MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KLUSTER DESA DI KOTA AMBON
MARCUS JACOB PAPILAJA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Model Pengembangan Industri
Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa Di Kota Ambon adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian disertasi ini.
Bogor,
Juni 2012
Marcus Jacob Papilaja NRP : C462070144
ABSTRACT MARCUS JACOB PAPILAJA: Cluster-Based Capture Fishery Development Model in Ambon City. Under supervision of M. FEDI A. SONDITA, DANIEL R. MONINTJA, and VICTOR P.H. NIKIJULUW. Ambon City is located in the southern part of Ambon island which is surrounded by the Banda Sea and the Maluku Sea. This city consists of marine areas (52%) and 32 coastal villages which do not have sufficient land-based natural resources, either plantation or mineral resources or mining. Although economic growth of the city was highest for 5 years, poverty is still one of big issues for these coastal villages. This research was designed to provide a model of village-level fisheries development using clustering approach. In this model, villages are grouped into six clusters based on the fisheries development status of the village, the feasibility of fisheries business units, access to market networks, and level of business ownerships. This study also examined some potential factors of fisheries development. Working capital, coral reefs, fishing fleets, all factors in the socio-cultural dimensions, and facilities and village infrastructure require no special attention due to their insignificant effect on the financial performance of fisheries business. Meanwhile, as common in four of the six clusters, topography and demography, settlement, and business profits need some attentions. Factors that should be developed in four clusters are fishing gear, return on investment, and business continuity. AHP indicates three important policies that are common among clusters. These are related to issues on potential resources of fish, accommodating regulation or law, and technology support. Issues on technical development is a priority interest in the majority of the clusters, followed by issues on prospective market, and fisheries infrastructures. Finally, the most prioritized strategic policies for the development of coastal fishing village in Ambon is the promotion and development of human resources. It shows that local stakeholders seriously consider good quality human resources as one of success keys of marine and coastal resources utilization and a strategic instrument to sistematically reduce poverty of coastal villagers. Linking the various elements or phenomena or variables in this study, established in propositions that make up a model. Model-based development of fishing industry cluster villages in Ambon city is named Model Manggurebe Maju. Term in the local language can be interpreted as an effort to move forward. Keywords: model development, fisheries, villages clustered, and Ambon City
RINGKASAN MARCUS JACOB PAPILAJA: Model Pengembangan Industri Perikanan Tangkap berbasis Kluster Desa di Kota Ambon. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA, DANIEL R.O. MONINTJA, dan VICTOR P.H. NIKIJULUW. Kota Ambon terletak di bagian selatan Pulau Ambon yang dikelilingi oleh Laut Banda dan Laut Maluku yang kaya akan sumber daya ikan. 52% luas wilayah Kota Ambon adalah laut, dan 32 desa/kelurahan (64%) dari 50 desa/kelurahan berada di pesisir. Ke 32 desa dan kelurahan pesisir ini, tidak memiliki potensi sumber daya alam darat, baik untuk lahan perkebunan maupun sumber daya mineral atau tambang. Di Kota Ambon terdapat 30 desa dengan 27 desa pesisir, dan 20 kelurahan dengan 5 kelurahan berada di pesisir. Walau tidak memiliki sumber daya darat yang kaya seperti halnya kabupaten lain yang ada di Provinsi Maluku, pertumbuhan ekonomi Kota Ambon adalah yang tertinggi selama 5 tahun terakhir, dengan rata-rata tingkat bertumbuhan berkisar 5,5 - 7%. Kontribusi tertinggi bagi PDRB Kota Ambon adalah sektor perdagangan dengan kontribusi rata-rata per tahun 28%, disusul pemerintahan umum dan pertahanan sebesar 22%, dan sektor perikanan sebesar 17% dengan rata-rata pertumbuhan per tahun 4,5%, namun cenderung turun dari tahun ke tahun. Tingginya kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB (urutan terbesar ketiga), dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun cukup tinggi, tidak tidak diikuti dengan tingkat kemiskinan desa/kelurahan pesisir, yang relatif lebih tinggi dari desa/kelurahan non-pesisir. Disisi lain, berbagai infrastruktur pendukung usaha perikanan cukup, walaupun pada desa-desa tertentu minim sarana pendukung usaha perikanan tersebut. Namun demikian program-program intervensi pengembangan perikanan yang berasal dari APBD Kota Ambon maupun Provinsi Maluku, serta ABPN selalu ada secara rutin setiap tahun, dengan jumlah yang relatif bertambah dari tahun ke tahun. Intervensi berbagai program pengembangan nelayan pesisir tersebut, belum berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di Kota Ambon. Salah satu faktor dominan tingginya tingkat kemiskinan desa dan kelurahan pesisir di Kota Ambon, diduga bukan karena tingkat pendapatan nelayan yang rendah saja, tetapi terutama karena hampir seluruh angkatan kerja di desa pesisir tidak bekerja di sektor perikanan melainkan di sektor lain dan menganggur. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pembangunan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Model ini diperlukan agar intervensi kebijakan dapat menjadikan pembangunan perikanan tangkap di Kota Ambon menjadi lebih terarah, tepat sasaran dan efektif serta efisien, sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan nelayan dan juga menjadikan sektor perikanan sebagai bidang pekerjaan yang menarik bagi angkatan kerja produktif di desa pesisir yang banyak menganggur. Model pengembangan kluster desa ini menggunakan 4 variabel utama, yaitu status desa pesisir, tingkat kelayakan usaha perikanan tangkap, aksesibilitas terhadap jalur bisnis perikanan tangkap, dan proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap. Status desa pesisir diidentifikasi dengan menggunakan metodologi penentuan status desa pesisir yang dikembangkan pada penelitian ini. Metodologi penentuan status desa pesisir ini menggunakan 3 variabel, yaitu keberadaan usaha perikanan, keberadaaan sarana penunjang usaha perikanan, dan dukungan sosial-budaya pada setiap desa, dimana setiap variabel terdiri atas indikator-indikator empirik masing-masing.
Variabel lain untuk model pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa ialah kelayakan usaha perikanan yang diukur dengan benefit-cost-ratio (BCR), variabel aksesibilitas jalur bisnis perikanan yang diukur dengan kedekatan setiap desa dengan berbagai fasilitas pasar dan instrumen pemasaran hasil penangkapan ikan. Variabel keempat ialah proporsi kepemilikan usaha perikanan di setiap desa pesisir terhadap total usaha perikanan pesisir yang ada di Kota Ambon. Analisis terhadap status desa pesisir di Kota Ambon mendapatkan 30 desa/kelurahan pesisir berstatus mina mandiri atau setara dengan status desa swakarya yang dikembangkan oleh BPS, dan 2 desa berstatus mina mula, atau setara dengan desa swadaya. Tidak ada desa/kelurahan pesisir di Kota Ambon yang bertatus mina politan, atau setara dengan desa swasembada. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa hampir semua alat/armada tangkap yang digunakan oleh usaha perikanan tangkap di Kota Ambon, layak dikembangkan, karena memiliki BCR yang lebih besar dari 1. Aksesibilitas usaha perikanan setiap desa terhadap jaringan pasar, secara rata-rata bervariasi antara satu desa dengan desa lainnya, ada yang jauh dari jaringan pasar, dan ada yang dekat. Demikian juga dengan proporsi kepemilikan usaha perikanan yang ada di setiap desa, relatif bervariasi, dan hampir tidak ada desa yang proporsi kepemilikan usaha relatif dominan dari yang lain. Penelitian ini menyimpulkan adanya 6 kluster desa pesisir untuk pembanguna perikanan. Selanjutnya, penelitian ini juga mengidentifikasi berbagai faktor determinan yang mempengaruhi kelayakan usaha perikanan tangkap dengan menggunakan alat analisis SEM (structural equation model). Faktor-faktor determinan yang siginifikan kemudian dijadikan acuan pengembangan perikanan tangkap. Hasil analisis mengidentifikasi sejumlah faktor determinan yang berbeda antara kluster desa yang satu dengan lainnya, dan juga ada faktor-faktor yang tidak perlu menjadi perhatian dalam pengembangan perikanan di semua kluster desa, yaitu faktor modal kerja, ekosistem terumbu karang, armada penangkapan, seluruh faktor dalam dimensi sosial-budaya, dan sarana serta prasarana desa. Sebaliknya, faktorfaktor determinan yang perlu dipertahankan, minimal di 4 kluster desa, yaitu topografi dan demografi, pemukiman, dan keuntungan usaha. Faktor determinan yang harus dikembangkan di keempat kluster desa dimaksud ialah alat tangkap, pengembalian investasi, dan kontinyuitas usaha. Penelitian ini selanjutnya menganalisis kebijakan pengembangan perikanan pada setiap kluster desa maupun secara makro untuk semua kluster desa, dengan menggunakan instrumen analytical hierarchy process (AHP). Hasil penelitian mengidentifikasi tiga kebijakan penting untuk setiap kluster. Potensi sumber daya ikan, akomodasi perangkat hukum, dan dukungan teknologi, merupakan kepentingan prioritas teknis pengembangan perikanan tangkap di mayoritas kluster (setidaktidaknya di empat kluster), disusul dengan prospektif pasar, dan dukungan infrastruktur, sedangkan sistem persaingan sehat hanya penting di satu kluster. Akhirnya, penelitian ini memformulasikan kebijakan strategis untuk pengembangan perikanan tangkap desa pesisir di Kota Ambon, ialah pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai kebijakan terpilih. Artinya bahwa pembinaan sumber daya manusia pesisir merupakan kunci sukses pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Kota Ambon, sekaligus sebagai salah satu instrumen strategis dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan di desa-desa pesisir secara sistemik. Keterkaitan berbagai elemen atau fenomena maupun variabel dalam penelitian ini, dibentuk dalam sejumlah proposisi yang membentuk sebuah model,
yakni model pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon yang diberi nama Model Manggurebe Maju. Istilah ini dalam bahasa lokal Ambon dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk bergerak maju. Selanjutnya dalam penenlitian ini juga disajikan pola implementasi model ini pada setiap desa pesisir, sehingga teridentifikasi berbagai rencana aksi tahunan (annually action plans) berbasis desa, dalam kerangka menjadikan desa pesisir di Kota Ambon sebagai desa industri perikanan yang mampu mengurangi tngkat kemiskinan desa yang bersangkutan.Kata kunci : model pengembangan, perikanan tangap, kluster desa, Kota Ambon
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
MODEL PENGEMBANGAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KLUSTER DESA DI KOTA AMBON
Marcus Jacob Papilaja
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Pembimbing :
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Dr. Ir. Mustaruddin
Penguji pada Ujian Terbuka :
Prof. Dr. J.O.I. Ihalauw, M.Sc Guru Besar Business School Universitas Pelita Harapan Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr Kepala Badan Penelitian & Pengembangan Kementerian Kelautan & Perikanan RI
Judul Disertasi : Model Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa Di Kota Ambon Nama
: Marcus Jacob Papilaja
NRP
: C462070144
Program Studi : Sistem & Permodelan Perikanan Tangkap
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Fedi Alfiadi Sondita, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Daniel R.O. Monintja, MSc Anggota
Dr. Ir. Victor P.H.Nikijuluw, M.Sc Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mulyono Baskoro, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 15 Juni 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus ialah yang pertama-tama harus penulis ungkapkan, sebab tanpa campur tanganNYA, penelitian ini tak akan selesai dalam bentuk seperti ini. Penelitian ini menggunakan beberapa konsep metodologi yang dikembangkan, yang pengumpulan data berlangsung sejak Juli 2009 hingga April 2010, kemudian dilanjutkan dengan up dating data pada bulan Juni 2011 di Kota Ambon yang menjadi lokasi penelitian. Dua bab dari disertasi ini adalah pengembangan dari dua naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Kedua bab dimaksud adalah bab 4 dan bab 5, masingmasing berjudul “Status Desa Pesisir untuk Pengembangan Industri Perikanan terpadu di Kota Ambon” yang akan dimuat pada Buletin PSP Volume 20 No. 2, edisi Juli 2012, dan artikel kedua berjudul “Kelayakan Pengembangan Usaha di Desa Pesisir Kota Ambon” yang dimuat pada Jurnal TRITON Volume 7 No. 2, Oktober 2011. Proses penelitian maupun mengikuti program S3 di IPB ini tidak akan berhasil, tanpa dukungan dan bantuan berbagai pihak. Banyak pihak secara perorangan maupun institusi turut mendukung keberhasilan penulis selama mengikuti program S3 ini, yang karena pertimbangan teknis, tidak dapat disebutkan satu demi satu. Namun demikian ada beberapa orang maupun institusi yang dari segi kepantasan etika mesti disebutkan dan diucapkan terima kasih kepada mereka, yaitu Dr. M. Fedi A. Sondita, MSc, Prof.Dr.Ir.Daniel R.Monintja, Dr.Victor P.H.Nikijuluw, MSc, selaku pembimbing. Figur lain ialah Prof. Dr.Ir.John Haluan yang pertama kali penulis bertemu dan mendapat gambaran dan dorongan untuk mengikuti program S3 dalam bidang Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap di IPB ini. Selain itu, semua dosen PSP FPIK IPB dan dosen IPB lainnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sdr Johan Philip Salamena, Koordinator Penyuluh Perikanan Lapangan di Kota Ambon, beserta teman-teman penyuluh lainnya atas bantuannya dalam membantu pengumpulan seluruh data yang diperlukan dalam penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Walikota Ambon dan jajarannya terutama Dinas Perikanan & Kelautan, Dinas Koperasi & UKM, Dinas Pekerjaan Umum, Badan Perencana Pembangunan Kota, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana & Pemberdayaan Masyarakat, atas dukungan data dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga patut penulis sampaikan kepada Raja Hutumuri dan Raja Passo, serta Raja-Raja atau Kepala Soa dari seluruh negeri pesisir Kota Ambon yang membantu dalam proses pengumpulan data. Dan yang sama sekali tak terlupakan ialah isteriku Rosana Papilaja/Risakotta, serta anak-anak ku tercinta, Mardhini, Fritzgerald Credoputra, dan Alvaro Juan, yang rela mengorbankan waktu di hari Jumat, Sabtu dan Minggu yang seharusnya dihabiskan bersama layaknya sebuah keluarga. Sebab pada hari-hari itu, saya harus berada di Bogor untuk mengikuti kuliah-kuliah, maupun penelitian lapang dan menyelesaikan penulisan naskah disertasi ini. Karena itu, kepada mereka yang tercinta ini, saya harus berterima kasih, dan juga bersama mereka, kami persembahkan karya ilmiah ini kepada pemerintah dan warga Kota Ambon Manisee. Semoga bermanfaat…! Bogor, Juni 2012 Marcus Jacob Papilaja
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Suli, sebuah Negeri (desa) ditepian Teluk Baguala, Pulau Ambon, pada tanggal 22 September 1954 sebagai anak sulung dari Martha Papilaja. Pendidikan Sarjana Muda Ekonomi diikuti pada Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura, Ambon, lulus tahun 1977, kemudian mengikuti pendidikan Sarjana 1 dan Sarjana 2 di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar, lulus (Drs) tahun 1982. Pendidikan Magister Akuntansi diikuti pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan beasiswa TMPD Ditjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, lulus (MS) tahun 1990. Kemudian mengikuti program pendidikan doktor dalam bidang Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap di Sekolah Pasca Sarjana IPB, sejak Februari 2008. Selama mengikuti pendidikan doktor pada Program Studi Sistem dan Permodelan Perikanan Tangkap di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dua karya ilmiah berupa artikel telah diterbitkan di dua jurnal/buletin ilmiah, yaitu: 1. Kelayakan pengembangan usaha perikanan tangkap di desa pesisir Kota Ambon, dimuat dalam Jurnal TRITON volume 7 nomor 2, edisi Oktober 2011. 2. Status desa pesisir untuk pengembangan industri perikanan terpadu di Kota Ambon, dimuat pada Bulletin PSP IPB volume 20 nomor 2, edisi Juli 2012. Penulis mulai bekerja sebagai dosen tetap pada Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura, Ambon sejak 1982, sampai pensiun sebagai PNS tahun 2010. Selain sebagai dosen tetap, penulis juga sempat menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon tahun 1985 – 1988, dan menjadi dosen luar biasa di beberapa perguruan tinggi di Ambon maupun Irian Jaya (sekarang Papua). Selain itu, penulis juga bekerja paruh waktu di beberapa perusahaan swasta maupun konsultan Bank Dunia (Water Supply and Sanitation for Low Income Community/WSSLIC), dan yang terakhir konsultan AusAid (The Australia Indonesia Partnership for Decentralisation/AIPD). Pada tahun 1999, penulis terpilih menjadi Ketua DPRD Kota Ambon, selanjutnya dipilih oleh DPRD Kota Ambon menjadi Walikota Ambon periode 2001 – 2006, dan dipilih langsung oleh rakyat menjadi Walikota Ambon periode 2006 - 2011. Sejak Januari 2012, menjadi dosen pada Business School Universitas Pelita Harapan. Penulis juga pernah dan ada yang masih aktif sebagai pengurus diberbagai organisasi kemasyarakatan pemuda, organisasi sosial, partai politik, maupun organisasi olahraga di tingkat daerah dan nasional. Selama berkarir sebagai dosen maupun pejabat publik, penulis menerima berbagai penghargaan dari negara/pemerintah maupun lembaga internasional.-
DAFTAR ISTILAH Amanisal
: sejenis bubu atau alat tangkap ikan yang berbentuk lonjong dengan ukuran garis tengah antara 20 – 30 cm dan panjang antara 60 – 75 cm, terbuat dari potongan bambu yang dianyam.
Analisis finansial
: analisis yang digunakan untuk menilai kelayakan suatu usaha menggunakan beberapa parameter finansial tertentu.
Analitical Hierarchy Process
: suatu metode analisis dengan pendekatan hierarki interaksi/organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Analisis ini termasuk kelompok analisis multi criteria karena mengintergrasikan semua pertimbangan baik pada tingkat hierarki yang sama maupun berbeda.
Bagan
: alat tangkap yang menggunakan lampu untuk menarik/ mengumpulkan ikan, jaring sebagai perangkap di dalam perairan, dan dioperasikan dengan cara menarik jaring ke atas bila ikan sudah terlihat banyak mengumpulkan di bagian perairan tas jaring.
Benefit Cost Ratio
: paramater untuk mengetahui tingkat perbandingan antara net present value yang bernilai positif dengan net present value yang bernilai negatif pada kondisi suku bunga berbeda pada periode yang berbeda.
Benefit
: pendapatan atau penerimaaan yang diperoleh dari suatu usaha atau kegiatan operasi
Cost
: pengeluaran atau biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan suatu usaha atau kegiatan operasi
Desa
: bentuk pemerintahan terkecil yang pemimpinnya dipilih oleh masyarakat
Desa minapolitan
: desa pesisir yang memiliki atau mempunyai hampir semua (80% atau lebih) karakteristik kawasan minapolitan.
Desa mina mandiri
: desa pesisir yang memiliki atau mempunyai hanya sebagian (antara 50% - 79%) karakteristik kawasan minapolitan.
Desa mina mula
: desa pesisir yang hanya sedikit (kurang dari 50%) memiliki atau mempunyai karakteristik kawasan minapolitan.
Desa pesisir
: desa yang terdapat di pinggir pantai atau mempunyai wilayah yang berbatasan dengan laut/perairan.
Dimensi konstruk
: faktor, variabel, atau komponen penciri/indikator dari suatu komponen utama (konstruk) dalam suatu interaksi (diobervasi).
Faktor
: sesuatu yang dipertimbangkan untuk merencanakan, melakukan, dan mengevaluasi keberhasilan suatu kegiatan.
Faktor determinan
: faktor yang memberikan pengaruh atau menyebabkan timbulnya pengaruh atau perbedaan nyata antara kondisi awal dan kondisi akhir atau antara ketiadaan dan keberadaan faktor tersebut
Gillnet
: alat tangkap yang konstruksinya terdiri dari hanya satu lembar jaring (biasa juga disebut jaring insang satu lembar). Besar mata jaring semuanya sama, pada bagian atasnya dilengkapi dengan pelampung dan pada bagian bawahnya dilengkapi dengan pemberat.
Gillnet hanyut
: gillnet yang dalam pengoperasiannya dibiarkan hanyut di perairan.
Gillnet dasar
: gillnet yang dalam pengoperasiannya dipasang secara sengaja di dasar perairan (untuk menangkap ikan-ikan dasar).
Handline
: alat tangkap pancing yang dioperasikan menggunakan tangan tanpa alat bantu apapun.
Internal Rate of Return
: parameter finansial yang digunakan untuk mengukur suku bunga maksimal yang menyebabkan Net Present Value (NPV) bernilai 0 (nol) (keadaan batas antara untung dan rugi)
Investasi
: nilai uang atau barang yang ditanamkan pada suatu usaha.
Jalur bisnis
: jalur atau lintasan yang berada atau melewati kawasan yang padat kegiatan bisnisnya, seperti kawasan pasar, industri, pelabuhan/pelayaran, penerbangan, dan lainnya
Karakteristik
: suatu sifat yang khas, melekat, dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasi suatu obyek.
Kawasan
: sebuah tempat yang mempunyai ciri serta mempunyai kekhususan untuk menampung kegiatan manusia berdasarkan kebutuhannya dan setiap tempat yang mempunyai ciri dan identitas itu akan lebih mudah untuk dicari ataupun ditempati untuk lebih melancarkan segala hal yang berhubungan dengan kegiatannya.
Kawasan minapolitan
: sebuah tempat yang mempunyai ciri serta mempunyai kekhususan pada bidang perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha perikanan serta mampu melayani (setara kota) terkait berbagai urusan di bidang perikanan.
Kelayakan finansial
: kesesuaian hasil analisis finansial dengan standar nilai dari parameter finansial.
Kelurahan
: bentuk pemerintahan terkecil yang pemimpinnya ditunjuk oleh pemerintah (dari PNS)
Kepala soa
: pemimpin sebuah marga atau klan pada sebuah desa adat di wilayah Maluku Tengah.
Kluster
: kumpulan, kelompok, himpunan, atau gabungan obyek tertentu yang memiliki keserupaan atau atas dasar karakteristik tertentu.
Kluster desa
: kumpulan, kelompok, himpunan, atau gabungan dari desa yang memiliki keserupaan atau atas dasar karakteristik tertentu.
Konstruk
: faktor, variabel, atau komponen utama dalam suatu interaksi (tidak diobervasi)
Manfaat bersih
: manfaat yang bisa dinikmati oleh pelaku usaha setelah semua komponen biaya dikeluarkan.
Manfaat kotor
: manfaat yang bisa dinikmati oleh pelaku usaha sebelum komponen biaya dikeluarkan.
Matriks likelihood estimation
: suatu metode estimasi yang digunakan dalam analisis SEM. Metode estimasi ini digunakan untuk ukuran smapel 100 – 200 sampel.
Measurement Model
: persamaan matematis yang menggambarkan hubungan konstruk dengan dimensi konstruk
Minapolitan
: kota perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha perikanan
serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan ekonomi daerah sekitarnya. Negeri
: desa adat di wilayah Maluku Tengah, Provinsi Maluku
Net Preset Value (NPV)
: parameter finansial yang digunakan untuk menilai manfaat investasi suatu usaha yang merupakan jumlah nilai kini dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam rupiah.
Pancing
: alat tangkap yang menggunakan kail/mata pancing yang diberi umpan untuk mengelabui ikan.
Pancing tonda
: alat tangkap pancing yang dioperasikan secara bergerak menggunakan perahu.
Papalele
: Secara etimologi kata, terdiri atas kata papa yang berarti memikul, dan lele yang berarti berkeliling. Jadi papalele berarti berkeliling membawa atau memikul. Dalam bahasa lokal Ambon, papalele diartikan sebagai melakukan kegiatan membeli barang, sesudah itu di jual lagi untuk mendapatkan sedikit keuntungan (Soegijono, 2011)
Parameter finansial
: aspek-aspek yang dinilai dalam melakukan analisis finansial serta mempunyai standar nilai.
Payang
: alat tangkap yang dilengkapi dengan sayap dan kantong untuk menangkap gerombolan ikan permukaan. Sayap digunakan untuk menakuti, mengejutkan, dan menggiringkan ikan untuk masuk ke dalam kantong.
Payback Period (PP)
: parameter finansial yang digunakan untuk mengukur lamanya pengembalian investasi dari benefit (pendapatan) yang diterima pemilik
Perbedaan nyata
: perbedaan yang dapat dipercaya secara statistic. Dalam ilmu statistik perbedaan nyata dapat dipercaya bila mempunyai kebenaran, ada yang di atas 90 %, 95 %, dan 99 %.
Perikanan tangkap
: bidang perikanan berkaitan dengan kegiatan ekspoitasi atau pemanfatan sumberdaya perikanan.
Petuanan
: wilayah darat maupun laut yang dimiliki dan dikuasai oleh sebuah negeri di Maluku, khususnya diwilayah Maluku Tengah.
Pole and line
: alat tangkap pancing yang menggunakan gandar, walesan, joran atau tangkal (rod or pole ). Pada pengoperasiannya alat tangkap ini dilengkapi dengan umpan, baik umpan benaran dalam bentuk mati atau hidup maupun umpan tipuan.
Present value
: nilai dari manfaat/penerimaan yang diterima saat ini oleh pelaku usaha
Raja
: Kepala desa adat di Ambon dan wilayah Maluku Tengah
Rasio inconsistency
: suatu nilai yang menunjukkan tingkat tidak konsistennya jawaban yang diberikan oleh responden dalam analisis hierarki menggunakan AHP
Rasio kepentingan
: suatu nilai yang menunjukkan tingkat kepentingan atau peran yang dimiliki/diberikan oleh suatu faktor/komponen dalam suatu interaksi pada analisis hierarki menggunakan AHP
Return of Investment
: parameter finansial yang digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian investasi dari manfaat yang diterima pemilik.
Saniri
: Perangkat pemerintahan adat di wilayah Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Structural Equation Modelling : suatu metode analisis yang mengintegrasikan semua faktor yang dianalisis dalam suatu kegiatan analisis. Oleh karena melibatkan banyak faktor terkait, maka Structural Equation Modelling (SEM) sering disebut sebagai metode analisis multivariat (analisis multi variabel) terintergrasi Structural equation
: persamaan matematis yang menggambarkan hubungan konstruk dengan konstruk. Persamaan digunakan analisis SEM
Signifikan
: suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya perbedaan nyata atau pengaruh yang serius
Sistem
: kumpulan objek - objek yang terangkai dalam interaksi dan kesaling bergantungan yang teratur untuk mencapai suatu tujuan.
Stakeholders
: pihak - pihak yang berkepentingan atau terkait di suatu lokasi atau pada suatu kegiatan.
Status desa
: suatu kondisi atau posisi dimana desa berada atau dikelompokkan
Umur ekonomis
: jangka waktu penggunaan suatu alat atau barang secara layak pada suatu kegiatan investasi
Usaha perikanan
: rangkaian kegiatan produksi, pengolahan, pemasaran hasil yang menggunakan alat atau sarana tertentu di bidang perikanan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………..
xxii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………
xxv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xxvii 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………..
1
1.1 Latar Belakang …………………………………………………….. 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………….. 1.3 Tujuan ……………………………………………………………... 1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………………… 1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian ……………………………………
1 5 6 7 7
2 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 2.1 Faktor Pendukung Pengembangan Sektor Perikanan Kota Ambon 2.1.1 Kekayaan sumber daya laut Kota Ambon ……………………. 2.1.2 Pemanfaatan sumber daya perikanan Kota Ambon ………... 2.1.3 Sarana dan prasarana penunjang perikanan ………………... 2.2 Pembangunan Sektor Perikanan dan Kelautan …………………… 2.3 Pengelolaan Potensi Ekonomi Sektor Perikanan ………………….. 2.4 Pengembangan Usaha Perikanan Berbasis Kluster ………………… 2.4.1 Kluster usaha pedesaan ……………………………………. 2.4.2 Penerapan sistem kluster pada industri perikanan ……………
12 12 12 14 17 17 19 21 21 22
3 METODOLOGI ……………………………………………………….. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………………... 3.2 Metodologi Penelitian Status Desa Pesisir ……………………… 3.2.1 Jenis dan cara pengumpulan data ……………………………. 3.2.2 Analisis data …………………………………………………. 3.2.2.1 Penilaian varriabel status desa ………………………. 3.2.2.2 Penentuan status desa ……………………………….. 3.3 Metodologi Penelitian Kelayakan Usaha Perikanan ……………….. 3.3.1 Jenis dan data yang dikumpulkan ……………………………. 3.3.2 Metode pengumpulan data ………………………………… 3.3.3 Metode analisis kelayakan usaha ………………………….. 3.3.3.1 Pendekatan analisis menggunakan konsep BCR ……. 3.3.3.2 Analisis benefit cost …………………………………. 3.4 Metodologi Pengklusteran Desa Perikanan ………………………… 3.4.1 Jenis data yang dikumpulkan ……………………………… 3.4.2 Metode pengumpulan data ………………………………… 3.4.3 Analisis kluster desa …………………………………………. 3.5 Metodologi Penentuan Faktor Determinan Tiap Kluster ………… 3.5.1 Jenis data yang dikumpulkan ……………………………… 3.5.2 Metode pengumpulan data ………………………………… 3.5.3 Analisis structural equation model ………………………… 3.6 Metodologi Penelitian Prioritas Kebijakan Makro Pengembangan Perikanan Tangkap …………….……………………………………
25 25 26 26 27 27 29 29 29 30 31 31 32 32 33 33 33 36 36 36 37
xix
42
3.6.1 Jenis data yang dikumpulkan ……………………………… 3.6.2 Metode pengumpulan data ………………………………… 3.6.3 Analisis hierarki ……………………………………………
42 43 44
4 STATUS DESA PESISIR …………………………………………… 4.1 Keberadaan Variabel Status Desa ………………………………... 4.1.1 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Leitimur Selatan………………………………………………………… 4.1.2 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Dalam ………………………………………………………… 4.1.3 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Baguala ………………………………………………………. 4.1.4 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Sirimau ……. 4.1.5 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Nusaniwe ….. 4.2 Status Desa Pesisir di Kota Ambon ………………………………… 4.2.1 Status desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan …………. 4.2.2 Status desa pesisir di Kecamatan Teluk Ambon Dalam …….. 4.2.3 Status desa pesisir di Kecamatan Teluk Ambon Baguala …… 4.2.4 Status desa pesisir di Kecamatan Sirimau …………………… 4.2.5 Status desa pesisir di Kecamatan Nusaniwe ………………… 4.3 Status Desa Pesisir dan Tingkat Kemiskinan di Kota Ambon ……
48 48
5 KELAYAKAN USAHA PERIKANAN TANGKAP ……………...... 5.1 Biaya Investasi Usaha Perikanan Tangkap ………………………. 5.2 Biaya Operasional Usaha Perikanan Tangkap …………………… 5.3 Penerimaan Usaha Perikanan Tangkap …………………………….. 5.4 Keuntungan Usaha Perikanan Tangkap ……………………………. 5.5 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap di Kota Ambon …………….. 5.5.1 Kelayakan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Leitimur Selatan ……………………………………………………….. 5.5.2 Kelayakan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Ambon Dalam ……………………………………………….. 5.5.3 Kelayakan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Baguala .. 5.5.4 Kelayakan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Sirimau 5.5.5 Kelayakan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Nusaniwe
83 83 87 91 95 99
6 KLUSTER DESA PERIKANAN ……………………………………. 6.1 Kelompok Desa Berdasarkan Nilai BCR Usaha Perikanan Tangkap 6.1.1 Kelompok desa dengan nilai BCR tinggi …………………… 6.1.2 Kelompok desa dengan nilai BCR sedang ………………….. 6.1.3 Kelompok desa dengan nilai BCR rendah ………………….. 6.2 Kelompok Desa Berdasarkan Status Desa ………………………… 6.3 Kelompok Desa Berdasarkan Jalur Bisnis Perikanan Tangkap ……. 6.4 Kelompok Desa Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Usaha Perikanan Tangkap………………………………………………… 6.4.1 Kelompok desa berdasarkan tingkat kepemilikan usaha tinggi........................................................................................ 6.4.2 Kelompok desa berdasarkan tingkat kepemilikan usaha sedang ………………………………………………………
xx
48 54 58 63 67 72 75 77 78 79 80 81
100 102 104 107 109 112 112 112 115 117 120 125 128 128 129
6.4.3 Kelompok desa berdasarkan tingkat kepemilikan usaha rendah ....................................................................................... 6.5 Kluster Desa Perikanan di Kota Ambon …………………………. 7 FAKTOR DETERMINAN PENGEMBANGAN KLUSTER DESA . 7.1 Pola Penentuan Faktor Determinan Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa……………………….. 7.1.1 Validasi model secara teoritis ……………………………... 7.1.2 Validasi model secara statistik …………………………….. 7.2 Faktor Determinan Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa…………………………………………….. 7.2.1 Faktor determinan teknis UPT ……………………………..... 7.2.2 Faktor determinan kondisi fisik desa ……………………… 7.2.3 Faktor determinan sosial budaya …………………………….. 7.2.4 Faktor determinan ekologi desa …………………………… 7.2.5 Pengaruh variabel penentu besaran BCR ……………………. 7.3 Pengaruh Faktor-Faktor Determinan Terhadap BCR ………………. 7.3.1 Pengaruh faktor determinan secara bersama-sama ………... 7.3.2 Rumusan faktor determinan untuk setiap kluster desa ………. 8 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KLUSTER DESA ………………………….. 8.1 Rancangan Final Hirarki Pengembangan Perikanan Tangkap ……. 8.2 Kepentingan Kluster Desa dan Kriteria Teknis Pengembangan ….. 8.2.1 Kepentingan kluster desa ………………………………….. 8.2.2 Kepentingan kriteria teknis untuk pengembangan kluster desa 8.3 Kebijakan Makro Lintas Kluster & Pola Implementasi Kebijakan Pengembangan Terpilih……………………………………………... 8.4 Model Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa di Kota Ambon ……………………………………………….. 8.5 Pola Implementasi Model Manggurebe Maju …………………….
131 133 139 140 140 141 143 143 145 147 148 150 153 154 157 161 161 164 164 166 174 181 184
9 KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………….. 9.1 Kesimpulan ……………………………………………………….... 9.2 Saran ………………………………………………………………..
190 190 191
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….
193
LAMPIRAN ………………………………………………………………
203
xxi
DAFTAR TABEL Halaman 1 Tingkat kemiskinan di Kota Ambon ………………………………………
5
2 Alat tangkap di Kota Ambon tahun 2010………………………………….
14
3 Armada penangkapan ikan di Kota Ambon tahun 2010 ………………….
15
4 Produksi/hasil tangkapan nelayan di Kota Ambon tahun 2010 …………….
15
5 Jumlah nelayan dan RTP di Kota Ambon tahun 2010 ……………………
16
6 Usia responden ……………………………………………………………
30
7 Tingkat pendidikan responden ……………………………………………
30
8 Goodnes of fit index (kriteria uji kesesuaian dan uji statistik) ……………
42
9 Ketentan kala banding berpasangan ………………………………………
46
10 Kriteria uji konsistensi dan uji sensitivitas AHP …………………………
47
11 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Leitimur Selatan ……………………………………………………………………
53
12 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Dalam ..…………….………………………………………………
58
13 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Baguala ……………………………………………………………
63
14 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Sirimau .
67
15 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Nusaniwe
72
16 Nilai-nilai yang dihasilkan dari perhitungan untuk menentukan status desa perikanan ………………………………………………………………….
73
17 Status desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan ………………………
76
18 Status desa pesisir di Kecamatan Teluk Ambon Dalam ……….…………
77
19 Status desa pesisir di Kecamatan Baguala …………………………………
78
20 Status desa pesisir di Kecamatan Sirimau …………………………………
80
21 Status desa pesisir di Kecamatan Nusaniwe …….…………………………
81
22 Biaya investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Leitimur Selatan ...
84
23 Biaya investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Ambon …....
85
24 Biaya investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Baguala ………..
85
25 Biaya investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan …………….…..
86
26 Biaya investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Nusaniwe ………..
86
27 Biaya operasional usaha perikanan tangkap di Kecamatan Leitimur Selatan
87
28 Biaya operasional usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Ambon
88
xxii
29 Biaya operasional usaha perikanan tangkap di Kecamatan Baguala …..…
89
30 Biaya operasional usaha perikanan tangkap di Kecamatan Sirimau …….....
90
31 Biaya operasional usaha perikanan tangkap di Kecamatan Nusaniwe …….
91
32 Penerimaan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Leitimur Selatan ……
92
33 Penerimaan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Ambon ……….
93
34 Penerimaan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Baguala …………….
94
35 Penerimaan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Sirimau …….……….
94
36 Penerimaan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Nusaniwe ………….
95
37 Keuntungan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Leitimur Selatan ……
96
38 Keuntungan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Ambon ………
97
39 Keuntungan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Baguala ……….……
98
40 Keuntungan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Sirimau ……….……
98
41 Keuntungan usaha perikanan tangkap di Kecamatan Nusaniwe ………..…
99
42 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap di Kecamatan Leitimur Selatan ……………………………………………………………………...
100
43 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Ambon …………………………………………………………………….. 44 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap di Kecamatan Baguala
103
45 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap di Kecamatan Sirimau
107
46 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap di Kecamatan Nusaniwe …………………………………………………………………..
109
47 Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR tinggi di Kota Ambon …………
115
48 Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR sedang di Kota Ambon ……….
116
49 Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR rendah di Kota Ambon ………..
118
50 Biaya operasional per trip mini purse sein di Desa Urimessing …………...
119
51 Kelompok desa pesisir dengan status mina manddiri di Kota Ambon …….
123
52 Kelompok desa pesisir dengan status mina mula di Kota Ambon …………
124
53 Kedekatan desa pesisir dengan jalur bisnis perikanan tangkap ……………
126
54 Tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap di Kota Ambon …………...
129
55 Sarana, prasarana, dan usaha pendukung perikanan di Kelurahan Pandan Kasturi, Desa Hative Kecil, dan Kelurahan Benteng ………………………
133
56 Kluster desa perikanan di Kota Ambon ……………………………………
135
57 Hasil uji kesesuaian model terhadap kriteria goodness of fit ………………
142
58 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan fisik kluster desa …………………………………………..
144
xxiii
105
59 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan sosial-budaya ………………………………………………
146
60 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan ekologi kluster desa ………………………………………..
147
61 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan teknis UPT ………………………………………………...
149
62 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas keempat dimensi peningkatan BCR UPT …………………………………………………….
151
63 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas komponen utama terhadap BCR …………………………………………………………….
154
64 Formulasi faktor determinan untuk pengembangan setiap jenis kluster desa di Kota Ambon ……………………………………………………………..
160
65 Tiga pilihan atau kepentingan prioritas kriteria teknis pengembangan perikanan tangkap di tiap kluster desa ……………………………………..
174
66 Arahan implementatif bagi kebijakan pembinaan SDM berbasis kinerja kluster ……………………………………………………………………..
177
xxiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta Pulau Ambon …………..…………………………………………….
1
2 Kerangka pemikiran penelitian …………………………………………….
11
3 Peta lokasi penelitian …………..………………………………………….
26
4 Rancangan path diagram factor-faktor kontekstual pengembangan BCR (indikator kebijakan) ……………………………………………………….
40
5 Rancangan struktur hierarki penentuan prioritas kebijakan ………….…..
45
6 Grafik pekerjaan penduduk di Kecamatan Leitimur Selatan ………………
49
7 Grafik tingkat pendidikan angkatan kerja di Kecamatan Leitimur Selatan ..
50
8 Struktur ekonomi di Kecamatan Leitimur Selatan ……………..…………
51
9 Tingkat pendidikan nelayan di Kecamatan Leitimur Selatan ………..……
52
10 Grafik pekerjaan penduduk di Kecamatan Teluk Ambon …………………
54
11 Grafik tingkat pendidikan angkatan kerja di Kecamatan Teluk Ambon …..
55
12 Tingkat pendidikan nelayan di Kecamatan Teluk Ambon ………………
56
13 Struktur ekonomi di Kecamatan Teluk Ambon ………………………….
57
14 Grafik pekerjaan penduduk di Kecamatan Baguala ………….……………
60
15 Grafik tingkat pendidikan angkatan kerja di Kecamatan Baguala ………...
60
16 Tingkat pendidikan nelayan di Kecamatan Baguala …….…………………
61
17 Grafik PDRB Kecamatan Baguala …………..…………………………….
62
18 Grafik pekerjaan penduduk di Kecamatan Sirimau ………………………
64
19 Struktur ekonomi di Kecamatan Sirimau …………………………………..
65
20 Grafik tingkat pendidikan angkatan kerja di Kecamatan Sirimau ………....
65
21 Tingkat pendidikan nelayan di Kecamatan Sirimau ……….………………
66
22 Tingkat pendidikan angkatan kerja di Kecamatan Nusaniwe ……………...
68
23 Tingkat pendidikan nelayan di Kecamatan Nusaniwe ……………………..
69
24 Jenis pekerjaan penduduk di Kecamatan Nusaniwe ……………………….
70
25 PDRB Kecamatan Nusaniwe ………………………………………………
71
26 Sebaran status desa pesisir di Kota Ambon …………….………………..
75
27 Alat tangkap hendline …………………………………………………….
103
28 Alat tangkap huhate atau pole and line ……………………………………
107
29 Jaring insang dan hasil tangkapannya ……………………………………..
110
30 Contoh pukat cincin dan hasil tangkapan pukat cincin ……………………
112
xxv
31 Sebaran jenis usaha perikanan tangkap di Waehaong, Lateri, Batu Merah, Leahari, Naku, Passo, Tawiri, Latuhalat, Rumah Tiga, dan Hukurila …….
131
32 Model akhir SEM faktor determinan pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon …………………………….
143
33 Hierarki pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon ……………………………………………………………………..
164
34 Hasil analisis kepentingan setiap kluster ………………………………….
165
35 Akumulasi perbandingan berpasangan di antara kluster desa …………….
166
36 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 1 …………………………………………………
168
37 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 2 …………………………………………………
169
38 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 3 …………………………………………………
169
39 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 4 …………………………………………………
171
40 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 5 …………………………………………………
171
41 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 6 …………………………………………………
172
42 Hasil analisis kepentingan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa …………………………………………...
176
43 Model pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon (Model Manggurebe Maju) …………………………………
183
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Foto dokumentasi penelitian lapang ………………………………………
203
2 Indikator dan atribut variabel status desa pesisir …………………………
203
3 Hasil analisis BCR gillnet hanyut Kelurahan Waehaong ………………...
211
4 Hasil analisis BCR gillnet dasar Desa Seilale ………………………........
212
5 Hasil analisis BCR jaring dasar Desa Batu Merah ………………............
213
6 Hasil analisis BCR jaring dasar Kelurahan Benteng ……………….........
214
7 Hasil analisis BCR gillnet hanyut Kelurahan Pandan Kasturi ……………
215
8 Hasil analisis BCR handline Kelurahan Lateri ……………………….......
216
9 Hasil analisis BCR pancing tonda Dusun Seri Desa Urimessing …...........
217
10 Hasil analisis BCR jaring hanyut Kelurahan Silale ………………………
218
11 Hasil analisis BCR handline Desa Hunuth ……………………………….
219
12 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Negeri Lama …
220
13 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Waeheru ……
221
14 Hasil analisis BCR pancing tonda Desa Wayame ……………………….
222
15 Hasil analisis BCR gillnet Desa Nusaniwe ………………………………
223
16 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Kilang ………...
224
17 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Leahari ……….
225
18 Hasil analisis BCR pole & line Desa Halong …………………………….
226
19 Hasil analisis BCR payang Desa Nania …………………………………..
227
20 Hasil analisis BCR pole & line Desa Hative Kecil ………………………
228
21 Hasil analisis BCR gillnet hanyut Desa Rutong ………………………….
229
22 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Naku ………….
230
23 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Hutumuri ……..
231
24 Hasil analisis BCR gillnet hanyut Desa Passo ……………………………
232
25 Hasil analisis BCR gillnet hanyut Desa Poka …………………………….
233
26 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Latta ………….
234
27 Hasil analisis BCR mini purse seine Desa Hative Besar …………………
235
28 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Laha ………….
236
29 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Tawiri ………...
237
30 Hasil analisis BCR gillnet hanyut Desa Galala …………………………..
238
xxvii
31 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Latuhalat ……..
239
32 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Rumah Tiga ….
240
33 Hasil analisis BCR handline (pancing ulur/tangan) Desa Hukurila …….
241
34 Hasil analisis BCR pancing tonda Desa Amahusu ……………………….
242
35 Hasil analisis tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap …………….
245
36 Perhitungan analisis sebaran kepemilikan usaha perikanan tangkap …….
246
37 Hasil analisis SEM pengembangan kluster ………………………………
247
38 Tampiran hierarki hasil analisis AHP …………………………………….
256
39 Akumulasi perbandingan berpasangan di antara kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 1 ………………..………
256
40 Akumulasi perbandingan berpasangan di antara kriteria potensi sumber daya ikan dalam mendukung kluster desa 2 ………………………………
257
41 Akumulasi perbandingan berpasangan di antara kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 4 ……………..…………
257
42 Akumulasi perbandingan berpasangan di antara kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 5 ………………..………
258
43 Perbandingan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap dalam mengakomodasi kriteria dukungan infrastruktur pada kluster desa 2 …………………………………………………………………………..
258
44 Perbandingan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap dalam mengakomodasi kriteria dukungan infrastruktur pada kluster desa 3 …………………………………………………………………………..
259
45 Perbandingan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap dalam mengakomodasi kriteria dukungan pasar pada kluster desa 4 ……
259
46 Perbandingan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap dalam mengakomodasi kriteria dukungan infrastruktur pada kluster desa 6 …………………………………………………………………………..
260
47 Hasil analisis sensitivitas kebijakan pembinaan SDM berbasis kinerja kluster desa terhadap perubahan yang terjadi di kluster desa 2 …………..
260
48 Hasil analisis sensitivitas kebijakan pembinaan SDM berbasis kinerja kluster desa terhadap perubahan yang terjadi di kluster desa 4 …………..
261
49 Hasil analisis sensitivitas kebijakan pembinaan SDM berbasis kinerja kluster desa terhadap perubahan yang terjadi di kluster desa 6 …………..
261
50 Perbandingan kebijakan pembinaan sumber daya manusia berbasis kinerja kluster (P-SDM) dengan kebijakan pengembangan sarana & prasarana perikanan untuk kluster desa sama yang berdekatan (PSANPRA) …………...................................................................................
262
51 Perbandingan kebijakan pembinaan sumber daya manusia berbasis kinerja kluster (P-SDM) dengan kebijakan perbaikan system pengelolaan usaha perikanan di kluster desa (P-SISTEM) ………………………..…...
262
xxviii
52 Perbandingan kebijakan pembinaan sumber daya manusia berbasis kinerja kluster (P-SDM) dengan kebijakan perbaikan pengembangan teknologi tepat guna sesuai kebutuhan kluster desa (P-TEKTGU) ……....
263
53 Perbandingan kebijakan pembinaan sumber daya manusia berbasis kinerja kluster (P-SDM) dengan kebijakan perbaikan pengembangan jaringan pemasaran produk unggulan (P-JARPAS) ……...……………….
263
54 Perbandingan kebijakan pembinaan sumber daya manusia berbasis kinerja kluster (P-SDM) dengan kebijakan perbaikan pengembangan zonasi dan restocking untuk setiap kluster desa (P-ZONRES) ……...…...
264
xxix
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kota Ambon terletak di bagian selatan Pulau Ambon, tepatnya di daerah
pesisir Teluk Ambon dan Teluk Baguala. Total luas wilayah Kota Ambon sekitar 786 km2, terbagi atas luas daratan 377 km2 (48,0 %) sedangkan luas perairan 4 mil laut sebesar 409,0 km2 (52,0 %). Luas daratan Kota Ambon ini hampir separuh dari luas Pulau Ambon dengan garis pantai sepanjang 102,7 km. Kawasan pesisir dan perairan Kota Ambon dihadapkan kepada dinamika laut Banda, terdapat dalam bentuk teluk yang relatif tertutup (Teluk Ambon) dan yang lebih terbuka (Teluk Baguala) serta perairan terbuka (Pantai Selatan Kota Ambon) (Gambar 1).
Gambar 1 Peta Pulau Ambon Laju pertumbahan penduduk Kota Ambon per tahun cenderung meningkat, yaitu untuk periode 1971-1980 meningkat sekitar 6,02 %, untuk periode 1980 2000 meningkat sekitar 4,3 %, dan untuk periode 2000 – 2010 meningkat rata-rata 5,65%. Perkembangan penduduk yang demikian tinggi pertumbuhannya, selain mempunyai dampak negatif, namun berdampak positif terhadap pemasaran hasil tangkapan nelayan. Sebab dengan budaya makan ikan masyarakat di Maluku, termasuk Kota Ambon, berdampak positif terhadap permintaan ikan segar untuk konsumsi rumah tangga, sehingga peluang pasar hasil tangkapan nelayan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk.
2
Kondisi ini menyebabkan pusat-pusat pemukiman baru dalam kota selama beberapa tahun terakhir ini terus bertambah, yang membuat sistem tatanan kota yang semakin kompleks. Selain itu, sebagai dampak pengembangan sarana dan prasarana perhubungan dan transportasi di pulau-pulau sekitar yang terkoneksi dengan Kota Ambon, seperti di PP. Lease, Pulau Seram dan Pulau Buru, mengakibatkan hubungan pusat-pusat pengembangan di pulau-pulau tersebut dengan kawasan belakangnya sudah semakin baik karena adanya jalan-jalan raya, transportasi laut dan penyeberangan, sehingga Kota Ambon menjadi kawasan yang cepat tumbuh, dan Kota Ambon telah berfungsi sebagai pendorong pembangunan daerah sekitarnya. Demikian pula Kota Ambon dengan peran sebagai pusat-pusat jasa pemerintahan, ekonomi, keuangan, dan pintu gerbang transit barang dan jasa maupun orang dari dan keluar Maluku, sehingga perkembangan Kota Ambon dari berbagai aspek cukup dinamik. Dari segi ekonomi, Kota Ambon mengalami perkembangan yang cukup pesat, melebihi kabupaten/kota lainnya di Maluku. Hal ini dapat dilihat dari ratarata pertumbuhan ekonomi setiap tahun dalam lima tahun terakhir, berkisar 5,5 7%, sedangkan kabupaten/kota lain di Maluku rata-rata kurang dari 5% per tahun. Dari segi struktur ekonomi, perekonomian Kota Ambon dalam tiga tahun terakhir (2008-2010) didominasi 3 sektor primer yang memberi kontribusi tertinggi terhadap PDRB, yaitu : 1) Sektor perdagangan dengan kontribusi rata-rata per tahun 28% dengan pertumbuhan yang relatif stabil sekitar 6% per tahun; 2) Sektor pemerintahan umum dan pertahanan dengan kontribusi rata-rata per tahun 22% dengan pertumbuhan yang relatif stabil sekitar 6% per tahun; 3) Sektor perikanan dengan kontribusi rata-rata per tahun 17%, dengan pertumbuhan yang relatif stabil sekitar 4,5% per tahun. Kontribusi sektor lainnya terhadap PDRB Kota Ambon rata-rata di bawah 6%. Data-data di atas menunjukkan bahwa sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan bagi perekonomian di Kota Ambon. Dengan demikian, sebagai kota pesisir yang memiliki wilayah laut dan dikelilingi oleh laut yang potensial, perikanan dan jasa kelautan dapat menjadi salah satu kontributor penting dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Untuk itu, sektor perikanan dapat dikembangkan secara
3
maksimal, dan menjadi andalan bagi pengembangan ekonomi di Kota Ambon, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, karena beberapa pertimbangan, yaitu : 1) Perikanan, terutama perikanan tangkap telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya, termasuk juga masyarakat Kota Ambon, terutama dalam pola konsumsi sehari-hari, dimana ikan wajib ada dalam komposisi menu makan sehari-hari. 2) Kota Ambon tidak memiliki sumber daya alam potensial lain selain sumber daya laut (52% dari luas wilayah Kota Ambon), baik wilayah laut yang berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan Pemerintah Kota Ambon (sepanjang 4 mil dari garis pantai), maupun wilayah laut diatas 4 mil dari pantai. 3) Dalam struktur ekonomi Kota Ambon, sektor perikanan merupakan sektor dominan ketiga dan pertumbuhan per tahun yang relatif stabil dan cukup tinggi. 4) Kota Ambon ditetapkan sebagai salah satu dari 9 kabupaten/kota lokasi Program Minapolitan percontohan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. 5) Produksi atau hasil tangkapan nelayan pesisir belum dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal, karena setiap saat kebutuhan pasar lokal mesti dicukupi dengan sebagian hasil tangkapan dari perikanan industri yang beroperasi di perairan laut Maluku, yang hendak diekspor ke luar Ambon. 6) Potensi sumberdaya manusia produktif di desa atau kelurahan pesisir cukup tersedia, karena angkatan kerja produktif banyak yang menganggur Namun demikian, peran sektor perikanan bagi pengembangan ekonomi Kota Ambon tersebut belum diikuti oleh kemampuan pasokan hasil tangkapan nelayan lokal pada pasar potensial yang terus berkembang di Kota Ambon. Selama ini, pemenuhan kebutuhan ikan di pasar lokal selalu dicukupi oleh industri perikanan laut yang berbasis di Kota Ambon. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah Kota Ambon seringkali meminta industri perikanan yang melakukan bongkar-muat ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon maupun Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Erie, agar secara rutin dapat mencukupi permintaan pasar lokal, di samping pasar regional dan ekspor. Kondisi ini tentu sangat disayangkan, karena potensi pasar lokal yang terus meningkat, sejalan dengan pertumbuhan penduduk, dan tingkat konsumsi ikan per kapita yang tinggi tersebut, tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh nelayan lokal.
4
Selain kegiatan perikanan tangkap, di Kota Ambon juga terdapat kelompok kegiatan sosial ekonomi khas perkotaan yang beraktivitas di laut maupun pesisir pantai, seperti transportasi laut dengan menggunakan perahu tradisional, kapal motor dari kecil sampai kapal-kapal niaga besar maupun aktivitas armada Angkatan Laut yang berpangkalan di dalam Teluk Ambon, maupun armada penyeberangan (feri). Terdapat juga kawasan pariwisata pantai, dan kawasan bisnis dan ekonomi lainnya di pesisir pantai Kota Ambon. Dengan kata lain, pesisir Kota Ambon sangat padat dengan berbagai aktivitas ekonomi yang terus meningkat. Kondisi obyektif ini akan terus berkembang sejalan dengan dinamika kemajuan kota, yang akan berdampak pada pemanfaatan kawasan pesisir secara meluas untuk menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian, aktivitas ekonomi yang terus meningkat tersebut belum dapat mengurangi tingkat kemiskinan yang terjadi Kota Ambon. Selama ini, aktivitas ekonomi nelayan pesisir sangat sedikit (dibawah 3%) dibanding dengan jumlah total angkatan kerja. Dilain sisi, tingkat pengangguran cukup tinggi, yaitu sebasar 17,57% (BPS Kota Ambon 2010). Berdasarkan gambaran mengenai status perikanan, terutama perikanan tangkap di Kota Ambon, dan perkembangan berbagai sektor ekonomi lainnya, terutama sektor-sektor ekonomi yang khas perkotaan, seperti perdagangan, dan jasa-jasa (jasa layanan pemerintahan, jasa keuangan, jasa perhotelan dan restoran, jasa transportasi dan telekomunikasi, serta jasa-jasa modern lainnya), dengan melihat indeks perkembangan PDRB Kota Ambon berdasarkan harga berlaku, selama periode 2008 – 2010 (Pendapatan Regional Kota Ambon 2011), sektor perikanan mengalami perkembangan yang stabil, yaitu tiap tahun sekitar 4,5% lebih rendah dari sektor moderen khas perkotaan yang pertumbuhannya di atas 5%. Jika dilihat dari struktur ekonomi Kota Ambon, kontribusi sektor perikanan dalam tiga tahun terakhir relatif stabil, yaitu 17,61% di tahun 2008 dan 16,80% di tahun 2010, sedangkan sektorsektor modern, yaitu sektor jasa-jasa, terutama jasa perdagangan sedikit mengalami peningkatan kontribusi, yaitu 25,77% di tahun 2008 menjadi 26,36% di tahun 2010, sedangkan sektor unggulan lainnya, yakni sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa, terutama jasa pemerintahan umum dan pemerintahan, yang relatif stabil kontribusi nya terhadap PDRB Kota Ambon dari tahun ke tahun.
5
Disisi lain, tingkat kemiskinan penduduk desa dan kelurahan pesisir di Kota Ambon tahun 2011 masih lebih tinggi, yaitu 16,0%, dibanding dengan Kota Ambon secara keseluruhan yang hanya 14,9% (lihat Tabel 1). Dengan kata lain, berbagai aktivitas masyarakat pesisir di 32 desa dan kelurahan di Kota Ambon, pada berbagai sektor, termasuk perikanan, belum efektif mengurangi tingkat kemiskinan, dibanding dengan 18 desa dan kelurahan non pesisir. Karena itu, diperlukan adanya kajian komprehensif untuk menganalisis dan mengidentifikasi penyebab pokok kemiskinan penduduk sehingga dapat merumuskan kebijakan strategis yang tepat. Tabel 1. Tingkat Kemiskinan Di Kota Ambon Kecamatan
Seluruh Desa & Kelurahan
Desa & Kelurahan Pesisir
Desa/ Desa/ 2008 2009 2010 2011 2008 2009 2010 2011 Kel. Kel.
Sirimau
14
12,5%
11,7%
10,2%
10,1%
4
13,1%
13,0%
11,7%
11,7%
Nusaniwe
13
15,4%
15,7%
15,1%
14,7%
8
14,1%
13,9%
13,7%
13,5%
TA. Baguala
7
25,9%
24,7%
22,9%
19,1%
7
25,9%
24,7%
22,9%
19,1%
Teluk Ambon
8
22,8%
20,8%
20,5%
20,7%
7
22,5%
20,8%
20,6%
20,7%
Leitimur Selatan
8
23,4%
22,6%
22,5%
21,3%
6
20,0%
24,2%
24,0%
22,8%
50
17,2%
16,7%
15,7%
14,9%
32
18,1%
18,1%
17,1%
16,0%
TOTAL
Sumber : Diolah dari data BKKBPM Kota Ambon
Berdasarkan uraian-uraian di atas, salah satu cara yang strategis untuk merumurskan kebijakan pengembangan perikanan, terutama perikanan tangkap, di Kota Ambon, sekaligus sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan di desa dan kelurahan pesisir, ialah klusterisasi desa dan kelurahan pesisir berbasis kesamaan karakteristik. 1.2 Perumusan Masalah Mengacu pada latar belakang penelitian ini, paling sedikit ada tiga permasalahan pokok pada sektor perikanan Kota Ambon, yaitu : (1) potensi pasar lokal masih belum mampu dipenuhi oleh hasil tangkapan ikan nelayan lokal, (2) kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Kota Ambon cenderung turun, (3) masyarakat miskin di desa dan kelurahan pesisir di Kota Ambon relatif lebih tinggi dari desa dan kelurahan non pesisir. Kondisi ini tentu sangat memprihatikan, mengingat sektor perikanan khususnya perikanan tangkap termasuk andalan utama di
6
Kota Ambon maupun Provinsi Maluku, karena sebagian besar wilayahnya merupakan lautan yang kaya dengan sumberdaya perikanan. Permasalahan pokok ini, selanjutnya dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut : 1)
Bagaimana tingkat kemajuan perikanan desa dan kelurahan pesisir Kota Ambon saat ini, apakah sebanding dengan tingkat kemiskinan desa-desa pesisir tersebut?
2)
Apakah kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan di desa dan kelurahan pesisir Kota Ambon sekarang ini layak secara ekonomi untuk dikembangkan di masa yang akan datang secara berkelanjutan?
3)
Bagaimana mengklusterkan desa dan kelurahan pesisir di Kota Ambon berbasis usaha perikanan tangkap yang prospektif untuk dikembangkan di masa yang akan datang?
4)
Apa saja faktor-faktor determinan yang merupakan indikator kebijakan pengembangan perikanan tangkap pada setiap kluster desa di Kota Ambon?
5)
Apa kebijakan pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster di Kota Ambon yang tepat dan tidak bertentangan dengan kebijakan nasional maupun provinsi?
6)
Bagaimana strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster di Kota Ambon yang dapat diandalkan sebagai salah satu instrumen pemberdayaan masyarakat pesisir dan istrumen penyebaran sentra ekonomi perkotaan pesisir?
1.3 Tujuan Secara umum, penelitian ini bertujuan ”merancang sebuah model pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon sebagai salah satu instrumen pemberdayaan masyarakat pesisir dan istrumen penyebaran sentra ekonomi perkotaan pesisir”. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1)
Menganalisis tingkat kemajuan desa-desa pesisir di Kota Ambon saat ini.
2)
Menganalisis kelayakan usaha perikanan tangkap di desa-desa pesisir Kota Ambon jika dikembangkan di masa yang akan datang secara berkelanjutan.
3)
Membuat kluster desa-desa pesisir di Kota Ambon berbasis usaha perikanan tangkap yang prospektif untuk dikembangkan di masa yang akan datang.
7
4)
Menganalisis faktor-faktor kontekstual yang merupakan indikator kebijakan pengembangan perikanan tangkap pada setiap kluster desa di Kota Ambon.
5)
Menganalisis kebijakan pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster di Kota Ambon yang tepat dan tidak bertentangan dengan kebijakan nasional maupun provinsi, sehingga dapat menjadi instrumen kebijakan yang efektif dalam upaya pemberdayaan masyarakat pesisir untuk mengentas kemiskinan. Dari tujuan-tujuan khusus tersebut, terutama tujuan (5), diharapkan produksi
perikanan pesisir dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal secara kontinyu, dan kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Kota Ambon tetap menjadi salah satu sektor dominan, sehingga perikanan menjadi lapangan kerja yang menarik bagi penganggur di desa dan kelurahan pesisir, dan akhirnya terjadi peningkatan kesejahteraaan masyarakat pesisir. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada masing-masing pemangku kepentingan, yaitu : 1)
Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam mengembangkan perikanan yang berbasis desa kluster perkotaan, yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2)
Sebagai
bahan
informasi
bagi
pengelola
usaha
perikanan
dalam
mengembangkan usaha perikanannya. 3)
Sebagai bahan pemikiran, informasi dan rujukan bagi peneliti-peneliti selanjutnya dalam mengembangkan model pengelolaan ekonomi pesisir yang terintegrasi dengan di topang ekonomi usaha perikanan desa.
1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian Kegiatan perikanan yang berkembang di Kota Ambon terdiri dari usaha perikanan skala industri (industri perikanan) dan usaha perikanan tradisional. Usaha perikanan skala industri dimiliki oleh para pemodal yang rata-rata menggunakan armada penangkapan maupun alat tangkap yang relatif lebih moderen dan pada umumnya tidak bermukim di desa pesisir Kota Ambon. Sementara itu, usaha perikanan rakyat adalah usaha perikanan masyarakat yang bermukim di desa dan kelurahan pesisir Kota Ambon, menggunakan armada
8
penangkapan maupun alat tangkap yang relatif sederhana. Kedua kegiatan perikanan tersebut telah menjadi bentuk aktualisasi sektor perikanan selama ini di Kota Ambon dengan kontribusi dan masalahnya masing-masing. Namun demikian, keberhasilan pengembangan perikanan kedepan sangat tergantung pada arah kebijakan yang dipilih dalam memajukan industri dan usaha perikanan tersebut yang umumnya bertumpu pada potensi yang ada di desa-desa pesisir. Kondisi pengelolaan perikanan desa pesisir yang ada saat ini, baik menyangkut alat tangkap, teknologi, jasa perikanan, aktivitas ekonomi pendukung, dan fasilitas penunjang yang ada sangat mempengaruhi perkembangan perikanan tangkap di Kota Ambon ke depan. Hamdan, et. al (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kemajuan pembangunan perikanan di suatu wilayah sangat bergantung pada kesiapan komponen pendukung operasi perikanan dan sinergi stakeholders dalam berinteraksi
terutama
dukungan
dunia
usaha
dalam
memanfaatkan
dan
mengembangkan potensi sumberdaya wilayah. Karena itu, penelitian ini memandang perlu untuk mengelobrasi status industri perikanan tersebut dengan potensi desa pesisir di Kota Ambon yang diharapkan menjadi pijakan awal bagi analisis dan pengembangan yang lebih baik bagi kegiatan perikanan Kota Ambon. Analisis ini akan memadukan konsep pengkategorian/klasifikasi desa menurut BPS (1990) dengan indikator umum yang mengacu pada karakteristik kawasan minapolitan sesuai Permen Kelautan & Perikanan No. 12/MEN/2010. Dengan konsep tersebut diharapkan dapat diketahui dan dikelompokkan jenis desa pesisir dengan kategori desa pesisir mina mula, mina mandiri, dan minapolitan, dalam kaitannya dengan pengelolaan perikanan. Dengan acuan dimaksud, desa pesisir tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan keberadaan: (a) usaha perikanan, yang meliputi : unit usaha penangkapan, unit usaha budi daya, unit usaha pengolahan, unit usaha pemasaran, teknologi produksi, dan metode operasi; (b) sarana penunjang usaha perikanan, yang meliputi : pabrik es, koperasi, dan lembaga keuangan; serta (c) sosial budaya masyarakat, yang meliputi : spesifikasi mata pencarian penduduk di bidang perikanan, kualitas sumber daya manusia desa, kualitas tenaga kerja usaha perikanan, asal tenaga kerja usaha perikanan, tempat penjualan alat produksi, tradisi dalam menjalankan usaha perikanan, pembauran etnis dalam masyarakat, dan pengawasan sosial.
9
Bila melihat perannya terhadap ekonomi daerah, kontribusi kegiatan perikanan terhadap PDRB cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, meskipun kegiatan perikanan tersebut cukup banyak di desa pesisir Kota Ambon. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan apakah kegiatan perikanan yang ada di desa-desa pesisir tersebut layak diusahakan secara finansial (ekonomis) atau sebaliknya. Karena itu, dipandang perlu untuk pengembangan suatu konsep analisis yang dapat melihat secara tepat kelayakan usaha perikanan (armada penangkapan) tersebut. Konsep analisis yang digunakan adalah konsep Benefit Cost Analysis (BCA). BCA dianggap lebih baik dalam menilai kelayakan usaha, karena dihitung dengan mengakomodir perubahan suku bunga yang terjadi setiap periode. Analisis BCA ini dapat mengidentifikasi armada atau usaha perikanan yang layak dan tidak layak secara ekonomi untuk dikembangkan di setiap desa pesisir Kota Ambon. Untuk mendukung analisis selanjutnya, armada/usaha perikanan tersebut kemudian diurutkan berdasarkan nilai BCR-nya. Setiap desa pesisir di Kota Ambon mempunyai potensi perikanan dan karakteristik tersendiri yang mungkin sangat berbeda satu sama lain. Dalam upaya pengembangan perikanan, hal ini perlu dilihat secara positif, dimana desa dengan industri/usaha perikanan yang sama bisa saling memperbesar (semakin layak) dan yang beda bisa saling melengkapi. Brown and Smith (2005) dan Munasinghe (1993) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi perikanan harus dilakukan atas prinsip keseteraan, saling menguntungkan, dan pengembangan bersama potensi yang dimiliki berdasarkan kesamaan visi dan karakteristik wilayah. Untuk maksud ini, maka desa pesisir tersebut perlu dikelompokkan (clustered villages) menurut karakteristik tiap desa, sehingga efektifitas dan efisiensi program pengembangan perikanan lebih baik. Pemikiran penelitian ini dilakukan dengan membuat kelompok desa pesisir berdasarkan armada/usaha perikanan dengan nilai BCR tertinggi, status desa berdasarkan karakteristik kawasan minapolitan, proporsi kepemilikan usaha perikanan, dan posisi strategis desa terhadap pusat pasar dan jalur distribusi setiap desa. Untuk menetapkan arah kebijakan yang tepat ke depan, maka berbagai faktor-faktor determinan yang mempengaruhi tiap kluster desa diidentifikasi dan dilihat mana yang berpengaruh signifikan dan tidak signifikan, mana yang signifikan positif dan signifikan negatif. Hal ini akan membantu pengambil
10
kebijakan untuk memilih pola pengembangan yang lebih tepat, terutama bila kondisi anggaran yang terbatas. Signifikansi pengaruh dapat memberi arahan bagi pengambil kebijakan untuk mengurangi, mengabaikan, mengembangkan
faktor
determinan
tertentu
yang
mempertahankan, atau kontekstual
dalam
pengembangan tiap kluster desa. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan konsep analisis menggunakan metode Structural Equation Modelling (SEM). Dengan pendekatan yang dipadukan dari hasil analisis tersebut akan diketahui berbagai aspek pengelolaan yang dapat menjadi arahan kebijakan integratif yang memperhatikan potensi, status desa pesisir, jenis interaksi yang berpengaruh dan signifikan di setiap kluster desa. Menurut Hartoto, et.al (2009) penyusunan
kebijakan
perikanan
yang
mempertimbangkan
semua
aspek
pengelolaan dan kepentingan stakeholders akan menjadikan kebijakan lebih dapat diterima, tahan banting, stabil terhadap berbagai intervensi pengelolaan yang terjadi. Supaya dapat diterapkan secara nyata dan lebih luas, maka arahan kebijakan tersebut perlu dibuat lebih makro dan berskala prioritas. Hal ini akan coba dilakukan dengan mengembangkan konsep hierarki interaksi dan kepentingan menggunakan Analytical Hirarchy Process (AHP). Penentuan prioritas kebijakan dalam AHP ini akan dilakukan melalui analisis terstruktur mulai dari analisis tujuan pengembangan, analisis kriteria pengembangan (berdasarkan kluster desa pesisir), analisis sub kriteria (beberapa syarat penting dalam pengembangan), dan analisis berbagai arahan/alternatif kebijakan pengembangan yang ditawarkan. Pengembangan integratif dari hasil identifikasi status desa, analisis kelayakan usaha (BCA), SEM, dan AHP ini diupayakan dapat menjadi Model Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa (Villages Clustered) yang tidak hanya dapat diimplementasikan di Kota Ambon tetapi juga di wilayah lain, terutama yang mempunyai karakteristik yang serupa, ataupun menggunakan pola klasterisasi desa seperti yang dikembangkan dalam disertasi ini. Marijan (2005) dan Klapwijk (1997) menyatakan bahwa setiap wilayah mempunyai
karakteristiktik
dan
kesiapan
tersendiri
dalam
mendukung
pengembangan suatu usaha ekonomi, dan oleh karenanya diperlukan strategi tepat yang mampu memaksimalkan potensi wilayah serta mengeliminasi konflik kepentingan yang mungkin terjadi. Karena itu, dalam konteks pengembangan desa berbasis kluster di Kota Ambon, perlu dikembangkan strategi yang tetap yang
11
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tiap kluster desa. Hesieh dan Li (2009) menyatakan klusterisasi dilakukan untuk memetahkan wilayah berdasarkan kondisi dan permasalahan-permasalahannya, sehingga strategi dan tindakan pengembangan dapat dilakukan secara tepat. Penelitian ini mengembangkan prioritas strategi kebijakan yang berkesesuaian untuk pengembangan perikanan tangkap setiap kelompok kluster desa di Kota Ambon, disamping prioritas strategi yang sifatnya makro atau lintas kluster desa. Strategi kebijakan makro (lintas kluster) akan menjadi panduan umum yang harus dilakukan dan mengikat bagi setiap kluster desa untuk mendukung pembangunan perikanan tangkap secara berkelanjutan di Kota Ambon. Agar strategi kebijakan berhasil maksimal, maka dalam pelaksanaan harus dikontrol, selalu dipantau dan dievaluasi kesesuaiannya dengan kebutuhan dan konsep pengembangan kluster desa di Kota Ambon. Secara singkat, kerangka pemikiran yang dipaparkan di atas, digambarkan dalam sebuah diagram seperti ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah ini.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor Pendukung Pengembangan Sektor Perikanan Kota Ambon Sektor perikanan menjadi salah satu sektor andalan dalam memberi kontribusi kepada PDRB Kota Ambon. Hal ini ditunjang oleh potensi kekayaan sumberdaya laut, pemanfaatan sumberdaya, dan sarana dan prasarana penunjang perikanan yang cukup memadai, seperti tergambar di bawah ini. 2.1.1 Kekayaan sumberdaya laut Kota Ambon (1) Mangrove Tanaman mangrove ditemukan pada tepi pantai perairan teluk dan pantai terbuka Kota Ambon, yaitu jenis Sonneratia dan Avicennia, menempati zonasi paling depan dari komunitas mangrove. Sonneratia hidup pada substrat dengan cukup kandungan lumpur, sedangkan Avicennia dengan kandungan pasir. Komunitas mangrove menghasilkan daun, bunga, buah dan kayu yang digunakan sebagai makanan utama bagi hewan-hewan herbivore baik invertebrate dan vertebrata. Demikian pula secara tidak langsung terjadi proses perubahan jatuhan bahan-bahan
organik
dari
vegetasi
mangrove
menjadi
unsur-unsur
hara
(mineralisasi) yang sangat penting untuk meningkatkan produktivitas perairan dan menyangga kehdupan dalam jaringan makanan kehidupan organism perairan pantai dan di laut pada umumnya. Luas kawasan mangrove adalah 65 ha menyebar di Teluk Ambon bagian dalam 49,5 ha, pantai Tawiri Teluk Ambon bagian luar 10, 8 ha dan teluk Rutong, pantai selatan sebesar 5 ha, demikian pula ada tanaman mangrove di daerah karang mati di Hukurila.
Jumlah species mangrove di Teluk Ambon sebanyak 16 species.
Tanaman yang umum dan sering dominan adalah Sonneratia, Avicennia dan Rhizophora serta membentuk komunitas mangrove campuran (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon 2008). (2) Padang lamun Padang lamun merupakan ekosistem bahari yang sangat menunjang produktivitas perairan. Perairan yang ditumbuhi padang lamun ialah di Teluk Baguala yang ditumbuhi lamun
jenis Thalassia hemprichi dan Syringodium
isoetifolium (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon 2008).
13
(3) Bentik Tipe bentik yang mendominansi perairan Teluk Ambon dan Teluk Baguala, berasal dari filum moluska, ekinodermata, dan krustasea yang umumnya bernilai ekonomis. Filum krustasea yang bernilai ekonomis seperti kepiting mangrove dimana ditemukan 3 jenis kepiting mangrove dalam jumlah yang banyak pada perairan pantai Waiheru yaitu Scylla serrata, S. tranqueberica dan S. oceanica dengan kepadatan berkisar antara 20-460 individu per hektar (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon 2008). (4) Terumbu karang Luas habitat terumbu karang di perairan Kota Ambon hanya sebesar 2,5 km2. Tipe terumbu karang tepi pada umumnya terdapat di perairan di Kota Ambon. Habitat hewan karang selain terumbu karang mati, adalah berbagai habitat lainnya yang bukan terumbu karang, seperti batuan besar (block dan bolders), menempati teras-teras dasar laut dan cliffs. Kondisi fisiografi, substrat dan dan dinamika arus pada perairan pantai, mempunyai kaitan dengan penyebaran hewan-hewan karang dan non-karang, yang cukup bervariasi di perairan Kota Ambon. Saat ini terumbu karang di perairan Kota Ambon, akan menghadapi tekanan yang semakin besar, karena pengambilan batu karang laut oleh masyarakat untuk berbagai kebutuhan, terutama untuk dijual sebagai bahan bangunan rumah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon 2008). (5) Ikan Jenis ikan yang umumnya tertangkap di perairan pesisir Kota Ambon, dan umumnya menyebar merata di semua pesisir (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, 2008), terdiri atas : 1) Pelagis kecil yang terdiri atas jenis ikan puri putih (Stolephorus indicus), puri merah (Stolephorus heterolobus), teri (Encrasicholina spp), make (Sardinella spp), lompa (Thrisina baelama), buarao (Selaroides sp), dan lema/tatari (Rastrelliger kanagurta). 2) Pelagis besar yang meliputi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tuna (Thunnus sp). 3) Ikan karang dan ikan hias yang terdiri atas spesies Apogon sp, Lepidozygus tapeinosoma, Leptojulis cyanopleura, Chromis margantifer, Spratelloides sp, Caesio lunaris, dan Melichthys niger.
14
4) Demersal yang meliputi ikan gurara (Lutjanus spp), ikan biji nangka (Parupeneus spp), ikan kapas-kapas (Garres spp), ikan kerapu (Epinephelus spp), gaca (Lethrinus spp) dan lain-lain. 2.1.2 Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Ambon Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Ambon menggunakan berbagai alat tangkap dan armada penangkapan maupun hasil produksi, sebagai berikut : (1) Jenis alat tangkap Jenis alat tangkap yang digunakan di Kota Ambon pada tahun 2010, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Alat tangkap di Kota Ambon tahun 2010 Lokasi
Jenis Alat Tangkap
Perairan
TAD
TAL
TB
PS
Total
Gillnet dasar Gillnet melingkar
28 -
55 4
38 6
30 8
151 18
8,58% 1,10%
Gillnet hanyut Bagan (Liftnet)
33 7
78 3
14 5
22 -
157 15
8,92% 0,85%
7
35
-
-
7 42
0,40% 2,39%
-
-
-
4
0,22%
155 9
523 107
107 9
63 31
848 156
48,18% 8,86%
63 -
76 10
3 -
30 -
172 10
9,77% 0,57%
1 2
5 11
32
13 19
19 73
1,08% 4,15%
Redi Pukat cincin
-
Pukat mini Pancing tangan Pancing tonda Rawai tegak Bubu
4
Jala Panah
1
6
%
Amanisal
-
-
10
-
10
0,57%
Tangguk Rumpon
10 -
32 11
-
25
42 36
2,39% 2,04%
319
950
225
247
1.760
T o t a l
100,00%
Sumber : Profil Sumberdaya Kelautan & Perikanan Kota Ambon Tahun 2010 Keterangan : TAD = Teluk Ambon Dalam; TAL = Teluk Ambon Luar; TB = Teluk Baguala; PS = Pantai Selatan
(2) Armada Penangkapan Armada penangkapan yang digunakan di Kota Ambon oleh nelayan artisanal, dapat dilihat pada Tabel 3.
