DISERTASI MODEL PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KALIMANTAN SELATAN
RUSMILYANSARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul: Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Perairan Kalimantan Selatan merupakan gagasan atau atau karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 2 Februari
Rusmilyansari C462070021
2011
ABSTRACT RUSMILYANSARI. Conflict Management Model of Capture Fisheries in South Kalimantan Waters. Under guidance of BUDY WIRYAWAN, JOHN HALUAN and DOMU SIMBOLON. This study aims to map the problems, develops institutional and creates a model of conflict management. The research was conducted in South Kalimantan through a survey method, that consists of PISCES survey and perception survey. Descriptive analysis was done descriptively using Structural Equation Modeling. The results showed: (1) The problem of conflict in terms of conflict typology that includes conflict jurisdiction, management mechanism and internal allocation. Viewing from the source of conflicts that includes relationship of issues, structural problems, differences in values and interests. (2) Developing institutional role by establishing the institutional facilitator or mediator as not being an ad hoc institution using the alternative of dispute resolution (ADR) in every village, district and provincial levels. Formulation of the agreement obtained through the forum agreement all related institutionals (3) Setting up a model for the process of fishing conflict management of that can be done effectively after the causes of conflict and conflict resolution techniques are identified. The model can be contributed as an input to the management of fishing conflict which is supported by the participation of stakeholders, and to change community attitudes towards the achievement of fisheries resources sustainability. Key words: management, conflict, capture fisheries
iii
RINGKASAN RUSMILYANSARI. Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Di Perairan Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN, JOHN HALUAN dan DOMU SIMBOLON. Konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan merupakan salah satu isu yang berkembang dan membutuhkan perhatian serius. Pemerintah telah berupaya untuk menyelesaikan konfik, namun hasilnya masih belum efektif. Pendekatan yang baik dalam mewujudkan pengelolaan konflik perikanan tangkap yang bertanggung jawab adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap konflik, dinamikanya dan pengaruhnya terhadap masyarakat sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada. Penelitian ini bertujuan (1) memetakan permasalahan (2) mengembangkan peran kelembagaan pengelolaan konflik perikanan tangkap (3) membuat model pengelolaan konflik perikanan tangkap. Penelitian dilaksanakan pada 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Kotabaru, Tanah Laut dan Tanah Bumbu Provinsi Kalimantan Selatan. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode survei yang terdiri dari dua tahap yaitu survei PISCES (participatory institutional survei and conflict evaluated exercise) dan survei persepsi. Pada tahap pertama data primer yang dikumpulkan melalui indepth interview terhadap key informan dengan menggunakan interview guide yang ditujukan untuk mengidentifikasi konflik, posisi konflik (Participatory Geographic Information Exercise), runtutan waktu terjadinya konflik (time lines), hubungan antar aktor dan institusi (institutional wheels), sumber konflik dan tipologi konflik. Kemudian pada tahap kedua menggunakan kuesioner terstruktur yang ditujukan untuk merumuskan model pengelolaan konflik yang terdiri dari hubungan faktor penyebab, teknik resolusi konflik dan pengelolaan perikanan bertanggung jawab. Pengumpulan data dilakukan secara purposive terhadap beberapa orang responden. Survei PISCES dianalisis secara deskriptif dan survei persepsi menggunakan analisis SEM (Structural Equation Modeling). Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan konflik perikanan tangkap di perairan Kalsel ditinjau dari tipologi konflik terdiri dari (1) yuridiksi perikanan terjadi pada kasus daerah tangkap/pengkavlingan laut dan kasus purse seine/klaim jalur penangkapan (2) mekanisme pengelolaan terjadi pada kasus purse seine/mekanisme perizinan, lampara dasar dan gillnet/pelanggaran jalur penangkapan, penggunaan bom/pelanggaran undang-undang (3) alokasi internal terjadi pada kasus purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar, bagan apung, seser modern dan cantrang/perbedaan kualitas dan kapasitas teknologi penangkapan. Ditinjau dari sumber konflik terdiri dari (1) perbedaan nilai terjadi pada kasus purse seine, lampara dasar, bagan apung, seser modern dan cantrang (2) masalah hubungan terjadi pada kasus purse seine dan daerah tangkap (3) faktor struktural terjadi pada kasus purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar, gillnet dan penggunaan bom (4) perbedaan kepentingan terjadi pada kasus pengambilan teripang dan cantrang. Keberadaan (1) lembaga pemerintah sebagai administrator, regulator dan fasilitator (2) lembaga non pemerintah sebagai inisiator, pelaksana dan kontrol
v
sosial (3) lembaga tradisonal sebagai wadah silaturahmi dan elemen perekat berperan dalam melakukan penyelesaian konflik. Pada tingkat desa telah dibentuk Pokmaswas yang merupakan pelaksana di tingkat lapangan dengan keanggotaan sukarela yang terdiri dari masyarakat pesisir dan LSM. Kelembagaan Pokmaswas ini bersinergi dengan kelembagaan lokal dan kelembagaan lainya untuk menciptakan jejaring komunikasi dan interaksi antar kelompok masyarakat. Sejauh ini kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan konflik telah melakukan evaluasi, rencana tindak lanjut jangka menengah dan panjang yang salah satunya adalah membentuk kelompok kerja (POKJA) penanganan konflik nelayan di setiap daerah dan tingkat pusat, provinsi sampai dengan kabupaten dan menyusun pedoman umum penanganan konflik nelayan antar daerah melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution/ADR. Peran kelembagaan tersebut akan dikembangkan dan mendapat legitimasi, sehingga kesepakatan dapat diperoleh melalui forum yang dapat dipertanggung jawabkan, bersifat mengikat dan memiliki kekuatan hukum Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dapat dilakukan secara efektif setelah penyebab konflik dan teknik resolusi konflik teridentifikasi, sehingga jika ternyata dalam proses resolusi tersebut tidak terjadi kesepakatan maka ada dua kemungkinan yang dapat menjadi yaitu: (1) apakah pemahaman stakeholder terhadap faktor penyebab konfliknya sudah memadai (2) apakah teknik resolusi yang digunakan sudah tepat. Model dapat memberikan kontribusi dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap yang didukung oleh partisipasi stakeholders, karena jika prinsip-prinsip pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan dipahami dengan baik, maka upaya-upaya untuk merubah perilaku pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak bertanggung jawab seperti: (1) perilaku dalam melakukan kompetisi penangkapan ikan melalui cara illegal fishing, pelanggaran terhadap undang-undang dan pemanfaataan sumberdaya dengan teknologi yang dapat menyebabkan over fishing (2) perilaku yang menyebabkan munculnya pihak oposisi karena perbedaan nilai dan perbedaan kepentingan (3) perilaku ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya yang menyebabkan kesenjangan ekonomi (4) perilaku aktor yang tidak bertanggung jawab terhadap keberlanjutan perikanan tangkap dapat dirubah.
Kata-kata kunci: pengelolaan, konflik, perikanan tangkap
vi
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vii
MODEL PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP DI PERAIRAN KALIMANTAN SELATAN
RUSMILYANSARI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PELAKSANAAN UJIAN
Ujian Tertutup Tanggal 30 Nopember 2010
Penguji Luar Komisi
1 Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro M.Sc 2 Dr. Ir. Mohammad Imron M.Si
Ujian Terbuka Tanggal 2 Pebruari 2011
Penguji Luar Komisi
1 Dr. Ir. Husni Mangga Barani, M.Sc 2 Prof Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc
LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi Nama NRP Mayor
: Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Perairan Kalimantan Selatan : Rusmilyansari : C462070021 : Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap (SPT)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. Anggota
Mengetahui
Ketua Mayor Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 02-02-2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2008 ini adalah konflik perikanan tangkap, dengan judul Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Perairan Kalimantan Selatan. Secara khusus, penulis menyampaikan penghargaan dan ungkapan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si selaku pembimbing. Ucapan terimakasih pula kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Mohammad Imron M.Si selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Bapak Dr. Ir. Husni Mangga Barani, M.Sc dan Bapak Prof Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc selaku pengiji luar komisi pada ujian terbuka. Penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Bupati Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut. Kepada Bapak-bapak staf Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten serta para sahabat serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dan telah membantu selama pengumpulan data serta mendukung penyelesaian naskah disertasi ini. Pada akhirnya, penghargaan dan ungkapan terimakasih disampaikan kepada ayahanda (H. Ridoeansyah) dan ibunda terkasih (Hj. Zaleha) atas dorongan dan doa. Semangat belajar tidak lain adalah dukungan seluruh keluarga, khususnya pengertian dari suami tercinta Drs. Apriansyah, M.Si dalam menempuh studi dan keberhasilan penulisan disertasi ini. Kedua buah hati tercinta Muhammad Akbar Arsya dan Muhammad Alghiffari Fateha atas segala doa, pengorbanan yang luar biasa yang telah menjadikan inspirasi dan semangat hidup serta atas pengertian waktu yang banyak tersita selama melakukan studi. Penulis menyadari disertasi ini masih banyak kekurangannya. Untuk itu segala saran maupun kritik disertasi ini masih diperlukan untuk penyempurnaan. Akhirnya semoga disertasi ini dapat bermanfaat dan semoga Allah selalu memberkahi kita semua. Amin.
Bogor, 2 Februari 2011
Rusmilyansari
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.......................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
xxiii
1 PENDAHULUAN.....................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
Latar Belakang.................................................................................... Rumusan Masalah............................................................................... Tujuan Penelitian................................................................................ Manfaat Penelitian.............................................................................. Kerangka Pemikiran............................................................................ Ruang Lingkup dan Kebaruan............................................................
1 7 8 8 8 10
2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………............. 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian..................................................... 2.1.1 Kabupaten Kotabaru................................................................. 2.1.2 Kabupaten Tanah Laut.............................................................. 2.1.3 Kabupaten Tanah Bumbu.......................................................... 2.2 Model.................................................................................................. 2.2.1 Konsep model............................................................................ 2.2.2 Model deskriptif SEM................................................................ 2.2.3 Pendekatan dua langkah dalam analisis dan pemodelan............ 2.3 Kerangka Teoritis Konflik.................................................................. 2.3.1 Paradigma perikanan................................................................. 2.3.2 Prinsip dasar konflik................................................................. 2.3.3 Faktor penyebab konflik........................................................... 2.4 Analisis Konflik.................................................................................. 2.4.1 Penahapan konflik.................................................................... 2.4.2 Tipologi konflik perikanan....................................................... 2.4.3 Resolusi konflik........................................................................ 2.5 Pengelolaan Konflik perikanan Tangkap............................................ 2.6 Kelembagaan Perikanan Tangkap.......................................................
13 13 13 14 14 15 15 17 18 18 18 21 25 30 30 31 35 42 56
3 METODOLOGI PENELITIAN..……………………………….............. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian............................................................. 3.2 Tahapan Penelitian.............................................................................. 3.3 Jenis dan Sumber Data........................................................................ 3.4 Metode Pengumpulan Data................................................................. 3.4.1 Data primer................................................................................ 3.4.2 Data sekunder............................................................................ 3.5 Variabel Penelitian.............................................................................. 3.5.1 Indikator faktor penyebab konflik ............................................. 3.5.2 Indikator kepuasan terhadap teknik resolusi konflik................. 3.5.3 Indikator outcome......................................................................
61 61 61 61 64 64 66 66 67 67 68 67
xv
3.6 Analisis Data...................................................................................... 3.6.1 Trend potensi sumberdaya perikanan....................................... 3.6.2 Identifikasi konflik.................................................................... 3.6.3 Memetakan permasalahan konflik............................................. 3.6.4 Model pengelolaan konflik........................................................ 3.6.5 Peran kelembagaan pengelolaan konflik...................................
68 68 71 71 73 80
4 HASIL PENELITIAN.................................................................................
83
4.1 Keragaan Perikanan Tangkap............................................................. 4.1.1 Unit penangkapan...................................................................... 4.1.2 Produksi..................................................................................... 4.1.3 Kondisi sumberdaya perikanan tangkap.................................... 4.2 Konflik Perikanan Tangkap................................................................. 4.2.1 Peta wilayah konflik................................................................... 4.2.2 Jenis kasus konflik..................................................................... 4.2.3 Penahapan konflik...................................................................... 4.3 Permasalahan Konflik Perikanan Tangkap......................................... 4.3.1 Tipologi konflik......................................................................... 4.3.2 Identifikasi kebutuhan, kepentingan dan posisi pihak yang berkonflik................................................................................... 4.3.3 Identifikasi sikap, perilaku dan konteks sebagai faktor yang mempengaruhi konflik............................................................... 4.3.4 Sumber konflik........................................................................... 4.4 Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Konflik........................... 4.4.1 Resolusi konflik......................................................................... 4.4.2 Pemetaan institusi konflik penyelesaian konflik........................ 4.4.3 Peran kelembagaan pengelolaan konflik................................... 4.5 Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap................................ 4.5.1 Faktor penyebab konflik ........................................................... 4.5.2 Teknik resolusi konflik..............................................................
83 83 87 89 92 92 93 97 109 109
5 PEMBAHASAN........................................................................................ 5.1 Permasalahan Konflik Perikanan Tangkap......................................... 5.2 Kelembagaan Pengelolaan Konflik.................................................... 5.3 Model Pengelolaan Konflik................................................................ 5.3.1 Faktor penyebab konflik............................................................ 5.3.2 Teknik resolusi konflik.............................................................. 5.3.3 Outcome pengelolaan konflik.................................................... 5.3.4 Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan.....................................................
185 185 189 198 198 202 208
6
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 6.1 Kesimpulan......................................................................................... 6.2 Saran...................................................................................................
213 213 215
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
219
LAMPIRAN....................................................................................................
229
xvi
112 120 130 133 133 150 161 169 174 182
210
DAFTAR TABEL Halaman 1 Sasaran kebijakan dan paradigma perikanan.............................................
19
2 Kategori tipologi konflik perikanan sebagai permasalahan terjadinya konflik (Charles)………………………………………………………….
31
3 Perbandingan kelemahan resolusi konflik dengan metode litigasi dan Alternatif Dispute Resolution (ADR).........................................................
36
4 Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik……………....
40
5
Pembagian peran dalam ko-manajemen antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan Hartono (2004).....................................................
45
Goodness of fit statistics............................................................................
77
7 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Kotabaru..........................
83
8 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan di laut Kabupaten Kotabaru tahun 2006..............................
84
9 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Tanah Laut....................
85
10 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan di laut kabupaten Tanah Laut tahun 2006............................
86
11 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Tanah Bumbu………….
86
12 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan laut di kabupaten Tanah Bumbu tahun 2006.......................
87
13 Jenis dan volume produksi perikanan laut di Kabupaten Kotabaru, Tanah Laut dan Tanah Bumbu tahun 2006................................................
88
14 Jenis kasus konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan selama periode 1979–2009.....................................................................................
93
15 Pola musim udang di Kabupaten Kotabaru................................................
101
16 Tipologi konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan........
109
17 Sumber konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan.........
130
18 Status penyelesaian konflik pada kasus purse seine..................................
134
6
xvii
19 Status penyelesaian konflik pada kasus daerah penangkapan.................... 140 20 Status penyelesaian konflik pada kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara...........................................................................................
141
21 Status penyelesaian konflik pada kasus lampara dasar..............................
144
22 Status penyelesaian konflik pada kasus bagan apung................................
145
23 Status penyelesaian konflik pada kasus seser modern...............................
146
24 Status penyelesaian konflik pada kasus gillnet..........................................
146
25 Status penyelesaian konflik pada kasus penggunaan bom.........................
147
26 Status penyelesaian konflik pada kasus cantrang...................................... 148 27 Pembentukan dan keanggotaan Pokmaswas..............................................
161
28 Evaluasi goodness of fit Index untuk pengukuran interaksi konstruk laten dengan confirmatory factor analysis................................................
169
29 Hubungan antar variabel pada model confirmatory factor konstruk unidimensional variabel konflik perikanan tangkap..................................
171
30 Komponen penting dari faktor penyebab konflik yang berpengaruh terhadap konflik........................................................................................
174
31 Persebaran etnis/suku yang mendiami wilayah pesisir Kalimantan Selatan........................................................................................................
178
xviii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran penelitian………………………………………..
11
2
Keseimbangan kebijakan terhadap konflik perikanan tidak mengarah secara ekstrim pada salah satu sudut.....................................
21
3
Metode pengelolaan konflik..................................................................
37
4
Kondisi optimal resolusi konflik melalui proses negosiasi...................
38
5
Peta tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan yang menjadi lokasi penelitian.......................................................................
62
6
Langkah-langkah pendekatan SEM......................................................
73
7
Model struktural antara konflik, teknik resolusi konflik, kepuasan terhadap resolusi konflik dan outcome..................................................
74
Bagan alir proses penelitian model pengelolaan konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan.............................................................
81
Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru pada periode 1998-2008......................................................
89
10 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Tanah Laut pada periode 1998-2008................................................................
91
11 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Tanah Bumbu pada periode 1998-2008...........................................................
91
12 Peta wilayah konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan....................................................................................................
92
13 Interaksi berbagai konflik di perairan Kalimantan Selatan...................
95
14 Grafik penahapan konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan...
98
15 Daerah penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru................................
102
16 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus purse seine......................
112
17 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus daerah penangkapan.......
113
8
9
xix
18 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus pengambilan teripang…
114
19 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus lampara dasar..................
115
20 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus gillnet..............................
116
21 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus penggunaan bom.............
117
22 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus bagan apung....................
118
23 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus seser modern...................
119
24 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus cantrang..........................
120
25 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan mini purse seine terhadap nelayan purse seine.................................................................
121
26 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan yang melakukan pengkavlingan daerah penangkapan......................................................
122
27 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan Tanah Laut terhadap nelayan andon pencari teripang dan kerang...........................
123
28 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan tradisional terhadap nelayan lampara dasar............................................................................
124
29 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan gillnet (Tanah Laut terhadap nelayan gillnet (andon)............................................................
125
30 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan terhadap nelayan pengguna bom........................................................................................
126
31 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan bagan tancap terhadap nelayan bagan apung..............................................................................
127
32 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan seser terhadap nelayan seser modern..........................................................................................
128
33 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan seser terhadap nelayan cantrang..................................................................................................
129
xx
34 Upaya penyelesaian konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan................................................................................
133
35 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus purse seine....................................................................................
151
36 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus daerah penangkapan ikan....................................................
152
37 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara.........................
154
38 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus lampara dasar.......................................................................
155
39 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada pada kasus gillnet..........................................................................
156
40 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus bagan apung........................................................................
157
41 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada pada kasus seser modern...............................................................
158
42 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus penggunaan bom..................................................................
159
43 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada pada kasus cantrang.......................................................................
160
44 Struktur organissasi dan koordinasi pembinaan SISWASMAS............
163
45 Jaringan dan mekanisme Pokmaswas....................................................
164
46 Structural equation modeling yang menunjukan nilai estimasi............
171
47 Structural equation modeling yang menunjukan nilai t-hitung...............
173
48 Kelembagaan pengelolaan konflik…………………………………….
198
49 Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik................
206
50 Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan................................................................................
211
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Daftar informan/responden......................................................................
229
2
Data hasil tangkapan (c), upaya penangkapan (f) dan catch per unit effort (CPUE)…………………………………………………………..
231
3
Daftar istilah………………………………………………………….....
234
4
Dokumentasi kegiatan pengumpulan data................................................
238
5
Kondisi sosial masyarakat nelayan...........................................................
240
6
Situasi konflik nelayan.............................................................................
241
7
Teknologi penangkapan ikan yang menjadi sumber konflik....................
242
8
Alat ukur indikator variabel konflik, resolusi dan outcome………….....
244
9
Output analisis data penelitian menggunakan LISREL 8.30...................
256
10 Surat pernyataan.......................................................................................
265
11 Surat perihal nelayan andon......................................................................
269
12 Hasil resolusi konflik antar daerah…………………...............................
273
xxiii
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya ikan masih dianggap memiliki sifat terbuka (open access) dan milik bersama (common property), artinya setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Persoalan hak pemanfaatan tidak hanya melibatkan satu pihak, yakni masyarakat lokal atau nelayan, tetapi juga pihakpihak lain seperti pengusaha dan pemerintah. Berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam sering berbenturan sehingga menimbulkan konflik. Setiap pengguna sumber daya merasa memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan sumber daya tersebut. Sifat pemanfaatan sumber daya yang demikian akan mengakibatkan konflik antar pengguna sumber daya, khususnya antar kelompok nelayan (Christy 1987). Pembangunan perikanan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada hakekatnya dilaksanakan dalam rangka mendayagunakan sumber daya perikanan secara menyeluruh, terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, sehingga diharapkan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara berkelanjutan. Kedudukan dan nilai sumber daya perikanan sangat strategis dalam menjaga kelangsungan hidup sebagian besar penduduk di sekitar pantai. Nikijuluw (2002) menyebutkan dalam pemanfaatan sumber daya milik bersama dibatasi dan dilandasi beberapa hak yang memberikan jaminan bagi pemegangnya, yaitu: (1) Hak akses, adalah hak untuk masuk ke dalam sumber daya yang memiliki batas-batas fisik yang jelas; (2) Hak memanfaatkan, adalah hak untuk memanfaatkan sumber daya dengan cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku; (3) Hak mengatur, adalah hak untuk mengatur pemanfaatan sumber daya serta meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemeliharaan serta perbaikan lingkungan; (4) Hak ekslusif, adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan kepada orang lain; dan (5) Hak mengalihkan, adalah hak untuk menjual dan menyewakan ke empat hak tadi kepada orang lain.
2
Eksploitasi perikanan di perairan Kalsel dilakukan oleh nelayan dalam daerah maupun antar daerah (nelayan dari Sulsel, Sulbar, Jatim, Jateng, Kalteng dan Kaltim). Perikanan tangkap di Kalsel merupakan kegiatan usaha perikanan yang mempunyai nilai ekonomis penting. Eksploitasi sumber daya ikan oleh armada perikanan tangkap laut di Kalsel dilakukan di perairan Selat Makasar, Laut Jawa, Selat Laut dan Selat Sebuku, Teluk Pamanukan, Tanjung Tatan, Pulau Sambar Gelap, Sekapung, dan sekitar pesisir Pagatan. Wilayah tersebut merupakan basis migrasi musiman nelayan.
Jika musim ikan tiba, penduduk
pendatang yang melakukan migrasi musiman di Desa Kerayaan Kotabaru bahkan melebihi jumlah penduduk setempat, sedangkan di Desa Swarangan ditemukan lebih kurang 200 orang dan di Desa Muara Asam-asam mencapai 1000 orang yang tidak terdata sebagai penduduk setempat. Nelayan andon yang dominan berasal
dari suku Bugis dan sebagian berasal dari Jawa, Bali dan Kaltim.
Sesuatu hal yang pasti adalah adanya interaksi antar dua kelompok yang berbeda dalam kehidupan bersama. Imbas dari interaksi antar nelayan tersebut tidak sedikit mengakibatkan konflik di antara nelayan. Konflik sosial masyarakat pesisir di Kalsel merupakan suatu kenyataan yang sepertinya tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Cukup banyak fakta kekerasan fisik akibat dari konflik yang telah terjadi. Kejadian-kejadian dimasa lalu yang mempunyai kaitan atau berkontribusi terhadap terjadinya konflik nelayan. Konflik dapat terwujud dalam bentuk ketidaksukaan, ketidaksepakatan, ketidaksetujuan, perseteruan, persaingan, permusuhan, kontak fisik dan bahkan perang terbuka. Priscoli (2002) menyatakan bahwa konflik sumber daya alam dapat disebabkan oleh miskinnya komunikasi, adanya perbedaan persepsi, pertarungan ego, perbedaan personalitas, perbedaan pandangan tentang baik dan buruk (konflik nilai), perbedaan kepentingan dan faktor struktural. Konflik perikanan tangkap sangat bervariasi antar wilayah dan antar waktu. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik bersifat multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik adalah aktor, ketersediaan sumber daya dan lingkungan.
3
Konflik perikanan tangkap secara umum terkait dengan pemanfaatan sumber daya ikan yang sudah tergolong langka. Kelangkaan dimaksud terkait dengan masalah produksi, yaitu semakin sedikitnya ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan (not enough fish).
Pada umumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik adalah kelompok nelayan tradisional. Keragaman jenis konflik perikanan tangkap banyak disebabkan oleh keragaman persepsi nelayan tentang pengelolaan sumber daya ikan. Potensi konflik perikanan tangkap dapat disebabkan oleh prinsip hunting di mana nelayan harus selalu memburu ikan berada, suatu persaingan yang mengakibatkan terjadinya akumulasi unit penangkapan ikan pada tempat dan waktu yang sama (Budiono 2005). Berbagai jenis konflik yang sering terjadi dalam pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia di antaranya adalah konflik yang timbul karena pemahaman yang keliru mengenai batas-batas perairan setelah diberlakukannya undangundang otonomi daerah, perebutan daerah penangkapan, perbedaan kualitas dan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan, pelanggaran batas wilayah perairan, serta pelanggaran hak ulayat lokal. Satria (2004) menandaskan bahwa kaitan antara otonomi daerah dengan konflik nelayan cukup kuat opini yang berkembang bahwa otonomi daerah yang diawali dengan diberlakukannya UU 32/2004 berkorelasi positif dengan meningkatnya konflik nelayan. Dalam opini tersebut dijelaskan bahwa konflik nelayan terjadi karena otonomi daerah membuka ruang bagi nelayan untuk mengkavling wilayahnya, dan nelayanpun punya hak untuk mengusir nelayan lain (exclusion right). Opini ini hampir selalu diiringi dengan teori lainnya bahwa laut adalah milik negara (state property) sehingga siapapun boleh menangkap ikan di mana saja. Dalam hal ini otonomi daerah (otda) hanya akan merusak ciri laut yang bersifat open acces tersebut, serta mengganggu konsep keutuhan bangsa. Fenomena ini semestinya memunculkan pertanyaan baru: kalau desentralisasi kelautan dianggap hanya menimbulkan konflik nelayan, apakah dengan re-sentralisasi kelautan konflik nelayan akan berhenti dengan sendirinya.
Namun diakui bahwa konflik sosial nelayan
dimanapun selalu dapat terjadi baik sebelum maupun setelah diberlakukannya undang-undang otonomi daerah.
4
Di Indonesia, konflik kenelayanan sudah lama terjadi dan nampaknya semakin meningkat pada akhir-akhir ini. Pada tahun 1970 telah terjadi konflik besar-besaran antara nelayan “tradisional” dengan nelayan pengguna pukat harimau (trawl). Konflik ini telah menelan banyak korban jiwa dan juga harta (alat tangkap dan perahu). Karena seriusnya konflik tersebut akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan trawl pada tahun 1980. Pada tahun 70-an terjadi pula konflik yang melibatkan nelayan skala kecil dengan purse seine. Konflik tersebut dikenal sebagai “malapetaka muncar” (malamun) yang berlangsung hingga tahun 80-an. Pada tahun 90-an konflik bergeser tidak hanya melibatkan nelayan skala kecil dan nelayan purse seine, tetapi juga antar nelayan skala kecil/tradisional. Di daerah Lampung, Bangka-Belitung dan NTB terjadi conflicting claim dalam hubungan antara teknologi, wilayah tangkap dan jenis resources tertentu. Conflicting claim ini terjadi, pada satu sisi karena adanya asosiasi-asosiasi khusus yang dikembangkan masyarakat. Beroperasinya teknologi tidak hanya melanggar hak-hak khusus mereka tetapi juga mengancam keberadaan sumber daya ikan. Transborder fishing terjadi di wilayah Kaltim (fishing in) oleh nelayan asing dan NTT (fishing out) di wilayah AFZ, sedangkan di daerah perairan yang terkait dengan suatu perbatasan yakni Selat Malaka, perairan Laut Cina Selatan dan perbatasan lainnya menunjukkan penangkapan pelintas batas merupakan salah satu masalah yang lahir di perairan-perairan tersebut. Dengan demikian, dalam konteks konflik, kondisi geografis perairan membuka kemungkinan terjadinya konflik antar nelayan dari Negara berbeda (Indarwasih et al. 2007). Konflik pada dunia perikanan di Indonesia merupakan gejala umum, oleh karenanya cukup tersedia sumber referensi sebagai informasi awal untuk memahami atau melakukan pengkajian mengenai konflik perikanan. Penelitian kebijakan pada umumnya menggunakan karateristik dari prosedur kebijakan yang memiliki hubungan yang bersifat hirarkis, atau menggunakan beberapa metode. Alat untuk mengubah informasi dilakukan dengan cara otoritatif. Menurut Dunn (2003) dalam cara otoritatif, pernyataan kebijakan didasarkan atas dasar asumsi tentang status yang dicapai oleh pembuat informasi, sebagaimana kesaksian para
5
pakar ilmiah atau pengamat politik dapat digunakan sebagai bagian dari suatu argumentasi untuk menerima suatu rekomendasi kebijakan. Lebih lanjut Dunn (2003) memberikan gambaran mengenai berberapa bidang analisis kebijakan yaitu (1) Operasionisme berganda; penggunaan berbagai ukuran secara bersama-sama untuk konstrak dan variable kebijakan. Contoh dari operasionisme berganda adalah penggunaan secara serempak perbandingan berpasangan dan skala pilihan paksa dan penyusunan skala atribut berganda (2) Penelitian multimetode; penggunaan berbagai metode secara bersama-sama untuk mengamati proses dan hasil kebijakan misalnya penggunaan secara bersama-sama catatan-catatan organisasi, angket lewat pos dan wawancara etnografis, meningkatkan plausibilitas klaim pengetahuan (3) Sintesis analisis berganda; juga dikenal sebagai sintesis penelitian, review penelitian yang integratif, melawan kecendrungan analisis tunggal yang otoritatif dengan menekankan sifat-sifat kolektif dari pengetahuan yang relevan dengan kebijakan (4) Analisis multivariat; memasukan banyak variabel dalam model kebijakan, contohnya pada analisis path atau
analisis
studi
kasus
berdasarkan
pada
banyak
sumber
kejadian,
meningkatkan plausabilitas klaim kebijakan dengan secara sistematis menguji dan mengeluarkan atau memadukan, jika mungkin pengaruh variabel-variabel bukan kebijakan pada hasil kebijakan (5) Analisis pelaku berganda; investigasi kerangka kerja interatif dan perspektif banyak pelaku penentu kebijakan. Memusatkan perhatian pada individu-individu atau kelompok-kelompok yang berpartisipasi dalam formulasi dan implementasi kebijakan (6) Analisis perspektif berganda; disertakannya berbagai perspektif etis, politis, organisasional, ekonomis, sosial, kultural,
psikologis,
teknologis
dalam
analisis
kebijakan
meningkatkan
plausabilitas dengan triagulasi antar berbagai representasi masalah dan solusi (7) Komunikasi multimedia; pengguna banyak media berkomunikasi, oleh analis sangat penting untuk meyakinkan bahwa pengetahuan (yang dikaji) relevan dengan kebijakan, sehingga digunakan oleh para prnentu kebijakan dan penerima dampak yang diinginkan. Media komunikasi tunggal yang sering digunakan oleh para analis dari kebanyakan disiplin ilmiah adalah arikel ilmiah dan buku. Hampir tidak mungkin untuk melakukan semua pedoman di atas dalam satu analisis atau studi, mengingat adanya keterbatasan waktu dan sumber keuangan.
6
Selain itu kebanyakan kesalahan yang dapat dicegah dalam analisis kebijakan berasal dari perpektif analisis yang sempit, karena analis yang dilakukan bersifat menyederhanakan dan memangkas masalah agar supaya dapat berhasil walaupun ada, bagian-bagian penting dari konteks yang relevan terabaikan atau dilihat secara berlebihan.
Analisis tersebut masih bersifat parsial sehingga belum
menggambarkan bangunan teori yang membentuk model, berbeda dengan analisis SEM (Structural Equation Modeling) yang merupakan analisis bangunan teori sehingga dapat memberikan keluaran berupa model yang disebut dengan model persamaan struktural yang tidak ditemukan pada metode lain. Selain itu SEM memberikan representasi yang objektif terhadap hasil analisis. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang menggunakan cara statitistik berupa analisis kuantitatif (Structural Equation Modeling) merupakan kebaruan dalam penelitian ini. Dalam cara statistik, pernyataan kebijakan didasarkan pada argumen yang diperoleh dari sampel. Melalui teknik purposive terhadap 200 orang informan yang representasi dari suatu populasi. memecahkan
masalah
yang
rumit,
memiliki
Melalui SEM dapat
keunggulan
metodologis
dibandingkan dengan lainnya. SEM bukan metode baru tetapi merupakan sintesis kreatif dari beragam riset dan praktis yang biasa dipakai oleh kalangan komunitas ilmu kebijakan. Salah satu karakteritik SEM adalah dapat dikonfirmasi menjadi suatu model melalui data empirik sehingga mencakup variabel-variabel yang penting dan tepat bagi pengelolaan konflik perikanan tangkap.
Wijanto (2007)
menandaskan bahwa SEM mampu mengakses hubungan dan menguji suatu seri hubungan yg terdiri dari suatu model berskala besar, mempunyai kemampuan menggabungkan variabel yang tidak terlihat (laten) ke dalam analisis un observed atau
konsep yang abstrak. Keunggulan lainya adalah kemampuannya
mengakomodasikan multiple interrelated dependence relationship ke dalam satu model saja. Penyampaian tentang ide konsep dasar bersifat sangat efektif, dan sarana komunikasi dilakukan melalui diagram lintasan.
7
1.2. Rumusan Masalah Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Kalimantan Selatan pada khususnya masih mengalami kelambanan yang disertai beberapa realitas kendala di antaranya adalah berkembangnya konflik perikanan tangkap yang bersifat destruktif dan dapat menghambat pembangunan perikanan. Terdapat beberapa kasus konflik perikanan tangkap mulai dari pengkaplingan laut, berebut jalur tangkapan sampai pada tindakan anarkis seperti pembakaran kapal nelayan, aksi masa dan penyerbuan kantor DPR karena beroperasinya nelayan purse seine menggunakan lampu dengan kekuatan tinggi, tindakan sweeping terhadap nelayan pencari teripang dan adanya kegiatan illegal fishing dengan menggunakan bom. Konflik tersebut berakibat pada kerugian harta benda. Berdasarkan beberapa kasus konflik yang terjadi, belum nampak adaya upaya untuk memahami akar permasalahan konflik tersebut apalagi upaya pengelolaannya.
Dalam hal ini
diperlukan upaya yang sistematis untuk memahami dan melakukan pengelolaan dengan membuat suatu model pengelolaan konflik Upaya untuk memahami akar permasalahan konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan memerlukan tahapan-tahapan yang perlu dilakukan yang ditetapkan secara ilmiah. Beberapa pertanyaan penelitian yang harus di jawab yaitu; (1) bagaimana tipologi konflik yang terjadi; (2) apa teknik resolusi konflik yang digunakan; (3) bagaimana proses resolusi konflik dilakukan; (4) apakah kesepakatan yang dihasilkan sudah menyentuh akar masalah; (5) apakah upaya penyelesaian sudah mengikutsertakan segenap komponen stakeholder. Dengan diketahuinya akar permasalahan tersebut merupakan awal yang baik untuk dijadikan
landasan
untuk
membuat
model
pengelolaan
konflik
dan
mengembangkan peran kelembagaan pengelolaan konflik. Rumuskan indikator penyebab konflik diperoleh dengan cara melakukan mengidentifikasi konflik yang terjadi, di mana konflik tersebut terjadi, kronologi peristiwa dan aktor-aktor atau kelompok yang terlibat.
Rumusan terhadap
indikator teknik resolusi konflik dilakukan dengan identifikasi upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik, siapa yang dilibatkan, cara apa yang dilakukan dan bagaimana hasilnya serta menelusuri peran kelembagaan sosial
8
masyarakat nelayan. Dengan demikian rumusan model struktural dan pengukuran dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap dapat dilakukan.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Memetakan permasalahan konflik perikanan tangkap (2) Mengembangkan
konsep
peran
kelembagaan
pengelolaan
konflik
perikanan tangkap (3) Membuat model pengelolaan konflik perikanan tangkap. 1.4 Manfaat Penelitian (1) Bahan pertimbangan atau rekomendasi kepada pemerintah dalam perumusan kebijakan dalam rangka mengelola konflik perikanan tangkap. (2) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada nelayan untuk meningkatkan keterampilan penyelesaian konflik melalui proses resolusi yang tepat. (3) Penelitian ini akan memperkaya pengetahuan dan teori tentang tipe konflik dan pendekatan yang dapat diaplikasikan dalam mengelola perikanan tangkap berbasis resolusi konflik.
1.5 Kerangka Pemikiran Konflik perikanan tangkap bersifat sangat kompleks, oleh karena itu diperlukan identifikasi menyeluruh yang merupakan input dari penelitian yang terangkum kedalam identifikasi permasalahan konflik perikanan tangkap. Akar permasalahan penting untuk diketahui agar penyelesaian terhadap kesepakatan diharapkan benar-benar dapat meyelesaikan masalah. Identifikasi awal yang dilakukan secara sistematis merupakan landasan yang kuat dalam menjalankan proses penyelesaian konflik. Konflik sumber daya alam terjadi karena adanya perbedaan pendapat dan perseteruan mengenai posisi, kepentingan dan kebutuhan terhadap pemanfaatan sumber daya alam. Sumber konflik ini seringkali timbul karena adanya perbedaan pemanfaatan sumber daya atau perbedaan dalam cara pengelolaannya. Perbedaan
9
pendapat juga terjadi ketika masing-masing memiliki kepentingan yang saling tidak mendukung, atau ketika prioritas dari beberapa kelompok pengguna tidak terwakili dalam kebijakan dan program yang ada. Perbedaan tersebut tergambarkan dalam analogi bawang bombay, sedangkan motivasi dari masingmasing pihak yang berkonflik terlihat pada segitiga S-P-K (Sikap Perilaku Konteks). Untuk lebih memahami konflik secara lebih jelas perlu dilakukan pemetaan konflik yang menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak beserta masalahnya dan pihak lainnya yang terlibat dalam konflik yang bersangkutan. Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahuinya tipologi konflik maka penyebab dan alternatif resolusi konflik dapat dianalisis. Memahami tipologi dimaksudkan untuk bisa menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili karekteristik suatu konflik (Obserchall 1973). Bennett and Neiland (2000) menyatakan bahwa metode resolusi konflik umumnya
bersifat
spesifik,
walaupun
dikenal
berbagai
metode
untuk
menyelesaikan konflik, tetapi tidak seluruh metode sesuai untuk dipakai. Resolusi konflik dapat ditempuh dengan menggunakan dua pendekatan yaitu melalui pengadilan (litigasi) atau pendekatan alternatif yang lebih dikenal sebagai alternative dispute resolution (ADR). Untuk dapat melakukan proses resolusi konflik yang efektif tentu saja memerlukan wadah kelembagaan, melalui suatu forum dapat ditentukan teknik resolusi yang tepat, sehingga mekanisme penyelesaian konflik dapat mencapai kesepakatan yang disetujui oleh segenap stakeholder yang terkait sesuai dengan akar masalahnya. Dengan demikian implikasinya dapat diterapkan dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap baik yang ada di perairan Kalsel ataupun di lokasi lain. Resolusi konflik adalah upaya untuk menyelesaikan konflik yang muncul dari kalangan masyarakat. dampak positif perikanan.
Resolusi konflik diharapkan dapat memberikan
terhadap partisipasi nelayan dalam pengelolaan sumber daya
Hal ini disebabkan karena tidak semua konflik selalu berdampak
10
negatif. Konflik yang berdampak positif dibutuhkan dalam tahap perkembangan ke arah yang lebih baik. Pendekatan yang baik dalam mewujudkan pengelolaan perikanan tangkap yang
bertanggung
jawab
adalah
dengan
mengajak
pihak-pihak
yang
berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap konflik. Selain itu dengan terbangunnya partisipasi dapat mewujudkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan. Kerangka pemikiran penelitian ini diilustrasikan pada Gambar 1. 1.6 Ruang Lingkup dan Kebaruan Ruang lingkup dan kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Lingkup penelitian mencakup kegiatan perikanan tangkap di wilayah perairan Kalimantan Selatan, bidang kajian ilmu kelautan dan perikanan dengan tema pengelolaan konfik yang merupakan integrasi aspek perikanan tangkap, sumber daya, aktor, kelembagaan dan kebijakan. (2) Kebaruan dalam pengembangan model pengelolaan konflik secara kuantitatif didasarkan pada analisis Structural Equation Modeling dan mengembangan peran kelembagaan pengelolaan konflik.
IDENTIFIKASI KONFLIK KONFLIK DALAM PEMANFAATAN SDI - Wilayah konflik - Identifikasi konflik - Eskalasi konflik PERMASALAHAN KONFLIK TIPOLOGI KONFLIK - Jurisdiksi - Mekanisme pengelolaan - Alokasi internal - Alokasi eksternal (Charles 1992) SUMBER KONFLIK Masalah hubungan, Data, Masalah structural, Nilai (Gorre 1999) - Analogi bawang bombay - Segitiga S-P-K (Fisher et al. 2000)
FAKTOR PENYEBAB KONFLIK
PROSES PENYELESAIAN KONFLIK TEKNIK PENYELESAIAN KONFLIK Negosiasi, Fasilitasi, Mediasi, Litigasi (Priscoli 2002)
1 Ekonomi 2 Aktor 3 Oposisi 4 Isu 5 Nelayan 6 Kompetisi 7 Tokoh 8 Stok 9 Interest 10 Peraturan 11 Budaya
KESEPAKATAN antara para pihak yang berkonflik
OUTCOME Pengelolaan PT yang bertanggung jawab - Partisipasi Masyarakat, - Keberlanjutan SDPT, - Menjamin keadilan
OUTPUT - Permanent Conflict Solution
KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONFLIK Pemerintah Non pemerintah Kapital sosial 11
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 2.1.1 Kabupaten Kotabaru Gafuri (2007) menandaskan bahwa Kabupaten Kotabaru merupakan salah satu dari 13 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan dengan ibukota Kotabaru yang terletak di Pulau Laut Utara.
Secara geografis Kabupaten
Kotabaru terletak antara 2020’– 4056’LS dan 115029’– 16030’BT terbagi menjadi 18 Kecamatan dengan 195 Desa/Kelurahan menurut letak geografis, Kabupaten Kotabaru berbatasan : Sebelah Utara
: Provinsi Kalimantan Timur
Sebelah Selatan
: Laut Jawa
Sebelah Barat
: Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten
Balangan,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tanah Bumbu Sebelah Timur
: Selat Makasar
Kondisi lahan yang dimiliki Kabupaten Kotabaru mengandung potensi yang cukup besar untuk dikembangkan bagi kegiatan pertanian (terutama perkebunan dan peternakan), pertambangan dan industri, serta perikanan dan kelautan terutama penangkapan di laut dan pengembangan budidaya ikan. Lebih jauh lagi, letaknya yang relatif strategis menyebabkan kabupaten ini penting baik sebagai produsen maupun kawasan antara untuk distribusi berbagai komoditas keluar daerah, baik antar daerah maupun antar pulau dan antar provinsi (Gafuri 2007). Kabupaten Kotabaru dengan luas wilayah 9.422,73 km2 terletak disebelah Tenggara ibukota provinsi Kalimantan Selatan, merupakan wilayah kabupaten yang memiliki lahan terluas dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Selatan (37.337,43 km2). Kecamatan Hampang merupakan kecamatan terluas (17,88%) dari luas Kabupaten Kotabaru, sedangkan Kecamatan Pulau Sembilan
merupakan kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil
(0,05%) dari luas wilayah Kabupaten Kotabaru. Dari 18 kecamatan di Kotabaru hanya tiga kecamatan yang mempunyai kawasan konservasi laut, yaitu kecamatan Pulau Sembilan, Pulau Laut Barat dan Pulau Laut Selatan (DKP Provinsi Kal-Sel 2007).
14
Kabupaten Kotabaru mempunyai luas laut sebesar 38.490 km2, dengan panjang pantai 825 km dan memiliki 109 buah pulau. Tipologi pantai daerah Utara, Barat dan Selatan di Kabupaten Kotabaru, menunjukkan keadaan pantai dengan tipe pantai berpasir, berkarang dan berlumpur. Pulau Laut Barat dengan tipe pasir berkarang dan berlumpur sedangkan pulau laut selatan tipe pantai berpasir berkarang. Tinggi gelombang berkisar antara 16-40 cm (Iriansyah dan Rusmilyansari 2006). 2.1.2 Kabupaten Tanah Laut Kabupaten Tanah Laut merupakan salah satu kabupaten yang terletak paling selatan dari Provinsi Kalimantan Selatan, dengan ibukotanya Pelaihari. Kabupaten Tanah Laut terletak pada: 114030’20’’-115023’31’’ Bujur Timur dan antara 3030’33’’- 4010’30’’ Lintang Selatan, dengan batas-batas: Sebelah Utara
: Kabupaten Banjar
Sebelah Timur
: Kabupaten Kotabaru
Sebelah Selatan
: Laut Jawa
Sebelah Barat
: Laut Jawa
Luas wilayah Kabupaten Tanah Laut 372.930 Ha yang terbagi dalam 9 kecamatan dari 128 Desa dan 5 kelurahan. Luas tersebut belum termasuk luas zona perairan laut, sepanjang 3 mil dari garis pantai pada saat pasang tertinggi sepanjang 200 km. Jika luas daratan ditambah dengan luas zona perairan lautnya maka luas total Kabupaten Tanah Laut menjadi 449.730 Ha atau 44.974 Km2 (Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut 2008) Tipologi pantai Tanah Laut mempunyai tipe berpasir seperti pada Kecamatan Jorong, Kintap dan Takisung sedangkan daerah Kurau bertipe pantai berlumpur. Tipe pantai di Kabupaten Tanah Laut umumnya
berpasir, tinggi
gelombang berkisar antara 35-80 cm (Iriansyah dan Rusmilyansari 2006). 2.1.3 Kabupaten Tanah Bumbu Secara geografis, Kabupaten Tanah Bumbu terletak antara 2052–115015’LS dan 115015’–116004’BT. berbatasan :
Menurut letak geografis, Kabupaten Tanah Bumbu
15
Sebelah Utara
: Kecamatan Kelumpang Hulu Kotabaru
Sebelah Selatan
: Laut Jawa
Sebelah Barat
: Kecamatan Kintap Kabupaten tanah Laut dan Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar
Sebelah Timur
: Kecamatan Pulau Laut Barat Kotabaru
Kabupaten Tanah Bumbu memiliki luas wilayah 5.006,96 Km2 atau 13,56% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Kecamatan Kusan Hulu merupakan kecamatan terluas (1.697,42 km2), sedangkan Kecamatan Sungai Loban (380,62 km2) merupakan kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil di Kabupaten Tanah Bumbu. Berdasarkan profil dan pembangunan 2 tahun di Kabupaten Tanah Bumbu juga terdapat lima (5) kecamatan pemekaran, yaitu : Kecamatan Simpang Empat, Kecamatan Karang Bintang, Kecamatan Mentewe, Kecamatan Giri Muya, dan Kecamatan Angsana. Selain itu juga pemekaran desa di Kecamatan Batulicin meliputi Desa Tungkaran Pangeran, dan Desa Sungai Dua, sedangkan Desa Kusan Hulu meliputi Desa Karang Mulia. Luas potensi perairan laut sebesar 640,9 km2 dengan panjang garis pantai 158,7 km (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanah Bumbu 2009). 2.2 Model 2.2.1 Konsep model Definisi model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia nyata (riil), yang akan bertindak seperti dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu (Manetsch and Park 1997). Eriyatno (2003) menyatakan bahwa dari teminologi penelitian operasional, model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi
dari sebuah obyek atau situasi aktual.
Selanjutnya dinyatakan bahwa
model memperhatikan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu model dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Model diciptakan guna membantu membuat keputusan yang
lebih baik
dan berfungsi untuk menyederhanakan kompleksitas dalam upaya menemukan variabel-variabel yang penting dan tepat. Tujuan umum akademik model adalah
16
alat untuk menjelaskan fakta karena belum ada teori, jika sudah ada teori maka model digunakan sebagai alat untuk mencari konfirmasi. Tujuan managerial model adalah sebagai alat pengambil keputusan, sebagai proses belajar atau sebagai alat komunikasi (Dunn 2003). Dunn (2003) mengemukakan
tipe-tipe model kebijakan yaitu: (1) model
deskriptif (2) model normatif (3) model verbal (4) model simbolis (5) model prosedural. Model deskriptif
adalah menjelaskan dan/atau memprediksi sebab-
sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Model deskriptif digunakan untuk memantau hasil-hasil dari aksi-aksi kebijakan. Model normatif bertujuan model normatif bukan hanya untuk menjelaskan dan/atau memprediksi tetapi juga memberikan dalil dan rekomendasi untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai). Di antara beberapa jenis model normatif yang digunakan oleh para analis kebijakan adalah model normatif yang membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum (model antri). Masalah-masalah keputusan normatif biasanya dalam bentuk mencari nilainilai variabel yang terkontrol (kebijakan) yang akan menghasilkan manfaat yang terbesar (nilai), sebagaimana terukur dalam variabel keluaran yang hendak diubah oleh para pembuat kebijakan. Model verbal, model normatif dan deskriptif dapat diekspresikan di dalam tiga bentuk utama, yaitu: verbal, simbol, dan prosedural. Model verbal diekspresikan dalam bahasa sehari-hari. Dalam menggunakan model verbal, analis bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan argumen kebijakan, bukannya dalam bentuk nilai-nilai angka pasti. Model
simbolis,
menggunakan
simbol-simbol
matematika
untuk
menerangkan hubungan di antara variabel-variabel kunci yang dipercaya menciri suatu masalah. Prediksi atau solusi yang optimal diperoleh dari model-model simbolis dangan meminjam metode-metode matematika, statistika, dan logika. Model-model simbolis sulit untuk dikomunikasikan di antara orang awam, termasuk para pembuat kebijakan, dan bahkan di antara para ahli pembuat model sering terjadi kesalahpahaman tentang elemen-elemen dasar dari model.
17
Model prosedural, menampilkan hubungan yang dinamis di antara variabelvariabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan. Prediksi-prediksi dan solusi-solusi optimal diperoleh dengan mensimulasikan dan meneliti seperangkat hubungan yang mungkin. Salah satu bentuk model prosedural yang paling sederhana adalah pohon keputusan. 2.2.2 Model deskriptif SEM Model deskriptif dalam analisis SEM merupakan model yang ditunjukkan dengan mendeskripsikan sebuah keadaan atau sebuah konsep atau sebuah faktor. Model deskriptif ini digunakan untuk menjelaskan sebuah struktur dari suatu konsep, misalnya seorang peneliti ingin menggambarkan struktur loyalitas merek atau konsep suatu pemasaran (Bacon 1997). Hayduk 1987 menjelaskan bahwa model deskriptif dalam SEM sering disebut measurement model karena digunakan untuk mengukur kekuatan struktur dari dimensi-dimensi yang membentuk sebuah faktor. measurement model
adalah
Bentuk-bentuk
(1) Measurement model untuk variabel laten
independen dan laten dependen. Peneliti dapat mengembangkan model dengan teknik confirmatory factor analysis terhadap variabel-variabel yang direncanakan akan diperlakukan sebagai indikator dari variabel latent independen. Variabel observasi ini yang juga disebut variabel indikator harus dibangun berdasarkan pijakan teoritis yang cukup, serta justifikasi teoritis sehingga secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan sebagai variabel laten independen. Seperti halnya untuk variabel latent independen, measurement model untuk variabel laten dependen juga harus dilakukan berdasarkan justifikasi teoritis yang cukup. Justifikasi ini perlu untuk memberikan perlakukan atas sebuah variabel sehingga hubungan kausalitas dapat dianalisis dengan benar. (2) Measurement model untuk beberapa variabel laten Confirmatory factor analysis dapat dikembangkan untuk analisis terhadap lebih dari satu variabel/faktor laten sekaligus. Analisis ini tidak hanya diperlukan untuk faktor-faktor yang diperlukan sebagai variabel laten independen maupun sebagai variabel latent dependen (3) Second-order confirmatory factor analysis. Confirmatory factor analysis juga dapat dikembangkan untuk pengukuran berjenjang dua (second-order confirmatory factor analysis).
18
Measurement model seperti ini biasanya digunakan pada bidang manajemen sumberdaya manusia, dimana peneliti misalnya mengajukan model yang terdiri dari job satisfaction dan supervisor satisfaction yang kemudian dikombinasikan untuk mendefinisikan sebuah variabel latent jenjang dua atau second-order latent variable. 2.2.3 Pendekatan dua langkah dalam analisis dan pemodelan Bacon (1997) menyatakan bahwa pemodelan SEM dapat dilakukan dengan pendekatan dua langkah (two step modelling approach), yaitu pertama mengembangkan model pengukuran dan kedua adalah model struktural. Model pengukuran penting untuk menghasilkan penilaian mengenai validitas konvergen (convergen validity) dan validitas diskriminan (discriminant validity).
Model
struktural penting untuk menyajikan penilaian mengenai validitas prediktif (predictive validity). Terkait dengan ini, maka setiap faktor latent perlu dikonfirmasikan sehingga mendapatkan faktor yang benar-benar sesuai dengan apa yang dijelaskan. Bila setiap faktor sudah dianalisis dan sesuai dengan apa yang ingin diukur, maka tahapan selanjutnya adalah mengembangkan sebuah analisis lanjutan yang secara simultan dapat dianalisis dalam sebuah model struktural (Saksono 2008). Ferdinand (2002) menyatakan bahwa kesesuaian dan kecukupan model (adequacy of the model) menjadi hal penting supaya model struktural dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, dalam operasi SEM, parameter (koefisien regresi, varians, dan kovarians) akan diestimasi untuk menghasilkan “estimated population covariance matrix”.
Bila model yang
dikembangkan baik, maka parameter estimasi akan menghasilkan sebuah estimated covariance matrix yang dekat dengan sample covariance matrix. 2.3 Kerangka Teoritis Konflik 2.3.1 Paradigma perikanan Secara umum, konflik sumberdaya alam terjadi karena adanya perbedaan pendapat dan perseteruan mengenai akses dan kontrol terhadap pemanfaatan
19
sumberdaya alam.
Konflik ini seringkali timbul karena adanya perbedaan
pemanfaatan sumberdaya atau perbedaan dalam cara pengelolaannya. Perbedaan pendapat juga terjadi ketika masing-masing memiliki kepentingan yang saling tidak mendukung, atau ketika prioritas dari beberapa kelompok pengguna tidak terwakili dalam kebijakan, program dan proyek yang ada. Bentuk dan intensitas konflik berbeda dalam tempat dan waktu. Konflik muncul dalam berbagai bentuk, dari mulai pelanggaran aturan hingga tindakan sabotase dan kekerasan. Kadangkala konflik tetap terselubung dan bersifat laten (Hart dan Castro 2000). Sebagian besar masyarakat pesisir dan nelayan bergantung pada perikanan tangkap.
Dengan demikian, permasalahan konflik yang dihadapi masyarakat
pesisir dan nelayan dapat dikaji melalui kerangka analisis konflik dan paradigma perikanan. Akar konflik terjadi didasarkan pada perbedaan sistematis dalam hal prioritas yang dilakukan oleh berbagai aktor perikanan. Secara umum, kompleksitas debat kebijakan perikanan muncul akibat perbedaan (world view) perikanan. Tiap paradigma menekankan pada satu dari tiga kelas utama dari sasaran kebijakan yaitu konservasi, rasionalisasi, atau paradigma sosial/komunitas (Charles 1992).
Sasaran kebijakan dan paradigma perikanan selengkapnya
disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Sasaran kebijakan dan paradigma perikanan Sasaran Kebijakan Konservasi/pengelolaan sumberdaya Kinerja ekonomi/produktivitas Kesejahteraan masyarakat/keadilan
Paradigma Konservasi Rasionalisasi Sosial/komunitas
Sumber : Charles (1992)
Paradigma konservasi didasarkan pada anggapan bahwa tugas utama pengelolaan perikanan adalah mengurus ikan dan menyelamatkan stok ikan. Nelayan dipandang kurang lebih sebagai bagian dari predator yang bertindak untuk kepentingan sendiri. Paradigma ini menghasilkan usaha-usaha penelitian biologi yang ditujukan untuk memastikan agar jumlah penangkapan berada dalam kapasitas keberlanjutan dari stok ikan.
Paradigma ini dan penekanan pada
pemeliharaan stok ikan dan pengelolaan berbasis biologi, serta didasarkan pada
20
pemahaman bahwa penghidupan nelayan dan industri perikanan bergantung pada stok ikan. Paradigma rasionalisasi menekankan pada sasaran pencapaian efisiensi ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan dalam perikanan.
Paradigma ini
memiliki asumsi bahwa masyarakat harus memaksimalkan rente perikanan, dalam arti manfaat ekonomi dari perikanan harus lebih besar dari pada biaya yang dikeluarkan untuk menangkap ikan. Perikanan yang belum mencapai efisiensi ekonomi dan memaksimumkan rente yang dirasionalisasi antara lain melalui pengurangan jumlah nelayan, karena nelayan dianggap sebagai suatu perusahaan yang memaksimumkan keuntungan tanpa memperdulikan keberlanjutan perikanan dilihat dari kinerja ekonomi. Paradigma sosial/komunitas berfokus pada kesejahteraan masyarakat, keadilan distribusi, dan manfaat sosial dan budaya perikanan lainnya. Perikanan diberikan pada nelayan sebagai komunitas pesisir. Pandangan sosial/komunitas biasa didiskusikan dalam ilmu sosial. Terdapat elemen advokasi yang kuat pada paradigma ini, yang berusaha melindungi nelayan kecil yang terpinggirkan oleh kekuatan ekonomi.
Paradigma ini biasanya didukung oleh serikat nelayan,
koperasi nelayan dan orang-orang yang tinggal atau berhubungan dengan masyarakat nelayan. Ketiga paradigma ini dapat digambarkan pada‟segitiga paradigma‟ (Gambar 2) yaitu sebuah kerangka terintegrasi dimana debat kebijakan perikanan dapat dianalisis.
Konflik perikanan dapat dianalisis sebagai refleksi tarik-menarik
antara tepi-tepi segitiga, dimana proposal kebijakan yang ‟ekstrim‟ berada relatif dekat dengan salah satu tepi, dan usaha resolusi konflik biasanya ditujukan untuk mencapai ‟bagian dalam‟ segitiga. Studi kasus terhadap berbagai konflik perikanan yang terjadi di banyak negara menunjukkan bahwa perikanan yang bebas dari konflik adalah perikanan yang telah mencapai keseimbangan kebijakan, yang menjamin kondisi perikanan dari perspektif ekologi, sosial-ekonomi dan masyarakat. Hal ini berarti kebijakan tidak mengarah secara ekstrim pada salah satu sudut dari segitiga paradigma, namun lebih mengandung keseimbangan antara segitiga paradigma perikanan, yaitu pada bagian dalam segitiga paradigma (Muhammad 2006).
21
Paradigma konservasi Kebijakan yang Ekstrim di sudut segitiga
Paradigma Rasionalisasi
Kebijakan seimbang (di dalam segitiga)
Paradigma sosial/komunitas
Gambar 2 Keseimbangan kebijakan terhadap konflik perikanan tidak mengarah secara ekstrim pada salah satu sudut Sumber : Charles (1992)
2.3.2 Prinsip dasar konflik Keadaan dimana keseimbangan hidup masyarakat terusik akibat terjadinya perebutan status sumberdaya alam atau perebutan kekuasaan, situasi dimana ada dua kelompok sosial atau lebih memiliki tujuan yang bertentangan, dan dua pihak tersebut juga memiliki sarana yang tidak sejalan, sehingga menyebabkan diantara mereka terjadi ketidaksesuaian, ketidakharmonisan, dan bahkan pertentangan yang menyebabkan pertengkaran. Itulah prinsip dasar konflik (Frank 2003). Santoso (2002) menyebutkan bahwa konflik dalam pengertian kolektif kadang-kadang didefinisikan sebagai suatu kondisi, kadang-kadang sebagai suatu proses, dan kadang-kadang sebagai suatu peristiwa. Galtung mendefinisikannya sebagai suatu peristiwa: Suatu aksi-sistem dikatakan sedang mengalami konflik bila sistem memiliki dua atau lebih tujuan yang tidak sama. “Coser mula-mula mendefinisikannya sebagai suatu proses, “suatu perjuangan terhadap nilai dan tuntutan akan status, kekuasaan, dan sumberdaya dimana tujuan saingannya adalah menawarkan, melukai dan menghilangkan rivalnya.” Dalam pemahaman konvensional, konflik dianggap sebagai suatu peristiwa, pertikaian dengan kekerasan atau tanpa kekerasan antara dua kelompok. Batasan teori konflik lain adalah perbedaan yang umumnya dibuat para teoritikus konflik antara apa yang disebut konflik realistis dan non realistis (Coser), atau konflik rasional dan non rasional (Schelling) atau perilaku destruktif dan perilaku konflik (Galtung). Esensi perbedaan ini terletak antara tindakan yang menjadi alat penanaman nilai yang diperjuangkan dan tindakan destruktif demi kepentingan mereka sendiri.
22
Malik et al. (2003) mengungkapkan bahwa secara psikologis, konflik merupakan refleksi dari kondisi psikis manusia dalam rangka interaksi manusia, maka manusia pasti berkonflik.
Konflik selalu ada di alam maupun dalam
kehidupan manusia sebagai individu. Walaupun demikian, konflik tidak selalu berakibat negatif. Secara positif konflik dapat mengubah, jika dikelola justru akan menciptakan perubahan.
Konflik dapat pula mendorong manusia melakukan
mobilisasi sumberdaya menggunakan cara-cara baru. Konflik juga membawa manusia pada klasifikasi pilihan-pilihan kekuatan untuk mencapai penyelesaian. Dari situ terlihat bahwa konflik selalu menyangkut dua sisi, yakni ancaman atau bahaya dan peluang atau kesempatan. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif (Kartikasari et al. 2000). Konflik memiliki pengertian dasar adanya perbedaan persepsi tentang kondisi ideal yang diinginkan oleh lebih dari satu pihak (Golledge dan Stimson 1997) dan konflik sering terjadi ketika tujuan individu, kelompok atau masyarakat tidak sejalan. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap individu memiliki kepentingan melalui persepsi dunia yang diinginkannya, dimana pada saat yang bersamaan individu tadi berusaha memelihara stabilitas, ketahanan dan konsistensi dari gambaran dunia yang didapat dari persepsi tersebut.
Kondisi lingkungan yang dibangun (build enviroment) merupakan
ekspresi dan interpretasi ruang yang dilakukan oleh manusia. Keputusan tersebut biasanya sangat dipengaruhi oleh cara manusia memandang dan mengevaluasi sistem keruangan tersebut (Gunawan 2000). Pruit dan Rubin (1986) menyatakan bahwa secara singkat istilah conflict menjadi begitu meluas sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Dalam konteks selanjutnya makna konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived deivergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Kepentingan dimaksud adalah perasaan orang mengenai apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perasaan itu cenderung bersifat sentral, dalam pikiran dan tindakan orang, yang membentuk inti dari banyak sikap, tujuan, dan niat
23
(intensi)-nya. Berdasarkan hal ini, maka dapat dikatakan
bahwa konflik
pemanfaatan sumberdaya alam merupakan refleksi dari perbedaan refleksi ruang yang diharapkan diantara satu pengguna dan pengguna lain. Di wilayah pesisir konflik yang terjadi dua kategori, yaitu : (1) Konflik pemakai dan (2) Konflik yuridiksi pengelolaan. Selanjutnya Gunawan (2000) menyatakan bahwa konflik-konflik tersebut dapat terjadi dalam tingkat yang berlainan, yaitu : (1) Konflik dalam tahap laten, dicirikan oleh adanya ketegangan dan ketidak sepahaman antara pengguna pada tingkat awal sehingga belum terjadi perselisihan pendapat, atau bahkan pengguna yang belum menyadari adanya perbedaan pemahaman tersebut. Konflik laten ini sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif; (2) Konflik dalam tahap yang berkembang, dicirikan oleh adanya pengakuan atau pengertian akan adanya perbedaan kepentingan dimana jalan keluarnya belum diperoleh. Konflik ini mempunyai akar masalah yang dangkal dan muncul hanya karena kesalah pahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi; (3) Konflik terbuka, dimana dalam tahap ini perselisihan sedang dalam proses pencarian jalan keluar, baik dalam bentuk negosiasi ataupun dalam bentuk perselisihan fisik nyata. Konflik ini akar masalahnya sangat dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi berbagai penyebab serta efeknya. Konflik pada dasarnya merupakan fungsi dari struktur sosial, hubungan antar kelas, atau perilaku individu dalam masyarakat.
Konflik dapat terjadi
dimana individu berupaya memperoleh hasil maksimal dengan pengorbanan sekecil mungkin, yang dalam prakteknya perilaku ini sering kali mengorbankan kepentingan pihak lain yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik. Konflik dapat diartikan dari sudut pandang positif atau negatif, serta dari perspektif konstruktif maupun destruktif (Powelson 1972) atau pelanggaran, pengasingan maupun bukan pelanggaran (Wallace 1993). Definisi konflik berkembang dan tidak hanya berfokus pada tindakan antagonistik (antagonistic action) tetapi juga memasukan istilah ketidak setujuan yang tajam atau pertentangan atas kepentingan, ide dan lain-lain. Menurut Pruit dan Rubin (1986), konflik dapat diartikan sebagai kepentingan yang dirasakan
24
sangat berbeda sehingga keinginan para pihak yang tidak dapat dicapai secara bersamaan.
