6 KLUSTER DESA PERIKANAN Pengklusteran desa perikanan merupakan kegiatan mengelompokkan desadesa di daerah pesisir Kota Ambon berdasarkan kemiripannya dalam menjalankan aktivitas ekonomi berbasis usaha perikanan. Menurut Aleman (2005), kemiripan jenis aktivitas dan kondisi sekitarnya menjadi pertimbangan penting dalam pengklusteran suatu aktivitas ekonomi sehingga dapat berjalan dan berkembang dengan baik. Dalam konteks ini, maka pembahasan tentang kluster perikanan di Kota Ambon ini akan dilihat dari beberapa kesamaan atau kemiripan yang ada, sehingga desa yang kondisi dan aktivitas perikanannya mirip akan berada dalam satu kluster. Menurut Anderson (2004) kesamaan atau kemiripan desa dapat dilihat dari (a) kelayakan usaha yang dijalankan, (b) status desa berdasarkan potensinya, (c) kedekatan dengan jalur distribusi dan pemasaran, serta (d) sebaran pelaksanaan dan pemilik usaha perikanan tangkap. Dalam Bab 6 ini, keempat hal tersebut akan disajikan untuk setiap desa dan dibahas sehingga didapatkan pertimbangan yang mengarah pada penetapan kluster desa yang tepat dan komprehensif. Secara bertahap, desa-desa pesisir yang ada dikelompokkan berdasarkan kelayakan usaha (BCR), status desa, kedekatan jalur distribusi dan pemasaran, serta sebaran pemilikan usaha perikanan tangkap yang berkembang di Kota Ambon 6.1 Kelompok Desa Berdasarkan Nilai BCR Usaha Perikanan Tangkap 6.1.1
Kelompok desa dengan nilai BCR tinggi Hasil analisis dan pembahasan pada Bab 5 telah menunjukkan nilai BCR
setiap usaha perikanan tangkap yang ada di setiap desa pesisir, Kota Ambon. Di samping untuk mengetahui layak tidaknya usaha perikanan tangkap, nilai BCR juga dapat menjelaskan secara lebih spesifik tentang tingkat kelayakan tersebut apakah termasuk tinggi, sedang ataukah rendah. Nilai BCR yang tinggi akan menunjukkan tingkat kelayakan tinggi pada usaha perikanan, dan nilai BCR yang lebih rendah juga menunjukkan tingkat kelayakan usaha perikanan yang rendah atau tidak layak sama sekali. Menurut Kapp (1990), nilai BCR yang tinggi memberi indikasi bahwa penerimaan yang didapat usaha ekonomi dapat dengan mudah menutupi setiap pembiayaan yang diperlukan usaha ekonomi di periode yang berikutnya, dan pada kondisi ini tingkat kelayakan usaha ekonomi termasuk tinggi. Tabel 47 menyajikan
113
kelompok desa pesisir di Kota Ambon yang mempunyai usaha perikanan tangkap dengan nilai BCR yang tinggi (BCR > 2,00). Berdasarkan Tabel 47, dari 32 desa pesisir di Kota Ambon, sebanyak 22 desa (68,75 %) mempunyai usaha perikanan tangkap dengan BCR > 2,00 (klasifikasi BCR =A, bobot =3). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian desa pesisir di Kota Ambon sudah mempunyai usaha perikanan tangkap yang diandalkan untuk mendukung ekonomi perikanan dan kesejahteraan masyarakatnya. Kondisi ini tentu sangat baik, karena dapat memacu perkembangan desa perikanan di wilayah kepulauan dan dalam klasifikasi kluster desa dapat berada pada kelompok kluster teratas. Menurut Campling dan Havice (2007), usaha perikanan yang berkembang dengan baik akan mendukung pengembangan industri pengolahan serta memperkuat strategi atau posisi tawar dalam perdagangan produk perikanan. Dalam kaitan ini, maka pengembangan usaha perikanan tangkap dengan nilai BCR tinggi tersebut perlu diberi perhatian di desa pesisir karena lebih prospektif untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Diantara usaha perikanan tangkap dengan BCR tinggi, handline merupakan usaha perikanan tangkap yang dominan dan selalu mempunyai tingkat kelayakan yang tinggi (BCR tinggi) bila diusahakan. Hal ini ditunjukkan oleh sekitar 72,73 % (16 dari 22) desa pesisir ber-BCR tinggi, usaha perikanan handline selalu berhasil baik. Menurut Berkes (1994), usaha perikanan tangkap yang memberikan keuntungan kepada masyarakat (community) di suatu kawasan akan selalu dipertahankan dan bahkan dapat berkembang dengan lebih baik. Hal ini karena masyarakat umum selalu menjaga dan menggunakan alat produksi yang menurut mereka bisa mendatangkan penghasilan yang lebih. Di antara 22 desa pesisir dengan BCR tinggi tersebut, Desa Leaheri merupakan desa pesisir yang mempunyai BCR paling tinggi pada usaha perikanan tangkapnya, yaitu 20,24 (untuk usaha perikanan handline). Oleh karena itu, maka dari BCR, Desa Leahari dapat masuk dalam kluster I untuk desa perikanan. Namun demikian, kedekatan dengan jalur distribusi dan pemasaran, serta populasi kepemilikan usaha perikanan tangkap di desa akan memberi jawaban pasti mengenai kluster Desa Leahari. Seperti sudah disebutkan, BCR tinggi tersebut merupakan kontribusi dari usaha perikanan handline, dan nilai BCR tertinggi kedua (14,19) untuk Desa Laha juga merupakan kontribusi handline. Nilai BCR sangat tinggi pada
114
Desa Laha juga memberi memberi pelung masuknya desa ini dalam kluster teratas desa perikanan. Secara umum, nilai BCR handline yang sangat tinggi ini dapat disebabkan oleh skala pengusahaan yang kecil (oleh nelayan sendiri) sehingga tidak ada pembagian keuntungan dengan ABK/nelayan lainnya. Di samping itu, handline ini hanya dioperasikan dengan kapal ukuran kecil (bisa juga tanpa mesin), sehingga lebih hemat dalam bahan bakar minyak (BBM), dan juga dapat dioperasikan sepanjang tahun dengan mengatur ukuran mata pancing untuk mensiasati jenis ikan sasaran. Menurut Dahuri (2001), pengembangan perikanan skala kecil perlu dilakukan terutama pada kondisi biaya produksi yang mahal, dan bila hal ini berlanjut maka dapat memulihkan perekonominan daerah maupun kesejahteraan masyarakat pesisir. Namun, bila melihat jumlah usaha perikanan tangkap yang mempunyai BCR tinggi (>2,00) pada ke-22 desa pesisir tersebut, maka Desa Seilale dan Desa Batu Merah merupakan desa pesisir yang paling banyak usaha perikanan tangkapnya dengan BCR > 2,00. Desa Seilale mempunyai tiga usaha perikanan tangkap BCR > 2,00, yaitu masing-masing gillnet hanyut, gillnet dasar, dan handline. Desa Batu Merah juga mempunyai usaha perikanan tangkap dengan BCR > 2,00, yaitu gillnet hanyut, gillnet dasar, dan handline. Banyaknya usaha perikanan dengan BCR tinggi dapat posisi desa tersebut dalam penetapan kluster desa perikanan. Kondisi ini memberi peluang bagi kedua desa untuk masuk dalam posisi teratas kluster desa perikanan. Menurut Iskandar (2005), semakin banyak usaha perikanan yang layak (BCR tinggi), maka semakin tinggi produktivitas usaha perikanan tangkap. Menurut BPS (2001), produktivitas menjadi kriteria/indikator penting dalam penilaian status desa pesisir. Terlepas dari itu semua, bila mengacu Dijten KP3K (2006), Anderson (2004), dan Depperin (2005) tentang klasifikasi kluster desa, maka secara normal kelompok desa pesisir dengan BCR tinggi pada salah satu atau lebih usaha perikanan tangkapnya tersebut, dapat masuk Kluster desa 1 (K1) sampai Kluster desa (K4) diantara 6 klasifikasi yang ada. Bila diantara 22 desa pesisir dengan BCR tinggi tersebut, ada yang dapat memenuhi secara maksimal ketiga kriteria lainnya (status desa, kedekatan dengan jalur distribusi dan pemasaran produk perikanan, serta populasi pemilik usaha perikanan tangkap di desa), maka dapat masuk Kluster desa 1 (K1). Sebaliknya bila tidak maksimal, akan masuk Kluster desa 2, Kluster desa 3,
115
dan Kluster desa 4, dan bisa lebih rendah lagi bila tingkat pemenuhan kriteriakriteria lainnya sangat rendah. Tabel 47 Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR tinggi di Kota Ambon No.
