RINGKASAN DISERTASI MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN
MARWAN SYAUKANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRACT MARWAN SYAUKANI. M odel of Fishing Industry Networking in Archipelagic Region. (Under supervision of M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW and DANIEL R MONINTJA) Fishing port networking is an important element of the fisheries development. There are two models of fishing port networking applied in Indonesia, namely “HUB” and”Point” models. The Jakarta Fishing Port is an example of HUB model and others are Point models. It seems that the current Point model of Indonesia fishing port networking is inefficient. The research was held in Belitung, Mendanau, Seliu, Gersik and Sumedang islands - Belitung Regency from October 2007 to May 2009. The research purposes are to classify the status of fishing ports in fishing industry networking, to formulate an efficient model that considers industrial linkage among fishing ports, and to formulate a strategy of fishing management for each island. It was identified that fishing ports in Belitung Regency can be classified into (1) main service provider, (2) intermediate service provider or server, and (3) client. The Nested Multi Criteria Analysis (NMCA) followed by Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimizing distance analysis, minimizing transportation time, and minimizing transportation cost analysis were used in this research. The NMCA is a two-step MCA. The first MCA and TOPSIS analysis are to classify of fishing port status based on fishing facilities, fishing capacity, input dependency and fish landing capacity. The second MCA analysis were to formulate the most efficient model based on minimizing distance analysis, transportation time and transportation cost analyzing. The model with the lowest transportation cost is selected. The result s showed that the Belitung is the main service provider while the Mendanau and Seliu islands are the intermediate service providers or servers and the other 2 islands are the client s. The network among these fishing ports is theoretically more efficient than the current available networking. For protecting fishing port from over capacity, the research formulated fishing management strategies for each island by using technical efficiency (TE) and Danmark Theory analysis. The result showed that prevention of environmental degradation should be implemented in Belitung and Mendanau islands. While, controlling of fishing effort should be implemented in Seliu and Gersik islands. On the other hand, fishing effort may be expanded in Sumedang island. Keywords : fishing industry, archipelagic fishery, fishing port status, industry networking
RINGKASAN MARWAN SYAUKANI. Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan (Dibimbing oleh M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW dan DANIEL R MONINTJA) Kondisi geografis dan keterbatasan infrastruktur merupakan masalah krusial yang dihadapi dalam pembangunan industri perikanan di Indonesia. Kedua permasalahan di atas hanya dapat diatasi dengan rekayasa jaringan pelabuhan perikanan yang efektif dan efisien. Terdapat dua model jaringan industri antar pelabuhan perikanan yang berkembang di Indonesia, yaitu: model “HUB” dan ”POINT”. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan model HUB walaupun model yang dikembangkan masih bersifat kontinental. Pelabuhan perikanan lainnya mengembangkan model Point dan terindikasikan tidak efisien. Penelitian dilaksanakan di Pulau Belitung, Pulau Mendaunau, Pulau Seliu, Pulau Gersik dan Pulau Sumedang - Kabupaten Belitung dari bulan Oktober 2007 hingga bulan Mei 2009. Penelitian bertujuan menent ukan status sentra industri dalam suatu jaringan industri, menyusun model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan yang efesien dan menyusun strategi pengelolaan industri perikanan tangkap pada masing- masing pulau. Penelitian menggunakan metode analisis Nested Multi Criteria Analysis (NMCA) yang diikuti dengan analisis Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimalisasi jarak, minimalisasi waktu tempuh dan minimalisasi biaya transportasi. NMCA adalah analisis MCA dua tahap. Analisis MCA tahap pertama yang dipadu dengan analisis TOPSIS bertujuan menentukan status sentra industri dalam jaringan industri berdasarkan parameter pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan, kapasitas kapal perikanan, kemandirian faktor input, jumlah ikan yang didaratkan. Dalam penelitian ini, status sentra industri di Kabupaten Belitung diklasifikasi menjadi 3, yaitu: penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server) dan client. Hasil analisis MCA tahap pertama menunjukkan bahwa Pulau Belitung berstatus sebagai penyedia jasa utama, Pulau Mendanau dan Pulau Seliu sebagai penyedia jasa antara (server) sedangkan Pulau Gersik dan Pulau Sumedang sebagai sumber bahan baku (client). Analisis MCA tahap ke dua bertujuan merumuskan model jaringan industri perikanan tangkap berdasarkan parameter jarak, waktu tempuh dan biaya transportasi. Model jaringan industri dengan biaya transportasi terendah ditentukan sebagai model terpilih. Hasil analisis MCA tahap kedua menunjukkan bahwa model jaringan industri perikanan tangkap dimana Pulau Belitung yang mempunyai status sebagai penyedia jasa utama melayani produksi yang berasal dari dua server yaitu Pulau Mendanau dan Pulau Seliu. Pulau Mendanau melayani 1 sentra industri yang berfungsi sebagai client yaitu Pulau Gersik dan Pulau Seliu melayani 1 sentra industri lainnya yang berfungsi sebagai client yaitu Pulau Sumedang. Model jaringan industri ini lebih efesien dibandingkan dengan jaringan industri perikanan yang ada di Belitung sekarang ini.
