MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL UNTUK MENDUKUNG PEREKONOMIAN WILAYAH
BUDI WARDONO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil Untuk Mendukung Perekonomian Wilayah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Agustus 2015
Budi Wardono NRP. H162100051
RINGKASAN BUDI WARDONO. Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil Untuk Mendukung Perekonomian Wilayah. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, ACHMAD FAHRUDIN, dan AGUS HERI PURNOMO Perikanan skala kecil mempunyai peranan penting dalam perekonomian baik dalam aspek makro maupun mikro. Dalam perspektif sosial ekononomi, masyarakat pesisir sebagian besar tergantung pada sumber daya perikanan laut, dimana mata pencahariannya rentan terhadap guncangan dan perubahan mendadak. Memahami kondisi tersebut, merupakan hal yang penting untuk lebih memperhatikan nelayan skala kecil dan mengembangkan kebijakan direktif yang lebih baik dimasa depan. Pemahaman meliputi bagaimana karakteristik sumber daya perikanan, bagaimana nelayan skala kecil mengatasi ketidakpastian dan biaya operasional yang tinggi, bagaimana nilai tambah, dan bagaimana jaringan sosial di masyarakat pesisir. Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yaitu nelayan Desa Weru Komplek di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dan nelayan di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Sumberdaya perikanan di Lamongan sebagian besar adalah jenis pelagis kecil dan demersal, sedangkan di Pelabuhanratu sebagian besar sumberdayanya pelagis besar. Pemilihan lokasi juga berdasarkan kriteria sosial ekonomi dari dua lokasi tersebut. Lamongan dengan jumlah produksi lebih 70 ribu ton (18% dari total produksi di Provinsi Jawa Timur), dan lebih dari 28.000 nelayan yang sebagian besar adalah nelayan kecil. Jumlah produksi di Pelabuhanratu sekitar 8 ribu ton (4,4% dari total produksi di Provinsi Jawa Barat). Lebih dari 5.000 nelayan yang bekerja dengan berbagai armada perikanan. Selain alasan ekonomi, nelayan di Lamongan memiliki lembaga sosial yang dikenal dengan nama "Blandongan" yang berfungsi sebagai "penyangga" dalam menghadapi ketidakpastian. Blandongan merupakan organisasi nelayan yang menyuarakan kepentingan nelayan dan membangun "aturan main" untuk memfasilitasi kepentingan nelayan. Sedangkan di Pelabuhanratu, meskipun tidak ada organisasi tertentu seperti "Blandongan" di Lamongan, namun memiliki kelembagaan formal dan informal seperti kelompok nelayan dan kelompok perantara yang dapat memfasilitasi kebutuhan nelayan. Tujuan penelitian adalah melakukan analisis efisiensi alokasi sumber daya dan analisis perubahan faktor produktifitas total; melakukan analisis indeks ketidakstabilan perikanan tangkap; melakukan analisis value added perikanan tangkap skala kecil; dan melakukan analisis untuk mengetahui kecenderungan nelayan skala kecil dalam memenuhi modal untuk biaya operasional. Data yang digunakan adalah data skunder dan data primer yang diperoleh dari pelaku usaha perikanan. Total jumlah responden sebanyak 157 orang terdiri 83 orang di Lamongan dan 74 orang di Pelabuhanratu. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan Data Envelopement Analysis (DEA) dan analisis indeks Malmquist (MI) untuk mengetahui kapasitas sumber daya perikanan dan tingkat perubahan total produktifitas total perikanan. Analisis Indeks Ketidakstabilan (Coppoct Instability Indexs/CII) untuk mengetahui tingkat ketidakstabilan. Analisis regresi multinomial logistik digunakan untuk mengetahui kecenderungan nelayan dalam menggunakan sumber permodalan. Model yang direkomendasikan merupakan sintesa dari analisis-
analisis yang telah dilakukan, yang merupakan saran kebijakan untuk pengembangan perikanan skala kecil. Hasil analisis kapasitas sumber daya di Pelabuhanratu, menunjukkan alat tangkap gillnet, alat tangkap rampus dan alat tangkap pancing ulur telah menurun (decreasing return to scale), ketiga alat tangkap tersebut sudah terjadi gejala over capacity. Kondisi ini menyiratkan bahwa output dari alat tangkap gill net, rampus dan pancing ulur memiliki kecenderungan tidak responsif terhadap input. Inefisiensi dalam menggunakan input akan menyebabkan hasil tidak optimal. Hasil analisis kapasitas sumberdaya di Lamongan menunjukan hasil yang berbeda. Analisis di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa efisiensi skala masih menunjukkan indikator IRS (increasing return to scale) pada perikanan skala kecil di Desa Weru Komplek. Kelebihan armada penangkapan ikan (overcapitalization) dan under-utilization kapasitas penangkapan memberikan indikasi pemborosan bersifat ekonomis. Hasil analisis indeks Malmquist terjadi fluktuasi faktor produktifitas total yang sangat besar (berkisar antara 30% sampai 250 %). Hal ini disebabkan karena perubahan faktor teknologi yang mengalami perubahan ekstrim dibandingkan dengan perubahan efisiensinya. Analisis dengan indek ketidakstabilan (Coppock Index Instability) dapat diketahui penyebab perubahan faktor produktifitas total dari produksi maupun dari input. Kondisi ini disebabkan karena ternjadi fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Indeks ketidakstabilan produksi sebagian berada di kuadran kanan atas yang menunjukan pertumbuhan yang tinggi namun diikuti oleh ketidakstabilan yang tinggi. Fluktuasi produksi yang menyebabkan ketidakstabilan bukan merupakan fenomena mandiri, kondisi tersebut berkaitan dengan indikator lain, seperti input yang diberikan dalam perikanan. Tingkat ketidakstabilan input BBM menunjukan karakteristik sebagian besar berada pada kondisi tingkat pertumbuhan tinggi dengan ketidakstabilan yang tinggi yang menggambarkan resiko yang tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa beberapa teknologi kapal armada responsif terhadap penggunaan BBM. Hubungan tengkulak/langgan dengan nelayan berdasar hubungan kepentingan sosial dan ekonomi, keberadaan tengkulak/ langgan memainkan peran terutama sebagai "sosial cushion" ekonomi ketika nelayan menghadapi permasalahan biaya, dimana kelembagaan keuangan formal tidak mampu menjalankan perannya. Kecenderungan nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumber dana operasional dipengaruhi oleh lokasi, dimana karakteristik wilayah penangkapan, dan kesenjangan antar daerah berkontribusi terhadap keterikatan antara nelayan dengan tengkulak/langgan. Hasil analisis rantai pasok, rantai nilai dan value added menunjukan bahwa perikanan skala kecil berperanan dalam pembentukan nilai tambah yang sebagian besar dinikmati oleh masyarakat setempat. Sumber daya perikanan pelagis kecil dan demersal lebih dominan diproses menjadi produk jadi/setengah jadi yang menghasilkan nilai tambah. Sebaliknya perikanan yang didominasi oleh sumberdaya pelagis besar nilai tambahnya lebih banyak dinikmati oleh masyarakat luar, sehingga perannya terhadap pembangunan wilayah relatif lebih kecil. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, model yang direkomendasikan untuk kebijakan mengembangkan perikanan skala kecil harus memperhatikan kondisi potensi sumber daya perikanan, tingkat eksploitasi, tingkat kestabilan, hubungan para pelaku (nelayan-pemilik modal/patron-client) dan dukungan kebijakan direktif yang fokus untuk nelayan skala kecil. Karakteristik nelayan dan
kondisi sumberdaya menentukan perilaku terhadap sumberdaya, interaksi nelayan dengan sumber-sumber pembiayaan lebih kuat pada lokasi Lamongan dimana masyarakat kurang mempunyai alternatif pekerjaan lain. Hubungan yang kuat antara nelayan dan tengkulak merupakan fenomena yang kompleks, pengembangan perikanan skala kecil harus menyertakan hubungan antara sektor perikanan, nelayan sebagai pemain dan perantara/langgan/tengkulak yang menjembatani pelaku dalam mata pencaharian masyarakat pesisir agar nelayan skala kecil mampu memainkan peran lebih besar dalam kehidupan ekonomi lokal pesisir. Kata kunci: perikanan skala kecil, langgan/tengkulak, “social cushion”, value added, DEA, Indek Ketidakstabilan, Indeks Malmquist
EXECUTIVE SUMMARY BUDI WARDONO. Development Model of Small Scale Marine-Capture Fisheries to Support Regional Economy. AKHMAD FAUZI as Chairman, ACHMAD FAHRUDIN and AGUS HERI PURNOMO Members of the Advisory Committee. The Small Scale marine-capture fisheries have important role in macro and micro economy. By socio economic perspective, most of coastal community depend on fisheries resources and employment are vulnerable to shocks and rapid changes. According to this situation, it is important to consider small fisherman and to develop direct and better policy in future. The understanding covers about characteristic of fisheries resources, problem solving behavior of small fisherman to overcome high operational cost and uncertainty, value added, and social network among community in coastal area. This research was done in two locations, i.e. Weru Komplek fisherman village in Lamongan District, East Java and Pelabuhan Ratu in Sukabumi District, West Java. Fisheries resources in Lamongan are small pelagic and demersal fish, while in Pelabuhan ratu are big pelagic fish. Selection of research location was based on social economic criteria of the two locations. Lamongan produced more than 70 thousand ton of fish (around 18 per cent of fish production in East Java Province), and involved more than 28 thousand small fishermen. Pelabuhan Ratu produced approximately 8 thousand ton of fish (around 4.4 per cent of fish production in West Java Province). More than 5 thousand fishermen worked with any decision making unit (DMU). In spite of economic concern, fishermen in Lamongan District had social institution as known as "Blandongan" that functioned as “buffer” to come up against uncertainty. Blandongan organization represented fisherman interest and built rule of the game to facilitate fishermen. In Pelabuhan Ratu, there was no such organization like Blandongan that Lamongan had. However, there were formal and informal institutions, such as fisherman groups and middleman groups that facilitated fishermen needs. The objective of this research was to analyze allocation efficiency of resources and total productivity factor; to analyze instability index of marine-capture fisheries; to analyze value added of Small Scale marine-capture fisheries; and to analyze capital and operational cost behavior of small fishermen. This research used secondary and primary data of fisheries business, participated 157 respondents, i.e. 83 respondents from Lamongan and 74 respondents from Pelabuhan Ratu. Data Envelopment Analysis (DEA) approach and Malmquist Index (MI) analysis were conducted to know resource capacity and the change of total factor productivity of fisheries. Coppock Index Instability (CII) analysis was used to know instability level. Multinomial logistic regression analysis was used to describe fishermen behavior in using capital source. Value added analysis was done to know the magnitude of value added received by all business player in fisheries. The recommended model was synthesized from all analysis and being policy implication to develop Small Scale fisheries.
Based on resource capacity analysis in Pelabuhan Ratu, it showed that capacity of gill net, rampus and marine hook were decreasing (decreasing return to scale), the three DMU showed over capacity phenomenon. This condition indicated that output of gill net, rampus and marine hook were not responsive to input. This inefficiency of using usage would cause output not optimum. Lamongan showed different result of resource capacity analysis. The efficiency scale in Lamongan indicated increasing return to scale of Small Scale fisheries in Weru Komplek village. Over capitalization and under capitalization of DMU indicated uneconomical practice. The result of Malmquist Index analysis showed large fluctuation of total factor productivity (ranged from 30 per cent to 250 per cent) because technological factor changed more extremely than its efficiency. Coppock Index Instability analysis revealed causes of TFP change for input and output. The production fluctuated yearly. Most of instability index of production were in the right above quadrant, showing high growth with high instability. The fluctuating production that caused unstable condition was not independent. It related to other indicators, such as input usage of fisheries. Instability of fuel usage showed that most of production characteristic located in high growth and high instability, describing its high risk condition. It illustrated that some technology of marine board motor was responsive to fuel usage. The relationship between middlemen and fishermen was based on reciprocally socio economic interest. Middlemen played as social cushion of economy when fishermen faced capital problem, in the meantime formal financial institution could not play its role as well. Location affected to small fishermen to utilize operational fund, while characteristic of marine-capture area and regional gap contributed on bonding relationship between middlemen and fishermen. Supply chain, value chain, and value added analysis demonstrated that Small Scale fisheries played a role in formation and benefited from the value added. Fisheries resources such as small pelagic and demersal fish were more dominant in forming value added for intermediate product/final product. Fisheries with big pelagic fish were mostly enjoyed by people out of district/producing area. Therefore, its role on regional development was relatively small. Based on the research result, the recommended model for developing Small Scale fisheries should consider potential condition of fisheries resources, exploitation level, stability level, relationship among fisheries players (fishermen – capital owner/patron-client) and become supporting policy that focus on and direct to small fishermen. Fisherman and resource characteristics determined behavior on utilizing resource, interaction between fishermen and financial resources was stronger in Lamongan, where people had less alternative jobs other than fishermen. The strong relationship between fishermen and middlemen was a complex phenomenon. Therefore, Small Scale marine-capture development should involve all relationship among fisheries sector where fishermen became the main player, middlemen mediated among players who worked and lived in coastal area in order to enhance the role of small fishermen in local economic life of coastal community. Key words: small scale fisheriees, middleman, social cushion, value added, DEA, instability index, Malmquist index
© Hak Cipta Milik IPB Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL UNTUK MENDUKUNG PEREKONOMIAN WILAYAH
BUDI WARDONO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS 2. Dr Ir Armen Zulham, MSc
Ujian Promosi Doktor : 1. Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS 2. Dr Ir Armen Zulham, MSc
Judul Penelitian
: Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil untuk Mendukung Perekonomian Wilayah
Nama
: Budi Wardono
NRP
: H162100051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc Ketua
Dr Ir Achmad Fahrudin, MS Anggota
Dr Ir Agus Heri Purnomo, MSc Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian Tertutup : 3 Agustus 2015 Tanggal Sidang Promosi : 26 Agustus 2015
Tanggal lulus:
PRAKATA Alhamdulillah, dengan mengucap nama Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa dan Maha Pengampun, berkat izin-nya Disertasi ini akhirnya dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc. (Ketua), Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS. (Anggota), Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, MSc. (Anggota) yang telah membimbing sejak awal penelitian sampai dengan penulisan Disertasi. Komisi Pembimbing telah banyak memberikan saran dan masukan, serta dukungan dan dorongan selama penelitian dan penulisan Disertasi. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. dan Dr. Ir. Armen Zulham, MSc. yang telah memberikan masukan subtansial, komentar yang bermanfaat, saran dan koreksi sehingga meningkatkan kualitas disertasi ini. Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), yang telah menjadi teman diskusi selama penelitian dan penulisan disertasi. Terima kasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada Ketua dan Sekretaris Program Studi, semua Dosen dan Staf Sekretariat PWD atas bantuannya selama menjalani perkuliahan sampai selesainya Disertasi ini. Ucapan rasa terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan untuk orang tua, istri (Sitoresmi Triwibowo) dan anak-anak saya (Afif Naufal Fadholi dan Farah Khalda Nabila) yang selalu memberi dukungan, dorongan dan selalu mengingatkan agar segera menyelesaikan Disertasi ini. Saya juga mengucapkan rasa terima kasih kepada Institusi Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Litbang Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat mengikuti program Doktor pada Sekolah Pasca Sarjana IPB. Terakhir, saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan.
Bogor, Agustus 2015 Budi Wardono
DAFTAR ISI Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Lampiran Riwayat Hidup 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Kebaharuan/Novelty 2 TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Pengembangan Perikanan Nasional Peranan Perikanan dalam Perekonomian Indonesia Struktur Kapal Perikanan di Indonesia Karakteristik Perikanan Skala Kecil Kapasitas, Overcapacity, Efisiensi Peranan Perikanan Tangkap Skala Kecil Keterkaitan Nelayan dengan Pedagang Perantara/Langgan/ Tengkulak Nilai Tambah Aktifitas Perikanan Tangkap Skala Kecil 3 KERANGKA PENELITIAN Kerangka Pemikiran Hipotesis 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan Lokasi Penelitian Teknik Pengambilan Sampel/Responden Pendekatan dan Model Analisis Data Analisis Efisiensi Kapasitas Sumberdaya dan Perubahan Faktor Produktifitas Total Analisis Indeks Ketidakstabilan (Instability indeks) Analisis Permodalan pada Perikanan Tangkap Skala Kecil Analisis Nilai tambah dan Rantai Nilai Perikanan Tangkap Skala Kecil Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil 5 GAMBARAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI LAMONGAN DAN PELABUHANRATU Sektor Basis Pengembangan Perikanan Produktifitas Nelayan dan Armada Penangkapan Nilai Input per Kg Produksi
1 1 4 8 8 8 9 9 9 12 14 16 18 20 24 25 28 28 32 32 32 33 34 35 35 38 39 42 43 44 49 51 55
6
EFISIENSI SUMERDAYA DAN PERUBAHAN TOTAL FAKTOR PRODUKTIFITAS DAN INDEKS KETIDAKSTABILAN (INSTABILITY INDEXS) PERIKANAN TANGKAP Sumberdaya Perikanan Efisiensi Kapasitas Sumberdaya Perubahan Faktor Produktifitas Total Perikanan Tangkap Indeks Ketidakstabilan (Instability Indexs) 7 PERANAN “BANTAL SOSIAL” (“SOCIAL CUSHION”) PADA MATA PENCAHARIAN PERIKANAN SKALA KECIL Hubungan Patron Client Nelayan “Social Cushion” Hubungan Nelayan dengan Langgan/Tengkulak Strategi Usaha dan Daya Tahan Menghadapi Ketidakpastian Usaha .. 8 NILAI TAMBAH PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL Nilai Tambah Perikanan Tangkap Skala Kecil Sistem Rantai Pasok dan Rantai Nilai 9 MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL 10 IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL 11 SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
56
56 58 61 63 66 67 69 71 76 80 80 81 87 91 94 94 95 96 102 115
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13
14 15 16 17 18 19 20 21 22
Jenis-jenis kapal/perahu nelayan Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sukabumi Karakteristik perikanan tangkap skala besar dan skala kecil Kontribusi perikanan nasional terhadap perekonomian nasional (PDRB) beberapa negara Aafrika dan kep. Karibia Upstream dan downstream aktifitas pada perikanan tangkap skala kecil Lokasi penelitian Variabel dan indikator dalam analisis regresi multinomial logistik Komposisi kapal perikanan tangkap di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sukabumi Perkembangan armada penangkapan di Lamongan dan Pelabuhanratu tahun 2009-2013 PDRB berdasarkan lapangan usaha Kabupaten Lamongan dan Sukabumi Nilai LQ sektor perikanan Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sukabumi Skor efisiensi teknis dan efisiensi skala Indek malmquist dea pada berbagai alat tangkap kapal motor dan perahu motor tempel (PMT) tahun 2008-2013 di Pelabuhanratu Malmquist index total faktor produktifitas perikanan tangkap pada berbagai jenis alat tangkap kapal motor (KM) dan perahu motor temperl (PMT) di Pelabuhanratu Indeks Malmquist (MI) rata-rata pertahun Karakteristik perikanan dan nelayan di Lamongan dan Pelabuhanratu Keuntungan hubungan patron client bagi kedua belah pihak Hasil analisis kecenderungan penggunaan sumber modal Value added dan margin yang berasal dari pengolahan hasil perikanan (Rp./kg) bahan baku utama Value added analisis komoditas ikan dari nelayan ke pedagang pengecer di Lamongan Value added analisis komoditas ikan dari nelayan ke pengumpul dan pengecer di Lamongan Value added analisis komoditas dari nelayan ke pengumpul dan ekspor di Lamongan Value added analisis komoditas dari nelayan ke pengumpul dan ekspor di Pelabuhanratu
17 18 22 26 34 42 45 47 50 51 59
60
62 62 69 71 72 81 83 84 85 87
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11 12
13
14 15
16 17 18 19 20 21
Struktur kapal perikanan Indonesia tahun 2004-2014. Perbandingan produksi ikan dominan di WPP 712 (laut jawa) dan WPP 753 (Samudera Hindia selatan pulau Jawa) Kerangka pemikiran penelitian Peta lokasi penelitian berdasarkan wilayah pengelolaan perikanan indonesia berdasarkan Permen KP no. 45/men/2011 Alur penentuan lokasi dan responden Karakteristik perikanan global berdasarkan ukuran kapal dan teknologi Produksi perikanan tangkap ppn Pelabuhanratu dan Kabupaten Lamongan tahun 2007-2013) Produksi ikan di Pelabuhanratu dan Lamongan tahun 20022013 Produktifitas kapal dan produktifitas nelayan skala kecil di Kabupaten Lamongan dan di pelabuhanratu (ton/tahun). Produktifitas armada pmt (kapal motor tempel) di Kabupaten Lamongan dan di pelabuhanratu (ton/armada/tahun). Perbandingan tingkat produktifitas nelayan di kedua lokasi penelitian lamongan dan pelabuhanratu (ton/nelayan/tahun) Biaya (Rp/per kg Output) produk hasil tangkapan berdasarkan jenis alat tangkap pada kapal motor (KM) (dihitung berdasarkan penggunaan input dibanding dengan output hasil tangkapan) Biaya (Rp/kg output ) berdasarkan jumlah input yang digunakan pada alat tangkap perahu motor tempel (PMT) tahun 2008-2013 Perubahan total faktor produktifitas 2008 – 2013 perikanan tangkap di Pelabuhanratu Tingkat pertumbuhan rata-rata output/produksi dan input (kapal dan BBM) pada usaha perikanan tangkap di Pelabuhanratu tahun 2002-2013 Hubungan antara tingkat pertumbuhan output dengan indek ketidakstabilan perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu Tingkat pertumbuhan dan tingkat instabiity index pengunaan bbm pada perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu Hubungan antara tingkat pertumbuhan nelayan dengan indek ketidakstabilan perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu Indek ketidakstabilan produksi perikanan di TPI Lamongan Komposisi nelayan dalam menyikapi kendala dalam melaut Antisipasi nelayan dalam menghadapi kondisi paceklik.
15 16 31
33 35 44 46 49 52 53 54
55
56 61
63 64 65 66 67 77 78
22 23 24 25 26 27 28 29
Antisipasi nelayan pada saat musim yang buruk (pengaruh iklim/cuaca) Aktifitas nelayan pada saat tidak melaut karena cuaca buruk Antisipasi nelayan dalam menghadapi resiko Nilai tambah/value added dan margin kegiatan usaha pengolahan produk perikanan Rantai pasok komoditas ikan di Lamongan Rantai pasok komoditas ikan di Pelabuhanratu Sistem rantai pasok ikan cakalang, tongkol dan pelagis kecil lainnya di Pelabuhanratu Model pengembangan perikanan tangkap skala kecil
78 79 79 80 82 85 86 88
SINGKATAN ABK BBM BBPSEKP BPS BUMN CGE CGR CII CPUE CRS CRSTE DEA DMU DRS EFFCH FAO GMB GT HNSI I-O IPTEK IRS Kepmen KKP KM MI MLE MSY NPV OLS PDB PDRB PMT PPN PPS PUMP RN RRR RTS SDI SE SPF TAC TE TECHCH TFPCH
: Anak Buah Kapal : Bahan Bakar Minyak : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan : Badan Pusat Statistik : Badan Usaha Milik Negara : Computable General Equilibrium : Compund Growth Rate : Coppock Instability Index : Cath per Unit Effort : Constans Return to Scale : Constan return to scale technical efficiensy : Data Envelopment Analysis : Decission Making Unit : Decreasing Return to Scale : Efficiency Change : Food Agricultural Organization : Gerbang Mina Bahari : Gross Ton : Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia : Input Output : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi : Increasing Return to Scale : Keputusan Menteri : Kementerian Kelautan dan Perikanan : Kapal Motor : Malmquist Index : Maximum Likelihood Estimator : Maximum Sustainability Yield : Net Present Value : Ordinary Least Square : Produk Domestik Bruto : Pendapatan Daerah Regional Bruto : Perahu Motor Tempel : Pelabuhan Perikanan Nusantara : Pelabuhan Perikanan Samodera : Pengembangan Usaha Mina Pedesaan : Rukun Nelayan : Relative Risk Ratio : Return to scale : Sumber Daya Ikan : Skala Efficiency : Stochastic Production Frontier : Total Allowance Cath : Technical Efficiency : Technical Change : Total Factor Productivity Change
TPI TTC UPI VA VRS VRSTE WPP WTO ZEEI
: Tempat Pendaratan Ikan : Tuna Tongkol Cakalang : Unit Pengolahan Ikan : Vallue Added : Variable Return to Scale : Variable return to scale technical efficiensy : Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia : World Trade Organization : Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
LAMPIRAN-LAMPIRAN Hal. 1
Hasil Analisis DEA
102
2
Analisis Indeks Malmquist
105
3
Hasil Analisis Multinomial Logistik
110
4
Analisis Relatif Risk Ratio (Odd Ratio)
111
5
Statistik Diskriptif
112
6
Indek Ketidakstabilan dan Pertumbuhan
113
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sektor perikanan di Indonesia berperanan penting dalam perekonomian nasional, baik dilihat dari segi produksi dan kontribusi terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja dan sumbangan terhadap devisa dari hasil ekspor. Produksi perikanan tangkap menunjukkan kenaikan secara signifikan, dari 5,03 juta ton pada tahun 2010 menjadi 5,8 juta ton pada 2014. Nilai ekspor pada tahun 2009 sebesar 2,48 miliar dolar, tahun 2010 naik menjadi 2,8 miliar dolar dan melonjak sebesar 4,46 miliar dolar pada tahun 2014 (KKP, 2015). Kontribusi PDB perikanan dibandingkan dengan kontribusi PDB lain dalam pertanian menunjukkan peran yang signifikan. Kontribusi perikanan dalam PDB nasional pada tahun 2010 sebesar 2,19% dan pada tahun 2013 naik menjadi 2,23%. Kontribusi PDB perikanan pada perekonomian nasional berkisar 2,23% pada tahun 2013, merupakan share terbesar kedua setelah sub sektor tanaman pangan (5,85%). Perkembangan PDB perikanan dan besarnya kontribusi perikanan dalam PDB nasional tersebut menunjukkan peran sektor perikanan dalam perekonomian Indonesia cukup signifikan dan sebagai sumber mata pencaharian yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Perikanan tangkap nasional masih dicirikan oleh perikanan tangkap skala kecil dimana proporsi kapal perikanan skala kecil (kurang dari 5 GT) pada tahun 2004 sebesar 93,30%, tahun 2008 sebesar 92,13% dan tahun 2012 sebesar 90,11% (KKP, 2014). Jumlah nelayan pada tahun 2012 sebanyak 2.278.388 terdiri dari nelayan penuh sebanyak 1.321.903 orang, nelayan paruh waktu sebanyak 638.240 orang dan nelayan sambilan sebanyak 318.245 orang, pada tahun 2014 jumlah nelayan sebanyak 2.186,900 (KKP, 2015). Komposisi tersebut memberikan indikasi bahwa perikanan tangkap skala kecil masih menjadi tulang punggung perekonomian. Salah satu kebijakan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) lebih fokus dalam mengatasi beragam masalah yang dihadapi oleh nelayan kecil dan tradisional, hal tersebut selaras dengan komitmen KKP untuk tetap selalu memperjuangkan peningkatan taraf hidup nelayan kecil. Perhatian dan fokus terkait kebijakan yang berpihak bagi perikanan tangkap skala kecil, dimana sebagian besar (hampir 90% adalah nelayan tangkap skala kecil) KKP (2014). Perikanan skala kecil merupakan sumber utama penghidupan bagi masyarakat yang tinggal wilayah pesisir. Sekitar 90 persen dari 38 juta orang diklasifikasikan sebagai nelayan skala kecil, dan lebih dari 100 juta orang diperkirakan terlibat dalam sektor pasca panen skala kecil (Allison dan Ellis, 2001). Di Indonesia pada tahun 1994, peranan perikanan skala kecil sangat dominan, dimana 90% dari hasil tangkapan sebesar 2,8 juta ton dilakukan oleh nelayan skala kecil/tradisional (Kramer et al., 2001). Menurut Fauzi dan Anna 2010 dan Sudarmo et al., 2015 perikanan skala kecil memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat di pantai utara Jawa. Peningkatan kontribusi secara langsung menunjukkan terjadi peningkatan produksi, pendapatan, perluasan lapangan kerja dan nilai tambah, namun kadang kontribusi dari perikanan tangkap skala kecil kurang diperhitungkan.
2
Kebijakan pengembangan industrialisasi perikanan diarahkan antara lain untuk meningkatkan produksi dan nilai tambah serta mendorong perluasan penyerapan pasar komoditas perikanan. Selain itu ikut berperan juga dalam percepatan pembangunan ekonomi Indonesia. Kajian industrialisasi perikanan saat ini diarahkan pada komoditas ikan pelagis kecil. Hal ini terkait dengan besarnya potensi dan menyebarnya sumber produksi ikan pelagis kecil, ikan demersal dan udang. Ikan pelagis kecil, demersal dan udang ini mempunyai nilai sangat strategis karena mempunyai multiplier effect yang luas dalam perekonomian. Industri perikanan menyerap banyak tenaga kerja, dan permintaan untuk bahan baku industri cukup signifikan. Pada sisi lain, peningkatkan permintaan produk perikanan Indonesia di pasar lokal maupun pasar ekspor yang semakin meningkat. Banyaknya unit penangkapan skala kecil dan jumlah nelayan yang terlibat dalam usaha penangkapan, memerperlukan kebijakan yang berpihak kepada para pelaku usaha nelayan skala kecil. Dua hal utama yang perlu diperhatikan yaitu jumlah nelayan yang banyak dan kondisi kesejahteraan masih rendah, dan peranan perikanan tangkap skala kecil secara nyata memberikan kontribusi yang jauh lebih besar dari pada data yang tercatat. Usaha perikanan tangkap skala kecil memiliki karakteristik yang berbeda dengan usaha di sektor lain, karena sering dihadapkan dengan resiko dan ketidakpastian. Nelayan di pantai utara Jawa (Pantura) sebagian besar nelayan menggantungkan hidupnya sebagai nelayan, dimana kesempatan atau peluang kerja lain terutama di sektor pertanian sangat kecil. Apabila dilokasi tidak dapat menangkap ikan karena berbagai masalah misalnya cuaca yang sedang buruk, nelayan pantai utara biasanya menjadi nelayan andon di lokasi lain yang sedang musim ikan. Sementara itu nelayan di pantai selatan biasanya selain bekerja sebagai nelayan, masih menggantungkan sebagian sumber pendapatannya dari sektor pertanian dan peternakan. Berdasarkan Permen KP no 45/MEN/2011, pengelolaan perikanan di Indonesia dibagi berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Pengelolaan perikanan dibagi menjadi 11 WPP di seluruh Indonesia. Potensi perikanan berdasarkan WPP tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan jenis sumber daya perikanan. Pengelompokan perikanan pelagis kecil dan demersal dengan pelagis besar merupakan dua kelompok dominan sumberdaya di Indonesia. Potensi perikanan pelagis kecil dan demersal 5,098 juta ton (78,2%) dari total 6,52 juta ton potensi perikanan di Indonesia. Sedangkan potensi ikan pelagis besar sebesar 1,145 juta ton (17,57%). Sumber daya di pantai utara Jawa yang meliputi kawasan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP 712) didominasi oleh jenis ikan pelagis kecil (41%) demersal (30%). Sedangkan produksi perikanan selatan Jawa sebagian besar adalah pelagis besar (50%), pelagis kecil (32%). Berdasarkan jenis armadanya WPP 712 (Laut Jawa) dan WPP 573 (Samodera Indonesia Selatan Jawa) didominasi oleh kapal-kapal < dari 5 GT. Armada didominasi oleh perahu motor tempel (PMT) sebanyak 90,50% di WPP 573 (Samodera Hindia) dan 85,87% (WPP 712). Perikanan di pantai utara Jawa, khususnya perikanan tangkap skala kecil diperairan pantai Kabupaten Lamongan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan perikanan skala kecil di perairan pantai Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Konsentrasi utama perikanan di pantai utara Lamongan didominasi
3
oleh kapal-kapal skala kecil dengan produksi sebagian besar adalah ikan pelagis kecil dan demersal. Sentra industri pengolahan berskala besar dan kecil telah banyak berkembang. Karakteristik perikanan tangkap skala kecil di Lamongan dicirikan: sebagian besar dengan armada kecil kurang dari 5 GT, alat tangkap utama Payang dan Gill net. Kedua alat tangkap tersebut mempunyai perbedaan dimana sering menimbulkan konflik antar kelompok nelayan. Alat tangkap Payang biasanya bisa menangkap hasil yang jauh lebih banyak karena semua jenis ikan dapat tertangkap, alat tangkap ini sering disebut mini trawl. Sedangkan alat tangakp gill net lebih ramah lingkungan dengan target tangkapan jenis ikan dengan ukuran tertentu. Kelembagaan yang berkembang di Lamongan adalah kelembagaan yang tumbuh dari bawah yang dinamakan Blandongan. Kelembagaan ini beranggota 60-80 orang setiap Blandongan. Tiap desa bisa ada 6-9 Blandongan. Pada tingkat desa Blandongan tersebut membuat asosiasi yang dinamakan Rukun Nelayan (RN), dan kumpulan RN-RN membentuk kelembagaan ditingkat Kabupaten yaitu HNSI. Kelembagaan tersebut mampu memenuhi kepentingan anggotaanggotanya, kelembagaan ini terus eksis dan manjadi bagian penting dalam pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Lamongan. Sebagian besar sifat usahanya adalah tradisional, dimana peran “agen” masih cukup dominan, meskipun dalam beberapa tahun belakangan dengan semakin bertambah luasnya pengetahuan dan kesadaran, peran “agen” semakin mengecil. Perikanan di Kabupaten Sukabumi yang berpusat di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhanratu, armada perikanan tangkap lebih bervariasi, sebagian merupakan perikanan skala kecil dan sebagian lagi adalah perikanan skala besar/industri. Produksi ikan didominasi oleh produksi ikan pelagis besar terutama Tuna, Cakalang, dan Tongkol (TTC). Sebagian besar produk tersebut langsung dipasarkan dalam bentuk segar ke sentra industri di Jakarta sebagai bahan baku ekspor atau industri pengolahan. Hal ini berdampak kepada kecilnya share perikanan terhadap PDRB di Kabupaten Sukabumi. Beberapa industri yang berkembang terutama prosesing dan industri pengolahan skala kecil (pindang dan pengeringan). Kelembagaan yang berkembang adalah kelembagaan yang biasanya mengikuti program pemerintah. Strategi pembangunan ekonomi menuju industrialisasi dijalankan dengan strategi pembangunan ekonomi berbasis keunggulan komparatif dan kompetitif (Yustika, 2012). Pembangunan yang menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dimana memiliki faktor-faktor produksi yang relatif tersedia dan relatif murah, konsep tersebut menimbulkan kritik karena dianggap tidak relevan serta terlalu sempit ruang lingkupnya, sehingga kurang memadai untuk mencakup determinan-determinan pokok yang menentukan keberhasilan ekonomi (Yustika, 2012), oleh karena itu perlu menggunakan pendekatan keunggulan kompetitif yang memperhitungkan semua faktor produksi yang mempengaruhi daya saing. Sumber daya perikanan merupakan salah satu sumber daya yang penting bagi hajat hidup masyarakat dan memiliki potensi dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi nasional (Daryanto, 2007). Hal ini didasari pada kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, Industri di sektor perikanan memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya. Ketiga, Industri perikanan berbasis sumber daya nasional atau dikenal dengan istilah national resources
4
based industries, dan keempat Indonesia memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) yang tinggi di sektor perikanan sebagaimana dicerminkan dari potensi sumber daya yang ada. Salah satu permasalahan dalam bidang perikanan adalah skala usaha, dimana sebagian besar adalah skala usaha kecil. Peningkatan efisiensi dilakukan melalui upaya untuk meningkatkan economic of scale sehingga meningkatkan keuntungan dan dapat mendorong peningkatan investasi baru pada akhirnya mampu mendorong pertumbuhan lebih cepat (Rustiadi, 2009) Berdasarkan kondisi tersebut maka penelitian ini perlu dilakukan, hasil penelitian ini diharapkam mampu memberikan masukan untuk perumusan rekomendasi kebijakan terkait dengan model pengembangan perikanan tangkap skala kecil untuk mendukung pembangunan perekonomian wilayah. Model yang direkomendasikan merupakan sintesa berdasarkan evaluasi dari kondisi saat ini (existing condition) dan hasil analisis yang menghasilkan model yang komprehenshif menjadi “templete” pengembangan perikanan tangkap skala kecil. Perumusan Masalah Salah satu tujuan pem angunan kelautan dan perikanan dalam kerangka pem angunan jangka menengah adalah terwujudnya kesejahteraan angsa Indonesia melalui peningkatkan pendapatan nelayan, pem udidaya ikan, serta pelaku usaha kelautan dan perikanan lainnya. Undang-Undang No.45 Tahun 2009 telah mengamanatkan bahwa tujuan pengelolaan perikanan adalah untuk (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya-ikan kecil, (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, (3) mendorong perluasan kesempatan kerja, (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, (5) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan, (6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing, (7) meningkatkan ketersediaan bahan untuk industri pengolahan ikan, (8) mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan dan, (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Perikanan tangkap skala kecil menurut UU No.45/2009 adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (GT). Pelaku usaha perikanan tangkap skala kecil menjadi sorotan utama dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan dewasa ini, hal tersebut tidak terlepas dari jumlahnya yang mendominasi sebagian pelaku usaha perikanan tangkap di Indonesia. Berdasarkan kajian yang dilakukan, keterbatasan asset dan permodalan yang dihadapi oleh nelayan skala kecil antara lain ditandai dengan kepemilikan asset usaha (perahu, mesin dan alat tangkap) sebagian besar adalah milik juragan atau diperoleh dengan cara meminjam uang kepada lembaga permodalan informal (juragan/tengkulak), (Ramadhan dan Apreliani, 2013). Proporsi kapal dan jumlah nelayan kecil yang sangat dominan berpotensi memunculkan berbagai konflik dalam persaingan pemanfaatan sumber daya ikan. Terkait isu teknologi, nelayan kecil sering kali kalah bersaing dengan nelayan modern. Oleh karena itu perikanan tangkap skala kecil memerlukan pengelolaan yang terencana agar dapat berkelanjutan dengan memperhatikan karakteristiknya. Perikanan nasional dari tahun ke tahun masih didominasi oleh perikanan skala
