5 KEEFEKTIVAN TEKNIK RESOLUSI KONFLIK PERIKANAN TANGKAP ABSTRACT Conflicts of capture fisheries are generally related to the exploitation of scarce fish resources involving certain parties or groups of interest. The aim of the research is to describe the effectiveness of capture fisheries conflict management. Data were obtained through series surveis in the study areas. Principal component analysis and structural equation model were used to verify hypotheses. The main causing factors for conflicts are regulation and law enforcement, the presence of community leaders, competition in the use of resources, perception of the people toward resources, issues among the community and the local economic condition. Meanwhile, the main type of capture fisheries conflicts namely: 1) conflict on fee imposition 2) conflict on anchoring/landing port 3) conflict on fight for fishing ground, 4) conflict on capture tool discrepancy, 5) conflict between local fishers and migrant fishers. The most suitable conflict resolution methods is mediation. The method is positively influential to the participation of sustainable capture fisheries management, but negatively influential to the management of fair capture fisheries. Key words: SEM, PCA, conflict management, capture fisheries. Pendahuluan Konflik muncul ketika keinginan dari dua atau lebih kelompok berbenturan atau berbeda dan sekurang-kurangnya sekelompok dari pihak yang terlibat berupaya memaksakan keinginan kelompoknya pada kelompok lain. Konflik dapat dipandang sebagai sebuah fenomena sosial yang muncul sebagai dampak dari perubahan yang tiba-tiba atau gradual yang memunculkan perbedaan kepentingan atau keinginan diantara kelompok masyarakat. Ketersediaan atau keterbatasan sumberdaya berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat. Aktivitas pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dapat dikelompokkan ke dalam sinergistik, komplementer, kompetitif dan antagonistik. Dari ke empat model ini, hubungan yang bersifat kompetitif dan antagonistik berpotensi memicu timbulnya konflik. Konflik terjadi karena adanya kompetisi atau klaim terhadap alokasi sumberdaya. Dalam menganalisis peranan ketersediaan atau keterbatasan sumberdaya (scarcity) terhadap terjadinya konflik, maka interaksi antara sumberdaya dengan ekosistemnya juga harus mendapat
perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan konflik adalah upaya menyelesaikan konflik yang muncul di kalangan masyarakat. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan metoda resolusi konflik umumnya bersifat spesifik. Dalam artian walaupun telah dikenal berbagai metoda untuk menyelesaikan konflik, tetapi tidak seluruh metoda tersebut cocok untuk menyelesaikan konflik tertentu. Resolusi konflik dapat ditempuh dengan menggunakan dua pendekatan yaitu melalui pengadilan (litigasi) atau pendekatan alternatif yang lebih dikenal sebagai alternative dispute resolution (ADR). Konflik di wilayah pesisir (pantai) umumnya melibatkan pihak atau kelompok yang berbeda serta kepentingan yang berbeda (Anonimous 1993). Untuk itu agar pengelolaan konflik dapat dilakukan dengan efektif, maka harus ada timbal balik atau benefit dari resolusi konflik itu sendiri. Resolusi konflik akan sulit dilakukan karena melibatkan dorongan jangka pendek (biasanya dorongan ekonomi) dan kepentingan jangka panjang (seperti konflik yang melibatkan masalah biologi dan lingkungan). Oleh karena itu, salah satu cara yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik adalah pendekatan multiple objectives dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap. Resolusi konflik yang efektif diharapkan akan berdampak positif. Hal ini disebabkan karena tidak semua konflik selalu berdampak negatif. Konflik yang berdampak positif dibutuhkan dalam tahap perkembangan kearah yang lebih baik. Dalam hal ini konflik justru mampu mempererat masyarakat dan pada akhirnya akan menciptakan alokasi sumberdaya yang lebih adil. Dengan demikian melalui resolusi konflik yang tepat akan tercipta kondisi positif pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, mendorong partisipasi masyarakat, terciptanya keadilan (equity) antar kelompok masyarakat, serta mengembangkan stabilitas sosial Menyadari tentang sifat konflik perikanan tangkap, maka untuk dapat memberikan resolusi yang efektif, baik untuk konflik yang sedang terjadi maupun yang mungkin terjadi, diperlukan identifikasi menyeluruh tentang pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Hal ini sangat penting guna menyusun model resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif secara sistematis dan
124
berkelanjutan. Pendekatan yang baik untuk menyusun rencana pengelolaan konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap suatu konflik, dinamikanya dan pengaruhnya di masyarakat sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada, mengenali tanda–tanda meningkatnya konflik dan memperkirakan dampak konflik tersebut. Dengan
memiliki
ketrampilan
untuk
mengelola
konflik,
seperti
memetakan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, menyusun strategi untuk menyeimbangkan kekuatan, merefleksikan sikap yang dimiliki ketika menghadapi konflik, sampai pada pilihan teknik resolusi konflik; diharapkan akan dicapai resolusi konflik yang menyeluruh, dan keputusan atau kesepakatan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang terkait (Anonimous, 2002). Kemungkinan adanya resolusi konflik akan meningkatkan hubungan di antara mereka dan secara otomatis jalan keluar yang diambil akan menjadi pendorong mereka untuk berperilaku menghindari konflik, dan atau memelihara kesepakatan yang sudah ada. Pengelolaan konflik (conflict management) juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, karena tanpa pengelolaan yang tepat maka konflik yang timbul di masyarakat dapat menghambat dan akan berpengaruh terhadap produktifitas nelayan serta partisipasi masyarakat akan sulit dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan masukan dalam rangka menyusun perencanaan pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Berdasarkan uraian diatas maka masalah penelitian (research problems) adalah bagaimana keefektivan resolusi konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian ? Kerangka Teoritis dalam Menganalisis Keefektifan Resolusi Konflik Pengenalan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahuinya tipologi konflik maka penyebab dan alternatif resolusi konflik dapat dianalisis. Tipologi tidak berupaya
125
menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik (McKinney 1966). Obserschall (1973) menyatakan banyak peneliti dibidang conflict resolution yang merasakan manfaat dari tergambarkannya tipologi konflik. Charles (1992) misalnya, telah berhasil merekonstruksi konflik yang sering terjadi di
perikanan. Menurutnya, konflik dapat dikelompokkan ke dalam konflik
jurisdiksi, konflik pengelolaan, konflik alokasi internal dan konflik alokasi eksternal atau konflik intersektoral. Penelitian ini akan lebih memfokuskan pada konflik alokasi internal, sesuai dengan hasil studi pendahuluan. Penyebab konflik dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: penyebab internal dan penyebab ekternal. Penyebab internal terkait dengan karakteristik individu atau kelompok yang berkonflik, sedangkan penyebab eksternal adalah semua faktor yang berada diluar kontrol individu atau kelompok tetapi dapat memicu timbulnya konflik. Berdasarkan hal itu, konflik yang dikemukakan oleh Charles (1992) dapat dikelompokkan ke dalam penyebab eksternal. Bradford dan Stringfellow (2001) menyatakan perbedaan karakteristik individu dalam kelompok dapat memicu timbulnya konflik. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain terkait dengan keahlian individual, kesepakatan terhadap kelompok, kekuatan (power) individu dalam kelompok serta hubungan sosial. Pada akhirnya perbedaan ini akan mempengaruhi outcome dari kelompok yang bersangkutan. Outcome dapat diukur dari kinerja kelompok, kreativitas dan kepuasan anggota terhadap outcome kelompok. Amason et al. (1995) dan Jehn (1995 ) mengelompokkan konflik menjadi: 1) affective conflict dan 2) task conflict. Affective conflicts merupakan ketidak sepahaman anggota kelompok tentang incompatibilitas seseorang yang dapat menimbulkan rasa curiga, tidak percaya, dan tidak bersahabat dengan anggota kelompok lainnya (Brehmer 1976; Faulk 1982). Berbagai riset menunjukkan bahwa konflik jenis ini akan mengurangi keefektifan proses pengambilan keputusan dangan jalan mengurangi kemampuan kelompok untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik. Task conflict disebabkan adanya perbedaan pengetahuan, kekuatan dan kesepakatan diantara anggota kelompok Perbedaan
126
keahlian dapat berwujud perbedaan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan anggota kelompok terhadap masalah yang dihadapi serta upaya memecahkannya. Adanya perbedaan keahlian ini dapat menyebabkan masing-masing anggota mengajukan pendekatan atau pandangan yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi, sehingga perbedaan tersebut pada akhirnya malah dapat menimbulkan konflik. Gilbraith dan Stringfellow (2002) mengatakan konflik afektif terjadi karena dua
hal, yaitu: perbedaan kekuatan
(power) dan kesepakatan
(committment). Suatu kelompok yang perbedaan kekuatannya sangat besar akan cenderung mengalami friksi personal yang lebih tinggi ketimbang kelompok yang anggotanya berasal dari status sosial yang sama. Friksi juga dapat terjadi ketika sebagian anggota memiliki kesepakatan untuk menyelesaikan masalah sementara anggota yang lain bersikap masa bodoh terhadap masalah yang dihadapi oleh kelompok yang bersangkutan. Jabri (1996) berpendapat bahwa menganalisis konflik dari sudut peranan aktor seringkali sangat kompleks. Hal ini disebabkan aktor yang kedudukannya lebih kuat dalam konflik seringkali lebih didengar. Hubungan kekuatan antar aktor pada akhirnya terkait dengan status sumberdaya, jika ketersediaan sumberdaya makin terbatas, maka hubungan kekuatan tersebut akan bergeser ke isu alokasi sumberdaya. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Oleh karena itu selain tipologi konflik maka penggambaran konflik menurut tahapannya (diagnosis) juga menjadi penting (Fisher et al. 2000). Diagnosis pentahapan konflik bertujuan untuk mengkaji tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan eskalasi konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningkatan intensitas konflik dimasa depan dengan tujuan untuk menghindari pola itu terjadi. Pentahapan konflik dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu tahap prakonflik, tahap konfrontasi, tahap krisis, tahap akibat dan tahap pascakonflik. Proses resolusi konflik pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan (litigasi) dan diluar pengadilan atau penyelesaian konflik alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR). Melalui proses litigasi, akan
127
memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pada pendekatan ADR output yang dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih popuer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam. Jenis-jenis ADR yang sering digunakan terdiri dari negosiasi, mediasi, fasilitasi dan arbitrase. Karakteristik dan penggunaan beberapa teknik ADR tersebut secara ringkas dijelaskan pada Tabel 11. Konsep piramid sering digunakan sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik (Gambar 26). Pada puncak piramid adalah cooperative teamwork, dengan tujuan utama mencapai sinergi untuk mencari resolusi konflik yang paling menguntungkan semua pihak yang berkonflik. Pada dasar piramid terdapat isolation yaitu kondisi pihak yang berkonflik bersikap masa bodoh (Brown et al. 1995). Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke cooperation. Proses resolusi konflik menggunakan hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak.
Penyelesaian sengketa alternatif
Kerjasama
Masing-masing pihak merepresentasikan keinginannya Negosiasi Konsiliasi Intervensi pihak ke tiga
Bekerja sama untuk membangun konsensus
Fasilitasi Mediasi Arbitrasi Negosiasi rule making Ligitasi Konfrontasi
Penyelesaian melalui jalur pengadilan Isolasi
Gambar 26. Metode pengelolaan konflik (Diadopsi dari Bennett dan Neiland 2000)
128
Tabel 11. Perbandingan beberapa penyelesaian konflik alternatif Arbitrasi
Mediasi
Definisi Pihak ketiga yang netral atau panel tenaga ahli membuat keputusan setelah mendengarkan argument dan mempelajari bukti-bukti
Definisi Pihak yang berkonflik memilih pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka merancang dan mengarahkan dalam proses mencari penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh semua pihak.
Karakteristik Keputusan yang dihasilkan dapat mengikat atau tidak mengikat. Sangat terstruktur tetapi tidak terlalu formal dibandingkan dengan adjudication. Penasehat masing-masing pihak yang berkonflik menunjukkan bukti dan argumentasi. Pihak yang berkonflik memilih pihak ketiga dan menetapkan peraturan. Selanjutnya pihak ketiga dapat memilih norma atau aturan yang digunakan. Efektif jika pihak yang berkonflik tidak terlalu banyak.
Karakteristik Pihak yang berkonflik membuat keputusan. Pihak yang berkonflik saling bertukar informasi dan permasalahan yang menjadi penyebab konflik dihadapan mediator. Pihak yang berkonflik dapat mengemukakan emosi/perasaannya. Dapat dijadikan dasar bagi pihak yang berkonflik untuk bernegosiasi dimasa datang tanpa melibatkan kehadiran pihak ketiga.
Penggunaan Ketika dibutuhkan keputusan yang segera, dapat digunakan pada tahapan konflik yang berbeda. Cocok untuk konflik yang berkaitan dengan hukum dan fakta, sehingga keputusan yang dibuat harus memenuhi standar tertentu. Digunakan pada konflik tingkat tinggi, atau ketika dipandang bahwa close relationship dimasa datang tidak mungkin diwujudkan lagi.
Penggunaan Sangat baik digunakan jika pihak yang berkonflik masih memandang perlunya hubungan baik yang akan dijaga. Bermanfaat ketika negosiasi dapat menemukan kesepakatan dan salah satu pihak merasa dirugikan atau dikesampingkan.
Negosiasi
Fasilitasi
Definisi Pihak yang berkonflik berupaya untuk menyelesaikan perbedaan dengan melakukan kompromi atau menggunakan prinsip yang disepakati bersama tanpa melibatkan pihak ketiga
Definisi Pertukaran informasi dan pembentukan beberapa alternatif penyelesaian dilakukan dengan bantuan pihak ketiga yang memiliki kemampuan dalam memimpin pertemuan. Digunakan untuk konflik dengan skala rendah hingga ke medium.
129
Tabel 11 (Lanjutan) Negosiasi
Fasilitasi
Karakteristik Prosesnya tidak terstruktur dan tanpa aturan yang formal/ agenda. Untuk konflik skala rendah formatnya lebih kasual dan tidak formal. Dapat dilakukan ditempat salah-satu pihak yang berkonflik.
Karakteristik Cocok digunakan jika pihak yang berkonflik lebih dari dua. Ada agenda yang jelas. Prosesnya mirip seperti pertemuan. Dapat dilakukan dengan atau tanpa pihak yang netral. Fasilitator tidak dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat, tapi dapat mengatur jalannya pertemuan.
Penggunaan Sering digunakan sebagai langkah awal dalam proses resolusi konflik. Digunakan jika isunya sudah jelas atau sudah cukup isu, pihak yang berkonflik dan memberi dan menerima. Cocok untuk konflik yang non-teknikal yang tidak terkait dengan hukum. Hubungan antar pihak yang berkonflik sebelumnya sudah terjalin baik untuk waktu yang lama.
Penggunaan Cocok digunakan untuk mendefinisikan problem dan tujuan, serta untuk mengidentifikasi dukungan personal dan institusional. Dapat digunakan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi proses penyelesaian konflik.
Sumber: Priscoli (2003)
Resolusi konflik melalui cooperative action berupaya untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win solutions) guna menghasilkan kondisi yang lebih baik (better off) bagi semua pihak. Walaupun demikian, tidak dapat diartikan bahwa pendekatan ini terbaik untuk pihak yang berkonflik. Dalam beberapa situasi, sekelompok orang yang berkonflik justru memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dalam kebanyakan sistem hukum formal, pendekatan litigasi (pengadilan) yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan kelompok yang lebih kuat di mata hukum. Oleh sebab itu pendekatan ini menghasilkan pihak yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa kasus, pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya untuk konflik batasan hukumnya sudah jelas. Perbandingan resolusi konflik dengan menggunakan pendekatan litigasi dan ADR dapat dilihat pada Tabel 12.
