RINGKASAN DISERTASI MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN
MARWAN SYAUKANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRACT MARWAN SYAUKANI. M odel of Fishing Industry Networking in Archipelagic Region. (Under supervision of M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW and DANIEL R MONINTJA) Fishing port networking is an important element of the fisheries development. There are two models of fishing port networking applied in Indonesia, namely “HUB” and”Point” models. The Jakarta Fishing Port is an example of HUB model and others are Point models. It seems that the current Point model of Indonesia fishing port networking is inefficient. The research was held in Belitung, Mendanau, Seliu, Gersik and Sumedang islands - Belitung Regency from October 2007 to May 2009. The research purposes are to classify the status of fishing ports in fishing industry networking, to formulate an efficient model that considers industrial linkage among fishing ports, and to formulate a strategy of fishing management for each island. It was identified that fishing ports in Belitung Regency can be classified into (1) main service provider, (2) intermediate service provider or server, and (3) client. The Nested Multi Criteria Analysis (NMCA) followed by Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimizing distance analysis, minimizing transportation time, and minimizing transportation cost analysis were used in this research. The NMCA is a two-step MCA. The first MCA and TOPSIS analysis are to classify of fishing port status based on fishing facilities, fishing capacity, input dependency and fish landing capacity. The second MCA analysis were to formulate the most efficient model based on minimizing distance analysis, transportation time and transportation cost analyzing. The model with the lowest transportation cost is selected. The result s showed that the Belitung is the main service provider while the Mendanau and Seliu islands are the intermediate service providers or servers and the other 2 islands are the client s. The network among these fishing ports is theoretically more efficient than the current available networking. For protecting fishing port from over capacity, the research formulated fishing management strategies for each island by using technical efficiency (TE) and Danmark Theory analysis. The result showed that prevention of environmental degradation should be implemented in Belitung and Mendanau islands. While, controlling of fishing effort should be implemented in Seliu and Gersik islands. On the other hand, fishing effort may be expanded in Sumedang island. Keywords : fishing industry, archipelagic fishery, fishing port status, industry networking
RINGKASAN MARWAN SYAUKANI. Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan (Dibimbing oleh M. FEDI A SONDITA, AKHMAD FAUZI, VICTOR PH NIKIJULUW dan DANIEL R MONINTJA) Kondisi geografis dan keterbatasan infrastruktur merupakan masalah krusial yang dihadapi dalam pembangunan industri perikanan di Indonesia. Kedua permasalahan di atas hanya dapat diatasi dengan rekayasa jaringan pelabuhan perikanan yang efektif dan efisien. Terdapat dua model jaringan industri antar pelabuhan perikanan yang berkembang di Indonesia, yaitu: model “HUB” dan ”POINT”. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan model HUB walaupun model yang dikembangkan masih bersifat kontinental. Pelabuhan perikanan lainnya mengembangkan model Point dan terindikasikan tidak efisien. Penelitian dilaksanakan di Pulau Belitung, Pulau Mendaunau, Pulau Seliu, Pulau Gersik dan Pulau Sumedang - Kabupaten Belitung dari bulan Oktober 2007 hingga bulan Mei 2009. Penelitian bertujuan menent ukan status sentra industri dalam suatu jaringan industri, menyusun model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan yang efesien dan menyusun strategi pengelolaan industri perikanan tangkap pada masing- masing pulau. Penelitian menggunakan metode analisis Nested Multi Criteria Analysis (NMCA) yang diikuti dengan analisis Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS), minimalisasi jarak, minimalisasi waktu tempuh dan minimalisasi biaya transportasi. NMCA adalah analisis MCA dua tahap. Analisis MCA tahap pertama yang dipadu dengan analisis TOPSIS bertujuan menentukan status sentra industri dalam jaringan industri berdasarkan parameter pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan, kapasitas kapal perikanan, kemandirian faktor input, jumlah ikan yang didaratkan. Dalam penelitian ini, status sentra industri di Kabupaten Belitung diklasifikasi menjadi 3, yaitu: penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server) dan client. Hasil analisis MCA tahap pertama menunjukkan bahwa Pulau Belitung berstatus sebagai penyedia jasa utama, Pulau Mendanau dan Pulau Seliu sebagai penyedia jasa antara (server) sedangkan Pulau Gersik dan Pulau Sumedang sebagai sumber bahan baku (client). Analisis MCA tahap ke dua bertujuan merumuskan model jaringan industri perikanan tangkap berdasarkan parameter jarak, waktu tempuh dan biaya transportasi. Model jaringan industri dengan biaya transportasi terendah ditentukan sebagai model terpilih. Hasil analisis MCA tahap kedua menunjukkan bahwa model jaringan industri perikanan tangkap dimana Pulau Belitung yang mempunyai status sebagai penyedia jasa utama melayani produksi yang berasal dari dua server yaitu Pulau Mendanau dan Pulau Seliu. Pulau Mendanau melayani 1 sentra industri yang berfungsi sebagai client yaitu Pulau Gersik dan Pulau Seliu melayani 1 sentra industri lainnya yang berfungsi sebagai client yaitu Pulau Sumedang. Model jaringan industri ini lebih efesien dibandingkan dengan jaringan industri perikanan yang ada di Belitung sekarang ini.
Dalam upaya mencegah kelebihan kapasitas pelabuhan perikanan, dilakukan perumusan strategi pengelolaan perikanan tangkap dengan analisis efisiensi teknik (TE) yang dipadukan dengan analisis Danmark teori. Efisiensi teknik adalah penbandingan produktivitas suatu wilayah penangkapan dengan produktivitas wilayah lainnya yang masih memiliki terbaik. Sedangkan Danmark teori adalah analisis kebijakan pengelolaan perikanan dengan memplotkan hasil analisis efisiensi teknik (TE) kedalam diagram Cartesius. Hasil analisis efisiensi teknik menunjukkan bahwa industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung diarahkan pada pengembangan setiap sentra industri sesuai dengan status dalam jaringan industri yang optimum. Nilai TE Pulau Belitung dan Pulau Mendanau terletak pada kuadran ke tiga dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pencegahan degradasi sumber daya ikan. Nilai TE Pulau Seliu dan Pulau Gersik terletak pada kuadran kedua dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengendalian sumber daya ikan. Nilai TE Pulau terletak pada kuadran pertama dimana pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengembangan industri perikanan tangkap. Kata kunci : industri perikanan, wilayah kepulauan, status pelabuhan perikanan, jaringan industri
MODEL JARINGAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH KEPULAUAN
MARWAN SYAUKANI
Ringkasan disertasi Disampaikan sebagai bahan ujian terbuka untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Disertasi
: Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan
Nama Mahasiswa
: Marwan Syaukani
NIM
: C 561 030 174
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Komisi Pembimbing : Dr. Ir M. Fedi A. Sondita, MSc Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, MSc Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Penguji Luar Komisi : Ujian Terbuka pada Hari/Tanggal
: Jumat / 11 September 2009
Waktu
: 13.30 - selesai
Tempat
: Gedung Rektorat Institut Pertanian Bogor
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perdagangan global yang dihadapi oleh negara-negara didunia sekarang ini
membawa konsekuensi timbulnya persaingan antar negara, antar daerah dan antar pengusaha. Meningkatnya persaingan usaha tersebut diatas mendorong kesadaran pentingnya peningkatan efisiensi industri. Peningkatan efisiensi juga diamanatkan dalam Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat Bab IV.B. 9 dan 10 tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil yang efisien. Penelitian tentang keterkaitan ekonomi antar pulau-pulau kecil belum banyak dilakukan di Indonesia. Namun penelitian jaringan industri antar pelabuhan di beberapa pulau dalam suatu kawasan telah banyak dilakukan diluar negeri antara lain peneliti dari negara Korea dan Jepang.
Wang (2007) melakukan analisis
jaringan kapal pengangkut dan pembangunan pelabuhan di Korea dan Jepang. Penelitian tersebut menyimpulkan diperlukan adanya kerjasama antar pelabuhan di Semenanjung Korea dan Jepang.
Hubungan antar pelabuhan berupa jaringan
industri perlu ditingkatkan terutama antara pelabuhan HUB dan pelabuhan Spoke. Keterkaitan jaringan industri sangat dipengaruhi oleh geografis pelabuhan, infrastruktur yang tersedia, efisiensi penanganan barang serta biaya penanganan barang (handling cost). Industri di Indonesia secara umum dan sektor perikanan tangkap secara khusus tergolong ekonomi biaya tinggi. Tingginya biaya investasi dan operasional industri tersebut diatas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor administrasi dan faktor teknik.
Penyalahgunaan wewenang dalam perijinan
merupakan contoh nyata tingginya biaya akibat faktor administrasi. Sedangkan tingginya biaya transportasi merupakan contoh tingginya biaya akibat faktor teknik. Biaya transpotasi yang tinggi merupakan indikator jaringan industri yang tidak efisien.
Tidak efisiennya jaringan industri perikanan di Indonesia karena
pemerintah menerapkan model Point yang sentralistik pada pembangunan pelabuhan perikanan.
Model Point adalah model jaringan industri perikanan berbasis
pelabuhan perikanan yang berfungsi sebagai sentral aktivitas ekonomi sektor
perikanan bagi pelabuhan itu sendiri. Model Point berkembang di negara-negara yang wilayahnya luas dan menyebar, wilayah penangkapannya terbagi atas beberapa wilayah (zonasi), terkendalakan penguasaan teknologi dan permodalan.
Model
Point cenderung mandiri terhadap pelabuhan perikanan lainnya dan sentralistik. Ditinjau dari segi ekonomi, model Point yang sentralistik ini mengakibatkan jaringan antar sentra industri tidak efisien, yaitu: biaya transportasi per unit tinggi, praktek
perdagangan
monopoli,
oligopoli,
monopsoni,
oligopsoni
serta
menimbulkan dead weight loss (DWL). Ditinjau dari segi teknik, model Point menyebabkan kesulitan dalam hal pengawasan mutu, pengawasan SDA, hilangnya penerimaan negara dari pajak dan retribusi. Namun keuntungan model Point adalah biaya investasi relatif kecil. Tidak efisiennya jaringan industri antar sentra industri mendorong dilakukannya penelitian ini. Disamping model ”Point”, terdapat model jaringan industri berbasis pelabuhan lainnya yaitu model ”HUB”. Model HUB adalah model jaringan industri perikanan yang menonjolkan sebuah pelabuhan perikanan sebagai sentral aktivitas ekonomi industri perikanan yang didukung oleh beberapa pelabuhan perikanan lainnya. Pemilihan atas kedua model tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: luas wilayah, letak geografis, jarak daerah penangkapan ikan (fishing ground), aksesbilitas faktor input dan variabel output, infrastruktur serta penguasaan teknologi.
