STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PERAIRAN LAUT KABUPATEN SIMEULUE
CARLES
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengelolaan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Perairan Laut Kabupaten Simeulue adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir di tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014 Carles NIM C451120041
RINGKASAN CARLES. Strategi Pengelolaan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Perairan Laut Kabupaten Simeulue. Dibimbing oleh EKO SRI WIYONO, SUGENG HARI WISUDO dan DENI ACHMAD SOEBOER. Kabupaten Simeulue merupakan daerah yang baru berkembang, terdiri atas 1 pulau besar dan 63 pulau kecil yang dikelilingi oleh perairan laut seluas ± 9.968,16 km². Perairan lautnya merupakan bagian dari Samudera Hindia yang memiliki potensi perikanan tangkap yang sangat tinggi. Sebagian besar nelayan merupakan nelayan skala kecil yang berdiam di pesisir dan sangat mengandalkan hasil laut. Pemanfaatan sumberdaya ikan membutuhkan kehati-hatian dan kearifan dalam pengelolaannya. Keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan tergantung pada peran stakeholder yang terkait perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Peran stakeholder diperlukan untuk menjamin keberlanjutan dari aspek sumberdaya ikan, sosioekonomi maupun manajemen kelembagaannya. Tujuan penelitian ini secara umum menyusun strategi kebijakan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil. Secara khusus bertujuan [1] mengkaji karakteristik sumberdaya ikan, [2] mengkaji kondisi sosial-ekonomi perikanan tangkap skala kecil, [3] mengkaji kelembagaan perikanan tangkap, [4] seleksi teknologi penangkapan ikan tepat guna dan [5] merumuskan faktor internal dan eksternal dalam rangka menyusun strategi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di perairan laut Kabupaten Simeulue. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Simeulue antara bulan Oktober 2013 – bulan Januari 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan survei lapangan secara purposive sampling. Analisis karakteristik sumberdaya ikan, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan dilakukan secara deskriftif terhadap elemen-elemen yang mempengaruhi sistem perikanan tangkap skala kecil. Selanjutnya analisis multi-kriteria digunakan untuk mengidentifikasi teknologi penangkapan ikan tepat guna. Sementara rumusan dan penentuan strategi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil dilakukan dengan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Tingkat keanekaragaman jenis ikan hasil tangkapan -- pada kelompok habitat pelagis dan demersal -- dari daerah penangkapan bagan perahu dan pukat pantai berada pada keanekaragaman sedang, kemerataan antar spesies relatif merata dan hampir tidak ada spesies yang mendominansi spesies lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bagan perahu merupakan alat penangkapan ikan dengan tingkat produktivitas (CPUE) tertinggi sebesar 603,3 kg/trip. Jumlah unit penangkapan dan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Simeulue selama enam tahun terakhir cenderung meningkat. Mayoritas masyarakat pesisir menggunakan teknologi penangkapan ikan tradisional. Kegiatan pemasaran dipengaruhi oleh fluktuasi harga. Hal ini menyebabkan keuntungan antar lembaga pemasaran tidak menyebar merata. Sementara peranan kelembagaan Panglima Laot sebagai bentuk kearifan lokal berperan erat dengan masyarakat lokal untuk keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Hasil seleksi unit usaha penangkapan ikan yang layak dikembangkan berdasarkan pertimbangan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi menyimpulkan usaha bagan perahu sebagai skala prioritas pertama. Pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue secara optimal dan berkelanjutan dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa strategi sebagai berikut: [1] penerapan Ko-manajemen berbasis kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan laut, [2] pengembangan usaha melalui restrukturisasi armada perikanan tangkap, [3] penegakan hukum dengan melaksanakan sistem MCS (monitoring, controlling dan survailance) secara terpadu, [4] peningkatan sistem informasi untuk nelayan, [5] pembuatan sistem data dan informasi perikanan tangkap terpadu, [6] standarisasi terhadap armada perikanan skala kecil untuk peningkatan produktivitas alat tangkap dan mutu ikan dan [7] peningkatan pengetahuan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Kata kunci: Kabupaten Simeulue, perikanan skala kecil, sumberdaya ikan, strategi pengelolaan.
SUMMARY CARLES. Small Scale Strategies of Capture Fishery Management in Simeulue District Marine Water Areas. Supervised by EKO SRI WIYONO, SUGENG HARI WISUDO and DENI ACHMAD SOEBOER. Simeulue is a newly developed area which consists of one large island and 63 small islands surrounded by marine water area of ±9968.16 km². Its marine areas is part from Indian Ocean which has high potential of capture fisheries. Most of fishermen are smallscale fisherman who resided in the coastal and rely on marine resources. Fish resources utilization needs to be caution and wise on its management. Sustainability of fish resources utilization depends on stakeholders related to small-scale of capture fisheries in Simeulue Regency. Stakeholder’s role is needed to ensure the sustainability of fisheries resources, environmental, socio-economic and institutional management. The purpose of this study in general is to formulate policy strategies of small-scale fisheries management. It aims specifically [1] to study the characteristic of fish resources, [2] to study the socio-economic conditions of small-scale fisheries, [3] to study the fisheries institutional, [4] to select appropriate fishing technologies and [5] to analyze internal and external factors in order to formulate management strategies of small-scale fisheries in Simeulue marine waters area. The study was conducted in Simeulue from October 2013 - January 2014. The data was collected from field observation and surveys using purposive sampling method. Analysis of fish resources characteristics, socio-economic conditions and institutional was conducted using qualitative descriptive on elements that affect the small-scale fisheries system. Multi criteria analysis was used to identify the most appropriate fishing technologies. Furthermore, formulation and determination of small-scale fisheries management was done by the analysis of Strength, Weakness, Opportunity, Threat (SWOT). Diversity level of fish, pelagic and demersal habitat group, caught by mobile lift net and beach siene was moderate, interspecies outspread relatively even and almost no dominating species over other species. The research showed that mobile lift net are fishing gears with highest productivity rate (CPUE) of 603.3 kg / trip. Furthermore, socioeconomic conditions showed that the number of fishing gear units and productivity of marine fish production in Simeulue District had a tendency to increase for the last six years. The majority of fishermen are using traditional fishing technology. Marketing activities are affected by price fluctuations. This cause the benefit among marketing agencies are not spread evenly. While the role of Panglima laot institutional as local wisdom plays a close role with local communities for successful management of smallscale fisheries in Simelue district. The selection results of fishing effort unit that is feasible to be developed based on consideration of biological, technical, social and economic aspects concluded mobile lift net as the first priority. Optimal and sustainable management of small-scale fisheries in Simeulue Regency could be done by implementing several strategies as follows: [1] application of comanagement based on local wisdom in the management of marine fishery resources, [2] development of enterprises through restructuring of capture fisheries fleet, [3] integrated law enforcement system MCS (monitoring, controlling and surveillance), [4] improvement of information systems for fishermen, [5] development of data systems and
integrated of capture fisheries information, [6] standardization of small-scale fishing vessels to increase fishing gears productivity and fish quality and [7] knowledge improvement of fishermen and enterpreneurs. Keywords: Simeulue Regency, small-scale fisheries, fish resources, management strategies.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI PERAIRAN LAUT KABUPATEN SIMEULUE
CARLES
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Perikanan Laut
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Budhi Hascaryo Iskandar, MSi MSc
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014 ini ialah pengelolaan sumberdaya perikanan, dengan judul Strategi Pengelolaan Perikanan Tangkap Skala Kecil di Perairan Laut Kabupaten Simeulue. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Eko Sri Wiyono, S.Pi, MSi, Bapak Dr Ir Sugeng Hari Wisudo, MSi dan Bapak Dr Deni Achmad Soeboer, S.Pi, MSi selaku pembimbing, serta Bapak Dr Fis Purwangka, S.Pi, MSi yang telah banyak memberi masukan demi kesempurnaan tulisan ini. Di samping itu, penghargaan sebesar-besarnya disampaikan kepada Bapak Drs. Riswan NS, Bapak Hasrul Edyar, S.Sos, M.AP dan Bapak Drs. Naskah Bin Kamar, masing-masing selaku Bupati, Wakil Bupati dan Sekretaris Daerah Kabupaten Simeulue yang telah memberikan tugas belajar kepada Penulis untuk dapat melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, serta teman-teman seperjuangan Pascasarjana (Magister) TPL 01 (2012) atas dukungan dan kebersamaannya. Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian tesis, penulis telah menerbitkan sebuah artikel ilmiah dengan judul ”Karakteristik Perikanan Tangkap di Perairan Laut Kabupaten Simeulue” pada Jurnal MARINE FISHERIES, Vol. 5, No.1, Edisi Mei 2014 (ISSN 2087-4235). Artikel ilmiah tersebut merupakan bagian dari tesis penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2014 Carles
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran 2 KARAKTERISTIK HASIL TANGKAPAN PERIKANAN SKALA KECIL Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Pembahasan Kesimpulan 3 ANALISIS SOSIAL EKONOMI Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Pembahasan Kesimpulan 4 SELEKSI TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEPAT GUNA Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Pembahasan Kesimpulan 5 STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI KABUPATEN SIMEULUE Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Pembahasan Kesimpulan 6 PEMBAHASAN UMUM 7 KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vi vi vii 1 1 4 5 5 5 8 8 9 11 14 16 17 17 18 19 32 35 35 35 36 37 41 43 43 43 45 46 52 53 53 56 57 61 73
DAFTAR TABEL 2.1 Indeks keanekaragaman hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Simeulue 3.1 Program pemberdayaan nelayan oleh DKP Kabupaten Simeulue 3.2 Jumlah desa, rumah tangga dan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Simeulue 3.3 Biaya pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran ikan laut segar 3.4 Analisis keuntungan setiap lembaga pemasaran ikan laut segar di Kabupaten Simeulue 3.5 Perbandingan marjin pemasaran dan share yang diterima nelayan 3.6 Analisis efisiensi biaya pemasaran pada setiap lembaga pemasaran 4.1 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek biologi unit penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue 4.2 Skoring dan standarisasi fungsi aspek teknis unit penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue 4.3 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek sosial unit penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue 4.4 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek ekonomi unit penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue 4.5 Penilaian gabungan pemilihan teknologi penangkapan ikan tepat guna di Kabupaten Simeulue 5.1 Matrik analisis lingkungan internal pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue 5.2 Matrik lingkungan eksternal pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue 5.3 Matrik SWOT pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue
13 22 26 30 30 31 31 38 39 39 40 41 48 50 51
DAFTAR GAMBAR 1.1 Diagram kerangka pemikiran penelitian 2.1 Peta lokasi penelitian 2.2 Jumlah spesies hasil tangkapan berdasarkan alat tangkap di Kabupaten Simeulue 2.3 Jumlah individu hasil tangkapan berdasarkan alat tangkap di Kabupaten Simeulue 2.4 Komposisi hasil tangkapan berdasarkan spesies dominan di Kabupaten Simeulue 2.5 Produktivitas setiap alat penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Simeulue 2.6 Produktivitas alat tangkap per spesies dominan 3.1 Hubungan kelembagaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue
7 9 11 12 12 13 14 21
3.2 Perkembangan armada penangkapan ikan yang beroperasi di Kabupaten Simeulue tahun 2006-2011 3.3 Komposisi jenis armada penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue tahun 2006 - 2011 3.4 Produksi perikanan laut tahun 2007 - 2011 3.5 Skema saluran pemasaran ikan laut segar di Kabupaten Simeulue
27 27 28 29
DAFTAR LAMPIRAN 1
Ikan-ikan yang tertangkap dengan alat tangkap utama di perairan laut Kabupaten Simeulue 2 Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H'), kemerataan (E) dan dominansi (C) terhadap ikan hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Simeulue 3 Sebaran DPI unit penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Simeulue 4 Peta kawasan konservasi perairan di Kabupaten Simeulue 5 Perkembangan armada penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue tahun 2006 - 2011 6 Perkembangan alat penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue tahun 2006 - 2011 7 Produksi perikanan tangkap di Kabupaten Simeulue tahun 2007 - 2011 8 Analisis usaha unit penangkapan bagan perahu 9 Analisis usaha unit penangkapan pukat pantai 10 Analisis usaha unit penangkapan rawai 11 Analisis usaha unit penangkapan alat pengumpul 12 Unit penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue
62
64 65 66 67 67 67 68 69 70 71 72
DAFTAR ISTILAH Alat pengumpul
: Jenis alat penangkap ikan dengan menggunakan kompresor udara untuk menangkap udang lobster dan atau teripang.
Armada
: Unit kapal penangkap yang melakukan operasi penangkapan ikan.
Catch per unit effort (CPUE)
: Jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap unit penangkapan (armada, alat tangkap, nelayan).
Code of Conduct for responsible fisheries (CCRF)
: Prinsip-prinsip dasar dan standar internasional dalam kegiatan perikanan yang bertanggung jawab (FAO 1995).
Keanekaragaman hayati : Keanekaragaman organisme yang menunjukkan (biodiversitas) keseluruhan variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah. Kebijakan
: Aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi yang bersifat mengikat, guna mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tatanilai baru dalam masyarakat.
Ko-manajemen
: Pembagian wewenang dan tanggungjawab antara negara dan kelompok pengguna dalam manajemen sumberdaya alam.
Lingkungan sumber daya ikan
: Perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya.
Manajemen strategik
: Sekumpulan keputusan dan tindakan yang menghasilkan formulasi dan implementasi program yang ditetapkan untuk mencapai sasaran organisasi.
Nelayan skala kecil
: Orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).
Pengelolaan perikanan
: Semua upaya, rermasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau
Perikanan
otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. : Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Perikanan tangkap
: Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang mengunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Perikanan tangkap skala kecil
: Nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).
Sumber daya ikan
: Potensi semua jenis ikan.
Teknologi penangkapan : Seperangkat alat, teknik, metode atau proses yang ikan digunakan untuk mempermudah segala pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan dalam penangkapan ikan. Unit penangkapan ikan
: Satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap, dan nelayan.
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (Pemerintah Republik Indonesia 2009). Selanjutnya pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan (sustainable), serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Berdasarkan hal tersebut perikanan harus dikelola dengan baik demi keadilan sosial dan efisiensi usaha bagi masyarakat. Indonesia yang sebagian masyarakat hidup di wilayah kepulauan, sejarah mencatat bahwa negara ini disebut sebagai bangsa bahari. Identitas sebagai bangsa bahari tidak saja di tentukan oleh fakta geografis bahwa dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut, ternyata fakta geografis tersebut berimplikasi pada fakta geopolitis, fakta sosial ekonomis, dan fakta ekologis. Sebagai wilayah kepulauan, sebagian besar penduduk Indonesia di dominasi oleh masyarakat yang sumber mata pencaharian nelayan dan dikategorikan kepada perikanan skala kecil. Terdapat lebih dari 51 juta nelayan di dunia, dimana 99% nya adalah nelayan tangkap skala kecil. Saat ini, 95% dari nelayan dunia adalah berasal dari negara-negara sedang berkembang (FAO 1999). Perikanan tangkap skala kecil umumnya rendahnya teknologi, minimnya modal usaha dan umumnya pemilik sendiri yang mengoperasikan kapalnya. Perikanan tangkap skala kecil di Indonesia menurut UU No. 45 Tahun 2009 adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan paling besar 5 (lima) gross tonage (Pemerintah Republik Indonesia 2009). Berdasarkan klasifikasi tersebut bahwa komposisi armada perikanan tangkap Indonesia saat ini masih didominasi perikanan tangkap skala kecil. Hal tersebut dikuatkan oleh data KKP (2013) dimana terdapat 90% atau 556.200 unit armada perikanan tangkap nasional berukuran < 5 gross tonage. Perikanan tangkap skala kecil telah memberikanan kontribusi yang signifikan terhadap kondisi sosial dan ekonomi nelayan. Ini sesuai pendapat Wijaya (2013) khusus di wilayah Asia Pasifik, perikanan skala kecil berkontribusi terhadap penghidupan sedikitnya 357 juta orang. Melihat kondisi Indonesia yang bertipologi kepulauan, merupakan negara sedang berkembang. Secara geografis adalah wilayah tropis yang memiliki keberagaman jenis ikan (multi species) maupun alat tangkap (multi gear) sehingga membuat tugas pengelola perikanan skala kecil tidak lah mudah, karena secara ekologi sangat kompleks. Kebanyakan pemerintahan di negara berkembang sangat sedikit membelanjakan sumberdaya untuk penelitian dan pengelolaan perikanan skala kecil. Sesuai fakta, perikanan skala kecil biasanya dilihat sebagai suatu ciri khas budaya, sumber pekerjaan bagi mereka yang kurang keterampilan ataupun kurang berpendidikan tetapi bukan sebagai sebuah penggerak utama ekonomi. Padahal perikanan skala kecil sangat penting untuk ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan di banyak negara berkembang.
2
Berkes et al. (2001) mengatakan perikanan tangkap skala kecil memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri. Dimana jumlah kapal-kapal skala kecil dan nelayan melebihi jumlah kapal untuk industri skala besar. Namun sampai saat ini perikanan skala kecil dapat dikatakan sebagai kelompok-kelompok atau masyarakat yang dimarginalkan, padahal aspek keberlanjutan sumberdaya perikanan sangat tergantung pada perikanan skala kecil ini. Mengingat kegiatan penangkapan ikan dalam perikanan tangkap skala kecil merupakan sumber mata pencaharian utama dan memilik peranan penting bagi kelangsungan hidup nelayan. Ketergantungan nelayan akan sumberdaya ikan mengakibatkan nelayan akan selalu melakukan perubahan strategi penangkapan ikan dalam menghadapi setiap perubahan yang mempengaruhi tingkat produksi hasil tangkapannya (Wiyono 2011). Berdasarkan dinamika tersebut dibutuhkan strategi pengelolaan demi keberlanjutan sumberdaya perikanan kedepan. Hal ini dapat dilakukan dengan pertimbangan ekologi dan lingkungan, sosial, ekonomi, komunitas nelayan kecil dan pengelolaan kelembagaannya (Charles 2001). Perikanan tangkap skala kecil sering didasarkan pada komunitas kecil di pesisir yang tergantung pada sumberdaya lokal yang dapat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan ekonomi di sekelilingnya. Kadang secara politis jauh dari pusat pengambilan keputusan di bidang perikanan dan bahkan di kepulauan yang terisolir seperti Kabupaten Simeulue. Kabupaten Simeulue merupakan salah satu daerah bertipologi kepulauan yang terpisah dari daratan pulau Sumatera. Terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 1999 dan definitif sebagai administrasi Kabupaten pada tanggal 12 Oktober 1999. Secara geografis terletak antara 2o 15’ – 2o 55’ Lintang Utara dan 95o 40’ – 96o 30’ Bujur Timur atau berada pada posisi Barat Daya Provinsi Aceh yang berbatasan langsung dengan perairan laut Samudera Hindia (DKP 2012). Salah satu sektor andalan dalam pengembangan ekonomi yaitu perikanan tangkap. Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi yang sangat penting dan memiliki kontribusi besar terhadap total produksi perikanan secara umum di Kabupaten Simeulue. Namun, pengelolaannya belum optimal dilakukan. Hal ini disebabkan oleh skala usaha perikanan masih didominasi oleh nelayan dengan armada skala kecil. Hermawan (2005) dan Rahmi et al. 2013 menginformasikan bahwa perikanan tangkap di Indonesia secara umum masih didominasi oleh perikanan skala kecil dengan prosentase perikanan skala kecil di Indonesia mencapai 85%. Berdasarkan data Dinas Keluatan dan Perikanan Simeulue, terdapat 99,36% atau sebesar 3.127 unit armada perikanan tangkap berukuran < 5 gross tonage (DKP 2012). Melihat data tersebut bahwa di kabupaten kepulauan tersebut merupakan perikanan tangkap dengan armada skala kecil. Ini menyebabkan keterbatasan dalam menjangkau lokasi penangkapan ikan karena lemahnya kemampuan armada dan SDM nelayan. SDM nelayan merupakan salah satu komponen penting sub sistem sosialekonomi. Mukflihati (2010) menyebutkan bahwa nelayan merupakan salah satu golongan masyarakat yang dianggap miskin secara absolut, sehingga berdampak pada minimnya penguasaan pengetahuan dan teknologi perikanan tangkap. Hasil survei lapang menunjukkan bahwa nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue umumnya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Adapun sebagian kecil nelayan sudah menangkap ikan untuk tujuan komersial. Selain itu nelayan juga kurang memahami tentang teknologi penangkapan ikan tepat guna dan
3
berwawasan lingkungan. Untuk menentukan jenis alat tangkap yang cocok dikembangkan dan mempunyai keragaan (performance) yang baik, dapat digunakan determinasi usaha perikanan tangkap dengan urutan prioritas pengembangannya dapat ditinjau dari aspek biologi, teknis, ekonomi dan sosial (Howara dan Laapo 2008). Selain itu, beberapa nelayan di Kabupaten Simeulue masih melakukan penangkapan tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya ikan. Ini dikarenakan minimnya pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya kondisi lingkungan perairan yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya ikan. Pengetahuan akan potensi dan tingkat pemanfaatan dari sumberdaya perikanan di suatu perairan merupakan informasi penting untuk membuat suatu perencanaan dan pengembangan perikanan. Untuk itu pengkajian komposisi hasil tangkapan, produktivitas (CPUE), keanekaragaman perlu dilakukan. Hal ini sesuai yang diutarakan oleh Prasetyo et al. (2012) bahwa pendugaan produktivitas dan komposisi hasil tangkapan merupakan bahan pertimbangan bagi penyusunan strategi penangkapan dan kebijakan pengelolaan. Sementara Costa dan Schulz (2010) menyebutkan keanekaragaman hasil tangkapan dapat memberikan gambaran struktur komunitas ikan pada suatu ekosistem lingkungan perairan. Karena keanekaragaman dari populasi alami ikan dipengaruhi oleh variabel lingkungan dan introduksi suatu jenis ikan (Chowdhury et al. 2010). Sedangkan pertimbangan ekonomi yang mempengaruhi strategi pengelolaan salah satunya adalah kekuatan pasar. Kekuatan pasar berpengaruh pada kebutuhan pasar. Menurut Harifuddin (2011) semakin besar kebutuhan pasar akan mengalami kecenderungan permintaan global yang semakin meningkat. Nelayan akan melakukan peningkatan produktivitas hasil tangkapan. Sehingga menambah tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan di Kabupaten Simeulue masih dilakukan dengan pendekatan produksi. Padahal pengelolaan perikanan tangkap tidak hanya tergantung pada peningkatan produksi semata. Selain produksi, penataan kelembagaan dan tata tertib peraturan yang telah ditetapkan menjadi hal penting dalam keberlanjutan sumberdaya ikan. Menurut Subekti (2010) pemanfaatan sumberdaya perikanan saat ini lebih berpihak kepada kegiatan eksploitasi. Hal yang timbul adalah minimnya pengaturan kelembagaan dan penegakan hukum. Lemahnya penataan kelembagaan dan penegakan hukum karena program kerja pemerintah pusat maupun daerah belum dapat menerapkan secara optimal konsepkonsep sistem dan organisasi pembangunan perikanan bekelanjutan. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan alternatif pengelolaan untuk menentukan strategi pengelolaan perikanan skala kecil agar dapat berkelanjutan sesuai kondisi wilayah. Hal senada diutarakan oleh Nababan et al. (2008) bahwa perikanan tangkap skala kecil Indonesia memerlukan pengelolaan yang terencana agar dapat berkelanjutan. Strategi yang diterapkan disesuaikan dengan karakteristik daerah pengelolaan melalui pendekatan yang mewujudkan konsep strategi yang ideal sesuai kondisi masyarakat, wilayah secara geografis, kemampuan daya dukung dan kebutuhan optimal dari setiap komponen atau sub sistemnya. Pendekatan sistem melalui pemahaman secara holistik terhadap sumberdaya ikan, kondisi sosial ekonomi, kebijakan dan kelembagaan perikanan tangkap skala kecil dapat memberikan gambaran status pemanfaatan, arah dan tujuan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue.