15
Tabel 3 Armada penangkapan ikan di Kota Ambon tahun 2010 Jenis Armada Penangkapan Wilayah Perairan
Perahu
Perahu Tanpa
Motor (Ketinting)
Motor
Motor Tempel
Teluk Ambon Dalam
130
-
Teluk Ambon Luar Teluk Baguala
295 35
12 29
129 15
4
Pantai Selattan
190
38
32
Jumlah
650
79
180
Persentasi
71,51%
8,69%
19,80%
Sumber : Profil Sumberdaya Kelautan & Perikanan Kota Ambon 2010
(3) Produksi perikanan Hasil tangkapan nelayan artisanal di Kota Ambon selama tahun 2010 dengan menggunakan alat tangkap dan armada tangkap seperti dikemukakan di atas, dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Produksi/hasil tangkapan nelayan di Kota Ambon tahun 2010
Wilayah Tangkapan
Jenis & Jumlah Hasil Tangkapan (dlm ton) Pelagis Kecil
Teluk Ambon Dalam
Besar
Demersal 118,38
362,52
900,10 12,60
687,60 44,64
4.253,62 115,44
282,00
764,40
60,00
1.106,40
Total
3.250,26
1.677,10
910,62
5.837,98
Persentasi
55,57%
28,73%
15,60%
100%
Pantai Selatan
-
Jumlah
2.665,92 58,20
Teluk Ambon Luar Teluk Baguala
244,14
Pelagis
Sumber : Profil Sumberdaya Perikanan & Kelautan di Kota Ambon 2010
Volume produksi ikan segar yang tercatat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kota Ambon selama tahun 2010 adalah sebanyak 20.021,29 ton dengan total nilai transaksi sebesar Rp 64.258.636.000,-. Produksi yang tercatat di TPI ini juga meliputi nelayan dari luar Kota Ambon yang melakukan penangkapan di sekitar perairan dekat Kota Ambon, dan tidak termasuk volume dan nilai ikan yang diperdagangkan oleh ibu-ibu papalele, yang umumnya tidak tercatat di tempat pelelangan ikan. (4) Nelayan dan rumah tangga perikanan Jumlah nelayan dan rumah tangga perikanan di Kota Ambon dapat dilihat pada Tabel 5.
16
Tabel 5 Jumlah nelayan dan RTP di Kota Ambon tahun 2010 Kecamatan
Jumlah Nelayan
Jumlah RTP
Teluk Ambon
683
595
Teluk Ambon Baguala
822
726
Sirimau
375
294
Leitimur Selatan
617
548
1.329
1.224
3.826
3.387
Nusaniwe Jumlah
Sumber : Profil Sumberdaya Perikanan & Kelautan Kota Ambon 2010
Jika dibandingkan jumlah nelayan dengan jumlah keseluruhan penduduk yang bekerja di Kota Ambon, hanya 4,4% penduduk yang bekerja mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Padahal standar upah minimum regional untuk pekerja sektor perikanan di Kota Ambon, relatif tinggi dibanding dengan upah minimum regional sektor pertanian maupun industri pengolahan (BPS Kota Ambon 2010). (5) Perikanan industri Selain nelayan artisanal, di Kota Ambon terdapat juga 5 perusahaan perikanan industri yang beroperasi, dan mengolah hasil tangkapan dalam bentuk ikan beku yang dipasarkan ke luar Maluku dan ke luar negeri (ekspor). Jenis ikan beku yang diolah di kelima industri ini ialah ikan cakalang, tuna, dan udang. Ikan dan udang yang diolah pada kelima industri ini, sebagian besar adalah hasil tangkapan dari Laut Banda (WPP 714) dan Laut Arafura (WPP 718), serta Laut Seram (WPP 715). (6) Budidaya laut Budidaya dilakukan juga bagi nelayan di kawasan Teluk Ambon bagian dalam, Teluk Baguala dan Leitimur Selatan.Umumnya kegiatan budidaya dilakukan secara pribadi maupun kelompok dengan menggunakan keramba jaring apung (KJA) dari 38 kelompok pembudi daya. Hasil produksi perikanan budidaya tahun 2010, masing-masing: - Ikan Kerapu
: 28,966 ton
- Ikan Baronang : 6,029 ton
- Ikan Lain
: 45,519 ton
(7) Usaha pengolahan hasil-hasil perikanan Disamping nelayan tangkap dan budidaya, juga terdapat 66 kelompok pengolahan hasil-hasil perikanan, yang didominasi oleh kaum perempuan (69,70%).
17
Jenis olahan ikan umumnya sebagai produk ikan asap (smoked fish), yang dilakukan dengan menggunakan peralatan yang cukup memadai, namun juga ada yang masih menggunakan peralatan yang sederhana. Umumnya jenis ikan yang diasap adalah jenis ikan cakalang dan komu. 2.1.3 Sarana dan prasarana penunjang perikanan Sarana dan prasarana penunjang industri perikanan yang ada di Kota Ambon, dapat dikatakan telah memadai. Hal ini disebabkan hampir semua sarana pendukung perikanan telah ada di Kota Ambon (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon 2011). Sarana dan prasarana penunjang perikanan yang dimaksudkan, meliputi : (1) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) dengan fasilitas yang lengkap, termassuk juga tempat pelelangan ikan dan fasilitas cold storage; (2) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dengan fasiltas TPI dan pabrik es; (3) Balai Loka Budidaya; (4) Laboratorium Uji Mutu Ikan; (5) Cold Storage milik swasta; (6) Stasiun Pengisian Bahan Bakar Khusus Nelayan; (7) Lembaga Pendidikan Perikanan, mulai dari tingkat menengah, diploma, sampai pasca sarjana; (8) Lembaga Oseonografi Nasional LIPI; (9) Pabrik stereofoam untuk pengepakan ikan. (10) Galangan kapal/dok 2.2 Pembangunan Sektor Perikanan dan Kelautan Pembangunan sektor perikanan dan kelautan perlu dilaksanakan secara komprehensif dengan berlandaskan tiga penting, yaitu pembangunan sumberdaya manusia yang handal, pembangunan fisik disertai dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, serta pengembangan data dan jaringan informasi yang baik. Bila hal ini bisa berjalan dengan baik, maka kekhwatiran banyak orang terhadap pembangunan sektor perikanan dan kelautan segera berakhir dan eksistensi Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai lembaga Pemerintah yang menaungi sektor perikanan dan kelautan bangsa dapat tetap terjaga (Linting dan Anung 1994).
18
Dalam Kabinet Persatuan Nasional yang dibentuk pada tahun 1999, perikanan dan kelautan tidak lagi merupakan sub-sektor dari sektor pertanian tetapi sejak tahun 2009 telah menjadi sektor tersendiri yang pengelolaannya secara nasional dikendalikan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Pembangunan
sektor perikanan dan kelautan ini yang dimulai dengan penantaan kelembagaannya merupakan wujud dari pembangunan nasional sekaligus cita-cita dari reformasi. Berbagai isu tentang kurangnya pembinaan terhadap masyarakat nelayan dan lemahnya ekonomi mereka, serta perlunya peningkatan kontribusi sumberdaya terbaharukan produk perikanan dari perairan Indonesia yang sangat luas (2/3 dari luas wilayah Indonesia). Kondisi ini menjadi pertimbangan penting ditetapkan pembangunan sumberdaya manusia yang handal sebagai landasan utama pembangunan sektor perikanan dan kelautan skala nasional (DKP 2004). Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan sektor perikanan dan kelautan ini, Departemen Kelautan dan Perikanan beserta seluruh jajarannya sampai ke tingkat pemerintahan terendah bertanggung jawab atas berhasil tidaknya rencana pembangunan tersebut. Pembangunan sektor perikanan dan kelautan ini tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh Departemen Kelautan dan Perikanan tanpa adanya dukungan dari aparat Pemerintah Daerah, instansi teknis Departemen Kelautan dan Perikanan di daerah, dan lainnya. Selain instansi atau lembaga formal tersebut, pembangunna perikanan dan dan kelautan ini juga banyak berhubungan dengan lembaga keuangan, koperasi, dan lembaga infromal di masyarakat atau tempat usaha. Adapun lembaga informal yang banyak berhubungan dengan aktivitas perikanan dan kelautan diantaranya lembaga koperasi nelayan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi nelayan dan pengusaha perikanan. Selama ini, di lokasi aktivitas perikanan tangkap selalu terdapat perkumpulan nelayan, seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), paguyuban nelayan, dan kelompok masyarakat. Keberadaan lembaga informal ini di lokasi aktivitas perikanan dan kelautan sangat penting untuk menjaga keberlanjutan aktivitas pemanfaatan di lokasi tersebut. Terkait ini, maka lembaga informal tersebut memegang peran penting terhadap pembangunan perikanan dan kelautan (Dahuri 2001). Sejalan dengan perubahan pandangan dalam penataan kelembagaan negara untuk mengelola kebijakan pembangunan bidang perikanan dan kelautan, dengan
19
terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan, juga berdampak ke daerahdaerah. Hal ini terlihat dari adanya pemisahan kelembagaan perikanan dari dinas pertanian, ataupun penonjolan nama perikanan dalam hal urusan perikanan digabung dengan urusan lain pada sebuah dinas/badan daerah. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya, dan bertahan hingga saat ini. Hal lain yang penting ialah bidang perikanan menjadi salah satu bidang strategis nasional, sehingga program mina politan menjadi program strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). 2.3 Pengelolaan Potensi Ekonomi Sektor Perikanam Perairan Indonesia yang sangat luas dan keberadaan pada posisi silang di antara dua samudera dan dua benua, mengharuskan Indonesia untuk berperan aktif dalam forum-forum regional sehingga terjalin kerjasama keamanan dengan negara-negara tetangga. Hal ini penting disamping untuk terciptanya keamanan regional sehingga potensi ekonomi perairan teruatam sumberdaya perikanan dan kelautannya dapat dimanfaatkan secara maksimal (Muchtar 1999). Disamping itu,
kerjasama luar negeri baik itu bilateral, regional maupun
internasional perlu ditingkatkan untuk pengaturan stok sumberdaya ikan, penelitian bahari maupun pengelolaan kawasan laut, termasuk dalam pengaturan batas ZEE. Pendayagunaan dan pemanfaatan fungsi wilayah laut nasional dengan menerapkan konvensi hukum laut internasional meliputi penetapan batas wilayah perairan indonesia maupun ZEE serta mengembangkan potensi nasional merupakan kekuatan pertahanan keamanan di bidang maritim untuk menjamin keselamatan dan pemanfaatan potensi ekonomi perairan untuk pembangunan. Pemanfaatan potensi ekonomi perairan terutama sumberdaya perikanan laut, terkadang menimbulkan banyak kendala, terutama menyangkut permodalan dan sistem perbankan yang belum kondusif bagi investasi usaha penangkapan ikan di laut. Pada kondisi tertentu permodalan justru menjadi masalah utama pengembangan ekonomi berbasis perikanan dan kelautan ini.
dalam
Pemanfaatan
sumberdaya ikan tentu dapat dioptimalkan bila didukung oleh kondisi kapal yang layak dan memadai, alat tangkap dan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan, persyaratan standar perbekalan dipenuhi. Tentu hal-hal ini dapat dipenuhi bila modal tersedia dan cukup (Jusuf 1999).
20
Sistem perizinan yang kurang efisien dan cenderung mempersulit, sistem charter kapal asing yang cenderung merusak harga merupakan kekurangan dari kebijakan-kebijakan terdahulu dalam pengaturan pemanfaatan potensi ekonomi sektor perikanan dan kelautan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan kondisi masyarakat
nelayan
pada
umumnya
masih
berada
pada
posisi
yang
memprihatinkan secara ekonomi. Dalam kaitan ini, maka perlu diadakan programprogram kemitraan yang dapat secara langsung menyentuh pada kebutuhan yang diperlukan oleh nelayan. Sebagian besar bank perkreditan dan koperasi yang diharapkan bisa mendukung kegiatan ekonomi nelayan ini, belum banyak berperan, termasuk rendahnya kemampuan dalam mengalokasikan dana-dana program pemberdayaan. Karena itu, sistem kemitraan dan pengelolaan bersama merupakan skema kerjasama terbaik yang lebih menguntungkan pihak nelayan dan perbankan (UU. No. 45 Tahun 2009). Untuk pembangunan ekonomi berbasis perikanan dan kelautan ke depan, orientasi kerakyatan harus menjadi tumpuan dalam mencapai target sebagaimana juga telah ditetapkan pada PROTEKAN 2003. Untuk ke arah itu, maka kegiatan perikanan rakyat seharusnya mendapatkan perhatian khusus, pemberdayaan perikanan rakyat (nelayan) melalui dukungan kelembagaan dan permodalan merupakan solusi strategis untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi. Hal ini karena lembaga penggerak dan keuangan merupakan senjata utama untuk mengerakkan kegiatan ekonomi termasuk di bidang perikanan dan kelautan. Komitmen pemerintah dalam mendukung pembangunan perikanan dan kelautan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pembangunan nasional di sektor ini. Program kemitraan yang dianggap lebih menguntungkan dapat implemnetasi pada sektor-sektor ril yang mendukung aktivitas utama pembangunan tersebut, seperti penyediaan sarana dan prasarana, modal kerja nelayan, pembinaan managemen usaha, pemasaran, adopsi teknnologi tepat guna dengan perjanjian kerjasama kemitraan yang memihak pada nelayan tanpa merugikan mitra pembina (Clark 1985). Dalam mengembangkan program kemitraan sebagai basis penting kegiatan ekonomi bidang perikanan dan kelautan ini, harus didorong pada upaya penangkapan ikan yang efektif dan efisien. Hal ini dapat dicapai melalui penciptaan daerah penangkapan ikan baru yang potensial melalui pengembangan rumpon.
21
Rumpon dapat dikembangkan pada perairan laut dangkal maupun laut dalam. Kondisi yang fleksibel ini, tentu sangat memudahkan untuk pemilihan lokasi-lokasi pemasangan rumpon yang terjangkau dengan armada dan pembiayaan yang dimiliki oleh nelayan pemanfaat dan kondisi cuaca di lokasi. Menurut Nikijuluw (2002), kegiatan ekonomi tersebut perlu terus dipertahankan, dimana pemerintah harus dapat menjadi fasilitator dengan memberikan perlindungan dan jaminan keberpihakan kepada kelompok nelayan melalui program kerjasama tersebut sehingga dapat berlangsung langgeng dan berkembang dengan baik. Melihat rumitnya struktur kelembagaan pemerintah ambil bagian dalam menangani persoalan-persoalan nasional termasuk perikanan dan kelautan ini terkadang semakin memperumit masalah yang ada. Karena itu, perlu penataan kembali lembaga-lembaga yang terkait dalam bidang perikanan dan kelautan
sehingga
wewenang dan fungsinya jelas dan optimal. Bila hal ini tercapai, maka misi pembangunan ekonomi nasional berbasis perikanan dan kelautan ini dapat tercapai. 2.4 Pengembangan Usaha Perikanan Berbasis Kluster 2.4.1
Kluster usaha pedesaan
Kluster usaha atau kluster industri dikembangkan oleh Porter (1990) yang dimaksudkan
untuk
meningkatkan
daya
saing
industri
pada
sebuah
kawasan/wilayah tertentu, agar dapat berkompetisi di pasar global. Sejak itu, kluster industri menjadi model pengembangan daya saing industri maupun kawasan, sehingga bermunculan berbagai konsep ataupun definisi mengenai kluster industri dari berbagai sudut pandang. Terlepas dari berbagai definisi mengenai kluster industri tersebut, Porter berpendapat bahwa kluster berpotensi mempengaruhi daya saing melalui 3 cara, yaitu : (i) adanya peningkatan produktifitas perusahaanperusahaan dalam kluster; (ii) penggerak inovasi dalam bidang tertentu; dan (iii) mendorong atau melahirkan bisnis baru dalam bidang tertentu. Dengan berbasis pada berbagai konsep tentang kluster industri dan tujuan dari kluster industri seperti dikemukakan oleh Porter tersebut, kluster industri/usaha mempunyai ciri-ciri, yaitu : (1) pengelompokan usaha-usaha serupa atau saling terkait dengan fokus pada pasar bersama dalam suatu kawasan/wilayah; (2) pengelompokan usaha dalam suatu kawasan/wilayah yang dapat berinteraksi secara efektif dan efisien; (3) pengelompokan perusahaan atau organisasi dalam sebuah
22
kawasan/wilayah yang saling bergantung dengan beragam jenis hubungan yang berbeda; (4) pengelompokan usaha sejenis di sebuah kawasan/wilayah dalam pemanfaatan faktor produksi, barang, dan jasa; (5) pengelompokan atas dasar hubungan konglomerasi antar usaha dalam sebuah kawasan/wilayah; (6) pengelompokan usaha berdasarkan pada ketersediaan sumber daya alam maupun kompetensi tenaga kerja di sebuah kawasan/wilayah; dan (7) pengelompokan berdasarkan kesamaan skala usaha dan kesamaan berbagai faktor produksi serta sosial-ekonomi. Menurut Zulham (2007), kluster usaha pedesaan umumnya berkisar pada usaha kecil dan menengah yang terkonsentrasi pada kawasan tertentu di pedesaan. Berdasarkan konsentrasi tersebut, maka bentuk kluster usaha pedesaan termasuk usaha perikanan dapat dibagi menjadi kluster menurut tingkat pembangunan dan kemampuan pengembangkan potensi desa, kluster usaha yang terbentuk secara alamiah dan kluster usaha yang terbentuk dengan intervensi pemerintah. Kluster usaha/desa yang terbentuk secara alamiah dicirikan oleh skala ekonominya kecil, jumlah pekerja per unit usaha 5 – 10 orang, upahnya bersifat harian serta diinovasi sangat jarang dilakukan. Sedangkan kluster dengan intervensi pemerintah dibentuk untuk memanfaatkan peluang usaha usaha, untuk membuka lapangan kerja, memperbaiki kulitas produk, serta adanya kebijakan kerjasama ekonomi dengan negara lain. Kluster dengan intervensi ini mempunyai ciri-ciri skala ekonominya menengah ke atas, jumlah pekerja per unit usaha sekitar 20 orang, beberapa ada yang digaji tetap, inovasi sangat sering terjadi, persaingan kompetitif, dan beberapa fasilitas pendukung disediakan oleh pemerintah. Kluster usaha pedesaan tersebut perlu mengembangkan kerjasama yang integratif vertikal termasuk usaha perikanan. Hal ini supaya suatu usaha pedesaan dengan kluster tertentu dapat menjadi mitra (pemasok bahan baku) bagi usaha yang lainnya. Pada usaha pedesaan bidang perikanan, hal ini dapat dilakukan diantara nelayan dengan usaha pengolahan. Untuk meminimalisir friksi diantara usaha yang sejenis, maka setiap usaha tersebeut perlu membangun jaringan bisnis sendiri. Hal ini supaya usaha pedesaan tersebut lebih stabil dan bertahan lama (Iskandar 2006). 2.4.2 Penerapan sistem kluster pada industri perikanan Berbagai gagasan maupun tindakan pebisnis perikanan untuk meningkatkan daya saing di pasar global, maupun kebijakan pemerintah dalam pembinaan dan
23
pengembangan koperasi dan dunia usaha di Indonesia, dengan mengembangkan kluster industri perikanan. Menurut Marijan (2005), istilah kluster industri sebenarnya mulai dikenal dalam kegiatan ekonomi Indonesia yaitu pada masa Orde Baru, dimana pemerintah saat ini mengubah kebijakan pengembangan ekonomi dari berorientasi pertanian menjadi berorientasi industri. Sejak saat itu, industri mulai berkembang dari yang berskala mikro sampai ke yang berskala industri berat. Khusus untuk industri di bidang pertanian, perikanan, dan peternakan, berkembang cukup merata baik dari yang skala mikro maupun industri modern. Di banding dengan bidang lain, pengembangan industri di ketiga bidang ini cukup banyak melibatkan peran serta rakyat secara luas, dimana rakyat umumnya menjadi pemilik usaha atau industri mikro, kecil, dan bahkan menengah. Menurut Klapwijk (1997), kluster industri/usaha tersebut umumnya tumbuh secara spontan. Khusus untuk bidang perikanan, usaha tersebut tumbuh secara spontan namun sangat tidak merata karena sangat tergantung pada tren pemanfaatan hasil laut dan tingkat pengusahaannya terhadap teknologi penangkapan. Selama ini, kegiatan penangkapan ikan di laut sebagian besar masih berkisar di perairan pantai yang padat penduduknya seperti perairan Utara Jawa, Selat Bali, dan selat Makasar. Menurut Pratikto (2009), pengembangan usaha perikanan harus diorientasikan pada daerah-daerah masih jarang penduduknya terutama di kawasan pulau-pulau kecil. Hal ini karena selain sumberdaya ikannya yang masih tersedia cukup banyak, jumlah sangat mendukung penyebaran penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang masih jarang penduduknya. Di lokasi tersebut, usaha perikanan dapat dikembangkan dengan satu kluster atau beberapa kluster yang diharapkan saling menopang satu sama lain untuk memenuhi permintaan produk asal daerah tersebut di pasar yang lebih luas. Bila melihat mhal tersebut, maka pemanfaatan sumberdaya perikanan laut selanjutnya dihadapkan kepada tantangan untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang optimal dan merata serta sekaligus dapat mengurangi tekanan/intensitas pemanfaatan secara berlebihan di daerah-daerah yang kritis (daerah padat). Selain itu juga perlu meningkatkan pengoperasian di wilayah ZEE secara bertahap. Untuk itu perlu pengaturan zona, dimana zona atau daerah-daerah yang sudah mengalami tekanan yang tinggi penangkapan harus mengurangi armada perikanannya sedang untuk daerah-daerah yang masih memiliki potensi yang besar namun memiliki
24
sedikit armada kapal, harus mulai dilakukan penambahan armada secara proporsional dengan standing stock tiap area penangkapan. Selain itu perlu dibangun armada-armada kapal perikanan yang besar yang sanggup beroperasi di daerah ZEE. Hal ini perlu
agar potensi perikanan laut di daerah ZEE dapat
dimanfaatkan secara optimal. Aspek lain yang perlu mendapat perhatian ialah kebijakan impor kapal-kapal bekas dapat dilanjutkan tanpa mematikan pengadaan kapal-kapal dalam negeri. Karena itu perlunya dorongan bagi pembangunan industri kapal perikanan dalam negeri dan meningkatkan kemampuan rancang bangun serta perekayasaan kapal dan alat penangkapan ikan (Jusuf 1999). Masalah pemasaran juga merupakan bagian yang sangat penting bagi usaha penangkapan ikan, berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri yang mudah mengalami proses pembusukan (highly perishable food). Untuk menjaga tingkat kesegaran ikan yang dihasilkan oleh nelayan agar sampai pada tingkat konsumen dengan kualitas mutu yang baik, maka prinsip-prinsip dasar penanganan ikan dengan mata rantai dingin (cold chain) mutlak diperlukan dengan dukungan prasarana yang memadai kepada nelayan (Nikijuluw 2002). Untuk mendorong upaya pengembangan usaha perikanan tangkap, terutama perikanan pesisir, agar dapat berkembang, sehingga menjadi salah satu instrumen peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, maka kluster industri yang dikembangkan adalah kluster desa. Kluster desa yang dimaksudkan, adalah pengelompokan usaha perikanan tangkap dari setiap desa yang didasarkan pada kesamaan kelayakan usaha, aksesibilitas terhadap jalur bisnis, proporsi kepemilikan usaha perikanan, maupun status desa (sesuai kriteria yang digunakan dalam penelitian ini). Kluster desa dalam konteks pengembangan perikanan tangkap ini, bertujuan agar intervensi program pemerintah atau pun lembagalembaga non pemerintah, untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap di suatu wilayah, didasarkan pada karakteristik permasalahan tiap kluster. Dengan demikian, tidak terjadi keseragaman program intervensi pada semua usaha perikanan tangkap di sebuah wilayah kabupaten/kota ataupun kecamatan, sehingga terjaminnya tingkat keberhasilan program intervensi dimaksud.-
3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di semua desa dan kelurahan pesisir yang ada di Kota Ambon, yang berjumlah 27 desa atau 90% dari seluruh desa yang berjumlah 30 desa, dan 5 kelurahan atau 25% dari seluruh kelurahan yang berjumlah 20 kelurahan. Peta sebaran lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Adanya 30 desa di Kota Ambon merupakan sesuatu yang unik, karena pada umumnya kota-kota Indonesia hanya ada kelurahan dan tidak ada desa. Hal ini disebabkan adanya perluasan wilayah administrasi Kota Ambon tahun 1973 dari luas kota yang hanya + 4 km2 (pusat kota sekarang) menjadi 377 km2. Perluasan ini mencakup desa-desa, termasuk desa adat, yang sebelumnya berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah. Para pemuka masyarakat, terutama para tokoh adat desa-desa tersebut berkeberatan untuk desa adat nya berubah menjadi kelurahan. Sebab desa adat di Ambon dan Maluku pada umumnya melekat berbagai kewenangan baik itu dalam bidang pemerintahan maupun petuanan serta sosial budaya. Desa adat di Ambon disebut negeri, yaitu sebuah wilayah otonom yang dikepalai oleh seorang raja atau upu latu sebagai primus inter pares (Huliselan 2009 dalam Soumokil 2011). Raja atau upulatu ini diangkat berdasarkan garis keturunan, yang didalam menjalankan pemerintahan negeri sehari-hari dibantu oleh staf pemerintah negeri yang terdiri atas para kepala soa (kepala klan/marga) yang tergabung dalam suatu badan desa yang disebut saniri (Soumokil 2011). Dalam catatan sejarah sosial budaya, negeri mendapat legitimasi keberadaannya pada abad 17 di jaman penjajahan Belanda, dan diatur oleh staatsblad 19a tahun 1824 yang merupakan penyempurnaan dari staatsblad tahun 1818 (Pariela 1996). Karena itulah eksisitensi desa atau negeri masih tetap dipertahankan di Kota Ambon, dan mendapat legalisasi dengan Peraturan Daerah Kota Ambon nomor : 3 tahun 2008 tentang Negeri di Kota Ambon. Kegiatan pengumpulan data dilakukan selama 10 (sepuluh) bulan sejak bulan Juli 2009 hingga April 2010, dan pemutakhiran data (updating) pada bulan Juni 2011. Kegiatan pengumpulan data lapang dapat dilihat dokumentasinya pada foto-foto yang terdapat pada Lampiran 1.
26
Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian 3.2. Metodologi Penelitian Status Desa Pesisir 3.2.1 Jenis dan cara pengumpulan data Status desa perikanan ditentukan oleh 3 variabel utama, yaitu usaha perikanan, sarana pendukung usaha perikanan dan sosial budaya yang tersedia atau dimiliki desa tersebut. Selanjutnya, untuk setiap varibel utama dicari faktor-faktor potensial yang mempengaruhi nilai setiap variabel utama dengan merujuk pada sejumlah penelitian terdahulu, seperti Ritohardoyo (2011), Setiawan, et. al (2007), Mamuaya, et. al (2007), dan Bangun (2004). Faktor-faktor tersebut kemudian diseleksi dengan mempertimbangkan kontribusibusinya terhadap kinerja perikanan. Faktor-faktor kemudian disebut sebagai indikator dalam penilaian status desa untuk pengembangan industri perikanan. Dalam penelitian ini, indikator tersebut menjadi jenis data yang dikumpulkan dan dianalisis, seperti dijelaskan di bawah ini. Ada 17 jenis data yang dikumpulkan sebagai indikator untuk ketiga variabel status desa, yaitu data tentang usaha perikanan, sarana pendukung usaha perikanan dan sosial budaya yang tersedia atau dimiliki desa tersebut. Selain diperoleh dari
27
pengamatan langsung di lapangan, ketiga jenis data tersebut juga diperoleh dari berbagai sumber (sebagai data sekunder). Data untuk variabel usaha perikanan (UP) yang mencakup keberadaan unit usaha penangkapan (UP1), unit usaha budidaya (UP2); unit usaha pengolahan (UP3); (4) unit usaha pemasaran (UP4); (5) teknologi produksi (UP5); dan metode operasi (UP6). Data untuk variabel sarana pendukung usaha perikanan mencakup keberadaan pabrik es (SP1), koperasi (SP2) dan (3) bank dan lembaga keuangan lain (SP3). Data untuk variabel sosial budaya masyarakat (SB) mencakup spesifikasi mata pencaharian penduduk di bidang perikanan (SB1), kualitas sumber daya manusia di desa (SB2), kualitas tenaga kerja usaha perikanan (SB3), asal tenaga kerja usaha perikanan (SB4), tempat penjualan alat produksi/pengolahan (SB5), tradisi dalam menjalankan usaha perikanan (SB6), pembauran etnis dalam masyarakat (SB7), dan pengawasan sosial (SB8). Data tersebut diperoleh dari 67 orang responden yang tersebar di 32 desa, 847 unit usaha perikanan, dan 4 instansi pemerintahan yang mengurusi sektor kelautan dan perikanan di Kota Ambon. Responden unit usaha adalah individu nelayan dari semua desa pesisir Kota Ambon, sedangkan responden non-nelayan dan instansi pemerintahan tersebut dipilih secara purposive mengingat penelitian ini memerlukan informasi minimum tentang keberadaan indikator-indikator yang membangun setiap variabel desa tersebut. Responden non-nelayan adalah tokoh-tokoh masyarakat dan aparat desa yang dianggap berpengalaman dan mengetahui kondisi dan potensi desanya secara baik. Oleh karena itu, responden bukan-nelayan yang terpilih dari setiap desa/kelurahan adalah raja/kepala desa/lurah, sekretaris desa/negeri, kepala urusan pemerintahan, kepala kewang, dan tokoh masyarakat lain. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dengan responden terpilih yang merujuk pada kuesioner. Data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran literatur desa dan laporan studi terkait dengan desa pesisir, seperti buku profil desa, buku profil potensi perikanan, pemerintah desa, kecamatan dalam angka, dan sumber lainnya. 3.2.2 Analisis data 3.2.2.1 Penilaian variabel status desa Penilaian variabel status desa pesisir dilakukan dengan tahapan berikut:
28
1) Ketiga variabel status desa pesisir, yaitu variabel usaha perikanan (UP), variabel sarana pendukung usaha perikanan (SP), dan variabel sosial budaya dibangun (SB) dengan beberapa indikator. Setiap indikator diberi skor dengan skala ordinal 1 atau 2 atau 3. Setiap skala tersebut memiliki kriteria tertentu yang menunjukkan peningkatan dari skala 1 ke skala 3, yaitu tingkat rendah, tingkat sedang, dan tingkat tinggi (lihat Lampiran 1). Nilai skor untuk setiap variabel adalah rata-rata dari nilai setiap indikator. Sebagai contoh, nilai skor untuk variabel usaha perikanan (S UP) adalah jumlah skor semua indikator (TS) untuk variabel UP dibagi dengan jumlah indikator yang digunakan. nj
TS j = ∑ S ij i =1
Sj =
TS j nj
dimana: Sij = skor indikator ke-i untuk variabel ke-j; i = 1, 2, ......nj; nj = jumlah indikator untuk variabel ke-j; TSj = total skor indikator untuk variabel ke-j; Sj= rata-rata skor indikator untuk variabel ke-j. 2) Setiap variabel tersebut memiliki bobot (weight) yang berbeda berdasarkan derajat kontribusi terhadap pengembangan usaha perikanan. Penelitian ini menempatkan UP sebagai elemen pokok status desa pesisir dengan bobot yang tertinggi, yaitu 50%. Selanjutnya, variabel SP dan SB berturut-turut sebagai elemen berikutnya dengan derajat kepentingan kedua (30%) dan ketiga (20%). Penentuan bobot berdasarkan derajat kepentingan status desa pesisir ini juga telah dikonfirmasi oleh para pakar (Sondita, Monintja, dan Nikijuluw) dalam suatu forum diskusi yang dilaksanakan untuk maksud tersebut. Selanjutnya, nilai standar skor (SSj) dihitung dengan menggandakan nilai skor untuk setiap variabel standar dihitung dengan skor variabel (Sj) dengan bobotnya (rj): SSj = rj x Sj dimana SSj = standar skor untuk variabel ke-j rj = bobot untuk aspek ke-j, yaitu 50 % untuk aspek usaha perikanan, 30 % untuk aspek sarana pendukung, dan 20 % untuk aspek sosial budaya j = 1, 2, ......m, berturut-turut adalah aspek usaha perikanan, aspek sarana pendukung, dan aspek sosial budaya (m=3)
29
3.2.2.2 Penentuan status desa Status suatu desa pesisir dihitung dengan cara menjumlahkan standar skor semua variabel untuk tiap desa menjadi total standar skor tiap desa, yaitu: TSS = SS UP + SS SP + SS SB. Dimana, TSS = total standar skor, SS UP = stantar skor usaha perikanan, SS SP = standar skor sarana penunjang, SS SB = standar skor sosial budaya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka formula/model untuk menghitung Total Standar Skor (TSS), sebagai berikut : m
TSS = ∑ SS j j =1
TSS
= total standar skor
Dalam penelitian ini ada tiga kategori status desa, mengacu kepada pola yang digunakan oleh BPS, yaitu: a) Desa Mina Mula dengan kriteria TSS < 50% dari total standar skor maksimum seluruh variabel, yaitu kurang dari 50% x nilai maksimum TSS, yaitu kurang dari 1,50. b) Desa Mina Mandiri dengan kriteria 50%≤ TSS < 79% dari total standar skor maksimum seluruh variabel, yaitu mulai dari 1,50 hingga 2,39 c) Desa Mina Politan TSS ≥ 80% dari total standar skor maksimal seluruh variabel, yaitu mulai dari 2,40 hingga 3. 3.3 Metodologi Penelitian Kelayakan Usaha Perikanan 3.3.1 Jenis data yang dikumpulkan Data primer dan data sekunder yang dikumpulkan terkait penelitian kelayakan usaha perikanan di desa pesisir Kota Ambon dapat mencakup : •
Jenis usaha perikanan (armada penangkapan) di setiap desa pesisir
•
Skala pengusahaan
•
Jenis bahan baku dan produk
•
Jumlah pembiayan dan sumber pemodalan
•
Siklus usaha
30
•
Jangkauan pasar
•
Harga jual
•
Biaya operasional
•
Dan lain-lain
3.3.2 Metode pengumpulan data Data primer untuk analisis kelayakan usaha ini dikumpulkan dari kalangan nelayan atau pelaku perikanan lainnya yang mempunyai armada penangkapan ikan. Jumlah responden dalam pengumpulan data kelayakan usaha ini adalah seluruh pemilik armada berjumlah 826 orang (97,5%) dan pengguna armada bukan pemilik sejumlah 21 orang (2,5%). Usia responden terbesar berkisar 21 – 50 tahun, berkisar 65%, yang terinci pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Usia Responden Kecamatan
Usia Responden (tahun)
Total
21-30
31-40
41-50
51-60
61 up
Responden
Nusaniwe
11,7%
32,5%
27,5%
22,5%
5,8%
120
Leitimur Selatan
22,4%
31,1%
28,0%
15,4%
3,1%
286
Teluk Ambon
19,5%
27,1%
33,2%
14,0%
6,2%
292
Sirimau
0,0%
12,0%
44,0%
28,0%
16,0%
25
Baguala
6,5%
24,2%
31,5%
22,6%
15,2%
124
16,9%
28,3%
30,7%
17,4%
6,7%
847
Kota Ambon
Tingkat pendidikan responden, sebagian besar hanya tamat SD dan SMP (sebesar 63,1%), dan sisanya berpendidikan SMA (dan sederajat) dan sarjana serta pasca sarjana (S2). Secara terinci dapat dilihat tingkat pendidikan responden pada Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7 Tingkat Pendidikan Responden Kecamatan
Tingkat Pendidikan SD
SMP
SMA
Sarjana
S2
Nusaniwe
39,2%
27,5%
31,6%
0,0%
1,7%
Leitimur Selatan
22,4%
33,9%
40,6%
2,4%
0,2%
Teluk Ambon
31,5%
45,2%
23,3%
0,0%
0,0%
Sirimau
36,0%
32,0%
32,0%
0,0%
0,0%
Baguala
18,5%
24,2%
51,6%
0,0%
5,6%
Kota Ambon
27,7%
35,4%
34,7%
0,9%
1,3%
31
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kasus dan literatur, pendapat pakar, dan kombinasi ketiganya. Studi kasus dan lieratur diperoleh melalui dari laporan kegiatan terkait di lokasi, hasil penelitian, dan buku tentang analisis finansial usaha. Pendapat pakar dapat bermanfaat dalam penentuan komponen kritis analisis seperti suku bunga, teoritis siklus usaha, dan lainnya. 3.3.3 Metode analisis kelayakan usaha 3.3.3.1 Pendekatan analisis menggunakan konsep BCR Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha perikanan (armada penangkapan) pada desa pesisir yang telah diidentifikasi status usaha industri dan potensi pengembangannya. Analisis kelayakan usaha ini menggunakan konsep Benefit Cost Ratio (BCR). Menurut Kapp (1990), BCR dapat menentukan jenis usaha perikanan yang layak dan tidak layak dikembangkan, mengelompokkan usaha yang sejenis, dan usaha perikanan yang saling membutuhkan. BCR merupakan paramater untuk mengetahui tingkat perbandingan antara NPV yang bernilai positif dengan NPV yang bernilai negatif pada kondisi suku bunga berbeda pada periode yang berbeda (Arrow et al 1996). Analisis BCR dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari Benefit Cost Ratio (BCR) yang konvensional. Perbedaan konsep BCR ini dan BCR konvensional, ialah aktivitas usaha selama umur proyek (tergantung usaha perikanan) dalam beberapa tahap periode, dengan suku bunga tiap periode yang berbeda sesuai yang berlaku pada priode tersebut, sedangkan BCR konvensional mengasumsi tingkat bunga sama sepanjang waktu. Elemen pengukuran yang dibutuhkan dalam analisis BCR ini mengacu kepada kebutuhan analisis finansial dari pengoperasian armada atau usaha perikanan sehingga dapat diketahui rasio benefit cost-nya. Adapun elemen tersebut diantaranya : 1) Pendapatan (benefit) dalam pengoperasian armada 2) Biaya (cost) dalam pengoperasian armada 3) Umur proyek (umur ekonomis) 4) Suku bunga yang berlaku pada setiap periode selama umur proyek 5) Bagi hasil dan data pendukung lainnya
32
3.3.3.2 Analisis benefit-cost Dalam penelitian ini, Benefit-Cost Analysis (BCA) dilakukan terhadap setiap usaha perikanan (armada penangkapan) yang terdapat di setiap desa pesisir Kota Ambon.
Usaha
perikanan
(armada
penangkapan)
dapat
dikatakan
layak
dikembangkan, bila mempunyai nilai BCR > 1 (satu). Perhitungan nilai BCR menggunakan rumus : n
BCR =
(Bt - Ct)
∑ (1 − it) t =0 n
(Ct - Bt)
∑ (1 + it) t =1
t
t
(Bt - Ct) > 0 (Bt - Ct) < 0
Keterangan : Bt = Pendapatan (benefit) pada tahun ke-t Ct = Biaya (cost) pada tahun ke-t it = suku bunga yang berlaku pada tahun ke-t t = 1, 2,3 ........, n n = umur ekonomis Setelah semua armada/usaha perikanan tersebut dianalisis, maka ditetapkan rangking BCR-nya. Suatu armada/usaha perikanan dengan nilai BCR yang tinggi akan menjadi keunggulan suatu desa pesisir. Nilai BCR tersebut juga memberi gambaran tentang jenis armada (usaha perikanan) yang paling menguntungkan untuk dikembangkan di masa yang akan datang. 3.4 Metodologi Pengklusteran Desa Perikanan Pengklusteran desa perikanan, terutama perikanan tangkap dalam penelitian ini, adalah pengelompokan desa-desa pesisir berdasarkan pada status desa pesisir (dibahas pada bagian 3.2), tingkat kelayakan usaha perikanan tangkap tiap desa (dibahas pada bagian 3.3), kedekatan usaha perikanan tangkap dengan jalur pemasaran dan distribusi, dan proporsi tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap. Pengklusteran dalam penelitian ini termasuk dalam tipe geographical cluster, yaitu suatu lokasi atau kawasan tertentu yang memiliki sumber daya, terutama sumber daya alam, yang dimanfaatkan oleh sejumlah unit usaha yang sejenis atau saling terkait atau saling melengkapi dan menghasilkan produk atau jasa yang sama ataupun berbeda, dan memanfaatkan infrastruktur yang sama (Isbasiu 2007; Propis et al 2009). Pengklusteran desa dalam penelitian ini dimaksud untuk memudahkan pembuat kebijakan setempat (dalam hal ini Pemerintah Kota Ambon) dalam memilih
33
program intervensi maupun insentif yang tepat untuk mendorong pengembangan setiap desa (Feser and Isserman 2005), dalam hal ini pengembangan perikanan tangkap setiap desa. 3.4.1 Jenis data yang dikumpulkan Penentuan desa yang dikelompokan pada suatu kluster, didasarkan pada empat indikator utama, yaitu status desa pesisir, tingkat kelayakan usaha perikanan, kedekatan jalus bisnis perikanan, dan proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap. Karena itu, data yang dikumpulkan untuk kepentingan penentuan kluster desa pesisir ini, adalah data-data selain data untuk penentuan status desa dan analisis BCR, yang telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya. Data-data yang dikumpulkan pada bagian ini ialah data tentang kedekatan jalur bisnis perikanan, dan kepemilikan usaha perikanan. Dengan demikian data yang dibutuhkan terkait dengan kedua indikator ini (kedekatan jalur bisnis dan proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap), adalah : 1) Jumlah dan penyebaran armada penangkapan di desa pesisir; dan 2) Jarak tiap desa dengan sentra jaringan bisnis perikanan, yaitu sentra-sentra pemasaran (pasar lokal, pasar industri) dan jaringan distribusi hasil perikanan tangkap (darat, laut, dan udara). 3.4.2 Metode pengumpulan data Pengumpulan data untuk kepentingan pengklusteran desa, terhadap berbagai indikator kluster desa yang dikemukakan sebelumnya, khususnya indikator kedekatan jalur bisnis dan proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap, berupa data primer dan data sekunder. Untuk indikator kedekatan jalur bisnis, digunakan data primer yang diperoleh wawancara dan pengamatan lapang dan sekunder yang diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Ambon. Data untuk indikator proporsi kepemilikan usaha perikanan tiap desa menggunakan data sekunder, yang diperoleh dari Dinas Perikanan & Kelautan Kota Ambon. 3.4.3 Analisis kluster desa Analisis kluster desa ini menggunakan prinsip kluster Anderson (2004) yaitu tentang kluster pengembangan ekonomi berdasarkan kelayakan usaha setiap unit aktivitas
ekonomi.
Analisis
desa
kluster
merupakan
kegiatan
memilih,
mengelompokkan, atau mengklusterkan kegiatan perikanan desa pesisir yang
34
berdasarkan kesamaan atau kemiripan potensi pengembangan perikanan tangkapnya. Pada tahap ini, pengklusteran/pengelompokan desa berdasarkan pada: 1) Nilai benefit cost ratio (BCR) dari setiap usaha perikanan (armada penangkapan) di setiap desa 2) Status desa pesisir yang telah diidentifikasi pada bagian sebelumnya 3) Kedekatan atau kesamaan karakteristik lokasi di wilayah pesisir Kota Ambon. 4) Proporsi kepemilikan usaha perikanan masing-masing desa. Pengelompokan desa berdasarkan kesamaan status, tingkat kedekatan dengan jalur bisnis, dan nilai BCR dari usaha perikanan (armada penangkapan) yang ada, serta proporsi kepemilikan usaha perikanan, memungkinkan terdapatnya beberapa kluster desa dengan karakterikstik tersendiri. Setiap usaha perikanan (armada penangkapan) akan mempunyai nilai BCR tersendiri, berada di desa pesisir dengan status tertentu dan karakteristik tertentu. Hal ini menjadi alasan mendasar untuk dapat dilakukannya pengklusteran desa. Dalam kaitan pengklusteran desa berdasarkan nilai BCR, suatu desa pesisir bisa jadi mempunyai beberapa usaha perikanan (armada penangkapan) dengan BCR tinggi yang berbeda dengan desa lainnya. Jenis-jenis usaha perikanan/armada penangkapan terpilih (BCR tinggi) akan mencerminkan potensi pengembangan desa. Desa dengan nilai BCR usaha perikanan (armada penangkapan) yang tinggi cenderung berada pada kluster teratas, sedangkan dengan nilai BCR sedang dan rendah berada pada kluster di bawahnya. Acuan tentang nilai kelayakan usaha/BCR ini mengacu kepada KP3K (2006) dan Deprin (2005) yang dimodifikasi, yaitu : •
BCR tinggi bernilai > 2,00 diberi bobot 3,
•
BCR sedang bernilai 1,50 – 2,00 diberi bobot 2, dan
•
BCR rendah bernilai < 1,50 diberi bobot 1. Begitu juga desa dengan status yang sama akan masuk dalam kluster yang
sama untuk pengembangan desa. Dari segi status desa, maka : •
Desa Mina Politan mendapat klasifikasi A diberi bobot 3
•
Desa Mina Mandiri mendapat klasifikasi B diberi bobot 2
•
Desa Mina Mula mendapat klasifikasi C diberi bobot 1 Indikator kedekatan jalur bisnis, yang menggambarkan atau memberi indikasi
mempunyai peluang pengembangan usaha yang potensial. Desa yang relatif dekat dengan pusat-pusat pasar maupun jalur distribusi mempunyai peluang yang lebih
35
potensial untuk berkembangnya usaha perikanan tangkap dibandingkan dengan desa yang jauh dari pusat pasar dan jalur distribusi. Dengan demikian desa yang semakin dekat dengan pasar dan jalur distribusi, berada pada kluster yang teratas, demikian juga desa yang relatif jauh berada pada kluster di bawahnya. Karena itu, kedekatan sebuah desa dengan pusat pasar dan jalur distribusi, dikelompokan atas : Jarak
Klasifikasi
Bobot
0 – 10 km
Dekat = A
3
> 10 – 20 km
Sedang = B
2
> 20 km
Jauh = C
1
Indikator proporsi kepemilikan usaha perikanan tiap desa atas kepemilikan usaha perikanan tanggkap di Kota Ambon, menunjukan bahwa desa dimaksud menonjol usaha perikanan tangkap nya dibanding dengan desa lainnya. Proporsi kepemilikan usaha perikanan yang tinggi menempatkan desa tersebut berada pada kluster yang tinggi, demikian sebaliknya. Penentuan proporsi kepemilikan usaha perikanan ini menggunakan analisis peta kendali p. Proporsi kepemilikan dikelompokan atas 3 klasifikasi, yaitu : Proporsi
Klasifikasi
Bobot
> 0,083
Tinggi = A
3
0,031 – < 0,083
Sedang = B
2
< 0,031
Rendah = C
1
Tahap selanjutnya ialah mengklusterkan desa pesisir, dengan pengelompokan desa yang memiliki kemiripan status, nilai BCR, jarak dengan pusart pasar dan jalur distribusi, dan proporsi kepemilikan usaha perikanan dalam satu kluster. Caranya ialah menjumlahkan bobot yang diperoleh tiap desa pesisir terkait penilaian kriteria/elemen kelayakan usaha (BCR tertinggi), status desa, kedekatan dengan jalur bisnis, dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap di desa. Adapun ketentuan dalam penentuan kluster desa berdasarkan total bobot tersebut adalah : 1) Total bobot tertinggi adalah 12, jika keempat elemen semuanya berbobot 3, dan terendah adalah 4, jika keempat elemen semuanya hanya berbobot 1. Hal ini disebabkan ada empat kriteria/elemen yang dinilai mempunyai kisaran bobot 1 – 3. Dengan demikian, terdapat 9 kluster yang secara berurutan total bobot dari yang tertinggi, yaitu: -
Kluster 1 (K1) : desa yang memperoleh total bobot 12
36
-
Kluster 2 (K2) : desa yang memperoleh total bobot 11
-
Kluster 3 (K3) : desa yang memperoleh total bobot 10
-
Kluster 4 (K4) : desa yang memperoleh total bobot 9
-
Kluster 5 (K5) : desa yang memperoleh total bobot 8
-
Kluster 6 (K6) : desa yang memperoleh total bobot 7
-
Kluster 7 (K7) : desa yang memperoleh total bobot 6
-
Kluster 8 (K8) : desa yang memperoleh total bobot 5
-
Kluster 9 (K9) : desa yang memperoleh total bobot 4
2) Bila dalam hal dalam proses klusterisasi nanti, ternyata kluster tidak mencukupi 9, maka kluster baru dapat dibuat (ketentuan pengklusteran desa pada poin a tidak dipakai lagi). Jumlah dan urutan kluster baru akan dibuat berdasarkan total bobot tertinggi dan terendah yang dicapai dalam penelitian ini. 3.5 Metode Penentuan Faktor Determinan Tiap Kluster 3.5.1 Jenis data yang dikumpulkan Data primer dan data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian faktor determinan tiap kluster desa dapat mencakup : 1) Data teknis usaha perikanan (armada, alat tangkap, alat bantu penangkapan, perbekalan, dan ABK) 2) Data desa (penduduk, sarana dan prasarana perikanan, potensi desa, dan lain-lain) 3) Data sosial budaya (tingkat kesejahteraan, lapangan kerja, tata nilai budaya, pendidikan, dan lain-lain) 4) Data ekologi desa (jenis SDI potensial, karakteristik dan topografi wilayah, tingkat pencemaran, dan lain-lain) 5) Data finansial usaha perikanan (pendapatan usaha perikanan, biaya operasional, sistem bagi hasil, persaingan, market capital dan lain-lain) 6) Data kebijakan atau peraturan perikanan 3.5.2 Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data terkait faktor determinan pengembangan perikanan tangkap terdiri dari pemilihan kelompok sampling, identifikasi responden, dan pengumpulan data responden. Sampling dilakukan terhadap stakeholder yang terkait dengan kegiatan perikanan tangkap di Kota Ambon, seperti perwakilan nelayan, pedagang/pengolah ikan, masyarakat pesisir, pengelola pelabuhan perikanan, Dinas
37
KP, PEMDA, dan pengusaha perikanan. Hal-hal yang diperhatikan dalam pemilihan kelompok sampling ini adalah : • Kelompok sampling terlibat/mempunyai kaitan dengan kegiatan perikanan tangkap di Kota Ambon baik langsung maupun tidak langsung. • Populasi kelompok sampling yang berhubungan dengan kegiatan perikanan tangkap. • Jenis kegiatan perikanan tangkap yang berhubungan dengan kelompok di lokasi. • Interakasi langsung kelompok sampling dengan nelayan. Jumlah responden mengacu kepada kebutuhan estimasi matriks likelihood dalam analisis Structural Equation Modelling (SEM) (Ferdinand 2002) sebagai metode yang digunakan dalam analisis faktor determinan yaitu sekitar 150 orang. Responden tersebut tersebut dipilih secara proporsional berasal dari perwakilan semua kelompok sampling terpilih. Pengumpulan data responden terkait faktor determinan pengembangan perikanan tangkap ini dilakukan dengan teknik wawancara terbuka dan contingent value method (CVM). Teknik wawancara terbuka dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang mudah dicerna oleh responden berkaitan dengan usaha perikanan tangkap yang dikelola atau kdiketahuinya. CVM dilakukan untuk mengumpulkan data yang penting terutama berkaitan dengan indikator kebijakan pengembangan perikanan di setiap, kluster namun maksudnya sulit dicerna responden. CVM dilakukan dengan menciptakan kondisi pasar hipotesis dan penawaran menyatu, sehingga respden seakan-akan merasakan apa yang digambarkan responden. 3.5.3 Analisis structural equation modelling (SEM) Analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor determinan yang kontekstual dan menentukan besaran BCR, dimana faktor-faktor kontekstual tersebut sekaligus merupakan salah satu aspek dalam mengidentifikasi indikator kebijakan. Artinya, faktor-faktor kontekstual yang tertuang ke dalam model, merupakan berbagai aspek yang diduga mempengaruhi besaran BCR. Dengan kata lain, yang dimasukan ke dalam model ialah faktor-faktor yang diduga (secara teoritik maupun empirik) menjadi pendorong tingginya BCR di tiap desa. Pengembangan analisis SEM ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan memodelkan pola interaksi baik diantara stakeholders maupun komponen terkait yang dapat mempengaruhi BCR dari kegiatan perikanan di pesisir Kota Ambon
38
terutama pada sistem kluster kegiatan perikanan. Hasil analisis SEM akan memberikan arahan tentang hal-hal yang perlu diperbaiki dan dipertahankan, perlu dikurangi, dan perlu/dapat diabaikan untuk dalam mendukung pengembangan usaha perikanan berbasis desa kluster. Pengembangan analisis model menggunakan aplikasi Structural Equation Modelling (SEM) dilakukan dalam lima tahapan yang berturut-turut adalah: (1) pembuatan model teoritis, (2) kemudian penyusunan path diagram, (3) perumusan measurement model dan structural equation, (4) penetapan matriks input dan estimasi model, dan (5) evaluasi kriteria goodness-of-fit. Pembuatan model teroritis dimaksudkan untuk mendapatkan justifikasi terhadap konsep-konsep interaksi diantara komponen dan stakholders terkait dalam model sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan mendapat dukungan ilmiah. Landasan utama untuk menyusun model teoritis ini adalah informasi substantif yang diperoleh dari studi pendahuluan, pustaka/literatur, dan hasil-hasil penelitian yang relevan terkait BCR usaha ekonomi. Secara umum, faktor-faktor yang dianggap dapat mempengaruhi BCR usaha perikanan dapat mencakup hal-hal teknis usaha perikanan tersebut, dukungan potensi dan ekologi desa, dan kondisi sosial budaya masyaraka pesisir. Terkait dengan ini, maka persamaan untuk analisis faktor determinan yang kontekstual bagi pengembangan BCR penelitian ini adalah : BCR(Y1,Y2,Y3,Y4) = f(X11,X12,X13,X21,X22,X23,X31,X32,X33,X41,X42,X43) Keterangan : X11, X12, X13 = dimensi variabel teknis, masing-masing jenis armada, jenis alat tangkap, teknologi & metode operasi X21, X22, X23 = dimensi variabel desa, masing-masing topografi & demografi desa, potensi SDA desa, sarana dan prasarana desa X31, X32, X33 = dimensi variabel sosial budaya, masing-masing kehidupan sosial (gotong royong, makan ikan), tata nilai, dan mobilitas penduduk X41, X42, X43 = dimensi variabel ekologi, masing-masing pemukiman, pencemaran, ekosistem terumbu karang Y1, Y2, Y3, Y4 = dimensi pengembangan BCR, masing-masing modal kerja, pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha.
39
Rancangan
path
diagram
faktor-faktor
kontekstual
yang
diharpakan
menjadikan indikator kebijakan disajikan pada Gambar 4. Path diagram dibuat menggunakan program AMOS Professional 4.0. Pada Gambar 4, keempat variabel umum yang mempengaruhi BCR tersebut menjadi konstruk penelitian. Selanjutnya, variabel yang lebih detail akan ditentukan berdasarkan hasil analisis sebelumnya (hasil analisis kelayakan usaha perikanan tangkap di desa-desa pesisir Kota Ambon dan hasil analisis status industri dan potensi desa pesisir) yang dikaitkan dengan konsep teoritis yang ada. Variabel tersebut kemudian disebut sebagai dimensi konstruk (penciri dari konstruk). Detail tersebut dijadikan sebagai dimensi konstruk. Jumlah dari dimensi konstruk tersebut tergantung dari dugaan keeratan hubungannya (tingkat pengaruh-mempengaruhi) dengan konstruk penelitian berdasarkan hasil analisis sebelumnya. Dimensi konstruk inilah yang kemudian diambil datanya menggunakan kuesioner SEM. Setelah penyusunan path diagram, tahap selanjutnya adalah membuat persamaan
matematis
yang
menggambarkan
interaksi-interaksi
komponen
pengembangan perikanan tangkap di desa pesisir Kota Ambon. Persamaan tersebut terdiri dari persamaan pengukuran (measurement model) dan persamaan struktur (structural equation). Persamaan pengukuran (measurement model) merupakan persamaan yang mencerminkan interaksi diantara komponen pengembangan yang menjadi konstruk dan dimensi konstruk, sedangkan persamaan struktur (structural equation) mencerminkan interaksi diantara komponen yang keduanya menjadi konstruk (antar konstruk). Persamaan matematis tersebut digunakan untuk operasi AMOS, dan data SEM yang dikumpulkan dari responden diolah dengan program SPSS, Microsoft Excel, MS Access, atau program lain yang sesuai. Matriks input yang dapat digunakan dalam analisis SEM terdiri dari matriks kovarian dan matriks korelasi. Matriks kovarian merupakan matriks yang berisi varian dan kovarian dari sekumpulan komponen yang berinteraksi, sedangkan matriks korelasi merupakan matriks yang berisi keofisien korelasi dari sekumpulan komponen yang berinteraksi. Dalam beberapa penelitian, matriks kovarian lebih sering digunakan karena keunggulannya dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi atau sampel yang berbeda, sedangkan dalam penelitian ini, kedua matriks tersebut digunakan.
40
d1k
d11
d12
1
1
1
X11
X12
X1k
1 Variabel Teknis
d21 d22 d2l
d31 d32 d3m
1 1 1
1 1 1
Z1
Z2 1
X21 X22
1
1
Z5 1
Variabel Desa
X2l
X32
GBCA
Z3 1
X31 1
1
Y1 Y2 Y3 Y4
1 1 1 1
e1 e2 e3 e4
Variabel Sosial Budaya
X3m
1
Variabel Ekologi Desa
Z4
1
Gambar 4
X41 1
X42 1
X4n 1
d41
d42
d4n
Rancangan path diagram faktor-faktor kontekstual pengembangan BCR (indikator kebijakan).
Teknik estimasi yang digunakan dalam analisis model interaksi stakeholders ini dapat dipilih sesuai dengan ukuran sampel. Teknik estimasi ini bisa berubah bisa kondisi lapangan menginginkan ukuran sampel harus diubah, misal ukuran populasi yang di luar perkiraan, lingkup dan kompleksitas penelitian yang lebih luas. Adapun teknik estimasi yang dapat digunakan sesuai dengan ukuran sampelnya adalah : •
Matriks likelihood estimation, bila ukuran sampel 100 – 200 dan asumsi normalitas dipenuhi.
•
Generalized least square estimation, bila ukuran sampel 200 – 500 dan asumsi normalitas dipenuhi.
•
Asymptotically distribution free estimation, bila ukuran sampel lebih dari 2500 dan asumsi normalitas kurang dipenuhi.
Oleh karena dalam penelitian ini ukuran sampel/responden 150 orang, maka teknik estimasi yang digunakan matriks likelihood estimation. Tahapan selanjutnya adalah kegiatan mengevaluasi kesesuaian model interaksi pemangku kepentingan (stakeholders) yang dibuat menggunakan berbagai kriteria goodness-of-fit. Secara garis besar, tahapan ini dibagi dalam tiga jenis kegiatan yaitu evaluasi data yang digunakan apakah memenuhi asumsi-asumsi SEM atau tidak, uji kesesuaian dan uji statistik, dan analisis pengaruh (effect analysis).
41
Evaluasi asumsi SEM meliputi evaluasi ukuran sampel, normalitas, outliers (pencilan), dan lain-lain. Sedangkan uji kesesuaian dan uji statistik meliputi X2-Chisquare statistic, adjusted goodness of fit index (AGPI), CMIN/DF, comparative fot index (CFI), goodness of fit index (GPI), the root mean square error of approximation (RMSEA), dan Tucker Lewis index (TLI). Tingkat penerimaan model yang dibangun berkaitan dengan indeks-indeks evaluasi tersebut disajikan pada Tabel 8. Penjelasan rinci dari indeks evaluasi tersebut adalah : • X2-Chi-square statistic.
Uji ini digunakan untuk mengukur overall fit atau
kesesuaian model yang dibangun dengan data yang ada. • Adjusted goodness of fit index (AGPI). AGPI analog dengan R2 dalam regresi berganda, dengan tingkat penerimaan yang direkomendasikan sama atau lebih besar dari 0,9. • Comparative fot index (CFI). CFI merupakan index yang menunjukkan tingkat fitnya model yang dibangun. Berbeda dengan indeks lainnya, index ini tidak tergantung pada ukuran sampel. • CMIN/DF.
CMIN/DF merupakan pembagian X2 dengan degree of freedom.
Indeks ini menunjukkan tingkat fitnya model. • Goodness of fit index (GFI). GFI digunakan untuk menghitung proporsi tertimbang varian dalam matriks kovarian sampel yang dijelakan oleh matriks kovarian populasi yang terestimasi. GPI mempunyai nilai antara 0 (poor fit) – 1 (perfect fit). • The root mean square error of approximation (RMSEA). RMSEA adalah indeks yang digunakan untuk mengkompensasi Chi-square statistic dalam sampel yang besar. Model yang dibangun dapat diterima bila mempunyai nilai RMSEA lebih kecil atau sama dengan 0,08. • Tucker Lewis index (TLI). TLI merupakan alternatif incremental fit index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model.
42
Tabel 8 Goodness-of-fit Index ( kriteria uji kesesuaian dan uji statistik) Goodness of fit Index X2-Chi-squarey
Cut-off Value Sekecil mungkin
Significance Probability
0.05
AGFI
0.90
CFII
0.95
CMIN/DF
2.00
GFI
0.90
RMSEA
0.08
TLI
0.95
Sumber : Ferdinand (2002) Effect analysis diterapkan terhadap faktor determinan kontekstual yang memenuhi kriteria lulus uji kesesuaian dan uji statistik (ditetapkan menjadi indikator kebijakan yang valid). Effect analysis berguna untuk menginterpretasikan koefisien pengaruh antar konstruk dalam menjelaskan interaksi komponen (interaksi faktor dalam mempengaruhi BCR) yang dapat dikurangi, diabaikan, dipertahankan, dan dikembangkan untuk mendukung kegiatan perikanan tangkap desa pesisir. Interaksi tersebut dapat menyangkut dampak kegiatan perikanan terhadap ekonomi daerah, pengaruh perikanan industri terhadap perikanan rakyat, pengaruh keberpihakan pemerintah, peran aktivitas produksi dan pasar, kesesuaian kegiatan perikanan dengan orientasi pembangunan, dan lainnya. Interaksi faktor/variabel dengan pengaruh signifikan akan menjadi perhatian dalam pengembangan kebijakan dan instrumental input terkait pengembangan usaha perikanan tangkap yang prosfektif dan berbasis desa kluster di Kota Ambon. 3.6 Metode Penelitian Prioritas Kebijakan Makro Pengembangan Perikanan Tangkap 3.6.1 Jenis data yang dikumpulkan Data yang dikumpulkan dalam penelitian prioritas kebijakan makro ini diharapkan berlaku umum (lintas kluster) bagi pengembangan perikanan tangkap Kota Ambon. Data tersebut dapat mencakup : 1) Data profil usaha perikanan yang mewakili tiap kluster desa 2) Data potensi sumberdaya ikan di Ambon 3) Data tentang implementasi kebijakan dan perangkat hukum yang berlaku di Kota Ambon
43
4) Data terkait teknologi penangkapan atau lainnya di bidang perikanan yang berkembang 5) Data dukungan/kondisi infrastruktur yang di lokasi bagi bidang perikanan 6) Data kondisi pasar/permintaan produk perikanan termasuk persaingan dengan pelaku luar atau dengan produks substitusi 7) Data alternatif kebijakan yang ditawarkan, dan lain-lain Data tersebut dapat berupa data fisik atau penilaian responden yang kompeten di lokasi penelitian. 3.6.2 Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data primer penentuan prioritas kebijakan lintas kluster (makro) di Kota Ambon terdiri dari pemilihan kelompok sampling, identifikasi responden, dan pengumpulan data responden. Sampling dilakukan terhadap kelompok stakeholders yang berkepentingan dengan kegiatan perikanan tangkap di Kota Ambon, seperti Dinas Kelautan & Perikanan, PEMDA, pengusaha perikanan, nelayan, pedagang/pengolah ikan, masyarakat pesisir, dan pengelola pelabuhan perikanan. Oleh karena dibutuhkan bagi perumusan prioritas kebijakan, maka perwakilan kelompok stakeholders yang menjadi responden ditetapkan secara purposive, yaitu dipilih dari kalangan pejabat, pemilik, tokoh, atau ketua kelompok stakeholders yang mengetahui betul peran dan kondisi kelompoknya terkait pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster. Hal ini supaya informasi yang diberikan sesuai kondisi nyata, kebutuhan, kepentingan atau harapan dari kelompok stakeholders yang diwakili. Orang-orang yang mempunyai jabatan atau peran strategis di kelompoknya tentu dapat memberikan jawaban dimaksud. Jumlah responden untuk analisis kebijakan ini mengacu kepada ketentuan metode analisis yang digunakan (Analitycal Hierarchy Process/AHP) yaitu sekitar 20 orang (Saaty 1993). Sedangkan komposisi jumlah responden dari setiap kelompok stakeholders tersebut ditetapkan secara proporsional dengan mempertimbangkan populasi, tingkat peran, dan keeratan hubungan dengan kegiatan perikanan di Kota Ambon. Pengumpulan data responden untuk penentuan prioritas kebijakan makro ini juga dilakukan dengan teknik wawancara terbuka dan contingent value method (CVM). Teknik CVM diharapkan dapat memberikanan penjelasan lengkap dan lebih jelas kepada responden yang dirasa belum memahami terhadap pertanyaan yang diajukan untuk mengumpulkan data yang penting terutama berkaitan dengan
44
indikator kebijakan pengembangan perikanan di setiap, kluster namun maksudnya sulit dicerna responden. CVM dilakukan dengan menciptakan kondisi pasar hipotesis dan
penawaran menyatu, sehingga respden seakan-akan merasakan apa yang
digambarkan responden. 3.6.3 Analisis hierarki Analisis penentuan prioritas kebijakan pengembangan perikanan tangkap ini dilakukan
menggunakan
Analitycal
Hierarchy
Process
(AHP).
Kebijakan
pengembangan tersebut bersifat makro atau lintas kluster dengan mengakomodir hasil-hasil analisis sebelumnya. Kebijakan pengembangan ini akan menjadi langkah implementatif dari model yang dikembangkan pada bagian sebelumnya dan juga harapan atau persepsi pemangku kepentingan. Supaya kebijakan tersebut sesuai dan bermanfaat luas nantinya dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis desa kluster, maka analisis ini dilakukan secara bertingkat menggunakan data yang berasal dari semua stakeholders/komponen berkepentingan di lokasi. Mengacu kepada konsep Analytical Hierachy Process (AHP) dan Wilson et al. (2002), maka berbagai komponen yang berinteraksi/terkait dengan kegiatan perikanan tangkap di Kota Ambon akan dikelompokkan ke dalam beberapa level, misalnya level goal (tujuan), level 2 (kriteria), level 3 (sub kriteria), dan level 4 (alternatif strategi). Hal ini dimaksudkan supaya prioritas kebijakan yang dipilih merupakan kebijakan terbaik yang mengakomodir semua kepentingan stakeholders dan komponen pengelolaan. Supaya analisis ini dapat mengetahui dampak pengembangan usaha perikanan tangkap secara kluster terutama terhadap ekonomi daerah dan masyarakat, maka pada kriteria level 2 dikembangkan berdasarkan skala usaha usaha, yaitu skala perikanan rakyat dan skala perikanan industri. Dalam analisis AHP, dampak tersebut akan ditunjukkan oleh tingkat kestabilan/sensitivitas dari kebijakan pengembangan terpilih terhadap perubahan orientasi pengelolaan pada perikanan rakyat ke perikanan industri atau sebaliknya. Adapun tahapan AHP dalam analisis kebijakan pengembangan perikanan tangkap mengacu kepada Maarif (2004) yaitu : • Pendefinisian sistem Semua komponen yang terkait dengan sistem pengembangan kebijakan perikanan tangkap yang tepat dengan berbasis desa kluster (clustered villages) ditetapkan
45
dan didefinisikan. Lingkup komponen yang didefinisikan mencakup tujuan pengembangan, kriteria pengembangan (berdasarkan kluster desa pesisir), sub kriteria (beberapa syarat penting dalam pengembangan), dan alternatif kebijakan pengembangan (hasil analisis Porter Diamond). •
Penyusunan struktur hierarki Semua interaksi komponen yang telah didefinisikan secara sistemik akan disusun secara bertingkat dalam bentuk struktur hierarki AHP. Struktur hierarki ini disusun mulai dari tingkat paling atas berupa tujuan (level 1), dilanjutkan dengan kriteria (level 2), sub kriteria (level 3) dan alternatif strategi pada tingkatan paling bawah hierarki (level 4). Penyusunan hieraki yang terintegrasi dengan data dilakukan menggunakan Program Expert Choice 9.5. Rancangan awal struktur hierarki perumusan kebijakan pengembangan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Rancangan struktur hierarki penentuan prioritas kebijakan •
Penetapan skala banding dan pembobotan Untuk menganalisis kepentingan setiap jenis kluster desa bagi pengembangan perikanan tangkap berdasarkan desa kluster (setiap kompenen di level 2), maka perlu ditetapkan skala banding satu sama lain di antara komponen penyusun hierarki tersebut. Skala banding ini juga digunakan untuk menganalisis kepentingan setiap sub kriteria pengembangan untuk setiap jenis kluster desa. Dalam kaitan dengan pilihan kebijakan yang tepat, maka skala banding selanjutnya juga digunakan untuk memilih alternatif kebijakan pengembangan
46
terbaik yang dapat mengakomodir kepentingan stakeholders dan komponen terkait serta pemenuhan semua sub kriteria pengembangan (level 3) . Skala banding tersebut direalisasikan dalam bentuk pemberian bobot terhadap setiap pasangan komponen yang diperbandingkan dalam hierarki. Skala banding dan bobot yang diberikan dalam analisis AHP penelitian ini mengacu Tabel 9. Lebar dan jumlah skala yang dibuat disesuaikan dengan kemampuan untuk membedakan dari setiap komponen yang disesuaikan dengan kondisi yang ada di lapang. Pembobotan diberikan berdasarkan taraf relatif pentingnya suatu komponen dibandingkan dengan komponen lainnya di level yang sama. Dalam pembobotan, diusahakan agar setiap komponen mempunyai skala banding yang sama sehingga antara komponen satu dengan komponen lainnya dapat diperbandingkan. Skala banding tersebut diberikan antara nilai 9 – 1/9. Tabel 9 Ketentuan skala banding berpasangan Intensitas pentingnya 1
Definisi
Penjelasan
Kedua komponen pentingnya sifat
Dua komponen menyumbangkan sama besar pada sifat itu.
3
Komponen yang satu sedikit lebih penting dibandingkan komponen yang lainnya.
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu komponen atas lainnya.
5
Komponen yang satu esensial atau sangat penting dibanding komponen yang lainnya.
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu komponen atas komponen lainnya.
7
Suatu komponen jelas lebih penting dari komponen lainnya.
Suatu komponen dengan kuat di sokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktek.
9
Satu komponen mutlak lebih penting ketimbang komponen yang lain.
Bukti yang menyokong komponen yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.
Nilai-nilai antara dua pertimbangan dua yang berdekatan.
Kompromi diperlukan antara pertimbangan.
2,4,6,8 Kebalikan
Jika suatu aktivitas mendapat satu angka dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila di bandingkan dengan j.
Sumber : Saaty (1993) •
Proses input data dan evaluasi Input data merupakan kegiatan mengintegrasikan data hasil banding berpasangan di antara komponen dalam hierarki (jawaban responden) ke dalam Program
47
Expert Choice 9.5. Data yang diinput tersebut sebelumnya dipersiapkan menggunakan program Microsoft Excell. Evaluasi merupakan kegiatan menganalisis data hasil banding berpasangan di antara komponen dalam hierarki sehingga didapat nilai yang mencerminkan kepentingan setiap komponen penyusun hierarki. Oleh karena alternatif kebijakan berada pada level yang paling bawah, maka kebijakan pengembangan yang terpilih telah melewati pertimbangan semua level heraki dan dapat mengakomodir kepentingan stakeholders dan komponen terkait serta pemenuhan semua subkriteria pengembangan yang menjadi syarat atau limit factor dalam pengembangan. •
Pengujian konsistensi dan sensitivitas Kegiatan ini bertujuan untuk menguji konsistensi dan sentivitas dari hasil analisis yang telah dilakukan. Bila dari hasil analisis diperoleh rasio inconsistency 0,1 atau lebih berarti data yang digunakan tidak konsistensi dan harus dilakukan pengambilan data ulang (Tabel 10). Tabel 10 Kriteria uji konsistensi dan uji sentivitas AHP No.
Jenis Pengujian
Kriteria
1
Rasio inconsistency
< 0,1
2
Sensitivity test
Diharapkan tidak terlalu sensitif
Sumber : Saaty (1993) Bila hasil analisis terlalu sensitif berarti kebijakan pengembangan yang dipilih terlalu labil terhadap perubahan potensi dan kluster desa yang ada. Hal ini tentu kurang disukai. •
Interpretasi hasil Interpretasi merupakan kegiatan menggunakan hasil analisis AHP untuk menjelaskan prioritas kebijakan pengembangan perikanan tangkap yang berbasis desa kluster. Hasil analisis AHP yang berkaitan dengan sensitivitas dapat memberikan arahan antisipasi dari penerapan prioritas kebijakan tersebut terhadap trend perubahan usaha atau industri perikanan berbasis desa kluster di Kota Ambon.-
4 STATUS DESA PESISIR 4.1 Keberadaan Variabel Status Desa Keberadaan usaha perikanan, sarana penunjang usaha perikanan, dan aspek sosial budaya setiap desa pesisir, berdasarkan metodologi yang dipaparkan dalam bab 3 sebagai dasar untuk penentuan status desa pesisir di Kota Ambon, akan disajikan pada bagian ini. Secara umum, usaha perikanan masyarakat desa-desa pesisir di Kota Ambon masih konvensional, yaitu hanya bertumpu pada usaha penangkapan semata, usaha budidaya maupun pengolahan relatif tidak ada, atau hanya di beberapa desa pesisir saja. Demikian halnya dengan sarana penunjang usaha perikanan, sangat minim, dan hanya terdapat pada beberapa desa saja, itupun hanya di desa-desa pesisir yang berdekatan dengan sentra ekonomi Kota Ambon. Namun, dari sisi sosial budaya, secara umum, sangat mendukung atau kondusif atau memenuhi syarat untuk berkembangnya usaha perikanan. Deskripsi keberadaan berbagai variabel status desa pesisir secara rinci per kecamatan, disajikan dibawah ini. 4.1.1 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Leitimur Selatan Kecamatan Leitimur Selatan terdiri atas 8 desa, dengan 6 desa pesisir, yaitu Desa Naku, Desa Kilang, Desa Hukurila, Desa Hutumuri, Desa Rutong, dan Desa Leahari, sedangkan 1 desa berada ditengah pegunungan, yaitu Desa Emma. Desa Leahari merupakan ibukota Kecamatan Leitimur Selatan. Kecamatan ini adalah kecamatan termuda, yang dimekarkan dari Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Baguala, dan juga adalah kecamatan yang paling sedikit jumlah penduduknya (hanya sekitar 5% dari total penduduk Kota Ambon). Desa Hutumuri merupakan desa terluas di Kecamatan Leitimur Selatan dengan luas 15 km2. Desa Hutumuri dan Desa Rutong merupakan dua desa yang paling dekat dengan ibukota kecamatan. Secara umum, desa-desa tersebut membentang disepanjang pesisir timur Kota Ambon dan berbatasan dengan dengan Laut Banda. Penduduk di kecamatan ini bekerja diberbagai lapangan pekerjaan, dan yang paling dominan (65,7%) bekerja sebagai petani (lihat Gambar 6). Jenis tanaman pertanian yang dikerjakan oleh penduduk adalah tanaman hortikultura. Dengan luas areal pertanian yang tidak begitu luas (kurang dari 100 ha) dan umumnya hasil pertanian penduduk di kecamatan ini hanya untuk dikonsumsi sendiri (kalaupun ada
49
yang dijual, jumlahnya relatif sedikit). Kemudian jika dikaitkan dengan struktur ekonomi kecamatan ini (lihat Gambar 8), dimana sektor pertanian hanya menyumbangkan 21% PDRB kecamatan ini, dan sebagian besar adalah kontribusi sub-sektor perikanan, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk di kecamatan ini berpenghasilan rendah. Setelah lapangan kerja sebagai petani, urutan kedua adalah jenis pekerjaan sebagai PNS (8,43%) dan pengusaha/pemilik usaha (8,32%). Sementara itu, penduduk yang bekerja sebagai nelayan hanya 1,84%, tetapi memberi kontribusi terhadap PDRB yang cukup besar (sekitar 16% terhadap PDRB kecamatan). Dapat diartikan bahwa penghasilan nelayan relatif lebih tinggi dibanding mayoritas penduduk yang bekerja sebagai petani. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk di kecamatan ini bekerja di sektor tradisional. Jenis Pekerjaan Penduduk Kec. Leitimur Selatan 0,81% 8,32% Pengusaha/Pemilik Usaha 0,16% 0,30% 0,00% Wartawan 0,03% 0,00% 0,03% Arsitek/Akuntan/Konsultan 0,03% 3,29% 0,08% Dosen/Peneliti 0,05% 0,43% 0,00% Penterjemah 0,00% 0,00% 0,00% Penata Rias/Busana/Rambut 0,14% 0,11% 0,08% Buruh Harian Lepas 0,19% 4,10% 1,13% Transportasi/Sopir 0,03% 0,24% 1,84% Nelayan 0,00% 65,76% 0,57% Pedagang 0,68% 8,43% 3,19% Pensiunan
Gambar 6 Grafik pekerjaan penduduk di Kec. Leitimur Selatan Tingkat pendidikan angkatan kerja di kecamatan ini relatif sedang, karena tingkat pendidikan angkatan kerja seimbang antara yang berpendidikan SD di bandingkan dengan yang berpendidikan SMP dan SMA/SMK, sedangkan yang berpendidikan tinggi relatif sedikit (lihat Gambar 7)
50
Gambar 7 Grafik tingkat pendidikan angkatan kerja di Kec. Leitimur Selatan Struktur ekonomi kecamatan ini didominasi oleh tiga sektor, yaitu perdagangan, hotel dan restoran, disusul jasa-jasa, dan pertanian (lihat Gambar 8).