Nama Desa
1
Waihaong
2
Seilale
3
Batu Merah
4
Benteng Pandan Kasturi
5
Usaha Perikanan Menurut Nilai BCR BCR < 1,5
1,5 < BCR < 2,00
BCR > 2,00
Pancing Tonda
Purse Seine
-
-
Purse Seine
-
Handline
Gillnet Hanyut
Gillnet Hanyut dan Gillnet Dasar Gillnet Hanyut, Gillnet Dasar, dan Handline Gillnet Hanyut, Gillnet Dasar, dan Handline Gillnet Dasar
-
-
Gillnet Hanyut
Usaha Perikanan dengan BCR Tertinggi
Nilai BCR Tertinggi
Bobot
Gillnet Hanyut
2.71
3
Gillnet Dasar
4.41
3
Gillnet Dasar
3.98
3
Gillnet Dasar
2.66
3
Gillnet Hanyut
2.06
3
Handline
8.72
3
Gillnet Hanyut
5.74
3
Handline Handline
3.04 9.38
3 3
6
Lateri
Redi
Bagan dan Pole and Line
7
Silale
Purse Seine
-
8 9
Hunut Waeheru
-
10
Nusaniwe
Pancing Tonda
Gillnet Hanyut dan Handline Gillnet Hanyut dan Handline Handline Handline
-
Gillnet Hanyut
Gillnet Hanyut
2.11
3
Pancing Tonda,Gillnet Hanyut, Gillnet Dasar dan Purse Seine
Handline
Handline
20.24
3
-
Pole and Line
Pole and Line
2.15
3
Gillnet Dasar
Gillnet Hanyut dan Handline
Gillnet Hanyut
11.77
3
Gillnet Hanyut
Handline
Handline
5.04
3
4.34
3
2.19 2.07
3 3
14.19
3
6.70 3.61 4.85
3 3 3
6.98
3
11
Leahari
12
Halong
13
Rutong
14
Naku
15 16 17 18 19 20 21 22
Redi, Gillnet Hanyut dan Handline Pancing Tonda Pancing Tonda
Bagan, Gillnet Handline dan Pancing Gillnet Dasar Hanyut dan Pole and Handline Tonda Line Poka Gillnet Hanyut Gillnet Hanyut Latta Gillnet Hanyut Handline Handline Ketinting dan Purse Handline dan Pancing Laha Handline Seine Tonda Tawiri Handline Handline Latuhalat Purse Seine Pancing Tonda Handline Handline Rumah Tiga Handline Handline Pancing Gillnet Hanyut dan Hukurilla Handline Handline Tonda Gillnet Dasar Hutumuri
6.1.2
Kelompok desa dengan nilai BCR sedang Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR sedang merupakan kumpulan desa-
desa pesisir yang mempunyai BCR antara 1,50 – 2,00 pada salah satu atau lebih usaha perikanan tangkap yang dikembangkan di desa tersebut. Dalam kaitan dengan
116
klasifikasi desa pesisir berdasarkan BCR, maka desa dengan BCR 1,50 – 2,00 ini termasuk klasifikasi B (bobot = 2). Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR sedang sebagai BCR terbaik yang dimiliki oleh minimal satu usaha perikanan tangkapnya di Kota Ambon disajikan pada Tabel 48. Tabel 48 Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR sedang di Kota Ambon Usaha Perikanan Menurut Nilai BCR No. Nama Desa
1
Negeri Lama
2
Wayame
3
Kilang
4
Nania Hative Kecil
5
BCR >
Usaha Alat Tangkap Perikanan Dengan Nilai Bobot dengan BCR BCR Tertinggi Tertinggi
BCR < 1,5
1,5 < BCR < 2,00
Redi
Gillnet Hanyut dan Handline
-
1.95
Handline
2
-
Pancing Tonda
-
1.76
Pancing Tonda
2
Handline
-
1.80
Handline
2
Payang
-
1.65
2
-
Pole and Line
-
1.57
Payang Pole and Line Gillnet Hanyut
Gillnet Hanyut dan UP Tuna -
2,00
6
Passo
-
Gillnet Hanyut
-
1.67
7
Galala
-
Pole and Line dan Gillnet Hanyut
-
1.76
Gillnet Hanyut
2 2 2
Dibanding dengan desa pesisir bernilai BCR tinggi, maka penerimaan usaha perikanan tangkap unggulan di desa-desa ini tidak begitu leluasa dalam menutupi pembiayaan yang dibutuhkan selama usaha dijalankan. Hal ini karena selisih penerimaan dengan pembiayaan tidak begitu besar (tidak sampai dua kali lipat). Namun demikian, pada kondisi normal kinerja usaha perikanan pancing tonda tersebut tetap dapat menjamin semua kebutuhan pembiayaan. Untuk kondisi ekstrim, seperti musim pacekelik yang berkepanjangan sehingga hasil tangkapan kurang memuaskan dan fluktuasi tinggi suku bunga yang mempengaruhi harga bahan-bahan perbekalan, maka perlu dilakukan langkah-langkah konkrit dan strategis, agar usaha perikanan tersebut dapat berjalan dengan baik. Menurut Mamuaya, et. al (2007), keberlanjutan usaha perikanan di daerah kota pantai dapat dipertahankan bila dapat menyiasati kondisi paceklik hasil tangkapan, masuknya produk substitusi, dan kondisi ekonomi nasional maupun regional yang tidak stabil. Bila mengacu kepada klasifikasi kluster desa yang ada, maka ketujuh desa pesisir dengan nilai BCR sedang tersebut (Tabel 48) dapat masuk Kluster desa 3 (K3) sampai Kluster desa 6 (K6). Bila aspek lainnya mendukung, maka desa pesisir tersebut dapat masuk kluster atasnya, sedangkan bila tidak mendukung, maka dapat
117
masuk kluster lebih rendah (K5 atau K6). Diantara usaha perikanan tangkap yang kontribusi nilai BCR sedang bagi tujuh desa pesisir di Kota Ambon, handline dan gillnet hanyut menjadi andalan (memberi nilai tertinggi untuk BCR sedang tersebut) pada empat desa pesisir. Usaha perikanan handline menjadi unggulan di Desa Negeri lama dan Desa Kilang dan usaha perikanan gillnet menjadi unggulan di Passo dan Galala. Melihat nilai BCR ini, bahwa usaha perikanan skala kecil dan menengah lebih dapat memberikan keuntungan yang layak terutama bagi nelayan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Pada Bagian 6.1.1, handline menjadi usaha perikanan unggulan pada 16 dari 22 desa pesisir dengan BCR tinggi, dan hal yang sama juga untuk 2 dari 7 desa pesisir dengan BCR sedang. Seperti disebutkan sebelumnya, hal ini lebih karena fleksibelitas usaha perikanan skala kecil ini dalam operasi (bisa tanpa mesin/tanpa BBM), leluasa mengatur mata pancing sesuai jenis ikan sasaran, dan dapat dioperasikan sendiri oleh nelayan/anggota keluarga nelayan. Hal ini bisa jadi karena potensi SDI cukup melimpah di perairan Maluku, dimana fishing ground tidak perlu dicari terlalu jauh untuk mendapatkan hasil tangkapan yang memadai. Menurut Ralahalu (2010), potensi SDI perairan Maluku sangat melimpah termasuk perairan pantainya (0 – 4 mil), baik dari jenis ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil maupun ikan demersal. Untuk fishing ground terdekat nelayan Kota Ambon, misalnya perairan pantai Maluku Tengah (Laut Banda bagian timur) mempunyai potensi ikan pelagis besar, pelagis kecil, dan demersal berturut-turut 4.385,57 ton, 10.768,64 ton, dan 3.524,16 ton. Dan untuk fishing ground yang agak ke barat (perairan pantai Seram Barat) mempunyai potensi ikan pelagis besar, pelagis kecil, dan demersal masing-masing 1.567,20 ton, 5.562,71 ton, dan 2.620,04 ton. 6.1.3 Kelompok desa dengan nilai BCR rendah Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR rendah merupakan kumpulan desadesa pesisir yang tidak mempunyai satupun usaha perikanan tangkap dengan nilai BCR 1,50 ke atas. Karena itu, usaha perikanan tangkap bisa juga ada yang tidak layak atau merugi, sebab penerimaannya tidak dapat menutupi kebutuhan pembiayaan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan (BCR < 1). Menurut Nikijuluw (2002), kemunduran kegiatan pengelolaan perikanan tidak hanya disebabkan oleh adanya monopoli kegiatan pengelolaan, tetapi karenanya
118
ketidakpedulian terhadap kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh sebagai anggota masyarakat. Usaha perikanan tangkap yang tidak menguntungkan dapat dengan meudah menyulut konflik yang kemudian berujung pada terganggunya kondusifitas kegiatan pengelolaan perikanan secara keselurahan di suatu kawasan, Mengacu kepada kondisi tersebut, maka desa pesisir dengan nilai BCR rendah pada usaha perikanan tangkap ini harus dibina dan dikembangkan skill-nya dalam mengelola usaha perikanan, karena banyak yang menjadi penopang utama kehidupan keluarga nelayan. Tabel 49 menyajikan kelompok desa pesisir dengan nilai BCR rendah (BCR < 1,50) untuk usaha perikanan tangkapnya di Kota Ambon. Tabel 49 Kelompok desa pesisir dengan nilai BCR rendah di Kota Ambon Usaha Perikanan Menurut Nilai BCR No.