Model pelabuhan HUB banyak diaplikasikan di wilayah kontinental,
wilayah yang dibatasi oleh banyak negara, memiliki wilayah penangkapan ikan yang kecil, penguasaan teknologi, transportasi dan telekomunikasi memadai. Pelabuhan HUB berfungsi sebagai tempat transhipment barang dan terminal kontainer (Subagiyo 2007). Di benua Eropa, pelabuhan perikanan HUB berfungsi sebagai pelabuhan masuk dan keluar komoditi dari dan ke beberapa negara yang biasa disebut “entry port ” (The Bilbao Port Authority 2006, Subagiyo 2007). Pelabuhan entry point cukup besar di Uni Eropa antara lain pelabuhan Rotterdam (Belanda) dan pelabuhan Anwerpen (Belgia). Pelabuhan HUB juga berkembang di beberapa negara maju Asia antara lain Pelabuhan Ghuang Zhou di China, Tsukiji dan Shinminato di Jepang, pelabuhan Seoul dan Busan di Korea (Yang et al 2005, Tai dan Hwang 2005, Wang 2007).
Keuntungan model HUB antara lain
mempermudah pengawasan mutu, mempermudah pengawasan sumber daya alam
2
(SDA), mempermudah pengawasan penerimaan negara dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan dari model HUB adalah investasinya yang tinggi. Industri perikanan tangkap Indonesia mengembangkan model HUB dan model Point. Pelabuhan Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) merupakan contoh pelabuhan perikanan HUB bagi beberapa pelabuhan perikanan pendukung antara lain pelabuhan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhan Ratu, PPN Cirebon dan PPN Pekalongan. Model pelabuhan perikanan HUB yang diaplikasikan oleh PPS Jakarta mengandalkan hubungan jaringan darat dan belum mencerminkan keterkaitan antar pulau. Sedangkan PPS dan PPN lainnya seperti PPS Bungus, PPS Belawan dan PPS Cilacap dan PPN Tanjung Pandan mempraktekan model Point. PPN Tanjung Pandan mempraktek model Point dimana pengadaan pasokan faktor input, pengolahan dan pemasaran hasil, ekspor dapat dilakukan sendiri oleh pelaku usaha yang berdomisili di PPN Tanjang Pandan. Faktor input bagi selur uh sentra industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung berasal dari PPN Tanjung Pandan. Ikan yang di produksi dan didaratkan di PPN Tanjung Pandan dijual ke pasar regional atau diekspor langsung ke Singapura melalui pelabuhan umum Pangkal Balam yang terletak di Pulau Bangka. Penerapan model Point yang dipraktekkan PPN Tanjung Pandan menyuburkan sistem perdagangan oligopsoni yang mengakibatkan adanya dead weight loss (DWL). Hubungan jaringan industri antar sentra industri telah banyak dilakukan di luar negeri, antara lain: jaringan pelabuhan Selat Gibraltar oleh Hadi dan Moron (2007), jaringan pelabuhan Korea Selatan, China dan Jepang oleh Wang (2007) dan jaringan pelabuhan Asia Timur oleh Tai dan Hwang (2005). Perbedaan penelitian hubungan jaringan industri dengan penelitian jaringan industri tersebut diatas adalah model jaringan industri disesuaikan dengan karakteristik wilayah kepulauan. Klasifikasi pelabuhan yang dipergunakan penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server/spoke) dan client (feeder).
Klasifikasi tersebut diatas mengacu pada
penelitian Israel dan Roque (2000) mengenai jaringan pelabuhan perikanan di Philipina. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 – Mei 2009 dengan empat pentahapan yaitu persiapan, pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan data dan penulisan disertasi.
Penelitian jaringan industri perikanan tangkap
3
dilakukan di Kabupaten Belitung – Propinsi Bangka Belitung meliputi Pulau Belitung yang difokuskan di PPN Tanjung Pandan, Pulau Mindanau difokuskan di PPI Selat Nasik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Sumedang dan pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu. Kelima lokasi tersebut diatas merupakan sentra industri perikanan tangkap yang utama di Kabupaten Be litung.
1.2
Perumusan Masalah
Sektor industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan menghadapi permasalahan laten yakni rendahnya keunggulan komparatif, praktek oligopoli dan atau oligopsoni yang merugikan nelayan dan rendahnya daya kompetitif. Salah satu sebabnya adalah jaringan industri perikanan tangkap tidak efisien yang ditandai dengan tingginya biaya transportasi. Ketidakefisienan jaringan industri terjadi karena karakteristik geografi pulaupulau kecil dan keterbatasan infrastruktur yang mengakibatkan terjadinya beberapa keterbatasan, yaitu: keterbatasan sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan, keterisolasian dan pasar (Gambar 1).
4
Masalah pembangunan perikanan tangkap
Karakteristik geografi pulau-pulau kecil
Rentan terhadap bencana
SDA terbatas
Wilayahnya luas
SDM terbatas
Keterbatasan infrastruktur
Letaknya menyebar
SDB terbatas
Biaya tinggi
Kapasitas rendah
Jaringan industri ya ng terindikasikan tidak efesien ditandai dengan tingginya biaya transportasi
Rendahnya keunggulan komparatif
Oligopoli atau oligopsoni
Rendahnya daya kompetitif
Gambar 1 Perumusan masalah
Guna meningkatkan efisiensi industri tersebut diatas, diperlukan suatu perbaikan jaringan industri melalui peningkatkan kapasitas wilayah-wilayah terpencil. Perbaikan jaringan industri yang dimaksud berupa pembentukan jaringan model HUB yang disesuaikan dengan kondisi geografi Indonesia. Model jaringan HUB yang dimaksud adalah membangun jaringan antar sentra industri yang sesuai dengan wilayah kepulauan dengan mengklasifikasikan sentra industri dalam 3 status, yakni: penyedia jasa utama, penyedia jasa antara (server / spoke) dan client / feeder sebagaimana diusulkan oleh Departemen Perhubungan pada tahun 2004 dan diteliti oleh Israel dan Rouge pada tahun 2000 di Philipina.
5
1.3
Tujuan
Penelitian ini mempunyai tujuan umum mengembangkan model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah pulau-pulau kecil yang efektif dan efisien. Tujuan umum ini dijabarkan kedalam 3 tujuan khusus, yaitu : (1)
Menentukan status sentra industri dalam mewujudkan jaringan industri perikanan tangkap yang efektif.
(2)
Menyusun model jaringan industri antar sentra industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan yang efisien.
(3)
Menyusun strategi pengelolaan perikanan tangkap di setiap sentra industri
1.4
Manfaat Manfaat penelitian ini adalah :
(1)
Referensi
bagi
ilmu
pengetahuan
dalam
mengembangkan
model
pembangunan regional industri perikanan di wilayah kepulauan. (2)
Alternatif model pembangunan industri perikanan nasional yang efektif dan efisien.
(3)
Merupakan acuan pembangunan industri perikanan di Kabupaten Belitung dalam mewujudkan program Etalase Kelautan dan Perikanan di Indonesia bagian Barat.
1.5
Kerangka Pikir Berdasarkan penelitian sebelumnya, sistem jaringan industri antar sentra
industri perikanan tangkap dipengaruhi oleh 5 sub sistem, yaitu: sumber komoditi (Slack 1993, Murphy dan Daley 1994, Song 2002 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005), lokasi pelabuhan (Ha 2003, Malchow dan Kanafani 2001 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005), fasilitas pelabuhan (Chen 1997, Cullinane 2002, Fung 2001 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005), jarak (Malchow dan Kanafani 2001, Zohil dan Prijon 1999 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005) dan biaya operasi (Tai dan Hwang 2001, Tai 2000, Wu 2000 yang diacu dalam Tai dan Hwang 2005). Terhadap 5 sub sistem dilakukan beberapa analisis, yaitu:
6
(1)
Subsistem sumber komoditi dilakukan analisis kapasitas dan aliran faktor input, kemandirian faktor input serta kapasitas dan aliran variabel faktor out put.
(2)
Subsistem lokasi pelabuhan dilakukan analisis terhadap kapasitas kapal perikanan.
(3)
Subsistem fasilitas pelabuhan perikanan dilakukan analisis pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan meliputidermaga, tempat pelelangan ikan, fasilitas BBM, pabrik es dan cold storage.
(4)
Subsistem jarak dilakukan analisis terhadap jarak dan waktu yang paling efisien.
(5)
Subsistem biaya transportasi dilakukan analisis biaya yang paling efisien. Hubungan
kelima subsistem tersebut diatas sangat kompleks sehingga
memerlukan harmonisasi guna mewujudkan sistem jaringan industri antar sentra industri perikanan tangkap yang efektif dan efisien. Sehubungan dengan hal itu perlu dilakukan pengkajia n mengenai sistem jaringan industri antar sentra industri perikanan tangkap secara komprehensif dengan mempertimbangkan seluruh sub sistem jaringan industri antar sentra industri perikanan tangkap tersebut (Gambar 2).
7
Sistem jaringan antar sentra industri perikanan tangkap
Sumber komoditi: -Faktor input -Variabel output
Lokasi pelabuhan : -Kapal perikanan
Subsistem
Analisis kapasitas dan aliran faktor input, kemandirian faktor input, kapasitas dan aliran variable out put
Fasilitas pelabuhan : -Dermaga -Tempat pelelangan ikan -Fasilitas BBM -Pabrik es -Cold storage
jaringan industri per
Analisis kapasitas kapal perikanan
ikanan tangkap yang
Analisis pelayanan pelabuhan perikanan
Instrumen
Jarak
Biaya operasi
utama
Analisis jarak, waktu
Analisis biaya transportasi variabel out put
analisis
Status pelabuhan perikanan dalam jaringan industri
Jaringan industri yang efektif dan efisien
Model jaringan industri perikanan tangkap yang efektif dan efisien
Gambar 2. Kerangka pikir 1.6
Hipotesis Konfigurasi jaringan industri menentukan tingkat efisiensi industri perikanan
tangkap yang diukur terhadap waktu dan biaya transportasi.
8
2
2.1
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 – Mei 2009 dengan
pentahapan sebagai berikut : (1) Persiapan dilakukan pada Oktober 2007 (2) Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan pada Nopember 2007 hingga Juni 2008 (3) Pengolahan data dilakukan pada Juli 2008 – Agustus 2008 (4) Penulisan disertasi dilakukan pada September 2008 – Mei 2009 Penelitian jaringan industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung – Propinsi Bangka Belitung meliputi Pulau Belitung yang difokuskan di PPN Tanjung Pandan, Pulau Mindanau difokuskan di PPI Selat Nasik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik, pangkalan kapal perikanan di Pulau Sumedang dan pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu (Gambar 3). Pangkalan kapal perikanan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah konsentrasi tambat labuh kapal perikanan yang merupakan sentra industri perikanan tangkap namun dari segi infrastruktur belum masuk dalam klasifikasi pelabuhan perikanan.
Kelima lokasi tersebut diatas
merupakan sentra industri perikanan tangkap yang utama di Kabupaten Belitung. 2.2 Peralatan Pendukung Ketersediaan alat pendukung merupakan hal yang sangat diperlukan dalam melakukan penelitian.
