ANALISIS KARAKTERISTIK PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR
YUSUF FATHANAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014
Yusuf Fathanah NIM C452110111
RINGKASAN YUSUF FATHANAH. Analisis Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Dibimbing oleh EKO SRI WIYONO, DARMAWAN, dan YOPI NOVITA. Perikanan tangkap Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil dengan segala bentuk permasalahannya. Jumlahnya dominan dan peningkatannya telah menimbulkan permasalahan kelangkaan dan kompetisi sumber daya ikan. Upayaupaya pengelolaan telah dilakukan namun belum menunjukkan hasil yang yang maksimal terhadap permasalahan tersebut. Bila tidak dilakukan perubahan terhadap upaya tersebut akan dapat mengancam keberlanjutan perikanan skala kecil. usaha penangkapan ikan di Pacitan didominasi oleh perikanan skala kecil, diduga memiliki permasalahan yang sama seperti perikanan skala kecil lainnya. Untuk itu diperlukan rekomendasi perubahan dengan terlebih dahulu menganalisis karakteristik unit penangkapan ikan skala kecil, menganalisis pemanfaatan sumber daya ikan dan tata pengaturan pengelolaan perikanan skala kecil di Pacitan. Aktivitas penangkapan ikan di Pacitan tersebar sepanjang pantai Pacitan dengan menggunakan perahu dan alat penangkap ikan yang beragam. Jenis kapal/perahu penangkapan terdiri dari kapal motor (KM), perahu motor tempel (PMT), dan perahu tanpa motor (PTM) dengan dominasi PMT. Perahu motor tempel dikelompokkan menjadi 8 kelompok berdasarkan alat penangkap ikan yang digunakan. Kelompok yang dominan adalah PMT yang mengoperasikan alat penangkap ikan perangkap, jaring insang, dan pancing serta kelompok yang mengoperasikan alat penangkap ikan jaring insang dan pancing. Variasi pola usaha operasi penangkapan disebabkan kondisi lingkungan, kemampuan modal dan keterampilan nelayan. Trip operasi penangkappan ikan dipengaruhi oleh musim, ikan target penangkapan, dan daerah penangkapannya. Pemanfaatan sumber daya ikan di Pacitan cukup intensif. Hasil analisis menunjukkan penurunan pada produksi untuk jenis ikan cucut, bawal putih, manyung, kakap, pari, gulamah dan udang barong pada kurun waktu 6 tahun terakhir 2007-2012 (p<0.05). Penurunan tren produksi diikuti oleh penurunan CPUE hampir seluruh unit penangkapan ikan kecuali purse seine. Penangkapan ikan banyak dipengaruhi oleh musim (hujan), semakin sedikit hari hujan, semakin meningkat jumlah keberangkatan penangkapan ikan dan sebaliknya (p<0.05). Musim puncak penangkapan penangkapan terjadi antara bulan Mei-Oktober (SI>100). Pengaturan dan penyusunan kebijakan sudah melibatkan peran nelayan walaupun pengawasan dan penegakkan hukum dilapangan perlu ditingkatkan. Kebijakan bantuan/subsidi telah menjadi stimulan yang positif bagi nelayan skala kecil namun perlu kehati-hatian dalam menentukan jenis dan jumlah bantuan/subsidi. Rekomendasi pengelolaan yang pertama adalah menyelesaikan permasalahan pendataan, pengawasan dan penegakan hukum, dan kemudian secara besama-sama mengatasi penurunan hasil tangkapan, penambahan jumlah armada, daerah penangkapan, dan kondisi cuaca serta musim. Kata kunci: perikanan skala kecil, pengelolaan, Pacitan
SUMMARY YUSUF FATHANAH. Characteristics Analysis of Small-Scale Fisheries Management in Pacitan, East Jawa. Supervised by EKO SRI WIYONO, DARMAWAN, dan YOPI NOVITA. Indonesian fisheries are dominated by small-scale fisheries. Small-scale fisheries is dominant and increasing number has caused problems of scarcity and fish resource competition. Management efforts have been made but have not demonstrated that the maximum result of the problem. Such efforts if not change will threaten the sustainability of small-scale fisheries. Pacitan is an area that is dominated by small-scale fisheries unexpectedly having the same problems as most small-scale fisheries, so it’s necessary for recommendation changes by first analyzing the characteristics of small-scale fishing units, analyze the utilization of fish resources and governance arrangements of small-scale fisheries management in Pacitan Fishing activities in Pacitan Pacitan scattered along the coast by boat and fishing gear are diverse. Types of catching ships/boats consists of KM , PMT and PTM with dominance by PMT reached. Outboard motor boats (PTM) are grouped into 8 groups based on fishing gear used. The dominant group is the PMT using a fishing traps, gill nets, and hook. Variations in the pattern of fishing operations due to environmental conditions, the ability of capital and fishing skills. Fishing trip penangkappan operations are affected by season, catching the target fish, and capture area. Utilization of fish resources in Pacitan quite intensive. The analysis showed a decline in fisheries production in pacitan for fish species of shark, white pomfret, manyung , snapper, stingray, gulamah and barong shrimp,during the period of 6 years from 2007 to 2012 ( P <0.05 ) . The decline trend of production followed by a decline in CPUE almost all units except purse seine fishing. Catching fish is heavily influenced by season (rain), the fewer rainy day, increasing the number of fishing trips, and vice versa ( P <0.05 ). Peak season fishing trips occurred between May - October months ( SI > 100 ). Regulatory and policy development has involved the role of fishermen although field supervision and law enforcement needs to be improved. Policy subsidy has been a positive stimulant for small-scale fishermen, but care should be taken in determining the type and amount of subsidy. The first recommendation is to solve the management problems of data collection, monitoring and enforcement, and then addressing the decline in the catch, increasing the number of fleets, fishing areas, weather conditions and seasons. Keywords: small-scale fisheries, management, Pacitan
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KARAKTERISTIK PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR
YUSUF FATHANAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Sugeng Hari Wisudo, MSi
Judul Tesis Nama NIM
: Analisis Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur : Yusuf Fathanah : C452110111
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr Eko Sri Wiyono, SPi, MSi Ketua
Dr Ir Darmawan, MAMA Anggota
Dr Yopi Novita, SPi, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Mulyono S. Baskoro, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 5 Februari 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis Nama NIM
Analisis Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur Yusuf F athanah C452110111
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr Eko Sri Wiyono, SPi, MSi
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Prof Dr Ir Mulyono S. Baskoro, MSc
Tanggal Ujian: 5 Februari 2014
Tanggal Lulus:
15 APR 2014
PRAKATA Sebagai wujud syukur penulis kehadirat Allah SWT dan karunia-Nya penulis mempersembahkan karya ilmiah yang berjudul Analisis Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Terselesaikannya tesis ini, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr Eko Sri Wiyono, SPi, Msi, selaku ketua komisi pembimbing. 2. Dr Ir Darmawan, MAMA dan Dr Yopi Novita, SPi, MSi selaku anggota komisi pembimbing. 3. Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si, selaku penguji luar komisi. 4. Ketua Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Prof. Dr. Ir. Mulyono Baskoro, M.Sc; dan Ketua Departemen PSP Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc beserta seluruh staf pengajar dan administrasi. 5. Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BPSDM)-KKP yang telah memberikan beasiswa tugas belajar. 6. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap-KKP, Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap-KKP, Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan DJPT, Kepala Bagian Kepegawaian DJPT yang telah memberikan ijin tugas belajar. 7. Ali Mustofa, Ahmad Fauzi, Ardi, dan Denta yang telah membantu selama pengumpulan data. 8. Bapak, ibu, istri, anak-anaku dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. 9. Teman-teman seperjuangan Pascasarjana (Magister) PSP 2011 atas kebersamaan dan semangatnya. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namun tetap memberikan kontribusi dalam penyusunan dan penyelesaian tesis ini. Penulis sangat berharap kritik dan saran demi penyempurnaan penulisan dimasa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2014 Yusuf Fathanah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
DAFTAR ISTILAH
xvii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 3 3 4
2 METODOLOGI UMUM Lokasi dan Waktu Penelitian Metodologi Penelitian Analisis Data
5 5 5 6
3 KARAKTERISTIK UNIT PENANGKAPAN IKAN Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Jumlah dan distribusi unit penangkapan ikan Profil unit penangkapan ikan Pola usaha penangkapan ikan perahu motor tempel Pembahasan Kesimpulan dan Saran
7 7 8 9 9 13 18 21 24
4 DINAMIKA PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Tren produksi dan CPUE Pola musim penangkapan ikan Pembahasan Kesimpulan dan Saran
25 25 25 26 26 30 34 35
5 PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Tata pengaturan Rekomendasi pengenlolaan perikanan skala kecil Pembahasan Kesimpulan dan saran
35 35 36 37 37 42 43 45
6
PEMBAHASAN UMUM
45
7
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
49 49 50
DAFTAR PUSTAKA
50
LAMPIRAN
54
DAFTAR TABEL 2.1 3.1 3.2 3.3 3.4 4.1 4.2 5.1 5.2 5.3
Jenis dan data yang digunakan Jenis dan spesifikasi teknis kapal/perahu penangkapan ikan Kelompok, jenis, bahan dan dimensi alat penangkap ikan Kelompok jenis alat penangkap ikan dalam satu unit PMT Karakteristik kelompok jenis alat penangkap ikan PMT Hasil analisis tren per spesies ikan tahu 2007-2012 Catch per unit effort (CPUE) alat penangkap ikan tahun 2006-2012 Analisis isi peraturan Jenis subsidi perikanan tangkap di Pacitan Rekomendasi pengelolaan perikanan
6 13 15 18 19 28 29 59 41 42
DAFTAR GAMBAR 1.1 2.1 3.1 3.2
Kerangka pikir penelitian Peta lokasi penelitian Pangkalan Pendaratan Ikan di Kabupaten Pacitan Pertumbuhan jumlah kapal penangkap ikan di Pacitan tahun 20032011 3.3 Sebaran kapal penangkap ikan di Pacitan tahun 2011 3.4 Jumlah alat penangkap ikan di Pacitan tahun 2003-2011 3.5 Jumlah nelayan Kabupaten Pacitan 3.6 Kapal motor 3.7 Perahu motor tempel 3.8 Perahu tanpa motor 3.9 Daerah penangkapan ikan nelayan PMT dan PTM 3.10 Komposisi jumlah pengoperasian alat penangkap ikan 4.1 Pemanfaatan sumber daya ikan tahun 2004-2012 4.2 Komposisi produksi ikan hasil tangkapan tahun 2003-2014 4.3 Indeks musim ikan tuna, cakalang, tongkol,ekor kuning, layang, kembung, teri, dan lemadang
4 5 9 10 11 12 12 13 14 14 17 21 27 28 30
4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 5.1
Indeks musim ikan kakap, kuro, julung-julung, kuwe, lobster, dan gulamah Indeks musim ikan kerapu, lidah, cucut, pari, dan selar Indeks musim ikan tenggiri, lemuru, manyung, dan layur Indeks musim ikan sebelah, kuniran, dan peperek Indeks musim ikan bawal, cumi-cumi, dan udang lainnya Hubungan antara hari hujan dengan produksi per bulan tahun 2009-2011 Bagan koordinasi lembaga pengelolaan perikanan di Pacitan
31 31 32 32 33 33 37
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Ilustrasi operasi alat penangkap ikan Hasil perhitungan musim penangkapan per jenis ikan Dokementasi penelitian
54 55 57
DAFTAR ISTILAH
Alat Penangkap Ikan
: Sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan.
CPUE
: Catch per Unit Effort yaitu jumlah hasil tangkapan per upaya penangkapan.
CCRF
: Code of Conduct for Responsible Fisheries merupakan tatalaksanana atau ketentuan untuk perikanan yang bertanggung jawab.
DKP
: Dinas Kelautan dan Perikanan adalah unsur pelaksana pemerintah yang menyelenggarakan urusan di bidang kelautan dan perikanan yang bertanggungjawab kepada kepala daerah.
DJPT
: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap adalah Eselon I pada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perikanan tangkap.
GT
: Gross tonnage merupakan isi kotor yang diberlakukan unutuk pengukuran kapal yang pada umumnya dipakai untuk mengidentifikasi kapal penumpang, barang, nelayaan dan kapal pesiar menurut besar ruangan kapal.
HP
: Horse power adalah nama satuan unit pengukuran kekuatan mesin.
KUB
: Kempompok usaha bersama yaitu kelompok usaha skala mikro yang dibentuk oleh nelayan untuk berusaha bersama dan dipertanggungjawabkan secara bersama guna meningkatkan pendapatan anggota.
Koperasi
: Badan usaha ekonomi rakyat yang berwatak sosial, yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan.
KKP
: Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah unsur pelaksana pemerintah yang menyelenggarakan urusan di bidang kelautan dan perikanan yang bertanggungjawab kepada Presiden.
KM
: Kapal motor adalah kapal yang mempunyai mesin pembakaran dalam, biasanya mesin diesel.
MSY
: Maximum Suistainable Yield yaitu jumlah maksimal ikan yang dapat dimanfaatkan dalam kondisi lestari.
Nelayan
: Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.
PPI
: Pangkalan pendaratan ikan merupakan tempat para nelayan mendaratkan ikan hasil tangkapannya.
PPP
: Pelabuhan perikanan pantai merupakan tempat para nelayan mendaratkan ikan hasil tangkapannya atau juga disebut pelabuhan perikanan tipe C.
PMT
: Perahu motor tempel perahu yang menggunakan mesin yang ditempel pada baigan butitan kapal.
PPL
: Petugas penyuluh lapangan sebagai fasilitator/penghubung antara nelayan dengan instansi pemerintah dan sebagai motivator dalam menggerakkan nelayan untuk berusaha agar lebih maju dan berkembang, serta sumber teknologi, sumber permodalan dan pasar
PTM
: Perahu tanpa motor adalah perahu yang menggunakan tenaga manusia atau angin sebagai alat penggerak tanpa menggunakan mesin.
SPSS
: Statistical Package for the Sosial Science adalah paket perangkat lunak yang digunakan untuk analisis statistik
TPI
: Tempat pelelangan ikan adalah tempat untuk menjual ikan secara langsung dengan melakukan tawar menawar dengan pembeli melalui juru lelang.
Unit penangkapan
: Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap, dan nelayan.
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perikanan tangkap skala kecil memiliki keragaman, dinamika dan karakteristik yang berbeda pada wilayah yang satu dengan yang lain. McConney dan Charles (2008) mengungkapkan bahwa karakteristik perikanan tangkap skala kecil diantaranya adalah nelayan beroperasi dekat dengan pantai dan tergantung pada sumber daya lokal, nelayan menggunakan kapal yang relatif kecil dan milik sendiri, perikanan menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat, terdapat ketergantungan lebih besar pada tenaga kerja dari pada modal, dan biaya per trip penangkapan relatif rendah seperti bahan bakar yang digunakan per unit tangkapan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, pasal 1 angka 11 lebih spesifik menyebutkan bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar adalah 5 gross tonnage (GT). Perikanan tangkap Indonesia didominasi oleh perikanan tangkap skala kecilyang minim modal, dengan penggunaan teknologi yang rendah dan terkonsentrasi di daerah pantai (Wiyono 2007). Data statistik perikanan tangkap 2012, kondisi armada penangkap ikan di Indonesia saat ini didominasi perahu motor tempel (PMT) sebanyak 41 persen (231 333 unit), perahu tanpa motor (PTM) sebanyak 30 persen (172 907 unit) dan sisanya sebanyak 29 persen (166 587 unit) adalah kapal motor (KM). Keberadaan kapal motor (166 587 unit), didominasi hingga 66 persen (110 163 unit) oleh kapal motor berukuran kurang dari 5 GT. Berdasarkan data tersebut maka diperkirakan jumlah kapal penangkap ikan yang berukuran kurang dari 5 GT, baik jenis PMT, PTM maupun KM adalah 90.12 persen (514 403 unit). Jumlah kapal penangkap ikan kurang dari 5 GT terbesar terdapat di Provinsi Jawa Timur dengan jumlah kapal sebanyak 46 459 unit (9 persen). Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang perikanannya didominasi armada penangkapan skala kecil yang terbanyak. Salah satu sentra perikanan tangkap di Provinsi Jawa Timur adalah Kabupaten Pacitan. Kabupaten Pacitan menjadi sentra baru perikanan laut di Provinsi Jawa Timur sejak adanya peningkatan status Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tamperan menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tamperan. Perubahan status menjadi PPP Tamperan tahun 2007, mendorong peningkatan rata-rata produksi perikanan laut Kabupaten Pacitan hingga 19.70 persen sampai dengan tahun 2011. Kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Pacitan dalam rentang waktu 2007-2011, memperlihatkan adanya penurunan produksi pada beberapa jenis ikan hasil tangkapan utama nelayan kecil. Jenis ikan yang dimaksud diantaranya adalah udang lobster dengan rata-rata penurunan 33.64 persen per tahun, kakap merah dengan rata-rata penurunan 27.35 persen per tahun, dan ikan sebelah dengan rata-rata penurunan 52.67 persen per tahun selama kurun waktu 2007-2011 (DKP Pacitan 2012). Disisi lain, jumlah kapal penangkap ikan pada kurun waktu 2007-2011 mengalami peningkatan 10.29 persen. Peningkatan jumlah kapal penangkap ikan tersebut masih didominasi oleh peningkatan kapal penangkap ikan < 5 GT yaitu
2 perahu motor tempel yang beroperasi dekat dengan pantai. Peningkatan jumlah perahu ini juga menambah jumlah alat penangkap ikannya dan diduga akan meningkatkan upaya penangkapan yang pada akhirnya berdampak buruk pada keberlanjutan di perikanan pantai, seperti yang dikemukakan Wiyono (2007) yakni peningkatan armada penangkapan skala kecil tersebut telah menimbulkan permasalahan yakni meningkatkan tekanan penangkapan terhadap perikanan pantai dan berpotensi menimbulkan kerawanan ekologi, ekonomi maupun sosial. Kerawanan tersebut dapat berupa kelangkaan dan kompetisi sumber daya perikanan. Salayo et al. (2006) menjelaskan pemicu utama kelangkaan dan kompetisi sumber daya perikanan dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) kebijakan, institusi tata kelola dan hak milik; (2) peningkatan populasi dan kemiskinan; dan (3) insentif ekonomi, pasar dan peningkatan teknologi baru. Chodriyah (2009) selanjutnya menjelaskan bahwa kegiatan penangkapan ikan selain dipengaruhi oleh faktor internal (kapasitas alat penangkapan, kapasitas kapal dan biaya operasional) dan dipengaruhi oleh faktor eksternal antara lain pasar, musim ikan dan cuaca. Penurunan sumber daya ikan khususnya di perairan pantai telah mengakibatkan konflik. Informasi dari nelayan menyebutkan bahwa beberapa konflik pernah terjadi antara nelayan di wilayah perairan Kabupaten Pacitan dengan nelayan lain dari Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah), dan Gunung Kidul (DI. Yogyakarta). Konflik tidak mencolok, dan hanya sesekali terjadi sejak tahun 2004. Konflik antar nelayan mencapai puncaknya sekitar bulan April 2011 lalu, dimana 11 unit rumpon milik nelayan andon (pendatang) yang bersandar di PPP Tamperan dibakar oleh nelayan lain. Pada saat yang hampir bersamaan nelayan Pacitan kembali terlibat konflik dengan nelayan Paranggupito (Kabupaten Wonogiri) karena penangkapan lobster pada saat yang hampir bersamaan Nelayan Pacitan dianggap memasang jaring lobster dengan ukuran yang lebih panjang dan lebih lebar pada wilayah yang disengketakan. Jaring itu dipasang di perairan yang tidak jauh dari tebing tempat nelayan Paranggupito mencari lobster, sehingga membuat nelayan Paranggupito tidak mendapat lobster karena kalah dengan jaring dari nelayan Pacitan. Penambahan dimensi alat tangkap dan perluasan daerah penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pacitan, menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi sudah tidak didapatkan lagi dari daerah penangkapan sebelumnya. Berdasarkan pada uraian diatas, dapat diketahui bahwa permasalahan perikanan skala kecil sangat komplek. Untuk memperkecil konflik dan menentukan pendekatan pengelolaan yang lebih baik maka perlu terlebih dahulu dikaji karakteristik perikanan skala kecil dan sumber daya yang dimanfaatkannya serta tata pengaturannya sebagai bahan penentuan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil saat ini.