Nama Desa
1
Urimesing
2
Hatiwe Besar
3
Amahusu
BCR < 1,5 Pancing Tonda dan Purse Seine Purse Seine dan Handline Pancing Tonda
Usaha Perikanan dengan BCR Tertinggi
Nilai BCR Tertinggi
Bobot
1,5 < BCR < 2,00
BCR > 2,00
-
-
Pancing Tonda
1.31
1
-
-
Purse Seine
1.49
1
-
-
Pancing Tonda
1.24
1
Berdasarkan Tabel 6.3, Desa Urimesing, Desa Hatiwe Besar, dan Desa Amahusu merupakan kelompok desa pesisir dengan nilai BCR < 1,50 (klasifikasi C, bobot = 1) di Kota Ambon. Di Desa Urimesing, usaha perikanan mini purse tidak dapat memberi pendapatan yang layak kepada nelayan pelakunya, lebih karena nilai penerimaan hanya sekitar Rp 144.000.000 per tahun (atau rata-rata Rp 1.000.000 per trip, jumlah trip 144 per tahun), sedangkan biaya operasional rata-rata yang harus dikeluarkan sekitarnya Rp 1.326.000 per trip (Tabel 50).
119
Tabel 50 Biaya operasional per trip mini purse di Desa Urimesing Uraian Minyak tanah Bensin Solar Oli Es Air tawar Ransum Retribusi
Volume 70,00 50,00 0,00 2,00 4,00 0,00 1,00 1,00 Jumlah
Harga Satuan (Rp) 12.000,00 4.500,00 4.500,00 25.000,00 14.000,00 1.000,00 80.000,00 75.000,00
Nilai (Rp) 840.000,00 225.000,00 0,00 50.000,00 56.000,00 0,00 80.000,00 75.000,00 1.326.000.00
Untuk pancing tonda meskipun menguntungkan tetapi keuntungan tersebut terlalu minim (BCR rendah = 1,31), sehingga cukup labil terhadap berbagai gangguna dalam operasi. Keuntungan yang rendah ini antara lain disebabkan oleh sistem bagi hasil 50 % : 50 % yang belum pas untuk ukuran dan kinerja usaha yang sedang dicapai, sehingga meskipun 50 % tetapi juga sedikit bagi nelayan pemilik, karena semua pembiayaan termasuk perawatan dan retribusi ditanggung nelayan pemilik. Untuk usaha perikanan mini purse, bila tidak ada perkembangannya, maka sebaiknya dialihkan kepada usaha perikanan lain yang tidak terlalu merepotkan terutama dalam pembiayaan. Hal yang sama juga perlu dilakukan untuk usaha perikanan purse seine di Desa Hatiwe Besar dan usaha perikanan pancing tonda di Desa Amahusu. Handline di Desa Hatiwe Besar mempunyai BCR rendah (1,22) lebih karena biaya operasi yang cukup besar (ada penggunaan mesin kapal/BBM) (biaya operasi minimal Rp 95.000 per trip), sementara hasil tangkapan juga tidak maksimal (hanya sekitar Rp 125.000 per trip). Menurut Ruddle, et al (1992), supaya usaha perikanan dapat memberi manfaat lebih bagi pelakunya, maka setiap faktor produksi yang digunakan harus ditentukan dan dicapai secara sungguh-sungguh dalam pengelolaan usaha perikanan. Hal ini penting mengingat banyak faktor yang berpengaruh dalam menjalankan usaha perikanan sehingga berbagai upaya antisipasi perlu dilakukan. Dengan mempertimbangkan itu semua, bila Desa Urimesing, Desa Hatiwe Besar, dan Desa Amahusu diklusterkan, maka dari aspek nilai BCR ini ketiga desa
120
tersebut dapat masuk kluster 5 (K5) dan kluster 6 (K6). Kluster ini mencerminkan kondisi pengelolaan usaha perikanan tangkap yang ada selama ini di ketiga desa pesisir tersebut, bila perkembangan yang lebih baik, maka bukan sesuatu yang mustahil, desa-desa pesisir ini masuk dalam kluster yang lebih atas nantinya. Hasil terkait status desa pesisir, kedekatan dengan jalur distribusi dan perdagangan serta populasi pemilik usaha perikanan di desa akan membantu menentukan secara pasti kluster desa perikanan yang sesuai untuk setiap desa tersebut. 6.2
Kelompok Desa Berdasarkan Status Desa Kelompok desa pesisir berdasarkan status desa yang dimaksud di sini adalah
pengelompokkan desa menurut potensi desa dan perkembangan usaha perikanannya terutama di bidang perikanan tangkap pada Bab 4. Mengacu kepada hal ini, maka dari 32 desa pesisir tersebut akan dikelompokkan tiga kategori, yaitu kelompok desa pesisir dengan status mina mula, kelompok desa pesisir dengan status mina mandiri, dan kelompok desa pesisir dengan status mina politan. Namun dari 32 desa pesisir tersebut, sekitar 3 desa berstatus mina politan, 28 desa berstatus mina mandiri, dan 1 desa pesisir berstatus mina mula (baru berkembang usaha perikanannya). Menurut BPS (1991) dan KP3K (2006), status desa sangat erat kaitannya dengan kemampuan dan kesiapan desa terutama terkait dengan potensi dan sarana serta prasarana dalam mendukung berjalannya usaha perikanan tangkap secara baik. Status desa ini sangat membantu untuk membuat perencanaan pembangunan desa sehingga sesuai kebutuhan dan kesiapan yang ada. Untuk maksud ini, maka hasil identifikasi status desa pesisir untuk setiap kecamatan pada Bab 4, perlu diolah lanjut sehingga pengelompokkan setiap desa pesisir tersebut sesuai dengan status desa. Di Kota Ambon tidak ada desa/kelurahan pesisir yang mempunyai tota standar skor (TSS) 2,40 ke atas, sehingga dari 32 desa/kelurahan tersebut tidak ada yang berstatus mina politan. Bila mengacu Kepmen KP Nomor 32/MEN/2010 tentang Program Kawasan Mina Politan, maka dapat dikatakan tidak ada desa/kelurahan pesisir di Kota Ambon yang secara sempurna memenuhi kriteria sebagai lokasi pelaksanaan program kawasan mina politan yang digagas oleh Kementerian Kelautan dan Perikinan (KKP). Tabel 51 menyajikan kelompok desa pesisir dengan status mina mandiri (bobot = 2) di Kota Ambon.
