950 Ha
Mrican Kanan (16334 Ha )
Mojokerto 31545 Ha
Kepanjen 27216 Ha
Wlingi dam
Lodoagung
Kediri 30287 Ha
Mrican barrage Brantas Kiri Kediri (Besuk, Kedung Kudi, Pengkol) 534 Ha Nganjuk 38668 Ha
Mrican Kiri (12570 Ha)
Tulungagung 23404 Ha
Trenggalek 12373 Ha
: Lokasi pengambilan contoh Blok Tertier maupun rumah tangga petani
Gambar 10. Skema Irigasi di Daerah Irigasi Brantas dan lokasi penelitian
( 12321 Ha )
Surabaya 1469 Ha
Sungai Brantas
126 Rumah tangga petani didefinisikan sebagai rumah tangga yang mengusahakan komoditas pertanian, baik di lahan milik sendiri ataupun milik orang lain. Usahatani yang dianalisis adalah satu tahun kalender pertanian dengan referensi waktu: MT I 1999/2000 – MT III 2000. Prosedur penarikan contoh rumah tangga petani adalah sebagai berikut: 1.
Pada masing-masing blok tertier contoh dibuat kerangka contoh (sampling frame). Untuk itu keperluan itu, dilakukan sensus petani yang menggarap lahan di blok tertier contoh. Dalam sensus, data yang digali adalah identitas petani, luas garapan, lokasi lahan di blok tertier contoh, dan jenis komoditas yang diusahakannya selama satu tahun referensi waktu tersebut di atas.
2.
Pemilihan rumah tangga contoh. Ini dilakukan dengan metode acak berlapis (stratified random sampling). Dasar stratifikasi adalah luas sawah garapan dengan alasan luas garapan mempengaruhi perilaku rumah tangga petani dalam pengambilan keputusan petani dalam memilih pola tanam yang diterapkan. Batasan masing-masing strata adalah sebagai berikut: (1)
Lapis 1 (L1) : L1 Avg 12 ( StD )
(2)
Lapis 2 (L2) :
(3)
Lapis 3 (L3) :
Avg 12 (StD) L2 Avg 12 (StD) L3 Avg 12 ( StD)
dimana avg adalah rata-rata (arithmatic mean) luas garapan petani contoh, sedangkan std adalah galat bakunya. 3.
Selain stratifikasi menurut luas garapan, pemilihan rumah tangga contoh juga mempertimbangkan lokasi relatif lahan garapan petani (depan, tengah, belakang) terhadap pintu tertier yang merupakan sumber pasokan air irigasi ke hamparan sawah blok tertier contoh tersebut. Jumlah rumah tangga petani contoh di setiap blok tertier adalah 40.
Dengan demikian, jumlah rumah tangga petani contoh di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 120, 200, dan 160; sehingga untuk seluruh DAS terdapat 480 rumah tangga contoh (Tabel 9)
127 Tabel 9. Blok Tertier dan Rumah Tangga Contoh di Lokasi Penelitian Keterangan
Sub DAS Hulu
Sub DAS Tengah
Sub DAS Hilir
Sumber sadapan
Dam Wlingi
Bendung Gerak Mrican
Dam Lengkong
Wilayah irigasi contoh
Lodoyo-Tulungagung (12 321 Ha)
1. Mrican Kanan (16 334 Ha)
Delta Brantas (27 362 Ha)
1. RW 2.A
a. Mrican Kanan (Bpp12 dan Bpp17
1. P 23
3. CD 1 Kiri
b. Mrican Kiri ( Kw 6, Kw 16, dan Kw 23).
3. Mg. 2 Kanan
Wilayah administratif
Tulungagung
Kediri dan Nganjuk
Sidoarjo
Jumlah petani contoh
120
200
160
Blok tertier contoh
2. NT Kanan
2. Mrican Kiri (12 570 Ha)
2. Pj. 5. LB 4. Kp. 16 Kiri
4.7. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey1. Data primer yang dikumpulkan terdiri atas: (1) data sosial ekonomi rumah tangga petani, dan (2) data usahatani dan kelembagaan pengelolaan irigasi di tingkat kelompok petani pengguna air irigasi (HIPPA). Instrumen penelitian untuk menggali data primer adalah kuesioner yang telah disempurnakan berdasarkan masukan dari hasil uji yang dilakukan pada saat survey pendahuluan. Data tersebut mencakup kondisi yang terjadi dalam satu tahun kalender pertanian (MT III 1999, MT I 2000, dan MT II 2000). Survey utama dilakukan pada Bulan Agustus - September 2000. Data sekunder dikumpulkan dari lembaga-lembaga terkait. Data pasokan air irigasi dan keadaan tanaman di lapangan diperoleh dari Cabang Seksi Pengairan dan arsip yang disimpan oleh Juru Pengairan (data "Dasarian") di lokasi penelitian terkait. Data Curah Hujan dan data-data lain yang relevan dikumpulkan dari Dinas Pengairan dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan di Kabupaten terkait. Pengumpulan data tersebut dilakukan secara bertahap selama survey pendahuluan yang dilakukan sebanyak 3 kali bersamaan dengan penentuan lokasi contoh. 1
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sebagian data yang dikumpulkan dalam penelitian kerjasama antara Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PSE) – International Food Policy Research Institute (IFPRI) – Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) – Perum Jasa Tirta I (PJT I) yang berjudul "Irrigation Investment, Fiscal Policy, and Water Resource Allocation in Indonesia and Vietnam". Sebagai salah satu anggota Tim Penelitian tersebut, penulis disertasi ini merupakan kontributor utama dalam disain pengambilan contoh, pengembangan instrumen penelitian untuk pengumpulan data sosial ekonomi rumah tangga petani maupun kelompok P3A (HIPPA); dan secara penuh melakukan pengumpulan data di lapangan.
V. SUMBERDAYA AIR, PENGELOLAAN IRIGASI DAN KERAGAAN USAHATANI DI DAERAH IRIGASI BRANTAS
5.1. Keragaan Umum Daerah Aliran Sungai Brantas Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas terletak di bagian barat-tengah Provinsi Jawa Timur, terbentang pada ordinat antara 110030’ – 112055’ Bujur Timur dan 7 001’ – 8015’ Lintang Selatan (Lampiran 3). DAS ini dikelilingi oleh beberapa gunung berapi, dua diantaranya masih aktif yaitu Gunung Semeru dan Gunung Kelud.
Secara geologi, wilayah ini terbentuk dari formasi tertier
termasuk batuan basalt dan andesit di vulkanis hulu, marine limestone di dataran rendah serta delta. Dataran rendah dan delta terdiri dari tanah alluvial (silt, clay loams) yang sangat cocok untuk pertanaman padi (JICA, 1998). Luas DAS adalah sekitar 11 800 Km2. Sungai utama adalah S. Brantas. Hulu sungai berada di kaki Gunung Arjuno. Dari hulu sampai ke titik sungai ini bercabang menjadi dua sungai (Kali Surabaya dan Kali Porong) panjangnya adalah sekitar 258 km. Sungai ini bermuara di Selat Madura. Secara keseluruhan, DAS Brantas mencakup 6 wilayah tangkapan air yaitu Kali Lesti, Kali Konto, Kali Widas, Kali Brantas, Kali Ngrowo, dan Kali Surabaya. Secara administratif DAS ini mencakup 9 Kabupaten dan 5 Kotamadya. Diurut dari hulu, kabupaten tersebut adalah: Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Kota Surabaya, dan sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan dan Gresik. DAS Brantas adalah wilayah yang paling berkembang di Jawa Timur. Pada tahun 1999, jumlah penduduk di wilayah ini sekitar 15.2 juta jiwa (43 persen dari total jumlah penduduk Jawa Timur). Dalam perekonomian, kontribusinya terhadap pendapatan regional (GDP) Jawa Timur mencapai 58 persen. Dengan kata lain rata-rata GDP per kapita wilayah ini relatif lebih tinggi dari pada ratarata agregat Jawa Timur. Dalam struktur perekonomian wilayah, selain sumbangan dari sektor industri dan jasa yang terutama berkembang di wilayah urban dan sekitarnya, perkembangan sektor pertanian di wilayah ini juga termasuk paling maju di Jawa Timur.
129 5.2. Sumberdaya Air Rata-rata curah hujan per tahun di DAS Brantas adalah sekitar 2000 mm, dimana 80 persen diantaranya jatuh pada musim hujan yang umumnya berlangsung pada periode Oktober/November – Maret/April. Data curah hujan selama 45 tahun terakhir tertera pada Lampiran 12. Menyimak perkembangan curah hujan selama kurun waktu tersebut, tampak adanya kecenderungan bahwa sejak awal dasawarsa 90-an ternyata curah hujan tahunan semakin berfluktuasi (Gambar 11). 3500
3000
2500
2000
1500
1000 56
59
62
65
68
71
74
77
80
83
86
89
92
95
98
Gambar 11. Pola curah hujan tahunan di DAS Brantas dari 1956 – 1999 Pengelolaan air untuk aktivitas pertanian pada pola curah hujan tahunan yang lebih fluktuatif adalah lebih sulit jika dibandingkan dengan pola curah hujan yang distribusi temporalnya lebih merata. Kondisi demikian itu semakin tidak kondusif jika kondisi daerah tangkapan air di DAS mengalami degradasi karena pada tahun-tahun kering pengisian reservoir (waduk) menjadi tidak optimal dan intensitas maupun eskalasi banjir pada tahun-tahun basah semakin sering terjadi. Dari data curah hujan selama 45 tahun terakhir (1955 – 1999), dapat diperoleh gambaran tentang pola curah hujan bulanan (Gambar 12). Tampak bahwa curah hujan tinggi terjadi pada Bulan-bulan Desember – Maret, dimana puncaknya terjadi pada Bulan Januari. Curah hujan sangat rendah terjadi pada Bulan-bulan Juli-Septembar dan yang terendah terjadi pada Bulan Agustus.
130
600
400
200
0 Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Maksimum 353
394
473
567
554
513
390
325
225
Minimum
2
25
124
182
193
89
49
12
0
Rata-rata
81
176
279
343
304
296
200
109
62
Gambar 12.
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
272
96
152
0
0
0
41
20
29
Pola sebaran curah hujan bulanan di DAS Brantas
Prasarana pengembangan sumberdaya air di DAS Brantas mencakup damdam besar 7 unit, bendung gerak (barrage) 6 unit, dam karet (rubber dam) 3 unit, jaringan irigasi, dan sebagainya. Secara umum, seiring dengan umur teknis dan sedimentasi, total kapasitas tampung reservoir tersebut semakin menurun. Total daya tampung (gross storage) reservoir pada saat ini adalah sekitar 438 x 106 m3. Kapasitas awal (kondisi baru) adalah sekitar 525 x 106 m3. Berarti telah terjadi penurunan kapasitas sekitar 17 persen. Daya tampung efektif adalah sekitar 357 x 106 m3 atau sekitar 71 persen dari daya tampung efektif semula yang volumenya sekitar 502 x 106 m3. Kapasitas tampung total dan efektif setiap dam tertera pada Tabel 10. Tabel 10. Kapasitas tampung beberapa dam besar di DAS Brantas, 1999 Nama Reservoir Sengguruh Sutami Lahor Wlingi Lodoyo Serolejo Bening Wonorejo Total
Selesai dibangun 1988 1972 1977 1977 1980 1970 1981 2001
Kapasitas tampung (106 m3) Total (gross) Efektif 3.37 1.17 183.42 146.63 32.88 26.54 4.97 1.41 2.35 2.35 48.76 44.51 31.70 28.05 130.02 106.00 437.47 356.66
131 Prasarana tersebut bersifat multiguna; bukan hanya untuk irigasi tetapi juga untuk pengendalian banjir, penggerak listrik, kebutuhan rumah tangga, indusatri, rekreasi, dan sebagainya.
Sasaran manfaat untuk dam-dam besar,
bendung gerak, dan dam karet di DAS Brantas dapat disimak pada Tabel 11. Tabel 11. Prasarana sumberdaya air di Daerah Irigasi Brantas dan pemanfaatannya Struktur
Sungai
Tujuan
A. Dam besar: 1. Dam Sengguruh
Lesti
1. Pengendali sedimen ke dam Sutami 2. Pembangkit listrik
2. Dam Sutami
Brantas
1. Pasokan air: domestik, irigasi, industri 2. Pembangkit listrik 3. Pengendali banjir 4. Rekreasi
3. Dam Lahor
Lahor
1. Pasokan air: domestik, irigasi, industri 2. Pengendali banjir
4. Dam Wlingi
Brantas
1. Pembangkit listrik 2. Diversi air untuk irigasi 3. Pengendali banjir 4. Rekreasi
5. Dam Selorejo
Konto
1. Pasokan air irigasi 2. Pembangkit listrik 3. Pengendali banjir 4. Rekreasi
6. Dam Bening
Widas
1. Pasokan air untuk irigasi 2. Pengendali banjir 3. Rekreasi
7. Dam Wonorejo
Song
1. Pasokan air untuk domestik 2. Pembangkit listrik 3. Pengendali banjir
B. Bendung Gerak: 1. Lodoyo 2. Mrican 3. New Lengkong 4. Gunungsari 5. Jagir 6. Tulungagung Gate
Brantas Brantas Porong Surabaya Wonokromo Ngrowo/Parit Agung Canal
Pembangkit listrik Diversi air untuk irigasi Diversi air untuk irigasi, domestik, dan industri Diversi air untuk irigasi Diversi air untuk domestik Pengatur air domestik dan pengendali banjir
C. Dam Karet: 1. Jatimlerek 2. Menturus 3. Gubeng
Brantas Brantas Mas
Diversi air untuk irigasi Diversi air untuk irigasi Diversi air untuk kebutuhan domestik
Rata-rata potensi aliran permukaan adalah sekitar 11.8x109m3/tahun, sedangkan aliran normal (natural flow) di aliran utama ( S. Brantas) adalah sekitar 7.51x109m3/tahun. Dari total pasokan, diperkirakan tingkat penggunaannya sekitar 2 993x106 m3/tahun (Sunaryo, 2002; Rodgers et al, 2001). Dari jumlah itu, yang
132 terbesar adalah untuk irigasi yaitu sekitar 80 persen. Penggunaan non pertanian yang terpenting adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sekitar 7 % dan industri sekitar 5 %. Perikanan budidaya (terutama tambak) memanfaatkan air return flow dari irrigasi sekitar 1.4 %. Selain penggunaan tersebut, setiap tahun dibutuhkan sekitar 7 % untuk penggelontoran sungai (Tabel 12). Tabel 12. Rata-rata penggunaan air yang dikelola Perum Jasa Tirta I di DAS Brantas Penggunaan 1. Irigasi 2. Domestik 3. Industri (total pasokan) 4. Penggelontoran sungai (maintenance flow) 5. Perikanan (irrigation return flow) Total
Kuantitas (106m3/tahun) Pangsa (%) 2 400 80.2 209 7.0 139 4.6 204 6.8 41 1.4 2 993 100.0
Sumber: Sunaryo, 2002; Rogers et al, 2002.
5.3. Pasokan Air Irigasi Total luas lahan irigasi di DAS Brantas adalah sekitar 309 ribu hektar. Dari jumlah itu sekitar 242.5 ribu hektar atau sekitar 78 % adalah sawah beririgasi teknis. Deskripsi lebih rinci adalah sebagai berikut (Tabel 13). Tabel 13. Luas areal irigasi di DAS Brantas, 1999/2000. Cabang Dinas Irigasi Malang Kepanjen Blitar Tulungagung Trenggalek I Kediri Pare Nganjuk Mojoagung Jombang Mojokerto Sidoarjo Surabaya Total
Teknis Hektar Persen 13 623 86.2 16 493 60.6 23 984 72.8 15 585 66.6 6 257 50.6 20 547 67.8 18 700 94.6 33 725 87.2 22 070 93.6 22 785 96.6 27 073 71.7 20 877 93.9 744 50.6 242 463 78.4
Semi teknis Hektar Persen 1 433 9.1 5 420 19.9 2 880 8.7 6 072 25.9 2 395 19.4 2 060 6.8 2 864 7.4 7 353 19.5 765 3.4 725 49.4 31 967 10.3
Sumber: Perum Jasa Tirta I dan Dinas Pengairan Jawa Timur
Non teknis Total (Hektar) Hektar Persen 745 4.7 15 801 5 303 19.5 27 216 6 086 18.5 32 950 1 747 7.5 23 404 3 721 30.1 12 373 7 680 25.4 30 287 1 072 5.4 19 772 2 079 5.4 38 668 1 509 6.4 23 579 810 3.4 23 595 3 315 8.8 37 741 602 2.7 22 244 1 469 34 669 11.2 309 099
133 Alokasi air irigasi bervariasi antar tahun dan dipengaruhi oleh curah hujan. Sementara itu karena kapasitas tampung efektif waduk semakin menurun dan alokasi air untuk keperluan domestik dan industri meningkat maka secara rata-rata alokasi air untuk irigasi cenderung semakin menurun dari tahun ke tahun. Ratarata penurunan memang hanya sekitar 0.67 persen per tahun tetapi dalam ukuran volume, angka ini setara dengan 16.2 juta m3/tahun. Pada tahun-tahun 1978, 1979, dan 1980 alokasinya mencapai angka lebih dari 3 milyar m3/tahun. Tetapi sesudah itu selalu lebih kecil dari angka tersebut. Rata-rata berkisar antara 2.7 – 2.9 milyar m3/tahun ; bahkan pada tahun 1987 kurang dari 2.3 milyar m3 (Gambar 13). 106 m3 3500.0
3000.0
2500.0
2000.0 78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
Gambar 13. Perkembangan alokasi air untuk irigasi 1978 – 1996 Pola sebaran temporal alokasi air irigasi juga sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Pasokan air irigasi sangat tinggi pada bulan Desember – April, dimana puncaknya terjadi pada Bulan Januari. Fluktuasi curah hujan memang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasokan air irigasi. Koefisien variasi bulanan untuk curah hujan adalah sekitar 85 persen, sedangkan pasokan irigasi adalah sekitar 8.4 persen (Gambar 14). Jika risiko usahatani berbanding lurus dengan fluktuasi pasokan air maka berdasarkan fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa secara teoritis kontribusi irigasi dalam mengurangi risiko gagal panen (yang diakibatkan oleh kekurangan air) adalah sekitar 90 persen. Kontribusi terbesar terjadi pada saat curah hujan sangat rendah yaitu antara Juni – September.
134
400.00 350.00 300.00 250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Discharge (juta m3)
Mei Jun
Jul
Ags Sep
Rataan CH (mm)
Gambar 14. Pola curah hujan bulanan dan alokasi air irigasi Ketersediaan air irigasi untuk tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh volume pasokan tetapi juga efisiensi sistem irigasi tersebut.
Efisiensi irigasi
dipengaruhi oleh kondisi prasarana irigasi, pengelolaan penyaluran (conveyance) dan distribusi, serta aplikasi irigasi di sawah. Doorenbos and Prit (1977) mendefinisikan efisiensi irigasi sebagai penggandaan dari 3 komponen efisiensi yaitu: conveyance efficiency, distribution efficiency, dan field application efficiency. Dalam rangka menyesuaikan dengan kondisi di lapangan pemilahan yang dilakukan oleh Team Studi "Special Assistant for Project Sustainability II – SAPS II (1992) adalah: 1.
Intake efficiency (IEF), yaitu ratio antara air irigasi yang aktual masuk di titik intake bangunan terhadap inflow yang dijadwalkan. Ini merupakan indikator (pengukuran efisiensi secara tidak langsung) pengelolaan suatu sistem irigasi skala makro (Armitage, 1999). Dapat juga dimaknai sebagai intake aktual yang diterima di salah satu saluran berikutnya terhadap volume intake yang dijadwalkan pada saluran di level atasnya (main canal). Disain jaringan (dari saluran induk – tertier) irigasi yang kurang terkonsolidasi merupakan salah satu faktor yang menentukan IEF.
135 2.
System operation efficiency (SOEF), yaitu ratio antara volume alir yang diterima di inlet di lapangan terhadap inflow pada saluran utama (main canal). Faktor yang paling menentukan SOEF adalah kebocoran dan evaporasi selama penyaluran dan kehilangan air akibat kesalahan dalam pengoperasian fasilitas kontrol distribusi air irigasi.
3.
On-farm use efficiency (FUEF), yaitu ratio antara volume air yang secara langsung tersedia untuk tanaman terhadap volume air yang diterima di hamparan (field inlet). Faktor-faktor yang menentukan FUEF antara lain adalah teknik aplikasi air di lapangan dan kondisi tanah. FUEF di sistem irigasi Brantas adalah berkisar antara 65 – 75 persen. Hasil penelitian Team Studi SAPS II (1992) juga menunjukkan bahwa
secara keseluruhan tingkat efisiensi irigasi (system irrigation efficiency – SIEF) di DAS Brantas masih relatif rendah (Tabel 14). Meskipun demikian penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa tingkat efisiensi tersebut relatif lebih tinggi dari pada rata-rata nasional yang berkisar antara 45 – 65 persen. Tabel 14. Efisiensi irigasi pada sistem irigasi teknis di DAS Brantas, 1992 Region
Skema irigasi
Hulu
Lodoyo 1. Warujayeng-Kertosono Mrican) Tengah 2. Turi-Tunggorono Hilir Delta Brantas
IEF 90 90 90 70
Tingkat Efisiensi (%) SOEF FUEF SIEF*) 88.3 75 60 57.5 70 36 58.8 70 37 57.8 65 26
Sumber: Tim Studi "Special Assistant for Project Sustainability (SAPS)", 1992. *) SIEF IEF SOEF FUEF
5.4. Kelembagaan Pengelolaan Irigasi Pengelolaan irigasi, terutama pada sistem irigasi skala besar seperti Brantas ataupun Jatiluhur membutuhkan perangkat kelembagaan yang tidak sederhana. Latar belakangnya sebagai berikut. Di satu sisi, betapapun majunya tetapi rekayasa teknik untuk menciptakan suatu sistem irigasi yang efisien harus tetap berlandaskan pada hukum-hukum hidrologi karena tidak mungkin menghindar dari karakteristik intrinsik sumberdaya air.
Di sisi lain, perilaku
partisipan (pengguna) sumberdaya air tentu saja tidak selalu dipengaruhi oleh
136 variabel-variabel yang sesuai dengan persyaratan teknis keirigasian. Bahkan secara empiris lebih banyak dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang kadangkadang justru berseberangan dengan persyaratan teknis tersebut. Sebagai ilustrasi dapat disebutkan misalnya dalam pengelolaan sumberdaya air di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Menurut acuan teknis, batas yurisdiksi pengelolaan sumberdaya air adalah DAS. Akan tetapi secara empiris batas yurisdiksi berbagai macam bentuk kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya, termasuk pengelolaan sumberdaya air justru lebih sering mengacu pada cakupan wilayah administratif pemerintahan yang sayangnya secara historis sangat jarang memperhitungkan implikasi dari karakteristik sumberdaya air. Bukan hanya itu, ternyata juga sangat sering menggunakan pendekatan parsial dan melupakan hakekat interdependensi antar partisipan. Kondisi demikian itu pada akhirnya menyebabkan semangat dan aksi kolektif untuk mendayagunakan sumberdaya air secara efisien dan berkelanjutan sulit diwujudkan. Garis besar kelembagaan pengelolaan irigasi di DAS Brantas adalah sebagai berikut. Secara keseluruhan pengelolaan air Sungai Brantas dan anak-anak sungainya telah terintegrasi dalam satu lembaga (Perum Jasa Tirta I). Tugas dan fungsi utama lembaga ini adalah melakukan pengelolaan air untuk memenuhi kebutuhan sektor pertanian (irigasi) maupun sektor-sektor lain (rumah tangga, industri, pembangkit listrik, fasilitas sosial, penggelontoran sungai, dan sebagainya) di DAS Brantas. Dalam melaksanakan fungsinya, Perum Jasa Tirta I berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Sebagai ilustrasi, dalam mengelola pasokan air untuk irigasi, Jasa Tirta I berkoordinasi dengan Dinas Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA), dan dengan lembaga suprastrukturnya di jajaran kementerian yang mengurusi sumberdaya air yakni Departemen Pekerjaan Umum. Mengingat bahwa pengelolaan air irigasi pada dasarnya merupakan bagian integral dari pengelolaan sumberdaya dalam keseluruhan, maka dilakukan koordinasi yang sifatnya lintas sektoral. Untuk itu dibentuk suatu forum koordinasi antar instansi terkait yang disebut Panitia Irigasi. Ketua Panitia Irigasi adalah Kepala Wilayah Pemerintahan, baik di Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, maupun di tingkat Kecamatan.
137 Mekanisme distribusi air irigasi mulai dari sumber air (reservoir) sampai ke hamparan sawah adalah sebagai berikut. Dari reservoir air dialirkan melalui saluran primer untuk selanjutnya dibagi lebih lanjut melalui saluran-saluran yang lebih kecil (saluran sekunder). Penyampaian air irigasi dari saluran sekunder ke hamparan lahan pertanian menggunakan saluran tertier, dan karenanya hamparan lahan tersebut lazim disebut Petak Tertier atau Blok Tertier. Luas satu blok tertier bervariasi, mulai dari hanya 40 Ha sampai 300 Ha, tergantung pada topografi lahan dan disain debit air irigasi di saluran tertier. Untuk menjangkau persil-persil lahan yang berada di tengah atau di belakang, seringkalipara
petani secara
berkelompok membangun saluran-saluran yang lebih kecil (saluran kwarter). Agar kehilangan air di saluran primer, sekunder, dan tertier dapat ditekan maka saluransaluran tersebut dibuat kedap air dengan cara disemen. Saluran kwarter pada umumnya tidak disemen karena secara teknis langsung berada di areal hamparan tertier dan secara finansial lebih murah. Pada sistem irigasi teknis, pengelolaan irigasi menggunakan kombinasi pendekatan dari atas (top-down) dan dari bawah (bottom up). Penyelenggaraan pendekatan tersebut diwujudkan dalam sistem perencanaan yang dibuat oleh Panitia Irigasi. Lazimnya, Panitia Irigasi mengadakan rapat koordinasi menjelang musim tanam. Dari atas, Panitia Irigasi memperoleh informasi tentang program pemerintah dalam peningkatan produksi pangan, prediksi iklim (curah hujan), dan proyeksi pasokan air. Dari bawah, Panitia Irigasi memperoleh informasi tentang pola tanam yang ingin dilakukan oleh petani. Berdasarkan pengkajian terhadap informasi dari kedua belah pihak itu kemudian disusun "rencana pemberian air irigasi" per musim tanam yang didalamnya mencakup volume maupun waktu pengaliran air ke petak-petak tertier yang berada di wilayah kerja Panitia Irigasi yang bersangkutan. Sudah barang tentu kebutuhan dan persediaan air irigasi tidak dapat dihitung dengan tepat. Oleh sebab itu pada musim kemarau dikenal istilah "Gadu Ijin"dan "Gadu Tidak Ijin". Gadu Ijin mengacu pada usahatani padi di musim kemarau yang menurut perhitungan Panitia Irigasi akan memperoleh air irigasi yang cukup dan karenanya masuk dalam Ketetapan Rencana Pola Tanam, sedangkan "gadu tidak ijin" atau kadang-kadang diistilahkan "gadu paksa" mengacu pada usahatani padi yang keterjaminan pasokan air irigasinya tidak
138 meyakinkan sehingga tidak tercakup dalam Ketetapan Rencana Pola Tanam. Secara normatif, lahan garapan yang termasuk dalam kategori Gadu Tidak Ijin tidak memperoleh hak untuk menuntut kepada Dinas Pengairan apabila pasokan air irigasi ke lahannya tidak mencukupi. Agar kesenjangan antara pasokan dan permintaan air irigasi dapat ditekan serendah mungkin, "rencana pemberian air" tersebut dituangkan dalam suatu pola tanam anjuran (luas tanam menurut jenis komoditas dan musim tanam) yang kadang – kadang disebut pula dengan istilah Rencana Tata Tanam atau Pedoman Pola Tanam yang disusun bersama-sama antara Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Dinas Pengairan. Selanjutnya agar lebih mengikat, hal tersebut diformalkan melalui Surat Keputusan (SK) Kepala Wilayah (Gubernur, Bupati/Walikota). Pemantauan dan pelaksanaan pengaturan pasokan air berada di bawah tanggung jawab Dinas Pengairan setempat. Pelaksana langsung di lapangan adalah Juru Pengairan yang dibantu oleh petugas-petugas penjaga pintu air. Lazimnya, wilayah kerja seorang Juru Pengairan (wilayah kerjanya disebut Kejuron) mencakup 5 – 10 Blok Tertier, tergantung luas Blok-Blok Tertier dan konfigurasi jaringan irigasi. Koordinasi antar Juru Pengairan berada di bawah Cabang Seksi pengairan, dan Cabang Seksi pengairan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Pengairan Kabupaten yang bersangkutan. Tampaknya pendekatan yang digunakan dalam alokasi air irigasi adalah Supply management. Dapat dikatakan demikian karena meskipun dalam perencanaan distribusi antar waktu maupun antar tempat mengacu pula kepada permintaan dari petani akan tetapi pola dasar yang diterapkan adalah sistim penjatahan pasokan. Pendekatan demand management masih sulit diterapkan karena: (a) kesulitan yang dihadapi dalam mengestimasi permintaan secara akurat (jumlah petani sangat banyak, pola tanam sangat beragam), (b) teknik irigasi yang diterapkan untuk tanaman yang terbanyak memerlukan air (padi) adalah sistim alir terus-menerus (continuous flow) dan di dalam blok tertier cukup banyak petani yang mempraktekkan pengaliran air irigasi antar petakan sawah menggunakan sistem alir langsung melalui saluran-saluran kecil yang seringkali hanya dilakukan dengan melubangi batas petakan sawah tersebut ("galengan").
139 Pengelolaan irigasi di tingkat petani dilakukan secara kolektif. Dalam pengelolan usahatani, kelompok terkecil yang ada di pedesaan adalah Kelompok Tani. Agar sesuai dengan tuntutan kelayakan teknis dan ekonomi dalam pengelolaan irigasi kelompok-kelompok petani tersebut berasosiasi (atas kemauan sendiri maupun karena bentukan pemerintah) membentuk suatu lembaga atau organisasi yang disebut Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A). Di Jawa Timur istilah yang dipakai adalah Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA). Lazimnya, wilayah kerja HIPPA mencakup satu jaringan tertier dan secara empiris pada sistem irigasi teknis yang investasinya dilakukan oleh pemerintah, pembentukan dan pengembangan awal kelembagaannya dilakukan pemerintah. Untuk menghindari terjadinya konflik dengan kelembagaan pengelolaan irigasi tradisional yang yang berbasis pedesaan maka wilayah kerja HIPPA pada akhirnya disesuaikan pula dengan wilayah administratif tersebut (desa). 5.5. Keragaan Umum Rumah Tangga Petani di Daerah Pesawahan Irigasi Teknis DAS Brantas 5.5.1. Penguasaan Lahan Informasi tentang struktur penguasaan tanah bukan hanya bermanfaat dalam menentukan implementasi water pricing, tetapi mencakup aspek yang lebih luas. Sebagian pakar memanfaatkannya sebagai dasar telaah tentang stereotipe masyarakat pertanian dan pedesaan pada umumnya (Van de Kroef, 1984; Wiradi dan Makali, 2000). Di Indonesia telah banyak hasil penelitian yang menganalisis hubungan antara struktur penguasaan tanah dengan sistem usahatani dan pendapatan rumah tangga petani. Meskipun beragam, kesimpulan umum dari beberapa studi menunjukkan bahwa di pedesaan, struktur penguasaan tanah merupakan faktor terpenting dinamika pertanian karena transformasi pertanian ke industri berjalan lambat. Selain itu, struktur penguasaan tanah juga merupakan determinan distribusi pendapatan. Ini dapat dilihat misalnya pada Sumaryanto dan Rusastra (1999), Nurmanaf (2001) ataupun Susilowati et al, (2001). Pengertian penguasaan lahan (tenancy) mencakup status kepemilikan maupun penggarapan. Dalam penelitian ini tidak ada pembedaan antara status
140 milik yang dilengkapi bukti pemilikan (sertifikat) ataupun yang belum dilengkapi sertifikat. Dalam transaksi penggarapan pada umumnya juga tidak disertai dengan perjanjian tertulis, tetapi hanya didasarkan atas kepercayaan dari masing-masing pihak yang berkepentingan. Satuan luas lahan yang populer di DAS Brantas adalah 'ru', dimana 700 ru setara dengan 1 hektar. Istilah lain yang juga populer adalah "banon" yang merupakan "penghalusan" dari istilah "bata". Jika petani menyebut "Banon 100" maka hal itu berarti lahan tersebut luasnya adalah 100 "ru" atau sekitar 1400 m2. Ditinjau menurut penggunaannya, lahan pertanian dapat dipilah menjadi: sawah, tegal, kebun, pekarangan dan lain-lain (kolam, tambak, dan sebagainya). Lahan sawah seringkali dipilah lebih lanjut berdasarkan kualitas prasarana penunjang irigasinya yaitu sawah irigasi teknis, semi teknis, sederhana, dan tadah hujan. Secara teoritis, kualitas ketersediaan air yang terbaik adalah lahan beririgasi teknis karena diperlengkapi dengan prasarana pengatur pasokan air irigasi (debit) yang memadai, meskipun dalam praktek sering pula dijumpai bahwa lahan sawah pada sistem irigasi sederhana kecukupan airnya lebih baik dari pada irigasi teknis. Pemilahan lain adalah berdasaran tingkat kecukupan air irigasi dalam satu tahun untuk menanam padi. Menurut pemilahan ini dikenal istilah sawah yang dapat ditanami padi dua kali, satu kali, dan sebagainya. Jika disederhanakan menjadi dua jenis pemanfaatan lahan yaitu Sawah dan Lainnya (bukan sawah), rata-rata pemilikan lahan rumah tangga petani adalah 0.43 hektar, terdiri dari Sawah 0.34 hektar dan Lainnya 0.09 hektar (Tabel 15). Sejajar dengan kepadatan agrarisnya, rata-rata pemilikan lahan di wilayah yang lebih hilir cenderung lebih kecil. Tabel 15. Rata-rata luas pemilikan lahan rumah tangga petani di wilayah pesawahan irigasi teknis di DAS Brantas, 2000. Lingkup wilayah
Sawah
Lainnya
Total
Sub Das Hulu
0.401
0.163
0.564
Sub DAS Tengah
0.328
0.081
0.409
Sub DAS Hilir
0.307
0.049
0.355
DAS Brantas
0.339
0.091
0.430
141 Di Sub DAS Hulu, sebagian besar dari jenis lahan yang tercakup dalam kelompok Lainnya adalah tegalan dan kebun, sedangkan di Sub DAS Tengah dan di Sub DAS Hilir adalah pekarangan. Tanaman utama di tegalan adalah palawija seperti jagung, kedele, kacang tanah, ubi jalar, dan sebagainya. Di kebun dan pekarangan komoditas yang paling banyak diusahakan adalah kelapa, pisang, rambutan, mangga, dan lain-lain. Sebagian besar dari usahatani di lahan kebun dan pekarangan yang dilakukan oleh petani di wilayah DAS Brantas adalah untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten). Petani yang tidak memiliki sawah sehingga seluruh sawah garapannya berasal dari sewa atau bagi hasil adalah sekitar 23 %. Bahkan lebih dari separuh rumah tangga petani (53.5 %) hanya memiliki lahan sawah dengan luas rata-rata sekitar 0.26 hektar. Jumlah rumah tangga petani yang memiliki lahan sawah antara 1 – 1.5 hektar adalah 4.2 % dengan rata-rata pemilikan sekitar 1.2 hektar, sedangkan yang memiliki sawah lebih dari 1.5 hektar hanya 1.5 % dengan ratarata luas pemilikan sekitar 2.5 hektar (Tabel 16). Tabel 16. Rata-rata pemilikan lahan sawah di daerah pesawahan DAS Brantas menurut kelompok pemilikan sawah, 1999/2000. Kelompok pemilikan sawah
Petani n
Sawah milik %
Jumlah persil
Luas (Ha)
L=0
111
23.13
0.0
0.000
0 < L =< 0.5 0.5 < L =< 1.0 1.0 < L =< 1.5 L > 1.5 Rata-rata
257 85 20 7 480
53.54 17.71 4.17 1.46 100.00
1.7 3.5 4.4 4.3 1.8
0.255 0.647 1.213 2.546 0.339
Distribusi pemilikan lahan sawah relatif timpang dengan Gini indeks 0.554. Sebagaimana tampak dalam kurva Lorentz (Gambar 15), luas kumulatif pemilikan sawah dari 50 % rumah tangga tani dari lapisan terbawah hanya mencapai 12 %, sebaliknya 50 % petani lapisan atas menguasai 55 %. Dapat pula disimak bahwa 10 % populasi petani lapisan teratas menguasai lahan sawah milik sekitar 37 % dari total lahan sawah di lokasi tersebut.
142 Angka indeks Gini1 pemilikan sawah di Sub DAS Brantas Hulu, Tengah, dan Hilir masing-masing adalah: 0.437, 0.589, dan 0.570. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat ketimpangan terendah adalah di Sub DAS Brantas Hulu, sedangkan tingkat ketimpangan distribusi di Sub DAS Tengah dan Hilir tidak banyak berbeda. Hampir semua petani yang memiliki sawah menggarap sendiri lahan sawah miliknya. Petani yang tidak memiliki lahan sawah memperoleh lahan garapan dengan menyewa ataupun bagi hasil (menyakap). Dalam kenyataannya yang menggarap persil-persil sawah dengan status sewa ataupun bagi hasil tidak hanya petani yang tidak memiliki sawah tetapi juga petani yang telah memiliki sawah. Hal ini antara lain disebabkan rata-rata luas pemilikan lahan sawah pada umumnya sempit sehingga petani-petani tersebut berusaha memperluas lahan garapannya agar dapat memperoleh pendapatan usahatani yeng lebih banyak. 100
L u a s ku m u l at i f s aw a h m i l i k ( % )
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100
Ju m l a h k u m u l a t i f p e t a n i ( % )
Gambar 15. Kurva Lorenz pemilikan lahan sawah di DAS Brantas 1
Formula Gini Indeks adalah: 1 2 n G 1 2 Li n n L i 1 G = Gini indeks Li = luas lahan petani ke-i i = nomor petani (diurut dari yang pendapatan terbesar ke yang terkecil). n = jumlah petani L adalah rata-rata luas lahan
143 Nilai sewa lahan sawah bervariasi tergantung produktivitas dan kelas lahan. Rataan agregat adalah Rp. 4.8 juta/tahun dengan kisaran antara 3.4 – 5.6 juta. Sistem penyewaan beragam: per musim, per tahun, bahkan ada pula yang menyewakan lahan sawahnya untuk jangka waktu lebih dari satu tahun (jual tahunan). Secara empiris yang lazim adalah sewa per tahun. Tingkat partisipasi garapan sewa terbanyak adalah di Sub DAS Tengah khususnya di Mrican Kiri yang secara administratif adalah termasuk dalam wilayah Kabupaten Nganjuk. Pada sistem bagi hasil, yang terbanyak dipraktekkan adalah sistem "maro" atau 1:1. Artinya, bagian produksi pemilik tanah sama dengan yang diterima penggarap. Tergantung kesuburan tanah dan kesepakatan dari kedua belah pihak, ternyata ada penggarap yang diwajibkan menanggung 100 persen biaya tenaga kerja dan 50 persen biaya sarana produksi lainnya, ada pula yang seluruh biaya produksinya ditanggung oleh penggarap. Pada saat panen, setelah bagian hasil (kompensasi) untuk sarana produksi disisihkan dan dikembalikan kepada masingmasing pihak yang mengeluarkannya kemudian produksi dibagi dua. Sesuai dengan ketersediaan air irigasinya, luas lahan sawah yang digarap pada musim kemarau umumnya lebih rendah daripada musim hujan. Rata-rata luas sawah garapan pada musim hujan, musim kemarau-1 dan musim kemarau-2 adalah 0.33, 0.32 dan 0.23 hektar. Sejajar dengan luas pemilikan, semakin ke hilir rata-rata luas garapan cenderung semakin sempit (Tabel 17). Tabel 17. Rata-rata luas sawah garapan per musim, 1999/2000. Wilayah Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir DAS Brantas
Luas garapan per musim (Hektar) MH MK-1 MK-2 0.383 0.357 0.249 0.319 0.303 0.256 0.311 0.307 0.173 0.332 0.318 0.227
Berkembangnya transaksi garapan sewa dan sakap dalam batas-batas tertentu dapat dikatakan berhasil mengurangi tingkat ketimpangan penguasaan lahan garapan. Ini tercermin dari Gini indeks pemilikan yang lebih besar daripada Gini indeks penguasaan garapan (0.554 vs 0.405).
144 5.5.2. Pengusahaan Tanaman Padi di Pesawahan Irigasi Teknis DAS Brantas Sawah dibangun dengan tujuan agar kondisi lingkungan ekosistem tersebut kondusif untuk usahatani padi. Oleh karena itu, indeks pertanaman padi di lahan sawah seringkali digunakan sebagai proksi kinerja irigasi. Meskipun dalam konsep irigasi modern penggunaan tolok ukur itu dianggap semakin tidak relevan, tetapi dalam praktek masih berlaku sampai saat ini. Luas tanam padi di pesawahan DAS Brantas masih dominan meskipun diversifikasi usahatani di wilayah ini termasuk paling berkembang di Indonesia. Pada MT I (MH), luas tanam padi lebih dari 85 %. Angka ini menurun menjadi sekitar 65 % pada MT II (MK-1). Pada musim tanam ini, sekitar 30 % dari luas lahan sawah ditanami palawija dan sayuran. Untuk MT III (MK-2), komoditas dominan adalah palawija dan sayuran. Luas tanam padi pada musim ini kurang dari 5 persen. Sebaran spatial pengusahaan tanaman pangan yang membutuhkan air irigasi terbanyak yakni padi, adalah (Gambar 16):
Dominasi luas tanam padi pada MT I (MH) terjadi di semua Sub DAS di DAS Brantas; berkisar antara 81– 90 %.
Pada MT II (MK-1), proporsi luas tanam padi di Sub DAS Hilir dan Tengah, kurang dari 60 % dari luas areal masing-masing wilayah tersebut. Ini berbeda dengan di Sub DAS Hilir yang masih mencapai angka di atas 80 %.
Proporsi luas tanam padi MT III (MK-2) yang terbesar adalah di Sub DAS Brantas Tengah karena ketersediaan air irigasinya paling baik.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
80.5
87.8 88.1
84.2
54.0 56.8
9.0 1.4
Musim
Hulu
Musim kemarau-1
Tengah
1.1
Musim kemarau-
Hilir
Gambar 16. Proporsi luas areal tanam padi di masing-masing Sub DAS
145 Salah satu indikator intensitas penanaman yang sering dipakai adalah Indeks intensitas tanam (Cropping Index – CI). Hasil analisis menunjukkan bahwa rataan agregat CI di areal pesawahan DAS Brantas adalah sekitar 260 %. Angka CI tertinggi dicapai petani di Sub DAS Tengah, sedangkan yang terendah di Sub DAS Hilir. Angka ini tidak banyak berbeda dengan hasil penelitian Nippon Koei and Nikken Consultants (1998) yang menunjuukan bahwa CI tahun 1994-1996 berkisar antara 257 – 264 %; tetapi lebih tingga rata-rata CI lahan sawah irigasi untuk keseluruhan Pulau Jawa yang diperkirakan hanya sekitar 179 %. Intensitas tanam yang tinggi itu bukan hanya merupakan kontribusi dari ketersediaan air dari irigasi gravitasi semata, tetapi juga irigasi pompa. Secara empiris pemanfaatan irigasi pompa di Indonesia paling intensif adalah di DAS Brantas (Pakpahan et al, 1993). 5.5.3. Penggunaan Masukan dan Produktivitas Usahatani Komoditas Utama Aplikasi teknologi tidak hanya mencakup jumlah input yang digunakan tetapi juga kualitas, bahkan cara bagaimana memperlakukan input tersebut dalam budidaya pertanian. Analisis ini hanya difokuskan pada tingkat penggunaan input utama yakni benih, pupuk, tenaga kerja, dan pengelolaan irigasi di level usahatani. Berdasarkan data lapang yang dikumpulkan dari survey, terdapat 5 jenis komoditas yang dominan yaitu padi, jagung dan kedele, kacang tanah, dan kacang hijau. Penggunaan input dan produktivitas usahatani ketiga jenis komoditi tersebut per musim tanam dapat disimak pada Tabel 18. Produktivitas usahatani padi pada MT I (MH), MT II (MK-1), dan MT III (MK-2) masing-masing adalah 56.5, 55 dan 53 kuintal gabah kering panen (GKP) per hektar. Jika dibandingkan dengan produktivitas usahatani padi di Subang dan Sidrap pada tahun 1998/1999 angka-angka tersebut lebih tinggi, tetapi lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas yang dicapai di Cianjur (Sumaryanto, 2001). Dalam bentuk gabah kering giling (GKG) angka-angka tersebut setara dengan 47.5, 46.7, dan 45.2 kuintal GKG/hektar. Dengan demikian lebih tinggi daripada produktivitas rata-rata nasional (42 – 44 kuintal/hektar ataupun rata-rata Asia pada tahun 1996 (38.7 kuintal/hektar) sebagaimana
146 dilaporkan dalam Kasryno et al, 2001. Tingkat produktivitas usahatani padi di DAS Brantas tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata produktivitas yang dicapai RRC (63 kuintal/hektar), apalagi jika dibandingkan dengan produktivitas yang dicapai di salah satu wilayah irigasi paling produktif di negeri itu yakni di Zhanghe Irrigation System yang rata-rata mampu mencapai 78 kuintal/hektar (Hong et al, 2001). Tabel 18. Produksi dan penggunaan input per hektar usahatani padi dan palawija di pesawahan DAS Brantas, 1999/2000 Padi MT I
MT II
Produktivitas (ku/ha) *) 56.5 54.9 Sarana Produksi: 1. Benih (Kg) 58.2 60.3 2. Pupuk Urea (Kg) 360.1 370.5 3. Pupuk ZA 117.7 117.7 4. Pupuk TSP 63.8 61.7 5. pupuk SP-36 39.5 43.3 6. Pupuk KCl 35.7 36.8 7. Pestisida (Rp.000) 121.1 130.4 8. Lainnya (Rp.000) 20.2 18.4 Tenaga Kerja (Jam kerja): 1. Laki-laki 900.9 903.8 2. Perempuan 487.9 479.1 3. Ternak kerja 3.9 3.9 4. Traktor 29.2 27.7 Total (setara pria) 1625.1 1603.8 Jumlah petani (n) 471 386 *): kuintal Gabah Kering Panen (GKP)
Jagung
Kacang Kacang tanah hijau MT III MT III MT III
Kedele
MT III
MT II
MT III
MT II
53.2
56.0
54.6
13.2
13.1
14.3
8.6
57.4 381.6 160.9 55.3 50.7 53.2 212.6 45.8
23.3 301.0 38.0 61.2 6.7 16.1 23.5 86.1
23.8 248.5 44.9 50.7 10.2 18.6 31.9 84.4
57.9 59.5 0.0 23.8 0.0 0.0 121.4 0.0
52.4 40.8 32.6 12.5 3.6 16.4 179.9 39.4
101.9 22.8 0.0 13.9 3.5 6.9 48.9 0.0
32.3 6.4 0.0 7.3 3.5 0.0 115.4 66.6
1145.2 443.6 0.0 46.4 2010.5 52
643.9 424.7 6.4 29.2 1325.4 50
669.3 376.2 1.6 20.7 1203.5 162
881.9 240.6 0.0 3.0 1107.1 3
633.2 250.1 0.0 4.6 884.3 126
818.4 368.3 2.8 11.5 997.1 8
403.8 208.4 0.0 0.0 570.5 22
Produktivitas tersebut dicapai melalui aplikasi penggunaan pupuk kimia yang sangat intensif. Sebagai ilustrasi, rata-rata penggunaan pupuk N lebih dari 400 Kg/hektar dengan rincian rata-rata pupuk Urea mencapai 360 – 380 Kg/hektar dan ZA lebih dari 100 Kg/hektar. Rata-rata penggunaan pupuk P (TSP dan atau SP-36) lebih dari 100 Kg/hektar. Dibandingkan dosis pemupukan 'anjuran' angkaangka tersebut terlalu besar sehingga dapat diinterpretasikan "over intensif". Apakah hal itu disebabkan oleh: kecenderungan petani untuk menerapkan pemupukan berlebih (efek psikologis), kebutuhan pupuk an organik yang semakin tinggi karena menurunnya kesuburan fisik tanah akibat defisiensi bahan organik,
147 ataukah disebabkan oleh turunnya kualitas pupuk dan atau cara penggunaannya masih perlu kajian lebih lanjut. Penggunaan tenaga kerja mencakup tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja upahan (buruh tani). Dalam pengolahan tanah, penggunaan tenaga kerja ternak semakin tidak populer dan sebagian besar mengandalkan tenaga mekanis terutama traktor roda dua. Pada penggunaan benih, petani biasanya menyemai benih lebih banyak daripada yang sesungguhnya ditanam. Selain untuk mengatasi kekurangan akibat viablitas (daya tumbuh) benih yang tidak pernah mencapai angka di atas 95 persen, hal itu juga dimaksudkan untuk mengantisipasi kebutuhan bibit untuk penyulaman. Dalam kasus-kasus tertentu dimana bibit yang mereka semai sendiri tidak cukup maka petani tersebut membeli atau meminjam bibit dari petani lainnya. Pada tahun 1999/2000, varietas padi yang paling banyak ditanam petani adalah IR-64. Menurut informasi yang diperoleh dari sebagian besar petani, IR-64 merupakan salah satu varietas padi berdaya hasil tinggi dan rasanya banyak disukai sehingga sangat populer. Faktanya, IR-64 merupakan varietas padi yang durasi edarnya paling lama. Aplikasi irigasi pompa ditujukan untuk mengatasi kekurangan air pada fase-fase pertumbuhan tertentu (musim kemarau). Sebagian petani memiliki pompa irigasi sendiri, sedangkan yang tidak memiliki menyewa jasa pemompaan dari pengusaha pompa irigasi atau petani lain yang memiliki pompa irigasi. Meskipun pada musim hujan ada pula petani yang mengusahakan tanaman jagung di lahan sawah irigasi teknis di DAS Brantas akan tetapi jumlahnya sangat sedikit – bahkan untuk kedele hampir tak ada. Oleh sebab itu yang dibahas hanya usahatani komoditas tersebut pada musim kemarau. Secara agregat, produktivitas usahatani jagung pada MT II (MK-1) adalah sekitar 56 kuintal pipilan kering/hektar, sedangkan pada MT III (MK-2) sedikit lebih rendah (54.6 kuintal/hektar). Khusus untuk jagung hibrida, produksi per hektar luas garapan yang dicapai petani di lokasi penelitian adalah sekitar 60.5 kuintal pipilan kering dengan kisaran 48 – 82 kuintal; sedangkan untuk varietas komposit sekitar 48 kuintal dengan kisaran 32 – 65 kuintal.