Perumusan Masalah Sumber daya ikan pantai yang menjadi target utama penangkapan nelayan Pacitan dirasakan semakin sulit diperoleh beberapa tahun terakhir. Bawal putih, lobster, ekor kuning, dan manyung yang mulanya menjadi ikan target utama, saat ini semakin sulit diperoleh. Nelayan menduga kelangkaan ikan dan penurunan
3 hasil tangkapan disebabkan pertumbuhan jumlah armada penangkapan yang semakin banyak, dan musim yang semakin tidak menentu. Peraturan yang secara khusus mengatur penangkapan skala kecil masih dirasakan belum menyentuh pokok permasalahan pengelolaan perikanan skala kecil. Armada penangkapan ikan di Kabupaten Pacitan semakin bertambah dalam kurun waktu 5 tahun yaitu dari tahun 2007-2011. Penambahan armada masih didominasi oleh armada skala kecil yaitu berupa perahu motor tempel yang beroperasi di perairan pantai. Penambahan armada penangkap ikan dan sekaligus alat penangkap ikan menambah upaya penangkapan yang pada akhirnya menyebabkan sumber daya ikan pantai semakin tertekan. Penambahan ini menambah keuntungan pada awalnya, namun pada jangka waktu yang lama akan mempengaruhi pendapatan nelayan yang kehidupannya sangat tergantung pada kegiatan menangkap ikan. Tingkat pemanfaatan yang meningkat pada suatu daerah penangkapan akan mempengaruhi tingkat produktivitas penangkapan hingga akhirnya akan memicu timbulnya konflik dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Program pemerintah yang berbentuk bantuan sarana penangkapan baik itu kapal, alat tangkap, teknologi pendeteksi ikan maupun pelatihan peningkatan keterampilan nelayan secara tidak langsung akan menambahkan upaya penangkapan. Aturan formal yang ada lebih mengatur pada usaha penangkapan yang dilakukan kapal penangkap ikan 5-10 GT. Lembaga-lembaga yang berkompeten dalam pengelolaan nelayan kecil telah terbentuk, namun perannya dirasakan masih terbatas. Dalam posisi yang dilematis tersebut mengharuskan pemerintah Kabupaten Pacitan harus menata ulang program dan kebijakan untuk mempertahankan keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Pacitan. Permasalahan yang perlu diselesaikan adalah: a. Bagaimana karakteristik dan dinamika unit penangkapan ikan skala kecil saat ini? Bagaimana pemanfatan sumber daya perikanan di Pacitan? b. c. Bagaimana tata pengaturan pengelolaan perikanan tangkap dan rekomendasi apa yang dibutuhkan untuk perbaikannya?
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian adalah mengusulkan rekomendasi tindakan pengelolaan perikanan skala kecil di Pacitan dengan terlebih dahulu melakukan analisis yang secara khusus bertujuan: 1. Menganalisis karakteristik unit penangkapan ikan skala kecil. 2. Menganalisis pemanfaatan sumber daya ikan. 3. Menganalisis tata pengaturan dan membuat rekomendasi tindakan pengelolaan perikanan skala kecil di Kabupaten Pacitan.
Manfaat Penelitian
1.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi beberapa manfaat, antara lain: Memberikan pertimbangan bagi pihak pengambil keputusan/kebijakan
4
2.
dalam menentukan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap; Menambah informasi dan pustaka mengenai pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan serta diharapkan menjadi acuan bagi pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan di masa yang akan datang.
Ruang Lingkup Penelitian Perikanan tangkap di Pacitan, khususnya perikanan skala kecil mengalami kesulitan untuk mendapatkan hasil tangkapan. Hal ini antara lain disebabkan oleh: (i) penambahan armada penangkapan yang menggunakan motor, semakin efektif dan efisien; (ii) tata pengaturan dan kebijakan yang kurang tepat; (iii) kerusakan lingkungan kondisi alam yang kurang menguntungkan. Mempertimbangkan hal tersebut, perbaikan tindakan pengelolaan perikanan skala kecil sangat diperlukan. Tindakan perbaikan pengelolaan yang lebih baik diperlukan untuk mengatasi permasalahan utama yaitu penurunan sumber daya ikan pantai, dengan terlebih dahulu menganalisis karakteristik unit penangkapan ikan, pola pemanfaatan sumber daya ikan dan tata pengaturan di Pacitan yang ada saat ini. Kondisi terkini perikanan tangkap skala kecil di Pacitan tersebut kemudian di analisis untuk memperoleh rumusan rekomendasi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil yang lebih baik. Kajian difokuskan terhadap aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan kecil yang menggunakan perahu penangkap ikan berukuran < 5 GT dan melakukan penangkapan di perairan Pacitan. Permasalahan utama: Penurunan sumber daya ikan pantai Ruang lingkup: - Mengidentifikasi unit penangkapan ikan skala kecil di Pacitan, - Mengkaji pemanfaatan sumber daya ikan di Pacitan, - Mengkaji tata pengaturan perikanan tangkap di Pacitan Karakteristik unit penangkapan ikan - Jumlah, distribusi, dan Profil unit penangkapan kan
Pemanfaatan sumber daya ikan - Tren produksi dan CPUE - Pola musim
- Dinamika waktu operasi alat penangkap ikan - Pola operasi penangkapan
- Hubungan produksi dengan musim (hari hujan) dan trip penangkapan
pengelolaan perikanan tangkap - Tata pengaturan (kapasitas pengeturan, ketersedian peraturan, transparasi dan partisipasi, serta kebijakan bantuan
Rekomendasi pengelolaan perikanan tangkap Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
5
2 METODOLOGI UMUM Lokasi dan Waktu Penelitian Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa Timur merupakan lokasi penelitian yang dipilih. Pertimbangan pemilihan Pacitan sebagai lokasi penelitian dikarenakan Pacitan adalah salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki jumlah armada penangkapan skala kecil yang besar dan spesifik permasalahan perikanan skala kecil daerah tropis. Pengambilan sampel dilakukan di Kecamatan Pringkuku, Kecamatan Pacitan, dan Kecamatan Kebonagung dengan pertimbangan ketiga kecamatan tersebut merupakan sentra perikanan terbesar di Pacitan. Penelitian dilaksanakan dua kali yaitu bulan Februari 2013 dan bulan April-Mei 2013. Penelitian pertama dilakukan untuk memastikan kesesuaian perumusan permasalahan, tujuan penelitian, indikator kuisioner, sedangkan penelitian kedua dilaksanakan untuk pengumpulan data primer dan observasi mendalam.
Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian
Metodologi Penelitian Metode penelitian pada kajian ini adalah metode survei. Metode pengumpulan data melalui wawancara pribadi, observasi, pengarsipan data dan survei melalui kuesioner. Populasi yang ada dalam penelitian ini adalah nelayan kecil dan pemangku kepentingan lain yang terkait dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Pacitan seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tamperan, petugas tempat pelelangan ikan (TPI). Metode
6 pengambilan data yang digunakan adalah snowball sampling. Teknik snowball sampling memungkinkan sampel diperluas sesuai dengan data yang diperlukan (Sugiyono 2011). Jumlah sampel pada penelitian pertama adalah 15 orang yang kemudian dilanjutkan pada penelitian kedua menjadi 105 orang. Data diperoleh secara langsung dari sumber data utama publikasi atau laporan statistik perikanan Kab Pacitan, laporan statistik PPP Tamperan, data badan pusat statistik (BPS) setempat, laporan-laporan mengenai kondisi Pacitan dan data yang berkaitan dengan topik penelitian. Jenis dan data yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Jenis dan data yang digunakan Jenis Data Data Primer
Data Sekunder
Data yang Digunakan Jenis dan dimensi kapal penangkap ikan serta alat penangkap ikan Daerah operasi penangkapan Trip penangkapan Operasi penangkapan Persepsi: - Jenis/ komposisi dan ukuran hasil tangkapan - Sosialisasi dan penegakan aturan - Keterlibatan dalam pengelolaan perikanan Produksi perikanan laut Jumlah kapal penangkap ikan dan alat penangkap ikan Bantuan perikanan tangkap Peraturan perikanan tankap Curah hujan dan hari hujan
Sumber Data 1. Nelayan 2. Pengelola TPI
1. Dinas Perikanan dan Kelautan Pacitan 2. Badan Pusat Statistik Pacitan
Analisis Data Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam tiga analisis, yaitu: (a)
Analisis karakteristik unit penangkapan ikan Karakteristik unit penangkapan ikan dianalisis secara deskriptif. Hasil analisisdisajikan secara naratif, tabel, dan grafik. (b)
Analisis dinamika pemanfaatan sumber daya ikan Analisis dilakukan untuk mengambarkan tren produksi, produktivitas alat penangkap ikan, pola musim penangkapan ikan, dan hubungan produksi dengan hari hujan. Analisis meliputi: Analisis deskriptif terhadap data produksi penangkapan untuk menggambarkan tren produksi per jenis ikan per tahun yang didaratkan di Pacitan.
7
Analisis produktivitas alat penangkap ikan dilakukan melalui pendekatan produksi alat penangkap ikan per unit alat penangkap ikan dalam rentan waktu satu tahun. Analisis musim penangkapan dengan menghitung indek musim. Indek musim diduga dengan menggunakan metode rata-rata bergerak (moving average). Analisis pengaruh musim terhadap produksi dijelaskan dengan regresi linier terhadap hasil tangkapan bulanan dan jumlah hari hujan bulanan.
(c) Analisis pengelolaan perikanan tangkap skala kecil Analisis dilakukan terhadap tata pengaturan pengelolaan perikanan skala kecil dan menyusun upaya perbaikannya. Sehingga analisis data meliputi: Kebijakan dan kelembagaan perikanan tangkap skala kecil dijelaskan secara deskriptif terhadap kapasitas kebijakan/pengelolaan, ketersedian peraturan, tranparansi dan partisipasi serta kebijakan bantuan/subsidi. Menyusun rekomendasi pengelolaan perikanan skala kecil dengan menggunakan tabulasi yakni mengelompokkan permasalahan dan memberikan rekomendasi pengelolaan perikanan atas permasalahan yang ada.
3 KARAKTERISTIK UNIT PENANGKAPAN IKAN Pendahuluan Kegiatan penangkapan ikan di Indonesia saat ini, 90 persen didominasi oleh perikanan skala kecil (Wiyono 2011). Menurut McConney dan Charles (2008), menyebutkan bahwa nelayan skala kecil beroperasi dekat dengan pantai dan menggunakan kapal penangkap ikan yang relatif kecil dan milik sendiri. Alat penangkap ikan yang digunakan oleh nelayan skala kecil adalah alat penangkap ikan tradisional, seperti jaring kecil, perangkap/bubu, pancing, jubi/tombak, dan metode-metode pengumpul dengan tangan dan beberapa yang telah dimekanisasi (Berkes et al. 2008). McGoodwin (2001) menambahkan bahwa perikanan skala kecil, penggunaan teknologi penangkapannya merupakan hasil adaptasi terhadap perubahan daerah penangkapan dan jenis ikan targetnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa nelayan skala kecil secara terus menerus melakukan upaya penangkapan ikan dengan berbagai cara yang dapat dilakukan, pada lokasi penangkapan yang terbatas dan jumlah yang banyak. Apabila kondisi ini dibiarkan terus menerus, akan timbul tekanan terhadap sumber daya perikanan di perairan pantai. Pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Pacitan masih di sekitar pantai dan menggunakan sarana penangkap ikan tradisional yang beragam bentuk dan jenisnya. Kapal penangkap ikan yang digunakan terdiri dari sebagian besar perahu motor tempel (PMT) yang bervariasi dimensinya dan sebagian kecil perahu tanpa motor (PTM) serta kapal motor (KM). Alat penangkapan ikan yang digunakan terdiri dari kelompok jaring insang, pancing, perangkap, pukat cicin, dan pukat tarik yang dioperasikan dengan teknologi yang sederhana. Terkadang dalam satu unit penangkapan menggunakan lebih dari satu jenis alat penangkap ikan. Keragaman kapal/perahu penangkapan, alat penangkap ikan dan teknik
8 pengoperasian yang bervariasi akan menyulitkan dalam mengelola perikanan khususnya perikanan skala kecil (Tzanatos et al. 2005). Tingginya keragaman dalam perikanan skala kecil, diduga sebagai penyebab sulitnya dilakukan pengelolaan terhadap perikanan tangkap skala kecil. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang bertujuan mengkaji dinamika dan karakteristik pada beberapa unit penangkapan ikan skala kecil sebagai bahan pengelolaan perikanan skala kecil. Bab ini menjelaskan karakteristik unit penangkapan ikan dan pola usaha unit penangkapan ikan skala kecil di Kabupaten Pacitan.
Metode Penelitian Metode penelitian pada kajian ini adalah metode survei. Metode pengumpulan data melalui wawancara pribadi, observasi, pengarsipan data dan survei dengan menggunakan kuesioner. Populasi yang ada dalam penelitian ini adalah nelayan kecil dan pemangku kepentingan lain yang terkait dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Pacitan seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, PPP Tamperan, petugas tempat pelelangan ikan (TPI). Metode pengambilan data primer yang digunakan adalah snowball sampling. Teknik snowball sampling memungkinkan sampel diperluas sesuai dengan data yang diperlukan (Sugiyono 2011). Jumlah sampel pada penelitian pertama adalah 15 orang yang kemudian dilanjutkan menjadi 105 orang. Data primer meliputi pangkalan pendaratan ikan, dimensi dan karateristik teknologi penangkapan (kapal dan alat penangkap ikan), karakteristik nelayan dan kondisi daerah penangkapan. Data sekunder berupa laporan dan data yang berkaitan dengan topik penelitian meliputi jumlah pangkalan pendaratan ikan, jumlah dan jenis unit penangkapan ikan, dan jumlah nelayan. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kuesioner, alat perekam, alat tulis dan kamera serta alat analisis adalah perangkat lunak microsoft excel. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yaitu dengan menyajikan tabel dan grafik untuk menjelaskan jumlah dan distribusi unit penangkapan ikan serta profil unit penangkapan ikan di Kabupaten Pacitan. Pengelompokkan terhadap unit penangkapan ikan disajikan secara deskriptif dan difokuskan terhadap perahu motor tempel (PMT). Kelompok jenis alat penangkap ikan diperoleh dengan tabulasi data responden terhadap jenis alat penangkap ikan yang digunakan oleh satu unit PMT. Karakteristik kelompok unit penangkapan kemudian disajikan dalam bentuk tabel dengan mengambil variabel yang secara signifikan mempengaruhi usaha penangkapan ikan yaitu karakteristik teknis kapal (panjang totaldan tenaga kuda) serta ukuran kru (Le Pape dan Vigneau 2001). Trip operasi penangkapan di susun dengan menjumlahkan data trip reponden per jenis alat penangkap ikan setiap bulannya. Hasil analisis disajikan secara naratif, gambar, tabel dan grafik.
9 Hasil Kabupaten Pacitan terletak pada koordinat 7.550 – 8.170 Lintang Selatan dan 110.550 – 111.250 Bujur Timur atau ujung barat daya wilayah di Jawa Timur. Berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia di sebelah Selatan, Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) di sebelah Barat, Kabupaten Ponorogo di sebelah Utara dan Kabupaten Trenggalek di sebelah Timur. Kondisi geografis yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia membuat Kabupaten Pacitan menjadi salah satu sentra perikanan tangkapdi Selatan Jawa. Jumlah dan distribusi unit penangkapan ikan Aktivitas perikanan tangkap menyebar di sepanjang pantai Pacitan. Penyebarannya meliputi 7 kecamatan dengan jumlah Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) mencapai 17 buah PPI. Enam PPI diantaranya telah dilengkapi dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Enam TPI yang dimaksud adalah TPI Watukarung, TPI Tamperan, TPI Teleng, TPI Wawaran, TPI Tawang dan TPI Ngobyok (Sumberejo). PPI Tamperan sejak 2007 ditingkatkan kapasitasnya menjadi Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) yang secara tidak langsung menjadi babak baru perikanan tangkap di Kabupaten Pacitan. Lokasi pendaratan yang menjadi pusat aktivitas perikanan tangkap hampir sebagian besar sulit dicapai dan jauh dari pusat kota. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan perikanan tangkap, sehingga peran serta nelayan dalam pengelolaan menjadi penting. Enam PPI yang telah dilengkapi TPI tersebut merupakan PPI yang lebih mudah untuk dijangkau nelayan dan pedagang, dibandingkan dengan 10 PPI yang lain.
Gambar 3.1 Pangkalan Pendaratan Ikan di Kabupaten Pacitan Kapal/perahu penangkap ikan di Pacitan berdasarkan mesin yang digunakan dibagi menjadi perahu motor tempel (PMT), perahu tanpa motor (PTM), dan kapal motor (KM). Jumlah PMT mendominasi jumlah kapal penangkap ikan di Kabupaten Pacitan. Jumlah PMT mencapai 1 240 unit atau 84 persen dari seluruh jumlah kapal penangkap ikan pada tahun 2011. Sedangkan jumlah KM dan PTM memiliki jumlah lebih sedikit yaitu KM berjumlah 146 unit (10 persen) dan PTM sebanyak 86 unit (6 persen). Pertumbuhan jumlah armada penangkapan di Kabupaten Pacitan dari tahun 2003 hingga 2011 disajikan pada Gambar 3.2.
10
Jumlah (Unit)
1200 1000 800 600 400 200 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Kapal Motor
Tahun Perahu Motor Tempel
Perahu Tanpa Motor
Gambar 3.2 Pertumbuhan jumlah kapal penangkap ikan di Pacitan tahun 20032011 Pertumbuhan jumlah berbagai jenis kapal penangkap ikan mengalami fluktuasi selama 9 tahun terakhir. Perahu motor tempel (PMT) meningkat dari jumlah 788 unit pada tahun 2003, menjadi 1 240 unit pada tahun 2011. Perahu motor tempel mengalami peningkatan sebesar 57.4 persen dalam waktu 9 tahun. Hal ini disebabkan meningkatnya kemampuan nelayan untuk melakukan motorisasi dan adanya program bantuan dari pemerintah yaitu sarana penangkapan ikan, baik berupa kapal/perahu, alat penangkapan maupun alat bantu penangkapan. Dengan adanya bantuan sarana penangkapan ini, nelayan Pacitan terangsang untuk meningkatkan jumlah perahu. Jumlah PMT terbanyak pada tahun 2009 yang mencapai 1 260 unit dan kemudian mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi 1 229, atau berkurang sampai dengan 31 unit. Kemudian pada tahun 2011 jumlah tersebut meningkat menjadi 1 240, atau bertambah sejumlah 11 unit pada tahun tersebut. Responden mengungkapkan bahwa fluktuasi jumlah PMT tersebut akibat semakin sulitnya mendapatkan hasil tangkapan yang cukup, sehingga sebagian nelayan memilih tidak mengoperasikan perahunya. Jumlah Kapal Motor (KM) mengalami peningkatan cukup tinggi, dari hanya 8 unit pada tahun 2003, menjadi 146 unit pada tahun 2011. Ini berarti jumlah KM pada tahun 2011 meningkat 18.25 kali lipat dibandingkan tahun 2003. Peningkatan KM tidak terlepas dari telah beroperasinya PPP Tamperan dan kondusifnya iklim usaha penangkapan sehingga memancing hadirnya KM untuk bersandar di PPP Tamperan, Pacitan. Tahun 2003-2005 nelayan di Pacitan tidak tercatat menggunakan perahu tanpa motor (PTM). Mulai tahun 2006 tercatat nelayan menggunakan 31 unit PTM untuk beroperasi. Keberadaan PTM cukup berfluktuatif, sempat turun 61.3 persen pada tahun 2007, atau hanya tersisa 12 unit PTM saja, kemudian jumlahnya meningkat pada tahun 2008 sebesar 103 unit dan kemudian mengalami penurunan sejumlah 17 unit hingga tahun 2011, hingga tersisa sejumlah 86 unit. Fluktuasi ini lebih disebabkan nelayan PTM berpindah untuk mencari aktivitas yang lebih menguntungkan seperti menjadi nelayan ABK pada PMT sehingga
11 perahu PTM tidak digunakan lagi dan pada saat yang dianggap menguntungkan mereka kembali menggunakan PTM untuk menangkap ikan. Kapal/perahu penangkap ikan yang digunakan di Pacitan tersebar di sepanjang pantai Kabupaten Pacitan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Pacitan tahun 2012, sebaran paling banyak berada di Kecamatan Pacitan yang mencapai 1 413 unit. Sebaran paling sedikit berada di Kecamatan Donorojo yaitu hanya 125 unit (Gambar 3.3). Kondisi topografi lokasi pendaratan ikan dan akses menuju lokasi pendaratan lebih banyak mempengaruhi sebaran kapal/perahu penangkapan ikan. Sudimoro
233
Kecamatan
Ngadirojo
470
Tulakan
164
Kebonagung
754
Pacitan
1413
Pringkuku
681
Donorojo
125
0
500
1000
1500
Jumlah (unit)
Gambar 3.3 Sebaran kapal penangkap ikan di Pacitan tahun 2011 Jenis alat penangkapan ikan yang digunakan oleh armada penangkapan di Kabupaten Pacitan berturut-turut adalah kelompok perangkap, pancing, jaring insang, pukat tarik, pukat cincin, jaring angkat dan lainnya. Tahun 2011 jumlah kelompok perangkap yang sebagain besar adalah krendet mencapai 85 persen dibandingkan kelompok alat penangkap ikan yang lain. Sedangkan kelompok jaring insang yang terdiri dari jaring insang hayut, jaring klitik, jaring insang tetap, dan jaring tiga lapis berjumlah 10 persen. Sisanya terdiri dari kelompok pancing (pancing rawai dan pancing ulur) 3.16 persen, pukat tarik (payang dan dogol) 0.14 persen, pukat cicin 0.04 persen dan lainnya 1.04 persen (Gambar 3.4). Jumlah perangkap yaitu krendet sangat dominan karena harga alat tangkap yang murah, mudah dioperasikan dan hasil tangkapan yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu udang lobster.