130
Tabel 12. Perbandingan resolusi konflik dengan metode litigasi dan Alternatif Dispute Resolution (ADR) Litigasi
Alternative Dispute Resolution (ADR)
Keunggulan (Galanter 1966) 1) Aturan-aturannya bersifat seragam 2) Hak dan kewajiban sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan tawar-menawar antar pihak yang berkonflik 3) Putusan atas PERKa yang serupa biasanya adalah sama 4) Bersifat hierarkis, sehingga tingkat yang lebih rendah akan diawasi oleh tingkat yang lebih tinggi 5) Diorganisasikan secara birokratis 6) Bersifat rasional (dapat dipelajari dan dimengerti oleh semua orang) 7) Dijalankan oleh para profesional 8) Sistem lebih teknis dan kompleks 9) Dapat diubah dan diganti 10) Bersifat politis 11) Tugas menemukan dan menerapkan hukum dibedakan menurut fungsinya.
Keunggulan (Priscolly 2002) 1) Sifat kesukarelaan dalam proses, tidak seorangpun dapat dipaksa untuk menggunakan prosedur ADR 2) Prosedur yang cepat karena bersifat tidak formal 3) Keputusan non-yudisial, wewenang untuk membuat keputusan berada pada pihak yang berkonflik 4) Kontrol tentang kebutuhan organisasi. Prosedur ADR menempatkan keputusan ditangan orang yang mempunyai posisi tertentu (penting) 5) Memberikan jaminan kerahasiaan bagi para pihak yang berkonflik dengan porsi yang sama 6) Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat resolusi masalah 7) Hemat waktu dan biaya 8) Pemeliharaan hubungan karena kesepakatan yang dinegosiasikan memperhatikan kebutuhan pihak yang terlibat 9) Tingginya kemungkinan pelaksanaan kesepakatan 10) Kontrol dan kemudahan memperkirakan hasil Keputusan bertahan sepanjang waktu
Kelemahan (Anonimous 2002) 1) Memicu munculnya konflik ikutan dan mendorong timbulnya kemarahan antar kelompok. 2) Membuat salah satu kelompok curiga akan motif kelompok lainnya. 3) Pengambilan keputusan yang lebih lama. 4) Lebih menekankan pada solusi ketimbang menghasilkan kondisi yang sama-rata dan sama- rasa. 5) Menghasilkan pihak yang menang, pihak yang kalah dan perpecahan dalam masyarakat. 6) Lebih mahal baik ditinjau dari energi yang dikeluarkan maupun biaya ekonomi sumberdaya
Kelemahan (O’loughin dan Schumaker 1998) 1) Kurang efektif bila digunakan pada masalah yang kompleks dan sensitif 2) Dapat dipengaruhi oleh pemegang otoritas 3) Pengambilan keputusan yang didasarkan pada keahlian atau pengetahuan yang dapat dikompromikan 4) Pihak lain yang sebenarnya tidak dibutuhkan masih dimungkinkan untuk berpartisipasi sehingga mengganggu proses resolusi konflik 5) Kurang kuatnya hasil keputusan dari segi hukum
131
Untuk menyelesaikan konflik, seringkali pihak luar diminta untuk membantu bernegosiasi dengan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Keterbukaan adalah hal yang penting untuk memecahkan semua masalah. Bila keputusan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Perjanjian dan jalan keluar yang diambil sebaiknya keluar dari mereka sendiri dan bukan dari pihak luar. Resolusi konflik pada dasarnya tidak dilakukan atas dasar siapa yang benar, siapa yang salah, tapi lebih didasarkan pada pengakuan dan penghargaan atas adanya perbedaan posisi dan kepentingan para pihak yang terlibat Creighton dan Priscoli (2001) menggambarkan situasi ideal yang seharusnya dicapai dalam resolusi konflik melalui proses negosiasi seperti dijelaskan pada Gambar 27. A - Kompetisi A Menang – B Kalah
Tingkat kepuasan untuk A
E – Negosiasi integratif
B - Negosiasi untuk mencapai kompromi A + B Sama-sama kalah dan menang
D - Dihindari (Kalah untuk A + B) C – Akomodasi A - Kalah, B - Menang Tingkat kepuasan untuk B
Gambar 27. Kondisi optimal resolusi konflik melalui proses negosiasi (diadopsi dari Creighton dan Priscoli 2001) Dalam proses negosiasi, pihak yang berkonflik akan berupaya bergerak antara titik A (dimana A menang) ke titik B (dimana B menang). Sebagai konsekuensinya, proses negosiasi yang baik seharusnya berada pada daerah B, kedua belah pihak tidak merasa menang atau kalah. Pada kenyataannya untuk
132
mencapai daerah ini sering sulit dilakukan oleh karena itu proses negosiasi dapat diperluas hingga mencapai daerah “integrative bargaining collaboration”. Pada daerah ini proses negosiasi diperluas tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik tetapi juga pihak lain yang dipandang mampu ikut menyelesaikan konflik. Untuk mencapai daerah tersebut juga dapat dilakukan melalui proses mediasi dan fasilitasi. Daerah D adalah daerah yang harus dihindari, karena pada daerah ini semua pihak yang berkonflik menjadi “lebih buruk (worse off)”. Untuk mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan (durable settlement)”, Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Substantive interest, yaitu: content need, dana, waktu, material dan sumberdaya. 2) Procedural interests, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara bagaimana sesuatu dapat diselesaikan. 3) Relationship or phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan. Dengan menggabungkan penyebab konflik dengan metoda resolusi konflik maka dapat diketahui keefektifan metoda resolusi konflik. Isu sentral yang selalu muncul ketika melakukan evaluasi dampak dari metode pengelolaan konflik atau kebijakan dalam rangka melihat keefektifan resolusi konflik adalah isu kausalitas. Dalam mengevaluasi keefektifan suatu kebijakan (resolusi konflik), maka tidak cukup hanya dengan mengukur tujuan yang berhasil dicapai, tetapi harus mampu mencari hubungan kausalitas antara kebijakan dengan hasilnya. Menurut Coenen (1991) dalam Bruyninckx dan Cioppa (2000) terdapat tiga kondisi yang harus dipenuhi untuk mengidentifikasi hubungan kausalitas, yaitu : 1) Sequential relationship antara penyebab dengan hasil yang mengikutinya. 2) Covariance antara sebab dan akibat, dengan perkataan lain harus ada korelasi empirik antara sebab dengan akibat. 3) Tidak ada faktor penjelas yang lain. Sebagai contoh jika ada perubahan antara kebijakan dan efeknya tetapi ada faktor lain yang dapat menjelaskan perubahan tersebut (di luar kebijakan dan efeknya) maka tidak dapat
133
dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang absolut antara kebijakan dengan efek. Secara skematis pendekatan teoritis analisis keefektivan konflik dituangkan dalam kerangka pemikiran pada Gambar 28. TEKNIK RESOLUSI KONFLIK (Priscoli 2002) FAKTOR PENYEBAB KONFLIK : (Bennett dan Neiland 2000) JENIS KONFLIK
1. Aktor 2. Kondisi Sumberdaya Perikanan 3. Kondisi Lingkungan
1. Negosiasi 2. Konsiliasi 3. Fasilitasi 4. Mediasi 5. Arbitrasi 6. Negosiasi peranan/ peraturan 1. Litigasi 2. Konfrontasi
ANALISIS KEEFEKTIVAN RESOLUSI KONFLIK (Losa et. al 2002; Barki et. al 2001; Harris et. al 2000)
1. 2. 3.
Peningkatan partisipasi Pelestarian sumberdaya Menjamin keadilan
Gambar 28. Kerangka pemikiran studi keefektivan resolusi konflik Metode Variabel penelitian Faktor penyebab konflik Berdasarkan analisis tipologi konflik terdapat 11 variabel penyebab konflik perikanan tangkap yaitu : 1) Jumlah kelompok/pihak yang terlibat konflik (PART 1), yang diukur oleh persepsi responden terhadap jumlah kelompok/pihak yang terlibat konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
134
Tidak tahu Dua kelompok Tiga kelompok Empat kelompok Lebih dari empat kelompok
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
2) Keberadaan tokoh panutan dalam masyarakat yang terlibat dalam proses penyelesaian konflik (LEAD 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang jumlah tokoh panutan yang terlibat konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak ada Satu orang Dua orang Tiga orang Lebih dari tiga kelompok
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Kemampuan menentukan pihak atau kelompok yang terlibat dalam konflik (PART 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan menentukan jumlah pihak atau kelompok yang telibat konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat sulit Sulit Agak mudah Mudah Sangat mudah
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Kepatuhan terhadap tokoh panutan dalam proses penyelesaian konflik (LEAD 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kepatuhan masyarakat terhadap tokoh panutan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak patuh Agak tidak patuh Kadang-kadang Agak patuh Selalu patuh
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
135
5) Keberadaan pihak-pihak pengacau yang tidak setuju pada kesepakatan yang dihasilkan
dalam
penyelesaian
konflik
(OPOS),
yang
diukur
oleh
kehadiran/keberadaan pihak-pihak pengacau menurut persepsi responden. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Selalu ada Sering Kadang-kadang Jarang Selalu ada
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
6) Kemampuan menentukan isu atau pokok masalah yang menjadi penyebab terjadinya konflik (ISSU), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan menentukan isu atau pokok masalah.
Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat sulit Sulit Agak mudah Mudah Sangat mudah
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
7) Keberadaan pihak-pihak lain diluar masyarakat nelayan yang terlibat dalam konflik (PART 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemudahan menentukan keberadaan pihak-pihak lain. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat sulit Sulit Agak mudah Mudah Sangat mudah
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
8) Keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan (EKON 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang keseimbangan biaya operasi dengan hasil tangkapan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
136
Sangat tidak seimbang Tidak seimbang Ragu-ragu Seimbang Sangat seimbang
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
9) Perbedaan kondisi ekonomi yang mencolok dalam masyarakat nelayan (EKON 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya perbedaan kondisi ekonomi Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak setuju Tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat setuju
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
10) Resesi ekonomi berkepanjangan (EKON 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh resesi ekonomi berkepanjangan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh Tidak berpengaruh Ragu-ragu berpengaruh Sangat berpengaruh
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
11) Jumlah nelayan lokal yang terlalu banyak (POPU 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang hubungan perkembangan jumlah nelayan dengan frekuensi terjadinya konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berhubungan Tidak berhubungan Ragu-ragu Berhubungan Sangat berhubungan
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
137
12) Jumlah nelayan andon yang terlalu banyak (POPU 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya hubungan jumlah nelayan andon terhadap frekuensi terjadinya konflik . Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berhubungan Tidak berhubungan Ragu-ragu Berhubungan Sangat berhubungan
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
13) Perbedaan kebiasaan atau adat istiadat dalam masyarakat (CULT), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh perbedaan kebiasaan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh Tidak berpengaruh Ragu-ragu berpengaruh Sangat berpengaruh
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
14) Penegakan hukum (LAWS 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh lemahnya penegakan hukum. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh Tidak berpengaruh Ragu-ragu Berpengaruh Sangat berpengaruh
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
15) Ketaatan terhadap jalur penangkapan (LAWS 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh lemahnya ketaatan terhadap jalur penangkapan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
138
Sangat tidak berpengaruh Tidak berpengaruh Ragu-ragu Berpengaruh Sangat berpengaruh
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
16) Kepentingan tertentu (INTE), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh kepentingan tertentu yang mengatasnamakan kepentingan nelayan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh Tidak berpengaruh Ragu-ragu Berpengaruh Sangat berpengaruh
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
17) Persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan (COMP 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh persaingan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh Tidak berpengaruh Ragu-ragu Berpengaruh Sangat berpengaruh
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
18) Potensi sumberdaya perikanan tangkap (STOK), yang diukur oleh persepsi responden tentang pengaruh berkurangnya potensi sumberdaya perikanan tangkap. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh Tidak berpengaruh Ragu-ragu Berpengaruh Sangat berpengaruh
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
139
19) Perebutan daerah tangkap (COMP 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh perebutan daerah tangkap. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh Tidak berpengaruh Ragu-ragu Berpengaruh Sangat berpengaruh
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
Teknik resolusi konflik Teknik resolusi konflik dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut : 1) Upaya pencegahan terjadinya konflik (RESO 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingnya upaya pencegahan terjadinya konflik Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak penting Tidak penting Netral Penting Sangat penting
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
2) Ketuntasan penyelesaian konflik (RESO 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingnya penyelesaian konflik secara tuntas. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak penting Tidak penting Netral Penting Sangat penting
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Kesediaan semua pihak untuk bertemu (RESO 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesedian menghadiri pertemuan antar pihak yang berkonflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
140
Tidak pernah bersedia Kurang bersedia Kadang-kadang Bersedia Selalu bersedia
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Kebutuhan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik (RESO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak perlu Tidak perlu Netral Perlu Sangat perlu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
5) Ketidakseimbangan kekuatan antara masing-masing pihak yang berkonflik (RESO 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya keseimbangan kekuatan antara masing-masing pihak yang berkonflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak seimbang Tidak seimbang Netral Seimbang Sangat seimbang
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
6) Kebutuhan pihak ketiga dalam penyelesaian konflik (RESO 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak perlu Tidak perlu Netral Perlu Sangat perlu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
141
7) Keberadaan pokok persoalan konflik (RESO 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan pokok persoalan konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak mampu Tidak mampu Netral Mampu Sangat mampu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
8) Kemampuan menyelesaiakan konflik (RESO 8), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan mengidentifikasi pemicu konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak mampu Tidak mampu Netral Mampu Sangat mampu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
Keefektivan resolusi konflik Kemampuan responden dalam memilih teknik resolusi konflik juga diarahkan untuk mengetahui ketepatan dan kecocokan penggunaan teknik ADR. Ketepatan penggunaan teknik ADR diukur menggunakan 15 item pertanyaan yang diadopsi dari Priscoli (2002) yang dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut : 1) Keberadaan pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik (ADR 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang keberadaan pihak/seseorang yang memiliki kekuasaan atau mendominasi kelompok. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada Jarang Kadang-kadang Ada Selalu ada
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
142
2) Pengaruh pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik (ADR 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya pengaruh pihak yang mendominasi dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak berpengaruh Tidak berpengaruh Netral Berpengaruh Sangat berpengaruh
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Penyelesaian konflik tanpa pihak ketiga (ADR 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak perlu Tidak perlu Netral Perlu Sangat perlu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Kebutuhan prasyarat dalam penyelesaian konflik (ADR 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya prasyarat dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak perlu Tidak perlu Netral Perlu Sangat perlu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
5) Mekanisme untuk menjamin kepatuhan akan kesepakatan (ADR 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya menjamin kepatuhan akan kesepakatan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
143
Sangat tidak perlu Tidak perlu Netral Perlu Sangat perlu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
6) Pengungkapan faktor-faktor penyebab konflik (ADR 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingya masing-masing pihak mengungkapkan faktor-faktor penyebab konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak penting Tidak penting Netral Penting Sangat penting
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
7) Adanya kelompok yang berpengaruh (ADR 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang keberadaan pihak/seseorang yang memiliki kekuasaan atau mendominasi kelompok. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada Jarang Kadang-kadang Ada Selalu ada
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
8) Keinginan memelihara hubungan jangka panjang (ADR 8), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya keinginan masing-masing kelompok untuk membina hubungan jangka panjang. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada Jarang Kadang-kadang Ada Selalu ada
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
144
9) Kesepakatan penggunaan prosedur untuk konsensus (ADR 9), yang diukur oleh
persepsi
responden
tentang
adanya
kelompok
yang
sepakat
menggunakan prosedur untuk mencapai konsensus. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada Jarang Kadang-kadang Ada Selalu ada
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
10) Saling percaya dan menghormati (ADR 10), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya rasa saling percaya yang tinggi dan rasa saling menghormati diantara kelompok yang berkonflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada Jarang Kadang-kadang Ada Selalu ada
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
11) Kemampuan mengidentifikasi isu pokok yang menjadi penyebab konflik (ADR 11), yang diukur oleh persepsi responden tentang kemampuan kelompok dalam mengidentifikasi isu pokok yang menjadi penyebab konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak mampu Tidak mampu Netral Mampu Sangat mampu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
12) Kesigapan dalam mencegah konflik (ADR 12), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesigapan mencegah semakin meluasnya konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
145
Sangat tidak sigap Tidak sigap Netral Sigap Sangat sigap
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
13) Muatan politis (ADR 13), yang diukur oleh persepsi responden tentang latar belakang politis yang menyebabkan konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak bernuansa politis Jarang bernuansa politis Kadang-kadang Bernuansa politis Sangat bernuansa politis
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
14) Efisiensi teknik resolusi konflik (ADR 14), yang diukur oleh persepsi responden tentang keefektivan teknik resolusi konflik dari segi biaya Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak efektif Tidak efektif Cukup efektif Efektif Sangat efekif
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
15) Adanya tekanan untuk melaksanakan kesepakatan (ADR 15), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya tekanan untuk melaksanakan kesepakatan yang telah dicapai. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada Jarang Kadang-kadang Ada Selalu ada
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
146
Kecocokan teknik resolusi konflik Kecocokan (keefektivan) teknik resolusi konflik diukur dengan delapan pertanyaan untuk mengetahui kemampuan responden dalam mengenali teknik resolusi
konflik
yang dapat
digunakan.