148 Jagung hibrida telah banyak diusahakan terutama di Sub DAS Tengah dan Hilir. Selain ditunjang oleh kemudahan petani memperoleh benih tersebut di kioskios saprodi setempat, perkembangan aplikasi benih hibrida di lokasi ini juga terdukung oleh pola kemitraan dengan industri benih dan industri pakan. Serupa dengan kinerja pada usahatani padi, aplikasi teknologi dalam usahatani jagung juga termasuk intensif. Sejak puluhan tahun yang lalu wilayah pesawahan DAS Brantas merupakan salah sentra produksi kedele di Indonesia. Produktivitas usahatani kedele pada tahun 1999/2000 adalah sekitar 13 kuintal kedele ose/hektar dengan kisaran 9 – 19 kuintal/hektar. Variasi produktivitas antar petani dalam usahatani kedele ini relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan variasi produktivitas usahatani padi maupun kedele. Ini dapat disebabkan risiko usahatani kedele lebih tinggi daripada kedua komoditas tersebut. Produktivitas usahatani Kacang Tanah dan Kacang Hijau masing-masing adalah 14.3 dan 8.6 kuintal ose/hektar. Angka ini lebih tinggi daripada rata-rata nasional, akan tetapi untuk rataan Pulau Jawa termasuk angka tersebut termasuk kategori sedang. Kedua jenis komoditas tersebut umumnya diusahakan pada MT III (MK-2). Pada MT II (MK-1), partisipasi petani yang mengusahakannya lebih kecil dibandingkan petani yang mengusahakan jagung maupun padi. 5.5.4. Strutur Pendapatan Rumah Tangga Petani Oleh karena luas garapannya sempit, maka pendapatan yang diperoleh dari usahatani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga anggota keluarga petani harus bekerja di sektor luar pertanian. Dengan demikian hampir semua petani di irrigated area DAS Brantas adalah part timer farmer. Ini tidak hanya berlaku pada petani yang lahan garapannya kurang dari 0.5 hektar tetapi juga petani yang menguasai lahan garapan yang lebih luas. Rata-rata pendapatan rumah tangga petani padi di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas (1999/2000) adalah sekitar 5.4 juta rupiah/tahun. Kontribusi pertanian adalah sekitar 67 persen (Rp. 3.36 juta), sedangkan non pertanian 33 persen. Sesuai dengan ekosistemnya, peranan usahatani di lahan
149 sawah sangat besar dimana kontribsuinya terhadap total pendapatan rumah tangga lebih dari separuh (53 persen). Usahatani di pekarangan dan kebun berkontribusi sekitar 7.5 persen. Berburuh tani cukup penting peranannya terutama bagi petani yang garapannya sempit dan tidak bekerja di luar pertanian yang produktif. Ratarata pendapatan dari buruh tani mencapai 6.6 persen. Di sektor non pertanian yang terutama adalah dari usaha perdangan, industri rumah tangga, dan jasa-jasa lain di sektor non formal, dan buruh serta karyawan (Tabel 19). Tabel 19. Struktur pendapatan rumah tangga petani di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 Sumber pendapatan Pendapatan total 1. Pendapatan dari pertanian 1.1. Usahatani 1.1.1. Usahatani di lahan sawah a. Usahatani padi b. Usahatani palawija c. Usahatani sayuran d. Usahatani lainnya*) 1.1.2. Usahatani kebun/pekarangan, ternak, dll. 1.2. Buruh tani 2. Pendapatan di luar pertanian 2.1. Usaha 2.2. Buruh, karyawan, pegawai, dan jasa lainnya 3. Lainnya**) *) **)
Rp. 103 5 376.2 3 611.5 3 254.5 2 852.3 1 530.2 524.7 506.9 290.5 402.2 357.0 1 764.7 605.7 652.4 506.6
Pangsa (%) 100.0 67.2 60.5 53.1 28.5 9.8 9.4 5.4 7.5 6.6 32.8 11.3 12.1 9.4
: tebu, tembakau, dan lain sebagainya. : menyewakan tanah, menyakapkan tanah, mnyewakan peralatan, kiriman dari famili, pensiun, dan lain sebagainya.
Distribusi pendapatan per kapita rumah tangga tani di lokasi penelitian agak timpang (G = 0.480). Secara kumulatif, 40 % populasi lapisan terbawah hanya menikmati 12 % dari total pendapatan seluruh populasi. Di sisi lain 20 % populasi lapisan teratas menikmati 53 %. Membahas tentang pendapatan, adalah penting untuk mengetahui lebih lanjut apakah suatu rumah tangga termasuk kategori miskin ataukah tidak miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) melalui kegiatan SUSENAS selalu menghasilkan angka garis kemiskinan. Angka garis kemiskinan untuk wilayah pedesaan yang
150 dihasilkan dari data SUSENAS Desember 1998, SUSENAS Februari 1999, dan SUSENAS Agustus 1999 masing-masing adalah sekitar Rp. 72 780, Rp. 74 272, dan Rp. 69420 per kapita per bulan.
Publikasi-publikasi BPS yang terbaru
cenderung menggunakan hasil SUSENAS Desember 1998. Dengan mengikuti angka garis kemiskinan di pedesaan sebagaimana dilakukan oleh BPS, ternyata dari seluruh rumah tangga petani contoh (480), terdapat 248 rumah tangga (51.7 %) yang berada di bawah garis kemiskinan. Artinya, lebih dari separuh petani padi tergolong rumah tangga miskin. Angka ini lebih tinggi dari proporsi penduduk miskin di pedesaan Jawa Timur hasil analisis BPS yaitu 32.1 % (BPS, 2000). Jadi, jika dihubungkan dengan fakta bahwa petani adalah himpunan bagian dari penduduk pedesaan, maka penelitian ini – sekali lagi – menunjukkan bukti empiris bahwa secara absolut maupun relatif, bagian terbesar penduduk miskin di pedesaan memang petani. Jika ditelaah lebih rinci ternyata rumah tangga petani yang paling rentan terhadap kemiskinan adalah ditemukan pada kelompok pemilikan sawah di bawah 0.5 hektar. Pada kelompok rumah tangga petani yang tidak memiliki sawah sendiri, 69 % diantaranya berada di bawah garis kemiskinan. Sementara itu rumah kelompok rumah tangga yang pemilikannya 0.5 hektar ke bawah, 55 % diantaranya ternyata juga berada di bawah garis kemiskinan (Tabel 20). Tabel 20. Jumlah rumah tangga petani menurut garis kemiskinan dan kelompok pemilikan lahan sawah di daerah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 Kelompok Pemilikan lahan sawah (Hektar) 0 0-0.50 0.51-1.00 1.01- 1.50 >1.50 Di bawah garis kemiskinan: Rumah tangga Jumlah 77 (%) 69.4 Pendapatan (Rp.10 3/kapita/tahun) 426.2 Pendapatan dari pertanian (%) 66.2 Pendapatan dari non pertanian (%) 33.8
140 54.5 479.7 79.7 20.3
30 35.3 558.7 78.9 21.1
Di atas garis kemiskinan: Rumah tangga Jumlah 34 117 (%) 30.6 45.5 Pendapatan (Rp.10 3/kapita/tahun) 2015.2 1982.1 Pendapatan dari pertanian (%) 50.6 72.2 Pendapatan dari non pertanian (%) 49.4 27.8
55 64.7 2095.3 66.2 33.8
1 5.0 371.5 70.9 29.1
-
19 7 95.0 100.0 3286.2 3671.2 73.6 64.5 26.4 35.5
151 Proporsi rumah tangga petani yang berada di bawah garis kemiskinan adalah sedikit ditemukan pada kelompok rumah tangga yang memiliki lahan sawah yang lebih luas. Hal ini disebabkan: (1) kontribusi pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari usahatani dari lahan sawah masih dominan sehingga makin luas lahan garapan makin banyak pendapatan yang diperolehnya, dan (2) teknologi usahatani yang diterapkan oleh petani pemilik maupun petani yang lahan garapan usahataninya berasal dari pihak lain ternyata tidak banyak berbeda sehingga rata-rata pendapatan per hektar yang diperoleh petani pemilik lebih tinggi karena tidak harus menanggung biaya sewa lahan atau bagi hasil. Fenomena di atas juga merupakan bukti empiris bahwa perkembangan sektor non pertanian di pedesaan belum cukup untuk mereduksi dominasi peranan distribusi tanah sebagai determinan tingkat kemiskinan di wilayah tersebut. Ini disebabkan jenis-jenis kegiatan luar pertanian yang berkembang di pedesaan produktivitasnya relatif rendah. Peluang rumah tangga petani untuk tidak berada di bawah garis kemiskinan cukup besar jika rumah tangga tersebut memiliki lahan sawah di atas satu hektar. Sebagaimana tampak pada Tabel 20 tersebut di atas, proporsi rumah tangga yang berada di atas garis kemiskinan pada kelompok rumah tangga petani yang memiliki sawah 1 – 1.5 hektar ternyata mencapai 95 persen. Bahkan pada kelompok rumah tangga yang memiliki lahan sawah di atas 1.5 hektar semuanya berada di atas garis kemiskinan.
VI. VALUASI AIR IRIGASI DAN PENENTUAN IURAN PELAYANAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS USAHATANI 6.1. Pola Tanam dan Keuntungan Usahatani Pada Solusi Optimal Sebagaimana dibahas dalam tinjauan pustaka maupun metode penelitian, dalam valuasi air irigasi dihasilkan sekaligus dua informasi penting yaitu (1) pola tanam optimal, dan (2) harga bayangan air irigasi. Solusi optimal diperoleh pada iterasi ke 247 (Lampiran 13). Hasil optimasi menunjukkan bahwa indeks pertanaman (cropping indeks – CI) maupun komposisi tanaman pada pola tanam optimal antar Sub DAS berbeda. Secara umum CI di Sub DAS Hulu dan Tengah lebih tinggi daripada di Sub DAS Hilir. Ini dipengaruhi oleh: (1) ketersediaan air irigasi per hektar di Sub DAS Hulu dan Sub DAS Tengah lebih tinggi daripada di Sub DAS Hilir, (2) untuk kelompok komoditas yang sama konsumsi air irigasi per hektar pada areal pesawahan di Sub DAS yang lebih hilir cenderung lebih tinggi karena evapotranspirasi lebih tinggi. Pola tanam optimal tertera pada Tabel 21. Secara agregat, CI pada pola optimal adalah sekitar 262.5 persen. Angka ini sedikit lebih tinggi daripada CI aktual yakni 260 persen (lihat Bab V). Meskipun perbedaan CI antara pola tanam aktual dengan pola tanam optimal relatif kecil tetapi komposisi tanamannya sangat berbeda. Perbedaan paling menonjol adalah: 1.
Proporsi luas tanam padi pada pola tanam optimal lebih kecil daripada pola tanam aktual. Pada pola tanam optimal, luas tanam padi pada MT I (MH), MT II (MK-1), dan MT III (MK-2) masing-masing adalah sekitar 83.6, 60.9, dan 3.8 % dari total luas areal. Dengan urutan yang sama, proporsi luas tanam padi pada pola tanam aktual adalah 86.2, 65.8, dan 4.4 persen (rincian per Sub DAS tertera pada Gambar 16 Bab V).
2.
Proporsi luas tanam palawija, hortikultura dan komoditas tanaman industri meningkat cukup banyak, terutama pada MT II (MK-1). Pada MT I, MT II, dan MT III proporsinya adalah 9.1, 31.8, dan 65.9 % untuk pola optimal, sedangkan pada pola aktual adalah 5.9, 24.2, dan 66.2 %.
3.
Proporsi luas tanam tebu pada pola tanam optimal adalah sekitar 7 %, yang berarti lebih tinggi daripada kondisi aktual yang hanya sekitar 3 %.
153
Tabel 21. Pola tanam optimal di areal pesawahan irigasi teknis DAS Brantas Musim
Kelompok komoditas
(1) (2) (3) (4) Total padi Palawija/hortikultur(1) 1 (3) (2) Palawija/hortikultur2 Total palawija/hortikultur Padi (1) MT II (Musim Kemarau-1) (2) (3) Total padi Palawija/hortikultur(2) 1 (3) (4) Palawija/hortikultur(2) 2 (3) (4) Total palawija/hortikultur Padi (1) MT III (Musim Kemarau-2) (4) Total padi Palawija/hortikultur(1) 1 (2) (4) Palawija/hortikultur(1) 2 (3) (4) Total palawija/hortikultur Tebu Non musiman Seluruh komoditas Setahun MT I (Musim Hujan)
Padi
Periode pengusahaan (persiapan – panen) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Hulu ( Ha ) (%) 1 953 15.9 5 865 47.6 2 564 20.8 10 382 84.3 581 4.7 145 1.2
Tengah ( Ha ) (%) 4 210 14.6 13 672 47.3 5 327 18.4 715 2.5 23 924 82.8 1 914 6.6 -
Hilir ( Ha ) (%) 3 578 13.1 13 243 48.4 2 087 7.6 4 158 15.2 23 066 84.3 1 384 5.1 -
414
3.4
1 072
3.7
733
1,141 2 949 3 629 902 7 479 2 543 1 405 95 4 043 473 473 3 882 1 340 1 450 1 369 8 041 798 32 357
9.3 23.9 29.5 7.3 60.7 20.6 11.4 0.8 32.8 3.8 3.8 31.5 10.9 11.8 1.1 65.3 6.5 262.6
2 986 7 196 9 493 961 17 649 743 4 367 715 3 436 9 261 1 101 17 1 117 8 006 3 754 698 1 525 5 327 19 311 1 994 76 242
10.3 24.9 32.8 3.3 61.1 2.6 15.1 2.5 11.9 32.0 3.8 .1 3.9 27.7 13.0 2.4 5.3 18.4 66.8 6.9 263.8
2 117 5 696 10 379 581 16 656 1 172 4 158 2 863 334 8 528 1 034 1 034 4 014 4 296 3 124 4 545 1 858 17 837 2 179 71 416
2.7
Agregat ( Ha ) (%) 9 742 14.2 32 779 47.8 7 414 10.8 7 437 10.8 57 372 83.6 3 879 5.7 145 0.2 2 220
3.2
7.7 6 244 20.8 15 840 37.9 23 500 2.1 2 443 60.9 41 784 743 4.3 5 538 15.2 7 416 10.5 7 705 1.2 334 95 31.2 21 832 1 573 3.8 1 050 3.8 2 624 14.7 15 902 15.7 8 050 11.4 5 163 16.6 6 070 1 450 6.8 8 554 65.2 45 189 8.0 4 971 261.0 180 016
9.1 23.1 34.3 3.6 60.9 1.1 8.1 10.8 11.2 0.5 0.1 31.8 2.3 1.5 3.8 23.2 11.7 7.5 8.9 2.1 12.5 65.9 7.2 262.5
153
154 Pada pola tanam optimal, keuntungan bersih usahatani pada luas baku sawah 68 587 hektar (luas agregat daerah irigasi contoh) adalah sekitar 118.41 milyar rupiah atau sekitar 1.73 juta rupiah per hektar (Tabel 22). Keuntungan tunai adalah sekitar 8.47 juta rupiah per hektar. Dibandingkan dengan kondisi aktual (7.73 juta rupiah) berarti terjadi peningkatan sekitar 9.6 %. Tabel 22. Keuntungan usahatani pada pola tanam optimal di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas Kelompok komoditas Keuntungan bersih: Musim Hujan: Padi P.wija/hort-1 P.wija/hort-2 Total MH Musim Kemarau-1: Padi P.wija/hort-1 P.wija/hort-2 Total Kemarau-1 Musim Kemarau-2: Padi P.wija/hort-1 P.wija/hort-2 Total Kemarau-2 Tebu Setahun Per hektar/tahun Keuntungan tunai: Musim Hujan: Padi P.wija/hort-1 P.wija/hort-2 Total MH Musim Kemarau-1: Padi P.wija/hort-1 P.wija/hort-2 Total Kemarau-1 Musim Kemarau-2: Padi P.wija/hort-1 P.wija/hort-2 Total Kemarau-2 Tebu Setahun Per hektar/tahun
Per Sub DAS (Rp. 103) Hulu Tengah Hilir
Agregat (Rp. 103) (%)
6 188.2 523.4 249.5 6 961.1
14 684.2 1 380.0 680.9 16 745.0
13 666.9 985.7 428.2 15 080.8
34 540.8 2 888.6 1 357.0 38 786.4
29.2 2.4 1.1 32.8
4 675.5 2 258.9 994.5 7 928.9
11 128.4 4 803.8 2 423.7 18 355.9
10 222.1 4 059.7 2 305.1 16 586.8
26 025.6 11 121.9 5 723.6 42 871.1
22.0 9.4 4.8 36.2
272.1 3 464.8 2 062.9 5 799.7 686.5 21 376.2 1.73
669.1 8 233.4 5 056.8 13 959.2 1 755.7 50 815.8 1.76
576.1 7 272.0 4 752.5 12 600.6 1 955.9 46 224.2 1.69
1 517.3 18 969.8 11 872.2 32 359.3 4 397.9 118 414.8 1.73
1.3 16.0 10.0 27.3 3.7 100.0
300 539.9 26 219.1 12 219.0 339 017.1
704 184.2 69 400.0 33 356.1 806 934.4
668 992.8 49 569.4 18 670.4 737 179.0
1 673 749.2 145 167.5 64 086.2 1 883 109.2
28.8 2.5 1.1 32.4
220 067.2 111 042.6 48 096.9 379 146.8
524 955.8 241 470.5 115 903.8 882 297.9
489 776.2 203 661.3 109 097.0 802 501.3
1 234 786.6 556 160.9 273 112.1 2 063 922.8
21.3 9.6 4.7 35.5
13 490.9 185 821.0 90 730.8 290 002.6 35 653.4 1 043 810.7 8.46
31 780.7 449 515.0 225 093.3 706 164.9 91 190.2 2 486 596.1 8.60
25 294.0 407 327.3 204 784.0 637 150.8 101 590.1 2 278 433.7 8.33
70 560.1 1 042 660.9 520 606.8 1 633 307.6 228 429.7 5 808 790.0 8.47
1.2 17.9 9.0 28.1 3.9 100.0
155 Meskipun proporsi luas tanam padi pada pola tanam optimal menurun, tetapi kontribusinya masih dominan. Kontribusinya terhadap keuntungan bersih yang diperoleh dari usahatani dalam setahun adalah sekitar 52.5 %. Dalam ukuran tunai, besarannya juga lebih dari separuh (51.3 %); tetapi jika dibandingkan dengan kondisi aktual (55.2 %) kontribusinya memang turun sekitar 4 %. Dari Tabel 22 juga tampak bahwa dalam setahun, kontribusi terbesar dihasilkan dari usahatani pada MT II (MK-1) karena pada musim itu proporsi luas tanam komoditas bernilai ekonomi tinggi meningkat cukup banyak. Pada kondisi aktual pendapatan terbesar diperoleh dari usahatani pada Mt I (MH). 6.2. Penggunaan, Harga Bayangan, dan Kurva Permintaan Air Irigasi Pada solusi optimal penggunaan air irigasi di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah 143, 327, dan 307 juta m3 per tahun (Tabel 23). Perbedaan volume penggunaan antar Sub DAS terutama disebabkan oleh perbedaan luas sawah, sedangkan perbedaan proporsi antar kelompok komoditas relatif kecil. Penggunaan terbesar adalah untuk usahatani padi (63 – 65 %). Penggunaan untuk usahatani palawija/hortikultur-1 dan palawija-hortikultur-2 masing-masing adalah sekitar 21 % dan % persen, sedangkan untuk usahatani tebu adalah sekitar 5 – 6 %. Informasi yang lebih rinci tertera dapat disimak pada Lampiran 14). Distribusi temporal permintaan dan pasokan air irigasi pada solusi optimal tertera pada Gambar 17. Pada sisi permintaan, kebutuhan air tergantung pada jenis tanaman, evapotranspirasi potensial, laju perkolasi, kebutuhan air untuk pengolahan tanah, dan efisiensi irigasi. Selain itu, beberapa jenis tanaman tertentu (terutama padi) juga membutuhkan air untuk penggenangan. Sebagian dari kebutuhan itu terpenuhi dari curah hujan. Di sisi lain, curah hujan tersebut juga mempengaruhi pasokan air irigasi
baik melalui saluran irigasi (karena
penyalurannya menggunakan teknik alir berkesinambungan melalui sistem saluran terbuka) maupun langsung tercurah ke hamparan lahan sawah garapan. Akibatnya pada saat musim hujan pasokan air irigasi melimpah, sedangkan permintaannya justru turun; sebaliknya pada musim kemarau pasokan air irigasi sangat terbatas sedangkan permintaannya meningkat.
156 Tabel 23. Penggunaan air irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas pada solusi optimal Kelompok Musim komoditas Padi MT I
MT II
MT III
Palawija/ MT I hortikultur-1 MT II
MT III
Palawija/ MT I hortikultur-2 MT II
MT III
Tebu
Periode Hulu Tengah Hilir usaha (106 m3) ( % ) (106 m3) ( % ) (106 m3) ( % ) Okt-Jan 9.518 6.7 20.495 6.3 17.307 5.6 Nov-Feb 21.845 15.3 50.285 15.4 48.020 15.6 Des-Mar - 12.317 3.8 4.723 1.5 Jan-Apr 6.313 4.4 1.734 0.5 9.873 3.2 Feb-Mei 17.121 12.0 41.221 12.6 32.080 10.4 Mar-Jun 25.592 17.9 66.384 20.3 71.696 23.3 Apr-Jul 7.574 5.3 8.035 2.5 4.819 1.6 Jun-Sep 4.572 3.2 10.671 3.3 Sep-Des 0.107 0.0 6.696 2.2 Total 92.535 64.8 211.250 64.5 195.213 63.5 Okt-Jan Des-Mar Mar-Jun Apr-Jul Mei-Ags Jun-Sep Jul-Okt Sep-Des Total
0.936 0.061 8.575 16.399 4.404 30.376
0.7 0.0 6.0 11.5 3.1 21.3
3.091 1.282 10.571 2.409 33.972 16.463 2.310 70.098
0.9 0.0 0.4 3.2 0.7 10.4 5.0 0.7 21.4
2.220 2.812 13.947 17.011 18.862 10.358 65.210
0.7 0.9 4.5 5.5 6.1 3.4 21.2
Nov-Jan Mar-Mei Apr-Jun Mei-Jul Jun-Ags Ags-Okt Sep-Nov Total
0.258 2.105 0.297 5.824 4.358 12.841 7.081
0.2 1.5 0.2 4.1 3.1 9.0 5.0
0.661 5.086 5.467 17.067 28.281 17.739
0.2 1.6 1.7 0.0 5.2 8.6 5.4
0.445 4.179 0.749 16.246 5.966 27.585 19.346
0.1 1.4 0.2 5.3 1.9 9.0 6.3
100.0 307.354
100.0
Setahun
Seluruh komoditas setahun
142.833
100.0 327.369
Pada Gambar 17 tampak bahwa senjang antara pasokan dan permintaan air irigasi pada musim hujan di Sub DAS Hulu lebih kecil daripada di Sub DAS lainnya. Senjang pasokan dan permintaan paling menyolok adalah dengan Sub DAS Tengah karena layanan irigasinya terluas. Pada dasarnya, untuk luas lahan yang sama pola distribusi pasokan dan permintaan antar Sub DAS tidak banyak berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan pola tanam optimal antar Sub DAS maupun ketersediaan air irigasi per unit luas hamparan relatif kecil.
157 Juta m3 80.0
Jul Ags Sep
Bulan Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Pasokan 11.391 15.184 31.038 32.254 30.763 28.806 25.589 21.424 17.203 12.237 11.600 10.665
Penggunaan 11.391 15.184 7.294 5.558 7.208 10.815 15.340 18.339 17.203 12.237 11.600 10.665
Jul Ags Sep
Bulan Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Pasokan 24.547 34.912 73.336 76.118 72.492 68.166 60.123 51.080 38.918 26.487 25.369 24.206
Penggunaan 24.547 34.912 20.770 12.822 16.624 26.085 34.380 42.249 38.918 26.487 25.369 24.206
Bulan Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Pasokan 24.134 33.452 69.638 71.348 69.027 64.681 57.305 47.956 37.314 24.485 23.277 22.173
Penggunaan 24.134 33.452 17.272 11.944 14.860 25.009 33.006 40.429 37.314 24.485 23.277 22.173
60.0 40.0 20.0 0.0 Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Juta m
Mei
Jun
3
80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr
Mei
Jun
Juta m3 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr
Gambar 17.
Mei
Jun
Jul Ags Sep
Distribusi temporal bulanan pasokan dan penggunaan air irigasi pada solusi optimal
Pola distribusi temporal seperti itu mempengaruhi harga bayangan air irigasi. Per definisi suatu sumberdaya mempunyai nilai ekonomi (harga bayangannya positif) jika pada solusi optimal sumberdaya tersebut tak tersisa. Dalam penelitian ini, pada periode Desember–Mei terjadi kelebihan pasokan sehingga harga bayangannya sama dengan nol. Sebaliknya, pada Bulan Juni – November, harga bayangan air irigasi positip. Pada periode ini harga terendah terjadi pada Bulan Juni, sedangkan yang tertinggi terjadi pada Bulan September. Untuk lingkup DAS Brantas, harga bayangan air irigasi pada Bulan September mencapai Rp. 58/m3. Mengikuti tingkat kelangkaannya, harga bayangan antar Sub DAS bervariasi. Sebagai contoh, pada bulan September harga bayangan air irigasi di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir masing-masing adalah sekitar Rp. 41/m3, Rp. 53/m3, dan Rp. 70/m3. Variasi temporal harga bayangan air irigasi untuk masing-masing wilayah dapat disimak pada Gambar 18.
158
Rupiah/m3 80.0 70.0 Sub Sub Sub DAS
60.0 50.0 40.0
DAS Hulu DAS Tengah DAS Hilir Brantas
30.0 20.0 10.0 0.0 Sub Sub Sub DAS
DAS Hulu DAS Tengah DAS Hilir Brantas
Gambar 18.
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
30.3 39.9 52.5 43.2
18.0 22.8 29.6 24.7
-
-
-
-
-
-
Jun
Jul
Ags
Sep
8.0 10.1 13.0 10.9
21.9 27.7 35.5 29.8
37.5 48.1 63.2 52.2
41.1 53.3 70.1 57.8
Pola sebaran temporal harga bayangan air irigasi per bulan di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas
Faktor yang menentukan harga bayangan air irigasi bukan hanya tingkat kelangkaan sumberdaya tersebut, tetapi juga keuntungan usahatani dari komoditas yang diusahakan di masing-masing Sub DAS tersebut. Oleh karena itu, produktivitas usahatani, harga-harga masukan, dan harga-harga keluaran komoditas pertanian sangat menentukan. Meskipun harga bayangan air irigasi sangat berfluktuasi, seringkali dibutuhkan pula informasi tentang nilai rataannya. Dalam konteks ini disajikan dua jenis rataan dengan dua cara penghitungan: (1) rata-rata yang perhitungannya hanya didasarkan pada periode ketika air irigasi langka (harga bayangannya positif), dan (2) rata-rata dari seluruh periode termasuk periode ketika air irigasi tidak langka (harga bayangannya nol). Hasilnya disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Rata-rata harga bayangan air irigasi menurut cakupan perhitungannya 1)
Cakupan Wilayah Cakupan: periode air irigasi langka Rata-rata Rataan terbobot Sub DAS Hulu 26.13 24.28 Sub DAS Tengah 33.65 31.12 Sub DAS Hilir 44.01 40.39 Agregat DAS Brantas 36.43 33.62 1) 2)
( Rupiah / m3 ) Cakupan: keseluruhan2) Rata-rata Rataan terbobot 13.06 13.30 16.83 16.59 22.00 21.65 18.22 18.04
Dihitung dari harga bayangan air irigasi bulanan pada periode Juni – November (6 bulan). Dihitung dari harga bayangan air irigasi bulanan Oktober – September (satu tahun).
159 Harga bayangan yang dihasilkan dari penelitian ini barangkali termasuk kategori moderat. Sebagai pembanding, hasil estimasi harga air irigasi dengan pendekatan dari sisi pasokan (supply side) yang dilakukan oleh Nippon KoeiNikken Consultant (1998) untuk sistem irigasi Brantas menunjukkan bahwa untuk menutup seluruh biaya investasi serta biaya operasi dan pemeliharaan (full cost recovery) maka harga air irigasi (menurut harga tahun 1997) adalah Rp. 25/m3. Akan tetapi jika sasarannya adalah untuk menutup biaya operasi dan pemeliharaan saja (operation and maintenance cost recovery), harganya sekitar Rp. 5/m3. Dalam penelitian itu disebutkan pula bahwa harga air (full cost recovery) untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik, domestik, dan industri masing-masing adalah Rp. 11/m3, Rp. 10/m3, dan Rp. 30/m3. Dalam praktek, harga air yang ditetapkan Perum Jasa Tirta I pada tahun 1997 itu untuk masing-masing sektor tersebut adalah Rp. 12/m3, Rp. 30/m3, dan Rp. 50/m3 (sampai saat ini Perum Jasa Tirta I belum memungut biaya air irigasi dari petani). Dengan asumsi pola distribusi temporalnya tetap, rata-rata harga bayangan air irigasi semakin tinggi jika variasi pasokan antar tahun sangat semakin tinggi. Sebagai ilustrasi, jika variasi pasokan antar tahun berkisar antara 10 % di bawah normal sampai 10 % di atas normal maka rata-rata harga bayangan pada Bulan Agustus, September, dan Oktober masing-masing adalah Rp. 118/m3, Rp. 84/m3, dan Rp. 98/m3. Akan tetapi jika relatif stabil, misalnya variasi pasokan berkisar antara 2 % di bawah normal sampai 2 % di atas normal, maka rata-rata harga bayangan pada Agustus, September, dan Oktober masing-masing adalah sekitar Rp. 59/m3, Rp. 75/m3, dan Rp. 45/m3 (Gambar 19). Tampak bahwa harga bayangan air irigasi yang paling sensitif terhadap perubahan pasokan air irigasi adalah untuk Bulan Agustus. Peringkat berikutnya adalah Juni dan Oktober. Fenomena paling menarik adalah bahwa harga bayangan air irigasi awal Musim Tanam III yakni Bulan Juni ternyata jauh lebih sensitif jika dibandingkan dengan Bulan Juli, meskipun pada kondisi normal harga air irigasi Bulan Juli lebih tinggi daripada Bulan Juni. Secara teoritis hal ini terkait dengan posisi strategis ketersediaan dan kebutuhan air irigasi pada Bulan Juni dimana faktor-faktor yang menentukan adalah: (1) kendala historis pola tanam, (2) ratarata durasi pengusahaan komoditas dominan (padi), dan (3) distribusi temporal
160 pasokan air irigasi. Secara empiris, Bulan Juni sebagai awal Musim Tanam III adalah titik kritis dalam memilih pola tanam yang berisiko karena menghadapi kondisi pasokan air irigasi yang langka. Lebih dari itu, pilihan pola tanam yang diambil pada Musim Tanam III juga akan berdampak pada alternatif pilihan pola tanam pada musim hujan tahun berikutnya. Rupiah/m3 140.0 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 0.90 - 1.10 0.91 - 1.09 0.92 - 1.08 0.93 - 1.07 0.94 - 1.06 0.95 - 1.05 0.96 - 1.04 0.97 - 1.03 0.98 - 1.02 0.99 - 1.01 Tetap
Gambar 19.
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
108.8 105.2 100.8 96.4 91.2 84.6 75.1 63.9 49.6 39.3 43.2
30.5 28.3 25.5 24.3 23.1 21.5 19.1 17.4 15.0 14.9 24.7
-
-
-
Mar Apr -
-
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
-
90.8 85.0 77.8 71.6 65.1 56.1 43.1 31.8 10.3 10.6 10.9
15.2 14.5 13.5 14.4 15.3 16.6 18.5 20.2 24.0 25.1 29.8
120.5 117.8 114.5 110.5 105.6 98.9 89.3 76.1 63.2 44.2 52.2
94.4 94.9 95.4 94.7 93.1 90.8 87.3 78.8 75.5 50.0 57.8
Pengaruh variasi tahunan pasokan air irigasi terhadap harga bayangannya
Harga bayangan suatu sumberdaya pada dasarnya adalah produktivitas marginal sumberdaya tersebut. Oleh karena itu harga bayangan air irigasi dipengaruhi oleh produktivitas usahatani dan harga-harga masukan dan produksi pertanian. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui pengaruh perubahan harga komoditas dominan terhadap harga bayangan air irigasi. Hasil analisis pasca optimal (post optimality analysis) menunjukkan bahwa pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi ternyata tidak linier. Hal ini disebabkan oleh: 1. Adanya kendala historis pola tanam dimana perbandingan proporsi luas tanam antar kelompok komoditas berada pada kisaran tertentu.
161 2. Perubahan harga gabah menyebabkan perubahan keuntungan usahatani padi dan posisi relatifnya terhadap kelompok komoditas yang lain. 3. Pada komoditas padi, posisi relatif keuntungan antar periode pengusahaan juga berubah karena adanya perbedaan harga gabah, biaya usahatani, maupun produktivitas usahatani padi. Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi tidak linier. Hal ini disebabkan harga gabah hanya mempengaruhi keuntungan usahatani padi per hektar, sedangkan harga bayangan air irigasi dipengaruhi oleh keuntungan per hektar seluruh komoditas yang berarti dipengaruhi oleh harga keluaran seluruh komoditas. Pada level agregat (DAS Brantas), jika harga gabah turun 5 % maka harga bayangan air irigasi adalah Rp. 31/m3 dan meningkat lebih lanjut menjadi Rp. 46/m3 jika harga gabah turun 10%. Di sisi lain, jika harga gabah naik 5 % maka harga bayangan air irigasi meningkat menjadi Rp. 40/m3 dan meningkat lebih lanjut menjadi Rp. 70/m3 jika harga gabah meningkat 10 %. Kecenderungan ini terjadi di ketiga Sub DAS meskipun ada variasi (Tabel 25). Tabel 25. Pengaruh perubahan harga gabah terhadap harga bayangan air irigasi Rupiah/m3 Harga Gabah Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir DAS Brantas Turun 10% 38.66 43.35 52.12 46.14 Turun 5% 21.97 28.17 36.81 30.59 Tetap 13.01 16.85 21.99 18.26 Naik 5% 33.38 40.62 41.05 39.59 Naik 10% 61.66 72.13 71.88 70.34
Fungsi permintaan (normatif) air irigasi dapat diperoleh dari post optimality analysis perubahan pasokan air irigasi (Young, 1996). Oleh karena hasil post optimality analysis berupa inverse demand function (Tsur et al, 2002) maka bentuk fungsi permintaan tersebut dapat diperoleh dari inversinya. Hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan kuantitas air irigasi yang digunakan pada solusi optimal maupun harga bayangan air irigasi sangat bervariasi meskipun proporsi perubahan pasokan air irigasi diperlakukan konstan (Lampiran 15). Implikasinya, bentuk umum fungsi permintaannya tidak linier.
162 Permintaan cenderung sangat elastis pada tingkat harga yang sangat tinggi (karena pasokan air irigasi sangat terbatas) ataupun tingkat harga yang sangat rendah (pasokan air irigasi sangat melimpah). Untuk cakupan agregat DAS Brantas, pada saat pasokan air irigasi sangat langka sehingga harga bayangannya lebih dari Rp. 84/m3 maka permintaannya sangat elastis. Selanjutnya permintaan tersebut menjadi tidak elastis pada selang harga Rp. 11/m3 – Rp. 84/m3, dan kembali elastis pada harga di bawah Rp. 11/m3. Perilaku permintaan seperti itu diakibatkan oleh terjadinya perubahan alternatif pilihan komoditas yang memaksimalkan keuntungan yang dipengaruhi oleh kebutuhan air masing-masing komoditas (sifatnya khas), produktivitas usahatani, harga-harga masukan maupun keluaran, dan ketersediaan air irigasi (Gambar 20). Rupiah/m3 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0
106 m3
0.0 700
710 720
730 740
750
760 770
780 790
800
Gambar 20. Kurva permintaan normatif air irigasi di lahan sawah DAS Brantas Meskipun sama-sama elastis, tetapi makna elastisitas permintaan pada tingkat harga tinggi dan tingkat harga yang sangat rendah sebenarnya berbeda. Sebagaimana diketahui, harga yang tinggi disebabkan tingkat kelangkaan air irigasi sangat tinggi. Nilai guna air irigasi pada level tersebut sangat tinggi. Oleh karena itu prosentase penurunan harga yang sedikit saja akan mendorong peningkatan kuantitas air irigasi yang diminta dalam proporsi yang sangat besar. Sebaliknya, tingkat harga yang rendah terbentuk akibat tingkat kelangkaannya
163 rendah dan karenanya nilai guna air irigasi bagi petani relatif rendah. Dalam kondisi demikian itu maka peningkatan harga pada proporsi sedikitpun akan mendorong penurunan kuantitas air irigasi yang diminta dalam proporsi yang sangat besar. Kesimpulannya, pada level harga tinggi maka makna dari elastisitas permintaan lebih relevan untuk skenario penurunan harga, sedangkan pada level harga yang sangat rendah lebih relevan untuk skenario peningkatan harga. Permintaan air irigasi pada kondisi aktual berada pada segmen kurva permintaan yang tidak elastis. Ini merupakan fenomena yang lazim ditemukan pada permintaan air irigasi pada level harga rendah sebagaimana dinyatakan dalam Perry (2002). Implikasi dari sifat inelastis tersebat adalah bahwa peningkatan harga air irigasi kurang efektif sebagai instrumen untuk mendorong pengurangan penggunaan air irigasi. Tetapi perlu digaris bawahi bahwa hal itu adalah fenomena jangka pendek. Secara teoritis permintaan jangka panjang adalah lebih elastis sehingga efektivitas harga sebagai instrumen pendorong efisiensi penggunaan air irigasi meningkat. Dikaitkan dengan fenomena empiris perilaku seperti itu logis. Secara empiris diperlukan waktu yang relatif panjang untuk mengubah perilaku petani dalam pengelolaan air irigasi khususnya maupun dalam pengelolaan usahatani pada umumnya. Ini terkait dengan perilaku petani dalam pengelolaan irigasi yang dipengaruhi oleh banyak faktor baik yang sifatnya teknis, ekonomi, maupun sosial budaya secara simultan. Mengubah perilaku yang determinannya berada dalam dimensi teknis atau ekonomi membutuhkan waktu relatif lebih pendek daripada faktor-faktor yang berada pada dimensi sosial budaya karena melibatkan nilainilai cenderung mengakar dalam kehidupan masyarakat. 6.3. Pengaruh Perubahan Pasokan Air Irigasi Terhadap Diversifikasi Analisis pasca optimal perubahan pasokan air irigasi menghasilkan informasi tentang arah diversifikasi. Ternyata, pengaruh pasokan air irigasi terhadap indeks diversitas tidak linier (pola tanam optimal untuk beberapa skenario pasokan air irigasi dapat disimak pada Lampiran 16 – 18).
164 Jika pasokan air irigasi menurun maka indeks diversitas (diukur dengan Indeks Entrophy) juga menurun atau pasokan air irigasi meningkat lebih dari 5 persen (Gambar 21). Pada lingkup agregat DAS Brantas, jika air irigasi semakin langka maka proporsi luas tanam padi menurun dan diversifikasi juga mengerucut mengarah pada kelompok komoditas hemat air yang keuntungan usahataninya relatif tinggi. Sebaliknya pada kondisi air berlimpah, proporsi luas tanam padi semakin meningkat dan untuk kelompok komoditas non padi mengerucut pada
2.900 Hulu
Te ngah
Hil i r
DAS Bran tas
In dek s diversitas
2.850 2.800 2.750 2.700 2.650 2.600 2.550 2.500 2.450
1.10
1.09
1.08
1.07
1.06
1.05
1.04
1.03
1.02
1.01
1.00
0.99
0.98
0.97
0.96
0.95
0.94
0.93
0.92
0.91
0.90
2.400
Pasokan air irigasi (1.00 = kondisi aktual)
Gambar 21. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap diversifikasi komoditas yang menghasilkan keuntungan lebih tinggi meskipun konsumsi air irigasinya relatif tinggi pula. Pada lingkup Sub DAS fenomenanya lebih beragam. Di Sub DAS Hulu indeks pertanaman (CI) padi jika pasokan air irigasi meningkat 5 % maka CI hampir tidak berubah. Tetapi jika pasokan air irigasi meningkat 10 % maka CI naik cukup besar. Di Sub DAS Tengah jika pasokan air irigasi meningkat 10 % maka CI yang terjadi justru lebih rendah daripada peningkatan CI 5 %. Fenomena serupa juga terjadi di Sub DAS Hilir (Tabel 26). Kebiasaan pola tanam merupakan salah satu sebab CI padi relatif resisten terhadap pengaruh kelangkaan air irigasi. Perhatikan bahwa pada level agregat, jika pasokan air irigasi turun 5 % maka CI padi hanya turun dari 1.483 menjadi 1.472 dan untuk kelompok komoditas non padi turun dari 1.142 menjadi 1.112.
165 Demikian juga, jika pasokan air irigasi turun 10 % maka CI padi turun menjadi 1.433, sedangkan CI padi turun menjadi 1.083. Jika disimak lebih jauh terlihat adanya kecenderungan untuk mempertahankan tanaman padi di semua Sub DAS. Tabel 26. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap intensitas tanam Wilayah Sub DAS Hulu
Komoditas Padi Non padi
1.441 1.164
1.487 1.128
1.488 1.137
1.487 1.137
1.579 1.055
Total
2.605
2.615
2.625
2.623
2.634
1.403 1.136
1.474 1.150
1.477 1.160
1.476 1.161
1.474 1.159
Total
2.539
2.624
2.638
2.637
2.633
Padi Non padi
1.462 0.991
1.463 1.064
1.487 1.124
1.486 1.131
1.484 1.130
Total
2.452
2.527
2.611
2.617
2.613
Padi Non padi
1.433 1.083
1.472 1.112
1.483 1.142
1.482 1.145
1.497 1.129
Total
2.516
2.584
2.625
2.627
2.625
Sub DAS Tengah Padi Non padi Sub DAS Hilir
DAS Brantas
Perubahan pasokan air irigasi Turun 10% Turun 5% Normal Naik 5% Naik 10%
Kecenderungan untuk mengutamakan komoditas padi disebabkan oleh banyak faktor antara lain: (1) merupakan komoditas subsisten untuk petani kecil, (2) potensi keuntungannya relatif moderat, (3) risiko usahataninya relatif lebih rendah, dan (4) secara umum kondisi ekosistem pesawahan paling cocok untuk usahatani padi. Selain itu secara historis tujuan mengembangkan pesawahan memang untuk usahatani padi dan secara empiris berbagai kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha pertanian tanaman pangan memang bias ke padi. Kebutuhan tanaman terhadap air irigasi bersifat khas. Oleh karena itu pertambahan marginal keuntungan bersih usahatani akibat peningkatan pasokan air irigasi semakin menurun. Jika air irigasi turun sampai 10 % maka keuntungan bersih usahatani turun dari 1.73 juta rupiah per hektar per tahun menjadi 1.66 juta rupiah per hektar per tahun (turun 3.9 %), sebaliknya jika pasokan air irigasi naik 10 % keuntungan bersih usahatani hanya meningkat menjadi 1.73 juta rupiah per hektar per tahun, artinya hanya meningkat sekitar 0.3 % (Gambar 22).
166
1.675 1.650 1.625
1.730 1.731 1.731 1.731
1.727 1.728 1.729 1.729 1.730 1.730
1.700
1.687 1.695 1.703 1.711 1.718 1.723 1.725 1.726
1.725
1.658 1.668 1.678
( R p. 1 0 6 /m 3 /T h )
1.750
1.600 0.90
0.95 1.00 1.05 Indeks pasokan air irigasi (1.00 = kondisi aktual)
1.10
Gambar 22. Pengaruh pasokan air irigasi terhadap keuntungan bersih usahatani
6.4. Pengaruh Penghematan Konsumsi Air Irigasi Cara pemberian air yang dipraktekkan petani dalam usahatani padi secara garis besar dapat dipilah ke dalam 4 kegiatan/fase pertumbuhan: (a) kegiatan pengolahan tanah, (b) fase pertumbuhan umur tanaman 4 hari setelah tanam (HST) – 50 HST, (c) umur 55 HST – tanaman berbunga serempak, dan (d) masa pengisian biji. Faktor utama yang menyebabkan konsumsi air irigasi untuk usahatani padi cenderung berlebih adalah adanya penggenangan secara berlebihan pada fase-fase pertumbuhan tersebut. Secara teknis tanaman padi memang membutuhkan penggenangan. Menurut hasil penelitian, selain memasok air untuk memenuhi kebutuhan tanaman (evapotranspirasi) penggenangan juga dapat menekan pertumbuhan gulma dan meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara yang dibutuhkan tanaman (De Datta, 1981). Jadi secara agronomi, padi tumbuh lebih baik dan lebih produktif jika ditanam di lahan tergenang daripada di tanah kering (Bhuiyan et al, 1998). Secara empiris kecenderungan yang terjadi adalah bahwa perlakuan penggenangan seringkali berlebihan. Berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara dengan petani, gambaran tentang praktek penggenangan dalam usahatani padi adalah sebagai berikut. Rata-rata tinggi penggenangan yang dilakukan petani lebih dari 6 Cm, bahkan pada fase 'pengisian biji' umumnya lebih dari 7 Cm. Tinggi minimum yang dipertahankan petani adalah 1 Cm.
167 Apakah mengurangi tinggi penggenangan dari rata-rata 6 – 7 Cm menjadi 4 – 5 Cm tidak mempengaruhi produktivitas, perlu kajian lebih lanjut. Secara agronomi, hasil penelitian De Datta (1981) di Los Banos memperoleh kesimpulan bahwa produktivitas padi IR-8 dengan tinggi penggenangan 7.5 Cm tidak berbeda nyata dengan tinggi penggenangan 5 Cm. Bahkan penelitian Wickham dan Sen (1978) di Indonesia memperoleh kesimpulan bahwa di Jawa Barat hasil tertinggi dicapai pada tinggi penggenangan 5 Cm, sedangkan di Jawa Timur 2.5 Cm. Penelitian yang lebih baru (Salim, 1995) juga memperoleh kesimpulan tidak banyak berbeda dari kedua penelitian itu. Pelajaran yang dapat dipetik dari hasilhasil penelitian tersebut adalah bahwa secara teknis penghematan penggunaan air irigasi dalam usahatani padi cukup potensial. Pengaruh penghematan konsumsi air untuk usahatani padi dapat dilakukan melalui post optimality analisis dengan mengubah koefisien kebutuhan air irigasi untuk usahatani komoditas tersebut. Dalam penelitian ini dibuat 4 skenario yaitu penggunaan air irigasi turun 5%, 10%, 15%, dan 20%. Pengaruh penghematan air irigasi terhadap pola tanam optimal tertera pada Tabel 27, sedangkan terhadap keuntungan bersih usahatani tertera pada Gambar 23. Tabel 27. Pengaruh penghematan konsumsi air dalam usahatani padi terhadap indeks pertanaman Wilayah
Kelompok komoditas
Konsumsi air irigasi per hektar pada usahatani padi Tetap Turun 5% Turun 10% Turun 15% Turun 20%
Sub DAS Hulu Padi Non padi Total
1.488 1.137 2.625
1.493 1.135 2.628
1.497 1.132 2.629
1.501 1.130 2.631
1.514 1.118 2.632
Sub DAS Tengah
Padi Non padi Total
1.477 1.160 2.638
1.480 1.160 2.640
1.481 1.163 2.644
1.487 1.167 2.655
1.499 1.173 2.672
Sub DAS Hilir Padi Non padi
1.487 1.124
1.491 1.127
1.493 1.127
1.498 1.116
1.500 1.096
Total
2.611
2.618
2.620
2.614
2.596
Padi Non padi
1.483 1.142
1.487 1.142
1.489 1.143
1.494 1.140
1.502 1.132
Total
2.625
2.629
2.632
2.634
2.634
DAS BRantas
168 Rp. 10 3/Ha/Th)
(%)
1750
1.00
1740
0.80
1730
0.60
1720
0.40
1710
0.20
1700
0.00 Aktual
Keuntungan Perubahan (%)
Gambar 23.
Turun 5%
1726
Turun 10%
Turun 15%
Turun 20%
1742
1746
1748
1736 0.57
0.33
0.20
0.13
Pengaruh penghematan konsumsi air irigasi pada usahatani padi terhadap keuntungan bersih usahatani
Hasil analisis menunjukkan bahwa turunnya konsumsi air untuk usahatani padi dapat meningkatkan luas tanam dalam satu tahun. Untuk cakupan agregat (DAS Brantas), jika konsumsi air irigasi per hektar usahatani padi turun 20 % maka indeks pertanaman total meningkat dari 2.625 menjadi 2.634. Indeks pertanaman untuk padi meningkat dari 1.483 menjadi 1.502, sedangkan untuk non padi turun dari 1.142 menjadi 1.132. Pola perubahan indeks pertanaman seperti itu terjadi di semua Sub DAS meskipun bervariasi. Dari analisis ini juga diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan total indeks pertanaman tidak linier. Pada penurunan konsumsi air irigasi untuk tanaman padi sampai 15 % CI cenderung meningkat (meskipun relatif kecil); tetapi lebih dari itu justru terjadi stagnasi. Secara relatif, peningkatan keuntungan bersih usahatani memang tidak cukup besar dan pertambahan marginalnya semakin menurun. Sebagai contoh, jika konsumsi per hektar turun 5 % maka keuntungan bersih usahatani hanya meningkat sekitar 0.6 persen, dan penghematan konsumsi air irigasi dalam usahatani padi sebanyak 15 % hanya meningkatkan keuntungan bersih sekitar 1.1 persen/tahun. Rendahnya peningkatan keuntungan bersih usahatani tersebut disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya modal yang tersedia, sehingga pertambahan luas tanam kelompok komoditas non padi lebih banyak mengarah pada komoditas yang tidak bernilai ekonomi tinggi karena kebutuhan modal per hektarnya jauh lebih rendah.