121
Berdasarkan Tabel 51, Desa Hutumuri, Kelurahan Pandan Kasturi, dan Hatiwe Kecil termasuk desa mina mandiri yang mempunyai total standar skor (TSS) yang tinggi. Hal ini karena ketiga desa/kelurahan pesisir tersebut lebih unggul dalam potensi dan kesiapan untuk mendukung pengembangan kegiatan perikanan terutama perikanan tangkap di Kota Ambon. Bila dihubungkan dengan kriteria kawasan mina politan, maka desa pesisir tersebut sudah memenuhi sebagian besar kriteria-kriteria yang diperlukan untuk pengembangan sentra ekonomi perikanan yang modern. Bila mengacu kepada Dijten KP3K (2006), Anderson (2004), dan Depperin (2005) tentang klasifikasi kluster desa, maka dari segi status, Desa Batu Merah, Kelurahan Pandan Kasturi, dan Desa Hative Kecil , dapat masuk kluster atas (Kluster desa 1) atau minimal kluster tengah (Kluster desa 4) diantara 6 klasifikasi kluster yang ada. Dalam konteks program kawasan mina politannya Kementerian Kelautan & Perikanan, Desa Hutumiri (TSS=2,36), Kelurahan Pandan Kasturi (TSS= 2,35), dan Desa Hatiwe Kecil (TSS= 2,31) dapat menjadi basis pengembangan kegiatan perikanan tangkap dalam mendukung program kawasan mina politan KKP. Hal ini karena di ketiga desa/kelurahan pesisir ini mempunyai usaha perikanan tangkap yang maju, berdekatan dengan pelabuhan perikanan skala besar (PPN Tantui), ada fasilitas docking (Perum Karni), Kios alat perikanan, kios alat perikanan, kios perbekalan, SPBU, dan mobil umum/angkutan, sehingga mendukung kegiatan perikanan tangkap yang dikembangkan. Desa Hatiwe Kecil dapat menjadi penopang kegiatan perikanan budidaya yang dikembangkan di perairan Teluk Ambon Dalam, dan Kelurahan Pandan Kasturi dapat mendukung kegiatan pemasaran hasil perikanan karena di lokasi tersedia pasar ikan. Berdasarkan data BPS Kota Ambon (2010), ketiga desa/kelurahan tersebut mempunyai keunggulan tersendiri namun saling mendukung satu sama lain untuk kegiatan perikanan tangkap, yaitu Kelurahan Pandan Kasturi sebagai lokasi pelabuhan, Desa Hutumuri berkembang dengan baik usaha perikanan tangkap baik dari jenis pole and line, bagan, gillnet hanyut, gillnet dasar, handline, hingga pancing tonda. Di Desa Hutumuri ini juga terdapat usaha pembuatan kapal/fasilitas doking. Meskipun berstatus mina mandiri, Desa Laha dapat dipertimbangkan sebagai lokasi alternatif untuk program kawasan mina politan berbasis pengolahan dan pemasaran karena mempunyai industri perikanan yang modern, yaitu PT Arabika dan PT Samudra Sakti, serta Bandar Udara Internasional (Bandara Pattimura). Nilai
122
total standar (TSS) sekitar 2,20 (hanya kurang 0,2 untuk menjadi status mina politan) menjadi bukti kemapanan Desa Laha ini dalam pendukung program kawasan mina politian untuk kegiatan pengolahan dan pemasaran. Kelurahan Waihaong dan Kelurahan Benteng juga total skor standar (TSS) yang tinggi, namun intensitas usaha pengolahan dan pemasarannnya masih kurang dibandingkan Desa Laha. Kedua desa/kelurahan ini dapat diandalkan dalam mendukung kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang yang dipusatkan di Desa Laha. Hal ini karena di kedua kelurahan pesisir ini berkembang usaha pengolahan skala RT (pengasapan), industri pengolahan, pabrik es, perusahaan jasa pengiriman, dan mobil umum/angkutan. Data BPS Kota Ambon (2010) menunjukan bahwa di Keluarahan Waihaong terdapat 55 mobil umum/angkutan dan di Kelurahan Benteng ada 110 buah sehingga mendukung distribusi dan pemasaran hasil usaha pengolahan dan industri. Desa Poka dan Hunut dapat dipertimbangkan menjadi lokasi program kawasan mina politan berbasis budidaya. Kedua desa ini telah menjadi pusat pengembangan usaha perikanan budidaya di Kota mabon dan Provinsi Maluku, dan di lokasi ini juga terdapat balai penelitian perikanan budidaya yang lingkup kerja kerja menjangkau 4 provinsi (Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat). Kedua desa ini mempunyai total skor standar (TSS) penilaian karakteristik kawasan mina politian, yaitu masing-masing 11,7 dan 12. Desa Poka dan Desa Hunut dengan didkung oleh Desa Rumah Tiga menjadi pemasok utama ikan hasil budidaya di Kota Ambon
maupun
untuk
tujuan
ekspor
ke
Hongkong
dan
Korea.
Bila
mempertimbangkan hal tersebut, maka Desa Galala, Desa Poka, dan Desa Rumah Tiga dapat masuk K1 – K3.
123
Tabel 51 Kelompok desa pesisir dengan status mina mandiri di Kota Ambon No.
Desa/Kelurahan
Status Desa
Klasifikasi
Bobot
Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Waihaong Batu Merah Benteng Pandan Kasturi Naku Hutumuri Lateri Silale Hunuth Wayame Nusaniwe Halong Nania Hative Kecil Tawiri Hukurilla Passo Poka Latta Hative Besar Laha Galala Latuhalat Rumah Tiga Seilale Negeri Lama Waeheru Kilang Urimesing/Ds Seri Amahusu
Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri Mina Mandiri
B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Hutumuri, Pandan Kasturi, Hatiwe Kecil, dan Laha termasuk desa mina mandiri dengan TSS tinggi, masingmasing 2,36, 2,35, 2,35, dan 2,20. Di keempat desa tersebut berkembang baik usaha perikanan. Meskipun TSSnya tidak terlalu tinggi, di Desa Poka (TSS=2,07) dan Hunut (TSS=1,98) berkembang pesat kegiatan budidaya dan penelitian terkait (ada balai penelitian budidaya)
Secara umum, status mina mandiri (bobot = 2) pada sebagian besar desa/kelurahan pesisir (30 desa) di Kota Ambon telah menunjukkan bahwa potensi dan kesiapan Kota Ambon dalam mendukung kegiatan perikanan dan programprogramnya sudah bagus, namun masih perlu beberapa pembenahan untuk
124
mendukung pengembangan kegiatan perikanan di Kota Ambon yang lebih baik. Desa pesisir tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, kelebihan hasil produksi perikanan sudah mulai dijual ke daerah-daerah lainnya. Bila mengacu kepada Dijten KP3K (2006), Anderson (2004), dan Depperin (2005) tentang klasifikasi kluster desa, maka ke-16 desa pesisir tersebut dapat masuk masuk kluster 3 (K3) sampai kluster 6 (K6) diantara 6 klasifikasi kluster yang ada. Mengacu kepada kluster tersebut, maka desa pesisir berstatus mina mandiri dengan total skor standar cukup tinggi atau mempunyai potensi perikanan khusus dapat masuk kluster tengah, misalnya kluster 3 (K3) atau kluster 5 (K5). Namun demikian, kluster yang tepat untuk setiap desa/kelurahan pesisir tersebut tidak hanya ditentukan oleh status desa tetapi juga oleh elemen/faktor lainnya, diantara kelayakan usaha perikanan tangkap dan kedekatan dnegan jalur bisnis. Menurut Depperin (2005), suatu kawasan dengan potensi khusus dan kesiapan infrastruktur yang baik akan lebih mudah dikembangkan kegiatan ekonominya. Kawasan/desa tersebut akan memudahkan masuknya investasi termasuk yang berbasis industri. Tabel 52 menyajikan kelompok desa pesisir dengan status mina mula (bobot = 1) di Kota Ambon. Tabel 52 Kelompok desa pesisir dengan status mina mula di Kota Ambon No.