5
kecil (kurang dari 5 GT), data statistik menunjukkan bahwa kapal tangkap yang berukuran kurang dari 30 GT hampir 90,11% (KKP, 2013). Salah satu isu pembangunan perikanan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah bagaimana menyeimbangkan antara tujuan ekonomi dengan keberlangsungan sumber daya perikanan, di mana dalam beberapa dekade belakangan ini pengelolaan sumber daya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumber daya perikanan secara besar-besaran tanpa memperhatikan aspek kelestarian (Fauzi, 2010). Di sisi lain kondisi sumber daya perikanan di Indonesia khususnya di wilayah pantai cenderung mulai berkurang, sehingga hasil tangkapan beberapa jenis ikan terus mengalami penurunan. Menurut Dahuri (2012), salah satu permasalaahan yang dihadapi oleh nelayan skala kecil yang menyebabkan kemiskinan adalah banyak nelayan yang melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang stok SDI (sumber daya ikan) nya mengalami overfishing (tangkap lebih). Secara nasional, total potensi produksi lestari (MSY, Maximum Sustainable Yield) SDI di seluruh wilayah laut Indonesia, termasuk ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), sebesar 6,52 juta ton/tahun (KKP, 2011). Pada 2011 total produksi ikan hasil tangkapan dari laut mencapai 5,34 juta ton (KKP, 2012) atau sekitar 81% dari total MSY. Agar stok SDI tetap lestari dan usaha perikanan tangkap bisa berkelanjutan, maka laju (tingkat) penangkapan SDI maksimal sebesar 80% MSY (FAO, 1995). Artinya, status pemanfaatan SDI laut Indonesia saat ini hampir mendekati jenuh (fully exploited). Indikator kondisi overfishing dari suatu stok SDI adalah: (1) total volume ikan hasil tangkapan (produksi) lebih besar dari MSY SDI tersebut; (2) hasil tangkapan ikan per satuan upaya tangkap (Catch per unit of effort/CPUEt) cenderung menurun; (3) rata-rata ukuran ikan yang tertangkap semakin mengecil; dan (4) fishing ground (daerah penangkapan ikan) semakin menjauh dari daratan, atau semakin dalam ke dasar laut seperti yang sedang terjadi pada stok ikan lemuru di Selat Bali dalam dua tahun terakhir. Oleh sebab itu, overfishing jelas mengakibatkan volume ikan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan semakin menurun. Apabila, kegiatan penangkapan ikan dengan laju yang lebih besar dari pada MSY dibiarkan terus, maka pendapatan nelayan yang bakal kian menurun. Secara spesifik permasalahan mendasar yang berkaitan dengan keberlanjutan perikanan tangkap adalah belum adanya cara pandang yang komprehensif dari seluruh stakeholder tentang keadaan perikanan sebagai suatu sistem. Sistem ini menyangkut permasalahan keadaan nelayan, produktivitas penangkapan, tingkat pendapatan, ketersediaan sumber daya ikan dan kegiatan pengelolaan perikanan tangkap. Di sisi lain untuk mempertahankan keberlanjutan usahanya, nelayan kecil sebagai pelaku perikanan tangkap masih memiliki berbagai permasalahan klasik, yaitu terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan nelayan, terbatasnya armada dan alat tangkap, kurangnya modal usaha, manajemen usaha bersifat tradisional dan dengan teknologi terbatas, terbatasnya akses informasi dan pasar, terbatasnya prasarana, sarana dan institusi pendukung. Permasalahan yang dihadapi dalam keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil meliputi berbagai hal diantaranya adalah kondisi perairan yang padat tangkap sehingga sumber daya ikan (SDI) semakin terbatas, upaya penangkapan terus meningkat namun produktivitasnya semakin menurun sehingga pendapatan
6
nelayan semakin menurun, konflik pemanfaatan SDI yang semakin meningkat yang berakibat pada peningkatan intensitas konflik sosial antar nelayan. Konflik pemanfaatan SDI yang terjadi saat ini juga diakibatkan oleh kurang jelasnya aturan dan belum efektifnya penegakan hukum. Permasalahan dari segi sumber daya perikanan adalah besarnya tekanan terhadap sumber daya perikanan yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya perikanan (Fauzi, 2010). Menurut data FOA tahun 2007 (dalam Fauzi, 2010) sekitar 28% dari stok ikan dunia sudah berada dalam kondisi over exploited maupun depleted (terkuras) dan 52% dalam kondisi fully exploited. Sedangkan data Komis Pengkajian Stock Ikan Nasional (Kajiskan) kondisi serupa juga terjadi pada perikanan Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena dua hal utama yaitu overfishing dan ekses kapasitas (over capacity). Banyak permasalahan kompleks yang dihadapi masyarakat/nelayan skala kecil yang menyebabkan tekanan untuk mempertahankan sumber mata pencaharian (Sudarmo et al., 2015; Fauzi dan Anna, 2010; Kramer et al., 2002; Sievanen, 2014). Seperti di banyak bagian dunia, nelayan skala kecil menghadapi banyak tantangan seperti persaingan dengan wisata pantai dan sektor perikanan lainnya, penurunan stok ikan, variabilitas iklim, dan fluktuasi pasar (Sievanen, 2014). Kondisi terakhir, stock sumber daya dan matapencaharian dari kegiatan penangkapan perikanan banyak mengalami penurunan, dan penurunan ini diperparah oleh ketidakpastian terkait dengan peningkatan variabilitas dan perubahan iklim (Sievanen, 2014; Fauzi dan Anna, 2010). Menurut Scot (1979) dalam Fauzi (2010) ada empat alasan utama perlunya pengaturan (regulasi) dalam perikanan yaitu: Pertama regulasi diperlukan untuk mendorong terjadinya efisiensi dalam pengelolaan perikanan, perikanan yang tidak diatur (open-access) cenderung menimbulkan inefisiensi karena terlalu banyak input yang digunakan dari yang seharusnya. Kedua regulasi perikanan diperlukan untuk meningkatkan kualitas serta bobot dan ukuran ikan yang ditangkap, pada perikanan yang tidak diatur selalu menyebabkan munculnya eksternalitas. Ketiga laut mempunyai sifat multiple use (multi guna), pengaturan diperlukan agar konflik pemanfaatan ruang tidak terjadi. Keempat regulasi diperlukan untuk mencegah pemborosan tenaga kerja dan modal serta untuk mendorong alokasi sumber daya yang efisien. Perkiraan kontribusi perikanan skala kecil secara ekonomi “undervalued”, nilai perikanan skala kecil di Sabah, Malaysia terhitung mungkin tiga kali lipat dari kontribusi perikanan terhadap PDB (Teh et al, 2011). Kajian dengan hasil sama dilakukan oleh Zeller et al. (2007) yang dilakukan di negera-negara Samoa dan Guam, yang menyatakan bahwa hasil tangkapan sebenarnya lebih dari 2,5 kali data (statistik) resmi, hal ini menunjukkan bahwa kontribusi sebenarnya dari perikanan tangkap skala kecil jauh lebih besar dari yang tercatat secara resmi. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia, kebijakan industrialisasi perikanan bertujuan untuk mendorong kontribusi Sektor Kelautan dan Perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Menurut Berkes (2007) statistik perikanan skala kecil tercatat baik pada lokasi-lokasi dimana perikanan besar tumbuh, sedangkan pada lokasi-lokasi dimana perikanan skala besar tidak berkembang, biasanya pencatatan data tidak akurat. Hasil penelitian (Barnes-Mauthe et al., 2013) menunjukkan bahwa sektor
7
perikanan skala kecil mempekerjakan 87% dari populasi orang dewasa, menghasilkan rata-rata 82% dari seluruh pendapatan rumah tangga. Produksi perikanan sebagian besar digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan telah diolah menjadi produk olahan. Sedangkan penyediaan ikan untuk konsumsi meningkat rata-rata pertahun 7,78% dari 23,95 kg/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 29,98 kg/kapita/tahun pada tahun 2008 pada tahun 2012 telah naik menjadi 33,89 kg/kapita/tahun (KKP, 2013). Diharapkan penyediaan ikan untuk konsumsi dapat sejajar dengan negara asia lainnya, seperti Jepang sebesar 110 kg/kapita/tahun, Korea Selatan sebesar 85 kg/kapita/tahun dan Thailand sebesar 35 kg/kapita/tahun. Adanya sumber daya perikanan yang cukup melimpah, namun disisi lain peranan perikanan tangkap skala kecil yang merupakan sebagian besar pelaku usaha penangkapan dikabupaten Lamongan perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar. Perhatian yang lebih besar dari pemerintah diharapkan mampu meningkatkan peran usaha perikanan tangkap skala kecil terhadap perekonomian. Usaha nelayan untuk melakukan penangkapan masih sering terkendala dengan ketersediaan sumber dana operasional. Kebutuhan dana operasional nelayan kecil diperlukan setiap hari. Namun kebutuhan dana tersebut sering tidak dapat dipenuhi dengan dana pribadi nelayan. Diperlukan ketersediaan sumber dana yang dapat diperoleh dengan cepat dan tidak memerlukan mekanisme yang rumit. Langgan/pedagang perantara merupakan salah satu sumber pendanaan alternatif bagi nelayan. Interaksi nelayan-pedagang perantara/langgan merupakan fenomena umum yang terjadi di hampir semua komunitas nelayan kecil, interaksi tersebut memunculkan jargon patron-client antara juragan dengan nelayan. Hu ungan “patron-client” telah lama erperan dalam pemanfaatan sum erdaya laut di Asia Tenggara (Merlijn 1989; Pelras 2000). Sifat dari hubungan tersebut menggambarkan hubungan vertikal, dimana patron sebagai “superior” dan client/nelayan se agai “inferior” (Lande, 1977). Hubungan interaksi patron-client didasari oleh alasan ekonomi dan kepentingan kedua belah pihak yang seharusnya saling menguntungkan. Dalam prakteknya sering terjadi hubungan ekploitatif antara kedua belah pihak, dimana pihak patron sering menggunakan kekuasaan sebagai sumber penyedia modal kepada nelayan yang posisinya lebih lemah. Sementara peran lembaga keuangan formal belum bisa memenuhi kebutuhan nelayan, sehingga nelayan lebih sering menggunakan sumberdana operasional dari langgan/pedagang perantara. Fakta yang muncul tidak ada pihak yang ingin menyelesaikan hutang-piutang yang berjalan, selama kepercayaan di antara tengkulak/langgan dengan nelayan tersebut masih ada, tidak ada alasan untuk khawatir tentang transaksi keuangan (penyelesaian hubungan hutang piutang). Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa secara umum permasalahan yang dihadapi perikanan skala kecil cukup komplek. Namun demikian untuk mempertajam fokus penelitian ini, rumusan masalah akan difokuskan pada beberapa aspek: 1) Berdasarkan komponen input yang digunakan serta karakteristik lokasi nelayan skala kecil, bagaimana tingkat efisiensi dan faktor produktifitas total di kedua lokasi perikanan skala kecil tersebut. 2) Dengan tingginya faktor ketidakpastian dalam berusaha, bagaimana stabilitas produksi perikanan di kedua lokasi dapat diketahui
8
3)
4)
Sumber daya finansial merupakan salah satu komponen penting yang bisa menjadi sumber ketidakpastian usaha, bagaimana nelayan skala kecil melakukan strategi permodalan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Perikanan skala kecil berperan penting dalam perekonomian lokal, bagaimana nilai tambah/value added memberikan kontribusi dalam perekonomian lokal.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini untuk mengembangkan model pada perikanan tangkap skala kecil untuk mendukung pembanguan ekonomi wilayah. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah: 1. Melakukan analisis efisiensi alokasi sumber daya dan perubahan faktor produktifitas total pada perikanan tangkap; 2. Melakukan analisis indeks ketidakstabilan perikanan tangkap 3. Melakukan analisis untuk mengetahui kecenderungan nelayan skala kecil dalam memenuhi modal untuk biaya operasional; 4. Melakukan analisis efisiensi dan value added perikanan tangkap skala kecil Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemecahan masalah terutama dalam memberikan sumbangan dalam mengembangkan model pada perikanan tangkap skala kecil untuk mendukung perekonomian wilayah. Manfaat penelitian ini antara lain: a. Menambah referensi terutama terkait dengan karakteristik, peran dan fungsi kelembagaan pada perikanan tangkap skala kecil b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah sebagai bahan penyusunan kebijakan terkait dengan pengembangan perikanan tangkap skala kecil dalam pembangunan ekonomi wilayah. c. Sebagai salah satu acuan pada kajian atau penelitian selanjutnya mengenai model pengembangan perikanan tangkap skala kecil Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini melakukan analisis tentang efisiensi, perubahan faktor produktifitas total dan ketidakstabilan untuk mengatahui bagaimana kondisi sumberdaya dan penggunaan faktor produksi. Analisis permodalan untuk mengetahui kecenderungan interaksi nelayan dengan pedagang perantara untuk memperoleh permodalan. Sedangkan penelitian nilai tambah dilakukan untuk mengetahui nilai tambah kegiatan perikanan. Penelitian hanya dilakukan di dua lokasi yaitu Lamongan dan Pelabuhanratu/Sukabumi. Argumentasi penelitian ini adalah bahwa perikanan tangkap skala kecil mempunyai peranan dalam perekonomian wilayah. Untuk membuktikan argumen tersebut peneliti menggunakan analisis kuantitatif untuk mengetahui tingkat efisiensi, perubahan faktor produktifitas dan indek ketidaksatabilan untuk mengetahui kondisi penggunaan sumber daya dalam melakukan penangkapan. Analisis kuantitatif dengan menggunakan model analisis regresi multinomial logistik untuk mengetahui kecenderungan interaksi nelayan dengan langgan untuk memperoleh
9
biaya operasional. Sedangkan analisis nilai tambah untuk mengetahui nilai tambah aktifitas perikanan. Sistesis dari hasil analisis tersebut akan menghasilkan model yang akan direkomendasikan sebagai saran kebijakan. Kebaruan/Novelty Studi terkait peran perikanan skala kecil baik dalam skala mikro maupun makro sudah relatif banyak dilakukan. Namun demikian fokus kajian kuantitatif dengan menekankan pada aspek efisiensi pemanfaatan faktor produksi, kecenderungan perilaku nelayan dalam memperoleh sumber pendanaan dan strategi yang dilakukan dalam menghadapi ketidakpastian dalam menghadapi kendala pasar belum pernah dilakukan. Penelitian yang mencakup aspek komprehenship usaha nelayan skala kecil belum pernah dilakukan di Indonesia. Selain itu kebaruan penelitian juga terletak pada deferensiasi lokasi yang diduga berperan penting dalam pola hubungan patron-client yang dilakukan oleh nelayan skala kecil. Penelitian sejenis belum pernah dilakukan dan studi ini merupakan studi yang pertama mengkaji aspek tersebut.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Pengembangan Perikanan Nasional Pembangunan perikanan telah banyak memberikan manfaat bagi perekonomian secara mikro maupun secara makro. Peranan dalam pembangunan ekonomi makro, sektor perikanan tumbuh diatas rata-rata sektor/subsektor pertanian lainnya. PDRB Perikannan tumbuh diatas 7%. Sumbangan sektor perikanan terhadap PDB tahun 2014 sebesar 2,34%, naik dari 2,21 tahun 2013 dan 2,14 tahun 2012 (KKP, 2015). Kenaikan peranan dalam perekonomian makro tersebut tidak terlepas dari kebijakan pembanguan sektor perikanan sejak berada dibawah Depertemen Pertanian maupun setelah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berdiri sejak tahun 1999. Namun demikian pengembangan sektor kelautan dan perikanan perlu dipacu dengan berbagai kebijakan sehingga potensi perikanan dan kelautan dapat memberikan kontribusi yang lebih tinggi. Saat ini Indonesia masih kalah bersaing dibandingkan beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam (Dahuri 2002). Sejak awal kemerdekaan pemerintah teleh memperhatikan sektor perikanan dengan berbagai kebijakan. Perkembangan perikanan di Indonesia tidak terlapas dengan adanya kebijakan dan perundangan sebagai dasar pengelolaan perikanan di Indonesia. UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan maritim. Terbitnya UU tersebut memperkokoh konsep wawasan nusantara, sedangkan bagi sektor perikanan UU dan Keppres tersebut merupakan perangkat kebijakan yang menguntungan karena secara prinsip kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan maritim Indonesia. Produksi perikanan Indonesia sejak tahun awal kemerdekaan terus meningkat dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4% per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal menurun dari 4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada
10
tahun 1965. Basis perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang berkembang. Pada era orde baru kebijakan pembangunan perikanan dilakukan dengan berbagai instrumen. Kebijakan tersebut menghasilkan pertumbuhan produksi perikanan yang tumbuh pesat. Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-1978). Peningkatan produksi pada era orde baru karena adanya kebijakan motorisasi perikanan tujuannya adalah untuk mendorong modernisasi perikanan tangkap. Motorisasi perikanan merupakan faktor pendorong peningkatan produksi pada perikanan di Indonesia. Peran sektor perikanan dalam perekonomian nasional tidak dapat dipisahkan dari pasang surutnya peran perusahaan perikanan nasional. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1,4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% erupa kapal motor (“in oard motor”), dan agian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai. Pada era orde baru peningkatan produksi yang cukup pesat akan tetapi juga munculnya konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil.Munculnya dualisme struktur perikanan. ditunjukkan oleh Bailey pada kasus penting yaitu introduksi trawl dan purse seine. Nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah semakin tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980. Kondisi ini yang mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983. Kebijakan motorisasi antara tahun 70-an sampai 80-an, dikenal sebagai ke ijakan pengem angan “armada semut”. Ke ijakan ini dilaksanakan terkait dengan pelaksanaan Keppres No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan trawl di Indonesia. Terdapat dua strategi penting dari kebijakan pelarangan trawl tersebut, yaitu: untuk meredam konflik sosial akibat pasca pelarangan trawl beroperasi pada perairan Indonesia dan mendorong peningkatan produksi perikanan tangkap melalui modernisasi perahu tanpa motor menjadi perahu motor tempel dan armada kapal motor. Pada era reformasi struktur perikanan laut masih didominasi perikanan skala kecil dimana proporsi armada perikanan masih sekitar 90% armada perikanan adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi (2,1%). Pada periode orde baru tingkat pertumbuhan perikanan lebih rendah dari periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan tumbuh lebih rendah (2,5%). Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-1998 mencapai 8,4
11
ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Pada periode Kementerian Kelautan dan Perikanan terdapat beberapa kebijakan, yaitu : Protekan (2003), Program Gerbang Mina Bahari (2003), Program Minapolitan (2010) dan Program industrialisasi perikanan (awal 2012). Kebijakan program ekspor perikanan (Protekan), kebijakan ini dilaksanakan pada tahun 2003. Sasaran dari protekan adalah untuk mendorong ekspor perikanan Indonesia. Saat ini, eksploitasi perikanan terus meningkat dengan pesat. Setelah Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan tahun 1998 melaporkan sebagian besar sumberdaya ikan diekploitasi secara intensif, hasil pengkajian stok tahun 2001 diketahui 65% sumberdaya diekploitasi pada tingkat penuh atau berlebihan, terutama di wilayah bagian barat Indonesia. Karena itu, peluang industri perikanan akan bertumpu pada kawasan timur Indonesia dan ZEEI. Kepmen KP no 45 tahun 2011 yang mengatur wilayah pengelolaan perikanan RI (WPPRI) telah menetapkan potensi berdasarkan WPP yang dibagi menjadi 11 WPP. Status perikanan Indonesi menurut SK tersebut sebesar 6.520 juta ton. Sedangkan produksi pada tahun 2014 telah mencapai 5.8 juta ton. Program Gerbang Mina Bahari (GMB) tidak secara langsung mengakselerasi industrialisasi perikanan, tetapi lebih diarahkan untuk mengatasi krisis ekonomi, mensejahterakan masyarakat khususnya nelayan, penyerapan tenaga kerja, meningkatkan produksi perikanan termasuk konsumsi ikan. Pelaksanaan Program GMB ini dapat dikatakan kurang mencapai sasaran karena tidak didukung oleh kementerian lain, terutama terkait dengan pembangunan infrastruktur dan kebijakan makro ekonomi nasional. Program GMB menetapkan target produksi perikanan sekitar 8,1 juta ton pada tahun 2005 dan 9,5 juta ton pada tahun 2006. Berdasarkan issue dan permasalahan perdesaan yang terjadi di Indonesia, pengembangan Kawasan Minapolitan merupakan alternatif solusi untuk pembangunansektor kelautan dan perikanan berbasis wilayah. Konsep pembangunan tersebut sejalan dengan Arah Umum Pembangunan Nasional dan Arah Kebijakan Pembangunan Kewilayahan dan Pengembangan Kawasan sebagaimana tertuang di dalam Buku I RPJM Tahun 2010-2014. Sejalan dengan arah kebijakan nasional tersebut, pembangunan sektorkelautan dan perikanan perlu dilakukan dengan pengembangan kawasan-kawasan ekonomi unggulan menjadi lebih produktif dengan konsep Kawasan Minapolitan (KKP, 2010). Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12/MEN/2010, tentang lokasi program minapolitan. Melalui program Minapolitan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah merangkul dukungan kementerian lain untuk terlibat dalam program minapolitan. Pembangunan sarana dan prasarana untuk mendukung pengembangan minapolitan telah dilakukan oleh Kementerian lainnya seperti PU, Kesehatan, Perumahan rakyat. Keterlibatan kementerian lain dalam program minapolitan mempermudah Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk fokus terhadap targettarget yang telah ditetapkan, sehingga kinerja pembangunan kelautan dan perikanan meningkat. Upaya mendorong peningkatan peranan sektor perikanan oleh kementerian Kealutan dan perikanan dilakukan melalui kebijakan industrialisasi tahun 2012. Program industrialisasi mendorong kegiatan yang menghasilkan produk primer ke
12
produk olahan agar diperoleh nilai tambah. Kebijakan industrialisasi yang dilaksanakan saat ini merupakan proses perubahan sistem produksi untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumber daya kelautan dan perikanan. Upaya pemerintah untuk mensukseskan program industrialisasi adalah penetapan lokasi-lokasi percontohan yang berada di kawasan pelabuhan perikanan. Lokasi percontohan adalah pada PPS Nizam Zachman, PPS Bungus, PPS Bitung, PPN Ambon dan PPN Pelabuhanratu. Komoditas utama khusus untuk perikanan tangkap laut adalah komoditas tuna, tongkol dan cakalang. Menurut Sutisna (2006) model pengembangan perikanan berdasarkan pendekatan optimasi di perairan Selatan Jawa Barat dapat dirumuskan suatu model umum untuk pengembangan perikanan tangkap yang terdiri dari 7 komponen utama, yaitu:sumber daya ikan, armada penangkapan ikan, nelayan, sarana penunjang produksi, pelabuhan perikanan, unit pemasaran hasil tangkapan, dan unit pengolahan ikan. Dalam perikanan terdapat beberapa peubah endogen maupun eksogen yang membedakan model ekonomi, yakni: (1) kepemilikan asset, (2) daerah produksi (penangkapan ikan) yang berbeda, (3) sistem bagi hasil dalam pengaturan upah, dan (4) peubah kebijakan. Sehubungan dengan hal tersebut, kemampuan nelayan untuk memaksimumkan hasil tangkapan ikan ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: (1) modal kerja atau investasi (perahu/motor dan jenis alat tangkap), (2) potensi sumber daya perairan atau daerah operasi penangkapan ikan di laut, (3) hari kerja efektif melaut, (4) kemudahan untuk memasarkan hasil tangkapan dengan harga yang wajar, dan (5) biaya operasi/produksi penangkapan ikan (Smith, 1987). Modernisasi dalam kepemilikan asset perikanan seringkali menyebabkan juga berbagai permasalahan, antara lain : ketimpangan antar nelayan (buruh dengan pemilik kapal) karena kesempatan untuk memperoleh bantuan teknologi dan modal seringkali bias pada segelintir nelayan (Kusnadi, 2002). Oleh karena itu pembangunan perikanan yang diharapkan sebagai sumber pertumbuhan baru, lebih diarahkan pada penyediaan sarana dan prasarana produksi antara lain modernisasi jenis alat tangkap dan motorisasi armada penangkapan ikan. Peranan Perikanan dalam Perekonomian Indonesia Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar produk perikanan dimana perikanan memberikan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian Indonesia. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2009 sebesar 5,108 juta ton sedangkan pada tahun 2014 naik menjadi 5,8 juta ton, atau tumbuh 3,75% (KKP, 2014). Upaya meningatkan peranan saektor perikanan sangat terasa setelah dibentuk Departemen Kelautan dan Perikanan. Sejak saat itu peranan industri perikanan dalam struktur ekonomi melalui sumbangan industri perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin meningkat. Pada tahun 2014 peranan sektor perikanan terhadap PDB nasional sebesar 2,34 %, jauh meningkat dari tahun 1990 yang hanya sebesar sekitar 1%. Namun penekanan pembangunan sektor perikanan selama ini lebih bersifat eksploitasi sumber daya sehingga mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem lingkungan dan tidak memperhatikan nilai tambah ekonomis yang dapat diperoleh dari sektor tersebut. Beberapa negara yang telah sukses mengembangkan sektor perikanan seperti di Islandia, Norwegia, Thailand, China dan Korea Selatan, di
13
negara tersebut, sektor perikanan mampu memberikan kontribusi ekonomi yang besar. Sebagai contoh Islandia dan Norwegia, kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 60% dan 25%. Keadaan tersebut jauh berbeda dengan kontribusi sektor perikanan Indonesia terhadap PDB nasional yang hanya mencapai 2,34% pada tahun 2014. Sebagai negara kepulauan dengan potensi perikanan yang besar, seharusnya sektor perikanan menjadi andalan dalam pembangunan Indonesia. Selain itu sektor perikanan juga berpotensi untuk dijadikan penggerak utama (prime mover) ekonomi Indoneisa. Namun secara empiris pembangunan sektor perikanan selama ini kurang mendapatkan perhatian sehingga kontribusi dan pemanfaatnnya dalam perekonomian Indonesia masih kecil. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya perikanan dan menjadikan sektor ini sebagai prime mover pembangunan ekonomi nasional, diperlukan upaya percepatan dan terobosan dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang didukung dengan kebijakan politik dan ekonomi serta iklim sosial yang kondusif. Dalam kaitan ini, koordinasi dan dukungan lintas sektor serta stakeholders lainnya menjadi salah satu prasyarat yang sangat penting (KKP, 2010). Menurut Kurniawan (2010) pembangunan disektor kelautan dan perikanan, tidak boleh dipandang sebagai hanya sebagai cara untuk menghilangkan kemiskinan dan pengangguran, namun sektor kelautan dan perikanan merupakan basis perekonomian nasional, maka sudah sewajarnya jika sektor perikanan dan kelautan ini dikembangkan menjadi sektor unggulan dalam kancah perdagangan internasional. Strategi pembangunan dengan basis sumber daya alam dapat pulih (seperti sektor perikanan) merupakan suatu hal yang tepat. Hal ini di karenakan (1) potensi sumber daya Indonesia yang sangat besar; (2) keterkaitan industri hulu (backward-linkages industri) dan keterkaitan industri hilir (foward-linkages industries) yang kuat dan diharapkan dapat menciptakan efek ganda (multiplier efects) yang besar; (3) penyerapan tenaga kerja yang besar; (4) dapat mengatasi ketimpangan pembangunan antar wilayah dikarenakan kegiatan ekonomi berbasis sumber daya alam yang dapat pulih bisa dan biasanya berlangsung di daerah pedesaan; (5) karena bersifat dapat pulih, maka bisa mewujudkan pola pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Menurut Fauzi (2009), perencanaan pembangunan kelautan dan perikanan didasarkan pada konsepsi pembangunan berkelanjutan yang didukung oleh pengembangan industri berbasis sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam mencapai daya saing yang tinggi. Tiga hal pokok yang dilakukan terkait arah pembangunan sektor perikanan ke depan, yaitu (1) membangun sektor perikanan yang berkeunggulan kompetitif (competitive advantage) berdasarkan keunggulan komparatif (comparative advantage); (2) menggambarkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan; (3) mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah. Dalam konteks pola pembangunan tersebut, ada tiga fase yang harus dilalui dalam mentransformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan dalam hal daya saing, yaitu (a) fase pembangunan yang digerakkan oleh kelimpahan sumber daya alam (resources driven); (b) fase kedua adalah pembangunan yang digerakan oleh investasi (investment driven) dan; (c) fase ketiga pembangunan yang digerakkan oleh inovasi (inovation driven). Dalam
14
upaya mencapai pemanfaatan perikana secara optimal dan berkelanjutan dalam pengelolaan perikanan yang menjamin kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan di seluruh Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan keluarkan Peraturan Menteri nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). Peraturan ini sebagai penyempurnaan dan mengganti Keputusan Menteri Pertanian No.996/Kpts/IK.210/9/ 1999 tentang Potensi Sumber Daya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan. Kemudian dilakukan menyempurnakan manajemen pemanfaatan perairan itulah maka dilakukan penentuan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) di seluruh Indonesia dari 9 WPP menjadi 11 WPP. Upaya ini adalah merupakan langkah maju dalam menerapkan ketentuan internasional Code of Conduct for Responsible Fisheries, atau Tatanan Pengelolaan Perikanan yang Bertanggungjawab atau Berkelanjutan. Sebagaimana kita ketahui sumber daya perikanan adalah termasuk sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources). Setiap WPP pada prinsipnya memiliki karakteristik yang berbeda, dimana WPP di bagian timur umumnya memiliki potensi sumber daya ikan pelagis besar sehingga armada yang beroperasi relatif lebih besar dibandingkan di WPP bagian barat yang sebagian besar potensi sumber daya ikannya adalah jenis ikan pelagis kecil. Namun demikian, dilihat dari tingkat kepadatan nelayan, WPP bagian barat relatif lebih padat dibandingkan bagian timur sehingga di WPP banyak terjadi kegiatan illegal fishing karena besarnya potensi sumber daya ikan yang dimiliki di wilayah tersebut. Oleh karena itu, WPP bagian timur banyak disebut sebagai golden fishing ground, seperti Laut Arafura, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Struktur Kapal Perikanan di Indonesia Struktur armada perikanan Indonesia lebih didominasi oleh perahu kecil (perahu tanpa motor, motor tempel dan kapal motor 5 GT). Gambar 1. memberikan ilustrasi kondisi kapal penangkap ikan Indonesia (2004-2014), pada periode tersebut, sebagian besar didominasi oleh kapal-kapal skala kecil. Kapal lebih 30 GT hanya dari 0,98% dari total kapal penangkap ikan, kondisi ini menggambarkan bagaimana peranan perikanan skala kecil dalam pembangunan kelautan dan perikanan di Indonesia. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya eksploitasi sumber daya ikan yang berlebihan terutama diwilayah yang kurang dari 12 mil laut. Komposisi kapal perikanan menjadikan sumber daya di laut lepas kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal. Konsentrasi kapal skala kecil yang melakukan operasi penangkapan disekitar wilayah pesisir menyebabkan tekanan yang besar pada sumber daya perikanan. Akibatnya sumberdaya di wilayah pesisir mengalami over fishing. Potensi konflik sesama nelayan juga besar karena kapalkapal skala kecil beroperasi pada wilayah yang sama. Oleh karena itu perlu penanganan yang cermat agar nelayan skala kecil tetap dapat menangkap ikan namun tidak menyebabkan konflik sesama nelayan. Struktur kapal skala kecil yang terkonsetrasi di wilayah pesisir menyebabkan produktifitas kapal juga rendah. Produktifitas yang rendah menyebabkan terjadinya over capasity yang dapat menyebabkan pemborosan sumber daya sepert BBM. .
15
Sumber : Statistik Perikanan Tangkap Indonesia tahun 2015 (diolah) Gambar 1 Struktur kapal perikanan Inodnesia tahun 2004-2014. Kinerja sektor kelautan dan perikanan selama semester I tahun 2013, nilai ekspor perikanan mencapai USD1,97 juta dengan volume 621,7 ribu ton, terjadi kenaikan produksi ikan 4,2 persen dan untuk volume perdagangan naik 5,3 persen. Komoditi udang masih menjadi primadona ekspor dengan menyumbang 36,7 persen atau USD723,6 juta. Sedangkan negara tujuan ekspor masih tertuju pada negara AS, Jepang, Uni Eropa dan China. Nilai perdagangan produk perikanan surplus USD 1,78 miliar atau naik 3,5 persen dari tahun sebelumnya (KKP, 2013). Untuk mendukung target tersebut, KKP telah menyiapkan berbagai program yang secara langsung mendukung pencapaian target. Diantaranya program peningkatan daya saing perikanan melalui produktivitas, efesiensi, kualitas produk dan nilai tambah. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan arah kebijakan dan strategi pembangunan kelautan dan perikanan melalui industrialisasi perikanan. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk serta meningkatkan daya saing berbasis pengetahuan (KKP, 2012). Kebijakan industrialisasi perikanan menjadi fokus perhatian KKP, dan merupakan kebijakan strategis untuk menggerakkan seluruh potensi perikanan, sebagai industri hilir. Kebijakan industrialisasi perikanan dilakukan melalui pengembangan komoditi unggulan untuk meningkatkan nilai tambah produk secara menyeluruh, mulai dari hulu sampai hilir, sehingga diharapkan akan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Indonesia mempunyai potensi perikanan yang cukup besar berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia, potensi total adalah sebesar 6.520.100 ton/tahun. Pengelolaan tersebut didasarkan atas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang terdiri dari 11 WPP diseluruh Indonesia. Potensi perikanan yang dimiliki merupakan sumber pendapatan negara disamping menjadi sumber mata pencaharian sebagian besar masyarakat di kawasan pantai terutama nelayan. Potensi WPP 712 (laut Jawa) sebesar 836.600
16
ton/tahun, sedangkan potensi WPP 573 (Samudera Hindia, selatan Jawa) 491.700 ton/tahun. Ilustrasi produksi ikan dominan tahun 2012 di WPP 712 (Laut Jawa) dan WPP 573 (Samudera Hindia Selatan Laut Jawa) . seperti pada Gambar 2.
Sumber : KKP, 2013 Gambar 2 Perbandingan produksi ikan dominan di WPP 712 (Laut Jawa) dan WPP 753 (Samudera Hindia Selatan Pulau Jawa). Sumber: KKP, 2013) Karakteristik Perikanan Skala Kecil Karakteristik sumber daya perikanan bersifat open access, sehingga menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal, dengan demikian elemen resiko menjadi sangat tinggi (Satria, 2009). Menurut Polnak (1988) ciri-ciri perikanan skala kecil beroperasi di daerah yang tumpang tindih dengan kegiatan budidaya dan bersifat padat karya. Perikanan skala kecil juga dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), biasanya untuk pemenuhan sendiri (subsisten) yang sering disebut sebagai peasant fisher, yaitu karena alokasi hasil tangkapan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dari pada yang diinvestasikan kembali untuk pengembangan usaha (Satria, 2009). Perikanan tangkap skala kecil cenderung menonjol di daerah tropis, di wilayah-wilayah kurang berkembang, dimana kapasitas pengelolaan perikanan (dan lingkungan) mungkin tidak berkembang dengan baik atau tidak ada, hal tersebut juga biasa terjadi diwilayah-wilayah pesisir di negara-negara maju, seperti di sepanjang pantai Atlantik di Kanada dan Amerika Serikat. Kebanyakan perikanan skala kecil yang bersifat komersial terdokumentasi dengan baik bila secara kebetulan berada di lokasi yang sama dengan perikanan komersial skala besar dan mendapat perhatian dari ilmuan-ilmuan. Tetapi, yang lainnya, yang ada di belahan dunia yang sedang berkembang, atau di daerah terpencil dari negara maju, seperti di Kanada bagian Utara atau Siberia, dimana sedikit kajian perikanan dilakukan dan sistem pengelolaan yang lemah. Perikanan artisanal dan subsisten jarang didokumentasikan dengan baik, meskipun berada berdampingan dengan perikanan komersial skala besar. Meskipun sedikit penelitian, kedua jenis perikanan ini adalah jenis perikanan yang menonjol di negara-negara tropis (King, 2000). Perikanan subsistens berkontribusi 80% dari jumlah tangkapan di Kepulauan Pasifik (Dalzell et al., 1996). Industri penangkapan skala kecil memiliki karakteristik-karakteristik lain dimana manajer perlu memperhatikannya, baik di negara-negara berkembang maupun negara-negara maju, jumlah kapal-kapal skala kecil dan nelayan melebihi jumlah untuk industri skala besar.