Pada penelitian ini peralatan yang digunakan diantaranya
kuisioner sebagai pedoman pengump ulan data, alat tulis, alat ukur, seperangkat computer untuk rekapitulasi dan analisis data dan kamera untuk kepentingan dokumentasi penelitian.
107o BT
Pulau Mendanau PPI Selat Nasik (LP2)
Pulau Belitung PPN Tanjung Pandan (LP1)
Pulau Gersik (LP3) 3o LS
Pulau Seliu (LP5)
Skala : 1:12.500 Pulau Sumedang (LP4)
Gambar 3
Peta Pulau Belitung dan lokasi penelitian (Sumber : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah - Kab. Belitung)
Keterangan : LP 1: PPN Tanjung Pandan, sentra industri perikanan tangkap di Pulau Belitung (02o44’45’’LS; 107o37’41’’BT) LP 2: PPI Selat Nasik, sentra industri perikanan tangkap di PulauMindanau (02 o49’55’’LS; 107o24’55’’BT) LP 3: Pangkalan kapal perikanan di Pulau Gersik (03 o00’20’’LS; 107o16’17’’BT) LP 4: Pangkalan kapal perikanan di Pulau Sumedang (03o19’60’’LS; 107o12’41’’BT) LP 5: Pangkalan kapal perikanan di Pulau Seliu (03o13’13’’LS; 107o31’47’’BT)
2.3 Metode Penelitian Penelitian model jaringan industri perikanan tangkap dilakukan dalam 3 tahap, yaitu: (1) Penentuan status pelabuhan perikanan (sebagai suatu sentra industri) yang dilakukan dengan analisis MCA tahap pertama dan analisis TOPSIS (2) Penentuan model jaringan industri perikanan terpilih yang dilakukan dengan analisis mnimalisasi waktu tempuh dan biaya transportasi variabel output. (3) Perumusan strategi pembangunan industri perikanan tangkap yang dilakukan dengan analisis efisiensi teknik dan analisis Danmark Teori (Gambar 4). Analisis parameter model industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan dilakukan dengan analisis Nested Multi Criteria Analysis (NMCA). Nested Multi Criteria Analysis yaitu analisis MCA dalam dua tahap dimana analisis MCA kedua
10
merupakan bagian dari analisis MCA pertama. Analisis NMCA adalah salah satu cara pengambilan keputusan yang didasari beberapa parameter dan memiliki beberapa alternatif. Penentuan status pelabuhan perikanan ditentukan berdasarkan analisis MCA tahap pertama dan analisis TOPSIS. Analisis MCA pertama dilakukan terhadap 4 parameter yaitu indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan (IPFP), indeks kapasitas kapal perikanan (IKAPI), indeks kemandirian (IK) dan kapasitas sentra industri (KSI). Score keempat parameter di atas, dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan analisis Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Solution yang disingkat dengan TOPSIS (Li dan Xie 2006).
Berdasarkan kedua analisis
tersebut diatas kemudian ditentukan status sentra industri sebagai sentra pelayanan jasa utama, sentra pelayanan jasa antara (server/spoke) dan client/feeder. Perumusan jaringan industri perikanan diawali dengan melakukan optimasi model melalui analisis minimalisasi jarak. Analisis minimalisasi jarak adalah teknik analisis untuk mendapatkan jarak yang paling minimal melalui teknik penyapuan. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan jarak antar sentra industri yang paling minimal. Model jaringan industri perikanan tangkap terpilih diuji dengan analisis MCA tahap kedua. MCA tahap kedua yang dilakukan terhadap jaringan industri yang ada sekarang (existing model) dan alternatif model jaringan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan. Parameter yang dianalisis pada MCA tahap dua adalah waktu tempuh dan biaya transportasi. Terhadap
model
terpilih
kemudian
dilakukan
perumusan
strategi
pembangunan industri perikanan di wilayah kepulauan dengan melakukan analisis efisiensi teknik (TE) relatif dan analisis Danmark teori. Teknis efisiensi relatif adalah pengukuran produktifitas relatif kapal perikanan suatu sentra industri terhadap sentra industri lainnya. Sedangkan Danmark teori adalah suatu teori pembangunan industri perikanan di Danmark yang menggunakan diagram kartesius dimana sumbu ordinat merupakan aktivitas pembangunan dan sumbu absis merupakan pengawasan.
11
Nested Multi Criteria Analysis (NMCA) yaitu analisis yang terdiri dari 2 tahapan analisis MCA
Analisis MCA tahap I meliputi berdasarkan : Ø Indeks Pelayanan Fasilitas Pelabuhan Perikanan (IPFP) Ø Indeks Kapasitas Kapal Perikanan (IKAPI) Ø Indeks Kemandirian (IK) Ø Kapasitas Sentra Industri (KSI)
Analisis MCA tahap I dan analisis TOPSIS dilakukan klasifikasi status sentra industri perikanan tangkap
Optimasi Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan melalui analisis minimalisasi jarak dengan teknik penyapuan yang berpatokan pada status pelabuhan perikanan
Analisis MCA tahap II: perbandingan jaringan industri yang ada sekarang dan alternatif model terhadap parameter waktu tempuh dan biaya transportasi
Model Jaringan Industri Perikanan Tangkap di Wilayah Kepulauan
Analisis efisiensi teknik (TE) relatif kapasitas sentra industri dan analisis Danmark teori
Strategi pengelolaan perikanan tangkap di wilayah kepulauan
Gambar 4 Diagram metode penelitian
12
2.4 Metode Analisis
2.4.1
Penetapan status sentra industri perikanan tangkap Penetapan status dilakukan dengan analisis Multi Criteria Analysis (MCA)
tahap pertama dan analisis TOPSIS.
Parameter yang diukur meliputi: indeks
pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan, indeks kapasitas kapal perikanan, indeks kemandirian dan kapasitas sentra industri.
Asumsi yang dipergunakan adalah
keempat parameter tersebut diatas mempunyai bobot yang sama dalam penentuan status pelabuhan perikanan.
2.4.1.1 Indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan Indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan (IPFP) adalah ukuran ketersediaan fasilitas prasarana pada sentra industri perikanan tangkap. Prasarana yang diukur meliputi fasilitas pokok, yaitu: dermaga, tempat pelelangan ikan (TPI), fasilitas BBM, pabrik es dan fasilitas penunjang berupa cold storage. Formula untuk menghitung indeks pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan adalah : 5
IPFPi = ? Iij j=1
dimana : IPFP i Iij X ij Bj nj n i j
Iij = Xij Bj
Bj = nj / n
= index pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan lokasi i = nilai IPFP lokasi ke-i prasarana ke-j = volume prasarana j pada lokasi i = bobot prasarana j = jumlah prasarana j = jumlah prasarana. = lokasi = jenis prasarana
2.4.1.2 Indeks kapasitas kapal perikanan Indeks kapasitas kapal perikanan (IKAPI) adalah ukuran kapasitas kapal perikanan pada sentra industri perikanan tangkap dalam melakukan proses produksi. Kapal perikanan yang diamati dibatasi hanya pada kapal perikanan yang melakukan
13
kegiatan penangkapan ikan.
Kapasitas kapal perikanan diukur berdasarkan daya
tampung rata-rata palka. Tiga jenis kapal yang dijadikan pengamatan adalah kapal perikanan yang berukuran kurang dari 5 GT dengan rata-rata kapasitas palka sebesar 1,2 ton, kapal yang berukuran antara 5 sampai 10 GT dengan rata-rata kapasitas palka sebesar 2 ton dan kapal yang berukuran di atas 10 GT dengan rata-rata kapasitas palka sebesar 4 ton. Formula untuk menghitung indeks kapasitas kapal perikanan adalah: 3
IKAPIi = ?
J ik
k=1
dimana : IKAPIi J ik Yi k Ck mk m i k
Jik = Yik Ck
C k = mk / m
= index kapasitas kapal perikanan pada lokasi i = nilai IKAPI lokasi ke-i kapal perikanan ke k = Jumlah kapal perikanan k pada lokasi i = bobot sarana k = volume palka kapal perikanan jenis k = volume palka maksimal kapal perikanan yang diamati = lokasi = jenis kapal perikanan
2.4.1.3 Indeks kemandirian Indeks kemandirian (IK) adalah ukuran ukuran kemampuan sentra industri perikanan tangkap untuk memenuhi kebutuhan faktor input sendiri. Faktor input yang dianalisis adalah BBM dan es. Nilai ini diukur berdasarkan proporsi (%) faktor input, yaitu dengan rumus: 2
IK i = ?
IK il
l=1
IK il = dimana: IKi IKil Il Dl i l
Il / Dl
= tingkat kemandirian lokasi ke -i = tingkat kemandirian asupan l pada lokasi ke-i = volume pasokan faktor asupan l = volume kebutuhan faktor asupan l = lokasi = jenis faktor asupan
14
2.4.1.4 Kapasitas sentra industri Kapasitas sentra industri (KSI) adalah volume ikan yang diproduksi dari suatu sentra industri. KSI dihitung dengan rumus sebagai berikut : n
KSIi = ?
Xio
o=1
dimana: KSI i Xo i o
= kapasitas sentra industri ke-i = volume ikan o yang dihasilkan lokasi ke-i = lokasi = jenis ikan
2.4.1.5 Status sentra industri perikanan tangkap Penentapan status sentra industri perikanan tangkap diawali dengan penetapan score untuk keempat parameter di atas. Score setiap parameter berkisar mulai dari 0 hingga 1. Rumus untuk menghitung score tersebut adalah: Score ai
ai – min (a) = ————————— Maks (a) –min (a)
dimana: a = nilai indeks
Kemudian dilakukan analisis technique for order preference by similarity to ideal solution (TOPSIS) untuk mendapatkan ranking sentra industri perikanan tangkap dengan nilai yang ideal. Adapun analisis TOPSIS dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: (1) Menentukan matrik kriteria alternatif sebagai baris dan kolom
Aij =
a11 a21 a31
a12 a22 a32
a13 a23 a33
a14 a24 a34
... ... ...
a1n a2n a3n
am1
am2
am3
am4
...
amn
dimana : aij = score untuk indeks i pada lokasi j i = indeks j = lokasi
15
(2)
Normalisasi matrik A dengan dengan formula : m
rij
= a ij
? a
ij
2
,
i=1
(3)
i = 1, 2, 3, ..., m j = 1, 2, 3, ..., n
Menentukan ranking yang terbobot (weighted normalized rating) yakni : Vij
= w j r ij
; i = 1,2,3,... ,m j = 1,2,3,...,n
(4)
Identifikasi alternatif ideal dan non ideal melalui formula : A* = { ( maks Vij ¦ j e J1 ), (min Vij ¦ j e J2 ), ¦ i = 1, 2, 3, ..., m}} = {V1 *, V2 *, ..., Vn *} A- = { ( min Vij ¦ j e J1 ), (maks Vij ¦ j e J2 ), ¦ i = 1, 2, 3, ..., m}} = {V1 -, V 2 -, ..., Vn-}
(5)
Menghitung Euclidean distance dengan solusi ideal melalui formula : n S* = ( ? ( V ij – Vj*)2 , i = 1, 2, 3,..., m J=1 n S = ( ? ( V ij – Vj-)2 , i = 1, 2, 3, ..., m J=1 -
(6)
Menghitung „relative closeness“ melalui : C i * = Si- / ( S i* + Si-), i = 1, 2, 3, …, m dimana 0 < Ci* < 1
Status sentra industri ditetapkan berdasarkan score MCA dan ranking hasil analisis TOPSIS.