Desa/Kelurahan
1
Rutong
2
Leahari
Status Desa Mina Mula Mina Mula
Klasifikasi
Bobot
Keterangan
C
1
C
1
TSS Rutong 1,46 & TSS Leahari 1,48
Desa Rutong kurang handal dari segi penduduk (kepadatan hanya 184 orang/km2), pembauran etnis (dominan penduduk asli/etnis Ambon), dan ikatan keluarga masih kental dalam berbagai kegiatan ekonomi termasuk kegiatan perikanan, sehingga hanya memenuhi syarat minimal status desa mandiri. Hal yang sama juga terjadi pada Desa Leahari, dimana kepadatan hanya 145 orang/km2 dan penduduk asli juga dominan dalam kegiatan perikanan tangkap. Untuk Desa Seilale, kepadatan penduduk lebih baik (519 orang/km2) dan aktivitas masyarakat cukup dinamis, kegiatan perikanan dilakukan oleh banyak orang, namun tidak berkembang metode operasinya, serta sarana dan prasarana pendukung juga sangat kurang. Menurut Leadbitter dan Ward (2007), kegiatan perikanan yang dilakukan dalam secara monoton, tidak ada inovasi dalam operasi, serta tidak dilengakapi dengan
125
saran pendukung cenderung mengalami kesulitan dalam perkembangannya. Hal ini karena konsistensi manfaat sosial yang bisa dirasakan oleh masyarakat tidak meningkat, sehingga masyarakat terkadang melupakannya. Menurut Aleman (2005), pengklusteran akan memudahkan pemilihan program pengembangan yang dilakukan oleh Pemerintah. Hal ini karena Pemerintah dan pihak yang berkepentingan lainnya mempunyai gambaran kondisi dan potensi dari kawasan/desa tersebut, sehingga tindakan pengembangan lebih cepat dan tepat untuk dilakukan. Kawasan/desa dengan kondisi dan potensi yang kurang mendukung biasanya masuk kluster yang lebih rendah, sedangkan yang lebih baik potensinya akan sebaliknya. Dalam kluster desa pesisir yang dikembangkan, desa pesisir dengan status mina mula (kondisi dan potensi rendah) dapat masuk kluster 4 (K4), atau bahkan kluster 6 (K6), bila elemen/faktor penentu lainnya, seperti kelayakan usaha, kedekatan dengan jalur bisnis, dan kepemilikan usaha perikanan tangkap tidak dipenuhi dengan baik. 6.3
Kelompok Desa Berdasarkan Dengan Jalur Bisnis Perikanan Tangkap Kedekatan dengan jalur bisnis perikanan tangkap merupakan pertimbangan
penting dalam pengklusteran desa perikanan, karena kegiatan bisnis ini sangat menentukan maju mundur dengan perikanan tersebut. Kedekatan desa pesisir dengan jalur bisnis dikatakan dekat (klasifikasi A) bila berjarak 0 – 10 km, sedang (klasifikasi B) bila berjarak 10,1 – 20 km, jauh (klasifikasi C) bila berjarak > 20 km. Semakin dekat desa pesisir dengan jalur bisnis tentunya semakin memudahkan distribusi dan pemasaran produk perikanan yang dihasilkannya, sehingga lokasi dekat, sedang, dan jauh tersebut, masing-masing diberi bobot 1, 2, dan 3. Tabel 53 menyajikan hasil analisis kedekatan desa pesisir di Kota Ambon dengan jalur bisnis (distribusi dan pemasaran) perikanan tangkap. Jalur distribusi hasil perikanan melalui PPN Tantui baik untuk di bongkar di Kota Ambon maupun pemasaran lebih lanjut di dalam negeri dan ekspor merupakan hal yang sangat penting untuk kontinyuitas dan pengembangan kegiatan perikanan tangkap di Kota Ambon. Hal ini karena hasil perikanan merupakan produk yang gampang rusak, sehingga gangguan dalam distribusi sangat mempengaruhi kualitas maupun tujuan pasarnya. Terkait dengan ini, maka kedekatan dengan PPN Tantui (pelabuhan transit hasil perikanan) menjadi pertimbangan perting dalam pengklusteran desa perikanan di Kota Ambon. Menurut Ralahalu (2010), potensi
126
ikan di propinsi Maluku mencapai 1.627.500 ton per tahun dan sebagian besar hasil tangkapannya didaratkan dan didistribusikan melalui PPN Tantui. Tabel 53 Kedekatan desa pesisir dengan jalur bisnis perikanan tangkap
1
Waihaong
Nusaniwe
3,7
36,4
1,5
4,5
7,4
RataTingkat Rata Kedekat Bobot Jarak an (km) 10,6 Sedang 2
2
Seilale
Nusaniwe
16,3
49
14
17
5,3
20,1
Jauh
1
3
Batu Merah
Sirimau
1,6
33,9
0,5
2,3
9,8
8,0
Dekat
3
4
Benteng
Nusaniwe
5,4
38,1
3,1
5,4
5,6
11,5
Sedang
2
5
Pandan Kasturi
6
Lateri
7 8
Urimesing (Dn Seri) Silale
9
Hunut
10
Negeri Lama
11
Waeheru
12
Wayame
13
Nusaniwe
14
Kilang
15
Leahari
16
No.
Desa
Lokasi (Kecamatan)
Jarak Kedekatan dengan Jalur Bisnis (km) PPN Bandara Pasar Ikan Pasar Ikan Tantui Pattimura Mardika Hiegenis
PPI Eri
Sirimau
0
32,7
2,3
1,7
11
9,5
Dekat
3
TABaguala
3,7
25
10
6
18,7
12,7
Sedang
2
Nusaniwe
24,6
57,3
22,3
26,3
15,7
29,2
Jauh
1
Nusaniwe
3,7
36,4
1,5
4,5
7,4
10,7
Sedang
2
TA Dalam
17,7
15
20
17
28,7
19,7
Sedang
2
TABaguala
12,7
20
13,5
12
23,7
16,4
Sedang
2
TA Dalam
15,7
12
18
15
26,7
17,5
Sedang
2
TA Dalam
27,7
5
30
27
38,7
25,7
Jauh
1
11
42,7
8,7
11,7
0
14,8
Sedang
2
13,3
41
11
16
19,7
20,2
Jauh
1
28,8
28
26
24,6
34,3
28,3
Jauh
1
Halong
Nusaniwe Leitimur Selatan Leitimur Selatan TA Baguala
4,7
29
6
4
14,7
11,1
Sedang
2
17
Nania
TA Baguala
13,7
19
16
12,3
24,7
17,4
Sedang
2
18
Hatiwe Kecil
1,9
31,8
4,2
1
12,9
10,4
Sedang
2
19
Rutong
28,3
27,5
25
23,8
33,7
27,7
Jauh
1
20
Naku
12,8
40,5
10,5
15,5
19,2
19,7
Sedang
2
21
Hutumuri
21,7
35
24
21,5
22,7
25,0
Jauh
1
22
Passo
Sirimau Leitimur Selatan Leitimur Selatan Leitimur Selatan TA Baguala
11,7
22
13
9,3
21,7
15,5
Sedang
2
23
Poka
TA Dalam
22,7
10
25
21,3
33,7
22,5
Jauh
1
24
Latta
TA Baguala
5,7
27
8
4,3
16,7
12,3
Sedang
2
25
Hatiwe Besar
TA Dalam
29,7
3
32
27,3
40,7
26,5
Jauh
1
26
Laha
TA Dalam
32,7
0
35
30,4
43,7
28,4
Jauh
1
27
Tawiri
TA Dalam
31,5
0,5
34,5
29,4
42,3
27,6
Jauh
1
28
Galala
Sirimau
1,9
31,8
4,2
1
12,9
10,4
Sedang
2
29
Latuhalat
Nusaniwe
19,7
52,4
17,4
21,3
8,7
23,9
Jauh
1
30
Rumah Tiga
25,7
7
28
24,3
37,7
24,5
Jauh
1
31
Hukurilla
15,7
38
13,1
17,8
21,8
21,3
Jauh
1
32
Amahusu
TA Dalam Leitimur Selatan Nusaniwe
6,7
39,4
4,4
8,2
4,3
12,6
Sedang
2
127
Bandar Utara Internasional Pattimura juga memegang peran penting dalam distribusi hasil perikanan terutama untuk produksi ikan segar bernilai tinggi. Bandar udara ini juga penting dalam mendukung mobilitas investor ke Kota Ambon. Menurut BPS Kota Ambon (2010), Bandar Utara Internasional Pattimura selama ini telah melayani 8-15 penerbangan baik skala internasional, nasional maupun lokal Propinsi Maluku. Terkait dengan ini, maka jalur transportasi/distribusi udara ini juga menjadi pertimbangan penting dalam pengklusteran wilayah/desa perikanan di Kota Ambon. Pasar ikan yang terdapat di Kelurahan Pandan Kasturi dan pusat kota merupakan dua pasar ikan utama di Kota Ambon. Di pasar ikan ini terjadi kegiatan pemasaran hasil perikanan baik bentuk segar maupun olahan, baik skala besar maupun skala eceran. Pentingnya posisi pasar ini, maka menjadi pertimbangan penting dalam pengklusteran desa perikanan Kota Ambon. Hasil analisis pada Tabel 53 menunjukkan bahwa secara umum desa pesisir Kota Ambon mempunyai jarak yang dekat terhadap suatu jalur binis namun jauh terhadap jalur bisnis lainnya atau sebaliknya, dan hanya sedikit yang benar-benar jauh dari semua jalur bisnis yang ada. Hal ini antara lain karena letak geografis desa tersebut yang melingkari pesisir pulau Ambon dan dilengkapi dengan prasarana jalan yang juga melingkari wilayah tersebut, sehingga memberi beberapa alternatif menuju jalur bisnis perikanan tangkap. Menurut Elfindri (2002), sarana dan prasarana perikanan yang tersedia dengan baik sangat memudahkan pengembangan ekonomi masyarakat nelayan. Kemitraan dalam pemasaran dapat lebih mudah dijalin karena hasil perikanan lebih mudah dan cepat didistribusikan. Di samping itu, dua dari jalur bisnis tersebut (PPN Tantui dan Pasar Ikan Pandan Kasturi) berada di pusat Kota Ambon sehingga tidak terlalu sulit dijangkau dari setiap desa pesisir Kota Ambon. PPI Eri merupakan lokasi pendaratan ikan pendukung di Kota Ambon, dan banyak dimanfaatkan oleh nelayan yang berdomisili di luar Teluk Ambon. Hasil tangkapan yang di PPI Eri ini kemudian didistribusikan ke pasar ikan di pusat Kota, industri pengolahan, dan lainnya. Bila mengacu kepada sebaran status kedekatan dengan jalur bisnis pada Tabel 53, maka kluster desa perikanan di Kota Ambon dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu ada yang masuk kluster atas (kluster 1 sampai kluster 4), dan ada yang masuk kluster bawah (kluster 5 sampai kluster 6). Mengacu kepada hal ini, maka kluster spesifik untuk setiap desa pesisir tersebut akan dapat dipastikan setelah