12 70000
Jumlah (Unit)
60000 Lain-lain
50000
Perangkap
40000
Pancing
30000
Jaring angkat
20000
Jaring insang
10000
Pukat cincin
0
Pukat tarik
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun
Gambar 3.4 Jumlah alat penangkap ikan di Pacitan tahun 2003-2011
Jumlah (orang)
Nelayan di Kabupaten Pacitan sebagian besar merupakan nelayan lokal dan sedikit nelayan andon (Gambar 3.5). Tahun 2011 jumlah nelayan lokal adalah 2 814 orang atau sebesar 73 persen dibandingkan nelayan andon yang hanya 27 persen (1 026 orang). Jumlah nelayan lokal pada kurun waktu 2003-2011 mengalami penurunan sebesar 1.79 persen. Penurunan ini akibat dari semakin sulitnya mendapatkan hasil tangkapan yang cukup untuk penghidupan nelayan sehari-hari sehingga nelayan memilih meninggalkan status nelayan dan mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Nelayan yang fleksibel untuk beralih profesi ini umumnya adalah nelayan yang mengoperasikan perahu bukan milik sendiri. Nelayan andon atau nelayan pendatang adalah nelayan yang berasal dari daerah lain di luar Kabupaten Pacitan. Nelayan andon berasal dari Pekalongan, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur. Pembangunan PPP Tamperan dengan fasilitas pelabuhan yang baru dan lengkap serta pasar yang dinilai menguntungkan telah menjadi daya tarik bagi nelayan andon untuk datang di Pacitan. Keberadaan nelayan andon dimulai pada tahun 2006 dengan jumlah 40 orang. Pada tahun 2011 nelayan andon berjumlah 1026 orang, meningkat 24.65 kali lipat dibandingkan tahun 2006. Peningkatan jumlah nelayan andon ini linier dengan peningkatan jumlah kapal motor di Pacitan. 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Andon Lokal
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun
Gambar 3.5 Jumlah nelayan Kabupaten Pacitan
13 Profil unit penangkapan ikan Kapal/ perahu penangkap ikan Kapal motor (KM) terdiri dari kapal pancing tonda dan kapal purse seine. Kapal pancing tonda yang disebut juga dengan nama sekoci, yang sebagian besar dioperasikan oleh nelayan andon. Ukuran kapal pancing tonda ini berkisar antara 5-10 GT dengan spesifikasi teknis pada Tabel 3.1. Waktu operasi penangkapan antara 7-10 hari dalam satu kali trip.
Gambar 3.6 Kapal motor Kapal motor yang menggumakan alat tangkap purse seine dioperasikan oleh nelayan andon dan sebagian kecil oleh nelayan setempat. Ukuran kapal purse seine lebih besar dibandingkan dengan kapal sekoci, yaitu berkisar antara 25-30 GT dengan spesifikasi teknis pada Tabel 3.1. Kapal sekoci dan kapal purse seine telah dilengkapi alat bantu penangkapan berupa GPS (Global Positioning System), kompas, danalat keselamatan di laut berupa life jacket. Tabel 3.1 Jenis dan spesifikasi teknis kapal/perahu penangkap ikan Dimensi (meter) Material L B D 16-19 6 2-3 kayu/ fibreglass
No.
Jenis
1
KM
2
KM
16-17
3-3.5
3
PMT
7-13
0.7-1.5
4
PTM
3-4
0.6-1
1-2 Kayu
0.5-1.1 fibreglass
0.3-0.5 Kayu
Penggerak mesin dalam (185-280 PK) mesin dalam (2 x 30 PK) mesin tempel (8-15 PK) Dayung
Alat Penangkap Ikan pukat cincin/purse seine pancing (tonda, layangan, taber, dan ulur) perangkap, jaring insang, pancing, pukat tarik perangkap, jaring insang, pancing
Perahu motor tempel (PMT) kebanyakan terbuat dari fibreglass dengan tenaga penggerak mesin motor tempel (Gambar 3.7). Ukuran PMT dan daya mesin yang digunakan lebih bervariasi. Secara rinci spesifikasi teknis kapal/perahu penangkapan ikan disajikan pada Tabel 3.1. Perahu motor tempel dioperasikan oleh 2-4 orang nelayan dan telah dilengkapi alat keselamatan berupa jaket keselamatan (life jacket) serta beberapa perahu yang menggunakan alat
14 navigasi berupa kompas. Alat tangkap yang digunakan pun bervariasi tergantung pada musim penangkapan.
Gambar 3.7 Perahu motor tempel Perahu tanpa motor (PTM) terbuat dari kayu, dioperasikan 1-2 orang nelayan dengan menggunakan alat penggerak berupa dayung (Gambar 3.8). Perahu ini umumnya digunakan nelayan untuk menangkap ikan yang tidak jauh dari pantai dan kadang kala digunakan untuk memanen rumput laut. Spesifikasi ukuran perahu disajikan pada Tabel 3.1.
3-4 m 0.6-1 m 0.3-0.5 m
Gambar 3.8 Perahu tanpa motor Alat penangkap ikan Alat penangkap ikan yang digunakan nelayan Pacitan beragam jenis dan spesifikasi teknisnya. Kelompok alat penangkap ikan yang digunakan adalah kelompok jaring lingkar, perangkap, jaring insang, pancing, dan pukat tarik (Tabel 3.2). Jenis alat penangkap ikan yang memiliki banyak variasi jenis adalah kelompok jaring insang dan pancing. Jaring insang sedikitnya memiliki empat jenis alat penangkap ikan, begitu pula dengan pancing. Kelompok perangkap sangat populer dengan jenis jaring krendet. Jaring krendet digunakan untuk penangkapan udang lobster. Kontruksinya terdiri dari jaring monofilament dengan mesh size 4.5-6 inch yang dipasangkan pada rangka kawat dengan diameter 50-60 cm dan dilengkapi dengan pelampung tanda. Krendet menggunakan umpan sejenis krustasea yang disebut dengan „krongkeng‟ yang diikatkan pada jaringnya. Harga bahan dan pembuatan satu unit jaring krendet menghabiskan dana sekitar 50 ribu rupiah.
15 Tabel 3.2 Kelompok, jenis, bahan dan dimensi alat penangkap ikan No.
Kelompok/Jenis
1 Kelompok perangkap - Krendet
2 Kelompok Jaring insang - Jaring insang hanyut
- Jaring insang tetap
- Jaring klitik
- Trammel Net
3 Kelompok Pancing - Rawai hayut
Bahan dan Dimensi - Jaring nylonmonofilament - mesh size jaring 4.5-6 inch - diameter rangka kawat 50-60 cm
- Jaring nylon monofilament - 4-6 piece (1 piece = 45-50 m) - mesh size jaring 2-6 inch - Jaring nylon monofilament - 3-5 piece (1 piece = 40-45 m) - mesh size jaring 2-5 inch - Jaring nylon monofilament - 3-5 piece (1 piece = 40-45 m) - mesh size jaring 4.5 inch - 4-6 piece (1 piece = 40-45 m) - mesh size dalam 1.5-1.75 inch - mesh size luar 10.4 inch - nylon monofilament - Nomor pancing 5-7
- Rawai dasar/tetap
- nylon monofilament - Nomor pancing 7-11
- Pancing tonda
- nylon monofilament - Nomor pancing 6-7
- Pancing ulur
- nylon monofilament - Nomor pancing 7-14
4 Kelompok Pukat Tarik - Payang - Dogol 5 Kelompok Jaring Lingkar - Pukat cincin/purse seine
- Panjang jaring 50-60 m - mesh size bagian kantong < 0.5 cm - Panjang jaring 35-45 m - mesh size bagian kantong < 1 ich
- panjang jaring 300-400 m - mesh size bagian kantong > 1 inch
Sumber: wawancara nelayan
Jenis jaring insang di Pacitan dalam istilah lokal disebut eder, parel, klitik dan jaring gondrong. Jenis jaring insang meliputi jaring insang hanyut, tetap, klitik, dan jaring tiga lapis/trammel net (Tabel 3.2). Ukuran mata jaring (mesh size) dan jenis benang untuk menangkap ikan berbeda-beda disesuaikan dengan jenis ikan yang akan ditangkap. Jaring insang untuk menangkap ikan lemuru memiliki mesh size 1,5", untuk menangkap ikan layur memiliki mesh size 2”,
16 untuk menangkap ikan tongkol memiliki mesh size 2”,untuk menangkap ikan tenggiri memiliki mesh size 5-6", dan untuk menangkap ikan bawal memiliki mesh size 4,5‟-5”. Khusus untuk jaring insang yang menangkap ikan tongkol memiliki tinggi jaring 200 mata ke arah vertikal dan dioperasikan dengan cara dihanyutkan. Kelompok pancing yang digunakan adalah pancing rawai, pancing tonda, dan pancing ulur (Tabel 3.2). Pancing rawai dibedakan menjadi rawai hanyut dan rawai tetap. Rawai hanyut digunakan untuk menangkap ikan layur, cucut, dan manyung serta rawai tetap untuk menangkap ikan manyung, kerapu, kakap, pari, cucut dan lencam. Sedangkan pancing ulur mempunyai target spesies yang lebih bervariasi diantaranya yaitu layur, kakap, kerapu, hiu, pari, dan tenggiri. Pancing menggunakan umpan berupa ikan rucah segar seperti ikan belut laut dan kembung yang telah dipotong-potong. Kelompok pukat tarik terdiri atas payang, dogol dan pukat pantai. Kontruksi bagian kantong payang berupa waring dengan mesh size kurang dari 0.5 cm dan tujuan penangkapannya adalah udang rebon, teri dan ikan pelagis. Sedangkan dogol kontruksinya hampir sama dengan payang hanya saja panjang bagian sayapnya lebih pendek dan bahannya menggunakan PE multifilamen dengan mesh size kantong < 1 inch. Jumlah tenaga yang dibutuhkan banyak dan jumlah hail tangkapan yang semakin sedikit menyebabkan pukat pantai di Pacitan semakin sedikit atau bahkan sudah jarang dioperasikan. Kapal sekoci secara khusus mengoperasikan kelompok pancing. Jenis pancing yang digunakan adalah pancing tonda, pancing taber, pancing layangan, pancing batuan dan pancing ulur. Target spesies ikan yang menjadi sasaran penangkapan kapal sekoci adalah cakalang, tongkol, dan tuna. Operasi penangkapan kapal sekoci ini menggunakan alat bantu penangkapan berupa rumpon. Kelompok jaring lingkar yang hanya terdapat satu jenis yaitu pukat cincin/purse seine dioperasikan oleh kapal motor. Panjang tali ris atas purse seine yang digunakan di Pacitan adalah 300-400 meter dengan mesh size bagian kantong 1 inch (Tabel 3.2). Ikan pelagis kecil merupakan target spesies alat penangkap ikan purse seine ini. Dalam operasi penangkapannya purse seine menggunakan alat bantu penangkapan rumpon. Nelayan Nelayan lokal berdomisili tidak jauh dari PPI atau alur sungai tempat menambatkan perahunya. Hasil observasi memperlihatkan bahwa sebagian besar nelayan memiliki aktifitas lainnya selain menangkap ikan yaitu bercocok tanam dan beternak, walaupun menjadi nelayan adalah pekerjaan utamanya. Sedangkan anggota keluarga lainnya seperti istri nelayan juga membantu dalam proses pengolahan dan pemasaran ikan. Anak laki-laki dewasa juga kadang ikut serta dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan Pacitan memiliki toleransi yang tinggi terhadap konflik yang timbul. Penyelesaian konflik mengedepankan penyelesaian secara kekeluargaan membuat kondisi usaha penangkapan yang kondusif. Sebanyak 57 persen responden pernah mengalami konflik berupa tumpang tindih alat tangkap/ pemutusan jaring, degan intensitas 1 sampai dengan lebih dari 10 kali setiap bulannya. Namun konflik tidak meluas karena mengedepankan sikap toleransi
17 tersebut. Kemampuan penyelesaian konflik tersebut juga tidak terlepas dari tingkat pendidikan nelayan yang setidaknya sudah tamat pendidikan sekolah dasar (SD). Hal ini terlihat pada tingkat pendidikan nelayan responden yang menunjukkan proporsi seimbang antara pendidikan SD (34 persen), SMP (32 persen), dan SMA/SMK (34 persen). Badan Pusat Statistik Kabupaten Pacitan merilis Nilai Tukar Nelayan (NTN) tahun 2012 mencapai angka 134.15 persen, lebih tinggi 34.15 persen dibandingkan tahun dasar yaitu tahun 2005 (100 persen). Nilai NTN lebih dari 100 menunjukkan daya beli nelayan pada periode 2012 lebih baik dibandingkan dengan keadaan pada tahun dasar. Namun, kondisi tersebut tidak sejalan dengan keterangan responden yang mengungkapkan masih merasa kurang atas pendapatan yang mereka peroleh dibandingkan dengan kebutuhan mereka. Nelayan andon terkonsentrasi hanya di PPP Tamperan dan tinggal di beberapa rumah singgah yang disediakan oleh PPP Tamperan. Keberadaan nelayan andon pada mulanya menimbulkan konflik dengan nelayan Pacitan. Konflik lebih disebabkan persepsi nelayan lokal terhadap penggunaan rumpon yang dinilai dapat menarik ikan yang menjadi target penangkapan mereka. Dialog antar nelayan dan sosialisasi penggunaan rumpon dilakukan untuk menyelesaikan konflik sehingga sampai dengan saat ini sudah tidak terjadi lagi konflik. Daerah penangkapan ikan Perairan pantai di Pacitan didominasi oleh perairan berkarang yang terjal, sehingga daerah penangkapan kapal-kapal penangkap ikan bervariasi tergantung pada alat tangkap yang digunakan dan kemampuan kapal. Sebagai contoh, alat tangkap krendet dioperasikan tidak jauh dari pantai di daerah yang terdapat batu karang. Sedangkan purse seine dan pancing tonda yang menggunakan kapal motor dioperasikan jauh dari pantai dengan jarak lebih dari 12 mil. Daya mesin yang digunakan juga memberikan gambaran jarak operasi dan alat tangkap yang digunakan. Kapal motor (KM) yang beroperasi lebih jauh dari pantai umumnya menggunakan daya 30 HP (2 mesin) untuk pancing tonda dan 280 HP untuk pukat cincin. Kapal motor “sekoci” dan pukat cincin memiliki lama trip penangkapan 7-10 hari.
