7 FAKTOR DETERMINAN PENGEMBANGAN KLUSTER DESA 7.1 Pola Penentuan Faktor Determinan Pengembangan Industri Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa Penentuan faktor determinan yang kontekstual untuk pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon menerapkan pendekatan model persamaan struktural (structural equation model/SEM). Tahap pertama adalah memeriksa keabsahan ilmiah dari model yang dikembangkan dengan cara melakukan validasi terhadap konsep teoritis. Tahap kedua adalah melakukan validasi statistik seperti yang disyaratkan oleh SEM. Tahap ketiga atau terakhir adalah menghubungkan output analisis model dikaitkan dengan fakta empirik setiap desa di setiap kluster. Bab ini akan menjelaskan validitas model dipandang dari konsep teroritis dan statistik untuk pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Pengembangan perikanan ini sangat memperhatikan kelayakan usaha yang diukur dengan menghitung benefit-cost-ratio (BCR). Oleh karena itu, faktor-faktor determinan yang diidentifikasi ini secara teoritis dan empirik berkaitan atau memiliki potensi untuk mempengaruhi nilai BCR. 7.1.1 Validasi model secara teoritis Validasi teroritis merupakan kegiatan justifikasi terhadap konsep hubungan atau
interaksi
yang
dikembangkan
dalam
model.
Justifikasi
ini
sangat
memperhatikan teori yang berkembang dalam pustaka yang ada. Melalui validasi ini akan diketahui model yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pada model yang dikembangkan ini, variabel-variabel teknis usaha perikanan tangkap (UPT/Z1), yang terdiri dari armada/kapal (X11), alat tangkap (X12), serta teknologi dan metode operasi (X13), merupakan hal yang sangat penting (Ditjen Tangkap 2009). Menurut DKP (2004), pembangunan perikanan yang maju, membutuhkan pilar-pilar pembangunan yang saling mendukung dan memberikan kontribusi yang maksimal sesuai fungsinya. Oleh karena itu, pemilihan armada/kapal, alat tangkap, serta teknologi dan metode operasi adalah dimensi konstruk variabel teknis UPT dalam mendukung pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa sudah relevan.
140
Selain faktor perikanan itu sendiri, pengembangan perikanan tangkap juga dipengaruhi oleh kondisi fisik desa (Z20, kondisi sosial budaya (Z3), dan ekologi desa (Z4). Oleh karena itu, ketiga komponen ini juga menjadi konstruk-konstruk dalam model pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Informasi tentang konstruk ini terdokumentasi pada data BPS Kota Ambon (2010) yang mencakup kondisi geografi, demografi desa, potensi sumberdaya alam desa, serta kondisi sarana dan prasarananya, sesuai dengan Kementerian Kelautan & Perikanan (2010). Oleh karena itu, topografi dan demografi desa (X21), potensi sumberdaya alam desa (X22), serta kondisi sarana dan prasarananya (X23) sangat relevan untuk dipertimbangkan menjadi dimensi dari konstruk kondisi fisik desa. Menurut Fauzi dan Anna (2005), pola hidup sosial, tata nilai, dan mobilitas penduduk mempengaruhi tingkat pengembangan ekonomi berbasis usaha perikanan. Pola hidup seperti gotong royong dan makan ikan, dan nilai budaya yang mencintai pekerjaan di laut mempenagruhi motivasi masyarakat Maluku, termasuk Ambon, untuk menjalankan usaha perikanan yang berbasis pada penangkapan ikan di laut (Ralahalu, 2010). Oleh karena itu, kehidupan sosial (X31/seperti gotong-royong dan makan ikan), tata nilai (X32/seperti nilai adat budaya dan agama), serta mobilitas penduduk (X33) dari dan ke Pulau Ambon sangat relevan untuk dipertimbangkan menjadi dimensi dari konstruk sosial budaya terkait, pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa. Kondisi pemukiman (X41), pencemaran lingkungan (X42), dan ekosistem terumbu karang (X43) menjadi dimensi dari konstruk ekologi desa (Z4). Sain dan Knecht (1998), menyatakan bahwa pengelolaan kawasan pesisir dan laut, harus memperhatikan faktor ekologi
yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan
kehidupan kawasan tersebut, seperti kehidupan masyarakat lokal, ekosistem alam, dan trend perubahan lingkungan (terutama pencemaran dan pola abrasi pantai), dan siklus hidup yang terjadi di kawasan. Ruddle, et. al (1992) berpendapat behwa, kelangsungan ekosistem pesisir dan laut sangat dipengaruhi oleh kelangsungan kehidupan ekosistem terumbu karang, dimana masyarakat lokal hidup di kawasan pesisir karena ada ikan yang bisa ditangkap, dan ikan tersebut umumnya mempunyai habitat dan bersembiosis pada ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu, pemukiman masyarakat lokal, pencemaran lingkungan, dan ekosistem terumbu
141