17
Jumlah yang besar dari usaha-usaha kecil tersebut membawa ke isu-isu aksi kolektif, kekuasaan, dan resolusi konflik. Perikanan tangkap skala kecil sering didasarkan pada komunitas kecil di pesisir yang tergantung pada sumber daya lokal yang dapat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan ekonomi disekelilingnya baik negatif maupun positif. Jenis kapal perikanan yang beroperasi di wialayah kabupten Lamongan dan Sukabumi mempunyai komposisi jenis kapal, ukuran, dan alat tangkap yang spesifik (Tabel 1). Tabel 1 Jenis-jenis kapal/perahu nelayan Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sukabumi No 1
2
3 4
5
Jenis Kapal/Perahu Kapal Ijon-Ijon (5-20 GT) BC, 10-20 GT) Jaten Paciran (1-3GT) Kapal Ethek/ Bokong an (15-20GT) Kapal/Perahu Pincuk (1-3 GT) -
Lamongan Alat Tangkap Dogol, Gill net Rawai dasar Pancing ulur Payang Colleting Bubu dan Jaring Rajungan Purse Seine Jaring cakalang Dogol Teri
3 6
-
No
Jenis Kapal
1 -
Perahu Motor Tempel
2
Kapal Motor 5 – 10 GT
3 4-
Kapal Motor 10 – 20 GT Kapal Motor 20 – 30 GT
45 5 76 8
Kapal Motor 30 – 50 GT Kapal Motor 50 – 100 GT
Sukabumi Alat Tangkap Payang, Pancing Ulur, Jaring Rampus, Tramel net Bagan, payang, Jaring Rampus, Gill Net, Purse seine, tonda Rampus/ Klitik, Tuna Long Line, Gil Net Tuna Long Line
Tuna Long Line Tuna Long Line
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Lamongan, 2012 dan PPN Pelabuhanratu, 2013 Perikanan tangkap skala kecil secara geografis sering terpencil, dan secara politis jauh dari pusat pengambilan keputusan. Sektor perikanan yang banyak jenis (multispecies) dan banyak armada (multi-fleet) yang pada umumnya ada di wilayah tropis membuat tugas mengelola perikanan skala kecil menjadi lebih menantang dari pada di Negara-negara Utara yang secara ekologi kurang kompleks. Otoritas perikanan di negara-negara berkembang mungkin terbatas kapasitasnya dalam mengelola perikanan tangkap skala kecil. Ketidakmampuan ini disebabkan karena penggunaan metode-metode pengelolaan perikanan konvensional yang dikembangkan di negara maju dan tidak cocok untuk perikanan tangkap skala kecil. Apabila dilihat dari karakteristik pada perikanan skala besar dan skala kecil, dapat dibedakan dari berbagai hal. Tabel 2 menyajikan perbedaan karakteristik Perikanan skala besar dan perikanan tangkap skala kecil (diadop dari Smit, 1979; Berkes, 2001; World Bank, FAO and Wordl Fish Center, 2010). Pembagian karakteristik didasrkan atas bebrbagai hal, mulai dari kepemilikan, ukuran dan berat kapal, investasi, alat tangkap, prosesing dan pemasaran. Pembagian tersebut lebih didasrakan kemampuan armada dalam penangkapan ikan dan investasi yang ditanamkan dalam usaha penangkapan. Perikanan skala kecil dan artisanal biasanya dengan modal yang kecil dan dimiliki perorangan. Hasil tangkapan sebagain di jual dan sebagain digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
18
Tabel 2 Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Besar dan Skala Kecil Karakteristik yang terkait dengan Perikanan Kepemilikan
Perahu Jenis-jenis peralatan Investasi Tangkapan (per unit perikanan) Penjualan hasil tangkapan Pengolahan hasil tangkapan Tingkat pendapatan Integrasi dengan ekonomi Pekerjaan Tingkat pemasaran Pengelolaan kapasitas otoritas perikanan Koleksi data perikanan
Skala Besar
Kategori Skala Kecil
Industri Terkonsentrasi pada Dimiliki oleh beberapa orang. seseorang atau bersama-sama Berukuran besar dan Kecil, mesin didalam banyak peralatan (atau motor temple) Terbuat dari mesin, Sebagian atau semua dibuat oleh pihak lain terbuat dari mesin. Tinggi Sedang sampai rendah. Besar Sedang ke rendah Dijual ke pasar-pasar terorganisir Kebanyakan fishmeal
Seringkali tinggi Formal, terintegrasi penuh Penuh waktu atau musiman Produk ditemukan diseluruh dunia Terkelola dengan baik, dengan banyak ilmuwan dan manajer Tidak terlalu sukar, dengan kapasitas dari otoritas perikanan
Diorganisisir penjual lokal Pengeringan, pengasapan, penggaraman Sedang ke rendah Sebagian terintegrasi Seringkali multi pekerjaan Seringkali nasional atau local Minimal ke moderat, dengan sedikit ilmuwan/manajer Sukar karena kondisi perikanan dan pelaksana
Subsisten Artisanal Dilaksanakan oleh pemilik sendiri Perahu kecil, biasanya tidak bermotor Alat-alat buatan sendiri. Rendah Rendah ke sangat rendah Dikonsumsi keluarga dan dijual Sedikit atau tidak sama sekali yang di olah Minimum Informal; tidak terintegrasi Multi pekerjaan Lokal atau hanya level kabupaten Seringkalai tidak dikelola kecuali oleh pamakai sumber daya Seringkali tidak ada data yang bisa dikumpulkan karena sukar
Sumber: (diadopsi dari Smit, 1979; Berkes, 2001; Wordl Bank, FAO and Wordl Fish Center, 2010 dalam Bjorndal et al., 2014). Perikanan (Fauzi, 2005), mempunyai karakteristik pertama: kepemilikan bersifat common property, dan rezim akses terbuka dalam eksploitasinya; Nelayan marginal menghadapi highliner illusion (ilusi untuk menjadi nelayan sukses), yang menimbulkan sticky labor force dimana ekses tenaga kerja disektor perikanan sulit dikurangi yang menyebabkan nelayan sulit untuk keluar dari perangkap kemiskinan (poverty trap); usaha perikanan mengalami cycle asymmetry (siklus non asimetrik), menyebabkan capital yang sudah terlanjur ditanamkan sulit untuk ditarik kembali pada saat periode kurang menguntungkan, hal ini terkait dengan sifat usaha perikanan yang bersifat fluktuatif karena faktor alam; kemiskinan yang persisten disebabkan sulitnya penyesuaian terhadap produktifitas; sering mengalami masalah finansial yaitu kurangnya modal dan kesulitan masuk ke lembaga modal. Kapasitas, Overcapacity, dan Efisiensi Kapasitas penangkapan menurut FAO didefiniasikan sebagai jumlah ikan maksimum pada periode waktu tertentu yang dapat diproduksi oleh armada penangkapan jika dimanfaatkan penuh, pada biomasa dan struktur umur stok ikan
19
dan kondisi teknologi saat itu (FAO, 1998). Pendekatan ini dapat menghasilkan informasi dasar tentnag kapasiatas dan pemanfaatan kapasitas yang bermanfaat untuk mengetahui status armada penangkapan dan pemanfaatan sumber daya ikan dalam jangka pendek. Kapasitas perikanan secara umum dapat diartikan sebagai faktor input dalam proses produksi perikanan tangkap (Pascoe et al., 2003). Dalam perikanan tangkap skala kecil atau tradisional, konsep kapasitas tersebut diartikan sebagai ukuran modal dan nelayan. Secara teknis konsep kapasitas menggambarkan kondisi terknologi yang bersifat increasing, decreasing atau constant return to scale. Konsep kapasitas tersebut bermanfaat dalam menganalisis pola pengelolaan dan pemandaatan sumber daya ikan. Sejak FAO menerapkan konsep kapasitas perikanan tahun 1999, masalah kapasitas perikanan menjadi isu utama dalam pengembangan sektor perikanan (Kirkley et al., 2004). Kebijakan pembangunan perikanan berdasarkan kapasitas perikanan (capacity utilization dan capacity measurement) dipandang sebagai konsep dan isu strategis yang mampu memberikan arahan kebijakan baru tentang revitalisasi pembangunan perikan dimasa yanga akan datang (Fauzi, 2005). Dua konsep penting dalam kapasitas adalah excess capacity dan overcapacity (Pascoe et al., 2003). Excess capacity merupakan perbandingan relatif antara tingkat output potensial (maksimal) terhadap tingkat output dalam jangka pendek, sedangkan overcapacity adalah perbedaan output potensial maksimum yang dapat diproduksi dan tingkat output optimum yang diinginkan. Overcapacity biasanya terjadi karena kegagalan pasar dalam mengalokasikan input dan output secara efisien dan merupakan konsep dalam jangka panjang. Dampak excess capacity dan overcapasity adalah kerugian masyarakat khususnya nelayan berupa penurunan keuntungan, infesiensi produksi, hilangnya peluang alternatif dialami masyarakat dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan over fishing. Permasalahan kapasitas penangkapan diindikasikan adalanya kelebihan modal atau kapal penangkap (overcapitalization) dalam industri penangkapan ikan dan kelebihan eksploitasi (overexploitasion) terhadap sumber daya ikan secara konsisten. Kelebihan armada penangkapan ikan (overcapitalization) dan under-utilization kapasitas penangkapan memberikan indikasi pemborosan bersifat economis. Inefisiensi dapat diartikan sebagai suatu tahapan dimana tujuan dari pelaku ekonomi belum dimaksimalkan secara penuh. Isu inefisiensi timbul dari anggapan bahwa nelayan dan usaha perikanan tangkap berperilaku memaksimalkan keuntungan. Kirkley et al., 2004 menyatakan kombinasi pendekatan fungsi stochastic produktion frontier (SPF) dan programing non parametrik atau dikenal dengan Data Evelopment Analysis (DEA) merupakan pendekatan yang populer digunakan untuk menganalisis kapasitas perikanan dan lebih efektif. Pendekatan DEA, merupakan teknik pengukuran performa untuk mengevaluasi efisiensi relatif dari unit pengambil keputusan (decision making unit/DMU) dalam suatu kegiatan pada periode tertentu ataupun berupa alat tangkap. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kapasitas perikanan. Fauzi dan Anna, 2005 menjelaskan ada dua pendekatan non parametrik yang dapat diandalkan, karena dapat diterapkan secara luas dan mudah dilakukan serta tidak memerlukan data yang mahal. Salah satu metode tersebut ada Data Envelopment Analysis (DEA). DEA merupakan pengukuran efisiensi
20
yang bersifat bebas nilai (value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian (judgement) dari pengambil keputusan (Korhument et al., 1998), dalam Fauzi dan Anna, 2005. Menurut Dyson, Thanassoulis dan Boussofiane (1990) yang dirujuk Fauzi dan Anna, 2005, analisis DEA bertujuan mengukur keragaan relatif (relative performance) dari unit analisis pada kondisi keberadaan multiple inputs dan output. Dalam Aplikasi perikanan DEA memiliki kelebihan dalam kemampuannnya mengestimasi kapasitas dibawah kendala penerapan kebijakan tertentu, seperti Total Allovable Catch (TAC), pajak,, distribusi regional atau ukuran kapal, larangan menangkap pada waktu tertentu dan kendala sosial ekonomi lainnya, keistimewaan lain dari model DEA adalah kemampuannya dalam mengakomodasi multiple output maupun multiple inputs, serta tingka input dan output yang nil maupun non diskrit (Fauzi dan Anna, 2005). Peranan Perikanan Tangkap Skala Kecil Menurut FAO (2004) perikanan skala kecil dapat secara luas dicirikan sebagai sektor dinamis dan berkembang yang mempekerjakan tenaga kerja secara intensif, pengolahan dan distribusi teknologi untuk mengeksploitasi laut dan sumber daya perikanan. Kegiatan sub-sektor perikanan dilakukan secara penuh waktu atau paruh waktu, atau hanya bersifat musiman (sambilan). Perikanan tangkap skala kecil sering menjadi sasaran untuk penyediaan ikan dan produk perikanan ke pasar lokal dan domestik, dan untuk konsumsi sendiri. Produksi berorientasi ekspor pada perikanan skala kecil telah meningkat selama satu hingga dua dekade karena integrasi pasar yang lebih besar dan pengaruh globalisasi. Visi yang dikembangkan oleh Komite Penasehat FAO tentang perikanan tangkap skala kecil adalah salah satu yang menekankan kontribusinya terhadap pembangunan berkelanjutan. Secara rinci disebutkan perikanan skala kecil tidak terpinggirkan dan kontribusinya terhadap perekonomian nasional dan ketahanan pangan diakui, dihargai dan ditingkatkan; nelayan, pekerja dan pemangku kepentingan lainnya memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, diberdayakan, dan telah meningkatkan kemampuan dan kapasitas manusia. Kemiskinan dan kerawanan pangan di mana sistem sosial, ekonomi dan ekologi dikelola secara terpadu dan berkelanjutan, sehingga mengurangi konflik. Benkestein, 2013 menyatakan bahwa perikanan tangkap skala kecil di Mozambik mempekerjakan lebih dari 95% nelayan dan menyediakan lebih dari 90% dari ikan yang dikonsumsi. Perikanan tangkap skala kecil di Mozambik, merupakan komponen penting ekonomi pedesaan, ketahanan pangan dan mendukung mata pencaharian. Perikanan menghadapi berbagai tekanan yang timbul baik dari dinamika dalam sektor perikanan sendiri, seperti overfishing dan penangkapan ikan secara ilegal, serta kekuatan eksternal yang terkait dengan pembangunan ekonomi sektor lain dan perubahan geofisika yang berhubungan dengan perubahan iklim. Meskipun upaya tata kelola yang terkait dengan perikanan tangkap skala kecil cenderung fokus pada penguatan akses nelayan ke pasar, kredit dan peningkatan teknologi. Tantangan yang dihadapi sektor perikanan tangkap skala kecil dalam modernisasi ekonomi seperti Mozambique memerlukan fokus yang lebih besar untuk memastikan keberlanjutan usaha
21
perikanan tangkap skala kecil dan penguatan ketahanan masyarakat nelayan skala kecil. Perikanan skala kecil di Eropa mempunyai karakteristik yang dicirikan (Guyader et al. 2013) (i) terdiri dari kapal-kapal yang lebih kecil sehingga jarak jelajahnya pendek hanya di wilayah pesisir; ( ii) memiliki awak kapal (ABK) lebih kecil (meskipun angka tenaga kerja secara total mirip dengan armada besar di Eropa), (iii) sebagian besar menggunakan alat tangkap pasif, (iv) menggunakan pendekatan multi-tujuan, dan dapat mengubah ikan yang menjadi target; (v) memiliki rendemen yang lebih rendah, (vi) memiliki jumlah investasi, modal, omset dan biaya yang lebih rendah (termasuk hak-hak nelayan), (vii) memiliki konsumsi bahan bakar yang lebih rendah, sehingga kurang sensitif terhadap perubahan harga BBM. (viii) ketergantungan pada subsidi lebih rendah. Kajian untuk melestarikan sumber daya perikanan dan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga nelayan skala kecil merupakan tujuan penting dari strategi penanggulangan kemiskinan di Tanzania. Keberhasilan strategi tersebut tergantung pada variasi dan tingkat efisiensi dalam rumah tangga nelayan skala kecil . Diperkirakan efisiensi teknis rata-rata rumah tangga nelayan skala kecil adalah 52% (Sesabo and Tol, 2010). Kebijakan masa depan perlu meningkatkan akses rumah tangga nelayan skala kecil untuk penggunaan alat tangkap yang idak merusak melalui penyediaan kredit, dan pasar serta penciptaan kesempatan kerja baru di sektor lain. Perikanan skala kecil sebagai sumber pendapatan bagi jutaan orang di seluruh dunia, namun perikanan tangkap skala kecil umumnya kurang didokumentasikan dan dampaknya tidak dipahami dengan baik. Peningkatan dokumentasi perikanan tangkap skala kecil diperlukan untuk mengukur trend global, mengidentifikasi ancaman terhadap keberlanjutan usaha, dan menilai pilihan manajemen (Lunn and Dearden, 2006). Hasil tangkapan perikanan skala kecil undervalued hingga 225% sejak awal 1990-an, nilai perikanan tangkap skala kecil terhitung mungkin tiga kali lipat kontribusinya perikanan terhadap PDB (Teh, Teh and Sumaila, 2011). Kontribusi sosial ekonomi perikanan tangkap skala kecil untuk masyarakat Sabah telah secara substansial undervalued (Teh, Teh and Sumaila, 2011). Penurunan nilai ini juga menyiratkan bahwa tekanan sumber perairan laut Sabah mungkin jauh lebih tinggi daripada saat ini. Meningkatnya kekhawatiran tentang keberlanjutan jangka panjang dari sumber daya perikanan untuk mendukung mata pencaharian pesisir ke masa depan. Hal ini menunjukan pentingnya pencatatan data nelayan skala kecil yang sebagian tidak dilaporkan. Nelayan skala kecil di Filipina sangat beragam dalam perilaku dan karakteristik demografi. Adanya heterogenitas ini akan memberikan wawasan berharga bagi upaya pengelolaan perikanan untuk (i) meningkatkan pendapatan berkelanjutan bagi nelayan, dan (ii) memfasilitasi pemulihan dan ketahanan sektor perikanan. Jenis mata pencaharian alternatif dan usia nelayan adalah faktor yang paling penting yang mempengaruhi usaha penangkapan. Intervensi pengelolaan yang efektif dapat mendorong transisi ke mata pencaharian alternatif untuk mengurangi tekanan penangkapan ikan sambil memberikan nelayan dengan sumber penghasilan yang berkelanjutan (Muallil et al., 2013). Perikanan tangkap skala kecil di Peru merupakan sumber penting makanan dan lapangan kerja bagi masyarakat pesisir di mana ikan adalah satu-satunya sumber daya alam yang
22
paling penting. Perubahan dramatis bisa membahayakan keberlanjutan perikanan ini dan kehidupan yang tergantung pada sumber daya perikanan (Shigueto, 2010). Di negara berkembang, statistik resmi dan inisiatif pembangunan ekonomi umumnya berfokus pada sektor yang bersifat komersial, berorientasi ekspor yang dianggap mempunyai kontribusi ekonomi utama bagi sektor perikanan. Sementara perikanan tangkap skala kecil, perikanan non-komersial, terutama di dekat pantai, telah diakui sebagai dasar untuk alasan sosial, budaya, dan keamanan pangan, namun hasil tangkapannya jarang diperhitungkan dalam statistik resmi (Zeller, 2006), dengan demikian kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sering tidak dipertimbangkan. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi perikanan skala kecil terhadap PDB memainkan peran yang lebih signifikan dalam statistik nasional sebagai kontributor terhadap PDB dari pada yang diasumsikan. Hasil ini memberikan tantangan bagaimana perikanan tangkap skala kecil untuk negaranegara berkembang kembali mendapat prioritas dalam pembangunan perikanan. Secara tradisional, kontribusi, peran dan pentingnya perikanan skala kecil sering kali dijelaskan dalam hal seperti ekonomi, sosial, pekerjaan dan sumber makanan. Kontribusi besar untuk perikanan skala kecil merupakan hasil dari sinergi antara berbagai aspek terutama ekonomi dan aspek sosial. Kontribusi tersebut berkaitan dengan konsep ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, pembangunan pedesaan dan ekonomi serta dimensi lingkungan dan budaya perikanan tangkap skala kecil (Bene, 2006). Banyak ahli yang kurang menyadari arti penting perikanan dalam perekonomian, namun beberapa ahli menyadari bahwa peranan perikanan bisa lebih besar terutama perikanan tangkap skala kecil. Namun karena data-data yang tersedia masih minim sehingga menyulitkan para ahli untuk melakukan analisis-analisis yang lebih mendalam terkait peranan perikanan dalam perekonomian nasional. Ahli perikanan dalam beberapa lembaga pembangunan internasional sekarang lebih mendukung sektor perikanan tangkap skala kecil. Namun masih banyak ahli perikanan yang menyatakan bahwa perikanan terutama perikanan tangkap skala kecil tetap merupakan bagian dari pertanian dan sebagian menganggap bahwa peranan perikanan skala kecil dapat diabaikan. Persepsi tersebut sebagian benar seperti di Senegal dimana 17% penduduknya terlibat dalam perikanan, namun share-nya terhadap PDB sektor pertanian kurang dari 12%. Tabel 3 Kontribusi perikanan nasional terhadap perekonomian nasional (PDB) beberapa Negara Afrika dan Kepulauan di Karibia No Peranan Malawi Kenya Tanzania Uganda Indonesia Perikanan *) 1 Perikanan 4,0 2,0 2,9 2,2 2,2 terhadap PDB Nasional (%) 2 Perikanan 9,0 8,7 6,4 5,2 17,61 terhadap PDB Pertanian (%) Sumber : Allison, 2004; *) BPS, 2013 Beberapa Negara kepulauan kontribusi perikanan dalam perekonomian nasional mencapai 14-17% (Tabel 3). Pada skala yang lebih luas, Bank Dunia,
23
telah menyusun daftar negara-negara dimana sektor perikanan (perikanan besar dan skala kecil ) memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB. Negara-negara lain Bangladesh, Kamboja, Ghana, Myanmar, Namibia, Senegal dan Viet Nam, dimana kontribusi perikanan terhadap PDB tidak melebihi 7 persen. Atas dasar data empiris, bahwa peranan perikanan skala kecil adalah benar, kecuali di beberapa situasi tertentu, kontribusi perikanan tangkap skala kecil untuk pembangunan ekonomi nasional tampaknya diabaikan, terutama jika indikator yang digunakan adalah indikator makro terhadap pangsa PDB. Rumah tangga perikanan tangkap skala kecil pada tipologi pelagis besar memiliki nilai pendapatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan pada rumah tangga perikanan pada tipologi pelagis kecil dan demersal. Pendapatan pada masing-masing rumah tangga perikanan pada tipologi pelagis besar serta pelagis kecil dan demersal terdiri dari pendapatan dari sektor perikanan dan non perikanan. Pendapatan dari sektor perikanan bersumber dari mata pencaharian seperti nelayan, buruh perikanan maupun pengolah hasil perikanan, sedangkan pendapatan dari sektor non perikanan bersumber dari mata pencaharian seperti pedagang, wiraswasta, buruh industri maupun penyedia jasa transportasi/ojeg, BBPSEKP (2012). Allison et al., (2007) misalnya melakukan kajian tentang pentingnya kebijakan dalam menajemen perikanan, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa diperlukan kebijakan penting terkait dengan sosiety dan nilai (value) kebijakankebijakan tersebut diharapkan dapat mengurangi kerentanan perikanan skala kecil. Dengan menggunakan kombinasi dari data Bank Dunia, FAO dan informasi statistik nasional, mampu diperkirakan pangsa sektor perikanan terhadap PDB nasional dan PDB pertanian terhadap empat gegara tersebut undervalued. Perikanan tangkap di India, dimana produksi terbesar, 40% dari total produksi berasal dari pantai barat (North-west coast) dan terendah sebesar 6% dari Northeast coast, dengan pendaratan tertinggi yang menggunakan peralatan mekanik sebesar 64% (NCAP, 2004). Perikanan artisanal/tradisional dimana sebagian besar orang terlibat, hanya berkontribusi sebesar 8% . Teknologi nelayan artisanal yang menyumbang 37% pada tahun 1982, pada saat ini memberikan kontribusi hanya 8% (NCAP, 2004). Pendapatan perikanan tangkap skala kecil, untuk nelayan pemilik di lokasi Bitung dan Sibolga jauh lebih besar bila dibandingkan pendapatan yang diterima oleh nahkoda atau ABK. Kepemilikan terhadap aset usaha ternyata berhubungan positif dengan pendapatan nelayan, semakin besar nilai aset yang dimiliki maka pendapatan akan semakin besar, BBPSEKP (2012). Banyak faktor yang akan mempengaruhi pendapatan usaha diantaranya sumber daya ikan dan pola/kebiasaan menangkap nelayan. Usaha perikanan tangkap skala kecil pada tipologi pelagis besar di Kota Bitung meliputi armada kapal, sarana tenaga penggerak mesin, peralatan tangkap dan peralatan pendukung lainnya. Biaya investasi dapat dibedakan berdasarkan ukuran armada kapal. Nilai investasi pada ukuran armada <5 GT adalah sebesar 75,9 juta dan ukuran armada 5–10 GT adalah Rp. 170,5 juta. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa nilai NPV (periode usaha selama 9 thn) sebesar Rp. 160 juta pada skala kapal <5 GT dan Rp. 161 juta pada skala kapal 5-10 GT. Pada tipologi pelagis kecil dan demersal diketahui bahwa nilai investasi pada usaha perikanan tangkap di Kota Sibolga sebesar Rp 38 juta, meliputi pembelian untuk armada kapal, mesin kapal, alat
24
tangkap dan peralatan tambahan lainnya. NPV sebesar Rp. 81,2 juta (periode usaha selama 10 tahun). Nilai investasi usaha perikanan tangkap di Kabupaten Sambas dalam adalah Rp. 9,9 juta, dengan NPV sebesar Rp. 55, 7 juta (periode usaha selama 10 tahun). Nilai investasi usaha perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon dalam adalah Rp. 51,5 juta, dengan NPV sebesar Rp. 18,8 juta (periode usaha selama 10 tahun). Nilai investasi usaha perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon dalam adalah Rp. 30,2 juta dengan NPV sebesar Rp. 7 juta (periode usaha selama 9 tahun, BBPSEKP (2012). NCAP (2004) membuat usulan strategi yang disarankan untuk percepatan pembangunan perikanan dengan fokus pada pengentasan kemiskinan nelayan miskin di India, meliputi: (i) penggunakan pendekatan yang berpusat komunitas, bukan pendekatan komoditi; (ii) menggunakan pendekatan sistem, (iii) prioritaskan teknologi bagi masyarakat miskin baik di tingkat nasional, regional dan mikro; (iv) berinovasi dan memperkuat lembaga dan kebijakan; (v) peningkatan keterampilan nelayan miskin; (vi) meningkatkan investasi dan reorientasi kebijakan untuk memfasilitasi manfaat dari perdagangan ke seluruh bagian masyarakat, terutama kaum miskin dan perempuan, (vii) menerapkan prinsip-prinsip ekologi; (viii) menekankan potensi pasar domestik yang cukup besar; (ix) memonitor program-program pembangunan dan menilai dampak dari semua program; (x) memperkuat database dan perencanaan yang lebih baik. Keterkaitan Nelayan dengan Pedagang Perantara/Langgan/ Tengkulak Keberadaan tata kelola patron-klien sebagai bentuk umum hubungan yang umum pada perikanan skala kecil. Strategi patron-klien menjadi bentuk yang lebih umum dari organisasi yang nelayan, yang mampu menekan biaya transaksi (Basurto et al., 2013. Lebih lanjut Basurto et al., 2013 menggarisbawahi kebutuhan untuk lebih menonjolkan hubungan penting bahwa perantara/langgan, pembeli ikan, dan pelanggan berperan penting dalam perikanan skala kecil. Hu ungan “patron-client” telah lama erperan dalam pemanfaatan sumber daya laut di Asia Tenggara (Merlijn 1989; Pelras 2000). Sifat dari hubungan tersebut menggambarkan hubungan vertikal, dimana patron sebagai “superior” dan client/nelayan se agai “inferior” (Lande, 1977). Meskipun menggam arkan hubungan superior-inferior, namum terjadi hubungan timbal balik diantara kedua elah pihak (Powel, 1970). “Client”/nelayan menerima ketidaksetaraan karena pelanggan/tengkulak memberikan jaminan sosial dan material dengan imbalan hasil tenaga kerja dan jasa (dalam bentuk ikan). Máñez dan Ferse (2010) berdasarkan indikator pasar, pelanggan/tengkulak berfungsi terutama sebagai inovator bisnis dengan kesediaan untuk membeli semua komoditas ikan dan memenuhi kebutuhan yang diperlukan “client” untuk eralih target dalam penangkapan. Secara umum, prosedur pinjaman dan hal-hal terkait disepakati secara informal, client mempunyai kewajiban moral untuk menjual semua hasil tangkapan kepada tengkulak/langgan yang memberikan pinjaman. Fakta yang muncul tidak ada pihak yang ingin menyelesaikan hutangpiutang yang berjalan, selama kepercayaan di antara tengkulak/langgan dengan nelayan tersebut masih ada, tidak ada alasan untuk khawatir tentang transaksi keuangan (penyelesaian hubungan hutang piutang). Akibatnya, pembayaran tidak pernah tetap, baik dalam waktu maupun dalam angsuran. Pembayaran tergantung pada hasil tangkapan harian dari nelayan. Merlijn (1989) menyimpulkan,
25
hubungan keseluruhan antara perantara/ tengkulak/langgan dan nelayan, semacam kesepakatan sosial yang saling menguntungkan. Nelayan perlu menjual komoditas ikan yang sangat mudah rusak tanpa penundaan, nelayan perlu memiliki akses langsung ke tengkulak/langgan tanpa jaminan dan tanpa formalitas yang rumit, dan untuk mendapatkan input yang digunakan untuk operasional penangkapan. Sementara perantara/tengkulak/langgan menginginkan pasokan ikan secara kontinyu dari nelayan, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keberlanjutan usahanya. Langgan/tengkulak dalam situasi apapun siap untuk memenuhi kebutuhan nelayan dengan baik. Para pembuat kebijakan juga harus mengakui kredit mikro dan asuransi merupakan layanan penting yang memberikan perantara untuk nelayan, termasuk fakta bahwa lembaga negara tidak mungkin bisa menyamai level yang dirancang secara individual di mana pelanggan dapat menyediakan layanan ini untuk nelayan. Nilai Tambah Aktifitas Perikanan Tangkap Skala Kecil Pengembangan sektor perikanan diarahkan untuk meningkatkan peran dalam menciptakan keterkaitan yang kuat dengan sektor lain baik keterkaitan ke depan maupun keterkaitan kebelakang melalui peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan yang pada akhirnya mampu menumbuhkan perekonomian melalui efek pengganda (multiplier effect) baik dampak langsung, dampak tak langsung maupun dampak ikutan. Pengembangan sektor perikanan diharapkan dapat menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil, menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, menghasilkan devisa yang tinggi, dan yang penting meningkatkan pendapatan per kapita serta memberikan efek pengganda (multiplier effect) bagi masyarakat. Dampak ekonomi dari suatu aktifitas ekonomi biasanya dilakukan dengan pendekatan analisis Input-output (I-O) dan Computable Geberal Equlibrium (CGE) untuk mengetahui dampak langsung, tidak langsung dan induced (Linberg. 1996). Dampak ekonomi dari suatu kegiatan produktif misalnya perikanan, dapat dikelompokkan menjadi tiga katagoti, yaiatu manfaat langsung (direct), tidak langsung (indirect) dan ikutan (induced) (Linberg, 1996). Manfaat langsung ditimbulkan dari kegiatan perikanan (penangkapan) yang memerlukan input berupa Tenaga kerja/ABK, bahan bakar minyak (BBM), Es, Air Bersih, perbekalan/ransum dll. Input tersebut diperoleh dari sektor lain, hal ini menimbulkan manfaat tidak langsung (indirect benefit). Jika ABK berasal dari daerah setempat/lokal, maka pengeluaran dari ABK lokal tersebut akan menimbulkan induced benefit dilokasi tersebut. Tidak semua manfaat atau dampak ekonomi tersebut dinikmati oleh masyarakat setempat. Apabila input tersebut didatangkan dari luar daerah atau impor maka perputaran uang tidak menimbulkan indirect benefit tetapi suatu kebocoran (leakage) manfaat. Aliran uang dari aktifitas perikanan ke masyarakat lokal pada akhirnya menciptakan dampak ekonomi dan kebocoran ekonomi. Pentingnya perikanan tangkap skala kecil bagi perekonomian lokal atau nasional, tidak hanya mencakup tenaga kerja yang diciptakan dalam sektor itu sendiri (Bene, 2006), tetapi juga terhadap yang diciptakan di sektor-sektor terkait lainnya. Hal ini berkaitan dengan konsep keterkaitan hulu dan hilir. Kegiatan hulu adalah kegiatan-kegiatan memasok masukan atau input kepada sektor penangkapan. Banyak input yang biasanya disediakan oleh individu skala kecil
26
atau usaha mikro terletak di dekatnya dalam wilayah pedesaan setempat, meskipun beberapa hal misalnya alat tangkap dan bahan bakar (diproduksi pihak lain yang lebih jauh baik nasional maupun internasional) namun disediakan secara lokal melalui bisnis lokal/pedagang. Hubungan keterkaitan ke depan juga terjadi pada perikanan skala kecil tersebut. Pelaku usaha skala kecil atau perusahaan biasanya memberikan banyak input ke sektor hilir dalam kegiatan wilayah pedesaan setempat. Keterkaitan ke hilir ini akan mampu menggerakkan perekonomian lokal, bahan baku ikan hasil penangkapan akan menghasilkan penjualan, pendapatan dan pekerjaan di tingkat lokal, dan hal ini akan berputar terus dan akan menghasilkan multiplier effect selama perputaran uang masih berlangsung dilokasi tersebut. Meskipun sangat sedikit, studi empiris yang mencoba untuk menghitung besaran keterkaitan hulu dan hilir di perikanan tangkap skala kecil di negara berkembang cenderung menunjukkan bahwa jumlah tambahan kerja diciptakan melalui keterkaitan hulu dan hilir mungkin cukup signifikan (Bene, 2006). Keterkaitan hulu dan hilir tertera pada Tabel 4. Tabel 4 Upstream dan downstream aktifitas pada perikanan tangkap skala kecil No
Aktifitas Upstream : Input
No
Biaya investasi pada armada : biaya desain dan konstruksi kayu, fiberglas, baja, mesin dan perlengkapan lainnya Biaya investasi pada alat tangkap: jaring, pelampung, pengait, peralatan pancing dll
1.
3
BBM dan Oli
3.
4
Es dan box ikan
4.
5
Makanan untuk ABK
5.
6
Umpan
6.
7 8 9
ABK Jasa perbankkan (bunga bank) Biaya pemeliharaan (kapal, mesin, alat tangkap)
1
2
2.
Aktifitas Downstream : Prosesing/Penyimpanan; Pemasaran Biaya investasi untuk membangun sarana prosesing dan peralatan (rent land, bangunan dll) Biaya variable untuk peralatan potong/pisau, papan untuk pengasapan, es untuk pengawetan ikan, kotak/box untuk pengemasan dan garam untuk pengeringan Biaya transport: dari lokasi ke pedagang, pasar, pengecer, biaya pembelian modal transportasi atau sewa kendaraan Jasa perbankkan untuk modal awal dan biaya operasional Tenaga kerja untuk penangana hasil tangkapan, pemotongan, pembersihan, pengasapan, pengeringan packaking, bongkar muat hasil, Biaya pemeliharaan bangunan dan peralatan, sarana transportasi
Sumber: Bene, 2006. Umumnya, rantai nilai (value added) internasional untuk komoditas ekonomis penting untuk perdagangan, seperti tuna, salmon, cakalang, udang dan nila, yang terdiri dari beberapa nodal dengan produk yang melewati rantai lebih lama untuk mencapai konsumen. Sebaliknya, beberapa spesies yang tidak ekonomis penting, tetapi penting untuk ketahanan pangan lokal merupakan bagian
27
dari rantai nilai yang lebih pendek (De Silva, 2011). Perikanan skala kecil sangat penting sebagai sumber mata pencaharian, pendapatan, produksi dan pasokan ikan dunia. Selain itu, perikanan skala kecil menyediakan ikan yang secara langsung memberikan kontribusi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi (Bjorndal, 2014). Meskipun temuan tentang bagaimana perdagangan ikan internasional mempengaruhi ketahanan pangan di negara berkembang, ada bukti konkret bahwa perdagangan dapat memberikan manfaat secara keseluruhan untuk negara-negara berkembang. Selain itu, dengan rantai nilai global menjadi fitur dominan ekonomi global saat ini, baik di negara-negara maju dan berkembang, ada kebutuhan untuk melengkapi statistik perdagangan konvensional dengan mengukur nilai tambah masing-masing rantai nilai ekonomi (Bjorndal, 2014). Beberapa isu utama pengembangan wilayah dinegara-negara berkembang (Rustiadi, 2009), yaitu adanya dualisme ekonomi, lingkaran perangkap kemiskinan, pembangunan interregional eksploitatif-asimetrik, perkembangan intersektoral tidak berimbang. Kondisi tersebut menyebabkan hasil-hasil pembangunan kurang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menyebabkan terjadinya kesenjangan atau gap kemiskinan yang parah. Rahmatullah (2010) masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial. Oleh karena itu, harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan pada nelayan. Terdapat beberapa aspek yang menyebabkan terpeliharanya kemiskinan nelayan atau masyarakat pinggiran pantai, diantaranya; kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Para pakar ekonomi sumber daya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumber daya serta teknologi yang digunakan. Faktorfaktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya. Subade dan Abdullah (1993) seperti yang dirujuk Rahmatullah (2010), mengajukan argumen bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Dalam hal mengatasi kemiskinan nelayan, setidaknya perlu menggagas dan mewujudkan harapan akan perkuatan sektor kelautan dari semua aspek (Rahmatullah, 2010). Mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus diawali dengan adanya data statistik yang akurat. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut, apakah karena jeratan utang atau faktor lain. Kemudian cara atau metode untuk menaggulanginya lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tengkulak. Bagaimanpun bahwa penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah, bahkan ukurannyapun bisa berbeda-beda atau tergantung kondisi setempat. Sehingga formula pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir pada semua wilayah atau semua sektor. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa disamakan dengan ukuran kemiskinan buruh di perkotaan (Rahmatullah, 2010). Program pengentasan
28
kemiskinan nelayan membutuhkan strategi khusus yang mampu menjawab realitas yang terjadi. Beberapa hal yang harus dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah (Rahmatullah, 2010) (i) Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat nelayan. Sehingga pada waktu yang akan datang akses perkembangan teknologi, peningkatan ekonomi lebih mudah dilakukan; (ii) Perlunya merubah pola kehidupan nelayan. Hal ini terkait dengan pola pikir dan kebiasaan. Pola hidup konsumtif harus dirubah agar nelayan tidak terpuruk ekonominya saat paceklik. Selain itu membiasakan budaya menabung supaya tidak terjerat rentenir; (iii) Perlunya diverifikasi mata pekerjaan alternatif dipersiapkan menghadapi masa paceklik, seperti pengolahan ikan, pengelolaan wialyah pantai dengan pariwisata dan bentuk penguatan ekonomi lain, sehingga bisa meningkatkan harga jual ikan. (iv) Peningkatan kualitas perlengkapan nelayan dan fasilitas pemasaran. Perlunya dukungan kelengkapan tekhnologi perahu maupun alat tangkap. Begitupula fasilitas pengolahan dan penjualan ikan, sehingga harga jual ikan bisa ditingkatkan; dan (v). Perlunya sebuah kebijakan sosial dari pemerintah yang berisikan program yang memihak nelayan, Kebijakan pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan harus bersifat bottom up sesuai dengan kondisi, karakteristik dan kebutuhan masyarakat nelayan. Kebijakan yang lahir berdasarkan partisipasi atau keterlibatan masyarakat nelayan, bukan lagi menjadikan nelayan sebagai objek program, melainkan sebagai subjek.
3 KERANGKA PENELITIAN Kerangka Pemikiran Permasalahan klasik nelayan kecil yaitu terbatasnya pengetahuan dan keterampilan nelayan, terbatasnya armada dan alat tangkap, kurangnya modal usaha, manajemen usaha bersifat tradisional dan teknologi terbatas, akses informasi dan pasar yang terbatas, terbatasnya prasarana, sarana dan institusi pendukung( BBPSEKP, 2012). Unit armada penangkapan yang dijalankan berupa perahu bermotor dengan ukuran kecil yaitu < 5 GT dengan menggunakan alat tangkap berukuran kecil dan jangkauan penangkapan yang terbatas; bahkan di beberapa tempat dijumpai akses mereka terhadap faktor produksi utama (BBM) sangat terbatas dan pada posisi yang lemah. Menurut FAO perikanan skala kecil pada negara berkembang mempunyai arti penting sebagai kontribusi dalam penyediaan nutrisi; sebagai food security; sebagai mata pencaharian untuk keberlanjutan kehidupan dan untuk pengurangan kemiskinan. Beberapa isu penting yang berkembang pada perikanan tangkap skala kecil yaitu: fokus pada kehidupan terutama untuk mengurangi kemiskinan, resiko dan ketidakpastian serta peluang pasokan hasil perikanan ke pasar, kebijakan yang menekankan untuk peningkatan integrasi nelayan skala kecil, peran, kontribusi, kendala dan tantangan perikanan skala kecil. Beberapa isu penting tentang keberlanjutan perikanan tangkap diantaranya adalah isu sumber daya, isu sosial dan ekonomi serta isu kelembagaan. Isu sumber daya meliputi kerusakan habitat, konflik penggunaan alat tangkap dan isu peningkatan upaya penangkapan (Kusnadi, 2002; FAO. 1999). Dalam konteks operasional, isu sumber daya juga terkait dengan aspek teknologi. Isu sosial dan ekonomi meliputi isu konflik antar nelayan, yaitu nelayan asli dan pendatang,
29
perebutan sumber daya antar pengguna alat yang berbeda tingkat teknologinya dan faktor lainnya, sedangkan isu ekonomi dapat berupa rendahnya harga produk perikanan di tingkat nelayan. Aspek pemanfaatan memiliki berbagai dimensi baik ekonomi, ekologi dan sosial, kompleksitas dalam pemanfaatan sumber daya perikanan (aspek keberlanjutan, efisiensi dan equity/kesetaraan menyebabkan sulit untuk memenuhi seluruh aspek tersebut (Fauzi, 2010). Kompleksitas dalam pemanfaatan menyebabkan adanya trade off dalam pengelolaan perikanan dimana sulit untuk mencapai kondisi yang ideal, kondisi trade off ini yang sebenarnya menjadi kunci dalam pengelolaan perikanan (Fauzi, 2010). Permasalahan dari segi sumber daya perikanan adalah besarnya tekanan terhadap sumber daya perikanan yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya perikanan (Fauzi, 2010). Menurut data FOA tahun 2007 yang dirujuk Fauzi, 2010 sekitar 28 % dari stok ikan dunia sudah berada dalam kondisi over exploited maupun depleted (terkuras) dan 52 % dalam kondisi fully exploited. Sedangkan data Komisi Pengkajian Stock Ikan Nasional kondisi serupa juga terjadi pada perikanan Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena dua hal utama yaitu overfishing dan ekses kapasitas (over capacity). Kondisi ini menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam usaha perikanan tangkap skala kecil. Permasalahan yang dihadapi perikanan tangkap skala kecil meliputi berbagai hal diantaranya adalah kondisi perairan yang padat tangkap sehingga sumber daya ikan (SDI) semakin terbatas, upaya penangkapan terus meningkat namun produktivitasnya semakin menurun sehingga pendapatan nelayan semakin menurun, konflik pemanfaatan SDI yang semakin meningkat yang berakibat pada peningkatan intensitas konflik sosial antar nelayan. Konflik pemanfaatan SDI yang terjadi saat ini juga diakibatkan oleh kurang jelasnya aturan dan belum efektifnya penegakan hukum. Permasalahan lainnya adalah karena sebagian besar yaitu 90,11% pada tahun 2012, nelayan nasional masih menggunakan kapal ikan yang tidak bermesin atau kapal bermesin di bawah 5 GT dengan alat tangkap yang umumnya tradisional (kurang efisien), sebagian besar menangkap ikan di perairan laut dangkal kurang dari 12 mil laut yang pada umumnya telah fully exploited atau overfishing. Konsekuensinya, hasil tangkapan ikan per satuan upaya (kapal ikan atau alat tangkap) rendah dan pendapatan rendah. Sementara itu, fishing grounds yang masih produktif (underfishing) sebagian besar berada pada lokasi yang jauh. Disisi lain jumlah nelayan dan jumlah alat tangkap yang semakin banyak, dimana sebagian besar didominasi oleh nelayan kecil/nelayan pantai menyebabkan kerusakan sumber daya ikan semakin parah. Tingkat kesejahteraan nelayan yang masih rendah menjadi salah satu pemicu terjadinya over capasitas sumber daya terutama didaerah pesisir. Isu yang dilaporkan mengisyaratkan bahwa masyarakat nelayan sebagai pelaku utama dalam perikanan di wilayah pantai memiliki kapasitas yang rendah dalam penentuan kebijakan pengelolaan perikanan. Pada masa lampau rekomendasi pengelolaan sumber daya perikanan tangkap di Indonesia pada umumnya didasarkan pada hasil maksimum yang lestari (maximum sustainable yield-MSY). Konsep ini diadopsi para pengelola perikanan nasional untuk menjaga keseimbangan biologi dari sumber daya ikan yaitu daya pulih dan laju eksploitasi agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang.
30
Perikanan tangkap skala kecil mempunyai arti penting bagi perekonomian lokal atau nasional, tidak hanya mencakup tenaga kerja yang diciptakan dalam sektor itu sendiri (Bene, 2006), tetapi juga terhadap yang diciptakan di sektorsektor terkait lainnya. Perikanan tangkap pada bagian hulu adalah kegiatankegiatan memasok masukan atau input kepada sektor penangkapan. Banyak input yang biasanya disediakan oleh individu skala kecil atau usaha mikro terletak di dekatnya dalam wilayah pedesaan setempat, meskipun beberapa hal misalnya alat tangkap dan bahan bakar (diproduksi pihak lain yang lebih jauh baik nasional maupun internasional) namun disediakan secara lokal melalui bisnis lokal/pedagang. Keterkaitan kedepan terjadi ketika para pelaku usaha skala kecil atau perusahaan biasanya memberikan banyak input ke sektor hilir dalam kegiatan wilayah pedesaan setempat. Keterkaitan ke hilir ini akan mampu menggerakkan perekonomian lokal, bahan baku ikan hasil penangkapan akan menghasilkan penjualan, pendapatan dan pekerjaan di tingkat lokal, dan hal ini akan berputar terus dan akan menghasilkan multiplier effect selama perputaran uang masih berlangsung dilokasi tersebut. Untuk mengetahui keterkaitan tersebut, studi empiris yang dilakukan secara mikro untuk mengetahui multiplier effect sangat sedikit. Studi empiris yang mencoba untuk menghitung besaran keterkaitan hulu dan hilir di perikanan tangkap skala kecil di negara berkembang cenderung menunjukkan bahwa jumlah tambahan kerja diciptakan melalui keterkaitan hulu dan hilir mungkin cukup signifikan (Bene, 2006). Permasalahan modal pada usaha perikanan tangkap terutama pada skala kecil menjadi salah satu permasalahan klasik yang selalu muncul. Manajemen usaha yang kurang baik terutama pengaturan pengeluaran pada saat musim puncak penangkapan, dimana nelayan kurang mempunyai kebiasaan menabung. Kondisi ini menyebabkan pelaku usaha penangkapan (nelayan) sulit untuk meningkatkan kepemilikan asset dan pemupukan permodalan. Nelayan pada perikanan tangkap skala kecil sebagian mempunyai kecenderungan untuk menggunakan sumber modal dari para tengkulak/ pelepas uang yang digunakan untuk biaya operasional nelayan. Hubungan keterkaitan antara nelayan dan tengkulak ini dalam jangka panjang menimbulkan hubungan patron-klien yang biasanya merugikan pihak nelayan, karena biasanya terjadi hubungan yang bersifat ekploitatif pemodal terhadap nelayan. Salah satu masalah sosial di daerah nelayan adalah adanya struktur sosial yang dicirikan dengan kuatnya patron-klien. Kuatnya patron-klien tersebut merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian (Satria, 2009), menjaga hubungan dengan patron merupakan langkah yang penting untuk menjaga kelangsungan kegiatan penangkapan, karena pola patron klien merupakan institusi jaminan sosial ekonomi. Hal ini terjadi karena sampai saat ini nelayan belum menemukan alternatif kelembagaan yang mampu menjamin kepentingan sosial-ekonomi mereka (Satria, 2009). Terdapat kekuatiran di kalangan elite lokal bahwa jika sistem kelembagaan lama dirombak, dalam arti bahwa kebebasan mengakses pasar bagi nelayan kecil maupun penggarap tambak diciptakan melalui distribusi modal terhadap Nelayan/petani, maka hal ini akan mengancam kekuasaan mereka pada sektor perikanan (Sumarti, 2003).
31
Berdasarkan hal diatas maka kerangka pemikiran rencana penelitian Gambar 3. Perikanan Tangkap Skala Kecil Umpan balik
Kapasitas sumber daya
Hasil tangkapan
Operasional
Prosesing
Sumber Modal
Over fishing dan Over capacity
Inefisiensi Usaha, indeks ketidakstabilan
Value Added
Milik Sendiri
Pinjaman
Sumber lainnya
Patron-klien
Kebijakan Pengelolaan
Peningkatan peran dalam perekonomian
Strategi Permodalan
Model Pengembangan perikanan tangkap skala kecil Perekonomian wilayah
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Penelitian Kerangka pemikiran Gambar 3 tersebut menggambarkan kegiatan perikanan tangkap skala kecil mempunyai permasalahan terutama tingkat efsisiensi dan produktifitas yang rendah karena terjadi inefisiensi yang disebabkan banyaknya armada skala kecil dan jangkauan yang berada diwilayah sekitar pantai. Ketidakstabilan yang cenderung tinggi, permasalahan biaya operasional, hubungan interaksi antara patron-client yang lebih sering merupakan hubungan ekploitatif pihak pemodal/langgan terhadap nelayan, nilai tambah yang seharusnya bisa menjadi sumber pertumbuhan perekonomian lokal. Penekanan hubungan patron-client yang menguntungkan kedua belah pihak perlu lebih dikedepankan dari pada aspek eksploitatif yang merugikan pihak nelayan. Kedua belah pihak mempunyai saling ketergantungan sehingga seharusnya hubungan patron client bisa menghasilkan hubungan interaksi yang saling menguntungkan bukan hubungan yang bersifat eksploitatif. Model yang akan direkomendasikan diharapkan mampu meningkatkan peranan perikanan skala kecil terhadap
32
perekonomian wilayah, melalui bagaimana interaksi antara karakteristik sumber daya yang tersedia dengan pelaku usaha (nelayan, pedagang, industri pengolahan) sehingga mampu menjadi sumber pertumbuhan perekonomian wilayah. Hipotesis Berdasarkan berbagai kajian pustaka dan kerangka pemikiran yang telah dibangun, maka dapat dinyatakan hipotesis penelitian sebagai berikut: a. Efisiensi kapasitas sumberdaya sebagian tidak efisien dan bersifat Decreasing return to scale (DRS) b. Terdapat indeks ketidakstabilan output dan input yang tinggi, yang mempengaruhi fluktuasi produksi dan peggunaan input. c. Kecenderungan interaski nelayan dengan perantara/langgan dipengaruhi oleh lokasi, jenis kapal, lama kepemilikan dan jumlah ABK. d. Nilai tambah yang tercipta dari kegiatan usaha perikanan dinikmati oleh pelaku usaha sebagai sumber pertumbuhan dan pengembagan ekonomi wilayah.
4
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sukabumi. Lokasi penelitian di Kabupaten Lamongan berada di Desa Weru Komplek merupakn sentra perikanan kecil di kabupaten Lamongan. Desa Weru Komplek terdiri dari 4 desa yang mempunyai tempat pendataran ikan (TPI) yang sama. Keempat desa tersebut adalah Desa Paloh, Waru, Weru Lor dan Sidokumpul). Lokasi di Kabupaten Sukabumi berada di sentra perikanan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhanratu. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan sosial ekonomi dan karakteristik sumber daya dan pelaku usaha. Berdasarkan karakteristik sumberdaya ikan kedua lokasi mempunyai perbedaan. Lokasi Lamongan yang termasuk dalam WPP 712 (Laut Jawa) merupakan lokasi perikanan denan dominasi jenis ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Pelabuhanratu termasuk dalam WPP 573 (Samodera Hindia) yang sebagian besar sumberdaya ikannya didominasi jenis ikan pelagis besar. Karakteristik sosial ekonomi antara lain jumlah nelayan, kelembagaan lokal, produksi, tenaga kerja, sumbangan terhadap PDRB dan interaksi para pelaku usaha. Penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu tahap persiapan/pra survey, tahapan pelaksanaan/survey dan tahapan penulisan disertasi. Pelaksanaan tahap persiapan/pra survey dilakukan sejak tahun 2013 untuk menentukan topik permasalahan penelitian, pengumpulan data awal dan menjalin jejaring dengan para pemangku kepentingan di lokasi penelitian untuk memudahkan dalam pelaksanaan penelitian. Pelaksanaan penelitian dilakukan Juni–Desember 2014 dengan melakukan survey pengumpulan data primer dan data sekunder. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data yang terkait dengan kegiatan perikanan yang relevan dengan penelitian. Sumber data sekunder berasal dari data statistik perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan. Data Statistik Pelabuhan Perikanan, data statistik BPS dan data sekunder lainnya yang masih relevan dengan topik penelitian. Data primer dikumpulkan melalui wawancara nelayan responden yang
33
sudah ditentukan, dengan menggunakan kuisioner. Responden adalah nelayan skala kecil pelaku usaha penangkapan, pelaku usaha pengolahan, pedagang pengumpul/langgan, pedagang pengecer. Pemilihan Lokasi Penelitian Pengelolaan perikanan di Indonesia berdasarakan SK Men KP No. 45/Men/2011, yang mengatur pengelolaan perikanan menjadi 11 WPP (Gambar 4). Dilihat dari dominasi dan kelompok sumberdaya ikan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok ikan pelagis kecil dan demersal; dan kelompok ikan pelagis besar. Berdasarkan pola kelompok sumberdaya tersebut maka lokasi Lamongan yang berada di WPP 712, mewakili kelompok sumberdaya pelagis kecil dan demersal, sedangkan lokasi Pelabuhanratu yang berada di WPP 573 mewakili kelompok pelagis besar. Alasan lainnya adalah Kabupaten Lamongan mempunyai potensi perikanan yang tinggi, usaha penangkapan terpusat di perairan Laut Jawa (WPP 712) pada wilayah Kecamatan Brondong dan Kecamatan Paciran, yang memiliki 1 (satu) Pelabuhan Perikanan Nasional (PPN) Brondong dan 4 (empat) Tempat Pendaratan Ikan (TPI), yaitu mulai dari arah timur ke barat TPI Weru, Kranji, Labuhan dan Lohgung. Potensi dan kinerja perikanan tangkap kabupaten Lamongan tahun 2012 sebagai berikut: Potensi Produksi 100.000 ton; Produksi sebanyak 70.150 ton (2014); Nilai 806,382 milyar dan jumlah Nelayan 28.154 orang, dan jumlah armada 7.527 unit (besar dan kecil, sebagian besar nelayan skala kecil), (Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Lamongan, 2014).
Gambar 4 Peta lokasi penelitian berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPPRI) berdasarkan Permen KP No. 45/Men/2011. Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu sentra produksi perikanan tangkap, dengan jumlah nelayan dan produksi yang terbanyak di wilayah pantai selatan Jawa Barat. Jumlah produksi tahun 2013 sebanyak 7.929,072 ton (dari dalam PPN Pelabuhan ratu) dan sebanyak 4.792,57 ton (berasal dari luar PPN).