169
6.5. Potensi Kerugian Akibat Luas Tanam Padi Tidak Optimal Padi adalah komoditas utama dalam sistem usahatani di lahan sawah. Posisinya
sangat strategis dalam kehidupan keseharian masyarakat. Bahkan
secara nasional bukan hanya strategis dari sudut pandang ekonomi tetapi juga politik sehingga dalam batas-batas tertentu mendorong terjadinya bias kebijakan di bidang pangan. Oleh karena telah berjalan demikian lama, beberapa kelemahan akibat pengistimewaan komoditas ini telah membentuk persepsi umum bahwa perluasan secara berlebihan komoditas padi tidak berdampak negatif terhadap keuntungan usahatani di lahan sawah. Sebagai ilustrasi, dalam beberapa tahun yang lalu oleh karena pasokan padi domestik menipis maka dilancarkan program intensitas penanaman padi 3 kali per tahun (IP Padi 300). Ketika itu cukup banyak pakar yang sebenarnya tidak sepaham dengan program ini dengan alasan: (1) khawatir terjadi eksplosi serangan hama dan penyakit tanaman padi khususnya maupun untuk tanaman pangan pada umumnya, (2) degradasi kesuburan fisik dan kimia tanah, serta (3) potensi kerugian yang dihadapi oleh petani. Melalui analisis pasca optimal dapat dihitung kerugian ekonomi yang terjadi akibat penerapan luas tanam padi yang tidak optimal. Dalam penelitian ini, untuk mempermudah komputasi maupun interpretasi hasil maka dibuat beberapa skenario luas tanam padi. Hasil analisis menunjukkan jika luas tanam padi lebih rendah 10 % dari optimal maka keuntungan bersih usahatani turun dari 1.73 juta rupiah per hektar menjadi 1.67 juta rupiah per hektar (3 %). Sebaliknya, jika lebih tinggi 10 % dari luas tanam optimal maka keuntungan usahatani juga turun menjadi 1.64 juta rupiah per hektar (5 %). Kerugian semakin besar jika bias luas tanam terhadap kondisi optimal semakin lebar. Dalam ukuran per hektar perbedaan itu relatif kecil, akan tetapi untuk total luas lahan sawah 68 587 hektar (luas lahan dalam model) kerugiannya cukup besar (Tabel 28). Indeks pertanaman padi (CI) kondisi aktual adalah 156.4, sedangkan solusi optimal adalah 148.3. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, keuntungan bersih yang terjadi pada konsisi aktual adalah sekitar 9.6 % lebih rendah jika dibandingkan dengan keuntungan bersih yang diperoleh pada kondisi optimal.
170 Tabel 28. Pengaruh perubahan luas tanam padi terhadap keuntungan usahatani Luas tanam padi dibanding kondisi optimal Lebih rendah 20 % Lebih rendah 15 % Lebih rendah 10 % Lebih rendah 5 % Optimal Lebih tinggi 5 % Lebih tinggi 10 % Lebih tinggi 15 % Lebih tinggi 20 %
Keuntungan bersih (Rp.106 / tahun) Total *) Per hektar 108 581.4 1 583.1 112 132.6 1 634.9 114 871.0 1 674.8 117 209.2 1 708.9 118 414.8 1 726.5 116 779.4 1 702.6 112 555.3 1 641.1 107 857.7 1 572.6 101 426.8 1 478.8
Selisih terhadap kondisi optimal (%) -8.30 -5.31 -2.99 -1.02 -1.38 -4.95 -8.92 -14.35
*) Total luas sawah adalah 68 587 hektar.
Pelajaran yang dapat dipetik dari analisis tersebut adalah: jika luas tanam padi yang dilakukan petani saat itu lebih kecil dari pola optimal maka peningkatan produksi padi sinergis dengan peningkatan pendapatan. Akan tetapi jika luas tanam padi yang diterapkan petani lebih besar dari pola optimal maka peningkatan luas tanam padi justru menyebabkan keuntungan usahatani yang diperoleh menurun. Persoalannya adalah bahwa secara empiris proporsi luas tanam optimal itu tidak diketahui sehingga secara pragmatisme yang dapat ditempuh hanyalah fenomena yang sifatnya ekstrim. Dalam kaitan itu, jelas bahwa potensi kerugian akibat penerapan IP Padi 300 cukup besar. 6.6. Fungsi Penawaran Normatif Komoditas Padi Perilaku penawaran padi sangat dibutuhkan dalam perumusan kebijakan harga gabah. Pendekatan yang paling lazim ditempuh untuk memperoleh fungsi penawaran adalah ekonometrik. Secara teoritis pendekatan ini sangat elegan karena memperhitungkan pengaruh faktor-faktor yang sifatnya stochastic dan validasi empirisnya lebih mudah dilakukan. Akan tetapi pendekatan ekonometrik membutuhkan data yang jumlah observasinya memadai agar derajat bebas yang diperlukan untuk uji nyata terpenuhi. Selain itu, jika pengaruh perubahan ketersediaan sumberdaya terhadap spektrum pilihan komoditas diperhitungkan maka modelnya menjadi sangat rumit. Sebagai contoh adalah ketersediaan air untuk usahatani. Secara empiris perubahan ketersediaan air tidak hanya
171 mempengaruhi total produksi yang dihasilkan tetapi juga jumlah jenis komoditas yang (layak) diproduksi. Artinya pengaruh ketersediaan sumberdaya sumberdaya ini tidak hanya sebatas pada perubahan besaran tetapi juga perubahan jumlah anggota himpunan keluaran. Persoalan seperti ini lebih mudah dipecahkan dengan pendekatan normatif. Sudah barang tentu, sebagai implikasi dari asumsinya yang ketat maka penerapan hasil pendekatan normatif relatif lebih terbatas. Fungsi penawaran padi dapat diperoleh melalui post optimality analisis perubahan harga padi. Dalam hal ini, skenario kenaikan ataupun penurunan harga padi dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP) dibuat sampai 10 %. Agar memperoleh hasil yang teliti, analisis dilakukan untuk setiap perubahan 1 persen. Hasil analisis menunjukkan bahwa elastisitas penawaran padi tidak tetap dan karenanya kurva penawaran padi tidak linier (Gambar 24). Pada skenario penurunan harga ternyata fungsi penawarannya elastis, sedangkan pada skenario kenaikan harga adalah bersifat tidak elastis. Dengan metode komputasi elastisitas busur (diskrit) rata-rata elastisitas untuk skenario penurunan harga adalah 1.32. Artinya, setiap penurunan harga 1 % (ceteris paribus) mengakibatkan produksi turun 1.32 %. Di sisi lain, rata-rata elastisitas untuk skenario kenaikan harga adalah 0.29. Artinya, setiap kenaikan harga gabah sebesar 1 % hanya meningkatkan produksi 0.29 %. Secara keseluruhan, rata-rata elastisitas untuk rentang perubahan harga gabah – 10 % sampai dengan + 10 % adalah sekitar 0.82. Rp./Kg GKP 1090
1040
990
940
890 440
460
480
500
520
540
560
580
600 Ribu ton GKP
Gambar 24. Fungsi penawaran normatif komoditas padi
172 Secara umum fungsi penawaran padi adalah kurang elastis. Dengan metode pengukuran elastisitas busur (diskrit) rata-rata elastisitasnya adalah 0.82. Artinya, peningkatan harga gabah sepuluh persen mendorong petani untuk menanam lebih banyak padi sehingga produksi padi meningkat sekitar 8.2 %. Sebagaimana tampak pada Gambar 23, ada tiga segmen dalam kurva penawaran padi yaitu: (1) segmen inelastis pada tingkat harga rendah, (2) segmen yang lebih elastis pada selang harga di atasnya, dan (3) segmen inelastis pada tingkat harga tinggi. Pada tingkat harga di bawah Rp. 1020/Kg GKP elastisitas penawaran adalah sekitar 0.14. Pada selang harga Rp.1020/Kg – Rp.1055/Kg elastisitasnya adalah sekitar 0.42, artinya jika harga naik 10 % maka produksi padi meningkat 4.2 %. Di atas tingkat harga Rp.1055/Kg GKP elastisitasnya menurun kembali menjadi hanya 0.13. Perilaku penawaran pada segmen ini sangat menarik karena secara teoritis keuntungan komparatif padi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya harga. Akan tetapi secara empiris ada beberapa jenis komoditas yang lebih sedikit mengkonsumsi air irigasi tetapi keuntungan relatifnya lebih tinggi daripada padi, bahkan seandainya harga padi meningkat dua kali lipat. Dengan demikian logis jika elastisitasnya turun kembali dan kemudian sama sekali inelastis karena air irigasi tidak cukup tersedia untuk menambah luas tanam padi tanpa mengorbankan jenis-jenis komoditas bernilai ekonomi tinggi yang lebih menguntungkan daripada padi. 6.7. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Dengan pendekatan pengelolaan permintaan, komponen pokok
biaya
irigasi untuk setiap pengusahaan komoditas dihitung dengan menggandakan volume penggunaan air dalam usahatani tersebut dengan harga bayangannya. Volume penggunaan air irigasi untuk setiap (kelompok) komoditas berbeda dan bervariasi tergantung pada: (1) fase kegiatan dalam usahatani, (2) fase pertumbuhan tanaman, (3) faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi evapotranspirasi, (4) perkolasi, (5) pasokan air diluar air irigasi terutama curah hujan, dan (6) teknik pembarian air ke tanaman yang diterapkan. Di sisi lain harga bayangan air irigasi juga berubah, tergantung pada tingkat kelangkaan
173 sumberdaya tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani (harga keluaran, harga masukan usahatani, dan produktivitas usahatani). Untuk usahatani padi, biaya irigasi yang tertinggi terjadi pada periode pengusahaan Juli – Oktober. Hal ini disebabkan puncak-puncak kebutuhan air irigasi dalam periode pengusahaan tersebut terjadi pada Bulan Juli (pengolahan tanah) dan September (masa pembungaan – pengisian malai), sedangkan harga bayangan air irigasi terus meningkat dan mencapai puncaknya pada Bulan September. Pada cakupan agregat (DAS Brantas), nilai air irigasi untuk usahatani padi periode pengusahaan tersebut mencapai Rp. 450 ribu/hektar (Tabel 29). Tabel 29.
Nilai air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani dirinci menurut kelompok komoditas dan periode pengusahaannya
Kelompok komoditas
Musim Periode Tanam usahatani
Ribu Rupiah/Ha Hulu Tengah Hilir Agregat
Padi
MH:
99.2 31.3 16.7 72.9 154.6 264.1 319.2 291.6 207.4
129.8 39.3 21.1 92.3 197.5 339.5 414.6 380.1 272.0
170.2 50.6 26.9 117.8 256.1 443.6 544.9 501.5 359.0
140.5 42.4 22.6 99.0 213.2 367.5 449.4 412.6 295.1
600
39.1 8.4 3.6 18.6 55.4 117.0 149.7 158.7 107.2
51.3 10.6 4.5 23.5 70.7 150.8 194.6 207.4 140.6
67.3 13.6 5.8 30.0 91.6 197.1 255.7 273.9 185.4
55.5 11.4 4.9 25.2 76.3 163.2 210.9 225.2 152.5
600
Okt-Des Nov-Jan Des-Feb Jan-Mar MK-1: Feb-Apr Mar-Mei Apr-Jun Mei-Jul MK-2: Jun-Ags Jul-Sep Ags-Okt Sep-Nov
36.1 7.6 8.6 37.2 86.4 140.0 149.3 105.2
47.4 9.6 10.9 47.0 110.7 181.3 195.2 138.0
62.2 12.3 13.8 60.0 143.9 238.3 258.0 182.1
51.3 10.3 11.7 50.4 119.6 196.6 212.0 149.7
600
Setahun Okt-Sep
175.9 229.3 301.7
248.6
Okt-Jan Nov-Feb Des-Mar Jan-Apr MK-1: Feb-Mei Mar-Jun Apr-Jul Mei-Ags MK-2: Jun-Sep Jul-Okt Ags-Nov Sep-Des
Palawija/ MH: hortikultura-1
Okt-Jan Nov-Feb Des-Mar Jan-Apr MK-1: Feb-Mei Mar-Jun Apr-Jul Mei-Ags MK-2: Jun-Sep Jul-Okt Ags-Nov Sep-Des
Palawija/ MH: hortikultura_2
Tebu
P r e se n t a si g r a f i s
500 400 300 200 100 0
Hulu
Tengah
Hilir
DAS Brantas
Hulu
Tengah
Hilir
DAS Brantas
Hulu
Tengah
Hilir
DAS Brantas
500 400 300 200 100 0
500 400 300 200 100 0
174 Berbeda dengan usahatani padi, pada usahatani palawija/hortikultur nilai air irigasi yang tertinggi terjadi pada masa pengusahaan Agustus-November. Nilai air irigasi untuk usahatani palawija/hortikultur-1 adalah sekitar Rp. 225000/hektar, sedangkan untuk palawija/hortikultur-2 adalah sekitar Rp. 212000/hektar. Secara umum nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani tanaman semusim (padi, palawija, hortikultur) adalah nol atau sangat kecil jika siklus produksinya terjadi pada periode November/Desember – Mei/Juni. Hal ini disebabkan: (1) harga bayangan air irigasi pada periode Desember – Mei adalah nol, (2) harga bayangan air irigasi pada Bulan November dan Juni sangat rendah, (3) kebutuhan air untuk usahatani lebih rendah karena evapotranspirasi dan laju perkolasi lebih rendah daripada bulan-bulan lainnya, dan (4) sebagian besar kebutuhan air terpenuhi dari curah hujan. Siklus usahatani tebu adalah sekitar setahun, dan tidak perlu melakukan penanaman tiap tahun karena hampir semua petani menerapkan sistem keprasan. Sebagian besar petani mengusahakan keprasan sampai 7 kali. Dengan kata lain, pertanaman tebu akan dibongkar dan diganti dengan tanaman tebu yang baru atau komoditas lainnya setelah 7 kali dikepras yang berarti setelah tahun ke delapan. Jadwal tanam tebu yang ideal adalah Oktober – Desember agar panen dapat dilakukan pada Bulan Juli – September. Secara empiris sebagian besar petani mengawali periode tanam pertama pada Bulan Oktober sehingga puncak kebutuhan air untuk tanaman tebu terjadi pada Bulan-bulan Oktober/November, dan Mei – Juli. Pada saat itu sebagian besar kebutuhan air irigasi dapat dipenuhi dari curah hujan. Akibatnya nilai air irigasi untuk tanaman tebu hanya sekitar separuh dari nilai air irigasi yang dibutuhkan untuk usahatani padi pada musim kemarau-2, meskipun waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus produksi tebu hampir 3 kali lipat dari usahatani padi. Walaupun angka-angka yang tertera pada Tabel 29 di atas menimbulkan kesan bahwa biaya irigasi sangat tinggi, tetapi dengan memilih waktu tanam yang tepat maka biaya irigasi yang harus dikeluarkan dapat ditekan sehingga lebih murah. Sebagai contoh, dapat dilihat dari biaya irigasi per hektar luas garapan pada solusi optimal. Untuk agregat DAS Brantas, rata-rata nilai air irigasi pada
175 solusi optimal adalah sekitar Rp. 77 500/hektar per musim. Jika diperhitungkan terhadap total luas baku sawah, nilainya adalah sekitar Rp. 203000/hektar/tahun. Rata-rata per luas garapan di di Sub DAS Hulu, Tengah, dan Hilir masing-masing adalah Rp. 59000, Rp. 72000, dan Rp. 94000/hektar, sedangkan per luas baku adalah sekitar Rp. 155000, Rp. 190000 dan Rp. 245000/hektar/tahun (Tabel 30). Tabel 30. Nilai air irigasi yang digunakan pada usahatani solusi optimal Cakupan wilayah Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir DAS Brantas
Luas sawah (Hektar) Baku Garapan per Th 12 321 28 904 27 362 68 587
32 357.1 76 242.3 71 416.3 180 015.7
Nilai air irigasi (Ribu Rupiah) Total Per Ha Garapan Per Ha Baku 1 897 305 5 413 891 6 640 083 13 951 280
58.6 71.0 93.0 77.5
154.0 187.3 242.7 203.4
Pola sebaran temporal nilai air irigasi cenderung mengikuti pola sebaran harga bayangan. Untuk cakupan agregat DAS Brantas, rata-rata nilai air irigasi yang tergunakan pada Bulan Agustus, September, Oktober dan November masing-masing adalah sekitar 46, 48, 38, 30 ribu rupiah per hektar (Gambar 25).
Rp. 10 3/Ha) 60 50 Sub DAS Hulu
40 30
Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir
20
DAS Brantas
10 0 Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Sub DAS Hulu
28.1
22.2
-
-
-
-
-
-
11.2
21.7
35.3
35.5
Sub DAS Tengah
33.9
27.6
-
-
-
-
-
-
13.6
25.4
42.2
44.6
Sub DAS Hilir
46.3
36.2
-
-
-
-
-
-
17.7
31.8
53.8
56.8
DAS Brantas
37.8
30.1
-
-
-
-
-
-
14.8
27.3
45.6
47.9
Gambar 25.
Sebaran bulanan nilai air irigasi yang digunakan dalam usahatani pada solusi optimal
Analisis data empiris menunjukkan bahwa biaya irigasi yang dikeluarkan oleh petani sangat bervariasi. Untuk cakupan DAS Brantas, rata-rata adalah sekitar Rp. 48 000/hektar yang berarti sekitar 2 persen dari rata-rata biaya tunai.
176 Meskipun rata-rata biaya irigasi tersebut relatif rendah tetapi variasinya sangat tinggi yakni berkisar antara nol sampai dengan Rp. 868 000/hektar/tahun (Tabel 31). Hal ini disebabkan cukup banyak yang tidak membayar iuran irigasi, tetapi di sisi lain beberapa petani harus mengeluarkan biaya irigasi yang sangat banyak terutama untuk membeli air dari irigasi pompa. Tabel 31. Biaya irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 Wilayah Sub DAS Hulu
Variable Biaya irigasi permukaan Biaya irigasi pompa Total biaya irigasi Pangsa (%)*) Total biaya usahatani
(Rp. 103/hektar/tahun) Rata-rata Galat baku Minimum Maksimum 45.3 29.8 0.0 129.1 3.9 26.4 0.0 238.1 49.2 40.7 0.0 309.5 2.5 2.2 0.0 16.6 2 237.8 813.3 1 190.5 6 124.3
Sub DAS Tengah Biaya irigasi permukaan Biaya irigasi pompa Total biaya irigasi Pangsa (%)*) Total biaya usahatani
33.2 32.8 66.0 2.3 2 830.9
30.8 84.5 90.1 2.5 895.1
0.0 0.0 0.0 0.0 1 265.1
157.1 857.1 868.1 14.5 7 737.1
Sub DAS Hilir
Biaya irigasi permukaan Biaya irigasi pompa Total biaya irigasi Pangsa (%)*) Total biaya usahatani
23.0 0.0 23.0 0.9 2 510.7
17.6 0.0 17.6 0.7 578.3
0.0 0.0 0.0 0.0 1 089.8
95.5 0.0 95.5 3.8 4 003.2
DAS Brantas
Biaya irigasi permukaan Biaya irigasi pompa Total biaya irigasi Pangsa (%)*) Total biaya usahatani
32.8 14.6 47.5 1.9 2 575.9
28.1 58.1 65.0 2.1 815.7
0.0 0.0 0.0 0.0 1 089.8
157.1 857.1 868.1 16.6 7 737.1
Faktor-faktor yang menyebabkan petani tidak membayar iuran irigasi antara lain adalah: (1) HIPPA tidak berfungsi dengan baik, (2) lahan sawahnya selama ini selalu cukup air dan ketergantungannya terhadap HIPPA sangat rendah, (3) di beberapa blok tertier pungutan iuran irigasi hanya diberlakukan untuk usahatani padi, (4) status petani adalah penyewa dan atau penyakap, sedangkan lahan garapannya ditanami komoditas non padi. Di sisi lain beberapa petani bukan hanya membayar iuran irigasi (IPAIR dan Iuran HIPPA), tetapi juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk irigasi pompa.
177 Di lapangan, biaya irigasi terutama diberlakukan untuk usahatani padi. Hanya di beberapa blok tertier diberlakukan untuk usahatani non padi, itupun hanya mencakup tebu dan beberapa jenis komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti tembakau. Rata-rata biaya irigasi yang dikeluarkan untuk usahatani padi pada musim hujan, musim kemarau-1, dan musim kemarau-2 masing-masing adalah Rp. 38 000, Rp. 49 000, dan Rp. 123 000/hektar/musim (Tabel 32). Tabel 32. Biaya irigasi pada usahatani padi di Daerah Irigasi Brantas, 1999/2000 Komponen biaya irigasi
Musim Tanam I (Rp.1000/Ha)
(%)
Musim Tanam II (Rp.1000/Ha)
(%)
Musim Tanam III (Rp.1000/Ha)
(%)
IPAIR
11.7
0.42
12.6
0.44
5
0.16
Iuran P3A
22.3
0.81
24.1
0.84
46
1.52
Irigasi Pompa
3.4
0.12
11.7
0.41
60.5
2.00
Biaya irigasi "informal"
1.0
0.04
0.9
0.03
1.4
0.04
38.3
1.39
49.3
1.72
112.8
3.73
2756.6
100.00
2860.7
100.00
3025.4
100.00
Total biaya irigasi Total biaya usahatani
6.7.1. Penyederhanaan Sistem Iuran Berbasis Komoditas Secara teoritis sistem iuran irigasi berbasis pengusahaan komoditas yang ideal adalah yang sangat rinci, baik dalam konteks rincian komoditas maupun periode pengusahaan. Sistem iuran irigasi seperti itu mendekati volumetric pricing (Rodgers, 2002). Akan tetapi sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang sangat rinci hanya dapat diterapkan jika kondisi derajat pertama dan kedua berikut ini dipenuhi. Kondisi derajat pertama adalah terbentuknya persepsi yang kuat di kalangan petani bahwa air irigasi adalah merupakan sumberdaya ekonomi yang langka sehingga untuk mendapatkannya perlu biaya. Kondisi derajat kedua adalah bahwa kelembagaan yang diterapkan dalam sistem distribusi sumberdaya tersebut menggunakan mekanisme pasar meskipun dalam bentuk yang masih sangat sederhana; atau sekurang-kurangnya prinsip pertukaran dapat diterapkan. Kondisi yang kondusif untuk penerapan sistem iuran irigasi yang sangat rinci adalah skala usahatani yang dikelola oleh petani memadai. Dengan kata lain, sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang sangat rinci sulit diterapkan jika struktur penguasaan garapan di wilayah itu terdiri atas unit-unit usahatani skala mikro, sangat beragam dan terpencar.
178 Rata-rata luas garapan usahatani yang dikelola petani di wilayah pesawahan di DAS Brantas (maupun Indonesia pada umumnya) adalah sekitar 0.34 hektar/musim; bahkan tak kurang dari 40 persen diantaranya kurang dari 0,25 hektar. Komoditas yang diusahakannyapun sangat beragam dan sebagian diantaranya menerapkan sistem tumpangsari. Selain itu, cukup banyak petani yang sebenarnya gantungan nafkah utamanya bukan usahatani tersebut karena lebih dari 50 persen pendapatan rumah tangga justru berasal dari aktivitas luar pertanian. Kesemuanya itu merupakan faktor-faktor yang tidak kondusif untuk penerapan sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang rinci. Oleh karena itu yang dapat diterapkan adalah sistem iuran irigasi berbasis komoditas yang telah disederhanakan. Sudah barang tentu penyederhanaan itu menyebabkan: (a) sejumlah petani terpaksa membayar lebih mahal dari yang seharusnya, sedangkan petani yang lain membayar lebih murah dari yang semestinya, (b) turunnya efektivitas sistem iuran irigasi berbasis komoditas dalam mendorong peningkatan efisiensi irigasi. Sasaran dari penyederhanaan sistem iuran irigasi berbasis komoditas adalah agar mudah diterapkan. Penyederhanaan dapat ditempuh dengan melakukan agregasi menurut jenis komoditas, periode pengusahaan, maupun kombinasi dari keduanya.
Selain agregasi, dimensi lain yang perlu
dipertimbangkan dalam menyederhanakan sistem iuran berbasis komoditas adalah sistem pembayarannya. Dalam konteks ini, ada dua aspek yang tercakup: (1) modifikasi unit waktu pembayaran (per musim, per tahun), dan (2) modifikasi cara pembayaran (tunai, bagi hasil). Penyederhanaan melalui metode agregasi yang paling penting adalah dalam aspek periode pengusahaan. Agregasi yang paling lazim adalah berdasarkan musim tanam. Jadi periode pengusahaan tanaman semusim dipilah menjadi tiga Musim Tanam (MT) yaitu: MT I (MH), MT II (MK-1), dan MT III (MK-2). Secara empiris diketahui bahwa jadwal tanam padi MT I merupakan determinan pola tanam dalam satu tahun. Sebagai contoh, jika tanam padi MT I dapat dilakukan lebih awal maka jadwal tanam MT II dan MT III juga dapat dilakukan lebih awal. Bukan hanya itu, alternatif yang tersedia dalam memilih
179 jenis komoditas juga lebih longgar. Sebaliknya, jika jadwal tanam padi MT I terlambat, maka jadwal tanam MT II maupun MT III terlambat. Implikasinya, alternatif pilihan komoditas menjadi lebih sedikit. Kondisi demikian itu mendorong petani untuk dapat menanam padi musim hujan lebih awal. Akan tetapi, tidak semua petani dapat menerapkannya karena pola pasokan air irigasi maupun curah hujan telah tertentu (given), dan tenaga kerja untuk pengolahan tanah (traktor) juga terbatas. Kesemua faktor tersebut di atas merupakan masukan yang penting untuk menyusun skenario penyederhanaan. Dengan justifikasi seperti tersebut di atas maka penyederhanaan yang dapat ditempuh adalah mengagregasikan periode pengusahaan menjadi 3: MT I, MT II, MT III. Selanjutnya penghitungan rata-rata nilai air irigasi menurut kelompok komoditas dilakukan dengan cara pembobotan karena adanya variasi bulanan harga bayangan air irigasi. Pembobotannya didasarkan pada luas tanam yang mendekati fenomena empiris. Berdasarkan analisis data primer serta distribusi bulanan luas panen dari data sekunder maka terdapat 5 skenario pola tanam
yang mendekati kondisi
empiris sebagai berikut (Tabel 33). Tabel 33. Skenario penyederhanaan penghitungan komponen pokok iuran irigasi berbasis komoditas berdasarkan jadwal penanaman padi MT I Skenario Jadwal padi MT I
Keterangan*
I
Pola 1111
Perbandingan luas tanam padi MT I kategori A:B:C:D mendekati 1:1:1:1
II
Pola 1221
Perbandingan luas tanam padi MT I kategori A:B:C:D mendekati 1:2:2:1
III
Pola 1321
Perbandingan luas tanam padi MT I kategori A:B:C:D mendekati 1:3:2:1
IV
Pola 1231
Perbandingan luas tanam padi MT I kategori A:B:C:D mendekati 1:2:3:1
Pola rata-rata
Rata-rata dari pola 1111 sampai dengan pola 1321
V *)
Kategori A : periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah Oktober – Januari. Kategori B: periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah November – Februari. Kategori C: periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah Desember – Maret. Kategori D: periode pengusahaan tanaman padi MT I adalah Januari – April.
180 Pada level agregat (DAS Brantas), pada kelompok komoditas yang sama ternyata nilai air irigasi per tahun antar skenario tidak berbeda. Sebagai contoh, jika pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi maka total nilai air irigasi dalam satu tahun adalah sekitar Rp. 511 000/Ha/th. Pada kelompok komoditas palawija/hortikultur-1 nilainya adalah Rp. 234 000/Ha/th, sedangkan untuk palawija/hortikultur-2 adalah sekitar Rp. 205 000/Ha/th (Tabel 34). Tabel 34.
Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis DAS Brantas (Rp. 103/Hektar)
Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata Padi: MT I 45.7 37.5 38.2 32.2 38.4 MT II 83.7 76.1 68.4 79.3 76.9 MT III 381.2 397.8 405.2 399.9 396.0 Setahun 510.6 511.4 511.8 511.4 511.3 Palawija/hortikultur-1: MT I MT II MT III Setahun
16.7 26.6 188.0 231.3
13.0 22.7 198.0 233.8
12.8 20.2 199.8 232.8
11.2 23.1 201.9 236.1
13.4 23.1 196.9 233.5
Palawija/hortikultur-2: MT I MT II MT III Setahun
15.4 15.5 169.5 200.4
12.0 12.3 181.1 205.4
11.7 10.5 183.3 205.6
10.3 12.2 185.5 208.0
12.3 12.6 179.9 204.8
Tebu
248.6
248.6
248.6
248.6
248.6
Setahun
Variasi antar skenario lebih tampak pada nilai air irigasi per musim. Sebagai contoh, pada MT II nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani padi pada skenario I (pola 1111) adalah sekitar Rp. 84 000/Ha/musim, sedangkan pada skenario III (pola 1321) adalah sekitar Rp. 68 000/Ha/musim. Dipengaruhi oleh variasi bulanan harga bayangan air irigasi dan volume air irigasi yang digunakan dalam usahatani maka variasi antar musim sangat tinggi. Pada skenario V, nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani padi adalah sekitar Rp. 38 000/Ha, Rp. 77 000/Ha, dan Rp. 396 000/Ha masing-masing untuk MT I, MT II, dan MT III. Untuk kelompok komoditas palawija/hortikultur1 nilai air irigasi pada musim yang sama adalah sekitar Rp. 13 000/Ha, Rp. 23 000/Ha, dan Rp. 197 000/Ha. Dengan urutan yang sama, untuk kelompok palawija/hortikultur-2 nilai irigasi adalah sekitar Rp. 12 000/Ha, Rp. 13 000/Ha,
181 dan Rp. 180 000/Ha. Untuk komoditas Tebu karena umur tanaman ini sekitar setahun dan sebagian besar periode tanam relatif sama maka penyederhanaan melalui teknik agregasi tidak diperlukan. Rata-rata nilai air irigasi
yang
dikonsumsi tanaman tebu adalah sekitar Rp. 249 000/Ha/tahun. Dengan pola variasi antar musim seperti tersebut di atas, perbedaan antar musim
yang
lebih
kecil
adalah
pada
skenario
I.
Untuk
padi
dan
palawija/hortikultur-1 variasi paling tajam terjadi pada skenario III (pola 1321), sedangkan untuk palawija/hortukultur-2 adalah pada skenario IV (pola 1231). Secara umum kondisi yang terjadi di level agregat tercermin pula di level Sub DAS meskipun ada sedikit variasi. Ini dapat disimak dari hasil analisis sebagaimana tercantum pada Tabel 35 – Tabel 37. Tabel 35.
Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis Sub DAS Hulu Brantas
(Rp. 103/Hektar) Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata Padi MT I 32.6 26.9 27.6 23.1 27.6 MT II 61.0 55.6 50.1 58.1 56.2 MT III 270.6 282.2 287.5 283.5 280.9 Palawija/hortikultur-1 MT I 11.9 9.3 9.2 8.0 9.6 MT II 19.4 16.6 14.8 16.9 16.9 MT III 133.2 140.2 141.5 142.8 139.4 Palawija/hortikultur-2 MT I 10.9 8.5 8.4 7.3 8.8 MT II 11.5 9.1 7.8 9.0 9.3 MT III 120.2 128.4 130.0 131.4 127.5 Tebu Setahun 175.9 175.9 175.9 175.9 175.9
Tabel 36.
Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis Sub DAS Tengah Brantas
(Rp. 103/Hektar) Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata Padi MT I 42.3 34.7 35.4 29.8 35.6 MT II 77.7 70.7 63.6 73.8 71.5 MT III 351.5 366.8 373.6 368.7 365.2 Palawija/hortikultur-1 MT I 15.5 12.1 11.9 10.4 12.4 MT II 24.7 21.1 18.8 21.5 21.5 MT III 173.4 182.6 184.3 186.1 181.6 Palawija/hortikultur-2 MT I 14.2 11.1 10.9 9.5 11.4 MT II 14.5 11.5 9.8 11.4 11.8 MT III 156.3 167.0 169.0 171.0 165.8 Tebu Setahun 229.3 229.3 229.3 229.3 229.3
182 Tabel 37.
Rata-rata nilai air irigasi yang digunakan untuk usahatani di lahan sawah irigasi teknis Sub DAS Hilir Brantas
(Rp. 103/Hektar) Kelompok komoditas Musim Pola 1111 Pola 1221 Pola 1321 Pola 1231 Rata-rata Padi MT I 55.2 45.2 46.0 38.8 46.3 MT II 100.2 90.9 81.8 94.8 91.9 MT III 462.2 482.5 491.5 485.3 480.4 Palawija/hortikultur-1 MT I 20.2 15.7 15.4 13.5 16.2 MT II 31.8 27.2 24.1 27.6 27.7 MT III 228.0 240.3 242.5 245.1 239.0 Palawija/hortikultur-2 MT I 18.6 14.5 14.2 12.4 14.9 MT II 18.5 14.6 12.5 14.5 15.0 MT III 205.6 219.8 222.4 225.2 218.2 Tebu Setahun 301.7 301.7 301.7 301.7 301.7
Penyederhanaan nilai iuran irigasi dapat pula didekati dengan metode indeks. Metode indeks ditujukan untuk menekankan perbandingan nilai air irigasi antar kelompok komoditas dan antar musim. Dalam ilustrasi, skenario yang digunakan adalah rata-rata (kolom terakhir Tabel 33 – Tabel 36) dan usahatani padi MT I agregat DAS Brantas diperlakukan sebagai basis indeks (nilai=1). Untuk level agregat DAS Brantas indeks untuk usahatani padi pada MT II adalah sekitar 2.0; artinya biaya irigasi usahatani padi MT II adalah dua kali lipat daripada MT I. Indeks biaya irigasi untuk usahatani padi MT III adalah sekitar 10, artinya sepuluh kali lipat jika dibandingkan MT I. Tampaknya, hal tersebut berlaku di setiap Sub DAS di wilayah irigasi teknis DAS Brantas (Tabel 38). Tabel 38. Indeks biaya irigasi berbasis komoditas untuk usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas*) Kelompok komoditas
Musim
Padi
MT I MT II MT III MT I MT II MT III MT I MT II MT III Setahun
Palawija/hortikultur-1
Palawija/hortikultur-2
Tebu
Hulu 0.7 1.5 7.3 0.2 0.4 3.6 0.2 0.2 3.3 4.6
Cakupan wilayah Tengah Hilir DAS Brantas 0.9 1.2 1.0 1.9 2.4 2.0 9.5 12.5 10.3 0.3 0.4 0.3 0.6 0.7 0.6 4.7 6.2 5.1 0.3 0.4 0.3 0.3 0.4 0.3 4.3 5.7 4.7 6.0 7.9 6.5
*) Biaya usahatani padi MT I diperlakukan sebagai basis perhitungan indeks (nilai = 1).
183 Penggunaan indeks sangat fleksibel. Sebagai contoh, jika berdasarkan hasil musyawarah P3A disepakati bahwa tarif iuran irigasi untuk usahatani padi pada MT I di DAS Brantas adalah Rp. 20 000/hektar, maka di Sub DAS Hulu biaya irigasi untuk usahatani padi pada musim tersebut adalah sekitar Rp.14 000/hektar, sedangkan untuk MT II dan MT III masing-masing sekitar Rp. 30 000/hektar dan Rp. 146 000/hektar. Di Sub DAS Tengah, tarif iuran irigasi untuk usahatani padi MT I, MT II, dan MT III masing-masing adalah sekitar Rp. 18 000, Rp. 38 000, dan Rp. 190 000/hektar. Di Sub DAS Hilir, dengan urutan yang sama tarif iuran irigasi untuk usahatani padi per musim adalah sekitar Rp. 24 000/hektar, Rp. 48 000/hektar, dan Rp. 250 000/hektar. Dengan cara yang sama, juga mudah memperoleh tarif iuran irigasi untuk komoditas non padi. Selain fleksibel, penggunaan angka indeks juga mempunyai efek psikologis yang lebih tinggi. Bahwa nilai air irigasi yang dikonsumsi untuk usahatani padi MT III adalah sepuluh kali lipat jika dibandingkan dengan MT I diharapkan cukup efektif untuk mendorong efisiensi penggunaan air irigasi. Petani dapat menghindari tingginya beban biaya irigasi pada MT III jika pada musim tersebut mengusahakan tanaman palawija/hortikultur (berdiversifikasi). 6.7.2. Sinergi Diversifikasi dan Sistem Iuran Berbasis Komoditas Untuk Mendorong Efisiensi Penggunaan Air Irigasi Berbeda dengan volumetric pricing, efektivitas sistem iuran irigasi berbasis komoditas (crop pricing) sebagai instrumen pendorong efisiensi irigasi bersifat tidak langsung. Sistem ini efektif untuk mendorong peningkatan efisiensi irigasi jika penerapan sistem tersebut mampu mendorong petani untuk menerapkan pola usahatani ke arah komoditas hemat air. Mengingat bahwa padi merupakan komoditas pertanian yang mengkonsumsi banyak air maka pola usahatani yang sesuai untuk menurunkan tingkat penggunaan air adalah pola padipadi-palawija/hortikultur atau padi-palawija/hortikultur-palawija/hortikultur. Tujuan utama petani dalam berusahatani adalah maksimisasi keuntungan. Sudah barang tentu pilihan terhadap pola tanam tidak hanya mempertimbangkan aspek finansial tetapi juga aspek teknis, bahkan dalam bebarapa hal juga mempertimbangkan aspek sosial budaya.
184 Sebagian besar petani adalah berusahatani dengan luas garapan yang sempit dan pendapatan dari usahatani pada umumnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Oleh karena itu sebagian besar petani tidak hanya berusahatani tetapi juga bekerja sebagai buruh tani ataupun bekerja di sektor non pertanian. Implikasinya, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kelayakan teknis – ekonomi – sosial suatu pola tanam merupakan sub set dari himpunan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan petani dalam keseluruhan. Sebagai ilustrasi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pola tanam yang menghasilkan keuntungan tertinggi belum tentu dipilih oleh petani jika penerapan pola tanam tersebut mengakibatkan hilangnya kesempatan petani untuk memperoleh pendapatan dari kegiatan di luar usahatani dan secara keseluruhan total pendapatan rumah tangga petani justru turun. Contoh lain, suatu pola tanam yang secara teoritis dapat meningkatkan pendapatan cukup besar belum tentu poluler di kalangan petani jika penerapannya membutuhkan jadwal pengusahaan yang sangat ketat sehingga risiko kerugian akibat melesetnya jadwal tanam berpotensi sangat merugikan. Untuk mengetahui sejauh mana pola diversifikasi mampu menekan konsumsi air irigasi dan meningkatkan pendapatan dilakukan simulasi dengan enam skenario pola tanam. Sesuai dengan kondisi ekosistem dan tradisi petani, pada keenam skenario tersebut padi selalu diusahakan terutama pada musim hujan. Keenam pola tanam tersebut adalah: (1) padi-padi-padi artinya dalam satu tahun mengusahakan tanaman padi, (2) pada musim MT I dan MT II mengusahakan tanaman padi sedangkan pada musim MT III mengusahakan palawija/hortikultur-1 (pola tanam padi-padi-P/H/1), (3) padi-padi-P/H_2, (4) padi-P/H_1-P/H_1, (5) padi-P/H_1-P/H_2, dan (6) padi-P/H_2-P/H_2 (Tabel 29). Tingkat konsumsi air irigasi pada Tabel 29 itu hanyalah sebagian dari total konsumsi air dimana sebagian diantaranya terpenuhi dari sumber lain, terutama air hujan. Angka tersebut juga lebih rendah jika dibandingkan dengan total volume air irigasi yang dilepaskan dari sumber pasokan utama karena dalam penyediaan air irigasi harus diperhitungkan pula volume air yang hilang selama penyaluran dan aplikasi di lapangan.
185 Tabel 39. Rata-rata konsumsi air irigasi dan keuntungan usahatani dari beberapa skenario pola tanam di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas Pola tanam
Musim
MT I MK1 MK2 Setahun Padi-padi-P/H_1 MT I MK1 MK2 Setahun Padi-padi-P/H_2 MT I MK1 MK2 Setahun Padi-P/H_1-P/H_1 MT I MT II MT III Setahun Padi-P/H_1-P/H_2 MT I MT II MT III Setahun Padi-P/H_2-P/H_2 MT I MT II MT III Setahun Padi-padi-padi
Konsumsi air irigasi/Ha Volume (m3) ( Rp. 103 ) 3 308 45.7 7 671 83.7 8 564 381.0 19 544 510.4 3 308 45.7 7 671 83.7 4 103 187.8 15 083 317.3 3 308 45.7 7 671 83.7 3 731 169.4 14 711 298.8 3 308 45.7 2 109 26.6 4 103 187.8 9 521 260.1 3 308 45.7 2 109 26.6 3 731 169.4 9 149 241.7 3 308 45.7 1 933 15.5 3 731 169.4 8 973 230.6
Keuntungan (Rp.103/Ha) Bersih Tunai 561.1 2 848.4 546.8 2 871.7 178.2 2 288.6 1 286.2 8 008.7 561.1 2 848.4 546.8 2 871.7 442.3 3 360.6 1 550.3 9 080.8 561.1 2 848.4 546.8 2 871.7 568.8 3 156.1 1 676.8 8 876.2 561.1 2 848.4 792.3 4 100.2 442.3 3 360.6 1 795.8 10 309.3 561.1 2 848.4 792.3 4 100.2 568.8 3 156.1 1 922.3 10 104.7 561.1 2 848.4 689.1 3 337.3 568.8 3 156.1 1 819.1 9 341.8
Usahatani yang terbanyak mengkonsumsi air irigasi adalah pola tanam padi-padi-padi, sedangkan yang terendah adalah pola padi-P/H_2-P/H_2. Pola padi-padi-padi membutuhkan air irigasi dua kali lipat daripada pola padi-P/H_2P/H_2. Pola tanam padi dua kali (MT I dan MT II) yang dilanjutkan dengan palawija/hortikultur dapat menurunkan konsumsi air irigasi sekitar 23 % - 25 % jika dibandingkan dengan pola tanam padi 3 kali per tahun. Keuntungan usahatani tertingi diperoleh pada pola tanam Padi – P/H_1 – P/H_1 yaitu sekitar Rp. 1.8 juta yang dalam bentuk tunai adalah sekitar Rp. 10.3 juta per hektar per tahun. Air irigasi yang dikonsumsi untuk pola tanam ini sekitar 9 500 m3 per hektar per tahun dengan rincian: konsumsi air irigasi untuk usahatani padi MT I sekitar 3 300 m3 serta untuk usahatani palawija/hortikultur kategori-1 pada MT II dan MT III masing-masing sekitar 2 100 m3 dan 4 100 m3.
186 Pendapatan terendah adalah pada pola tanam padi – padi – padi yaitu sekitar Rp. 1.29 juta/tahun yang dalam bentuk tunai sekitar Rp. 8 juta/tahun. Konsumsi air irigasi untuk pola ini sekitar 19 500 m3 per hektar per tahun dengan rincian untuk MT I, MT II, dan MT III masing-masing sekitar 3 300 m3, 7 700 m3, dan 8 600 m3. Nilai air irigasi per hektar untuk masing-masing musim tersebut adalah sekitar Rp. 40 000, Rp. 78 000, dan Rp. 398 000. Tingginya biaya air irigasi untuk usahatani padi pada MT III mungkin efektif untuk mendorong petani agar pada musim tersebut mengusahakan komoditas selain padi. Peluang penerapannya cukup terbuka mengingat bahwa selama ini partisipasi petani dalam usahatani padi pada MT III memang relatif rendah. Buktinya, data di lapangan menunjukkan bahwa pada MT III proporsi petani yang mengusahakan tanaman padi kurang dari 5 %. Dalam menentukan pilihan terhadap alternatif pola tanam tersebut di atas, ada tiga faktor yang menjadi pertimbangan utama yaitu: (1) ekspektasi keuntungan usahatani, (2) pengaturan jadwal pengusahaan, dan (3) modal usahatani. Secara teknis pola padi–padi–padi, padi–padi–P/H_1, ataupun padi– P/H_1–P/H_1 membutuhkan pengaturan jadwal yang sangat ketat. Ini disebabkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu siklus produksi sejak pengolahan tanah sampai panen dalam usahatani padi ataupun P/H_1 sekitar 4 bulan. Khusus untuk pola padi–P/H_1–P/H_1 selain jadwalnya sangat ketat modal yang dibutuhkannya juga lebih tinggi. Pola tanam yang jadwalnya lebih longgar akan tetapi masih menghasilkan keuntungan usahatani yang relatif tinggi (peringkat kedua) adalah pola tanam padi–P/H_1–P/H_2. Peringkat berikutnya adalah pola padi–P/H_2–P/H_2 dan pola padi–padi–P/H-2. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa pola tanam yang secara teknis maupun ekonomi diperkirakan paling layak adalah pola padi – P/H_1 – P/H_2, padi – P/H_2 – P/H-2 ataupun padi – padi – P/H_2. Dalam praktek tidak semua petani harus menerapkan pola tersebut sehingga pola tanam dalam satu petak tertier homogen. Akan tetapi pola tanam yang sangat beragam juga berimplikasi pada kesulitan pengelolaan air irigasi maupun pengumpulan iuran irigasi dari petani anggota P3A yang bersangkutan.
187 Contoh
penerapan
iuran
irigasi
berbasis
komoditas
yang
telah
disederhanakan adalah sebagai berikut. Misalkan di suatu P3A atau Gabungan P3A di Sub DAS Brantas Tengah, dari hasil rapat pleno P3A disepakati bahwa jumlah biaya irigasi untuk komponen penunjang (sebagai insentif pengumpulan iuran) disepakati sebesar Rp. 5 000/Ha per musim; sedangkan pola tanam yang diterapkan petani ada 7 macam yaitu: (1) padi-padi-padi, (2) padi-padi-P/H_1, (3) padi-padi-P/H_2, (4) padi-P/H_1-P/H_1, (5) padi-P/H_1-P/H_2, dan (6) padiP/H_2-P/H_2, dan (7) tebu. Misalkan pula yang dijadikan sebagai basis penghitungan komponen pokok adalah padi MT I dan disepakati nilainya adalah Rp. 25 000/Ha. Maka, jumlah iuran irigasi berbasis komoditas yang harus dibayar oleh petani di wilayah tersebut adalah sebagai berikut (Tabel 40). Tabel 40.
Contoh iuran irigasi berbasis komoditas di P3A atau GP3A di wilayah pesawahan irigasi teknis Sub DAS Brantas Tengah (Rp/Hektar)
Pola tanam Padi-padi-padi Padi-padi-P/H_1 Padi-padi-P/H_2 Padi-P/H_1-P/H_1 Padi-P/H_1-P/H_2 Padi-P/H_2-P/H_2 Tebu *)
Per Musim Tanam MT I MT II MT III 30 000 55 000 263 000 30 000 55 000 133 000 30 000 55 000 122 000 30 000 19 000 133 000 30 000 19 000 122 000 30 000 13 000 122 000
Setahun *) 338 000 (4% - 6%) 208 000 (2% - 4%) 197 000 (1% - 3%) 172 000 (1% - 3%) 161 000 (1% - 3%) 155 000 (1% - 3%) 166 000 (2% - 3%)
Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap total biaya usahatani tunai.
Tampak bahwa dalam satu tahun jumlah biaya irigasi yang dikeluarkan oleh petani yang menerapkan pola tanam padi-padi-padi cukup besar yaitu sekitar Rp. 340 000 per hektar. Jumlah tersebut turun cukup signifikan jika petani menerapkan pola tanam padi-padi-palawija/sayuran. Jadi, dalam batas-batas tertentu disinsentif bagi petani yang ingin menerapkan pola tanam padi setahun tiga kali. Di sisi lain kondisi tersebut dapat diartikan pro diversifikasi usahatani di lahan sawah. Perhatikan bahwa biaya irigasi yang terendah adalah jika petani menarapkan pola tanam padi-P/H_2-P/H_2. Biaya irigasi untuk usahatani adalah sekitar Rp. 170 000/hektar/tahun, yang berarti lebih tinggi sekitar 50 persen jika dibandingkan dengan rata-rata biaya irigasi pada kondisi aktual.
188 Iuran irigasi berbasis komoditas seperti tertera pada Tabel 40 tersebut mungkin terasa lebih mahal bagi petani yang selama ini lahan sawahnya cukup air sepanjang tahun. Akan tetapi bagi petani yang selama ini lahan irigasinya tidak cukup air sehingga pada MT III harus mengeluarkan sejumlah uang untuk irigasi pompa, jumlah tersebut secara relatif sebanding. Bahkan jika diperbandingkan dengan biaya irigasi yang harus dikeluarkan oleh petani yang usahataninya sangat tergantung pada irigasi pompa, jumlah tersebut relatif rendah. Sebagai contoh, biaya irigasi yang dikeluarkan petani pengguna irigasi pompa di daerah pesawahan non irigasi teknis di Bengawan Solo Hilir (Bojonegoro) dalam usahatani padi adalah sekitar 15 – 20 % dari produksi kotor (sistem bagi hasil), sedangkan di Blora adalah sekitar Rp. 320 000/hektar/musim; dan di Indramayu adalah sekitar Rp. 170 000/hektar/musim (Sumaryanto et al, 1999). Implikasi dari iuran irigasi berbasis komoditas adalah meningkatnya insentif untuk penerapan pola tanam yang pro penghematan konsumsi air irigasi yang dapat diwujudkan melalui diversifikasi usahatani. Ini kondusif untuk meningkatkan pendapatan petani tetapi kurang kondusif untuk peningkatan produksi padi. Secara total, luas tanam padi per tahun mungkin menjadi lebih kecil daripada kondisi sekarang dan dampaknya adalah turunnya produksi padi. Secara teoritis dampak negatif ini dapat diminimalkan dengan cara meningkatkan produktivitas usahatani padi dan atau melalui perluasan areal pesawahan baru. Dalam konteks yang lebih luas, oleh karena jumlah iuran irigasi berbasis komoditas sangat dipengaruhi oleh harga bayangan air irigasi (tingkat kelangkaan air irigasi), maka model ini sebenarnya juga merupakan pembelajaran untuk meningkatkan apresiasi terhadap air irigasi khususnya maupun sumberdaya air pada umumnya. Sebagai salah satu bentuk iuran yang sifatnya baru (inovasi), sudah barang tentu bahwa penerapan iuran irigasi berbasis komoditas membutuhkan pendekatan kelembagaan yang tepat. Belajar dari pengalaman, kelembagaan seperti itu dapat dirumuskan melalui suatu kaji tindak, antara lain dalam wujud proyek rintisan. Identifikasi faktor-faktor strategis untuk kajian seperti itu dapat dirumuskan dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi partispasi petani dalam diversifikasi dan pembayaran iuran irigasi sebagaimana dibahas dalam Bab berikutnya (Bab VII).