karang sangat relevan dipertimbangkan untuk dijadikan dimensi konstruk ekologi desa. Dalam model ini, kostruk benefit-cost-ratio (BCR) usaha perikanan tangkap (UPT) menjadi konstruk utama sekaligus penanda dari keberhasilan pengembangan kluster desa berbasis usaha perikanan tangkap. Hal ini relevan karena pengkluteran desa pesisir pada bab sebelumnya (Bab 6) dilakukan berdasarkan hasil penilaian BCR dari usaha perikanan tangkap pada setiap desa pesisir. Pada model yang dikembangkan, modal kerja, pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha dipilih sebagai dimensi dari konstruk BCR UPT tersebut. Klapwijk (1997) berpendapat bahwa, pengklusteran secara ekonomi (termasuk berdasarkan BCR UPT) suatu usaha/wilayah pengelolaan, sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal, tingkat keuntungan yang bisa di dapat, dan kontinyuitas usaha ekonomi yang dilakukan. Menurut Scott dan Garofoli (2007), pengembalian investasi menjadi pertimbangan tersendiri dalam pengklusteran usaha perikanan tangkap. Hal ini disebabkan usaha perikanan dan usaha ekonomi lainnya, membutuhkan biaya investasi yang besar, karena ada kegiatan pengadaan armada dan alat tangkap yang kebutuhan mencapai 75 – 90 % dari modal awal. Oleh karena itu, cukup relevan bila dalam penelitian ini, modal kerja, pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha dipertimbangkan untuk dijadikan dimensi dari konstruk BCR usaha perikanan tangkap (UPT). 7.1.2 Validasi model secara statistik Validasi model secara statistik ini menggunakan berbagai kriteria goodnessof-fit yang dipersyaratkan untuk model hasil analisis SEM (Ferdinand, 2002). Dalam kegiatan validasi ini, semua hasil estimasi model akan dievaluasi atau diperiksa kesesuaiannya dengan kondisi nyata (diwakili oleh data lapang) menggunakan 8 (delapan) jenis kriteria statistik seperti X2-Chi-square statistic, adjusted goodness of fit index (AGPI), CMIN/DF, comparative fot index (CFI), goodness of fit index (GPI), the root mean square error of approximation (RMSEA), dan Tucker Lewis index (TLI). Kemampuan mengakomodasi berbagai kriteria tersebut, akan menentukan kelayakan model untuk menjelaskan faktorfaktor determinan yang konseptual dalam merancang kebijakan bagi pengembangan kluster desa berbasis usaha perikanan tangkap (BCR UPT) di Kota Ambon. Gambar 32 memperlihatkan model SEM ilustrasi interaksi faktor-faktor kontekstual
142
pengembangan kluster desa, sedangkan Tabel 57 menyajikan hasil uji kesesuaian model terhadap kriteria goodness of fit. Delapan ktiteria goodness of fit (Tabel 57) digunakan untuk menentukan nilai-nilai chi-square, CFI, CMIN/DF, GFI, RMSEA, dan TLI untuk model yang dikembangkan disajikan pada Tabel 57. Hanya 1 dari 8 kriteria yang digunakan tidak terpenuhi oleh model ini. Walaupun nilai significance probability adalah nol, AGFI 0,840 masih di bawah nilai standar yang dipersyaratkan model ini sudah menyerupai kondisi nyata yang tergambar dari data lapang. Oleh karena itu, model ini secara statistik valid untuk menjelaskan faktor-faktor determinan yang konseptual untuk pengembangan usaha
perikanan tangkap (BCR UPT) berbasis kluster desa di Kota Ambon. Tabel 57 Hasil uji kesesuaian model terhadap kriteria goodness of fit Kriteria Goodness of Fit
Standar
Model Value
Keterangan
Sekecil mungkin
160,907
≥ 0.05
0,000
Baik Marjinal
AGFI
≥ 0.90
0,840
Cukup Baik
CFI
≥ 0.90
0,946
Baik
CMIN/DF
≤ 2.00
1,916
Baik
GFI
≥ 0.90
0,901
Baik
RMSEA
≤ 0.08
0.072
Baik
TLI
≥ 0.90
0,923
Baik
Chi-square Sig. Probability
Model fit tersebut merupakan modifikasi dari model awal (Lampiran 36) yang belum fit, yang mengadopsi secara langsung path diagram pada bab 3. Selanjutnya, model akhir hasil analisis SEM disajikan pada Gambar 32 di halaman berikut.
143
.36 d11
.15 d12
.28 d13
1 X11
1 X12
1 X13 .07
.03 .03
1.04
1.00
.49
.31
Z2 d21
Teknis_UPT
1
X21
.37 .27
d22 1.34 d23
1
X22
1
4.14
.07
Fisik_Desa
.78
1.00
X23
3358.37
.44 .13
.10 d32
1
.62 d33
1
X32
.25
.33
6743.59 5516.94
X33
1.00
Y1
1
1.00 1
1.14 .86
.26 e1 .27 e2 .23
Y3
1
.52 Y4
1
e3
.32 e4
.08
Sosbud 4897.98 Z4
1 .69 .56
Ekologi_Desa .66
1.00
.19 X41 .10 1 .36 d41
.38
1
BCR_UPT -329.22
1
X31
Z5
Y2
.06
Z3 .00 1
-1.35
.07
.00
.11 d31
1
1.64
1
2.88
Z1
X42
X43
1 1 .89 .39 d43 d42
Chi-square = 160.907 Sig- Probability = .000 AGFI = .840 CFI = .946 CMIN/DF = 1.916 GFI = .901 RMSEA = .072 TLI = .923
.08
Gambar 32 Model akhir SEM faktor determinan pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon 7.2 Faktor Determinan bagi Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa Bagian ini akan membahas pengaruh setiap faktor determinan terhadap nilai BCR UPT yang ada di desa-desa pesisir Kota Ambon, pada setiap kluster desa, seperti yang telah dijelaskan pada Bab 6. Hasil kajian setiap faktor determinan akan dibandingkan dengan kondisi desa masing-masing kluster. Dengan demikian, akan terlihat faktor determinan mana yang menonjol atau signifikan di kluster desa tertentu. Kesimpulan tentang pengaruh faktor determinan ini berguna untuk menentukan fokus perhatian dari strategi pembangunan perikanan tangkap. 7.2.1 Faktor determinan teknis UPT Ketiga komponen teknis usaha perikanan tangkap harus dimiliki dan dikuasai dengan baik oleh pelaku perikanan sehingga usaha perikanan tangkap dapat dioperasikan secara optimal. Namun demikian, signifikasi kebutuhan terhadap ketiga komponen tersebut bisa saja berbeda tergantung kondisi kini yang dimiliki oleh kluster desa dalam mendukung optimalisasi pengelolaan perikanan tangkap.