4
Perumusan Masalah Permasalahan yang timbul dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil dapat dianalisis berdasarkan kondisi sumberdaya ikan, sosial ekonomi, kebijakan dan kelembagaan. Karena keberlanjutan perikanan tangkap adalah cara pandang yang komprehensif dari seluruh stakeholder tentang kegiatan perikanan sebagai suatu sistem. Permasalahan yang menyangkut keberlanjutan perikanan tangkap adalah perilaku nelayan, produktivitas penangkapan, tingkat pendapatan, ketersediaan sumberdaya ikan dan kegiatan pengelolaan (manajemen) perikanan tangkap skala kecil itu sendiri. Pengelolaan perikanan berkelanjutan sekarang ini telah berkembang dan tidak hanya pada aspek biologi-ekologi dan teknologi, akan tetapi meliputi juga aspek sosial, budaya, ekonomi dan kelembagaan. Kendala sosial, budaya dan kelembagaan dalam pengelolaan perikanan bahwa perilaku masyarakat nelayan tidak mudah ditransformasikan. Selain itu perubahan sosial dalam parameter yang berbeda, diantaranya dipengaruhi oleh lapangan pekerjaan, kondisi politik, permintaan produk perikanan. Kekuatan pasar dan akses terbuka terhadap sumberdaya perikanan laut sebagai pertimbangan ekonomi di Kabupaten Simeulue. Karena berpengaruh terhadap pengelolaan perikanan tangkap. Perubahan ini dapat mempengaruhi efektivitas strategi pengelolaan. Oleh karena itu harus dipertimbangkan dan diakomodasi. Berdasarkan pertimbangan sumberdaya ikan, sosial-ekonomi dan kelembagaan dalam pendekatan pengelolaan perikanan tangkap dapat dikembangkan pola pemikiran bahwa status sumberdaya perikanan sangat dipengaruhi oleh hasil interaksi antar teknologi penangkapan yang digunakan dan aspek ekonomi dalam pemanfataan sumberdaya ikan. Aspek ekonomi berkaitan dengan kondisi sosial nelayan dan masyarakat nelayan. Hasil interaksi aspek-aspek tersebut akan menjadikan sebagai bagian konsep keberlanjutan sumberdaya perikanan dalam suatu kerangka sistem perikanan tangkap. Lingkungan perairan laut Kabupaten Simeulue yang menjadi habitat sumberdaya ikan, merupakan bagian dari WPP 572 (perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda). Luas perairan laut kurang lebih 9.968,16 km2 diduga memiliki potensi perikanan tangkap yang cukup potensial. Posisi yang strategis ini memberikan peluang pengembangan perikanan tangkap melalui perluasan daerah penangkapan ikan dengan kemampuan armada yang lebih besar. Produksi perikanan tangkap saat ini, berdasarkan data Statistik Perikanan Kabupaten Simeulue diketahui mengalami trend peningkatan setiap tahunnnya. Peningkatannya mencapai rata-rata setiap tahun sebesar 6,92% (DKP 2012). Peningkatan ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pada perairan tersebut masih tersedia. Akan tetapi jika pengelolaan potensi tersebut tidak lakukan dengan baik maka suatu saat akan mengalami kelebihan eksploitasi yang memberikan dampak penurunan tingkat pendapatan nelayan. Peningkatan produksi tersebut belum seiiring dengan optimalnya sistem pengelolaan. Hal ini masih terdapat beberapa permasalahan utama antara lain; [1] usaha perikanan tangkap masih skala kecil [2] minimnya ketersediaan data dan informasi untuk perencanaan pengelolaan, [3] peran kelembagaan perikanan tangkap belum efektif, dan [4] pengelolaan perikanan tangkap belum terpadu.
5
Evaluasi perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue perlu dilakukan berdasarkan pertimbangan dari aspek sumberdaya ikan, sosial-ekonomi dan manajemen. Berdasarkan analisis terhadap masalah di atas setidaknya dapat dirumuskan sejumlah pertanyaan penelitian tentang: (1) Gambaran umum sistem perikanan tangkap skala kecil di lokasi penelitian; (2) Dinamika alat penangkapan ikan skala kecil terhadap aspek: biologi, teknologi, sosial, ekonomi; (3) Bagaimana strategi yang dapat dilakukan dalam pengelolaan perikanan skala kecil berdasarkan karakteristik wilayah kepulauan. Strategi pengelolaan perikanan yang baik akan memberi manfaat secara optimal. Sehingga memberikan pengaruh terhadap peningkatan produktivitas unit penangkapan, peningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan, penyerapan tenaga kerja, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan usaha penangkapan ikan yang berkelanjutan.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengkaji karakteristik sumberdaya ikan; 2) Mengkaji kondisi sosial ekonomi; 3) Mengkaji kelembagaan perikanan tangkap; 4) Seleksi teknologi penangkapan ikan tepat guna; dan 5) Merumuskan alternatif strategi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil.
Manfaat Penelitian Tiga manfaat yang diharapkan dapat dihasilkan dari penelitian ini, yaitu: 1. Sebagai masukan bagi pemerintah dan dinas terkait dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan perikanan tangkap; 2. Informasi bagi stakeholder mengenai kondisi perikanan tangkap di Perairan Laut Kabupaten Simeulue; 3. Sebagai dasar penelitian lanjutan bagi akademisi dan peneliti tentang pengelolaan perikanan tangkap skala kecil.
Kerangka Pemikiran Perkembangan peradaban dan pertumbuhan penduduk dunia telah mengakibatkan pengelolaan sumberdaya ikan semakin kompleks dan hampir tidak terkontrol. Adapun masalah utama krisis perikanan terjadi akibat tidak terkendalinya intervensi manusia dalam mengelola sumberdaya ikan terutama perairan pantai yang dapat dikategorikan sebagai perikanan skala kecil. Pengelolaan sumberdaya perikanan lebih cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan. Apalagi jika dilihat kondisi sumberdaya perikanan di Indonesia khususnya di wilayah pantai yang didominasi perikanan skala kecil cenderung mengalami penurunan. Sehingga hasil tangkapan
6
beberapa jenis ikan cenderung berkurang. Hal ini dapat terjadi karena semakin banyaknya komunitas pengguna sumberdaya dan semakin tingginya intensitas alat penangkapan yang digunakan. Sementara kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity) sumberdaya perikanan semakin menurun. Lebih lanjut efek dari pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkontrol mengakibatkan terancamnya kelangsungan hidup masyarakat pengguna (tragedy of the common) antara lain menurunkan tingkat produktivitas dan pendapatan nelayan hingga terjadinya dampak sosial berupa konflik nelayan di wilayah pantai yang menjadi basis perikanan tangkap skala kecil. Pemanfaatan sumberdaya seharusnya mempertimbangkan aspek kelestariannya melalui dimensi perencanaan yang harus dilakukan dan selanjutnya bagaimana melakukannya. Pola pengelolaan sumberdaya saat ini tidak seharusnya berorientasi pada usaha untuk menaksir stok. Sebaiknya menaruh perhatian pada nelayannya, terutama dalam kasus usaha perikanan tangkap skala kecil. Ditambah perencanaan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil umumnya dilakukan bersifat on going process. Hanya bersifat reaktif jika permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan. Untuk itu penggabungan pemikiran sub sistem sumberdaya ikan, sub sistem sosial ekonomi dan manajemen sebagai kerangka kerja pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Oleh karena itu kajian tentang perkembangan status pemanfaatan sumberdaya yang tergabung dalam sistem perikanan tangkap di Kabupaten Simeulue harus dilakukan. Adapun parameter sub sistem sumberdaya ikan yang akan dianalisis yaitu karakteristik sumberdaya ikan meliputi: komposisi hasil tangkapan, keanekaragaman jenis ikan dan produktivitas alat penangkapan ikan. Selanjutnya analisis komponen sistem sosial-ekonomi antara lain: demografi penduduk, perkembangan teknologi alat penangkapan ikan, trend produksi, distribusi dan pemasaran, kebijakan pemerintah daerah dan peran lembaga yang terkait pengelolaan perikanan tangkap. Sehingga indikator-indikator kualitatif dan variabel-variabel penduga sebagai alat-alat mengevaluasi status suatu perikanan akan menentukan alternatif arah pengelolaan perikanan tangkap skala kecil untuk masa yang akan datang. Kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.1.
7
Input Kondisi Perikanan Tangkap Skala Kecil di perairan laut Kabupaten Simeulue
Permasalahan : Terbatasnya informasi potensi SDI Typologi alat tangkap yang beragam Pendistribusian dan pemasaran hasil tangkapan Aturan/hukum belum efektif Ruang lingkup : Perikanan skala kecil menurut UU No.45/2009: Teknologi paling tinggi dalam operasi penangkapan hanya menggunakan motor tempel berukuran (10-25 PK, panjang 5-12 meter dan ukuran armada paling besar lima gross tonnage) yang di operasikan di perairan laut Kabupaten Simeulue. Pendekatan Sistem
Proses Sistem Perikanan Tangkap
Subsistem Sumberdaya Ikan
Subsistem Sosial-ekonomi dan Manajemen
Komposisi hasil tangkapan Keanekaragaman Produktivitas (CPUE)
Teknologi alat penangkapan ikan Demografi penduduk Distribusi dan pemasaran Kebijakan pemerintah daerah Kelembagaan pengelolaan
Output
Strategi Pengelolaan Perikanan Tangkap Skala Kecil
Gambar 1.1 Diagram kerangka pemikiran penelitian
8
2 KARAKTERISTIK HASIL TANGKAPAN PERIKANAN SKALA KECIL Pendahuluan Kabupaten Simeulue terdiri atas 1 pulau besar dan 63 pulau kecil yang dikelilingi oleh perairan laut seluas ± 9.968,16 km². Perairan lautnya merupakan bagian dari Samudera Hindia yang memiliki potensi perikanan tangkap yang sangat besar. Ini mengakibatkan sebagian besar penduduknya berdiam di pesisir dan sangat mengandalkan hasil laut. Pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Simeulue belum dilakukan secara optimal. Permasalahan utamanya adalah sebagian besar usaha perikanan berskala kecil, informasi kondisi ekologi dan produktivitas unit penangkapan ikan sangat minim dan pengelolaan perikanan tangkap belum berbasis ekosistem. Padahal sumberdaya perikanan merupakan sub sistem yang memiliki kontibusi yang besar terhadap sumber bahan pangan bagi masyarakat. Dengan demikian, informasi dalam perencanaan dan status pemanfaatan sumberdaya perikanan sangat diperlukan. Pengelolaan sumberdaya perikanan termasuk proses yang terintegrasi. Aktivitasnya meliputi pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya, implementasi dan penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang dikelola oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk kelangsungan produktivitas hayati dan tujuan yang telah ditetapkan (Pemerintah Republik Indonesia 2009). Pengelolaannya, menurut Berkes et al. (2001), harus tetap memperhatikan kondisi lingkungan, keanekaragaman hayati, ecolabeling dan aturan-aturan internasional. Aturan Internasional yang tertuang dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries merekomendasikan pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan diarahkan untuk memecahkan persoalan-persoalan kerusakan habitat, kecendrungan kepunahan jenis ikan tertentu, keanekaragaman hayati, kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan (FAO 1995). Nikijuluw (2002) menambahkan bahwa kriteria keberlanjutan suatu rezim pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dinilai dari sikap masyarakat dalam menjaga produktivitas, karakteristik ekologi sumberdaya dan kelenturan sistem. Status pemanfaatan dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan sangat penting ditentukan agar tidak melampaui daya dukung sumberdaya yang ada. Oleh karena itu, analisis tentang produktivitas dan karakteristik ekologi sumberdaya sangat diperlukan untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk menginformasikan komposisi hasil tangkapan, indeks keanekaragaman spesies dan produktivitas beberapa alat penangkapan ikan di wilayah perairan laut Kabupaten Simeulue. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai acuan untuk menentukan suatu kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap skala kecil di perairan laut Kabupaten Simeulue.
9
Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan antara bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014. Lokasi yang menjadi obyek penelitian terdiri atas Kecamatan Simeulue Timur, Teupah Selatan, Teluk Dalam, Simeulue Barat dan Teupah Tengah. Seluruhnya berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Simeulue – Provinsi Aceh (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian Metode Pengumpulan Data Penelitian menggunakan metode survei dan observasi lapangan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer meliputi hari operasi per alat tangkap (trip) dan komposisi hasil tangkapan yang berupa jumlah hasil tangkapan (ekor), berat hasil tangkapan (kg) dan jenis hasil tangkapan. Data tersebut diperoleh dengan melakukan observasi langsung dan survei secara purposive sampling, dengan mempertimbangkan jenis alat tangkap yang memiliki produktivitas yang lebih besar dibandingkan dengan jenis alat penangkapan ikan lainnya. Peralatan utama yang digunakan antara lain: penggaris, timbangan, kertas label, alat tulis, buku identifikasi ikan, kamera digital dan global positioning system (GPS). Alat tangkap yang dikaji dalam penelitian ini adalah 4 unit alat tangkap bagan perahu, 6 unit pukat pantai, 5 unit rawai dan 4 unit alat pengumpul udang lobster/tripang. Data hasil tangkapan dikumpulkan dari kelima lokasi penelitian. Dari seluruh data akan diperoleh gambaran umum mengenai komposisi hasil tangkapan, keanekaragaman jenis dan produktivitas setiap jenis alat penangkapan ikan.
10
Metode Analisis Data Data dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik untuk mengetahui komposisi ikan hasil tangkapan. Selanjutnya, analisis struktur komunitas ikan digunakan untuk menghitung keanekaragaman jenis ikan hasil tangkapan. Cara analisisnya menggunakan perhitungan variabel indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’), kemerataan (E) dan indeks dominansi (D). Keanekaragaman hasil tangkapan Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis biota perairan. Indeks keanekaragaman jenis ikan dihitung mengikuti Maguran (1988). Rumusnya adalah: s '
H = - ∑ 𝑷𝒊 ln 𝑷𝒊 ; 𝑷𝒊 = i=1
𝒏𝒊 𝑵
H' adalah indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, ni Jumlah individu jenis ikan ke-i, N Jumlah total individu semua ikan, s = Jumlah spesies/genera dan i = 1,2,3,....,n. Kriteria indeks Shannon-Wiener ditentukan berdasarkan kriteria menurut Jukri et al. (2013) yaitu jika H‘ < 1 maka keanekaragaman rendah, 1 < H‘ < 3 keanekaragaman sedang dan H‘ > 3 keanekaragaman tinggi. Kemerataan hasil tangkapan Indeks kemerataan adalah untuk menunjukkan merata atau tidaknya pola sebaran biota. Jika nilai indeks kemerataan relatif tinggi maka keberadaan setiap jenis biota perairan dalam kondisi merata. Indeks ini ditentukan menggunakan Fachrul (2007). Formula yang digunakan adalah:
E =
H H’ Max
E Indeks kemerataan H’adalah indeks keanekaragaman, H’max = ln S (S adalah jumlah genera) dan nilai indeks berkisar antara 0 - 1. Kriterianya adalah jika E ≈ 0, kemerataan antar spesies rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masingmasing spesies sangat jauh berbeda. Sementara jika E = 1, kemerataan antar spesies relatif merata atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama. Dominansi hasil tangkapan Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui adanya dominansi jenis spesies tertentu di suatu perairan. Indeks dominansi dihitung dengan persamaan (Odum 1971): s ′
𝑪 = ∑[ i=1
n1 2 ] N
C adalah indeks dominansi Simpson, ni jumlah individu jenis ke-i dan N jumlah total individu S jumlah spesies/genera dan i = 1,2,3,...,S. Menurut Odum (1971) kisaran nilai indeks dominansi adalah 0 – 1, jika nilainya mendekati 0 (0,00 – 0,50) berarti hampir tidak ada spesies/genera yang mendominansi dan apabila nilai indeks dominansi mendekati 1 (0,51 – 1,00) berarti ada salah satu spesies/genera yang mendominansi populasi.
11
Produktivitas hasil tangkapan Tingkat produktivitas (Catch per unit effort) alat penangkapan ikan -- sebagai indeks sumberdaya perikanan -- dihitung menggunakan rumus (KKP 2003): Produktivitas per alat tangkap (CPUE) =
Volume tangkapan (kg) Jumlah trip penangkapan
Hasil Komposisi Hasil Tangkapan Hasil penelitian mendapatkan empat jenis alat penangkapan ikan yang dioperasikan oleh nelayan di Kabupaten Simeuleue. Selama 2 bulan pengamatan, jumlah hasil tangkapannya sebanyak 50 spesies yang terdiri atas 148.441 ekor ikan. Jenis alat tangkap yang memberikan konstribusi terbesar adalah rawai sebanyak 20 spesies. Urutan selanjutnya adalah alat pengumpul lobster/teripang sebanyak 14 spesies, pukat pantai sebanyak 11 spesies dan alat tangkap bagan perahu 8 spesies. Komposisi jenis spesies hasil tangkapan berdasarkan jenis alat tangkap disajikan pada Gambar 2.2.
Jumlah (spesies)
30 20 (37,74%)
20
14 (26,42%)
11 (20,75%)
10
8 (15,09%)
0 Rawai
Alat pengumpul
Pukat pantai
Bagan perahu
Jenis alat tangkap
Gambar 2.2 Jumlah spesies hasil tangkapan berdasarkan alat tangkap di Kabupaten Simeulue Gambar 2.2 menjelaskan bahwa jumlah spesies hasil tangkapan rawai menduduki urutan teratas atau mencapai 37,74% dari total spesies yang tertangkap oleh empat jenis alat penangkapan ikan. Sementara alat pengumpul sebesar 26,42%, pukat pantai 20,75% dan bagan perahu 15,09%. Sementara jumlah individu yang diperoleh dari keempat alat tangkap yang di sampling, dimana jenis alat tangkap pukat pantai sebagai urutan pertama mendapatkan individu sebanyak 133.589. Urutan selanjutnya adalah bagan perahu 13.925 ekor, alat pengumpul lobster/teripang sebanyak 708 ekor dan rawai sebanyak 219 ekor. Gambar 2.3 jumlah individu hasil tangkapan berdasarkan alat tangkap di Kabupaten Simeulue.
12
Alat tangkap
Pukat pantai
133589
Bagan
13925
Alat pengumpul
708
Rawai
219 0
50000
100000
150000
Jumlah individu (ekor)
Gambar 2.3 Jumlah individu hasil tangkapan berdasarkan alat tangkap di Kabupaten Simeulue Lima spesies dominan dari 50 spesies yang tertangkap oleh empat jenis alat penangkap ikan yang ada di Kabupaten Simeulue, yaitu Sardinella lemuru, Leiognatus spp, Stelophorus spp, Selar boops dan Auxis thazard. Sardinella lemuru merupakan spesies yang paling banyak tertangkap dari kelima spesies tersebut yaitu sebanyak 55. 240 ekor (42%). Spesies ini umumnya banyak tertangkap oleh pukat pantai. Presentase hasil tangkapan terendah adalah Auxis thazard sebanyak 4.655 ekor (4%) yang banyak tertangkap oleh alat tangkap bagan perahu. Komposisi lima spesies terbanyak disajikan pada Gambar 2.4.
43%
40% Sardinella lemuru Leiognathus spp Stolephorus spp
Selar spp Auxis thazard
3% 3%
11%
Gambar 2.4 Komposisi hasil tangkapan berdasarkan spesies dominan di Kabupaten Simeulue Indek Keanekaragaman, Kemerataan dan Dominansi Indek keanekaragaman menunjukkan kekayaan spesies dari suatu komunitas dalam ekosistem tertentu. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi jika kelimpahan spesiesnya atau proporsi antar spesies secara keseluruhan sama banyak atau hampir sama banyak (Brower et al. 1990). Hasil
13
analisis indeks keanekaragaman terhadap hasil tangkapan nelayan Kabupaten Simeulue secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Indeks keanekaragaman hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Simeulue Jenis alat Diversity Index Kelompok No. penangkapan habitat H’ E C ikan 1. Pelagis Bagan perahu 1,72 0,83 0,22 2.
Demersal
Pukat pantai
1,40
0,58
0,32
Produktivitas Produktivitas merupakan hasil upaya penangkapan setiap jenis alat tangkap yang digunakan sebagai suatu indikator yang menunjukkan tingkat efesiensi teknis dari jumlah upaya (effort) yang telah dilakukan. Nilai ini diperoleh dari pembagian total catch dengan total fishing effort. Nilai CPUE yang tinggi menggambarkan tingkat efisiensi penggunaan effort yang lebih signifikan. Perhitungan nilai hasil tangkapan per upaya penangkapan digunakan sebagai dasar dalam menentukan indeks kelimpahan sumberdaya perikanan. Upaya penangkapan untuk setiap jenis alat tangkap umumnya berbeda dan sangat tergantung pada jenis alat tangkap yang digunakan. Hasil penelitian mendapatkan bahwa jenis alat penangkapan ikan dominan yang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Simeulue hanya terdiri atas bagan perahu, pukat pantai, rawai dan alat pengumpul. Operasi penangkapannya tergolong harian (one day trip). Jenis perahu yang digunakan berupa perahu tanpa motor, perahu motor dan beberapa perahu berukuran > 5 GT. Produktivitas setiap jenis alat penangkapan ikan yang ada di perairan laut Kabupaten Simeulue dijelaskan pada Gambar 2.5. Produktivitas (kg/trip)
750 603,3
500
414,7 301,4
250 81,8
0
Bagan perahu
Pukat pantai
Rawai
Alat pengumpul
Alat tangkap
Gambar 2.5 Produktivitas setiap alat penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Simeulue Berdasarkan Gambar 2.5, produktivitas rata-rata setiap alat tangkap berbeda. Bagan perahu berada di urutan pertama dengan nilai produktivitas sebesar 603,3 kg/trip, atau lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga jenis alat tangkap lainnya.
14
Urutan kedua adalah pukat pantai dengan rata-rata per trip sebesar 414,7 kg/trip, diikuti oleh rawai 301,4 kg/trip dan alat pengumpul 81,8 kg/trip. Berdasarkan target ikan hasil tangkapan, CPUE untuk setiap jenis spesies yang tertangkap oleh masing-masing alat penangkapan ikan berbeda-beda. Hasil perhitungan terhadap CPUE spesies menggambarkan lima spesies dengan lima urutan hasil tangkapan tertinggi dari setiap alat penangkapan ikan yang beroperasi di perairan laut Kabupaten Simeulue (Gambar 2.6). Teripang gajah Teripang merah Lobster bambu Teripang karet Lobster batu Kerapu Lencam Kwee Madidihang Cucut Tetengkek Teri Layur Peperek Lemuru Cumi-cumi Layang Lemuru Tembang Tongkol
2,6 2,8 3,4 7,3
Bagan perahu Pukat Pantai Rawai
56,6
Jenis Spesies
8,2 12,3 22,1 22,2
Alat pengumpul
193,3 26,7 40,0 44,4 71,1 168,9 20,0 33,3
83,3 83,3 366,7 0
25
50
75
100 125 150 175 200 225 250 275 300 325 350 375 400 CPUE (kg/trip)
Gambar 2.6 Produktivitas alat tangkap per spesies dominan Berdasarkan Gambar 2.6, bagan perahu memiliki produktivitas tertinggi terhadap ikan tongkol (Auxis thazard) sebesar 366,7 kg/trip, berikutnya rawai terhadap ikan cucut (Carcharhinus spp; 193,3 kg/trip), pukat pantai terhadap ikan lemuru (Sardinella lemuru; 168,9 kg/trip), dan alat pengumpul yaitu lobster batu (P. penicillatus; 56,6 kg/trip).