Jasa-jasa 32% Angkutan & Komunikasi 7%
Pertanian 21% Perdagangan, Hotel & Restoran 36%
Pertambanga n dan Penggalian Industri 0% Pengolahan Listrik & 1% Air Minum 1% Bangunan 1%
Keuangan, Per sewaan & Jasa Perusahaan 0%
Gambar 8 Struktur ekonomi di Kecamatan Leitimur Selatan Khusus untuk sektor pertanian, sekitar 80% di kontribusi oleh sub-sektor perikanan. Artinya, sub-sektor perikanan mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap produk domestik regional bruto kecamatan ini. Kontribusi sub-sektor perikanan di kecamatan ini meningkat tiap tahun. Meningkatnya kontribusi subsektor perikanan ini terlihat pada produksi perikanan yang meningkat setiap tahun. Peningkatan produksi perikanan yang meningkat setiap tahun ini, juga karena ditunjang oleh intervensi program bantuan alat tangkap maupun armada penangkapan dari pemerintah kota/daerah. Dibalik hasil produksi perikanan yang meningkat tersebut, ternyata tingkat pendidikan nelayan di kecamatan ini relatif rendah (lihat Gambar 9), dimana bagian
51
terbesar (54%) tingkat pendidikan nelayan hanya tamatan SD. Hal ini merupakan cerminan tingkat pendidikan angkatan kerja di kecamatan ini (lihat Gambar 7), dan juga karena sumber rekrut nelayan tidak berasal dari luar kecamatan (lihat Tabel 11). PT 1% SMP & SMA 45%
SD 54%
Gambar 9 Tingkat Pendidikan Nelayan di Kec. Leitimur Selatan Bila melihat potensi desa dan perkembangan usaha perikanan terutama di bidang perikanan tangkap, maka desa-desa peisisr tersebut sedikit berbeda satu sama lain. Sektor perikanan di kecamatan ini cukup signifikan dengan kontribusi 15,77% terhadap PDRB kecamatan. Namun tingkat kemiskinan penduduk di kecamatan ini cukup tinggi yaitu 21,3% pada tahun 2011, lebih rendah dari tahun 2008 (22,6%). Tingginya tingkat kemiskinan di kecamatan ini, jika dikaitkan dengan mayoritas penduduk yang bekerja di sektor pertanian, mengindikasikan bahwa mata pencaharian sebagai petani yang hanya bercocok tanam tanaman hortikultura, tidak mampu mengangkat masyarakat kecamatan ini dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Disisi lain, topografi yang bergunung terjal tidak memungkinkan untuk dikembangkan pertanian tanaman pangan secara maksimal, sementara lahan laut yang potensial terbentang luas dihadapan setiap desa pesisir. Artinya bahwa sesungguhnya laut adalah lahan usaha yang potensial bagi penduduk pesisir di kecamatan ini. Lahan laut memang telah diusahakan oleh penduduk pesisir kecamatan ini. Hal ini terlihat dari keberadaan usaha perikanan, sarana penunjang usaha perikanan, maupun aspek sosial budaya seperti tergambar pada Tabel 11.
52
Tabel 11 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Leitimur Selatan Indikator / Kriteria Desa
Skor Desa Naku
Kilang
Hukurila
Hutumuri
Rutong
Leahari
Unit usaha penangkapan
2
2
2
3
2
2
Unit usaha budidaya
1
2
1
2
1
1
Unit usaha pengolahan
1
2
1
3
1
1
Unit usaha pemasaran
2
2
2
2
2
2
Teknologi produksi
3
2
3
3
2
2
Metode Operasi
3
2
3
3
2
2
12
12
12
16
10
10
ASPEK USAHA PERIKANAN
Jumlah Skor
SARANA PENDUKUNG/PENUNJANG USAHA PERIKANAN Pabrik Es
1
1
1
1
1
1
Koperasi
1
1
2
3
1
1
Bank & Lembaga Keuangan Lain
1
1
1
2
1
1
3
3
4
6
3
3
2
3
3
3
3
2
Kualitas SDM Desa
2
1
2
1
1
2
Kualitas TK Usaha perikanan
2
1
2
1
1
2
Asal TK usaha perikanan
3
3
3
3
3
3
2
1
2
2
2
2
2
1
2
2
1
1
Pembauran etnis dalam usaha perikanan
2
1
2
2
1
1
Pengawasan sosial
3
3
1
3
1
1
18
14
17
17
13
14
Jumlah Skor ASPEK SOSIAL-BUDAYA Spesifikasi Mata Pencaharian Penduduk di Bidang Perikanan
Tempat penjualan alat produksi/pengolahan Tata nilai dalam menjalankan usaha perikanan
Jumlah Skor
Tabel di atas memberi gambaran bahwa, selain Desa Hutumuri, di kelima desa yang lain, masyarakatnya masih konvensional dalam usaha perikanan. Karena usaha perikanan nya belum mengalami diversifikasi usaha, dan tetap bertumpu pada perikanan tangkap yang konvensional. Faktor sarana penunjang usaha perikanan juga sangat minim, selain Desa Hutumuri, di kelima desa lainnya, sarana penunjang usaha perikanan dapat dikatakan tidak ada. Sementara itu, dari segi kondisi sosialbudaya masyarakat dalam kerangka pengembangan usaha perikanan, tiga desa, yaitu Naku, Hukurila, dan Hutumuri, yang masyarakatnya relatif terbuka, sedangkan tiga desa lainnya, masyarakat masih belum begitu terbuka.
53
4.1.2 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Dalam Kecamatan Teluk Ambon adalah kecamatan pesisir yang berada pesisir utara Teluk Ambon, dengan jumlah desa sebanyak tujuh desa dan satu kelurahan, dimana ke tujuh desa tersebut adalah pesisir yaitu Laha, Tawiri, Hatiwe Besar, Wayame, Rumah Tiga, Poka, dan Hunut, sedangkan satu-satunya kelurahan, yaitu Kelurahan Tihu, tidak terletak di pesisir. Jumlah penduduk di kecamatan ini hamper 20% dari jumlah penduduk Kota Ambon, dan merupakan kecamatan yang luas daratan terbesar dibanding dengan empat kecamatan lainnya. Walaupun merupakan kecamatan dengan daratan terluas, tingkat kepadatan penduduk termasuk tinggi, yaitu 332 penduduk/km2. Penduduk di kecamatan ini, sebagian besar (27%) bekerja sebagai petani (lihat Gambar 10). Petanian di kecamatan ini adalah tanaman pangan yang merupakan salah satu pemasok sayuran di Pasar Ambon. Kontribusi sub-sektor pertanian tanaman pangan terhadap PDRB kecamatan, realtif kecil (hanya sekitar 8%). Hal ini berbeda dengan penduduk yang bekerja sebagai nelayan yang hanya 2,74%, tetapi kontribusi sub-sektor perikanan terhadap PDRB sebesar 14,3%. Jenis Pekerjaan Penduduk kec. Teluk Ambon Pengusaha/Pemilik Usaha Wartawan Arsitek/Akuntan/Konsultan Dosen/Peneliti Penterjemah Penata Rias/Busana/Rambut Buruh Harian Lepas Transportasi/Sopir Nelayan Pedagang Pensiunan
0,62% 21,04% 0,05% 0,82% 0,00% 0,16% 0,14% 0,00% 0,02% 3,14% 1,35% 0,03% 0,59% 0,00% 0,00% 0,06% 0,04% 0,50% 0,12% 0,83% 0,94% 8,12% 2,67% 0,69% 0,26% 2,74% 0,08% 27,00% 3,60% 5,49% 14,60% 4,28%
Gambar 10 Grafik jenis pekerjaan penduduk di Kecmatan Teluk Ambon Urutan berikut lapangan pekerjaan yang ditekuni oleh penduduk di kecamatan ini, ialah sebagai pengusaha/pemilik usaha (21,04%), dan PNS (14,6%), serta jenis pekerjaan lain yang besaran nya di bawah 10%. Dengan demikian, dapat
54
disimpulkan bahwa penduduk di kecamatan sebagian besar bekerja di sektor moderen. Sarana pendidikan yang ada di kecamatan ini cukup lengkap, mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Bahkan pendidikan tinggi kelautan dan perikanan berada di kecamatan ini, yaitu Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan, dan Fakultas Teknik Perkapalan maupun lembaga riset, yaitu Lembaga Oceanografi Nasional LIPI, dan Balai Pengembangan Perikanan. Tercatat ada 58 sekolah di kecamatan ini, yang terdiri atas 9 TK, 34 SD, 8 SMP, 5 SMA, dan 2 SMK. Dengan adanya lembaga pendidikan yang demikian lengkap di kecamatan ini, juga berdampak terhadap tingkat pendidikan angkatan kerja yang cukup tinggi, yaitu 65% berpendidikan SMP sampai perguruan tinggi (lihat Gambar 11).
PT 12%
TS + SD 35%
SMP + SMA 53%
Gambar 11 Tingkat pendidikan angkatan kerja di Kec. T.Ambon Hal yang kontras terlihat pada tingkat pendidikan nelayan, dimana 53% nelayan hanya berpendidikan SD. Jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan angkatan kerja seperti dikemukakan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa angkatan kerja terbanyak yang bekerja sebagai nelayan adalah hanya tamatan SD, dan nampaknya minat lulusan pendidikan yang lebih tinggi untuk bekerja sebagai nelayan relatif rendah. Apa yang menyebabkan demikian, diperlukan kajian/ penelitian tersendiri tentang hal ini. Namun, dugaan sementara ialah persepsi penduduk berpendidikan lebih tinggi terhadap pekerjaan sebagai nelayan pekerjaan tradisional yang penghasilan rendah.
55
Perguruan Tinggi 0% SMP & SMA 46%
SD 54%
Gambar 12 Tingkat pendidikan nelayan di Kec. Teluk Ambon Dari segi sosial, masyarakat di kecamatan ini heterogen, baik dari segi etnis maupun agama. Lebih dari dua etnik penduduk yang mendiami kecamatan ini, demikian juga pemeluk agama. Semua pemeluk agama (Kristen, Islam, Hindu dan Budha) ada di kecamatan ini. Dengan demikian, dari segi sosial, masyarakat di kecamatan ini dapat dikatakan sebagai masyarakat yang sudah terbuka. Struktur ekonomi di kecamatan ini, dapat dikatakan cukup modern. Hal ini terlihat pada kontribusi sektoral terhadap PDRB kecamatan ini, dimana sektor modern cukup dominan (lihat Gambar 13). Dominannya sektor angkutan dan komunikasi di kecamatan ini, karena semua moda angkutan (darat, laut dan udara) beroperasi dan berdomisili di kecamatan ini. Moda angkutan darat misalnya, terdapat sekitar 244 angkutan penumpang yang beroperasi di kecamatan ini (Kecamatan Teluk Ambon, 2010). Ini menunjukan mobilitas manusia dan barang yang masuk dan keluar kecamatan ini cukup tinggi dan lancar. Khusus kontribusi di sektor pertanian, yang terdiri atas sub-sektor pertanian tanaman pangan, sub-sektor peternakan, dan sub-sektor perikanan, dan menduduki peringkat kedua (kontribusi 29% terhadap PDRB) dalam struktur ekonomi kecamatan ini, sub-sektor perikanan yang memberi kontribusi yang besar (sekitar 70% dari total kontribusi sektor pertanian). Artinya, sub-sektor perikanan merupakan salah satu kontributor PDRB terbesar di kecamatan ini.
56
Keuangan, Persewaan 4%
Angkutan & Komunikasi 35%
Jasa-jasa 14%
Pertanian 29%
Perdaganga n, Hotel & 15%
Pertambang an dan Galian 0% Listrik & Air Minum Industri 1% Pengolahan 1% Bangunan 1%
Gambar 13 Struktur ekonomi Kecamatan Teluk Ambon Besarnya kontribusi sub-sektor perikanan terhadap PDRB kecamatan ini, yaitu 14,3% atau urutan ketiga setelah sektor angkutan & komunikasi dan sektor listrik & air minum, tidak terlepas dari usaha perikanan yang cukup maju di kecamatan ini (tabel 12). Dari tabel 12 dapat dikatakan bahwa desa-desa pesisir di kecamatan ini relatif agak maju usaha perikanannya, dibanding dengan desa-desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan, yang fishing ground nya relatif lebih dekat. Selain itu, usaha perikanan di kecamatan ini sebagian desa telah terdiversifikasi, teknologi produksi maupun metode operasi yang digunakan para nelayan di kecamatan ini, juga semakin maju, dan sudah tidak tradisional lagi. Hal lain yang cukup mendukung/menunjang usaha perikanan di kecamatan ini, ialah disemua desa pesisir ada koperasi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan usaha perikanan. Dari segi sosial, masyarakat di kecamatan ini relatif terbuka, karena di semua desa pesisir, didiami oleh lebih dari satu etnis. Dan semua tenaga kerja (nelayan) berasal dari desa sendiri, artinya ketersediaan tenaga kerja yang mau bekerja di usaha perikanan ada di semua desa pesisir. Dengan demikian, usaha perikanan di tiap desa memberi dampak terhadap penyerapan tenaga kerja yang ada di desa. Namun, seperti yang dikemukakan sebelumnya, minat tenaga kerja berpendidikan menengah dan terutama pendidikan tinggi untuk bekerja di sektor perikanan ini masih rendah. Walau sebagian besar desa pesisir di kecamatan ini, termasuk cukup baik, dikaitkan dengan pengembangan usaha perikanan, namun diversifikasi usaha perikanan masih belum terlalu variatif, karena masih berkisar pada usaha penangkapan dan budidaya ikan serta pengolahan hanya pengasapan ikan.
57
Tabel 12 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Dalam Indikator / Kriteria Desa
Laha
ASPEK USAHA PERIKANAN
Skor Desa Hative Rumah Tawiri Wayame Besar Tiga
Poka
Hunut
Unit usaha penangkapan
3
2
2
2
2
2
2
Unit usaha budidaya
1
1
1
2
2
2
2
Unit usaha pengolahan
2
1
2
1
1
2
1
Unit usaha pemasaran
3
3
2
3
3
2
2
Teknologi produksi
3
2
3
3
3
3
3
Metode operasi
3
2
3
2
3
3
3
15
11
13
13
14
14
13
Jumlah Skor
SARANA PENDUKUNG/PENUNJANG AKTIVITAS USAHA PERIKANAN Pabrik Es
2
1
1
1
1
1
1
Koperasi
2
2
2
3
2
2
2
Bank & Lmb Keuangan Lain
1
1
1
2
2
1
1
5
2
4
6
5
4
4
3
3
2
3
2
3
3
Kualitas SDM Desa
2
2
3
3
3
2
2
Kualitas TK Usaha perikanan
1
1
1
1
2
2
2
Asal TK usaha perikanan
3
3
3
3
3
3
3
2
2
3
2
2
2
2
3
1
2
1
2
2
2
2
2
2
3
2
3
3
2
3
3
1
1
3
3
18
17
19
17
17
20
20
Jumlah Skor ASPEK SOSIAL BUDAYA Spesifikasi Mata Pencaharian Penduduk di Bid. Perikanan
Tempat penjualan alat produksi/ pengolahan Tata nilai dalam menjalankan usaha perikanan Pembauran etnis dalam usaha perikanan Pengawasan sosial Jumlah Skor
4.1.3 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Baguala Kecamatan Teluk Ambon Baguala terdiri atas 6 desa dan 1 kelurahan, yaitu Desa Waiheru, Desa Nania, Desa Negeri Lama, Desa Passo, Kelurahan Lateri, Desa Halong, Desa Latta, yang seluruhnya berada di pesisir Teluk Ambon. Desa Halong dan Desa Passo merupakan desa terluas di kecamatan ini, yaitu dengan luas masingmasing 16 km2 dan 11,38 km2. Sebaliknya Desa Latta merupakan desa terkecil,
58
yaitu dengan luas 0,10 km2. Desa Waeheru merupakan yang paling jauh dari ibukota kecamatan yang berkedudukan di Desa Passo, dengan jarak sekitar 5 km. Kecamatan Teluk Ambon Baguala ini dilintasi oleh dua sungai dimana sungai terpanjangnya, yaitu Sungai Way Tonahitu (6 km). Menurut Zulkarnain (2007), luas, karakeristik alam, dapat potensi desa dapat menjadi pertimbangan bagi pengembangan usaha ekonomi desa. Dari segi kependudukan, walau jumlah penduduk kecamatan ini bukan yang terbanyak, hanya sekitar 20% dari jumlah penduduk Kota Ambon, namun tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 1.229,79 penduduk per km2. Namun tingkat kepadatan penduduk bervariasi di tiap desa, yaitu antara 313 jiwa/km2 hingga 22.175 jiwa/km2, dengan tingkat kepadatan tertinggi di Desa Nania, yaitu 22.175 jiwa/km2, walau bukan merupakan desa yang terbanyak penduduknya, karena Desa Passo adalah desa berpenduduk terbanyak (39,5% dari total penduduk kecamatan) di kecamatan ini, tetapi kepadatan penduduk hanya 1.711 jiwa/km2. Penduduk di kecamatan ini terbanyak bekerja sebagai PNS (22,01%), yang hampir seimbang dengan yang bekerja sebagai pengusaha/pemilik usaha (19,05%). Penduduk yang bekerja sebagai petani, sebagaimana umumnya penduduk desa, hanya 12,57% atau urutan ketiga (lihat Gambar 14), padahal hasil pertanian tanaman pangan yang dihasilkan oleh petani di kecamatan ini merupakan salah satu pemasok utama di pasar Passo maupun pasar Ambon. Dengan penduduk yang bekerja sebagai petani, peternak dan nelayan di kecamatan ini, yang secara total hanya 13,87%, menunjukan bahwa mayoritas penduduk di kecamatan ini memilih bekerja di sektor moderen. Hal ini, dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah Kota Ambon untuk menjadikan Passo (ibukota kecamatan) sebagai kota orde kedua (RPJM Kota Ambon 2006-2011). Terlihat jelas dari total penduduk yang bekerja sebagai pengusaha/pemilik usaha, pedagang, dan karyawan swasta, sebesar 32,6%. Urutan keempat pekerjaan penduduk ialah yang bekerja sebagai anggota TNI dan Polri (11,92%). Banyaknya penduduk yang bekerja sebagai anggota TNI dan Polri di kecamatan ini, karena terdapat asrama TNI AL dan asrama Polri.
59
Jenis Pekerjaan Penduduk Kec. Baguala Pengusaha/Pemilik Usaha Wartawan Arsitek/Akuntan/Konsultan Dosen/Peneliti Penterjemah Penata Rias/Busana/Rambut Buruh Harian Lepas Transportasi/Sopir Nelayan Pedagang
0,12% 0,03% 0,95% 0,01% 0,43% 0,26% 0,02% 0,03% 4,42% 0,97% 0,14% 1,19% 0,00% 0,00% 0,07% 0,03% 0,91% 0,55% 1,46% 0,73% 0,51% 0,06% 0,01% 1,23% 0,07% 1,56%
Pensiunan
6,72%
19,05%
11,96% 12,57% 11,92%
22,01%
Gambar 14 Grafik pekerjaan penduduk di Kec. Baguala Di bidang pendidikan, kecamatan ini cukup maju, dilihat dari banyaknya sekolah maupun tingkat pendidikan rata-rata angkatan kerja (penduduk usia kerja). Jumlah sekolah di kecamatan ini sebanyak 57 sekolah, terdiri atas 10 TK, 30 SD, 9 SMP, 6 SMA, dan 2 SMK. Dengan jumlah sekolah yang demikian banyak, juga memberi akses yang lebih besar bagi masyarakat untuk menikmati pendidikan. Hal ini tercermin dari tingkat pendidikan angkatan kerja yang cukup tinggi, yaitu 78% berpendidikan SMP ke atas (lihat Gambar 15).
PT 11%
TS + SD 22%
SMP + SMA 67%
Gambar 15 Grafik tingkat pendidikan angkatan kerja di Kec. Baguala Cukup tingginya pendidikan penduduk di kecamatan ini didukung oleh jumlah sekolah yang demikian banyak, yaitu berjumlah 58 sekolah, yang terdiri atas TK sebanyak 10, SD sebanyak 30, SMP sebanyak 9, SMA sebanyak 6, dan SMK 3.
60
Tiga SMK di kecamatan ini, berbeda bidang ketrampilan/kejuruan, yaitu masingmasing kejuruan perikanan, kejuruan pertanian, dan kejuruan teknologi dan perkapalan. Dengan demikian, banyaknya sekolah dan beragamnya sekolah kejuruan di kecamatan ini, memberi akses yang luas dan variatif kepada penduduk dikecamatan ini dalam memilih pendidikan yang sesuai. Tingginya pendidikan penduduk, juga diikuti dengan tingginya pendidikan para nelayan (lihat Gambar 16). Perguruan Tinggi 7%
SD ke Bawah 20%
SMP & SMA 73%
Gambar 16 Grafik Pendidikan Nelayan di Kec. Baguala Struktur ekonomi kecamatan ini di dominasi oleh sektor moderen, yaitu sektor jasa-jasa (27%), dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (26%), sedangkan sektor pertanian menempati urutan ketiga kontribusinya terhadap PDRB kecamatan ini (lihat Gambar 17). Dominasi sektor moderen terhadap struktur ekonomi kecamatan ini, sebagai konsekuensi dari kebijakan Pemerintah Kota Ambon pada tahun 2006 untuk membatasi pembangunan pusat bisnis baru dipusat kota dan mendorong aktivitas perdagangan dan jasa-jasa ke Passo (ibukota kecamatan) sebagai kota orde kedua. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 22%, yang merupakan akumulasi dari sub-sektor pertanian tanaman pangan, peternakan, dan perikanan. Dan sub-sektor perikanan memberi kontribusi sekitar 65% terhadap sektor pertanian ini. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa kontribusi sub-sektor perikanan terhadap PDRB kecamatan ini sebesar 14%, atau kontributor terbesar ketiga.
61
Jasa-jasa 27% Keu, Perse waan & Jasa Perusahaan 8% Angkutan & Komunikasi 5%
Pertanian 22%
Perdaganga n, Hotel & Restoran 26%
Pertamban gan dan Penggalian 1% Industri Pengolahan 8% Listrik & Air Minum 2% Bangunan 1%
Gambar 17 Grafik PDRB Kecamatan Baguala Di bidang perikanan, desa-desa pesisir ini cukup diandalkan sebagai kontribur bidang perikanan terutama perikanan tangkap di Kota Ambon. Namun demikian, kegiatan perikanan di desa-desa pesisir tersebut masih perlu dikembangkan karena beberapa potensi desa belum termanfaatkan secara optimal. Hal ini terlihat pada tabel 13 dimana usaha pengolahan sama sekali minim di kecamatan ini, karena hanya ada di Desa Halong dan Desa Latta, serta hanya usaha pengasapan ikan saja. Selain itu, sarana penunjang usaha perikanan sangat minim, dimana pada semua desa tidak ada pabrik es, padahal usaha penangkapan memerlukan es untuk menjaga kualitas ikan hasil tangkapan, apalagi fishing ground agak jauh di banding desadesa pesisir di kecamatan lainnya.
62
Tabel 13 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Teluk Ambon Baguala Skor Desa Indikator / Kriteria Desa
Nania Waeheru
Negeri Lama
Passo Lateri Halong
Latta
ASPEK USAHA PERIKANAN Unit usaha penangkapan
2
2
2
2
2
3
2
Unit usaha budidaya
2
2
2
2
2
2
2
Unit usaha pengolahan
1
1
1
1
1
2
2
Unit usaha pemasaran
3
2
2
3
2
2
2
Teknologi produksi
1
1
1
2
3
3
2
Metode operasi
1
1
1
2
2
2
2
10
9
9
12
12
14
12
Jumlah Skor
SARANA PENDUKUNG/PENUNJANG AKTIVITAS USAHA PERIKANAN Pabrik Es
1
1
1
1
1
1
1
Koperasi
2
1
2
2
2
2
2
Bank & Lmbg Keuangan Lain
2
1
1
3
2
1
1
5
3
4
6
5
4
4
3
2
3
3
3
3
3
Kualitas SDM Desa
3
3
3
3
3
3
3
Kualitas TK Usaha perikanan
3
3
3
3
3
3
3
Asal TK usaha perikanan
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
3
2
2
2
1
1
1
2
2
2
1
Pembauran etnis dalam usaha perikanan
2
2
1
2
2
1
3
Pengawasan sosial
3
3
3
1
3
1
3
20
19
19
20
21
18
21
Jumlah Skor ASPEK SOSIAL BUDAYA Spesifikasi Mata Pencaharian Penduduk di Bidang Perikanan
Tempat penjualan alat produksi/ pengolahan Tata nilai dalam menjalankan usaha perikanan
Jumlah Skor
4.1.4 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Sirimau Kecamatan Sirimau ini terdiri atas 3 desa dan 11 kelurahan, dan desa/kelurahan yang termasuk wilayah desa/kelurahan pesisir ada empat, yaitu Desa Batu Merah, Kelurahan Pandan Kasturi, Desa Hative Kecil, dan Desa Galala. Desa Hative kecil merupakan desa pesisir terjauh dari ibukota kecamatan Sirimau, yaitu dengan jarak sekitar 8 km. Keempat desa/kelurahan pesisir tersebut berbatasan
63
langsung dengan perairan Teluk Ambon bagian luar. Keempat desa pesisir ini, dalam klasifikasi desa oleh BPS, adalah desa swasembada. Penduduk di keempat desa pesisir ini adalah yang terbanyak (47% dari total penduduk kecamatan) dibanding dengan 10 desa/kelurahan lain yang ada di kecamatan ini (Kecamatan Sirimau Dalam Angka, 2010). Dari keempat desa pesisir tersebut, Desa Batu Merah adalah yang terbanyak penduduknya, bahkan yang terbanyak penduduknya di kecamatan ini, yaitu 35% dari total penduduk di kecamatan, dan Desa Galala adalah desa yang sedikit penduduknya dibanding keiga desa pesisir lainnya, bahkan yang tersedikit penduduknya di kecamatan ini, yaitu hanya 1,3% dari total penduduk kecamatan. Namun dari segi kepadatan penduduk, Desa Galala adalah desa yang terpadat penduduknya, yaitu 11.517 jiwa/km2, di banding dengan ketiga desa pesisir lain. Penduduk di kecamatan ini sebagian besar bekerja di sektor modern, dengan dominasi urutan sebagai pengusaha (38,7%), pegawai negeri sipil (19,9%), karyawan swasta (8,7%), dan sektor modern lainnya (lihat Gambar 18). Sedangkan sektor tradisional yang umumnya dicirikan dengan pekerja di sektor pertanian (petani, nelayan dan peternak), kurang dari 4%. Hal ini normal saja, sebab kecamatan ini berada di pusat Kota Ambon, sebagai ibukota Provinsi Maluku. Jenis Pekerjaan Penduduk Kec. Sirimau Pengusaha/Pemilik Usaha Wartawan Arsitek/Akuntan/Konsultan Dosen/Peneliti Penterjemah Penata Rias/Busana/Rambut Buruh Harian Lepas Transportasi/Sopir Nelayan Pedagang Pensiunan
0,18% 0,01% 0,55% 0,01% 0,18% 0,20% 0,08% 0,11% 3,30% 0,96% 0,09% 0,69% 0,01% 0,02% 0,04% 0,03% 0,66% 0,31% 2,29% 1,09% 8,77% 0,99% 0,31% 0,21% 0,76% 0,07% 3,07% 4,67% 5,93% 5,73%
38,70%
19,97%
Gambar 18 Janis pekerjaan penduduk di Kecamatan Sirimau Walaupun penduduk yang bekerja di sektor pertanian relatif kecil, hanya kurang dari 4%, namun kontribusi terhadap PDRB kecamatan cukup besar, yaitu
64
17% (lihat Gambar 19). Tingginya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB kecamatan tersebut, hampir 90% berasal dari sub-sektor perikanan. Besarnya kontribusi sub-sektor perikanan di kecamatan ini, disebabkan adanya Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang berada di kecamatan ini, yang hasil penangkapan ikan dari berbagai perairan di Maluku yang masuk PPN, tertercatat sebagai nilai tambah untuk kecamatan ni.
Keuangan,P ersewaan & Jasa Perusahaan 9%
Jasa-jasa 25%
Industri Listrik, Gas Pengolahan & Air Pertanian 1% Minum 17% 1% Bangunan 1%
Angkutan & Komunikasi 16%
Perdaganga n, Hotel & Restoran 31%
Gambar 19 PDRB Kecamatan Sirimau Angkatan kerja di kecamatan ini, khususnya pada keempat desa pesisir, relatif atau mayoritas berpendidikan di atas SD, yakni setingkat SMP dan SMA sebesar 52% dan perguruan tinggi sebesar 18, sedangkan yang tidak bersekolah dan berpendidikan SD sebesar 30% (lihar Gambar 20).
PT 18%
TS + SD 30%
SMP & SMA 52%
Gambar 20 Angkatan kerja desa pesisir di Kecamatan Sirimau
65
Tingkat pendidikan angkatan kerja di keempat desa pesisir tersebut, tidak sebanding dengan sekolah dan perguruan tinggi yang ada disana. Jumlah sekolah di keempat desa pesisir ini sebanyak 36 sekolah yang terdiri atas 9 TK, 14 SD, 11 SMP, dan 3 SMA. Dan jumlah perguruan tinggi di keempat desa pesisir ini sebanyak 3 perguruan tinggi, yang terdiri atas 2 pendidikan tinggi berlatar belakang agama, dan 1 perguruan tinggi umum. Dengan ketersediaan pendidikan semua jenjang yang ada di keempat desa pesisir ini, maka seharusnya tingkat pendidikan angkatan kerja juga tinggi, tetapi nyatanya angkatan kerja yang berpendidikan SD cukup tinggi. Hal ini kontras dengan tingkat pendidikan nelayan, dimana 83% nelayan berpendidikan setingkat SMP dan SMA (lihat Gambar 21). Kontrasnya tingkat pendidikan angkatan kerja dan tingkat pendidikan nelayan di keempat desa pesisir ini, disebabkan karena angkatan kerja yang bekerja sebagai nelayan sangat sedikit, yaitu tidak sampai 1% dari jumlah angkatan kerja.
Perguruan Tinggi 0%
SD ke Bawah 17%
SMP & SMA 83%
Gambar 21 Tingkat pendidikan nelayan desa pesisir di Kec. Sirimau Tingginya tingkat pendidikan nelayan di kecamatan ini, memudahkan nelayan untuk selalu terbuka dalam memilih teknologi produksi yang sesuai dengan perkembangan teknologi penangkapan. Demikian juga dalam hal metode operasi maupun sifat keterbukaan sosial dalam menjalankan usaha perikanan. Ditambah dengan ketersediaan sarana pendukung/penunjang usaha perikanan yang cukup memadai di keempat desa pesisir ini, membuat keempat desa tersebut ini jauh lebih maju dari desa-desa di kecamatan lainnya (tabel 14).
66
Tabel 14 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Sirimau Indikator / Kriteria Desa
Skor Desa Batu Merah
Pandan Kasturi
Hative Kecil
Galala
Unit usaha penangkapan
3
3
3
3
Unit usaha budidaya
1
1
1
1
Unit usaha pengolahan
2
2
2
2
Unit usaha pemasaran
3
3
3
3
Teknologi produksi
2
3
3
2
Metode operasi
2
3
3
2
13
15
15
13
ASPEK USAHA PERIKANAN
Jumlah Skor
SARANA PENDUKUNG/PENUNJANG AKTIVITAS USAHA PERIKANAN Pabrik Es
2
2
2
1
Koperasi
2
2
2
2
Bank & Lembaga Keuangan Lain
3
2
2
1
7
6
6
4
3
3
3
3
2
2
2
2
Kualitas TK Usaha perikanan
2
2
2
2
Asal TK usaha perikanan
3
3
3
3
3
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
3
21
20
20
21
Jumlah Skor ASPEK SOSIAL BUDAYA Spesifikasi Mata Pencaharian Penduduk di Bidang Perikanan Kualitas SDM Desa
Tempat penjualan alat produksi/pengolahan Tata nilai dalam menjalankan usaha perikanan Pembauran etnis dalam usaha perikanan Pengawasan sosial Jumlah Skor
4.1.5 Keberadaan variabel status desa di Kecamatan Nusaniwe Desa/kelurahan pesisir yang terdapat di Kecamatan Nusaniwe ada delapan dari total tiga belas desa, yaitu Desa Latuhalat, Desa Seilale, Desa Amausu, Desa Nusaniwe, Kelurahan Benteng, Kelurahan Urimessing, Kelurahan Waihong, dan Kelurahan Silale. Desa/kelurahan pesisir yang terluas adalah Desa Urumessing (46,16 km2), sedangkan desa/kelurahan pesisir terkecil adalah Kelurahan Silale (0,18 km2).
67
Penduduk delapan desa pesisir ini sebanyak 57,3% dari total jumlah penduduk di Kecamatan Nusaniwe, dan Kelurahan Benteng adalah yang terbanyak penduduknya, 17,8% dari total penduduk kecamatan, serta penduduk yang paling sedikit di kecamatan ini adalah Desa Seilale, hanya 1,3% dari total penduduk kecamatan. Tingkat pendidikan angkatan kerja pada delapan desa pesisir di kecamatan ini cukup tinggi, walaupun yang berpendidikan SD juga masih cukup tinggi, yaitu sebesar 25% (lihat Gambar 22). Padahal jumlah sekolah maupun perguruan tinggi yang berada di kecamatan ini cukup banyak. Jumlah 101 sekolah sebanyak terdiri atas, 21 TK, 54 SD, 11 SMP, 11 SMA, dan 4 SMK. Jumlah perguruan tinggi sebanyak 5 perguruan tinggi, yang terdiri atas 1 universitas, 3 akademi, dan 1 sekolah tinggi. Ini berarti akses masyarakat kecamatan ini terhadap semua jenjang pendidikan cukup tinggi, sehingga semestinya tingkat pendidikan angkatan kerja di delapan desa pesisir tersebut pada tingkat SD lebih kecil dari yang ada sekarang.
PT 11%
TS + SD 25%
SMP & SMA 64%
Gambar 22 Tingkat AK desa pesisir di Kec. Nusaniwe Jika dilihat data tingkat pendidikan angkatan kerja desa pesisir pada Gambar 22 dibandingkan dengan tingkat pendidikan nelayan pada Gambar 23, secara proporsional nampaknya angkatan kerja yang berpendidikan rendah (SD) yang cukup besar jumlahnya tersebut, sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Rendahnya tingkat pendidikan nelayan nampaknya juga mempengaruhi inovasi dalam metode operasi dan keterbukaan nelayan dalam menjalankan usaha perikanan, seperti tergambar pada Tabel 15, khususnya pada Desa Seilale, Desa Nusaniwe, dan Desa Urimesing.
68
Perguru an Tinggi 2% SMP & SMA 54%
SD ke Bawah 44%
Gambar 23 Tingkat pendidikan nelayan Kec. Nusaniwe Pekerjaan penduduk di kecamatan ini sebagai pengusaha/pemilik usaha, termasuk pemiliki kios atau pemilik bengkel, menempati urutan teratas, melebihi penduduk yang bekerja sebagai PNS (lihat Gambar 24). Pekerjaan penduduk sebagai PNS ini (22,1%), kalaupun ditambah dengan yang bekerja sebagai guru (4,5%) dan dosen (0,9%) sekalipun, masih belum menyamai penduduk yang bekerja sebagai pengusaha/pemilik usaha (28,4%) dan pedagang keliling/papalele (2,1%). Hal ini merupakan catatan menarik, mengingat persepsi masyarakat di Maluku dan juga masyarakat Indonesia, menganggap pekerjaan sebagai PNS dan guru/dosen lebih menjamin masa depan lebih baik daripada non PNS dan guru/dosen (Arifin, 2005). Perubahan pilihan pekerjaan yang lebih dominan sebagai non-PNS, juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam membatasi penerimaan PNS setiap tahun, yang tidak sebanding dengan pertambahan angkatan kerja baru yang memasuki pasar kerja. Urutan pilihan pekerjaan penduduk di kecamatan ini selanjutnya, adalah sebagai karyawan swasta, diikuti pensiunan, anggota TNI dan Polri, petani, sopir, dan nelayan, sedangkan sisanya berada dibawah 1%. Banyaknya anggota TNI dan Polri di kecamatan ini, karena terdapat tiga asrama, yaitu 1 asrama Polri, dan 2 asrama TNI. Nelayan di kecamatan ini termasuk sedikit, mengingat kecamatan ini dikelilingi oleh Laut Banda yang potensial, sehingga sebetulnya menjadi lahan garapan potensial.
69
Jenis Pekerjaan Penduduk Kec. Nusaniwe Pengusaha/Pemilik Usaha Wartawan Arsitek/Akuntan/Konsultan Dosen/Peneliti Penterjemah Penata Rias/Busana/Rambut Buruh Harian Lepas Transportasi/Sopir Nelayan Pedagang Pensiunan
0,2% 0,0% 0,9% 0,1% 0,2% 0,2% 0,0% 0,1% 4,5% 0,9% 0,1% 1,1% 0,0% 0,0% 0,0% 0,0% 0,7% 0,2% 1,8% 0,9% 10,5% 2,8% 0,6% 0,5% 2,1% 0,1% 5,6% 2,1% 5,9% 7,3%
28,4%
22,1%
Gambar 24 Jenis pekerjaan penduduk di Kecamatan Nusaniwe Dari penyebaran jenis pekerjaan penduduk kecamatan ini ditambah dengan factor-faktor produksi lain, membentuk struktur ekonomi kecamatan ini seperti terlihat pada Gambar 4.20. Terlihat jelas dominasi sektor modern (perdagangan, hotel dan restoran 30%, jasa-jasa 24%, dan angkutan dan komunikasi 18%) terhadap perekonomian kecamatan ini, dibanding dengan sektor tradisional (pertanian). Gambaran ini juga cerminan dari jenis pekerjaan penduduk di kecamatan ini. Hal yang menarik dari data pada Gambar 24 dan Gambar 25 ialah pekerjaan penduduk di sektor pertanian (pertanian tanaman pangan, peternakan, dan perikanan) yang hanya sekitar 8%, dan kontribusi sektor ini terhadap PDRB kecamatan sebesar 18%. Ini artinya, tenaga kerja sektor ini dan faktor-faktor produksi lain yang digunakan dalam mengelola sumber daya alam, cukup produktif dan ekonomis. Catatan lain dari kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB kecamatan sebesar 18% ini, walau bukan yang terbesar, sebagian besar (70%) adalah kontribusi sub-sektor perikanan. Dengan kata lain, kontribusi sub-sektor perikanan terhadap PDRB kecamatan sekitar 13%. Jika dibanding dengan jumlag nelayan yang hanya 2,1%, maka sesungguhnya sub-sektor perikanan mampu memberi kontribusi yang signifikan terhadap PDRB kecamatan ini.
70
Jasa-jasa Keu.Perse 24% waan & Jasa Perus.7% Angkutan & Komunikas i 18%
Pertamb. Industri dan Pengolaha Penggalian n Pertanian 0% 2% 18% Listrik & Air Minum 0% Perdagang an, Hotel Bangunan & 1% Restoran 30%
Gambar 25 PDRB Kecamatan Nusaniwe (BPS Kota Ambon, 2010) Dengan kontribusi sub-sektor perikanan terhadap PDRB kecamatan yang cukup signifikan tersebut, belum sepenuhnya usaha perikanan di desa-desa pesisir kecamatan ini sama tingkat kemajuannya. Usaha perikanan budidaya di kecamatan ini sama sekali tidak berkembang, hanya ada di dua desa, yaitu Nusaniwe dan Urimessing, dan hanya satu jenis budidaya, yaitu budidaya ikan (tabel 15). Demikian juga usaha pengolahan kurang berkembang di kecamatan ini, karena selain hanya di sebagian desa, juga hanya pengasapan ikan. Usaha perikanan di kecamatan ini hanya bertumpu pada usaha perikanan tangkap. Dari segi sarana penunjang usaha perikanan, relatif cukup tersedia. Walau demikian, dengan usaha perikanan tangkap yang dominan, dengan jumlah usaha perikanan yang cukup banyak di kecamatan ini, yaitu sebanyak 34,7% dari total usaha perikanan di Kota Ambon, dan jumlah pabrik es yang hanya ada di dua desa dengan kapasitas yang relatif kecil, yaitu hanya 10 ton. Sarana penunjang ini perlu diperbanyak atau diperbesar kapasitasnya, agar dapat menunjang kualitas hasil tangkapan. Dari segi sosial-budaya, secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi sosialbudaya
masyarakat
di
kecamatan
ini,
cukup
memenuhi
standar
untuk
pengembangan usaha perikanan. Indikator keterikatan terhadap tata nilai dalam menjalankan usaha perikanan misalnya, relatif sudah terbuka. Demikian juga indikator pembauran etnis, relatif heterogen, walau ada desa yang masih homogen etnisnya.
71
Tabel 15 Daftar skor capaian indikator variabel status desa di Kecamatan Nusaniwe Indikator / Kriteria Desa
Skor
Desa
Latuhalat
Seila le
Amahusu
Nusa -niwe
Benteng
Urimesing
Waehaong
Silale
Unit usaha penangkapan
3
2
2
3
2
2
3
2
Unit usaha budidaya Unit usaha pengolahan Unit usaha pemasaran Teknologi produksi Metode operasi Jumlah Skor
1 2 2 3 3 14
1 1 2 2 1 9
1 1 2 2 2 10
2 1 3 2 1 12
1 2 2 3 2 12
2 1 2 2 1 10
1 2 3 3 3 15
1 2 2 2 2 11
1 2
1 2
1 2
1
2
2
4
5
5
ASPEK USAHA PERIKANAN
SARANA PENDUKUNG/PENUNJANG AKTIVITAS USAHA PERIKANAN Pabrik Es 1 1 1 3 2 Koperasi 3 2 2 2 2 Bank & Lembaga Keuangan 1 2 1 2 2 Lain Jumlah Skor 5 5 4 7 6 ASPEK SOSIAL BUDAYA Spesifikasi Mata Pencaharian Penduduk di Bidang Perikanan Kualitas SDM Desa Kualitas TK Usaha perikanan Asal TK usaha perikanan Tempat penjualan alat produksi/ pengolahan Tata nilai dalam menjalankan usaha perikanan Pembauran etnis dalam usaha perikanan Pengawasan sosial Jumlah Skor
3
2
2
3
3
2
3
3
2 2 3
2 1 3
2 2 3
2 1 3
2 2 3
2 1 3
2 2 3
2 2 3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
1
2
3
1
2
2
2
2
1
2
3
1
3
2
1
1
1
3
3
3
3
3
17
14
14
18
21
15
20
19
4.2. Status Desa Pesisir Di Kota Ambon Perhitungan dalam menilai status desa perikanan yang dikembangkan dalam penelitian ini akan menghasilkan beberapa angka seperti disajikan pada Tabel 16. Informasi status desa perikanan berdasarkan nilai akhir berupa total skor standar (TSS) dapat digunakan untuk membuat kesimpulan umum perikanan di suatu kawasan ekologi (misalnya kawasan teluk, kawasan pesisir), wilayah administrasi (misalnya kecamatan, kabupaten, provinsi) atau kawasan atau wilayah pengelolaan perikanan (seperti WPP). Dengan metode ini, pengelola perikanan dapat menentukan fokus pembangunan perikanan dengan melihat skor dari setiap variabel
72
yang digunakan. Strategi pembangunan perikanan yang dipilih diharapkan akan dapat meningkatkan nilai skor variabel sehingga status desa menjadi lebih baik. Tabel 16 Nilai-nilai yang dihasilkan dari perhitungan untuk menentukan status desa perikanan No.
Jenis nilai
Nilai skor variabel untuk status desa UP
US
UB
1
Nilai skor minimum variabel
1
1
1
2
Nilai skor maksimum variabel
3
3
3
3
Bobot
0,5
0,3
0,2
4
Nilai standar minimum variabel
0,5
0,3
0,2
5
Nilai standar maksimum variabel
1,5
0,9
0,6
Nilai skor untuk status desa 6
Nilai skor desa terendah (semua minimum)
1,0
7
Nilai skor desa tertinggi (semua maksimum)
3,0
8
Kisaran skor desa Mina Mula
1,00 – 1,49
9
Kisaran skor desa Mina Mandiri
1,50 – 2,39
10
Kisaran skor desa Mina Politan
2,40 – 3,00
Secara umum desa-desa pesisir di Kota Ambon masih pada taraf perkembangan yang relatif belum terlalu maju; karena nilai rata-rata TSS adalah 1,93 atau berada dalam kisaran kriteria mina mandiri, yang hanya sedikit diatas standar kriteria mina mula, yaitu TSS = 1,5. Meskipun demikian, dari segi usaha perikanan dapat dikatakan sudah maju karena desa-desa tersebut memiliki usaha perikanan yang relatif variatif; nilai rata-rata SS UP adalah 1,02 dari nilai tertinggi 1,5. Sebaliknya dari segi keberadaan sarana penunjang usaha perikanan relatif minim; nilai rata-rata SS SP adalah 0,46 dari nilai tertinggi 0,9. Walaupun sebagian besar desa pesisir berstatus desa mina mandiri, namun tingkat keragaman antar desa cukup tinggi, tidak hanya dilihat dari angka TSS saja, tetapi juga pada aspek yang diteliti, yaitu usaha perikanan (kisaran SS=0,75-1,33), aspek sarana pendukung usaha perikanan (kisaran SS=0,20-0,70), dan aspek sosialbudaya (kisaran SS=0,33-0,53). Keragaman ini memberi indikasi bahwa pola intervensi program pengembangan perikanan terpadu di desa pesisir Kota Ambon, juga akan bervariasi sesuai tingkat perkembangan tiap desa pesisir. Desa-desa pesisir berstatus mina mandiri yang sangat bervariasi ini dapat dikelompokan dalam 3 kategori. Kelompok pertama adalah desa mina mandiri
73
tertinggi (TSS >2,3) atau mendekati kriteria status mina politan, seperti Desa Hutumuri, Desa Hative Besar, Kelurahan Pandan Kasturi, dan Desa Batu Merah. Kelompok kedua adalah desa mandiri dengan TSS yang berkisar antara 2,00 - 2,30; ada 12 desa yang umumnya memiliki sarana penunjang usaha perikanan yang minim, terutama pabrik es dan bank atau lembaga keuangan lain. Kelompok ketiga adalah desa mandiri dengan TSS antara 1,50 dan 2,50; ada 14 desa/kelurahan yang tidak hanya dicirikan oleh keragaman usaha perikanan yang minim (hanya satu jenis) tetapi juga oleh sarana penunjang usaha perikanan yang minim. Status ke 30 desa pesisir yang demikian maju (status mina mandiri) ternyata tidak diikuti dengan kemajuan yang berarti dalam hal pengentasan kemiskinan. Dugaan sementara tentang penyebab utama kemiskinan ini adalah tingkat pengangguran yang tinggi, yaitu sebesar 17,6% (BPS Kota Ambon 2010), akibat tingkat urbansasi tinggi dari luar kota Ambon sementara lapangan kerja yang tersedia di kota Ambon masih terbatas untuk menyerapnya. Jika hal ini benar maka pengembangan perikanan hendaknya juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan ikutan dari kegiatan perikanan yang dikembangkan. Sebaran status desa pesisir, dapat dilihat pada gambar 26 pada halaman berikut. Deskripsi mengenai status desa per kecamatan dengan penyajian status desa dalam tabel berdasarkan urutan status terendah sampai tinggi, kemudian di deskripsi pengklasifikasian kesamaan kelebihan dan kekurangan desa dalam status yang sama, dipaparkan pada bagian-bagian berikut.
Gambar 26 Sebaran Status Desa Pesisir di Kota Ambon
74
4.2.1 Status desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan Hasil penelitian ini menerangkan bahwa tingkat perkembangan desa-desa pesisir kecamatan ini, Desa Rutong dan Desa Leahari berstatus Mina Mula (Tabel 17), sedangkan empat desa yang lainnya berstatus mina mandiri. Keberadaan status kedua desa pesisir (Rutong & Leahari) yang tergolong rendah, padahal berada dalam wilayah sumber daya ikan yang potensial, karena beberapa aspek yang relatif sama pada kedua desa ini, yaitu : 1) Dari aspek usaha perikanan, total skor, TS1 nya hanya 10 dari total 18. Hal ini disebabkan oleh perikanan tangkapnya hanya yang berskala traisional, dalam arti aktivitas penangkapan menggunakan armada tangkap tradisional (perahu tanpa motor yang didominasi perahu semang), tidak ada usaha budidaya maupun pengolahan, walaupun kegiatan penangkapan telah menggunakan atau mengadopsi teknologi penangkapan yang relatif lebih maju, dan metode operasi yang mengalami modifikasi dari metode turun-temurun. 2) Sarana penunjang usaha perikanan, sama sekali tidak ada di kedua desa tersebut. 3) Dari segi sosial budaya, kedua desa ini relatif sama, yaitu total skor, TS3 nya 13 (Desa Rutong) dan 14 (Desa Leahari) dari TS3 maksimal 24. Ada hal-hal yang sama dari segi sosial budaya di kedua desa ini, ialah masih kuatnya adat istiadat yang relatif tidak terbuka terhadap dinamika sosial, dan hanya ada satu etnis dalam desa, sehingga proses interaksi dan transformasi budaya relatif tidak ada. Tabel 17 Status Desa Pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan No
Nama Desa/Kel.
TS1
RS1
SS1
TS2
RS2
SS2
TS3
RS3
SS3
TOTAL STANDAR SKOR TSS
ASPEK USAHA PERIKANAN
ASPEK SARANA PENDUKUNG
ASPEK SOSIAL BUDAYA
STATUS
1
Rutong
10
1,67
0,83
3
1,00
0,30
13
1,63
0,33
1,46
MULA
2
Leahari
10
1,67
0,83
3
1,00
0,30
14
1,75
0,35
1,48
MULA
3
Kilang
12
2,00
1,00
3
1,00
0,30
14
1,75
0,35
1,65
MANDIRI
4
Naku
12
2,00
1,00
3
1,00
0,30
18
2,25
0,45
1,75
MANDIRI
5
Hukurila
12
2,00
1,00
4
1,33
0,40
17
2,13
0,43
1,83
MANDIRI
6
Hutumuri
16
2,67
1,33
6
2,00
0,60
17
2,13
0,43
2,36
MANDIRI
12
2,00
1,00
3,7
1,20
0,40
15,5
1,90
0,40
1,80
Rata-Rata
Dari empat desa yang berstatus mina mandiri, tiga desa (Desa Kilang, Desa Naku, dan Desa Hukurila) juga tidak jauh berbeda dengan Desa Rutong dan Desa
75
Leahari. Ketiga desa pesisir ini masih tradisional, hanya mengandalkan perikanan tangkap saja, dan budi daya serta pengolahan sama sekali belum dikembangkan bahkan tidak ada. Kedua, sarana pendukung sama sekali tidak mendukung usaha perikanan tangkap yang ada di desa-desa tersebut. Namun demikian, dari segi sosial-budaya, relatif kondusif untuk perikanan lebih berkembang. Sangat kontras dengan lima desa di atas, Desa Hutumuri di kecamatan ini yang tingkat perkembangan perikanannya sudah cukup maju, yaitu dengan status desa mina mandiri, sekaligus desa berstatus tertinggi di Kota Ambon. Walaupun tingkat perkembangan status perikanan Desa Hutumuri ini cukup tinggi dan tertinggi di Kota Ambon, namun tingkat kemiskinan di desa ini juga masih tinggi, yaitu 21,9% di tahun 2011, atau hampir dua kali lebih tinggi daripada tingkat kemuskinan di Kota Ambon secara keseluruhan. Hal ini memberi indikasi bahwa kemajuan perikanan belum dapat mengatasi kemiskinan di desa ini. Untuk itu, diperlukan kajian atau penelitian lain yang mendalam dan komprehensif mengenai kedua aspek ini, yaitu perkembangan perikanan dan tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan di kecamatan ini adalah yang tertinggi dibanding dengan kecamatan lainnya di Kota Ambon. Di antara sesama desa pesisir, tingkat kemiskinan penduduk keenam desa pesisir di kecamatan ini lebih tinggi (22,8%) daripada keseluruhan desa di kecamatan ini, lebih rendah dari tahun 2008 (24,2%). Fakta ini menunjukan bahwa desa-desa pesisir di kecamatan ini adalah kantongkantong kemiskinan yang memerlukan penanggulangan yang terencana dan sistematis. 4.2.2 Status desa pesisir di Kecamatan Teluk Ambon Dalam Semua desa pesisir di kecamatan ini berstatus mina mandiri (Tabel 18). Walau semua desa pesisir kecamatan ini berstatus mina mandiri, terdapat 3 desa yang terendah TSS nya, yaitu Desa Tawiri, Desa Hative Besar, dan Desa Hunuth. Ketiga desa ini mempunyai keterbatasan yang sama pada sarana penunjang usaha perikanan, yaitu tidak ada pabrik es dan bank atau lembaga keuangan lain. Selain itu, usaha perikanan hanya terbatas pada satu jenis, misalnya hanya penangkapan saja, dan juga tidak variatif.
76
Tabel 18 Status Desa Pesisir di Kecmatan Teluk Ambon Dalam No
Nama Desa/Kel.
TS1
RS1
SS1
TS2
RS2
SS2
TS3
RS3
SS3
TOTAL STANDAR SKOR (TSS)
ASPEK USAHA PERIKANAN
ASPEK SARANA PENDUKUNG
ASPEK SOSIAL BUDAYA
STATUS
1
Tawiri
11
1,83
0,92
3
1,00
0,30
17
2,13
0,43
1,55
MANDIRI
2
13
2,17
1,08
4
1,33
0,40
19
2,38
0,48
1,96
MANDIRI
3
Hatiwe Besar Hunuth
13
2,17
1,08
4
1,33
0,40
20
2,50
0,50
1,98
MANDIRI
4
Poka
14
2,33
1,17
4
1,33
0,40
20
2,50
0,50
2,07
MANDIRI
5
14
2,33
1,17
5
1,67
0,50
17
2,13
0,43
2,09
MANDIRI
6
Rumah Tiga Wayame
13
2,17
1,08
6
2,00
0,60
17
2,13
0,43
2,11
MANDIRI
7
Laha
15
2,50
1,25
5
1,67
0,50
18
2,25
0,45
2,20
MANDIRI
Rata-Rata
13,29
2,21
1,11
4,43
1,44
0,44
18,29
2,29
0,46
1,99
Desa Poka dan Desa Hunut menjadi tempat pembinaan pembudidaya ikan, baik budidaya air laut maupun air tawar. Hal ini disebabkan lokasi ini berdekatan dengan Loka Perikanan Budidaya yang menaungi kegiatan penelitian dan pembinaan budidaya perikanan wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Loka Perikanan Budidaya ini banyak membantu pembudidaya dalam pembibitan, pembinaan pembesaran, dan perawatan ikan terhadap berbagai penyakit. Namun demikian, usaha budidaya di kedua desa ini, masih terbatas hanya pada budidaya ikan saja. Melihat dukungan sarana prasarana, pembauran, keterampilan pelaku perikanan di lolaksi, serta dukungan pelaku perikanan ini, maka Desa Poka dan Desa Hunut ini dapat dijadikan sebagai kawasan mina politan berbasis budidaya. Dilihat dari tingkat kemiskinan, kecamatan ini termasuk yang tinggi, yaitu 20,7%. Hal juga ini menunjukan bahwa meskipun perikanan telah berkembang maju dengan status desa mina mandiri, namun kemiskinan tetap menjadi masalah. 4.2.3 Status desa pesisir di Kecamatan Teluk Ambon Baguala Keseluruhan desa pesisir di kecamatan ini berstatus mina mandiri, walaupun Desa Waeheru dan Desa Negeri Lama yang TSS nya (lihat tabel 19) hanya sedikit di atas kriteria standar status mina mula, yaitu TSS = 1,49. Rendahnya TSS Desa Waeheru yang TSSnya hanya 0,04 di atas kriteria standar status mina mula, disebabkan oleh sarana penunjang usaha perikanan yang sama sekali tidak ada. Di desa ini tidak ada pabrik es, tidak ada koperasi, dan tidak ada lembaga keuangan (bank dan bukan-bank), serta juga tidak ada usaha pengolahan perikanan. Padahal
77
di desa ini terdapat sekolah perikanan (SUPP), terdapat Balai Benih Perikanan, yang sesungguhnya dapat berdampak terhadap dinamika usaha perikanan. Desa Negeri Lama yang TSSnya sedikit di atas Desa Waeheru, selain sarana penunjang usaha perikanan yang tidak ada (pabrik es dan lembaga keuangan), juga tata nilai dalam menjalankan usaha perikanan yang belum terbuka terhadap inovasi baru, dan juga pembauran etnis yang homogen. Tabel 19 Status Desa Pesisir di Kecamatan Baguala No 1 2 3
Nama Desa/Kel. Waeheru Negeri Lama Nania
TS1
RS1
SS1
TS2
RS2
SS2
TS3
RS3
SS3
TOTAL STANDAR SKOR (TSS)
9
1,50
0,75
3
1,00
0,30
19
2,38
0,48
1,53
MANDIRI
9
1,50
0,75
4
1,33
0,40
19
2,38
0,48
1,63
MANDIRI
10
1,67
0,83
5
1,67
0,50
20
2,50
0,50
1,83
MANDIRI
ASPEK USAHA PERIKANAN
ASPEK SARANA PENDUKUNG
ASPEK SOSIAL BUDAYA
STATUS
4
Latta
12
2,00
1,00
4
1,33
0,40
21
2,63
0,53
1,93
MANDIRI
5
Halong
14
2,33
1,17
4
1,33
0,40
18
2,25
0,45
2,02
MANDIRI
6
Lateri
12
2,00
1,00
5
1,67
0,50
21
2,63
0,53
2,03
MANDIRI
7
Passo
12
2,00
1,00
6
2,00
0,60
20
2,50
0,50
2,10
MANDIRI
11,14
1,86
0,93
4,43
1,48
0,44
19,71
2,46
0,49
1,86
Rata-Rata
Desa Passo, Kelurahan Lateri, Desa Halong, Desa Latta, dan Desa Nania merupakan desa/kelurahan pesisir dengan status mina mandiri di Kecamatan Teluk Ambon Banguala, dengan total standar skor masing-masing 2,10, 2,03, 2,02, 1,93 dan 1,83. Kelemahan kelima desa ini, pada aspek yang berbeda-beda. Desa Passo memiliki skor standar tinggi (SS=0,60) dalam hal ketersediaan sarana penunjang/ pendukung usaha perikanan, Desa Lateri dan Desa Latta memiliki skor standar tertinggi (SS=0,53) pada aspek sosial-budaya, sedangkan Desa Halong memiliki skor standar tertinggi (SS=1,17) pada aspek usaha perikanan. Sementara itu, tingkat kemiskinan di kecamatan ini tergolong tinggi, yaitu 19,1% pada tahun 2011, dan masih lebih tinggi dibanding tingkat kemiskinan di Kota Ambon secara keseluruhan, walaupun bukan kecamatan yang tertinggi tingkat kemiskinan nya. Tingkat kemiskinan desa pesisir di kecamatan ini, sama dengan desa-desa pesisir di kecamatan lainnya, yang lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan desa-desa bukan-pesisir di Kota Ambon. 4.2.4 Status desa pesisir di Kecamatan Sirimau Jumlah desa pesisir di kecamatan ini sangat sedikit, hanya 4 desa/kelurahan dari total 14 desa/kelurahan, karena kecamatan ini adalah kecamatan yang berada di
78
pusat kota. Sebagai kecaamatan pusat kota, otomatis menjadi pusat berbagai aktivitas sosial, ekonomi, maupun politik. Keempat desa pesisir semuanya berstatus mina mandiri dengan TSS yang tinggi, bahkan dua kelurahan di kecamatan ini, yaitu Kelurahan Pandan Kasturi dan Desa Hatiwe Kecil berstatus desa pesisir mina mandiri dengan total standar skor hampir mendekati status desa Mina Politan (Tabel 20). Status mina mandiri bagi Kelurahan Pandan Kasturi dan Hative Kecil, lebih karena spesifikasi mata pencaharian masyarakat yang heterogen, pembauran etnis yang baik dalam kegiatan perikanan, sarana dan prasarana pendukung perikanan yang memadai, tingkat pendidikan yang baik dan fasilitas pendidikan yang mendukung pengembangan keahlian perikanan. Profesi beragam terdiri dari nelayan, pengolah ikan (pengasapan), pedagang ikan, jasa angkutan, pengiriman. Profesi PNS merangkap pelaku perikanan merupakan yang paling banyak (BPS Kota Ambon, 2010). Di Kelurahan Pandan Kasturi terdapat pelabuhan perikanan yang lengkap (PPN Tantui), pasar ikan hiegenis, kios alat perikanan, SPBU, dan angkutan umum yang mendukung berbagai kegiatan perikanan di lokasi. Bila kondisi dan potensi desa dihubungkan dengan program Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menunjuk Kota Ambon sebagai kawasan mina politan, maka ketiga desa pesisir tersebut, yaitu Desa Batu Merah, Kelurahan Pandan Kasturi, dan Desa Hative Kecil dapat ditunjuk sebagai lokasi pelaksanaan program kawasan mina politan dengan basis perikanan tangkap. Pelaksanaan program ini diharapkan dapat meningkatkan capaian nilai indikator/kriteria yang ada, sehingga ketiga desa tersebut nantinya naik statusnya menjadi desa mina politan. Tingkat kemiskinan kecamatan ini tahun 2011 sebesar 10,9%, dan merupakan kecamatan dengan tingkat kemiskinan terendah di Kota Ambon. Tingkat kemiskinan keempat desa/kelurahan pesisir di kecamatan ini lebih tinggi (11,7%) dari kecamatan secara keseluruhan.
79
Tabel 20 Status Desa Pesisir di Kecamatan Sirimau No 1
Nama Desa/Kel. Galala
Batu Merah Pandan 3 Kasturi Hatiwe 4 Kecil Rata-Rata 2
TS1
RS1
SS1
TS2
RS2
SS2
TS3
RS3
SS3
TOTAL STANDAR SKOR (TSS)
13
2,17
1,08
4
1,33
0,40
21
2,63
0,53
2,01
MANDIRI
13
2,17
1,08
7
2,33
0,70
21
2,63
0,53
2,31
MANDIRI
15
2,50
1,25
6
2,00
0,60
20
2,50
0,50
2,35
MANDIRI
15
2,50
1,25
6
2,00
0,60
20
2,50
0,50
2,35
MANDIRI
14
2,33
1,17
5,75
1,92
0,58
20,5
2,56
0,51
2,25
ASPEK USAHA PERIKANAN
ASPEK SARANA PENDUKUNG
ASPEK SOSIAL BUDAYA
STATUS
4.2.5 Status desa pesisir di Kecamatan Nusaniwe Sesuai perhitungan untuk penentuan status desa pesisir, seperti diuraikan pada bab 3, ternyata seluruh desa pesisir di kecamatan ini berstatus mina mandiri, walau tidak ada satupun desa pesisir yang berstatus desa minapolitan (lihat Tabel 21), yaitu suatu kawasan yang dinamika sosial ekonomi perikanannya dinamis, produktif, dan ekonomis. Walaupun seluruh desa di kecamatan ini berstatus mina mandiri, namun tiga di antaranya memiliki nilai TSS dekat dengan batas bawah desa mina mandiri. Ketiga desa tersebut adalah Desa Seilale, Desa Amahusu, dan Desa Urimessing yang mempunyai spesifikasi mata pencaharian relatif homogen, pembauran etnis yang kurang, sarana dan prasaran pendukung usaha perikanan yang rendah, metode operasi yang sederhana didapat secara turun temurun, hubungan antar anggota masyarakatnya sangat erat didasarkan pada hubungan keluarga, dan teguh memegang adat-istiadat. Status mina mandiri tertinggi di Kelurahan Waehaong, Kelurahan Benteng, dan Desa Nusaniwe memberi indikasi bahwa ketiganya dapat dipertimbangkan menjadi lokasi program kawasan mina politan di Kota Ambon, karena memiliki berbagai keunggulan komparasi disbanding desa/kelurahan lain di kecamatan ini. Menurut Aleman (2005) dan Nikijuluw (2002), pola pengelolaan perikanan dapat dilaksanakan di suatu kawasan bila ada kesesuaian kawasan tersebut dengan kebutuhan industri perikanan. Sisi lain ke delapan desa pesisir ini adalah tingkat kemiskinan pada tahun 2011 yang lebih rendah yaitu sebesar 13,5%, dibanding dengan tingkat kemiskinan seluruh Kota Ambon sebesar 14,7%. Gambaran kemiskinan desa pesisir di kecamatan ini agak berbeda dengan empat kecamatan lain. Dimana pada empat
80
kecamatan lain, tingkat kemiskinan desa pesisirnya lebih tinggi dari keseluruhan desa di kecamatan masing-masing. Tabel 21 Status Desa Pesisir di Kecamatan Nusaniwe No
Nama Desa/Kel.
TS1
RS1
SS1
TS2
RS2
SS2
TS3
RS3
SS3
TOTAL STANDAR SKOR (TSS)
ASPEK USAHA PERIKANAN
ASPEK SARANA PENDUKUNG
ASPEK SOSIAL BUDAYA
STATUS
1
Amahusu
10
1,67
0,83
4
1,33
0,40
14
1,75
0,35
1,58
MANDIRI
2
Seilale
9
1,50
0,75
5
1,67
0,50
14
1,75
0,35
1,60
MANDIRI
3
10
1,67
0,83
4
1,33
0,40
15
1,88
0,38
1,61
MANDIRI
4
Urimesing Dusun Seri Silale
11
1,83
0,92
5
1,67
0,50
19
2,38
0,48
1,89
MANDIRI
5
Latuhalat
14
2,33
1,17
5
1,67
0,50
17
2,13
0,43
2,09
MANDIRI
6
Benteng
12
2,00
1,00
6
2,00
0,60
21
2,63
0,53
2,13
MANDIRI
7
Nusaniwe
12
2,00
1,00
7
2,33
0,70
18
2,25
0,45
2,15
MANDIRI
8
Waihaong
15
2,50
1,25
5
1,67
0,50
20
2,50
0,50
2,25
MANDIRI
11,63
1,94
0,97
5,13
1,71
0,51
17,25
2,16
0,43
1,91
Rata-Rata
4.3 Status Desa Pesisir dan Tingkat Kemiskinan di Kota Ambon Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan nilai pengeluaran minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari, dan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan (BPS). Dalam konteks pengertian tersebut, penduduk miskin, terutama di desa pesisir Kota Ambon lebih tinggi dibanding dengan desa non-pesisir (lihat tabel 1 di bab 1). Dari tabel 1 tersebut, tiga dari lima kecamatan di Kota Ambon, hampir seluruhnya desa pesisir dengan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dari dua kecamatan lain. Ketiga kecamatan dimaksud adalah Kecamatan Teluk Ambon Baguala yang seluruh desanya adalah desa pesisir dengan tingkat kemiskinan 19,1%, Kecamatan Teluk Ambon Dalam yang 87,5% adalah desa pesisir dengan tingkat kemiskinan 20,7%, dan Kecamatan Leitimur Selatan yang 75,0% adalah desa pesisir dengan tingkat kemiskinan 22,8%. Sementara desa pesisir di Kecamatan Nusaniwe sebanyak 61,5% dengan tingkat kemiskinan 13,5% (lebih rendah dari total kecamatan), dan Kecamatan Sirimau dengan hanya 28,6% desanya adalah desa pesisir dengan tingkat kemiskinan 11,7%. Dilain sisi, berdasarkan analisis status desa pesisir di Kota Ambon, menunjukan bahwa hampir seluruh desa pesisir relatif maju dari segi keberadaan
81
perikanan, yaitu berstatus Desa Mina Mandiri kecuali dua desa di Kecamatan Leitimur Selatan. Demikian juga dari segi tipe dan klasifikasi desa, seluruh desa dan kelurahan di Kota Ambon berkategori Desa Swasembada (BPS Kota Ambon, 2010). Desa Swasembada adalah desa yang masyarakatnya telah mampu memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan potensinya sesuai dengan kegiatan pembangunan regional. Sepintas tergambar bahwa terjadi kontroversi antara penduduk yang miskin dengan desa nya yang maju. Hal ini wajar saja dan tidak ada yang salah, sebab indikator pengklasifikasian status desa pesisir yang digunakan dalam penelitian ini, berbeda dengan indikator pengukuran kemiskinan. Indikator pengukuran status desa pesisir yang digunakan dalam penelitian ini tidak menggunakan pendekatan pengeluaran penduduk seperti yang digunakan oleh BPS dalam pengukuran kemiskinan, tetapi indikator pengukuran desa pesisir lebih menekankan kepada aspek fisik dan non-fisik bukan ekonomi. Namun demikian, jika indikator pengukuran desa pesisir semakin baik atau semakin tinggi, akan berdampak terhadap pendapatan masyarakat pesisir, sehingga pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal akan juga meningkat, yang pada giliran nya dapat mengurangi bahkan memperkecil atau menghilangkan angka kemiskinan di desa pesisir. Sebagai ilustrasi atau contoh, jika semua aspek usaha perikanan, baik itu perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan metode operasi berkembang dalam jumlah dan kualitasnya, sehingga jumlah pekerja di sektor perikanan meningkat di setiap desa, maka sekurang-kurangnya dapat mengurangi pengangguran, dan pada akhirnya menambah penghasilan keluarga. Pada giliran nya, pengeluaran keluarga untuk memenuhi kebutuhan minimal yang menjadi indikator pengukuran kemiskinan, akan meningkat mendekati bahkan melewati garis kemiskinan. Hasil penelitian ini juga memberi gambaran bahwa penduduk yang bekerja di sektor perikanan pada semua kecamatan di Kota Ambon (lihat gambar grafik pekerjaan penduduk pada bagian-bagian sebelumnya), tidak lebih dari 2%, sedangkan 98% bekerja di sektor lain, serta rata-rata pengangguran sebesar 17,5% (BPS Kota Ambon 2010). Dengan demikian, secara hipotetis dapat dikatakan bahwa penduduk yang bekerja di sektor perikanan di desa pesisir, relatif tidak miskin. Hipotetis ini memang bertolak belakang dengan berbagai hasil kajian
82
empirik terhadap kemiskinan masyarakat pesisir atau nelayan di berbagai lokasi di Indonesia, seperti dikatakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (kabarbisnis.com, 2011), maupun Utami (2010). Karena itu, diperlukan kajian empirik lain untuk menguji hipotesis ini, yaitu sebuah penelitian untuk menghitung rata-rata pengeluaran nelayan per kapita per hari, apakah masih berada di bawah garis kemiskinan atau telah melewati garis kemiskinan.-
5 KELAYAKAN USAHA PERIKANAN TANGKAP Kelayakan usaha suatu investasi dapat ditentukan berdasarkan hasil analisis Benefit Cost Ratio (BCR) terhadap setiap jenis usaha perikanan tangkap yang terdapat pada desa pesisir di lima kecamatan di Kota Ambon. BCR dapat menjadi alat analisis kelayakan usaha dengan lebih baik karena mempertimbangkan perubahan yang dapat terjadi pada suku bunga (Kapp, 1990). Disamping suku bunga, nilai BCR ini sangat tergantung jumlah biaya investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha perikanan tangkap, kemudian biaya operasional untuk menjalankan operasi, kondisi penerimaan setiap kali (trip) operasi, serta keuntungan yang bisa didapatkan setelah dikeluarkan biaya-biaya termasuk biaya tenaga kerja (ABK) yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan. Dalam Bab 5 ini akan dibahas secara berurutan hasil analisis biaya investasi, biaya operasional, penerimaan, keuntungan, dan terakhir nilai BCR, sehingga ulasan kelayakan usaha perikanan tangkap di Kota Ambon lebih detail dan komprehensif. Perhitungan besarnya biaya investasi, biaya operasional, penerimaan, maupun keuntungan (laba operasi) usaha perikanan tangkap di Kota Ambon yang menjadi obyek penelitian ini, menggunakan pendekatan rata-rata per jenis alat tangkap di setiap desa dalam satu trip penangkapan, kemudian distandarkan menjadi setahun (disetahunkan), sehingga diperoleh jumlah pendapatan dan biaya operasional serta keuntungan atau laba operasi per tahun. 5.1 Biaya Investasi Usaha Perikanan Tangkap Untuk
mendukung
pengembangan
usaha
perikanan
tangkap
secara
berkelanjutan di desa-desa pesisir Kota Ambon, maka biaya investasi merupakan komponen penting yang harus diperhatikan dengan baik. Usaha perikanan tangkap yang dikembangkan di Kota Ambon cukup beragam baik dari jenis maupun skala usahanya. Usaha perikanan yang dikembangkan oleh nelayan, terbagai dalam 3 kategori skala usaha, yaitu skala kecil, sedang, dan besar, serta tersebar pada desadesa pesisir, terutama yang secara kultural telah mengembangkan jenis usaha perikanan tangkap tertentu. Usaha perikanan tangkap skala kecil membutuhkan biaya investasi yang tidak begitu besar, karena biasanya dioperasikan pada fishing ground yang tidak terlalu jauh dan hanya oleh 1-2 orang ABK. Biaya investasi untuk usaha perikanan tangkap skala kecil ini adalah biaya untuk alat tangkap yang
84
sederhana dan kapal ukuran kecil. Tabel 22-26 menyajikan biaya investasi usaha perikanan tangkap di setiap desa pesisir pada lima kecamatan di Kota Ambon. Tabel 22 Biaya investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Letimur Selatan No
Nama Desa
Bagan
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar -
Biaya Investasi (Rp) Pancing Pole & Line Purse Seine Handline Tonda
UP Tuna
1 2
Naku Kilang
-
6.242.000 7.530.000
1.160.000 7.783.000 833.333 -
-
-
19.400.000
3
Hukurilla
-
7.599.000 9.694.500 1.044.000 5.642.000
-
-
-
4
Hutumuri
101.000.000
13.425.000 13.425.000
975.000 22.400.000 88.000.000
-
-
5
Rutong
-
5.650.000 5.650.000
950.000 4.200.000
-
-
-
6
Leahari
-
14.450.000 6.300.000
841.000 4.904.000
-
164.000.000
-
Pada Tabel 22, biaya investasi usaha perikanan tangkap yang termasuk kecil pada desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan terjadi pada usaha perikanan handline, kecuali biaya investasi untuk gillnet hanyut, gillnet dasar, pancing tonda, dan usaha penangkapan khusus tuna. Hendriwan, et. al (2008) menyatakan bahwa investasi rendah usaha perikanan tangkap karena skala pengusahaannya rendah dan umumnya tidak menggunakan mesin dalam operasinya karena lokasi fishing ground nya cukup dekat. Hasil analisis lapang juga menunjukkan bahwa biaya investasi handline hanya untuk pengadaan alat tangkap dan kapal, sedangkan mesin kapal tidak digunakan. Hal yang sama juga banyak terjadi pada usaha perikanan handline di empat kecamatan lainnya. Di Kecamatan Teluk Ambon Dalam, penggunaan mesin kapal untuk usaha perikanan handline terjadi di Desa Hatiwe Besar, sedangkan di desa pesisir lainnya hampir tidak ada. Bagan, pole and line dan purse seine merupakan usaha perikanan tangkap yang dikembangkan dalam skala yang lebih besar daripada gillnet atau handline. Biaya investasi yang dibutuhkan untuk ketiga usaha perikanan tangkap ini sangat besar, misalnya bagan di Kecamatan Leitimur Selatan membutuhkan biaya investasi sekitar Rp 101.000.000, pole and line sekitar Rp 88.000.000, dan purse seine di Kecamatan Teluk Ambon Dalam sekitar Rp 301.000.000 – Rp 353.800.000. Biaya investasi tersebut termasuk sangat besar, sehingga usaha perikanan tangkap tersebut hanya dimiliki oleh nelayan besar (juragan) atau industri yang berbasis perikanan tangkap. Menurut Hesieh dan Li (2009), informasi skala pengusahaan usaha perikanan tangkap dapat membantu menentukan jenis upaya pembinaan dan
85
pemberdayaan bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan, namun secara ekonomi hal ini tidak menjadi jaminan untuk pengembangan bisnis perikanan yang lebih baik. Tabel 23 Biaya Investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Ambon No
Nama Desa
1 2 3 4 5 6 7 8
Laha Tawiri Hatiwe Besar Wayame Rumah Tiga Waeheru Poka Hunut
Gillnet Hanyut 8.805.300 -
Biaya Investasi (Rp) Pancing Purse Handline Ketinting Tonda Seine 1.964.500 5.338.500 31.486.250 301.000.000 1.293.250 4.140.900 353.800.000 16.492.750 2.307.000 1.490.800 1.475.000 -
BPS Kota Ambon (2010) menunjukkan bahwa skala usaha perikanan tangkap yang dikembangkan tidak menunjukkan perbedaan siginifikan antara usaha perikanan skala besar dengan usaha perikanan skala kecil bagi kontribusi sektor perikanan di setiap kecamatan. Hal ini karena usaha perikanan skala kecil dapat dioperasikan leluasa oleh nelayan pemilik termasuk pada kondisi hasil tangkapan rendah dan perbekalan minim, sedangkan usaha perikanan skala besar hanya dapat dioperasikan bila semua kebutuhan perbekalan terpenuhi, dan kondisi ini tentu sedikit menyulitkan bila hasil tangkapan kurang maksimal (nilai BCR bisa turun). Tabel 24 Biaya Investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Baguala No
Nama Desa
1 2 3 4 5 6
Nania Negeri Lama Passo Lateri Halong Latta
Biaya Investasi (Rp) Bagan 110.666.000 -
Gillnet Hanyut 9.600.000 9.784.000 8.590,000 9.600.000 7.596.700
Handline
Payang
2.780.000 1.367.900 2.780.000 5.250.000
13.776.700 -
Pole and Line 79.500.150 80.500.000 -
Redi 6.250.000 90.999.000 4.500.000 -
Redi yang dikembangkan di Kecamatan Baguala ada yang berskala besar dan ada yang sedang (Tabel 24). Di Desa Lateri, usaha perikanan redi dikembangkan dalam skala besar dengan biaya investasi sekitar Rp 90.999.0000. Biaya investasi tersebit, sekitar 75% digunakan untuk pengadaan jaring redi ukuran besar (panjang sekitar 1,5 km). Dibanding dengan desa pesisir lainnya, seperti Negeri Lama dan Halong, ukuran jaring redi nya termasuk kecil dan diperasikan pada perairan pantai
86
terdekat. Menurut Monintja (2001), ukuran alat tangkap yang dioperasikan sangat tergantung
pada
kemampuan
permodalan
dan
kebiasaan
nelayan
dalam
mengoperasikan suatu jenis alat tangkap. Nelayan dengan modal besar dan melakukan kegiatan penangkapan ikan secara modern biasanya akan memilih alat tangkap yang dianggap lebih efektif untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Namun hal ini juga sangat tergantung dari kualitas SDM yang digunakan serta peralatan pendukung lainnya dalam melaut. Tabel 25 Biaya Investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Sirimau No 1 2 3 4
Nama Desa Batu Merah Pandan Kasturi Hatiwe Kecil Galala
Biaya Investasi (Rp) Gillnet Hanyut 6.083.000 5.150.000 8.600.000
Gillnet Dasar 1.500.000 -
Pole and Line 209.200.000 79.450.000
Handline 1.350.000 -
Purse Seine 10.362.500 -
Seperti halnya di tiga kecamatan sebelumnya, gillnet hanyut maupun gillnet dasar juga diusahakan dalam skala menengah (sedang) di Kecamatan Sirimau dan Kecamatan Nusaniwe. Hal ini ditunjukkan oleh biaya investasi bagi kedua usaha perikanan tangkap ini yang tidak terlalu tinggi pada Tabel 25 dan Tabel 26. Di Kecamatan Sirimau, biaya investasi gillnet hanyut berkisar antara Rp 5.150.000 – Rp 8.600.000, dan biaya investasi gillnet dasar sekitar Rp 1.500.000. Sedangkan di Kecamatan Nusaniwe, biaya investasi gillnet hanyut berkisar antara Rp 3.000.000 – Rp 5.000.0000 dan biaya investasi gillnet dasar berkisar antara Rp 1.850.000 – Rp 3.500.000. Tabel 26 Biaya Investasi usaha perikanan tangkap di Kecamatan Nusaniwe No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Desa Latuhalat Seilale Amahusu Nusaniwe Benteng Urimesing Waihaong Silale
Biaya Investasi (Rp) Gillnet Hanyut 3.000.000 4.950.000 3.680.000 5.000.000 3.000.000
Gillnet Dasar 3.350.000 1.850.000 3.500.000 -
Handline 2.379.000 1.350.000 1.350.000 1.350.000
Pancing Tonda 28.247.000 5.050.500 16.425.000 8.100.000 26.283.000 -
Purse Seine 52.466.000 93.000.000 98.000.000 66.850.000
87
Meskipun termasuk sedang, biaya investasi kedua gillnet sedikit variatif diantara desa pesisir yang disebabkan oleh perbedaan jenis bahan untuk kapal, ukuran detail alat tangkap, dan teknik pengadaannya. Berdasarkan hasil analisis lapang, kapal ada yang dibuat di Ambon, Pulau Buruh, dan luar Maluku. Kapalkapal yang dioperasikan di Indonesia Timur umumnya mempunyai struktur fisik yang padat dan terbuat dari kayu pilihan. Buton dan Selayar merupakan daerah yang memproduksi kapal perikanan dengan berbagai jenis dan ukuran, dan beberapa diantaranya ada yang digunakan oleh nelayan di Ambon dan sekitarnya. Kapal dari kedua daerah di Sulawesi ini banyak diminati karena umumnya dibuat dari kayu pilihan (kayu batu dan damar laut), sehingga lebih layak untuk operasi usaha perikanan tangkap. 5.2. Biaya Operasional Usaha Perikanan Tangkap Biaya operasional merupakan komponen penting lainnya dalam menilai kelayakan suatu usaha perikanan tangkap. Pada kondisi tertentu seperti pada kondisi hasil tangkapan kurang baik, biaya operasional dapat menjadi komponen paling penting dalam usaha perikanan tangkap. Biaya operasional usaha perikanan tangkap masyarakat pesisir di Kota Ambon, yang menjadi obyek penelitian ini, meliputi; minyak tanah/bensin/solar, pelumas/olie, es balok, dan ransum/bekal. Biaya operasional ini menjadi komponen utama untuk mempertahankan kontinyuitas usaha perikanan tangkap. Bila ada kesesuaian dengan hasil yang didapat, maka operasi penangkapan ikan dapat terus dilakukan, sedangkan bila sebaliknya, operasi penangkapan bisa dihentikan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pertimbangan terhadap biaya operasional dalam menilai kelayakan operasi suatu usaha perikanan tangkap. Tabel 27 menyajikan biaya operasional usaha perikanan tangkap pada desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan. Tabel 27 Biaya operasional usaha per tahun perikanan tangkap di Kecamatan Leitimur Selatan No
Nama Desa
Biaya Operasional (Rp/tahun) Bagan
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar
Handline
Pancing Tonda
Pole and Line
Purse Seine
UP Tuna
1
Naku
-
10.026.000
-
9.180.000 62.508.000
-
-
2
Kilang
-
87.360.000
-
2.400.000
-
-
-
3
Hukurila
-
15.321.600
1.296.000
4.195.200 20.563.200
-
-
4
Hutumury
5.335.200 33.350.400 486.600.000
-
5
Rutong
-
2.016.000
2.808.000
1.920.000 24.825.600
-
-
6
Leahari
-
7.020.000
5.184.000
1.512.000
-
204.960.000
56.040.000 20.175.000 20.175.000
9.136.800
150.000.000
88
Berdasarkan Tabel 27, usaha pole and line, purse seine, dan usaha penangkapan tuna membutuhkan biaya operasional yang besar untuk penangkapan ikan setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh skala usaha ketiga usaha perikanan tangkap ini besar (seperti dijelaskan pada Bagian 5.1), dimana tenaga kerja/ABK yang terlibat, dan BBM serta perbekalan yang harus disiapkan juga banyak. Menurut Musich, et.al (2008), sumberdaya ikan yang berlimpah dan hasil tangkapan yang banyak selalu dikejar oleh nelayan dan pelaku usaha perikanan tangkap lainnya untuk menutupi biaya operasional yang digunakan. Namun upaya untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak ini hendaknya memperhatikan kelestarian stok ikan, sehingga pemanfaatan dapat berkelanjutan. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi pelaku usaha perikanan tangkap, dan pengembangan usaha perikanan tangkap dengan biaya operasional lebih murah perlu menjadi arahan pengembangan berikutnya. Secara sepintas, bagan dapat menjadi pilihan karena dapat dioperasikan secara pasif (tidak mobile), sehingga lebih dapat menghemat biaya operasional terutama bahan bakar. Meskipun diusahakan dalam skala besar, biaya operasional penangkapan ikan per tahun di Kecamatan Leitimur Selatan rendah. Tabel 28 Biaya operasional usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Teluk Ambon No
Nama Desa
1 2 3 4 5 6 7 8
Laha Tawiri Hatiwe Besar Wayame Rumah Tiga Waeheru Poka Hunut
Biaya Operasional (Rp/tahun) Gillnet Hanyut 16.634.400 -
Handline
Ketinting
1.680.000 4.110.000 33.432.000 5.130.000 4.560.000 21.900.000
27.806.400 -
Pancing Tonda 117.642.000 14.400.000 -
Purse Seine 220.584.000 286.681.200 -
Biaya operasional per tahun yang cukup besar juga terjadi pada usaha perikanan pancing tonda di Desa Laha Kecamatan Teluk Ambon Dalam (Tabel 28). Dari jumlah yang dikeluarkan untuk pancing tonda tersebut, sekitar 64,5% digunakan untuk BBM dan oli. Hal ini menunjukkan bahwa BBM menjadi faktor penting dalam operasi usaha perikanan pancing tonda di Desa Laha Kecamatan Teluk Ambon Dalam. Karena itu, pengusahaan pancing tonda ini perlu dilakukan
89
dengan kemandirian modal agar tetap bertahan. Secara sepintas kebutuhan biaya operasional yang besar itu telah menunjukkan ketergantungan tinggi terhadap komponen produksi, dan hal ini menjadi pertimbangan penting bagi penilaian kelayakan pengusahaan pancing skala besar. Tingkat keseimbangan biaya operasional ini dengan penerimaan yang dijelaskan pada Bagian 5.3 akan menentukan nilai pasti dari kelayakan usaha pancing tonda tersebut. Tabel 29 Biaya operasional usaha perikanan tangkap di Kecamatan Baguala Biaya Operasional (Rp/tahun) No
Nama Desa
1
Nania
-
Gillnet Hanyut -
2
Negeri Lama
-
18.000.000
-
-
-
39.168.000
3
Passo
-
30.211.200
-
-
-
-
4
Lateri
40.698.000
7.728.000
3.240.000
-
598.080.000
298.350.000
5
Halong
-
18.000.000
-
-
152.160.000
40.800.000
6
Latta
-
3.924.000
66.744.000
-
-
-
Bagan
Handline -
Payang 196.705.200
Pole and Line -
Redi -
Selanjutnya, bila mengacu kepada Tabel 29, maka handline di Desa Latta membutuhkan biaya operasional yang tinggi untuk ukuran usaha perikanan tangkap yang biasa diusahakan skala kecil. Sebaliknya, biaya operasional gillnet hanyut yang ada, termasuk wajar untuk usaha perikanan tangkap yang biasa diusahakan dengan skala sedang. Hal cukup wajar juga terjadi pada payang, pole and line, redi yang biasa diusahakan dengan skala besar. Biaya operasional yang tinggi pada handline di Desa Latta terjadi karena intensitas operasi penangkapannya lebih sering dan tidak tergantung pada musim ikan. Hasil survai lapang menunjukkan bahwa kelompok nelayan yang mengoperasikan 16 unit handline di desa pesisir tersebut sangat terampil dalam menentukan lokasi penangkapan dan memilih mata pancing yang digunakan. Nelayan juga menggunakan umpan buatan yang kemudian dimodifikasi berdasarkan pengalamannya. Pomeroy (1998) menyatakan bahwa ketrampilan lokal yang diasah terus-menerus dapat menjadi kekuatan penting bagi kemajuan pesisir di suatu kawasan. Masyarakat nelayan timur Thailand telah menunjukkan hal ini, dimana mereka tidak menganggap keganasan Laut Cina Selatan sebagai hambatan untuk melaut, tetapi menjadi pemacu untuk memodifikasi alat tangkap jaring yang biasa digunakan untuk menangkap ikan yang berimigrasi jauh mengikuti kondisi iklim perairan.
