KAPASITAS KELEMBAGAAN KEMITRAAN PERIKANAN TANGKAP DALAM PEMBERDAYAAN NELAYAN DI KOTA AMBON
YOISYE LOPULALAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kapasitas Kelembagaan Kemitraan Perikanan Tangkap dalam Pemberdayaan Nelayan di Kota Ambon adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Bahan rujukan atau sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2009
Yoisye Lopulalan C461060011
ABSTRACT YOISYE LOPULALAN. Institutional Capacity of Catch Fishery Partnership in the Empowerment of Fishermen in Ambon. Supervised by John Haluan, Tommy H. Purwaka, and Sugeng Hariwisudo. Ambon is one of the cities in Maluku province which is very potential in fishery, particularly catch fishery. The development of catch fishery in Ambon in 2008 could be seen from the number of fishing fleets and the kinds of fishing equipment used. The number of fishing fleets was 1,829, comprising unmotorized boats with 1,224 fleets, motorized boats with 586 fleets, and engined vessels with 24 fleets. In the meantime, the number of fishing equipment used was 3,462. Fresh fishery production in Ambon reached 19,919.41 tons with a production value of Rp 63, 965,805,000. Fresh fish production was dominated by cakalang fish. The potential availability of fishery resource around Ambon island waters was not completely supported by enough human resource ability to manage it well. Technological and managerial competence of the coastal community in Ambon in the field of fishery and marine was not sufficient to be able to utilize the potential resource evailable in fishery and marine. In addition, the capital availability to boost economic activities in the field of fishery and marine was relatively limited. The knowledge and skill of the coastal community in Ambon was still traditional since they just tried to fulfill their daily needs. Therefore, more efforts would be needed to increase their productivity. Considering this condition, the idea of partnership initiated by Departemen Kelautan dan Perikanan (Sea and Marine Department) through PEMP program was very important for the empowerment of the fishing community in the region so that they would be able to get out of their backwardness and improve their lives. The objective of this research was to formulate an effective alternative partnership institution for the empowerment of catch fishermen in Ambon. Specifically, it tried to analyze: (i) the concept of partnership institution, (ii) partnership implementation, including the forms and characteristics, (iii) the performance of partnership institution, including fishermen’s income, transaction cost, success realization, perception and participation of fishermen as partnership members and (iv) the formulation of the development of partnership institution capacity. The data analysis used qualitative and quantitative methods. The qualitative method was focused on the explanation of partnership concept and its implementation, while the quantitative method, consisting of factor analysis and double regression analysis, supported the qualitative approach. The research result showed that the concept of partnership institution through PEMP program in Ambon applied the pattern of nucleus plasma. In this pattern, fishermen had a chance of obtaining aids in form of fish-catching facilities and guidance from the government, in this case, Sea and Fishery Agency of Ambon through KMK and TPD. Both parties were subject to written rules, and the involvement of fishermen in the PEMP program was collective in nature, meaning through a group. The implementation of partnership through PEMP program in Ambon was more ”top down” with a contract system. Preparation and guidance for the program members were minimum. The partnership characteristics of PEMP program were influenced by such factors as selling price and the rate of fishermen’s production and productivity. These three factors had given a positive contribution to a variety of partnerships in PEMP program established in Ambon.
The analysis result of partnership performance indicated that the income of the community as PEMP members in Ambon was as follows: the range of an owner’s income was Rp 854,780 – 3,033,296. In the meantime, special ABK got Rp 590,487 – 2,274,972 and common ABK Rp 472,390 – 1,234,470. If the income of an owner was compared to that of special or common ABK, seemingly there was an imbalance since the income sharing system had not really considered the secrefice made by ABK in this business. Simultantly, variables of production rate, selling price, fishermen’s productivity and income sharing according to the system could explain about the fluctuation of KMP of the partnership members of PEMP program in Ambon was 99.8%. Meanwhile, the variables which had significant influence on the income of community group as users (KMP) were production rate, selling price, and fishermen’s productivity. The transaction cost spent by KMK to carry out partnership through PEMP program at the research location was Rp 40,000,000, while LEPP-M3 was Rp 31,069,050. The high cost had affected the performance of partnership negatively. The analysis of a parcipant’s success on parnership performance through PEMP program for Fishery and Marine Agency in Ambon was 44.44%, while related agencies was only 33.33%. 19 members had good perception, but 83 members had perception which ranged from not good to poor (did not support) toward the mechanism of credit approval by LEPP-M3. Regarding perception and participation, it was found out that there was a different perception among fishermen who were partnership members.The members who participated in the activity was 64.75%. The high rate of perception and participation showed that they actually had the willingness and awareness to develop their own busines in fish catching, and it was expected that this activity could give a positive contribution to the improvement of their wellfare. It is essential to develop partnership institution capacity through PEMP program in Ambon, especially for the institution of LEPP-M3 which acts the necleus in the present partnership pattern, so that it is necessary to improve the capacity of vision resource, management, human, finance, external issues and specific issues from LEPP-M3 itself. Therefore, to create the partnership concept which can accomadate the community aspiration, from the beginning it is important to learn about the potencies of the community itself, such as the human resources, natural resources, social resources. At the same time, it is also crucial to really understand about the problems faced by the fishing community so that the partnership established is the right one, which can hit the target and give a maximum result. Keywords: Capacity, Institution, Partnership, Empowerment, Catch Fishery
RINGKASAN
YOISYE LOPULALAN. Kapasitas Kelembagaan Kemitraan Perikanan Tangkap dalam Pemberdayaan Nelayan di Kota Ambon. Di bawah bimbingan John Haluan, Tommy.H.Purwaka, Sugeng Hariwisudo. Kota Ambon yang merupakan salah satu kota di Propinsi Maluku, memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Salah satu potensinya adalah perikanan tangkap. Perkembangan usaha perikanan tangkap di wilayah Kota Ambon Tahun 2008 dapat dilihat melalui jumlah armada penangkapan dan jenis alat tangkap yang digunakan. Jumlah armada penangkapan adalah 1.829 armada dengan spesifikasi perahu tanpa motor 1.224 armada, perahu motor 586 armada, dan kapal motor 24 armada. Sedangkan jenis alat tangkap yang digunakan berjumlah 3.462. Selain itu pula produksi perikanan dalam bentuk segar di Kota Ambon tercatat sebesar 19.919,41 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 63..965.805.000. Produksi ikan segar ini didominasi oleh ikan cakalang. Ketersediaan potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki oleh perairan sekitar Pulau Ambon, belum didukung sepenuhnya oleh kemampuan sumberdaya manusia yang cukup dan dapat mengelolanya dengan baik. Penguasaan teknologi dan manajemen di bidang perikanan dan kelautan yang dimiliki oleh masyarakat pesisir di Kota Ambon masih belum cukup untuk dapat memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang tersedia. Dilain sisi ketersediaan modal untuk menggairahkan kegiatan ekonomi dibidang perikanan dan kelautan juga belum sepenuhnya dapat terpenuhi. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan usaha masyarakat yang mendiami pesisir Kota Ambon masih bersifat tradisional dan hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga masih diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas usaha yang dimiliki oleh masyarakat. Dari gambaran kondisi di wilayah Kota Ambon tersebut, maka kehadiran kemitraan yang diprakarsai oleh Departemen Kelautan dan Perikanan melalui program PEMP merupakan hal yang sangat penting dalam kerangka memberdayakan masyarakat nelayan di wilayah ini. Sehingga pada gilirannya nelayan khususnya perikanan tangkap akan keluar dari perangkap keterbelakangan yang membelenggu mereka selama ini. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kerangka alternatif kelembagaan kemitraan yang tepat guna bagi pemberdayaan nelayan perikanan tangkap di Kota Ambon. Secara spesifik tujuannya adalah menganalisis: (i) konsep kelembagaan kemitraan, (ii) pelaksanaan kemitraan, termasuk bentuk dan karakteristiknya, (iii) kinerja kelembagaan kemitraan, meliputi pendapatan nelayan, biaya transaksi, realisasi keberhasilan, persepsi dan partisipasi nelayan peserta kemitraan dan (iv) merumuskan pengembangan kapasitas kelembagaan kemitraan. Analisis data menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif difokuskan pada penjabaran konsep kemitraan serta implementasinya. Sedangkan penggunaan metode kuantitatif terdiri atas analisis faktor, analisis regresi berganda guna menunjang pendekatan kualitatif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa konsep kelembagaan kemitraan melalui program PEMP di Kota Ambon menerapkan pola inti plasma. Dalam pola ini nelayan berkesempatan mendapatkan bantuan fasilitas penangkapan dan pembinaan dari pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon melalui KMK dan TPD. Kedua belah pihak terikat pada aturan tertulis, dan keterlibatan nelayan dalam program kemitraan program PEMP ini bersifat kolektif, yaitu melalui kelompok. Implementasi kemitraan melalui program PEMP di Kota Ambon lebih bersifat top down dengan bentuk organisasi sistem kontrak. Persiapan dan pembinaan kepada kelompok masyarakat pemanfaat
(KMP) sangat kurang. Karakteristik kemitraan melalui program PEMP dipengaruhi oleh faktor harga jual, jumlah produksi dan produktivitas nelayan. Ketiga faktor tersebut memberikan kontribusi secara positif terhadap keragaman kemitraan program PEMP yang terbangun di Kota Ambon. Hasil analisis terhadap kinerja kemitraan yakni pendapatan kelompok masyarakat pemanfaat peserta kemitraan melalui program PEMP di Kota Ambon memperlihatkan bahwa kisaran pendapatan juragan adalah Rp. 854.780 – 3.033.296. sementara ABK khusus Rp..590.487 – 2.274.972 dan ABK biasa Rp 472.390 – 1.234.470. Bila dibandingkan pendapatan juragan dengan ABK khusus dan biasa terjadi ketimpangan. Hal ini disebabkan oleh sistem pembagian hasil yang belum sepenuhnya memperhatikan korbanan yang diberikan oleh ABK terhadap usaha penangkapan ini. Secara simultan variabel jumlah produksi, harga jual, produktivitas nelayan dan bagian pendapatan sesuai sistem bagi hasil mampu menjelaskan tentang variasi naik turunnya tingkat pendapatan KMP peserta kemitraan program PEMP di Kota Ambon sebesar 99,8 %. Sementara variabel-variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan kelompok masayarakat pemanfaat (KMP) adalah jumlah produksi, harga jual, dan produktivitas nelayan. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh (KMK) untuk pelaksanaan kemitraan melalui program PEMP pada lokasi penelitian adalah sebesar Rp. 40.000.000 sedangkan LEPP-M3 adalah sebesar Rp.31.069.050. Besarnya biaya tersebut akan mempengaruhi kinerja kemitraan. Analisis kriteria keberhasilan partisipan terhadap kinerja kemitraan melalui program PEMP bagi dinas perikanan dan kelautan Kota Ambon hanya sebesar 44,44 %, sedangkan instansi terkait sebesar 33,33 %. Sementara persepsi dan partisipasi ditemukan bahwa ada perbedaan persepsi di antara para nelayan peserta kemitraan. Sebanyak 19 peserta memiliki persepsi baik, sedangkan 83 peserta lainnya memiliki persepsi kurang baik dan buruk (tidak mendukung) mekanisme program pemberian kredit yang dilakukan LEPP-M3. Peserta yang berpartisipasi terhadap kegiatan tersebut sebesar 64,75 %. Besarnya persepsi dan tingkat partisipasi dari peserta mengindikasikan bahwa mereka memiliki keinginan dan kesadaran untuk mengembangan usaha penangkapan mereka, sehingga lewat kegiatan ini dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap perubahan tingkat pendapatan mereka yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Pengembangan kapasitas kelembagaan kemitraan melalui program PEMP di Kota Ambon, perlu dirumuskan terutama bagi kelembagaan LEEP-M3 yang berperan sebagai inti dalam pola kemitraan yang terjadi, sehingga perlu peningkatan kapasitas sumberdaya visi, manajemen, manusia, keuangan, eksternal dan isu-isu spesifik dari LEPP-M3 itu sendiri. Dengan demikian membangun konsep kemitraan yang dapat mengakomodir aspirasi dari masyarakat perlu dipelajari lebih awal tentang potensi masyarakat itu sendiri, baik sumberdaya manusia, sumberdaya alamnya, sumberdaya sosialnya, yang dibarengi oleh pemahaman yang tepat tentang masalah yang tengah dihadapi oleh masyarakat nelayan itu sendiri, sehingga kemitraan yang terbangun adalah tepat sasaran, yang pada gilirannya bangunan kemitraan yang dibuat akan dapat memberikan hasil yang memadai. Kata kunci :
Kapasitas, Kelembagaan, Kemitraaan, Pemberdayaan, Perikanan Tangkap
@Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang (1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: (a) Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah (b) Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB (2) Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAPASITAS KELEMBAGAAN KEMITRAAN PERIKANAN TANGKAP DALAM PEMBERDAYAAN NELAYAN DI KOTA AMBON
YOISYE LOPULALAN
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Bambang Murdiyanto 2. Dr. Tri Wiji Nurani, M.Si Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Suseno 2. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Si
Judul Disertasi Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: Kapasitas Kelembagaan Kemitraan Perikanan Tangkap dalam Pemberdayaan Nelayan di Kota Ambon : Yoisye Lopulalan : C461060011 : Teknologi Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc K e t u a
Dr. Tommy.H. Purwaka, SH, LLM Anggota
Dr.Ir. Sugeng Hari Wisudo,M.Si Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Tanggal ujian: 11 Agustus 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal lulus:
PRAKATA Pujian syukur, hormat dan terimakasih penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, karena hanya oleh AnugerahNya, penulisan disertasi dengan judul Kapasitas Kelembagaan Kemitraan Perikanan Tangkap dalam Pemberdayaan Nelayan di Kota Ambon dapat terselesaikan. Penulisan disertasi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar doktor pada program studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Diharapkan disertasi ini memberikan manfaat bagi pemerintah Kota Ambon dalam merumuskan konsep pengembangan kelembagaan kemitraan bagi pemberdayaaan nelayan perikanan tangkap. Penulis menyadari bahwa seluruh tahapan yang dilalui sampai pada penulisan disertasi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggitinggi kepada : 1. Prof.Dr.Ir.John Haluan, M.Sc selaku Ketua komisi yang telah memberikan arahan dan masukan bagi penulis serta doa yang selalu menyertai penulis 2. Dr. Tommy. H. Purwaka, SH, LLM dan Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si masing-masing selaku anggota komisi yang telah memberikan masukan dan arahan bagi penulis guna penyelesaian disertasi ini 3. Rektor Universitas Pattimura, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan studi program doktor di IPB 4. Pemda Kota Ambon, Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon yang telah memberikan ijin bagi penulis dalam mengumpulkan berbagai data dan informasi berkaitan dengan penelitian ini 5. LEPP-M3 ”Basudara”, KMP, KMK, TPD, Bank Maluku yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitan 6. Persekutuan Mahasiswa Maluku, yang telah banyak memberikan motivasi, dorongan bagi penulis selama studi di IPB 7. Ditjen DIKTI yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk memperoleh beasiswa BPPS 8. Papa dan mama serta kakak Vien, dan keluarga, kakak Ongen dan keluarga, kaka Rein dan keluarga, adik Ola dan keluarga atas dukungan doa selama penulis berstudi di IPB 9. Semua keluarga besar Lopulalan dan de Queljoe yang turut mendoakan penulis 10. Yang terkasih istriku tercinta Ritha dan kedua buah hatiku, Ivana dan Michelle yang dengan setia dan sabar baik dalam suka maupun duka, selalu berdoa, memberikan dorongan, motivasi kepada penulis yang tidak henti-hentinya. Akhirnya, penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Maret 2009
Yoisye Lopulalan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Porto Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah pada Tanggal 21 Juli 1970 sebagai anak keempat dari pasangan Bapak Justus Lopulalan dan Ibu Tientje Tuapattinaja. Pendidikan sarjana ditempuh pada Universitas Pattimura Fakultas Perikanan Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan dan lulus pada Tahun 1995. Kemudian diterima sebagai dosen tetap Fakultas Perikanan pada Tahun 1997. Pada Tahun 2001 penulis berkesempatan melanjutkan studi pada Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan dan lulus pada Tahun 2003. Pada Tahun 2006 penulis berkesempatan melanjutkan studi pada Institut Pertanian Bogor Program Studi Teknologi Kelautan.
xii
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL..........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
xvii
1
2
3
4
5
PENDAHULUAN.................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang............................................................................ Perumusan Masalah................................................................... Tujuan Penelitian........................................................................ Manfaat Penelitian......................................................................
1 7 10 10
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................
11
2.1 2.2 2.3 2.4
Kelembagaan.............................................................................. Kapasitas Kelembagaan............................................................. Kemitraan.................................................................................... Perikanan Tangkap..................................................................... 2.4.1 Perikanan Tangkap Teluk Ambon Bagian Dalam............ 2.4.2 Perikanan Tangkap Teluk Ambon Bagian Luar............... 2.4.3 Perikanan Tangkap Teluk Baguala.................................. 2.5 Pemberdayaan............................................................................ 2.6 Keadaan Umum Daerah Penelitian............................................. 2.6.1 Letak dan Luas Wilayah.................................................... 2.6.2 Topografi Wilayah............................................................. 2.6.3 Iklim Wilayah..................................................................... 2.6.4 Administrasi Pemerintahan............................................... 2.6.5 Kependudukan dan Ketenagakerjaan............................... 2.6.6 Keadaan Umum Perikanan Kota Ambon..........................
11 17 19 24 28 31 33 35 37 37 38 39 39 39 40
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS......................................
46
3.1 Kerangka Pemikiran.................................................................... 3.2 Hipotesis......................................................................................
46 48
METODOLOGI PENELITIAN.............................................................
50
4.1 4.2 4.3 4.4
Waktu dan Tempat Penelitian..................................................... Jenis dan Sumber Data............................................................... Metode Pengumpulan Data........................................................ Analisis Data............................................................................... 4.4.1 Analisis Konsep Kemitraan............................................... 4.4.2 Analisis Pelaksanaan Kemitraan....................................... 4.4.3 Analisis Bentuk dan Karakteristik Kemitraan.................... 4.4.4 Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan......................... 4.4.5 Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kemitraan.......
50 50 51 52 52 53 54 56 60
GAMBARAN UMUM PELAKSANAAAN KEMITRAAN ....................
65
5.1 Kelompok Nelayan dan Pembentukan Kemitraan...................... 5.1.1 Karakteristik Rumahtangga KMP Peserta Kemitraan.
65 66
xiii
6
7
8
5.1.2 Diskripsi Teknis Alat Penangkapan Purse Seine.............. 5.2 Konsep Kemitraan....................................................................... 5.2.1 Aturan Main....................................................................... 5.2.2 Organisasi Pelaksana....................................................... 5.3 Prosedur dan Mekanisme Pelaksanaan Kemitraan.................... 5.3.1 Sosialisasi Kemitraan....................................................... 5.3.2 Operasional Kegiatan Kemitraan...................................... 5.3.3 Kegiatan Pembinaan......................................................... 5.3.4 Monitoring dan Evaluasi.................................................... 5.4 Bentuk dan Strategi Kemitraan................................................... 5.5 Karakteristik Kemitraan...............................................................
69 72 72 76 81 81 82 84 85 86 90
KINERJA KELEMBAGAAN KEMITRAAN.........................................
92
6.1 6.2 6.3 6.4 6.5
92 95 97 98 100
Pendapatan Kelompok Masyarakat Pemanfaat.......................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan KMP................. Biaya Transaksi........................................................................... Indikator Keberhasilan................................................................ Persepsi dan Partisipasi Peserta Kemitraan...............................
PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KEMITRAAN PERIKANAN TANGKAP.................................................................... 7.1 Kondisi Sumberdaya Kelembagaan Kemitraan.......................... 7.1.1 Pengembangan Visi PEMP............................................... 7.1.2 Sumberdaya Manajemen LEPP-M3.................................. 7.1.3 Sumberdaya Pengelola LEPP-M3 (Potensi Sumberdaya Manusia)........................................................................... 7.1.4 Sumberdaya Keuangan LEPP-M3.................................... 7.1.5 Sumberdaya Eksternal LEPP-M3..................................... 7.1.6 Isu-isu Spesifik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan...... 7.2 Tingkat Perkembangan LEPP-M3............................................... 7.3 Prioritas Pengembangan LEPP-M3............................................ 7.4 Rencana Pengembangan LEPP-M3........................................... 7.5 Pembahasan Menyeluruh : Perumusan Implikasi Kebijakan......
114 115 117 119 120 124 131 132
KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................
157
8.1 Kesimpulan.................................................................................. 8.2 Saran...........................................................................................
157 158
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
160
LAMPIRAN..........................................................................................
164
103 103 103 108
xiv
DAFTAR TABEL Halaman
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan yang dioperasikan nelayan di perairan pesisir Selatan Kota Ambon dirinci menurut desa............... Armada penangkapan ikan yang beroperasi di pesisir Selatan Kota Ambon menurut desa asalnya.............................................................. Perbandingan nelayan industri dan tradisional dari sisi techono-socioeconomic............................................................................................... Penggolongan nelayan berdasarkan karakteristik usaha...................... Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan pelagis kecil yang dioperasikan nelayan di Teluk Ambon Dalam....................................... Armada penangkapan ikan yang beroperasi di Teluk Ambon Dalam menurut desa asalnya........................................................................... Produksi sumberdaya ikan pelagis kecil dan demersal di Teluk Ambon Dalam dirinci menurut desa...................................................... Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan yang dioperasikan nelayan di perairan Teluk Ambon Luar............................................................... Produksi ikan tuna, pelagis besar, pelagis kecil dan demersal di perairan Teluk Ambon Luar dirinci menurut desa................................. Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan yang dioperasikan nelayan di perairan Teluk Baguala..................................................................... Armada penangkapan ikan yang beroperasi di Teluk Baguala menurut desa asalnya........................................................................... Produksi sumberdaya ikan pelagis kecil dan demersal di Teluk Baguala dirinci menurut desa asalnya.................................................. Luas wilayah Kota Ambon dirinci per kecamatan.................................. Nama kecamatan, ibukota kecamatan dan banyaknya desa, kelurahan di Kota Ambon...................................................................... Jumlah penduduk dan rumah tangga, kepadatan penduduk dan ratarata jiwa per rumah tangga di Kota Ambon dirinci per kecamatan............................................................................................ Penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) menurut kegiatan utama dan jenis kelamin di Kota Ambon................................................................. Model matriks KKPI............................................................................... Pemberian skor untuk tingkat perkembangan lembaga........................ Pemberian skor bobot tiap komponen kunci berdasarkan kriterianya.............................................................................................. Lembar skoring prioritas komponen kunci............................................. Lembar rencana aksi pengembangan lembaga.................................... KMP peserta kemitraan di Kecamatan Nusaniwe Tahun 2002............. KMP peserta kemitraan di Kecamatan Baguala dan Sirimau Tahun 2003 dan 2004...................................................................................... Karakteristik rumahtangga kelompok masyarakat pemanfaat............. Sebaran tingkat pendidikan KMP.......................................................... Rata-rata nilai investasi usaha purse seine KMP peserta kemitraan.... Rata-rata biaya tetap usaha purse seine KMP dalam satu tahun........ Aturan main dalam kelembagaan kemitraan......................................... Hasil analisis faktor terhadap karakteristik kemitraan........................... Sistem bagi hasil KMP peserta kemitraan.............................................
5 6 27 28 29 30 30 31 32 33 34 34 38 39
40 40 62 62 62 63 64 65 66 67 68 70 71 73 91 93
xv
31 Kisaran pendapatan KMP peserta kemitraan...................................... 32 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan KMP peserta kemitraan ............................................................................... 33 Indikator keberhasilan pelaksanaan kemitraan..................................... 34 Persepsi dan partisipasi KMP terhadap kemitraan............................... 35 Skor kemajuan sumberdaya pengembangan visi LEPP-M3................. 36 Skor kemajuan sumberdaya manajemen LEPP-M3............................. 37 Skor kemajuan sumberdaya manusia LEPP-M3................................... 38 Skor kemajuan sumberdaya keuangan LEPP-M3................................ 39 Skor kemajuan sumberdaya eksternal LEPP-M3.................................. 40 Skor kemajuan sumberdaya isu-isu spesifik pengelolaan sumberdaya perikanan yang dihadapi LEPP-M3................................. 41 Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya pengembangan visi LEPP-M3............................................................................................... 42 Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya manajemen LEPPM3.......................................................................................................... 43 Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya manusia LEPP-M3 44 Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya keuangan LEPP-M3 45 Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya eksternal LEPP-M3 46 Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya isu-isu spesifik pengelolaan SDP yang dihadapi LEPP-M3............ 47 Identifikasi persoalan sumberdaya KMP peserta kemitraan................. 48 Identifikasi persoalan pelaksanaan kemitraan......................................
94 96 99 101 121 121 122 123 123 124 125 126 127 128 129 130 139 140
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
18 19 20
Persentasi alat penangkapan yang beroperasi di TAD................... Persentasi alat penangkapan yang beroperasi di TAL.................... Persentasi alat tangkap yang beroperasi di Teluk Baguala............ Kerangka pemikiran penelitian........................................................ Peta lokasi penelitian....................................................................... Spektrum kontinum dari kemungkinan bentuk-bentuk organisasi ekonomi mulai dari sistem pasar sampai kepada organisasi berhirarkhi secara terintegrasi vertikal............................................. Rangking prioritas komponen kunci................................................. Struktur organisasi program PEMP................................................. Struktur organisasi LEPP-M3 Kota Ambon...................................... Struktur organisasi kelompok masyarakat pemanfaat..................... Pola kerjasama kemitraan .............................................................. Ranking prioritas komponen kunci pada sumberdaya pengembangan visi LEPP-M3......................................................... Ranking prioritas komponen kunci pada sumberdaya manajemen LEPP-M3......................................................................................... Ranking prioritas komponen kunci pada sumberdaya manusia visi LEPP-M3................................................................................... Ranking prioritas komponen kunci pada sumberdaya keuangan LEPP-M3.......................................................................................... Ranking prioritas komponen kunci pada sumberdaya eksternal LEPP-M3......................................................................................... Ranking prioritas komponen kunci pada sumberdaya isu-isu spesifik pengelolaan sumberdaya perikanan yang dihadapi LEPP-M3.......................................................................................... Hubungan keterkaitan platform ”tiga tungku” dalam pengelolaan sumberdaya di Kota Ambon............................................................. Faktor pendorong dan penarik dalam pemberdayaan nelayan....... Kerangka alternatif kelembagaan dalam kemitraan........................
29 31 33 49 50
54 63 77 78 79 87 125 127 128 129 130
131 147 152 154
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4 5 6
Data karakteristik responden kelompok masyarakat pemanfaat peserta program PEMP di Kota Ambon........................................... Hasil analisis faktor.......................................................................... Hasil analisis regresi........................................................................ Matriks kerangka kerja pengembangan kelembagaan.................... Peta tipe armada penangkapan, jenis alat penangkapan dan produksi perikanan tangkap di wilayah Kota Ambon....................... Foto-foto penelitian..........................................................................
164 168 169 170 182 184
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tujuan yang ingin dicapai oleh setiap nelayan dalam kegiatan usahanya adalah dalam jangka waktu tertentu dapat memperoleh hasil tangkapan seoptimal mungkin. Hasil tangkapan nelayan tersebut secara garis besar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kemampuan teknis dan manajemen. Dalam hal teknis adalah jenis perahu dan alat tangkap yang dimiliki nelayan, sedangkan dalam manajemen berkaitan dengan sikap atau prilaku nelayan ke arah pengembangan usaha yang pada dasarnya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka. Selanjutnya faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan yang ada. Pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya penangkapan ikan di masa mendatang dihadapkan pada kenyataan bahwa hingga saat ini sebagian besar sumberdaya perikanan dimanfaatkan oleh usaha perikanan berskala kecil atau perikanan rakyat. Keadaan usaha perikanan rakyat yang pada umumnya masih sederhana/tradisional tersebut, memiliki jangkauan usaha penangkapan yang masih terbatas di perairan pantai, di mana produktivitas yang dihasilkannya masih rendah. Faktor penyebab lambatnya pengembangan usaha penangkapan oleh nelayan tradisional saat ini adalah bergaining position yang masih lemah, kurangnya modal usaha, tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan yang rendah dan kurangnya pembinaan dari instansi terkait. Sangat dipahami perikanan skala kecil atau tradisional umumnya berada di luar kekuasaan politik maupun ekonomi, sehingga nelayan kelompok ini sering memiliki posisi tawar yang lemah. Dampak dari kondisi ini adalah mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber modal yang dibutuhkan untuk mengembangkan usaha penangkapan. Kalau ada pihak perbankan akan menyalurkan kreditnya pada usaha penangkapan skala kecil ini, maka ada persyaratan anggunan (collateral) dan penerapan suku bunga yang tinggi, yang hal ini justru menjadi titik lemah bagi nelayan skala kecil. Sementara pada sisi lain prosedur perbankan terlalu rumit dan berbelit-belit. Dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar nelayan merupakan tamatan SD, bahkan ada yang tidak pernah mengeyam pendidikan formal sekalipun. Hal ini tentu saja berimplikasi pada tingkat penerimaan nelayan yang rendah terhadap teknologi baru, meskipun pada hakekatnya untuk
2
membantu mereka. Apalagi terhadap penguasaan teknologi maju dan canggih yang dapat meningkatkan produktifitas penangkapan mereka. Demikian pula halnya dengan tingkat pengetahuan nelayan terhadap produk-produk hukum yang mengatur usaha penangkapan. Hal ini membuat penafsiran mereka yang keliru terhadap produk hukum tersebut, sehingga menimbulkan konflik antara nelayan antar daerah maupun antar alat tangkap yang berbeda. Disisi lain peran pemerintah sebagai fasilitator yang mesti berperan dalam pembinaan terhadap nelayan skala kecil ini belum dilakukan secara maksimal. Pakpahan et al. (2006) Kehidupan miskin yang dialami sebahagian besar nelayan di Indonesia menyebabkan “bargaining position “ mereka sangat lemah. Mereka merasa terisolasi baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Secara sosial, mereka teridentifikasi sebagai masyarakat marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki modal sosial memadai untuk bersaing dengan nelayan-nelayan kapitalis atau nelayan-nelayan pengusaha perikanan. Kalaupun ada HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) sebagai wadah, anggotanya tidak melibatkan para nelayan kecil, tetapi nelayan-nelayan kapitalis yang memiliki modal besar dan bargaining position tinggi dengan pemerintah atau berbagai stakeholders lainnya. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup atau pendapatan nelayan skala kecil ini antara lain dengan meningkatkan produksi hasil tangkapannya. Cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi adalah dengan menggunakan teknologi yang relevan yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan yaitu memperbesar armada penangkapan dan penggunanan alat tangkap yang lebih efisien dan produktif. Teknologi yang dipakai haruslah yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi teknis, ekonomi, sosiologi, manajemen dan lingkungan (Wisudo et al, 1994) Ekonomi nelayan secara struktural menyerupai ekonomi petani, namun apabila dilihat dari sudut pandang perilaku ekonomi, kehidupan nelayan sangat berbeda dengan kehidupan petani. Perbedaan ini tampaknya disebabkan antara lain oleh proses produksi yang berbeda antara usaha penangkapan ikan dan pertanian. Dalam proses produksi persiapan-persiapan yang dilakukan nelayan tidak banyak, meskipun keterampilan penguasaan teknis, penguasaan terhadap iklim, prilaku atau habitat ikan, musim panen dan sebagainya sangat penting. Implikasi dari proses produksi yang terjadi berdampak pada pola pendapatan nelayan, yang tidak mempunyai gambaran terhadap pendapatan yang mereka
3
peroleh. Pola pendapatan nelayan yang tidak teratur ini tampaknya menciptakan perilaku ekonomi yang spesifik dan lebih lanjut berpengaruh pada pranata ekonomi dalam kehidupan sosial masyarakat nelayan. Terbatasnya modal usaha dan terbatasnya akses bagi nelayan memperoleh kredit dari lembaga keuangan resmi, serta pendapatan mereka yang tidak pasti mendorong munculnya mekanisme khusus seperti apa yang kita kenal sebagai “shared risk” (pembagian resiko) dan “shared of capital” (pola pemilikan bersama atau kolektif atas sarana produksi). Kedua mekanisme seperti ini dengan sendirinya merupakan institusi yang dibentuk berdasarkan adaptasi nelayan terhadap pendapatan mereka, yang mana mekanisme seperti ini telah terlembaga dalam kehidupan mereka. Berbagai bentuk lembaga pembiayaan yang dapat melayani masyarakat desa, baik yang bersifat fomal maupun non formal. Sumber lembaga pembiayaan informal lebih bersifat fleksibel, tanpa prosedur berbelit, saling mengenal, dan berhubungan erat. Pinjaman tidak diawasi dengan ketat. Peminjam
bebas
menggunakan kreditnya, juga kreditior mengetahui betul kelayakan si peminjam serta
bersedia
memberi
pinjaman
kapan,
di
mana
dan
berapa
saja
permintaannya. Sedangkan pembiayaan formal tidak fleksibel, prosedur berbelit, kedua belah pihak tidak saling mengenal dengan baik, memerlukan waktu relatif lama, baik untuk mengambil maupun membayar kredit. Seringkali debitor harus mengeluarkan biaya yang cukup besar unutk mengurusnya, sehingga bunga yang berlaku menjadi tinggi (Hastuti dan Supadi, 2005). Selama ini terdapat sejumlah bias pemikiran terhadap masyarakat pedesaan, khususnya masyarakat nelayan. Bias-bias pemikiran seperti itu menempatkan masyarakat nelayan pada posisi yang tidak layak. Mereka dianggap lemah, bodoh, tidak efisien dan tidak mampu menentukan nasib dan kebutuhannya sendiri. Dengan pandangan seperti ini peran pemerintah atau kelompok kuat dalam pembangunan pedesaan nelayan menjadi sangat dominan dan menempatkan kelompok nelayan sebagai instrumen pembangunan, bukannya sebagai subjek pembangunan. Membangun masyarakat nelayan berbasis pengelolaan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan, diperlukan adanya perubahan kebijakan yang mendasar. Strategi dan pengembangan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan hendaknya diarahkan untuk bertumpu pada masyarakat nelayan (community-based policy). Dengan pilihan strategi ini, kebijakan yang diterapkan harus memberikan kemungkinan kepada masyarakat atau unit sosial untuk
4
meningkatkan kemampuannya, menentukan masa depan mereka atas pilihan sendiri. Dengan kata lain program intervensi apapun yang ditetapkan untuk mendorong dinamika dan pertumbuhan kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan akan memberikan hasil yang optimal apabila dalam pelaksanaannya menekankan dimensi distribusi kekuasaan, khususnya kepada masyarakat nelayan. Ini mengandung konsekuensi bahwa pemahaman terhadap kekuatan sosial ekonomi masyarakat nelayan adalah mutlak, dan studi terhadap organisasi ekonomi dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan menjadi sangat relevan. Daerah Maluku yang memiliki
perairan yang luas
mengindikasikan
bahwa laut memiliki peran yang vital bagi kehidupan di Maluku, sehingga dapat dikatakan bahwa laut merupakan “ladang kehidupan” bagi penduduk di Maluku. Kota Ambon yang merupakan salah satu kota di Propinsi Maluku, memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Salah satu potensinya adalah perikanan tangkap. Gambaran usaha perikanan tangkap di wilayah Kota Ambon Tahun 2008 dapat dilihat melalui Rumah Tangga Perikanan (RTP), jumlah armada penangkapan dan jenis alat tangkap yang digunakan. Tercatat untuk Tahun 2008 RTP di Kota Ambon tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya, yaitu tetap sebanyak 3.378 RTP. Jumlah armada penangkapan Tahun 2008 bertambah sebesar 62,87 % dari tahun sebelumnya 1.123 armada
menjadi
1.829 armada dengan spesifikasi perahu tanpa motor 1.224 armada, perahu motor 586 armada, dan kapal motor 29 armada. Sedangkan jenis alat tangkap yang digunakan untuk Tahun 2008 tercatat sebanyak 3.462 unit, dibandingkan dengan Tahun 2007, terdapat peningkatan yang cukup berarti sebesar 14,18 %. Selain itu produksi perikanan dalam bentuk segar di Kota Ambon Tahun 2008 tercatat
sebesar
19.919,51
ton
dengan
niali
produksi
sebesar
Rp
63.965.805.000. Produksi tersebut mengalami peningkatan drastis dari Tahun 2007, yaitu sebesar 83,21 %. Namun jika dilihat dari nilai produksinya terlihat peningkatan yang dihasilkan sebesar 39,26 %. Produksi ikan segar ini didominasi oleh ikan cakalang. Nelayan yang memanfaatkan wilayah perairan pesisir Selatan Kota Ambon untuk menangkap ikan, diketahui berasal dari 8 desa. Nelayan-nelayan ini menggunakan 13 jenis alat penangkapan ikan sebanyak 615 unit yang didominasi oleh pancing tangan sebanyak 223 unit (36 %), jaring insang hanyut/permukaan sebanyak 120 unit (20 %), pancing tonda 103 unit (17 %),
5
panah dan jaring insang dasar sebanyak 43 unit (7 %), rumpon sebanyak 32 unit (5 %), pole and line sebanyak 16 unit (3 %), tangguk 14 unit (2 %) dan alat tangkap lainnya lebih sedikit dari 10 unit. Jenis dan jumlah alat tangkap yang dioperasikan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.
Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan yang dioperasikan nelayan di perairan pesisir Selatan Kota Ambon dirinci menurut desa Jumlah (unit)
No
Jenis Alat Tangkap G
L
A
S
M
N
K
H
1
Panah
5
4
5
6
5
3
8
7
2
Pancing tangan
10
97
22
15
13
7
11
48
3
Pancing tonda
2
23
12
19
6
17
6
18
4
Rawai
5
Pole and line
6
Bubu
7
Jala
1
8
Tangguk
3
9
Jaring insang permukaan
17
38
10
Jaring insang dasar
7
10
11
Trammel net
12
Pukat cincin
13
Rumpon (ALPI)
1 16 1
14
1
1
11
15 3
Total
25
12
5
1
2
2 4
4
6
4
8
12
2
7
1
1
1
3
65
188
58
66
23
56
34
116
Sumber : Hasil Penelitian Unpatti (2002) Ket : (G= Galala, L=Latuhalat, A=Airlow, S=Seri, M=Mahia, N=Naku, K=Kilang, H=Hukurila)
Tabel 1 memperlihatkan bahwa nelayan yang berasal dari Desa Latuhalat paling banyak mengoperasikan alat penangkapannya di perairan ini, yakni sebanyak 188 unit alat penangkapan ikan yang terdiri dari 7 jenis alat tangkap. Selanjutnya nelayan dari Desa Hukurila mengoperasikan 116 unit alat penangkapan ikan yang terdiri dari 10 jenis alat tangkap. Nelayan-nelayan pole and line sebanyak 16 unit yang berasal dari Desa Galala yang pesisirnya relatif jauh dari wilayah ini juga memanfaatkannya sebagai daerah penangkapan cakalang. Di wilayah perairan pesisir Selatan Pulau Ambon beroperasi 285 armada penangkap ikan yang terdiri dari 215 perahu penangkap tanpa mesin, 33 kapal penangkap ikan bermesin motor tempel, 21 yang bermesin ketinting dan 16 kapal penangkap ikan yang bermesin motor dalam. Secara rinci gambaran armada penangkapannya terlihat pada Tabel 2. Nelayan-nelayan dari desa Latuhalat
6
yang memiliki armada penangkap ikan terbanyak yakni 87 unit armada penangkap ikan, kemudian nelayan-nelayan yang berasal dari desa Seri yakni sebanyak 51 unit armada penangkap ikan, Naku sebanyak 34 armada, Kilang sebanyak 27 armada, Hukurila sebanyak 26 armada, Mahia sebanyak 24 armada dan Airlouw sebanyak 20 armada, sedangkan armada pole and line sebanyak 16 unit berasal dari desa Galala Tabel 2. Armada penangkapan ikan yang beroperasi di pesisir Selatan Kota Ambon menurut desa asalnya No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Desa Galala Latuhalat Airlouw Seri Mahia Naku Kilang Hukurila Total
Perahu Tanpa Motor 74 16 40 18 23 22 22 215
Ketinting
2 4 10 3 2 21
Motor Tempel 13 2 7 6 1 2 2 33
Mesin Dalam 16
16
Jumlah 16 87 20 51 24 34 27 26 285
Sumber : Hasil penelitian Unpatti (2002)
Total hasil tangkapan ikan yang berasal dari wilayah perairan pesisir Selatan Pulau Ambon adalah 190.631 kg (190,63 ton) per bulan.
Bila
diperkirakan nelayan dapat mengoperasikan alat penangkapannya di perairan ini dalam setahun selama 8 bulan, maka total produksi ikan yang berasal dari pesisir Selatan Pulau Ambon adalah sebesar 1.525.048 kg (1.525,05 ton) per tahun. Jenis ikan cakalang yang paling banyak ditangkap dari perairan ini yakni sebanyak 119.538 kg (119,54 ton) per bulan kemudian ikan pelagis kecil sebanyak 53.459 kg (53,46 ton) per bulan, ikan-ikan demersal sebanyak 10.059 kg (10,06 ton) per bulan dan jenis ikan tuna sebanyak 7.575 kg (7,58 ton) per bulan. Ikan-ikan pelagis besar dan kecil yang selama ini ditangkap oleh nelayan tradisional di perairan pesisir Selatan Kota Ambon, tidak didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tetapi masih di daratkan di pasar-pasar tradisional. Kegiatan penangkapan kelompok ikan pelagis besar dan kecil ini juga masih bercirikan perikanan tradisional. Berdasarkan gambaran kondisi perikanan tangkap di wilayah Kota Ambon di atas, maka kehadiran kemitraan adalah merupakan hal yang sangat penting dalam kerangka memberdayakan masyarakat nelayan di wilayah ini. Sehingga pada gilirannya nelayan khususnya perikanan tangkap akan keluar dari perangkap keterbelakangan yang membelenggu mereka selama ini.
7
Pembangunan
berkelanjutan
melalui
kemitraan
usaha
mampu
memberikan manfaat antara lain : 1) meningkatkan produksi secara moderat, stabil, dan berkesinambungan, 2) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, 3) mengurangi pengangguran di pedesaan, 4) meningkatkan pemerataan dan keadilan sosial, 5) menciptakan kerja dan lapangan berusaha, 6) meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan 7) meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan, 8) melestarikan kualitas lingkungan untuk mendukung kegiatan pembanguan berkelanjutan (Saptana dan Ashari 2007). Anwar (1992) mengatakan bahwa pembangunan ekonomi pola kemitraan merupakan perwujudan cita-cita untuk melaksanakan sistim perekonomian gotong royong antara mitra yang kuat dari segi permodalan, pasar dan kemampuan teknologi bersama nelayan golongan lemah dan miskin yang tidak berpengalaman untuk mampu meningkatkan produktivitas dan usahanya atas dasar kepentingan bersama. Oleh karena itu pembangunan ekonomi dengan pola kemitraan dapat
dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan
(maximum social benefit), terutama ditinjau dari pencapaian tujuan nasional jangka panjang. Dengan demikian dalam mengembangkan usaha perikanan (usaha penangkapan ikan) bantuan dalam bentuk kemitraan usaha
yang
diberikan oleh berbagai pihak, pemerintah maupun swasta sangatlah diperlukan tidak hanya terbatas pada modal usaha tetapi penyuluhan maupun bimbingan dan pengamanan pasar produknya.
1.2 Perumusan Masalah Sebagaimana yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas, bahwa kendala yang dihadapi oleh nelayan kecil dalam usaha penangkapan ikan yang dikategorikan sebagai usaha kecil adalah kendala dalam aspek permodalan, kelembagaan dan manajemen, teknologi, jaringan usaha dan informasi. Maka kehadiran kemitraan merupakan salah satu alternatif mengatasi kendala ini. Selama ini terlihat bahwa berkembangnya usaha perikanan skala besar dengan menerapkan pola PIR (bapak angkat) tidak diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan nelayan kecil. Walaupun nelayan ikut terlibat di dalamnya, namun posisi mereka lebih banyak sebagai buruh. Banyak nelayan tidak memperoleh hasil yang memadai karena terpaksa menerima sistem bagi hasil yang eksploitatif, misalnya dalam usaha penangkapan purse seine berdasarkan sistem bagi hasil yang berlaku 60 % dari total pendapatan untuk pemilik modal dan 40 %
8
sisanya untuk buruh nelayan. Porsi 40 % tersebut, masih harus dibagi lagi kepada semua anggota kelompok atau ABK dengan porsi yang berbeda–beda sesuai dengan peran masing-masing dalam kegiatan penangkapan. Keuntungan usaha lebih dinikmati pemilik modal, sehingga kurang berpengaruh terhadap perbaikan taraf hidup nelayan kecil. Pemanfaatan bantuan pemerintah melalui fasilitas kredit motor tempel dan alat penangkapan ikan kepada nelayan telah memberikan pengaruh yang berarti terhadap produksi hasil tangkapan. Hal ini memberi petunjuk bahwa kredit motor tempel dan alat penangkap ikan telah memberi dampak yang positif terhadap produksi perikanan. Tetapi jika ditinjau dari tujuan program kredit yang dicanangkan oleh pemerintah melalui proyek dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan, ternyata tujuan tersebut masih belum sepenuhnya dinikamti oleh nelayan, hanya sebagian kecil nelayan terutama nelayan yang mampu mengganti alat penangkapan ikan yang diberikan dari fasilitas kredit menjadi alat penangkapan ikan. Gambaran di atas memberi indikasi bahwa secara umum nelayan kecil baik yang memiliki keterkaitan kegiatan dengan usaha perikanan modern maupun tidak, sedang menghadapi kondisi sosial ekonomi yang kurang menggembirakan. Hermanto (1989) menjelaskan bahwa secara garis besar ada beberapa faktor penyebab kemiskinan masyarakat nelayan di daerah pantai, yaitu (1) kurangnya saran prasarana penunjang, (2) rendahnya penerapan teknologi perikanan, (3), lemahnya kelembagaan masyarakat, (4) lemahnya sumberdaya keluarga nelayan. Faktor-faktor tersebut saling terkait antara satu dengan lainnya. Berkaitan dengan principal-agent relation, terlihat bahwa adanya hubungan kerjasama melalui ikatan kontrak formal antara tauke (pedagang pengumpul) disatu pihak dengan nelayan di pihak lain. Terciptanya hubungan kerjasama tersebut karena nelayan memiliki kemampuan yang sangat terbatas terhadap aspek informasi, modal dan juga dihadapkan resiko ketidakpastian (uncertainty) memperoleh hasil tangkapan yang sangat berfluktuasi baik jumlah, jenis maupun ukuran. Disamping itu produk perikanan yang melimpah (bulky) dan mudah membusuk (perishable), sehingga harus dijual secepat mungkin. Dengan kondisi yang demikian nelayan juga menghadapi resiko pemasaran hasil dengan tingkat harga yang cenderung berfluktuasi. Di lain pihak, tauke terutama pedagang pengumpul ekspor memiliki akses terhadap informasi dan modal yang
9
membutuhkan adanya kepastian pasokan ikan dari nelayan secara kontinu dalam jumlah, jenis dan ukuran yang sesuai untuk tujuan ekspor. Gambaran kemitraan usaha yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah, industri perikanan dan perusahaan besar terlihat jelas belum dapat memberikan hasil yang berarti dalam upaya pemberdayaan nelayan kecil secara umum. Demikian halnya dengan kondisi di Kota Ambon, intervensi pemerintah dalam membantu nelayan dalam berbagai bantuan yang diberikan lewat program ”kredit usaha kecil”, dan bantuan dari berbagai instansi dalam bentuk modal kerja dan investasi bagi nelayan khususnya perikanan tangkap guna memberdayakan nelayan di kota ini, belum sepenunya memberikan hasil yang memadai. Pihak perusahaan seperti PT Maprodin, PT Mina Kartika PT. Nusantara Fishery dan PT. Sarana Maluku Ventura yang membangun kemitraan dengan nelayan di Kota Ambon, juga masih menghadapi berbagai permasalahan. Kemitraan yang berlangsung belum juga memberikan solusi yang jitu bagi peningkatan kesejahteraan nelayan di kota ini. Untuk mengatasi berbagai kondisi ini maka kehadiran program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) yang diprakarsai oleh departemen kelautan dan perikanan melalui kegiatan kemitraan usaha dengan nelayan di Kota Ambon diharapkan menjadi solusi bagi upaya memberdayakan nelayan tersebut. Berkaitan dengan hal ini maka ada beberapa pertanyaan mendasar yang perlu dikaji : 1). Bagaimana konsep pengembangan dan
implementasi
kelembagaan
kemitraan
perikanan
tangkap
dalam
pemberdayaan nelayan ? 2). Faktor-faktor yang menjadi penentu keberhasilan kelembagaan kemitraan perikanan tangkap dalam pemberdayaan nelayan? 3). Bagaimana
pengembangan
kapasitas
kelembagaan
kemitraan
perikanan
tangkap dalam pemberdayaan nelayan ? Pertanyaan di atas perlu untuk ditelaah, karena penelitian untuk mengkaji kemitraan usaha pemerintah dengan nelayan kecil di Kota Ambon secara komprehensif belum dilakukan. Hal ini menjadi sangat penting karena untuk mendesain program kemitraan di masa datang perlu ditopang oleh pengetahuan dasar yang memadai mengenai sebab-sebab kegagalan masa lalu, sehingga akan menjadi pedoman bagi memperbaiki kehidupan nelayan kecil perikanan tangkap di kota ini.
10
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan kerangka alternatif kelembagaan kemitraan yang tepat guna dalam pemberdayaan nelayan perikanan tangkap di Kota Ambon. Secara khusus tujuan yang ingin diteliti meliputi : 1. Menganalisis
konsep
dan
mekanisme
pelaksanaan
kelembagaan
kemitraan dalam pemberdayaan nelayan perikanan tangkap. 2. Mengidentifikasi bentuk dan strategi kelembagaan
kemitraan dalam
pemberdayaan nelayan perikanan tangkap. 3. Mengukur kinerja kelembagaan kemitraan dalam pemberdayaan nelayan perikanan tangkap. 4. Merumuskan pengembangan kapasitas kelembagaan kemitraan dalam pemberdayaan nelayan perikanan tangkap. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 1. Sebagai referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta upaya mencari kebenaran ilmiah yang berkaitan dengan kemitraan dalam pemberdayaan nelayan 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon dan instansi terkait dalam merumuskan konsep dan strategi kemitraan yang mampu mendorong upaya pemberdayaan nelayan khususnya nelayan perikanan tangkap.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelembagaan Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal atau diikuti secara baik oleh anggota masyarakat, yang memberi naungan (liberty) dan meminimalkan hambatan (constraints) bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi kelembagaan juga tidak ditulis secara formal seperti aturan adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi dan cukup stabil serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang (Wiratno dan Tarigan, 2002). Kelembagaan merupakan phenomena sosial ekonomi berkaitan dengan hubungan antara dua atau lebih pelaku interaksi sosial ekonomi mencakup dinamika aturan-aturan yang berlaku dan disepakati bersama oleh para pelaku interaksi, disertai dengan analisis mengenai hasil akhir yang diperoleh dari interaksi yang terjadi (Hendayana dan Wally, 2003). Menurut bapak ekonomi kelembagaan (the patron saint) Thorstein Veblen, kelembagaan adalah settled habits ot thought common to the generality of men. Kelembagaan dianggap sebagi suatu konvensi atau suatu keteraturan dalam tingkah laku manusia yang menghasilkan suatu tingkat kepastian prediksi dalam hubungan antar manusia. Walaupun kelembagaan (sosial) sangat peduli pada pemecahan masalah-masalah koordinasi sosial, kelembagaan tidak mesti mengawasi dirinya sendiri. Kelembagaan mungkin perlu otoritas eksternal, seperti negara, untuk menegakkan konvensi dan kebiasaan di atas, karena seseorang dapat saja mempunyai insentif untuk mencari hak-hak orang lain. Wiratno dan Tarigan (2002) mendefinisikan kelembagaan adalah collective action in restraint, liberation, and expansion of individual action. Kelembagaan adalah kerangka acuan atau hak-hak yang dimiliki individu-individu untuk berperan dalam pranata kehidupan, tetapi juga berarti perilaku dari pranata tersebut. Setiap perilaku ekonomis juga sering disebut kelembagaan, sehingga setiap yang dinamis atau tidak statis, yang terproses atau tidak semata komoditas, yang beraktivitas atau tidak semata perasaan dan kepekaan, yang berupa manajemen atau tidak sekedar keseimbangan, semuanya tercakup dalam ekonomi kelembagaan. Dengan demikian kelembagan itu dianggap sebagai seperangkat aturan main atau tata cara untuk kelangsungan sekelompok (a set of working rules of going concerns). Jadi kelembagaan itu adalah kegiatan
12
kolektif dalam suatu kontrol atau yuridiksi, pembebasan atau liberasi dan perluasan atau ekspansi kegiatan individu, seperti disebutkan di atas. Uraian
defenisi
dari
kelembagaan
di
atas,
dimaksudkan
bahwa
kelembagaan menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang harus dan tidak harus mengerjakan sesuatu (kewajiban) lain (kebolehan atau liberty) bagaimana mereka mampu mengerjakan sesuatu dengan bantuan kekuatan kolektif, dan bagaimana mereka tidak dapat memperoleh kekuatan kolektif untuk mengerjakan sesuatu atas nama ketidakmampuan atau exposure. Wiratno dan Tarigan (2002) secara tegas mengatakan kelembagaan itu adalah serangkaian hubungan keteraturan (order relationship) antara beberapa orang yang menentukan hak, kewajiban atau tepatnya kewajiban menghargai orang lain, privilis dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat atau kelembagaan tersebut. Kelembagaan dicirikan oleh tiga hal yaitu : (1) Property Right : Mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi serta konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Dalam bentuk formal property right merupakan produk dari sistem hukum formal. Dalam bentuk lainnya merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat
mengatakan hak milik tanpa pengesahan dari
masyarakat di mana ia berada. Implikasi dari hal ini adalah : (1). hak seseorang adalah kewajiban orang lain, (2) hak seperti dicerminkan oleh kepemilikan adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap hak miliknya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui berbagai cara seperti memberi, pembelian atau hadiah dan melalui pengaturan administrasi, misalnya pemerintah memberikan subsidi kepada sekelompok masyarakat. Memilki property right berarti memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penggunaan sumberdaya untuk menciptakan ongkos bagi orang lain apabila menginginkan sumberdaya yang dimiliki tersebut. (2) Batas Yuridiksi. Menetukan sikap dan apa yang tercakup dalam kelembagaan suatu masyarakat. Konsep batas yuridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu kelembagaan. Sehingga terkandung makna batas yuridiksi berperan dalam mengatur alokasi sumberdaya alam. Faktor-faktor yang mempengaruhi perfoma apabila terjadi perubahan atas yuridiksi antara lain :
13
♦ Perasaan sebagai suatu masyarakat. Menentukan siapa yang termasuk kita dan siapa yang termasuk mereka. Hal ini erat kaitannya dengan konsep jarak sosial yang akan menentukan kadar komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan. ♦ Eksternalitas. Suatu analisis dalam mempelajari kelembagaan adalah transaksi yang mencakup transaksi melalui mekanisme pasar, administrasi atau hibah. Dalam setiap transaksi selalu terjadi transfer sesuatu yang dapat berupa manfaat, ongkos, informasi, hak-hak istimewa, kewajiban dan lainlain. Sesuatu yang ditransaksikan apakah bersifat internal atau eksternal ditentukan oleh batas yuridiksi. Perubahan batas yuridiksi akan mengubah srtuktur eksternalitas yang akhirnya mengubah siapa mengganggu apa. ♦ Homogenitas. Homogenitas preferensi dan kepekaaan politik ekonomi terhadap perubahan preferensi merupakan hal yang penting dalam menentukan batas yuridiksi, terutama dalam hal merefleksikan permintaan terhadao barang jasa harus dikonsumsi secara kolektif, maka isu batas yuridiksi menjadi penting dalam merefleksi preferensi konsumen dalam aturan pengambilan keputusan. Homogenitas preferensi dan distribusi individu
masyarakat
yang
memiliki
preferensi
yang
berbeda
dalam
mempengaruhi jawaban atas pertanyaan siapa yang memutuskan. ♦ Skala ekonomi. Konsep ini memegang peranan yang sangat penting dalam menelaah permasalahan batas yuridiksi. Dalam pengertian ekonomi, skala ekonomi menunjukan situasi di mana ongkos persatuan terus menurun apabila output ditingkatkan. Batas yuridiksi yang sesuai sudah tentu menghasilkan ongkos persatuan lebih rendah dibandingkan alternatif batas yuridiksi yang lainnya. (3) Aturan Representasi. Mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sumberdaya yang dibicarakan. Keputusan apa yang akan diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan jenis keputusan yang dibuat, oleh karena itu berperan penting dalam menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka. Hal ini memberi pemahaman bahwa aturan representasi merupakan subjek analisis ekonomi.
14
Kelembagaan
dapat
diartikan
sebagai
aturan
yang
dianut
oleh
masyarakat atau organisasi yang dijadikan panutan oleh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu dengan yang lainnya. Hal ini sejalan dengan Tjondronegoro (1999) yang mengatakan bahwa lembaga adalah suatu tata aturan yang dibentuk oleh masyarakat sehingga memiliki ciri tradisional dan non formal. Dahuri et al. (2001) mengatakan kelembagaan sebagai institusi, terdiri dari tiga aspek yaitu : 1) aparatur yang bekerja di lembaga tersebut, 2) fasilitas ruang, peralatan dan bahan, serta fasilitas lainnya untuk mengoperasikan lembaga, dan 3) dana operasional untuk membiayai kegiatan lembaga tersebut. Sedangkan pelembagaan nilai-nilai adalah memasyarakatkan hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut kepada masyarakat atau pengguna jasa lembaga tersebut. NIlai-nilai yang dilembagakan dapat berupa peraturan perundang-undangan, peraturan daerah, tataruang wilayah pesisir dan lautan, pedoman perencanaan dan bentuk-bentuk lainnya. Pengelompokkan kelembagaan di dunia sosial berdasarkan pada kesatuan aktivitas-aktivitas karena pada dasarnya pembentukan kelembagaan memiliki tujuan khusus yang dilaksanakan oleh orang-orang tertentu yang perlu didukung dengan norma dan struktur yang khusus pula (Syahyuti, 2003). Berdasarkan tugas tanggung jawab pengelolaan, maka lembaga pemerintah yang memiliki wewenang dapat dibedakan dalam kategori lembaga fungsional (sektoral) dan lembaga koordinasi. Lembaga fungsional (sektoral) adalah lembaga secara
yang memiliki peran mengelola, mengembangkan dan mengatur teknis
jawabnya.
kegiatan-kegiatan
Sedangkan
lembaga
pembangunan
yang
koordinasi
memiliki
menjadi
tanggung
peranan
dalam
mengkoordinasikan segenap kegiatan pengelolaan pembangunan sesuai dengan fungsi dan manajeman yang menjadi tanggung jawabnya. Di samping lembaga pemerintah maka dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya beberapa kelembagaan
secara
formal
maupun
informal
berperan
penting
dalam
pemanfaatan dan pengelolaan antara lain : lembaga adat, keagamaan, LSM dan organisasi lainnya. Pranadji (2003) mengatakan bahwa dalam kenyataan penganalisaan kelembagaan belum banyak menyentuh subtansi yang berimplikasi besar terhadap kemajuan masyarakat di pedesaan. Aspek kelembagaan, misalnya menyangkut pengembangan tata nilai, kepemimpinan dan perubahan struktur
15
sosial
masih jarang diteliti secara mendalam. Akibatnya implikasi penelitian
kelembagaan yang selama ini diusulkan tidak lebih dari sekedar sebagai embelembel atau pemanis untuk pembelaan diri terhadap kegagalan penyelenggaraan pembangunan pedesaan. Selanjutnya dikatakan bahwa penelitian kelembagaan dengan basis pengetahuan sosiologi, hendaknya mulai dikembangkan lebih serius. Pilihan strategi yang digunakan dalam pembangunan itu sendiri sarat dengan aspek kelembagaan, misalnya dalam kaitan dengan aspek tata nilai, kepemimpinan,
manajemen
sosial
dan
interdepedensi
antara
pelaku
pembangunan pedesaan. Kelembagaan merupakan proses melembaganya nilai-nilai kemanusiaan (humanity), kebenaran (righteousness), kesopanan (civility), kearifan (wisdom), kepercayaan (trust), dan perdamaian (peace). Kelembagaan diadakan untuk menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan dan mengubah kehidupan yang senantiasa lebih baik dari hari ke hari (Purwaka, 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa kelembagaan menghasilkan learning civilzation : bangsa yg senangtiasa belajar, membuka diri, mau mengubah diri, berkomunikasi, berdialog/mengakui keberadaan pihak lain. Pengurus kelembagaan mengutamakan keutaman hidup dalam kesederhanaan, bukan mengutamakan hidup pribadi yang sekarang banyak dikerjasamakan. Akselerasi pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya pemanfaatan dalam bidang perikanan tangkap membutuhkan tata kelembagaan yang “kuat” sebagai jawaban atas pola manajemen pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut. Karena penataan pola manajemen itu sendiri diarahkan bukan kepada sumberdaya
ikan
sebagai
tujuan
pemanfaatan
tetapi
kepada
pelaku
pemanfaatan itu sendiri, yaitu sumberdaya manusia, sehingga dibutuhkan berbagai
aturan
main
yang
konprehensif
pemanfaatan sumberdaya ikan.
tentang
apa
itu
manajemen
Jawaban yang paling tepat adalah tata
kelembangaan yang didalamnya sudah termasuk perangkat hukum, ekonomi, hubungan antara pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, sehingga akselerasi yang dimaksudkan dapat menguntungkan semua pihak terhasuk sumberdaya perikanan yang harus dalam tatanan pemanfaatan yang berkelanjutan (Purwaka, 2006). Teori principal-agent berusaha untuk mengetahui masalah-masalah yang muncul dalam keterhubungan (interrelationship) antara dua atau lebih individu atau kelompok, dan membantu menerangkan bagaimana keterikatan pihak yang
16
berhubungan
dapat
dilaksanakan
secara
kompatibel
dengan
upaya
meminimalisasi biaya transaksi. Dalam bentuk paling sederhana, teori “principalagent” menyangkut hubungan antara dua orang, yang satu dinamakan prinsipal dan lainnya dinamakan agen. Anwar (1995) menyatakan bahwa teori principal-agent menekankan perhatiannya terhadap suatu rancangan struktur insentif untuk suatu tujuan efisiensi pada keadaan yang asimetrik (asimetrik information). Tatanan kontraktual (contractual arrangement) merupakan solusi dari hubungan ini yang membawa agen kedalam suatu bentuk kerjasama dengan prinsipal. Prinsipal setuju memberikan suatu insentif tertentu kepada agen, di lain pihak agen setuju melakukan tindakan atas nama dan yang menjadi kepentingan prinsipal. Teori ini membantu dalam mendekati masalah yang dihadapi oleh petani/nelayan dalam hubungannya
dengan
kelembagaan
yang
dipilihnya.
Yang
menjadi
permasalahan utama dalam teori “principal-agent” ini adalah bagaimana prinsipal dapat
meyakinkan
agen
untuk
menerima
rencana/program
yang
akan
dilaksanakan dan bertanggung jawab secara penuh terhadap kesepakatan yang telah disetujui bersama. Perlunya suatu persetujuan di antara kedua belah pihak dalam suatu hubungan principal-agent ini didasarkan atas fakta bahwa prinsipal dan agen sebenarnya memiliki kepentingan yang berbeda. Keadaan demikian selanjutnya akan
mengakibatkan
suatu
konflik
oleh
karena
setiap
individu
akan
memaksimumkan kepuasannya, yang selanjutnya agen akan cenderung bertindak menurut kepentingannya daripada mempertimbangkan kepentingan prinsipalnya. Sejalan dengan pendapat ini, Williamson (1985) menyatakan bahwa perilaku individu pada dasarnya bersifat opportunis dan cenderung dengan berbagai tipu muslihat mengejar kepentingannya sendiri. Dalam hal demikian, tidak adanya aturan main yang bisa membatasi, misalnya melalui kontrak yang dinyatakan secara eksplisit, maka agen akan cenderung mengejar keuntungan secara individu dan tidak akan mempertimbangkan kepentingan prinsipalnya dan demikian juga berlaku sebaliknya. Bentuk kelembagaan hubungan “principal agent” muncul sebagai respon terhadap keadaan informasi yang asimetri, sehingga dalam hal ini bisa timbul masalah agensi (agency problem) yang selanjutnya menimbulkan biaya agensi (agency cost).
17
2.2 Kapasitas Kelembagaan Menurut Purwaka (2006), kelembagaan (K) adalah satu set atau satu perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kelembagaan (institutional arrangement: IA) dan mekanisme/kerangka kerja kelembagaan (institutional framework: IF) dalam rangka fungsionalisasi kapasitas potensial (potential capacity:PC), daya dukung (carrying capacity: CC), dan daya tampung (absorbtive capacity:AC). AC juga disebut sebagai daya lentur kelembagaan, yaitu kelenturan suatu lembaga dalam menghadapi dan mengantisipasi dinamika perubahan yang terjadi di dalam pembangunan kelautan. Kelembagaan tersebut dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut: K = f(ia,if)(pc,cc,ac) Dimana K = kelembagaan, f = fungsi, ia = tata kelembagaan (bersifat statis), if = kerangka
kerja/mekanisme
kelembagaan
(bersifat
dinamis),
yaitu
tata
kelembagaan dalam keadaan bergerak atau bekerja, pc = kapasitas potensial, cc = daya dukung dan ac = daya tampung. Di dalam ia dan if, masing-masing mengandung pc, cc, dan ac yang merupakan kapasitas kelembagaan. Dengan demikian, pengembangan kapasitas kelembagaan adalah upaya optimalisasi kapasitas kelembagaan dalam kerangka tata dan mekanisme kelembagaan. Fungsi tersebut di atas merupakan alat untuk mengkaji seberapa besar dan seberapa jauh kemampuan dalam menjalankan fungsi sesuai kewenangan yang dimiliki, demikian pula pada perikanan tangkap yang dipengaruhi oleh beberapa aspek memerlukan tata kelembagaan yang dapat mengatur sesuai dengan kearifan sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam.
Kearifan
tersebut bertujuan supaya sumberdaya alam perikanan tetap lestari dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Pengembangan kapasitas masyarakat merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari bawah secara nyata. Kekuatan-kekuatan
itu
adalah
kekuatan-kekuatan
sumberdaya
alam,
sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia, sehingga menjadi suatu local capacity. Kapasitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintah kota, kapasitas kelembagaan swasta, kapasitas pemerintah desa dan kapasitas kelompok masyarakat nelayan, terutama dalam bentuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam menghadapi tantangan pengembangan potensi sumberdaya alam dan ekonomi masyarakat setempat (Ningsih, 2006).
18
Priyatna dan Purnomo (2007) mengatakan bahwa terdapat beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam upaya pengembangan kelembagaan kelompok nelayan. Langkah-langkah tersebut dapat dibagi menjadi: 1) Tahapan pembentukan dan penyusunan kelembagaan kelompok nelayan dilakukan pada lokasi-lokasi yang belum memiliki kelembagaan lokal. Pada tahapan ini, inisiasi umumnya dilakukan oleh pihak luar, yaitu melalui pemerintah, akademisi maupun LSM. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan dan pembentukan kelembagaan lokal adalah aspek representasi dan adatif. Proses penyusunannya melibatkan secara langsung seluruh stakeholders yang ada di lokasi. Keseluruhan stakeholders tersebut diberikan kesempatan untuk menyamakan persepsi tentang pentingnya keberlangsungan usaha penangkapan ikan sekaligus sumberdaya-sumberdaya pendukungnya. 2) Tahapan Penguatan kelembagaan kelompok nelayan dilakukan sebagai tahap lanjutan atau bagi lokasi yang telah memiliki kelembagaan lokal. Pada tahapan ini dilakukan dengan cara pendampingan secara langsung kepada kelompok kelompok yang sudah ada. 3) Tahapan pengembangan kelembagaan kelompok nelayan dilakukan sebagai tahap lanjutan dengan menggunakan teknik monitoring – umpan balik. Pada tahapan ini mengikuti alur bahwa awalnya menajemen kelembagaan dilakukan secara sederhana sehingga mudah dipahami. Peran kelembagaan kelompok nelayan semakin diperluas dengan peran pihak luar sebagai penyedia informasi dan pelayanan. Proses pengembangan jejaring antara kelembagaan kelompok nelayan dengan kelembagaan kelompok lainnya difasilitasi oleh pemerintah. Hal ini mengingat kegaitan perikanan tangkap juga sangat dipengaruhi oleh kegaitan di luar perikanan. Purwaka
(2006)
menyatakan
bahwa
pengembangan
kapasitas
kelembagaan adalah upaya untuk mengubah kemampuan, peran dan peranan kelembagaan menjadi lebih baik dari pada keadaan sekarang. Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kapasitas kelembagaan yang terkait dengan pemberdayaan, yaitu : 1. Komponen-komponen yang erat kaitannya dengan organisasi sosial yang menyediakan seperangkat konsep yang membantu menjelaskan tindakan sosial, hubungan antara individu dan masyarakat, bentuk-bentuk organisasi sosial yang kompleks, susunan kelembagaan dan kebudayaan sosial, motifmotif sosial, stimulus, dan nilai-nilai yang mengatur masyarakat yang satu dengan yang lain dan masyarakat terhadap lingkungan pesisir. Oleh karena
19
itu dibutuhkan suatu kelembagaan yang mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat yang mendiami wilayah pesisir untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. 2. Berkaitan dengan teknik sosialisasi, misalnya program-program sosialisasi yang mampu mencapai tujuan masyarakat sasaran yang beragam baik dari segi pendidikan, ketrampilan, budaya dan usaha yang dilakukan. Kedua hal tersebut mengimplikasikan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan sangat penting dan strategis dalam memberdayakan masyarakat. Peningkatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan diyakini akan memperlancar jalannya berbagai fungsi kelembagaan, baik fungsi-fungsi di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, hukum maupun di bidang lingkungan hidup.
Berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan dalam
bidang-bidang tersebut secara optimal dipahami akan mampu mengentaskan lembaga-lembaga yang ada dari krisis multidimensi. Fungsi-fungsi kelembagaan tersebut secara statik ada di dalam mekanisme kelembagaan (instutional arrangement) dan secara dinamik ada di dalam mekanisme kelembagaan (instutional framework) (Purwaka, 2006).
2.3 Kemitraan Haeruman dan Eryatno (2001) mengatakan bahwa kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil atau koperasi dengan usaha menengah atau usaha besar dengan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan menguntungkan. Dari pengertian tersebut maka dalam kemitraan harus ada tiga unsur utama, yaitu : 1) kerjasama antara usaha kecil disatu pihak dan usaha menengah atau usaha besar di pihak lain, 2) kewajiban pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha menengah dan pengusaha besar, 3) saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan. Selanjutnya dikatakan bahwa kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan suatu strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Dalam konteks ini pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam kemitraan tersebut harus memiliki dasar-dasar etika bisnis yang dipahami bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan kemitraan. Pemahaman etika bisnis sebagai landasan moral dalam
20
melaksanakan kemitraan merupakan suatu solusi dalam mengatasi kurang berhasilnya kemitraan yang ada selama ini. Komposisi kemitraan itu sangat bervariasi, tapi merupakan representasi pelaku ekonomi seperti produsen, pedagang, eksportir, pengolah, pemerintah daerah/pusat, perguruan tinggi, lembaga rizet lain, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya. Berdasarkan pengalaman yang lalu, keikutsertaan sektor swasta dan wakil dari masyarakat sangat berperan dalam meningkatkan dinamika suatu kemitraan. Bahkan kalau perlu lembaga kemitraan tersebut dipimpin oleh wakil dari swasta atau wakil dari masyarakat. Hal ini akan sangat mempengaruhi kinerja kemitraan itu sendiri. Dengan prinsip duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, para anggota akan lebih mengutarakan berbagai masalah atau tantangan yang dianggap menjadi ganjalan dalam membangun daerahnya (Haeruman dan Eryatno, 2001). Berdasarkan pengertiannya, kemitraan pada dasarnya harus terjadi secara alamiah. Prinsip dasarnya adalah sukarela, saling memerlukan dan saling menguntungkan (Sapuan,1996). Hal ini sejalan dengan pendapat Mirza (1996) di mana kemitraan tidak dapat dianjurkan melalui moral suasion atau dipaksakan oleh pihak eksternal. Kemitraan dengan latar belakang ini hanya akan melahirkan kemitraan serimonial yang tujuan dan targetnya hanya indah didengar. Pendapat tersebut sejalan dengan Silitonga (1996), dimana satu-satunya prinsip kemitraan dalam dunia bisnis adalah keinginan untuk menciptakan profit sustainability di antara pelaku-pelaku kemitraan. Oleh karena itu di antara yang bermitra harus ada prinsip risk and profit sharing. Empat prinsip berkembangnya kemitraan adalah kontinuitas, mutu produk, servis dan harga. Pelanggaran prinsip akan menyebabkan pemutusan hubungan. Pengusaha di bidang pertanian selalu melakukan ikatan dengan mitra lainnya guna memperkecil resiko melalui diversifikasi sumber barang. Dalam hal ini, walaupun menurut Hutabarat (1996) ikatan legal dalam kemitraan yang melibatkan kapital di satu pihak diperlukan agar diperoleh ikatan resmi dan lebih serius dalam menjalankan usaha, akan tetapi cenderung menjadi bumerang bila kesepakatan tidak dipenuhi. Kenyataan menunjukkan bahwa ikatan legal tidak menjamin kemitraan berlangsung dengan baik. Prinsip
mendasar
dan
utama
dari
bangunan
kemitraan
secara
kelembagaan adalah saling percaya (mutual trust) di antara pihak-pihak yang terliabt di dalamnya, Ada empat prinsip yang seharusnya menjadi spirit kemitraan
21
yakni; saling percaya dan menghormati, otonomi dan kedaulatan, saling mengisi, keterbukaan dan pertanggungjawaban (Utama, 2005). Kemitraan usaha adalah suatu gejala umum di antara pelaku bisnis. Kemitraan tidak hanya dikembangkan di Indonesia, tetapi juga diseluruh bangsabangsa di dunia. Motivasi utama berjalannya kemitraan adalah bisnis murni, dimana setiap pelaku bisnis harus tetap berupaya mencari strategi untuk meningkatkan efesiensi, produktivitas dan daya saing. Selain itu, kemitraan juga sesuai dengan amanat UUD 45 pasal 33 yang mengatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas azas kekeluargaan, dan kemakmuran masyarakat yang lebih diutamakan. Jadi dalam kaitan ini, kemitraan ini menjadi lebih strategis sifatnya di Indonesia. Kemitraan tidak lagi hanya
merupakan
strategi aliansi, tetapi juga merupakan strategi untuk menegakan katahanan nasional yang ditopang oleh stabilitas ekonomi dan politik yang kokoh (Tjakrawerdaya, 1997). Menurut Sabrani (1996) melalui kemitraan usaha dapat ditransfer teknologi dan insentif. Di sini teknologi yang statis diubah menjadi lebih dinamis serta terjalin arus transfer teknologi tepat guna. Selain itu melalui kemitraan pengusaha antar daerah akan terjadi arus kapital dari daerah pengembangan yang maju ke daerah yang belum maju. Selanjutnya dikatakan bahwa kemitraan punya tujuan ganda, yaitu tujuan struktural berupa terwujudnya hubungan saling membutuhkan, memperkuat dan menguntungkan antar usaha besar dan usaha kecil/menengah, serta tujuan kultural berupa perluasan wawasan, prakarsa dan kreativitas, berani menanggung resiko sebagai tanggung jawab kemitraan, etos kerja dan kemampuan manajerial baru usaha kecil/menengah. Menurut Soeroepati (1997) strategi memanfaatkan peluang (opportunity) dan menjawab tantangan (challenge) melalui pemberdayaan (empowerment) usaha kecil seperti ini merupakan hal baru dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Meskipun kemitraan usaha dibangun dengan tujuan saling memperkuat dan menguntungkan, namun dalam banyak kasus hasilnya masih kurang menggembirakan. Menurut Prawirokusumo (1992), ada beberapa kendala dalam pelaksanaan kemitraan usaha di Indonesia. a). perbedaan yang masih besar dalam banyak aspek antara usaha skala besar dengan usaha skala kecil. Usaha skala kecil masih banyak yang tradisional dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. b). usaha yang bersifat spesialisasi dan standarisasi belum berkembang, sehingga kualitas produksi belum terjamin. c). unsur-unsur
22
bisnis seperti menjaga kualitas, menepati pesanan, delivery time yang tepat belum menjadi way of life sehingga kerjasama kurang berkembang. d). usaha besar masih melakukan integrasi vertikal. e). masih adanya jarak antara usaha besar dengan yang lain, sehingga alih teknologi belum berkembang, di samping itu kebiasaan penelitian dan pengembangan dilakukan sendiri oleh usaha besar. f). faktor-faktor penunjang belum berkembang, antara lain jaringan informasi, infrastruktur
pengembangan
bisnis
seperti
incubator,
program
inisiasi,
transportasi, komunikasi, hasil penelitian dan perpajakan. g). belum memadainya perundang-undangan yang menjadi dasar pembinaan, pengembangan dan eksistensi usaha kecil. Kemitraan pada hakekatnya merupakan wujud yang ideal dalam meningkatkan peranserta masyarakat dalam pembangunan. Kemitraan didasari atas hubungan antar pelaku yang bertumpu pada ikatan usaha yang saling menunjang, saling menguntungkan dan saling menghidupi berdasarkan asas kesetaran dan kebersamaan. Dengan kemitraan diharapkan akan dapat menumbuhkan dan menjamin keberlanjutan jaringan kelembagaan (net working) untuk mendukung inisyatif masyarakat lokal dalam pengembangan ekonomi lokal (Haeruman dan Eryatno, 2001). Agar kemitraan usaha dapat mencapai sasaran, yaitu terciptanya suasana saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan diantara partisipan, maka minimal ada tujuh syarat yang harus dipenuhi untuk mengarah pada integrasi vertikal. 1). Kepercayaan, setiap mitra harus saling percaya terutama dalam informasi. 2). Interaktif, setiap mitra berinteraksi dengan frekwensi yang tinggi agar proses antar hubungan dapat berlangsung dengan baik. 3). Keterbukaan, setiap mitra terbuka terhadap saran dan kritik serta informasi yang diperoleh, sehingga mitra saling membantu dalam membangun produk. 4). Nilai bersama, setiap mitra mengembangkan nilai-nilai yang dapat diyakini bersama, sehingga dapat memberi motivasi dan semangat kerja yang terarah terhadap tujuan. 5). Pandangan terhadap visi, setiap mitra harus mempunyai presepsi dan pandangan yang sama terhadap kemitraan, agar usaha dapat dilaksanakan pada rel dan tujuan yang tepat. 6). Komitmen, partisipan harus peduli dan terdorong untuk memacu semangat kerja guna mencapai tujuan kemitraan. 7). Koperatif, setiap mitra membangun situasi saling menguntungkan untuk menghasilkan produk (Prawirokusumo, 1992).
23
Purnaningsih et al. (2006) mengatakan bahwa konsep kemitraan mengacu pada konsep kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar disertai pembinaan, dengan memperhatikan prinsip saling menguntungkan dan memperkuat. Pola kemitraan adalah bentuk-bentuk kerjasama antara usaha kecil dan usaha menengah atau usaha besar. Pola kemitraan sebagai suatu inovasi mengandung pengertian bahwa telah terjadi proses pembaharuan terhadap pola kemitraan dalam banyak hal. Artinya pola kemitraan bukan sesuatau yang baru tetapi telah mengalami proses perubahan dari waktu ke waktu hingga saat ini. Ada berbagai bentuk pola kemitraan. Dalam hal ini setiap individu mempunyai pandangan yang berbeda tentang pola-pola kemitraan yang ada tergantung dari sudut pandang masing-masing. Mirza (1996) mengajukan tiga bentuk kemitraan/alliansi yaitu ; 1). Service alliance 2). Opportunity alliance yang sering dirujuk sebagai joint ventura, 3). Stakeholder alliance. Sapuan (1996) membagi kemitraan usaha menjadi ; 1). Kemitraan pasif, di mana salah satu mitra dari mitra lain tanpa harus ada kaitan usaha dan 2). Kemitraan aktif di mana antar mitra terdapat jalinan kerja sama sehingga terbentuk hubungan bisnis yang sehat. Menurut Mulyadi (1999) terdapat tiga pola kemitraan yang berkembang pada kegiatan agribisnis, yaitu 1). Pola kemitraan tradisional, yakni mengikuti pola hubungan patron client. Pelaku ekonomi yang berperan sebagai patron adalah pemilik modal atau peralatan produksi strategis seperti; lahan, alat tangkap dan yang berperan sebagai clien adalah petani atau nelayan. 2). Pola kemitraan program pemerintah, pola ini bercirikan pengembangan kemitraan secara vertikal, dimana model umum yang dianut adalah hubungan “bapak angkat “. 3). Pola kemitraan pasar, pola ini berkembang dengan melibatkan petani sebagi pemilik aset, tenaga kerja dan peralatan produksi, dan pemilik modal besar yang bergerak dibidang industri pengolah dan pemasaran hasil. Haeruman dan Eryatno (2001) mengatakan bahwa pola kemitraan adalah salah satu konsep yang sudah banyak dikenal. Dalam pola ini diharapkan suatu lembaga mempu berfungsi sebagai penampung aspirasi para anggota kemitraan tersebut. Perlu diingat bahwa salah satu fungsi dari lembaga kemitraan adalah harus mampu mencerminkan keikutsertaan para anggotanya (participatory
approach)
dan
mengikutsertakan
masyarakat
agar
berpartisipasi aktif dalam pembangunan di daerah mereka masing-masing.
dapat
24
2.4 Perikanan Tangkap Menurut
Undang-Undang
No.31
Tahun
2004
perikanan
tangkap
merupakan semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Penangkapan ikan didefinisikan sebagi kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan/atau mengawetkan. Perikanan tangkap adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan tujuan “mengambil” sumberdaya ikan
yang mempunyai nilai ekonomi dengan
menggunakan teknologi, baik yang sederhana maupun yang telah kompleks. Dengan demikian kegiatan perikanan tangkap melibatkan banyak komponen atau faktor dan secara garis besar adalah sumberdaya manusia, kapal penangkap ikan, serta jenis alat tangkap. membutuhkan sistem lainnya,
Selanjutnya komponen tersebut
yaitu pemasaran karena perikanan tangkap
adalah suatu kegiatan ekonomi yang membutuhkan adanya rantai ekonomi. Dengan demikian kegiatan perikanan tangkap adalah penyokong untuk berbagai kegiatan ekonomi lainnya dalam bidang pemanfaatan sumberdaya perikanan. Upaya pengembangan perikanan tangkap akan dapat berjalan dengan baik, jika subsistem-subsistem yang ada dapat berfungsi dengan baik. Sebagai suatu sistem keberhasilan dari subsistem usaha perikanan tangkap akan sangat bergantung kepada (1) ketersediaan potensi sumberdaya ikan, (2) optimalisasi dari proses produksi ynag dilakukan, (3) penanganan hasil tangkapan dan (4) pemasaran (Nurani dan Widyamayanti, 2006). Monintja (1994) mendefinisikan perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Defenisi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud bertujuan untuk
mendapatkan
keuntungan
baik
secara
financial,
maupun
untuk
memperoleh nilai tambah lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan protein hewani, devisa serta pendapatan lainnya bagi negara. Menurut Ditjen Perikanan (2000) kegiatan perikanan tangkap di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu perikanan
25
tradisional dan perikanan industri (industrial fishery). Perikanan tradisional dicirikan oleh kegiatan penangkapan ikan dengan nilai investasi kecil hingga sedang, menggunakan perahu penangkapan yang bervariasi dan umumnya berukuran kecil seperti perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor berukuran 5-50 GT; alat tangkap yang digunakan sangat bervariasi (seperti payang, dogol, pukat pantai, bagan, serok, pancing ulur, sero dan bubu) dan umumnya diopersikan secara manual dan belum ditunjang dengan alat bantu penangkapan (line hauler, power block, fish funder, dan lainnya); nelayan yang terlibat dalam penangkapan adalah nelayan tradisional yang melakukan kegiatan penangkapan berdasarkan intuisinya atau pengalaman yang diperoleh secara turun-temurun dan umumnya berpendidikan rendah; dan operasi penangkapan
ikan
umunya
terkonsentrasi
diperairan
pantai
pada
jalur
penangkapan Ia (0-3 mil laut), Ib (3-6 mil laut), dan II (6-12 mil laut). Perikanan industri dicirikan oleh kegiatan penangkapan padat modal yang memiliki nilai investasi besar; menggunakan kapal penangkapan berukuran lebih besar dari 50 GT; alat tangkap modern (seperti pukat udang, purse seine dan gill net ukuran besar, huhate dan rawai tuna) yang telah dilengkapi dengan alat bantu mekanis maupun elektronik; melibatkan nelayan modern yang memperoleh ketrampilan dan pengetahun penangkapan ikan melalui jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi; dan operasi penangkapan ikan dilakukan di jalur III (dari 12 mil laut hingga perairan ZEE Indonesia sejauh 200 mil laut). Sebagian besar atau sekitar 80% lebih kegiatan perikanan tangkap di Indonesia dilakukan oleh nelayan tradisional. Sementara itu hanya kurang dari 20% sisanya adalah usaha penangkapan ikan padat modal atau lebih dikenal dengan sebutan industri penangkapan ikan (fishing industry) yang melibatkan nelayan-nelayan terdidik. Kondisi ini telah menyebabkan ketimpangan dan menimbulkan permasalahan yang cukup serius yang sedikit banyak telah menghambat laju perkembangan sub sektor perikanan tangkap di tanah air. Berbagai permasalahan dan hambatan yang timbul pada sub sektor perikanan tangkap adalah (1). Tingginya intensitas penangkapan ikan diperairan pantai yang telah mengakibatkan penurunan stok ikan yang mengarah ke gejala over fishing dan degradasi lingkungan perairan pantai serta konflik sosial antar nelayan karena perebutan fishing ground dan penggunaan mini trawl dimanamana; (2) rendahnya produktivitas nelayan (4,8 kg/nelayan) yang telah mengakibatkan kemiskinan yang berkepanjangan dan lemahnya kemampuan
26
manajerial usaha; (3) rendahnya mutu produk perikanan karena sebagian besar armada
penangkapan
ikan
tradisional
belum
ditunjang
dengan
teknik
penanganan ikan yang baik, kondisi ini berpengaruh terhadap tingkat harga jual produk perikanan yang cenderung rendah; (4) rendahnya kualitas nelayan sehingga sulit menerima inovasi baru dan memiliki pola pikir yang sangat terkebelakang; (5) hambatan permodalan usaha karena tidak ada jaminan pengembalian yang pasti dari kredit yang diperoleh dari perbankan. Klasifikasi usaha penangkapan ikan ke dalam skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial telah banyak dilakukan oleh berbagai badan atau lembaga pemerintah untuk keperluan pengembangan dan pencatatan (Haluan, 1986). Selanjutnya disimpulkan bahwa usaha penangkapan ikan tradisional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Unit penangkapan ikan dengan skala kecil yang seringkali terdiri dari kelompok keluarga nelayan yang menggunakan perahu dengan atau tanpa motor penggerak 2. Kegiatan penangkapan ikan seringkali tidak tetap atau musiman dan kebutuhan rumahtangga dapat dipenuhi dengan usaha di bidang lain 3. Penghasilan dan pendapatan nelayan didasarkan atas sistim bagi hasil 4. Juragan atau nelayan pemilik kapal dan alat penangkapan ikan sering ikut operasi penangkapan ikan sendiri 5. Bahan alat penangkap ikan mungkin sudah dibuat oleh mesin di pabrik seperti jaring nilon, tetapi desain dan penyambungan bagian-bagiannya masih dilakukan oleh tangan nelayan sendiri, dan dalam penauran serta penarikan umumnya tidak dibantu oleh tenaga mesin 6. Tingkat investasi rendah dan sistim ijon masih berlaku 7. Hasil tangkapan per unit penangkapan ikan dan produktivitas per nelayan mulai dari tingkat menengah sampai rendah sekali 8. Hasil tangkapan belum semuanya di jual di TPI 9. Sebagian atau kadang-kadang semua hasil tangkapan ikan dikonsumsi sendiri bersama keluarga nelayan 10. Seringkali perkampungan nelayan tradisional agak terisolasi dan tingkat hidup nelayan tradisional rendah
27
Menurut Charles (2001) skala usaha perikanan tangkap dapat ditinjau dari berbagai aspek diantaranya ukuran kapal yang dioperasikan, ukuran fishing ground dan tujuan produksinya. Pengelompokan tersebut dilakukan melalui perbandingan skala kecil (small scale fisheries) dengan perikanan sakal besar (large scale fisheries). Kesteven (1973) mengelompokan nelayan kedalam tiga kelompok yaitu industri, artisenal dan subsisten. Nelayan industri dan artisenal berorientasi komersial
sedangkan
nelayan
subsisten
umumnya
memanfaatkan
hasil
tangkapan untuk komersial harian. Pengelompokkan nelayan tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan nelayan industri dan tradisional dari sisi techno-socio-economic No
Pembanding
Industri
1
Unit Penangkapan
2
Kepemilikan
3 4
Komitmen waktu Kapal
5
Perlengakpan
6
Sifat Pekerjaan
7
Investasi
8
Penangkapan (per unit penangkapan) Produktivitas (per orang nelayan) Pengaturan hasil tangkapan
Besar
12
Pengelolaan hasil tangkapan
11
Keberadaan ekonomi nelayan Kondisi sosial
9
11
12
Tepat, dengan divisi pekerjaan dan prospek jelas Dikosentrasikan pada beberapa pengusaha, kadang bukan nelayan Biasanya penuh waktu Bertenaga dengan peralatan yang memadai Buatan mesin atau pemasangan lainnya Dengan bantuan mesin Tinggi dengan proporsi yang besar di luar nelayan
Tradisional Artisenal Subsisten Tepat, kecil, spesialisasi Tenaga sendiri/ yang tidak terbagi keluarga/kelompok masyarakat Biasanya dimiliki oleh Tersebar diantara nelayan yang partisipan berpengalaman atau nelayan gabungan Seringkali merupakan Kebanyakan paruh pekerjaan sampingan waktu Kecil, dengan motor Tidak ada taua dalam atau motor berbentuk kano tempel kecil di luar Sebagian/seluruhnya Material buatan memakai material tangan, diapsang buatan mesin pemiliknya Buatan mesin minim Dioperasikan dengan tangan Rendahnya penghasilan Sangat rendah nelayan (seringkali sekali diambil dari pembeli hasil tangkapan) Menengah atau rendah Rendah hingga sangat rendah
Tinggi
Menengah atau rendah
Rendah hingga sangat rendah
Dijual ke pasar yang terorganisir
Penjualan untuk lokal yang tak terorganisir, sebagian dikonsumsi sendiri
Diolah menjadi tepung ikan atau untuk bahan konsumsi bukan untuk manusia Seringkali kaya
Beberpa dikeringkan, diasap, diasingkan untuk kebutuhan manusia Menengah ke bawah
Umumnya dikonsumsi nelayan itu sendiri, kelarga atau dibarter Kecil tidak ada sama sekali; semuanya untuk dikonsumsi Minimal
Terpadu
Kadang terpisah
Rakyat tradisional
28
Ditjen Perikanan (2000) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman
air.
Adapun
orang
yang
hanya
melakukan
pekerjaan
sepertimembuat jaring atau mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan (Tabel 4). Tabel 4. Penggolongan nelayan berdasarkan karakteristik usaha Jenis Usaha tradisional
Orientasi ekonomi dan pasar Subsisten, rumahtangga
Tingkat teknologi Rendah
Usaha post tradisional
Subsisten, surplus, rumahtangga, pasar domestik
Rendah
Usaha komersial
Surplus, pasar domestik, ekspor
Menengah
Usaha industri
Surplus, ekspor
Tinggi
Hubungan produksi Tidak hirarkis,status terdiri dari pemilik dan ABK yang homogen Tidak hirarkis,status terdiri dari pemilik dan ABK yang homogen Hirarkis, status terdiri dari pemilik, manejer dan ABK yang heterogen Hirarkis, status terdiri dari pemilik, manejer dan ABK yang heterogen
Sumber : Ditjen Perikanan (2000)
2.4.1 Perikanan Tangkap Teluk Ambon Bagian Dalam (1) Jenis dan Jumlah Alat Penangkapan Ikan Terdapat 7 jenis alat penangkapan ikan yang dioperasikan oleh nelayannelayan dari 6 desa yang mendiami pesisir wilayah perairan Teluk Ambon Bagian Dalam. Nelayan dari 3 desa lainnya yang berada dekat dengan perairna ini juga melakukan operasi penangkapan. Alat-alat penangkapan yang dimaksudkan tersebut yakni pancing tangan (hand line), bubu (trap net), jaring insang permukaan (surface gill net), jaring insang dasar (bottom gill net), pukat pantai (beach seine), bagan (lift net) dan pukat cincin (purse seine). Jumlah alat tangkap yang dioperasikan di wilayah perairan Teluk Ambon Bagian Dalam berjumlah 65 unit yang didominasi oleh jaring insang dasar sebanyak 39 unit atau sebesar 59 % (Tabel 5 dan Gambar 1). Kenyataan yang ditemukan bahwa para nelayan yang berasal dari Desa Rumah Tiga dan Desa Wayame yang adalah desa-desa yang pesisirnya tidak berhubungan langsung dengan Teluk Ambon Bagian Dalam mengoperasikan 22 unit dan 3 unit jaring insang dasar untuk menangkap ikan-ikan demersal, membuktikan bahwa wilayah perairan ini masih sangat potensial dijadikan
29
sebagai daerah penangkapan. Nelayan dari desa Waihaong yang pesisirnya bukan pada wilayah perairan Teluk Ambon Dalam mengoperasikan pukat cincin mini sebanyak 3 unit untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil. Nelayan-nelayan yang berasal dari desa-desa yang tidak berhubungan langsung dengan TAD, memilih beroperasi di sana karena lebih terjamin keamanannya. Tabel 5. Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan pelagis kecil yang dioperasikan nelayan di Teluk Ambon Dalam No.
Jenis Alat Tangkap
Jumlah (Unit)
1.
Pancing tangan (hand line)
7
2.
Bubu (trap net)
7
3.
Jaring insang permukaan (surface gill net)
1
4.
Jaring insang dasar (bottom gill net)
39
5.
Pukat pantai (beach siene)
3
6.
Bagan (lift net)
3
7.
Pukat cincin (purse seine)
3
Jumlah
65
Sumber : Hasil penelitian Unpatti (2002)
Pk.Pt 8%
Bgn 5%
P.Cn 5%
P.Ta 10%
Keterangan :
Bb 11% J.Prm 2%
J.Ds 59%
J.Ds : Jaring insang dasar Bb : Bubu P.Ta : Pancing tangan Pk.Pt : Pukat pantai Bgn : Bagan P.Cn : Pukat cincin J.Prm : Jaring insang permukaan
Gambar 1. Persentase alat penangkapan ikan yang beroperasi di TAD
(2) Armada Penangkapan Ikan. Perahu/kapal penangkap ikan milik nelayan yang beroperasi di wilayah perairan TAD adalah sebanyak 55 unit, terdiri dari perahu tanpa motor sebanyak 51 unit (92,73 %) dan kapal motor tempel sebanyak 4 unit (7,27 %). Armada penangkapan ikan milik nelayan ada yang memiliki lebih dari satu alat tangkap dan sebaliknya ada pula satu alat tangkap dioperasikan oleh dua armada penangkapan. Armada penangkapan yang dilengkapi dengan tenaga penggerak motor tempel, yang beroperasi diperairan ini ternyata hanya dimiliki oleh nelayan yang berasal dari Kelurahan Waihaong. Secara rinci armada penangkapan ikan yang beroperasi di perairan TAD menurut desa asalnya disajikan pada Tabel 6.
30
Tabel 6. Armada penangkapan ikan yang beroperasi di Teluk Ambon Dalam menurut desa asalnya No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Desa Poka Rumah Tiga Wayame Waiheru Lateri Latta Halong Galala Waihaong Total Persentase (%)
Perahu Tanpa Motor 6 13 5 7 4 3 5 8 51 92,73
Motor Tempel
1
3 4 7,27
Jumlah 6 13 5 7 5 3 5 8 3 55 100
Sumber : Hasil penelitian Unpatti (2002)
(3) Produksi. Produksi sumberdaya ikan pelagis kecil dan demersal yang berasal dari Teluk Ambon Dalam dirinci menurut desa dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Produksi sumberdaya ikan pelagis kecil dan demersal di Teluk Ambon Dalam dirinci menurut desa No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Desa Poka Rumah Tiga Wayame Waiheru Lateri Latta Halong Galala Waihaong Total
Produksi Hasil Tangkapan Pelagis Kecil Demersal Jumlah Ton/bln Ton/thn Ton/bln Ton/thn Ton/bln Ton/thn 0,44 5,28 2,50 30,00 2,94 35,28 0,20 2,40 0,37 4,44 0,57 6,84 1,15 13,80 2,15 25,80 3,30 39,60 1,20 14,40 1,2 14,40 0,50 6,00 1,80 21,60 2,30 27,60 0,35 4,20 0,08 0,96 0,43 5,16 0,50 6,00 1,60 19,20 2,10 25,20 0,12 1,44 0,120 1,44 12,00 144,00 12,00 144,00 15,14 181,68 9.82 117,84 24,96 299,52
Sumber : Hasil penelitian Unpatti (2002)
Hasil tangkapan nelayan yang menangkap ikan di Teluk Ambon Bagian Dalam terdiri dari ikan-ikan pelagis kecil dan ikan-ikan demersal. Total produksi ikan rata-rata per bulan yang berasal dari wilayah perairan ini adalah sebanyak 24.960 kg (24,96 ton), terdiri dari ikan-ikan pelagis kecil sebanyak 15.140 kg (15,14 ton) dan ikan-ikan demersal sebanyak 9.820 kg (9,82 ton). Nelayan yang mengoperasikan alat penangkapan pada perairan Teluk Ambon Bagian Dalam dapat menangkap ikan sepanjang tahun sehingga dapat diperkirakan bahwa produksi hasil tangkapan nelayan dalam satu tahun adalah sebesar 299.52 ton.
31
2.4.2 Perikanan Tangkap Teluk Ambon Bagian Luar (1) Jenis dan Jumlah Alat Penangkapan Ikan. Hasil pendataan di wilayah perairan Teluk Ambon Bagian Luar didapatkan bahwa wilayah ini mengoperasikan 12 jenis alat tangkap dan rumpon (ALPI) sebagai alat bantu penangkapan. jenis alat tangkap berjumlah 447 unit yang dioperasikan oleh nelayan yang berasal dari 14 desa. Alat-alat penangkapan yang dominan adalah pancing tangan (hand line) 245 unit, pancing tonda (trolling) 65 unit, jaring insang dasar (bottom gill net) sebanyak 59 unit, pukat cincin (purse seine) 17 unit, bubu (trap net) dan jaring insang hanyut/permukaan (drift gill net/surface gill net) 13 unit, tangguk (scoop net) 10 unit dan alt tangkap lainnya kerang dari 10 unit. Rumpon yang dipasang di perairan ini berjumlah 18 unit. Secara rinci disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 2. Tabel 8. Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan yang dioperasikan nelayan di perairan Teluk Ambon Luar No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Jenis Alat Tangkap Panah Pancing tangan Rawai Bubu Jala Tangguk Jaring insang permukaan Jaring insang dasar Jaring trammel Pukat pantai Bagan Pukat cincin Rumpon (ALPI) Total
Jumlah (unit) 1 245 65 1 13 2 10 13 59 1 2 17 18 447
Sumber : Hasil penelitian Unpatti (2002)
Keterangan : P.Td 15%
Bb 3%
Tgg 2% J.Prm 3%
J.Ds 13% P.Ta 56% P.Cn Rpn 4% 4%
P.Ta P.Td J.Ds P.Cn Rpn Bb J.Prm Tgg
: Pancing tangan : Pancing tonda : Jaring insang dasar : Pukat cincin : Rumpon : Bubu : Jaring insang permukaan : Tangguk
Gambar 2. Persentase alat penangkapan ikan yang beroperasi di TAL
32
(2) Armada Penangkapan Ikan Armada penangkapan ikan milik nelayan yang beroperasi di Teluk Ambon Bagian Luar berjumlah 223 unit, terdiri dari perahu tanpa motor sebanyak 165 unit (73,99 %), bermesin ketinting sebanyak 36 unit (16,14 %) dan bermesin motor tempel sebanyak 22 unit (9,87 %). Armada-armada penangkapan yang mengoperasikan pancing tangan dan pancing tonda kebanyakan memiliki lebih dari satu alat tangkap dan beberapa armada yang mengoperasikan dua alat tangkap jaring insang pada satu armada penangkapan. (3) Produksi Total produksi ikan hasil tangkapan nelayan yang berasal dari Teluk Ambon Luar adalah 125.530 kg (125,53 ton) per bulan. Hasil tangkapan ikan ini didominasi oleh ikan pelagis kecil sebanyak 92.555 kg (92,555 ton) atau 73,73 % dari total produksi hasil tangkapan tersebut. Tabel 9. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Desa
Produksi ikan tuna, pelagis besar, pelagiskecil dan demersal dari perairan Teluk Ambon Luar dirinci menurut desa Tuna
Pelagis Besar
Rumah tiga Wayame Hatiwe Besar Tawiri 175 Laha Hatiwe Kecil Galala Pandan Kasturi 9. Batu Merah 100 100 10. Waihaong 11. Benteng 800 790 12. Amahusu 520 1.000 13. Eri 14. Seilale 9.500 8.500 Jumlah 10.920 10.565 Persentase (%) 8,70 8,42 Sumber : Hasil penelitian Unpatti (2002)
Pelagis Kecil 80
Demersal
240
600 200 700
480 55 3.000 4.050 3.700 600 200 940
3.120 12.270 490 9.740 105 58.800 92.585 73,73
1.200 2.525 370 860 530 1.185 11.490 9,15
4.520 14.795 2.450 12.120 635 77.985 125.530 100
1.630 2.380 3.700
400 55 1.370 1.495
Jumlah
Selanjutnya ikan demersal yang menunjukan angka yang cukup besar yakni 11.490 kg (11,49 ton), Ikan tuna sebanyak 10.920 kg (10,92 ton) per bulan, kemudian ikan pelagis besar yang diproduksi sebanyak 10.565 kg (10,57 ton) per bulan. Nelayan-nelayan dari Desa Seilale secara umum menangkap berbagai jenis ikan dari wilayah ini, lebih banyak dibandingkan dengan nelayan-nelayan dari 13 desa lainnya dengan jumlah hasil tangkapan per bulan sebesar 77.985 kg (77,99 ton) didominasi oleh ikan pelagis kecil sebanyak 58.800 kg (58,80 ton). Hal ini dimungkinkan karena nelayan-nelayan dari Desa Seilale ini memiliki
33
armada penangkapan pukat cincin (purse seine) sebanyak 5 unit yang memberikan sumbangan cukup besar terhadap produksi ikan pelagis kecil yang berasal dari wilayah ini.