Pembahasan Komposisi hasil tangkapan merupakan hasil indentifikasi spesies dan famili dalam suatu komunitas. Spesies terbanyak, tertangkap pada alat tangkap rawai. Banyaknya spesies yang tertangkap oleh rawai dipengaruhi oleh luasnya daerah penangkapan dan beragamnya spesies ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Pada alat pengumpul, cara pengoperasiannya dilakukan dengan menyelam langsung kedalam air oleh nelayan. Oleh karena itu, keanekaragaman spesiesnya sangat tergantung pada nilai ekonomi suatu komoditas dan ketersediaan oganisme tersebut di laut. Hal tersebut sesuai pendapat Junaidi et al. (2010) yang mengutarakan bahwa meningkatnya pasar domestik maupun ekspor, menyebabkan penangkapan komoditas lobster semakin intensif. Selanjutnya, pukat pantai dioperasikan pada suatu areal yang sangat terbatas di pinggir pantai. Akibatnya, jumlah spesies yang
15
tertangkap tidak terlalu banyak. Adapun pada bagan perahu, organisme air yang menjadi tujuan penangkapannya sangat spesifik, yaitu ikan tongkol, layang, selar dan kembung. Jenis ikan lainnya hanya sebagai hasil tangkapan sampingan. Hasil penelitian terhadap biodiversitas ikan hasil tangkapan (Tabel 2.1), kondisi keanekaragaman hasil tangkapan berdasarkan kelompok habitat pelagis dan demersal yang diwakili oleh masing-masing alat tangkap bagan perahu dan pukat pantai masih terjaga dengan baik. Hal ini terlihat dari nilai keanekaragaman (H’) ikan hasil tangkapan bagan perahu yang mewakili habitat pelagis yaitu 1,72 dan pukat pantai 1,40, atau berada pada kriteria nilai 1 – 3 yang merupakan kriteria nilai keanekaragaman sedang (Jukri et al. 2013). Tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman jenis hasil tangkapan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain jumlah jenis atau individu yang diperoleh, adanya beberapa jenis organisma yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah, homogenitas substrat dan kondisi tiga ekosistem penting di daerah pesisir (padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove) sebagai habitat fauna perairan (Supono & Arbi 2010). Analisis terhadap indeks kemerataan (E) hasil tangkapan dari kedua jenis alat tangkap yang mewakili kelompok habitat pelagis dan demersal di perairan laut Kabupaten Simeulue -- khususnya pada lokasi pengamatan -- diperoleh nilai pada alat tangkap bagan perahu yaitu mendekati 1 atau kemerataan antar spesies relatif merata. Adapun pukat pantai kemerataan antar spesies hasil tangkapan relatif merata karena nilai mendekati 1. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemerataan jenis ikan hasil tangkapan pada daerah penangkapan pukat pantai -- sebagai habitat demersal – antar spesies relatif merata atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyobudiandi et al. (2009) yang menyatakan bahwa indeks yang mendekati 0 mengindikasikan adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau beberapa jenis organisma. Artinya, ada beberapa jenis organisma yang memiliki jumlah individu yang relatif sedikit. Jumlah individu pada setiap spesies adalah sama atau hampir sama jika nilai indeks kemerataannya mendekati 1. Sementara Fachrul (2007), menyebutkan sejalan dengan semakin meratanya penyebaran individu antar spesies maka keseimbangan ekosistem semakin meningkat. Indeks dominansi (C) jenis ikan hasil tangkapan pada alat tangkap bagan perahu sebesar 0,22 dan pukat pantai sebesar 0,32, atau berada pada kisaran nilai indeks 0,00 – 0,50 (Odum 1971). Hal ini berarti hampir tidak ada spesies yang mendominasi hasil tangkapan kedua alat tangkap tersebut. Berdasarkan kriteria indeks dominansi Simpson (1949) dalam Krebs (1989), dominansi rendah artinya tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil. Dominansi yang cukup besar akan mengarah pada kondisi komunitas yang labil atau tertekan (Masrizal & Azhar 2001). Struktur komunitas pada suatu daerah penangkapan ikan mempengaruhi kelimpahan sumberdaya ikan. Indikator sumberdaya ikan pada daerah penangkapan dapat dilihat dari nilai produktivitas unit penangkapan atau hasil tangkapan per upaya penangkapan dalam melakukan operasi penangkapan. Hasil observasi selama penelitian rata-rata produktivitas dari empat unit alat tangkap nelayan yang dianalisis menunjukkan perbedaan nilai produktivitas. Perbedaan nilai produktivitas ini diantaranya dipengaruhi oleh jumlah trip penangkapan, frekuensi pengoperasian dan daerah penangkapan ikan. Ini sejalan dengan pendapat McCluskey dan Lewison (2008) dan Rijndrorp et al. (2000) yang mengatakan
16
bahwa upaya penangkapan ikan berkaitan erat dengan jumlah trip penangkapan dan frekuensi penangkapan. Faktor yang tidak kalah penting dalam meningkatkan nilai produktivitas alat tangkap nelayan Kabupaten Simeuleu adalah jumlah upaya penangkapan ikan. Nelwan et al. (2012) menyatakan kegiatan perikanan tangkap juga ditentukan oleh besarnya upaya penangkapan yang dilakukan untuk menjangkau suatu daerah penangkapan ikan. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara langsung dengan nelayan, bagan perahu dioperasikan sebanyak 20 trip/bulan dengan frekuensi penangkapan 3 kali/trip. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan pukat pantai 25 trip/bulan (2 kali/trip), rawai 7 trip/bulan (2 kali/trip) dan alat pengumpul 4 trip/bulan (2 kali/trip). Faktor lain yang tak kalah penting adalah daerah penangkapan ikan. Hasil penelitian terhadap daerah penangkapan bagan perahu dan rawai terdapat lebih banyak dibandingkan dengan alat tangkap pukat pantai dan alat pengumpul. Daerah pengoperasian bagan perahu dan rawai umumnya berjarak antara 2 - 8 mil dari pantai. Pada daerah pengoperasian tersebut, populasi spesies target cukup besar dan lebih menyebar. Adapun daerah penangkapan pukat pantai dan alat pengumpul hanya berjarak kurang dari 1 mil dari garis pantai. Area pengoperasian kedua alat tangkap ini sangat terbatas. Keterbatasan daerah penangkapan pukat pantai lebih dikarenakan pada minimnya daerah pengoperasian dengan topografi dasar perairan yang landai. Hal ini sesuai dengan pendapat Mardjudo (2011) yang menyatakan pengoperasian pukat pantai berkaitan erat dengan perairan dangkal dekat garis pantai. Sementara untuk alat pengumpul, pengoperasiannya hanya dilakukan pada daerah berkarang pada kedalaman tertentu yang masih dapat diselami oleh nelayan. Perairan karang memiliki spesies yang menetap dan umumnya tidak menyebar. Hasil survei lapang mendapatkan bahwa produktivitas hasil tangkapan (CPUE) dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Nelayan Kabupaten Simeuleu banyak melakukan operasi penangkapan ikan pada musim timur atau kemarau yang berlangsung antara bulan Maret – Agustus. Aktivitas penangkapan ikan berkurang pada musim barat yang terjadi antara bulan September – Februari. Pada musim ini, gelombang laut yang berasal dari Samudera Hindia sangat besar.
Kesimpulan 1. 2.
3.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Spesies yang mendominasi hasil tangkapan adalah Sardinella lemuru, Leiognathus spp, Stolephorus spp, Selar spp dan Auxis thazard; Tingkat keanekaragaman jenis ikan hasil tangkapan berdasarkan kelompok habitat pelagis dan demersal pada daerah penangkapan bagan perahu dan pukat pantai berada pada keanekaragaman sedang atau kondisi ekosistem relatif terjaga, kemerataan antar spesies relatif merata dan hampir tidak ada spesies yang mendominansi spesies lainnya; dan Tingkat produktivitas (CPUE) alat penangkapan ikan tertinggi terdapat pada bagan perahu sebesar 603,3 kg/trip, diikuti oleh pukat pantai 414,7 kg/trip, rawai 301,4 kg/trip dan alat pengumpul 81,8 kg/trip.
17
3 ANALISIS SOSIAL EKONOMI Pendahuluan Perkembangan peradaban dan pertumbuhan penduduk dunia menyebabkan pengelolaan sumberdaya perikanan semakin kompleks. Apabila dilihat dari konteks negara berkembang seperti Indonesia dimana faktor sosial, politik, ekonomi, dan demografi menjadi tantangan besar bagi siapapun dalam pengelolaan perikanan. Sangat ironis apabila selama enam puluh tahun lebih bangsa ini merdeka, sektor perikanan belum menunjukkan potensinya sebagai sektor yang dapat diunggulkan. Meski realitas potensi fisik dan geografis sumberdaya perikanan jauh lebih baik dari pada negara-negara di Asia lainnya. Kabupaten Simeulue merupakan salah satu wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia. Namun, pengelolaan perikanannya masih ketinggalan dengan kabupaten lain di Indonesia. Permasalahan utamanya antara lain: kewenangan lembaga dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap skala kecil belum berjalan secara optimal, lemahnya penegakan aturan yang mendukung keberlanjutan sumberdaya perikanan, potensi konflik atas penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan serta isu zonasi pemanfaatan antar wilayah masih saja terjadi. Perspektif antar wilayah merupakan rasionalisasi yang membutuhkan kerjasama dan koordinasi antar wilayah. Alasanya, sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang bergerak. Pengelolaan perikanan tidak terlepas dari peran kelembagaan yang terkait, seharusnya kelembagaan selalu melakukan koordinasi lintas sektor. Agar terhindar dari isu ego regional dan sektoral. Menurut Kherallah dan Kirsten (2001) kelembagaan merupakan suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, dan trend sosial) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok. Koordinasi dan hubungan antar kelembagaan dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan perikanan tangkap skala kecil. Peningkatan kinerja kelembagaan dapat dianalisis dengan mengacu pada Nikijuluw (2002), yang menyebutkan bahwa untuk melihat kinerja dari kelembagaan perikanan tangkap (pemerintah, swasta, maupun masyarakat) yang berkaitan dengan pengelolaan SDI berdasarkan aspek politik, sosial, ekonomi, hukum, dan teknologi. Oleh karena itu, apa yang telah disebutkan diatas sebagai salah satu pertimbangan dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue yaitu mengkaji kondisi sosial-ekonomi dan manajemennya. Studi ini memfokuskan pada demografi penduduk, teknologi penangkapan ikan, distribusi dan pemasaran, kebijakan pemerintah daerah dan peran lembaga terkait. Adapun hasil analisis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan pengelolaan ke depan. Agar perikanan tangkap skala kecil di perairan laut Kabupaten Simeulue dapat berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis komponen-komponen sistem yang tergabung dalam sub sistem sosial-ekonomi yang dapat mempengaruhi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil.
18
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data sekunder mencakup data lembaga pengelola, demografi penduduk, perkembangan teknologi penangkapan ikan, kebijakan pemerintah daerah, peraturan penangkapan dan kegiatan pengawasan sumberdaya ikan. Hal ini sesuai dengan butir rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data primer dikumpulkan melalui pengamatan langsung, wawancara dan pengisian kuesioner. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran berbagai hasil studi pustaka, statistik perikanan, terbitan jurnal, dan sumber lainnya yang mendukung. Adapun penarikan sampel narasumber dilakukan secara purposive sampling. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Untuk metode analisis data pemasaran meliputi saluran pemasaran, margin pemasaran, keuntungan, biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran dan analisis bagian atau share yang terima oleh nelayan. Saluran pemasaran Saluran pemasaran ditelusuri ke depan (forward) dimulai dari nelayan (produsen) ikan laut segar sampai ke konsumen. Analisis margin pemasaran Margin pemasaran merupakan penjumlahan hasil pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian setiap tingkat pedagang yang terlibat secara vertikal. Besarnya margin pemasaran sama dengan harga jual pengecer dikurangi harga jual produsen dan merupakan penjumlahan dari biaya-biaya pemasaran dan keuntungan yang diperoleh pedagang yang terlibat (Sarma 1985). Rumus yang digunakan sebagai berikut:
MP = Pk - Pp = CP + π MP adalah margin pemasaran (Rp/Kg), Pk harga pada tingkat konsumen (Rp/Kg), Pp harga pada tingkat nelayan (Rp/Kg), Cp biaya pemasaran (Rp/Kg), dan π keuntungan lembaga pemasaran (Rp/Kg). Analisis keuntungan dan biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran Secara matematis dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Sarma 1985):
π = (Pj - Pb) - CP π keuntungan pemasaran (Rp/Kg), Pj harga jual (Rp/Kg), Pb harga beli (Rp/Kg), CP biaya pemasaran (Rp/Kg). Sedangkan perhitungan total biaya pemasaran, menggunakan formula:
TCP = Cp1+ Cp2...+Cpi = ∑ Cpi
19
TCP total biaya pemasaran (Rp/Kg) dan Cpi biaya pemasaran yang ditanggung oleh lembaga pemasaran. Analisis fisherman share Perhitungan Fisherman Share, menggunakan formula Limbong dan Sitorus (1985):
FS=
Hp Kk
x 100%
FS fisherman share (%), Hp harga jual ikan di tingkat nelayan (Rp/Kg) dan Hk harga beli ikan di tingkat konsumen (Rp/Kg).
Hasil Lembaga Pengelolaan Perikanan Skala Kecil Kelembagaan yang terkait pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue melibatkan dua aspek yaitu aspek kultural dan struktural. Secara umum aspek struktural adalah lembaga-lembaga yang secara langsung terkait dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil. Sedangkan di tinjau dari aspek kultural melibatkan lembaga hukum adat laŏt (panglima laŏt), bank dan koperasi perikanan. Lembaga-lembaga ini memiliki tugas pokok dan fungsi sesuai kewenangan masing-masing. 1. Dinas Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue sebagai pihak yang memiliki otoritas utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Dasar hukumnya sebagaimana Qanun No.7 Tahun 2007 tentang susuanan organisasi dan tata dinas-dinas daerah Kabupaten Simeulue. Salah satu kewenangan yang diberikan yaitu melaksanakan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Berdasarkan susunan organisasi pada Dinas Perikanan dan Kelautan, pengelolaan perikanan tangkap dikelola dalam satu bidang khusus. Bidang tersebut adalah bidang perikanan tangkap. Bidang ini mempunyai tugas pokok mengkoordinir dan mengendalikan tugas-tugas di bidang pengawasan dan pengelolaan pengembangan usaha penangkapan ikan, sarana dan prasarana perikanan tangkap, serta pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan. 2. Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Perencanaan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil tidak terlepas dari arah dan tujuan pembangunan. Arah yang telah direncanakan dituangkan dalam rencana jangka panjang dan menengah. Badan perencana pembangunan daerah memiliki kewenangan menyusun rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) dan jangka menengah (RPJM). Selain itu mengkoordinasikan penyusunan rencana kerja Satuan Kerja perangkat Daerah (Renja SKPD) khususnya terkait pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Simeulue. Dasar hukum tugas dan fungsinya sebagaimana tercantum dalam Qanun No.7 Tahun 2007 tentang susunan organisasi dan tata kerja lembaga teknis daerah Kabupaten Simeulue.
20
3. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Simeulue Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Simeulue sebagai pihak yang akan memberikan nasehat teknis untuk isu-isu yang berhubungan dengan hukum dan peraturan pengelolaan perikanan dilingkungan Pemerintah Kabupaten Simeulue dan sebagai pihak yang mengeluarkan dan mengundangkan produkproduk hukum di lingkungan Pemerintah Kabupaten Simeulue, seperti Surat Keputusan Bupati, Peraturan Bupati dan Peraturan Daerah. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Simeulue, sebagai pihak yang memiliki kewenangan menyetujui kebijakan-kebijakan di daerah dalam hal alokasi anggaran untuk program pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Alokasi anggaran untuk kegiatan pengelolaan perikanan serta sebagai lembaga yang akan menyetujui dikeluarkannya sebuah Peraturan Daerah untuk kepentingan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. 5. Lembaga Hukum Adat Laut (Panglima laŏt) Pengelolaan perikanan di Indonesia dimulai dengan munculnya inisiasi masyarakat lokal dengan menggunakan pemahaman pengetahuan lokal. Selanjutnya seiring perkembangan kemudian dilembagakan dengan menggunakan sistem hukum adat. Contoh sistem adat laut dalam pengelolaan perikanan seperti Sasi di Maluku, Panglima Laŏt di Aceh atau Awig-Awig di Bali dan Nusa Tenggara Barat. Bahkan dalam kasus Panglima Laŏt, rezim ini mampu bertahan lebih dari 400 tahun melewati berbagai sistem pemerintahan hingga saat ini. Seiring perkembangan sistem pemerintahan, perannya semakin tereduksi oleh rezim pengelolaan. Kemudian lebih didominasi oleh pemerintah khususnya pada era orde baru. Sebagai akibatnya, peran komunitas lokal menjadi berkurang. Reduksi peran komunitas membuat pengelolaan perikanan menjadi tidak efisien. Konflik antar nelayan, degradasi sumberdaya perikanan merupakan bagian problem sentralisasi pengelolaan perikanan. Peran panglima laŏt dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue cukup membantu efisiensi program kelautan dan perikanan. Tugas dan kewenangan yang telah dilakukan oleh lembaga hukum adat laut di kabupaten Simeulue antar lain: (1) membantu pemerintah dalam bidang perikanan dan kelautan, (2) menentukan tata tertib kegiatan penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Simeulue dengan batas wilayah < 4 mil laut, (3) menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang terjadi di kalangan nelayan, (4) mencegah terjadinya penangkapan ikan secara ilegal dan (5) menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan pesisir dan laut Kabupaten Simeulue. 6. Lembaga Pendukung lainnya Keberadaan bank dan KUD ternyata belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh nelayan di Kabupaten Simeulue. Hal ini disebabkan karena sulitnya persyaratan yang dibutuhkan apabila nelayan akan melakukan peminjaman. Nelayan mengalami kesulitan memenuhi agunan atau jaminan kepada pihak bank. Sementara koperasi yang ada mengalami masalah keterbatasan modal. Padahal, nelayan membutuhkan dana cash yang cepat. Saat peminjaman, nelayan harus menyiapkan proposal dan melibatkan suatu lembaga sebagai penanggung jawab
21
dalam pengelolaan dana dan melakukan pelaporan kepada pihak bank/KUD. Hal ini menjadi kendala berarti mayoritas nelayan skala kecil di pesisir Kepulauan Simeulue. Permasalahan modal bagi nelayan menjadi sangat penting. Untuk itu pemerintah daerah/pusat perlu menguatkan lembaga koperasi yang ada saat ini di Kabupaten Simeulue agar dapat memberikan pinjaman pada nelayan terutama nelayan kecil. Hal ini dimaksudkan agar sektor perikanan yang akan dijadikan sektor unggulan di Kabupaten Simeulue dapat tercapai pelaksanaanya. Adapun hubungan kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di ilustrasikan pada Gambar 3.1. DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN BAPPEDA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPRK)
KUD
NELAYAN
Modal
Bank Pemilik Modal
BAG. HUKUM SEKDAKAB
PANGLIMA LAOT Jalur koordinasi
Jalur dukungan
Jalur konsultasi/komunikasi
Gambar 3.1 Hubungan kelembagaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue Kebijakan Pemerintah Daerah Pemerintah Kabupaten Simeulue merupakan daerah otonomi khusus dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang No. 48 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Bireuen. Kabupaten Simeulue merupakan bentuk daerah otonomi khusus. Untuk itu pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan, kondisi masyarakat dan sumberdaya alam yang ada di Kabupaten Simeulue. Hal tersebut dilakukan menurut prakarsa sendiri dengan berlandaskan pada aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut hasil analisis program kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Kabupaten Simeulue.
22
a. Daerah perlindungan laut (MPA) Marine Protected Area Governance (MPAG) merupakan bagian dari Marine Resources Program (MPR) dan kelanjutan dari program Coral Triangle Support Partnership (CTSP) Indonesia. Pelaksanaan program ini atas rancangan bersama direktorat terkait di Kementerian Kelautan dan Perikanan serta pemerintah daerah untuk memastikan bahwa program MPAG selaras dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah sebagaimana telah di amatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan adalah perlu pendekatan kemitraan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi perairan (KKP). Hal ini pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya melakukan pengelolaan kawasan konservasi perairan untuk keberlanjutan ekologi sumberdaya ikan. Kebijakan daerah atas tindak lanjut Peraturan Pemerintah tersebut telah di lakukan oleh pemerintah Kabupaten Simeulue. Pemerintah Kabupaten Simeulue telah menetapkan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) sebagai wujud dukungan peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya surat Keputusan Bupati Simeulue No No. 523.1/104/SK/2006 tentang penetapan perairan pulau Pinang, Siumat, dan Simanaha (PISISI) sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Sejalan dengan keputusan tersebut merupakan salah satu cara yang efektif pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Hal ini dapat mendukung keberlangsungan biodiversitas dan stok sumberdaya ikan, melindungi wilayah secara ekologis yang sangat penting bagi ekosistem terumbu dan spesies target di perairan Kabupaten Simeulue. Pengembangan kemitraan pengelolaan Kawasan Konservasi perairan juga telah dilakukan secara intensif yang melibatkan Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Aceh, LSM Fauna Flora International dan Yayasan Pelagis. Peta kawasan konservasi perairan di Kabupaten Simeulue disajikan pada Lampiran 4. b. Program kegiatan Pemerintah Kabupaten Simeulue memiliki beberapa program untuk pembedayaan nelayan. Hal ini tertuang dalam Rencana Strategis Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue tahun 2012 – 2017 (DKP 2013). Program tersebut dibedakan menjadi beberapa program. Dukungan program pemerintah daerah dalam pemberdayaan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan disajikan pada tabel 3.1. Tabel 3.1 Program pemberdayaan nelayan oleh DKP Kabupaten Simeulue No.
Jenis program
Kegiatan
1
Program pengembangan sistem penyuluhan
Kajian sistem penyuluhan perikanan
2
Program peningkatan kesadaran dan penegakan hukum dalam pendayagunaan sumberdaya laut
Penyuluhan hukum dala pendayagunaan sumberdaya laut
3
Program pengembangan data/informasi/statistik daerah
Penyusunan dan pengumpulan data dan statistik daerah
23
No.
Jenis program
Kegiatan
4
Program perencanaan tata ruang
Penyusunan detail tata ruang kawasan
5
Program optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi perikanan
Kajian optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi perikanan Pengembangan sarana pengolahan dan pemasaran produksi perikanan
6
Program pengendalian pemanfaatan ruang
Fasilitas peningkatan peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang Pengawasan pemanfaatan ruang
7
Program pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan
Pembentukan kelompok masyarakat swakarsa pengamanan sumberdaya kelautan Penertiban dan pengawasan illegal fishing
8
Program pengembangan budidaya perikanan
Pengembangan bibit ikan unggul Pendampingan pada kelompok tani pada pembudidaya ikan Pembinaan dan pengembangan perikanan
9
Program pengembangan perikanan tangkap
Pendampingan pada kelompok nelayan perikanan tangkap Pembangunan tempat pelelangan ikan Pemeliharaan rutin/berkala tempa pelelangan ikan Rehabilitasi sedang/berat tempat pelelangan ikan Pengembangan lembaga usaha perdagangan perikanan tangkap Pengembangan sarana perikanan tangkap
10
Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir
Pembinaan kelompok ekonomi masyarakat pesisir
11
Program peningkatan kegiatan budaya kelautan dan wawasan maritim kepada masyarakat
Penyuluhan budaya kelautan Peningkatan ilmu pengetahuan industri bahari
12
Program pengembangan kawasan budidaya laut/air payau dan air
Kajian pengembangan budidaya laut,air payau dan air laut
24
No.