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI IURAN IRIGASI BERBASIS KOMODITAS 7.1. Keragaan Diversifikasi Usahatani di Pesawahan Irigasi DAS Brantas Profil diversifikasi dapat dianalisis dari pola tanam. Pola tanam merefleksikan fakta yang menyangkut pilihan petani mengenai apa yang diusahakan (what), berapa luas (how much), dan kapan waktu pengusahaannya (when). Secara empiris meskipun pola tanam antar tahun dinamis tetapi perubahannya gradual – terkecuali ada perilaku iklim yang sangat ekstrim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar lahan sawah di DAS Brantas beririgasi teknis, akan tetapi pada musim hujan tidak semua petani mengusahakan tanaman padi di lahan sawahnya. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan makin berdiversifikasi. Bahan yang digunakan untuk analisis pola tanam adalah data dari hasil sensus luas tanam di Blok Tertier. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola tanam di lokasi penelitian cukup beragam. Di lokasi penelitian, pada tahun 1999/2000 teridentifikasi ada 80 macam pola tanam (Lampiran 18) dengan cakupan 22 jenis komoditas yang diusahakan. Sepuluh besar pola tanam dominan dapat disimak pada Tabel 41. Tabel 41. Pola tanam dominan di wilayah pesawahan DAS Brantas, 1999/2000. Pola tanam Padi-padi-kedele padi-padi-bera Padi-padi-jagung padi-jagung-jagung Padi-padi-Kacang hijau padi-tembakau Padi-padi-padi Padi-bengkoang-jagung Tebu Padi-padi-blewah Lainnya (74 jenis pola tanam) Total
Persil Lahan Jumlah (%) 203 19.9 212 20.8 125 12.2 43 4.2 76 7.4 54 5.3 44 4.3 30 2.9 8 0.8 13 1.3 213 20.8 1021 100.0
Luas Lahan Hektar (%) 43.6 19.8 37.0 16.9 28.1 12.8 13.2 6.0 12.4 5.6 10.2 4.6 9.3 4.2 6.7 3.1 6.4 2.9 5.4 2.5 47.3 21.5 219.6 100.0
190 Pola tanam terluas adalah padi-padi-kedele, artinya pada MT I dan MT II petani menanam padi, sedangkan pada MT III menanam kedele. Proporsinya, baik dalam konteks persil maupun luas areal mencapai 20 %. Dari sudut pandang luas hamparan, urutan berikutnya adalah padi-padi-bera (17 %), dan padi-padi jagung (13 %). Luas hamparan dengan pola tanam padi-padi-padi adalah 4 %, sedangkan tebu 3 %. Usahatani tebu umumnya dilakukan di persil-persil lahan yang relatif lebih luas dari rata-rata. Bagi petani, sekuen pengusahaan suatu komoditas (menurut musim tanam) tidak hanya tergantung pada ketersediaan air irigasi tetapi juga fakto-faktor lain. Pola tanam berimplikasi pula pada urusan penyediaan sarana produksi yang harus disediakan/dibeli, tenaga kerja, modal, dan tentu saja ekspektasi mengenai arus pendapatan (saat menikmati panen). Dalam konteks agregat, yang terpenting adalah luas kumulatif jenis komoditas per musim tanam karena berimplikasi pada perkiraan penawaran output dan permintaan input, termasuk kebutuhan air irigasi. Oleh sebab itu, analisis pola tanam dalam level agregat lazimnya mengacu pada proporsi luas tanam suatu jenis komoditas per musim tanam. Secara agregat, luas pengusahaan masing-masing jenis komoditas dominan per musim tanam pada tahun 1999/2000 adalah sebagai berikut (Tabel 42). Luas lahan bera (tidak ditanami) pada MT I, MT II, dan MT III mencapai 5, 7, dan 26 % dari total luas sawah di wilayah ini. Faktor-faktor yang menyebabkan lahan tidak digarap ada beberapa macam. Sebagian dari lahan sawah untuk sementara tidak diusahakan karena kendala teknis yang terkait dengan perpindahan status penggarapan ataupun akibat lanjutan dari jadwal tanam tahun sebelumnya yang memaksa petani menunda penggarapan sampai waktu tanam berikutnya. Faktor lain adalah kondisi air irigasi di lahan sawah yang bersangkutan. Pada MT I, dijumpai adanya petak-petak sawah yang terpaksa tidak digarap karena genangan yang terlampau tinggi. Ini terjadi jika persil sawah tersebut elevasinya terlalu rendah, sedangkan drainasenya buruk. Pada MT III sebagian besar lahan sawah terpaksa bera karena terbatasnya air irigasi.
191 Table 42. Luas areal tanam di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 (%) Tanaman Padi Jagung Kedele Kacang tanah Kacang hijau Tebu Tembakau "Bengkoang" Cabai Bawang merah Tomat Semangka Melon Lainnya Bera Total
MT I 86.20 3.53 0.14 0.16 0.00 2.93 0.00 0.00 0.69 0.01 0.00 0.00 0.00 1.39 4.95 100.00
MT II 65.79 11.32 0.54 0.14 0.01 2.93 5.56 4.33 0.67 0.17 0.09 0.23 0.00 1.13 7.09 100.00
MT III 4.41 26.60 20.51 0.99 5.89 2.93 2.93 0.06 2.45 0.00 0.13 0.31 4.04 2.33 26.42 100.00
Lazimnya, tanaman utama di sawah adalah padi. Proporsi luas tanam padi pada MT I, MT II, dan Mt III masing-masing adalah 86, 66, dan 4 % dari total luas sawah di wilayah ini. Selain padi, kelompok komoditas tanaman pangan terpopuler di lahan sawah adalah palawija. Dalam kelompok ini, urutan peringkatnya adalah jagung, kedele, kacang hijau, dan kacang tanah. Tanaman hortikultura yang dominan adalah cabai, tomat, bawang merah, bengkoang, semangka, dan melon. Selain padi ada beberapa komoditas yang pengusahaannya cenderung spesifik lokasi. Sebagai contoh, tembakau banyak diusahakan di Sub DAS Hulu; bengkoang, cabai dan bawang merah di Sub DAS Tengah, sedangkan semangka dan blewah di Sub DAS Hilir. Pembandingan antar Sub DAS memperlihatkan bahwa pola tanam yang paling berdiversifikasi adalah di di Sub DAS Brantas Tengah. Diversifikasi yang paling rendah adalah di Sub DAS Brantas Hilir. Secara empiris faktor-faktor penunjang berkembangnya diversifikasi seperti kemudahan dalam memperoleh sarana produksi maupun penyaluran produksi dari usahatani komoditas non padi di ketiga Sub DAS tersebut tidak banyak berbeda. Tampaknya kecenderungan tersebut terkait dengan beberapa
192 faktor berikut. Pertama, ketersediaan air irigasi; dimana diversifikasi cenderung berkembang di lokasi yang tingkat ketersediaan airnya moderat. Kedua, struktur penguasaan lahan usahatani. Secara umum rata-rata luas garapan petani di Sub DAS Hilir adalah yang terkecil dan terdiri dari persil-persil lahan yang jumlahnya lebih banyak. Distribusi antar petani di Sub DAS Hilir juga paling timpang. Ketiga, struktur pendapatan rumah tangga. Kontribusi pendapatan usahatani lahan sawah terhadap pendapatan rumah tangga petani di Sub DAS Hilir adalah yang terkecil jika dibandingkan dengan petani di dua Sub DAS lainnya. 7.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Untuk Berdiversifikasi Dalam diversifikasi terdapat dua aspek penting yaitu: (1) ragam komoditas yang diusahakan, dan (2) jenis komoditas yang diusahakan. Aspek (1) mengacu pada dimensi kuantitatif, sedangkan aspek (2) bersifat kualitatif. Ukuran kuantitatif yang menunjukkan derajat keragaman (diversitas) yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks Entrophy (E). Data rumah tangga contoh yang relevan untuk mengkaji kecenderungan diversifikasi harus memenuhi syarat bahwa rumah tangga tersebut mempunyai lahan garapan dua musim tanam atau lebih; atau paling sedikit menguasai dua persil lahan garapan jika dalam satu tahun hanya menggarap satu musim tanam. Berdasarkan ketentuan itu terdapat 468 (97.5 %) yang datanya relevan untuk dianalisis. Selanjutnya, dengan membagi pola tanam atas tiga kategori: (1) monokultur padi, (2) diversifikasi kategori-1 (divs_1): komoditas yang diusahakan tak termasuk bernilai ekonomi tinggi (kedele, kacang tanah, jagung non hibrida dan sebagainya), (3) diversifikasi kategori-2 (divs_2): komoditas yang diusahakan bernilai ekonomi tinggi (bawang merah, semangka, tembakau, jagung hibrida dan sebagainya), ternyata sekitar 75 persen petani melakukan diversifikasi. Sebagian besar petani yang berdiversifikasi itu mengusahakan komoditas pertanian yang termasuk kategori tidak bernilai ekonomi tinggi. Pembandingan antar Sub DAS menunjukkan bahwa usahatani di Sub DAS Brantas Tengah
193 adalah paling berdiversifikasi. Petani di Sub DAS Brantas Hilir cenderung monokultur dengan menanam padi dua kali/tahun (Tabel 43). Tabel 43. Sebaran petani menurut pola tanam dan indeks diversitasnya di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas , 1999/2000. Wilayah Hulu
Tengah
Hilir
DAS Brantas
Pola tanam Monokultur padi Divs -1 Divs -2 Total Monokultur padi Divs -1 Divs -2 Total Monokultur padi Divs -1 Divs -2 Total Monokultur padi Divs -1 Divs -2 Total
Petani Jumlah (%) 6 5.2 76 66.1 33 28.7 115 100.0 16 8.2 84 42.9 96 49.0 196 100.0 97 61.8 31 19.7 29 18.5 157 100.0 119 25.4 191 40.8 158 33.8 468 100.0
Indeks Entrophy (E) Rata-rata STD*) Rata-rata 0 0.635 0.032 0.500 0.814 0.202 0.562 0.653 0.206 0 0 0.643 0.113 0.233 0.852 0.254 0.346 0.693 0.300 0 0 0.658 0.200 0.132 0.799 0.227 0.437 0.278 0.380 0 0 0.642 0.111 0.132 0.835 0.239 0.346 0.544 0.364 0
STD*) 0.849 1.368 1.368 1.099 1.524 1.524 1.055 1.182 1.182 1.099 1.524 1.524
Dalam satu tahun, jumlah jenis komoditas yang diusahakan oleh petani yang berdiversifikasi pada umumnya dua – tiga jenis. Komoditas nonpadi (palawija/sayuran) pada umumnya diusahakan pada musim kemarau. Fenomena yang menarik adalah bahwa petani yang termasuk dalam kategori divs_2 ternyata ragam komoditasnya lebih banyak daripada divs_1 (Tabel 44). Tabel 44. Sebaran petani menurut jumlah jenis komoditas yang diusahakan di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 Petani (%) menurut pola tanam Jumlah komoditas yang diusahakan monokultur padi divs_1 divs_2 1 100 2 92.7 51.3 3 7.3 39.9 4 7.6 5 1.3 Total 100 100 100 Pearson 2 ( 8 ) = 573.2452 Pr = 0.000
Total 25.4 55.1 16.5 2.6 0.4 100
194 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk berdiversifikasi dianalisis dengan model multinomial logistic (mlogit). Dalam model ini oleh karena monokultur padi diperlakukan sebagai basis maka hasil analisis dapat diinterpretasikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk berdiversifikasi. Hasil estimasi tertera pada Tabel 45. Tabel 45. Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas untuk berdiversifikasi Alternatif pilihan (outcomes) & variabel penjelas
Koefisien Galat baku P>|z|
Diversifikasi kategori-1 (divs_1): 1. Kapabilitas managerial dalam usahatani padi (te) 2. Jumlah persil sawah garapan 3. Total luas sawah garapan 4. Proporsi luas sawah garapan bukan milik 5. Jumlah anggota keluarga yang bekerja di usahatani 6. Umur Kepala Rumah Tangga 7. Tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga 8. Rasio pendapatan terhadap total pengeluaran 9. Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah 10. Jarak petak sawah dari pintu tertier 11. Aksessibilitas petak sawah terhadap saluran kuarter 12. Proporsi luas sawah garapan yang kekurangan air 13. Intensitas kekeringan (jumlah hari kekeringan) 14. Nilai pajak lahan 15. Kepemilikan pompa irigasi (1=memiliki, 0=lainnya) Intersep
0.042 -0.321 *** 0.024 0.018 0.331 ** -0.006 -0.040 0.584 ** 1.743 *** 0.152 ** -2.431 *** 5.049 *** -0.032 0.012 1.658 ** 0.321
1.645 0.101 0.191 0.635 0.137 0.015 0.054 0.261 0.595 0.061 0.626 0.990 0.034 0.008 0.792 1.868
0.980 0.001 0.901 0.977 0.016 0.685 0.466 0.025 0.003 0.013 0.000 0.000 0.355 0.140 0.036 0.864
Diversifikasi kategori-2 (divs_2): 1. Kapabilitas managerial dalam usahatani padi (te) 2. Jumlah persil sawah garapan 3. Total luas sawah garapan 4. Proporsi luas sawah garapan bukan milik 5. Jumlah anggota keluarga yang bekerja di usahatani 6. Umur Kepala Rumah Tangga 7. Tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga 8. Rasio pendapatan terhadap total pengeluaran 9. Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah 10. Jarak petak sawah dari pintu tertier 11. Aksessibilitas petak sawah terhadap saluran kuarter 12. Proporsi luas sawah garapan yang kekurangan air 13. Intensitas kekeringan (jumlah hari kekeringan) 14. Nilai pajak lahan 15. Kepemilikan pompa irigasi (1=memiliki, 0=lainnya) Intersep
1.326 -0.378 *** 0.157 0.704 0.359 ** -0.010 -0.022 1.141 *** 3.473 *** 0.158 ** -0.824 6.163 *** -0.102 ** 0.016 * 1.711 ** -4.143
1.786 0.111 0.194 0.668 0.147 0.017 0.059 0.271 0.648 0.064 0.697 1.017 0.040 0.009 0.820 2.069
0.458 0.001 0.418 0.292 0.014 0.544 0.714 0.000 0.000 0.014 0.237 0.000 0.011 0.071 0.037 0.045
base outcome: monokultur padi Log likelihood = -353.9983 Log likelihood = -353.9983 Prob > chi2 = 0.0000 LR chi2(30) = 303.39 Pseudo R2 = 0.3000 ***), **), dan *) masing-masing menunjukkan taraf nyata pada (two-tail) 0.01, 0.05, dan 0.10.
195 Hasil estimasi menunjukkan bahwa dari 15 variabel penjelas yang dimasukkan dalam model, ada 8 variabel yang pengaruhnya nyata. Variabel yang berpengaruh positif terhadap keputusan untuk berdiversifikasi adalah: jumlah tenaga kerja untuk usahatani, kemampuan permodalan, kontribusi usahatani di lahan sawah dalam ekonomi rumah tangga, kualitas lahan sawah, proporsi luas areal yang air irigasinya relatif langka, dan pemilikan peralatan untuk mengatasi kekeringan. Variabel yang berpengaruh negatif adalah jumlah persil lahan dan intensitas kekeringan serta akses lahan terhadap prasarana distribusi air irigasi di level tertier dan atau kuarter. Pembahasan lebih lanjut adalah sebagai berikut. 7.2.1. Ketersediaan Tenaga Kerja Untuk Usahatani Menyimak tanda koefisien dugaan dapat diinterpretasikan bahwa semakin banyak jumlah anggota rumah tangga yang bekerja (termasuk membantu kerja) di usahatani maka peluang untuk berdiversifikasi semakin tinggi. Tampaknya jika tenaga kerja yang tersedia untuk usahatani semakin banyak maka semakin longgar pengaturan jadwal kerja antar anggota rumah tangga dalam usahatani. Ini kondusif untuk mengelola aktivitas usahatani yang lebih beragam. Sebagian besar rumah tangga mempunyai 2 – 3 orang anggota rumah tangga yang bekerja di usahatani. Menyimak sebaran rumah tangga menurut pola tanam dan jumlah anggota rumah tangga yang berkerja di usahatani tampak bahwa jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di usahatani pada petani yang berdiversifikasi lebih banyak daripada yang pola tanamnya monokultur padi (Tabel 46). Tabel 46. Sebaran petani menurut jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 (%) Jumlah yang bekerja/ membantu kerja 1 2 3 >3 Total Pearson
2 (6) =
Pilihan pola tanam monokultur padi divs_1 18.49 16.23 57.14 41.36 14.29 18.85 10.08 23.56 100 100
19.073 Pr = 0.004
divs_2 24.05 35.44 20.25 20.25 100
Total 19.44 43.38 18.16 19.02 100
196 7.2.2. Kemampuan Permodalan Dalam penelitian ini, kemampuan permodalan diproksi dengan variabel x8 yang didefinisikan sebagai rasio antara total pendapatan terhadap total pengeluaran. Hasil estimasi menunjukan bahwa pengaruh variabel ini adalah positif. Artinya, semakin tinggi kemampuan permodalan maka peluang untuk berdiversifikasi juga semakin tinggi. Koefisien parameter untuk pilihan divs_2 adalah 1.149 (galat baku 0.270), sedangkan untuk pilihan divs_1 adalah 0.587 (galat baku 0.259). Jadi pengaruh variabel ini lebih kuat pada divs_2 daripada divs_1. Ini konsisten dengan fenomena empiris bahwa usahatani komoditas bernilai ekonomi tinggi pada umumnya membutuhkan modal yang lebih banyak. Pada umumnya pendapatan petani lebih rendah daripada pengeluarannya. Pendapatan per kapita adalah sekitar 1.27 juta rupiah per tahun, sedangkan pengeluarannya 1.47 juta rupiah per kapita per tahun. Pendapatan dan pengeluaran petani monokultur padi cenderung lebih rendah dari petani yang berdiversifikasi, dimana rata-rata tertinggi berada pada kelompok divs_2 (Tabel 47). Tabel 47. Rata-rata pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000
Pilihan pola tanam Monokultur padi Diversifikasi, divs_1 Diversifikasi, divs_2 Total
Pendapatan 974.4 1077.6 1757.7 1272.9
(Rp.103/kapita/tahun) Pengeluaran 1279.7 1244.7 1894.7 1470.6
Selanjutnya, jika tingkat kemampuan permodalan dikelompokkan menjadi 3 kategori dengan batasan: 1. Kategori 1 : kemampuan permodalan rendah ( x8 1.00 ), 2. Kategori 2 : kemampuan permodalan sedang ( 1.01 x8 1.50 ), 3. Kategori 3 : kemampuan permodalan tinggi ( x8 1.51 ), ternyata sebagian besar (65 %) petani termasuk kategori 1; sedangkan yang termasuk kategori 3 hanya sekitar 21 %. Proporsi petani kategori 3 di kalangan petani yang menerapkan pola tanam monokultur padi, divs-1, dan divs-2, masingmasing adalah sekitar 14, 16, dan 34 % (Tabel 48).
197 Tabel 48. Sebaran petani menurut pola tanam dan kemampuan permodalan, 1999/2000 (%) Pilihan pola tanam Total Kemampuan permodalan monokultur padi divs_1 divs_2 Rendah (petani) 85 139 79 303 (%) 71.4 72.8 50.0 64.7 Sedang (petani) 18 22 26 66 (%) 15.1 11.5 16.5 14.1 Tinggi (petani) 16 30 53 99 (%) 13.5 15.7 33.5 21.2 Total (petani) 119 191 158 468 (%) 100 100 100 100 Pearson 2 (4) = 27.1307 Pr = 0.000
7.2.3. Kontribusi Pendapatan dari Usahatani di Lahan Sawah Variabel ini (x9) merupakan proksi peranan lahan sawah dalam ekonomi rumah tangga petani. Ukuran yang dipakai adalah pangsa pendapatan dari usahatani di sawah terhadap total pendapatan rumah tangga, dengan referensi waktu satu tahun. Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin penting peranan sawah dalam ekonomi rumah tangga maka peluang untuk berdiversifikasi semakin tinggi. Ini dapat diinterpretasikan bahwa prospek pengembangan diversifikasi usahatani di lahan sawah semakin rendah jika peranan lahan sawah sebagai sumber pendapatan rumah tangga semakin kecil. Dengan luas dan status garapan yang dikuasainya, rata-rata pendapatan yang diperoleh dari usahatani di lahan sawah adalah sekitar 2.8 juta rupiah per tahun. Kontribusinya terhadap total pendapatan rumah tangga adalah sekitar 53%. Perbandingan antar kelompok pola tanam dapat disimak pada Tabel 49. Tabel 49.
Kontribusi pendapatan dari usahatani di lahan sawah menurut pola tanam yang diterapkan terhadap pendapatan rumah tangga, 1999/2000
Pilihan pola tanam Monokultur padi Diversifikasi (divs_1) Diversifikasi (divs_2) Total
Pendapatan rumah tangga petani Dari usahatani di lahan sawah Total 3 (Rp. 10 /tahun) (Rp. 103/tahun) Pangsa (%) 3 114.9 1 369.2 44.0 3 750.7 1 948.4 51.9 7 361.5 4 559.6 61.9 5 387.1 2 852.3 52.9
198 Jika kontribusi lahan sawah sebagai sumber pendapatan rumah tangga dibagi menjadi 3 kelompok rendah, sedang, dan tinggi; dapat disimpulkan bahwa sebagian besar petani yang berdiversifikasi menggantungkan naftakahnya dari usahatani di lahan sawah. Sementara itu, sebagian besar rumah tangga yang mengandalkan nafkahnya dari usaha non pertanian cenderung memilih pola tanam monokultur padi (Tabel 50). Tabel 50. Sebaran rumah tangga petani menurut peranan sawah sebagai sumber pendapatan dan pilihan pola tanam, 1999/2000 (%) Pilihan pola tanam Kontribusi monokultur padi divs_1 Rendah (dibawah 33%) 43.7 31.4 Sedang (34 – 66%) 27.7 34.0 Tinggi (lebih dari 66%) 28.6 34.6 Total 100.0 100.0 Pearson 2 (4) = 25.4786 Pr = 0.000
divs_2 20.3 27.2 52.5 100.0
Total 30.8 30.1 39.1 100.0
7.2.4. Kualitas Lahan Sawah Dalam penelitian ini kualitas lahan diproksi dari nilai pajak lahan yang dibayar petani untuk lahan tersebut. Hasil estimasi menunjukkan bahwa kualitas lahan sawah berpengaruh positif terhadap peluang berdiversifikasi, khususnya pada pengusahaan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi. Tampaknya hal ini terkait dengan kecenderungan petani untuk meminimalkan risiko usahatani, atau untuk memperoleh harga jual produk usahatani yang lebih baik. Persil-persil sawah yang lokasinya jauh dari jangkauan transportasi peringkat kelasnya lebih rendah sehingga pengelolaannya lebih sulit; dan harga beli pedagang terhadap produksi di lokasi tersebut cenderung lebih rendah karena ongkos transportasinya lebih mahal. Oleh karena itu petani cenderung menghindari pengusahaan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi di persil-persil sawah seperti itu.
7.2.5. Pemilikan Peralatan Untuk Mengatasi Kekeringan Peralatan yang lazim digunakan petani untuk mengatasi kekeringan adalah pompa irigasi. Ternyata pemilikan pompa irigasi berpengaruh positif terhadap peluang untuk berdiversifikasi. Ada dua alasan yang terkait dengan fenomena ini:
199 1. Sebagian petani melakukan diversifikasi di lahan yang ketersediaan air irigasinya pada MK-1 tidak aman untuk menanam padi. Meskipun demikian persil-persil tersebut kadang-kadang juga ditanami padi pada MK-1. Untuk mengantisipasi kekurangan air maka petani memanfaatkan irigasi pompa. 2. Pada musim kemarau cukup banyak persil-persil sawah yang tidak terjangkau air irigasi karena permukaan air irigasi dari saluran sekunder semakin turun. Persil-persil lahan ini lebih aman untuk menanam palawija dan atau sayuran, dan sebagai antisipasi terhadap kekeringan maka petani membeli pompa irigasi. Cukup banyak petani yang memiliki pompa irigasi, terutama di kalangan petani yang berdiversifikasi. Proporsi petani yang memiliki pompa irigasi adalah sekitar 19 persen. Rinciannya, pada kelompok petani monokultur padi 2 persen, pada kelompok petani yang berdiversifikasi kategori divs_1 sekitar 26 persen, dan pada kelompok petani yang berdiversifikasi dengan mengusahakan komoditas bernilai ekonomi tinggi sekitar 22 persen (Tabel 51). Tabel 51. Sebaran petani menurut pemilikan pompa irigasi dan pilihan pola tanam, 1999/2000 (%) Pemilikan pompa Tidak memiliki Memiliki Total
Pilihan pola tanam monokultur padi divs_1 98.3 73.8 1.7 26.2 100.0 100.0
divs_2 77.9 22.1 100.0
Total 81.4 18.6 100.0
Pearson 2 ( 2 ) = 31.0739 Pr = 0.000
7.2.6. Fragmentasi Lahan Garapan Jumlah persil lahan per unit pengelolaan usahatani mencerminkan fragmentasi lahan. Untuk luas yang sama, semakin banyak persil berarti semakin banyak sub-sub unit yang harus dikelola. Efisiensi pengelolaan semakin menurun jika persil-persil lahan tersebut lokasinya terpencar-pencar. Hasil estimasi menunjukkan bahwa fragmentasi lahan merupakan faktor negatif terhadap prospek diversifikasi. Sebagaimana tampak pada Tabel 43 di muka, semakin banyak jumlah persil garapan maka semakin rendah peluang untuk
200 menerapkan diversifikasi. Implikasinya, pengembangan diversifikasi usahatani sebaiknya diarahkan di wilayah pesawahan dimana struktur penguasaan garapan petani tidak terlalu terfragmentasi. Sawah garapan petani di DAS Brantas pada umumnya tidak satu persil. Proporsi petani yang unit pengelolaan sawah garapannya terdiri atas satu, dua, dan tiga persil masing-masing adalah 13, 33, dan 19 persen. Proporsi petani dengan jumlah persil sawah garapan 5 atau lebih, banyak ditemukan pada kelompok petani yang melakukan pola tanam monokultur padi (Tabel 52). Tabel 52. Sebaran petani menurut jumlah persil garapan dan pola tanam, 1999/2000 (%) Jumlah persil garapan 1 2 3 4 5 >5 Total
Pilihan pola tanam monokultur padi divs_1 8.4 15.2 28.6 34.6 17.7 20.4 8.4 14.1 15.1 12.0 21.9 3.7 100.0 100.0
divs_2 13.9 35.4 18.4 15.8 10.8 5.7 100.0
Total 13.0 33.3 19.0 13.3 12.4 9.0 100.0
Pearson 2 (10 ) = 38.1470 Pr = 0.000
7.2.7. Tingkat Kerawanan Terhadap Kekeringan Ada dua variabel yang dikembangkan untuk merefleksikan tingkat kerawanan terhadap kekeringan yaitu: (1) proporsi luas lahan yang pada musim kemarau-1 usahatani yang dilakukannya mengalami kekeringan (kekurangan air), dan (2) durasi (hari) tanaman tersebut mengalami kekurangan air. Dalam penelitian ini, tingkat kekeringan bersifat relatif karena didasarkan atas persepsi petani berdasarkan gejala visual yang oleh petani teramati dari kondisi pertanaman di lapangan. Indikator yang lazim digunakan adalah daun tanaman yang mulai layu. Sebagian besar petani mengatasinya dengan menggunakan pompa irigasi. Secara umum, luas areal yang mengalami kondisi kurang air adalah sekitar 20 persen. Sedangkan rata-rata durasi kekeringan adalah sekitar 2 hari, meskipun ada beberapa petani yang tanamannya mengalami kekeringan sampai 3 minggu (Tabel 53).
201 Tabel 53. Rata-rata proporsi luas lahan yang mengalami kekeringan dan durasi kekeringan untuk masing-masing kategori pola tanam, 1999/2000 Indikator kerawanan
Pola tanam Monokultur padi divs_1 divs_2 Total
Rata-rata Galat baku Min Maks
Proporsi luas kekeringan (%)
0.03
0.15
0
1
Durasi kekeringan (hari)
2.42
3.99
0
20
Proporsi luas kekeringan (%)
0.24
0.29
0
1
Durasi kekeringan (hari)
3.11
5.00
0
21
Proporsi luas kekeringan (%)
0.38
0.41
0
1
Durasi kekeringan (hari)
1.56
3.74
0
18
Proporsi luas kekeringan (%)
0.23
0.34
0
1
Durasi kekeringan (hari)
2.41
4.40
0
21
Hasil estimasi (lihat Tabel 43 di muka) menunjukkan bahwa semakin luas persil lahan yang air irigasinya relatif kurang, maka semakin tinggi peluang petani untuk memilih pola tanam diversifikasi di lahan tersebut. Meskipun demikian intensitas kekeringan yang semakin tinggi merupakan faktor negatif terhadap peluang untuk memilih pola tanam divs_2. Hal ini terkait dengan tingginya risiko yang dihadapi berdiversifikasi dengan mengusahakan tanaman bernilai ekonomi tinggi (divs_2). Implikasinya, pengembangan diversifikasi usahatani memiliki prospek yang lebih baik jika dilakukan di wilayah pesawahan yang ketersediaan air
irigasinya
relatif
langka
tetapi
intensitas
kekeringannya
moderat.
Meningkatnya intensitas kekeringan tidak kondusif untuk pengembangan diversifikasi pada komoditas bernilai ekonomi tinggi. 7.2.8. Akses Lahan Sawah Terhadap Prasarana Distribusi Air Irigasi Ada dua parameter yang mencerminkan akses lahan sawah terhadap sumber air irigasi yaitu: 1. Jarak lahan terhadap pintu tertier. Secara empiris semakin jauh jarak antara persil lahan sawah terhadap pintu tertier maka semakin rendah akses lahan tersebut untuk memperoleh air irigasi. 2. Akses lahan saluran kuarter. Semakin mudah dijangkau dari saluran kuarter berarti semakin tinggi akses lahan tersebut untuk memperoleh air irigasi.
202 Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin rendah akses lahan sawah terhadap air irigasi maka peluang untuk berdiversifikasi cenderung lebih tinggi. Dalam konteks ini ada perbedaan antara divs_1 dengan divs_2. Semakin rendah akses lahan untuk memperoleh air irigasi dari saluran kuarter maka diversifikasinya cenderung mengarah pada komoditas usahatani yang tidak bernilai ekonomi tinggi (divs_1). Hasil estimasi ini logis dan sesuai fnomena empiris. Tanaman palawija dan hortikultur membutuhkan air lebih sedikit dan umumnya justru menghindari terjadinya genangan. Oleh karena sebagian besar saluran irigasi belum disemen (lining) dan kurang terawat maka rembesan dari saluran tertier maupun kuarter cukup banyak; dan sudah barang tentu semakin dekat lokasi lahan dengan saluran tersebut semakin banyak air yang diperoleh dari rembesan tersebut. Rata-rata jarak persil lahan petani contoh dari pintu tertier adalah sekitar 127 meter, berkisar antara 2 m – 635 m. Jika jarak persil sawah garapan ke pintu tertier dibagi atas tiga kategori: dekat, sedang, dan jauh (dasar pengelompokan adalah rata-rata dan simpangan baku), ternyata lebih dari 80 persen persil lahan petani yang berdiversifikasi termasuk kategori sedang – jauh. Lebih dari separuh (55 persen) petani menyatakan bahwa air irigasi dari saluran kuarter dengan mudah dapat menjangkau persil-persil sawah garapannya. Hanya sekitar 14 persen yang menyatakan sawah garapannya sulit dijangkau air dari saluran kuarter. Proporsi persil-persil sawah yang mudah dijangkau air irigasi dari saluran kuarter untuk petani yang memilih pola tanam monoultur padi, divs_1, dan divs_2 masing-masing adalah 83, 33, dan 60 persen (Tabel 54). Tabel 54. Sebaran petani menurut pilihan pola tanam dan akses lahan garapannya terhadap air irigasi dari saluran kuarter, 1999/2000 (%) Akses lahan terhadap air irigasi dari saluran kuarter Rendah Sedang Tinggi Total
Pilihan pola tanam monokultur divs_1 divs_2 5.9 19.4 13.9 10.9 48.2 26.0 83.2 32.5 60.1 100 100 100
Pearson 2 (4) = 79.9519 Pr = 0.000
Total 14.1 31.2 54.7 100
203 7.2.9. Karakteristik Petani dan Kapabilitas Managerial Dalam Usahatani Karakteristik petani yang dimasukkan dalam model adalah umur petani dan tingkat pendidikan formal petani. Hasil estimasi (Tabel 43) menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap peluang untuk berdiversifikasi. Kapabilitas managerial (diproksi dari tingkat efisiensi teknis; hasil estimasi tertera pada Lampiran 10) dalam usahatani padi tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan petani untuk berdiversifikasi. Ada dua hal yang diduga merupakan latar belakang fenomena ini. Pertama, akumulasi pengetahuan dan keterampilan yang kondusif untuk memperbaiki efisiensi teknis usahatani padi tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan pilihan pola tanam yang diterapkan. Kedua, kapabilitas petani dalam usahatani padi relatif homogen. Hasil estimasi menunjukkan bahwa rata-rata tingkat efisiensi teknis dalam usahatani padi adalah 0.815 dengan koefisien variasi 0.312; dimana sebarannya terkonsentrasi di sekitar 0.7 – 0.9 (Gambar 26).
33.2
ju mla h peta ni (% )
35 30
25.4
27.1
25 20 15
9.9
10 5
3.8 0.6
0 < 0.50 0.50-0.59 0.60-0.69 0.70-0.79 0.80-0.89 >= 0.90 tingkat efisiensi teknis
Gambar 26. Sebaran petani menurut tingkat efisiensi teknis dalam usahatani padi
7.2.10. Luas dan Status Garapan Berbeda dengan konfigurasi garapan (terpencar versus terkonsolidasi) yang berpengaruh terhadap peluang berdiversifikasi, luas dan status garapan tidak berpengaruh nyata. Dengan demikian prospek pengembangan diversifikasi di kalangan petani dengan kecil tidak berbeda dengan petani luas. Demikianpun
204 dengan status garapan usahatani, sikap petani pemilik dengan petani penyewa dan atau penggarap dalam memilih pola tanam relatif sama. Mengingat peran strategis struktur penguasaan garapan, fenomena tersebut mempunyai implikasi yang penting terhadap prospek pengembangan diversifikasi. Secara teoritis, lemahnya pengaruh struktur penguasaan lahan terhadap peluang berdiversifiksi itu menguntungkan karena kendala pengembangan diversifikasi tidak bersifat struktural sehingga secara teknis lebih mudah dilakukan. 7.2.11. Probabilitas Petani Untuk Berdiversifikasi Sebaran petani menurut probabilitasnya dalam memilih pola tanam monokultur padi, divs_1, dan divs_2 dapat disimak dari Gambar 27. Rata-rata probabilitas untuk memilih monokultur, divs_1, dan divs_2 masing-masing adalah 0. 25, 0.41, dan 0.34. Ini dapat diinterpretasikan bahwa peluang untuk berdiversifikasi lebih dominan daripada untuk memilih monokultur padi.
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0 R at a -r a t a G al a t b a ku M in i mu m M ak s im u m
Mo n ok u l tu r
D i vs _ 1
D i v s_ 2
0 . 2 54 0 . 2 91 0 . 0 00 0 . 9 88
0. 4 0 8 0. 2 2 6 0. 0 0 0 0. 9 7 5
0. 3 3 8 0. 2 4 6 0. 0 0 3 1. 0 0 0
Gambar 27. Sebaran petani menurut probabilitasnya dalam memilih pola tanam Koefisien variasi (std dibagi rata-rata) untuk monokultur, divs_1, dan div_2 adalah 1.15, 0.55, dan 0.73. Dengan asumsi bahwa koefisien variasi mencerminkan kemantapan pilihan, maka dapat dinyatakan bahwa kecenderungan untuk berdiversifikasi bukan hanya lebih besar probabilitasnya tetapi juga lebih
205 stabil. Fenomena seperti ini juga dapat diinterpretasikan bahwa secara umum kecenderungan petani untuk berdiversifikasi merupakan keputusan yang mantap. Jika dikaji lebih lanjut tampak adanya kecenderungan yang berbeda antar Sub DAS. Probabilitas petani di Sub DAS Hulu, Sub DAS Tengah, dan Sub DAS Hilir untuk memilih pola tanam monokultur masing-masing adalah 0.09, 0.15, dan 0.51. Artinya, monokultur padi tidak populer di Sub DAS Hulu dan Sub DAS Tengah, tetapi sangat populer di Sub DAS Hilir (Tabel 55). Tabel 55. Probabilitas petani memilih pola tanam dalam usahatani di lahan sawah Wilayah Sub DAS Hulu
Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir
Pola tanam Monokultur Divs_1 Divs_2 Monokultur Divs_1 Divs_2 Monokultur Divs_1 Divs_2
Rata-rata Galat baku Minimum Maksimum 0.09 0.12 0.00 0.72 0.59 0.15 0.12 0.97 0.32 0.17 0.01 0.88 0.15 0.21 0.00 0.89 0.41 0.23 0.00 0.97 0.44 0.27 0.01 1.00 0.51 0.29 0.00 0.99 0.27 0.17 0.01 0.82 0.22 0.20 0.00 0.94
Dalam diversifikasi juga ada variasi antar Sub DAS. Di Sub DAS Hulu dan Sub DAS Hilir, peluang untuk memilih diversifikasi kategori divs_1 lebih besar daripada divs_2. Ini berbeda dengan fenomena di Sub DAS Tengah dimana peluang memilih divs_2 justru lebih besar daripada divs_1. Kesimpulan yang dapat ditarik dari analisis ini adalah bahwa dalam jangka pendek, pengembangan diversifikasi usahatani di Sub DAS Hulu dan Sub DAS Tengah mempunyai prospek yang lebih baik daripada di Sub DAS Hilir. Dalam konteks itu, pengembangan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi lebih baik diarahkan di Sub DAS Tengah daripada di Sub DAS lainnya karena mempunyai peluang keberhasilan yang lebih tinggi. 7.3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Partisipasi Petani Membayar Iuran Irigasi Sebagaimana dikemukakan pada Bab III (Metodologi), estimasi faktor-
faktor yang mempengaruhi partisipasi petani membayar iuran irigasi didekati
206 dengan model ordered logistic (ologit). Hasil estimasi menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh positif adalah diversifikasi usahatani, kontribusi usahatani padi dalam
pendapatan usahatani dari lahan sawah, kelas lahan,
intensitas tanam, dan kinerja Pengurus HIPPA. Faktor-faktor yang berpengaruh negatif adalah proporsi luas lahan garapan bukan milik, jarak lahan terhadap pintu tertier, dan pemilikan pompa irigasi. Fragmentasi lahan garapan, luas sawah garapan, karakteristik petani, pendapatan per kapita, kontribusi pendapatan non pertanian, proporsi luas lahan yang kekurangan air, dan intensitas kekeringan tidak berpengaruh nyata (Tabel 56). Tabel 56. Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani membayar iuran irigasi Variabel penjelas 1. Indeks diversitas (x1) 2. Jumlah persil sawah garapan (x2) 3. Total luas sawah garapan (x3) 4. Proporsi luas sawah garapan bukan milik (x4) 5. Umur Kepala Rumah Tangga (x5) 6. Tingkat pendidikan Kepala Rumah Tangga (x6) 7. Pendapatan per kapita (x7) 8. Kontribusi usahatani padi (x8) 9. Kontribusi pendapatan non pertanian (x9) 10. Jarak lokasi lahan ke pintu tertier (x10) 11. Aksessibilitas lahan terhadap saluran kuarter (x11) 12. Proporsi luas sawah garapan yang kekurangan air (x12) 13. Intensitas kekeringan (x13) 14. Nilai pajak lahan (x14) 15. Intensitas tanam (x15) 16. Pemilikan pompa irigasi (1=memiliki, 0=lainnya) (x16) 17. Kinerja Pengurus HIPPA (x17) /cut1 /cut2 /cut3 Ordered logistic regression
Koefisien Galat baku 1.558 *** 0.424 0.016 0.054 0.066 0.085 ** -0.729 0.306 -0.009 0.008 -0.049 0.031 -0.008 0.081 1.763 *** 0.445 0.333 0.309 ** -0.067 0.028 -0.479 0.386 -0.049 0.334 0.004 0.014 0.009 * 0.005 0.430 ** 0.198 * -0.471 0.269 *** 0.589 0.091 1.928 1.032 3.322 1.037 5.068 1.055
P>z 0.000 0.766 0.436 0.017 0.301 0.111 0.921 0.000 0.281 0.017 0.214 0.882 0.747 0.062 0.030 0.080 0.000
Number of obs =468 LR chi2(17) =119.62 Prob>chi2 =0.0000 Loglikelihood=-566.97574 Pseudo R2 =0.0954 ***), **), dan *) masing-masing menunjukkan taraf nyata pada (two-tail) 0.01, 0.05, dan 0.10.
207 Variabel x1 (indeks diversitas) adalah proksi dari diversifikasi, sedangkan x8 merupakan proksi dari peranan usahatani padi terhadap keseluruhan usahatani di lahan sawah. Kedua variabel ini berpengaruh positif dan sangat nyata terhadap peluang petani untuk berpartisipasi lebih baik dalam membayar iuran irigasi. Ini dapat diinterpretasikan bahwa pola tanam mempengaruhi kualitas partisipasi petani dalam iuran irigasi. Pola tanam yang paling kondusif adalah diversifikasi berbasis usahatani padi. Berdasarkan pertimbangan teknis (kesesuaian ekosistem) dan ekonomi (potensi keuntungan), bentuk konkritnya adalah pola tanam padipadi-palawija/sayuran atau padi-padi/palawija/sayuran-palawija/sayuran. 7.3.1. Indeks Diversitas Tanda positif koefisien indeks diversitas (x1) menunjukkan bahwa semakin beragam komoditas yang diusahakan petani maka semakin tinggi peluangnya untuk memilih tingkat partisipasi yang lebih baik dalam membayar iuran irigasi. Dengan kata lain diversifikasi usahatani kondusif terhadap peningkatan partisipasi. Konvergensi arah antara kecenderungan berdiversifikasi dengan peningkatan kualitas partisipasi dalam membayar iuran irigasi merupakan indikasi tiadanya trade-off antar keduanya, bahkan sinergis. Temuan ini mempunyai arti yang penting untuk menyusun strategi penerapan. Tabel 57 menyajikan deskripsi lebih lanjut tentang partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi. Sekitar 16 persen petani monokultur padi tidak membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA, dan sekitar 43 persen hanya membayar IPAIR. Rata-rata IPAIR adalah sekitar Rp 22 000/hektar/tahun, sedangkan Iuran HIPPA sekitar Rp. 35000/hektar/tahun. Tabel 57. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan pola tanam (%) Partisipasi dalam iuran irigasi Tidak berpartisipasi Hanya membayar IPAIR Hanya membayar Iuran HIPPA Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA Agregat Pearson 2 (3 ) = 51.3448 Pr = 0.000
Monokultur 15.97 42.86 13.45 27.73 100
Diversifikasi 13.75 14.90 40.40 30.95 100
Total 14.32 22.01 33.55 30.13 100
208 Kualitas partisipasi petani yang berdiversifikasi dalam membayar iuran irigasi pada umumnya lebih baik. Sekitar 31 % patuh membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA, dan sekitar 40 % patuh membayar Iuran HIPPA. Petani yang tidak berpartisipasi atau hanya membayar IPAIR masing-masing adalah 14 % dan 15 %. 7.3.2. Kontribusi Usahatani Padi Terhadap Total Pendapatan Usahatani di Lahan Sawah Pengaruh positif variabel x8 menunjukkan bahwa semakin tinggi peranan usahatani padi terhadap keseluruhan pendapatan usahatani lahan sawah maka peluang untuk membayar iuran irigasi secara penuh juga semakin besar. Ini disebabkan cukup banyak petani yang mempunyai persepsi bahwa iuran irigasi hanya relevan untuk usahatani padi. Persepsi ini mungkin kurang konsisten jika dikaitkan dengan kasus-kasus yang dialami petani yang harus mengeluarkan biaya untuk irigasi pompa cukup besar untuk usahatani hortikultura pada MT III. Untuk analisis lebih lanjut, misalkan kontribusi pendapatan usahatani padi terhadap total pendapatan usahatani di lahan sawah dibagi atas tiga kelompok: 1. Rendah, jika kontribusinya sepertiga ke bawah (<= 0.33) 2. Sedang, jika kontribusinya antara sepertiga sampai dua pertiga (0.34 – 0.66) 3. Tinggi, jika kontribusinya lebih dari dua pertiga (0.67 – 1) tampak bahwa pada kelompok (1), jumlah petani yang tidak membayar iuran irigasi adalah sekitar 21 %. Pada kelompok (2) sekitar 15 %, sedangkan pada kelompok (3) sekitar 12 %. Proporsi petani kelompok (1), (2), dan (3) yang patuh membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA masing-masing adalah sekitar 14, 28, dan 36 % (Tabel 58). Tabel 58. Sebaran petani menurut tingkat partisipasi membayar iuran irigasi dan kontribusi usahatani padi, 1999/2000 (%) Partisipasi dalam iuran irigasi Tidak berpartisipasi Hanya membayar IPAIR Hanya membayar Iuran HIPPA Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA Pearson 2 ( 6 ) 24.0944 Pr = 0.001
Kontribusi usahatani padi <= 0.33 0.34 – 0.66 0.67 – 1.00 21.3 15.1 11.8 18.1 22.1 23.3 46.8 34.9 28.8 13.8 27.9 36.1
209 7.3.3. Kualitas Lahan Sawah Garapan Kelas lahan diproksi dari pajak lahan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin tinggi kelas lahan maka semakin besar pula peluang untuk berpartisipasi lebih baik dalam membayar iuran irigasi. Lazimnya lahan sawah yang lokasinya lebih mudah dijangkau, lebih subur, dan ketersediaan air irigasinya cukup kelasnya lebih atas sehingga nilai pajak lahan tersebut juga lebih tinggi. Jika kelas lahan sawah dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan batasan: 1.
Rendah, jika pajak/ha <= (mean – std)
2.
Sedang, jika (mean – std) < pajak/ha < (mean + std)
3.
Tinggi, jika pajak/ha >= (mean + std)
ternyata proporsi petani yang tidak berpartisipasi membayar iuran irigasi pada kelompok petani yang menggarap lahan sawah kelas rendah, sedang, dan tinggi masing-masing adalah 27, 13, dan 6 %. Sebaliknya, proporsi petani yang patuh membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA (dengan urutan yang sama) adalah 18, 31, dan 43 % (Tabel 59). Tabel 59. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan kelas lahan garapannya, 1999/2000 (%) Partisipasi dalam iuran irigasi Tidak berpartisipasi Hanya membayar IPAIR Hanya membayar Iuran HIPPA Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA
Rendah 26.5 27.7 27.7 18.1
Kelas lahan Sedang 12.7 20.8 35.5 31.0
Tinggi 5.7 20.8 30.2 43.4
Pearson 2 ( 6 ) 22.1267 Pr = 0.001
7.3.4. Intensitas Tanam Intensitas tanam merupakan faktor positif terhadap partisipasi membayar iuran irigasi. Artinya, semakin tinggi intensitas tanam yang dapat dilakukan di lahan sawah garapan maka peluang untuk berpartisipasi lebih baik dalam membayar iuran irigasi juga semakin besar.