Sentra industri yang mendapatkan nilai tertinggi ditetapkan
sebagai penyedia jasa utama. Sentra industri yang mempunyai nilai positif pada parameter IPFP dan IKAPI ditetapkan sebagai penyedia jasa antara. Sentra industri yang mempunyai nilai rendah pada keempat parameter diatas ditetapkan sebagai client (Tabel 1).
16
Tabel 1 Status sentra industri perikanan tangkap Status Penyedia jasa utama Server Client
2.4.2
Kriteria Nilai tertinggi Nilai positif pada IPFP dan IKAPI Nilai rendah
Optimasi model Optimasi model dilakukan berdasarkan analisis minimalisasi jarak dengan
teknik penyapuan terhadap 3 alternatif jaringan industri yaitu peningkatan kapasitas jaringan industri yang ada, optimalisasi jaringan industri yang ada dan pengembangan jaringan industri berdasarkan status sentra industri.
Analisis minimalisasi jarak
adalah salah satu teknik dalam pengambilan keputusan untuk mendapatkan alternatif yang paling efesien (Mulyono 1999).
Teknik penyapuan dilakukan dengan
mengurangi setiap elemen matriks baris dan kolom terhadap elemen matriks terendah sehingga pada baris atau kolom terdapat elemen matriks dengan nilai nol. Analisis minimalisasi jarak dilakukan dengan membuat matriks dimana kolom vertikal merupakan pelabuhan perikanan asal dan horizontal merupakan tujuan. Berdasarkan status pelabuhan perikanan disusun berupa matriks 2 kali 2 dimana 2 pelabuhan perikanan tujuan (server) dan 2 pelabuhan perikanan sumber bahan baku (client). Elemen matriks adalah jarak antar pelabuhan perikanan sumber bahan baku dengan daerah tujuan. Jarak diukur berdasarkan alur pelayaran yang dipergunakan oleh kapal pengangkut variabel output.
2.4.3
Model terpilih Penetapan model terpilih dilakukan dengan melakukan analisis waktu tempuh
dan analisis biaya transportasi variable output.
2.4.3.1 Waktu tempuh Waktu tempuh dalam analisis ini didefinisikan sebagai total waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mengangkut hasil produk dari satu sentra industri ke sentra industri lainnya dalam suatu aliran yang tercermin pada model jaringan industri. Waktu tempuh dihitung berdasarkan rumus berikut:
17
n
Min Tp = ? S r / V r=1
Keterangan Tp Sr V p r
: = total waktu tempuh alternatif model p = jarak jalur r (jalur pelayaran tradisional) = kecepatan rata-rata kapal angkut (dengan spesifikasi 15 GT, 60 HP, 6,762 knot) = model = jalur
2.4.3.2 Biaya transportasi Biaya transportasi adalah biaya yang diperlukan untuk memindahan suatu barang/komoditi dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dalam penelitian ini dibatasi hanya pada biaya transportasi yang dikeluarkan untuk mengangkut variabel output dari suatu sentra industri di suatu pulau ke pulau lainnya. Biaya transportasi terdiri dari biaya penyewaan kapal, pembelian es untuk pengawetan ikan, dan ongkos kuli angkut. Biaya transportasi ini dihitung dengan rumus : n Min TCp = ? Q i TC r r=1 ATCp = TC p / Q / Tp Keterangan : TCp Qi TCr Q ATCp Tp i p r
= total biaya transportasi model p (Rp) = volume ikan yang diangkut dari lokasi i (ton) = biaya transportasi jalur r (Rp) = total produksi = biaya transportasi rata-rata model p per jam (Rp/ton/jam) = waktu tempuh model p = lokasi sentra industri = model jaringan industri (model sekarangdan model alternatif) = jalur
2.4.4. Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap di sentra-sentra produksi Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap di sentra-sentra produksi dilakukan dengan analisis efisiensi teknik dan analisis Danmark Teori. 2.4.4.1 Analisis efisiensi teknik Analisis strategi pembangunan industri perikanan di wilayah kepulauan diawali dengan analisis efisiensi teknik (TE) relatif. TE relatif adalah tingkat efisiensi kapasitas kapal perikanan pada suatu pelabuhan perikanan dibandingkan dengan kapasitas kapal perikanan pada pelabuhan perikanan lainnya. TE kapal perikanan
18
diukur berdasarkan produksi yang dihasilkan dibagi kapasitas kapal perikanan dengan formula sebagai berikut (Fauzi dan Anna 2005) : TEi
= E i / Ei max
Yi Ei max = ——————— Xi dimana : TE Ei Yi Xi i
= efisiensi teknik relatif kapasitas kapal perikanan dapa suatu pelabuhan perikanan = produktifitas kapal perikanan pada lokasi i = jumlah keluaran pada lokasi i = kapasitas kapal perikanan pada lokasi i = lokasi
2.4.4.2 Analisis Danmark teori Analisis Danmark et ori yaitu suatu strategi untuk merumuskan
kebijakan
perikanan berdasarkan kebijakan pembangunan dan kebijakan regulasi. Kebijakan pembangunan adalah serangkaian keputusan-keputusan mengikat yang diambil oleh pemegang otorisasi dalam memanfaatkan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan demi peningkatan kesejahteraan manusia. regulasi adalah
Kebijakan
serangkaian keputusan-keputusan mengikat yang diambil oleh
pemegang otorisasi dalam mengatur pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan agar tidak menimbulkan dampak negatif. Kedua jenis kebijakan tersebut diplotkan dalam sebuah diagram Cartesius. Ordinat diagram adalah
kebijakan pembangunan dan absis diagram adalah kebijakan regulasi
(Christensen 2004).
Kombinasi berbagai nilai dari kebijakan pembangunan dan
kebijakan regulasi menghasilkan strategi pengelolaan perikanan tangkap (Tabel 2 ).
19
Tabel 2
Diagram Cartesius Danmark teori Koordinasi antar dinas & peningkatan kapasitas
Optimisasi manfaat sosial
Sinkronisasi kebijakan
Penggunaan instrumen ekonomi untuk input & output
Pengembangan pusat ekonomi perikanan
Penguatan penegakan hukum
Penerapan sistim perizinan perikanan yang efisien
Rasionalisasi Alat tangkap
Pengembangan infrastruktur perikanan
Promosi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dari aspek lingkungan
Optimisasi manfaat budaya
Mobilisasi sumber pendanaan
Pengendalian sumber-sumber overfishing & overcapacity lainnya
Penerapan kebijakan fiskal perikanan yg kondusif
Pengendalian
Pembangunan
Pemanfaatan dan pembaruan infr a struktur perikanan di daerah padat dan non padat
Pembangkitan produk perikanan non konsumtif dalam pengembangan budaya
Optimisasi manfaat lingku ngan
Optimisasi biaya lingkungan
Penguatan norma lokal (sangsi & pahala)
Rasionalisasi tata ruang wilayah pesisir
Pencegahan
Pemantauan
Penguatan sistem pemantauan IUU
Pemantauan kapasitas perikanan yang terintegrasi
Koordinasi antar dinas & peningkatan kapasitas
Optimisasi biaya budaya
Promosi & sosialisasi "green catch"
Penggunaan alat tangkap destruktif
Pengembangan sistem monitoring
Penyusunan basis data perikanan secara menyeluruh
Sinkronisasi kebijakan
Optimisasi biaya ekonomi
UU Fishing (Illegal, unregu lated, unreported)
Penyebaran informasi kondisi perikanan yang up to date
Penguatan penegakan hukum
Optimisasi biaya sosial
Mobilisasi sumber pendanaan
20
Optimisasi manfaat ekonomil
Diagram strategi tersebut terdiri dari 4 kuadran yang pembagiannya berdasarkan pada nilai efisiensi tehnik TE (Tabel 3). Kuadran I adalah strategi pengembangan industri disertai dengan pemantauan terhadap efek negatif terhadap sumber daya ikan, kuadran II adalah strategi pengembangan industri disertai pengendalian untuk mencegah degradasi sumber daya ikan, kuadran III adalah strategi penguatan industri disertai pencegahan degradasi sumber daya alam, dan kuadran IV adalah stategi penguatan industri disertai dengan pemulihan sumber daya ikan,
Analisis Danmark dilakukan terhadap setiap sentra industri perikanan
tangkap.
Tabel 3
2.5
Pembagian kuadran diagram kartesius Danmark teori Kuadran
Nilai TE
Kebijakan
I
0,75 - 1
II
0,50 – 0,75
III
0,25 – 0,50
IV
0,00 – 0,25
Industri perikanan tangkap diarahkan pada pengembangan industri perikanan tangkap yang disertai dengan kebijakan pemantauan terhadap degradasi sumber daya ikan Industri perikanan tangkap diarahkan pada pengembangan industri perikanan tangkap namun disertai dengan kebijakan pengendalian terhadap degradasi sumber daya ikan Industri perikanan tangkap diarahkan pada penguatan (establishing) industri perikanan tangkap namun disertai dengan kebijakan pencegahan degradasi sumber daya ikan Industri perikanan tangkap diarahkan pada penguatan (establishing) industri perikanan tangkap namun diisertai dengan kebijakan pemantauan pemulihan sumber daya ikan
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian didasari dengan metode survei. Metode surve i
sangat tepat digunakan karena kajian tentang jaringan industri membutuhkan
21
tinjauan langsung mengenai keadaan aktual dari berbagai pelaku (stakeholder) yang terlibat dalam sistem bisnis perikanan. Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui mekanisme pengamatan langsung terhadap aktivitas perikanan serta wawancara dengan pelaku bisnis perikanan yang dikelompokan dalam 4 kelompok, yaitu: pembina nelayan, nelayan, penguasaha pengangkutan ikan dan pengolah hasil perikanan. Wawancara dilak ukan terhadap 3 pembina nelayan di masing – masing lokasi penelitian, 32 nelayan kapal penangkap ikan dengan kapasitas = 7 10 GT, 3 pengusaha pengangkut hasil perikanan dan 6 pengolah hasil perikanan (cold storage).