34
Jumlah nelayan sebanyak 5.081 orang. Nilai produksi perikanan sebesar Rp. 284,31 milyard Rupiah (PPN Pelabuhanratu). Selain potensi dan jumlah produksi yang cukup besar kedua lokasi mempunyai kelembagaan yang mewadahi nelayan. Nelayan di kabupaten Lamongan mempunyai kelembagaan spesifik yang dibangun dari bawah (bottom up) yang mempunyai kekuatan (posisi tawar) yang cukup kuat. Kelembagaan tersebut ada dari tingkat kelompok masyarakat, desa dan Kabupaten. Blandongan merupakan kelembagaan kelompok nelayan yang berada di tingkat dusun/RT/wilayah, setiap desa mempunyai 6-9 Blandongan dengan anggota 60-80 nelayan. Blandongan berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan kelompok nelayan disuatu wilayah. Kumpulan blandongan membentuk asosiasi yang dinamakan Rukun Nelayan (RN) di tingkat desa, anggotanya adalah blandongan-blandongan yang ada di desa tersebut. Kabupaten Lamongan mempunyai 16 desa pesisir yang setiap desa mempunyai Rukun Nelayan (RN). Asosiasi Rukun Nelayan (RN) membentuk lembaga tingkat kabupaten yang diwadahi melalui asosiasi HNSI yang anggota-anggotanya terdiri dari Rukun Nelayan (RN) se Kabupaten Lamongan. Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu sentra pendaratan ikan di wilayah pantai selatan bagian barat. Sentra pendaratan berpusat di PPN Pelabuhanratu. Kelembagaaan yang berkembang sebagian besar mengikuti program pemerintah. Kelembagaan yang sudah ada biasanya digunakan sebagai sarana untuk pengembangan program seperti PUMP Tangkap laut. Pemilihan kedua lokasi tersebut diharapkan bisa memberikan gambaran karakteristik yang unik dan khas. Selain itu kedua lokasi tersebut dapat memberikan gambaran spesifik dari karakteristik pelaku usaha yang berbeda serta memberikan gambaran aspek pewilayahan di kedua lokasi. Lokasi penelitian seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Lokasi penelitian No Wilayah Kabupaten 1 Pantai Utara Jawa Lamongan
Kecamatan Paciran
2
Pelabuhanratu
Pantai Jawa
Selatan Sukabumi
Desa Desa Weru Komplek (Waru, Paloh, Weru Lor, Sidokumpul) Pelabahan ratu
Teknik Pemilihan Sampel/Responden Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai populasi adalah masyarakat pelaku usaha yang dikelompokkan ke dalam pelaku usaha skala kecil. Pemilihan lokasi dimulai dari penentuan kawasan/wilayah yaitu kawasan pantai utara dan kawasan pantai selatan Jawa. Lokasi pemilihan adalah kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sukabumi. Lokasi penentuan responden didasarkan lokasi tersebut sebagai sentra perikanan (desa Weru Komplek, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan), dan sentra perikanan tangkap di Pelabuhanrattu, Kabupaten Sukabumi. Untuk mendapatkan contoh responden pelaku usaha dilakukan melalui pendekatan pada Gambar 5. Pemilihan responden dilakukan secara purposif pada tingkap kawasan, Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Pemilihan secara random dilakukan terhadap responden pelaku usaha.
35
Perikanan tangkap Skala Kecil
Purposif Pantura
Pantai Selatan
Kabupaten Lamongan
Kabupaten Sukabumi
Kecamatan Paciran
Kecamatan Pelabuhan Ratu
Desa Weru Komplek (Paloh, Weru Lor, Sidokumpul,
Desa Pelabuhan ratu
Nelayan yang berada di TPI Weru Komplek
Nelayan yang tambat labuh di kawasan PPN
Purposif
Purposif
Purposif
Random
Gambar 5 Alur penentuan lokasi dan responden Pemilihan responden dengan menggunakan rumus Slavin dimana jumlah responden (n) dengan menggunakan rumus sebagai berikut: n = N/1+ (Ne2); dimana N = jumlah populasi n = jumlah responden e = tingkat kesalahan Dari jumlah nelayan skala kecil di Weru Komplek dan di Pelabuhanratu sebanyak sebanyak 3.996 nelayan. Dengan menggunakan tingkat kesalahan 8%, jumlah responden yang terpilih di Lamongan sebanyak 83 orang dan di Pelabuhanratu sebanyak 74 orang nelayan, sehingga total jumlah responden sebanyak 157 orang. Pendekatan dan Model Analisis Analisis Efisiensi Kapasitas Sumber Daya dan Perubahan Faktor Produktifitas Total Menurut Dyson, Thanassoulis dan Boussofiane (1990) yang dirujuk Fauzi dan Anna (2005), analisis DEA bertujuan mengukur keragaan relatif (relative performance) dari unit analisis pada kondisi keberadaan multiple inputs dan output. Penerapan DEA memiliki kelebihan dalam kemampuannnya mengestimasi kapasitas dibawah kendala penerapan kebijakan tertentu, seperti Total Allovable Catch (TAC), pajak, distribusi regional atau ukuran kapal, larangan menangkap pada waktu tertentu dan kendala sosial ekonomi lainnya, keistimewaan lain dari model DEA adalah kemampuannya dalam mengakomodasi multiple output maupun multiple inputs, serta tingka input dan output yang nil maupun non diskrit (Fauzi dan Anna, 2005).
36
Efisiensi usaha penangkapan perikanan skala kecil dengan menggunakan pendekatan DEA merupakan solusi dari persamaan (Charnes et al. 1978, Fauzi dan Anna, 2005). ∑ ∑ Dengan kendala : ∑
untuk setiap unit ke j .................................................................. (2)
∑
wi dan vk ≥ € Dimana: em = Efisiensi maksimum λk = Skor efisiensi j = lokasi ur = pembobotan untuk output usaha penangkapan ke –r yrj = jumlah ouput usaha penangkapan ke –r di lokasi ke-j vi = pembobotan untuk input penangkapan ke-i xij = jumlah input usaha penangkapan ke-i di lokasi ke-j Output penangkapan (yri) adalah jumlah hasil tangkapan per jenis alat tangkap selama satu tahun. Input yang digunakan (xij) adalah sarana produksi yang digunakan untuk penangkaan dari masing-masing DMU yaitu jumlah kapal, jumlah nelayan, BBM, alat tangkap, trip, Es dan umpan. Solusi dari persamaan tersebut akan menghasilkan nilai Em yang maksimum, sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah ke efisiensi (Fauzi dan Anna, 2005). Masalah yang diakibatkan dari fungsi yang fraksional dari persamaan tersebut dipecahkan dengan cara linierisasi, sehingga menjadi persamaan linier. Persamaan linier tersebut dapat ditulis sebagai berikut: ∑
........................................................................................ (3)
Dengan kendala ∑
.................................................................................................. (4)
∑
∑
≤ 1 ......................................................................... (5)
Dari persamaan linier tersebut dapat dihasilkan penyelesaian dengan cara primal dan dual dengan solusi yang sama. Pemecahan masalah dengan cara dual lebih sederhana karena dimensi kendala berkurang (Fauzi dan Anna, 2005).
37
Model Primal
Variable Dual Zm ................................... (6)
∑ Dengan kendala
λ0 ...................................... (7)
∑ ∑
∑ - vk ≤ € k = 1, 2 ......m - wi ≤ € i=1,2.....t
≤ 1; j = 1,2 ...n
....................................... (8) ....................................... (9)
Dual dari persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut: ∑ ∑ .............................................................. (10) Dengan kendala ∑ + ∑
....................................................... (11) .................................................................. (12)
≥0
............................................................................................ (13)
Indeks Malmquist dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan faktor Total produktivitas (TFP) untuk suatu perusahaan atau industri dari waktu ke waktu. Indeks TFP adalah didefinisikan (Coelli et al., 2005) sebagai indeks dari rasio seluruh output yang diproduksi terhadap semua input yang digunakan dalam produksi. Indeks Malmquist sering digunakan ketika harga dan data biaya tidak tersedia. Indeks ini didasarkan pada fungsi non-parametrik, yang memungkinkan untuk menjelaskan dari multi-input dan multi-hasil produksi tanpa perlu menentukan fungsi tujuan perilaku (Coelli et al., 2005). Selain itu, indeks Malmquist memiliki keuntungan yaitu Perubahan TFP dapat dipisahkan menjadi perubahan efisiensi/Eficiensychange (EFFCH) dan perubahan teknologi/ Technolgies Change (TECHCH). EFFCH dapat lebih lanjut dibagi menjadi murni perubahan teknis efisiensi (EFFCH PURE) dan perubahan skala efisiensi (SKALA EFFCH). Analisis data envelopment (DEA) dapat diterapkan untuk memperkirakan fungsi jarak yang digunakan untuk mendapatkan hasil indeks Malmquist TFP (Fare et al., 1994). Keuntungan menggunakan metode non-parametrik, seperti DEA dan indeks TFP, adalah bahwa ini tidak memerlukan spesifikasi fungsi untuk pembatasan produksi. Selain itu, relatif mudah untuk menangani beberapa input dan output dalam metode ini. Indeks Malmquist TFP diterapkan untuk memperkirakan TFP perubahan di sektor perikanan tangkap di lokasi penelitian. Pendekatan dalam menghitung indeks Malmquist dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut (Fare et al., 1994; Asche et al., 2013).
38
(
)
Keterangan : yt = Output tahun ke-t; xt = input tahun ke-i; yt+1 = output tahun ke-t+1; xt+1 = input ke-t+1; doc = merepresentasikan fungsi jarak, o = pendekatan output oriented; c = pendekatan CSR (constan return to scale) teknologi; index m0 = estimasi perubahan produktifitas pada suatu firm (DMU). Persamaan (14) dapat direorganisasi untuk menjadi indek produktifitas atau EFFCH indeks dan TECCHCH indeks:
(
)
......................................................(15)
Technical Efficiency Change (TEC) dapat ditulis (Coelli et al. 2005): ....................................................................................................... (16) Dimana dov mereprensatasikan pendekatan output oriented, dimana v merujuk pada pendekatan VRS pada model DEA. Skala perubahan efisisensi dapat ditulis (Coelli et al., 2005): (
)
............. ........ (17)
Penyelesaian persamaam 14-17, dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan DEA, estimasi fungsi, yang dapat ditulis sebagai berikut: ........................................................... .....(18) ∑
..............................................(19)
∑ ∑
.............................................. (20) .............................................. (21)
Keterangan : : merepresentasikan jumlah usaha (DMU) : merupakan output produksi perikaan tangkap lau : Input yang digunakan oleh masing-masing usaha (DMU) Analisis Indeks Ketidakstabilan (Coppock Instabiliti Index/CII) Metode Coppock Instability Index (CII) dapat dituliskan sebagai berikut (Fauzi, 2010, Fauzi dan Anna, 2010):
39
CII=|ant log √
.................................................................. (22)
Dimana v log didefisnisikan sebagai
Log V =
∑
(
∑
) .........................(23)
Keterangan : CII : Coppock Instability Indexs n : jumlah tahun; x : nilai variabel yang diobservasi dan t : tahun Hasil indek yang tinggi menunjukkan tingginya ketidakstabilan variabel ekonomi perikanan yang diukur yang dapat disimpulkan merupakan interaksi dari berbagai faktor (Fauzi, 2010; Fauzi dan Anna, 2010) Analisis Permodalan pada Perikanan Tangkap Skala Kecil Analisis regresi logistik multinomial digunakan untuk memeriksa hubungan antara peubah respon yang biasanya terdiri atas data kualitatif dengan peubah-peubah penjelas yang terdiri dari data kualitatif dan kuantitatif (Hosmer dan Lameshow, 2000; Gudono, 2012). Regresi Logistik Multinomial melibatkan peubah respon yang memiliki kategori lebih dari dua dengan peubah penjelas kategorik dan atau kontinu. Tujuan model kualitatif adalah menentukan peluang bahwa individu-individu dengan karakteristik tertentu akan memilih suatu pilihan tertentu dari beberapa alternatif yang tersedia (Juanda, 2009). Suatu peubah respon dengan j kategori akan membentuk persamaan logit sebanyak j-1 dimana masing-masing persamaan ini membentuk regresi logistik biner yang membandingkan suatu kelompok kategori terhadap kategori referensi. Regresi logistik multinomial atau disebut juga model logit politomus adalah model regresi yang digunakan untuk menyelesaikan kasus regresi dengan variabel dependen berupa data kualitatif berbentuk multinomial (lebih dari dua kategori) dengan satu atau lebih variabel independen (Hosmer dan Lameshow, 2000; Gudono, 2012). Tujuannya adalah untuk menjelaskan cara mengestimasi parameter pada regresi logistik multinomial dengan menggunakan metode maksimum likelihood (maximum likelihood methods) dan menjelaskan contoh ilustrasi model regresi logistik multinomial. Persamaan model regresi logistik multinomial dapat dituliskan sebagai
berikut: g j x j 0 j1 x1 j 2 x2 ... jp x p , dengan g j x merupakan variabel dependen yang berupa variabel kategori politomus dengan skala pengukuran nominal, x p menyatakan variabel independen, dan jp adalah parameter. Metode yang digunakan untuk mengestimasi parameter model regresi logistik multinomial adalah metode maksimum likelihood (maximum likelihood methods). Persamaan likelihood pada regresi logistik multinomial merupakan persamaan nonlinear dalam parameter koefisien regresi βjp. Setelah diperoleh estimasi parameter, dilakukan uji taraf nyata parameter menggunakan Uji rasio likelihood dan uji Wald.
40
Regresi logistik multinomial merupakan regresi logistik dengan variabel dependen (Y) mempunyai skala yang bersifat polychotomus atau multinomial yaitu skala dengan kategori lebih dari dua. Misal X variabel independen yang berukuran (p+1) dan variabel dependen Y (j kategori) mempunyai kategori j = 0, 1, 2 dengan probabilitas respon Y=0, Y=1, dan Y=2. Regresi logistic multinomial adalah regresi logistic dimana variable dependennya bersifat nominal dan memiliki lebih dari dua katagori/polikotomus (Gudono, 2012). Dalam regresi logistic multinomial intersep model regresi tersebut digunakan sebagai katagori pembanding. Selain itu rasio relative (dinyatakan dinyatakan dalam rasio odd) diterapkan untuk setiap variable indepanden untuk setiap variable dependen kecuali untuk kategori pembanding. Teknik penentuan parameter model dalam regresi logistic multinomial akan menghasilkan parameter untuk setiap pilihan katagori veriabel dependen. Oleh karena itu data mengenai model fitness dengan menggunakan Cox & Snell Pseudo R2 ataupun Negelkerke R2 mungkin tidak banyak membantu (Gudono, 2012). Sebaliknya kemampuan model untuk melakukan klasifikasi dengan tepat (correct classification rate/hit ratio) lebih bermanfaat. Regresi logistik multinomial merupakan perluasan dari regresi logistik dengan respon biner yang dapat menangani variable respon dengan katagori lebih dari dua. Hosmer dan Lemeshow (2000) menjelaskan, untuk model regresi dengan variable respon berskala nominal tiga katagori digunakan katagoti variable hasil Y yang diberi kode 0, 1, dan 2, sehingga variable Y menjadi dua fungsi logit. Sebelumnya perlu ditentukan katagori respon yang digunakan sebagai katagori pembanding terlebih dahulu. Pada umumnya digunakan Y=0 sebagai pembanding. Untuk membentuk fungsi logit, akan dibandingkan Y=1 dan Y=2 terhadap Y=0. Bentuk model regresi logistic yang berupa fungsi peluang dengan p variable predictor seperti pada persamaan berikut ini. (
) (
)
.......................................................... (24)
Transformasi logit akan menghasilkan dua fungsi logit sebagai berikut, dengan menetapkan bahwa x0 = 1 ⌊
.......... (25)
⌊
......... (26)
Berdasarkan kedua fungsi logit tersebut maka didapatkan probabilitas respon atau model (Hosmer dan Lemeshow, 2000) ; ; .......................................................................................................................... (27) Metode yang digunakan untuk menaksir β pada penelitian ini adalah metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Fungsi likelihood untuk model peluang dari regresi logistic multinomial dengan kategori respond terdapat responden sebanyak n observasi yang independen. Variabel yang digunakan
41
dalam analisis meliputi variable respon dan variable parameter prediktor yang didijelaskan sebagai berikut. Penentuan variable respon (Y), ditentukan sesuai dengan tujuan penelitian. Sedangkan variable predictor merupakan variablevariabel selain variable respon. Estimasi dari fungsi multinomial logistik akan menghasilkan : Uji Simultan Ho: Tidak ada satupun variabel independen yang secara statistik signifikan memengaruhi variabel dependen H1: Minimal terdapat satu buah variabel independen yang secara statistik signifikan memengaruhi variabel dependen. Wilayah kritis/Tolak Ho: Jika nilai prob Chi Square (db=k-1) lebih kecil dari Aplha 5% atau Chi Square hitung lebih besar dari Chi Square tabel (db=0,05;k1) Derajat bebas untuk pengujian ini adalah (0,05;k-1) = (0,05;6-1). Jumlah k dalam pengujian ini adalah 5, karena nilai k menunjukkan banyaknya kategori yang ada pada variabel dependen dan seluruh variabel independen, yaitu masingmasing 3 buah kategori atau dummy variable untuk variabel dependen. Uji Parsial Ho: Variabel independen ke-x secara statistik signifikan memengaruhi variabel dependen H1: Variabel independen ke-x secara statistik tidak signifikan memengaruhi variabel dependen Wilayah kritis/Tolak Ho: Jika nilai prob Chi Square untuk variabel ke – x (db=k+1) lebih kecil dari Aplha 5% atau Chi Square hitung lebih besar dari Chi Square tabel (db=0,05;k+1) Uji kebaikan model dalam analisis reglog dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi semu kendati interpretasi nilai koefisien determinasi dalam reglog tidak semudah interpretasi dalam analisis regresi OLS biasa. Namun, untuk kepentingan uji kebaikan model (goodness of fit), maka akan memperhitungkan besarnya nilai koefisien determinasi untuk melihat seberapa besarkan keragaman data pada variabel bebas mampu menjelaskan keragaman data pada variabel bebas kualitatifnya. Nagelkerke mengindikasikan bahwa keragaman data variabel bebas dalam penelitian mampu menjelaskan keragaman data variabel terikatnya sebesar nilainya dalam persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel bebas lain yang ada di luar model penelitian. Jika menambah variabel bebas, maka nilai R Square akan cenderung meningkat. Intepretasi Odd Ratio/Relative Risk Ratio (RRR) Interpretasi dalam regresi logistik menggunakan nilai odds ratio yang menunjukkan per andingan tingkat kecenderungan dari kategori yang ada dalam satu varia el prediktor. Nilai odds ratio pada respon multinomial menggunakan notasi umum yang digunakan dalam respon iner • Pada regresi logistik politomus dengan tiga kategori respon akan ter entuk dua odds ratio. • Yang pertama per andingan peluang antara respon kategori 1 (Y=1) dengan respon kategori pem anding (Y=0) • Yang kedua adalah per andingan peluang antara respon kategori 2 (Y=2) dengan respon kategori pem anding (Y=0).
42
Peran penting dari kegiatan perikanan skala kecil akan dilakukan dengan melakukan analisis menggunakan pendekatan regresi multinomial logit dengan indikator dan kriteria seperti pada Tabel 6. Tabel 6 Variabel dan indikator dalam analisis regresi multinomial logit No 1.
Variabel Kecenderungan nelayan tangkap Skala Kecil dalam memperoleh modal (Y) Status Kapal (X2)
Indikator Sumber modal yang digunakan oleh nelayan dalam melakukan aktifitas penangkapan (biaya operasional)
Kriteria 0 = Modal Sendiri 1 = Pinajaman 2 = Campuran (milik sendiri dan pinjaman
Status kepemilikan kapal
3.
Jenis Kapal/Perahu (X3)
Jenis dan bobot kapal/Perahu
4. 5.
Investasi awal (X4) Lama memiliki kapal (X1)
6. 7.
Jumlah ABK (X5) Dummy Variabel (D)
8.
Koefisien regresi (β0 ... β5) Residual (ε)
Nilai investasi awal Pengalaman nelayan dalam usaha penanagkapan (lama memiliki kapal) Jumlah ABK dalam satu kapal Menggambarkan dua lokasi (Lamongan dan Pelabuhanratu, Sukabumi) Koefisien persamaan regresi logistik multiomial
0 = Milik sendiri 1 = sewa 0 = Perahu motor tempel (PMT); 1 = Kapal < 5 GT Rupiah Tahun
2.
9.
Orang D0=Lamongan D1=Pelabuhanratu
Analisis Nilai Tambah dan Rantai Nilai Perikanan Tangkap Skala Kecil Produksi perikanan hasil tangkapan nelayan harus segera dipasarkan, langsung dikonsumsi atau diolah terlebih dahulu, karena produk perikanan mempunyai sifat mudah rusak. Langgan/pedagang perantara memainkan peranan yang penting dalam pembentukan nilai tambah. Nelayan memerlukan jaminan produksi hasil tangkapannya dapat terjual semuanya, dan langgan/pedagang perantara perlu mendapat jaminan produk yang dapat dipasarkan dari nelayan (esensi hubungan patron-client). Hal tersebut memunculkan hubungan yang saling menguntungkan (Ferrol-Shulte et al., 2014). Salah satu konsep yang sering digunakan untuk membahas pengolahan hasil perikanan adalah nilai tambah. Nilai tambah (value added) adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi. Menurut Hayami et al., (1987) ada dua cara untuk menghitung nilai tambah yaitu nilai tambah untuk pengolahan dan nilai tambah untuk pemasaran. Dalam proses pengolahan nilai tambah dapat didefinisikan sebagai selisih antara nilai produk dengan nilai biaya bahan baku dan input lainnya, tidak termasuk tenaga kerja. Sedangkan marjin adalah selisih antara nilai produk dengan harga bahan bakunya. Dalam marjin ini tercakup komponen faktor produksi yang digunakan yaitu tenaga kerja, input lainnya dan balas jasa pengusaha pengolahan (Hayami et al., 1987). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah pengolahan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang digunakan dan tenaga kerja. Faktor pasar yang berpengaruh adalah harga output, upah tenaga
43
kerja, harga bahan baku dan nilai input lain selain bahan baku dan tenaga kerja. Informasi atau keluaran yang diperoleh dari hasil analisis nilai tambah adalah besarnya nilai tambah, rasio nilai tambah, margin dan balas jasa yang diperoleh pemilik faktor produksi (Hayami et al., 1987). Berdasarkan pengertian tersebut, perubahan nilai bahan baku yang telah mengalami perlakuan pengolahan besar nilainya dapat diperkirakan. Dengan demikian, atas dasar nilai tambah yang diperoleh, marjin dapat dihitung dan selanjutnya imbalan bagi faktor produksi dapat diketahui. Nilai tambah yang semakin besar atas produk perikanan tentunya dapat berperan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang besar berdampak bagi peningkatan lapangan usaha dan pendapatan masyarakat yang muara akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Besarnya nilai tambah karena proses pengolahan didapat dari pengurangan biaya bahan baku dan input lain terhadap nilai produk yang dihasilkan, tidak termasuk tenaga kerja. Dengan kata lain nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, modal dan manajemen. Distribusi nilai tambah berhubungan dengan teknologi yang diterapkan dalam proses pengolahan, kualitas tenaga kerja berupa keahlian dan ketrampilan serta kualitas bahan baku. Penerapan teknologi yang cenderung padat karya akan memberikan proporsi bagian terhadap tenaga kerja yang lebih besar daripada proporsi bagian keuntungan bagi perusahaan, sedangkan apabila yang diterapkan teknologi padat modal, maka besarnya proporsi bagian pengusaha lebih besar daripada proporsi bagian tenaga kerja. Besar kecilnya proporsi tersebut tidak berkaitan dengan imbalan yang diterima tenaga kerja (dalam rupiah). Besar kecilnya imbalan tenaga kerja tergantung pada kualitas tenaga kerja itu sendiri seperti keahlian dan ketrampilan. Kualitas bahan baku juga berpengaruh terhadap distribusi nilai tambah apabila dilihat dari produk akhir. Jika faktor konversi bahan baku terhadap produk akhir semakin lama semakin kecil, artinya pengaruh kualitas bahan baku semakin lama semakin besar. Proses pengolahan dapat meningkatkan guna bentuk komoditas. Konsumen yang bersedia membayar outpot hasil olahan dengan harga yang relatif tinggi merupakan insentif bagi perusahaan pengolah. Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil Berdasarkan kondisi saat ini dan berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan dalam penelitian ini maka disusun sintesa model. Sintesa tersebut menghasilkan suatu model pengembangan perikanan tangkap skala kecil. Model tersebut dibangun berdasarkan evaluasi kondisi saat ini, keterkaitan dan interaksi antara pelaku usaha dengan sumberdaya perikanan tangkap. Karakteristik sumberdaya ikan akan mempengaruhi pola interaksi yang terjadi antara nelayan, langgan/pedagang perantara, industri pengolahan. Pola-pola interaksi tersebut menggambarkan pengelolaan perikanan harus memperhatikan interaksi antara antara karakteristik sumberdaya ikan dengan para pelaku (nelayan non nelayan) yang terlibat. Model yang dibangun diharapkan mampu memberikan gambaran kontribusi perikanan skala kecil terhadap perekonomian wilayah. Model yang direkomendasikan bisa menjadi “template” sebagai salah satu rujukan pengembangan perikanan skala kecil dengan mempertimbangan potensi dan karakteristik sumberdaya, interaksi nelayan-pemodal dan keterkaitan dengan
44
industri berbasis perikanan. Keberadaan kelembagaan lokal yang kuat diharapkan semakin memperkuat model yang disarankan.
5
GAMBARAN UMUM PERIKANAN DI LAMONGAN DAN PELABUHANRATU
Perikanan skala kecil dapat secara luas dicirikan sebagai sektor yang dinamis dan berkembang mempekerjakan tenaga kerja untuk penangkapan, pengolahan dan distribusi untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan. Kegiatan sub-sektor ini, dilakukan penuh waktu atau paruh waktu, atau hanya musiman, sering ditargetkan pada penyediaan ikan dan produk perikanan untuk pasar lokal dan domestik. Pengembangan produksi untuk tujuan ekspor telah meningkat pada perikanan skala kecil selama satu hingga dua dekade karena integrasi pasar yang lebih besar dan globalisasi. Karakteristik perikanan dibedakan berdasarkan ukuran kapal dan besarnya investasi, sebagian besar armada penangkapan terdiri dari armada skala kecil. Secara global karakteristik perikanan dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 6.
Sumber: FAO, www.fao.org/fishery/topic/14753/en Gambar 6 Karakteristik Perikanan Global Berdasarkan Ukuran Kapal dan Teknologi Lamongan merupakan satu sentra perikanan di Pantai Utara Jawa Timur, sedangkan Pelabuhanratu merupakan salah satu sentra perikanan di Jawa Barat bagian selatan. Tabel 7 menyajikan komposisi kapal penangkap berdasarkan jenis mesin dan tonase kapal di kedua lokasi Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sukabumi. Struktur armada penangkapan ikan di Indonesia sebagian besar menggunakan kapal berukuran kecil (kurang dari 10 GT) (KKP, 2013). Armada penangakapan di kedua lokasi penelitian mempunyai karakteristik yang berbeda. Armada di Lamongan sebagian besar terdiri dari kapal tradisonal yang sudah sejak lama beroperasi di wilayah Lamongan. Armada di Pelabuhanratu selain terdiri dari kapal-kapal tradisional juga terdapat kapal-kapal modern yang menangkap tuna.
45
Tabel 7 Komposisi kapal perikanan tangkap di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sukabumi Sukabumi Lamongan No Jenis Kapal Jumlah % Jumlah % 1 PMT 3.030 61,71 2.408 31,99 2 KM 5 - 10 GT 1.289 26,25 2.422 3,18 3 KM 10 - 20 GT 35 0,71 1.592 21,15 4 KM 20 - 30 GT 448 9,12 1.105 14,68 5 KM 30 - 50 GT 77 1,57 6 KM 50 - 100 GT 31 0,63 Jumlah 4.910 100,00 7.527 100,00 Sumber : Dinas KP Kabupaten Lamongan, 2013 dan PPN Pelabuhanratu, 2014 Kondisi armada perikanan tangkap di kedua lokasi sebagian besar didominasi oleh armada berukuran kecil (kurang dari 5 GT) di Sukabumi 87,96% adalah perikanan skala kecil dan di Lamongan sebesar 64,17%. Kondisi ini menandakan bahwa peranan perikanan skala kecil masih dominan, oleh karena itu diperlukan perhatian kebijakan yang berpihak kepada perikanan skala kecil. Di Kabupaten Lamongan aktifitas perekonomian yang bersumber dari perikanan tangkap laut terutama berpusat di PPN Brondong. Perkembangan ekonomi di Kabupaten Lamongan ditopang oleh tersedianya fasilitas: memiliki lima sentra produksi perikanan tangkap yaitu: (TPI Weru,TPI Kranji, PPN Brondong, TPI Labuhan dan TPI Lohgung); jumlah nelayan 28.154 orang dengan produksi 70.150 ton (tahun 2014); terdapat ± 7.526 unit armada perikanan tangkap (5–20 GT) dengan jumlah alat tangkap ± 8.395; terdapat 8 unit industri pengolahan ikan (UPI), 252 unit pengolah skala rumah tangga/UMKM. Daerah fishing ground tidak jauh dari base camp/PPN Brondong (perairan Masalembo, Matasiri, Bawean dan Utara Laut Jawa). Aktifitas perikanan di Kabupaten Sukabumi berpusat di kawasan PPN Pelabuhanratu, jumlah produksi tahunan pada tahun 2013 sebesar 7.929,07 dengan nilai produksi lebih kurang Rp. 284,31 milyar. Nilai tersebut adalah nilai ikan (bahan baku) sehingga apabila dihitung dengan nilai tambahnya maka nilainya akan jauh lebih besar. Nilai strategis lokasi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhanratu bahwa: (1) Lokasi ini menghadap Samudera Hindia yang merupakan daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang paling dekat dari Pelabuhanratu dan kondisi potensi ikan pelagis besar seperti tuna dan cakalang masih cukup potensial untuk dieksploitasi; (2) Lokasi ini sudah sejak lama menjadi tempat pendaratan kapal nelayan setempat dan merupakan perkampungan nelayan, dan (3) Dekat dengan daerah pemasaran Jakarta dan Bandung, kalau ditempuh melalui jalan darat hanya memerlukan waktu 3-4 jam dan melalui rantai dingin, ikan dapat diekspor melalui Jakarta. Jumlah Produksi Perikanan di Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sukabumi tahn 2007 – 2013 seperti Gambar 7. Jumlah produksi perikanan di Pelabuhanratu dan Lamongan meningkat pada periode tahun 2007-2013. Namun share perikanan skala kecil di Pelabuhanratu menurun sedangkan di Lamongan meningkat. Gambaran ini memberikan indikasi bahwa perikanan skala kecil di Lamongan tetap memberikan kondtribusi terhadap perekonomian wilayah. Penurunan share produksi perikanan skala kecil di Pelabuhanratu lebih banyak dipengaruhi karena adanya kebijakan pengembangan perikanan tuna, tongkol dan cakalang.
46
a
b
Sumber PPN Pelabuhanratu, 2014 dan Lamongan dalam Angka, 2014 a. Total Produksi Perikanan, b. Perikanan Skala kecil Gambar 7 Produksi perikanan tangkap PPN Pelabuhanratu dan Kabupaten Lamongan tahun 2007-2013) Kabupaten Sukabumi memiliki 7 tempat pendaratan hasil tangkapan ikan, antara lain, Pelabuhanratu, Cibanban, Cisolok, Ujung Genteng, Loji, Ciwaru dan Minajaya. Kegiatan perikanan tangkap terbesar di wilayah Kabupaten Sukabumi terletak di Kecamatan Pelabuhanratu, karena di kecamatan tersebut terdapat fasilitas perikanan yang cukup besar, yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhanratu. Kabupaten Kabupaten Lamongan merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi dibidang perikanan dan kelautan yang cukup besar dengan sentra perikanan berada di PPN Brondong. Terdapat 12 desa pesisir (Kecamatan Paciran dan Brondong) yaitu; Kelurahan Blimbing, Desa Kandangsemangkon, Desa Paciran, Desa Tunggul, Desa Kranji, Desa Banjarwati, Desa Kemantren, Desa Sidokelar, Desa Paloh, Desa Weru, Desa Sidokumpul, dan Desa Warulor. Dalam konteks hubungan eksploitasi sumber daya perikanan, masyarakat nelayan terdapat empat perilaku sebagai berikut: (1) mengeksploitasi terusmenerus sumber daya perikanan tanpa memahami batas-batasnya; (2) mengeksploitasi sumber daya perikanan, disertai dengan merusak ekosistem pesisir dan laut, seperti menebangi hutan bakau serta mengambil terumbu karang dan pasir laut; (3) mengeksploitasi sumber daya perikanan dengan cara-cara yang merusak (destructive fishing), seperti kelompok nelayan yang melakukan pemboman ikan, melarutkan potasium sianida, dan mengoperasikan jaring yang merusak lingkungan, seperti trawl atau minitrawl; serta (4) mengeksploitasi sumber daya perikanan dipadukan dengan tindakan konservasi, seperti nelayannelayan yang melakukan penangkapan disertai dengan kebijakan pelestarian terumbu karang, hutan bakau, dan mengoperasikan jaring yang ramah lingkungan (Kusnadi, 2009). Perilaku eksploitatif yang tak terkendali berimplikasi luas terhadap kelangkaan sumber daya perikanan dan kemiskinan nelayan. Di samping itu, kompetisi antar nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan terus meningkat, sehingga berpotensi menimbulkan konflik secara eksplosif di berbagai wilayah perairan, khususnya di kawasan yang menghadapi kondisi overfishing (tangkap lebih). Penggunaan kapal armada penangkapan di kedua lokasi Lamongan dan Pelabuhanratu, dapat dikatagorikan menjadi Perahu Motor Tempel (PMT) dan Kapal Motor (KM). Perkembangan armada penangkapan di kedua lokasi seperti pada Tabel 8.
47
Tabel 8 Perkembangan armada penangkapan di Lamongan dan Pelabuhanratu tahun 2009-2013 Pelabuhanratu Lamongan Tahun Kapal Nelayan Kapal Nelayan PMT KM PMT KM PMT KM PMT KM 2009 364 394 1.741 2.712 993 1.466 3.250 13.437 2010 346 356 1.242 3.232 993 3.320 3.220 13.337 2011 461 359 1.535 3.034 993 3.321 2.899 12.955 2012 478 425 1.772 3.340 993 3.321 3.225 12.840 2013 463 422 1.858 3.223 993 3.321 3.050 14.614 Keterangan: PMT = Perahu Motor Tempel; KM = Kapal Motor Sumber : Data Sekunder Tabel 8 menunjukkan bahwa di Pelabuhanratu jumlah kapal motor (KM) dan perahu motor tempel (PMT) jumlahnya seimbang. Sedangkan di Lamongan jumlah kapal motor lebih dominan dari pada perahu motor tempel. Semakin pesatnya perkembangan teknologi penangkapan ikan berkenaan dengan alat tangkap, mendorong nelayan untuk menggunakan berbagai jenis alat tangkap agar hasil tangkapan dapat meningkat. Namun demikian alat penangkap ikan merupakan salah satu subyek yang cukup rumit untuk dipelajari karena banyak jenis dan variasi yang disesuaikan dengan keragaman tujuan jenis ikan yang ditangkap. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya terjadi kenaikan jumlah alat tangkap, karena kebanyakan nelayan meninggalkan alat tangkap yang sudah tidak produktif dan beralih pada penggunaan alat tangkap yang tepat guna atau dimodifikasi untuk disesuaikan dengan daerah tangkapannya (fishing ground). Kapal-kapal yang bersandar di PPN Pelabuhanratu biasanya beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573, dimana sebagian besar didominasi oleh jenis ikan pelagis besar. Produksi hasil perikanan yang didaratkan di PPN Pelabuhanratu dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Peningkatan paling menonjong terjadi pada alat tangkap tuna long line, dimana pada tahun 2007-2013 produksinya naik sangat tajam. PPN Brondong sebagai sentra perikanan di Kabupaten Lamongan menghasilkan produksi dan nilai produksi terbesar di Lamongan. TPI Weru komplek merupakan kumpulan tempat pendaratan ikan yang meliputi empat desa disekitar Weru, mempunyai produksi terbesar ke dua dimana seluruhnya dihasilkan oleh nelayan dengan kapal skala kecil kurang dari 5 GT. Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu produsen ikan terbesar di Propinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Produksi perikanan di Lamongan sebesar lebih kurang 70.000 ton memberikan share 17% dari total produksi ikan di Jawa Timur, sedangkan produksi perikanan di Sukabumi sebesar 8.000 ton memberikan share sebesar 4% dari total produksi perikanan Jawa Barat. Kebijakan pemerintah untuk mendorong peningkatan produksi melalui berbagai instrumen berhasil meningkakan total produksi, namun dipihak lain produksi perikanan skala kecil semakin menurun. Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan produksi kapal tuna long line di Pelabuhanratu adalah terjadinya tambahan armada yang semula berpangkalan di Cilacap, karena pertimbangan efisiensi transportasi, sebagian armada pindah mendaratkan ikannya di Pelabuhanratu. Penggunaan Pelabuhanratu sebagai home base kapal
48
tuna long line karena jarak tempuh dari Pelabuhanratu ke sentra pengolahan di Jakarta relatif dekat, sehingga kualitas ikan dapat dipertahankan. Kebijakan tersebut dilakukan oleh pengusaha agar ikan tuna yang dibongkar di Pelabuhanratu dapat segera ke tempat prosesing di Jakarta. Selain jarak tempuh yang lebih dekat, keputusan menggunakan home base di Pelabuhanratu karena biasa transportasi menjadi lebih murah. Namun demikian peningkatan produksi tidak merata karena peningkatan produksi Tuna Tongkol dan Cakalang (TTC) meningkat pesat dibandingkan dengan produksi jenis ikan lainnya. Produksi perikanan PPN Pelabuhanratu didominasi oleh pelagis besar (tuna, cakalang, tengiri dan tongkol). Komposisi produksi dari tahun 1993-2013. Sebagian besar adalah produksi ikan dari Kapal Motor (KM) dan sebagin kecil dari Perahu Motor Tempel. Produksi perikanan tersebut dihasilkan oleh nelayan dengan menggunakan berbagai ukuran kapal, dari kapal jenis perahu motor tempel (PMT) sampai dengan kapal motor (KM) dari ukuran kurang dari 5 GT sampai 100 GT. Kondisi menunjukkan bahwa peranan perikanan skala kecil masih penting meskipun di Pelabuhanratu produksinya cenderung menurun. Peningkatan produksi hanya terjadi pada perikanan dengan armada KM lebih dari 5 GT sedangkan produksi perikanan dengan armada PMT menurun tajam. Produksi perikanan skala kecil di Lamongan meningkat tajam sedangkan produksi perikanan skala kecil di Pelabuhanratu menurun tajam. Total produksi yang dihasilkan oleh nelayan skala kecil menunjukkan kecenderungan semakin menurun (di Pelabuhanratu) dan sebaliknya di Lamongan semakin meningkat. Produksi perikanan di Lamongan pada tahun 2013, didominasi oleh produksi yang berasal dari kapal motor yang ada di PPN Brondong. Total produksi di Lamongan sekitar 70.000 ton (tahun 2014), sebagian besar dihasilkan oleh nelayan yang mempunyai home base di PPN Brondong sebesar hampir 59.000 ton, produksi ikan hasil tangkap yang didaratkan di PPI Kranji mencapai 3.997,6 ton dan PPI Weru mencapai 2.574,6 ton. Perkembangan produksi perikanan di Pelabuhanratu yang dihasilkan oleh kapal motor menunjukkan perkembangan dimana produksinya semakin dominan. Pada tahun 2013, share produksi dari Kapal Motor sebesar 95%, yang berarti produksi perikanan skala kecil tinggal mempunyai share kurang dari 5%. Perkembangan total produksi KM dan PMT dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 8. Produkdi KM meningkat tajam sejak tahun 2007, sedangkan produksi PMT menurun drastis sejak tahun 2007. Hal ini menunjukkan perubahan penggunaan teknologi yang lebih maju pada kapal motor (KM) seperti jenis kapal, alat tangkap, penggunaan rumpon dan teknologi maju lainnya. Sedangkan pada PMT teknolgi yang digunakan hampir tidak ada perubahan. Kondisi tersebut menyebabkan produktifitas KM meningkat sedangkan produktifitas PMT menurun tajam. Sharing produksi yang dihasilkan oleh KM dengan PMT dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 share produksi produksi terhadap total produksi tidak berbeda jauh. Namun sejak tahun 2007–2013 terjadi perubahan share terhadap total produksi ikan di Pelabuhanratu. Share produksi KM meningkat tajam dan pada tahun 2013 sharenya mencapai sekitar 95%. Hal sebaliknya terjadi pada share produksi PMT, kalau pada tahun 2007 produksinya masih seimbang dengan produksi KM, maka sejak tahun 2008 sampai 2013 share produksi PMT terhadap produksi total pengalami penurunan
49
tajam. Share produksi PMT di Pelabuhanratu pada tahun 2013 tinggal kurang sekitar 5% (Gambar 8) Total Pelabuhanratu
a
b
Sumber: Data Statistik Sukabumi dan Lamongan (diolah) tahun 2002-21013 Keterangan : PMT=Perahu Motor Tempel; KM= Kapal Motor; a. Pelabuhanratau, b. Lamongan Gambar 8 Produksi ikan di Pelabuhanratu dan Lamongan tahun 2002-2013 Kondisi tersebut menyebabkan beberapa alat tangkap yang ada saat ini sudah tidak layak secara ekonomi untuk dioperasikan. Gambaran kondisi tersebut merupakan indikasi telah terjadi kelebihan kapasitas sarana dan prasana kapal penangkapan. Diperlukan suatu kebijakan dari pemerintah untuk mengatasi kondisi tersebut. Apabila kondisi ini berjalan dalam jangka panjang dapat menyebabkan sumber mata pencaharian nelayan kecil menjadi hilang. Hilangnya sumber mata pencaharian bagi nelayan akan mempunyai efek yang luas terutama hilangnya sumber penghidupan dan hilangnya multiplier effek dari kegiatan perikanan. Nilai produksi perikanan yang didaratkan di PPN Pelabuhanratu selama kurun waktu 2003-2013 mengalami peningkatan yang terjadi setiap tahunnya. Peningkatan yang signifikan terjadi karena peningkatan produksi maupun karena kenaikan harga produksi. Produksi hasil tangkapan adalah banyaknya hasil tangkapan yang didaratkan di tempat pendaratan ikan dalam hal ini PPN Pelabuhanratu. Jenis hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Pelabuhanratu sangat beragam, antara lain ikan cakalang, tongkol banyar, layur, tongkol lisong, tuna big eye, tuna albakore, tuna yellow fin, tembang, layang, peperek, cucut, baronang, dan sebagainya. Produksi hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Pelabuhanratu dari tahun 2003-2013 mengalami fluktuasi. Kenaikan terbesar terjasi pada jenis ikan pelagis besar (Tuna, tongkol dan cakalang/TTC), dimana pada tahun 2013 sharenya mencapai lebih dari 95% dari total hasil tangkapan. Peningkatan jumlah produksi hasil tangkapan disebabkan karena adanya usaha dari pihak PPN Pelabuhanratu untuk meningkatkan pelayanan dengan mengembangkan fasilitas yang ada. Pada tahun 2002 PPN Pelabuhanratu membangun dermaga baru dengan panjang 410 m dan kolam baru seluas 2 ha. Dengan dibangunnya fasilitas tersebut secara langsung dapat mempengaruhi terhadap jumlah produksi hasil tangkapan ikan yang didaratkan. Sektor Basis Pengembangan Perikanan Konsep basis ekonomi merupakan salah satu dari dua kerangka konseptual pembangunan wilayah yang dipergunakan secara luas. Teori basis beranggapan
50
bahwa permintaan terhadap input hanya dapat meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis dan sektor non basis. Permintaan terhadap sektor non basis (lokal) hanya dapat meningkat bila pendapatan lokal meningkat, tetapi peningkatan pendapatan ini hanya terjadi apabila sektor basis meningkat (Rustiadi et al., 2009). Share perikanan terhadap PDRB di kedua lokasi menunjukkan peranan yang berbeda (Tabel 9). Tabel 9 PDRB Berdasarkan Lapangan Usaha di Lamongan dan Sukabumi tahun 2007 dan 2013 (dalam %) Lokasi
Lapangan Usaha
Lamongan
Pertanian - Tanaman pangan - Perikanan Industri Pengolahan Perdagangan, Hotel dan Restoran
Tahun 2007 47,60 30,00 14,98 4,93 28,33
2013 40,15 24,02 13,84 5,18 36,13
Pelabuhanratu
Pertanian 39,24 27,51 - Tanaman pangan 21,56 15,00 - Perikanan 1,77 1,29 Industri Pengolahan 18,02 16,65 Perdagangan, Hotel dan Restoran 15,61 26,68 Sumber: Statistik Kabupaten Lamongan dan Sukabumi, tahun 2008 dan 2014 Tabel 9 menunjukkan perkembangan share PDRB berdasarkan lapangan usaha. Share perikanan terhadap PDRB berbeda, dimana perikanan mempunyai share yang besar di Lamongan sementara di Sukabumi perannya relatif kecil. Secara struktur perubahan yang terjadi pada PDRB kedua lokasi adalah adanya penurunan sektor primer (pertanian dan perikanan) yang diikuti oleh peningkatan peranan sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dan Industri Pengolahan. Di kabupaten Lamongan sektor perikanan memberikan kontribusi yang besar terhadap PDRB Kabupaten Lamongan sedangkan di Kabupaten Sukabumi share perikanan terhadap PDRB kurang dari 2%. Potensi aktivitas ekonomi untuk mengetahui indikasi sektor-sektor basis digunakan metode Location Quotient (LQ) yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah (Rustiadi et al., 2009). LQ juga menggambarkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada substitusi import yang potensial atau produk dengan potensial ekspansi ekspor. Hal tersebut memberikan gambaran industri apa yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebut. Besarnya nilai LQ menunjukkan peranan basis sektor perikanan terhadap perekonomian wilayah masing-masing lokasi. LQ yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa sektor perikanan merupakan sektor basis dalam pembangunan wilayah di kedua lokasi. Aktifitas perikanan akan menghasilkan keuntungan yang dapat diinvestasikan sehingga membentuk output baru yang lebih besar yang bermanfaat untuk pertumbuhan perekonomian wilayah. Peranan sektor perikanan salah satunya dapat dilihat dari nilai LQ, besarnya nilai LQ di kedua wilayah penelitian seperti pada Tabel 10.