210 Secara potensial, intensitas tanam berkorelasi positif dengan ketersediaan air irigasi. Secara empiris, peningkatan intensitas tanam tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan air irigasi tetapi juga pilihan komoditas yang diusahakan. Rata-rata intensitas tanam (cropping index – CI) di lokasi penalitian adalah sekitar 2.6. Jika petani dikelompokkan atas dua kategori: (1) CI < = 2, dan (2) CI > 2, tampak bahwa pada kelompok (1) proporsi petani yang tidak membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA adalah sekitar 16 %, lebih dari separuh (55 %) hanya membayar IPAIR, dan hanya 20 % yang patuh membayar IPAIR dan Iuran HIPPA. Pada kelompok petani dengan CI > 2, proporsi petani yang tidak berpartisipasi dalam iuran irigasi adalah 14 %. Pada kelompok ini, sebagian besar (41 %) membayar iuran HIPPA, dan sekitar 33 % patuh membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA (Tabel 60). Tabel 60. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan intensitas tanam yang diterapkan, 1999/2000 (%) Partisipasi dalam iuran irigasi Tidak berpartisipasi Hanya membayar IPAIR Hanya membayar Iuran HIPPA Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA
Intensitas tanam < = 2.0 > 2.0 15.6 13.9 55.1 12.0 9.2 41.0 20.2 33.2
Pearson 2 ( 3 ) 100.4569 Pr = 0.000
7.3.5. Kinerja Pengurus HIPPA Kinerja Pengurus HIPPA dikelompokkan menjadi 5: sangat buruk, buruk, sedang, baik, dan sangat baik. Indikator yang digunakan sebagai bahan evaluasi adalah: 1. Kinerja pengurus HIPPA dalam koordinasinya dengan organisasi HIPPA yang lain maupun dengan petugas pengairan dalam operasi dan pelayanan irigasi 2. Kinerja pengurus HIPPA dalam pembagian air irigasi di petak tertier, 3. Kinerja pengurus dalam pengelolaan keuangan HIPPA Butir (1) didasarkan atas hasil wawancara dengan pengurus HIPPA (ada 12 HIPPA contoh) dan klarifikasinya dilakukan dengan mewawancarai Petugas
211 Pengairan di lapangan dan Seksi Pengairan setempat. Selain itu dilakukan pula wawancara dengan pengurus HIPPA dan observasi langsung ke lapangan untuk mengetahui kondisi prasarana irigasi yang berada dalam wilayah kerja HIPPA contoh. Burit (2) dan butir (3) didasarkan atas persepsi petani responden. Secara umum kinerja Pengurus HIPPA adalah cukup baik. Ini tampak dari proporsi petani yang menyatakan kinerja Pengurus HIPPA sangat buruk hanya sekitar 8 %, dan yang menyatakan buruk 17 %. Di sisi lain yang menyatakan kinerjanya sedang, baik, dan sangat baik masing-masing adalah 25, 33, dan 16 %. Sebagaimana terlihat pada hasil estimasi fungsi ologit (lihat Tabel 54), kinerja pengurus HIPPA merupakan faktor positif terhadap partisipasi petani dalam iuran irigasi. Semakin baik kinerja pengurus HIPPA (menurut persepsi petani), maka peluang berpartisipasi secara lebih baik juga lebih besar. Secara deskriptif, fenomena tersebut dapat disimak dari sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan persepsinya
terhadap kinerja pengurus
HIPPA sebagaimana tertera dalam Tabel 61. Pada kelompok petani yang mempunyai persepsi bahwa kinerja Pengurus HIPPA sangat buruk, ada 23 persen petani tidak berpartisipasi dalam membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA, 55 persen hanya membayar IPAIR, dan sisanya (22 persen) hanya membayar Iuran HIPPA. Ini sangat kontras dengan para petani yang berada di wilayah pengelolaan HIPPA yang kinerja pengurusnya mereka persepsikan sangat baik. Pada kelompok ini, lebih dari 75 persen petani patuh membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA, dan yang tidak berpartisipasi sangat kecil (dibawah 5 persen). Tabel 61. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan persepsinya terhadap pengurus HIPPA (%) Partisipasi dalam iuran irigasi
Kinerja Pengurus HIPPA sangat buruk buruk sedang baik sangat baik
Tidak berpartisipasi
23.1
18.9
15.0
12.9
2.5
Hanya membayar IPAIR
55.1
31.8
27.6
21.3
3.8
Hanya membayar Iuran HIPPA
21.8
35.4
39.3
35.5
15.2
0.0
13.9
18.1
30.3
78.5
Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA Pearson (12 ) 124.8425 Pr = 0.000 2
212 7.3.6. Status Garapan Partisipasi petani dalam iuran irigasi dipengaruhi oleh status lahan garapannya. Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin tinggi proporsi lahan garapan petani yang bukan milik sendiri, semakin rendah peluang petani untuk berpartisipasi lebih baik dalam membayar iuran irigasi. Penyebab terbentuknya fenomena ini antara lain adalah: 1. Meskipun yang berkewajiban membayar IPAIR maupun Iuran HIPPA adalah penggarap, tetapi implementasinya tidak selalu demikian. Pada status garapan bagi hasil (penyakapan), sebagian besar penggarap adalah petani miskin sehingga mereka bukan merupakan prioritas sasaran pembayar IPAIR maupun Iuran HIPPA. 2. Sebagian petani mempunyai persepsi bahwa yang berkewajiban membayar iuran irigasi adalah pemilik lahan. 3. Persewaan maupun bagi hasil dilakukan pada musim kemarau dan komoditas yang ditanam adalah palawija dan atau sayuran dan secara historis IPAIR hanya diberlakukan untuk komoditas padi. Di areal pesawahan irigasi teknis, petani yang seluruh garapan usahataninya berstatus milik adalah sekitar 60 %. Dari seluruh populasi ternyata sekitar 12 % adalah penggarap murni, dalam arti seluruh garapannya milik orang lain, dan sekitar 28 % adalah petani yang sebagian garapan usahataninya berasal dari menyewa dan atau menyakap dari orang lain. Pada kelompok petani yang seluruh garapannya adalah berstatus milik, proporsi petani yang tidak berpartisipasi dalam iuran irigasi adalah 10 %, sedangkan yang patuh membayar semua kewajiban dalam pembayaran iuran irigasi sekitar 34 %. Ini sangat berbeda dengan petani yang seluruh garapan usahataninya adalah milik orang lain. Pada kelompok ini, yang tidak berpartisipasi adalah sekitar 23 %, sedangkan yang berpartisipasi penuh hanya 15 %. Partisipasi petani yang sebagian lahan garapannya berstatus non milik berada diantara kedua ekstrim tersebut (Tabel 62).
213 Tabel 62. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam iuran irigasi dan status garapan usahatani, 1999/2000
Partisipasi dalam iuran irigasi
(%) Status lahan usahatani yang digarap 100% milik Campuran 100% non milik
Tidak berpartisipasi Hanya membayar IPAIR Hanya membayar Iuran HIPPA Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA Pearson 2 (6 ) 24.5070 Pr = 0.000
9.9 24.1 31.6 34.4
20.3 21.8 30.8 27.1
22.6 11.3 50.9 15.1
Jadi, pada wilayah pesawahan irigasi yang pemilikan tanahnya timpang sehingga sebagian besar petani hanyalah penggarap maka secara umum partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi adalah rendah. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa secara umum prospek penerapan iuran irigasi akan lebih baik pada wilayah yang distribusi pemilikan tanahnya lebih merata sehingga sebagian besar petani memiliki lahan garapan usahatani sendiri.
7.3.7. Jarak Persil Sawah Garapan Dari Pintu Tertier Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin jauh persil lahan sawah garapan dari pintu tertier semakin rendah partisipasi petani yang menggarap lahan tersebut untuk membayar iuran irigasi. Ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada umumnya persil-persil sawah garapan yang berdekatan dengan pintu tertier memiliki akses terhadap sumber air irigasi yang lebih baik. Posisinya yang berada "di depan" menyebabkan persil-persil sawah tersebut merupakan sasaran utama evaluasi kinerja irigasi secara visual, dan karenanya memperoleh perhatian yang lebih tinggi dari aparat pengairan maupun pengurus HIPPA. Dengan kata lain, secara umum ketersediaan air irigasi pada persil-persil lahan tersebut lebih baik dari pada yang letaknya lebih jauh dari pintu tertier. Kondisi seperti ini mendorong petani untuk berpartisipasi lebih baik dalam membayar iuran irigasi. Sebaliknya, lahan-lahan sawah garapan yang lokasinya jauh dari pintu-pintu tertier lebih besar peluangnya untuk terlantar. Akibatnya, petani yang menguasai lahan sawah garapan yang lokasinya seperti itu juga cenderung lebih rendah partisipasinya untuk membayar iuran irigasi.
214 7.3.8. Pemilikan Pompa Irigasi Partisipasi petani yang memiliki pompa irigasi dalam membayar iuran irigasi cenderung lebih rendah daripada petani yang tidak memiliki pompa irigasi. Ini logis mengingat bahwa salah satu penyebab utama petani memiliki pompa irigasi adalah karena lahan garapan usahataninya sering mengalami kekeringan. Dalam praktek, persil-persil garapan seperti itu bukan merupakan prioritas sasaran IPAIR maupun Iuran HIPPA. Di sisi lain, dengan memiliki pompa irigasi maka ketergantungan petani yang bersangkutan terhadap irigasi permukaan juga semakin rendah sehingga merasa tidak relevan untuk diwajibkan membayar iuran irigasi. Gambaran tentang partisipasi petani pemilik pompa irigasi dan yang tidak memiliki pompa irigasi dalam membayar iuran irigasi dapat dilihat dari Tabel 63. Tabel 63. Sebaran petani menurut partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi pemilikan pompa irigasi (%) Partisipasi dalam iuran irigasi Tidak berpartisipasi Hanya membayar IPAIR Hanya membayar Iuran HIPPA Membayar IPAIR dan Iuran HIPPA
Pemilikan pompa irigasi Memiliki (%) Tidak memiliki (%) 14.96 11.49 20.21 29.89 36.22 21.84 28.61 36.78
Pada tahun 1999/2000, sekitar 19% petani memiliki pompa irigasi. Meskipun sebagian besar petani membeli pompa irigasi untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi cukup banyak pula yang menyewakan pompa irigasinya kepada petani lain. Bahkan irigasi pompa merupakan salah satu aktivitas bisnis yang dijalankan oleh beberapa penduduk di pedesaan di wilayah ini. Pada tahun 1999/2000 harga sewa pompa irigasi untuk ukuran discharge 1.5 inch adalah sekitar Rp. 3 500 – Rp. 4 000 per jam pemompaan. 7.3.9. Probabilitas Petani Berpartisipasi Dalam Iuran Irigasi Di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, prospek peningkatan kualitas partisipasi petani dalam membayar iuran irigasi cukup baik. Hal ini didasarkan pada hasil estimasi yang menunjukkan bahwa pada kondisi aktual
215 probabilitas pilihan yang tertingi adalah untuk kategori (3) dan (4). Rata-rata probabilitas untuk tidak berpartisipasi (Pr_1), atau berpartisipasi parsial dengan hanya membayar IPAIR, masing-masing sekitar 14 % dan 21 %. Peluang terbesar adalah berpartisipasi parsial dengan membayar Iuran HIPPA (Pr_3) yakni 34 %, sedangkan peluang untuk berpartisipasi penuh dengan membayar kedua jenis iuran tersebut adalah sekitar 30 %. Hubungan antara kecenderungan untuk tidak berpartisipasi (Pr_1) dengan kecenderungan untuk memilih tingkat partisipasi yang lebih baik (Pr_2, Pr_3, dan Pr_4) dapat disimak pada Gambar 28.
0.9 Pr_(1) Pr_(2) Pr_(3) Pr_(4)
0.8 0.7 0.6
Mean 0.141 0.211 0.344 0.304
StD 0.113 0.092 0.067 0.185
Min 0.009 0.027 0.121 0.030
Max 0.581 0.335 0.411 0.823
Pr_4
0.5 Pr_3
0.4
Pr_2 0.3 0.2 0.1 0.0 0.0
Gambar 28.
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Pr_1 0.7
Hubungan antara Pr_1 dengan Pr_2, Pr_3, dan Pr_4 dalam partisipasi membayar iuran irigasi
7.4. Identifikasi Faktor-faktor Strategis Hasil estimasi menunjukkan bahwa dari 11 variabel yang dihipotesakan berpengaruh ternyata ada 8 variabel yang berpengaruh positif, satu variabel berpengaruh negatif, dan dua variabel tidak berpengaruh nyata. Faktor-faktor positif adalah luas sawah garapan, jumlah tenaga kerja pertanian, kemampuan permodalan, peranan pendapatan dari usahatani di lahan sawah terhadap total pendapatan rumah tangga, intensitas tanam, tingkat kelangkaan air irigasi, kelas lahan sawah, dan kinerja pengurus HIPPA. Faktor yang berpengaruh negatif adalah fragmentasi lahan (Tabel 64).
216 Tabel 64. Parameter dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk berdiversifikasi dan berpartisipasi lebih baik dalam iuran irigasi Variabel penjelas
Koefisien -0.269 ***
1. Fragmentasi lahan sawah 2. Luas sawah garapan
0.195
3. Proporsi garapan bukan milik
**
-0.232
Galat baku
P>z
0.064
0.000
0.094
0.037
0.336
0.489
4. Jumlah tenaga kerja pertanian
0.152 *
0.080
0.058
5. Kemampuan permodalan
0.230 **
0.105
0.029
6. Peranan sawah dalam ekonomi rumah tangga
0.654 **
0.319
0.041
7. Intensitas tanam
1.387 ***
8. Kelangkaan air irigasi 9. Kelas lahan sawah
0.217
0.000
0.149
**
0.071
0.037
0.010
**
0.005
0.043
10. Peubah boneka pemilikan pompa irigasi
0.132
0.252
0.600
11. Kinerja Pengurus HIPPA
0.409 ***
0.084
0.000
/cut1
3.662
0.760
/cut2
4.591
0.776
5.791
0.792
/cut3 Ordered logistic regression
Log likelihood = -477.14788
Number of obs LR chi2(11) Prob > chi2 Pseudo R2
= 468 = 155.76 = 0.0000 = 0.1403
Probabilitas dugaan untuk P_1, P_2, P_3, dan P_4 untuk setiap observasi adalah Pr_(1), Pr_(2), Pr_(3) dan Pr_(4). Rata-rata probabilitas masing-masing pilihan tersebut serta ilustrasi grafis yang menunjukkan hubungan antara probabilitas memilih P_1, P_2, P_3, dan P_4 disajikan pada Gambar 29. Tampak bahwa probabilitas untuk pilihan P_4 adalah dominan, yakni sekitar 0.52. Ratarata probabilitas untuk memilih P_2 dan P_3 masing-masing adalah 0.12 dan 0.21, sedangkan untuk P_1 adalah 0.15. Pilihan ekstrim adalah Pr_(1) yakni alternatif yang jenjangnya terendah dan Pr_(4) yaitu alternatif yang jenjangnya tertinggi. Dalam model ologit hubungan antara probabilitas memilih alternatif terbaik (jenjang tertinggi) dengan probabilitas memilih alternatif terburuk (jenjang terendah) merupakan suatu kurva cembung ke
titik 0. Secara keseluruhan jumlah Pr_(2), Pr_(3), dan Pr_(4)
semakin kecil seiring dengan meningkatnya Pr_(1) karena total probabilitas = 1.
217 Sumbu x (absis) adalah probabilitas pilihan P_1 yaitu Pr_(1), sedangkan ordinat adalah probabilitas alternatifnya (P_2, P_3, dan P_4) yakni Pr_(2), Pr_(3), dan Pr_(4). Titik A adalah perpotongan antara Pr_(4) dengan Pr_(3). Pada titik ini Pr_(1) = 0.230, Pr_(2) = 201, Pr_(3) = Pr_(4) = 0.285. Titik B adalah perpotongan antara Pr_(2) dengan Pr_(3). Pada titik ini Pr_(1) = 0.380, Pr_(2) = Pr_(3) = 0.229, dan Pr_(4) = 0.162.
1.0 Pr_(1) Pr_(2) Pr_(3) Pr_(4)
0.8
Mean
StD
Min
Max
0.15 0.12 0.21 0.52
0.17 0.06 0.07 0.24
0.00 0.00 0.00 0.02
0.87 0.23 0.29 1.00
0.6
Pr_(4) 0.4 Pr_(3) Pr_(2)
0.2
Pr_(1)
0.0 0.0
Gambar 29.
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Hubungan antara Pr_(1), Pr_(2), Pr_3) dan Pr_(4) dalam penerapan pola tanam diversifikasi dan membayar iuran irigasi
Di sebelah kiri titik A (Pr_(1) < 0.230) maka pilihan di luar P_1 yang probabilitasnya terbesar adalah P_4. Antara titik A dan B (0.230 < Pr_(1) < 0.380) pilihan diluar P_1 yang probabilitasnya terbesar adalah P_3. Artinya, kecenderungan untuk memilih P_3 > P_4. Di sebelah kanan titik B dimana Pr_(1) > 0.380 maka pilihan di luar P_1 yang probabilitasnya terbesar adalah P_2. Di daerah ini Pr_(2) > Pr_(3) > Pr_(4). Dengan kata lain, grafik tersebut dapat dimanfaatkan untuk memprediksi ke arah mana kecenderungan pilihan di luar akan terjadi jika probabilitas pilihan untuk alternatif yang jenjangnya terendah berada di luar titik-titik ekstrim (per definisi, titik ekstrim untuk P_1 adalah 0 dan 1. Pada Pr_(1) = 0 maka secara otomatis probabilitas P_4 yakni Pr_(4) = 1, sedangkan pada Pr_1=1, maka secara otomatis probabilitas alternatif lainnya = 0).
218 Hasil estimasi (Tabel 64) dapat digunakan untuk mengetahui prospek pengembangan diversifikasi dan penerapan iuran irigasi berbasis komoditas. Berdasarkan hasil analisis tersebut, peluang keberhasilan akan lebih tinggi jika diterapkan di suatu wilayah irigasi dengan karakteristik: Lahan garapan lebih terkonsolodasi (tidak terfragmentasi), Rata-rata luas sawah garapan tidak terlalu kecil, Jumlah tenaga kerja untuk usahatani di lahan sawah cukup, Kemampuan permodalan memadai, Peranan usahatani di lahan sawah dalam perekonomian dominan, Intensitas tanam yang telah diterapkan cukup tinggi, Air irigasi yang tersedia relatif langka, Aksesibilitas hamparan cukup baik, Kinerja pengurus organisasi P3A (HIPPA) cukup baik. Kesimpulan tersebut sangat berguna untuk menentukan lokasi-lokasi percontohan dalam tahap introduksi sistem iuran irigasi berbasis komoditas. Dalam tahap perluasan dan pengembangan, hasil identifikasi ini berguna sebagai salah satu masukan dalam perumusan kebijaksanaan. Beberapa butir pokok kebijaksanaan yang kondusif untuk penerapan iuran berbasis komoditas adalah: 1.
Peningkatan akses petani terhadap modal usahatani. Ini dapat ditempuh dengan mempermudah petani memperoleh kredit dari lembaga perbankan.
2.
Perbaikan akses lahan terhadap prasarana perekonomian, misalnya melalui pengembangan jalan pedesaan dan jalan usahatani.
3.
Penyuluhan untuk meningkatkan intensitas tanam.
4.
Peningkatan kinerja organisasi P3A. Jelas bahwa kondisi yang sesuai untuk mendorong proses konsolidasi
pengelolaan usahatani dan peningkatan rata-rata luas garapan sangat kondusif. Ini dapat dikondisikan melalui pendekatan langsung maupun tidak langsung. Pendekatan langsung adalah melalui kebijakan di bidang keagrariaan – meskipun hal ini sifatnya adalah jangka panjang. Pendekatan tidak langsung dapat ditempuh melalui perluasan kesempatan kerja luar pertanian di pedesaan secara nyata.
VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN 8.1. Kesimpulan Iuran irigasi berbasis komoditas dapat dirumuskan dengan memanfaatkan harga bayangan air irigasi. Dalam penelitian ini, metode yang diterapkan untuk valuasi air irigasi adalah salah satu varian dari pendekatan Residual Imputation Approach yaitu metode perubahan pendapatan bersih dengan pemrograman linier. Penerapan iuran irigasi berbasis komoditas efektif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi jika instrumen ini efektif untuk mendorong diversifikasi usahatani ke arah komoditas pertanian yang lebih hemat air. Prospek penerapannya ditentukan oleh faktor-faktor yang secara simultan kondusif untuk meningkatkan partisipasi petani dalam diversifikasi dan partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi. Beberapa kesimpulan pokok hasil penelitian adalah: 1.
Secara umum pola tanam pada solusi optimal lebih berdiversifikasi ke arah komoditas palawija dan atau hortikultur. Proporsi luas tanam padi pada Musim Tanam (MT) I, MT II, dan MT III masing-masing adalah 83.4, 61.1, dan 3.8 % dari total luas areal. Keuntungan tunai usahatani pada solusi optimal lebih tinggi sekitar 9.6 % dan kontribusi keuntungan yang diperoleh dari usahatani padi
masih tetap yang tertinggi meskipun dominasinya
menurun. Keuntungan tertinggi diperoleh dari usahatani pada MT II. 2.
Harga bayangan air irigasi dipengaruhi oleh sebaran temporal dan sebaran spatial ketersediaan maupun kebutuhan air irigasi. Sebaran temporal ketersediaan air irigasi dipengaruhi oleh curah hujan, sedangkan kebutuhan tanaman terhadap air irigasi selain dipengaruhi oleh curah hujan juga ditentukan oleh jenis tanaman, evapotranspirasi, dan teknik pemberian air ke tanaman. Oleh karena itu, harga bayangan air irigasi pada Bulan Desember sampai dengan Mei adalah nol, sedangkan pada Bulan Juni sampai dengan November positip. Harga bayangan air irigasi yang tertinggi terjadi pada Bulan September yakni sekitar Rp. 58/m3. Dalam konteks spatial, harga bayangan air irigasi yang terendah adalah di Sub DAS Hulu, sedangkan yang tertinggi adalah di Sub DAS Hilir.
220 3.
Elastisitas permintaan normatif air irigasi tidak tetap sehingga secara umum fungsinya tidak linier. Pada saat pasokan air irigasi langka sehingga harga air irigasi lebih dari Rp. 84/m3 permintaannya adalah elastis. Selanjutnya permintaan tersebut menjadi tidak elastis apabila harga air irigasi berada pada selang Rp. 11/m3 – Rp. 84/m3, dan kembali elastis pada tingkat harga di bawah Rp. 11/m3. Secara umum fungsi permintaan normatif air irigasi pada kisaran pasokan aktual adalah tidak elastis.
4.
Potensi kerugian akibat luas tanam padi yang tidak optimal tergantung pada perbedaan relatif terhadap kondisi optimal. Jika perbedaannya relatif kecil, potensi kerugian akibat kelebihan luas tanam padi adalah lebih kecil daripada potensi kerugian yang timbul akibat luas tanam padi yang lebih rendah dari kondisi optimal. Semakin tinggi perbedaan relatif tersebut, potensi kerugian akibat kelebihan luas tanam padi cenderung lebih besar daripada potensi kerugian yang terjadi akibat luas tanam lebih rendah dari pola optimal.
5.
Elastisitas penawaran normatif padi adalah tidak tetap sehingga kurva penawarannya tidak linier. Pada skenario harga turun, fungsi penawarannya elastis; sedangkan pada skenario harga naik maka penawarannya tidak elastis. Terdapat dua faktor yang merupakan penyebab utamanya yaitu: (1) terjadinya perubahan keuntungan komparatif antara usahatani padi terhadap komoditas lain akibat perubahan harga padi, dan (2) perbandingan relatif kebutuhan sumberdaya antara usahatani padi dengan komoditas pertanian lainnya. Dengan demikian efektivitas kebijakan harga gabah yang ditujukan untuk mendorong peningkatan produksi padi ditentukan oleh: (1) rata-rata harga gabah yang diterima petani sebelum kebijakan harga ditetapkan, (2) persentase kenaikan harga di tingkat petani akibat kebijakan tersebut, dan (3) harga-harga komoditas pertanian tanaman pangan lain yang merupakan pesaing padi dalam penggunaan sumberdaya di lahan pesawahan. Secara umum dapat dirumuskan bahwa
untuk mempertahankan pertumbuhan
produksi padi melalui instrumen kebijakan harga gabah, bukan hanya besaran kenaikannya yang perlu diperhatikan tetapi juga perbandingannya dengan komoditas lain serta pengamanannya agar tingkat harga riil yang diterima petani terpelihara.
221 6.
Iuran irigasi berbasis komoditas terdiri atas komponen pokok dan komponen penunjang. Nilai dari komponen pokok bervariasi, tergantung pada perkiraan kebutuhan air irigasi untuk pengusahaan komoditas yang bersangkutan dan harga bayangan air irigasi pada waktu tersebut. Oleh karena itu, besarannya ditentukan oleh jenis komoditas, periode pengusahaan, dan sebaran temporal harga bayangan air irigasi. Nilai per unit luas garapan yang merupakan komponen penunjang ditentukan berdasarkan kesepakatan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Meminimalkan nilai komponen penunjang merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan efektivitas iuran irigasi berbasis komoditas sebagai instrumen peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi.
7.
Dalam sistem iuran irigasi berbasis komoditas, jika rata-rata biaya irigasi untuk usahatani padi pada MT I dijadikan basis pembandingan dan diberi indeks 1, maka indeks biaya irigasi untuk usahatani padi pada MT II dan MT III masing-masing adalah sekitar 2 dan 10. Indeks biaya irigasi untuk usahatani palawija atau hortikultur yang periode pengusahaan untuk satu siklus produksi sekitar 4 bulan adalah sekitar 0.3, 0.6, dan 5.0 masingmasing untuk usahatani pada MT I, MT II, dan MT III. Dengan urutan musim tanam yang sama, indeks biaya irigasi untuk usahatani palawija atau hortikultur yang satu siklus usahatani membutuhkan waktu sekitar 3 bulan adalah sekitar 0.3, 0.3, dan 4.5. Pada usahatani tebu oleh karena periode pengusahaannya satu tahun maka indeks biaya irigasinya adalah sekitar 6.3.
8.
Secara umum, nilai iuran irigasi berbasis komoditas lebih tinggi daripada biaya irigasi yang kini berlaku. Perbedaannya dapat diperkecil jika proporsi luas tanam padi pada MT II dikurangi dan pada MT III komoditas yang diusahakan bukan padi. Pola tanam yang memiliki kelayakan teknis dan finansial cukup – tinggi adalah pola padi–padi–palawija/hortikultur dengan siklus produksi sekitar 3 bulan atau pola padi–palawija/hortikultur dengan siklus produksi sekitar 4 bulan–palawija/ hortikultur dengan siklus produksi sekitar 3 bulan.
222 9.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas probabilitas petani untuk memilih pola tanam monokultur padi relatif rendah yaitu sekitar 0.25. Probabilitas untuk berdiversifikasi dengan mengusahakan komoditas pertanian yang tidak bernilai ekonomi tinggi adalah sekitar 0.41, sedangkan untuk berdiversifikasi pada komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi adalah sekitar 0.34. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap probabilitas berdiversifikasi adalah jumlah anggota rumah tangga yang bekerja di usahatani, kemampuan permodalan, kontribusi usahatani di lahan sawah terhadap ekonomi rumah tangga, tingkat kelangkaan air irigasi yang terjadi di lahan garapan, dan kepemilikan pompa irigasi. Faktor yang tidak kondusif adalah fragmentasi lahan garapan.
10. Partisipasi petani dalam pembayaran iuran irigasi cukup baik. Probabilitas tidak berpartisipasi hanya sekitar 0.14. Di sisi lain, probabilitas untuk berpartisipasi dengan kualitas partisipasi rendah, sedang, dan tinggi masingmasing adalah sekitar 0.21, 0.35, dan 0.30. 11. Faktor-faktor yang kondusif untuk mendorong petani meningkatkan kualitas partisipasinya dalam pembayaran iuran irigasi adalah penerapan pola tanam diversifikasi, kualitas lahan sawah garapan yang lebih baik, intensitas tanam, kontribusi usahatani padi dalam ekonomi rumah tangga, dan kinerja pengurus asosiasi petani pemakai air irigasi yang lebih baik. Faktor-faktor yang tidak kondusif adalah proporsi lahan sawah garapan bukan milik, jarak lahan garapan terhadap prasarana distribusi air irigasi, dan kepemilikan pompa irigasi. 12. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperkirakan bahwa prospek penerapan iuran irigasi berbasis komoditas di suatu wilayah irigasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang dapat dikondisikan. Peluang keberhasilannya akan lebih tinggi jika diterapkan di wilayah irigasi dengan karakteristik: lahan garapan usahatani lebih terkonsolidasi, rata-rata luas garapan tidak terlalu kecil, tenaga kerja pertanian cukup tersedia, kemampuan permodalan petani memadai, peranan usahatani dalam ekonomi rumah tangga petani cukup penting, dan kinerja pengurus asosiasi petani pemakai air irigasi cukup baik.
223 8.2. Implikasi Kebijakan Iuran irigasi berbasis komoditas merupakan salah satu instrumen yang dikembangkan dari pendekatan permintaan. Instrumen ini kondusif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi dan secara simultan kondusif pula untuk meningkatkan kapabilitas petani membiayai operasi dan pemeliharaan irigasi. Dalam strategi implementasi, mengingat bahwa sistem iuran berbasis komoditas merupakan hal baru, disarankan agar penerapannya dilakukan secara bertahap. Untuk itu pada tahap awal perlu ditempuh adalah kaji tindak penerapan sistem ini. Tahap berikutnya, dengan berbekal pelajaran yang diperoleh dari kaji tindak itu dapat dilakukan penerapan di beberapa lokasi sebagai proyek rintisan. Selanjutnya, dengan memanfaatkan secara maksimal pelajaran yang diperoleh dari kedua tahapan tersebut dapat dilakukan perluasan dan pengembangan. Implementasi iuran irigasi berbasis komoditas sejalan dengan sejumlah agenda kebijakan di bidang pengembangan diversifikasi usahatani. Jadi, yang diperlukan adalah penyempurnaan sejumlah agenda kebijakan tersebut, terutama yang terkait dengan: (1) peningkatan akses petani terhadap lembaga perkreditan, (2) kebijakan yang kondusif untuk memperkecil risiko usahatani komoditas palawija/sayuran bernilai ekonomi tinggi, dan (3) kebijakan yang efektif untuk mendorong konsolidasi pengelolaan usahatani. Khusus di bidang irigasi, salah satu agenda kebijakan yang sifatnya dapat dipandang baru adalah "Pengembangan Sistem Irigasi Produktif" yang intinya adalah mengembangkan pola manajemen irigasi yang lebih akomodatif terhadap pola usahatani yang lebih berdiversifikasi. Implementasi iuran irigasi berbasis komoditas berimplikasi pada pola pengusahaan komoditas dan pendapatan petani. Manifestasinya, proporsi luas tanam padi menurun, tetapi di sisi lain pendapatan petani meningkat. Dalam pemecahan masalah yang dilematis tersebut, yang seharusnya diprioritaskan adalah peningkatan pendapatan petani. Dengan demikian dalam rangka mempertahankan swasembada beras, kebijakan pemerintah harus diarahkan pada pengembangan lahan sawah baru dan perbaikan produktivitas usahatani padi. Pada saat yang sama, kebijakan pemerintah untuk mendorong diversifikasi konsumsi pangan harus diimplementasikan secara sistematid dan konsisten.
224 8.3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan Dalam penelitian ini dilakukan sejumlah penyederhanaan. Pertama, ruang lingkup penelitian dibatasi pada air irigasi permukaan dimana pola pasokannya tertentu dan perilaku pasokan air untuk memenuhi kebutuhan lain diasumsikan tidak berpengaruh. Kedua, penyederhanaan yang terkait dengan agregasi komoditas, agregasi sebaran temporal maupun agregasi spatial ketersediaan dan kebutuhan air irigasi. Ketiga, pendekatan yang digunakan untuk valuasi air irigasi adalah Residual Imputation Approach (RIA) dengan pemrograman linier. Dari penelitian ini telah dapat dihasilkan sejumlah temuan dan pengetahuan yang bermanfaat sesuai dengan ruang lingkup dan metodologi yang diterapkan. Saran untuk lanjutan adalah: 1. Air irigasi diperlakukan sebagai bagian integral dari sumberdaya air sehingga pasokan untuk memenuhi kebutuhan non irigasi diperhitungkan sebagai faktor yang mempengaruhi pola pasokan air irigasi; dan perluasan cakupan spatial dengan mengambil contoh di beberapa sistem irigasi yang berbeda. 2. Valuasi air irigasi menggunakan pendekatan terintegrasi dari sisi permintaan maupun sisi pasokan. 3. Penelitian dengan pendekatan yang sama dengan penelitian ini tetapi tingkat agregasinya berbeda dimana komoditas lebih rinci, sebaran spatial dan temporal juga dibuat lebih rinci. 4. Penelitian dengan ruang lingkup dan pendekatan serupa dengan penelitian ini tetapi pemrograman matematis yang digunakan adalah non linear. 5. Jika sumberdaya untuk penelitian tersedia, penelitian yang dilakukan dengan mengintegrasikan aspek sosial ekonomi aspek teknis dengan data percobaan langsung di lapang merupakan salah satu penelitian yang sangat bernilai. 6. Penelitian yang difokuskan untuk mengkaji aspek kelembagaan dalam rangka peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi. Secara bersama-sama, dari berbagai penelitian tersebut dapat dihasilkan sejumlah kesimpulan dengan tingkat generalisasi lebih luas dan pengetahuan yang lebih komprehensif. Dengan demikian dapat berkontribusi nyata dalam akumulasi ilmu pengetahuan maupun pemecahan masalah dalam kehidupan nyata.
DAFTAR PUSTAKA Aigner, D.J., C.A.K. Lovell, and P. Schmidt. 1977. Formulation and Estimation of Stochastic Frontier Production Function Models. Journal of Econometrics, 6: 21 – 37. Arif, S.S. 1996. Ketidak Sesuaian Rancangbangun Jaringan Irigasi di Tingkat Tersier dan Akibatnya Terhadap Pelaksanaan Program Penganekaragaman Tanaman: Studi Kasus di Daerah Irigasi Cikuesik, Cirebon. Jurusan Teknik Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Armitage, S. 1999. A Study of On-Farm Water Use and Irrigation Performance in The Brantas Delta, East Java, Indonesia. M.Sc. Thesis. Department of Civil and Environtmental Engineering, University of Southampton, Southampton. Asian Development Bank (ADB). 2000. Water for All: The Water Policy of the Asian Developmnet Bank, http://www.adb.org/documents/policies/water/water.pdf Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1994. Pengelolaan Sumberdaya Air Dan Lahan Dalam Rangka Mengatasi Kekeringan. Departemen Pertanian, Jakarta. ______________________________________. 1996. Strategi Penanggulangan Dampak Kekeringan. Departemen Pertanian, Jakarta. Ban, S. 1984. Penentuan Kebutuhan Irigasi Air Tanah. Makalah disampaikan pada Seminar "Pengembangan Irigasi Air tanah". Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT), Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. BAPPENAS. 2001a. The Future of the World Rice Market and Policy Options to Counteract Rice Price Instability in Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta . __________. 2001b. Future Strategies for Rice Price Stabilization in Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta . __________ – USAID. 2000. Macro Food Policy and Food Security: Conseptual Framework and Strategic Issues. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Jakarta. Barker, R., and J.W. Kijne. 2001. Improving Water Productivity in Agriculture: A Review of Literature. Background paper prepared for SWIM Water Productivity Workshop, November 2001, International Water Management Institute (IWMI), Colombo.
226 Berbel J. and J.A. Gomez-Limon. 2000. The Impact of Water Pricing Policy in Spain: An Analysis of Three Irrigated Areas. Agricultural Water Management, 43: 219 – 238. Bhuiyan, S.I., T. P. Tuong, and L. J. Wade. 1998. Management of Water as A Scarce Resource: Issues and Options in Rice Culture. In: N.G. Dowling, S.M. Greenfield, and K.S. Fischer (Eds.). Sustainability of Rice in the Global Food System. Pasific Basin Study Center, International Rice Research Institute (IRRI), Los Banos. Boss, M.G. and W. Walter. 1990. Water Charges and Irrigation Efficiencies. Dalam: Nippon Koei and Nikken Consultants. 1998. The Study on Comprehensive Management Plan for the Water Resources of the Brantas River Basin in The Republic of Indonesia. Ministry of Public Works, Jakarta. Bouman, B.A.M. 2003. Examining The Water Shortage Problem in Rice System: Water Saving Irrigation Technologies. In: T.W. Mew, D.S. Brar, S. Peng, D. Dawe, and B. Hardy (Eds). Science Innovation and Impact for Livelihood, Internatioal Rice Research Institute: 519 – 535. Bouman, B.A.M. and T.P. Tuong. 2000. Field Water Management to Save Water and Increase Its Productivity in Irrigated Lowland Rice. Agricultural Water Management 16: 1 – 20. Chand, R. 1996. Diversification Through High Value Crops in Western Himalayan Regions: Evidence from Himachal Pradesh. Indian Journal of Agricultural Economics 41(4): 652 – 663. Chiang, A.C. 1974. Fundamental Methods of Mathematical Economics. Second Edition. McGraw-Hill Kogakusha, LTD., Tokyo. Coelli, T. 1996. A Guide to Frontier Version 4.1: A Computer Program for Stochastic Frontier Production and Cost Function Estimation. Centre for Efficiency and Productivity Analysis, University of New England – Armidale, New South Wales. De Datta S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley and Sons, New York. Dillon, H.S., H. Sawit, P. Simatupang, and S. Tabor. 1999. Rice Policy: A Framework for The Next Millenium. Badan Urusan Logistik, Jakarta. Dinar, A. and J. Letey. 1996. Modeling Economic Management and Policy Issues of Water in Irrigated Agriculture. Praeger, Connecticut. _______, A. and A. Subramanian. 1997. Water Pricing Experience: An International Perspective". World Bank Technical Paper No. 386.
227 Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Food and Agriculture Organization (FAO). 1994. Reforming Water Resources Policy: A Guide To Methods, Processes and Practices. Irrigation and Drainage Paper No. 52, Food and Agriculture Organization, Rome. Florencio-Cruz, V., R. Valdivia-Alcala, and C. A. Scott. 2002. Water Productivity in The Rio Lerma (011) Irrigation District. Agrociencia, 36(4): 483 – 493. Freeman, A.M., 1993. The Measurement of Environmental and Resource Values: Theory and Methods. Resources for the Future, Washington, D.C. Gleick, P.H. 1998. The World's Water. The Biennial Report on Fresh water Resources: 1998-1999. Island Press, Washington, D.C. __________. 2000. The World's Water. The Biennial Report on Fresh water Resources: 2000-2001. Island Press, Washington, D.C. Gomez-Limon, J.A. and J. Berbel. 2000. Multicriteria Analysis of Derived Water Demand Functions: A Spanish Case Study. Agricultural Systems, 63: 49 – 72. Greene, W.H. 2003. Econometric Analysis. Fifth Edition. Upper Saddle River, Prentice Hall, New Jersey. Grimble, R.J. 1999. Economic Instruments for Improving Water Use Efficiency: Theory and Practice. Agricultural Water Management, 40: 77 – 82. Hall, D.C. and J.V. Hall. 1984. Concepts and Measures of Natural Resource Scarcity with a Summary of Recent Trends. Journal of Environtmental Economics and Management, Vol. 11: 363 – 379. Hardjoamidjojo, S. 1999. Dimensi Lingkungan dalam Pengembangan Pompa Air untuk Irigasi. Dalam: S. Pasaribu, Sumaryanto, dan E. Pasandaran (Eds.). Perspektif Keswadayaan Petani dalam Pengembangan Irigasi Pompa. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Hazell, P.B.R. and R.D. Norton. 1986. Mathematical Programming for Economic Analysis in Agriculture. Macmillan Publishing Company, New York. Heady, E.O. 1952. Economics of Agricultural Production and Resource Use. Englewood Cliffs, Prentice Hall, New Jersey. Hellegers J.G.J. 2002. Treating Water in Irrigated Agriculture as an Economic Good. Paper presented on International Seminar "LES POLITIQUES D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES", Agadir - Maroc 15-17 June 2002.
228
Hong, L., Y.H. Li, L. Deng, C.D. Chen, D. Dawe and R. Barker. 2001. Analysis of Changes in Water Allocations and Crop Production in the Zhanghe Irrigation System and District, 1966 – 1998. In: R. Barker (Ed.). Water Saving Irrigation for Rice. Proceedings of an International Workshop Held in Wuhan, China 23 – 25 March 2001. International Conference on Water and the Environment (ICWE). 1992. The Dublin statement and report of the International Conference on Water and the Environment. Development Issues for the 21st Century, 26 - 31 January, 1992, Dublin. International Water Management Institute (IWMI). 2000. Water Issues for 2025: A Research Perspective. International Water Management Institute, Colombo, Sri Lanka. Intriligator, M.D. 1978. Econometric Models, Techniques, & Applications. Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs. Japan International Cooperation Agency (JICA). 1998. Development of the Brantas River Basin. Japan International Cooperation Agency, Japan. Johansson, P. 1993. Cost-Benefit Analysis of Environmental Change. Cambridge University Press, Cambridge. Johansson, R.C. 2000. Pricing Irrigation Water: A Literature Survey. The World Bank, Washington, D.C. Joshi, P.K., A. Gulati, P.S. Birthal, and L. Tewari. 2004. Agriculture Diversification in South East Asia: Patterns, Determinants and Policy Implications. Economic and Political Weekly, June 12:2457-2467. Just, R.E., D.L. Hueth and A. Schmitz. 1982. Applied Welfare Economics and Public Policy. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Kasryno, F., P. Simatupang, E. Pasandaran, dan S. Adiningsih. 2001. Reformulasi Kebijakan Perberasan Nasional. Forum Agro Ekonomi 19(2): 1 – 23. Katumi, M., T. Oki, Y. Agata, and S. Kane. 2002. Global Water Resources Assesment and Future Projection. In: M.K. Yayima, Okado, and Matsumoto, (Eds). Water for Sustainable Agriculture in Developing Region: More Crop for Every Scare Drop. JIRCAS International Symposium Series. No. 10:vii - xvii. Kumbhakar, S.C. 2002. Specification and Estimation of Production Risk, Risk Preferences and Technical Efficiency. American Journal of Agricultural Economics, 84(1): 8 – 22.
229 Long, J.S. and J. Freese. 2003. Regression Model for Categorical and Limited Dependent Variables Using Stata. In: Stata Corp. LP. 2005. Stata Release 9: Reference K-Q. College Station, Texas. Meeusen, W. and van den Broeck, J. 1977. Efficiency Estimation from CobbDouglas Production Functions With Composed Error. International Economic Review, 18: 435-444. Molden, D. 1997. Accounting for water use and productivity. System-Wide Initiative on Water Menagement (SWIM) Paper No. 1. International Water Management Institute, Colombo. _________, R. Sakthivadivel, and Z. Habib. 2001. Basin-level use and productvity of water: Examples from South Asia. Research Report 49. International Water Management Institute, Colombo. _________. 2002. Meeting Water Needs for Food and Environmental Security. In: M.K. Yayima, Okado, and Matsumoto. (Eds). Water for Sustainable Agriculture in Developing Region: More Crop for Every Scare Drop. JIRCAS International Symposium Series. No. 10:xix - xxii. Molle, F. 2002. To Price or Not to Price? Thailand and the Stigmata of "Free Water". Paper presented on International Seminar "LES POLITIQUES D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES", Agadir - Maroc 15-17 June 2002. Murty, V.V.N. 1997. Need, Scope and Potential for Modernization of Irrigation System in Asia. In: Modernization of Irrigation Schemes: Past Experience and Future Options. Water Report No. 12. Food and Agriculture Organization, Rome. Nakajima, C. 1986. Subjective Equilibrium Theory of the Farm Household (Translated by Ryohei Kada), Developments in Agricultural Economics, Elsevier Science Publishers, Amsterdam. Nasendi, B. D., dan A. Anwar. 1985. Programa Linear dan Variasinya. PT Gramedia, Jakarta. Nippon Koei Co. LTD. and JICA. 1993. The Study for Formulation of Irrigation Development Program in Indonesia. Final Report, Volume 3. __________________ and Nikken Consultants, INC. 1998. The Study on Comprehensive Management Plan for The Water Resources of The Brantas River Basin in The Republic of Indonesia (Final Report Vol. IV: Supporting Report II). Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
230 Oi, S. 1997. Introduction to Modernization of Irrigation Schemes. In: Modernization of Irrigation Schemes: Past Experience and Future Options. Water Report, No. 12. Food and Agriculture Organization, Rome. Osmet. 1996. Sistem Pengelolaan Air Menunjang Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan. Dalam: Hermanto, S. Pasaribu, dan Sumaryanto. (Eds.). Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Pakpahan, A., Sumaryanto, S. Friyatno, A. Mintoro, dan Hendiarto. 1993. Studi Kebijaksanaan Irigasi Pompa di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Pandey, V.K. and K.C. Sharma. 1996. Crop Diversification and Self Suficiency in Foodgrains. Indian Journal of Agricultural Economics 51(4): 644 – 651. Pasandaran, E. 2005. Reformasi Irigasi Dalam Kerangka Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Air. Naskah Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Perry, C.J. 1996. Alternative to Cost Sharing for Water Service to Agriculture in Egypt. Research Paper, No. 2. International Water Management Institute, Colombo. ________. 2002. Why is Irrigation Water Demand inelastic at low price ranges? Paper presented on the International Seminar "LES POLITIQUES D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES", Agadir - Maroc 15-17 June 2002. Pimental, D., J. Houser, E. Preiss, O. White, H. Fang, L. Mesnick, T. Barsky, S. Tariche, J. Schreck, and S. Albert. 1997. Water Resources: Agriculture, the environment, and The Society. Biosciences 47(2): 97 – 106. Pingali, P.L. and M.W. Rosegrant. 1995. Agricultural Commercialization and Diversification: Processes and Policies. Food Policy, 20(3): 171 – 185. Postel, S. 1992. The Last Oasis: Facing water scarcity. Dalam: P.H. Gleick. 2000. The World's Water. The Biennial Report on Fresh water Resources: 2000-2001. Island Press, Washington, D.C. _______. 1994. "Carrying Capacity: Earth's Bottom Line," In State of the World. Worldwatch Institute Report on Progress Toward a Sustainable Society, W.W. Norton & Co. Ltd., New York. Rae, A.N. 1994. Agricultural Management Analysis: Activity Analysis and Decision Making. CAB International, Wellington.
231 Ravindran, A., D.T. Phillips and J.J. Solberg. 1987. Operations Research: Principles and Practice. Second Edition. John Wiley and Sons, New York. Ray, I. 2002. Farm-level Incentives for Irrigation Efficiency: Some Lessons From An Indian Canal. In: Molle (2002). To Price or Not to Price? Thailand and the Stigmata of "Free Water". Paper presented on International Seminar "LES POLITIQUES D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES", Agadir - Maroc 15-17 June 2002. Rodgers, C., M. Siregar, Sumaryanto, Wahida, B. Hendradjaja, S. Suprapto, and R. Zaafrano. 20021. Integrated Economic-Hydrologic Modeling of the Brantas River Basin, East Java, Indonesia: Issues and Challenges. Paper presented on the Workshop "Integrated Water Resources Management in a River Basin Context: Institutional Strategies for Improving the Productivity of Agricultural Water Management", Malang, January 15-19. Rosegrant, M.W., C. Ringler, D. C. McKinney, X. Cai, A. Keller, and G. Donoso. 2000. Integrated Economic-Hydrologic Water Modeling at the Basin Scale: The Maipo River Basin. Agricultural Economics, 24: 33 – 46. _____________ and M. Svendsen. 1993. Asian Food Production in the 1990s: Irrigation Investment and Management Scarcity. Food Policy, 19(2): 13 – 32. _____________, N.D. Perez, and N.N. San. 1997. Indonesian Agriculture to 2020: Source of Growth Projections, and Policy Implications. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. _____________ and P.B.R. Hazell. 2000. Transforming the Rural Asian Economy: the Unfinished Revolution. Oxford University Press, Hongkong. _____________, X. Cai, and S.A. Cline. 2002. World Water and Food to 2025: Dealing With Scarcity. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Wahington, D.C. Salim, H. 1995. Pengaruh Pengaturan Tata Air dan Takaran Pupuk Fosfat terhadap Potensial Redoks, pH tanah, P tersedia, Serapan P dan Hasil Tanaman Padi Sawah Di Daerah Pengairan Jatiluhur. Disertasi. Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung. Sampath, R.K.. 1992. Issues in Irrigation Pricing in Developing Countries. Water Resources Bulletin, 27: 745 - 751. Sawit, H. 2000. Harga Dasar Gabah Tahun 2001 dan Subsidi: Analisa Musiman. Makalah disampaikan pada Seminar Rutin Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
232 Seckler, D.R., U. Amarasinghe, D. Molden, R. de Silva, and R. Barker. 1998. World Water Demand and Supply, 1990 - 2025: Scenarios and Issues, IWMI, Research Report No. 19, Colombo, Sri Lanka. Shiklomanov, I.A. 1998. Archive of world water resources and world water use. In: P.H. Gleick. 2000. The World's Water: The Biennial Report on Fresh water Resources: 2000-2001. Island Press, Washington, D.C. Simatupang, P. 2000. Anatomi Masalah Produksi Beras Nasional dan Upaya Mengatasinya. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional "Sektor Pertanian Tahun 2001: Kendala, Tantangan dan Prospek", Bogor 4 Oktober 2000. Sinaga, B. M. 1997. Pendekatan Kuantitatif Dalam Agribisnis. Bahan Pelatihan Manajemen Agribisnis, Universitas Riau 9 - 12 Juni 1997. Singh, I., L. Squire, and J. Strauss. 1986. Agricultural Household Models: Extension, Applications, and Policy. The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London. Soenarno dan R. Syarif. 1994. Tinjauan Kekeringan Berdasarkan Karakteristik Sumber Air di Pulau Jawa. Makalah pada Panel Diskusi Antisipasi dan Penanggulangan Kekeringan Jangka Panjang, PERAGI dan PERHIMPI, Sukamandi 26-27 Agustus 1994. Sosrodarsono, S. dan K. Takeda. 1978. Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita, Jakarta. Sumaryanto, Hermanto, dan E. Pasandaran. 1996. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Pelestarian Swasembada Beras dan Sosial Ekonomi Petani. Dalam: Hermanto, S. Pasaribu, dan Sumaryanto. (Eds.). Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. __________ and R. N. Suhaeti. 1997. Assesment of Losses Related to Irrigated Lowland Conversion. Indonesian Agricultural Research & Development Journal, 19(1&2): 20 – 28. __________ dan S. Friyatno. 1999. Keswadayaan Petani Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air Untuk Irigasi. Makalah dipresentasikan pada Workshop "Analisis Strategi Pengelolaan Sumberdaya Air Untuk Produksi Pangan dan Pertanian Berkelanjutan", Bogor - 22 Juli 1999. __________, Hermanto, dan S. Bahri. 1999. Kinerja Pasar Air Irigasi Pompa: Studi Empiris pada Sistem Irigasi Pompa Air Permukaan di Beberapa Wilayah di Indonesia. Dalam: S. Pasaribu, Sumaryanto, dan E. Pasandaran (Eds.): Perspektif Keswadayaan Petani dalam Pengembangan Irigasi Pompa. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
233
__________. 1999. Peran Strategies Pengembangan Irigasi Pompa dalam Mendukung Pengembangan Produksi Pangan. Dalam: S. Pasaribu, Sumaryanto, dan E. Pasandaran (Eds.). Perspektif Keswadayaan Petani dalam Pengembangan Irigasi Pompa. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. __________ dan I.W. Rusastra. 1999. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungannya Dengan Kesejahteraan Petani. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional "Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah" yang diselenggarakan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian di Bogor, 16 - 17 November 1999. __________, M. Siregar, Wahida. 2001. Irrigation Investment, Fiscal Policy and Water Resource Allocation in Indonesia and Vietnam: Brief Notes from Field Survey. Paper presented on "Water Resource Policy in Indonesia and Vietnam: Issues, Concept, and Modeling Workshop", International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington, D.C., June 2001. __________ dan T. Sudaryanto. 2001. Perubahan Paradigma Pendayagunaan Sumberdaya Air dan Implikasinya Terhadap Strategi Pengembangan Produksi Pangan. Forum Agro Ekonomi, 19(2): 66 – 79. __________. 2001. Estimasi Tingkat Efisiensi Usahatani Padi Dengan Fungsi Produksi Frontir Stokastik. Jurnal Agro Ekonomi, 19(1): 65-84. __________ dan T. Sudaryanto. 2005. Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan Sawah Sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya. Makalah disampaikan pada Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, 13 Desember 2005 di Jakarta. Sunaryo, T.M. 2001. Case Study of Brantas River Basin, Indonesia. Paper presented on the Workshop "Integrated Water Resources Management in a River Basin Context: Institutional Strategies for Improving the Productivity of Agricultural Water Management", Malang, January 15-19. Susilowati S.H, E. Suryani, Supriyati, H. Surpriadi, Supadi, Sugiarto. 2001. Studi Dinamika Ekonomi Pedesaan (PATANAS): Usahatani, Ketenaga kerjaan, Pendapatan dan Konsumsi. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sustainable World Water Forum (WWF). 2000. Forum Report on Water and Economics of the Second World Water Forum, The Hague. Syarif, R. 2002. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Mendukung Produksi Pangan. Makalah disampaikan pada Seminar "Hari Pangan Sedunia XXII, Jakarta, 9 Oktober 2002.