Pengertian lain menurut (Hocker 1985) adalah
interaksi antara
orang-orang yang saling bergantung satu sama lain yang memiliki tujuan berbeda dimana mereka saling mengintervensi untuk mencapai tujuan masing-masing. Powelson (1972) berpendapat bahwa konflik dapat diartikan negatif jika secara agregasi kelompok tidak memperoleh manfaat dari adanya konflik (zerosumgame) atau dimana terjadi deadweight loss sumberdaya sosial sebagai akibat dari argumen “guns vs butter”. (Neary 1997) konflik dapat dipandang sebagai hal positif. Dalam hal ini konflik yang muncul jangan diredam atau dihilangkan sama sekali. Edwar De Bono (1985) diacu dalam Firdaus (2005), bahwa konflik adalah suatu hal yang terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi dalam suatu peristiwa atau keadaan yang sama namun mereka melihat peristiwa/keadaan ini secara berbeda. Fisher et al. (2000), menyatakan bahwa konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.
Konflik timbul karena
ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan, antar pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat dan negara. Konflik dapat terjadi pada semua bentuk hubungan manusia (sosial, ekonomi dan kekuasaan) dan mengalami pertumbuhan dan perubahan. Konflik dapat timbul berdasarkan perikatan ataupun di luar perikatan. Konfik yang berasal dari perikatan timbul apabila salah satu pihak dalam perjanjian melakukan wanprestasi/mengingkari isi perjanjian. Menurut Lewicky et al. (2001) manfaat positif konflik antara lain: (1)
Konflik membuat anggota organisasi lebih menyadari adanya persoalan dan mampu menanganinya
(2)
Konflik menjanjikan perubahan dan adaptasi
(3)
Konflik memperkuat hubungan dan meningkatkan moral
(4)
Konflik meningkatkan kesadaran diri sendiri dan orang lain, artinya melalui konflik orang belajar tentang apa yang membuat mereka marah, frustasi dan takut
(5)
Konflik meningkatkan perkembangan pribadi
25
(6)
Konflik mendorong perkembangan psikologis, dalam hal ini orang menjadi realistis dan akurat dalam mengukur dirinya
(7)
Konflik dapat memberikan rangsangan dan kesenangan karena orang merasa terpuji, terlibat dan hidup di dalam konflik menjadi istirahat dari hal-hal yang rutin dan mudah.
2.3.3 Faktor penyebab konflik Menurut Satria (2004) terdapat empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya; (1) konflik kelas yaitu konflik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground) yang mirip dengan kategori gear war conflict-nya. Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital, seperti konflik yang terjadi akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya wilayah penangkapan tradisional; (2) konflik orientasi adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki kepedulian terhadap cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek); (3) konflik agraria merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan fishing ground, yang bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan, seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata dan pertambangan, yang oleh Charles (1992) diistilahkan sebagai external allocation conflik;
(4) konflik primordial,
merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya.
Anatomi konflik diatas menggambarkan betapa
kompleksnya konflik nelayan. Warner (2000) mengidentifikasi empat hal yang dapat menjelaskan munculnya konflik atas sumber daya alam, yaitu: (1) perubahan demografis (masuknya pendatang baru mungkin didorong oleh menurunnya ekonomi atau ekologi kesejahteraan di sektor lain); (2) kompetisi sumberdaya alam (peningkatan ketergantungan pada sumber daya alam dapat meningkatkan persaingan); (3) tekanan pembangunan (sebagai dampak dari perubahan kebijakan
26
pemerintah); (4) ketidakadilan struktural (perubahan dalam perundang-undangan yang sangat membatasi akses sumber daya oleh kelompok masyarakat). Selain keempat alasan tersebut, kegagalan kelembagaan harus dipertimbangkan secara eksplisit. Dengan demikian kegagalan kelembagaan perlu dieksplorasi. Bennet
dan
Neiland
(2000)
menyatakan
bahwa
konflik
bersifat
multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam hubungan yang kompleks. Tiga dimensi yang mempengaruhi timbulnya konflik adalah (1) aktor, (2) ketersediaan sumberdaya dan (3) dimensi lingkungan. Strategi pengelolaan perikanan tangkap yang cenderung tanpa batas dan lebih berorientasi pada kepentingan kepentingan ekonomi (economic based fisheries resource management), telah terbukti berakibat buruk terhadap kelangkaan pemanfaatan sumberdaya ikan.
Dalam situasi pemamanfaatan
sumberdaya ikan yang serba tak terkendali, kelangkaan (scarcity) atau penipisan sumberdaya ikan terjadi. Kompleksitas dari kondisi yang demikian itu dapat menjadi faktor pemicu konflik (Budiono 2005) KKP (2002) menandaskan bahwa terdapat tujuh penyebab konflik yang dapat dijelaskan berikut ini: (1) Konflik yang timbul karena persepsi politis yang keliru dalam memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukannya otonomi daerah. Para nelayan menentukan sendiri batas-batas wilayah perairannya.
Dengan
persepsi demikian, kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu daerah/kabupaten dilarang melaut di perairan daerah/kabupaten lain. Dalam konflik jenis ini, biasanya tingkat kecanggihan peralatan tangkap bukan sebagai faktor utama, faktor utama konflik adalah asal-usul daerah/kabupaten nelayan. (2) Konflik yang terjadi karena perebutan daerah/lokasi tangkapan. Daerah/lokasi demikian sudah dipersepsi oleh nelayan memiliki potensi perikanan yang cukup banyak.
Nelayan-nelayan yang terlibat memiliki tingkat kualitas
peralatan tangkap yang sama dan menangkap jenis sumberdaya perikanan yang sama. penangkapan.
Fokus utama konflik adalah perebutan daerah/lokasi
27
(3) Konflik yang terjadi karena perbedaan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas perikanan tangkap yang lebih rendah. (4) Konflik yang terjadi karena perbedaan kualitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada daerah penangkapan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan yang memiliki kualitas peralatan tangkap yang lebih rendah. Hal ini dapat dicontohkan antara nelayan yang mengoperasikan jaring bergerak dengan nelayan yang mengoperasikan jaring menetap atau perangkap. (5) Konflik yang timbul karena pelanggaran batas wilayah perairan. Misalnya perairan pantai diperuntukkan untuk nelayan-nelayan tradisional, tetapi nelayan-nelayan yang memiliki peralatan tangkap yang lebih canggih menangkap jenis ikan yang sama di perairan pantai (6) Konflik
yang
timbul
karena
operasi
perahu
sekelompok
nelayan
merusak/menerjang peralatan tangkap nelayan lain. Tingkat kualitas peralatan tangkap mereka bisa berbeda tetapi menangkap jenis ikan yang sama dan berada pada lokasi yang sama. (7) Konflik yang timbul karena pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Hal ini bisa terjadi karena pelanggaran batas-batas perairan milik masyarakat adat oleh nelayan-nelayan lain atau pengambilan sumberdaya perikanan di wilayah perairan hak ulayat laut yang tidak sesuai dengan norma-norma lokal, baik dilakukan oleh nelayan lokal, maupun nelayan lain. Ury (1993) berhasil mengidentifikasi faktor lain yang dapat memicu timbulnya konflik, yaitu: kepentingan (interest), hak-hak (rights) dan status kekuatan (power). Dalam proses resolusi konflik, pihak-pihak yang berkonflik umumnya akan berupaya mempertahankan ketiga faktor tersebut agar kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan untuk itu kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan dan dipertahankan Budhi (2006) menandaskan bahwa perbedaan status sosial ekonomi yang sangat tajam yang diasumsikan sebagai pemicu bagi berkembang suburnya konflik di tengah masyarakat, sementara negara tidak mempunyai cukup ruang
28
untuk dapat memberikan fasilitas yang memadai sehingga konflik itu mencapai taraf kejenuhan dengan munculnya problem perlawanan masyarakat atau kerusuhan massa. Betapapun konflik sesungguhnya secara positif akan menciptakan dinamika dalam sebuah organisasi, akan tetapi manajemen pengelolaan konflik adalah tidak harus diabaikan sehingga yang paling pokok adalah bagaimana memahami sumber dis-harmoni dan kesenjangan sosial, ekonomi maupun politik itu.
Serangan terhadap sumber konflik itulah yang
seharusnya menjadi wilayah pengkajian maupun strategi kebijakan baik oleh penyelenggara pembangunan maupun sumber kekuatan yang ada pada masyarakat. Hardin (1968) dalam artikelnya berjudul “The tragedy of commans.” menjelaskan bahwa sumberdaya yang tergolong kepada public property resource setiap orang akan bebas untuk melakukan kegiatan ekspoitasi. Gejala ini, yang diistilahkan sebagai open acces, akan melahirkan dorongan kepada setiap orang untuk meningkatkan level ekploitasinya. Hal ini disebabkan dalam kondisi open acces orang cenderung berfikir bahwa jika ia absen dari kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya itu, maka sumberdaya yang tidak dia ekploitasi ada kemungkinan akan diekploitasi oleh orang lain. McGodwin (1990) mengembangkan ide Hardin telah menjelaskan bahwa karena orang akan cenderung berlomba-lomba untuk mengeksploitasi sumberdaya yang semakin lama semakin berkurang itu, maka konflik antara orang-orang yang terlibat dalam pengeksploitasian itu akan lahir dan semakin lama akan semakin meningkat intensitasnya karena orangnya bertambah sementara sumberdayanya semakin berkurang. Oleh karena itu, usulan untuk menghindari anggapan bahwa laut merupakan public property resource. Peluso dan Harwell 2001 menjelaskan bahwa ada hubungan antara identitas sosial suatu kelompok dengan teritori yang ditempatinya. Lebih lanjut Adhuri (2003) menjelakan bahwa ada keterkaitan antara identitas sebuah kelompok sosial dengan tempat dimana mereka hidup. Keterkaitan ini bisa diwujudkan dalam bentuk konsep kepemilikan (property right). Teori yang dikembangkan oleh Stewart (2002) menjelaskan bahwa jika terdapat ketimpangan di masyarakat yang sudah melebihi ambang batas toleransi,
29
maka konflik akan segera terpicu, terutama antara mereka yang berada pada posisi rendah dengan mereka yang berada di level atas. Menurut Gorre (1999) bahwa sumber konflik dapat dikategorikan dalam lima jenis sebagai berikut:
(1)
Masalah hubungan, konflik ini biasanya
merupakan awal dan merupakan tingkat konflik yang paling ringan.
Dalam
masalah hubungan ini biasanya terdapat perbedaan persepsi karena faktor emosional yang kuat, asumsi terhadap perilaku pihak lain, kurang atau tidak ada komunikasi, ataupun adanya perilaku negatif yang berulang; (2) Konflik yang disebabkan oleh data. Konflik ini umumnya terjadi karena tidak tersedianya dasar yang berlaku (standar) bagi pengumpulan data yang dilakukan oleh pengguna yang berbeda. Masalah data juga timbul karena kurangnya informasi bagi pengguna untuk mengambil keputusan yang tepat. Selanjutnya Gunawan (2000) mengemukakan bahwa masalah yang mendasar dari konflik akibat data adalah adalah ketidak pahaman pengguna data akan persepsi yang dipakai dalam proses pengumpulan, pengolahan, hingga penyajian data tersebut. Namun demikian, konflik yang terjadi mungkin saja merupakan akibat dari perbedaan kepentingan dan prioritas pembangunan antara satu pihak dan pihak yang lain; (3) Konflik yang terjadi akibat perbedaan kepentingan. Konflik ini biasanya dilatar belakangi oleh perbedaan kebutuhan antara beragam pengguna dari sumberdaya alam yang sama. Dalam hal ini, keputusan akhir harus didasari pada pilihan yang mewakili kepentingan mayoritas pengguna.
Bersamaan dengan itu, keputusan tersebut
harus memberikan pilihan atau kompensasi pada pengguna yang kepentingannya tidak dapat dipenuhi (Manguiat 1999); (4) Konflik yang disebabkan oleh masalah struktural. Konflik ini terjadi disebabkan oleh perbedaan kepentingan tidak dapat diselesaikan karena ketidak mampuan salah satu atau beberapa pihak karena adanya hal-hal yang sifatnya eksternal di luar kendali pihak-pihak tersebut. Keterbatasan mandat atau yurisdiksi dari pihak yang memiliki kepentingan berbeda dalam mengambil keputusan ideal adalah contoh konflik struktural; (5) Konflik nilai, disebabkan oleh adanya perbedaan sistem nilai yang dianut oleh salah satu pengguna dengan nilai yang diterapkan oleh pengguna lain. Konflik biasanya timbul bila salah satu pengguna memaksakan diterapkannya nilai-nilai yang digunakannya kepada pihak lain
30
2.4 Analisis Konflik 2.4.1 Penahapan konflik Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekeraasan yang berbeda. Secara umum, analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, meskipun terdapat variasi-variasi dalam situasi khusus dan mungkin berulang dalam siklus yang sama. Tahap-tahap ini menurut Fisher et al. (2000) adalah: (1) Prakonflik : ini merupakan periode dimana terdapat sesuatu ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik terjadi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi.
Mungkin terdapat ketegangan hubungan
diantara beberapa pihak dan atau keinginan untuk menghindari kontak antara satu sama lain pada tahap ini. (2) Konfrontasi : pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, maka mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi ataupun perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainya terjadi diantara kedua pihak.
Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumberdaya dan
kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua pihak menjadi sagat tegang, mengarah kepada polarisasi diantara kedua pendukung di masingmasing pihak. (3) Krisis : Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang ketika orang-orang dari kedua pihak terdapat korban harta maupun nyawa. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan terputus. Pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lain. (4) Akibat : Suatu krisis pasti akan menimbulkan akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain atau melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Satu pihak mungkin menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin
31
memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tingkat ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian. (5) Pascakonflik : Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahapan ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik. 2.4 2 Tipologi konflik perikanan Obserchall (1973) mengatakan bahwa tanpa memiliki pemahaman tentang tipologi konflik, maka akan sulit untuk memberikan resolusi konflik yang efektif terhadap tipologi konflik akan memberikan manfaat yang signifikan dalam memprediksi outcome dari konflik. Charles (1992) menandaskan bahwa pemahaman terhadap struktur konflik perikanan dapat dilakukan melalui tipologi konflik perikanan (Tabel 2), yang mencakup empat kategori.
Dua dari empat kategori tersebut terkait dengan
struktur dan implementasi dari sistem pengelolaan, sedangkan dua kategori lainnya berhubungan dengan alokasi terhadap sumberdaya, baik terjadi di perikanan itu sendiri, maupun antara pelaku perikanan dan pelaku ekonomi lain. Tabel 2 Kategori tipologi konflik perikanan sebagai permasalahan terjadinya konflik (Charles 1992) Yuridiksi perikanan Hak kepemilikan (property rights) Peran pemerintah Konflik antar pemerintah
Mekanisme pengelolaan Rencana pengelolaan Konflik penegakkan Interaksi nelayan pemerintah
Alokasi internal Konflik perang alat tangkap Konflik antar pengguna Nelayan vs industri perikanan
Alokasi eksternal Domestik vs asing Nelayan vs Pembudidaya Kompetisi pengguna laut
Sumber : Charles 1992
1 Yuridiksi perikanan (1) Hak kepemilikan.
Debat mengenai hak kepemilikan (property rights)
mencakup pertanyaan filosofis yang telah berlangsung sejak lama
32
mengenai aspek legal, sejarah dan/atau kepemilikan, akses dan kontrol di perikanan. Banyak
konflik
terjadi
karena perbedaan kepentingan
terhadap beberapa bentuk kepemilikan perikanan, antara lain: open-acces, manajemen terpusat, hak pengelolaan
kawasan, pengelolaan berbasis
masyarakat, kuota individu, dan privatisasi. (2) Peran pemerintah. Debat mengenai peran pemerintah terkait dengan dua hal yaitu pengelolaan perikanan yang berfokus pada pengaturan secara terpusat oleh pemerintah dan pengelolaan yang lebih terdesentralisasi, yang meliputi opsi pengelolaan berbasis masyarakat dan pasar dan pengembangan co-management. (3) Konflik antar pemerintah. Konflik antar pemerintah mencakup konflik antar negara, antara beberapa yuridiksi dalam satu negara, seperti pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. 2 Mekanisme pengelolaan (1) Rencana pengelolaan perikanan. Penyusunan rencana pengelolaan untuk menentukan tingkat penangkapan yang dibolehkan, alokasi penangkapan, waktu penangkapan dan/atau alat tangkap yang biasanya ditetapkan oleh pemerintah, merupakan sumber konflik antara nelayan dan pemerintah. (2) Konflik penegakan. Konflik ini terkait dengan konflik antara nelayan dan pemerintah mengenai isu penegakan.
Disatu sisi, nelayan mengeluh
karena penegakan aturan oleh pemerintah dilakukan secara berlebihan terhadap suatu kelompok nelayan.
Namun di sisi lain, kadang kala
pemerintah melakukan penegakan aturan yang terlalu ringan. (3) Interaksi
nelayan dengan pemerintah. Sumber konflik adalah seringkali
pengetahuan dan ide-ide nelayan dikesampingkan oleh pemerintah dan para ilmuwan dalam proses pengambilan keputusan 3 Alokasi Internal (1) Konflik „perang alat tangkap‟ (gear wars). Konflik terjadi karena adanya perbedaan alat tangkap, atau perbedaan dalam „skala‟ penangkapan, misalnya perbedaan teknologi tradisional vs. modern di suatu daerah penangkapan.
33
(2) Konflik antar pengguna. Konflik ini muncul antara pengguna perikanan yang memiliki perbedaan segmen atau kelas dalam masyarakat, misalnya nelayan tradisional vs. nelayan industri, atau nelayan komersil vs. nelayan rekreasi. (3) Nelayan vs. industri perikanan.
Konflik antara nelayan dan industri
perikanan biasanya terkait dengan pola pengelolaan ketenaga kerjaan, yang mencakup konflik penetapan harga ikan yang sesuai, upah yang sepatutnya diperoleh, dan masalah ekonomi lainnya yang terkait antara nelayan dan industri perikanan. 4 Alokasi Eksternal (1) Domestik vs. asing. Konflik terjadi antara nelayan domestik di negara maritim dengan nelayan atau kapal asing. Konflik ini mencakup masalah illegal fishing dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara maritim, penangkapan ikan merusak, oposisi nelayan domestik terhadap perjanjian bilateral perikanan. (2) Nelayan tangkap vs. pembudidaya.
Konflik
terjadi
seputar
isu
pemanfaatan ruang laut dan kualitas lingkungan laut akibat kegiatan budidaya perikanan di laut yang juga dimanfaatkan oleh nelayan tangkap. (3) Kompetisi penggunaan laut. Nelayan juga menghadapi konflik eksternal, antara lain dengan kapal besar (biasanya karena tumpahan minyak), penambangan di laut, pariwisata, kehutanan. Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahui tipologi konflik maka penyebab dan alternatif resolusi konflik dapat dianalisis. Tipologi tidak berupaya menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik (McKinney 1966) Tipologi konflik yang lebih maju berhasil dikelompokkan oleh FAO (1996). Pengelompokan didasarkan pada level mana konflik itu sendiri terjadi (mulai dari konflik rumah tangga hingga konflik internasional), penyebab terjadinya konflik (terkait dengan akses, kualitas sumberdaya, otoritas, nilai sumberdaya, informasi dan hukum) serta status penyebab konflik (immediate, intermediate, root)
34
Menyempurnakan kategori yang dibuat Charles (1992), Warner (2000) mengusulkan lima tipe konflik. Tipe pertama adalah konflik berkenaan dengan “who controls the fishery,” misalnya masalah akses terhadap wilayah dan sumberdaya laut. Tipe kedua adalah konflik yang terkait permasalahan “how the fishery controlled.” Tipe konflik ini meliputi konflik-konflik terkait penerapan aturan-aturan pengelolaan sumberdaya laut, alokasi kuota dan lain-lain. Tipe konflik ketiga adalah konflik yang terkait hubungan antara nelayan yang memiliki latar belakang etnik, ras yang berbeda, atau konflik antara nelayan dan jenis teknologi yang berbeda.
Tipe konflik keempat adalah konflik yang terkait
hubungan antara nelayan dengan pelaku usaha laut lain seperti pelaku wisata bahari, konservasi dan industri. Tipe terakhir, kelima, adalah konflik yang tidak terkait langsung dengan kegiatan penangkapan tetapi mempengaruhinya. Contoh konflik-konflik dalam tipe ini adalah konflik yang lahir karena kasus-kasus kerusakan lingkungan, perubahan ekonomi (kenaikan dengan bahan bakar minyak), korupsi dan lain-lain. Di Indonesia Satria (2004) membagi konflik perikanan menjadi 7 (tujuh) tipe, yakni: (1) Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi akibat kesenjangan teknologi penangkapan ikan; (2) Konflik kepemilikan sumberdaya, yaitu konflik akibat isu kepemilikan sumberdaya: laut milik siapa? Ikan milik siapa?; (3) Konflik pengelolaan sumberdaya, yaitu konflik akibat “pelanggaran aturan pengelolaan” Isu: siapa berhak mengelola SDI atau SD laut?; (4) Konflik cara produksi/alat tangkap, yaitu konflik akibat perbedaan alat tangkap, baik sesama alat tangkap tradisional maupun tradisional-modern yang merugikan salah satu pihak; (5) Konflik lingkungan, konflik akibat kerusakan lingkungan akibat praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain; (6) Konflik usaha, konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme harga maupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan; (7) Konflik primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan ikatan primordial/identitas (ras, etnik, asal daerah).
35
2.4.3 Resolusi konflik (1) Konsep resolusi Konflik Melling (1994) diacu dalam FAO (1998) mendefinisikan resolusi konflik sebagai proses dimana dua atau beberapa kelompok yang berkonflik berupaya memperbaiki kondisi melalui tindakan koperatif dengan jalan memberikan kesempatan kepada semua pihak yang memperbesar “kue” dan menjaga jangan sampai “kue” tersebut menciut. Dengan demikian setiap kelompok pada akhirnya akan mendapat “kue” yang lebih besar. Definisi ini secara implisit menyiratkan bahwa resolusi konflik berupaya menghasilkan manfaat untuk semua pihak. Resolusi konflik adalah jalan keluar dari perselisihan yang terjadi antara dua orang/kelompok atau lebih sehingga dicapai perdamaian. Resolusi dimana pihak-pihak yang bertikai segera mengadakan perjanjian perdamaian dan membahas isu-isu resolusi tersebut, namun bukan dengan
mengutamakan
pembahasan mengenai faktor-faktor yang memicu konflik tersebut.
Resolusi
biasanya membutuhkan suatu tekanan, lebih sering tekanan di pihak luar yang bertikai, tanpa tekanan, tampaknya konflik akan timbul lagi walaupun mungkin hal ini diekspresikan dengan cara lain (Budiono 2005) (2) Teknik resolusi konflik Bennet dan Neiland (2000) menandaskan bahwa proses resolusi konflik pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan (litigasi) dan di luar pengadilan atau penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR). Melalui proses litigasi, akan memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah.
Sementara pendekatan ADR output yang
dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih populer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam. Dalam kenyataan sistem formal, pendekatan litigasi (pengadilan) yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan kelompok yang lebih kuat di mata hukum. Oleh sebab itu, pendekatan ini menghasilkan pihak yang kalah dan menang.
Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa
pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk.
Dalam beberapa kasus,
36
pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya untuk konflik yang batasannya sudah jelas (Budiono 2005). Perbandingan resolusi konflik dengan pendekatan litigasi dan ADR dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan kelemahan resolusi konflik dengan metode litigasi dan Alternatif Dispute Resolution (ADR) Litigasi Kelemahan (DKP 2002) 1 Memicu munculnya konflik ikutan dan mendorong timbulnya kemarahan antar kelompok 2 Membuat salah satu kelompok curiga akan motif kelompok lainnya 3 Pengambilan keputusan yang lebih lama 4 Lebih menekankan pada solusi ketimbang menghasilkan kondisi yang sama-rata dan sama-rasa 5 Menghasilkan pihak yang menang, pihak yang kalah dan perpecahan dalam masyarakat 6 Lebih mahal baik ditinjau dari energi yang dikeluarkan maupun biaya ekonomi sumberdaya Hambatan (Malik et al. 2003) 1 Proses peradilan menyerap banyak waktu dalam jangka panjang. Hal mana kemudian dapat menjadi kontra produktif bagi kaum tertindas. Semangat kaum tertindas dapat merosot, menciptakan dan mengkristalkan rasa frustasi dan pada akhirnya menghancurkan perjuangan karena organisasi perjuangan menjadi lemah dan rapuh 2 Badan badan peradilan cenderung berpihak kepada para penindas yang sedang berkuasa. Akibatnya, dalam proses peradilan terdapat kecendrungan nuntuk mengalahkan kepentingan rakyat tertindas
Alternative Dispute Resolution (ADR) Kelemahan (O’loughin and Schumaker 1998) 1 Kurang efektif bila digunakan pada masalah yang kompleks dan sensitif 2 Dapat dipengaruhi oleh pemegang otoritas 3 Pengambilan keputusan yang didasarkan pada keahlian atau pengetahuan yang dapat dikompromikan 4 Pihak lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan masih dimungkinkan untuk berpartisipasi sehingga mengganggu proses resolusi konflik 5 Kurang kuatnya hasil keputusan dari segi hukum
Hambatan (Malik et al. 2003) Dapat berfungsi dengan baik jika memenuhi syarat-syarat: 1 Para pihak mempunyai kekuatan tawarmenawar yang sebanding 2 Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan dimasa yang akan datang 3 Terdapat banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran 4 Terdapat urgensi atau batas waktu untuk menyelesaikan 5 Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan mendalam 6 Jika para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak dan juga mereka dapat dikendalikan oleh pemimpinnya 7 Mempertahankan hak tidak lebih penting dibandingkan menyelesaikan persoalan yang mendesak
37
Konsep piramid sering digunakan sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik (Gambar 3). Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke cooperation.
Proses
resolusi konflik mengggunakan hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak (Bennet dan Neiland 2000)
Alternative Disfute Resolution
Kerjasama
Masing-masing pihak merepresentasikan keinginannya Negosiasi Konsiliasi Intervensi pihak ke tiga
Fasilitasi
Bekerjasama untuk membangun konsensus
Mediasi Arbitrasi Negosiasi rule making Litigasi Konfrontasi
Penyelesaian melalui jalur pengadilan
Gambar Metode pengelolaan konflik (Diadopsi litigasi dari Bennet and Neiland Dalam3 kebanyakan sistem formal, pendekatan (pengadilan) yang 2000) Creighton dan Priscoli (2001) menggambarkan situasi ideal yang seharusnya dicapai dalam resolusi konflik melalui negosiasi seperti dijelaskan pada Gambar 4. Dalam proses negosiasi, pihak yang berkonflik akan berupaya bergerak antara titik A (dimana A menang) ke titik B (dimana B menang). Sebagai konsekwensinya, proses negosiasi yang baik seharusnya berada pada daerah B, kedua belah pihak tidak merasa menang atau kalah. Pada kenyataannya untuk mencapai daerah ini sering sulit dilakukan oleh karena itu proses negosiasi dapat diperluas hingga mencapai daerah “integrative bargaining collaboration”. Pada daerah ini proses negosiasi diperluas tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik tetapi juga pihak lain yang dipandang mampu ikut menyelesaikan
38
konflik. Untuk mencapai daerah tersebut juga dapat dilakukan melalui proses mediasi dan fasilitasi. Daerah D adalah daerah yang harus dihindari, karena pada daerah ini semua pihak yang berkonflik menjadi “lebih buruk (worse off)” Kompetisi A-Menang, B- Kalah E-Negosiasi integratif
Tingkat Kepuasan untuk A
B-Negosiasi untuk mencapai kompromi
A+B Sama-sama kalah dan menang
D Dihindari (Kalah untuk A+B)
C- Akomodasi A- Kalah, B- Menang
Tingkat Kepuasan untuk B Gambar 4 Kondisi optimal resolusi konflik melalui proses negosiasi (Creigton dan Priscoli 2001) Untuk mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan (durable settlement)”, Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Substantive interest, yaitu: content need, dana, waktu, material dan sumberdaya (2) Prosedural interest, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara bagaimana sesuatu dapat diselesaikan (3) Relationship por phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan.
39
Pendekatan penyelesaian konflik secara umum dapat dikategorikan (Gorre 1999) menjadi: (1) Mekanisme pembangunan konsensus di mana proses ini adalah keterlibatan semua pihak yang secara sukarela mencari alternatif penyelesaian yang mengakomodasi semua kepentingan, dan (2) Negosiasi yang mengacu pada dua atau lebih yang secara sukarela mendiskusikan perbedaan yang ada di antara mereka dan berupaya untuk mencapai keputusan bersama dalam kepentingan mereka. Kedua tersebut memerlukan komunikasi yang terbuka dan insentif untuk berkompromi harus tinggi karena keinginan untuk berkompromi yang tinggi menjadi kunci keberhasilan proses ini. Dalam proses ini, pihak ketiga dapat dilibatkan, baik itu mediator atau pihak dalam jalur judikatif (hukum), serta jalur legislative dapat mengarahkan resolusi konflik ini menjadi fokus. Resolusi konflik dapat diharapkan menjadi dasar pengelolaan yang mengakomodasi perbedaan kepentingan semua pihak (industri, masyarakatkokonsitituen dan stakeholders, pemerintah dan lembaga non pemerintah). Perencanaan ruang dapat digunakan sebagai produk interpretasi dari keinginan publik setempat dalam bentuk ketetapan tentang arah pemanfaatan yang sesuai dengan kaidah dan kondisi pembangunan yang dicita-citakan. Arah pemanfaatan ini meliputi alternatif dan skenario di masa depan (use plan) dan alternatif cara (guidance) untuk mencapai kondisi tersebut (Chapin dan Kaiser 1985). Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998), terdapat tiga elemen utama dalam resolusi konflik, yaitu (1) upaya memahami akar, penyebab, dan konsekuensi konflik wilayah pesisir dan laut melalui studi pemetaan konflik, (2) membuat proses yang transparan untuk pengambilan keputusan tentang konflik, dan (3) kemampuan untuk mengadopsi dan mengimplementasi pengukuran untuk memperbaiki kerusakan akibat pemanfaatan oleh pengguna pesisir dan laut atau dari kegiatan pengguna lain di luar wilayah pesisir dan laut. Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik disajikan pada Tabel 4.
40
Tabel 4 Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik (Cicin-Sain dan Knecht 1998) Tahapan resolusi konflik Pranegosiasi Getting started
Peyusunan representasi
Drafting protocol dan setting agenda Tahapan resolusi konflik Menarik hati dalam menemukan fakta yang terkait Negosiasi Penemuan pilihan-pilihan
Packaging
Penulisan perjanjian Binding the parties
Ratifikasi
Tugas-tugas
Pertemuan dengan stakeholders yang potensial untuk akses perhatian mereka dan menerangkan proses pembuatan konsensus; penanganan logistik dan rapat untuk pertemuan awal. Mengadakan rapat dengan stakeholders untuk membantu memilih juru bicara atau team leader; bekerja dengan stakeholder awal untuk mengindentifikasi kelompok yang tidak terwakili atau strategi keterwakilan interest yang tersebar. Penyiapan draft pendahuluan yang didasarkan pada pengalaman masa lampau dan pertemuan yang manaruh perhatian; mengelola proses agenda setting. Tugas-tugas Membantu untuk draft penemuan fakta pendahuluan; identifikasi konsultan teknik atau advisor untuk kelompok; mengatur pembiayaan dalam resource pool; memelihara kepercayaan atau informasi hak-hak pemilik. Mengelola proses brainstorming; mengusulkan pilihanpilihan yang potensial bagi kelompok untuk dipertimbangkan; koordinasi subcommittees untuk draft option. Mengadakan rapat secara privat dengan setiap kelompok untuk mengidentifikasi dan menguji kemungkinan traders; mengusulkan kemungkinan paket untuk kelompok untuk dipertimbangkan Bekerja dengan subcommittees untuk menghasilkan draft perjanjian; mengelola single-text prosedur; menyiapkan draft pendahuluan dari single-text. Memelihara sebagai tempat ikatan; pendekatan keluar kelompok; membantu menemukan cara-cara baru untuk mentautkan kelompok yang bertikai ke dalam komitmen mereka. Membantu partisipan menawarkan perjanjian ke pemilih; menyakinkan bahwa semuanya perwakilan telah tersentuh dengan pemilih-pemilih mereka.
41
Tabel 4 ( lanjutan) Pasca Negosiasi (Implementasi) Menggabungkan Bekerja dengan pihak yang bertikai untuk menemukan perjanjian kesepahaman; pendekatan pemilih dari sebagian informal dengan kelompok; mengidentifikasi kendala hukum pada pembuatan implementasi. keputusan formal Monitoring Memonitor implementasi; memanggil rapat kelompok monitoring. Renegosiasi Mengumpulkan kembali partisipan jika muncul ketidaksetujuan; membantu untuk mengingatkan kelompok pada tujuan awal. Sumber: Cicin-Sain dan Knecht (1998)
Metoda resolusi konflik sangat beragam tergantung pada konteks sosioekonomi dan politik dari suatu kondisi. Dalam masyarakat tradisonal, memposisikan pemimpin desa atau orang yang lebih tua dalam menangani konflik mungkin merupakan cara yang bagus dan efektif untuk menyelesaikan perselisihan di dalam wilayah pesisir. Dalam masyarakat maju, konflik pesisir sering diselesaikan melalui upaya mediator yang tidak berpihak (netral) yang membantu pengelola pesisir membawa ke dalam suatu pertemuan bersama dan melakukan negosiasi terhadap suatu pemecahan masalah (Cicin-Sain and Knecht 1998). Pengelolaan konflik adalah proses non-kekerasan yang mempromosikan dialog dan negosiasi dan memberikan panduan penyelesaian konflik agar konstruktif ketimbang destruktif. Elemen-elemen utama dalam pendekatan pengelolaan konflik modern terdiri dari: (1) aktor sosial yang peduli menyelesaikan pertikaian; (2) wilayah kepentingan dan beberapa sumber konflik, seperti perbedaan nilai, keinginan dan kebutuhan dari berbagai pihak yang terlibat; (3) forum untuk bernegosiasi dan peraturan dasar yang menyediakan kerangka kerja para pihak yang terlibat untuk bertemu dan berdiskusi; (4) data yang dapat dipercaya tentang sumber konflik; (5) opsi-opsi tindakan yang dihasilkan oleh pelaku yang terlibat dan didiskusikan diantara mereka; (5) merumuskan dan menuliskan persetujuan dari salah satu pilihan
42
yang disepakati; (6) mengesahkan persetujuan dan melaksanakannya (Wallace 2002). Menurut
Asy’ari (2003), terdapat beberapa langkah dalam mengatasi
konflik termasuk: (1) menggunakan kekuasaan dalam rangka mencegah konflik yang terjadi menyebar ke wilayah lain. Kekuasaan ini harus berdasarkan tindakan yang bijak dan tidak dipengaruhi oleh motif yang emosional; (2) memperlancar usaha kedua belah pihak untuk menurunkan ketegangan melalui cara-cara diplomatis. Situasi panas harus lebih dahulu didinginkan, dengan cara antara lain, penggunaan metode persuasif tapi bukan dengan paksaan karena hal ini hanya akan mendorong tindakan paksaan dari yang lain yang pada gilirannya akan menimbulkan kerugian pada orang atau kelompok lain; (3) upaya menghindar, itulah
watak
manusia
untuk
menghindari
konflik
sesudahnya
yang
berkepanjangan. “Menghindarkan diri” adalah salah satu arif yang harus dimiliki masyarakat. Sebuah konflik biasanya berasal dari mulut dan dari ucapan yang menyakiti orang lain. Agar proses resolusi konflik berlangsung dengan baik, Rijsberman (2000) menyatakan ada dua prekondisi yang harus disiapkan. Prekondisi yang pertama adalah lingkungan hukum atau kebijakan yang menunjang.
Prekondisi yang
kedua adalah adanya keseimbangan kekuatan diantara stakeholder yang terlibat dalam konflik 2.5 Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Ginting (2001) mengatakan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, sering muncul konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya di wilayah pesisir yang pembangunannya pesat. Wilayah pesisir, dimana sumberdaya darat dan laut bertemu, memiliki sumberdaya yang sangat kaya, sehingga banyak pihak yang mempunyai kepentingan untuk memanfaatkannya.
Konflik dapat juga
muncul karena adanya kesenjangan antara tujuan, sasaran, perencanaan dan funsi antara berbagai pihak terkait. Konflik seperti ini adalah konflik yangg dipicu oleh adanya tumpang tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan sumberdaya. Akar permasalahan konflik ini sering berasosiasi dengan faktor sosial-ekonomibudaya dan bio-fisik yang mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir. Konflik
43
tersebut, baik langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan pihak-pihak yang bertikai, terutama mengurangi minat penduduk dan pemerintah daerah setempat untuk melestarikannya, dan membiarkan kerusakan sumberdaya kelautan berlangsung hingga mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, karena tidak ada insentif bagi mereka untuk melestarikannya. Lebih lanjut Asy’ari
(2003) menegaskan bahwa manajemen konflik
berkaitan dengan program rekonsiliasi.
Dalam sebuah rekonsiliasi kita harus
memperhatikan pihak-pihak yang telah mengalami kehidupan budaya, ekonomi dan sosial trauma dan tertekan.
Pengelola pesisir harus yakin bahwa keputusan
yang dibuat melalui proses yang transparan dan umum menjadi penekanan pada tahap selanjutnya. Kadang-kadang mediasi di negara maju telah dilakukan melalui negosiasi privat, suatu pendekatan yang mungkin tidak selamanya cocok jika sumberdaya pesisir dan laut yang dipertaruhkan bersifat umum. Selain itu pula, harus juga mempertimbangkan bahwa pengukuran mungkin diperlukan untuk menyelesaikan pengaruh negatif dari satu pengguna pesisir terhadap pengguna pesisir atau sumberdaya lainnya. Sebagai contoh diperlukannya suatu kompensasi untuk membayar suatu kerusakan atau hilangnya sumberdaya akibat adanya pengguna lainnya. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam mengumpulkan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai produktivitas sumberdaya hayati dan tujuan yang telah disepakati (UU No 45 Tahun 2009 revisi UU No 31 Tahun 2004). Cochrane (2002) menandaskan bahwa alternatif pendekatan model manajemen perikanan adalah manajemen oleh pemerintah, manajemen berbasis komunitas dan manajemen partisipatori. (1) Pendekatan partisipatori Peraturan pemerintah (PP) Nomor 69 tahun 1996 mendefinisikan partisipasi dalam pengelolaan perikanan adalah suatu keterlibatan individu dan masyarakat secara aktif dalam semua tahapan pengelolaan perikanan, dalam arti juga sebagai
44
suatu kesepakatan diantara pihak yang berkepentingan yakni pemerintah, masyarakat dan swasta untuk membangun hubungan dan proses yang dibutuhkan dalam merencanakan dan melaksanakan pengelolaan perikanan sehingga mempunyai basis serta legitimasi yang kuat. Mikkelsen (2001) menjelaskan pengertian pendekatan partisipatori bahwa pendekatan partisipatori harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka sendiri.
Pendekatan ini harus menilai dan
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka, dan memberikan sarana yang perlu bagi mereka dapat mengembangkan diri. Ini memerlukan perombakan dalam seluruh praktek dan pemikiran, disamping bantuan pembangunan. Partisipasi memerlukan beberapa syarat lain dari stakeholder antara lain adalah perwakilan secara demokratis, keterlibatan, kapasitas, kontribusi sesuai kemampuan dan kebutuhan, tanggung jawab, serta komunikasi dan pertukaran informasi. Terkait dengan hal ini otonomi daerah menjadi penting dalam arti untuk memodifikasi atau mengadopsi nilai kearifan lokal atau kelembagaan tradisional yang ada (Zen dan Nielsen 1999). (2) Co-management Menurut Imron (2004) pengelolaan sumberdaya laut secara terpadu (cooperative management dan disingkat co-management) adalah suatu model pengelolaan sumberdaya yang melibatkan berbagai stakeholder yang terkait. Tujuannya selain untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan, juga untuk meminimalisasi konflik, melalui proses negosiasi diantara mereka. Hartono (2004) menyatakan pengelolaan perikanan dengan sistem komanajemen adalah suatu sistem pengelolaan perikanan dimana terjadi pembagian tanggung jawab yang bersifat adaptif antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan (stakeholders) (Tabel 5). Lenih lanjut Hartono (2004) menyatakan bahwa untuk mengawali rezim ko-manajemen yaitu dengan mengorganisasikan masyarakat. Agar dapat berpartisipasi dalam ko-manajemen, unsur-unsur komunitas terkait dalam pengelolaan perlu membentuk organisasi sehingga dapat dicapai suatu kesepakatan tentang keinginan apa yang akan dilakukan ke depan dalam pengelolaan secara bersama ini. Keterlibatan masyarakat secara efektif di
45
dalam ko-manajemen memerlukan organisasi anggotanya. Organisasi masyarakat pantai yang kuat merupakan sumberdaya
berbasis
komunitas.
pendorong bagi keberhasilan pengelolaan Komponen-komponen
penting
dalam
pengorganisasian masyarakat (1) Persiapan, mencakup berbagai kegiatan antara lain; menetapkan kelompok inti pemimpin, menganalisis kondisi area, melakukan diskusi untuk menetapkan visi organisasi, menetapkan misi organisasi. (2) Pengembangan kepemimpinan. Dalam komunitas organisasi, pemimpin biasanya berkembang diantara komunitas, dan umumnya menjadi panutan anggotanya. Tabel 5 Pembagian peran dalam ko-manajemen antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan (Hartono 2004) Aktivitas pengelolaan Merumuskan kebijakan rencana pengelolaan
Lembaga Pemerintah (instansi pemerintah yang menangani sektor perikanan) 1 Membuat kebijakan perikanan, kebijakan ko-manajemen dan rencana pengelolaan 2 Menyediakan SDM dan finansial untuk mendukung rencana pengelolaan 3 Membantu memastikan perikanan mendapat pertimbangan yang adil dalam aktivitas perencanaan dan pengambilan keputusan multi sektor
Tabel 5 (lanjutan) Aktivitas pengelolaan Merumuskan dan mengkoordinasikan rencana pengelolaan lokal Menerapkan rencana pengelolaan lokal
Lembaga Pemerintah (instansi pemerintah yang menangani sektor perikanan) 1 Memastikan aturan, sasaran rencana pengelolaan lokal 2 Mengkoordinasikan rencana pengelolaan lokal dan menyediakan konsultasi tehnis dan informasi
1 Menegakkan peraturan/ketentuan seperti pembatasan akses dan lisensi 2 Mendorong berbagi pengetahuan dan pengalaman 3 Memantau aktivitas pengelolaan lokal 4 Memperhatikan dan menyelesaikan konflik Mengevaluasi 1 Mengevaluasi pelaksanaan rencana pengelolaan lokal rencana apakah sesuai tujuan pengelolaan lokal 2 Mendorong proses berbagi pengetahuan dan informasi Mengevaluasi 1 Mengevaluasi penerapan kebijakan dan rencana kebijakan pengelolaan lokal pengembangan 2 Mengevaluasi penerapan kebijakan ko-manajemen nasional
46
Tabel 5 (lanjutan) Aktivitas pengelolaan Merumuskan kebijakan rencana pengelolaan Merumuskan dan mengkoordinasikan rencana pengelolaan lokal Menerapkan rencana pengelolaan lokal
Lembaga Pengelola Lokal (kelompok nelayan) 1 Membantu memastikan diketahuinya nilai perikanan sebagai mata pencaharian 2 Membantu mengarahkan kebijakan dan rencana pengelolaan 1 Menetapkan sasaran dan aturan rencana pengelolaan lokal 2 Berbagi pengetahuan lokal dan saran-saran
1 Menegakkan peraturan /ketentuan seperti pembatasan akses dan lisensi 2 Mengelola rencana pengelolaan 3 Membantu menyelesaikan konflik Mengevaluasi 1 Mengevaluasi rencana pengelolaan lokal agar memenuhi rencana standard pengelolaan lokal 2 Berbagi informasi dengan unit pengelolaan lainnya Aktivitas Lembaga Perantara misalnya (LIPI, LSM, Universitas) pengelolaan Merumuskan 1 Membantu sektor perikanan agar mendapat pertimbangan kebijakan yang adil dalam perencanaan dan pengambilan keputusan rencana multi sektor pengelolaan 2 Membantu mengarahkan kebijakan rencana pengelolaan Merumuskan dan 1 Membantu mendapatkan sasaran dan aturan rencana mengkoordinasipengelolaan lokal kan rencana 2 Mengkoordinasikan rencana pengelolaan lokal pengelolaan lokal 3 Menyediakan konsultasi teknis dan informasi Aktivitas Lembaga Perantara misalnya (LIPI, LSM, Universitas) pengelolaan Menerapkan 1 Mendorong berbagi pengalaman dan pengetahuan lokal rencana 2 Membantu memantau penerapan rencana dan aktivitas pengelolaan lokal pengelolaan lokal 3 Memastikan partisipasi dalam pemantauan memenuhi standard 4 Membantu menyelesaikan konflik Mengevaluasi 1 Mengevaluasi pelaksanaan rencana pengelolaan lokal rencana apakah mencapai sasaran pengelolaan lokal 2 Mendukung berbagi informasi dan pengetahuan Mengevaluasi 1 Mengevaluasi kebijakan dan rencana pengelolaan lokal kebijakan 2 Mengevaluasi penerapan kebijakan ko-manajemen pengembangan nasional Sumber: Hartono (2004)
47
Baland dan Platteau (1996) diacu dalam Imron (2004) menandaskan bahwa pengelolaan sumberdaya laut dengan pendekatan co-management itu penting dilakukan, mengingat kegagalan praktik pengelolaan yang ada, baik yang bertumpu pada kebijakan pemerintah, maupun yang bertumpu pada masyarakat, karena masing-masing memiliki kelemahan yang mendasar. Pada pengelolaan yang bertumpu pada pemerintah, kelemahannya antara lain adalah kurangnya aparat yang mengawasi pelaksanaan kebijakan yang digariskan, sehingga banyak pelanggaran yang tidak terdeteksi. Apalagi jika negara memiliki wilayah laut yang luas. Selain itu biaya yang dibutuhkan untuk mendukung kebijakan juga sangat besar, terutama untuk mengumpulkan data yang akurat tentang kondisi sumberdaya.
Adapun pada kebijakan yang bertumpu pada masyarakat,
kelemahannya antara lain adalah mudah berubahnya sistem pengelolaan, baik karena perubahan jumlah penduduk, maupun karena permintaan pasar yang tinggi terhadap sumberdaya.
Perubahan-perubahan tersebut dapat mendorong
masyarakat untuk mengeksploitasi sumberdaya secara besar, sehingga aspek kelestarian menjadi terabaikan. Menurut Pomeroy dan Berkes (1977) terdapat sepuluh tingkatan atau bentuk co-management yang dapat disusun dari bentuk yang paling sedikit partsipasi masayarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk comanagement maka tanggung jawab pemerintah akan tinggi.
Sebaliknya bila
tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah rendah.
Kesepuluh bentuk co-management tersebut
adalah: (1) Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan rumusan kebijakan; (2) Masyarakat dikonsultasikan oleh pemerintah; (3) Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama; (4) Masyarakat dan pemerintah saling
berkomunikasi; (5)
Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi; (6) Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasehat dan saran; (7) Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama; (8) Masyarakat dan pemerintah bermitra; (9) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh
48
pemerintah; (10) Masyarakat berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukunng oleh pemerintah. Penerapan ko-manajemen akan berbeda-beda pada setiap daerah karena sangat bergantung pada kondisi lokasi yang spesifik (Pomeroy dan Williams 1994) dan sosial budaya masyarakatnya, oleh karena itu ko-manajemen harus lebih dipandang sebagai suatu alternatif pengelolaan yang sesuai untuk kondisi lokasi tertentu. Namun, bagaimanapun bentuk ko-manajemen akan selalu mengacu pada kelima hirarki ko-manajemen sederhana seperti yang diusulkan oleh Zen dan Nielsen (1966) yaitu mulai dari instructive, consultative, cooperative, advisory hingga informatif. Lebih lanjut Zen and Nielsen (1966) menjelaskan bahwa proses komanajemen instruktif adalah pertukaran informasi antara pemerintah dan pengguna sumberdaya sangat minim kemudian meningkat menjadi konsultasi namun keputusan tetap pada pemerintah yakni ko-manajemen konsultatif. Posisi setara ada pada ko-manajemen koperatif yakni pemerintah dan stakeholder dengan mitra dalam pengambilan keputusan. Stakeholder memberi advis pada pemerintah mengenai keputusan yang diambil dan pemerintah menyokongnya merupakan ko-manajemen advisori.
Pemerintah mendelegasikan keputusan
kepada stakeholder pada ko-manajemen informatif.
Proses ko-manajemen
merupakan proses dinamis sehingga tidak ada ketentuan untuk mulai dari komanajemen instruktif misalnya harus berakhir dengan ko-manajemen informatif. Sebagai salah satu elemen sentral dari ko-manajemen adalah pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis kemasyarakatan (PSPBM). PSPBM digunakan sebagai langkah awal pemberdayaan masyarakat sesuai dengan isu lokal (Pomeroy 1988). PSPBM adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang terpusat pada masyarakat, berdasarkan budaya dan tradisinya (Jenifer 1995). Basis pengambilan keputusan dalam rangka memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan ada pada masyarakat setempat.
Kepada masyarakat
diberikan kesempatan dan tanggung jawab untuk mengelola sumberdaya sendiri, menentukan kebutuhannya, sasaran aspirasi, serta membuat keputusan-keputusan yang menyangkut kesejahteraannya.
Penduduk setempat memiliki akses dan
mengendalikan sumberdaya termasuk pegetahuan, keahlian serta jenis teknologi
49
yang dibutuhkan dalam rangka mengelola secara produktif dan berkelanjutan (Kartikasari 1995). Penelitian Budiono (2005) menyatakan bahwa pada umumnya model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap dirancang dengan menggunakan empat komponen dasar, yaitu: (1) perundangan dan regulasi; (2) peran serta organisasi masyarakat pantai; (3) infrastruktur dasar dan; (4) kondisi sosial ekonomi. Agar pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan perangkat hukum yang mampu memayungi pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Kesuksesan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepang disebabkan adanya perangkat hukum.
Kerangka hukum yang memadai merupakan payung bagi
pengelolaan dan rehabilitasi sumberdaya perikanan serta sekaligus mampu memberdayakan kapabilitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan begitu masyarakat diberi jaminan atas hak pengelolaannya (Uchida et al. 2004) Pemimpin yang efektif menurut Pomeroy (2005) antara lain; (1) memiliki jiwa pionir, mencari kesempatan, melakukan percobaan dan mengambil resiko; (2) mengilhami visi organisasi dan memimpikan masa depan; (3) mempraktekkan pengetahuan yang dimiliki dan memberikan contoh apa yang diajarkan; (4) melatih dan dapat menghargai prestasi anggota organisasi; (5) terbuka untuk memerima kritikan; (6) memobilisasi kelompok-kelompok organisasi mencakup kegiatan misalnya mencari dukungan masyarakat, membangun perhimpunan dan jaringan kerjasama; (7) evaluasi digunakan untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan yakni suatu proses pengumpulan informasi tentang organisasi dan pengelolaannya.
Keanggotaan organisasi sebaiknya
dilibatkan dalam melakukan evaluasi dan monitoring. Dalam kaitannya dengan penyediaan infrastruktur dasar maka dibutuhkan pula penguatan kapabilitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, serta penguatan organisasi masyarakat desa.
Masyarakat dan kolaborasinya
adalah faktor kunci ke arah suksesnya implementasi CBFM.
50
Tokrisna et al. (2002) menyebutkan bahwa kolaborasi dapat ditingkatkan jika masyarakat merasakan adanya manfaat (benefit) dari partisipasi mereka dalam CBFM/CM. Manfaat tersebut seyogyanya harus dapat dilihat (visible), cepat dan proporsional sehingga tertarik untuk berkolaborasi. Pada level yang paling sederhana perencanaan partisipatif menciptakan kesempatan kepada stakeholder yang memiliki kepentingan langsung pada suatu wilayah perencanaan untuk memberikan kontribusi informasi kepada perencana. Pada level yang lebih tinggi perencanaan
partisipatif
menekankan
kekuatan
pada
stakeholder
untuk
mengendalikan proses perencanaan dan membuat keputusan kebijakan penting. Dalam pendekatan ini sekelompok stakeholder (mewakili seluruh kepentingan diwilayah perencanaan) telah dibentuk melalui dialog yang teratur, pertemuanpertemuan dimana anggota dapat saling berbagi pengalaman, diskusi, mengajukan keberatan dan lain sebagainya (Soetrisno 1995). Perencanaan partisipatif dapat melibatkan setiap stakeholder yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung (Takeda 2001). Community
Based
Fisheries
Management/Comunity
Management
(CBFM/CM) cenderung dapat berhasil di kalangan masyarakat nelayan kecil (artisanal fisheries) dari pada di daerah yang sumberdaya perikanannya dikelola dengan skala komersial.
Nelayan kecil adalah nelayan yang sumber
pendapatannya sebagian besar dari perikanan.
Jika ketersediaan sumberdaya
perikanan semakin terbatas maka pendapatan mereka juga akan terganggu (Tokrisna et al. 2002 diacu dalam Budiono 2005). Prekondisi yang mendukung pengelolaan konflik dan merupakan landasan pijakan untuk bersikap dan berperilaku secara bertanggung jawab terhadap operasi penangkapan ikan yang dijalankan meliputi landasan moral, landasan normatif dan landasan konstitusional 1 Landasan moral Landasan moral ini merupakan landasan hakiki yang harus dimiliki oleh setiap perilaku perikanan tangkap.
Landasan moral bersumber pada rasio
(pemikiran), perasaan, keyakinan (agama) dan kepercayaan secara umum. Misalnya setiap orang percaya pencurian terumbu karang yang akan melenyapkan sumberdaya ikan karang perbuatan yang salah. Penangkapan
51
ikan yang melebihi JTB dan potensi lestarinya juga merupakan perbuatan (sikap dan perilaku) yang tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya ikan terhadap generasi yang akan datang. 2 Landasan normatif Landasan normatif ini didasarkan pada aturan adat istiadat atau konsensus masyarakat setempat yang pada umumnya tidak tertulis dan berbedabeda aturannya antara satu tempat dan tempat yang lainnya. 3 Landasan konstitusional Landasan konstitusional merupakan landasan resmi (legal) yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik bersifat lokal, nasional, regional maupun institusional Landasan konstitusional berupa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, yang mengikat setiap pelaku perikanan tangkap (Pengusaha, ABK dan Nelayan). Landasan ini berisi perintah, larangan dan sangsi-sangsi bagi para pelanggarnya. Intensitas pengaturan di bidang perikanan merupakan wujud dinamika pembentukan regulasi terhadap kegiatan perikanan.
Intervensi
regulasi di bidang perikanan pada umumnya meliputi perlindungan terhadap nelayan kecil guna mencegah terjadinya konflik dengan nelayan komersial. Selain dari itu telah pula dikeluarkan regulasi tentang pembatasan ukuran mata jaring sebagai upaya untuk menjamin terpeliharanya kemampuan reproduksi jenis-jenis ikan tertentu. Landasan Konstitusional yang berlaku di Indonesia antara lain meliputi: (1) Desentralisasi wewenang pengelolaan sumberdaya kelautan dan Perikanan. Undang-undang No. 22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan keweanangan kepada daerah untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan pantai sampai sejauh 1 dari 2 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut teritorial dan perairan kepulauan. Dalam bidang perizinan, kewenangan Pemerintah Daerah untuk perizinan diberikan kepada provinsi untuk kapal 10-30 GT dan daya mesin 30-90 PK sedangkan Kabupaten/Kota untuk kapal < 10 GT dan daya mesin < 30 PK. Juga telah dilaksanakan perbantuan proses pelayanan perizinan pusat oleh Pemerintah Daerah dalam hal perpanjangan izin.
52
(2) Larangan penggunaan alat penangkap jenis trawl 1) Kepres Nomor 39 tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl, bertujuanuntuk melindungi kelestarian sumberdaya selain untuk melindungi kepentingan nelayan kecil; 2) Keppres Nomor 85 tahun 1982 tentang penggunaan pukat udang; 3) SK. Mentan Nomor 503 tahun 1980 mengenai
langkah-langkah
penghapusan jaring trawl tahap I 4) SK. Dirjen Perikanan Nomor 340 tahun 1997 mengenai penjabaran Teknis dari SK Mentri Pertanian No. 503 tahun 1980, khususnya mengenai petunjuk teknis penggunaan alat-alat penangkap ikan menyerupai trawl. (3) Ketentuan tentang ukuran mata jaring 1) SK Mentan No. 123/1975 mengatur ukuran mata jaring purse seine yang digunakan dalam penangkapan jenis ikan pelagis adalah 60 mm; 2) SK Mentan No. 197 tahun 1996 mengatur ukuran panjang maksimum jaring jenis gill net yaitu 5 km; 3) SK Mentri Pertanian RI No. 123/Kpts/Um3/1975 mengatur lembar mata jaring jenis purse seine untuk penangkapan ikan kembung, layang, selar, lemuru dan ikan-ikan pelagis sejenisnya, melarang purse seine yang menggunakan ukuran mata jaring lebih kecil dari 2 inchi pada bagian sayap dan kurang dari 1 inchi pada bagian kantong. (4) Pengaturan jalur penangkapan ikan 1) SK
Mentan No. 607/1976 pada dasarnya dimaksudkan untuk
melindungi nelayan kecil sehingga kapal-kapal ukuran menengah keatas harus beroperasi lebih jauh sehingga tidak mengganggu nelayan kecil dan tidak menimbulkan tekanan pemanfaatan sumberdaya ikan. 2) SK. Mentan Pertanian RI No. 392/Kpts/IK. 120/4/99 mengatur jalurjalur penangkapan ikan dan melarang alat-alat tangkap dan kapal-kapal perikanan dari jalur penangkapan ikan lebih rendah, tetapi sebaiknya dari jalur penangkapan ikan yang lebih rendah boleh memasuki jalur penangkapan ikan yang lebih tinggi (lebih jauh lagi dari garis pantai). Yang dimaksud dengan jalur penangkapan ikan adalah (1) Jalur
53
Penangkapan Ikan I (a) : 0-3 mil laut (2) Jalur Penangkapan Ikan I (b) : 3-6 mil laut (3) Jalur Penangkapan Ikan II : > 6-12 mil laut (4)Jalur Penangkapan Ikan III : > 12-200 mil laut atau batas terluar dari ZEE Selanjutnya peraturan ini melarang penggunaan jaring jenis gillnet dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm dan pukat cincin (purse seine) untuk penangkapan tuna/cakalang yang berukuran mata jaring kurang dari 75 mm, kecuali untuk pukat teri dan jaring angkat (lift net). Selain itu juga melarang panjang total rangkaian gillnet lebih dari 1.000 meter beroperasi di jalur penangkapn ikan I (b) (3-6 mil laut) dan lebih dari 2.500 meter beroperasi di jalur penangkapan Ikan II (6-12 mil laut) (5) Pengawasan Penangkapan Ikan 1) Kep. Menteri KP No. Kep. 02/MEN/2002 menetapkan pedoman pelaksanaan pengawasan penangkapan ikan. Pengawasan perikanan bidang penangkapan meliputi pengawasan terhadap penangkapan ikan dan atau pengangkutan ikan. Prinsip pengawasan bidang penangkapan terdiri
atas
pemantauan,
pemeriksaan,
pengamatan
dan
atau
penyidikan. 2) Keputusan Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Nomor 14/DJ-PSDKP/2002 perihal tata cara pengawasan penangkapan dan atau pengangkutan ikan adalah: 1 Pelaksanaan pemeriksaan dokumen perizinan usaha perikanan; 2 Pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan; 3 Pelaksanaan pemeriksaan alat penangkapan ikan; 4 Pelaksanaan pemeriksaan alat bantu penangkapan ikan; 5 Pelaksanaan pemeriksaan daerah operasi penangkapan ikan; 6 Pelaksanaan pemeriksaan nakhoda dan anak buah kapal; 7 Pelaksanaan pemeriksaan suaka perikanan, jenis-jenis ikan yang dilindungi dan lingkungan sumberdaya ikan yang sedang direhabilitasi; 8 Pelaksanaan pemeriksaan penerapan log book perikanan (LBP) dan Lembar Laik Operasional (LLO) kapal perkanan; dan
54
9 Hasil pemeriksaan dan pengambilan keputusan. (6) UU No 45 Tahun 2009, revisi UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan 1) Pasal 3 huruf i, tujuan pelaksanaan pengawasan perikanan adalah untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus dilakukan secara lestari dan berkesinambungan. 2) pasal 67, masyarakat dapat diikutsertakan dalam pengawasan perikanan. Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokwasmas). (7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang perikanan. Pokok-pokok isinya antara lain: 1) Larangan melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan alat yang membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya 2) Usaha perikanan di wilayah perikanan Republik Indonesia atau badan Hukum Indonesia, kecuali dalam bidang penangkapan sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan Internasioanal atau hukum internasional yang berlaku. 3) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki Ijin Usaha Perikanan (IUP), kecuali nelayan atau perorangan lainnya yang sifatnya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 4) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan di laut atau di perairan lainnya di wilayah perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan, kecuali nelayan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. (8) Pengaturan Usaha Perikanan 1) PP No. 15 tahun 1990 junct. PP No. 46 tahun 1993 junct. PP 141/2000 junct. PP No. 54/2000 tentang usaha perikanan dan SK Mentan No. 428 tahun 1999 tentang perubahan SK Mentan No. 815 tahun 1990 yang
55
mengatur langkah-langkah pengendalian pemangfaatan sumberdaya ikan. 2) SK Mentan No. 561 tahun 1973 dan No. 40 tahun 1974 mengenai kewajiban pengusaha penangkapan udang untuk memanfaatkan hasil sampingan secara optimal. 3) PP No. 54 Tahun 2002 dan Kep. Menteri Kalautan dan Perikanan No. 10/MEN/2003 tentang usaha perikanan. Menetapkan kewajiban bagi setiap kapal-kapal yang melakukan kegiatan penangkapan ikan baik kapal berbendera asing maupun Indonesia, harus dilengkapi dengan surat penangkapan ikan (SPI) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan IUP. 4) Kepmen No. 10 Tahun 2004 Tentang Perizinan Usaha Perikanan 5) Permen No. 17 Tahun 2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap (9) Integrasi Perikanan Kedalam Pengelolaan Kawasan Pesisir 1) Kep. Mentri KP No. 41 Tahun 2000 menetapkan pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat 2) RUU pesisir yang juga mengakomodir kegiatan perikanan tangkap sebagai bagian integral pengelolaan pesisir sedang dalam tahap pembahasan. (10) Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, kemudian direvisi menjadi UU No. 45 Th 2009. Pokok- pokok isinya antara lain: 1) Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dan peraturan perundangundangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang disepakati. 2) Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian sumberdaya.
56
(11) Peraturan Daerah 1) Perda No 03 Tahun 2003 tentang Retribusi Izin Usaha Kelautan dan Perikanan di Wilayah kabupaten Tanah Laut. 2) Perda No 22 Tahun 2004 tentang susunan organisasi dan tata kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut 3) Perda No 9 Tahun 2006 tentang penangkapan ikan dan perlindungan sumberdaya perikanan (Perairan laut dan Perairan umum) 4) Keputusan Mentri Kelautan Dan Perikanan Nomor KEP.13/MEN/2004 tentang Pedoman Pengendalian Nelayan Andon Dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Ikan. 5) Kewenangan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 18 ayat 1 berbunyi: “Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya wilayah laut”. Pasal 18 ayat 3 berbunyi: ”Kewenangan Daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut meliputi: (1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. (2) Pengaturan administratif (3) Pengaturan tata ruang (4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah (5) Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan (6) ikut serta dalam pertahanan kalautan negara. Pasal 18 ayat 4 berbunyi: ”Kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota (4 mil). 6) Perda provinsi Kalimantan Selatan No 24 Tahun 2008 tentang Pengawasan dan Perlindungan Sumberdaya Ikan di Kalimantan Selatan 7) Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan No 53 Tahun 2007 tentang pembentukan Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan tingkat Provinsi di Kalimantan Selatan. 2.6 Kelembagaan Perikanan Tangkap Kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu: kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi inter personal. Dalam hal ini
57
kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Kelembagaan mengatur 3 (tiga) hal pokok dalam konteks eksploitasi sumberdaya yaitu: (1) pengaturan, (2) pemanfaatan, (3) transfer serta distribusi sumberdaya.
Agar dapat berfungsi
dengan baik kelembagaan haruslah mapan (solid dan survive) selama periode waktu tertentu yang ditujukan oleh dinamikanya yang terus berlangsung berdampingan dengan
teknologi
dan pola kehidupan masyarakat, sehingga
interaksi kedua komponen tersebut mampu menciptakan kelembagaan dengan kedua komponen tersebut mampu menciptakan teknologi baru yang sustainable terhadap sumberdaya (Anwar 2000). Menurut Purwaka (2003) lembaga adalah lembaga-lembaga, lembaga pemerintah maupun non pemerintah, baik lembaga departemen maupun non departemen, baik lembaga di pusat maupun di daerah, yang memperoleh mandat dari hukum untuk memanfaatkan dan atau mengelola sumber daya perikanan laut secara terpadu. Keterpaduan ini mensyaratkan bahwa setiap lembaga menyadari batas-batas mandatnya dan memahami kebijaksanaan dan peraturan dari lembagalembaga terkait lainnya.
Persyaratan keterpaduan ini memudahkan setiap
lembaga saling mengkoordinasi dan kerjasama satu sama lain untuk meminimalkan konflik kepentingan antar lembaga.