Pertanyaan
nomor
1
dan
2
merepresentasikan teknik fasilitasi. Pertanyaan nomor 3 dan 4 merepresentasikan teknik negosiasi. Pertanyaan nomor 5 dan 6 merepresentasikan teknik mediasi, dan Pertanyaan nomor 7 dan 8 merepresentasikan teknik avoidance. 1) Teknik untuk mencegah terjadinya konflik (SUIT 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kecocokan teknik untuk mencegah terjadinya konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak cocok Tidak cocok Ragu-ragu Cocok Sangat cocok
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
2) Kesediaan tokoh-tokoh kunci untuk bertemu (SUIT 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang kesediaan untuk bertemu dalam penyelesaian konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak bersedia Tidak bersedia Kadang-kadang Bersedia Selalu bersedia
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Keseimbangan pengetahuan hukum (SUIT 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang perlunya keseimbangan pengetahuan hukum ataupun tehnis pengelolaan konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
147
Sangat tidak perlu Tidak perlu Ragu-ragu Perlu Sangat perlu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Pihak yang terlibat konflik (SUIT 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang jumlah pihak yang terlibat konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak tahu Dua kelompok Tiga kelompok Empat kelompok Lebih dari empat kelompok
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
5) Faktor penyebab konflik (SUIT 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang faktor yang menyebabkan konflik. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak tahu Satu faktor Dua faktor Tiga faktor Lebih dari tiga faktor
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
6) Tokoh saling bertolak belakang (SUIT 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang tokoh kunci yang terlibat konflik saling bertolak belakang. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat bertolak belakang Bertolak belakang Kadang-kadang Tidak bertolak belakang Sangat tidak bertolak belakang
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
7) Prioritas dalam penyelesaian konflik (SUIT 7), yang diukur oleh persepsi responden tentang prioritas penyelesaian konflik Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
148
dengan dengan dengan dengan dengan
Tidak tahu Tidak jelas Prosedur Biaya Waktu
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
8) Konflik dapat diselesaikan masyarakat lokal (SUIT 8), yang diukur oleh persepsi
responden
tentang
kemampuan
masyarakat
lokal
dalam
menyelesaiakan konflik Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak mampu Tidak mampu Cukup mampu Mampu Sangat mampu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
9) Diperlukan pihak ketiga (SUIT 9), yang diukur oleh persepsi responden tentang pentingnya pihak ketiga dalam penyelesaian konflik Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat diperlukan Diperlukan Kadang-kadang Tidak diperlukan Sangat tidak diperlukan
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
Outcome resolusi konflik Pemahaman terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SDPT) yang berkeadilan Akuntabilitas 1) Kesepakatan pengelolaan SDPT dibuat secara tertulis (AKUNT 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya kesepakatan yang dibuat secara tertulis. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
149
Tidak pernah ada Jarang Kadang-kadang Ada Selalu ada
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
2) Kesepakatan tersedia untuk nelayan (AKUNT 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang SDPT tersedia bagi setiap nelayan/kelompok yang membutuhkan Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tersedia Tidak tersedia Kadang-kadang Tersedia Sangat tersedia
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Kesepakatan memenuhi etika dan nilai (AKUNT 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang pengelolaan SDPT memenuhi etika dan nilai yang berlaku di masyarakat Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak memenuhi Tidak memenuhi Ragu-ragu Memenuhi Sangat memenuhi
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Kesepakatan sudah sesuai dengan kebutuhan (AKUNT 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang pengelolaan SDPT sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak sesuai Tidak sesuai Ragu-ragu Sesuai Sangat sesuai
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
150
Transparansi 1) Tersedianya informasi tentang kesepakatan (TRAN 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kejelasan informasi baik berupa pengumuman maupun media lainnya tentang kesepakatan Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak jelas Tidak jelas Ragu-ragu Jelas Sangat jelas
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
2) Tersedianya mekanisme pengaduan masyarakat terhadap kesepakatan/aturan (TRAN
2), yang
diukur oleh
persepsi responden
tentang
adanya
mekanisme/prosedur pengaduan masyarakat Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak tersedia Jarang tersedia Kadang-kadang Tersedia Selalu tersedia
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Pertemuan kelompok nelayan (TRAN 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang
adanya
pertemuan
kelompok
nelayan
untuk
merumuskan/membahas/mengevaluasi kebijakan kesepakatan pengelolaan SDPT Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah ada Jarang Kadang-kadang Ada Selalu ada
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Laporan pelaksanaan hasil kesepakatan (TRAN 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang tersedianya laporan pelaksanaan hasil kesepakatan.
151
Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak tersedia Jarang Kadang-kadang Tersedia Selalu tersedia
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
Partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya PT, diukur dengan skala Pretty et al. (1995) yang mengelompokkan partisipasi masyarakat ke dalam tujuh tingkatan, yaitu 1) partisipasi pura-pura (manipulative participation), 2) partisipasi pasif, 3) partisipasi dalam bentuk konsultasi, 4) partisipasi karena iming-iming material, 5) partisipasi fungsional, 6) partisipasi interaktif dan 7) self mobilization. Sub variabel yang diukur meliputi: partisipasi dalam perencanaan PT, partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan PT dan partisipasi dalam monitoring dan evaluasi PT. Tipologi partisipasi masyarakat dapat dilihat pada Tabel 13.
152
Tabel 13. Tipologi partisipasi masyarakat Tipologi 1. Partisipasi pura-pura (manipulative participation) 2. Partisipasi pasif (passive participation)
3. Partisipasi dalam bentuk konsultasi (participation by consultation)
4. Partisipasi karena adanya iming-iming material (participation for material incentives)
5. Partisipasi fungsional (functional participation)
6. Partisipasi interaktif (interactive participation)
7.Partisipasi mandiri (Selfmobilization)
Karakteristik Partisipasi hanya diwujudkan dalam bentuk pura-pura, dimana keberadaan suatu kelompok dalam oraganisasi hanya diwakili oleh orang yang tidak memiliki kekuatan dan tidak mewakili kelompok yang harus diwakilinya Bentuk partisipasi dimana masyarakat hanya diberitahu mengenai apa yang sudah diputuskan atau apa yang telah terjadi. Respons masyarakat tidak ditindaklanjuti dengan baik Pihak luar mendefinisikan problem dan proses pengumpulan informasi, sementara masyarakat berpartisipasi dalam bentuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam bentuk partisipasi ini tidak ada sharing dalam pengambilan keputusan Masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi, misalnya tenaga, sebagai imbal baik atas pemberian uang tunai atau material lain sebagai insentif. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak ada jaminan bahwa masyarakat akan menerapkan teknologi atau pendekaatan yang diperkenalkan jika insentif yang diberikan telah berakhir. Partisipasi dipandang oleh pihak eksternal sebagai media agar tujuan proyek dapat dicapai khususnya dalam bentuk pengurangan biaya. Masyarakat berpartispasi melalui pembentukan kelompok untuk mencapai tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan bisa dalam bentuk sharing pada saat pengambilan keputusan, tetapi peran pihak ekternal dalam pengambilan keputusan ini lebih kuat. Masyarakat terlibat dalam proses analisis secara bersama, membuat rencana kerja serta membentuk atau menguatkan lembaga lokal. Partisipasi tidak hanya dilihat sebagai alat mencapai tujuan. Proses melibatkan berbagai metode untuk menangkap perbedaan pandangan, serta menggunakan cara yang tersruktur dan sistematis dalam proses pembelajaraan. Masyarakat berpartisipasi dengan jalan mengambil inisiatiatif secara independen untuk merubah sistem. Mereka menjalin kontak dengan pihak luar untuk mendapatkan sumber daya atau nasihat teknis yang dibutuhkan, tetapi mereka tetap mengontrol penggunaan sumber daya tersebut.
Sumber : Pretty et al. (1995)
153
Partisipasi dalam Perencanaan Partisipasi
masyarakat
dalam
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
dijelaskan oleh variabel-variabel sebagai berikut : 1) Partisipasi dalam perencanaan perumusan kebijakan (PARLA 1), penyusunan rencana pengelolaan (PARLA 2), pengaturan effort (PARLA 3), pengaturan musim (PARLA 4) dan penentuan zonasi penangkapan (PARLA 5) Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0 - 7, dengan kriteria jawaban : Tidak berpartisipasi
Partisipasi pura-pura Partisipasi pasif Partisipasi konsultasi Partisipasi iming-iming material Partisipasi fungsional Partisipasi interaktif Partisipasi inisiatif sendiri 2) Partisipasi
dalam
implementasi
dengan dengan dengan dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai nilai nilai nilai
pengelolaan
0 1 2 3 4 5 6 7
SDPT
dalam
kegiatan
peningkatan produksi perikanan (PARIM 1), pengembangan armada (PARIM 2), peningkatan kualitas produk (PARIM 3), pelatihan kualitas produk (PARIM 4), konservasi (PARIM 5), konservasi coastal sactuary (PARIM 6), konservasi marine reserve (PARIM 7), konservasi marine protected area (PARIM 8), replantasi hutan mangrove (PARIM 9), reboisasi sempadan pantai (PARIM 10), pengembangan usaha ekonomi (PARIM 11), ketrampilan pengolahan produk (PARIM 12), pemberian paket bantuan (PARIM 13), kegiatan pengembangan kelembagaan (PARIM 14), kegiatan koperasi (PARIM 15), kelembagaan perkreditan (PARIM 16), kelembagaan prasarana (PARIM 17), kelembagaan pengolah hasil (PARIM 18). Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0 - 7, dengan kriteria jawaban : Tidak berpartisipasi
Partisipasi pura-pura Partisipasi pasif Partisipasi konsultasi Partisipasi iming-iming material Partisipasi fungsional Partisipasi interaktif Partisipasi inisiatif sendiri
dengan dengan dengan dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai nilai nilai nilai
0 1 2 3 4 5 6 7
154
3) Partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan SDPT dalam konservasi SDPT (PARMO 1) dan penegakan hukum (PARMO 2) Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 0 - 7, dengan kriteria jawaban : Tidak berpartisipasi
Partisipasi pura-pura Partisipasi pasif Partisipasi konsultasi Partisipasi iming-iming material Partisipasi fungsional Partisipasi interaktif Partisipasi inisiatif sendiri Pemahaman terhadap keberlanjutan
dengan dengan dengan dengan dengan dengan dengan dengan
pengelolaan
nilai nilai nilai nilai nilai nilai nilai nilai
0 1 2 3 4 5 6 7
perikanan
tangkap
yang
Variabel pengelolaan perikanan tangkap (PT) yang berkelanjutan mengacu pada FAO (1999) yang memandang pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan dari perspektif ekologi, sosial-ekonomi, komunitas dan kelembagaan. Keberlanjutan ekologis 1) Pembatasan jumlah tangkapan dalam rangka menjaga keberlanjutan usaha penangkapan ikan (SUSEK1), yang diukur oleh pemahaman responden tentang perlunya pembatasan jumlah tangkapan Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak diperlukan Kurang diperlukan Cukup diperlukan Diperlukan Sangat diperlukan
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
2) Penangkapan mempertimbangkan dampak terhadap ketersediaan jenis yang lain (SUSEK 2), yang diukur oleh pemahaman responden tentang perlunya penangkapan yang mempertimbangkan dampak terhadap ketersediaan jenis yang lain. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
155
Sangat tidak perlu Tidak perlu Kadang-kadang Perlu Sangat diperlukan
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Pengaruh penangkapan terhadap kondisi lingkungan (SUSEK 3), yang diukur
oleh pemahaman responden tentang pengaruh penangkapan terhadap kondisi lingkungan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak memahami Tidak memahami Cukup memahami Memahami Sangat memahami
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Alternatif pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mampu menjaga kelestarian
(SUSEK 4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang alternatif pemanfaatan sumberdaya perikanan
Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
5) Potensi sumberdaya ikan mencukupi kebutuhan nelayan (SUSEK 5), yang
diukur oleh pemahaman responden tentang kecukupan sumberdaya ikan terhadap kebutuhan nelayan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak cukup Tidak cukup Cukup Lebih dari cukup Sangat melimpah
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
156
6) Hasil tangkapan sampingan masih banyak tertangkap (SUSEK 6), yang diukur
oleh persepsi responden tentang jumlah hasil tangkapan sampingan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Masih sangat banyak Masih banyak Cukup banyak Sedikit
Sedikit sekali
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
7) Aturan ukuran mata jaring dipatuhi nelayan (SUSEK 7), yang diukur oleh
persepsi responden tentang frekuensi kepatuhan nelayan terhadap aturan ukuran mata jaring. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah patuh Jarang patuh Kadang-kadang Patuh Selalu patuh
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
8) Aturan ukuran mata jaring (SUSEK 8), yang diukur oleh pemahaman
responden tentang aturan mata jaring. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
9) Menurunnya stok ikan ditandai semakin menurunnya hasil tangkapan (SUSEK
9), yang diukur oleh pemahaman responden tentang penurunan stok ikan ditandai semakin menurunnya hasil tangkapan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
157
Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
10) Penurunnya stok ikan ditandai semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap (SUSEK 10), yang diukur oleh pemahaman responden tentang menurunnya stok ikan ditandai semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
11) Kegiatan penangkapan menggunakan bahan-bahan kimia/peledak (SUSEK 11), yang diukur oleh pemahaman responden tentang pengaruh kegiatan penangkapan menggunakan bahan-bahan kimia/peledak. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
Keberlanjutan Sosial-Ekonomi : 1) Usaha yang dilakukan masih mampu mencukupi kebutuhan untuk masa mendatang (SUSSO 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan
kegiatan usaha PT untuk mencukupi kebutuhan di masa
mendatang. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
158
Sangat tidak mampu Tidak mampu Cukup mampu Mampu Sangat mampu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
2) Usaha yang dilakukan mampu meningkatkan kesejahteraan (SUSSO 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak mampu Tidak mampu Cukup mampu Mampu Sangat mampu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Pengaruh kondisi sumberdaya perikanan yang menurun terhadap harga input dan output (SUSSO 3), yang diukur oleh pemahaman responden tentang pengaruh kondisi perikanan yang menurun terhadap harga input dan output. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak memahami Tidak memahami Cukup memahami Memahami Sangat memahami
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Keadilan dalam pemanfaatan SDPT (SUSSO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang keadilan pemanfaatan SDPT. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak adil Tidak adil Cukup adil Adil Sangat adil
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
159
Keberlanjutan komunitas 1) SDPT mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (SUSKO 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan SDPT untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : 1 dengan nilai 2 dengan nilai 3 dengan nilai 4 dengan nilai 5 dengan nilai 2) Nelayan memiliki kesempatan memanfaatkan sumberdaya ikan di daerahnya Sangat tidak tahu Tidak tahu Cukup tahu Tahu Sangat tahu