Gambar 3.9 Daerah penangkapan ikan nelayan PMT dan PTM Gambar 3.9 memperlihatkan nelayan yang menggunakan perahu motor tempel dan tanpa motor kebanyakan beroperasi tidak jauh dari PPI dimana kapal/perahu berangkat. Waktu tempuh daerah penangkapan bervariasi antara 1-3
18 jam perjalanan. Nelayan melakukan operasi penangkapan di perairan pantai hingga berjarak 4 mil dari pantai. Namun pada kondisi yang memungkinkan seperti pada saat musim kemarau dimana ikan tongkol melimpah, nelayan beroperasi hingga 20 mil dari pantai. Pada jarak 0-4 mil nelayan mengoperasikan jaring krendet, pancing rawai dasar, jaring insang dasar, payang dan dogol. Pada jarak >4-12 mil nelayan mengoperasikan jaring insang hanyut, pacing rawai hanyut, dan juga payang. Sedangkan pada jarak penangkapan >12 mil nelayan hanya mengoperasikan jaring insang hanyut. Pola usaha penangkapan ikan perahu motor tempel Usaha penangkapan ikan di Pacitan memiliki tiga pola usaha berdasarkan jenis kapal/perahu penangkap ikan yang digunakan. Usaha penangkapan yang dimaksud adalah usaha penangkapan yang menggunakan kapal motor (KM), perahu motor tempel (PMT), dan perahu tanpa motor (PTM). Alat penangkap ikan yang digunakan oleh KM adalah pukat cincin atau kelompok pancing saja. Begitu pula perahu tanpa motor dikarenakan keterbatasan jarak operasi penangkapan, yang lebih dekat dengan pantai menggunakan alat penangkap ikan jaring krendet, jaring insang dan pancing. Sedangkan perahu motor tempel memiliki jenis dan kombinasi alat penangkap ikan yang beragam antara lain payang, dogol, jaring insang, pancing dan perangkap yaitu krendet. Kelompok jenis alat penangkap ikan Satu perahu motor tempel umumnya memiliki lebih dari satu jenis alat penangkap ikan. Hasil observasi lapang dan pengelompokkan terhadap data responden di peroleh 8 kelompok alat tangkap yang digunakan oleh satu unit perahu motor tempel (Tabel 3.3). Kelompok alat penangkap ikan yang digunakan oleh satu unit PMT paling banyak adalah kelompok pancing, jaring insang, dan perangkap yaitu sebesar 25 persen, disusul oleh kelompok alat penngkap ikan pancing dan jaring insang sebesar 24 persen. Sedangkan kelompok alat penangkap ikan yang digunakan oleh satu unit PMT paling sedikit adalah kelompok perangkap dan pancing sebesar 5 persen. Tabel 3.3 Kelompok jenis alat penangkap ikan dalam satu unit PMT Kelompok 1 2 3 4 5 6 7 8
Alat Penangkap Ikan Pancing, jaring insang, perangkap Pancing, jaring insang Pancing, jaring insang, pukat tarik Pukat tarik Jaring insang, pukat tarik Jaring insang Perangkap, pancing Perangkap, Pancing, jaring insang, pukat tarik
Komposisi (%) 25% 24% 15% 11% 9% 6% 5% 6%
Sumber: wawancara nelayan
Kombinasi pengoperasian alat penangkap ikan juga sering dilakukan oleh nelayan kecil di Pacitan. Kombinasi biasanya antara 2 alat yang berbeda cara
19 pengoperasinya. Alat tangkap yang pasif atau semi pasif seperti jaring insang tetap, jaring insang hanyut, rawai tetap, dan krendet dengan alat tangkap yang aktif seperti payang, dogol dan pancing ulur. Sebanyak 59 persen dari total responden mengkombinasikan alat tangkap jaring insang dengan pancing, 34 persen responden mengkombinasikan alat tangkap payang dan jaring insang dan 7 persen responden mengkombinasikan dogol dengan jaring insang dalam 1 trip penangkapan. Dampak pengoperasian alat penangkap ikan terhadap lingkungan belum ada informasi yang akurat. Namun, nelayan responden menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan terumbu karang pada perairan dimana mereka mengoperasikan alat tangkap. Karakteristik kelompok jenis alat penangkapan ikan Perahu motor tempel (PMT) menggunakan alat penangkap ikan yang beragam, perahu penangkapan dengan ukuran tertentu, daya mesin tertentu, dan dioperasikan nelayan dengan jumlah tertentu. Pola operasi penangkapan ikan yang didasarkan pada kelompok jenis alat penangkap ikan yang digunakan, dalam penelitian ini dibedakan setidaknya menjadi 8 kelompok (Tabel 3.3) dengan karakteristik dijelaskan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4 Karakteristik kelompok jenis alat penangkap ikan PMT Kelompok 1
2
3
4
5
6 7 8
Panjang perahu (m) 4 4.5 7 9 7 8 9 12 7 8 9 4 4.5 7 8 9 9
7 8 4.5 9 9
Sumber: wawancara nelayan
Daya mesin (HP) 15 5.5 15 15 8-15 15 15 15 15 15 15 8 8 8 8 8-15 8 8.5 15 15 8-15 5-5.5 5.5 6.5 15
Jumlah ABK (orang) 3 4 2-3 2-3 2-3 3 3-4 3 3 3 2-4 4 3 4 4 3-4 3-4 3-4 3 2-3 2-3 4 4 2 2-3
% 4% 4% 23% 69% 16% 8% 72% 4% 25% 6% 69% 17% 8% 8% 8% 58% 33% 22% 44% 67% 33% 80% 20% 17% 83%
20 Delapan kelompok jenis alat penangkap ikan memiliki karakteristik yang bervariasi. Karakteristik ukuran panjang perahu kedelapan kelompok ini didominasi panjang 9 meter, kecuali pada kelompok 6 yang didominasi ukuran 7 meter dan kelompok 7 yang didominasi ukuran 4.5 meter. Daya mesin yang digunakan didominasi besar daya 15 HP, kecuali pada kelompok 4 yang didominasi daya 8 HP dan kelompok 7 yang didominasi daya 5.5 HP. Sedangkan nelayan yang mengoperaskan perahu tersebut sebagian besar berjumlah 3 orang dalam satu perahu penangkapan, keculai kelompok 7 berjumlah 4 orang. Variasi ukuran panjang perahu, daya mesin dan jumlah ABK yang mengoperasikan memiliki hubungan terhadap alat penangkap ikan yang digunakan dan daerah pengoperasiannya. Perahu yang menggunakan alat penangkap ikan pancing, jaring insang, perangkap, pukat tarik dan atau kombinasi dua atau tiga jenis diantaranya yang beroperasi jauh dari daerah penangkapan umumnya memiliki panjang 9 meter dengan daya mesin 15 HP dan dioperasikan oleh 3 orang nelayan. Perahu yang beroperasi dengan satu atau dua alat penangkap ikan dan beroperasi di sekitar Teluk Pacitan atau kurang dari 2 mil menggunakan ukuran perahu yang lebih kecil dengan daya mesin yang lebih kecil pula, sebagai contoh pada kelompok 7. Khusus perahu yang hanya mengoperasikan pukat tarik dan beroperasi di Teluk Pacitan memiliki variasi ukuran 4-9 meter dengan dominansi ukuran 9 meter dan daya mesin 8 HP dan 15 HP dan dioperasikan sedikitnya oleh 3 orang nelayan. Kepemilikan perahu dan alat penangkap ikan yang digunakan menggambarkan kemampuan keuangan, keterampilan dan penguasaan daerah penangkapan oleh nelayan. Observasi menunjukkan sebagian besar nelayan dengan modal yang besar, keterampilan yang cukup, dan penguasaan daerah penangkapan yang luas akan memiliki kapal penangkap ikan lebih besar dan kuat, dengan jenis alat penangkap ikan lebih bervariasi dibandingkan nelayan yang bermodal kecil. Trip operasi penangkapan Satu trip penangkapan dilakukan dalam satu hari dengan waktu operasi penangkapan dimulai pada pagi hari antara pukul 2.30-04.00 dan pulang pada siang hari antara pukul 10.00-12.00. Namun pada kondisi tertentu satu trip penangkapan bisa dilakukan dua kali dalam satu hari, sebagai contoh pada saat musim ikan tongkol nelayan melakukan dua trip penangkapan yaitu pada pagi hingga siang dan siang hingga petang. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa nelayan cenderung berangkat lebih pagi dibandingkan waktu penangkapan pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk tiba lebih dulu di daerah operasi penangkapan sehingga dapat menangkap ikan terlebih dahulu sebelum rekan nelayan yang lain datang. Pengoperasian jenis alat tangkap dalam suatu waktu operasi penangkapan berbeda-beda (Gambar 3.11). Pada bulan November, Desember, Januari, dan Februari bertepatan dengan musim penghujan, dimana krustasea dan ikan demersal sedang musim, nelayan banyak mengoperasikan alat tangkap krendet, trammel net dan jaring insang bawal. Sedangkan pada musim kemarau, saat kondisi perairan berombak kecil, hampir sebagian besar nelayan mengoperasikan jaring insang tongkol yang daerah operasinya lebih jauh dari pantai dan juga jaring insang tenggiri.
Komposisi alat penangkap ikan
21
100%
Jaring insang 5-6" (tenggiri)
90%
Jaring insang 4.5-5" (bawal)
80%
Jaring insang 2" (layur) Jaring insang 2" (tongkol)
70%
Jaring insang 1.5" 60% Jaring klitik 50% 40%
Trammel net/ Jaring gondrong Pancing ulur
30%
Rawai hanyut
20%
Rawai dasar Krendet
10%
Dogol 0% 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
Payang
Bulan
Gambar 3.10 Komposisi jumlah pengoperasian alat penangkap ikan
Pembahasan Studi ini memberikan gambaran dari perikanan skala kecil dan perkembangan terhadap jumlah nelayan, ukuran armada, pendaratan dan alat penangkap ikan yang digunakan dalam lima tahun terakhir. Perikanan skala kecil menjadi penting untuk mejadi perhatian karena 90 persen dari total armada perikanan Indonesia di dominasi oleh perikanan skala kecil (Wiyono 2007), begitu pula di Pacitan. Perikanan skala kecil dinilai telah berkontribusi besar terhadap ketahanan pangan, lapangan kerja, pengentasan dan pencegahan kemiskinan (FAO 2012). Lokasi pendaratan yang menjadi pusat aktivitas perikanan tangkap hampir sebagian besar sulit dicapai dan jauh dari pusat kota Pacitan. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan yang menyebutkan bahwa sebagian besar kondisi pantai di Pacitan adalah pantai karang yang curam berjumlah 66 persen dan hanya 34 persen pantai landai. Kondisi ini menyebabkan akses ke lokasi PPI terbatas, distribusi hasil tangkapan terhambat dan jauh dari pengawasan. Berbeda pada kondisi perikanan Tegal dan Serang yang memiliki akses dekat dengan jalan utama dan pusat pemerintahan sehingga distribusi lebih mudah dan pengawasan lebih baik (Hermawan 2006).
22 Kondisi tersebut diikuti dengan jumlah kapal/perahu penangkapan yang berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Jumlah perahu motor tempel meningkat 57.4 persen, kapal motor meningkat 18.25 kali lipat selama 9 tahun terakhir, dan perahu tanpa motor berfluktuatif. Peningkatan kapasitas pelabuhan, bantuan pemerintah dan kemampuan usaha nelayan telah memicu pertumbuhan jumlah kapal/perahu. Hal menarik terjadi pada tahun 2009-2011 dimana jumlah perahu mengalami kecenderungan penurunan. Penurunan jumlah PMT ini secara linier juga mempengaruhi penurunan jumlah nelayan lokal. Penurunan jumlah PMT tersebut diduga dipicu oleh penurunan jumlah dan nilai hasil tangkapan. Menurunnya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan dan rendahnya harga jual hasil tangkapan yang didaratkan membuat biaya operasi yang dikeluarkan tidak seimbang dengan keuntungan yang diperoleh nelayan. Hal ini membuat nelayan berhenti menggunakan PTM sampai kondisi kembali pulih dan keuntungan dapat diperoleh kembali. Aktivitas penangkapan ikan di Pacitan tersebar sepanjang pantai Pacitan dengan jumlah yang cukup besar dan didominasi oleh perikanan skala kecil dengan menggunakan perahu motor tempel. Dominasi ukuran perahu penangkap ikan yang kecil ini merupakan adaptasi terhadap kondisi topografi pantai dankemampuan serta keterampilan nelayan. Kurien (2004) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi desain perahu adalah serangkaian faktor spesifik oseanografi daerahnya, termasuk struktur, tekstur dan kemiringan dasar laut serta sifat ombak dan gelombang yang mendekati pantai dan ketersediaan bahan baku. Alat penangkap ikan yang digunakan didominasi oleh alat tangkap yang sederhana, mudah dioperasikan, murah dan mudah didapat serta spesifik menangkap target spesies tertentu, seperti krendet untuk menangkap udang lobster dan gillnet hanyut untuk menangkap tongkol. Metode operasi penangkapannya pun masih menggunakan tenaga nelayan secara langsung dan belum menggunakan alat mekanis untuk membantu penangkapan kecuali pada purse seine yang sudah menggunakan „gardan‟ untuk membantu menarik tali kerut. Alat tangkap gillnet dan krendet merupakan alat tangkap yang paling sering hilang atau tertinggalnya alat tangkap di perairan (ghost fishing). Kurien (2004) menjelaskan bahwa konstruksi, bahan dan desain alat penangkap ikan adalah hasil dari proses adaptasi penangkapan ikan selama berabad-abad dan turun temurun. Jenis alat penangkap ikan tertentu yang digunakan oleh nelayan di Pacitan diduga menimbulkan dampak terhadap lingkungan perairannya. Fulleret al. (2008) dalam penelitiannya terhadap perikanan di Kanada mengurutkan peringkat dampak kerusakan alat penangkap ikan terhadap lingkungan perairan dan hasil tangkapan sampingan secara berurutan mulai dari yang paling merusak sampai dengan kerusakan yang rendah adalah trawl dasar (nilai 98), gillnet dasar (nilai 79), dredge (nilai 74), rawai dasar (nilai 62), trawl pertengahan (nilai 52), perangkap (nilai 44), rawai hanyut, gillnet hanyut, purse seine, pancing, menyelam dan harpoon. Mengacu pada Fuller et al. (2008) maka jenis alat penangkap ikan yang paling merusak dengan nilai kerusakan 50 persen diantaranya adalah adalah dogol, payang, trammel net, jaring klitik, dan jaring insang tetap. Artinya, alat penangkap ikan dogol, payang, trammel net, jaring klitik, dan jaring insang tetap harus menjadi perhatian serius dalam pengelolaannya.
23 Jumlah nelayan lokal lebih dominan dibandingkan nelayan pendatang. Nelayan tersebar disepanjang pantai Pacitan dengan konsentrasi paling banyak berada di sekitar teluk Pacitan. Jumlah nelayan lokal semakin menurun beberapa tahun terakhir. Penurunan ini akibat dari semakin sulitnya mendapatkan hasil tangkapan yang cukup untuk penghidupan nelayan sehari-hari. Kesulitan mendapatkan ikan ini pun dibuktikan dengan terjadinya konflik antar nelayan dalam aktivitas menangkap ikan. Nelayan yang mampu bertahan dalam penangkapan umumnya memiliki aktivitas lain untuk memenuhi kebutuhan mereka, diantaranya yaitu bertani, berkebun, dan buruh panggul di PPP Tamperan. Dominasi PMT dengan alat penangkapan ikannya yang sederhana, telah menggambarkan bahwa daerah penangkapan ikan yang dekat dengan pantai adalah daerah penangkapan ikan yang paling padat. Berdasarkan ploting daerah penangkapan yang pernah dikunjungi nelayan memperlihatkan bahwa 1-4 mil yang paling padat. Pada area ini nelayan banyak mengoperasikan krendet, jaring klitik, payang, dogol, dan rawai dasar. Konflik penggunaan alat tangkap sering terjadi pada area ini. Hal serupa juga terjadi pada pengoperasian bubu oleh nelayan di Muara Angke. Penentuan daerah penangkapan dengan memanfaatkan informasi nelayan lain dan pengalaman semata membuat pengoperasian bubu cenderung dilakukan pada daerah yang sama, sangat terbatas pada kawasan Teluk Jakarta. Kondisi ini memnyebabkan kompetisi antar alat tangkap bubu sangat tinggi sehingga berpeluang untuk terjadinya konflik antar nelayan (Wiyono 2013). Orientasi daerah penangkapan lebih jauh dari pantai masih memungkinkan. Kapal motor dengan ukuran yang lebih besar (25-30 GT), daya mesin lebih kuat dan penggunaan teknologi penangkapan yang lebih maju memungkinkan memanfaatkan daerah penangkapan lebih dari 4 mil. Walaupun saat ini KM sebagian besar milik nelayan andon tidak menutup kemungkinan nelayan Pacitan meningkatkan kemampuannya. Pemanfaatan KM yang ada saat ini untuk media alih teknologi, sekaligus membuka wawasan penangkapan ikan lebih jauh dari pantai. Kapal/perahu yang digunakan menggambarkan pola usaha penangkapan ikan di Pacitan yang terbagi menjadi 3, yaitu kelompok yang menggunakan kapal motor (KM), perahu motor tempel (PMT) dan perahu tanpa motor (PTM). Alat penangkap ikan secara khsus membedakan antara ketiganya, dimana KM menggunakan satu jenis alat tangkap (single gear) sedangkan PMT dan PTM menggunakan lebih dari satu jenis alat penangkap ikan (multi gear). Hasil pengelompokkan menunjukkan variasi terbesar kelompok PMT, yakni 8 kelompok dengan ciri khas masing-masing antar kelompok. Pemilihan panjang perahu, daya mesin, anak buah kapal dan alat penangkap ikan yang digunakan menunjukan bagaimana nelayan melakukan strategi penangkapan yang disesuaikan dengan kemampuannya. Nelayan yang memiliki modal dan keahlian yang lebih akan banyak variasi dan kombinasi alat penangkap ikannya. Variasi ukuran kapal/perahu, panjang kapal lebih tinggi menjamin keselamatan dalam operasi penangkapan nelayan yang semakin jauh, tetapi juga meningkatkan tonase dan dengan demikian jumlah alat tangkap yang dapat dibawa semakin banyak, sehingga meningkatkan upaya penangkapan (Tzanatos 2005). Kelompok pola usaha penangkapan tersebut memperlihatkan bahwa dengan alat penangkap ikan yang sama, PMT dapat memiliki variasi ukuran
24 panjang, daya mesin yang digunakan, dan nelayan yang mengoperasikan. Daya mesin yang digunakan menggambarkan daya jangkau operasi penangkapan. Lleonart dan Maynou (2003) pada sensus armada di Mediterania mengkonfirmasi adanya hubungan yang relatif rendah antara panjang total dan kekuatan mesin, artinya dengan kekuatan mesin yang sama dapat bervariasi ukuran panjang kapalnya dapat bervariasi. Penggunaan alat tangkap yang beragam memungkinkan PMT beroperasi sepanjang tahun dengan menyesuaikan kondisi dan target spesies tertentu. Musim hujan dimana kondisi perairan kurang baik untuk menangkap ikan, nelayan cenderung mengoperasikan alat tangkap yang tidak memerlukan waktu lama di laut seperti krendet dan beberapa gillnet dasar. Sebaliknya, pada saat musim kemarau kecenderungan nelayan menangkap ikan lebih jauh dari pantai dengan alat tangkap gillnet hanyut untuk menangkap tongkol dan tenggiri. Kurien (2004) menjelaskan bahwa alat tangkap yang digunakan nelayan skala kecil pada umumnya pasif, selektif, dan digunakan serta disesuaikan dengan musim tertentu. Lebih lanjut Seilert dan Sangchan (2001) membuktikan bahwa kombinasi jenis alat tangkap pada perikanan skala kecil, misalnya trammel net dan gillnet makarel dapat meningkatkan jumlah total pendapatan yang rumah tangga nelayan skala kecil.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Aktivitas penangkapan ikan di Pacitan tersebar sepanjang pantai Pacitan. Jenis kapal/perahu penangkapan terdiri dari KM, PMT dan PTM dengan dominasi PMT. Alat penangkap ikan yang digunakan beragam meliputi kelompok perangkap, pancing, jaring insang, pukat tarik, pukat cincin, dan jaring angkat dengan dominasi kelompok perangkap. 2. Perahu motor tempel dikelompokkan menjadi 8 kelompok berdasarkan alat penangkap ikan yang digunakan. Kelompok yang dominan adalah PMT yang menggunakan alat penangkap ikan perangkap, jaring insang, dan pancing serta kelompok yang mengoperasikan alat penangkap ikan jaring insang dan pancing. Variasi pola usaha operasi penangkapan disebabkan kondisi lingkungan, kemampuan modal dan keterampilan nelayan. Trip operasi penangkappan ikan dipengaruhi oleh musim, ikan target penangkapan, dan daerah penangkapannya. Saran 1. Perlu adanya penelitian terhadap pemanfaatan sumber daya ikan dan musim penangkapan ikan yang didaratkan di Pacitan. 2. Perlu peningkatan kualitas data teknis unit penangkapan dalam pengelolaan perikanan skala kecil.
25
4 DINAMIKA PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN Pendahuluan Daerahpantai yang merupakan daerah penangkapan utama nelayan kecil diperkirakan memiliki luas hanya 9.9 persen dari total luas perairan laut, namun demikian perairan ini merupakan salah satu wilayah yang produktif untuk perikanan (Widodo dan Suadi 2006). Ikan yang berada pada habitat pantai adalah ikan karang dan ikan demersal dimana kelompok usaha penangkapan skala kecil banyak mengeksploitasinya (Simbolon 2011). Nelayan skala kecil sangat tergantung terhadap ekosistem laut yang dekat dengan tempat tinggal mereka yaitu daerah pantai, umumnya dilakukan dalam satu hari penangkapan dan menyesuaikan dengan pola musiman tertentu (Cochrane 2002), dan sangat rentan dengan penurunan sumber daya ikan (McGoodwin 2001). Penurunan sumber daya ikan ini pada gilirannya, menyebabkan permasalahan pemanfaatan sumber daya, berkurangnya pendapatan, peningkatan kemiskinan dan penurunan secara keseluruhan dalam standar hidup yang pada akhirnya mengarah penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih efektif, tetapi merusak (Salayo et al. 2006). Armada penangkapan di Pacitan mengeksploitasi jenis ikan yang cukup beragam. Jenis ikan yang banyak dieksploitasi adalah ikan demersal, pelagis, dan krustasea, serta beberapa jenis moluska. Produksi total perikanan berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami kenaikan. Namun beberapa jenis ikan megalami penurunan seperti ikan demersal dan krustasea. Tahun 2012 produksi ikan demersal mengalami penurunan 20.6 persen dan krustasea turun 49.2 persen dibandingkan tahun 2011 (DKP Pacitan 2012). Hal tersebut juga ditegaskan oleh pendapat nelayan yang semakin sulit untuk mendapatkan hasil tangkapan dalam operasi penangkapannya. Bab ini menjelaskan pemanfaatan sumber daya ikan dan pola musim penangkapan ikan untuk membantu pemerintah daerah memahami pemanfaatan sumber daya perikanan.