51
Tabel 10 Nilai LQ sektor perikanan di Lamongan dan Sukabumi
Tahun 2009 2010 2011
LQ Perikanan kabupaten Lamongan PDRB Eir (jt Rp). % Ein (Jt Rp.)
PDRB %
1.547.720,00
2,07
1.795.558,68 2.002.125,00
14,94 15,25 14,87
14.220.720,05 15.480.916,90 17.004.080,71
1,99 1,92
Er (Jt Rp.)
En (Jt Rp.)
LQ
10.357.580,00
686.847.557,72
7,22
11.774.155,30
778.564.243,69
7,67
13.460.954,00
884.502.645,60
7,74 7,44
2012
2.192.846,00
14,30
19.243.519,11
1,92
15.339.105,00
1.001.200.744,82
2013
2.437.329,14
13,84
21.419.203,34
1,88
17.610.759,70
1.136.326.868,44
7,34
PDRB %
Er (Jt Rp.)
En (Jt Rp.)
LQ
Tahun
LQ Perikanan Kabupaten Sukabumi PDRB Eir (jt Rp). % Ein (Jt Rp.)
2009
238.771,36
1,48
6.934.102,00
1,01
16.33.200,00
689.841.314,00
1,47
2010
256.612,07
1,38
7.412.093,00
0,96
18.595.077,39
771.593.860,00
1,44
2011
352.815,64
1,75
8.117.553,00
0,94
20.160.893,87
862.234.648,00
1,86
1,72
8.881.489,00
0,94
21.612.468,88
949.761.265,00
1,84
2012
371.734,46
2013 305.155,85 1,29 9.870.857,00 0,92 23.655.492,58 1.070.177.138,00 1,40 Keterangan: Eir = nilai PDRB sektor perikanan Kabupaten; Ein= nilai PDRB sektor perikanan Propinsi; ER = Total Nilai PDRB Kabupaten dan EN = Total nilai PDRB PRopinsi
Sumber : Sukabumi dalam Angka dan Lamongan dalam Angka (2009-2014) Tabel 10 menunjukkan besarnya nilai LQ di Kabupaten Lamongan jauh lebih besar dari pada LQ kabupaten Sukabumi, hal tersebut menunjukkan bahwa potensi perikanan di Lamongan dalam pembentukan PDRB jauh lebih besar. Dengan perbandingan nilai LQ tersebut dapat diartikan bahwa Kabupaten Lamongan mempunyai efisiensi relatif wilayah lebih besar dari pada Kabupaten Sukabumi. Selain berpotensi sebagai substitusi impor besarnya nilai LQ mempunyai potensi untuk ekspansi ekspor produk perikanan. Kondisi tersebut juga memberikan gambaran bahwa industri perikanan di Kabupaten Lamongan lebih terkonsentrasi dari pada di Kabupaten Sukabumi. Pengembangan industri perikanan di Kabupaten Lamongan mempunyai prospek untuk meningkatkan investasi, kesempatan kerja, pendapatan dan konsumsi, yang pada gilirannya akan menaikkan pendapatan dan kesempatan kerja serta menaikkan permintaan hasil industri non basis. Menurut Rustiadi et al., 2009 arus perndapatan yang dihasilkan dalam industri basis mempunyai peranan sebagai penggerak utama (prime mover role), dimana setiap perubahan kenaikan atau penurunan mempunyai efek pengganda (multiplier effect) terhadap perekomian wilayah. Produktifitas Nelayan dan Armada Penangkapan Komposisi jumlah produksi, jumlah nelayan dan jumlah armada mengindikasikan bahwa peningkatan produksi diikuti dengan peningkatan jumlah nelayan dan jumlah armada. Sejak tahun 2009 jumlah nelayan relatif stabil sedangkan produksi meningkat tajam. Apabila dilihat dari produktifitas berdasarkan jenis kapal dan produktifitas nelayan dapat dilihat seperti pada Gambar 12. Produktifitas Kapal Motor cenderung meningkat sejak tahun 2009,
52
sedangkan produktifitas Perahu Motor Tempel (PMT) menurun drastis dari tahun 2005 sampai tahun 2013. Produktifitas nelayan relatif stabil dari tahun ke tahun. Fenomena menarik karena kecenderungan terjadi perubahan penggunaan alat tangkap yang lebih modern dan lebih efisien. Kramer et al, (2002) menyatakan bahwa ukuran kapal, lama melaut dan jumlah ABK mempunyai hubungan yang positif dengan hasil tangkapan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nelayan yang lebih lama memiliki kapal sendiri mempunyai upaya yang lebih besar untuk melakukan upaya penangkapan dengan memanfaatkan biaya operasional baik yang berasal dari milik sendiri maupun dari pinjaman. Relevan dengan temuan tersebut dapat dilihat dari kondisi riel di lapangan. Produktifitas nelayan di kedua lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 9. Produktifitas nelayan skala kecil digambarkan oleh produktifitas PMT di Pelabuhanratu) dan produktifitas kapal di Desa Weru (yang menggambarkan tingkat produktifitas kapal skala kecil di Lamongan).
a
b
a. Produktifitas Kapal skala kecil b. Produktifitas Nelayan Skala Kecil Gambar 9 Produktifitas kapal dan produktifitas nelayan skala kecil di Kabupaten Lamongan dan di Pelabuhanratu (ton/tahun). Gambar 9 menunjukkan bahwa produktifitas kapal skala kecil di kedua lokasi terdapat perbedaan, produktifitas kapal skala kecil di Lamongan (Desa Weru) meningkat terutama setelah tahun 2007, sedangkan produktifitas kapal skala kecil di Pelabuhanratu menurun tajam terutama setelah tahun 2008. Beberapa hal yang mungkin mempengaruhi tingkat produktifitas tersebut adalah lama hari melaut selama satu tahun. Hari melaut nelayan di Lamongan lebih tinggi dari pada nelayan di Pelabuhanratu. Kondisi ombak dan cuaca buruk di Pelabuhanratu biasanya terjadi pada bulan Desember–Mei setiap tahun. Kondisi ini mempengaruhi jumlah hari melaut nelayan di Pelabuhanratu. Kondisi di Lamongan berbeda, dimana kondisi ombak relatif kecil dan gangguan cuaca buruk biasanya hanya terjadi antara bulan Januari-Maret. Meskipun demikian pada bulan-bulan tersebut sebagian dari nelayan masih bisa melaut. Kondisi ini merupakan paradok dimana sumber daya pantai utara Jawa relatif sudah mengalami over fishing dibanding dari sumber daya diwilayah pantai selatan, namun dari segi produktifitas kapal di wilayah utara masih meningkat setiap tahun, sedangkan produktifitas di wilayah selatan malah semakin menurun. Produktifitas nelayan (Gambar 9b) menunjukkan bahwa nelayan skala kecil di pantai utara lebih produktif dari pada nelayan skala kecil di pantai selatan. Secara umum kecenderungan produktifitas nelayan di Lamongan meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan di Pelabuhanratu untuk nelayan kecil (PMT), tingkat
53
produktifitas nelayan kecenderungannya mengalami penurunan. Meskipun pada nelayan besar (KM) kencenrungannya mengalami peningkatan terutama setelah tahun 2007. Kondisi ini memperkuat alasan mengapa nelayan di Lamongan lebih responsif terhadap kecenderungan menggunakan sumber dana yang berasal dari pihak lain. Hasil penelitian Barnes-Mauthe et al., (2013) di Madagaskar, menunjukkan bahwa sektor perikanan skala kecil mempekerjakan 87% dari populasi orang dewasa, menghasilkan rata-rata 82% dari seluruh pendapatan rumah tangga. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Allison and Ellis, (2001), meskipun perikanan skala kecil dapat menyebabkan eksploitasi yang berlebihan, merusak lingkungan dan hanya menghasilkan tingkat keuntungan yang marginal, namun diakui bahwa dalam banyak kasus, perikanan skala kecil mungkin memiliki keunggulan komparatif yang signifikan atas perikanan industri seperti: efisiensi ekonomi yang lebih besar; dampak negatif yang lebih sedikit terhadap lingkungan; kemampuan untuk berbagi manfaat ekonomi dan sosial yang lebih luas. Sedangkan menurut Fauzi dan Anna (2010), terjadinya trend penurunan hasil tangkapan pelagis dan ketidakstabilan yang tinggi mempengaruhi manajemen perikanan di pantai utara Jawa, diperlukan keseriusan dari para pengambil kebijakan agar perikanan menjadi sektor yang sehat yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir serta menjaga ekosistem yang sehat. Pendapatan utama dari nelayan bersumber dari usaha penangkapan dan sebagian berasal dari usaha pengolahan produk berbasis ikan skala rumah tangga. Perbedaan tersebut terutama terjadi karena di wilayah Lamongan sebagian besar jenis ikan yang ditangkap adalah adalah ikan pelagis kecil dan demersal yang diolah menjadi beberapa produk olahan. Dengan demikian nilai tambah produk dinikmati oleh masyarakat setempat dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Sedangkan di Kabupaten Sukabumi (Pelabuhanratu) jenis ikan dominan yang ditangkap adalah jenis Tuna, Tongkol dan Cakalang yang sebagian besar langsung dijual di pasar Jakarta, sehingga nilai tambah yang ada sangat kecil. Dengan demikian banyak terjadi kebocoran, dimana nilai tambah yang dihasilkan dari perikanan tidak dinikmati oleh masyarakat setempat. Stabilisasi kebijakan untuk mengurangi ketidakstabilan melalui pengendalian biaya input seperti harga BBM, meningkatkan kondisi sosial ekonomi, dan memperkuat kapasitas otoritas perikanan setempat. Produktifitas nelayan di kedua lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 10. Produktifitas armada (ton/armada/tahun
8 6 Prod Nel PMT Pelabuhan ratu Prod Nel PMT Lamongan
4 2 -
Tahun
Gambar 10 Produktifitas armada PMT (Kapal Motor Tempel) di Kabupaten Lamongan dan di Pelabuhanratu (ton/armada/tahun).
54
Produktifitas nelayan skala kecil digambarkan oleh produktifitas PMT di Pelabuhanratu) dan produktifitas kapal di Desa Weru (yang menggambarkan tingkat produktifitas kapal skala kecil di pantai utara Jawa). Gambar 10 tersebut diatas menunjukkan bahwa produktifitas kapal skala kecil dikedua lokasi terdapat perbedaan, produktifitas kapal skala kecil di Lamongan (Desa Weru) cenderung naik, sedangkan produktifitas kapal skala kecil di Pelabuhanratu cenderung menurun. Kondisi ini merupakan paradog dimana sumber daya pantai utara jawa yang relatif sudah mengalami over fishing dibanding dari sumber daya diwilayah pantai selatan, namun dari segi produktifitas kapal di wilayah utara masih meningkat setiap tahun, sedangkan produktifitas di wilayah selatan malah semakin menurun. Dari segi produktifitas nelayan (Gambar 11) menunjukkan bahwa nelayan skala kecil di pantura lebih produktif dari pada nelayan skala kecil di pantai selatan.
Produktifitas nelayan (ton/thn)
2.50 Skala Kecil Lamongan Skala Kecil PelRatu
2.00 1.50 1.00 0.50 2009
2010 Tahun
2011
2012
2013
Gambar 11 Perbandingan tingkat produktifitas nelayan di kedua lokasi penelitian Lamongan dan Pelabuhanratu (ton/nelayan/tahun) Secara umum kecenderungan produktifitas nelayan di Lamongan meningkat dari tahun ke tahun, sedangkan di Pelabuhanratu untuk nelayan kecil (PMT), tingkat produktifitas nelayan kecenderungannya mengalami penurunan. Meskipun pada nelayan besar (KM) kencenrungannya mengalami peningkatan terutama setelah tahun 2007. Kondisi ini memperkuat alasan mengapa nelayan di Lamongan lebih responsif terhadap kecenderungan menggunakan sumber dana yang berasal dari pihak lain. Pendapatan utama dari nelayan bersumber dari usaha penangkapan dan sebagian berasal dari usaha pengolagan produk berbasis ikan skala rumah tangga. Perbedaan tersebut terutam terjadi karena di wilayah Lamongan sebagian besar jenis ikan yang ditangkap adalah adalah ikan pelagis kecil yang diolah kembali menjadi beberapa produk olahan. Dengan demikian nilai tambah produk dinikmati oleh masyarakt setempat dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Sedangkan di Kabupaten Sukabumi (Pelabuhanratu) jenis ikan dominan yang ditangkap adalah jenis Tuna, Tongkol dan Cakalang yang sebagian besar langsung dijual di pasar Jakarta, sehingga nilai tambah yang ada sangat kecil. Dengan demikian banyak terjadi kebocoran, dimana nilai tambah yang dihasilkan dari perikanan tidak dinikmati oleh masyarakat setempat. Keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan sangat ditentukan oleh unit penangkapan yang ada. Unit penangkapan merupakan kesatuan teknis yang saling
55
terkait dan menunjang dalam operasi penangkapan ikan yang terdiri dari armada penangkapan (perahu atau kapal perikanan), alat tangkap dan nelayan Nilai Input Per Kg Produksi Nilai input kegiatan usaha penangkapan menggambarkan besarnya biaya yang dikeluarkan berdasarkan input yang digunakan per jenis alat tangkap. Kegiatan penangkapan memerlukan input yang cukup banyak, input tersebut terdiri dari Bahan Bakar Minyak (BBM), ransum/perbekalan, ABK, ES, dan biaya-biaya administrasi. Untuk memberikan gambaran besarnya biaya penangkapan per kg/per jenis alat tangkap dapat diilustrasikan pada Gambar 12. Gambar 12 tersebut menunjukan besarnya biaya penangkapan yang stabil dan tidak mengalami dinamika yang ekstrim serta biaya produksi per Kg yang mengalami flutuasi sangat tajam dari tahun ke tahun. Biaya input yang mengalami perubahan yang tajam terjadi pada jenis alat tangka Gill net, Pancing tonda, payang dan Bagan. Biaya input per Kg yang tidak mengalami fluktuasi yang tajam antara lain alat tangkap angkap Tuna Long Line dan pancing ulur. Biaya per Kg untuk kapal long line relatif tinggi namun harga produksi (ikan tuna juga sangat tinggi dibandingkan dengan harga produk ikan lainnya). 73,000
Tuna Long Line Gill Nett
Biaya (Rp/kg)
53,000 33,000
Pancing Tonda Bagan
13,000
Payang
(7,000)
Rampus 2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : Data Statistik PPN Pelabuhanratu dari berbagai penerbitan (diolah) Gambar 12 Biaya per kg produk hasil tangkapan berdasarkan jenis alat tangkap pada kapal motor/KM (dihitung berdasarkan penggunaan input dibanding dengan output hasil tangkapan) Besarnya biaya produksi per kg ikan hasil tangkapan menunjukkan seberapa efisien alat tangkap/jenis kapal yang digunakan. Hasil perhitungan menunjukkan beberapa jenis alat tangkap sudah tidak efisien lagi karena besarnya biaya produksi per kg sudah jauh lebih besar dari harga ikan rata-hasil tangkapan jenis alat tangkap dimaksud.Gambar 13 mencerminkan biaya yang dikeluarkan per satuan kg ouput per jenis alat tangkap Kapal Motor. Sebagai contoh pada alat tangkap bagan nilai rata-rata biaya produksi per kg hasil tangkapan dari tahun ke tahun semakin tinggi. Kondisi ini menggambarkan bahwa alat tangkap tersebut sudah tidak efisien. . Pada jenis alat tangkap payang dan rampus terjadi fluktuasi yang besar terhadap besarnya biaya input per kg, sedangkan pada jenis alat tangkap pancing ulur relatif stabil dari tahun ke tahun. Pada jenis kapal motor tempel besarnya biaya produksi per kg masih berada dibawah Rp. 20.000 dan cenderung menurun pada tahun 2011 -2013 biaya produksi rata-rata kurang dari Rp. 10.000.
56
Biaya rata-rata per kg ouput kapal PMT relatif lebih rendah dibanding dengan biaya ouput per kg Kapal Motor. Biaya yang dikeluarkan per kg output untuk Kapal PMT relatif lebih rendah. Fluktuasi biaya per kg output terjadi pada tahun 2008-2009 hal ini terjadi karena pada tahun tersebut ada perubahan harga BBM. Hal ini tertu berpengaruh terhadap biaya produksi penangkapan. Pada tahun 2011-2012 relatif rendah dan kembali naik pada tahun 2013. 25,000
Biaya Rp/Kg produksi
20,000 Rampus, 15,069 15,000 10,000
Pancing Ulur, 7,219
5,000
Payang, 6,955
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun
Gambar 13 Biaya (Rp/kg output ) berdasarkan jumlah input yang digunakan pada alat tangkap perahu motor tempel (PMT) tahun 2008-2013
6 EFISIENSI SUMBER DAYA DAN PERUBAHAN TOTAL FAKTOR PRODUKTIFITAS DAN INDEKS KETIDAKSTABILAN PERIKANAN TANGKAP Sumber daya Perikanan Terdapat tiga syarat untuk mewujudkan visi pembanguan perikanan; pertama sektor perikanan harus mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi secara nasional melalui peningkatan devisa, peningkatan pendapatan rata-rata para pelakunya serta mampu meningkatkan sumbangan terhadap PDB; kedua, sektor perikanan harus mampu memberikan keuntungan secara signifikan kepada pelakunya dengan cara mengangkat tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan; ketiga, pembangunan perikanan selain dapat menguntungkan secara ekonomi juga ramah secara ekologis. Sesuai Peraturan Menteri nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), diharapkan pemanfaatan perikanan dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan yang menjamin kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan di seluruh Indonesia. Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) pada saat ini dibagai menjadi 11 WPP. WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Bara dan WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa. Lokasi penelitian terdapat di kedua WPP tersebut, yaitu Lamongan di WPP 712, dan Pelabuhanratu di WPP 573. WPP 712 (Laut Jawa) mempunyai potensi sebesar 836.600 ton/tahun, didominasi oleh jenis ikan pelagis kecil, demersal dan udangudangan dan cumi.dan WPP 573 (Samodera Hindia, selatan Jawa) yang
57
mempunyai potensi 491.700 ton/tahun, sebagian besar adalah pelagis besar, pelagis kecil dan demersal. Potensi WPP RI sesuai dengan sumber ikan, menggambarkan kondisi potensi dan tingkat ekploitasi dari masing-masing WPP. Kondisi tingkat ekploitasi telah menunjukan sebagian besar dalam kondisi full eksploitasi bahkan beberapa jenis ikan sudah mengalami over eksploitasi. Kondisi tersebut menunjukan bahwa sumber daya perikanan di beberapa WPP telah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Kapasitas berdasarkan konsep fisik atau teknologi diartikan sebagai output potensi maksimum yang dapat diproduksi oleh perusahaan atau industri, dengan teknologi, stok kapital dan faktor produksi lainnya tanpa keterbatasan faktor produksi dalam jangka pendek. Konsep kapasitas secara ekonomi dapat diartikan sebagai tingkat output yang dapat diproduksi untuk memenuhi tujuan perilaku ekonomi seperti memaksimumkan keuntungan atau meminimumkan biaya (Pascoe et al., 2003). Kapasitas perikanan secara umum dapat diartikan sebagai faktor input dalam proses produksi pada industri perikanan tangkap. Pada perikanan tangkap skala kecil atau tradisional, konsep kapasitas tersebut diartikan sebagai ukuran modal dan nelayan. Fungsi produksi atau teknologi menggambarkan hubungan teknis antara input dan output. Konsep kapasitas secara teknologi juga menggambarkan kondisi teknologi yang bersifat increasing, decreasing, atau constant returns to scale, sebagai konsep jangka panjang di mana tidak ada input tetap. Teknologi akan bersifat increasing, decreasing, atau constant return to scale, jika secara berturut-turut terjadi peningkatan input secara proporsional yang menghasilkan kelebihan, kurang, atau sama proporsi peningkatan dalam output. Konsep kapasitas tersebut sangat bermanfaat dalam menganalisis pola pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. Sejak konsep kapasitas perikanan dikemukakan oleh FAO tahun 1999 masalah kapasitas perikanan telah menjadi perhatian utama dunia dalam pengembangan sektor perikanan (Kirkley et al., 2004). Kebijakan pembangunan perikanan berdasarkan kapasitas perikanan (capacity utilization dan capacity measurement) dipandang sebagai suatu konsep dan isu strategis yang mampu memberikan arahan kebijakan baru tentang revitalisasi dan rekonstruksi pembangunan perikanan di masa yang akan datang (Fauzi, 2005). Dalam kasus perikanan, kapasitas sering diukur berupa jumlah kapal, tonase kapal, kekuatan mesin, hari melaut, dan biaya-biaya variabel pada operasi penangkapan. Kegiatan perikanan tangkap penuh dengan tantangan serta dihadapkan pada risiko dan ketidakpastian, dilain pihak kontribusi perikanan tangkap skala kecil dalam pembangunan nasional kurang diperhitungkan. Perikanan skala kecil dapat secara luas dicirikan sebagai sektor dinamis dan berkembang yang mempekerjakan tenaga kerja secara intensif, pengolahan dan distribusi teknologi untuk mengeksploitasi sumber daya perikanan (FAO, 2004). Salah satu permasalahan dalam perikanan adalah terjadinya tangkap lebih (over fishing) dan kapasitas lebih (over capacity) (Fauzi, 2010). Kemajuan teknologi penangkapan yang lebih canggih untuk mensubstitusi input, kombinasi peningkatan jumlah kapal, perbaikan teknologi penangkapan dan ekspansi upaya menyebabkan terjadinya fenomena kapasitas berlebih baik dalam jangka pendek (excess capacity) maupun jangka panjang (over capacity). Pendekatan kapasitas
58
penangkapan dapat menghasilkan informasi dasar tentang kapasiatas dan pemanfaatan kapasitas yang bermanfaat untuk mengetahui status armada penangkapan dan pemanfaatan sumber daya ikan dalam jangka pendek (FAO, 2008). Dua konsep penting dalam kapasitas adalah excess capacity dan overcapacity (Pascoe et al., 2003 dan Fauzi, 2010). Excess capacity merupakan perbandingan relatif antara tingkat output potensial (maksimal) terhadap tingkat output dalam jangka pendek, sedangkan over capacity adalah perbedaan output potensial maksimum yang dapat diproduksi dan tingkat output optimum yang diinginkan. Overcapacity biasanya terjadi karena kegagalan pasar dalam mengalokasikan input dan output secara efisien dan merupakan konsep dalam jangka panjang. Dampak excess capacity dan overcapasity adalah kerugian masyarakat khususnya nelayan berupa penurunan keuntungan, infesiensi produksi, hilangnya peluang alternatif dialami masyarakat dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan over fishing. Permasalahan kapasitas penangkapan diindikasikan adalanya kelebihan modal atau kapal penangkap (overcapitalization) dalam industri penangkapan ikan dan kelebihan eksploitasi (overexploitasion) terhadap sumber daya ikan secara konsisten. Kelebihan armada penangkapan ikan (overcapitalization) dan under-utilization kapasitas penangkapan memberikan indikasi pemborosan bersifat ekonomis. Inefisiensi dapat diartikan sebagai suatu tahapan dimana tujuan dari pelaku ekonomi belum dimaksimalkan secara penuh. Isu inefisiensi timbul dari anggapan bahwa nelayan dan usaha perikanan tangkap berperilaku memaksimalkan keuntungan. Kirkley et al., 2004 menyatakan kombinasi pendekatan fungsi stochastic production frontier (SPF) dan programing non parametrik atau dikenal dengan Data Evelopment Analysis (DEA) merupakan pendekatan yang populer digunakan untuk menganalisis kapasitas perikanan dan lebih efektif. Pemahaman dinamika struktur ekonomi perikanan dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran kestabilan dan ketidakstabilan baik output maupun input perikanan yang dilakukan analisis dengan menggunakan pendekatan instability indexs (Fauzi, 2010; Fauzi dan Anna, 2010). Pendkekatan pengukuran indek ketidakstablian biasanya menggunakan pendekatan Coppock Instability Index (CII). Penggabungan penggunaan CII dengan indikator pertumbuhan (CGR) menjadi isntrumen yang cukup kuat untuk membaca perkembangan perikanan selama kurun waktu yang panjang (Fauzi, 2010). Hasil indek yang tinggi menunjukkan tingginya keetidakstabilan variabel ekonomi perikanan yang merupakan interaksi dari berbagai faktor (Fauzi, 2010). Efisiensi Kapasitas Sumber Daya Hasil analisis DEA dengan asumsi VRS memungkinkan untuk mengetahui pengaruh asumsi yang lebih luas dari input sebagai komponen tetap. Analisis DEA menggunakan asumsi VRS juga memungkinkan untuk melihat efisiensi teknis (TE) dan efisisensi skala tertentu (SE) dari masing-masing unit analisis yaitu berbagai jenis alat tangkap. Hasil analisis di lokasi Pelabuhanratu dengan menggunakan asumsi VRS diperoleh peningkatan skor efisiensi seperti pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan peningkatan skor efisiensi pada beberapa DMU. Pada DMU no 2 yaitu alat tangkap Gillnet semula nilai skala efisiensinya hanya 0.472 meningkat menjadi 1 (efisiensi). Pada alat tangkap tramelnet (DMU 8), alat
59
tangkap rampus (DMU 10) dan alat tangkap pancing pancing ulur (DMU 11) terjadi peningkata skala efisiensi. Tabel 11 Skor efisiensi teknis dan efisiensi skala DMU 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Mean
CRSTE 1 0,472 1 1 1 1 1 0,029 1 0,757 0,078 0,758
Pelabuhanratu VRSTE SKALA 1 1 1 0,472 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0,196 0,147 1 1 1 0,757 0,102 0,762 0,845 0,831
RTS Menurun Meningkat Menurun Menurun
DMU 1 2 3 Mean
CRSTE 0,131 1 0,692 0,608
Lamongan VRSTE SKALA RTS 1 0,131 Meningkat 1 1 1 0,692 Menurun 1 0,608
Sumber: data sekunder (diolah) statitistik perikanan Kab. Lamongan dan Pelabuhanratu tahun 2008-2013 Keterangan: DMU (Desicion Making Unit) Lokasi Pelabuhanratu DMU: 1. Tuna Long Line; 2. Gill Net; 3. Tonda; 4. Bagan; 5. Payang; 6 rampus; 7. Purseine; 8.tramelnet; 9. Payang. 10 rampus; 11. Pancing ulur. Lokasi Lamongan DMU: Perikanan skala kecil di Weru Komplek; 2. Perikanan skala sedang/besar di Brondong; 3 perikanan kabupaten Lamongan
Tabel 12 efisiensi skala (SE) yang merupakan rasio antara CRS dan VRS, menunjukkan indikator DRS (decreasing return to scale) pada DMU alat tangkap gill net, tramel net, rampus; dan pancing ulur. Hasil analisis dengan asumsi VRS dihasilkan kesimpulan tentang tingkat skala efisiensinya dimana pada DMU 2 (alat tangkap gillnet), DMU 10 (alat tangkap rampus) dan DMU 11 (alat tangkap Pancing ulur) menunjukan tingka skala yang menurun (decreasing return to scale). Hasil tersebut menunjukan bahwa ke tiga DMU tersebut sudah terjadi gejala over capacity. Sedangkan pada DMU no 8 (alat tangkap tramel net masih bersifa increasing return to scale). Analisis dengan menggunakan asumsi VRS cenderung meningkatkan skala efisiensi. Namun demikian peningkatan skala efisiensi tersebut belum menyebabkan DMU menjadi efisien (pada alat tangkap gill net, tramel net, rampus dan pancing ulur). Kondisi tersebut menyiratkan bahwa hasil output dari DMU memiliki kecenderungan alat tangkap gill net, rampus dan pancing ulur tidak responsif terhadap input. Artinya jika input/masukan dari DMU ditambah menjadi dua kali lipat, misalnya, maka output DMU tersebut bisa meningkat kurang dari satu kali lipat. Berdasarkan analisis DEA tampaknya efisiensi penggunaan alat tangkap banyak ditentukan oleh bagaimana menggunakan variabel input secara efisien. Inefisiensi dalam menggunakan input akan menyebabkan hasil tidak optimal. Hasil analisis di lokasi Lamongan menunjukan hasil yang berbeda. Hasil analisis di lokasi Lamongan dengan menggunan asumsi VRS diperoleh peningkatan skor efisiensi hanya pada DMU 1 (nelayan skala kecil di Weru Komplek). Skor skala efisiensi dengan asumsi CRS untuk perikanan skala kecil di Weru Komplek yang semula mempunyai skor 0,131, maka dengan asumsi VRS nilai skor skala efisiensi menjadi 1 yang berarti efisiensi. Sedangkan pada DMU 3 (Perikanan secara umum di Lamongan) menunjukkan peningkatan skor efisiensi
60
yang semula 0,625 menjadi 1 (efisiensi). Analisis dengan menggunakan asumsi VRS cenderung meningkatkan skala efisiensi. Hasil analisis di Kabupaten Lamongan (Tabel 12) efisiensi skala (SE) yang merupakan rasio antara CRS dan VRS, menunjukkan indikator IRS (increasing return to scale) pada DMU perikanan skala kecil di Desa Weru Komplek, artinya jika input/masukan dari DMU ditambah menjadi dua kali lipat, misalnya, maka DMU tersebut bisa meningkat lebih dua kali lipat. Fenomena lain terjadi pada DMU 2 (perikanan skala sedang dan besar) di Brondong menunjukan tingkat constan to scale. Sedangkan pada perikanan di kabupaten Lamongan skalanya nya sudah decreasing return to scale, artinya penambahan input tidak akan menyebabkan tambahan ouput sebesar tambahan inputnya. Kondisi ini menyiratkan bahwa secara umum perikanan di Lamongan menunjukkan gejala over capasity. Hasil analisis DEA tampaknya efisiensi penggunaan alat tangkap di Lamongan menunjukan bahwa perikanan skala sedang dan besar sudah menunjukan over capacity, namun demikian perikanan skala kecil masih menunjukan skala increasing return to scale, artinya masih memungkinkan penambahan input untuk meningkatkan output. Tingkat efisiensi usaha pada perikanan tangkap di Pelabuhanratu dapat dilihat dari besarnya indeks DEA (Tabel 12). Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar pada alat tangkap tuna long line, bagan, payang dan purse seine indek DEA telah mencapai 1, artinya alokasi seumberdaya telah digunakan dengan efisien. Sedangkan pada alat tangkap gillnet, tramel net dan dan pancing ulur menunjukan indek yang relatif kecil yang menunjukan bahwa pada alat tangkap tersebut penggunaan sarana produksi sudah terjadi over capacity. Analisis pada berbagai jenis alat tangkap di Pelabuhanratu menggambarkan bagaimana perubahan total faktor produktifitas. Pada alat tangkap Gill net, tramel net dan pancing ulur kondisinya paling tidak efisien, hal tersebut terlihat dari nilai indek Malmquist dari tahun ketahun (Tabel 12). Tabel 12 Indek Malmquist DEA pada berbagai alat tangkap kapal motor dan perahu motor tempel (PMT) tahun 2008-2013 di Pelabuhanratu Kapal Motot (KM) Tahun
Long Line
Gill Net
2008
1,000
2009
1,000
2010
Perahu Motor Tempel (PMT)
Tonda
Bagan
Payang
Rampus
P Seine
0,560
0,691
1,000
1,000
1,000
1,000
0,003
1,000
1,000
0,124
0,860
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
0,005
0,474
1,000
0,215
1,000
0,490
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
0,068
1,000
1,000
1,000
2011
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
0,070
1,000
1,000
0,833
2012
1,000
0,324
0,683
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
0,980
1,000
0,200
2013
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
0,706
1,000
0,200
1,000
0,096
1,000
Tramel
Payang
Rampus
Pancing
Sumber : Analisis data Sekunder statistik perikanan tahun 2008-2013 Kondisi menggambarkan bahwa alat tangkap tersebut sudah tidak efisien. Kebijakan untuk meningkatkan indeks Malquist dapat dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai cara. Salah satunya adalah mengurangi jumlah kapal, namun strategi ini tidak mudah karena investasi yang sudah ditanamkan akan sulit direalokasi ke sektor lain. Oleh karena itu untuk mengurangi dampak dari tidak
61
efisiennya beberapa alat tangkap tersebut dilakukan dengan beberapa opsi yang mungkin bisa ditempuh dan dari segi operasional dapat dilakukan. Merelokasi sebagian dari kapal ke lokasi lain, merupakan salah satu opsi yang bisa di lakukan atau mengurangi jumlah ABK untuk pindah ke sektor lain. Penggunaan teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi merupakan salah satu alternatif yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Penggunaan teknologi untuk meningkatkan efisiensi di lokasi Pelabuhanratu antara lain adalah teknologi untuk mengetahui fishing ground dan teknologi rumpon sehingga dapat menghemat BBM dan waktu melaut. Sedangkan teknologi di Lamongan yang perlu diintroduksikan adalah teknologi yang ramah lingkungan sehingga mengurangi tekanan terahadap sumberdaya, namun tetap mampu mempertahankan peranan perikanan dalam perekonomian wilayah. Perubahan efisiensi dan perubahan skala efisiensi, adalah alat untuk mengarahkan program peningkatan efisiensi nelayan (El Hendy dan Alkahtani, 2012), yang dapat mengarahkan para pembuat kebijakan dalam menentukan prioritas mengenai teknologi penangkapan ikan dan keterampilan nelayan. Perubahan Faktor Produktifitas Total Perikanan Tangkap Pertumbuhan perubahan faktor produktifitas pada periode tahun 20082013 (Gambar 14) mengalami fluktuasi yang sangat besar (berkisar antara 30% sampai 250%). Hal ini nampak disebabkan karena perubahan faktor teknologi (TECHCH) yang mengalami perubahan drastis/ekstrim dibandingkan dengan perubahan efisiensinya (EFFCH). Kondisi ini akan terkonfirmasi dengan analisis indek ketidakstabilan (Coppock Index Instability/CII). Kondisi ini disebabkan karena ternjadi fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 2008-2009
EFFCH TECHCH TFPCH
2009-2010
2010-2011
2011-2012
2012-2013
Keterangan : EFFCH = perubahan efisiensi; TECHCH= perubahan teknologi; TFPCH = perubahan total faktor produktifitas Gambar 14 Perubahan total faktor produktifitas 2008–2013 perikanan tangkap di Pelabuhanratu Gambar 14 menunjukkan besarnya perubahan total faktor produktifitas kegiatan perikanan tangkap yang disebabkan oleh perubahan efisiensi teknologi dari pada peruahan efisiensinya. Sebagai misal pada tahun 2011-2012 terjadi perubahan total faktor produktifitas yang ekstrim, hal ini disebabkan karena perubahan teknologinya. Salah satunya adalah respon yang tinggi terhadap permintaan BBM. Kondisi ini menggambarkan bahwa perikanan di Pelabuhanratu sangat responsif terhadap penggunaan sumberdaya input terutama BBM yang merupakan komponen terbesar biaya operasional. Konsekuensinya adalah perlu peningkatan efisiensi terutama untuk meningkatkan efisiensi penggunaan BBM,
62
salah satunya adalah dengan penerapan teknologi yang dapat mengetahui fishing ground atau dengan teknologi rumpon. Adanya peningkatan efisiensi tersebut diharapkan tingkat perubahan total faktor produktifitas tidak terjadi secara ekstrim. Pada Tabel 13 dapat dilihat perkembangan perubahan efisiensi, teknologi dan perubahan total faktor produktifitas berbagai alat tangkap Kapal Motor (KM) dan Perahu Motor Tempel (PMT). Pertumbuhan total faktor produktifitas pada berbagai alat tangkap tersebut menunjukkan nilai yang relatif sama. Tabel 13 Indeks Malmquist total faktor produktifitas perikanan tangkap Alat Tangkap
EFFCH
TECHCH
1
Long Line
1,000
0,975
1,000
1,000
0,975
2
Gill Net
1,000
0,756
1,000
1,000
0,756
Tonda
1,000
0,769
1,000
1,000
0,769
Bagan
1,000
0,899
1,000
1,000
0,899
5
Payang
1,000
0,919
1,000
1,000
0,919
6
Rampus
1,200
0,783
0,941
1,276
0,939
7
Purse-Seine
1,000
0,699
1,000
1,000
0,699
8
Tramel
1,342
0,965
1,024
1,310
1,249
9
Payang
1,000
0,766
1,000
1,000
0,766
10
Rampus
0,621
0,563
1,000
0,621
0,350
11
Pancing
1,586
0,681
1,443
1,099
1,081
No.
Kapal
3 4
KM
PMT
PECH
SECH
TFPCH
Sumber : Analisis data sekunder perikanan Pelabuhanratu tahun 2008-2013 Keterangan : EFFCH = perubahan efisiensi; TECHCH= perubahan teknologi; TFPCH = perubahan total faktor produktifitas Tabel 13 menunjukkan bahwa dari segi perubahan efisiensi (EFFCH) sudah efisien ditunjukkan oleh nilai koefisien sama dengan 1, hal ini menunjukkan bahwa sumber daya sudah dialokasikan secara efisien. Secara teknis masih belum efisien sehingga penggunaan teknologi yang lebih modern masih bisa digunakan untuk meningkatkan efisiensi teknis. Perubahan total faktor produktifitas menggambarkan perubahan tingkat teknologi dibandingkan dengan perubahan tingkat efisiensinya. Tabel 13 menunjukan perubahan total faktor produktifitas dari tahun ke tahun. Tabel 14 Indeks Malmquist (MI) rata-rata pertahun Tahun EFFCH TECHCH TFPCH 2008-2009
0,847
0,390
0,330
2009-2010
1,537
0,610
0,938
2010-2011
0,879
2,348
2,064
2011-2012
0,785
1,426
1,120
2012-2013
1,373
0,381
0,523
Mean
1,043
0,788
0,822
Sumber: Analisis data statistik perikanan Pelabuhanratu tahun 2008-2013.