(SUSKO 2), yang diukur oleh persepsi responden tentang adanya kesempatan nelayan memanfaatkan sumberdaya ikan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak ada Kurang Cukup Banyak
Sangat banyak
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Masyarakat lokal dilibatkan dalam pengelolaan SDPT (SUSKO 3), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi masyarakat lokal dilibatkan dalam pengelolaan SDPT Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sering Selalu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Masyarakat mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam pemanfaatan SDPT (SUSKO 4), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi mempertahankan nilai-nilai tradisional. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
160
Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sering Selalu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
5) Tradisi proses pengambilan keputusan dipertahankan (SUSKO 5), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi tradisi proses pengambilan keputusan yang dipertahankan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sering Selalu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
6) Nilai-nilai adat masih digunakan dalam masyarakat (SUSKO 6), yang diukur oleh persepsi responden tentang frekuensi penggunaan nilai-nilai adat oleh masyarakat. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sering Selalu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
7) Dampak negatif pemanfaatan SDPT terhadap kondisi sosial ekonomi (SUSKO 7), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang dampak negatif pemanfaatan SDPT terhadap kondisi sosial ekonomi. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
161
Keberlanjutan kelembagaan 1) Kelembagaan yang ada saat ini dapat dipertahankan untuk masa yang akan datang (SUSIN 1), yang diukur oleh persepsi responden tentang kelembagaan dapat dipertahankan di masa yang akan datang Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : 1 dengan nilai 2 dengan nilai 3 dengan nilai 4 dengan nilai 5 dengan nilai 2) Kondisi sumberdaya mampu memberikan manfaat secara ekonomi (SUSIN 2), Tidak bisa Kurang bisa Cukup bisa Bisa Sangat bisa
yang diukur oleh pengetahuan responden tentang kemampuan sumberdaya memberikan manfaat secara ekonomi. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Tidak mampu Kurang mampu Cukup mampu Mampu Sangat mampu
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
Pemahaman masyarakat tentang pengelolaan SDPT Peraturan dan kebijakan 1) Pengetahuan tentang peraturan (REGUL1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang peraturan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
2) Pengetahuan tentang aturan syarat teknis kapal (REGUL2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan syarat teknis kapal. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
162
Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Pengetahuan tentang JTB (REGUL3), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan JTB Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Pengetahuan tentang aturan jalur penangkapan (REGUL4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan jalur penangkapan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
5) Pengetahuan tentang aturan mengenai pencemaran (REGUL5), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan mengenai pencemaran Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
6) Pengetahuan aturan perizinan usaha (REGUL6), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan perizinan usaha. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
163
Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
7) Pengetahuan tentang aturan pungutan perikanan (REGUL7), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan pungutan perikanan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
8) Pengetahuan tentang aturan prasarana dan kelembagaan (REGUL8), yang diukur
oleh
pengetahuan
responden
tentang
aturan
prasarana
dan
kelembagaan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
Rencana pangelolaan sumberdaya perikanan tangkap 1) Pengetahuan tentang aturan preservasi dan konservasi habitat (PLANK 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang aturan preservasi dan koservasi habitat. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
164
2) Pengetahuan tentang pengaturan effort (PLANK 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan effort. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Pengetahuan tentang pengaturan ukuran mata jaring (PLANK 3), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan ukuran mata jaring. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Pengetahuan tentang pengaturan musim (PLANK 4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan musim. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
5) Pengetahuan tentang pengaturan jalur penangkapan PLANK 5), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang pengaturan jalur penangkapan. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
165
Kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap 1) Pengetahuan tentang batas lestari (KEGKO 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang batas lestari. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
2) Pengetahuan tentang konservasi sumberdaya (KEGKO 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang konservasi sumberdaya. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
3) Pengetahuan tentang coastal sanctuary (KEGKO 3), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang coastal sanctuary. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
4) Pengetahuan tentang konservasi marine reserve (KEGKO 4), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang konservasi marine reserve. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
166
5) Pengetahuan tentang replantasi hutan mangrove (KEGKO 5), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang replantasi hutan mangrove. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
6) Pengetahuan tentang reboisasi sempadan pantai (KEGKO 6), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang reboisasi sempadan pantai. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
7) Pengetahuan tentang konservasi marine protected area (KEGKO 7), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang konservasi marine protected area. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
Sistem pengawasan masyarakat 1) Pengetahuan tentang monitoring dan evaluasi terhadap konservasi (WASMA 1), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang monitoring dan evaluasi terhadap konservasi. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban :
167
Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
2) Pengetahuan tentang penegakan hukum (WASMA 2), yang diukur oleh pengetahuan responden tentang penegakan hukum Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal 1 - 5, dengan kriteria jawaban : Sangat tidak tahu Tidak mengetahui Ragu-ragu Mengetahui Sangat mengetahui
dengan dengan dengan dengan dengan
nilai nilai nilai nilai nilai
1 2 3 4 5
Pengumpulan data Data yang diperlukan untuk analisis diperoleh dari survei persepsi responden di tiga lokasi penelitian. Setiap responden diberi sembilan set angket, setiap set digunakan untuk menilai satu jenis konflik. Ke sembilan jenis konfik tersebut yaitu: 1) konflik retribusi (RETR), 2) konflik perebutan daerah tangkap (DAET), 3) konflik perbedaan alat tangkap (ALTA), 4) konflik penggunaan potas/obat-obatan/obat-obatan (POTA), 5) konflik bagi hasil (BAGH), 6) konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), 7) konflik pencemaran lingkungan (PENL), 8) konflik Tambat labuh (TAML) dan 9) konflik perusakan terumbu karang (PERK). Setiap set kuesioner terdiri dari item pertanyaan yang ditujukan untuk mengetahui faktor penyebab konflik, teknik resolusi konflik yang digunakan dan outcome dari proses resolusi konflik yang dilakukan. Analisis data Analisis
keefektifan resolusi konflik dilakukan dengan menggunakan
principal component analisys (PCA) dan structural equation model (SEM). PCA digunakan karena mampu memetakan jenis konflik, penyebab konflik, dan teknik resolusi konflik dalam satu bidang tertentu yang disebut sebagai biplot (Lossa et al. 2002), jika jenis konflik, penyebab konflik dan teknik resolusi konflik berada dalam satu bidang, maka dapat dikatakan bahwa teknik tersebut sesuai untuk
168
mengatasi konflik yang bersangkutan. Teknik intepretasi seperti ini juga diadopsi dari Bengen (1998), dalam mengintepretasikan hasil analisis PCA. Metode analisis SEM dilakukan guna mengkonfirmasi hasil analisis PCA yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan analisis SEM akan dapat diketahui kontribusi variabel eksogenous (observed) terhadap variabel endogenous (latent) dalam menilai keefektivan teknik resolusi konflik. Model SEM tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 29. Metoda resolusi konflik α2
Penyebab Konflik
α4
Kepuasan terhadap teknik resolusi konflik yang digunakan
α1
Jenis konflik α3
Keterangan : α1,α3 … α6 = Faktor Loading = Koefisien korelasi α2
α6
α5
Outcome
Gambar 29. Model struktural antara konflik, teknik resolusi konflik, kepuasan terhadap resolusi konflik dan outcome (diadopsi dari Barki et al. 2001) Selain melakukan identifikasi tipologi konflik dan metode resolusinya, penelitian juga diarahkan untuk merancang model proses pengelolaan perikanan tangkap berbasis resolusi konflik yang diharapkan dapat berpengaruh terhadap pemahaman
masyarakat
terhadap
pengelolaan
perikanan
tangkap
yang
berkelanjutan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap dan pemahaman masyarakat tentang pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan. Penilaian aspek pemahaman dilakukan menggunakan kuesioner persepsi responden dengan kriteria penilaian
menggunakan skor dengan selang : 0,00-
1,49; 1,50-2,49; 2,50-3,49; 3,50-4,49 dan lebih besar dari 4,49. Semakin besar skor yang diperoleh menunjukkan tingkat pemahaman/kecocokan/keadilan yang semakin baik. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
169
tangkap diukur dengan skala Pretty et al. (1995). Analisis aspek persepsi, kecocokan/kemungkinan dan peluang sukses
penggunan ADR dilakukan
menggunakan statistik analysis of variance (ANOVA) dengan bantuan software SPSS versi 13. Analisis of variance digunakan untuk melihat perbedaan variabel yang dinilai pada setiap lokasi penelitian.
Model yang diestimasi Dengan dinotasikan variabel penyebab konflik adalah Xi dan komponen utama dari variabel Xi adalah K, maka model komponen utama penyebab konflik dapat diformulasikan sebagai berikut :
k j = a j1 X j1 + a j 2 X j 2 + ...........................................................a jn X jn
(1)
k j adalah komponen utama pertama. Karena faktor penyebab terdiri dari n variabel maka persamaan (1) pada hakekatnya berjumlah n persamaan dimana k j ;
j = 1,2,3..................i; i = n . k1 = a11 X 11 + a12 X 12 + .............................................................a1n X 1n
(2)
k 2 = a21 X 21 + a22 X 22 + ...........................................................a2 n X 2 n . . k i = ai1 X i1 + ai 2 X i 2 + ..............................................................ain X in Dalam notasi matriks, persamaan (2) dapat dipresentasikan sebagai berikut :
⎛ a11 ⎜ ⎜ a21 ⎜ . ⎜ ⎜ . ⎜ a ⎝ i1
a12 . . a1n ⎞⎛ X 1n ⎞ ⎛ k1 ⎞ ⎟ ⎜ ⎟ ⎟⎜ a22 . . a2 n ⎟⎜ X 2 n ⎟ ⎜ k 2 ⎟ . . . . ⎟⎜ . ⎟ = ⎜ . ⎟ ⎟ ⎜ ⎟ ⎟⎜ . . . . ⎟⎜ . ⎟ ⎜ . ⎟ ai 2 . . ain ⎟⎠⎜⎝ X in ⎟⎠ ⎜⎝ k n ⎟⎠
k = ain X in '
(3)
170
dimana X in ' adalah transpose dari X in . Dengan menghitung varian dari persamaan (1), maka dalam notasi matriks persamaan tersebut menjadi :
V (k j ) = V (a j ' X ) = a j ' Sa j
(4)
dimana S adalah kovarian matriks.
Dengan teknik optimasi Lagrangean, V (k j ) dapat dimaksimisasi dengan fungsi kendala a j ' a j = 1 , sehingga dapat menghasilkan: a j ' S − La j ' = 0 atau a j ' (S − LI ) = 0
(5)
dimana L = Lagrangean multiplier I = Matriks identiti order j Karena a′j ≠ 0 maka persamaan (5) dapat ditulis :
(S − LI ) = 0
(6)
Solusi terhadap persamaan (6) akan menghasilkan L sebanyak n buah, dimana eigenvalue (akar ciri) adalah L yang maksimum. AkarCiri(L *) = max(L1 , L2 ,.....Ln ) Dengan cara yang sama, dapat pula ditentukan kompunen utama ke dua dan seterusnya. Untuk komponen utama ke dua, optimasi Lagrangean dengan kendala a j ' a j = 1 dan a j ' ak = 0 . Dari persamaan (1), aj1 adalah component loading yang menunjukkan arah dan bobot pengaruh variabel Xji terhadap komponen utama ke j. Analisis komponen utama pada dasarnya adalah teknik redefinisi dan reduksi variabel yang kompleks dan besar jumlahnya menjadi komponen utama dari variabel tersebut. Jumlah komponen utama yang digunakan bergantung pada seberapa besar variasi yang bisa diwakili oleh komponen-komponen utama tersebut. Tolok ukur untuk menentukan komponen utama yang digunakan menurut Morrison (1990) adalah bila secara kuantitatif komponen-komponen
171
utama tersebut jumlah kumulatif akar ciri telah mencapai minimum 75%. Pendugaan komponen utama untuk aspek teknik resolusi dan outcome menggunakan cara yang sama seperti yang diterangkan di atas.. Pendugaan hubungan antara variabel-variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel-variabel teknik resolusi (RESO) serta variabel-variabel (RESO) dan variabel-variabel outcome (OUTC) menggunakan teknik structural equation model (SEM) yang dirinci sebagai berikut : 1) menentukan factor loading (faktor) dari variabel-variabel (KONF) dengan menggunakan confirmatory factor analysis. 2) menentukan factor loading (faktor) dari variabel-variabel (RESO) dengan menggunakan confirmatory factor analysis. 3) Menentukan hubungan korelasi antara penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi (RESO). 4) Menentukan hubungan korelasi antara teknik resolusi (RESO) dengan outcome (OUTC) Pada dasarnya analisis SEM dimaksudkan untuk mengkonfirmasi hasil analisis PCA yang telah dilakukan sebelumnya. Variabel-variabel yang mempunyai loading yang besar pada ke dua alat analisis tersebut dianggap sebagai variabel utama. Alat analisis yang digunakan adalah Statistica versi 6 dari Soft Stat, dimana
kontribusi dari observed variable
terhadap masing-masing latent
variables nya (KONF, RESO, OUTC) dan pengaruh antara satu latent variable terhadap latent variables yang lainnya baik yang langsung maupun tidak langsung diestimasi secara simultan. Hasil
Berdasarkan hasil survei di tiga lokasi penelitian, berhasil diidentifikasi 27 kasus konflik perikanan tangkap yang dapat dikelompokkan ke dalam sembilan jenis konflik yaitu: 1) konflik perbedaan alat tangkap (ALTA), 2) konflik penggunaan potas/obat-obatan/obat-obatan (POTA), 3) konflik pengolahan limbah (PENL), 4) konflik perusakan terumbu karang (PERK), 5) konflik bagi hasil (BAGH), 6) konflik perebutan daerah tangkap (DAET), 7) konflik nelayan
172
lokal vs andon (LOKA), 8) konflik tambat labuh (TAML), dan 9) konflik retribusi (RETR). Pada Tabel 14 dapat dilihat faktor penyebab konflik yang dinilai dengan skor 1 – 5. mendapat penilaian (skor) lebih dari tiga adalah keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU), persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK), kondisi perekonomian masyarakat (EKON), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan jumlah nelayan (POPU). Faktor penyebab yang mendapat penilaian terendah adalah adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) dengan skor 1,89. Tabel 14. Rerata skor jenis konflik menurut penyebabnya Penyebab Konflik PART LEAD OPOS ISSU EKON POPU CULT LAWS INTE COMP STOK
1 3,35 4,16 2,95 3,80 3,44 3,19 2,17 4,45 1,55 4,58 3,98
2 3,35 4,09 2,95 3,80 2,87 3,19 3,03 4,66 1,55 3,93 4,42
3 2,75 3,71 3,34 3,86 2,23 2,03 1,79 2,66 2,72 3,60 1,52
Jenis Konflik * 4 5 6 2,64 3,43 3,31 3,86 4,33 4,22 2,76 2,97 2,95 3,86 3,79 3,80 2,23 4,09 3,53 2,03 2,64 4,23 1,79 2,56 2,60 3,52 1,73 3,93 2,72 1,79 1,55 2,74 1,54 4,43 4,41 3,13 3,92
7 2,51 3,33 2,95 3,80 3,79 3,78 4,50 2,29 1,55 4,18 3,52
8 3,35 3,48 2,90 3,81 1,29 4,24 1,43 1,36 1,38 1,21 1,19
9 2,25 2,55 2,90 3,74 4,69 1,69 1,45 1,74 2,19 1,26 2,19
Rerata Skor 2,99 3,75 2,97 3,81 3,13 3,00 2,37 2,93 1,89 3,05 3,14
*) 1 = ALTA, 2 = POTA, 3 = PENL, 4 = PERK, 5 = BAGH, 6 = DAET, 7 = LOKA, 8 = TAML, 9 = RETR
Kemampuan responden dalam menentukan teknik resolusi konflik diukur dengan menggunakan 8 item pertanyaan, setiap teknik resolusi konflik diukur dengan menggunakan dua buah pertanyaan. Teknik fasilitasi diukur dengan pertanyaan RESO 1 dan RESO 2, negosiasi (RESO 3 dan RESO 4), mediasi (RESO 5 dan RESO 6) atau dibiarkan selesai dengan sendirinya/avoidance (RESO 7 dan RESO 8). Kemampuan responden dalam menentukan teknik resolusi yang tepat dapat dilihat pada Tabel 15.