234
Theil, H. and R. Finke. 1983. The Consumer's Demand for Diversity. European Economic Review 23: 348 – 359. Tim Studi "Special Assistant for Project Sustainability (SAPS)" II. 1992. Brantas River Basin Development Project. Perum Jasa Tirta, Malang. Tiwari, D. and A. Dinar. 2000. Role and Use of Economic Incentives in Irrigated Agriculture. Paper presented at the "World Bank Workshop on Institutional Reform in Irrigation and Drainage". The World Bank, Washington, D.C., December 11, 2000. Trenberth, K. and T. Hoar. 1996. The 1990-1995 El Nino-Southern Oscillation Event: The Longest on record. Geophysical Research Letters, 23(1): 57 – 60. Tsur, Y. and A. Dinar. 1997. The Relative Efficiency and Implementation Costs of Alternative Methods for Pricing Irrigation Water. The World Bank Economic Review, 11(2): 243 – 262. ______, A. Dinar, R. M. Doukkali and T.L. Roe. 2002. Efficiency and Equity Implications of Irrigation Water Pricing. Paper Presented on International Seminar "LES POLITIQUES D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO & MACRO ECONOMIQUES" Agadir - Maroc. Tuong, T.P., and S. Bhuiyan. 1994. Innovations Toward Improving Water-Use Efficiency of Rice. Paper presented on Seminar "World Bank 1994 Water Resources Seminar", December 13-15, Landsdowne, Virginia. Unver, O and Rajiv K. Gupta. 2002. Water Pricing: Issues and option in Turkey. Paper presented on International Seminar "LES POLITIQUES D'IRRIGATION CONSIDERATIONS MICRO&MACRO ECONOMIQUES", Agadir - Maroc 15-17 June 2002. Van de Kroef. C. 1984. Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa (hal. 145-167). Dalam: S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (Eds.). Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa Ke Masa. PT Gramedia, Jakarta. Varela-Ortega, C., J.M. Sumpsi, A. Garrido, M. Blanco, and E. Iglesias. 1998. Water Pricing Policies, Public Decision Making and Farmers' Response: Implications for Water Policy. Agricultural Economics, 19: 193 – 202. Wichelns, D. 1998. "Economic Issues Regarding Tertiary Canal Improvement Programs, with an Example from Egypt," Irrigation and Drainage Systems, 12: 227 - 251. Winpenny J. 1994. Managing Water as an economic Resource. Routeledge, London and New York.
235
Wiradi, G. dan Makali. 1984. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan. Dalam: F. Kasryno (Ed.). Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. ________. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Wolf, A.T., J.A. Natharius, J.J. Danielson, B.S. Ward, and J. Pender. 1999. International River Basin of the World. In: P.H. Gleick. 2000. The World's Water. The Biennial Report on Fresh water Resources: 20002001. Island Press, Washington, D.C. Wolter, H.W. and C.M. Burt. 1997. Concepts of Modernization. In: Modernization of Irrigation Schemes: Past Experience and Future Options. Water Report 12, Food and Agriculture Organization, Rome. World Bank. 1982. Indonesia: Policy Options and Strategies for Major Food Crops. World Bank, Washington, D.C. __________. 1993. Water Resources Management: A World Bank policy paper. World Bank, Washington, D.C. World Resource Institute (WRI). 1998. World Water: A Guide to the Global Environtment. Oxford University Press, New York. Young, H.P., N. Odaka and T. Hashimoto. 1982. Cost Allocation in Water Resources Development. Water Resources Research 18 (3): 436 - 475. Young, R.A. 1996. Measuring Benefits for Water Investment and Policies. World Bank Technical Paper No. 338, World Bank, Washington, D.C.
LAMPIRAN
237 Lampiran 1. OPERASI DAN PEMELIHARAAN IRIGASI Pengertian dan Ruang Lingkup Operasi dan Pemeliharaan Irigasi Istilah lengkapnya adalah Operasi Jaringan Irigasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi. Mengingat bahwa dalam pelaksanaannya cukup banyak aspek-aspek yang terkait maka lazimnya disatukan menjadi Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi atau Operasi dan Pemeliharaan Irigasi (disingkat O&P Irigasi). Secara khusus, yang dimaksud dengan Operasi Jaringan Irigasi adalah penyelenggaraan kegiatan untuk memanfaatkan jaringan irigasi agar berdayaguna optimal. Sedangkan Pemeliharaan (Jaringan) Irigasi adalah suatu himpunan aktivitas yang ditujukan untuk mengkondisikan agar prasarana irigasi selalu berfungsi dengan baik dalam rangka pelaksanaan operasi (jaringan) irigasi. Dari pengertian itu sangat jelas bahwa kegiatan pemeliharaan irigasi pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dengan pengoperasian jaringan irigasi sehingga kedua kegiatan tersebut lazimnya disatukan dalam satu gugus kegiatan yakni Operasi dan Pemeliharaan Irigasi. Dalam pengertian yang lebih luas, Operasi Jaringan Irigasi adalah tataguna air mulai dari penyadapan air dari sumbernya, pengaturan, pengukuran dan pembagian air di dalam jaringan irigasi, pemberian air ke petak-petak sawah serta pembuangan kelebihan air sehingga: (1) Air yang tersedia dibagi secara merata dan adil, (2) Air yang tersedia dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien, dimana pemberian air ke petak-petak sawah dilaksanakan dengan tepat sesuai kebutuhan tanaman (tepat waktu, tepat cara, tepat jumlah), dan (3) Akibat negatif yang mungkin ditimbulkan oleh air dapat dihindarkan. Ruang lingkup operasi jaringan irigasi mencakup aspek-aspek: (1) pengumpulan data (data hidrologi dan luas lahan sawah), (2) membuat rencana tata tanam, rencana pembagian air, rencana pengeringan, dan sebagainya, (3) melaksanakan pendistribusian air (mengoperasikan pintu-pintu air, mengisi papan operasi dan pelaporannya), (4) pengoperasian bendung maupun waduk sesuai dengan situasi dan kondisi (datang dan surutnya air banjir, pengurasan bendung/kantong lumpur atau pengeringan), (5) pemantauan penggunaan air/pemantauan perkembangan tanaman di wilayah yang diairi, (6) kalibrasi pintu/alat ukur debit, (7) pemantauan pembuangan limbah ke saluran irigasi/sungai, dan (8) penyuluhan pemanfaatan air irigasi kepada petani. Dasar Pengaturan dan Pola Pelaksanaan Pengertian tentang pengaturan mencakup perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Berdasarkan PP 23 Tahun 1982 tentang irigasi ditetapkan antara lain: (1) Penyelenggaraan pengurusan air irigasi dan jaringan irigasi didasarkan pada suatu Daerah Irigasi, yaitu kesatuan wilayah yang mendapat air dari suatu sistem/jaringan irigasi, (2) Pengelolaan irigasi yang meliputi penyusunan, perencanaan, peyediaan pembagian dan pemberian air melalui Jaringan Utama pada masing-masing Daerah Irigasi (DI) serta pembuangannya menjadi tanggung jawab Dinas Pengairan Daerah, (3) Pengurusan, pengaturan dan penggunaan air irigasi pada Petak Tersier diserahkan kepada Petani Pemakai Air (P3A) di bawah pembinaan Panitia Irigasi dengan memperhatikan ketentuan yang belaku, (4) Pengurusan, pengaturan air irigasi yang diselenggarakan oleh badan hukum, badan sosial atau perorangan diserahkan kepada yang bersangkutan, dengan memperhatikan peraturan yang berlaku. Dalam pelaksanaannya maka harus memperhatikan: (1) luas baku sawah/lahan yang berhak atas air dalam suatu Daerah Irigasi, (2) debit air yang tersedia dan alokasi yang ditetapkan untuk masing-masing Daerah Irigasi serta pola-pola pemanfaatan air irigasi yang ditetapkan, (3) masa tanam musim hujan dan musim kemarau, (4) penetapan kebutuhan air dan koefisien tanaman, (5) penentuan kehilangan air di saluran, (6) penetapan rencana tata tanam dan sistem golongan, dan (7) perencanaan pembagian dan pemberian air.
238 Lampiran 1. Lanjutan Pola Pelaksanaan Operasi Irigasi Pola pelaksanaan Operasi Irigasi mencakup: (1) penetapan baku sawah/lahan yang berhak atas air irigasi, (2) penyusunan rencana penyediaan air dan pola pemanfaatan air irigasi, (3) penetapan masa irigasi untuk musim hujan maupun musim kemarau, (4) penetapan kebutuhan air dan koefisien tanaman, (5) penentuan besarnya kehilangan air di saluran, (6) penetapan rencana tata tanam dan sistem golongan, dan (7) perencanaan pembagian dan pemberian air. Aktivitas-aktivitas tersebut dilaksanakan dalam suatu sekuen yang sistematis (perhatikan skema pola operasi irigasi sebagaimana tertera pada Gambar berikut.
Penetapan baku sawah/lahan yang berhak atas air irigasi
Penyusunan rencana penyediaan air dan pola pemanfaatan air
Pengaturan pembagian dan pemberian air irigasi
Penetapan masa irigasi musim hujan
Penetapan masa irigasi musim kemarau
Hak air:
Hak air:
1. Padi musim hujan dan persiapannya 2. Gadu ijin yang masih perlu air 3. Tebu bibit 4. Semua penggunaan air yang telah mendapat ijin
1. Padi musim hujan yang masih perlu air 2. Padi gadu ijin dan persiapannya 3. Tebu muda 4. Semua penggunaan air yang telah mendapat ijin 5. Padi gadu tak ijin diberi jatah seperti palawija
(Diatur dalam Perda)
(Diatur dalam Perda)
Penetapan rencana tata tanam musim hujan dan sistem golongan
Pengaturan Pembagian Air dan Pemberian Air Irigasi
Penetapan rencana tata tanam musim kemarau dan sistem golongan
1. Pengaturan Pembagian Air dan Pemberian Air Irigasi 2. Penetapan sistem giliran bila air tidak cukup
Gambar 1. Skema pola pelaksanaan operasi irigasi
239 Lampiran 1. Lanjutan Penetapan baku sawah atau lahan yang berhak atas air irigasi dilakukan setiap tahun. Daftar inventarisasinya disusun menurut desa/kelurahan pada setiap Daerah Irigasi untuk masing-masing wilayah kerja DPU Pengairan Daerah: Kemantren, Cabsie/Cabang Dinas TK II, Dinas Tk II, dengan keterangan: (1) tanah-tanah tersebut berhak atas air irigasi sepanjang tahun sesuai dengan ketersediaan air irigasi, dan (2) tanah-tanah tersebut berhak atas air tidak selama satu tahun penuh akibat kurang/terbatasnya persediaan air irigasi dengan rincian: (i) mencapatkan air irigasi selama musim kemarau secara bergilir, (ii) tidak sepenuhnya berhak atas air irigasi tetapi hanya pada waktu ada kelebihan persediaan air, dan (iii) mendapat air di musim kemarau karena pada musim hujan tidak dapat ditanami atau mengalami kerusakan akibat banjir. Inventarisasi tersebut setelah mendapat pertimbangan Panitia Irigasi setempat, ditetapkan oleh Kepala Daerah (Tk II, TK I) sekali dalam 5 tahun, dengan tetap memperhatikan perubahan yang terjadi dalam periode tersebut. Penyusunan rencana penyediaan air dan pola pemanfaatan air irigasi dilakukan dengan cara berikut. Berdasarkan data debit pada sumber air (waduk, sungai, mata air, dan sebagainya), inventarisasi penggunaan air yang telah ada (baik untuk pertanian maupun non pertanian yang telah mendapat ijin), disusun rencana penyediaan air dan pola pemanfaatannya, pada setiap wilayah sungai. Penyusunan penyediaan dan pemanfaatan air didasarkan pada perkiraan debit 80 % kering. Rencana penyediaan air tersebut, setelah memperoleh masukan dari Panitia Irigasi kemudian dilegalkan oleh Ketatapan Kepala Daerah. Pada penetapan masa irigasi musim hujan dan musim kemarau, penetapan tanggal dimulainya pemberian air untuk tanaman padi perlu disinkronkan dengan masukan dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) setempat. Pada musim hujan diutamakan tanaman padi, sedangkan untuk musim kemarau diutamakan tanaman palawija, tebu (yang ada konsesinya), dan padi gadu ijin (bila ada kelebihan setelah alokasi untuk palawija dan tebu). Dalam penetapan kebutuhan air dan koefisien tanaman, mengingat kebutuhan air untuk setiap jenis tanaman maupun tahap pertumbuhan tanaman berbeda maka dibuat standardisasi. Dalam konteks ini koefisien tanaman didasarkan atas luas palawija relatif (LPR). Secara pragmatis, koefisien masing-masing tanaman (dan aktivitas) adalah sebagai berikut ( Tabel 1). Tabel 1. Koefisien tanaman atas dasar Luas Palawija Relatif (LPR). Jenis tanaman Padi musim hujan/padi gadu ijin*): - Pesemaian/pembibitan - Garap/pengolahan tanah - Pertumbuhan Tebu: - Cemplong / garap lahan - Tebu muda / bibit - Tebu tua Palawija Tambak/sawah tambak (disesuaian keadaan setempat) *) untuk gadu tak ijin maka disamakan dengan palawija, kecuali air cukup maka disamakan dengan gadu ijin.
Koefisien 20.0 6.0 4.0 1.5 1.5 0.0 1.0 3.0
240 Lampiran 1. Lanjutan Selain LPR, mengingat kebutuhan air juga dipengaruhi oleh kondisi tanah maka untuk keperluan pembagian air dan pemberiannya ditentukan suatu koefisien yang disebut faktor palawija relatif (FPR), yakni suatu faktor pemberian air yang didasarkan pada kebutuhan air untuk palawija. FPR menggambarkan kebutuhan air di pintu tertier untuk tanaman palawija. Di dalamnya sudah diperhitungkan kehilangan air di saluran tertier dan kuarter serta hilangnya air di lapangan (karena kemiringan medan) Penetapan Rencana Tata Tanam dan Sistem Golongan Untuk menyusun suatu pola pemanfaatan air irigasi bagi suatu Daerah Irigasi perlu disusun bagi DI bersangkutan, untuk memanfaatkan air yang tersedia guna memperoleh hasil produksi yang sebesar-besarnya bagi usaha pertanian. Penyusunan rencana tata tanam tersebut meliputi : Pola tanam , luas tanam, dan jadwal taam berdasarkan debit andalan, juga jadwal pengeringan saluran dalam waktu satu tahun atau lebih. Dalam penentuan tata tanam dalam suatu DI perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Keinginan dan kebiasaan petani setempat 2. Kebijaksanaan pemerintah tentang produksi tanaman 3. Keseuaian tanaman dan lokasi 4. Ketersediaan air 5. Iklim khususnya curah hujan 6. Ketersediaan tenaga kerja 7. Sarana produksi pertanian Perencanaan Tata Tanam meliputi : 1. Rencana Tata Tanam Global (setiap DI) 2. Rencana Tata Tanam Detil (setiap Tersier) Bagi DI yang luas di samping memperhitunkan tenaga dan peralatan kerja juga untuk menekan pemakaian air yang tinggi dan waktu ( jadwal pelaksanaan) disusun suatu golongan. Selang (interval) antar waktu golongan tersebut ditentukan dengan keadaan di lapangan dan paling sedikit 10 hari. Perencanaan Pembagian dan Pemberian Air Dari hasil perhitungan Rencana Tata Tanam dapt segera disusun rencana pembagian dan pemberian pada masa irigasi musim hujan dan masa irigasi musim kemarau, yaitu : 1. Rencana Pembagian dan Pembrian Air Musim Hujan. Pada musim hujan untuk menghindari terjadinya genangan yang dapat merusak tanaman, pengaturan pemberian air perlu memperhatikan : - Besarnya curah hujan efektif - Kondisi drainase yang ada Pembagian da pembaerian air dapat dilaksanakan secara serentak (Continuous flow), apabila debit yang tersedia sudah cukup, namun tetap memperhatikan sistem golongan yang direncanakan dan disesuaikan dengan kondisi lapangan.
241 Lampiran 1. Lanjutan 2. Rencana Pembagian dan Pemberian Air Musim Kemarau. Pada musim kemarau pembagian air disesuaikan dengan debit air yang tersedia dan rencana tanam untuk masing-masing sekunder, sehingga bias diatur pembagian air untuk setiap saluran petak sekunder. Untuk DI yang besar (lebih dari satu DI Tk.II), perlu diatur pembagian air untuk setiap Daerah Tk.II. Apabila debit yang tersedia lebih kecil dari kebutuhan, maka pembagian air diatur proporsional dengan luas relatif palawija untuk masing-masing sekunder atau masingmasing Dinas TkII., namun bila air tidak mencukupi (< 50% kebutuhan) diatur dengan giliran. Pengaturan giliran perlu memperhatikan : - Kebisaan yang telah berjalan dengan baik - Efisiensi pemakaian air - Kepastian saluran - Periode giliran, interval waktu yang disusun tidak sampai mengakibatkan tanaman mati. Mengingat debit sungai setiap periode dapat terjadi perubahan baik bertambah maupun berkurang, maka rencana pembagian air tersebut dibuat setiap periode 10 harian. Untuk memudahkan pemantauan kondisi lapangan perlu digunakan Skema Operasi (SO) yaitu ikhtisar asal, jumlah dan distribusi air serta pembuangan kelebihannya (kalau memang ada sisa setelah dipakai), yang dapat memberikan gambaran sejauh mana pelaksanaan yang dapat dilakukan dan penyimpangan terhadap perencanaan. Sedang tingkat pengendalian debit air berkaitan dengan pembagian/distribusinya (Gambar 1). Pola pelaksanaan operasi tersebut secara skematis dapat disimak pada Tabel 2, sedangkan alur data pelaporan irigasi tertera pada Tabel 3. Tabel 2. Tingkat pengendalian debit dan kriteria jaringan irigasi (JI). Pengendalian Debit DPU Pengairan Propinsi/Tk.I
Tipe A
Kriteria Jaringan Irigasi (J.I) Uraian JI yang sumber airnya terkait dengan JI lain berada pada satu propinsi atau JI/bagian JI yang luas layanan meliputi lebih dari satu Balai SPDA dan berada dalam satu propinsi
Balai SPDA
B
JI yang sumber airnya terkait dengan JI lain berada pada satu Balai SPDA atau JI/bagian JI yang luas layanannya meliputi lebih dari satu Daerah TK.II dan berada dalam satu Balai SPDA
Dinas Pengairan Tk.II
C
JI yang sumber airnya terkait dengan JI lain berada pada satu Daerah Tk.II atau JI/bagian JI yang luas layanan meliputi lebih dari satu Cabang Dinas Tingkat II dan berada dalam satu Daerah Tk.III
Cabsie/Cabang Dinas Pengairan Tk. II
D
JI yang sumber airnya terkait dengan JI lain berada pada satu Cabang Dinas Tk.II atau bagian JI/satu Kemantren Pengairan dan berada dalam satu Cabang Dinas Tingkat II.
Cabsie/Cabang Dinas Pengairan Tk. II
E
JI yang sumber air serta luas layanannya berada pada satu Kemantren Pengairan
Keterangan : Perda Nomor 15 Tahun 1986 pasal 1. 1. Jaringan Irigasi (J.I) ialah bangunan dan saluran yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian, pemberian air serta penggnaannya 2. Daerah Irigasi (DI) ialah kesatuan wilayah yang mendapat air melalui/dari satu jaringan irigasi.
242 Lampiran 1. Lanjutan Tabel 3. Alur data pelaporan irigasi Data Tentang
Hujan
Debit dan Kadar Sedimen
Tanaman
Pimpinan Kemantren
Cab Seksi / Cab Din Tk II
Dinas Tk II
06-O
Register
03-O
01-O
Balai PSDA
Register
11-O
17-O
Evaluasi
09-O
18-O
Evaluasi
Evaluasi
Peragaan SO
Peragaan SO
Peragaan SO
Peragaan SO
04 - O
04 - O
04 - O
04 - O
04a – O
04a – O JL type C
04a – O JL type B
12- O
Evaluasi
02 - O
05 - O
25a - H
04a – O
JL type
Evaluasi
07-O
07-O
Lapangan
Tindakan
Tindakan
10 - O
10 - O
Evaluasi
Evaluasi
16 – O **)
Evaluasi **)
03 - O
Kerusakan Tanaman
Dinas Tk I / Propinsi
Evaluasi *) Evaluasi Evaluasi
15 - O 16 - O
Keadaan Waduk
13 - O
Evaluasi **)
13 - O 19 - O
22 - O
20 - O
23 - O
Evaluasi
Evaluasi
Evaluasi
Evaluasi
21 - O
Produksi padi Mutasi baku sawah
Rencana Tata Tanam
P.I. Tk Kec
P.I. Tk Kec
24 - O
24 - O
24 - O
26 - O
27 - O
27 - O
25 – O (HIPPA)
Analisa 3
Analisa 2
Analisa 1
Keterangan : *) Jika ada bencana alam **) D.I. type B dan atau kabupaten
243 Lampiran 1. Lanjutan LANGKAH-LANGKAH RENCANA PEMBAGIAN AIR 10 HARIAN (Pada formulir 04 – O di Cabang Seksi/Cabang Dinas Tk.II) Pelaksanaan 10 harian laporan : 1. Pindahkan data debit dari Formulir 01 – O meliputi : - Debit, limpasan bendung dan intek primer sekunder atau debit titik kontrol bila menerima air dari bagian jaringan irigasi di bagian hulu (untuk intake yang langsung ke tersier tidak perlu). Debit rata-rata 10 harian, semua saluran yang ada dan dijumlah 2. Pindahkan data LPR realisasi 10 hari laporan dari formulir 02 – O, atau hitung dan masukkan masing-masing saluran 3. Hitung kehilangan/suplesi air pada saluran sekunder/primer, berikut hitung pula efisien sejaringan irigasi (EI).
EI
Total Q tertier 100% ......% Q intake
Rencana/ Saran untuk 10 hari berikutnya : 1. Tentukan debit intake/titik kontrol Bila debit intake dan limpasan bendungan, cenderung naik atau cenderung turun maka debit akhir masa irigasi (10 hari) dipakai dasar menentukan debit rencana. Dapat pula sekaligus diperkirakan naik atau turun beberapa persen berdasarkan pengalaman Bila debit intake dan limpasan bendungan naik turun maka debit rata-rata intake/titik kontrol dipakai sebagai dasar menentukan deit neraca 2.
Masukkan LPRI rencana/rameng dari formulir 02 – O dan jumlahkan menjadi LPR sekunder/LPR primer
3.
Tentukan FPRt rencana yaitu :
FPRT
dimana : FPRt Qp EI LPRt LPRp
QP EI LPRP
atau
QP EI (Q suplesi) LPRp
atau disesuaikan
= Faktor palawija relatif di pintu tersier = Debit primer rencana = Efisien Irigasi = Luas Palawija Relatif di petak tersier = Luaas Palawija Relatif se-saluran primer dan bila intakenya sekunder disesuaikan yaitu LPRs (Total LPR semua petak tersiernya).
244 4.
5.
Tentukan debit tersier rencana yaitu LPRt x FPRt dan hitung pula debit-debit saluran sekunder dan primer. Debit sekunder – Total debit tersiernya kali seper efisien sekunder Tentukan system pembagian air yaitu secara terus-menerus/bergiliran
KEPUTUSAN PEMBAGIAN AIR DARI CABANG DINAS PENGAIRAN (Pada Formulir 04a – O) 1. Type jaringan irigasi D dan E pengendali debitnya Cabang dibuat Cabsie/Cabang Dinas Tk.II merupakan keputusan 2. Type jaringan irigasi C, keputusan dari Dinas Tk.II dengan mengingat : - Pembagian air sampai di pintu-pintu sadap tersier yang airnya berasal dari satu sumber air (misalnya sungai) maka FPRtnya diusahakan sama atau mendekati sama, baik tersier yang menyadap langsung maupun yang intakenya berupa saluran sekunder atau primer, kecuali ada perbedaan mencolok misalnya keadaan tanahnya berbeda jauh, dan sebagainya. ISIAN KOLOM-KOLOM Kolom Kolom Kolom Kolom Kolom Kolom
1: Nama Jaringan Irigasi/bagian jaringan irigasi 2: Luas D.I./bagian D.I. (baku sawah) 3: Faktor palawija relatif di pintu tersier 4: Total luas palawija relatif se-J.I./bagian J.I. 5: Total debit tersier se-J.I./bagian J.I. 6: Efisiensi irigasi dari pintu saluran tersier samapi ke intake/titik kontrol bagian jaringan irigasi (kolom 5 dibagi kolom 6 atau kolom 5 kali seper kolom 6) Kolom 7: Debit intake/titik kontrol bagian jaringan irigasi (kolom 5 dibagi kolom 6 atau kolom 5 kali seper-kolom 6) Kolom 8: Faktor Palawija Relatif di pintu intake/titik kontrol yaitu kolom 7 dibagi kolom 4. Kolom berikutnya adalah pembagian air pada hari-hari mengalir pada satu periode 10 harian. Keputusan ini dibuat oleh Casie/Cabang Dinas Tk.II apabila sumber air atau system Irigasi/J.I-nya meliputi lebih dari satu Cabsie/Cabang Dinas Tk.II (J.I. tipe C).
245 Lampiran 2. Rata-rata penerimaan, biaya dan laba usahatani di lahan pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 (Rp. 103/Ha) Kelompok komoditas
Musim tanam
Biaya Periode Penerimaan pengusahaan Tunai Total
Keuntungan Tunai Total
Sub DAS Hulu: Padi
MH
okt-jan
5311.5
2870.5
2440.9
4708.2
603.3
Padi
MH
nov-feb
5466.0
2509.3
4862.4
2956.6
603.6
Padi
MH
des-mar
5163.5
2372.9
4587.4
2790.5
576.1
Padi
MH
jan-apr
5106.7
2338.4
4534.0
2768.4
572.7
Padi
MK1
feb-mei
5339.8
2413.7
4705.4
2926.1
634.4
Padi
MK1
mar-jun
5398.5
2435.9
4777.9
2962.6
620.6
Padi
MK1
apr-jul
5305.7
2394.9
4693.7
2910.8
612.0
Padi
MK1
mei-ags
5419.2
2440.6
4795.0
2978.6
624.2
Padi
MK2
jun-sep
5319.2
2464.5
4743.5
2854.7
575.7
Padi
MK2
jul-okt
5298.4
2503.1
4728.5
2795.4
569.9
Padi
MK2
ags-nov
5268.6
2756.9
4695.1
2511.7
573.5
Padi
MK2
sep-des
5220.0
2712.4
4651.4
2507.5
568.6
P/H_1
MH
okt-jan
6771.5
3164.5
6054.2
3607.0
717.2
P/H_1
MH
nov-feb
6707.5
3134.4
5986.4
3573.1
721.1
P/H_1
MH
des-mar
6785.0
3176.0
6054.3
3608.9
730.7
P/H_1
MH
jan-apr
6792.2
3169.5
6067.5
3622.7
724.7
P/H_1
MK1
feb-mei
7775.6
3545.7
6922.8
4229.8
852.8
P/H_1
MK1
mar-jun
8077.8
3686.5
7213.5
4391.3
864.3
P/H_1
MK1
apr-jul
7956.7
3630.5
7087.1
4326.2
869.6
P/H_1
MK1
mei-ags
7968.7
3602.6
7080.5
4366.1
888.2
P/H_1
MK2
jun-sep
6672.3
3104.5
6001.2
3567.9
671.2
P/H_1
MK2
jul-okt
6703.6
3117.6
6054.3
3586.0
649.3
P/H_1
MK2
ags-nov
6647.5
3087.9
6004.2
3559.6
643.3
P/H_1
MK2
sep-des
6582.1
3052.0
5940.7
3530.2
641.4
P/H_2
MH
okt-des
5412.8
2481.4
4808.7
2931.4
604.1
P/H_2
MH
nov-jan
5446.1
2496.7
4844.0
2949.5
602.1
P/H_2
MH
des-feb
5403.0
2476.9
4801.3
2926.1
601.7
P/H_2
MH
jan-mar
5489.4
2516.5
4878.2
2972.9
611.3
P/H_2
MK1
feb-apr
5852.5
2699.0
5201.5
3153.5
651.0
P/H_2
MK1
mar-mei
5951.2
2744.6
5290.8
3206.7
660.4
P/H_2
MK1
apr-jun
5993.2
2763.9
5311.9
3229.3
681.3
P/H_2
MK1
mei-jul
5923.2
2731.6
5236.4
3191.5
686.7
P/H_2
MK2
jun-ags
6216.6
2937.3
5485.4
3279.3
731.3
P/H_2
MK2
jul-sep
6442.5
3044.1
5691.5
3398.4
751.0
P/H_2
MK2
ags-okt
6056.7
2861.8
5327.1
3194.9
729.6
P/H_2
MK2
sep-nov
6145.8
2903.9
5412.2
3241.9
733.6
Tebu
Setahun
okt-sep
8408.7
3943.5
7549.0
4465.2
859.7
246 Lampiran 2. Lanjutan (Rp. 103/Ha) Kelompok komoditas
Musim tanam
Biaya Periode Penerimaan pengusahaan Tunai Total
Keuntungan Tunai Total
Sub DAS Tengah: Padi
MH
okt-jan
5556.9 2572.1 4921.3 2984.8
635.7
Padi
MH
nov-feb
5500.8 2543.3 4889.1 2957.5
611.7
Padi
MH
des-mar
5372.6 2486.7 4768.9 2886.0
603.7
Padi
MH
jan-apr
5258.6 2425.1 4664.7 2833.5
594.0
Padi
MK1
feb-mei
5438.0 2485.5 4799.6 2952.5
638.4
Padi
MK1
mar-jun
5497.6 2508.3 4873.1 2989.3
624.6
Padi
MK1
apr-jul
5490.5 2506.2 4861.6 2984.2
628.9
Padi
MK1
mei-ags
5470.3 2496.3 4831.8 2974.0
638.5
Padi
MK2
jun-sep
5407.0 2563.1 4808.2 2843.9
598.7
Padi
MK2
jul-okt
5418.0 2568.3 4833.2 2849.6
584.8
Padi
MK2
ags-nov
5493.5 2829.7 4904.9 2663.8
588.6
Padi
MK2
sep-des
5505.4 2782.7 4922.1 2722.6
583.3
P/H_1
MH
okt-jan
6806.3 3180.7 6085.3 3625.5
720.9
P/H_1
MH
nov-feb
6914.9 3231.3 6171.6 3683.6
743.4
P/H_1
MH
des-mar
6994.8 3274.3 6236.3 3720.5
758.6
P/H_1
MH
jan-apr
7002.3 3267.5 6271.7 3734.7
730.6
P/H_1
MK1
feb-mei
7476.5 3409.4 6665.7 4067.1
810.8
P/H_1
MK1
mar-jun
7620.6 3477.8 6787.3 4142.8
833.3
P/H_1
MK1
apr-jul
7650.7 3490.9 6824.8 4159.8
825.9
P/H_1
MK1
mei-ags
7378.4 3335.7 6573.6 4042.7
804.8
P/H_1
MK2
jun-sep
6739.7 3135.8 6073.5 3603.9
666.2
P/H_1
MK2
jul-okt
6771.3 3149.1 6118.1 3622.2
653.2
P/H_1
MK2
ags-nov
6714.7 3119.1 6072.3 3595.6
642.4
P/H_1
MK2
sep-des
6648.6 3082.8 6013.2 3565.8
635.4
P/H_2
MH
okt-des
5804.7 2661.0 5156.9 3143.6
647.8
P/H_2
MH
nov-jan
5745.7 2634.0 5110.5 3111.7
635.2
P/H_2
MH
des-feb
5681.6 2604.6 5048.8 3077.0
632.8
P/H_2
MH
jan-mar
5786.9 2652.9 5159.4 3134.0
627.4
P/H_2
MK1
feb-apr
6158.2 2840.0 5441.1 3318.2
717.1
P/H_2
MK1
mar-mei
6258.9 2886.5 5553.7 3372.5
705.2
P/H_2
MK1
apr-jun
6297.0 2904.0 5602.6 3393.0
694.4
P/H_2
MK1
mei-jul
6221.6 2869.3 5532.4 3352.4
689.3
P/H_2
MK2
jun-ags
6516.8 3079.2 5748.2 3437.6
768.6
P/H_2
MK2
jul-sep
6532.0 3086.3 5770.5 3445.6
761.4
P/H_2
MK2
ags-okt
6234.5 2945.8 5494.8 3288.7
739.7
P/H_2
MK2
sep-nov
6148.2 2905.0 5418.6 3243.2
729.6
Tebu
Setahun okt-sep
8610.7 4038.3 7730.3 4572.4
880.3
247 Lampiran 2. Lanjutan (Rp. 103/Ha) Biaya Periode Penerimaan pengusahaan Tunai Total
Keuntungan Tunai Total
Sub DAS Hilir: Padi MH
okt-jan
5411.8
2529.7
4786.6
2882.1
625.2
Padi
MH
nov-feb
5499.1
2550.0
4914.7
2949.0
584.4
Padi
MH
des-mar
5285.3
2453.4
4689.6
2831.8
595.7
Padi
MH
jan-apr
5200.3
2405.2
4611.2
2795.0
589.1
Padi
MK1
feb-mei
5392.3
2471.7
4766.1
2920.6
626.2
Padi
MK1
mar-jun
5446.0
2494.4
4839.4
2951.5
606.6
Padi
MK1
apr-jul
5402.4
2472.9
4785.0
2929.6
617.5
Padi
MK1
mei-ags
5342.2
2490.6
4705.2
2851.6
637.0
Padi
MK2
jun-sep
5350.5
2538.3
4772.0
2812.2
578.5
Padi
MK2
jul-okt
5170.7
2453.0
4606.4
2717.7
564.3
Padi
MK2
ags-nov
5190.5
2701.7
4628.5
2488.7
562.0
Padi
MK2
sep-des
5104.5
2658.2
4547.3
2446.3
557.2
P/H_1
MH
okt-jan
6723.1
3141.9
6011.0
3581.3
712.1
P/H_1
MH
nov-feb
6671.9
3117.8
5954.7
3554.1
717.2
P/H_1
MH
des-mar
6748.9
3159.2
6006.0
3589.8
742.9
P/H_1
MH
jan-apr
6756.1
3152.7
6023.2
3603.5
732.9
P/H_1
MK1
feb-mei
7401.7
3375.3
6599.0
4026.5
802.7
P/H_1
MK1
mar-jun
7544.4
3443.1
6747.9
4101.3
796.5
P/H_1
MK1
apr-jul
7574.2
3456.0
6794.8
4118.2
779.3
P/H_1
MK1
mei-ags
6861.9
3102.2
6104.0
3759.7
758.0
P/H_1
MK2
jun-sep
6807.1
3167.2
6160.7
3639.9
646.4
P/H_1
MK2
jul-okt
6839.0
3180.6
6176.6
3658.4
662.4
P/H_1
MK2
ags-nov
6311.8
2931.9
5713.6
3379.9
598.2
P/H_1
MK2
sep-des
6249.7
2897.8
5659.1
3351.9
590.6
P/H_2
MH
okt-des
5349.5
2452.4
4752.5
2897.2
597.0
P/H_2
MH
nov-jan
4699.4
2154.4
4115.8
2545.1
583.7
P/H_2
MH
des-feb
4679.0
2145.0
4092.6
2534.0
586.3
P/H_2
MH
jan-mar
5657.4
2593.5
5034.9
3063.9
622.6
P/H_2
MK1
feb-apr
5997.4
2765.8
5255.4
3231.5
742.0
P/H_2
MK1
mar-mei
6308.9
2909.5
5587.4
3399.4
721.5
P/H_2
MK1
apr-jun
6483.1
2989.8
5767.5
3493.2
715.6
P/H_2
MK1
mei-jul
6307.4
2908.8
5618.9
3398.6
688.5
P/H_2
MK2
jun-ags
6170.4
2915.5
5423.1
3254.9
747.2
P/H_2
MK2
jul-sep
6722.9
3176.6
5939.3
3546.4
783.7
P/H_2
MK2
ags-okt
6316.5
2984.5
5577.9
3332.0
738.6
P/H_2
MK2
sep-nov
5764.2
2723.5
5036.0
3040.6
728.1
Tebu
Setahun
okt-sep
8780.5
4117.9
7882.8
4662.6
897.7
Kelompok komoditas
Musim tanam
248 Lampiran 3. Lokasi penelitian dalam peta Daerah Aliran Sungai Brantas
Sub DAS Hulu
Sub DAS Tengah
Sub DAS Hilir
Lokasi Contoh
249 Lampiran 4.
Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS Brantas Hulu untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut waktu pengusahaannya (103 m3/Ha)
Bulan Kelompok Siklus Kode komoditas (bulan) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Padi 4 X1 2.517 1.265 0.643 0.448
Palawija/ hortikultur-1
Palawija/ hortikultur-2
Tebu
Jul Ags sep
Total 4.873
4 4 4
X2 X3 X4
1.734 0.967 0.562 0.461 0.796 0.534 0.487 0.534 0.485 0.518 0.679 0.780
3.724 2.351 2.462
4 4
X5 X6
4
X7
4 4
X8 X9
4 4 4
X10 X11 X12
1.700 1.993 0.879 2.227 1.052 0.205
4 4 4 4
X13 X14 X15 X16
1.039 0.420 0.135 0.016 0.464 0.135 0.065 0.047 0.148 0.070 0.111 0.093 0.075 0.124 0.295 0.181
4 4 4
X17 X18 X19
4 4
X20 X21
4
X22
0.456
4 4
X23 X24
1.174 0.301 1.244 0.596 0.016
3 3 3
X25 X26 X27
0.938 0.422 0.104 0.420 0.137 0.065 0.117 0.070 0.153
3 3 3 3
X28 X29 X30 X31
3 3 3
X32 X33 X34
3 3
X35 X36
0.985 1.182 0.555
12
X37
1.449 0.710 0.238 0.119 0.220 0.428 0.721 0.861 0.886 0.905 0.995 1.337 8.869
1.011 1.244 1.744 1.807 1.244 1.571 2.154 2.084
5.806 7.053
1.394 1.993 2.649 2.361
8.397
2.172 2.913 2.657 1.952 9.694 2.201 2.626 2.799 2.050 9.676 2.543 2.797 2.610 9.650 2.649 2.825 8.346 2.945 6.429 1.610 0.711 0.422 0.675
0.197 0.228 0.311 0.215 0.342 0.402 0.544 0.451 0.474 0.552 0.881 0.526
0.951 1.739 2.433
0.682 0.933 1.148 0.609 3.372 0.780 1.314 1.527 0.604 4.225 0.985 1.457 1.454 4.352 1.288 1.690 4.453 1.431 3.287 1.464 0.622 0.340
0.083 0.163 0.376 0.226 0.283 0.407 0.381 0.472 0.645 0.524 0.679 1.078
0.622 0.916 1.498 2.281
0.739 1.081 1.304 3.124 0.894 1.366 1.317 3.577 1.109 1.617 1.343 4.069 1.384 1.646 4.015 1.446 3.183
250 Lampiran 5.
Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS Brantas Tengah untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut waktu pengusahaannya (103 m3/Ha)
Kelompok komoditas Padi
Palawija/ hortikultur-1
Palawija/ hortikultur-2
Tebu
Bulan Siklus Kode Total (bulan) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags sep 4 Y1 2.532 1.260 0.635 0.441 4.868 4 4 4
Y2 Y3 Y4
1.724 0.954 0.550 0.451 0.785 0.524 0.477 0.526 0.477 0.508 0.669 0.772
3.679 2.312 2.426
4 4
Y5 Y6
4
Y7
4 4
Y8 Y9
4 4 4
Y10 Y11 Y12
1.708 1.993 0.884 2.239 1.045 0.202
4 4 4 4
Y13 Y14 Y15 Y16
1.045 0.420 0.135 0.016 0.464 0.135 0.062 0.044 0.143 0.070 0.109 0.093 0.075 0.124 0.293 0.176
4 4 4
Y17 Y18 Y19
4 4
Y20 Y21
4
Y22
0.461
4 4
Y23 Y24
1.182 0.301 1.252 0.594 0.016
3 3 3
Y25 Y26 Y27
0.946 0.422 0.101 0.420 0.135 0.062 0.117 0.067 0.148
3 3 3 3
Y28 Y29 Y30 Y31
3 3 3
Y32 Y33 Y34
3 3
Y35 Y36
0.993 1.190 0.552
12
Y37
1.457 0.710 0.228 0.114 0.215 0.422 0.713 0.861 0.892 0.933 1.001 1.350 8.896
0.990 1.223 1.724 1.791 1.223 1.553 2.136 2.081
5.728 6.993
1.379 1.975 2.644 2.366
8.364
2.154 2.908 2.659 1.965 9.686 2.203 2.631 2.815 2.045 9.694 2.548 2.812 2.639 9.707 2.665 2.856 8.398 2.978 6.464 1.616 0.705 0.415 0.668
0.194 0.223 0.308 0.215 0.340 0.399 0.539 0.448 0.469 0.547 0.879 0.526
0.940 1.726 2.421
0.677 0.931 1.151 0.612 3.371 0.778 1.317 1.537 0.612 4.244 0.988 1.467 1.470 4.386 1.296 1.708 4.487 1.446 3.308 1.469 0.617 0.332
0.083 0.161 0.371 0.220 0.275 0.402 0.376 0.464 0.640 0.516 0.674 1.073
0.615 0.897 1.480 2.263
0.734 1.076 1.304 3.114 0.889 1.369 1.327 3.585 1.109 1.628 1.358 4.095 1.392 1.664 4.049 1.462 3.204
251 Lampiran 6.
Kelompok komoditas Padi
Palawija/ hortikultur-1
Palawija/ hortikultur-2
Tebu
Estimasi kebutuhan air irigasi di pesawaahan irigasi teknis di Sub DAS Brantas Hilir untuk setiap kelompok komoditas dirinci menurut waktu pengusahaannya (103 m3/Ha) Bulan Siklus Kode Total (bulan) Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags sep 4 Z1 2.538 1.247 0.622 0.430 4.837 4 4 4
Z2 Z3 Z4
1.708 0.938 0.537 0.443 0.772 0.508 0.467 0.516 0.467 0.495 0.653 0.759
3.626 2.263 2.374
4 4 4 4
Z5 Z6 Z7 Z8
4 4 4
Z9 Z10 Z11
1.713 1.988 0.892
4 4
Z12 Z13
2.245 1.037 0.197 1.047 0.415 0.130 0.013
4
Z14
4 4
Z15 Z16
4 4 4
Z17 Z18 Z19
4 4 4 4
Z20 Z21 Z22 Z23
0.459 1.185 0.298
4 3 3
Z24 Z25 Z26
1.255 0.591 0.016 0.949 0.417 0.101 0.415 0.132 0.060
3 3
Z27 Z28
3 3 3
Z29 Z30 Z31
3 3
Z32 Z33
3
Z34
3 3
Z35 Z36
0.993 1.192 0.547
12
Z37
1.459 0.715 0.220 0.109 0.207 0.412 0.705 0.855 0.897 0.933 1.003 1.363 8.878
0.967 1.200 1.695 1.770 1.198 1.527 2.110 2.074 1.356 1.952 2.631 2.356 2.128 2.890 2.652 1.967
5.632 6.909 8.295 9.637
2.195 2.623 2.823 2.045 9.686 2.540 2.820 2.657 9.730 2.670 2.877 8.427 2.999 6.478 1.605
0.459 0.130 0.060 0.044
0.693
0.143 0.067 0.106 0.091 0.073 0.122 0.285 0.174
0.407 0.654
0.192 0.220 0.303 0.213 0.332 0.391 0.534 0.446 0.461 0.542 0.871 0.526
0.928 1.703 2.400
0.669 0.923 1.148 0.614 3.354 0.770 1.314 1.540 0.614 4.238 0.982 1.470 1.480 4.391 1.299 1.721 4.503 1.454 3.316 1.467 0.607
0.114 0.067 0.145 0.080 0.158 0.365
0.326 0.603
0.215 0.270 0.397 0.368 0.459 0.632 0.508 0.666 1.065
0.882 1.459 2.239
0.726 1.068 1.299 0.881 1.363 1.330
3.093 3.574
1.104 1.630 1.369 4.103 1.394 1.677 4.064 1.472 3.211
252 Lampiran 7.
Kebutuhan modal tunai usahatani di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 (Rp. 106/Ha)
Kelompok komoditas Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 Tebu
Musim MH MH MH MH MK1 MK1 MK1 MK1 MK2 MK2 MK2 MK2 MH MH MH MH MK1 MK1 MK1 MK1 MK2 MK2 MK2 MK2 MH MH MH MH MK1 MK1 MK1 MK1 MK2 MK2 MK2 MK2 Setahun
Periode pengusahaan okt-jan nov-feb des-mar jan-apr feb-mei mar-jun apr-jul mei-ags jun-sep jul-okt ags-nov sep-des okt-jan nov-feb des-mar jan-apr feb-mei mar-jun apr-jul mei-ags jun-sep jul-okt ags-nov sep-des okt-des nov-jan des-feb jan-mar feb-apr mar-mei apr-jun mei-jul jun-ags jul-sep ags-okt sep-nov okt-sep
Sub DAS Hulu 2.441 2.485 2.373 2.338 2.414 2.436 2.395 2.441 2.464 2.493 2.557 2.512 3.964 3.934 3.976 3.969 4.268 4.409 4.353 4.325 3.904 3.918 3.888 3.852 2.481 2.497 2.477 2.517 2.699 2.745 2.764 2.732 2.937 3.044 2.862 2.904 3.943
Sub DAS Tengah 2.572 2.494 2.487 2.425 2.485 2.508 2.506 2.496 2.563 2.468 2.530 2.583 3.981 4.031 4.074 4.068 4.131 4.200 4.213 4.058 3.936 3.949 3.919 3.883 2.561 2.534 2.505 2.653 2.840 2.886 2.904 2.869 3.079 3.086 2.946 2.905 4.039
Sub DAS Hilir 2.530 2.480 2.453 2.405 2.472 2.494 2.473 2.491 2.518 2.446 2.502 2.518 3.942 3.918 3.959 3.953 4.097 4.165 4.178 3.824 3.967 3.981 3.732 3.698 2.452 2.354 2.345 2.594 2.766 2.910 2.990 2.909 2.915 3.177 2.985 2.824 4.095
253 Lampiran 8. Kebutuhan tenaga kerja usahatani untuk setiap kelompok komoditas di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 *) Kelompok Musim komoditas Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_1 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 P/H_2 Tebu
MH MH MH MH MK1 MK1 MK1 MK1 MK2 MK2 MK2 MK2 MH MH MH MH MK1 MK1 MK1 MK1 MK2 MK2 MK2 MK2 MH MH MH MH MK1 MK1 MK1 MK1 MK2 MK2 MK2 MK2 Setahun
Periode pengusahaan okt-jan nov-feb des-mar jan-apr feb-mei mar-jun apr-jul mei-ags jun-sep jul-okt ags-nov sep-des okt-jan nov-feb des-mar jan-apr feb-mei mar-jun apr-jul mei-ags jun-sep jul-okt ags-nov sep-des okt-des nov-jan des-feb jan-mar feb-apr mar-mei apr-jun mei-jul jun-ags jul-sep ags-okt sep-nov MH
Hulu
Tengah
Hilir
Manusia Mesin Manusia Mesin Manusia Mesin
175.8 182.8 176.8 178.7 180.9 180.9 178.0 182.2 192.9 195.5 195.5 195.6 197.8 192.8 192.8 192.8 187.6 191.2 187.6 194.8 149.6 149.6 149.6 149.6 181.0 184.0 184.6 184.2 173.6 173.7 173.9 173.9 128.5 132.9 130.9 134.7 232.4
3.1 3.2 3.1 3.1 2.9 2.9 2.9 3.0 2.8 2.8 2.8 2.8 1.0 1.0 1.0 1.0 2.5 2.5 2.5 2.6 2.2 2.2 2.2 2.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 2.0
173.2 173.2 173.2 173.2 174.1 174.1 174.1 174.1 187.5 187.5 187.5 187.5 185.8 185.8 185.8 185.8 168.6 168.6 168.6 168.6 141.2 141.2 141.2 141.2 181.4 181.4 181.4 181.4 170.7 170.7 170.7 170.7 125.9 125.9 125.9 125.9 227.0
3.0 3.0 3.0 3.0 2.8 2.8 2.8 2.8 2.7 2.7 2.7 2.7 1.0 1.0 1.0 1.0 2.2 2.2 2.2 2.2 2.1 2.1 2.1 2.1 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 1.9
173.7 177.1 174.3 175.2 176.6 176.6 175.2 177.2 189.4 182.7 182.6 182.7 187.2 182.8 182.8 182.8 170.2 170.2 170.2 159.9 145.5 145.5 135.4 135.4 170.6 151.4 152.4 180.9 169.6 175.6 179.3 176.6 121.6 132.2 130.1 120.4 233.6
3.1 3.1 3.1 3.1 2.9 2.9 2.9 2.9 2.8 2.8 2.8 2.8 1.0 1.0 1.0 1.0 2.3 2.3 2.3 2.3 2.1 2.1 2.1 2.1 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 1.9
*) Satuan untuk tenaga kerja manusia adalah Hari Orang Kerja setara pria (HOKP), sedangkan untuk tenaga kerja mesin adalah Hari Kerja Mesin. Keduanya adalah untuk satu siklus produksi.