Jenis program
Kegiatan
Pengembangan kapasitas pranata pengukuran, standarisasi, pengujian dan kualitas Sumber : Renstra DKP Simeulue tahun 2012 – 2017 13
Program peningkatan kapasitas iptek sistem produksi
Secara umum kebijakan pemerintah daerah belum sepenuhnya optimal dirasakan manfaatnya bagi setiap nelayan. Kadang, pemberian subsidi pemerintah berupa bantuan alat tangkap, alat bantu dan sarana pengolahan belum tepat sasaran. Hal ini terjadi karena kebijakan pembangunan daerah sering dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik yang tidak sesuai dengan rencana pembangunan yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). c. Peraturan terkait pengelolaan Pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal memerlukan dukungan peraturan terkait pengelolaan agar dapat dilakukan secara bertanggung jawab untuk menjamin kelangsungan sumberdaya yang ada. Salah satunya peraturan tentang keberlanjutan ekologi sumberdaya ikan di wilayah pesisir. Hasil analisis terhadap kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Simeulue dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil, terdapat dua peraturan daerah (qanun) sebagai dasar pengelolaan yaitu Qanun No. 3 tahun 2005 tentang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dan Qanun No. 3 Tahun 2003 tentang perlindungan dan pelestarian kawasan perairan pantai dan pulau-pulau kecil dalam Kabupaten Simeulue. Keberlanjutan ekologi didukung oleh peraturan daerah Kabupaten Simeulue sebagaimana tercantum dalam Qanun No. 3 Tahun 2003 tentang perlindungan dan pelestarian kawasan perairan pantai dan pulau-pulau kecil dalam Kabupaten Simeulue. Dalam Bab II Pasal 3 ayat (2), setiap orang/badan hukum wajib berperan aktif membantu pemerintah daerah dalam rangka menjaga kelestarian kawasan perairan pantai. Peraturan ini akan menguatkan kelestarian sumberdaya yang ada di perairan pantai. Aturan ini menjadi suatu kekuatan dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil terutama keberlanjutan sumberdaya ikan. Karena perikanan skala kecil umumnya berada di pesisir pantai Kabupaten Simeulue. Dan sangat tergantung pada sumberdaya ikan yang ada di perairan pantai. Isu pemanfataan wilayah perairan pantai berdasarkan batas wilayah sudah mulai menjadi perhatian pemerintah daerah. Hal ini akan mempengaruhi kondisi sumberdaya ikan di perairan pantai Kabupaten Simeulue. Hasil pengamatan menunjukkan belum ada pengaturan tentang wilayah operasi penangkapan ikan bagi nelayan. Hal ini dimungkinkan timbulnya konflik pemanfaatan sumberdaya ikan dan daerah penangkapan ikan dimasa mendatang. Peraturan daerah tentang wilayah operasi penangkapan yang berlandaskan prinsip-prinsip kelestarian pemanfaatan sumberdaya laut harus segera di rumuskan oleh Pemda Kabupaten Simeulue. Agar isu zonasi (kluster) pemanfaatan wilayah setiap kecamatan dalam administrasi Kabupaten Simeulue dapat terhindari. d. Pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan Hasil analisis pelaksanaan pengawasan terhadap wilayah perairan laut Kabupaten Simeulue sangat minim dilakukan. Menurut wawancara dengan pihak
25
terkait pada Dinas Kelautan dan Perikanan pelaksanaan pengawasan hanya dilakukan rata-rata 1 kali dalam setahun. Melibatkan pihak dinas terkait, TNI-AL, Polair, Panglima laŏt dan tokoh masyarakat nelayan. Sampai saat ini, jumlah pelanggaran yang dapat dicatat oleh Dinas Kelautan dan Perikanan rata-rata adalah 2-3 kasus. Padahal yang terjadi berpotensi lebih besar dari data yang ada. Hasil wawancara dengan nelayan di pesisir dan Panglima laŏt Kabupaten Simeulue, potensi besar tersebut melalui pencurian ikan yang dilakukan nelayan asing. Selain itu panglima laut menambahkan IUU fishing sering dilakukan oleh nelayan pendatang yaitu penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, mata jaring yang sangat kecil dan bahan peledak. Salah satu contoh nelayan pendatang sering menggunakan alat tangkap Muroami tanpa memiliki ijin dari Dinas Perikanan setempat. Padahal alat tangkap Muroami telah dinyatakan yaitu alat tangkap tidak ramah lingkungan. Menurut peraturan yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, jaring muroami dilarang beroperasi di jalur perikanan di Indonesia (KKP 2011). Selain masalah di atas, pengawasan berbasis kelompok masyarakat juga belum terlaksana dengan baik. Kegiatan Pokmaswas selama ini belum berjalan optimal. Hal ini perencanaan kegiatan rutin pengawasan yang dilakukan Pokmaswas belum tersusun dengan baik. Seharusnya kegiatan pengawasan harus dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan kelembagaan Pokmaswas yang kuat. Agar salah satu tugas pokmaswas sebagai pemberi informasi kepada pihak berwajib setempat -- jika mereka melihat tindak pidana perikanan -- dapat terwujudkan. Di samping itu, belum optimalnya kegiatan pengawasan juga disebabkan keterbatasan anggaran operasional pengawasan yang tersedia. Dana daerah yang tersedia secara umum sangat minim, sehingga banyak dana yang tersedia lebih diutamakan untuk pembangunan infrastruktur publik. Minimnya dana pengawasan sumberdaya berdampak pada kemampuan pengadaan sarana dan prasarana pengawasan dan berkurangnya hari operasi pengawasan. Kurangnya hari operasi ini mengakibatkan meningkatnya potensi IUU fishing. Jika dibiarkan, maka pelanggaran tersebut akan berdampak pada kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan. Kondisi Sosial-ekonomi a. Demografi penduduk Secara umum terdapat perbedaan strata sosial-ekonomi antara masyarakat kota dengan masyarakat desa atau nelayan. Kondisi strata di tentukan pola penyebaran penduduk. Pola penyebaran penduduk di Kabupaten Simeulue tidak merata dan kepadatan penduduk cendrung berkelompok di wilayah dengan fasilitas yang relatif lengkap. Jumlah penduduk Kabupaten Simeulue pada tahun 2012 sebanyak 88.963 jiwa yang terdiri atas 45.797 jiwa laki-laki dan 43.166 jiwa perempuan (BPS 2013). Sebaran penduduk Kabupaten Simeulue disajikan pada Tabel 3.2.
26
Tabel 3.2 Jumlah desa, rumah tangga dan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Simeulue Kecamatan
Desa
Rumah tangga
Penduduk
Teupah Selatan Simeulue Timur Teupah Barat Teupah Tengah Simeulue Tengah Teluk Dalam Simeulue Cut Salang Simeulue Barat Alafan
19 17 18 12 16 10 8 16 14 8
2.315 6.546 1.977 1.672 1.773 1.254 841 1.995 2.425 1.036
9.122 26.489 7.769 6.172 6.821 5.213 3.215 8.496 10.888 4.778
Jumlah
138
21.834
88.963
Sumber: BPS Kabupaten Simeulue (diolah)
Hasil analisis menunjukkan sebaran penduduk di Kabupaten Simeulue hampir 78,51% atau 106 desa dari total 138 desa merupakan desa pesisir. Desa pesisir ini lebih dominan ditemui di Kecamatan Simeulue Timur, Kecamatan Teupah Selatan dan Kecamatan Teupah Barat. Sementara desa bukan pesisir paling banyak terdapat di Kecamatan Simeulue Tengah. (Bappeda Simeulue 2012). Pengamatan memperlihatkan bahwa kondisi kehidupan bermasyarakat di Kabupaten Simeulue memiliki toleransi dan tenggang rasa diantara penduduk desa pesisir. Karakter individu penduduk memiliki sifat ramah, mudah menerima inovasi, menjunjung tinggi nilai keagamaan dan menghormati adat istiadat. Hal tersebut akan menjadi peluang tersendiri terhadap modal sosial dalam pembangunan perikanan ke depan. b. Pengembangan teknologi usaha perikanan tangkap Hasil survei terhadap perkembangan teknologi penangkapan ikan. Terdapat beragam alat penangkapan ikan yang digunakan nelayan di Kabupaten Simeulue. Pada umumnya jenis teknologi penangkapan ikan yang digunakan nelayan Kabupaten Simeulue adalah pancing ulur, rawai, jaring insang hanyut dan tetap, bagan perahu, pukat pantai dan alat pengumpul lainnya. Sejak tahun 2006-2011, jumlah alat tangkap di Kabupaten Simeulue menunjukkan trend (kecenderungan) meningkat. Sedangkan jenis kapal/perahu penangkapan ikan yang digunakan di perairan laut Kabupaten Simeulue adalah perahu tanpa motor/perahu layar dan perahu motor tempel dengan ukuran dibawah 5 GT dengan teknologi yang masih sederhana dan lebih tergolong skala kecil. Perkembangan alat tangkap dan armada penangkapan ikan tahun 2006 – 2011 (Gambar 3.2).
27
10000
Produksi (ton)
Jumlah (ton/upaya/unit)
7500
Alat tangkap (upaya) Armada (unit) 5000
2500
0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 3.2 Perkembangan armada penangkapan ikan yang beroperasi di Kabupaten Simeulue tahun 2006-2011 3,66% 0,09% Perahu tanpa motor
51,41%
Perahu motor tempel Kapal motor 1 - 5 GT Kapal motor 5 - 10 GT
44,85%
Gambar 3.3 Komposisi jenis armada penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue tahun 2006 - 2011 Berdasarkan Gambar 3.2, perkembangan alat tangkap dan armada penangkapan, perkembangan alat tangkap mengalami peningkatan. Sementara jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue tahun 2006-2011 tidak mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan keterbatasan modal nelayan akan pengadaan armada baru. Sedangkan perkembangan produksi perikanan laut selama periode 2007 – 2011 di Kabupaten Simeulue mengalami peningkatan. Produksi tertinggi dalam lima tahun terakhir terjadi pada tahun 2011 yaitu sebesar 8.549,2 ton/tahun, dengan nilai produksi yaitu 76,94 milyar. Sedangkan produksi terendah tahun 2007 sebesar 6.260,9 ton/tahun, dengan nilai produksi yaitu 34,43 milyar (DKP 2012). Gambar 3.4 perkembangan produksi perikanan laut selama periode 2007–2011 di Kabupaten Simeulue.
28
Poduksi (ton)
10000
y = 497,47x + 6360,3
7500 5000 2500
0 2007
2008
2009 Tahun
2010
2011
Gambar 3.4 Produksi perikanan laut tahun 2007 - 2011 Hasil analisis Gambar 3.4, kenaikan rata-rata produksi mencapai 6,92% per tahun (Lampiran 6). Peningkatan ini menunjukkan bahwa peluang pemanfaatan potensi sumberdaya ikan di perairan laut Kabupaten Simeulue melalui pengembangan usaha masih tersedia. Hasil pengamatan dan wawancara dengan nelayan setempat dan beberapa literatur, perairan laut Simeulue mengandung sumber daya ikan bernilai ekonomis penting yang cukup beragam, untuk kelompok ikan pelagis besar di antaranya adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna madidihang (Thunnus albacores), tuna mata besar (Thunnus obesus), albakor (Thunnus alalunga) dan komo/tongkol (Euthynnus affinis); pelagis kecil yaitu ikan layang (Decapterus spp), kembung (Rastrelliger spp), teri (Stolephorus spp), selar (Caranx spp) dan julung-julung (Hyporhamphus spp); untuk kelompok ikan demersal antara lain ikan kakap merah (Lutjanus spp), kuwe (Caranx spp), pisangpisang (Caesio spp), kakatua (Scarus spp), biji nangka (Upeneus spp), baronang (Siganus spp) dan kerapu (Epinephelus spp). Jenis-jenis ikan tersebut merupakan ikan ekonomis penting di Kabupaten Simeulue. Pemasaran ikan ekonomis penting di Kabupaten Simeulue ini tidak hanya dipasarkan secara lokal, melainkan pasar regional hingga pasar luar negeri (ekspor). Pasar regional yang menjadi tujuan pemasaran ikan-ikan unggulan dari Kabupaten Simeulue yaitu Labuhan Haji (Aceh Selatan), Subussalam (Aceh Singkil) hingga sejumlah pasar di Medan Provinsi Sumatera Utara. Sementara ikan ekonomis penting lainnya seperti ikan kerapu (Epinephelus spp) dengan mutu yang cukup baik diekspor hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand dan Hongkong. Ikan-ikan tersebut umumnya di jual oleh nelayan kepada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul mengaku mendapatkan pendapatan yang tinggi dari penjualan ke luar daerah. Selain itu, jalur pemasaran dan ikatan yang terjadi antara pedagang pengumpul di Simeulue dan pedagang besar di Medan dapat mempermudah jalur pemasaran ke luar negeri. c. Analisis saluran pemasaran Lembaga pemasaran ikan laut segar yang teridentifikasi di Pasar Inpres, Kecamatan Simeulue Timur Kabupaten Simeulue melibatkan beberapa lembaga pemasaran. Lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran ikan laut segar di Kabupaten Simeulue terdiri dari nelayan, pedagang pengumpul, pedagang
29
besar dan pedagang eceran. Hasil penelitian menemukan tiga bentuk saluran pemasaran ikan laut segar di Kabupaten Simeulue. Berdasarkan skema alur pemasaran ikan laut segar dari produsen hingga konsumen dapat dilihat bahwa terdapat tiga tipe saluran pemasaran yang terbentuk yaitu. 1 Nelayan --- Pedagang pengumpul --- Pengecer --- Konsumen lokal 2 Nelayan --- Pedagang pengecer --- Konsumen lokal 3 Nelayan --- Pedagang pengumpul-- Pedagang besar --- Pengecer --- Konsumen antar kota
Nelayan
Pedagang pengumpul Antar kota
Lokal Pedagang pengecer
Konsumen lokal
Pedagang besar
Industri pengolahan
Pedagang pengecer
Pedagang pengekspor
Konsumen antar kota
Konsumen luar negeri
Gambar 3.5 Skema saluran pemasaran ikan laut segar di Kabupaten Simeulue d. Analisis marjin pemasaran Marjin pemasaran yang dianalisis terdiri atas biaya pemasaran yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran dengan satuan rupiah per kilogram ikan laut segar. Saluran pemasaran ikan laut segar yang dianalisis marjin pemasarannya dibatasi pada saluran pemasaran I. Sedangkan produk ikan laut segar yang dipilih untuk dianalisis adalah dari jenis ikan tongkol, kerapu nenas, kuwe, kakap merah dan ikan layang. Jenis ikan yang analisis berdasarkan volume produksi tertinggi hasil data sekunder Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Simeulue. Penelitian terhadap biaya pemasaran setiap lembaga pemasaran menemukan biaya sebesar Rp 540,- per kilogram pada pedagang pengumpul. Sementara pedagang pengecer mengeluarkan biaya sebesar Rp 860,- per kilogram. Perhitungan ini didasarkan pada biaya yang di keluarkan pedagang pengumpul pada setiap 1 unit media penyimpanan ikan (fiber cool box) dengan kapasitas 125 kilogram ikan, mengeluarkan biaya total sebesar Rp. 67.500,- per cool box.
30
Sedangkan pada pedagang pengecer sebesar Rp. 107.500,- per cool box. Biaya pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran ikan laut segar di Kabupaten Simeulue disajikan pada tabel 3.3. Tabel 3.3 Biaya pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran ikan laut segar Komponen biaya (Rp/Kg) No.
Lembaga pemasaran
1
Nelayan
2
Pedagang pengumpul
3
Pedagang pengecer
Tenaga kerja
Transportasi
80
-
-
400
Es
Plastik
Tali
Packing
Total biaya (Rp/Kg)
-
-
-
-
-
320
40
20
80
540
320
40
20
80
860
Perhitungan marjin keuntungan setiap lembaga pemasaran, pedagang pengecer mendapat keuntungan lebih tinggi dari pedagang pengumpul pada ikan ikan tongkol, kuwe dan kakap merah. Sedangkan pedagang pengumpul mendapat keuntungan lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang pengecer pada ikan lainnya yaitu layang dan kerapu nenas. Tabel 3.4 analisis keuntungan marjin setiap lembaga pemasaran pada penjualan ikan laut segar di Kabupaten Simeulue. Tabel 3.4 Analisis keuntungan setiap lembaga pemasaran ikan laut segar di Kabupaten Simeulue Jenis ikan/Lembaga Harga beli Harga jual Biaya Keuntungan No. pemasaran (Rp/Kg) (Rp/Kg) (Rp/Kg) (Rp/Kg) I Ikan Tongkol 1 Nelayan 9.000 2 Pedagang pengumpul 9.000 11.000 540 1.460 3 Pedagang pengecer 11.000 14.000 860 2.140 II Ikan Kerapu nenas 1 Nelayan 35.000 2 Pedagang pengumpul 35.000 40.000 540 4.460 3 Pedagang pengecer 40.000 45.000 860 4.140 III Ikan Kuwe 1 Nelayan 15.000 2 Pedagang pengumpul 15.000 17.500 540 1.960 3 Pedagang pengecer 17.500 22.000 860 3.640 IV Ikan Kakap merah 1 Nelayan 27.000 2 Pedagang pengumpul 27.000 29.000 540 1.460 3 Pedagang pengecer 29.000 33.000 860 3.140 V Ikan Layang 1 Nelayan 4.500 2 Pedagang pengumpul 4.500 7.250 540 2.210 3 Pedagang pengecer 7.250 10.000 860 1.890 Berdasarkan hasil analisis perbandingan marjin pemasaran dengan bagian atau share yang diterima nelayan. Secara relatif pemasaran ikan kakap lebih efisien dibandingkan dengan pemasaran ikan jenis lainnya. Pada Tabel 3.5 dapat dilihat
31
distribusi marjin pemasaran terkecil terdapat pada ikan kakap sebesar 18,00% dengan share sebesar 82,00%. Semakin kecilnya marjin, share yang akan diterima nelayan semakin besar. Semakin besar share, maka pemasaran dapat dikatakan semakin efisien, karena sistem pemasaran tersebut dapat menyampaikan produk dari produsen ke konsumen dengan porsi biaya dan keuntungan pedagang yang relatif rendah. Tabel 3.5 Perbandingan marjin pemasaran dan share yang diterima nelayan Harga Harga Margin Fisherman's tingkat tingkat Pemasaran share No. Jenis ikan nelayan konsumen 1. 2. 3. 4. 5.