Kaitannya dengan
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, hukum pengelolaannya meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya wilayah pesisir dan laut. Kelembagaan kelautan dan perikanan di Indonesia meliputi kelembagaan pemerintah, swasta dan masyarakat, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten maupun kota. Kelembagaan pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, regulator dan dinamisator dalam pembangunan kelautan dan perikanan.
Fungsi-fungsi
tersebut dijalankan dalam rangka implementasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 di bidang kelakutan dan perikanan.
Lembaga yang bertanggungjawab atas
pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah Departemen Kelautan dengan
58
seluruh jajarannya sampai ketingkat pemerintah terendah. Namun keberadaannya, juga memerlukan dukungan yang kuat dan baik dari semua lembaga pemerintah yang terkait, seperti: Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan keamanan, Departemmen Koperasi dan pengusaha kecil serta Depatemen Departemen lain yang terkait. Selain lembaga formal di pemerintahan, juga terdapat beberapa lembaga formal seperti perkoperasian nelayan, nelayan dan pengusaha perikanan seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), juga memiliki peranan penting terhadap pembangunan perikanan laut secara menyeluruh Purwaka (2003) menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap terdapat berbagai kelembagaan pemerintah yang terlibat, karena sifatnya yang multi sektoral dan multi dimensional.
Kelembagaan-
kelembagaan tersebut melakukan kegiatan sesuai dengan mandat hukum masingmasing tetapi belum terkoordinasi dengan baik, sehingga pembangunan yang dilaksanakan bersifat parsial dan seringkali menimbulkan eksternalitas negatif antara satu dengan lainnya. Kelembagaan kelautan dan perikaan akan kuat dan tangguh, mantap dan tidak goyah apabila dalam pembangunan ada kejelasan tujuan yang ingin dicapai, hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja pembangunan kelautan dan perikanan, yang tercermin dalam tata kelembagaan (institutional arrangement) dan kerangka kerja/mekanisme kelembagaannya (institutional framework). Disisi lain kelembagaan kelautan dan perikanan harus fleksibel dalam mengikuti dinamika pembangunan kelautan dan perikanan yang saat ini dapat dikembangkan berdasarkan suatu disain kelembagaan yang mampu mengoptimalkan peran sektor kelautan dan perikanan. Suatu bentuk kelembagaan yang efektif dan efisien akan mendatangkan suatu keberhasilan dalam industri penangkapan ikan. Bentuk kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan swasta akan mampu mengoperasikan kegiatan penangkapan dengan optimal. Koentjaranigrat (1974) menandaskan bahwa kelembagaan masyarakat atau lembaga sosial disebut sebagai pranata sosial yang meliputi serangkaian kegiatan tertentu, berpusat pada suatu kelakuan berpola yang mantap, bersama-sama dengan sistem norma dan tata kelakuan serta peralatan fisiknya yang dipakai dan juga partisipan (orang-orang yang mendukungnya). Lebih lanjut Koentjaranigrat
59
(1979) membagi kelembagaan kedalam 8 (delapan) golongan sebagai berikut: (1) Kinship/Domestic institutions: memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan; (2) Economic institution: memenuhi pencarian hidup, memproduksi, menimbun, mendistribusi harta benda; (3) Educational institution: memenuhi kebutuhan penerangan dari pendidikan manusia agar menjadi anggota masyarakat yang berguna; (4) Scientific institutions: memenuhi kebutuhan ilmiah manusia dan menyelami alam semesta; (5) Estetic dan rekreational: memenuhi kebutuhan manusia menyatakan keindahan dan rekreasi; (6) Religious institution: memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan dengan Tuhan dan alam gaib; (7) Political institution: memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaaran atau kehidupan bernegara; (8) Somatic institution: memenuhi jasmaniah manusia. Menurut Uphoff (1986) kelembagaan/organisasi terdiri atas dua aspek, yakni: “aspek kelembagaan” (aspek kultural) dan “aspek keorganisasian” (aspek struktural). Aspek kultural merupakan aspek yang dinamis yang berisikan hal-hal yang abstrak, dan merupakan jiwa kelembagaan; yang berupa nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek struktural merupakan aspek yang statis namun lebih visual yaitu berupa struktur, peran, keanggotaan, hubungan antar peran, integrasi antar bagian, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain. Gabungan antara keduanya akan membentuk “perilaku kelembagaan” atau “kinerja kelembagaan”. Lebih lanjut Uphoff (1986) menandaskan bahwa analisis kelembagaan pada sebuah di desa dilakukan pada tiga level, yaitu: (1) level superstruktur, yaitu mempelajari berbagai aturan dan kebijakan yang diciptakan pemerintah serta kondisi sosial, ekonomi, politik dan lingkungan alam yang memiliki pengaruh kepada bagaimana berjalannya sebuah kelembagaan/organisasi; (2) level desa, yaitu mempelajari karakteristik sosial ekonomi masyarakat dimana kelembagaan tersebut hidup; (3) level internal kelembagaan, yaitu mempelajari secara mendalam kondisi dan keberadaan kelembagaan yang ada di desa satu per satu. Colleta et al. (2000) menyatakan pengembangan kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari kapital sosial yang ada. Kepercayaan, hubungan sosial dan norma
60
merupakan tiga komponen penting yang mampu menjadi perekat elemen masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan baik maka kapital sosial akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan efisien dalam melaksanakan pembangunan. Pendekatan resolusi konflik alternatif atau yang dikenal dengan ADR menurut Hadikusuma (1992) telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia. Proses resolusi konflik secara tradisional dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam mayarakat. Konsensus dan kompromi yang menjadi inti dari ADR sesuai dengan pendekatan musyawarah dan mufakat yang dipandang sebagai mekanisme pengambilan keputusan resolusi konflik dari masyarakat Indonesia sendiri. Menurut Santoso dan Hutapea (1992), terdapat beberapa alasan yang dapat dilihat sebagai peluang pengembangan ADR di Indonesia, yaitu: (1) faktor ekonomis. ADR memiliki potensi sarana resolusi yang lebih ekonomis, baik ditinjau dari aspek biaya dan waktu; (2) faktor ruang lingkup yang dibahas. Adar memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel.
Hal ini dapat terjadi karena aturan main dapat
dikembangkan dan ditentukan oleh para pihak yang berkonflik sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya; (3) faktor keahlian. ADR memiliki potensi untuk menyelesaikan konflik-konflik yang sangat rumit yang disebabkan oleh substansi kasus yang penuh dengan persoalan-persoalan ilmiah karena dapat diharapkan adanya pihak ketiga yang ahli di bidangnya sebagai penengah langsung; (4) faktor membina hubungan baik. ADR mengandalkan cara-cara resolusi koperatif sehingga sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan hubungan baik para pihak yang telah berlangsung maupun yang akan datang. Hadikusuma (1992) menandaskan bahwa jika dibandingkan proses resolusi konflik melalui ADR sebagai model resolusi konflik antara Indonesia dan Amerika, keduanya mempunyai latar belakang historis yang berbeda. ADR di Indonesia merupakan bagian dari tradisi masyarakat yang diikuti secara turun temurun dan bagian dari budaya lokal, sedangkan di Amerika merupakan bentuk baru dari strategi konflik yang sengaja diciptakan untuk menghindari resolusi konflik melalui pengadilian/litigasi yang dinilai banyak kelemahannya.
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Secara komprehensif, penelitian dilakukan sejak bulan Agustus-Desember 2008 pada tahap I (satu) dan dilanjutkan pada bulan Januari-Juni 2009 untuk penelitian tahap II. Penelitian dilakukan pada 3 (tiga) kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan. Pemilihan desa atau daerah penelitian dilakukan secara purpossive yaitu wilayah yang merupakan basis aktor yang terlibat dalam konflik perikanan tangkap, yaitu: (1) Desa Dirgahayu (2) Desa Hilir Muara (Kabupaten Kotabaru) (3) Desa Takisung, (4) Tabanio (5) Pagatan Besar (Kabupaten Tanah) (6) Desa Wiritasi (Kabupaten Tanah Bumbu). Peta wilayah penelitian disajikan pada Gambar 5. 3.2 Tahapan Penelitian Penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu (1) Survai PISCES merupakan tahap deskripsi yang terdiri dari: identifikasi konflik dan eskalasi konflik, pemetaan konflik, penggambaran akar masalah, tipologi dan faktor penyebab konflik serta peran kelembagaan yang menangani konflik, (2) Survai persepsi merupakan tahap preskripsi yaitu penyusunan komponen analisis SEM dan merumuskan model pengelolaan konflik. 3.3 Jenis dan Sumber Data Berdasarkan jenisnya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) jenis data, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif merupakan data yang berupa angka-angka untuk kebutuhan analisis dalam penelitian ini, meliputi: perkembangan jenis alat tangkap, produksi perikanan, jumlah kapal penangkap ikan, jumlah nelayan. Data kualitatif meliputi deskripsi jenis ikan, jenis alat tangkap ikan, jenis konflik, penyebab konflik, aktor yang terlibat, sejarah/kronologis kejadian, tempat
kejadian, akar masalah, resolusi
konflik yang dilakukan, peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah penelitian, dokumentasi surat kesepakatan serta kelembagaan sosial masyarakat baik formal maupun non formal.
62
111°
114°
117°
6°
6° 0°
0°
3°
3°
P. K ALIMA NTAN
3°
3°
111°
114°
117°
Gambar 5 Peta tiga kabupaten di provinsi Kalimantan Selatan yang menjadi lokasi penelitian
63
Data kualitatif yang ditransformasi menjadi kuantitatif melalui survei persepsi meliputi: persepsi terhadap faktor penyebab konflik, tingkat kepuasan terhadap teknik resolusi konflik yang digunakan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan tangkap, pemahaman masyarakat tentang pengelolaan sumber daya perikanan tangkap dan persepsi masyarakat tentang pengelolaan sumber daya perikanan tangkap berasaskan keadilan. Data yang digunakan bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan di lapangan, pada tahap I (survei PISCES) yang berfungsi untuk melakukan identifikasi terhadap konflik perikanan tangkap meliputi posisi konflik (PGIE), akar permasalahan konflik meliputi sumber konflik dan tipologi konflik, perkembangan konflik (times line), hubungan antar actor dan lembaga pengelolaan konflik (institutional wheel). Data tersebut diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) terhadap beberapa orang informan kunci (key informan) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) dan observasi. Pada tahap II (survei persepsi) yang berfungsi untuk identifikasi model pengelolaan konflik terhadap faktor penyebab konflik perikanan tangkap, resolusi konflik dan outcome. Data tersebut diperoleh menggunakan kuisioner terstruktur dilakukan secara purposive terhadap beberapa orang responden yang dianggap mengetahui permasalahan yang diteliti.
Responden terdiri atas personal dari
DKP, Lanal, Polair, DPR, PPI, kemudian juga Kepala Desa, tokoh masyarakat, nelayan lokal yang terdiri atas pemilik kapal, ABK, pedagang penampung, nelayan andon, anggota organisasi nelayan (POKMASWAS, INSAN, AMNES, HNSI), anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (WALHI), serta akademisi. Data dikumpulkan dari 200 responden, sesuai dengan ketentuan yang ditandaskan oleh Solimun (2002) yang menyatakan bahwa agar diperoleh analisis jalur stabil maka jumlah sampel paling tidak sebanyak 5 kali jumlah parameter yang ada dalam model. Model yang dirumuskan pada penelitian ini (path coeffisien)
β
= 2 dan
mempunyai koefisien jalur
γ = 17, sedangkan error variance yang berkaitan
dengan variable endogen (y) = 2 dan covarian mencapai 20 buah, sehingga parameter ideal berjumlah 40 buah. Dengan demikian maka jumlah responden sama dengan ukuran sampel yaitu sebanyak 200 (= 5 kali 40 buah parameter).
64
Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait terdiri dari data produksi, dokumen surat pernyataan resolusi konflik serta penelusuran pustaka terhadap hasil penelitian terdahulu serta klipping surat kabar. 3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data primer Pengumpulaan data primer (konflik dan resolusi konflik) dilakukan dengan pendekatan PISCES (participatory institutional survei and conflict evaluated exercise) yang dikembangkan Bennett dan Jolley (2000). PISCES terdiri dari empat bagian, yaitu: (1) Participatory Geographic Information Exercise (PGIE) Metode ini menggunakan spot mapping atau sketch mapping untuk memperoleh informasi dasar keadaan geografis wilayah yang digambarkan dalam bentuk peta transek. PGIE sangat cocok digunakan untuk menggambarkan wilayah penelitian yang relatif sempit. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu menggambarkan peta lokasi kejadian terjadinya kasus konflik perikanan tangkap.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara snowballing melalui key
informan yang mengetahui secara langsung atau yang terlibat dalam konflik atau secara tidak langsung berdasarkan dokumen-dokumen di masa lalu serta klipping surat kabar. (2) Time Lines Metode ini untuk mengumpulkan data perkembangan perikanan tangkap yang terkait dengan konflik yang pernah terjadi di masa lalu dan disusun berdasarkan waktu kejadiannya. Dalam penelitian ini data yang dihimpum meliputi sejarah/kronologis konflik perikanan tangkap termasuk perubahan teknologi alat tangkap, implementasi suatu peraturan, runtutan waktu terjadinya konflik serta perkembangan resolusi konflik yang dilakukan. Pengumpulan data dilakukan melalui data sekunder yang tercatat pada instansi terkait seperti DKP, TNI AL dan Polair, kemudian dilengkapi dengan data primer yang diperoleh dengan cara snowballing terhadap key informan yang mengetahui secara langsung atau yang terlibat dalam konflik atau secara tidak langsung berdasarkan cerita dimasa lalu di masa lalu serta klipping surat kabar.
65
(3) Institutional Wheels Metode ini menggambarkan pola hubungan antar kelompok. Metode ini sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi konflik yang muncul antar kelompok. Selain itu dalam institutional wheels dapat digambarkan peranan kelompok dan organisasi, pengaruh masing-masing pihak yang terkait terhadap pihak yang lain, serta dampak hubungan tersebut baik yang bersifat positif maupun negatif. Data yang terhimpun dalam bentuk pemetaan konflik perikanan tangkap. Pengumpulan data melalui data sekunder terhadap dokumentasi resolusi konflik atau surat pernyataan tentang kesepakatan penyelesaian konflik yang tercatat pada instansi terkait seperti Dinas Perikanan, TNI AL dan Polair serta dokumentasi dari pelaku konflik, kemudian dilengkapi dengan data primer yang diperoleh dengan cara snowballing melalui key informan yang menuntun meberikan petunjuk terhadap informan berikutnya atas rekomendasi informan sebelumnya sehingga dapat diketahui informan yang mengetahui secara langsung atau yang terlibat dalam konflik ataupun yang tidak terlibat langsung, namun mengetahui kejadian dimasa lalu. (4) Semi Structured Interview (SSI) Semi Structured Interview adalah pola pertanyaan berupa daftar pertanyaan (kuisioner) terstruktur atau pedoman wawancara (interview guide) dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview) terhadap beberapa orang informan kunci (key informan). Daftar pertanyaan (kuisioner) merupakan penuntun mengawali pertanyaan yang kemudian berkembang menjadi pertanyaan terbuka. Pertanyaan dimaksudkan untuk mengumpulkan data identifikasi konflik, identifikasi akar permasalahan konflik yang dikelompokan berdasarkan pola atau tipologi konflik (Charles 1992) dan sumber konflik (Gorre 1999). Pada tahap kedua, survey persepsi ditujukan untuk membangun model pengelolaan konflik yang terdiri dari variabel laten KONFLIK, RESOLUSI dan OUTCOME menurut persepsi responden yang dilakukan secara purposive terhadap beberapa orang responden. Responden terdiri dari DKP, Lanal, Polair, anggota DPR, PPI, Kepala Desa, tokoh masyarakat, nelayan lokal yang terdiri dari pemilik kapal, ABK, pedagang penampung, nelayan andon, organisasi nelayan
66
(POKMASWAS, INSAN, AMNES, HNSI), Lembaga Swadaya Masyarakat (WALHI), serta akademisi. Pengumpulan data pada tahap survey persepsi dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner terstruktur dengan daftar pertanyaan tertutup dengan skala ordinal 1-5 item pernyataan (Lampiran 8), hal ini ditujukan untuk memenuhi Software Lisrel dari Joreskog dan Sorborn (2005) yang menyatakan asumsi tentang banyaknya nilai untuk variable lebih baik menggunakan skala minimal 5 (lima) butir.
Jenjang yg cocok sebenarnya
tergantung pada populasi penelitian, semakin banyak smakin lengkap, contohnya untuk kelompok masyarakat terdidik dapat menjawab lebih tajam, namun pada masyarakat pedesaan jawaban berjenjang 3 (tiga) atau 5 (lima) adalah sesuai. Dalam penelitian ini menggunakan skala likert (lima kategori). 3.4.2 Data sekunder Metode pengumpulan data sekunder yaitu data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung, beberapa catatan yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Data sekunder ini meliputi perkembangan jenis alat tangkap, perkembangan
produksi
perikanan
tangkap
tahunan,
dokumentasi
surat
persetujuan resolusi konflik, dokumentasi regulasi dan informasi pendukung lainnya yang erat kaitannya dengan penelitian. Data sekunder diperoleh melalui instansi DKP, Polair, TNI AL, Kepala Desa dan pelaku dokumen surat pernyataan kesepakatan dari pelaku konflik. 3.5 Variabel Penelitian Variabel penelitian terdiri dari tiga kelompok yaitu variabel faktor penyebab konflik, variabel resolusi konflik dan variabel outcome. Jenis konflik perikanan tangkap yang berhasil diidentifikasi pada survai PISCES di lokasi penelitian yaitu: konflik alat tangkap dan konflik daerah tangkap. Tidak semua alat tangkap yang digunakan oleh nelayan menyebabkan konflik. Alat tangkap yang dipandang atau dipersepsikan nelayan merupakan alat tangkap ramah lingkungan dan tidak melanggar Undang-Undang dan tidak berakibat over fishing tidak berpotensi terjadinya konflik seperti alat tangkap trammel net, pancing, bubu, rawai,
67
perangkap, jaring lingkar, rakang serta penggunaan alat tangkap yang memiliki kapasitas yang sama dan digunakan pada jalur yang sama antak kelompok nalayan tidak berpotensi sebagai konflik. Konflik perikanan tangkap yang terjadi tercakup ke dalam 9 kasus yaitu: (1) kasus purse seine, (2) kasus daerah tangkap, (3) kasus pengambilan teripang dan
kerang mutiara, (4) kasus lampara dasar, (5) kasus bagan apung, (6) kasus seser modern, (7) kasus gill net, (8) kasus penggunaan bom, (9) kasus cantrang. 3.5.1
Indikator faktor penyebab konflik (KONFLIK) Berdasarkan analisis tipologi konflik pada penelitian tahap I (survei
PISCES) terdapat 11 indikator atau faktor penyebab konflik yaitu: kondisi perekonomian masyarakat (X1), banyak sedikitnya pihak yang terlibat (X2), keberadaan pihak yang bertolak belakang (X3), isu yang berkembang di masyarkat (X4), jumlah nelayan (X5), kompetesi dalam pemanfaatan sumberdaya (X6), keberadaan tokoh dalam konflik (X7), persepsi masyarakat terhadap stok (X8) adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (X9), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (X10), latar belakang budaya dan adat (X11). Pada tahap II indikator penyebab konflik perikanan tangkap yang diukur melalui survei persepsi responden dengan menggunakan pengukuran skala ordinal 1-5 (Lampiran 8) 3.5.2
Indikator kepuasan terhadap teknik resolusi konflik (RESOLUSI) Berdasarkan pemetaan teknik resolusi konflik pada tahap I dan mengacu
pada teknik resolusi konflik yang didopsi dari Priscoli (2002) terdapat beberapa indikator tingkat kepuasan teknik resolusi konflik perikanan tangkap yang telah dilakukan di daerah penelitian yaitu: litigasi (X1) tercermin pada pertanyaan 1 sampai 2, negosiasi (X2) tercermin pada pertanyaan 3 sampai 5, fasilitasi (X3) tercermin pada pertanyaan 6 sampai 7, avoidance (X4) tercermin pada pertanyaan 8 sampai 10. Persepsi responden dengan menggunakan pengukuran skala ordinal 1-5 (Lampiran 8)
68
3.5.3 Indikator outcome (OUTCOME) Pengelolaan sumber daya perikanan berbasis resolusi konflik terdiri dari tiga indikator yaitu (1) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap, tercermin pada pertanyaan nomor 1 sampai 8; (2) pemahaman pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan, tercermin pada pertanyaan nomor 9 sampai 29; (3) pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkeadilan, tercermin pada pertanyaan nomor 30 sampai 37 (Lampiran 8) 3.6 Analisis Data 3.6.1 Trend potensi sumberdaya perikanan Untuk memperlihatkan hasil tangkapan per unit upaya, CPUE atau c/f, sebagai fungsi upaya (f) adalah model linear yang disarankan oleh Schaefer (Sparre dan Venema 1992) : ci/fi = a + bxfi,
jika fi -a/b………………………………….(1)
Tahap-tahap yang perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan suatu sumberdaya adalah: 1) Hasil tangkapan per upaya penangkapan (Catch per Unit Effort) CPUE catch
i=1,2,….,n………………………………… (2)
i
effort i
Keterangan : CPUEi = hasil tangkapan per upaya penangkapan dalam tahun i catchi
= hasil tangkapan dalam tahun i
efforti
= upaya penangkapan dalam tahun i
2) Standardisasi upaya penangkapan Bila di suatu daerah terdapat berbagai alat tangkap maka salah satunya harus dipakai sebagai standar dan alat tangkap lain distandardisasi terhadap alat tangkap tersebut. Hal ini disebabkan karena kemampuan tangkap tiap alat tangkap berbeda-beda. Dengan demikian, standardisasi ini bertujuan untuk menyeragamkan satuan upaya yang berbeda menjadi satu satuan upaya yang seragam (Gulland 1982 diacu dalam Oemry 1993).
Upaya dapat dinyatakan
sebagai jumlah seluruh satuan perlakuan antara kemampuan penangkapan
69
(fishing power) setiap tahun dengan waktu penangkapan atau dengan jumlah satuan operasi.
Rumus yang dipakai untuk menstandardisasi upaya
penangkapan adalah sebagai berikut (Gulland 1982) :
(1) Menghitung Fishing Power Index (FPI) FPI CPUE dst i
…………………………………………(4)
CPUEi st
Keterangan : FPI
= Fishing Power Index
CPUEdst = CPUE alat tangkap yang akan distandardisasi CPUEst = CPUE alat tangkap standar (2) Menghitung Upaya Standar fs = FPI x fdst …………………………………………………(5) Keterangan : fs
= upaya penangkapan hasil standardisasi
fdst = upaya penangkapan yang akan distandardisasi 3) Analisis CPUE Nilai CPUE dihitung kembali dengan nilai upaya penangkapan yang baru, yaitu nilai upaya penangkapan setelah dilakukan standardisasi upaya penangkapan. Adapun nilai hasil tangkapan tetap sama. CPUEsi
catchi effort i
i=1,2,….,n……………………………..…(6)
Keterangan : CPUEsi = hasil tangkapan per upaya penangkapan yang telah distandardisasi dalam tahun i (ton/trip) catchi
= hasil tangkapan dalam tahun i (ton)
efforti
= upaya penangkapan alat tangkap yang telah distandardisasi ditambah dengan upaya penangkapan alat tangkap standar dalam tahun i (trip)
70
4) Analisis regresi Untuk mendapatkan gambaran pengaruh dari upaya penangkapan (f) terhadap hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) digunakan analisis regresi.
Persamaan regresi linear sederhana dimaksudkan untuk
mengetahui besarnya pengaruh antar peubah, dan bisa juga untuk mengetahui (meramal) nilai satu atau lebih peubah (Harahap 1987 diacu dalam Batubara 1999). Analisis terhadap hubungan antara upaya penangkapan (effort) dengan CPUE diperoleh dengan menggunakan analisis kuadrat terkecil, yaitu dengan cara meminimumkan error (simpangan). Hubungan fungsi tersebut adalah : Y = + x + e………………………………………………………..(7) Keterangan : Y
= peubah tak bebas (CPUE) dalam ton/trip
x
= peubah bebas (effort) dalam trip
e
= simpangan
, = parameter regresi penduga nilai a dan b Kemudian diduga dengan fungsi dugaan yaitu : Ŷ = a + bx…………………………………….………………(8) sehingga e = Y – Ŷ, dan diperoleh Σe2 = (Y – Ŷ)2. Dengan “metode kuadrat terkecil” nilai Σe2 diminimumkan. Nilai e akan minimum bila turunan pertama fungsi sama dengan nol, sehingga nilai dugaan dapat diperoleh sebesar a dan b. Nilai a dan b selanjutnya dapat ditentukan, yaitu (Hayat, 1997) : b
n xy n x
2
x y ( x) 2
a
y
- b x n
Setelah diketahui nilai a dan b, selanjutnya dapat ditentukan beberapa persamaan yang diperlukan, antara lain adalah (Sparre dan Venema 1992) : (1) Hubungan antara CPUE dengan upaya penangkapan (f) : CPUE = exp (a + bf)
71
(2) Hubungan antara hasil tangkapan (c) dengan upaya penangkapan (f) : c = CPUE x f c = af + bf2 (4) Tingkat pengupayaan dan tingkat pemanfaatan Tingkat pengupayaan alat tangkap dari suatu sumberdaya ikan dapat diketahui setelah didapatkan nilai upaya optimum.
Tingkat
pengupayaan dihitung dengan cara mempersenkan jumlah upaya penangkapan pada tahun tertentu terhadap nilai upaya penangkapan optimum. TPu
f f opt
100%
Keterangan : TPu =
tingkat pengupayaan
f
upaya penangkapan (trip)
=
fopt = 3.6.2
upaya penangkapan optimum (trip)
Identifikasi konflik Identifikasi konflik dilakukan dengan pendekatan Bennett dan Jolley
(2000), yaitu: (1) spot mapping atau sketch mapping untuk memperoleh informasi dasar keadaan geografis wilayah yang digambarkan dalam bentuk peta transek, (2) time lines yaitu analisis sejarah/kronologis konflik perikanan tangkap termasuk perubahan teknologi alat tangkap, implementasi suatu peraturan, runtutan waktu terjadinya konflik. Kemudian dilengkapi dengan pendekatan yang dikembangkan oleh Fisher et al. (2000) melalui penahapan konflik yang bertujuan untuk melihat tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik, disajikan dalam bentuk grafik menunjukkan intensitas konflik yang digambarkan dalam skala waktu tertentu. 3.6.3 Memetakan permasalahan konflik Akar masalah konflik dapat ditinjau berdasarkan tipologi konflik dan sumber konflik. Tipologi konflik secara umum dikelompokan menjadi empat kelompok Charles (1992), yaitu: (1) yurisdiksi perikanan, meliputi perbedaan
72
kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikan perikanan, antara lain: openacces, manajemen terpusat, hak pengelolaan
kawasan, pengelolaan berbasis
masyarakat, kuota individu, dan privatisasi; (2) mekanisme manajemen, meliputi isu-isu relatif jangka pendek yang muncul dalam pengembangan dan implementasi perencanaan manajemen perikanan, keterlibatan nelayan dan pemerintah dalam konflik saat eksploitasi dan proses konsultasi dan pengawasan perikanan; (3) alokasi internal, termasuk konflik yang muncul dalam sistem perikanan secara spesifik, antar kelompok dan alat tangkap yang berbeda, seperti antara nelayan, pengolah dan pihak-pihak lain;
dan (4) alokasi eksternal,
menyangkut konflik yang muncul antara pemain perikanan internal dan eksternal, seperti dengan kapal asing, pembudidaya, industri non perikanan dan lainnya. Penggambaran akar permasalahan yang mengacu pada sumber konflik kategori Gorre (1999), yaitu (1) masalah hubungan, meliputi perbedaan persepsi karena faktor emosional yang kuat, asumsi terhadap perilaku pihak lain, kurang atau tidak ada komunikasi, ataupun adanya perilaku negatif yang berulang; (2) konflik yang disebabkan oleh data, meliputi kurangnya informasi bagi pengguna untuk mengambil keputusan yang tepat; (3) konflik yang terjadi akibat perbedaan kepentingan, meliputi perbedaan kebutuhan antara beragam pengguna dari sumberdaya alam yang sama; (4) Konflik yang disebabkan oleh masalah struktural, meliputi perbedaan kepentingan tidak dapat diselesaikan karena ketidak mampuan salah satu atau beberapa pihak karena adanya hal-hal yang sifatnya eksternal di luar kendali pihak-pihak tersebut; (5) konflik nilai, meliputi perbedaan sistem nilai yang dianut oleh salah satu pengguna dengan nilai yang diterapkan oleh pengguna lain. Penjelasan
terhadap
pendekatan
Gorre
(1999)
dilengkapi
dengan
pendekatan yang dikembangkan oleh Fisher et al. (2000) melalui analisis S-P-K (Sikap-Perilaku-Konteks) digunakan untuk menganalisis bagaimana faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi dan menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak yang berkonflik. Kemudian analogi bawang bombay digunakan untuk memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak yang berkonflik.
73
3.6.4 Model pengelolaan konflik Model pengelolaan konflik dibuat dengan melakukan analisis Structural Equation Modeling (SEM) menggunakan program LISREL
8.30. Alasan
penggunaan program LISREL dalam penelitian ini adalah untuk memudahkan penggunaan, cocok untuk jumlah konstruk yang kecil, memiliki keunggulan dalam hal akurasi, kecepatan dan mudah dioperasikan serta dilengkapi metode statistik untuk data hasil survai yang kompleks sebagaimana yang dinyatakan Wijanto (2007). Selain itu memakai program LISREL dapat membuat diagram jalur dengan mudah dengan menggunakan inference serta membuat syntax secara langsung dari diagram. Teknik analisis SEM merupakan pendekatan terintegrasi antara faktor, model struktural dan analisis path. Disisi lain SEM juga merupakan pendekatan yang terintegrasi antara analisis data dengan konstruksi konsep. Didalam SEM peneliti dapat melakukan tiga kegiatan secara serentak, yaitu pemeriksaan validitas dan reliabilitas instrumen (setara dengan faktor analisis confirmatory), pengujian model hubungan antara variabel laten (setara dengan analisis path), dan mendapatkan model yang bermanfaat untuk prakiraan (setara dengan model struktural atau analisis regresi) (Solimun 2002) Langkah ke 1 Pengembangan model berbasis konsep dan teori Langkah ke 2 Mengkonstruksi diagram path Langkah ke 3 Konversi diagram path ke model struktural Langkah ke 4 Memilih matriks input Langkah ke 5 Memilih masalah identifikasi Langkah ke 6 Evaluasi goodness-of-fit Langkah ke 7 Interpretasi dan modifikasi model
Gambar 6 Langkah-langkah pendekatan SEM (Hair et al. 1998)
74
Dalam SEM variabel kunci yang menjadi perhatian adalah variabel laten atau konstruk laten. Variabel laten ini hanya dapat diamati secara tidak langsung dan tidak sempurna melalui efeknya pada variabel teramati. Terdapat 7 (tujuh) langkah penggunaan SEM (Hair et al. 1998). Secara terperinci dapat dilihat pada Gambar 6. Langkah ke 1: Pengembangan model berbasis konsep dan teori Prinsip di dalam SEM adalah menganalisis hubungan kausal antar variabel eksogen dan endogen.
Disamping dapat dilakukan secara bersamaan untuk
menguji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian. Hubungan kausal adalah apabila terjadi perubahan nilai di dalam suatu variabel akan menghasilkan perubahan dalam variabel lain. Langkah awal di dalam SEM adalah pengembangan model hipotetik yaitu suatu model yang mempunyai justifikasi teori atau konsep. Setelah itu dilakukan verifikasi terhadap model berdasarkan data empirik melalui SEM. Langkah ke 2 : Menyusun path diagram Pada langkah kedua dibuat path diagram. Tujuan penyusunan path diagram ini adalah untuk memudahkan peneliti melihat hubungan kausalitas yang ingin diuji. Apabila hubungan kausal tersebut ada yang belum mantap maka dapat dibuat beberapa model yang kemudian diuji menggunakan SEM untuk mendapatkan model yang paling tepat. Pengembangan path diagram untuk model pengelolaan konflik disajikan pada Gambar 7. Metode resolusi konflik
α2
Penyebab konflik
α4
α1
Kepuasan terhadap teknik resolusi konflik yang digunakan
Jenis konflik
Keterangan:
α1, α3, α4 α5 = Faktor louding α2 = Koefisien korelasi
α3
α5 Outcome
Gambar 7 Model struktural antara konflik, teknik resolusi konflik, kepuasan terhadap resolusi konflik dan outcome (diadopsi dari Barki et al. 2001)
75
Langkah ke 3: Konversi diagram alir ke dalam persamaan Setelah digambarkan dalam sebuah diagram alir pada langkah kedua maka pada langkah berikutnya dilakukan konversi ke dalam rangkaian persamaan. Persamaan yang dibangun ada dua macam; (1) Persamaan struktural Persamaan ini untuk menyatakan hubungan kausalitas antar berbagai konstruk sebagai berikut : Faktor endogen = Faktor eksogen + Faktor Endogen + error Persamaan strukturalnya adalah sebagai berikut : Y1 = β1 Y2 + β2 Y 3 + β3 Y 4 + β1 Y 5 + ð1 ........................................(9) Keterangan: Y1 = Faktor endogen Y2 = Faktor eksogen β = Bobot regresi ð = Distrurbance Term (error) (2) Persamaan spesifikasi model pengukuran Pada spesifikasi ini peneliti menentukan variabel mana mengukur faktor (konstruk) mana serta menentukan serangkaian matriks yang menunjukkan korelasi yang dihipotesiskan antar konstruk.
Persamaan untuk model
pengukuran dapat digambarkan sebagai berikut : Variabel = faktor eksogen + error Persamaan strukturalnya adalah sebagai berikut : Variabel 1 (X1) = λ1 Y1 + ε 1 ...................................................................(10) Variabel 2 (X2) = λ2 Y2 + ε 2 ...................................................................(11) Variabel 3 (X3) = λ3 Y3 + ε 3 ...................................................................(12) X1, X2, X3 = Variabel yang disurvei λ
= Loading Factor
ε
= Error
Langkah ke 4 : Memilih matriks input dan estimasi model Pada SEM hanya menggunakan matriks kovarians/matriks korelasi sebagai data input untuk keseluruhan estimasi yang dilakukan.
Matriks kovarians
76
digunakan karena memiliki keunggulan dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi yang berbeda atau sampel yang berbeda, hal ini tidak dapat digunakan analisis korelasi. Menurut Baumgartner dan Homburg (1996) diacu dalam Ferdinand (2002) menyarankan agar menggunakan matriks kovarians pada saat pengujian teori sebab kovarian lebih memenuhi asumsi metodologi dan merupakan bentuk data lebih sesuai untuk memvalidasi hubungan kausalitas. Langkah ke 5: mengantisipasi munculnya masalah identifikasi Salah satu masalah yang dihadapi dalam penggunaan estimasi model kausal adalah masalah identifikasi. Problem identifikasi pada prinsipnya adalah masalah mengenai ketidakmampuan model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Problem identifikasi dapat muncul berupa gejala sebagai berikut : (1) Standard error untuk satu atau beberapa koefisien adalah sangat besar (2) Program tidak mampu menghasilkan matrik informasi yang seharusnya disajikan (3) Munculnya angka-angka yang aneh seperti adanya varian error yang negatif (4) Munculnya korelasi yang sangat tinggi antara koefisien estimasi (dapat lebih dari 0,9) Langkah-langkah untuk menguji ada atau tidak adanya problem identifikasi adalah sebagai berikut: (1) Model diestimasi berulang-ulang, dan setiap estimasi dilakukan dengan menggunakan starting value yang berbeda.
Bila ternyata
hasilnya adalah model tidak konvergen, maka pada titik yang sama harus dilakukan reestimasi (2) Model dicoba diestimasi, kemudian angka koefisien itu ditentukan sebagai suatu fix pada faktor atau variabel kemudian dilakukan estimasi ulang. Apabila estimasi ulang ini overall fit indeknya berubah total dan beberapa sangat besar dari sebelumnya, hal ini diduga terjadi karena terdapat problem identifikasi.
Apabila muncul problem ini, maka disarankan untuk
mempertimbangkan ulang model ini dengan mengembangkan lebih banyak konstruk.
77
Langkah ke 6: evaluasi kriteria goodness of fit Pada langkah ini peneliti harus menggunakan indikator-indikator goodness of fit dalam menilai fit atau tidaknya suatu model. Peneliti tidak boleh hanya menggunakan satu atau beberapa indeks saja untuk menilai suatu model fit, akan tetapi harus mempertimbangkan seluruh indeks. Berikut ini disajikan beberapa indeks sebagai kriteria goodness of fit (Tabel 6). Tabel 6 Goodness of fit statistics No Goodness of Fit Index 1 Chi-square (X2) 2 Significance probability 3 X2/df 4 RMSEA 5 NNFI 6 CFI 7 IFI 8 GFI 9 AGFI 10 PGFI Sumber: Ghozali dan Fuad (2005)
Cut-Off Value Diharapkan kecil > 0,05 < 2,00 < 0,08 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90
(1) Chi-square (X2) Tujuan pengujian chi-square adalah untuk mengetahui apakan matriks kovarian sampel berbeda secara signifikan dengan matriks kovarians estimasi (Santoso 2007).
Menurut Ghozali (2005), chi-square merupakan ukuran
mengenai baik buruknya fit suatu model. Nilai chi-square sebesar 0 menunjukkan bahwa model memiliki fit yang sempurna (perfec fit). Dengan kata lain, uji ini digunakan untuk mengukur overall fit atau kesesuaian model yang dibangun dengan data yang tersedia. Semakin kecil nilai chi-square, semakin baik model itu. (2) Probabilitas signifikansi (Significance probability) Probabilitas digunakan untuk memperoleh peluang yang besar terhadap kemungkinannya terjadi pada dunia nyata.
Nilai probabilitas yang signifikan
adalah yang diharapkan menunjukkan bahwa data empiris sesuai dengan model. Jadi probabilitas signifikan apabila (p) lebih besar daripada 0,05
78
(3) Indeks X2/df Ratio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom 2
(X /df). Nilai yang diperoleh harus lebih rendah dari cut-off model. Byrne (1998) yang diacu dari Ghozali (2005) mengusulkan nilai rasio ini < 2,0 merupakan ukuran fit. Indeks ini menunjukkan fit suatu model. (4) RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation) RMSEA merupakan indikator model fit yang paling informatif. Nilai RMSEA antara 0,05 sampai dengan 0,08 merupakan ukuran yang dapat diterima (Ghozali 2005). (5) NNFI (Non-Nonmed Fit Index) NNFI atau dikenal juga dengan TLI (Tucker Lewis Index).
Nilai ini
digunakan untuk mengatasi permasalahan kompleksitas model, nilai untuk NNFI lebih besar 0,9 (6) CFI (Comparative Fit Index) CFI merupakan indeks yang menunjukkan tingkat fit-nya suatu model yang dibangun. Indeks ini pada dasarnya membandingkan angka NCP (Non Centrality Parameter) pada berbagai model. Berbeda dengan indeks lainnya, indeks ini tidak tergantung pada ukuran sampel. CFI mempunyai range value antara 0 sampai 1. Pada umumnya, nilai diatas 0,9 menunjukkan model sudah fit dengan data yang ada (Bentler and Bonnetts 1990) diacu dalam Ghozali (2005) (7) IFI (Incremental Fit Index) Suatu model dikatakan fit apabila nilai IFI lebih besar 0,9 (Byrne 1998 diacu dalam Ghozali dan Fuad (2005). (8) GFI (Goodness of Fit Indices) Goodness of fit indices (GFI) merupakan suatu ukuran mengenai ketepatan model dalam menghasilkan observed matriks kovarians.
Nilai GFI untuk
menghasilkan model yang fit berkisar antara 0 sampai 1 atau lebih besar 0,9 (Diamantopaulus and Sigauw 2000 diacu dalam Ghozali dan Fuad 2005). (9) AGFI (Adjusted Goodness of Fi Index) Nilai AGFI adalah sama dengan GFI tetapi sudah menyesuaikan pengaruh dengan degrees of freedom pada suatu model. Secara teoritis angka AGFI berkisar antara 0 (poor fit) sampai 1 (perfect fit), dengan pedoman bahwa semakin hasil
79
AGFI mendekati angka 1, akan semakin baik model tersebut dalam menjelaskan data yang ada (Santoso 2007). (10) PGFI (parsimoni goodness of fit index) Nilai batas PGFI (parsimoni goodness of fit index) lebih besar 0,6 model dikatakan baik (Byrne 1998). Langkah ke 7: Interpretasi dan modifikasi model Apabila langkah-langkah sebelumnya sudah dilaksanakan dan model belum memenuhi kriteria good fit maka perlu dilakukan modifikasi model dan di dalam penggunaan indeks modifikasi ini adalah sebagai pedoman untuk melakukan modifikasi terhadap model yang diujikan dengan syarat harus terdapat justifikasi teoritis yang cukup kuat untuk modifikasi. Keunggulan SEM juga dijelaskan oleh Ghozali dan Fuad (2005) bahwa model persamaan struktural adalah generasi kedua teknik multivariate yang memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik recursive maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran mengenai keseluruhan model.
Tidak seperti analisis
multivariate biasa (regresi berganda, analisis faktor), SEM dapat menguji secara bersama-sama : (1) model struktural: hubungan antara konstruk (yaitu variabel yang laten unobserved/variabel yang tidak dapat diukur secara langsung dan memerlukan beberapa indikator atau proksi untuk mengukurnya) independen dan dependen (2) model measurement: hubungan (nilai loading) antara variabel dengan konstruk (faktor).
Digabungkannya pengujian model struktural dan
pengukuran tersebut memungkinkan peneliti untuk : (1) menguji kesalahan pengukuran (measurement error) sebagai bagian yang tak terpisahkan dari SEM (2) melalukan analisis faktor bersamaan dengan pengujian hipotesis. Interpretasi dapat dilakukan setelah memenuhi syarat good fit. Penggunaan SEM bukan untuk menghasilkan teori, tetapi menguji model yang mempunyai pijakan teori yang benar dan baik. Berdasarkan pemikiran ini maka interpretasi dari model dapat diterima atau tidak diperlukan kekuatan prediksi dari model dibandingkan dengan residual yang dihasilkan.
Dengan menggunakan
standardized residual covariance matrix akan dihasilkan nilai residual standar.
80
3.6.5 Peran kelembagaan pengelolaan konflik Evalusi kelembagaan di awali dengan identifikasi resolusi konflik dan institutional wheels yang menggambarkan peranan kelompok dan organisasi, pengaruh masing-masing pihak yang terkait terhadap pihak yang lain, serta dampak hubungan tersebut baik yang bersifat positif maupun negatif selama melakukan resolusi konflik. Identifikasi menyeluruh terhadap peran kelembagaan dalam upaya resolusi (pengelolaan konflik). Israel (1990) memberikan penjelasan mengenai konsep umum tentang lembaga yang meliputi pada semua tingkatan lokal atau masyarakat, unit manajemen proyek, badan atau departemen pusat dan sebagainya. Dalam penelitian ini kelembagaan pengelolaan konflik dikelompokkan berdasarkan kriteria: (1) kelembagaan pemerintah (2) kelembagaan non pemerintah (swasta) dan (3) modal kapital sosial masyarakat pesisir yang sudah melembaga baik berupa tradisi leluhur masyarakat berbagai etnis yang tinggal di wilayah pesisir Kalimantan Selatan dan berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan seperti bentuk kerjasama dalam kelembagaan tradisonal masyarakat nelayan yang mendukung pembangunan perikanan tangkap. Kelembagaan pengelolaan konfik dianalisis secara deskriptif kualitatif mulai dari upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh lembaga tersebut dan apa saja tindakan dan kegiatan yang telah dilakukan serta sinergi diantara kelembagaan. Pengembangan kelembagaan mengacu pada pendekatan Uphoff (1986) yang menekankan pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Berbagai istilah akan muncul, namun demikian semuanya memiliki tujuan peningkatan efektifitas penggunaan sumber daya sehingga pembangunan yang dijalankan akan dapat berhasil. Bagan alir proses penelitian disajikan pada Gambar 8.
81
Mulai Tahap Deskripsi SURVAI PISCES Wilayah konflik Identifikasi konflik ANALISIS KONFLIK Permasalahan konflik
Kasus dan eskalasi konflik
Kelembagaan
ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KONFLIK
Upaya penyelesaian Konflik
SDPT
--------------------------------------------------------------------------------------------------SURVAI PERSEPSI
Faktor penyebab konflik
Tahap Preskripsi
KONFLIK Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDPT
RESOLUSI
Keberlanjutan perikanan tangkap
OUTCOME
Keadilan pemanfaatan SDPT
Teknik resolusi konflik
Analisis Struktural Equation Model
Selesai
Keterangan : Mulai – Selesai Input Konstruk Indikator dan analisis PISCES SDPT
participatory institutional survei and conflict evaluated exercise Sumberdaya Perikanan Tangkap
Gambar 8 Bagan alir proses penelitian model pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan
4 HASIL PENELITIAN 4.1 Keragaan Perikanan Tangkap 4.1.1 Unit penangkapan (1) Kabupaten Kotabaru Alat penangkapan ikan adalah sarana yang merupakan perlengkapan/bendabenda lainnya yang digunakan untuk menangkap ikan. Di perairan Kabupaten Kotabaru beroperasi berbagai alat tangkap, seluruh alat tangkap yang digunakan lebih dari 18 jenis. Keseluruhan alat tangkap pada tahun 2008 berjumlah 8.738 unit (Tabel 7). Sebagian besar jenis alat tangkap yang digunakan sejak tahun 2000-2008 berfluktuasi dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 11.529 ton. Penurunan produksi sejak tahun 2005 yang mana produksi sebesar 7.601 ton akibat dampak berpisahnya Kabupaten Kotabaru dengan Kabupaten Tanah Bumbu.
Alat penangkapan dominan yang dioperasikan di perairan
Kabupaten Kotabaru yaitu trammel net dan jaring insang tetap yang meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan pukat cincin semakin mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tabel 7 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Kotabaru No Jenis alat Tangkap 2000 2001 1 Dogol 2 Pukat cincin 82 593 3 Jaring insang 523 96 Hanyut 4 Jaring lingkar 5 Jaring insang 75 155 Tetap 6 Trammel net 1.402 1.146 7 Bagan tancap 407 729 8 Jaring angkat 23 9 Lainnya 9 Rawai tetap 36 10 Pancing tonda 321 11 Pancing lainnya 34 12 Sero 7 23 13 Jermal 44 14 Bubu 7 15 Perangkap 33 50 Lainnya 16 Penangkap Kepiting 17 Jala tebar 18 Garpu, tombak 1.005 1.579 Total 4.208 4.513 Sumber: DKP Provinsi Kal-Sel 2009
2002
Tahun 2004 2.934 437 437 1.709 1.749
2003
594 103
2005 1.225 998
2006 969 278 419
2007 892 474
2008 790 22 870
152
148
148
352 885
1.140
113 253
2.327
1.143 765 -
2.537 1.153 -
2.537 1.153 -
2.569 800 -
2.459 1.414 -
2.351 839 -
1.468 577 -
23 -
153 1.385 985 -
153 1.095 1.323
181 325 -
206 330 -
122 154 65 -
1.904 -
-
-
-
-
-
19
433
1.582 4.362
1.603 10.110
11.529
266 7601
220 6409
152 5434
347 8738
84
Armada penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan usaha penangkapan ikan yang digunakan oleh para nelayan di Kabupaten Kotabaru. Armada penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru dapat digolongkan menjadi jukung, perahu kecil, motor tempel dan kapal motor. Kapal perikanan adalah kapal/perahu atau alat apung lainnya yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, termasuk untuk melakukan survei/eksplorasi. Pada tahun 2006 berjumlah 3.761 unit. Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukurannya dan jumlah rumah tangga (RTP) penangkapan di laut di Kabupaten Kotabaru dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan di laut Kabupaten Kotabaru tahun 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kategori perahu/kapal Tanpa perahu Jukung Perahu kecil Motor temple Kapal motor <5 GT Kapal motor 5-10 GT Kapal motor 10-20 GT Kapal motor 20-30 GT Kapal motor 30-50 GT Kapal motor 50-100 GT Jumlah
Jumlah Unit
RTP
723 170 11 2.285 326 243 3 3.761
225 577 136 9 1.819 169 60 15 6 9 3.026
Persentase Unit RTP 7,4 19,2 19,0 4,6 4,4 0,3 0,2 60,7 60,1 8,6 5,5 6,5 1,9 0,07 0,4 0,1 0,2 100 100
Sumber: Statistik perikanan 2007
Berdasarkan Tabel 8 jenis kapal yang dominan yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan adalah kapal motor yang berkekuatan kurang dari 5 GT sebanyak 2.285 unit (60,7%).
Kapal tersebut memiliki daya jangkau
penangkapan kurang dari 4 mil yang digunakan untuk mengoperasikan trammel net dan dogol/lampara dasar, sedangkan jukung dan perahu kecil digunakan pada kawasan sungai, muara dan daerah pesisir. Kapal yang berkekuatan sekitar 10 GT memiliki daya jangkauan sekitar 10 mil digunakan oleh nelayan gillnet, sedangkan kapal yang berkeuatan 10 GT keatas daya jelayah mencapai 30 mil digunakan oleh nelayan mini purse seine dan nelayan pancing. Biasanya nelayan menggunakan mesin doble masing-masing berkekuatan 24 PK, dengan mesin puso D 6 silinder. Di Kabupaten Kotabaru masih ada (7,4 %) nelayan yang tidak
85
memiliki perahu, mereka bekerja sebagai ABK kepada nelayan mini purse seine dan nelayan gillnet . (2) Kabupaten Tanah Laut Perkembangan alat tangkap perairan laut di Kabupaten Tanah Laut selama 9 tahun terakhir (2000-2008) berfluktuasi dengan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 4.874 ton dan produksi terendah pada tahun 2001 sebesar 1.178 ton. Namun pada tahun 2008 produksi perikanan tangkap di Kabupaten Tanah Laut mulai menunjukkan peningkatan, hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas perikanan tangkap mulai berangsur pulih setelah berakhirnya konflik perikanan tangkap pada tahun 2007. Berdasarkan Tabel 9 alat penangkapan yang dominan digunakan di Kabupaten Tanah Laut adalah jaring insang hanyut dan dogol. Berdasarkan keterangan Dinas perikanan yang termasuk ke dalam jenis dogol adalah lampara dasar. Tabel 9 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Tanah Laut No Jenis alat 2000 2001 tangkap 1 Dogol 2 Pukat pantai 94 306 3 Pukat cincin 4 Jaring insang 378 334 Hanyut 5 Jaring lingkar 195 126 6 Jaring insang tetap 7 Trammel net 170 148 8 Bagan tancap 32 12 9 Serok 398 91 10 Rawai tetap 419 19 11 Jermal 235 142 Total 2.653 1.178 Sumber: DKP Provinsi Kal-Sel 2009
2002
2003
Tahun 2004
2005
2006
2007
2008
803 448
774 803 448
774 803 10 448
533 34 22 125
582 300 43 262
543 172 43 278
891 53 1076
312 810
312 860
312 860
133 164
159 48
129 104
55 146
465 5 400 395 402 4.040
465 5 400 395 402 4.864
465 5 400 395 402 4.874
98 8 148 282 38 1.585
193 545 380 45 2.557
139 362 278 31 2.079
347 276 58 3.206
Kabupaten Tanah Laut memiliki kapal penangkap ikan yang mempunyai ukuran bervariasi. Pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 1.669 unit (Tabel 10). Kapal yang dominan digunakan nelayan di Kabupaten Tanah Laut berkekuatan kurang dari 5 GT yang digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap jaring insang hanyut dan dogol/lampara dasar. Pada tahun 2006 masih terdapat nelayan tanpa menggunakan perahu sebanyak 538 RTP (24,4%), nelayan tersebut melakukan usaha perikanan pukat pantai tanpa menggunakan perahu.
86
Tabel 10 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan di laut Kabupaten Tanah Laut tahun 2006 No 1 2 3 4 5
Kategori perahu/kapal Tanpa perahu Perahu sedang Motor tempel Kapal motor <5 GT Kapal motor 5-10 GT
Jumlah Unit
RTP
78 221 1.045 325 1.669
538 78 221 1.045 325 2.207
Persentase Unit RTP 24,4 4,7 3,5 13,2 10,1 62,6 47,3 19,5 14,7 100 100
Sumber: Statistik perikanan 2007
(3) Kabupaten Tanah Bumbu Di perairan Kabupaten Tanah Bumbu beroperasi berbagai jenis alat tangkap. Seluruh alat tangkap ikan yang digunakan lebih dari 16 jenis, diantaranya dogol/lampara dasar, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring lingkar, trammel net dan bagan tancap sedangkan perangkap dan penangkap kepiting sudah mulai punah sejak tahun 2005 (Tabel 11). Tabel 11 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Tanah Bumbu No Jenis alat tangkap 1 Dogol 2 Pukat cincin 3 Jaring insang hanyut 4 Jaring lingkar 5 Jaring kritik 6 Trammel net 7 Bagan tancap 8 Serok 9 Rawai tetap 10 Pancing tonda 11 Pancing lainnya 12 Sero 13 Jermal 14 Bubu 15 Perangkap lainnya 16 Penangkap kepiting Total
2004 157 10 26 6 17 50 39 18 171 194 194 882
2005 392 22 223 33 626 619 599 75 841 5 62 64 3.561
Tahun 2006 376 43 406 332 315 448 263 17 162 360 114 204 176 3.216
2007 366 43 386 322 285 308 248 17 162 122 114 194 206 2.773
2008 366 53 540 227 255 123 233 1.797
Sumber : DKP Provinsi Kal-Sel (2009)
Kabupaten Tanah Bumbu memiliki kapal penangkap ikan yang mempunyai ukuran bervariasi. Pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 2.950 unit (Tabel 12). Kapal perikanan yang dominan digunakan di perairan Kabupaten Tanah Bumbu
87
adalah motor tempel sebesar 1.795 unit (60,8%), yang berarti daya jelajahnya hanya terbatas di sekitar pantai dan digunakan oleh nelayan bagan tancap, jermal dan pancing. Tabel 12 Jumlah kapal penangkap ikan menurut jenis/ukuranya dan jumlah RTP penangkapan laut di kabupaten Tanah Bumbu tahun 2006 No
Kategori perahu/kapal 1 Jukung 2 Perahu besar 3 Motor temple 4 Kapal motor <5 GT 5 Kapal motor 5-10 GT Jumlah
Jumlah Unit RTP 297 185 210 138 1.795 1.431 389 203 259 183 2.950 2.140
Persentase Unit RTP 10,1 8,4 7,1 6,4 60,8 66,9 13,2 9,5 8,8 8,6 100 100
Sumber: Statistik perikanan 2007
4.1.2 Produksi Produksi perikanan laut terbesar di Kalimantan Selatan pada tahun 2006 adalah di Kabupaten Kotabaru sebesar 448.310.108 ton. Sedangkan di Kabupaten Tanah laut sebesar
299.121.900 ton dan Kabupaten Tanah Bumbu sebesar
207.216.400. Produksi perikanam laut di Kalimantan Selatan dibagi menjadi jenis ikan dan non ikan (Tabel 13). Jumlah hasil tangkapan dominan pada tahun 2006 di Kabupaten Kotabaru adalah kembung sebesar 62.135.252 ton untuk jenis ikan dan udang windu sebesar 119.398.114 ton untuk jenis non ikan. Demikian pula di Kabupten Tanah Laut jumlah hasil tangkapan dominan adalah kembung sebesar 21.262.800 ton dan udang windu sebesar 55.435.500 ton. Sedangkan Kabupaten Tanah Bumbu hasil tangkapan dominan adalah teri sebesar 23.916.200 ton untuk jenis ikan dan udang putih sebesar 10.883.500 ton untuk jenis non ikan. Jenis ikan yang tersedia di Kabupaten Kotabaru dan tersedia juga di Kabupaten Tanah Laut dan Tanah Bumbu antara lain digolongkan berdasarkan tempat hidupnya yaitu: (1) ikan demersal terdiri dari ikan manyung (Arius venosus, Arius sagor dan Arius thalassinus), bawal hitam (Parastromateus niger), belanak (Mugil cephalus), kakap merah (Lutjanus erythopterus dan Lutjanus malabaricus) dan pari kembang (Amphotistius kuhlii); (2) pelagis kecil terdiri dari tembang (Clupea sp, Amblygaster sim), selanget (Anodontostoma chacunda), lemuru (Sardinella sim); (3) pelagis besar terdiri dari ikan kembung (Rastrelliger
88
kanagurta), tenggiri (Scomberomorus guttatus) dan tongkol (Auxis thazard); (4) ikan karang terdiri dari ikan ekor kuning (Caesio cuning, Caesio teres) dan Pisang-pisang (Pterocaesio diagramma, Pterocaesio tile dan Pterocaesio pisang), namun karena jumlah jenis ikan karang hanya sedikit maka pada statistik perikanan dimasukan ke dalam ikan lainnya. (Sedangkan jenis non ikan yaitu Udang putih (Panaeus indicus), Udang windu (Panaeus monodon), rajungan (Portunus pelagicus) dan cumi-cumi (Loligo sp) (Tabel 13) Tabel 13 Jenis dan volume produksi perikanan laut di Kabupaten Kotabaru, Tanah Laut dan Tanah Bumbu tahun 2006 N o I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Jenis ikan dan non ikan Ikan Manyung Ikan Sebelah Selar Kuwe Layang Bawal hitam Bawal putih Selanget Kakap putih Tembang Teri Gerot-gerot Peperek Kakap merah Belanak Biji nangka Kurisi Kuro/Senangin Swanggi/Mata besar Gulamah/Tigawaja Tongkol krai Tongkol komo Cakalang Kembung Banyar Tenggiri Tenggiri papan Tongkol abu-abu Kerapu bebek Kerapu Sunu Mako
Kabupaten Kotabaru 33.506 1.396 14.126.347 42.845.459 90.140 4.066.900 9.217.174 8.377 49.313 2.664.730 449.666 661.873 1.828.460 878.329 789.404 62.135.252 33.703.068 25.115.323 150.530 177.244
Tanah Laut 9.806.450 3.781.800 1.006.450 5.191.000 15.528.800 5.957.700 586.750 3.541.250 4.764.300 4.133.400 133.000 10.145.800 3.985.750 21.262.800 20.348.800 16.432.800 6.808.400 -
Tanah Bumbu 3.234.400 17.759.700 3.681.000 3.072.000 4.009.200 8.854.500 10.250.400 23.916.200 4.737.400 14.216.400 707.500 2.010.000 94.400 9.475.000 3.819.000 5.612.400 5.141.500 12.372.800 6.505.100 13.553.400 656.000 221.000 -
89
Tabel 13 (lanjutan) No
Jenis ikan dan non ikan Layurt Pari Ikan lainnya
32 33 34 35 Sub total II Non ikan 1 Udang dogol 2 Udang putih/jerbung 3 Udang krosok 4 Udang windu 5 Udang barong/karang 6 Udang lainnya 7 Kepiting 8 Rajungan 9 Cumi-cumi 10 Ubur-ubur Sub total Total
Kotabaru 70.169 70.168 199.125.363
Kabupaten Tanah Laut 1.149.950 2.247.250 3.965.700 140.4770.100
Tanah Bumbu 2.348.400 100.200 212.400 13.905.200 171.366.200
1.935.500 51.155.600 55.435.500 36.558.000 5.013.900 8.223.300 158.351.800 299.121.900
10.883.500 619.500 5.694.500 1.460.000 1.368.800 2.290.800 2.844.800 10.545.600 142.800 35.850.200 207.216.400
14.209.142 75.666.192 119.398.114 920.212 22.301.787 8.953.690 7.735.608 249.184.745 448.310.108
Sumber: Statistik Perikanan tahun 2007
4.1.3 Kondisi sumberdaya perikanan tangkap (1) Kabupaten Kotabaru Berdasarkan (Gambar 9) hubungan antara CPUE (Catch per unit Effort) dengan upaya penangkapan mengindaikasikan bahwa dengan meningkatkan trip penangkapan akan mendapatkan hasil tangkapan yang menurun.
Dengan
demikian mengindikasikan pula bahwa setiap tahun produktivitas perikanan tangkap di Kabupaten Kotabaru mengalami tren yang menurun.
Gambar 9 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru pada periode 1998-2008
90
Hasil tangkapan dan upaya penangkapan tahunan perikanan tangkap berfluktuasi dari tahun ke tahun. Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Kotabaru pada periode 1998-2008. Upaya penangkapan (trip) dan kaitannya dengan hasil tangkapan (catch) secara umum dapat dijelaskan secara singkat bahwa nilai hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) menunjukkan hubungan yang negatif. Pada gambar tersebut nilai catch semakin menurun dengan meningkatnya intensitas upaya penangkapan (effort). Trend penurunan pada hubungan tersebut dalam bentuk persamaan regresi terhadap kedua besaran effort dan CPUE Sumberdaya perikanan sangat perlu dikelola dengan baik mengingat persediaan ikan sudah sangat berkurang.
Produksi perikanan di Kabupaten
Kotabaru menurun sejak tahun 2002-2006, mengindikasikan pentingnya pengelolaan sumberdaya ikan untuk menjamin ketersediaan ikan bagi kepentingan penangkapan. Jika dihubungan dengan sejarah perkembangan konflik, mulai tahun 2000–2009 konflik mencuat ke permukaan dan merupakan konflik terbuka. Ini mengindikasikan bahwa kelangkaan sumberdaya perikanan juga dapat memicu konflik perikanan tangkap. (2) Kabupaten Tanah Laut Berdasarkan Gambar 10 dapat dinyatakan bahwa perubahan atau penambahan effort tidak selalu diikuti penambahan produksi dari tahun ke tahun. Gambar ini mengindikasikan bahwa peningkakatan effort atau input akan menguras sumberdaya perikanan tangkap di Kabupaten Tanah Laut yang semakin terbatas karena tidak seirama dengan rekruitmen yang dalam jangka panjang dan akan menimbulkan biological overfishing. Sebagaimana dimaklumi, hasil tangkapan nelayan akan tergantung pada tingkat upaya penangkapan dan besarnya sediaan ikan, namun demikian meningkatnya upaya penangkapan tidak selalu meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Karena semakin banyak nelayan yang meningkatkan upaya penangkapannya berdampak pada semakin sedikit populasi ikan yang tersedia.