254 Lampiran 9. Pemrograman linier untuk valuasi air irigasi dengan metode CINI MAX 603.27X1 + 603.56X2 + 576.12X3 + 572.70X4 + 634.44X5 + 620.59X6 + 611.99X7 + 624.21X8 + 575.70X9 + 569.90X10 + 573.47X11 + 568.55X12 + 717.24X13 + 721.05X14 + 730.70X15 + 724.66X16 + 852.77X17 + 864.32X18 + 869.57X19 + 888.18X20 + 671.17X21 + 649.26X22 + 643.34X23 + 641.40X24 + 604.06X25 + 602.09X26 + 601.73X27 + 611.26X28 + 651.00X29 + 660.40X30 + 681.28X31 + 686.72X32 + 731.27X33 + 751.00X34 + 729.61X35 + 733.60X36 + 859.68X37 + 635.68Y1 + 611.72Y2 + 603.72Y3 + 593.96Y4 + 638.40Y5 + 624.56Y6 + 628.86Y7 + 638.46Y8 + 598.74Y9 + 584.76Y10 + 588.60Y11 + 583.29Y12 + 720.93Y13 + 743.35Y14 + 758.55Y15 + 730.57Y16 + 810.83Y17 + 833.33Y18 + 825.89Y19 + 804.78Y20 + 666.19Y21 + 653.18Y22 + 642.40Y23 + 635.39Y24 + 647.80Y25 + 635.21Y26 + 632.76Y27 + 627.44Y28 + 717.08Y29 + 705.24Y30 + 694.43Y31 + 689.25Y32 + 768.57Y33 + 761.43Y34 + 739.71Y35 + 729.59Y36 + 880.33Y37 + 625.20Z1 + 584.41Z2 + 595.67Z3 + 589.09Z4 + 626.17Z5 + 606.56Z6 + 617.45Z7 + 637.00Z8 + 578.48Z9 + 564.29Z10 + 562.00Z11 + 557.19Z12 + 712.12Z13 + 717.23Z14 + 742.89Z15 + 732.90Z16 + 802.73Z17 + 796.49Z18 + 779.33Z19 + 757.95Z20 + 646.42Z21 + 662.38Z22 + 598.22Z23 + 590.56Z24 + 597.00Z25 + 583.69Z26 + 586.32Z27 + 622.57Z28 + 741.96Z29 + 721.47Z30 + 715.57Z31 + 688.50Z32 + 747.21Z33 + 783.69Z34 + 738.60Z35 + 728.13Z36 + 897.69Z37 SUBJECT TO 1)
2.517X1 + 1.700X10 + 1.993X11 + 2.227X12 + 1.039X13 + 0.456X22 + 1.174X23 + 1.244X24 + 0.938X25 + 0.985X35 + 1.182X36 + 1.449X37 + 1.000A10 <= 26188.273
2)
1.265X1 + 1.734X2 + 0.879X11 + 1.052X12 + 0.420X13 + 0.464X14 + 0.301X23 + 0.596X24 + 0.422X25 + 0.420X26 + 0.555X36 + 0.710X37 + 1.000A11 <= 29655.456
3)
0.643X1 + 0.967X2 + 0.796X3 + 0.205X12 + 0.135X13 + 0.135X14 + 0.148X15 + 0.016X24 + 0.104X25 + 0.137X26 + 0.117X27 + 0.238X37 <= 41406.422
4)
0.448X1 + 0.562X2 + 0.534X3 + 0.485X4 + 0.016X13 + 0.065X14 + 0.070X15 + 0.075X16 + 0.065X26 + 0.070X27 + 0.083X28 + 0.119X37 <= 42621.811
5)
0.461X2 + 0.487X3 + 0.518X4 + 1.011X5 + 0.047X14 + 0.111X15 + 0.124X16 + 0.197X17 + 0.153X27 + 0.163X28 + 0.226X29 + 0.220X37 <= 41130.893
6)
0.534X3 + 0.679X4 + 1.244X5 + 1.244X6 + 0.093X15 + 0.295X16 + 0.228X17 + 0.342X18 + 0.376X28 + 0.283X29 + 0.381X30 + 0.428X37 <= 39173.933
7)
0.780X4 + 1.744X5 + 1.571X6 + 1.394X7 + 0.181X16 + 0.311X17 + 0.402X18 + 0.474X19 + 0.407X29 + 0.472X30 + 0.524X31 + 0.721X37 <= 35956.742
8)
1.807X5 + 2.154X6 + 1.993X7 + 2.172X8 + 0.215X17 + 0.544X18 + 0.552X19 + 0.682X20 + 0.645X30 + 0.679X31 + 0.739X32 + 0.861X37 <= 31791.658
9)
2.084X6 + 2.649X7 + 2.913X8 + 2.201X9 + 0.451X18 + 0.881X19 + 0.933X20 + 0.780X21 + 1.078X31 + 1.081X32 + 0.894X33 + 0.886X37 + 1.000A6 <= 31405.258
10)
2.361X7 + 2.657X8 + 2.626X9 + 2.543X10 + 0.526X19 + 1.148X20 + 1.314X21 + 0.985X22 + 1.304X32 + 1.366X33 + 1.109X34 + 0.905X37 + 1.000A7 <= 26683.824
11)
1.952X8 + 2.799X9 + 2.797X10 + 2.649X11 + 0.609X20 + 1.527X21 + 1.457X22 + 1.288X23 + 1.317X33 + 1.617X34 + 1.384X35 + 0.995X37 + 1.000A8 <= 26077.456
12)
2.050X9 + 2.610X10 + 2.825X11 + 2.945X12 + 0.604X21 + 1.454X22 + 1.690X23 + 1.431X24 + 1.343X34 + 1.646X35 + 1.446X36 + 1.337X37 + 1.000A9 <= 25185.643
13)
2.532Y1 + 1.708Y10 + 1.993Y11 + 2.239Y12 + 1.045Y13 + 0.461Y22 + 1.182Y23 + 1.252Y24 + 0.946Y25 + 0.993Y35 + 1.190Y36 + 1.457Y37 - 1.000B10 + 1.000C10 <= 21499.464
14)
1.260Y1 + 1.724Y2 + 0.884Y11 + 1.045Y12 + 0.420Y13 + 0.464Y14 + 0.301Y23 + 0.594Y24 + 0.422Y25 + 0.420Y26 + 0.552Y36 + 0.710Y37 - 1.000B11 + 1.000C11 <= 31917.820
15)
0.635Y1 + 0.954Y2 + 0.785Y3 + 0.202Y12 + 0.135Y13 + 0.135Y14 + 0.143Y15 + 0.016Y24 + 0.101Y25 + 0.135Y26 + 0.117Y27 + 0.228Y37 <= 65560.234
16)
0.441Y1 + 0.550Y2 + 0.524Y3 + 0.477Y4 + 0.016Y13 + 0.062Y14 + 0.070Y15 + 0.075Y16 + 0.062Y26 + 0.067Y27 + 0.083Y28 + 0.114Y37 <= 68341.968
17)
0.451Y2 + 0.477Y3 + 0.508Y4 + 0.990Y5 + 0.044Y14 + 0.109Y15 + 0.124Y16 + 0.194Y17 + 0.148Y27 + 0.161Y28 + 0.220Y29 + 0.215Y37 <= 64715.760
18)
0.526Y3 + 0.669Y4 + 1.223Y5 + 1.223Y6 + 0.093Y15 + 0.293Y16 + 0.223Y17 + 0.340Y18 + 0.371Y28 + 0.275Y29 + 0.376Y30 + 0.422Y37 <= 60389.971
255 Lampiran 9. Lanjutan 19)
0.772Y4 + 1.724Y5 + 1.553Y6 + 1.379Y7 + 0.176Y16 + 0.308Y17 + 0.399Y18 + 0.469Y19 + 0.402Y29 + 0.464Y30 + 0.516Y31 + 0.713Y37 <= 52347.254
20)
1.791Y5 + 2.136Y6 + 1.975Y7 + 2.154Y8 + 0.215Y17 + 0.539Y18 + 0.547Y19 + 0.677Y20 + 0.640Y30 + 0.674Y31 + 0.734Y32 + 0.861Y37 <= 43303.766
21)
2.081Y6 + 2.644Y7 + 2.908Y8 + 2.203Y9 + 0.448Y18 + 0.879Y19 + 0.931Y20 + 0.778Y21 + 1.073Y31 + 1.076Y32 + 0.889Y33 + 0.892Y37 - 1.000B6 + 1.000C6 <= 34745.098
22)
2.366Y7 + 2.659Y8 + 2.631Y9 + 2.548Y10 + 0.526Y19 + 1.151Y20 + 1.317Y21 + 0.988Y22 + 1.304Y32 + 1.369Y33 + 1.109Y34 + 0.933Y37 - 1.000B7 + 1.000C7 <= 22422.858
23)
1.965Y8 + 2.815Y9 + 2.812Y10 + 2.665Y11 + 0.612Y20 + 1.537Y21 + 1.467Y22 + 1.296Y23 + 1.327Y33 + 1.628Y34 + 1.392Y35 + 1.001Y37 - 1.000B8 + 1.000C8 <= 21204.820
24)
2.045Y9 + 2.639Y10 + 2.856Y11 + 2.978Y12 + 0.612Y21 + 1.470Y22 + 1.708Y23 + 1.446Y24 + 1.358Y34 + 1.664Y35 + 1.462Y36 + 1.350Y37 - 1.000B9 + 1.000C9 <= 20490.657
25)
2.538Z1 + 1.713Z10 + 1.988Z11 + 2.245Z12 + 1.047Z13 + 0.459Z22 + 1.185Z23 + 1.255Z24 + 0.949Z25 + 0.993Z35 + 1.192Z36 + 1.459Z37 - 1.000D10 <= 17906.573
26)
1.247Z1 + 1.708Z2 + 0.892Z11 + 1.037Z12 + 0.415Z13 + 0.459Z14 + 0.298Z23 + 0.591Z24 + 0.417Z25 + 0.415Z26 + 0.547Z36 + 0.715Z37 - 1.000D11 <= 26958.355
27)
0.622Z1 + 0.938Z2 + 0.772Z3 + 0.197Z12 + 0.130Z13 + 0.130Z14 + 0.143Z15 + 0.016Z24 + 0.101Z25 + 0.132Z26 + 0.114Z27 + 0.220Z37 <= 61861.968
28)
0.430Z1 + 0.537Z2 + 0.508Z3 + 0.467Z4 + 0.013Z13 + 0.060Z14 + 0.067Z15 + 0.073Z16 + 0.060Z26 + 0.067Z27 + 0.080Z28 + 0.109Z37 <= 63571.910
29)
0.443Z2 + 0.467Z3 + 0.495Z4 + 0.967Z5 + 0.044Z14 + 0.106Z15 + 0.122Z16 + 0.192Z17 + 0.145Z27 + 0.158Z28 + 0.215Z29 + 0.207Z37 <= 61250.515
30)
0.516Z3 + 0.653Z4 + 1.200Z5 + 1.198Z6 + 0.091Z15 + 0.285Z16 + 0.220Z17 + 0.332Z18 + 0.365Z28 + 0.270Z29 + 0.368Z30 + 0.412Z37 <= 56904.509
31)
0.759Z4 + 1.695Z5 + 1.527Z6 + 1.356Z7 + 0.174Z16 + 0.303Z17 + 0.391Z18 + 0.461Z19 + 0.397Z29 + 0.459Z30 + 0.508Z31 + 0.705Z37 <= 49529.232
32)
1.770Z5 + 2.110Z6 + 1.952Z7 + 2.128Z8 + 0.213Z17 + 0.534Z18 + 0.542Z19 + 0.669Z20 + 0.632Z30 + 0.666Z31 + 0.726Z32 + 0.855Z37 <= 42772.147
33)
2.074Z6 + 2.631Z7 + 2.890Z8 + 2.195Z9 + 0.446Z18 + 0.871Z19 + 0.923Z20 + 0.770Z21 + 1.065Z31 + 1.068Z32 + 0.881Z33 + 0.897Z37 - 1.000D6 <= 31822.243
34)
2.356Z7 + 2.652Z8 + 2.623Z9 + 2.540Z10 + 0.526Z19 + 1.148Z20 + 1.314Z21 + 0.982Z22 + 1.299Z32 + 1.363Z33 + 1.104Z34 + 0.933Z37 - 1.000D7 <= 18749.232
35)
1.967Z8 + 2.823Z9 + 2.820Z10 + 2.670Z11 + 0.614Z20 + 1.540Z21 + 1.470Z22 + 1.299Z23 + 1.330Z33 + 1.630Z34 + 1.394Z35 + 1.003Z37 - 1.000D8 <= 17862.250
36)
2.045Z9 + 2.657Z10 + 2.877Z11 + 2.999Z12 + 0.614Z21 + 1.480Z22 + 1.721Z23 + 1.454Z24 + 1.369Z34 + 1.677Z35 + 1.472Z36 + 1.363Z37 - 1.000D9 <= 16498.080
37)
2.517X1 + 1.700X10 + 1.993X11 + 2.227X12 + 1.039X13 + 0.456X22 + 1.174X23 + 1.244X24 + 0.938X25 + 0.985X35 + 1.182X36 + 1.449X37 >= 11390.803
38)
1.265X1 + 1.734X2 + 0.879X11 + 1.052X12 + 0.420X13 + 0.464X14 + 0.301X23 + 0.596X24 + 0.422X25 + 0.420X26 + 0.555X36 + 0.710X37 >= 15183.936
39)
2.084X6 + 2.649X7 + 2.913X8 + 2.201X9 + 0.451X18 + 0.881X19 + 0.933X20 + 0.780X21 + 1.078X31 + 1.081X32 + 0.894X33 + 0.886X37 >= 16672.781
40)
2.361X7 + 2.657X8 + 2.626X9 + 2.543X10 + 0.526X19 + 1.148X20 + 1.314X21 + 0.985X22 + 1.304X32 + 1.366X33 + 1.109X34 + 0.905X37 >= 12236.314
41)
1.952X8 + 2.799X9 + 2.797X10 + 2.649X11 + 0.609X20 + 1.527X21 + 1.457X22 + 1.288X23 + 1.317X33 + 1.617X34 + 1.384X35 + 0.995X37 >= 11600.237
42)
2.050X9 + 2.610X10 + 2.825X11 + 2.945X12 + 0.604X21 + 1.454X22 + 1.690X23 + 1.431X24 + 1.343X34 + 1.646X35 + 1.446X36 + 1.337X37 >= 10665.043
43)
2.532Y1 + 1.708Y10 + 1.993Y11 + 2.239Y12 + 1.045Y13 + 0.461Y22 + 1.182Y23 + 1.252Y24 + 0.946Y25 + 0.993Y35 + 1.190Y36 + 1.457Y37 >= 24404.976
256 Lampiran 9. Lanjutan 44)
1.260Y1 + 1.724Y2 + 0.884Y11 + 1.045Y12 + 0.420Y13 + 0.464Y14 + 0.301Y23 + 0.594Y24 + 0.422Y25 + 0.420Y26 + 0.552Y36 + 0.710Y37 >= 34917.610
45)
2.081Y6 + 2.644Y7 + 2.908Y8 + 2.203Y9 + 0.448Y18 + 0.879Y19 + 0.931Y20 + 0.778Y21 + 1.073Y31 + 1.076Y32 + 0.889Y33 + 0.892Y37 >= 38919.398
46)
2.366Y7 + 2.659Y8 + 2.631Y9 + 2.548Y10 + 0.526Y19 + 1.151Y20 + 1.317Y21 + 0.988Y22 + 1.304Y32 + 1.369Y33 + 1.109Y34 + 0.933Y37 >= 26490.499
47)
1.965Y8 + 2.815Y9 + 2.812Y10 + 2.665Y11 + 0.612Y20 + 1.537Y21 + 1.467Y22 + 1.296Y23 + 1.327Y33 + 1.628Y34 + 1.392Y35 + 1.001Y37 >= 24541.574
48)
2.045Y9 + 2.639Y10 + 2.856Y11 + 2.978Y12 + 0.612Y21 + 1.470Y22 + 1.708Y23 + 1.446Y24 + 1.358Y34 + 1.664Y35 + 1.462Y36 + 1.350Y37 >= 23437.642
49)
2.538Z1 + 1.713Z10 + 1.988Z11 + 2.245Z12 + 1.047Z13 + 0.459Z22 + 1.185Z23 + 1.255Z24 + 0.949Z25 + 0.993Z35 + 1.192Z36 + 1.459Z37 >= 23090.573
50)
1.247Z1 + 1.708Z2 + 0.892Z11 + 1.037Z12 + 0.415Z13 + 0.459Z14 + 0.298Z23 + 0.591Z24 + 0.417Z25 + 0.415Z26 + 0.547Z36 + 0.715Z37 >= 32142.355
51)
2.074Z6 + 2.631Z7 + 2.890Z8 + 2.195Z9 + 0.446Z18 + 0.871Z19 + 0.923Z20 + 0.770Z21 + 1.065Z31 + 1.068Z32 + 0.881Z33 + 0.897Z37 >= 36591.005
52)
2.356Z7 + 2.652Z8 + 2.623Z9 + 2.540Z10 + 0.526Z19 + 1.148Z20 + 1.314Z21 + 0.982Z22 + 1.299Z32 + 1.363Z33 + 1.104Z34 + 0.933Z37 >= 23907.312
53)
1.967Z8 + 2.823Z9 + 2.820Z10 + 2.670Z11 + 0.614Z20 + 1.540Z21 + 1.470Z22 + 1.299Z23 + 1.330Z33 + 1.630Z34 + 1.394Z35 + 1.003Z37 >= 23279.530
54)
2.045Z9 + 2.657Z10 + 2.877Z11 + 2.999Z12 + 0.614Z21 + 1.480Z22 + 1.721Z23 + 1.454Z24 + 1.369Z34 + 1.677Z35 + 1.472Z36 + 1.363Z37 >= 21656.160
55)
1.00B10 - 0.76A10 = 0.00
56)
1.00B11 - 0.79A11 = 0.00
57)
1.00B6 - 0.79A6 = 0.00
58)
1.00B7 - 0.79A7 = 0.00
59)
1.00B8 - 0.78A8 = 0.00
60)
1.00B9 - 0.77A9 = 0.00
61)
1.00D10 - 0.76C10 = 0.00
62)
1.00D11 - 0.77C11 = 0.00
63)
1.00D6 - 0.78C6 = 0.00
64)
1.00D7 - 0.78C7 = 0.00
65)
1.00D8 - 0.76C8 = 0.00
66)
1.00D9 - 0.76C9 = 0.00
67)
1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 + 1.00X25 + 1.00X26 + 1.00X27 + 1.00X28 + 1.00X37 <= 12321.00
68)
1.00X5 + 1.00X6 + 1.00X7 + 1.00X8 + 1.00X17 + 1.00X18 + 1.00X19 + 1.00X20 + 1.00X29 + 1.00X30 + 1.00X31 + 1.00X32 + 1.00X37 <= 12321.00
69)
1.00X9 + 1.00X10 + 1.00X11 + 1.00X12 + 1.00X21 + 1.00X22 + 1.00X23 + 1.00X24 + 1.00X33 + 1.00X34 + 1.00X35 + 1.00X36 + 1.00X37 <= 12321.00
70)
1.00X1 + 1.00X12 + 1.00X13 + 1.00X24 + 1.00X25 + 1.00X26 1.00X17 - 1.00X29 >= 0.00
71)
1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X26 + 1.00X27 - 1.00X17 - 1.00X18 - 1.00X29 - 1.00X30 >= 0.00
72)
1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X26 + 1.00X27 + 1.00X28 - 1.00X5 - 1.00X6 - 1.00X7 - 1.00X17 - 1.00X18 - 1.00X19 1.00X29 - 1.00X30 - 1.00X31 >= 0.00
73)
1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 + 1.00X26 + 1.00X27 + 1.00X28 - 1.00X5 - 1.00X6 - 1.00X7 - 1.00X8 1.00X17 - 1.00X18 - 1.00X19 - 1.00X20 - 1.00X30 - 1.00X31 - 1.00X32 >= 0.00
- 1.00X5 - 1.00X5
- 1.00X6
257 Lampiran 9. Lanjutan 74)
1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X5 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 + 1.00X17 + 1.00X27 + 1.00X28 + 1.00X29 - 1.00X6 - 1.00X7 - 1.00X8 - 1.00X9 1.00X18 - 1.00X19 - 1.00X20 - 1.00X21 - 1.00X31 - 1.00X32 - 1.00X33 >= 0.00
75)
1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X5 + 1.00X6 + 1.00X15 + 1.00X16 + 1.00X17 + 1.00X18 + 1.00X28 + 1.00X29 + 1.00X30 - 1.00X7 - 1.00X8 - 1.00X9 - 1.00X10 1.00X19 - 1.00X20 - 1.00X21 - 1.00X22 - 1.00X32 - 1.00X33 - 1.00X34 >= 0.00
76)
1.00X4 + 1.00X5 + 1.00X6 + 1.00X7 + 1.00X16 + 1.00X17 + 1.00X18 + 1.00X19 + 1.00X29 + 1.00X30 + 1.00X31 - 1.00X8 - 1.00X9 - 1.00X10 - 1.00X11 1.00X20 - 1.00X21 - 1.00X22 - 1.00X23 - 1.00X33 - 1.00X34 - 1.00X35 >= 0.00
77)
1.00X5 + 1.00X6 + 1.00X7 + 1.00X8 + 1.00X17 + 1.00X18 + 1.00X19 + 1.00X20 + 1.00X30 + 1.00X31 + 1.00X32 - 1.00X9 - 1.00X10 - 1.00X11 - 1.00X12 1.00X21 - 1.00X22 - 1.00X23 - 1.00X24 - 1.00X34 - 1.00X35 - 1.00X36 >= 0.00
78)
1.00X1 + 1.00X10 + 1.00X11 + 1.00X12 + 1.00X13 + 1.00X22 + 1.00X23 + 1.00X24 + 1.00X25 + 1.00X35 + 1.00X36 + 1.00X37 <= 12321.00
79)
1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X11 + 1.00X12 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X23 + 1.00X24 + 1.00X25 + 1.00X26 + 1.00X36 + 1.00X37 <= 12321.00
80)
1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X12 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X24 + 1.00X25 + 1.00X26 + 1.00X27 + 1.00X37 <= 12321.00
81)
1.00X1 + 1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 + 1.00X26 + 1.00X27 + 1.00X28 + 1.00X37 <= 12321.00
82)
1.00X2 + 1.00X3 + 1.00X4 + 1.00X5 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 + 1.00X17 + 1.00X27 + 1.00X28 + 1.00X29 + 1.00X37 <= 12321.00
83)
1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 + 1.00Y25 + 1.00Y26 + 1.00Y27 + 1.00Y28 + 1.00Y37 <= 28904.00
84)
1.00Y5 + 1.00Y6 + 1.00Y7 + 1.00Y8 + 1.00Y17 + 1.00Y18 + 1.00Y19 + 1.00Y20 + 1.00Y29 + 1.00Y30 + 1.00Y31 + 1.00Y32 + 1.00Y37 <= 28904.00
85)
1.00Y9 + 1.00Y10 + 1.00Y11 + 1.00Y12 + 1.00Y21 + 1.00Y22 + 1.00Y23 + 1.00Y24 + 1.00Y33 + 1.00Y34 + 1.00Y35 + 1.00Y36 + 1.00Y37 <= 28904.00
86)
1.00Y1 + 1.00Y12 + 1.00Y13 + 1.00Y24 + 1.00Y25 + 1.00Y26 1.00Y17 - 1.00Y29 >= 0.00
87)
1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y26 + 1.00Y27 - 1.00Y17 - 1.00Y18 - 1.00Y29 - 1.00Y30 >= 0.00
88)
1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y26 + 1.00Y27 + 1.00Y28 - 1.00Y5 - 1.00Y6 - 1.00Y7 - 1.00Y17 - 1.00Y18 - 1.00Y19 1.00Y29 - 1.00Y30 - 1.00Y31 >= 0.00
89)
1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 + 1.00Y26 + 1.00Y27 + 1.00Y28 - 1.00Y5 - 1.00Y6 - 1.00Y7 - 1.00Y8 1.00Y17 - 1.00Y18 - 1.00Y19 - 1.00Y20 - 1.00Y30 - 1.00Y31 - 1.00Y32 >= 0.00
90)
1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y5 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 + 1.00Y17 + 1.00Y27 + 1.00Y28 + 1.00Y29 - 1.00Y6 - 1.00Y7 - 1.00Y8 - 1.00Y9 1.00Y18 - 1.00Y19 - 1.00Y20 - 1.00Y21 - 1.00Y31 - 1.00Y32 - 1.00Y33 >= 0.00
91)
1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y5 + 1.00Y6 + 1.00Y15 + 1.00Y16 + 1.00Y17 + 1.00Y18 + 1.00Y28 + 1.00Y29 + 1.00Y30 - 1.00Y7 - 1.00Y8 - 1.00Y9 - 1.00Y10 1.00Y19 - 1.00Y20 - 1.00Y21 - 1.00Y22 - 1.00Y32 - 1.00Y33 - 1.00Y34 >= 0.00
92)
1.00Y4 + 1.00Y5 + 1.00Y6 + 1.00Y7 + 1.00Y16 + 1.00Y17 + 1.00Y18 + 1.00Y19 + 1.00Y29 + 1.00Y30 + 1.00Y31 - 1.00Y8 - 1.00Y9 - 1.00Y10 - 1.00Y11 1.00Y20 - 1.00Y21 - 1.00Y22 - 1.00Y23 - 1.00Y33 - 1.00Y34 - 1.00Y35 >= 0.00
- 1.00Y5 - 1.00Y5
- 1.00Y6
258 Lampiran 9. Lanjutan 93)
1.00Y5 + 1.00Y6 + 1.00Y7 + 1.00Y8 + 1.00Y17 + 1.00Y18 + 1.00Y19 + 1.00Y20 + 1.00Y30 + 1.00Y31 + 1.00Y32 - 1.00Y9 - 1.00Y10 - 1.00Y11 - 1.00Y12 1.00Y21 - 1.00Y22 - 1.00Y23 - 1.00Y24 - 1.00Y34 - 1.00Y35 - 1.00Y36 >= 0.00
94)
1.00Y1 + 1.00Y10 + 1.00Y11 + 1.00Y12 + 1.00Y13 + 1.00Y22 + 1.00Y23 + 1.00Y24 + 1.00Y25 + 1.00Y35 + 1.00Y36 + 1.00Y37 <= 28904.00
95)
1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y11 + 1.00Y12 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y23 + 1.00Y24 + 1.00Y25 + 1.00Y26 + 1.00Y36 + 1.00Y37 <= 28904.00
96)
1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y12 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y24 + 1.00Y25 + 1.00Y26 + 1.00Y27 + 1.00Y37 <= 28904.00
97)
1.00Y1 + 1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 + 1.00Y26 + 1.00Y27 + 1.00Y28 + 1.00Y37 <= 28904.00
98)
1.00Y2 + 1.00Y3 + 1.00Y4 + 1.00Y5 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 + 1.00Y17 + 1.00Y27 + 1.00Y28 + 1.00Y29 + 1.00Y37 <= 28904.00
99)
1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 + 1.00Z25 + 1.00Z26 + 1.00Z27 + 1.00Z28 + 1.00Z37 <= 27362.00
100)
1.00Z5 + 1.00Z6 + 1.00Z7 + 1.00Z8 + 1.00Z17 + 1.00Z18 + 1.00Z19 + 1.00Z20 + 1.00Z29 + 1.00Z30 + 1.00Z31 + 1.00Z32 + 1.00Z37 <= 27362.00
101)
1.00Z9 + 1.00Z10 + 1.00Z11 + 1.00Z12 + 1.00Z21 + 1.00Z22 + 1.00Z23 + 1.00Z24 + 1.00Z33 + 1.00Z34 + 1.00Z35 + 1.00Z36 + 1.00Z37 <= 27362.00
102)
1.00Z1 + 1.00Z12 + 1.00Z13 + 1.00Z24 + 1.00Z25 + 1.00Z26 1.00Z17 - 1.00Z29 >= 0.00
103)
1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z26 + 1.00Z27 - 1.00Z17 - 1.00Z18 - 1.00Z29 - 1.00Z30 >= 0.00
104)
1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z26 + 1.00Z27 + 1.00Z28 - 1.00Z5 - 1.00Z6 - 1.00Z7 - 1.00Z17 - 1.00Z18 - 1.00Z19 1.00Z29 - 1.00Z30 - 1.00Z31 >= 0.00
105)
1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 + 1.00Z26 + 1.00Z27 + 1.00Z28 - 1.00Z5 - 1.00Z6 - 1.00Z7 - 1.00Z8 1.00Z17 - 1.00Z18 - 1.00Z19 - 1.00Z20 - 1.00Z30 - 1.00Z31 - 1.00Z32 >= 0.00
106)
1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z5 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 + 1.00Z17 + 1.00Z27 + 1.00Z28 + 1.00Z29 - 1.00Z6 - 1.00Z7 - 1.00Z8 - 1.00Z9 1.00Z18 - 1.00Z19 - 1.00Z20 - 1.00Z21 - 1.00Z31 - 1.00Z32 - 1.00Z33 >= 0.00
107)
1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z5 + 1.00Z6 + 1.00Z15 + 1.00Z16 + 1.00Z17 + 1.00Z18 + 1.00Z28 + 1.00Z29 + 1.00Z30 - 1.00Z7 - 1.00Z8 - 1.00Z9 - 1.00Z10 1.00Z19 - 1.00Z20 - 1.00Z21 - 1.00Z22 - 1.00Z32 - 1.00Z33 - 1.00Z34 >= 0.00
108)
1.00Z4 + 1.00Z5 + 1.00Z6 + 1.00Z7 + 1.00Z16 + 1.00Z17 + 1.00Z18 + 1.00Z19 + 1.00Z29 + 1.00Z30 + 1.00Z31 - 1.00Z8 - 1.00Z9 - 1.00Z10 - 1.00Z11 1.00Z20 - 1.00Z21 - 1.00Z22 - 1.00Z23 - 1.00Z33 - 1.00Z34 - 1.00Z35 >= 0.00
109)
1.00Z5 + 1.00Z6 + 1.00Z7 + 1.00Z8 + 1.00Z17 + 1.00Z18 + 1.00Z19 + 1.00Z20 + 1.00Z30 + 1.00Z31 + 1.00Z32 - 1.00Z9 - 1.00Z10 - 1.00Z11 - 1.00Z12 1.00Z21 - 1.00Z22 - 1.00Z23 - 1.00Z24 - 1.00Z34 - 1.00Z35 - 1.00Z36 >= 0.00
110)
1.00Z1 + 1.00Z10 + 1.00Z11 + 1.00Z12 + 1.00Z13 + 1.00Z22 + 1.00Z23 + 1.00Z24 + 1.00Z25 + 1.00Z35 + 1.00Z36 + 1.00Z37 <= 27362.00
111)
1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z11 + 1.00Z12 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z23 + 1.00Z24 + 1.00Z25 + 1.00Z26 + 1.00Z36 + 1.00Z37 <= 27362.00
112)
1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z12 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z24 + 1.00Z25 + 1.00Z26 + 1.00Z27 + 1.00Z37 <= 27362.00
113)
1.00Z1 + 1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 + 1.00Z26 + 1.00Z27 + 1.00Z28 + 1.00Z37 <= 27362.00
114)
1.00Z2 + 1.00Z3 + 1.00Z4 + 1.00Z5 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 + 1.00Z17 + 1.00Z27 + 1.00Z28 + 1.00Z29 + 1.00Z37 <= 27362.00
- 1.00Z5 - 1.00Z5
- 1.00Z6
259 Lampiran 9. Lanjutan 115)
1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 0.07X4 <= 0.00
- 0.07X1
- 0.07X2
- 0.07X3
-
116)
1.00X17 + 1.00X18 + 1.00X19 + 1.00X20 0.34X8 <= 0.00
- 0.34X5
- 0.34X6
- 0.34X7
-
117)
1.00X21 + 1.00X22 + 1.00X23 + 1.00X24 11.05X12 <= 0.00
- 11.05X9
- 11.05X10
118)
1.00X25 + 1.00X26 + 1.00X27 + 1.00X28 0.57X16 <= 0.00
- 0.57X13
- 0.57X14
- 0.57X15
-
119)
1.00X29 + 1.00X30 + 1.00X31 + 1.00X32 0.59X20 <= 0.00
- 0.59X17
- 0.59X18
- 0.59X19
-
120)
1.00X33 + 1.00X34 + 1.00X35 + 1.00X36 0.54X24 <= 0.00
- 0.54X21
- 0.54X22
- 0.54X23
-
121)
17.44X37 - 1.00X1 - 1.00X1 - 1.00X2 - 1.00X3 - 1.00X4 1.00X6 - 1.00X7 - 1.00X8 - 1.00X9 - 1.00X10 - 1.00X11 0.00
122)
1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 0.08Y4 <= 0.00
- 0.08Y1
- 0.08Y2
- 0.08Y3
-
123)
1.00Y17 + 1.00Y18 + 1.00Y19 + 1.00Y20 0.33Y8 <= 0.00
- 0.33Y5
- 0.33Y6
- 0.33Y7
-
124)
1.00Y21 + 1.00Y22 + 1.00Y23 + 1.00Y24 11.15Y12 <= 0.00
- 11.15Y9
- 11.15Y10
125)
1.00Y25 + 1.00Y26 + 1.00Y27 + 1.00Y28 0.56Y16 <= 0.00
- 0.56Y13
- 0.56Y14
- 0.56Y15
-
126)
1.00Y29 + 1.00Y30 + 1.00Y31 + 1.00Y32 0.59Y20 <= 0.00
- 0.59Y17
- 0.59Y18
- 0.59Y19
-
127)
1.00Y33 + 1.00Y34 + 1.00Y35 + 1.00Y36 0.55Y24 <= 0.00
- 0.55Y21
- 0.55Y22
- 0.55Y23
-
128)
16.53Y37 - 1.00Y1 - 1.00Y1 - 1.00Y2 - 1.00Y3 - 1.00Y4 1.00Y6 - 1.00Y7 - 1.00Y8 - 1.00Y9 - 1.00Y10 - 1.00Y11 0.00
129)
1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 0.06Z4 <= 0.00
- 0.06Z1
- 0.06Z2
- 0.06Z3
-
130)
1.00Z17 + 1.00Z18 + 1.00Z19 + 1.00Z20 0.32Z8 <= 0.00
- 0.32Z5
- 0.32Z6
- 0.32Z7
-
131)
1.00Z21 + 1.00Z22 + 1.00Z23 + 1.00Z24 11.06Z12 <= 0.00
- 11.06Z9
- 11.06Z10
132)
1.00Z25 + 1.00Z26 + 1.00Z27 + 1.00Z28 0.53Z16 <= 0.00
- 0.53Z13
- 0.53Z14
- 0.53Z15
-
133)
1.00Z29 + 1.00Z30 + 1.00Z31 + 1.00Z32 0.60Z20 <= 0.00
- 0.60Z17
- 0.60Z18
- 0.60Z19
-
134)
1.00Z33 + 1.00Z34 + 1.00Z35 + 1.00Z36 0.56Z24 <= 0.00
- 0.56Z21
- 0.56Z22
- 0.56Z23
-
135)
14.62Z37 - 1.00Z1 - 1.00Z1 - 1.00Z2 - 1.00Z3 - 1.00Z4 1.00Z6 - 1.00Z7 - 1.00Z8 - 1.00Z9 - 1.00Z10 - 1.00Z11 0.00
- 1.00Z5 - 1.00Z12 <=
136)
25.41X37 - 1.00X1 - 1.00X1 - 1.00X2 - 1.00X3 - 1.00X4 1.00X6 - 1.00X7 - 1.00X8 - 1.00X9 - 1.00X10 - 1.00X11 0.00
- 1.00X5 - 1.00X12 >=
137)
23.52Y37 - 1.00Y1 - 1.00Y1 - 1.00Y2 - 1.00Y3 - 1.00Y4 1.00Y6 - 1.00Y7 - 1.00Y8 - 1.00Y9 - 1.00Y10 - 1.00Y11 0.00
- 1.00Y5 - 1.00Y12 >=
138)
20.35Z37 - 1.00Z1 - 1.00Z1 - 1.00Z2 - 1.00Z3 - 1.00Z4 1.00Z6 - 1.00Z7 - 1.00Z8 - 1.00Z9 - 1.00Z10 - 1.00Z11 0.00
- 1.00Z5 - 1.00Z12 >=
- 11.05X11
-
- 1.00X5 - 1.00X12 <=
- 11.15Y11
-
- 1.00Y5 - 1.00Y12 <=
- 11.06Z11
-
260 Lampiran 9. Lanjutan 139)
2.44X1 + 2.51X2 + 2.37X3 + 2.34X4 + 2.41X5 + 2.44X6 + 2.39X7 + 2.44X8 + 2.46X9 + 2.50X10 + 2.76X11 + 2.71X12 + 3.16X13 + 3.13X14 + 3.18X15 + 3.17X16 + 3.55X17 + 3.69X18 + 3.63X19 + 3.60X20 + 3.10X21 + 3.12X22 + 3.09X23 + 3.05X24 + 2.48X25 + 2.50X26 + 2.48X27 + 2.52X28 + 2.70X29 + 2.74X30 + 2.76X31 + 2.73X32 + 2.94X33 + 3.04X34 + 2.86X35 + 2.90X36 + 3.94X37 <= 88747.10
140)
2.57Y1 + 2.54Y2 + 2.49Y3 + 2.43Y4 + 2.49Y5 + 2.51Y6 + 2.51Y7 + 2.50Y8 + 2.56Y9 + 2.57Y10 + 2.83Y11 + 2.78Y12 + 3.18Y13 + 3.23Y14 + 3.27Y15 + 3.27Y16 + 3.41Y17 + 3.48Y18 + 3.49Y19 + 3.34Y20 + 3.14Y21 + 3.15Y22 + 3.12Y23 + 3.08Y24 + 2.66Y25 + 2.63Y26 + 2.60Y27 + 2.65Y28 + 2.84Y29 + 2.89Y30 + 2.90Y31 + 2.87Y32 + 3.08Y33 + 3.09Y34 + 2.95Y35 + 2.91Y36 + 4.04Y37 <= 213988.40
141)
2.53Z1 + 2.55Z2 + 2.45Z3 + 2.41Z4 + 2.47Z5 + 2.49Z6 + 2.47Z7 + 2.49Z8 + 2.54Z9 + 2.45Z10 + 2.70Z11 + 2.66Z12 + 3.14Z13 + 3.12Z14 + 3.16Z15 + 3.15Z16 + 3.38Z17 + 3.44Z18 + 3.46Z19 + 3.10Z20 + 3.17Z21 + 3.18Z22 + 2.93Z23 + 2.90Z24 + 2.45Z25 + 2.15Z26 + 2.14Z27 + 2.59Z28 + 2.77Z29 + 2.91Z30 + 2.99Z31 + 2.91Z32 + 2.92Z33 + 3.18Z34 + 2.98Z35 + 2.72Z36 + 4.12Z37 <= 196998.80
142)
175.80X1 + 182.80X2 + 176.80X3 + 178.70X4 + 197.80X13 + 192.80X14 + 192.80X15 + 192.80X16 + 181.00X25 + 184.00X26 + 184.60X27 + 184.20X28 + 78.00X37 + 173.20Y1 + 173.20Y2 + 173.20Y3 + 173.20Y4 + 185.80Y13 + 185.80Y14 + 185.80Y15 + 185.80Y16 + 181.40Y25 + 181.40Y26 + 181.40Y27 + 181.40Y28 + 74.70Y37 + 173.70Z1 + 177.10Z2 + 174.30Z3 + 175.20Z4 + 187.20Z13 + 182.80Z14 + 182.80Z15 + 182.80Z16 + 170.60Z25 + 151.40Z26 + 152.40Z27 + 180.90Z28 + 77.70Z37 <= 12300500.00
143)
3.10X1 + 3.20X2 + 3.10X3 + 3.10X4 + 1.00X13 + 1.00X14 + 1.00X15 + 1.00X16 + 0.20X25 + 0.20X26 + 0.20X27 + 0.20X28 + 2.00X37 + 3.00Y1 + 3.00Y2 + 3.00Y3 + 3.00Y4 + 1.00Y13 + 1.00Y14 + 1.00Y15 + 1.00Y16 + 0.20Y25 + 0.20Y26 + 0.20Y27 + 0.20Y28 + 1.90Y37 + 3.10Z1 + 3.10Z2 + 3.10Z3 + 3.10Z4 + 1.00Z13 + 1.00Z14 + 1.00Z15 + 1.00Z16 + 0.20Z25 + 0.20Z26 + 0.20Z27 + 0.20Z28 + 1.90Z37 <= 193000.00
144)
180.90X5 + 180.90X6 + 178.00X7 + 182.20X8 + 187.60X17 + 191.20X18 + 187.60X19 + 194.80X20 + 173.60X29 + 173.70X30 + 173.90X31 + 173.90X32 + 75.20X37 + 174.10Y5 + 174.10Y6 + 174.10Y7 + 174.10Y8 + 168.60Y17 + 168.60Y18 + 168.60Y19 + 168.60Y20 + 170.70Y29 + 170.70Y30 + 170.70Y31 + 170.70Y32 + 74.80Y37 + 176.60Z5 + 176.60Z6 + 175.20Z7 + 177.20Z8 + 170.20Z17 + 170.20Z18 + 170.20Z19 + 159.90Z20 + 169.60Z29 + 175.60Z30 + 179.30Z31 + 176.60Z32 + 76.40Z37 <= 12291400.00
145)
2.90X5 + 2.90X6 + 2.90X7 + 3.00X8 + 2.50X17 + 2.50X18 + 2.50X19 + 2.60X20 + 0.20X29 + 0.20X30 + 0.20X31 + 0.20X32 + 2.80Y5 + 2.80Y6 + 2.80Y7 + 2.80Y8 + 2.20Y17 + 2.20Y18 + 2.20Y19 + 2.20Y20 + 0.20Y29 + 0.20Y30 + 0.20Y31 + 0.20Y32 + 2.90Z5 + 2.90Z6 + 2.90Z7 + 2.90Z8 + 2.30Z17 + 2.30Z18 + 2.30Z19 + 2.30Z20 + 0.20Z29 + 0.20Z30 + 0.20Z31 + 0.20Z32 <= 193000.00
146)
192.90X9 + 195.50X10 + 195.50X11 + 195.60X12 + 149.60X21 + 149.60X22 + 149.60X23 + 149.60X24 + 128.50X33 + 132.90X34 + 130.90X35 + 134.70X36 + 79.20X37 + 187.50Y9 + 187.50Y10 + 187.50Y11 + 187.50Y12 + 141.20Y21 + 141.20Y22 + 141.20Y23 + 141.20Y24 + 125.90Y33 + 125.90Y34 + 125.90Y35 + 125.90Y36 + 77.50Y37 + 189.40Z9 + 182.70Z10 + 182.60Z11 + 182.70Z12 + 145.50Z21 + 145.50Z22 + 135.40Z23 + 135.40Z24 + 121.60Z33 + 132.20Z34 + 130.10Z35 + 120.40Z36 + 79.50Z37 <= 11201900.00
147)
2.80X9 + 2.80X10 + 2.80X11 + 2.80X12 + 2.20X21 + 2.20X22 + 2.20X23 + 2.20X24 + 0.30X33 + 0.30X34 + 0.30X35 + 0.30X36 + 2.70Y9 + 2.70Y10 + 2.70Y11 + 2.70Y12 + 2.10Y21 + 2.10Y22 + 2.10Y23 + 2.10Y24 + 0.30Y33 + 0.30Y34 + 0.30Y35 + 0.30Y36 + 2.80Z9 + 2.80Z10 + 2.80Z11 + 2.80Z12 + 2.10Z21 + 2.10Z22 + 2.10Z23 + 2.10Z24 + 0.30Z33 + 0.30Z34 + 0.30Z35 + 0.30Z36 <= 193000.00
END
261 Lampiran 10. Estimasi Efisiensi Teknis Usahatani Padi dengan Pendekatan Fungsi Produksi Frontier Stokastik Bentuk umum dari stochastic production frontier (SPF), sebagaimana yang disajikan oleh Aigner et al (1977) adalah: i =1,...,n (1) Q i Q ( X ki , ) e i k=1,...,K = keluaran yang dihasilkan oleh observasi (petani) ke – i
Qi
X
ki
= vektor masukan K yang digunakan oleh observasi ke – i
= vektor koefisien parameter
i
= “specific error term” dari obserasi ke – i , dimana: i vi u i
i =1,...,n
(2)
Unsur vi adalah variasi keluaran yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal (misal iklim), sebarannya simetris, menyebar normal ( v i ~ N ( 0 , u2 ) ), dan bersifat acak. Sedangkan ui merefleksikan komponen galat (error) yang sifatnya internal (dapat dikendalikan petani) dan lazimnya berkaitan dengan kapabilitas managerial petani dalam mengelola usahataninya. Komponen ini sebarannya asimetris (one sided) yakni u i 0 . Jika proses produksi berlangsung efisien (sempurna) maka keluaran yang dihasilkan berimpit dengan potensi maksimalnya berarti u i 0 . Sebaliknya jika u i 0 berarti berada di bawah potensi maksimumnya. Distribusi menyebar setengah normal ( u i ~ N ( 0 , u2 ). Ukuran efisiensi teknis ( TEi ) dihitung sebagai berikut:
TEi = exp( E u i i )
i=1,...,n
(7)
jadi 0 TE i 1 . Metode pendugaan yang tidak bias adalah menggunakan Maximum Likelihood. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 8
ln yi 0 k ln xki i
k=1,...,7
k 1
dimana i vi ui y x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8
= produksi (dalam kuintal) = luas lahan (hektar) = benih = pupuk N (urea dan atau ZA) = pupuk P (SP-36) = pupuk K (KCl) = pestisida dan input lainnya (diproksi dari nilainya) = tenaga kerja (jam kerja) = pengeluaran untuk irigasi pompa (Rp. 000)
Hasil estimasi SPF tersebut di atas dapat disimak pada Tabel 4.