63
Perubahan total faktor produktifitas menunjukkan perubahan yang ekstrim dari tahun ke tahun, hal ini karena kegiatan perikanan tangkap merupakan kegiatan usaha yang mengandung ketidakpastian yang tinggi. Perubahan total faktor produktifitas tahunan yang ekstrem tersebut disebabkan oleh perubahan efisiensi maupun perubahan teknologi. Untuk mengetahui penyebab perubahan yang ekstrim tersebut dilakukan dengan analisis indeks ketidakpastian (instability indexs), sehingga dapat diketahui pengaruh apa yang menyebabkan perubahan yang ekstrim. Indeks Ketidakstabilan (Instability Indexs) Karakteristik perubahan total faktor produktifitas perikanan Pelabuhanratu yang fluktuatif, salah satu caranya dilakukan dengan mengukur tingkat indeks ketidakstabilan. Tingkat perubahan faktor produktifitas yang cukup besar dan berfluktuasi ternyata berkaitan erat dengan indeks ketidakstabilan. Trade off antara pertumbuhan dan ketidakstabilan dapat dikategorikan menjadi empat jenis Reddy (2006), yaitu pertumbuhan yang tinggi dengan risiko rendah (CII rendah), pertumbuhan tinggi dengan risiko tinggi, pertumbuhan rendah dan berisiko rendah dan pertumbuhan rendah tetapi berisiko tinggi. Apabila dilihat tingkat pertumbuhan dari output dan faktor produksi (Gambar 15), terlihat bahwa pertumbuhan output/produksi sebagian tumbuh positif dan sebagian tumbuh negatif. 0.3 0.2
0 -0.1 -0.2 -0.3 -0.4
Longk Linine Gilnet Tonda Bagan Payang Rampus purse seine Tramel net Payang Rampus Pancing ulur Longk Linine Gilnet Tonda Bagan Payang Rampus purse seine Tramel net Payang Rampus Pancing ulur Longk Linine Gilnet Tonda Bagan Payang Rampus purse seine Tramel net Payang Rampus Pancing ulur
Pertumbuhan (%/tahun)
0.1
Produksi
Kapal
BBM
Output (Produksi) dan Input (Kapal dan BBM)
Sumber : Data statistik perikanan pelabuhanratu tahun 2008-2013 (diolah) Gambar 15 Tingkat pertumbuhan rata-rata output/produksi dan input (kapal dan BBM) pada usaha perikanan tangkap di Pelabuhanratu tahun 20022013 Tingkat pertumbuhan output kurang dari 10% dan beberapa tumbuh negatif, hal ini menunjukkan bahwa persaingan diantara para pelaku sudah sangat tinggi. Hal tersebut dibuktikan pertumbuhan produksi, penggunaan sarana produksi dan BBM. Penggunaan input BBM menunjukan tingkat pertumbuhan
64
yang tinggi. Hal tersebut didorong keinginan nelayan untuk mendapatkan hasil yang lebih besar melalui usaha yang lebih jauh atau lebih lama di daerah fising ground. Beberapa alat tangkap misalnya kapal tonda merupakan salah satu kapal yang paling responsif terhadap penggunaan BBM. Pola-pola pertumbuhan output dan input diilustrasikan dengan indeks ketidakstabilan berada di kuadran kanan atas yang menunjukan pertumbuhan yang tinggi namun diikuti oleh ketidakstabilan yang tinggi. Apabila dilihat dari tingkat pertumbuhan dan besarnya nilai indek ketidakstabilan produksi (Gambar 16), dapat dilihat bahwa ada tiga pola yang muncul. Pola yang pertama adalah sekelompok produksi dengan pertumbuhan tinggi/berisiko tinggi seperti yang ditunjukkan oleh sudut kanan atas. Pola ini menunjukkan bahwa usaha perikanan dari sudut pandang ekonomi sangat baik (pertumbuhan positif), namun mungkin dari sudut pandang ekologi kurang baik karena terjadi tingkat ekstraksi yang tinggi. Hal tersebut menandakan kepada para pembuat kebijakan bahwa keadaan perikanan memang membutuhkan manajemen yang ketat dan kontrol hasil tangkapan (Fauzi dan Anna. 2010). Kelompok kedua adalah dikaitkan dengan pertumbuhan rendah dengan risiko rendah, dan kelompok ke tiga yaitu kelompok pertumbuhan rendah dan resiko rendah. Fluktuasi produksi yang menyebabkan ketidakstabilan bukan merupakan fenomena mandiri, kondisi tersebut berkaitan dengan indikator lain, seperti input yang diberikan dalam perikanan (Fauzi dan Anna, 2010) pertumbuhan (%/tahun)
0.100 Panc. Tonda 0.000
Tramel net PMT Long Line Purse seine
Payang KM
Payang PMT Bagan
Rampus -0.100 Panc. Ulur PMT -0.200 Gilnet -0.300 -0.400 rampus PMT
50.00
100.00
-0.500 150.00
200.00
CII Produksi
250.00
300.00
Gambar 16 Hubungan antara tingkat pertumbuhan output dengan indek ketidakstabilan perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu Hasil kajian Fauzi dan Anna, 2010 tentang perikanan pelagis kecil di Pantai Utara Pulau Jawa, menunjukkan bahwa ketidakstabilan dalam perikanan terkait dengan kebijakan berorientasi pertumbuhan yang dilakukan oleh otoritas perikanan pada periode 1974-2007, lebih lanjut disimpulkan bahwa ketidakstabilan itu juga berkorelasi dengan persaingan sengit antara kapal yang beroperasi di perikanan. Studi ini menunjukkan bahwa transisi perikanan dari
65
rejim open access ke rezim yang lebih diatur untuk mencapai perikanan yang lebih bertanggung jawab telah gagal. Dash dan Patra (2014) menyatakan bahwa kondisi pertumbuhan dan kestabilan perikanan di India telah lebih rendah dalam periode pasca-WTO dibandingkan dengan periode pra-WTO, ketidakstabilan menurun terutama karena kekurangan produksi. Diperlukan penyediaan infrastruktur oleh pemerintah baik primer, sekunder dan tersier untuk mencapai pertumbuhan yang mulus dan tinggi sektor tersebut. Aktifitas penangkapan berkorelasi positif dengan penggunaan input BBM, selama dekade terakhir penggunaan BBM meningkat cukup pesat, hal ini mengindikasikan besarnya upaya untuk mengekstrasi sumber daya ikan. Tingkat CCI BBM (Gambar 17) menunjukan karakteristik sebagian besar berada pada kondisi tingkat pertumbuhan tinggi dengan ketidakstabilan yang tinggi yang menggambarkan resiko yang tinggi. Sebagian lain berada pada kondisi pertumbuhan yang rendah dan tingkat resiko tinggi serta pertumbuhan rendah dengan resiko rendah. Kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa beberapa teknologi kapal armada responsif terhadap penggunaan BBM. Hal ini mengindikasikan besarnya tingkat upaya ekstraksi sumber daya ikan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dalam upaya mengendalikan upaya penangkapan. Dalam jangka panjang apabila hal ini tidak dilakukan maka dapat menyebabkan over capacity dan selanjutnya menyebabkan overfishing. Apalagi data produksi menunjukkan bahwa sebagian besar hasil tangkapan berupa ikan jenis pelagis besar terutama tuna. Rampus 0.297
pertumbuhan (%/tahun)
0.197 0.097 -0.003 -0.103 Payang PMT -0.203
Purse seine P. Tonda
Rampus PMT
Long Line Bagan Pancing ulur PMT
Growth CII
Payang
Tramel net PMT -0.303 Gilnet 80.00
100.00
120.00
-0.403 140.00
160.00
180.00
200.00
220.00
CII BBM
Gambar 17 Tingkat pertumbuhan dan tingkat instabiity index pengunaan BBM pada perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu Tingkat Pertumbuhan dan tingkat instability indexs jumlah nelayan yang bekerja di perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu (Gambar 18). Ketidakstabilan kapal purse seine, pancing tonda, tuna long line dan pancing ulur paling tinggi berada di kuadran kanan atas, yang menunjukkan ketidakstabilan yang tinggi.
pertumbuhan (%/tahun)
66
0.088 Bagan 0.038 Pancing Ulur PMT -0.012 135.00
155.00
Rampus PMT 175.00 195.00 Rampus -0.062
Panc. Tonda Long Line 215.00
Purseine
235.00
Payang PMT Payang -0.112 Gilnet
-0.162
CII Nelayan
Gambar 18 Hubungan antara Tingkat Pertumbuhan Nelayan dengan Indek Ketidakstabilan Perikanan Tangkap di PPN Pelabuhanratu Tingkat pertumbuhan dan ketidakstabilan jumlah nelayan menunjukkan sebagian besar berada pada kuadran kanan yang mengindikasikan ketidakstabilan yang tinggi dan sebagian dikuadran kanan bawah dimana tingkat pertumbuhan rendah dan resiko tinggi. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa perikanan tangkap di Pelabuhanratu mengalami ketidakstabilan yang tinggi, dimana tingkat resiko kerusakan sumber daya semakin tinggi, akibat aktifitas penangkapan oleh nelayan. Kegiatan nelayan di Kabupaten Lamongan berada pada beberapa Tempat Pendarata Ikan (TPI). Ada lima lokasi TPI di Kabupaten Lamongan yaitu Lohgung, Labuhan, Brondong (PPN Brondong), Kranji dan Weru Komplek. Masing-masing lokasi TPI mempunyai spesifikasi tersendiri. Kapal-kapal skala kecil sebagian besar berada di lokasi TPI Weru komplek. Di TPI Kranji didominasi kapal purse seine di PPN Brondong sebagain besar adalah kapal-kapal besar dengan berbagai alat tangkap. Indek ketidakstabilan produksi di TPI Kabupaten Lamongan seperti pada Gambar 19. Indek ketidakstabilan TPI yang berada di Lamongan sebagian berada pada kuadran kanan atas, yang menunjukkan besarnya ketidakpastian. Pertumbuhan yang positif dan tingginya ketidakstabilan menunjukan besarnya upaya (effort) yang dilakukan oleh nelayan untuk menangkap ikan. Hal tersebut menyebabkan trade off dimana dari segi ekonomi kegiatan perikanan memberikan pertumbuhan sedangkan dari segi keberlanjutan tidak baik karena terjadi pengurasan sumberdaya yang mengancam keberlanjutan usaha perikanan. Upaya-upaya yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengurangi tekanan terhadap sumberdaya. Usaha yang dilakukan adalah penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. PermenKP No 2 tahun 2015 yang melarang penggunaan alat tangkap yang merusak bisa menjadi salah satu entry poin upaya pengurangan tekanan terhadap sumberdaya ikan namun tetap
67
dapat mempertahankan peranan perikanan dalam perekonomian wilayah, tentu perlu dilakukan dengan sosialisasi yang tepat.
0.000
Brondong
Weru Komplek Kranji
Pertumbuhan (%/tahun)
-0.050 Labuhan
-0.100
-0.150
120.00
Lohgung 140.00 160.00
-0.200 180.00
200.00
220.00
240.00
Growth CII Produksi relatif
Gambar 19 Indeks ketidakstabilan produksi ikan oleh nelayan yang berada di TPI Kabupaten Lamongan Gambar 19 menunjukkan bahwa kegiatan usaha penangkapan di Kabupaten Lamongan sebagian besar mempunyai indek ketidakstabilan yang sangat tinggi. Lokasi TPI Kranji, Weru Komplek dan Brondong menunjukkan indek ketidakstabilan yang tinggi. Kondisi menandakan bahwa upaya penangkapan di TPI tersebut sudah mengalami gejala over fishing dan over capacity. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi tekanan sumberdaya di Lokasi Lamongan. Upaya yang dilakukan bisa dengan mensosialisasikan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Apabila kondisi ini berjalan terus menerus maka tekanan terhadap sumber daya ikan akan meningkat dan keadaan ini berbahaya untuk keberlanjutan usaha perikanan. 7
PERANAN “BANTAL SOSIAL” (“SOCIAL CUSHION”) UNTUK MATA PENCAHARIAN PERIKANAN SKALA KECIL
Perikanan skala kecil memainkan peran yang lebih besar tidak hanya dalam hal penyerapan tenaga kerja di daerah pesisir tetapi juga dalam hal mata pencaharian dalam arti yang lebih luas. Sekitar 2,1 juta orang bekerja di sektor perikanan dan, meskipun sebagian tidak secara resmi tercatat dalam data statistik, mereka memainkan peran penting untuk ketahanan pangan, pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan (Bene, 2006; FAO, 2005). Meskipun penting, nelayan skala kecil menghadapi berbagai kendala terutama dalam perspektif kebijakan dan perspektip sosial ekonomi. Dari perspektif kebijakan, program pemerintah yang ditujukan untuk nelayan skala kecil karena sifat dari perikanan skala kecil yang sering menghadapi ketidakpastian. Dari perspektif sosial ekononomi, mata pencaharian masyarakat pesisir rentan terhadap guncangan dan perubahan mendadak, merupakan permasalahan perikanan yang
68
sebagian besar penduduknya tergantung pada sumber daya laut (Ferrol-Schulte et al., 2015; Fauzi dan Anna, 2010; Sievanen, 2014). Memahami kondisi tersebut, maka merupakan hal yang penting untuk lebih memperhatikan nelayan skala kecil dan mengembangkan kebijakan direktif yang lebih baik di masa depan. Pemahaman meliputi bagaimana nelayan skala kecil mengatasi ketidakpastian dan biaya operasional yang tinggi serta bagaimana jaringan sosial di masyarakat pesisir. Hal ini diakui bahwa nelayan skala kecil telah mengembangkan berbagai strategi untuk menghadapi ketidakpastian (Fauzi dan Anna, 2010; Salmi, 2015; Allison, 2001). Salah satu strategi tersebut adalah keterikatan dengan pedagang perantara/pengepul/ langgan untuk menyediakan pembiayaan yang diperlukan untuk biaya operasional penangkapan dan keperluan lainnya yang tidak dapat dicukupi oleh nelayan. Keterikatan yang kuat dengan tengkulak cukup umum terjadi untuk perikanan skala kecil di Indonesia. Terlepas dari pandangan konvensional bahwa kehadirannya mungkin tidak menguntungkan dari sudut pandang sosial, keberadaan tengkulak/langgan, sampai batas tertentu telah menciptakan saling ketergantungan antara nelayan skala kecil dan pelaku ekonomi lainnya di masyarakat pesisir. Usaha perikanan tangkap skala kecil memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan usaha di sektor lain. Kegiatan perikanan tangkap penuh dengan tantangan serta dihadapkan pada risiko dan ketidakpastian, dilain pihak kontribusi perikanan tangkap skala kecil dalam pembangunan nasional kurang diperhitungkan (Allison dan Ellis, 2001). Alasan inilah yang menjadi hambatan terbesar nelayan untuk mengakses sumber-sumber permodalan dalam rangka peningkatan skala usaha. Banyaknya unit penangkapan skala kecil dan jumlah nelayan yang terlibat dalam usaha penangkapan dilaut diperlukan kebijakan yang berpihak kepada para pelaku usaha terutama pada nelayan skala kecil. Terdapat dua hal utama yang perlu diperhatikan yaitu: bahwa jumlah nelayan yang banyak dan kondisi kesejahteraan masih rendah, serta perikanan tangkap skala kecil secara nyata memberikan kontribusi yang jauh lebih besar dari pada data yang tercatat, namun dipihak lain masih kurangnya perhatian terhadap perikanan tangkap skala kecil. Berbagai permasalahan perikanan tangkap skala kecil yang sering dihadapi antara lain ketidak mampuan dalam permodalan, ketergantungan kepada tengkulak/pemodal, harga jual ikan yang ditentukan oleh bakul, ketidakmampuan dalam menghadapi kondisi alam yang buruk (angin, cuaca dan ombak/ gelombang), rendahnya pendidikan mempengaruhi ketrampilan sehingga pada saat kondisi cuaca buruk tidak mempunyai alternative pekerjaan lain. Kondisi tersebut diperparah oleh kebiasaan hidup boros nelayan dan tidak mempunyai kebiasaan menabung. Hal tersebut sering menimbulkan permasalahn sosial terutama pada saat masa paceklik. Tabel 15 merupakan review dari berbagai nara sumber kunci selama penelitian dan merupakan aspek penting yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan tangkap. Terdapat beberapa perbedaan kondisi sosial ekonomi di kedua lokasi, yang menggambarkan bagaimana para pelaku usaha berinteraksi. Perikanan tangkap skala kecil mempunyai arti penting bagi perekonomian lokal atau nasional, tidak hanya mencakup tenaga kerja yang diciptakan dalam sektor itu sendiri (Bene, 2006), tetapi juga terhadap sektor lain yang diciptakan di sektor-sektor terkait lainnya.
69
Tabel 15 Karakteristik perikanan dan nelayan di Lamongan dan Pelabuhanratu No
Uraian
Lamongan
Pelabuhanratu
1.
Wilayah pengelolaan
2.
Karakteristik SDI
WPP 712 Laut Jawa, potensi produksi 836.000 ton/thn; tingkat ekstraksi 886.479 ton/thn. Dominasi jenis ikan pelagis kecil
WPP 573 potensi produksi 491.700 ton/thn; tingkat ekstraksi 435.038 ton/thn. Dominasi pelagis besar (TTC)
3.
Kondisi sumber daya
4.
Produksi dan Share produksi terhadap produksi propinsi
Sebagian dari sumber daya ikan sudah dalam kondisi full atau bahkan over fishing Produksi 70.000 ton/tahun, mempunyai kontribusi lebih dari 17% dari total produksi Jawa Timur, dengan rata-rata pertumbuhan 2,8% per tahun
Kondisi sumber daya ikan relatif masih lebih baik dari pada di pantai utara Jawa Produksi perikanan 7.000 ton/tahun, berkontribusi lebih dari 4,4% dari total produksi Jawa Barat, rata-rata pertumbuhan 3,7% per tahun
5.
Keterlibatan nelayan
6.
Karakteristik nelayan
7.
Kelembagaan pelaku usaha
8.
Hubungan antar pelaku usaha
Lebih dari 28.000 nelayan dan lebih dari 7.500 alat tangkap Mayoritas nelayan skala kecil kurang dari 5 GT. nelayan besar relatif tidak menonjol Kelembagaan lokal (Blandongan) sangat kuat untuk memperjuangkan kepentingan nelayan Hubungan nelayan dengan langgan/pengepul cukup kuat, faktor kepentingan ekonomi namun fungsi sosial juga cukup kuat
Lebih dari 5.000 nelayan dan lebih dari 3.400 alat tangkap Nelayan kecil banyak, namun peran nelayan skala besar sangat menonjol Kelembagaan nelayan (kelompok nelayan) ada perannya tidak sekuat blandongan Hubungan nelayan dengan langgan/pengepul lebih didasari oleh motif ekonomi, fungsi sosial masih ada meskipun tidak menonjol
Sumber: Analisis data primer Perikanan tangkap pada bagian hulu adalah kegiatan-kegiatan memasok masukan atau input kepada sektor penangkapan. Banyak input yang biasanya disediakan oleh individu skala kecil atau usaha mikro didalam wilayah pedesaan setempat, meskipun beberapa hal misalnya alat tangkap dan bahan bakar (diproduksi pihak lain) namun disediakan melalui bisnis pedagang lokal. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi perikanan skala kecil terhadap PDB memainkan peran yang lebih signifikan dalam statistik nasional sebagai kontributor terhadap PDB dari pada yang diasumsikan. Hasil ini memberikan tantangan bagaimana perikanan tangkap skala kecil kembali mendapat prioritas dalam pembangunan perikanan. Permasalahan dari segi sumber daya perikanan adalah besarnya tekanan terhadap sumber daya perikanan yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya perikanan (Fauzi, 2010). Permasalaahan nelayan skala kecil menyebabkan kemiskinan nelayan yang melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang stok SDI-nya mengalami overfishing (Dahuri, 2012). Hubungan Patron-Client Nelayan Hu ungan “patron-client” telah lama erperan dalam pemanfaatan sumber daya laut di Asia Tenggara (Merlijn 1989; Pelras 2000). Sifat dari hubungan tersebut menggambarkan hubungan vertikal, dimana patron sebagai “superior” dan client/nelayan se agai “inferior” (Lande, 1977). Meskipun menggam arkan
70
hubungan superior-inferior, namun terjadi hubungan timbal balik diantara kedua elah pihak (Powel, 1970). “Client”/nelayan menerima ketidaksetaraan karena pelanggan/tengkulak memberikan jaminan sosial dan material dengan imbalan hasil tenaga kerja dan jasa (dalam bentuk ikan). Máñez dan Ferse (2010) berdasarkan indikator pasar, pelanggan/tengkulak berfungsi terutama sebagai inovator bisnis dengan kesediaan untuk membeli semua komoditas ikan dan memenuhi kebutuhan yang diperlukan “client” untuk eralih target dalam penangkapan. Secara umum, prosedur pinjaman dan hal-hal terkait disepakati secara informal, client mempunyai kewajiban moral untuk menjual semua hasil tangkapan kepada tengkulak/langgan yang memberikan pinjaman. Fakta yang muncul tidak ada pihak yang ingin menyelesaikan hutangpiutang yang berjalan, selama kepercayaan di antara tengkulak/langgan dengan nelayan tersebut masih ada, tidak ada alasan untuk khawatir tentang transaksi keuangan (penyelesaian hubungan hutang piutang). Akibatnya, pembayaran tidak pernah tetap, baik dalam waktu maupun dalam angsuran. Pembayaran tergantung pada hasil tangkapan harian dari nelayan. Merlijn (1989) menyimpulkan, hubungan keseluruhan antara perantara/ tengkulak/langgan dan nelayan, semacam kesepakatan sosial yang saling menguntungkan. Nelayan perlu menjual komoditas ikan yang sangat mudah rusak tanpa penundaan, nelayan perlu memiliki akses langsung ke tengkulak/langgan tanpa jaminan dan tanpa formalitas yang rumit, dan untuk mendapatkan input yang digunakan untuk operasional penangkapan. Sementara perantara/tengkulak/langgan menginginkan pasokan ikan secara kontinyu dari nelayan, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keberlanjutan usahanya. Langgan/tengkulak dalam situasi apapun siap untuk memenuhi kebutuhan nelayan dengan baik. Hubungan nelayan dengan langgan/tengkulak dilokasi penelitian menggambarkan hubungan kepentingan ekonomi kedua belah pihak. Kasus di Lamongan nelayan berhubungan dengan langgan/tengkulak untuk mendapatkan biaya operasional dengan imbalan berupa hasil tangkapan yang dijual ke tengkulak/langgan. Kedua belah pihak bersepakat secara informal/tidak tertulis tentang hak dan kewajiban. Fungsi-fungsi sosial dari kedua belah pihak masih ada, seperti memberi bantuan pada saat paceklik, bantuan bencana dan bantuan hari raya. Keuntungan yang diperoleh kedua belah pihak bisa dari aspek sosial dan aspek ekonomi (Tabel 16). Peranan lembaga non formal Blandongan berfungsi agar hubungan nelayan dan tengkulak/langgan bisa bersifat saling menguntungkan dan berusaha mengurangi efek negatif dari hubungan tersebut. Hubungan patron client tersebut memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak (Tabel 16). Hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak merupakan faktor penting yang harus dikemukakan, karena hubungan kedua belah pihak adalah hubungan ketergantungan yang bersifat mutualisme. Oleh karena itu kedua belah pihak harus memperoleh manfaat positi dari interaksi tersebut. Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan kedua belah pihak harus lebih dikedepankan. Saling ketengantungan yang merupakan salah satu faktor pengikat hubungan patron-client tersebut. Kedua belah pihak bisa mengambil keuntungan namun tidak merugikan atau mengeksploitasi pihak yang lemah. Nilai positip keuntungan yang diperoleh kedua belah pihak tidak hanya semata-mata mengenai bentuk uang (ekonomi) namun motif-motif sosial dan politik juga mempunyai nilai positif dalam hubungan patron client.
71
Tabel 16 Keuntungan hubungan patron client bagi kedua belah pihak No Keuntungan Client/Nelayan No Keuntungan Patron/Tengkulak/Langgan 1. Kredit subsisten dan modal 1. Loyalitas dari nelayan investasi 2. Pinjaman yang fleksibel 2. Tenaga kerja 3. Keamanan selama musim 3. Prestise sosial paceklik 4. Peralatan seperti alat tangkap 4. Informasi tentang kompetitor dan kapal 5. Payung hukum 5. Dukungan politik 6. Akses pasar 6. Harga produk yang murah 7. Dukungan personal 8. Akses sumber daya 9. Akses informasi Sumber : Ferrol-Schulte et al., 2014 Blandongan mewajibkan kepada tengkulak/langgan untuk menyisihkan se agian dari hasil tangkapan untuk dikelola menjadi iaya “sosial” yang dinamakan dengan “jimpitan” yaitu mengam il se agian dari hasil tangkapan untuk digunakan sebagai tabungan yang akan dibagikan pada waktu tertentu. Jumlah iaya “sosial” terse ut isa mencapai 50-60 juta pertahun yang biasanya digunakan untuk keperluan-keperluan sosial dan kemasyarakatan. Kondisi di Pelabuhanratu lebih menggambarkan hubungan yang bersifat ekonomi murni, kesepakatan kedua belah pihak tidak tertulis namun lebih jelas tentang hak dan kewajiban. Kondisi ini disebabkan karena berkembangnya sistem tataniaga yang modern dengan berkembangnya usaha penangkapan terutama tuna. Harga-harga hasil tangkapan sudah pasti dan didasarkan pada grade ikan hasil tangkapan. Hubungan patron client di Pelabuhanratu lebih transparan, namun untuk sistem perikanan yang masih tradisonal (beberapa alat tangkap) masih tetap terjalin hubungan patron client seperti di Lamongan. “Sosial Cushion” Hubungan Nelayan dengan Langgan/Tengkulak Salah satu persoalan dalam usaha penangkapan nelayan skala kecil adalah ketersediaan biaya operasional. Persoalan tersebut semakin pelik terutama pada saat musim paceklik, dimana ketidakpastian usaha semakin tinggi dan pendapatan nelayan tidak menentu. Disinilah diperlukan peranan suatu lembaga penyedia/penyangga yang dapat memenuhi kebutuhan biaya operasional bagi nelayan. Selama ini peran tersebut dilakukan oleh para pedagang perantara/tengkulak/ langgan. Kerjasama tersebut sudah berjalan selama bertahuntahun, dan hubungan kerja ini memunculkan hubungan ketergantungan antara “bos”/patron yang diperankan oleh pedagang perantara/ tengkulak/langgan dengan “client” yang diperankan oleh para nelayan. Hipotesis bahwa peran pemodal lokal tidak dapat diabaikan dan dapat digambarkan dalam model. Pendekatan model regresi logistik multinomial digunakan untuk memperkirakan bagaimana perilaku nelayan dalam menjalankan usaha penangkapan. Variabel independen adalah status kepemilikan kapal, lama memiliki kapal, jenis kapal, investasi, jumlah kru/ABK dan variabel
72
dummy/lokasi. Seperti dapat dilihat dari Tabel 17 nelayan skala kecil di Kabupaten Lamongan memiliki kecenderungan lima kali lebih mungkin untuk mencari beberapa dana dari pinjaman (sebagian besar dari tengkulak/langgan) dari pada menggunakan dana miliknya, dibandingkan di Pelabuhanratu. Dana ini didukung oleh fakta empiris bahwa jumlah perantara di Kabupaten Lamongan lebih tinggi daripada mereka yang ada di Pelabuhanratu. Temuan ini juga menunjukkan bagaimana peran perantara/tengkulak/ langgan dalam sistem perikanan lokal. Terutama yang nelayan skala kecil di pantai utara Jawa lebih sensistive terhadap gangguan di biaya operasional penangkapan. Hasil analisis Tabel 17 menunjukkan besarnya nilai koefisien dari variabel lokasi yang berpengaruh terhadap kecenderungan nelayan dalam menggunakan sumber permodalan. Tabel 17 Hasil analisis kecenderungan penggunaan sumber modal ------------------------------------------------------------------------------Sumber modal | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------0 miliksendiri| (base outcome) --------------+---------------------------------------------------------------1 Pinjaman | 2.status | -2.251044 .9322279 -2.41 0.016 -4.078177 -.4239105 2.jenis_kapal | -.8178218 .5647471 -1.45 0.148 -1.924706 .2890623 1 lokasi | 1.628939 .7333565 2.22 0.026 .1915871 3.066292 investasi | -3.05e-09 9.48e-09 -0.32 0.748 -2.16e-08 1.55e-08 lama_milik | -.0505451 .0396477 -1.27 0.202 -.1282532 .027163 abk | .4551687 .3182427 1.43 0.153 -.1685754 1.078913 _cons | .1173058 1.003868 0.12 0.907 -1.850239 2.084851 --------------+---------------------------------------------------------------2 Campuran | 2.status | -1.00684 .7527643 -1.34 0.181 -2.482231 .4685509 2.jenis_kapal | .0945415 .6101661 0.15 0.877 -1.101362 1.290445 1.lokasi | 1.819465 .686802 2.65 0.008 .4733579 3.165572 investasi | -1.23e-09 8.76e-09 -0.14 0.889 -1.84e-08 1.59e-08 lama_milik | -.0843595 .0416915 -2.02 0.043 -.1660732 -.0026457 abk | .6737445 .3192083 2.11 0.035 .0481077 1.299381 _cons | -.9261438 1.019887 -0.91 0.364 -2.925085 1.072797 -------------------------------------------------------------------------------
Sumber: Analisis data primer, 2015 Pendekatan model regresi logistik multinomial digunakan untuk memperkirakan bagaimana perilaku nelayan dalam menjalankan usaha penangkapan. Variabel indepanden adalah status kepemilikan kapal, lama memiliki kapal, jenis kapal, investasi, jumlah kru/ABK dan variabel dummy/Lokasi. Hasil temuan menyatakan bahwa lokasi mempengaruhi kecenderungan keputusan nelayan skala kecil dalam menentukan pilihan penggunaan biaya operasional (Tabel 17). Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan kecenderungan nelayan skala kecil dalam memperoleh biaya operasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa lokasi sangat berpengaruh terhadap kecenderungan keputusan nelayan skala kecil dalam menggunakan sumber modal untuk biaya operasional. Hasil analisis dengan menggunakan pembanding nelayan yang menggunakan biaya operasional milik sendiri sebagai base outcame/reference, nelayan skala kecil di Kabupaten Lamongan memiliki kecenderungan lima kali lebih untuk mencari sumber dana dari pinjaman (sebagian besar dari tengkulak/langgan) dari pada menggunakan dana miliknya sendiri, dibandingkan di lokasi Pelabuhanratu. Hasil serupa juga terjadi pada analisis yang
73
menggunakan dana campuran (milik sendiri dan pinjaman), dimana kecenderungan nelayan skala kecil di kabupaten Lamongan sebesar enam kali untuk menggunakan dana operasional yang berasal dari campuran (milik sendiri dan pinjaman) dari pada nelayan di lokasi Pelabuhanratu. Data tersebut didukung oleh fakta empiris bahwa jumlah perantara di Kabupaten Lamongan lebih banyak daripada yang ada di Pelabuhanratu. Temuan ini juga menunjukkan bagaimana peran perantara/tengkulak/langgan dalam sistem perikanan lokal, terutama bagi nelayan skala kecil di pantai utara Jawa. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa nelayan di wilayah utara pesisir Jawa lebih sensistif terhadap gangguan di biaya operasional penangkapan dibandingkan di wilayah selatan Jawa (Pelabuhanratu). Kondisi ini mencerminkan peran sentral para pedagang perantara/langgan dalam upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan kecil. Temuan tersebut mengindikasikan para pembuat kebijakan harus mengakui kredit mikro dan asuransi merupakan layanan penting yang diberikan perantara/tengkulak/ langgan untuk nelayan, termasuk fakta bahwa lembaga negara tidak mungkin bisa menyamai level yang dirancang secara individual di mana perantara/tengkulak/langgan dapat menyediakan layanan ini untuk nelayan skala kecil. Reposisi peranan langgan/middleman ke dalam sistem perkreditan masyarakat sangat perlu dilakukan, selama ini peranan langgan/middlemen/ pedagang perantara lebih disorot dari aspek negatifnya. Padahal peranan yang dijalankan langgan/middleman/pedagang perantara sangat vital, terutama pada daerah pesisir utara dengan sumberdaya perikanan demersal dan pelagis kecil. Seperti yang dikemukan oleh Ferrol-Schulte et al., 2015 bahwa hubungan patron client mempunyai banyak dimensi hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Peran sentral perantara/tengkulak/langgan merupakan bentuk hubungan yang bersifat ekonomi dimana kedua belah pihak bisa mengambil keuntungan. Pola hubungan tersebut menggambarkan peran dari para pedagang perantara/langgan bukan hanya sekedar sebagai penyangga namun lebih dari itu yaitu erfungsi se agai “ antal” sosial (social cushion) dimana para nelayan sebagian menggantungkan usahanya (terutama sebagai sumber biaya operasional) dari para langgan/pedagang. Dalam skala mikro hubungan seperti ini merupakan bentuk layanan dimana para nelayan bisa mendapatkan alternatif layanan jasa “kredit” dari para perantara/langgan/tengkulak agar dapat melakukan kegiatan penangkapan. Bentuk layanan seperti yang diperankan oleh langgan/pedagang perantara selama ini belum bisa gantikan oleh lembaga pemerintah yang resmi. Temuan dilapangan menunjukkan bahwa peranan lembaga yang dibangun oleh masyarakat yang ada di Lamongan berfungsi sebagai lembaga masyarakat non formal yang tergabung dalam “Blandongan”. Blandongan merupakan lembaga masyarakat yang dibentuk oleh para nelayan yang berfungsi untuk mengatur kegiatan usaha penangkapan di lokasi pangkalan pendaratan ikan/PPI. Peranan Blandongan tersebut sangat sentral, terutama yang terkait dengan kepentingan nelayan dilokasi. Implikasinya dari temuan ini adalah bahwa nelayan skala kecil di Lamongan mempunyai keinginan yang lebih kuat dalam mempertahankan sumber matapencaharian dari kegiatan penangkapan. Nelayan skala kecil di Lamongan akan tetap melaut selama tersedia biaya operasional meskipun menghadapi resiko yang besar.
74
Kondisi yang sama dilaporkan berdasarkan hasil penelitian Crona et al., (2010) di Afrika Timur, bahwa pengaturan kredit tersebar luas dan nelayan yang terikat oleh perjanjian timbal balik dan jaminan keuangan selama periode tangkapan pada musim paceklik dan menyediakan dana jangka pendek untuk menstabilkan efek sosial. McCay et al., (2013) bahwa koperasi belum bisa menjalankan peran yang selama ini diperankan oleh tengkulak/langga. Peran perantara/tengkulak/langgan jarang diperhitungkan dalam pengelolaan perikanan, skenario untuk pengembangan perikanan skala kecil dan fungsi perantara yang dibahas karena pengaruh dari dorongan eksternal. Kebijakan yang menggabungkan peran perantara direkomendasikan untuk meningkatkan tata kelola stok ikan dan ekosistem pesisir di Afrika Timur (Crona et al,. 2010). Hasil penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa, kredit nelayan yang kurang agunan bisa diterima sektor formal, namun rumah tangga perikanan masih tergantung pada sistem keuangan informal (Ruddle, 2011). Kegiatan yang dilakukan oleh nelayan skala kecil tergantung dari status kapal (milik sendiri atau sewa), lama memiliki kapal serta jumlah ABK. Status kapal sebagian milik sendiri dan sebagian merupakan sewa, lama kepemilikan kapal dalam tahun, jumlah ABK bervariasi dengan jumlah rata-rata berkisar 2-5 orang. Hasil analisis (Tabel 17), juga menunjukkan bahwa dengan menggunakan base outcome/ reference dana milik sendiri, maka kecenderungan nelayan yang memiliki kapal dengan status bagi hasil/sewa untuk memilih sumber biaya operasional yang berasal dari pinjaman dari pada sumber biaya operasional milik sendiri sebesar 0,105 kali atau sepersepuluh kali dari pada nelayan yang memiliki kapal dengan status milik sendiri, atau dapat dikatakan bawah kecenderungan status kapal milik sendiri akan mempunyai kecenderungan menggunakan dana pinjaman sebesar 10 kali. Temuan ini menunjukkan bahwa nelayan yang menggunakan kapal bagi hasil/sewa tidak responsif terhadap sumber biaya operasional yang berasal dari pinjaman dibandingakan dengan nelayan yang memiliki kapal sendiri. Hasil tersebut berarti bahwa nelayan yang mempunyai kapal sendiri mempunyai keinginan yang lebih besar untuk melakukan upaya penangkapan dari pada nelayan yang menggunakan kapal bagi hasil/sewa. Kecenderungan lama kepemilikan kapal terhadap penggunaan biaya operasional dengan menggunakan base outcome/reference dana milik sendiri dapat diterangkan (Tabel 17). Semakin lama nelayan memiliki kapal, maka kecenderungan untuk memilih sumber biaya operasional dari pinjaman dari pada biaya operasional dari milik sendiri sebesar 0,92 kali, atau dapat dikatakan bahwa nelayan yang memiliki kapal lebih lama kecenderungannya untuk menggunakan biaya operasional yang berasal dari campuran pinjaman dan milik sendiri sebesar 1,09 kali. Kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa semakin lama nelayan kecil memiliki kapal milik sendiri lebih sensitif dalam menggunakan dana operasional yang berasl dari dana campuran (milik sendiri dan pinjaman). Jumlah ABK merupakan salah satu faktor yang menentukan kecenderungan nelayan skala kecil dalam menggunakan dana operasional. Hasil analisis Tabel 16 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah ABK maka kecenderungan untuk menggunakan dana operasional yang berasal dari campuran (milik sendiri dan pinjaman) hampir 2 kali dari pada hanya menggunakan dana milik sendiri. Kramer et al, (2001) menyatakan bahwa ukuran kapal, lama melaut dan jumlah ABK mempunyai hubungan yang positif dengan hasil tangkapan. Relevan
75
dengan temuan tersebut dapat dilihat dari kondisi riel di lapangan. Produktifitas nelayan skala kecil digambarkan oleh produktifitas PMT di Pelabuhanratu) dan produktifitas kapal di desa Weru (yang menggambarkan tingkat produktifitas kapal skala kecil di Lamongan). Produktifitas kapal skala kecil dikedua lokasi terdapat perbedaan, produktifitas kapal skala kecil di Lamongan (Desa Weru) meningkat terutama setelah tahun 2007, sedangkan produktifitas kapal skala kecil di Pelabuhanratu menurun tajam terutama setelah tahun 2008. Kondisi ini merupakan paradog dimana sumber daya pantai utara Jawa yang relatif sudah mengalami over fishing dibanding dari sumber daya diwilayah pantai selatan, namun dari segi produktifitas kapal di wilayah utara masih meningkat setiap tahun, sedangkan produktifitas di wilayah selatan malah semakin menurun. Kemudian dari segi produktifitas nelayan menunjukkan bahwa nelayan skala kecil di pantai utara lebih produktif dari pada nelayan skala kecil di pantai selatan. Hasil penelitian Barnes-Mauthe et al. (2013) menunjukkan bahwa sektor perikanan skala kecil mempekerjakan 87% dari populasi orang dewasa, menghasilkan rata-rata 82% dari seluruh pendapatan rumah tangga. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Ellison et al., (2007), meskipun perikanan skala kecil dapat menyebabkan eksploitasi yang berlebihan, merusak lingkungan dan hanya menghasilkan tingkat keuntungan yang marginal, namun diakui bahwa dalam banyak kasus, perikanan skala kecil mungkin memiliki keunggulan komparatif yang signifikan atas perikanan industri seperti: efisiensi ekonomi yang lebih besar; dampak negatif yang lebih sedikit terhadap lingkungan; kemampuan untuk berbagi manfaat ekonomi dan sosial yang lebih luas. Sedangkan menurut Fauzi dan Anna, (2010), terjadinya trend penurunan hasil tangkapan pelagis dan ketidakstabilan yang tinggi mempengaruhi manajemen perikanan di pantai utara Jawa. Perikanan skala kecil merupakan sumber utama penghidupan bagi masyarakat yang tinggal wilayah pesisir. Banyak permasalahan kompleks yang dihadapi masyarakat/nelayan skala kecil yang menyebabkan tekanan untuk mempertahankan sumber mata pencaharian (Sudarmo et al., 2015; Fauzi dan Anna, 2010; Kramer et al., 2002; Sievanen, 2014). Seperti di banyak bagian dunia, nelayan skala kecil menghadapi banyak tantangan seperti persaingan dengan wisata pantai dan sektor perikanan lainnya, penurunan stok ikan, variabilitas iklim, dan fluktuasi pasar (Sievanen, 2014). Menurut Fauzi dan Anna, 2010 dan Sudarmo et al., 2015 perikanan skala kecil memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat di pantai utara Jawa. Menurut Zamroni, 2015, pendapatan antar nelayan sangat bervariasi, meskipun nelayan memiliki pekerjaan paruh waktu di luar perikanan pada masa musim paceklik, pendapatan nelayan menurun sekitar 36,43%. Temuan tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan tidak memberikan kontribusi pada sumber daya perikanan yang berkelanjutan dan menguntungkan nelayan. Fungsi kesejahteraan perikanan skala kecil, yaitu, kapasitas nelayan untuk menyediakan tenaga kerja dan uang tunai untuk penghasilan rumah tangga miskin, harus dipertahankan (Bene et al., 2010) Hasil penelitian (Barnes-Mauthe et al. 2013) menunjukkan bahwa sektor perikanan skala kecil mempekerjakan 87% dari populasi orang dewasa, menghasilkan rata-rata 82% dari seluruh pendapatan rumah tangga. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Allison et al., 2007, meskipun perikanan skala kecil dapat menyebabkan eksploitasi yang berlebihan, merusak lingkungan dan hanya
76
menghasilkan tingkat keuntungan yang marginal, namun diakui bahwa dalam banyak kasus, perikanan skala kecil mungkin memiliki keunggulan komparatif yang signifikan atas perikanan industri seperti : efisiensi ekonomi yang lebih besar; dampak negatif yang lebih sedikit terhadap lingkungan; kemampuan untuk berbagi manfaat ekonomi dan sosial yang lebih luas. Sedangkan menurut Fauzi dan Anna, 2010, terjadinya tren penurunan hasil tangkapan pelagis dan ketidakstabilan yang tinggi mempengaruhi manajemen perikanan di pantai utara Jawa, diperlukan keseriusan dari para pengambil kebijakan agar perikanan menjadi sektor yang sehat yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir serta menjaga ekosistem yang sehat. Stabilisasi kebijakan untuk mengurangi ketidakstabilan melalui pengendalian biaya input seperti harga BBM, meningkatkan kondisi sosial ekonomi, dan memperkuat kapasitas otoritas perikanan setempat. Mauthe-Barnes et al., 2013 menyatakan pembuat kebijakan nasional dan daerah untuk meview kembali kebijakan perikanan yang mengabaikan perikanan skala kecil, dan memacu untuk mengukur peranan perikanan skala kecil secara global. Kramer et al., 2002 bahwa ukuran kapal, lama melaut dan jumlah ABK mempunyai hubungan yang positif dengan hasil tangkapan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nelayan yang lebih lama memiliki kapal sendiri mempunyai upaya yang lebih besar untuk melakukan upaya penangkapan dengan memanfaatkan biaya operasional baik yang berasal dari milik sendiri maupun dari pinjaman. Pengaturan kredit tersebar luas dan nelayan yang terikat oleh perjanjian timbal balik dan jaminan keuangan selama periode tangkapan pada musim paceklik dan menyediakan dana jangka pendek untuk menstabilkan efek sosial (Crona et al,. 2010). Peran perantara jarang diperhitungkan dalam pengelolaan perikanan. Skenario untuk pengembangan perikanan skala kecil dan fungsi perantara yang dibahas mengingat pengaruh dari dorongan eksternal. Kebijakan yang menggabungkan perantara direkomendasikan untuk meningkatkan tata kelola stok ikan dan ekosistem pesisir di Afrika Timur (Crona et al,. 2010). Sektor perikanan di Vietnam menunjukkan bahwa, kredit nelayan yang kurang agunan diterima sektor formal, rumah tangga perikanan tergantung pada sistem keuangan informal (Ruddle, 2011). Ruddle (2011), menyimpulkan peran sistem kredit informal dan hubungan patron-klien terkait ditinjau kembali, penelitian tentang sistem keuangan harus luas dan terpadu, dengan fokus pada konteks saling bervariasi dari individu dan lembaga yang ditujukan untuk menghilangkan kesalahpahaman seperti dikotomi antara sistem formal dan informal disistem perikanan skala kecil di Vietnam. Strategi Usaha dan Daya Tahan Menghadapi Ketidak Pastian Usaha Dalam melakukan kegiaan penangkapan dilaut nelayan kadang menghadapi berbagai kendala. Faktor yang menghambat nelayan melakukan aktifitas melaut karena faktor/kondisi alam yaitu ombak besar, arus deras, dan cuaca buruk, sedangkan faktor/kondisi ekonomi meliputi harga BBM, dan kesulitan memperoleh BBM), faktor sosial yaitu budaya, sedangkan faktor aturan/rules yaitu adanya larangan melaut yang sudah disepakati bersama oleh nelayan. Keempat faktor tersebut mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Faktor alam (ombak besar, arus deras dan cuaca buruk) merupakan faktor alam yang tidak bisa disiasati oleh para nelayan. Pada musim angin barat para nelayan
77
biasanya tidak dapat melaut karena ombak besar dan arus deras. Faktor ekonomi terutama dipengaruhi oleh harga BBM yang mahal dan kesulitan memperoleh BBM. Kawasan nelayan desa Weru tidak memiliki SPBN tersendiri sehingga nelayan harus membeli BBM di SPBU. Diperlukan persyaratan rekomendasi dari Dinas KP agar nelayan bisa membeli BBM di SPBU. Pengurusan rekomendasi difasiltasi oleh Rukun Nelayan (organisasi kemasyarakatan nelayan ditinggkat desa). Surat rekomendasi berlaku untuk masa satu bulan dengan jumlah pembelian harian yang dibatasi. Hal ini menjadi kendala karena kadang nelayan kesulitasn mendapatkan BBM pada saat membutuhkan BBM. Faktor Budaya dan aturan, adalah dua faktor yang biasanya karena ada kesepakatan atau aturan yang dibuat bersama untuk tidak melakukan aktifitas menangkap ikan. Salah satu aturan yang disepakati bersama adalah tidak melaut pada hari Jumat, hal ini terkait dengan aktifitas keagamaan umat Islam, dimana sebagian besar nelayan desa Weru adalah umat muslim. Pandangan nelayan dalam menyikapi adanya kendala dalam melaut digambarkan seperti pada Gambar 20. Sebagian berpendapat bahwa hal itu merupakan beban karena nelayan mempunyai tanggungan dan tidak punya pekerjaan alternative (29%). Bagi nelayan lain adanya hambatan sudah diperhitungkan dan sudah menjadi bagian dari resiko usaha nelayan (46%), artinya nelayan sudah memperhitungkan adanya beberapa kendala atau hambatan dalam mencari nafkah sebagai nelayan, hal ini berarti nelayan harus bisa mengatur pendapatan yang diperoleh pada musim puncak penangkapan, sehingga pada saat paceklik nelayan tidak kesulitan dalam hidupnya. Sedangkan sebagian nelayan mengganggap bahwa hambatan/kendala merupakan hal yang biasa (25%).