144
Pengaruh ketiga komponen atau dimensi dari faktor determinan usaha perikanan tangkap ini disajikan pada Tabel 58. Tabel 58 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan teknis UPT Dimensi KP S.E. C.R. P Armada/Kapal Perikanan (X11)
1
Fix
Alat Tangkap (X12)
1,039
0,089
11,702
0
Teknologi&Metode Operasi (X13)
0,491
0,068
7,184
0
Dimensi armada/kapal perikanan (X11) berpengaruh positif terhadap BCR namun tidak signifikan (ɑ = 0,05). Oleh karena itu, dimensi/komponen ini bukan merupakan faktor yang mempengaruhi pengembangan teknis usaha perikanan tangkap pada semua kluster desa, baik di desa belum berkembang baik (kluster 5 dan 6) maupun di desa sudah maju (kluster 1 dan 2) usaha perikanan tangkapnya. Kesimpulan ini cukup wajar karena armada/kapal perikanan dapat dikembangkan secara mandiri oleh nelayan Kota Ambon dan bahkan di desa pesisir belum maju pun usaha perikanan tangkap nelayan setempat dapat membuat kapal sendiri. Dengan demikian, perhatian khusus terhadap pengembangan kapal perikanan dalam mendukung pengembangan kluster desa untuk saat ini dapat diabaikan di semua kluster desa. Dua dimensi lainnya dari konstruk UPT, yaitu alat tangkap (X12) serta teknologi dan metode operasi (X13) berpengaruh positif dan signifikan terhadap BCR (ɑ = 0,05) . Hal ini memberi indikasi bahwa perbaikan dimensi ini akan meningkatkan BCR yang umumnya rendah (BCR < 1,50). Oleh karena itu, pengembangan alat tangkap ini perlu dilakukan pada semua kluster desa. Menurut Hesieh dan Li (2009) dan Ditjen Tangkap (2009), kinerja alat tangkap perlu menjadi perhatian penting di setiap wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sehingga dapat memberi manfaat maksimal bagi pembangunan ekonomi pesisir, dan secara jangka panjang dapat mendukung pengembangan industri perikanan berbasis kluster desa. Teknologi dan metode operasi penangkapan ikan sangat dibutuhkan pada desa pesisir yang bestatus mina mula atau mempunyai nilai BCR rendah (<1,50) yang terdapat di kluster 4-6 (K4-K6). Hal ini karena desa pesisir tersebut belum
145
berkembang usaha perikanan tangkapnya dan metode operasi penangkapan yang dilakukan masih bersifat tradisional, seperti menggunakan tanda-tanda alam dalam menduga fishing ground dan posisi bulan untuk menentukan arah/jalur penangkapan. Leadbitter dan Ward (2007) dan Marijan (2005) menyatakan bahwa metode operasi yang dikembangkan secara trasidional banyak membantu nelayan dalam operasi penangkapan, namun tidak dapat menjamin kestabilan dan kontinyuitas hasil perikanan yang baik. Metode operasi tersebut perlu diintroduksi dengan teknologi modern, sehingga meningkatkan kinerja usaha perikanan tangkap dan pengembangan ekonomi pesisir. 7.2.2 Faktor determinan kondisi fisik desa Dua dari tiga dimensi dan konstruk kondisi fisik desa berpengaruh nyata terhadap BCR (Tabel 59). Dimensi topografi dan demografi desa (X21), potensi sumberdaya
alam desa (X22) berpengaruh positif signifikan bagi pengembangan fisik kluster desa di Kota Ambon (ɑ = 0,05). Sementara itu, dmensi sarana dan prasarana desa (X23) juga mempunyai pengaruh positif bagi pengembangan fisik kluster desa di Kota Ambon, tetapi tidak signifikan (ɑ = 0,05) . Hal ini memberi pengertian, bahwa jika pengembangan usaha perikanan tangkap dilakukan pada lokasi tepat dan penduduknya banyak beraktivitas di bidang perikanan, maka usaha perikanan tangkap akan semakin maju (BCR meningkat), dan status kluster desa juga akan meningkat. Hal yang sama juga terjadi, jika desa mempunyai potensi sumberdaya alam yang mendukung untuk pengembangan usaha perikanan tangkap tersebut, seperti laut yang kaya sumberdaya ikannya, usaha pendukung berkembang dengan baik, dan sebagainya. Kondisi topografi juga menjadi faktor determinan dalam pengembangan kluster desa, bisa jadi karena topografi Kota Ambon yang umumnya terjal, sehingga menjadi kawasan resapan air untuk cadangan air baku, dan keterjalan topografi daratan dan pesisir ini juga menjadi habitat yang baik terlindunginya terumbu karang.
146
Tabel 59 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan fisik kluster desa Dimensi
KP
S.E.
C.R.
P
Topografi dan demografi desa (X21)
2.881
1.251
2.303
0.021
Potensi sumberdaya alam desa (X22)
4.145
1.841
2.251
0.024
Sarana dan prasarana desa (X23)
1
Secara umum, pemilihan lokasi
fix
usaha dan pola mobilisasi penduduk
(terutama pelaku perikanan) sudah cukup baik dan memudahkan mereka dalam menjalankan aktivitas perikanan. Disamping itu, pengelolaan potensi perikanan juga sudah baik (tidak ada destruksi terhadap habitat ikan). Kedua hal ini tunjukkan oleh nilai KP topografi dan demografi desa (X21) dan potensi sumberdaya alam desa (X22) yang tinggi, yaitu masing-masing 2,881 dan 4,145. Oleh karena itu, interaksi yang positif kuat dan signifikan tersebut perlu dipertahankan di desa K1-K4, dan dikembangkan di desa K5-K6 terutama yang berstatus mina mula (UPT baru berkembang dan pelaku perikanan sedikit) serta bertopografi terjal. Pengembangan tersebut dapat menyangkut pembenahan lokasi UPT dan dukungan mobilisasi penduduk pada kegiatan perikanan. Mamuaya, et. al. (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kenyamanan masyarakat nelayan harus diperhatikan dengan baik untuk memajukan perekonomian Kota Pantai yang berbasis perikanan. Meskipun pengelolaan potensi sumberdaya ikan sudah cukup baik (tidak ada destruksi terhadap dasar perairan, tidak banyak kasus penggunaan bahan peledak), tetapi program konservasi dan perlindungan sumberdaya (misalnya restocking, pengawasan jumlah dan jenis alat tangkap) tetap perlu dilakukan pada semua kluster desa, terutama yang terletak di sekitar Teluk Ambon dan Teluk Ambon Dalam dengan intensitas penangkapan ikan termasuk tinggi. Bila hal ini dapat dilakukan dengan baik, maka potensi SDI tetap lestari, usaha perikanan tangkap dapat terus berkembang, serta kontribusi perikanan tangkap bagi pembangunan Kota Ambon juga lebih baik. Menurut Nikijuluw (2002) dan Kapp (1990), pengembangan perikanan harus dilakukan dengan memperhatikan daya dukung lokasi/desa, memberi kesejahteraan, menumbuhkan kemandirian usaha, serta memberi jaminan bagi pelestarian alam dan lingkungan sekitarnya.
147
7.2.3 Faktor determinan sosial-budaya Kondisi sosial dan budaya akan menentukan cara nelayan dan masyarakat pesisir di desa kluster mengelola usaha perikanan tangkap, menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan menjalankan aktivitas lainnya. Pada model SEM yang dikembangkan (Gambar 32), kondisi sosial dan budaya tersebut dapat ditunjukkan oleh pola interaksi dalam kehidupan sosial (X31), tata nilai (X32) yang dianut, dan mobilitas penduduk (X33) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tabel 60 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan sosial-budaya kluster desa Dimensi Kehidupan Sosial makan ikan) (X31) Tata Nilai (X32)
(gotong
KP royong,
Mobilitas Penduduk (X33)
C.R.