Tongkol Kerapu nenas Kuwe Kakap merah Layang
(Rp/kg) 9.000 35.000 15.000 27.000 4.500
(Rp/kg) 14.000 45.000 22.000 33.000 10.000
(Rp/kg) (%) 5.000 36 10.000 22 7.000 32 6.000 18 5.500 55
(%) 64 78 68 82 45
e. Analisis efisiensi biaya Efisiensi yang dihitung adalah efisiensi biaya dalam rangkaian tataniaga. Efisiensi tataniaga adalah bentuk awal dari bekerjanya pasar persaingan sempurna. Artinya sistem tataniaga memberikan kepuasan bagi lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat. Lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam hal ini menjadi perantara yang mengerakkan barang melalui saluran pemasaran. Analisis efisiensi biaya pemasaran pada setiap lembaga pemasaran disajikan pada tabel 3.6. Tabel 3.6 Analisis efisiensi biaya pemasaran pada setiap lembaga pemasaran No. I 1 2 3 II 1 2 3 III 1 2 3 IV 1 2
Jenis ikan/Lembaga pemasaran Ikan Tongkol Nelayan Pedagang pengumpul Pedagang pengecer Ikan Kerapu nenas Nelayan Pedagang pengumpul Pedagang pengecer Ikan Kuwe Nelayan Pedagang pengumpul Pedagang pengecer Ikan Kakap merah Nelayan Pedagang pengumpul
Biaya (Rp/Kg)
Nilai produk (Rp/Kg)
Nilai efisiensi (%)
860 780
9.000 11.000 14.000
0,078 0,056
860 780
35.000 40.000 45.000
0,022 0,017
860 780
15.000 17.500 22.000
0,049 0,035
860
27.000 29.000
0,030
32
No. 3 V 1 2 3
Jenis ikan/Lembaga pemasaran Pedagang pengecer Ikan Layang Nelayan Pedagang pengumpul Pedagang pengecer
Biaya (Rp/Kg)
Nilai produk (Rp/Kg)
Nilai efisiensi (%)
780
33.000
0,024
860 780
4.500 7.250 10.000
0,119 0,078
Pembahasan Pengelolaan dan perlindungan lingkungan sumberdaya laut di Kabupaten Simeulue diperlukan kebijakan secara terpadu. Keterpaduan yang diharapkan mempertimbangkan aspek SDI, sosial, budaya, kelembagaan dan ekonomi. Atas pertimbangan tersebut pengelolaan perikanan tangkap skala kecil dapat berkelanjutan. Sesuai pendapat Widodo dan Suadi (2006) yang menyatakan bahwa keberlanjutan perikanan tergantung pada produksi dan potensi sumberdaya yang dibatasi oleh faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam biologi, ekologi dan lingkungan, teknologi, sosial, kultural dan ekonomi. Aspek sosial-ekonomi dan kelembagaan menjadi kesatuan yang mengikat dalam bentuk keterpaduan. Hasil analisis terhadap kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap mendapatkan enam lembaga terkait. Lembaga yang terkait dengan pengelolaan perikanan di Kabupaten Simeulue memiliki kewenangan yang besar terhadap keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil. Lembaga-lembaga ini terkait secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengelolaan. Kelembagaan pemerintah lebih terkait pada penatausahaan anggaran. Sedangankan kelembagaan yang berbasis masyarakat --sebagai bentuk kearifan lokal -- lebih menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan pesisir dan laut Kabupaten Simeulue. Hal ini eksistensi kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di wilayah pesisir melibatkan peranan kelembagaan lokal yang terdapat di wilayah tersebut (Daris et al. 2012). Hasil inventarisasi terhadap kelembagaan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil antara lain: Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, DPRK, Bagian Hukum Sekdakab, panglima Laŏt sebagai kearifan lokal dan lembaga pendukung lainnya. Masing-masing lembaga memiliki kewenangan dan tanggung jawab serta cakupan kewenangan yang berbeda satu sama lain dalam pengelolaan perikanan. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini diharapkan dapat menjalankan program sekaligus memajukan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Hal tersebut sesuai penjelasan Wibowo (2009) yang menyatakan bahwa pendekatan kelembagaan (institutional approach), penataan wewenang dan kelembagaan dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Analisis status pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Simeulue menunjukkan trend jumlah alat tangkap yang meningkat setiap tahunnya, ukuran armada yang dimiliki selama 6 tahun yaitu 96,26% didominasi oleh armada perahu tanpa motor dan perahu motor tempel dan kenaikan produksi perikanan laut rata-rata sebesar 6,92% (Lampiran 7). Minimnya ukuran armada penangkapan ikan
33
yang berukuran besar umumnya di pengaruhi oleh kemampuan modal nelayan untuk pengadaan armada baru. Untuk itu subsidi pemerintah untuk merestrukturisasi armada perikanan tangkap merupakan alternatif optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan perairan Simeulue. Selain potensi sumberdaya ikan yang menjadi kewenangan pengelolaan Kabupaten Simeulue, perairan Samudera Hindia yang berbatasan langsung dengan perairan Simeulue, memberi peluang tersendiri terhadap pemanfaatan potensi SDI. Adapun manfaat yang didapatkan oleh nelayan adalah peningkatan pendapatan nelayan skala kecil yang mayoritas terdapat di pesisir Kabupaten Simeulue. Sementara fenomena trend produksi meningkat memperlihatkan bahwa potensi pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Simeulue masih memberikan suatu peluang yang masih dapat di usahakan. Namun, peran nelayan untuk menjaga kelestarian lingkungan -- sebagai habitat sumberdaya ikan -- harus tetap dipertahankan, agar pendapatan nelayan dari penjualan hasil tangkapan terus meningkat. Prihandoko (2012) menyebutkan prioritas nilai-nilai budaya lokal untuk menjaga lingkungan sumberdaya ikan dibutuhkan sebagai acuan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Hal ini dapat menyeimbangkan dampak globalisasi dengan kearifan lokal. Karena merupakan suatu identitas dan modal sosial guna membantu nelayan tetap bertahan hidup dengan kondisi lingkungan yang ada di tengah perkembangan ekonomi global. Perkembangan ekonomi global memberikan suatu alasan untuk merestrukturisasi armada penangkapan ikan terutama peningkatan ukuran kapal penangkapan ikan yang lebih besar untuk pemanfaatan potensi yang ada. Melihat kondisi Perairan Simeulue yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, memberikan peluang pengembangan usaha atas pemanfaatan potensi di ZEEI Samudera Hindia. Sehingga kesejahteraan dan pendapatan nelayan kecil yang hampir 78,51% mayoritas tinggal di wilayah pesisir Kabupaten Simeulue akan meningkat. Selain pemanfaatan potensi di ZEEI, kegiatan pemasaran hasil tangkapan merupakan salah satu faktor penentu pendapatan nelayan. Terutama panjang dan pendeknya saluran pemasaran hasil tangkapan nelayan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa saluran pemasaran ikan laut segar di Kabupaten Simeulue merupakan saluran pemasaran yang pendek. Namun menurut Hanafiah dan Saefuddin (1986), menyatakan bahwa panjang pendeknya saluran pemasaran hasil perikanan tergantung pada skala produksi, posisi keuangan dan cepat tidaknya produk mengalami kerusakan. Saluran pemasaran ikan laut segar di Kabupaten Simeulue sangat mempengaruhi keuntungan pada lembaga pemasaran. Sebagian besar, tingkat keuntungan pedagang pengecer lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang pengumpul. Tingkat tertinggi terdapat pada jenis tongkol, kuwe dan kakap merah. Hasil survei menunjukkan bahwa fenomena ini terjadi karena pedagang pengecer tidak pernah menentukan harga pasti kepada konsumen, tetapi dilakukan berdasarkan proses tawar menawar antara pedagang pengecer dan konsumen. Proses ini menyebabkan fluktuasi harga ikan yang tidak terkontrol. Sementara pada pedagang pengumpul mendapat keuntungan lebih tinggi pada jenis ikan layang dan kerapu nenas, dibanding pedagang pengecer. Hal ini dikarenakan kedua jenis ikan lebih banyak dijual ke luar daerah untuk konsumen antar kota, seperti Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Selatan dan Sumatera Utara. Bahkan untuk jenis ikan kerapu terkadang dijual dalam keadaan hidup untuk mensuplai beberapa restoran di luar daerah. Selanjutnya hasil analisis biaya pemasaran yang dikeluarkan
34
oleh setiap lembaga pemasaran mendapatkan nilai efesiensi sebesar < 1% (Tabel 3.6). Artinya biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran di Kabupaten Simeulue masih efisien. Hal ini sesuai pendapat Soekarwati (2002) dalam Harifuddin (2011) menyebutkan bahwa kriteria biaya pemasaran dikatakan efisien jika nilai efisiensi pemasaran < 5%. Sebaliknya tidak efisien bila nilai efisiensi pemasaran berada > 5%. Lembaga pemasaran yang paling efisien dibandingkan dengan lembaga yang lainnya adalah pedagang pengecer. Biaya pemasaran yang kecil, sedangkan nilai produk yang dipasarkan paling besar. Ini terjadi karena dipengaruhi sistem transportasi di Kabupaten Simeulue saat ini. Diantaranya belum optimumnya transportasi antar desa, kecamatan dan antar pulau. Secara langsung akan berpengaruh terhadap fluktuasi harga ikan. Sehingga share yang diterima nelayan relatif rendah, biaya dan keuntungan antar lembaga pemasaran tidak menyebar merata. Solusi yang dapat dilakukan yaitu pembenahan sistem transportasi dan informasi pasar secara terpadu. Faktor yang tidak kalah penting dalam pengelolaan perikanan adalah kegiatan pengawasan sumberdaya. Hasil wawancara, permasalahan utama kegiatan pengawasan yaitu minimnya hari operasi. Minimya hari operasi penangkapan akan berimbas pada maraknya pencurian ikan oleh nelayan asing dan penggunaan alat yang merusak lingkungan oleh nelayan pendatang. Aktivitas IUU fishing akan memberikan ancaman yang serius terhadap sumberdaya ikan. Karena aktivitas illegal fishing termasuk kategori kejahatan perikanan terorganisir secara nasional hingga internasional. Kejahatan perikanan harus mendapatkan perhatian serius. Dimana, FAO 1992 telah memprakarsai pembentukan suatu tata laksana perikanan yang bertanggung jawab, yang salah satunya memberantas praktek illegal fishing. Keberhasilan pengelolaan perikanan terlihat dari pengawasan sumberdaya yang efektif. Untuk mengurangi peraktek pencurian ikan dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan diperlukan penambahan frekuensi operasi pengawasan setiap tahun. Solusi lain yang dapat dilakukan guna pengawasan yang efektif yaitu melibatkan partisisipasi mayoritas masyarakat nelayan yang tinggal di wilayah pesisir kepulauan Simeulue dalam kegiatan pengawasan. Ini merupakan suatu bentuk pengawasan berbasis masyarakat. Menurut Nurmalasari (2010) mengatakan sistem pengawasan yang berbasis masyarakat adalah suatu sistem yang dilandasi oleh kepentingan, potensi dan peranan masyarakat lokal. Oleh karena itu pendekatan sistem pengawasan yang efektif salah satunya pengembangan sistem pengawasan berbasis pada masyarakat. Selain itu pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan oleh masyarakat pesisir secara langsung sangat diperlukan karena masyarakat pesisir adalah pihak yang berhubungan langsung dengan pesisir dan laut (Yuliana 2012). Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa, pengelolaan sumberdaya perikanan laut, memilik hubungan keterkaitan antar elemen-elemen sistem yang tergabung dalam sistem sosial-ekonomi. Akibatnya lembaga atau instansi yang menangani persoalan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue sulit menemukan alternatif pengelolaan yang tepat. Walaupun sistem yang terjadi sudah terbentuk. Namun, sistem yang terjadi belum menjadi suatu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, sistem keterpaduan institusi menjadi alternatif pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue.
35
Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perkembangan jumlah unit penangkapan dan produksi perikanan laut di Kabupaten Simeulue selama 6 tahun memiliki kecenderungan meningkat dengan mayoritas masyarakat pesisir yang menggunakan teknologi penangkapan ikan sederhana. Pada lembaga pemasaran terjadi fluktuasi harga ikan menyebabkan keuntungan antar lembaga pemasaran tidak menyebar merata; dan 2. Tugas dan wewenang Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai lembaga teratas (top) dapat menjalankan kewenangan dari pemerintah pusat dan peranan Panglima Laot sebagai bentuk kearifan lokal (down) berperan erat dengan masyarakat lokal untuk keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil Kabupaten Simeulue.
4 SELEKSI TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN TEPAT GUNA Pendahuluan Provinsi Aceh yang terletak di ujung Barat Pulau Sumatera, antara 2o00’00” LU – 6o04’30” LU dan 94o58’34” BT – 98o15’03” BT. Wilayah pesisirnya mempunyai panjang garis pantai 1.660 km. Berdasarkan letak geografis perairan Aceh dibagi manjadi dua, perairan pantai Barat Aceh dan perairan pantai Timur Aceh. D iapit oleh Samudera Hindia dan Selat Malaka. Potensi perikanan laut di daerah ini cukup potensial. Potensi sumberdaya ikan pelagis besar 386.26x103 ton/tahun di WPP Samudera Hindia dan pelagis kecil 526.57x103 ton/tahun. Luas laut teritorial 320.071 km2 dan wilayah laut ZEEI seluas 534.520 km2. Potensi sumberdaya ikan yang terkandung di zona teritorial dan ZEEI Selat Malaka sebesar 276.03x103 ton/tahun dan Samudera Hindia sebesar 1076.89x103 ton/tahun (BKPMA 2011). Perairan laut Kabupaten Simeulue yang merupakan WPP-RI 572 Samudera Hindia dan berada di pantai Barat Daya Aceh memilik potensi perikanan laut yang potensial. Sumberdaya perikanan yang terkandung didalamnya telah dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas ekonomi masyarakat antara lain kegiatan penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pariwisata dan transportasi. Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi yang melibatkan sebagain besar nelayan skala kecil di wilayah pesisir Kabupaten kepulauan ini. Nelayan di wilayah pesisir memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada sumberdaya perikanan sebagai sumber mata pencaharian. Dominasi nelayan kecil di wilayah pesisir Kabupaten Simeulue mempengaruhi perkembangan teknologi penangkapan ikan. Teknologi penangkapan adalah semua aspek yang berhubungan dengan peralatan, operasional, metode, faktor biologi dan lingkungan untuk memperoleh ikan hasil tangkapan (Baskoro, 2006). Beragamnya jenis alat tangkap, mengalami kesulitan dalam menilai alat penangkapan yang produktif dan efisien digunakan. Beragamnya jenis alat tangkap yang digunakan, menyebabkan praktek penggunaan alat tangkap destruktif dan tidak ramah lingkungan dalam melakukan
36
eksploitasi sumberdaya ikan masih terjadi di Kabupaten Simeulue. Fakta ini memunculkan permasalahan, apakah unit usaha perikanan tangkap saat ini sudah dioperasikan dengan kelayakan secara biologi, teknis, ekonomi dan sosial budaya. Padahal seharusnya penggunaan teknologi alat penangkapan ikan itu sendiri harus sesuai kaedah-kaedah pengelolaan perikanan berkelanjutan. Penggunaan teknologi penangkapan ikan dalam pengelolaan perikanan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian agar sumberdaya dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Menurut pendapat Widodo et al. (2006), jika pengelolan perikanan tidak terukur menyebabkan lokasi penangkapan menjadi lebih jauh, waktu melaut menjadi lebih lama, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil, ukuran ikan target semakin kecil, produktivitas (CPUE) mengalami penurunan dan biaya penangkapan semakin tinggi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Laapo (2005), menyatakan bahwa penurunan produksi ikan menyebabkan rendahnya pendapatan nelayan dalam jangka panjang sehingga berdampak pada penurunan kontribusi sektor perikanan tangkap terhadap pendapatan asli daerah (PAD), kesempatan kerja dan penyediaan protein hewani. Sudah selayaknya pengelolaan perikanan mempertimbangkan aspek produksi dan potensi perikanan yang dibatasi oleh faktor biologi, ekologi dan lingkungan, teknologi, sosial, kultural dan ekonomi (Widodo et al. 2006). Melihat permasalahan ini, sebaiknya solusi untuk mengantisipasi permasalahan tersebut yaitu diperlukan suatu analisis pemilihan teknologi penangkapan ikan tepat guna. Menurut Haluan dan Nurani (1988), pemilihan teknologi penangkapan dapat dilakukan melalui analisis aspek bio-technico-socioekonomic-approach. Dengan diketahuinya teknologi penangkapan ikan yang efisien diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup nelayan, menjaga keberlanjutan sumberdaya, dan dapat meningkatkan tarap hidup manusia sebagai pengguna teknologi. Tujuan penelitian ini memilih jenis teknologi penangkapan ikan yang layak diprioritaskan untuk dikembangkan di perairan laut Kabupaten Simeulue dengan mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi.
Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan antara bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014. Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh. Penentuan lokasi berdasarkan pertimbangan wilayah pesisir, kepulauan, keragaan alat penangkapan ikan. Penentuan Sampel Obyek penelitian ini adalah nelayan pemilik sekaligus pelaku usaha perikanan tangkap. Penentuan jumlah nelayan sebagai sampel disesuaikan dengan heterogenitas nelayan dan usaha yang tekuninya. Penarikan sampel dilakukan secara porposive sampling. Jumlah sampel nelayan dalam penelitian ini adalah 29 narasumber dengan jumlah sampel setiap unit penangkapan yakni bagan perahu 10 nelayan, pukat pantai 8 nelayan, rawai 5 nelayan, dan alat pengumpul 6 nelayan.
37
Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei dan observasi lapangan. Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari narasumber melalui wawancara nelayan yang terdiri atas data kegiatan usaha perikanan, sosial ekonomi, upaya pemanfaatan, hasil tangkapan dan input produksi. Data sekunder diperoleh melalui instansi-instansi terkait dan bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan penelitian. Metode Analisis Data Metode analisis data dalam penelitian ini adalah metode skoring (multi criteria analysis). Tujuan analisis ini menetapkan prioritas unit penangkapan ikan. Hasil analisis digunakan sebagai data pendukung dalam penyusunan alternatif strategi kebijakan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Pendekatan yang digunakan dalam multi criteria analysis yaitu aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi. Kriteria yang digunakan dalam analisis ini dimodifikasi dari Haluan dan Nurani (1988) dan Monintja (1987). Penilaian didasarkan pada kondisi yang ada di lapangan. Sehingga diharapkan dapat mewakili gambaran teknologi penangkapan ikan tepat guna yang digunakan oleh nelayan skala kecil di Kabupaten Simeulue. Skoring diberikan dengan nilai terendah sampai tertinggi. Untuk nilai tertinggi diberikan urutan prioritas satu begitupun selanjutnya. Penilaian semua kriteria atau aspek digunakan nilai tukar. Sehingga semua nilai mempunyai standar yang sama. Jenis alat tangkap yang memperoleh nilai tertinggi berarti lebih baik daripada yang lainnya, demikian juga sebaliknya. Standarisasi dengan fungsi nilai dapat dilakukan dengan menggunakan rumus dari Mangkusubroto dan Trisnadi (1985) sebagai berikut: 𝑉 (X)=
Xi - Xo ……………………….………………………. (1) Xa - Xo n
𝑉 (𝐴) = ∑ Vi (Xi) ……………………………………………(2) i=a
V(X) fungsi nilai dari variabel X, Xi nilai variabel X yang ke – i, Xo nilai terendah pada kriteria X, Xa nilai tertinggi pada kriteria X, V(A) fungsi nilai dari alternatif A, V1(Xi) fungsi nilai dari alternatif pada kriteria ke-i dan i = a, b, c, d........n (jenis unit penangkapan ikan).
Hasil Pemilihan teknologi penangkapan ikan adalah menentukan urutan prioritas alat tangkap terbaik untuk dikembangkan dalam usaha perikanan tangkap. Penentuan teknologi penangkapan ikan unggulan di perairan laut Kabupaten Simeulue dilakukan terhadap empat alat tangkap utama. Alat tangkap tersebut yaitu
38
bagan perahu, pukat pantai, rawai dan alat pengumpul. Keempat alat tangkap dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial, dan ekonomi. Analisis Aspek Biologi Penilaian aspek biologi adalah analisis jenis alat tangkap yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan, mengganggu atau tidak terhadap kondisi biologis sumberdaya ikan. Aspek biologi unit penangkapan yang dianalisis yaitu komposisi hasil tangkapan, ukuran ikan hasil tangkapan dan lama waktu musim penangkapan. Kriteria setiap alat tangkap diberikan urutan prioritas. Urutan prioritas pada masing-masing kriteria tersebut mempunyai nilai yang berbeda setiap alat penangkapan ikan. Pemberian nilai terhadap unit penangkapan ikan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek biologi unit penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue Unit penangkapan
Kriteria penilaian
V(A)1
UP
0,33
1,14
3
5
0,00
0,00
4
1,00
8
1,00
2,53
1
0,42
6
0,33
1,75
2
X1
V1 (X1)
X2
V2 (X2)
X3
V3 (X3)
Bagan perahu
65
0,44
21
0,37
6
Pukat pantai
40
0,00
10
0,00
Rawai
70
0,53
40
Alat pengumpul
97
1,00
22,5
Keterangan: X1 = Komposisi target spesies (%) X2 = Ukuran hasil tangkapan utama (cm) X3 = Lama waktu musim penangkapan ikan (bulan) V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi) = Urutan prioritas UP Hasil analisis (Tabel 4.1), menunjukkan urutan prioritas unit penangkapan yang memiliki nilai terbaik berdasarkan penilaian aspek biologi adalah alat penangkapan rawai. Diikuti alat tangkap bagan perahu, pukat pantai dan alat pengumpul. Analisis Aspek Teknis Analisis aspek teknis adalah aspek yang berhubungan dengan efektifitas pengoperasian setiap alat penangkapan ikan. Kriteria penilaian yang digunakan dalam aspek teknis adalah lama trip penangkapan, daya jangkau operasi dan nilai produktivitas alat tangkap. Data yang digunakan berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan. Hasil analisis aspek teknis disajikan pada Tabel 4.2.
39
Tabel 4.2 Skoring dan standarisasi fungsi aspek teknis unit penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue Unit penangkapan
X1
Kriteria penilaian V1 (X1) X2 V2 (X2) X3
V3 (X3)
V(A)2
UP
Bagan perahu
1
0,00
7
0,67
603,3
1,00
1,67
2
Pukat pantai
1
0,00
1
0,00
414,7
0,64
0,64
4
Rawai
3
0,40
10
1,00
301,4
0,42
1,82
1
Alat pengumpul
6
1,00
3
0,22
81,8
0,00
1,22
3
Keterangan: X1 = Lama trip penangkapan (hari) X2 = Daya jangkau operasi (mil) X3 = Nilai produktivitas (kg/trip) V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi (Xi) UP = Urutan prioritas Berdasarkan Tabel 4.2, penilaian keunggulan berdasarkan aspek teknis, menempatkan unit penangkapan rawai pada prioritas pertama dari seluruh kriteria. Urutan kedua adalah bagan perahu, diikuti oleh alat pengumpul dan pukat pantai. Analisis Aspek Sosial Aspek sosial meliputi penilaian terhadap penyerapan tenaga kerja tiap alat penangkapan, pendapatan nelayan per bulan dan tingkat penguasaan teknologi (Tabel 4.3). Semua data berdasarkan wawancara langsung dengan nelayan. Kriteria penyerapan tenaga kerja dilihat dari jumlah tenaga kerja yang ikut dalam pengoperasian untuk setiap unit alat tangkap. Nilai pada kriteria pendapatan nelayan per bulan dan pengusaan teknologi diperoleh dari hasil wawancara. Tabel 4.3 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek sosial unit penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue Unit penangkapan
X1
Kriteria penilaian V1 (X1) X2 V2 (X2)
X3
V3 (X3)
V(A)3
UP
Bagan perahu
7
0,30
2800000
1,00
2
0,33
1,63
2
Pukat pantai
14
1,00
925000
0,00
4
1,00
2,00
1
Rawai
4
0,00
1600000
0,36
3
0,67
1,03
3
Alat pengumpul
4
0,00
2250000
0,71
1
0,00
0,71
4
Keterangan: X1 = Jumlah tenaga kerja (orang) X2 = Pendapatan nelayan per bulan (Rp) X3 = Tingkat penguasaan teknologi (4) mudah; (3) sedang; (2) sedikit; (1) sukar V(A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi(Xi) = Urutan prioritas UP Penilaian keunggulan unit penangkapan ikan berdasarkan aspek sosial menempatkan pukat pantai pada urutan prioritas pertama sedangkan bagan perahu pada prioritas kedua, rawai menempati prioritas ketiga dan alat pengumpul pada
40
urutan keempat. Penilaian terhadap aspek sosial secara keseluruhan setelah dilakukan standarisasi didapatkan pukat pantai lebih baik daripada bagan perahu, rawai dan alat pengumpul. Analisis Aspek Ekonomi Analisis aspek ekonomi meliputi penilaian terhadap penerimaan bersih per bulan, nilai investasi dan biaya operasional per trip. Berikut ini pada Tabel 4.4 dapat dilihat penentuan urutan prioritas terhadap aspek ekonomi berdasarkan kriteria efisiensi usaha. Tabel 4.4 Skoring dan standarisasi fungsi nilai aspek ekonomi unit penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue Unit penangkapan
Kriteria penilaian X1
V1 (X1)
X2
V2 (X2)
X3
V(A)4
UP
V3 (X3)
Bagan perahu
25.000.000
1,00
399.500.000
1,00
1.135.000
0,37
2,37
1
Pukat pantai
3.118.750
0,00
61.000.000
0,00
200.000
0,00
0,00
4
Rawai
9.708.140
0,30
98.000.000
0,12
2.750.000
1,00
1,42
2
11.363.000
0,38
98.825.000
0,09
1.971.000
0,69
1,17
3
Alat pengumpul
Keterangan: X1 = Tingkat keuntungan (Rp) X2 = Nilai investasi (Rp) X3 = Biaya operasional per trip (Rp) V (A) = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari Vi (Xi) UP = Urutan prioritas Penilaian keunggulan unit penangkapan ikan berdasarkan aspek ekonomi menempatkan bagan perahu pada urutan prioritas pertama sedangkan rawai pada prioritas kedua, alat pengumpul pada prioritas ketiga dan pukat pantai menempati prioritas keempat. Penilaian terhadap aspek ekonomi secara keseluruhan setelah dilakukan standarisasi didapatkan bagan perahu lebih baik dari rawai, alat pengumpul dan pukat pantai. Analisis Aspek Biologi, Teknis, Sosial dan Ekonomi Pemilihan unit penangkapan dimaksudkan untuk mendapatkan jenis alat tangkap yang terbaik. Prioritas terbaik berdasarkan penilaian dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Sehingga alat tangkap yang memiliki nilai terbaik merupakan alat tangkap yang efisien dan layak dikembangkan. Empat jenis alat tangkap yaitu bagan perahu, pukat pantai, rawai dan alat pengumpul yang dipilih dalam analisis dengan metode skoring ini. Keempat alat penangkapan tersebut merupakan alat tangkap utama di perairan laut Kabupaten Simeulue. Hasil penilaian gabungan analisis pemilihan teknologi penangkapan ikan yang menjadi proritas terbaik sebagaimana disajikan pada Tabel 4.5.
41
Tabel 4.5 Penilaian gabungan pemilihan teknologi penangkapan ikan tepat guna di Kabupaten Simeulue Kriteria penilaian Unit V(A) UP penangkapan Total V (A)1 V (A)2 V (A)3 V (A)4 Bagan perahu
1,14
1,67
1,63
2,37
6,81
1
Pukat pantai
0,00
0,64
2,00
0,00
2,64
4
Rawai
2,53
1,82
1,03
1,42
6,80
2
Alat pengumpul 1,75 1,22 0,71 1,17 4,84 Keterangan : V(A)1 = Aspek biologi V(A)2 = Aspek teknis V(A)3 = Aspek sosial V(A)4 = Aspek ekonomi V(A) total = Fungsi nilai dari alternatif A, yaitu jumlah dari V(Xi) UP = Urutan Prioritas
3
Berdasarkan hasil analisis total standarisasi terhadap aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi unit penangkapan di Kabupaten Simeulue maka yang menjadi prioritas pengembangan adalah alat tangkap bagan perahu pada urutan pertama. Urutan kedua adalah rawai, diikuti oleh pukat pantai dan alat pengumpul lainnya.