128
digabungkan dengan hasil pertimbangan lainnya, seperti nilai BCR, status desa, dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap. Namun secara umum, 56,25 % (18 dari 32) dari desa pesisir tersebut termasuk kategori “dekat” dan “sedang” dengan jalur bisnis perikanan tangkap di Kota Ambon. Hal ini sangat baik untuk pengembangan usaha perikanan tangkap yang lebih prospektif di masa yang akan datang. Griffin (1998) menyatakan bahwa kedekatan usaha dengan jalur bisnis dapat memperbaiki perimbangan penerimaan (benefit) usaha dengan pengeluaran (cost) usaha, dan hal ini ini dapat memberi dampak yang baik ekonomi wilayah, dan kehidupan masyarakat dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Secara jangka panjang, dapat memacu perkembangan usaha yang lebih baik. 6.4 Kelompok Desa Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Usaha Perikanan Tangkap 6.4.1 Kelompok desa berdasarkan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap sangat tinggi Tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap termasuk pertimbangan penting dalam pengklusteran desa perikanan. Hal ini karena tingkat kepemilikan ini menentukan intensitas dan kontinyuitas kegiatan perikanan di desa. Bila usaha perikanan dimiliki oleh nelayan di luar desa, maka pengembangan usaha tersebut akan lebih mudah beralih ke lokasi/desa lain bila faktor penduksi dan kondisi sosial tidak mendukung di desa tersebut. Tabel 54 menyajikan tingkat kepemilikan usaha perikanan di Kota Ambon dan Lampiran 116 - 117 menyajikan proses analisisnya. Berdasarkan Tabel 54, tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap di Desa Hutumuri dan Desa Laha termasuk tinggi (bobot = 3). Hal ini karena proporsi usaha perikanan tangkap di keenam desa tersebut berada di atas nilai 0,083, sedangkan populasi usaha perikanan tangkap Desa Hutumuri, Desa Laha, dan Desa Hukurilla berturut-turut adalah 139 unit dan 68 unit. Menurut Ralahalu (2010), usaha perikanan tangkap yang tersebar di kawasan pesisir Maluku termasuk di wilayah Kota Ambon merupakan aset yang sangat berharga bagi Propinsi Maluku karena berperan dalam menggerakkan ekonomi kepulauan dan menjadi penopang utama kehidupan masyarakat pesisir. Usaha perikanan tangkap yang telah berkembang dengan baik perlu dibina dengan baik sehingga terus bertahan. Terkait dengan ini, maka pengklusteran desa yang dilakukan dapat menjadi pertimbangan untuk pengembangan usaha perikanan tangkap tersebut.
129
Tabel 54 Tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap di Kota Ambon No.
Nama Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Waihaong Seilale Batu Merah Benteng Pandan Kasturi Lateri Urimesing Silale Hunut Negeri Lama Waeheru Wayame Nusaniwe Kilang Leahari Halong Nania Hatiwe Kecil Rutong Naku Hutumuri Passo Poka Latta Hatiwe Besar Laha Tawiri Galala Latuhalat Rumah Tiga Hukurilla Amahusu
6.4.2
Populasi Usaha Proporsi Perikanan Tangkap Kepemilikan (unit) 37 0,048 8 0,010 24 0,031 6 0,008 2 0,003 51 0,066 12 0,016 15 0,020 10 0,013 9 0,012 6 0,008 20 0,026 13 0,017 15 0,020 27 0,035 5 0,007 5 0,007 6 0,008 18 0,023 27 0,035 139 0,181 32 0,042 19 0,025 14 0,018 19 0,025 68 0,089 27 0,035 2 0,003 26 0,034 37 0,048 54 0,070 14 0,018
Tingkat Kepemilikan
Bobot
sedang rendah sedang rendah rendah sedang rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah sedang rendah rendah rendah rendah sedang tinggi sedang rendah rendah rendah tinggi sedang rendah sedang sedang sedang rendah
2 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 3 2 1 1 1 3 2 1 2 2 2 1
Kelompok desa berdasarkan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap sedang Desa Waihaong, Waihaong, Batu Merah, Lateri, Leahari, Naku, Passo, Tawiri,
Latuhalat, Rumah Tiga, dan Hukurilla merupakan desa pesisir dengan tingkat kepemilikan usaha tangkap “sedang” (Tabel 54). Hal ini karena proposi kepemilikan
130
usaha perikanan tangkap di kesepuluh desa tersebut berada pada kisaran nilai 0,031 – < 0,083. Populasi usaha perikanan tangkap di Desa Waihaong, Desa Lateri, Desa Batu Merah, Desa Leahari, Desa Naku, Desa Passo, Desa Tawiri, Desa Latuhalat, Desa Rumah Tiga, dan Desa Hukurilla berturut-turut 37 unit, 51 unit, 24 unit, 27 unit, 27 unit, 32 unit, 27 unit, 26 unit, 37 unit, dan 54 unit. Sedangkan sebaran jenis usaha perikanan tangkap di kesepuluh desa pesisir tersebut disajikan pada Gambar 6.1.
Gambar 31 Sebaran jenis usaha perikanan tangkap di Desa Waihaong, Desa Lateri, Desa Batu Merah, Desa Leahari, Desa Naku, Desa Passo, Desa Tawiri, Desa Latuhalat, Desa Rumah Tiga, dan Desa Hukurilla Berdasarkan Gambar 31, sebaran jenis usaha perikanan tangkap di Desa Batu Merah termasuk merata, yaitu gillnet hanyut 7 unit, gillnet dasar 5 unit, handline 5 unit, dan mini purse seine 7 unit. Hal ini menunjukkan bahwa keempat usaha perikanan tangkap tersebut telah dapat diterima dengan baik di Desa Batu Merah sehingga memberi banyak alternatif untuk pengembangan. Banyaknya alternatif ini menjadi pertimbangan positif bagi penetapan kluster Desa Batu Merah. Hal yang sama juga terjadi pada Desa Hukurilla, yaitu gillnet hanyut 14 unit, gillnet dasar 8 unit, handline 18 unit, dan pancing tonda 14 unit. Menurut Campling dan Havice (2007), banyaknya alternatif pengembangan usaha perikanan yang dilakukan akan
131
memudahkan pengembangan pasar produk dan mendukung pengembangan industri perikanan yang dapat memajukan perekonomian wilayah kepulauan. Sedangkan menurut Zulham (2007), usaha perikanan tangkap harus memerankan fungsi yang saling mendukung satu sama lain untuk memajukan perekonomian daerah. Desa Passo, Desa Tawiri, dan Desa Rumah Tiga hanya mengembangkan pada satu jenis usaha perikanan tangkap, yaitu masing-masing gillnet hanyut, handline, dan handline. Gillnet hanyut telah dikembangkan secara turun temurun di Desa Passo, namun dalam beberapa tahun terakhir hasil tangkapan tidak begitu memuaskan, dimana selisih pendapatan dengan biaya operasional yang relatif rendah, sehingga jika dikeluarkan untuk biaya perawatan (terutama mesin kapal) dan penyusutan, perolehan laba sangat kecil, bahkan kemungkinan rugi. Proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap yang cukup baik (berkisar 0,031 - < 0,083, bobot = 2) di Desa Waihaong, Waihaong, Batu Merah, Lateri, Leahari, Naku, Passo, Tawiri, Latuhalat, Rumah Tiga, dan Hukurilla termasuk tinggi, memberi peluang kepada desa-desa tersebut untuk masuk masuk Kluster desa 2 - 4 (K2 – K4), namun bila melihat lebih jauh tentang status desa dan kelayakan usahanya, maka ada juga yang dapat masuk kluster lebih rendah, misalnya Kluster desa 5 (K5) dan Kluster desa 6 (K6). Penggabungan hasil analisis pada akhir bab ini akan menunjukkan hasil akhir dari pengklusteran setiap desa pesisir tersebut. Menurut Dahuri (2001), setiap kelompok/kluster potensi wilayah akan memberi peran tersendiri bagi pengembangan ekonomi daerah, dan hal ini menjadi penentu maju mundurnya perekonomian wilayah pesisir di daerah tersebut. 6.4.3 Kelompok desa berdasarkan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap rendah Berdasarkan Tabel 54, desa pesisir dengan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap berkategori rendah (bobot = 1) ada 20 desa pesisir. Desa pesisir dengan kepemilikan usaha perikanan tangkap kategori rendah tersebut diantaranya Desa Seilale, Kelurahan Benteng, Kelurahan Pandan Kasturi, Desa Halong, Desa Nania, Desa Hatiwe Kecil, Desa Galala. Kategori rendah tersebut karena proporsi kepemilikan usaha perikanan tangkap di desa/kelurahan tersebut kurang dari 0,031. Nilai proporsi < 0,031 merupakan batas tertinggi kategori kepemilikan rendah berdasarkan hasil analisis sebaran kepemilikan pada Lampiran 36.