2.4.3 Perikanan Tangkap Teluk Baguala (1) Jenis dan Jumlah Alat Penangkapan Ikan Total alat penangkapan ikan yang beroperasi di Teluk Baguala sebanyak 125 unit. Alat penangkapan tersebut terdiri dari 9 jenis yang dioperasikan oleh nelayan-nelayan yang berasal dari 4 desa yang berada di pesisir wilayah ini dan 1 desa lainnya memanfaatkan perairan ini sebagai daerah penangkapannya yakni desa Halong. Jenis alat penangkapan ikan yang dominan dioperasikan oleh nelayan di wilayah perairan Teluk Baguala adalah jaring insang dasar (bottom gill net) sebanyak 41 unit (33 %), diikuti oleh pancing tangan (hand line) sebanyak 26 unit (21 %), jaring insang hanyut/permukaan (surface gill net) sebanyak 18 unit (14 %) dan yang lainnya lebih kecil dari 10 unit. Pada perairan ini, dipasang 16 unit rumpon oleh nelayan yang berasal dari Desa Leahari. Tabel 10. Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan yang dioperasikan nelayan di perairan Teluk Baguala No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Alat Tangkap Panah Pancing tangan Pancing tonda Bubu Jala Jaring insang permukaan Jaring insang dasar Bagan Rumpon (ALPI)
Jumlah (unit) 6 26 4 5 5 18 41 4 16
Total
125
Sumber : Hasil Penelitian Unpatti (2002)
Keterangan :
Bgn 3%
J.Ds 33%
Rpn 13%
Pnh 5%
P.Ta 21%
J.Prm 14%
P.Td 3% Bb Jala 4% 4%
Pnh P.Ta P.Td J.Ds Jala Rpn Bb J.Prm Tgg
: Panah : Pancing tangan : Pancing tonda : Jaring insang dasar : Jala : Rumpon : Bubu : Jaring insang permukaan : Tangguk
Gambar 3. Persentase alat penangkapan ikan yang beroperasi di Teluk Baguala
34
(2) Armada Penangkapan Ikan Perahu/kapal penangkap yang beroperasi di perairan Teluk Baguala adalah sebanyak 94 unit. Sebagian besar armada penangkapan yang beroperasi di perairan ini adalah perahu tanpa motor berjumlah 73 unit (77,66 %). Armada penangkapan yang dilengkapi dengan mesin ketinting berjumlah 15 unit (15,96 %) dan yang dilengkapi dengan mesin motor tempel sebanyak 6 unit (6,38 %). Nelayan-nelayan yang berasal dari Desa Leahari memiliki armada penangkapan terbanyak yakni 38 unit, diikuti oleh nelayan-nelayan yang berasal dari Desa Passo yakni sebanyak 28 unit, Desa Rutong sebanyak 19 unit dan dua desa lainnya yakni Desa Halong dan Hutumuri memiliki armada penangkapan yang kurang dari 10 unit. Tabel 11. Armada penangkapan ikan yang beroperasi di Teluk Baguala menurut desa asalnya No. 1. 2. 3. 4. 5.
Ketinting
Halong Passo Hutumuri Rutong Leahari
Perahu Tanpa Motor 1 22 3 15 32
6 4 2 3
1 2 3
1 28 8 19 38
Total
73
15
6
94
77,66
15,96
6,38
100
Desa
Persentase (%)
Motor Tempel
Jumlah
Sumber : Hasil penelitian Unpatti (2002)
(3) Produksi. Total produksi ikan hasil tangkapan yang berasal dari wilayah perairan Teluk Baguala adalah sebanyak 13,53 ton per bulan, terdiri dari jenis ikan pelagis kecil sebanyak 5,32 ton dan ikan-ikan demersal sebanyak 8,20 ton (Tabel 12). Tabel 12. Produksi sumberdaya ikan pelagis kecil dan demersal di Teluk Baguala dirinci menurut desa No. 1. 2. 3. 4. 5.
Desa Halong Passo Hutumuri Rutong Leahari Total
Produksi Hasil Tangkapan Demersal Jumlah Ton/bln Ton/thn Ton/bln Ton/thn 0,20 1,60 0,20 1,60 19,20 3,30 26,40 5,70 45,60 13,76 1,00 8,00 2,72 21,76 8,00 1,11 8,88 2,11 16,88 1,60 2,60 20,80 2,80 22,40 42,56 8,20 65,68 13,53 108,24
Pelagis Kecil Ton/bln Ton/thn 2,40 1,72 1,00 0,20 5,32
Sumber : Hasil penelitian Unpatti (2002)
35
2.5 Pemberdayaan Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment. Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary, yang dikutip oleh Haeruman dan Eryatno (2001), kata empower mengandung dua pengertian: (1) to give power to atau authority
to
atau
memberi
kekuasaan,
mengalihkan
kekuatan
atau
mendelegasikan otoritas ke pihak lain, (2) to give ability to atau enable atau usaha memberi kemampuan. Tampubolon et al. (2006)
mengatakan bahwa konsep pemberdayaan
lahir dari kata bahasa Inggris yaitu ”empower” yang artinya ” memberi kuasa atau wewenang kepada”. Konsep ini berkembang sejak Tahun 1980-an dan digunakan
oleh
agen-agen
pembangunan
hingga
sekarang.
Hal
ini
menyebabkan pemberdayaan menjadi jargon yang sangat populer di kalangan para agen pembanguan masyarakat, khususnya dalam penangnan kemiskinan. Pengertian pemberdayaan sesungguhnya sangat tergantung pada konteksnya. Pemberdayaan secara sederhana dapat disrtikan sebagai pemberian ”power: stsu kekuasaan atau keuatan atau daya kepada kelompok yang lemah sehingga merek memikiki kekuatan untuk berbuat. Pemberdayaan
masyarakat
sebenarnya
mengacu
kepada
kata
empowerment, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Jadi pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistim yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai objek, tetapi justru sebagai subjek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum. Pada dasarnya memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinanan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat (Haeruman dan Eryatno, 2001) Suredjo
(2005)
mengatakan
bahwa
pemberdayaan
masyarakat
merupakan suatu proses dimana masyarakat khususnya mereka yang kurang memiliki kases ke sumberdaya pembangunan, didorong untuk meningaktkan kemandirian dalam mengembangakan perikehidupan mereka. Pada prinsipnya masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka, lalu mengajukan
36
kegiatan-kegiatan yang dirancang utnuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini kemudian menjadi basis program lokal, regional bahkan nasional. Target utama pendekatan ini adalah kelompok yang temarjinalkan dalam masyarakat, termasuk wanita. Namun demikian, hal ini tidak menafikan partisipasi dimana anggota masyarakat bekerjasama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. Jadi, pemberdayaan masyarakat lebih merupakan suatu proses ketimbang sebuah pendekatan cetak biru. Selanjutnya dikatakan bahwa mengembangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan sumberdaya pembangunan yang makin langka. Pendekatan ini akan meningaktkan relevansi program pembangunan (pemerintah) terhadap masyarakat lokal dan meningkatkan kesinambungannya, dengan mendorong rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat. Selain itu, pendekatan ini juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kinerja staf pemerintah dan kepuasan pelanggan atas pelayanan pemerintah. Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya selalu dihubungkan dengan karakteristik sasaran sebagai suatu komunitas yang mempunyai ciri, latar belakang dan budaya tertentu. Sebagai contoh upaya pemberdayaan pada masyarakat petani tidak sama dengan pemberdayaan pada masyarakat nelayan, walaupun tujuan pemberdayaan adalah sama. Hal ini dimungkinkan karena adanya berbagai faktor yang melatarbelakangi termasuk sosial budaya setempat. Selama ini para perencana pembangunan senangtiasa bias dalam memandang komunitas masyarakat. Komunitas nelayan seringkali diperlakukan sama dengan petani atau kelompok masayarakat lain. Walaupun pada hakekatnya perikanan dapat dilihat sebagai bagian dari pertanian, tetapi jika dilihat dari sistem mata pencaharian menunjukan perbedaan yang berarti. Sebagai gambaran pemilikan alat produksi pada perikanan seperti modal dan peralatan penangkapan ikan, cenderung dikuasai oleh tengkulak, sementara dibidang pertanian, lahan pertanian dan modal dikuasai oleh tuan tanah (Sumaryadi, 2005). Satria (2002) mengatakan bahwa topik pemberdayaan nelayan penting dikaji untuk mengatasi problem besar nelayan, kemiskinan, ketertinggalan, ketertindasan, dan keterasingan. Hal tersebut merupakan ironi karena terjadi justru ditengah masyarakat yang bekerja mencari sumberdaya yang melimpah. Untuk itu memang tidak ada jalan lain kecuali mengeluarkan nelayan dari perangkap keterbelakangan seperti itu. Kemudian, pertanyaannya adalah
37
bagaimana melakukan pemberdayaan yang efektif sehingga nelayan dapat mengalami mobilitas vertikal sekaligus keluar dari jebakan-jebakan yang memarjinalkan posisinya. Formulasi konsep pemberdayaan tersebut sulit dilakukan tanpa pemahaman tentang pergesaran paradigma pembangunan yang melatarbelakangi munculnya gagasan pemberdayaan serta pemahaman tentang karakteristik sosial nelayan suatu kelompok manusia yang akan diberdayakan. Pemberdayaan masyarakat nelayan, paling tidak memiliki dua dimensi pokok yaitu: (1) dimensi kultural mencakup upaya-upaya perubahan perilaku ekonomi, orientasi pendidikan, sikap terhadap perkembangan teknologi dan kebiasaankebiasaan. Pemberdayaan kultural ini diperlukan untuk mengatasi kemiskinan kultural, seperti pola hidup konsumtif, rendahnya kemampuan menabung, sikap subsisten, atau resisten terhadap pendidikan formal. (2) dimensi struktural mencakup upaya perbaikan struktur sosial sehingga memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Perbaikan struktural tersebut berupa penguatan solidaritas nelayan untuk selanjutnya dapat berhimpun dalam suatu kelompok dan organisasi yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka. Disini tidak ada pretensi untuk selalu membentuk koperasi nelayan karena betapapun bentuk organisasi yang ada, jaminan kepentingan sosial ekonomi nelayan adalah hal yang paling penting. Kehadiran organisasi tersebut yang dijalankan sesuai tingkat budaya organisasi nelayan setempat diharapkan juga menjadi institusi alternatif, selain institusi patron-klien seperti selama ini telah mengakar. Dalam pemberdayaan masyarakat nelayan secara struktural maupun kultural perlu dipahami adanya keunikan karaktersitik sosial yang tentunya memuat adanya pendekatan pemberdayaan yang unik pula. Namun pendekatan yang unik pun tidak dapat digeneralisasi untuk seluruh konteks kehidupan nelayan. Banyak variabel yang memberi pengaruh pada keunikan itu secara sosiologis (struktur, kultur, dan formasi sosial) maupun ekologis di antara keduanya.
Meski
demikian,
ada
benang
merah
prinsip-prinsip
penting
pemberdayaan yang digunakan untuk seluruh konteks komunitas nelayan (Satria, 2002). 2.6 Keadaan Umum Daerah Penelitian 2.6.1 Letak dan Luas Wilayah Letak Kota Ambon berada
sebahagian besar dalam wilayah Pulau
Ambon, dan secara astronomis terletak antara 30 – 40 Lintang Selatan dan 1280 – 1290 Bujur Timur, dimana secara keseluruhan Kota Ambon berbatasan dengan
38
Kabupaten Maluku Tengah. Secara geografis mempunyai batas-batas alam sebagai berikut : •
Sebelah Utara : petuanan Desa Hitu, Hila dan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
•
Sebelah Selatan : Laut Banda
•
Sebelah Timur : petuanan Desa Suli, Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah
•
Sebelah Barat : petuanan Desa Hatu, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah
Kaitetu Kecamatan
Sesuai Peraturan Pemerintah No 13 Tahun 1979 luas wilayah Kota Ambon seluruhnya tercatat 377 km2. Perda Kota Ambon Nomor 2 Tahun 2006 telah menetapkan pembentukan dua kecamatan baru, sehingga Kota Ambon memiliki lima kecamatan dengan luas wilayah disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Luas wilayah Kota Ambon dirinci per kecamatan. No 1 2 3 4 5
Kecamatan Nusaniwe Sirimau Teluk Ambon Teluk Ambon Baguala Leitimur Selatan
Luas (ha) 8.834,30 8.681,32 9.368,00 4.011,00 5.050,00
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Ambon (2008)
2.6.2 Topografi Wilayah Wilayah Kota Ambon sebagian besar terdiri dari daerah berbukit yang berlereng terjal seluas ± 186,90 km atau 73 % dan daerah dataran dengan kemiringan sekitar 10 % seluas ± 55 km atau 17 % dari luas seluruh wilayah daratan. Wilayah daratan tersebar pada 3 (tiga) kecamatan dan dapat dikelompokkan dalam 7 lokasi sebagai berikut : •
Pusat kota dan sekitarnya (sebahagian petuanan Amahusu sampai Lata). memiliki ketinggian 0-50 m kemiringan 3,36 m.
•
Rumahtiga dan sekitarnya memiliki ketinggian 0-50 m, kemiringan 3,18 m.
•
Passo dan sekitarnya memiliki ketinggian 0-50 m, kemiringan 3,00m.
•
Laha dan sekitarnya memiliki ketinggian 0-50 m, kemiringan 3,93m.
•
Hutumury dan sekitarnya memiliki ketinggian 0-50 m, kemiringan 6,16m
•
Kilang dan sekitarnya memiliki ketinggian 0-50 m, kemiringan 5,66 m
•
Latuhat dan sekitarnya memiliki ketinggian 0-50 m, kemiringan 5,40 m
39
2.6.3 Iklim Wilayah Iklim di Kota Ambon adalah iklim laut tropis dan iklim musim, karena letak Pulau Ambon dikelilingi oleh laut. Oleh karena itu iklim di Kota Ambon sangat dipengaruhi oleh lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim, yaitu musim Barat dan Utara dan musim Timur dan Tenggara. Pergantian musim selalu diselilingi oleh musim pancaroba yang merupakan transisi dari kedua musim tersebut. Musim Barat umumnya berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sedangkan pada bulan April merupakan musim transisi ke musim Timur. Musim Timur berlangsung dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober disusul oleh musim pancaroba pada bulan November yang merupakan transisi ke musim Barat. 2.6.4 Administrasi Pemerintahan Wilayah Kota Ambon secara administrasi terbagi dalam 5 (lima) kecamatan dan tersebar menjadi 50 desa/keluran. Rincian selengkapnya disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Nama kecamatan, ibukota kelurahan di Kota Ambon
kecamatan
dan
banyaknya
desa,
Banyaknya No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kecamatan
Ibukota
Nusaniwe Amahusu Sirimau Karang Panjang Teluk Ambon Wayame T.A. Baguala Passo Leitimur Selatan Leihari Kota Ambon
Desa
Kelurahan
Jumlah
5 4 7 6 8 30
8 10 1 1 20
13 14 8 7 8 50
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Ambon (2008)
2.6.5 Kependudukan dan Ketenagakerjaan Penduduk merupakan faktor dominan dalam perencanaan pembangunan. Berdasarkan angka regristrasi penduduk, jumlah penduduk Kota Ambon pada Tahun 2008 berjumlah 271.972 jiwa, meningkat sebesar 3,35 persen dari tahun sebelumnya. Setelah pemekaran menjadi lima kecamatan, pola penyebaran penduduk Kota Ambon sedikit berubah, dimana konsentrasi penduduk tertinggi di Kecamatan Sirimau, yang diikuti Kecamatan Teluk Ambon Baguala, dengan masing-masing sebesar 1.210 jiwa per km dan 1.175 jiwa per km. Leitimur Selatan adalah kecamatan dengan kepadatan terendah, sebesar 179 penduduk
40
per km. Sementara secara keseluruhan tercatat kepadatan penduduk di Kota Ambon meningkat menjadi sebesar 757 penduduk per km dari sebelumnya sebesar 732 jiwa per km. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Jumlah penduduk dan rumah tangga, kepadatan penduduk dan ratarata jiwa per rumah tangga di Kota Ambon dirinci per kecamatan
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk
1 2 3 4 5.
Nusaniwe Sirimau Teluk Ambon T.A. Baguala Leitimur Selatan
82.760 105.010 27.990 47.149 9.063
Jumlah RT 16.793 20.758 5.983 9.590 1.853
Rata-Rata Jiwa dalam RT 4,93 5,06 4,68 4,92 4,89
Kpdtn (pend/ km2) 936,83 1.209,65 298,78 1.175,49 179,46
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Ambon (2008)
Berdasarkan data ketenagakerjaan hasil survei angkatan kerja nasional Tahun 2008, tercatat jumlah penduduk Kota Ambon usia kerja (15 tahun ke atas) sebanyak 171.203 jiwa, dimana 96.846 jiwa termasuk angkatan kerja, dengan 81,62 % diantaranya adalah penduduk bekerja. Sebanyak 64,08 % bursa tenaga kerja yang ada diisi tenaga kerja laki-laki. Lebih jelas mengenai komposisi berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) menurut kegiatan utama dan jenis kelamin di Kota Ambon No 1
2
Kegiatan Utama Angkatan Kerja - Bekerja - Penganguran terbuka Bukan Angkatan Kerja - Sekolah - Mengurus Rumah Tangga - Lainnya Jumlah 2007 2006
L
%
P
%
Jumlah
59.871 50.648 9.223
61,82 64,08 51,80
36.975 28.393 8.582
38,18 35,92 48,20
96.846 70.041 17.805
25.984 16.991 5.093
39,94 53,92 14,01
48.373 14.523 31.250
65,06 46,08
74.357 31.514 36.343
3.900
60,00
2.600
85,99
6.500
85.855 81.858
50,15 48,64
85.343 86.451
40,00 51,36
171.203 168.309
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Ambon (2008)
2.6.6 Keadaan Umum Perikanan Kota Ambon Rumah tangga perikanan yang tercatat pada dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon pada Tahun 2008 tidak mengalami perubahan yatiu tetap sebanyak 3.378 rumah tangga, namun jumlah perahu tanpa motor yang dimiliki
41
bertambah sebesar 62,87 % dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi sebanyak 1.829 buah dari sebelumnya 1.123 buah. Pada Tahun 2008, jumlah perahu/kapal penangkapan ikan di pusat pendaratan Kota Ambon tercatat 1834 buah, dibandingkan dengan Tahun 2007, terdapat peningkatan yang cukup berarti, yaitu sebesar 11,35 %. Produksi perikanan Tahun 2008 sebanyak 19.919,51 ton, dengan nilai produksi sebesar Rp 63.965.805.000. Produksi tersebut mengalami peningkatan drastis dari Tahun 2007, yaitu sebesar 83,21 %. Namun jika dilihat dari nilai produksinya, terlihat peningkatan yang dihasilkan sebesar 39,26 %. Berbeda dari tahun sebelumnya, pada Tahun 2008,
produksi perikanan terbesar dihasilkan dari Kecamatan
Nusaniwe yaitu sebesar 42,86 % dari total produksi Kota Ambon. Sementara produksi yang terendah dihasilkan dari Kecamatan Teluk Ambon sebesar 8,23 % dari total produksi. (1) Potensi Sumberdaya Ikan Pelagis di Kota Ambon Perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) memiliki luas kurang lebih 11,03 km2, sedangkan perairan yang merupakan habitat sumberdaya ikan pelagis adalah seluas kurang lebih 9,387 km2. Jenis-jenis ikan pelagis yang umumnya dijumpai di perairan ini adalah ikan-ikan yang tergolong dalam kelompok jenis sumberdaya ikan pelagis kecil seperti ikan puri putih (Stolephorus indicus), puri merah (Stolephorus heterolobus), make (Sardinella spp.), lompa (Thrisina baelama), buarao (Selaroides sp.) dan lema/tatari (Rastrelliger kanagurta), sementara jenis-jenis ikan pelagis besar seperti cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tatihu (Thunnus albacares) tidak dijumpai di perairan ini. Perairan Teluk Ambon Luar (TAL) yang termasuk dalam wilayah Kota Ambon adalah seluas 98,78 km2. Terdapat lima jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan armada penangkapan (pukat cincin dan jaring insang hanyut) di perairan
ini,
yakni
ikan
momar
(Decapterus
spp.),
kawalinya
(Selar
crumenopthalmus) ikan komu (Auxis thazard, Euthynnus affinis), dan lema (Rastrelliger spp.), sedangkan jenis-jenis ikan yang hadir tetapi dengan frekuensi dan kelimpahan yang rendah adalah ikan make (Sardinella spp.), ikan puri (Stolephorus spp.) dan paperek (Leiognatus spp.). Ikan momar dan kawalinya hadir sepanjang tahun, ikan komu umumnya hadir pada pertengahan musim Timur (Juni dan Juli) tapi kadang-kadang sangat melimpah pada awal hingga pertengahan musim Barat (November – Januari). Ikan lema lebih banyak berada pada perairan dekat pantai dan ditemukan sepanjang tahun, sedangkan ikan
42
make, ikan puri dan ikan paperek umumnya hadir pada musim Timur. Sama seperti di Teluk Ambon Bagian Dalam, di Teluk Ambon Luar juga jarang ditemukan ikan pelagis besar seperti cakalang dan tatihu. Sumberdaya
ikan pelagis yang terdapat di wilayah perairan Teluk
Baguala hanyalah jenis-jenis dari kelompok sumberdaya pelagis kecil. Jenis ikan pelagis tersebut adalah ikan kawalinya (Selar crumenopthalmus), momar (Decapterus macrosoma, D. russelli.), make (Sardinella fimbriata, S. melanura.), komu (Auxis thazard), lema (Rastrelliger spp.), teri/puri (Stolephorus spp, Encrasicholina spp). Wilayah perairan Selatan Kota Ambon adalah perairan dengan sifat oseanis seluas 241,1 km2. Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang dominan yang ditemukan di wilayah perairan ini adalah, ikan momar/layang (Decapterus spp.), kemudian diikuti oleh ikan kawalinya/selar (Selar crumenopthalmus) dan komu/tongkol (Auxis thazard), ikan terbang (Cypsilurus spp.) dan ikan tola (Elagatis spp.), selain itu jenis pelagis kecil bukan-ikan (non-ikan) yang dijumpai adalah cumi-cumi (Loligo spp.). Sumberdaya ikan pelagis besar yang umumnya terdapat di perairan Selatan Ambon adalah cakalang dan tatihu atau tuna. Untuk mengetahui biomassa stok sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan ini dalam skala waktu yang lebih luas, maka dilakukan kajian dengan pendekatan model Cadima, dengan asumsi dasar bahwa antara hasil tangkapan rata-rata per upaya penangkapan (CPUE) dengan biomassa stok memiliki hubungan linier, dan kematian alami sebesar 50 % pada populasi sumberdaya yang diestimasi. Hasil pendekatan dengan model tersebut diperoleh nilai kelimpahan sebesar 701,57 ton/tahun dengan nilai MSY sebesar 350,79 ton/tahun. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Teluk Ambon pada umumnya menggunakan alat pukat cincin mini (yang dominan), bagan, redi, dan jaring insang dasar, dengan tingkat pemanfaatan sebesar 181,68 ton/tahun. Hal ini menggambarkan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan ini baru mencapai 51,79 % dari nilai MSY. Dari nilai ini maka peluang peningkatan pemanfaatannya adalah sebesar 169,11 ton per tahun. Hasil survei dengan metode hidroakustik pada Musim Barat diperoleh nilai kepadatan rata-rata sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan ini adalah sebesar 4,790 ton/km2 atau kelimpahannya sebesar kurang lebih 392 ton/bulan dengan nilai MSY sekitar 196 ton/bulan.
43
Pengusahaan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Teluk Ambon Luar umumnya menggunakan alat-alat tangkap pukat cincin, jaring insang hanyut, pancing berangkai pancing tonda dan bagan, dengan produksi mencapai sekitar 158 ton/bulan. Hal ini berarti tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Ambon Luar yang termasuk dalam wilayah perairan Kota Ambon sudah mencapai 80,61%/bulan. Volume produksi didominasi oleh unitunit pukat cincin (88,03 %, ≈ prosuksi12 unit pukat cincin) dari total produksi unitunit penangkapan yang beroperasi di perairan ini. Unit-unit penangkapan pukat cincin dalam operasionalnya umumnya menggunakan rumpon sebagai alat bantu penangkapan dengan nilai catch per unit effort (CPUE) sebesar 450 kg. Dari nilai tingkat pemanfaatan di atas, maka pengusahaan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Ambon Luar masih dapat dikembangkan. Untuk mencapai
nilai
MSY
tersebut,
maka
dapat
ditambah
jumlah
unit-unit
penangkapan yang total produksinya kurang lebih sebesar 38 ton/bulan. Kepadatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan ini adalah sebesar 0,434 ton/km2 dengan nilai kelimpahannya sebesar 24,196 ton/bulan atau nilai MSY sebesar 12,10 ton/bulan. Pengusahaan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Teluk Baguala umumnya menggunakan bagan (yang dominan), jaring insang hanyut, jaring insang lingkar (khusus untuk menangkap ikan lema), pancing tangan, pancing tonda dan tangguk, sebesar 5,32 ton/bulan. Hal ini berarti tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil telah mencapai 49,97 % dari nilai MSY. Dengan demikian, peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya pelagis kecil di perairan Teluk Baguala hanyalah sekitar 6,78 ton/bulan. Kepadatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Selatan Kota Ambon adalah sebesar lebih 996,03
4,1312 ton/km2 atau kelimpahannya sebesar kurang
ton/bulan dengan nilai MSY sebesar 498,02 ton/bulan dan
sumberdaya ikan pelagis besar di perairan ini adalah sebesar 2,574 ton/km2 atau kelimpahan sekitar 620,59 ton/bulan dengan nilai MSY sebesar
310,30
ton/bulan. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Selatan Kota Ambon umumnya dengan menggunakan alat tangkap pukat cincin (yang dominan), jaring insang hanyut dan pancing berangkai adalah sebesar 53,459 ton/bulan atau 10,73 % dari nilai MSY. Intensitas penangkapan ikan pelagis kecil yang tinggi di perairan ini terjadi pada Musim Barat (Oktober–Maret) sedangkan yang rendah terjadi pada Musim Timur (April–September), karena kondisi laut
44
yang tidak memungkinkan untuk operasi penangkapan. Produksi sumberdaya pelagis kecil masih memiliki peluang pengembangan sekitar 444,561 ton/bulan lagi untuk mencapai nilai MSY di perairan ini. Pengusahaan sumberdaya ikan pelagis besar diperairan ini umumnya menggunakan huhate (pole and line) dan pancing tonda dengan produksi mencapai 127,113 ton/bulan atau 40, 96 % dari titik MSY. CPUE dari unit-unit huhate adalah sebesar 1.634 kg untuk cakalang dan 814 kg untuk tuna, sedangkan CPUE dari unit-unit pancing tonda sebesar 48,5 kg untuk ikan tuna dan 17, 13 kg untuk ikan cakalang. Produksi sumberdaya ikan pelagis besar di perairan Selatan Kota Ambon memiliki peluang peningkatan sekitar 161,702 ton/bulan lagi untuk mencapai nilai MSY sumberdaya ikan tersebut di perairan ini. Pengusahaan sumberdaya ikan pelagis besar di perairan ini dapat dilakukan sepanjang tahun.
(2) Potensi Sumberdaya Ikan Demersal di Kota Ambon Luas perairan yang merupakan habitat sumberdaya ikan demersal di perairan Teluk Ambon Dalam adalah kurang lebih 5,965 km2. Spesies-spesies ikan demersal yang terdapat di perairan ini adalah ikan gurara (Lutjanus spp.), ikan bijinangka (Parupeneus spp.), ikan kapas-kapas (Gerres spp.), kerapu (Epinephelus spp.), gaca (Lethrinus spp.) dan lain-lain. Luas perairan yang merupakan habitat sumberdaya ikan demersal di perairan Teluk Ambon Luar adalah kurang lebih 72, 69 km2. Spesies-spesies ikan demersal yang terdapat di perairan ini adalah ikan ikan bae (Etelis spp.) ikan silapa (Pristipomoides spp.) gurara (Lutjanus spp.), kerapu (Epinephelus spp. dan Cephalopholis spp.), bijinangka (Parupeneus spp.), gaca (Lethrinus spp.) dan lain-lain. Luas perairan yang merupakan habitat sumberdaya ikan demersal di perairan Teluk Baguala adalah kurang lebih 20, 731 km2. Spesies-spesies ikan demersal bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan ini adalah ikan silapa (Pristipomoides spp.), kakap merah (Lutjanus malabaricus) gurara (Lutjanus spp.), kerapu (Epinephelus spp., Cephalopholis spp. dan Variola sp.), bijinangka (Parupeneus spp.), gaca (Lutjanus sp.) dan lain-lain. Luas perairan yang merupakan habitat sumberdaya ikan demersal di perairan Selatan Kota Ambon adalah kurang lebih 167,413 km2.
Spesies-
spesies ikan demersal terdiri dari ikan bae (Etelis spp.) ikan silapa (Pristipomoides spp.) gurara (Lutjanus spp.), kerapu (Epinephelus spp. dan
45
Cephalopholis spp.), bijinangka (Parupeneus spp), gaca (Lethrinus spp.) dan lainnya. Estimasi kelimpahan sumberdaya ikan demersal di perairan Teluk Ambon Dalam hingga saat ini belum dilakukan. Pengusahaan sumberdaya ikan demersal di perairan ini umumnya dilakukan nelayan dengan menggunakan alat tangkap jaring insang dasar, bubu dan pancing, dengan tingkat pemanfaatan rata-rata sebesar 9,82 ton per bulan. Nilai kelimpahan kelompok jenis sumberdaya ikan demersal di perairan TAL diduga sebesar kurang lebih 47,446 ton per bulan
dengan nilai MSY
sebesar 23,723 ton per bulan. Pengusahaan sumberdaya ikan demersal di perairan Teluk Ambon Luar umumnya dilakukan nelayan menggunakan alat tangkap pancing tegak dan jaring insang dasar, dengan tingkat pemanfaatan sebesar 11,490 ton per bulan atau 48,43 % dari nilai MSY-nya. Dengan demikian, peluang pemanfaatan kedepan untuk mencapai nilai MSY adalah sebesar 12, 233 ton per bulan. Hasil estimasi diperoleh nilai kepadatan kelompok sumberdaya ikan demersal di perairan Teluk Baguala sebesar 0,614 ton/km2, atau nilai kelimpahan sebesar
12,734 ton per bulan dengan nilai MSY 6,367 ton per bulan.
Pengusahaan sumberdaya ikan demersal di perairan ini umumnya dilakukan nelayan menggunakan alat tangkap pancing tegak, dengan tingkat pemanfaatan sebesar 4,5 ton per bulan atau 70,67 % dari nilai MSY-nya. Dengan demikian untuk mencapai nilai MSY tersebut masih memerlukan peningkatan produksi sebesar kurang lebih 1,867 ton per bulan lagi. Nilai kepadatan sumberdaya ikan demersal di perairan Selatan Kota Ambon sebesar 1,076 ton/km2 atau kelimpahannya sebesar kurang lebih 180,071 ton per bulan dengan nilai MSY sebesar 90,036 ton per bulan. Pengusahaan sumberdaya ikan demersal di perairan Selatan Kota Ambon umumnya
dilakukan
nelayan
menggunakan
alat
tangkap
jaring
insang
dasar/lingkar dan pancing tangan, dengan tingkat pemanfaatan tergolong masih rendah yakni kurang lebih 10,059 ton per bulan atau 11,17 % dari nilai MSY.
3 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Pemikiran Ketersediaan potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki oleh perairan sekitar
Pulau
Ambon,
belum
didukung
sepenuhnya
oleh
kemampuan
sumberdaya manusia yang cukup dan dapat mengelolanya dengan baik. Penguasaan teknologi dan manajemen di bidang perikanan dan kelautan yang dimiliki oleh masyarakat pesisir di Kota Ambon masih belum cukup untuk dapat memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan yang tersedia. Di lain sisi ketersediaan modal untuk menggairahkan kegiatan ekonomi dibidang perikanan dan kelautan juga belum sepenuhnya dapat terpenuhi. Penguasaan pengetahuan dan ketrampilan usaha masyarakat yang mendiami pesisir Kota Ambon masih bersifat tradisional dan hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga masih diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas usaha yang dimiliki oleh masyarakat. Berbagai upaya yang telah ditempuh
untuk mengatasi kendala ini, antara lain dengan
penyediaan fasilitas kredit oleh pemerintah daerah melalui lembaga perbankan. Namun akses nelayan kecil untuk memperoleh bantuan modal sangat terbatas, diikuti pula oleh berbagai persyaratan yang sulit dipenuhi oleh nelayan seperti tingkat suku bunga yang tinggi. Kehadiran program PEMP melalui kemitraan yang dibangun oleh dinas kelautan dan perikanan adalah merupakan upaya yang dilakukan untuk memberdayakan nelayan di kota ini. Berkaitan dengan kehadiran program PEMP melalui kemitraan usaha yang dibangun, adalah merupakan hal yang mesti menjadi pemahaman awal dari setiap komponen yang terlibat adalah konsep kemitraan. Hal ini menjadi urgen untuk dipahami oleh setiap stakeholders yang terlibat dalam program ini, agar dalam implementasinya dapat dilaksanakan secara tepat. Konsep kemitraan yang dirumuskan berdasarkan pada aturan main dan organisasi pelaksananya. Aturan main merupakan landasaan hukum yang mengarahkan berbagai stakeholders yang terlibat di dalamnya, sementara organisasi pelaksana berperan dalam mengatur job description dari setiap orang, agar mereka memahami tugas dan tanggungjawabnya. Aturan main dan organisasi pelaksana dari konsep kemitraan yang dibangun, tentunya akan menciptakan prosedur dan mekanisme pelaksanaan kemitraan yang baik. Implementasi dari program kemitraan tersebut tidak akan
47
berlangsung secara baik jika proses sosialisasi tidak berlangsung secara teratur, proses pembinaan yang kontinu dan proses monitoring dan evaluasi yang dilakukan pada berbagai tahapan, sehingga dapat mengetahui kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam program tersebut, agar dapat diambil langkahlangkah strategis untuk perbaikannya pada setiap tahapan pelaksanaannya. Prosedur dan mekanisme pelaksanaan kemitraan yang terjadi akan melahirkan bentuk atau pola dan strategi kemitraan yang dikembangkan, yang selanjutnya akan membentuk karakteristik dari kemitraan tersebut. Dengan adanya prosedur dan mekanisme pelaksanaan kemitraan yang baik, akan memberikan dampak positif terhadap kinerja kemitraan. Komponen yang menjadi penentu terhadap kinerja kemitraan tercermin dari pendapatan kelompok masyarakat pemanfaat dalam hal ini nelayan peserta kemitraan yang akan meningkat, biaya-biaya transaksi yang terjadi dalam program kemitraan tersebut dan kriteria keberhasilannya serta partisipasi dan persepsi nelayan terhadap kemitraan tersebut. Persepsi dan partisipasi dari nelayan peserta kemitraan dapat bersifat positif maupun negatif dan berubah-ubah sesuai kondisi atau perkembangannya. Perbedaan persepsi dan partisipasi nelayan peserta terhadap paket bantuan yang diberikan (penyaluran saran produksi, pelatihan dan pembimbingan) ternyata akan berdampak pada keberhasilan nelayan peserta dalam mengembangkan usaha penangkapannya, sekaligus berdampak pada pengembalian kredit. Tingkat keberhasilan nelayan peserta di dalam mengembangkan pendapatannya.
usaha
penangkapannya,
Variabel-variabel
kemitraaan
tercermin usaha
pada
yang
tingkat
diperkirakan
mempengaruhi pendapatan nelayan adalah 1) biaya operasional. Bila biaya operasional tersedia secara memadai maka trip penangkapan biasanya lebih lama dan lebih jauh jangkauan penangkapannya. 2) jumlah produksi merupakan salah satu komponen utama yang menentukan jumlah perolehan pendapatan nelayan. 3) harga jual, memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam meningkatkan pendapatan nelayan. Semakin tinggi harga jual maka pendapatan nelayan akan semakin tinggi pula. 4) kegiatan pembinaan, adalah merupakan salah satu komponen dalam kemitraan yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan nelayan dalam melakukan penangkapan dan manajemen usahanya. 5) pengalaman menjadi nelayan, semakin banyak pengalaman yang didapat, akan sangat berpengaruh terhadap kemungkinan memperoleh jumlah tangkapan yang besar. 6) umur
juga sangat berpengaruh terhadap kinerja nelayan,
48
sehingga pada gilirannya berdampak terhadap hasil tangkapan yang diperoleh. 7) status nelayan yang terlibat akan berimplikasi terhadap perbedaan proporsi yang diperoleh dalam sistem bagi hasil, sehingga secara langsung berpengaruh terhadap tingkat perolehan pendapatan nelayan. Seluruh komponen untuk meningkatkan kinerja kemitraan, mesti ditunjang dengan kondisi kelembagaan kemitraan yang mampu memberikan suasana yang saling
menguntungkan.
kelembagaan
kemitraan
Dengan harus
demikian diarahkan
pengembangan untuk
merancang
kapasitas program
pengembangan kelembagaan kemitraan yang mampu memberikan manfaat bagi peningkatan produktivitas kelembagaan, kualitas dampak positif kelembagaan terhadapa lingkungan semakin baik, kenyamanan tempat bekerja meningkat dan keberlangsungan kelembagaan lebih terjamin. Dengan adanya kemitraan tersebut sangat diharapkan secara ekonomi akan berdampak pada peningkatan pendapatan nelayan sehingga pada gilirannya kehidupan ekonomi dan kesejahteraan nelayan lebih baik dari keadaan sebelumnya. Disamping itu tentunya program kemitraan akan mempunyai dampak sosial terhadap masyarakat sekitarnya terutama terhadap perubahan pola penangkapan. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 4.