Pembahasan Pengembangan alat penangkapan berkelanjutan adalah salah satu alternatif strategi pengelolaan perikanan tangkap. Terdapat empat alat penangkapan ikan utama yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Simeulue saat ini. Keempat alat penangkap tersebut adalah bagan perahu, pukat pantai, rawai dan alat pengumpul. Alat tangkap ini dianalisis berdasarkan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Hasil analisis menempatkan berturut-turut prioritas tertinggi sampai terendah yaitu bagan perahu, rawai, pukat pantai dan alat pengumpul. Berdasarkan penilaian aspek biologi, rawai menempati urutan pertama. Diikuti oleh bagan perahu, pukat pantai dan alat pengumpul. Alat tangkap rawai merupakan urutan tertinggi dari aspek biologi dibanding alat tangkap lainnya. Karena rawai sangat selektif di tinjau dari cara pengoperasiannya. Dilihat dari komposisi dan ukuran ikan hasil tangkapan yang didapatkan oleh rawai rata-rata sudah layak tangkap. Hal ini disebabkan ukuran mata pancing yang digunakan dalam penangkapan sangat menentukan ukuran ikan yang tertangkap. Hasil pengamatan umumnya ukuran mata pancing rawai yang digunakan nelayan nomor 5 dan nomor 6. Ukuran mata pancing tersebut dapat dikatakan mendekati seragam. Karena ukuran yang digunakan tidak jauh berbeda. Penggunaan mata pancing yang seragam memungkinkan ukuran ikan yang tertangkap relatif seragam. Lebih lanjut pengoperasian rawai tidak memilik dampak signifikan terhadap habitat dan keanekaragaman hayati. Hasil analisis aspek teknis alat tangkap menunjukkan bagan perahu adalah urutan pertama diikuti oleh rawai, alat pengumpul dan pukat pantai. Berdasarkan
42
kriteria yang digunakan maka bagan perahu adalah alat tangkap yang paling produktif untuk penangkapan ikan pelagis di Kabupaten Simeulue. Dibuktikan dari hasil analisis terhadap produktivitas. Bagan perahu menempati nilai produktivitas tertinggi sebesar 604,4 kg/trip, lebih tinggi dari alat tangkap lainnya. Selain produktivitas, pengoperasian bagan perahu menggunakan lampu akan lebih muda ikan-ikan jenis pelagis terkumpul kedalam jaring. Karena pengoperasian bagan perahu sendiri lebih memanfaatkan tingkah laku ikan yang tertarik akan cahaya. Hal tersebut sesuai pendapat Ayodhyoa (1981), yang menyatakan cahaya merangsang dan menarik ikan untuk berkumpul pada sumber cahaya atau karena rangsangan cahaya (stimulus) sehingga ikan akan memberikan responnya untuk mendekati sumber cahaya. Selanjutnya dilihat dari kriteria daya jangkau operasi, jarak pengoperasian bagan perahu berkisar 7-8 mil laut dari garis pantai. Hal ini memberi gambaran daerah penangkapan bagan perahu tidak terbatas. Peta sebaran daerah penangkapan ikan nelayan skala kecil di Kabupaten Simeulue di sajikan pada Lampiran 3. Hasil penelitian terhadap aspek sosial menunjukkan pukat pantai adalah alat tangkap terbaik pada urutan pertama. Selanjutnya bagan perahu sebagai urutan kedua, diikuti oleh rawai dan alat pengumpul. Pukat pantai memiliki keunggulan penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak dari ketiga alat tangkap lainnya. Hasil pengamatan terdapat 14 orang tenaga kerja pada saat pengoperasian alat tangkap tersebut. Keunggulan berdasarkan aspek ekonomi menunjukkan bagan perahu adalah urutan prioritas pertama, diikuti berturut-turut oleh rawai, alat pengumpul dan pukat pantai. Kriteria pada aspek ekonomi yang dipertimbangkan adalah kelayakan usaha secara finansial yaitu tingkat keuntungan usaha. Hasil pengamatan, disebabkan adanya sistem kerja antara nelayan dengan pengusaha/pemilik unit penangkapan. Sehingga si pemilik memasarkan hasil tangkapan tidak hanya pasar lokal melainkan pasar di luar Kabupaten Simeulue. Hasil analisa gabungan matrik indeks kinerja terhadap aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, menghasilkan bagan perahu menempati urutan prioritas pertama. Diikuti oleh rawai, pukat pantai dan alat pengumpul. Dari aspek biologi kriteria produktivitas (CPUE), bagan perahu lebih unggul dibandingkan dengan alat penangkapan lainnya. Selanjutnya dari aspek teknis, bagan perahu memiliki daya jangkau operasi yang lebih jauh, sehingga daerah penangkapan bagan perahu tidak terbatas. Kemapuan bagan perahu lebih besar untuk menangkap ikan pelagis dibandingkan dengan alat tangkap lain. Walaupun bagan perahu menangkap ikan pelagis kecil dengan nilai jual yang relatif rendah dibandingkan dengan pelagis besar. Namun, produksinya yang tinggi menghasilkan pendapatan dari penjualan hasil tangkapan juga lebih besar. Melihat potensi sumberdaya di laut lepas (di luar wilayah pengelolaan kabupaten) sampai saat ini belum di manfaatkan secara optimal. Potensi tersebut memberi peluang yang cukup besar dalam pengembangkan unit penangkapan bagan perahu di Kabupaten Simeulue. Karena potensi perikanan di laut lepas masih tinggi dan daerah penangkapan yang potensial untuk bagan perahu cukup tersedia.
43
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap empat alat penangkapan ikan pada lokasi penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Unit-unit usaha perikanan tangkap yang layak dikembangkan berdasarkan pertimbangan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi yakni usaha bagan perahu sebagai skala prioritas pertama, lalu berturut-turut rawai, pukat pantai dan alat pengumpul; dan 2. Pemerintah perlu mempertimbangkan pengembangan usaha perikanan bagan perahu di luar jalur penangkapan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut.
5 STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL DI KABUPATEN SIMEULUE Pendahuluan Perikanan adalah sektor penting dalam pembangunan masa depan Indonesia. Karena, sektor ini memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat di wilayah pesisir Indonesia. Mengingat, wilayah pesisir Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil. Namun, faktor yang tak kalah penting yaitu produk perikanan merupakan sumber protein hewani bagi masyarakat. Sehingga, sektor perikanan menjadi salah satu sumber pendapatan negara dan sumber mata pencaharian masyarakat nelayan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, pengelolaan sektor perikanan disusun berdasarkan perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries). Perikanan tangkap adalah kegiatan yang sangat tergantung pada ketersediaan dan daya dukung sumberdaya ikan dan ekologinya. Keberlanjutan daya dukung sumberdaya ikan dan lingkungan dalam pengelolaan perikanan tangkap, harus dilandasi oleh strategi kebijakan pengelolaan dan kelembagaan yang mengatur perikanan tangkap itu sendiri. Pengelolaan perikanan tangkap dalam sistem pemerintahan telah bergeser dari sentralistik menjadi desentralistik. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah yang kini diganti oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-Undang ini mengatur tentang kewenangan daerah dalam mengolah sumberdaya di wilayah laut yang meliputi: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (2) pengaturan administrasi; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan hukum; (5) pemeliharaan keamanan; dan (6) pertahanan kedaulatan negara (Pemerintah Republik Indonesia 2004). Namun, seiring berjalannya waktu dan perubahan kepemimpinan di daerah, fakta menunjukkan kewenangan yang diberikan tersebut belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan dengan baik untuk mensejahterakan lebih dari 90% masyarakat pesisir yang didominasi oleh nelayan skala kecil di Kabupaten Simeulue. Padahal perairan lautnya mencapai 9,968,16 km2 dan memiliki posisi strategis dalam pengelolan perikanan tangkap. Karena merupakan bagian dari perairan Samudera Hindia yang memiliki satu kesatuan ekologi perairan.
44
Kewenangan pengelolaan kekayaan laut di sektor perikanan tangkap di kabupaten bertipologi kepulauan dan wilayah pesisir ini belum dimanfaatkan secara optimal. Permasalahan utama belum berjalannya kewenangan terlihat dari sistem perikanan tangkap yang dijalankan saat ini. Dilihat dari sudut pandang sub sistem sumberdaya ikan adalah informasi keanekaragaman ikan hasil tangkapan dan produktivitas unit penangkapan ikan sangat minim dan pengelolaan perikanan tangkap belum berbasis ekosistem. Selanjutnya dilihat dari sub sistem sosialekonomi sebagian besar usaha perikanan berskala kecil, minimnya kepatuhan dalam penggunaan alat penangkapan ikan ramah lingkungan, praktek penggunaan alat tangkap destruktif, dan rendahnya posisi tawar nelayan terdahap harga jual ikan hasil tangkapan. Sementara dari sisi kebijakan pengelolaan, pelaksanaan desentralisasi perikanan tangkap masih dipengaruhi oleh suasana politis yang mengakibatkan banyaknya kebijakan yang belum tepat sasaran. Padahal, kegiatan perikanan tangkap merupakan salah satu sektor yang sangat diandalkan untuk mengangkat perekonomian dan kesejahteraan nelayan skala kecil di kabupaten kepulauan ini. Pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan tindakan yang terorganisir untuk mecapai tujuan pengelolaan melalui pemahaman menyeluruh dari suatu proses interaksi yang berlangsung di alam, potensi yang terkandung di dalamnya dan kemungkinan kerusakan yang terjadi dikemudian hari. Tujuan pengelolaan perikanan adalah untuk memanfaatkan sumberdaya berkelanjutan, sistematis dan terencana, mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya secara berlebihan sekaligus berupaya menghambat penurunan mutu dan kerusakan ekosistem akibat aktivitas perikanan (Diyanto 2009). Pengelolaan perikanan diperlukan manajemen strategi dalam mencapai tujuan. Manajemen strategi menurut Griffin (2004) yaitu proses yang lengkap dan berkelanjutan yang ditujukan untuk memformulasikan dan mengimplementasikan strategi yang efektif. Prinsip dari strategi yang efektif adalah totalitas dari otoritas kekuasaan dalam memanfaatkan sumberdaya secara efektif melalui proses penyatuan sumberdaya sehingga menjadi suatu kekuatan yang besar untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, strategi yang dibuat merupakan serangkaian tahapan analitis terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, sehingga keluaran yang dihasilkan layak untuk dilaksanakan (Hatten dan Hatten 1988). Strategi pengelolaan dengan skala prioritas yang tepat serta terpadu mampu memberikan dampak sosial dan ekonomi yang positif bagi masyarakat nelayan khususnya dan pesisir umumnya. Status keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap perlu diketahui agar dapat dilakukan perbaikan ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu untuk melakukan perbaikan diperlukan analisis sistem perikanan tangkap dengan melihat faktor internal maupun eksternalnya untuk mewujudkan strategi yang tepat dalam pengelolan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Tujuan penelitian ini menentukan faktor lingkungan internal dan eksternal yang mempengaruhi pengelolaan dan merumuskan strategi kebijakan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil. Adapun manfaat yang diharapkan memberikan masukan kepada stakeholder pengelolaan dan solusi konstruktif dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
45
Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014. Tempat penelitian adalah perairan laut Kabupaten Simeulue dengan pertimbangan wilayah perairan laut yang berbatasan langsung dengan wilayah perairan Samudera Hindia yang merupakan wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia 572. Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik sumberdaya ikan dan teknologi penangkapan ikan. Sementara data produksi perikanan, perkembangan alat tangkap, sosial ekonomi dan budaya, kelembagaan, kebijakan, peraturan penangkapan dan wilayah operasi penangkapan merupakan data sekunder. Metode Pengumpulan Data Data primer dikumpulkan melalui pengamatan langsung, wawancara dan pengisian kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui hasil penelusuran kepustakaan, statistik perikanan, terbitan jurnal ilmiah dan sumber lainnya yang mendukung. Wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan terhadap narasumber yang merupakan pihak-pihak yang mewakili berbagai unsur yaitu pemerintah daerah, pengusaha dan nelayan, LSM, pakar/tokoh masyarakat serta perguruan tinggi, yang memahami pengelolaan perikanan dan/atau mengetahui kegiatan perikanan tangkap di lokasi. Khusus untuk narasumber yang berasal dari nelayan atau pelaku usaha perikanan tangkap dipilih secara purposive berdasarkan ketokohan, jenis usaha perikanan, dan jenis alat tangkap yang digunakan di perairan laut Kabupaten Simeulue. Metode Analisis Data Strategi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil Penyusunan strategi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil dilakukan dengan pendekatan analisis SWOT. Untuk mengetahui strategi yang diambil, maka dilakukan analisis SWOT dengan mengidentifikasi berbagai faktor lingkungan internal dan eksternal secara sistematik dan dilanjutkan dengan merumuskannya. Kemudian membandingkan antara faktor internal yaitu kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakness) dengan faktor eksternal yaitu peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) (Rangkuti, 2006). Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui tahapan sebagai berikut : 1. Tahap pengumpulan data yaitu pengumpulan data, pengklasifikasian dan praanalisis faktor eksternal dan internal. 2. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan Matriks SWOT. 3. Tahap pengambilan keputusan Tahap pengambilan data internal dan eksternal dilakukan dengan berbagai cara yaitu wawancara, kuesioner maupun pengambilan data institusi terkait secara langsung. Cara yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
46
analisis sistem perikanan tangkap skala kecil yang meliputi sub sistem sumberdaya ikan, sosial-ekonomi dan manajemen. Pada tahap analisis sistem ditentukan komponen-komponen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem, komponenkomponen tersebut mempunyai tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan tujuannya dan saling berinteraksi satu sama lain serta berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada. Menurut Marimin (2004), analisis sistem dapat diperoleh melalui survei, pendapat ahli, diskusi, observasi lapangan. Tahapan selanjutnya adalah membuat matriks lingkungan internal (IFAS/internal strategic factor summary) dan matriks lingkungan eksternal (EFAS/external strategic factors summary). Tahapannya, pertama menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan. Selanjutnya penentuan faktorfaktor yang menjadi peluang dan ancaman. Setelah itu, dibuat matriks SWOT yang menjelaskan berbagai alternatif yang mungkin untuk strategi pengelolaan. Menurut Nurani (2010), menyebutkan bahwa penyusunan matriks SWOT merupakan alat pencocokan yang penting untuk mengembangkan empat tipe strategi, dimana pencocokan memerlukan kecermatan. Dalam matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis yaitu (Rangkuti, 2006): 1. Strategi S-O, strategi ini memanfaatkan seluruh kekuatan untuk mendapatkan dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. 2. Strategi S-T, strategi ini menggunakan unsur kekuatan untuk mengatasi ancaman. 3. Strategi W-O, strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan unsur kelemahan. 4. Strategi W-T, strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Tahapan selanjutnya adalah pengambilan keputusan, dalam tahapan ini perlu merujuk kembali matriks lingkungan internal-eksternal yang menghasilkan posisi sistem saat ini, dengan melihat posisi kuadran dari sistem sehingga dapat diketahui kombinasi strategi yang tepat (Marimin, 2004).
Hasil Penentuan strategi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue, dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Tahapan awal yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan data dan mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Faktor lingkungan internal merupakan faktor yang mempengaruhi perikanan tangkap skala kecil secara langsung yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor dari luar lingkungan perikanan tangkap skala kecil berupa peluang maupun ancaman yang mempengaruhi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil. Analisis sistem pengelolaan perikanan tangkap skala kecil dilakukan terhadap pelaku perikanan yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung meliputi nelayan (pemilik atau buruh), pengusaha (pedagang pengumpul kecil/besar), pemerintah daerah, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, Pelabuhan perikanan,
47
tenaga kerja di sektor perikanan, petugas penyuluh, akademisi dan masyarakat. Hasil wawancara teridentifikasi beberapa faktor lingkungan internal dan eksternal yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Hasil yang diperoleh digunakan sebagai faktor-faktor kunci internal dan eksternal dalam formulasi strategi. Adapun hasil analisis faktor internal meliputi kekuatan yang dapat dimanfaatkan dan kelemahan yang harus diatasi sebagai cakupan faktor internal adalah sebagai berikut: 1) Kekuatan: (1) Adanya lembaga hukum adat laut untuk menjaga kelestarian lingkungan. Panglima laŏt merupakan lembaga yang diakui keberadaan nya melalui Qanun (peraturan daerah) No.10 tahun 2008 tentang lembaga adat, dimana secara eksplisit lembaga panglima laŏt sebagai bagian dari adat yang diberi seperangkat wewenang untuk mengatur hukum adat laut. Selanjutnya panglima laŏt mengawasi kegiatan perikanan di wilayah perairan pantai < 4 mil lau. Melaporkan pelanggaran kepada satuan kerja pengawasan sumberdaya perikanan di DKP Simeulue; (2) Produksi hasil tangkapan masih meningkat. Ini dibuktikan dengan adanya peningkatan volume produksi setiap tahunnya rata-rata sebesar 6,92% sementara jumlah alat tangkap relatif tidak bertambah; (3) Keanekaragaman ikan hasil tangkapan. Ini terlihat dari kondisi keanekaragaman jenis spesies hasil tangkapan berdasarkan kelompok habitat pelagis dan demersal yang masing-masing diwakili oleh alat tangkap bagan perahu dan pukat pantai menunjukkan indeks keanekaragaman ikan (H’) mencapai sebesar 1,72, indeks kemerataan (E) sebesar 0,83 dan indeks dominansi jenis (C) sebesar 0,32. Ini berarti tingkat struktur komunitas pada daerah penangkapan masih terjaga dengan baik; (4) Dukungan program pemerintah di bidang perikanan. Dukungan pemerintah daerah terhadap sektor kelautan dan perikanan cukup besar. Hal ini dibuktikan dalam rencana strategis tahun 2012 – 2017. Selain itu dukungan program pemerintah provinsi dan pusat melalui dana bantuan sarana dan prasarana perikanan tangkap; (5) Adanya daerah perlindungan laut di daerah Kecamatan Simeulue Timur. Pada saat penelitian sedang dilakukan assesment perluasan wilayah kawasan konservasi perairan untuk tahun 2014 melalui bantuan dana pemerintah pusat. Hal ini memberikan harapan terhadap dampak signifikan kondisi ekologi sumberdaya ikan; 2) Kelemahan: (1) Ukuran armada/kapal penangkap ikan skala kecil dengan teknologi sederhana. Data statistik perikanan Kabupaten Simeulue tahun 2006-2011, menunjukkan 96,26% komposisi armada penangkapan ikan didominasi oleh perahu tanpa motor dan motor tempel dengan ukuran < 1 GT. Hal ini sangat menyulitkan nelayan untuk melakukan penangkapan ikan yang lebih jauh dari daerah pesisir. Sementara jalur penangkapan II belum banyak di manfaatkan oleh nelayan; (2) Kurangnya pengawasan dan sarana pengawasan terhadap ZEEI Samudera Hindia merupakan kelemahan yang dialami di perairan Indonesia. Hal ini
48
memudahkan orang asing memasuki wilayah perairan Indonesia dan menyebabkan terjadinya IUU fishing. Hal ini kegiatan IUU fishing dapat saja terjadi di perairan laut Kabupaten Simeulue; (3) Belum ada aturan tentang pembatasan operasi penangkapan ikan. Pemerintah daerah belum merumuskan aturan tentang pengaturan hari operasi dengan penerapan cosed-open season. Hal ini dimaksudkan menjaga stabilitas jumlah dan harga ikan di pasaran; (4) Program-program subsidi pemerintah sebagian belum tepat sasaran. Walaupun dalam pelaksanaanya ada yang sudah tepat sasaran. Namun fakta masih saja ada subsidi yang tidak tepat sasaran. Hal ini terjadi karena kebijakan pembangunan daerah sering dipengaruhi oleh kebijakankebijakan politik yang tidak sesuai dengan rencana pembangunan yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Perencanaan program tidak secara spesifik menentukan lokasi ataupun penerima manfaat yang tepat. Faktor penyebabnya adalah dimana arah perencanaan dan pelaksanaan kebijakan cenderung bersifat satu arah. Hal ini dilakukan dari atas ke bawah (top down) tanpa memperhatikan atau mempertimbangan perencanaan yang berasal dari bawah ke atas (bottom up) atau berasal dari masyarakat. Tabel 5.1 Matrik analisis lingkungan internal pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue No Faktor internal Kekuatan S1 Adanya lembaga hukum adat laut (Panglima laŏt) untuk menjaga kelestarian lingkungan S2 Produksi hasil tangkapan masih meningkat S3 Keanekaragaman ikan hasil tangkapan S4 Dukungan program pemerintah dibidang perikanan S5 Adanya daerah perlindungan laut (Marine protected area) Kelemahan W1 Ukuran armada/kapal penangkap ikan skala kecil dengan teknologi sederhana W2 Minimnya pengawasan dan sarana pengawasan kegiatan perikanan W3 Belum ada aturan tentang pembatasan operasi penangkapan ikan W4 Mekanisme program subsidi perikanan belum tepat sasaran Tabel 5.1 menyajikan matriks lingkungan internal. Berdasarkan matriks lingkungan internal diketahui bahwa dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue masih memiliki kelemahan yang harus diatasi agar dapat meraih peluang dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki. Selanjutnya analisis lingkungan eksternal diperlukan untuk melihat peluang apa saja yang dapat dimanfaatkan untuk menentukan strategi perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue.Persiapan menghadapi atau meminimalisir ancaman yang akan terjadi. Adapun faktor eksternal (kekuatan dan kelemahan) dijabarkan sebagai berikut:
49
1) Peluang (1) Potensi SDI di ZEEI Samudera Hindia. Usaha penangkapan ikan dengan armada > 30 GT di ZEEI Samudera Hindia masih belum dilakukan di Kabupaten Simeulue. Padahal, perairan laut Kabupaten Simeulue sangat strategis secara geografi, karena berbatasan langsung dengan perairan Samudera Hindia. Dimana Samudera Hinda merupakan jalur migrasi dan penyebaran ikan tuna. Potensi tuna dan ikan jenis lainnya di ZEE belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masih berpeluang untuk dikembangkan; (2) Permintaan pasar terhadap ikan-ikan demersal (ikan karang) seperti ikan kerapu, kakap dan lobster untuk ekspor cukup tinggi. Ini merupakan produk unggulan Simeulue. Pemasaran dilakukan antar kota antar provinsi. Untuk ikan produk ekspor saat ini telah di pasarkan hingga ke Malaysia, Singapore, Thailand dan Hongkong; (3) Sebaran penduduk di Kabupaten Simeulue sebagian besar berada pada daerah pesisir. Terdapat 78,51% atau 106 desa dari keseluruhan 138 desa merupakan desa pesisir. Penduduk di desa-desa ini merupakan potensi yang dapat digunakan dalam pembangunan perikanan, misalnya sebagai tenaga kerja langsung atau tidak langsung dan berpartisipasi dalam kegiatan pengawasan dan pengelolaan. 2) Ancaman (1) Pencurian ikan oleh nelayan asing. Potensi terjadinya IUU (illegal, unreported, unregulated) fishing di lepas pantai akan merugikan kegiatan penangkapan secara ekologi, ekonomi maupun sosial; (2) IUU fishing nelayan pendatang. Mayoritas nelayan Kabupaten Simeulue umumnya masih tradisional. Penggunaan alat destruktif oleh nelayan pendatang menyebabkan potensi konflik akibat kesenjangan ekonomi pada nelayan; (3) Penentuan harga ikan berfluktuatif. Penentuan harga dan marjin pemasaran dikuasai oleh pedagang bermodal besar. Umumnya pedagang besar di kota besar dan pedagang pengumpul di daerah produksi memiliki ikatan hubungan yang kuat. Kedudukan kerjasama ini, menyebabkan posisi tawar nelayan semakin lemah. Dan harga ikan di tingkat eceran tidak terjangkau oleh konsumen berpenghasilan rendah.
50
Tabel 5.2 Matrik lingkungan eksternal pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue No Faktor ekternal Peluang O1 Potensi SDI di ZEEI Samudera Hindia O2 Permintaan pasar terhadap ikan-ikan unggulan baik pasar lokal, regional maupun internasional O3 Sebaran penduduk di Kabupaten Simeulue sebagian besar berada di daerah pesisir Ancaman T1 Pencurian ikan oleh nelayan asing T2 IUU fishing nelayan pendatang T3 Penentuan harga ikan berfluktuatif Berdasarkan Tabel 5.2, pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue saat ini memiliki ancaman yang harus segera di hindari. Hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi ancaman yang ada yaitu dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki. Hasil matriks lingkungan internal dan eksternal dibentuk perumusan strategi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Alternatif strategi diformulasikan atau dirumuskan berdasarkan kombinasi faktor internaleksternal ke dalam model matriks SWOT. Perumusan menghasilkan empat kategori strategi yaitu: [1] Strategi S-O, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang; [2] Strategi W-O, memanfaatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan; [3] Strategi S-T, menggunakan kekuatan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman; [4] Strategi W-T, merupakan taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan dan menghindari ancaman. Alternatif strategi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue telah dirumuskan dalam matriks SWOT sebagaimana disajikan dalam Tabel 5.3.