P
6743,59 152447
0,044
0,965
5516,95 124717
0,044
0,965
1
S.E.
fix
Dimensi X31, X32 dan X33 dalam model ini, berpengaruh positif namun tidak signifikan (ɑ = 0,05) terhadap BCR. Hasil analisis tersebut memberi indikasi bahwa ketiga komponen/dimensi tersebut sudah menjadi bagian dari interaksi sosial budaya di semua desa kluster, baik sebelum maupun sesudah usaha perikanan tangkap banyak digalakkan di Kota Ambon. Untuk kehidupan sosial terutama kebiasaan makan ikan misalnya, hal ini sudah menjadi tradisi di Kota Ambon di semua desa pesisir (K1-K6) di Kota Ambon, baik yang sudah maju kegiatan perikanan tangkapnya (kluster 1) maupun yang belum berkembang usaha perikanan tangkapnya (kluster 6). Menurut Ralahalu (2010), kebiasaan makan ikan dan tidak bisa makan tanpa ikan sudah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Maluku terutama Kota Ambon, dan hal ini sudah berlangsung ratusan tahun (sejak jaman kerajaan). Oleh karena sudah mentradisi sejak lama dan perkembangannya tidak semata ditentukan oleh kegiatan perikanan tangkap, maka wajar bila komponen ini tidak menjadi faktor determinan bagi pengembangan kluster desa di Kota Ambon saat ini (dapat diabaikan di K1-K6). Masyarakat Kota Ambon merupakan masyarakat yang agamis dan sangat menjunjung tata nilai yang ada. Di Kota Ambon sangat banyak rumah ibadah (gereja dan masjid) dan selama ini menjadi pusat aktivitas masyarakat bagi pengembangan tata nilai agama dan kemasyarakatan. Menurut Vanden (2001) tata
148
nilai keagamaan sudah berkembang sejak jaman VOC (1605 M) yang ditandai oleh didirikan gereja di berbagai tempat di Kota Ambon. Sampai saat ini, tata nilai ini berkembang dengan baik sebagai bagian dari perkembangan sosial-budaya di Kota Ambon dan tidak dipengaruhi oleh maju mundurnya usaha perikanan tangkap. Terkait dengan ini, maka cukup wajar bila tata nilai (X32) tidak menjadi faktor determinan pengembangan kluster terkait kegiatan perikanan tangkapdi Kota Ambon (dapat diabaikan). Hal yang sama juga untuk mobilitas penduduk (X33), dimana mobilitas penduduk di Kota Ambon termasuk tinggi dan sudah menjadi ciri khas masyarakat Ambon dan Maluku secara umum dengan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau. Mobilitas penduduk tersebut tidak dipengaruhi oleh berkembang tidaknya kegiatan perikanan tangkap di setiap desa kluster tetapi lebih menjadi kebiasaan yang tertanam sejak lama. Karena itu, cukup wajar bila intervensi terhadap mobilitas penduduk tidak signifikan dalam mempengaruhi pengembangan kluster dari aspek sosial dan budaya. Dengan kata lain, dimensi kehidupan sosial, tata nilai, dan mobilitas penduduk yang ada sekarang, harus tetap dipertahankan di semua kluster. 7.2.4 Faktor determinan ekologi desa Pengelolaan aspek ekologi akan menentukan kelangsungan kelangsungan ekosistem pesisir dan laut serta kelangsungan aktivitas manusia yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut. Karena itu, aspek ekologi harus diperhatikan dalam pengelolaan desa pesisir di Kota Ambon yang berbasis kluster perikanan. Sain dan Knecht (1998), menyatakan bahwa pengelolaan kawasan pesisir dan laut, harus memperhatikan faktor ekologi
yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan
kehidupan kawasan tersebut, seperti kehidupan masyarakat lokal, ekosistem alam, dan trend perubahan lingkungan (terutama pencemaran dan pola abrasi pantai), dan siklus hidup yang terjadi di kawasan. Pada model SEM yang dikembangkan, pengelolaan
aspek
ekologi dapat ditunjukkan oleh
pola interaksi pada
dimensi/komponen pemukiman, pengendalian pencemaran, dan ekosistem terumbu karang.
149
Tabel 61 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas ketiga dimensi pengembangan ekologi kluster desa Dimensi
KP
S.E.
Pemukiman (X41)
0,561
0,076
7,37
0
Pengendalian Pencemaran (X42)
0,657
0,096
6,841
0
Ekosistem Terumbu Karang (X43)
C.R.
1
P
Fix
Kondisi pemukiman dan pengendalian pencemaran berpengaruh positif signifikan terhadap pengembangan ekologi desa kluster yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas (p) pengaruh masing-masing bernilai nol (Tabel 61).
Disisi lain,
ekosistem terumbu karang, meskipun mempunyai pengaruh yang besar (KP = 1,000), tetapi pengaruh tersebut tidak bersifat signifikan (p = fix), sehingga dapat diabaikan, dalam artian habitat terumbu karang yang ada di semua kluster hars tetap dipertahankan, untuk pengembangan ekologi desa kluster di Kota Ambon. Hal yang sebaliknya dengan kondisi pemukiman (X41) dan pengendalian pencemaran (X42) menjadi faktor determinan pengembangan ekologi desa pada semua kluster yang perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan. Bila melihat lebih jauh, kondisi pemukiman akan menentukan tingkat pemanfaatan kawasan pesisir untuk pemukiman, dimana teratur tidaknya pemukiman tersebut dan destruktif tidaknya pengembangan pemukiman di kawasan pesisir Kota Ambon akan menentukan keberlanjutan ekologi kawasan pesisir Kota Ambon. Karena itu, faktor pemukiman ini menjadi faktor determinan (serius) dalam mempengaruhi pengembangan ekologi desa kluster. Menurut Widodo dan Nurhakim (2002), untuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, pengembangan kawasan pemukiman dan pusat aktivitas perikanan harus dilakukan pada lokasi yang tepat yang tidak banyak merusak ekosistem alam, seperti kawasan pesisir yang tandus, tidak banyak vegetasi mangrove, dan tidak ada pengerukan dasar perairan. Hal ini perlu menjadi perhatian penting bagi desa kluster yang belum mapan (K5 dan K6), terutama yang kepadatan penduduknya rendah atau masih berstatus mina mula, yang tentu banyak membutuhkan pembenahan sehingga sejajar dengan desa kluster lainnya dan statusnya meningkat. Pengendalian pencemaran juga menjadi hal yang sangat penting dan serius diperhatikan terutama untuk desa-desa yang padat aktivitas perikanan tangkapnya.