Dalam upaya mencegah kelebihan kapasitas pelabuhan perikanan, dilakukan perumusan strategi pengelolaan perikanan tangkap dengan analisis efisiensi teknik (TE) yang dipadukan dengan analisis Danmark teori. Efisiensi teknik adalah penbandingan produktivitas suatu wilayah penangkapan dengan produktivitas wilayah lainnya yang masih memiliki terbaik. Sedangkan Danmark teori adalah analisis kebijakan pengelolaan perikanan dengan memplotkan hasil analisis efisiensi teknik (TE) kedalam diagram Cartesius. Hasil analisis efisiensi teknik menunjukkan bahwa industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung diarahkan pada pengembangan setiap sentra industri sesuai dengan status dalam jaringan industri yang optimum. Nilai TE Pulau Belitung dan Pulau Mendanau terletak pada kuadran ke tiga dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pencegahan degradasi sumber daya ikan. Nilai TE Pulau Seliu dan Pulau Gersik terletak pada kuadran kedua dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengendalian sumber daya ikan. Nilai TE Pulau terletak pada kuadran pertama dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengembangan industri perikanan tangkap. Kata kunci : industri perikanan, wilayah kepulauan, status pelabuhan perikanan, jaringan industri
MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN
MARWAN SYAUKANI
Ringkasan disertasi Disampaikan sebagai bahan ujian terbuka untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Disertasi
: Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan
Nama Mahasiswa
: Marwan Syaukani
NIM
: C 561 030 174
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Komisi Pembimbing : Dr. Ir M. Fedi A. Sondita, MSc Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, MSc Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Penguji Luar Komisi : Ujian Terbuka pada Hari/Tanggal
: Jumat / 11 September 2009
Waktu
: 13.30 - selesai
Tempat
: Gedung Rektorat Institut Pertanian Bogor
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perdagangan global yang dihadapi oleh negara-negara didunia sekarang ini
membawa konsekuensi timbulnya persaingan antar negara, antar daerah dan antar pengusaha. Meningkatnya persaingan usaha tersebut diatas mendorong kesadaran pentingnya peningkatan efisiensi industri. Peningkatan efisiensi juga diamanatkan dalam Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat Bab IV.B. 9 dan 10 tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil yang efisien. Penelitian tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil belum banyak dilakukan di Indonesia. Namun penelitian jaringan industri antar pelabuhan di beberapa pulau dalam suatu kawasan telah banyak dilakukan diluar negeri antara lain peneliti dari negara Korea dan Jepang.
Wang (2007) melakukan analisis
jaringan kapal pengangkut dan pembangunan pelabuhan di Korea dan Jepang. Penelitian tersebut menyimpulkan diperlukan adanya kerjasama antar pelabuhan di Semenanjung Korea dan Jepang.
Hubungan antar pelabuhan berupa jaringan
industri perlu ditingkatkan terutama antara pelabuhan HUB dan pelabuhan Spoke. Keterkaitan jaringan industri sangat dipengaruhi oleh geografis pelabuhan, infrastruktur yang tersedia, efisiensi penanganan barang serta biaya penanganan barang (handling cost). Industri di Indonesia secara umum dan sektor perikanan tangkap secara khusus tergolong ekonomi biaya tinggi. Tingginya biaya investasi dan operasional industri tersebut diatas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor administrasi dan faktor teknik.
Penyalahgunaan wewenang dalam perijinan
merupakan contoh nyata tingginya biaya akibat faktor administrasi. Sedangkan tingginya biaya transportasi merupakan contoh tingginya biaya akibat faktor teknik. Biaya transpotasi yang tinggi merupakan indikator jaringan industri yang tidak efisien.
Tidak efisiennya jaringan industri perikanan di Indonesia karena
pemerintah menerapkan model Point yang sentralistik pada pembangunan pelabuhan perikanan.
Model Point adalah model jaringan industri perikanan berbasis
pelabuhan perikanan yang berfungsi sebagai sentral aktivitas ekonomi sektor
perikanan bagi pelabuhan itu sendiri. Model Point berkembang di negara-negara yang wilayahnya luas dan menyebar, wilayah penangkapannya terbagi atas beberapa wilayah (zonasi), terkendalakan penguasaan teknologi dan permodalan.
Model
Point cenderung mandiri terhadap pelabuhan perikanan lainnya dan sentralistik. Ditinjau dari segi ekonomi, model Point yang sentralistik ini mengakibatkan jaringan antar sentra industri tidak efisien, yaitu: biaya transportasi per unit tinggi, praktek
perdagangan
monopoli,
oligopoli,
monopsoni,
oligopsoni
serta
menimbulkan dead weight loss (DWL). Ditinjau dari segi teknik, model Point menyebabkan kesulitan dalam hal pengawasan mutu, pengawasan SDA, hilangnya penerimaan negara dari pajak dan retribusi. Namun keuntungan model Point adalah biaya investasi relatif kecil. Tidak efisiennya jaringan industri antar sentra industri mendorong dilakukannya penelitian ini. Disamping model ”Point”, terdapat model jaringan industri berbasis pelabuhan lainnya yaitu model ”HUB”. Model HUB adalah model jaringan industri perikanan yang menonjolkan sebuah pelabuhan perikanan sebagai sentral aktivitas ekonomi industri perikanan yang didukung oleh beberapa pelabuhan perikanan lainnya. Pemilihan atas kedua model tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: luas wilayah, letak geografis, jarak daerah penangkapan ikan (fishing ground), aksesbilitas faktor input dan variabel output, infrastruktur serta penguasaan teknologi.