Metode Penelitian Metode penelitian pada kajian ini adalah metode survei. Metode pengumpulan data melalui wawancara pribadi, observasi, pengarsipan data dan survei dengan menggunakan kuesioner. Populasi yang ada dalam penelitian ini adalah nelayan kecil dan pemangku kepentingan lain yang terkait dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Pacitan seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, PPP Tamperan, petugas tempat pelelangan ikan (TPI). Metode pengambilan data primer yang digunakan adalah snowball sampling. Teknik snowball sampling memungkinkan sampel diperluas sesuai dengan data yang diperlukan (Sugiyono 2011). Jumlah sampel pada penelitian pertama adalah 15 orang yang kemudian dilanjutkan pada penelitian kedua menjadi 105 orang. Data yang dikumpulkan meliputi hasil tangkapan/produksi ikan per spesies, jumlah dan jenis unit penangkapan ikan, nelayan dan hari hujan, jumlah alat penangkap ikan tahun 2003-2012. Sedangkan alat yang digunakan dalam
26 penelitian adalah kuesioner, alat perekam, alat tulis dan kamera serta alat analisis adalah perangkat lunak microsoft exel dan Statistical Package for the Sosial Science (SPSS). Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah: Analisis deskriptif terhadap data produksi penangkapan untuk menggambarkan tren produksi per jenis ikan per tahun yang didaratkan di Pacitan. Analisis produktivitas alat penangkap ikan dilakukan melalui pendekatan produksi alat penangkap ikan per unit alat penangkap ikan dalam rentan waktu satu tahun. Produktivitas alat penangkap ikan dihitung dengan menggunakan rumus: Produktivitas =
produksi jumlah alat penangkap ikan
Analisis musim penangkapan dengan menghitung indek musim. Indek musim diduga dengan menggunakan metode rata-rata bergerak (moving average). Data yang digunakan adalah data bulanan antara tahun 2006-2011 spesies ikan, yang kemudian diramalkan dengan forecasting analyze menggunakan SPSS. Langkah-langkah pendugaannya adalah sebagai berikut (Makridakis, Wheelwright dan McGee 1983 dalam Wiyono 2011): 𝐶 𝑆𝐼𝑚
(ton/unit/th)
1 = 𝐾
𝐾−1
𝑘=0
𝑥𝑚 +12𝑘 × 100% 𝑇𝑚 +12𝑘
Keterangan: SI = indek musim (seasonal index) m = bulan (m = 1 s/d 12) k = (0,1,2,...,K-1) K = jumlah musim dari data runut waktu xm + 12k, data produksi per bulan m + 12k, dan Tm+12k Analisis pengaruh musim terhadap produksi dijelaskan dengan regresi linier terhadap hasil tangkapan bulanan dan jumlah hari hujan bulanan. Persamaan liniernya adalah sebagai berikut:
y = a + bx + e Keterangan: y = hasil tangkapan jenis ikan ke-i a = konstanta (nilai y bila x = 0) b = besaran pegaruh variabel bebas x = hari hujan e = error
Hasil Tren produksi dan CPUE Potensi perikanan tangkap di Pacitan diperkirakan mencapai 34 483 ton/ tahun meliputi berbagai jenis ikan pelagis besar, seperti tuna dan cakalang, pelagis kecil, demersal dan udang Nurani dan Widyamayanti (2010). Potensi tersebut secara total masih memberikan harapan untuk dieksploitasi lebih dari saat
27 ini. Sampai dengan tahun 2012 produksi ikan laut mencapai 6 252.18 ton atau masih 18 persen dari potensi yang diperkirakan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan. Sehingga masih ada peluang untuk memanfaatkan sumber daya ikan yang ada sebesar 62 persen dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan yaitu sekitar 21 334.23 ton/ tahun (Gambar 4.1). Secara khusus peningkatan produksi tersebut di pengaruhi oleh produksi ikan pelagis (tuna, cakalang, dan tongkol) yang didaratkan oleh kapal motor yang mengoperasikan pukat cincin dan pancing (tonda). Sedangkan ikan-ikan yang menjadi target penangkapan nelayan kecil kebanyakan mengalami penurunan. 100%
90%
Pemanfaatan
80% 70% 60% 50%
Potensi
40%
Produksi
30% 20% 10% 0% 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun
Gambar 4.1 Pemanfaatan sumber daya ikan tahun 2004-2012 Komposisi ikan hasil tangkapan antara 2007-2012 didominasi oleh ikan pelagis besar (Gambar 4.2). Rata-rata hasil tangkapan ikan pelagis besar setiap tahunnya mencapai 70.5 persen dari seluruh hasil tangkapan. Sedangkan sebelum tahun 2007, yaitu tahun 2003-2006 rata-rata hasil tangkapan dominan adalah pelagis besar (24.1 persen), pelagis kecil (27.1 persen), dan demersal besar (28.5 persen). Komposisi ikan hasil tangkapan, sebelum tahun 2007 hanya terdapat 21 spesies ikan dengan ikan dominan diantaranya adalah tongkol, layur, lemuru, kembung, bawal, pari, cucut dan udang lobster. Setelah tahun 2007,spesies ikan hasil tangkapan terdiri dari 59 jenis ikan dengan ikan dominan diantaranya adalah tuna, cakalang, tongkol dan layur. Sembilan belas spesies (54 persen) dari 35 spesies yang diamati berfluktuasi dengan kecenderungan menurun selama 6 tahun terakhir (2007-2012). Spesies ikan yang mengalami penurunan adalah pelagis besar (cucut dan tenggiri), pelagis kecil (bawal, kuwe, julung-julung dan kembung), demersal besar (manyung, kakap merah/ bambangan, kerapu, pari, dan layur), demersal kecil (sebelah dan peperek), dan krustasea (udang merah, udang putih dan udang barong/lobster) (Tabel 4.1).
28 100% Komposisi produksi ikan
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10%
0% 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Pelagis besar Krustasea
Pelagis kecil Moluska
Tahun Demersal besar Lain-lain
Demersal kecil
Gambar 4.2 Komposisi produksi ikanhasil tangkapan tahun 2003-2014 Tabel 4.1 Hasil analisis tren per spesies ikan tahun 2007-2012 Intercept Slope Spesies ikan R2 sig. (a) (b) Sebelah 16.663 0.443 0.149 -3.425 Gulamah/ tigawaja 33.961 0.38 0.192 -4.87 Kuniran 29.485 0.386 0.188 -5.217 Manyung 64.657 0.323 0.239 -9.707 Kakap merah/ bambangan 33.765 -5.942 0.668 0.047* Kerapu 12.713 -2.327 0.865 0.007* Pari 37.015 0.073 0.605 -1969 Layur 184.883 0.013 0.828 -5.624 Cucut 64.441 -11.002 0.796 0.017* Tenggiri 127.003 -21.856 0.317 0.244 Peperek 1.877 0 0.985 -0.011 Bawal 36.494 0.054 -6.544 0.645 Kuwe 24.135 0.497 0.118 -3.742 Julung-julung 27.115 -5227 0.704 0.037* Kembung 83.635 0.001 0.964 -0.529 Udang Merah 1.273 0.042 0.695 -0.1 Udang putih 8.561 0.148 0.451 -1550 Udang barong / Lobster 39.622 -6.495 0.717 0.033* Lainnya 150.878 -23.037 0.249 0.314 * signifikan (p<0.05)
29 Menyiasati penurunan hasil tangkapan, nelayan antara lain melakukan modifikasi alat tangkap, mengoperasikan dua alat tangkap sekaligus, menambah jumlah alat tangkap per trip, menambah waktu/trip penangkapan dan pergeseran daerah penangkapan. Upaya yang dilakukan oleh nelayan tersebut adalah dalam rangka meningkatkan upaya penangkapan (effort). Modifikasi alat tangkap yang dilakukan antara lain nelayan payang telah memodifikasi bagian kantong dengan menggunakan jaring waring yang sangat kecil ukuran mata jaringnya sehingga ikan berukuran kecil sekalipun akan tertangkap. Nelayan dogol telah menambahkan papan pembuka mulut jaring untuk memaksimalkan bukaan mulut jaring sehingga luasan area penangkapan semakin luas. Nelayan jaring insang hanyut untuk menangkap tongkol menambah ukuran vertikal jaring menjadi dua kali panjang ukuran jaring standar. Penambahan waktu/trip penangkapan dan menggeser daerah penangkapan ketempat yang lebih jauh dari pantai merupakan upaya lain dari nelayan untuk meningkatkan upaya. Durasi rata-rata waktu penangkapan nelayan Pacitan adalah 6-8 jam setiap trip penangkapan. Namun kebanyakan nelayan akan menambah waktu penangkapan pada saat tidak musim ikan berlangsung menjadi 9-10 jam dalam satu trip penangkapan. Nelayan jaring insang hanyut yang menangkap tongkol, pada musim ikan waktu penangkapan semakin pendek antara 4-5 jam sehari namun dalam 1 hari dapat dilakukan 2 trip penangkapan. Sedangkan pergeseran daerah penangkapan terlihat pada jaring tongkol yang sudah mencapai jarak 3-4 mil. Sedangkan jaring krendet sudah mulai mencari daerah penangkapan di pantai sebelah Pacitan yaitu pantai sekitar Wonogiri. Penurunan hasil tangkapan juga terjadi pada satuan unit penangkapan ikan (Tabel 4.2). Alat penangkap ikan payang, dogol, jaring insang, pancing dan perangkap memiliki nilai produktivitas fluktuatif dengan kecenderungan menurun selama periode 2006-2012, kecuali pukat cincin. Pukat cincin memiliki fluktuasi nilai CPUE cenderung meningkat, dengan nilai 143.1 ton/unit/tahun pada tahun 2012. Tabel 4.2 Catch per unit effort (CPUE) alat penangkap ikan tahun 2006-2012 Alat Penangkap Ikan Payang Dogol Pukat cincin Jaring insang hayut Jaring klitik Jaring insang tetap Jaring tiga lapis Rawai hanyut lainnya Rawai tetap Pancing tonda Pancing lainnya Perangkap lainnya
2006 1.616 2.025 32.489 2.191 0.016 0.836 0.481 0.144 0.267 0.061 0.002
CPUE (Ton/ Unit) 2007 2008 2009 2010 1.834 2.446 3.277 0.977 9.901 - 0.075 0.093 - 134.6 1.500 10.3 2.343 0.657 0.429 0.836 0.092 0.013 0.035 0.068 - 0.141 0.196 0.333 3.406 0.068 0.008 0.154 - 2.068 1.418 0.973 0.334 2.327 0.079 0.229 2.704 3.032 2.534 3.238 0.249 0.033 0.096 0.005 0.000 0.002 0.004
2011 0.977 0.093 111.1 0.836 0.068 0.333 0.154 0.973 0.229 1.881
2012 1.927 0.095 143.1 0.623 0.003 0.300 0.445 0.110 2.275
0.004 0.0003
30 Pola musim penangkapan ikan Nelayan di Pacitan secara khusus menentukan musim penangkapan ikan dengan metode yang disebut “Pranoto Mongso”. Satu tahun menurut penanggalan Jawa dibagi menjadi empat musim „mangsa‟ utama, yaitu musim kemarau atau „ketigo‟, musim pancaroba menjelang hujan atau „labuh‟, musim hujan atau „rendheng‟, dan pancaroba akhir musim hujan atau „mareng‟. Keempat musim tersebut secara teratur silih berganti sepanjang tahun. Penangkapan ikan yang dilakukan sepanjang bulan dan alat penangkap ikan serta intensitas yang berbeda menyebabkan musim ikan dapat terjadi lebih dari satu bulan baik berturut-turut maupun bulan-bulan tertentu saja. Umumnya puncak musim ikan terjadi pada bulan Mei – Oktober, dimana produksi penangkapan lebih besar dari produksi rata-rata pada tiap bulannya. Sedangkan musim sedikit ikan terjadi pada bulan Januari. Pola musim penangkapan ikan sedikitnya terdapat enam pola utama. Pola musim penangkapan pertama (Gambar 4.3) terjadi pada saat musim kemarau antara bulan Mei-Oktober yaitu jenis ikan tuna (Thunnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Euthynnus spp.), ekor kuning (Caesio cuning), layang (Decapterus spp.), kembung (Rastrelliger spp.), teri (Stolephorus spp.), dan lemadang (Coryphaena hippurus). Ikan pada pola musim penangkapan pertama ini didominasi oleh ikan pelagis besar dan dieksploitasi dengan pancing tonda (tuna, cakalang, lemadang, dan tongkol), jaring insang hanyut (tongkol), payang (teri), dan purse seine (layang, kembung).
Indeks Musim (%)
400 350
Tuna
300
Cakalang
250
Tongkol
200
Ekor Kuning
150
Layang
100
Kembung
50
Teri
0
Lemadang 1
2
3
4
5
6 7 Bulan
8
9
10
11
12
Gambar 4.3 Indeks musim ikan tuna, cakalang, tongkol, ekor kuning, layang, kembung, teri, dan lemadang Pola musim penangkapan kedua (Gambar 4.4) terjadi pada saat musim hujan antara November-Desember dan Januari-Maret yaitu jenis ikan kakap merah/bangbangan (Lutjanus sp.), kuro (Polynemus spp.), julung-julung (Hemirhampus spp.), kuwe (Caranx spp.), lobster (Panulirus spp.), dan gulamah/ tigawaja (Nibea albiflora). Ikan pada pola musim penangkapan kedua ini didominasi oleh ikan demersal dan dieksploitasi dengan pancing rawai (kakap merah, kuro, kuwe, dan gulamah), payang (julung-julung), dan krendet (lobster).
31 450
Indeks Musim (%)
400 350
Kakap
300
Kuro
250 200
Julung2
150
Kuwe
100
Lobster
50
Gulamah 1
2
3
4
5
6 7 Bulan
8
9
10
11
12
Gambar 4.4 Indeks musim ikan kakap, kuro, julung-julung, kuwe, lobster, dan gulamah Pola musim penangkapan ketiga (Gambar 4.5) terjadi pada musim hujan sampai dengan saat akhir musim hujan antara Januari-Juni yaitu jenis ikan kerapu karang (Cephalophodis boenack), lidah (Cynoglossus spp.), cucut lanyam (Carcharhinus spp.), selar (Selaroidesleptolepis) dan pari. Ikan pada pola musim penangkapan ketiga ini didominasi oleh ikan demersal dan dieksploitasi dengan pancing rawai dan pancing ulur (kerapu karang, cucut lanyam, dan pari), serta payang (selar). 400
Indeks Musim (%)
350 300 Kerapu
250
Lidah
200
Cut Lanyam
150
Pari
100
Selar
50 1
2
3
4
5
6 7 Bulan
8
9
10
11
12
Gambar 4.5 Indeks musim ikan kerapu, lidah, cucut, pari, dan selar Pola musim keempat (Gambar 4.6) terjadi pada bulan Februari-April, JuniAgustus, dan Oktober-Desember yaitu jenis ikan tenggiri (Scomberomorus commerson), lemuru (Sardinella spp.), manyung (Arius spp.), dan layur (Trichiurus spp.). Ikan pada pola musim penangkapan keempat ini meliputi ikan demersal dan pelagis yang dieksploitasi dengan jaring insang (tenggiri, lemuru, manyung, dan layur), serta pancing (manyung dan layur).
32 250
Indeks Musim (%)
200 150
Tenggiri Lemuru
100
Manyung Layur
50
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Gambar 4.6 Indeks musim ikan tenggiri, lemuru, manyung, dan layur Pola musim kelima (Gambar 4.7) terjadi antara bulan Maret-April, JuniSeptember dan Desember yaitu jenis ikan sebelah (Psettodes erumei), kuniran (Upeneus spp.), dan peperek (Leiognathus spp.). Ikan pada pola musim penangkapan kelima ini dieksploitasi dengan jaring insang (sebelah dan kuniran), payang, dogol, dan trammel net (peperek). 600
Indeks Musim (%)
500 400 Sebelah
300
Kuniran 200
Peperek
100
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Gambar 4.7 Indeks musim ikansebelah, kuniran, dan peperek Pola musim keenam (Gambar 4.8) terjadi pada bulan Januari, Maret atau mulai bulan Agustus-Desember yaitu ikan bawal putih (Pampus argenteus), cumicumi (Loligo spp.), dan udang lainnya. Ikan pada pola musim penangkapan keenam ini terjadi pada awal tahun atau pada akhir tahun saja. Ikan bawal yang ditangkap dengan menggunakan jaring insang banyak dilakukan penangkapan pada bulan Januari dan Maret. Cumi-cumi yang ditangkap dengan pukat cincin dan udang lainya yang ditangkap dengan dogol ataupun payang terjadi pada akhir tahun antara bulan Agustus dan November.
33 800
Indeks Musim (%)
700 600 500 400
Bawal
300
Cumi-cumi
200
Udang lain
100
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan
Gambar 4.8 Indeks musim ikan bawal, cumi-cumi, dan udang lainnya
1200
35
1000
30 25
800
20 600 15 400
10
200
5
0
0
Jumlah hari hujan
Produksi (ton)
Pada saat musim hujan, jenis ikan yang menjadi target utama berbeda dengan musim kemarau. Secara umum, hari hujan dan total produksi ikan bulanan antara tahun 2009-2011 memperlihatkan bahwa ketika hari hujan sedikit maka produksi ikan akan cenderung meningkat (Gambar 4.9). Berdasarkan uji statistik, diperoleh bahwa ada pengaruh hari hujan dengan produksi ikan. Persamaannya yaitu y = 656.518 – 15.629x dan nilai R2 = 0.288 serta signifikasi model 0.001 (p < 0.05). Setiap kenaikan hari hujan 1 hari, maka produksi ikan akan mengalami penurunan 15.629 ton dan begitu juga sebaliknya. Nilai p (0.001) < 0.05 menunjukkan bahwa hari hujan berpengaruh signifikan terhadap produksi ikan. Sedangkan hari hujan mejelaskan perubahan produksi ikan sebesar 28.8 persen dari keseluruhan faktor yang mempengaruhi produksi ikan.
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
Bulan produksi
hari hujan
Gambar 4.9 Hubungan antara hari hujan dengan produksi per bulan tahun 20092011
34 Pembahasan Perikanan di Pacitan mengeksploitasi sumber daya yang cukup beragam. Komposisi jenis ikan yang didaratkan selama 10 tahun mengalami pergeseran komposisi, penurunan tren produksi dan penurunan hasil tangkapan per unit penangkapan ikan. Komposisi ikan yang didaratkan sejak tahun 2007, didominasi ikan pelagis besar. Perubahan komposisi antara lain dikarenakan keberadaan PPP Tamperan yang berperan mempermudah armada pukat cincin dan pancing tonda untuk mendaratkan hasil tangkapannya yang sebagian besar ikan pelagis besar (tuna, cakalang, dan tongkol), serta perubahan orientasi penangkapan yang menjauh dari pantai pada saat musim kemarau oleh perahu nelayan kecil yang menggunakan jaring insang hanyut dengan target penangkapan ikan tongkol. Steneck et al. (2002); Steneck dan Sala (2005) menegaskan berpindahnya penangkapan ke daerah penangkapan lain karena penurunan sumber daya di daerah penangkapan asalnya. Penurunan tren produksi terjadi pada beberapa spesies target utama nelayan kecil yang sebagian besar mengeksploitasi daerah sekitar pantai. Spesies yang mengalami penurunan sebagian besar adalah spesies ikan demersal dan krustasea yang merupakan target penangkapan ikan skala kecil. Jenis yang mengalami penurunan produksi yang signifikan yaitu cucut, tenggiri, manyung, kakap merah/bambangan, kerapu, pari, dan layur, sedangkan jenis ikan lainnya yang juga mengalami penurunan adalah ikan sebelah, gulamah, kuniran, manyung, pari, layur, tenggiri, peperek, kuwe, kembung, udang merah, udang putih, dan udang barong/lobster. Jenis ikan yang mengalami penurunan tersebut adalah target utama dari nelayan PMT yang mengoperasikan jenis dan jumlah alat tangkap yang dominan digunakan yaitu jaring insang, perangkap dan pancing. Analisis CPUE memperkuat bahwa hampir seluruh alat penangkapan ikan mengalami kecenderungan penurunan kecuali alat tangkap pukat cincin. Salayo et al. 2006 menjelaskan penurunan produksi pada kebanyakan perikanan disebabkan berlebihnya upaya penangkapan dan Pauly et al. (2005) menambahkan disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Nelayan skala kecil sangat tergantung pada ekosistem laut dan menyesuaikan dengan pola musiman tertentu (Cochrane 2002). Musim ikan di Pacitan terjadi pada mulai bulan Mei sampai dengan Oktober dan puncak pada bulan Juli. Nilai indek musim diantara bulan tersebut ≥ 100 yang menunjukkan produksi ikan sedikit dipengaruhi musim. Sehingga dapat diperoleh gambaran bahwa nelayan di Pacitan lebih produktif pada cuaca sedikit/tidak hujan dibandingkan musim hujan. Salas et al. (2004) selanjutnya menjelaskan kondisi bio-geografis juga mempengaruhi perilaku sumber daya perikanan dan selanjutnya menentukan di mana dan bagaimana nelayan beroperasi. Pola musim masing-masing spesies memiliki pola yang tidak selalu sama dengan pola musim ikan umumnya. Spesies ikan tuna, tongkol dan cakalang memiliki pola musim yang sama dengan pola musim ikan pada umumnya yaitu Mei-Oktober. Spesies ikan cucut, lobster dan bawal memiliki pola musim yang berlawanan dengan pola musim umumnya yaitu Januari-Maret dan NovemberDesember. Salas et al. (2004) menjelaskannelayan tidak beroperasi secara acak tetapi mempertimbangkan informasi tentang ketersediaan sumber daya dan
35 pendapatan yang dihasilkan dari penangkapan sebelumnya, sebelum memilih atau menetapkan target penangkapan. Uji statistik memperlihatkan bahwa ada pengaruh hari hujan dengan produksi ikan. Hasil analisis menujukkan bahwa perubahan hari hujan akan diikuti dengan perubahan produksi ikan dengan arah yang berlawanan (p<0.05). Wiyono et al. (2006) dalam studinya menjelaskan bahwa untuk meminimalkan resiko penangkapan, nelayan Palabuhanratu banyak beroperasi pada musim kemarau sehingga beberapa puncak penangkapan terjadi pada musim itu.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Telah terjadi penurunan produksi jenis ikan cucut, bawal putih, manyung, kakap, pari, gulamah dan udang barong pada kurun waktu 6 tahun terakhir 2007-2012 (p<0.05). Penurunan tren produksi diikuti oleh penurunan CPUE hampir seluruh unit penangkapan ikan kecuali purse seine. 2. Penangkapan ikan banyak dipengaruhi oleh musim. Pada saat hari hujan yang lebih sedikit trip penangkapan cenderung meningkat (p<0.05). Musim puncak penangkapan terjadi antara bulan Mei-Oktober (SI>100). Saran 1. Perlu adanya penelitian mengenai tata kelola perikanan tangkap di Pacitan untuk mengevaluasi tata kelola saat ini dan memberikan rekomendasi secara keseluruhan permasalan. 2. Pengaturan musim penangkapan untuk jenis ikan tertentu seperti hiu, pari, dan udang barong perlu segera dilakukan.