132
Ada dua kemungkinan kondisi di desa pesisir dengan tingkat kepemilikan sedang dan rendah pada usaha perikanan tangkapnya, yaitu (a) kurang berkembang kegiatan perikanannya dan (b) mempunyai fokus pada pengembangan berbagai usaha yang mendukung kegiatan perikanan. Diantara kemungkinan tersebut, kemungkinan kedua termasuk tidak banyak terjadi di lokasi. Kemungkinan kedua hanya terjadi pada wilayah/desa yang mempunyai kesiapan mumpuni dalam hal sarana dan prasarananya, sehingga kegiatan perikanan dapat berkembang dengan baik di lokasi, meskipun bukan dimiliki oleh penduduk setempat. Menurut Dutton (1998), dukungan masyarakat dan infrastuktur sangat mempengaruhi pengembangan kegiatan perikanan di wilayah. Dukungan tersebut dapat dalam bentuk penyiapan pelabuhan, pasar bahan pendukung/perbekalan, fasilitas doking/perbaikan kapal perikanan. Sedangkan menurut DKP (2004), keberadaan sarana dan prasarana menjadi pertimbangan strategis pengembangan kegiatan perikanan suatu lokasi. Dari 20 desa pesisir dengan tingkat kepemilikan rendah pada usaha perikanan tangkapnya di Kota Ambon ini, Kelurahan Pandan Kasturi, Desa Hatiwe Kecil, dan Kelurahan Benteng merupakan desa/kelurahan yang handal dalam infrastruktur atau berkembang pesat usaha pendukung kegiatan perikanannya. Kelurahan Pandan Kasturi mempunyai pelabuhan yang representatif untuk mendukung kegiatan perikanan skala besar, yaitu PPN Tantui. Menurut BPS Kota Ambon (2010), keberadaan PPN Tantui telah menjadikan Pandan Kasturi sebagai desa/kelurahan kontributor utama hasil perikanan di Kota Ambon. Di Desa Hatiwe Kecil terdapat fasilitas doking (dikelola Perum Karni), kapal penyebaran yang mendukung distribusi (14 buah) dan berbagai kios alat perikanan. Sedangkan Kelurahan Benteng terdapat bebeberap kios alat tangkap dan unit pengolahan hasil perikanan. Secara detail sarana, prasarana, dan usaha pendukung yang berkembang di ketiga desa/kelurahan tersebut disajikan pada Tabel 55.
133
Tabel 55 Sarana, prasarana, dan usaha pendukung perikanan di Kelurahan Pandan Kasturi, Desa Hatiwe Kecil, dan Kelurahan Benteng Sarana & Prasarana Perikanan Usaha Pendukung Unggulan Perikanan 1 Pandan Kasturi Jasa bongkar muat, • PPN Tantui perdagangan hasil • Pasar Ikan perikanan, perdagangan • Kios Perbekalan bahan perbekalan 2 Hatiwe Kecil • Fasilitas docking (Perum Jasa perakitan dan perbaikan kapal, Perikani), • Kios alat perikanan, Kapal perdagangan bahan perbekalan, jasa distribusi Angkut (14 buah) hasil perikanan 3 Benteng Perdagangan bahan • Kios kail dan senar, • Pabrik/unit pengolahan hasil, perbekalan, usaha pengolahan hasil • Agen pengiriman perikanan, jasa • Mobil umum 55 unit pengiriman Sumber : Hasil analisis data lapang (2011) No.
Desa/Kelurahan
Menurut Tunner (2000), keberadaan usaha ekonomi pendukung sangat menentukan perkembangan wilayah pesisir dengan basis perikanan, semakin terintegrasi dan tinggi tingkat dukungan usaha pendukung, maka semakin besar nilai ekonomi yang bisa diberikan untuk pengembangan wilayah pesisir. Selama ini, dukungan pelabuhan, fasilitas doking, pasar ikan, kios perbekalan dan lainnya sangat bagi kemajuan perikanan di Kota Ambon. Karena itu, keberadaan sarana dan prasarana pendukung jaringan usaha ini menjadi petimbangan penting dalam penentuan kluster desa perikanan, meskipun dari segi populasi pemilik usaha perikanan tangkap kurang berkembang dengan baik. 6.5 Kluster Desa Perikanan di Kota Ambon Bagian ini lebih bersifat merangkum dan memadukan semua ulasan yang telah disampaikan secara lengkap pada bagian 6.1 – 6.4, sehingga dapat ditetapkan kluster bagi setiap desa pesisir yang terdapat di Kota Ambon dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap yang prospektif di masa yang akan datang. Menurut Leadbitter and Ward (2007), evaluasi yang integratif dan menyeluruh dapat memberikan hasil yang akurat bagi penetapan pola pengembangan perikanan tangkap. Kluster desa perikanan menjadi acauan penting untuk maksud pengembangan tersebut.
134
Menurut Aleman (2005), pengklusteran dapat memudahkan penetapan pola/formasi pengelolaan, tingkat peran yang perlu diberikan oleh lembaga perikanan, interaksi usaha ekonomi lokal dengan nasional, serta memudahkan koordinasi pengelolaan baik terkait dengan proses produksi maupun pemasaran produk. Pertimbangan komprehensif terhadap kriteria/elemen nilai BCR (kelayakan usaha), status desa pesisir, tingkat kedekatan dengan jalur bisnis, dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap diharapkan dapat mewujudkan maksud tersebut. Sesuai dengan teori atau formula yang dikembangkan dalam penelitian ini, seperti dibahas pada Bab 3, maka kluster desa dapat berjumlah 9, yaitu mulai dari Kluster desa 1 dengan total bobot 12 hingga Kluster desa 9 dengan total bobor 4. Hasil analisis data lapang yang menyajikan gabungan pertimbangan empat kriteria/elemen tersebut dalam penetapan kluster desa perikanan di Kota Ambon, menunjukan dari 32 desa/kelurahan pesisir yang ada, total bobot tertinggi adalah 10 dan terendah adalah 5, sehingga pengelompokan desa pesisir terbagi dalam 6 kluster (Tabel 56). Pada Tabel 56, ada satu desa pesisir yang termasuk Kluster desa 1 (K1), yaitu Desa Batu Merah (total bobot = 10). Hal ini karena Desa Batu Merah tersebut memenuhi secara sempurna minimal tiga dari empat elemen dasar penilaian yang mencakup nilai BCR (kelayakan usaha), status desa pesisir, kedekatan dengan jalur bisnis, dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap. Desa Batu Merah juga mempunyai BCR tinggi, berstatus mina mandiri, dekat jalur bisnis (rata-rata 8 km), dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap lumayan baik, yaitu 24 unit (proporsi = 0,031). Desa Batu Merah masuk Kluster desa 1 menunjukkan prospektifitas yang tinggi pengembangan usaha perikanan tangkap di desa tersebut di masa yang akan datang terutama dalam mendukung pembanguan perikanan tangkap Kota Ambon. Menurut Hesieh dan Li (2009), usaha perikanan tangkap yang prosfektif dapat mendukung komersialisasi sektor perikanan dan memberi dampat yang baik bagi pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial, dan pengembangan teknologi perikanan. Menurut Ralahalu (2010), potensi sumberdaya perikanan Maluku sangat tinggi, dan bila dikelol dikelola dapat dijadikan sebagai lumbung ikan nasional. Oleh karena dukungan usaha perikanan dan masyarakat pesisir menjadi penentu utama bagai tercapai maksud tersebut di masa datang.
135
Tabel 56 Kluster desa perikanan di Kota Ambon.