90
Tabel 30 Biaya operasional usaha perikanan tangkap di Kecamatan Sirimau No
Nama Desa
1 2 3 4
Batu Merah Pandan Kasturi Hatiwe Kecil Galala
Biaya Operasional (Rp/tahun)
Gillnet Hanyut
Handline
2.550.000
Gillnet Dasar
1.200.000
3.600.000
3.480.000 6.732.000
-
-
Pole and Line
Purse Seine
-
26.700.000
512.740.000 1.313.988.000
-
Bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya, usaha perikanan pole and line yang dikembangkan di Kecamatan Sirimau (Desa Hatiwe kecil dan Galala) termasuk lebih besar dan modern. Pole and line tersebut dikelola oleh perusahaan swasta dan nelayan besar, dimana teknologi penangkapan ikan seperti GPS dan fish finder menjadi pendukung penting dalam kegiatan melaut yang dilakukan. Intensitas penangkapan cukup tinggi untuk ukuran usaha perikanan pole and line, yaitu mencapai rata-rata 8-9 trip per bulan. Kondisi inilah yang menjadi penyebab tingginya biaya operasional pole and line di kecamatan ini, terutama di Desa Hatiwe Kecil dan Desa Galala dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Hamdan, et.al (2006) menyatakan bahwa kelengkapan peralatan pendukung sangat mempengaruhi intensitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan. Namun hal ini, belum tentu memberikan keuntungan yang lebih baik, karena peralatan yang lebih lengkap cenderung menambah biaya operasional melaut. Untuk kepentingan ini, maka pengecekan silang terhadap penerimaan juga perlu, untuk menentukan pola penangkapan yang lebih baik termasuk dalam pengembangan strategi pengelolaan perikanan tangkap. Bila penerimaan tidak memperlihatkan peningkatan signfikan seperti halnya biaya operasioanal, maka kelayakan pengembangan usaha perikanan tangkap (dinyatakan dengan BCR) ini perlu dipertimbangkan. Di Kecamatan Nusaniwe, usaha perikanan pancing tonda ada juga yang dikembangkan cukup besar seeprti halnya di Kecamatan Teluk Ambon, sehingga membutuhkan biaya operasional besar. Berdasarkan Tabel 31, usaha pancing tonda di Desa Latuhalat membutuhkan biaya operasional per tahun lebih kecil dibandingkan dengan di Kelurahan Urimessing. Biaya operasional untuk gillnet, handline, dan purse seine termasuk cukup wajar untuk setiap jenis usaha perikanan tangkap tersebut. Menurut Hanley and Spash (1993), kewajaran biaya operasional/ produksi perlu pengecekan silang dengan penerimaan, sehingga dapat diketahui
91
peluang pengembangan kegiatan produksi tersebut. Biaya produksi tidak akan menjamin keberlanjutan kegiatan produksi selama hasil produksi yang dihasilkan tidak membaik sesuai standar yang ditetapkan. Karena itu, kelayakan usaha perikanan tangkap ini, juga tetap perlu melihat kondisi penerimaan yang bisa diperoleh nelayan dan pelaku perikanan dari usaha perikanan tangkap yang dikembangkannya. Tabel 31 Biaya operasional usaha perikanan tangkap di Kecamatan Nusaniwe No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Desa Latuhalat Seilale Amahusu Nusaniwe Benteng Urimesing Waihaong Silale
Biaya Operasional (Rp/tahun)
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar
Handline
-
11.340.000
119.952.000
192.000.000
3.702.816
2.880.000
2.466.000
-
-
-
-
22.464.000
-
10.800.000
-
-
23.220.000
-
5.760.000
23.904.000
3.600.000
-
-
-
-
-
174.420.000
180.144.000
2.622.828
4.050.000
-
32.130.000
168.300.000
5.760.000
-
3.600.000
-
131.400.000
-
Pancing Tonda
Purse Seine
5.3 Penerimaan Usaha Perikanan Tangkap Hanley and Spash (1993) menyatakan bahwa tingkat penerimaan (benefit) perlu diperhatikan pada semua kegiatan operasi terutama yang melibatkan masyarakat kecil. Tingkat penerimaan (benefit) merupakan indikasi awal untuk menggapai keuntungan operasi dan kesejahteraan masyarakat pelakunya. Dalam penelitian ini, analisis BCR yang dilakukan akan mengukur perimbangan penerimaan ini dengan biaya yang dikeluarkan untuk suatu operasi perikanan selama periode tertentu dengan nilai uang/suku bunga bisa berubah-ubah. Hasil analisis tingkat penerimaan usaha perikanan tangkap yang dilakukan di setiap desa pesisir di lima kecamatan di Kota Ambon akan disajikan pada Tabel 32 - 36.
92
Tabel 32 Penerimaan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Leitimur Selatan Penerimaan (Rp/tahun)
No
Nama Desa
Bagan
1 2
Naku Kilang
-
63.000.000 156.000.000
3
Hukurila
-
67.200.000
39.600.000 39.900.000
4
Hutumuri
75.000.000
75.000.000 34.884.000
5
Rutong
-
36.000.000
37.440.000 19.200.000
67.200.000
-
6
Leahari
-
162.000.000
54.000.000 37.800.000
75.600.000
-
360.000.000
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar -
Handline
Pancing Tonda
Pole and Line
Purse Seine
48.600.000 24.000.000
150.000.000 -
-
-
135.000.000
61.200.000
-
-
-
547.200.000 1.995.000.000
UP Tuna
504.000.000
-
Berdasarkan Tabel 32, usaha perikanan pole and line merupakan usaha perikanan tangkap dengan penerimaan paling tinggi per tahun di Kecamatan Leitimur Selatan. Penerimaan usaha perikanan bagan dan purse seine juga cukup baik sebagai usaha perikanan yang biasa dikelola dalam skala besar. Penerimaan usaha penangkapan tuna termasuk kecil dan bahkan lebih kecil dari biaya operasional yang dikeluarkan per tahun. Kondisi ini tentu kurang baik, karena pelaku usaha perikanan tersebut cenderung merugi setiap tahunnya. Menurut Hou (1997), usaha ekonomi yang belum menguntungkan perlu melakukan perbaikan terstruktur pada kegiatan produksi dan pemasarannya. Perbaikan produksi dapat dilakukan melalui pengendalian biaya produksi, pengaturan pola produksi (trip, hari operasi melaut,dan jumlah ABK yang berangkat melaut), dan pengawasan kegiatan produksi. Dan perbaikan pemasaran untuk usaha perikanan tangkap dapat dilakukan minimal melaut penanganan dan penyediaan produk perikanan kualitas baik yang disukai pasar. Penerimaan gillnet dan handline di Kecamatan Leitimur Selatan (Tabel 32) dan juga di Kecamatan Teluk Ambon (Tabel 33) rata-rata cukup baik dan tidak ada yang lebih rendah dari biaya operasional yang dikeluarkan, namun demikian tetap perlu ditingkatkan. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa semangat pengelolaan usaha perikanan harus diubah menjadi suatu kegiatan industri yang berdaya saing, melakukan perbaikan kinerja dan inovasi produk yang terus-menerus.
93
Tabel 33 Penerimaan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Teluk Ambon No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Desa Laha Tawiri Hatiwe Besar Wayame Rumah Tiga Waeheru Poka Hunut
Penerimaan (Rp/tahun) Gillnet Hanyut 104.400.000 -
Handline
Ketinting
33.600.000 32.019.300 42.000.000 30.000.000 45.000.000 69.000.000
48.600.000 -
Pancing Purse Tonda Seine 420.000.000 1.185.600.000 1.150.092.000 43.200.000 -
Untuk pancing tonda (Tabel 33), tingkat penerimaannya termasuk baik dan lebih dari 2 kali dari biaya operasional yang dikeluarkan. Sekilas hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan pancing tonda tersebut telah dapat dilakukan dengan baik di Desa Laha Kecamatan Teluk Ambon Dalam. Hermawan (2006) dalam penelitian disertasinya menyatakan bahwa usaha perikanan tangkap dapat dikembangkan secara mandiri oleh nelayan menjadi berskala lebih besar dengan mengalokasikan secara kontinyu sebagian dari perinerimaan yang didapat setelah dikurangi biaya-biaya produksi. Pelaku usaha perikanan skala kecil seyogianya dapat melakukan hal itu sebagai upaya memandirikan kegiatan perikanan dan pereknomian bangsa. Purse seine di Desa Laha dan Desa Hatiwe besar merupakan usaha perikanan tangkap dengan penerimaan paling besar di Kecamatan Teluk Ambon Dalam. Berdasarkan Tabel 34, pole and line merupakan usaha perikanan dengan tingkat penerimaan per tahun paling tinggi di Kecamatan Teluk Ambon Banguala di Desa Lateri dan di Desa Halong. Bila dilihat skala pengusahaan dan biaya operasional yang dikeluarkan, maka penerimaan yang besar adalah wajar. Imron (2008) menyatakan bahwa usaha perikanan dengan tingkat penerimaan besar belum tentu bisa dijamin keberlanjutannya bila biaya operasional tidak dikontrol dengan baik, karena kegiatan penangkapan sangat tergantung pada kondisi alam yang menganggu kegiatan penangkapan ikan dalam waktu lama.
94
Tabel 34 Penerimaan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Baguala No 1 2 3 4 5 6
Nama Desa
Penerimaan (Rp/tahun)
Gillnet Pole and Handline Payang Redi Hanyut Line 966.000.000 Nania 69.000.000 30.000.000 69.000.000 Negeri Lama 56.160.000 Passo 340.068.000 42.000.000 1.764.000.000 561.600.000 Lateri 69.000.000 960.000.000 135.000.000 Halong 17.460.000 140.400.000 Latta Bagan
Usaha perikanan handline yang bisanya dioperasikan sendiri oleh nelayan pemilik, juga memperlihatkan tingkat penerimaan yang baik di Kecamatan Teluk Ambon Banguala, dan bila dibandingkan dengan biaya operasional yang dikeluarkan meningkat 2-4 kali. Kondisi ini yang sama juga terjadi pada handline yang dioperasikan skala kecil di Kecamatan Sirimau (Tabel 35), dimana dengan biaya operasional yang relatif rendah dapat dihasilkan pemerimaan yang tinggi. Tabel 35 Penerimaan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Sirimau No 1 2 3 4
Nama Desa Batu Merah Pandan Kasturi Hatiwe Kecil Galala
Gillnet Hanyut 90.000.000 24.000.000 26.400.000
Penerimaan (Rp/tahun)
Gillnet Dasar 7.200.000 -
Handline 8.550.000 -
Pole and Line 1.200.000.000 2.964.000.000
Purse Seine 246.000.000 -
Bila dibandingkan dengan biaya operasional yang dikeluarkan, gillnet hanyut dan gillnet dasar juga memberikan penerimaan yang tinggi di Kecamatan Sirimau. Pole and line dan purse seine, penerimaannya termasuk besar karena biaya operasional yang dikeluarkan juga tinggi serta ABK yang telibat juga banyak. Menurut Nurani dan Wisudo (2007), jumlah ABK merupakan komponen pengeluaran yang besar dalam pengelolaan usaha perikanan skala besar. Karena itu, komponen biaya ABK harus disisihkan dalam setiap perhitungan keuntungan usaha. Pancing tonda dan purse seine merupakan usaha perikanan tangkap dengan penerimaan tertinggi di Kecamatan Nusaniwe. Namun bila dibandingkan dengan biaya operasional yang dikeluarkan, peningkatannya kurang dari 2 kali, bahkan penerimaan purse seine di Desa Urimesing lebih rendah dari pengeluaran per tahunnya. Untuk handline dan gillnet, penerimaan umumnya lebih dari 2 kali biaya operasional yang dikeluarkan.
95
Tabel 36 Penerimaan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Nusaniwe No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Desa Latuhalat Seilale Amahusu Nusaniwe Benteng Urimesing Waihaong Silale
Penerimaan (Rp/tahun) Gillnet Hanyut 38.880.000 57.600.000 38.880.000 80.434.140 38.880.000
Gillnet Dasar 20.880.000 230.400.000 27.000.000 -
Handline 44.100.000 7.650.000 8.550.000 8.550.000
Pancing Tonda 386.568.000 43.200.000 81.000.000 338.220.000 76.500.000 -
Purse Seine 500.040.000 144.000.000 897.600.000 162.000.000
Dari segi kuantitas, penerimaan handline dan gillnet ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pancing tonda dan purse seine, namun untuk keberlanjutan usaha perikanan, handline dan gillnet baik karena lebih mudah memenuhi kebutuhan operasionalnya terutama pada musim ikan sepi (paceklik). Menurut Wilson (1999), kondisi produksi yang lesu dan krisis ekonomi yang berkepanjangan akan lebih terasa pada usaha perikanan skala besar yang menggunakan banyak faktor produksi yang berasal dari luar lokasi usaha, terutama BBM (solar, minyak tanah, bensin), oli, dan es balok. 5.4 Keuntungan Usaha Perikanan Tangkap Keuntungan menjadi perhatian penting bagi usaha yang dijalankan secara komersial, termasuk usaha perikanan tangkap di desa-desa pesisir di Kota Ambon. Keuntungan/laba usaha merupakan ukuran umum untuk menentukan apakah suatu usaha memberikan manfaat yang layak atau tidak bagi bagi pelakunya. Keuntungan usaha perikanan tangkap dapat dilihat dari dua sisi, yaitu jumlah uang yang didapat oleh pelaku baik pemilik dan ABK sebelum dikurangi semua biaya operasi non personil (sebelum bagian ABK diberikan) dan jumlah uang yang didapat oleh pemilik setelah semua biaya operasi termasuk bagian dari ABK, selama usaha perikanan berlangsung dengan menggunakan satu jenis alat tangkap. Bagian untuk ABK bervariasi untuk setiap alat tangkap dan juga berbeda di setiap desa, tetapi yang umumnya ialah untuk gillnet dan bagan, pemilik mendapat sepertiga bagian, dan sisanya dua per tiga bagian dibagi merata antara ABK, termasuk juga jika pemilik ikut serta dalam operasi penangkapan. Untuk purse seine dan pole and line serta penangkapan tuna, umumnya pemilik mendapat setengah bagian dan ABK mendapat setengah bagian. Dengan demikian, keuntungan atau laba dari
96
pengoperasian suatu alat tangkap untuk pemilik atau usaha perikanan tangkap diperoleh dari penerimaan hasil penjualan dikurangi biaya operasional dan bagian ABK. Untuk kepentingan pengembangan usaha perikanan tangkap dalam penelitian ini, keuntungan yang diterima oleh pemilik menjadi fokus pembahasan dalam perhitungan BCR. Hal ini karena pengembangan usaha perikanan tangkap, seperti perbaikan kapal, pengadaan alat tangkap baru, dan mesin baru menjadi tanggung jawab pemilik, sehingga untuk keberlanjutannnya kemampuan pemilik untuk menyisihkan sebagai dari penerimaan usahanya menjadi sangat penting. Konsep perhitungan keuntungan yang digunakan dalam penelitian ini, ialah total jumlah keuntungan atau laba operasi dari tiap atat tangkap selama alat tanggap tersebut digunakan. Jangka waktu yang digunakan dalam penelitian ini ialah 10 tahun. Tabel 37 - 41 menyajikan hasil analisis keuntungan usaha perikanan tangkap yang dapat diterima nelayan pemilik usaha di Kota Ambon setiap tahun atau pada tahun 2010. Tabel 37 Keuntungan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Leitimur Selatan No
Nama Desa
Bagan
Gillnet Hanyut
Gillnet Dasar
Handline
Pancing Tonda
Pole and Line
Purse Seine
UP Tuna
1
Naku
-
25.488.200
-
35.072.200
45.173.400
-
-
-
2
Kilang
-
33.294.500
-
9.587.170
-
-
-
(13.070.000)
3
Hukurilla
-
24.764.450
17.566.300
30.781.920
20.521.620
-
-
-
4
Hutumuri
140.880.000 34.040.830
25.195.000
24.178.920
373.184.700
127.062.000
-
-
5
Rutong
-
33.154.000
16.556.000
15.091.000
22.376.670
-
-
-
6
Leahari
-
60.077.000
18.662.400
32.356.700
33.924.110
-
176.626.660
-
Berdasarkan Tabel 37, keuntungan yang didapat oleh nelayan pemilik dari usaha perikanan tangkap di Kecamatan Leitimur Selatan cukup baik, kecuali untuk usaha penangkapan tuna. Bila dikalkulasikan, usaha penangkapan tuna di Desa Kilang mengalami kerugian dalam operasinya. Kerugian tersebut terjadi karena biaya operasionalnya yang besar dari penerimaannya.
Biaya operasional
penangkapan tuna di Kilang disebabkan biaya pengadaan BBM yang mencapai 84% dari total biaya operasionalnya. Dutton (1998) menyatakan bahwa usaha perikanan dengan biaya operasional tinggi perlu dihindari karena dapat menganggu konsentrasi personil pelaku yang secara jangka panjang dapat memicu konflik pengelolaan di masyarakat nelayan. Nelayan pemilik perlu dibina dan dibantu untuk mengembangkan usaha perikanan yang lebih menguntungkan. Dalam skala besar, bagan, pole and line, dan purse seine dapat menjadi alternatif, sedangkan dalam skala kecil handline sangat menjanjikan.
97
Namun untuk lebih baiknya dapat dipilih yang nilai BCR-nya paling tinggi (Bagian 5.5). Nilai BCR ini menunjukkan tingkat perimbangan penerimaan dengan pembiayaan, yang mana bila nilai BCR tinggi berarti selisih penerimaan dengan pembiayaan tinggi. Untuk Kecamatan Teluk Ambon Dalam, semua usaha perikanan yang dikembangkan di desa-desa pesisir memperoleh keuntungan. Purse seine dan pancing tonda mempunyai keuntungan paling besar, karena pengusahaannya dilakukan dalam skala besar. Usaha perikanan purse seine di Desa Laha dan Desa Hative Besar mencatat keuntungan tertinggi. Ruddle, et. al (1992) menyatakan bahwa usaha perikanan dengan skala besar akan dapat memberikan keuntungan dalam jumlah besar bila dikelola dengan baik, namun untuk kepentingan pengembangan, jumlah keuntungan tersebut perlu dibandingkan dengan besarnya investasinya. Keuntungan yang relatif besar namun tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk kelanjutan investasi dan operasional biasanya tidak akan bertahan lama di suatu kawasan. Perimbangan penerimaan dan biaya operasional yang dianalisis pada Bagian 5.5 akan memperjelas hal ini. Tabel 38 Keuntungan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Teluk Ambon No
Nama Desa
Gillnet Hanyut
Handline
Ketinting
Pancing Tonda
Purse Seine
1
Laha
-
28.143.770
19.037.240
242.078.630
440.808.000
2 3 4
Tawiri Hatiwe Besar Wayame
-
24.536.390 6.914.910 -
-
21.204.250
390.225.400 -
5 6 7
Rumah Tiga Waeheru Poka
56.959.750
21.447.600 36.210.920 -
-
-
-
8
Hunut
-
41.732.500
-
-
-
Gillnet hanyut mempunyai keuntungan yang sedikit lebih rendah selama periode operasinya, namun termasuk cukup baik karena skala pengusahaannya hanya menengah ke bawah. Handline yang biasa diusahakan dalam skala kecil (biasanya dilakukan sendiri oleh nelayan pemilik), mempunyai keuntungan cukup baik dalam operasinya. Bila dihubungkan dengan kepentingan pengembangan, maka handline ini lebih dapat menjamin karena dari pemantauan lapang, operasi penangkapan ikan untuk handline ini menggunakan kapal (perahu) kecil, tanpa
98
mesin, dan alat tangkap pancing tangan sederhana. Karena itu, akan lebih baik jika nelayan perorangan mengusahakan alat tangkap ini meskipun keuntungan usaha tidak terlalu besar. Untuk Kecamatan Teluk Ambon Baguala, usaha perikanan pole and line, bagan dan payang merupakan usaha perikanan tangkap yang memberi keuntungan besar bagi nelayan pemilik di desa-desa pesisir di Kota Ambon. Berdasarkan Tabel 39, usaha perikanan pole and line mendatangkan keuntungan yang tinggi dalam pengoperasiannya, demikian juga untuk bagan dan payang. Tabel 39 Keuntungan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Baguala No
Nama Desa
Bagan
Gillnet Hanyut
Handline
Payang
Pole and Line
Redi
1 2 3 4 5 6
Nania Negeri Lama Passo Lateri Halong Latta
133.412.250 -
32.573.330 22.811.200 32.529.700 32.573.330 5.216.590
23.934.010 65.405.100
769.294.800 -
945.480.380 673.769.000 -
10.314.200 114.275.300 46.350.000 -
Bila dibandingkan usaha perikanan lainnya, usaha perikanan pole and line termasuk yang paling tinggi keuntungannya. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Kecamatan Leitimur Selatan (Tabel 37), tetapi juga pada Kecamatan Teluk Ambon Baguala (Tabel 39) dan di Kecamatan Sirimau (Tabel 40). Karena itu, pole and line ini dapat menjadi acuan atau referensi bagi pengembangan usaha perikanan tangkap skala menengah dan besar. Nelayan dengan modal berlebih dapat menjadi pole and line ini sebagai tujuan bisnis di bidang perikanan. Tabel 40 Keuntungan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Sirimau No 1 2 3 4
Nama Desa Batu Merah Pandan Kasturi Hatiwe Kecil Galala
Gillnet Hanyut 57.258.360
Gillnet Dasar 5.450.000
4.610.000
Pole and Line -
12.535.000
-
-
-
-
11.722.000
-
-
574.307.500 138.976.270
-
Handline
Purse Seine 42.696.250
Namun demikian, hal ini perlu pengecekan silang juga terkait dengan perimbangan penerimaan dengan pembiayaan yang dikeluarkan selama menjalankan usaha perikanan tangkap ini. Analisis BCR pada Bagian 5.5 akan memberi arahan terkait hal ini, sehingga usaha perikanan tangkap tersebut tidak putus ditengah jalan. Menurut Evelyn (1989), usaha perikanan terutama yang skala besar perlu menjalin
99
kerjasama dengan pemilik modal, sehingga tidak mengalami kesulitan baik terkait operasional usaha maupun kemungkinan pengembangan usaha. Keuntungan usaha yang didapat biasanya sulit untuk membantu pengembangan, disamping karena biaya yang dibutuhkan besar,juga karena modal usaha tidak tersedia/disimpan cash dalam jumlah besar. Dari segi pembiayaan, gillnet hanyut merupakan usaha ideal yang bisa dikembangkan di Kecamatan Sirimau, karena keuntungannya juga cukup baik (Tabel 40), sementara biaya investasi dan operasional tidak sebesar pole and line. Namun demikian, kondisi ini sangat tergantung dari kelayakan usaha tersebut dalam realisasinya di lapangan, dan Bagian 5.5 akan menjelas hal ini. Tabel 41 Keuntungan usaha perikanan tangkap per tahun di Kecamatan Nusaniwe No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Desa Latuhalat Seilale Amahusu Nusaniwe Benteng Urimesing Waihaong Silale
Gillnet Hanyut 22.618.120 30.471.660 15.792.000 50.992.200 3.222.000
Gillnet Dasar 16.270.000 143.952.700 14.725.000 -
Handline 28.760.640 4.227.600 4.560.000
Pancing Tonda 142.026.610 9.521.500 29.776.500 87.880.000 21.251501. -
Purse Seine 145.773.400 (28.622.000) 352.800.000 7.015.000
Sebagaimana di kecamatan lainnya, usaha perikanan tangkap di Kecamatan Nusaniwe (Tabel 41), juga mempunyai keuntungan yang baik, dan kerugian hanya terjadi pada usaha perikanan purse seine di Desa Urimesing. Hasil survai lapang menunjukkan hal ini lebih disebabkan oleh manajemen operasional yang kurang baik pada usaha perikanan tangkap ini, dimana SDM yang terlibat tidak cukup terampil, sedangkan pemiliknya tidak menangani sendiri usahanya tetapi diserahkan kepada orang lain yang kurang berpengalaman. Hasil pengamatan lapang, mencatat bahwa ABK yang terlibat pada usaha perikanan skala besar di Kota Ambon umumnya berasal dari keluarga nelayan miskin dan rendah tingkat pendidikannya. Untuk memperbaiki kinerja mereka, maka perlu diberi pembinaan lebih misalnya melalui pelatihan yang dilaksanakan oleh instansi terkait di Kota Ambon, mengadakan pertemuan rutin ABK, dan lainnya. Bila dilihat dari skala pengusahaannya, maka usaha perikanan gillnet hanyut, gillnet dasar, dan handline juga mempunyai keuntungan cukup baik di Kecamatan Nusaniwe. Namun untuk mengetahui dukungan dalam rangka keberlanjutan pengembangannya di masa datang sangat tergantung pada kelayakan usaha tersebut secara finansial. Bagian 5.5
100
akan menjelaskan hal ini yang didasarkan pada hasil analisis BCR sebagai parameter utama penelitian ini yang membandingkan tingkat penerimaan dan pengeluaran usaha perikanan tangkap termasuk pada kondisi suku bunga yang berubah-ubah. 5.5 Kelayakan Usaha Perikanan Tangkap di Kota Ambon Hasil analisis terkait biaya investasi, biaya operasional, penerimaan, dan keuntungan pada bagian sebelumnya memasukan penting bagi analisis kelayakan menggunakan General/Temporal Benefit Cost Ratio (BCR) terhadap setiap jenis usaha perikanan tangkap (armada perikanan) yang terdapat pada desa pesisir di Kota Ambon. Menurut Arrow et. al (1996), BCR merupakan paramater untuk mengetahui tingkat perbandingan antara NPV yang bernilai positif dengan NPV yang bernilai negatif pada kondisi suku bunga berbeda pada periode yang berbeda. Terkait dengan dengan ini, maka dalam analisis BCR usaha perikanan tangkap dalam penelitian ini, perubahan suku bunga tersebut menjadi faktor pengoreksi dari penerimaan kini (present benefit) dan pengeluaran kini (present cost) yang dilakukan oleh usaha perikanan tangkap selama masa tahun pengoperasiannya. 5.5.1
Kelayakan usaha perikanan tangkap di desa pesisir Kecamatan Leitimur Selatan Desa Naku, Desa Kilang, Desa Hukurila, Desa Hutumuri, Desa Rutong, dan
Desa Leahari merupakan desa-desa pesisir yang terdapat di Kecamatan Leitimur Selatan. Seperti disebutukan sebelumnya, usaha perikanan tangkap yang berkembang di antara desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan cukup beragam. Desa Hutumuri merupakan desa pesisir yang paling beragam usaha perikanan tangkapnya, yaitu terdiri dari bagan, gillnet hanyut, gillnet dasar, handline, pancing tonda, dan pole and line. Namun keragaman tersebut tidak menjadi jaminan usaha perikanan tangkap berkembang dengan baik dan memenuhi syarat kelayakan finansial yang ada. Tabel 42 menyajikan hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada setiap desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan. Berdasarkan Tabel 42, ada dua jenis usaha perikanan tangkap dengan nilai BCR tinggi (> 2,00) di Desa Hutumuri, yaitu handline (BCR = 4,34) dan pancing tonda (BCR = 2,62). Nilai BCR > 2,00 memberi indikasi bahwa usaha perikanan handline dan pancing tonda tidak akan mengalami masalah (terutama pembiayaan) untuk keberlanjutan usahanya di kemudian hari karena penerimaannya lebih dari dua kali lipat biaya operasional yang dibutuhkan. Menurut Kapp (1990), nilai BCR
101
tinggi harus diupayakan dalam setiap usaha ekonomi sehingga dapat menutupi setiap kebutuhannya, dan pada kondisi ini tingkat kelayakan usaha ekonomi termasuk tinggi. Terkait dengan ini, maka handline dan pancing tonda dapat menjadi usaha perikanan tangkap unggulan di Desa Hutumuri. Tabel 42 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan No 1 2 3 4 5 6
Nama Desa Naku Kilang Hukurilla Hutumuri Rutong Leahari
Bagan 1,62 -
Gillnet Hanyut 1,67 1,27 1,57 1,81 11,77 1,58
Nilai BCR Gillnet Handline Pancing Pole and Dasar Tonda Line 5,04 1,37 1.,80 1,77 6,98 1,43 1,49 4,34 2,62 1,95 1,77 7,84 1,43 1,52 20,24 1,68 -
Purse Seine 1,51
UP Tuna 0,91 -
Untuk Desa Naku dan Desa Kilang, dari tiga usaha perikanan tangkap yang ada, handline merupakan usaha dengan nilai BCR paling tinggi di setiap desa, yaitu dengan nilai BCR 5,04 untuk handline di Desa Naku dan nilai BCR 1,80 untuk handline di Desa Kilang. Terkait dengan ini, maka handline dapat menjadi usaha perikanan tangkap di kedua desa tersebut. Namun demikian, nilai BCR handline di Desa Kilang tidak termasuk tinggi (BCR < 2,00), sehingga masih dibina dan dikembangkan lanjut. Hal ini penting karena usaha perikanan tangkap telah menjadi andalan masyarakat desa terkait dan bukan tidak mungkin menjadi suplai penting pemasaran perikanan terutama untuk ekspor minimal di tingkat Asia Tenggara. Hadi dan Mardianto (2004) dalam penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan ekspor Indonesia merupakan yang paling tinggi dalam perdagangan di antara negara anggota ASEAN pada beberapa tahun ini. Salah satu penyebabnya adalah ekspor produk perikanan yang makin membaik terutama dari kawasan Indonesia Timur. Handline juga merupakan usaha perikanan tangkap dengan nilai BCR tinggi di Desa Hukurilla, Desa Rutong dan Desa Desa Leahari. Selain handline, gillnet hanyut juga mempunyai BCR tingggi di Desa Rutong, yaitu sekitar 11,77. Terkait dengan ini, maka usaha perikanan tangkap tersebut
dapat menjadi unggulan untuk
pengembangan perikanan di setiap desa terkait. Terlepas dari ini, semua usaha perikanan tangkap yang ada di desa pesisir di Kecamatan Leitimur Selatan termasuk layak dikembangkan, kecuali usaha penangkapan tuna di Desa Kilang. Hal ini karena tingkat penerimaannya sudah
102
melebihi pembiayaan yang harus dikeluarkan selama umur teknis pengoperasiannya, yang ditunjukkan oleh nilai BCR > 1,00. Menurut Arrow et al (1996), perbandingan nilai penerimaan (benefit) dan nilai pengeluaran (cost) yang cukup siginfikan akan memudahkan pengambilan keputusan bagi pengembangan usaha ekonomi ke depan, meskipun pada kondisi suku bunga yang kurang menentu. Hal ini karena penentuan perimbangan tersebut sudah mempertimbangkan perubahan suku bunga atau nilai mata uang yang terjadi. Benefit-cost ratio yang tinggi lebih menjamin kelanjutan usaha ekonomi di kemudian hari, sehingga upaya pengembangan mudah dilakukan. Usaha perikanan tangkap dengan kelayakan tinggi (BCR) tinggi di setiap desa sebaiknya dijadikan perhatian pengembangan karena lebih unggul dari memberikan kontribusi bagi nelayan pelaku dan masyarakat desa pesisir secara umum. Tabel 42 menunjukan bahwa handline merupakan alat tangkap yang tingkat kelayakannya lebih tinggi dibanding alat tangkap lainnya hampir di semua desa pesisir Kecamatan Leitimur Selatan, kecuali di Desa Rutong dimana gillnet hanyut adalah alat tangkap yang lebih tinggi kelayakannya. Tingginya tingkat kelayakan handline di hampir seluruh desa di kecamatan ini disebabkan biaya investasi yang relatif kecil dibanding dengan alat tangkap lainnya, karena relatif sederhana dibanding alat tangkap lainnya. Handline di Ambon dan Maluku pada umumnya terdiri dari tali, kail, umpan dan penggulung tali, seperti terlihat pada Gambar 27 dibawah ini.
Gambar 27 Alat tangkap handline 5.5.2
Kelayakan usaha perikanan tangkap di desa pesisir Kecamatan Teluk Ambon Dalam Secara umum, usaha perikanan tangkap yang berkembang di desa-desa pesisir
di Kecamatan Teluk Ambon Dalam terdiri dari gillnet hanyut, handline, ketininting, pancing tonda, dan purse seine. Bila dibandingkan dengan Kecamatan Leitimur
103
Selatan, maka keragaman usaha perikanan tangkap di Kecamatan Teluk Ambon Dalam tidak terlalu beragam, meskipun jumlah desa pesisirnya banyak. Tabel 43 menyajikan hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada delapan desa pesisir yang terdapat di Kecamatan Teluk Ambon Dalam. Berdasarkan Tabel 43, semua usaha perikanan tangkap yang dikembangkan pada delapan desa pesisir yang terdapat di Kecamatan Teluk Ambon Dalam mempunyai BCR di atas 1,00. Hal ini menunjukkan bahwa semua usaha perikanan tangkap tersebut layak dikembangkan dimasa yang akan datang secara berkelanjutan. Nilai BCR >1,00 tersebut memberi indikasi bahwa penerimaan yang didapat oleh nelayan dan pelaku perikanan lainya di Kecamatan Teluk Ambon Dalam telah dapat menutupi semua pembiayaan yang dibutuhkan dalam pengoperasian usaha. Karena itu, usaha perikanan tangkap tersebut perlu terus dibina sehingga produktivitas usahanya meningkat dan lebih mandiri. Menurut Lin (1997) usaha ekonomi yang produktivitasnya baik dapat menghembat biaya produksi yang dikeluarkan sehingga harga produk yang ditawarkan ke pasar lebih komptetif. Hal ini sangat mungkin karena BCR yang tinggi dan produktivitas yang meningkat merupakan indikasi dari penerimaan yang semakin lebih baik pada kondisi biaya operasi yang dikeluarkan sama, sehingga terdapat keleluasaan untuk memberi harga yang lebih murah dan bersaing. Tabel 43 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada desa pesisir di Kecamatan Teluk Ambon No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Desa Laha Tawiri Hatiwe Besar Wayame Rumah Tiga Waeheru Poka Hunut
Gillnet Hanyut 1,67 -
N i l a i BCR Handline
Ketinting
14,19 6,70 1,22 4,85 9,38 3,04
1,63 -
Pancing Tonda 2,09 1,76 -
Purse Seine 1,57 1,50 -
Bila dilihat satu persatu untuk setiap desa, maka handline dan pancing tonda dapat dijadikan usaha perikanan tangkap unggulan di Desa Laha karena mempunyai nilai BCR yang sangat baik, yaitu masing-masing 14,19 dan 2,09. Untuk Desa Tawiri, Desa Rumah Tiga, Desa Waeheru, dan Desa Hunut, meskipun hanya berkembang handline tetapi usaha perikanan tangkap ini mempunyai nilai BCR
104
tinggi (BCR > 2,00), sehingga juga menjadi unggulan bagi keempat desa pesisir tersebut. Untuk Desa Hatiwe Besar, tidak ada usaha perikanan perikanan tangkap dengan nilai BCR tinggi meskipun nilai BCR > 1,00, tetapi bila harus dipilih sebagai unggulan, maka purse seine akan lebih baik. Berdasarkan nilai BCR tersebut, maka usaha perikanan tangkap di Desa Laha, Desa Tawiri, Desa Rumah Tiga, Kelurahan Waeheru, dan Desa Hunut lebih prospektif untuk dikembangkan. Namun hal ini, sangat tergantung dari dukungan faktor lainnya, seperti status desa, tingkat kepenilikan usaha, kedekatan dengan jalur distribusi dan pemasaran. Nilai BCR dan dukungan faktor tersebut akan menentukan kluster desa terkait pengembangan usaha perikanan tangkap ke depan. Menurut Dahuri (2001), pengembangan usaha perikanan ke depan sangat tergantung pada dukungan infrastruktur dan kesiapan masyarakat pesisir dalam mengelola potensi perikanan yang ada. Jusuf (2005) dalam penelitian disertasinya menyatakan bahwa kesiapan masyarakat pesisir tercermin dari jumlah kepemilikan usaha perikanan, tingkat penguasaan teknologi penangkapan, dan pola interaksi serta kultur mempengaruhi mereka dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan. Kesiapan tersebut juga terlihat dari respon masyarakat desa pesisir dalam berbagai kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga lainnya. Tabel 43 menunjukan bahwa alat tangkap handline adalah alat tangkap yang tinggi tingkat kelayakannya di kecamatan ini, sama seperti di kecamatan lain. Namun demikian, khusus di Desa Hative Besar, handline malahan yang terendah tingkat kelayakannya dibanding dengan alat tangkap lain yang digunakan nelayan di desa ini. Kajian hasil data lapang menunjukan bahwa penyebab rendahnya tingkat kelayakan alat tangkap handline di Desa Hative Besar disebabkan rendahnya intersitas melaut dari nelayan yang menggunakan alat tangkap ini. Walau demikian, tidak berarti bahwa handline di desa ini tidak menguntungkan, karena dengan BCR yang lebih besar dari 1, menunjukan bahwa alat tangkap ini tetap menguntungkan bagi nelayan di desa ini yang menggunakannya. 5.5.3
Kelayakan usaha perikanan tangkap di desa pesisir Kecamatan Baguala Usaha perikanan tangkap yang berkembang di desa-desa pesisir di Kecamatan
Teluk Ambon Baguala umumnya terdiri dari bagan, gillnet hanyut, handline, payang, pole and line, dan redi. Bila dibandingkan dengan Kecamatan Leitimur
105
Selatan, maka keragaman usaha perikanan tangkap di kecamatan juga tidak begitu tinggi. Namun demikian, kelayakan usaha tersebut bisa sangat berbeda satu sama lain tergantung pada pola pengelolaan yang dikembangkan di setiap desa pesisir. Tabel 44 menyajikan hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada delapan desa pesisir yang terdapat di Kecamatan Teluk Ambon Banguala. Tabel 44 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada desa pesisir di Kecamatan Baguala No 1 2 3 4 5 6
Nama Desa Nania Negeri Lama Passo Lateri Halong Latta
Bagan 1,61 -
Gillnet Hanyut 1,88 1,67 4,29 1,88 1,39
Nilai BCR Handline
Payang
8,72 2,07
1,65 -
Pole and Line 1,68 2,15 -
Redi 1,21 1,26 1,52 -
Berdasarkan Tabel 44, semua usaha perikanan tangkap yang dikembangkan pada delapan desa pesisir yang terdapat di Kecamatan Teluk Ambon Baguala termasuk layak dikembangkan, karena mempunyai nilai BCR > 1,00. Namun bila dibandingkan dengan Kecamatan Teluk Ambon Dalam, maka nilai BCR usaha perikanan tangkap tidak ada yang terlalu menonjol, dimana nilai BCR tertinggi dimiliki oleh handline di Kelurahan Lateri, yaitu sekitar 8,72. Usaha tangkap handline juga mempunyai nilai BCR yang tinggi di desa Desa Latta (BCR = 2,07), dan tidak terlalu rendah di Desa Negeri lama dan Halong. Terkait dengan ini, maka usaha perikanan handline ini dapat menjadi unggulan untuk skala kecamatan (Kecamatan Teluk Ambon Baguala). Hadi dan Mardianto (2004) menyatakan bahwa daya saing produk suatu wilayah sangat tergantung pemilihan jenis dan skala usaha yang dilakukan untuk menghasilkan produk tersebut. Dalam konteks tersebut, bila handline dijadikan usaha perikanan tangkap unggulan utama untuk menghasilkan produk perikanan di wilayah kecamatan ini, tentu akan lebih baik karena lebih dapat menekan biaya operasional yang dikeluarkan. Bila dilihat satu persatu untuk setiap desa pesisir yang ada, maka jenis usaha perikanan yang dapat dijadikan unggulan di Desa Lama mencakup handline, di Kelurahan Lateri mencakup gillnet hanyut dan handline, Desa Halong mencakup pole and line, dan Desa Latta mencakup handline. Usaha perikanan tangkap ini merupakan usaha dengan nilai BCR tinggi yang terdapat di desa tersebut. Desa
106
Nania dan Desa Passo masing-masing dapat menjadikan payang, dan gillnet hanyut sebagai unggulan meskipun dengan nilai BCR yang tidak terlalu baik bila kegiatan perikanan tersebut dikembangkan. Hal ini karena kebiasaan dan kultur nelayan setempat telah dapat menerima usaha perikanan tangkap tersebut dengan baik, namun tetap perlu pembinaan lebih lanjut. Hermawan (2006), usaha perikanan tangkap yang telah dikembangkan secara turun-temurun di suatu kawasan perlu dilestarikan, meskipun termasuk sangat tradisional atau kecil. Hal ini karena masyarakat sekitar telah menguasai dan memiliki keterampilan lebih untuk mengoperasikannya, dan pembinaan perlu terus dilakukan sehingga produktivitas usaha perikanannya lebih baik. Tabel 44 menunjukan bahwa handline masih mendominasi tingginya tingkat kelayakan alat tangkap di kecamatan ini, walaupun di desa tertentu, seperti Desa Nania, Desa Passo, dan Desa Halong, alat tangkap lain yang lebih tinggi. Di Desa Nania, alat tangkap payang yang tertinggi, karena hanya alat tangkap ini yang digunakan nelayan di desa ini. Di Desa Passo, alat tangkap gillnet hanyut yang tertinggi tingkat kelayakannya dibanding dengan alat tangkap lain. Sementara itu di Desa Halong, alat tangkat pole and line adalah yang tertinggi tingkat kelayakannya dibanding alat tangkap lain. Pole and line di Desa Halong ini sejak lama (dari generasi ke generasi) telah digunakan, yang dalam istilah lokal disebut huhate, bahkan desa ini terkenal sebagai salah satu penghasil ikan cakalang (hasil tangkapan utama pole and line) di Pulau Ambon. Konstruksi Huhate atau pole and line ini dapat dilihat pada Gambar 28 dibawah ini. 2 1
3
4 5 6
Gambar 28 Alat tangkap huhate atau pole and line Keterangan bagian-bagian huhate : 1) tangke (pole); 2) tali kepala (head line); 3) tali utama (main line); 4) kawat baja; 5 & 6) mata pancing
107
5.5.4 Kelayakan usaha perikanan tangkap di desa pesisir Kecamatan Sirimau Usaha perikanan tangkap yang berkembang di desa-desa pesisir di Kecamatan Sirimau umumnya terdiri dari gillnet hanyut, gillnet dasar, handline, pole and line dan purse seine. Keberdaaan usaha perikanan tangkap tersebut menjadi sangat penting di Kecamatan Sirimau ini, karena dua dari empat desa/kelurahan pesisir yang ada berstatus mina mandiri dan dipertimbangkan menjadi lokasi pelaksanaan program kawasan mina politan yang digagas KKP, yaitu Desa Batu Merah dan Kelurahan Pandan Kasturi. Penetapan status tersebut (pada Bab 4) sangat tergantung pola pengelolaan yang terjadi pada usaha perikanan tangkap terutama menyangkut produktivitas, dukungan infratruktur, interaksi sosial, dan pengembangan teknologi penangkapan. Terkait dengan ini, maka keberlanjutan usaha perikanan tangkap yang ada perlu dipertahankan. Tabel 45 menyajikan hasil analisis BCR sebagai upaya untuk mengetahui kelayakan setiap usaha perikanan tangkap yang ada di masa yang akan datang. Tabel 45 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada desa pesisir di Kecamatan Sirimau No
Nama Desa
1 2 3 4
Batu Merah Pandan Kasturi Hatiwe Kecil Galala
Gillnet Hanyut 2,73 2,06 1,76
Gillnet Dasar 3,98 -
Nilai BCR Handline 2,14 -
Pole and Line 1,57 1,56
Purse Seine 1,21 -
Berdasarkan Tabel 45, gilnet hanyut, gillnet dasar, handline, pole and line, dan purse seine mempunyai nilai BCR > 1,00, sehingga layak untuk dipertahankan dan dikembangkan lebih lanjut. Dari empat usaha perikanan tangkap yang ada di Desa Batu Merah, tiga diantaranya mempunyai nilai BCR yang tinggi (>2,00), yaitu gillnet hanyut (BCR = 2,73), gillnet dasar (BCR = 3,98), dan handline (BCR = 2,14). Ketiga usaha perikanan tangkap ini dapat menjadi unggulan bagi desa pesisir dengan status mandiri (menuju mina politan) tersebut. Usaha perikanan tangkap dari Desa Batu Merah memberi kontribusi yang sangat penting bagi sektor perikanan di Kecamatan Sirimau dengan produk utama berupa ikan tongkol. Sementara ikan tongkol ini merupakan produk perikanan dengan kontribusi terbesar di kecamatan tersebut, yaitu 3.420 ton per tahun atau sekitar Rp 6.840.400.000 per tahun (BPS Kota Ambon).
108
Gillnet hanyut merupakan satu-satu jenis usaha perikanan tangkap yang dikembangkan di Kelurahan Pandan Kasturi. Gillnet hanyut di kelurahan ini mempunyai nilai BCR yang tinggi, sekitar 2,06, dan oleh karenanya dapat terus dipertahankan sebagai usaha perikanan unggulan di lokasi. Meskipun kontribusi usaha perikanan tangkap asal Pandan Kasturi ini tidak begitu besar dibandingkan misalnya di Desa Batu Merah, tetapi karena kesiapan infrastrukturnya baik seperti pelabuhan, pasar, dan berbagai usaha pendukung seperti kios alat tangkap dan perbekalan, maka Pandan Kasturi mendekati status desa mina politan (hanya butuh 6 skor lagi). Hal ini perlu didukung terus terutama dari usaha perikanan tangkap lokal dengan basis di Kelurahan Pandan Kasturi. Desa Hatiwe Kecil dan Desa Galala, tidak mempunyai usaha perikanan tangkap dengan nilai BCR tinggi (>2,00). Usaha perikanan tangkap yang ada perlu terus dibina sehingga dapat meningkat produktivitasnya. Namun demikian bila harus dipilih untuk kepentingan pengembangan, maka gillnet hanyut dapat menjadi unggulan bagi Desa Galala dan pole and line dapat menjadi unggulan bagi Desa Hatiwe Kecil. Kanpp (2004) menyatakan bahwa usaha ekonomi yang layak secara finansial perlu terus dibina dan dikembangkan terutama untuk peningkatan efisiensi dan perimbangan pengeluaran dan penerimaan yang lebih sehat. Usaha ekonomi yang dikelola dengan baik akan menjadi cerminan dari pertumbuhan ekonomi wilayah. Menurut Hesieh dan Li (2009), pertumbuhan ekonomi suatu kawasan akan ditunjukkan oleh pengembangan usaha dan industri perikanan yang prospektif dengan menghasilkan produk-produk perikanan yang nyata dan kontinyu secara jangka panjang. Tabel 45 memberi petunjuk bahwa tingkat kelayakan gillnet baik drift gillnet (jaring insang hanyut) maupun bottom gillnet (jaring insang dasar) mendominasi keempat desa di kecamatan ini. Sementara itu, pole and line yang sesungguhnya menjadi icon perikanan di Desa Galala dan Desa Hative Kecil, malahan rendah tingkat kelayakannya, walaupun masih menguntungkan. Pada umumnya jaring hanyut (drift gillnet) yang digunakan di Ambon untuk menangkap jenis ikan pelagis yang habitatnya di permukaan perairan, diantaranya ikan kembung, terbang, tongkol, dan laying. Sementara itu, jaring insang dasar (bottom gillnet) untuk menangkap jenis demersial, seperti ikan lalosi, salmaneti, samandar, dan jenis ikan dasar
109
lainnya. Contoh jaring insang (gillnet) dan hasil tangkapannya dapat dilihat pada Gambar 29 dibawah ini.
Gambar 29 Jaring insang dan hasil tangkapannya 5.5.5 Kelayakan usaha perikanan tangkap di desa pesisir Kecamatan Nusaniwe Usaha perikanan tangkap yang dikembangkan di desa pesisir di Kecamatan Nusaniwe ada lima jenis, yaitu gillnet hanyut, gillnet dasar, handline, pancing tonda, dan purse seine. Kelima usaha perikanan tangkap tersebut di delapan desa/kelurahan pesisir yang ada di kecamatan tersebut. Keberadaan usaha perikanan tangkap tersebut mencerminkan kontirbusi sektor perikanan Kecamatan Nusaniwe dalam menggerakan roda ekonomi di Kota Ambon. Menurut BPS (2010), nilai produksi perikanan di Kecamatan Nusaniwe memperlihatkan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya. Kenaikan siginifikan terjadi pada tahun 2008, di mana nilai produksinya mencapai Rp 20.560.760.000 atau naik sekitar 25,12 persen dari tahun 2007. Tabel 46 Hasil analisis BCR setiap usaha perikanan tangkap pada desa pesisir di Kecamatan Teluk Nusaniwe No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Desa Latuhalat Seilale Amahusu Nusaniwe Benteng Urimesing Waihaong Silale
Gillnet Hanyut 2,37 2,11 1,67 2,71 5,74
Gillnet Dasar 4,41 2,66 2,18 -
Nilai BCR Handline 3,61 2,57 1,57 2,12
Pancing Tonda 1,50 1,24 1,48 1,31 1,32 -
Purse Seine 1,40 0,82 1,64 1,03
Kontribusi sektor perikanan tersebut, akan dapat dipertahankan bila usaha perikanan tangkap yang ada tetap layak secara finansial untuk dikembangkan. Hal ini karena pengembangan usaha perikanan tangkap membutuhkan biaya besar baik
110
untuk investasi, biaya operasional maupun untuk perawatannya. Tabel 46 menyajikan hasil analisis kelayakan finansial (BCR) setiap usaha perikanan tangkap yang dikembangkan pada desa pesisir di Kecamatan Teluk Nusaniwe, Kota Ambon. Dari hasil analisis Tabel 46 ini, semua usaha perikanan tangkap kecuali purse seine di Desa Urimesing layak dikembangkan atau dilanjutkan pengelolaannya. Purse seine di Desa Urimesing mempunyai nilai BCR 0,82, yang berarti penerimaannya
lebih
kecil
daripada
biaya
yang
dikeluarkan
untuk
pengoperasiannya, dan bila hal ini dibiarkan terus tentu akan membawa kerugian besar bagi pelakunya dan bahkan dapat membawa dampak sosial yang berkepanjangan. Dalam penelitiannya, Hendriwan, et al (2008) menyatakan bahwa konflik sosial yang terjadi di masyarakat nelayan cenderung bermula dari minimnya hasil tangkapan sehingga tidak dapat menutupi pembiayaan. Kondisi ini menyebabkan banyak nelayan mengambil jalan dengan menggunakan alat tangkap/metode penangkapan ikan illegal untuk mendapatkan hasil, seperti penggunaan bahan peladak, jaring yang destruktif, dan perebutan fishing ground dengan kelompok nelayan lainnya. Di Desa Latuhalat, handline mempunyai nilai BCR yang tinggi (3,61), sedangkan dua lainnya (pancing tonda dan purse seine) mempunyai nilai BCR rendah. Terkait dengan ini,maka handline dapat menjadi usaha perikanan tangkap unggulan bagi Desa Latuhalat. Gillnet hanyut, gillnet dasar, dan handline mempunyai BCR>2,00 di Desa Seilale, sehingga dapat dijadikan unggulan bagi desa tersebut. Usaha perikanan tangkap yang dapat dijadikan unggulan bagi desa lainnya adalah gillnet hanyut untuk Nusaniwe, gillnet dasar untuk Kelurahan Benteng, gillnet hanyut dan gillnet dasar untuk Kelurahan Waihaong, gillnet hanyut dan handline bagi Desa Silale. Desa Amahusu dan Urimesing sebenarnya tidak mempunyai usaha perikanan tangkap unggulan untuk dikembangkan lanjut, karena tidak ada yang mempunyai nilai BCR yang tinggi (>2,00). Menurut Hanley and Spash (1993), nilai BCR atau perimbangan penerimaan dan pembiayaan perlu diupayakan lebih besar sehingga usaha ekonomi dapat bertahan pada berbagai kondisi, terutama terkait dengan kebijakan keuangan yang terkadang menaikkan atau menurunkan suku bunga bank. Selisih penerimaan yang cukup signifikan terhadap biaya yang dibutuhkan untuk operasi memungkinkan usaha untuk tetap
111
stabil/bertahan pada kondisi harga bahan baku dan produk yang tidak menentu (pengaruh suku bunga), kondisi hasil tangkapan di musim paceklik, dan lainnya. Tabel 46 menunjukan jaring insang mendominasi tingginya tingkat kelayakan usaha perikanan tangkap di kecamatan ini. Sebaliknya, purse seine merupakan alat tangkap yang terendah tingkat kelayakannya, bahkan di Desa Urimesing, purse seine ini malahan tidak menguntungkan, karena BCR nya kurang dari 1, yaitu 0,82. Purse seine atau pukat cintin ini adalah sejenis jaring yang umunya berbentuk empat persegi panjang tanpa kantong dengan banyak cincin pemberat di bagian bawah. Contoh pukat cincin dan hasil tangkapannya dapat dilihat pada Gambar 30 dibawah ini.
Gambar 30 Pukat cincin dan hasil tangkapan pukat cincin
6 KLUSTER DESA PERIKANAN Pengklusteran desa perikanan merupakan kegiatan mengelompokkan desadesa di daerah pesisir Kota Ambon berdasarkan kemiripannya dalam menjalankan aktivitas ekonomi berbasis usaha perikanan. Menurut Aleman (2005), kemiripan jenis aktivitas dan kondisi sekitarnya menjadi pertimbangan penting dalam pengklusteran suatu aktivitas ekonomi sehingga dapat berjalan dan berkembang dengan baik. Dalam konteks ini, maka pembahasan tentang kluster perikanan di Kota Ambon ini akan dilihat dari beberapa kesamaan atau kemiripan yang ada, sehingga desa yang kondisi dan aktivitas perikanannya mirip akan berada dalam satu kluster. Menurut Anderson (2004) kesamaan atau kemiripan desa dapat dilihat dari (a) kelayakan usaha yang dijalankan, (b) status desa berdasarkan potensinya, (c) kedekatan dengan jalur distribusi dan pemasaran, serta (d) sebaran pelaksanaan dan pemilik usaha perikanan tangkap. Dalam Bab 6 ini, keempat hal tersebut akan disajikan untuk setiap desa dan dibahas sehingga didapatkan pertimbangan yang mengarah pada penetapan kluster desa yang tepat dan komprehensif. Secara bertahap, desa-desa pesisir yang ada dikelompokkan berdasarkan kelayakan usaha (BCR), status desa, kedekatan jalur distribusi dan pemasaran, serta sebaran pemilikan usaha perikanan tangkap yang berkembang di Kota Ambon 6.1 Kelompok Desa Berdasarkan Nilai BCR Usaha Perikanan Tangkap 6.1.1
Kelompok desa dengan nilai BCR tinggi Hasil analisis dan pembahasan pada Bab 5 telah menunjukkan nilai BCR
setiap usaha perikanan tangkap yang ada di setiap desa pesisir, Kota Ambon. Di samping untuk mengetahui layak tidaknya usaha perikanan tangkap, nilai BCR juga dapat menjelaskan secara lebih spesifik tentang tingkat kelayakan tersebut apakah termasuk tinggi, sedang ataukah rendah. Nilai BCR yang tinggi akan menunjukkan tingkat kelayakan tinggi pada usaha perikanan, dan nilai BCR yang lebih rendah juga menunjukkan tingkat kelayakan usaha perikanan yang rendah atau tidak layak sama sekali. Menurut Kapp (1990), nilai BCR yang tinggi memberi indikasi bahwa penerimaan yang didapat usaha ekonomi dapat dengan mudah menutupi setiap pembiayaan yang diperlukan usaha ekonomi di periode yang berikutnya, dan pada kondisi ini tingkat kelayakan usaha ekonomi termasuk tinggi. Tabel 47 menyajikan
113
kelompok desa pesisir di Kota Ambon yang mempunyai usaha perikanan tangkap dengan nilai BCR yang tinggi (BCR > 2,00). Berdasarkan Tabel 47, dari 32 desa pesisir di Kota Ambon, sebanyak 22 desa (68,75 %) mempunyai usaha perikanan tangkap dengan BCR > 2,00 (klasifikasi BCR =A, bobot =3). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian desa pesisir di Kota Ambon sudah mempunyai usaha perikanan tangkap yang diandalkan untuk mendukung ekonomi perikanan dan kesejahteraan masyarakatnya. Kondisi ini tentu sangat baik, karena dapat memacu perkembangan desa perikanan di wilayah kepulauan dan dalam klasifikasi kluster desa dapat berada pada kelompok kluster teratas. Menurut Campling dan Havice (2007), usaha perikanan yang berkembang dengan baik akan mendukung pengembangan industri pengolahan serta memperkuat strategi atau posisi tawar dalam perdagangan produk perikanan. Dalam kaitan ini, maka pengembangan usaha perikanan tangkap dengan nilai BCR tinggi tersebut perlu diberi perhatian di desa pesisir karena lebih prospektif untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Diantara usaha perikanan tangkap dengan BCR tinggi, handline merupakan usaha perikanan tangkap yang dominan dan selalu mempunyai tingkat kelayakan yang tinggi (BCR tinggi) bila diusahakan. Hal ini ditunjukkan oleh sekitar 72,73 % (16 dari 22) desa pesisir ber-BCR tinggi, usaha perikanan handline selalu berhasil baik. Menurut Berkes (1994), usaha perikanan tangkap yang memberikan keuntungan kepada masyarakat (community) di suatu kawasan akan selalu dipertahankan dan bahkan dapat berkembang dengan lebih baik. Hal ini karena masyarakat umum selalu menjaga dan menggunakan alat produksi yang menurut mereka bisa mendatangkan penghasilan yang lebih. Di antara 22 desa pesisir dengan BCR tinggi tersebut, Desa Leaheri merupakan desa pesisir yang mempunyai BCR paling tinggi pada usaha perikanan tangkapnya, yaitu 20,24 (untuk usaha perikanan handline). Oleh karena itu, maka dari BCR, Desa Leahari dapat masuk dalam kluster I untuk desa perikanan. Namun demikian, kedekatan dengan jalur distribusi dan pemasaran, serta populasi kepemilikan usaha perikanan tangkap di desa akan memberi jawaban pasti mengenai kluster Desa Leahari. Seperti sudah disebutkan, BCR tinggi tersebut merupakan kontribusi dari usaha perikanan handline, dan nilai BCR tertinggi kedua (14,19) untuk Desa Laha juga merupakan kontribusi handline. Nilai BCR sangat tinggi pada
114
Desa Laha juga memberi memberi pelung masuknya desa ini dalam kluster teratas desa perikanan. Secara umum, nilai BCR handline yang sangat tinggi ini dapat disebabkan oleh skala pengusahaan yang kecil (oleh nelayan sendiri) sehingga tidak ada pembagian keuntungan dengan ABK/nelayan lainnya. Di samping itu, handline ini hanya dioperasikan dengan kapal ukuran kecil (bisa juga tanpa mesin), sehingga lebih hemat dalam bahan bakar minyak (BBM), dan juga dapat dioperasikan sepanjang tahun dengan mengatur ukuran mata pancing untuk mensiasati jenis ikan sasaran. Menurut Dahuri (2001), pengembangan perikanan skala kecil perlu dilakukan terutama pada kondisi biaya produksi yang mahal, dan bila hal ini berlanjut maka dapat memulihkan perekonominan daerah maupun kesejahteraan masyarakat pesisir. Namun, bila melihat jumlah usaha perikanan tangkap yang mempunyai BCR tinggi (>2,00) pada ke-22 desa pesisir tersebut, maka Desa Seilale dan Desa Batu Merah merupakan desa pesisir yang paling banyak usaha perikanan tangkapnya dengan BCR > 2,00. Desa Seilale mempunyai tiga usaha perikanan tangkap BCR > 2,00, yaitu masing-masing gillnet hanyut, gillnet dasar, dan handline. Desa Batu Merah juga mempunyai usaha perikanan tangkap dengan BCR > 2,00, yaitu gillnet hanyut, gillnet dasar, dan handline. Banyaknya usaha perikanan dengan BCR tinggi dapat posisi desa tersebut dalam penetapan kluster desa perikanan. Kondisi ini memberi peluang bagi kedua desa untuk masuk dalam posisi teratas kluster desa perikanan. Menurut Iskandar (2005), semakin banyak usaha perikanan yang layak (BCR tinggi), maka semakin tinggi produktivitas usaha perikanan tangkap. Menurut BPS (2001), produktivitas menjadi kriteria/indikator penting dalam penilaian status desa pesisir. Terlepas dari itu semua, bila mengacu Dijten KP3K (2006), Anderson (2004), dan Depperin (2005) tentang klasifikasi kluster desa, maka secara normal kelompok desa pesisir dengan BCR tinggi pada salah satu atau lebih usaha perikanan tangkapnya tersebut, dapat masuk Kluster desa 1 (K1) sampai Kluster desa (K4) diantara 6 klasifikasi yang ada. Bila diantara 22 desa pesisir dengan BCR tinggi tersebut, ada yang dapat memenuhi secara maksimal ketiga kriteria lainnya (status desa, kedekatan dengan jalur distribusi dan pemasaran produk perikanan, serta populasi pemilik usaha perikanan tangkap di desa), maka dapat masuk Kluster desa 1 (K1). Sebaliknya bila tidak maksimal, akan masuk Kluster desa 2, Kluster desa 3,
115
dan Kluster desa 4, dan bisa lebih rendah lagi bila tingkat pemenuhan kriteriakriteria lainnya sangat rendah. Tabel 47 Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR tinggi di Kota Ambon No.
Nama Desa
1
Waihaong
2
Seilale
3
Batu Merah
4
Benteng Pandan Kasturi
5
Usaha Perikanan Menurut Nilai BCR BCR < 1,5
1,5 < BCR < 2,00
BCR > 2,00
Pancing Tonda
Purse Seine
-
-
Purse Seine
-
Handline
Gillnet Hanyut
Gillnet Hanyut dan Gillnet Dasar Gillnet Hanyut, Gillnet Dasar, dan Handline Gillnet Hanyut, Gillnet Dasar, dan Handline Gillnet Dasar
-
-
Gillnet Hanyut
Usaha Perikanan dengan BCR Tertinggi
Nilai BCR Tertinggi
Bobot
Gillnet Hanyut
2.71
3
Gillnet Dasar
4.41
3
Gillnet Dasar
3.98
3
Gillnet Dasar
2.66
3
Gillnet Hanyut
2.06
3
Handline
8.72
3
Gillnet Hanyut
5.74
3
Handline Handline
3.04 9.38
3 3
6
Lateri
Redi
Bagan dan Pole and Line
7
Silale
Purse Seine
-
8 9
Hunut Waeheru
-
10
Nusaniwe
Pancing Tonda
Gillnet Hanyut dan Handline Gillnet Hanyut dan Handline Handline Handline
-
Gillnet Hanyut
Gillnet Hanyut
2.11
3
Pancing Tonda,Gillnet Hanyut, Gillnet Dasar dan Purse Seine
Handline
Handline
20.24
3
-
Pole and Line
Pole and Line
2.15
3
Gillnet Dasar
Gillnet Hanyut dan Handline
Gillnet Hanyut
11.77
3
Gillnet Hanyut
Handline
Handline
5.04
3
4.34
3
2.19 2.07
3 3
14.19
3
6.70 3.61 4.85
3 3 3
6.98
3
11
Leahari
12
Halong
13
Rutong
14
Naku
15 16 17 18 19 20 21 22
Redi, Gillnet Hanyut dan Handline Pancing Tonda Pancing Tonda
Bagan, Gillnet Handline dan Pancing Gillnet Dasar Hanyut dan Pole and Handline Tonda Line Poka Gillnet Hanyut Gillnet Hanyut Latta Gillnet Hanyut Handline Handline Ketinting dan Purse Handline dan Pancing Laha Handline Seine Tonda Tawiri Handline Handline Latuhalat Purse Seine Pancing Tonda Handline Handline Rumah Tiga Handline Handline Pancing Gillnet Hanyut dan Hukurilla Handline Handline Tonda Gillnet Dasar Hutumuri
6.1.2
Kelompok desa dengan nilai BCR sedang Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR sedang merupakan kumpulan desa-
desa pesisir yang mempunyai BCR antara 1,50 – 2,00 pada salah satu atau lebih usaha perikanan tangkap yang dikembangkan di desa tersebut. Dalam kaitan dengan
116
klasifikasi desa pesisir berdasarkan BCR, maka desa dengan BCR 1,50 – 2,00 ini termasuk klasifikasi B (bobot = 2). Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR sedang sebagai BCR terbaik yang dimiliki oleh minimal satu usaha perikanan tangkapnya di Kota Ambon disajikan pada Tabel 48. Tabel 48 Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR sedang di Kota Ambon Usaha Perikanan Menurut Nilai BCR No. Nama Desa
1
Negeri Lama
2
Wayame
3
Kilang
4
Nania Hative Kecil
5
BCR >
Usaha Alat Tangkap Perikanan Dengan Nilai Bobot dengan BCR BCR Tertinggi Tertinggi
BCR < 1,5
1,5 < BCR < 2,00
Redi
Gillnet Hanyut dan Handline
-
1.95
Handline
2
-
Pancing Tonda
-
1.76
Pancing Tonda
2
Handline
-
1.80
Handline
2
Payang
-
1.65
2
-
Pole and Line
-
1.57
Payang Pole and Line Gillnet Hanyut
Gillnet Hanyut dan UP Tuna -
2,00
6
Passo
-
Gillnet Hanyut
-
1.67
7
Galala
-
Pole and Line dan Gillnet Hanyut
-
1.76
Gillnet Hanyut
2 2 2
Dibanding dengan desa pesisir bernilai BCR tinggi, maka penerimaan usaha perikanan tangkap unggulan di desa-desa ini tidak begitu leluasa dalam menutupi pembiayaan yang dibutuhkan selama usaha dijalankan. Hal ini karena selisih penerimaan dengan pembiayaan tidak begitu besar (tidak sampai dua kali lipat). Namun demikian, pada kondisi normal kinerja usaha perikanan pancing tonda tersebut tetap dapat menjamin semua kebutuhan pembiayaan. Untuk kondisi ekstrim, seperti musim pacekelik yang berkepanjangan sehingga hasil tangkapan kurang memuaskan dan fluktuasi tinggi suku bunga yang mempengaruhi harga bahan-bahan perbekalan, maka perlu dilakukan langkah-langkah konkrit dan strategis, agar usaha perikanan tersebut dapat berjalan dengan baik. Menurut Mamuaya, et. al (2007), keberlanjutan usaha perikanan di daerah kota pantai dapat dipertahankan bila dapat menyiasati kondisi paceklik hasil tangkapan, masuknya produk substitusi, dan kondisi ekonomi nasional maupun regional yang tidak stabil. Bila mengacu kepada klasifikasi kluster desa yang ada, maka ketujuh desa pesisir dengan nilai BCR sedang tersebut (Tabel 48) dapat masuk Kluster desa 3 (K3) sampai Kluster desa 6 (K6). Bila aspek lainnya mendukung, maka desa pesisir tersebut dapat masuk kluster atasnya, sedangkan bila tidak mendukung, maka dapat
117
masuk kluster lebih rendah (K5 atau K6). Diantara usaha perikanan tangkap yang kontribusi nilai BCR sedang bagi tujuh desa pesisir di Kota Ambon, handline dan gillnet hanyut menjadi andalan (memberi nilai tertinggi untuk BCR sedang tersebut) pada empat desa pesisir. Usaha perikanan handline menjadi unggulan di Desa Negeri lama dan Desa Kilang dan usaha perikanan gillnet menjadi unggulan di Passo dan Galala. Melihat nilai BCR ini, bahwa usaha perikanan skala kecil dan menengah lebih dapat memberikan keuntungan yang layak terutama bagi nelayan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Pada Bagian 6.1.1, handline menjadi usaha perikanan unggulan pada 16 dari 22 desa pesisir dengan BCR tinggi, dan hal yang sama juga untuk 2 dari 7 desa pesisir dengan BCR sedang. Seperti disebutkan sebelumnya, hal ini lebih karena fleksibelitas usaha perikanan skala kecil ini dalam operasi (bisa tanpa mesin/tanpa BBM), leluasa mengatur mata pancing sesuai jenis ikan sasaran, dan dapat dioperasikan sendiri oleh nelayan/anggota keluarga nelayan. Hal ini bisa jadi karena potensi SDI cukup melimpah di perairan Maluku, dimana fishing ground tidak perlu dicari terlalu jauh untuk mendapatkan hasil tangkapan yang memadai. Menurut Ralahalu (2010), potensi SDI perairan Maluku sangat melimpah termasuk perairan pantainya (0 – 4 mil), baik dari jenis ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil maupun ikan demersal. Untuk fishing ground terdekat nelayan Kota Ambon, misalnya perairan pantai Maluku Tengah (Laut Banda bagian timur) mempunyai potensi ikan pelagis besar, pelagis kecil, dan demersal berturut-turut 4.385,57 ton, 10.768,64 ton, dan 3.524,16 ton. Dan untuk fishing ground yang agak ke barat (perairan pantai Seram Barat) mempunyai potensi ikan pelagis besar, pelagis kecil, dan demersal masing-masing 1.567,20 ton, 5.562,71 ton, dan 2.620,04 ton. 6.1.3 Kelompok desa dengan nilai BCR rendah Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR rendah merupakan kumpulan desadesa pesisir yang tidak mempunyai satupun usaha perikanan tangkap dengan nilai BCR 1,50 ke atas. Karena itu, usaha perikanan tangkap bisa juga ada yang tidak layak atau merugi, sebab penerimaannya tidak dapat menutupi kebutuhan pembiayaan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan (BCR < 1). Menurut Nikijuluw (2002), kemunduran kegiatan pengelolaan perikanan tidak hanya disebabkan oleh adanya monopoli kegiatan pengelolaan, tetapi karenanya
118
ketidakpedulian terhadap kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh sebagai anggota masyarakat. Usaha perikanan tangkap yang tidak menguntungkan dapat dengan meudah menyulut konflik yang kemudian berujung pada terganggunya kondusifitas kegiatan pengelolaan perikanan secara keselurahan di suatu kawasan, Mengacu kepada kondisi tersebut, maka desa pesisir dengan nilai BCR rendah pada usaha perikanan tangkap ini harus dibina dan dikembangkan skill-nya dalam mengelola usaha perikanan, karena banyak yang menjadi penopang utama kehidupan keluarga nelayan. Tabel 49 menyajikan kelompok desa pesisir dengan nilai BCR rendah (BCR < 1,50) untuk usaha perikanan tangkapnya di Kota Ambon. Tabel 49 Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR rendah di Kota Ambon Usaha Perikanan Menurut Nilai BCR No.