5 PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL Pendahuluan Perikanan skala kecil yang memiliki keragaman dan kompleksitas telah memberikan tantangan bagi pengelolaan perikanan (Berkes et al. 2008). Perikanan tangkap di Pacitan didominasi perikanan skala kecil dan berada di sepanjang pantai. Jumlahnya banyak dan beragam beroperasi dekat dengan pantai akan menambah semakin sempitnya area penangkapan yang diduga menjadi penyebab penurunan hasil tangkapan dan konflik penangkapan. Kondisi demikian bila tidak dilakukan tindakan-tindakan pengelolaan yang baik, akan menambah buruk kondisi penangkapan di Pacitan. Keberadaan yang menyebar hampir disepanjang pantai dan jauh dari pusat pemerintah menyebabkan perikanan skala kecil terlepas dari pengawasan dan penegakkan hukum (Berkes et al. 2008). Hampir sebagian besar lokasi pendaratan ikan skala kecil di Pacitan sulit dijangkau, berada pada teluk sempit dengan jalan yang terjal. Segala bentuk aktivitas nelayan legal maupun ilegal hanya nelayan
36 yang dapat memantau. Kondisi demikian mengharuskan peningkatan peran dari lembaga-lembaga pengelolaan. FAO (1999) lebih lanjut menjelaskan kapasitas untuk mengelola perikanan tergantung pada sumber daya manusia dan keuangan yang tersedia serta pada keberadaan lembaga-lembaga yang kompeten. Pengelolaan perikanan untuk mencapai tujuan dan sasaran pengelolaannya membutuhkan pengembangan dan penerapan seperangkat aturan yang mengatur segala aktivitas penangkapan ikan seperti contoh alat tangkap yang diperbolehkan untuk digunakan. Bab ini menjelaskan kapasitas pengelolaan perikanan di Pacitan meliputi tata pengataturan, kebijakan bantuan/subsidi, dan rekomendasi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil atas dasar pembahasan pada bab dan sub bab sebelumnya.
Metode Penelitian Metode penelitian pada kajian ini adalah metode survei. Metode pengumpulan data melalui wawancara pribadi, observasi, pengarsipan data dan survei dengan menggunakan kuesioner. Populasi yang ada dalam penelitian ini adalah nelayan kecil dan pemangku kepentingan lain yang terkait dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Pacitan seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, PPP Tamperan, petugas tempat pelelangan ikan (TPI). Metode pengambilan data primer yang digunakan adalah snowball sampling. Teknik snowball sampling memungkinkan sampel diperluas sesuai dengan data yang diperlukan (Sugiyono 2011). Jumlah sampel pada penelitian pertama adalah 15 orang yang kemudian dilanjutkan pada penelitian kedua menjadi 105 orang. Data primer meliputi persepsi dimensi dan kepatuhan terhadap peraturan, kelembagaan dan pilihan aturan yang dikehendaki. Data sekunder berupa peraturan dan dokumen kebijakan yang berkaitan dengan topik penelitian antara lainUU 45/ 2009, Perda 15 / 2011 dan renstra DKP Pacitan. Sedangkan alat yang digunakan adalah perangkat lunak microsoft word dan exel. Analisis data meliputi tata pengaturan perikanan tangkap dan upaya pengelolaan perikanan tangkap. Sehingga analisis data meliputi: Tata pengaturan perikanan tangkap skala kecil dijelaskan secara deskriptif terhadap komponen yang merupakan indikatorpembangunan berkelanjutan perikanan tangkap dari FAO (1999) yang meliputi kapasitas untuk mengatur/mengelola, kepatuhan terhadap sistem pemerintahan, transparansi dan partisipasi. - Kapasitas untuk mengatur/mengelola antara lain menjelaskan lembaga pengelolaan perikanan dan lembaga pengawasan/penegak hukum. - Kepatuhan terhadap sistem pemerintahan antara lain menjelaskan ketersediaan peraturan formal pengelolaan perikanan. - Transparansi dan partisipasi antara lain menjelaskan demokrasi dalam penentuan kebijakan, peranan kelembagaan lokal (informal) yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikaan Menyusun usulan perbaikan pengelolaan perikanan skala kecil dengan menghimpun permasalahan yang ada pada bab sebelumnya kemudian disusun dalam tabel permasalahan untuk kemudian diberikan usulan perbaikan.
37
Hasil Tata pengaturan Kapasitas untuk mengatur/mengelola Lembaga yang paling berwenang dan bertanggung jawab dalam mengatur/mengelola pelaksanaan kebijakan, rencana, dan strategi pengelolaan perikanan tangkap di Pacitan adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan. DKP Pacitan juga sebagai sebagai lembaga formal berpihak pada nelayan, baik dalam menegakan hukum dan memfasilitasi keberlanjutan usaha perikanan serta sekaligus sebagai penyelenggara operasional TPI/PPI yang ada. Dinas Kelautan dan Perikanan Pacitan juga sebagai jembatan penghubung kelembagaan lainnya yaitu Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), Kelompok Usaha Bersama (KUB), dan Koperasi (Gambar 5.1). Sedangkan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur memiliki dalam pelaksanaan tugasnya berperan sebagai pembina langsung DKP Pacitan dan sekaligus pengelola langsung PPP Tamperan. Koperasi Mina Upadi dalam pelelangan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) adalah sebagai operator, yaitu menyelenggarakan pelelangan/jual beli ikan dan mengelola keuangan pelelangan. Fungsi lain koperasi Mina Upadi adalah sebagai unit simpan pinjam/unit jasa pelayanan di bidang permodalan bagi anggota (nelayan).
HNSI
DKP Prov Jatim
PPP Tamperan
DKP Kab. Pacitan
TPI/PPI
Pokmaswas
KUB
Koperasi
Keterangan garis: : garis instruksi dan koordinasi : garis pembinaan : garis fungsi penyelenggara pelelangan
Gambar 5.1 Bagan koordinasi lembaga pengelolaan perikanan di Pacitan Kelompok Usaha bersama adalah kelompok usaha skala mikro yang dibentuk oleh nelayan untuk berusaha bersama dan dipertanggungjawabkan secara bersama guna meningkatkan pendapatan anggota. Kelompok usaha bersama di Pacitan berjumlah 49 KUB yang tersebar di 7 kecamatan. Kelompok ini diharapkan dapat menjadi motor penggerak tumbuhnya jiwa kewirausahaan bagi nelayan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pengelolaan usaha dan kesejahteraan nelayan. Penyampaian aspirasi baik lokal maupun nasional nelayan di Pacitan disampaikan melalui wadah Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). HNSI memiliki peran penting dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan
38 nelayan, sebagai contoh HNSI secara rutin melakukan pertemuan untuk membahas permasalahan nelayan, dan juga berperan dalam penyelesaian konflik antar nelayan dan antara nelayan Pacitan dengan nelayan kabupaten lainnya. Pengamanan dan pengawasan terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten Pacitan dilakukan melalui penerapan sistem pengawasan berbasis masyarakat yang disebut Siswasmas. Siswasmas adalah sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab,agar dapat diperoleh manfaat secara berkelanjutan. Siswasmas terdiri dari unsur Pokmaswas, aparat pengawas dan satuan pembina Siswasmas. Kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) berperan mengawasi dan mencegah pelanggaran terhadap jalur penangkapan ikan, terjadinya tindakan pencurian ikan dan atau tindakan pidana lainnya, tindakan-tindakan yang dapat merusak lingkungan, mengamankan wilayah laut, pesisir dan tempat pendaratan ikan dan melakukan penindakan, khusus bagi petugas yang berwenang. Pokmaswas merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta masyarakat maritim lainnya. Pembentukan sistem pengawasan berbasis masyarakat memperlihatkan keberadaan komponen-komponen pengawas dan keberadaan personil penegak hukum serta lembaga lokal yang beperan sebagai pengawas sudah terbentuk. Komponen-komponen tersebut belum optimal dalam menjalankan fungsinya, namun semangat untuk terus meningkatkan kinerja terlihat dari semakin sedikitnya pelanggaran atau konflik yang terjadi di Pacitan. Ketersediaan peraturan Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas undangundang nomor 32 tahun 2004 tentang perikanan, merupakan wujud perhatian pemerintah terhadap pengelolaan perikanan. Undang-undang tentang perikanan tersebut menjadi payung hukum bagi peraturan di tingkat pusat maupun peraturan daerah terkait perikanan di Kabupaten Pacitan. Hasil identifikasi terdapat sedikitnya tiga peraturan daerah yang terkait langsung dengan perikanan tangkap, diantara adalah Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Perda ini merupakan upaya pengaturan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Pacitan. Isi pokok peraturan meliputi tujuan, sasaran, wilayah pengelolaan, perizinan, pelestarian sumber daya, prosedur nelayan andon, pengamanan, pengawasan, penyelesaian sengketa dan sanksi. Hampir seluruh kegiatan perikanan tangkap telah diatur dalam peratuan daerah tersebut dengan mengacu kepada peraturan nasional yang ada. Hal ini mengindikasikan keseriusan pemerintah dalam mengelola sumber daya perikanan Pacitan. Isi dari Perda No.15 Tahun 2011 melalui komponen penjelas unit penangkap ikan, daerah penangkapan, pendaftaran, perizinan, pengawasan dan penegakan hukum diringkas pada tabel 5.1.
39 Tabel 5.1 Analisis isi peraturan Komponen Unit penangkap ikan
Pengaturan Batasan Ukuran
Batasan Jumlah Penggunaan alat bantu Larangan penggunaan alat penangkap ikan
Jenis ikan Daerah Penangkapan
Larangan kawasan tertentu
Pendaftaran
Larangan lokasi atau jalur penangkapan Kapal/ perahu perikanan
Perizinan
Usaha perikanan Pungutan atau pajak
Nelayan andon Nelayan kecil Pengawasan dan penegakan hukum
Aparatur dan sistem Penyelesaian Sengketa dan sanksi
Keterangan Tidak diatur khusus, diatur lebih lanjut di Permen KP No. PER.02/MEN/ 2011 Tidak diatur, diatur lebih lanjut di Permen KP No. PER.02/MEN/ 2011 Tidak diatur, diatur lebih lanjut di Permen KP No. PER.02/MEN/ 2011 Diatur, Bagian keempat (pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan) paragraf V (larangan) pasal 19 huruf b dan e Diatur, Bagian keempat (pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan) paragraf V (larangan) pasal 19 huruf c Diatur, Bagian keempat (pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan) paragraf V (larangan) pasal 19 huruf g Diatur, Bagian keempat (pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan) paragraf V (larangan) pasal 19 huruf f Tidak diatur khusus, diatur lebih lanjut di Permen KP No. PER.27/MEN/2009 Diatur, Bagian ketiga (perizinan) Tidak diatur khusus dalam perda, namun diatur lebih lanjut didalam Perda No. 18/2011 Diatur, Bab V (nelayan andon) Diatur, Ketentuan wajib memiliki SIUP/ SIPI/SIKPI dikecualikan untuk nelayan kecil Diatur, Bab VI (pengamanan dan pengawasan) Diatur, Bab VII (penyelesaian sengketa) dan Bab IX (sanksi pidana)
Nelayan Pacitan dalam kegiatan penangkapannya cukup mengenal dan tahu tentang pengaturan penangkapan. Hasil wawancara memperlihatkan bahwa 52 persen responden mengetahui peraturan tentang pengaturan unit penangkap ikan sedangkan sisanya 48 persen tidak tahu. Namun hanya sedikit nelayan yang tahu dari detail isi peraturan yang ada. Ketika di tanyakan pengaturan yang khusus mengatur tentang pendaftaran dan perizinan, 51 persen responden menyatakan tidak tahu dan 49 persen saja yang menyatakan mengetahuinya. Peraturan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah Indonesia sudah cukup banyak dan telah di masukkan dalam acuan peraturan daerah di Pacitan. Permasalahan sebenarnya yang timbul adalah masalah penegakan dan pengawasan hukum dilapangan.
40 Transparansi dan partisipasi Penentuan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan di Pacitan sudah melibatkan langsung dari nelayan. Pertemuanpertemuan nelayan setidaknya dilaksanakan 1 bulan 1 kali untuk membahas seluruh hal yang terkait dengan pengelolaan perikanan. Dinas Kelautan dan Perikanan dalam hal ini diwakili Petugas Penyuluh Lapang (PPL) ataupun langsung oleh petugas dinas perikanan selalu mendampingi dalam pertemuan tersebut. Upaya pendampingan ini telah menciptakan hubungan yang harmonis antara pemerintah dan nelayan. Harmonis hubungan ini terlihat saat pengambilan keputusan untuk penghentian operasi alat penangkap dogol yang diduga merusak lingkungan. Dinas Kelautan dan Perikanan dan nelayan sepakat menutup sementara operasioal alat penangkap ikan jaring dogol. Penghentian operasi ini diselesaikan dengan musyawarah dan membuat perjanjian antara nelayan dan dinas sebagai tanda penghentian operasi. Peran PPL menjadi sagat penting dalam penetuan kebijakan pengelolaan perikanan. Penyuluh lapang menampung masukan dari nelayan yang kemudian disampaikan langsung dalam perencanaan kebijakan pengelolaan. Contoh kasus dalam penentuan bantuan sarana penangkapan, kebutuhan sarana penangkapan di usulan oleh PPL kepada dinas atas masukan langsung dari nelayan, sehingga sebagian besar bantuan tepat sasaran. Kondisi demikian menjelaskan bahwa transparansi dan keterlibatan nelayan dilakukan dalam penentuan kebijakan. Selain melalui PPL, ketua kelompok nelayan dan HNSI juga memiliki peran serupa dengan PPL. Kebijakan bantuan/subsidi Lembaga yang menyalurkan subsidi di Pacitan meliputi PPP Tamperan dan DKP Kabupaten Pacitan. Bentuk subsidi yang dikelola PPP Tamperan berupa subsidi solar memalui Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) yang tersedia di pelabuhan. Subsidi atau bantuan yang disalurkan Dinas Kelautan dan Perikanan Pacitan hampir sebagian besar dialokasikan untuk perikanan tangkap. Bantuan tersebut meliputi bantuan sarana dan prasarana penangkapan serta modal usaha (Tabel 5.2). Bantuan prasarana meliputi pembangunan pelabuhan revitalisasi jalan menuju pangkalan pendaratan, dan fasilitas-fasilitasnya. Bantuan sarana berupa alat penangkap ikan, alat bantu penangkap ikan, perahu dan mesin penggerak. Sedangkan bantuan modal berupa bantuan uang kepada kelompok nelayan. Sebagian besar responden merasa cukup terbantu dengan bantuan ini dan berharap untuk keberlanjutannya. Bantuan sarana penangkapan dan modal diberikan oleh Dinas kepada kelompok nelayan yang telah lolos seleksi setelah mengajukan proposal bantuan. Setidaknya terdapat 49 kelompok nelayan yang berupaya mendapatkan bantuan tersebut setiap tahunnya. Karena tidak seluruh anggota kelompok mendapatkan bantuan maka kelompok berinisiatif menggunakan sistem bergulir agar nelayan dalam anggota yang belum memperoleh kesempatan dapat menerima bantuan. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan sebagian besar kelompok membelanjakan bantuan modal tersebut untuk membeli bahan jaring, mesin kapal, dan perahu penangkapan, serta sedikit untuk modal operasi penangkapan.
41 Tabel 5.2 Jenis subsidi perikanan tangkap di Pacitan Jenis Subsidi 2009 - Krendet - Jaring lobster - Jaring parel - Perahu - Mesin 5.5 PK - Rumpon - GPS - Kompas 2010 - Krendet - Jaring parel - Jaring bawal - Pancing - Lacuda - Rumpon laut dangkal 2011 - Jaring parel - Pancing rawai - Lacuda - Rumpon laut dalam - PUMP 2012 - Jaring monofilamen - Jaring milenium - Jaring nylon - Pancing rawai - gillnet - Pancing - bubu - Kapal penangkap ikan >30 GT - Rumah ikan - PUMP
Jumlah
Keterangan
3850 unit 310 unit 250 unit 6 unit 5 unit 4 unit 7 unit 70 unit
9% dari krendet 25% dari gillnet tetap 38% dari gillnet hanyut 0.5% dari PMT
4000 unit 195 paket 220 paket 3 paket 16 unit 2 unit
9% dari krendet 28% dari gillnet hanyut 17% dari gillnet tetap
230 paket 62 unit 16 unit 1 unit Rp.1 Milyar
33% dari gillnet hanyut 11% dari rawai dasar
270 paket 32 paket 263 paket 3 paket 80 paket 16 paket 62 unit 4 unit 1 unit Rp. 2 Milyar
10 KUB
20 KUB
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pacitan
Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa bantuan sarana penangkapan di Pacitan berperan besar dalam kontribusi jumlah sarana penangkapan. Contoh, jaring insang yang setiap tahunnya mencapai 30 persen dari jumlah jaring insang ada di Pacitan. Bantuan yang ditujukan kepada nelayan kecil baik sarana penangkapan maupun modal usaha telah dimanfaatkan dengan baik oleh nelayan. Hasil dari keterlibatan nelayan untuk menentukan kebutuhan bantuan telah berperan dalam keberhasilan pemanfaatan bantuan tersebut. Namun ada pula bantuan sarana yang sampai dengan saat ini masih mengalami kendala operasional yaitu bantuan kapal dengan ukuran lebih dari 30 GT. Kelompok penerima bantuan kapal tersebut masih kesulitan dalam hal memperoleh ABK yang kompeten dan modal usaha.
42 Rekomendasi pengelolaan perikanan skala kecil Hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya menunjukkan terjadinya permasalahan yang kompleks pada perikanan skala kecil di Pacitan. Kompleksitas ini merupakan tantangan bagi semua pemangku kepentingan untuk mengembangkan manajemen yang diperlukan dan intervensi kebijakan. Rekomendasi kebijakan untuk mengelolaperikanan skala kecil di wilayah ini tercantum pada tabel 5.3. Tabel 5.3 Rekomendasi pengelolaan perikanan No 1.
Permasalahan Data yang tersedia belum lengkap
Rekomendasi
- Peningkatan kualitas data produksi (jumlah, jenis, daerah penangkapan)
- Peningkatan kualitas data 2.
Pertumbuhan jumlah perahu dan alat penangkap ikan tanpa kendali
-
3.
Luas daerah penangkapan perairan pantai yang semakin sempit dan habitatnya yang terancam
-
4.
Penurunan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan
-
5.
Kondisi cuaca dan musim yang tak menentu
-
6.