150
Desa pesisir kluster 1 dan 2 (K1 dan K2) dengan status mina mandiri dan dekat jalur bisnis tentu mempunyai aktivitas perikanan tangkap yang lebih padat daripada desa pesisir lainnya, sehingga pengendalian pencemaran perikanan menjadi hal mutlak yang harus diperhatikan dan terus dikembangkan untuk meminimalisir dampaknya terhadap ekologi pesisir dan laut. Menurut Leadbitter and Ward (2007), integrasi pengelolaan yang mencakup pengembangan usaha perikanan tangkap, peningkatan produksi, pencegahan dampak pencemaran perlu dilakukan secara berkesinambungan kawasan perikanan tangkap yang padat, dan hal ini perlu dievaluasi/dikontrol secara sistematis. Dalam pengembangan kluster desa di Kota Ambon, hal ini mendesak untuk dilakukan di desa pesisir yang menjadi basis perikanan selama ini di Kota Ambon (desa kluster 1 dan kluster 2) yang secara geografis berada di kawasan Teluk Ambon dan Teluk Ambon Dalam. Karena merupakan wilayah tertutup (teluk), maka sirkulasi arus di kedua perairan ini sangat rendah, sehingga bila banyak limbah perikanan tang dibuat, maka akan secara nyata merusak ekosistem perairan teluk (hasil analisis Tabel 61). Namun demikian, aktivitas perikanan tangkap yang ada termasuk bila dikembangkan secara kluster tidak akan mengganggu eksistem terumbu karang yang ada di perairan sekitar. Hal ini karena perairan Kota Ambon mempunyai tingkat kemiringan yang terjal (dalam), sehingga kawasan dasar perairan termasuk yang ada terumbu karangnya relatif terlindungi dan dapat dimanfaatkan untuk wisata bawah air (Ralahalu, 2010 dan Pemkot Ambon, 2010). 7.2.5 Pengaruh variabel penentu besaran BCR Peningkatan nilai BCR, sebagai indikator kelayakan usaha perikanan tangkap, merupakan tujuan akhir upaya pengembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon melalui identifikasi faktor determinan yang berpengaruh. Menurut Kapp (1990), nilai BCR (Benefit Cost Ratio) menjadi ukuran layak dan tidak layaknya suatu usaha ekonomi untuk dikembangkan dalam mendukung program besar pembangunan ekonomi kawasan. Karena itu, nilai BCR usaha perikanan tangkap (UPT) di Kota Ambon akan sangat menentukan pola pembangunan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. Seperti halnya kajian faktor determinan lainnya, kajian faktor faktor determinan bagi peningkatan BCR UPT ini akan menjadi arah penting bagi pengembangan
151
kebijakan perikanan tangkap di Kota Ambon dengan berbasiskan pada kluster desa perikanan. Model SEM pada Gambar 32, menyajikan teori bahwa peningkatan BCR UPT dapat ditunjukkan oleh pola interaksi pada dimensi/komponen modal kerja, pengembalian investasi, keuntungan, dan kontinyuitas usaha perikanan tangkap. Tabel 62 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas keempat dimensi peningkatan BCR UPT Dimensi Modal Kerja (Y1)
KP
S.E.
C.R.
1
P Fix
Pengembalian Investasi (Y2)
1,141
0,095
12,064
0
Keuntungan (Y3)
0,861
0,079
10,845
0
Kontinyuitas (Y4)
0,52
0,073
7,104
0
Modal kerja (Y1) berpengaruh positif namun tidak signifikan dalam mendukung peningkatan BCR UPT di Kota Ambon (Tabel 62). Oleh karena itu, secara statistik dimensi/komponen modal kerja dalam model ini tidak menjadi faktor penting yang menentukan nilai BCR usaha perikanan tangkap, sehingga bukan menjadi perhatian dalam pengembangan kluster desa. Hal ini bisa jadi karena sebagian besar usaha perikanan tangkap (terutama yang berskala kecil) di Kota Ambon dioperasikan secara one day fishing sehingga tidak membutuhkan modal yang besar untuk setiap trip pengoperasiannya. Hermawan (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa usaha perikanan tangkap berskala menengah ke bawah banyak dioperasikan di Indonesia karena pengoperasiannya lebih fleksibel dan tidak membutuhkan modal besar dalam setiap trip pengoperasiannya. Hal yang sama didukung oleh Marijan (2005) yang menyatakan bahwa faktor kekuatan modal tidak banyak dibutuhkan usaha ekonomi yang stabil operasinya. Pengembalian investasi (Y2) dan keuntungan (Y3) berpengaruh positif signifikan bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap yang ditunjukkan oleh probabilitas (p) masing-masing yang nilai 0 (nol). Di samping signifikan, pengaruh positif pengembangan investasi juga termasuk kuat mendukung peningkatan BCR UPT (KP > 1,000). Hal ini disebabkan pengembalian investasi merupakan cerminan tingkat pemanfaatan atau sirkulasi penggunaan dari investasi yang dilakukan nelayan pada usaha perikanan tangkap. Bila tingkat pengembalian semakin cepat
152
maka benefit (manfaat) investasi tinggi yang secara otomatis nilai BCR juga bisa meningkat. Perbaikan pengembalian investasi perlu dipertahankan pada semua kluster desa yang BCR UPT-nya tinggi (>2,00), sedangkan yang tingkat kepemilikan usaha perikanan tangkapnya rendah yang masih banyak terdapat di Kota Ambon (mengisi kluster 3-6) perlu ditingkat terus sehingga nilai BCR UPT tersebut meningkat (di atas 2,00). Ralahalu (2010) dan Nurani dan Wisudo (2007) menyatakan bahwa siklus usaha/pengembalian investasi yang cepat lebih memberi kesempatan kepada nelayan (termasuk nelayan buruh) untuk menabung, sehingga pada
kondisi
tertentu
nelayan
buruh
mempunyai
kemampuan
untuk