91
Gambar 10 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Tanah Laut pada periode 1998-2008 (3) Kabupaten Tanah Bumbu Kondisi sumberdaya perikanan laut di Kabupaten Tanah Bumbu berdasarkan jenis alat tangkap yang dominan yang terdiri atas jaring insang hanyut, rawai tetap, jermal, trammel net dan bagan tancap selama 10 tahun (19982008) mengindikasikan bahwa setiap tahun produktivitas perikanan tangkap di Kabupaten Tanah Bumbu mengalami tren yang menurun,
Gambar 11 Hubungan catch dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Tanah Bumbu pada periode 1998-2008
92
4.2 Konflik Perikanan Tangkap 4.2.1 Peta wilayah konflik Kalimantan Selatan memiliki luas laut sebesar 28.751 km2 (12 mil x 1.330 km/sepanjang garis pantai Kal-Sel) yang terbagi pada beberapa Kabupaten diantaranya Kabupaten Kotabaru memiliki panjang garis pantai sebesar 825 km, Kabupaten Tanah Bumbu memiliki panjang garis pantai sebesar 158,7 km dan Kabupaten Tanah laut memiliki panjang garis pantai sebesar 200 km. Konflik perikanan tangkap menyebar pada 3 (tiga) wilayah peisisir tersebut (Gambar 12). 115°00'
115°30'
116°00'
116°30'
22.0 23 20.7 21 19 5.9 5.57.7 11.6 17.421.217.9 19.4 20 18.6 18.0 5.2 19.7 24 24.0 8.6 10.2 16.7 2119.2 18 19 19.9 19.2 21.3 19.2 8.26.4 20.5 21.02327.026 21.2 7.4 9.9 19.6 7.17.7 13.9 18.120.7 10.3 17.9 22.5 22.523.023.022.5 23 26.0 24 23.5 9.4 8.3 10.79.5 3.9 12.114.7 2524.5 19.82 2.523.5 22.5 25 9.515.2 25.0 18.5 19.9 20 24.0 0.3 3.4 13.9 0.3 15.8 19.0 22.0 23.5 26.0 27.02122.5 24.5 2425.025 8.3 7.8 0.23.79.5 15.9 17.9 7.7 25.0 29 12.8 13.915.717.2 24.0 26.02927.5 26 7.77.011.1 27.5 12.8 13.3 15.7 3.57.0 25.0 29.0 2827.5 26 3.5 11.0 18.9 27.0 2726.0 6 6 6 6 6 23 39 #
3.45.3 1.12.5 3.6 1.4 0.1 #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
N
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
10
0
10
#
20 Kilometer
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
# #
#
#
#
LEGENDA Batas Kabupaten Kontur Batimetri 4 Mil Laut
#
#
#
#
27 #
29
#
12
#
#
32
12 1421
29
#
#
12 Mil Laut
#
#
#
BANJARBARU
23
29
#
27
#
#
23
2
3°30'
#
12 16
KABUPATEN BANJAR
3°30'
#
P. Sebuku
KABUPATEN TANAH BUMBU
27 #
25 #
34
25
44 4
#
#
29
#
#
#
25 32 P. LAUT 27 6 4 4 6 4 4 31 29 25 6 4 5 6 6 6 8 4 4 5 24 30 31 7 5 4 5 3 7 6 6 7 8 8 4 4 5 4 5 6 26 31 7 8 6 21 6 7 7 6 9 27 30 31 31 9 8 6 5 6 9 9 11 9 18 21 26 7 6 6 6 6 12 10 31 5 10 10 8 8 16 6 8 11 14 12 9 31 4 4 6 14 29 6 20 25 33 7 9 9 8 7 8 4 6 66 16 8 7 9 1012 7 6 6 6 11 11 9 33 12 7 23 31 32 17 20 25 10 10101011 11 6 7 9 11 16 12 15 16 14 11 9 10 7 11 32 33 4 6 66 7 7 19 24 27 9 9 9 13 13 11 14 13 4 14 11 9 11 6 8 6 14 14 11 11 11 13 15 9 7 30 32 6 6 14 14 20 22 11 31 31 6 98 15 17 7 11 14 13 13 6 7 5 8 15 6 6 14 18 25 29 12 31 32 9 9 34 14 14 14 16 15 15 16 8 7 11 9 2 4 6 16 17 17 7 10 8 9 14 22 11 16 17 31 6 7 6 12 32 17 15 1817 9 9 10 34 12 12 3 4 6 77 9 10 11 119 9 16 16 16 14 27 30 31 16 16 18 33 15 32 7 12 19 19 8 9 2 1713 18 18 11 14 14 12 7 7 12 16 2 7 7 5 6 11 11 34 33 16 8 8 7 29 30 31 21 3 6 14 7 11 14 7 8 5 7 95 8 16 18 11 11 16 11 21 2 6 37 8 33 9 11 31 32 2 30 12 16 8 9 9 9 9 9 17 28 13 6 7 7 8 11 33 14 16 4 30 31 11 21 28 21 8 16 11 21 21 11 16 11 12 11 4 6 7 7 8 7 33 12 14 35 9 12 20 25 27 29 30 11 11 12 2 2 11 8 18 7 7 23 21 11 11 12 21 16 2 4 6 6 12 21 8 28 30 33 6 27 36 34 8 16 14 21 14 2 4 6 6 8 4°00' 18 8 23 25 9 8 11 16 16 7 8 8 21 9 1814 7 7 8 12 31 36 14 11 11 9 25 16 26 27 28 18 1817 19 19 21 7 7 23 25 12 21 9 16 25 21 4 5 10 11 12 24 9 8 11 11 11 11 12 16 32 34 35 38 2 6 7 8 19 21 1811 28 21 26 12 12 27 25 16 16 4 27 14 7 12 2 7 9 1116 1212 23 12 14 30 18 14 23 11 27 27 27 27 35 32 11 38 6 6 12 11 14 18 21 17 21 16 7 19 26 16 23 8 18 22 25 26 26 12 14 16 2 7 20 14 7 9 12 14 9 19 21 26 27 29 29 14 20 3 6 7 12 27 14 19 24 25 14 14 16 18 21 20 25 25 26 6 7 22 22 22 21 2 8 34 38 20 21 20 11 11 12 28 19 12 18 24 3 6 7 16 26 28 19 23 27 25 22 20 11 11 11 11 18 19 15 25 9 9 2 20 33 28 20 30 21 40 22 26 2 6 14 12 24 16 18 14 24 24 22 9 19 7 8 11 23 24 35 23 12 20 25 25 25 29 12 14 32 28 24 6 9 2 11 42 18 3 11 26 2 12 18 21 22 24 19 14 21 4 3 2 2 4 7 7 7 18 18 8 12 23 24 25 23 27 28 30 31 44 36 38 25 4 18 28 21 25 4 49 11 11 9 14 10 8 18 24 20 16 25 16 8 9 12 8 7 26 21 23 25 23 11 14 14 14 20 27 11 14 24 2312 9 11 11 24 24 22 12 23 20 42 30 22 15 14 18 23 27 32 12 25 21 18 20 35 28 31 28 12 12 14 16 12 25 23 21 29 14 25 24 25 12 16 24 24 16 16 24 27 45 25 16 12 14 31 27 25 16 12 14 20 24 32 14 18 25 24 34 26 31 44 18 40 25 32 26 27 33 28 18 22 26 27 26 18 26 3427 19 29 31 39 16 43 24 28 25 25 29 18 25 25 29 34 30 18 25 29 46 49 37 34 21 26 26 26 27 25 21 23 23 29 31 25 32 29 25 27 25 28 23 27 21 30 27 31 25 23 34 49 46 21 31 31 39 42 25 29 35 21 21 27 26 30 34 25 23 27 27 26 33 37 29 23 27 36 27 25 25 25 26 21 26 33 29 23 43 28 26 34 36 49 25 28 21 26 27 31 31 41 23 29 25 23 27 35 32 30 14 31 29 27 25 38 29 29 34 44 52 27 32 26 34 33 48 28 33 18 30 21 25 42 43 28 27 30 51 52 31 30 30 39 27 29 31 23 25 32 30 35 30 52 33 40 43 46 28 48 52 30 40 28 28 28 32 34 55 34 52 53 28 28 33 41 30 3131 46 43 48 28 24 36 31 34 39 54 28 29 33 31 54 54 #
#
#
#
#
#
#
KABUPATEN KOTABARU
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
15
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
R
#
#
#
#
#
#
#
#
15
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
2
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
4°00'
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
5
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
25
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
20
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
15
#
#
#
#
#
25
#
#
#
#
#
#
15
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
15
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
25
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
SELA
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
25
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
T MA K
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
ASSA
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
KABUPATEN TANAH LAUT
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
J A W A
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
L A U T
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
4°30'
115°00'
Keterangan: Desa Penelitian Pelabuhan Perikanan (PPI) Pelabuhan Umum Pelabuhan Pertambangan Budidaya udang Lampu suar
115°30'
#
#
#
#
#
#
#
#
116°00'
#
#
116°30'
Kasus daerah penangkapan ikan Kasus pengambilan teripang Kasus penggunaan bom Kasus lampara dasar Kasus seser modern Kasus bagan apung Kasus gill net Kasus cantrang Kasus purse seine
Gambar 12 Peta wilayah konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan
#
4°30'
93
4.2.2 Jenis kasus konflik Jenis konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan terdiri dari konflik alat tangkap dan konflik pengkaplingan laut. Kedus jenis konflik tersebut tercakup dalam sembilan jenis kasus yaitu (1) kasus purse seine, (2) kasus daerah penangkapan, (3) kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara, (4) kasus lampara dasar, (5) kasus bagan apung, (6) kasus seser modern, (7) kasus gill net, (8) kasus penggunaan bom, dan (9) kasus cantrang. Selengkapnya disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Jenis kasus konflik yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan berdasarkan periode waktu dan tempat selama periode 1979–2009 No Kasus 1 Bagan apung
Tahun 1979
Lokasi Tanah Bumbu
Penggunaan bom Seser modern
1980
Kotabaru
1990
Tanah Bumbu
4
Daerah penangkapan
1996
Kotabaru
5
Gill net
1999
Tanah Laut
6
Daerah penangkapan Lampara dasar
2000
Kotabaru
2002
Kotabaru
2002
Kotabaru
8 9
Daerah penangkapan Lampara dasar Daerah tangkap
2003 2003
Kotabaru Kotabaru
10
Seser modern
2004
Tanah Bumbu
2 3
7
7
Konflik Penggunaan bagan apung dianggap telah merebut wilayah property nelayan lokal secara turun temurun Penggunaan bom telah merusak habitat perairan dan melanggar UU Adanya anggapan bahwa perairan pantai adalah hak nelayan tradisional, pengguna teknologi modern tidak boleh berdampingan dengan nelayan tradisional. Pengkavlingan daerah tangkap oleh nelayan sekitar Selat Laut, konflik terjadi setiap musim utara Masuknya gill net yang sangat panjang oleh nelayan Jateng telah melanggar UU yang ditetapkan pemerintah Kasus daerah tangkap terulang lagi, pada musim utara Penggunaan lampara dasar yang dimodifikasi dengan penambahan danleno dan papan layang menyrupai mini trawl dianggap mengakibatkan over fishing. Kasus daerah tangkap terulang lagi pada musim utara Kasus lampara dasar terulang lagi Kasus daerah tangkap terulang lagi pada musim utara Kasus seser modern terulang lagi
94
Tabel 14 (lanjutan) No 11
Kasus Bagan apung
Tahun 2004
12
2004
13
Daerah penangkapan Purse seine
Lokasi Tanah Bumbu Kotabaru
2004
Kotabaru
15 16
Lampara dasar Seser modern
2004 2005
17
Bagan apung
2005
18
Daerah penangkapan Purse seine Lampara dasar Penggunaan bom
2005
Kotabaru Tanah Bumbu Tanah Bumbu Kotabaru
2005 2005 2005
Kotabaru Kotabaru Kotabaru
Purse seine Daerah penangkapan Pengambilan teripang dan kerang mutiara
2006 2006
Kotabaru Kotabaru
2007
Tanah Laut
25
Penggunaan bom
2007
26
Bagan apung
2008
27
Seser modern
2008
28
Cantrang
2009
29
Teripang dan tiram mutiara
2009
Tanah Laut Tanah Bumbu Tanah Bumbu Kotabaru, Tanah Bumbu dan Tanah Laut Kotabaru
19 20 21 22 23 24
Konflik Kasus bagan apung terulang lagi Kasus daerah tangkap terulang lagi di musim utara Penggunaan purse seine dengan alat bantu lampu 40.000 watt oleh nelayan Jawa Tengah dapat menarik ikan di wilayah perairan Kotabaru sangat merugikan nelayan lokal. Kasus lampara dasar terulang lagi Kasus seser modern terulang lagi Kasus bagan apung terulang lagi Kasus daerah tangkap terulang lagi Kasus purse seine terulang lagi Kasus lampara dasar terulang lagi Kasus penggunaan bom terulang lagi Kasus purse seine terulang lagi Kasus daerah tangkap terulang lagi Aktivitas penyelam menggunaan kompressor mengambil karang oleh nelayan Su-Sel, Jateng, Kaltim sangat mengganggu nelayan lokal Kasus penggunaan bom terulang lagi Kasus bagan apung terulang lagi Kasus seser modern terulang lagi Masuknya cantrang oleh nelayan Jateng tidak bisa diterima karena nelayan tidak menggunakannya
Kasus pengambilan terulang lagi.
teripang
95
Di Kalimantan Selatan konflik juga terjadi dalam hal penggunaan laut untuk berbagai kepentingan. Hal ini terjadi karena laut digunakan untuk keperluan transportasi, pertambangan (batu bara, biji besi) dan budidaya (pembukaan lahan/penebangan mangrove) untuk tambak.
Interaksi berbagai konflik di
perairan Kalimantan Selatan disajikan pada Gambar 13.
Purse seine
Perikanan tangkap
Pengkavlingan laut
Lampara dasar Gillnet
X
X
Penggunaan bom Teripang & kerang mutiara Bagan apung
X
V
X
Seser modern Cantrang
X
Budi Daya
Tambak Penebangan mangrove Tambang batubara Tambang Biji besi Transportasi
V
Pertam bangan
X
bijibesi
batu bara
Penebangan mangrove
Cantrang
Tambak
Budidaya
Per tambangan
Transportasi
Perikanan tangkap
Seser modern
Teripang & kerang Bagan apung mutiara
Penggunaan bom
Gillnet
X Lampara dasar
Pengkavlingan laut
J
V
X Purse seine
I
X
Sumber: Data primer diolah Keterangan: X
V
: konflik : saling merugikan : menguntungkan bagi I : menguntungkan bagi J : saling menguntungkan : netral
Gambar 13 Interaksi berbagai konflik di perairan Kalimantan Selatan (Modifikasi dari Cicin-Sain dan Knecht 1998) Berdasarkan Ganbar 13 situs diurutkan menurut interaksi konflik diantara pengguna perairan laut, yaitu: netral (18 kasus), saling menguntungkan (3 kasus), menguntungkan bagi I (23 kasus), menguntungkan bagi J (8 kasus), saling
96
merugikan (9 kasus), dan konflik (33 kasus). Diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Interaksi pemanfaatan pertambangan dengan perikanan tangkap Di Kabupaten Kotabaru terdapat banyak sekali pertambangan batubara dan biji besi antara lain PT Bahari Cakrawala Sebuku, PT Sebuku Iron Lateralitic Ores, PT Trans Coalindo, PT Adibara Bransastra, PT Borneo Internusa, PT Arutmin Indonesia, PT Multi Usaha Pratama Saijaan (BUMD), PT Batu Besar Mega Nusantara. Pengerukan lahan dilakukan untuk pembangunan pelabuhan sebagai tempat untuk mendistribusikan hasil pertambangan biji besi dan batubara mengakibatkan perairan laut tercemar, hal ini terlihat perubahan warna air laut. Nelayan merasa resah dan mengeluh karena terjadi penurunan hasil tangkap. Lumpur hasil pengerukan untuk pendalaman alur pelabuhan perusahaan dan alat rongsokan dikapal-kapal yang jatuh ke laut mengganggu keamanan dan kemudahan operasional alat tangkap karena memberatkan alat tangkap yang diangkat nelayan akibat tersangkut lumpur dasar laut akibat pembuangan besi dan batu-batuan. Beberapa nelayan trammel net dan lampara dasar merasa kesal karena jaring masuk lubang kerokan dan robek, bukan hasil tangkapan yang didapat tapi ban bekas dan batuan yang tersangkut jaring bahkan jaring putus dan hancur. Selain pencemaran laut, lampu penerangan pelabuhan yang memiliki intensitas yang tinggi mengalahkan kekuatan lampu yang digunakan sebagai atraction pada bagan tancap untuk penangkapan ikan teri. Nelayan pengguna bagan tancap merasa resah karena hasil tangkapan ikan teri mengalami penurunan. (2) Interaksi perikanan tangkap dengan transportasi Lalu lintas perairan Kotabaru khususnya alur Selat Pulau Laut, Alur Selat Muara Batuan dan Selat Makasar adalah alur perdangangan lokal dan nasional (transportasi domestik) yang melayani kapal penumpang dan barang dari dan menuju pelabuhan-pelabuhan. Selain itu terdapat juga alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang diperuntukkan kapal-kapal mancanegara melintasi Selat Makasar. Dengan demikian kapal yang melewati alur tersebut terdiri dari kapal perikanan, kapal barang, tongkang dan kapal penumpang dengan berbagai ukuran.
97
Kegiatan transportasi laut tersebut meningkatkan perekonomian lokal berupa arus barang dan manusia dari dan menuju pelabuhan-pelabuhan. Disisi lain, buangan limbah domestik dari kapal berpotensi menurunkan kualitas air laut. Perebutan fungsi laut yang mana bagi perusahaan merupakan jalur lalu-lintas perdagangan sementara bagi nelayan merupakan wilayah fishing ground. Kondisi ini sering terjadinya konflik antara nelayan dan kapal-kapal yang melalui alur tersebut. Kasus yang terjadi yaitu ditabraknya perahu nelayan oleh kapal-kapal perusahan tambang, tabrakan perahu nelayan dengan speed boat dan terganggunya nelayan pada saat melakukan penangkapan ikan. Disepanjang pantai Pulau Tabuan sudah terlihat kepingan-kepingan batubara yang mengendap akibat frekuansi lalu lintas dan loading batubara. Konflik terjadi karena wilayah tangkap ikan yang dimiliki nelayan tradisional secara turun-temurun kini semakin sempit dan kualitasnya pun makin berkurang. (3) Interaksi antara pemanfaatan lahan budidaya dan penangkapan ikan Penebangan hutan bakau menyebabkan tempat pemijahan beberapa jenis ikan rusak. Penurunan fungsi ekologi laut terlihat dengan menurunnya hasil tangkap ikan bagi nelayan. Konflik ini memperlemah ikatan solidaritas nelayan tradisional dan petani tambak. (4) Interaksi pertambangan dengan petani tambak Mengeluhnya petani tambak udang akibat adanya pelabuhan yang mencemari perairan laut yang menjadi sumber air tambak tersebut. Kualitas air yang menurun mengakibatkan kerugian bagi petani tambak bahkan matinya usaha tambak di daerah sekitar pertambangan. 4.2.3 Penahapan konflik Konflik berkembang sesuai dengan intensitas dan skala serta lamanya periode konflik. Konflik yang terjadi antara nelayan memiliki kedinamisan yang tinggi. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda.
Tahap-tahap ini menggambarkan
dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap-tahap konflik.
98
Dalam penelitian ini penahapan konflik digambarkan kedalam grafik eskalasi konflik yang disajikan pada Gambar 14. Berdasarkan informasi yang diperoleh selama penelitian, perkembangan konflik di perairan Kalimantan Selatan dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tahapan, yaitu (1) Prakonflik tahun 1960-1979; (2) Konfrontasi tahun 1980-1999, 2001-2004 dan 2006; (3) Krisis tahun 2000, 2005-2006 dan 2007-2008 (4) Akibat tahun 2001, 2006-2007 dan 2009; (5) Pasca konflik tahun 2010-sekarang. Diagnosis pentahapan konflik adalah suatu cara untuk mengkaji tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan eskalasi konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningnkatan intensitas konflik dimasa depan dengan harapan untuk menghindari pola itu terjadi. 8
Krisis Krisis
6 Konfrontasi
Konfrontasi 4 Krisis
Akibat
2 Konfrontasi
Pasca konflik
Akibat
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1980
1979
0
1960
Prakonflik
Keterangan: Sumbu x = Tahun Sumbu y = Eskalasi konflik Krisis = tindakan anarkis (>2) kekerasan fisik (>4) penyanderaan kapal dan (>6) pembakaran kapal Gambar 14 Grafik penahapan konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan (1) Kondisi prakonflik tahun 1960-1979 Pada masa ini sumber daya yang tersedia masih banyak sehingga kehadiran nelayan dari manapun tidak dirasakan nelayan lokal sebagai pesaing dalam memanfaatkan sumberdaya. Sifat sumber daya perikanan laut yang bersifat open
99
acces memungkinkan semua pihak untuk melakukan ekspoitasi tanpa terikat kuat pada batas-batas wilayah. Keberadaan nelayan dari provinsi Kalimantan Selatan seperti Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu masuk ke perairan Kotabaru atau sebaliknya melakukan migrasi musiman dapat hidup berdampingan secara harmonis. Selain itu kedatangan nelayan andon ke perairan Kalimantan Selatan masih berdampak positif yaitu sektor perdagangan maju, masyarakat dapat menjual jasa di bidang bahan dan alat tangkap, perbekalan melaut dan penginapan, serta adanya peningkatan peluang bekerja yaitu menjadi ABK bagi nelayan andon. Adanya peningkatan pendapatan masyarakat yang berusaha di bidang kios-kios dan warung makan. (2) Periode tahun 1980-1999, 2001-2004 dan 2006 (konfrontasi) Beberapa nelayan di Kotabaru ada yang masih menerapkan adanya pola penguasaan dan kepemilikan wilayah laut oleh kelompok masyarakat.
Pola
tersebut terbagi berdasarkan zone wilayah yaitu zona daerah tangkap nelayan tradisional yang sudah turun-temurun, yakni hak eksploitasi sumberdaya di wilayah laut tertentu terbatas hanya untuk orang-orang dalam kelompok sosial wilayah tersebut. Namun dengan perkembangan zaman sebagian lagi dari nelayan menganut paham open acces. Periode ini semakin banyak nelayan melakukan migrasi musiman yang datang ke perairan Kalimantan Selatan dengan membawa teknologi baru atau melakukan modifikasi terhadap alat tangkap, kualitas dan kapasitas yang berbeda pada fishing ground yang sama, membuat kenyamanan nelayan di perairan Kaliman Selatan merasa terganggu. Di perairan Kotabaru pada periode ini pula mulai terjadi teguran-teguran bahkan terjadi pertikaian-pertikaian di laut dalam bentuk penolakan terhadap penggunaan alat tangkap yang berbeda dengan alat tangkap nelayan lokal. Nelayan lokal memberikan peringatan-peringatan baik lisan maupun tertulis dan membuat perjanjian-perjanjian, walaupun pada akhirnya banyak yang melangar kesepakatan yang dibuat. Beberapa langkah pengamanan telah dibuat seperti mengadakan perpolisian masyarakat oleh pihak kepolisian, pembinaan dan sosialisasi oleh Dinas Perikanan dan Kelautan.
100
Kasus konflik daerah tangkap belum berakhir, pada tahun 2000-2005 terjadi lagi konfrontasi. Protes terhadap adanya pengkavlingan daerah penangkapan, dianggap menimbulkan ketidakadilan terutama oleh pengguna lampara dasar. Menentukan tapal batas dengan cara membuat patok batas wilayah perairan tempat operasional nelayan tradisional, menetapkan wilayah-wilayah tertentu yang dilarang beroperasinya nelayan pengguna alat tangkap lampara dasar mini atau lainnya dan melakukan razia justru menimbulkan konflik yang lebih luas. Pada tahun 2004 untuk menertibkan konflik daerah penangkapan yang diperebutkan oleh nelayan di Kotabaru, maka dilakukan pertemuan antar nelayan. Diskusi dihadiri oleh Bupati Kotabaru, Kapolres, nelayan Kecamatan Kelumpang Selatan, Kecamatan Kelumpang Tengah, Kecamatan Pulau Sebuku, Kecamatan Pulau Laut Utara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru.
Kapolres
menyarankan untuk menciptakan areal tangkapan baru, kemudian Dinas Kelautan dan Perikanan Kotabaru menyetujui pembagian wilayah penangkapan ditertibkan kembali. Pembagian wilayahnya masing-masing yang terbagi dalam 6 daerah penangkapan (Gambar 15). Daerah penangkapan di Kotabaru terbagi berdasarkan wilayah tangkap nelayan tradisional yang sudah turun-temurun mulai perairan pantai sampai 5 mil keperairan laut dengan batas sebagai berikut : 1 Zona Pudi - Sanakin -Tanjung Pemancingan 2 Zona
Pulau
Simbangan-Tanjung
Tamiang-Sekandis-Talusi-Tanjung
Semelantakan Rampa Cengal- Sesulung-Tanah Merah-Separe Kecil-Separe Besar. 3 Zona Pembelacanan- Pantai-Tanjung Pulau Burung-Tanjung Ayun-Bui Merah/Kapal Pecah 4 Zona Pemancingan-Sungai Dungun-Pulau Manti-Sungai Bali-Tanjung Lita 5 Zona Tanjung Mangkok-Tanjung Gunung-Gunung Tinggi-Sekapung-Pulau Kapak 6 Zona Labuhan Mas-Tanjung Serudung-Tanjung Seloka-Pulau Kerayaan Namun upaya pembagian wilayah penangkapan tersebut menimbulkan konflik lebih meluas karena pencegahan terhadap pengguna lampara dasar mini dan sejenisnya di wilayah tertentu tidak didukung oleh nelayan lain khususnya nelayan pengguna alat lampara dasar mini. Hal ini bahkan menuai tuduhan
101
terhadap pelanggaran perjanjian. Nelayan Sungai Dungun menilai nelayan Rampa melanggar jalur penangkapan yaitu nelayan lampara dasar mini hanya boleh beroperasi pada kawasan di luar jalur nelayan Sungai Tanjung Bantai Langkang Baru ke arah Pulau Manti.
Nelayan yang masuk ke wilayah tersebut akan
dipukuli, alat tanggkap dirampas bahkan perahu yang digunakan ditenggelamkan. Bagi nelayan yang mendapatkan perlakuan yang tidak lazim tentu saja melawan dan meminta ganti rugi atas kerugian yang dialami, akhirnya penyelesaian konflik melibatkan kepolisian.
Organisasi INSAN menuntut
pencabutan patok batas diperairan selat sebuku kerena sangat merugikan dan Insan menuntut dihentikannya tindakan kekerasan serta menghendaki Dinas perikanan harus tegas dan lebih peduli terhadap konflik yang terjadi. Konflik pengkavlingan laut berkaitan dengan musim udang, antara lain udang windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus indicus), udang jerbung (Penaeus merguensis), udang cat (Parapenaeopsis sculiptilis) dan udang lurik (Metapenaeus canaliculatus). Dalam satu tahun terdapat 3 (tiga) musim yaitu: (1) musim Utara (2) musim Barat/pancaroba dan (3) musim Tenggara. Pada ketiga musim tersebut potensi udang berbeda-beda untuk setiap wilayah di Kabupaten Kotabaru. Pada musim Utara potensi udang maksimun di daerah Selat Laut tapi minimum di wilayah lain (Tabel 15). Tabel 15 Pola musim udang di Kabupaten Kotabaru No
Musim
Bulan
Potensi Udang maksimum
Perairan
1
Musim Utara
JanuariApril
2
Musim Barat Pancaroba
Mei
3
Tenggara (angin Selatan)
JuniMaksimum September
Sekitar Senakin dan Tg Dewa, Tg Gunung, Tg Ayun, Karang piring, Sebuli, Senakin, Pembelacangan, Pulau Kapak,
4
Musim Barat Pancaroba
OktoberDesember
Selat Laut, Pulau Sebuku
Minimum
Minimum
Selat laut: antara lain Senakin, Tg Gunung, Karang Piring, Tg Pemancingan, Pulau Manti, Sei Dungun, Tg Lita, Pulau Kapak. Selat laut
102
Gambar 15 Daerah penangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru
103
Belum tuntas masalah konflik daerah tangkap kemudian masuknya nelayan purse seine dari provinsi lain (Jawa Tengah) ke perairan Kotabaru pada tahun 2006 mendapat izin dari DKP (sekarang KKP/Kementrian Kelautan dan Perikanan). Teknologi yang digunakan jauh lebih maju dibandingkan nelayan lokal, sehingga dalam melakukan penangkapan ikan nelayan-nelayan dari Pekalongan jauh lebih menguntungkan secara ekonomi daripada nelayan lokal. Nelayan lokal mengeluh karena hasil tangkap mereka mengalami penurunan sejak masuknya nelayan dari Pekalongan. Nelayan Jateng melakukan penangkapan ikan pada jalur penangkapan 15 mil, secara yuridis tidak melanggar Undang-Undang yang telah mengatur Jalurjalur penangkapan dan telah memiliki surat izin penangkapan ikan. Namun bias cahaya terlihat sebelum 12 mil perairan Kotabaru sehingga ikan-ikan yang berada di sekitar pantai atau di wilayah kewenangan daerah tertarik oleh daya tarik lampu purse seine. Tindak lanjut terhadap keresahan nelayan yaitu dibuat kesepakatan antar nelayan mini purse seine Kotabaru dan nelayan purse seine Jateng, yakni nelayan Jateng tidak menggunakan lampu purse seine berkekuatan tinggi, tidak boleh menjual hasil tangkapan di sekitar wilayah Kotabaru.
Selanjutnya dalam
perjanjian tersebut juga dicantumkan bahwa nelayan Jateng tidak akan merapat di pelabuhan Kotabaru untuk mengisi bahan bakar, air dan es. Yang terakhir, jika nantinya ditemukan nelayan yang melanggar kesepakatan ini, maka pihak nelayan Kotabaru akan mengambil tindakan tanpa ada tuntutan dari pihak nelayan yang menggunakan purse seine. Kenyataannya kesepakatan.
perilaku
nelayan
Jateng
banyak
menyimpang
dari
Nelayan lokal khususnya nelayan mini purse seine melakukan
protes ke DPRD dan Bupati Kabupaten Kotabaru, tetapi protes mereka diabaikan. Akhirnya bulan Mei 2005 nelayan mini purse seine berkumpul dan membuat organisasi nelayan dengan nama AMNES (Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan). AMNES merencanakan penyerbuan dan berkeinginan untuk membakar kapal nelayan Pekalongan, namun aksi dapat digagalkan oleh Angkatan Laut dan Kepolisian Kabupaten Kotabaru
104
(3) Periode tahun 2000, 2005-2006 dan 2007-2008 (krisis) Pada waktu itu telah terjadi pengkavlingan wilayah penangkapan ikan. Kemudian apabila ada orang luar yang masuk ke wilayah yang terlarang bagi alat tangkap tertentu maka terjadi pengusiran, kekerasan fisik dan perusakan alat tangkap, penyitaan dan bahkan penenggelaman kapal. Aksi ini dilakukan karena nelayan dianggap melakukan pelanggaran-pelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat. Sebelumnya sudah pernah disepakati masalah jalur penangkapan dengan memberikan patok dari halayung (tiang bakang) namun karena hanya bisa bertahan setahun, batas tersebut hancur diterpa ombak. Selain itu pada periode ini konflik menjadi terbuka, saling tuduh bahwa jalur penangkapan yang disepakati telah digeser secara illegal. Organisasi INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) melakukan negosiasi untuk diselesaikan
secara
kekeluargaan
dan
mengharapkan
tidak
melakukan
pengkavlingan laut dan berjanji bahwa nelayan pengguna alat tangkap lampara dasar atau yang memiliki teknologi lebih tinggi tidak akan memasuki wilayah selat laut dan selat sebuku yang diperuntukkan oleh nelayan tradisonal. Namun karena kasus tersebut sudah berdampak pada kekerasan fisik penyelesaian konflik dibantu oleh pihak kepolisian. Oganisasi INSAN mendesak Dinas Kelautan dan Perikanan dan aparat yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum kepada pelaku. Dinas Perikanan dan Kelautan Kotabaru berjanji untuk membantu pembebasan perahu nelayan yang ditahan oleh nelayan dan membantu proses pengantian kerusakan atau dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut. Pada tahun 2007 polemik antara nelayan Kotabaru dengan nelayan asal Pekalongan, Juwana, Pati Jawa Tengah yang menangkap ikan di wilayah perairan Kabupaten Kotabaru dengan menggunakan purse seine masih berlanjut. Kemudian dilakukan perjanjian antara nelayan asal Jawa Tengah yang menggunakan kapal purse seine dengan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Kotabaru yang ditandatangani di Jakarta. Namun hal ini dianggap tidak menguntungkan nelayan kotabaru,
malah sebaliknya dirasa menguntungkan
nelayan Jateng, sehingga nelayan Kotabaru tidak menerima hasil perjanjian dan kesepakatan yang sudah ditandatangani tersebut.
105
Masyarakat nelayan Kotabaru yang tergabung dalam HNSI menganggap kalau kesepakatan kedua yang telah ditandatangani tersebut atas nama pribadi, dan bukan atas nama HNSI, sebab sekarang ini yang bersangkutan sudah bukan ketua HNSI. Akhirnya terjadi inseden pembakaran kapal nelayan Jawa Tengah yang ditaksir mengalami kerugian sekitar Rp. 1,4 milyar. Insiden pembakaran kapal purse seine milik nelayan Jateng di perairan Pulau Kerayaan Pulau Laut Selatan Kotabaru memicu ribuan nelayan Kotabaru menggelar aksi protes di depan gedung DPRD Kotabaru yang menuntut diusirnya kapal-kapal purse siene dari perairan Kotabaru. Massa yang tiba secara bergelombang sekitar pukul 10.00 wita melempari gedung DPRD dengan air mineral, mobil-mobil milik anggota DPRD yang parkir di halaman tak luput dari aksi pukulan pengunjuk rasa. Sementara itu pada tahun 2007 di Kabupaten Tanah Laut terjadi konfrontasi. Keresahan sejumlah nelayan Tanah Laut yang sudah tiga bulan merasa hasil tangkapan mereka menurun drastis bahkan rugi karena masuknya nelayan andon yang melakukan pengambilan teripang dan kerang mutiara dan memiliki surat izin. Nelayan andon yang masuk ke perairan Kalimantan Selatan berasal dari Sulawesi (Ujung Pandang, Maros dan Serigi), Kalimantan Timur dan Jawa Timur (Ra’as). Nelayan andon menggunakan kompresor sebagai alat bantu dalam melakukan usaha penangkapan teripang dan kerang. Nelayan Sumenep dan nelayan Tanah laut melakukan eksploitasi perikanan pada wilayah fishing ground yang sama yaitu daerah Tanjung Selatan yang secara horizontal berjarak
40 mil
dari desa Tabanio.
Perairan
Tanjung Selatan
merupakan daerah yang subur, banyak terdapat sumber alam yang merupakan usaha penangkapan potensial bagi nelayan Tanah Laut yang merupakan ladang usaha perikanan tangkap secara turun temurun. Perairan Tanjung Selatan dikenal oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Tanah Laut selain mengandung sumberdaya ikan juga memiliki terumbu karang dan teripang yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga mengundang nelayan luar tertarik masuk untuk mengambil sumberdaya tersebut. Perairan Tanjung Selatan merupakan perairan yang dangkal dengan kedalaman perairan berkisar 12-27 meter. Kesepakatan mulai dibuat dengan melakukan negosiasi antara nelayan Tanah Laut dengan Sumenep yaitu pengoperasian penangkapan ikan disesuaikan
106
dengan aktivitas nelayan lokal. Nelayan Sumenep hanya beroperasi pada siang hari, sedangkan nelayan Tanah Laut malam hari. Kesepakatan ini dicapai dalam rembug tapi adanya campur tangan TNI AL, akibatnya sejumlah nelayan Tabanio kurang puas dengan kesepakatan itu, karena walaupun jadwal melaut bisa diatur, namun secara ekonomis tetap merugikan nelayan lokal. Apalagi pengaturan jadwal melaut itu merupakan solusi yang ditawarkan pihak TNI AL (LANAL). Mereka sebenarnya tetap menghendaki agar nelayan Sumenep dilarang menjamah perairan di Tanah Laut, kecuali jika menggunakan alat tangkap yang sama dengan nelayan lokal. Konflik semakin memanas dan kritis karena
jumlah kapal nelayan
Sumenep yang masuk ke perairan Tanjung Selatan semakin banyak yaitu sekitar 400 unit. Dalam 1 (satu) unit kapal terdapat 1-2 buah kompressor, dimana 1(satu) alat kompressor digunakan untuk dua orang. Satu buah kapal terdapat 4-6 orang ABK.
ABK yang menyelam ke dalam perairan sebanyak 4 (empat) orang,
sedangkan ABK yang lain menunggu/menjaga di atas kapal. Jumlah keseluruhan ABK yang menyelam di perairan diperkirakan 1.600 orang dari 400 kapal nelayan andon. Nelayan Tabanio sangat merasa terganggu dengan aktifitas nelayan andon karena penyelaman dalam bentuk besar-besaran mengakibatkan kondisi perairan rusak, alat tangkap yang dipasang nelayan lokal banyak yang putus karena tersangkut jangkar nelayan andon. Dengan bantuan LANAL dilakukan sweeping, penyitaan dan penahanan kapal pencari teripang, karena mereka mencurigai kegiatan kapal nelayan Jawa Timur tersebut telah merusak habitat ikan di sekitar perairan Tanah Laut. Menurut nelayan setempat, mereka menyelam, mencari kerang dan teripang yang terdapat di sekitar dasar laut berbatu, sementara tempat itu juga disukai ikan. Masyarakat nelayan lokal juga mencurigai para pencari komoditas laut bernilai ekspor tersebut menggunakan bahan peledak dan kimia.
Nelayan lokal
mengajukan tuntutan agar pencari teripang tersebut berhenti beroperasi di perairan sekitar Tanah Laut dan kemudian menyampaikan kesepakatan ini kepada kawankawan mereka.
Apabila mereka mau menuruti kesepakatan tersebut,
maka
nelayan Tanah Laut bersedia segera melepaskan kelima kapal yang telah disandera.
107
Pada tahun 2007 juga terjadi konflik antara nelayan Tanah Laut dengan nelayan andon asal Jawa Timur yang menggunakan bom dan diperkirakan telah merusak habitat ikan di sekitar perairan Tanah Laut. Dugaan degradasi habitat ini didasari oleh kenyataan bahwa hasil tangkapan nelayan lokal selama tiga tahun terakhir cenderung menurun. Namun kasus penggunaan bom ini masih belum dapat dibuktikan oleh nelayan setempat, karena sulit menemukan barang bukti. Nelayan andon yang menggunakan bom menggunakan kapal bermesin cepat (sejenis mesin speed boat), sehingga tidak berhasil mengejar beberapa unit kapal yang terlihat memasuki wilayah perairan Tanah Laut. Selain itu nelayan yang dicurigai melakukan penangkapan ikan menggunakan bom biasanya barang bukti langsung dibuang sehingga mereka tidak dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan aturan. Pada tahun 2008-2009 nelayan Kabupaten Tanah Bumbu merasa resah dan awal muncul kecemburuan nelayan bagan tancap terhadap nelayan bagan apung yang memperoleh hasil tangkapan ikan teri dan ikan tembang lebih banyak, perbedaan produksi hasil tangkapan yang disebabkan perbedaan teknologi penangkapan. Nelayan bagan tancap melakukan penghancuran alat dan kapal bagan. Tindak lanjut dari konflik tersebut dibuat kesepakatan dimana nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berbeda tidak boleh beroperasi pada suatu wilayan fishing ground yang sama bahkan tidak boleh beroperasi lagi. Pada tahun 2009 keberadaan nelayan cantrang yang dilakukan oleh nelayan Pekalongan Jawa Tengah mendapat reaksi keras dari masyarakat nelayan di Kalimantan Selatan.
Beberapa Pokwasmas melayangkan surat kepada Kadis
Perikanan di daerah masing-masing (Jawa Timur dan Sulawesi) yang intinya melarang keberadaan cantrang beroperasi di perairan Kalimantan Selatan. Penggunaan cantrang oleh nelayan andon mendapat protes keras dari masyarakat nelayan di Kalimantan Selatan karena penggunaan teknologi penangkapan ikan yang berbeda dengan masyarakat lokal Penggunaan cantrang dinilai sangat merugikan nelayan lokal, disamping itu telah meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang keberlanjutan perikanan tangkap dan belum ada undang-undang yang merekomendasikan alat tangkap tersebut boleh dioperasikan di sekitar perairan Kalimantan Selatan.
108
(4) Tahun 2001, 2006-2007 dan 2009 (akibat) Walaupun konflik berakhir sejalan dengan berakhirnya musim utara (Januari-April) maka untuk sementara kehidupan nelayan tampak harmonis dan konflik berakhir dengan sendirinya, namun pengkavlingan laut dengan patok tiang bakang masih dilakukan. Pada tahun 2007, khawatir konflik nelaan Kotabaru Kalsel dengan nelayan Tegal Jateng meluas, akhirnya masalah itu dilaporkan ke Presiden dan membentuk tim perikanan dua propinsi. Gubernur mengintruksikan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel untuk bertatap muka dengan asosiasi nelayan dari Kotabaru untuk mensosialisasikan naskah awal perjanjian perdamaian.
Kemudian
pemerintah mengantisipasi konflik, dan merencanakan berbagai upaya: pertama, dengan menyetop pengeluaran izin baru untuk kapal purse seine, kedua mengalihkan sebagian jenis kapal-kapal itu ke wilayah perairan yang lain. Pada tahun 2008 dilakukan pertemuan nelayan yang berjumlah kurang lebih 500 orang
yang berasal dari tiga Kecamatan yakni (1) Takisung (Tabanio,
Pagatan Besar, Kuala Tambangan dan Takisung) (2) Panyipatan (Batakan, Tanjung Dewa) (3) Jorong (Swarangan) dan dihadiri juga oleh Pol Air, TNI AL Pos Batakan, Dinas Kelautan dan perikanan Povinsi dan Kepala Dinas Kelautan dan perikanan Tanah Laut, Camat Takisung serta Camat Penyipatan. Nelayan Tala membuat kesepakatan tertulis berisi penolakan terhadap kehadiran nelayan pencari tripang dan kerang. Seruan Dinas Kelautan dan perikanan Pemkab Sumenep terhadap Nelayannya agar meninggalkan perairan Tanah Laut ternyata direspon setengah hati. Mereka masih saja menjamah perairan Tanah Laut hingga akhirnya terjaring sweeping petugas Pol Air. Ada 12 (duabelas) kapal yang terjaring sweeping, dan 12 unit selam disita. Semuanya memiliki surat andon, namun tidak pernah lapor ke Dinas Kelautan dan Perikanan Tanah Laut. Melalui sweeping diyakini mampu membuat nelayan tersebut jera untuk kembali beroperasi ke perairan Tanah Laut.
109
DKP Tanah Laut dan beberapa perwakilan nelayan Tanah Laut menghadap Menteri Kelautan dan Perikanan.
Mereka akan berkonsultasi dan meminta
petunjuk untuk mencari solusi terbaik tentang pengaturan aktivitas melaut nelayan tradisional antar pulau. (5) Periode 2010-sekarang (pascakonflik) Pada periode ini walaupun tidak terdapat konflik, nelayan tetap memperjuangkan hak mereka untuk dapat melakukan aktivitas berusaha dalam kondisi yang aman. Nelayan meminta dukungan dari semua pihak yang dianggap dapat menyelesaikan permasalahan mereka. Pokmaswas yang terbentuk semakin aktif dalam melakukan pengawasan dan menghimpun segala permasalahan nelayan. 4.3 Permasalahan Konflik Perikanan Tangkap 4.3.1 Tipologi konflik Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik. Hasil pengamatan di lokasi penelitian ditemukan tipologi konflik perikanan tangkap yang terjadi di perairan Kalimantan Selatan seperti yang disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Tipologi konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan Ekses Menegur, melarang, mengusir, pembakaran kapal, aksi massa
Penyebab utama 1 Purse seine dari Jateng mendapat izin dari DKP Pusat 2 Kecemburuan nelayan lokal karena kesenjangan teknologi (purse seine 40.000-50.000 watt, fish finder, kapal 45-60 GT), hasil tangkapan dapat mencapai 2-3 ton/trip. Sedangkan nelayan lokal hanya menggunakan mini purse seine 3 Terjadi persaingan pasar: nelayan purse seine menjual hasil tangkapannya di Kotabaru dengan harga lebih murah dari harga ikan yang berlaku di pasaran.
Jenis konflik Konflik alat tangkap: purse seine
Tipologi konflik Mekanisme pengelolaan
alokasi internal
Mekanisme pengelolaan
Pihak yang terlibat Nelayan purse seine vs nelayan mini purse Seine, KKP, DKP, Kepolisian, TNI AL. Organisasi nelayan (HNSI, AMNES, INSAN)
110
Tabel 16 (lanjutan) Ekses
Bentrokan fisik, penganiayaan perusakan, penyitaan dan penenggelam an kapal,
Pengusiran, penyitaan, penyandraan, demontrasi/ aksi masa, sweeping
Perkelahian
Penyebab utama
Jenis konflik
Tipologi konflik
4 Pengoperasian purse seine berada diluar 12 mil, namun lampu yang digunakan mampu menarik ikan yang berada di wilayah perairan Kalsel 1 Perebutan daerah penangkapan seirama dengan perputaran potensi sumberdaya udang yang tersebar di beberapa wilayah Kotabaru 2 Pengkavlingan laut menjadi hak property 3 DKP Kotabaru menyetujui pembagian wilayah penangkapan.
yurisdiksi perikanan
Konflik pengkavling an laut: pembagian daerah penangkapan ikan
Yurisdiksi Perikanan
1 Pengambilan teripang dengan cara menyelam dengan alat bantu kompresor yang diletakkan di atas kapal dengan panjang selang sekitar 50 meter dipasang pada mouth piece, sedangkan nelayan lokal tidak memanfaatkan teripang 2 Pelanggaran KepMen No.13/2004: Pengendalian nelayan andon yang telah menghambat aktifitas nelayan lokal karena jumlah kapal nelayan andon sekitar 400 unit dengan 1.600 orang penyelam telah melebihi kuota.
Konflik alat tangkap: alat bantu kompressor untuk pengambilan teripang dan kerang mutiara
Alokasi internal,
1 Modifikasi lampara dasar, penambahan danleno diisi dengan semen agar dapat mengeruk dasar perairan dan membuka mulut jaring kemudian nelayan mengganti danleno tersebut dengan papan layang (otter board). 2 Pelanggaran jalur-jalur penangkapan, mengoperasikaanya di wilayah perikanan tradisional
Konflik alat tangkap: lampara dasar
Mekanisme pengelolaan
Alokasi internal,
Mekanisme pengelolaan
Pihak yang terlibat
Nelayan Kec. Pulau laut Utara vs Kec. Pulau Sebuku Kotabaru, Walhi, INSAN, DKP Daerah, Kepolisian Nelayan teripang dan kerang mutiara (Andon dari Jatim, Sulsel, Kaltim) vs nelayan lokal dari Tanah Laut, KKP, DKP pusat dan Daerah, TNI AL, Polair, Pokmaswas Nelayan lampara dasar vs nelayan trammel net, DKP Daerah, Pokmaswas
111
Tabel 16 (lanjutan) Ekses
Penyebab utama
Jenis konflik Konflik alat tangkap gillnet
Tipologi konflik Mekanisme pengelolaan
Pengusiran
2 Pelanggaran Kep. Mentan 392/99:Gillnet jalur Ia (3 mil) merupakan jalur terlarang bagi penggunaan gillnet sepanjang 1000 m
Pengusiran, pengejaran kapal
1 Daya ledakan yang ditimbulkan mencapai radius 100 meter persegi. yang beroperasi pada pagi dan sore hari dapat merusak terumbu karang, mematikan habitat ikan dan penyu, mengeruhkan kondisi perairan dan meningkatkan level sedementasi serta over fishing, merusak ekosistem dan sistem mata rantai makanan laut yang berakibat pada penurunan sumberdaya secara drastis. 2 Pelanggaran UU RI No.9 1985, larangan bom(illegal fishing) 1 Kesenjangan teknologi bagan apung, karena kapasitas kapal mampu mengoperasikan bagan apung yang dapat dipindahkan, hal ini dianggap merebut fishing ground, dan merugikan nelayan bagan tancap.
Konflik alat tangkap: alat bantu bom
Mekanisme pengelolaan
Konflik alat tangkap: bagan apung
Alokasi internal
Perkelahian
1 Kesenjangan kualitas peralatan tangkap antar nelayan seser modern dengan seser tradisional dalam menangkap jenis ikan sama dan pada fishing ground yang sama
Konflik alat tangkap: seser modern
Alokasi internal
Pengusiran, penahanan
3 Kesenjangan alat tangkap yang menggunakan teknologi penangkapan ikan yang berbeda dengan masyarakat lokal dan cantrang belum pernah digunakan oleh nelayan lokal
Konflik alat tangkap: cantrang
Alokasi internal
Penghancur an alat dan kapal
Sumber: data primer diolah
Pihak yang terlibat Nelayan gillnet (andon) vs nelayan gillnet (Tanah Laut), DKP Daerah, Pokmaswas Nelayan pengguna bom vs nelayan bukan pengguna bom, DKP Daerah, Pokmaswas, PPSDA, Polair, TNI AL
Nelayan bagan tancap Tanah Bumbuvs nelayan bagan apung Kotabaru, DKP Daerah, Pokmaswas Nelayan seser tradisional vs nelayan seser modern, DKP Daerah, Pokmaswas Nelayan andon (SulSel dan Jateng), KKP, DKP, Polair, TNI AL, Pokmaswas
112
4.3.2 Identifikasi kebutuhan, kepentingan dan posisi pihak yang berkonflik (1) Kasus purse seine Perbedaan idiologi dan prinsip dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan antara nelayan yang berkonflik kemudian mengartikulasikan sumberdaya perikanan secara berbeda dan memperlakukannya secara berbeda pula. Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan mini purse seine dan nelayan purse seine digambarkan pada Gambar
16. Nelayan mini purse seine menganggap alat
tangkap purse seine merupakan alat tangkap yang berpotensi mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Potensi negatif ini terbukti bahwa susahnya mendapatkan ikan ketika nelayan purse seine beroperasi di sekitar perairan Kotabaru. Nelayan mini purse seine - Pengoperasian purse seine merugikan nelayan lokal - Pelarangan pengoperasian purse seine di sekitar perairan Kotabaru
Wilayah konflik
- Purse seine adalah usaha
Posisi
Posisi
Kebutuhan
dalam berusaha - Keadilan dalam pemanfaatan SDI
yang sah dan memiliki surat izin - Penggunaan lampu berkapasitas tinggi dan menjual hasil tangkapan di wilayah Kotabaru merugikan nelayan lokal
Kepentingan
- Memperoleh hasil tangkapan - Kelestarian SDI
- Keberlanjutan
Nelayan purse seine
- Memperoleh hasil tangkapan - Memperoleh keuntungan sebesarbesarnya - Keamanan dalam berusaha - Keberlanjutan izin usaha - Kepastian hukum
Gambar 16 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus purse seine
113
(2) Kasus daerah penangkapan ikan Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan Kecamatan Pulau Sebuku dan nelayan Kecamatan Pulau Laut digambarkan pada Gambar 17. Konsepsi yang berlanjut pada eksploitasi sumberdaya perikanan yang dianut oleh nelayan Kecamatan Pulau Sebuku masih menganut eksploitasi perikanan dengan alat tangkap tradisional yang telah turun temurun.
Hal ini dikuasai oleh nelayan
tradisional yang masih bertahan dengan alat tangkap sero, rakang, pacing dan trammel net. Daerah penangkapan yang telah dimanfaatkan secara turun temurun tersebut telah dianggap sebagai hak property bagi mereka, sehingga apabila nelayan luar masuk ke wilayah tersebut apalagi memiliki alat tangkap yang lebih besar atau yang telah dimodifikasi telah dianggap melanggar norma dan tidak menjaga kelestarian sumberdaya perikanan. Nelayan Kecamatan Pulau Sebuku
Wilayah konflik
- Pelarangan terhadap nelayan selain kecamatan Pulau Sebuku dilarang masuk perairan selat laut pada musim utara - Pelarangan alat tangkap yang sudah mengalami modiifikasi
Posisi
Kepentingan
- Memperoleh hasil tangkapan - Kelestarian SDI
- Keberlanjutan dalam berusaha - Keadilan dalam pemanfaatan SDI
Nelayan Kecamatan Pulau Laut - Tidak mematuhi masalah perbatasan, yang sudah ditetapkan - Lampara Dasar modifikasi yang menggunakan papan layang dianggap tidak ramah lingkungan - Memperoleh hasil tangkapan - Memperoleh keuntungan sebesar-besarnya
Kebutuhan
- Keamanan dalam berusaha - Keberlanjutan izin usaha - Kepastian hukum
Gambar 17 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus daerah penangkapan
114
(3) Kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara Analisis terhadap “kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan Kabupaten Tanah Laut dan nelayan andon memburu kerang dan teripang dari Sulawesi, Jawa Tengah dan Kalimantan Timur digambarkaann pada Gambar 18. Nelayan dari Kabupaten Tanah Laut menganggap nelayan andon mengambil teripang menggunakan benda tajam merusak karang yang berpotensi mengancam
kelestarian sumberdaya
perikanan. Banyaknya jumlah kapal yang masuk sekitar 400 unit sangat mengganggu aktivitas nelayan lokal. Potensi negatif ini terbukti bahwa susahnya mendapatkan ikan dan robeknya jaring karena tersangkut jangkar nelayan andon ketika nelayan andon beroperasi di sekitar perairan Kabupten Tanah Laut. Nelayan lokal tidak pengambil teripang dan kerang mutiara - Banyaknya nelayan penyelam, merusak karang mencari teripang merugikan nelayan lokal - Pelarangan perburuan teripang di sekitar Kab. Tala
Nelayan andon pencari teripang dan kerang mutiara Wilayah konflik
Posisi - Memperoleh hasil tangkapan melimpah dan keuntungan yang besar
- Memperoleh hasil tangkapan yang memadai sepanjang tahun
Kepentingan
- Keberlanjutan dalam berusaha - Keadilan dalam pemanfaatan SDI
Nelayan andon pencari teripang adalah usaha yang sah dan memiliki surat izin
Kebutuhan
- Keamanan dalam berusaha - Keberlanjutan dalam berusaha - Keadilan dalam pemanfaatan SDI
Gambar 18 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus teripang
115
(4) Kasus lampara dasar Analisis terhadap “kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan tradisional terutama nelayan trammel net dengan nelayan lampara dasar digambarkan pada Gambar
19.
Nelayan trammel net menganggap nelayan lampara dasar tidak ramah lingkungan karena bersifat mengeruk ikan/udang yang berpotensi mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Potensi negatif ini terbukti bahwa sedikitnya ikan yang tertangkap ketika lampara dasar beroperasi berrsamaan dengan nelayan trammel net. Nelayan trammel net
Wilayah konflik
- Pengoperasian lampara dasar dapat merugikan nelayan lokal
Posisi - Memperoleh hasil tangkapan yang memadai sepanjang tahun - Kelestarian SDI
- Keberlanjutan dalam berusaha - Keadilan dalam pemanfaatan SDI - Kepastian Hukum
Kepentingan
Kebutuhan
Nelayan Lampara dasar Belum ada kejelasan Pelarangan pengoperasian lampara dasar tidak merugikan siapapun
- Memperoleh hasil tanggkapan - Memperoleh keuntungan
- Kepastian hukum - Keamanan berusaha
Gambar 19 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus lampara dasar
(5) Kasus gillnet Analisis terhadap”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan gillnet yang berbeda kapasitas. Nelayan gillnet dari Tanah Laut dan nelayan gilnet (andon) digambarkan pada
116
Gambar 20. Nelayan lokal menganggap nelayan andon menggunakan gillnet melebihi kapasitas tidak mengikuti anjuran dalam Kep. Mentan 392/99 yang mengatur penggunaan gillnet (Jalur 3 mil terlarang bagi penggunaan Gillnet sepanjang 1000 m). Nelayan gillnet (lokal)
Wilayah konflik
Pelarangan pengoperasian gillnet yang melebihi kapasitas - Memperoleh hasil tangkapan yang memadai sepanjang tahun - Kelestarian SDI
Nelayan gillnet (andon) Pengoperasian gillnet tidak merugikan siapapun
Posisi
Kepentingan
- Memperoleh hasil tanggkapan - Memperoleh keuntungan
Kebutuhan
- Kepastian Hukum
- Keamanan berusaha
Gambar 20 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus gillnet
(6) Kasus penggunaan bom Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan yang bukan pengguna bom dengan nelayan pengguna bom digambarkan pada Gambar 21. Nelayan yang menggunakan bom diangggap oleh masyarakat adalah perilaku yang menyimpang (deviant behaviour) dengan beragam motif, seperti ingin kaya dengan cara atau mungkin terpaksa karena adanya benturan dengan kondisi ekonomi. Ironisnya para pelaku pengguna bom sulit ditangkap, berdasarkan keterangan informan hal tersebut disebabkan luasnya kondisi perairan, kurangnya fasilitas dan anggaran dana untuk menertibkan pengguna bom. Selain itu pengguna bom menggunakan
117
kapal bermesin 6 (enam) silender sehingga kalah cepat ketika dilakukan pengejaran. Apa yang telah dilakukan nelayan penggguna bom tersebut telah mematikan ikan hingga telurnya bahkan yang masih tersembunyi pada karang ikut musnah dan keberadaan penyu ikut terganggu, karena daya ledaknya begitu kuat. Daya ledakan yang ditimbulkan mencapai radius 100 meter persegi. Nelayan pengguna bom ini biasanya dalam 1 (satu) unit kapal terdiri dari 10 ABK, yang beroperasi pada pagi dan sore hari.
Nelayan Bukan pengguna bom bom - Penggunaan bom
merupakan peanggaran UU No 45 Tahun 2009, revisi UU No 31 Tahun 2004 dan tidak sesuai dengan norma - Memperoleh hasil tangkapan yang memadai sepanjang tahun - Kelestarian SDI - Keberlanjutan dalam berusaha - Keadilan dan keamanan dalam pemanfaatan SDI - Kepastian Hukum
Nelayan pengguna bom Wilayah konflik
Posisi
Kepentingan
- Tidak mentaati UU yang berlaku di Indonesia sehingga menimbulkan kerusakan dan kerugian sumberdaya ikan dan ekosistem perairan
- Memperoleh hasil tangkapan yang melimpah - Memperoleh keuntungan sebesarbesarnya
Kebutuhan
- Keperluan mendesak dan keuntungan sesaat
Gambar 21 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi”pada kasus penggunaan bom (7) Kasus bagan apung Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan bagan tancap dengan nelayan bagan apung digambarkaann pada Gambar
22. Nelayan bagan apung
118
menganggap bahwa nelayan bagan apung merebut wilayah fishing ground bagan tancap. Potensi
negatif ini terbukti ketika hasil tangkapan berkurang dan
pendapatan mereka menurun bersamaan dengan beroperasinya bagan apung. Nelayan bagan tancap
Nelayan bagan apung Wilayah konflik
- Pengoperasian bagan
apung dapat merugikan nelayan bagan tancap - Bagan apung yang bisa dipindahkan dianggap merebut wilayah bagan tancap - Pelarangan pengoperasian bagan apung di wilayah bagan tancap bagan tancap - Memperoleh hasil tangkapan - Kelestarian SDI
Pengoperasian bagan apung tidak merugikan siapapun
Posisi
Kepentingan
Kebutuhan
Memperoleh keadilan
- Memperoleh hasil tangkapan - Memperoleh keuntungan sebesarbesarnya
- Keamanan berusaha
Gambar 22 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus bagan apung
(8) Kasus seser modern Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan seser tradisional dengan nelayan seser modern digambarkaann pada Gambar 23. Nelayan seser modern dianggap melakukan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada fishing ground yang sama dengan seser tradisional. Potensi negatif ini terbukti ketika hasil tangkapan berkurang bersamaan dengan beroperasinya seser modern.
119
Nelayan seser tradisional
Wilayah konflik
- Adanya anggapan
bahwa tidak boleh mengadakan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi - Pelarangan pengoperasian seser - Memperoleh modern di wilayah hasil tangkapan seser tradisional - Kelestarian SDI
Memperoleh keadilan
Nelayan seser modern
Pengoperasian seser modern tidak merugikan siapapun
Posisi
Kepentingan
Kebutuhan
Memperoleh hasil tangkapan dan keuntungan yang besar
- Keamanan berusaha
Gambar 23 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus seser modern
(9) Kasus cantrang Analisis terhadap ”kebutuhan-kepentingan-posisi” yang diharapkan dari pihak nelayan yang berkonflik yaitu antara nelayan Kal-Sel dengan nelayan cantrang dari Sulawesi dan Jawa Tengah gambarkan pada Gambar 24. Nelayan seser modern dianggap melakukan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada fishing ground yang sama dengan seser tradisional. Potensi negatif ini terbukti ketika hasil tangkapan berkurang bersamaan dengan beroperasinya seser modern.
120
Nelayan Lokal (Kal-Sel) Pelarangan keberadaan cantang beroperasi di sekitar perairan Kal-Sel karena penggunaan teknogi yang berbeda dengan masyarakat lokal
- Memperoleh hasil tangkapan - Kelestarian SDI
Memperoleh keadilan
Wilayah konflik
Posisi
Kepentingan
Kebutuhan
Nelayan cantrang (andon)
Belum jelasnya pelarangan cantrang beroperasi di sekitar perairan Kal-Sel - Memperoleh hasil tangkapan - Memperoleh keuntungan sebesarbesarnya
Keamanan berusaha
Gambar 24 Konflik yang menggambarkan perbedaan ”kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus cantrang
4.4.3 Identifikasi sikap, perilaku dan konteks sebagai faktor yang mempengaruhi konflik Analisis ini didasarkan pada prinsip bahwa konflik memiliki tiga lembaga utama yaitu: konteks atau situasi (K), perilaku mereka yang terlibat (P) dan sikapnya (S). Ketiga prinsip ini ditunjukkan sebagai sebuah segitiga sama sisi. Selanjutnya dikatakan bahwa ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi, oleh karena itu tanda panahnya dua arah di setiap sudut (Gambar 25 sampai Gambar 33).
(1) Kasus purse seine B Perilaku Pandangan nelayan mini purse seine terhadap nelayan purse seine - Purse seine menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan - Nelayan purse seine menggunakan teknologi yang lebih tinggi (lampu 40.000 watt) menarik ikan-ikan yang berada di wilayah perairan Kotabaru) - Nelayan purse seine mendapat izin dari DKP Pusat
A Sikap
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan
- Menegur nelayan purse seine dari Jateng yang masuk keperairan sekitar Kabupaten Kotabaru - Mengusir nelayan purse seine yang menjual hasil tangkapan di sekitar wilayah Kotabaru - Melarang nelayan purse seine yang mengisi bahan bakar, air dan es di wilayah Kotabaru - Melakukan pembakaran kapal purse seine - Membentuk asosiasi dengan pihak yang dapat memberikan solusi
Konteks Pandangan nelayan mini purse seine terhadap diri sendiri - menyadari pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya perikanan - merasa sebagai pihak yang dirugikan - tidak memiliki modal
- Situasi yang tidak tenang/resah untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah sendiri - Belum optimalnya hukum dalam menyelesaikan masalah - Sumberdaya ikan dapat habis jika tidak dijaga dengan benar
Gambar 25 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan mini purse seine terhadap nelayan purse seine
121
122
(2) Kasus daerah penangkapan B Perilaku Pandangan nelayan yang melakukan pengkavlingan terhadap nelayan lain yang masuk wilayahnya - Nelayan lain jangan melakukan penangkapan di wilayah sekitar tempat tinggal mereka (hak property) - Banyaknya nelayan lain yang masuk wilayah mereka dapat dapat mengurangi / menghabiskan sumberdaya udang/over fishing
Kebutuhan:
- Mengabaikan teguran-teguran yang dilakukan oleh nelayan tradisional - Melakukan aksi perlawanan, berlindung kepada aparat - Intimidasi, pemukulan, penyitaan, penenggelaman kapal
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan
A Sikap Pandangan nelayan tradisional terhadap diri sendiri - Tidak memiliki modal yang besar - Tetap menggunakan alat tangkap tradisional yang dilakukan secara turun temurun - Mempertahankan sumberdaya untuk anak cucu - Mendapat dukungan dari DKP
C Konteks - Perairan laut bersifat milik bersama dimana setiap orang boleh memanfaatkannya - Belum optimalnya hukum dalam penyelesaian masalah
Gambar 26 Prinsip ”Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan yang melakukan pengkavilngan daerah penangkapan
(3) Kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara B Perilaku Pandangan nelayan Tanah Laut terhadap nelayan andon pencari teripang dan kerang - Nelayan andon mempunyai modal untuk memiliki alat bantu penangkapan yang lebih tinggi/modern - Nelayan andon sudah memiliki jaringan pemasaran teripang & kerang - Nelayan andon bersikap tidak bersahabat, terlaku banyak & merusak karang A Sikap Pandangan nelayan Tanah Laut terhadap diri sendiri - menyadari pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya perikanan - merasa sebagai pihak yang dirugikan
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan
- Menahan kapal nelayan andon dan mengancam untuk meninggalkan perairan Tanah Laut - Melakukan sweeping dan menyita kompresor nelayan andon
C Konteks - Situasi yang tidak tenang/merasa terganggu oleh aktivitas penyelam - Belum optimalnya hukum dalam menyelesaikan masalah - Sumberdaya ikan dapat habis jika tidak dijaga dengan benar
Gambar 27 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan Tanah Laut terhadap nelayan andon pencari teripang dan kerang
123
124
(4) Kasus lampara dasar B Perilaku Pandangan nelayan tradisional terhadap nelayan lampara dasar - Nelayan lain mempunyai modal untuk memiliki alat tangkap yang lebih tinggi/modifikasi - Dapat menghabiskan sumberdaya pesisir/over fishing di wilayah pesisir fihing ground nelayan tradisional - Persaingan yang tidak seimbang A Sikap Pandangan nelayan tradisional terhadap diri sendiri - Siap merubah alat, tetapi biaya / modal tidak mampu - Mengetahui alat tangkap yang ramah lingkungan
- menegur dan mengusir nelayan lampara dasar
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan C Konteks - Sumberdaya ikan merupakan potensi namun bisa habis - Kepastian hukum/perda tentang penggunaan lampara dasar
Gambar 28 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan tradisional terhadap nelayan lampara dasar
(5) Kasus gillnet B Perilaku Pandangan nelayan gillnet (Tanah Laut terhadap nelayan gillnet (andon) - Pelarangan penggunaan gillnet yang melebihi kapasitas - jangkar gillnet andon menyangkut pada alat tangkap nelayan lokal.
A Sikap
Mengusir nelayan gillnet (andon) dari perairan Tanah Laut Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan C Konteks
Pandangan nelayan gillnet (Tanah Laut) terhadap diri sendiri - Mendapat dukungan dari pemerintah/aparat - Mengetahui adanya pelarangan terhadap gillnet yang melebihi kapasitas
- Kepastian hukum dalam berusaha - Adanya Kep. Mentan 392/99 yang mengatur penggunaan gillnet. Jalur Ia (3 mil) terlarang bagi gillnet sepanjang 1.000m.