Nama Desa
1
Urimesing
2
Hatiwe Besar
3
Amahusu
BCR < 1,5 Pancing Tonda dan Purse Seine Purse Seine dan Handline Pancing Tonda
Usaha Perikanan dengan BCR Tertinggi
Nilai BCR Tertinggi
Bobot
1,5 < BCR < 2,00
BCR > 2,00
-
-
Pancing Tonda
1.31
1
-
-
Purse Seine
1.49
1
-
-
Pancing Tonda
1.24
1
Berdasarkan Tabel 6.3, Desa Urimesing, Desa Hatiwe Besar, dan Desa Amahusu merupakan kelompok desa pesisir dengan nilai BCR < 1,50 (klasifikasi C, bobot = 1) di Kota Ambon. Di Desa Urimesing, usaha perikanan mini purse tidak dapat memberi pendapatan yang layak kepada nelayan pelakunya, lebih karena nilai penerimaan hanya sekitar Rp 144.000.000 per tahun (atau rata-rata Rp 1.000.000 per trip, jumlah trip 144 per tahun), sedangkan biaya operasional rata-rata yang harus dikeluarkan sekitarnya Rp 1.326.000 per trip (Tabel 50).
119
Tabel 50 Biaya operasional per trip mini purse di Desa Urimesing Uraian Minyak tanah Bensin Solar Oli Es Air tawar Ransum Retribusi
Volume 70,00 50,00 0,00 2,00 4,00 0,00 1,00 1,00 Jumlah
Harga Satuan (Rp) 12.000,00 4.500,00 4.500,00 25.000,00 14.000,00 1.000,00 80.000,00 75.000,00
Nilai (Rp) 840.000,00 225.000,00 0,00 50.000,00 56.000,00 0,00 80.000,00 75.000,00 1.326.000.00
Untuk pancing tonda meskipun menguntungkan tetapi keuntungan tersebut terlalu minim (BCR rendah = 1,31), sehingga cukup labil terhadap berbagai gangguna dalam operasi. Keuntungan yang rendah ini antara lain disebabkan oleh sistem bagi hasil 50 % : 50 % yang belum pas untuk ukuran dan kinerja usaha yang sedang dicapai, sehingga meskipun 50 % tetapi juga sedikit bagi nelayan pemilik, karena semua pembiayaan termasuk perawatan dan retribusi ditanggung nelayan pemilik. Untuk usaha perikanan mini purse, bila tidak ada perkembangannya, maka sebaiknya dialihkan kepada usaha perikanan lain yang tidak terlalu merepotkan terutama dalam pembiayaan. Hal yang sama juga perlu dilakukan untuk usaha perikanan purse seine di Desa Hatiwe Besar dan usaha perikanan pancing tonda di Desa Amahusu. Handline di Desa Hatiwe Besar mempunyai BCR rendah (1,22) lebih karena biaya operasi yang cukup besar (ada penggunaan mesin kapal/BBM) (biaya operasi minimal Rp 95.000 per trip), sementara hasil tangkapan juga tidak maksimal (hanya sekitar Rp 125.000 per trip). Menurut Ruddle, et al (1992), supaya usaha perikanan dapat memberi manfaat lebih bagi pelakunya, maka setiap faktor produksi yang digunakan harus ditentukan dan dicapai secara sungguh-sungguh dalam pengelolaan usaha perikanan. Hal ini penting mengingat banyak faktor yang berpengaruh dalam menjalankan usaha perikanan sehingga berbagai upaya antisipasi perlu dilakukan. Dengan mempertimbangkan itu semua, bila Desa Urimesing, Desa Hatiwe Besar, dan Desa Amahusu diklusterkan, maka dari aspek nilai BCR ini ketiga desa
120
tersebut dapat masuk kluster 5 (K5) dan kluster 6 (K6). Kluster ini mencerminkan kondisi pengelolaan usaha perikanan tangkap yang ada selama ini di ketiga desa pesisir tersebut, bila perkembangan yang lebih baik, maka bukan sesuatu yang mustahil, desa-desa pesisir ini masuk dalam kluster yang lebih atas nantinya. Hasil terkait status desa pesisir, kedekatan dengan jalur distribusi dan perdagangan serta populasi pemilik usaha perikanan di desa akan membantu menentukan secara pasti kluster desa perikanan yang sesuai untuk setiap desa tersebut. 6.2
Kelompok Desa Berdasarkan Status Desa Kelompok desa pesisir berdasarkan status desa yang dimaksud di sini adalah
pengelompokkan desa menurut potensi desa dan perkembangan usaha perikanannya terutama di bidang perikanan tangkap pada Bab 4. Mengacu kepada hal ini, maka dari 32 desa pesisir tersebut akan dikelompokkan tiga kategori, yaitu kelompok desa pesisir dengan status mina mula, kelompok desa pesisir dengan status mina mandiri, dan kelompok desa pesisir dengan status mina politan. Namun dari 32 desa pesisir tersebut, sekitar 3 desa berstatus mina politan, 28 desa berstatus mina mandiri, dan 1 desa pesisir berstatus mina mula (baru berkembang usaha perikanannya). Menurut BPS (1991) dan KP3K (2006), status desa sangat erat kaitannya dengan kemampuan dan kesiapan desa terutama terkait dengan potensi dan sarana serta prasarana dalam mendukung berjalannya usaha perikanan tangkap secara baik. Status desa ini sangat membantu untuk membuat perencanaan pembangunan desa sehingga sesuai kebutuhan dan kesiapan yang ada. Untuk maksud ini, maka hasil identifikasi status desa pesisir untuk setiap kecamatan pada Bab 4, perlu diolah lanjut sehingga pengelompokkan setiap desa pesisir tersebut sesuai dengan status desa. Di Kota Ambon tidak ada desa/kelurahan pesisir yang mempunyai tota standar skor (TSS) 2,40 ke atas, sehingga dari 32 desa/kelurahan tersebut tidak ada yang berstatus mina politan. Bila mengacu Kepmen KP Nomor 32/MEN/2010 tentang Program Kawasan Mina Politan, maka dapat dikatakan tidak ada desa/kelurahan pesisir di Kota Ambon yang secara sempurna memenuhi kriteria sebagai lokasi pelaksanaan program kawasan mina politan yang digagas oleh Kementerian Kelautan dan Perikinan (KKP). Tabel 51 menyajikan kelompok desa pesisir dengan status mina mandiri (bobot = 2) di Kota Ambon.
121
Berdasarkan Tabel 51, Desa Hutumuri, Kelurahan Pandan Kasturi, dan Hatiwe Kecil termasuk desa mina mandiri yang mempunyai total standar skor (TSS) yang tinggi. Hal ini karena ketiga desa/kelurahan pesisir tersebut lebih unggul dalam potensi dan kesiapan untuk mendukung pengembangan kegiatan perikanan terutama perikanan tangkap di Kota Ambon. Bila dihubungkan dengan kriteria kawasan mina politan, maka desa pesisir tersebut sudah memenuhi sebagian besar kriteria-kriteria yang diperlukan untuk pengembangan sentra ekonomi perikanan yang modern. Bila mengacu kepada Dijten KP3K (2006), Anderson (2004), dan Depperin (2005) tentang klasifikasi kluster desa, maka dari segi status, Desa Batu Merah, Kelurahan Pandan Kasturi, dan Desa Hative Kecil , dapat masuk kluster atas (Kluster desa 1) atau minimal kluster tengah (Kluster desa 4) diantara 6 klasifikasi kluster yang ada. Dalam konteks program kawasan mina politannya Kementerian Kelautan & Perikanan, Desa Hutumiri (TSS=2,36), Kelurahan Pandan Kasturi (TSS= 2,35), dan Desa Hatiwe Kecil (TSS= 2,31) dapat menjadi basis pengembangan kegiatan perikanan tangkap dalam mendukung program kawasan mina politan KKP. Hal ini karena di ketiga desa/kelurahan pesisir ini mempunyai usaha perikanan tangkap yang maju, berdekatan dengan pelabuhan perikanan skala besar (PPN Tantui), ada fasilitas docking (Perum Karni), Kios alat perikanan, kios alat perikanan, kios perbekalan, SPBU, dan mobil umum/angkutan, sehingga mendukung kegiatan perikanan tangkap yang dikembangkan. Desa Hatiwe Kecil dapat menjadi penopang kegiatan perikanan budidaya yang dikembangkan di perairan Teluk Ambon Dalam, dan Kelurahan Pandan Kasturi dapat mendukung kegiatan pemasaran hasil perikanan karena di lokasi tersedia pasar ikan. Berdasarkan data BPS Kota Ambon (2010), ketiga desa/kelurahan tersebut mempunyai keunggulan tersendiri namun saling mendukung satu sama lain untuk kegiatan perikanan tangkap, yaitu Kelurahan Pandan Kasturi sebagai lokasi pelabuhan, Desa Hutumuri berkembang dengan baik usaha perikanan tangkap baik dari jenis pole and line, bagan, gillnet hanyut, gillnet dasar, handline, hingga pancing tonda. Di Desa Hutumuri ini juga terdapat usaha pembuatan kapal/fasilitas doking. Meskipun berstatus mina mandiri, Desa Laha dapat dipertimbangkan sebagai lokasi alternatif untuk program kawasan mina politan berbasis pengolahan dan pemasaran karena mempunyai industri perikanan yang modern, yaitu PT Arabika dan PT Samudra Sakti, serta Bandar Udara Internasional (Bandara Pattimura). Nilai
122
total standar (TSS) sekitar 2,20 (hanya kurang 0,2 untuk menjadi status mina politan) menjadi bukti kemapanan Desa Laha ini dalam pendukung program kawasan mina politian untuk kegiatan pengolahan dan pemasaran. Kelurahan Waihaong dan Kelurahan Benteng juga total skor standar (TSS) yang tinggi, namun intensitas usaha pengolahan dan pemasarannnya masih kurang dibandingkan Desa Laha. Kedua desa/kelurahan ini dapat diandalkan dalam mendukung kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang yang dipusatkan di Desa Laha. Hal ini karena di kedua kelurahan pesisir ini berkembang usaha pengolahan skala RT (pengasapan), industri pengolahan, pabrik es, perusahaan jasa pengiriman, dan mobil umum/angkutan. Data BPS Kota Ambon (2010) menunjukan bahwa di Keluarahan Waihaong terdapat 55 mobil umum/angkutan dan di Kelurahan Benteng ada 110 buah sehingga mendukung distribusi dan pemasaran hasil usaha pengolahan dan industri. Desa Poka dan Hunut dapat dipertimbangkan menjadi lokasi program kawasan mina politan berbasis budidaya. Kedua desa ini telah menjadi pusat pengembangan usaha perikanan budidaya di Kota mabon dan Provinsi Maluku, dan di lokasi ini juga terdapat balai penelitian perikanan budidaya yang lingkup kerja kerja menjangkau 4 provinsi (Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat). Kedua desa ini mempunyai total skor standar (TSS) penilaian karakteristik kawasan mina politian, yaitu masing-masing 11,7 dan 12. Desa Poka dan Desa Hunut dengan didkung oleh Desa Rumah Tiga menjadi pemasok utama ikan hasil budidaya di Kota Ambon
maupun
untuk
tujuan
ekspor
ke
Hongkong
dan
Korea.
Bila
mempertimbangkan hal tersebut, maka Desa Galala, Desa Poka, dan Desa Rumah Tiga dapat masuk K1 – K3.
123
Tabel 51 Kelompok desa pesisir dengan status mina mandiri di Kota Ambon No.
Desa/Kelurahan
Status Desa
Klasifikasi
Bobot
Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Waihaong Batu Merah Benteng Pandan Kasturi Naku Hutumuri Lateri Silale Hunuth Wayame Nusaniwe Halong Nania Hative Kecil Tawiri Hukurilla Passo Poka Latta Hative Besar Laha Galala Latuhalat Rumah Tiga Seilale Negeri Lama Waeheru Kilang Urimesing/Ds Seri Amahusu
Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri
B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Hutumuri, Pandan Kasturi, Hatiwe Kecil, dan Laha termasuk desa mina mandiri dengan TSS tinggi, masingmasing 2,36, 2,35, 2,35, dan 2,20. Di keempat desa tersebut berkembang baik usaha perikanan. Meskipun TSSnya tidak terlalu tinggi, di Desa Poka (TSS=2,07) dan Hunut (TSS=1,98) berkembang pesat kegiatan budidaya dan penelitian terkait (ada balai penelitian budidaya)
Secara umum, status mina mandiri (bobot = 2) pada sebagian besar desa/kelurahan pesisir (30 desa) di Kota Ambon telah menunjukkan bahwa potensi dan kesiapan Kota Ambon dalam mendukung kegiatan perikanan dan programprogramnya sudah bagus, namun masih perlu beberapa pembenahan untuk
124
mendukung pengembangan kegiatan perikanan di Kota Ambon yang lebih baik. Desa pesisir tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, kelebihan hasil produksi perikanan sudah mulai dijual ke daerah-daerah lainnya. Bila mengacu kepada Dijten KP3K (2006), Anderson (2004), dan Depperin (2005) tentang klasifikasi kluster desa, maka ke-16 desa pesisir tersebut dapat masuk masuk kluster 3 (K3) sampai kluster 6 (K6) diantara 6 klasifikasi kluster yang ada. Mengacu kepada kluster tersebut, maka desa pesisir berstatus mina mandiri dengan total skor standar cukup tinggi atau mempunyai potensi perikanan khusus dapat masuk kluster tengah, misalnya kluster 3 (K3) atau kluster 5 (K5). Namun demikian, kluster yang tepat untuk setiap desa/kelurahan pesisir tersebut tidak hanya ditentukan oleh status desa tetapi juga oleh elemen/faktor lainnya, diantara kelayakan usaha perikanan tangkap dan kedekatan dnegan jalur bisnis. Menurut Depperin (2005), suatu kawasan dengan potensi khusus dan kesiapan infrastruktur yang baik akan lebih mudah dikembangkan kegiatan ekonominya. Kawasan/desa tersebut akan memudahkan masuknya investasi termasuk yang berbasis industri. Tabel 52 menyajikan kelompok desa pesisir dengan status mina mula (bobot = 1) di Kota Ambon. Tabel 52 Kelompok desa pesisir dengan status mina mula di Kota Ambon No.
Desa/Kelurahan
1
Rutong
2
Leahari
Status Desa Mina Mula Mina Mula
Klasifikasi
Bobot
Keterangan
C
1
C
1
TSS Rutong 1,46 & TSS Leahari 1,48
Desa Rutong kurang handal dari segi penduduk (kepadatan hanya 184 orang/km2), pembauran etnis (dominan penduduk asli/etnis Ambon), dan ikatan keluarga masih kental dalam berbagai kegiatan ekonomi termasuk kegiatan perikanan, sehingga hanya memenuhi syarat minimal status desa mandiri. Hal yang sama juga terjadi pada Desa Leahari, dimana kepadatan hanya 145 orang/km2 dan penduduk asli juga dominan dalam kegiatan perikanan tangkap. Untuk Desa Seilale, kepadatan penduduk lebih baik (519 orang/km2) dan aktivitas masyarakat cukup dinamis, kegiatan perikanan dilakukan oleh banyak orang, namun tidak berkembang metode operasinya, serta sarana dan prasarana pendukung juga sangat kurang. Menurut Leadbitter dan Ward (2007), kegiatan perikanan yang dilakukan dalam secara monoton, tidak ada inovasi dalam operasi, serta tidak dilengakapi dengan
125
saran pendukung cenderung mengalami kesulitan dalam perkembangannya. Hal ini karena konsistensi manfaat sosial yang bisa dirasakan oleh masyarakat tidak meningkat, sehingga masyarakat terkadang melupakannya. Menurut Aleman (2005), pengklusteran akan memudahkan pemilihan program pengembangan yang dilakukan oleh Pemerintah. Hal ini karena Pemerintah dan pihak yang berkepentingan lainnya mempunyai gambaran kondisi dan potensi dari kawasan/desa tersebut, sehingga tindakan pengembangan lebih cepat dan tepat untuk dilakukan. Kawasan/desa dengan kondisi dan potensi yang kurang mendukung biasanya masuk kluster yang lebih rendah, sedangkan yang lebih baik potensinya akan sebaliknya. Dalam kluster desa pesisir yang dikembangkan, desa pesisir dengan status mina mula (kondisi dan potensi rendah) dapat masuk kluster 4 (K4), atau bahkan kluster 6 (K6), bila elemen/faktor penentu lainnya, seperti kelayakan usaha, kedekatan dengan jalur bisnis, dan kepemilikan usaha perikanan tangkap tidak dipenuhi dengan baik. 6.3
Kelompok Desa Berdasarkan Dengan Jalur Bisnis Perikanan Tangkap Kedekatan dengan jalur bisnis perikanan tangkap merupakan pertimbangan
penting dalam pengklusteran desa perikanan, karena kegiatan bisnis ini sangat menentukan maju mundur dengan perikanan tersebut. Kedekatan desa pesisir dengan jalur bisnis dikatakan dekat (klasifikasi A) bila berjarak 0 – 10 km, sedang (klasifikasi B) bila berjarak 10,1 – 20 km, jauh (klasifikasi C) bila berjarak > 20 km. Semakin dekat desa pesisir dengan jalur bisnis tentunya semakin memudahkan distribusi dan pemasaran produk perikanan yang dihasilkannya, sehingga lokasi dekat, sedang, dan jauh tersebut, masing-masing diberi bobot 1, 2, dan 3. Tabel 53 menyajikan hasil analisis kedekatan desa pesisir di Kota Ambon dengan jalur bisnis (distribusi dan pemasaran) perikanan tangkap. Jalur distribusi hasil perikanan melalui PPN Tantui baik untuk di bongkar di Kota Ambon maupun pemasaran lebih lanjut di dalam negeri dan ekspor merupakan hal yang sangat penting untuk kontinyuitas dan pengembangan kegiatan perikanan tangkap di Kota Ambon. Hal ini karena hasil perikanan merupakan produk yang gampang rusak, sehingga gangguan dalam distribusi sangat mempengaruhi kualitas maupun tujuan pasarnya. Terkait dengan ini, maka kedekatan dengan PPN Tantui (pelabuhan transit hasil perikanan) menjadi pertimbangan perting dalam pengklusteran desa perikanan di Kota Ambon. Menurut Ralahalu (2010), potensi
126
ikan di propinsi Maluku mencapai 1.627.500 ton per tahun dan sebagian besar hasil tangkapannya didaratkan dan didistribusikan melalui PPN Tantui. Tabel 53 Kedekatan desa pesisir dengan jalur bisnis perikanan tangkap
1
Waihaong
Nusaniwe
3,7
36,4
1,5
4,5
7,4
RataTingkat Rata Kedekat Bobot Jarak an (km) 10,6 Sedang 2
2
Seilale
Nusaniwe
16,3
49
14
17
5,3
20,1
Jauh
1
3
Batu Merah
Sirimau
1,6
33,9
0,5
2,3
9,8
8,0
Dekat
3
4
Benteng
Nusaniwe
5,4
38,1
3,1
5,4
5,6
11,5
Sedang
2
5
Pandan Kasturi
6
Lateri
7 8
Urimesing (Dn Seri) Silale
9
Hunut
10
Negeri Lama
11
Waeheru
12
Wayame
13
Nusaniwe
14
Kilang
15
Leahari
16
No.
Desa
Lokasi (Kecamatan)
Jarak Kedekatan dengan Jalur Bisnis (km) PPN Bandara Pasar Ikan Pasar Ikan Tantui Pattimura Mardika Hiegenis
PPI Eri
Sirimau
0
32,7
2,3
1,7
11
9,5
Dekat
3
TABaguala
3,7
25
10
6
18,7
12,7
Sedang
2
Nusaniwe
24,6
57,3
22,3
26,3
15,7
29,2
Jauh
1
Nusaniwe
3,7
36,4
1,5
4,5
7,4
10,7
Sedang
2
TA Dalam
17,7
15
20
17
28,7
19,7
Sedang
2
TABaguala
12,7
20
13,5
12
23,7
16,4
Sedang
2
TA Dalam
15,7
12
18
15
26,7
17,5
Sedang
2
TA Dalam
27,7
5
30
27
38,7
25,7
Jauh
1
11
42,7
8,7
11,7
0
14,8
Sedang
2
13,3
41
11
16
19,7
20,2
Jauh
1
28,8
28
26
24,6
34,3
28,3
Jauh
1
Halong
Nusaniwe Leitimur Selatan Leitimur Selatan TA Baguala
4,7
29
6
4
14,7
11,1
Sedang
2
17
Nania
TA Baguala
13,7
19
16
12,3
24,7
17,4
Sedang
2
18
Hatiwe Kecil
1,9
31,8
4,2
1
12,9
10,4
Sedang
2
19
Rutong
28,3
27,5
25
23,8
33,7
27,7
Jauh
1
20
Naku
12,8
40,5
10,5
15,5
19,2
19,7
Sedang
2
21
Hutumuri
21,7
35
24
21,5
22,7
25,0
Jauh
1
22
Passo
Sirimau Leitimur Selatan Leitimur Selatan Leitimur Selatan TA Baguala
11,7
22
13
9,3
21,7
15,5
Sedang
2
23
Poka
TA Dalam
22,7
10
25
21,3
33,7
22,5
Jauh
1
24
Latta
TA Baguala
5,7
27
8
4,3
16,7
12,3
Sedang
2
25
Hatiwe Besar
TA Dalam
29,7
3
32
27,3
40,7
26,5
Jauh
1
26
Laha
TA Dalam
32,7
0
35
30,4
43,7
28,4
Jauh
1
27
Tawiri
TA Dalam
31,5
0,5
34,5
29,4
42,3
27,6
Jauh
1
28
Galala
Sirimau
1,9
31,8
4,2
1
12,9
10,4
Sedang
2
29
Latuhalat
Nusaniwe
19,7
52,4
17,4
21,3
8,7
23,9
Jauh
1
30
Rumah Tiga
25,7
7
28
24,3
37,7
24,5
Jauh
1
31
Hukurilla
15,7
38
13,1
17,8
21,8
21,3
Jauh
1
32
Amahusu
TA Dalam Leitimur Selatan Nusaniwe
6,7
39,4
4,4
8,2
4,3
12,6
Sedang
2
127
Bandar Utara Internasional Pattimura juga memegang peran penting dalam distribusi hasil perikanan terutama untuk produksi ikan segar bernilai tinggi. Bandar udara ini juga penting dalam mendukung mobilitas investor ke Kota Ambon. Menurut BPS Kota Ambon (2010), Bandar Utara Internasional Pattimura selama ini telah melayani 8-15 penerbangan baik skala internasional, nasional maupun lokal Propinsi Maluku. Terkait dengan ini, maka jalur transportasi/distribusi udara ini juga menjadi pertimbangan penting dalam pengklusteran wilayah/desa perikanan di Kota Ambon. Pasar ikan yang terdapat di Kelurahan Pandan Kasturi dan pusat kota merupakan dua pasar ikan utama di Kota Ambon. Di pasar ikan ini terjadi kegiatan pemasaran hasil perikanan baik bentuk segar maupun olahan, baik skala besar maupun skala eceran. Pentingnya posisi pasar ini, maka menjadi pertimbangan penting dalam pengklusteran desa perikanan Kota Ambon. Hasil analisis pada Tabel 53 menunjukkan bahwa secara umum desa pesisir Kota Ambon mempunyai jarak yang dekat terhadap suatu jalur binis namun jauh terhadap jalur bisnis lainnya atau sebaliknya, dan hanya sedikit yang benar-benar jauh dari semua jalur bisnis yang ada. Hal ini antara lain karena letak geografis desa tersebut yang melingkari pesisir pulau Ambon dan dilengkapi dengan prasarana jalan yang juga melingkari wilayah tersebut, sehingga memberi beberapa alternatif menuju jalur bisnis perikanan tangkap. Menurut Elfindri (2002), sarana dan prasarana perikanan yang tersedia dengan baik sangat memudahkan pengembangan ekonomi masyarakat nelayan. Kemitraan dalam pemasaran dapat lebih mudah dijalin karena hasil perikanan lebih mudah dan cepat didistribusikan. Di samping itu, dua dari jalur bisnis tersebut (PPN Tantui dan Pasar Ikan Pandan Kasturi) berada di pusat Kota Ambon sehingga tidak terlalu sulit dijangkau dari setiap desa pesisir Kota Ambon. PPI Eri merupakan lokasi pendaratan ikan pendukung di Kota Ambon, dan banyak dimanfaatkan oleh nelayan yang berdomisili di luar Teluk Ambon. Hasil tangkapan yang di PPI Eri ini kemudian didistribusikan ke pasar ikan di pusat Kota, industri pengolahan, dan lainnya. Bila mengacu kepada sebaran status kedekatan dengan jalur bisnis pada Tabel 53, maka kluster desa perikanan di Kota Ambon dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu ada yang masuk kluster atas (kluster 1 sampai kluster 4), dan ada yang masuk kluster bawah (kluster 5 sampai kluster 6). Mengacu kepada hal ini, maka kluster spesifik untuk setiap desa pesisir tersebut akan dapat dipastikan setelah
128
digabungkan dengan hasil pertimbangan lainnya, seperti nilai BCR, status desa, dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap. Namun secara umum, 56,25 % (18 dari 32) dari desa pesisir tersebut termasuk kategori “dekat” dan “sedang” dengan jalur bisnis perikanan tangkap di Kota Ambon. Hal ini sangat baik untuk pengembangan usaha perikanan tangkap yang lebih prospektif di masa yang akan datang. Griffin (1998) menyatakan bahwa kedekatan usaha dengan jalur bisnis dapat memperbaiki perimbangan penerimaan (benefit) usaha dengan pengeluaran (cost) usaha, dan hal ini ini dapat memberi dampak yang baik ekonomi wilayah, dan kehidupan masyarakat dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Secara jangka panjang, dapat memacu perkembangan usaha yang lebih baik. 6.4 Kelompok Desa Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Usaha Perikanan Tangkap 6.4.1 Kelompok desa berdasarkan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap sangat tinggi Tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap termasuk pertimbangan penting dalam pengklusteran desa perikanan. Hal ini karena tingkat kepemilikan ini menentukan intensitas dan kontinyuitas kegiatan perikanan di desa. Bila usaha perikanan dimiliki oleh nelayan di luar desa, maka pengembangan usaha tersebut akan lebih mudah beralih ke lokasi/desa lain bila faktor penduksi dan kondisi sosial tidak mendukung di desa tersebut. Tabel 54 menyajikan tingkat kepemilikan usaha perikanan di Kota Ambon dan Lampiran 116 - 117 menyajikan proses analisisnya. Berdasarkan Tabel 54, tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap di Desa Hutumuri dan Desa Laha termasuk tinggi (bobot = 3). Hal ini karena proporsi usaha perikanan tangkap di keenam desa tersebut berada di atas nilai 0,083, sedangkan populasi usaha perikanan tangkap Desa Hutumuri, Desa Laha, dan Desa Hukurilla berturut-turut adalah 139 unit dan 68 unit. Menurut Ralahalu (2010), usaha perikanan tangkap yang tersebar di kawasan pesisir Maluku termasuk di wilayah Kota Ambon merupakan aset yang sangat berharga bagi Propinsi Maluku karena berperan dalam menggerakkan ekonomi kepulauan dan menjadi penopang utama kehidupan masyarakat pesisir. Usaha perikanan tangkap yang telah berkembang dengan baik perlu dibina dengan baik sehingga terus bertahan. Terkait dengan ini, maka pengklusteran desa yang dilakukan dapat menjadi pertimbangan untuk pengembangan usaha perikanan tangkap tersebut.
129
Tabel 54 Tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap di Kota Ambon No.
Nama Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Waihaong Seilale Batu Merah Benteng Pandan Kasturi Lateri Urimesing Silale Hunut Negeri Lama Waeheru Wayame Nusaniwe Kilang Leahari Halong Nania Hatiwe Kecil Rutong Naku Hutumuri Passo Poka Latta Hatiwe Besar Laha Tawiri Galala Latuhalat Rumah Tiga Hukurilla Amahusu
6.4.2
Populasi Usaha Proporsi Perikanan Tangkap Kepemilikan (unit) 37 0,048 8 0,010 24 0,031 6 0,008 2 0,003 51 0,066 12 0,016 15 0,020 10 0,013 9 0,012 6 0,008 20 0,026 13 0,017 15 0,020 27 0,035 5 0,007 5 0,007 6 0,008 18 0,023 27 0,035 139 0,181 32 0,042 19 0,025 14 0,018 19 0,025 68 0,089 27 0,035 2 0,003 26 0,034 37 0,048 54 0,070 14 0,018
Tingkat Kepemilikan
Bobot
sedang rendah sedang rendah rendah sedang rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah sedang rendah rendah rendah rendah sedang tinggi sedang rendah rendah rendah tinggi sedang rendah sedang sedang sedang rendah
2 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 3 2 1 1 1 3 2 1 2 2 2 1
Kelompok desa berdasarkan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap sedang Desa Waihaong, Waihaong, Batu Merah, Lateri, Leahari, Naku, Passo, Tawiri,
Latuhalat, Rumah Tiga, dan Hukurilla merupakan desa pesisir dengan tingkat kepemilikan usaha tangkap “sedang” (Tabel 54). Hal ini karena proposi kepemilikan
130
usaha perikanan tangkap di kesepuluh desa tersebut berada pada kisaran nilai 0,031 – < 0,083. Populasi usaha perikanan tangkap di Desa Waihaong, Desa Lateri, Desa Batu Merah, Desa Leahari, Desa Naku, Desa Passo, Desa Tawiri, Desa Latuhalat, Desa Rumah Tiga, dan Desa Hukurilla berturut-turut 37 unit, 51 unit, 24 unit, 27 unit, 27 unit, 32 unit, 27 unit, 26 unit, 37 unit, dan 54 unit. Sedangkan sebaran jenis usaha perikanan tangkap di kesepuluh desa pesisir tersebut disajikan pada Gambar 6.1.
Gambar 31 Sebaran jenis usaha perikanan tangkap di Desa Waihaong, Desa Lateri, Desa Batu Merah, Desa Leahari, Desa Naku, Desa Passo, Desa Tawiri, Desa Latuhalat, Desa Rumah Tiga, dan Desa Hukurilla Berdasarkan Gambar 31, sebaran jenis usaha perikanan tangkap di Desa Batu Merah termasuk merata, yaitu gillnet hanyut 7 unit, gillnet dasar 5 unit, handline 5 unit, dan mini purse seine 7 unit. Hal ini menunjukkan bahwa keempat usaha perikanan tangkap tersebut telah dapat diterima dengan baik di Desa Batu Merah sehingga memberi banyak alternatif untuk pengembangan. Banyaknya alternatif ini menjadi pertimbangan positif bagi penetapan kluster Desa Batu Merah. Hal yang sama juga terjadi pada Desa Hukurilla, yaitu gillnet hanyut 14 unit, gillnet dasar 8 unit, handline 18 unit, dan pancing tonda 14 unit. Menurut Campling dan Havice (2007), banyaknya alternatif pengembangan usaha perikanan yang dilakukan akan
131
memudahkan pengembangan pasar produk dan mendukung pengembangan industri perikanan yang dapat memajukan perekonomian wilayah kepulauan. Sedangkan menurut Zulham (2007), usaha perikanan tangkap harus memerankan fungsi yang saling mendukung satu sama lain untuk memajukan perekonomian daerah. Desa Passo, Desa Tawiri, dan Desa Rumah Tiga hanya mengembangkan pada satu jenis usaha perikanan tangkap, yaitu masing-masing gillnet hanyut, handline, dan handline. Gillnet hanyut telah dikembangkan secara turun temurun di Desa Passo, namun dalam beberapa tahun terakhir hasil tangkapan tidak begitu memuaskan, dimana selisih pendapatan dengan biaya operasional yang relatif rendah, sehingga jika dikeluarkan untuk biaya perawatan (terutama mesin kapal) dan penyusutan, perolehan laba sangat kecil, bahkan kemungkinan rugi. Proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap yang cukup baik (berkisar 0,031 - < 0,083, bobot = 2) di Desa Waihaong, Waihaong, Batu Merah, Lateri, Leahari, Naku, Passo, Tawiri, Latuhalat, Rumah Tiga, dan Hukurilla termasuk tinggi, memberi peluang kepada desa-desa tersebut untuk masuk masuk Kluster desa 2 - 4 (K2 – K4), namun bila melihat lebih jauh tentang status desa dan kelayakan usahanya, maka ada juga yang dapat masuk kluster lebih rendah, misalnya Kluster desa 5 (K5) dan Kluster desa 6 (K6). Penggabungan hasil analisis pada akhir bab ini akan menunjukkan hasil akhir dari pengklusteran setiap desa pesisir tersebut. Menurut Dahuri (2001), setiap kelompok/kluster potensi wilayah akan memberi peran tersendiri bagi pengembangan ekonomi daerah, dan hal ini menjadi penentu maju mundurnya perekonomian wilayah pesisir di daerah tersebut. 6.4.3 Kelompok desa berdasarkan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap rendah Berdasarkan Tabel 54, desa pesisir dengan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap berkategori rendah (bobot = 1) ada 20 desa pesisir. Desa pesisir dengan kepemilikan usaha perikanan tangkap kategori rendah tersebut diantaranya Desa Seilale, Kelurahan Benteng, Kelurahan Pandan Kasturi, Desa Halong, Desa Nania, Desa Hatiwe Kecil, Desa Galala. Kategori rendah tersebut karena proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap di desa/kelurahan tersebut kurang dari 0,031. Nilai proporsi < 0,031 merupakan batas tertinggi kategori kepemilikan rendah berdasarkan hasil analisis sebaran kepemilikan pada Lampiran 36.
132
Ada dua kemungkinan kondisi di desa pesisir dengan tingkat kepemilikan sedang dan rendah pada usaha perikanan tangkapnya, yaitu (a) kurang berkembang kegiatan perikanannya dan (b) mempunyai fokus pada pengembangan berbagai usaha yang mendukung kegiatan perikanan. Diantara kemungkinan tersebut, kemungkinan kedua termasuk tidak banyak terjadi di lokasi. Kemungkinan kedua hanya terjadi pada wilayah/desa yang mempunyai kesiapan mumpuni dalam hal sarana dan prasarananya, sehingga kegiatan perikanan dapat berkembang dengan baik di lokasi, meskipun bukan dimiliki oleh penduduk setempat. Menurut Dutton (1998), dukungan masyarakat dan infrastuktur sangat mempengaruhi pengembangan kegiatan perikanan di wilayah. Dukungan tersebut dapat dalam bentuk penyiapan pelabuhan, pasar bahan pendukung/perbekalan, fasilitas doking/perbaikan kapal perikanan. Sedangkan menurut DKP (2004), keberadaan sarana dan prasarana menjadi pertimbangan strategis pengembangan kegiatan perikanan suatu lokasi. Dari 20 desa pesisir dengan tingkat kepemilikan rendah pada usaha perikanan tangkapnya di Kota Ambon ini, Kelurahan Pandan Kasturi, Desa Hatiwe Kecil, dan Kelurahan Benteng merupakan desa/kelurahan yang handal dalam infrastruktur atau berkembang pesat usaha pendukung kegiatan perikanannya. Kelurahan Pandan Kasturi mempunyai pelabuhan yang representatif untuk mendukung kegiatan perikanan skala besar, yaitu PPN Tantui. Menurut BPS Kota Ambon (2010), keberadaan PPN Tantui telah menjadikan Pandan Kasturi sebagai desa/kelurahan kontributor utama hasil perikanan di Kota Ambon. Di Desa Hatiwe Kecil terdapat fasilitas doking (dikelola Perum Karni), kapal penyebaran yang mendukung distribusi (14 buah) dan berbagai kios alat perikanan. Sedangkan Kelurahan Benteng terdapat bebeberap kios alat tangkap dan unit pengolahan hasil perikanan. Secara detail sarana, prasarana, dan usaha pendukung yang berkembang di ketiga desa/kelurahan tersebut disajikan pada Tabel 55.
133
Tabel 55 Sarana, prasarana, dan usaha pendukung perikanan di Kelurahan Pandan Kasturi, Desa Hatiwe Kecil, dan Kelurahan Benteng Sarana & Prasarana Perikanan Usaha Pendukung Unggulan Perikanan 1 Pandan Kasturi Jasa bongkar muat, • PPN Tantui perdagangan hasil • Pasar Ikan perikanan, perdagangan • Kios Perbekalan bahan perbekalan 2 Hatiwe Kecil • Fasilitas docking (Perum Jasa perakitan dan perbaikan kapal, Perikani), • Kios alat perikanan, Kapal perdagangan bahan perbekalan, jasa distribusi Angkut (14 buah) hasil perikanan 3 Benteng Perdagangan bahan • Kios kail dan senar, • Pabrik/unit pengolahan hasil, perbekalan, usaha pengolahan hasil • Agen pengiriman perikanan, jasa • Mobil umum 55 unit pengiriman Sumber : Hasil analisis data lapang (2011) No.
Desa/Kelurahan
Menurut Tunner (2000), keberadaan usaha ekonomi pendukung sangat menentukan perkembangan wilayah pesisir dengan basis perikanan, semakin terintegrasi dan tinggi tingkat dukungan usaha pendukung, maka semakin besar nilai ekonomi yang bisa diberikan untuk pengembangan wilayah pesisir. Selama ini, dukungan pelabuhan, fasilitas doking, pasar ikan, kios perbekalan dan lainnya sangat bagi kemajuan perikanan di Kota Ambon. Karena itu, keberadaan sarana dan prasarana pendukung jaringan usaha ini menjadi petimbangan penting dalam penentuan kluster desa perikanan, meskipun dari segi populasi pemilik usaha perikanan tangkap kurang berkembang dengan baik. 6.5 Kluster Desa Perikanan di Kota Ambon Bagian ini lebih bersifat merangkum dan memadukan semua ulasan yang telah disampaikan secara lengkap pada bagian 6.1 – 6.4, sehingga dapat ditetapkan kluster bagi setiap desa pesisir yang terdapat di Kota Ambon dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap yang prospektif di masa yang akan datang. Menurut Leadbitter and Ward (2007), evaluasi yang integratif dan menyeluruh dapat memberikan hasil yang akurat bagi penetapan pola pengembangan perikanan tangkap. Kluster desa perikanan menjadi acauan penting untuk maksud pengembangan tersebut.
134
Menurut Aleman (2005), pengklusteran dapat memudahkan penetapan pola/formasi pengelolaan, tingkat peran yang perlu diberikan oleh lembaga perikanan, interaksi usaha ekonomi lokal dengan nasional, serta memudahkan koordinasi pengelolaan baik terkait dengan proses produksi maupun pemasaran produk. Pertimbangan komprehensif terhadap kriteria/elemen nilai BCR (kelayakan usaha), status desa pesisir, tingkat kedekatan dengan jalur bisnis, dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap diharapkan dapat mewujudkan maksud tersebut. Sesuai dengan teori atau formula yang dikembangkan dalam penelitian ini, seperti dibahas pada Bab 3, maka kluster desa dapat berjumlah 9, yaitu mulai dari Kluster desa 1 dengan total bobot 12 hingga Kluster desa 9 dengan total bobor 4. Hasil analisis data lapang yang menyajikan gabungan pertimbangan empat kriteria/elemen tersebut dalam penetapan kluster desa perikanan di Kota Ambon, menunjukan dari 32 desa/kelurahan pesisir yang ada, total bobot tertinggi adalah 10 dan terendah adalah 5, sehingga pengelompokan desa pesisir terbagi dalam 6 kluster (Tabel 56). Pada Tabel 56, ada satu desa pesisir yang termasuk Kluster desa 1 (K1), yaitu Desa Batu Merah (total bobot = 10). Hal ini karena Desa Batu Merah tersebut memenuhi secara sempurna minimal tiga dari empat elemen dasar penilaian yang mencakup nilai BCR (kelayakan usaha), status desa pesisir, kedekatan dengan jalur bisnis, dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap. Desa Batu Merah juga mempunyai BCR tinggi, berstatus mina mandiri, dekat jalur bisnis (rata-rata 8 km), dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap lumayan baik, yaitu 24 unit (proporsi = 0,031). Desa Batu Merah masuk Kluster desa 1 menunjukkan prospektifitas yang tinggi pengembangan usaha perikanan tangkap di desa tersebut di masa yang akan datang terutama dalam mendukung pembanguan perikanan tangkap Kota Ambon. Menurut Hesieh dan Li (2009), usaha perikanan tangkap yang prosfektif dapat mendukung komersialisasi sektor perikanan dan memberi dampat yang baik bagi pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial, dan pengembangan teknologi perikanan. Menurut Ralahalu (2010), potensi sumberdaya perikanan Maluku sangat tinggi, dan bila dikelol dikelola dapat dijadikan sebagai lumbung ikan nasional. Oleh karena dukungan usaha perikanan dan masyarakat pesisir menjadi penentu utama bagai tercapai maksud tersebut di masa datang.
135
Tabel 56 Kluster desa perikanan di Kota Ambon.
1
Batu Merah
3
2
3
Kepemilikan Usaha Perikanan Tangkap 2
2
3
2
2
2
9
3
2
3
1
9
4
Waihaong Pandan Kasturi Lateri
3
2
2
2
9
5 6 7
Naku Hutumuri Laha
3 3 3
2 2 2
2 1 1
2 3 3
9 9 9
8 9 10
Benteng Hunut Waeheru
3 3 3
2 2 2
2 2 2
1 1 1
8 8 8
11 12 13
Nusaniwe Halong Passo
3 3 2
2 2 2
2 2 2
1 1 2
8 8 8
14 15 16
Latta Tawiri Latuhalat
3 3 3
2 2 2
2 1 1
1 2 2
8 8 8
17 18
Rumah Tiga Hukurilla
3 3
2 2
1 1
2 2
8 8
19
Seilale
3
2
1
1
7
20 21 22
Negeri Lama Leahari Nania
2 3 2
2 1 2
2 1 2
1 2 1
7 7 7
23 24 25
Hative Kecil Poka Galala
2 3 2
2 2 2
2 1 2
1 1 1
7 7 7
26
Amahusu
2
2
2
1
7
27 28
Silale Wayame
3 2
2 2
2 1
1 1
6 6
29 30
Kilang Rutong
2 3
2 1
1 1
1 1
6 6
1
2
1
1
5
1
2
1
1
5
No.
3
31 32
Nama Desa
Urimesing (Dn Seri) Hative Besar
Nilai BCR Tertinggi
Status Desa
Kedekatan dg Jalur Bisnis
Total Bobot 10
Kluster Desa 1
2
3
4
5
6
Kelurahan Padan Kasturi, Desa Hutumuri, Desa Waihaong, Desa Lateri, Desa Naku, dan Desa Laha masuk Kluster desa 2 (K2) desa perikanan. Keenam desa ini mempunyai BCR tinggi (>2,00), berstatus mina mandiri, cukup dekat dengan jalur bisnis (> 10 – 20 km), dan tingkat kepemilikan UPT sedang (proporsi 0,031 – <
136
0,083). Kelurahan Pandan Kasturi mislanya, mempunyai BCR tinggi (>2,00), berstatus mina mandiri (bobot = 2), dan dekat jalur bisnis (rata-rata 9,5 km). Di kelima kelurahan ini berkembang kegiatan jasa dan usaha pendukung, yaitu kegiatan bongkar muat di pelabuhan, kios perbekalan, dan pasar ikan. Di samping kegiatan utama perikanan, usaha pendukung dan kegiatan jasa perikanan juga berkembang dengan baik di ketiga desa pesisir ini. DKP (2004), menyatakan bahwa wilayah dengan infrastruktur perikanan yang lengkap, berkembang baik usaha pendukung dan jasa perikanan dapat cenderung lebih berkembang dibandingkan wilayah yang kegiatan perikanannya dlakukan secara tradisional dengan fasilitas pendukung seadanya. Strategi perikanan yang dikembangkan harus memperhatikan sebaran wilayah potensial tersebut sehingga pembangunan perikanan berkembang pesat. Kelurahan Benteng, Desa Hunut, Desa Waeheru, Desa Nusaniwe, Desa Halong, Desa Passo, Desa Latta, Desa Tawiri, Desa Latuhalat, Desa Rumah Tiga, dan Desa Hukurilla merupakan desa/kelurahan pesisir yang masuk kluster 3 (K3). Dibandingkan Kluster desa 1 (K1) dan Kluster desa 2 (K2), desa yang masuk Kluster desa 3 (K3) ini umumnya terdiri dari desa pesisir dengan status mina mandiri, BCR usaha perikanan tangkap termasuk tinggi (>2,00) atau sedang (1,50 – 2,0), dan kedekatan dengan jalur bisnis perikanan tangkap yang sedang. Desa pesisir masuk Kluster desa 3 (K3) juga termasuk prospektif dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap di masa datang. Terhadap nelayan di keempat desa ini perlu diberikan berbagai pembinaan terutama manajemen usaha. Hal ini penting supaya usaha perikanannya lebih menguntungkan dan dapat secara nyata memberi kesejahteraan kepada mereka. Setiawan, et.al (2007) menyatakan bahwa manajemen usaha perikanan yang lebih baik, dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan kontribusinya terhadap PAD, sehingga ketergantungan daerah kepada sumber luar dapat dikurangi Berdasarkan Tabel 56, desa pesisir yang masuk Kluster desa 4 (K4) ada sembilan desa/kelurahan, yaitu Desa Seilale, Desa Negeri Lama, Desa Leaheri, Desa Nania, Desa Hatiwe Kecil, Desa Poka, Desa Tawiri, Desa Galala, dan Desa Amahusu. Secara umum, desa pesisir yang termasuk kluster 4 (K4) merupakan desa pesisir yang kondisinya biasa-biasanya dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap. Kalaupuan ada usaha perikanan tangkap dengan tingkat kelayakan tinggi (BCR tinggi), belum nelayan dan masyarakat desa memberi
137
perhatian lebih. Hal ini karena tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap belum tentu tinggi dan lokasi usahanya belum tentu dekat dengan jalur bisnis yang memudahkan distribusi/pemasaran hasil perikanan. Bila mengacu Dijten KP3K (2006), Anderson (2004), dan Depperin (2005), maka kluster 4 (K4) tidak mempersyaratkan kedekatan dengan jalur bisnis dan tingkat kepemilikan usaha, yang penting kierja usaha perikanan tangkap relatif baik dan status kegiatan perikanan di desa sudah cukup mapan. Sedangkan desa/kelurahan di Kota Ambon yang masuk kluster 5 (K5) ada enam desa (Silale, Negeri Lama, Wayame, Kilang, dan Rutong). Desa pesisir di kluster 5 (K5) kondisinya sedikit di bawah desa di kluster 4 (K4), di mana satu atau dua kriteria/elemen penilaian ada yang dipenuhi cukup baik (tidak semuanya dipenuhi rendah). Melihat kondisi di atas, maka desa yang masuk kluster 4 (K4) dan kluster 5 (K5), perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah dan pemerintah daerah bila ekonomi perikanan ingin dikembangkan di suatu wilayah. Berbagai program pembinaan (penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan/pemberdayaan) dan perlu dilakukan pada usaha perikanan tangkap yang ada di desa/kelurahan yang masuk kluster tersebut. Pembinaan tersebut juga harus diiringi dengan pengembangan/pengaktifan beberapa fasilitas dasar yang mendukung kegiatan perikanan. Desa Hative Besar dan Desa Urimessing merupakan desa pesisir yang masuk kluster 6 (K6). Status sebagai desa mina mandiri merupakan satu-satunya yang bisa dibanggakan oleh Desa Hatiwe Besar dan dan Desa Urimessing dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap di desa. Bila kelemahan yang ada dapat dibenahi, maka bukan tidak mungkin usaha perikanan tangkap yang ada di desa/kelurahan tersebut semakin prospektif dan memberikan kontribusi ekonomi nyata bagi Desa Hatiwe Besar, Desa Urimessing, maupun secara luas bagi Kota Ambon. Bila sebaliknya, usaha perikanan tangkap akan stagnan dan bahkan bisa mengalami kemunduran besar dalam beberapa tahun mendatang. Martosubroto dan Malik (1989) menyatakan bahwa peran aktif PEMDA dan petugas teknis di lapangan merupakan faktor yang penting dan serius untuk pengembangan perikanan berbasis kawasan. Kelompok nelayan terutama nelayan kecil akan termotiviasi menjalakan usaha perikanannya bila merasa terlindungi dan diperhatikan terutama distribusi dan mendapatkan harga jual yang layak.
138
Desa Hatiwe Besar mempuyai usaha perikanan tangkap (UPT) dengan BCR rendah (<1,50), berstatus mina mandiri, jauh dari jalur bisnis (26,5 km), tingkat kepemilikan UPT juga rendah (proporsi 0,025). Desa Urimesing juga mempunyai tingkat kelayakan usaha perikanan rendahnya (BCR = 1,31), jauh dari jalur bisnis perikanan tangkap (rata-rata = 29,2 km), berstatus mina mandiri (bobot = 2), dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap juga rendah (populasi hanya 12 unit). Sebagai kluster terendah, kedua desa pesisir yang masuk kluster 6 (K6) ini perlu terus dibina dan kontribusinya untuk sektor perikanan bagai pembangunan daerah dapat diabaikan sementara. Perhatian seperti juga bisa diberikan kepada desa pesisir setingkat di atasnya (kluster desa 5), sehingga perkembangannya juga bisa lebih cepat. Scott and Garofoli (2007) menyatakan bahwa dalam sistem kluster, wilayah yang masih rendah daya dukung tidak boleh dipaksakan berkontribusi, tetapi menjadi sasaran pembinaan dan promosi potensi. Kluster dikembangkan untuk menentukan tindakan pengelolaan yang paling tepat, sesuai dengan kondisi dan potensi kini yang ada di wilayah. Tindakan pengelolaan tersebut akan membantu pengembangan interaksi harmonis wilayah sebagai sebuah kesatuan kawasan.-
7 FAKTOR DETERMINAN PENGEMBANGAN KLUSTER DESA 7.1 Pola Penentuan Faktor Determinan Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa Penentuan faktor determinan yang kontekstual untuk pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon menerapkan pendekatan model persamaan struktural (structural equation model/SEM). Tahap pertama adalah memeriksa keabsahan ilmiah dari model yang dikembangkan dengan cara melakukan validasi terhadap konsep teoritis. Tahap kedua adalah melakukan validasi statistik seperti yang disyaratkan oleh SEM. Tahap ketiga atau terakhir adalah menghubungkan output analisis model dikaitkan dengan fakta empirik setiap desa di setiap kluster. Bab ini akan menjelaskan validitas model dipandang dari konsep teroritis dan statistik untuk pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Pengembangan perikanan ini sangat memperhatikan kelayakan usaha yang diukur dengan menghitung benefit-cost-ratio (BCR). Oleh karena itu, faktor-faktor determinan yang diidentifikasi ini secara teoritis dan empirik berkaitan atau memiliki potensi untuk mempengaruhi nilai BCR. 7.1.1 Validasi model secara teoritis Validasi teroritis merupakan kegiatan justifikasi terhadap konsep hubungan atau
interaksi
yang
dikembangkan
dalam
model.
Justifikasi
ini
sangat
memperhatikan teori yang berkembang dalam pustaka yang ada. Melalui validasi ini akan diketahui model yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pada model yang dikembangkan ini, variabel-variabel teknis usaha perikanan tangkap (UPT/Z1), yang terdiri dari armada/kapal (X11), alat tangkap (X12), serta teknologi dan metode operasi (X13), merupakan hal yang sangat penting (Ditjen Tangkap 2009). Menurut DKP (2004), pembangunan perikanan yang maju, membutuhkan pilar-pilar pembangunan yang saling mendukung dan memberikan kontribusi yang maksimal sesuai fungsinya. Oleh karena itu, pemilihan armada/kapal, alat tangkap, serta teknologi dan metode operasi adalah dimensi konstruk variabel teknis UPT dalam mendukung pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa sudah relevan.
140
Selain faktor perikanan itu sendiri, pengembangan perikanan tangkap juga dipengaruhi oleh kondisi fisik desa (Z20, kondisi sosial budaya (Z3), dan ekologi desa (Z4). Oleh karena itu, ketiga komponen ini juga menjadi konstruk-konstruk dalam model pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Informasi tentang konstruk ini terdokumentasi pada data BPS Kota Ambon (2010) yang mencakup kondisi geografi, demografi desa, potensi sumberdaya alam desa, serta kondisi sarana dan prasarananya, sesuai dengan Kementerian Kelautan & Perikanan (2010). Oleh karena itu, topografi dan demografi desa (X21), potensi sumberdaya alam desa (X22), serta kondisi sarana dan prasarananya (X23) sangat relevan untuk dipertimbangkan menjadi dimensi dari konstruk kondisi fisik desa. Menurut Fauzi dan Anna (2005), pola hidup sosial, tata nilai, dan mobilitas penduduk mempengaruhi tingkat pengembangan ekonomi berbasis usaha perikanan. Pola hidup seperti gotong royong dan makan ikan, dan nilai budaya yang mencintai pekerjaan di laut mempenagruhi motivasi masyarakat Maluku, termasuk Ambon, untuk menjalankan usaha perikanan yang berbasis pada penangkapan ikan di laut (Ralahalu, 2010). Oleh karena itu, kehidupan sosial (X31/seperti gotong-royong dan makan ikan), tata nilai (X32/seperti nilai adat budaya dan agama), serta mobilitas penduduk (X33) dari dan ke Pulau Ambon sangat relevan untuk dipertimbangkan menjadi dimensi dari konstruk sosial budaya terkait, pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa. Kondisi pemukiman (X41), pencemaran lingkungan (X42), dan ekosistem terumbu karang (X43) menjadi dimensi dari konstruk ekologi desa (Z4). Sain dan Knecht (1998), menyatakan bahwa pengelolaan kawasan pesisir dan laut, harus memperhatikan faktor ekologi
yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan
kehidupan kawasan tersebut, seperti kehidupan masyarakat lokal, ekosistem alam, dan trend perubahan lingkungan (terutama pencemaran dan pola abrasi pantai), dan siklus hidup yang terjadi di kawasan. Ruddle, et. al (1992) berpendapat behwa, kelangsungan ekosistem pesisir dan laut sangat dipengaruhi oleh kelangsungan kehidupan ekosistem terumbu karang, dimana masyarakat lokal hidup di kawasan pesisir karena ada ikan yang bisa ditangkap, dan ikan tersebut umumnya mempunyai habitat dan bersembiosis pada ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, pemukiman masyarakat lokal, pencemaran lingkungan, dan ekosistem terumbu
141
karang sangat relevan dipertimbangkan untuk dijadikan dimensi konstruk ekologi desa. Dalam model ini, kostruk benefit-cost-ratio (BCR) usaha perikanan tangkap (UPT) menjadi konstruk utama sekaligus penanda dari keberhasilan pengembangan kluster desa berbasis usaha perikanan tangkap. Hal ini relevan karena pengkluteran desa pesisir pada bab sebelumnya (Bab 6) dilakukan berdasarkan hasil penilaian BCR dari usaha perikanan tangkap pada setiap desa pesisir. Pada model yang dikembangkan, modal kerja, pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha dipilih sebagai dimensi dari konstruk BCR UPT tersebut. Klapwijk (1997) berpendapat bahwa, pengklusteran secara ekonomi (termasuk berdasarkan BCR UPT) suatu usaha/wilayah pengelolaan, sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal, tingkat keuntungan yang bisa di dapat, dan kontinyuitas usaha ekonomi yang dilakukan. Menurut Scott dan Garofoli (2007), pengembalian investasi menjadi pertimbangan tersendiri dalam pengklusteran usaha perikanan tangkap. Hal ini disebabkan usaha perikanan dan usaha ekonomi lainnya, membutuhkan biaya investasi yang besar, karena ada kegiatan pengadaan armada dan alat tangkap yang kebutuhan mencapai 75 – 90 % dari modal awal. Oleh karena itu, cukup relevan bila dalam penelitian ini, modal kerja, pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha dipertimbangkan untuk dijadikan dimensi dari konstruk BCR usaha perikanan tangkap (UPT). 7.1.2 Validasi model secara statistik Validasi model secara statistik ini menggunakan berbagai kriteria goodnessof-fit yang dipersyaratkan untuk model hasil analisis SEM (Ferdinand, 2002). Dalam kegiatan validasi ini, semua hasil estimasi model akan dievaluasi atau diperiksa kesesuaiannya dengan kondisi nyata (diwakili oleh data lapang) menggunakan 8 (delapan) jenis kriteria statistik seperti X2-Chi-square statistic, adjusted goodness of fit index (AGPI), CMIN/DF, comparative fot index (CFI), goodness of fit index (GPI), the root mean square error of approximation (RMSEA), dan Tucker Lewis index (TLI). Kemampuan mengakomodasi berbagai kriteria tersebut, akan menentukan kelayakan model untuk menjelaskan faktorfaktor determinan yang konseptual dalam merancang kebijakan bagi pengembangan kluster desa berbasis usaha perikanan tangkap (BCR UPT) di Kota Ambon. Gambar 32 memperlihatkan model SEM ilustrasi interaksi faktor-faktor kontekstual
142
pengembangan kluster desa, sedangkan Tabel 57 menyajikan hasil uji kesesuaian model terhadap kriteria goodness of fit. Delapan ktiteria goodness of fit (Tabel 57) digunakan untuk menentukan nilai-nilai chi-square, CFI, CMIN/DF, GFI, RMSEA, dan TLI untuk model yang dikembangkan disajikan pada Tabel 57. Hanya 1 dari 8 kriteria yang digunakan tidak terpenuhi oleh model ini. Walaupun nilai significance probability adalah nol, AGFI 0,840 masih di bawah nilai standar yang dipersyaratkan model ini sudah menyerupai kondisi nyata yang tergambar dari data lapang. Oleh karena itu, model ini secara statistik valid untuk menjelaskan faktor-faktor determinan yang konseptual untuk pengembangan usaha
perikanan tangkap (BCR UPT) berbasis kluster desa di Kota Ambon. Tabel 57 Hasil uji kesesuaian model terhadap kriteria goodness of fit Kriteria Goodness of Fit
Standar
Model Value
Keterangan
Sekecil mungkin
160,907
≥ 0.05
0,000
Baik Marjinal
AGFI
≥ 0.90
0,840
Cukup Baik
CFI
≥ 0.90
0,946
Baik
CMIN/DF
≤ 2.00
1,916
Baik
GFI
≥ 0.90
0,901
Baik
RMSEA
≤ 0.08
0.072
Baik
TLI
≥ 0.90
0,923
Baik
Chi-square Sig. Probability
Model fit tersebut merupakan modifikasi dari model awal (Lampiran 36) yang belum fit, yang mengadopsi secara langsung path diagram pada bab 3. Selanjutnya, model akhir hasil analisis SEM disajikan pada Gambar 32 di halaman berikut.
143
.36 d11
.15 d12
.28 d13
1 X11
1 X12
1 X13 .07
.03 .03
1.04
1.00
.49
.31
Z2 d21
Teknis_UPT
1
X21
.37 .27
d22 1.34 d23
1
X22
1
4.14
.07
Fisik_Desa
.78
1.00
X23
3358.37
.44 .13
.10 d32
1
.62 d33
1
X32
.25
.33
6743.59 5516.94
X33
1.00
Y1
1
1.00 1
1.14 .86
.26 e1 .27 e2 .23
Y3
1
.52 Y4
1
e3
.32 e4
.08
Sosbud 4897.98 Z4
1 .69 .56
Ekologi_Desa .66
1.00
.19 X41 .10 1 .36 d41
.38
1
BCR_UPT -329.22
1
X31
Z5
Y2
.06
Z3 .00 1
-1.35
.07
.00
.11 d31
1
1.64
1
2.88
Z1
X42
X43
1 1 .89 .39 d43 d42
Chi-square = 160.907 Sig- Probability = .000 AGFI = .840 CFI = .946 CMIN/DF = 1.916 GFI = .901 RMSEA = .072 TLI = .923
.08
Gambar 32 Model akhir SEM faktor determinan pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon 7.2 Faktor Determinan bagi Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa Bagian ini akan membahas pengaruh setiap faktor determinan terhadap nilai BCR UPT yang ada di desa-desa pesisir Kota Ambon, pada setiap kluster desa, seperti yang telah dijelaskan pada Bab 6. Hasil kajian setiap faktor determinan akan dibandingkan dengan kondisi desa masing-masing kluster. Dengan demikian, akan terlihat faktor determinan mana yang menonjol atau signifikan di kluster desa tertentu. Kesimpulan tentang pengaruh faktor determinan ini berguna untuk menentukan fokus perhatian dari strategi pembangunan perikanan tangkap. 7.2.1 Faktor determinan teknis UPT Ketiga komponen teknis usaha perikanan tangkap harus dimiliki dan dikuasai dengan baik oleh pelaku perikanan sehingga usaha perikanan tangkap dapat dioperasikan secara optimal. Namun demikian, signifikasi kebutuhan terhadap ketiga komponen tersebut bisa saja berbeda tergantung kondisi kini yang dimiliki oleh kluster desa dalam mendukung optimalisasi pengelolaan perikanan tangkap.
144
Pengaruh ketiga komponen atau dimensi dari faktor determinan usaha perikanan tangkap ini disajikan pada Tabel 58. Tabel 58 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan teknis UPT Dimensi KP S.E. C.R. P Armada/Kapal Perikanan (X11)
1
Fix
Alat Tangkap (X12)
1,039
0,089
11,702
0
Teknologi&Metode Operasi (X13)
0,491
0,068
7,184
0
Dimensi armada/kapal perikanan (X11) berpengaruh positif terhadap BCR namun tidak signifikan (ɑ = 0,05). Oleh karena itu, dimensi/komponen ini bukan merupakan faktor yang mempengaruhi pengembangan teknis usaha perikanan tangkap pada semua kluster desa, baik di desa belum berkembang baik (kluster 5 dan 6) maupun di desa sudah maju (kluster 1 dan 2) usaha perikanan tangkapnya. Kesimpulan ini cukup wajar karena armada/kapal perikanan dapat dikembangkan secara mandiri oleh nelayan Kota Ambon dan bahkan di desa pesisir belum maju pun usaha perikanan tangkap nelayan setempat dapat membuat kapal sendiri. Dengan demikian, perhatian khusus terhadap pengembangan kapal perikanan dalam mendukung pengembangan kluster desa untuk saat ini dapat diabaikan di semua kluster desa. Dua dimensi lainnya dari konstruk UPT, yaitu alat tangkap (X12) serta teknologi dan metode operasi (X13) berpengaruh positif dan signifikan terhadap BCR (ɑ = 0,05) . Hal ini memberi indikasi bahwa perbaikan dimensi ini akan meningkatkan BCR yang umumnya rendah (BCR < 1,50). Oleh karena itu, pengembangan alat tangkap ini perlu dilakukan pada semua kluster desa. Menurut Hesieh dan Li (2009) dan Ditjen Tangkap (2009), kinerja alat tangkap perlu menjadi perhatian penting di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sehingga dapat memberi manfaat maksimal bagi pembangunan ekonomi pesisir, dan secara jangka panjang dapat mendukung pengembangan industri perikanan berbasis kluster desa. Teknologi dan metode operasi penangkapan ikan sangat dibutuhkan pada desa pesisir yang bestatus mina mula atau mempunyai nilai BCR rendah (<1,50) yang terdapat di kluster 4-6 (K4-K6). Hal ini karena desa pesisir tersebut belum
145
berkembang usaha perikanan tangkapnya dan metode operasi penangkapan yang dilakukan masih bersifat tradisional, seperti menggunakan tanda-tanda alam dalam menduga fishing ground dan posisi bulan untuk menentukan arah/jalur penangkapan. Leadbitter dan Ward (2007) dan Marijan (2005) menyatakan bahwa metode operasi yang dikembangkan secara trasidional banyak membantu nelayan dalam operasi penangkapan, namun tidak dapat menjamin kestabilan dan kontinyuitas hasil perikanan yang baik. Metode operasi tersebut perlu diintroduksi dengan teknologi modern, sehingga meningkatkan kinerja usaha perikanan tangkap dan pengembangan ekonomi pesisir. 7.2.2 Faktor determinan kondisi fisik desa Dua dari tiga dimensi dan konstruk kondisi fisik desa berpengaruh nyata terhadap BCR (Tabel 59). Dimensi topografi dan demografi desa (X21), potensi sumberdaya
alam desa (X22) berpengaruh positif signifikan bagi pengembangan fisik kluster desa di Kota Ambon (ɑ = 0,05). Sementara itu, dmensi sarana dan prasarana desa (X23) juga mempunyai pengaruh positif bagi pengembangan fisik kluster desa di Kota Ambon, tetapi tidak signifikan (ɑ = 0,05) . Hal ini memberi pengertian, bahwa jika pengembangan usaha perikanan tangkap dilakukan pada lokasi tepat dan penduduknya banyak beraktivitas di bidang perikanan, maka usaha perikanan tangkap akan semakin maju (BCR meningkat), dan status kluster desa juga akan meningkat. Hal yang sama juga terjadi, jika desa mempunyai potensi sumberdaya alam yang mendukung untuk pengembangan usaha perikanan tangkap tersebut, seperti laut yang kaya sumberdaya ikannya, usaha pendukung berkembang dengan baik, dan sebagainya. Kondisi topografi juga menjadi faktor determinan dalam pengembangan kluster desa, bisa jadi karena topografi Kota Ambon yang umumnya terjal, sehingga menjadi kawasan resapan air untuk cadangan air baku, dan keterjalan topografi daratan dan pesisir ini juga menjadi habitat yang baik terlindunginya terumbu karang.
146
Tabel 59 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan fisik kluster desa Dimensi
KP
S.E.
C.R.
P
Topografi dan demografi desa (X21)
2.881
1.251
2.303
0.021
Potensi sumberdaya alam desa (X22)
4.145
1.841
2.251
0.024
Sarana dan prasarana desa (X23)
1
Secara umum, pemilihan lokasi
fix
usaha dan pola mobilisasi penduduk
(terutama pelaku perikanan) sudah cukup baik dan memudahkan mereka dalam menjalankan aktivitas perikanan. Disamping itu, pengelolaan potensi perikanan juga sudah baik (tidak ada destruksi terhadap habitat ikan). Kedua hal ini tunjukkan oleh nilai KP topografi dan demografi desa (X21) dan potensi sumberdaya alam desa (X22) yang tinggi, yaitu masing-masing 2,881 dan 4,145. Oleh karena itu, interaksi yang positif kuat dan signifikan tersebut perlu dipertahankan di desa K1-K4, dan dikembangkan di desa K5-K6 terutama yang berstatus mina mula (UPT baru berkembang dan pelaku perikanan sedikit) serta bertopografi terjal. Pengembangan tersebut dapat menyangkut pembenahan lokasi UPT dan dukungan mobilisasi penduduk pada kegiatan perikanan. Mamuaya, et. al. (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kenyamanan masyarakat nelayan harus diperhatikan dengan baik untuk memajukan perekonomian Kota Pantai yang berbasis perikanan. Meskipun pengelolaan potensi sumberdaya ikan sudah cukup baik (tidak ada destruksi terhadap dasar perairan, tidak banyak kasus penggunaan bahan peledak), tetapi program konservasi dan perlindungan sumberdaya (misalnya restocking, pengawasan jumlah dan jenis alat tangkap) tetap perlu dilakukan pada semua kluster desa, terutama yang terletak di sekitar Teluk Ambon dan Teluk Ambon Dalam dengan intensitas penangkapan ikan termasuk tinggi. Bila hal ini dapat dilakukan dengan baik, maka potensi SDI tetap lestari, usaha perikanan tangkap dapat terus berkembang, serta kontribusi perikanan tangkap bagi pembangunan Kota Ambon juga lebih baik. Menurut Nikijuluw (2002) dan Kapp (1990), pengembangan perikanan harus dilakukan dengan memperhatikan daya dukung lokasi/desa, memberi kesejahteraan, menumbuhkan kemandirian usaha, serta memberi jaminan bagi pelestarian alam dan lingkungan sekitarnya.
147
7.2.3 Faktor determinan sosial-budaya Kondisi sosial dan budaya akan menentukan cara nelayan dan masyarakat pesisir di desa kluster mengelola usaha perikanan tangkap, menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan menjalankan aktivitas lainnya. Pada model SEM yang dikembangkan (Gambar 32), kondisi sosial dan budaya tersebut dapat ditunjukkan oleh pola interaksi dalam kehidupan sosial (X31), tata nilai (X32) yang dianut, dan mobilitas penduduk (X33) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tabel 60 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan sosial-budaya kluster desa Dimensi Kehidupan Sosial makan ikan) (X31) Tata Nilai (X32)
(gotong
KP royong,
Mobilitas Penduduk (X33)
C.R.
P
6743,59 152447
0,044
0,965
5516,95 124717
0,044
0,965
1
S.E.
fix
Dimensi X31, X32 dan X33 dalam model ini, berpengaruh positif namun tidak signifikan (ɑ = 0,05) terhadap BCR. Hasil analisis tersebut memberi indikasi bahwa ketiga komponen/dimensi tersebut sudah menjadi bagian dari interaksi sosial budaya di semua desa kluster, baik sebelum maupun sesudah usaha perikanan tangkap banyak digalakkan di Kota Ambon. Untuk kehidupan sosial terutama kebiasaan makan ikan misalnya, hal ini sudah menjadi tradisi di Kota Ambon di semua desa pesisir (K1-K6) di Kota Ambon, baik yang sudah maju kegiatan perikanan tangkapnya (kluster 1) maupun yang belum berkembang usaha perikanan tangkapnya (kluster 6). Menurut Ralahalu (2010), kebiasaan makan ikan dan tidak bisa makan tanpa ikan sudah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Maluku terutama Kota Ambon, dan hal ini sudah berlangsung ratusan tahun (sejak jaman kerajaan). Oleh karena sudah mentradisi sejak lama dan perkembangannya tidak semata ditentukan oleh kegiatan perikanan tangkap, maka wajar bila komponen ini tidak menjadi faktor determinan bagi pengembangan kluster desa di Kota Ambon saat ini (dapat diabaikan di K1-K6). Masyarakat Kota Ambon merupakan masyarakat yang agamis dan sangat menjunjung tata nilai yang ada. Di Kota Ambon sangat banyak rumah ibadah (gereja dan masjid) dan selama ini menjadi pusat aktivitas masyarakat bagi pengembangan tata nilai agama dan kemasyarakatan. Menurut Vanden (2001) tata
148
nilai keagamaan sudah berkembang sejak jaman VOC (1605 M) yang ditandai oleh didirikan gereja di berbagai tempat di Kota Ambon. Sampai saat ini, tata nilai ini berkembang dengan baik sebagai bagian dari perkembangan sosial-budaya di Kota Ambon dan tidak dipengaruhi oleh maju mundurnya usaha perikanan tangkap. Terkait dengan ini, maka cukup wajar bila tata nilai (X32) tidak menjadi faktor determinan pengembangan kluster terkait kegiatan perikanan tangkapdi Kota Ambon (dapat diabaikan). Hal yang sama juga untuk mobilitas penduduk (X33), dimana mobilitas penduduk di Kota Ambon termasuk tinggi dan sudah menjadi ciri khas masyarakat Ambon dan Maluku secara umum dengan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau. Mobilitas penduduk tersebut tidak dipengaruhi oleh berkembang tidaknya kegiatan perikanan tangkap di setiap desa kluster tetapi lebih menjadi kebiasaan yang tertanam sejak lama. Karena itu, cukup wajar bila intervensi terhadap mobilitas penduduk tidak signifikan dalam mempengaruhi pengembangan kluster dari aspek sosial dan budaya. Dengan kata lain, dimensi kehidupan sosial, tata nilai, dan mobilitas penduduk yang ada sekarang, harus tetap dipertahankan di semua kluster. 7.2.4 Faktor determinan ekologi desa Pengelolaan aspek ekologi akan menentukan kelangsungan kelangsungan ekosistem pesisir dan laut serta kelangsungan aktivitas manusia yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut. Karena itu, aspek ekologi harus diperhatikan dalam pengelolaan desa pesisir di Kota Ambon yang berbasis kluster perikanan. Sain dan Knecht (1998), menyatakan bahwa pengelolaan kawasan pesisir dan laut, harus memperhatikan faktor ekologi
yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan
kehidupan kawasan tersebut, seperti kehidupan masyarakat lokal, ekosistem alam, dan trend perubahan lingkungan (terutama pencemaran dan pola abrasi pantai), dan siklus hidup yang terjadi di kawasan. Pada model SEM yang dikembangkan, pengelolaan
aspek
ekologi dapat ditunjukkan oleh
pola interaksi pada
dimensi/komponen pemukiman, pengendalian pencemaran, dan ekosistem terumbu karang.
149
Tabel 61 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan ekologi kluster desa Dimensi
KP
S.E.
Pemukiman (X41)
0,561
0,076
7,37
0
Pengendalian Pencemaran (X42)
0,657
0,096
6,841
0
Ekosistem Terumbu Karang (X43)
C.R.
1
P
Fix
Kondisi pemukiman dan pengendalian pencemaran berpengaruh positif signifikan terhadap pengembangan ekologi desa kluster yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas (p) pengaruh masing-masing bernilai nol (Tabel 61).
Disisi lain,
ekosistem terumbu karang, meskipun mempunyai pengaruh yang besar (KP = 1,000), tetapi pengaruh tersebut tidak bersifat signifikan (p = fix), sehingga dapat diabaikan, dalam artian habitat terumbu karang yang ada di semua kluster hars tetap dipertahankan, untuk pengembangan ekologi desa kluster di Kota Ambon. Hal yang sebaliknya dengan kondisi pemukiman (X41) dan pengendalian pencemaran (X42) menjadi faktor determinan pengembangan ekologi desa pada semua kluster yang perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan. Bila melihat lebih jauh, kondisi pemukiman akan menentukan tingkat pemanfaatan kawasan pesisir untuk pemukiman, dimana teratur tidaknya pemukiman tersebut dan destruktif tidaknya pengembangan pemukiman di kawasan pesisir Kota Ambon akan menentukan keberlanjutan ekologi kawasan pesisir Kota Ambon. Karena itu, faktor pemukiman ini menjadi faktor determinan (serius) dalam mempengaruhi pengembangan ekologi desa kluster. Menurut Widodo dan Nurhakim (2002), untuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, pengembangan kawasan pemukiman dan pusat aktivitas perikanan harus dilakukan pada lokasi yang tepat yang tidak banyak merusak ekosistem alam, seperti kawasan pesisir yang tandus, tidak banyak vegetasi mangrove, dan tidak ada pengerukan dasar perairan. Hal ini perlu menjadi perhatian penting bagi desa kluster yang belum mapan (K5 dan K6), terutama yang kepadatan penduduknya rendah atau masih berstatus mina mula, yang tentu banyak membutuhkan pembenahan sehingga sejajar dengan desa kluster lainnya dan statusnya meningkat. Pengendalian pencemaran juga menjadi hal yang sangat penting dan serius diperhatikan terutama untuk desa-desa yang padat aktivitas perikanan tangkapnya.