51
Tabel 5.3 Matrik SWOT pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue KEKUATAN (S) 1. Adanya lembaga hukum adat laut (panglima laŏt) untuk menjaga kelestarian lingkungan 2. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan masih rendah 3. Keanekaragaman ikan hasil tangkapan 4. Dukungan program pemerintah dibidang perikanan 5. Adanya daerah perlindungan laut
KELEMAHAN (W) 1. Ukuran armada/kapal penangkap ikan skala kecil dengan teknologi sederhana 2. Minimnya pengawasan dan sarana pengawasan kegiatan perikanan 3. Belum adanya aturan tentang operasi penangkapan ikan 4. Mekanisme program subsidi perikanan belum tepat sasaran
PELUANG (O) 1. Potensi SDI di ZEEI Samudera Hinda 2. Permintaan pasar terhadap ikan-ikan unggulan baik pasar lokal, regional maupun internasional 3. Sebaran penduduk di Kabupaten Simeulue sebagian besar berada di daerah pesisir
Strategi SO: 1. Penerapan Komanajemen berbasis kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan laut (S1,S2,S3,S4,S5,O2,O 3) 2. Pengembangan usaha melalui restrukturisasi armada perikanan tangkap (S2,S3,S4,S6,O1,O2,O 3)
Strategi WO: 1. Pembuatan sistem data dan informasi perikanan tangkap terpadu (W1,W2,W3,W4,O1,O 2,O3) 2. Standarisasi terhadap armada perikanan skala kecil untuk peningkatan produktivitas alat tangkap dan mutu ikan (W1,W2,W3,O1,O2,O 3)
ANCAMAN (T) 1. Pencurian ikan oleh nelayan asing 2. IUU fishing nelayan pendatang 3. Penentuan harga ikan berfluktuatif
Strategi ST: 1. Penegakan hukum dengan melaksanakan sistem MCS (monitoring, controlling dan suvailance) secara terpadu (S1,S4,T1,T2) 2. Peningkatan sistem informasi untuk nelayan (S1,S2,S4,S6,T3)
Strategi WT: 1. Peningkatan pengetahuan nelayan dan pelaku usaha perikanan (W1,W2,W3,W4,T1,T 2,T3)
Internal
Ekternal
52
Berdasarkan hasil analisis strategi matrik SWOT, menghasilkan tujuh kemungkinan alternatif strategi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Strategi yang telah di rumuskan menggambarkan relasi diantara faktor-faktor yang ada. Hubungan antara faktor-faktor tersebut dikelompokkan dalam 4 strategi utama, yaitu strategi SO, strategi ST, strategi WO dan strategi WT.
Pembahasan Alalisis SWOT menghasilkan kombinasi strategi. Hasil analisis terhadap pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue menghasilkan 7 (tujuh) alternatif strategi. Kombinasi strategi SO menghasilkan sasaran strategi yaitu penerapan Ko-manajemen berbasis kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Hal ini dilakukan pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah daerah, lembaga hukum adat laut dan kelompok pengguna dalam suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya dilaksanakan dalam bentuk usaha yang memiliki keuntungan atas pemanfaatan sumberdaya ikan. Ukuran armada yang digunakan untuk kegiatan ekploitasi sumberdaya yang ada belum mampu memberikan manfaat yang sesungguhnya kepada nelayan dan pemerintah daerah. Besarnya potensi yang tersedia dan dukungan pemerintah yang terus meningkat setiap tahunnya memberi harapkan pengembangan usaha skala yang lebih besar. Restrukturisasi armada penangkapan ikan, merupakan salah satu solusi dalam pengembangan usaha dengan memanfaatan potensi di ZEE Samudera Hindia. Dengan demikian efek dari pengembangan usaha ini dapat menekan tingkat degradasi lingkungan perairan pesisir dalam jangka panjang. Strategi ST menghasilkan sasaran strategi penegakan hukum dengan melaksanakan sistem MCS (monitoring, controlling dan survailance) secara terpadu, dan peningkatan sistem informasi untuk nelayan. Penegakan hukum sebagai stategi ST pertama diperlukan untuk menjaga wilayah perikanan Indonesia khususnya perairan Kabupaten Simeulue untuk mengurangi IUU fishing, pemanfaatan wilayah secara sepihak, mengurangi kelebihan armada penangkapan ikan, konflik pemanfaatan dan praktek penggunaan alat penangkapan ikan destruktif. Strategi kedua peningkatan sistem informasi untuk nelayan. Hal ini perlu dilakukan agar nelayan memiliki kemampuan adopsi terhadap teknologi, menjamin kelancaran lalu lintas barang-barang produksi, perlindungan konsumen, perlindungan produsen (nelayan) terhadap harga dan standar penanganan dan prosesing hasil tangkapan. Strategi WO menghasilkan sasaran strategis berupa pembuatan sistem data dan informasi perikanan tangkap terpadu dan standarisasi terhadap armada perikanan skala kecil untuk peningkatan produktivitas unit penangkapan dan mutu ikan. Pembuatan sistem data dan informasi bertujuan memberikan informasi kepada pelaku usaha akan potensi yang sumberdaya yang tersedia dan produk hasil perikanan unggulan dan tingkat harga. Informasi ini akan memberikan manfaat kepada nelayan yang akan memasarkan hasil tangkapannya. Sehingga efek informasi tersebut dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan para pekerja di sektor perikanan umumnya. Sedangkan standarisasi terhadap armada perikanan
53
skala kecil untuk peningkatan produktivitas unit penangkapan dan mutu dimaksudkan pengembangan teknologi perikanan tangkap berkelanjutan. Strategi WT menghasilkan sasaran strategis berupa peningkatan SDM nelayan dan pelaku usaha perikanan. Peningkatkan pemahaman kepada stakeholder utamanya nelayan yang rata-rata tingkat pendidikannya masih rendah perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memberikan pengertian mengenai dampak pengrusakan sumberdaya ikan. Dapat berakibat pada perekonomian dan sosial di masa yang akan datang. Selain itu, peningkatan pengetahuan dan keterampilan akan membantu nelayan memahami kemampuan adopsi teknologi dan pentingnya menjaga kualitas ikan agar hasil tangkapan. Guna mendapatkan harga terjual yang pantas diterima oleh nelayan.
Kesimpulan Terdapat enam belas faktor lingkungan internal dan eksternal yang dominan berpengaruh terhadap pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Dari enam belas faktor-faktor tersebut untuk lingkungan internal yang menjadi kekuatan dominan yaitu kenanekaragaman ikan hasil tangkapan masih baik, sedangkan kelemahan yang dominan adalah Ukuran armada/kapal penangkap ikan skala kecil dengan teknologi sederhana. Lingkungan eksternal yang menjadi peluang dominan adalah permintaan pasar terhadap ikan-ikan unggulan baik pasar lokal, regional maupun internasional. Sedangkan ancaman yang dominan yaitu penentuan harga ikan yang fluktuatif dan margin pemasaran dikuasai oleh pedagang bermodal besar mengakibatkan posisi tawar lemah terhadap harga ikan di tingkat nelayan. Untuk alternatif strategi pengembangan pengelolaan, matriks SWOT menghasilkan tujuh alternatif strategi yaitu: (1) Penerapan Ko-manajemen berbasis kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan laut; (2) Pengembangan usaha melalui restrukturisasi armada perikanan tangkap; (3) Penegakan hukum dengan melaksanakan sistem MCS (monitoring, controlling dan suvailance) secara terpadu; (4) Peningkatan sistem informasi untuk nelayan; (5) Pembuatan sistem data dan informasi perikanan tangkap terpadu; (6) Standarisasi terhadap armada perikanan tangkap skala kecil untuk peningkatan produktivitas alat tangkap dan mutu ikan; (7) Peningkatan pengetahuan nelayan dan pelaku usaha perikanan.
6 PEMBAHASAN UMUM Potensi sumberdaya ikan yang terdapat di wilayah pengelolaan yang menjadi yurisdiksi Kabupaten Simeulue masih memiliki peluang untuk diusahakan. Disamping potensi yang terdapat di luar wilayah kewenangan yaitu perairan Samudera Hindia. Potensi yang terdapat di Perairan laut Kabupaten Simeulue mengalami tingkat eksploitasi sumberdaya yang terus meningkat terutama
54
perikanan pelagis dan perikanan karang. Hal ini terlihat dari tingkat produksi perikanan laut yang mengalami trend cenderung meningkat setiap tahunnya. Peningkatan produksi diikuti dengan meningkatnya produktivitas hasil tangkapan pada unit penangkapan. Namun hasil pengamatan terhadap unit penangkapan masih terdapat penggunaan alat penangkapan yang destruktif dalam ekploitasi sumberdaya perikanan di Kabupaten Simeulue. Dikawatirkan efek dari penggunaan alat yang tidak ramah lingkungan ini akan menjadi salah satu pemicu menurunnya kualitas lingkungan sumberdaya ikan ke depan. Untuk itu penegakan hukum yang efektif harus terus dilakukan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan. Disisi lain, peningkatan produktifitas juga tidak di tunjang dengan penataan sistem pengelolaan yang baik. Apalagi perikanan di Kabupaten Simeulue masih didominasi perikanan tangkap skala kecil. Ini terlihat minimnya modal usaha, rendahnya teknologi, tingkat sumberdaya nelayan masih rendah. Sehingga tidaklah mudah bagi pemerintah daerah dalam mengelola perikanan skala kecil ini. Pengelolaan perikanan tangkap skala kecil menjadi suatu hal yang penting karena melibatkan berbagai pihak yaitu nelayan, pemerintah, dan stakeholder lainnya. Stakeholder perikananan tangkap harus memiliki peran penting dalam pengelolaan perikanan bertanggung jawab. Ini diperlukan untuk menjamin agar sektor perikanan tangkap di Kabupaten Simeulue dapat memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholder baik sekarang atau pada masa yang akan datang. Pengelolaan perikanan bertanggung jawab membutuhkan bukti-bukti ilmiah sebelum melakukan perencanaan pengelolaan. Bukti ilmiah yang dianalisis meliputi komponen-komponen sistem pengelolaan yang memadai. Ini dilakukan untuk memudahkan pemerintah daerah guna pengambilan keputusan yang tepat dalam menentukan arah dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap. Ini dilakukan agar setiap program pemerintah daerah tersebut dapat diimplementasikan dengan baik dan diterima oleh semua stakeholder. Untuk itu analisis sistem perikanan tangkap merupakan suatu pendekatan alternatif yang dapat dilakukan. Hasil analisis berdasarkan pendekatan sub sistem sumberdaya ikan menunjukkan kondisi keanekaragaman jenis spesies hasil tangkapan dari kelompok habitat pelagis berdasarkan daerah penangkapan bagan perahu dan kelompok habitat demersal diperoleh daerah penangkapan pukat pantai berada pada keanekaragaman sedang atau kondisi keanekaragaman ikan hasil tangkapan relatif baik. Kemerataan antar spesies hasil tangkapan nelayan relatif merata dan hampir tidak ada spesies yang mendominansi spesies lainnya. Hal ini terlihat dari indeks keanekaragaman ikan (H’) yang tertangkap oleh bagan perahu sebesar 1,72, indeks kemerataan (E) sebesar 0,83 dan indeks dominansi jenis (C) sebesar 0,22. Sementara indeks keanekaragaman ikan (H’) pada alat tangkap pukat pantai sebesar 1,40, indeks kemerataan (E) sebesar 0,58 dan indeks dominansi jenis (C) sebesar 0,32. Mustaruddin (2012) menyebutkan keanekaragaman jenis sumberdaya ikan merupakan syarat utama berlangsungnya kegiatan perikanan tangkap. Selanjutnya tingkat produktivitas unit penangkapan ikan -- yang menjadi karakteristik SDI di perairan Kabupaten Simeulue -- tertinggi terdapat pada bagan perahu sebesar 603,3 kg/trip, diikuti oleh pukat pantai 414,7 kg/trip, rawai 301,4 kg/trip dan alat pengumpul 81,8 kg/trip. Kajian sosial ekonomi dilakukan terhadap demografi penduduk, teknologi penangkapan ikan, kebijakan pemerintah daerah, distribusi dan pemasaran hasil tangkapan dan kelembagaan pengelolaan. Hasil kajian mendapatkan teknologi
55
penangkapan ikan tepat guna yaitu unit-unit usaha perikanan tangkap yang layak dikembangkan berdasarkan pertimbangan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi, usaha perikanan bagan perahu sebagai skala prioritas pertama, lalu berturut-turut rawai, pukat pantai dan alat pengumpul sebagai alat tangkap yang layak untuk dikembangkan. Sementara hasil analisis terhadap terhadap distribusi dan pamasaran ikan laut segar mendapatkan fluktuasi harga ikan yang tidak terkontrol. Hal ini menyebabkan keuntungan antar lembaga pemasaran tidak menyebar merata. Walaupun biaya pemasaran pada semua lembaga pemasaran berada pada kondisi efisien. Namun melihat kondisi ini diperlukan sistem transportasi yang baik pada setiap daerah distribusi hasil tangkapan. Agar biaya dan keuntungan setiap lembaga pemasaran lebih stabil kemerataanya. Secara keseluruhan pengembangan usaha perikanan tangkap skala besar masih dapat dilakukan. Hal ini terlihat, teknologi perikanan tangkap di Kabupaten Simeulue saat ini masih sederhana. Disamping peningkatan produksi setiap tahunnya. Selanjutnya hasil analisis manajemen kelembagaan pengelolaan perikanan skala kecil di wilayah penelitian menunjukkan bahwa kehadiran dan dinamika kewenangan memegang peran penting untuk menjamin keberhasilan program sektor perikanan tangkap. Agar pengelolaan dapat dilaksanakan secara optimal, koordinasi dan komunikasi lintas sektor secara arif dan bijaksana harus terus dilakukan. Terutama dalam hal penyusunan perencanaan program dan penerima manfaatnya (beneficieries) dari program dimaksud. Sehingga sistem pengelolaan perikanan tangkap berjalan sesuai rencana pembangunan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah itu sendiri. Keberhasilan pelaksanaan program perikanan tangkap dilihat dari efektifnya sistem pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue. Hasil kajian atas keseluruhan sistem menunjukkan bahwa sistem tersebut sudah terbangun. Namun belum menjadi suatu kesatuan sistem yang utuh. Agar pengelolaan menjadi suatu kesatuan yang utuh diperlukan alternatif strategi pengelolaan yang tepat berdasarkan karakteristik kewilayahan. Hasil analisis terhadap sub sistem sumberdaya ikan, sub sistem sosial ekonomi dan manajemen yang menjadi acuan dalam pengelolaan perikanan tangkap skala kecil berkelanjutan di Kabupaten Simeulue mendapatkan alternatif strategi pengelolaan yang dapat diterapkan yaitu penerapan Ko-manajemen berbasis kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan laut, pengembangan usaha melalui restrukturisasi armada perikanan tangkap, penegakan hukum dengan melaksanakan sistem MCS (monitoring, controlling dan suvailance) secara terpadu, peningkatan sistem informasi untuk nelayan, pembuatan sistem data dan informasi perikanan tangkap terpadu, standarisasi armada perikanan tangkap skala kecil untuk peningkatan produktivitas alat tangkap dan mutu ikan dan peningkatan pengetahuan nelayan dan pelaku usaha perikanan.
56
7 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat keanekaragaman jenis ikan hasil tangkapan dari kelompok habitat pelagis dan demersal berdasarkan daerah penangkapan bagan perahu dan pukat pantai berada pada keanekaragaman sedang atau kondisi struktur komunitas sumberdaya ikan relatif terjaga, kemerataan antar spesies relatif merata dan hampir tidak ada spesies yang mendominansi spesies lainnya. Tingkat produktivitas (CPUE) alat penangkapan ikan tertinggi terdapat pada bagan perahu sebesar 603,3 kg/trip; 2. Perkembangan jumlah unit penangkapan dan produksi perikanan laut di Kabupaten Simeulue selama enam tahun memiliki kecenderungan meningkat, mayoritas masyarakat pesisir menggunakan teknologi penangkapan ikan sederhana. Pada lembaga pemasaran terjadi fluktuasi harga ikan menyebabkan keuntungan antar lembaga pemasaran tidak menyebar merata; 3. Tugas dan wewenang Dinas Keluatan dan Perikanan sebagai lembaga teratas (top) dapat menjalankan kewenangan dari pemerintah pusat dan peranan Panglima laot sebagai bentuk kearifan lokal (down) berperan erat dengan masyarakat lokal untuk keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil Kabupaten Simeulue; 4. Unit usaha perikanan tangkap yang layak dikembangkan berdasarkan pertimbangan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi yaitu usaha bagan perahu sebagai skala prioritas pertama; dan 5. Pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Simeulue dapat dilakukan dengan penerapan strategi antara lain: [1] penerapan Ko-manajemen berbasis kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan laut, [2] pengembangan usaha melalui restrukturisasi armada perikanan tangkap [3], penegakan hukum dengan melaksanakan sistem MCS (monitoring, controlling dan suvailance) secara terpadu, [4] peningkatan sistem informasi untuk nelayan, [5] pembuatan sistem data dan informasi perikanan tangkap terpadu, [6] standarisasi terhadap armada perikanan skala kecil untuk peningkatan produktivitas alat tangkap dan mutu ikan dan [7] peningkatan pengetahuan nelayan dan pelaku usaha perikanan.
Saran Saran yang dapat disampaikan terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap skala kecil berkelanjutan di Kabupaten Simeulue adalah: 1. Kajian stok sumberdaya ikan di perairan pantai Kabupaten Simeulue; 2. Penelitian tentang alokasi unit penangkapan ikan di perairan pantai Kabupaten Simeulue; dan 3. Diversifikasi teknologi alat penangkapan ikan.
57
DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa, AU.1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor (ID) : Yayasan Dewi Sri. Hal 14-31. Baskoro MS. 2006. Perbaikan Selektivitas Alat Tangkap sebagai Alternatif Mengatasi Hasil Tangkapan Sampingan (Bycatch) dalam Perikanan Trawl. Di dalam: Sondita MFA, Solihin I, editor. Kumpulan Pemikiran Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Kenangan Purnabakti Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja. Bogor (ID): IPB. Hal 7-18. Berkes F, Mahon R, McConney P, Pollnac RC and Pomeroy RS. 2001. Managing Small-Scale Fisheries: Alternative Directions and Methods. Ottawa (CA): International Development Research Centre. 308 p Brower JE, Zar JH, Ende CN. 1990. Field and laboratory methods for general ecology. “3rd ed”. London (GB): WB Sounder. [Bappeda Simeulue] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Simeulue. 2012. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Simeulue (RPJMD) tahun 2012 – 2017. Simeulue (ID): Bappeda Simeulue. [BKPMA] Badan Koordinasi Penanaman Modal Aceh. 2011. Profil Investasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh (ID): BKPM Aceh. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Simeulue Dalam Angka 2013. Simeulue (ID): BPS Simeulue. Charles AT. 2001. Sutainable Fishery System. Canada (CD): Blakwell Science Ltd. 370 p. Chowdhury MSN, Hossain MS, Das NG, Barua P. 2010. Environmental variables and fisheries diversity of the Naaf River Estuary, Bangladesh [catatan penelitian]. J Coast Conserv. 2010(15): p. 1- 18. Costa PF, Schulz UH. 2010. The fish community as an indicator of biotic integrity of the sreams in the Sinos River basin, Brazil [catatan penelitian]. Braz. J. Biol.70 (4). p. 1195 – 1.205. Daris L, Kartika EZ, Saade A. 2012. Dinamika konflik dan peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan [catatan penelitian]. Jurnal Agrisistem. 8(1): 32-42. Diyanto M. 2009. Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap dalam Meingkatkan Ekonomi Masyarakat Pesisir di Kabupaten Lampung Barat. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Downey DW, Erickson SP. 1992. Manajemen Bisnis. “Ed Ke-3”. Jakarta (ID): Erlangga. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Kelautan dan Perikanan Simeulue Tahun 2011. Simeulue (ID): DKP Simeulue. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2013. Rencana Strategis (Renstra) tahun 2012-2017. Simeulue (ID): DKP Simeulue. Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries.Rome (IT): 41 p [FAO] Food and Agriculture Organization. 1999. Guidelines for the routine collection of capture fishery data. Rome (IT): FAO
58
Griffin RW. 2004. Manajemen. Gania G, Penerjemah; Kristiaji WC, editor. Jakarta (ID) : Erlangga. Terjemahan dari : Management. Haluan J, Nurani TW. 1988. Penerapan metode skoring dalam pemilihan teknologi penangkapan ikan yang sesuai untuk dikembangkan di suatu wilayah perairan [ulasan]. Buletin PSP FPIK IPB. II(1):3-16. Hanafiah AM, Saefuddin AM. 1986. Tata Niaga Hasil Perikanan. Jakarta (ID): UIPress. Hatten KJ, Hatten ML. 1998. Effective Strategic Management. New Jersey (US): Prentice Hall Engle Clif. Harifuddin, Aisyah, Budiman. 2011. Analisis margin dan efisiensi pemasaran rumput laut di Desa Mandalle Kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkep [catatan penelitian]. J Agribisnis. X(3): 38-48. Hermawan, M. 2006. Keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Howara D, Laapo A. 2008. Analisis determinasi usaha perikanan tangkap nelayan di Kabupaten Tojo Una-una [catatan penelitian]. J Agroland. 15(4): 302-308. Junaidi M, Cokrowati N, Abidin Z. 2010. Aspek reproduksi lobster (Panulirus sp.) di Perairan Teluk Ekas Pulau Lombok [catatan penelitian]. J KELAUTAN. 3(1): 29-35. Jukri M, Emiyarti, Kamri S. 2013. Keanekaragaman jenis ikan di Sungai Lamunde Kecamatan Watubangga Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Utara [catatan penelitian]. J Mina Laut Indo. 1(1): 23-27. Kherallah M, Kirsten J. 2001. The new institutional economics: applications for agricultural policy research in developing countries. International Food Policy Research Institute (41): [Internet]. [diunduh 2014 Mei 10]. Tersedia pada http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/16217/1/ms010041.pdf. Krebs CJ. 1989. Ecological methodology. New York (US): Harper and Row Pub. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2003. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.38/MEN/2003 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan. Jakarta (ID): KKP. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 02 Tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Jakarta (ID): KKP. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2013. Jakarta (ID): Pusat Data, Statistik dan Informasi KKP. Laapo A. 2005. Estimasi potensi dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di pesisir dan kepulauan Kabupaten Morowali [catatan penelitian]. J. Agrisains. 5(1):20-26. Limbong WH, Sitorus P. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Bogor (ID) : IPB Press. Maguran AE.1998. Ecological Diversity and Its Measurement. London (GB) : Croom Helm. Mangkusubroto K, Trisnadi. 1985. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dalam Manajemen Usaha dan Proyek. Bandung (ID) : Ganesa Exat. 271 p. Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta (ID): Grasindo.