Informasi keterlibatan pelaku bisnis perikanan berikut
data yang dikumpulkan dari masing- masing sampel disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Data primer yang dikumpulkan selama penelitian No 1 Produksi 1
2
Pelaku bisnis perikanan 2
Jumlah sampel 3
Pembina nelayan
15
Nelayan
32
Pengolahan dan pemasaran 1 Pengusaha cold storage
6
Uraian data yang dikumpulkan 4
Teknik pengumpulan data 5
Kepemilikan kapal Jumlah kapal dan nelayan binaan Mekanisme pembiayaan Bagi hasil usaha Biaya operasional Biaya tetap Spesifikasi teknis unit penangkapan a.Ukuran, bahan dan alat tangkap b.Bobot kapal dan permesinan c.Metode operasi d.Lama trip dan jumlah trip per tahun e.Jumlah ABK Biaya operasional Pendapatan ABK Bagi hasil Proses penanganan
Wawancara
Mekanisme pengumpulan bahan baku Mekanisme pembayaran Spesifikasi produk yang diolah Kapasitas Daerah pemasaran Komponen biaya Produksi Pendapatan per tahun
Wawancara
22
Pengukuran dan Wawancara
1 2
2 Pengusaha pengangkutan ikan
3 3
4 Spesifikasi teknik kapal a.Bobot kapal b.Kapasitas c.Lama trip d.Jumlah trip per tahun Biaya tarif angkut Mekanisme pembayaran Biaya operasional Bagi hasil Pendapatan ABK
5 Wawancara
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan cara penelusuran pustaka dari suatu sumber publikasi. Data sekunder yang dikumpulkan berupa laporanlaporan resmi yang dipublikasikan atau yang tidak dipublikasikan meliputi: (1)
Geofisik, demografi, jumlah kapal, produksi yang diperoleh dari Belitung Dalam Angka Tahun 2000 – 2006 - Badan Pusat Statistik
(2)
Produk Domestik Bruto Kabupaten Belitung Tahun 2005 dan 2006
(3)
Rumah tangga nelayan, kapal dan alat tangkap, produksi, sarana dan prasarana 2001 – 2005
(4)
Kebutuhan solar dan jumlah kapal Tahun 2003
(5)
Data bulanan pengiriman ikan Kabupaten Belitung 2006 dan 2007
(6)
Infrastruktur dan produksi ikan Pelabuhan Perikanan Nusantara – Tanjung Pandan
23
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1
Hasil
3.1.1
Jaringan industri yang ada (existing model) Gambaran eksisting jaringan industri diformulasikan berdasarkan data sekunder
dan data primer berupa hasil wawancara dengan pelaku usaha. jaringan industri faktor output
Gambaran eksisting
merupakan model pembanding pada analisis waktu
tempuh dan biaya transportasi.
3.1.1.1 Jaringan faktor input dan variabel output Industri perikanan tangkap yang masih berpusat di PPN Tanjung Pandan Tanjung Pandan – Pulau Belitung. Hampir 90 % lebih faktor input 12 sentra industri berasal dari kota Tanjung Pandan di Pulau Belitung (Gambar 5). Pasokan ada yang dibeli dari pasar secara perorangan atau kelompok, atau dapat diperoleh dari toko-toko pembina nelayan. K ios pembina nelayan menyediakan kebutuhan bahan pokok, kebutuhan biaya hidup. Sedangkan BBM juga disediakan oleh pembina nelayan dengan mengeluarkan direct order (DO) yang dapat diganti pada SPBN di PPN Tanjung Pandan. Hampir 80 persen ikan yang diproduksi oleh 12 sentra industri perikanan yang ada di Kabupaten Belitung dijual melalui Pulau Belitung. Penjualan dilakukan secara penjualan langsung di pasar-pasar lokal, pelelangan atau ke cold storage milik pembina nelayan (Gambar 5).
107
o
BT
Tanjung Pandan PPI Selat Nasik
P Gersik
3o LS
P Seliu
Skala 1:12.500 P Sumedang
Gambar 5. Aliran faktor input dan variabel output
3.1.1.2 Jaringan pemasaran regional dan ekspor
Sebahagian produksi ikan dijual ke Kabupaten-Kabupaten di Pulau Bangka, ke propinsi lain yaitu Sumatera Selatan, Lampung, Jakarta dan ekspor ke Singapura melalui Pulau Belitung de ngan pusatnya di PPN Tanjung Pandan. Namun apabila produksi melimpah, produksi ikan Pulau Gersik dijual langsung ke Pulau Bangka dan produksi ikan Pulau Sumedang dijual langsung ke Jakarta (Gambar 6). Pasar
Sentra industri perikanan tangkap
Pulau Belitung: Tanjung Binga Keciput Tanjung Pandan Sungai Samak Pegantungan Lassar Tanjung Rusa
Regional: Bangka Batam Palembang Lampung Jakarta Pontianak
Pulau Mendanau Pulau Seliu
Ekspor: Singapura
Pulau Sumedang
Pulau Gersik
Gambar 6. Aliran variabel output pemasaran regional dan ekspor 25
Lima perusahaan yang aktif melakukan ekspor ikan beku yaitu CV Wadah Lautan Makmur, PT Nelayan Indah Mandiri, CV Laut Jaya, PT Eka Lancar Mandiri dan PT Serikat Indo Makmur. Negara tujuan ekspor adalah Singapura. 3.1.2
Status sentra industri Hasil penelitian dengan menggunakan analisis MCA menunjukkan bahwa Pulau
Belitung dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan ditetapkan sebagai pelabuhan perikanan dengan status penyedia jasa utama karena mendapatkan total score tertinggi yaitu 4 pada analisis MCA dan merupakan rangking pertama pada analisis TOPSIS (Tabel 5 dan Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa prasarana, jumlah kapal perikanan, pasokan faktor input dan jumlah ikan yang didaratkan merupakan sentra industri terbaik, terle ngkap dan terbanyak produksi ikannya dibandingkan dengan 4 sentra di empat pulau lainnya Tabel 5
Nilai IPFP, IKAPI, IK dan KSI sentra industri perikanan tangkap di Kab. Belitung. IPFP
IKAPI
IK
KSI
Belitung
1,00
1,00
1,00
1,00
Sumedang
0,04
0,00
0,00
0,00
Seliu
0,04
0,04
0,00
0,06
Mendanau
0,07
0,31
0,04
0,30
Gersik
0,00
0,04
0,00
0,06
Tabel 6 Ranking
Ranking dan status sentra industri perikanan tangkap di Kab. Belitung Sentra industri
Random utility value
Nilai IPFP dan IKAPI
Status
1
Belitung
1.00000
Tertinggi
Penyedia jasa utama
2
Mendanau
0.20462
Positip
Penyedia jasa antara Penyedia jasa antara
3
Seliu
0.04046
Positip
4
Gersik
0.03484
0
Client
5
Sumedang
0.02020
0
Client
Pulau Sumedang mendapatkan score 0,04 pada analisi MCA, score 0 pada parameter IPFP dan IKAPI, ranking terendah pada analisis TOPSIS.
Kondisi ini
menandakan bahwa kapasitas sentra industri perikanan tangkap di Pulau Sumedang
26
merupakan yang terkecil dibandingkan 4 sentra industri lainnya. Analisis tersebut diatas menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Sumedang mempunyai status sebagai client/feeder. Pulau Seliu merupakan sentra industri perikanan tangkap yang mendapatkan score positip pada parameter IPFP dan IKAPI yaitu masing- masing sebesar 0,04 dan 0,04 dengan ranking ke 3 dalam analisis TOPSIS.
Hasil analisis tersebut diatas
menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Seliu mempunyai status sebagai penyedia jasa antara (server/spoke). Rendahnya nilai IKAPI dan KSI sentra industri ini menunjukkan kapasitas kapal perikanan dan ikan yang didaratkan kecil. Nilai nol parameter IK menandakan pasokan faktor input sentra industri ini tergantung pada pasokan dari Pulau Belitung. Pulau Mendanau yang merupakan pulau terbesar nomor 2 di Kabupaten Belitung mendapatkan score positip pada analisis MCA pada parameter IPFP dan IK, menempati ranking ke dua pada analisis TOPSIS. Analisis tersebut menunjukkan bahwa sentra industri perikanan tangkap Pulau Mendanau berfungsi sebagai penyedia jasa antara (server/spoke).
Rendahnya score IPFP menunjukkan pelayanan fasilitas pelabuhan
perikanan Pulau Mendanau sangat minim. Demikian juga halnya dengan rendahnya score IK menunjukkan bahwa pasokan faktor input Pulau Mendanau masih sangat tergantung pada Pulau Belitung. Analisis MCA dan TOPSIS menyimpulkan bahwa sentra industri perikanan tangkap di Pulau Gersik berfungsi sebagai client/feeder karena mendapatkan score nol pada parameter IPFP dan IK, serta menempati ranking ke 4.
Nilai nol pada parameter IPFP
menunjukkan bahwa Pulau Gersik belum memiliki pelayanan fasilitas pelabuhan perikanan. Sedangkan score nol pada parameter IK menunjukkan bahwa seluruh faktor input dipasok dari Pulau Belitung. 3.1.3
Alternatif jaringan industri
Alternatif jaringan industri perikanan tangkap dilakukan dengan formulasi alternatif model, analisis waktu tempuh dan biaya transportasi variabel output.
27
3.1.3.1 Formulasi alternatif model
Formulasi alternatif model dilakukan dengan membuat 3 skenario pengembangan sektor perikanan tangkap. Skenario pertama adalah meningkatkan kapasitas PPI Selat Nasik untuk menjadi server bagi seluruh sentra industri perikanan di pulau-pulau kecil (tidak termasuk pulau utama) yang selanjutnya disebut dengan model A (Gambar 7). Skenario kedua adalah mengoptimalkan PPI Selat Nasik untuk menjadi server bagi sentra industri perikanan di Pulau Gersik yang selanjutnya disebut dengan model B (Gambar 8). Skenario ketiga adalah memfungsikan sentra industri sesuai dengan statusnya dalam jaringan industri yang selanjutnya disebut dengan model C (Gambar 9). 107 o BT
107 o BT
Tanjung Pandan
Tanjung Pandan
PPI Selat Nasik
PPI Selat Nasik
P Gersik
P Gersik
3o LS
3o LS
P Seliu
P Seliu
Skala 1:12.500
Skala 1:12.500 P Sumedang
Gambar 7 Model A
P Sumedang
107 o BT
Tanjung Pandan PPI Selat Nasik
P Gersik
3o LS
P Seliu
Skala 1:12.500 P Sumedang
Gambar 9 Model C
28
Gambar 8 Model B
3.1.3.2 Optimasi model
Optimasi model dilakukan dengan analisis minimalisasi jarak berdasarkan status sentra industri seperti yang tertuang dalam Tabel 7. Tabel 7. Jarak antar pelabuhan perikanan Asal (client)
Tujuan (server) Pulau Mendanau (PPI Selat Nasik)
Pulau Seliu
Pulau Gersik
15
0
30
15
Pulau Sumedang
45
30
15
0
Berdasarkan tabel diatas, disimpulkan: (1)
Pulau Gersik (client) mempunyai jarak terdekat dengan Pulau Mendanau sehingga produksi ikan dari Pulau Gersik akan langsung dikirim langsung ke Pulau Mendanau
(2)
Pulau Sumedang (client) mempunyai jarak terdekat dengan Pulau Seliu sehingga produksi ikan dari Pulau Sumedang akan langsung dikirim langsung ke Pulau Seliu Berdasarkan kesimpulan analisis minimalisasi jarak diatas, diperoleh
model
terpilih yaitu: Pulau Belitung dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan berstatus sebagai penyedia jasa utama (main server) berinteraksi langsung dengan 2 server
(Pulau
Mendanau dan Pulau Seliu) dimana server yang berinteraksi langsung dengan 1 client lain (Pulau Mendanau berstatus sebagai server yang melayani Pulau Gersik dan Pulau Seliu berstatus sebagai server yang melayani Pulau Sumedang) (Gambar 10). jaringan industri terpilih tersebut sesuai dengan model C.