Gambar 29 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan gillnet (Tanah Laut terhadap nelayan gillnet (andon)
125
126
(6) Kasus penggunaan bom B Perilaku Pandangan nelayan terhadap nelayan pengguna bom - Merusak terumbu karang, mematikan habitat ikan dan penyu, mengeruhkan kondisi perairan dan meningkatkan level sedementasi serta over fishing, merusak ekosistem dan sistem mata rantai makanan laut yang berakibat pada menurunan sumberdaya secara drastis.bom
- praktik illegal fishing A Sikap
- Mengejar nelayan yang menggunakan bom untuk diadili - pelaporan kepada aparat tentang adanya penggunaan bom
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan C Konteks - Penggunaan bom merupakan pelanggaran
Pandangan nelayan bukan pengguna bom terhadap diri sendiri - menyadari pentingnnya menjaga sumberdaya perikanan - mengetahui cara pemanfaatan SDI yang tidak merusak - mendapat dukungan dari aparat
terhadap undang-undang dan tidak sesuai dengan norma-norma yang diberlakukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
- belum optimalnya hukum dalam memberantas illegal fishing - sumberdaya ikan dapat habis jika tidak dijaga dengan benar
Gambar 30 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan terhadap nelayan pengguna bom
(7) Kasus bagan apung B Perilaku Pandangan nelayan bagan tancap terhadap nelayan bagan apung - Bagan apung penyebab penurunan hasil tangkapan bagan tancap - Bagan apung beroperasi di wilayah bagan tancap
Menghancurkan bagan apung
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan
C Konteks
A Sikap Pandangan nelayan bagan tancap terhadap diri sendiri - merasa sebagai pihak yang dirugikan - tidak memiliki keahlian dan ketahan fisik melakukan penagkapan dengan bagan apung
Situasi yang tidak aman untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah sendiri
Gambar 31 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan bagan tancap terhadap nelayan bagan apung
127
128
(8) Kasus seser modern Pandangan nelayan seser terhadap nelayan seser modern - Nelayan seser modern mempunyai modal untuk memiliki kapal, mesin tempel/modifikasi seser - Dapat menghabiskan sumberdaya pesisir/over fishing di wilayah pesisir fihing ground nelayan tradisional - Persaingan yang tidak seimbang
A Sikap Pandangan nelayan seser terhadap diri sendiri - Siap merubah alat, tetapi biaya / modal tidak mampu
B Perilaku Mengusir nelayan seser modern dari fishing ground seser
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan
C Konteks Situasi yang tidak aman untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah sendiri
Gambar 32 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan seser terhadap nelayan seser modern
(9) Kasus cantrang
B Perilaku B Perilaku
Pandangan nelayan Kal-Sel terhadap nelayan cantrang (andon) - Perbedaan teknologi perikanan tangkap yang mana nelayan lokal tidak menggunakan cantrang - Cantrang menyebabkan hasil tangkapan berkurang
Melakukan penyandraan dan penyitaan cantrang dan berjanji untuk tidak kembali lagi
Kebutuhan:
Keamanan berusaha dan ketersediaan sumberdaya ikan A Sikap Pandangan nelayan Kal-Sel terhadap diri sendiri - merasa sebagai pihak yang dirugikan - menyadari pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan - mengetahui cara memanfaatan SDI yang tidak merusak
C Konteks belum ada Undang-undang yang merekomendasikan alat tangkap tersebut boleh dioperasikan di sekitar perairan Kalimantan Selatan
Gambar 33 Prinsip “Sikap-Perilaku-Konteks” nelayan Kal-Sel terhadap nelayan cantrang cantrang (andon)
129
130
4.3.4 Sumber konflik Berdasarkan hasil analisis bawang bombay dan segitiga SPK maka dapat dijelaskan sumber konflik yang disebabkan oleh perbedaan ”posisi-kepentingankebutuhan” antara pihak yang berkonflik. Kemudian dijelaskan pula prinsip ”sikap-perilaku-konteks” antara nelayan yang dirugikan terhadap nelayan lain. Dengan mengacu kepada pendekatan tersebut maka dapat dijelaskan pula sumber konflik (Gorre 1999) dapat dikategorikan kepada konflik yang disebabkan masalah hubungan, perbedaan kepentingan, masalah struktural dan konflik nilai (Tabel 17) Tabel 17 Sumber konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan No Kasus Penyebab utama Sumber Konflik Konflik 1 Purse seine 1 Keberadaan nelayan pengguna Masalah struktural purse seine mendapat izin dari DKP Pusat, sementara nelayan lokal merasa dirugikan 2 Penggunaan purse seine bagi Perbedaan nilai nelayan andon merupakan pengembangan teknologi perikanan tangkap, namun bagi nelayan Kal-Sel merupakan tindakan over fishing yang menurunkan stok ikan 3 Amarah nelayan local terhadap Masalah hubungan penggunaan purse seine pada posisi 15 mil yang secara yuridis memang tidak melanggar jalur penangkapan, ditambahlagi keberadaan UU No. 32 tahun 2004 tentang Otda, pemkab 4 mil, pem-prov 8 mil menguatkan posisi nelayan andon, sehingga membangkitkan amarah nelayan local untuk melakukan anarkis 2 Daerah 1 pengkavlingan laut karena adanya Masalah hubungan penangkapan anggapan terhadap pemilikan sumberdaya disekitar daerah tempat tinggal (property right), namun disisi lain merupakan ketidakadilan bagi mereka yang memiliki wilayah tidak subur
131
Tabel 17 (lanjutan) No Kasus konflik 3 Pengambilan teripang
4
5
Lampara dasar
Bagan apung
Penyebab utama 1 Amarah terhadap penggunaan kompresor dengan selang 50 m pada mouth piece mengambil teripang pada wilayah berkarang untuk memperoleh keuntungan besar, namun disisi lain mengganggu aktivitas nelayan lain yang ingin mempertahankan keberlanjutan sumberdaya pada wilayah berkarang 2 pemberian surat izin terhadap nelayan pemburu teripang yang masuk di perairan Tala terlalu besar sangat merugikan aktivitas nelayan lokal 1 Disatu sisi modifikasi lampara dasar merupakan perkembangan teknologi untuk meningkatkan produksi, namun jika penggunaannya di lakukan di wilayah tangkap tradisonal maka dapat mengakibatkan over fishing 2 DKP Kal-Sel memberikan rekomendasi menggunakan balok penuntun segitiga (danleno), kemudian nelayan memodifikasi lagi dengan papan layang. Pengoperasiannya melanggar JJP bagi nelayan tradisional merugikan nelayan tradisional 1 Disatu sisi penggunaan bagan apung dapat meningkatkan produksi namun disisi lain terdapat anggapan bahwa orang lain tidak boleh mengadakan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada daerah tangkap yang sama dan untuk menangkap jenis ikan yang sama
Sumber Konflik Perbedaan kepentingan
Masalah struktural
Perbedaan nilai
Masalah struktural
Perbedaan nilai
132
Tabel 17 (lanjutan) No Kasus konflik 6 Seser modern
7
Gillnet
8
Penggunaan bom
Penyebab utama 1 Di satu sisi pengoperasian seser modern menggunakan kapal dapat meningkatkan produksi dan efektifitas namun disisi lain terdapat anggapan bahwa orang lain tidak boleh mengadakan kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi pada daerah tangkap yang sama dan untuk menangkap jenis ikan yang sama 1 Pelanggaran Kep. Mentan 392/99:Gillnet jalur Ia (3 mil) merupakan jalur terlarang bagi penggunaan gillnet sepanjang 1000 m
1 Pelanggaran UU RI No 9 /1985 tentang perikanan: Larangan penggunaan bom dan tidak sesuai dengan normanorma yang diberlakukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (illegal fishing) 9 Cantrang 1 Amarah terhadap penggunaan cantrang yang digunakan oleh nelayan andon, nelayan lokal tidak menggunakan cantrang adalah untuk mempertahankan keberlanjutan sumberdaya karena cantrang dianggap sejenis trawl dan belum adanya izin yang membolehkan alat tangkap cantrang beroperasi di wilayah perairan Kalsel Sumber: Data primer diolah
Sumber Konflik Perbedaan nilai
Masalah struktural
Masalah struktural
Perbedaan kepentingan
133
4.4 Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Konflik 4.4.1 Resolusi konflik Upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan nelayan di Kalimantan Selatan telah dilakukan sejak awal munculnya konflik, namun penyelesaian ini belum dilakukan secara bersama-sama dan masih terpisah pada masing-masing desa yang terlibat dalam konflik.
Secara umum upaya penyelesaian konflik
yang dilakukan mulai dari memberi peringatan sampai pada aksi perlawanan atau konfrontasi yang berujung pada tindakan kekerasan dan pembakaran dapat dilihat pada Gambar 34.
Sikap
Menghindari konflik
Pendekatan ke pemerintah dan aparat hukum
Aksi/Tindakan Memberikan peringatan dan negosiasi
pelaporan
Menunjukkan sikap perlawanan/konfrontasi
Melakukan penangkapan, pembakaran dan penyanderaan
Pengendalian diri
Pemberian sanksi, denda, penyitaan
Proses hukum
Tidak ada
ada
Gambar 34 Upaya penyelesaian konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan Dalam penyelesaian konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan upaya yang dilakukan, ditandai dengan dibuatnya kesepakatan-kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis yaitu beberapa kesepakatan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap. Hasil pengamatan di lokasi penelitian
134
terdapat
beberapa
upaya
yang
dilakukan,
bahkan
dilakukan
dengan
menggunakan beberapa teknik resolusi konflik dalam suatu jenis konflik. 1) Kasus purse seine Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik purse seine terangkum dalam status penyelesaian konflik yang disajikan pada Tabel 18. Langkah pertama yang dilakukan oleh masyarakat nelayan mini purse seine di Kotabaru yaitu dengan berinisiatif menemui wakil dari pihak lawan untuk melakukan negosiasi secara langsung untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Tabel 18 Status penyelesaian konflik pada kasus purse seine No 1 2 3 4
Status penyelesaian konflik Surat pernyataan kesepakatan antara nelayan Pekalongan vs nelayan Kotabaru (tahun 2004) Surat pernyataan kesepakatan antara nelayan Tegal vs nelayan Kotabaru (tahun 2005) Tindak lanjut kesepakatan yang diwakili seluruh stakeholder dilakukan di Surabaya tahun 2005 Masih beroperasinya kapal purse seine sekitar 40 buah berada di selat makasar maka dilakukan tindak lanjut kesepakatan/ penyelesaian konflik yang diwaliki seluruh stakeholder dilakukan di Makasar tahun 2007
Teknik resolusi konflik Negosiasi Fasilitasi Fasilitasi Fasilitasi
Konflik antara nelayan Kotabaru dan nelayan Pekalongan (1 April 2004) dapat diselesaikan dengan membuat surat pernyataan dari pemilik kapal purse seine. Terdapat 4 (empat) point dalam surat pernyataan tersebut, yaitu: (1) Tidak akan melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Kabupaten Kotabaru dengan menggunakan cahaya lampu (2) Sebisa mungkin bias cahaya lampu tidak terlihat dari perairan Kabupaten Kotabaru sejauh 12 mil dari pulau terluar (3) Tidak akan merapat ke pelabuhan Kabupaten Kotabaru untuk mengisi bahan bakar, air dan es serta tidak menjual ikan kecuali dalam keadaan darurat (4). Apabila dikemudian hari ditemukan oleh nelayan melanggar surat pernyataan ini maka pihak nelayan Kabupaten Kotabaru dapat melakukan tindakan-tindakan tanpa ada tuntutan dari pihak nelayan purse seine.
135
Dalam upaya ini masih mengalami kegagalan karena masih bersifat parsial,
tidak tersosialisasikan terhadap pengguna lain.
Melalui teknik
neogosiasi tersebut, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kesepakatan yang dibuat hanya mengandalkan moral.
Pengguna purse seine semakin banyak
melakukan eksploitasi di sekitar perairan Kotabaru, sehingga terjadi tuduhan pelanggaran kesepakatan. Penanganan konflik ditindaklanjuti dengan menghubungi pihak ketiga yaitu Dinas Perikanan daerah untuk memohon dilakukan intervensi berupa fasilitasi. Penggunaan teknik fasilitasi ini merupakan bentuk perhatian pemerintah dan memiliki kekuatan hukum terhadap pelanggaran kesepakatan, namun kesepakatan tersebut harus diwakili langsung oleh stakeholder yang berkepentingan. Pada tanggal 16 Juni 2005 bertempat di Departemen Kelautan dan Perikanan berisi 14 poin kesepakatan yaitu: (1) Mewujudkan iklim usaha penangkapan ikan yang nyaman, kondusif dengan keamanan yang terjamin.
Upaya ini melibatkan seluruh stakeholders,
termasuk Dinas Perikanan dan Kelautan di setiap daerah serta Departemen Kelautan dan Perikanan. (2) Mencegah kerusakan sumberdaya ikan dari kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan bahan dan alat tangkap yang dilarang, pelanggaran jalur penangkapan ikan serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku (3) Untuk sementara, sambil menunggu hasil kajian BPPI semarang tentang pengaruh intensitas cahaya lampu purse seine, kapal purse seine dapat beroperasi dengan jarak sedikitnya 20 mil laut dari batas surut terendah dari setiap pulau pada malam hari (4) Untuk sementara, kekuatan lampu (intensitas cahaya) kapal purse seine maksimal 12.000 watt di atas kapal (5) Hasil penangkapan ikan kapal purse seine tidak dipasarkan di pasar lokal. Dalam hal pemasaran agar dapat melakukan kerjasama dengan nelayan setempat (6) Merintis upaya kemitraan antara nelayan perikanan tangkap Provinsi Jawa Tengah dengan provinsi Kalimantan Selatan
136
(7) Untuk melakukan peningkatan teknologi penangkapan ikan dalam upaya mengatasi kesenjangan teknologi dibawah koordinasi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan (8) Dilakukan pemantauan dan pengawasan terhadap kesepakatan yang telah ditetapkan (9) Jika terjadi perselisihan perihal pelaksanaan kesepakatan diatas maka akan dilakukan musyawarah yang melibatkan
unsur-unsur yang terlibat yang
difasilitasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dan Pemerintah Daerah (10) Segera melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan kepada
nelayan Jawa Tengah dan Kotabaru Kalimantan Selatan yang akan dimotori oleh Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi masing-masing daerah (11) BPPI segera melakukan pengkajian terhadap efektifitas penggunaan lampu pada kapal purse seine. Kajian ini melibatkan perwakilan HNSI, Dinas Perikanan dan Kelautan serta perwakilan nelayan Kotabaru dan Jawa Tengah (12) Kesepakatan ini berlaku mulai ditandatangani sampai keluarnya keputusan pemerintah pusat mengenai aturan penggunaan lampu (13) Bagi pihak-pihak yang melanggar kesepakatan ini, akan dikenai sangsi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (14) dengan ditandatanganinya kesepakatan ini, maka kesepakatan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku Namun bedasarkan hasil kesepakatan tersebut masih belum bisa menyelesaikan konflik, masih terdapat ketidakpuasan terhadap kesepakatan tersebut dan purse seine masih beroperasi di selat makasar wilayah perairan Kotabaru. Nelayan Kotabaru melakukan protes ke DPRD dan Bupati Kotabaru. Kemudian membentuk AMNES (Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan). Konflik semakin berkembang setelah adanya pengakuan nelayan purse seine yang tidak melanggar UU Jalur-jalur penangkapan dan dimiliki surat izin penangkapan ikan dari pusat, menyebabkan amarah nelayan lokal. Penyelesaian konflik mendapat tanggapan serius dari pemerintah dengan melakukan tindak lanjut terhadap kesepakatan yang telah dilakukan sebelumnya. Pada tanggal 24–25 Januari
137
2006 di Surabaya dilakukan pertemuan dipimpin oleh DKP Provinsi, diperoleh suatu rumusan evaluasi resolusi konflik purse seine yaitu: 1 Evaluasi perkembangan konflik purse seine 1)
Sebagian nelayan Kotabaru belum dapat menerima sebagian hasil kesepakatan yang dicapai di Jakarta pada tanggal 16 Juni 2005 dan sebagian nelayan Balikpapan belum dapat menerima sebagian hasil rumusan yang dicapai di Semarang pada tanggal 17 Januari 2006
2)
Proses koordinasi antara Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi telah berlangsung termasuk nelayan yang terlibat konflik.
3)
DKP telah melakukan koordinasi dengan TNI AL dan POLRI untuk mencegah berkembangnya konflik dengan mengerahkan kapal ke kawasan konflik
4)
Proses sosialisasi rumusan hasil pertemuan masih belum dilakukan secara optimal oleh semua pihak.
5)
Untuk menghindari terjadinya konflik lebih lanjut, Kadiskamlut Provinsi Jateng telah membuat surat edaran agar nelayan Jateng untuk sementara tidak menangkap ikan di Selat Makasar.
6)
Pemerintah provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah kota Balikpapan bekerjasama dengan Muspida, unsur nelayan serta LANAL Balikpapan dan POLDA Kal-Tim telah melakukan pertemuan dengan masyarakat nelayan dalam rangka mencegah tindakan anarkis lebih lanjut.
7)
Pemerintah Kabupaten Kotabaru telah melakukan koordinasi dengan Muspida dan masyarakat nelayan untuk meredam dan mencegah berkembangnya konflik
8)
Masih terjadinya pembakaran kapal nelayan Jawa Tengah di Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan.
9)
Proses hukum sedang berjalan dan pihak kepolisian akan mengundang saksi ahli. Hal yang sama agar dilakukan untuk penyelesaian kasus pembakaran kapal di pulau Kerayaan Kab. Kotabaru Kalimantan Selatan
138
2
Rencana tindak lanjut jangka pendek (s.d. pertengahan Pebruari 2006) 1) Kapal Pengawas DKP supaya tetap dipertahankan di wilayah selat Makasar untuk mencegah berkembangnya konflik 2) Masing-masing Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi bersama Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten/Kota setempat melakukan sosialisasi hasil kesepakatan dan rumusan hasil pertemuan dengan melibatkan antara lain tokoh masyarakat, tokoh agama, DKP, DPRD, organisasi nelayan (HNSI), dan penegak hukum (TNI AL dan POLRI) 3) Nelayan Jateng untuk sementara tidak menangkap di selat makasar. 4) Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan DPP HNSI agar segera memberikan perhatian dan bantuan kepada korban konflik nelayan 5) Dilakukan pertemuan tentang penanganan konflik nelayan antar daerah dengan melibatkan unsur pemilik, punggawa, penegak hukum, tokoh masyarakat nelayan, tokoh agama dan HNSI setempat untuk proses asimilasi/naturalisasi pada tanggal 14–15 Pebruari 2006 dan tempat akan ditentukan kemudian.
3
Rencana tindak lanjut jangka menengah dan panjang 1) Seluruh pihak menindaklanjuti hasil kesepakatan dan rumusan hasil pertemuan sebelumnya 2) Perlu dibentuk kelompok kerja (POKJA) Penanganan Konflik nelayan di setiap daerah dan tingkat Pusat, Provinsi sampai dengan Kabupaten/Kota 3) Perlu konsistensi dalam penegakkan dan tindakan hukum secara tegas 4) oleh penegak hukum. Perlu dilakukan identifikasi dan kajian status sumberdaya ikan, musim penangkapan, jumlah armada penangkapan, jenis alat tangkap, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan dan produksi di wilayah
perairan Selat Makasar oleh Departemen Kelautan dan
Perikanan 5) Dalam rangka mendukung terlaksananya pengendalian konflik nelayan antar daerah secara cepat dan tepat DKP perlu menyusun Pedoman Umum Penanganan Konflik Nelayan antar Daerah
139
6) DKP diharapkan membuat program modifikasi kapal Purse Seine Pelagis Kecil menjadi kapal Purse Seine Pelagis Besar dan pola pembiayaannya berupa fasilitas pinjaman. 7) Peningkatan teknologi penangkapan untuk nelayan di daerah potensi konflik untuk mengatasi kesenjangan nelayan 8) DKP segera menetapkan aturan penggunaan lampu untuk kapal Purse Seine dan alat tangkap lainnya yang menggunakan lampu sebagai alat Bantu penangkapan Hasil kesepakatan Surabaya dianggap tidak mewaliki nelayan Kotabaru, karena wakil HNSI yang telah ditunjuk untuk mewakili nelayan Kotabaru adalah bukan dari golongan nelayan, tetapi dari pengusaha, sehingga aspirasinya tidak mewakili nelayan sesungguhnya. Dan akhirnya nelayan tetap ngotot untuk tidak mau mengikuti surat kesepakatan yang dibuat.
Adanya kapal purse seine
sebanyak 40 unit masih berada di selat makasar/sekitar perairan Kotabaru membakar amarah nelayan dan melakukan pembakaran kapal purse seine pada tahun 2006. Kawatir konflik akan meluas, maka dilakukan tindak lanjut kesepakatan/ penyelesaian konflik yang diwaliki seluruh stakeholder dilakukan di Makasar tahun 2007. Pemerintah mengundang nelayan bertemu di Makasar. Pemerintah mengantisipasi konflik, dan merencanakan berbagai upaya: (1) dengan menyetop pengeluaran izin baru untuk kapal jenis purse seine (2) mengalihkan sebagian jenis kapal-kapal itu ke wilayah perairan yang lain. 2) Kasus daerah penangkapan Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik daerah penangkapan disajikan pada Tabel 19. Konflik pada kasus daerah penangkapan sebagian besar dilakukan secara kekeluargaan dan tidak pernah dilakukan secara tertulis karena diselesaikan hanya oleh dua pihak antara individu yang berkonflik. Kesepakatan lokal yang dibuat antara lain adalah: apabila nelayan luar masuk ke wilayah mereka akan diusir, perahu ditenggelamkan dan dirampas. Penyelesaian dapat juga dilakukan dengan cara ganti rugi dengan penyitaan alat tangkap dan perahu.
140
Tabel 19 Status penyelesaian konflik pada kasus daerah penangkapan No 1
2
3
4
Status penyelesaian konflik Nelayan Sungai Dungun melakukan penangkapan ikan di wilayah nelayan Dirgahayu. Konflik diselesaikan secara kekeluargaan (tahun 2002) Nelayan Dirgahayu melakukan penangkapan ikan di wilayah Sungai Dungun. Diselesaikan dengan cara penyitaan alat tangkap dan perahu (tahun 2003) Dilakukan pembatasan jalur penangkapan memberikan patok dari halayung (tiang bakang) sebagai batas zone pengangkapan ikan, yang difasilitasi oleh DKP Kotabaru. Namun karena hanya bisa bertahan setahun, batas tersebut hancur diterpa ombak. Pengurus INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) mengadukan ke DPRD Kotabaru dengan mengajukan masalah (i) pembagian wilayan tangkap (ii) larangan melaut di pulau kapak (tahun 2005) Akhirnya berhenti dengan sendirinya
Teknik resolusi konflik Negosiasi
Negosiasi
Negosiasi
Avoidance
Kesepakatan terhadap pengaturan jalur penangkapan, diatur oleh nelayan dengan pemasangan patok batas, namun digeser secara illegal oleh sebagian nelayan sehingga batas yang ada sudah tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Pendapat lain menyatakan bahwa pembatasan jalur penangkapan memberikan patok dari halayung (tiang bakang) hanya bisa bertahan setahun, batas tersebut hancur diterpa ombak. Pengkaplingan wilayah laut yang selama ini dilakukan dianggap oleh sebagian nelayan tidak sesuai dengan sifat open acces. Pengurus INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) mengadukan ke DPRD Kotabaru dengan mengajukan masalah (1) pembagian wilayan tangkap (2) larangan melaut di pulau kapak (tahun 2005). Sejak itu konflik berakhir dengan sendirinya sejalan dengan berakhirnya musim utara.
141
3) Kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik terangkum dalam status penyelesaian konflik pengambilan teripang dan kerang mutiara disajikan pada Tabel 20. Nelayan Sumenep mengambil teripang dan kerang mutiara dengan cara menyelam di wilayah perairan Tanah Laut (Tabanio, Pagatan Besar dan Takisung).
Masyarakat nelayan Tanah laut yang merasa
resah dengan nelayan andon kemudian menahan 5 (lima) unit kapal nelayan Sumenep. Melalui negosiasi antara kedua pihak konflik diselesaikan dengan membuat surat pernyataan kesepakatan nelayan Sumenep dilarang melaut di perairan Tabanio dan sekitarnya. Kemudian surat kesepakatan berubah setelah difasilitasi oleh LANAL, kesepakan menjadi “nelayan Sumenep hanya beroperasi siang hari, sedangkan nelayan Tabanio malam hari” supaya jaring nelayan lokal tidak menyangkut pada jangkar nelayan andon. Nelayan Tanah Laut merasa kurang puas dengan kesepakatan yang dilakukan bersama LANAL, kendati jadwal melaut bisa diatur, namun secara ekonomis tetap merugikan nelayan lokal. Apalagi pengaturan jadwal melaut itu merupakan solusi yang ditawarkan pihak LANAL dan dianggap tidak mewakili kehendak nelayan, maka 500 orang nelayan Tanah Laut membuat kesepakatan tertulis berisi penolakan terhadap kehadiran nelayan pencari teripang dan kerang mutiara. Pada pertemuan tersebut nelayan lokal membuat surat pernyataan yang intinya menolak kehadiran nelayan pencari kerang dan teripang dari Sumenep yang menyebabkan rusaknya habitat dan berkurangnya populasi (tenggiri dan lainnya) yang diajukan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanah Laut. Tabel 20 Status penyelesaian konflik pada kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara No Status penyelesaian konflik Teknik resolusi konflik 1
5 (lima) buah kapal nelayan Sumenep berhasil ditahan nelayan Tanah Laut. Konflik diselesaikan dengan membuat surat pernyataan kesepakatan: nelayan Sumenep dilarang melaut di perairan Tabanio dan sekitarnya (16 April 2007)
Negosiasi
142
Tabel 20 (lanjutan) No 2
3
4
5
Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik
Negosiasi Surat kesepakatan berubah, nelayan Sumenep hanya beroperasi siang hari, sedangkan nelayan Tabanio malam hari. Kesepakatan ini dicapai dalam rembug bersama Lanal Banjarmasin (18 April 2007) (Kurang puas dengan kesepakatan 18 April maka Surat permohonan 500 orang nelayan Tanah Laut membuat fasiltasi kepada kesepakatan tertulis berisi penolakan terhadap DKP Daerah kehadiran nelayan pencari teripang dan kerang dari Sumenep (30 April 2007) Kapal nelayan Sumenep masih beroperasi, maka Fasilitasi dilakukan sweeping petugas Polair dan terjaring 12 (duabelas) kapal dengan 12 unit selam disita (8 Mei 2007). Kemudian 4 (empat) unit kapal nelayan Makasar dan Balikpapan di sweeping. Hasil tangkapan (teripang) dan kompresor (alat selam) telah dievakuasi sebagai barang bukti (20 Mei 2007) Konflik pengambilan teripang dan kerang mutiara Fasilitasi oleh nelayan Sumenep terjadi juga di Kotabaru (tahun 2009) diselesaikan dengan membuat surat pernyataan untuk tidak akan melakukan aktivitasnya lagi yang difasilitasi oleh DKP (tahun 2009)
Melalui DKP Kabupaten Tala melayangkan surat kepada DKP Sumenep perihal keinginan masyarakat tersebut, yaitu: (1) Keberadaan nelayan tersebut tidak bisa diterima oleh nelayan Kabupaten Tanah Laut karena nelayan lokal tidak melakukan kegiatan penangkapan teripang dan kerang (2)Penangkapan kerang mutiara akan membawa dampak rusaknya kelestarian sumberdaya hayati kelautan dan perikanan terutama terumbu karang dan ikan akan punah. (3) Daerah penangkapan kerang mutiara bersamaan dengan lokasi penangkapan (fishing ground) nelayan kabupaten Tanah Laut, sehingga mengganggu atau merugikan kegiatan penangkapan (4) Untuk menghindari terjadinya konflik nelayan andon dengan nelayan Kabupaten Tanah Laut, kiranya nelayan andon tersebut tidak melakukan kegiatan penangkapan kerang mutiara dan teripang di Kabupaten Tanah Laut. (5) Kiranya nelayan andon tersebut agar ditarik dari
143
perairan Kabupaten Tanah laut dalam waktu segera. (6) Terlampir disampaikan surat pernyataan masyarakat pesisir Kabupaten Tanah Laut. Masuknya surat dari Kadis Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tanah Laut tersebut ditanggapi oleh Kadis Kabupaten Sumenep dengan menyampaikan beberapa hal sebagai berikut: 1
Sesuai aturan yang tertera pada keterangan andon Kabupaten Sumenep, nelayan andon yang melakukan andon ke daerah lain diharap melakukan hubungan baik dengan nelayan setempat dan tidak merusak ekosistem.
2
Berhubung saat ini timbul keresahan dan nelayan pesisir Kabupaten Tanah Laut karena adanya nelayan Ra’as yang andon ke wilayah pesisir Kabupaten Tanah Laut. Agar keresahan ini tidak menimbulkan konflik yang lebih luas, perlu dilakukan musyawarah lebih lanjut dengan masyarakat setempat yang mengacu pada UU perikanan No. 31 Tahun 2004 pasal 6 ayat 2 yang berbunyi: ”pengelolaan perikanan nuntuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat”. Seruan Dinas Kelautan dan perikanan Pemkab Sumenep terhadap
nelayannya, masih belum bisa menyelesaikan konflik. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya nelayan andon yang melakukan pengambilan teripang dan kerang mutiara. Bertambahnya nelayan andon tersebut bukan hanya berasal dari Sumenep saja tetapi bersasal dari Ra’as, Balikpapan, dan SulSel, akhirnya 12 (duabelas) unit kapal terjaring sweeping petugas Pol Air. Semuanya memiliki surat andon, namun tidak pernah lapor ke Dinas Kelautan dan perikanan Tanah Laut. Tindak lanjut dengan masih beroperasinya nelayan pencari teripang dan kerang mutiara tersebut maka dengan difasilitasi oleh DKP Tanah laut melalukan beberapa upaya sebagai langkah resolusi konflik yaitu: 1 Mengadakan pertemuan dan penyuluhan kepada nelayan tentang nelayan andon dan peraturan perundang-undangan bersama-sama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kaliimantan Selatan, Kecamatan dan Angkatan Laut.
144
2 Hasil kesepakatan adalah bahwa nelayan Sumenep yang masuk ke perairan Tabanio akan dipulangkan dengan ketentuan tidak boleh masuk lagi ke perairan Tabanio. Nelayan Sumenep diperkenankan beroperasi di Perairan Tabanio dan sekitarnya, jika menggunakan alat tangkap yang sama dengan nelayan lokal. Kesepakatan tersebut juga berlaku bagi nelayan lokal yang ingin melakukan operasi penangkapan ke luar daerah. Berkaitan hal tersebut di atas sambil menunggu musyawarah lebih lanjut dengan masyarakat setempat maka nelayan Kabupaten Tala melakukan partisipasi terhadap pengelolaan konflik dengan melakukan beberapa kegiatan yang intinya yaitu: (1) melaksanakan perpolisian masyarakat (Polmas) (2) Melakukan patroli di perairan Tanah Laut 4) Kasus lampara dasar Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik lampara dasar
disajikan pada
Tabel 21. Resolusi konflik lampara dasar diselesaikan secara kekeluargaan. Konflik berhenti dengan sendirinya berdasarkan kesadaran masing-masing. Tidak ada kesepakatan tertulis. Dari keterangan responden wakil dari kelompok nelayan selalu berinisiatif untuk menemui wakil dari pihak lawan untuk melakukan negosiasi terhadap permasalahan yang dihadapi. Jika mengalami kegagalan, mereka akan menghubungi pihak ketiga (misalnya dari unsur musyawarah pimpinan kecamatan/Muspika) untuk melakukan intervensi. Tabel 21 Status penyelesaian konflik pada kasus lampara dasar No
Status penyelesaian konflik
1
konflik lampara dasar diselesaikan secara kekeluargaan. Tidak ada kesepakatan tertulis.
2
nelayan lampara dasar tidak beroperasi di fishing ground trammel net.
Teknik resolusi konflik Negosiasi
Aviodance
Dengan berjalannya waktu terhadap perkembangan lampara dasar yang telah mengalami berbagai modifikasi dengan memberikan sayap yang dilengkapi danleno kemudian berkembang lagi dengan mengganti danleno dengan papan
145
layang.
Namun nelayan lampara dasar modifikasi menyadari dan mengerti
untuk melakukan penangkapan tidak di wilayah tangkap tradisional. Akhirnya konflik berhenti dengan sendirinya (avoidance). Semakin lama nelayan pengguna lampara dasar justru semakin banyak dan menyukai penggunaan lampara dasar karena mampu meningkatkan hasil tangkapan. Hingga sekarang semakin banyak nelayan menggunakannya. Hal ini didukung oleh pemerintah dan akhirnya pemerintah mengeluarkan peraturan yang dianggap dapat mengakomodir keinginan masyarakat nelayan yaitu membolehkan menggunakan lampara dasar modifikasi dengan penambahan papan layang asalkan tidak menggunakan di fishing ground trammel net. Sejak itu konflik berakhir dengan sendirinya (avoidance). 5) Kasus bagan apung Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik bagan apung disajikan pada Tabel 22. Resolusi konflik bagan apung
difasilitasi Dinas Perikanan dan Kelautan.
Kesepatan yang diperoleh bahwa bagan apung untuk sementara tidak beroperasi lagi. Apabila terdapat potensi konflik maupun konflik yang mengemuka maka masalah tersebut akan dibahas dalam suatu forum musyawarah kelompok untuk mencari alternatif solusinya Tabel 22 Status penyelesaian konflik pada kasus bagan apung No 1
Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik Resolusi konflik bagan apung difasilitasi Dinas Fasilitasi Perikanan dan Kelautan. Kesepatan yang diperoleh bahwa bagan apung untuk sementara tidak beroperasi lagi.
6) Kasus seser modern Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik bagan apung disajikan pada Tabel 23. Resolusi konflik nelayan seser dengan difasilitasi oleh PPNS dicapai
146
kesepakatan yaitu nelayan seser modern harus melakukan penangkapan agak ketengah, jangan dijalur nelayan seser tradisonal. Tabel 23 Status penyelesaian konflik pada kasus seser modern No 1
Status penyelesaian konflik
Teknik resolusi konflik Fasilitasi
Penyelesaian difasilitasi oleh PPNS dicapai kesepakatan yaitu nelayan seser modern harus melakukan penangkapan agak ketengah, jangan dijalur nelayan seser tradisonal.
Untuk menjamin kesepakatan yang dibuat tersebut tidak akan dilanggar maka pengawasan dan penegakan hukum dilakukan bersama oleh Polisi Air dan Udara (Pol Airud), Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanah Bumbu, serta masyarakat pengguna sumberdaya itu
sendiri
yang
terhimpun
dalam
Kelompok
Pengawas
Masyarakat
(Pokwasmas). 7) Kasus gillnet Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik gillnet disajikan pada Tabel 24. gillnet berakhir dengan sendirinya setelah diusir
Konflik
oleh nelayan lokal dan
akhirnya nelayan gillnet tidak berani lagi masuk ke wilayah perairan Tanah laut. Tabel 24 Status penyelesaian konflik pada kasus gillnet No 1
Status penyelesaian konflik Penyelesaian dilakukan dengan cara diusir dan akhirnya berhenti dengan sendirinya
Keterangan Avoidance
8) Kasus penggunaan bom Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik penggunaan bom disajikan pada Tabel 25. Pelarangan dan hukum terhadap penggunaan bom untuk menangkap ikan sudah ada ketentuan hukum yang mengatur, namun karena kasus ini belum bisa ditemukan barang bukti maka tidak bisa diselesaikan secara hukum (litigasi).
Dalam upaya pemberantasan penggunaan bom, jajaran Dinas
147
Perikanan dan Kelautan bekerjasama dengan Dirjen Penanganan dan Pengendalian Sumberdaya serta TNI AL menggelar operasi gabungan untuk menangkap sejumlah kapal yang beroperasi menggunakan bom. Tabel 25 Status penyelesaian konflik pada kasus penggunaan bom No 1
2
3
Status penyelesaian konflik Penggunaan bom dilakukan pada terumbu karang yang terdapat di wilayah tanjung kunyit Kotabaru pada (tahun 2005). Tidak bisa diselesaikan karena tidak ditemukan barang bukti Beberapa unit kapal bermesin cepat (sejenis mesin speed boat) yang menggunakan bahan kimia berbahaya. Kelompok nelayan desa Tabanio melakukan pengejaran tapi tidak berhasil, sehingga tidak bisa di selesaikan karena tidak ada barang bukti (tahun 2007). Secara intensif dilakukan sosialisasi oleh pemerintah daerah, DKP dan pokwasmas
Teknik resolusi konflik Avoidance
Kesulitan yang dialami oleh pengawas yaitu kurangnya fasilitas untuk melakukan pengejaran nelayan pengguna bom. Namun ketika dikejar sudah melarikan diri ke tengah lautan. Dengan melarikan dirinya nelayan pengguna bom, sudah memberikan pertanda kalau nelayan tersebut melarikan diri dan sudah tahu kesalahannya. Konflik ini berakhir dengan sendirinya ketika aparat keamanan (Polairut) melakukan pengawasan secara intensif. 9) Kasus cantrang Upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terangkum dalam status penyelesaian konflik cantrang disajikan pada Tabel 26. Penggunaan cantrang oleh nelayan andon Pekalongan telah mendapat protes keras dari nelayan lokal. Berkenaan dengan hal tersebut, pihak Dinas Kelauan dan perikanan Kotabaru sudah mengadakan pertemuan dan koordinasi dengan masyarakat nelayan Desa Hilir Kabupaten Kotabaru bersama pihak Kecamatan dan TNI-AL, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
148
1 Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan akan mengecek ulang dengan melakukan pengawasan ke lokasi kejadian bersama-sama nelayan desa Hilir dan pihak TNI-AL 2 Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan akan melakukan konsultasi hingga ke Departemen Kelautan dan Perikanan RI di Jakarta untuk rekomendasi bisa/tidaknya alat tangkap cantrang beroperasi 3 Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kotabaru bersama TNI-AL akan menseleksi surat menyurat perizinan mengenai aktifitas penangkapan dari Kab. Pekalongan. 4 Pihak nelayan dari Kab. Pekalongan wajib lapor kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kotabaru apabila akan melakukan aktifitas penangkapan di perairan wilayah hukum Kab. Kotabaru. Tabel 26 Status penyelesaian konflik pada kasus cantrang No 1
Status penyelesaian konflik cantrang untuk sementara tidak boleh dioperasikan di sekitar perairan Kalimantan Selatan (Tahun 2009)
Teknik resolusi konflik Fasilitasi
Dinas Perikanan dan Kelautan Kotabaru, melayangkan surat kepada Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan sehubungan dengan adanya warga nelayan dari Pekalongan Jawa Tengah yang melakukan aktifitas penangkapan dengan alat tangkap cantrang di perairan Pulau Sebuku Kabupaten Kotabaru. Berkaitan dengan permasalahan tersebut pihak Dinas Perikanan dan Kelautan Kotabaru sudah mengkonsultasikan dengan pihak Dirjen Tangkap di Departemen Kelautan dan Perikanan RI di Jakarta dengan ketentuan alat tersebut belum ada Rekomendasi untuk beroperasi (dilarang). Aktifitas penangkapan ikan dengan cantrang di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Tanah Laut.
Alat tangkap cantrang tersebut disita oleh
masyarakat setempat kemudian pihak Dinas Perikanan dan Kelautan bekerjasama dengan TNI AL memberikan pembinaan, diberi peringatan dan apabila kembali lagi akan ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku
149
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kal-Sel melayangkan surat kepada Kadis Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah sehubungan dengan permohonan izin andon, dengan beberapa ketentuan yang dipersyaratkan yaitu: 1 Tetap mengacu pada UU RI No. 31 tentang perikanan pasal 6 ayat (2) 2 Kep.Men.Tan.
Nomor
392/KPTS/IK.120/4/99
tentang
jalur-jallur
penangkapan Ikan 3 Kep.Men Nomor 19/MEN/2004, tentang pedoman Pengendalian Nelayan Andon dalam rangka Pengelolaan SDI. 10) Resolusi konflik antara pengguna yang berbeda Penyelesaian konflik antara nelayan dengan perusahaan pertambangan diawali dengan melakukan negosiasi dan memberikan bukti tentang kerugian yang dialami oleh pihak nelayan dan bukti bahwa keberadaan perusahaan pertambangan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Akar permasalahan konflik yaitu ditemukannya batu diluar area kerja, perlu diverifikasi dengan cara dibuatkan foto bawah laut, dibuat berita acara temuan batu dengan melengkapi jenis batuan estimasi volume batuan dan koordinat lokasi. Kemudian dilakukan koordinasi dengan
pemda, pengawas, WALHI dan INSAN atas temuan
tersebut. Jika batuan tersebut merupakan sisa buangan batu hasil dregging, maka data-data diatas digunakan dalam pengambilan keputusan oleh ITP atas rekomendasi pihak-pihak yang terkait. Dengan adanya temuan batu di Blok I oleh nelayan dan untuk menyikapi usulan dari nelayan terhadap mekanisme penggantian kerusakan alat nelayan yag bekerja disana, maka dimintakan kepada kontraktor untuk membuat skedul pengecekan ulang seluruhnya blok I sebagai langkah awal atas maintenance periodik untuk blok I (dengan asumsi adanya arus yang kuat mengakibatkan batu muncul karena lumpur tergerus arus) Jalur/alur buangan tetap harus dilakukan pengecekan dan dituangkan dalam berita acara dan untuk buangan batu ke dumping area harus selalu diawasi dan
melibatkan
seluruh
(Kontraktor/pengawas)
unsur
pengawas
yang
ada
didalam
tim
150
Pemda Kotabaru memberikan regulasi Nomor 30 tahun 2004 tentang larangan aktivitas pertambangan batubara di pulau Laut Kabupaten Kotabaru mengingat pentingnya melindungi dan melestarikan Pulau Laut sebagai Miniatur hutan tropis dunia dan besarnya jumlah penduduk yang berada di Pulau Laut sangat tergantung pada kondisi alam dan kelestariannya. 4.4.2 Pemetaan institusi penyelesaian konflik Pemerintah dan pihak terkait lainnya perlu menyusun suatu langkah-langkah rencana dalam menyelesaikan konflik.
Tiap konflik mempunyai kekhasan
masing-masing, oleh karenanya perlu dilakukan pemetaan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik. Pemetaan instutusi penyelesaian konflik merupakan
suatu
cara
untuk
menggambarkan
contoh
secara
grafis,
menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan pihak lainnya. Kegiatan ini dilakukan untuk lebih memahami konflik dengan baik dan melihat hubungan diantara berbagai pihak yang berkonflik secara lebih jelas sehingga metode pendekatan dan langkah-langkah penyelesaian konflik yang akan diterapkan dapat segera menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. (1) Kasus purse seine Keterkaitan antar stakeholders pada kasus purse seine dijelaskan pada peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus purse seine (Gambar 35). Pelaku utama konflik pada kasus purse seine adalah nelayan mini purse seine (Kotabaru) yang semi modern, berorientasi substensi dan pasar lokal dengan nelayan purse seine (Jawa Tengah) yang lebih modern dan berorientasi industri. Perseteruan antara kedua nelayan tersebut menyebabkan hubungan yang tidak harmonis (konflik sekunder) antara DKP (Kabupaten, Provinsi dan Pusat), aparat hukum, organisasi nelayan serta
industri perikanan. Konflik sekunder
antara nelayan purse seine dengan DKP Pusat (sekarang KKP/Kementrian Kelautan dan Perikanan) karena telah memberi izin melakukan penangkapan di sekitar perairan Kotabaru, akibatnya nelayan mini purse seine Kotabaru merasakan ketidakadilan terhadap tindakan Dinas perikanan yang berpihak kepada nelayan purse seine Jateng.
151
HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) merupakan tenaga pendamping masyarakat, namun
karena keberpihakannya saat melakukan
persetujuan bahwa nelayan purse seine tetap bisa beroperasi di perairan sekitar Kotabaru maka terjadi konflik sekunder antara nelayan Kotabaru dan HNSI KalSel.
Keberadaan DPRD dan aparat yang terkesan lamban bertindak sampai
akhirnya terjadi unjuk rasa dan pembakaran kapal. Setelah konflik terbuka dan berdampak kekerasan dan kerugian besar, baru dilakukan tindak lanjut penyelesaian yang difasilitasi oleh pemerintah. Dalam konflik ini melibatkan stakeholder secara lebih luas seperti TNI AL, Polairud, Polsek dan Polres di pihak pemerintah dan LSM serta organisasi masyarakat yang dengan kekuatan moral merupakan upaya mandiri untuk mengatasi kerusakan laut dan mempertahankan keberlanjutan sumberdaya perikanan. +
DKP Jateng
KKP
+
+
+
+
A DKP Kalsel
+
Industri perikanan
+ POKMAS WAS
C
DPRD
+ INSAN
+ +
+
AMNES
+ + +
+ HNSI
+
B
+
+ TNI AL
+
+
Pedagang pengumpul
+ Polair
+
Keterangan: A : nelayan purse seine (teknologi tinggi) B : nelayan mini purse seine (teknologi menengah) C : nelayan tradisional
Gambar 35 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus purse seine
152
(2) Kasus daerah penangkapan ikan Konflik pada kasus daerah tangkap merupakan konflik sesama nelayan lokal yang terjadi di Kabupaten Kotabaru yang pada umumnya dilakukan oleh nelayan yang masih tradisional dan berorientasi substensi. Konflik utama terjadi antara nelayan di Kecamatan Pulau Sebuku antara lain desa Sungai Dungun dengan Kecamatan Hilir Muara antara lain desa Rampa dan desa Dirgahayu (Gambar 36).
Konflik sekunder terjadi antara organisasi nelayan (INSAN)
dengan Dinas perikanan yang telah menyetujui pembagian wilayah tangkap. Aksi demonstrasi INSAN ke Dinas Perikanan dan Kelautan dengan tuntutan pencabutan patok batas diperairan Selat Sebuku dan dihentikannya tindakan kekerasan oleh nelayan Sungai Dungun, kemudian INSAN mendesak dinas Kelautan dan Perikanan untuk secepat mungkin mempertemukan INSAN dengan kelompok nelayan Sungai Dungun, Pantai dan Senakin. Selain itu Dinas perikanan dituntut harus tegas dan mau mengganti kerugian kapal yang tenggelam serta alat tangkap yang rusak.
+
DKP Kalsel
+ +
A DKP Kotabaru
+
+
+
Pedagang pengumpul
+
+
POKMAS WAS
DPRD
+
+
+
INSAN
B +
+
TNI AL +
+
Polair
Keterangan: A : Nelayan Kecamatan Pulau laut Utara dan sekitarnya (Kotabaru) B : Nelayan Kecamatan Pulau Sebuku dan sekitarnya (Kotabaru)
Gambar 36 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus daerah penangkapan ikan
153
Dinas Perikanan menyetujui pembagian wilayah penangkapan dengan harapan nelayan lampara dasar atau sejenisnya tidak bisa beroperasi di wilayah Kecamatan Pulau Sebuku (daerah penangkapan 4: Zona Pemancingan - Sungai Dungun - Pulau Manti - Sungai Bali -Tanjung Lita) dan Selat laut (daerah penangkapan 2: Zona Pulau Simbangan - Tanjung Tamiang-Sekandis - Talusi Tanjung Semelantakan - Rampa - Cengal - Sesulung -Tanah Merah - Separe Kecil -Separe Besar) (lihat Gambar 15) yang diperuntukkan untuk nelayan tradisional. Namun yang terjadi adalah sebaliknya menimbulkan konflik terbuka dan berdampak pada kekerasan fisik, intimidasi, perusakan dan penenggelaman kapal. Upaya penyelesaian konflik tersebut sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah terutama polsek/polres, kemudian dilakukan pengarahan oleh Kapolres agar masyarakat nelayan dapat melaut dengan aman, nyaman, dan hasil memadai. Nelayan tradisional dalam upaya memperjuangkan hak mereka memilih melakukan aliansi dengan pihak luar, dalam hal ini lembaga non pemerintah seperti WALHI (Wahana Lingkungan Hidup). Dengan kekuatan moral dan sebagai pemerhati lingkungan hidup
WALHI turut berpartisipasi
dalam memberikan perhatian dan sangat menyangkan adanya dampak kekerasan yang telah terjadi. Pada tahun 2005 dalam penyelesaian konflik daerah tangkap, WALHI bersifat sebagai pendamping ikut berdiskusi untuk membahas berbagai penyelesaian konflik daerah penangkapan di Kotabaru. (3) Kasus perburuan teripang dan kerang mutiara Konflik pada kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara merupakan konflik antar provinsi.
Konflik utama terjadi antara nelayan dari Kabupaten
Tanah Laut yang melakukan penangkapan ikan tidak mengambil teripang dan kerang mutiara dengan nelayan pemburu teripang dari Jawa Timur, Sulawesi dan Kalimantan Timur yang berorientasi ekspor (Gambar 37). Dengan kekuatan otoritas yang dimiliki oleh Dinas Kelautan Dan Perikanan, mereka memberikan surat izin andon dan memberikan hak untuk melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut.
Konflik ini melibatkan
banyak stakeholder diantaranya adalah polsek dan polres yang berkepentingan sebagai penegak hukum karena nelayan pencari teripang dianggap melakukan
154
perusakan karang dan menggunakan bahan kimia beracun dan berbahaya walaupun hal tersebut tudak dapat dibuktikan. Konflik sekunder terjadi antara nelayan Kabupaten Tanah Laut dengan TNI AL karena dianggap membekingi nelayan pemburu teripang. +
DKP Jatim
+ DKP Sulsel
+
+
DKP Kaltim
A
+ Eksportir perikanan
KKP
+
+
+
POKMAS WAS DKP Kalsel
Pedagang pengumpul
+ +
+
+ +
DPRD
+
B
+
+
+
+
Polsek, Polres
+ Polair
TNI AL
+
Keterangan: A : nelayan pemburu teripang B : nelayan Kalsel
Gambar 37 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus pengambilan teripang
(4) Kasus lampara dasar Pelaku utama konflik pada kasus lampara dasar terjadi antara nelayan tradisional yang masih bersifat substensi dengan nelayan lampara dasar yang sudah melakukan modifikasi alat tangkap (Gambar 38). Konflik sekunder terjadi antara nelayan tradisional dengan Dinas Perikanan yang telah memberikan izin terhadap penggunaan lampara dasar yang telah terjadi modifikasi alat menyerupai
155
trawl dengan menggunakan danleno untuk membuka sayap dan mengeruk dasar perairan. +
DKP Kalsel
DKP Tala
+
+ +
Pedagang pengumpul
+
A
+
+
_ + _
Pokmaswas
+
+ Pedagang pengecer
DKP Tanbu
+ DKP Kotabaru
B +
Keterangan: A : Nelayan Nelayan lampara dasar (Kotabaru, Tanah Laut, Tanah Bumbu) B : Nelayan trammel net dan tradisional lainnya B : Nelayan Kecamatan Pulau Sebuku dan sekitarnya (Kotabaru)
Gambar 38 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus lampara dasar
Pokmaswas dalam hal ini sebagai jembatan untuk melakukan pengelolaan kolaboratif melakukan aliansi terhadap pengguna lampara dasar dan pemerintah (DKP) serta memahami keinginan pengguna lampara dasar dan keinginan pemerintah.
Lampara dasar akhirnya dapat digunakan dan disetujui oleh
masyarakat untuk digunakan, tapi dengan syarat tidak dioperasikan di wilayah fishing ground nelayan tradisional, Dalam hal ini penggunaan lampara dasar dapat menguntungkan kedua belah pihak dan dapat meningkatkan hasil tangkapan. (5) Konflik gillnet Pelaku utama konflik pada kasus gillnet terjadi antara nelayan andon yang dianggap menggunakan gillnet melebihi kapasitas dengan nelayan gillnet dari Kabupaten Tanah Laut.
DKP daerah selaku pemegang otoritas melarang
penggunaan gillnet yang melebihi kapasitas, sehingga DKP mendukung diusirnya
156
nelayan gillnet dari perairan Tanah laut. dengan sendirinya.
Dengan demikian konflik berakhir
Sebagai tindak lanjut untuk kelestarian sumberdaya
perikanan, Pokmaswas terus melakukan pengawasan terhadap adanya oknum nelayan yang melakukan pelanggaran. Dalam hal ini konflik sekunder terjadi antara DKP dan nelayan gillnet yang melebihi kapasitas (Gambar 39). +
DKP Kalsel
DKP Tala
+
Pedagang pengumpul
A
+
+
-
-
_ Pokmaswas
_+ _
_ +
+
+
+
TNI AL Polair
+
B Pedagang pengecer
Keterangan: A : Nelayan gillnet (andon) B : Nelayan gillnet (Tanah Laut)
Gambar 39 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada pada kasus gillnet
(6) Kasus bagan apung Pelaku utama konflik pada kasus bagan apung yaitu nelayan bagan tancap dan bagan apung yang terdapat di Kabupaten Tanah Bumbu (Gambar 40). Pelaku utama tersebut masih sama-sama berorientasi pada substensi, pasar lokal dan nasional. Konflik sekunder terjadi antara nelayan bagan tancap dengan DKP daerah yang terkesan membiarkan penggunaan bagan apung digunakan oleh beberapa nelayan.
Hal tersebut mengundang amarah nelayan bagan tancap
sehingga terjadi penghancuran kapal yang menggunakan bagan apung. Dengan dijembatani oleh Pokmaswas yang memiliki aliansi dengan pemerintah (DKP) dan juga memiliki aliansi dengan nelayan bagan apung, melalui pengelolaan kolaboratif akhirnya nelayan bagan apung menyetujui untuk sementara tidak
157
beroperasi melakukan eksploitasi penangkapan ikan teri dan ikan tembang di Kabupaten Tanah Bumbu.
DKP Kotabaru
+
+
DKP Kalsel
+
A
+ DKP Tambu
+ Pedagang pengumpul
+
-
Pokmaswas
+ +
_ _
+
B Pedagang pengecer
Keterangan: A : Nelayan Bagan apung (Kotabaru) B : Nelayan Bagan Tancap (Tanah Bumbu)
Gambar 40 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus bagan apung
(7) Kasus seser modern Pelaku utama konflik pada kasus seser modern adalah nelayan Kabupaten Tanah Bumbu pengguna seser tradisional yang hanya bertumpu pada tenaga manusia yang cemburu terhadap nelayan pengguna seser menggunakan perahu motor (Gambar 41). Hasil tangkapan kedua jenis alat tangkap tersebut adalah udang rebon yang masih berorientasi substensi yang diolah menjadi terasi atau ebi dan pasar lokal.
158
DKP Kalsel
DKP Tambu
+
Pedagang pengumpul
A
+
_ + _ +
+ +
Pokmaswas
+
Pengolah terasi
+
B Pedagang pengecer
Keterangan: A : Nelayan seser modern (Tanah Bumbu) B : Nelayan seser tradisional (Tanah Bumbu)
Gambar 41 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus seser modern Konflik sekunder terjadi antara nelayan seser tradisional dengan DKP daerah. Nelayan seser tradisional menuntut untuk dilarangnya pengguna seser yang menggunakan perahu motor untuk beroperasi di wilayah pesisir pengguna seser tradisional. Dengan dijembatani oleh Pokmaswas yang memiliki aliansi dengan pemerintah (DKP) dan juga memiliki aliansi dengan nelayan seser melalui pengelolaan kolaboratif untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya perikanan akhirnya nelayan seser modern menyetujui untuk mengoperasikan seser modern agak ke tengah sehingga tidak bertabrakan dengan nelayan seser tradisional saat melakukan penangkapan udang rebon. (8) Kasus penggunaan bom Pelaku utama konflik pada kasus penggunaan bom di perairan Kalimantan Selatan yaitu nelayan andon dan seluruh nelayan dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan (Gambar 42). Adanya cara pandang yang berbeda dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang menghalalkan cara untuk dapat mengasilkan ikan dengan cara yang cepat tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan.
Perseteruan tersebut telah menyebabkan hubungan yang tidak
harmonis (konflik sekunder) dengan berbagai aparat pemerintah seperti Dinas
159
Kelautan Provinsi dan Kabupaten, PPSDA, TNI AL dan Polair serta masyarakat pesisir yang tergabung ke dalam organisasi Pokmaswas.
+ DKP Kotabaru
+
A
+
-
PPSDA
_ + _
+
Pedagang pengumpul
+
DKP Tanbu
DKP Kalsel
+
_ Pokmaswas _ + B +
+ +
_ _
DKP Tala
+
TNI AL, Polair
Pedagang pengecer
Keterangan: A : Nelayan pengguna bom B : Nelayan tidak pengguna bom
Gambar 42 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus penggunaan bom Nelayan yang bukan pengguna bom melakukan aliansi kepada semua lembaga pemerintah beserta aparat hukum
yang mendukung pemberantasan
illegal fishing terus bekerjasama bahu membahu untuk melakukan pengawasan yang dibantu oleh Pokmaswas. (9) Kasus cantrang Konflik pada kasus cantrang merupakan konflik antar provinsi. Cantrang tidak digunakan oleh nelayan di Kalimantan Selatan, oleh karena itu masuknya cantrang ke perairan Kalimantan Selatan merupakan masalah besar dan menyebabkan kecemburuan nelayan lokal.
Pelaku utama adalah nelayan
Kalimantan Selatan dengan nelayan andon pengguna cantrang (Gambar 43).
160
DKP Jateng
+ DKP Sulsel
+
+ Eksportir perikanan
A
+ KKP
+
+ POKMAS WAS DKP Kalsel
+ Pedagang pengumpul
+ +
+
+ +
DPRD
+
B
+
+
+
+
Polsek, Polres
+ Polair
TNI AL
+
Keterangan: A : nelayan cantrang (andon B : nelayan Kalsel
Gambar 43 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada pada kasus cantrang Nelayan Kal-Sel melakukan aliansi kepada DKP Daerah dan provinsi KalSel untuk menolak beroperasinya cantrang sampai ada kejelasan dibolehkannya cantrang
masuk
ke
perairan
Kalimantan
Selatan.
Pokmaswas
yang
berkepentingan dalam melakukan pengelolaan kolaboratif secara intensif melakukan pengawasan dan segera melaporkan kepada Dinas Perikanan jika cantrang masuk ke wilayah perairan Kalsel.
161
4.4.2 Peran kelembagaan pengelolaan konflik (1) Kelembagaan pemerintah Kalsel secara administratif telah memiliki institusi formal yang mengelola perikanan seperti Dinas Perikanan dan Kelautan baik provinsi maupun kabupaten, demikian juga dengan peraturan formal dan informal yang berkaitan dengan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam.
Keberadaan peraturan-peraturan
tersebut baik peraturan formal dan informal belum dibarengi dengan implementasi secara optimal. Upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kalimantan Selatan diantaranya adalah: 1 Membentuk Pokmaswas Beberapa daerah pesisir mulai membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS). Pokmaswas merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta mayarakat maritim lainnya. Pokmaswas dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur seorang anggota masyarakat. POKMASWAS berfungsi sebagai mediator antara
masyarakat dengan
pemerintah/petugas. Para nelayan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap ikan dan nelayan-nelayan kecil serta masyarakat
maritim lainnya, dapat menjadi
anggota kelompok masyarakat Pengawas. Kepengurusan POKMASWAS dipilih oleh masyarakat dan terdaftar sebagai anggota. Pembentukan dan keanggotaan Pokmaswas perairan laut Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Pembentukan dan keanggotaan Pokmaswas Desa Kab. Tanah Laut 1 Batakan 2 Kuala Tambangan 3 Muara Asam-asam Kab. Tanah Bumbu 1 Tungkaran Pangeran 2 Wiritasi 3 Sungai Rukam 4 Setarap
Nama Kelompok
Pengukuhan
Anggota
Indah Lestari Batu lima Bina Bersama
2001 2006 2006
140 50 12
Cinta Bahari Manuntung Berkat Bersatu Berkat Usaha
2005 2004 2005 2006
60 20 16 46
162
Tabel 27 (lanjutan) Desa Kab. Tanah Bumbu 5 Muara Ujung 6 Sungai Cuka 7 Angsana Kab Kotabaru 1 Mata Sirih 2 Teluk Gosong 3 Teluk Tengah 4 Teluk Tamiang 5 Lontar Selatan 6 Pantai Kec. Kalumpang Selatan 7 Tanjung Batu 8 Pulau Kerayaan 9 Pantai Kec. Kalumpang Tengah 10 Rajawali
Nama Kelompok
Pengukuhan
Anggota
Bersujud Berdikari Karang Kima
2006 2007 2007
24 22 28
Putra Celebes Berkat Rakat Pelisma Pada idi Pantai Pesisir
2005 2005 2005 2003 2005
20 24 20 12 21
Pantai Kalumpang II Karang Tanjung Lumba-lumba
2005 2005 2004
20 24 10
Pantai Kalumpang I Teluk Sirih
2005 2005
19 12
Sumber: Dinas Perikanan Provinsi Kal-Sel 2009
Dalam upaya pemberdayan Pokmaswas, sesuai dengan kemampuan pemerintah/Dinas perikanan memberikan bantuan sarana dan prasarana pengawas secara selektif serta disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Bantuan tersebut berupa kamera digital, Hp dan stimulan lainnya berupa kelotok (kapal motor), baju seragam, topi dan atribut lainnya. Selain itu pemerintah dan atau pemerintah daerah memberikan pembinaan, bimbingan dan pelatihan bagi peningkatan kemampuan POKMASWAS. Satuan pembina SISWASMAS (Sistem Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Berbasis Masyarakat) memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan operasional pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan, melaksanakan koordinasi dan menyelaraskan program dan kegiatan antar instansi/lembaga terkait, serta mengambil tindakan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran atas informasi dari kelompok pengawas masyarakat. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari pembina SISWASMAS di tingkat Pusat dibantu oleh Sekretariat yang bertugas mengumpulkan, mengolah dan menganalisa laporan dan informasi, serta melaporkan kegiatan dan perkembangan pelaksanaan SISWASMAS dari daerah menyiapkan tindak lanjut. Jaringan kerja sebagai koordinasi pelaksanaan SISWASMAS disajikan pada Gambar 44.
163
Tingkat Pusat Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Departemen Sekretariat
Tingkat Daerah Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Tingkat Kabupaten Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
POKMASWAS Ketua Wakil Ketua Sekretaris Seksi-seksi: (Operasi, Keamanan, Humas)
Gambar 44 Struktur organissasi dan koordinasi pembinaan SISWASMAS Kegiatan POKMASWAS selain penanganan konflik nelayan yaitu: (1) membantu Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan pengawasan, patroli atau razia (2) membantu Dinas Kelautan dan Perikanan dalam menegakkan peraturan bidang perikanan dan memberantas illegal fishing (3)
Melakukan kegiatan
sosialisasi UU No 31 tahun 2004 dan peraturan perikanan (4) Penyebaran leaflet (5) Secara intensif melakukan pertemuan-pertemuan kelompok. Yang menjadi obyek utama dalam pengawasan Sismaswas yaitu (1) pemanfaatan sumberdaya yang illegal meliputi: (penggunaan bahan peledak, pengguna bahan berbahaya beracun seperti strum, potas, tuba, bom, pengguna alat tangkap yang dilarang seperti arus listrik, trawl, jaring dengan mesh size kurang dari 2,5 cm hampang dengan jarak tertentu, pelanggaran daerah penangkapan (2) pencemaran dan perusakan ekosistem/lingkungan laut misalnya perusakan terumbu karang, hutan mangrove. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan diharapkan dapat dilakukan secara terus menerus oleh Pokmaswas dan didukung oleh semua pihak, baik oleh aparatur pemerintah (Pengawas Perikanan), Polisi Perairan dan Udara, TNI Angkatan Laut serta Dinas Perikanan dalam melakukan penegakan
164
hukum di laut. masyarakat
Sistem pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis dapat
dilakukan
oleh
Kelompok
Masyarakat
Pengawas
(POKMASWAS). Jaringan kerja dan mekanisme POKMASWAS disajikan pada Gambar 45. Jaringan kerja
Tindakan
Pokmaswas
Survai lapangan/informasi pelanggaran dalam pengelolaan & pemanfaatan sumberdaya
APARAT
Pelaporan
Penghentian, pemeriksaan, pengejaran
PPNS-PPI-DKP-Satpol-AIRUD-TNIAL-Karantina Melakukan koordinasi Dinas Kabupaten/ Kota/Provinsi, Instansi terkait
Tembusan kepada Dirjend Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Proses penyelidikan & penyidikan
Operasi tindak lanjut
Gambar 45 Jaringan dan mekanisme Pokmaswas Upaya pemberdayaan Pokmaswas, pemerintah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan
telah
memberikan
pendidikan/pelatihan/studi
banding
untuk
mengembangkan wasasan anggota pokmaswas ke provinsi lain seperti pulau Jawa, dan Sumatera.
Antusias Pokmaswas yang tinggi untuk melaksanakan
fungsinya dengan baik mendapat perhatian serius oleh pemerintah dengan diadakannya lomba mulai tingkat Kabupaten sampai Ke tingkat provinsi dan mendapatkan penghargaan tertinggi berupa Adi bhakti Mina Bahari yang diserahkan di Jakarta. Pokmaswas dari Kalimantan Selatan termasuk 5 (lima) nominasi terbaik tingkat Nasional.
2 Mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dan melayangkan surat peringatan dan sosialisasi Upaya ini dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan antara pihak yang berkonflik. Dinas Perikanan dan Kelautan memfasilitasi beberapa konflik dan melakukan pertemuan pihak-pihak yang berkonflik seperti pada kasus konflik yaitu:
165
(1) Tanggal 28 Mei 2005 dilaksanakan pertemuan yang dihadiri oleh HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), DKP Propinsi Kal-Sel, DKP Kabupaten Kotabaru, Koramil, TNI-AL, Tokoh masyarakat dan staf Pemda Kabupaten Kotabaru serta Staf Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia di rumah ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Kotabaru dengan hasil bahwa nelayan Kotabaru bisa menerima nelayan Purse seine Propinsi Jawa Tengah tetapi tidak menggunakan lampu. (2) Tanggal 31 Mei 2005 dilaksanakan pertemuan antara DKP Propinsi Kal-Sel, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kotabaru, TNI-AL, Instansi terkait lainnya yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten Kotabaru bertempat di Kotabaru, yang memperoleh kesepakatan sementara (3) Pertemuan stakeholder di Dinas Perikanan dan Kelautan Kal-Sel diikuti DKP Kotabaru, DKP Provinsi Kal-Sel dan DKP Provinsi Jateng (16 Juni 2005). (4) Tanggal 14 Juli 2005 dilaksanakan sosialisasi hasil kesepakatan penyelesaian konflik nelayan Jawa Tengah dan Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan dengan hasil bahwa Nelayan Kotabaru menduga kesepakatan dimaksud sudah menjadi ketetapan, sebenarnya ketetapan tersebut itu bersifat sementara yang diberlakukan uji coba selama 3 bulan, sehingga nelayan Kotabaru tidak bisa menerima hasil kesepakatan di maksud. (5) Pertemuan evaluasi
kesepakatan 7 Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi
serta penyempurnaan RPP pelagis kecil laut Jawa di Semarang (21013 Juli 2005) (6) Pertemuan stakeholder di Surabaya diikuti oleh Ditjen PT, Ditjen P2SDKP, DKP Provinsi Ja-Teng, Kal-Tim, Kal-Sel, Sul-Sel, Ja-Bar, Ja-Tim, DKP Kota
Balikpapan,
Dinas
Pertanian-Peternakan
dan
Kelautan
Kota
Pekalongan, Wakil PUSKUD Mina Baruna Ja-Teng, DKP Kabupaten Pati, Bagian Hukum Pemkot Balikpapan, Ketua Umum dan Sekjen DPP HNSI, Ketua DPD HNSI Ja- Teng, Ja-Tim, Ja-Bar, Sul-Sel, dan perwakilan nelayan Ja-Teng (asosiasi purse seine Indonesia) (24-25 Januari 2006).