3.2 Hipotesis Berdasarkan tujuan penelitian, permasalahan dan kerangka pemikiran yang dikemukan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
“semakin
baik struktur organisasi, pola koordinasi kelembagaan dan dibarengi oleh pembagian tugas yang jelas dalam kemitraan akan semakin baik kinerja kemitraan”. Secara spesifik hipotesis yang diajukan adalah : (i) kemitraan melalui program PEMP akan berdampak pada peningkatan pendapatan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP). (ii) diduga tingginya biaya transaksi yang dikeluarkan dalam kemitraan melalui program PEMP akan memperburuk kinerja kemitraan. (iii) realisasi indikator keberhasilan kemitraan melalui program PEMP akan semakin baik. (iv) respon KMP terhadap kemitraan program PEMP adalah positif. (v) faktor-faktor kemitraan usaha yang diduga berpengaruh terhadap tingkat pendapatan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) peserta kemitraan adalah biaya operasional, jumlah produksi, harga jual, pengalaman menjadi nelayan dan status nelayan dalam kegiatan penangkapan.
49
PEMBERDAYAAN NELAYAN MELALUI KEMITRAAN USAHA
Nelayan di Kota Ambon
Pemerintah (DKP)
KONSEP KEMITRAAN Organisasi Pelaksana
Aturan Main
PROSEDUR DAN MEKANISME PELAKSANAAN KEMITRAAN
Sosialisasi program
Operasional kegiatan
Kegiatan pembinaan
Monitoring dan evaluasi
Bentuk dan strategi
KINERJA KELEMBAGAAN Karakteristik kemitraan
Indikator keberhasilan kemitraan
Biaya-biaya transaksi
Masalahmasalah dalam kemitraan
Pendapatan nelayan
Rumusan kerangka alternatif kelembagaan kemitraan
Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian
Partisipasi dan persepsi peserta terhadap kemitraan
4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung selama 8 bulan mulai bulan Juni 2008 sampai Januari 2009. Lokasi
penelitian bertempat di Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB dan di wilayah Kota Ambon. Peta Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Peta lokasi penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diambil di lapangan berdasarkan wawancara atau observasi bagi peserta kemitraan serta stakeholders lainnya yang sesuai dengan sasaran penelitian ini. Data primer yang dikumpulkan meliputi informasi yang berkaitan dengan latar belakang penyelengaraan kemitraan, mekanisme pelaksanaan kemitraan, respon pihak-pihak terkait terhadap kemitraan dan dampak kemitraan terhadap pendapatan nelayan peserta kemitraan. Sumber
51
data primer tersebut adalah kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) peserta kemitraan, lembaga ekonomi pengembangan pesisir – mikro mitra mina (LEPPM3), lembaga yang terkait dengan kemitraan, ( dinas kelautan dan perikanan, lembaga keuangan, LSM, Perguruan Tinggi, Perusahaan Terbatas ), konsultan manajemen kota (KMK), tenaga pendamping desa (TPD), tokoh masyarakat (kepada desa, tokoh agama). Data sekunder yang dikumpulkan meliputi hasilhasil studi dari pihak lain, laporan tahunan dinas kelautan dan perikanan kota Ambon, laporan evaluasi program PEMP Kota Ambon, pedoman umum PEMP, statistik perikanan dan sosial ekonomi mengenai informasi wilayah dan karakteristik yang berkaitan dengan sektor perikanan. Sumber data sekunder tersebut dari berbagai instansi yaitu, dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon, BPS Kota Ambon, kantor kecamatan, kantor kepala desa dan lembaga/instansi terkait dengan penelitian. 4.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, yakni metode pengambilan responden secara sengaja.
Pemilihan
Kota Ambon didasari oleh pertimbangan bahwa usaha perikanan tangkap di Kota Ambon masih sangat sederhana (menggunakan teknologi yang dibuat oleh masyarakat sendiri), sementara Kota Ambon merupakan salah satu sentra produksi perikanan di Propinsi Maluku, dengan demikian nelayan kecil di kota ini perlu diberdayakan dalam artian nelayan di Kota Ambon mesti diberikan inovasi baru dalam bidang penangkapan (program motorisasi), yang juga ditunjang oleh manajemen usaha yang baik, dan modal usaha
yang pada gilirannya dapat
meningkatkan taraf hidup mereka. Selain itu program PEMP telah dilaksanakan sejak Tahun 2001. Populasi dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat pemanfaat (KMP).
Berdasarkan jumlah kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) yang
terbentuk di Kota Ambon yang bergerak di bidang perikanan tangkap (khusunya purse seine) berjumlah 16 kelompok dengan jumlah populasi sebanyak 362 nelayan. Sehingga responden diambil secara proposional yang berjumlah 102 responden. Sedangkan responden untuk lembaga ekonomi pengembangan pesisir – mikro mitra mina (LEPP-M3) berjumlah 10 responden yang adalah pengurus dari LEPP-M3 tersebut. Responden dari lembaga terkait lainnya berjumlah 10 responden.
52
Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dokumentasi dan triangulasi. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung terhadap obyek penelitian. Sasaran yang ingin dicapai dalam observasi adalah mendapat gambaran secara umum tentang pokok kajian sebelum melakukan penelusuran secara sistimatis terhadap obyek penelitian, yaitu melalui penelusuran secara bertahap kepada beberapa informan tentang berbagai macam pelapisan dan pengelompokkan yang berada dalam objek penelitian. Wawancara, adalah teknik dalam penelitian yang dilakukan melalui wawancara oleh peneliti kepada responden dengan menggunakan kuisioner. Wawancara terdiri atas wawancara terstruktur dengan panduan kuisioner yang sifatnya tertutup dan terbuka. Metode ini digunakan untuk pengumpulan data dari kelompok masyarakat pemanfaat (KMP). Wawancara semi terstruktur dengan mengacu pada beberapa pertanyaan kunci yang telah disiapkan, dengan kelompok sasarannya adalah lembaga ekonomi pengembang pesisir-mikro mitra mina (LEPP-M3) Kota Ambon. Diskusi kelompok terfokus (FGD) melibatkan perwakilan
dari
kelompok
masyarakat
pemanfaat
(KMP),
tokoh-tokoh
masyarakat, konsultan manajemen kota (KMK), tenaga pendamping desa (TPD) dan insatansi terkait. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan pandangan secara kolektif tentang perkembangan lembaga LEPP-M3 dan penentuan prioritas perkembangan lembaga LEPP-M3 secara partisipatif.
Dokumentasi,
adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengambil data berupa tulisan, gambar dan dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini. Triangulasi, adalah teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. 4.4 Analisis Data 4.4.1 Analisis Konsep Kemitraan Analisis ini ditujukan untuk menelaah tentang aturan main dan sistem organisasi dari kelembagaan kemitraan. Metode analisis di lakukan secara deskriftif dengan penekanan pada aspek : Batas yuridiksi, meliputi aturan main tentang kewenangan dari kelompok nelayan dan kelembagaan yang terlibat dalam kemitraan Property right, meliputi aturan main tentang lokasi penangkapan atau fishing ground dari nelayan, transaksi jual beli ikan, bantuan dan pembinaan untuk pengembangan usaha kelompok nelayan. Sanksi bila terjadi pelanggaran terhadap aturan main.
53
Aturan representasi, meliputi struktur dan fungsi organisasi, forum-forum dialog, proses pengambilan keputusan, dan penanganan konflik. 4.4.2 Analisis Pelaksanaan Kemitraan Analisis
pada
aspek
ini
ditujukan
untuk
menelaah
mekanisme
pelaksanaan kemitraan antara lembaga-lembaga terkaitan dengan kemitraan dalam pemberdayaan nelayan
perikanan tangkap di Kota Ambon. Proses
analisis dilaksanakan secara diskriftif terhadap tahapan-tahapan kegiatan yang terdiri atas proses sosialisasi, operasional kegiatan, kegiatan pembinaan dan monitoring dan evaluasi. Setiap tahapan tersebut dianalisis berdasarkan kerangka kesesuaiannya dengan aturan main yang berlaku dan organisasi pelaksananya. 4.4.3 Analisis Bentuk dan Karakteristik Kemitraan Pada tahapan ini proses analisis ditujukan untuk mengetahui bentuk organisasi ekonomi kemitraan dengan mengacu pada spektrum kontinum dari kemungkinan bentuk-bentuk organisasi ekonomi mulai dari sistim pasar hingga organisasi berhirarki secara terintegrasi vertikal. Anwar (1997) menyatakan bahwa perilaku manusia pada dasarnya bersifat rasional, tetapi untuk melakukannya dia menghadapi keterbatasan terutama dalam kemampuannya memproses informasi. Oleh karena itu seringkali individu membuat keputusan tanpa mempertimbangkan semua alternatif yang mungkin terjadi. Dalam kaitan dengan hal tersebut suatu organisasi atau kelembagaan sebenarnya dapat mengimbangi kekurangan manusia seperti dijelaskan di atas. Dalam hal ini kelembagaan berfungsi sebagai suatu unsur pendukung informasi yang merupakan wadah informasi untuk menyediakan pengetahuan dalam melakukan hubungan interpersonal. Hobbs (1997) mengatakan bahwa kunci pemahaman terhadap ekonomi biaya transaksi adalah cateris paribus, koordinasi vertikal antara tiap tahapan produksi, pengolahan dan rantai produksi akan berjalan pada keadaan biaya transaksi yang paling efisien. Selanjutnya dikatakan bahwa koordinasi vertikal dapat dipandang sebagai suatu kontinum yang dapat dikelompokkan dalam lima kategori koordinasi. Spektrum kontinum dari kemungkinan bentuk-bentuk organisasi ekonomi disajikan pada Gambar 6.
Deskripsi dari setiap kategori koordinasi tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut :
54
Pilihan-pilihan strategi kearah koordinasi vertikal Sistem kontrak
Strategi aliansi
Kooperasi formal
Integrasi vertikal
Kepentngan Sendiri
Kepenting-an bersama
Hubungan jangka pendek Ketebatsan & perilaku oportunistik Keterbtsan distribusi informasi Lebih Fleksibel
Hubungan jangka panjang Pembagian keuntungan
Independen
Interpendensi
Pembagian informasi terbuka Lebih stabil
External via harga dan pembakuan kualitas
External via spesifikasi dan ikatan legal
Saling kontrol satu sama lain
Internal via struktur terdesetralisasi
Karakteristik koordinasi yang dikelola
Karakteristik koordinasi dari invisible hand
Spot/Cash Market
Internal via struktur tersentralisasi
Sistem pengendalian Gambar 6. Spektrum kontinum dari kemungkinan bentuk-bentuk organisasi ekonomi mulai dari sistem pasar sampai kepada organisasi berhirarki secara terintegrasi vertikal Sebagai Catatan : Garis diagonal mencerminkan pencampuran (mixed) dari peranan harga sebagai “invisible hand” dalam spot market dan karakteristik organisasi yang dikelola secara koordinasi yang terdapat dalam kelima alternatif strategis ke arah koordinasi integrasi vertikal. Area di atas diagonal menunjukkan tentang taraf relatif dari karakteristik “invisible hand” dan area di bawah diagonal menunjukkan taraf relatif dari karakteristik integrasi vertikal yang dikelola
Spot market. Kategori ini dicirikan olek koordinasi invisible hand melalui peranan harga sebagai pembawa informasi yang mencukupi. Koordinasi harga dalam invisible hand memungkinkan individu mengikuti kepentingannya sendiri-sendiri, bersifat jangka pendek, opportunistik, “buonded rational” dalam membagi informasi, bersifat fleksibel dan mempertahankan peranannya yang independen. Pertukaran terjadi antar dua individu dengan landasan mekanisme pengendalian ekternal melalui harga yang secara umum diterima sebagai signal baku yang menetukan sifat ekonomi pertukaran. Dalam sistem persaingan sempurna tidak ada pihak yang memiliki kekuatan mempengaruhi harga sehingga pertukaran terjadi secara aktif. Sebaliknya dalam sistem persaingan tidak sempurna, seperti pada keadaan monopoli atau monopsoni, salah satu pihak bisa menetukan harga dan menentukan pembagian manfaat pertukaran. Sifat sesungguhnya dari spot market adalah mekanisme pengendalian hampir seluruhnya dilakukan secara eksternal melalui sistem harga.
55
Sistem kontrak. Bentuk kontraktual secara legal dapat dilaksanakan terhadap sistem dengan perincian yang spesifik sebagai persyaratan dari pertukaran. Dengan sistem kontrak tersebut, mekanisme untuk koordinasi bersifatr internal pada hubungan-hubungan pertukaran. Pelaku yang terlibat dalam kontrak menyatakan
persetujuannya
secara
internal
tentang
spesifikasi
yang
berhubungan dengan kontrak yang dibuat mereka. Hubungan pertukaran pada sistem kontrak sebagian masih dikendalikan secara eksternal oleh pihak ketiga yang mewakili sistem legal. Persyaratan-persyaratan yang telah disepakati secara internal akan menjadi standar yang bersifat eksternal dimana pelaku pertukaran harus berhadapan dengan kekuatan enforcement dari luar. Aliansi strategis. Kategori ini merupakan hubungan pertukaran dimana individu atau kelompok yang terlibat menghadapi resiko dan keuntungan yang didasarkan dari suatu pencapaian tujuan bersama. Anwar (1997) mengemukakan bahwa organisasi tersebut bisa dikatakan sebagai suatu aliansi strategis harus menunjukkan tiga karakteristik, yaitu dapat diidentifikasi adanya tujuan bersama, pengendalian bersama dalam proses pengambilan keputusan dan menanggung resiko serta harapan keuntungan bersama. Dengan demikian mekanisme koordinasi dalam aliansi strategis adalah adanya kesepakatan bersama dari berbagai pihak yang terlibat bersama dalam persekutuan tersebut atau dapat dikatakan koordinasi muncul dari terjadinya pengendalian bersama (mutual control). Aliansi strategis dapat dipandang sebagai wilayah netral yang berbeda di antara
pengendalian internal dengan pengendalian eksternal terhadap
koordinasi. Koperasi formal. Kategori ini memasukkan campuran yang berbeda dari bentukbentuk organisasi yang terlibat pada suatu komitmen kebersamaan antara beberapa pelaku dalam sistem hubungan pertukaran. Bentuk koperasi formal dicirikan oleh adanya struktur organisasi formal yang memungkinkan untuk melakukan pengendalian ke dalam (organisasi), sehingga kebijaksanaan dan prosedur dapat secara formal ditempatkan untuk melakukan pertukaran antara pihak-pihak yang melaksanakannya. Kunci dalam koperasi adalah terletak pada pengendalian terdesentralisasi
internal
pada
kepada
organisasi
pihak-pihak
itu
pemilik
dimana dan
mempertahankan identitasnya secara terpisah dimana
pengendaliannya pemilik
koperasi
apabila mereka tidak
menginginkan suatu persyaratan pertukaran, mereka dapat keluar untuk menghindarinya menurut keinginan mereka.
56
Integrasi vertical. Bentuk integrasi vertikal dalam kontinum ini merupakan mekanisme yang menyandarkan diri pada sistem koordinasi yang dilakukan secara terpusat dimana di dalamnya organisasinya mempunyai bentuk hirarki yang mempunyai batas-batas kewenangan tertentu yang mempunyai sistem pengaturan dalam suatu sistem organisasi yang tunggal, tetapi tidak selau berarti kepemilikan tunggal dari organisasi ini. Dengan demikian organisasi integral vertikal harus memenuhi persyaratan adanya pengambilan keputusan yang terpusat. Apabila kontinum di atas dikaitkan dengan pilihan nelayan pada pengembangan usahanya terlihat bahwa kelembagaan informal mengarah pada sistem kontrak, sementara kelembagaan formal lebih mengarah kepada sistem koperasi formal. Dengan pendekatan hubungan principal-agent, diduga bahwa dalam sistem kontrak akan lebih kecil ditemuinya permasalahan agensi dibandingkan dengan kelembagaan formal. Pola koordinasi kelembagaan yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi: 1). Koordinasi kelembagaan pada mitra 2). Koordinasi kelembagaan kelompok nelayan 3). Koordinasi kelembagaan mitra dengan kelembagaan kelompok nelayan dan instansi terkait. Sedangkan karakteristik kemitraan dimaksudkan untuk mengetahui faktor-faktor
utama
yang
mempengaruhi
pelaksanaan
kemitraan.
Untuk
menganalisis bentuk dan karakteristik kemitraan tersebut, digunakan analisis secara kualitatif dan analisis faktor. 4.4.4. Analisis Kinerja Kelembagaan Kemitraan. Kinerja kemitraan yang dianalisis meliputi: pendapatan nelayan, biaya transaksi, indikator keberhasilan, partisipasi dan presepsi partisipan. (1) Pendapatan nelayan. Analisis ini ditujukan untuk mengetahui rata-rata pendapatan nelayan peserta kemitraan dalam satu bulan. Harga yang dipergunakan dalam analsis ini adalah harga berlaku ditingkat nelayan. Pendapatan usaha penangkapan merupakan selisih antara nilai produksi dengan biaya usaha yang dikeluarkan. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
I =R -Vc
57
Pendapatan nelayan pemilik diperoleh dari selisih dari pendapatan usaha dengan nilai bagi hasil usaha (upah tenaga kerja) dan biaya tetap yang dikeluarkan oleh pemilik. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : Ij = I – Bhsl -Fc Keterangan : R
= Penerimaan usaha yaitu produksi dikalikan dengan nilai
I Vc Ij Fc Bhsl
= = = = =
produksi (Rp/trip) Pendapatan usaha penangkapan (Rp/trip) Biaya variabel (Rp/trip) Pendapatan nelayan pemilik (Rp/trip) Biaya tetap Nilai bagi hasil usaha/upah tenaga kerja (Rp/trip)
Analisis pendapatan juga dilanjutkan dengan menelaah faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan peserta kemitraan. Untuk keperluan tersebut, maka variabel bebas yang akan digunakan adalah variabel-variabel dominan dari hasil analisis faktor. Beberapa variabel yang diduga berpengaruh terhadap pendapatan kelompok
masyarakat
pemanfaat
(dependent
variabel)
adalah
:
biaya
operasional, jumlah produksi, harga jual, kegiatan pembinaan, jumlah tempat pemasaran, presentasi pendapatan nelayan dalam sistem bagi hasil, jumlah trip penangkapan, produktivitas nelayan, kapasitas kapal, umur dan pengalaman. Mengenai presentasi pendapatan nelayan akan dijabarkan dalam variabel dummy, guna melihat pengaruh setiap status nelayan. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel terhadap pendapatan nelayan, digunakan analisis regresi berganda, sedangkan untuk mengetahu signifikansi dari masingmasing independent variable digunakan uji t. Model yang digunakan adalah sebagai berikut :
Y= a + b1x1 + b2x2 +b3x3 + b4x4 + b5x5 + b6x6 + b7x7 +b8x8 + b9x9 + b10x10 + b11x11 + b12x12 + ei* Keterangan : Y a bi x1 x2 x3 x4 x5
= = = = = = = =
Pendapatan nelayan dalam satu bulan (Rp) Konstanta Koefisien parameter Biaya operasional (rp) Jumlah produksi rata-rata dalam satu bulan (kg) Harga jual dalam satu bulan (rp) Kegiatan pembinaan (frekwensi) Jumlah tampat pemasaran (unit)
58
x6
=
x7 x8 x9 x10
= = = = = = = =
x11 x12 ei *)
Bagian pendapatan nelayan dalam sistem bagi hasil (%). Variabel dummy : (pimpinan operasi = 1, lainnya = 0) dan ABK khusus = 1, lainnya = 0) Jumlah trip penangkapan (trip/bulan) Produktivitas nelayan (kg/trip/bulan) Kapasitas kapal (gros/ton) Umur nelayan (tahun) Pengalaman nelayan dalam usaha penangkapan (tahun) Tanggungan keluarga Epsilon error, menggambarkan variabel-variabel yang belum terdeteksi Variabel-variabel bebas dalam model akan dihilangkan bila hasil analisis faktor tidak termasuk dalam kategori sebagai variable dominan
Untuk menguji variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan rumusan hipotesis Ho : bi = 0 (tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat). H1 : bi > 0 (ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat). Uji t yang digunakan adalah : Ti = bi/SEi dimana : SEi = standar error untuk masing-masing variabel. Dengan signifikansi (α =5 %), Ho ditolak jika ti-hitung > ti-tabel atau tihitung < - ti-tabel, yang berarti variabel bebas berpengaruh secara signifikan terhadap variabel terikat. Pengaruh tersebut bisa positif atau negatif, sesui tanda dari setiap koofisien regresinya. Sebaliknya, Ho diterima jika –t-tabel < ti < ttabel, yang berarti tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. (2) Biaya Transaksi Menurut Anwar (1995), suatu aktivitas ekonomi secara teknis efisien, apabila sejumlah input tertentu menghasilkan maksimum output. Sedangkan dalam suatu proses produksi dikatakan efisien apabila dengan biaya tertentu dicapai keuntungan yang maksimal. Sumber inefisiensi disebabkan karena adanya biaya produksi dan biaya transaksi yang tinggi, yang menyebabkan biaya untuk mencapai keuntungan tertentu menjadi tinggi. Hal ini disebabkan oleh karena beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu (1) biaya informasi (informasi cost), (2) biaya pengawasan (policy cost), dan (3) biaya pengambilan keputusan (decision making cost). Biaya transaksi dari suatu pertukaran merupakan karakteristik yang melekat pada suatu kelembagaan. Nelayan sebagai suatu komponen dalam kelembagaan tidak memiliki akses dan kontrol secara penuh terhadap penentuan nilai dari biaya transaksi. Analisis biaya transaksi menekankan juga pada pentingnya proses kegiatan terutama dalam lamanya waktu yang diperlukan
59
maupun biaya uang dan tenaga kerja yang dicurahkan. Pertimbangan tersebut diperhitungkan dalam setiap pengambilan keputusan dalam perusahaan agribisnis atau bisnis lainnya maupun organisasi bentuk lainnya dan bahkan berlaku
untuk
organisasi
yang
non
profit.
Dalam
biaya
transaksi
ini
diperhitungkan biaya seperti biaya pasar ( biaya negosiasi dan kontrak) dengan pihak lain dan biaya transaksi internal yang terjadi dalam unit organisasi atau perusahaan itu sendiri (Anwar, 1997). Konsep biaya transaksi yang dikembangkan oleh Williamson (1985) didasarkan pada asumsi bahwa manusia itu pada dasarnya bersifat rasional, tetapi dalam melakukan pilihan dia menghadapi keterbatasan (bounded rationality). Oleh karena keterbatasan inilah maka orang yang bersangkutan kadang-kadang akan menunjukkan perilaku yang opportunistik (opportunistic behaviour). Sikap opportunistik dari individu sebagai refleksi dari rasoinalitas yang terbatas akan muncul sebagai suatu fenomena masalah dalam negosiasi dan pelaksanaan dari hal-hal yang telah disetujui oleh pihak-pihak yang terlibat. Analisis ini ditujukan untuk melihat efisiensi kelembagaan kemitraan, variabel yang ditelaah adalah nilai dari biaya informasi (information cost), biaya kontrak (contractual cost), serta biaya pengawasan dan pelaksanaan hukum (policing cost). Perincian mengenai variabel yang akan ditelaah dalam biaya transaksi, akan ditentukan dari hasil analisis mengenai proses pelaksanaan kemitraan. (3) Indikator Keberhasilan Analisis yang digunakan pada tahapan ini adalah analisis secara kualitatif dan ditujukan untuk mengkaji kriteria keberhasilan kemitraan dan realisasinya berdasarkan
harapan-harapan
partisipan.
Untuk
itu
proses
analisis
menggunakan metode skoring dengan kategori sebagai berikut : 5 = sangat baik, 4 = baik, 3= kurang baik, 2=buruk dan 1=sangat buruk. Dari hasil skoring tersebut selanjutnya dilakukan analisis secara diskriftif. (4) Partisipasi dan Presepsi Peserta Kemitraan Proses analisis ditujukan untuk mengakaji respon peserta serta pihakpihak yang terlibat dalam kemitraan terhadap kineja kemitraan. Partisipasi peserta dianalisis dengan menggunakan kategori rendah, sedang dan tinggi. sedangkan presepsi dari partisipan diklasifikasi berdasarkan kategori baik, kurang baik dan buruk.
60
4.4.5 Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kemitraan Sebagai dasar dari keseluruhan analisis pengembangan kapasitas kelembagaan ini ialah tahapan-tahapan analisis Institutional Development Framework
(IDF)
atau
sering
juga
disebut
dengan
Kerangka
Kerja
Pengembangan Institusi (KKPI) yang adopsi dari Kirana dan Malik (2000). Analisis ini dibangun secara bertahap masing-masing : (1) menyusun matriks Kerangka Kerja Pengembangan Institusi (KKPI), (2) kalkulasi perkembangan institusi dan analisis grafis profil perkembangan institusi, (3) penentuan prioritas komponen kunci yang meliputi : skoring dan ranking prioritas, dan (4) perencanaan pengembangan institusi. (1) Menyusun Matriks Kerangka Kerja Pengembangan Institusi (KKPI) Penyusunan matriks KKPI dilakukan dengan penentuan Komponen Sumber Daya Institusi (KSDI) yang memiliki Karakteristik Sumber Daya (KSD) tersendiri dengan komponen kuncinya (KK) masing-masing. Secara teknis muatan
KSDI, karakteristik dan komponen kunci untuk penelitian ini dapat
dijabarkan sebagai berikut : 1) KSDI : Pengembangan Visi 1. KSD : struktur badan pengelola, dengan komponen-komponen kunci antara lain : pengakuan hukum, dewan pembina yang diakui, kebijakan operasional, peran aktif dan memajukan lembaga 2. KSD : misi Lembaga, dengan komponen-komponen kunci antara lain: visi lembaga dan pernyataan misi 3. KSD : otonomi dengan komponen kunci : advokasi 2) KSDI : Sumber Daya Manajemen 1. KSD : model kepemimpinan dengan komponen-komponen kunci meliputi : alur pembuatan keputusan dan partisipasi. 2. KSD : perencanaan dengan komponen-komponen kunci meliputi : strategi jangka panjang, alur perencanaan, implikasi pada sumber daya, dan perencanaan sebagai alat yang bermanfaat 3. KSD : manajemen partisipatif dengan komponen-komponen kunci meliputi : pelimpahan wewenang yang memadai, layanan masyarakat, partisipasi kelompok, kesamaan kepentingan, transparansi, jender dalam pengambilan keputusan, pengguna sumberdaya pengambilan keputusan, konsultasi dengan masyarakat dan aliran komunikasi
61
4.
KSD : sistem manajemen dengan komponen-komponen kunci meliputi : sistem personalia, sistem kearsipan dan prosedur administrasi
5. KSD : sistem monitoring dan evaluasi dengan komponen-komponen kunci meliputi : sistem monitoring dan evaluasi yang terintegrasi, sistem monitoring pengelolaan sumberdaya perikanan yang melibatkan masyarakat, dan umpan balik dari penerima manfaat program 3) KSDI : Sumber Daya Manusia 1.
KSD : pengembangan dan ketrampilan staf dengan komponen-komponen kunci meliputi : kemampuan/ketrampilan, partisipasi staf dalam manajemen, keahlian staf, pengembangan potensi, dan penilaian kinerja.
2.
KSD : keterwakilan masyarakat lokal dengan komponen-komponen kunci meliputi : pengangkatan staf lokal/jender, komposisi staf, dan komposisi dewan pembina.
4) KSDI : Sumber Daya Keuangan 1. KSD : pengelolaan keuangan dengan komponen-komponen kunci meliputi : anggaran digunakan sebagai alat manajemen, kesehatan keuangan, transparansi keuangan, pengendalian kas, audit, pemisahan pendanaan, keamanan pendanaan, penghimpunan dana dan kesanggupan keuangan. 5) KSDI : Sumber Daya Kemitraan 1. KSD : kemitraan/hubungan masyarakat dengan komponen-komponen kunci meliputi : publik mengenali organisasi, kemampuan bekerjasama dengan masyarakat lokal, advokasi masyarakat lokal, komunikasi badan pengelola, kemampuan bekerja dengan pemerintah, kemampuan untuk mengakses sumber daya lokal, dan kemampuan kerjasama dengan lembaga lain. 6) KSDI : Isu-Isu Spesifik Pengelolaan Sumber Daya Perikanan 1. KSD : isu spesifik pengelolaan sumber daya perikanan dengan komponenkomponen kunci meliputi : pengambilan keputusan dalam pengelolaan SDP, praktek-praktek
pengelolaan
SDP,
resolusi
konflik
atas
SDP,
dan
pelaksanaan peraturan pengelolaan SDP. Seluruh sumber daya dan karakteristik serta
komponen kunci dari
institusi yang telah diuraikan tesebut di atas, selanjutnya
dituangkan dalam
Matriks KKPI dengan model matriks berikut ini yang disajikan pada Tabel 17. Sedangkan kriteria untuk setiap tahapan progresi (kontinum perkembangan organisasi) dapat dilihat pada Lampiran 4.
62
Tabel 17. Model matriks KKPI Karakteristik Sumber Daya
Komponen Kunci
Permulaan
Perkembangan
Konsolidasi
Keberlanjutan
Sumber Daya Organisasi / Lembaga
KKPI memiliki empat tahapan perkembangan lembaga yaitu: (a) permulaan (PMN), (b) perkembangan (PKN), (c) perluasan / konsolidasi (KSL), dan (d) keberlanjutan (KBN). Matriks ini digunakan untuk mendiagnosa kondisi perkembangan lembaga dan ketahanan kehidupannya melalui pemberian skor. Ada dua jenis skor yang diberikan yaitu : (a) Skor untuk menilai kinerja atau kemajuan lembaga dalam pelaksanaan setiap komponen kunci (Tabel 18) dan (b) Skor untuk menilai tingkat kepentingan atau prioritas setiap komponen kunci bagi keberlangsungan hidup lembaga (Tabel 19). Tabel 18. Pemberian skor untuk tingkat perkembangan lembaga Tingkat perkembangan Permulaan Perkembangan Konsolidasi Keberlanjutan
Skor tingkat perkembangan (Y) 0,25; 0,50; 0,75; 1,00 1,25; 1,50; 1,75; 2,00 2,25; 2,50; 2,75; 3,00 3,25; 3,50; 3,75; 4,00
(2) Analisis Perkembangan Institusi Hasil pemberian skor untuk tingkat kepentingan (X) dan tingkat perkembangan (Y) diekspresikan secara grafis, sehingga akan didapat gambaran profil perkembangan lembaga melalui perangkuman skor kemajuan semua karakteristik sumber daya. Tabel 19. Pemberian skor bobot tiap komponen kunci berdasarkan kriterianya Tingkat kepentingan Sangat penting Penting Cukup penting Tidak penting
Kriteria Menentukan hidup mati organisasi Penting untuk kelangsungan kerja Perlu perhatian khusus bukan prioritas utama Bukan prioritas
Skor Bobot (X) 4 3 2 1
(3) Penentuan Prioritas Penentuan prioritas didukung dengan lembar skoring prioritas komponen kunci yang membantu proses penentuan skor dengan cara mengkategorikan masing-masing komponen kunci berdasarkan kriteria seperti pada Tabel 20 berikut ini.
63
Tabel 20. Lembar skoring prioritas komponen kunci Kriteria
Skor
Menetukan hidup mati lembaga
4
Penting untuk kelangsungan kerja lembaga
3
Perlu perhatian khusus
2
Signifikan tapi buka prioritas
1
Komponen kunci
Hasil penentuan skoring prioritas pada Tabel 20 kemudian diekspresikan secara grafis dengan keterangan sebagai berikut : •
Sumbu X menerangkan prioritas komponen kunci, sumbu ini disebut sebagai sumbu aksis ranking prioritas komponen kunci.
•
Sumbu Y menerangkan tingkatan perkembangan komponen-komponen kunci di sepanjang kontinum perkembangan Ekspresi grafis yang dihasilkan mengikuti tampilan pada Gambar 7.
4 3.5
Tingkat perkembangan
3
Tidak perlu dipermasalahkan, kinerja bagus
Kinerja harus tetap dipertahankan
Tidak terlalu mendesak untuk disempurnakan, bisa ditangani kemudian
Kapasitas lembaga yang paling mendesak untuk segera ditingkatkan
2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Ranking proritas komponen kunci
Gambar 7. Ranking prioritas komponen kunci
(4) Perencanaan Pengembangan Institusi Penyusunan rencana pengembangan lembaga mengikuti arahan matriks rencana aksi dengan muatan-muatan utamanya antara lain : tujuan umum, strategi, tujuan-tujuan antara (obyektif), kegiatan-kegiatan, output, sumberdaya, waktu dan penanggung jawab. Matriks rencana aksi pengembangan lembaga yang dikembangkan dalam penelitian ini seperti pada Tabel 21 berikut ini.
64
Tabel 21. Lembar rencana aksi pengembangan lembaga Nama Lembaga : ........................ Tujuan Strategis : 1. .......................... 2. .......................... Strategi
Objektif
1. 2. 3.