29
Model
107 o BT
Tanjung Pandan PPI Selat Nasik
P Gersik
3o LS
P Seliu
Skala 1:12.500 P Sumedang
Gambar 10
Model C jaringan industri perikanan tangkap: Kota Tanjung Pandan sebagai main server yang berinteraksi langsung dengan 2 server dan satu server melayani satu client
3.1.3.3 Analisis waktu tempuh dan biaya transportasi Analisis MCA tahap kedua dilakukan terhadap kedua model, yaitu: eksisting model (Gambar 5) dan model C (Gambar 10) dengan parameter total waktu tempuh dan biaya transfer dengan hasil sebagai berikut:
3.1.3.2.1
Jaringan industri yang ada (eksisting model)
Pada model jaringan industri yang ada sekarang (Point 3.1.1.1), produksi hasil tangkapan di transportasikan secara langsung dari masing- masing pelabuhan perikanan (sentra industri) ke penyedia jasa utama. Variabel ouput yang ditransportasikan selama setahun dari sentra produksi ke pelabuhan penyedia jasa utama pada tahun 2007 berjumlah 17. 531, 09 ton dengan biya transportasi senilai Rp. 23.452.470.680,-. Biaya transportasi rata-rata
Rp 1.337.764,55. Total waktu tempuh yang dibutuhkan
mengangkut variabel produksi dari sentra industri yang tersebar di 4 pulau ke penyedia jasa utama adalah 20,999 jam (Tabel 8). Waktu tempuh eksisting model merupakan waktu tempuh terlama yang mengindikasikan jaringan industri belum efisien.
30
Tabel 8 Route, volume, waktu tempuh dan biaya transportasi eksisting model No
Route
Volume (Ton)
Waktu tempuh (Jam)
Biaya (Rp)
1
P.Mendanau – P. Belitung
8.429,75
2,218
9.626.774.500
2
P. Gersik – P. Belitung
3.458,08
4,732
5.432.643.680
3
P. Seliu – P. Belitung
3.429,97
6,655
4.630.459.500
4
P. Sumedang – P. Belitung
2.213,29
7,394
3.762.593.000
17.531,09
20,999
23.452.470.680
Total
3.1.3.2.2 Model C
Pada model C, produksi dari semua sentra industri yang berstatus client terlebih dahulu dikumpulkan di penyedia jasa antara (server) terdekat sebelum ditransportasikan lebih lanjut ke Pulau Belitung (penyedia jasa utama).
Biaya transportasi yang
dipergunakan pada model C mencapai Rp 27,806,246,860,- dengan biaya transportasi rata-rata sebesar Rp 1.586.110,55 per ton. Total waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mengangkut variabel output dari seluruh sentra industri ke penyedia jasa utama adalah 13,309 jam (Tabel 9).
Tabel 9 Route, volume, waktu tempuh dan biaya transportasi model C No
Route
1
P. Mendanau – P.Belitung
2
Volume (Ton)
Waktu tempuh (Jam)
Biaya (Rp)
11,887.83
2,218
13,575,901,860.00
P. Gersik – P.Mendanau
3,458.08
2,218
4,841,312,000.00
3
P. Sumedang – P.Seliu
2,213.29
2,218
1,770,632,000.00
4
P. Seliu – P. Belitung
5,643.26
6,655
7,618,401,000.00
13,309
27,806,246,860.00
Total
-
3.1.3.2.3 Model Terpilih
Model terpilih ditentukan berdasar biaya terendah setelah dilakukan pembobotan terhadap waktu tempuh sebagaimana tertuang dalam Tabel 10.
31
Tabel 10
Model
Eksisting
Biaya transportasi rata-rata jaringan industri perikanan tangkap di Kabupaten Belitung Total waktu tempuh (jam) 20,999
C Jumlah
Biaya rata-rata biaya transfer (Rp/ton)
Biaya transportasi per tahun (Rp)
13,309 34,308
23.452.470.680
1.337.764,55
27.806.246.860
1.586.110,55
Bobot waktu tempuh
Biaya transfer ratarata (Rp/ton/jam)
0,612
818.711,90
0,388
615.410,89
Berdasarkan analisis tersebut ditentukan bahwa model C
merupakan model
dengan biaya transportasi yang rendah, yaitu Rp 615.410,89 /ton /jam. Perbedaan nyata waktu tempuh sebesar 7,70 jam (30 % lebih singkat dari jaringan yang ada) dan biaya transportasi sebesar Rp 203.301,01 (25 % lebih hemat dari jaringan yang ada) terbukti bahwa konfigurasi jaringan industri menentukan tingkat efisiensi industri perikanan tangkap yang diukur terhadap waktu dan biaya transportasi. 3.1.4
Strategi pengelolaan industri perikanan tangkap di sentra-sentra industri Salah satu pertimbangan dalam melakukan pembangunan sektor perikanan
tangkap di wilayah kepulauan adalah kapasitas pengusahaan penangkapan ikan. Nilai kapasitas pengusahaan penangkapan ikan berbeda antara satu perairan dengan perairan lainnya.
Salah satu parameter yang dapat dipergunakan untuk mengukur kapasitas
pengusahaan penangkapan ikan suatu perairan adalah mengukur efisiensi teknik (TE) relatif armada penangkapan ikan.
TE adalah ratio produktivitas kapal perikanan pada
suatu pelabuhan perikanan atau perairan.
Berdasarkan pengukuran TE masing-masing
pulau diperoleh hasil sebagaimana dalam Gambar 11.
32
1 0.8 TE 0.6 0.4 0.2 0 Belitung
Gersik
Mendanau
Sumedang
Seliu
Pulau
Gambar 11. Efisiensi teknik kapal perikanan di lokasi penelitian Gambar 11 menunjukkan tingkat efisiensi teknis tertinggi dari kapal perikanan diperoleh kapal perikanan di Pulau Sumedang dengan nilai 1 dan terletak pada kuadran I. Nilai ini menunjukkan bahwa pengusahaan penangkapan ikan di Pulau Sumedang merupakan yang terbaik dan usaha penangkapan ikan masih perlu dikembangkan. Tingkat efisiensi teknis relatif dengan kategori sedang diperoleh Pulau Seliu dan Pulau Gersik dengan nilai masing- masing 0,63 dan 0,62 terletak pada kuadran 2. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan penangkapan ikan di kedua pulau tersebut masih dapat dikembangkan namun usaha penangkapan ikan diarahkan pada pengendalian terhadap degradasi sumber daya ikan. Tingkat efisiensi terendah adalah armada penangkapan di Pulau Belitung dan Pulau Mendanau dengan nilai antara 0,29 – 0,31 dan terletak pada kuadran 3. Dengan nilai yang rendah tersebut, pengembangan industri perikanan tangkap diarahkan pada pengembangan infrastruktur dalam memenuhi statusnya sebagai pusat pelayanan jasa utama dan antara, serta usaha penangkapan ikan diarahkan pada pencegahan terhadap degradasi sumber daya ikan
.
33
3.2 3.2.1
Pembahasan Pembangunan sentra industri perikanan tangkap dalam suatu jaringan industri Pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung, telah sesuai dengan
konsep jaringan industri perikanan tangkap. Pulau Belitung dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan difokuskan sebagai pelayanan jasa utama. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Pemda tengah melengkapi pulau ini dengan pelabuhan kontainer dengan luas 50 hektar te rletak di daerah Pegantungan – Kecamatan Membalong. Diharapkan dengan pembangunan pelabuhan kontainer ini, akses transportasi faktor asupan dan variabel keluaran dapat diangkut dengan volume besar sehingga dapat menurunkan biaya transportasi.
Di samping itu Pulau Belitung juga memiliki kawasan khusus yaitu
kawasan pertumbuhan pengolahan ikan yang terletak di Desa Tanjung Binga – Kecamatan Sijuk.
Kawasan pengolahan ikan ini dilengkapi dengan sumber energi
matahari sebagai suplemen energi ruang proses (p rocessing room), cold storage dan ruang pembeku (freezing room ). Pulau Mendanau dengan pusatnya di PPI Selat Nasik difokuskan sebagai pangkalan armada perikanan tangkap yang berstatus penyedia jasa antara atau server dengan kapasitas produksi 11.000 ton per tahun.
Untuk mewujudkan status server
tersebut, PPP Selat Nasik telah dilengkapi dengan pabrik es berkapasitas 5 ton per hari dan ruang penyimpanannya. Energi listrik pabrik es ini berasal dari energi matahari dan energi diesel yang disebut dengan pembangkit listrik tenaga hibrid (PLTH). Dengan memanfaatkan PLTH ini, biaya pembuatan es dapat ditekan 50 %. Namun kapasitas pabrik es dan ruang penyimpanan yang tersedia tersebut belum mencukupi kebutuhan. Untuk itu perlu dibangun pabrik es dengan kapasitas 4 kali lipat. Dengan kapasitas 11.000 ton per tahun, Pulau Mendanau tidak mampu menampung semua produksi dari daerah client (total produksi client dan sekitarnya kurang lebih 17.000 ton per tahun) sehingga sebagian dari produksi daerah client masih harus dipasarkan langsung ke Pulau Belitung dan pasar regional. Kendala yang dihadapi sekarang ini adalah belum tersedianya pasokan faktor asupan, keterbatasan penampungan BBM dan energi listrik. Pulau Seliu yang menempati ranking ketiga berfungsi sebagai penyedia jasa antara.
Pulau terbesar nomor 3 di Kabupaten Belitung dapat dikembangkan sebagai
pangkalan armada penangkapan ikan dengan kapasitas mencapai 5.000 ton per tahun.
34
Pangkalan armada layak dikembangkan mengingat terdapat 2 alternatif moda transportasi yang mungkin dibangun yaitu transportasi laut ke PPN Tanjung Pa ndan dan gabungan moda transportasi laut ke wilayah terdekat di Pulau Belitung yang ditandemkan dengan moda transportasi darat ke PPN Tanjung Pandan.
Prasarana minimal yang perlu
dibangun adalah pabrik es mini dimana merupakan salah satu prasyarat rantai dingin. Pembangunan pabrik es ini sangat memungkinkan mengingat pada saat ini telah mulai banyak penampung ikan di pulau ini.