166
(7) Pertemuan stakeholders yang bersifat informal pada tahun 2008 diadakan di Kabupaten Tanah Bumbu dihadiri oleh DKP Tanah Bumbu yaitu (1) kesepatan yang diperoleh bahwa bagan apung untuk sementara tidak beroperasi lagi (konflik bagan apung ) (2) kesepakatan yang diperoleh bahwa pengoperasian seser modern agak ketengah/tidak bersamaan dengan pengguna seser modern. (8) Sosialisasi, penyuluhan hukum dan peraturan perikanan di beberapa wilayah yang merupakan basis konflik di Kabupaten Kotabaru, Tanah bumbu dan Tanah Laut seperti Pulau laut, Desa Rampa, Kalumpang dan Tabanio. (9) DKP Tanah Laut melayangkan surat kepada DKP Kab. Sumenep untuk menarik Nelayan Andon tersebut dan perairan Kabupaten Tanah Laut dengan surat nomor 532.3/123/PSDH tanggal 24 April 2007 tentang nelayan Andon, perihal keberadaan nelayan andon yang tidak bisa diterima karena melakukan pencarian kerang dan teripang yang tidak dilakukan oleh nelayan Tanah Laut. (10) Dinas
Kelautan Perikanan Tanah Bumbu melayangkan surat
nomor
523.32/1173/XII/2006 kepada DKP Sumenep perihal hasil patroli terhadap nelayan andon yang tidak memiliki surat andon. (11) Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Kal-Sel melayangkan surat nomor 523.5/UI/Diskanlut/2009 kepada Dinas Perikanana Kelautan provinsi Jawa Tengah perihal alat tangkap cantrang belum bisa diterima karena masih dalam ujicoba dan belum direkomendasikan. 3 Mengeluarkan regulasi dan pertemuan lintas instansi Pemerintah Kalimantan Selatan, dalam menyikapi perkembangan konflik antar nelayan, mengeluarkan beberapa regulasi yaitu: (1) Larangan pengambilan tiram mutiara di wilayah perairan kecamatan Pulau laut Barat, Pulau Laut Selatan dan Pulau Sembilan Kabupaten Kotabaru yang tertuang dalam peraturan Bupati Kotabaru No 03 tahun 2006 (2) Pembentukan Forum Koordinasi penangan tindak pidana di bidang perikanan tingkat provinsi Kalimantan Selatan dengan Keputusan gubernur Kal-Sel No 188.44/053/KUM/2007
167
(3) Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan SDI (FKKPS) tahum 2004 di Mataram NTB membahas tentang pengendalian pemanfaatan sumberdaya ikan yang disepakati oleh 7 (tujuh) DKP Provinsi (Jateng, Jatim, Sulsel, Kaltim, Kalsel, Kalteng, dan Kal bar) (4) Pertemuan dalam rangka apresiasi pengelolaan SDI tentang penanganan konflik nelayan dan optimalisasi pemanfaatan SDI di wilayah perbatasan dihadiri oleh Menteri kelautan dan perikanan dan 100 peserta yang terdiri dari anggota komisi IV DPR, pejabat eselon I dan II lingkup DKP, Komisi Nasional
Pengkajian
SDI,
MPN
(Masyarakat
Perikanan
Indonesia),
GAPPINDO (gabungan pengusaha perikanan Indonesia), ASTUN (Asosiasi Tuna Indonesia), HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), Direktur Perjanjian Internasional-Departemen Luar Negeri, Direktur Kepolisian Perairan Kepolisian RI, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), JICA (Fisheries Expert dari Japan Internasional Cooperative Agency) dan SEAFDEC (Southeast Asian Fisheries Development Center) Bangkok, BBPPI (Balai Besar Pengembangan Penangkakapan ikan), para pakar perikanan dan wakil dari perguruan Tinggi IPB serta Dinas kelautan dan perikanan provinsi dan kabupaten (Hotel Le Grandeur Jakarta 14-16 Agustus 2007). (2) Lembaga formal lainnya Lembaga
formal
yang
selama
ini
diharapkan
dapat
membantu
menyelesaikan permasalahan pengamanan laut seperti Polairut dan TNI AL, dianggap besar pengaruhnya ketika sudah terjadi konflik sosial antar nelayan, seperi pada kasus purse seine, pengambilan teripang dan kasus cantrang. Pengawasan pengelolaan sumberdaya ikan sudah mengikutsertakan lembaga formal yang ada yaitu PPNS, namun ketersediaan personilnya masih dirasakan kurang ketersediaanya. (3) Kelembagaan non pemerintah Kelembagaan lokal (non pemerintah) yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan memegang peranan penting dalam keberlanjutan sumberdaya perikanan.
Kelembagaan non pemerintah yang ikut membantu
168
nelayan dalam penanganan konflik di Kalimantan Selatan diantaranya Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), AMNES (Aliansi Masyarakat Nelayan Saijaan), INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan). Keberadaan kelembagaan non pemerintah ini selain atas inisiatif sendiri juga merupakan perwujudan dari keinginan para nelayan itu sendiri yang peduli dan khawatir akan semakin menurunnya hasil tangkapan. Kelembagaan non pemerintah yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan di Kalimantan Selatan memang sudah ada, hal ini memperkuat posisi dan menyeimbangkan kekuatan nelayan di Kalimantan Selatan. Pola kebiasaan masyarakat yang mencerminkan kerjasama yang sudah melembaga merupakan dasar yang kuat untuk menerapkan pendekatan bottom-up yang dapat mempertemukan aspirasi pemanfaatan sumberdaya dan keinginan pemerintah dengan melibatkan stakeholder. Pola kebiasaan yang umum terdapat di semua desa pesisir Kalimantan Selatan yang merupakan tradisi leluhur masyarakat berbagai etnis yang tinggal di wilayah pesisir Kalimantan Selatan telah beradaptasi dengan ajaran agama. Tradisi-tradisi ini kemudian melembaga dalam adat. Bagi masyarakat nelayan atau pesisir, terlaksananya tradisi yang konsisten dengan pola budaya menjadi kebanggaan. Bahkan kemampuan sebagai warga masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan tradisi dapat menumbuhkan rasa percaya diri untuk mengatasi permasalahan.
Keberadaan tradisi leluhur yang
bernuansa kearifan lokal merupakan stok kapital bagi pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) merupakan varian pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan oleh suatu masyarakat dalam interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan lokal bersifat rinci, kaya dan spesifik sebagai hasil akumulasi pengalaman-pengalaman lokal yang bersifat unik. Keberadaan kelembagaan lokal dapat dikembangkan melalui pendekatan CBRM (community based fisheries management) yaitu suatu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dengan memanfaatkan berbagai inisiatif lokal yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya sambil tetap membuka diri bagi kontribusi eksternal seperti pengetahuan atau teknologi modern.
169
4.5 Model Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Sebelum dilaksanakan analisis model persamaan struktural, maka langkah awal yang dilakukan adalah menentukan konstruk laten dengan confirmatory factor analysis.
Adapun tujuan dari analisis confirmatory factor adalah untuk
menguji apakah konstruk laten dari masing-masing faktor merupakan konstruk unidimensional yang didefinisikan oleh masing-masing variable observed. Model SEM yang telah dibuat dilakukan modifikasi.
Dalam suatu penelitian sering
terjadi beberapa faktor tidak secara eksplisit dapat dibuat model, karena tidak semua teori bisa dikembangkan mencapai spesifikasi model secara sempurna. Revisi model melalui suatu modifikasi dilakukan dengan melihat covarian modification indices. Nilai modification indices (MI) pada covarian diharapkan akan menurunkan nilai chi-square jika covarian dari indikator-indikator tersebut dikorelasikan. Langkah yang dilakukan yaitu dengan mengkorelasikan variabel yang mempunyai nilai modification indices lebih besar sehingga terjadi substitusi nilai covarian ke dalam persamaan lain dengan memecah dua persamaan yang dapat menurunkan nilai chi-square untuk memenuhi goodness of fit. Berikut ini disajikan evaluasi tingkat kecocokan keseluruhan model. Evalusi terhadap tingkat kecocokan data dengan model yang terdiri dari (1) ukuran kecocokan absolut (absolute fit measures) (2) ukuran kecocokan inkremental (incremental fit mneasures) (3) ukuran kecocokan parsimoni (parsimonious fit measures) (4) ukuran kecocokan lainnya (other GOFI). Hasil evaluasi dimaksud ditunjukkan pada Tabel 28. Tabel 28 Evaluasi terhadap tingkat kecocokan data dengan model Kriteria Chi-Square (χ2) Probability (p) X2/df GFI AGFI CFI NNFI RMSEA PGFI IFI CN
Cut off Value Diharapkan kecil > 0,05 < 2,00 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90 < 0,08 > 0,60 > 0,90 > 200
Hasil Model 129,37 0,33 1,051 0,93 0,91 0,89 0,87 0,016 0,67 0,91 234,68
Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2009)
Keterangan Baik Baik Baik Baik Baik Dapat diterima Dapat diterima Baik Baik Baik Baik
170
Menilai Goodness Of Fit (GOF) suatu SEM secara menyeluruh (overall) tidak dapat dilakukan secara langsung. SEM tidak mempunyai satu uji statistik terbaik yang dapat menjelaskan “kekuatan” prediksi model, sehingga dapat menggunakan ukuran GOF secara bersama-sama atau kombinasi. Berdasarkan Tabel 28, ukuran kecocokan absolut menggunakan ukuran Chi-Square (χ2), probability (p), GFI (Goodness of Fit Index) dan RMSEA (Root Mean Square Error of Approximation). Tujuan menguji Chi-Square adalah untuk mengetahui apakah matriks kovarians estimasi dengan kata lain kesesuaian model yang dibangun dengan data yang tersedia, semakin kecil Chi-Square semakin baik model itu.
Probability
menunjukkan kemungkinan peristiwa itu terjadi. RMSE bertujuan untuk mengetahui penyimpangan nilai parameter pada suatu model dengan matriks kovarians populasinya.
Berdasarkan evakuasi terhadap kecocokan absolut
diperoleh nilai bahwa telah memenuhi syarat (cut off value) tidak terdapat pelanggaran nilai kritis, dengan demikian derajat prediksi model keseluruhan (model structural & pengukuran sesuai dengan data) Ukuran kecocokan inkremental menggunakan ukuran NNFI (Non Normed Fit Index), CFI (Comparative Fit Index), AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index) dan IFI (Incremental Fit Index). Nilai CFI dan NNFI berada sedikit di bawah standar yang direkomendasikan (marginal fit), namun jika dilakukan pembulatan dengan menambahkan (0,03 dan 0,01) diperoleh nilai NNFI dan CFI setara dengan 0,90, sehingga sudah memenuhi dan tidak terdapat pelanggaran nilai kritis dan diberi keterangan dapat diterima, sementara nilai AGFI dan IFI sudah memenuhi ukuran kecocokan inkremental. Ukuran kecocokan parsimoni yang ditunjukan oleh nilai Normed Chi Square (X2/df) memenuhi kriteria bahwa model memiliki kehematan tinggi. Kriteria lain dalam melengkapi uji kecocokan model ditunjukan oleh nilai CN (Critical “N”) yang menunjukkan ukuran sampel mencukupi untuk digunakan, sehingga dapat dikemukakan bahwa analisis descriptive statistic menunjukkan bahwa model dapat diterima dan memuaskan. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk mengetahui sejauhmana kekuatan pengaruh antar konstruk, baik pengaruh langsung, tidak langsung, maupun pengaruh totalnya. Mencermati model sebagaimana ditujukkan
171
pada Gambar 46 dan perbandingan nilai critical ratio (CR) atau t-hitung terhadap nilai t-tabel akan diperoleh pola hubungan antar variabel. Jika nilai CR atau t-hitung lebih besar daripada t-tabel, maka hubungan antar variabel signifikan. Pada nilai α = 5%, diperoleh nilai t-tabel sebesar 1,96 dengan hasil korelasi antar variabel pada Gambar 46 ditabulasikan pada Tabel 29.
0.92
X1
0.94
X2
0.91
X3
0.35
0.29 0.24
1.00
X4
X5
-0.03
0.48
KONFLIK
X6
0.98
X7
1.00
X8
0.99
X9
0.98
X 10
0.95
X 11
0.83 -0.25
0.59
Y3
0.65
Y4
0.97
Z1
0.54
Z2
0.82
Z3
0.98
-0.18
0.15
OUTCOME
-0.04 0.21
Y2
0.59
0.61 0.63
0.88
0.41
RESOLUSI\
0.30 0.02
1.00
Y1
0.09
0.68
0.14
0.42
-0.23
0.15
0.33
Chi-Square=129.37, df=123, P-value=0.32928, RMSEA=0.016 Keterangan: X1 = Ekonomi X2 = Aktor X3 = Oposisi X4 = Isu X5 = Nelayan X6 = Kompetisi
X7 = Tokoh X8 = Stok X9 = Intertest X10= Peraturan X11= Budaya
Y1 = Litigasi Y2 = Negosiasi Y3 = Fasilitasi Y4 = Aviodance
Z1 = Partisipasi Z2 = Keberlanjutan Z3 = Keadilan
Gambar 46 Structural equation modeling yang menunjukan nilai estimasi
172
Tabel 29 Hubungan antar variabel pada model confirmatory factor konstruk unidimensional variabel konflik perikanan tangkap Koefisien Model t-hitung Keterangan Jalur X1 0.29 2.98 Significant X2 0.24 2.46 Significant X3 0.30 3.09 Significant X4 0.02 0.19 Tidak significant X5 -0.03 -0.32 Tidak significant X6 0.61 5.38 Significant KONFLIK 0.15 X7 1.60 Tidak significant X8 -0.04 -0.42 Tidak significant X9 0.09 0.93 Tidak significant X10 0.14 1.39 Tidak significant X11 -0.23 -2.27 Significant Y1 0.35 2.92 Significant Y2 0.41 4.33 Significant RESOLUSI Y3 0.59 4.50 Significant Y4 -0.18 -2.00 Significant Z1 0.68 3.72 Significant Z2 0.42 4.01 Significant OUTCAME Z3 0.15 1.54 Tidak significant KONFLIK RESOLUSI 0.48 2.80 Significant RESOLUSI OUTCAME 0.59 2.85 Significant Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2009)
Dalam hal pengaruh langsung variabel penyebab konflik (KONFLIK) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESOLUSI) dan variabel (OUTCOME) pada kasus konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1 Variabel (KONFLIK) dengan nilai koefisien path 0,48 dan nilai CR (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukkan angka 2,80 yang > (lebih besar) dari
nilai
t-tabel sebesar 1,96, sehingga dapat dikatakan benar
berpengaruh positif dan sinifikan terhadap variabel teknik resolusi konflik (RESOLUSI).
173
Hal tersebut mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara kemampuan responden mengidentifikasi faktor penyebab konflik dengan kemampuan memilih teknik resolusi konflik yang digunakan. Tanda positif memberikan indikasi bahwa semakin baik kemampuan mengidentifikasi faktor penyebab konflik maka semakin baik pula kemampuan menentukan teknik resolusi konflik. 2 Variabel (RESOLUSI) dengan nilai koefisien path 0,59 dan nilai CR (critical ratio) yang identik dengan nilai t-hitung menunjukan angka 2,85 yang > dari nilai t-tabel sebesar 1,96, sehingga dapat dikatakan benar berpengaruh positif dan sinifikan terhadap variabel (OUTCOME). Hal tersebut mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan nyata antara kemampuan stakeholder dalam memilih teknik resolusi konflik yang tepat berpengaruh langsung terhadap peningkatan outcome. Tanda positif memberikan indikasi bahwa semakin baik kemampuan responden menentukan teknik resolusi konflik yang digunakan maka mendukung mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang bertanggung jawab.
9.24
X1
9.50
X2
9.17
X3
10.00
X4
2.98
2.92
2.46
4.33
RESOLUSI\
3.09 0.19
9.99
X5
4.82
X6
9.80
X7
-0.32 5.38
2.80
KONFLIK
9.99
X8
9.93
X9
9.89
X 10
9.46
X 11
8.02
Y2
8.50 -2.96
Y3
5.05
Y4
9.80
Z1
3.24
Z2
7.92
Z3
9.84
-2.00 2.85
1.60 -0.42
3.10
4.50
Y1
OUTCOME
0.93
3.72
1.39
4.01
-2.27
1.54
4.65
Chi-Square=129.37, df=123, P-value=0.32928, RMSEA=0.016
Gambar 47 Structural equation modeling yang menunjukan nilai t-hitung
174
4.5.1 Faktor penyebab konflik Variabel penyebab konflik (KONFLIK) dikonstruk dari 11 (sebelas) indikator, namun yang secara signifikan memberikan kontribusi terhadap variabel teknik resolusi konflik (RESOLUSI) ada 5 (lima) indikator yaitu: indikator X1 (ekonomi), X2 (aktor), X3 (oposisi), X6 (kompetisi) dan X11 (budaya) masing masing memiliki nilai louding (bobot pengaruh) 0,29; 0,24; 0,30; 0,61 -0,23, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Komponen penting dari faktor penyebab signifikan terhadap resolusi konflik Faktor yang Komponen penting yang berpengaruh berpengaruh dan nilai terhadap Resolusi Critical Ratio konflik Faktor Penyebab 1 Kompetisi (0,61) konflik 2 Oposisi (0,30) 3 Ekonomi (0,29) 4 Aktor (0,24) 5 Budaya (-0,23)
konflik yang berpengaruh Dampak terhadap Faktor penyebab konflik yang dipengaruhi Resolusi 1 Litigasi 2 Negosiasi 3 Fasilitasi 4 Avoidance
Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2009) Berdasarkan Tabel 30 menunjukan bahwa indikator yang paling besar kontribusinya terhadap masing-masing peubah laten faktor penyebab konflik yaitu: indikator kompetisi, oposisi, ekonomi, aktor dan budaya dalam pemanfaatan sumberdaya memberikan kontribusi terbesar kepada faktor penyebab konflik. (1) Kompetisi Persepsi masyarakat terhadap kompetesi dalam pemanfaatan sumberdaya dengan nilai loading 0,61 dengan thitung (5.38) > ttabel (1,96) pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan persepsi masyarakat terhadap persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut di Kalimantan Selatan terjadi kompetisi baik antar sesama nelayan lokal maupun nelayan lokal dan nelayan pendatang. Kompetisi terjadi dalam penggunaan alat tangkap
dan sumberdaya di wilayah penangkapan (fishing
ground). Adanya sebagian nelayan yang cenderung memanfaatkan sumberdaya secara intensif baik modal maupun teknologi dan kurang memperhatikan
175
kepentingan kelompok lain. Seringnya terjadi kompetisi penggunaan teknologi yang lebih tinggi akibatnya masyarakat lokal justru makin tersisihkan karena tidak mampu bersaing. Kompetisi
dalam
penelitian
ini
merupakan
dimensi
sumberdaya,
berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat, dimana terjadi kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya seperti kompetisi dalam penggunaan teknologi alat tangkap
dan
perebutan
lokasi
wilayah
penangkapan
(fishing
ground).
Memperebutkan sumberdaya perikanan bukan persoalan yang mudah. Terdapat kecendrungan yang besar bahwa pengoperasian peralatan tangkap yang lebih canggih, semakin memperderas arus keserakahan perikanan sehingga berdampak serius terhadap kelestarian sumberdaya. Kompetesi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan berkaitan dengan perilaku nelayan dalam mengalokasikan atau pengoperasian alat tangkapnya. Sebagai mega predator, nelayan mempunyai perilaku yang sangat unik dalam merespon baik perubahan sumberdaya ikan maupun kebijakan yang diterapkan. Pengelolaan sumberdaya ikan yang terpenting adalah bagaimana mengantisipasi perilaku nelayan sehingga sejalan dengan kebijakan yang diterapkan. Sehingga dapat dikatakan juga bahwa pengelolaan perikanan merupakan upaya yang dinamis, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholder yang senantiasa berkembang. (2) Oposisi Persepsi masyarakat terhadap keberadaan pihak yang bertolak belakang dengan nilai loading 0,30 dengan thitung (3.09) > ttabel (1,96) pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan keberadaan pihak yang bertolak belakang dalam pemanfaatan sumberdaya dapat memicu terjadinya konflik. Oposisi dalam hal ini yang berkaitan dengan antagonistik dimana banyak pihak yang sejalan dan bertentangan terhadap persetujuan atau resolusi yang dilakukan. Oposisi bisa terjadi terhadap pihak-pihak yang terlibat maupun yang tidak terlibat dalam konflik. Dalam masyarakat nelayan terdapat perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai rendah. Perbedaan tersebut
176
antara lain dalam usaha penangkapan seperti juragan/usahawan dan ABK, tokoh masyarakat dan masyarakat biasa, organisasi pemerintah dan non pemerintah Dalam keadaan tersebut beragamnya posisi dan sosial masyarakat sangat memungkinkan adanya pihak oposisi dalam masyarakat pantai. (3) Ekonomi Persepsi masyarakat terhadap kondisi perekonomian masyarakat dengan nilai loading 0,24 dengan thitung (2.46) > ttabel (1,96) pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perekonomian masyarakat dapat memicu terjadinya konflik. Hal ini dilihat pada persepsi responden tentang adanya perbedaan kondisi ekonomi dan keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan dan adanya resesi ekonomi yang berkepanjangan. Perbadaan kondisi ekonomi nelayan di Kalimantantan Selatan dapat dilihat pada usaha perikanan yang dilakukan oleh nelayan. Nelayan tradisional seperti nelayan lampara dasar, trammel net dan sejenisnya dengan masa kerja sekitar 1525 hari dengan biaya operasional per bulan sekitar Rp 1.700.000,- per bulan. Bahan bakar yang diperlukan dalam sekali melakukan aktivitas penangkapan ikan sekitar 20 liter. Rerata penghasilan bersih Rp 84.585 setiap melaut/per orang. Namun dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak ditambah harga peralatan baik jaring maupun suku cadang mesin juga mengalami kenaikan sementara harga penjualan hasil-hasil tangkap nelayan sejak tahun 2004 sampai sekarang tidak mengalami kenaikan. Maka rata-rata pendapatan bersih nelayan Rp 84.585 bahkan bisa turun menjadi Rp. 32.220 setiap melaut dengan semakin meningkatnya konflik. Sementara nelayan lain dengan usaha perikanan mini purse seine dan gillnet lingkar dengan biaya operasional sekali melaut sebesar Rp 4.000.000,- sampai 5.000.000,-.
Bahan bakar yang diperlukan dalam sekali melakukan aktivitas
penangkapan ikan sekitar 4500 liter atau 2 drum. Rerata pendapan nelayan sebesar Rp.10.000.000,- sampai Rp.15.000.000,- per bulan. Pada saat terjadi konflik pendapatan menurun yaitu hanya mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.612.125,- sampai 7.850.491,- per bulan.
177
Persepsi terhadap kondisi perekonomian masyarakat nelayan merupakan pemicu terjadinya konflik perikanan tangkap. Kemiskinan dan ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan laut seringkali mengakibatkan masyarakat melakukan kegiatan yang menurunkan kualitas sumberdaya. Sehingga
semakin
tinggi
ketergantungan
masyarakat
karena
kondisi
perekonomian maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya konflik. (4) Aktor Persepsi masyarakat terhadap aktor dengan nilai loading 0,24 dengan thitung (2.46) > ttabel (1,96) pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa banyak sedikitnya pihak yang terlibat dapat memicu terjadinya konflik. Aktor dilihat berdasarkan persepsi responden terhadap terhadap jumlah kelompok/pihak yang terlibat konflik dan kemudahan menentukan pihak atau kelompok yang terlibat dalam konflik . Pihak yang terlibat dalam konflik perikanan tangkap sangat bervariasi tergantung pada skala konflik yaitu mulai dari konflik tingkat desa, kabupaten dan provinsi. Untuk konflik antar provinsi seperti pada kasus pengambilan teripang antara lain terdiri dari nelayan andon dari Jatim, Sulsel, Kaltim, nelayan lokal dari Tanah Laut, DKP pusat dan Daerah, TNI AL dan Polair. Untuk konflik tingkat desa lebih mudah dilakukan identifikasi dan inventarisasi dibandingkan konflik tingkat provinsi atau nasional. (5) Budaya Persepsi masyarakat terhadap latar belakang budaya dan adat dengan nilai loading -0,23 dengan thitung (2.27) > ttabel (1,96) pada tarap α 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa latar belakang budaya dan adat dapat memicu terjadinya konflik. Namun karena di wilayah pesisir Kalimantan Selatan sudah beradaptasi dengan berbagai budaya dari berbagai etnis maka terjadi pengaruh yang negatif. Tradisi leluhur masyarakat berbagai etnis yang tinggal di wilayah pesisir Kalimantan Selatan telah beradaptasi dengan ajaran agama. Tradisi-tradisi ini kemudian melembaga dalam adat.
Bagi masyarakat nelayan atau pesisir,
terlaksananya tradisi yang konsisten dengan pola budaya menjadi kebanggaan.
178
Bahkan kemampuan sebagai warga masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan tradisi dapat menumbuhkan rasa percaya diri untuk mengatasi permasalahan. Interaksi etnis yang berkembang di perisisr Kalimantan Selatan terdiri dari Bugis, Banjar, Jawa, Madura, Mandar, Bajau, Bone, Bali dan Thionghoa (Tabel 31) Tabel 31 Persebaran etnis/suku yang mendiami wilayah pesisir Kal-Sel No Wilayah Pesisir Etnis/suku 1 2
Tanah Laut Kotabaru 1 Pulau Laut bagian Utara 2 Pulau Laut Bagian Timur 3 Pulau Laut Bagian Selatan 4 Pulau Laut Bagian Barat
5 Pulau Laut Bagian Tenggara 3 Tanah Bumbu Sumber: Data primer diolah
Bugis, Banjar, Jawa, Madura Bugis, Mandar, Banjar Bugis, Mandar, Banjar, Bajau Bugis, Mandar, Banjar, Bajau Bugis, Mandar, Bone, Banjar, Jawa, Thionghoa Bugis, Banjar Bugis, Mandar, Banjar, Bali
Upacara adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan pemanfaatan sumberdaya alam yaitu: (1) upacara selamatan laut, yang dilaksanakan setiap tahun sekali, tepatnya tanggal 1 Dzulhijjah yang tujuannya untuk syukuran dan selamatan atas berkah yang diberikan oleh Allah SWT. Disamping itu dilakukan juga (2) upacara selamatan setiap masyarakat nelayan mau berangkat melaut (3) Upacara “Balatif” yaitu upacara yang dilakukan oleh warga pesisir di Kabupten Tanah Laut untuk menolak bala baik berupa bencana alam atau penyakit pada waktu bulan safar. Caranya dengan berlari-lari kecil sekeliling kampung sambil mengucapkan dzikir kepada Allah SWT (4) Aturan lokal bahwa setiap hari Jum’at nelayan tidak boleh pergi menangkap ikan setelah jam 10.00 wita. Jika melakukan hal itu, maka nelayan yang bersangkutan akan dikenai denda sebesar Rp. 1.000.000,- dan jika tetap melakukan maka nelayan yang bersangkutan akan dikenai sangsi tidak akan diurus penduduk saat meninggal. Selain upacara-upacara tradisional yang dipengaruhi oleh ajaran agama, masyarakat daerah pesisir juga menyelenggarakan upacara tradisi lainnya. Erat kaitannya dengan kegiatan penangkapan di laut, sebagian masyarakat nelayan merasa perlu memberi ”makan” kepada laut, agar mereka terhindar dari amukan badai dan memperoleh hasil tangkapan yang banyak pada tahun berikutnya.
179
Upacara yang disebut ”Mappanretasi” ini juga dimaksudkan untuk menyatakan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Acara tersebut dilaksanakan setiap bulan April.
Upacara Mappanretasi sebagai puncak persembahan ke laut ini
dilaksanakan oleh penduduk nelayan di beberapa Pulau Laut dan Pagatan yang kebanyakan berasal dari Bugis.
Sebelum acara puncak, yakni acara sakral
pemberian makanan ke laut, masyarakat menyelenggarakan pertunjukan kesenian tradisional, seperti Masukkeri (seperti seni rebana). Selain upacara mappanretasi terdapat juga upacara yang diselenggarakan oleh umat Hindu yang berasal dari etnis Bali. Setiap menjelang nyepi semua etnis Bali di seluruh pesisir Kalimantan Selatan berkumpul di perairan pantai Sungai Loban Tanah Bumbu, pantai tersebut mereka berinama ”pantai Bali”. Mereka membawa berbagai simbol keagamaan sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dan sesaji ke pantai untuk dipersembahkan dalam ritual ”melasti.” Ribuan umat Hindu berkumpul di pantai, perempuannya mengenakan saput dan kamben dengan selendang melilit pinggang dan rambut disanggul berhias bunga segar. Sedang laki-lakinya berbusana dominan putih, selain memakai saput dan kemben yang berfungsi seperti sarung juga menggunakan udeng atau ikat kepala. Bagi yang tidak bisa ke pantai atau laut, bisa melarutkan sesaji ke sungai atau air mengalir dan sumber air. Ritual ini bertujuan untuk menyucikan diri (buana alit) dan menyucikan alam semesta (buana agung). Dilanjutkan tawar Kesangeh setelah selama satu tahun mengambil kekayaan alam semesta, saatnya manusia membayar (nawur) untuk menyeimbangkan alam semesta. Kaitannya dengan tri hita karana, yakni menghormati alam semesta, sesama manusia dan Tuhan. Berdasarkan analisis SEM terdapat beberapa indikator peubah laten faktor penyebab konflik yang tidak signifikan pengaruhnya yaitu: indikator isu yang berkembang di masyarakat, ketersediaan stok, adanya keinginan tertentu dalam masyarakat, keberadaan peraturan dan penegakan hukum.
180
(6) Isu yang berkembang di masyarakat Persepsi responden tentang kemudahan menentukan isu atau pokok masalah yang menjadi tidak berpengaruh signifikan sebagai faktor penyebab terjadinya konflik. Masyarakat di pesisir Kalimantan Selatan tampaknya sudah dapat memaknai kondisi nyata yang terjadi di masyarakat, adanya isu harus diyakini terlebih dahulu, kebenaran isu memang membutuhkan proses yang panjang untuk dapat dibuktikan. Dalam menindak lanjuti isu yang berkembang, masyarakat lebih menghendaki tidak mau adanya kesalahan dan harus dilakukan urun rembuk bersama warga masyarakat. (7) Keberadaan tokoh dalam konflik Tokoh dalam masyarakat erat kaitannya dengan adanya pelapisan sosial di masyarakat. Pelapisan sosial yang terjadi didasarkan atas keadaan ekonomi dan jabatan formal yang diemban oleh yang bersangkutan. Tokoh yang dianggap berpengaruh yaitu pemimpin formal (kepala desa) dan pemimpin informal (para punggawa atau pemilik modal). Pola pengambilan keputusan biasanya dilakukan melalui para punggawa, karena setiap anggota akan lebih patuh kepada para punggawanya, sehingga proses pengambilan keputusan berpusat kepada pemimpin informal. Masyarakat pesisir di Kalimantan Selatan tampaknya sudah dapat berfikir kritis yang tidak mau patuh begitu saja terhadap tokoh masyarakat. Sehingga keberadaan tokoh masayarakat tidak berpengaruh signifikan dalam meredam konflik, dengan kata lain tingkat kepatuhan masyarakat tidak bisa mengandalkan kepada tokoh masyarakat, sekalipun tokoh tersebut sangat dihormati oleh masyarakat.
Dalam menyelesaikan konflik, pola pengambilan
keputusan dilakukan melalui piranti musyawarah dan dialog antara perangkat desa dan dan masyarakat, namun munculnya emosi yang kuat dapat mendorong masyarakat melakukan tindakan kekerasan seperti pembakaran kapal atau aksi demontrasi perusakan yang tidak bisa dicegah oleh tokoh masyarakat. (8) Jumlah nelayan Persepsi responden tentang bertambahnya jumlah nelayan dengan frekuensi terjadinya konflik tampaknya tidak berpegaruh nyata sebagai faktor penyebab
181
konflik. Jumlah nelayan yang terdiri dari nelayan lokal dan nelayan andon sejak dahulu tidak pernah berkurang. Profesi sebagai nelayan di Kalimantan Selatan terwujud oleh keturunan dari generasi ke generasi dan merupakan pencaharian turun temurun, sehingga jumlah nelayan dianggap berkembang secara proporsional. Nelayan lokal pada umumnya merupakan nelayan dengan rutinitas penangkapan ikan harian (one day fishing), daerah operasional di perairan pesisir kurang dari 6 mil dari pantai pemukiman mereka. Sementara nelayan andon yang melakukan kegiatan penangkapan di sekitar perairan Kalimantan Selatan terdiri dari nelayan Kalimantan Timur, Jawa dan Sulawesi yang merupakan nelayan dengan armada besar (purse seine, cantrang, pemburu teripang), memiliki daya jangkau ke perairan dalam dan umumnya melakukan penangkapan ikan dengan sistem menginap. Sebagian besar nelayan andon yang beroperasi di sekitar perairan Kalimantan Selatan tersebut merupakan nelayan
penuh,
artinya
matapencaharian utama.
mata
pencaharian
sebagai
nelayan
merupakan
Berdasarkan kepemilikan armada dan alat tangkap,
nelayan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu nelayan pemilik dan nelayan ABK. Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri yang dipoerasikan sendiri maupun dengan melibatkan ABK. Nelayan ABK adalah nelayan yang bekerja kepada nelayan pemilik sebagai anak buah kapal. (9) Ketersediaan stok Masyarakat pesisir di Kalimantan Selatan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengandalkan kemurahan hasil alamnya, yakni hasil laut. Oleh karena itu masyarakat nelayan berupaya mempertahankan potensi sumberdaya perikanan dengan melakukan proteksi terhadap nelayan lain yang ingin menguasai sumberdaya perairan yang berada sekitar tempat tinggal mereka. Cara pandang nelayan terhadap ketersediaan sumberdaya biasanya dihubungkan dengan hasil tangkapan. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa berdasarkan data produksi ikan per upaya (CPUE) di perairan laut dalam kurun waktu sepuluh tahun (1999-2008) terus menurun. Penurunan ini lebih diakibatkan dari peningkatan jumlah upaya penangkapan (trip) dari tahun ke tahun yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan laju rekruitmen ikan.
Kondisi ini menyebabkan
182
peluang nelayan dapat menangkap ikan pada lokasi yang biasa menjadi semakin kecil karena keberadaan ikan yang semakin menurun, namun sumberdaya yang tersedia masih cukup untuk diperebutkan dalam bentuk persaingan antar kelompok. (10) Keinginan tertentu dalam masyarakat Adanya kepentingan tertentu yang mengatasnamakan kepentingan nelayan bisa muncul dimasyarakat. Kelompok kepentingan yang ada di wilayah pesisir yaitu PKK, Posyandu, kelompok nelayan, remaja mesjid dan para punggawa atau pemilik modal serta tokoh masyarakat atau kepala desa. Pada waktu tertentu terdapat juga adanya kepentingan tetertentu dengan maksud mendapatkan keuntungan dari konflik tersebut, seperti pengusaha eksternal (pertambangan) atau orang-orang partai, namun hal ini tidak signifikan pengaruhnya sebagai faktor penyebab konflik. (11) Keberadaan hukum dan peraturan perikanan Keberadaan hukum dan peraturan yang dibuat pemerintah kebayakan bersifat makro dan tidak dapat mengakomodasi keadaan geografis wilayah perairan di Kalimantan Selatan, sehingga peraturan yang ada seperti diabaikan. Dalam hal ini perlu perubahan stuktural terhadap keberadaan hukum dan peraturan perikanan agar keberadaannya berpengaruh nyata dan dapat meredam konflik perikanan tangkap. 4.5.2 Teknik resolusi konflik Variabel teknik resolusi konflik (RESOLUSI) dikonstruk dari 4 (empat) indikator yaitu Y1 (litigasi), Y2 (negosiasi), Y3 (fasitasi), Y4 (avoidance) masingmasing nilai louding 0,35; 0,41; 0,59; dan -0,18. yang sumuanya signifikan berpengaruh langsung terhadap variabel pembangunan perikanan (OUTCOME) yang terdiri dari Z1 (partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap), Z2 (pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan) dan Z3 (pemahaman masyarakat tentang pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan), sebagaimana yang disajikan pada Tabel 32.
183
Tabel 32 Komponen penting dari faktor yang berpengaruh signifikan terhadap OUTCOME Faktor yang Komponen penting yang Dampak terhadap berpengaruh berpengaruh dan nilai Faktor penyebab terhadap Resolusi Critical Ratio konflik yang konflik dpengaruhi 1 Fasilitasi (y3 = 0,59) OUTCOME RESOLUSI 2 Negosiasi (y2 = 0,41) 1 partisipasi 3 Litigasi (y1= 0,35) (Z1=0,68) 4 Avoidance (y4 = - 0,18) 2 berkelnjutan ( Z2 =0,42) Sumber: Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan analisis SEM (2009) Berdasarkan Tabel 32 menunjukan bahwa indikator yang paling besar kontribusinya terhadap masing-masing peubah latent yang efektif digunakan yaitu semua indikator teknik resolusi konflik yaitu: litigasi, negosiasi, fasitasi, dan avoidance. Nilai loading tertinggi adalah fasilitasi (0,59), hal ini sesuai dengan dengan kondisi empiris yaitu teknik resolusi konflik yang paling sesuai dan paling sering digunakan serta memberikan kontribusi yang besar terhadap efektifitas resolusi konflik di daerah penelitian adalah fasilitasi. Variabel teknik resolusi konflik (RESOLUSI) berpengaruh signifikan terhadap variabel pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (OUTCOME), namun indikator yang memberikan kontribusi terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yaitu Z1 (partisipasi masyarakat), dan Z2 (pemahaman terhadap keberlanjutan perikanan tangkap) masing-masing memiliki nilai loading 0,68 dan 0,42. Namun tidak signifikan terhadap Z3 (pemaaahan terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan).
5 PEMBAHASAN 5.1 Permasalahan Konflik Perikanan Tangkap Akar permasalahan konflik perikanan tangkap menggambarkan penyebab konflik yang dapat dilihat berdasarkan tipologi konflik dan sumber konflik. Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik.
Sejalan dengan penelitian ini tipologi konflik perikanan
berdasarkan Charles (1992) teridentifikasi yaitu: yuridiksi perikanan (conflict of jurisdiction), mekanisme pengelolaan (management mechanisms) dan alokasi internal (internal allocation). Konflik yuridiksi terjadi pada kasus daerah tangkap dan purse seine. Konflik alokasi internal terjadi pada semua kasus yaitu kasus yaitu kasus purse seine, lampara dasar, pengambilan teripang, penggunaan bom, gill net, bagan apung, seser modern dan cantrang, karena semuanya berkaitan dengan penggunaan alat tangkap. Sedangkan yang terkait dengan mekanisme pengelolaan terjadi pada kasus purse seine, lampara dasar dan pengambilan teripang.
Obserschall (1973) menyatakan bahwa tipologi tidak berupaya
menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik. Konflik yuridiksi yang terjadi pada kasus perebutan daerah penangkapan, disebabkan adanya persepsi yang keliru terhadap batas-batas wilayah perairannya sehingga kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu daerah dilarang melaut di perairan daerah/kabupaten lain, yang merupakan perwujudan konsep kepemilikan (property right). Selain itu adanya persepsi nelayan terutama yang tinggal di sekitar perairan Selat Laut, bahwa sebagai orang lokal mereka mempunyai hak prioritas untuk mengeksploitasi sumberdaya yang berada di sekitar tempat mereka. Dalam kondisi demikian, jika terdapat orang-orang luar yang terlibat dalam kegiatan eksploitasi di wilayah komunitas tertentu dan komunitas ini tidak berkenan atas kehadiran nelayan luar, maka terpicu konflik yang bernuansa kekerasan. Anggapan masyarakat terhadap kepemilikannya terhadap laut tersebut sejalan dengan anggapan Pelluso and Harwell (2001) yang menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara identitas sebuah kelompok sosial dengan tempat dimana mereka hidup.
186
Konflik yuridiksi yang terjadi pada kasus purse seine yang disebabkan karena nelayan purse seine dari luar daerah memasuki jalur penangkapan nelayan local/mini purse seine walaupun berada pada wilayah lebih dari 12 mil namun memiliki kedalaman kurang dari 40m sehingga nelayan local mengklaim bahwa wilayah tersebut.
Terjadinya konflik ini beriringan dengan diberlakukannya
otonomi daerah. Berdasarkan eskalasi konflik (lihat kembali Gambar 14) terlihat bahwa perkembangan konflik mulai dari konfrontasi hingga kritis sering terjadi pada era otonomi, sehingga sering digeneralisasi dengan konflik identitas. Meski demikian menurut Satria et al. (2002) bahwa upaya generalisasi konflik-konflik nelayan sebagai konflik identitas akibat diterapkannya otonomi daerah adalah kurang tepat. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, dimana pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk pengelolaan wilayah laut dan sumberdaya di dalamnya hanya 8 mil ke arah laut lepas, sehingga memberi peluang yang besar untuk nelayan andon dari luar daerah bebas melakukan penangkapan pada jalur > 8 mil. Berdasarkan peta batimetri, perairan di Selat Makasar sekitar perairan Kalimantan Selatan mempunyai kedalaman bervariasi yaitu: sebelah barat merupakan perairan dangkal (< 50m) dan akan semakin dalam di bagian timurnya hingga kedalaman (>100m). Kedalaman di sekitar pulau Sebuku mempunyai kedalaman bervariasi, yaitu dengan kisaran kedalaman (20-700m). Jika dilihat pada jalur penangkapan sejauh 15 mil di perairan Kalimantan Selatan sekitar Pulau Kerayaan yang terjadi konflik purse seine hanya mempunyai kedalamam (15-40m) dan perairan bersifat landai, sehingga nelayan Kal-Sel mengklaim wilayah tersebut adalah milik mereka. Konflik yang berkaitan dengan mekanisme pengelolaan terjadi pada kasus purse seine disebabkan adanya kebijakan yang memberi izin terhadap purse seine di perairan sekitar Kotabaru Kalimantan Selatan yang berdampak pada keadilan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Nelayan mengeluh karena penegakan aturan oleh pemerintah dilakukan secara berlebihan terhadap kelompok purse seine. Mekanisme pengelolaan terjadi pula pada kasus pengambilan teripang oleh nelayan andon, disebakan oleh pemberian izin kepada nelayan andon dari Sulawesi, Jawa Tengah dan Kalimantan Timur memburu teripang masuk ke
187
perairan Tanjung Selatan Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Jumlah nelayan andon yang masuk diperkirakan sebanyak 400 unit, sehingga jumlah penyelam diperkirakan 1.600 orang. Hal ini dianggap telah melebihi kuota dan sangat mengganggu kegiatan pemanfaatan perikanan tangkap. Lemahnya mekanisme pengelolaan terjadi pula pada kasus daerah penangkapan karena pemerintah yang telah memberi persetujuan terhadap pembagian daerah penangkapan di perairan Kotabaru. Hal ini menumbuhkan adanya pihak yang bertolak belakang dan dipersepsikan ketidakadilan pemerintah karena kemungkinan terjadi pengkavlingan laut pada fishing ground yang memiliki potensi sumberdaya yang tinggi dan ada yang memiki potensi rendah. Konflik dengan tipologi mekanisme pengelolaan tersebut terlihat adanya tumpang tindihnya pemberlakuan otonomi daerah dan ikut campurnya pemerintah pusat terhadap kebijakan pemerintah daerah Konflik alokasi internal terjadi karena adanya kegiatan illegal fishing seperti penggunaan gill net yang melebihi kapasitas dan penggunaan bom. Pada kasus purse seine, cantrang dan pengambilan teripang konflik disebabkan adanya kecemburuan sosial terhadap nelayan andon yang memiliki teknologi lebih tinggi akibatnya nelayan lokal tidak mampu bersaing. Begitu pula pada kasus lampara dasar, seser modern, bagan apung disebabkan karena perbedaan kapasitas dan kualitas teknologi perikanan tangkap yang lebih tinggi dari nelayan lain dalam menangkap jenis ikan yang sama, akibatnya mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas peralatan yang lebih rendah. Berkaitan dengan akar permasalahan konflik, jika dicermati berdasarkan kategori sumber konflik Gorre (1999), maka sumber konflik di perairan Kalimantan Selatan termasuk ke dalam kategori: (1) masalah hubungan (relationship issues) (2) masalah struktural (structural problems) dan (3) perbedaan nilai
(value differences). Konflik yang bersumber pada masalah
hubungan yaitu perbedaan persepsi karena faktor emosional yang kuat, asumsi terhadap perilaku pihak lain, kurang atau tidak ada komunikasi, ataupun adanya perilaku negatif yang berulang. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dianggap dapat merusak dan
berpotensi mengancam
kelestarian
sumberdaya perikanan. Selain itu adanya perilaku yang menyimpang (deviant
188
behaviour) dengan beragam motif, seperti ingin kaya dengan cara atau mungkin terpaksa karena adanya benturan dengan kondisi ekonomi hal ini terjadi pada kasus penggunaan bom dan penggunaan gillnet yang melebihi ketentuan yang direkomendasikan. Masalah hubungan terjadi juga pada kasus lampara dasar, yaitu adanya persepsi yang negatif terhadap nelayan lampara dasar yang dianggap berpotensi mengancam
kelestarian sumberdaya perikanan, hal ini disebakan kurangnya
komunikasi antara nelayan, jika dapat dikomunikasikan bersama maka bisa diakomodir mengenai kebaikan dan kekurangan penggunaan alat tersebut dan dapat digunakan sesuai kebutuhan. Konflik yang bersumber pada masalah struktural yang ditunjukkan oleh adanya ketidakjelasan kebijakan yang dibuat oleh Dinas Perikanan Kabupaten Kotabaru yang menyetujui adanya pembagian daerah penangkapan. Status dan frekuensi konflik yang selalu terjadi pada musim utara menyebabkan nelayan dari dari desa Rampa yang masuk ke perairan Selat Laut mengalami kerugian materi akibat penenggelaman kapal dan kerugian psikis akibat adanya pemukulan nelayan dari nelayan Sungai Dungun. Konflik yang bersumber pada perbedaan sistem nilai yang dianut nelayan pemburu teripang dengan nilai yang diterapkan oleh nelayan Kabupaten Tanah Laut memaksakan untuk tidak boleh mengambil teripang di daerah Tanjung Selatan Tanah Laut. Disatu sisi lain kegiatan pemburu teripang adalah pekerjaan yang secara turun temurun dilakukan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan dan
penggunaan
kompresor
merupakan
modernisasi
teknologi
adalah
pengembangan usaha perikanan teripang. Introduksi teknologi dan modernisasi yang diusung para pemburu teripang yang memiliki modal telah menciptakan ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan dalam makna nilai dan ekonomi nelayan Kabupaten Tanah Laut yang tidak pernah mempunyai kompresor. Ketidakadilan yang dimaksud sehubungan dengan timpangnya perlakuan yang diberikan dalam mengakses sumberdaya seperti pemberian izin kepada pihak yang memiliki teknologi yang lebih tinggi. Hal tersebut sejalan dengan Pollnac (1984) yang diacu dalam Wahyono et al. (2000) menyatakan suatu sumber konflik yang utama adalah peningkatan intensitas
eksploitasi. Hal ini berhubungan
189
dengan pertambahan unit eksploitasi dan perubahan teknologi. Berdasarkan beberapa penelitian, konflik bisa terwujud oleh perbedaan nilai seperti pada penelitian Hasan (1974) bahwa wujud konflik antar nelayan juga ditimbulkan oleh adanya perbedaan nilai. Konflik yang bersumber pada perbedaan kepentingan terjadi pada kasus pengambilan teripang dan cantrang disebabkan oleh pengambilan teripang yang beorientasi ekspor dan tidak dilakukan oleh nelayan local di Kalimantan Selatan. Pada kasus lampara dasar, konflik terjadi ketika nelayan tradisional tidak memiliki kemampuan materi untuk memiliki kapal dan alat tangkap tersebut. Namun ketika nelayan tradisional sudah dapat memilki alat tersebut akhirnya penggunaan lampara dasar tidak lagi menjadi konflik dan menyetujui penggunaan alat tersebut, namun dengan konseksensi penggunaannya pada jalur yang telah disepakati yaitu (>3 mil).
Hal ini sejalan dengan penelitian Aubert (1963),
membedakan konflik yang masih berada dalam konsensus atau konflik yang sudah melewati konsensus. Pada konflik yang masih dalam konsensus semua pihak yang berkonflik setuju terhadap nilai (value) yang mereka inginkan tetapi mereka tidak mampu untuk mencapainya. Sedangkan konflik yang melewati batas konsensus, pihak yang berkonflik tidak dapat mencapai kesepakatan tentang nilai yang mereka inginkan dan mereka sendiri tidak tahu bagaimana mencapainya. 5.2 Kelembagaan Pengelolaan Konflik Lembaga yang berperan dalam pengelolan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan yang terdiri dari kelembagaan
non
pemerintah.
Lembaga
kelembagaan pemerintah dan pemerintah
telah
membentuk
Pokmaswas, mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dan melayangkan surat peringatan dan sosialisasi dan mengeluarkan regulasi dan pertemuan lintas instansi. Kelembagaan formal lainnya yang berfungsi sebagai pengamanan laut dan sangat membantu ketika sudah terjadi konflik yaitu Polairut dan TNI AL. Sedangkan kelembagaan non pemerintah ikut membantu nelayan dalam pengelolaan konflik diantaranya WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), AMNES (Aliansi Masyarakat Nelayan
190
Saijaan) dan INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan).
Kelembagaan tersebut saling
berinteraksi satu sama lain melalui aktivitasnya. Interaksi lembaga tersebut ada yang sinergi, tumpang tindih bahkan antagonis.
Hal tersebut semakin nyata
karena dari lembaga-lembaga tersebut ada yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, daerah dan swasta. Sebagaimana terjadi pada kasus daerah penangkapan. Kelembagaan yang berperan dalam resolusi konflik yaitu Dinas perikanan Kabupaten saling tidak mendukung (antagonis), disatu sisi DKP menyetujui adanya pembagian daerah penangkapan, disisi lain INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) tidak menyetujui resolusi tersebut. Begitu pula pada kasus purse seine terjadi hubungan antagonis antara sesama kelembagaan non pemerintah yaitu INSAN dan HNSI, karena HNSI menyetujui resolusi konflik pada kasus purse seine yang masih beroperasi di sekitar perairan Kotabaru walaupun sudah tidak menggunakan lampu berkekuatan tinggi.
Keadaan yang antagonis juga pada kasus pengambilan
teripang yang mana TNI AL dianggap membekingi nelayan pemburu teripang dan pada saat resolusi konflik memberikan jalan tengah dan menentukan hasil resolusi konflik yang hasilnya tetap tidak disetujui oleh nelayan lokal. Memperhatikan hal tersebut yaitu berlakunya otonomi daerah dan tumpang tindihnya kebijakan seringkali memunculkan suatu interaksi antagonis antara lembaga-lembaga tersebut.
Maka untuk menghasilkan sinergitas kinerja dari
lembaga yang mengelola konflik di perairan Kalimantan Selatan, diperlukan kelembagaan yang dapat mengatur keterpaduan semua lembaga pengelolaan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Purwaka (2003) yang menyatakan bahwa sinergitas dalam berinterakasi dari lembaga-lembaga tertentu merupakan hal ideal yang diharapkan oleh semua pihak. Kapasitas kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan konflik perlu ditingkatkan guna memenuhi kualitas dan kuantitas dalam pengelolaan konflik. Komponen kelembagaan memegang peranan penting dalam pengembangan perikanan tangkap, karena kemajuan teknologi alat penangkapan ikan yang terjadi di perairan
Kalimantan
Selatan
justru
menimbulkan
konflik
dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan
191
dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Kalimantan selatan yaitu: (1) pengembangan kapasitas peran kelembagaan pengelola dan (2) sumberdaya manusia yang dapat mendukung upaya pengembangan tersebut. Pada upaya pengembangan kapasitas peran kelembagaan terutama kelembagaan non pemerintah sebagai inisiator untuk dapat mengakomodasi kebijakan sesuai dengan kondisi wilayah dan isu lokal yang dapat mempengaruhi peran kelembagaan pemerintah sebagai regulator. Aransemen institusional berupa instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, swasta, masyarakat yang kesemuanya berada dalam satu kerangka kerja kelembagaan. Pemahaman terhadap berbagai kewenangan sektoral yang diberikan oleh peraturan perundangundangan dari masing-masing sektor yang bersangkautan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Purwaka (2003) yang menandaskan bahwa perlu adanya pemahaman seluruh pihak terhadap peraturan dan perundangan agar tumpang tindih kewenangan bukan lagi wilayah benturan kepentingan melainkan menjadi wilayah pengembangan kerjasama. Kelembagaan tradisional yang merupakan stok kapital sosial merupakan wadah partisipasi atau silaturahmi masyarakat pesisir merupakan dukungan kekuatan untuk mengembangkan peran kelembagaan pengelolaan konflik. Untuk itu diperlukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (nelayan), sebagai modal dasar yaitu kelembagaan tradisional yang dapat dikembangkan sebagai landasan pendekatan dalam upaya peningkatan kelembagaan pengelolaan konflik. Kelembagaan sosial masyarakat berupa tradisi dan budaya setempat yang sudah melembaga dan merupakan perilaku yang ramah lingkungan perlu didorong keikutsertaannya.
Kelembagaan
tersebut
merupakan
peluang
tumbuhnya
partisipasi aktif masyarakat lokal, dalam hal ini perlu dilakukan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan oleh tenaga pendamping dari Dinas Perikanan dan Kelautan. Budaya sebagai pedoman hidup masyarakat baik dalam bersikap maupun bertingkah laku, terdiri atas nilai-nilai dan norma-norma yang tertib meliputi norma kesopanan dan norma hukum. Budaya tidak dapat dilepaskan dari masyarakat karena antara keduanya erat hubungannya. Budaya tidak akan lahir tanpa adanya masyarakat, demikian pula sebaliknya. Sejalan dengan pendapat
192
Michael (2002) menyebutkan bahwa dalam kehidupan masyarakat manusia memerlukan pedoman, yaitu budaya sebagai alat perangkat kebutuhan integratif. Begitupula yang dinyatakan oleh Ostrom (1993) bahwa tanpa adanya norma tersebut niscaya kehidupan akan penuh kekacauan, manusia akan kehilangan arah dan pedoman hidup, akibatnya manusia menjadi liar dan hidup seperti hewan. Budaya sebagai pedoman hidup dalam memenuhi kebutuhan sosial mencakup (1) perwujudan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan hukum (2) aktivitas dan tindakan berpola dari manusia untuk masyarakat dan (3) perwujudan semua hasil karya manusia. Berdasarkan latar beragamnya belakang budaya yang terdapat di desa pesisir Kal-Sel dapat dijadilan landasan dalam upaya pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan dilakukan dengan sistem pengawasan oleh masyarakat (community based fisheries management). Peningkatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan diyakini akan memperlancar jalannya berbagai fungsi kelembagaan, baik fungsi-fungsi di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, hukum maupun lingkungan hidup. Berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan dalam bidang tersebut secara optimal dipahami akan mampu mengentaskan lembaga-lembaga yang ada dari krisis multidimensi. Dibentuknya Pokmaswas sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat, dan peluang tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat lokal. Termasuk dalam hal ini agar mampu melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dan kelembagaan tradisional yang ada yang diharapkan mampu menurunkan konflik. Sebagai salah satu elemen sentral dari ko-manajemen ini adalah CBFM (community based fisheries management) yang digunakan sebagai langkah awal pemberdayaan masyarakat sesuai dengan isu lokal. Kelembagaan dan organisasi yang berperan dalam pengelolaan konflik di Kalimantan Selatan tampaknya mulai dapat berkomunikasi dengan baik dan jelas serta mengetahui dengan baik sejarah budaya lokal, namun untuk lebih meningkatkan perannya agar berfungsi secara efektif dalam resolusi konflik, hendaknya memiliki beberapa karakteristik seperti yang dinyatakan oleh Ramirez (2002) yaitu: (1) diakui secara resmi sebagai lembaga yang berperan sebagai mediator (2) dikenal oleh pihak yang berkonflik sebagai pihak yang netral dan memiliki legitimasi (3) menyetujui untuk bekerja dalam sistem penyelesaian
193
konflik, berdasarkan mediasi dan kesepakatan oleh semua pihak (4) mempunyai kemampuan dalam teknik mediasi (5) memiliki kemampuan dan mengetahui dengan baik perangkat hukum secara positif, hukum adat dan isu-isu secara teknis (6) berkualifikasi dan mengetahui metode partisipatory (7) berkomunikasi dengan baik dan jelas dan (8) mengetahui dengan baik sejarah budaya lokal, organissai, lembaga politik dan kerangka kerja regulasi. Upaya lain
yang perlu
dilaksanakan untuk pengembangan
peran
kelembagaan masyarakat nelayan adalah penumbuhan usaha kemitraan yang saling menguntungkan antara nelayan dengan pihak pengusaha perikanan, kegiatan ini dimaksudkan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya konflik. Keseimbangan kekuatan antara nelayan harus didukung dengan upaya pemberdayaan nelayan kecil. Perlindungan terhadap nelayan kecil bukan bersifat independen,
melainkan
terkait
dengan
rancangan
kelembagaan
secara
komprehensif. Untuk itu pemberdayaan nelayan harus ditegaskan kedalam bentuk peraturan pemerintah yang mengakui hak penangkapan ikan tradisional dengan penjelasan beberapa indikator pokoknya sehingga memudahkan pemerintah daerah menterjemahkannya. Pemberian hak penangkapan ini bisa mencontoh model Jepang sebagaimana yang dinyatakan Uchida et al. (2004) yaitu melalui Fishery Cooperative Association (FCA). Pengakuan eksistensi hak penangkapan ikan tradisional juga harus diikuti dengan devolusi kewenangan pengelolaan sumberdaya secara lebih luas sehingga tidak saja hak akses dan hak pengguna sumberdaya yang diberikan, tetapi juga hak pengelolaan dan hak ekslusif. Dengan hak kepemilikan sumberdaya yang lengkap seperti itu, posisi nelayan lokal menjadi kuat. Upaya pengelolaan perikanan tangkap diharapkan untuk perkembangan ke depan
dapat menerapkan delegated co-managemen karena menurut penelitian
Pomeroy
(2003)
pada
delegated
co-management
keputusan-keputusan
pengelolaan perikanan dilakukan oleh stakeholder sementara peran pemerintah di satu
sisi akan
menjadi
sangat kecil.
Merujuk kepada
Jepang, Thailan, Philipina dan beberapa negara lain
dalam
pengalaman pengelolaan
sumberdaya perikanan, ternyata partisipasi masyarakat memberikan kontribusi yang signifikan dalam mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan (Hanna 1980).
194
Dalam mengawali rezim ko-manajemen perikanan di perairan Kalimantan Selatan,
yaitu
dengan
mengorganisasikan
masyarakat
sudah
dapat
diimplementasikan oleh masyarakat dengan harapan dapat dicapai suatu kesepakatan tentang keinginan apa yang akan dilakukan ke depan termasuk pengelolaan konflik. Ko-manajemen harus dilihat sebagai strategi manajemen yang
luwes,
dapat
berfungsi
sesuai dengan
kebutuhan
masyarakat.
Hal ini sejalan dengan penelitian (Pomeroy 1998) ko-manajemen sebagai forum partisipasi, membuat aturan, manajemen konflik, pembagian kewenangan, dialog, pengambilan keputusan, belajar, tukar dan alih pengetahuan. Banyak alasan dan pertimbangan sebelum memulai ko-manajemen. Begitu pula dengan penelitian Abdullah et al. (1998) alasan pemerintah Kanada untuk mendorong komanajemen sebagai salah satu contoh adalah untuk mengurangi konflik, keadilan alokasi penangkapan, memperbaiki kualitas data, memajukan konservasi dan pemberdayaan massyarakat. Berdasarkan penyelesaian konflik yang telah dilakukan terhadap beberapa kasus konflik perikanan tangkap seperti kasus purse seine, pengambilan teripang, yang pada awalnya dilakukan dengan teknik negosiasi kemudian berkembang menjadi fasilitasi. Begitu pula pada kasus seser modern dan bagan apung, resolusi konflik dapat berhasil melalui teknik fasilitasi. Teknik Fasilitasi memerlukan keikutsertaan beberapa lembaga dalam penyelesaian konflik, keberhasilan teknik tersebut menandakan bahwa peran kelembagaan ADR (Alternative Dispute Resolution) paling efektif diterapkan dalam pengelolaan konflik. Melalui ADR penyelesaian dilakukan secara kooperatif dengan mengedepankan output yang lebih dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang.
Penerapan ADR dilakukan dengan melibatkan
semua fungsionaris hukum secara keseluruhan dan sinergi lembaga pengelolaan konflik, karena suatu departemen tidak bisa berdiri sendiri untuk mendirikan lembaga ADR yang berwibawa tapi melibatkan unit pemerintah di bidang legislative dan yudikatif. Pada kasus purse seine pengembangan kelembagaan ADR sudah terlihat dengan dilakukannya yaitu melalui teknik Fasilitasi dengan menciptakan konsensus yang memuaskan semua pihak yang berkonflik
dan berupaya
195
mempertemukan semua pihak yang berkonflik. Konsensus dan kompromi sesuai dengan pendekatan musyawarah dan mufakat yang dipandang sebagai mekanisme penambilan keputusan resolusi konflik yang bersumber dari masyarakat sendiri. Secara historis, kultur masyarakat di pesisir Kalimantan Selatan sangat yang sangat beragam sangat menjunjung tinggi pendekatan konsensus. Dengan demikian alasan kultural dapat dijadikan sebagai eksistensi pengembangan ADR sebagai kelembagaan pengelolaan konflik. Hal tersebut sejalan dengan (Koesno 1979) menyebutkan tiga asas kerja di dalam menyelesaikan perkara-perkara adat, yaitu: (1) asas kerukunan yang menekankan pada pandangan dari sikap orang dalam menghadapi kehidupan social di dalam suatu lingkungan. Satu sama lain saling bergantung, saling memerlukan, sehingga masing-masing pihak memiliki komitmen untuk mewujudkan dan mempertahankan kehidupan bersama. Asas kerukunan dituangkan dalam dua bentuk ajaran yaitu aajaran musyawarah dan ajaran mufakat. (2) asas kepatutan yang mengarah kepada usaha mengurangi jatuhnya sesorang ke dalam alam rasa malu yang ditimbulkan oleh hasil resolusi konflik. (3) asas keselarasan yang berhubungan dengan metode resolusi konflik yang mempertimbangkan terpenuhinya aspek perasaan estetis secara optimal. Dalam hal ini, resolusi konflik dianggap memenuhi perasaan estetis jika dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan maupun masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan perkembangan penerapan ADR yang telah dilakukan dalam penyelesaian konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan, sebenarnya telah lama digunakan oleh masyarakat, namun belum ada legitimasi terhadap sebuah kelembagaan ADR.
Berdasarkan hal tersebut kelembagaan
pengelolaan konflik perlu dikembangkan dan melegitimasikan, dengan demikian keputusan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan, mengikat dan memiliki kekuatan hukum. Selain itu kelembagaan ADR harus tidak bersifat ad hoc agar dapat berfungsi efektif sebagai mediator dalam resolusi konflik. Dimensi kelembagaan dan organisasi hendaknya menjadi komponen utama ketika suatu organisasi yang berasal dari luar terlibat dalam proses mediasi untuk menyelesaikan konflik yang tengah berlangsung dalam masyarakat.
196
Mekanisme ADR, penerapannya bisa dilakukan seperti di Australia dan Amerika sebagaimana yang dinyatakan O’Laughin et al. (1998) bahwa mekanisme ADR di Australia memiliki standarisasi yang baik guna menjamin kualitas para mediator dan arbiternya. Pada tingkat nasional telah berdiri suatu badan yang disebut the National Alternatif Dispute Resolution Advisory Concil (NADRAC).
Lembaga ini mempunyai tugas menyusun standar nasional yang
akan mendukung standar nasional yang akan mendukung pengembangan ADR. Di Amerika Serikat, ADR dapat dibedakan menjadi dua bagian; (1) primary yang terdiri dari empat macam yaitu: adjudikasi, arbitrasi, mediasi dan negosiasi dan (2) hybrid proces terdapat sekurang-kurangnya lima bentuk penerapan mekanisme ADR yaitu: privat judging, neutral expert fact finding, mini trial, ombudsman dan summary jury trial. Sejauh ini kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan konflik seperti kasus purse seine telah melakukan evaluasi, rencana tindak lanjut jangka menengah dan panjang yang salah satunya adalah perlu dibentuk kelompok kerja (POKJA) Penanganan Konflik nelayan di setiap
daerah dan tingkat Pusat,
Provinsi sampai dengan Kabupaten/Kota dan menyusun
pedoman umum
penanganan konflik nelayan antar daerah, namun implementasinya sampai penelitian ini dilakukan hanya pada pembentukan dan penguatan peran POKMASWAS di setiap desa pesisir.