173
Tabel 15. Rerata skor jenis konflik menurut teknik resolusi Metoda Resolusi RESO 1 RESO 2 RESO 3 RESO 4 RESO 5 RESO 6 RESO 7 RESO 8
1 3,62 3,98 4,40 4,38 3,58 3,32 3,32 2,60
2 4,05 4,67 4,40 4,40 4,03 3,72 4,48 4,47
3 3,62 3,98 4,40 4,38 3,58 3,32 3,32 2,60
Jenis Konflik * 4 5 6 4,72 3,10 4,35 2,79 3,41 4,87 3,34 4,54 4,40 2,76 4,56 4,40 3,28 3,56 4,42 3,31 2,87 3,72 3,14 4,03 4,48 3,07 3,28 4,47
7 3,40 3,65 4,40 4,40 4,42 3,72 3,45 4,47
8 3,71 4,95 4,14 4,10 4,14 3,10 4,33 4,33
9 4,26 4,97 4,10 4,06 4,10 2,74 4,23 4,13
Rerata Skor 3,87 4,14 4,24 4,16 3,90 3,31 3,86 3,71
*) 1 = ALTA, 2 = POTA, 3 = PERL, 4 = PERK, 5 = BAGH, 6 = DAET, 7 = LOKA, 8 = TAML, 9 = RETR
Merujuk pada Tabel 15, dapat disimpulkan bahwa teknik negosiasi memperoleh rerata skor yang tertinggi, yaitu 4.24 dan 4.16; diikuti dengan teknik fasilitasi dengan rerata skor 3.87 dan 4.14; avoidance dengan rerata skor 3.86 dan 3.71; serta teknik mediasi dengan rerata skor 3.90 dan 3.31. Hipotesis pertama terkait dengan kemampuan stakeholder memetakan faktor penyebab dan menentukan teknik resolusi konflik perikanan tangkap diuji menggunakan dua metoda, yaitu analisis komponen utama (principal component analysis/PCA), dan model persamaan struktural (structural equation model/SEM). Analisis PCA dilakukan dengan menempatkan faktor penyebab konflik sebagai variabel dan jenis konflik sebagai kasus atau individu. Berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA) diketahui bahwa ragam pada komponen utama pertama hingga komponen ke empat untuk variabel penyebab konflik mencapai 85,71 persen. Selanjutnya komponen utama pertama hingga ke tiga mempunyai akar ciri, yaitu : 3,745; 2,433; 1,990 dan 1,259 yang menjelaskan masing-masing : 34,05 persen; 22,12 persen; 18,09 dan 11,44 persen keragaman gugus data. Analisis hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) Variabel penyebab konflik keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) memberikan sumbangan terbesar pada komponen utama pertama. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama pertama, masing-masing adalah: -0,770; -0,748; -0,744 dan -0,727.
174
2) Variabel penyebab konflik isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON) memberikan sumbangan terbesar
pada komponen utama kedua. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama kedua, masing-masing adalah: 0,921 dan 0,704. 3) Variabel penyebab konflik keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama ke empat. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama ke empat adalah: 0,766. Hubungan/korelasi antara variabel dan komponen utama selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16. Intepretasi variabel-variabel yang mempunyai keterkaitan erat dengam sumbu utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yaitu dengan koordinat variabel atau kualitas representasi variabel pada sumbu utama yang ditunjukkan oleh dekat tidaknya variabel tersebut pada sumbu. Semakin dekat variabel tersebut pada sumbu, semakin besar korelasinya (positif atau negatif). Sementara koodinat dari setiap kasus atau individu pada komponen utama merepresentasikan proksimitas atau kedekatan antara kasus dengan variabel. Evaluasi kualitas representasi individu pada sumbu utama dapat dilihat pada grafik sebaran individu. Intepretasi variabel-variabel yang mempunyai keterkaitan erat dengan sumbu utama dapat dilihat di lingkaran korelasi pada Gambar 30.
175
Komponen utama II : 22.12%
Komponen utama I : 34.05%
Gambar 30. Korelasi antar variabel penyebab konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Gambar 30 menunjukkan variabel penyebab konflik perikanan tangkap yang mempunyai keterkaitan erat dengan sumbu utama. Posisi variabel-variabel tersebut pada sumbu utama merepresentasikan arah dan bobot pengaruh variabel tersebut terhadap komponen utama. Variabel penyebab konflik keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) berada lebih dekat dengan sumbu utama pertama. Variabel penyebab konflik isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan
kondisi perekonomian masyarakat (EKON) berada lebih dekat
dengan sumbu utama ke dua. Sedangkan variable penyebab konflik keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu
utama ke empat. Dari gambar tersebut terlihat bahwa posisi konflik perusakan
176
terumbu karang (PERK) sangat dipengaruhi oleh keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD) yang mempunyai komponen loading yang terbesar pada sumbu utama yang pertama. Evaluasi kualitas representasi individu pada sumbu utama pertama dan kedua dapat dianalisis grafik sebaran individu pada Gambar 30, pada prinsipnya koodinat dari setiap kasus atau individu pada komponen utama merepresentasikan proksimitas atau kedekatan antara kasus dengan variabel. Pada gambar tersebut terlihat bahwa pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML) dan konflik retribusi (RETR) dapat direpresentasikan oleh variabel penyebab konflik keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap keadaan sumberdaya (STOK). Demikian pula pada kasus konflik daerah tangkap (DAET) dan konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh variable isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON). Analisis PCA selanjutnya dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antara variable teknik resolusi konflik (RESO) dengan jenis konflik. Pada analisis ini, variable teknik resolusi konflik ditempatkan sebagai variabel dan jenis konflik ditempatkan sebagai kasus atau individu. Hasil analisis diketahui bahwa ragam pada komponen pertama hingga komponen kedua mencapai 75,63 persen. Selanjutnya komponen utama pertama hingga ke dua mempunyai akar ciri, yaitu : 3,826 dan 2,224 yang menjelaskan masing-masing: 47,83 persen dan 27,81 persen keragaman gugus data. Analisis hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) Variabel teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 2), negosiasi (RESO 3 dan RESO 4), mediasi (RESO 5) dan avoidance (RESO 7 dan RESO 8) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama pertama. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama pertama, masing-masing adalah: -0,797; -0,727; -0,772; -0,865; -0,793 dan -0,741.
177
2) Variabel teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 1) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama kedua. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama kedua, yaitu: -0,890. Hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19. Intepretasi variabel-variabel yang mempunyai keterkaitan erat
Komponen utama II : 27.81%
dengan sumbu utama dapat dilihat di lingkaran korelasi pada Gambar 31.
Komponen utama I : 47.83%
Gambar 31. Korelasi antar variabel teknik resolusi konflik dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Pada Gambar 31 terlihat bahwa variabel teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 2), negosiasi (RESO 3 dan RESO 4), mediasi (RESO 5) dan avoidance (RESO 7 dan RESO 8) lebih dekat pada sumbu utama yang pertama, sedangkan variable teknik resolusi konflik fasilitasi (RESO 1) lebih dekat pada sumbu utama yang ke dua. Hasil analisis menunjukkan bahwa eigenvalue sebesar 47,83 persen
178
pada sumbu utama yang pertama (F1) yang berarti variable RESO pada sumbu tersebut sangat representative. Evaluasi kualitas representasi individu pada sumbu utama pertama dan kedua dapat dianalisis grafik sebaran individu pada Gambar 31, terlihat bahwa pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML), konflik pengolahan limbah (PENL) dan konflik perusakan terumbu karang (PERK) direpresentasikan oleh
teknik fasilitasi (RESO 2), mediasi (RESO 5) dan
avoidance (RESO 7 dan RESO 8). Kasus konflik nelayan lokal vs andon (LOKA) direpresentasikan oleh teknik negosiasi (RESO 3 dan RESO 4). Sementara konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh tehik fasilitasi (RESO 1).
Pada
gambar dapat dilihat posisi individu/kasus konflik alat tangkap (ALTA) ternyata sangat dipengaruhi oleh variabel teknik resolusi konflik (RESO) yang mempunyai komponen loading dominan pada sumbu utama pertama. Pengujian hipotesis 1 selanjutnya dilakukan dengan menggunakan model persamaan struktural (SEM) hubungan antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan
variabel teknik resolusi konflik (RESO). Ketepatan model struktural
dengan kondisi sesungguhnya dinilai berdasarkan kriteria kecocokannya (Goodness of Fit). Berdasarkan kriteria ini dapat disimpulkan bahwa model memiliki kecocokan yang tinggi, sebagaimana dilihat dari nilai Maximum Likelihood Chi-Square, RMS Standardized Residual, Goodness of Fit Index (GFI), Adjusted GFI (AGFI) dan Normed Fit Index (NFI). Berdasarkan kriteria Chi Square, model dikatakan fit jika nilai Chi Square tidak signifikan, sementara untuk kriteria yang lain, semakin besar nilainya maka semakin baik (fit) model tersebut. Dari ke lima kriteria tersebut hanya Chi Square yang mengindikasikan model kurang fit sementara ke empat kriteria yang lain menunjukkan model sudah fit.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model struktural yang
digunakan sudah baik. Hubungan antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) ditunjukan oleh factor loading
dari masing-
masing variabel laten (KONF dan RESO). Besarnya nilai loading dari masingmasing faktor menunjukkan arah dan bobot pengaruh faktor tersebut terhadap variabel KONF dan RESO.
179
Pada Gambar 32 dapat dilihat bahwa pada kasus konflik perikanan tangkap (PETA), variabel penyebab konflik (KONF) yang merepresentasikan jenis konflik tersebut adalah keberadaan peraturan dan penegakkan hukum (LAWS), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP), persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) dan latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), masing-masing adalah 0,723; 0,582; 0,564; 0,548 dan 0,272. Sedangkan
observed variable yang
merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) yaitu mediasi, negosiasi dan avoidance masing-masing dengan nilai 0,670; 0,387 dan 0,355. PART LEAD OPOS
0.390** 0.582** 0.037 0.073**
ISSU EKON
FASILITASI
0.034 0.387**
-0.085 0.214**
POPU 0.272**
NEGOSIASI
0.446**
KONF
RESO 0.670**
CULT
MEDIASI
0.723**
LAWS 0.564**
0.355**
AVOIDANCE
COMP -0.130**
INTE 0.548**
STOK
Gambar 32. Structural Equation Modeling untuk penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik perikanan tangkap Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada kasus konflik perikanan tangkap (PETA) menunjukkan nilai yang signifikan, yaitu 0,446 yang mendukung hipotesis 1, yaitu terdapat hubungan positif antara kemampuan responden mengidentifikasi faktor penyebab konflik dengan kemampuan memilih teknik resolusi konflik yang digunakan. Tanda positif ini memberikan indikasi bahwa
180
semakin baik kemampuan mengidentifikasi faktor penyebab konflik maka semakin baik pula kemampuan menentukan teknik resolusi konflik. Kumulatif dari hasil analisis structural equation model hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) untuk ke sembilan jenis konflik yang terdapat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 16 sebagai berikut : Variabel penyebab konflik (KONF) pada kasus konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD) dan kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dengan masing-masing nilai 0,697; 0,397 dan -0,338. Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa teknik mediasi, negosiasi dan avoidance merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada kasus konflik alat tangkap (ALTA) masing-masing dengan nilai 0,380; 0,687 dan 0,364. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada kasus konflik alat tangkap (ALTA) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,824 yang berarti mendukung hipotesis 1. Pada kasus konflik penggunaan potas/obat-obatan/bahan kimia (POTA), faktor keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD) merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) dengan nilai loading 0,485. Demikian pula mediasi, negosiasi dan avoidance memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik penggunaan potas/obat-obatan/bahan kimia (POTA) yaitu masing-masing dengan nilai 0,677; 0,387 dan 0,363. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik penggunaan potas/obat-obatan/bahan kimia (POTA) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,785 yang berarti mendukung hipotesis 1. Variabel penyebab konflik (KONF) pada konflik pengolahan limbah (PENL) direpresentasikan oleh keberadaan pihak yang bertolak belakang (OPOS), isu yang berkembang dalam mansyarakat (ISSU), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE), dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK), masing-masing dengan nilai 1,00; -0,596; 0,556; -0,474 dan 0,308. Sedangkan faktor yang merepresentasikan
181
variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik pengolahan limbah (PENL) yaitu negosiasi dan avoidance dengan nilai 1,00 dan 0,467. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik pengolahan limbah (PENL) menunjukkan
nilai tidak
signifikan, yaitu -0,185 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Pada konflik perusakan terumbu karang (PERK), faktor merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) yaitu persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP), kondisi perekonomian masyarakat (EKON) dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masing-masing dengan nilai 0,969; 0,921; 0,539 dan -0,309, Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik perusakan terumbu karang (PERK) yaitu negosiasi dan avoidance dengan nilai 0,957 dan 0,491 pada taraf signifikansi 95 persen. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik perusakan terumbu karang (PERK) menunjukkan nilai tidak signifikan, yaitu -0,232 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), variabel penyebab konflik (KONF) direpresentasikan oleh keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PARTY), latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), kondisi perekonomian masyarakat (EKON), jumlah nelayan (POPU) dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masingmasing dengan nilai 0,835; 0,744; 0,480; 0,420; -0,405 dan -0,378. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik bagi hasil (BAGH) yaitu negosiasi, mediasi dan avoidance masing-masing dengan nilai 0,904; 0,889 dan 0,874. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik bagi hasil (BAGH) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,736 yang berarti mendukung hipotesis 1. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) pada konflik daerah tangkap (DAET) yaitu latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), jumlah nelayan
182
(POPU), banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PART), , keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masing-masing dengan nilai 0,950; 0,638; -0,564; 0,527; 0,516; 0,387 dan 0,326. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik daerah tangkap (DAET) yaitu mediasi, negosiasi, avoidance dan fasilitasi masing-masing dengan nilai 0,902; 0,882; 0,733 dan 0,422. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik daerah tangkap (DAET) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,954 yang berarti mendukung hipotesis 1. Pada
konflik
nelayan
lokal
vs
andon
(LOKA),
faktor
yang
merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) yaitu keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), banyak sedikitnya pihak yang terlibat dalam konflik (PARTY), kondisi perekonomian masyarakat (EKON), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan jumlah nelayan (POPU). dan adanya keinginan tertentu dalam masyarakat (INTE) masing-masing dengan nilai 0,744; 0,730; 0,675; 0,659; 0,471; -0,455 dan 0,405. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik nelayan lokal vs andon (LOKA) yaitu negosiasi, mediasi, avoidance dan fasilitasi masing-masing dengan nilai 0,932; 0,837; 0,788 dan 0,347. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik daerah tangkap (DAET) menunjukkan nilai signifikan, yaitu 0,843 yang berarti mendukung hipotesis 1. Pada konflik tambat labuh (TAML), faktor yang merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) yaitu latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), isu yang berkembang dalam mansyarakat (ISSU) dan keberadaan dan kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) masing-masing dengan nilai -0,452; -0,319; 0,249 dan 0,288. Demikian pula faktor yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada
183
konflik tambat labuh (TAML) yaitu fasilitasi dan negosiasi dengan nilai -0,333 dan 0,312 Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik tambat labuh (TAML) menunjukkan nilai signifikan, yaitu -0,648 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Faktor yang merepresentasikan variabel penyebab konflik (KONF) pada konflik retribusi (RETR) yaitu latar belakang budaya dan adat istiadat (CULT), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP), dan isu yang berkembang dalam mansyarakat (ISSU),
masing-masing dengan nilai -0,615, -0,365 dan
0,291. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik retribusi (RETR) yaitu mediasi dengan nilai 0,290. Hubungan korelasi antara variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik retribusi (RETR) menunjukkan nilai signifikan pada taraf 95 persen, yaitu -0,387 yang berarti tidak mendukung hipotesis 1. Pada Tabel 16 dapat dilihat kumulatif hasil structural equation modeling untuk variabel penyebab konflik (KONF) dengan variabel teknik resolusi konflik (RESO).