Disamping itu di pulau ini telah dibangun
pembangkit listrik alternatif berupa energi angin dan matahari yang baru dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga. Pulau Sumedang dan Pulau Gersik yang mempunyai status sebagai client (sumber pasokan ikan) diupayakan dapat melakukan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Beberapa hal yang perlu dilakukan di ketiga pulau ini adalah menjaga ekosistem perairan serta pengendalian volume penangkapan ikan. Penduduk ketiga pulau tersebut yang umumnya berasal dari Bugis mempunyai cara khusus dalam upaya pelestaria n sumber daya ikan yaitu dengan pengendalian penangkapan ikan. Nelayan Pulau Gersik tidak diperkenankan menggunakan lampu dengan intensitas cahaya yang besar dalam upaya penangkapan ikan dan alat tangkap yang diperkenankan hanya berupa pancing. Sedangkan jenis alat jaring hanya dapat dipergunakan pada daerah tertentu. 3.2.2
Implikasi efektifitas dan efisiensi jaringan industri terhadap pendapatan nelayan Alternatif model jaringan industri perikanan tangkap mendorong dilakukannya
pembangunan dan meningkatkan in vestasi daerah terpencil.
Model Point yang
sentralistik seperti yang sekarang ada di Kabupaten Belitung mengakibatkan pasar berbentuk oligopsoni. Harga ikan pada pasar berbentuk oligopsoni ditentukan oleh beberapa pembeli. Pengumpul dan nelayan hanya merima harga yang ditentukan oleh pembeli (nelayan sebagai price taker) (Arifin 2004; Putong 2008). Gambar dibawah memberikan ilustrasi tidak efisien industri yang mengakibatkan kerugian pada nelayan.
Jaringan industri model Point yang sentralistik menimbulkan
pasar berstruktur oligopsoni.
Pada pasar oligopoli, kurva pasokan terletak pada S.
Namun apabila pasar berupa pasar bebas, maka kurva pasokan berubah menjadi S1 . Perubahan kurva pasokan dari S ke S1 menggambarkan adanya segitiga ABC yang
35
dikenal dengan dead weight loss (DWL). DWL mencerminkan pasar tidak efisien. DWL (segitiga ABC) merupakan keuntungan tambahan yang diperoleh pelaku kartel (inti) dan merupakan beban yang ditanggung oleh nelayan (Case dan Fair 1999). Dengan melakukan perbaikan jaringan industri yakni dengan membangun jaringan HUB, pasar dipaksa memasuki pasar bebas yang mengakibatkan hilangnya segitiga ABC (Gambar 12). Harga
Pasokan S1 S1
A H
S
1
B H0
C
Permintaan Kuantitas
O
Pasar oligopsoni
Pasar bebas
Gambar 12. Perbandingan harga pasar oligopsoni dan pasar bebas
3.2.3
Implikasi pengembangan jaringan industri terhadap Triple Tracks Strategi – Kabinet Indonesia Bersatu Selain bermanfaat langsung pada peningkatan efektifitas dan efisiensi industri,
pengembangan jaringan industri perikanan tangkap juga merupakan penjabaran trilogi pembangunan nasional, yaitu: pertumbuhan ekonomi (pro growth), pembukaan lapangan pekerjaan (pro job) dan keberpihakan pada rakyat miskin (pro poor). Pengembangan jaringan industri perikanan tangkap menjadi beberapa klasifikasi pelabuhan menjadikan kebijakan pembangunan perikanan lebih terarah. Tabel 11 menunjukkan keterkaitan pengembangan model jaringan industri perikanan tangkap terhadap Tripple Tracks Strategi – Kabinet Indonesia Bersatu (Yudhoyono dan Kalla 2004).
36
Tabel 11
Keterkaitan model jaringan industri perikanan terhadap Tripple Tracks Strategi
Model Pertumbuhan ekonomi (Pro growth) HUB v Point Model alternatif v Keterangan : v : Capaian sasaran
Triple Tracks Strategi Lapangan pekerjaan (Pro job) v v v
Keberpihakan ada rakyat miskin (Pro poor) v v
Jaringan industri perikanan tangkap model HUB merupakan model industri yang berdampak peningkatan efektitas dan efisiensi industri. teknologi
modern
mendorong
peningkatan
pelayanan,
Penggunaan
meningkatkan
perdagangan meningkatkan efisiensi dan pembukaan lapangan pekerjaan.
jaringan
volume
Akan tetapi
model ini tidak menunjang penutasan kemiskinan karena pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di daerah-daerah perkotaan. Model HUB lebih sesuai dipraktek oleh negara-negara maju dimana pembangunannya sudah merata. Pembangunan pelabuhan perikanan tangkap model Point cocok bagi negaranegara kepulauan kecil dengan kapasitas yang terbatas. Biaya investasi yang murah mengakibatkan pembangunan dapat dilakukan di daerah yang kapasitas industrinya lebih kecil. Model ini menguntungkan karena berhasil membuka lapangan pekerjaan baru berbasis usaha kecil dan menengah, serta berpihak pada masyarakat miskin yang berdomisili di pedesaan. Namun model Point tidak mendukung efisiensi industri karena jaringan industrinya tidak teratur dan mengakibatkan mahalnya biaya transpotasi. Model alternatif
yang merupakan hasil penelitian ini adalah kombinasi dan
integrasi antara model HUB dan Point terbukti dapat meningkatkan efisiensi yaitu menekan biaya transportasi. Model alternatif yang sejalan dengan saran Israel dan Roque (2000) ini berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan pekerjaan dan keberpihakan pada masyarakat miskin.
37
4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
(1) Dalam jaringan industri, Pulau Belitung sebagai penyedia jasa utama, Pulau Mendanau dan Pulau Seliu sebagai penyedia jasa antara (server), Pulau Gersik dan Pulau Sumedang sebagai client. (2) Model jaringan industri perikanan tangkap yang optimum adalah Pulau Belitung (dengan pusatnya di PPN Tanjung Pandan) yang melayani 2 penyedia jasa antara yaitu Pulau Mendanau dan Pulau Seliu. Selanjutnya, Pulau Mendanau melayani Pulau Gersik dan Pulau Seliu melayani Pulau Sumedang. (3) Konfigurasi jaringan industri terbukti menentukan tingkat efisiensi industri perikanan tangkap yang diukur dari segi waktu dan biaya transportasi. Pada model jaringan industri terpilih (point 2) total waktu tempuh adalah 13,30 jam
(7,70
jam lebih singkat dari jaringan yang ada sekarang yaitu selama 21 jam) sedangkan biaya transportasi adalah Rp 615.410,89/ton/jam (Rp 203.301,01/ton/jam lebih hemat dibandingkan dengan biaya transporasi dari jaringan yang ada sekarang yaitu sebesar Rp 818.711,90/ton/jam). (4) Strategi pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Belitung adalah mengembangkan setiap sentra industri sesuai dengan kapasitasnya dalam jaringan industri yang optimum yaitu: 1) Pembangunan industri perikanan di Pulau Belitung diarahkan pada pembangunan infrastruktur dalam rangka menunjang statusnya sebagai penyedia jasa utama sedangkan pengelolaan perikanan tangkapnya diarahkan pencegahan penurunan kualitas sumber daya ikan. 2) Pembangunan industri perikanan di Pulau Mendanau diarahkan pada pembangunan infrastruktur dalam rangka menunjang statusnya sebagai server, sedangkan pengelolaan
perikanan tangkap diarahkan pada pencegahan
penurunan kualitas sumber daya ikan.
3) Pembangunan industri perikanan tangkap di Pulau Seliu diarahkan pada pembangunan infrastruktur dalam rangka menunjang statusnya sebagai server sedangkan pengelolaan perikanan tangkap diarahkan pengendalian penurunan sumber daya ikan. 4) Pembangunan industri perikanan tangkap di Pulau Gersik diarahkan pada pembangunan infrastruktur dalam kapasitasnya sebagai client sedangkan pengelolaan perikanan tangkapnya diarahkan pada pengendalian penurunan kualitas sumber daya ikan. 5) Pembangunan industri perikanan tangkap di Pulau Sumedang diarahkan pada pembangunan
infrastruktur
dalam
kapasitasnya
sebagai
client
dan
pengembangan kapal perikanan. 4.2
Saran
(1) Struktur industri perikanan tangkap saat ini sebaiknya dipetakan berdasarkan status
fungsional
dalam
jaringan
industri
guna
meningkatkan
efisiensi
pengelolaan perikanan tangkap. (2) Model jaringan industri dapat dipergunakan untuk membantu efektivitas pembangunan dan pengelolaan sentra industri berbasis pelabuhan perikanan. (3) Pemodelan pembangunan industri perikanan tangkap di wilayah kepulauan dengan analisis NMCA, TOPSIS, minimalisasi jarak, waktu tempuh dan bia ya transportasi disarankan diaplikasikan pada perencanaan pembangunan sektor perikanan di daerah lainnya karena terbukti dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi penetapan status sentra dan jaringan industri. (4) Penelitian lebih lanjut diperlukan dengan mengakomodasi interaksi dinamis dengan sumber daya ikan.