Keberadaan POKMASWAS diharapkan
akan terus berkembang melalui pembinaan bahkan kinerjanya dilombakan hingga tingkat nasional. Sebagai lembaga pengelolan konflik yang tidak bersifat ad hoc lebih memiliki peran yang lebih fleksibel dalam mengikuti adanya eskalasi konflik atau dengan membentuk komite penasihat yang dapat memfasilitasi, menampung dan memberikan pertimbangan-pertimbangan sebelum terjadi tindakan dan aksi massa sehingga begitu muncul gejala konfrontasi tidak akan sampai pada tahap krisis yang berdampak pada anarkis seperti kekerasan fisik dan kerugian materi akibat penenggelaman dan pembakaran kapal.
197
Komponen kelembagaan harus diikuti dengan mekanisme yang sistematis dalam pengelolaan konflik. Kelembagaan yang sesuai untuk dikembangkan di perairan Kalimantan Selatan dalam upaya mengurangi intensitas konflik adalah kelembagaan yang berbasis masyarakat, hal ini lebih dipahami oleh masyarakat di pesisir Kalimantan Selatan. Sikap budaya masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip keharmonisan mampu meminimalkan eskalasi konflik. pengelolaan perikanan
tangkap masih
berbasis
Sebelumnya
pada pemerintah pusat
(government based fisheries resources management), namun setelah konflik terbuka muncuat dengan eskalasi yang panjang, masyarakat pesisir mulai memahami dan memicu berkembangnya metode pengelolaan alternatif yang disebut sebagai pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (PSBM). Yurlikasari (2010) dalam penelitiannya menandaskakan bahwa komponen dasar dalam pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah: (1) perundangan dan regulasi (2) keikutsertaan organisasi (3) infrastruktur dasar dan (4) kondisi sosial, karena bentuk kelembagaan ini sangat sesuai karena sudah mencakup mekanisme pengelolaan konflik. Sebagai implikasi terhadap keberadaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan terjadi pada tingkat desa/kecamatan, tingkat kabupaten dan bahkan tingkat provinsi maka dalam rangka mewujudkan pengelolaan konflik perikanan tangkap berbasis komunitas, telah diwacanakan sebuah program jangka panjang terhadap kelembagaan pengelola konflik, yang mana perlu disusun suatu kelembagaan yang bersifat multi tataran. Hal ini disebabkan karena skala konflik bersifat lokal, antar daerah/Kabupupaten dan bahkan antar provinsi.
Oleh karena itu diperlukan suatu kelembagaan yang
mampu berperan dalam proses resolusi konflik pada setiap tataran (Gambar 48). Implimentasi pemebentukan kelembagan yang tidak bersifat ad hoc
masih
merupakan proses yang dimulai dengan pembentukan POKMASWAS di setiap wilayah pesisir yang pastinya akan semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan. Selanjutnya organisasi tersebut membangun sinergi antar komunitas atau antar organisasi nelayan dalam rangka pengelolaan sumberdaya atau pengelolaan konflik perikanan tangkap.
198
Non Pemerintah
Pemerintah
Pemerintah
Pemerintah
FORUM DESA/ KECAMATAN Tradisional
FORUM KABUPATEN Tradisional + Pihak terkait
Non Pemerintah
ADR
FORUM Bottom up Non Pemerintah
Pihak terkait
ADR
Konflik perikanan antar desa/ kecamatan
Konflik perikanan antar kabupaten
Konflik perikanan antar provinsi
Gambar 48 Kelembagaan pengelolaan konflik
5.3 Model Pengelolaan Konflik 5.3.1 Faktor penyebab konflik Merujuk hasil analisis SEM menunjukan bahwa dari 11 (sebelas) indikator yang diajukan terdapat 5 (lima) indikator atau faktor penentu penyebab konflik yang secara signifikan berpengaruh. Indikator yang secara dominan berpengaruh yaitu: (1) kempotesi dalam pemanfaatan sumberdaya (2) keberadaan pihak yang bertolak belakang (3) kondisi perekonomian masyarakat (4) banyak sedikitnya pihak yang terlibat dan (5) latar belakang budaya dan adat. Sehingga faktor penyebab konflik yang harus diperhatikan adalah interaksi dari kelima indikator tersebut. Kelima indikator yang berpengaruh tersebut terkait dengan struktur sosial masyarakat dan struktur ekonomi. Hal ini sejalan dengan Walter (2000) yang menandaskan bahwa konflik tidak hanya disebabkan oleh satu faktor tetapi merupakan kombinasi dan akumulasi dari berbagai faktor penyebab konflik. Selain itu diperkuat oleh penelitian Budiono (2005) yang menyatakan bahwa penyebab konflik dapat terdiri dari satu atau kombinasi dari beberapa variabel penyebab konflik.
199
Dalam konteks faktor penyebab konflik, ketika pemerintah maupun pemerintah daerah berencana merumuskan model optimal dalam pengelolaan konflik perikanan tangkap di Kalimantan Selatan atau mementukan resolusi konflik yang optimal, maka pemerintah dan pemerintah daerah harus terlebih dulu mencermati pola interaksi dan perngaruh yang ditimbulkan oleh 5 (lima) indikator penentu faktor penyebab konflik. Kompetisi merupakan faktor yang paling memberikan kontribusi sebagai faktor penyebab konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan. Keberadaan alat penangkap ikan yang berbeda atau memiliki teknologi yang lebih tinggi cenderung dianggap menjadi pesaing bagi nelayan setempat.
Seperti
keberadaan nelayan purse seine yang menggunakan lampu, nelayan cantrang yang menyerupai teknologi trawl dan nelayan pemburu teripang menggunakan kompresor. Kehadiran alat tersebut sangat diyakini menjadi pesaing dan menguras sumberdaya perairan.
Hal ini sejalan dengan Dahuri et al. (1996)
yang
menyatakan konflik pemanfaatan timbul karena beberapa pengguna sumberdaya berkompetisi untuk menggunakan sumberdaya yang sama dalam ruang laut yang sama, dan menerapkan kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya tersebut yang tidak sesuai dengan yang lain. Dalam penelitian Lasut dan Kumurur (2001) juga menemukan bahwa kompetisi diantara pengguna untuk lahan atau fasilitas yang sama dapat menyababkan konflik diantara pengguna. Menurut (Cincin-Sain and Knecht 1998) konflik umumnya terjadi karena beberapa sebab seperti kompetisi area, kompetisi sumberdaya, atau kompetisi terhadap sumberdaya
yang saling berkaitan.
Begitupula dengan
Warner
(2000)
mengidentifikasi empat hal yang dapat menjelaskan munculnya konflik atas sumber daya alam, diantaranya adalah kompetisi sumberdaya alam (peningkatan ketergantungan pada sumber daya alam dapat meningkatkan persaingan). Dalam penelitian ini keberadaan pihak yang bertolak belakang (oposisi) merupakan faktor kedua sebagai faktor penyebab konflik. Oposisi terjadi karena adanya kebijakan yang tidak sejalan sebagaimana terjadi pada kasus daerah tangkap yang mana kelompok nelayan yang tergabung ke dalam INSAN (Ikatan Nelayan Saijaan) tidak mendukung adanya pembagian daerah penangkapan). Hal ini sejalan dengan Bennet and Neiland (2000) mengemukakan bahwa aktifitas
200
yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berpotensi menyebabkan konflik selain kompetitif adalah antagonistik. Selanjutnya hal penting yang diperhatikan dalam pengelolaan konflik adalah masalah ekonomi nelayan. Perbadaan kondisi ekonomi nelayan di Kalimantan Selatan dapat dilihat pada perbedaan usaha perikanan yang dilakukan yaitu mulai nelayan tradisional, semi dan modern serta adanya status punggawa dan ABK.
Kondisi ini berpotensi untuk meningkatkan skala eksploitasi
sumberdaya kelautan dan perikanan dapat menjadi lahan subur bagi timbulnya kerawanan-kerawanan di bidang kehidupan. Hal ini sejalan dengan teori konflik yang dinyatakan Karl Mark yang dikenal dengan teori kelas yaitu kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin (proletar). Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkhis, dan borjuis melakukan eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis. Karl Marx berpendapat bahwa sejarah masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas, dengan munculnya kapitalisme terjadi perpisahan tajam antara mereka yang memiliki alat produksi dan mereka yang hanya mempunyai tenaga. Perkembangan kapitalisme memperuncing kontradiksi antara kedua kategori sosial hingga pada akhirnya terjadi konflik diantara dua kelas. Hal ini sejalan pula dengan penelitian Torkrisna et al. 2002 bahwa pengalaman di Thailan, konflik terjadi antara nelayan kecil dan nelayan besar. Banyak sedikitnya pihak yang terlibat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan konflik. Hal ini terkait dengan karakteristik individu dan kelompok.
Semakin beragam karakter individu di dalam suatu
wilayah semakin memicu konflik. Pada kasus konflik antar provinsi seperti kasus purse seine dan pengambilan teripang melibatkan banyak sekali pihak yang terlibat, selain nelayan yang bersangkutan termasuk lembaga yang menangani konflik baik pemerintah manupun non pemerintah mulai dari daerah hingga provinsi yang memiliki karekteristik beragam. Sebagaimana yang dinyatakan Bradford dan Stringfellow (2001) bahwa perbedaan karakteristik individu dalam kelompok dapat memicu timbulnya konflik. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain terkait dengan keahlian individual, kesepakatan terhadap kelompok, kekuatan (power) individu dalam kelompok serta hubungan sosial. Pemahaman terhadap
201
aktor yang terkait dalam konflik menjadi sangat penting, karena konflik lebih terkait pada masalah sumberdaya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut Kaiser and Forsberg (2001) memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan perikanan diantaranya jumlah stakeholder perikanan. Secara parsial latar belakang budaya dan adat berpengaruh secara negatif sebagai faktor penyebab konflik, dalam hal ini semakin berbeda latar budaya masyarakat justru dapat meredam konflik atau semakin kecil perbedaan latar budaya masyarakat di suatu tempat maka semakin besar kemungkinan terjadi konflik. Hal ini dapat dipahami karena perbedaan budaya dalam masyarakat di pesisir Kalimantan Selatan sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat pantai. Sebagaimana di daerah Kabupaten Tanah Bumbu memiliki beberapa etnik, berdasarkan sejarah sejak abad ke 17 suku bugis meminjam tanah dan mendirikan kerajaan Pagatan. Hingga sekarang daerah pesisir banyak etnis penduduk yang berasal dari Bugis, Mandar, Bajau dan sebagian lagi dari Jawa, Madura dan Bali. Dengan terbangunnya pranata sosial masyarakat nelayan, maka diharapkan menerapkan prinsip-prinsip penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Variabel mengenai keberadaan aturan dan penegakan hukum dan peraturan perikanan tidak berpegaruh signifikan terhadap konfik di Kalimantan Selatan, hal ini bertentangan dengan penelitian Budiono (2005). Hal ini disebabkan oleh persepsi responden di Kalimantan Selatan yang beranggapan bahwa perangkat peraturan yang bersifat makro terlalu kompleks dan bahkan tidak diketahui dan dimengerti oleh nelayan dan belum jelas.
Disamping itu belum memiliki
keyakinan terhadap implementasi hukum sebagaimana yang tertuang pada Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian direvisi menjadi UU No. 45 Th 2009 yang berlakukanya hukum atau besarnya denda yang disyaratkan tidak sebanding dengan hasil yang didapat dari usaha perikanan yang dilakukan. Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi konflik perikanan tangkap dengan mengeluarkan berbagai peraturan, namun jika hasilnya belum efektif maka dapat ditinjau kembali dengan memperhatikan imbauan seperti yang dinyatakan dalam DKP (2002) bahwa beberapa faktor yang menyebabkan peraturan dan kebijakan pengelolaan tangkap belum efektif, yaitu (1) perangkat
202
peraturan yang terlalu kompleks dan bahkan tidak diketahui dan dimengerti oleh nelayan dan (2) kurangnya tingkat pengetahuan penegak hukum. Faktor lain yang menyebabkan peraturan dan kebijakan perikanan tangkap belum efektif adalah perangkat peraturan yang belum jelas dibuat berdasarkan kebutuhan bersama, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat nelayan. 5.3.2 Teknik resolusi konflik Merujuk hasil analisis SEM menunjukan bahwa RESOLUSI yang dikonstruk dari 4 (empat) indikator yaitu: (1) litigasi (hukum) dan (2) non litigasi/ADR (Alternative Dispute Resolution) yang terdiri dari fasilitasi, negosiasi dan avoidance. Semua teknik resolusi tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap OUTCOME. Resolusi konflik dengan teknik litigasi digunakan pada kasus daerah penangkapan, kasus purse seine. Teknik avoidance digukanan pada kasus penggunaan bom dan kasus gillnet. Teknik negosiasi digunakan pada kasus purse seine dan pengambilan teripang. Teknik fasilitasi digunakan pada kasus seser modern, bagan apung, cantrang, purse seine dan pengambilan teripang. (1) Litigasi Resolusi konflik dengan teknik litigasi dilakukan pada kasus daerah penangkapan disebabkan oleh adanya bentrokan atau kekerasan fisik dan penenggelaman kapal, namun dalam kenyataannya teknik litigasi yang digunakan ternyata justru memicu munculnya konflik ikutan dan mendorong timbulnya kemarahan antar kelompok. Hal tersebut sejalan dengan apa yang tertuang dalam DKP (2002) bahwa resolusi konflik dengan teknik litigasi disamping mempunyai keuntungan karena dijalankan oleh para profesional namun juga memiliki kelemahan karena menghasilkan pihak yang menang, pihak yang kalah dan perpecahan dalam masyarakat. Begitupula dengan pendapat Bennet and Nelland (2000) bahwa proses konflik yang menggunakan hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan dikalahkan.
203
Pada kasus konflik purse seine, resolusi dengan teknik litigasi dilakukan setelah adanya pembakaran kapal. Dalam hal ini litigasi hanyalah berupa tindak lanjut dari tindak kekerasan yang dilakukan. Sedangkan teknik litigasi pada kasus konflik pengambilan teripang dan kerang mutiara, hukum pidana kepada nelayan andon hanyalah merupakan proses yang bersifat memberikan efek jera karena tidak mengindahkan peringatan yang diberikan oleh nelayan lokal dari Kabupaten Tanah Laut. Setelah nelayan berjanji untuk tidak melakukannya lagi pelaku segera di bebaskan. Jadi dalam kondisi ini litigasi hanya merupakan media politik untuk menyelesaikan sebuah konflik, namun hal ini dianggap sebagai sesuatu keunggulan dari teknik litigasi, sesuai dengan pendapat Gelanter (1996) yang menyatakan bahwa salah satu keunggulan dari teknik litigasi adalah bersifat politisi. (2) Avoidance Resolusi konflik pada kasus gillnet dan penggunaan bom dilakukan dengan teknik avoidance karena tidak bisa mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik dan tidak bisa berinteraksi. Hal ini disebabkan pelaku pengguna bom telah meninggalkan jejak atau melarikan diri sebelum sempat bertemu muka. Penggunaan bom dan penggunaan gillnet yang melebihi dari ketentuan yang berlaku dan merupakan tindakan illegal fishing, sehingga sudah ada ketentuan pidana bagi penggunanya. Kasus tersebut seharusnya dilakukan dengan teknik litigasi yaitu dapat diproses secara hukum, namun konflik tersebut dapat berakhir dengan cara avoidance. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadinya kesadaran hukum terhadap prekondisi atau peraturan pemerintah yang telah diberlakukan dan efektifnya pengawasan yang dilakukan baik oleh Pokmaswas maupun oleh aparat pemerintah seperti petugas pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan dari DKP, TNI AL dan Poalir. (3) Negosiasi Teknik negosiasi yang dilakukan pada kasus konflik purse seine, dimana masyarakat nelayan bersatu sendiri menciptakan pemahaman bersama dan kemudian dikomunikasikan bersama Kepala Desa, pemimpin masyarakat
204
terutama tokoh masyarakat dan masyarakat lokal lainnya. Semua aktor yang punya pemahaman yang sama dapat bernegosiasi dengan kelompok saingan, yang mengerti kesalahan mereka dan malakukan tawar menawar terhadap kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak. Hal semacam ini memudahkan pendekatan resolusi konflik, namun teknik tersebut tampaknya masih terbatas pada membangun kesepakatan, hanya bersifat parsial, tidak tersosialisasikan dengan baik kepada pihak lainnya, pihak lain yang tidak mengetahui adanya kesepakatan tersebut ikut terseret sebagai aktor yang telah melanggar kesepakatan, sehingga konflik tidak berakhir tetapi justru berdampak pada tindak kekerasan dan anakis dengan melakukan pembakaran kapal. Negosiasi yang dilakukan pada waktu itu memiliki kelemahan, semestinya bisa dilakukan dengan melewati beberapa tahap.
Sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Morris (2002) yaitu: tahap pertama menunjuk kepada kondisi yang harus ada untuk semua pihak untuk masuk kepada ruang negosiasi tanpa kekerasan. Kondisi yang mendahului negosiasi mengidentifikasi bahwa: semua pihak yang terlibat konflik harus memahami bahwa di antara mereka terdapat perbedaan pandangan dan atau kepentingan, mereka harus memiliki kemauan untuk menyelesaikan konflik dengan opsi anti kekerasan, mereka harus punya kepentingan bersama (common interests) dalam kesepakatan dan memperoleh keuntungan bersama melalui saling memahami yang dituangkan dalam kesepakatan bersama itu. Jika satu sisi dapat menjatuhkan keputusan, sisi yang lain sebaiknya mengambil sikap agar isu itu tidak dimasukkan ke dalam suatu negosiasi. Kemudian pada tahap kedua, ketika suatu keputusan untuk negosiasi dilakukan, langkah selanjutnya adalah melakukan komunikasi berulang-ulang tentang bentuk inti dari negosiasi.
Banyak faktor penentu dalam proses ini.
Faktor-faktor tersebut termasuk beberapa pokok yaitu: komposisi tim negosiasi, persepsi pihak lawan berkaitan dengan pihak lainnya, sifat dasar dan saluransaluran komunikasi, kepentingan relatif manusia versus isu, struktur negosiasi, gaya penawaran dan manfaat pihak ketiga. Pada kasus pengambilan teripang, teknik negosiasi yang digunakan justru memicu konflik yang lebih besar dan berdampak pada penyanderaan kapal. Hal ini dikarenakan hasil keputusan negosiasi belum disetujui oleh kedua belah pihak
205
yang berkonflik dan mutu hasil negosiasi belum komprehensif dan belum tersosialisasi. Sebagaimana yang dinyatakan Morris (2002), terdapat dua faktor yang menentukan mutu hasil negosiasi adalah (1) masukan menuju pengambilan keputusan (decision making) oleh kedua belah pihak; dan (2) format yang digunakan untuk membuat persetujuan (form of agreement). Pada faktor pertama, proses pengambilan keputusan adalah ciri dasar dari kegiatan negosiasi; proses ini haruslah dikelola secara hati-hati dan sensible dalam perjalanan negosiasi. Yang sering terjadi dalam pengambilan keputusan adalah bagaimana keputusan itu seharusnya dibuat daripada bagaimana keputusan itu dibuat. Para peserta dan alur negosiasi justru lebih peduli pada prosedur pengambilan keputusan daripada mengupayakan proses maju dalam modus partisipatif. Sedangkan pada faktor kedua, ketika sebuah kesepakatan dihasilkan, satu pertanyaan penting adalah apakah kesepakatan tersebut berbentuk formal atau informal, karena kebanyakan kesepakatan dibuat secara formal dan tertulis.
Dalam situasi tertentu, suatu
kesepakatan tertulis mungkin ditambahkan melalui suatu kesepahaman informal. Dalam beberapa budaya, mekanisme pelaksanaan kesepakatan itu bersifat personal. Orang meletakkan komitmennya kepada manusia, bukan pada kontrak. Mereka memberi tekanan kepada hubungan antar manusia dan bukan pada kesepakatan-kesepakatan tertulis. (4) Fasilitasi Teknik fasilitasi pada kasus pengambilan teripang dan kerang mutiara mengalami kegagalan, konflik semakin meruncing akibat ketidakpuasan sebelah pihak karena perjanjian dan jalan keluar yang diambil bukan berasal dari kedua pihak yang berkonflik melainkan dari pihak luar (TNI AL). Kemudian resolusi teknik fasilitasi diperbaiki dengan syarat fasilitator hanya sebagai penengah tidak boleh mempengaruhi keputusan yang dibuat. Kesepakatan diharapkan dapat mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan (durable settlement). Untuk dapat mencapai kondisi
dengan durable settlement menurut Lincoln
(1986) ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) substantive interest, yaitu: content need, dana, waktu, material dan sumberdaya (2) prosedural interest, yaitu kebutuhan dan perilaku tertentu atau cara bagaimana sesuatu dapat
206
diselesaikan (3) relationship or phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan dan prekondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan. Konflik purse seine dan konflik pengambilan teripang dan kerang mutiara termasuk kepada skala antar provinsi, sehingga sudah seharusnya untuk dilakukan dengan melibatkan pemerintah, sebagaimana yang disajikan pada Gambar 49 yang menunjukan keterkaitan antara pihak yang berkonflik dan melibatkan banyak fasilitator. Dalam hal ini fasilitator akan membantu menciptakan iklim untuk pemecahan masalah dan membantu membingkai masalah sehingga bisa dipecahkan. Fasilitator juga dapat menyarankan pilihan format atau prosedur untuk membantu kerja kelompok lebih efektif. FASILITATOR Aparat Desa Aparat Kab.(DKP Kab.PPNS) DPRD Kab HNSI, AMNES, POKMASWAS LANAL Aparat Provinsi (DKP KalSel, KalTim, JaBar, JaTim, Jateng, SulSel) Ditjen Perikanan Tangkap Ditjen P2SDKP Pihak berkonflik I
Pihak berkonflik II
Gambar 49 Keterkaitan antar stakeholder dalam proses resolusi konflik Dalam konflik-konflik atas sumberdaya alam, para pihak yang berkonflik menggunakan berbagai cara untuk memenangkan kepentingan masing-masing. Namun penyelesaian dengan teknik fasilitasi yang harus diperhatikan adalah keseimbangan kekuatan antara pihak yang berkonflik sebagaimana yang dinyatakan oleh Malik et al. (2003) yaitu jika posisi para pihak tidak seimbang dan terserap pada pertemuan atau pun dialog-dialog penyelesaian konflik sumberdaya alam, dapat dipastikan bahwa kesepakatan yang diambil akan mengundang sejumlah unsur ketidakadilan bagi komunitas-komunitas masyarakat setempat.
207
Resolusi konflik daerah tangkap yang telah dilakukan dengan teknik fasilitasi, belum dapat menyelesaikan masalah, disebabkan prekondisi yang kurang mendukung adanya pengkavlingan laut. Adanya hukum dan peraturan lain mengenai otonomi daerah tentang pembagian wilayah laut kabupaten, anggapan open acces dan perbedaan kondisi geografis sementara kenyataan bahwa sumberdaya yang dimiliki sudah sangat menurun atau telah terjadi degradasi. Hal ini sangat sulit untuk diterapkannya suatu aturan. Pada kasus penggunaan seser modern dan konflik bagan apung, mekanisme yang dipilih melalui teknik fasilitasi disepakati oleh para pihak yang berkonflik, kesepakatan tersebut meletakkan landasan bahwa cara penyelesaian yang dipilih itu menjadi hukum bagi para pihak yang berkonflik. Jika dilihat dari frekwensi penggunaannya teknik fasilitasi adalah yang paling banyak digunakan, hal ini menunjukan partisipasi pemerintah sangat besar dalam proses resolusi konflik di daerah penelitian. Hal ini sejalan dengan pendapat Cicin-Sain and Knecht (1998) bahwa pengelola pesisir sering harus melakukan intervensi untuk menyelesaikan konflik. Hal ini penting untuk dipertimbangkan karena (1) konflik dapat mengancam keselamatan publik (2) konflik yang berlangsung dalam jangka panjang mengancam kelangsungan sumberdaya bagi kemakmuran masyarakat atau terlibat pada kerusakan lingkungan yang tidak dapat pulih kembali (3) partisipasi dalam perselisihan tidak mewakili semua kepentingan yang terlibat atau (4) adanya inefisiensi dari pemerintahan. Pemilihan dan penggunaan teknik resolusi untuk mencapai tujuan akhir harus dipertimbangkan secara bijak dan hati-hati, karena teknik tersebut pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk menanggapi hal ini dan sebelum menyetujui suatu cara penyelesaian konflik atas sumberdaya alam, komunitaskomunitas masyarakat setempat perlu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Kekuatan harus dibangun dan dikristalisasi menjadi bagian inherent dari komunitas masyarakat yang terlibat konflik sumberdaya alam. Dalam hal ini salah satu cara efektif adalah pengorganisasian. Malik et al. 2003 menyatakan bahwa dengan mengorganisir, para pihak yang terlibat di dalamnya dapat saling belajar satu sama lain. Pada satu sisi, para outsiders dapat belajar dari berbagai pengalaman tentang masalah komunitas setempat maupun masalah komunitas-
208
komunitas lain.
Para outsiders dapat mentranspormasikan pengalaman, ilmu
maupun dana untuk mendukung penguatan komunitas setempat. Pada sisi lain, komunitas setempat juga dapat mengintrospeksi kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahannya. Mereka dapat memperluas wawasan tentang semua hal yang berkaitan dengan konflik yang terjadi. Bukan itu saja, mereka juga dapat membangun analisis dan mewaspadai kawan dan lawan. Tujuan mengorganisir adalah mengintegrasikan dana, tenaga, ilmu, pengalaman, teknik dan strategi antara komunitas setempat dengan para outsiders yang peduli pada upaya-upaya penyelesaian konflik atas sumberdaya alam. Hasil analisis SEM, menunjukkan bahwa tenik fasilitasi memiliki koefisien loading tertinggi dibandingkan dengan negosiasi, litigasi dan avoidance. Oleh karena itu fasilitasi memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan variabel teknik resolusi konflik. Hal ini sejalan dengan Koesno (1979) yang mengatakan bahwa karakteristik masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan kerukunan dan kerjasama, merupakan prasyarat penting bagi suksesnya penggunaan teknik ADR. Dalam penelitian Hill (1992) menyatakan bahwa kedua belah pihak yang berkonflik memperoleh kemenangan (win-win solution) sebab resolusi konflik harus dapat diterima oleh kedua belah pihak. 5.3.3 Outcome pengelolaan konflik Berdasarkan analisis SEM, terbukti bahwa teknik resolusi konflik yang digunakan memberikan pengaruh signifikan dengan variabel OUTCOME (terciptanya pengelolaan perikanan tangkap). Dengan kata lain dampak dari aplikasi teknik resolusi konflik yang tepat diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang ditentukan oleh indikator partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap dan pemahaman
terhadap
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
tangkap
yang
berkelanjutan. Partisipasi dalam hal ini mencakup peranserta masyarakat nelayan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap. Peraturan pemerintah (PP) Nomor 69 tahun 1996 mendefinisikan peranserta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah
209
masyarakat yang berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang. Partisipasi didefinisikan secara umum dalam pengelolaan perikanan adalah suatu proses keterlibatan individu dan masyarakat secara aktif dalam semua tahapan pengelolaan perikanan, dalam arti tujuan untuk mendorong hak menyampaikan pendapat dan menjamin kebijakan yang mencerminkan aspirasi masyarakat. Partisipasi diartikan juga sebagai suatu kesepakatan diantara pihak yang berkepentingan yakni pemerintah, masyarakat dan swasta untuk membangun hubungan dan proses yang dibutuhkan dalam merencanakan dan melaksanakan pengelolaan perikanan sehingga mempunyai basis serta legitimasi yang kuat. Berkaitan dengan upaya meningkatkan peranserta masyarakat dalam resolusi konflik, merujuk pada pengalaman Jepang, Thailan, Philipina dan beberapa negara lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, ternyata partisipasi masyarakat memberikan kontribusi
yang signifikan
dalam mewujudkan
kelestarian sumberdaya ikan (Hanna 1980). Pada umumnya negara tersebut menggunakan model pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis komunitas dan menghormati nilai budaya masyarakat. Kebijakan merupakan suatu bentuk keputusan pemerintah atau lembaga yang dibuat agar dapat memecahkan suatu masalah untuk mewujudkan suatu keinginan
rakyat,
suatu
kebijakan
mampu
mempengaruhi
keikutsertaan
masyarakat dan kehidupan masyarakat yang secara keseluruhan dipengaruhi oleh proses kebijakan, mulai dari perumusan, pelaksanaan hingga berakhir dengan penilaian kebijakan (Abidin 2004) Mengingat kegiatan pemanfaatan sumberdaya (produksi) ikan terkait dengan kelestarian sumberdaya perikanan, maka semua kebijakan yang diterapkan mempertimbangkan keberadaan sumberdaya dalam jangka waktu relatif lama. Ketentuan umum UU No.9 tahun 1985 tentang perikanan, bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan adalah semua upaya termasuk kebijakan dan non-kebijakan yang bertujuan agar sumberdaya itu dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus.
Undang-undang No. 22 tahun 1999, kemudian
membuka peluang yang lebih besar bagi daerah (Kabupaten dan Kota), guna mengoptimalkan pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara sinergis, mengatur memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi sumberdaya alam bagi peningkatan
210
kesejahteraan
masyarakat
dengan
tetap
menjamin
fungsi
keseimbangan
lingkungan. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang melibatkan nelayan, maka faktor kunci yang perlu dipertimbangkan adalah informasi yang akurat mengenai resolusi konflik, ketepatan, bentuk dukungan dan adaptasi disamping kondisi sumberdaya, karena menurut Dietz et al. 2003 begitu prinsip-prinsip pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan dipahami dengan baik, maka upaya-upaya untuk merubah perilaku pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak bertanggung jawab dapat dirubah 5.3.4 Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan Melalui
kuantifikasi
terhadap
model
pengelolaan
konflik,
maka
penyelesaian konflik dapat lebih efektif dan efesien dilakukan karena keyakinan dan kepercayaan terhadap sasaran prioritas penangan konflik dapat segera dilakukan.
Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan
Kalimantan Selatan dapat dilihat pada Gambar 50. Pada model tersebut terlihat bahwa pengelolaan konflik perikanan tangkap harus dilakukan oleh stakeholder melalui kelembagaan konflik berbasis komunitas. Langkah awal yang dilakukan adalah stakeholder harus mampu mendefinisikan konflik dengan jelas, pihakpihak yang terlibat, permasalahan (tipologi dan sumber konflik) yang terakumulasi sebagai faktor penyebab konflik. Melalui analisis SEM diperoleh daftar prioritas indikator faktor penyebab konflik yang harus segera ditangani yaitu: kompetisi, oposisi, ekonomi, aktor dan budaya.
Langkah selanjutnya
diikuti dengan kemampuan menentukan teknik resolusi konflik yang tepat digunakan sesuai dengan jenis konflik.
Mekanisme yang sesuai dan efektif
digunakan sebagai resolusi konflik yaitu melalui ADR (Alternative Dispute Resolution) yang mengedepankan konsensus dan kompromi dengan teknik fasilitasi atau negosiasi. Setelah kedua langkah tersebut dilakukan maka proses resolusi konflik dapat dilakukan dengan benar. Dengan demikian melalui sebuah kelembagaan ADR maka kesepakatan yang diperoleh dalam menyelesaikan konflik alat tangkap (kasus: purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar, seser modern,
bagan apung), konflik daerah tangkap (pengavlingan laut)
211
dilakukan lebih efektif. Dengan model tersebut pengelolaan konflik perikanan tangkap yang akan didukung dengan partisipasi penuh oleh stakeholder atau partisipasi masyarakat.
Kelembagaan pengelolaan konflik merupakan wadah
yang dapat merubah dan menciptakan perilaku pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab. Faktor penyebab konflik Kompetisi Oposisi Kelembagaan
KONFLIK
Ekonomi Aktor
Pemerintah
Budaya FORUM
Non Pemerintah
Tradisional
Fasilitasi RESOLUSI Negosiasi
KESEPAKATAN OUT PUT
Partisipasi masyarakat
OUTCOME
Keberlanjutan Perikanan tangkap
Gambar 50 Model proses pengelolaan konflik perikanan tangkap di perairan Kalimantan Selatan
Umpan balik
ADR
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Permasalahan konflik perikanan tangkap di perairan Kalsel ditinjau dari tipologi konflik terdiri dari (1) yuridiksi perikanan terjadi pada kasus daerah tangkap disebabkan oleh pengkaplingan laut dan pada kasus purse seine disebabkan oleh adanya klaim jalur penangkapan; (2) mekanisme pengelolaan terjadi pada kasus purse seine disebabkan implementasi perizinan oleh KKP, kasus lampara dasar dan kasus gillnet disebabkan pelanggaran jalur penangkapan, kasus penggunaan bom disebabkan oleh pelanggaran Undang-Undang (3) alokasi internal terjadi pada kasus purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar, bagan apung, seser modern dan cantrang disebabkan adanya perbedaan kualitas dan kapasitas teknologi penangkapan. Ditinjau dari sumber konflik terdiri dari (1) perbedaan nilai terjadi karena di satu sisi merupakan pengembangan teknologi seperti penggunaan lampu pada purse seine, penggunaan papan layang pada lampara dasar, bagan apung dan seser modern
namun
menurut
nelayan
lain
akibat
pengembangan
teknologi
menyebabkan over fishing; (2) masalah hubungan terjadi karena tidak adanya komunikasi terhadap masuknya purse seine di wilayah perairan Kalsel dan kurangnya komunikasi terhadap pembagian wilayah tangkap yang disetujui oleh DKP Kabupaten; (3) faktor struktural terjadi karena implikasi kebijakan pemerintah terjadi pada kasus purse seine, pengambilan teripang, lampara dasar, gillnet dan penggunaan bom (4) perbedaan kepentingan terjadi karena adanya penggunaan alat tangkap yang berorientasi ekspor pada kasus pengambilan teripang dan cantrang sementara nelayan local tidak menggunakan alat tangkap tersebut. Lembaga yang berperan pada saat melakukan penyelesaian konflik, terdiri dari lembaga pemerintah sebagai administrator, regulator dan fasilitator; lembaga non pemerintah sebagai inisiator, pelaksana dan kontrol sosial; dan lembaga tradisonal sebagai wadah silaturahmi dan elemen perekat masyarakat. Pada tingkat desa telah dibentuk Pokmaswas yang merupakan pelaksana di tingkat lapangan dengan keanggotaan sukarela yang terdiri dari masyarakat pesisir dan
214
LSM. Kelembagaan Pokmaswas ini bersinergi dengan kelembagaan lokal dan kelembagaan lainya untuk menciptakan jejaring komunikasi dan interaksi antar kelompok masyarakat. Dibentuknya Pokmaswas sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat, sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Hai ini memberikan peluang tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat lokal. Sejauh ini kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan konflik telah melakukan evaluasi, rencana tindak lanjut jangka menengah dan panjang yang salah satunya adalah membentuk kelompok kerja (POKJA) penanganan konflik nelayan di setiap
daerah dan
tingkat Pusat, Provinsi sampai dengan Kabupaten dan menyusun pedoman umum penanganan konflik nelayan antar daerah melalui mekanisme Alternative Dispute resolution/ADR. Inti dari ADR adalah membangun konsensus atau kompromi sesuai dengnan pendekatan musyawarah dan mufakat yang bersumber dari masyarakat. Peran kelembagaan tersebut akan dikembangkan dan mendapat legitimasi, sehingga kesepakatan dapat diperoleh melalui forum yang dapat dipertanggung jawabkan, bersifat mengikat dan memiliki kekuatan hukum Dalam model pengelolaan konflik, faktor penyebab konflik (kompetisi, oposisi, ekonomi, aktor, dan budaya) secara seri berpengaruh terhadap resolusi konflik (melalui fasilitasi & negosiasi) dalam forum ADR, yang selanjutnya menentukan outcome (partisipasi dan keberlanjutan perikanan tangkap). Faktor penyebab konflik berperan dalam menumbuhkan atau meredam konflik; (1) kompetisi merupakan faktor tertinggi sebagai factor penyebab konflik, perbedaan tingkat teknologi penangkapan sangat berpeluang pada persaingan antara unit penangkapan; (2) oposisi merupakan factor penyebab konflik, perbedaan strata dari penggunaan teknologi penangkapan (Teknologi tinggi, menengah dan tradisional) dan adanya perhatian pemerintah terhadap salah satu kelompok nelayan seperti pembagian wilayah penangkapan dan pemberian izin terhadap penggunaan purse seine dan pengambilan teripang memunculkan pihak oposisi yang merasa dirugikan terhadap adanya kebijakan tersebut; (3) Ekonomi merupakan factor penyebab konflik, persepsi terhadap
kesenjangan ekonomi
telah mengakar di wilayah pesisir Kalsel karena perbedaan teknologi yang digunakan; (4) aktor merupakan factor penyebab konflik, persepsi yang terbentuk
215
mengarah kepada perbedaan komunitas aktor yang berbeda pandangan terhadap nilai yang diterapkan yaitu untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya sementara aktor lain berpikiran untuk menjaga kelestarian sumber daya perikanan; (5) budaya merupakan factor peredam konlik, hal ini dapat dijadikan landasan dalam pengembangan peran kelembagaan karena perbedaan budaya dalam masyarakat di pesisir Kalsel sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat pantai. Secara parsial teknik ADR (Alternative Dispute Resolution) yaitu fasilitasi memberikan kontribusi terbesar dalam melakukan proses penyelesaian konflik Secara langsung dan tidak langsung pengelolaan terhadap faktor penyebab konflik dan teknik resolusi yang baik berpengaruh kepada pengelolaan perikanan tangkap bertanggung jawab. Dalam hal ini agar tercipta keberlanjutan perikanan tangkap diperlukan umpan balik melalui dukungan partisipasi masyarakat dalam melakukan upaya-upaya untuk merubah; (1) perilaku dalam melakukan kompetisi penangkapan ikan melalui cara illegal fishing, pelanggaran terhadap undangundang
dan
pemanfaataan
sumberdaya
dengan
teknologi
yang
dapat
menyebabkan over fishing (2) perilaku yang menyebabkan munculnya pihak oposisi karena perbedaan nilai dan pandangan terhadap implikasi kebijakan pemerintah (3) perilaku ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya yang menyebabkan kesenjangan ekonomi kepentingan
yang
hanya
meraih
(4) perilaku aktor yang memiliki keuntungan
sebesar-besarnya
terhadap
sumberdaya perikanan. 6.2 Saran 1) Implikasi teoritis Teori-teori konflik dioperasinalkan dalam satu rangkaian yang tidak berdiri sendiri, yang terkait antara faktor-faktor penyebab konflik (input) – resolusi konflik (proses) – output – outcome, oleh karena itu implikasi kebijakan tidak melihat konflik secara parsial tapi dalam suatu gugus komprehensif antar berbagai faktor dalam suatu rangkaian yang mempengaruhi 2) Implikasi kebijakan untuk pengembangan peran kelembagaan melalui Pokmaswas, agar dapat berfungsi lebih baik diharapkan keanggotaannya memiliki kemampuan pengetahuan dan kualifikasi mengenai perangkat
216
hukum positif dan hukum tradisional, kualifikasi terhadap pengelolaan sumber daya perikanan, memahami sejarah budaya lokal dan regulatory framework. 3) Impilikasi kebijakan terhadap antisipasi faktor penyebab konflik (kesenjangan teknologi) dapat dilakukan yaitu perlu dikurangi dominasi atau pemberian izin terhadap nelayan yang berteknologi tinggi, terdapat beberapa pilihan diantaranya dengan menyamakan tingkat teknologi para nelayan yang beroperasi di satu wilayah penangkapan. Penyamaan tingkat teknologi itu sendiri dapat dilakukan dengan meningkatkan teknologi, namun cara ini tidak mudah dilakukan, karena
lemahnya permodalan, selain itu perubahan
teknologi yang sudah biasa digunaan selama ini kepada jenis alat tangkap baru jelas memerlukan perubahan dalam berbagai hal seperti pola kerja serta hubungan sosial.
Disisi lain perlu diperhatikan terhadap peningkatan
teknologi, karena sebenarnya dengan teknologi yang mereka pakai sudah cukup untuk membangun kehidupan yang layak. Pilihan lainya adalah menurunkan tingkat teknologi seperti tidak menggunakan lampu berkekuatan tinggi atau membatasi pengembangan teknologi untuk
mempertahankan
kelestarian sumberdaya perikananpun untuk jangka waktu yang panjang dengan maksud sumberdaya tidak dikuras secara besar-besaran dalam waktu singkat, atau melakukan pengaturan zona atau wilayah tangkap. Pengaturan ini dilakukan dengan memperhatikan jarak atau jalur penangkapan yang jauh dari wilayah penangkapan nelayan Kalsel. 4) Impilikasi kebijakan terhadap antisipasi faktor penyebab (oposisi) pada wilayah perikanan tradisional yang dilakukan secara turun temurun namun ditentang oleh beberapa pihak oposisi yang menganggap laut adalah milik bersama, ditambah lagi dengan penggunaan teknologi yang lebih besar seperti seser modern dan bagan apung. Nelayan tradisional menjadi terpinggirkan. Dalam kenyataan ini perlu adanya fomalitas atau diakui secara formal hak pemanfaatan tradisional. Tanpa pengakuan secara resmi atas hak pemanfaatan tradisional akan mengalami marginalisasi dan tergusur dari wilayah tangkap mereka secara turun temurun. 5) Impilikasi kebijakan terhadap antisipasi faktor penyebab (kompetisi) yaitu implementasi kebijakan pemerintah terhadap jalur-jalur penangkapan bersifat
217
makro. SK. Mentan Pertanian RI No. 392/Kpts/IK. 120/4/99 dan UndangUndang No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah, dimana pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk pengelolaan wilayah laut dan sumber daya di dalamnya hanya 8 mil ke arah laut lepas, sehingga memberi peluang yang besar untuk nelayan andon dari luar daerah bebas melakukan penangkapan pada jalur > 8 mil, perlu dilakukan revisi, yaitu dapat mendelegasikan penentuan JJP perikanan tangkap di perairan Kalsel berdasarkan kedalaman karena bentuk pantai yang landai agar memiliki dasar hukum. 6) Implikasi penelitian yaitu, model pengelolaan konflik perikanan tangkap dapat digunakan untuk pedoman implementasi kebijakan, namun model pengelolaan konflik perikanan tidak dapat digeneralisasi untuk semua provinsi, sehingga perlu dirancang variabel dan diketahui dengan pasti indikator yang berpengaruh, mengingat situasi dan kondisi aktor, sumber daya dan lingkungan yang berbeda. 7) Implikasi penelitian lanjutan yaitu: (1) mengingat kebijakan yang bersifat makro, maka perlu dilakukan penelitian kebijakan pengelolaan konflik pada setiap provinsi sehingga dapat dilakukan revisi dan melakukan legitimasi perda yang dapat diakomodasi sesuai dengan kondisi geografis (2) mengingat sulitnya melalukan analisis kualitatif terhadap pengukuran indikator pemahaman terhadap keadilan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan perlu penelusuran lebih jauh terhadap teori dan empiris masyarakat pesisir dalam melakukan kuantifikasi.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah NMR, Kuperan K, Pomeroy RS. 1998. Transaction cost and fisheries management. J Marine Resource Economic (13): 101-114 Abidin SZ. 2004. Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah. Jakarta. 89 hal. Adhuri DS (Ed.). 2005. Fishing in, Fishing out: Memahami Konflik Kenelayanan di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. PMB-LIPI. Jakarta. 122 hal Al-Thabbai, Alex P, Alex, Alfatoosh AA. 1991. Conflict Resolutions Using Cognitive Analysis Approach. J Project Management 54:68-87. Aminullah E. 2003. Berpikir Sistem dan Pemodelan Dinamika Sistem. Makalah Kuliah Umum. Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. 14 hal. Amazon, Allen. 1999. Distinguishing the Effects of Functional and Dysfunctional Conflict on Strategic Decision Making: Resolving a Paradox for Top Management Teams. J Academy of Management 39: 123-148 Anwar A. 2000. Beberapa Permasalahan dan Hak-hak Pakai Teritorial dalam Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Bahari Indonesia. Presiding Agriculture Planning. Universitas Mataram. Lombok. 18 hal. Asy’ari S. 2003. Konflik Komunal di Indonesia Saat ini. Indonesian– Nedtherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) Universiteit Leiden dan Pusat Bahasa dan Budaya. The Center for Languages and Cultures Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah. Jakarta. 56 hal. Aubert V. 1963. Competition and dissensus: two type of conflict and conflict resolution. J Conflict Resolution 7:26-42. Bacon LD. 1977. Using AMOS for Structural Equation Modelling in Market Research. SPPS White Paper. Chicago. IL. Bacon L and Associates. Ltd. & SPPS Inc.www.etd-submit.etsu.edu/etd/theses/available/etd-0330104111825/unrestricted/WebbM40704f.pdf. Bandalos DL. 1983. Factors Influencing cross-validation of Confirmatory factor analysis Models. Multivariate Behavioural Research. Barki H, Hartwick J. 2001. Interpersonal Conflict And Its Management In Information System Development. McGill University Montreal, Quebec, Canada. 65p. Bennett E, Jolley T. 2000. Pisces Field Manual. The Management of Conflict in Tropical Fisheries. Final Technical Report (CEMARE). 127 p.
220
Bennett E, Neiland A. 2000. Review of Study Approach to Conflicts. Centre for the Economics and Management of Aquatic Recources (CEMARE). 122 p. Bennett E. 2004. IAASCP conference Paper Institutions, Economics and Conflicts: Fisheries Management Under Pressure. (CEMARE) Bentler PM, Bonnetts DG. 1980. Significance tests and Goodness of Fit in the Analysis of Covariance Structure. Psychological Bulletin. Bock JG. 2001. Towards participatory communal appraisal. J Community Development. 36:146-153. Bono Ede. 1985. De Bono’s Thinking Course. Factss on File Publishing. New York. Borrini-Feyerabend G, Farvar MT, Nguinguiri JC, Ndangang VA. 2000. XComanajement of Natural Resources. Organizing, Neogotiating and Learningby-doing. Germany: GTZ and IUCN. Budhi S. 2006. Keharmonisan Sosial dan Pengelolaan Konflik. Makalah Seminar tentang “Economic Governance”. Banjarmasin. 15 hal. Budiono A. 2005. Keefektifan Pengelolaan Konflik Pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur [Disertasi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 263 hal. Byrne BM. 1998. Structural Equotion Modeling witt LISREL, PRELIS and SIMPLIS. Basic concepts, applications and Programming. New Jersey; Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Charles AT. 1992. Fishery conflicts: a unified framework. J Marine Policy 16: 379-393. Charter. 2001. Understansing the municipal finance bill. Hologram Newsletter 6. http://www.hologram.org Chapin JrFS and Kaiser EJ. 1985. The Theoretical Underpinning of Land Use. In Urban Land Use Planning. Third Edition. University of Illinois Press, Urbana, Chicago. Christy FT. 1987. Hak Penggunaan wilayah pada perikanan laut: Definisi dan Kondisi. Gramedia. Jakarta. Cicin-Sain B, Kencht RW. 1998. Integrated Coastal and Ocean management: Concepts and Practices. Center for the Study of Marine Policy Graduate College of Marine Studies. University of Delaware. Island Press, Washington D.C. 517p.
221
Cochrane KL. 2002. Fishery manager’s guidebook. Management measure and their application. Fisheries Technical Paper 224 (Chapter 1). Rome. FAO. 231p. Cooper DR, Emory CW. 1998. Metode Penelitiann Bisnis. Erlangga Creighton JL, Priscoli JD. 2001. Overview of Alternative Dispute Resolution. IWR. USACE. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang Berakar di Masyarakat. Kerjasama Ditjen Bangda dengan pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. 305 hal. Diamantopoulus A, Siguaw JA. 2000. Introducing LISREL, A guide for the united Sage Publications. Diez T, Ostrom E, Stern PC. 2003. J Science 302:1907-1912.
The strunggle to govern the commons.
[DKP] Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kal-Sel. 2007. Laporan Tahunan Statistik Perikanan Tangkap. Banjarbaru. 120 hal. [DKP] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tanah Bumbu. 2009. Laporan Tahunan Statistik Perikanan. Batulicin. 45 hal [DKP] Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan. 2007. Laporan Penyusunan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Kotabaru. Banjarbaru. 78 hal. [KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2002. Penyusunan Pedoman Pengelolaan Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (SDKP) diluar Pengadilan melalui Mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR). Proyek Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Laut. Jakarta. Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 155 hal. Edgington D, Fernandez A. 2001. The Changing Context of Regional Development. In D. Edgington, A. Fernandez, and C. Hoshino [Editor]. New Regions-Concepts, Issues and Practices. Greenwood Press. Connecticut. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid satu. IPB Press. Bogor. 52 hal.
222
[FAO] Food and Agriculture Organization, United Nation Organization. 1998. Integrated Coastal Area Management and Agriculture, Forestry an Fisheries. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Faulk RE. 1982. The Effects of a two-Weekend Marital Enrichment Program on Self-Disclosure and Marital Adjustment. Dissertation Abstracts International 42:8-13 Ferdinand A. 2002. Structural Equation Modeling (SEM) Dalam penelitian Manajemen. Program Magister Manajemen Universitas Dipponegoro. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Firdaus R. 2005. Penanganan Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan antara nelayan Tradisional dan Nelayan Jaring Bati di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau [Thesis]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fisher S, Ibrahim AD, Ludin J, Smith R, Wiliams S. 2000. Mengelola Konflik Keterampilan dan Strategi. Terjemahan. The British Council Indonesia. Jakarta. 185 hal. Frank M. 2003. Perangkat Pembangun Perdamaian. Contoh-contoh kerja dari para aktivis perdamaian di Indonesia. Walhi. Jakarta. Fruit DG, Rubin JZ. 2004. Teori Konflik Sosial [Judul asliiiii Social Conflict Escalation Stalemate and Setlement] Cetakan pertama [Penerjemah Helly p, Soetjipto, Sri Mulyani Soetjipto]. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 458 hal. Gafuri A. 2007. Bunga Rampai Pesta Demokrasi Di Kotabaru. Pustaka Banua. Banjarmasin. 102 hal. Gelanter M. 1966. Hukum Hindu dan Pengembangan Sistem Hukum India Modern. Sinar Harapan. Jakarta. 32 hal Ghozali A, Fuad SET. 2005. Structural Equation Modelling. Teori, Konsep & Aplikasi dengan Program LISREL 8.54. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 214 hal. Ginting SP. 2001. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Sulawesi Utara, dapat mengancam Kelestarian Pemanfaatannya. Gramedia. Jakata. 185 hal.
Golledge RG, Stimson RJ. 1997. In Spatial Behavior, A Geographical Perspective. J The Guilford Press New York 35:188 – 222. Gorre IRL. 1999. The Basics of Appropriate Dispute Resolution : A Must Read for Coastal Managers. J Tropical Coasts 6:3-7.
223
Gulland JA. 1982. Fish Stock Assessment : A Manual of Basic Methods. John Wiley and Sons. Chi Chester. 223 p. Gunawan I. 2000. Konsep Resolusi Konflik dalam Penetapan Ruang Wilayah Pesisir. In Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor, 13 – 18 Nivember 2000 (Ed. Bengen DG.) Proyek Pesisir, Bogor. 20 hal. Hair JF, Anderson RE, Tatham RL dan Black WC. 1998. Multivariate Data Analysis. Fifth Edition. Prentice Hall-International. INC. Prited in the United States of America Hanna, Susan. 1998. Co-Management in Small-Scale Fisheries: Creating Effective Link Among Stakeholders. International CBNRM Workshop. Washington. 213p. Hardin G. 1968. The Tragedy of the Commons. J Science. 162:1243-1248. Harris, Peter, Reilley B. 2000. Demokrasi dan konflik Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator. IDEA. 12p. Harrison, David A, Kenneth H, Price, Myrtle PB. 1998. Beyond Relational Demography: Time and the Effects of Surface and Deep level Diversity on Work Group Cohesion. J Academy of management 41:96-107. Hart N, Castro P. 2000. Conflict and Natural Resource Management. Rome: FAO. 79p. Hartono DI. 2006. Model Pengembangan Ko-Manajemen Perikanan Perairan Umum Daratan. Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong. Bogor. Hasan SZS. 1974. A Situational Analysis of Conflict in A Fishing Fillage. J Science 5: 43-544. Hayduk LA. 1987. Struktural Equation Modelling with LISREL: Essentials and Advanced. Maryland USA: The John Hopkins University Press. http://www.amosdevelopment.com dan htttps://www.hearne.com.au. Hocker JL. 1985. Interpersonal Conflict. Second Edition. Dubuque: Wm. C. Brown. Hill B. 1982. An Analysis of Conflict Resolution Techniques: From Priblem Solving Workshops to Theory. J Conflict Resolution 26: 109-138 Jabri V. 1996. Discourse on violence-conflict analysis reconsidered. Manchester: Manchester University Press.
224
Imron M. 2004. Laporan Baseline Studi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Kecamatan Siantan dan Kecamatan Palmatak, Kepulauan Anambas, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Kerjasama DKP dan Konsorsium Natuna Barat. Indarwasih R, Wahyono A, Adhuri DS (2007). Konflik-Konflik Kenelayanan: Distribusi, Pola, Akarmasalah dan Resolusinya. LIPI. Jakarta. 96 hal. Iriansyah, Rusmilyansari. 2006. Pengkajian Basic Design Kapal Penangkapan Ikan yang Efisien dan Layak Operasional Pada Kegiatan Pengembangan Sarana Perikanan Dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Perikanan Tangkap Provinsi Kalimantan Selatan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan. 235 hal. Israel A. 1990. Pengembangan Kelembagaan; Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. LP3ES. Jakarta. Jehn KA. 1995. A Multimethod Examination of the Benefit and Detriments of Intragroup Conflict. J Administrative Science Quarterly 40:256-282 Jereskog KG dan Sorbom D. 2005. LISREL 8.72. Scientific Sofftware International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100. Lincolnwood, IL 60712, USA Kaiser, Forsberg EM. 2001. Assessing Fisheries Using an Ethical Matrix ini a Participatory Process. J Agricultural and Environmental Ethics 14:1912000. Kartikasari, Meiske DT, Rita M, Diati NR, 2000. Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Grafika Desa Putra. Jakarta. Kesteven GL. 1973. Manual of fisheries Science. Part I: An introduction to Fisheries Science. Rome. FAO. Koentjoroningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Koesno M. 1979. Catatan-catatan terhadap hukum adat Dewasa ini. Surabaya. Airlangga University Press. 45p. Lasut MT dan Kumurur VA. 2001. Konsensus Tekanan Antropogenik pada Wilayah Pesisir: Konflik kepentingan. J Ikoton I: 71-77. Lewicky RJ. 2001. Essential Negoitation. Second edition. New York, McGraw Hill. Lincoln WF. 1986. The Course in Collaborative Negotiation. Tacome. Wash. Nasional Center Assoociattes, Inc.
225
Losa FB, Houbert RV and Joubert A. 2002. The Multivariate Analysis Biplot as a Tool for Conflict Analysis. J Multicriteria Decision Analysis 10: 273-284. Malik I, Fauzi N, Wijardjo B, Royo AG. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan Pilihan Strategi Penyelesaian Konflik atas Sumberdaya Alam (Ed. Pellokila YK, Prasetyohadi, Trisasongko D). Gramedia. Jakarta. 539 hal. Manetch TJ, Park GL. 1997. Sistem Analysis and Simulation With Appplication to Economic and Social System Part I. Third Edition, Department of Electrical Engineering and System Science, Michigan State University, East Lansing, Michigan. 167 hal. Manguiat MSZ. 1999 Shrimp Aquaculture and Resulting Conflict in the Thai Coastal Area Tropical Ciasts. J Marine Policy 6: 28 – 30. McGoodwin JR. 1990. “Crisis in the Word’s Fisheries: People, Problem and Policies”. Stanford: Stanford University Press. Melling T. 1994. Dispute resolution within legislative institutions. Stanford Law Review Michael F. 2002. Local Communities as Learning Organization: The Case of The Village of Toro, Sentral Sulawesi. Indonesia. Mikkelsen B. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris Dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Edisi Kedua. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Morris D. 2002. Communities, Building, Authority, responsibility and Capacity in The Case Against the Global Economy and for A Turn toward the local. Ed. Jerry Mander and Edward Goldsmith. Tibbra Club Books Mubyarto L, Soeisno, Dove M. 1993. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi Antropologi di dua desa Pantai. Rajawali Pers. Yogyakarta. Muhammad C. 2006. Menuju Konservasi Laut yang Pro Rakyat dan Pro Lingkungan. Walhi. Jakarta. Neary HM. 1997. Equilibrium structure in an economic model of conflict. Economic Inquiry. Nikijuluw VPH. 1998. Ko-manajemen sebagai paradigma baru pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Inovasi teknologi pertanian. Seperempat abad penelitian dan pembangunan pertanian. BPPP, Jakarta. Hal. 931 – 939. Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. “Kerjasama Pusat Pemberdayaan Pembangunan Regional (P3R) dengan dengan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. 254 hal.
226
Nrtee. 1998. Sustainable Strategies for Oceans: a Co-management Guide. National Round Table on the Environment and the Economy. Ontario. Obserchall A. 1973. Sosial Conflict and sosial movements. New Jersey: Prentice – Hall Oemry A F. 1993. Aplikasi Pendugaan Stok Ikan Demersal di Perairan Utara Kabupaten Batang. Laporan Praktek Lapangan (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. O’lughin, Jay, John R, Schumbaber. 1998. Barries to Using Alternative Dispute Resolution (ADR) in Federal Natural Resorces Agency. J Conflict Resolution 26:65-74 Ostrom E. 1993. The Sustainable Economict. J Science 56:14-17 Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Laut. 2008. Rencana Strategis Kabupaten Tanah Laut. Pelaihari. 96 hal. Pollnac RB. 1984. Investigating Territorial Use Rights Among Fishermen. J Senri Ethnological Studies. 17:285-300. Pomeroy RS, Berkes F. 2003. Two to Tango: the role of government in fisheries co-management. J Marine Policy 21:465-480. Pomeroy RS. 1998. A Process for community-based fisheries co-management. AFSSR News. Pomeroy RS, Williams MJ. 2005. Fisheries co-management and small scale fisheries: A policy brief. Co-management Project. ICLARM. 15 p. Powelson JP. 1972. Institution of economic growth: A theory of conflict management in develoving countries. Princeton, NJ: Princeton University Press. Premdas RR. 2000. Public Policy and Ethnic Conflict, UNESCO – Management of Social Transformation MOST. Priscoli JD. 2002. Participation, Consensus Building and Conflict Management Training Course. UNESCO – IHP. 179 p. Pruit DG, Rubin JZ. 1986. Sosial Conflict; Escalation, Stalemate and Settlement. Random House. New York. Purwaka. 2003. Bunga rampai Analisis Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Program Pascasarjana. Tidak diterbitkan. 37 hal.
227
Ramirez R. 2002. A Conceptual Map of Land Conflict Management Organizing the Parts of Town Puzzles. Sustainable Development Department FAO. 581 hal Rau JG, Wooten DC. 1980. Environmental Impact Analysis Handbook. Mc Grow Hill Book Company. University of California at Irvine. Toronto Rijsberman F. 2000. Conflict Management and Consensus Building for Integrated Coastal Management in Latin America and the Caribbean. Resources Analysis, Delft. Netherlands. Ross M. 1993. The Management of Conflict. Yale University Press. Saksono H. 2008. Model Pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Berbasis Industri Perikanan [Disertasi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sam, Nikijuluw VPH. 2007. Sistem Alternatif Manajemen Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Pusat Risett Perikanan Tangkap. DKP. Jakarta. 196 hal. Santoso T. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Ghalia Indonesia. Jakarta Satria A. 2004. Konflik Nelayan Dan Otonomi Daerah. Konferensi Nasional IV Pengelolaan Sumberdaya perairan Umum, Pesisir, Pulau-pulau Kecil dan Laut Indonesia. Balikpapan 14–17 Desember. Kalimantan Timur. Schlager E and Ostrom E.1992. Proverty Riight regimes and natural resorces; a conceptual analysis. J Land Economic 68:3-7 Sen S, Nielsen JR. 1996. Fisheries Co Management: a Comparative Analysis, Marine Policy: 2:5-9 Shaefer MB. 1954. Some Aspect of the Dinamics of Populations Important to the Management of Commercial Marine Fisheries. Bull. Inter-Am. Trop. Tuna. Comm 1: 27-56. Soetrisno L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius. Yogyakarta. Solimun. 2002. Multivariate Analysis. Structural Equation Modelling (SEM) LISREL dan AMOS. Aplikasi dibidang Manajemen, Ekonomi Pembangunan, Psykologi, Sosial, Kedokteran, Agrokompleks. Fak. MIPA Universitas Brawijaya. Malang. Sparre P, Venema SC. 1992. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. Part 1. Manual. FAO. Rome. Storey D. 1999. Issues of integration, partcipation and empowerment in rural development: the case of LEADER in the Republic of Ireland. J Rural Studies 15:307-315.