184
Tabel 16. Kumulatif structural equation modeling untuk penyebab konflik (KONF) dengan teknik resolusi konflik (RESO) Variabel
PETA
ALTA
POTA
PENL
Jenis Konflik PERK BAGH
TAML
RETR
-0,039
0,744
**
0,527
**
0,675
**
0.168
**
0.115
**
0,638
**
0,744
**
0.033
*
0.089
*
0.111
*
0.291
**
(Penyebab Konflik)-1->[PART]
0,390
**
0,234
**
0,219
**
-0,236
(Penyebab Konflik)-2->[LEAD]
0,582
**
0,397
**
0,485
**
0,556
**
0,105
0,835
(Penyebab Konflik)-3->[Opos]
0,037
1,000
**
-0,135
0,166
-0,596
**
-0,066
0,059
0,057
(Penyebab Konflik)-4->[ISSU]
0,034
0,056
0,042
(Penyebab Konflik)-5->[Ekon]
-0,085
-0,128
0,227
*
0,122
0,539
(Penyebab Konflik)-6->[POPU]
0,214
**
-0,149
**
-0,136
**
-0,155
(Penyebab Konflik)-7->[CULT]
0,272
**
0,697
**
0,293
-0,025
(Penyebab Konflik)-8->[LAWS]
0,723
**
-0,029
-0,093
0,432
(Penyebab Konflik)-9->[COMP]
0,564
**
-0,338
(Penyebab Konflik)-10->[Interst]
-0,130
**
0,110
**
0.113
0,067
0,108 0,659
**
-0,171
-0,405
**
-0,564
**
-0,455
**
0,169
0,480
**
0,950
**
-0,247
*
0,186
0,283
0,516
**
-0,730
**
0,150
0,033
0,471
-0,399
*
0,921
0,159
*
-0,474
**
-0,309
0,548
**
0,135
(Metoda Resolusi)-12->[Fasilita]
0,073
**
0,094
**
0,091
**
-0,459
**
-0,203
(Metoda Resolusi)-13->[Negoisas]
0,387
**
0,380
**
0,387
**
1,000
**
0,957
(Metoda Resolusi)-14->[Mediasi]
0,670
**
0,687
**
0,677
**
0,117
(Metoda Resolusi)-15->[Avoidanc]
0,355
**
0,364
**
0,363
**
0,467
(RESO)-31-(KONF)
0,446
**
0,824
**
0,785
**
-0,185
Degrees of Freedom
0,248
-0,077
(Penyebab Konflik)-11->[Stok]
Fit Measure ML Chi-Square
0,181 **
**
0,308
0,969
0,164
LOKA
0,420
0,212 0,096
DAET
**
**
-0,378 **
**
0,405
0.087
0.263 -0.452
-0.013 **
-0.615
-0.319
**
-0.037
**
-0.249
**
-0.365
**
-0.015
** **
0.035
0,387
**
-0,257
*
-0.140
0.017
*
0,422
**
0,347
**
-0.333
**
-0.060
0,904
**
0,882
**
0,932
**
0.312
**
0.224
**
0,889
**
0,902
**
0,837
**
0.232
*
0.290
**
0,874
**
0,733
**
0,788
**
0.147
*
0.185
*
-0,232
0,736
**
0,954
**
0,843
**
-0.648
**
-0.387
*
*
0,491
*
0,296
0,326
**
0,307
0,203 **
**
0.288 -0.122
**
928,541
173,586
135,800
139,614
161,958
152,694
175,474
142,036
185.631
136.387
89,000
89,000
89,000
89,000
89,000
89,000
89,000
89,000
89.000
89.000
p-level
0,000
0,000
0,001
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0.000
0.001
RMS Standardized Residual
0,127
0,110
0,102
0,185
0,168
0,122
0,110
0,094
0.212
0.157
GFI
0,765
0,750
0,790
0,598
0,626
0,710
0,724
0,783
0.503
0.670
AGFI
0,683
0,663
0,717
0,457
0,496
0,610
0,627
0,707
0.329
0.555
NFI
0,575
0,571
0,595
0,264
0,303
0,506
0,622
0,650
0.265
0.360
Keterangan: ** signifikan pada taraf α = 0,01 * signifikan pada taraf α = 0,05
185
185
**
Hipotesis 2 terkait dengan pengaruh resolusi konflik terhadap outcome pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, yaitu pengaruh teknik resolusi konflik terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab, dan peningkatan pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan. Berdasarkan hasil analisis, rerata skor outcome menurut jenis konflik dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Rerata skor outcome menurut jenis konflik Jenis Konflik ALTA POTA PENL PERK BAGH DAET LOKA TAML RETR Rerata skor
Rerata skor outcome* TRANP
AKUNT
PARPL
PARIM
PARMO
SUSEK
SUSSO
SUSKO
SUSIN
3,81 3,85 3,71 3,85 3,70 3,83 3,83 3,40 3,53 3,72
3,70 3,70 3,83 3,79 3,78 3,65 3,73 3,45 3,65 3,70
2,63 2,63 2,67 2,67 2,55 2,63 2,63 2,78 2,62 2,65
3,32 3,32 3,51 3,51 3,44 3,32 3,32 3,10 3,10 3,33
2,35 2,35 2,41 2,41 2,26 2,35 2,35 2,52 3,19 2,47
3,77 3,78 3,75 3,75 3,77 3,79 3,76 3,77 3,78 3,77
3,90 3,90 3,92 3,92 3,88 3,90 3,90 3,99 3,92 3,92
3,80 3,80 3,77 3,80 3,73 3,85 3,89 3,84 3,69 3,80
3,88 3,88 4,16 4,21 4,15 4,09 4,14 3,98 4,19 4,08
Skor tertinggi outcome terdapat pada variabel keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, yaitu keberlanjutan ekologis (SUSEK), keberlanjutan social-ekonomi (SUSSO), keberlanjutan komunitas (SUSKO), dan keberlanjutan kelembagaan (SUSIN), dengan rerata skor masingmasing adalah : 3,77; 3,92; 3,80 dan 4,08. Berdasarkan rerata skor tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan termasuk dalam kategori baik. Demikian pula aspek pemahaman terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan dari perspektif akuntabilitas (AKUNT) dan transparansi (TRANP) menunjukkan rerata skor yang lebih tinggi 3,70 dan 3,72. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan sudah termasuk dalam kategori baik. Pemahaman terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan direpresentasikan dalam variabel partisipasi dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARPL), partisipasi dalam
186
pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM) dan partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) dengan rerata skor masing-masing sebesar 2,65; 3,33 dan 2,47. Dari ketiga sub variabel partisipasi, ternyata partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM) memperoleh rerata skor paling tinggi, sementara partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) memperoleh rerata skor terendah. Berdasarkan rerata skor tersebut dapat disimpulkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap termasuk ke dalam tingkatan partisipasi konsultatif. Pretty et al, (1995) menyebutkan bahwa pada tingkat partisipasi konsultatif pihak luar mendefinisikan problem dan proses pengumpulan informasi, sementara masyarakat berpartisipasi dalam bentuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam bentuk partisipasi ini tidak ada sharing dalam pengambilan keputusan. Analisis komponen faktor utama (PCA) dilakukan dengan menempatkan outcome sebagai variabel dan jenis konflik sebagai kasus atau individu. Berdasarkan hasil analisis PCA diketahui bahwa ragam pada komponen pertama hingga komponen ke tiga untuk variabel outcome, mencapai 75,60 persen. Komponen utama pertama hingga ke tiga mempunyai akar ciri yaitu: 3,465; 1,783 dan 1,556, yang menjelaskan masing-masing: 38,50 persen; 19,81 persen dan 17,29 persen keragaman gugus data. Analisis hubungan/korelasi antara variabel dan sumbu utama diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) Variabel outcome transparansi dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (TRANS), partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM), partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) dan keberlanjutan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSEK) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama pertama. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama pertama, masing-masing adalah -0,688; -0,772; -0,776 dan 0,893. 2) Variabel outcome keberlanjutan komunitas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSKO) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu
187
utama kedua. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama kedua adalah -0,701) 3) Variabel
outcome
keberlanjutan
social
ekonomi
dalam
pengelolaan
sumberdaya perikanan tangkap (SUSSO) memberikan sumbangan terbesar pada sumbu utama ke tiga. Nilai korelasi antara variabel tersebut dengan sumbu utama ke tiga adalah 0,723. Keterkaitan antara variabel outcome dengan kasus atau individu jenis konflik
Komponen utama II : 19.81%
dapat dilihat pada Gambar 33.
Komponen utama I : 38.50%
Gambar 33. Korelasi antar variabel outcome dan sebaran individu kasus jenis konflik pada sumbu utama pertama (F-1) dan kedua (F-2) Gambar 33 terlihat bahwa variabel outcome transparansi dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (TRANS), partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM), partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO) dan keberlanjutan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSEK) berada dekat dengan sumbu utama pertama. Sedangkan variabel keberlanjutan komunitas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSKO) berada dekat dengan sumbu utama ke dua dan variabel keberlanjutan
188
sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSSO) berada dekat dengan sumbu utama ke tiga. Evaluasi kualitas representasi individu/kasus pada sumbu utama pertama dan kedua dapat dianalisis grafik sebaran individu pada Gambar 33, terlihat bahwa resolusi konflik yang dilakukan pada kasus konflik alat tangkap (ALTA), daerah
tangkap
(DAET)
dan
penggunaan
potas/obat-obatan
(POTA)
direpresentasikan dengan keberlanjutan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSEK), partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap (PARIM), keberlanjutan komunitas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSKO) dan partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO). Sedangkan pada kasus konflik tambat labuh (TAML) dan konflik retribusi (RETR) direpresentasikan dengan transparansi dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (TRANS). Sementara pada kasus konflik perusakan terumbu karang (PERK) direpresentasikan oleh partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO). Pada gambar terlihat bahwa posisi konflik perusakan terumbu karang (PERK) sangat dipengaruhi oleh keberlanjutan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSEK) yang mempunyai komponen loading yang besar pada sumbu utama pertama. Pengujian hipotesis 2 selanjutnya dilakukan dengan menggunakan model persamaan struktural (SEM) hubungan antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC). Berdasarkan kriteria goodness of fit dapat disimpulkan bahwa model memiliki kecocokan yang tinggi, sebagaimana dilihat dari nilai Maximum Likelihood Chi-Square, RMS Standardized Residual, Goodness of Fit Index (GFI), Adjusted GFI (AGFI) dan Normed Fit Index (NFI) yang cukup tinggi. Hubungan antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) ditunjukan oleh factor loading dari masing-masing variabel laten (RESO dan OUTC). Besarnya nilai loading dari masing-masing faktor menunjukkan arah dan bobot pengaruh faktor tersebut terhadap variabel RESO dan OUTC.
189
Pada Gambar 34 dapat dilihat bahwa factor loading yang memberikan kontribusi yang signifikan untuk merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada kasus konflik perikanan tangkap (PETA) yaitu mediasi, negosiasi, avoidance dan fasilitasi masing-masing adalah 0,701; 0,367; 0,352 dan 0,092. Sedangkan factor loading yang memberikan kontribusi yang signifikan untuk merepresentasikan variabel outcome (OUTC) yaitu partisipasi dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan (PARI) dan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan (SUST) masing-masing dengan nilai 0,520 dan 0,405. Hubungan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) pada konflik perikanan tangkap (PETA) menunjukkan nilai signifikan pada taraf α 1 persen, yaitu 0,245. Nilai koefisien korelasi yang positif berarti semakin baik kemampuan memilih teknik resolusi konflik maka akan semakin baik pula outcome. Temuan ini mendukung hipotesis 2. FASILITASI
0.092**
-0.068
NEGOSIASI
KEADILAN
0.367**
RESO
0.245** 0.245**
OUTC
0.520**
PARTISIPASI
MEDIASI 0.701** 0.405**
AVOIDANCE
KEBERLANJUTAN
0.352**
Gambar 34. Nilai koefisien teknik resolusi konflik dan outcome untuk konflik perikanan tangkap Kumulatif dari hasil analisis structural equation model hubungan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) untuk ke sembilan jenis konflik yang terdapat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 18 sebagai berikut : Variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh mediasi, negosiasi dan avoidance dengan masingmasing nilai 0,715; 0,368 dan 0,354. Dari tabel tersebut juga dapat diketahui
190
bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan (PARI) merepresentasikan variabel outcome (OUTC) pada konflik alat tangkap (ALTA) dengan nilai 0,946. Hubungan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) pada konflik alat tangkap (ALTA) menunjukkan nilai tidak signifikan pada taraf α 5 persen, yaitu 0,140 yang berarti tidak mendukung hipotesis 2. Pada konflik penggunaan potas/obat-obatan/bahan kimia (POTA) mediasi, negosiasi dan avoidance memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk variabel teknik resolusi konflik (RESO) yaitu dengan nilai masingmasing 0,719; 0,367 dan 0,351. Demikian pula partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan (PARI) dan pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (EQUI) memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk variabel outcome (OUTC) pada konflik penggunaan potas/obat-obatan/bahan kimia (POTA) yaitu masing-masing dengan nilai 0,893 dan 0,402. Hubungan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) pada konflik penggunaan potas/obatobatan/bahan kimia (POTA) menunjukkan nilai tidak signifikan pada taraf α 5 persen, yaitu 0,149 yang berarti tidak mendukung hipotesis 2. Pada konflik pengolahan limbah (PENL) semua faktor variabel teknik resolusi konflik (RESO) tidak menunjukkan kontribusi yang signifikan. Demikian pula halnya dengan faktor variabel outcome (OUTC). Hubungan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) pada konflik pengolahan limbah (PENL) menunjukkan nilai tidak signifikan pada taraf α 5 persen, yaitu 0,039 yang berarti tidak mendukung hipotesis 2. Pada konflik perusakan terumbu karang (PERK) negosiasi dan avoidance memberikan kontribusi yang tidak signifikan dalam membentuk variabel teknik resolusi konflik (RESO). Demikian pula variabel teknik resolusi tersebut tidak menunjukkan kontribusi yang signifikan terhadap variabel outcome (OUTC). Hubungan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) pada konflik konflik perusakan terumbu karang
191
(PERK) menunjukkan nilai tidak signifikan pada taraf α 5 persen, yaitu 0,052 yang berarti tidak mendukung hipotesis 2. Pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), variabel teknik resolusi konflik (RESO) direpresentasikan mediasi, avoidance dan negosiasi masing-masing dengan
nilai
0,763;
0,447
dan
0,342.
Demikian
pula
faktor
yang
merepresentasikan variabel outcome (OUTC) pada konflik bagi hasil (BAGH) yaitu pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan (PARI) dan pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (EQUI) masing-masing dengan nilai 0,327 dan 0,322. Hubungan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) pada konflik bagi hasil (BAGH) menunjukkan nilai signifikan pada taraf α 1 persen, yaitu 0,421 yang berarti mendukung hipotesis 2. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik daerah tangkap (DAET) yaitu mediasi, negosiasi dan avoidance masing-masing dengan nilai 0,716; 0,368 dan 0,356. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel outcome (OUTC) pada konflik daerah tangkap (DAET) yaitu pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (EQUI) dan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan (PARI) masingmasing dengan nilai -0,581 dan 0,539. Hubungan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) pada konflik daerah tangkap (DAET) menunjukkan nilai signifikan pada taraf α 1 persen, yaitu 0,245 yang berarti mendukung hipotesis 2. Pada
konflik
nelayan
lokal
vs
andon
(LOKA),
faktor
yang
merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) yaitu mediasi, negosiasi dan avoidance masing-masing dengan nilai 0,714; 0,367 dan 0,355. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel outcome (OUTC) pada konflik nelayan lokal vs andon (LOKA) yaitu pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan (PARI) dengan nilai 0,913. Hubungan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) pada konflik daerah tangkap (DAET) menunjukkan nilai signifikan pada taraf α 1 persen, yaitu 0,146 yang berarti mendukung hipotesis 2.