membeli/memiliki usaha perikanan tangkap sendiri. Pengembalian investasi yang cepat mempunyai manfaat lanjutan pada peningkatan keuntungan usaha perikanan tangkap. Setelah investasi terbayar, maka biaya terkait dapat ditiadakan sehingga menjadi bagian dari keuntungan bersih yang didapat nelayan. Berdasarkan Tabel 62, keuntungan merupakan faktor determinan bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap di Kota Ambon, capaian keuntungan ini perlu diupayakan terus untuk usaha perikanan tangkap bernilai BCR sedang (BCR = 1,50 – 2,00) dan rendah (BCR > 1,50) yang terdapat desa kluster 46 (K4-K6), sedangkan untuk usaha perikanan tangkap bernilai BCR > 2,00 di desa kluster 1-4 (K1-K4) dipertahankan. Program pembinaan ketrampilan teknis dan manajemen usaha perlu ditingkatkan bagi nelayan di desa kluster ini. Oleh karena kondisi usaha perikanan tangkap dan masalah yang dihadapi nelayan di setiap desa kluster bisa berbeda-beda, maka substansi pembinaan SDM tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan desa (berbasis kluster). Kontinyuitas (Y4) berpengaruh positif signifikan dalam mendukung peningkatan BCR UPT di Kota Ambon yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas (p) = 0 (nol). Hal ini memberi indikasi bahwa operasi usaha perikanan tangkap yang stabil meskipun dengan keuntungan yang kecil lebih berarti daripada operasi usaha perikanan tangkap dengan keuntungan besar namun setelah tidak jelas keberlanjutannya. Hal ini terkait dengan pemenuhan permintaan pasar, dimana bila hasil tangkapan selalu dapat disediakan secara kontinyu maka dapat menjaga kestabilan harga, kepastian pasar, dan menambah kepercayaan konsumen terhadap produk perikanan tersebut. Hal ini tentu membawa dampak yang baik bagi pengelolaan usaha perikanan tangkap, dan menurut hasil analisis Tabel 62, dampak
153
baik tersebut signifikan bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap. Terkait dengan ini, kontinyuitas produk perikanan yang dikirim ke pasar perlu menjadi perhatian dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di desa kluster. Usaha perikanan tangkap (UPT) skala kecil yang terdapat di desa pesisir kluster 3-6 (K3-K6) umumnya tidak dapat menyuplai produk perikanan ke pasar secara stabil, dimana pada musim puncak banyak sedangkan pada musim paceklik rendah (bahkan tidak ada sama sekali). Disamping itu, hasil tangkapannya juga beragam, sehingga jenis produk perikanan yang dikirim juga berubah-berubah setiap saat, dan ini kurang mendukung untuk pengembangan bisnis perikanan dalam skala industri yang membutuhkan produk perikanan kontinyu baik jenis maupun jumlah. Khusus untuk desa pesisir kluster 5-6 (K5-K6), masalah kontinyuitas produk perikanan lebih diperhatikan untuk pencitraan pasar dan menarik minat investor. Kluster 5-6 (K5-K6) merupakan kelompok desa yang belum berkembang baik kegiatan perikanan dan BCR UPT-nya tidak terlalu tinggi, sehingga tentu membutuhkan upaya yang ekstra (berlebih) untuk berkembang sejajar/beriringan kegiatan perikanan tangkpanya dengan desa kluster lainnya. Widodo dan Nurhakim (2002) menyatakan bahwa kontinyuitas suplai merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pembangunan perikanan suatu kawasan, dan hal ini hal selalu diupayakan dalam setiap program perinitisan dan pembenahan kegiatan perikanan daerah. 7.3 Pengaruh Faktor-Faktor Determinan Terhadap BCR Untuk mendukung pengembangan industri perikanan berbasis kluster desa, maka pembenahan terhadap usaha perikanan tangkap baik secara teknis maupun finansial menjadi hal mutlak yang perlu dilakukan. Hal ini penting mengingat keberadaan usaha perikanan tangkap akan mendorong berkembangnya usaha perikanan lainnya, seperti usaha pengolahan, usaha pemasaran hasil perikanan, dan jasa perikanan lainnya. Bagian ini akan membahas pengaruh faktor determinan secara bersama-sama terhadap BCR UPT sebagai representasi kemajuan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon, serta formulasi faktor determinan yang perlu diperhatikan di setiap kluster desa. Hal ini dilakukan agar urgensi dan kebutuhan setiap faktor determinan bagi pengembangan perikanan di setiap kluster desa diketahui, sehingga tindakan pengelolaan dapat dilakukan secara tepat untuk peningkatan BCR. Peningkatan BCR UPT ini merupakan tujuan akhir dari
154
pengkajian faktor determinan dalan penelitian ini, sebagai indikator perkembangan perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon. 7.3.1 Pengaruh faktor determinan secara bersama-Sama Pada Bagian 7.2 telah dijelaskan bahwa faktor utama dan menjadi penentu bagi peningkatan BCR usaha perikanan tangkap pada desa kluster di Kota Ambon terdiri dari kondisi teknis UPT, kondisi fisik desa, kondisi sosial budaya, dan ekologi desa. Keempat faktor ini merupakan konstruk (komponen utama) dari model yang dikembangkan pada Gambar 7.1 dan semuanya mempunyai link terhadap BCR UPT. Analisis menyimpulkan bahwa hanya tiga diantara keempat faktor tersebut yang siginifikan: faktor sosial-budaya disimpulkan tidak signifikan terhadap BCR (Tabel 63 dan Lampiran 87). Tabel 63 Hasil analisis koefisien pengaruh dan probabilitas komponen utama terhadap BCR Faktor
KP
S.E.
C.R.
P
Faktor Teknis UPT
0.779
0.103
7.53
0.000
Faktor Kondisi Fisik Desa
-1.347
0.645
12,064
0.037
Faktor Sosial Budaya
-329.224
7471.976
-0.044
0.965
Faktor Ekologi Desa
0.334
0.069
4.832
0.000
Pengaruh faktor teknis UPT yang signifikan, menunjukkan bahwa perbaikan atau pengembangan faktor teknis penangkapan akan secara nyata meningkatkan kinerja (BCR) usaha perikanan tangkap (UPT) pada di desa kluster di Kota Ambon. Secara khusus, pengaruh faktor teknis ini didukung oleh dimensi alat tangkap, dan dimensi teknologi/metode operasi (Tabel 58). Hal ini juga memberi petunjuk bahwa jenis perbaikan faktor teknis penangkapan perlu dikembangkan di desa peisir Kota Ambon. Perbaikan alat tangkap dapat dilakukan untuk semua kluster desa 1 – 6 (K1 – K6), sedangkan perbaikan teknologi dan metode operasi penangkapan ikan perlu dilakukan di desa berstatus mina mula di kluster 4-5 (K4-K5) dan desa dengan UPT BCR rendah (<1,50) di kluster 6 (K6). Faktor kondisi fisik desa juga memegang peranan penting dalam pengembangan kluster desa dan peningkatan
BCR usaha perikanan tangkap.