Sudah menjadi resiko usaha 29% 46%
Biasa saja
25% Menjadi beban usaha/hidup
Sumber : Analisis data primer (2014) Gambar 20 Komposisi nelayan dalam menyikapi kendala dalam melaut Mengahadapi konsidi hambatatan dalam melakukan usaha penangkapan, baik yang disebabkan karena faktor alam, ekonomi, budaya dan aturan, nelayan melakukan berbagai cara (Gambar 21). Seperti sudah lazim diketahui bahwa nelayan mempunyai sifat hidup yang boros, hal ini tergambar bahwa sebanyak 54 % nelayan melakukan pinjaman pada saat paceklik, hal ini menunjukkan bahwa nelayan kurang dapat hidup hemat. Bagi nelayan yang sudah memperhitungkan adanya kemungkinan paceklik dalam melaut, maka nelayan menyisihkan sebagian pendapatannya pada saat musim puncak untuk dapat digunakan pada saat paceklik (32%). Hal ini sejalan pandangan nelayan tentang kemungkinan paceklik, dimana 46% menyatakan bahwa musim paceklik sudah diantisipasi sebagai bagian resiko
78
dari usaha. Sebagian kecil nelayan tidak mempunyai sikap atau pasrah dalam mengantisipasi kemungkinan paceklik dimana 13% hanya pasrah dan 1% mengandalkan bantuan keluarga. 1% Berhutang
13%
Simpanan/tabungan 32%
54%
Pasrah Bantuan Keluarga
Sumber : Analisis data primer, 2014 Gambar 21 Antisipasi nelayan dalam menghadapi kondisi paceklik. Pada saat kondisi cuaca buruk atau ada perubahan harga bahan bakar, sehingga nelayan kesulitan, ada beberapa hal yang dilakukan oleh nelayan (Gambar 20). Nelayan mempunyai kemampuan memprediksi kemungkinan adanya hambatan sehingga biasanya hal-hal yang dilakukan merupakan kebiasaan yang didasarkan pada pengalaman nelayan. Sebanyak 46% nelayan memodifikasi alat tangkap disesuaikan dengan musim sehingga pada saat tertentu masih tetap bisa melaut. Ada juga nelayan yang mencoba mencari ikan ke lokasi yang lebih jauh (24%). Hal ini tentu saja mempengaruhi jumlah BBM dan perbekalan yang digunakan. Namun demikian nelayan sudah memperhitungkan kemungkinan pendapatan yang lebih baik, sehingga hasilnya dapat menutupi biaya operasional yang dikeluarkan. Sebanyak 21% dari nelayan mencoba mencari ikan dilokasi yang lebih dekat dengan pantai. Hal ini dilakukan agar resiko yang dihadapi lebih kecil dan lebih irit dengan BBM. Hasil yang diperoleh kemungkinan lebih sedikit, namun karena biaya operasional juga lebih sedikit, maka usaha penangkapan di lokasi yang lebih dekat dilakukan sebagai salah satu alternative dalam menghadapi musim yang buruk (Gambar 22).
kelokasi lebih jauh 11%
24% modifikasi alat tangkap
21% 44%
mencari ikan ke pantai
Sumber : Analisis data primer Gambar 22 Antisipasi nelayan pada saat musim yang buruk (pengaruh iklim/cuaca) Antisipasi nelayan pada saat tidak dapat melaut dilakukan karena kondisi cuaca yang buruk sebagian digunakan untuk memperbaiki mesin, perahu dan alat tangkap/jarring (35%). Perbaikan alat tangkap biasanya dilakukan bersama-sama
79
di pangkalan (blandongan/ perkumpulan nelayan tingkat dusun). Sebagian nelayan lainnya (14%) menjadi buruh atau kuli bangunan, dan 4% beralih profesi dengan berdagang, 27% bekerja di sektor non formal lainnya (ojek dll), sedangkan sebanyak 20 % nelayan pada saat tidak dapat melaut, hanya nganggur dirumah karena tidak mempunyai ketrampilan lain (Gambar 23).
27%
4%
20%
Menganggur Memperbaiki mesin/kapal/alat tnagkap Menjadi buruh/kuli
14%
35%
Berdagang Pekerjaan lainnya
Sumber: Data Primer Diolah, 2014 Gambar 23 Aktifitas nelayan pada saat tidak melaut karena cuaca buruk Kegiatan penangkapan dilaut mempunyai resiko yang besar, resiko disebabkan karena adanya ganggruan cuaca selama melakukan aktifitas penangkapan atau karena kerusakan mesin, kapal atau alat tangkap. Untuk mengurangi kemungkinan tersebut nelayan telah melakukan antisipasi berupa pembagian resiko dalam usaha penangkapan. Meskipun demikian sebagian besar nelayan masih tetap sebagai penanggung resiko terbesar (Gambar 24). Resiko yang ditanggung oleh pemilik kapal sebesar 62%. Hal ini oleh nelayan disikapi dengan simtem pembagian yang memperhitungkan resiko kerusakan pada kapal/perahu, mesin dan alat tangkap. Kapal/perahu, mesin dan alat tangkap mendapat bagian (2 bagian setelah dikurangi biaya melaut). Sebanyak 18% nelayan mengaku melakukan sistem bagi hasil untk mengurangi resiko yang dihadapi dalam melaut dan 20% menanggung biaya malaut secara bersama. Dengan adanya mekanisme tersebut diharapkan nelayan dapat meminimalkan resiko yang dihadapi dalam melakukan usaha.
Ditanggung pemilik kapal Melakukan sistem bagi hasil menanggung biaya melaut bersama
Sumber : Analisis data primer, 2014. Gambar 24 Antisipasi nelayan dalam menghadapi resiko
80
8 NILAI TAMBAH PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL Nilai Tambah Perikanan Tangkap Skala Kecil Perikanan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi lokal dan mata pencaharian masyarakat tidak hanya dinikmati oleh nelayan, namun pihak-phak lain yang terkait dengan perikanan mendapat manfaat dari usaha perikanan tangkap skala kecil. Pihak-pihak lain yang berada dalam mata rantai usaha perikanan tangkap, mulai dari nelayan, pedagang, industri pengolahan dan distribusi yang mendapat bagian/share/margin. Salah satu mata rantai perikanan yang menikmati manfaat adalah industri pengolahan, dimana terdapat nilai tambah dan margin usaha. Manfaat yang diperoleh adalah tenaga kerja langsung yang terlibat dalam usaha perikanan, penggunaan bahan baku tambahan untuk proses pengolahan dan keuntungan usaha yang diperoleh pelaku usaha. Beberapa produk yang dihasilkan memberikan pendapatan bagi tenaga kerja, keuntungan bagi pelaku usaha dan pertambahan nilai penggunaan bahan baku tambahan. Konsep nilai tambah dan margin ini memberikan gambaran bagaimana usaha perikanan tangkap dapat meningkatkan perekonomian wilayah. Nilai tambah yang diperoleh pada kegiatan usaha pengolahan hasil perikanan terkait dengan faktor teknis dan faktor ekonomis. Secara teknis tingkat teknologi, jumlah bahan baku dan jumlah tenaga kerja yang digunakan akan mempengaruhi besarnya nilai tambah. Unsur ekonomi yang berpengaruh terhadap besarnya nilai tambah adalah biaya/harga input dan harga output, dalam hal ini harga output produk olahan perikanan. Menghitung besarnya nilai tambah, secara tidak langsung dapat menghitung besarnya margin yang terjadi pada kegiatan usaha pengolahan produk perikanan. Total nilai margin merupakan penggabungan dari nilai-nilai keuntungan usaha, sumbangan input tambahan/input lain dan imbalan tenaga kerja langsung. Dasar perhitungan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rp./kg bahan baku, sesuai dengan metode penghitungan nilai tambah menurut Hayami et al., (1987). Nilai value added dan margin dapat digambarkan seperti pada Gambar 25. Nilai tambah
Input utama ikan/cumi/ udang
Input lainnya
+
Tenaga kerja langsung
Keuntungan Usaha
Margin
Gambar 25 Nilai tambah/value added dan margin kegiatan usaha pengolahan produk perikanan Besarnya nilai tambah dan margin ditentukan oleh besarnya bahan/input tambahan lainnya, tenaga kerja langsung dan keuntungan usaha. Jika dilihat dari
81
nilai margin dan nilai tambah/value added, jenis olahan produk perikanan menunjukkan nilai margin dan nilai tambah yang berbeda. Hasil analisis nilai margin dapat diketahui adanya balas jasa pemilik faktor produksi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan nilai tambah pada produk olahan perikanan, setiap pemilik faktor produksi memiliki kontribusi dalam mewujudkan nilai tambah tersebut dan sekaligus menerima balas jasanya. Hasil pengolahan data dan perhitungan nilai tambah dengan menggunakan metode Hayami (1987) pada produk olahan hasil perikanan yang diolah secara tradisional disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18 Value added dan margin yang berasal dari pengolahan hasil perikanan (Rp./kg) bahan baku utama No
Lokasi
I
Lamongan
II
Pelabuhanratu
Jenis Olahan Krupuk Cumi Krupuk Ikan Abon Pindang Pindang Abon Baso/Nuget dll Ikan bakar
Harga dasar Keuntungan TK Langsung Input Lainnya Input Utama Usaha 23,000 9,000 50,102 5,347 4,000 3,750 23,051 8,173 14,000 3,450 8,322 15,543 14,000 2,250 6,034 5,056 14,000 2,850 7,284 2,606 12,500 3,300 6,322 19,343 15,000 3,750 28,426 18,798 30,000 5,000 7,909 26,681
Value Added 55,449 31,224 23,845 11,091 9,891 25,644 47,224 34,591
Margin 64,449 34,974 27,864 13,341 12,741 28,964 50,974 39,591
Sumber. Analisis data primer Ada beberapa hal menarik yang dapat dilihat dari nilai-nilai yang diperoleh pada Tabel 18. Nilai tambah/Value added dan keuntungan usaha dalam satuan rupiah per kg bahan baku utama, bahwa nilai tambah sejalan dengan besarnya keuntungan usaha. Semakin tinggi keuntungan usaha maka semakin tinggi nilai tambahnya. Margin menunjukan besaranya nilai tambah dan besarnya upah tenaga kerja yang digunakan pada masing-masing jenis olahan produk perikanan. Sistem Rantai Pasok dan Rantai Nilai Kabupaten Lamongan merupakan salah satu penghasil produk perikanan terbesar di Jawa Timur, sharenya mencapai sekitar 17% dari total produksi Jawa Timur. Hasil tangkapan utama adalah jenis ikan pelagis kecil dan demersal (kuniran, ekor kuning, tembang dan layang). Sebagian besar hasil tangkapan nelayan diproses oleh industri yang ada di kabupaten Lamongan baik industri skala kecil, skala menengah maupun skala besar. Untuk menggambarkan bagaimana peran para pelaku usaha pengolahan produk perikanan hasil tangkapan nelayan dapat dilihat dari sistem pasok dan sistem nilai. Sistem rantai pasok komoditas perikanan di Lamongan menggambarkan bagaimana produk hasil tangkapan tersebut didistribusikan sampai ke konsumen akhir. Secara garis besar ikan-ikan tersebut mempunyai jalur rantai pasok yang tidak berbeda, sistem rantai pasok dari komoditas perikanan di Lamongan dapat diuraikan seperti pada Gambar 26.
82
Pengolah
40% 80%
Nelayan
Pedagang Pengumpul
10%
Pedagang pengecer Perusahaan
20%
Pedagang pengecer
50%
Gambar 26 Rantai pasok komoditas ikan di Lamongan Rantai pasok seperti Gambar 26 merupakan kondisi umum rantai pasok komoditas ikan di Lamongan, secara detail setiap jenis ikan mempunyai variasi rantai pasok dan rantai nilai. Hasil tangkapan nelayan sebagian besar dijual ke pedagang pengumpul kemudian dari pedagang pengumpul ada yang dijual ke perusahaan, ke pengolah maupun ke pedagang pengecer. Secara umum terdapat 4 saluran rantai pasok ikan di Lamongan. Beberapa saluran yang berasal dari nelayan itu ada yang langsung dijual ke pedagang pengecer dan ada yang melalui pedagang pengumpul sebelum ke pelaku industri atau pedagang pengecer. Sistem rantai pasok pemasaran ikan di Lamongan sebagai berikut: Saluran 1: nelayan - pedagang pengecer Saluran 2: nelayan - pedagang pengumpul - pedagang pengecer Saluran 3: nelayan - pedagang pengumpul - perusahaan Saluran 4: nelayan - pedagang pengumpul - pengolah Pada sistem rantai pasok pemasaran ini, nelayan menjual hasil tangkapan ikannya sebagian besar ke pedagang pengumpul dan sisanya ke pedagang pengecer. Ikan yang dijual ke pedagang pengumpul adalah sebesar 80%, dan 20% sisanya ke pedagang pengecer. Pada saluran 1, pedagang pengecer ini berjualan di sekitar pelabuhan, dekat dengan tempat pendaratan ikan (TPI). Pedagang pengecer ini menjual ikan dalam kapasitas yang kecil di sekitar TPI karena ikan akan dibeli oleh pedagang pengecer lainnya di pasar sekitar TPI. Pada saluran 2, ikan hasil tangkapan nelayan dijual sebanyak 80% ke pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul ini adalah pedagang ikan yang membeli ikan dalam jumlah besar dan akan dipasok ke beberapa tempat. Dalam saluran 2 ini, pedagang pengumpul sebanyak 10% dijual ke pedagang pengecer. Angka ini terbilang kecil karena pedagang pengumpul cenderung menjual ikannya ke perusahaan atau pengolah karena harga ikan yang lebih tinggi dengan daya kemampuan beli yang kuat. Dengan kata lain, pedagang pengumpul menjual ikan ke pedagang pengecer jika harga pasaran yang ditawar oleh pedagang pengecer lebih tinggi dari harga perusahaan walaupun dalam kapasitas kecil. Berbeda halnya dengan saluran 3, yaitu dari nelayan ke pedagang pengumpul dan ke perusahaan. Sebanyak 50% ikan dari pedagang pengumpul mengalir ke perusahaan karena perusahaan mampu membeli bahan baku dari pedagang pengumpul dengan kapasitas besar dan harga yang tinggi. Harga ikan layang yang dipatok oleh perusahaan biasanya selalu tetap, tidak seperti harga pada pedagang pengecer di pasar setempat yang tidak tetap, sehingga pedagang pengumpul cenderung mengirimkan ikan ke perusahaan. Harga ikan di pasaran bergantung
83
pada hasil tangkapan ikan oleh nelayan, jika hasil tangkapan melimpah maka harga ikan rendah, sebaliknya jika hasil tangkapan sedikit maka harga ikan tinggi. Pada saluran 4, rantai pasok ikan ini adalah berasal dari nelayan ke pedagang pengumpul dan ke pengolah ikan. Persentase ikan layang yang berasal dari ikan pedagang pengumpul ke pengolah ikan sebesar 35%. Ikan layang yang dikirim ke pengolah ikan ini merupakan ikan dalam kapasitas yang besar tetapi tidak diterima oleh perusahaan, maka ikan tersebut akan dikirim ke pengolah ikan. Ikan yang tidak diterima oleh perusahaan disebabkan beberapa faktor, yaitu perusahaan tersebut sudah banyak memiliki bahan baku atau kriteria ikan yang tidak masuk standar perusahaan. Jika harga yang diberikan oleh pengolah ini lebih tinggi maka pedagang pengumpul akan mengirimkan ikan ke pengolah ikan. Pengolah ikan ini produksi dalam jumlah besar setiap harinya di daerah Lamongan. Hasil olahan ikan ini akan dijual ke beberapa kota, seperti Surabaya, Sidorajo, Tuban, dan Madiun. Rantai pemasaran komoditas ikan hasil nelayan terdapat empat rantai, rantai pertama ialah nelayan ke pedagang pengecer, rantai kedua ialah dari nelayan ke pedagang pengumpul kemudian ke pedagang pengecer, ketiga adalah dari nelayan ke pedagang pengumpul kemudian ke pengolah dan keempat yaitu dari nelayan ke pedagang pengumpul kemudian ke perusahaan setempat. Tabel 19 menggambarkan rantai 1 pada komoditas ikan, yaitu hasil tangkapan nelayan langsung dijual ke pedagang pengecer. Gambar tersebut dapat dilihat bahwa value added (VA) pada pada masing-masing pelaku. Besarnya nilai VA yang di dapat oleh nelayan ini adalah Rp. 5.853 per Kg. Sedangkan, nilai VA yang didapat pedagang pengecer sebesar Rp. 1.261 per Kg. Rantai tersebut dapat dilihat bahwa nelayan memiliki nilai tambah yang lebih besar dibandingkan pedagang pengecer. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari jumlah ikan yang dapat ditangkap dan dijual nelayan, sehingga biaya pengeluaran pada rantai tersebut juga mempengaruhi nilai VA yang didapat pada masing-masing pasok. Biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku adalah pedagang pengecer sebesar Rp. 1.088, sedangkan nelayan sebesar Rp. 5.448 per kg. Tabel 19 Value Added Analisis Komoditas Ikan dari Nelayan ke Pedagang pengecer di Lamongan Uraian Pelaku usaha Nelayan Pedagang Pedagang Total Pengumpul pengecer Biaya-biaya 4.448 1.082 - Operasional - Ransum - TK - Lainnya Harga jual 10.300 12.500 VA 5.853 1.261 7.114 Sumber: Analisis data primer Biaya yang dikeluarkan oleh nelayan paling besar dikeluarkan untuk biaya tenaga operasional di laut yaitu biaya bahan bakar minyak (bensin, minyak tanah dan lain-lain). Sedangkan biaya lainnya dikeluarkan untuk biaya ransum dan
84
operasional di darat. Biaya yang dikeluarkan pada pedagang pengecer yaitu biaya operasional, biaya lainnya seperti biaya retribusi pasar dan es . Selain itu pedagang pengecer juga mengeluarkan biaya untuk tenaga kerja seperti buruh panggul. Tabel 20 menggambarkan rantai pemasaran di Lamongan, dimana ikan yang berasal dari hasil tangkapan nelayan dimasukkan ke pedagang pengumpul kemudian di jual kepada pedagang pengecer. Pada rantai ini, Total nilai VA pada rantai ini adalah sebesar Rp. 8.710 per Kg dengan rincian nilai VA nelayan pada rantai ini sebesar Rp. 4.680 per Kg, nilai VA pada pedagang pengumpul adalah sebesar Rp. 1.850, serta nilai tambah (VA) pada pedagang pengecer adalah sebesar Rp. 2.175 per Kg. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh nelayan tersebut adalah Rp. 5.315 per Kg ikan yang ditangkap dengan biaya terbesar yang dikeluarkan adalah biaya operasional di laut dan biaya ransum. Selanjutnya ikan tangkapan nelayan tersebut dijual ke pedagang pengumpul, biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul sebesar Rp. 650 per Kg, biaya tersebut digunakan untuk biaya operasional (transportasi) dan biaya lainnya. Pedagang pengumpul tersebut membeli ikan langsung pada nelayan, sehingga pengeluaran pada pedagang ini lebih bnyak pengeluaran untuk biaya operasional kapal tersebut. Tabel 20 Value added analisis komoditas ikan dari nelayan ke pengumpul dan pengecer di Lamongan Uraian Pelaku usaha Nelayan Pedagang Pedagang Pengumpul pengecer Biaya-biaya 5.315 650 325 - Operasional - Ransum - TK - Lainnya Harga jual 10.000 12.500 15.000 VA 4.685 1.850 2.175 8.710 Sumber: Analisis data primer Tabel 21 menggambarkan rantai pemasaran komoditas layang yang berada di Lamongan. Nelayan menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul dan kemudian menjual komoditas tersebut ke pihak perusahaan. Pada rantai ini adalah pedagang pengumpul biasanya sudah memiliki kerja sama dengan pihak perusahaan. Dimana seluruh hasil tangkapan komoditas layang tesebut sepenuhnya diberikan ke pihak perusahaan. Value added Komditas ikan dari Nelayan ke Perusahaan (Tabel 21). Total value added (VA) pada rantai ini adalah sebesar Rp. 16.395 per Kg. Nilai VA yang di dapat oleh nelayan sebesar Rp. 6.515 per Kg atau sebesar 39,74% dan VA yang diperoleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp. 1.715 per Kg atau sebesar 10,46%. Sedangkan nilai VA yang didapat pihak perusahaan adalah sebesar Rp. 8.165 per Kg atau sebesar 49,80% dari total nilai VA pada rantai tersebut.
85
Tabel 21 Value added analisis komoditas dari nelayan ke pengumpul dan ekspor di Lamongan Uraian Pelaku usaha Nelayan Pedagang Pedagang Perusahaan Pengumpul pengecer Biaya-biaya 2.485 285 835 - Operasional - Ransum - TK - Lainnya Harga jual 9.000 11.000 20.000 VA 6.515 1.715 8.165 Sumber: Analisis data primer Gambar 21 menggambarkan nilai VA yang didapatkan perusahaan lebih besar dibandingkan dengan nilai VA yang didapatkan rantai nelayan dan pedagang pengumpul. Perbedaan tersebut dikarenakan beberapa faktor, yaitu perbedaan nilai jual-beli dipasaran tiap rantai dan jumlah produksi yang dihasilkan perusahaan lebih besar dibandingkan dengan rantai lainnya. Hal ini dapat dilihat dari harga jual tiap rantai komoditas, nelayan menjual hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul sebesar Rp. 9.000 per Kg, pedagang pengumpul menjual ikan layang ke pihak perusahaan dengan harga Rp. 11.000 per Kg, kemudian harga jual yang ditawarkan perusahaan ke konsumen, seperti perusahaan perternakan dan pakan dengan harga sebesar Rp. 20.000 per Kg. Selain itu, biaya pengeluaran tiap rantai juga akan mempengaruhi nilai VA yang didapatkan tiap pasok. Produksi perikanan hasil tankapan di Pelabuhanratu didominasi oleh komoditas Tuna Tongkol dan Cakalang (TTC),dan sebagian kecil berupa komoditas perikanan pelagis kecil. Sistem rantai pasok menggambarkan bagaimana alur komoditas sejak didaratkan sampai ke konsumen. Sistem rantai pasok hasil tangkapan nelayan tuna dapat dipelajari melalui Gambar 27. 40
Eksport Ke Jepang
100
Nelayan besar
Pedagang besar tuna muara baru
25
Eksport Ke Eropa Pasar Lokal dll
100
35
Nelayan rawai tuna
Gambar 27 Rantai pasok komoditas tuna di Pelabuhanratu Sistem rantai pasok komoditas tuna dapat dikatakan sangat pendek, hal ini ada kaitannnya dengan tingginya harga tuna segar dan persyaratan mutu kesegaran ikan yang di tetapkan oleh pembeli di pasar ekspor. Gambar 27 menunjukkan seluruh ikan tuna hasil tangkapan nelayan rawai tuna yang masuk grade kelas A (menurut nelayan PPN Pelabuhan Ratu) dijual ke nelayan besar. Nelayan besar adalah usaha perikanan yang memiliki armada penangkapan tuna dan kapal
86
logistik untuk memasok kebutuhan kapal tuna dan pengumpul tuna. Nelayan besar tersebut berfungsi ganda, menjual hasil tangkapan sendiri dan menampung tuna hasil tangkapan nelayan lain dan memasok kebutuhan armada tangkap tuna. Ikan dengan grade A, B+, B- dan C yang di ekspor ke Amerika, Amsterdam, Spanyol dan benua Asia terlebih dahulu di olah menjadi bentuk loin, saku saku, steak dan fillet. Ikan sisa lainnya yang disebut dengan ikan tetelan berasal dari ikan sisa yang dari gas CO dan ikan reject. Ikan tuna jenis ini dijual dengan harga yang bervariasi. Rantai pemasaran produk perikanan di Pelabuhanratu relatif pendek, peranan industri sangat kuat dimana perusahaan besar menanamkan modal dan menguasi sistem dari hulu sampai hilir. Perusahaan besar mempunyai armada penangkapan tersendiri. Keuntungan usaha sebagian besar dinikmati oleh pelaku industri besar dan hanya sebagian kecil dinikmaati oleh pelaku usaha lokal. Ikan yang berasal dari nelayan Pelabuhanratu, dibawa ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan) untuk dilakukan “proses pelelangan”. Ikan yang berasal dari luar daerah seperti ikan tongkol dan cakalang dan ikan lainnya, biasanya langsung dibeli oleh pedagang besar yang terdapat di Pelabuhan Ratu. Ikan yang sudah diterima oleh pedagang besar selanjutnya dibeli oleh pengecer yang sekaligus mengolah ikan tongkol menjadi pindang dan dibeli oleh pengolah ikan/pemindang (Gambar 28). 52 52
32 32
20 20 48 48 48
48
Gambar 28 Sistem rantai pasok ikan cakalang, tongkol dan pelagis kecil lainnya di Pelabuhanratu Analisis nilai tambah komoditas tongkol dan cakalang terdiri dari dua rantai, yaitu VCA tongkol dari nelayan ke pengecer/pengolah dan ke pengolah. Uraian berikut akan membahas kedua hal tersebut. Pengembangan cakalang dan tongkol sebagai produk industrialisasi di Pelabuhan Ratu sangat tergantung pada pasokan dari luar Pelabuhan Ratu, terutama dari Muara Baru. Mahalnya harga tongkol akan mengancam industri pindang di Pelabuhan Ratu, apalagi saat ini sentral produksi pindang telah muncul di Bogor. Total Value added yang di dapat pada rantai pemasaran di Pelabuhanratu Tabel 22.
87
Tabel 22 Value added analisis komoditas dari nelayan ke pengumpul dan ekspor di Pelabuhanratu Uraian Pelaku usaha Nelayan Pedagang Pedagang Perusahaan Pengumpul pengecer Biaya-biaya 4.500 500 250 1.200 - Operasional - Ransum - TK - Lainnya Harga jual 10.500 13.000 14.50016.000 VA 6 000 1.500 1.250 1.800 Sumber: Analisis data primer
9 MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil dilakukan melalui berbagai instrumen kebijakan baik dalam skala nasional, regional maupun lokal. Upaya tersebut telah dilakukan sejak sektor perikanan masih dikelola oleh Departemen Pertanian. Setelah ada Kementerian Kelautan dan Perikanan, sektor perikanan mendapat porsi perhatian yan lebih besar. Program-program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan terutama nelayan kecil dilakukan antara lain dengan program PUMP, bantuan kapal dan sarana-prasarana lainnya. Agar kebijakan pemerintah tersebut bisa memberikan dampak yang lebih optimal kajian ini menghasilkan model yang merumuskan kebijakan yang bisa menjadi salah satu instrumen dalam pengembangan perikanan skala kecil. Dalam model ini lokasi menjadi diterminan penting terkait pola hubungan interaksi yang terkait dengan sumber daya ikan, pasar/ekonomi dan sosial. Model (Gambar 29) merupakan sintesa dari kondisi sekarang (eksisting) dengan hasil analisis dan pembahasan yang terkait dengan penggunaan sumber daya yang meliputi analisis efisiensi, perubahan faktor produktifitas total dan indeks ketidakstabilan. Pembelajaran dan dari kondis eksisting dengan hasil analisis menghasilkan model pengembangan perikanan tangkap skala kecil. Kebijakan yang terkait dengan pasar/ekonomi dengan kegiatan ekonomi dan interaksi pelaku ekonomi (nelayan dan non nelayan/langgan) dan analisis yang terkait interaksi sosial pelaku usaha (nelayan dan non nelayan). Analisis efisiensi, perubahan faktor produktifitas total dan analisis ketidakstabilan menghasilkan rumusan bagaimana sumberdaya ikan diekstrasi oleh nelayan. Bagaimana keterkaitan karakteristik sumber daya ikan mempengaruhi interaksi antara nelayan dengan pelaku ekonomi non nelayan. Model yang dikembangkan merupakan model generik berdasarkan lokasi. Lokasi tersebut mewakili karakteristik sumberdaya ikan dan kondisi sosial ekonomi dan karakteristik interaksi antara pelaku usaha. Lokasi menjadi diterminan yang penting dalam model pengembangan perikanan tangkap skala kecil. Model yang pertama (model Lamongan) merupakan model pengembangan perikanan tangkap skala kecil yang mewakili karakteristik sumberdaya ikan pelagis kecil dan demersal. Intervensi yang dilakukan dalam model tersebut
88
adalah menurunkan tingkat tekanan terhadap sumber daya ikan, namun tetap dapat mempertahankan peranan perikanan dalam perekonomian wilayah. Upaya menurunkan tekanan sumber daya ikan dilakukan melalui penggunaan teknologi penangkapan yang lebih ramah lingkungan. Intervensi pasar/ekonomi dilakukan dengan mengembangkan diversifikasi produk olahan, meningkatkan skala usaha, dan meningkatkan pasar dalam negeri. Pola hubungan patron-client yang kuat seperti yang terjadi di Lamongan, tetap dipertahankan dengan lebih menonjolkan aspek-aspek yang menguntungkan kedua belah pihak. Peranan kelembagaan lokal Blandongan sangat kuat dan mampu menjadi media yang dapat menjembatani hubungan patron client sehingga dapat mengurangi terjadinya hubungan yang bersifat eksploitatif. Intervensi kebijakan sumberdaya, kebijakan pasar/ekonomi dan kebijakan sosial tersebut diharapkan mampu meningkatkan peranan perikanan tangkap skala kecil. Kebijakan pemerintah melalui Permen KP no 2 tahun 2015 tentang pelarangan penggunaan alat tangkap tertentu, apabila dapat disosialisasi dengan baik dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya ikan terutama di wilayah pantai utara Jawa (WPP 712) seperti Gambar 29. Sumber daya ikan
Pelaku Ekonomi (Nelayan Kecil)
Produksi Pasar Input dan output
Aspek internal eksternal
Efisiensi
PatronClient
Pelaku ekonomi non nelayan (Langgan/ middlemen)
Stability
Persepsi/ Interaksi sosial
Kebijakan Sumberdaya Ikan Lamongan SDI perlu pengawasan, tekanan thd SDI menurun, mempertahankan peran dalam perekonomian; Pelabuhanratu: teknologi : meningkatkan efisiensi gkungan
tekanan
Kebijakan Pasar/ Ekonomi
Lamongan: mengembangkan kapasitas /skala usaha ; pengembangan pasar dalam negeri. Pelabuhanratu: menarik investor, kesempatan kerja lain, pasar ekspor
Kelembagaan lokal
Kebijakan Sosial
Lamongan: : memperkuat kelembagaan lokal (Blandongan) sehingga patron client tidak eksploitatif. Pelabuhanratu: membangun kelembagaan lokal yang kuat
Intervensi kebijakan pengembangan Perikanan Tangkap skala kecil Gambar 29. Model pengembangan perikanan tangkap skala kecil berdasarkan aspek sumber daya, ekonomi/pasar dan interaksi pelaku
89
Model yang kedua (model Pelabuhanratu) merupakan model pengembangan perikanan tangkap skala kecil yang mewakili karakteristik sumberdaya ikan pelagis besar. Intervensi yang dilakukan adalah dengan meningkatkan efisiensi penggunaan input terutama BBM. Intervensi tersebut dapat dilakukan dengan cara penggunaan teknologi rumpon dan penggunaan teknologi peta penangkapan, sehingga bisa meningkatan efisiensi dalam penangkapan. Kebijakan pengembangan pasar ekspor produk perikanan di Pelabuhanratu menyebabkan peranan perikanan terhadap perekonomia wilayah menjadi kecil. Oleh karena itu kebijakan untuk mendorong investasi di Pelabuhanratu perlu dilakukan. Investasi industri-industri pengolahan perlu didorong agar dapat tumbuh di Pelabuhanratu. Kebijakan ekspor memang menghasilkan devisa negara, namun nilai tambahnya tidak dinikmati oleh masyarakat di Pelabuhanratu. Intervensi sosial dilakukan untuk memperkuat keembagaan lokal agar mampu memainkan peranan dalam interaksi antara pelaku usaha (nelayan dan langgan). Kedua model tersebut menggambarkan model generik yang bisa di terapkan dilokasi-lokasi sentra perikanan lainnya, sesuai karakteristik sumberdaya ikannya. Salah satu kekurangan dari model ini adalah karena tidak dilakukan analisis seberapa besar jumlah sumberdaya ikan yang tersedia. Oleh karena itu dimasa yang akan datang kajian yang menggabungkan ketersedian sumber daya ikan dengan hasil-hasil kajian ini perlu dilakukan. Keterkaitan ini akan mempengaruhi perilaku baik nelayan maupun pelaku ekonomi non nelayan dalam menentukan hubungan patron klien. Interaksi nelayan dan langgan (pelaku ekonomi non nelayan) mempunyai kecenderungan yang lebih kuat pada lokasi dimana sumber daya perikanan dengan dominasi ikan pelagis kecil dan demersal, dari pada di lokasi yang didominasi oleh sumber daya ikan pelagis besar. Berdasarkan hasil analisis tersebut kebijakan yang terkait dengan sumberdaya ikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan efisiensi teknologi terutama pada daerah/lokasi yang mempunyai sumberdaya dengan dominasi ikan pelagis kecil dan demersal. Berdasarkan hasil analisis pada aspek efisiensi dan indek ketidakstabilan berimplikasi bahwa kebijakan usaha lebih kepada meningkatkan inovasi teknologi bidang penangkapan, sehingga diperoleh tingkat skala efisiensi teknis yang lebih tinggi. Kebijakan relokasi merupakan salah satu alternatif yang mungkin bisa dilakukan namun tidak mudah untuk merelokasi ke daerah lain. Mengurangi jumlah armada yang sudah tidak efisien merupakan permasalahan tersendiri. Aset nelayan berupa kapal merupakan aset yang nilainya cukup besar namun tidak mudah untuk menjual kapal ke pihak lain. Kegiatan perikanan tidak terlepas dengan aktifitas ekonomi/pasar. Keterkaitan antara pelaku ekonomi (nelayan dan non nelayan/pedagang/ langgan/ middlemen) di sentra perikanan menghasilkan pola interaksi antar pelaku usaha. Pola hubungan tersebut selain dilandasi oleh kepentingan ekonomi tetapi interaksi tersebut juga dipengaruhi oleh pola interaksi sosial antar pelaku. Kuatnya kecenderungan keterkaitan hubungan patron-client antara pelaku ekonomi nelayan dan langgan/pedagang perantara lebih dipengaruhi oleh lokasi, jenis kapal, lama memiliki kapal dan jumlah ABK. Pola interaksi patron-client nelayan dengan langgan/pedagang perantara menciptakan pola hubungan ekonomi yang saling ketergantungan. Menurut Ferrol-Shulte et al., (2014), hubungan patronclient dimana kedua belah pihak akan sama-sama memperoleh keuntungan.
90
Apabila hubungan patron-client secara ekonomi bisa menghasilkan pola hubungan yang saling menguntungkan, maka pola interaksi patron-client tersebut tetap bisa dipertahankan. Pada tingkat skala mikro pemerintah masih sulit untuk menggantikan peran yang selama ini dilakukan oleh langgan/pedagang perantara. Namun demikian pemerintah bisa mengadopsi pola interaksi antara nelayan dan langgan yang lebih mengedepankan rasa percaya antara kedua belah pihak untuk mempertahankan pola interaksi tersebut. Program-program pemerintah untuk pengembangan perikanan skala kecil yang terkait dengan intarksi dengan nelayan dalam penyediaan biaya bisa mencoba menerapkan prinsip-prinsip dasar yang dikembangkan oleh langgan, yaitu prinsip kemudahan, kecepatan dan didasarkan pada rasa percaya bahwa nelayan tidak akan keluar dari sektor perikanan dan yakin bahwa nelayan mampu mengembaikan semua pinjaman. Fakta yang muncul tidak ada pihak yang ingin menyelesaikan hutang-piutang yang berjalan, selama kepercayaan di antara tengkulak/langgan dengan nelayan tersebut masih ada, tidak ada alasan untuk khawatir tentang transaksi keuangan (penyelesaian hubungan hutang piutang). Máñez dan Ferse (2010) berdasarkan indikator pasar, pelanggan/tengkulak berfungsi terutama sebagai inovator bisnis dengan kesediaan untuk membeli semua komoditas ikan dan memenuhi kebutuhan yang diperlukan “client”. Berdasarkan analisis tersebut pola interaksi nelayan-pedagang perantara/langgan dimana lokasi berpengaruh sangat kuat, maka kebijakan untuk mengembangkan perikanan skala kecil lebih pada lokasi dimana karakteristik sumber daya perikanan lebih didominasi sumber daya pelagis kecil dan demersal, dengan karakteristik pasar yang masih le ih “tradisional” dari pada daerah yang mempunyai karakteristik sumber daya pelagis besar dan karakteristik pasar yang lebih terbuka. Dukungan kelembagaan formal yang bisa menjalankan peran seperti fungsi yang selama ini diperankan oleh pedagang perantara/langgan dengan mengadopsi sistem yang diterapkan oleh langgan yaitu kemudahan dan fleksibilitas dalam waktu, jumlah dan tenggat waktu pengembalian pinjaman. Salah satu komponen dalam membangun model dalam penelitian ini adalah konsep nilai tambah. Nilai tambah dalam kegiatan perikanan diperoleh oleh para pelaku usaha. Kecenderungannya nilai tambah dinikmati oleh sektor pemasaran (pedagang pengumpul, pedagang perantara, pedagang pengecer, dan sektor industri). Besarnya nilai tambah yang dipengaruhi oleh faktor tenaga kerja, modal dan input tambahan lainnya. Industri pengolahan skala kecil bisanya mendapatkan nilai tambah yang besar yang berasal dari tenaga kerja dan keuntungan usaha. Sedangkan industri yang menggunakan teknologi yang maju akan mendapatkan nilai tambah dari keuntungan usaha. Nilai tambah yang diperoleh pelaku usaha menjadi sumber utama untuk investasi dan konsumsi yang akan berperan dalam pertumbuhan perekonomian wilayah. Keberlanjutan usaha yang bersumber dari perikanan tangkap ditentukan pasokan bahan baku ikan untuk pasar dan industri pengolahan. Nelayan sebagai ujung tombak mata rantai industri perikanan harus mendapat perhatian agar pasokan ikan tetap stabil. Secara ekonomi stabilitas pasokan akan menjaga mata rantai usaha dapat berkesinambungan dan mampu menggerakkan perekonomian wilayah. Saling ketergantungan antara nelayan dengan masyarakat sekitar sangat tinggi. Perikanan dengan sumber daya pelagis kecil dan demersal pada umumnya mempunyai keterkaitan yang lebih tinggi. Keterkaitan ke hilir menghasilkan nilai tambah dari kegiatan-kegiatan usaha pengolahan ikan menjadi produk-produk jadi.
91
Keterkaitan ke hilir relatif kecil pada perikanan pelagis besar, karena sudah mempunyai jaringan pasar untuk kebutuhan ekspor. Perikanan pelagis besar menjadi sumber pertumbuhan melalui perannya sebagai sumber devisa melalui ekspor. Berdasarkan rantai nilai pada perikanan skala kecil menunjukan bahwa nilai tambah banyak dinikmati oleh para pelaku usaha lokal. Model yang dihasilkan seperti Gambar 29 dirumuskan sebagai model interaksi yang unik antara pelaku usaha perikanan (nelayan dan non nelayan/pedagang dan industri) dan jenis sumber daya yang menjadi faktor input usaha perikanan. Model interaksi merupakan sintesa dari jawaban hasil penelitian yang dilakukan. Model ini merupakan salah satu bahan rekomendasi yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengembangan perikanan skala kecil. Kelebihan model tersebut dapat diterapkan dan mempunyai kemungkinan tingkat keberhasilan yang tinggi pada berbagai wilayah/kawasan perikanan yang mempunyai sumber daya perikanan yang sama/mirip dalam penelitian ini. Nilai tambah yang yang dinikmati masyarakat setempat merupakan sumber pertumbuhan ekonomi kawasan. Saling keterkaitan mata rantai bisnis yang mampu memberikan nilai tambah bagi para pelaku merupakan salah satu kekuatan model ini bisa diterapkan. Salah satu kelemahan dari model ini adalah adanya potensi kekuasaan yang bersifat eksploitatif pemodal terhadap pelaku usaha (nelayan). Namun demikian potensi perilaku negatif tersebut dapat ditekan dengan memperkuat kelembagaan lokal misalnya Blandongan yang ada di Lamongan. Kelembagaan Blandongan mampu menjadi katalisator hubungan patron-client sehingga hubungan tersebut menjadi hubungan yang lebih menonjolkan kekuatan kerjasama positif dari pada hubungan eksploitatif terhadap nelayan.