Objektif 1 Objektif 2 Objektif 2
KegiatanKegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan
Ouput
Sumber daya
Waktu
Penjab
5 GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN KEMITRAAN 5.1 Kelompok Nelayan dan Pembentukan Kemitraan Pelaksanaan
kemitraan
masyarakat pesisir (PEMP)
melalui
program
pemberdayaan
ekonomi
Kota Ambon Tahun 2001 dilaksanakan
pada
kecamatan Nusaniwe meliputi tiga desa yakni Desa Seilale, Latuhalat dan Urimessing (Dusun Seri). Ketiga desa pada Kecamatan Nusaniwe ini merupakan desa yang saling bertetangga, yang terletak di sebelah Timur Utara Pulau Ambon. Pemilihan ketiga desa ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa nelayannya masih mempergunakan sarana alat tangkap yang terbatas dan tradisional, sehingga jangkauan ke daerah fishing ground-nya terbatas. Kondisi ini menyebabkan hasil tangkapan yang diperoleh sangat rendah, disamping itu nelayan pada lokasi ini belum mempunyai akses ke pasar dan memiliki bergaining position yang lemah. Kerjasama kemitraan pada kecamatan
ini berlangsung sejak Tahun
2001, melalui lembaga swadaya masyarakat Hualopu yang ditunjuk sebagai konsultan manajemen oleh dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon. Konsep kerjasama kemitraan yang diterapkan oleh dinas kelautan dan perikanan kota Ambon melalui konsultan manajemen dengan nelayan purse seine atau disebut kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) yang terdiri atas 7 kelompok usaha masyarakat (KUM) yakni berupa sharing capital. Untuk lebih jelasnya KMP dan KUM nelayan purse seine di sajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. KMP peserta kemitraan di Kecamatan Nusaniwe Tahun 2002 No
KMP
Desa/Dusun
1
Labuang Raja
Seilale
2
Pniel II
Latuhalat
3
Batu Gelang
Urimessing/Seri
KUM Camar Marbers Tutuela Risna I Risna II Nona Lims
Jumlah Anggota 30 18 22 16 16 21 10
Sumber : LEPP-M3 (2008)
Pada Tahun 2003 dan 2004 kemitraan melalui program PEMP dikembangkan pada Kecamatan Teluk Ambon Baguala dan Sirimau, dengan memiliki 9 (sembilan) kelompok
masyarakat pemanfaat (KMP) yang juga
bergerak dibidang perikanan tangkap yakni purse seine (Tabel 23). Berbeda
66
dengan Kecamatan Nusaniwe, dimana KMP dari satu desa bisa terdiri atas beberapa kelompok usaha masyarakat (KUM). Sementara untuk Kecamatan Baguala dan Sirimau ditiap desa hanya terdiri atas 1 (satu) kelompok yang dinamakan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP).
Tabel 23. KMP peserta kemitraan di Kecamatan Baguala dan Sirimau Tahun 2003 dan 2004 KMP Bahari Utama Seroja Hatukau Yakarima Star
Tahun 2003 Desa Leahari Kota Jawa Batu Merah Hutumuri
Anggota 28 25 23 17
Tahun 2004 KMP Desa Nania Elsodat Htw Bsr Berkat Naku Babiritani Htw Bsr Permata Rutung Mkr Rutung
Anggota 24 28 27 25 24
Sumber : LEPP- M3 (2008)
Setelah terbentuknya kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), melalui konsultan manajemen, KMP yang telah terbentuk tersebut dikelompokkan dalam suatu wadah organisasi yang dinamakan lembaga ekonomi pengembangan pesisir - mikro mitra mandiri yang selanjutnya disingkat LEPP-M3 yang merupakan wakil-wakil dari KMP pada setiap desa. Pihak LEPP-M3 menyediakan dana ekonomi produktif (DEP) yang disalurkan kepada kelompok masyarakat pemanfaat yang di dalamnya adalah kelompok usaha masyarakat, berdasarkan analisis kebutuhan, sedangkan nelayan
menyediakan
perlengkapan
pancing.
Jangka
waktu
kerjasama
disepakati selama 24 bulan (2 tahun) sampai 60 bulan (5 tahun). Selama tenggang
waktu tersebut nelayan diharapkan sudah melunasi hutang.
Mekanismenya diatur berdasarkan keputusan bersama antara KMP dengan LEPP-M3, yakni 17 % per tahun atau 1,24 % per bulan.
5.1.1 Karakteristik Rumahtangga KMP Peserta Kemitraan Karakteristik peserta yang menjadi objek pengamatan dalam penelitian ini adalah : a) besar keluarga dan usia anggota keluarga, b) tingkat pendidikan dan pengalaman peserta
sebagai nelayan dan c) sumber pendapatan dan
jenis
menjadi
pekerjaan
sebelum
peserta
kemitraan
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP).
melalui
program
67
(1) Usia peserta dan besar keluarga Hasil penelitian terhadap usia anggota keluarga dan besar keluarga kelompok masyarakat pemanfaat pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa usia peserta (suami dan istri) relatif muda yaitu antara 20-69 tahun. Hal ini disebabkan adanya pandangan dari pihak dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon yang dalam hal ini diwakilkan kepada konsultan manajemen kota (KMK) bahwa pada kelompok usia tersebut masih produktif karena memiliki kemampuan fisik dalam melakukan pekerjaan melaut sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi. Persentase terbesar usia anak dalam keluarga pada kelompok usia 10-15 tahun (57,85%). Hal ini memperlihatkan bahwa umumnya anak-anak masih pada usia sekolah, dan jenjang pendidikan yang ditekuni adalah pada sekolah lanjutan tingkat pertama. Untuk lebih jelasnya usia anggota keluarga peserta kemitraan melalui program PEMP di Kota Ambon dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Karakteristik rumahtangga KMP Kelompok usia (tahun) Kepala keluarga (Suami) 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 Ibu Rumahtangga (Istri) 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 Anak-anak 1-10 10-15 >15
Jumlah
Persentasi (%)
22 24 27 23 7
21,36 23,30 26,21 22,33 6.80
26 28 24 23 2
25,24 27,18 23,30 22,33 1,94
115 324 121
20,54 57,85 21,61
Sumber : Data primer diolah (2008)
Tabel 24 memperlihatkan bahwa baik suami maupun istri pada lokasi penelitian memiliki beban yang sama dalam menekuni pekerjaan sebagai rumahtangga nelayan. Hal ini ditemukan bahwa ketika suami melaut, istri walaupun berperan dalam mengurus rumahtangga, memiliki tanggung jawab untuk memasarkan hasil tangkapan. Hal ini disebabkan masing-masing memiliki waktu yang banyak, karena pekerjaan merawat anak tidak lagi membutuhkan waktu yang terlampau banyak, sebab anak-anak umumnya berada pada
68
kelompok usia >10 tahun. Ditemukan pula bahwa tenaga kerja untuk membantu kegiatan usaha relatif tersedia. Hal ini terlihat dari kelompok usia anak-anak yang berada antara 10 -15 tahun dan >15 tahun. Umumnya anak-anak yang telah menamatkan sekolah, karena sulit mendapatkan pekerjaan, mereka terpaksa memilih pekerjaan untuk membantu usaha keluarga. (2) Pendidikan peserta kemitraan dan pengalaman melaut Tingkat pendidikan sebagai salah satu karakteristik individu yang cukup terkait dengan pengetahuan, ketrampilan dan produktivitas. Tingkat pendidikan mempengaruhi kerasionalan seseorang dalam mengambil keputusan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin rasional seseorang dalam mengambil keputusan dan akan semakin mudah untuk mengadopsi teknologi guna meningkatkan produktivitas usahanya. Selain faktor pendidikan nelayan, pengalaman melaut juga mempunyai peranan yang cukup penting di dalam menunjang keberhasilan peserta dalam mengembangkan usaha penangkapannya. Nelayan yang sejak turun temurun berprofesi sebagai nelayan, diyakini lebih mampu mengatasi persoalanpersoalan terkait dengan usaha penangkapan serta memiliki motivasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan yang sama sekali belum mempunyai pengalaman khususnya dalam usaha penangkapan purse seine. Hasil penelitian mengenai tingkat pendidikan peserta kemitraan yakni ketua kelompok dan anggotanya memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan yang menyolok. Terlihat bahwa baik ketua kelompok maupun anggotanya telah melewati jenjang pendidikan SD, dan ada yang pernah melewati jenjang pendidikan tinggi. Tabel 25 berikut ini menyajikan ragam tingkat pendidikan peserta kemitraan.
Tabel 25. Sebaran tingkat pendidikan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) No 1 2 3 4 5
Tingkat Pendidikan Tidak pernah tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/Sederajat Tamat SLTA/sederajat Perguruan Tinggi Total
Sumber : Data primer diolah (2008)
Ketua Kelompok 2 9 2 2 1 16
%
Anggota
%
12,50 56,25 12,50 12,50 6.25 100
14 48 22 2 1 87
16,09 46,60 25,29 2,30 1,14 100
69
Data pada Tabel 25 tersebut memperlihatkan bahwa persentase tertinggi tingkat pendidikan peserta kemitran adalah pada jenjang Sekolah Dasar, (ketua kelompok 56,25% dan anggota kelompok 46,60%). Dengan demikian dalam mengembangkan usaha penangkapan (dari sisi manajemen usaha) masih tergantung kepada pihak lain yakni tenaga pendamping desa (TPD) yang memberikan bimbingan dan pelatihan. Pengalaman melaut ketua kelompok peserta kemitraan (dari 16 responden yang diwawancarai) menunjukkan bahwa rata-rata pengalaman melaut adalah 19 tahun sementara anggota kelompok ratarata pengalaman melautnya adalah 8 tahun. (3) Sumber pendapatan dan jenis pekerjaan sampingan Secara umum pekerjaan peserta kemitraan sebelumnya adalah sebagai nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan adalah merupakan pekerjaan yang telah diwarisi sejak turun-temurun. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan sebagai nelayan bukan merupakan satu-satunya sumber pendapatan bagi keluarga, karena ada pekerjaan sampingan lainnya yang diupayakan bagi pemenuhan kebutuhan hidup keluarga. Telah dijelaskan bahwa pekerjaan sebagai nelayan sangat dipengaruhi oleh faktor musim, sehingga ketika terjadi musim Timur, ditemukan umumnya nelayan di lokasi penelitian melakukan pekerjaan berupa bercocok tanam, dengan jenis tanaman umbi-umbian. Dari hasil penelitian pula ditemukan bahwa pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh kelompok nelayan peserta kemitraan adalah bertujuan untuk meningkatkan tingkat pendapatan rumahtangga nelayan. Pendapatan ini selanjutnya akan mempengaruhi pola hidup masing-masing
keluarga dan cara pengaturan
keuangan dalam keluarga yang pada akhirnya akan mempengaruhi nelayan tersebut di dalam merencanakan pengembangan usaha penangkapannya. 5.1.2 Diskripsi Teknis Alat Penangkapan Purse Seine Purse seine umumnya digunakan untuk menangkap jenis ikan pelagis kecil (layang, tongkol, kembung dan lain-lain). Perahu motor yang digunakan memiliki ukuran dengan panjang 11 – 19 m, lebar 2,75 – 4 m, tinggi 1 – 1,5 m dengan menggunakan 2 unit mesin motor berkapasitas 40 pk. Ukuran jaring yang digunakan umumnya adalah jaring dengan ukuran panjang 300 – 325 m, lebar 40 - 50 m. Anak buah kapal (ABK) purse seine terdiri dari seorang nahkoda, seorang masinis, seorang juru lampu dan 16 – 28 orang tanase/masnait (ABK). Pemeliharaan atau perawatan alat dilakukan setiap saat bila diperlukan. Jumlah
70
tangkapan yang diperoleh tidak terlepas dari peranan umpan atau alat pengumpul yang disebut rumpon. Rumpon berperan untuk mengumpulkan ikan sehingga mempermudah nelayan dalam proses penangkapan ikan. (1) Investasi Dalam memulai suatu usaha penangkapan diperlukan investasi awal yang digunakan oleh pemilik untuk membeli barang modal berupa perahu motor, motor penggerak, motor lampu, alat tangkap dan peralatan lainnya. Besarnya investasi awal yang dibutuhkan oleh tiap pemilik usaha purse seine berbeda beda tergantung jenis barang modal yang digunakan. Rata – rata nilai investasi awal usaha Purse seine Kelompok Masyarakat Pemanfaat (KMP) peserta kemitraan disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Rata–rata nilai investasi usaha purse seine KMP peserta kemitraan No
Jenis Investasi
1. 2. 3.
Perahu Motor Mesin Penggerak Peralatan Penangkapan Peralatan Lampu Lain-lain Jumlah
4. 5.
Nilai Investasi (Rp) 37.000.000 17.600.000 50.000.000
Umur Ekonomis (tahun) 10 10 8
Nilai Depresiasi (Rp)
%
3.700.000 1.760.000 6.250.000
34,6% 16,4% 46,7%
1.900.000
8
237.500
1,8%
528.000 107.028.000
5 -
105.600 12.053.000
0,49% 100%
Sumber : Data primer diolah (2008)
Tabel 26. menunjukkan bahwa biaya investasi terbesar yang dikeluarkan adalah untuk membeli peralatan penangkapan (jaring) sebesar 46,7%, kemudian perahu/kapal 34,6%, motor penggerak 16,4% dan lampu sebesar 1,8%. Besar biaya investasi tergantung dari harga yang berlaku di pasaran. (2) Biaya variabel Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang
dikeluarkan dalam
setiap operasi penangkapan yang jumlahnya selalu berubah-ubah sesuai dengan tingkat produksi. Rata-rata biaya variabel yang dikeluarkan pada usaha penangkapan dengan menggunakan alat tangkap purse seine adalah sebesar Rp.115.350. Biaya variabel yang dikeluarkan oleh nelayan purse seine (KMP) adalah biaya bahan bakar, sedangkan ransum atau perbekalan untuk kegaitan penagkapan jarang dikeluarkan karena daerah penangkapan (fishing ground) yang letaknya hanya pada pesisir pantai dekat lokasi tempat tinggal serta operasi penangkapan dilakukan pada sore hari.
71
Rata-rata biaya operasional pada tiap musim berbeda-beda hal ini dipengaruhi oleh frekuensi melaut (trip) dari nelayan itu sendiri. Perbedaan frekuensi melaut pada tiap musim disebabkan faktor alam, dalam hal ini kondisi alam (angin dan arus) yang mempengaruhi operasi penangkapan nelayan. (3) Biaya Tetap Biaya Tetap (Fixed Cost) adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh perubahan jumlah produksi yang ditanggung secara tetap oleh pemilik atau juragan tiap tahun. Biaya tetap berupa perawatan, administrasi, dan biaya penyusutan serta potongan pengembalian. Untuk potongan pengembalian pinjaman nelayan harus membayar per tahun, besarnya sesuai dengan apa yang diatur dalam surat perjanjian kerja (SPK) ditambah dengan bunga per tahun sebesar 17%. Jangka waktu pengembalian selama
2-5 tahun. Biaya tetap
dikeluarkan per tahun dengan besar nilai setiap unit berbeda, tergantung besarnya biaya pemeliharaan dan potongan atau cicilan pengembalian pinjaman dari setiap kelompok masyarakat pemanfaat (KMP). Biaya tetap per unit usaha purse seine, dari peserta kemitraan dalam setahun dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Rata-rata biaya tetap usaha purse seine KMP dalam satu tahun Jenis Biaya Tetap (Rp) Adm. Depresiasi
No
Perawatan
Σ
4.900.000
1.500.000
980.000
300.000
Pengembalian Modal
Total(Rp)
96.381.000
102.124.687
168.790.187
19.276.200
20.424.937,4
33.758.037
x Sumber : Data primer diolah (2008)
Total rata-rata biaya tetap yang dikeluarkan oleh nelayan purse seine adalah sebesar Rp 33.758.037 yang terdiri dari biaya perawatan, biaya administrasi, biaya penyusutan, dan pengembalian pinjaman. Hasi penelitian menunjukkan bahwa biaya tetap yang dikeluarkan terbesar yaitu pada biaya pengembalian pinjaman rata-rata sebesar Rp 20.424.937 kemudian biaya penyusutan sebesar Rp 19.276.200 biaya perawatan sebesar Rp 980.000, dan biaya administrasi sebesar Rp 300.000.
72
5.2 Konsep Kemitraan Secara umum konsep kemitraan antara masyarakat nelayan dan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya yakni dinas kelautan dan perikanan, pihak
yayasan
dan
bank
didasarkan
pada
konsep
tertulis.
Dalam
implementasinya, konsep kemitraan yang mendasarinya dapat ditinjau dari dua aspek utama, yaitu aturan main dan organisasi pelaksana. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kedua aspek tersebut, maka penjelasannya dirinci sebagai berikut : 5.2.1 Aturan Main Kelembagaan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) dalam bahasan ini didekati dengan analisis deskriptif yang menitikberatkan pada aspek batas yuridiksi, hak kepemilikan dan aturan representatif. ♦ Batas yuridiksi. Banyak permasalahan dan isu dalam ekonomi berkaitan dengan struktur dari batas yuridiksi. Konsep batas yuridiksi dapat memberi arti batas kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga dalam mengatur sumberdaya. Dalam kasus pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di laut, batas yuridiksi memegang peranan penting dalam menentukan penanggung dan keluaran. ♦ Hak Kepemilikan. Konsep hak kepemilikan selalu mengandung makna sosial, yang mencakup hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Implikasinya adalah 1) hak individu adalah merupakan tanggungjawab bagi orang lain, dan 2) kepemilikan adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya perikanan. ♦ Aturan representatif. Aturan representatif (rule of representation) mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisiapsi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap kinerja (performance) akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, aturan representatif menentukan alokasi dari distribusi sumberdaya yang langka,
sehingga
analisis
kelembagaan
mengenai
alternatif
aturan
reperesentatif akan berguna untuk memecahkan masalah efisiensi dalam pengambilan keputusan.
73
Kemitraan yang tebangun melalui program PEMP di Kota Ambon memilik aturan main didasarkan pada pedoman umum pelaksanaan PEMP. Secara lebih rinci aturan main pelaksanaan kemitraan di Kota Ambon disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Aturan main dalam kelembagaan kemitraan Dimensi Kelembagaan
Kelompok Masyarakat Pemanfaat
Aspek yuridiksi : 1. Dinas kelautan dan perikanan kota Ambon
-
Memberikan bimbingan Memfasilitasi terbentuknya hubungan kemitraan antara KMP dengan pengusaha, perorangan atau lembaga.
2. Konsultan Manajemen Kota
-
Memilih calon anggota KMP Melakukan pelatihan pengembangan potensi diri, kewirausahaan dan teknis penangkapan Melakukan pendampingan dan pembinaan
3. Tenaga Pendamping Desa
-
Melakukan pendampingan Sebagai fasilitator, dinamisator dan motivatior
4. LEPP-M3
-
Mengembangankan usaha KMP
-
Perairan sekitar pulau Ambon Bebas menjual ke lokasi pasar mana saja
-
Memanfaatkan bantuan dengan baik Bila tidak mengembalikan pinjaman akan ditarik
Property right : 1. Daerah penangkapan 2. Pemasaran
3. Bantuan 4. Resiko usaha
-
Aturan Representasi :
kegaitan
1. Forum komunikasi
-
Ditingkat pengurus dan ketua kolompok
LEPP-M3
2. Pengambilan keputusan
-
Ditentukan oleh ketua kelompok
3. Penanganan konflik
-
LEPP-M3 meminta dinas kelautan dan perikanan memfasilitasi
Sumber : Data primer diolah, (2008 )
Mengenai aspek batas yuridiksi, semua peserta kemitraan terkait dalam kerangka saling membutuhkan dan saling menunjang guna mendapatkan keuntungan. Pihak lain yang ikut terlibat pada prinsipnya untuk membina guna memperkuat peran dan posisi masing-masing. Kalaupun ada pihak tertentu yang turut memperoleh manfaat berkat keterlibatannya tersebut, tidak boleh berada di luar konsep pembinaan. Meskipun demikian, dalam aspek yuridiksi ini tidak nampak spesifikasi bantuan atau pembinaan dari setiap unsur terkait.
74
Keterlibatan sebagai pembina lebih bersifat normatif karena adanya kewajiban yang melekat pada instansi tersebut, tanpa disertai dengan perencanaan dan aktivitas yang sistimatis dan terpadu. Kondisi ini menimbulkan sikap saling mengharap dan terjadinya tumpang tindih kegiatan pembinaan atau pemberian bantuan. Sementara dari aspek property right, terkait dengan format hak dan kewajiban antar peserta kemitraan. Dalam proses penangkapan yang dilakukan oleh KMP peserta kemitraan, maka wilayah penangkapan (fishing ground) hampir sama untuk semua KMP yaitu disekitar Pulau Ambon. Kondisi penangkapan dilakukan pada sore hari. Hasil tangkapan yang didapatkan langsung dijual ke konsumen pada pasar lokal Kota Ambon, dan juga pada industri perikanan yang terletak di desa Tulehu Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah. Mencermati kondisi LEPP-M3 yang tidak menyediakan pasar bagi KMP, terpaksa nelayan menjual hasil tangkapannya pada beberapa pasar dengan harga yang tidak terkontrol. Jika
hasil tangkapan melimpah, KMP terpaksa
menjual ke industri perikanan yang harganya rendah. Kondisi ini menyebabkan kerugian pada KMP, hal ini disebabkan mereka tidak memiliki alternatif pasar yang lebih baik. Mengenai pemberian bantuan berupa alat tangkap yakni jaring dan armada penangkapan berupa kapal melalui dana ekonomi produktif (DEP) kepada KMP, telah dilakukan tetapi apa yang menjadi kebutuhan nelayan dalam pengadaan bantuan belum sepenuhnya terakomodir dengan baik. Sesuatu yang dipandang baik oleh pemeritah (dinas kelautan dan perikanan) belum tentu benar-benar baik bagi KMP. Indikasi mengenai hal ini nampak dari pengadaan bantuan yang diberikan masih kurang, sehingga KMP harus menambah dana bagi kebutuhan alat tangkap agar proses penangkapan dapat dilakukan. Dari hasil penelitian ditemukan pula bahwa ada KMP di Dusun Seri yang tidak melakukan operasi penangkapan karena armada penangkapannya berupa peruhu (body) belum dapat diadakan. Menyangkut segi resiko usaha, terdapat kemungkinan KMP tidak memanfaatkan pinjaman tersebut secara benar (tidak melakukan penangkapan). Hal ini terbukti dari hasil penelitian, dana yang diberikan kepada KMP disalahgunakan untuk usaha lain. Sementara dari pihak LEPP-M3 yang mestinya berperan dalam mengontrol aktivitas yang dijalankan oleh KMP belum
75
sepenuhnya melakukan tugas ini, sehingga persoalan yang terjadi tidak segera ditangani, bahkan ada kecenderungan dari pihak pengurus LEPP-M3 yang tidak serius dalam melakukan tugasnya. Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa ketika ada kapal penangkapan dari KMP yang rusak dan harus segara dilakukan perbaikan, ternyata pihak LEPP-M3 tidak berupaya untuk melakukan perbaikan tersebut, sementara KMP masih berharap pihak LEPP-M3 untuk secara bersama memikirkan upaya perbaikannya. Pengkajian terhadap aturan representatif dari LEPP-M3, maka yang nampak adalah hanya terbatas pada masing-masing partisipan. Tidak ada wadah khusus yang menjadi forum komunikasi atau pengambilan keputusan secara bersama. Pada situasi seperti ini, maka peserta kemitraan akan dirugikan, selain itu kalangan pembina tidak dapat menyalurkan aspirasinya dengan baik dalam membela hak-hak kelompok masyarakat pemanfaat (KMP). Selanjutnya, kinerja kemitraan tidak dapat terevaluasi dan berkembang berdasarkan nilai-nilai kebersamaan. Situasi ini semakin memperburuk keadaan KMP, sebab yang terlibat dalam proses kemitaraan lebih banyak diperankan oleh ketua kelompok. Padahal seyogyanya forum komunikasi akan sangat membantu dalam membicarakan secara bersama mengenai masalah-masalah yang dihadapi serta upaya penanganannya. Upaya penanganan konflik yang terjadi, ternyata diperparah oleh kerapuhan menajemen ditingkat KMP menjadikan nelayan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasinya. Pengaduan-pengaduan yang diajukan kurang mendapat tanggapan baik dari pihak LEPP-M3 maupun dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon, karena mekanisme kerjanya kurang jelas, maka walupun LEPP-M3 ingin membantu nelayan, namun tetap mengalami kesulitan. Sebagai contoh, pada saat kondisi kapal penangkapan nelayan kelompok babiritani Desa Naku mengalami kerusakan, maka meraka mengajukan permohonan untuk ada upaya pengadaan kapal pengganti, tapi kenyataannya sampai saat ini belum ada upaya yang dilakukan oleh pihak yang terkait untuk pengadaan kapal tersebut. Aturan main lainnya yang mendapat perhatian serius dalam pelaksanan kemitraan adalah seleksi kepada nelayan peserta. Adapun seleksi yang kepada KMP di Kota Ambon dilakukan secara ketat oleh pihak konsultan manajemen kota (KMK) yakni pihak yayasan Hualopu yang ditunjuk oleh dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon. Kriteria penyeleksian dititikberatkan pada dua hal pokok yakni karakter dan keterampilan.
Semua nelayan yang terseleksi adalah
76
mereka yang belum pernah terlibat dalam hutang piutang bersama perusahaan manapun.
Nelayan
yang
terseleksi
dikelompokkan dalam beberapa
di
tiap
kecamatan
ini
kemudian
kelompok, dan dilakukan pembentukan
kelompok, terutama pemilihan ketua kelompok. Seleksi yang dilakukan oleh konsultan manajemen tetap mengacu pada kriteria yang ditetapkan dan merupakan syarat utama. Kriteria-kriteria tersebut adalah : •
kelompok nelayan yang menempati wilayah tersebut merupakan wilayah potensial bagi pengembangan perikanan,
•
calon kelompok nelayan adalah mereka yang berprofesi sebagai nelayan dan
•
memiliki motivasi dalam berusaha.
5.2.2 Organisasi Pelaksana Struktur
organisasi
pelaksana
program
pemberdayaan
ekonomi
masyarakat pesisir (PEMP) mengacu pada struktur organisasi yang diatur berdasarkan aturan departemen kelautan dan perikanan. Proses kerjasama kemitraan yang terbangun dengan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) di Kota Ambon dilakukan oleh konsultan manajemen (KM) yang diangkat oleh dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon dan mereka bertugas menyeleksi setiap peserta. Keputusan untuk melakukan kerjasama kemitraan tetap harus mendapat persetujuan dari dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon. Struktur organisasi program PEMP dilihat pada Gambar 8. Sruktur organisasi yang disajikan pada Gambar 8, memperlihatkan bahwa ada 3 (tiga) kelompok yang terlibat di dalamnya yakni ;1) pemerintah yang terdiri dari dinas kelautan dan perikanan, 2) konsultan manajemen kota yang termasuk di dalamnya tenaga pendamping desa (TPD) yang berfungsi mendampingi pelaksanaan program PEMP, 3) lembaga ekonomi masyarakat yang terdiri atas KMP dan LEPP. Upaya untuk menciptakan jaringan kemitraan tersebut difasilitas dengan mempertemukan antara semua actor terkait dalam pembangunan dan pengembangan ekonomi masyarakat pesisir yaitu dari unsur masyarakat, pihak swasta dan pihak aparat pemerintah daerah. Dari struktur organisasi program PEMP tersebut, terlihat bahwa LEPP-M3 adalah merupakan lembaga ekonomi yang dibentuk di Kota Ambon, yang bertugas mengkoordinir kegiatan KMP dalam rangka pengembangan modal
77
usaha. Kepengurusan LEPP-M3 terdiri dari wakil-wakil KMP desa dengan struktur yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Instansi Terkait
Departemen Kelautan & Perikanan
Dinas Propinsi
BAPPEDA
Dinas Kab/Kota
Mitra Pengembangan o Pengusaha o Lembaga Keuangan o Perguruan Tinggi
LEPP Wakil KMP desa Profesional
Camat
Mitra desa o Aparat Desa o Tokoh Masyarakat Adat/Agama o PPL Diskan
KM Kab/Kota
Pendampingan TPD
KMP Desa A KMP Desa B
KMP A1
KMP A2
KMPA3
KMPA….
KMP B1 KMP B2 KMP B3 KMP B…. Gambar. 8. Struktur organisasi program PEMP Keterangan :
= Garis Komando = Garis Koordinasi = Garis Kerjasama = Garis Pendampingan
Pembentukan LEPP-M3 difasilitasi oleh dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon, dan konsultan manajemen serta camat. LEPP-M3 yang terbentuk di kecamatan Nusaniwe di beri nama “TAGALAYA”, sedangkan pada Kecamatan Sirimau dan Baguala diberi nama “BASUDARA” dengan struktur organisasinya seperti tertera pada Gambar 9.
78
Pembina
Rapat Anggota
Pengurus
KET
WKL
Pengawas
SKR
Manager
WASEK
BEND
KET
SEK
ANG
Keterangan : = Garis Koordinasi = Garis Komando
Karyawan
= Garis Pembinaan dan Pengawasan
Anggota Gambar
= Garis Pelayanan = Garis Pengawasan
Gambar 9. Struktur organisasi LEPP-M3 Kota Ambon Secara umum LEPP-M3 mempunyai peran untuk memberikan dukungan operasional kepada mitra desa dan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP). Sedangkan fungsi LEPP-M3 adalah mengelola keuangan PEMP di tingkat kecamatan,
mengkoordinir
mengkoordinasikan
berbagai
aktivitas kemitraan
mitra
desa
dengan
dan
dibantu
KMP oleh
serta
konsultan
manajemen. Struktur kelembagaan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) disusun secara sederhana dan diatur sepenuhnya oleh anggota yang tergabung dalam kelompok, kemudian dibina oleh LEPP-M3. Bagan struktur organisasinya seperti terdapat pada Gambar 10. LEPP-M3 berperan dalam menyalurkan modal untuk kelompok masyarakat pemanfaat dalam bentuk dana ekonomi produktif yang penyalurannya diatur berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pembiayaan yang dilakukan dalam bentuk kredit modal kerja dan kredit investasi.
79
KMP
KMP A1 Ketua Kelompok
KMP A2 Ketua Kelompok
Anggota 1, 2 ………
Anggota 1, 2,……
KMP A……………
Gambar 10. Struktur organisasi kelompok masyarakat pemanfaat
Ketua kelompok menjalankan fungsi pengawasan koordinasi. Untuk memudahkan koordinasi, meningkatkan pola hidup kerjasama, memudahkan proses monitoring dan menguatkan posisi
tawar nelayan dalam kompetisi
pasar, maka nelayan dikelompokkan dalam KMP dan diketuai oleh salah seorang nelayan yang diangkat atas kesepakatan seluruh anggota kelompok. Pendampingan
dilakukan
kepada
nelayan
mitra
oleh
konsultan
manajemen kota (KMK) dan tenaga pendamping desa (TPD). LEPP-M3 dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
yang besar baik oleh kelompok
masyarakat pemanfaat (KMP) maupun LEPP-M3 sendiri, maka kelompok diberdayakan dengan cara bekerjasama dengan lembaga terkait untuk melatih kemampuan tangkap yang menghasilkan ikan dengan mutu ekspor dalam jumlah maksimal, mencari alternatif pasar yang mampu membeli ikan dengan harga bersaing serta mengajak nelayan untuk mampu mengelola pendapatan guna peningkatan kesejahteraannya. Gibson (1997) mengatakan bahwa struktur organisasi merupakan pola formal kegiatan dan hubungan di antara berbagai subunit dalam organisasi. Dua aspek penting dari struktur organisasi adalah desain pekerjaan dan desain organisasi. Desain pekerjaan mengacu pada proses yang digunakan para pemimpin atau manejer untuk merinci isi, metode dan hubungan setiap pekerjaan untuk memenuhi tuntunan organisasi dan individu. Sedangkan desain organisasi menunjukkan keseluruhan struktur organisasi.
80
Untuk dapat bekerja secara efektif dalam organisasi, maka seorang pemimpin atau manejer harus memiliki pemahaman yang jelas tentang struktur organisasi. Dengan memandang suatu bagan organisasi, kita hanya bisa melihat suatu susunan posisi, tugas-tugas pekerjaan dan garis wewenang dari bagianbagian dalam organisasi. Akan tetapi struktur organisasi lebih rumit daripada yang digambarkan dalam bagan tersebut. Struktur organisasi menggambarkan bagaimana organisasi itu mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur hubungan antar orang dan antar kelompok. Setiawan (2003) mengatakan bahwa struktur organisasi adalah suatu keputusan yang diambil oleh organisasi itu sendiri berdasarkan situasi, kondisi dan kebutuhan organisasi. Struktur organisasi berbeda antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya karena situasinya berbeda. Struktur organsiai ada kaitannya dengan tujuan, sebab struktur organisasi adalah cara organisasi itu mengatur dirinya untuk bisa mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Mencermati kondisi yang terjadi di lapangan terhadap struktur organisasi kemitraan, sebernarnya secara konsep telah sesuai dengan kaidah organisasi. Namun dalam implementasinya belum dapat berfungsi sesuai tugas dan peran dari masing-masing bagian yang terlibat dalam struktur tersebut. Hal ini berakibat pada tidak efisiennya keterlibatan berbagai pihak dalam pelaksanaan program PEMP tersebut, bahkan status dalam organisasi tersebut hanya bersifat simbolistis. Dari hasil wawancara terhadap mitra desa misalnya, didapatkan bahwa mereka tidak pernah terlibat dalam pendampingan terhadap kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), walaupun secara struktur organisasi mereka berperan sebagai pendamping. Demikian halnya dengan instansi terkait, belum sepenuhnya bertanggungjawab dan rasa memiliki serta mengambil
bagian
dalam proses koordinasi terhadap kelancaran kemitraan melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir tersebut. Selain itu, dari struktur yang dianalisis belum sepenuhnya memberikan kesempatan atau akses kepada kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) untuk melakukan relasi langsung dengan instansi atau lembaga
dalam proses
penguatan kelembagaan kemitraan tersebut. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semua kegiatan dari KMP hanya diperankan oleh ketua kelompok. Anggota KMP hanya mengandalkan faktor kepercayaan
kepada ketua
kelompok, padahal mekanisme seperti ini tidak sepenuhnya bisa diandalkan dalam memperkuat bargaining position dalam memberdayakan usahanya.