150
Desa pesisir kluster 1 dan 2 (K1 dan K2) dengan status mina mandiri dan dekat jalur bisnis tentu mempunyai aktivitas perikanan tangkap yang lebih padat daripada desa pesisir lainnya, sehingga pengendalian pencemaran perikanan menjadi hal mutlak yang harus diperhatikan dan terus dikembangkan untuk meminimalisir dampaknya terhadap ekologi pesisir dan laut. Menurut Leadbitter and Ward (2007), integrasi pengelolaan yang mencakup pengembangan usaha perikanan tangkap, peningkatan produksi, pencegahan dampak pencemaran perlu dilakukan secara berkesinambungan kawasan perikanan tangkap yang padat, dan hal ini perlu dievaluasi/dikontrol secara sistematis. Dalam pengembangan kluster desa di Kota Ambon, hal ini mendesak untuk dilakukan di desa pesisir yang menjadi basis perikanan selama ini di Kota Ambon (desa kluster 1 dan kluster 2) yang secara geografis berada di kawasan Teluk Ambon dan Teluk Ambon Dalam. Karena merupakan wilayah tertutup (teluk), maka sirkulasi arus di kedua perairan ini sangat rendah, sehingga bila banyak limbah perikanan tang dibuat, maka akan secara nyata merusak ekosistem perairan teluk (hasil analisis Tabel 61). Namun demikian, aktivitas perikanan tangkap yang ada termasuk bila dikembangkan secara kluster tidak akan mengganggu eksistem terumbu karang yang ada di perairan sekitar. Hal ini karena perairan Kota Ambon mempunyai tingkat kemiringan yang terjal (dalam), sehingga kawasan dasar perairan termasuk yang ada terumbu karangnya relatif terlindungi dan dapat dimanfaatkan untuk wisata bawah air (Ralahalu, 2010 dan Pemkot Ambon, 2010). 7.2.5 Pengaruh variabel penentu besaran BCR Peningkatan nilai BCR, sebagai indikator kelayakan usaha perikanan tangkap, merupakan tujuan akhir upaya pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon melalui identifikasi faktor determinan yang berpengaruh. Menurut Kapp (1990), nilai BCR (Benefit Cost Ratio) menjadi ukuran layak dan tidak layaknya suatu usaha ekonomi untuk dikembangkan dalam mendukung program besar pembangunan ekonomi kawasan. Karena itu, nilai BCR usaha perikanan tangkap (UPT) di Kota Ambon akan sangat menentukan pola pembangunan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Seperti halnya kajian faktor determinan lainnya, kajian faktor faktor determinan bagi peningkatan BCR UPT ini akan menjadi arah penting bagi pengembangan
151
kebijakan perikanan tangkap di Kota Ambon dengan berbasiskan pada kluster desa perikanan. Model SEM pada Gambar 32, menyajikan teori bahwa peningkatan BCR UPT dapat ditunjukkan oleh pola interaksi pada dimensi/komponen modal kerja, pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha perikanan tangkap. Tabel 62 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas keempat dimensi peningkatan BCR UPT Dimensi Modal Kerja (Y1)
KP
S.E.
C.R.
1
P Fix
Pengembalian Investasi (Y2)
1,141
0,095
12,064
0
Keuntungan (Y3)
0,861
0,079
10,845
0
Kontinyuitas (Y4)
0,52
0,073
7,104
0
Modal kerja (Y1) berpengaruh positif namun tidak signifikan dalam mendukung peningkatan BCR UPT di Kota Ambon (Tabel 62). Oleh karena itu, secara statistik dimensi/komponen modal kerja dalam model ini tidak menjadi faktor penting yang menentukan nilai BCR usaha perikanan tangkap, sehingga bukan menjadi perhatian dalam pengembangan kluster desa. Hal ini bisa jadi karena sebagian besar usaha perikanan tangkap (terutama yang berskala kecil) di Kota Ambon dioperasikan secara one day fishing sehingga tidak membutuhkan modal yang besar untuk setiap trip pengoperasiannya. Hermawan (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa usaha perikanan tangkap berskala menengah ke bawah banyak dioperasikan di Indonesia karena pengoperasiannya lebih fleksibel dan tidak membutuhkan modal besar dalam setiap trip pengoperasiannya. Hal yang sama didukung oleh Marijan (2005) yang menyatakan bahwa faktor kekuatan modal tidak banyak dibutuhkan usaha ekonomi yang stabil operasinya. Pengembalian investasi (Y2) dan keuntungan (Y3) berpengaruh positif signifikan bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap yang ditunjukkan oleh probabilitas (p) masing-masing yang nilai 0 (nol). Di samping signifikan, pengaruh positif pengembangan investasi juga termasuk kuat mendukung peningkatan BCR UPT (KP > 1,000). Hal ini disebabkan pengembalian investasi merupakan cerminan tingkat pemanfaatan atau sirkulasi penggunaan dari investasi yang dilakukan nelayan pada usaha perikanan tangkap. Bila tingkat pengembalian semakin cepat
152
maka benefit (manfaat) investasi tinggi yang secara otomatis nilai BCR juga bisa meningkat. Perbaikan pengembalian investasi perlu dipertahankan pada semua kluster desa yang BCR UPT-nya tinggi (>2,00), sedangkan yang tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkapnya rendah yang masih banyak terdapat di Kota Ambon (mengisi kluster 3-6) perlu ditingkat terus sehingga nilai BCR UPT tersebut meningkat (di atas 2,00). Ralahalu (2010) dan Nurani dan Wisudo (2007) menyatakan bahwa siklus usaha/pengembalian investasi yang cepat lebih memberi kesempatan kepada nelayan (termasuk nelayan buruh) untuk menabung, sehingga pada
kondisi
tertentu
nelayan
buruh
mempunyai
kemampuan
untuk
membeli/memiliki usaha perikanan tangkap sendiri. Pengembalian investasi yang cepat mempunyai manfaat lanjutan pada peningkatan keuntungan usaha perikanan tangkap. Setelah investasi terbayar, maka biaya terkait dapat ditiadakan sehingga menjadi bagian dari keuntungan bersih yang didapat nelayan. Berdasarkan Tabel 62, keuntungan merupakan faktor determinan bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap di Kota Ambon, capaian keuntungan ini perlu diupayakan terus untuk usaha perikanan tangkap bernilai BCR sedang (BCR = 1,50 – 2,00) dan rendah (BCR > 1,50) yang terdapat desa kluster 46 (K4-K6), sedangkan untuk usaha perikanan tangkap bernilai BCR > 2,00 di desa kluster 1-4 (K1-K4) dipertahankan. Program pembinaan ketrampilan teknis dan manajemen usaha perlu ditingkatkan bagi nelayan di desa kluster ini. Oleh karena kondisi usaha perikanan tangkap dan masalah yang dihadapi nelayan di setiap desa kluster bisa berbeda-beda, maka substansi pembinaan SDM tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan desa (berbasis kluster). Kontinyuitas (Y4) berpengaruh positif signifikan dalam mendukung peningkatan BCR UPT di Kota Ambon yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas (p) = 0 (nol). Hal ini memberi indikasi bahwa operasi usaha perikanan tangkap yang stabil meskipun dengan keuntungan yang kecil lebih berarti daripada operasi usaha perikanan tangkap dengan keuntungan besar namun setelah tidak jelas keberlanjutannya. Hal ini terkait dengan pemenuhan permintaan pasar, dimana bila hasil tangkapan selalu dapat disediakan secara kontinyu maka dapat menjaga kestabilan harga, kepastian pasar, dan menambah kepercayaan konsumen terhadap produk perikanan tersebut. Hal ini tentu membawa dampak yang baik bagi pengelolaan usaha perikanan tangkap, dan menurut hasil analisis Tabel 62, dampak
153
baik tersebut signifikan bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap. Terkait dengan ini, kontinyuitas produk perikanan yang dikirim ke pasar perlu menjadi perhatian dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di desa kluster. Usaha perikanan tangkap (UPT) skala kecil yang terdapat di desa pesisir kluster 3-6 (K3-K6) umumnya tidak dapat menyuplai produk perikanan ke pasar secara stabil, dimana pada musim puncak banyak sedangkan pada musim paceklik rendah (bahkan tidak ada sama sekali). Disamping itu, hasil tangkapannya juga beragam, sehingga jenis produk perikanan yang dikirim juga berubah-berubah setiap saat, dan ini kurang mendukung untuk pengembangan bisnis perikanan dalam skala industri yang membutuhkan produk perikanan kontinyu baik jenis maupun jumlah. Khusus untuk desa pesisir kluster 5-6 (K5-K6), masalah kontinyuitas produk perikanan lebih diperhatikan untuk pencitraan pasar dan menarik minat investor. Kluster 5-6 (K5-K6) merupakan kelompok desa yang belum berkembang baik kegiatan perikanan dan BCR UPT-nya tidak terlalu tinggi, sehingga tentu membutuhkan upaya yang ekstra (berlebih) untuk berkembang sejajar/beriringan kegiatan perikanan tangkpanya dengan desa kluster lainnya. Widodo dan Nurhakim (2002) menyatakan bahwa kontinyuitas suplai merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pembangunan perikanan suatu kawasan, dan hal ini hal selalu diupayakan dalam setiap program perinitisan dan pembenahan kegiatan perikanan daerah. 7.3 Pengaruh Faktor-Faktor Determinan Terhadap BCR Untuk mendukung pengembangan industri perikanan berbasis kluster desa, maka pembenahan terhadap usaha perikanan tangkap baik secara teknis maupun finansial menjadi hal mutlak yang perlu dilakukan. Hal ini penting mengingat keberadaan usaha perikanan tangkap akan mendorong berkembangnya usaha perikanan lainnya, seperti usaha pengolahan, usaha pemasaran hasil perikanan, dan jasa perikanan lainnya. Bagian ini akan membahas pengaruh faktor determinan secara bersama-sama terhadap BCR UPT sebagai representasi kemajuan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon, serta formulasi faktor determinan yang perlu diperhatikan di setiap kluster desa. Hal ini dilakukan agar urgensi dan kebutuhan setiap faktor determinan bagi pengembangan perikanan di setiap kluster desa diketahui, sehingga tindakan pengelolaan dapat dilakukan secara tepat untuk peningkatan BCR. Peningkatan BCR UPT ini merupakan tujuan akhir dari
154
pengkajian faktor determinan dalan penelitian ini, sebagai indikator perkembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. 7.3.1 Pengaruh faktor determinan secara bersama-Sama Pada Bagian 7.2 telah dijelaskan bahwa faktor utama dan menjadi penentu bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap pada desa kluster di Kota Ambon terdiri dari kondisi teknis UPT, kondisi fisik desa, kondisi sosial budaya, dan ekologi desa. Keempat faktor ini merupakan konstruk (komponen utama) dari model yang dikembangkan pada Gambar 7.1 dan semuanya mempunyai link terhadap BCR UPT. Analisis menyimpulkan bahwa hanya tiga diantara keempat faktor tersebut yang siginifikan: faktor sosial-budaya disimpulkan tidak signifikan terhadap BCR (Tabel 63 dan Lampiran 87). Tabel 63 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas komponen utama terhadap BCR Faktor
KP
S.E.
C.R.
P
Faktor Teknis UPT
0.779
0.103
7.53
0.000
Faktor Kondisi Fisik Desa
-1.347
0.645
12,064
0.037
Faktor Sosial Budaya
-329.224
7471.976
-0.044
0.965
Faktor Ekologi Desa
0.334
0.069
4.832
0.000
Pengaruh faktor teknis UPT yang signifikan, menunjukkan bahwa perbaikan atau pengembangan faktor teknis penangkapan akan secara nyata meningkatkan kinerja (BCR) usaha perikanan tangkap (UPT) pada di desa kluster di Kota Ambon. Secara khusus, pengaruh faktor teknis ini didukung oleh dimensi alat tangkap, dan dimensi teknologi/metode operasi (Tabel 58). Hal ini juga memberi petunjuk bahwa jenis perbaikan faktor teknis penangkapan perlu dikembangkan di desa peisir Kota Ambon. Perbaikan alat tangkap dapat dilakukan untuk semua kluster desa 1 – 6 (K1 – K6), sedangkan perbaikan teknologi dan metode operasi penangkapan ikan perlu dilakukan di desa berstatus mina mula di kluster 4-5 (K4-K5) dan desa dengan UPT BCR rendah (<1,50) di kluster 6 (K6). Faktor kondisi fisik desa juga memegang peranan penting dalam pengembangan kluster desa dan peningkatan
BCR usaha perikanan tangkap.
Seperti disebutkan sebelumnya, kondisi fisik akan menentukan jenis sumberdaya alam (terutama ikan) yang bisa dimanfaatkan, menentukan kesiapan infrastruktur
155
dalam mendukung berbagai usaha perikanan tangkap yang dikembangkan desa kluster, dan arahan penting bagi pengembangan kebijakan perikanan pada desa kluster. Semua komponen tersebut dibutuhkan untuk mendukung desa secara fisik dalam peningkatan kinerja usaha perikanan perikanan tangkap (BCR UPT). Namun yang terjadi di Kota Ambon masih sebaliknya, yaitu faktor kondisi fisik desa cenderung berpengaruh negatif terhadap peningkatan BCR UPT, yaitu dengan koefisien pengaruh (KP) -1,35 (Tabel 7.7). Hal ini memberi indikasi bahwa kondisi fisik desa masih belum mendukung pengembangan desa kluster dengan basis aktivitas utama pada bidang perikanan tangkap, dan ini dapat dipercaya karena mempunyai nilai probabilitas (p) < 0,05, yaitu 0,037. Pengaruh positif signifikan dimensi topografi dan demografi desa (X21) dan
potensi sumberdaya alam desa (X22) (Tabel 7.3) belum berkontribusi besar bagi kesiapan fisik desa, karena pengaruh faktor fisik desa yang masih negatif (KP = 1,35). Karena itu, kedua dimensi yang berpengaruh positif signifikan tersebut perlu terus dikembangkan atau dipertahankan, sehingga desa kluster dalam kesiapan penuh untuk mendukung peningkatan BCR UPT. Pembenahan terkait dimensi topografi dan demografi perlu terus dilakukan di desa kluster 5-6 (K5-6) terutama yang status mina mula karena topografi desa yang umumnya terjal di pinggir gunung dan penduduknya jarang. Sementara itu, untuk potensi SDA perlu dikembangkan di kluster 1 – 3 (K1-K3), terutama pada desa-desa yang berada di Teluk Ambon dan Teluk Ambon Dalam, karena aktivitas penangkapan ikannya relatif padat. Faktor sosial budaya mempengaruhi secara negatif BCR dengan koefisien pengaruh (KP) -329,22, namun demikian pengaruh negatif tersebut bersifat tidak signifikan karena mempunyai nilai probabilitas (p) > 0,05, yaitu 0,965. Hal ini memberi gambaran bahwa maju tidaknya usaha perikanan tangkap tidak dipengaruhi oleh interaksi sosial budaya masyarakat pada desa kluster di Kota Ambon. Faktor ekologi desa berpengaruh positif signifikan bagi peningkatan BCR UPT yang ditunjukkan oleh koefisien pengaruh (KP) 0,334 dan probabilitas (p) 0,000 (Tabel 60). Hal ini menunjukkan bahwa dukungan tiga dimensi (pemukiman, pengendalian pencemaran, dan ekosistem terumbu karang) telah berhasil mempersiapkan secara ekologi untuk mendukung pengembangan perikanan tangkap
156
termasuk dalam meningkatkan nilai BCR-nya. Dari tiga dimensi tersebut, kondisi pemukiman dan pengendalian pencemaran merupakan dimensi yang signifikan (Tabel 58) memberikan dukungan bagi kesiapan ekologi desa kluster di Kota Ambon, sehingga perlu menjadi perhatian penting. Pemukiman perlu terus dibenahi di desa kluster yang belum mapan (K5 dan K6), terutama yang kepadatan penduduknya rendah atau masih berstatus mina mula, sedangkan di desa kluster 1-4 (K1-K4) tinggal dipertahankan. Khusus dimensi pengendalian pencemaran perlu ditingkatkan di desa pesisir yang aktivitas perikanannya padat, berstatus mina mandiri, dan dekat jalur bisnis di kluster 1-2 (K1 & K2). 7.3.2 Rumusan faktor determinan untuk setiap kluster desa Sebuah rumusan perlu dibuat untuk memudahkan perencanaan pengembangan pembangunan perikanan di Kota Ambon. Rumusan ini merupakan rangkuman hasil analisis yang dijelaskan dalam Bagian 7.2 dan Bagian 7.3.1, dengan kesimpulan tentang faktor apa saja yang perlu dikembangkan, dipertahankan, dikurangi, atau diabaikan (Tabel 7.8). Hal ini penting agar program pembangunan perikanan tangkap dan masyarakat pesisir Kota Ambon dapat dilakukan secara optimal dan efektif sesuai kebutuhan setiap desa kluster. Dalam penentuan apakah suatu faktor determinan perlu dikembangkan, dipertahankan, dikurangi atau diabaikan, didasarkan pada koefisien pengaruh dan signifikansinya. Jika koefisien pengaruhnya positif besar dan signifikan, faktor determinan tersebut dipertahankan. Bila koefisien pengaruhnya positif tidak terlalu besar tetapi siginifikan, faktor determinan tersebut harus dikembangkan, dan jika koefisien pengaruhnya negatif dan signifikan, faktor tersebut harus dikurangi. Sebaliknya, jika koefisien pengaruh nya positif atau negatif tetapi tidak signifikan, faktor determinan tersebut diabaikan. Pada Tabel 64 tergambar pengaruh suatu faktor/dimensi pengelolaan terhadap pengembangan perikanan tangkap di kluster desa ditunjukkan oleh nilai koefisien (KP) seperti yang dijelaskan pada Bagian 7.2 dan Bagian 7.3.1. Pengaruh dikatakan positif bila nilai KP > 0 dan kuat jika nilai KP > 1,00, dan negatif bila nilai KP < 0 (Sarwono, 2006). Selanjutnya, strategi dan aksi pengembangan kluster desa dapat dirancang berdasarkan informasi tentang pengaruh dan sifat pengaruh tersebut. Untuk faktor/dimensi dengan pengaruh positif siginfikan dapat dikembangkan lanjut atau
157
menjadi fokus perhatian dalam setiap program pembangunan perikanan di Kota Ambon, sedangkan lokasi pelaksanaan program dapat dilakukan pada desa kluster yang sesuai seperti ditunjukkan pada kolom lokasi pengembangan di Tabel 64. Pengaruh positif signifikan memberi indikasi bahwa suatu faktor/dimensi sangat mendukung/bermanfaat
untuk
pengembangan
kluster
desa,
seperti
faktor
pengendalian pencemaran sangat dibutuhkan untuk pengembangan kluster desa dari aspek ekologi, dengan sasaran utama desa berstatus mina mandiri dan dekat jalur bisnis (desa-desa di kluster 1 dan kluster 2). Hal ini karena desa/kelurahan tersebut sangat
padat
aktivitas
perikanannya,
sehingga
bahan
pencemar
yang
ditimbulkannya juga banyak. Faktor/dimensi dengan pengaruh positif kuat dan signifikan memberi indikasi optimalnya peran dan signifikannya manfaat peran tersebut bagi pengembangan kluster desa. Karena itu, interaksi faktor tersebut perlu dipertahankan (arahan Tabel 64) di semua kluster desa. Namun demikian, dapat saja dikembangkan lagi untuk desa kluster lain dengan kondisi khusus. Faktor keuntungan misalnya, meskipun secara nyata telah memberi manfaat layak bagi sebagian besar nelayan, tetapi perlu terus ditingkatkan untuk UPT dengan BCR rendah (< 1,50) dan BCR sedang (1,502,00), sementara UPT dengan BCR rendah dan sedang tersebut banyak terdapat desa kluster 4-6 (K4-K6). Karena itu, program pembangunan perikanan di masa depan terkait perbaikan keuntungan UPT dapat difokuskan pada desa pesisir di kluster 4-6, dengan sasaran program UPT yang mempunyai BCR rendah dan sedang. Dalam model ini tidak ada faktor/dimensi yang berpengaruh negatif dan signifikan, dengan kata lain faktor-faktor itu tidak akan menurunkan BCR usaha perikanan tangkap. Menurut Gaspersz (1992), jika dalam suatu sistem alam tidak ada komponen/faktor berinteraksi secara negatif maka sistem tersebut memiliki peluang untuk berkembang secara bebas. Sebaliknya, jika interaksi yang negatif perlu dikurangi atau mungkin dinetralkan agar keutuhan sistem tidak rusak. Pada rangkuman di Tabel 64 tersebut, ada tujuh faktor/dimensi yang dapat diabaikan pengaruhnya (karena tidak signifikan), diantaranya faktor kehidupan sosial (gotong royong, makan ikan), dan tata nilai. Seperti dijelaskan pada Bagian 7.2, kebiasaan makan ikan dan tidak bisa makan tanpa ikan sudah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Maluku terutama Kota Ambon, dan hal ini sudah berlangsung sejak
158
jaman kerajaan. Hal yang sama juga untuk tata nilai, menurut Vanden (2001) tata nilai keagamaan sudah berkembang sejak jaman VOC (1605 M) yang ditandai oleh didirikan gereja di berbagai tempat di Kota Ambon. Sampai saat ini, tata nilai ini berkembang dengan baik sebagai bagian dari perkembangan sosial-budaya di Kota Ambon dan tidak dipengaruhi oleh maju mundurnya usaha perikanan tangkap. Oleh karena itu, pengembangan faktor/dimensi ini tidak perlu diprogramkan atau dianggarkan secara khusus untuk mendukung pengembangan kluster desa.-
159
Tabel 64. Formulasi faktor determinan untuk pengembangan setiap jenis kluster desa di Kota Ambon Faktor Terkait Pengembangan Pengaruh Kluster Kluster Pengembangan Fisik Desa Topografi dan Signifikan Demografi Potensi SDA Desa
Lokasi Pengembangan/Kluster Desa K1
K2
K3
K4
♯
♯
♯
♯
Signifikan
K5
K6
Sasaran Utama
♯
♯
♯
Dikembangkan pada desa berstatus mina mula atau bertopografi terjal di K5-K6 Dikembangkan pada desa berbatasan dg Teluk Ambon dan Teluk Ambon Dalam di K1-K3
Sarana dan Prasarana Tidak Desa signifikan Pengembangan SOSBUD Desa Kehidupan Sosial Tidak (gotong royong, makan signifikan ikan) Tidak Tata Nilai signifikan Tidak Mobilitas Penduduk signifikan Pengembangan Ekologi Desa
-
-
-
-
Pemukiman
♯
♯
♯
♯
-
-
&♯
Signifikan
Pengendalian Signifikan Pencemaran Ekosistem Terumbu Tidak Karang signifikan Pengembangan Teknis UPT Armada/kapal Tidak perikanan signifikan Alat tangkap
Signifikan
&♯
&♯
&♯
Teknologi & metode operasi
Signifikan
♯
♯
♯
159
Dikembangkan pada desa mina mula di K5 dan penduduk rendah di K6 Dikembangkan pada desa berstatus mina mandiri dan dekat jalur bisnis di K1 & K2
Dikembangkan utk UPT BCR rendah (<1,50) di K1-K6 dan dipertahankan utk UPT BCR > 2,00 di K1-K4 Dikembangkan pada desa berstatus mina mula di K4-K5 atau BCR <1,50 di K6
160
Pengembangan BCR UPT Modal Kerja
Tidak signifikan
Pengembalian Investasi
Signifikan
♯
♯
Keuntungan
Signifikan
♯
♯
Kontinyuitas
Signifikan
♯
♯
♯
♯&
Keterangan : = harus dikembangkan, ♯ Harus dipertahankan, = diabaikan, dan = harus dikurangi
•
Makna simbol :
•
Tidak ada faktor/dimensi dengan status dikurangi (tidak ada faktor dengan pengaruh negatif signifikan)
•
K1 s/d K6 adalah Kluster Desa 1 s/d Kluster Desa 6
160
Dikembangkan/ditingkatkan pada desa dengan kepemilikan UPT rendah / sedang di K3-K6 Dikembangkan/ditingkatkan pada UPT BCR UPT < 2,00 di K4-K6, dan dipertahankan UPT BCR UPT > 2,00 di K1-K4 Dikembangkan/ditingkatkan pada UPT ukuran kecil di K3-K6 dan UPT dg BCR<1,50 di K5-K6
8 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PERIKANAN TANGKAP BERBASIS DESA KLUSTER 8.1 Rancangan Final Hierarki Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Hierarki pengembangan ini dirancang dengan mempertimbangkan pola interaksi yang terjadi dalam pengelolaan perikanan tangkap dengan menjadikan desa kluster sebagai pijakan utama pengembangan. Hal ini dimaksud agar kebijakan pengembangan perikanan tangkap yang dipilih merupakan kebijakan yang tepat dan telah memperhatikan karakteristik setiap kluster desa di Kota Ambon serta mengakomodasi sejumlah kriteria harapan masyarakat untuk pengembangan perikanan tangkap di desanya. Untuk maksud ini, AHP diterapkan sebagai alat analisis terhadap kebijakan yang memiliki ciri berjenjang atau bertingkat (hireraki). Ciri hierarki ini mencerminkan adanya prioritas keinginan atau preferensi pemangku kepentingan terhadap pilihan-pilihan yang dibangun atas beberapa faktor yang dirumuskan secara berjenjang atau bertingkat. Melalui penjenjangan ini, akan diketahui urutan prioritas dari pilihan yang ada. Adanya urutan prioritas ini sangat penting mengingat sumber daya yang tersedia untuk pembangunan umumnya adalah terbatas. Oleh karena itu, pembuatan urutan prioritas ini juga merupakan salah satu upaya untuk mengoptimumkan pembangunan dengan cara memobilisasi sumber daya pembangunan untuk pilihan-pilihan unggulan saja. Pada beberapa bab sebelumnya telah dijelaskan adanya 6 kluster untuk desadesa di Kota Ambon. Kluster-kluster tersebut mencerminkan kategori desa berdasarkan kinerja usaha perikanan yang diukur dengan status desa pengembangan perikanan. Kluster 1 desa pesisir dicirikan oleh desa pesisir yang memiliki usaha perikanan tangkap dengan BCR tinggi (>2,00), berstatus mina mandiri, dekat jalur bisnis, tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap (UPT) sedang/tinggi, sedangkan Kluster 6 desa pesisir memiliki usaha perikanan tangkap dengan BCR rendah (<1,5), status mina mula, jauh dengan jalur bisnis, dan tingkat kepemilikan UPT rendah. Nilai-nilai BCR setiap desa diperoleh dari analisis usaha-usaha perikanan yang dibahas dalam Bab 5. Status desa pesisir dalam konteks Keenam kluster desa pesisir tersebut berada di level 2 setelah pengembangan usaha oal (kebijakan pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster) di level 1. telah dibahas dalam Bab 4.
162
Dalam model AHP, enam kluster desa pesisir tersebut ditempatkan pada tingkat 2, di bawah tujuan pada tingkat 1, yaitu kebijakan pengembangan industry perikanan tangkap berbasis kluster desa. Pemilihan kebijakan pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa ini juga mengakomodir setiap kriteria teknis, termasuk faktor determinan yang dibahas di Bab 7, dan harapan atau hal-hal penting yang perlu dihargai dalam pengembangan. Hal ini dimaksud agar kebijakan yang dipilih releven dengan kondisi dan kebutuhan di lokasi, sehingga dalam implementasinya dapat memberi manfaat yang maksimal. Secara umum, ada 6 (enam) hal yang perlu menjadi perhatian/kriteria teknis dalam pengembangan tersebut, yaitu : 1) Potensi sumberdaya ikan (SDI) 2) Perangkat hukum 3) Dukungan teknologi 4) Dukungan infrastruktur 5) Pasar prosepektif 6) Persaingan sehat Perhatian terhadap kriteria potensi sumberdaya ikan dapat mengakomodir kepentingan faktor determinan ekologi desa terutama untuk mensiasati pencemaran perairan dan ekosistem terumbu karang. Kriteria dukungan teknologi dapat membantu pengembangan teknis usaha perikanan tangkap terutama dari aspek alat tangkap dan metode operasi penangkapan. Alat tangkap dan metode operasi penangkapan merupakan dimensi faktor teknis UPT (faktor determinan 1) yang berpengaruh signifikan dalam pengembangan perikanan tangkap (Bab 7). Kriteria infrastruktur mndukung pengembangan fisik desa (faktor determinan 2), karena dengan kriteria ini, sarana dan prasarana desa, potensi SDA dan demografi desa menjadi lebih diperhatikan dalam implementasi strategi terpilih. Hal ini akan meningkatkan kesiapan desa secara fisik bagi pengembangan UPT berbasis kluster. Perhatian terhadap pasar prospektif dapat mendukung peningkatan BCR UPT (faktor determinan 5). Pasar yang prospektif akan dapat menjamin kontinyuitas pasar produk perikanan, perbaikan keuntungan serta mempercepat pengembalian investasi. Selanjutnya, kontinyuitas, keuntungan, dan pengembalian investasi merupakan dimensi yang berpengaruh signifikan bagi peningkatan BCR UPT (Bab 7). Kriteria perangkat hukum dan persaingan sehat mengakomodir kepentingan
163
faktor sosial budaya (faktor determinan 3). Penegakan hukum yang baik tentu akan menciptakan budaya kerja yang baik, adil dan jujur, serta menjadi bentuk pengkormatan terhadap tata nilai yang berlaku di masyarakat. Persaingan sehat juga akan menciptakan kondisi bisnis yang adil, saling menghargai, dan meminimalisir konflik social diantara pelaku perikanan pada desa kluster di Kota Ambon. Dalam struktur hierarki AHP, keenam kriteria teknis ini berada di level 3 setelah desa kluster di level 2. Pemenuhan atau perhatian setiap desa kluster terhadap kriteria teknis tersebut dapat saja berbeda-beda sesuai karakteristik atau kesiapan setiap desa kluster tersebut. Pertimbangan setiap jenis kriteria teknis tersebut dan akomodasi karakteristik atau kesiapan setiap desa kluster menjadi proses penting dalam analisis kebijakan pengembangan pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster dalam penelitian ini. Kebijakan yang dapat mengakomodir dengan baik karakteristik desa kluster yang ada Kota Ambon dan kriteria teknis yang dipersyaratkan dalam pengembangan tentu menjadi kebijakan pilihan (prioritas). Berdasarkan hasil analisis faktor determinan pada Bab 7 dan hasil identifikasi status desa pesisir pada Bab 4, dapat ditentukan beberapa alternatif kebijakan yang dapat dipilih untuk pengembangan perikanan tangkap yang lebih baik dengan berbasis pada kluster desa, sebagai berikut : 1) Pengembangan sarana & prasarana perikanan untuk kluster desa yang berdekatan 2) Pembinaan sumber daya manusia berbasis kinerja kluster 3) Perbaikan sistem pengelolaan usaha perikanan di kluster desa 4) Pengembangan teknologi tepat guna sesuai kebutuhan kluster desa 5) Pengembangan jaringan pemasaran produk unggulan untuk setiap kluster desa 6) Pengembangan zona penangkapan dan restocking Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, struktur hierarki final pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster di Kota Ambon disajikan pada Gambar 33. Prioritas kebijakan untuk pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster di Kota Ambon dapat diketahui setelah melakukan pertimbangan atau perbandingan kepentingan enam kluster desa pesisir di Kota Ambon, enam kriteria teknis pengembangan perikanan tangkap, dan enam alternatif kebijakan yang
164
diusulkan. Hasil analisis lanjut terhadap kepentingan setiap kluster, kriteria teknis, dan alternatif kebijakan akan dibahas lanjut pada Bagian 8.2 dan Bagian 8.3.
Gambar 33 Hierarki pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon 8.2 Kepentingan Kluster Desa dan Kriteria Teknis Pengembangan 8.2.1 Kepentingan kluster desa Diantara kluster desa lainnya, Kluster 1 paling berkepentingan dengan pengembangan perikanan tangkap di Kota Ambon (Gambar 34). Tidak ada desa kluster yang lebih penting daripada Kluster desa 1 terkait pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis desa kluster di Kota Ambon. Hal ini menunjukkan bahwa akomodasi kepentingan Kluster desa 1 menjadi prasyarat utama untuk mengembangkan perikanan tangkap di Kota Ambon. Klsuter desa 1 merupakan kelompok desa pesisir yang mempunyai usaha perikanan tangkap dengan BCR tinggi (>2,00), berstatus mina politan, dekat jalur bisnis, tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap (UPT) tinggi. Menurut Dijten KP3K (2006), desa pesisir dengan BCR tinggi dan dekat dengan jalur bisnis perikanan berperan sangat besar dalam mendukung keberlanjutan perikanan tangkap di suatu kawasan. Mengacu kepada Kepmen Nomor 32/MEN/2010, desa dengan status mina mandiri merupakan desa/kawasan yang
dapat dijadikan sentra kegiatan perikanan baik
dalam kegiatan penangkapan, pengolahan, maupun pemasaran hasil perikanan.
165
Karena itu, dapat dipahami bila akomodasi kepentingan desa pesisir dengan karakteristik dan peran yang besar tersebut lebih didahulukan daripada yang lainnya.
Gambar 34 Hasil analisis kepentingan setiap desa kluster Kluster desa 4 merupakan desa kluster yang berkepentingan kedua terhadap pengembangan perikanan tangkap di Kota Ambon. Bila melihat dari pembagian kluster, maka kluster 4 ini umumnya merupakan kelompok desa pesisir dengan pengelolaan usaha perikanan tangkap menguntungkan (BCR tinggi atau sedang), berstatus mina mandiri, meskipun ada yang tidak terlalu dekat dengan jalur bisnis terutama pasar, dan kepemilikan usaha perikanan tangkap oleh masyarakat lokalnya rendah (Anderson, 2004 dan Dijten KP3K, 2006). Karena itu, akan sangat disayangkan bila desa kluster ini juga diberi perhatian khusus dalam pengembangan perikanan. Keuntungan terbaik sudah didapat dan status pengelolaan minimal mandiri, sehingga perhatian tinggal diberikan pada penyediaan jalur pasar yang lebih baik dan nelayan yang terampil dibantu alat tangkapnya. Kluster desa 2 juga mempunyai tingkat kepentingannya yang tinggi dalam pengembangan perikanan tangkap di Kota Ambon (prioritas ketiga). Hal ini ditunjukkan oleh rasio kepentingan (RK) yang cukup tinggi, yaitu sekitar 0,181 pada inconsistency terpercaya 0,04. Tinggginya tingkat kepentingan kluster desa 2 ini bisa jadi karena merupakan kelompok desa pesisir yang diperhitungkan dan baik usaha perikanannya, namun hanya sedikit elemen pendukung memberikan kontribusi penuh/sempurna bagi pengembangan kegiatan perikanan tangkapnya. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis Bab 6, dimana dari empat elemen/kriteria yang dinilai hanya satu kriteria, yaitu nilai BCR tinggi yang dipenuhi secara sempurna (bobot = 3) oleh desa pesisir yang masuk kluster 2, seperti Desa Waihaong, Desa Lateri, Desa Naku, dan Desa Laha, sedangkan elemen/kriteria status desa, kedekatan dengan jalur
166
bisnis, dan tingkat kepemilikan UPT hanya berkontribusi sedang (bobot maksimal 2). Menurut Dahuri (2001), sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di daerah pesisir, dan bila sebagian besar pendukung kegiatan perikanan tersedia atau dapat dipenuhi, maka besar kemungkinan daerah pesisir tersebut berkembang lebih maju.
Gambar 35 Akumulasi perbandingan berpasangan di antara desa kluster Desa kluster 2 dan 5 mempunyai kepentingan yang biasa-biasa saja terkait pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster di Kota Ambon. Hal ini bisa jadi karena kelompok desa pesisir yang masuk kluster ini umumnya tidak mempunyai karakterasitik terlalu kontras/mencolok baik yang sifatnya sangat berperan maupun sangat tertinggal dalam mendukung pengembangan perikanan tangkap. Hamdan, et. al (2006) dalam penelitian di Indramayu menyatakan bahwa kebijakan perikanan haruslah dapat melindungi usaha perikanan tangkap yang berkontribusi besar bagi pembangunan sambil terus membina usaha perikanan tangkap yang kondisinya terpuruk 8.2.2 Kepentingan kriteria teknis untuk pengembangan kluster desa Pada bagian sebelumnya telah diidentifikasi enam kriteria teknis yang digunakan dalam penentuan kebijakan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota
Ambon.
Untuk
kemudahan
penggunaan
analisis
kebijakan
dengan
menggunakan AHP, maka keenam kriteria teknis tersebut perlu ditulis lebih
167
sederhana/singkat (6 karakter). Adapun kriteria teknis tersebut dan singkatannya, adalah : 1)
Potensi sumberdaya ikan: SDI
2)
Perangkat hukum: HUKUM
3)
Dukungan teknologi: TEKNOLOG
4)
Dukungan infrastruktur: INFRASTR
5)
Pasar prospektif: PASAR
6)
Persaingan sehat: SAING Selanjutnya akan dibahas kepentingan kriteria pengembangan per setiap
kluster,
dan
pengembangan
akhirnya semua
akan kluster
dibuat desa,
suatu dalam
formulasi bentuk
kepentingan sebuah
tabel
kriteria yang
menggambarkan resume 3 kriteria tertinggi yang penting dari tiap kluster. Di antara enam kriteria teknis pengembangan yang ada, potensi sumberdaya ikan dan dukungan teknologi merupakan dua kriteria teknis paling penting yang perlu diperhatikan untuk mendukung pengembangan Kluster desa 1 (Gambar 36). Perhatian pada SDI dan TEKNOLOG ini dapat dipahami karena usaha perikanan tangkap dengan BCR tinggi, status desa yang mapan (mina mandiri), dan jarak yang dekat dengan jalur bisnis perikanan di desa kluster 1 ini (Batu Merah) tidak akan berarti, bila potensi sumberdaya ikan tidak tersedia secara memadai dan teknologi yang dikembangkan tidak handal dan tidak ramah lingkungan. Perhatian terhadap kriteria SDI dapat mengakomodir kepentingan faktor determinan ekologi desa (Bab 7). Hal ini karena kriteria SDI menekankan pentingnya pelestarian sumberdaya ikan, dimana semua kegiatan yang dapat mengganggu termasuk pencemaran perairan dan pengrusakan terumbu karang akan menjadi fokus penanganan pada strategi terpilih, sedangkan pengendalian pencemaran dan kerusakan terumbu karang merupakan dimensi dari faktor ekologi desa. Hal yang sama untuk teknologi, dimana kondisi teknis UPT di Kluster desa 1 umumnya sudah baik, sehingga menjadi hal penting untuk diperhatikan dan dipertahankan.
168
Gambar 36 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung desa kluster 1 Kluster desa 1 tidak banyak membutuhkan dukungan infrastruktur lagi, karena infrastruktur yang ada sudah lebih dari cukup untuk mendukung kelangsungan kegiatan perikanan tangkap. Widodo et al. (1998) menyatakan potensi stok sumberdaya ikan penting bagi keberlanjutan usaha perikanan dan teknologi penangkapan yang digunakan akan menentukan kelangsungan stok tersebut di perairan. Dalam kaitan ini, maka kebijakan pengembangan perikanan yang dipilih harus dapat mengakomodir kondisi ini, sehingga pelaksanaan kebijakan releven dengan kebutuhan desa kluster dan juga tidak bertentangan dengan kebijakan yang lebih tinggi. Kriteria teknis pengembangan yang penting diperhatikan untuk Kluster desa 1 bisa sama atau berbeda dengan kluster desa lainnya, tergantung pada karakteristik usaha perikanan tangkap, status pengelolaan/status desa perikanan, dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap. Kluster desa 2 memiliki kemiripan karakteristik dengan Kluster desa 1, sehingga kriteria teknis pengembangan yang diperhatikan juga sama, namun dengan tingkat kepentingan yang agak berbeda. Potensi sumberdaya ikan (SDI) dan dukungan teknologi (TEKNOLOGI) merupakan dua kriteria teknis paling penting untuk mendukung pengembangan Kluster desa 2 (Gambar 37). Menurut Nomura dan Yamazaki (1975), perbedaan teknis dalam penanganan usaha akan mempengaruhi tingkat interest terhadap kriteria yang diharapkan dari suatu kebijakan pengembangan perikanan.
169
Gambar 37 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung desa kluster 2 Kluster desa 2 juga masih perlu pengembangan terkait faktor ekologi desa dan faktor teknis UPT. Pengembangan faktor ekologi yang dibutuhkan yaitu terkait pengendalian pencemaran dan pencegahan kerusakan terumbu karang karena dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan. Karena itu, cukup wajar bila perhatian terhadap kriteria SDI menjadi penekanan penting dalam memanjukan perikanan tangkap di Kluster desa 2. Kriteria teknologi juga demikian, dimana teknologi alat tangkap dan metode operasi sudah berkembang baik di Kluster desa 2 (seperti Kluster desa 1), sehingga sangat penting untuk diperhatikan dan dipertahankan.
Gambar 38 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung desa kluster 3
170
Kriteria teknis yang penting bagi Kluster desa 3 terkait pengembangan perikanan tangkap di Kota Ambon adalah perangkat hukum, dukungan teknologi, dan tersedianya pasar prospektif. Hal cukup wajar, karena desa pesisir yang masuk kluster ini umumnya berstatus mina mandiri, nilai BCR tinggi atau sedang, namun kinerja dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkapnya biasa-biasa saja. Penegakan hukum dibutuhkan bisa jadi untuk pengelolaan usaha yang lebih transparan dan tidak ada monopoli harga. Dukungan teknologi dibutuhkan untuk peningkatan kinerja operasi penangkapan usaha-usaha perikanan tangkap di desadesa ini, agar dapat masuk ke pasar yang lebih prospektif. Pada Kluster desa 3 masih banyak terdapat usaha perikanan tangkap kecil dengan metode operasi sederhana (faktor determinan teknis UPT), kontinyuitas dan pengembalian investasi rendah (faktor determinan BCR). Perhatian terhadap kriteria teknologi dan pasar prospektif dapat membantu usaha perikanan di kluster 3 ini mengembangkan teknologi alat tangkap dan metode operasi serta menjamin kontinyuitas pasar produk perikanan yang dihasilkannya. Oleh karena itu, perhatian penting terhadap perangkat hukum, dukungan teknologi, dan tersedianya pasar prospektif (Gambar 35) sangat revelan dengan kondisi yang terjadi pada Kluster desa 3. Kriteria teknis yang dianggap penting untuk Kluster desa 4 adalah perangkat hukum dan dukungan teknologi, serta potensi sumber daya ikan (Gambar 39). Pilihan tersebut menunjukkan bahwa kepentingan dan kebutuhan kluster desa ini berorientasi pada penekanan utama pada penegakan hukum dan pengembangan teknologi perikanan, serta potensi sumber daya ikan. Hal ini bisa jadi karena pelaku perikanan di desa pesisir yang masuk Kluster desa 4 ini masih melihat kemungkinan adanya ketidakadilan dan mereka merasa belum dilindungi oleh perangkat hukum yang ada. Hasil analisis faktor determinan pada Bab 7 juga menunjukkan Kluster desa 4 masih perlu pengembangan pada teknologi alat tangkap (faktor determinan teknis UPT), karena masih banyak UPT dengan BCR rendah (<1,50) di desa kluster tersebut. Teknologi alat tangkap yang sederhana dan masih bersifat tradisional mengurangai kehandalan UPT tersebut dalam melakukan operasi penangkapan ikan, sehingga keuntungan dan BCR-nya juga rendah.
171
Gambar 39 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung desa kluster 4 Dukungan infrastruktur dan akomodasi perangkat hukum dan potensi sumber daya ikan menjadi kriteria teknis yang dianggap penting untuk diperhatikan oleh pelaku perikanan di desa pesisir yang masuk Kluster desa 5 (Gambar 40). Desa-desa yang masuk dalam Kluster desa 5, adalah Seilale, Wayame, Kilang, dan Rutong, umumnya tidak memiliki sarana pendukung perikanan tangkap yang memadai.
Gambar 40 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung desa kluster 5
172
Kluster desa 5 (bersama Kluster desa 6) masih butuh banyak pengembangan yang berkaitan dengan fisik desa. Hal ini karena desa yang masuk Kluster desa 5 ini umumnya kurang sarana pendukung untuk pengembangan perikanan tangkap. Selain itu, jarak dengan jalur bisnis tidak ada yang dekat, teknologi penangkapan ikan kurang berkembang, serta tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap umumnya rendah. Dahuri (2003) menyatakan dalam orasinya bahwa kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan haruslah berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir. Hal ini penting supaya pembangunan perikanan tersebut berkembang dengan pesat dan masyarakat sekitar ikut merasakan manfaatnya.
Gambar 41 Hasil analisis kepentingan kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 6 Kluster desa 6 menjadikan dukungan pasar prospektif sebagai sebagai kriteria teknis penting dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa. Desadesa pesisir yang masuk Kluster desa 6 ini juga memerlukan dukungan infrastruktur dan teknologi dalam pengembangannya. Desa/ kelurahan pesisir yang masuk Kluster desa 6 ini adalah Hative Besar dan Dusun Seri Desa Urimessing (Bab 6). Perhatian yang tinggi terhadap pasar ini bisa jadi karena lokasi desa yang jauh dari jalur distribusi dan pasar ikan yang ada saat ini. Jarak rata-rata Hatiwe Besar dan Urimessing dengan jalur bisnis perikanan masing-masing mencapai 26,5 km dan 29,2 km, sehingga pelaku perikanan di kedua desa pesisir tersebut harus meluangkan
173
waktu khusus untuk menjual ikan hasil tangkapannya ke pasar potensial di pusat kota. Masalah pasar ini relevan dengan hasil analisis faktor determinan (Bab 7) Kluster desa 6 membutuhkan pengembangan pada aspek pasar, keuntungan, dan pengembalian investasi. Dimana kondisi tersebut hanya bisa terjadi bila pasar produk selalu tersedia dan tidak ada monopoli harga dalam transaksi. Perbaikan teknologi juga diperlukan di Kluster desa 6 ini, karena masih sedikit perahu bermotor, tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap rendah, dan teknologi penangkapan kurang berkembang. Hasil analisis faktor determinan pada Bab 7 menyatakan bahwa teknologi dan metode operasi penangkapan di Kluster desa 6 harus dikembangkan karena menyebabkan kinerja (BCR) usaha perikanan tangkap rendah (<1,50). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepentingan setiap kluster desa tidak selalu sama. Diantara 6 kriteria teknis yang di pakai, 3 kriteria diantaranya cukup umum ditemukan di 4 kluster. Ketiga kriteria teknis tersebut adalah potensi sumber daya ikan, akomodasi perangkat hukum, dan dukungan teknologi (Tabel 65). Perhatian stake holder kepada ketiga faktor tersebut menunjukan adanya kesadaran bahwa potensi sumber daya ikan adalah suatu keharusan agar usaha perikanan dapat berlangsung. Perangkat hukum diperlukan sebagai instrumen tata kelola sumber daya perikanan, dan teknologi adalah faktor penting untuk mewujudkan manfaat ekonomi sumber daya ikan. Hasil analisis ini juga mengungkapkan bahwa infrastruktur adalah sebuah isyu yang diprioritaskan. Hal menarik karena tidak seperti yang biasa dikhawatirkan oleh banyak pihak bahwa pembangunan perikanan memerlukan infrastruktur yang baik. Di Kota Ambon, para stake holder menganggap bahwa infrastruktur yang ada sudah cukup, mungkin karena sudah cukup tersedia atau para stake holder memandang bahwa yang ada saja belum dimanfaatkan secara maksimal. Para pemangku kepentingan juga tidak menganggap adanya masalah dalam persaingan usaha di antara sesama pelaku usaha. Rendahnya keprihatinan terhadap masalah ini, kemungkinan besar disebabkan skala usaha para pemangku kepentingan belum mencapai titik jenuh karena kapasitas terpasang pada unit-unit produktif mereka masih rendah dan belum sampai pada tahap dimana ada kelebihan pasokan ikan. Situasi ini kemungkinan besar juga disebabkan oleh adanya pasokan
174
ikan dari armada-armada pendatang yang menggunakan Kota Ambon sebagai tempat pembongkaran hasil tangkapan. Oleh karena kontribusi armada lokal terhadap pasokan ikan relatif kecil dibanding dengan kebutuhan pasar lokal, sehingga persaingan usaha dianggap masih wajar. Kondisi seperti dapat mengeliminasi konflik yang terjadi antar pelaku usaha perikanan. Hou (1997) menyatakan bahwa konflik antar pelaku pasar merupakan konflik yang paling berdampak terhadap kemajuan usaha perikanan, karena dapat mengganggu mekanisme pasar yang terjadi, dapat tercipta black market, dan menyebabkan kemunduran perekonomian suatu daerah. Selanjutnya, walaupun tidak sepopuler ketiga masalah umum, pasar prospektif merupakan perhatian stake holder dari Kluster desa 1, 3 dan 6. Hal ini kemungkinan disebabkan kepentingan Kluster desa 1 yang relatif lebih maju usaha perikanannya memerlukan prospek pasar yang dimasa yang akan datang untuk menjual hasil tangkapan nya. Sementara itu, di Kluster desa 3 dan 6 yang agak jauh dari jaringan pemasaran, memerlukan waktu dan biaya transport yang lebih besar untuk menjual hasil tangkapan mereka. Hal menarik dari kedua fenomena ini, ialah di kluster tertentu, yaitu baik di kluster desa yang lebih maju (Kluster desa 1) maupun di kluster desa yang kurang maju (Kluster desa 6), sama-sama memerlukan pasar yang prospektif. Kondisi ini terkonfirmasi dengan aspek sistem persaingan yang tidak begitu penting di hampir semua kluster desa, kecuali di Kluster desa 2. Tabel 65 Tiga pilihan atau kepentingan prioritas kriteria teknis pengembangan perikanan tangkap di tiap kluster desa Kebijakan
Kluster Desa 1
2
3
4
5
6
Potensi sumber daya ikan
■
■
≠
■
■
≠
Akomodasi perangkat hukum
■
≠
■
■
■
≠
Dukungan teknologi
≠
■
■
■
≠
■
Dukungan infrastruktur
≠
≠
≠
≠
■
■
Pasar prospektif
■
≠
■
≠
≠
■
Sistem persaingan sehat
≠
■
≠
≠
≠
≠
Keterangan simbol : tanda ■ = pilihan prioritas kebijakan;
≠ = bukan pilihan prioritas kebijakan
175
8.3 Kebijakan Makro Lintas Kluster & Pola Implementasi Kebijakan Pengembangan Terpilih Hasil AHP pada bagian ini merupakan tujuan akhir dari analisis kebijakan pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster di Kota Ambon. Dalam analisis ini, setiap alternatif kebijakan makro disajikan dalam bentuk singkatan. Adapun singkatan dari setiap alternatif kebijakan makro pengembangan perikanan tangkap lintas kluster tersebut ialah : 1) Pengembangan sarana & prasarana perikanan untuk kluster desa sama yang berdekatan: P-SANPRA 2) Pembinaan sumberdaya manusia berbasis kinerja kluster: P-SDM 3) Perbaikan sistem pengelolaan usaha perikanan di kluster desa: P-SISTEM 4) Pengembangan teknologi tepat guna sesuai kebutuhan kluster desa: P-TEKTGU 5) Pengembangan jaringan pemasaran produk unggulan untuk setiap kluster desa: JARPAS 6) Pengembangan zona penangkapan dan restocking: P-ZONRES Tingkat kepentingan setiap alternatif kebijakan makro pengembangan
perikanan tangkap lintas kluster ini disajikan dalam Gambar 37. Rasio kepentingan tersebut merupakan arahan tentang prioritas kebijakan makro yang dapat dilakukan dalam mendukung pengembangan industri perikanan tangkap dengan basis kluster desa di Kota Ambon. Alternatif pembinaan SDM berbasis kinerja kluster (P-SDM) mendapat perhatian paling tinggi dibandingkan lima alternatif kebijakan pengembangan lainnya (Gambar 42). Dengan demikian, alternatif pembinaan SDM berbasis kinerja kluster (P-SDM) ini menjadi kebijakan prioritas pertama yang diperlukan dalam mengembangkan kegiatan perikanan tangkap dengan berbasiskan pada potensi desa kluster di Kota Ambon. Setiap kluster desa mempunyai potensi perikanan tersendiri baik menyangkut kehandalan alat tangkap, kapal, status pengelolaan, posisi dari jalur bisnis (pasar, bandara, dan pelabuhan), maupun tingkat kepemilikan usaha, sehingga wajar bila SDM perikanan tangkapnya perlu mendapat pembinaan sesuai potensi dan kinerja perikanan yang terjadi selama ini di desa. Menurut Dollinger (1998), kesesuaian strategi kebijakan dengan potensi sumberdaya (resources) dan kinerja usaha sangat menentukan keberhasilan pembangunan suatu sektor ekonomi secara jangka panjang.
176
Gambar 42 Hasil analisis kepentingan alternatif kebijakan makro pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa Pembinaan SDM berbasis kinerja kluster merupakan kebijakan terpilih dengan prioritas pertama untuk pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Secara umum, kegiatan pembinaan SDM kondusif untuk pengembangan SDM yang lebih baik, bersesuaian dengan kebijakan nasional yang mencerdaskan kehidupan bangsa, dan upaya peningkatan produktivitas nasional. Keberhasil suatu kebijakan di tingkat implementasi, sangat tergantung kepada dinamikan faktor-faktor yang ada dan sensitifitas kebijakan terpilih terhadap dinamika tersebut. Sensitivitas ini perlu diketahui agar para pelaksana kebijakan dapat merumuskan strategi antisipasi jika terjadi perubahan yang mendasar. Menurut Wahab (1997), hasil kajian ilmiah yang obyektif dapat dipakai untuk menentukan strategi tersebut. Menurut Gaspersz (1992), evaluasi suatu model/konsep merupakan upaya berpikir sistemik yang menyebabkan model/konsep tersebut lebih mudah diarahkan dan dikendalikan dengan baik dalam implementasinya terutama dalam mensiasati berbagai intervensi atau perubahan nyata yang terjadi. Berbagai intervensi atau perubahan yang dapat terjadi pada sebuah kluster desa adalah perubahan fokus perhatian dan program pemerintah, status desa yang berubah karena pola pengelolaan tertentu, trend kehidupan masyarakat desa yang berubah, dan berbagai faktor peubah lainnya. Kebijakan pembinaan SDM berbasis
177
kinerja kluster ini seyogyanya lebih dapat mengantisipasi berbagai intervensi atau perubahan yang ada, sehingga kebijakan tersebut tidak mudah berubah atau bahkan menjadi tidak terpakai lagi karena usang. Bila perubahan ini terjadi, maka akan cukup banyak anggaran dan sumber daya pembangunan yang terbuang sia-sia atau bahkan dapat menimbulkan konflik sosial. Ralahalu (2010) menyatakan 92,4 % wilayah Maluku merupakan laut, sehingga cukup banyak anggaran yang dikeluarkan setiap tahunnya untuk pembangunan wilayah pesisir laut dan laut ini.
No. 1
Tabel 66 Arahan implementatif bagi kebiijakan pembinaan SDM berbasis kinerja kluster Arahan Implementasi Rasio Alternatif Strategi P-SDM Kluster Desa Kepentingan Awal Range RK Range RK (RK Awal) Stabil Sensitif Kluster 1 0,222 0–1 Tidak Ada
2
Kluster 2
0,181
0 - <0,371
0,371 - 1
3
Kluster 3
0,170
0–1
Tidak Ada
4
Kluster 4
0,202
0 - <0,414
0,414 -1
5
Kluster 5
0,127
0–1
Tidak Ada
6
Kluster 6
0,098
0–1
Tidak Ada
Kebijakan pembinaan SDM berbasis kinerja kluster dapat dikatakan baik bila tetap stabil sebagai pilihan konsep pengembangan perikanan tangkap terbaik, meskipun perhatian terhadap setiap desa kluster berubah-ubah akibat reorientasi program pemerintah, pola pengelolaan yang dipilih, dan perkembangan trend kehidupan masyarakat. Strategi pembinaan SDM berbasis kinerja kluster desa adalah stabil pada 4 kluster desa, yaitu Kluster desa 1, Kluster desa 3, Kluster desa 5, dan Kluster desa 6. Pembinaan SDM berbasis kinerja kluster hanya sensitif untuk Kluster desa 2 dan Kluster desa 4, yaitu bila intervensi/perubahan dilakukan secara positif (perhatian ditingkatkan) pada Kluster desa 2 dan Kluster desa 4 tersebut. Mengacu kepada hal ini, beberapa arahan yang bisa diacu dalam implementasi kebijakan SDM berbasis kinerja kluster pada desa-desa pesisir yang tergolong sebagai Kluster desa 1, Kluster desa 3 dan Kluster desa 5 dan 6 di Kota Ambon adalah sebagai berikut : 1) Kegiatan pembinaan SDM dapat dilakukan dalam berbagai bentuk berupa pelatihan, bimbingan teknis maupun pendampingan. Namun pelaksanaannya bisa
178
lebih bebas, yaitu ketiganya bisa dilakukan serempak, bertahap, maupun secara terpisah, dengan selalu berpedoman kepada kepentingan tiap kluster (lihat Tabel 8.1). 2) Pembinaan SDM di Kluster desa 1 sebaiknya difokuskan pada hal-hal yang bernuansa teknologi dan perekayaan alat tangkap maupun metode operasi tangkap berskala besar dan beberapa di antaranya diusahakan dalam skala industri. Pembinaan SDM ini dapat dilakukan secara intensif atau hanya pada waktu-waktu tertentu saja, baik dalam bentuk pelatihan maupun bimbingan teknis. Hal ini tidak akan menimbulkan kecemburuan desa kluster lainnya, yang menganggap kebijakan pembinaan SDM tidak relevan dengan pengembangan usaha perikanan. Salah satu alasan belum adanya perhatian kluster lainnya adalah jenis teknologi yang dipakai oleh penduduk desa lain tersebut masih tergolong teknlogi sederhana. 3) Pembinaan SDM di Kluster desa 3 dapat difokuskan pada upaya-upaya peningkatan efisien operasi penangkapan dan pengelolaan keuangan, seperti penghematan BBM, penghematan umpan, pengaturan jumlah hari operasi, pengaturan arus kas. Hal ini karena sebagian besar desa pesisir yang masuk kluster 3 berkategori rendah dalam kepemilikan usaha perikanan tangkap dan beberapa diantaranya belum berkinerja tinggi (misalnya Desa Passo dengan BCR 1,67). Pembinaan tersebut diharapkan dapat meminimalisasi biaya yang tidak perlu, sehingga nelayan dapat mennyisihkan sebagai keuntungan untuk investasi. Pembinaan dapat dilakukan dalam bentuk pelatihan, bimbingan teknis, pendampingan maupun gabungan ketiganya. 4) Pembinaan SDM di Kluster desa 5 dapat difokuskan pada pengenalaan alat tangkap baru, teknologi penangkapan, dan metode operasi penangkapan. Desa pesisir yang masuk kluster 5 ini umumnya berstatus mina mandiri, dan beberapa diantaranya berkinerja rendah/sedang (seperti Desa Silale, Wayame, dan Kilang), sehingga pelatihan dasar tersebut dapat membantu peningkatkan kinerja usaha perikanan tangkap yang ada. Untuk memaksimal kinerja ini, maka pembinaan SDM dapat dikembangkan lanjut dengan penambahan muatan pengelolaan keuangan, investasi, dan teknik mendapatkan bantuan kredit. Hal ini penting karena desa pesisir seperti Desa Silale, Wayame, dan Kilang yang masuk kluster 5 ini mempunyai tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap rendah dari
179
nelayan lokalnya. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam bentuk pelatihan, bimbingan teknis maupun pendampingan. Juga dapat dilakukan secara secara intensif, tanpa menimbulkan resistensi dari desa kluster lainnya. Dalam konteks yang lebih luas, perhatian terhadap desa kluster 5 ini juga dapat diarahkan pada pengembangan infrastruktur, penegakan hukum, dan penciptaan pasar prospektif bagi nelayan kecil (Gambar 35). Hal ini dapat dilakukan setelah nelayan cukup terampil dan mandiri, yaitu pada implementasi kebijakan perbaikan sistem pengelolaan (kebijakan prioritas kedua). 5) Untuk di kluster desa 6, pembinaan SDM dapat dilakukan secara bebas baik terkait dengan peningkatan efisien operasi penangkapan, pengenalan alat tangkap baru, pengenalan alat bantu penangkapan, teknologi operasi penangkapan, pengelolaan keuangan usaha, maupun strategi pemasaran, karena desa-desa yang termasuk dalam kluster ini, mempunyai keterbatasan dalam berbagai aspek, yaitu status desa rendah, BCR rendah, aksesibilitas terhadap jaringan bisnis, terutama pasar yang lemah, serta rendahnya kepemilikan usaha perikanan. Bentuk pembinaannya juga dapat dipilih bebas sesuai dengan sasaran peserta yang dilibatkan. Dalam implementasi kebijakan terpilih ini di Kota Ambon, pola implementasi kebijakan pembinaan SDM berbasis kinerja tersebut dapat diprogramkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon yang pembiayaannya dapat dialokasikan dari APBD atau sumber lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan dan tumpang tindih dengan program Pemerintah Propinsi maupun Pusat, maka Pemerintah Kota Ambon perlu berkoordinasi terlebih dahulu, misalnya melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi, Biro Program di Kementerain Kelautan dan Perikanan atau instansi lainnya yang resmi. Hamdan et. al (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kebijakan perikanan akan berhasil baik bila ada koordinasi diantara instansi terkait, secara vertical maupun horizontal, dan pengaruh koordinasi tersebut bersifat signifikan. Khusus mengenai pelaksana lapang implementasi kebijakan pembinaan SDM ini dapat melibatkan perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang perikanan dan pemberdayaan masyarakat pesisir, yang memiliki komitmen dan kompetensi tinggi untuk mengembangkan nelayan pesisir. Implementasi kebijakan pembinaan SDM pada desa sensitif (Kluster desa 2 dan Kluster desa 4) akan tidak efektif. Oleh karena itu kebijakan pembinaan SDM di
180
dua kluster ini harus digantikan dengan kebijakan lain untuk memajukan kegiatan perikanan tangkap yang lebih baik. Kondisi ini tentu tidak begitu baik karena anggaran dan tenaga yang dikeluarkan terbuang sia-sia dan bahkan menimbulkan konflik akibat adanya pihak yang kecewa. Oleh karena itu mereka perlu diberi arahan dan pemahaman sehingga implementasi kebijakan pembinaan SDM yang bertujuan baik ini tidak menjadi polemik di kemudian hari. Mengacu kepada hal ini, maka beberapa arahan yang bisa diacu dalam implementasi kebijakan SDM berbasis kinerja kluster pada desa-desa pesisir yang masuk dalam Kluster desa 2 dan Kluster desa 4 di Kota Ambon, yaitu : 1) Kegiatan pembinaan SDM dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari pelatihan, bimbingan teknis hingga pendampingan. Namun pelaksanaan ketiga bentuk pembinaan SDM ini sebaiknya tidak dilakukan sekaligus tetapi dapat dilakukan bertahap sesuai dengan kebutuhan kluster desa tersebut. 2) Pembinaan SDM di Kluster desa 2 dengan memperhatikan kepentingan kriteria teknis pengembangan, sehingga implementasi difokuskan pada pendampingan yang berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan di bidang potensi sumber daya ikan, pilihan penggunaan teknologi yang adaptif, dan kewirausahaan dalam hadapi persaingan. 3) Pembinaan SDM di Kluster desa 4 dapat difokuskan pada bimbingan maupun pelatihan pengetahuan dan ketrampilan di bidang potensi sumber daya ikan, perangkat hukum, dan pilihan penggunaan teknologi yang adaptif. 4) Pelatihan alat tangkap dan metode operasi penangkapan ikan dapat dilakukan pada desa pesisir yang masuk Kluster desa 2 maupun Kluster desa 4. Namun khusus untuk desa di Kluster desa 4 sebaiknya lebih mendalam, karena kinerja usaha perikanan tangkapnya umumnya lebih rendah daripada di Kluster desa 2. Pelatihan alat tangkap dan metode operasi penangkapan ikan di Kluster desa 2 dapat diorientasikan pada inovasi alat tangkap baru, alat bantu penangkapan, dan lainnya yang bersifat penyegaran atau knowledge change. Usaha perikanan tangkap di Kluster desa 2 banyak yang berskala besar dan mempunyai teknologi penangkapan cukup modern (seperti di Kelurahan Pandan Kasturi dan Laha), sehingga knowledge exchange dianggap lebih baik.
181
8.4 Model Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa Di Kota Ambon Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini ialah suatu pola yang merupakan representasi sederhana mengenai aspek yang berkaitan dengan berbagai elemen atau variabel penting untuk pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Menurut Dunn (1998), model kebijakan publik harus memiliki karakteristik, sederhana dan jelas, ketepatan identifikasi aspek penting dari problem kebijakan, mudah dikomunikasikan, mudah dikelola dalam implementasi, dan menjelaskan serta memprediksi konsekuensi dari kebijakan yang diimplementasi. Karena itu, model yang dikembangkan ini diformulasi secara sederhana, sehingga mudah dipahami dan dapat diimplementasi. Walau demikian terdapat perhitungan statistik, baik yang sederhana maupun yang agak rumit, yang tidak dapat dihindari dalam formulasi aspek-aspek tertentu dalam model ini. Banyak model kebijakan publik yang dapat diadopsi, diantaranya model prosedural yaitu suatu cara menampilkan masalah kebijakan dengan cara menunjukan hubungan yang dinamis antar variabel kebijakan (Dunn 1998). Model prosedural yang diadopsi dalam penelitian ini, yang diawali dengan
analisis
variabel-variabel penting yang berkaitan dengan klusterisasi desa/kelurahan pesisir yang ada di Kota Ambon. Variabel-variabel dimaksud yang dikembangkan dalam penelitian ini ialah status desa pesisir, kelayakan usaha perikanan, aksesibilitas jalur bisnis perikanan, dan proporsi kepemilikan usaha perikanan. Selanjutnya diikuti dengan analisis dan identifikasi faktor determinan yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha perikanan tangkap, dan diakhiri dengan penentuan kebijakan terpilih untuk setiap kluster desa. Status desa pesisir dianalisis dan diidentifikasi serta dikelompokan atas desa mina mula, mina mandiri dan mina politan (lihat bab 4). Setiap status desa ini diberi bobot skor, yaitu mina mula skor 1, mina mandiri skor 2, dan mina politan skor 3. Selanjutnya tingkat kelayakan usaha perikanan tangkap, yang disimbolkan dengan besaran benefit cost ratio/BCR (lihat bab 5). Besaran BCR dikelompokan atas tinggi (> 2,0) diberi bobot skor 3, sedang (1,5 – 2,0) diberi bobot skor 2, dan rendah (< 1,5) diberi bobot 1. Kemudian aksesibilitas usaha perikanan tangkap di sebuah desa pesisir terhadap jalur bisnis (pasar dan pelabuhan serta bandara), dikelompokan atas
182
kedekatan jarak, yaitu dekat (berjarak 0 – 10 km) diberi bobot 3, sedang (berjarak >10 – 20 km) diberi bobot 2, dan jauh (berjarak > 20 km) diberi bobot 1 (lihat bagian 6.3 di bab 6). Dan variabel yang terakhir ialah proporsi kepemilikan usaha perikanan tiap desa, yang diidentifikasi dengan besaran proporsi usaha perikanan tangkap tiap desa dari keseluruhan usaha perikanan tangkap Kota Ambon (lihat bagian 6.4 di bab 6). Proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap di tiap desa dikelompokan atas tingkat kepemilikan tinggi (> 0,083) diberi bobot 3, sedang (0,031 – 0,083) diberi bobot 2, dan rendah (<0,031) diberi bobot 1. Tahap berikutnya ialah penentuan kluster tiap desa berdasarkan total skor dari keempat variabel yang dicapai tiap desa (lihat bab 6). Tahap selanjutnya ialah analisis dan identifikasi faktor determinan penentu besaran kelayakan usaha perikanan tangkap untuk pengembangan perikanan tangkap. Proses analisis dan identifikasi faktor determinan ini menggunakan analisis structural
equation
model
(SEM).
Faktor-faktor
yang
signifikan
untuk
pengembangan usaha perikanan tangkap di tiap kluster (lihat bab 7), ditetapkan sebagai faktor yang harus dikembangkan, dipertahankan, atau dikurangi pada setiap kluster, didasarkan pada positif atau negatifnya besaran koefisien pengaruh faktor tersebut. Kemudian, untuk menentukan pilihan kebijakan umum pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon, dianalisis menggunakan analytical hierarchy process (AHP) yang dibahas pada bagian-bagian sebelumnya di bab ini. Berbagai kriteria pengembangan maupun alternatif kebijakan adalah faktor-faktor determinan yang teridentifikasi pada tahapan analisis sebelumnya, dan preferensi pemangku kepentingan. Dan akhirnya, ditentukan implementasi alternatif kebijakan terpilih pada setiap kluster desa, berdasarkan sensitifitas range rasio kepentingan nya. Model pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon ini, diberi nama Model Manggurebe Maju. Istilah manggurebe maju dalam bahasa lokal Ambon artinya berusaha atau berlomba untuk mencapai kemajuan. Dengan demikian Model Manggurebe Maju ini diharapkan menjadi acuan baku dalam perumusan kebijakan pengembangan perikanan tangkap di Kota Ambon, maupun wilayah pesisir lainnya. Model ini digambarkan secara matriks pada halaman berikut.
183
Gambar 43 Model pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon (Model Manggurebe Maju)
184
8.5 Pola Implementasi Model Manggurebe Maju Bagian ini akan menjelaskan pola implementasi Model Manggurebe Maju yang telah dijelaskan di Bagian 8.4. Pola implementasi ini merupakan rumusan berbagai rencana aksi tahunan (annual action plans) untuk desa-desa pesisir di Kota Ambon. Secara umum implementasi model pembangunan desa pesisir dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1) Perumusan strategi prioritas terpilih lintas kluster desa, dalam hal ini adalah strategi Pengembangan umberdaya Manusia (P-SDM). 2) Penentuan kategori desa dalam sistem kluster dan kepentingan kriteria teknis pengembangan industri perikanan tangkap untuk kluster desa (Tabel 65). 3) Penentuan faktor determinan pengembangan usaha perikanan tangkap yang harus dikembangkan, dipertahankan, diabaikan, atau dikurangi (Tabel 64). 4) Penentuan tingkat kelayakan usaha perikanan tangkap yang ada di desa (Bagian 5.5). 5) Penentuan elemen status desa yang bernilai kurang atau rendah (Bagian 4.2). 6) Analisis terhadap hasil dari tahap 1 – 5 di atas untuk merumuskan rencana aksi tahunan (annual action plan) pengembangan industri perikanan di desa. 7) Kompilasi rencana aksi tingkat desa dari semua desa di Kota Ambon untuk mengidentifikasi aksi-aksi yang umum di antara desa-desa pesisir; aksi-aksi umum tersebut akan menjadi program pengembangan industri perikanan tangkap di tingkat Kota Ambon. 8) Monitoring dan evaluasi tahunan terhadap penerapan atau implementasi rencana aksi untuk memutakhirkan program sehingga kemajuan industri perikanan desadesa di Kota Ambon dapat diketahui dan implementasi program terjadi secara sistematik.
Outcome dari program ini diharapkan berupa daya tarik sektor
perikanan bagi angkatan kerja muda yang akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja (mengurangi pengangguran) sehingga secara kolektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pada akhirnya membantu pengurangan tingkat kemiskinan setiap desa. Berpedoman pada tahapan di atas, berikut ini adalah penjelasan singkat implementasi model ini pada Desa Batu Merah (kategori kluster desa 1), Desa Leahari (kategori kluster desa 4), dan Dusun Seri (kategori kluster desa 6) sebagai contoh. Ketiga desa ini dijadikan contoh implementasi Model Manggurebe Maju
185
ini, karena dapat mewakili karakteristik desa pesisir yang ada di Kota Ambon. Desa Batu Merah mewakili karakteristik desa pesisir yang relatif maju; Desa Leahari mewakili karakteristik desa pesisir yang belum maju, rendah aksesibilitas jalur bisnisnya dan tinggi tingkat kemiskinannya; dan Dusun Seri di Desa Urimessing mewakili karakteristik desa yang mayoritas penduduknya adalah nelayan serta juga mewakili kluster desa yang memiliki komponen kepentingan sensitif (Tabel 65). Desa Batu Merah yang berada di pusat Kota Ambon, berpenduduk terbanyak, tingkat pengangguran juga tinggi tetapi yang bekerja di sektor perikanan sangat sedikit, yaitu kurang dari 1% dari seluruh angkatan kerja. Berbagai sarana dan prasarana industri perikanan tangkap, seperti pelabuhan umum, PPN, pasar ikan, bank maupun lembaga keuangan non-bank, pabrik es, maupun fasilitas doking, serta sarana transportasi, semuanya ada atau setidak-tidaknya berada dalam radius tidak lebih dari 1 kilometer dari desa ini. Tiga prioritas pengembangan di desa ini ialah potensi sumber daya ikan, dukungan teknologi, dan pasar prospektif.
Prioritas
pertama dan kedua berkaitan erat dengan jarak daerah penangkapan ikan (fishing ground) bagi hampir semua nelayan desa ini; lokasi daerah penangkapan ikan masyarakat desa ini adalah Laut Banda, khususnya di sekitar Tanjung Alang dan Tanjung Nusaniwe. Sementara itu lokasi penangkapan ikan yang terdekat berada di Teluk Ambon namun potensi ikan yang ada sudah sangat rendah. Jika kegiatan akan diarahkan pada lokasi yang lebih jauh maka teknologi juga menjadi hal yang penting dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di desa ini. Persoalan pemasaran ikan pada desa ini sebetulnya tidak terlalu serius, namun posisi tawar pedagang perantara sangat kuat sehingga harga jual ikan kepada pedagang perantara menjadi rendah. Empat jenis usaha perikanan tangkap dengan gillnet hanyut, gillnet dasar, handline dan purse seine yang ada di desa ini, semuanya layak, namun tingkat kelayakan purse seine yang banyak menyerap tenaga kerja ini pada posisi terendah karena lokasi penangkapan yang jauh (di luar Teluk Ambon) dan banyak menggunakan bahan bakar yang cukup banyak. Status Desa Batu Merah ini sudah tergolong tinggi dalam arti keberadaan elemen-elemen status desa, baik aspek usaha perikanan, sarana penunjang, maupun sosial budaya, diatas rata-rata seluruh desa di Kota Ambon, bahkan status desa ini sudah hampir dikategorikan sebagai desa Mina Politan (Tabel 20). Walaupun demikian, masyarakat desa ini tidak melakukan
186
kegiatan perikanan budidayapadahal kegiatan ini dapat menjadi alternatif mata pencaharian bagi nelayan yang beroperasi di tempat-tempat jauh. Berdasarkan uraian singkat di atas, rencana aksi untuk pengembangan industri perikanan terutama usaha perikanan tangkap di Desa Batu Merah ini mencakup: 1) Pengenalan hasil-hasil inovasi dalam bidang usaha perikanan tangkap. Inovasi perikanan tangkap dapat berupa rekayasa alat tangkap, kapal perikanan, dan skema pembiayaan perikanan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan nelayan sekitar yang umumnya mengoperasikan kapal besar (butuh inovasi), usaha doking, serta menjalin kemitraan dengan lembaga keuangan (bank dan non-bank) yang ada di desa ini. 2) Pengenalan dan pelatihan teknis budidaya ikan di perairan Teluk Ambon. 3) Pelatihan teknis pemasaran hasil tangkapan. Hal ini dibutuhkan untuk mensiasati persaingan dan monopoli harga, seperti adanya pedagang perantara yang lebih kuat posisi tawarnya, sehingga harga jual yang diterima nelayan rendah sementara harga pasar akhir tinggi. 4) Bimbingan teknis pengoperasian armada penangkapan purse seine yang efektif dan efisien. Selama ini purse seine mempunyai BCR paling rendah di Desa Batu Merah karena boros dalam biaya operasional teruatama untuk bahan bakar. 5) Pengenalan dan pelatihan teknis pencegahan pencemaran pesisir dan laut. Desa Batu Merah berada di kawasan Teluk Ambon yang padat kegiatan perikanannya, sehingga kepedulian semua pihak termasuk nelayan dalam pencegahan pencemaran sangat diharapkan. Desa kedua sebagai contoh implementasi Model Manggurebe Maju ini adalah Desa Leahari yang masuk dalam kategori kluster desa 4. Kluster desa 4 ini memiliki rasio kepentingan yang sensitif terhadap pengembangan sumber daya manusia yang berarti bahwa pembinaan sumberdaya manusia (melalui pelatihan, bimbingan teknis, pendampingan, dan lainnya) dilakukan berlebihan di desa kluster 4, sehingga perhatian dan anggaran program teralokasi besar untuk pengembangan SDM desa kluster 4, maka pengembangan SDM tersebut tidak membantu kemajuan bagi kluster desa 4 karena justru menimbulkan konflik dan kesenjangan dengan desa kluster lainnya. Seyogyanya, pembinaan SDM harus dilakukan terhadap semua desa kluster, meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda tergantung kebutuhan setiap
187
desa kluster. Hal ini harus menjadi perhatian penting dalam implementasi Model Manggurebe Maju di Desa Leahari dan lainnya yang masuk kluster 4. Tiga prioritas teknis pengembangan perikanan desa ini adalah akomodasi perangkat hukum, dukungan teknologi, dan potensi sumber daya ikan (Tabel 65) sedangkan faktor determinan yang harus dikembangkan di desa ini adalah alat tangkap, pengembalian investasi, dan perolehan keuntungan atau laba, serta kontinyuitas usaha. Semua jenis usaha perikanan tangkapn yang ada di desa ini secara finansial adalah layak. Oleh karena adalah wajar jika nelayan desa ini menganggap atau berpendapat bahwa pengembalian investasi, perolehan keuntungan serta kontinyuitas usaha merupakan faktor-faktor determinan yang harus dikembangkan (Tabel 64). Desa ini merupakan desa berstatus rendah, yaitu sebagai Desa Mina Mula, dimana sarana penunjang usaha perikanan yang tidak ada di desa ini, serta aspek sosial budaya yang kurang mendukung (Tabel 11). Berdasarkan uraian-uraian tersebut, rencana aksi (action plan) untuk mengembangkan usaha perikanan di Desa Leahari mencakup: 1) Pengadaan sarana penunjang usaha perikanan berupa pabrik es, dan cakupan pelayanan KUD terdekat dari Desa Hutumuri. 2) Pelatihan
pemasaran.