Model pelabuhan HUB banyak diaplikasikan di wilayah kontinental,
wilayah yang dibatasi oleh banyak negara, memiliki wilayah penangkapan ikan yang kecil, penguasaan teknologi, transportasi dan telekomunikasi memadai. Pelabuhan HUB berfungsi sebagai tempat transhipment barang dan terminal kontainer (Subagiyo 2007). Di benua Eropa, pelabuhan perikanan HUB berfungsi sebagai pelabuhan masuk dan keluar komoditi dari dan ke beberapa negara yang biasa disebut “entry port ” (The Bilbao Port Authority 2006, Subagiyo 2007). Pelabuhan entry point cukup besar di Uni Eropa antara lain pelabuhan Rotterdam (Belanda) dan pelabuhan Anwerpen (Belgia). Pelabuhan HUB juga berkembang di beberapa negara maju Asia antara lain Pelabuhan Ghuang Zhou di China, Tsukiji dan Shinminato di Jepang, pelabuhan Seoul dan Busan di Korea (Yang et al 2005, Tai dan Hwang 2005, Wang 2007).
Keuntungan model HUB antara lain
mempermudah pengawasan mutu, mempermudah pengawasan sumber daya alam
2
(SDA), mempermudah pengawasan penerimaan negara dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan dari model HUB adalah investasinya yang tinggi. Industri perikanan tangkap Indonesia mengembangkan model HUB dan model Point. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan HUB bagi beberapa pelabuhan perikanan pendukung antara lain pelabuhan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu, PPN Cirebon dan PPN Pekalongan. Model pelabuhan perikanan HUB yang diaplikasikan oleh PPS Jakarta mengandalkan hubungan jaringan darat dan belum mencerminkan keterkaitan antar pulau. Sedangkan PPS dan PPN lainnya seperti PPS Bungus, PPS Belawan dan PPS Cilacap dan PPN Tanjung Pandan mempraktekan model Point. PPN Tanjung Pandan mempraktek model Point dimana pengadaan pasokan faktor input, pengolahan dan pemasaran hasil, ekspor dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha yang berdomisili di PPN Tanjang Pandan. Faktor input bagi selur uh sentra industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung berasal dari PPN Tanjung Pandan. Ikan yang di produksi dan didaratkan di PPN Tanjung Pandan dijual ke pasar regional atau diekspor langsung ke Singapura melalui pelabuhan umum Pangkal Balam yang terletak di Pulau Bangka. Penerapan model Point yang dipraktekkan PPN Tanjung Pandan menyuburkan sistem perdagangan oligopsoni yang mengakibatkan adanya dead weight loss (DWL). Hubungan jaringan industri antar sentra industri telah banyak dilakukan di luar negeri, antara lain: jaringan pelabuhan Selat Gibraltar oleh Hadi dan Moron (2007), jaringan pelabuhan Korea Selatan, China dan Jepang oleh Wang (2007) dan jaringan pelabuhan Asia Timur oleh Tai dan Hwang (2005). Perbedaan penelitian hubungan jaringan industri dengan penelitian jaringan industri tersebut diatas adalah model jaringan industri disesuaikan dengan karakteristik wilayah kepulauan. Klasifikasi pelabuhan yang dipergunakan penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server/spoke) dan client (feeder).
Klasifikasi tersebut diatas mengacu pada
penelitian Israel dan Roque (2000) mengenai jaringan pelabuhan perikanan di Philipina. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 – Mei 2009 dengan empat pentahapan yaitu persiapan, pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan data dan penulisan disertasi.
Penelitian jaringan industri perikanan tangkap
3
dilakukan di Kabupaten Belitung – Propinsi Bangka Belitung meliputi Pulau Belitung yang difokuskan di PPN Tanjung Pandan, Pulau Mindanau difokuskan di PPI Selat Nasik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Sumedang dan pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu. Kelima lokasi tersebut diatas merupakan sentra industri perikanan tangkap yang utama di Kabupaten Be litung.
1.2
Perumusan Masalah
Sektor industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan menghadapi permasalahan laten yakni rendahnya keunggulan komparatif, praktek oligopoli dan atau oligopsoni yang merugikan nelayan dan rendahnya daya kompetitif. Salah satu sebabnya adalah jaringan industri perikanan tangkap tidak efisien yang ditandai dengan tingginya biaya transportasi. Ketidakefisienan jaringan industri terjadi karena karakteristik geografi pulaupulau kecil dan keterbatasan infrastruktur yang mengakibatkan terjadinya beberapa keterbatasan, yaitu: keterbatasan sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan, keterisolasian dan pasar (Gambar 1).
4