228
Takeda N. 2001. People participation in regional development management (Japanese experiences). Paper Presented for the Seminar on “Regional Development Management Policy to Support Autonomy”. Jakarta, 29 March 2001. JICA. Jakarta. www.jica.org. Todes A. 2003. Regional planning and sustainability: reshaping development through integrated development plans in the Ugu District of South Africa. Paper Presented to the Regional Studies Associates Conference, Reinventing Regions in the Global Economy. Pisa 12-15th April 2003. Regional Studies Association. Pisa. Tokrisna, Ruangrai, Boonchuwong P, Janekarnkij P. 2002. A Review on Fisheries and Coastal Community based Co-Management Regime in Thailand. Procedings of the International workshop on Fisheries Co-Management. 65p. Uchida H, James E, Wilen. 2004. Japanese Coastal Fisheries Management and Institutional Designs: A Descriptive Analysis. LIFET 2004 Japan Procedings. Uphoff N. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press. Ury W. 1993. Getting Dispute Resolved. New York. Pan Book. Wahyono A. 2000. Hak Ulayat laut di Kawasan Timur Indonesia. Yogyakarta. Media Pressindo. 60p. Wallace G. 1993. Institutional conflict work in democratic societies. UCI Ombudsman: J Marine Policy 26: 136-140 Walter CJ, Hillborn R. 1976. Adaptive control of fishing system. The fisheries research board of Canada. J System. 22:145-159 Warner M. 2000. Consensus participation: an example for protected area planning. J Public Administration and Development 17:413-432. Wijanto SH. 2007. Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8. Konsep dan Tutorial. Graha Ilmu. Yogyakarta. 473 hal. Winardi 1989. Pengantar tentang teori Sistem dan analisis Sistem. Manda maju. Bandung. Yurlikasari TE. 2010. Sistem Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Perairan Provinsi Riau [Disertasi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 234 hal. Zen S, Nielsen JR. 1996. Fisheries Co-Management: A Comparative Analysis. J Marine Policy 20: 374 – 382.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
228
229
Lampiran 1 Daftar informan/responden No INFORMAN/RESPONDEN 1 Ir. Iskandar, Ir. Ida Rufaida, Ir. M. Fadhli, Fatimah, S.Pi, Nurhidayat Eko, S.Pi 2 Muhyar Rasyidi, S.Pi, Ucok Desfiandi, S.Pi, Siti Hawa, S.Pi 3 Ir. H. Rahmi, Ir. Sri Ulin Tarmini 4 5 6
Ir. Aris Munandar, Mada Santoso, S.Pi, Ir Dardiansyah Ir. H. Hairuddin H. Muhansyah
7 8 9 10 11 12
H. Massaid Jumadi, Gufron, Jatmiko Ir. Sunaryo, MS.i Darwis Aliuddin Arbani
13
H. Abduk Wahab Akad,
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
H. Syamsul M. Arif SH Abu H. Anis Eddy F, S.Pi, Syahrudin S.Pi Bustani H. Mahlan Bahrani Mulyadi Muliansyah
24 25 26 27 28
Bahrudin Bahdianor H. M. Alwi H. M. Said Ir. Nunik Susimaryati, M.Si, Ir. Irhamsyah, M.Si, Erwin Rosadi, S.Pi, M.Si, Ir. Iriansyah, M.Si Ir. Hj. Suryatinah H. Abdurrahman, H. Ayut, H. Fauji, H. Rafii, H. Syahrani
29 30
JABATAN/PEKERJAAN Dinas Perikanan Provinsi KalSel/Penyidik Dinas Perikanan Tanah Bumbu/Penyidik Dinas Perikanan Tanah Laut/Penyidik Dinas Perikanan Kotabru/Penyidik Kepala PPI Batulicin Tanah Bumbu Ketua Pokmaswas Cinta Bahari Tanah Bumbu Kepala Desa Wiritasi LANAL Polair Pokmaswas Hilir Muara Kotabaru Pokmaswas Pulau Laut Selatan Ketua INSAN(Ikatan Nelayan Saijaan) Mantan Ketua Asosiasi Masyarakat Nelayan Saijaan (Amnes) Kotabaru HNSI Ketua Amnes Anggota walhi KalSel Ketua kerukunan Nelayan Kotabaru PPI Muara Kintap Tanah Laut Pomaswas Takisung Kades Takisung Tanah Laut Kades Tabnio Tanah Laut Pokmaswas Doa Ibu Tabanio Pokmaswas Bina Bersama Muara Asam-Asam Tanah Laut Kades Pagatan Besar Tanah Laut Kades Dirgahayu Kotabaru Kades Hilir Muara Kotabariu Kades Wiritasi Tanah Bumbu Akademisi
Pengamat Perikanan Tokoh Masyarakat
230
Lampiran 1 (lanjutan) No INFORMAN/RESPONDEN 30 Nando, Idrus, Brahim, Baha, Sakka, Nasruddin, Ariffudin, Pecca, Eppur Hodding, Gondrong, Ambo Sennang, Bahe, Unyi, Sauling, , Barooding, Anju, Manan, Jame, Paggo, Nazar, Cudding, Sehati, Jame, Haling, Gito, Adil, Ahmad, Idrus, Safar, Yogi, Sudi, Cimang, Ampa, H. Hamsyah, Ardi, Hasari, Putra, Arbain, Anakib, Hansen 31 Muliansyah, Syahran, Zainal, Mas’ud, Rusdin, Rahmat, Salman, Husni, Ancah, M.Taher, Aminudin, Salman, Suriadi, Rajudin, Harudin, Affar, Wisma, Hasan, Rahmani, Ipul, Pendi, Ali, Hendra, Deni, Syamsudin, Hapit, Syarkai, M.Nawawi, Asrul, Minan, Fauzi, Fajeri, Sahrullah, Husaini, Amiruddin, Samlianor, Ruslan, Asnawi, Hasan, Hadari, Matrawi, Sukarman, Rizai, Abdullah, Adus, Kadir, Junaidi, Mislawi, Mahmudi, Safeh, Page, Yahya, Taking, Saratang, Asegar, Idang, Soherman, Masroni, Amat Siholan, Agus, M. Riduan, Eman, Kaharudin, Asnain, Dilah Indo, Jumadi, Dahe, Masmni, Aseng, Alimudin Rustam, Eliyas, Apdin, Dono, Fatilah, Rusli, Hairullah, Muhyar, A.Yani, Sairaji, Tahmid, Roji, H. Mawar, Burhani, Syaifullah, H. Utih, Hairul, Dahrani, Rusmadi, Ismail, Ami, Suriansyah
JABATAN/PEKERJAAN Nelayan Andon (41 orang)
Nelayan Lokal desa Wiritasi, Pagatan Besar, Tabanio, Takissung, Muara Asam-asam, Dirgahayu dan Hilir Muara
Lampiran 2 Hasil tangkapan (c), upaya penangkapan (f) dan catch per unit effort (CPUE) A Kotabaru Jaring insang hanyut c f cpue 794.10 4,128.00 0.19 1999 453.10 6,929.00 0.07 000 44.20 1,225.00 0.04 2001 851.00 29,968.00 0.03 2002 2,781.10 57,608.00 0.05 2003 0.31 2004 12,672.80 40,668.00 19,794.60 40,668.00 0.49 2005 0.21 2006 12,844.10 60,394.00 0.24 2007 10,544.00 43,880.00 0.16 2008 12,156.40 77,742.00 Rerata 0.18 Tahun
Jaring insang tetap c f cpue 1,544.20 21,212.00 0.07 2,123.80 24,286.00 0.09 1,204.00 17,860.00 0.07 1,929.30 63,212.00 0.03 1,501.90 27,308.00 0.05 815.00 12,736.00 0.06 2,398.80 12,736.00 0.19 598.00 125,021.00 0.00 473.70 37,467.00 0.01 6,786.50 524,287.00 0.01 0.06
c 6,707.70 7,820.80 5,371.60 3,081.90 1,406.60 964.20 6,787.40 3,447.80 5,130.90 2,852.90
Trammel net f 112,416.00 283,448.00 168,896.00 227,224.00 257,528.00 172,908.00 172,908.00 556,422.00 501,092.00 382,347.00
Bagan tancap cpue c f 0.06 7,296.50 111,420.00 0.03 10,797.30 99,348.00 0.03 7,432.50 102,380.00 0.01 31,824.40 180,208.00 0.01 17,354.80 107,224.00 0.01 6,946.40 84,444.00 0.04 7,810.50 84,444.00 0.01 1,847.80 66,990.00 0.01 2,519.30 61,447.00 0.01 3,076.70 22,481.00 0.02
cpue 0.07 0.11 0.07 0.18 0.16 0.08 0.09 0.03 0.04 0.14 0.10
231
232
B Tanah Laut Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rerata
jaring insang hanyut c f cpue 2.903,40 60.996,00 0,05 4.246,80 58.845,00 0,07 3.424,90 58.845,00 0,06 2.569,30 58.845,00 0,04 4.172,20 57.184,00 0,07 3.733,40 39.244,00 0,10 3.116,60 39.244,00 0,08 6.353,00 77.572,00 0,08 4.120,00 69.807,00 0,06 4.008,10 161.858,00 0,02 0,06
Jaring lingkar c f 1.940,80 92.977,00 3.404,50 17.248,00 425,80 4.550,00 2.675,60 9.634,00 4.583,20 41.750,00 4.800,90 42.332,00 5.103,50 42.332,00 4.366,40 50.011,00 4.060,10 39.472,00 1.140,10 10.852,00
cpue 0,02 0,20 0,09 0,28 0,11 0,11 0,12 0,09 0,10 0,11 0,12
c 3.613,40 340,70 494,90 829,20 2.640,60 2.548,30 2.209,50 2.691,40 1.162,40 184,10
serok f 49.918,00 18.650,00 18.650,00 14.070,00 82.155,00 69.385,00 69.385,00 115.927,00 82.943,00 23.264,00
cpue 0,07 0,02 0,03 0,06 0,03 0,04 0,03 0,02 0,01 0,01 0,03
c 1.101,40 828,20 1.169,10 2.360,90 4.304,60 4.829,30 4.520,30 6.252,40 2.052,10 762,30
rawai tetap f 38.855,00 2.924,00 2.924,00 2.924,00 74.270,00 86.557,00 86.557,00 110.312,00 86.968,00 45.314,00
cpue 0,03 0,28 0,40 0,81 0,06 0,06 0,05 0,06 0,02 0,02 0,18
C Tanah Bumbu Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rerata
Jaring Insang Hanyut c f cpue 1338.2 78336 0.017083 1399 49670 0.028166 1186.8 103980 0.011414 1191.8 106981 0.01114 1859 169217 0.010986 1195.3 104096 0.011483 1195.3 104096 0.011483 1226.3 79847 0.015358 1191.7 78000 0.015278 1191.7 78000 0.015278 0.014767
c 1206.9 1077.7 1185.4 1202.1 1471.9 1208.3 1208.3 1254.5 1222.9 2465.3
Rawai Tetap f 109571 102924 146432 119346 144762 141761 141761 115341 111345 255526
cpue 0.011015 0.010471 0.008095 0.010072 0.010168 0.008524 0.008524 0.010876 0.010983 0.009648 0.009838
c 1091.4 991.5 1183.8 1188.7 1245.8 1390.4 1390.4 1444.4 1387.1 2463.8
Jermal f 79081 77384 106994 107658 113631 92484 92484 90049 81719 163320
cpue 0.013801 0.012813 0.011064 0.011041 0.010964 0.015034 0.015034 0.01604 0.016974 0.015086 0.013785
233
234
Lampiran 3 Daftar istilah 1
Actor adalah kelompok atau pihak yang terlibat dalam konflik perikanan tangkap
2
Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah proses penyelesaian konflik yang dilakukan secara koperatif dengan mengedapankan output yang lebih dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang
3
Alokasi internal adalah konflik yang muncul dalam sistem perikanan secara spesifik, antar kelompok dan alat tangkap yang berbeda
4
Analogi bawang bombay adalah memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak yang berkonflik
5
Antagonistic adalah pihak/kelompok yang menentang atau tidak setuju terhadap kesepakatan yang dihasilkan dari proses resolusi konflik
6
Avoidance adalah salah satu jenis teknik resolusi konflik dimana pihak yang berkonflik tidak melakukan upaya khusus untuk menyelesaikan konflik sampai pada akhirnya konflik tersebut selesai dengan sendirinya.
7
Common property adalah sumberdaya milik bersama termasuk milik pemerintah, sumberdaya tidak bertuan (tidak ada pemilik), dan milik yang dipertahankan oleh masyarakat pengguna sumberdaya
8
Conflict resolution adalah suatu tindakan koperatif yang dilakukan oleh pihak/kelompok yang berkonflik untuk menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak
9
Component loading adalah variabel yang mereprentasikan arah dan pengaruhnya terhadap komponen utama pada analisis principal component analysis
10 Cooperrative action adalah suatu pendekatan dalam proses resolusi konflik, dimana pihak-pihak yang terlibat konflik berupaya memperoleh hasil yang saling menguntungkan dan keadan yang lebih baik bagi semua pihak 11 Community Base Resources Management adalah suatu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dengan memanfaatkan berbagai inisiatif lokal yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan menggunakan sumberdaya yang dimilikinya sambil tetap membuka diri bagi kontribusi eksternal seperti pengetahuan atau teknologi modern. 12 Descriptive step adalah tahapan dalam analisis konflik untuk memperoleh data dan informasi tentang jenis, penyebab dan alternative resolusi konflik
235
14 Durable settlement adalah suatu kondisi untuk mencapai kesepakatan yang berkesinambungan dalam proses resolusi konflik. 15 Economic based fisheries resource management adalah strategi pengelolaan perikannan tangkap yang berorientasi pada kepentingan ekonomi. 16 Emerging adalah salah satu wujud konflik dimana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik sudah dapat teridentifikasi. 17 Factor louding (factor) adalah variasi indicator yang membentuk variable latent pada analisis structural equation medeling. 18 Fasilitasi adalah pertukaran informasi dan pembentukan beberapa alternative penyelesaian dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang memiliki kemampuan memimpin pertemuan. Digunakan untuk konflik dengan skala rendah hingga medium. 19 Fishing ground adalah daerah tangkap ikan yang menjadi tujuan operasi penangkapan ikan 20 Hunting adalah proses pencarian penangkapan ikan
gerombolan ikan dalam operasi
21 Institutional wheels adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menggambarkan pola hubungan antar individu, kelompok dan atau organisasi dalam masyarakat dalam proses resolusi konflik 22 Institutional development (pengembangan kelembagaan) yaitu mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada 23 Isolation adalah suatu kondisi dalam proses resolusi konflik dimana pihakpihak yang terlibat konflik bersifat masa bodoh 24 Kapital sosial adalah sebagai bentuk tanggung jawab dan harapan, norma sosial dan saluran informasi, dapat diwujudkan dalam bentuk yang sangat kompleks dan sering kali berupa fenomena abstrak seperti kepercayaan, nilai, norma kerjasama, jaringan formal maupun informal, lembaga yang efektif dan stabil serta kohesi sosial. 25 Kelembagaan tradisional adalah kelembagaan yang terbentuk secara alamiah, dimana aspek-aspek kultural lebih dulu terbentuk dibandingkan aspek-aspek strukturalnya. 26 Konflik data adalah konflik yang disebabkan oleh kurangnya informasi bagi pengguna untuk mengambil keputusan yang tepat
236
27 Konflik kepentingan adalah konflik perbedaan kebutuhan antara beragam pengguna dari sumberdaya alam yang sama. 28 Konflik struktural adalah konflik perbedaan kepentingan tidak dapat diselesaikan karena ketidak mampuan salah satu atau beberapa pihak karena adanya hal-hal yang sifatnya eksternal di luar kendali pihak-pihak tersebut. 29 Konflik nilai adalah konflik perbedaan sistem nilai yang dianut oleh salah satu pengguna dengan nilai yang diterapkan oleh pengguna lain. 30 Konflik jurisdiksi perikanan adalah konflik yang terjadi pada tataran kebijakan, perencanaan, konflik ini terkait dengan tujuan pengelolaan, pihak yang berhak dan memiliki control atas sumberdaya dan peran yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam system perikanan. 31 Konflik mekanisme pengelolaan adalah konflik yang muncul dalam pengembangan dan implementasi perencanaan manajemen perikanan, keterlibatan nelayan dan pemerintah dalam konflik saat eksploitasi dan proses konsultasi dan pengawasan perikanan. 32 Konflik alokasi internal adalah konflik yang terkait dengan pengguna yang terlibat langsung dengan perikanan, konflik ini dapat berupa perang alat tangkap, perebutan daerah tangkap (fishing ground), nelayan dengan pengolah. 33 Konflik alokasi eksternal adalah konflik yang muncul antara pemain perikanan internal dan eksternal, seperti dengan kapal asing, pembudidaya, industri non perikanan dan lainnya. 34 Konsensus adalah kesepakatan bersama yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat konflik untuk mencapai tujuan tertentu. 35 Latent adalah salah satu wujud konflik dimana konflik belum terangkat ke permukaan dan tekanan-tekanan yang terjadi belum berkembang. 36 Litigasi adalah proses resolusi konflik yang diselesaikan melalui jalur pengadilan (formal) 37 Manifest adalah salah satu wujud konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik sudah mulai bernegosiasi, dan mungkin juga mencapai jalan buntu 38 Mediasi adalah salah satu teknik resolusi konflik dimana pihak yang berkonflik memilih pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka merancang dan mengarahkan dalam proses mencari penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak.
237
39 Management conflict manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif 40 Masalah hubungan yaitu perbedaan persepsi karena faktor emosional yang kuat, asumsi terhadap perilaku pihak lain, kurang atau tidak ada komunikasi, ataupun adanya perilaku negatif yang berulang 41 Negosiasi adalah salah satu teknik resolusi konflik dimana pihak yang berkonflik berupaya untuk menyelesaikan perbedaan dengan melakukan kompromi atau menggunakan prinsip yang disepakati bersama tanpa melibatkan pihak ketiga. 42 Nelayan andon adalah kelompok yang melakukan penangkapan ikan di daaerah lain pada waktu tertentu selama musim penangkapan ikan. 43 Open access adalah rezim pemanfaatan sumberdaya property bersama dimana setiap orang/kelompok bebas untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. 44 Participatory geographic information exercise (PGIE) adalah metode pengumpulan data konflik dengan menggunakan spot mapping atau sketch mapping untuk memperoleh informasi dasar keadaan geografis wilayah yang digambarkan dalam bentuk peta transek. 45 Pemetaan konflik adalah menggambarkan hubungan berbagai pihak yang berkonflik. 46 Penahapan konflik adalah siklus peningkatan dan penurunan konflik yang menunjukkan intensitas konflik yang digambarkan dalam skala waktu tertentu. 47 Prescriptive step adalah tahapan dalam analisis konflik untuk menemukan teknik resolusi konflik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik. 48 Resolusi konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan. 49 Semi structured interview (SSI) adalah hsalah satu proses pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara secara bebas. 50 Segitiga S-P-K adalah menghubungkan faktor-faktor sikap-perilaku-konteks dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak yang berkonflik.
238
Lampiran 4 Dokumentasi kegiatan pengumpulan data
239
240
Lampiran 5 Kondisi sosial masyarakat nelayan
241
Lampiran 6 Situasi konflik nelayan
Penyanderaan kapal nelayan Sumenep & Penyitaan kompressor
Upaya penyelesaian konflik di darat dan di laut
Penyelesaian konflik dengan teknik litigasi & fasilitasi
242
Lampiran 7 Teknologi dan hasil tangkapan ikan yang menjadi sumber konflik
Perahu bagan
Bagan apung
Bagan tancap
Sumber: BPPI Semarang
Purse seine
Lampara dasar
Pengambilan teripang dan kerang mutiara dengan kompresor
243
Seser modern
Sumber: BPPI Semarang
Gillnet
Sumber: BPPI Semarang
Cantrang
244
Lampiran 8 Alat ukur indikator variabel KONFLIK, RESOLUSI dan OUTCOME Berdasarkan analisis tipologi konflik terhadap 11 indikator penyebab konflik perikanan tangkap (KONFLIK) yang diukur oleh persepsi responden dengan menggunakan pengukuran skala ordinal 1-5 dijelaskan sebagai berikut: 1)
Persepsi responden tentang adanya perbedaan masyarakat nelayan (X11) dengan kriteria: sangat tidak setuju dengan nilai tidak setuju dengan nilai ragu-ragu dengan nilai setuju dengan nilai sangat setuju dengan nilai
kondisi ekonomi dalam 1 2 3 4 5
2) Persepsi responden tentang keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan (X12) dengan kriteria: sangat tidak seimbang dengan nilai 1 tidak seimbang dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 seimbang dengan nilai 4 sangat seimbang dengan nilai 5 3)
Persepsi responden tentang adanya pengaruh resesi ekonomi berkepanjangan (X13) dengan kriteria: sangat tidak berpengaruh dengan nilai 1 tidak berpengaruh dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 berpengaruh dengan nilai 4 sangat berpengaruh dengan nilai 5
4) Persepsi responden terhadap jumlah kelompok/pihak yang terlibat konflik (X21) dengan kriteria: tidak tahu dengan nilai 1 dua kelompok dengan nilai 2 tiga kelompok dengan nilai 3 empat kelompok dengan nilai 4 lebih dari empat kelompok dengan nilai 5 5) Persepsi responden tentang kemudahan menentukan pihak atau kelompok yang terlibat dalam konflik (X22) dengan kriteria: sangat sulit dengan nilai 1 sulit dengan nilai 2 agak mudah dengan nilai 3 mudah dengan nilai 4 sangat mudah dengan nilai 5
245
6)
Kemampuan menentukan keberadaan pihak-pihak luar masyarakat nelayan yang terlibat dalam konflik (X31) dengan kriteria: sangat sulit dengan nilai 1 sulit dengan nilai 2 agak mudah dengan nilai 3 mudah dengan nilai 4 sangat mudah dengan nilai 5
7) Persepsi responden tentang kemudahan menentukan issu atau pokok masalah yang menjadi penyebab terjadinya konflik (X41) dengan kriteria: sangat sulit dengan nilai 1 sulit dengan nilai 2 agak mudah dengan nilai 3 mudah dengan nilai 4 sangat mudah dengan nilai 5 8) Persepsi responden tentang adanya hubungan antara perkembangan bertambahnya jumlah nelayan dengan frekuensi terjadinya konflik (X51) dengan kriteria: sangat tidak berhubungan dengan nilai 1 tidak berhubungan dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 berhubungan dengan nilai 4 sangat berhubungan dengan nilai 5 9) Persepsi responden tentang adanya pengaruh persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan (X61) dengan kriteria: Sangat tidak terpengaruh dengan nilai 1 tidak terpengaruh dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 berpengaruh dengan nilai 4 sangat berpengaruh dengan nilai 5 10) Persepsi responden tentang jumlah tokoh dalam masyarakat yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik (X71) dengan kriteria: tidak tahu dengan nilai 1 satu orang dengan nilai 2 dua orang dengan nilai 3 tiga orang dengan nilai 4 lebih dari 3 orang dengan nilai 5
246
11) Persepsi responden tentang kepatuhan masyarakat terhadap tokoh panutan di dalam penyelesaikan konflik (X72) dengan kriteria: sangat patuh dengan nilai 1 agak tidak patuh dengan nilai 2 kadang-kadang dengan nilai 3 agak patuh dengan nilai 4 selalu patuh dengan nilai 5 12) Persepsi responden terhadap keberadaan tokoh masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (X73) dengan kriteria: Sangat tidak terpengaruh dengan nilai 1 tidak terpengaruh dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 berpengaruh dengan nilai 4 sangat berpengaruh dengan nilai 5 13) Persepsi responden tentang pengaruh berkurangnya potensi sumberdaya perikanan tangkap (X81) dengan kriteria: Sangat tidak terpengaruh dengan nilai 1 tidak terpengaruh dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 berpengaruh dengan nilai 4 sangat berpengaruh dengan nilai 5 14) Persepsi responden tentang adanya pengaruh perebutan daerah tangkap(X82) dengan kriteria: Sangat tidak terpengaruh dengan nilai 1 tidak terpengaruh dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 berpengaruh dengan nilai 4 sangat berpengaruh dengan nilai 5 15)
Persepsi responden tentang adanya pengaruh kepentingan tertentu mengatasnamakan kepentingan nelayan (X9) dengan kriteria: Sangat tidak terpengaruh dengan nilai 1 tidak terpengaruh dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 berpengaruh dengan nilai 4 sangat berpengaruh dengan nilai 5
16) Persepsi responden tentang adanya pengaruh lemahnya penegakan hukum (X10) dengan kriteria: Sangat tidak terpengaruh dengan nilai 1 tidak terpengaruh dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 berpengaruh dengan nilai 4 sangat berpengaruh dengan nilai 5
247
17) Persepsi responden tentang adanya pengaruh lemahnya ketaan dengan jalur penangkapan(X10) dengan kriteria: Sangat tidak terpengaruh dengan nilai 1 tidak terpengaruh dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 berpengaruh dengan nilai 4 sangat berpengaruh dengan nilai 5 18) Persepsi responden tentang adanya pengaruh perbedaan kebiasaan (X11) dengan kriteria: Sangat tidak terpengaruh dengan nilai 1 tidak terpengaruh dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 berpengaruh dengan nilai 4 sangat berpengaruh dengan nilai 5 Berdasarkan pemetaan teknik resolusi konflik pada tahap I dan berdasarkan jenis teknik resolusi konflik yang didopsi dari Priscoli (2002) terdapat beberapa variabel tingkat kepuasan teknik resolusi konflik perikanan tangkap yang telah dilakukan di daerah penelitian yaitu: litigasi (X1) tercermin pada pertanyaan 1 sampai 2, negosiasi (X2) tercermin pada pertanyaan 3 sampai 5, fasilitasi (X3) tercermin pada pertanyaan 6 sampai 7, avoidance (X4) tercermin pada pertanyaan 8 sampai 10.
Persepsi responden dengan menggunakan
pengukuran skala ordinal 1-5 yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Persepsi responden tentang pentingnya penyelesaian konflik secara hukum (Y11) dengan kriteria: Sangat tidak penting dengan nilai 1 tidak penting dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 penting dengan nilai 4 sangat penting dengan nilai 5 2) Persepsi responden dalam mentaskan penyelesaian konflik dengan cara dihukum (Y12) dengan kriteria: Sangat tidak penting dengan nilai 1 tidak penting dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 penting dengan nilai 4 sangat penting dengan nilai 5
248
3) Persepsi responden tentang perlunya penyelesaian konflik diselesaikan secara tuntas terhadap pihak yang berkonflik (Y21) dengan kriteria: Sangat tidak penting dengan nilai 1 tidak penting dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 penting dengan nilai 4 sangat penting dengan nilai 5 4) Persepsi responden tentang kesediaan menghadiri pertemuan antar pihak yang berkonflik(Y22) dengan kriteria: Sangat tidak bersedia dengan nilai 1 tidak bersedia dengan nilai 2 kadang-kadang dengan nilai 3 bersedia dengan nilai 4 selalu bersedia dengan nilai 5 5) Persepsi responden tentang perlunya keseimbangan kekuatan antara masingmasing pihak-pihak yang berkonflik (Y23) dengan kriteria: Sangat tidak perlu dengan nilai 1 tidak perlu dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 perlu dengan nilai 4 sangat perlu dengan nilai 5 6) Persepsi responden tentang perlunya orang ketiga yang netral dalam menyelesaikan konflik (Y31) dengan kriteria: Sangat tidak perlu dengan nilai 1 tidak perlu dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 perlu dengan nilai 4 sangat perlu dengan nilai 5 7) Persepsi responden tentang kemampuan tokoh kunci yang netral dalam menyelesaikan konflik (Y32) dengan kriteria: tidak tahu dengan nilai 1 tidak jelas dengan nilai 2 prosedur dengan nilai 3 biaya dengan nilai 4 waktu dengan nilai 5 8) Persepsi responden tentang prioritas penyelesaian konflik (Y41) dengan kriteria: sangat tidak mapu tidak mampu ragu-ragu mampu sangat mampu
dengan nilai dengan nilai dengan nilai dengan nilai dengan nilai
1 2 3 4 5
249
9) Persepsi responden tentang kemampuan masyarakat lokal untuk menyelesaikan konflik(Y42) dengan kriteria: sangat tidak mapu dengan nilai 1 tidak mampu dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 mampu dengan nilai 4 sangat mampu dengan nilai 5
10) Persepsi responden tentang perlunya penyelesaian konflik (Y43) dengan kriteria: Sangat tidak perlu dengan nilai 1 tidak perlu dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 perlu dengan nilai 4 sangat perlu dengan nilai 5 Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis resolusi konflik yang diadopsi dari Losa et al. 2002; Barki et al. 2001 dan Harris et al. 2000 terdiri dari tiga variabel yaitu (1) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap, tercermin pada pertanyaan nomor 1 sampai 8 (2) pemahaman pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan, tercermin pada pertanyaan nomor 9 sampai 29 (3) pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkeadilan, tercermin pada pertanyaan nomor 30 sampai 37. Persepsi responden terhadap ketiga variabel outcome tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Persepsi responden terhadap partisipasi dalam perencanaan perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan (Z11) dengan kriteria: partisipasi pura-pura dengan nilai 1 partisipasi pasif dengan nilai 2 partisipasi konsultasi dengan nilai 3 partisipasi iming-iming naterial dengan nilai 4 partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 5 2) Persepsi responden terhadap partisipasi dalam implementasi pengelolaan sumberdaya perikanan (Z12) dengan kriteria: partisipasi pura-pura dengan nilai 1 partisipasi pasif dengan nilai 2 partisipasi konsultasi dengan nilai 3 partisipasi iming-iming naterial dengan nilai 4 partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 5
250
3) Persepsi responden terhadap partisipasi dalam pengaturan effort (Z13) dengan kriteria: partisipasi pura-pura dengan nilai 1 partisipasi pasif dengan nilai 2 partisipasi konsultasi dengan nilai 3 partisipasi iming-iming naterial dengan nilai 4 partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 5 4) Persepsi responden terhadap partisipasi dalam pengaturan musim dan zonasi penangkapan (Z14) dengan kriteria: partisipasi pura-pura dengan nilai 1 partisipasi pasif dengan nilai 2 partisipasi konsultasi dengan nilai 3 partisipasi iming-iming naterial dengan nilai 4 partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 5 5) Persepsi responden terhadap partisipasi dalam monitoring pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (Z15) dengan kriteria: partisipasi pura-pura dengan nilai 1 partisipasi pasif dengan nilai 2 partisipasi konsultasi dengan nilai 3 partisipasi iming-iming naterial dengan nilai 4 partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 5 6) Persepsi responden terhadap partisipasi dalam evaluasi pengelolaan SDPT (Z16) dengan kriteria: partisipasi pura-pura dengan nilai 1 partisipasi pasif dengan nilai 2 partisipasi konsultasi dengan nilai 3 partisipasi iming-iming naterial dengan nilai 4 partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 5 7) Persepsi responden terhadap berpartisipasi dalam penegakan hukum(Z17) dengan kriteria: partisipasi pura-pura dengan nilai 1 partisipasi pasif dengan nilai 2 partisipasi konsultasi dengan nilai 3 partisipasi iming-iming naterial dengan nilai 4 partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 5 8) Persepsi responden terhadap berpartisipasi dalam pengawasan pengelolaan sumberdaya perikanan (Z18) dengan kriteria: partisipasi pura-pura dengan nilai 1 partisipasi pasif dengan nilai 2 partisipasi konsultasi dengan nilai 3 partisipasi iming-iming naterial dengan nilai 4 partisipasi inisiatif sendiri dengan nilai 5
251
9) Persepsi responden terhadap perlunya pembatasan jumlah tangkapan dalam rangka menjaga keberlanjutan usaha penangkapan ikan (Z21) dengan kriteria: tidak diperlukan dengan nilai 1 kurang diperlukan dengan nilai 2 cukup diperlukan dengan nilai 3 diperlukan dengan nilai 4 sangat diperlukan dengan nilai 5 10) Persepsi responden tergadap perlunya perlu mempertimbangkan dampak terhadap ketersediaan jenis yang lain (Z22) dengan kriteria: tidak diperlukan dengan nilai 1 kurang diperlukan dengan nilai 2 cukup diperlukan dengan nilai 3 diperlukan dengan nilai 4 sangat diperlukan dengan nilai 5 11) Persepsi responden tentang pemahaman pengaruh penangkapan terhadap kondisi lingkungan (Z23) dengan kriteria: sangat tidak memahami dengan nilai 1 tidak memahami dengan nilai 2 cukup memahami dengan nilai 3 memahami dengan nilai 4 sangat memahami dengan nilai 5 12) Persepsi responden terhadap pengetahuan terhadap alternatif pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mampu menjaga kelestarian (Z24) dengan kriteria: sangat tidak tahu dengan nilai 1 tidak mengetahui dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 mengetahui dengan nilai 4 sangat mengetahui dengan nilai 5 13) Persepsi responden terhadap tingkat kecukupan sumberdaya perikanan yang tersedia dalam mencukupi kebutuhan (Z25) dengan kriteria: sangat tidak cukup dengan nilai 1 tidak cukup dengan nilai 2 cukup dengan nilai 3 lebih dari cukup dengan nilai 4 sangat melimpah dengan nilai 5 14) Persepsi responden terhadap hasil tangkapan sampingan yang masih banyak tertangkap (Z26) dengan kriteria: masih sangat banyak dengan nilai 1 masih banyak dengan nilai 2 cukup banyak dengan nilai 3 sedikit dengan nilai 4 sedikit sekali dengan nilai 5
252
15) Persepsi responden terhadap frekuensi kepatuhan nelayan terhadap ukuran mata jaring (Z27) dengan kriteria: tidak pernah patuh dengan nilai 1 jarang patuh dengan nilai 2 kadang-kadang dengan nilai 3 patuh dengan nilai 4 selalu patuh dengan nilai 5 16) Persepsi responden terhadap pengetahuan mengenai aturan ukuran mata jarring (Z28) dengan kriteria: tidak pernah patuh dengan nilai 1 jarang patuh dengan nilai 2 kadang-kadang dengan nilai 3 patuh dengan nilai 4 selalu patuh dengan nilai 5 17) Persepsi responden terhadap pengetahuan mengenai penurun stok ikan diatandai olah penurunan hasil tangkapan ikan (Z29) dengan kriteria: sangat tidak tahu dengan nilai 1 tidak tahu dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 mengetahui dengan nilai 4 sangat mengetahui dengan nilai 5 18) Persepsi responden terhadap pengetahuan bahwa menurunnya stok ikan ditandai oleh semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap (Z210) dengan kriteria: sangat tidak tahu dengan nilai 1 tidak tahu dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 mengetahui dengan nilai 4 sangat mengetahui dengan nilai 5 19) Persepsi responden terhadap pengetahuan mengenai pengaruh penangkapan yang menggunakan bahan-bahan peledak/kimia (Z211) dengan kriteria: sangat tidak tahu dengan nilai 1 tidak tahu dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 mengetahui dengan nilai 4 sangat mengetahui dengan nilai 5 20) Persepsi responden terhadap usaha yang dilakukan mampu untuk mencukupi kebutuhan di masa mendatang (Z212) dengan kriteria: Sangat tidak mampu dengan nilai 1 tidak mampu dengan nilai 2 cukup mampu dengan nilai 3 mampu dengan nilai 4 sangat mampu dengan nilai 5
253
21) ) Persepsi responden terhadap usaha yang dilakukan sekarang ini mampu meningkatkan kesejahteraan (Z213) dengan kriteria: Sangat tidak mampu dengan nilai 1 tidak mampu dengan nilai 2 cukup mampu dengan nilai 3 mampu dengan nilai 4 sangat mampu dengan nilai 5 22) Persepsi responden terhadap keadilan dalam pemanfaatan )sumberdaya perikanan tangkap (Z214) dengan kriteria: sangat tidak adil dengan nilai 1 tidak adil dengan nilai 2 cukup adil dengan nilai 3 adil dengan nilai 4 sangat adil dengan nilai 5 23) Persepsi responden terhadap kesempatan memanfaatkan sumberdaya (Z215) dengan kriteria: tidak ada dengan nilai 1 kurang dengan nilai 2 cukup dengan nilai 3 banyak dengan nilai 4 sangat banyak dengan nilai 5 24) Persepsi responden terhadap frekwensi masyarakat lokal dilibatkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangka (Z216) dengan kriteria: tidak pernah dengan nilai 1 jarang dengan nilai 2 kadang-kadang dengan nilai 3 sering dengan nilai 4 selalu dengan nilai 5 25) Persepsi responden terhadap mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap (Z217) dengan kriteria: tidak pernah dengan nilai 1 jarang dengan nilai 2 kadang-kadang dengan nilai 3 sering dengan nilai 4 selalu dengan nilai 5 26) Persepsi responden terhadap mempertahankan tradisi proses pengambilan keputusan(Z218) dengan kriteria: tidak pernah dengan nilai 1 jarang dengan nilai 2 kadang-kadang dengan nilai 3 sering dengan nilai 4 selalu dengan nilai 5
254
27) Persepsi responden terhadap nilai-nilai adat masih dipertahankan dalam masyarakat (Z219) dengan kriteria: tidak pernah dengan nilai 1 jarang dengan nilai 2 kadang-kadang dengan nilai 3 sering dengan nilai 4 selalu dengan nilai 5 28) Persepsi responden terhadap dampak negative pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap terhadap kondisi sosial ekonomi (Z220) dengan kriteria: sangat tidak tahu dengan nilai 1 tidak mengetahui dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 mengetahui dengan nilai 4 sangat mengetahui dengan nilai 5 29) Persepsi responden terhadap kelembagaan yang ada pada saat ini dapat dipertahankan untuk masa yang akan datang (Z221) dengan kriteria: sangat tidak tahu dengan nilai 1 tidak mengetahui dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 mengetahui dengan nilai 4 sangat mengetahui dengan nilai 5 30) Persepsi responden terhadap kesempatan pengelolaan sumberdaya perikakan tangkap dibuat secara tertulis (Z31) dengan kriteria: Tidak pernah ada dengan nilai 1 tidak tersedia dengan nilai 2 kadang-kadang dengan nilai 3 tersedia dengan nilai 4 sangat tersedia dengan nilai 5 31) Persepsi responden terhadap kesepakatan sumberdaya perikanan tangkap tersedia bagi setiap nelayan yang membutuhkan (Z32) dengan kriteria: Tidak pernah ada dengan nilai 1 tidak tersedia dengan nilai 2 kadang-kadang dengan nilai 3 tersedia dengan nilai 4 sangat tersedia dengan nilai 5 32) Persepsi responden terhadap kesepakatan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap memenuhi etika/nilai yang berlaku di masyarakat (Z33) dengan kriteria: sangat tidak memenuhi dengan nilai 1 tidak memenuhi dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 memenuhi dengan nilai 4 sangat memenuhi dengan nilai 5
255
33) Persepsi responden terhadap kesepakatan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakatat (Z34) dengan kriteria: sangat tidak sesuai dengan nilai 1 tidak sesuai dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 sesuai dengan nilai 4 sangat sesuai dengan nilai 5 34) Persepsi responden terhadap tersedia informasi/kejelasan baik berupa pengumuman maupun media lainnya tentang kesepakatan (Z35) dengan kriteria: sangat tidak jelas dengan nilai 1 tidak jelas dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 jelas dengan nilai 4 sangat jelas dengan nilai 5 35) Persepsi responden terhadap mekanisme pengaduan masyarakat terhadap kesepakatan (Z36) dengan kriteria: sangat tidak jelas dengan nilai 1 tidak jelas dengan nilai 2 ragu-ragu dengan nilai 3 jelas dengan nilai 4 sangat jelas dengan nilai 5 36) Persepsi responden tentang adanya pertemuan kelompok nelayan tentang pertemuan kelompok nelayan untuk merumuskan/membahas/mengevaluasi kebijakan kesepakatan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (Z37) dengan kriteria: Sangat jarang dengan nilai 1 jarang dengan nilai 2 kadang-kadang dengan nilai 3 Ada dengan nilai 4 Selalu ada dengan nilai 5
256
Lampiran 9 Output analisis data penelitian menggunakan LISREL 8.30
DATE: 10/27/2009 TIME: 9:11 L I S R E L 8.30 BY Karl G. Jöreskog & Dag Sörbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc. 7383 N. Lincoln Avenue, Suite 100 Chicago, IL 60646-1704, U.S.A. Copyright by Scientific Software International, Inc., 1981-99 Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: www.ssicentral.com The following lines were read from file D:\MELI\MELI.SPJ: Observed Variables X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 Y1 Y2 Y3 Y4 Z1 Z2 Z3 Correlation Matrix From File D:\MELI\MELI.COR Sample Size = 201 Latent Variables KONFLIK RESOLUSI OUTCOME Relationships X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 = KONFLIK Y1 Y2 Y3 Y4 = RESOLUSI Z1 Z2 Z3 = OUTCOME
257
RESOLUSI = KONFLIK OUTCOME = RESOLUSI Path Diagram options ME=ML AD=OFF IT=500 set the error covariance between X1 and Z2 to free set the error covariance between X10 and Y1 to free set the error covariance between X11 and X10 to free set the error covariance between X3 and Y4 to free set the error covariance between X11 and Y3 to free set the error covariance between X10 and Y2 to free set the error covariance between X8 and Y2 to free set the error covariance between Y3 and Y1 to free set the error covariance between X10 and X5 to free set the error covariance between X11 and Y1 to free End of Problem Sample Size = 201 Correlation Matrix to be Analyzed Y1
Y2
Y3
Y4
Z1
Z2
-------- -------- -------- -------- -------- -------Y1
1.00
Y2
0.09
1.00
Y3
-0.05
0.27
1.00
Y4
-0.15
-0.14
-0.08
Z1
0.17
0.18
0.25
0.01
1.00
Z2
0.11
0.08
0.12
-0.07
0.28
1.00
Z3
0.09
0.06
0.00
0.00
0.05
0.19
1.00
258
X1
0.08
0.07
0.09
-0.12
0.08
-0.07
X2
0.10
0.09
0.06
0.03
0.03
-0.03
X3
0.02
0.07
0.09
0.03
0.00
0.13
X4
-0.08
0.03
-0.05
-0.02
0.01
-0.01
X5
0.04
-0.01
-0.09
0.05
-0.03
0.00
X6
0.04
0.16
0.18
0.06
0.15
-0.03
X7
0.14
0.19
0.01
-0.07
0.08
0.12
X8
0.09
0.11
-0.08
-0.15
0.10
0.01
X9
0.03
0.23
0.10
-0.07
0.10
0.10
X10
0.19
-0.14
-0.06
0.01
-0.12
0.10
X11
0.14
-0.06
0.10
-0.02
-0.08
0.06
Correlation Matrix to be Analyzed Z3
X1
X2
X3
X4
X5
-------- -------- -------- -------- -------- --------Z3
1.00
X1
-0.02
1.00
X2
-0.01
0.05
1.00
X3
0.11
0.06
0.17
1.00
X4
-0.03
0.08
-0.08
0.06
1.00
X5
0.00
0.11
0.05
0.04
-0.03
1.00
X6
0.01
0.20
0.15
0.16
0.05
-0.08
X7
0.07
0.09
-0.01
-0.01
0.00
-0.12
X8
-0.01
0.09
-0.10
-0.02
0.13
0.05
X9
-0.04
0.05
0.01
-0.02
-0.08
0.04
X10
0.00
0.05
0.01
-0.02
-0.11
0.19
X11
0.01
-0.01
0.01
-0.15
-0.06
-0.08
259
Correlation Matrix to be Analyzed X6
X7
X8
X9
X10
X11
-------- -------- -------- -------- -------- -------X6
1.00
X7
0.03
1.00
X8
-0.07
-0.02
1.00
X9
-0.02
0.08
0.06
1.00
X10
0.12
0.06
0.14
-0.07
1.00
X11
-0.15
-0.04
0.00
-0.08
0.28
1.00
Number of Iterations = 39 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Y1 = 0.35*RESOLUSI, Errorvar.= 0.88 , R² = 0.12 (0.12)
(0.11)
2.92
8.02
Y2 = 0.41*RESOLUSI, Errorvar.= 0.82 , R² = 0.17 (0.095)
(0.097)
4.33
8.50
Y3 = 0.59*RESOLUSI, Errorvar.= 0.65 , R² = 0.35 (0.13)
(0.13)
4.50
5.05
Y4 = - 0.18*RESOLUSI, Errorvar.= 0.97 , R² = 0.032 (0.090)
(0.099)
-2.00
9.80
Z1 = 0.68*OUTCOME, Errorvar.= 0.54 , R² = 0.46 (0.18)
(0.17)
3.72
3.24
260
Z2 = 0.42*OUTCOME, Errorvar.= 0.82 , R² = 0.18 (0.11)
(0.10)
4.01
7.92
Z3 = 0.15*OUTCOME, Errorvar.= 0.98 , R² = 0.021 (0.094)
(0.100)
1.54
9.84
X1 = 0.29*KONFLIK, Errorvar.= 0.92 , R² = 0.081 (0.096)
(0.099)
2.98
9.24
X2 = 0.24*KONFLIK, Errorvar.= 0.94 , R² = 0.056 (0.096)
(0.099)
2.46
9.50
X3 = 0.30*KONFLIK, Errorvar.= 0.91 , R² = 0.088 (0.096)
(0.099)
3.09
9.17
X4 = 0.018*KONFLIK, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.00034 (0.095)
(0.100)
0.19
10.00
X5 = - 0.031*KONFLIK, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.00093 (0.097)
(0.100)
-0.32
9.99
X6 = 0.61*KONFLIK, Errorvar.= 0.63 , R² = 0.37 (0.11)
(0.13)
5.38
4.82
261
X7 = 0.15*KONFLIK, Errorvar.= 0.98 , R² = 0.023 (0.096)
(0.100)
1.60
9.80
X8 = - 0.040*KONFLIK, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.0016 (0.096)
(0.10)
-0.42
9.99
X9 = 0.089*KONFLIK, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.0079 (0.095)
(0.100)
0.93
9.93
X10 = 0.14*KONFLIK, Errorvar.= 0.99 , R² = 0.019 (0.099)
(0.10)
1.39
9.89
X11 = - 0.23*KONFLIK, Errorvar.= 0.95 , R² = 0.051 (0.10)
(0.10)
-2.27
9.46
Error Covariance for Y3 and Y1 = -0.25 (0.084) -2.96 Error Covariance for X1 and Z2 = -0.10 (0.066) -1.57 Error Covariance for X3 and Y4 = 0.046 (0.068) 0.68
262
Error Covariance for X8 and Y2 = 0.13 (0.067) 1.97 Error Covariance for X10 and Y1 = 0.16 (0.069) 2.24 Error Covariance for X10 and Y2 = -0.16 (0.063) -2.48 Error Covariance for X10 and X5 = 0.21 (0.068) 3.10 Error Covariance for X11 and Y1 = 0.17 (0.070) 2.50 Error Covariance for X11 and Y3 = 0.18 (0.065) 2.85 Error Covariance for X11 and X10 = 0.33 (0.072) 4.65 RESOLUSI = 0.48*KONFLIK, Errorvar.= 0.77, R² = 0.23 (0.17) 2.80
263
OUTCOME = 0.59*RESOLUSI, Errorvar.= 0.65, R² = 0.35 (0.21) 2.85 Correlation Matrix of Independent Variables KONFLIK -------1.00 Covariance Matrix of Latent Variables RESOLUSI OUTCOME
KONFLIK
-------- -------- -------RESOLUSI OUTCOME KONFLIK
1.00 0.59 0.48
1.00 0.28
1.00
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 123 Minimum Fit Function Chi-Square = 138.99 (P = 0.15) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 129.37 (P = 0.33) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 6.37 90 Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 37.74) Minimum Fit Function Value = 0.69 Population Discrepancy Function Value (F0) = 0.032 90 Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; 0.19) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.016 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; 0.039) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 1.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 1.13
264
90 Percent Confidence Interval for ECVI = (1.10 ; 1.28) ECVI for Saturated Model = 1.71 ECVI for Independence Model = 1.69 Chi-Square for Independence Model with 153 Degrees of Freedom = 301.61 Independence AIC = 337.61 Model AIC = 225.37 Saturated AIC = 342.00 Independence CAIC = 415.07 Model CAIC = 431.93 Saturated CAIC = 1077.87 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.059 Standardized RMR = 0.059 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.93 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.91 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.67 Normed Fit Index (NFI) = 0.54 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.87 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.43 Comparative Fit Index (CFI) = 0.89 Incremental Fit Index (IFI) = 0.91 Relative Fit Index (RFI) = 0.43 Critical N (CN) = 234.68 The Problem used
52528 Bytes (= 0.1% of Available Workspace)
Time used:
0.047 Seconds
~~;!~~ > ~ l1 l1~ 1 :~ l ~;~~ ~ !~l'
-.
. \
,,
-..--
-I:\II
.
.'. .:",.
I):!I.,%I\ --
I h t ~ l a n aK~~s!al~;!r~l l
K !
I 13/11 I'
I'clntruia!~ I Pup11Kolal:~ru ? !)l1I
KlllJl~;llll );cl:!i11;111 I'rllll~r!\l K;~~III~~IIII:IIIS':I;II;III 1 I)I.I;!* I'~~IL:!II:I~I.~~;III : :)I~:I> IJL.r~L;~~l:!r~ C ~ I I S'C~;I,II:III J;II\;I l i : ~ r ; ~ l i I)III~ !'C~I~;IIIJII ~ ~ ; I I IKC~:IIII:III .I;I\.,:I 'I IIIILII h I11nas~ ' c ~ I ~ : I J~II~ I I ~ IKCI;ILI:;III ~ II K I .!:lL:~r!:t 7 01nns!'ertk:!~~~lt drn ticl:~:~\an1:1na Ic n y h S l);nl~na; K~II;II>:I~II '1 Kap>lrcxKt>l;ilx!ri~ 111 KcjaLs:1:111K~>I:I~>:IIII I I II S S I Klll;ll~:!l!l 1 2 .IIh'SI .I;!)\;! l1:11;11 1,; IIKYI .la\t;~.l.!rnlIr 1.1 !l:i>lI I K I J:I~;I,I;!
StIRAT-PERNYATAAN Kurili.il~asy:u;lka!N e l i ~ ~ uDcm n I'agatan Bewr K e c m a l a n Tnkisung Knbupalen T;ul;il~i.aur, m e n i p a h nclnyan trnjisional yang m u i h mernpcrlahanknn rnclode pn.anpkupm 'ndisionnl de&nn lncrnpcrhatikm kcleslurinn t e n ~ m b uktGCg dim biota yana ndn. Mengingnt ha1 tcrscbul rnnkn segala k n l u k F n g g u n a n n d o t n u u metode jrnvlgknpnn iknn yung dapul mcngukibatkan rusnknya %+baginnutnu scluruh hnbital ikin ilk111mcng:ong&i kclcslruinli. rni:;alnyn:' I. 1'e.lggui.u,~ii ulut tuilglcnp Pnkrlt 1,Inrimuu 2. P o n ~ g u n a u nbrtl~unpclcduk ( P c n ~ c b o r n ~ilwil) u~ 3. P c n ~ g u n n : ~I'otnsiua~ n utnu Rnhnr llcrncum D ' f r b c l ~ u y sluinnya J. Prn),cln~rinndcngnn lnnkrud pongn~nbilunkyranl: 5. Dun n ~ c l o d cp c n n n g k a p n n i k n n l n i n n y i yung bcrsilnt nicrusnk ckrsistcr I
Mnka dcngoc i ~ i k~irni i scpnknt untuk 34ENOLAKX di wiluyrh pc~::ingl;;lp:lli scililr I>C'SJ T.*b;.r~ic. I';il:;iIn,l Dcs:lr dan Tnkisung apabila ~ n e n g ~ u o II:I~IIIII ~ ~ k ;dnir ~~~ ~llclc~tlc pcnnngkrlp:~~~ Icrsebuf. K:ITCIIO akhir-akhir ini k x n i telall nrcr;r:i;~k;~llcrck y;tr\g ditii~~litllken tlari ~ic.~i;~~ir:knli:i~~ t:rsebut ani:~r:i \:)ill: I I I : I ! ; L I ~ I I ~ ; ~ ( ~ ~ I : L ' ~Nc';~yiil~ ~II~~ in:r~laj)unycuigbcropensi
K U I I 111~1'21311 I~ rt!?1111 (I:IIIlcrginggu I I ; I I I ~ I I dirugik1111 I I L I I I X I I U11l11t I t u r ~ ~ i . s e ~ .I Il I~~ iI I~I !, : I ~ I I I I l ~ i l ; ~ ntcrp(1t01.g g OICII 11lttivil118~ I ~ : I ~ I I I I ~ ~ I I ~ I I I I kur:111g. .' 2. "I'crgnnFP,~r~~yn ::'isl~iaji G r o u n d (Jlrcrul~p c n u ~ ~ g h plru,~ii ~ ~ i I) u r c n r ~ t c m n i b u karac~f: tclnh r u a n k scbngni Iiabitnt iitnii. -3. Akibat rl;ynlt~~ya 'cltoslstcr~il c r i l x b u I c n n r ~ grnakr~ l ) c l ~ i r . l ~l ~~i;l ~r i !er.tkhir i ~ Ilasil ~ i Innl:kr!p kn!ni mclliirlin t l r r ~ u t l . 1.
i i k nI I I ~ : I I : I I II knn~i.b u : ! scbngoi h!lah salu L I ~ I ~ I ~I ; I, I I ~ I I ~ ikul m c r m b c ~ m g g u n jtlwah g i~lci?jagn,memclihan, m e l e s t i i k : l ~ ~ ih11 r r ~ c ~ n ~ r t n l ~ u sulnlwrtl:~yn nkan Intrt kiti. S e m o p apa y a g tclah kit11 : ; I ~ [ I ~ I I I scl:i111:1 ini d n p ; ~Lil:~ ~ ~ : I S ; I ~ : : I I Id:~nkili~\vnrisdn~~ 1! ~ r u kgencrosi ynns :I~;;III ( l ~ ~ t i r ~ g .
.
I'ngatan Ucsar, 17 A!~t.il2007 An. Nclaynn I':I~:II~III1l~Siir
,-
Kcrua DI'D Pujiornn Dcsar
SL;RA'T PERNYATAAN
-u
Karni rnal;yarakat Nelay~nDesa Tabanio Icecamatan Takisung Kabupatcn Tanah Laut, rnerupakan nel3yan Yadisional yang rnasih rnernpertah,ankan rnetode penangkapan tradisional del~ganrnernperhatikafi kelestarlan terurnbu karang dan biota y a i g ada. ivlengingat ha1 tersebut maka segala bentuk penggunaan ~ l a atau t metode penangkapan ikan yang dapat rnenyakibatkan rusaknya sebagian atau seluruh habitat ikan atau rnengganygl~kelestarian, rnisalnya :
1, penggunaan d a t tangkap Pukat Harlrnau 2. p~nggunaallhahan peledak ( pengt:bornan ikan j 3. Penqgu~iaanPotasiuni atau bahan ber3cun bet-bahaya lainnya. 4. Fellyelaman dengan n-iaksud pengalnbilan karang dengan terepang dan rnetode perisngkapan ikan lainnya yang bersifat merusak Ekosistern.
'
Maka dengall in; karni sepakat untuk MENOXK " Masuknya d ~ t a ~ ~ g ne!a~an r ~ y a rnanapun yafig beroper& d' wilayah pensn?k.?pan r-ekitw Desa Tabanio, Fagatan Resar dan Takisung wilayah Xabupa:en T m a h Latlt Piopinsi Kalimantan Seldtan ap;bi;a menggunak~nbr;han rnetod? penangkapan tersebut. karena akhir - akhir ini 1:arni telah rnerasakan efek yang ditirnbulkan dari penangkapan terseht anaiara lain .
@
1. K3fni rnera;a resali dan terga~iggubahkan u'irugikan karena alat karni s'ering rusak atail hilang terpotang olch aktivitas penangkapan karang / terepmg tersebut. 2. terganggunya fisliin Gi.011nd atall daerah pena~~gkapaii kami karena tel.umtu karang telah rusak sebagai b b i t a t ikan. 3. Akibat rusakrlya ekosistcrn terurnbu karang n16L.a beberapa bulan teral:hir ini h a i l tangka~an karni menurun drastis.
Dernikian surst pernyatain'ini b m i huat sl!b~aai ~a!'ih sat^ ljr.~iya untok ikut rnerasa jawsb menjaga, rnerlielihara, me12st~:kandan m m p r t a h a n k a n sunber day6 laut kit;.
' I!ertar;ggung
@
.
Semoga apa yallg telah kita lak~r&rl selarna ilii dapat kita rasakir~clan kita wariskail untuk generasi y.hn? akan datany. TJbanio, 17 April 2007
.fl-.=:;: .-.: ,:,,.. ..-*{. ~r.~;. . L.. . -..w < ,
,! .<,
,
Lampiran 11 Swat perihal nelayan andon
I"I3.MrSIIINl'AL-l IUUUPATLN l i 0 l ' A B A i t U
DTNA.S IU3LAU'I'/-\N DAN PE.R.II.L~NAN
I
J;llari Pcr~konan No. 1 Kotabaru, lolp. (0518)211W Fax.(05.18) 21492 Kode Pos 721 16 E +flail : DKP.KTB @ (21nail.co1ii
,C.ehl,bu~isanadalp Ispor~ndari lielayan Desa 1-Iilir Kec. I'illau 1-arl! Utal-z 1 ; K ~ t a b s i upada akhir bulan Prbnlari 2009 ii~en$e~iai \\:zrSa Nelayan dui FC:~l~ul?arenPekalirngan Propimi Jewa Tenyall vans ~nelahukan aktitites !wna~i$kapan dcngan alat C:~nlralip di pel-airall Pulau St.i~u!iu KaLiupa:en I<# ~ra!)w\l.
..
t~rriicriaariha! tersebur diatu pillha ki,ias Kelaucan Perikniiali Kabupaten I-;.ntaiwu sadah nlrngaddian I'enen~uandan dul Kuol-tllrlasi denyan klasyarakn: ?!.:la:.a~l Desa HiHiiir Kabupaten Koraba~ulrersiuiia pihak Keca~narandaii TNl .\I. [?.Idaawal Bulm hlaret 1309. dcngan k?c~~tt~ai~-kclcnti~a~i scba$ai beriknt : I . I' liah D i l l s ~ l ; e nmepgeceh' ulang dcn,;sn rnclhi;an pcngawasan ke lokrsi k.?jadiii.ln1rc;arna-sama nclayan Desa Hiiir dsli pillak TN!-:U. 2 . Pihak Dincc. &an,..mil&Aar. knnsuitaji hinyga ke 2el)acemen Kelzurat &r! Pxkmran.;tl di Jakarta untul: Rei;ome.ndasi biszl tidab-n?e ala! tangkep cangtrig kroperui. :. !' hak Dir~asKelautau dan Perikanan Kei). Kntabs~ubersama TkT-Al. nakm r~:enseleksi sur?t menyurar Pcrijinan incngenai zklifitar penangkapan tlni-i Kab. Pekalongan : I . P hak Ncisyon dsri Kah. Pekolon_~anwajib lapor ke Pinas Kslautm d a ; ~ P.?ril;o~inli Kab. K o l a b a ~apabila aka[, n~elahvkan aktifitas penangkapsi! ~!t:rairnn cli wilayah I I L & UKab. I ~ ti~t.barri. E:crkaitm rlengan 11al.hal n~el~genaiadanya perniasalnl~iiiirersebur piha): I3i1~ai. Kclui~anda~Perik
-
1)eplikian lial ini ikami sampaikan untuk dnpat ditiniiak lnnjuri, arar 1:erjasirnanya di ucapkan Terin~akasih.
PE~VI13WI!'
D I N S KhI..A(:'T.Ah'1)AS 1-'ERIK.INA9 ,In 5
kl. Mnnrvt#:No. 64
:'
1 a328 I 662 119i F A X i 0328 ) 882 801
cnvoil !kr-cllD;,~rd!tluft.:jr
SI!.MCNEY
No l o r Sif : La tpl:on Pe ha1
5231 I%? 1435 11WOO7 ?cger3
! < t n u P9r. dk
Sdr. Keaala Dinas Kelauisr~dan Penkarnn Kab. 'Vanah I. ?it11 Propinsi Knl~tna~lrarl Ssiatsr~
... Nelar~drlAII~Q:,
,
yu
'21.
PEL. --- AIFIARI Menindaklarijuti strral Kepala U1n3s Keljulan c:al: I-'t!ni\ir:lan !
1. Sssuai aluran y n n g ie1te1.a $.&;:a
2 Rert~i.lh\,ngsazl ini ;:mb~! ~ercsalisndari :ielayan f:;-:-ISII Ke!o !I,qk!~l I anah l a ~ j tka~enaMtdflrya nalaljan W a s ya!ig arlcori i.6. .!.Ciy6h Pesisir -Xahupelen lenah Laut Dan agar keres?:ia~! ,: ,!tluk
-
rneni~nbulkar~ konnik V R I l~e b ~ hi!.ias o~:rl?r dllahuk:. vcch .,..:5..:.. li?trih lanjut dengan mi?sqarakat satcrnr~ary ~ l . ? Perikanan No. 31 'lahun 2004 Pasal G ayal 2 yi;;>g ::.'ruuri: " P,engelolaan Perikanar- Llntilk wpe~t::nganj;er~angk:.loo~l I:....+1 : dull "hnibltc'idaya?* 'ran he-us melrlpet111iir,er:yicJn Hu#.c.!rn krlai a n / ataIJ Kesrlfan .'a1 seea mern~erl<&t~lcei~ !.wan sajr:- :rt;:l:-,.,::i ::but:
3 i3erka.:rn d e n ~ a ! ? hzl L~:?isebt:! dla;as s;:I!~I<;;~ , I ! ~ I : GJTL1 !.~ m1.1Syawari3hleb~ll I8n1!.ll tlerrgarl rnssyal.okai S I I ii:riiallcc ke!,nda sr:lu:'!:'i pemllik ka.sa; ! peia!l:~yar?1.!nu-1a)'a;lnya i!;oriak~ 4u11 ~rldnr; k e K,sbupateli 'T~!iah l.i;ur Kailrrlci!llhn Seln:sr~ i ~ ; i \ c t l ; ...nmc!n!ara sewra beriallap mencar.1 lokc:.: ;a111yany lat>ll~h;)~.ii:\d~ii 3 C l I a li(ia!i !r~enin:nt~lkarikeTUSat!dll
. , , ... . ~ ~ E S . I ~ A L A . $ ~ &TAbi $ ~ \DAN ~ \ JPEH:: .!..:.:;... ~
~
.
?b_z~-ke-paaaYM. (apnlc 'linn. .-olaulan darn Penkensn r P I ,
mnrl.: i n
K n h r-?nnh l atti
- l(:~:i
%%I
NIP. 510 051 '335
,
PEMERINTAH KP,BUPATEN TANAH LAUT
DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN JLH. ~oejasG~ehihiui 70814 Telp./Fax (0512) 21069 ..
..
Nomor : 523.31 I d / IPSDH Lampiran : I (satu) berkzs. . . Perihal : Nelajran Aodon Sifat : SEGERA '
Pelaihari, 24 April 2007 Kepada Yth. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabvpaten Surnenep di Sumene;?
Schubungan der~ganazkanfa nelayan Andcn yaqg berasal &an Kecsnrafan Ra'as dan Pulau Kerarnaian Kabupaten Surnenep se,iak bebcrapa bulan sa~npzi saat ini melakukan kegiatan penangkapan kerang rnuliara dan teripang diwifaya.? pzrairun Kabupaten Tar:ah Laut: Berkaitan dengan ha1 ter!;ebct diatas, bersama ini disampaikan hal-t.el s2bagai berikut : 1. Keteradaan nelayan tersebut tidak bisa Litefiva oleh nelayan Kabupaten
Tanlh Laut karena neleyan karni tidak melakukan kegiatan penangkape; k e r ~ n gtersebut 2: penangkapan kerarg rnutiara akan rizrnbavra darnpak rusaknya ke!estarier.
sumberdaya hayati kelaufan dan perikanan terutama terurnbu karang dar. ikan-ikan disekitai.aya aka11punah. 3. Daerah pe!iangkap?,n kerang inutiara bersarnaan dergan lokasi penangkapz:.
(fishing ground) nelayan Katrupaten Tanah La~lt,sehingga rnenqganggu I rnerigikan- kegiatan penangkapan nelayan. 4. Untr~kmenghindari teijadinya konflik antara nelayan andon dengan nelayan . . Kabupaten Tanah Laut, kiranya nelayan andon tersebut tidak rnelakukn kegiatanpenangkapan kerang mutiara dan teripang di perairan Kabupafen Tanah Laut. 5. Kkanya neiayan andon tersebut agar ditarik dari perairan kabupaten Tanah
~ a udalarn t waktu segera.
6, Terlampir disampaikan surat pernyataan rnasyarakat pesisir Kabupaten Tanzt
Laut. Uen;ikia,l disarnpaikan'atas perhatian dan kerjasarna yapg baik diucapkan lerirnahasih. Kcpal 0inas.-
+-
Ir. H. SO TKlSNO Pernbina arna Muda
Tembusan YLh : 1. Rupati Tinah Laut (Sebagai Laporan) 2. Kelua DPRD Yab. Tanah Laut 3. Dinas Ferikan3n dan Kelautan Propinsi
4. Camat Wilayah Pesisir 5. Kepala Dcsa Pesisir
6. Arsip
.
.
Lampiran 12 Hasil resolusi konflik nelayan antar daemh /..
. . ..
I-IASIL PER-IXMUAN PE?!A?!GANAP! !(CNI=LII( NELAYAN ANTAR D,\ERAI-I
Sur-abaya.24-25 Ja~iuari2006
I I I I I I I I(o~lrlil( p4clayiin A r l l ; ~ ~1)serali disele~i(l(l;l~i~kan cli llolcl G3rden I>jl,icc, Suml)jy3. .).:lwa l'i~nul. ~,acJ;l li1114gal23 s/d 24 1~1111~1.i 2006. l>crl.cmt~andil)inlpiri olch Sestliljc;l Perikanan Tangkal) dan rlihatli~.iotcll 40 pc!l;ell;l antera l e l ~ B11.okLur l Su~nborcl;~y;likan (Dlljorl PT), DlrokLilr Pal?g.wrs: K o l ~ n l(DIUall I < ) w;~l(il I l?i~?kl,)ra\ I V J : I ; I (la11 I ) c ~ ~ ( ~ c ~ l ( \ i )Su111b~l~c13ya Iiall I)t:l.ikall;~ll, V I I I l i ~ c k t t ~I'CIJ~;IIIJI~ il : I I k ! ~ l a ~ l g k a l ) aI ~ ~ wakil d a ~ i llir?l(por,iL IK;II);II 1'(:1.ika11;111~I;III A l a l l!(?~~i~ngl(a[l Ika11 (Dlljen llT) Kt!pal i l l ~Dillas I ' e r i k a ~ i acla11 ~ ~ Kcl;luL-s~~ I
'
l ' ~ . ~ j v i(I<:I.~I:~III~,III ~!? .i~l;~lilIl( 1 ) ~lll!l~lle11il:li?1'I>alika1i masukan davi i,~?!;crlil tlall di:;kusi yaI1g bc~.kc:lnbaiig,tla11;il dil-umuskan l~al-ha1 scbagai berikut : 1. EVALUASI I'ERI(EP1DANGAN
DI SELAT M/iI(ASSAR
a. Scbagian nclavan l(odb;lrt~ l?clu~n dapat mcnerinia s-bagian 11i~:;ll kescpakatan yang dicapai di Jakarta pada tanggal 16 J u ~ i l2005 dan sebagian nelayan Balikpal~an bclurn tlapat menerima sebagian hasil runiusan yang dicapai di Scmarang patla tanggal 17 Janua1.i 2006.
b. I)rosc!; koordinasi a1.11ara Dinas Kelairlan dan '~erikanan ;~~.ovinsiLelali bcri;\ngsunq Lcrniasult nclayarl van!] Lel'libat konnik.
c. Unlulc ~rrcciglrlcrda~~l IcrJsdlllya konflik Icblll IanJuC, Kadlska-llut P ~ ~ o v l ~ l s l
.Jateng te\al\ mclnbuat s w a t edarar~ agar n?hy,ya~-l3a:eng s e m c l l t n r a lidak ~licndliqkapikan di Selal Makassar.
rlntvk
i. 1'1.oscs ii,.~kumsedany berjalan darl pihak Kel)olisia~~ aka11 ~,riengundan(j
saltsi allli. Hal yallg salna ;)gar ( l i l i ~ k ~ l k aunluk ~i penyel.:saial> kasus ~,eml)akacan kapal di (2111,7i1 Ket'ayailn, \(abul~zltenKotal1arld, Kalirnalllan !;~lil~~lll,
2 . R E N C A N A 1-INDAI< LAN3UT
vi. I tlili;lralIkan i l l c ~ n b u i ~Ipl~ocJl'aIn t ~ilodililtasika1)aI ;'~irsc >A!II~I> I'cli~gis Kecil mcnjadi Kapcll I)LII.!;c Sei~le Pelagis L3csi.1. d a ~ i11~1lil ~)c!nbiayaannyaberi~pafasilitas pinjaman vii. Penincjkatan teltnologi penal.igkapa11 untuk nelaya~i didae~.aIi octensi koriflik untuk niengatasi kesenjangar! nelayan 'I
viii:>DKP segera nienetapkan aturan penggunaan LAMPU ilntuk Kapal Purse Seine dan a!at tangkap lainnya yang rnengguna:can LAMPU sebagai alat bantu penangkapan ix. llericana Pcogelolasr~~erikarlarl(I
'.. ..
-.-3..
---<.-.___*
- -__----. .
. ..
K ~ : l ~ i lL)iiias la Pcrikanan dall KelatiCa~i I'IOVII~SIlaws 'l'i~~i(i; 2,.z.6+*
3
(I'l.of. Dr. Ir. S-Diitli'P~.iyitno,M.5c.)
,
C..+ .-'
_-..
-
..-C... .-..
(11.. 11. Kal,tlani, MM'.
!
i;el)da D i r a s l'cril(;iilan dan K c I ~ L I I ~ I ~ Provii?si Kaliniantar: S~?lalan
An. Ciljcn I'I'SDKP 1)irckLur K n p ~I'~11,jawas l
./ . , /,.. ( I ! . I-icriya~iLoMi>i-w.rlo,MS)
/'