(8)
262 Lampiran 10. Lanjutan Tabel 4. Hasil estimasi fungsi SPF coefficient Intersep 2.2648 Luas garapan*** 0.9175 Benih -0.0585 Setara N 0.0517 Setara P2O5 0.0022 Setara K2O 0.0025 Nilai Pestisida*** -0.0053 Nilai irigasi pompa*** -0.0072 Setara Pria*** 0.0635 sigma-squared 0.0831 gamma 0.8904 log likelihood function = 132.62247 LR test of the one-sided error = 30.558 with number of restrictions = 1
standard-error 0.1322 0.0462 0.0359 0.0227 0.0020 0.0014 0.0020 0.0025 0.0272 0.0088 0.0372
t-ratio 17.1308 19.8699 -1.6309 2.2797 1.1101 1.7365 -2.7396 -2.8747 2.3361 9.4420 23.9485
Selanjutnya dengan mudah dapat diprediksi nilai TE masing-masing observasi. Statistik deskriptif dari TE tersebut adalah sebagai berikut (Tabel 5): Tabel 5. Statistik deskriptif TE untuk usahatani padi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000. Mean Standard Error Median Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count
: : : : : : : : : : : :
0.8151 0.0049 0.8355 0.1072 0.0115 0.3341 -0.8711 0.5524 0.4172 0.9696 385.5351 473
263 Lampiran 11. Statistik deskriptif indeks diversitas usahatani di wilayah pesawahan irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000
Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Coef. of variation Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count Largest(1) Smallest(1) Confidence Level(95.0%)
Hulu 0.653 0.019 0.637 0.637 0.206 0.042 0.315 5.246 -0.682 1.368 0.000 1.368 75.127 115.000 1.368 0.000 0.038
Tengah 0.693 0.021 0.637 0.637 0.300 0.090 0.433 0.900 -0.273 1.524 0.000 1.524 135.855 196.000 1.524 0.000 0.042
Hilir 0.278 0.030 0.000 0.000 0.380 0.144 1.368 -0.751 0.883 1.182 0.000 1.182 43.586 157.000 1.182 0.000 0.060
DAS Brantas 0.544 0.017 0.637 0.637 0.364 0.132 0.668 -0.668 -0.240 1.524 0.000 1.524 254.568 468.000 1.524 0.000 0.033
264 Lampiran 12. Rata-rata curah hujan bulanan di DAS Brantas, 1955 – 1999 Tahun
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
1955
295.3
248.5
303.5
242.6
143.2
144.5
271.8
66.6
42.5
130.0
322.4
275.5
1956
273.1
254.6
153.9
107.1
108.0
133.8
118.5
85.4
22.7
96.3
177.5
320.8
1957
287.2
272.0
412.5
109.2
58.8
9.6
192.4
39.2
4.1
9.8
104.8
293.1
1958
235.3
319.4
327.9
233.6
129.9
58.8
93.9
42.6
17.7
88.4
128.3
425.1
1959
417.7
321.2
346.7
156.7
219.4
72.9
52.0
1.6
19.9
34.5
121.2
433.2
1960
345.9
304.2
349.5
230.8
233.4
45.5
28.7
7.4
9.7
34.8
230.4
209.7
1961
282.3
261.1
199.8
210.5
98.4
3.9
1.6
0.0
2.1
8.1
84.1
246.4
1962
393.5
323.1
274.2
309.0
73.5
65.0
21.7
13.9
1.6
68.5
157.2
358.0
1963
322.4
297.7
398.9
152.7
29.3
9.0
0.0
0.0
0.8
7.1
25.1
218.2
1964
181.9
229.8
384.7
151.2
161.4
88.3
7.1
20.5
69.5
353.4
196.8
199.6
1965
299.6
253.7
226.5
118.0
49.7
3.6
3.6
0.0
0.7
1.7
77.1
239.2
1966
320.5
344.6
364.8
181.8
57.5
33.0
0.2
9.3
5.0
83.4
161.1
285.5
1967
364.2
287.9
173.5
167.8
12.8
0.1
0.0
0.0
0.4
22.2
72.5
314.9
1968
253.4
267.7
357.0
190.8
233.9
175.1
167.9
38.8
27.7
64.8
183.3
295.0
1969
292.6
284.5
323.9
156.8
41.0
20.7
2.4
0.5
7.0
41.5
80.9
279.1
1970
353.0
308.6
314.6
239.9
155.7
40.9
15.0
0.0
24.0
44.8
179.5
226.8
1971
344.7
338.6
263.0
109.4
204.7
75.3
9.3
1.7
18.7
181.6
220.4
286.1
1972
289.8
193.3
273.9
72.5
127.0
0.2
0.0
0.9
0.0
1.7
62.5
278.5
1973
314.1
288.4
307.4
246.4
324.7
59.9
44.4
17.4
132.2
85.6
185.9
223.8
1974
222.8
320.1
196.1
168.8
130.8
25.5
24.0
62.6
70.6
191.0
213.0
208.9
1975
343.7
314.9
349.9
260.4
171.9
13.7
7.1
5.6
152.3
296.0
271.0
253.7
1976
268.9
222.7
304.9
70.2
17.9
3.8
3.8
2.3
4.3
69.6
234.7
124.3
1977
247.0
218.6
314.5
139.1
41.7
71.1
1.2
0.0
0.9
1.8
68.3
267.6
1978
336.9
283.5
263.9
141.3
185.4
221.2
138.4
42.1
57.8
72.9
133.1
261.2
1979
328.8
266.2
231.4
247.9
233.5
99.7
4.8
7.2
10.2
28.2
65.0
172.1
1980
265.4
259.3
173.1
197.4
37.7
3.1
22.8
15.9
7.0
31.0
225.1
257.2
1981
295.5
237.8
196.6
139.5
115.1
71.2
103.8
27.4
71.7
62.5
213.5
247.2
1982
309.7
262.7
217.0
159.1
12.1
9.0
2.3
0.4
2.2
4.5
25.9
223.2
1983
313.3
296.6
260.2
205.2
227.5
23.8
6.9
0.1
0.9
125.5
253.5
232.1
1984
365.6
341.9
279.8
230.6
66.3
22.2
22.0
9.6
118.3
65.2
95.1
231.5
1985
318.4
340.3
339.2
246.9
48.3
83.3
21.2
14.3
10.8
76.5
216.9
281.6
1986
343.6
229.0
291.8
221.6
21.1
154.6
21.6
12.0
41.6
79.9
214.8
187.2
1987
304.5
275.8
190.3
49.3
44.4
24.8
6.5
3.0
13.4
2.9
152.9
316.9
1988
418.5
268.6
309.9
164.2
124.5
45.9
10.9
16.5
7.4
109.4
265.4
254.4
1989
293.8
253.2
183.4
188.1
143.1
168.8
70.8
29.6
3.4
86.6
131.3
238.8
1990
419.7
375.6
309.2
210.4
128.8
47.3
14.3
30.4
1.1
25.5
111.2
357.0
1991
562.6
375.0
223.4
389.6
39.4
5.5
3.7
0.1
7.4
9.2
195.8
364.2
1992
566.7
446.1
470.1
332.7
141.9
24.7
35.4
96.5
114.8
203.8
272.7
473.4
1993
521.3
205.8
304.1
319.7
59.6
140.7
4.7
27.3
8.2
10.3
262.7
351.0
1994
527.2
437.9
512.5
173.6
37.5
23.5
5.6
1.3
0.4
30.2
127.4
224.3
1995
481.6
554.0
457.4
277.9
70.7
161.7
46.1
5.9
6.9
100.7
393.7
249.9
1996
427.3
366.0
254.8
189.6
27.1
29.6
17.6
80.1
7.1
167.5
268.2
325.8
1997
296.6
391.0
88.8
218.7
79.8
16.4
4.4
0.8
1.1
17.5
76.4
220.8
1998
336.2
497.3
487.3
353.6
126.3
224.6
189.1
44.5
138.0
249.8
326.7
460.9
1999
455.1
252.1
346.2
333.5
89.3
24.1
33.0
12.2
18.7
189.9
349.7
358.3
mean
343.0
304.2
295.8
200.3
108.5
61.8
41.2
19.9
28.5
81.5
176.3
278.9
stdev
87.7
74.5
91.6
76.6
74.7
61.8
62.3
25.2
41.7
81.9
88.7
74.7
Max
566.7
554.0
512.5
389.6
324.7
224.6
271.8
96.5
152.3
353.4
393.7
473.4
Min
181.9
193.3
88.8
49.3
12.1
0.1
0.0
0.0
0.0
1.7
25.1
124.3
Sumber: Perum Jasa Tirta I
265 Lampiran 13. Solusi optimal yang diperoleh dari model valuasi air irigasi di pesawahan irigasi teknis DAS Brantas LP OPTIMUM FOUND AT STEP
247
OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) VARIABLE X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25 X26 X27 X28 X29 X30 X31 X32 X33 X34 X35 X36 X37 Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y17 Y18 Y19 Y20 Y21 Y22 Y23 Y24
0.1184148E+09 VALUE 1953.201416 5864.910645 0.000000 2563.566162 2948.780029 3628.665527 901.864319 0.000000 472.525177 0.000000 0.000000 0.000000 581.349609 0.000000 145.367874 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 2542.965332 3881.572998 0.000000 0.000000 1339.830444 0.000000 414.228973 0.000000 0.000000 0.000000 1405.318115 0.000000 95.031425 0.000000 0.000000 1450.454102 1369.103760 798.375244 4210.255859 13671.755859 5327.250488 714.906677 7195.992188 9492.655273 960.664001 0.000000 1100.816040 0.000000 0.000000 16.557570 1913.933472 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 742.779663 4366.586426 714.906677 8006.454102 3753.912354 0.000000 698.349121
REDUCED COST 0.000000 0.000000 2.900443 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 47.313477 0.000000 7.786285 78.815048 9.120863 0.000000 24.958458 0.000000 3.933223 40.789211 25.492622 10.467031 0.000000 0.000000 1.652327 41.701122 0.000000 0.000000 0.000000 27.292479 26.189724 59.028385 0.000000 13.166090 0.000000 29.944288 2.081115 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 56.246910 0.000000 34.880226 84.220291 0.000000 0.000000 40.786316 36.537445 64.720734 35.749195 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 42.157017 0.000000
266 Lampiran 13. Lanjutan Y25 Y26 Y27 Y28 Y29 Y30 Y31 Y32 Y33 Y34 Y35 Y36 Y37 Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 Z7 Z8 Z9 Z10 Z11 Z12 Z13 Z14 Z15 Z16 Z17 Z18 Z19 Z20 Z21 Z22 Z23 Z24 Z25 Z26 Z27 Z28 Z29 Z30 Z31 Z32 Z33 Z34 Z35 Z36 Z37 A10 A11 A6 A7 A8 A9 B10 C10 B11 C11 B6 C6 B7 C7 B8 C8 B9 C9 D10 D11
0.000000 1071.802734 0.000000 0.000000 0.000000 3436.321045 0.000000 0.000000 1525.043091 0.000000 0.000000 5327.250488 1994.094849 3578.199707 13242.564453 2087.018799 4158.199219 5695.656738 10379.107422 580.949158 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1033.817993 1383.958862 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1171.629395 4158.199219 4013.890381 4295.755859 0.000000 3124.381104 0.000000 733.498230 0.000000 0.000000 0.000000 2863.456787 334.440277 0.000000 4545.223145 0.000000 0.000000 1857.831909 2178.560791 14797.470703 14471.519531 14203.750977 14447.509766 14477.217773 14520.599609 11246.078125 8198.331055 11432.500000 8432.709961 11220.962891 7046.663574 11413.532227 7345.890137 11292.229492 7128.000000 11180.861328 7462.559082 6230.731445 6493.187012
0.000000 0.000000 83.614304 82.034180 0.000000 0.000000 72.246269 51.319061 0.000000 20.163195 55.554283 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 74.695862 31.060137 87.815575 86.559212 0.000000 0.000000 32.894405 76.648087 84.589828 61.069828 32.593769 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 46.924000 0.000000 54.044388 0.000000 78.288239 166.235321 0.000000 0.000000 0.000000 40.931229 0.000000 47.918774 85.667534 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
267 Lampiran 13. Lanjutan D6 D7 D8 D9
5496.397461 5729.794434 5417.279785 5671.544922
ROW
SLACK OR SURPLUS
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 22) 23) 24) 25) 26) 27) 28) 29) 30) 31) 32) 33) 34) 35) 36) 37) 38) 39) 40) 41) 42) 43) 44) 45) 46) 47) 48) 49) 50) 51) 52) 53) 54) 55) 56) 57) 58) 59) 60) 61) 62) 63)
0.000000 0.000000 34110.945312 37065.957031 33926.250000 28360.277344 20617.714844 13451.291016 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 44789.722656 55508.890625 48092.765625 34313.238281 17962.062500 1053.087402 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 44593.953125 51620.476562 46392.457031 31892.027344 16522.125000 2344.937500 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 528.728943 0.000000 0.000000 0.000000 142.235260 0.000000 0.000000 0.000000 827.475647 771.316528 1046.733643 1309.187012 727.633484 571.714233 0.000000 513.464722 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
DUAL PRICES 30.343340 18.022791 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 8.004684 21.877239 37.480053 41.051537 39.925446 22.813658 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 10.132512 27.692707 48.051350 53.313686 52.533482 29.628128 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 12.990400 35.503471 63.225460 70.149590 -9.265633 -42.273560 0.000000 -22.973614 -13.294258 -47.290752 0.000000 -19.634146 -5.409946 -20.748592 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -13.625434 0.000000 39.925446 22.813658 10.132512 27.692707 48.051350 53.313686 52.533482 29.628128 12.990400
268 Lampiran 13. Lanjutan 64) 65) 66) 67) 68) 69) 70) 71) 72) 73) 74) 75) 76) 77) 78) 79) 80) 81) 82) 83) 84) 85) 86) 87) 88) 89) 90) 91) 92) 93) 94) 95) 96) 97) 98) 99) 100) 101) 102) 103) 104) 105) 106) 107) 108) 109) 110) 111) 112) 113) 114) 115) 116) 117) 118) 119) 120) 121) 122) 123) 124) 125) 126) 127) 128) 129) 130) 131) 132) 133)
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 3009.138428 1339.830444 830.926941 74.430496 0.000000 0.000000 2797.738525 3100.676758 3009.138428 4828.685547 0.000000 1223.735840 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 6481.522461 714.906677 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 6481.522461 11808.773438 8006.565918 10989.646484 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 6312.538574 4158.199219 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 6417.791992 8170.370605 10857.761719 9909.494141 229.186859 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 6363.050781 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 13938.722656 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
35.503471 63.225460 70.149590 0.590942 69.458282 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -21.203430 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 37.094883 0.000000 13.538747 79.259087 13.466808 21.083168 0.000000 0.000000 -14.788582 -30.194805 -76.342972 -69.496964 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 9.004347 29.991499 151.493851 165.982697 0.000000 32.475513 0.000000 0.000000 -76.970665 -20.212105 -53.086327 -45.151230 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 20.749773 178.145721 139.875717 8.122661 26.190947 3.756869 34.345581 13.672853 83.094353 0.000000 131.318085 90.365448 16.562422 114.519539 82.931221 110.154312 0.000000 226.808548 135.241302 21.996349 197.992676 99.145859
269 Lampiran 13. Lanjutan 134) 135) 136) 137) 138) 139) 140) 141) 142) 143) 144) 145) 146) 147)
0.000000 12483.153320 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 704265.937500 2959.943115 800392.000000 40279.730469 4135638.750000 119281.007812
NO. ITERATIONS=
135.164841 0.000000 -8.087202 -15.848133 -18.864229 210.682068 166.055099 151.058258 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
247
RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:
VARIABLE
CURRENT COEF
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25 X26 X27 X28 X29 X30 X31 X32 X33 X34 X35 X36 X37 Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 Y9 Y10
603.270020 603.559998 576.119995 572.700012 634.440002 620.590027 611.989990 624.210022 575.700012 569.900024 573.469971 568.549988 717.239990 721.049988 730.700012 724.659973 852.770020 864.320007 869.570007 888.179993 671.169983 649.260010 643.340027 641.400024 604.059998 602.090027 601.729980 611.260010 651.000000 660.400024 681.280029 686.719971 731.270020 751.000000 729.609985 733.599976 859.679993 635.679993 611.719971 603.719971 593.960022 638.400024 624.559998 628.859985 638.460022 598.739990 584.760010
OBJ COEFFICIENT RANGES ALLOWABLE ALLOWABLE INCREASE DECREASE 0.645128 20.981276 2.900442 5.708837 0.796882 4.478079 23.850004 47.313480 13.899585 7.786283 78.815048 9.120862 5.773786 24.958460 0.549606 3.933223 40.789215 25.492624 10.467033 63.592339 0.556927 1.652324 41.701118 5.991744 13.538747 0.613026 27.292479 26.189724 59.028385 1.632333 13.166092 4.066998 29.944288 2.081114 10.953938 0.390910 157.034912 25.479921 13.606688 7.571463 0.379511 59.645447 1.459622 22.740452 56.246891 26.458231 34.880196
10.428912 0.889807 INFINITY 0.511732 19.515306 1.939781 1.348230 INFINITY 7.766755 INFINITY INFINITY INFINITY 0.519092 INFINITY 3.950694 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 10.476435 5.493928 INFINITY INFINITY 0.999422 0.590942 13.546817 INFINITY INFINITY INFINITY 4.054990 INFINITY 1.631081 INFINITY INFINITY 0.469740 7.850043 279.895935 5.388934 5.558323 0.441886 6.502706 5.412468 25.009764 2.017834 INFINITY 1.949519 INFINITY
270 Lampiran 13. Lanjutan Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y17 Y18 Y19 Y20 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25 Y26 Y27 Y28 Y29 Y30 Y31 Y32 Y33 Y34 Y35 Y36 Y37 Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 Z7 Z8 Z9 Z10 Z11 Z12 Z13 Z14 Z15 Z16 Z17 Z18 Z19 Z20 Z21 Z22 Z23 Z24 Z25 Z26 Z27 Z28 Z29 Z30 Z31 Z32 Z33 Z34 Z35 Z36 Z37 A10 A11 A6 A7 A8 A9
588.599976 583.289978 720.929993 743.349976 758.549988 730.570007 810.830017 833.330017 825.890015 804.780029 666.190002 653.179993 642.400024 635.390015 647.799988 635.210022 632.760010 627.440002 717.080017 705.239990 694.429993 689.250000 768.570007 761.429993 739.710022 729.590027 880.330017 625.200012 584.409973 595.669983 589.090027 626.169983 606.559998 617.450012 637.000000 578.479980 564.289978 562.000000 557.190002 712.119995 717.229980 742.890015 732.900024 802.729980 796.489990 779.330017 757.950012 646.419983 662.380005 598.219971 590.559998 597.000000 583.690002 586.320007 622.570007 741.960022 721.469971 715.570007 688.500000 747.210022 783.690002 738.599976 728.130005 897.690002 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
84.220261 1.937100 1756.016235 40.786316 36.537441 64.720726 35.749176 19.786884 9.162472 0.379511 8.768550 6.264764 42.156998 0.471981 151.493851 13.979629 83.614304 82.034180 76.342972 23.839279 72.246254 51.319046 0.437983 20.163172 55.554260 7.571463 426.759949 10.685189 4.178457 13.599557 0.560840 10.726146 1.196584 82.473061 74.695862 31.060133 87.815567 86.559204 60.604683 557.245361 32.894398 76.648079 84.589821 61.069832 32.593769 9.647057 0.560840 6.087810 1.218067 46.924004 0.566079 54.044392 1051.406372 78.288239 166.235321 53.086327 28.730230 1.665178 40.931229 0.926917 47.918766 85.667526 12.142584 235.290573 INFINITY INFINITY 0.467170 INFINITY INFINITY INFINITY
INFINITY 26.565157 36.389313 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 1.154804 0.565789 6.502706 0.511751 7.813294 INFINITY 8.087111 13.466808 81.808945 INFINITY INFINITY 21.083168 51.297165 INFINITY INFINITY 7.504584 INFINITY INFINITY 0.441886 137.510147 1.365134 15.851645 0.793698 9.609665 1.370270 11.110241 11.857880 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 30.677757 32.831688 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 0.563022 9.609665 0.415797 9.031664 INFINITY 9.699424 INFINITY 55.547256 INFINITY INFINITY 32.475513 1.676756 28.531853 INFINITY 11.786857 INFINITY INFINITY 1.023910 30.623487 9.265633 18.022791 8.004684 21.877239 13.294258 41.051537
271 Lampiran 13. Lanjutan B10 C10 B11 C11 B6 C6 B7 C7 B8 C8 B9 C9 D10 D11 D6 D7 D8 D9
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
ROW
CURRENT RHS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
26188.273438 29655.455078 41406.421875 42621.812500 41130.894531 39173.933594 35956.742188 31791.658203 31405.257812 26683.824219 26077.455078 25185.642578 21499.464844 31917.820312 65560.234375 68341.968750 64715.761719 60389.972656 52347.253906 43303.765625 34745.097656 22422.857422 21204.820312 20490.656250 17906.572266 26958.355469 61861.968750 63571.910156 61250.515625 56904.507812 49529.230469 42772.148438 31822.242188 18749.232422 17862.250000 16498.080078 11390.802734 15183.935547 16672.781250 12236.314453 11600.237305 10665.042969 24404.976562 34917.609375 38919.398438 26490.498047 24541.574219 23437.642578
INFINITY 4.503488 INFINITY INFINITY 0.591354 0.591354 INFINITY INFINITY INFINITY 10.355330 INFINITY 0.869310 5.925642 INFINITY 0.758147 INFINITY 13.625434 1.143829
12.191622 1.734324 22.813660 19.634146 10.132512 5.409946 27.692707 20.748592 17.043921 INFINITY 53.313686 9.350832 2.282005 25.498892 6.935828 26.600760 INFINITY 12.303726
RIGHTHAND SIDE RANGES ALLOWABLE INCREASE
ALLOWABLE DECREASE
1042.685425 176.908783 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 1412.020142 146.451981 33.704346 50.755657 792.440918 139.757950 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 1115.495850 115.697075 26.289391 39.081856 602.255066 107.613617 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 870.086792 90.243713 19.979937 29.702209 1369.430664 205.565277 528.728943 927.806335 208.422729 490.827362 142.235260 159.750427 81.304779 732.966980 827.475647 771.316528
434.983185 2152.206299 34110.945312 37065.957031 33926.250000 28360.277344 20617.714844 13451.291016 68.655243 927.806335 1060.866211 1061.067261 330.587219 1700.242920 44789.722656 55508.890625 48092.765625 34313.238281 17962.062500 1053.087402 54.237644 732.966980 827.475647 817.021790 251.246277 1309.187012 44593.953125 51620.476562 46392.457031 31892.027344 16522.125000 2344.937500 42.305359 571.714233 628.881470 620.936584 177.812943 170.155197 INFINITY 303.983521 24.860781 88.644737 INFINITY 30.232847 1146.512085 119.639557 INFINITY INFINITY
272 Lampiran 13. Lanjutan 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118
23090.572266 32142.355469 36591.003906 23907.312500 23279.529297 21656.160156 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 12321.000000 12321.000000 12321.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 12321.000000 12321.000000 12321.000000 12321.000000 12321.000000 28904.000000 28904.000000 28904.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 28904.000000 28904.000000 28904.000000 28904.000000 28904.000000 27362.000000 27362.000000 27362.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 27362.000000 27362.000000 27362.000000 27362.000000 27362.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
1046.733643 1309.187012 727.633484 571.714233 628.881470 513.464722 792.440918 139.757950 1115.495850 115.697075 26.289391 39.081856 602.255066 107.613617 870.086792 90.243713 19.979937 29.702209 54.275539 0.000000 INFINITY 1339.830444 830.926941 74.430496 0.000000 73.578423 2797.738525 3100.676758 3009.138428 INFINITY 93.389290 INFINITY 0.000000 701.368103 29.632101 33.165092 INFINITY 714.906677 359.480377 1411.677734 694.937805 891.015320 6481.522461 11808.773438 8006.565918 INFINITY 23.074774 34.308681 0.000000 32.011147 INFINITY 28.339514 INFINITY 4158.199219 1556.695068 883.448059 180.617737 515.453857 6417.791992 8170.370605 10857.761719 INFINITY INFINITY 40.583897 0.000000 31.644011 718.239075 403.248810 1048.972290 556.307312
INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 28.527885 INFINITY 330.587219 1700.242920 54.237644 732.966980 827.475647 817.021790 251.246277 1309.187012 42.305359 571.714233 628.881470 620.936584 0.000000 103.175270 3009.138428 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY 89.637154 INFINITY INFINITY INFINITY 4828.685547 57.724297 1223.735840 0.000000 37.151371 0.000000 0.000000 6481.522461 INFINITY 427.272125 36.456036 0.000000 44.858604 INFINITY INFINITY INFINITY 10989.646484 100.942513 1326.707153 410.958557 643.703125 0.000000 0.000000 6312.538574 INFINITY 74.463783 42.259327 0.000000 24.656496 INFINITY INFINITY INFINITY 9909.494141 229.186859 848.422546 355.866302 356.677979 31.936893 47.798676 500.894440 50.118839
273 Lampiran 13. Lanjutan 119 0.000000 120 0.000000 121 0.000000 122 0.000000 123 0.000000 124 0.000000 125 0.000000 126 0.000000 127 0.000000 128 0.000000 129 0.000000 130 0.000000 131 0.000000 132 0.000000 133 0.000000 134 0.000000 135 0.000000 136 0.000000 137 0.000000 138 0.000000 139 88747.101562 140 213988.406250 141 196998.796875 142 12300500.000000 143 193000.000000 144 12291400.000000 145 193000.000000 146 11201900.000000 147 193000.000000
563.039673 2141.014160 INFINITY 35.282913 39.696991 110.278053 46.369102 57.089531 48.949791 INFINITY 42.581562 127.760490 166.848709 153.576416 236.583420 60.488972 INFINITY 783.707703 7917.112793 4230.721680 113.218826 1322.492676 855.989380 INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY INFINITY
73.110481 1161.070068 6363.050781 152.503815 663.849548 5050.452637 61.282261 916.460510 1849.142456 13938.722656 552.410828 483.442169 3488.038818 314.740082 398.917145 1264.546143 12483.153320 1896.070190 183.930008 202.374603 328.712097 34.947872 40.945854 704265.937500 2959.943115 800392.000000 40279.730469 4135638.750000 119281.007812
274
Lampiran 14. Penggunaan air irigasi di lahan sawah irigasi contoh DAS Brantas pada solusi optimal Sub DAS Hulu dengan luas baku lahan sawah 12 321 Ha Aktivitas Luas (hektar) Okt Nov Des 1 953.20 X1 4.916 2.471 1.256 5 864.91 X2 0.000 10.170 5.670 X3 0.000 0.000 0.000 2 563.57 X4 0.000 0.000 0.000 2 948.78 X5 0.000 0.000 0.000 3 628.67 X6 0.000 0.000 0.000 901.86 X7 0.000 0.000 0.000 X8 0.000 0.000 0.000 472.53 X9 0.000 0.000 0.000 X10 0.000 0.000 0.000 X11 0.000 0.000 0.000 X12 0.000 0.000 0.000 581.35 X13 0.604 0.244 0.078 X14 0.000 0.000 0.000 145.37 X15 0.000 0.000 0.021 X16 0.000 0.000 0.000 X17 0.000 0.000 0.000 X18 0.000 0.000 0.000 X19 0.000 0.000 0.000 2 542.97 X20 0.000 0.000 0.000 3 881.57 X21 0.000 0.000 0.000 X22 0.000 0.000 0.000 X23 0.000 0.000 0.000 1 339.83 X24 1.667 0.799 0.021 X25 0.000 0.000 0.000 414.23 X26 0.000 0.174 0.057 X27 0.000 0.000 0.000 X28 0.000 0.000 0.000 X29 0.000 0.000 0.000 1 405.32 X30 0.000 0.000 0.000 X31 0.000 0.000 0.000 95.03 X32 0.000 0.000 0.000 X33 0.000 0.000 0.000 X34 0.000 0.000 0.000 1 450.45 X35 1.429 0.000 0.000 1 369.10 X36 1.618 0.759 0.000 798.38 X37 1.157 0.567 0.190 Total 32 357.11 11.391 15.184 7.294
Jan 0.876 3.299 0.000 1.243 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.009 0.000 0.010 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.027 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.095 5.558
Feb 0.000 2.706 0.000 1.329 2.981 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.016 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.176 7.208
Mar 0.000 0.000 0.000 1.741 3.669 4.515 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.014 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.535 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.341 10.815
Apr 0.000 0.000 0.000 2.000 5.144 5.700 1.258 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.663 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.575 15.340
Mei 0.000 0.000 0.000 0.000 5.327 7.816 1.798 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.734 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.907 0.000 0.070 0.000 0.000 0.000 0.000 0.687 18.339
Jun 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7.562 2.389 0.000 1.040 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.373 3.028 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.103 0.000 0.000 0.000 0.000 0.708 17.203
Jul 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.130 0.000 1.241 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.920 5.101 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.124 0.000 0.000 0.000 0.000 0.722 12.237
Ags 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.323 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.549 5.926 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.008 0.000 0.795 11.600
Sep 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.969 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.344 0.000 0.000 1.917 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.387 1.980 1.068 10.665
(106 m3) Total 9.518 21.845 0.000 6.313 17.121 25.592 7.574 0.000 4.572 0.000 0.000 0.000 0.936 0.000 0.061 0.000 0.000 0.000 0.000 8.575 16.399 0.000 0.000 4.404 0.000 0.258 0.000 0.000 0.000 2.105 0.000 0.297 0.000 0.000 5.824 4.358 7.081 142.833
275
Lampiran 14. Lanjutan Sub DAS Tengah dengan luas baku lahan sawah 28 904 Ha Aktivitas Luas (hektar) Okt Nov Des Jan Y1 4 210.26 10.662 5.304 2.674 1.855 Y2 13 671.76 0.000 23.566 13.041 7.513 Y3 5 327.25 0.000 0.000 4.184 2.789 Y4 714.91 0.000 0.000 0.000 0.341 Y5 7 195.99 0.000 0.000 0.000 0.000 Y6 9 492.66 0.000 0.000 0.000 0.000 Y7 960.66 0.000 0.000 0.000 0.000 Y8 0.000 0.000 0.000 0.000 Y9 1 100.82 0.000 0.000 0.000 0.000 Y10 0.000 0.000 0.000 0.000 Y11 0.000 0.000 0.000 0.000 Y12 16.56 0.037 0.017 0.003 0.000 Y13 1 913.93 1.999 0.804 0.258 0.030 Y14 0.000 0.000 0.000 0.000 Y15 0.000 0.000 0.000 0.000 Y16 0.000 0.000 0.000 0.000 Y17 0.000 0.000 0.000 0.000 Y18 742.78 0.000 0.000 0.000 0.000 Y19 4 366.59 0.000 0.000 0.000 0.000 Y20 714.91 0.000 0.000 0.000 0.000 Y21 8 006.45 0.000 0.000 0.000 0.000 Y22 3 753.91 1.732 0.000 0.000 0.000 Y23 0.000 0.000 0.000 0.000 Y24 698.35 0.874 0.415 0.011 0.000 Y25 0.000 0.000 0.000 0.000 Y26 1 071.80 0.000 0.450 0.144 0.067 Y27 0.000 0.000 0.000 0.000 Y28 0.000 0.000 0.000 0.000 Y29 0.000 0.000 0.000 0.000 Y30 3 436.32 0.000 0.000 0.000 0.000 Y31 0.000 0.000 0.000 0.000 Y32 0.000 0.000 0.000 0.000 Y33 1 525.04 0.000 0.000 0.000 0.000 Y34 0.000 0.000 0.000 0.000 Y35 0.000 0.000 0.000 0.000 Y36 5 327.25 6.338 2.941 0.000 0.000 Y37 1 994.09 2.905 1.416 0.455 0.227 Total 76 242.29 24.547 34.912 20.770 12.822
Feb 0.000 6.166 2.541 0.363 7.125 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.429 16.624
Mar 0.000 0.000 2.803 0.478 8.804 11.614 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.252 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.292 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.842 26.085
Apr 0.000 0.000 0.000 0.552 12.404 14.738 1.325 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.296 2.049 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.594 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.421 34.380
Mei 0.000 0.000 0.000 0.000 12.889 20.274 1.897 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.400 2.388 0.484 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.200 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.716 42.249
Jun 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 19.758 2.540 0.000 2.425 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.333 3.837 0.665 6.226 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.356 0.000 0.000 0.000 1.778 38.918
Jul 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.273 0.000 2.896 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.298 0.823 10.542 3.707 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.087 0.000 0.000 0.000 1.861 26.487
Ags 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.099 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.437 12.306 5.507 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.024 0.000 0.000 0.000 1.995 25.369
Sep 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.251 0.000 0.000 0.049 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 4.898 5.517 0.000 1.010 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 7.788 2.693 24.206
(106 m3) Total 20.495 50.285 12.317 1.734 41.221 66.384 8.035 0.000 10.671 0.000 0.000 0.107 3.091 0.000 0.000 0.000 0.000 1.282 10.571 2.409 33.972 16.463 0.000 2.310 0.000 0.661 0.000 0.000 0.000 5.086 0.000 0.000 5.467 0.000 0.000 17.067 17.739 327.369
276
Lampiran 14. Lanjutan Sub DAS Hilir dengan luas baku lahan sawah 27 362 Ha Aktivitas Luas (hektar) Okt Nov Des Jan Z1 3 578.20 9.080 4.461 2.226 1.540 Z2 13 242.56 0.000 22.620 12.426 7.105 Z3 2 087.02 0.000 0.000 1.612 1.060 Z4 4 158.20 0.000 0.000 0.000 1.940 Z5 5 695.66 0.000 0.000 0.000 0.000 Z6 10 379.11 0.000 0.000 0.000 0.000 Z7 580.95 0.000 0.000 0.000 0.000 Z8 0.000 0.000 0.000 0.000 Z9 0.000 0.000 0.000 0.000 Z10 0.000 0.000 0.000 0.000 Z11 0.000 0.000 0.000 0.000 Z12 1 033.82 2.321 1.072 0.204 0.000 Z13 1 383.96 1.449 0.574 0.179 0.018 Z14 0.000 0.000 0.000 0.000 Z15 0.000 0.000 0.000 0.000 Z16 0.000 0.000 0.000 0.000 Z17 0.000 0.000 0.000 0.000 Z18 0.000 0.000 0.000 0.000 Z19 1 171.63 0.000 0.000 0.000 0.000 Z20 4 158.20 0.000 0.000 0.000 0.000 Z21 4 013.89 0.000 0.000 0.000 0.000 Z22 4 295.76 1.971 0.000 0.000 0.000 Z23 0.000 0.000 0.000 0.000 Z24 3 124.38 3.920 1.846 0.049 0.000 Z25 0.000 0.000 0.000 0.000 Z26 733.50 0.000 0.304 0.097 0.044 Z27 0.000 0.000 0.000 0.000 Z28 0.000 0.000 0.000 0.000 Z29 0.000 0.000 0.000 0.000 Z30 2 863.46 0.000 0.000 0.000 0.000 Z31 334.44 0.000 0.000 0.000 0.000 Z32 0.000 0.000 0.000 0.000 Z33 4 545.22 0.000 0.000 0.000 0.000 Z34 0.000 0.000 0.000 0.000 Z35 0.000 0.000 0.000 0.000 Z36 1 857.83 2.215 1.016 0.000 0.000 Z37 2 178.56 3.179 1.559 0.480 0.237 Total 71 416.34 24.134 33.452 17.272 11.944
Feb 0.000 5.870 0.974 2.059 5.507 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.452 14.860
Mar 0.000 0.000 1.077 2.716 6.835 12.429 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.054 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.898 25.009
Apr 0.000 0.000 0.000 3.158 9.655 15.846 0.788 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.541 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.314 0.170 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.536 33.006
Mei 0.000 0.000 0.000 0.000 10.083 21.899 1.134 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.635 2.781 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.811 0.223 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.863 40.429
Jun 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 21.522 1.528 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.020 3.837 3.090 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.356 0.000 4.006 0.000 0.000 0.000 1.954 37.314
Jul 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1.369 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.616 4.775 5.275 4.220 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 6.197 0.000 0.000 0.000 2.033 24.485
Ags 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.554 6.180 6.313 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 6.044 0.000 0.000 0.000 2.185 23.277
Sep 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 3.100 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.466 6.358 0.000 4.543 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.735 2.970 22.173
(106 m3) Total 17.307 48.020 4.723 9.873 32.080 71.696 4.819 0.000 0.000 0.000 0.000 6.696 2.220 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2.812 13.947 17.011 18.862 0.000 10.358 0.000 0.445 0.000 0.000 0.000 4.179 0.749 0.000 16.246 0.000 0.000 5.966 19.346 307.354
277 Lampiran 15. Penggunaan air irigasi dan harga bayangan air irigasi dari hasil analisis pasca optimal perubahan pasokan air irigasi Indeks pasokan Sub DAS Hulu Sub DAS Tengah Sub DAS Hilir PAI HBAI PAI HBAI PAI HBAI air irigasi
DAS Brantas
PAI HBAI (106 m3) (Rp./m3) (106 m3) (Rp./m3) (106 m3) (Rp./m3) (106 m3) (Rp./m3)
0.90
136.08
66.9
303.75
86.0 286.00
112.2 725.83
93.0
0.91
136.15
66.9
309.40
86.0 287.43
112.2 732.99
93.0
0.92
137.93
60.4
312.90
80.3 288.86
101.6 739.69
85.2
0.93
138.02
58.3
315.26
78.4 291.01
98.1 744.28
82.7
0.94
139.08
58.0
317.56
75.0 292.81
97.7 749.45
81.0
0.95
139.78
58.0
319.88
75.0 294.54
97.7 754.21
81.0
0.96
140.54
52.5
322.03
71.3 297.39
88.6 759.96
74.8
0.97
141.20
43.8
323.53
58.3 301.47
73.8 766.20
61.9
0.98
141.96
32.2
324.76
51.3 303.87
54.5 770.59
49.2
0.99
142.29
13.3
326.84
17.2 305.36
22.5 774.49
18.6
1.00*)
142.83
13.1
327.39
16.8 307.36
22.0 777.58
18.2
1.01
143.56
6.6
328.07
8.5 308.80
11.1 780.43
9.2
1.02
144.07
5.7
328.90
7.4 309.80
9.6 782.77
8.0
1.03
144.40
5.7
329.63
7.4 310.83
9.6 784.85
8.0
1.04
144.71
5.7
330.35
7.4 311.92
9.6 786.98
8.0
1.05
145.02
5.4
331.39
6.9 312.92
9.1 789.33
7.5
1.06
145.82
5.3
331.96
6.9 314.08
9.0 791.85
7.5
1.07
146.84
5.3
332.58
6.9 315.18
9.0 794.59
7.5
1.08
149.75
4.9
333.33
6.3 315.85
8.3 798.93
6.9
1.09
150.20
4.8
334.21
6.2 316.49
8.1 800.90
6.7
1.10
150.45
4.8
335.11
6.2 317.33
8.1 802.89
6.7
*) skenario dasar PAI = penggunaan air irigasi pada solusi optimal HBAI = harga bayangan air irigasi
278 Lampiran 16. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap luas tanam optimal di Sub DAS Brantas Hulu (Hektar) Aktivitas X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 X25 X26 X27 X28 X29 X30 X31 X32 X33 X34 X35 X36 X37
Perubahan pasokan air irigasi Turun 10 persen Turun 5 persen Tetap Naik 5 persen 2 001.82 2 049.89 1 953.20 2 182.40 5 064.35 5 194.40 5 864.91 6 330.88 2 822.62 421.36 157.79 2 669.96 2 563.57 1 817.72 3 498.71 3 233.70 2 948.78 2 971.73 3 300.82 4 092.22 3 628.67 3 374.15 408.07 195.02 901.86 1 171.71 472.53 470.77 503.98 465.01 733.40 754.50 581.35 360.21 145.37 393.95 2 414.55 226.34 2 293.18 2 542.97 2 518.39 5 420.04 4 277.69 3 881.57 3 429.83 146.43 858.30 1 339.83 1 769.85 417.30 429.31 414.23 429.12 1 417.34 1 102.18 1 405.32 928.87 376.78 95.03 549.43 728.58 1 418.81 1 450.45 2 376.40 2 288.45 1 364.90 1 369.10 441.82 777.52 801.58 798.38 806.71
Naik 10 persen 2 543.07 6 672.00 1 993.45 2 721.83 3 330.01 1 718.68 481.26 89.30 67.92 2 603.13 3 322.12 1 993.45 89.46 1 081.55 2 813.12 67.92 865.80
279 Lampiran 17. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap luas tanam optimal di Sub DAS Brantas Tengah (Hektar) Aktivitas Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y17 Y18 Y19 Y20 Y21 Y22 Y23 Y24 Y25 Y26 Y27 Y28 Y29 Y30 Y31 Y32 Y33 Y34 Y35 Y36 Y37
Pasokan air irigasi Turun 10 persen Turun 5 persen Tetap Naik 5 persen 3 192.62 3 964.28 4 210.26 5 113.04 11 829.08 13 395.17 13 671.76 14 367.04 5 484.58 5 484.71 5 327.25 2 058.81 3 478.82 1 101.34 714.91 2 361.31 6 251.88 6 943.10 7 195.99 6 020.89 8 751.06 9 816.26 9 492.66 10 292.02 412.80 795.55 960.66 1 323.22 1 100.82 1 114.85 1 149.02 1 101.34 16.56 1 918.81 1 915.64 1 913.93 1 912.02 153.32 159.77 742.78 640.06 5 071.78 4 689.16 4 366.59 2 647.60 926.64 714.91 2 361.31 8 993.73 8 319.78 8 006.45 6 136.33 1 414.81 3 962.31 3 753.91 4 494.09 2 405.32 698.35 1 802.35 1 064.94 1 063.18 1 071.80 1 061.17 3 002.49 3 419.14 3 436.32 3 434.96 3 814.99 2 217.16 1 525.04 2 357.98 3 283.89 4 587.12 5 327.25 4 529.78 1 859.64 1 979.68 1 994.09 2 030.62
Naik 10 persen 5 804.78 15 479.43 2 591.59 4 424.65 9 327.20 3 866.28 1 110.83 1 910.06 2 264.39 2 896.60 635.38 8 735.83 3 652.17 884.27 175.82 3 431.45 273.83 1 911.64 4 677.48 2 058.05
280 Lampiran 18. Pengaruh perubahan pasokan air irigasi terhadap luas tanam optimal di Sub DAS Brantas Hilir (Hektar) Aktivitas Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 Z7 Z8 Z9 Z10 Z11 Z12 Z13 Z14 Z15 Z16 Z17 Z18 Z19 Z20 Z21 Z22 Z23 Z24 Z25 Z26 Z27 Z28 Z29 Z30 Z31 Z32 Z33 Z34 Z35 Z36 Z37
Pasokan air irigasi Turun 10 persen Turun 5 persen Tetap Naik 5 persen 3 620.59 3 737.43 3 578.20 4 128.72 12 377.35 12 316.34 13 242.56 13 212.44 6 133.08 5 952.66 2 087.02 281.63 839.74 957.83 4 158.20 5 295.23 5 868.42 5 984.62 5 695.66 4 328.54 9 336.95 9 269.05 10 379.11 11 810.41 979.77 848.33 580.95 565.25 373.09 839.74 957.83 1 033.82 670.51 1 470.13 1 469.71 1 383.96 1 183.13 283.63 5 130.69 5 104.33 1 171.63 4 158.20 5 295.23 2 122.99 6 107.90 4 013.89 3 245.74 7 162.84 4 483.81 4 295.76 5 742.01 3 124.38 2 552.34 777.70 777.48 733.50 775.91 1 759.22 3 040.40 3 047.29 2 863.46 1 402.03 22.63 334.44 3 764.74 2 981.53 4 545.22 3 870.97 1 472.46 2 992.20 1 857.83 2 637.64 2 143.41 2 150.55 2 178.56 2 201.31
Naik 10 persen 5 088.29 14 018.14 3 771.87 3 164.22 12 879.21 631.81 649.48 390.66 1 464.21 5 286.05 2 081.84 7 473.03 1 947.02 774.57 2 698.63 457.14 3 588.67 2 898.39 2 244.92
281 Lampiran 19. Pola tanam di lahan sawah irigasi teknis DAS Brantas, 1999/2000 OBS KOM_MT1
KOM_MT2
KOM_MT3
POLA
1 PADI
PADI
KEDELAI
PADI-PADI-KEDELAI
2 PADI
PADI
BERA
PADI-PADI-BERA
3 PADI
PADI
JAGUNG
4 PADI
JAGUNG
5 PADI
PADI
6 PADI 7 PADI
CODE POLA
_FREQ_ LUAS PCTALL 10105
203 43.572
19.8
101099
212 37.037
16.9
PADI-PADI-JAGUNG
10102
125 28.074
12.8
JAGUNG
PADI-JAGUNG-JAGUNG
10202
43 13.233
6.0
PADI-PADI-KACANG HIJAU
10108
76 12.386
5.6
PADI
KACANG HIJAU PADI
BENGKOANG
JAGUNG
PADI-BENGKOANG-JAGUNG
8 PADI
TEMBAKAU
BERA
PADI-TEMBAKAU-BERA
9 TEBU
TEBU
TEBU
TEBU-TEBU-TEBU
10 PADI
PADI
BLEWAH
PADI-PADI-BLEWAH
11 PADI
BERA
BERA
12 BERA
BERA
13 JAGUNG
PADI-PADI-PADI
10101
44 9.318
4.2
102502
30 6.709
3.1
1027099
37 6.700
3.1
26026026
8 6.430
2.9
101024
13 5.421
2.5
PADI-BERA-BERA
1099099
34 5.194
2.4
JAGUNG
BERA-BERA-JAGUNG
9909902
17 4.503
2.1
JAGUNG
TEMBAKAU
JAGUNG-JAGUNG-TEMBAKAU
202027
2 4.265
1.9
14 PADI
TEMBAKAU
TEMBAKAU
PADI-TEMBAKAU-TEMBAKAU
1027027
17 3.454
1.6
15 PADI
PADI
PADI-PADI-KACANG TANAH
10107
10 2.040
0.9
16 PADI
PADI
PADI-PADI-CABAI KERITING
101013
9 1.770
0.8
17 PADI
JAGUNG
KACANG TANAH CABAI KERITING CABAI RAWIT
PADI-JAGUNG-CABAI RAWIT
102011
7 1.570
0.7
18 PADI
PADI
TEMBAKAU
PADI-PADI-TEMBAKAU
101027
10 1.438
0.7
19 PADI
BENGKOANG
BERA
PADI-BENGKOANG-BERA
1025099
3 1.400
0.6
20 CABAI RAWIT JAGUNG
JAGUNG
CABAI RAWIT-JAGUNG-JAGUNG
110202
3 1.190
0.5
21 BERA
PADI
BLEWAH
BERA-PADI-BLEWAH
9901024
2 1.051
0.5
22 JAGUNG
TEMBAKAU
BERA
JAGUNG-TEMBAKAU-BERA
2027099
5 1.015
0.5
23 PADI
TEMBAKAU
JAGUNG
PADI-TEMBAKAU-JAGUNG
102702
5 0.868
0.4
24 PADI
JAGUNG
CABAI BESAR
PADI-JAGUNG-CABAI BESAR
102012
3 0.850
0.4
25 PADI
LAINNYA
BERA
PADI-LAINNYA-BERA
1039099
2 0.840
0.4
26 JAGUNG
KEDELAI
BERA
JAGUNG-KEDELAI-BERA
205099
3 0.828
0.4
27 RUMPUT GAJAH 28 PADI
RUMPUT GAJAH BENGKOANG
RUMPUT GAJAH CABAI BESAR
RUMPUT GAJAH-RUMPUT GAJAHRUMPUT GAJAH PADI-BENGKOANG-CABAI BESAR
31031031
5 0.728
0.3
1025012
3 0.700
0.3
29 PADI
PADI
SEMANGKA
PADI-PADI-SEMANGKA
101022
4 0.675
0.3
30 JAGUNG
JAGUNG
JAGUNG
JAGUNG-JAGUNG-JAGUNG
20202
2 0.660
0.3
31 LAINNYA
BERA
BERA
LAINNYA-BERA-BERA
39099099
2 0.644
0.3
32 UBI JALAR
PADI
BLEWAH
UBI JALAR-PADI-BLEWAH
401024
1 0.643
0.3
33 PADI
CABAI RAWIT
JAGUNG
PADI-CABAI RAWIT-JAGUNG
101102
2 0.570
0.3
34 PADI
JAGUNG
KEDELAI
PADI-JAGUNG-KEDELAI
10205
2 0.518
0.2
35 PADI
SEMANGKA
JAGUNG
PADI-SEMANGKA-JAGUNG
102202
3 0.511
0.2
36 PADI
CABAI BESAR
JAGUNG
PADI-CABAI BESAR-JAGUNG
101202
2 0.420
0.2
37 PADI
BERA
JAGUNG
PADI-BERA-JAGUNG
109902
3 0.385
0.2
38 PADI
JAGUNG
PADI-JAGUNG-KACANG HIJAU
10208
3 0.379
0.2
39 KACANG TANAH 40 MENTIMUN
JAGUNG
KACANG HIJAU JAGUNG
KACANG TANAH-JAGUNG-JAGUNG
70202
1 0.360
0.2
JAGUNG
TEMBAKAU
MENTIMUN-JAGUNG-TEMBAKAU
1802027
1 0.350
0.2
282 Lampiran 19. Lanjutan OBS KOM_MT1
KOM_MT2
KOM_MT3
POLA
42 JAGUNG
BAWANG MERAH JAGUNG
PADI-BAWANG MERAH-CABAI KERITING JAGUNG-JAGUNG-KACANG PANJANG
43 JAGUNG
UBI KAYU
CABAI KERITING KACANG PANJANG BERA
44 KEDELAI
PADI
KEDELAI
45 PADI
PADI
46 PADI
JAGUNG
47 PADI
CABAI BESAR
KACANG PANJANG CABAI KERITING BERA
48 CABAI BESAR
TOMAT
JAGUNG
49 JAGUNG
BERA
50 PADI
41 PADI
KODE _FREQ_ LUAS PCTALL POLA 1014013 1 0.290 0.1 202010
1 0.286
0.1
JAGUNG-UBI KAYU-BERA
203099
1 0.280
0.1
KEDELAI-PADI-KEDELAI
50105
1 0.240
0.1
PADI-PADI-KACANG PANJANG
101010
2 0.221
0.1
PADI-JAGUNG-CABAI KERITING
102013
1 0.210
0.1
PADI-CABAI BESAR-BERA
1012099
2 0.210
0.1
CABAI BESAR-TOMAT-JAGUNG
1201502
1 0.200
0.1
BERA
JAGUNG-BERA-BERA
2099099
2 0.186
0.1
PADI
PADI-KACANG TUNGGAK-PADI
10901
1 0.180
0.1
51 BERA
KACANG TUNGGAK BERA
KACANG HIJAU BERA-BERA-KACANG HIJAU
9909908
1 0.179
0.1
52 PADI
TERONG
BERA
PADI-TERONG-BERA
1016099
1 0.175
0.1
53 KACANG PANJANG 54 PADI
TEMBAKAU
BERA
KACANG PANJANG-TEMBAKAU-BERA
10027099
1 0.175
0.1
JAGUNG
BERA
PADI-JAGUNG-BERA
102099
1 0.168
0.1
55 PADI
LAINNYA
JAGUNG
PADI-LAINNYA-JAGUNG
103902
1 0.168
0.1
56 PADI
KEDELAI
BERA
PADI-KEDELAI-BERA
105099
2 0.157
0.1
57 PADI
PADI
KRAI
PADI-PADI-KRAI
101019
1 0.155
0.1
58 PADI
JAGUNG
PADI-JAGUNG-KACANG TANAH
10207
2 0.140
0.1
59 PADI
KEDELAI
KACANG TANAH JAGUNG
10502
1 0.140
0.1
60 KACANG PANJANG 61 PADI
JAGUNG
JAGUNG
KACANG PANJANG-JAGUNG-JAGUNG
100202
1 0.140
0.1
PADI
TOMAT
PADI-PADI-TOMAT
101015
1 0.140
0.1
62 PADI
JAGUNG
PADI-JAGUNG-KACANG PANJANG
102010
1 0.140
0.1
63 PADI
JAGUNG
KACANG PANJANG BENGKOANG
PADI-JAGUNG-BENGKOANG
102025
1 0.140
0.1
64 CABAI BESAR
JAGUNG
JAGUNG
CABAI BESAR-JAGUNG-JAGUNG
120202
1 0.140
0.1
65 PADI
CABAI BESAR
1 0.140
0.1
CABAI BESAR
PADI-CABAI BESAR-KACANG PANJANG PADI-CABAI BESAR-TOMAT
1012010
66 PADI
KACANG PANJANG TOMAT
1012015
1 0.140
0.1
67 JAGUNG
JAGUNG
BERA
JAGUNG-JAGUNG-BERA
202099
1 0.128
0.1
68 KACANG PANJANG 69 PADI
KACANG TANAH PADI
BERA
1007099
1 0.126
0.1
LAINNYA
KACANG PANJANG-KACANG TANAHBERA PADI-PADI-LAINNYA
101039
1 0.114
0.1
70 BERA
PADI
BERA
BERA-PADI-BERA
9901099
1 0.114
0.1
71 JERUK
JERUK
JERUK
JERUK-JERUK-JERUK
28099099
1 0.112
0.1
72 JAGUNG
KACANG TANAH LAINNYA
JERUK
JAGUNG-KACANG TANAH-JERUK
207028
1 0.105
0.0
BERA
LAINNYA-LAINNYA-BERA
39039099
1 0.098
0.0
KACANG TANAH PADI
JAGUNG
PADI-KACANG TANAH-JAGUNG
10702
1 0.080
0.0
MENTIMUN
PADI-PADI-MENTIMUN
TERONG
PADI-BAWANG MERAH-TERONG
77 KEDELAI
BAWANG MERAH KEDELAI
JAGUNG
KEDELAI-KEDELAI-JAGUNG
78 UBI KAYU
BERA
BERA
UBI KAYU-BERA-BERA
79 PADI
KACANG HIJAU BERA
PADI-KACANG HIJAU-BERA
80 BAWANG MERAH
BAWANG MERAH
BAWANG MERAH-BAWANG MERAHJAGUNG
73 LAINNYA 74 PADI 75 PADI 76 PADI
JAGUNG
PADI-KEDELAI-JAGUNG
101018
1 0.071
0.0
1014016
1 0.070
0.0
60602
1 0.057
0.0
3099099
1 0.056
0.0
108099
1 0.020
0.0
1401402
1 0.014
0.0