192
Pada konflik tambat labuh (TAML), faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) yaitu fasilitasi dan negosiasi masingmasing dengan nilai -0,333 dan 0,312.Demikian pula faktor yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam membentuk variabel outcome (OUTC) pada konflik tambat labuh (TAML) yaitu pengelolaan perikanan tangkap yang keberlanjutan (SUST) dengan nilai 0,663. Hubungan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) pada konflik tambat labuh (TAML) menunjukkan nilai tidak signifikan pada taraf α 5 persen, yaitu -0,071 yang berarti tidak mendukung hipotesis 2. Faktor yang merepresentasikan variabel teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik retribusi (RETR) yaitu avoidance dengan nilai 0,319. Demikian pula faktor yang merepresentasikan variabel outcome (OUTC) pada konflik retribusi (RETR) yaitu pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (EQUI) dan pengelolaan perikanan tangkap yang keberlanjutan (SUST) masing-masing dengan nilai 0,667 dan 0,476. Hubungan korelasi antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) pada konflik retribusi (RETR) menunjukkan nilai signifikan pada taraf α 1 persen, yaitu 0,210 yang berarti mendukung hipotesis 2. Pada Tabel 18 dapat dilihat kumulatif structural equation modeling hubungan variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) pada ke sembilan jenis konflik yang terjadi di lokasi penelitian.
193
Tabel 18. Kumulatif structural equation modeling untuk teknik resolusi konflik (RESO) dengan outcome (OUTC) Variabel
Jenis Konflik PERK BAGH
PETA
ALTA
POTA
PENL
(Metoda Resolusi)-->[Fasilita]
0,092
**
0,104
**
0,105
**
-0,148
*
-0,062
(Metoda Resolusi)-->[Negoisas]
0,367
**
0,368
**
0,367
**
0,247
**
0,254
DAET
LOKA
0,105
**
0,104
**
-0,333
**
-0,125
*
**
0,368
**
0,367
**
0,312
**
0,127
*
0,139
0,090
TAML
RETR
**
0,342 0,763
**
0,716
**
0,714
**
0,232
*
**
0,447
**
0,356
**
0,355
**
0,147
*
(Metoda Resolusi)-->[Mediasi]
0,701
**
0,715
**
0,719
**
0,038
(Metoda Resolusi)-->[Avoidanc]
0,352
**
0,354
**
0,351
**
0,137
*
0,133
0,062
0,066
**
0,402
**
-1,993
**
0,471
-0,322
**
-0,581
**
0,081
**
0,893
**
**
0,913
(Outcome)-->[Equi]
-0,068
(Outcome)-->[pari]
0,520
**
0,946
-0,626
-0,478
0,327
**
0,539
(Outcome)-->[sust]
0,405
**
0,244
0,190
-0,741
0,357
0,116
**
0,142
(Metoda Resolusi)-->(Outc)
0,245
**
0,140
0,149
0,039
0,052
0,421
**
0,245
1,147 **
0,212 **
0,146
-0,189 0,663
**
0,319
**
0,667
**
0,001 **
0,476
**
-0,071
0,210
**
Fit Measure ML Chi-Square
91,807
183,723
22,498
32,913
18,343
27,366
18,575
29,625
30,007
21,843
Degrees of Freedom
14,000
21,000
14,000
21,000
14,000
14,000
14,000
14,000
14,000
14,000
p-level
0,000
0,895
0,069
0,450
0,192
0,017
0,182
0,009
0,008
0,082
RMS Standardized Residual
0,046
0,949
0,063
0,449
0,123
0,091
0,049
0,065
0,172
0,122
GFI
0,933
0,967
0,894
0,654
0,882
0,853
0,920
0,890
0,739
0,850
AGFI
0,866
0,596
0,788
0,300
0,764
0,706
0,841
0,780
0,478
0,700
NFI
0,920
0,000
0,881
0,000
0,405
0,828
0,905
0,847
0,528
0,523
Keterangan: ** berbeda signifikan pada taraf α = 0,01 * berbeda signifikan pada taraf α = 0,05
194
194
Pembahasan Hubungan penyebab dengan teknik resolusi konflik
Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML) dan konflik retribusi (RETR) utamanya direpresentasikan oleh variabel penyebab konflik keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap keadaan sumberdaya (STOK).
Sedangkan pada kasus konflik daerah tangkap (DAET)
dan konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh variable isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON). Menunjuk hasil analisis SEM pada kasus konflik perikanan tangkap (PETA), menunjukkan bahwa variabel penyebab konflik yang utama adalah keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP), keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS) dan persepsi masyarakat terhadap keadaan sumberdaya (STOK). Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ke dua alat analisis tersebut ternyata memberikan hasil yang konsisten. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kasus-kasus konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian direpresentasikan oleh lebih dari satu variabel penyebab konflik. Konflik tambat labuh (TAML), konflik retribusi (RETR) dan konflik daerah tangkap (DAET) direpresentasikan oleh tiga variabel penyebab konflik; sedangkan konflik bagi hasil (BAGH) dan konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh dua variabel penyebab konflik. Hal ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa penyebab konflik dapat terdiri dari satu atau kombinasi dari beberapa variabel penyebab konflik. Berdasarkan
faktor loading dari variabel penyebab konfliknya, maka
keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD),
kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan
persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK) merupakan variabel penyebab konflik yang utama. Nilai loading dari masing-masing variabel penyebab konflik tersebut adalah: 0,723; 0,582;0,564; dan 0,548.
195
Memperhatikan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya, maka pada dasarnya variabel penyebab konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian dapat dikelompokkan ke dalam dua cluster, yaitu cluster penyebab konflik teknologi dan cluster penyebab konflik ekonomi. Pengelompokan ini disebabkan adanya pengaruh kuat dari koefisien komponen loading variabel penyebab konflik yang lebih dekat pada sumbu utama pertama. Pada Gambar 30 dapat dilihat bahwa cluster teknologi terdiri dari keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS), keberadaan tokoh dalam konflik (LEAD), kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya (STOK). Sedangkan cluster ekonomi terdiri dari isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dan kondisi perekonomian masyarakat (EKON). Bila dicermati, maka seluruh variabel penyebab konflik yang termasuk dalam cluster teknologi dan cluster ekonomi merupakan variabel penyebab konflik utama yang mendeskripsikan 56,16 persen dari variabel penyebab konflik perikanan tangkap yang terdapat di lokasi penelitian. Variabel-variabel penyebab konflik utama tersebut mendeskripsikan dengan baik beberapa jenis konflik perikanan tangkap yang terdapat di lokasi penelitian, khususnya konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML), konflik retribusi (RETR), konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), konflik alat tangkap (ALTA) dan konflik daerah tangkap (DAET). Merujuk pada hasil analisis SEM maka konflik perikanan tangkap yang utama berdasarkan loading dari variabel penyebab konflik utama adalah konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML), konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), konflik alat tangkap (ALTA) dan konflik daerah tangkap (DAET). Konflik daerah tangkap (DAET) dan konflik nelayan lokal vs andon (LOKA) direpresentasikan oleh adanya persepsi masyarakat terhadap keberadaan peraturan dan penegakan hukum (LAWS). Perbedaan persepsi masyarakat terhadap keberadaan peraturan dan penegakan hukum akan sangat bergantung dari penerimaan masing-masing individu yang melakukan intepretasi menurut sudut pandangnya sendiri yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik. Masyarakat nelayan di Teluk Prigi pada kasus-kasus tertentu
mengharapkan
kesepakatan-kesepakatan pengelolaan perikanan tangkap dilegalkan melalui hukum formal, dan masyarakat di Teluk Popoh cukup puas dengan kesepakatan
196
desa;
sementara
masyarakat
nelayan
di
Teluk
Sendang
Biru
kurang
mempersoalkan aspek legalisasi bentuk kesepakatan tetapi lebih menekankan pada aspek kepatuhan terhadap wakil kelompok mereka yang terlibat dalam proses resolusi konflik (LEAD). Persepsi masyarakat terhadap kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya (COMP) merepresentasikan konflik nelayan lokal vs andon (LOKA), dengan koefisien loading 0,471 pada taraf α = 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pada daerah penangkapan ikan di lokasi penelitian berpengaruh terhadap terjadinya konflik di lokasi penelitian. Demikian pula persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya (STOK) yang merepresentasikan konflik daerah tangkap (DAET) menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai ketergantungan yang sangat kuat terhadap ketersediaan sumberdaya ikan. Persepsi terhadap kondisi sumberdaya biasanya dihubungkan dengan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh yang dikaitkan dengan lokasi daerah penangkapan (fishing ground), misalnya adanya persepsi dari nelayan payang di Teluk Sendang Biru yang menganggap rumpon laut dalam menghambat gerakan ruaya gerombolan ikan ke perairan dangkal (pantai). Keadaan ini mendorong
kelompok
nelayan
payang
untuk
mengalihkan
daerah
penangkapannya dari perairan dangkal (empat mil) ke perairan dalam di lokasi rumpon sehingga berpotensi memicu terjadinya konflik. Selain itu, pada umumnya masyarakat nelayan di lokasi penelitian sangat resistance terhadap perilaku masyarakat lokal yang melakukan pengambilan terumbu karang di perairan Prigi untuk bahan bangunan dan cindera mata. Aktivitas ini dinilai oleh nelayan dapat mengurangi ketersediaan stok sumberdaya ikan demersal karena terumbu karang yang merupakan habitat dari species ikan demersal menjadi rusak sehingga dapat mengurangi hasil tangkapan ikan. Hasil estimasi stok sumberdaya ikan yang dilakukan melalui pendekatan Schaefer (1954) dengan menggunakan metoda estimasi parameter biologi WalterHillborn (1976) untuk sumberdaya ikan demersal di perairan Pantai Selatan Malang, Tulungagung dan Trenggalek menunjukkan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan tersebut masih di bawah tingkat lestarinya. Pada periode 1990 – 2004 tingkat produksi aktual ikan demersal
197
berfluktuasi dan masih berada di bawah produksi maksimum lestari (MSY). Ratarata produksi aktual ikan demersal di perairan ini sebesar 2.550.386 kg per tahun (Gambar 35), dengan MSY sebesar 7.429.775 kg per tahun. Dengan demikian tingkat pemanfaatan ikan demersal di perairan ini baru sebesar 34,33 persen.
4,000,000 3,500,000
Yield (kg)
3,000,000 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Produksi Aktual (hA) 1,84 2,90 3,24 3,09 2,51 2,72 1,82 3,35 3,04 2,16 1,97 2,81 1,77 3,68 1,29
Tahun
Gambar 35. Rata-rata produksi aktual ikan demersal periode 1990-2004 di lokasi penelitian Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap faktor isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) terkait dengan perilaku masyarakat nelayan yang cepat memberikan reaksi atau tanggapan terhadap adanya informasi tanpa melakukan pengecekan atas kebenaran informasi tersebut. Pada penelitian ini ditemukan adanya hubungan faktor isu yang berkembang dalam masyarakat (ISSU) dengan konflik retribusi (RETR) dan konflik tambat labuh (TAML) di Teluk Sendangbiru. Isu yang mencuat adalah tidak jelasnya informasi mengenai rencana kenaikan pungutan retribusi atas hasil tangkapan ikan, sementara disisi lain nelayan tidak mendapatkan pelayanan yang memadai di tempat pendaratan ikan (TPI) disebabkan terbatasnya fasilitas tambat labuh yang tersedia. Situasi ini
198
akhirnya memicu terjadinya konflik retribusi antara pengelola TPI dengan nelayan dan konflik tambat labuh antar sesama nelayan. Pada konflik bagi hasil (BAGH) yang terjadi disebabkan oleh adanya ketidak adilan dalam sistem bagi hasil. Juragan darat merasa dirugikan dengan adanya aktivitas dari keluarga ABK yang mengambil ikan hasil tangkapan sebelum dibawa ke TPI. Sementara ABK menganggap aktivitas keluarga mereka itu merupakan hal yang wajar apalagi jika dikaitkan dengan situasi ekonomi ABK yang serba kekurangan. Permasalahan muncul ketika pengambilan hasil tangkapan tanpa mempertimbangkan jumlah hasil tangkapan yang didapatkan sehingga kondisi tersebut semakin merugikan juragan darat (EKON). Situasi ini memicu munculnya konflik antara juragan dan ABK. Konflik ini dipertajam dengan adanya kehadiran beberapa tokoh (LEAD) yang memprovokasi kelompok masyarakat nelayan sehingga menghambat proses resolusi konflik. Hasil pengujian hipotesis I dengan menggunakan metoda PCA yang mengkarakteristikkan jenis konflik dengan metoda resolusi, diperoleh gambaran bahwa pada kasus konflik bagi hasil (BAGH), konflik tambat labuh (TAML), konflik pengolahan limbah (PENL) dan konflik perusakan terumbu karang (PERK) direpresentasikan oleh teknik fasilitasi (RESO 2), mediasi (RESO 5) dan avoidance (RESO 7 dan RESO 8). Kasus konflik nelayan lokal vs andon (LOKA) direpresentasikan oleh teknik negosiasi (RESO 3 dan RESO 4). Sementara konflik alat tangkap (ALTA) direpresentasikan oleh tehik fasilitasi (RESO 1). Hasil analisis SEM terhadap variabel faktor penyebab (KONF) dan teknik resolusi konflik (RESO) pada konflik perikanan tangkap (PETA) menghasilkan kesimpulan bahwa teknik resolusi konflik yang utama di lokasi penelitian adalah mediasi, negosiasi dan avoidance. Hal ini sesuai dengan temuan yang menunjukkan bahwa konflik perikanan tangkap yang pernah terjadi di lokasi penelitian seluruhnya diselesaikan dengan metoda resolusi sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR) dan tidak satupun yang diselesaikan melalui mekanisme litigasi (pengadilan). Hal ini disebabkan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih bersedia dipertemukan dan bermusyawarah untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dalam hal konflik yang terjadi berada di luar kemampuan mereka untuk menyelesaikannya, karena sulit mempertemukan
199
pihak yang berkonflik atau masyarakat lebih mengutamakan aspek kerukunan, maka konflik akan dibiarkan selesai dengan sendirinya (avoidance). Contoh dari konflik jenis ini adalah konflik retribusi (RETR), konflik penggunaan potas/obatobatan (POTA) dan konflik perusakan terumbu karang (PERK) yang terjadi di Teluk Sendang Biru dan Teluk Prigi. Teknik mediasi dan negosiasi merupakan teknik yang paling banyak digunakan dalam menyelesaikan konflik di lokasi penelitian. Selain itu kehadiran tokoh masyarakat (LEAD) yang disegani (seperti yang terjadi di Teluk Sendang Biru) merupakan faktor penting dalam proses penyelesaian konflik. Demikian pula kelembagaan tidak formal yang terdapat dalam struktur masyarakat setempat terbukti mampu menyelesaikan atau paling tidak meredam konflik yang terjadi. Jika eskalasi konflik meluas dan melibatkan banyak pihak sementara tokoh masyarakat tidak mampu mengatasinya, maka peranan pihak ke tiga melalui proses mediasi digunakan dalam menyelesaikan konflik. Sebagai contoh, teknik ini digunakan pada konflik nelayan lokal vs andon (LOKA) di Teluk Popoh dan Teluk Prigi, Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) setempat yang dikoordinir oleh Dinas Perikanan dan Kelautan dilibatkan dalam proses resolusi konflik. Hasil analisis lanjutan menggunakan kriteria Priscolly (2003) memberikan konfirmasi responden diseluruh lokasi penelitian menilai ADR sangat mungkin diaplikasikan untuk penyelesaian konflik perikanan tangkap. Rerata skor tertinggi terjadi di Teluk Popoh, diikuti oleh Teluk Prigi dan Sendang Biru. Hasil uji beda rata-rata dengan analysis of variance (ANOVA) untuk seluruh item diperoleh nilai F stat sebesar 127,604 yang signifikan pada taraf 99 persen. Hal ini berarti terdapat perbedaan rata-rata skor kecocokan penggunaan ADR antar lokasi penelitian. Gambaran mengenai kemungkinan penggunaan metode ADR di lokasi penelitian seperti pada Tabel 19.