Seperti disebutkan sebelumnya, kondisi fisik akan menentukan jenis sumberdaya alam (terutama ikan) yang bisa dimanfaatkan, menentukan kesiapan infrastruktur
155
dalam mendukung berbagai usaha perikanan tangkap yang dikembangkan desa kluster, dan arahan penting bagi pengembangan kebijakan perikanan pada desa kluster. Semua komponen tersebut dibutuhkan untuk mendukung desa secara fisik dalam peningkatan kinerja usaha perikanan perikanan tangkap (BCR UPT). Namun yang terjadi di Kota Ambon masih sebaliknya, yaitu faktor kondisi fisik desa cenderung berpengaruh negatif terhadap peningkatan BCR UPT, yaitu dengan koefisien pengaruh (KP) -1,35 (Tabel 7.7). Hal ini memberi indikasi bahwa kondisi fisik desa masih belum mendukung pengembangan desa kluster dengan basis aktivitas utama pada bidang perikanan tangkap, dan ini dapat dipercaya karena mempunyai nilai probabilitas (p) < 0,05, yaitu 0,037. Pengaruh positif signifikan dimensi topografi dan demografi desa (X21) dan
potensi sumberdaya alam desa (X22) (Tabel 7.3) belum berkontribusi besar bagi kesiapan fisik desa, karena pengaruh faktor fisik desa yang masih negatif (KP = 1,35). Karena itu, kedua dimensi yang berpengaruh positif signifikan tersebut perlu terus dikembangkan atau dipertahankan, sehingga desa kluster dalam kesiapan penuh untuk mendukung peningkatan BCR UPT. Pembenahan terkait dimensi topografi dan demografi perlu terus dilakukan di desa kluster 5-6 (K5-6) terutama yang status mina mula karena topografi desa yang umumnya terjal di pinggir gunung dan penduduknya jarang. Sementara itu, untuk potensi SDA perlu dikembangkan di kluster 1 – 3 (K1-K3), terutama pada desa-desa yang berada di Teluk Ambon dan Teluk Ambon Dalam, karena aktivitas penangkapan ikannya relatif padat. Faktor sosial budaya mempengaruhi secara negatif BCR dengan koefisien pengaruh (KP) -329,22, namun demikian pengaruh negatif tersebut bersifat tidak signifikan karena mempunyai nilai probabilitas (p) > 0,05, yaitu 0,965. Hal ini memberi gambaran bahwa maju tidaknya usaha perikanan tangkap tidak dipengaruhi oleh interaksi sosial budaya masyarakat pada desa kluster di Kota Ambon. Faktor ekologi desa berpengaruh positif signifikan bagi peningkatan BCR UPT yang ditunjukkan oleh koefisien pengaruh (KP) 0,334 dan probabilitas (p) 0,000 (Tabel 60). Hal ini menunjukkan bahwa dukungan tiga dimensi (pemukiman, pengendalian pencemaran, dan ekosistem terumbu karang) telah berhasil mempersiapkan secara ekologi untuk mendukung pengembangan perikanan tangkap
156
termasuk dalam meningkatkan nilai BCR-nya. Dari tiga dimensi tersebut, kondisi pemukiman dan pengendalian pencemaran merupakan dimensi yang signifikan (Tabel 58) memberikan dukungan bagi kesiapan ekologi desa kluster di Kota Ambon, sehingga perlu menjadi perhatian penting. Pemukiman perlu terus dibenahi di desa kluster yang belum mapan (K5 dan K6), terutama yang kepadatan penduduknya rendah atau masih berstatus mina mula, sedangkan di desa kluster 1-4 (K1-K4) tinggal dipertahankan. Khusus dimensi pengendalian pencemaran perlu ditingkatkan di desa pesisir yang aktivitas perikanannya padat, berstatus mina mandiri, dan dekat jalur bisnis di kluster 1-2 (K1 & K2). 7.3.2 Rumusan faktor determinan untuk setiap kluster desa Sebuah rumusan perlu dibuat untuk memudahkan perencanaan pengembangan pembangunan perikanan di Kota Ambon. Rumusan ini merupakan rangkuman hasil analisis yang dijelaskan dalam Bagian 7.2 dan Bagian 7.3.1, dengan kesimpulan tentang faktor apa saja yang perlu dikembangkan, dipertahankan, dikurangi, atau diabaikan (Tabel 7.8). Hal ini penting agar program pembangunan perikanan tangkap dan masyarakat pesisir Kota Ambon dapat dilakukan secara optimal dan efektif sesuai kebutuhan setiap desa kluster. Dalam penentuan apakah suatu faktor determinan perlu dikembangkan, dipertahankan, dikurangi atau diabaikan, didasarkan pada koefisien pengaruh dan signifikansinya. Jika koefisien pengaruhnya positif besar dan signifikan, faktor determinan tersebut dipertahankan. Bila koefisien pengaruhnya positif tidak terlalu besar tetapi siginifikan, faktor determinan tersebut harus dikembangkan, dan jika koefisien pengaruhnya negatif dan signifikan, faktor tersebut harus dikurangi. Sebaliknya, jika koefisien pengaruh nya positif atau negatif tetapi tidak signifikan, faktor determinan tersebut diabaikan. Pada Tabel 64 tergambar pengaruh suatu faktor/dimensi pengelolaan terhadap pengembangan perikanan tangkap di kluster desa ditunjukkan oleh nilai koefisien (KP) seperti yang dijelaskan pada Bagian 7.2 dan Bagian 7.3.1. Pengaruh dikatakan positif bila nilai KP > 0 dan kuat jika nilai KP > 1,00, dan negatif bila nilai KP < 0 (Sarwono, 2006). Selanjutnya, strategi dan aksi pengembangan kluster desa dapat dirancang berdasarkan informasi tentang pengaruh dan sifat pengaruh tersebut. Untuk faktor/dimensi dengan pengaruh positif siginfikan dapat dikembangkan lanjut atau
157