59
Marjudo A. 2011. Analisis hasil tangkapan sampingan (By-Catch) dalam perikanan pukat pantai jenis Krakat di Teluk Kota Palu Sulawesi Tengah [catatan penelitian]. J KIAT Univ Alkhairaat. November 2011: 6 -16. Masrizal, Azhar. 2001. Kajian komunitas dan keanekaragaman jenis ikan pada ekosistem perairan sungai di Taman Nasional Kerinci Siblat [catatan penelitian]. Pusat Studi Lingkungan Hidup. UNAND Padang: Hal 20. McCluskey S, Lewison RL. 2008. Quantifying effort: a synthesis of current methods and their applications. J Fish and Fisheries. 2008(9): 188-200. [internet]. [diunduh 2014 April 01]. Tersedia pada http://bycatch.nicholas.duke.edu/publicationsandreports/McClusky2008.pdf Monintja DR. 1987. Beberapa teknik pilihan untuk memanfaatkan sumberdaya hayati laut di Indonesia [ulasan]. Buletin PSP FPIK IPB. 1(1): 14-26. Muflikhati, I. 2010. Kondisi sosial ekonomi dan tingkat kesejahteraan keluarga: kasus di Wilayah Pasisir Jawa Barat [catatan penelitian]. Jurnal Ilmu Keluarga, 2(10). Mustaruddin. 2012. Pengembangan perikanan tangkap yang bersinergi dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi : studi kasus di Perairan Kabupaten Banyuwangi [catatan penelitian]. J Ilmu Pertanian dan Perikanan. 1(1): 1729. Nababan BO, Sari YD, Hermawan M. 2008. Tinjauan aspek ekonomi keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Tegal Jawa Tengah [catatan penelitian]. Buletin Ekonomi Perikanan. 8(2): 50-68. Nelwan AFP, Sudirman, Zainuddin M, Kurnia M. 2009. Produktivitas penangkapan ikan pelagis besar di Perairan Selat Makassar, Sulawesi Barat [catatan penelitian]. Makalah Seminar Perikanan Tangkap. (tidak ada halaman). [internet]. [diunduh 2014 Maret 28]. Tersedia pada http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4285/makalah%20 lengkap_semtangkap_alfanelwan.pdf?sequence=1 Nikijuluw PH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta (ID): Pustaka Cidesindo. 254 p. Nurani TW. 2010. Model Pengelolaan Perikanan Suatu Kajian Pendekatan Sistem. Bogor (ID) : Departemen PSP-FPIK IPB. Nurmalasari Y. 2010. Analisis pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat [Tesis]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology.”3rd ed”. Philadelphia (US): WB. Sounder Co. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Prasetyo AP, Kadarisman HP, Haryuni ST, Rachmawati PF, Suwarso, Utama AA. 2012. Model pendugaan produktivitas pukat cincin di Laut Jawa [catatan penelitian]. JPPI. 18(3): 187-195. Prihandoko S, Jahi A, Gani DS, Purnaba IGP, Adrianto L, Tjitradjaja I. 2012. Kondisi sosial ekonomi nelayan artisanal [catatan penelitian]. Jur Penyuluhan. 8(1): 83-91.
60
Rahmi TA, Nurani TW, Wahyuningrum PI. 2013. Usaha perikanan tangkap skala kecil di Sadeng Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta [catatan penelitian]. J Amanisal. 2(2): 40-45. Rangkuti F. 2006. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Rjindsdorp AD, Dol W, Hoyer M, Pastoors MA. 2000. Effects of fishing power and competitive interactions among vessels on the effort allocation on the trip level of the dutch beam trawl fleet [catatan penelitian]. ICES Journal of Marine Science 57: 927-937. [internet]. [diunduh 2014 April 01]. Tersedia pada http://icesjms.oxfordjournals.org/content/57/4/927.full.pdf. Sarma M. 1985. Pengantar Ilmu Ekonomi Pertanian. Bogor (ID): IPB Press. Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A, Sembiring A, Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan. Bogor (ID): IPB. 313 p. Smith. I.R. 1983. A Research Framework for Traditional Fisheries. Manila (PH): International Center for Living Aquatic Resources Management (ICLARM). Subekti I. 2010. Implikasi pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Indonesia berlandaskan code of condust for reponsible fisheries [ulasan]. J Ilmiah Hukum QISTI. 3(1): 38-51. Supono, Arbi UY. 2010. Struktur komunitas ekinodermata di Padang Lamun perairan Kema, Sulawesi Utara [catatan penelitian]. Osean Limno Indones. 36(3): 329-341. Wibowo GDH. 2009. Aspek hukum dan kelembagaan dalam peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan wilayah pesisir [ulasan]. Jur Hukum 1(16):127144: [Internet]. [diunduh 2014 Mei 10]. Tersedia pada http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/Gatot%20Dwi%20Hen dro%20W.pdf. Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pr. 250 p. Wijaya S. 2013. Perikanan Hidupi 357 Juta Orang [internet]. [diunduh 2013 September 30]. Tersedia dari: http://www.antaranews.com/berita/398165/perikanan-hidupi-357-juta-orang. Wiyono ES. 2011. Reorientasi Manajemen Perikanan Skala Keci. Di dalam: Sondita MFA, Solihin I, editor. Kumpulan Pemikiran Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Kenangan Purnabakti Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja. Bogor (ID): IPB. Hal 23-35. Yuliana E, Winata A. 2012. Pengaruh karakteristik dan persepsi terhadap tingkat partisipasi anggota dalam kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) sumber daya kelautan dan perikanan [catatan penelitian]. J Bumi Lestari. 12(2): 251-259.
61
LAMPIRAN
62
Lampiran 1 Ikan-ikan yang tertangkap dengan alat tangkap utama di perairan laut Kabupaten Simeulue No.
Famili/Spesies
1
Bagan perahu
Pukat Pantai
Rawai
Alat Pengumpul
N (ekor)
∑%
Carangidae 1
Caranx ignobilis
-
-
12
-
12
0,0081
2
Caranx tille
-
100
-
-
100
0,0674
3
Decapterus kurroides
3.984
-
-
-
3.984
2,6839
4
Megalaspis cordyla
-
3.600
-
-
3.600
2,4252
5
Selar boops
6
Selar crumenophthalmus
2
-
4.440
-
-
4.440
2,9911
2.025
-
-
-
2.025
1,3642
-
-
27
-
27
0,0182
Carcharhinidae 7
Carcharhinus spp Clupeidae
3
8
Sardinella brachysoma
9
Sardinella lemuru
4
-
-
-
750
0,5053
53.200
-
-
55.121
37,1333
-
9
3
-
12
0,0081
400
14.400
-
-
14.800
9,9703
Dasyatidae 10
5
Dasyatis spp Engraulidae
11 6
Stolephorus spp Holothuriidae
12
Actinopyga echinites
-
-
-
15
15
0,0101
13
Holothuria atra
-
-
-
6
6
0,0040
14
Holothuria flavomaculata
-
-
-
17
17
0,0115
15
Holothuria fuscopunctata
-
-
-
26
26
0,0175
16
Holothuria leucospilota
-
-
-
8
8
0,0054
17
Holothuria ocelata
-
-
-
15
15
0,0101
18
Holothuria scabra
-
-
-
5
5
0,0034
19
Holothuria uacabunda
-
-
-
88
88
0,0593
20
Holothuria uatiensis
-
-
-
37
37
0,0249
-
51.200
-
-
51.200
34,4918
-
-
8
-
8
0,0054
330
-
-
-
330
0,2223
7
Leiognathidae 21
8
Leiognathus spp Lethrinidae
22 9
Lethrinus olivaceus Loliginidae
23 10
Loligo pealii Lutjanidae
24
Aphareus rutilans
-
-
19
-
19
0,0128
25
Aprion virescens
-
-
8
-
8
0,0054
26
Lutjanus lemniscatus
-
-
3
-
3
0,0020
27
Lutjanus malabaricus
-
-
5
-
5
0,0034
28
Lutjanus timorensis
-
-
1
-
1
0,0007
29
Pinjalo lawesi
-
-
12
-
12
0,0081
30
Pristipomoides filamentosus
-
-
6
-
6
0,0040
-
1.000
-
-
1.000
0,6737
11
Mullidae 31
12
750 1.921
Upeneus vittatus Penaeidae
63
No.
Famili/Spesies 32
13
Parapenaeopsis sculptitis
Bagan perahu
Pukat Pantai
Rawai
Alat Pengumpul
N (ekor)
-
440
-
-
440
0,2964
∑%
Polinuridae 33
Panulirus longipes
-
-
-
68
68
0,0458
34
Panulirus ornatus
-
-
-
4
4
0,0027
35
Panulirus penicillatus
-
-
-
386
386
0,2600
36
Panulirus versicolor
-
-
-
21
21
0,0141
37
Parribacus antarcticus
-
-
-
12
12
0,0081
4.140
-
-
-
4.140
2,7890
375
-
-
-
375
0,2526
-
-
21
-
21
0,0141
6
-
6
0,0040
14
Scombridae 38
Auxis thazard
39
Rastrelliger brachysoma
40
Thunnus albacares
15
Serranidae 41
Aethaloperca rogaa
-
-
42
Cephalopholis argus
-
-
2
-
2
0,0013
43
Cephalopholis boenak
-
-
11
-
11
0,0074
44
Cephalopholis miniata
-
-
5
-
5
0,0034
45
Epinephelus maculatus
-
-
12
-
12
0,0081
46
Plectropomus leopardus
-
-
12
-
12
0,0081
47
Variola albimarginata
-
-
42
-
42
0,0283
48
Variola louti
-
-
4
-
4
0,0027
-
3.600
-
-
3.600
2,4252
-
1.600
-
-
1.600
1,0779
13.925
133.589
219
708
148.441
100
16
Teraponidae 49
17
Terapon theraps Trichiuridae
50
Trichiurus spp
Jumlah Total HT (ekor) Jenis spesies per API
8
11
20
14
64
Lampiran 2 Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H'), kemerataan (E) dan dominansi (C) terhadap ikan hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Simeulue Fishes Spesies
Actinopyga echinites Aethaloperca rogaa Aphareus rutilans Aprion virescens Auxis thazard Caranx ignobilis Caranx tille Carcharhinus spp Cephalopholis argus Cephalopholis boenak Cephalopholis miniata Dasyatis spp Decapterus kurroides Epinephelus maculatus Holothuria atra Holothuria flavomaculata Holothuria fuscopunctata Holothuria leucospilota Holothuria ocelata Holothuria scabra Holothuria uacabunda Holothuria uatiensis Leiognathus spp Lethrinus olivaceus Loligo pealii Lutjanus lemniscatus Lutjanus malabaricus Lutjanus timorensis Megalaspis cordyla Panulirus longipes Panulirus ornatus Panulirus penicillatus Panulirus versicolor Parapenaeopsis sculptitis Parribacus antarcticus Pinjalo lawesi Plectropomus leopardus Pristipomoides filamentosus Rastrelliger brachysoma Sardinella brachysoma Sardinella lemuru Selar boops Selar crumenophthalmus Stolephorus spp Terapon theraps Thunnus albacares Trichiurus spp Upeneus vittatus Variola albimarginata Variola louti Total Taxa Total Fishes (individu) Diversity Index (H') H' Max Similarity Index (E) Dominancy Index (D)
Bagan Philum
Holothuriidae Serranidae Lutjanidae Lutjanidae Scombridae Carangidae Carangidae Carcharhinidae Serranidae Serranidae Serranidae Dasyatidae Carangidae Serranidae Holothuriidae Holothuriidae Holothuriidae Holothuriidae Holothuriidae Holothuriidae Holothuriidae Holothuriidae Leiognathidae Lethrinidae Loliginidae Lutjanidae Lutjanidae Lutjanidae Carangidae Polinuridae Polinuridae Polinuridae Polinuridae Penaeidae Polinuridae Lutjanidae Serranidae Lutjanidae Scombridae Clupeidae Clupeidae Carangidae Carangidae Engraulidae Teraponidae Scombridae Trichiuridae Mullidae Serranidae Serranidae
Freq. 0 0 0 0 4140 0 0 0 0 0 0 0 3984 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 330 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 375 750 1921 0 2025 400 0 0 0 0 0 0 8 13925
pi lnpi ~ ~ ~ ~ 0,3606 ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ 0,3580 ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ 0,0887 ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ 0,0973 0,1573 0,2733 ~ 0,2804 0,1020 ~ ~ ~ ~ ~ ~
1,7177 2,0794 0,8260 0,2154
Pukat Pantai pi ^2 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0884 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0819 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0006 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0007 0,0029 0,0190 0,0000 0,0211 0,0008 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
Freq. 0 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 51200 0 0 0 0 0 3600 0 0 0 0 440 0 0 0 0 0 0 53200 4440 0 14400 3600 0 1600 1000 0 0 11 133589
pi lnpi ~ ~ ~ ~ ~ ~ 0,0054 ~ ~ ~ ~ 0,0006 ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ 0,3676 ~ ~ ~ ~ ~ 0,0974 ~ ~ ~ ~ 0,0188 ~ ~ ~ ~ ~ ~ 0,3667 0,1131 ~ 0,2401 0,0974 ~ 0,0530 0,0366 ~ ~
1,3967 2,3979 0,5825 0,3199
Rawai pi ^2 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,1469 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0007 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,1586 0,0011 0,0000 0,0116 0,0007 0,0000 0,0001 0,0001 0,0000 0,0000
FREQ. 0 6 19 8 0 12 0 27 2 11 5 3 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 0 3 5 1 0 0 0 0 0 0 0 12 12 6 0 0 0 0 0 0 0 21 0 0 42 4 20 219
pi lnpi ~ 0,0986 0,2121 0,1209 ~ 0,1591 ~ 0,2581 0,0429 0,1502 0,0863 0,0588 ~ 0,1591 ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ 0,1209 ~ 0,0588 0,0863 0,0246 ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ 0,1591 0,1591 0,0986 ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ 0,2248 ~ ~ 0,3167 0,0731
2,6681 2,9957 0,8906 0,0893
Alat pengumpul lainnya pi ^2 0,0000 0,0008 0,0075 0,0013 0,0000 0,0030 0,0000 0,0152 0,0001 0,0025 0,0005 0,0002 0,0000 0,0030 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0013 0,0000 0,0002 0,0005 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0030 0,0030 0,0008 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0092 0,0000 0,0000 0,0368 0,0003
FREQ. 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 17 26 8 15 5 88 37 0 0 0 0 0 0 0 68 4 386 21 0 12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14 708
pi lnpi 0,0817 ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ 0,0404 0,0895 0,1213 0,0507 0,0817 0,0350 0,2592 0,1542 ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ 0,2250 0,0292 0,3307 0,1043 ~ 0,0691 ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
1,6721 2,6391 0,6336 0,3289
pi ^2 0,0004 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0001 0,0006 0,0013 0,0001 0,0004 0,0000 0,0154 0,0027 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0092 0,0000 0,2972 0,0009 0,0000 0,0003 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
Lampiran 3 Sebaran DPI unit penangkapan ikan di perairan laut Kabupaten Simeulue
65
66
Lampiran 4 Peta kawasan konservasi perairan di Kabupaten Simeulue
67
Lampiran 5 Perkembangan armada penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue tahun 2006 - 2011 Total Tahun (unit) Jenis armada (unit) 2006 2007 2008 2009 2010 2011 8.173 Perahu tanpa motor 993 1725 1646 1238 1174 1397 8.506 Perahu motor tempel 637 1616 1416 1591 1598 1648 Kapal Motor 667 - 1- 5 GT 45 177 129 140 74 102 12 - 5 - 10 GT 1 11 - > 10 GT Total (Unit) 1676 3518 3191 2980 2846 3147 17.358 Sumber : DKP Simeulue (diolah)
Lampiran 6 Perkembangan alat penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue tahun 2006 - 2011 Tahun (unit)
Jenis alat Pukat pantai Jaring insang Jaring tiga lapis Bagan perahu Rawai Pancing tangan Jermal Alat pengumpul Jala tebar Lain-lain Total alat (unit)
2006 6 102 25 8 45 3.744 27 3.945
2007 11 1.093 142 542 3.251 25 48 576 5.688
2008 14 1.246 518 5 434 3.453 35 131 542 6.378
2009 14 1.268 633 11 482 3.465 43 206 1.520 566 8.208
2010 18 1.292 695 11 498 3.237 47 217 1.758 440 8.213
2011 1.431 715 15 528 3.365 239 1.784 431 8.508
Sumber : DKP Simeulue (diolah)
Lampiran 7 Produksi perikanan tangkap di Kabupaten Simeulue tahun 2007 - 2011 Kenaikan Produksi (Ton) Wilayah rata-rata perairan 2007 2008 2009 2010 2011 (%) Laut 6.257 8.017,7 8.025,7 8.420,4 8.543,0 6,92 Perairan umum 3,9 4,1 5,8 6,2 6,2 10,69 Jumlah 6.260,9 8.021,8 8.031,5 8.426,6 8.549,2 6,92 Sumber : DKP Simeulue (diolah)
68
Lampiran 8 Analisis usaha unit penangkapan bagan perahu No. A. 1 2 3 4 4 B. I. 1 2 3 4 5 6 7 II. 1 2 4 5 6 7
C.
D.
Uraian Investasi Alat tangkap utama Jaring Kapal Mesin Kapal Mesin Genset + Dinamo Total Investasi Biaya Biaya tetap (fixed cost) Penyusutan kapal Penyusutan mesin kapal Penyusutan mesin genset +Dinamo Penyusutan alat tangkap Jaring Perawatan kapal Perawatan mesin Perawatan alat tangkap Total biaya tetap (fixed cost) Biaya tidak tetap (variable cost) Solar (20 trip/bulan x 50 L) Minyak tanah (20 trip x 2 L) Oli (25 L) Es (1100 btg) Konsumsi Upah ABK 7 org Total biaya tidak tetap (variable cost) Total biaya Penerimaan (revenue) Hasil tangkapan (12.066 kg/bulan) Total penerimaan (revenue) Analisa pendapatan usaha (Bagan perahu) Total penerimaan (TR) Total biaya (TC) Investasi Keuntungan (TR-TC) R/C (TR/TC) ROI (keuntungan/investasi x 100%) BEP (Kg) BEP (Rp)
Biaya
257.000.000 20.000.000 70.000.000 23.000.000 29.500.000 399.500.000
7.000.000 3.910.000 5.015.000 51.400.000 4.000.000 1.500.000 2.000.000 1.200.000 76.025.000 5.250.000 200.000 750.000 16.500.000 7.500.000 19.600.000 49.800.000 125.825.000 150.825.000 150.825.000 150.825.000 125.825.000 76.025.000 25.000.000,00 1,20 32,9 9.080 113.501.318
69
Lampiran 9 Analisis usaha unit penangkapan pukat pantai No. A. 1 2 B. I. 1 2 3 4 II. 1 2
C.
D.
Uraian Investasi Perahu < 1 GT Alat tangkap utama Total Investasi Biaya Biaya tetap (fixed cost) Penyusutan perahu Penyusutan alat tangkap Perawatan perahu Perawatan alat tangkap Total biaya tetap (fixed cost) Biaya tidak tetap (variable cost) Konsumsi (25 trip) Upah ABK 4 org Total biaya tidak tetap (variable cost) Total biaya Penerimaan (revenue) Hasil tangkapan (10.368 kg/bulan) Total penerimaan (revenue) Analisa pendapatan usaha (Pukat pantai) Total penerimaan (TR) Total biaya (TC) Investasi Keuntungan (TR-TC) R/C (TR/TC) ROI (keuntungan/investasi x 100%) BEP (Kg) BEP (Rp)
Biaya
6.000.000 55.000.000 61.000.000
600.000 11.000.000 1.000.000 1.500.000 14.100.000 5.000.000 3.700.000 8.700.000 22.800.000 25.918.750 25.918.750 25.918.750 22.800.000 14.100.000 3.118.750,00 1,14 22,1 8.490 21.224.211
70
Lampiran 10 Analisis usaha unit penangkapan rawai No. A. 1 2 3 4 5 B. I. 1 2 3 4 5 6 7 II. 1 2 3 4 5 6 7
C.
D.
Uraian Investasi Kapal Mesin Kapal Mesin Genset Alat tangkap utama Mata Pancing No.5/6 Total Investasi Biaya Biaya tetap (fixed cost) Penyusutan kapal Penyusutan mesin Penyusutan alat tangkap Mata Pancing No.5/6 Perawatan kapal Perawatan mesin Perawatan alat tangkap Total biaya tetap (fixed cost) Biaya tidak tetap (variable cost) Solar (7 trip x 100 L) Minyak tanah (7 trip x 10 L) Bensin (7 trip x 30 L) Oli (10 L x 2) Es (7 trip x 60 btg) Konsumsi Upah ABK 4 org Total biaya tidak tetap (variable cost) Total biaya Penerimaan (revenue) Hasil tangkapan (2.110 kg/bulan) Total penerimaan (revenue) Analisa pendapatan usaha (Rawai) Total penerimaan (TR) Total biaya (TC) Investasi Keuntungan (TR-TC) R/C (TR/TC) ROI (keuntungan/investasi x 100%) BEP (Kg) BEP (Rp)
Biaya
70.000.000 23.000.000 2.900.000 1.500.000 600.000 98.000.000
7.000.000 3.910.000 300.000 600.000 1.500.000 2.000.000 600.000 15.910.000 4.900.000 350.000 1.680.000 700.000 2.436.000 9.184.000 6.400.000 25.650.000 41.560.000 51.268.140 51.268.140 51.268.140 41.560.000 15.910.000 9.708.140,00 1,23 61,0 1.310 31.839.786
71
Lampiran 11 Analisis usaha unit penangkapan alat pengumpul No. A. 1 2 3 B. I. 1 2 3 5 6 7 II. 1 4 6 7
C.
D.
Uraian Investasi Kapal Mesin Kapal Alat tangkap utama Total Investasi Biaya Biaya tetap (fixed cost) Penyusutan kapal Penyusutan mesin Penyusutan alat tangkap Perawatan kapal Perawatan mesin Perawatan alat tangkap Total biaya tetap (fixed cost) Biaya tidak tetap (variable cost) Solar (4 trip x 150 L) Oli (4 trip x 6 L) Konsumsi Upah ABK 4 org Total biaya tidak tetap (variable cost) Total biaya Penerimaan (revenue) Hasil tangkapan (327,2 kg/bulan) Total penerimaan (revenue) Analisa pendapatan usaha (Alat pengumpul) Total penerimaan (TR) Total biaya (TC) Investasi Keuntungan (TR-TC) R/C (TR/TC) ROI (keuntungan/investasi x 100%) BEP (Kg) BEP (Rp)
Biaya
70.000.000 18.000.000 10.825.000 98.825.000
7.000.000 3.060.000 2.165.000 1.500.000 2.000.000 200.000 15.925.000 4.200.000 648.000 3.036.000 9.000.000 16.884.000 32.809.000 44.172.000 44.172.000 44.172.000 32.809.000 15.925.000 11.363.000,00 1,35 71,4 191 25.778.331
72
Lampiran 12 Unit penangkapan ikan di Kabupaten Simeulue
Bagan (lift net)
Alat pengumpul lobster/tripang
Pukat pantai (Beach sine)
Rawai
73
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Simeulue – Aceh pada tanggal 20 April 1977. Penulis adalah Putra ketiga dari enam bersaudara dari Bapak M. Saim dan Ibu Siarna. Penulis memulai pendidikan formal di SD Negeri 3 Teupah Selatan lulus tahun 1989, SMP Negeri 1 Teupah Selatan lulus tahun 1992, dan Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Negeri Ladong Aceh lulus pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan di Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta dan menyelesaikannya pada tahun 2000. Setelah selesai dari STP-Jakarta penulis mendapat kesempatan bekerja di bidang perikanan tangkap sebagai perwira kapal ikan selama 5 tahun sejak Juni 2000 hingga Oktober 2005. Selanjutnya pada awal tahun 2006 hingga sekarang penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Daerah Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh. Pada tahun 2012, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Magister Sains Program Studi Teknologi Perikanan Laut pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Simeulue. Selama menempuh pendidikan pascasarjana, penulis menjadi salah satu pengurus Ikatan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) – Bogor periode 2013 – 2014. Selanjutnya aktif mengikuti seminar-seminar nasional antara lain Seminar Nasional Perikanan Tangkap ke-5, Indonesian Civil and Environmental Festival, Seminar Nasional Hasil Ekspedisi Himakova IPB, Indonesian Ecology Expo (INDEX) dan Seminar Kepelabuhanan dan Industri Transportasi Laut. Selain itu penulis juga telah menerbitkan sebuah artikel ilmiah dengan judul ”Karakteristik Perikanan Tangkap di Perairan Laut Kabupaten Simeulue” pada Jurnal MARINE FISHERIES, Vol. 5, No.1, Edisi Mei 2014 (ISSN 2087-4235). Artikel ilmiah tersebut merupakan bagian dari hasil penelitian penulis.