Keterampilan
anggota
keluarga
nelayan
dalam
memasarkan hasil tangkapannya sangat dibutuhkan di desa ini, karena desa pesisir yang masuk kluster 4 ini umumnya jauh dari jalur bisnis. Desa Leahari mempunyai jarak rata-rata dengan jalur bisnis (PPN, bandara, pasar ikan, dan PPI) sekitar 28,2 km. 3) Bimbingan teknis pengelolaan keuangan, sehingga kinerja keuangan meningkat, baik
dilihat dari pengembalian investasi, keuntungan, maupun kontinyuitas
usaha. 4) Pelatihan alat tangkap dan metode operasi penangkapan ikan. Materi yang diberikan sebaiknya lebih mendalam dan bersifat teknis. Pelatihan dan bimbingan teknis kepada nelayan ataupun keluarga nelayan di Desa Leahari ini, sebaiknya dilakukan secara bertahap, dalam arti tidak serentak dilaksanakan. Dusun Seri yang merupakan bagian dari Desa Urimesing adalah contoh ketiga untuk implementasi Model Manggurebe Maju. Desa ini terletak di selatan Pulau Ambon dan berhadapan langsung dengan Laut Banda yang sekaligus juga
188
merupakan daerah penangkapan ikan hampir seluruh nelayan. Dusun Seri dikelilingi oleh bukit-bukit yang terjal dan cukup tinggi, dan tidak memiliki potensi sumber daya alam daratan yang kaya dengan tambang atau perkebunan karena petuanan dusunnya yang berbukit terjal, dan hanya ditanami tanaman umur panjang seperti cengkeh dan pala dalam jumlah pohon yang sedikit saja, dan itupun tidak semua keluarga memiliki pohon cengkeh dan pala, sedangkan tanaman pertanian milik keluarga masyarakat, hanya sekedar ditanami untuk kebutuhan keluarga masingmasing saja. Selain itu, Dusun Seri ini terletak paling ujung dari ruas jalan dari pusat Kota Ambon ke Kecamatan Nusaniwe. Dusun Seri berada dalam kluster 6 dengan 3 prioritas pengembangan industri perikanan adalah pasar prospektif, dukungan teknologi, dan sumber daya ikan. Tiga prioritas tersebut dapat dianggap tidak wajar untuk desa seperti ini dalam kerangka pengembangan perikanan laut. Banyak masalah dalam teknologi dan manajemen usaha perikanan di dusun ini. Faktor-faktor determinan yang berpengaruh terhadap tingkat kelayakan usaha perikanan tangkap dan harus dikembangkan di Dusun Seri ini adalah topografi dan demografi, pemukiman, alat tangkap, teknologi dan metode operasi, pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha. Pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha adalah akibat dari kegiatan operasi penangkapan yang tidak efisien, sedangkan alat tangkap, teknologi, dan metode operasi merupakan aspek teknis usaha penangkapan yang sangat penting untuk mengefektifkan dan mengefisienkan usaha penangkapan. Kinerja finansial yang dicerminkan oleh BCR usaha perikanan tangkap yang rendah di dusun ini (Tabel 46) memberikan penegasan bahwa efektifitas dan efisiensi operasi penangkapan nelayan dusun ini rendah. Dikaitkan dengan keberadaan aspek status desa (Tabel 15), metode operasi penangkapan nelayan dusun ini masih sederhana, walau telah menggunakan peralatan penangkapan yang semi moderen. Selain itu, sarana penunjang usaha penangkapan masih sangat terbatas bahkan tidak ada, terutama institusi pembiayaan. Aspek sosial budaya dusun ini juga relitif tidak menunjang, terutama kualitas tenaga kerja yang rata-rata hanya berpendidikan SD, sehingga proses adopsi metode operasi penangkapan relatif lamban. Dimensi lain dari aspek sosial budaya ialah karena letak dusun ini paling ujung selatan Kota Ambon yang relatif terpencil, walau tidak
189
terisolasi,
mengakibatkan
tidak
adanya
pembauran
etnik,
sehingga
turut
memperlamban proses adopsi metode operasi yang relatif lebih efektif dan efisien. Berdasarkan uraian singkat di atas, rencana aksi (action plan) untuk mengembangkan usaha perikanan di Dusun Seri, Desa Urimesing mencakup: 1) Pemberian bimbingan teknis peningkatan efisiensi operasi penangkapan untuk meningkatkan kelayakan finansial (BCR) usaha perikanan tangkap. 2) Pengadaan dan pengenalan alat tangkap dan alat bantu penangkapan baru yang lebih efektif dan efisien. Hal ini dapat menjadi solusi pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Banda yang kaya, namun selama ini hasil tangkapan nelayan di Dusun Seri, Desa Urimesing belum maksimal dan belum efisien. 3) Dukungan teknologi operasi penangkapan alternatif. Hal ini menjadi pelengkap dari rencana aksi nomor 1, bila operasi penangkapan yang dilakukan selama ini secara teknis tidak dapat diefisienkan lagi. Disamping juga menjadi ajang pembekalan bagi nelayan terhadap alat tangkap dan alat bantu penangkapan baru (rencana aksi nomor 2). Dukungan teknologi tersebut dapat diberikan dalam bentuk adopsi teknologi operasi dari luar pada kapal-kapal nelayan, bimbingan teknis dan pelatihan teknik-teknik operasi penangkapan ikan modern. 4) Bimbingan teknis pengelolaan keuangan usaha, penting untuk pengaturan siklus keuangan dan manejemen usaha yang baik, sehingga pengembalian investasi dan keuntungan usaha perikan di Dusun Seri Desa Urimesing lebih layak. 5) Pelatihan pemasaran. Pelatihan ini penting untuk mensiasati pemasaran produk ke pasar prosfektif. Dengan penguasaan teknis pemasaran yang baik dan penciptaan daya saing produk, maka lokasi Dusun Seri Desa Urimesing yang jauh dari jalur bisnis (29,2 km) tidak akan menjadi masalah lagi. Tidak seperti di Desa Leahari pelatihan dan bimbingan teknis untuk masyarakat Dusun Seri dapat dilaksanakan secara sekaligus karena dusun ini tidak sensitif terhadap kegiatan pengembangan sumber daya manusia, dan juga tidak ada penolakan dari desa kluster lainnya.-
9 KESIMPULAN DAN SARAN 9.1
Kesimpulan Penelitian tentang model pengembangan industri perikanan tangkap di desa-
desa pesisir Kota Ambon ini menghasilkan beberapa kesimpulan tersebut di bawah ini. 1) Berdasarkan keberadaan usaha perikanan, sarana penunjang usaha perikanan, dan kondisi sosial-budaya, sebanyak 30 dari 32 desa pesisir yang ada berstatus mina mandiri, yaitu status desa yang diklasifikasi sebagai desa yang cukup maju. Dua desa lainnya berstatus mina mula atau setara dengan status desa swakarya menurut kriteria yang ditetapkan BPS. Sebaliknya, tidak adanya satu desa pun berstatus mina politan, yaitu desa pesisir yang sudah sangat maju. Status desa pesisir di Kota Ambon yang relatif maju dan kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Kota Ambon yang termasuk tinggi (yakni sebesar 17%) ternyata tidak dibarengi oleh kesejahtaeraan masyarakat yang setimpal. 2) Tingginya tingkat kemiskinan desa dan kelurahan pesisir di Kota Ambon, tidak disebabkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan rumah tangga nelayan, tetapi disebabkan oleh faktor-faktor lain. Kesimpulan ini didasarkan atas fakta bahwa secara rata-rata orang yang bekerja di sektor perikanan kurang dari 3% dari seluruh pekerja di Kota Ambon, dan secara makro ekonomi dengan kontribusi PDRB sektor perikanan yang cukup dominan, maka pendapatan per kapita rumah tangga perikanan juga tinggi. 3) Semua jenis usaha penangkapan ikan, baik yang berada di desa berstatus maju atau sedang, adalah layak secara ekonomi untuk dikelola. Mempertimbangkan kelayakan tersebut dan status desa beserta faktor aksesibilitas terhadap jaringan bisnis usaha perikanan tangkap, dan proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap, yang menjadi teori yang dikembangkan dalam penelitian ini, maka ada 9 kategori atau kluster desa. Namun, sesuai dengan data lapang, maka ke 32 desa di Kota Ambon, hanya dapat dibedakan menjadi 6 kategori atau 6 kluster desa. 4) Faktor determinan yang paling umum dijumpai di antara 6 kluster desa di atas adalah faktor-faktor potensi sumber daya ikan, akomodasi perangkat hukum, dan dukungan teknologi, merupakan faktor determinan pada empat kluster. Tiga faktor lainnya hanya berlaku di satu hingga tiga kluster, yaitu faktor-faktor dukungan infrastruktur, pasar prospektif, dan persaingan sehat.
191
5) Strategi kebijakan untuk pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon yang paling penting (dengan prioritas pertama) adalah pembinaan SDM berbasis kinerja kluster. 6) Pengembangan perikanan tangkap untuk nelayan pesisir yang efektif dan tepat sasaran, hanya dapat dilakukan jika didasari oleh suatu proses analisis kondisi obyektif kawasan pesisir, serta perumusan kebijakan yang berbasis pada kebutuhan setiap kawasan. Karena itu, klusterisasi kawasan seperti yang dikembangkan dan dibahas dalam penelitian merupakan suatu hal yang penting. Dengan klusterisasi, maka pendekatan keseragaman program pengembangan yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan setempat dapat dihindari, sehingga ada jaminan keberhasilan program pengembangan. Model pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon yang dikembangkan dalam penelitian ini diberi nama Model Manggurebe Maju. 9.2
Saran Dari hasil dan diskusi penelitian ini dapat dibuat beberapa saran di bawah ini:
1) Program kawasan Minapolitan yang dikembangkan oleh KKP melalui Kepmen Nomor 32/MEN/2010 dapat dilaksanakan di Desa Batu Merah, Kelurahan Pandan Kasturi, dan Desa Hative Kecil sebagai kawasan Minapolitan berbasis penangkapan, Desa Poka dan Desa Hunut sebagai kawasan Minapolitan berbasis budidaya, dan Desa Laha sebagai kawasan minapolitan berbasis pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Berbagai hal yang belum maksimal dapat dikembangkan lebih lanjut seiring dengan program kawasan minapolitan tersebut. Khusus untuk desa-desa pesisir yang masih rendah TSS nya, baik yang berstatus mina mula maupun berstatus mina mandiri yang aktivitas usaha perikanan nya hanya pada satu bidang usaha, dan sarana penunjang yang tidak ada, intervensi perlu dilakukan melalui sosialisasi dan pelatihan ketrampilan, dan disertai penyediaan sarana penunjang sejalan dengan perkembangan usaha perikanan setempat. 2) Pengentasan kemiskinan pada desa-desa pesisir dapat dilakukan melalui program-program intervensi yang relevan dan tepat sasaran, berbasis pada hasil kajian empirik. Karena itu, disarankan agar dilakukan pemetaan karakter kemiskinan tiap desa, mengacu pada pola yang digunakan dalam Model Manggurebe Maju, dengan variasi karakter kemiskinan masing-masing desa,
192
sehingga menghasilkan suatu rencana aksi yang realistik dan tepat sasaran dalam kerangka pengentasan atau pengurangan kemiskinan. 3) Usaha perikanan tangkap yang termasuk kategori tidak layak dikembangkan (BCR<1,00) seperti purse seine di Desa Urimesing dan usaha penangkapan tuna di Desa Kilang perlu diberi perhatian khusus. Nelayan pelaku perlu dibina dengan baik sehingga dapat meningkatkan produktivitas usahanya. Instansi terkait (Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Tenaga Kerja dan lainnya) di Kota Ambon harus turun secara langsung untuk mendorong dan memberi pengertian serta pembinaan kepada nelayan pelaku untuk dapat mengelola usaha dengan baik dan bila tidak memungkinkan dapat segera beralih ke usaha perikanan tangkap lainnya yang lebih menguntungkan, misalnya usaha perikanan handline. 4) Program pembangunan perikanan di Kota Ambon sebaiknya diarahkan untuk menangani faktor/dimensi pengelolaan yang signifikan. Pelaksanaan program tersebut perlu mengedepankan unsur pembinaan SDM perikanan (nelayan, pengolah, dan pedagang ikan) sesuai dengan kinerja dan potensi setiap kluster desa. Hal ini penting supaya program tersebut berjalan efektif, hasilnya optimal dan dirasakan secara nyata oleh masyarakat desa kluster. 5) Strategi kebijakan pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon ini perlu diperkenalkan melalui sosialisasi atau koordinasi dengan instansi yang mengurus pengembangan perikanan tangkap pada tingkatan Pemerintah Kota Ambon sendiri, maupun pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. 6) Model atau pola pendekatan yang dikembangkan dalam penelitian ini, kiranya menjadi acuan dalam pengembangan industri perikanan tangkap di desa-desa pesisir agar tingkat keberhasilan program terukur.-
DAFTAR PUSTAKA Aleman, P.P. 2005. Cluster Formation, Institution, and Learning : The Emergence of Clusters and Development in Chile. Indutrial and Corporate Change. Vol 14, No. 4, p 221-222 Alfred. 1998. Personal Communication About Deveploment of Fisheries in Desa Malalayang, Manado. Jurnal Depdagri Vol 12. Jakarta. Anderson, G. 1994. Industry clustering for economic development. Economic Development Review, 12(2). Retrieved May 2, 2003 from EBSCOHost database. Arifin, A. 2005. Kenapa http://www.adiarifin.web.id/
Banyak
Orang
Ingin
Jadi
PNS
?.
Arrow, K.J, Cropper, M.L, Eads, G.C, Hahn, R.W, Lave, L.B, Noll, R.G, Portney, P.R, Russell, M, Schmalensee, R, Smith, V.K, and Stavins, R.N. 1996. Is the Role for benefit-Cost Analysis in Environmental, Heath, and Safety Regulation? Science Journal, American Association for the Advancement of Science. 12 April 1996. Vol 271 p 221-222. Badan Pusat Statistik [BPS] Kota Ambon. 2010. Kecamatan di Kota Ambon Dalam Angka Tahun 2009. BPS Kota Ambon. Badan Pusat Statistik [BPS] Kota Ambon. 2010. Kota Ambon Dalam Angka Tahun 2010. BPS Kota Ambon. Bangun, M. 2004. Pengembangan Wilayah Desa Pantai Berbasis Perikanan Pesisir Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Tesis USU. Medan
Berkes, F. 1994. Property Rights and Coastal Fisheries, p. 51-62. In Pomeroy, R.S. (ed.) Community Management and Common Property of Coastal Fisheries in Asia and The Pasific: concepts,methods and exeriences. ICLARM Conf. Proc. 45, 189 p. Biro Pusat Statistik [BPS]. 1991. Metode Indikator Kesejahteraan Masyarakat Desa. Biro Pusat Statistik Jakarta. Bollen K.A. 1989. Structural Equations with Latent Variables. John Wiley & Sons. Inc. New York. Bungin B. 2004. Metode Penelitian Kuantitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Brown, D and S. Smith. 2005. Mainstreaming Fisheries Co-management in the Asia Pacific. FAO Regional Office for Asia and The Pacific. Bangkok. Dari website www.fao.org
194
Campling, L dan Havice, E. 2007. Industrial Development in an Island Economic : US Trade Policy and Canned Tunas Production in American Samoa. Islands Studies Journal. Vol 2, No. 2, p 209-222. Chaffee E.E. 1985. Three Models of Strategy. Academic of Management Review. 10 hal 89-98. Charles A.T. 1992. Fishery Conflicts, a Unified Framework, Marine Policy 16 (5). Clark C.W. 1985. Bioeconomic Modelling and Fisheries Management. John Wiley and Sons. Toronto Cenada. 291 p. Clark J.R. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Lewis Publishers. Cochrane K.L. 2002. A Fishery Manager’s Guidebook. Management Measures and Their Application. Senior Fishery Resources Officer. Fishery Resources Division, FAO Fisheries Department. Rome. 231pp. Dahuri, R., 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 233 hal.
Dahuri R. 2001. Menggali Potensi Kelautan dan Perikanan Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Menuju Bangsa Indonesia yang Maju, Makmur dan Berkeadilan. Makalah Pada Acara Temu Akrab CIVA-FPIK, tanggal 25 Agustus 2001. Bogor. Dahuri R. 2000. The Application Of Carrying Capacity Concept For Sustainable Coastal Resources Development In Indonesia. Center For Coastal And Marine Resources Studies (Ccmrs), Bogor Agricultural University (IPB). Bogor. Dahuri R., Rais J., Putra S., and Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (Integrated Coastal and Marine Resource Management). PT. Paradya Paramita, Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan [DKP]. 2007. Rujukan Teknis Pengembangan Desa Pesisir. Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen KP3K-DKPI RI. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan [DKP]. 2004. Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan 2001-2004. DKP, Jakarta. 96 hal. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). 2003. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP).
Departemen Perindustrian [Depprin]. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Departemen Perindustrian RI. Jakarta.
195
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, 2010, Data dan Informasi Kelautan dan Perikanan Kota Ambon. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil [KP3K]. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Desa Pesisir. Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen KP3K-DKP RI. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap [Ditjen Tangkap]. 2009. Keragaan Perikanan Tangkap di Laut di setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Jakarta. Dollinger, M. J. 1998. Hall, New York.
Entrepreuneurship, strategies and Resources., Prentice
Dunn, William N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Dutton, I.M. 1998. Personal Communication About Co-Management in Fisheries Sector. Jurnal Depdagri Vol. 12. Jakarta. Elfindri. 2002. Ekonomi Patron-klien. Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dan Kebijakan Makro. Andalas University Press. Evelyn, P. 1989. Co-Operative Management of Local Fisheries – A New Directions for Improved Management and Community Development. Jurnal of Fisheries Vol 32. Vancouver: University of British Columbia Press. Fauzi A dan Anna S. 2005. Studi Valuasi Ekonomi Perencanaan Kawasan Konservasi Selat Lembah, Sulawesi Utara. Mitra Pesisir Sulawesi Utara. Manado. Ferdinand A. 2002. Structural Equation Modeling dalam Penelitian Manajemen. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang. Food Agriculture Organization [FAO]. 2005. The State of World Fisheries and Agriculture (SOFIA). FAO. Gaspersz V. 1992. Analisis Sistem Terapan Berdasarkan Pendekatan Teknik Industri. Tarsito Press. Bandung. Griffin, and C. Ronald. 1991. The Welfare Analytics of Transaction Costs, Externalities and Institutional Choice. American Journal of Agricultural Economics, 73(3): 601-614. Hadi, U.P dan Mardianto, U. 2004. Analisis Komparasi Daya Saing Produk Ekspor Pertanian Antar Negara ASEAN Dalam Era Perdagangan Bebas AFTA. Jurnal Agro Ekonomi Vol 2 No. 1 : 46-73.
196
Hamdan, Monintja, DR., Purwanto J., Budiharsono S., dan Purbayanto A. 2006. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Buletin PSP Vol. XV. 3 : 86101. Hanley ND. and Spash C 1993. Cost-Benefic Analysis and the Environment. Edward Elgar, Cheltenham, UK. Hartoto, D. I., L. Adrianto, D. Kalikoski, and T. Yunanda (eds). 2009. Building capacity for mainstreaming fisheries co-management in Indonesia. Course book. FAO/Jakarta, DKP/Jakarta: Rome, dari website : ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/012/i0989e/i0989e.pdf Hayduk L.A. 1987. Structural Equation Modeling with LISREL. Baltimor and London. John Hopkins University Press. Hendriwan, M. F. A. Sondita, J. Haluan, dan B. Wiryawan. 2008. Analisis Optimasi Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Strategi Pengembangannya di Teluk Lampung. Buletin PSP Volume XVII No.1 April 2008. Hal 44-70. Herjanto, E. 2007. Manajemen Operasi (Edisi 3). Penerbit Grasindo. Jakarta. Hermawan M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil. Disertasi Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor Hesieh P dan Li, Y. 2009. A Cluster Prospective of the Development of the Deep Ocean Water Industry. Ocena and Coastal Management. Vol 52, p 287293. Hugh, J.M. dan Quade, E.S. 1985. Handbook of System Analysis, Overview of Uses, procedure, Applications and Practice. Cichester, John Wiley Hou W.C. 1997. Practical Marketing: An Asia Prespective. Pemasaran Praktis Cara Asia. Penerbit Mega Asia. Imron M. 2008. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Demersal Yang Berkelanjutan di Perairan Tegal, Jawa Tengah. Disertasi Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor International co-operation on fisheries and Environment [ICOFE] . 2000. Regional Co-Operation In Fisheries and Environment (edited by Line Kjelstrup et al.). Page 37 -41. Iskandar, T. 2006. Penyaluran Kredit Revolusi Biru di Rumput Laut. Infobanknews.com. 2 Oktober 2006.
197
Jusuf N. 2005. Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap Dalam Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Selatan Gorontalo. Disertasi telah di publikasikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 8 hal. Jusuf G. 1999. The Indonesian Fishery Policy. Proceedings of The 3rd JSPS International Seminar on Fisheries Science in Tropical Area. Bali Island – Indonesia, 19 – 21 August 1999. Kapp, K.C. 1990. Recursive Sustainability : Intertemporal Efficiency and Equity. Environmental Journal. Departement of Environmental Sciences. University of California. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. DKP dan CPR Kembangkan Minapolitan. http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content& task=view&id=11949&Itemid=696 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep. 32/MEN/2010 Tentang Penetapan Kawasan Minapolitan. Klapwijk, M. 1997. Rural Industry Cluster in Central Java, Indonesia. An Imperical Assessment of The Role in Rural Industrilization. Verije Universiteit. Amsterdam. Kusrin, J. 1997. Matra Laut Sebagai Sektor Andalan Abad 21: Perspektif Hankam. Proseding Workshop Program Pelita VII PUSLITBANG Oseanologi LIPI dalam Rangka Menyongsong Penelitian Kelautan Abad 21, Jakarta 2-4 April 1997. Jakarta. Leadbitter, D and Ward, T.J. 2007. An Evaluation of Systems for the Integrated Assessment of Capture Fisheries. ScienceDirect, Marine Policy Journal. Vol 31 (2007), p 458-469. Lin, R. C, 1997. Intertemporal Equity, Discounting, and Economic Efficiency in Water Policy Evaluation. Climate Change Journal Vol 37 : 41-62. Kluwel Academic Publishers. Linting M.L dan Anung A.P. 1994. Studi Penggunaan Atraktan pada Rumpon Laut Dangkal. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No. 91. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembanagn Pertanian, DEPTAN Jakarta. Hal 82 – 91. Maarif S. 2004. Analisis Hierarki Proses. Bahan Kuliah Program Studi PSL-SPS IPB. Bogor.
198
Mamuaya GE., Haluan J, Wisudo SH, dan Astika IW. 2007. Status Keberlanjutan Perikanan Tangkap di Daerah Kota Pantai : Penelaahan Kasus di Kota Manado. Buletin PSP Vol. XVI. 1 : 146-160. Manetsch P.G.W and Park. 1977. System Analysis and Simulation with Application to Economic and Social Science. Michigan State University. Mantjoro E. 1997. An Ecological and Human History of Bentenan and Tumbak Villages. Coastal Resource Management Project - Indonesia, Manado. Mangkusubroto dan Trisnadi. 1985. Metode Penelitian Pengelolaan Sumberdaya. Jakarta. Marijan, 2005. Mengembangkan Industri Kecil Menengah melalui Pendekatan Kluster. INSAN Vol 7 No. 5, Desember 2005. Martosubroto P dan Malik B.A. 1989. Potensi Sumberdaya Ikan Tuna dan Prospek Pengembangan Perikanannya. Makalah Lokakarya Perikanan Tuna. Jakarta. 5 – 6 Juni 1989, Warta Mina. Merta I.G.S dan Suhendrata T. 1991. Preferensi Makanan Ikan Cakalang, Katsuwonus pelamis di Peraiaran Sorong. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 440. Muchtar A. 1999. Kebijakaan Pengembangan Perikanan Laut di Indonesia dalam Prosiding Seminar Tentang Oseanologi dan Ilmu Lingkungan Laut. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. Hal : 1-7 Muchtar L. 1985. Hasil Penelitian. Lembaga Penelitian Pengabdian Pengembangan Ekonomi dan Sosial Masyarakat (LP 3 ES) Universitas Riau Pekanbaru. Munasinghe, M. 1993. Environment Economics and Sustainable Development. The World Bank. Washington. Musick, J. A, S. A. Berkeley, G. M. Cailliet, M. Camhi, G. Huntsman, M. Nammack, and M. L. Warren. 2008. Protection of Marine Fish Stocks at Risk of Extinction. Fisheries of Jr. Maret 2008. Monintja D.R. 2001. Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 156 hal. Nikijuluw V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R. Jakarta. Nomura, M, dan Yamazaki, T. 1975. Fishing Techniques. Japan International Cooperation Agency. 206 p.
199
Nurani TW. dan Wisudo SH. 2007. Kajian Tekno-Ekonomi Usaha Perikanan Longline untuk Fresh dan Frozen Tuna Sashimi. Buletin PSP Vol. VI. 1 : 115. OECD. 1999. Boosting Innovation: The Cluster Approach (Proceedings). Pariela, T.D, 1996. Remaking Maluku : Social Transformation in Eastern Indonesia. Special Monograph No 1. Centre for Southeast Asia Studies, Northen Territory University, Darwin, Australia Pemerintah Kota Ambon (PEMDA Ambon). 2010. Perairan Teluk Ambon Jadi Tempat Penyelenggaraan Kejurnas Selam. http://www.ambon.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 174:perairan-teluk-ambon-jadi-tempat-penyelenggaraan-kejurnasselam&Itemid=1 Pemerintah Kota Ambon, 2008. Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor : 3 Tahun 2008 Tentang Negeri di Kota Ambon Pomeroy, R. S. 1998. A Process for Community-Based Fisheries Co-Management. AFSSRNews Section. Phuket, Thailand Porter, M., 1990, The Competitive Advantages Nations, New York: Basic Books. Putra, S. 2000. Konflik Pengelolaan Sumber Daya Kelautan di Sulawesi Utara Dapat Mengancam Kelestarian Pemanfaatannya. Jurnal Depdagri Vol 12. Jakarta. Ralahalu, K.A. 2010. Maluku : Perspektif Membangun Negeri Kepulauan Berbasis Kelautan. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Bogor. Rangkuti F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Ritohardoyo, S. 2011. Karakteristik Tipe Pemukiman Pesisir Teluk Bima. Majalah Ilmiah Ulul Albab UMM, Vol. XV (1) : 1-20. Ruddle, K., E. Hviding, and R. E. Johannes. 1992. Marine Resource Management In The Context Of Customary Tenure. Marine Resource Economics, (7), pp. 249-273. Saaty T.L. 1991. Pengambilan Keputusan bagi Para Pemimpin. PT. Pustaka Binaman Pressindi. Jakarta. Sain B and Knecht R.W. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press.
200
Sarwono, J. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Setiawan I, Monintja DR., Nikijuluw VPH, dan Sondita MFA. 2007. Analisis Ketergantungan Daerah Perikanan sebagai Dasar Pelaksanaan Program Pemberdayaan Nelayan : Studi Kasus di Kabupaten Cirebon dan Indramayu. Buletin PSP Vol. XVI. 2 : 188-200. Scott, A.J and Garofoli, G. 2007. Developmnet on the Ground : Clusters, Networks, and Regions in Emerging Economies. Journal of Economic Geography. Vol 8, p 134-136. Soegijono, Simon Pieter, 2011. Papalele, Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Soumokil, Tontji, 2011, Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku. Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Tunner, R.K. 2000. Integrating Natural and Social-Economic Science in Coastal Management. Journal of Marine Systems, Vol. 25 p 447-460 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Utami, Santi Muji, 2010. Kebutuhan Dasar dan Perilaku Masyarakat, Studi Sosial Masyarakat Pesisir Kota Semarang. Ekslanasi, Volume 5 Nomor 1 Edisi Maret 2010. Vanden, T. 2001. Gereja di Maluku pada Zaman VOC (1605 - ±1800). PT. BPK Gunung Mulia. Jakarta. http://www.sabda.org/sejarah/artikel/ gereja_di_maluku_pada_zaman_voc.htm Whitehead P.J.P. 1985. FAO Species Catalogue.Vol 7 Clupeid Fisheries of The World. FAO Fish. Synop. 7 (25) Pty. 1 : 303. Widodo, J., Aziz, K. A., Priyono, B. E., Tampubolon, G. H., Naamin, N., Djamali, A. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 251 hal. Widodo, J. dan S. Nurhakim. 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Training of Trainers of Fisheries Resource Management. Hotel Golden Clarion. Jakarta. Wilson S. 1999. Fisheries Impact Assessment. Theme Part an Associated Development. ERM Hongkong. Hongkong. P 9: 1-13. Yusran, A. Setiawan, A. Haris, A.Santoso, F. Djufry, F. Hamzah, H. Winarsi, H. Hernawan, Imron, L. Siahaineia, Mahfudz, M. Efendy, M. Sultan, N.
201
Subandi, Pujiyanto, R. Latief, S. Tubalawony, dan Wardah. 2001. Tinjauan Ekonomi dan Ekologi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dalam Perspektif Otonomi Daerah. Http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/grp_paper01/ kel2_012.htm Zulham, A. 2007. Assessment Kluster Perikanan (Studi Pengembangan Kluster Rumput Laut Kabupaten Sumenap). BBRSEKP. Jakarta.
203 Lampiran 1 Foto-foto dokumentasi penelitian lapang
204 Lampiran 2 : Indikator & Atribut Variabel Status Desa Pesisir No. Urt
• 1
INDIKATOR/KRI TERIA DESA
DESKRIPSI INDIKATOR/KRITE RIA
VARIABEL USAHA PERIKANAN Unit usaha Indikator ini memberi gambaran mengenai penangkapan keberadaan usaha penangkapan ikan di sebuah desa, baik usaha yang bersifat tradisional maupun skala industri (perusahaan perikanan besar)
2
Unit usaha budidaya
Indikator ini memberi gambaran mengenai keberadaan usaha budidaya perikanan di sebuah desa. Usaha budidaya yang dimaksud meliputi budidaya ikan maupun nok ikan.
3
Unit usaha pengolahan
Indikator ini memberi gambaran mengenai keberadaan usaha pengolahan hasil perikanan di sebuah desa. Usaha pengolahan yang dimaksud ialah pengolahan ikan maupun non ikan dalam berbagai jenis pengolahan.
4
Unit usaha pemasaran
Indikator ini memberi gambaran mengenai keberadaan usaha pemasaran hasil
CARA PENGUKU RAN
• Tidak ada usaha perikana n tangkap =1 • Hanya ada UPT tradision al = 2 • Ada UPT Tradision al & Industri = 3 • Tidak ada usaha budidaya =1 • Hanya ada salah satu jenis budidaya (ikan/non ikan) = 2 • Ada budidaya ikan dan non ikan =3 • Tidak ada usaha pengolah an = 1 • Hanya ada 1 jenis usaha pengolah an = 2 • Ada lebih dari 1 jenis usaha pengolah an = 3 • Tidak ada usaha pemasar an
JENIS & SUMBER DATA
Keterangan Pencapaian Skor
• Data untuk indikator ini ialah data usaha perikanan yang tradisional (nelayan pesisir) dan usaha perikanan industri (perusahaan perikanan besar) tiap desa • Data diperoleh melalui wawancara (kuesioner 1) dgn aparat desa masingmasing
Desa yang memperoleh skor tinggi (3), berarti di desa tersebut usaha perikanan tangkap nya sudah maju. Demikian sebaliknya.
• Jenis data indikator ini ialah jenis budi daya yang ada di desa, apakah hanya 1 jenis (misalnya hanya ikan/rumput laut) atau lebih dr 1 jenis budidaya • Data diperoleh melalui wawancara (kuesioner 1) dgn aparat desa masingmasing
Desa yang memperoleh skor tinggi (3), berarti di desa tersebut usaha budidaya nya sudah maju. Demikian sebaliknya.
• Jenis data indikator ini ialah keragaman jenis usaha pengolahan hasil perikanan (tangkap & budidaya) • Data diperoleh melalui wawancara (kuesioner 1) dgn aparat desa masingmasing.
Desa yang memperoleh skor 3, artinya usaha pengolahan nya sudah maju. Demikian sebaliknya.
• Jenis data indikator ini ialah jenis usaha maupun sarana pemasaran hasil perikanan (tangkap & budidaya) yang ada di tiap
Desa yang memperoleh skor 3, berarti aspek pemasaran hasil
205 perikanan atau fasilitas pasar/tempat pelelangan ikan di sebuah desa.
•
•
5
Teknologi produksi
Indikator ini memberi gambaran mengenai teknologi perikanan (baik penangkapan, budidaya, maupun pengolahan) yang rata-rata digunakan oleh nelayan/masyarakat di desa tersebut.
•
•
•
6
Metode operasi
Indikator ini memberi gambaran mengenai rata-rata metode operasi penngkapan ikan, budidaya maupun pengolahan yang digunakan oleh nelayan/ masyarakat di tiap desa
•
•
maupun pasar ikan/TPI =1 Ada salah satu (usaha pemasar an/pasar ikan/TPI) =2 Ada semuany a (usaha pemasar an + pasar ikan/TPI) =3 Peralata n tradision al yang digunaka n=1 Peralata n yang semimoderen (penggun aan teknologi baru dikombin asi dengan cara tradision al) = 2 Menggun akan peralatan yang moderen =3 Menggun akan cara operasi secara turuntemurun =1 Menggun akan cara operasi yang sedikit di modifikas i dari cara turuntemurun =2
desa.
• Data diperoleh melalui
wawancara (kuesioner 1) dgn aparat desa masingmasing
produksi perikanan di desa tersebut sudah maju.
• Jenis data indikator ini ialah jenis teknologi perikanan yang digunakan oleh nelayan/pembudi daya di tiap desa • Data diperoleh melalui wawancara (kuesioner 2) dgn perwakilan nelayan/pembudidaya.
Desa yang memperoleh skor 3, berarti teknologi perikanan yang digunakan oleh rata-rata nelayan dalam penangkapan/ pengolahan/pema saran sudah maju.
• Jenis data indikator ini ialah metode/cara penangkapan/budidaya/pe ngolahan yang digunakan oleh usaha perikanan yang ada i tiap desa. • Data diperoleh melalui wawancara (kuesioner 2) dgn perwakilan nelayan/pembudidaya.
Desa yang mendapat skor 3, menggambarkan bahwa rata-rata nelayan di desa tersebut sudah maju dalam aktivitas usaha penangkapan/bud idaya/ pengolahan di desa tersebut.
206
•
• Selalu mengado psi metode baru dalam operasi, termasuk memanfa atkan hasil riset yan relevan = 3 VARIABEL SARANA PENDUKUNG/PENUNJANG AKTIVITAS USAHA PERIKANAN Indikator ini 1 Pabrik Es • Tidak ada • Jenis data indikator ini pabrik es = 1 ialah tentang ada atau penting dalam tidaknya pabrik es di • Ada pabrik es = menunjang sebuah desa. 2 kegiatan • Data diperoleh melalui • Ada pabrik es usaha wawancara (kuesioner 1) dan cold perikanan, dgn tokoh masyarakat storage = 3 karena terkait terpilih dr tiap desa secara dengan purposive kualitas produk perikanan. Sehingga keberadaan pabrik es di sebuah desa akan sangat membantu aktivitas perikanan di desa tersebut. 2
Koperasi
Indikator ini memberi gambaran mengenai keberadaan lembaga penunjang aktivitas usaha perikanan. Keberadaan koperasi, terutama koperasi perikanan, akan sangat membantu pengembanga n usaha perikanan di sebuah desa.
• Tidak ada koperasi = 1 • Hanya ada koperasi umum =2 • Ada koperasi perikanan = 3
• Jenis data indikator ini ialah tentang ada atau tidaknya koperasi (koperasi umum maupun koperasi perikanan) di setiap desa. • Data diperoleh dari Dinas Koperasi & Usaha Kecil Menengah Pemkot Ambon (data sekunder)
Desa yang mendapat skor 3, berarti ada pabrik es dan cold storage di desa tersebut. Sehingga menjadi jaminan kualitas hasil perikanan dari desa tersebut.
Desa yang mendapat skor 3, menggambarkan koperasi ber-kembang baik di desa tersebut, termasuk koperasi perikanan yg secara khusus membantu pembiayaan usaha penangkapan, budidaya, pengolahan, dan pemasaran hasil perikanan.
207 3
•
Bank & Lembaga Keu-angan Lain
Indikator ini memberi gambaran mengenai keberadaan bank & lembaga keuangan lain di sebuah desa. Keberadaan bank dan lembaga keuangan lain di sebuah desa, sangat membantu kebutuhan pembiayaan bagi usaha koperasi. Lembaga keuangan lain yang dimaksud, ialah pegadaian, koperasi simpan pinjam, maupun lembaga keuangan mikro dan sejenisnya.
• Tidak ada bank/lembaga keu. lain = 1 • Ada bank/lembaga keuangan lain = 2 • Ada bank dan juga lembaga keuangan lain = 3
• Jenis data indikator ini ialah ada tidaknya bank maupun lembaga keuangan bukan bank, termasuk lembaga keuangan mikro, di tiap desa • Data diperoleh dari Bank Indonesia Cabang Ambon & Dinas Koperasi & UKM Ambon (data sekunder)
Desa yang memperoleh skor 3, menunjukan bahwa usaha perikanan di desa memiliki kemudahan dalam mengakses sumber pembiayaan untuk kelancaran aktivitas usahanya sekarang maupun pengembanga n di masa yang akan datang.
VARIABEL SOSIAL-BUDAYA
1 Spesifikasi Mata Pencaharian Penduduk di Bidang Perikanan
Indikator ini menggambarkan keberadaan penduduk sebuah desa yang bekerja atau mempunyai mata pencaharian yang variatif/beragam di bidang perikanan, baik penangkapan, budidaya, maupun pengolahan.
• Tidak ada yang bekerja di bidang perikanan =1 • Hanya ada yg bekerja di salah satu jenis usaha perikanan (penangkapa n/ budidaya/pen golahan) = 2 • Ada yg bekerja lebih dari satu jenis usaha perikanan (penangkapa n dan budidaya/ pengolahan) =3
• Jenis data indikator ini adalah data tentang keragaman mata pencaharian penduduk dibidang usaha perikanan. • Data diperoleh melalui wawancara (kuesioner 1) dgn aparat desa setempat.
Desa yang mendapatk an skor 3, berarti penduduk di desa tersebut yang bekerja di ketiga jenis usaha perikanan, dan sekaligus mencermin kan beragam nya mata pencarian penduduk
208 di usaha perikanan 2 Kualitas SDM Desa
Indikator ini menggambarkan rata-rata tingkatan pendidikan SDM desa
• Tidak Sekolah & SD = 1 • SMP & SMA (sederajat) = 2 • Perguruan Tinggi = 3
• Jenis data indikator ini ialah data jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan nya di setiap desa. • Data berasal dari statistis desa & kecamatan
Desa yg memperole h skor 3 menggamb ar-kan ratarata tingkat pendidikan SDM desa tersebut tinggi.
3 Kualitas TK Usaha perikanan
Indikator ini menggambarkan kualitas SDM yang bekerja di sektor/bidang perikanan
• Tidak Sekolah & SD = 1 • SMP & SMA (sederajat) = 2 • Perguruan Tinggi = 3
• Jenis data indikator ini ialah jumlah nelayan menurut tingkat pendidikan nya di setiap desa • Data indikator ini berasal dari wawancara dengan aparat desa dan perwakilan nelayan/pembudidaya/pe ngolahan/penjual ikan
Desa yg memperoleh skor 3, menggamb arkantinggi nya kualitas SDM yang bekerja di bidang perikanan di desa tersebut
4 Asal TK usaha perikanan
Indikator ini menggambarkan kemampuan usaha perikanan di sebuah desa memberi/menyerap tenaga kerja di desa nya
• Berasal dari luar kecamatan = 1
• Jenis data indikator ini adalah jumlah dan asal nelayan yg bekerja pada usaha perikanan di sebuah desa • Data indikator ini diperoleh dari kuesioner 2 yg khusus kepada pemilik usaha perikanan di setiap desa
Desa yg memperoleh skor 3, menggamb arkan usaha perikanan di desa tersebut mampu menyerap tenaga kerja di desa nya.
• Berasal dari desa tetangga dlm kecamatan = 2 • Berasal dari desa sendiri =3
209 5 Tempat penjualan alat produksi/pen golahan
Indikator ini menggambarkan ketersedian pasokan kebutuhan alat produksi/penangkapan/budida ya/pengolahan di setiap desa.
• Tidak ada toko/kios penjualan alat tangkap/prod uksi = 1 • Hanya ada yang menjual alat tangkap/alat budidaya/alat pengolahan saja = 2 • Ada toko/kios yang menjual semua jenis alat tangkap/prod uksi dan alat pendukung produksi = 3
• Jenis data indikator ini adalah keberadaan toko/kios penjual alat produksi perikanan di tiap desa • Datanya diperoleh dari wawancara aparat desa (kuesioner 1)
Desa yg memperoleh skor 3, menggamb arkan ketersediaa n pasokan alat produksi dan alat pendukung produksi perikanan yang lengkap di desa tersebut
6 Tata nilai dalam menjalankan usaha perikan-an
Indikator ini menggambarkan keterikatan/kepatuhan nelayan di sebuah desa terhadap adat-istiadat dalam menjalankan aktivitas usaha perikanan
• Masih/sangat kuat memegang adat-istiadat dlm menjalankan aktivitas usaha perikanan = 1 • Adat hanya dalam hal tertentu saja, dan sudah mulai terbuka =2 • Lepas dari adat-istiadat, terjadi perubahan pola pikir sesuai perkembang an/dinamika sosial = 3
• Jenis data indikator ini adalah pendapat nelayan mengenai keterikatan nya terhadap adatistiadat di desa nya. • Data diperoleh dari wawancara dengan nelayan (kuesioner 2)
Desa yg memperoleh skor 3, menggamb arkan bahwa masyarakat (khususnya nelayan) di desa tersebut sudah tidak terikat pada adat istiadat dalam aktivitas usaha perikanan nya.
7 Pembauran etnis dalam masyarakat
Indikator ini menggambarkan tingkat keterbukaan masyarakat dalam berinteraksi antar etnis
• Hanya 1 etnis di desa tsb = 1
• Jenis data indikator ini tentang banyaknya/keragaman etnis yang berada di sebuah desa • Data diperoleh dari wawancara dengan tokoh masyarakat (kuesioner 1)
Desa yang memperoleh skor 3, menggamb arkan bahwa desa tersebut didiami oleh multi etnis
• Ada beberapa etnis, tetapi ada 1 etnis yang dominan = 2 • Banyak etnis, tidak ada etnis yg dominan = 3
210 8 Penga-wasan sosial
Indikator ini untuk menggambarkan tingkat kemampuan/keperdulian masyarakat dalam mengamankan peralatan produksi perikanan
• Dilakukan oleh keluarga nelayan = 1 • Dilakukan oleh pihak keamanan bentukan pemerintah/N egara = 2 • Organisasi bentukan masyarakat = 3
• Jenis data indicator ini tentang pihak-pihak di desa yang mengamankan alat produksi nelayan di desa tersebut. • Data diperoleh dari wawancara dengan tokoh masyarakat (kuesioner 1)
Desa yang memperoleh skor 3, menggamb arkan bahwa keluarga nelayan berperan aktif dalam mengaman kan alat produksi nelayannya .
Sumber : Modifikasi dari BPS (1991), DKP (2007), DKP (2006), dan Permen KP Nomor 32/MEN/2010
Lampiran 3. Hasil Analisis BCA Gillnet Hanyut Desa Waihaong Tahun Proyek Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
-
-
-
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
80,434,140.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa
80,434,140.00 -
Jumlah Pemasukan
0.00
80,434,140.00
80,434,140.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Gillnet 0,1 GT
2,100,000.00
2.1.2 Gillnet Hanyut
2,900,000.00
2.1.3 Mesin Kapal
2,900,000.00
0.00
Sub-Jumlah
5,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2,900,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.7 Ransum
2,622,828.00
Sub-Jumlah
2,622,828.00
2,622,828.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
0.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
283,000.00
2.3.3 Perawatan mesin
0.00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 1/3 (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
283,000.00 5,000,000.00 5,000,000.00
5,000,000.00 5,000,000.00
2,622,828.00
2,622,828.00
2,622,828.00
2,622,828.00
2,622,828.00
2,622,828.00
2,622,828.00
2,622,828.00
2,622,828.00
2,622,828.00
2,622,828.00
2,622,828.00
2,622,828.00
-
-
-
-
-
-
-
283,000.00
283,000.00
283,000.00
283,000.00
283,000.00
283,000.00
283,000.00
-
-
-
-
-
-
-
283,000.00
283,000.00
283,000.00
283,000.00
283,000.00
283,000.00
283,000.00
2,622,828.00 2,622,828.00
2,622,828.00 2,622,828.00
0.00
0.00
283,000.00
283,000.00
0.00
0.00
283,000.00
283,000.00
2,905,828.00
2,905,828.00
2,905,828.00
2,905,828.00
5,805,828.00
2,905,828.00
2,905,828.00
2,905,828.00
2,905,828.00
2,905,828.00
77,528,312.00
77,528,312.00
77,528,312.00
77,528,312.00
74,628,312.00
77,528,312.00
77,528,312.00
77,528,312.00
77,528,312.00
77,528,312.00
25,842,770.67
25,842,770.67
25,842,770.67
25,842,770.67
24,876,104.00
25,842,770.67
25,842,770.67
25,842,770.67
25,842,770.67
25,842,770.67
28,748,598.67
28,748,598.67
28,748,598.67
28,748,598.67
30,681,932.00
28,748,598.67
28,748,598.67
28,748,598.67
28,748,598.67
28,748,598.67
51,685,541.33
51,685,541.33
51,685,541.33
51,685,541.33
49,752,208.00
51,685,541.33
51,685,541.33
51,685,541.33
51,685,541.33
51,685,541.33
509,922,080.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
75,702,720.00
71,249,618.82
67,058,464.78
63,113,849.20
59,401,269.84
55,907,077.49
52,618,425.87
49,523,224.35
46,610,093.51
43,868,323.30
PC
5,000,000.00 5,000,000.00
27,057,504.63
25,465,886.71
23,967,893.37
22,558,017.29
22,658,857.57
19,982,188.33
18,806,765.48
17,700,485.16
16,659,280.15
15,679,322.50
48,645,215.37
45,783,732.12
43,090,571.40
40,555,831.91
36,742,412.27
35,924,889.16
33,811,660.39
31,822,739.19
29,950,813.36
28,189,000.81
6.25%
PV BCA
2.71
211
212
Lampiran 4. Hasil Analisis BCA Gillnet Dasar Desa Seilale Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa
20,880,000.00
20,880,000.00
-
Jumlah Pemasukan
0.00
20,880,000.00
-
20,880,000.00
20,880,000.00
-
20,880,000.00
20,880,000.00
20,880,000.00
-
20,880,000.00
20,880,000.00
20,880,000.00
20,880,000.00
20,880,000.00
20,880,000.00
20,880,000.00
20,880,000.00
20,880,000.00
-
20,880,000.00
20,880,000.00
20,880,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Gillnet
2,500,000.00
2.1.2 Gillnet
850,000.00
2.1.3 Mesin Kapal
850,000.00
0.00
Sub-Jumlah
3,350,000.00
850,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.7 Ransum
2,880,000.00
Sub-Jumlah
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00 2,880,000.00
2,880,000.00 2,880,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
200,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
1,110,000.00
2.3.3 Perawatan mesin
0.00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 0 % (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
1,310,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
1,110,000.00
1,110,000.00
1,110,000.00
1,110,000.00
1,110,000.00
1,110,000.00
1,110,000.00
-
-
-
-
-
-
-
1,310,000.00
1,310,000.00
1,310,000.00
1,310,000.00
1,310,000.00
1,310,000.00
1,310,000.00
200,000.00
200,000.00
1,110,000.00
1,110,000.00
0.00
0.00
1,310,000.00
1,310,000.00
3,350,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
5,040,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
-3,350,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
15,840,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3,350,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
5,040,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
4,190,000.00
-3,350,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
15,840,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
16,690,000.00
162,700,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
19,651,764.71
18,495,778.55
17,407,791.57
16,383,803.83
15,420,050.67
14,512,988.86
13,659,283.64
12,855,796.36
12,099,573.05
11,387,833.46
PC
3,350,000.00
3,943,529.41
3,711,557.09
3,493,230.21
3,287,746.08
3,722,081.20
2,912,328.70
2,741,015.25
2,579,779.06
2,428,027.35
2,285,202.21
PV
-3,350,000.00
15,708,235.29
14,784,221.45
13,914,561.37
13,096,057.76
11,697,969.47
11,600,660.16
10,918,268.39
10,276,017.30
9,671,545.70
9,102,631.24
6.25%
BCA
4.41
Lampiran 5. Hasil Analisis BCA Jaring Dasar Desa Batu Merah Tahun Proyek Uraian
0
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa
1
2
7,200,000.00
7,200,000.00
-
Jumlah Pemasukan
0.00
3
-
7,200,000.00
4
7,200,000.00
7,200,000.00
-
7,200,000.00
5
6
7,200,000.00
-
7,200,000.00
7
7,200,000.00
8
9
10
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
0.00
0.00
300,000.00
300,000.00
-
7,200,000.00
7,200,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Gillnet 2.1.2 Gillnet Hanyut 2.1.3 Mesin Kapal Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional
500,000.00 1,000,000.00
1,000,000.00
0.00 1,500,000.00
2.2.7 Ransum
0.00
1,200,000.00
Sub-Jumlah
1,200,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 0 % (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
0.00
0.00
0.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
-
300,000.00 0.00
0.00
300,000.00
-
-
300,000.00 -
1,000,000.00
1,200,000.00 1,200,000.00
300,000.00
-
-
300,000.00
-
300,000.00
-
-
1,200,000.00 1,200,000.00
300,000.00
-
300,000.00 -
0.00
0.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
2,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
-1,500,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
4,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
2,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
-1,500,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
4,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
3,926,839.12
54,500,000.00 1.00
0.94
0.89
0.83
PB
0.00
6,776,470.59
6,377,854.67
6,002,686.75
5,649,587.53
5,317,258.85
5,004,478.92
4,710,097.81
4,433,033.23
4,172,266.57
PC
1,500,000.00
1,411,764.71
1,328,719.72
1,250,559.74
1,176,997.40
1,846,270.43
1,042,599.77
981,270.38
923,548.59
869,222.20
818,091.48
PV
-1,500,000.00
5,364,705.88
5,049,134.95
4,752,127.01
4,472,590.13
3,470,988.42
3,961,879.14
3,728,827.43
3,509,484.64
3,303,044.37
3,108,747.64
6.25%
BCA
3.98
213
214
Lampiran 6. Hasil Analisis BCA Jaring Dasar Desa Benteng Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
-
-
-
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
230,400,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
230,400,000.00 -
0.00
230,400,000.00
230,400,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Gillnet 2.1.2 Gillnet Hanyut 2.1.3 Mesin Kapal Sub-Jumlah
1,000,000.00 850,000.00
850,000.00
0.00 1,850,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
850,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.2 Bensin
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
2.2.5 Es balok
8,064,000.00
8,064,000.00
8,064,000.00
8,064,000.00
8,064,000.00
8,064,000.00
8,064,000.00
8,064,000.00
8,064,000.00
8,064,000.00
2.2.7 Ransum
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
2,880,000.00
Sub-Jumlah
23,904,000.00
23,904,000.00
23,904,000.00
23,904,000.00
23,904,000.00
23,904,000.00
23,904,000.00
23,904,000.00
23,904,000.00
23,904,000.00
500,000.00
500,000.00
0.00
0.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.2 Perawatan alat tangkap
500,000.00
2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 % (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
0.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
-
-
-
-
-
-
-
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
1,850,000.00
24,404,000.00
24,404,000.00
24,404,000.00
24,404,000.00
25,254,000.00
24,404,000.00
24,404,000.00
24,404,000.00
24,404,000.00
24,404,000.00
-1,850,000.00
205,996,000.00
205,996,000.00
205,996,000.00
205,996,000.00
205,146,000.00
205,996,000.00
205,996,000.00
205,996,000.00
205,996,000.00
205,996,000.00
61,798,800.00
61,798,800.00
61,798,800.00
61,798,800.00
61,543,800.00
61,798,800.00
61,798,800.00
61,798,800.00
61,798,800.00
61,798,800.00
86,202,800.00
86,202,800.00
86,202,800.00
86,202,800.00
86,797,800.00
86,202,800.00
86,202,800.00
86,202,800.00
86,202,800.00
86,202,800.00
144,197,200.00
144,197,200.00
144,197,200.00
144,197,200.00
143,602,200.00
144,197,200.00
144,197,200.00
144,197,200.00
144,197,200.00
144,197,200.00
1,850,000.00 -1,850,000.00
1,439,527,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
216,847,058.82
204,091,349.48
192,085,975.98
180,786,800.92
170,152,283.22
160,143,325.39
150,723,129.78
141,857,063.32
133,512,530.18
125,658,851.94
PC
1,850,000.00
81,132,047.06
76,359,573.70
71,867,834.07
67,640,314.42
64,100,884.76
59,916,679.90
56,392,169.32
53,074,982.89
49,952,925.07
47,014,517.72
PV
-1,850,000.00
135,715,011.76
127,731,775.78
120,218,141.91
113,146,486.50
106,051,398.46
100,226,645.48
94,330,960.46
88,782,080.43
83,559,605.11
78,644,334.22
BCA
2.66
Lampiran 7. Hasil Analisis BCA Jaring Hanyut Desa Pandan Kasturi Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
24,000,000.00
24,000,000.00
0.00
24,000,000.00
-
24,000,000.00
24,000,000.00
-
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
-
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
-
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal
1,000,000.00
2.1.2 Jaring Hanyut
2,400,000.00
2.1.3 Mesin Kapal
1,750,000.00
Sub-Jumlah
5,150,000.00
2,400,000.00
0.00
0.00
2,400,000.00
2,400,000.00
0.00
0.00
2,400,000.00
2,400,000.00
0.00
0.00
2,400,000.00
0.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.2 Bensin
1,080,000.00
1,080,000.00
1,080,000.00
1,080,000.00
1,080,000.00
1,080,000.00
1,080,000.00
1,080,000.00
1,080,000.00
1,080,000.00
2.2.7 Ransum
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
Sub-Jumlah
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
0.00
0.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
0.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 1/3 (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
-
-
-
-
-
-
-
25,000.00
25,000.00
25,000.00
25,000.00
25,000.00
25,000.00
25,000.00
25,000.00
25,000.00
25,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
225,000.00
225,000.00
225,000.00
225,000.00
225,000.00
225,000.00
225,000.00
225,000.00
225,000.00
225,000.00
5,150,000.00
3,705,000.00
3,705,000.00
6,105,000.00
3,705,000.00
3,705,000.00
6,105,000.00
3,705,000.00
3,705,000.00
6,105,000.00
3,705,000.00
-5,150,000.00
20,295,000.00
20,295,000.00
17,895,000.00
20,295,000.00
20,295,000.00
17,895,000.00
20,295,000.00
20,295,000.00
17,895,000.00
20,295,000.00
6,765,000.00
6,765,000.00
5,965,000.00
6,765,000.00
6,765,000.00
5,965,000.00
6,765,000.00
6,765,000.00
5,965,000.00
6,765,000.00
10,470,000.00
10,470,000.00
12,070,000.00
10,470,000.00
10,470,000.00
12,070,000.00
10,470,000.00
10,470,000.00
12,070,000.00
10,470,000.00
13,530,000.00
13,530,000.00
11,930,000.00
13,530,000.00
13,530,000.00
11,930,000.00
13,530,000.00
13,530,000.00
11,930,000.00
13,530,000.00
5,150,000.00 -5,150,000.00
125,350,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
22,588,235.29
21,259,515.57
20,008,955.83
18,831,958.43
17,724,196.17
16,681,596.39
15,700,326.02
14,776,777.43
13,907,555.23
13,089,463.74
PC
5,150,000.00
9,854,117.65
9,274,463.67
10,062,837.37
8,215,441.86
7,732,180.58
8,389,452.85
6,849,267.23
6,446,369.15
6,994,341.32
5,710,278.56
PV
-5,150,000.00
12,734,117.65
11,985,051.90
9,946,118.46
10,616,516.56
9,992,015.59
8,292,143.54
8,851,058.79
8,330,408.28
6,913,213.91
7,379,185.19
BCA
2.06
215
216
Lampiran 8 Hasil Analisis BCA Handline Desa Lateri Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
-
-
-
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat tangkap handline 2.1.3 Mesin kapal Sub-Jumlah
1,323,900.00 44,000.00
44,000.00
44,000.00
44,000.00
0.00 1,367,900.00
0.00
0.00
44,000.00
0.00
0.00
44,000.00
0.00
0.00
44,000.00
0.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah
1,440,000.00
1,440,000.00
1,440,000.00
1,440,000.00
1,440,000.00
1,440,000.00
1,440,000.00
1,440,000.00
1,440,000.00
1,440,000.00
2.2.7 Ransum
1,800,000.00
1,800,000.00
1,800,000.00
1,800,000.00
1,800,000.00
1,800,000.00
1,800,000.00
1,800,000.00
1,800,000.00
1,800,000.00
Sub-Jumlah
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
2.3 Biaya perawatan Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1,367,900.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,284,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,284,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,284,000.00
3,240,000.00
-1,367,900.00
26,760,000.00
26,760,000.00
26,716,000.00
26,760,000.00
26,760,000.00
26,716,000.00
26,760,000.00
26,760,000.00
26,716,000.00
26,760,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,284,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,284,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,284,000.00
3,240,000.00
26,760,000.00
26,760,000.00
26,716,000.00
26,760,000.00
26,760,000.00
26,716,000.00
26,760,000.00
26,760,000.00
26,716,000.00
26,760,000.00
Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
1,367,900.00 -1,367,900.00
239,340,100.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
28,235,294.12
26,574,394.46
25,011,194.79
23,539,948.04
22,155,245.21
20,851,995.49
19,625,407.52
18,470,971.79
17,384,444.03
16,361,829.68
PC
1,367,900.00
3,049,411.76
2,870,034.60
2,737,892.12
2,542,314.39
2,392,766.48
2,282,598.44
2,119,544.01
1,994,864.95
1,903,017.14
1,767,077.61
PV
-1,367,900.00
25,185,882.35
23,704,359.86
22,273,302.67
20,997,633.65
19,762,478.73
18,569,397.05
17,505,863.51
16,476,106.83
15,481,426.89
14,594,752.07
BCA
8.72
Lampiran 9. Hasil Analisis BCA Pancing Tonda Desa Urimesing Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan 2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Pancing Tonda (Fiber) 2.1.2 Alat Tangkap Pancing 2.1.3 Mesin Kapal 15 PK Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional
0
0
0.00
1
2
3
4
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
-
-
-
-
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
5
6
338,220,000.00
7
338,220,000.00
8
9
10
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
338,220,000.00
2,850,000.00 1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
0.00
1,750,000.00
0.00
1,750,000.00
2.2.1 Minyak tanah
129,600,000.00
129,600,000.00
129,600,000.00
129,600,000.00
129,600,000.00
129,600,000.00
2.2.2 Bensin
24,300,000.00
24,300,000.00
24,300,000.00
24,300,000.00
24,300,000.00
24,300,000.00
2.2.3 Solar
-
-
-
-
2.2.4 Oli
13,500,000.00
13,500,000.00
13,500,000.00
13,500,000.00
2.2.5 Es balok
2,520,000.00
2,520,000.00
2,520,000.00
2,520,000.00
2.2.6 Air tawar
-
-
-
2.2.7 Ransum
4,500,000.00
4,500,000.00
4,500,000.00
Sub-Jumlah 2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin
174,420,000.00
174,420,000.00
174,420,000.00
174,420,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
1,000,000.00
1,000,000.00
1,000,000.00
1,000,000.00
1,000,000.00
Jumlah
1,750,000.00
3,500,000.00 0.00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK )
11
8,100,000.00
1,000,000.00
-
13,500,000.00
0.00
129,600,000.00 24,300,000.00 -
1,750,000.00
0.00
1,750,000.00
0.00
129,600,000.00
129,600,000.00
129,600,000.00
129,600,000.00
24,300,000.00
24,300,000.00
24,300,000.00
24,300,000.00
-
-
-
-
13,500,000.00
13,500,000.00
13,500,000.00
13,500,000.00
13,500,000.00
13,500,000.00
2,520,000.00
2,520,000.00
2,520,000.00
2,520,000.00
2,520,000.00
2,520,000.00
2,520,000.00
-
-
-
-
-
-
-
4,500,000.00
4,500,000.00
4,500,000.00
4,500,000.00
4,500,000.00
4,500,000.00
4,500,000.00
174,420,000.00
174,420,000.00
174,420,000.00
174,420,000.00
174,420,000.00
-
174,420,000.00
4,500,000.00 174,420,000.00
1,000,000.00
1,000,000.00
450,000.00 300,000.00
450,000.00 300,000.00
450,000.00 300,000.00
1,000,000.00
1,000,000.00
1,000,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
1,750,000.00
8,100,000.00
176,170,000.00
177,920,000.00
176,170,000.00
177,920,000.00
176,170,000.00
177,920,000.00
176,170,000.00
177,920,000.00
176,170,000.00
177,920,000.00
176,170,000.00
-8,100,000.00
162,050,000.00
160,300,000.00
162,050,000.00
160,300,000.00
162,050,000.00
160,300,000.00
162,050,000.00
160,300,000.00
162,050,000.00
160,300,000.00
162,050,000.00
81,025,000.00
80,150,000.00
81,025,000.00
80,150,000.00
81,025,000.00
80,150,000.00
81,025,000.00
80,150,000.00
81,025,000.00
80,150,000.00
81,025,000.00
8,100,000.00
257,195,000.00
258,070,000.00
257,195,000.00
258,070,000.00
257,195,000.00
258,070,000.00
257,195,000.00
258,070,000.00
257,195,000.00
258,070,000.00
257,195,000.00
217
218
Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
-8,100,000.00
81,025,000.00
80,150,000.00
81,025,000.00
80,150,000.00
81,025,000.00
80,150,000.00
81,025,000.00
80,150,000.00
81,025,000.00
80,150,000.00
81,025,000.00
878,800,000.00 1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
0.51
PB
0.00
318,324,705.88
299,599,723.18
281,976,210.05
265,389,374.17
249,778,234.51
235,085,397.19
221,256,844.41
208,241,735.92
195,992,222.04
184,463,267.80
173,612,487.34
PC
8,100,000.00
242,065,882.35
228,601,799.31
214,425,141.46
202,498,479.66
189,940,609.74
179,375,815.90
168,251,889.59
158,893,456.30
149,039,736.11
140,749,912.84
132,021,357.94
PV
-8,100,000.00
76,258,823.53
70,997,923.88
67,551,068.59
62,890,894.51
59,837,624.77
55,709,581.29
53,004,954.82
49,348,279.62
46,952,485.93
43,713,354.96
41,591,129.40
6.25%
BCA
1.31
Lampiran 10. Hasil Analisis BCA Jaring Hanyut Desa Silale Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa
38,880,000.00 -
Jumlah Pemasukan
0.00
38,880,000.00 -
38,880,000.00
38,880,000.00 -
38,880,000.00
38,880,000.00
38,880,000.00
-
38,880,000.00
38,880,000.00
38,880,000.00
38,880,000.00
38,880,000.00
38,880,000.00
38,880,000.00
38,880,000.00
38,880,000.00
38,880,000.00
-
38,880,000.00
38,880,000.00
38,880,000.00
5,760,000.00
5,760,000.00
5,760,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Gillnet 0,1 GT
1,000,000.00
2.1.2 Gillnet Hanyut
2,000,000.00
2.1.3 Mesin Kapal
0.00
Sub-Jumlah
3,000,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.7 Ransum
5,760,000.00
Sub-Jumlah
5,760,000.00
5,760,000.00 5,760,000.00
5,760,000.00 5,760,000.00
5,760,000.00
5,760,000.00
5,760,000.00
5,760,000.00 5,760,000.00
5,760,000.00 5,760,000.00
5,760,000.00
5,760,000.00
5,760,000.00
5,760,000.00
600,000.00
600,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.2 Perawatan alat tangkap
600,000.00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
3,000,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
-3,000,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Bagi Hasil ABK 0 % (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
3,000,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
6,360,000.00
-3,000,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
32,520,000.00
322,200,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
0.00
36,592,941.18
34,440,415.22
32,414,508.45
30,507,772.66
28,713,197.79
27,024,186.16
25,434,528.15
23,938,379.43
22,530,239.47
21,204,931.26
6.25% PB PC
3,000,000.00
5,985,882.35
5,633,771.63
5,302,373.30
4,990,468.98
4,696,911.98
4,420,623.04
4,160,586.39
3,915,846.02
3,685,502.14
3,468,707.89
PV
-3,000,000.00
30,607,058.82
28,806,643.60
27,112,135.15
25,517,303.67
24,016,285.81
22,603,563.11
21,273,941.75
20,022,533.42
18,844,737.33
17,736,223.37
BCA
5.74
219
220
Lampiran 11. Hasil Analisis BCA Handline Desa Hunut Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa
69,000,000.00
69,000,000.00
-
Jumlah Pemasukan
0.00
69,000,000.00
-
69,000,000.00
69,000,000.00
-
69,000,000.00
69,000,000.00
69,000,000.00
-
69,000,000.00
69,000,000.00
69,000,000.00
69,000,000.00
69,000,000.00
69,000,000.00
69,000,000.00
69,000,000.00
69,000,000.00
-
69,000,000.00
69,000,000.00
69,000,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal
1,275,000.00
2.1.2 Alat tangkap handline
200,000.00
2.1.3 Mesin kapal
200,000.00
200,000.00
200,000.00
0.00
Sub-Jumlah
1,475,000.00
0.00
0.00
200,000.00
0.00
0.00
200,000.00
0.00
0.00
200,000.00
0.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah 2.2.7 Ransum Sub-Jumlah
3,600,000.00
3,600,000.00
3,600,000.00
3,600,000.00
3,600,000.00
3,600,000.00
3,600,000.00
3,600,000.00
3,600,000.00
3,600,000.00
18,300,000.00
18,300,000.00
18,300,000.00
18,300,000.00
18,300,000.00
18,300,000.00
18,300,000.00
18,300,000.00
18,300,000.00
18,300,000.00
21,900,000.00
21,900,000.00
500,000.00
500,000.00
21,900,000.00
21,900,000.00
21,900,000.00
21,900,000.00
21,900,000.00
21,900,000.00
21,900,000.00
21,900,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.2 Perawatan alat tangkap
500,000.00
2.3.3 Perawatan mesin
0.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
-
-
-
-
-
-
-
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
0.00
0.00
500,000.00
500,000.00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 0 %(Pemilik merangkap ABK) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
1,475,000.00
22,400,000.00
22,400,000.00
22,600,000.00
22,400,000.00
22,400,000.00
22,600,000.00
22,400,000.00
22,400,000.00
22,600,000.00
22,400,000.00
-1,475,000.00
46,600,000.00
46,600,000.00
46,400,000.00
46,600,000.00
46,600,000.00
46,400,000.00
46,600,000.00
46,600,000.00
46,400,000.00
46,600,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1,475,000.00
22,400,000.00
22,400,000.00
22,600,000.00
22,400,000.00
22,400,000.00
22,600,000.00
22,400,000.00
22,400,000.00
22,600,000.00
22,400,000.00
Keuntungan Tahunan Pemilik
-1,475,000.00
46,600,000.00
46,600,000.00
46,400,000.00
46,600,000.00
46,600,000.00
46,400,000.00
46,600,000.00
46,600,000.00
46,400,000.00
46,600,000.00
417,325,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
64,941,176.47
61,121,107.27
57,525,748.02
54,141,880.49
50,957,063.99
47,959,589.63
45,138,437.30
42,483,235.11
39,984,221.28
37,632,208.26
PC
1,475,000.00
21,082,352.94
19,842,214.53
18,841,766.74
17,576,494.53
16,542,583.09
15,708,503.27
14,653,637.62
13,791,658.93
13,096,281.17
12,216,832.83
PV
-1,475,000.00
43,858,823.53
41,278,892.73
38,683,981.27
36,565,385.95
34,414,480.89
32,251,086.36
30,484,799.69
28,691,576.17
26,887,940.11
25,415,375.43
6.25%
BCA
3.04
Lampiran 12. Hasil Analisis BCA Handline (Pancing Ulur/Pancing Tangan) Desa Negeri Lama Uraian
0
1
2
3
4
5
6
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
-
-
30,000,000.00
30,000,000.00
7
8
9
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa
30,000,000.00 -
Jumlah Pemasukan
0.00
30,000,000.00 -
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal
2,750,000.00
2.1.2 Alat tangkap handline
30,000.00
2.1.3 Mesin kapal
30,000.00
30,000.00
30,000.00
30,000.00
30,000.00
30,000.00
0.00
Sub-Jumlah
2,780,000.00
2.2 Biaya Operasional Sub-Jumlah
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2.3 Biaya perawatan Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2,780,000.00
0.00
0.00
30,000.00
0.00
0.00
30,000.00
0.00
0.00
30,000.00
0.00
Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK
-2,780,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
29,970,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
29,970,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
29,970,000.00
30,000,000.00
Bagi Hasil ABK 50 %(merangkap pemilik) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK
15,000,000.00
15,000,000.00
14,985,000.00
15,000,000.00
15,000,000.00
14,985,000.00
15,000,000.00
15,000,000.00
14,985,000.00
15,000,000.00
2,780,000.00
15,000,000.00
15,000,000.00
15,015,000.00
15,000,000.00
15,000,000.00
15,015,000.00
15,000,000.00
15,000,000.00
15,015,000.00
15,000,000.00
-2,780,000.00
15,000,000.00
15,000,000.00
14,985,000.00
15,000,000.00
15,000,000.00
14,985,000.00
15,000,000.00
15,000,000.00
14,985,000.00
15,000,000.00
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
16,361,829.68
Keuntungan Tahunan Pemilik
132,175,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
PB
0.00
28,235,294.12
26,574,394.46
25,011,194.79
23,539,948.04
22,155,245.21
20,851,995.49
19,625,407.52
18,470,971.79
17,384,444.03
PC
2,780,000.00
14,117,647.06
13,287,197.23
12,518,102.99
11,769,974.02
11,077,622.61
10,436,423.74
9,812,703.76
9,235,485.89
8,700,914.24
8,180,914.84
PV
-2,780,000.00
14,117,647.06
13,287,197.23
12,493,091.80
11,769,974.02
11,077,622.61
10,415,571.75
9,812,703.76
9,235,485.89
8,683,529.80
8,180,914.84
6.25%
BCA
1.95
221
222
Lampiran 13. Hasil Analisis BCA Handline (Pancing Ulur/Pancing Tangan) Desa Weaheru Uraian
0
1
2
3
4
5
6
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
-
-
45,000,000.00
45,000,000.00
7
8
9
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa
45,000,000.00 -
Jumlah Pemasukan
0.00
45,000,000.00 -
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
45,000,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal
1,370,800.00
2.1.2 Alat tangkap handline
120,000.00
2.1.3 Mesin kapal
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
0.00
Sub-Jumlah
1,490,800.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.5 Es balok
1,260,000.00
2.2.6 Air tawar
300,000.00
2.2.7 Ransum
3,000,000.00
Sub-Jumlah
4,560,000.00
2.3 Biaya perawatan Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK
1,260,000.00
1,260,000.00
1,260,000.00
1,260,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
3,000,000.00
3,000,000.00
3,000,000.00
3,000,000.00
4,560,000.00
4,560,000.00
4,560,000.00
4,560,000.00
1,260,000.00 300,000.00 3,000,000.00 4,560,000.00
1,260,000.00
1,260,000.00
1,260,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
3,000,000.00
3,000,000.00
3,000,000.00
4,560,000.00
4,560,000.00
1,260,000.00 300,000.00
4,560,000.00
3,000,000.00 4,560,000.00
1,490,800.00
4,560,000.00
4,560,000.00
4,680,000.00
4,560,000.00
4,560,000.00
4,680,000.00
4,560,000.00
4,560,000.00
4,680,000.00
4,560,000.00
Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 0 %(pemilik merangkap ABK) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK
-1,490,800.00
40,440,000.00
40,440,000.00
40,320,000.00
40,440,000.00
40,440,000.00
40,320,000.00
40,440,000.00
40,440,000.00
40,320,000.00
40,440,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1,490,800.00
4,560,000.00
4,560,000.00
4,680,000.00
4,560,000.00
4,560,000.00
4,680,000.00
4,560,000.00
4,560,000.00
4,680,000.00
4,560,000.00
Keuntungan Tahunan Pemilik
-1,490,800.00
40,440,000.00
40,440,000.00
40,320,000.00
40,440,000.00
40,440,000.00
40,320,000.00
40,440,000.00
40,440,000.00
40,320,000.00
40,440,000.00
362,109,200.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
42,352,941.18
39,861,591.70
37,516,792.18
35,309,922.06
33,232,867.82
31,277,993.24
29,438,111.28
27,706,457.68
26,076,666.05
24,542,744.52
PC
1,490,800.00
4,291,764.71
4,039,307.96
3,901,746.39
3,578,072.10
3,367,597.27
3,252,911.30
2,983,061.94
2,807,587.71
2,711,973.27
2,486,998.11
PV
-1,490,800.00
38,061,176.47
35,822,283.74
33,615,045.80
31,731,849.95
29,865,270.54
28,025,081.94
26,455,049.34
24,898,869.97
23,364,692.78
22,055,746.41
6.25%
BCA
9.38
Lampiran 14. Hasil Analisis BCA Pancing Tonda Desa Wayame Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
43,200,000.00 -
0.00
43,200,000.00 -
43,200,000.00
43,200,000.00 -
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
-
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
-
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Pancing Tonda (Fiber) 2.1.2 Alat Tangkap Pancing
2,412,500.00 580,250.00
2.1.3 Mesin Kapal 15 PK
13,500,000.00
Sub-Jumlah
16,492,750.00
580,250.00
0.00
580,250.00
580,250.00
0.00
580,250.00
580,250.00
0.00
580,250.00
580,250.00
0.00
580,250.00
580,250.00
0.00
580,250.00
0.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah
6,912,000.00
6,912,000.00
6,912,000.00
6,912,000.00
6,912,000.00
6,912,000.00
6,912,000.00
6,912,000.00
6,912,000.00
6,912,000.00
2.2.4 Oli
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2.2.5 Es balok
1,008,000.00
1,008,000.00
1,008,000.00
1,008,000.00
1,008,000.00
1,008,000.00
1,008,000.00
1,008,000.00
1,008,000.00
1,008,000.00
1,008,000.00
2.2.7 Ransum
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
Sub-Jumlah
14,400,000.00
14,400,000.00
14,400,000.00
14,400,000.00
14,400,000.00
14,400,000.00
14,400,000.00
14,400,000.00
6,912,000.00
14,400,000.00
14,400,000.00
14,400,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
150,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
435,000.00
435,000.00
435,000.00
435,000.00
435,000.00
435,000.00
435,000.00
435,000.00
2.3.3 Perawatan mesin
250,000.00
250,000.00
250,000.00
250,000.00
250,000.00
250,000.00
250,000.00
250,000.00
Sub-jumlah
835,000.00
835,000.00
835,000.00
835,000.00
835,000.00
835,000.00
835,000.00
16,492,750.00
15,235,000.00
15,815,250.00
15,235,000.00