1
Batu Merah
3
2
3
Kepemilikan Usaha Perikanan Tangkap 2
2
3
2
2
2
9
3
2
3
1
9
4
Waihaong Pandan Kasturi Lateri
3
2
2
2
9
5 6 7
Naku Hutumuri Laha
3 3 3
2 2 2
2 1 1
2 3 3
9 9 9
8 9 10
Benteng Hunut Waeheru
3 3 3
2 2 2
2 2 2
1 1 1
8 8 8
11 12 13
Nusaniwe Halong Passo
3 3 2
2 2 2
2 2 2
1 1 2
8 8 8
14 15 16
Latta Tawiri Latuhalat
3 3 3
2 2 2
2 1 1
1 2 2
8 8 8
17 18
Rumah Tiga Hukurilla
3 3
2 2
1 1
2 2
8 8
19
Seilale
3
2
1
1
7
20 21 22
Negeri Lama Leahari Nania
2 3 2
2 1 2
2 1 2
1 2 1
7 7 7
23 24 25
Hative Kecil Poka Galala
2 3 2
2 2 2
2 1 2
1 1 1
7 7 7
26
Amahusu
2
2
2
1
7
27 28
Silale Wayame
3 2
2 2
2 1
1 1
6 6
29 30
Kilang Rutong
2 3
2 1
1 1
1 1
6 6
1
2
1
1
5
1
2
1
1
5
No.
3
31 32
Nama Desa
Urimesing (Dn Seri) Hative Besar
Nilai BCR Tertinggi
Status Desa
Kedekatan dg Jalur Bisnis
Total Bobot 10
Kluster Desa 1
2
3
4
5
6
Kelurahan Padan Kasturi, Desa Hutumuri, Desa Waihaong, Desa Lateri, Desa Naku, dan Desa Laha masuk Kluster desa 2 (K2) desa perikanan. Keenam desa ini mempunyai BCR tinggi (>2,00), berstatus mina mandiri, cukup dekat dengan jalur bisnis (> 10 – 20 km), dan tingkat kepemilikan UPT sedang (proporsi 0,031 – <
136
0,083). Kelurahan Pandan Kasturi mislanya, mempunyai BCR tinggi (>2,00), berstatus mina mandiri (bobot = 2), dan dekat jalur bisnis (rata-rata 9,5 km). Di kelima kelurahan ini berkembang kegiatan jasa dan usaha pendukung, yaitu kegiatan bongkar muat di pelabuhan, kios perbekalan, dan pasar ikan. Di samping kegiatan utama perikanan, usaha pendukung dan kegiatan jasa perikanan juga berkembang dengan baik di ketiga desa pesisir ini. DKP (2004), menyatakan bahwa wilayah dengan infrastruktur perikanan yang lengkap, berkembang baik usaha pendukung dan jasa perikanan dapat cenderung lebih berkembang dibandingkan wilayah yang kegiatan perikanannya dlakukan secara tradisional dengan fasilitas pendukung seadanya. Strategi perikanan yang dikembangkan harus memperhatikan sebaran wilayah potensial tersebut sehingga pembangunan perikanan berkembang pesat. Kelurahan Benteng, Desa Hunut, Desa Waeheru, Desa Nusaniwe, Desa Halong, Desa Passo, Desa Latta, Desa Tawiri, Desa Latuhalat, Desa Rumah Tiga, dan Desa Hukurilla merupakan desa/kelurahan pesisir yang masuk kluster 3 (K3). Dibandingkan Kluster desa 1 (K1) dan Kluster desa 2 (K2), desa yang masuk Kluster desa 3 (K3) ini umumnya terdiri dari desa pesisir dengan status mina mandiri, BCR usaha perikanan tangkap termasuk tinggi (>2,00) atau sedang (1,50 – 2,0), dan kedekatan dengan jalur bisnis perikanan tangkap yang sedang. Desa pesisir masuk Kluster desa 3 (K3) juga termasuk prospektif dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap di masa datang. Terhadap nelayan di keempat desa ini perlu diberikan berbagai pembinaan terutama manajemen usaha. Hal ini penting supaya usaha perikanannya lebih menguntungkan dan dapat secara nyata memberi kesejahteraan kepada mereka. Setiawan, et.al (2007) menyatakan bahwa manajemen usaha perikanan yang lebih baik, dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan kontribusinya terhadap PAD, sehingga ketergantungan daerah kepada sumber luar dapat dikurangi Berdasarkan Tabel 56, desa pesisir yang masuk Kluster desa 4 (K4) ada sembilan desa/kelurahan, yaitu Desa Seilale, Desa Negeri Lama, Desa Leaheri, Desa Nania, Desa Hatiwe Kecil, Desa Poka, Desa Tawiri, Desa Galala, dan Desa Amahusu. Secara umum, desa pesisir yang termasuk kluster 4 (K4) merupakan desa pesisir yang kondisinya biasa-biasanya dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap. Kalaupuan ada usaha perikanan tangkap dengan tingkat kelayakan tinggi (BCR tinggi), belum nelayan dan masyarakat desa memberi
137
perhatian lebih. Hal ini karena tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap belum tentu tinggi dan lokasi usahanya belum tentu dekat dengan jalur bisnis yang memudahkan distribusi/pemasaran hasil perikanan. Bila mengacu Dijten KP3K (2006), Anderson (2004), dan Depperin (2005), maka kluster 4 (K4) tidak mempersyaratkan kedekatan dengan jalur bisnis dan tingkat kepemilikan usaha, yang penting kierja usaha perikanan tangkap relatif baik dan status kegiatan perikanan di desa sudah cukup mapan. Sedangkan desa/kelurahan di Kota Ambon yang masuk kluster 5 (K5) ada enam desa (Silale, Negeri Lama, Wayame, Kilang, dan Rutong). Desa pesisir di kluster 5 (K5) kondisinya sedikit di bawah desa di kluster 4 (K4), di mana satu atau dua kriteria/elemen penilaian ada yang dipenuhi cukup baik (tidak semuanya dipenuhi rendah). Melihat kondisi di atas, maka desa yang masuk kluster 4 (K4) dan kluster 5 (K5), perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah dan pemerintah daerah bila ekonomi perikanan ingin dikembangkan di suatu wilayah. Berbagai program pembinaan (penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan/pemberdayaan) dan perlu dilakukan pada usaha perikanan tangkap yang ada di desa/kelurahan yang masuk kluster tersebut. Pembinaan tersebut juga harus diiringi dengan pengembangan/pengaktifan beberapa fasilitas dasar yang mendukung kegiatan perikanan. Desa Hative Besar dan Desa Urimessing merupakan desa pesisir yang masuk kluster 6 (K6). Status sebagai desa mina mandiri merupakan satu-satunya yang bisa dibanggakan oleh Desa Hatiwe Besar dan dan Desa Urimessing dalam mendukung pengembangan usaha perikanan tangkap di desa. Bila kelemahan yang ada dapat dibenahi, maka bukan tidak mungkin usaha perikanan tangkap yang ada di desa/kelurahan tersebut semakin prospektif dan memberikan kontribusi ekonomi nyata bagi Desa Hatiwe Besar, Desa Urimessing, maupun secara luas bagi Kota Ambon. Bila sebaliknya, usaha perikanan tangkap akan stagnan dan bahkan bisa mengalami kemunduran besar dalam beberapa tahun mendatang. Martosubroto dan Malik (1989) menyatakan bahwa peran aktif PEMDA dan petugas teknis di lapangan merupakan faktor yang penting dan serius untuk pengembangan perikanan berbasis kawasan. Kelompok nelayan terutama nelayan kecil akan termotiviasi menjalakan usaha perikanannya bila merasa terlindungi dan diperhatikan terutama distribusi dan mendapatkan harga jual yang layak.
138
Desa Hatiwe Besar mempuyai usaha perikanan tangkap (UPT) dengan BCR rendah (<1,50), berstatus mina mandiri, jauh dari jalur bisnis (26,5 km), tingkat kepemilikan UPT juga rendah (proporsi 0,025). Desa Urimesing juga mempunyai tingkat kelayakan usaha perikanan rendahnya (BCR = 1,31), jauh dari jalur bisnis perikanan tangkap (rata-rata = 29,2 km), berstatus mina mandiri (bobot = 2), dan tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkap juga rendah (populasi hanya 12 unit). Sebagai kluster terendah, kedua desa pesisir yang masuk kluster 6 (K6) ini perlu terus dibina dan kontribusinya untuk sektor perikanan bagai pembangunan daerah dapat diabaikan sementara. Perhatian seperti juga bisa diberikan kepada desa pesisir setingkat di atasnya (kluster desa 5), sehingga perkembangannya juga bisa lebih cepat. Scott and Garofoli (2007) menyatakan bahwa dalam sistem kluster, wilayah yang masih rendah daya dukung tidak boleh dipaksakan berkontribusi, tetapi menjadi sasaran pembinaan dan promosi potensi. Kluster dikembangkan untuk menentukan tindakan pengelolaan yang paling tepat, sesuai dengan kondisi dan potensi kini yang ada di wilayah. Tindakan pengelolaan tersebut akan membantu pengembangan interaksi harmonis wilayah sebagai sebuah kesatuan kawasan.-