menjadi fokus perhatian dalam setiap program pembangunan perikanan di Kota Ambon, sedangkan lokasi pelaksanaan program dapat dilakukan pada desa kluster yang sesuai seperti ditunjukkan pada kolom lokasi pengembangan di Tabel 64. Pengaruh positif signifikan memberi indikasi bahwa suatu faktor/dimensi sangat mendukung/bermanfaat
untuk
pengembangan
kluster
desa,
seperti
faktor
pengendalian pencemaran sangat dibutuhkan untuk pengembangan kluster desa dari aspek ekologi, dengan sasaran utama desa berstatus mina mandiri dan dekat jalur bisnis (desa-desa di kluster 1 dan kluster 2). Hal ini karena desa/kelurahan tersebut sangat
padat
aktivitas
perikanannya,
sehingga
bahan
pencemar
yang
ditimbulkannya juga banyak. Faktor/dimensi dengan pengaruh positif kuat dan signifikan memberi indikasi optimalnya peran dan signifikannya manfaat peran tersebut bagi pengembangan kluster desa. Karena itu, interaksi faktor tersebut perlu dipertahankan (arahan Tabel 64) di semua kluster desa. Namun demikian, dapat saja dikembangkan lagi untuk desa kluster lain dengan kondisi khusus. Faktor keuntungan misalnya, meskipun secara nyata telah memberi manfaat layak bagi sebagian besar nelayan, tetapi perlu terus ditingkatkan untuk UPT dengan BCR rendah (< 1,50) dan BCR sedang (1,502,00), sementara UPT dengan BCR rendah dan sedang tersebut banyak terdapat desa kluster 4-6 (K4-K6). Karena itu, program pembangunan perikanan di masa depan terkait perbaikan keuntungan UPT dapat difokuskan pada desa pesisir di kluster 4-6, dengan sasaran program UPT yang mempunyai BCR rendah dan sedang. Dalam model ini tidak ada faktor/dimensi yang berpengaruh negatif dan signifikan, dengan kata lain faktor-faktor itu tidak akan menurunkan BCR usaha perikanan tangkap. Menurut Gaspersz (1992), jika dalam suatu sistem alam tidak ada komponen/faktor berinteraksi secara negatif maka sistem tersebut memiliki peluang untuk berkembang secara bebas. Sebaliknya, jika interaksi yang negatif perlu dikurangi atau mungkin dinetralkan agar keutuhan sistem tidak rusak. Pada rangkuman di Tabel 64 tersebut, ada tujuh faktor/dimensi yang dapat diabaikan pengaruhnya (karena tidak signifikan), diantaranya faktor kehidupan sosial (gotong royong, makan ikan), dan tata nilai. Seperti dijelaskan pada Bagian 7.2, kebiasaan makan ikan dan tidak bisa makan tanpa ikan sudah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Maluku terutama Kota Ambon, dan hal ini sudah berlangsung sejak
158
jaman kerajaan. Hal yang sama juga untuk tata nilai, menurut Vanden (2001) tata nilai keagamaan sudah berkembang sejak jaman VOC (1605 M) yang ditandai oleh didirikan gereja di berbagai tempat di Kota Ambon. Sampai saat ini, tata nilai ini berkembang dengan baik sebagai bagian dari perkembangan sosial-budaya di Kota Ambon dan tidak dipengaruhi oleh maju mundurnya usaha perikanan tangkap. Oleh karena itu, pengembangan faktor/dimensi ini tidak perlu diprogramkan atau dianggarkan secara khusus untuk mendukung pengembangan kluster desa.-
159
Tabel 64. Formulasi faktor determinan untuk pengembangan setiap jenis kluster desa di Kota Ambon Faktor Terkait Pengembangan Pengaruh Kluster Kluster Pengembangan Fisik Desa Topografi dan Signifikan Demografi Potensi SDA Desa
Lokasi Pengembangan/Kluster Desa K1
K2
K3
K4
♯
♯
♯
♯
Signifikan
K5
K6
Sasaran Utama
♯
♯
♯
Dikembangkan pada desa berstatus mina mula atau bertopografi terjal di K5-K6 Dikembangkan pada desa berbatasan dg Teluk Ambon dan Teluk Ambon Dalam di K1-K3
Sarana dan Prasarana Tidak Desa signifikan Pengembangan SOSBUD Desa Kehidupan Sosial Tidak (gotong royong, makan signifikan ikan) Tidak Tata Nilai signifikan Tidak Mobilitas Penduduk signifikan Pengembangan Ekologi Desa
-
-
-
-
Pemukiman
♯
♯
♯
♯
-
-
&♯
Signifikan
Pengendalian Signifikan Pencemaran Ekosistem Terumbu Tidak Karang signifikan Pengembangan Teknis UPT Armada/kapal Tidak perikanan signifikan Alat tangkap
Signifikan
&♯
&♯
&♯
Teknologi & metode operasi
Signifikan
♯
♯
♯
159
Dikembangkan pada desa mina mula di K5 dan penduduk rendah di K6 Dikembangkan pada desa berstatus mina mandiri dan dekat jalur bisnis di K1 & K2
Dikembangkan utk UPT BCR rendah (<1,50) di K1-K6 dan dipertahankan utk UPT BCR > 2,00 di K1-K4 Dikembangkan pada desa berstatus mina mula di K4-K5 atau BCR <1,50 di K6
160
Pengembangan BCR UPT Modal Kerja
Tidak signifikan
Pengembalian Investasi
Signifikan
♯
♯
Keuntungan
Signifikan
♯
♯
Kontinyuitas
Signifikan
♯
♯
♯
♯&
Keterangan : = harus dikembangkan, ♯ Harus dipertahankan, = diabaikan, dan = harus dikurangi
•
Makna simbol :
•
Tidak ada faktor/dimensi dengan status dikurangi (tidak ada faktor dengan pengaruh negatif signifikan)
•
K1 s/d K6 adalah Kluster Desa 1 s/d Kluster Desa 6
160
Dikembangkan/ditingkatkan pada desa dengan kepemilikan UPT rendah / sedang di K3-K6 Dikembangkan/ditingkatkan pada UPT BCR UPT < 2,00 di K4-K6, dan dipertahankan UPT BCR UPT > 2,00 di K1-K4 Dikembangkan/ditingkatkan pada UPT ukuran kecil di K3-K6 dan UPT dg BCR<1,50 di K5-K6