10 IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL Implikasi kebijakan terkait pengembangan perikanan tangkap skala kecil dimana lokasi menjadi diterminan penting yang menentukan interaksi yang terjadi antara sumberdaya perikanan dengan para pelaku usaha. Interaksi tersebut menentukan intervensi yang harus dilakukan untuk mengembangan perikanan tangkap skala kecil. Intervensi yang dilakukan terkait dengan kebijakan sumberdaya ikan, kebiajkan pasar/ekonomi dan kebijakan sosial. Hasil analisis efisiensi usaha melalui Data Envelopment Analysis menunjukkan bahwa beberapa alat tangkap berada dalam skala skala DRS (decreasing return to scale) yang menunjukan bahwa beberapa jenis alat tangkap tersebut sudah tidak efisien. Skala DRS mengindikasikan bahwa jika input ditambah, maka produksi tidak akan bertambah sebesar penambahan input. Perubahan faktor produktifitas total lebih disebabkan karena terjadi perubahan skala teknis bukan disebabkan karena skala ekonomi. Tingginya indeks ketidakpastian (instability indexs) ouput dan input perikanan tangkap di kedua lokasi menunjukkan bahwa kegiatan perikanan tangkap menghadapi ketidakpastian yang tinggi. Berdasarkan hasil analisis pada aspek efisiensi dan indek ketidakstabilan berimplikasi bahwa kebijakan yang akan dilakukan. Kebijakan tekait sumberdaya di Pelabuhanratu adalah untuk meningkatkan
92
inovasi teknologi bidang penangkapan, sehingga diperoleh tingkat skala efisiensi teknis yang lebih tinggi. Kebijakan tersebut terkait dengan bagaimana meningkatkan efisiensi dengan menggunakan teknologi rumpon dan teknologi peta penangkapan (fishing ground) sehingga dapat meningkatkan efisiesni input terutama BBM. Kebijakan relokasi merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan namun tidak mudah untuk merelokasi ke daerah lain. Mengurangi jumlah armada yang sudah tidak efisien merupakan permasalahan tersendiri. Aset nelayan berupa kapal merupakan aset yang nilainya cukup besar namun tidak mudah untuk menjual kapal ke pihak lain. Intervensi yang perlu dilakukan untuk lokasi Kabupaten Lamongan adalah teknologi ramah lingkungan (termasuk alat tangkap) sehingga mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan namun tetap dapat mempertahankan peranan perikanan dalam perekonomian wilayah. Permen KP No 2 tahun 2015 tentang pelarangan penggunaan alat tangkap, apabila disosialisasikan dengan baik dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya ikan di wilayah utara Pantai Jawa. Program-program pemerintah berupa bantuan kapal kurang dari 30 GT perlu didasarkan kajian dalam penelitian ini, sehingga dapat meningkatkan efektifitas program bantuan tersebut. Hubungan tengkulak/langgan dengan nelayan berdasar hubungan kepentingan ekonomi, keberadaan tengkulak/langgan memainkan peran terutama sebagai "sosial cushion" ekonomi ketika nelayan menghadapi permasalahan biaya, dimana kelembagaan keuangan formal tidak mampu menjalankan perannya. Interaksi tersebut dipengaruhi oleh lokasi, dimana kecenderungan nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumber dana operasional kecenderungannya lebih besar pada lokasi yang mempunyai karakteristik wilayah penangkapan (sumber daya ikan) pelagis kecil dan demersal dan karakteristik pasar yang masih ersifat “tradisional”. Hu ungan keterkaitan pada daerah perikanan yang pasarnya masih ersifat “tradisional” le ih kuat dari pada daerah/lokasi dimana karakteristik pasarnya lebih maju dan terbuka. Wilayah pesisir dengan sumber daya perikanan pelagis kecil dan demersal, mempunyai kecenderungan yang lebih sensistif dan responsif terhadap sumber permodalan. Kecenderungan tersebut didukung oleh faktor nelayan yang mempunyai status kapal milik sendiri, lama kepemilikan dan jumlah ABK yang lebih banyak. Implikasinya adalah memperkuat pola hubungan patron client yang bersinergi dan menghasilkan pola hubungan yang saling menguntungkan. Fokus kebijakan untuk mengembangkan perikanan skala kecil di Lamongan dengan karakteristik pasar yang masih le ih “tradisional” dimana perlu pengem angan untuk meningkatkan skala usaha dan perlu adanya diversifikasi produk dan pengembangan pasar lokal. Sedangkan di Pelabuhanratu kebijakan difokuskan untuk menarik investor, menciptakan pekerjaan alternatif, sedangkan karakteristik pasar yang lebih terbuka lebih cocok untuk menghasilkan devisa dari pasar ekspor. Dukungan kelembagaan formal yang bisa menjalankan peran seperti fungsi perantara/langgan dengan mengadopsi sistem yang diterapkan oleh langgan yaitu kemudahan dan fleksibilitas dalam waktu, jumlah dan tenggat waktu pengembalian pinjaman. Nelayan selalu bisa membayar pinjaman yang berasal dari langgan/pedagang perantara. Kebijakan pengembangan perikanan tangkap skala kecil perlu mempertimbangkan kondisi sosial budaya dan sumber daya yang ada diwilayah tersebut. Pengembangan sumber pemodalan lebih diperlukan pada daerah pesisir dengan sumber daya perikanan pelagis kecil dan dermersal. Model
93
keterikatan nelayan dan langgan bisa diadopsi oleh pemerintah untuk membuat skema program permodalan nelayan skala kecil terutama, melalui sistem perbankkan yang ada (lembaga keuangan resmi). Fleksibilitas dan kemudahan persyararatan menjadi kekuatan utama mengapa langgan bisa bersinergi dengan nelayan. Kedua elah pihak merasa memperoleh “keuntungan” dari simtem yang berlaku. Sedangkan pada perikanan yang mempunyai potensi sumber daya pelagis besar dan jaringan pasar yang lebih terbuka, maka hubungan ekonomi murni yang dilandasi atas dasar nilai manfaat (untung rugi) para pelaku usaha adalah pilihan tepat. Aktifitas perikanan mampu menciptakan nilai tambah yang dinikmati oleh para pelaku usaha. Kecenderungannya nilai tambah dinikmati oleh sektor pemasaran (pedagang pengumpul, pedagang perantara, pedagang pengecer, dan sektor industri), sedangkan nelayan kadang mendapat proporsi nilai tambah yang relatif kecil. Kondisi ini sebagai salah satu akibat tidak seimbangnya posisi tawar nelayan terhadap para pedagang, dimana sumber modal berasal dari para pedagang perantara/langgan. Implikasi kebijakan kelembagaan lokal diharapkan mampu meningkatkan posisi tawar nelayan. Blandongan bisa menjadi salah alternatif kelembagaan lokal yang menjalakan peran sebagai fasilitator agar posisi nelayan lebih kuat. Semakin majunya informasi mampu meningkatkan posisi tawar nelayan, perkembangan harga dengan cepat dapat diakses oleh nelayan. Keberadaan pedagang perantara masih dibutuhkan oleh nelayan selama belum ada kelembagaan formal yang mampu memerankan fungsi pedagang perantara/ langgan (flesibilitas dan kemudahan), namun pedagang perantara tidak dapat menetapkan harga sesuai kemauannya sendiri. Perikanan skala kecil mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian wilayah, dimana keberlanjutan usaha yang bersumber dari perikanan tangkap ditentukan pasokan bahan baku ikan untuk pasar dan industri pengolahan. Nelayan sebagai ujung tombak mata rantai industri perikanan harus mendapat perhatian agar pasokan ikan tetap stabil. Dari sudut pandang sumber daya ikan, tingginya indek ketidakstabilan menjadi salah satu indikator bahwa telah terjadi upaya ekstraksi sumber daya yang berlebihan. Oleh karena itu kestabilan dari sisi sumber daya perlu dijaga agar kegiatan usaha yang bersumber dari perikanan dapat tetap berjalan sehingga sumber pertumbuhan ekonomi wilayah tetap terjaga, pada akhirnya akan menjaga kestabilan ekonomi wilayah. Dalam upaya penangkapan peranan langgan sangat strategis, agar nelayan tetap menghasilkan ikan dan penyediaan pasokan ikan ke pasar dan ke industri bisa berjalan secara kontinyu. Secara ekonomi stabilatas pasokan akan menjaga mata rantai usaha dapat berkesinambungan dan mampu menggerakkan perekonomian wilayah. Saling ketergantungan antara nelayan dengan masyarakat sekitar sangat tinggi, perikanan dengan sumber daya pelagis kecil dan demersal pada umumnya mempunyai keterkaitan yang lebih tinggi. Keterkaitan ke hilir menghasilkan nilai tambah dari kegiatan-kegiatan usaha pengolahan ikan menjadi produk-produk jadi. Pada perikanan pelagis besar keterkaitan ke hilir relatif kecil, karena biasanya ikan pelagis besar sudah mempunyai jaringan pasar untuk kebutuhan eksport, sehingga nilai tambah yang dinikmati oleh masyarakat sekitar relatif kecil. Peranan pedagang perantara lebih kuat di daerah pesisir yang mempunyai sumber daya perikanan pelagis kecil dan demersal. Rantai nilai pada perikanan
94
skala kecil menunjukan bahwa nilai tambah banyak dinikmati oleh para pelaku usaha lokal. Hasil studi ini menunjukkan adanya model interaksi yang unik antara pelaku usaha perikanan dan jenis sumber daya yang menjadi faktor input usaha perikanan. Kelebihan model tersebut dapat diterapkan dan mempunyai kemungkinan tingkat keberhasilan yang tinggi pada berbagai wilayah/kawasan perikanan yang mempunyai sumber daya perikanan yang didominasi oleh pelagis kecil dan demersal. Rantai nilai yang yang dinikmati masyarakat setempat merupakan sumber pertumbuhan ekonomi kawasan. Saling keterkaitan mata rantai bisnis yang mampu memberikan nilai tambah bagi para pelaku merupakan salah satu kekuatan utama model ini bisa diterapkan. Salah satu kekurangan dari model ini adalah adanya potensi kekuasaan yang bersifat eksploitatif pemodal terhadap pelaku usaha (nelayan). Namun demikian potensi perilaku negatif tersebut dapat ditekan dengan memperkuat kelembagaan lokal misalnya Blandongan yang ada di Lamongan. Kelembagaan Blandongan mampu menjadi katalisator hubungan patron-client sehingga hubungan tersebut menjadi hubungan yang lebih menonjolkan kekuatan kerjasama positif dari pada hubungan eksploitatif terhadap nelayan.
11 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil analisis sumber daya perikanan skala kecil di Pelabuhanratu menunjukkan beberapa alat tangkap yang digunakan tidak efisien, yaitu alat tangkap gilnet, tremel net, rampus dan pancing ulur. Tingkat skala yang menurun (decreasing return to scale), menunjukan sudah terjadi gejala over capacity. Kondisi ini menyiratkan bahwa output alat tangkap tersebut memiliki kecenderungan tidak responsif terhadap input, dimana inefisiensi penggunaan input akan menyebabkan hasil tidak optimal. Sedangkan hasil analisis kapasitas sumber daya di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa efisiensi skala menunjukkan skala IRS (increasing return to scale) untuk perikanan skala kecil di Desa Weru Komplek. Permasalahan kapasitas penangkapan menunjukkan adanya kelebihan modal atau kapal penangkap (overcapitalization) dalam industri penangkapan ikan dan kelebihan eksploitasi (overexploitasion) terhadap sumber daya ikan. Kelebihan armada penangkapan ikan (overcapitalization) dan underutilization kapasitas penangkapan memberikan indikasi pemborosan bersifat ekonomis. Inefisiensi dapat diartikan sebagai suatu tahapan dimana tujuan dari pelaku ekonomi belum dimaksimalkan secara penuh. Isu inefisiensi timbul dari anggapan bahwa nelayan dan usaha perikanan tangkap berperilaku memaksimalkan keuntungan. Pertumbuhan perubahan faktor produktifitas total pada periode tahun 2008-2013 mengalami fluktuasi yang besar (berkisar antara 30% sampai 250%), karena faktor teknologi yang mengalami perubahan drastis/ekstrim dibandingkan dengan perubahan efisiensinya. Kondisi ini didukung hasil analisis indek ketidakstabilan (Coppock Index Instability/CII), yang disebabkan karena fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Indeks ketidakstabilan produksi sebagian menunjukan pertumbuhan yang tinggi namun diikuti oleh ketidakstabilan yang tinggi. Pola ini menunjukkan bahwa usaha perikanan dari sudut pandang ekonomi
95
sangat baik (pertumbuhan positif), namun dari sudut pandang ekologi kurang baik karena terjadi tingkat ekstraksi yang tinggi. Fluktuasi produksi yang menyebabkan ketidakstabilan bukan merupakan fenomena mandiri, kondisi tersebut berkaitan dengan indikator lain, seperti input terutama BBM. Input BBM merupakan komponen biaya terbesar dalam penangkapan, selama dekade terakhir penggunaan BBM meningkat cukup pesat, hal ini mengindikasikan besarnya upaya untuk mengekstrasi sumber daya ikan. Indek ketiddakstabilan input BBM menunjukan karakteristik sebagian besar berada pada kondisi tingkat pertumbuhan tinggi dengan ketidakstabilan yang tinggi yang menggambarkan resiko yang tinggi, yang menunjukkan bahwa beberapa teknologi kapal armada responsif terhadap penggunaan input BBM. Hubungan tengkulak/langgan dengan nelayan berdasar hubungan kepentingan ekonomi, keberadaan tengkulak/langgan memainkan peran terutama sebagai "sosial cushion" ekonomi ketika nelayan mengahadapi permasalahan biaya, dimana kelembagaan keuangan formal tidak mampu menjalankan perannya. Lokasi mempengaruhi kecenderungan nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumber dana operasional, dimana karakteristik wilayah penangkapan, dan kesenjangan antar daerah berkontribusi terhadap keterikatan antara nelayan dengan tengkulak/langgan. Peranan langgan lebih dirasakan pada perikanan yang mempunyai sumber daya perikanan pelagis kecil. Peranan perikanan skala kecil dalam perekonomian wilayah tampak pada nilai tambah yang dinikmati oleh para pelaku usaha. Nilai tambah tersebut sebagian besar dinikmati oleh pelaku usaha lokal, dan hanya sebagian kecil nilai tambah yang dinikmati oleh pelaku usaha dari luar. Wilayah pesisir dengan sumber daya perikanan pelagis kecil dan demersal mempunyai nilai tambah lebih besar karena sebagian besar hasil tangkapan nelayan diproses menjadi produk akhir oleh masyarakat sekitar. Saran Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka kebijakan untuk mengembangkan perikanan skala kecil harus memperhatikan lokasi, dimana terjadi interaksi antara sumber daya ikan, faktor sosial ekonomi masyarakat nelayan dan dukungan kebijakan direktif yang fokus untuk nelayan skala kecil. Saran yang disampaikan terkait dengan para pihak yang terlibat dalam perikanan yaitu: 1. Pengam il ke ijakan: intervensi yang dilakukan melalui ke ijakan yang memperhatikan aspek SDI, Ekonomi/Pasar dan aspek sosial; 2. Pelaku (nelayan dan non nelayan): Mempertahankan pola hu yang saling menguntungkan, menghindarkan perilaku hu ungan yang ersifat eksploitatif; memperkuat kelem agaan lokal yang mampu menjadi katalisator hu ungan patron client yang ersifat negatif. 3. Pemerintatah harus mereposisi peran langgan/middlemen kedalam sistem perkreditan masyarakat: dimana middlemen se agai instrumen penting dan er eran se agai antal sosial (social cushion) dalam perikanan skala kecil 4. Ke erpihakan pemerintah (Pusat dan Daerah) untuk meningkatkan peran perikanan skala kecil melalui skala prioritas program seperti dalam
96
alokasi anggaran untuk meningkatkan infrastruktur dan mempermudah dan mem erikan kepastian dalam akses input, misalnya akse BBM. 5. Industri pengolahan: deversifikasi jenis usaha dan peningkatan skala usaha (terutama skala kecil dan rumah tangga). 6. Penelitian yang mengga ungkan kajian ketersediaan sum er daya ikan dengan penelitian ini perlu dilakukan agar informasi terkait ketersdiaan sum erdaya ikan isa dimasukkan ke dalam model dan dapat memperkuat model yang disarankan. Penelitian yang menngintegrasikan terkait kapasitas sum erdaya ikan dengan temuan-temuan dalam penelitian ini perlu dilakukan sehingga model yang direkomendasikan le ih komprehenship.
DAFTAR PUSTAKA Allison E.H. and F. Ellis 2001. "The livelihoods approach and management of small-scale fisheries." Marine policy 25(5): 377-388. Andrew, N. L., C. Bene, S.J. Hal, E.A. Allison, S. Heck and B. D. Ratner. 2007. Diagnosis and Management of Small-Scale Fisheries in Developing Countries. Fish and Fisheries 8.3 (2007): 227-240. Asche, F., A.G. Guttormsen dan R. Nielsen. 2013. Future Challenge for the Maturing Norwegia Salmon Aquaqultur Industry: An Analysis of Total Productivity Change From 1996 to 2008. Aquaculture 396-399 (2013) 4350 Barnes-Mauthe M, Oleson KL, Zafindrasilivonona B. 2013. The total economic value of small-scale fisheries with a characterization of post-landing trends: An application in Madagascar with global relevance. Fisheries Research 147:175-85 Basurto X, Bennett A, Weaver AH, Rodriguez-Van Dyck S, Aceves-Bueno J-S. 2013. "Cooperative and noncooperative strategies for small-scale fisheries‟ self-governance in the globalization era: implications for conservation." Ecology and Society 18(4): 38. BBPSEKP [Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan]. 2012. Rekomendasi Kebijakan: Peningkatan Efektifitas Dan Efisiensi Pengelolaan Perikanan Tangkap Laut Skala Kecil Melalui Fasilitasi Peta Perkiraan „Fishing Ground’ . Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBPSEKP). Jakarta Bene, C. 2006. Small-Scale Fisheries: Assessing Their Contribution To Rural Livelihoods In Developing Countries. FAO Fisheries Circular. No. 1008. Rome, FAO. 2006. 46p. Benkenstein, A. 2013. African Perspectifes Global Insights: Small-Scale Fisheries In Mozambique. Policy Briefing 72. August 2013 Berkes. F., R. Mahon, P. McConney, R. Pollnac and R. Pomeroy. 2001. Managing Small-Scale Fisheries. International Development Research Centre. Ottawa. Canada
97
Bjorndal. T., A. Child, A. Lem (Edited). 2014. Value Chain Dynamics And The Small-Scale Sector : Policy Recommendations For Small-Scale Fisheries And Aquaculture Trade. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper no. 581. FAO. Roma BPS [Badan Pusat Statistik]. 2013. Lamongan Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan. Lamongan BPS [Badan Pusat Statistik]. 2013. Profil Kemiskinan Di Indonesia September 2013 (Berita Resmi Statistik, No. No. 06/01/Th. XVII, 2 Januari 2014 BPS [Badan Pusat Statistik]. 2013. Statistik Indonesia 2012. Badan Pusat Statistik. Jakarta BPS [Badan Pusat Statistik]. 2013. Sukabumi Dalam Angaka 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi. Sukabumi Charnes, A. W.W. Cooper and E. Rhodes. 1978. Measuring the Efficiensy of Decision Making Units. Eropean Journal of Operation Research 2 (1978) pp 429-444 Coelli, T.J., D.S.P. Rao, C.J. O‟Donnell, and G.E. Battese. 2005. An Introduction to Efficiency and Productivity Analisys. 2nd Edition, Springer Ney York, 350 pp Crona, B., M. Nystr, C.F. and N. Jiddawi. 2010. Middlemen, a critical socialecological link in coastal communities of Kenya and Zanzibar. Marine Policy 34: 761–771 Dahuri, 2012. Akar Masalah Kemiskinan Nelayan dan Solusinya. Diunduh dari http://rokhmindahuri.info/2012/10/10/akar-masalah-kemiskinan-nelayandan-solusinya/ (20 Januari 2014) Daryanto, A. 2007. Dari Klaster Menuju Peningkatan Daya Saing Industri Perikanan. Buletin Craby & Starky, Edisi Januari 2007) De Silva, D. 2011. Value chain of fish and fishery products: origin, functions and application in developed and developing country markets. FAO Value Chain Project Reports. Rome, FAO. 63 pp El Hendy, A. M and S.H. Alkahtani. 2012. Efficiensy and Productivity Change Estimation of Traditional Fishery Sector at the Arabia Gulf: The Malmquist Productivity Index Approach. The Journal of Animal and Plant Sciences, 22(2): 2012 Page : 300 – 308. [FAO] Food and Agricultural Organization. 1998. “Report of the FAO Technical Working Group on the Management of Fishing Capacity” La Jolla, USA. 15-18 April 1998. FAO Fisheries Report no. 586 [FAO] Food and Agricultural Organization. 2005. Increasing The Contribution of Small-Scale Fisheries To Poverty Alleviation And Food Security. FAO Technical Guidelines For Responsible Fisheries. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.
98
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2011. Code of Conduct For Responsible Fisheries. Food Agricultural Organization of United Nations, Rome. [FAO] Food and Agricultural Organization. 2011. Discussion document: towards voluntary guidelines on securing sustainable smallscale fisheries 2011. Rome. 49 pp. (also available at ftp://ftp.fao.org/Fi/DOCUMENT/ssf/SSF_guidelines/ DiscussionDocumentSSFGuidelinesJune2011.pdf). Fare, R., S. Grosskopf, M. Norris, Z. Zhang. 1994. Productivity Growth, Technical Progress, and Efficiency Change in Industrialized Countries. 1994.. The American Economic Review, Vol. 84, No. 1 (March 1994), pp. 66-83. Fauzi, A., and Z. Anna. 2005. Pemodelan Sumber daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Penerbit P.T. Gramedia. Jakarta Fauzi, A. And Z. Anna. 2010. The Jaba Sea Small-Scale Fisheries in Changing Environment Experiences From Indonesia IIFET 2010. Montpellier Proceedings Fauzi, A. And Z. Anna. 2010. Social resilience and uncertainties: the case of small-scale fishing households in the north coast of Central Java. MAST 9(2): 55-64 Fauzi, A., and Z. Anna. 2012. Growth and Instability of Small Pelagic Fisheries of the North Coast of Java, Indonesia: Lesson Learned for Fisheries Policy. China-USA Business Review, ISSN 1537-1514 June 2012, Vol. 11, No. 6, 739-748 Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis dan Gagasan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Fauzi, A. 2010. Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Ferrol-Schulte, D., P. Gorris, W. Baitoningsih, D.S. Adhuri, and S.C.A. Ferse. 2015. Coastal livelihood vulnerability to marine resource degradation: A review of the Indonesian national coastal and marine policy framework. Marine Policy 52: 163–171 Ferrol-Schulte, D., S.C.A. Ferse and M. Glaser. 2014. Patron-Client Realationships, Livelihoods and Natural Resources Management in Tropical Coastal Communities. Ocean and Coastal Management 100: 63-73 Gudono. 2012. Analisis Data Multivariat Edisi Pertama, BPFE Yogyakarta Guyader, O., P. Berthou, C. Koutsikopoulos, F. Alban, S. Demanèche, M.B. Gaspar, R. Eschbaum, E. Fahy, O. Tully, L. Reynal, O. Curtil, K. Frangoudes, and F. Maynou. 2013. Small Scale Fisheries In Europe: A Comparative Analysis Based On A Selection Of Case Studies, Fisheries Research Volume 140, February 2013, Pages 1–13
99
Hayami, Y., T. Kawagoe, Y. Marooka and M. Siregar. 1987. Agricultural Marketing and Prossesing in Upland Jawav. A Perspective From A Sunda Village. CGPRT Center. Bogor. 75p. Hosmer, D., and S. Lemeshow. 2000. Applied Logistic Regression. Second Edition. A Wile-Interscience Publication. John Wiley and Sons. Inc. New York Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Kirkley J, C. J. M. Paul and D. Squires. 2004. Deterministic and Stochastic Capacity Estimation for Fishery Capasity Reduction. Marine Resources Economics, Marine Resources Foundation, USA Vol 19 pp 271-294. KKP [Kementerian Kelautan dan Perikanan]. 2011. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomer KEP.45/Men/2011. Estimasi Potensi Sumber daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Jakarta. KKP [Kementerian Kelautan dan Perikanan]. 2014. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2013. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta Kramer RA, Simanjuntak SM, Liese C. 2002. Migration and fishing in Indonesian coastal villages. AMBIO: A Journal of the Human Environment 31:367-72 Kusnadi. 2002. Akar Kemiskinan Nelayan. LKIS. Yogyakarta. Landé, Carl H. 1977. The Dyadic Basis of Clientelism. In Friends, Followers, and Factions: A Reader in Political Clientelism. Steffen W. Schmidt, James C. Scott, Carl H Lande, and Laura Gusty, eds. Pp xiii-xxxvii. Berkeley: University of California Press. Linberg, K. 1996. The Economic Impact of Ecotourism. www://.ecotourism.ee/ oko/kreg.html. Lunn, K.E., and P. Dearden. 2006. Monitoring small-scale marine fisheries: An example from Thailand's Ko Chang archipelago. Fisheries Research. Volume 77(1): 60–71 Merlijn, A. G. 1989. The role of middlemen in small-scale fisheries: a case study of Sarawak, Malaysia. Development and Change 20:683-700. http://dx.doi.org/10.1111/j.1467-7660.1989. tb00362.xorg/10.2307/3317878 Muallil, R. N., D. Cleland, and , P. M. Aliño. 2013. Socioeconomic Factors Associated With Fishing Pressure In Small-Scale Fisheries Along The West Philippine Sea Biogeographic region: Ocean & Coastal Management, Volume 82, September 2013, Pages 27–33 NCAP. 2004. Strategies And Options For Increasing And Sustaining Fisheries And Aquaculture Production To Benefit Poor Households In India. National Centre For Agricultural Economics And Policy Research (NCAP), New Delhi, India, and Wordl Fish Centre, Penang, Malaysia Pascoe S., J. Kirkley, D. Gebroval and C.M.J, Paul. 2003. Measuring and Assesing Capcity in Fisheries 2. Issue and Methods. FAO Fisheries Technical papaer. 432/2/ FAO, UN Rome. 130p.
100
Pedroza, C. 2013. Middlemen, informal trading and its linkages with IUU fishing activities in the port of Progreso, Mexico. Marine Policy 39:135-143. http://dx.doi.org/10.1016/j.marpol.2012.10.011 Pelras, C. 2000. Patron-Client Ties Among the Bugis and Makassarese of South Sulawesi. Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania 156(3):393-432 Powell, John D. 1970. Peasant Society and Clientelist Politics. American Political Science Review 64(2):411-42 PPN Pelabuhanratu. 2014. Statistik Perikanan Tangkap PPN Pelabuhanratu 2014. PPN Pelabuhanratu, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta Rahmatullah. 2010. Menanggulangi Kemiskinan http://www.rahmatullah.net/2010/05/menanggulangi-masalahkemiskinan.html, diakses pada tanggal 23 April 2014.
Nelayan.
Ramadhan, A. dan T. Apriliani. 2013. Rekomendasi Kebijakan: Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil Melalui Penguatan Dan Peningkatan Aset Usaha Dan Infrastruktur. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta Reddy AA. 2006. "Growth and instability in chickpea production in India: A state level analysis." Agricultural Situation in India: 230-145. Ruddle, K. 2011. “Informal" Credit Systems in Fishing Communities: Issues and Examples from Vietnam. Human Organization 70:224-32 Rustiadi, E., S. Saefulhakim dan D. R. Panuju. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Cresspent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Salmi, P. 2005. Rural Pluriactivity as a coping Strategy is small-scale fisheries. Sociologia ruralis. 45(1):22-36 Satria, A. 2009. Ekologi Politik Nelayan. PT. LKIS Printing Cemerlang, Bantul, Yogyakarta Shigueto, J.A., J. C. Mangel, M. P. , P. H. Dutton, J. A. Seminof, and B. J. Godley. 2010. Where Small Can Have A Large Impact: Structure And Characterization Of Small-Scale Fisheries In Peru. Fisheries Research. Volume 106, Issue 1, October 2010, Pages 8–17 Sievanen L. 2014. How do small-scale fishers adapt to environmental variability? Lessons from Baja California, Sur, Mexico. Maritime Studies 13:1-19 Squires D, Reid C, Jeon Y. 2008. Productivity growth in natural resource industries and the environment: an application to the Korean tuna purseseine fleet in the Pacific Ocean. International Economic Journal 22:81-93 Squires D., and C. Reid. 2004. Using Malmquist Indices to Meausre Changes in Total Factor Productivity of Purse-Seine Vesels While Accounting for Changes in Capacity Utilysation, The Resource Stock and The
101
Encironment. SCTB 17 Working Paper FTWG-5. NOAA Fisheries La Jolla, California, USA. Sumarti, T., dan Saharudin. 2003. Model Pengembangan Kelembagaan Ekonomi Lokal untuk Pemberdayaan Masyarakat Nelayan dalam Pengelolaan Pertanian Kawasan Pesisir dan Perdesaan Nelayan. Institut Pertanian Bogor. Teh, L.S.L., L.C.L. Teh., and U. R. Sumaila. 2011. Quantifying The Overlooked Socio-Economic Contribution Of Small-Scale Fisheries In Sabah, Malaysia: Fisheries Research 110(3):450–458 Yustika, A. E. 2012. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori dan Kebijakan. Penerbit Erlangga. Jakarta Zeller, D., S. Booth and D. Pauly. 2006. Fisheries Contributions To GDP: Underestimating Small-Scale Fisheries In The Pacific. Marine Resource Economics 4(4): 355-374 Zeller, D., S. Booth, G. Davis and D. Pauly. 2007. Re-Estimation Of Small-Scale For U.S. Flag-Associated Islands In The Western Pacific: the last 50 years. U.S. Fisheries Bulletin 105: 266-277.
102
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Analisis DEA Results from DEAP Version 2.1 Instruction file = $$TEMP$$.INS Data file = $$TEMP$$.DTA Input orientated DEA Scale assumption: VRS Single-stage DEA - residual slacks presented EFFICIENCY SUMMARY: firm
crste
vrste
scale
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1.000 0.472 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.029 1.000 0.757 0.078
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.196 1.000 1.000 0.102
1.000 0.472 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.147 1.000 0.757 0.762
mean
0.758
0.845
0.831
drs irs drs drs
Note: crste = technical efficiency from CRS DEA vrste = technical efficiency from VRS DEA scale = scale efficiency = crste/vrste Note also that all subsequent tables refer to VRS results SUMMARY OF OUTPUT SLACKS: firm 1 2 3 4 5 6 7 8
output:
1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 1515.000
103
9 10 11
0.000 0.000 0.000
mean
137.727
SUMMARY OF INPUT SLACKS: firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
input:
mean
1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 14562.941 0.000 0.000 1143.671
2 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 35504.902 0.000 0.000 0.000
3 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
4 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 229.412 0.000 0.000 0.000
5 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 63.706
6 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 17.606
7 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 17.606
8 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 5.882 0.000 0.000 9.442
9 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
1427.874
3227.718
0.000
20.856
5.791
1.601
1.601
1.393
0.000
SUMMARY OF PEERS: firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
peers: 1 2 3 4 5 6 7 6 9 10 10
4
6
SUMMARY OF PEER WEIGHTS: (in same order as above) firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
peer weights: 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.093 0.063 0.844
PEER COUNT SUMMARY: (i.e., no. times each firm is a peer for another) firm
peer count:
104
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
0 0 0 1 0 2 0 0 0 1 0
SUMMARY OF OUTPUT TARGETS: firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
output:
1 1967094.000 276310.000 292167.000 472360.000 16870.000 3451.000 76547.000 3451.000 189809.000 1059129.000 130917.000
SUMMARY OF INPUT TARGETS: firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
input:
1 429434.000 815835.000 76521.000 64169.000 17675.000 0.000 16208.000 0.000 322945.000 27915.000 6620.721
2 3 75390.000 1907500.000 35192.000 756139.000 14990.000 106100.000 0.000 0.000 23700.000 0.000 0.000 0.000 1102.000 74600.000 0.000 0.000 912050.000 0.000 144400.000 0.000 13408.578 0.000
4 22978.000 6577.000 1655.000 1655.000 459.000 0.000 121.000 0.000 53710.000 562.000 156.089
5 2166.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
6 1079.000 515.000 350.000 393.000 12.000 10.000 51.000 10.000 45.000 3826.000 388.388
7 1079.000 515.000 350.000 393.000 12.000 10.000 51.000 10.000 437.000 3826.000 388.388
8 110.000 20.000 40.000 160.000 0.000 0.000 3.000 0.000 45.000 35.000 13.295
9 412800.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
105
Lampiran 2. Analisis Indeks Malmquist Results from DEAP Version 2.1 Instruction file = $$TEMP$$.INS Data file = $$TEMP$$.DTA Input orientated Malmquist DEA DISTANCES SUMMARY year = firm no. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 mean year = firm no. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 mean
1 crs te rel to tech in yr ************************ t-1 t t+1
vrs te
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.266 1.000 0.030 1.000 1.000 0.100
7.069 7.826 4.405 3.363 1.703 0.601 15.410 0.062 3.901 18.853 0.372
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.575 1.000 1.000 0.160
0.000
0.763
5.779
0.885
2 crs te rel to tech in yr ************************ t-1 t t+1
vrs te
2.798 0.414 0.506 0.900 0.348 0.369 0.218 0.005 0.174 1.947 0.132
1.000 1.000 1.000 1.000 0.519 0.882 0.503 0.007 0.339 1.000 0.240
4.575 1.135 1.595 6.314 1.062 0.684 1.291 0.014 0.424 61.829 0.894
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.862 0.519 0.344 1.000 0.547
0.710
0.681
7.256
0.843
106
year = firm no. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 mean year = firm no. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 mean year = firm no. 1 2 3 4 5 6 7
3 crs te rel to tech in yr ************************ t-1 t t+1
vrs te
4.809 0.343 0.800 1.030 1.471 5.003 5.637 0.050 1.136 0.234 0.046
1.000 0.380 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.038 1.000 1.000 1.000
2.541 0.138 0.511 0.790 0.826 2.195 3.431 0.025 0.497 0.178 0.209
1.000 0.455 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.415 1.000 1.000 1.000
1.869
0.856
1.031
0.897
4 crs te rel to tech in yr ************************ t-1 t t+1
vrs te
2.034 2.017 1.450 7.989 5.029 0.675 0.941 0.232 4.198 33.818 2.761
1.000 1.000 0.644 1.000 0.900 1.000 0.546 0.041 1.000 1.000 0.267
1.559 0.696 0.429 0.494 0.381 0.661 0.331 0.024 1.852 2.390 0.461
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.613 1.000 1.000 0.762
5.558
0.763
0.843
0.943
5 crs te rel to tech in yr ************************ t-1 t t+1 2.272 0.410 0.604 4.386 1.130 0.475 3.255
1.000 0.311 0.489 1.000 1.000 0.255 1.000
1.441 0.912 1.264 4.574 3.423 0.946 5.218
vrs te 1.000 0.372 0.664 1.000 1.000 1.000 1.000
107
8 9 10 11 mean year = firm no. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 mean
0.081 1.097 0.993 0.419
0.033 1.000 0.952 0.200
0.119 3.069 3.450 0.725
1.000 1.000 1.000 0.338
1.375
0.658
2.286
0.852
6 crs te rel to tech in yr ************************ t-1 t t+1
vrs te
2.302 0.404 0.399 0.403 0.289 0.205 0.865 0.036 0.357 0.033 0.713
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.662 1.000 0.130 1.000 0.092 1.000
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.736 1.000 0.648 1.000 1.000 1.000
0.546
0.808
0.000
0.944
[Note that t-1 in year 1 and t+1 in the final year are not defined] MALMQUIST INDEX SUMMARY year = firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 mean year =
2 effch
techch
pech
sech
tfpch
1.000 1.000 1.000 1.000 0.519 3.315 0.503 0.227 0.339 1.000 2.403
0.629 0.230 0.339 0.517 0.627 0.431 0.168 0.616 0.363 0.321 0.385
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.862 0.902 0.344 1.000 3.422
1.000 1.000 1.000 1.000 0.519 3.315 0.584 0.252 0.985 1.000 0.702
0.629 0.230 0.339 0.517 0.326 1.427 0.084 0.140 0.123 0.321 0.925
0.847
0.390
0.992
0.854
0.330
3
108
firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 mean year = firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 mean year = firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 mean year =
effch
techch
pech
sech
tfpch
1.000 0.380 1.000 1.000 1.925 1.133 1.986 5.575 2.949 1.000 4.169
1.025 0.892 0.708 0.404 0.848 2.540 1.482 0.804 0.953 0.062 0.111
1.000 0.455 1.000 1.000 1.000 1.000 1.161 0.799 2.905 1.000 1.828
1.000 0.836 1.000 1.000 1.925 1.133 1.712 6.977 1.015 1.000 2.281
1.025 0.339 0.708 0.404 1.633 2.879 2.944 4.481 2.811 0.062 0.464
1.537
0.610
1.076
1.428
0.938
4 effch
techch
pech
sech
tfpch
1.000 2.632 0.644 1.000 0.900 1.000 0.546 1.090 1.000 1.000 0.267
0.895 2.357 2.099 3.180 2.601 0.555 0.709 2.942 2.907 13.803 7.033
1.000 2.200 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.478 1.000 1.000 0.762
1.000 1.196 0.644 1.000 0.900 1.000 0.546 0.738 1.000 1.000 0.350
0.895 6.203 1.352 3.180 2.342 0.555 0.387 3.207 2.907 13.803 1.875
0.879
2.348
1.086
0.809
2.064
5 effch
techch
pech
sech
tfpch
1.000 0.311 0.759 1.000 1.111 0.255 1.832 0.798 1.000 0.952 0.750
1.207 1.376 1.362 2.980 1.635 1.677 2.317 2.072 0.770 0.661 1.101
1.000 0.372 0.664 1.000 1.000 1.000 1.000 1.632 1.000 1.000 0.443
1.000 0.837 1.144 1.000 1.111 0.255 1.832 0.489 1.000 0.952 1.691
1.207 0.428 1.034 2.980 1.816 0.428 4.244 1.653 0.770 0.629 0.825
0.785
1.426
0.855
0.918
1.120
6
109
firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 mean
effch
techch
pech
sech
tfpch
1.000 3.215 2.046 1.000 1.000 2.593 1.000 3.943 1.000 0.097 5.003
1.264 0.371 0.393 0.297 0.290 0.289 0.407 0.277 0.341 0.315 0.444
1.000 2.691 1.507 1.000 1.000 0.736 1.000 0.648 1.000 1.000 2.961
1.000 1.194 1.357 1.000 1.000 3.521 1.000 6.082 1.000 0.097 1.690
1.264 1.193 0.803 0.297 0.290 0.750 0.407 1.091 0.341 0.031 2.219
1.373
0.381
1.172
1.171
0.523
MALMQUIST INDEX SUMMARY OF ANNUAL MEANS year 2 3 4 5 6 mean
effch
techch
pech
sech
tfpch
0.847 1.537 0.879 0.785 1.373
0.390 0.610 2.348 1.426 0.381
0.992 1.076 1.086 0.855 1.172
0.854 1.428 0.809 0.918 1.171
0.330 0.938 2.064 1.120 0.523
1.043
0.788
1.030
1.012
0.822
MALMQUIST INDEX SUMMARY OF FIRM MEANS firm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 mean
effch
techch
pech
sech
tfpch
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.200 1.000 1.342 1.000 0.621 1.586
0.975 0.756 0.769 0.899 0.919 0.783 0.699 0.965 0.766 0.563 0.681
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.941 1.000 1.024 1.000 1.000 1.443
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.276 1.000 1.310 1.000 0.621 1.099
0.975 0.756 0.769 0.899 0.919 0.939 0.699 1.294 0.766 0.350 1.081
1.043
0.788
1.030
1.012
0.822
[Note that all Malmquist index averages are geometric means]
110
Lampiran 3. Hasil Analisis Multinomial Logistik . mlogit modal ib(first).status ib(first).jenis_kapal ib(first).lokasi investasi lama_milik abk, baseoutcome(0) Iteration Iteration Iteration Iteration Iteration Iteration
0: 1: 2: 3: 4: 5:
log log log log log log
likelihood likelihood likelihood likelihood likelihood likelihood
= = = = = =
Multinomial logistic regression Log likelihood = -140.20171
-164.62486 -142.77354 -140.75693 -140.2136 -140.20171 -140.20171 Number of obs LR chi2(12) Prob > chi2 Pseudo R2
= = = =
157 48.85 0.0000 0.1484
------------------------------------------------------------------------------modal | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------0 miliksendiri| (base outcome) --------------+---------------------------------------------------------------1 Pinjaman | 2.status | -2.251044 .9322279 -2.41 0.016 -4.078177 -.4239105 2.jenis_kapal | -.8178218 .5647471 -1.45 0.148 -1.924706 .2890623 1 lokasi | 1.628939 .7333565 2.22 0.026 .1915871 3.066292 investasi | -3.05e-09 9.48e-09 -0.32 0.748 -2.16e-08 1.55e-08 lama_milik | -.0505451 .0396477 -1.27 0.202 -.1282532 .027163 abk | .4551687 .3182427 1.43 0.153 -.1685754 1.078913 _cons | .1173058 1.003868 0.12 0.907 -1.850239 2.084851 --------------+---------------------------------------------------------------2 Campuran | 2.status | -1.00684 .7527643 -1.34 0.181 -2.482231 .4685509 2.jenis_kapal | .0945415 .6101661 0.15 0.877 -1.101362 1.290445 1.lokasi | 1.819465 .686802 2.65 0.008 .4733579 3.165572 investasi | -1.23e-09 8.76e-09 -0.14 0.889 -1.84e-08 1.59e-08 lama_milik | -.0843595 .0416915 -2.02 0.043 -.1660732 -.0026457 abk | .6737445 .3192083 2.11 0.035 .0481077 1.299381 _cons | -.9261438 1.019887 -0.91 0.364 -2.925085 1.072797 -------------------------------------------------------------------------------
111
Lampiran 4. Analisis Relatif Risk Ratio (Odd Ratio) . mlogit, rrr Multinomial logistic regression Log likelihood = -140.20171
Number of obs LR chi2(12) Prob > chi2 Pseudo R2
= = = =
157 48.85 0.0000 0.1484
------------------------------------------------------------------------------modal | RRR Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] --------------+---------------------------------------------------------------0 milik sendiri| (base outcome) --------------+---------------------------------------------------------------1 pinjaman | 2.status | .1052893 .0981536 -2.41 0.016 .0169383 .6544825 2.jenis_kapal | .4413921 .2492749 -1.45 0.148 .1459187 1.335175 1.lokasi | 5.098464 3.738992 2.22 0.026 1.21117 21.46216 investasi | 1 9.48e-09 -0.32 0.748 1 1 lama_milik | .950711 .0376935 -1.27 0.202 .8796306 1.027535 abk | 1.576439 .5016903 1.43 0.153 .8448675 2.94148 _cons | 1.124463 1.128813 0.12 0.907 .1571996 8.04339 --------------+---------------------------------------------------------------2 campuran | 2.status | .3653717 .2750388 -1.34 0.181 .0835566 1.597677 2.jenis_kapal | 1.099155 .670667 0.15 0.877 .332418 3.634404 1.lokasi | 6.168558 4.236578 2.65 0.008 1.605376 23.70231 investasi | 1 8.76e-09 -0.14 0.889 1 1 lama_milik | .9191008 .0383186 -2.02 0.043 .8469842 .9973578 abk | 1.961569 .6261491 2.11 0.035 1.049284 3.667027 _cons | .3960781 .4039548 -0.91 0.364 .0536601 2.923546 -------------------------------------------------------------------------------
112
Lampiran 5. Statistik Diskriptif . summarize ib(0).modal i.status i.jenis_kapal i.lokasi investasi lama_milik abk Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max -------------+-------------------------------------------------------Sumber Modal | 1 | 157 .2993631 .4594446 0 1 2 | 157 .477707 .5011012 0 1 | 2.status | 157 .2229299 .4175436 0 1 2.jenis_ka~l | 157 .6624204 .4743976 0 1 2.lokasi | 157 .4649682 .5003673 0 1 investasi | 157 4.30e+07 5.05e+07 7000000 1.90e+08 -------------+-------------------------------------------------------lama_milik | 157 8.770701 6.261269 0 30 abk | 157 3.636943 3.12794 1 20
113
Lampiran 6. Indek Ketidakstabilan dan Pertumbuhan Growth
CII
Produksi Kapal BBM
Longk Linine
0.099177 151.6
Gilnet
-0.2312 133.2
Tonda
0.098184 151.8
Bagan
-0.01262 196.3
Payang
0.023566 193.9
Rampus
-0.02074 185.6
purse seine
0.007471 207.7
Tramel net
0.094462 152.6
Payang
0.022535 183.8
Rampus Pancing ulur Longk Linine
-0.3604 123.6 -0.04146 170.5
Gilnet
-0.2311 133.2
Tonda
0.128295 146.0
Bagan
0.116917 148.0
Payang
0.082881 166.6
Rampus
-0.04823 167.2
purse seine
0.019531 186.9
Tramel net
0.223571 133.9
Payang
0.119714 147.5
Rampus Pancing ulur Longk Linine
-0.15146 142.4
Gilnet Tonda
-0.26721 130.1 0.225641
-0.08974 153.8
0.021358 184.9 0.095163 152.5
114
133.7 Bagan
0.078689 156.6
Payang
-0.07403 169.0
Rampus
-0.02225 184.0
purse seine
0.018052 188.6
Tramel net
-0.12746 146.1
Payang
-0.03008 177.5
Rampus Pancing ulur
0.182579 138.3 0.004981 216.5
115
RIWAYAT HIDUP Budi Wardono, dilahirkan di Gunungkidul, 16 Agustus 1967, merupakan anak ke dua dari lima bersaudara dari (Alm) Bapak Wagiman dan Ibu Tulilah. Menikah dengan Sitoresmi Triwibowo, dan dikaruniai dua (2) anak Afif Naufal Fadholi (18 tahun) dan Farah Khalda Nabila (13 tahun). Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Wonosari tahun 1986, Pendidikan Sarjana pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (lulus 1992). Pada tahun 1994 diterima sebagai PNS pada Departemen Pertanian. Tahun 1999 meneruskan pendidikan S2 pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Program Pasca Sarjana UGM dan lulus tahun 2001. Sejak Tahun 2007 mutasi alih tugas ke Kementerian Kalautan dan Perikanan (KKP). Tahun 2010 menempuh program Doktor pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Sebagai salah satu persyaratan proses akhir program Doktor pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) penulis telah menyusun naskah jurnal Internasional dengan judul “The role of Middlemen as “Social Cushion” on the livelihood of small scale fishers: A case study of small scale fisheries in the northern and southern coast of Java” telah di su mit ke Journal Fisheries Research (ELSEVIER) dikirim pada tanggal 11 Juli 2015, sudah mendapat ID: FISH6245; Wardono et al, 2015. Sedangkan Jurnal Nasional dengan Judul “Total Faktor Produktifitas dan Instability Index Perikanan Tangkap (Kasus Pelabuhanratu, Jawa Barat). Status siap diter itkan pada Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Volume 10 no 1. tahun 2015 dengan Akreditasi LIPI.