81
5.3 Prosedur dan Mekanisme Pelaksanaan Kemitraan Dalam pelaksanaan kemitraan, yang akan disoroti adalah pelaksanaan kegiatan pada semua tahapan program kemitraan. Tahapan-tahapan yang akan ditelaah adalah : sosialisasi program, operasional kegiatan, kegiatan pembinaan serta monitoring dan evaluasi. Penjelasan dari masing-masing tahapan kegiatan tersebut diuraikan sebagai berikut :
5.3.1 Sosialisasi Kemitraan Tujuan dari sosialisasi adalah agar seluruh pihak yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat pesisir dapat memahami, mengenal, membantu dan menunjang pelaksanaan kegiatan sehingga dapat berjalan secara lancar dan mencapai tujuan secara optimal. Sosialisasi dilakukan melalui forum-forum sosialisasi di tingkat daerah, dengan melibatkan aparat pemda, tenaga bantuan teknis, tokoh masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, pers dan pihak-pihak lain yang terkait. Sosialisasi PEMP dilakukan secara berjenjang yakni : 1) Sosialisasi
ditingkat
menyempurnakan
kota
bertujuan
program-program
untuk
yang
menginformasikan
sudah
di
susun,
dan
dengan
melibatkan walikota Ambon, dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon, instansi-instansi terkait, perusahaan-perusahaan perikanan yang berada di Kota Ambon, serta BUMN seperti PT Pos dan Giro, PT Pelindo, PT Pelni. 2) Sosialisasi di tingkat kecamatan bertujuan untuk menyebarluaskan informasi mengenai PEMP, pola pelaksanaannya dan penyusunan rencana kerja tidak lanjut (RKTL). Sosialisasi dilakukan melalui pertemuan kecamatan (PK) yang difasilitasi oleh konsultan manajemen kota, camat, dan dibantu oleh tenaga pendamping desa (TPD). Sosialisai ini dihadiri oleh camat, muspika, instansi sektoral kecamatan, kepala desa/lurah, tokoh masyarakat, dan organisasi lokal lainnya di tingkat kecamatan. 3) Sosialisasi ditingkat desa bertujuan untuk menjelaskan kebijaksanaan dan prinsip tentang PEMP, berikut mekanisme pelaksanaannya. Sosialisasi dilakukan dalam pertemuan desa yang difasilitasi tenaga pendamping desa (TPD) dan kepala desa, dihadiri oleh mitra desa, aparat desa/kelurahan, tokoh-tokoh masyarakat lokal desa dan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP). Sosialisasi ditingkat desa hanya ditujukan kepada desa-desa yang menjadi sasaran penerima manfaat berdasarkan hasil studi dan kajian bersama.
82
Agar pelaksanaan sosialisasi tersebut dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka sebelum kegiatan sosialisasi dilaksanakan, perlu dilakukan kegiatan-kegiatan persiapan yang meliputi : 1) identifikasi sasaran sosialisasi yang disesuaikan dengan jenjang pelaksanaannya, 2) identifikasi dan penentuan media sosialisasi yang digunakan, yaitu melalui kegiatan lokakarya dan diskusi/temu wicara, 3) penyiapan materi/bahan pelaksanaan sosialisasi sesuai dengan media sosialisasi program yang akan digunakan. Hasil penelitian proses sosialisasi kemitraan melalui program PEMP di Kota Ambon untuk Tahun 2002 di Kecamatan Nusaniwe masih dilakukan oleh dinas kelautan dan perikanan, setelah itu proses pembentukan KMP, dan LEPPM3 di kecamatan ini, dilakukan oleh konsultan manajemen kota (KMK) yang ditunjuk oleh dinas yakni yayasan Hualopu. Hal ini sangat dipahami karena program PEMP masih merupakan hal yang baru dan masih perlu dipahami lebih jauh oleh dinas berdasarkan kondisi wilayah Kota Ambon. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak dinas, mereka mengakui bahwa awal pembentukan PEMP di Kota Ambon masih terdapat banyak kekurangannya. Sementara sosialisasi pada Tahun 2003 dan 2004 telah dilakukan berdasarkan pedoman umum (pedum)
PEMP Tahun 2003 dan sesuai rencana yang dibuat oleh
konsultan manajemen kota yang ditunjuk oleh dinas yakni
yayasan Camar
berdasarkan surat perjanjian kerja (SPK) yang disepakati antara dinas dan yayasan
Camar.
Dari hasil wawancara kepada KMP,
ternyata proses
sosialisasi yang dilakukan masih terasa kurang, terutama bagi yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, mereka belum sepenuhnya memahai kemitraan yang dibangun melalui program tersebut.
5.3.2 Operasional Kegiatan Kemitraan Menyadari bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki arti strategis dengan potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terkandung di dalamnya, maka pemerintah melalui departemen kelautan dan perikanan mengucurkan program PEMP. Sasaran utamanya adalah masyarakat pesisir yang memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan sebagai sumber pendapatannya. Pelaksanaan kemitraan usaha melalui program PEMP yang dilaksanakan di Kota Ambon berlangsung sejak Tahun 2001. Pelaksanaan program PEMP di Kota Ambon bertujuan untuk : (1). Meningkatkan
partisipasi
masyarakat
Kota
Ambon
dalam
perencanaan,
83
pelaksanaan, pengawasan, pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat yang didampingi dengan kegiatan sosial, pelestarian lingkungan, dan pengembangan infrastruktur untuk mendorong kemandirian masyarakat pesisir. (2). Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha untuk meningkatkan
pendapatan
masyarakat pesisir yang terkait dengan sumberdaya perikanan dan kelautan yang ada di sekitar perairan Kota Ambon. (3). Mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal, berkelanjutan sesuai dengan kaidah kelestarian
lingkungan.
(4).
Memperkuat
kelembagaan
sosial
ekonomi
masyarakat dan kemitraan dalam mendukung pengembangan wilayah Kota Ambon. (5). Mendorong terwujudnya mekanisme manajemen pembangunan yang partisipatif dan transparan dalam kegiatan masyarakat. Program
PEMP
diupayakan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat pesisir Kota Ambon melalui pemberdayaan masyarakat dan pendayagunaan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan. Operasional kegiatan PEMP di Kota Ambon, yang terbangun sejak tahun 2001 di fasililitasi oleh dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon, dan berdasarkan pedoman umum PEMP, Dinas kealutan dan perikanan Kota Ambon menunjuk yayasan Hualopu sebagai konsultan manajemen kota (KMK) yang mempunyai tugas sebagai berikut : (1) membantu dan memfasilitasi pelaksanaan program PEMP di Kota Ambon (2) memfasilitasi kegiatan tenaga pendamping desa (TPD) dengan kegiatan pendampingan (3) melaksanakan kegiatan PEMP berupa : 1) identifikasi dan inventarisasi potensi permasalahan untuk mendapatkan informasi awal tentang sumberdaya perikanan dan kelautan, sumberdaya manusia pesisir terutama kebutuhan, keinginan dan kemampuan masyarakat, aktivitas dan sasaran ekonomi, kebijakan pemerintah. 2) analisis data dan penyusunan program yang meliputi program ekonomi dan dilengkapi dengan program sosial serta lingkungan dan infrastruktur. 3) sosialisasi program, yang bertujuan untuk menginformasikan
dan menyempurnakan program yang telah disusun, baik
dalam bentuk seminar atau berkonsultasi dengan pihak yang berkepentingan, 4). implementasi program dengan tahapan sebagai berikut : pemilihan calon anggota KMP, yang harus memenuhi azas keadilan, bijaksana dan tepat sasaran, agar kegiatan PEMP berhasil secara optimal dan tidak menimbulkan friksi sosial. Oleh karena itu dalam pemilihannya harus melibatkan mitra desa dan TPD. Semantara pelatihan terdiri dari pengembangan potensi diri, kewirausahaan, teknis perikanan (yang disesuaikan dengan potensi setempat
84
seperti penangkapan), dan penyusunan usaha sederhana. 5) melakukan pendampingan dan pembinaan realisasi kegiatan usaha KMP, mulai dari pengadaan bahan, rancang bangun, pelaksanaan usaha dan pemasaran hasil usaha serta pemupukan modal. 6) melakukan monitoring dan evaluasi. 7) menyusun laporan bulanan mengenai perkembangan pelaksanaan program PEMP dan laporan insidental (apabila ada) sesuai dengan keperluan/kebutuhan kepada penanggungjawab operasional PEMP. 5.3.3 Kegiatan Pembinaan Pembinaan untuk kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) dalam hal ini kelompok nelayan, pada awalnya oleh konsultan manajemen kota (KMK), yakni yayasan Hualopu telah dilakukan, tetapi belum dilaksanakan secara konsisten, sementara pembinaan yang dilakukan oleh pihak LEPP-M3 yang sudah terbentuk sangat kurang bahkan pihak LEPP-M3 belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan dalam kontrak perjanjian. Pada awal pembentukan kelompok LEPP-M3 berjanji untuk selalu mendampingi kelompok, tetapi realisasinya hanya tiga kali mengadakan pertemuan dengan kelompok, sedangkan pertemuanpertemuan lainnya yang dilakukan LEPP-M3 dengan ketua kelompok KMP cenderung tidak diketahui oleh anggota kelompok. Sejak bulan pertama dan kedua pelaksanaan kemitraan, kondisi kelompok masih berjalan sesuai yang diharapkan. Tetapi kemudian kondisi kelompok menjadi tidak berfungsi sebagaimana layaknya kelompok. Di sisi lain kita ketahui bahwa perubahan perilaku nelayan akan membutuhkan waktu yang lama. Proses perubahan sumberdaya manusia (kelompok nelayan peserta kemitraan melibatkan banyak usaha dan tenaga). Usaha-usaha pendidikan yang lazim dikenal dengan nama pembinaan, yang di dalamnya tidak lain adalah kegiatan proses komunikasi persuasif, merupakan salah satu faktor yang dapat memainkan peranan penting dalam menimbulkan perubahan sumberdaya manusia. Keterlibatan nelayan sebagai pengelola sumberdaya perikanan laut tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama pemilihan lapangan pekerjaan yaitu memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Nelayan merupakan human investment yang jika dimanfaatkan dengan maksimal dan disertai dengan pengalokasian yang serasi akan memberikan pengaruh terhadap perbaikan hidup dan peningkatan hasil usaha.
85
Pembinaan adalah suatu sistem pendidikan non formal untuk mengubah perilaku (pengetahuan, sikap dan ketrampilan), agar mampu berperan sesuai dengan kedudukannya dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. Pembinaan terhadap kelompok nelayan dimaksudkan untuk meningkatkan produksi hasil tangkapan baik kuantitatif maupun kualitatif dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Selain itu pembinaan kelompok nelayan juga adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan nelayan dalam pengetahuan teori dan ketrampilan usaha. Berdasarkan kenyataan, hasil penelitian tentang kurangnya pembinaan yang terjadi terhadap kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), menyebabkan saling tidak percaya antara anggota kelompok nelayan dan ketua kelompok, bahkan terhadap mitra (LEPP-M3). Untuk mengatasi persoalan tersebut perlu dibuat rencana kerja kelompok dengan jelas, pertemuan-pertemuan kelompok dan hak serta kewajiban setiap anggota kelompok. Sesuai pendapat Anwar (1997) mengatakan untuk mengatasi sifat pembonceng (free rider) baik dalam sumberdaya alam maupun kelompok, maka harus dibuat pembagian hak dan kewajiban yang jelas antara setiap anggota kelompok. Beberapa alternatif yang dapat ditempuh untuk membenahi kelompok antara lain merealisiasi dan mengembangkan tugas dan peran kelompok sekaligus memperkuat posisi tawar (bargaining position) kelembagaan kelompok tersebut untuk masa yang akan datang, diantaranya : 1). Pemilihan ketua kelompok dilakukan oleh semua anggota kelompok dan ditetapkan dengan surat keputusan oleh mitra.
2).
Memberikan kewajiban/tanggungjawab yang jelas kepada ketua kelompok agar dapat dilakukan evaluasi. 3). Menggali potensi sosial yang berkembang pada masing-masing peserta dan mengembangkannya di dalam kelompok.
5.3.4 Monitoring dan Evaluasi Agar program kemitraan dapat mencapai tujuannya, maka dalam proses pelaksanaannya dibutuhkan kegiatan monitoring dan evaluasi. Kegiatan ini seyogyanya dilakukan oleh dinas perikanan dan kelautan sebagai pembina dalam program kemitraan ini yang sesuai dengan pedoman umum program PEMP adalah konsultan manajemen kota (KMK) Monitoring program PEMP dilakukan untuk mengetahui kemajuan pelaksaaan, kendala dan rencana tindak lanjut. Monitoring dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat, dalam hal ini kelompok masyarakat
86
pemanfaat (KMP) maupun masyarakat umum. Mereka dapat mengadukan penyimpangan
pelaksaaan
program
PEMP
kepada
penanggung
jawab
operasional yang dilakukan ditingkat daerah. Indikator kinerja dalam evalusai program PEMP yang terbangun antara dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon dan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), mencakup: 1) tersosialisasinya program PEMP kepada pihak terkait. 2) tersalurkannya dana ekonomi produktif masyarakat secara tepat jumlah, waktu dan sasaran sesuai dengan usulan kegiatan yang disetujui. 3) berjalannnya pembinaan dan pengawasan kegiatan PEMP. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa monitoring dan evaluasi terhadap semua tahapan kegiatan, belum dilaksanakan secara baik. Hal ini berdampak terhadap keberlanjutan program tersebut. Tidak berjalannya proses monitorng dan evaluasi sebagaimana yang diharapkan dalam pedoman umum PEMP, juga mengakibatkan berbagai masalah yang dihadapi oleh KMP maupun LEPP-M3 itu sendiri tidak dapat tertangani dengan baik. Sebagai contoh, kerusakan kapal yang dihadapi oleh KMP Babiritani desa Naku, tidak segera mendapat perhatian dari LEPP-M3 maupun dinas kelautan dan perikanan kota Ambon.
5.4 Bentuk Dan Strategi Kemitraan Pola kerjasama dalam kemitraan adalah pola kerjasama inti plasma. Dinas kelautan dan perikanan kota Ambon memberi bantuan kepada KMP sebagai plasma melalui LEPP-M3 yang melibatkan (KMK). Kerjasama dengan KMK dimaksudkan untuk membantu dan membina secara bersama-sama kemajuan plasma (KMP). Keterlibatan dinas kelautan dan perikanan adalah dari segi pendanaan dan keterlibatan KMK adalah dari segi bimbingan dan pelatihan kualitas mutu hasil tangkapan, prosedur dan penyediaan pasar. Pola kerjasama kemitraan dapat dilihat pada Gambar 11. Pola Koordinasi yang diterapkan dalam kemitraan ini dapat diuraikan sebagai berikut : (1) Integrasi vertikal Pola koordinasi kelembagan integrasi vertikal memiliki kebaikan dan kelemahan. Kebaikannya adalah kontrol terhadap pelaksanaan kegiatan akan lebih mudah dan efektif sebagai akibat terpusatnya dan seragamnya jenis informasi yang diterima. Kelemahan dari pola ini yakni pada kondisi organisasi yang melibatkan banyak orang dan jenjang panjang akan mengakibatkan
87
keputusan yang diambil terlambat dan tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya. Jalur informasi yang dilalui panjang sehingga sebagian informasi telah hilang (missing information). Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Brinkenhorf et al. (1990) bahwa faktor yang menentukan keberhasilan suatu institusi yang pertama adalah aliran informasi antara “stakeholders” institusi. Informasi yang asymetri merupakan penyebab utama mengapa keragaan institusi menjadi lemah. Kedua adalah struktur sistem dalam institusi tersebut. Struktur sistem menjadi penting karena struktur sistem mempengaruhi insentif dan perilaku. Struktur sistem juga mempengaruhi aliran informasi dan informasi berkaitan erat dengan biaya tansaksi.
Kerjasama Inti -Plasma Perjanjian Pokok Kerjasama
DKP
Pengembalian bagi hasiil dan cicilan dari palsma
LEPP-M3
- Modal Investasi/Kerja - Bantuan teknis & pemasaran - Tenaga lapangan/monitoring
PLASMA Pembayaran hasil produksi dikurangi bagi hasil dan cicilan atas pembiayaan DEP
Gambar 11. Pola kerjasama kemitraan
88
Keburukan yang juga terjadi dalam penggunaan pola koordinasi integrasi vertikal adalah pada kegiatan/aktivitas yang mengejar keuntungan (profit taking) akan menyebabkan terjadinya penghisapan oleh mitra terhadap nelayan. Dengan menerapakan koordinasi integrasi vertikal pihak mitra dapat mengatur segala keinginannya dan sebaliknya pihak nelayan peserta mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap mitra. Akibat dari kondisi tersebut, pihak nelayan akan mengikuti sepenuhnya semua keputusan mitra baik dalam pengaturan bantuan sarana produksi, maupun harga input dan output yang diterima oleh nelayan. Dari uraian di atas dan bila dikaitkan dengan karakteristik LEPP-M3 yang berorientasi bisnis (mencari keuntungan) dan karakteristik usaha penangkapan yang memiliki resiko usaha yang tinggi akibat faktor musim dan resiko pesaing, maka pola koordinasi integrasi vertikal yang diterapkan oleh LEPP-M3 kurang tepat dan akan merugikan nelayan peserta kemitraan. (2) Koordinasi kooperatif formal Hubungan kerjasama atau koordinasi yang bersifat koperatif formal terlihat pada hubungan kerjasama antara mitra dengan kelembagaan/instansi pemerintah seperti, bank dan instansi terkait lainnya. Pola hubungan kerjasama dilakukan hanya dengan Konsultan Manajemen Kota yang berfungsi untuk melakukan pelatihan teknis penangkapan, penanganan hasil produksi serta penyediaan pasar. Dari hasil penelitian ternyata pola koordinasi ini tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini berdampak kepada kesulitannya nelayan dalam memasarkan hasil tangkapan mereka terutama pada saat musim tangkapan. (3) Koordinasi aliansi strategis Koordinasi yang bersifat aliansi strategis (strategic alliancy) merupakan bentuk kerjasama antara dua belah pihak atau lebih dengan azas menggunakan fasilitas bersama. Pada dasarnya yang bersekutu saling berkepentingan terhadap fasilitas tertentu dan dapat memanfaatkannya bersama. Bila salah satu dari mereka keluar dari persekutuan tersebut, maka akan dirugikan. Pola kerjasama yang dibangun antara LEPP-M3 dengan dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon adalah bersifat aliansi strategis. Sesuai dengan perjanjian kerjasama dimana pihak mitra menyerahkan sepenuhnya kepada konsultan manajemen kota untuk melakukan fungsinya dalam hal bimbingan teknis dan pelatihan serta menyediakan pasar bagi nelayan peserta (KMP).
89
Insentif yang diterima oleh pihak konsultan manajemen kota adalah dana dari LEPP-M3 untuk kelancaran fungsi tersebut. Sedangkan bagi pihak LEPP-M3 dengan adanya kerjasama ini, semakin berkurangnya beban pekerjaan. Keadaan ini menunjukkan adanya persekutuan antara kedua belah pihak tersebut, yang bila salah satu mundur, maka akan dirugikan. Koordinasi yang dilakuka oleh kedua mitra dengan peserta/kelembagaan kelompok nelayan juga termasuk dalam aliansi strategis. Hal ini nampak dari adanya ketergantungan bersama terhadap kelangsungan dari proyek kemitraan tersebut. Pihak mitra mempunyai tugas mencapai tujuan proyek, sedangkan KMP peserta kemitraan mempunyai kepentingan terhadap keberhasilan proyek agar
pendapatannya
meningkat
yang
pada
gilirannya
meningkatkan
kesejahteraan KMP tersebut. Dari urain tersebut di atas terlihat adanya kebutuhan bersama terhadap aktivitas ekonomi yang dilakukan dan bila salah satu keluar dari aliansi tersebut, maka akan ada yang dirugikan. Hal inilah yang merupakan salah satu ciri pokok dari koordinasi yang bersifat aliansi strategis. (4) Koordinasi sistem kontrak Sistem kontrak (contrac system) merupakan pola kerjasama antara dua atau lebih pihak yang bekerjasama. Secara formal ciri dari kerjasama dengan sistem kontrak tersebut adalah adanya pihak ketiga sebagai pelerai yang umumnya berasal dari lembaga hukum. Ciri lainnya dari sistim kontrak ini adalah adanya batasan jumlah fisik, kualitas dan batasan waktu yang tegas. Pada kemitraan yang terbangun antara LEPP-M3 dengan dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon sistem kontrak hanya terjadi sesuai perjanjian dengan kelompok masyarakat pemanfaan (KMP) bahwa sistem kemitraan ini menganut pola bagi hasil, dimana batas waktu yang ditetapkan untuk pengembalian kredit tersebut selama 2-5 tahun. Hal yang merinci dari kerjasama antar kedua belah pihak tersebut yaitu adanya spesifikasi barang yang diperlukan yakni, adanya syarat-syarat teknis yang harus dipenuhi, adanya jangka waktu pelaksanaan dan sanksi kepada pihak yang tidak menepatinya. Berdasarkan uraian tentang pola koordinasi yang diterapkan dalam kemitraan yang berlangsung antara LEPP-M3 dengan dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon, maka sebenarnya pola koordinasi yang mesti diterapkan berdasarkan kesepakatan melalui kontrak perjanjian adalah kelembagaan koordinasi aliansi strategis. Tetapi kenyataan di lapangan ternyata pola ini tidak dapat diterapkan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan terputusnya
90
koordinasi antara LEPP-M3 dengan pihak dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon yang sebenarnya memiliki peran yang besar dalam hal pembinaan terhadap KMP. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pola koordinasi kelembagaan lebih cenderung pada pola integrasi vertikal. Hal ini terlihat dengan adanya keputusan yang diambil harus melewati jenjang sesuai dengan garis koordinasi dari LEPPM3, tenaga pendamping desa (TPD) yang bertugas di dalam mengkoordinasi kegiatan proyek kemitraan tersebut, tidak dapat mengambil keputusan yang mendesak ketika menemui hambatan di lapangan terhadap berbagai masalah seperti belum tersedianya rumpon dan BBM bagi kelompok nelayan dalam melakukan
penangkapan.
Tenaga
pendamping
desa
harus
mendapat
persetujuan dari konsultan manajemen kota (KMK), olehnya memerlukan waktu dan proses yang panjang sehingga akan berdampak pada peningkatan produktivitas dari kelompok masyarakat pemanfaat , yakni nelayan purse seine.
5.5 Karakteristik Kemitraan Tingkat keragaman kemitraaan usaha yang terbangun melalui program PEMP di Kota Ambon di duga di pengaruhi oleh variabel biaya operasional (X1), jumlah produksi (X2), harga jual (X3), kegiatan pembinaan (X4), jumlah tempat pemasaran (X5), persentasi pendapatan nelayan dalam sistem bagi hasil (X6), Jumlah trip penangkapan (X7), produktivitas nelayan (X8), kapasitas kapal (X9), umur nelayan
(X10), pengalaman
menjadi nelayan (X11) dan jumlah
tanggungan kelauraga (X12). Hasil analisis faktor (Tabel 29), di peroleh tiga variabel yang memiliki nilai komunalitas > 0,7 yang mempengaruhi tingkat keragaman kemitraan. Ketiga variabel tersebut yakni jumlah produksi, harga jual, dan produktivitas nelayan. Hasil analisis faktor mampu menjelaskan bahwa keragaman kemitraan yang tebangun melalui program PEMP adalah sebesar 42.7 %. Secara parsial variabel jumlah produksi
berpengaruh secara positif
terhadap keragaman kemitraan. Semakin tinggi hasil tangkapan yang didapat akan berpengaruh terhadap kegairahan nelayan untuk tetap melaut dengan demikian mereka merasa bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kemitraan yang terbangun, dengan sendirinya mereka akan mampu memenuhi segala beban yang ditanggung berdasarkan kesepakatan perjanjian yang dibuat. Hal ini
91
akan sangat berpengaruh terhadap kinerja kemitraan, artinya kemitraan yang terbangun akan memiliki prospek yang baik ke depan. Tabel 29. Hasil analisis faktor terhadap karakteristik kemitraan No
Variabel
Faktor 1
Faktor 2
Komunalitas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Biaya Opresional (X1) Jumlah produksi (X2) Harga jual (X3) Kegiatan Pembinaan (X4) Tempat Pemasaran (X5) Bagian Pendaptan Nelayan (X6) Trip Penangkapan(X7) Produktivitas Nelayan (X8) Kapasitas Kapal (X9) Umur (X10) Pengalaman (X11) Tanggungan Keluarga (X12)
0.356 0.192 0.736 0.576 -0.641 -0.279 0.649 -0.206 0.647 -0.241 -0.315 -0.143
0.415 0.889 0.310 0.415 0.507 -0.116 -0.019 0.908 -0.147 -0.054 -0.106 -0.397
0.306 0.827 0.637 0.505 0.667 0.106 0.421 0.867 0.440 0.061 0.110 0.178
2.5914 0.216
2.5332 0.211
Variance % Var Sumber : Data primer diolah (2008)
Variabel harga jual memberikan dampak yang positif terhadap keragaman kemitraan. Hal ini disebabkan harga jual yang berlaku di tingkat nelayan mengalami penyesuain terhadap harga pasar. Artinya nelayan tidak terikat terhadap harga yang ditetapkan oleh indusrtri perikanan, nelayan peserta kemitraan tetap akan menyesuaikan harga bila terjadi fluktuasi harga di pasaran. Variabel produktivitas nelayan
ikut memberikan andil secara positif
terhadap keragaman kemitraan. Produktivitas nelayan sangat di pengaruhi oleh beberapa faktor lain yakni biaya operasional. Meskipun penambahan biaya operasinal
tidak
secara
langsung
akan
meningkatkan
produksi,
tetapi
keberadaannya sangat mempengaruhi kelancaran aktivitas penangkapan. Semakin lancar pengadaan biaya operasional, maka akan semakin memperbaiki pelaksanaan kemitraan. Selain itu jumlah trip penangkapan, akan berpengaruh terhadap produktivitas nelayan. Penambahan terhadap jumlah trip penangkapan, diduga akan berpengaruh terhadap hasil yang didapatkan, dan secara langsung mempengaruhi produktivitas nelayan. Dengan demikian akan berdampak terhadap kinerja kemitraan yang terbangun.
6 KINERJA KELEMBAGAAN KEMITRAAN
6.1 Pendapatan Kelompok Masyarakat Pemanfaat Pendapatan nelayan peserta kemitraan sangat tergantung dari sistem bagi hasil yang diterapkan. Secara adat kebiasaan dalam penangkapan ikan, nelayan sebagai pandega atau anak buak kapal (ABK), jarang digaji secara tetap. Biasanya pembayaran dilakukan sesuai porsi dari hasil tangkapan, hal ini disebabkan hasil tangkapan dan penjualan ikan tidak pernah sama, cenderung berfluktuasi dan tidak pasti. Adanya
ketidakpastian
terhadap
hasil
tangkapan
inilah
yang
memungkinkan munculnya pola bagi hasil. Ikan hasil tangkapan nelayan dibagi diantara yang terlibat dalam operasi penangkapan sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan nelayan, dimana masing-masing daerah menunjukkan variasi yang tidak sama. Perbedaan ini disebabkan oleh tradisi masing-masing daerah, juga dipengaruhi oleh corak hubungan yang terjadi di antara mereka yang terlibat disamping oleh sarana produksi penangkapan yang digunakan. Pembagian hasilnya juga dapat berubah tiap saat tergantung dengan kondisi dan tuntutan khusus yang setiap saat berubah. Secara umum separuh dari hasil tangkapan menjadi bagian juragan sebagai pemilik sarana penangkapan, separuh sisanya menjadi bagian ABK. Dalam hal ini bagian tersebut dibagi berdasarkan porsi keterlibatanya secara khusus sebagai awak kapal. Dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pemerataan
sumberdaya perikanan sesuai kontribusi masing-masing pihak pengelola sumberdaya tersebut, pemerintah telah mencoba mengatur sistem bagi hasil perikanan melalui UU No. 16 Tahun 1964 (tentang bagi hasil perikanan), tetapi sampai saat ini penerapan UU tersebut banyak mengalami hambatan disebabkan sistem bagi hasil perikanan belum merupakan ikatan antara nelayan pemilik dan nelayan buruh yang bersifat lokal dan sangat berbeda antar daerah maupun peralatan yang digunakan (Taryoto et al. 1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem bagi hasil kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) peserta kemitraan di lokasi penelitian dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama. Kesepakatan yang dimaksud adalah antara pemilik sarana penangkapan bantuan LEPP-M3 yang adalah ketua kelompok dengan nelayan ABK yakni anggota kelompok yang biasanya berjumlah ratarata 20 orang.
93
Dalam usaha penangkapan ikan, nilai produksi dari usaha penangkapan dipengaruhi oleh musim, dalam hal ini faktor keadaan arus dan angin yang mengganggu proses operasional penangkapan ikan itu sendiri. Disamping itu, jumlah populasi ikan pada fishing ground juga mempengaruhi jumlah atau nilai produksi yang didapatkan. Populasi ikan dalam suatu perairan dipengaruhi kondisi biotik (jumlah dan kualitas makanan) dan abiotik (suhu, penetrasi cahaya, dan luas permukaan). Musim ikan banyak (panen) biasanya dialami nelayan pada bulan Oktober, Nopember, April dan Mei. Musim biasa/sedang berlangsung pada Agustus, September, Desember, Januari, Pebruari dan Maret. Sementara pada bulan dimana terjadi paceklik ikan yaitu bulan Juni dan Juli, umumnya nelayan tidak melaut karena keadaan cuaca dimana angin dan arus yang kuat menghambat nelayan dalam melakukan penangkapanl, dan juga jumlah populasi ikannya kecil. Analisis pendapatan dalam penelitian ini hanya difokuskan kepada nelayan yang terlibat langsung dalam kegiatan penangkapan, yakni juragan (pimpinan operasional penangkapan atau fishing master) yang dalam istilah setempat dinamakan ”tanase”, ABK yang memiliki keahlian khusus (motoris) dan ABK biasa yang disebut boy-boy. Klasifikasi ini didasarkan pada keahlian dan peran
masing-masing
dalam
kegiatan
penangkapan,
yang
selanjutnya
berimplikasi terhadap sistem bagi hasil yang berlaku. Adapun sistem bagi hasil yang berlaku pada KMP peserta kemitraan disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30. Sistem bagi hasil KMP peserta kemitraan No
Status nelayan
Bagian yang diperoleh
1
Tanase (Juragan)
2
2
Motoris
1,5
3
Masnait (boy-boy)
1
Sumber : Data primer diolah (2008)
Perolehan bagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing nelayan yang diklasifikasikan berdasarkan keahlian di atas, setelah melalui pembagian hasil yang berlaku yakni untuk nelayan pemilik yang memilki sarana penangkapan (jaring), yang memilki rumpon dan bagian untuk ABK. Pembagian hasil yang biasanya dilakukan antara lain : 33,33% pemilik, 33,33% rumpon dan 33,33% ABK, 30 % pemilik, 30 % rumpon, 40 % ABK dan 60 % pemillik (tidak
94
memiliki rumpon), 40 % ABK, serta 50 % pemilik (tanpa rumpon), 50 % ABK. Seluruh pembagian hasil ini setelah dikurangi dengan biaya variabel, biaya tetap. Bila
ditinjau
berdasarkan
jumlah
persentasi
terhadap
nilai
total
pendapatan, maka pimpinan operasional penangkapan atau juragan memperoleh porsi rata-rata sebanyak 6,67 %, ABK khusus sebanyak 5 % dan ABK biasa sebanyak 3,3 %. Berdasarkan gambaran di atas, maka dalam sistim bagi hasil sesungguhnya terjadi ketimpangan antara nelayan pemilik dengan ABK. Berdasarkan sistim bagi hasil yang tertera pada Tabel 29, selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap tingkat pendapatan KMP peserta kemitraan, yang perinciannya ditampilkan pada (lampiran 3). Sementara gambaran tentang pendapatan KMP peserta kemitraan di sajikan pada Tabel 31.
Tabel 31. Kisaran pendapatan KMP peserta kemitraan No
Status Nelayan
Jumlah responden
Nilai (Rp)
1
Juragan
16
854.780 – 3.033.296
2
ABK khusus
33
590.487 – 2.274.972
3
ABK biasa
33
472.390 – 1.234.470
Sumber : Data primer diolah (2008)
Tabel di atas memperlihatkan bahwa kisaran pendapatan juragan terendah adalah Rp. 854.780, sementara ABK khusus dan biasa masing-masing (Rp.590.487 dan Rp 472.390). Bila dibandingkan pendapatan juragan dengan ABK khusus dan biasa terlihat ada ketimpangan. Ha ini disebabkan oleh sistem pembagian hasil yang belum sepenuhnya memperhatikan korbanan yang diberikan oleh ABK terhadap usaha penangkapan ini. Penerapan suatu bentuk tekologi di lapangan (jaring dan perahu) yang dilakukan oleh LEPP-M3 memang akan meningkatkan pendapatan nelayan peserta kemitraan, tetapi teknologi tersebut harus diuji terhadap pengaruh sosialnya pada masyarakat sekitarnya. Banyak contoh yang menunjukkan bahwa suatu bentuk teknologi yang secara teknis dan ekonomis dapat diaksanakan dan sangat menguntungkan, pada akhirnya menghadapi berbagai masalah karena dalam pelaksanaannya di lapangan tidak atau kurang diterima oleh masyarakat. Perubahan mendasar yang telah terjadi dari dampak kemitraan terhadap nelayan peserta kemitraan adalah peningkatan pendapatan. Hal ini akan terus berlanjut, jika ditangani secara profesional baik dari pihak LEPP-M3, maupun
95
keseriusan dari instansi terkait untuk mendorong peserta kemitraan agar tetap memiliki motivasi dalam berusaha. Disadari bahwa faktor kerusuhan sosial menyebabkan belum secara pasti dikatakan program kemitraan ini berhasil atau tidak berhasil, hal ini perlu dilakukan evaluasi yang lebih tepat dan membutuhkan waktu. Keberhasilan suatu kegiatan usaha juga sangat ditunjang oleh faktor penentunya yakni sumberdaya manusia
(nelayan peserta), disamping faktor
alam, modal, teknologi dan kewirausahaan. Sangat dipahami bahwa pendapatan merupakan salah satu unsur tingkat kesejahteraan
manusia
yang
sangat
mempengaruhi
tingkat
kecukupan
kebutuhan dasar. Pendapatan KMP peserta kemitraan di lokasi penelitian pada dasarnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu, tergantung dari produksi yang mengalami fluktuasi sesuai musim tangkapan. Fluktuasinya tingkat pendapatan ini tentu akan mempengaruhi nelayan dalam mengambil keputusan berkait dengan pemenuhan kebutuhan keluarganya. Jika pendapatan tersebut tidak dikelola secara bijaksana akan menimbulkan persoalan. Dari hasil penelitian ditemukan juga bahwa nelayan peseta kemitraan belum menyisihkan sebagian pendapatan dari hasil tangkapan dalam bentuk tabungan. Hal ini menyebabkan beberapa peserta kemitraan terpaksa melakukan hutang untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) bagi kebutuhan operasi penangkapan. Mencermati kondisi tersebut, akan sangat memprihatinkan jika pihak mitra (LEPP-M3) mengabaikan aspek pembinaan manajemen usaha yang baik bagi nelayan peserta kemitraan. Perencanaan proyek kemitraan yang terpisah-pisah dan tidak menyeluruh mencakup berbagai aspek dan lembaga yang berkaitan dan berperan di dalamnya, akan menyebabkan kasus demi kasus keberhasilan sebagai aspek tetapi tidak diikuti oleh kegagalan pada aspek lainnya. Oleh karena itu masalah pemberian kredit berupa alat tangkap dan armadanya mencakup banyak komponen di dalamnya yang berinteraksi satu dengan yang lainnya di dalam suatu batasan atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu. Masalah ini bersifat kompleks karena berkaitan dengan berbagai disiplin lain dan dinamis karena berkembang dengan perubahan waktu.