15,815,250.00
15,235,000.00
15,815,250.00
-16,492,750.00
27,965,000.00
27,384,750.00
27,965,000.00
27,384,750.00
27,965,000.00
6,991,250.00
6,846,187.50
6,991,250.00
6,846,187.50
6,991,250.00
22,226,250.00
22,661,437.50
22,226,250.00
22,661,437.50
20,973,750.00
20,538,562.50
20,973,750.00
20,538,562.50
Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 25 % (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
16,492,750.00 -16,492,750.00
Keuntungan Usaha (∏)
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
435,000.00
435,000.00
435,000.00
250,000.00
250,000.00
835,000.00
835,000.00
835,000.00
250,000.00 835,000.00
15,235,000.00
15,815,250.00
15,235,000.00
15,815,250.00
15,235,000.00
27,384,750.00
27,965,000.00
27,384,750.00
27,965,000.00
27,384,750.00
27,965,000.00
6,846,187.50
6,991,250.00
6,846,187.50
6,991,250.00
6,846,187.50
6,991,250.00
22,226,250.00
22,661,437.50
22,226,250.00
22,661,437.50
22,226,250.00
22,661,437.50
22,226,250.00
20,973,750.00
20,538,562.50
20,973,750.00
20,538,562.50
20,973,750.00
20,538,562.50
20,973,750.00
212,042,562.50
DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
0.51
PB
0.00
40,658,823.53
38,267,128.03
36,016,120.50
33,897,525.17
31,903,553.10
30,026,873.51
28,260,586.83
26,598,199.37
25,033,599.41
23,561,034.74
22,175,091.52
PC
16,492,750.00
20,918,823.53
20,073,799.31
18,530,168.94
17,781,635.37
16,414,267.30
15,751,206.42
14,539,973.80
13,952,625.76
12,879,699.97
12,359,419.36
11,409,007.59
PV
-16,492,750.00
19,740,000.00
18,193,328.72
17,485,951.56
16,115,889.80
15,489,285.81
14,275,667.09
13,720,613.03
12,645,573.62
12,153,899.44
11,201,615.38
10,766,083.93
BCA
1.76
223
224
Lampiran 15. Hasil Analisis BCA Gillnet Desa Nusaniwe Uraian
0
1
2
3
4
5
57,600,000.00
57,600,000.00
-
-
57,600,000.00
57,600,000.00
6
7
8
9
10
57,600,000.00
57,600,000.00
57,600,000.00
57,600,000.00
57,600,000.00
57,600,000.00
57,600,000.00
57,600,000.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
57,600,000.00 -
0.00
57,600,000.00 -
57,600,000.00
57,600,000.00
57,600,000.00
57,600,000.00 -
57,600,000.00
57,600,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Gillnet 2.1.2 Gillnet
1,000,000.00 250,000.00
2.1.3 Mesin Kapal
3,700,000.00
Sub-Jumlah
4,950,000.00
250,000.00
250,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.2 Bensin
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
2.2.7 Ransum
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
Sub-Jumlah
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
100,000.00
100,000.00
100,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
2.3.3 Perawatan mesin
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 1/3 (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
325,000.00
325,000.00
325,000.00
325,000.00
325,000.00
325,000.00
325,000.00
325,000.00
325,000.00
325,000.00
4,950,000.00
11,125,000.00
11,125,000.00
11,125,000.00
11,125,000.00
11,375,000.00
11,125,000.00
11,125,000.00
11,125,000.00
11,125,000.00
11,125,000.00
-4,950,000.00
46,475,000.00
46,475,000.00
46,475,000.00
46,475,000.00
46,225,000.00
46,475,000.00
46,475,000.00
46,475,000.00
46,475,000.00
46,475,000.00
15,491,666.67
15,491,666.67
15,491,666.67
15,491,666.67
15,408,333.33
15,491,666.67
15,491,666.67
15,491,666.67
15,491,666.67
15,491,666.67
26,616,666.67
26,616,666.67
26,616,666.67
26,616,666.67
26,783,333.33
26,616,666.67
26,616,666.67
26,616,666.67
26,616,666.67
26,616,666.67
30,983,333.33
30,983,333.33
30,983,333.33
30,983,333.33
30,816,666.67
30,983,333.33
30,983,333.33
30,983,333.33
30,983,333.33
30,983,333.33
4,950,000.00 -4,950,000.00
304,716,666.67
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
54,211,764.71
51,022,837.37
48,021,494.00
45,196,700.23
42,538,070.81
40,035,831.35
37,680,782.44
35,464,265.83
33,378,132.55
31,414,712.98
PC
4,950,000.00
25,050,980.39
23,577,393.31
22,190,487.82
20,885,165.01
19,779,710.59
18,500,353.78
17,412,097.67
16,387,856.63
15,423,865.07
14,516,578.89
PV
-4,950,000.00
29,160,784.31
27,445,444.06
25,831,006.17
24,311,535.22
22,758,360.22
21,535,477.57
20,268,684.77
19,076,409.19
17,954,267.48
16,898,134.10
BCA
2.11
Lampiran 16. Hasil Analisis BCA Handline (Pancing ulur/Pancing Tangan) Desa Kilang Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
24,000,000.00
24,000,000.00
0.00
24,000,000.00
-
24,000,000.00
24,000,000.00
-
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
-
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
-
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal
683,333.00
2.1.2 Alat tangkap handline
150,000.00
2.1.3 Mesin kapal Sub-Jumlah
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
0.00 833,333.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.7 Ransum
2,400,000.00
Sub-Jumlah
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00 2,400,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.2 Perawatan alat tangkap
60,000.00
2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(merangkap pemilik) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
0.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
-
-
-
-
-
-
-
-
60,000.00 -
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
833,333.00
2,460,000.00
2,460,000.00
2,610,000.00
2,460,000.00
2,460,000.00
2,610,000.00
2,460,000.00
2,460,000.00
2,610,000.00
2,460,000.00
-833,333.00
21,540,000.00
21,540,000.00
21,390,000.00
21,540,000.00
21,540,000.00
21,390,000.00
21,540,000.00
21,540,000.00
21,390,000.00
21,540,000.00
10,770,000.00
10,770,000.00
10,695,000.00
10,770,000.00
10,770,000.00
10,695,000.00
10,770,000.00
10,770,000.00
10,695,000.00
10,770,000.00
833,333.00
13,230,000.00
13,230,000.00
13,305,000.00
13,230,000.00
13,230,000.00
13,305,000.00
13,230,000.00
13,230,000.00
13,305,000.00
13,230,000.00
-833,333.00
10,770,000.00
10,770,000.00
10,695,000.00
10,770,000.00
10,770,000.00
10,695,000.00
10,770,000.00
10,770,000.00
10,695,000.00
10,770,000.00
95,871,667.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
22,588,235.29
21,259,515.57
20,008,955.83
18,831,958.43
17,724,196.17
16,681,596.39
15,700,326.02
14,776,777.43
13,907,555.23
13,089,463.74
PC
833,333.00
12,451,764.71
11,719,307.96
11,092,464.89
10,381,117.08
9,770,463.14
9,247,860.00
8,654,804.72
8,145,698.56
7,710,000.93
7,215,566.89
PV
-833,333.00
10,136,470.59
9,540,207.61
8,916,490.94
8,450,841.35
7,953,733.03
7,433,736.39
7,045,521.30
6,631,078.87
6,197,554.30
5,873,896.85
BCA
1.80
225
226
Lampiran 17. Hasil Analisis BCA Handline (Pancing Ulur/Pancing Tangan) Desa Leahari Uraian
0
1
0
37,800,000.00
2
3
4
5
6
7
8
9
10
37,800,000.00
37,800,000.00
37,800,000.00
37,800,000.00
37,800,000.00
37,800,000.00
37,800,000.00
37,800,000.00
37,800,000.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
37,800,000.00 -
37,800,000.00
37,800,000.00 -
37,800,000.00
37,800,000.00
37,800,000.00
-
37,800,000.00
-
37,800,000.00
37,800,000.00
37,800,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat tangkap handline 2.1.3 Mesin kapal Sub-Jumlah
773,000.00 68,000.00
68,000.00
68,000.00
68,000.00
68,000.00
68,000.00
68,000.00
0.00 841,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.5 Es balok
1,512,000.00
Sub-Jumlah
1,512,000.00
1,512,000.00 1,512,000.00
1,512,000.00 1,512,000.00
1,512,000.00 1,512,000.00
1,512,000.00 1,512,000.00
1,512,000.00 1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK
220,000.00
220,000.00
2.3 Biaya perawatan
220,000.00
220,000.00
220,000.00
220,000.00
220,000.00
220,000.00
220,000.00
220,000.00
841,000.00
1,732,000.00
1,732,000.00
1,800,000.00
1,732,000.00
1,732,000.00
1,800,000.00
1,732,000.00
1,732,000.00
1,800,000.00
1,732,000.00
Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 0 %(Pemilik merangkap ABK) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK
-841,000.00
36,068,000.00
36,068,000.00
36,000,000.00
36,068,000.00
36,068,000.00
36,000,000.00
36,068,000.00
36,068,000.00
36,000,000.00
36,068,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
841,000.00
1,732,000.00
1,732,000.00
1,800,000.00
1,732,000.00
1,732,000.00
1,800,000.00
1,732,000.00
1,732,000.00
1,800,000.00
1,732,000.00
Keuntungan Tahunan Pemilik
-841,000.00
36,068,000.00
36,068,000.00
36,000,000.00
36,068,000.00
36,068,000.00
36,000,000.00
36,068,000.00
36,068,000.00
36,000,000.00
36,068,000.00
323,567,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
35,576,470.59
33,483,737.02
31,514,105.43
29,660,334.53
27,915,608.97
26,273,514.32
24,728,013.48
23,273,424.45
21,904,399.48
20,615,905.40
PC
841,000.00
1,630,117.65
1,534,228.37
1,500,671.69
1,359,039.67
1,279,096.16
1,251,119.73
1,133,040.19
1,066,390.77
1,043,066.64
944,622.97
PV
-841,000.00
33,946,352.94
31,949,508.65
30,013,433.75
28,301,294.86
26,636,512.81
25,022,394.59
23,594,973.28
22,207,033.68
20,861,332.84
19,671,282.43
BCA
20.24
Lampiran 18. Hasil Analisis BCA Pole & Line Desa Halong Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
-
-
-
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
960,000,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
-
-
-
-
-
-
11,520,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
11,520,000.00
-
-
-
-
-
-
-
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
-
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00 36,000,000.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
960,000,000.00
1.2 Nilai sisa
-
Jumlah Pemasukan
0.00
-
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal
40,000,000.00
2.1.2 Alat Tangkap
500,000.00
2.1.3 Mesin Kapal
40,000,000.00
Sub-Jumlah
80,500,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah 2.2.2 Bensin
-
2.2.3 Solar
43,200,000.00
2.2.4 Oli
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
2.2.5 Es balok
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
13,440,000.00
2.2.6 Air tawar
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
2.2.7 Ransum
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
24,000,000.00
Sub-Jumlah
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
152,160,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2.3.3 Perawatan mesin
2,000,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
Sub-jumlah
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
2,000,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
5,700,000.00
Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK
80,500,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
157,860,000.00
Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK
-80,500,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
802,140,000.00
401,070,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
267,380,000.00
Bagi Hasil ABK 50 % (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
80,500,000.00
558,930,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
425,240,000.00
-80,500,000.00
401,070,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
534,760,000.00
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
0.51
0.48
0.45
0.43
0.40
Keuntungan Usaha (∏)
6,737,690,000.00
DF (6.25%)
1.00
0.94
6.25%
227
228
PB
0.00
903,529,411.76
850,380,622.84
800,358,233.26
753,278,337.18
708,967,846.76
667,263,855.78
628,013,040.73
591,071,097.16
556,302,209.09
523,578,549.73
492,779,811.51
463,792,763.78
436,510,836.50
410,833,728.47
PC
80,500,000.00
526,051,764.71
376,683,183.39
354,525,349.07
333,670,916.78
314,043,215.79
295,570,085.45
278,183,609.83
261,819,868.08
246,418,699.37
231,923,481.76
218,280,924.01
205,440,869.65
193,356,112.62
181,982,223.64
171,277,386.95
PV
-80,500,000.00
377,477,647.06
473,697,439.45
445,832,884.18
419,607,420.41
394,924,630.97
371,693,770.33
349,829,430.90
329,251,229.08
309,883,509.72
291,655,067.97
274,498,887.50
258,351,894.12
243,154,723.88
228,851,504.83
215,389,651.60
BCA
2.15
386,667,038.56
Lampiran 19. Hasil Analisis BCR Payang Desa Nania Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
-
-
-
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
966,000,000.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
966,000,000.00 -
0.00
966,000,000.00
966,000,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal
5,060,000.00
2.1.2 Alat tangkap
6,100,000.00
2.1.3 Mesin kapal
2,616,700.00
Sub-Jumlah
6,100,000.00
13,776,700.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6,100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah
132,480,000.00
132,480,000.00
132,480,000.00
132,480,000.00
132,480,000.00
132,480,000.00
132,480,000.00
132,480,000.00
132,480,000.00
132,480,000.00
2.2.2 Bensin
5,713,200.00
5,713,200.00
5,713,200.00
5,713,200.00
5,713,200.00
5,713,200.00
5,713,200.00
5,713,200.00
5,713,200.00
5,713,200.00
2.2.4 Oli
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
2.2.7 Ransum
23,736,000.00
23,736,000.00
23,736,000.00
23,736,000.00
23,736,000.00
23,736,000.00
23,736,000.00
23,736,000.00
23,736,000.00
23,736,000.00
2.2.8 Retribusi
20,976,000.00
20,976,000.00
20,976,000.00
20,976,000.00
20,976,000.00
20,976,000.00
20,976,000.00
20,976,000.00
20,976,000.00
20,976,000.00
196,705,200.00
196,705,200.00
196,705,200.00
196,705,200.00
196,705,200.00
196,705,200.00
196,705,200.00
196,705,200.00
196,705,200.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
1,860,000.00
1,860,000.00
1,860,000.00
1,860,000.00
1,860,000.00
1,860,000.00
1,860,000.00
1,860,000.00
1,860,000.00
110,000.00
110,000.00
110,000.00
110,000.00
110,000.00
110,000.00
110,000.00
110,000.00
110,000.00
Sub-Jumlah
196,705,200.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
350,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
1,860,000.00
2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 % Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
110,000.00
13,776,700.00 -13,776,700.00
2,320,000.00
2,320,000.00
2,320,000.00
2,320,000.00
2,320,000.00
2,320,000.00
2,320,000.00
2,320,000.00
2,320,000.00
2,320,000.00
199,025,200.00
199,025,200.00
199,025,200.00
199,025,200.00
205,125,200.00
199,025,200.00
199,025,200.00
199,025,200.00
199,025,200.00
199,025,200.00
766,974,800.00
766,974,800.00
766,974,800.00
766,974,800.00
760,874,800.00
766,974,800.00
766,974,800.00
766,974,800.00
766,974,800.00
766,974,800.00
383,487,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
380,437,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
13,776,700.00
582,512,600.00
582,512,600.00
582,512,600.00
582,512,600.00
585,562,600.00
582,512,600.00
582,512,600.00
582,512,600.00
582,512,600.00
582,512,600.00
-13,776,700.00
383,487,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
380,437,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
383,487,400.00
3,434,559,900.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
909,176,470.59
855,695,501.73
805,360,472.22
757,986,326.79
713,398,895.80
671,434,254.87
631,938,122.23
594,765,291.52
559,779,097.90
526,850,915.67
PC
13,776,700.00
548,247,152.94
515,997,320.42
485,644,536.86
457,077,211.16
432,442,766.32
404,885,003.66
381,068,238.74
358,652,459.99
337,555,256.46
317,699,064.90
PV
-13,776,700.00
360,929,317.65
339,698,181.31
319,715,935.36
300,909,115.63
280,956,129.49
266,549,251.21
250,869,883.50
236,112,831.53
222,223,841.44
209,151,850.76
BCA
1.65
229
230
Lampiran 20. Hasil Analisis BCR Pole & Line Desa Hatiwe Kecil Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan 2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat Tangkap 2.1.3 Mesin Kapal Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
1,200,000,000.00 -
1,200,000,000.00 -
1,200,000,000.00 -
1,200,000,000.00 -
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00 -
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
0.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
144,000,000.00
2.2.2 Bensin
-
2.2.3 Solar 2.2.4 Oli 2.2.5 Es balok
144,000,000.00 -
144,000,000.00 -
144,000,000.00 -
144,000,000.00 -
144,000,000.00 -
144,000,000.00 -
172,800,000.00
172,800,000.00
172,800,000.00
172,800,000.00
172,800,000.00
172,800,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
3,840,000.00
3,840,000.00
3,840,000.00
3,840,000.00
2.2.7 Ransum
48,000,000.00
48,000,000.00
48,000,000.00
48,000,000.00
3,840,000.00 48,000,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
209,200,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
209,200,000.00
680,260,000.00 170,065,000.00
144,000,000.00 -
172,800,000.00
2.2.6 Air tawar
PV BCA
12
13
14
15
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
1,200,000,000.00
26,250,000.00 450,000.00 182,500,000.00 209,200,000.00
2.2.1 Minyak tanah
2.2.8 Retribusi Sub-Jumlah 2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 25 % (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%) 6.25% PB PC
11
144,000,000.00 -
172,800,000.00 36,000,000.00 100,800,000.00
144,000,000.00 -
144,000,000.00 -
144,000,000.00 -
144,000,000.00 -
144,000,000.00 -
144,000,000.00 -
172,800,000.00
172,800,000.00
172,800,000.00
172,800,000.00
172,800,000.00
172,800,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
100,800,000.00
3,840,000.00
3,840,000.00
3,840,000.00
3,840,000.00
3,840,000.00
3,840,000.00
3,840,000.00
3,840,000.00
48,000,000.00
48,000,000.00
48,000,000.00
48,000,000.00
48,000,000.00
48,000,000.00
48,000,000.00
48,000,000.00
48,000,000.00
48,000,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
7,300,000.00 512,740,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,100,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
1,900,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
4,000,000.00 7,000,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
519,740,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
680,260,000.00
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
226,753,333.33
7,300,000.00 512,740,000.00
3,840,000.00
172,800,000.00
3,840,000.00
209,200,000.00 209,200,000.00
689,805,000.00
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
746,493,333.33
510,195,000.00
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
453,506,666.67
1.00
5,743,075,000.00 0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
0.51
0.48
0.45
0.43
0.40
1,129,411,764.71 649,228,235.29
1,062,975,778.55 661,253,610.15
1,000,447,791.57 622,356,338.96
941,597,921.48 585,747,142.55
886,209,808.45 551,291,428.29
834,079,819.72 518,862,520.74
785,016,300.91 488,341,195.99
738,838,871.45 459,615,243.29
695,377,761.36 432,579,052.50
654,473,187.16 407,133,225.89
615,974,764.39 383,184,212.60
579,740,954.72 360,643,964.80
545,638,545.62 339,429,613.93
513,542,160.58 319,463,166.05
483,333,798.20 300,671,215.11
480,183,529.41 1.57
401,722,168.40
378,091,452.61
355,850,778.93
334,918,380.17
315,217,298.98
296,675,104.92
279,223,628.16
262,798,708.86
247,339,961.28
232,790,551.79
219,096,989.92
206,208,931.69
194,078,994.53
182,662,583.09
0.00 209,200,000.00 209,200,000.00
Lampiran 21. Hasil Analisis BCR Gillnet Hanyut Desa Rutong Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
-
-
-
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
36,000,000.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
36,000,000.00
36,000,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Gillnet
2,150,000.00
2.1.2 Gillnet Hanyut
1,000,000.00
2.1.3 Mesin Kapal
2,500,000.00
Sub-Jumlah
5,650,000.00
1,000,000.00
1,000,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.2 Bensin
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
2.2.7 Ransum
720,000.00
720,000.00
720,000.00
720,000.00
720,000.00
720,000.00
720,000.00
720,000.00
720,000.00
720,000.00
Sub-Jumlah
2,016,000.00
2,016,000.00
2,016,000.00
2,016,000.00
2,016,000.00
2,016,000.00
2,016,000.00
2,016,000.00
2,016,000.00
2,016,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.2 Perawatan alat tangkap
65,000.00
65,000.00
65,000.00
65,000.00
65,000.00
65,000.00
65,000.00
65,000.00
65,000.00
65,000.00
2.3.3 Perawatan mesin
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
Sub-jumlah
165,000.00
165,000.00
165,000.00
165,000.00
165,000.00
165,000.00
165,000.00
165,000.00
165,000.00
165,000.00
5,650,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
3,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
-5,650,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
32,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 0 % (Pemilik merangkap ABK) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
5,650,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
3,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
2,181,000.00
-5,650,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
32,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
33,819,000.00
331,540,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
33,882,352.94
31,889,273.36
30,013,433.75
28,247,937.64
26,586,294.25
25,022,394.59
23,550,489.03
22,165,166.14
20,861,332.84
19,634,195.61
PC
5,650,000.00
2,052,705.88
1,931,958.48
1,818,313.86
1,711,354.22
2,349,194.50
1,515,940.07
1,426,767.13
1,342,839.65
1,263,849.08
1,189,505.02
PV
-5,650,000.00
31,829,647.06
29,957,314.88
28,195,119.89
26,536,583.42
24,237,099.75
23,506,454.52
22,123,721.90
20,822,326.49
19,597,483.76
18,444,690.60
BCA
11.77
231
232
Lampiran 22. Hasil Analisis BCR Handline (pancing ulur/pancing tangan) Desa Naku Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
48,600,000.00 -
0.00
48,600,000.00 -
48,600,000.00
48,600,000.00 -
48,600,000.00
48,600,000.00
48,600,000.00
-
48,600,000.00
48,600,000.00
48,600,000.00
48,600,000.00
48,600,000.00
48,600,000.00
48,600,000.00
48,600,000.00
48,600,000.00
48,600,000.00
-
48,600,000.00
48,600,000.00
48,600,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal
890,000.00
2.1.2 Alat tangkap handline
270,000.00
2.1.3 Mesin kapal Sub-Jumlah
270,000.00
270,000.00
270,000.00
270,000.00
270,000.00
270,000.00
0.00 1,160,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
2.2.5 Es balok
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
1,512,000.00
2.2.7 Ransum
2,484,000.00
2,484,000.00
2,484,000.00
2,484,000.00
2,484,000.00
2,484,000.00
2,484,000.00
2,484,000.00
2,484,000.00
2,484,000.00
Sub-Jumlah
9,180,000.00
9,180,000.00
9,180,000.00
9,180,000.00
9,180,000.00
9,180,000.00
9,180,000.00
9,180,000.00
9,180,000.00
9,180,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
132,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
232,000.00
232,000.00
232,000.00
232,000.00
232,000.00
232,000.00
232,000.00
232,000.00
232,000.00
232,000.00
1,160,000.00
9,412,000.00
9,412,000.00
9,682,000.00
9,412,000.00
9,412,000.00
9,682,000.00
9,412,000.00
9,412,000.00
9,682,000.00
9,412,000.00
-1,160,000.00
39,188,000.00
39,188,000.00
38,918,000.00
39,188,000.00
39,188,000.00
38,918,000.00
39,188,000.00
39,188,000.00
38,918,000.00
39,188,000.00
1,160,000.00
9,412,000.00
9,412,000.00
9,682,000.00
9,412,000.00
9,412,000.00
9,682,000.00
9,412,000.00
9,412,000.00
9,682,000.00
9,412,000.00
-1,160,000.00
39,188,000.00
39,188,000.00
38,918,000.00
39,188,000.00
39,188,000.00
38,918,000.00
39,188,000.00
39,188,000.00
38,918,000.00
39,188,000.00
350,722,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
45,741,176.47
43,050,519.03
40,518,135.56
38,134,715.82
35,891,497.24
33,780,232.70
31,793,160.19
29,922,974.29
28,162,799.34
26,506,164.08
PC
1,160,000.00
8,858,352.94
8,337,273.36
8,071,946.27
7,385,266.36
6,950,838.93
6,729,634.01
6,157,144.52
5,794,959.55
5,610,539.57
5,133,251.36
PV
-1,160,000.00
36,882,823.53
34,713,245.67
32,446,189.29
30,749,449.46
28,940,658.31
27,050,598.69
25,636,015.67
24,128,014.75
22,552,259.76
21,372,912.72
BCA
5.04
Lampiran 23. Hasil Analisis BCR Handline (pancing ulur/pancing tangan) Desa Hutumuri Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
34,884,000.00
34,884,000.00
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
0.00
34,884,000.00
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
34,884,000.0 0
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
-
34,884,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal
750,000.00
2.1.2 Alat tangkap handline
225,000.00
2.1.3 Mesin kapal Sub-Jumlah
225,000.00
225,000.00
225,000.00
225,000.00
225,000.00
225,000.00
0.00 975,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.5 Es balok
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
2.2.7 Ransum
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
Sub-Jumlah
5,335,200.00
5,335,200.00
5,335,200.00
5,335,200.00
5,335,200.00
5,335,200.00
5,335,200.00
5,335,200.00
5,335,200.00
5,335,200.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2,400,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
2,400,000.00
Sub-jumlah
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
975,000.00
7,835,200.00
7,835,200.00
-975,000.00
27,048,800.00
27,048,800.00
8,060,200.00 26,823,800.0 0
7,835,200.00 27,048,800.0 0
7,835,200.00 27,048,800.0 0
8,060,200.00 26,823,800.0 0
7,835,200.00 27,048,800.0 0
7,835,200.00 27,048,800.0 0
8,060,200.00 26,823,800.0 0
7,835,200.00 27,048,800.0 0
Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 0 %(pemilik merangkap ABK) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
975,000.00
7,835,200.00
7,835,200.00
-975,000.00
27,048,800.00
27,048,800.00
8,060,200.00 26,823,800.0 0
7,835,200.00 27,048,800.0 0
7,835,200.00 27,048,800.0 0
8,060,200.00 26,823,800.0 0
7,835,200.00 27,048,800.0 0
7,835,200.00 27,048,800.0 0
8,060,200.00 26,823,800.0 0
7,835,200.00 27,048,800.0 0
0.83 29,083,017.3 0
0.78 27,372,251.5 8
0.74 25,762,119.1 3
0.70 24,246,700.3 6
0.65 22,820,423.8 7
0.62 21,478,045.9 9
0.58 20,214,631.5 2
0.55 19,025,535.5 5
6,719,841.07 22,363,176.2 3
6,148,006.70 21,224,244.8 8
5,786,359.24 19,975,759.8 9
5,602,375.14 18,644,325.2 2
5,125,633.10 17,694,790.7 7
4,824,125.27 16,653,920.7 2
4,670,736.53 15,543,895.0 0
4,273,273.60 14,752,261.9 5
241,789,200.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
PB
0.00
32,832,000.00
30,900,705.88
PC
975,000.00
7,374,305.88
6,940,523.18
PV
-975,000.00
25,457,694.12
23,960,182.70
BCA
4.34
233
234
Lampiran 24. Hasil Analisis BCR Gillnet Hanyut Desa Passo Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
-
-
-
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
56,160,000.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
56,160,000.00
56,160,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Gillnet
2,633,000.00
2.1.2 Gillnet Hanyut
4,792,000.00
2.1.3 Mesin Kapal
2,359,000.00
Sub-Jumlah
9,784,000.00
4,792,000.00
4,792,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.2 Bensin
3,888,000.00
3,888,000.00
3,888,000.00
3,888,000.00
3,888,000.00
3,888,000.00
3,888,000.00
3,888,000.00
3,888,000.00
3,888,000.00
2.2.4 Oli
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
7,200,000.00
2.2.5 Es balok
3,427,200.00
3,427,200.00
3,427,200.00
3,427,200.00
3,427,200.00
3,427,200.00
3,427,200.00
3,427,200.00
3,427,200.00
3,427,200.00
2.2.7 Ransum
4,896,000.00
4,896,000.00
4,896,000.00
4,896,000.00
4,896,000.00
4,896,000.00
4,896,000.00
4,896,000.00
4,896,000.00
4,896,000.00
2.2.8 Retribusi
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
30,211,200.00
30,211,200.00
30,211,200.00
30,211,200.00
30,211,200.00
30,211,200.00
30,211,200.00
30,211,200.00
30,211,200.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
80,000.00
80,000.00
80,000.00
80,000.00
80,000.00
80,000.00
80,000.00
Sub-Jumlah
30,211,200.00
2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
100,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
1,500,000.00
2.3.3 Perawatan mesin
80,000.00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
80,000.00
80,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
9,784,000.00 9,784,000.00
31,891,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
36,683,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
24,268,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
19,476,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
9,784,000.00 9,784,000.00
31,891,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
36,683,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
31,891,200.00
24,268,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
19,476,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
24,268,800.00
228,112,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
52,856,470.59
49,747,266.44
46,820,956.65
44,066,782.73
41,474,619.04
39,034,935.56
36,738,762.88
34,577,659.18
32,543,679.23
30,629,345.16
PC
9,784,000.00 9,784,000.00
30,015,247.06
28,249,644.29
26,587,900.51
25,023,906.36
27,090,843.04
22,166,505.29
20,862,593.21
19,635,381.85
18,480,359.39
17,393,279.42
22,841,223.53
21,497,622.15
20,233,056.14
19,042,876.36
14,383,776.00
16,868,430.27
15,876,169.67
14,942,277.34
14,063,319.85
13,236,065.74
PV BCA
1.67
Lampiran 25. Hasil Analisis BCR Gillnet Hanyut Desa Poka Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
-
-
-
-
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
104,400,000.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
104,400,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Gillnet
2,089,500.00
2.1.2 Gillnet Hanyut
3,815,800.00
2.1.3 Mesin Kapal
2,900,000.00
Sub-Jumlah
8,805,300.00
3,815,800.00
3,815,800.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah
8,352,000.00
8,352,000.00
8,352,000.00
8,352,000.00
8,352,000.00
8,352,000.00
8,352,000.00
8,352,000.00
8,352,000.00
8,352,000.00
2.2.2 Bensin
3,132,000.00
3,132,000.00
3,132,000.00
3,132,000.00
3,132,000.00
3,132,000.00
3,132,000.00
3,132,000.00
3,132,000.00
3,132,000.00
2.2.5 Es balok
974,400.00
974,400.00
974,400.00
974,400.00
974,400.00
974,400.00
974,400.00
974,400.00
974,400.00
974,400.00
2.2.6 Air tawar
696,000.00
696,000.00
696,000.00
696,000.00
696,000.00
696,000.00
696,000.00
696,000.00
696,000.00
696,000.00
2.2.7 Ransum
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
3,480,000.00
Sub-Jumlah
16,634,400.00
16,634,400.00
16,634,400.00
16,634,400.00
16,634,400.00
16,634,400.00
16,634,400.00
16,634,400.00
16,634,400.00
16,634,400.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
425,000.00
425,000.00
425,000.00
425,000.00
425,000.00
425,000.00
425,000.00
425,000.00
425,000.00
425,000.00
58,600.00
58,600.00
58,600.00
58,600.00
58,600.00
58,600.00
58,600.00
58,600.00
2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 1/3 (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
8,805,300.00 8,805,300.00
8,805,300.00 8,805,300.00
58,600.00
58,600.00
623,600.00
623,600.00
623,600.00
623,600.00
623,600.00
623,600.00
623,600.00
623,600.00
623,600.00
623,600.00
17,258,000.00
17,258,000.00
17,258,000.00
17,258,000.00
21,073,800.00
17,258,000.00
17,258,000.00
17,258,000.00
17,258,000.00
17,258,000.00
87,142,000.00
87,142,000.00
87,142,000.00
87,142,000.00
83,326,200.00
87,142,000.00
87,142,000.00
87,142,000.00
87,142,000.00
87,142,000.00
29,047,333.33
29,047,333.33
29,047,333.33
29,047,333.33
27,775,400.00
29,047,333.33
29,047,333.33
29,047,333.33
29,047,333.33
29,047,333.33
46,305,333.33
46,305,333.33
46,305,333.33
46,305,333.33
48,849,200.00
46,305,333.33
46,305,333.33
46,305,333.33
46,305,333.33
46,305,333.33
58,094,666.67
58,094,666.67
58,094,666.67
58,094,666.67
55,550,800.00
58,094,666.67
58,094,666.67
58,094,666.67
58,094,666.67
58,094,666.67
569,597,500.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
98,258,823.53
92,478,892.73
87,038,957.87
81,919,019.17
77,100,253.34
72,564,944.32
68,296,418.18
64,278,981.82
60,497,865.24
56,939,167.28
PC
8,805,300.00 8,805,300.00
43,581,490.20
41,017,873.13
38,605,057.06
36,334,171.35
36,075,533.48
32,185,286.73
30,292,034.57
28,510,150.19
26,833,082.53
25,254,665.91
54,677,333.33
51,461,019.61
48,433,900.81
45,584,847.82
41,024,719.86
40,379,657.58
38,004,383.61
35,768,831.63
33,664,782.71
31,684,501.38
PV BCA
2.19
235
236
Lampiran 26. Hasil Analisis BCR Handline (Pancing ulur/Pancing tangan) Desa Latta Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
-
-
-
-
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
140,400,000.00
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
140,400,000.00
140,400,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat tangkap handline
2,500,000.00 250,000.00
2.1.3 Mesin kapal
2,500,000.00
Sub-Jumlah
5,250,000.00
250,000.00
250,000.00
250,000.00
250,000.00
250,000.00
250,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2.2.2 Bensin
9,720,000.00
9,720,000.00
9,720,000.00
9,720,000.00
9,720,000.00
9,720,000.00
9,720,000.00
9,720,000.00
9,720,000.00
9,720,000.00
2.2.4 Oli
27,000,000.00
27,000,000.00
27,000,000.00
27,000,000.00
27,000,000.00
27,000,000.00
27,000,000.00
27,000,000.00
27,000,000.00
27,000,000.00
2.2.5 Es balok
16,632,000.00
16,632,000.00
16,632,000.00
16,632,000.00
16,632,000.00
16,632,000.00
16,632,000.00
16,632,000.00
16,632,000.00
16,632,000.00
2.2.7 Ransum
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
10,800,000.00
Sub-Jumlah
66,744,000.00
66,744,000.00
66,744,000.00
66,744,000.00
66,744,000.00
66,744,000.00
66,744,000.00
66,744,000.00
66,744,000.00
66,744,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
85,000.00
85,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
132,000.00
132,000.00
132,000.00
2.3.3 Perawatan mesin
100,000.00
100,000.00
100,000.00
Sub-jumlah
317,000.00
317,000.00
317,000.00
317,000.00
317,000.00
317,000.00
317,000.00
317,000.00
317,000.00
317,000.00
67,061,000.00
67,061,000.00
67,311,000.00
67,061,000.00
67,061,000.00
67,311,000.00
67,061,000.00
67,061,000.00
67,311,000.00
67,061,000.00
73,339,000.00
73,339,000.00
73,089,000.00
73,339,000.00
73,339,000.00
73,089,000.00
73,339,000.00
73,339,000.00
73,089,000.00
73,339,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
67,061,000.00
67,061,000.00
67,311,000.00
67,061,000.00
67,061,000.00
67,311,000.00
67,061,000.00
67,061,000.00
67,311,000.00
67,061,000.00
73,339,000.00
73,339,000.00
73,089,000.00
73,339,000.00
73,339,000.00
73,089,000.00
73,339,000.00
73,339,000.00
73,089,000.00
73,339,000.00
Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK
5,250,000.00 5,250,000.00
Bagi Hasil ABK 0 %(Pemilik merangkap ABK) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
5,250,000.00 5,250,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
132,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
100,000.00
654,051,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
132,141,176.47
124,368,166.09
117,052,391.61
110,166,956.81
103,686,547.59
97,587,338.91
91,846,907.21
86,444,147.96
81,359,198.08
76,573,362.90
PC
5,250,000.00 5,250,000.00
63,116,235.29
59,403,515.57
56,117,617.75
52,620,415.18
49,525,096.64
46,785,622.29
43,869,981.80
41,289,394.63
39,005,477.08
36,574,688.67
69,024,941.18
64,964,650.52
60,934,773.87
57,546,541.64
54,161,450.95
50,801,716.62
47,976,925.41
45,154,753.33
42,353,721.00
39,998,674.23
PV BCA
2.07
Lampiran 27. Hasil Analisis BCR Mini Purse Seine Desa Hatiwe Besar Uraian 1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan 2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Mini Purse Seine 2.1.2 Jaring 2.1.3 Mesin Kapal Sub-Jumlah 2.2 Biaya Operasional
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
1,150,092,000.00 1,150,092,000.00
1,150,092,000.00 1,150,092,000.00
1,150,092,000.00 1,150,092,000.00
1,150,092,000.00 1,150,092,000.00
1,150,092,000.00
1,150,092,000.00
1,150,092,000.00
1,150,092,000.00
1,150,092,000.00
1,150,092,000.00
1,150,092,000.00 1,150,092,000.00
1,150,092,000.00
1,150,092,000.00
1,150,092,000.00
1,150,092,000.00
190,440,000.00
190,440,000.00
21,735,000.00
21,735,000.00
0.00
223,300,000.00 97,500,000.00 33,000,000.00 353,800,000.00
2.2.1 Minyak tanah
190,440,000.00
190,440,000.00
190,440,000.00
190,440,000.00
190,440,000.00
190,440,000.00
190,440,000.00
2.2.2 Bensin
21,735,000.00
21,735,000.00
21,735,000.00
21,735,000.00
21,735,000.00
21,735,000.00
21,735,000.00
21,735,000.00
2.2.4 Oli
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
13,800,000.00
2.2.5 Es balok
11,592,000.00
11,592,000.00
11,592,000.00
11,592,000.00
11,592,000.00
11,592,000.00
11,592,000.00
11,592,000.00
11,592,000.00
11,592,000.00
2.2.6 Air tawar
1,035,000.00
1,035,000.00
1,035,000.00
1,035,000.00
1,035,000.00
1,035,000.00
1,035,000.00
1,035,000.00
1,035,000.00
2.2.7 Ransum
33,810,000.00
33,810,000.00
33,810,000.00
33,810,000.00
33,810,000.00
33,810,000.00
33,810,000.00
33,810,000.00
33,810,000.00
33,810,000.00
2.2.8 Retribusi Sub-Jumlah
14,269,200.00 286,681,200.00
14,269,200.00 286,681,200.00
14,269,200.00 286,681,200.00
14,269,200.00 286,681,200.00
14,269,200.00 286,681,200.00
14,269,200.00 286,681,200.00
14,269,200.00 286,681,200.00
14,269,200.00 286,681,200.00
14,269,200.00 286,681,200.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
6,000,000.00
6,000,000.00
6,000,000.00
6,000,000.00
6,000,000.00
6,000,000.00
6,000,000.00
6,000,000.00
6,000,000.00
5,000,000.00 12,200,000.00
5,000,000.00 12,200,000.00
5,000,000.00 12,200,000.00
5,000,000.00 12,200,000.00
5,000,000.00 12,200,000.00
5,000,000.00 12,200,000.00
5,000,000.00 12,200,000.00
5,000,000.00 12,200,000.00
5,000,000.00 12,200,000.00
5,000,000.00 12,200,000.00
298,881,200.00
298,881,200.00
298,881,200.00
298,881,200.00
298,881,200.00
298,881,200.00
298,881,200.00
298,881,200.00
298,881,200.00
298,881,200.00
851,210,800.00
851,210,800.00
851,210,800.00
851,210,800.00
851,210,800.00
851,210,800.00
851,210,800.00
851,210,800.00
851,210,800.00
851,210,800.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
724,486,600.00
724,486,600.00
724,486,600.00
724,486,600.00
724,486,600.00
724,486,600.00
724,486,600.00
724,486,600.00
724,486,600.00
724,486,600.00
425,605,400.00 3,902,254,000.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
425,605,400.00
0.94 1,082,439,529.41 681,869,741.18
0.89 1,018,766,615.92 641,759,756.40
0.83 958,839,167.92 604,009,182.50
0.78 902,436,863.93 568,479,230.58
0.74 849,352,342.52 535,039,275.84
0.70 799,390,440.02 503,566,377.26
0.65 752,367,472.96 473,944,825.66
0.62 708,110,562.78 446,065,718.27
0.58 666,457,000.27 419,826,558.37
0.55 627,253,647.31 395,130,878.47
400,569,788.24 1.49
377,006,859.52
354,829,985.43
333,957,633.34
314,313,066.68
295,824,062.75
278,422,647.30
262,044,844.51
246,630,441.90
232,122,768.84
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan 2.3.2 Perawatan alat tangkap 2.3.3 Perawatan mesin Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%) PB PC PV BCA
353,800,000.00 353,800,000.00
353,800,000.00 353,800,000.00 1.00 0.00 353,800,000.00 353,800,000.00
1,035,000.00
1,200,000.00 6,000,000.00
190,440,000.00
14,269,200.00 286,681,200.00
237
238
Lampiran 28. Hasil Analisis BCR Handline (Pancing Ulur/Pancing Tangan) Desa Laha Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
-
-
-
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
33,600,000.00
33,600,000.00
33,600,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat tangkap handline 2.1.3 Mesin kapal Sub-Jumlah
1,658,900.00 305,600.00
305,600.00
305,600.00
305,600.00
305,600.00
305,600.00
305,600.00
0.00 1,964,500.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.5 Es balok
1,176,000.00
1,176,000.00
1,176,000.00
1,176,000.00
1,176,000.00
1,176,000.00
1,176,000.00
1,176,000.00
1,176,000.00
2.2.6 Air tawar
504,000.00
504,000.00
504,000.00
504,000.00
504,000.00
504,000.00
504,000.00
504,000.00
504,000.00
Sub-Jumlah
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,680,000.00
1,176,000.00 504,000.00 1,680,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
244,000.00
244,000.00
244,000.00
244,000.00
244,000.00
244,000.00
244,000.00
244,000.00
244,000.00
Sub-jumlah
329,000.00
329,000.00
329,000.00
329,000.00
329,000.00
329,000.00
329,000.00
329,000.00
329,000.00
329,000.00
1,964,500.00
2,009,000.00
2,009,000.00
2,314,600.00
2,009,000.00
2,009,000.00
2,314,600.00
2,009,000.00
2,009,000.00
2,314,600.00
2,009,000.00
-1,964,500.00
31,591,000.00
31,591,000.00
31,285,400.00
31,591,000.00
31,591,000.00
31,285,400.00
31,591,000.00
31,591,000.00
31,285,400.00
31,591,000.00
1,964,500.00
2,009,000.00
2,009,000.00
2,314,600.00
2,009,000.00
2,009,000.00
2,314,600.00
2,009,000.00
2,009,000.00
2,314,600.00
2,009,000.00
31,591,000.00
31,591,000.00
31,285,400.00
31,591,000.00
31,591,000.00
31,285,400.00
31,591,000.00
31,591,000.00
31,285,400.00
31,591,000.00
Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
-1,964,500.00
85,000.00 244,000.00
281,437,700.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
31,623,529.41
29,763,321.80
28,012,538.16
26,364,741.80
24,813,874.64
23,354,234.95
21,980,456.43
20,687,488.40
19,470,577.32
18,325,249.24
PC
1,964,500.00
1,890,823.53
1,779,598.62
1,929,697.05
1,576,391.85
1,483,662.92
1,608,800.96
1,314,248.12
1,236,939.41
1,341,267.81
1,095,697.19
PV
-1,964,500.00
29,732,705.88
27,983,723.18
26,082,841.12
24,788,349.95
23,330,211.72
21,745,433.99
20,666,208.30
19,450,548.99
18,129,309.51
17,229,552.05
BCA
14.19
Lampiran 29. Hasil Analisis BCR Handline (Pancing Ulur/Pancing Tangan) Desa Tawiri Uraian
0
1
2
0
32,019,300.00
32,019,300.00
3
4
5
6
7
8
9
10
32,019,300.00
32,019,300.00
32,019,300.00
32,019,300.00
32,019,300.00
32,019,300.00
32,019,300.00
32,019,300.00
32,019,300.00
32,019,300.00
32,019,300.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
-
32,019,300.00
32,019,300.00 -
32,019,300.00
-
32,019,300.00
-
32,019,300.00
32,019,300.00
32,019,300.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat tangkap handline 2.1.3 Mesin kapal Sub-Jumlah
1,014,400.00 278,850.00
278,850.00
278,850.00
278,850.00
278,850.00
278,850.00
278,850.00
0.00 1,293,250.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.5 Es balok
420,000.00
420,000.00
420,000.00
420,000.00
420,000.00
420,000.00
420,000.00
420,000.00
420,000.00
2.2.6 Air tawar
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
2.2.7 Ransum
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
3,240,000.00
Sub-Jumlah
4,110,000.00
4,110,000.00
4,110,000.00
4,110,000.00
4,110,000.00
4,110,000.00
4,110,000.00
4,110,000.00
4,110,000.00
420,000.00 450,000.00 3,240,000.00 4,110,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
290,000.00
290,000.00
290,000.00
290,000.00
290,000.00
290,000.00
290,000.00
290,000.00
290,000.00
290,000.00
Sub-jumlah
410,000.00
410,000.00
410,000.00
410,000.00
410,000.00
410,000.00
410,000.00
410,000.00
410,000.00
410,000.00
1,293,250.00
4,520,000.00
4,520,000.00
4,798,850.00
4,520,000.00
4,520,000.00
4,798,850.00
4,520,000.00
4,520,000.00
4,798,850.00
4,520,000.00
-1,293,250.00
27,499,300.00
27,499,300.00
27,220,450.00
27,499,300.00
27,499,300.00
27,220,450.00
27,499,300.00
27,499,300.00
27,220,450.00
27,499,300.00
1,293,250.00
4,520,000.00
4,520,000.00
4,798,850.00
4,520,000.00
4,520,000.00
4,798,850.00
4,520,000.00
4,520,000.00
4,798,850.00
4,520,000.00
-1,293,250.00
27,499,300.00
27,499,300.00
27,220,450.00
27,499,300.00
27,499,300.00
27,220,450.00
27,499,300.00
27,499,300.00
27,220,450.00
27,499,300.00
Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
245,363,900.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
30,135,811.76
28,363,116.96
26,694,698.31
25,124,421.94
23,646,514.77
22,255,543.31
20,946,393.70
19,714,252.90
18,554,590.96
17,463,144.43
PC
1,293,250.00
4,254,117.65
4,003,875.43
4,000,832.40
3,546,685.50
3,338,056.95
3,335,519.95
2,956,894.73
2,782,959.75
2,780,844.64
2,465,182.34
PV
-1,293,250.00
25,881,694.12
24,359,241.52
22,693,865.91
21,577,736.44
20,308,457.82
18,920,023.36
17,989,498.97
16,931,293.15
15,773,746.32
14,997,962.10
BCA
6.70
239
240
Lampiran 30. Hasil Analisis BCA Gillnet Hanyut Desa Galala Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
-
-
-
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
26,400,000.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
26,400,000.00
26,400,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Gillnet
1,800,000.00
2.1.2 Gillnet Hanyut
3,100,000.00
2.1.3 Mesin Kapal
3,700,000.00
Sub-Jumlah
8,600,000.00
3,100,000.00
3,100,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.2 Bensin
4,752,000.00
4,752,000.00
4,752,000.00
4,752,000.00
4,752,000.00
4,752,000.00
4,752,000.00
4,752,000.00
4,752,000.00
4,752,000.00
2.2.7 Ransum
1,980,000.00
1,980,000.00
1,980,000.00
1,980,000.00
1,980,000.00
1,980,000.00
1,980,000.00
1,980,000.00
1,980,000.00
1,980,000.00
Sub-Jumlah
6,732,000.00
6,732,000.00
6,732,000.00
6,732,000.00
6,732,000.00
6,732,000.00
6,732,000.00
6,732,000.00
6,732,000.00
6,732,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
125,000.00
2.3.3 Perawatan mesin
240,000.00
240,000.00
240,000.00
240,000.00
240,000.00
240,000.00
240,000.00
240,000.00
240,000.00
240,000.00
Sub-jumlah
485,000.00
485,000.00
485,000.00
485,000.00
485,000.00
485,000.00
485,000.00
485,000.00
485,000.00
485,000.00
7,217,000.00
7,217,000.00
7,217,000.00
7,217,000.00
10,317,000.00
7,217,000.00
7,217,000.00
7,217,000.00
7,217,000.00
7,217,000.00
19,183,000.00
19,183,000.00
19,183,000.00
19,183,000.00
16,083,000.00
19,183,000.00
19,183,000.00
19,183,000.00
19,183,000.00
19,183,000.00
6,394,333.33
6,394,333.33
6,394,333.33
6,394,333.33
5,361,000.00
6,394,333.33
6,394,333.33
6,394,333.33
6,394,333.33
6,394,333.33
13,611,333.33
13,611,333.33
13,611,333.33
13,611,333.33
15,678,000.00
13,611,333.33
13,611,333.33
13,611,333.33
13,611,333.33
13,611,333.33
12,788,666.67
12,788,666.67
12,788,666.67
12,788,666.67
10,722,000.00
12,788,666.67
12,788,666.67
12,788,666.67
12,788,666.67
12,788,666.67
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK
8,600,000.00 8,600,000.00
Bagi Hasil ABK 1/3 (Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
8,600,000.00 8,600,000.00
117,220,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
PB
0.00
24,847,058.82
23,385,467.13
22,009,851.41
20,715,154.27
19,496,615.79
18,349,756.03
17,270,358.62
16,254,455.17
15,298,310.75
14,398,410.12
PC
8,600,000.00 8,600,000.00
12,810,666.67
12,057,098.04
11,347,856.98
10,680,335.98
11,578,331.15
9,460,782.04
8,904,265.45
8,380,485.13
7,887,515.42
7,423,543.92
12,036,392.16
11,328,369.09
10,661,994.44
10,034,818.29
7,918,284.64
8,888,973.99
8,366,093.17
7,873,970.04
7,410,795.33
6,974,866.19
PV BCA
1.76
Lampiran 31. Hasil Analisis BCR Handline (Pancing Ulur/Pancing Tangan) Desa Latuhalat Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
-
-
-
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
44,100,000.00
44,100,000.00
44,100,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal 2.1.2 Alat tangkap handline
217,000.00 162,000.00
2.1.3 Mesin kapal
2,000,000.00
Sub-Jumlah
2,379,000.00
162,000.00
162,000.00
162,000.00
162,000.00
162,000.00
162,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.2 Bensin
11,340,000.00
Sub-Jumlah
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
11,340,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
85,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
200,400.00
200,400.00
200,400.00
200,400.00
200,400.00
200,400.00
200,400.00
200,400.00
200,400.00
200,400.00
2.3.3 Perawatan mesin
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
Sub-jumlah
485,400.00
485,400.00
485,400.00
485,400.00
485,400.00
485,400.00
485,400.00
485,400.00
485,400.00
485,400.00
2,379,000.00
11,825,400.00
11,825,400.00
11,987,400.00
11,825,400.00
11,825,400.00
11,987,400.00
11,825,400.00
11,825,400.00
11,987,400.00
11,825,400.00
-2,379,000.00
32,274,600.00
32,274,600.00
32,112,600.00
32,274,600.00
32,274,600.00
32,112,600.00
32,274,600.00
32,274,600.00
32,112,600.00
32,274,600.00
2,379,000.00
11,825,400.00
11,825,400.00
11,987,400.00
11,825,400.00
11,825,400.00
11,987,400.00
11,825,400.00
11,825,400.00
11,987,400.00
11,825,400.00
32,274,600.00
32,274,600.00
32,112,600.00
32,274,600.00
32,274,600.00
32,112,600.00
32,274,600.00
32,274,600.00
32,112,600.00
32,274,600.00
Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
-2,379,000.00
287,606,400.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
41,505,882.35
39,064,359.86
36,766,456.34
34,603,723.61
32,568,210.46
30,652,433.37
28,849,349.06
27,152,328.53
25,555,132.73
24,051,889.63
PC
2,379,000.00
11,129,788.24
10,475,094.81
9,993,973.21
9,278,976.72
8,733,154.56
8,332,040.36
7,735,943.14
7,280,887.66
6,946,476.15
6,449,506.02
PV
-2,379,000.00
30,376,094.12
28,589,265.05
26,772,483.13
25,324,746.90
23,835,055.90
22,320,393.02
21,113,405.92
19,871,440.87
18,608,656.58
17,602,383.61
BCA
3.61
241
242
Lampiran 32. Hasil Analisis BCR Handline (Pancing Ulur/Pancing Tangan) Desa Rumah Tiga Uraian
0
1
2
0
30,000,000.00
30,000,000.00
3
4
5
6
7
8
9
10
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
-
30,000,000.00
30,000,000.00 -
30,000,000.00
-
30,000,000.00
-
30,000,000.00
30,000,000.00
30,000,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal
1,278,000.00
2.1.2 Alat tangkap handline
1,029,000.00
2.1.3 Mesin kapal Sub-Jumlah
1,029,000.00
1,029,000.00
1,029,000.00
1,029,000.00
1,029,000.00
1,029,000.00
0.00 2,307,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.5 Es balok
1,260,000.00
1,260,000.00
1,260,000.00
1,260,000.00
1,260,000.00
1,260,000.00
1,260,000.00
1,260,000.00
1,260,000.00
2.2.6 Air tawar
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
450,000.00
2.2.7 Ransum
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
3,420,000.00
Sub-Jumlah
5,130,000.00
5,130,000.00
5,130,000.00
5,130,000.00
5,130,000.00
5,130,000.00
5,130,000.00
5,130,000.00
5,130,000.00
1,260,000.00 450,000.00 3,420,000.00 5,130,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
140,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
300,000.00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK
440,000.00
440,000.00
440,000.00
440,000.00
440,000.00
440,000.00
440,000.00
440,000.00
440,000.00
440,000.00
2,307,000.00
5,570,000.00
5,570,000.00
6,599,000.00
5,570,000.00
5,570,000.00
6,599,000.00
5,570,000.00
5,570,000.00
6,599,000.00
5,570,000.00
-2,307,000.00
24,430,000.00
24,430,000.00
23,401,000.00
24,430,000.00
24,430,000.00
23,401,000.00
24,430,000.00
24,430,000.00
23,401,000.00
24,430,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
5,570,000.00
5,570,000.00
6,599,000.00
5,570,000.00
5,570,000.00
6,599,000.00
5,570,000.00
5,570,000.00
6,599,000.00
5,570,000.00
24,430,000.00
24,430,000.00
23,401,000.00
24,430,000.00
24,430,000.00
23,401,000.00
24,430,000.00
24,430,000.00
23,401,000.00
24,430,000.00
Bagi Hasil ABK 0 %(pemilik merangkap ABK) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
2,307,000.00 -2,307,000.00
214,476,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
28,235,294.12
26,574,394.46
25,011,194.79
23,539,948.04
22,155,245.21
20,851,995.49
19,625,407.52
18,470,971.79
17,384,444.03
16,361,829.68
PC
2,307,000.00
5,242,352.94
4,933,979.24
5,501,629.15
4,370,583.69
4,113,490.53
4,586,743.94
3,643,784.00
3,429,443.76
3,823,998.21
3,037,846.38
PV
-2,307,000.00
22,992,941.18
21,640,415.22
19,509,565.64
19,169,364.35
18,041,754.68
16,265,251.55
15,981,623.53
15,041,528.02
13,560,445.83
13,323,983.30
BCA
4.85
Lampiran 33. Hasil Analisis BCR Handline (Pancing Ulur/Pancing Tangan) Desa Hukurilla Uraian
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
-
-
-
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
10
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan 1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
39,900,000.00
39,900,000.00
39,900,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal
844,000.00
2.1.2 Alat tangkap handline
200,000.00
2.1.3 Mesin kapal Sub-Jumlah
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
200,000.00
0.00 1,044,000.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.5 Es balok
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
1,915,200.00
2.2.7 Ransum
2,280,000.00
2,280,000.00
2,280,000.00
2,280,000.00
2,280,000.00
2,280,000.00
2,280,000.00
2,280,000.00
2,280,000.00
2,280,000.00
Sub-Jumlah
4,195,200.00
4,195,200.00
4,195,200.00
4,195,200.00
4,195,200.00
4,195,200.00
4,195,200.00
4,195,200.00
4,195,200.00
4,195,200.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
120,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
120,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
1,200,000.00
Sub-jumlah
1,320,000.00
1,320,000.00
1,320,000.00
1,320,000.00
1,320,000.00
1,320,000.00
1,320,000.00
1,320,000.00
1,320,000.00
1,044,000.00
5,515,200.00
5,515,200.00
5,715,200.00
5,515,200.00
5,515,200.00
5,715,200.00
5,515,200.00
5,515,200.00
5,715,200.00
5,515,200.00
-1,044,000.00
34,384,800.00
34,384,800.00
34,184,800.00
34,384,800.00
34,384,800.00
34,184,800.00
34,384,800.00
34,384,800.00
34,184,800.00
34,384,800.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK Bagi Hasil ABK 0 %(pemilik merangkap ABK) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
1,200,000.00 1,320,000.00
1,044,000.00
5,515,200.00
5,515,200.00
5,715,200.00
5,515,200.00
5,515,200.00
5,715,200.00
5,515,200.00
5,515,200.00
5,715,200.00
5,515,200.00
-1,044,000.00
34,384,800.00
34,384,800.00
34,184,800.00
34,384,800.00
34,384,800.00
34,184,800.00
34,384,800.00
34,384,800.00
34,184,800.00
34,384,800.00
307,819,200.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
PB
0.00
37,552,941.18
35,343,944.64
33,264,889.07
31,308,130.89
29,466,476.13
27,733,154.01
26,101,792.01
24,566,392.48
23,121,310.57
21,761,233.47
PC
1,044,000.00
5,190,776.47
4,885,436.68
4,764,799.35
4,327,584.05
4,073,020.28
3,972,444.15
3,607,934.92
3,395,703.45
3,311,852.48
3,007,958.77
PV
-1,044,000.00
32,362,164.71
30,458,507.96
28,500,089.72
26,980,546.84
25,393,455.85
23,760,709.85
22,493,857.09
21,170,689.02
19,809,458.08
18,753,274.71
BCA
6.98
243
244
Lampiran 34. Hasil Analisis BCR Pancing Tonda Desa Amausu Uraian
0
1
2
3
4
5
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
-
-
-
-
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
6
7
8
9
10
11
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
1. Arus Masuk 1.1 Nilai hasil tangkapan
0
1.2 Nilai sisa Jumlah Pemasukan
0.00
43,200,000.00
43,200,000.00
43,200,000.00
2. Arus keluar 2.1 Biaya Investasi 2.1.1 Kapal Pancing Tonda (Fiber) 2.1.2 Alat Tangkap Pancing
1,295,500.00 255,000.00
2.1.3 Mesin Kapal
3,500,000.00
Sub-Jumlah
5,050,500.00
255,000.00
0.00
255,000.00
255,000.00
0.00
255,000.00
255,000.00
0.00
255,000.00
255,000.00
0.00
255,000.00
255,000.00
0.00
255,000.00
0.00
2.2 Biaya Operasional 2.2.1 Minyak tanah
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
5,184,000.00
2.2.2 Bensin
14,580,000.00
14,580,000.00
14,580,000.00
14,580,000.00
14,580,000.00
14,580,000.00
14,580,000.00
14,580,000.00
14,580,000.00
14,580,000.00
14,580,000.00
2.2.7 Ransum
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
Sub-Jumlah
22,464,000.00
22,464,000.00
22,464,000.00
22,464,000.00
22,464,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
22,464,000.00
22,464,000.00
22,464,000.00
22,464,000.00
22,464,000.00
22,464,000.00
2.3 Biaya perawatan 2.3.1 Perawatan kapal penangkapan
350,000.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
350,000.00
2.3.2 Perawatan alat tangkap
840,000.00
840,000.00
840,000.00
840,000.00
840,000.00
840,000.00
840,000.00
840,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
350,000.00 840,000.00
350,000.00 840,000.00
350,000.00 840,000.00
2.3.3 Perawatan mesin
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
1,200,000.00
Sub-jumlah Jumlah Pengeluaran Sebelum Biaya ABK Keuntungan Tahunan Sebelum Biaya ABK
2,390,000.00
2,390,000.00
2,390,000.00
2,390,000.00
2,390,000.00
2,390,000.00
2,390,000.00
2,390,000.00
2,390,000.00
2,390,000.00
2,390,000.00
24,854,000.00
25,109,000.00
24,854,000.00
25,109,000.00
24,854,000.00
25,109,000.00
24,854,000.00
25,109,000.00
24,854,000.00
25,109,000.00
24,854,000.00
18,346,000.00
18,091,000.00
18,346,000.00
18,091,000.00
18,346,000.00
18,091,000.00
18,346,000.00
18,091,000.00
18,346,000.00
18,091,000.00
18,346,000.00
9,173,000.00
9,045,500.00
9,173,000.00
9,045,500.00
9,173,000.00
9,045,500.00
9,173,000.00
9,045,500.00
9,173,000.00
9,045,500.00
9,173,000.00
34,027,000.00
34,154,500.00
34,027,000.00
34,154,500.00
34,027,000.00
34,154,500.00
34,027,000.00
34,154,500.00
34,027,000.00
34,154,500.00
34,027,000.00
9,173,000.00
9,045,500.00
9,173,000.00
9,045,500.00
9,173,000.00
9,045,500.00
9,173,000.00
9,045,500.00
9,173,000.00
9,045,500.00
9,173,000.00
Bagi Hasil ABK 50 %(Biaya ABK ) Jumlah Pengeluaran Termasuk Biaya ABK Keuntungan Tahunan Pemilik
5,050,500.00 5,050,500.00
5,050,500.00 5,050,500.00
95,215,000.00
Keuntungan Usaha (∏) DF (6.25%)
1.00
0.94
0.89
0.83
0.78
0.74
0.70
0.65
0.62
0.58
0.55
0.51
PB
0.00
40,658,823.53
38,267,128.03
36,016,120.50
33,897,525.17
31,903,553.10
30,026,873.51
28,260,586.83
26,598,199.37
25,033,599.41
23,561,034.74
22,175,091.52
PC
5,050,500.00 5,050,500.00
32,025,411.76
30,254,505.19
28,368,530.84
26,799,838.51
25,129,217.63
23,739,649.34
22,259,791.39
21,028,893.53
19,718,015.90
18,627,670.39
17,466,477.76
8,633,411.76
8,012,622.84
7,647,589.66
7,097,686.67
6,774,335.48
6,287,224.17
6,000,795.44
5,569,305.84
5,315,583.50
4,933,364.35
4,708,613.76
PV BCA
1.24
245
Lampiran 35. Hasil Analisis Tingkat Kepemilikan Usaha perikanan Tangkap No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Nama Desa Waihaong Seilale Batu Merah Benteng Pandan Kasturi Lateri Urimesing Silale Hunut Negeri Lama Waeheru Wayame Nusaniwe Kilang Leahari Halong Nania Hatiwe Kecil Rutong Naku Hutumuri Passo Poka Latta Hatiwe Besar Laha Tawiri Galala Latuhalat Rumah Tiga Hukurilla Amahusu
Populasi Usaha Perikanan Tangkap (unit) 37 8 24 6 2 51 12 15 10 9 6 20 13 15 27 5 5 6 18 27 139 32 19 14 19 68 27 2 26 37 54 14
Proporsi Kepemilikan
Tingkat Ke Pemilikan
0,048 0,010 0,031 0,008 0,003 0,066 0,016 0,020 0,013 0,012 0,008 0,026 0,017 0,020 0,035 0,007 0,007 0,008 0,023 0,035 0,181 0,042 0,025 0,018 0,025 0,089 0,035 0,003 0,034 0,048 0,070 0,018
sedang rendah sedang rendah rendah sedang rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah sedang rendah rendah rendah rendah sedang tinggi sedang rendah rendah rendah tinggi sedang rendah sedang sedang sedang rendah
246
Lampiran 36. Perhitungan Analisis Sebaran Kepemilikan Usaha perikanan Tangkap (UPT)
Perhitungan awal PUPTi PUPTtot PDes Ratio (r) m
= = = = = =
Populasi UPT ke-i Populasi UPT total Populasi Desa (SUM (PUPTi/PUPTtot))/PDes 0.031 100
Perhitungan batas range
p1
= =
p - 3 ((p(1-p))/m)^0.5 -0.021 (dibulatkan jadi 0)
p2
=
0.031
p3
= =
p - 3 ((p(1-p))/m)^0.5 0.083
Range Tingkat Kepemilikan UPT • • •
Tingkat kepemilikan rendah : 0 - < 0,031 Tingkat kepemilikan sedang : 0,031 - < 0,083 Tingkat kepemilikan tinggi : > 0,083
247
Lampiran 37. Model awal analisis SEM dan hasil analisis SEM pengembangan kluster desa Model : .35 d11
.15 d12
.30 d13
1
1
1
X12
X13
X11 1.00
.07 .26 1 d21
1.27 1 d23
.54
Z2
1
Teknis_UPT X21 2.57
.35 1 d22
1.03.48
X22
2.64
Z1
1 .08
Fisik_Desa
.64
1.00 -.56
Z5 1
X23
Y1
BCR_UPT
Y2
.191
d31
.031
d32
.611
d33
X31 11.82 X32 1.00
1
.28 e2
Y3
.21
1
e3
2.03
.30
1 11.57
Y4
1
.30 e4
Sosbud
X33
1.04 Z4
1
Ekologi_Desa
.52
.67
1.00
X41
X42
X43
1 .41 d41
1 .89 d42
1 .33 d43
Equation : Your model contains the following variables X11 X12 X13 X23 X22 X21 X33 X32 X31 X43 X42 X41 Y1 Y2 Y3
.91
.57
Z3
.27 e1
1.00 1.15
.00
1
observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed observed
endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous
Chi-square = 556.102 Sig- Probability = .000 AGFI = .624 CFI = .679 CMIN/DF = 5.561 GFI = .724 RMSEA = .160 TLI = .615
248
Y4
observed
endogenous
Teknis_UPT Fisik_Desa Sosbud Ekologi_Desa BCR_UPT
unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved
endogenous endogenous endogenous endogenous endogenous
d11 d12 d13 d23 d22 d21 d33 d32 d31 d43 d42 d41 e1 e2 e3 Z2 Z3 Z5 Z1 e4 Z4
unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved unobserved
exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous exogenous
Number of variables in your model: Number of observed variables: Number of unobserved variables: Number of exogenous variables: Number of endogenous variables:
42 16 26 21 21
The model is recursive. Sample size = 179 Computation of degrees of freedom Number of distinct sample moments = 136 Number of distinct parameters to be estimated = 36 Degrees of freedom = 136 - 36 = 100 Minimum was achieved Chi-square = 556.102 Degrees of freedom = 100
249
Probability level = 0.000 Regression Weights BCR_UPT BCR_UPT BCR_UPT BCR_UPT X11 X12 X13 X23 X22 X21 X33 X32 X31 X43 X42 X41 Y1 Y2 Y3 Y4
<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<--
Estimate S.E. C.R. P Sosbud 2.034 2.778 0.732 0.464 Ekologi_Desa 0.300 0.059 5.124 0.000 Teknis_UPT 0.642 0.083 7.763 0.000 Fisik_Desa -0.557 0.287 -1.939 0.053 Teknis_UPT 1.000 Teknis_UPT 1.029 0.094 10.916 0.000 Teknis_UPT 0.480 0.069 6.927 0.000 Fisik_Desa 1.000 Fisik_Desa 2.640 1.086 2.431 0.015 Fisik_Desa 2.571 0.925 2.781 0.005 Sosbud 1.000 Sosbud 11.820 16.805 0.703 0.482 Sosbud 11.573 15.120 0.765 0.444 Ekologi_Desa 1.000 Ekologi_Desa 0.670 0.099 6.734 0.000 Ekologi_Desa 0.520 0.073 7.135 0.000 BCR_UPT 1.000 BCR_UPT 1.150 0.097 11.838 0.000 0.907 0.082 11.045 0.000 BCR_UPT BCR_UPT 0.569 0.077 7.431 0.000
Standardized Regression Weights
BCR_UPT BCR_UPT BCR_UPT BCR_UPT X11 X12 X13 X23 X22 X21 X33 X32 X31 X43 X42 X41 Y1 Y2 Y3 Y4
<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<-<--
Sosbud Ekologi_Desa Teknis_UPT Fisik_Desa Teknis_UPT Teknis_UPT Teknis_UPT Fisik_Desa Fisik_Desa Fisik_Desa Sosbud Sosbud Sosbud Ekologi_Desa Ekologi_Desa Ekologi_Desa BCR_UPT BCR_UPT BCR_UPT BCR_UPT
Estimate 0.152 0.470 0.720 -0.232 0.778 0.888 0.543 0.235 0.774 0.808 0.062 0.961 0.790 0.870 0.587 0.640 0.782 0.816 0.793 0.560
Label par-11 par-12 par-13 par-14 par-1 par-2 par-3 par-4 par-5 par-6 par-7 par-8 par-9 par-10 par-15
250
Variances Z2 Z3 Z1 Z4 Z5 d11 d12 d13 d23 d22 d21 d33 d32 d31 d43 d42 d41 e1 e2 e3 e4
Estimate 0.074 0.002 0.537 1.044 0.078 0.350 0.152 0.296 1.268 0.346 0.260 0.612 0.028 0.193 0.335 0.888 0.406 0.271 0.283 0.207 0.302
S.E. 0.054 0.006 0.093 0.180 0.028 0.051 0.040 0.033 0.137 0.127 0.118 0.065 0.098 0.096 0.116 0.109 0.054 0.037 0.041 0.029 0.035
C.R. 1.365 0.368 5.760 5.800 2.754 6.859 3.830 8.836 9.240 2.727 2.195 9.424 0.283 2.008 2.873 8.120 7.552 7.396 6.867 7.156 8.722
Squared Multiple Correlations Estimate Ekologi_Desa 0.000 Sosbud 0.000 Fisik_Desa 0.000 Teknis_UPT 0.000 BCR_UPT 0.816 Y4 0.314 Y3 0.629 Y2 0.666 Y1 0.612 X41 0.410 X42 0.345 X43 0.757 X31 0.624 X32 0.923 X33 0.004 X21 0.653 X22 0.598 X23 0.055 X13 0.295 X12 0.789 X11 0.605
P 0.172 0.713 0.000 0.000 0.006 0.000 0.000 0.000 0.000 0.006 0.028 0.000 0.777 0.045 0.004 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Label par-16 par-17 par-18 par-19 par-20 par-21 par-22 par-23 par-24 par-25 par-26 par-27 par-28 par-29 par-30 par-31 par-32 par-33 par-34 par-35 par-36
251
Variances Z2 Z3 Z1 Z4 Z5 d11 d12 d13 d23 d22 d21 d33 d32 d31 d43 d42 d41 e1 e2 e3 e4
Estimate 0.074 0.002 0.537 1.044 0.078 0.350 0.152 0.296 1.268 0.346 0.260 0.612 0.028 0.193 0.335 0.888 0.406 0.271 0.283 0.207 0.302
S.E. 0.054 0.006 0.093 0.180 0.028 0.051 0.040 0.033 0.137 0.127 0.118 0.065 0.098 0.096 0.116 0.109 0.054 0.037 0.041 0.029 0.035
C.R. 1.365 0.368 5.760 5.800 2.754 6.859 3.830 8.836 9.240 2.727 2.195 9.424 0.283 2.008 2.873 8.120 7.552 7.396 6.867 7.156 8.722
Squared Multiple Correlations Estimate Ekologi_Desa 0.000 Sosbud 0.000 Fisik_Desa 0.000 Teknis_UPT 0.000 BCR_UPT 0.816 Y4 0.314 Y3 0.629 Y2 0.666 Y1 0.612 X41 0.410 X42 0.345 X43 0.757 X31 0.624 X32 0.923 X33 0.004 X21 0.653 X22 0.598 X23 0.055 X13 0.295 X12 0.789 X11 0.605
P 0.172 0.713 0.000 0.000 0.006 0.000 0.000 0.000 0.000 0.006 0.028 0.000 0.777 0.045 0.004 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Label par-16 par-17 par-18 par-19 par-20 par-21 par-22 par-23 par-24 par-25 par-26 par-27 par-28 par-29 par-30 par-31 par-32 par-33 par-34 par-35 par-36
252
Modification Indices Covariances: Z3 <-->
Z4
M.I. Par Change 28.895 0.023
Z2
<-->
Z4
44.870 0.174
Z2
<-->
Z3
25.985 0.006
Z1
<-->
Z4
16.450 0.267
Z1
<-->
Z3
25.493 0.015
Z1
<-->
Z2
36.976 0.110
e4
<-->
Z3
4.850 0.005
e4
<-->
Z2
5.618 0.031
e3
<-->
e4
15.872 0.085
d41
<-->
Z2
26.993 0.081
d41
<-->
Z1
7.621 0.110
d42
<-->
Z2
6.806 0.060
d42
<-->
e4
8.969 0.125
d43
<-->
Z3
7.411 0.009
d43
<-->
Z1
4.523 0.106
d43
<-->
e4
4.361 -0.075
d31
<-->
Z4
11.888 0.135
d31
<-->
Z2
5.350 0.025
d31
<-->
Z1
13.512 0.101
d31
<-->
e4
8.330 0.057
d31
<-->
d41
5.469 0.055
d33
<-->
Z2
4.087 0.037
d33
<-->
Z1
10.437 0.149
253
d33
<-->
Z5
5.053 0.060
d33
<-->
e3
7.300 0.080
d33
<-->
d41
7.964 0.112
d33
<-->
d42
4.527 -0.123
d21
<-->
Z4
23.179 0.270
d21
<-->
Z3
43.941 0.017
d21
<-->
Z1
23.633 0.190
d21
<-->
d41
32.443 0.193
d21
<-->
d42
7.198 -0.132
d21
<-->
d31
4.667 0.050
d21
<-->
d32
5.669 0.046
d22
<-->
Z3
8.022 -0.008
d22
<-->
e4
6.278 0.076
d22
<-->
e2
7.306 -0.088
d22
<-->
d42
20.270 0.239
d23
<-->
Z4
12.239 0.334
d23
<-->
d41
7.891 -0.162
d23
<-->
d42
6.258 0.210
d23
<-->
d43
6.779 0.188
d23
<-->
d33
31.265 0.372
d13
<-->
Z4
4.975 0.105
d13
<-->
Z3
4.807 0.005
d13
<-->
Z2
6.251 0.032
d13
<-->
e4
16.611 0.096
254
d13
<-->
e1
8.140 -0.068
d13
<-->
d31
16.022 0.078
d13
<-->
d21
4.687 0.060
d12
<-->
Z4
4.714 0.098
d12
<-->
Z2
8.872 0.037
d12
<-->
e4
7.565 -0.062
d11
<-->
Z3
4.509 0.005
d11
<-->
d42
4.722 -0.106
Fit Measures Fit Measure Default model Macro Discrepancy 556.102 CMIN Degrees of freedom 100 DF P 0.000 P Number of parameters 36 NPAR Discrepancy / df 5.561 CMINDF RMR 0.182 RMR GFI 0.724 GFI Adjusted GFI 0.624 AGFI Parsimony-adjusted GFI 0.532 PGFI
Saturated
Independence
0.000
1542.539
0
120
Normed fit index NFI Relative fit index RFI Incremental fit index IFI Tucker-Lewis index TLI Comparative fit index CFI
1.000
0.639
0.000 136
12.854 0.000
0.259
1.000
0.334 0.245 0.294
1.000
0.615 0.679
0.000 0.000
0.567 0.684
16
0.000 0.000
1.000
0.000
255
Parsimony ratio 0.833 PRATIO Parsimony-adjusted NFI 0.533 PNFI Parsimony-adjusted CFI 0.566 PCFI Noncentrality parameter estimate456.102 NCP NCP lower bound 385.809 NCPLO NCP upper bound 533.904 NCPHI FMIN 3.124 FMIN F0 2.562 F0 F0 lower bound 2.167 F0LO F0 upper bound 2.999 F0HI RMSEA 0.160 RMSEA RMSEA lower bound 0.147 RMSEALO RMSEA upper bound 0.173 RMSEAHI P for test of close fit 0.000 PCLOSE Akaike information criterion (AIC)628.102 AIC Browne-Cudeck criterion 635.705 BCC Bayes information criterion 842.661 BIC Consistent AIC 778.848 CAIC Expected cross validation index3.529 ECVI ECVI lower bound 3.134 ECVILO ECVI upper bound 3.966 ECVIHI MECVI 3.571 MECVI Hoelter .05 index 40 HFIVE Hoelter .01 index 44 HONE
0.000
1.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1422.539
0.000
1299.536
0.000
1552.951
0.000
8.666
0.000
7.992
0.000
7.301
0.000
8.724 0.258 0.247 0.270 0.000
272.000
1574.539
300.720
1577.918
1082.557
1669.898
841.484
1641.537
1.528
8.846
1.528
8.155
1.528
9.578
1.689
8.865 17 19
256 Lampiran 38. Tampilan hierarki hasil analisis AHP
Lampiran 39. Akumulasi perbandingan berpasangan di antara kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 1
257 Lampiran 40 Akumulasi perbandingan berpasangan di antara kriteria potensi sumbedaya ikan dalam mendukung kluster desa 2
Lampiran 41. Akumulasi perbandingan berpasangan di antara kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 4
258 Lampiran 42. Akumulasi perbandingan berpasangan di antara kriteria teknis pengembangan dalam mendukung kluster desa 5
Lampiran 43. Perbandingan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap dalam mengakomodasi kriteria dukungan infrastruktur pada kluster desa 2
259 Lampiran 44. Perbandingan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap dalam mengakomodasi kriteria dukungan infrastruktur pada kluster desa 3
Lampiran 45. Perbandingan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap dalam mengakomodasi kriteria dukungan pasar pada kluster desa 4
260 Lampiran 46. Perbandingan alternatif kebijakan pengembangan perikanan tangkap dalam mengakomodasi kriteria dukungan infrastruktur pada kluster desa 6
Lampiran 47. Hasil analisis sensitivitas kebijakan pembinaan SDM berbasis kinerja kluster desa terhadap perubahan yang terjadi di kluster desa 2
RK sensitif pada kluster 2 : 0,371 - 1
261 Lampiran 48. Hasil analisis sensitivitas kebijakan pembinaan SDM berbasis kinerja kluster desa terhadap perubahan yang terjadi di kluster desa 4
RK sensitif pada kluster 2 : 0,414 - 1
Lampiran 49. Hasil analisis sensitivitas kebijakan pembinaan SDM berbasis kinerja kluster desa terhadap perubahan yang terjadi di kluster desa 6
RK sensitif pada kluster 6 : tidak ada
262 Lampiran 50 Perbandingan kebijakan pembinaan sumberdaya manusia berbasis kinerja kluster (P-SDM) dengan kebijakan pengembangan sarana & prasarana perikanan untuk kluster desa sama yang berdekatan (P-SANPRA)
Lampiran 51. Perbandingan kebijakan pembinaan sumberdaya manusia berbasis kinerja kluster (P-SDM) dengan kebijakan perbaikan sistem pengelolaan usaha perikanan di kluster desa (P-SISTEM)
263 Lampiran 52 Perbandingan kebijakan pembinaan sumberdaya manusia berbasis kinerja kluster (P-SDM) dengan kebijakan pengembangan teknologi tepat guna sesuai kebutuhan kluster desa (P-TEKTGU)
Lampiran 53 Perbandingan kebijakan pembinaan sumberdaya manusia berbasis kinerja kluster (P-SDM) dengan kebijakan pengembangan Pengembangan jaringan pemasaran produk unggulan (P-JARPAS)
264 Lampiran 54 Perbandingan kebijakan pembinaan sumberdaya manusia berbasis kinerja kluster (P-SDM) dengan kebijakan pengembangan zonasi dan restocking untuk setiap kluster desa (P-ZONRES)