39
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 226 halaman Ahmed M, Boonchuwongse P, Dechboon W, Squires D. 2007. Overfishing in the Gulf of Thailand: policy challenges and bioeconomic analysis. Environment and Development Economics Vol 12: 145–172 Arifin B. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit buku Kompas. Jakarta. 304 halaman Azis IJ. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Jakarta. Lembaga Penerbit. FEUI. 364 halaman Bensch A, Carocci F, Corsi F, Drapeau L, Le Corre G, Morales J. 2000. Spatial Modelling of Fishing Effort. Copemed: April 2000 Bressler RG. Jr dan King RA. 1970. Markets, Prices, and Interregional Trade. New York: John Wiley & Sons. Inc Brucker P, Drexl A, Ohring RM, Neumann K , Pesch E. 1999. Resourceconstrained project scheduling: Notation, classification,models, and methods. European Journal of Operational Research Vol. 112: 3-41 Budiman I. 2006. Teknologi Penangkapan Dan Pengembangan Usaha Perikanan Tenggiri di Kabupaten Belitung. Bogor. Sekolah Pascasarjana –IPB (Tesis). 201 halaman Burhanuddin, Djamali A, dan Genisa AS. 1998. Nama-nama Daerah Ikan Laut di Indonesia. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceanology. LIPI. 66 halaman Caddy JF & Mahon R. 1995. Reference points for fisheries management. FAO Fish. Tech. Pap. (347): 83 pp Case KE dan Fair RC. 1999. Principle of Economics (5th ed). Prentice Hall International Inc. New Jersey. USA Charles AT. 1993. Toward Sustainability; The Fishery Experience. Ecological Economics. Vol 11 pp. 201 – 211 yang diacu dalam Fauzi A and S Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 343 halaman Christaller W. 1966. Central Places in South Germany. Terjamahan Baskin W.W. yang diacu dalam Adisasmita R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 226 halaman
Christensen AS. 2004. Complementarities in the fisheries proceedings from NAF workshop in Hirtshals. North Sea Centre, Willemoesvej 2. Institute for Fisheries Management & Coastal Community Development Cooper WW, Rhodes E. 1978. Measuring the efficiency of decision making units. European Journal of Operational Research Vol. 2: 429-444 Daly HE. 1990. ”Toward Some Operational Principles of Sustainabe Development”. Ecological Economics. 2(1):1-6 yang diacu dalam Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman [DKP] Departemen Kelaut an dan Perikanan. 2000. Kepmen KP No. 41 Tahun 2000; Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kcil Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat [DKP] Departemen Kela utan dan Perikanan. 2004. Kepmen KP No. 10 Tahun 2004; Pelabuhan Perikanan [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Kepmen KP No. Per. 01/MEN/2009; Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Deliarnov. 1995. Perkembangan Pemikiran Ekonomi (terjemahan). Jakarta. PT Raja Grafindo Perkasa. 282 halaman [DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan – Kab. Belitung. 2006. Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung. 20 halaman [DJP] Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Laporan Final Studi Pengembangan Perikanan; Pelabuhan Perikanan Nusantara Bungus. Jakarta: Ditjen Perikanan - Departemen Pertanian. [DJPT] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.2002. Kebijakan, Strategi dan Program Kerja Perkembangan Sentra-Sentra Perikanan. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap - Departemen Kelautan dan Perikanan. [DJPT] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2007. Laporan Tahunan Pembangunan Perikanan Tangkap. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap - Departemen Kelautan dan Perikanan. 115 halaman Dodgson J., Spackman M., Pearman A., Phillips L. 1998. DTLR Multi-Criteria Analysis Manual. London. John Wiley & Sons, Ltd. 144 halaman Dunn WN. 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 687 halaman
41
[ESCAP] Economic and Social Commission for Asia and the Pasific. 2001, Review of the Developments in Transport and Communications in ESCAP Region 1996 -2001:13-15. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman Fauzi A dan Anna S. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 343 halaman Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan; Isu, Sintesis dan Gagasan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 185 halaman [FAO] Food Agricultural Organization. 2001a. Brief Review of The Basic Concepts of Fishery Manajement – Management Concepts for Small Scale Fisheries; Economic and Social Aspects [FAO] Food Agricultural Organization. 2001b. What is The Code of Conduct for Responsible Fisheries ?. Rome. Publishing and Multimedia Service. [FAO] Food Agricultural Organization. 2001c. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Rome. Publishing and Multimedia Service [FISP] Fisheries Infrastructure Services Project. 1988. Feasibility Study Report on the Rehabilitation of NFP Ternate. Jakarta. Fisheries Infrastructure Sector Project – Ditjen Perikanan – Departemen Pertanian Ghalib R. 2005. Ekonomi Regional. Bandung: Pustaka Ramadhan. 310 halaman Gordon H. 1997. Dutch Harbor-Unalaska is Nation’s Top Fishing Port for 1996 Gultom E. 2007. Refungsionalisasi Pengaturan Pelabuhan Untuk Meningkatkan Ekonomi Nasional. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. 359 halaman. Hadi SE dan Moron M. 2007. Cross Border Co-operation Between Seaport. The Case of The Strait of Gibratar. 43 halaman Hall D. dan Hall J. 1984. “Concepts and Measures of Natural Resource Scarcity with Summary of Recent Trends” Journal of Environmental Economics and Management. 11: 363 – 379. yang diacu dalam Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman Handoko TH. 1993. Dasar – Dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Yogyakarta. BPFE Yogyakarta. 463 halaman.
42
Harris JM. 2000. Basic Principles of Sustainabile Development, Global Development and Environment Institute. Tuft University. Medford. MA. USA yang diacu dalam Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman Heal G. 1998. Valuing the Future; Economic Theory and Sustainability. Colombia University Press. New York yang diacu dalam Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman Hovgaard G. 2002. Strategies and Regional Policies-Social Capital in the Nordic Penpheries-Country report Faroe Islands Israel DC dan Roque RMGR. 2000. Analysis of Fishing Ports in The Philipines.Manila: Philipine Institute of Development Studies. 60 halaman James L. 1999. Twenty-Second Session of The General Assembly for The Review and Appraisal of The Implementation of The Programme of Action for The Sustainable Development of Small Island Development States; 27 – 28 September 1999. Earth Negotiations Bulletin. Vol 8. No 31:1-14 Jerome L. 1996. Tourism Penetration Index in Small Caribbean Islands. Department of Business Administration and Economics. Saint Mary's College Jhingan ML. 1983. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (Terjemahan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 660 halaman Li H dan Xie QS. 2006. Application of TOPSIS in The Bidding Evaluation of Manufacturing Enterprises. Proceeding of e-ENGDET 2006. Guiyang. China. 184 – 188 Linsch A. 1954. The Economics of Location. Terjemahan Woglom W.H dan Stopler W.F yang diacu dalam Adisasmita R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 226 halaman Maria MB. 2005. Build in Small Island Capacity to Withstand Economic, Environmental Shocks, Focus of Panel at un Mauritius Conference. McCann P. 2002. Industrial Location Economics. Cheltenham – UK. Edward Elgar Publishing Limited. 354 halaman McElroy J. 1991. “The Java Sea purse seine fishery; A modern tragedy of the common?” Marine Policy. July 1991: 255-271 diacu dalam Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan; Isu, Sintesis dan Gagasan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 185 halaman
43
Miro F. 2005. Perencanaan Transpotasi. Jakarta. PT Erlangga. 196 halaman Moldrík P, Gurecký J, Dvorský J. 2008. The Software Application for the Support of Multi-Criteria Decision-Making. The Czech Republic. Project CEZ MSM6198910007. Montibeller G, Gummer H, Tumidei D. 2006. Combining Scenario Planning and Multi-Criteria Decision Analysis in Practice. Journal of Multi-Criteria Decision Analysis. Vol 14: 5–20 Mourits MCM, Van Asseldonk MAPM, Velthuis AGJ. 2006. Multi Criteria Analysis Of Alternative Strategies To Control Contagious Animal Diseases dalam Proceeding of the 11 th International Symposium on Veterinary Epidemiology and Economics Mulyono S. 1999. Operations Research. Jakarta. Lembaga Penerbit FEUI. halaman.
209
Nikijuluw VPH. 2003. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regiona l. 254 halaman Nikijuluw VPH. 2005. Politik Ekonomi Perikanan. Jakarta: PT Fery Agung Corporation. 314 halaman Ochard D. 2004. New Bedford’s Commercial Fishing Infrastructure Report. Community Panels Project.15 halaman Pandit IGS, Suryadhi NT, Arka IB, Adiputra N. 2006. Pengaruh Penyiangan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Kimiawi, Mikrobiologis dan Organoleptik Ikan Tongkol (Auxis tharzard, Lac) Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa - Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan (PPNTP). 2007. Pengembangan dan Pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan. Tanjung Pandan. Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan. 18 halaman Perman R, Yue Ma, Gilvray JM. 1996. Natural Resource and Environmal Economics. Longman. Singapore yang diacu dalam Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan – Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 halaman Perroux F. 1964. Economic Space: Theory and Application yang diacu dalam Friedmann J dan Alonso W . Regional Economics:Theory and Practices yang diacu dalam Adisasmita R. 2005. Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Graha Ilmu. 226 halaman Putong I. 2008. Economics; Pengantar Mikro dan Makro. Jakarta. Mitra Wacana Media. 432 halaman
44
Riyadi, Bratakusumah S. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 360 hal Robinson S. 2003.A Study of Gloucester’s Commercial Fishing Infrastrucure. New England: Gloucester Community Panels.47 halaman Roy B. dan Vicke P. 1981. Multicriteria analysis: survey and new directions dalam European Journal of Operasional Research. North Holland. Vol 8. 207 - 218 Saaty TL. 1990. How to make a decision;The Analytic Hierarchy Process. European Journal of Operasional Research. North Holland. Vol 9: 9 - 26 Salvatore R. 2001. Inventory of Artisanal Fisheries Communities in The Western Central Mediteranian.FAO – COPEMED Project Seijo JC, Defeo D and Salas S. 1998. Theory, Modelling and Management Delhi, Daya for FAO. 2001. 108 p. figs., ISBN 81-7035-250-9 Sihotang P. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional Terjemahan Elements of Regional Economics oleh Richardson H.W. Jakarta: LPFE – UI. 159 halaman Singarimbun M and Sofian E. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. 336 halaman Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional; Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media. 329 halaman Srdjevic B, Srdjevic Z, Zoranovic T, Potkonjak S. 2004. Advanced Decision Support Tools in Agricultural and Water Management. Novi Sad. Serbia. International Conference on Sustainable Agriculture and European Integration Processes. Sept 19 – 24. 7 halaman Stephanie D. 1998. Dutch Harbor-Unalaska is Nation’s Top Fishing Port for 1997 Subagiyo. 2007. Analisa Preferensi International Hub Port Terhadap Kebijakan Penentuan Pelabuhan Hubung Internasional Indonesia (Thesis Master) – Institut Teknologi Bandung Sutikno dan Maryunani. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang. 275 halaman Tai HH, Hwang CC. 2005. Analysis of HUB Port Choice for Container Trunk Lines in East Asia. Journal of The Eastern Asia Society for Transportation Studies. Vol 6 : 907 - 919
45
Tajiren, Manadiyanto, Sapto AP. 2005. Analisis Prioritas Pemilihan Komoditas dan Lokasi Sentra Pengembangan Industri Pengolahan Perikanan di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Jakarta. BRKP. Vol 11- 9: 27 -39 Tarigan R. 2006. Ekonomi Regional; Teori dan Aplikasi. Jakarta. Bumi Aksara. 187 halaman Tawfik H, Nagar A, Fernando T. 2007. Multi-Criteria Spatial Analysis of Building Layouts. Issues in Informing Science and Information Technology. Vol 4: 781 - 789 The Bilbao Port Authority 2006, Port of Bilbao Trade Mission to Houston, New York and Charleston in June, Bilbao 33-News Bulettin June 2006:1-4 Tom K. 2001. Catch, Efficiency and Management: Stochastic Production Frontier Analysis of The Australian Nothern Prawn Fishery. The Australian National University. 32 halaman Tunas B. 2007. Memahami dan Memecahkan Masalah dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: PT Nimas Multima. 198 halaman Wang M. 2007. Port Cooperation and Competition in Korea, China and Japan; Frm The Perspective of Shipping Network and Port Development. 41 halaman Yang SY, Bun KJ, Kang MS. 2005. Introduction of Pusan New Port Project – HUB Port in Northeast Asia dalam Proceeding of The Fifteenth International Offshore and Polar Engineering Conference dalam The International Society of Offshore and Polar Engineers. ISBN 1-880653-64-8; ISSN 1098-6189. Yudhoyono. SB. 2003. Revitalisasi Ekonomi Indonesia: Bisnis, Politik dan Good Governance. Jakarta. Brighten Press. 82 halaman Yudhoyono. SB, Kalla MJ. 2004. Membangun Indonesia yang aman, adil dan sejahtera. Visi, Misi dan Program. Jakarta. Brighten Press. 77 halaman Yustika AE. 2008. Ekonomi Kelembagaan. Malang. Bayumedia Publishing. 380 halaman
46