Pengawasan dan pegakkan hukum dilapangan yang lemah
-
kapal/perahu (jumlah, jenis, dimensi, daerah operasi) Membatasi penambahanjumlah perahu dan alat penangkap ikan yang mengeksploitasi pantai Pengaturan bantuan sarana penangkapan Mendorong pemanfaatan sumber daya lepas pantai dan mengurangi eksploitasi daerah pantai Pengembangan prasarana pendaratan ikan yang mendukung penangkapan lepas pantai Membatasi jumlah atau jenis ikan tertentu yang boleh ditangkap pada waktu tertentu Pengaturan trip penangkapan Pengaturan ukuran/mesh size alat penangkap ikan Pengaturan daerah penangkapandisekitar pantai seperti penutupan sementara area penangkapan Pembuatan sistem informasi cuaca dan daerah penangkapan Mempertahankan pekerjaan alternatif seperti bertani, berkebun, dan berternak Peningkatan peran pokmaswas Membangun kesadaran hukum Sosialisasi peraturan dan cara penangkapan ikan bertanggung jawab dan berkelanjutan Menambah tenaga pengawas perikanan pada titik rawan
43 Rekomendasi kegiatan pengelolaan perikanan skala kecil akan menjadi lebih baik jika didukung oleh data dan informasi yang akurat dan berkualitas. Data statistik perikanan yang tersedia saat belum sepenuhnya lengkap dan informasi umum perikanan belum terdokumentasi dengan baik.
Pembahasan Jumlah perikanan skala kecil saat ini telah mendominasi perikanan, namun keberadaannya hanya sedikit diatur oleh peraturan. Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang 45 Tahun 2009 tentang Perikanan juga mengarah pada keberpihakan kepada nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Keberpihakan tersebut antara lain tidak diwajibkannya nelayan kecil untuk mematuhi ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal perikanan, memiliki SIPI/SIKPI dan/atau membawa SIPI/SIKPI asli, dan membayar pungutan perikanan. Secara tidak langsung kondisi ini memberikan ruang luas bagi siapapun untuk berusaha pada wilayah usaha nelayan kecil dengan mudah. Keleluasaan ini diduga berperan dalam pertumbuhan armada dibawah 5 GT dan berperan dalam menambah tekanan sumber daya pantai. Hasil kajian sebelumnya menunjukkan penambahan armada telah berpengaruh pada penurunan produksi spesies ikan tertentu terutama demersal dan krustasea. Prioritas pembangunan perikanan tangkap oleh pemerintah yang cukup besar. Berbagai program bantuan perikanan tangkap menjadi prioritas untuk mendukung indikator-indikator keberhasilan perikanan. Indikator tersebut diantaranya adalah meningkatnya produksi dan meningkatnya jumlah unit penangkapan. Namun, pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan jenis bantuan yang akan diberikan. Penambahan unit armada untuk eksploitasi perikanan pantai, dapat berperan dalam penurunan produksi dan hasil tangkapan per satuan upaya. Kebijakan subsidi/bantuan bertujuan untuk memberikan bantuan, baik langsung maupun tidak langsung, kepada pelaku usaha kelautan dan perikanan guna menjamin keberlanjutan usahanya (Luhur 2012). Bantuan sarana maupun modal keuangan, memberikan kontribusi dalam penangkapan yang efisien dan terus berlanjut. Dalam beberapa tahun terkahir sarana dan prasaran perikanan berkembang cukup pesat. Salah satu kemajuan perikanan yang telah menjadi pusat pertumbuhan perikanan baru yakni PPP Tamperan. Pertumbuhan sarana dan prasarana ini diduga telah ikut andil dalam keterpurukan perikanan skala kecil di Pacitan. Kelembagaan merupakan indikator sistem perikanan berkelanjutan, dimana kelembagaan yang kuat akan melahirkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat memperkuat implementasi hukum (Charles 2001). Dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Pacitan sebagai pengambil keputusan pengelolaan di daerah harus bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan. Petugas penyuluh lapangan peran yang baik sebagai mediator antara pemerintah dan pengguna yaitu nelayan, pedagang, pengolah dan komponen masyarakat perikanan lainnya. Nelayan yang tergabung dalam KUB menunjukkan peran aktif dalam implementasi program pemerintah. Keaktifan nelayan ini menjadi modal awal dalam pengelolaan perikanan bertanggung jawab. Kesadaran dan toleransi yang
44 tinggi merupakan modal yang kuat untuk keberhasilan pengelolaan perikanan skala kecil. Penetapan visi dan misi pembangunan perikanan akan memberikan arah yang jelas arah pengelolaannya. Visi pembangunan perikanan Kabupaten Pacitan adalah terwujudnya masyarakat kelautan dan perikanan yang produktif melalui optimalisasi sumber daya berwawasan lingkungan.Misinya yaitu meningkatkan penguasaan teknologi di bidang kelautan dan perikanan, meningkatkan pengelolaan sumber daya yang berwawasan lingkungan, meningkatkan kapasitas kelembagaan bidang kelautan dan perikanan, dan meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat. Visi misi tersebut secara menyeluruh telah menampung semangat pembangungan perikanan berkelanjutan. Code of Conduct for responsible fisheries (Paragraf 7.3.3) menyatakan bahwa tujuan pengelolaan jangka panjang harus diterjemahkan ke dalam tindakan manajemen, dirumuskan sebagai rencana pengelolaan perikanan atau kerangka kerja manajemen lainnya Kompleksnya permasalahan yang timbul dalam pengelolaan perikanan skala kecil, mengharuskan pengelola perikanan merumuskan rencana pengelolaan yang langsung mengatasi permasalahan dengan tetap memperhatikan keberlanjutan perikanan.Langkah awal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memperbaiki kualitas data informasi yang akurat pada perikanan skala kecil yang selama ini menjadi kelemahan dalam pengelolaan. Data tersebut antara lain digunakan untuk kebutuhan menghitung penurunan sumber daya dan besar potensi perikanan yang akan memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, serta mata pencaharian yang bergantung pada perikanan. Cara pengumpulan data dan pelaporan perlu lebih diperhatikan dalam sektor perikanan skala kecil. Salayo (2006) menyarankan untuk melakukan kemitraan kelembagaan di penelitian dan pengembangan. Akademisi dan pemerintah didorong untuk bersama-sama melakukan penelitian yang relevan dan pengembangan program; memberikan saran ilmiah/teknis dan informasi lain yang relevan, dan meningkatkan jaringan kelembagaan. Pertumbuhan jumlah perahu dan alat penangkap ikan dikendalikan dengan pengaturan yang membatasi jumlah perahu dan alat penangkap ikan dan pengaturan bantuan sarana penangkapan. Jumlah perahu dan alat penangkap ikan yang banyak,akan mempersempit luas daerah penangkapan yang pada akhirnya mengancam kondisihabitat pantai. Untuk mengatasinya pemerintah Pacitan perlu mendorong pemanfaatan sumber daya lepas pantai dan mengurangi eksploitasi daerah pantai, serta pengembangan prasarana pendaratan ikan yang mendukung penangkapan lepas pantai. Jumlah armada yang banyak, tak terelakkan akan terjadi persaingan penangkapan yang pada akhirnya menyebabkan penurunan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Untuk memperkecil penurunan hasil tangkapan maka perlu untuk membatasi jumlah atau jenis ikan tertentu yang boleh ditangkap pada waktu tertentu, pengaturan trip penangkapan, pengaturan ukuran/mesh size alat penangkap ikan, dan pengaturan daerah penangkapan disekitar pantai seperti penutupan sementara area penangkapan. Kondisi alam juga berpanguruh dalam kegiatan penangkapan ikan, kondisi yang buruk akan menyebabkan nelayan mengurangi trip atau bahkan tidak melaut. Untuk itu pemerintah Pacitan diharapkan menyediakan sistem informasi cuaca dan daerah penangkapan serta
45 mempertahankan pekerjaan alternatif seperti bertani, berkebun, dan berternak untuk mempertahankan penghidupan nelayan. Kelembagaan yang terbentuk telah menjalankan fungsinya dengan baik, namun masih terdapat kelemahan diantaranya adalah kelemahan pengawasan dan penegakkan hukum. Kondisi demikian dapat diselesaikan dengan meningkatkan peran pokmaswas, sosialisasi peraturan dan cara penangkapan ikan bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Kesimpulan dan saran Kesimpulan 1. Dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Pacitan merupakan lembaga yang berwenang dan bertanggung jawab dalam mengatur/mengelola pelaksanaan kebijakan, rencana, dan strategi pengelolaan perikanan tangkap. Pengaturan dan penyusunan kebijakan sudah melibatkan peran nelayan walaupun pengawasan dan penegakkan hukum dilapangan perlu ditingkatkan. 2. Kebijakan bantuan/subsidi telah menjadi stimulan yang positif bagi nelayan skala kecil namun perlu kehati-hatian dalam menentukan jenis dan jumlah bantuan/subsidi. 3. Rekomendasi pengelolaan yang pertama adalah menyelesaikan permasalahan pendataan, pengawasan dan penegakan hukum, dan kemudian secara besamasama mengatasi penurunan hasil tangkapan, penambahan jumlah armada, daerah penangkapan, dan kondisi cuaca serta musim. Saran 1. Perlu adanya penelitian tentang dampak keberhasilan dari rekomendasi yang diberikan oleh penelitan ini. 2. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan perlu membangun kesadaran nelayan terhadap keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil.
6 PEMBAHASAN UMUM Perikanan tangkap di Pacitan didominasi oleh perikanan skala kecil. Armada penangkapannya sebagian besar (90 persen) adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor dengan ukuran panjang kapal <12 meter. FAO (2012) menyebutkan bahwa kapal berukuran panjang kurang dari 12 meter adalah kapal kecil yang jumlahnya pada tahun 2010, diperkirakan 85 persen dari armada penangkapan ikan dunia yang berjumlah sekitar 4.36 juta unit. Struktur armada perikanan di Pacitan yang didominasi oleh perahu motor tempel lebih banyak disebabkan kondisi geografis lokasi pendaratan ikan yang belum memungkinkan pendaratan kapal yang lebih besar. Therkildsen (2006) menambahkan bahwa komposisi tertentu dan struktur armada penangkapan ikan tergantung pada kondisi pasar, budaya lokal, ketersediaan modal investasi, dan karakteristik dari stok ikan yang ditargetkan, serta langkah-langkah manajemen perikanan seperti skema
46 subsidi, dan alokasi keputusan juga dapat mempengaruhi struktur dari armada penangkapan ikan. Alat tangkap yang digunakan di Pacitan merupakan alat tangkap tradisional yang didominasi oleh perangkap (85%), jaring insang, pancing, dan pukat tarik. FAO (2009) menyebutkan alat penangkap ikan yang umumnya digunakan perikanan skala kecil adalah alat penangkap ikan pasif, seperti perangkap, pancing, dan beberapa jenis gillnet. Pemilihan alat tangkap tersebut dikarenakan bahan yang mudah didapat, murah, dan mudah dioperasikan. McGoodwin (2001) selanjutnya menjelaskan bahwa perikanan skala kecil di daerah tropis menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan yang bervariasi dan alat tangkap yang digunakan disesuaikan dengan ikan target tertentu sehingga kadang alat tangkap tersebut tidak dipakai pada bulan-bulan tertentu. Sebagai contoh, pada perikanan skala kecil di Yunani, dilaporkan bahwa setidaknya terdapat 17 alat tangkap dengan 62 spesies ikan yang menjadi sasaran penangkapan, dan operasi penangkapan mengikuti pola musiman sesuai dengan karakteristik daerahnya (Tzanatos 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nelayan secara dinamis mengganti alat penangkap ikan dalam trip operasi penangkapannya. Penggantian alat penangkap ikan menurut Salas et al. (2004) dijelaskan bahwa setiap harinya nelayan harus membuat serangkaian keputusan apakah pergi menangkap ikan atau tetap di darat dengan mempertimbangkan informasi jenis ikan yang akan menjadi target penangkapan dan kondisi lingkungannya. Sebagai contoh, dalam kasus nelayan Brazil yang memaksimalkan produksi dengan menyesuaikan nilai ikan di pasaran di musim yang berbeda dan berkonsentrasi pada jenis ikan yang paling menguntungkan berdasarkan informasi dari tangkapan sebelumnya (Forman 1967). Selain itu, Davis (1984) melaporkan nelayan di Nova Scotia, Kanada, juga melakukan perubahan taktik penangkapan pada musiman tertentu, pergantian jenis alat tangkap dan ikan spesies sasaran, pengantian ini menanggapi kondisi iklim yang dapat mempengaruhi peralatan mereka atau keselamatan mereka dan sebagai respon terhadap pendapatan yang bisa diperoleh dari perikanan seperti lobster. Hermawan (2006) dalam kajiannya menggambarkan operasi payang bugis, bundes, payang gemplo di Serang dilakukan pada musim kemarau sampai dengan awal musim hujan sedangkan penangkapan lobster dengan menggunakan jaring dilakukan dilakukan sepanjang masa kecuali pada musim ombak besar. Di Pacitan, nelayan kecil menangkap ikan hanya 6-8 jam sehari sehingga masih berkesempatan untuk melakukan perkerjaan lainnya seperti bertani dan berternak. Kondisi demikian berbeda dengan nelayan di Kabupaten Serang dan Kabupaten Tegal yang hanya pada saat paceklik saja nelayan beralih ke aktivitas selain menangkap ikan yakni bekerja di bidang pertanian, perdagangan, pertukangan/kuli bangunan, dan pariwisata (Hermawan 2006). Fauzi dan Anna (2005) menyebutkan bahwa lapangan pekerjaan dan pendapatan alternatif di luar perikanan tangkap dapat meningkatkan keberlanjutan perikanan tangkap. Dari hasil penangkapan oleh nelayan di Pacitan, didapat komposisi hasil tangkapan sebelum tahun 2007 didominasi oleh jenis ikan demersal, pelagis besar dan pelagis kecil namun semenjak tahun 2007 jenis ikan yang didaratkan didominasi oleh pelagis besar (tuna, tongkol, dan cakalang). Perubahan komposisi ini selain menggambarkan perubahan komposisi kapal/perahu dimensi lebih besar bertambah tetapi juga diduga telah terjadi penurunan hasil tangkapan di perairan
47 pantai. Stobutzki et al. (2006) selanjutnya menegaskan bahwa semua perikanan pantai di Asia termasuk Indonesia memiliki tingkat penangkapan yang lebih besar daripada yang diperlukan terhadap maksimum yang lestarinya (MSY) atau maksimal hasil ekonominya (MEY). Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa jenis ikan demersal dan krustasea mengalami tren penurunan. Aktivitas perikanan tangkap di Pacitan memiliki kontribusi yang penting untuk masyarakat di lokasi maupun disekitar aktivitas berlangsung. Kontribusi yang secara langsung dapat dilihat antara lain terbukanya lapangan pekerjaan, bangkitnya kegiatan perekonomian seperti pengolahan, perdagangan, dan perbaikan jaring serta pemenuhan kebutuhan makanan (protein hewani). Namun, 5 tahun terakhir memperlihatkan penurunan poduksi per satuan usaha terutama pada usaha perikanan skala kecil. Mathew (2001) menjelaskan bahwa dengan adopsi motorisasi, perikanan skala kecil telah tumbuh secara signifikan selama dua dekade terakhir. Ekspansi yang cepat dari kapasitas nelayan artisanal di bawah rezim akses terbuka telah mulai mengerahkan tekanan penangkapan berlebih pada sumber daya pesisir perikanan, khususnya di Asia dan Afrika. Ada peningkatan konflik antara kelompok alat tangkap yang berbeda sebagai hasil dari peningkatan mobilitas kapal penangkap ikan, perluasan kapasitas dan overfishing. Perikanan pantai di Asia Tenggara telah mengalami overfishing, dengan overcapacity menjadi penyebab utamanya (Pomeroy 2011). Musim sangat berpengaruh dalam operasi penangkapan ikan di Pacitan. Nelayan lebih produktif pada musim kemarau dibandingkan pada musim hujan. Nelayan di Palabuhanratu pun banyak melakukan trip penangkapan pada musim kemarau dan sedikit melakukan trip penangkapan pada musim hujan (Wiyono et al. 2006). Hermawan (2006) menambahkan bahwa kegiatan penangkapan ikan di Serang dan Tegal juga dipengaruhi oleh musim dan ketersediaan ikan, kegiatan penangkapannya berlangsung sepanjang tahun dan musim puncak penangkapan terjadi pada musim kemarau yaitu antara bulan Agustus-Oktober. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan adalah lembaga formal yang secara penuh berperan sebagai pengelola perikanan di Pacitan. Nelayan dalam penyampaian aspirasi dan keluhan lebih memilih ketua kelompok nelayan dalam berdiskusi terkait pengelolaan perikanan. Sehingga dalam pertemuan rutinnya, penyuluh perikanan hadir langsung untuk menampung aspirasi dan keluhan nelayan. Hermawan (2006) menjelaskan bahwa keterlibatan nelayan dalam penentuan kebijakan dan peningkatan peran dari tokoh/ ketua nelayan dapat menjaga keberlanjutan perikanan. Sebagai contoh sukses keterlibatan nelayan dan tokoh masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan seperti sasi di Maluku, awig-awig di Lombok Barat, dan panglima laot di Aceh (Nikijuluw 2002). Manajemen kolaboratif, dalam bentuk yang paling sederhana, mengacu pada manajemen proses yang dalam pengambilan keputusan, biasanya hasil dari kemitraan antara negara dan pengguna sumberdaya, tetapi juga kerjasama dengan stakeholder dan organisasi independen (LSM dan organisasi penelitian) (Pomeroy dan Berkes 1997; Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006). McGoodwin (2001) selanjutnya menjelaskan bahwa karena kultur penangkapan ikan mencerminkan adaptasi spesifik terhadap ekosisitem laut, maka membutuhkan pengelolaan yang berbeda. Salah satunya adalah kebijakan bantuan/subsidi sarana maupun keuangan pada perikanan tangkap. Bantuan terhadap sektor perikanan telah diduga memiliki dampak negatif pada sumber
48 daya ikan dan lingkungan laut. Bantuan keuangan mengurangi biaya penangkapan dan dengan demikian memberikan kontribusi terhadap penangkapan pada tingkat yang tidak efisien dan tidak berkelanjutan. Sebagai contoh masyarakat Eropa memiliki catatan buruk terkait masalah subsidi sektor perikanan yang telah meciptakan dan membiarkan kelebihan penangkapan dalam perikanan tangkapnya (Markus 2010). Bantuan/subsidi di Pacitan terlihat masih belum memikirkan aspek ramah lingkungan dan masih mengedepankan kebutuhan nelayan saat itu. Selanjutnya Markus (2010) menyarankan sebaiknya bantuan/subsidi digunakan untuk ganti rugi dalam restrukturisasi sarana penangkapan yang tidak ramah lingkungan, medukung kegiatan yang ramah lingkungan, meningkatkan keamanan, dan penelitian ilmiah. Aktifitas perikanan tangkap di Pacitan telah dinaungi peraturan formal dan informal, namun demikian keberadaaan peraturan tersebut belum diimplementasikan secara optimal. Hal ini terbukti masih timbulnya konflikkonflik dalam penangkapan ikan di Pacitan. Peran lembaga formal seperti polisi air dan kelompok masyarakat pengawas (Pokwasmas) masih bertindak saat konflik sudah terjadi. Langkah-langkah pencegahan diantaranya sosialisasi peraturan secara berkala belum dilakukan terkendala oleh jarak, waktu dan pendanaan. Berkes et al. (2008) menegaskan bahwa pengawasan dan penegakkan hukum pada perikanan memang bagian yang paling sulit untuk dilakukan. Rekomendasi perbaikan yang ditawarkan untuk menuntun Dinas Kelautan dan Perikaan Kabupaten Pacitan menuju pengelolaan perikanan lebih baik dengan menfokuskan pada permasalahan yang ada. Langkah-langkah rekomendasi tersebut merupakan langkah awal. Kedepan, pengelolaan perikanan juga memperhatikan konvensi internasional, tujuan global seperti tujuan Pembangunan Milenium dan kolabirasi perjanjian regional serta internasional (Andrew 2009). Andrew (2009) selanjutnya menambahkan pendekatan pengelolaan perikanan diantaranya yaitu pendekatan berbasis ekosistem (ecosystem approach to fisheries-EAF), pendekatan berbasis hak, pendekatan terpadu (seperti konservasi dan pembangunan terpadu atau zonasi daerah penangkapan di wilayah pesisir, dan partisipatif atau pendekatan kolaboratif. Pengelolaan perikanan berbasis ekosistem atau juga di sebut EAF ini telah dipromosikan oleh FAO (FAO 1995; 2003; Sinclair dan Valdimarsson, 2003). Pendekatan ini juga dimasukkan dalam konvensi internasional, termasuk Agenda 21, the Rio declaration and the Biodiversity treaty (CBD). Konsekuensinya, EAF memberikan pendekatan menyeluruh yang paling tepat untuk manajemen perikanan skala kecil di negara berkembang, termasuk Indonesia yang saat ini telah menyiapkan pedoman pelaksanaan EAF. Sehingga dalam pegelolaan perikanan di Pacitan pun seharusnya menganut EAF ini dalam pengelolaan perikanan skala kecil.