200
Tabel 19. Kemungkinan penggunaan penyelesaian sengketa alternatif (ADR) Kriteria penilaian Keberadaan pihak yang mendominasi Kemampuan menyelesaikan konflik Adanya prasyarat dalam resolusi konflik Mekanisme untuk memenuhi kesepakatan Pemahaman faktor penyebab konflik Rata-rata
Sendang Biru (n=21)
Popoh (n=10)
Prigi (n=29)
Total (n = 60)
4,238
4,800
4,862
4,633
16,331**
4,143
5,000
4,724
4,567
21,700**
4,000
4,600
4,793
4,483
31,152**
4,000
5,000
4,759
4,533
51,645**
4,000 4,076
4,600 4,800
4,793 4,786
4,483 4,540
31,152** 127,604**
F hitung
Keterangan : ** Signifikan pada taraf α = 0,01
Selang skor: 1 (tidak cocok) – 5 (sangat cocok)
Hasil analisis terhadap kunci sukses penggunaan ADR di lokasi penelitian diperlihatkan pada Tabel 20 yang memperlihatkan peluang sukses penggunaan ADR untuk seluruh lokasi penelitian cukup besar. Jika dicermati pada tiap lokasi penelitian, maka kemungkinan sukses penggunaan ADR terbesar terjadi di Prigi (4,803), diikuti oleh Popoh (3,76), dan Sendang Biru (3,70). Hasil uji beda ratarata dengan ANOVA untuk seluruh item diperoleh nilai F stat sebesar 704,205 dengan probabilitas sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan terjadi perbedaan yang sangat signifikan mengenai peluang sukses penggunaan ADR antar lokasi penelitian. Tabel 20. Peluang sukses penggunaan ADR Kriteria Penilaian Dapat diselesaikan tanpa mengungkap penyebab Keberadaan kelompok yang dominan Keinginan menciptakan hubungan jangka panjang Prosedur untuk mencapai konsensus Rasa saling percaya dan menghormati Kemampuan mengidentifikasi ISSU Penanganan segera atas konflik yang terjadi
Sendang Biru (n=21)
Popoh (n=10)
Prigi (n=29)
Total (n = 60)
F hitung
3 4
3 4
4,759 4,828
3,850 4,400
248,700** 70,680**
4 4 4 4
4 4,6 4 4
4,793 4,793 4,759 4,828
4,383 4,483 4,367 4,400
56,446** 31,152** 46,279** 70,680**
4
4
4,724
4,350
28,733**
201
Penyebab politis Keefektifan biaya Tekanan untuk melaksanakan kesepakatan Rata-rata
3 4
3 4
4,862 4,828
3,900 4,400
429,381** 70,680**
3 3,7
3 3,76
4,862 4,803
3,900 4,243
429,381** 704,205**
Keterangan : ** Signifikan pada taraf α = 0,01 Selang skor: 1 (Sangat tidak setuju) – 5 (sangat setuju)
Untuk menilai kecocokan teknik resolusi yang digunakan, Priscolly (2003)
selanjutnya mengemukakan kriteria penilaian seperti pada Tabel 21. Hasil analisis memperlihatkan kecocokan teknik resolusi konflik cukup besar untuk seluruh lokasi penelitian. Jika dicermati tiap lokasi penelitian maka kecocokan teknik resolusi konflik terbesar terjadi di Teluk Prigi (4,678), diikuti Teluk Popoh (3,678), dan Sendang biru (3,026). Hasil uji beda rata-rata dengan ANOVA untuk seluruh item diperoleh nilai F stat sebesar 487,235 dengan probabilitas sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan terjadi perbedaan yang sangat signifikan mengenai kecocokan teknik resolusi konflik antar lokasi penelitian. Tabel 21. Kecocokan metoda pengelolaan konflik yang digunakan Kriteria penilaian Metode untuk mencegah konflik Tokoh bersedia untuk bertemu Keseimbangan pengetahuan hukum Jumlah yang terlibat Faktor penyebab konflik Kehadiran tokoh yang bertolak belakang Prioritas dalam penyelesaian konflik Konflik dapat diselesaikan sendiri Diperlukan pihak ketiga Rata-rata
Sendang Biru (n=21) 4,286 4,286 4,000 4,095 3,000 1,333 3,000 2,000 1,238 3,026
Popoh (n=10)
Prigi (n=29)
Total (n = 60)
F hitung
4,700 4,700 4,300 4,600 3,000 2,500 4,300 3,000 2,000 3,678
4,862 4,724 4,724 4,793 4,793 4,724 4,828 4,759 3,897 4,678
4,633 4,567 4,400 4,517 3,867 3,167 4,100 3,500 2,650 3,933
11,880** 4,500* 13,348** 13,220** 203,145** 133,824** 142,405** 513,555** 296,919** 487,235**
Keterangan :** Signifikan pada taraf α = 0,01 * Signifikan pada taraf α = 0,05
Selang skor: 1 (Sangat tidak setuju) – 5 (sangat setuju)
Penyelesaian konflik ditandai dengan dibuatnya kesepakatan-kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis. Tingginya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat tidak terlepas dari peranan para tokoh masyarakat nelayan (LEAD) yang sangat dihormati. Walaupun demikian, dalam jumlah sedikit
masih ditemukan pelanggaran terutama
disebabkan oleh kurang mengertinya sebagian nelayan tentang kesepakatan yang telah terbentuk sebagai hasil dari proses resolusi konflik. Disamping itu pada
202
kasus-kasus tertentu hasil kesepakatan tersebut masih perlu diperkuat dengan peraturan desa seperti yang terjadi di Teluk Popoh, atau berupa peraturan daerah di Teluk Prigi. Oleh karena itu, kegiatan sosialisasi kesepakatan sebagai hasil dari proses resolusi konflik menjadi sangat penting selain kegiatan penyadaran hukum masyarakat yang harus terus dilakukan. Pengawasan dan penegakan hukum dilakukan secara bersama oleh Polisi Air dan Udara (Pol Airud), Dinas Perikanan dan Kelautan baik pengawasan yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) maupun kelompok pengawas masyarakat (Pokwasmas) serta masyarakat pengguna sumberdaya itu sendiri. Masyarakat nelayan senantiasa aktif dalam melakukan pengawasan, sekali lengah maka bisa berakibat pada rusaknya sumberdaya perikanan dan lingkungan atau terjadinya konflik dalam masyarakat akibat salah satu pengguna alat tangkap merasa dirugikan oleh yang lainnya.
Hubungan teknik resolusi konflik dengan outcome
Evaluasi kualitas representasi individu/kasus pada sumbu utama pertama dan kedua dapat dianalisis grafik sebaran individu pada Gambar 33, terlihat bahwa resolusi konflik yang dilakukan pada kasus konflik alat tangkap (ALTA), daerah
tangkap
(DAET)
dan
penggunaan
potas/obat-obatan
(POTA)
direpresentasikan dengan keberlanjutan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSEK), partisipasi
dalam pelaksanaan pengelolaan
perikanan tangkap (PARIM), keberlanjutan komunitas dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap (SUSKO) dan partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO).
Sedangkan pada kasus
konflik tambat labuh (TAML) dan konflik retribusi (RETR) direpresentasikan dengan transparansi dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (TRANS). Sementara pada kasus konflik perusakan terumbu karang (PERK) direpresentasikan oleh partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO). Hipotesis II diarahkan untuk menguji hubungan variabel teknik resolusi konflik (RESO) terhadap variabel outcome (OUTC). Hasil analisis model persamaan struktural (SEM) untuk kasus konflik perikanan tangkap dapat
203
disimpulkan bahwa variabel teknik resolusi konflik (RESO) memiliki hubungan dengan variabel outcome (OUTC). Teknik mediasi memiliki koefisien loading tertinggi dibandingkan dengan negosiasi, avoidance dan fasilitasi. Hal ini berarti teknik mediasi memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan variabel teknik resolusi konflik (RESO) yang berkorelasi secara signifikan dengan
variabel
outcome (OUTC) resolusi konflik perikanan tangkap yang dilakukan oleh masyarakat nelayan di lokasi penelitian, khususnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap (PARI) dan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang keberlanjutan (SUST). Satu hal yang menarik di lokasi penelitian, yaitu ternyata variabel pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (EQUI) tidak merepresentasikan variabel outcome (OUTC) dengan nilai koefisien -0.068; sehingga dapat disimpulkan bahwa pemilihan teknik resolusi konflik yang tepat berkorelasi positif dengan outcome khususnya faktor partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan (PARI) dan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan (SUST). Kesimpulan ini dapat diartikan bahwa dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan di lokasi penelitian telah dilakukan dengan keterlibatan partisipasi masyarakat, namun belum dapat menjamin aspek keadilan dalam pemanfaatannya. Berdasarkan hasil analisis tersebut diketahui bahwa variabel outcome (OUTC) yang mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan pemilihan teknik resolusi konflik (RESO) adalah partisipasi masyarakat dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan (PARMO) dengan nilai loading 0.771. Pada Tabel 22 menyajikan rata-rata skor partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang dibedakan dalam : 1) partisipasi dalam perencanaan pengelolaan perikanan tangkap, 2) partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap dan 3) partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap. Rata-rata skor partisipasi tertinggi terjadi di Teluk Prigi sementara yang terendah terjadi di Teluk Popoh. Sesuai dengan kriteria Pretty et al. (1995) partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap di Teluk Prigi (2.865) dan Teluk Sendang Biru (2.815) berada pada tingkat partisipasi konsultasi, artinya kelompok nelayan masih memerlukan bantuan dari
204
pihak eksternal untuk mendefinisikan problem dan proses pengumpulan informasi pengelolaan perikanan tangkap, sementara kelompok berpartisipasi dalam bentuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam bentuk partisipasi ini tidak ada sharing dalam pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat di Teluk Popoh (2.421) termasuk pada tingkat partisipasi pasif, yaitu bentuk partisipasi dimana kelompok nelayan hanya diberitahu mengenai kesepakatan yang diputuskan dalam proses resolusi konflik dan dalam hal terdapat respons yang mempertanyakan tentang hasil kesepakatan, maka tidak ditanggapi dengan baik. Hasil uji beda dengan menggunakan ANOVA juga menghasilkan nilai F yang signifikan pada taraf 99 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi perbedaan pada tingkat partisipasi masyarakat di tiga lokasi penelitian. Tabel 22. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap Kriteria penilaian Partisipasi dalam perencanaan pengelolaan Partisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan Partisipasi dalam monitoring dan evaluasi Rata-rata
Sendang Biru (n=21)
Popoh (n=10)
Prigi (n=29)
Total (n = 60)
F hitung
2.781
2.220
2.669
2.633
42.123**
3.140
3.244
3.513
3.338
68.466**
2.524 2.815
1.800 2.421
2.414 2.865
2.350 2.774
24.621** 65.966**
Keterangan : ** Signifikan pada taraf α = 0,01
Selang skor: 1 (manipulative participation ) – 7 (self mobilization)
Hasil uji beda juga menunjukkan nilai signifikan pada taraf 99 persen, dengan rata-rata skor partisipasi tertinggi terjadi di Teluk Prigi. Kenyataan ini konsisten dengan hasil wawancara dengan kelompok responden aparat, yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam monitoring dan evaluasi kegiatan sudah cukup baik tetapi keterlibatan mereka dalam penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan masih relatif terbatas. Pada Tabel 23 memperlihatkan pemahaman masyarakat Teluk Prigi terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berlanjutan (SUST) lebih baik dibandingkan dengan Teluk Sendangbiru dan Teluk popoh. Walaupun demikian hasil uji beda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara ketiganya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum tidak terdapat
205
perbedaan pemahaman terhadap pengelolaan yang berkelanjutan di tiga lokasi penelitian. Tabel 23. Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan Kriteria
Sendang Biru (n=21)
Popoh (n=10)
Prigi (n=29)
Total (n = 60)
F hitung
Keberlanjutan ekologis
3.356
3.373
3.386
3.373
0.099ns
keberlanjutan sosial-ekonomi
3.643
3.500
3.638
3.617
1.413ns
Keberlanjutan komunitas
3.230
3.107
3.208
3.199
1.306ns
Keberlanjutan kelembagaan
3.387
3.538
3.690
3.558
5.793**
Rata-rata
3.404
3.379
3.480
3.437
2.011ns
Keterangan : ** Signifikan pada taraf α = 0,01 ns Tidak signifikan
Selang skor: 1 (Sangat tidak setuju) – 5 (sangat setuju)
Pada Tabel 24 memperlihatkan hasil uji beda variabel pengelolaan perikanan tangkap
yang berkeadilan (EQUI) menunjukkan perbedaan yang
signifikan pada taraf 99 persen, dengan rata-rata skor tertinggi terjadi di Teluk Popoh, yang dapat diartikan terdapat perbedaan yang signifikan dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan (EQUI) di tiga lokasi penelitian. Tabel 24. Pengelolaan perikanan tangkap yang berkeadilan di lokasi penelitian Kriteria
Sendang Biru (n=21)
Popoh (n=10)
Prigi (n=29)
Total (n = 60)
F hitung
Akuntabilitas pengelolaan Tranparansi dalam pengelolaan Rata-rata
3.8393 3.7827 3.8110
4.1438 4.2875 4.2156
3.763 4.205 3.984
3.853 4.071 3.962
9.580** 43.582** 26.838**
Keterangan : ** Signifikan pada taraf α = 0,01
Selang skor: 1 (Sangat tidak adil) – 5 (sangat adil)
Merujuk hasil analisis SEM dan PCA mengenai hubungan antara variabel teknik resolusi konflik (RESO) dengan variabel outcome (OUTC) maka dapat disimpulkan bahwa pemilihan teknik resolusi konflik yang tepat berkorelasi positif dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan (PARI), khususnya partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap (PARMO).
206
Penyebab Resolusi Ekon 0.582** -0.085 0.037 0.073** 0.355** POPU CULT ISSU Opos LEAD LAWS COMP Interset 0.548** 0.564** 0.387** 0.446** 0.390** PART 0.670** -0.130** 0.723** 0.214** 0.272** 0.034 Avoidance Negosiasi Fasilitasi Mediasi Stock konflik
Kesimpulan
Konflik perikanan tangkap di lokasi penelitian berdasarkan loading dari variabel penyebab konflik adalah konflik bagi hasil, konflik tambat labuh, konflik nelayan lokal vs andon, konflik alat tangkap dan konflik daerah tangkap. Penyebab utama konflik perikanan tangkap dibedakan menjadi dua cluster, yaitu cluster penyebab konflik teknologi dan cluster penyebab konflik ekonomi. Cluster teknologi mencakup keberadaan peraturan dan penegakan hukum, keberadaan tokoh dalam konflik, kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya dan persepsi masyarakat terhadap stok sumberdaya. Sedangkan cluster ekonomi terdiri dari isu yang berkembang dalam masyarakat dan kondisi perekonomian masyarakat. Sedangkan teknik resolusi konflik
yang utama sesuai dengan
penyebab konflik adalah mediasi. Pemilihan teknik resolusi konflik yang tepat berkorelasi positif dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan , khususnya partisipasi dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap, tetapi tidak ditemukan
pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap
yang berkeadilan dalam pengelolaan perikanan tangkap di lokasi penelitian.
207