49
7 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian sebelumnya dapat disimpulkan: 1. Unit penangkapan ikan didominasi oleh nelayan skala kecil yang memiliki karakteristik: Aktivitas penangkapan ikan di Pacitan tersebar sepanjang pantai Pacitan. Jenis kapal/perahu penangkapan terdiri dari KM, PMT dan PTM dengan dominasi PMT. Alat penangkap ikan yang digunakan beragam meliputi kelompok perangkap, pancing, jaring insang, pukat tarik, pukat cincin, dan jaring angkat dengan dominasi kelompok perangkap. Perahu motor tempel dikelompokkan menjadi 8 kelompok berdasarkan alat penangkap ikan yang digunakan. Kelompok yang dominan adalah PMT yang menggunakan alat penangkap ikan perangkap, jaring insang, dan pancing serta kelompok yang mengoperasikan alat penangkap ikan jaring insang dan pancing. Variasi pola usaha operasi penangkapan disebabkan kondisi lingkungan, kemampuan modal dan keterampilan nelayan. Trip operasi penangkappan ikan dipengaruhi oleh musim, ikan target penangkapan, dan daerah penangkapannya. 2. Perikanan skala kecil mengeksploitasi jenis ikan yang beragam dan mengalami penurunan hasil tangkapan. Hasil analisis menunjukkan bahwa: Telah terjadi penurunan produksi jenis ikan cucut, bawal putih, manyung, kakap, pari, gulamah dan udang barong pada kurun waktu 6 tahun terakhir 2007-2012 (p<0.05). Penurunan tren produksi diikuti oleh penurunan CPUE hampir seluruh unit penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan skala kecil. Penangkapan ikan banyak dipengaruhi oleh musim. pada saat hari hujan sedikit, trip penangkapan cenderung meningkat (p<0.05). Musim puncak penangkapan terjadi antara bulan Mei-Oktober (SI>100). 3. Pacitan telah memiliki tata pengaturan pengelolaan perikanan, dan masih memiliki kelemahan dalam pengawasan dan penegakan hukum. Analisis menghasilkan bahwa: Kelembagaan pengelolaan yang terlibat meperlihatkan kinerja yang baik namun tetap harus meningkatkan perannya untuk mencapai tujuan pemanfaatan sumber daya ikan berkelanjutan. Rekomendasi pengelolaan perikanan diantaranya adalah menyelesaikan permasalahan pendataan, pengawasan dan penegakan hukum, dan kemudian secara besama-sama mengatasi penurunan hasil tangkapan, penambahan jumlah armada, daerah penangkapan, dan kondisi cuaca serta musim.
50
Pengelolaan perikanan juga memperhatikan konvensi internasional, tujuan global dan kolabirasi perjanjian regional serta internasional diantaranya adalah ecosystem approach to fisheries (EAF). Saran
(1) Peningkatan koordinasi antara pemerintah sebagai manager perikanan dengan nelayan sebagai pelaku dalam pencapain tujuan pengelolaan perikanan melalui prinsip-prinsip ecosystem approach to fisheries (EAF). (2) Perlu dilakukan penelitian tentang spesifikasi teknis kapal penangkap ikan khususnya PMT yang efisien untuk penangkapan ikan dengan kondisi geografis pantai selatan Jawa. (3) Perlu dilakukan penelitian dinamika operasi penangkapan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi seperti kondisi ekonomi global atau perubahan iklim.
DAFTAR PUSTAKA Andrew N, Evans L. 2009. Approaches and Frameworks for Management and Researchin Small-scale Fisheries in the Developing World. The WorldFish Center Working Paper 1914.The WorldFish Center, Penang, Malaysia. Berkes F, Mahon R, McConney P, Pollnac R, Pomeroy R. 2008. Mengelola Perikanan Skala Kecil Arah dan Metode Alternatif. International Development Researh Center. Kanada. Chodriyah U. 2009. Dinamika perikanan purse seine yang berbasis di PPN Pekalongan, Jawa Tengah. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Charles AT. 2001. Sustainable Fishery System. Blacwell Science. UK Davis A. 1984. Property rights and access management in the smallboat fishery: a case study fromsouthwest Nova Scotia. In Atlanticfisheries and coastal communities: fishers decision-making casestudies. Edited by M. Lamson and A. Hanson. Studies Programme,Dalhousie University Press, Halifax, N.S. pp. 133–163. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Pacitan. 2012. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Tahun 2011. Pacitan (ID): DKP. [FAO] Food and Agricultural Organization. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Available at http://www.fao.org/ DOCREP/005/ v9878e/v9878e00.htm. [FAO] Food and Agricultural Organization.. 2003. Fisheries management: the ecosystem approach. Technical Guidelines for ResponsibleFisheries. Supplement 2. Rome. [FAO] Food and Agricultural Organization.. 2012. The State OfWorld Fisheriesand Aquaculture. Rome. Italia. Cochrane KL. 2002. A fishery manager.s guidebook. Management measures and their application.FAO Fisheries Technical Paper. No. 424. Rome, FAO. 2002. 231p.
51 Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumber daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta (ID). PT. Gramedia Pustaka Utama. Fuller SD, Picco C, Ford J, Tsao C, Morgan LE, Hangaard D, Chuenpagdee R. 2008. How We Fish Matters: Addressing the Ecological Impacts of Canadian Fishing Gear. Ecology Action Centre, Living Oceans Society, and Marine [Internet]. [diunduh pada 2013 April 3]. Tersedia pada: http://www.howwefish.ca/ Forman S. 1967. Cognition of the catch: the location of fishingspots in a Brazilian coastal village. Ethnology, 6: 417–426.http://www.jstor.org/stable/3772828. Hermawan M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di Serang dan Tegal). [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kurien J. 2004. The Blessing of Commons: Small Scale Fisheries, Community Property Rights, and Coastal Natural Assets. Political Economy Research Institut. University of Massachusetts Amherest. Kurien J. 2006. Overcapacity, overfishing and subsidies:howdo they relate to smallscale fisheries? In: Presented at the 8th Pacific Rim Fisheries Conference , Hanoi, 22–24 March. Le Pape O, Vigneau J. 2001. The influence of vessel size and fishing strategy on the fishing effort for multispecies fisheries in northwestern France. ICES J. Mar. Sci. 58, 1232–1242 Luhur ES. 2012. Potret Subsidi Perikanan Tangkap Laut di Pelabuhanratu, Sukabumi. Buletin Riset Sosek Kelautan dan Perikanan Vol. 7 No. 1, 2012. Jakarta (ID). Lleonart J, Maynou F. 2003. Fish stock assessment in the Mediterranean:state of the art. Sci. Mar. 67 (Suppl. 1), 37–49. Markus T. 2010. Towards sustainable fisheries subsidies: Entering a new round of reform under the Common Fisheries Policy. Marine Policy(34) 1117–1124. doi:10.1016/j.marpol.2010.03.011 Mathew. 2001. “Small-scale Fisheries Perspectives on an Ecosystem-based Approach to Fisheries Management” disampaikan pada Reykjavik Conference on Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem. Reykjavik, Iceland, 1-4 October 2001 [Internet]. [diunduh pada 2013 Agustus 5]. Tersedia pada: ftp://ftp.fao.org/fi/document/reykjavik/pdf/04Mathew.pdf McConney, Charles AT. 2008. Managing Small-Scale Fisheries: Moving Towards People-Centred Perspectives. Handbook of Marine Fisheries Conservation and Management. 1-2 hal. http://husky1.stmarys.ca/ ~charles/ PDFS_2005/ 059.pdf McGoodwin, JR. 2001. Understanding the cultures of fishing communities. A Key to fisheries management and food security. FAO. Nurani TW, Widyamayanti DK. 2010. Pengembangan Perikanan Tangkap Kabupaten Pacitan: Suatu Kajian Pendekatan Sistem [Internet]. [diunduh pada 2012 Oktober 17]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/ handle/ 123456789/ 26473. Pauly D, Watson R, Alder J. 2005. Global trends in world fisheries: impacts on marine ecosystems and food security. Phil. Trans. R. Soc. B (2005) 360, 5– 12. doi:10.1098/rstb.2004.1574
52 Pomeroy RS, Berkes F. 1997. Two to tango: the role of government in fisheries co-management. Marine Policy. 21(5): 465-480. Pomeroy RS, Rivera-Guieb R. 2006. Fishery Co-management: A Practical Handbook. CABI Publishing with IDRC, Oxfordshire. http://id.scribd.com /doc/38443984/Fishery-Co-Management-A-Practical-Handbook. Pomeroy RS. 2011. Managing overcapacity in small-scale fisheries in Southeast Asia. Marine Policy 36 (2012) 520–527. doi: 10.1016/ j.marpol. 2011. 10.002 Salas S, Sumaila UR, Pitcher T. 2004. Short-term decisions of small-scale fishers selecting alternative target species: a choice model. Canadian Journal Fisheries Aquatic Science 61:374-383 Salayo ND, Ahmed M, Garces L, Viswanathan K. 2006. An Overview of Fisheries Conflicts in South and Southeast Asia: Recommendations, Challenges and Directions.NAGA, WorldFish Center Quarterly Vol. 29 No. 1 & 2 Jan-Jun 2006. Santoso S. 2010. Statistik Multivariat; Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Hal 111-145. Simbolon D. 2011. Bioekologi dan dinamika daerah penangkapan ikan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Bogor. Sinclair M, Valdimarsson, G. 2003. Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem. FAO and CABI Publishing. Seilert H, Sengchan S. 2001. Small-Scale Fishery In Southeast Asia: A Case Study In Southern Thailand. Thailand. FAO. Steneck RS, Graham MH, Bourque BJ, Corbett D, Erlandson JM, Estes JA, Tegner MJ. 2002. Kelp forest ecosystem: biodiversity, stability, resilience and their future. Environmental Conservation. 29 (4): 436 – 459. Steneck RS, SalaEA. 2005. Large marine carnivores: trophic cascades and topdown controls in coastal ecosystems past and present. Pages 110 – 137 in. Stobutzki IC, Silvestre GT, Garces LR. 2006. Key issues in coastal fisheries in South and Southeast Asia, outcomes of a regional initiative. Fisheries Research 78 (2006) 109–118. doi:10.1016/j.fishres.2006.02.002. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta. Bandung. Therkildsen NO. 2006. Small - versus large - scale fishing operations in New England,USA. Fisheries Research 83: 285– 296.doi:10.1016/j.fishres.2006.10.004 Tzanatos E, Dimitriou E, Katselis G, Georgiadis M, Koutsikopoulos C. 2005. Composition, temporal dynamics and regional characteristics of smallscale fisheries in Greece. Fisheries Research. 73: 147–158. Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan sumber daya perikanan laut. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Wiyono ES. 2011. Reorientasi Manajemen Perikanan Skala Kecil. New Paradigm in Marine Fisheries: Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Berkelanjutan. Nurani TW, Simbolon D, Solihin A, Yuniarta S, editor. Bogor (ID). Intramedia. Wiyono, ES. 2013. Kendala dan Strategi Operasi Penangkapan Ikan Alat Tangkap Bubu di Muara Angke, Jakarta. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis. 18(2): 14-20 [Internet]. [diunduh pada 2014 Maret 23]. Tersedia pada:
53 https://fpik.unmul.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/3-EKO-KENDALASTRATEGI -OPERASI.Pdf Wiyono ES. 2007. Analisis Kebijakan Perikanan Pantai di Indonesia [Internet]. [diunduh pada 2012 Juli 30]. http: //repository.ipb.ac.id/ handle/ 123456789/ 5104. Wiyono ES, Yamada S, Tanaka E, Arimoto T, Kitakado T. 2006. Dynamics of fishing gear allocation by fishers insmall-scale coastal fisheries of Pelabuhanratu Bay,Indonesia. Fisheries Management and Ecology, 2006, 13, 185–195. WiyonoES. 2001. Optimasi Manajemen Perikanan Skala Kecil di Teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
54 Lampiran 1 Ilustrasi operasi alat penangkap ikan
5
2 1
3
4
6
Keterangan: 1. Krendet, 2. Pancing ulur, 3. Rawai hanyut, 4. Rawai dasar, 5. Dogol, 6. Jaring insang tetap, jaring tiga lapis, 7. Payang, 8. Jaring insang hanyut
7
8
55 Lampiran 2 Hasil perhitungan musim penangkapan per jenis ikan Series Name:manyung Period Seasonal Factor (%) 1 99 2 119 3 123 4 109 5 70 6 73 7 115 8 111 9 61 10 126 11 120 12 75
Series Name:kakap Period Seasonal Factor (%) 1 141 2 111 3 119 4 142 5 104 6 118 7 61 8 27 9 14 10 11 11 46 12 304
Series Name:kerapu Period Seasonal Factor (%) 1 119 2 78 3 96 4 230 5 220 6 90 7 36 8 68 9 92 10 79 11 50 12 42
Series Name:pari
Series Name:sebelah Period Seasonal Factor (%) 1 2 3 134 4 245 5 15 6 306 7 22 8 129 9 10 39 11 104 12 206
Series Name:lidah Period Seasonal Factor (%) 1 201 2 165 3 224 4 84 5 133 6 133 7 54 8 33 9 54 10 21 11 45 12 54
Series Name:gulamah Period Seasonal Factor (%) 1 140 2 198 3 139 4 63 5 45 6 111 7 81 8 91 9 52 10 52 11 90 12 138
Series Name:kuro
Series Name:cumi Period Seasonal Factor (%) 1 19.0 2 .0
Series Name:lobster Period Seasonal Factor (%) 1 94 2 94
Series Name:lainnya Period Seasonal Factor (%) 1 30 2 32
Series Name:lemadang Period Seasonal Factor (%) 1 19.6 2 1.6
Series Name:julung2 Period Seasonal Factor (%) 1 145.7 2 139.9
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
.0 .0 .0 80.0 107.3 314.5 135.6 244.2 268.2 31.2
137 145 58 72 78 74 77 101 169 100
74 40 39 29 64 104 267 188 139 194
Period
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Period
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Seasonal Factor (%) 359 213 38 29 75 153 84 83 44 49 50 25
Seasonal Factor (%) 137 150 306 181
200 226
75.6 155.5 127.9 154.1 144.0 88.0 181.5 138.3 85.3 28.6
Series Name:layur Period Seasonal Factor (%) 1 23 2 66 3 61 4 57 5 94 6 123 7 144 8 174 9 70 10 175 11 161 12 50 Series Name:kuniran Period Seasonal Factor (%) 1 2 3 398 4 424 5 6 7 117 8 127 9 42 10 31 11 38 12 23
137.4 257.7 .0 .0 .0 .0 .0 .0 109.3 409.9
56 Lampiran 2 (Lanjutan…) Series Name:cut_lanyam Period Seasonal Factor (%) 1 117.1 2 131.8 3 90.0 4 241.1 5 142.1 6 125.1 7 111.2 8 45.9 9 40.6 10 .0 11 97.3 12 58.0
Series Name:tenggiri Period Seasonal Factor (%) 1 46.5 2 66.2 3 85.7 4 196.9 5 50.3 6 79.3 7 127.6 8 146.4 9 129.9 10 88.9 11 63.3 12 119.2
Series Name:tuna Period
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Seasonal Factor (%) 7.8 11.4 49.2 86.1 137.0 189.4 211.1 157.8 102.4 123.7 88.3 35.6
Series Name:ekor_kuning Period Seasonal Factor (%) 1 3.5 2 9.3 3 75.1 4 72.0 5 101.7 6 356.6 7 133.1 8 199.7 9 104.3 10 57.5 11 54.8 12 32.5
Series Name:bawal_put Period Seasonal Factor (%) 1 753.5 2 28.2 3 323.0 4 .0 5 .0 6 .0 7 .0 8 29.8 9 36.4 10 17.0 11 12.2 12 .0
Series Name:layang Period Seasonal Factor (%) 1 5.2 2 4.9 3 83.3 4 66.7 5 114.4 6 175.8 7 140.6 8 208.3 9 123.8 10 166.3 11 81.1 12 29.5
Series Name:teri
Series Name:lemuru Period Seasonal Factor (%) 1 60.3 2 49.8 3 145.3 4 150.2 5 49.9 6 90.4 7 122.6 8 140.9 9 145.9 10 156.9 11 54.9 12 32.9
Series Name:kembung Period Seasonal Factor (%) 1 29.9 2 41.1 3 41.2 4 101.8 5 94.8 6 120.8 7 195.8 8 225.6 9 94.5 10 157.9 11 59.2 12 37.4
Period
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Seasonal Factor (%) 13.8 32.1 88.5 215.5 83.7 211.5 151.9 145.0 95.1 43.6 63.1 56.2
Series Name:cakalang Period Seasonal Factor (%) 1 9.4 2 8.8 3 42.0 4 127.6 5 183.1 6 102.9 7 171.1 8 138.6 9 127.2 10 140.4 11 100.6 12 48.3 Series Name:selar Period
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Seasonal Factor (%) 124.4 121.8 214.2 145.5 91.9 178.7 91.3 183.9 6.2 17.9 17.8 6.4
Series Name:peperek Period Seasonal Factor (%) 1 122 2 3 4 5 6 7 318 8 272 9 488 10 11 12
Series Name:tongkol Period Seasonal Factor (%) 1 22.9 2 15.0 3 60.0 4 59.1 5 81.5 6 167.5 7 235.0 8 222.0 9 111.3 10 104.4 11 83.3 12 37.9 Series Name:kuwe Period Seasonal Factor (%) 1 97.8 2 131.6 3 149.6 4 154.4 5 29.5 6 53.8 7 60.9 8 90.0 9 61.5 10 80.7 11 80.3 12 209.9
57
Lampiran 3 Dokumentasi penelitian
Kunjungan peneliti di Kantor Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai Tamperan (kiri) dan ke Tempat Pelelangan ikan Tamperan yang berdampingan dengan Kantor HNSI (kanan).
Fasilitas pokok PPP Tamperan yaitu dermaga (kiri) dan tempat pelelangan ikan (kanan)
Pertemuan dan wawancara dengan nelayan Srau(kiri) dan observasi lapangan di Pantai Srau (kanan)
58 Lampiran 3 (Lanjutan…)
Pertemuan dan wawancara dengan nelayan Watu Karung (kanan) dan observasi lapangan di tempat pelelangan ikan (TPI) Watu Karung (kiri)
Pertemuan dan wawancara dengan nelayan Pacitan (kanan dan kiri)
Observasi perahu motor tempel (kiri) dan alat tangkap (kanan) yang digunakan nelayan Pacitan
59 Lampiran 3 (Lanjutan…)
Pertemuan dan wawancara dengan nelayan Kebon Agung (kiri) dan observasi lapangan di Kebon Agung (kanan)
Observasi mesin tempel (kiri) dan alat tangkap pancing yang digunakan nelayan Kebon Agung (kanan)
Observasi aktifitas dan hasil tangkapan nelayan kecil di PPP Tamperan
60
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 25 November 1978 sebagai anak pertama dari pasangan Muljono dan Mar‟ah. Penulis menikah dengan Selvi Amalia pada tahun 2004 dan dikaruniai dua orang putra yaitu Rafi Ali Daniswara (2006) dan Muhammad Faiz (2009). Pendidikan sarjana (S1) ditempuh pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 sampai sekarang penulis bekerja di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) Kementerian Kelautan dan Perikaan (KKP). Pada tahun 2011 penulis diberi kesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister (S2) pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor dengan sponsor dari Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (BPSDM, KKP).