6.2 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan KMP Analisis yang dilakukan pada tahapan ini adalah pengaruh variabel bebas yang tergolong dalam faktor utama terhadap pendapatan nelayan (KMP) peserta
96
kemitraan secara keseluruhan. Dari hasil analisis faktor, terdapat 3 variabel bebas yang mempengaruhi pendapatan kelompok masyarakat pemanfaat peserta kemitraan. Selain itu dalam analisis ini juga dimasukan bagian pendapatan nelayan dalam sistem bagi hasil yang berlaku untuk melihat pengaruh status nelayan. Porsi pendapatan nelayan dijadikan variabel dummy, yang terdiri atas satus sebagai pemimpin operasional (SN-1) dan status sebagai ABK khusus (SN-2). Hasil estimasi variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap pendapatan kelompok masyarakat pemanfaat peserta kemitraan disajikan pada Tabel 32.
Tabel 32. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan KMP peserta kemitraan Variabel Konstanta Jumlah produksi Harga jual Produktivitas Status Nelayan (1=juragan, 0=lainnya) Status ABK (1=ABK khusus, 0=ABK biasa)
Koefisien Estimasi 545938 47,99 130,4 722,9
T- Ratio
P
Keterangan
-99,39 78,93 104,29 -2,58
0,000 0,000 0,000 0,011
* * * *
82807
-0,48
0,632
ns
64536
-0,61
0,543
ns
Sumber : Data primer diolah (2008) Ket : * = Nyata berpengaruh ns = Tidak nyata
Hasil analisis dengan asumsi cateris paribus menunjukkan bahwa secara simultan variabel-variabel bebas di atas mampu menjelaskan tentang variasi naik turunnya tingkat pendapatan kelompok masyarakat pemanfaat peserta kemitraan sebesar 99,8 %. Adapun variabel-variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan KMP adalah jumlah produksi, harga jual, dan produktivitas nelayan. Variabel jumlah produksi dan harga jual memberikan pengaruh yang nyata terhadap pendapatan kelompok masyarakat pemanfaat peserta kemitraan. Dengan asumsi ceteris paribus, peningkatan sebesar 1 % pada kedua variabel tersebut akan memberikan pengaruh peningkatan pendapatan masing-masing sebesar 0,48 % dan 1,30 %. Mengingat besarnya pengaruh variabel harga jual tersebut, maka dalam kemitraan yang terbangun perlu mendapat perhatian serius dari semua partisipan, sehingga kelompok masyarakat pemanfaat dalam hal ini nelayan memiliki kesempatan untuk memperbaiki tingkat pendapatannya. Dengan demikian upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan
97
sumberdaya teknologi menjadi sangat strategis. Disamping itu perlu ditunjang oleh ketersediaan informasi pasar yang memadai sehingga nelayan dapat menyesuaikan harga jual hasil tangkapannya. Variabel produktivitas nelayan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pendapatan kelompok masyarakat pemanfaat
peserta kemitraan.
Dengan asumsi caterius varibus, peningkatan sebesar 1 % pada variabel ini akan memberikan pengaruh peningkatan sebesar
7,23 %. Produktivitas nelayan
sangat tergantung dari jumlah trip penangkapan dan jumlah hasil tangkapannya. Apabila nelayan memperbesar trip penangkapannya, dengan asumsi fishing grund yang tersedia memiliki sumberdaya ikan, maka peluang untuk memperoleh hasil tangkapan yang banyak semakin tersedia, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas nelayan.
6.3 Biaya Transaksi Salah satu ukuran baik buruknya kinerja kemitraan dapat ditelaah dari biaya-biaya transaksi yang terjadi di dalamnya. Makin kecil biaya transaksi, maka kinerja kemitraan itu makin efisien. Biaya transaksi (transaction cost) merupakan ciri utama dari aktivitas ekonomi yang tidak berlangsung melalui pasar bebas (spot market). Schmid (1987) membedakan biaya transaksi menjadi biaya kontraktual (contractual cost), biaya informasi (information cost) dan biaya kebijakan (policing cost). Menurut Williamson (1985) biaya transaksi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan kelancaran aktivitas ekonomi dan tidak termasuk dalam biaya produksi. Biaya transaksi itu sendiri dapat muncul diawal sebelum transaksi (ex ante) dan setelah transaksii terjadi (ex post). Biaya-biaya yang melancarkan aktivitas ekonomi seperti insentif, hadiah dan biaya-biaya sarana
dan
prasarana
yang
diperlukan
untuk
kepentingan
kelancaran
administrasi dan kelancaran koordinasi termasuk juga dalam biaya transaksi. Hasil penelitian terhadap biaya transaksi pada proyek kemitraan melalui program PEMP memperlihattkan bahwa biaya transaksi oleh KMK berdasarkan kontrak kerja sesuai dengan tahun berjalannya proyek tersebut, terdiri atas biaya identifikasi potensi, monitoring dan evaluasi, biaya sosialisasi, serta biaya pembentukan kelembagaan mitra. Besarnya biaya transaksi tersebut berkisar antara Rp.40.000.000. Sementara biaya transaksi yang dikeluarkan oleh LEPPM3 “Basudara” selama berlangsungnya kemitraan sebesar Rp.31.069.050.
98
Besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan ini tentu lebih mengutamakan efisiensi investasi pada kegaitan yang dilakukannya. Karena dinas kelautan dan perikanan bukan merupakan perusahaan swasta, sehingga keuntungan ekonomi bukan merupakan faktor yang diprioritaskan pada tujuan akhir dari kegiatan tersebut, melainkan keuntungan sosial yang diutamakan. Hal ini berbeda dengan kegiatan yang dibangun oleh perusahaan swasta dimana lebih menitikberatkan pada keuntungan ekonomi akhir dari kegiatan yang dilakukannya. Terdapat perbedaan antara pelaksana proyek yang dilakukan oleh pihak pemerintah dan swasta, hal ini dapat menyebabkan keterikatan dan koordinasi yang berbeda sehingga dapat membedakan biaya koordinasi/administrasi. Bila pelaksananya pemerintah, mungkin efesiensi investasi bukan merupakan tujuan utama yang dinginkan, melainkan lebih mengarah pada keuntungan sosial yang akan dihasilkan. Sebaliknya bila swasta sebagai pelaksana proyek lebih mengutamkan efisiensi investasi dengan tujuan akhir adalah keuntungan (private profit) yang tinggi. Implikasinya, agar memperoleh keuntungan yang besar, pihak swasta tentu
akan
berupaya
untuk
memperkecil
biaya
administrasi
dengan
memperpendek urusan administrasi atau memperkecil biaya sosial melalui “penghisapan” terhadap nelayan.
6.4 Indikator Keberhasilan Ukuran - ukuran yang menjadi indikator keberhasilan kemitraan yang terbangun melalui program PEMP di Kota Ambon belum dirumuskan secara tersurat. Namum berdasarkan penelusuran terhadap aspirasi dari setiap kelompok partisipan (kelompok masyarakat pemanfaat),
LEPP-M3, dinas
kelautan dan perikanan, konsultan manajemen kota (KMK), tenaga pendamping desa (TPD), mitra desa, bank dan instansi terkait lainnya, ternyata masingmasing memiliki ukuran tersendiri terhadap keberhasilan kemitraan melalui program PEMP yang dilaksanakan di Kota Ambon. Ukuran keberhasilan tersebut dibangun berdasarkan harapan-harapan yang diinginkan dalam program PEMP tersebut. Rincian tentang indikator keberhasilan kemitran bagi setiap partisipan disajikan pada Tabel 33. Nampak bahwa harapan atau aspirasi keberhasilan kemitraan di kalangan partisipan meskipun dalam beberapa hal memiliki kesamaan, tetapi terdapat pula beberapa perbedaan. Jika diasumsikan kedudukan setiap kriteria sama pentingnya bagi setiap kelompok partisipan maka pencapaian target dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon dalam bermitra
99
dengan nelayan hanya sekitar 38,89 % Rendahnya pencapaian target ini disebabkan nelayan belum mampu mengembalikan dana DEP. Tabel 33. Indikator keberhasilan pelaksanaan kemitraan No 1
2
3.
Kelompok Partisipan Dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon
Kelompok Pemanfaat
Masyarakat
Instansi terkait (Bank, KMK, Mitra Desa, TPD)
Indikator Keberhasilan - Kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) dapat memanfaatkan dan memelihara bantuan secara baik dan bertanggung jawab. - Melalui kemitraan program PEMP KMP mampu dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga
Nilai 4
- Dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon melalui konsultan manajemen kota (KMK) dapat memberikan pembinaan teknis maupun manajemen secara intensif dan sistematis - KMK mampu bekerja sama dengan instansi terkait untuk menyediakan pasar bagi KMP - Dana DEP tidak hanya diberikan untuk kebutuhan alat tangkap tapi penyediaan sarana BBM bagi keperluan operasional KMP mesti menjadi perhatian
1
- KMP mampu mengemblikan bantuan dana DEP bagi opersional LEPP-M3 sehingga dapat digulirkan bagi kelompok masyarakat lainnya - DEP bantuan bagi KMP, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan yang pada gilirannya dapat membantu pemenuhan kehidupan rumah tangga KMP
2
2
3
2
4
Sumber : Data primer diolah (2008)
Ket : 5 = sangat baik, 4 = baik, 3 = kurang baik 2 = buruk 1 =sangat buruk Berdasarkan
Tabel
33,
nampak
bahwa
harapan
atau
aspirasi
keberhasilan kemitraan di kalangan partisipan meskipun dalam beberapa hal memiliki kesamaan, tetapi terdapat pula beberapa perbedaan. Jika diasumsikan kedudukan setiap kriteria sama pentingnya bagi setiap kelompok partisipan maka pencapaian target dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon dalam bermitra dengan nelayan hanya sekitar 38,89 % Rendahnya pencapaian target ini disebabkan nelayan belum mampu mengembalikan dana DEP.
100
Sebenarnya yang menjadi harapan utama kelompok masyarakat pemanfaat (KMP),
adalah adanya pendapatan yang memadai. Hasil analisis
pendapatan diperoleh bahwa, usaha penangkapan khususnya
purse seine
belum sepenuhnya dapat diandalkan, dan bahkan semakin tidak menjanjikan kehidupan yang lebih baik, meskipun dalam sistem bagi hasil ABK biasa mendapat porsi 33,33 %. Atau 40 % dan 50 %. Dari pihak instansi terkait (bank, KMK, TPD dan mitra desa), harapan yang terealisir terhadap kemitraan usaha yang terbangun melalui program PEMP hanya mencapai 33,33 %. Rendahnya target yang tercapai, lebih disebabkan sikap dinas perikanan dan kelautan Kota Ambon yang belum melaksanakan fungsinya secara baik. Hal ini lebih jauh berdampak pada ketidakmampuan KMP untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya melalui kemitraan. Dengan demikian bila dilihat secara menyeluruh, maka keberadaan kemitraan ini belum memberi dampak yang optimal terhadap perbaikan pendapatan nelayan. Penelaahan terhadap kriteria keberhasilan di atas,
dapat dikatakan
bahwa buruknya pendapatan KMP, disebabkan tidak berfungsinya pola kemitraan sebagaimana diharapkan dalam aturan main. Indikasi terhadap hal itu tercermin pada tidak berjalanya kegiatan pembinaan terutama dari dinas kelautan dan kelautan Kota Ambon. Nelayan tidak dipersiapkan dengan baik untuk mengelola usaha penagkapan mereka berdasarkan prinsip-prinsip manajemen rasional. Selain itu intervensi dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon terlalu kuat, sehingga potensi nelayan tidak teraktualisasi dengan biak. Kondisi tersebut secara akumulatif telah mempersulit terealisasinya harapan nelayan partisipan terhadap kemitraan usaha.
6.5 Persepsi dan Partisipasi Peserta Kemitraan Pada dasarnya seseorang sebelum berpartisipasi terhadap suatu obyek, akan didahului oleh persepsinya terhadap objek tersebut, kemudian baru muncul keterlibatan (partisipasinya). Kecenderungan seseorang berpartisipasi pada suatu objek, sangat dipengaruhi oleh kemauan, kemampuan serta kondisi lingkungannya. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan persepsi adalah pandangan atau opini dari kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) yang dalam hal ini adalah nelayan terhadap prosedur pelaksanaan kegiatan kemitraan tersebut. Persepsi nelayan dikelompokan dalam tiga kategori yaitu presepsi baik kurang baik dan buruk. Persepsi yang baik ditunjukkan oleh pandangan yang
101
mendukung prosedur pelaksanaan kegiatan, sedangkan persepsi yang kurang baik dan buruk menunjukkan penilaian–penilaian yang kurang mendukung program dan tidak mempunyai opini terhadap program. Sementara partisipasi merupakan keterlibatan nelayan dalam kegiatan yang dilakukan pada proyek kemitraan. Dari ke-102 peserta kemitran yang diwawancarai dalam penelitian ini, ditemukan bahwa ada perbedaan persepsi di antara para nelayan peserta kemitraan. Sebanyak 19 peserta memiliki persepsi baik, sedangkan 83 peserta lainnya memiliki persepsi kuang baik dan buruk (tidak mendukung) mekanisme program pemberian kredit yang dilakukan LEPP-M3 Perbedaan persepsi ini disebabkan karena perbedaan latar belakang dari nelayan peserta, situasi dan kondisi nelayan. Bila dikaji dari latar belakang, situasi dan kondisi nelayan peserta di lokasi penelitian ternyata pengalaman dan tingkat pendidikan akan turut mempengaruhi peserta dalam menanggapi proyek kemitraan tersebut. Persepsi dan partisipasi nelayan peserta ditunjukkan pada Tabel 34.
Tabel 34. Persepsi dan partisipasi kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) terhadap kemitraan Persepsi Prosedur
Partisipasi
Baik
Kurang Baik
Buruk
Jumlah
Persen
19 12 12 18
49 38 43 36
34 52 47 48
100 65 76 18
100 65 76 18
Pembentukan Kelompok Pembinaan dan Pelatihan Penyaluran bantuan Pengembalian kredit Sumber : Data primer diolah (2008)
Hasil penelitian menunjukkan program dan
bahwa
peserta mendukung terhadap
prosedur kegiatan pembentukan kelompok, pembinaan dan
pelatihan serta penyaluran bantuan kredit. Peserta yang berpartisipasi terhadap kegiatan tersebut sebesar 64,75 %. Besarnya persepsi dan tingkat partisipasi dari peserta mengindikasikan bahwa mereka memiliki keinginan dan kesadaran untuk mengembangan usaha penangkapan mereka, sehingga lewat kegiatan ini dapat
memberikan
kontribusi
yang
positif
terhadap
perubahan
tingkat
pendapatan mereka yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Hal ini juga ditunjang oleh tingkat pemahaman dari nelayan tersebut, karena pendidikan dan pengetahuan yang dimilikinya. Sementara yang tidak
102
mendukung terhadap program dan prosedur pembentukan kelompok, pembinaan dan pelatihan serta penyaluran bantuan, disebabkan tingkat pemahaman yang masih rendah. Tingkat partisipasi peserta terhadap prosedur pengembalian kredit lebih rendah dari pada presepsi peserta pada lokasi penelitian. Hal ini dapatlah dipahami bahwa adanya suatu anggapan selama ini bahwa bantuan dari pemerintah maupuan perusahaan tidak begitu penting untuk dikembalikan. Berdasarkan kesepakatan perjanjian, prosedur pengembalian kredit didasarkan pada pola bagi hasil setiap kali operasi penangkapan. Namun dari hasil penelitian, ditemukan bahwa prosedur ini tidak berjalan sesuai yang diharapkan, karena pengawasan dan pihak LEPP-M3 sangat jarang dan ketua kelompok tidak diberi insentif untuk menarik sistem bagi hasil yang diterapkan. Hal lain yang mempengaruhi tingkat partisipasi dari peserta dalam pengembalian kredit adalah faktor musim yang terjadi. Banyak dari nelayan yang tidak dapat melaut karena kondisi laut yang tidak memungkinkan, sehingga hampir sebagian besar nelayan belum dapat melakukan pengembalian kredit sebagaimana yang diharapkan.
7 PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KEMITRAAN PERIKANAN TANGKAP
7.1 Kondisi Sumberdaya Kelembagaan Kemitraan 7.1.1 Pengembangan Visi PEMP (1) Struktur Badan Pengelola Struktur organisasi program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) sebagai salah satu sumberdaya yang penting keberadaannya, dalam kerangka kerja pengembangan kelembagaan kemitraan dapat dijelaskan dalam lima komponen kunci, yaitu : (1) pengakuan hukum, (2) dewan pembina yang diakui, (3) kebijakan operasional, (4) peran aktif dan (5) memajukan organisasi. Justifikasi terhadap kelima komponen kunci tersebut diuraikan sesuai dengan kondisi eksisting. •
Pengakuan Hukum Keberadaan
program
pemberdayaan
ekonomi
masyarakat
(PEMP), secara hukum dituangkan dalam pedoman umum
pesisir
PEMP. Seluruh
komponen yang terlibat di dalam mendukung program ini memiliki tanggung jawab yang telah diatur dalam ketentutan pedoman umum tersebut. Dalam operasionalnya ketentuan aturan tersebut telah diikuti oleh pihak-pihak yang terkait dalam program ini. Hasil diskusi dengan metode fokus group discussion (FGD) yang dilakukan terhadap struktur badan pengelola PEMP Kota Ambon memberikan gambaran bahwa mereka telah memahami tugas dan tanggung jawabnya. Gambaran tentang pengakuan hukum
terhadap pengelola program
PEMP memberikan catatan penting bahwa sebenarnya secara struktur PEMP memiliki sistem kelembagaan secara jelas. Berdasarkan kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci pengakuan hukum lembaga, maka pengelola program PEMP Kota Ambon berada pada tahapan keberlanjutan, yakni anggaran dasar terdaftar pada pemerintah dan badan pengelola secara sah diakui penuh oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan pedoman umum PEMP yang secara maksimal telah mendapat dukungan pemerintah secara legal. •
Dewan Pembina yang Diakui Dewan pembina yang dimaksud dalam instrumen penelitian ini ialah
pembina kelompok masyarakat pemanfaat, yang sesuai struktur organisasi PEMP adalah dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon. Dalam melaksanakan
104
fungsinya sebagai dewan pembina, dinas kelautan dan perikanan menunjuk secara langsung konsultan manajemen kota (KMK) yang bertugas membantu dinas dalam proses konsolidasi kelembagaan LEPP-M3. Selain itu pula KMK melaksanakan tugas bersama tenaga pendamping desa (TPD) mendampingi dan memfasilitasi KMP untuk mengakses dana ekonomi produktif (DEP), dan melakukan pendampingan teknis dan manajemen usaha. Berdasarkan kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci dewan pembina yang diakui, maka pengakuan terhadap dewan pembina program PEMP di Kota Ambon, dari hasil penelitian telah berada pada tahapan konsolidasi., yakni keanggotaan dewan pembina semakin membaik, stabil dan mempunyai target yang jelas. •
Kebijakan Operasional Kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan operasionalisasi PEMP,
sesuai dengan struktur kelembagaan PEMP yang berlaku di Kota Ambon, sebagaimana yang dikembangkan adalah kelembagaan LEPP-M3 ”Basudara”. Dengan mengalokasikan ketua-ketua kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) dari setiap KMP menjadi pengurus LEPP-M3, maka tentunya koordinasi yang dikembangkan akan jalan dengan baik. Namun demikian, kelemahan yang masih ada ialah sosialisasi ke tingkat anggota di setiap KMP masih terasa sangat kurang. Hal ini akan berdampak pada kurangnya pemahaman, yang dibarengi dengan kurangnya rasa memiliki dari anggota terhadap KMP itu sendiri. Pada sistem kelembagaan kemitraan melalui program dikembangkan,
pengurus
LEPP-M3
sebagai
pemegang
PEMP yang
otoritas
dalam
pengembangan KMP memanfaatkan kewenangannnya dalam operasionalisasi kegiatan PEMP. Berdasarkan kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci kebijakan operasional, ternyata berada pada tahapan keberlanjutan yakin dewan pembina memberi arah bagi kebijakan operasioanl LEPP-M3. •
Peran Aktif Dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon sebagai pembina relatif
berperan
dalam
koordinasi,
terutama
untuk
kepentingan
pengawasan
operasionalisasi kemitraan melalui program PEMP di Kota Ambon. Namun demikian dukungan sumberdaya yang selama ini diharapkan dapat diakomodasi oleh pembina sama sekali belum jalan. Hal inilah yang menyebabkan operasionalisasi tugas LEPP-M3 akan bergerak ketika ada perintah dari dinas
105
kelautan dan perikanan Kota Ambon sebagai pemegang otoritas pembina. Kondisi ini menyebabkan penilaian terhadap peran aktif dewan pembina masih berada pada tahapan perkembangan, sesuai kriteria-kriteria peran aktif sebagai dirumuskan untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci peran aktif. •
Memajukan Organisasi Dari hasil penenlitian terlihat bahwa operasionalisasi LEPP-M3 sangat
tergantung pada perintah yang dilakukan oleh dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon yang bertindak sebagai pembina. Oleh sebab itu, inisiatif untuk memajukan organisasi sangat tergantung pada kebijakan dinas. Hal ini relatif menghambat operasionalisasi LEPP-M3. Dengan demikian untuk kepentingan memajukan organisasi LEPP-M3, anggota LEPP-M3 tidak memiliki inisiatif yang kuat dalam pengembangan organisasinya. Hal ini juga berkaitan dengan tidak terstrukturnya LEPP-M3 secara baik sebagai salah satu organisasi yang berorientasi pada bisnis. Berdasarkan kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci memajukan organisasi ternyata masih berada pada tahapan permulaan, yakni dewan pembina justru menjadi penghambat kemajuan organisasi. (2) Visi dan Misi Visi dan misi PEMP merupakan sumberdaya yang keberadaannya dalam operasionalisasi
LEPP-M3
dapat
menjadi
penentu
arah
kebijakan
pengembangan LEPP-M3. Dalam kerangka kerja pengembangan kelembagaan dapat digambarkan dalam dua komponen kuncinya, masing-masing : (1) visi organisasi dan (2) pernyataan misi. Pendalaman terhadap komponen kunci visi dan misi LEPP-M3 di Kota Ambon, diuraikan sesuai dengan kondisi eksisting seperti berikut ini. •
Visi Organisasi LEPP-M3 sebagai organisasi yang bertujuan bagi keberlanjutan program
PEMP di Kota Ambon sebenarnya telah memiliki visi yang kuat terutama dalam kaitan dengan kemajuan usaha perikanan tangkap di kota ini. Pernyataan visi LEPP-M3 dirujuk dari visi PEMP yakni PEMP menjadi program unggulan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui upaya pemberdayaan masyarakat dan pendayagunaan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan.
106
Pernyataan visi ini secara umum telah diketahui oleh anggota KMP dan belum diimplementasikan dengan baik. Hal ini memberikan indikasi bahwa pernyataan visi telah tersosialisasi di tingkat anggota kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), namun demikian masih ada anggota KMP yang belum dapat mengartikulasi pernyataan visi ini dengan baik, terutama bagi anggota kelompok yang tingkat pendidikannya sangat rendah/terbatas. Walaupun secara umum pernyataan visi telah diketahui anggota kelompok masyarakat pemanfaat, namun rincian visi secara lengkap tidak diketahui. Hal inilah yang seringkali melemahkan operasionalisasi LEPP-M3. Kelemahan-kelemahan
yang
sering
muncul
ialah
bahwa
pemanfaatan
sumberdaya perikanan tidak lagi didasarkan pada konsep dasar visi. Seringkali opersionalisasi LEPP-M3
juga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa
sumberdaya perikanan yang cukup potensial di wilayah Kota Ambon harus dikelola secara maksimal untuk tujuan ekonomi. Situasi kondisional yang ditemukan di atas, tentunya memberikan pengaruh terhadap penjabaran visi organisasi LEPP-M3 secara menyeluruh. Demikian juga implementasi visi juga sangat dipengaruhi oleh orientasi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk tujuan ekonomi, disamping adanya tekanan politis. Berdasarkan Kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci visi organisasi maka komponen kunci ini berada pada tahapan perkembangan, yakni anggota kelompok memiliki visi yang sama dan bisa mengartikulasikannya, tetapi belum ada penjabaran yang rinci mengenai visi itu. •
Pernyataan Misi Dalam suatu organisasi, biasanya penjabaran visi akan sangat jelas
terlihat pada pernyataan misi yang sifatnya lebih operasional dan menjadi arah dalam implementasi program-program. Tidak adanya pernyataan misi di tingkat organisasi
LEPP-M3 berpengaruh pada implementasi kegiatan
program
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) di Kota Ambon. Artinya, karena tidak adanya misi maka kebijakan yang diambil baik secara politis maupun secara individual akan melemahkan posisi pelaksana PEMP dalam hal ini LEPP-M3. Ketika tidak ada misi yang dijabarkan, maka tidak terdapat frame untuk mengakomodasi kegiatan yang mungkin muncul dari kelompok masyarakat pemanfaat
(KMP) atau dari masyarakat nelayan yang tidak terlibat dalam
kelompok tersebut.
107
Tidak adanya penyataan misi secara resmi dari LEPP-M3 membuka peluang bagi hadirnya kegiatan-kegiatan yang sangat mungkin tidak sesuai dengan pernyataan visi yang telah tersosialisasi di dalam kelompok masyarakat pemanfat (KMP). Berdasarkan Kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci pernyataan misi, maka komponen kunci ini masih berada pada tahapan permulaan, yakni LEPP-M3 belum memiliki pernyataan misi yang resmi. (3) Otonomitas LEPP-M3 Otonomitas LEPP-M3 sebagai sumberdaya yang keberadaannya dalam operasionalisasi program PEMP, memposisikan organisasi sebagai suatu lembaga yang memiliki peran yang kuat. Dalam kerangka kerja pengembangan kelembagaan dapat digambarkan dalam satu komponen kuncinya yaitu advokasi. Untuk mendalami otonomitas LEPP-M3 yang dibentuk di Kota Ambon, komponen kuncinya dapat diuraikan sesuai dengan kondisi eksisting. •
Advokasi Fungsi advokasi yang menjadi dasar operasionalisasi LEPP-M3 di Kota
Ambon, diharapkan dapat dijalankan sesuai dengan perannya sebagai salah satu lembaga bisnis
untuk menjawab pengelolaan sumberdaya perikanan
secara berkelanjutan. Hasil idenitifkasi lapangan menunjukan bahwa dengan adanya otoritas dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon sebagai dewan pembina, maka fungsi advokasi dari organisasi LEPP-M3 tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Bahwa fungsi advokasi yang seharusnya dijalankan oleh organisasi LEPP-M3 melalui pengakomodasian pembiayaan operasionalisasi organisasi LEPP-M3, belum berjalan secara baik. Hal ini disebabkan kekakuan organisasi LEPP-M3 dan belum adanya dukungan dari dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon sebagai pembina dalam memberikan dukungan yang baik bagi pengembangan
inisiatif
LEPP-M3
untuk
mengakomodasi
pembiayaan
operasional LEPP-M3 dari pihak luar, khususnya lembaga-lembaga donor. Sistem yang berkembang di tingkat organisasi LEPP-M3 ini belum menunjukan adanya upaya advokasi pembiayaan operasionalisasi LEPP-M3. Berdasarkan Kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci advokasi, maka komponen kunci ini masih berada pada tahapan permulaan, yakni organisasi adalah agen pelaksana untuk satu lembaga donor.
108
7.1.2 Sumberdaya Manajemen LEPP- M3 (1) Model Kepemimpinan Model kepemimpinan sebagai sumberdaya dalam manajemen LEPP-M3 sangat dibutuhkan dalam kaitan dengan pengambilan keputusan dan dalam mengakomodasi partisipasi anggota KMP yang berakses dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan
tangkap.
Dalam
kerangka
kerja
pengembangan
kelembagaan dapat digambarkan dalam dua komponen kuncinya, masingmasing : (1) alur pembuatan keputusan; dan (2) partisipasi. Untuk mendalami model kepemimpinan dalam organisasi LEPP-M3 di Kota Ambon, uraian tentang komponen kuncinya dapat diberikan sesuai dengan kondisi eksisting. Model kepemimpinan disebut ”leadership style”. Kata Style menunjuk pada satu pengertian bagaimana seorang pemimpin bertindak, dan bukan menunjuk siapakah pribadi pemimpin itu. Pada kesempatan lain, bilamana mendengar kata style selalu berkaitan dengan kata kepemimpinan, dan kemudian timbul kesimpulan sendiri, siapakah pemimpin itu dan bagaiman model kepemimpinannya. Dari sini dapat diambil asumsi bahwa style menunjuk pada caranya seorang pemimpin menjalankan kepemimpinannya, dan bagaiman pula dia menurut pandangan orang-orang yang dipimpinnya (Tambunan, 1991). Selanjutnya dikatakan bahwa ada berbagai model kepemimpinan antara lain model kepemimpinan birokratik, permissif, laissez-faire, participative dan autokratik. Berkaitan dengan kondisi LEPP-M3 yang merupakan sebuah organisasi, yang dalam operasionalisasinya, pengambilan keputusan umumnya diambil oleh pengurus LEPP-M3 yang masih dibawah pengaruh dinas kelautan dan perikanan Kota
Ambon.
sedangkan
partisipasi
anggota
LEPP-M3
hanya
sebatas
operasionalisasi. Hal ini Berdasarkan kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci alur pembuatan keputusan, maka komponen kunci alur ini berada pada tahapan permulaan, yakni semua kepemimpinan berasal dari pendiri. Berdasarkan komponen kunci alur pengambilan keputusan di atas, maka aspek partisipasi dalam pengambilan keputusan berpusat pada pengurus LEPPM3. Dengan demikian komponen kunci partisipasi, sesuai kriteria untuk setiap tahapan progresif masih berada pada tahapan permulaan, yakni anggota kelompok masyarakat pemanfaat berpartisipasi hanya sebatas menyumbangkan input teknis.
109
(2) Perencanaan Perencanaan sebagai sumberdaya dalam manajemen LEPP-M3 sangat dibutuhkan dalam kaitan perumusan program dan kegiatan di tingkat organisasi LEPP-M3. Perencanaan berarti persiapan atau penentuan-penentuan terlebih dahulu tantang apa yang akan dikerjakan di kemudian hari dalam batas waktu tertentu. Fathoni (2006) mengatakan bahwa perencanaan yang efektif harus dapat menjawab hal-hal sebagai berikut : 1). Tindakan apa yang perlu dilakukan? 2). Mengapa hal tersebut perlu dilakukan? 3). Di manakah hal tersebut akan dilakukan? 4). Bilakah hal tersebut perlu dilakukan? 5). Siapakah yang akan melakukan hal tersebut? 6). Bagaimana cara melakukannya?. Dalam kerangka kerja pengembangan kelembagaan, perencanaan sebagai sumberdaya dalam manajemen LEPP-M3 dapat digambarkan dalam empat komponen kuncinya, masing-masing : (1) misi/strategi jangka panjang; (2) alur perencanaan; (3) implikasi pada sumberdaya; dan (4) perencanaan sebagai alat yang bermanfaat. Justifikasi tentang perencanaan di tingkat organisasi LEPP-M3 dilakukan sesuai dengan kondisi eksistingnya. Organisasi LEPP-M3 yang ada di Kota Ambon belum memiliki perencanaan
yang
strategis,
terutama
yang
didasarkan
pada
upaya
penyelesaian masalah di tingkat KMP yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Sebagai konsekuensinya, alur perencanaan sama sekali tidak terlihat, kecuali dalam operasionalisasinya selalu mengacu pada keputusan dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon. Sebagai dampaknya, berbagai kegiatan yang dijalankan oleh LEPP-M3 hanya bersifat insidentil, sehingga tidak sesuai dengan aspek-aspek teknis pengelolaan sumberdaya perikanan. Fenomena inilah yang menyebabkan munculannya simpulan bahwa LEPP-M3 sebagai organisasi bisnis yang ada di Kota Ambon, belum sepenuhnya memiliki rencana kerja. Dari hasil penelitian ternyata perencanaan yang merupakan bagain dari sumberdaya manajemen dari LEPP-M3, berdasarkan kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci misi/srtategi jangka panjang masih berada pada tahapan permulaan, yakni perencanaan secara umum dilakukan secara ad hoc dan tumbuh terus. Komponen kunci alur perencanaan berada pada tahapan permulaan, yakni orientasi perencanaan dari LEPP-M3 masih bersifat ‘top down’ dan dimotori oleh dinas kelautan dan perikanan sebagai dewan pembina. Demikian halnya dengan kedua komponen kunci lainnya yakni
110
implikasi pada sumberdaya juga masih berada pada tahapan permulaan, yakni tujuan-tujuan ditetapkan tanpa mempertimbangkan kebutuhan sumberdaya, maupun faktor-faktor eksternal yang penting. Sedangkan komponen kunci perencanaan sebagai alat yang bermanfaat masih berada pada tahapan permulaan, yakni organisasi dalam hal ini LEPP-M3 belum membuat rencana kerja. (3) Manajemen Partisipatif Manajemen partisipatif sebagai sumberdaya dalam manajemen LEPP-M3 sangat dibutuhkan berkaitan perumusan program dan kegiatan di tingkat organisasi LEPP-M3. Dalam kerangka kerja pengembangan institusi dapat digambarkan dalam sembilan komponen kuncinya, masing-masing : (1) pelimpahan wewenang yang memadai, (2) layanan masyarakat, (3) partisipasi kelompok, (4) kesamaan kepentingan, (5) transparansi, (6) jender dalam pengambilan keputusan, (7) pengguna sumberdaya dan pengambil keputusan, (8) konsultasi dengan masyarakat, dan (9) aliran komunikasi. Gambaran tentang manajemen partisipatif dalam organisasi LEPP-M3, diuraikan berdasarkan kondisi eksisting yang teridentifikasi menurut setiap komponen kunci. Dari hasil penelitian ternyata ditemukan bahwa stagnasi operasionalisasi LEPP-M3 yang terlihat lebih banyak disebabkan karena tidak adanya peran pengurus LEPP-M3, mengingat dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon mengambil alih perannya terutama dalam pengambilan keputusan. Secara organisasi, ada pelimpahan wewenang untuk setiap KMP sebagai anggota LEPP-M3, sementara wewenang yang diberikan sama sekali tidak ditanggapi serius oleh seluruh anggota KMP. Pelayanan yang diberikan oleh LEPP-M3 kepada KMP, belum dilakukan secara maksimal, kecuali fungsi pengawasan yang tidak intensif yang masih terlihat jalan di lapangan. Pengawasan yang dilakukan juga sering bertumbukan dengan persoalan aktivitas KMP dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Kondisi ini menyebabkan lemahnya partisipasi KMP dalam setiap kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh pengurus LEPP-M3. Upaya yang dilakukan dengan mengakomodasi ketua KMP sebagai pengurus LEPP-M3 diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan KMP secara menyeluruh. Namun demikian, hal ini justru menjadi tantangan bagi LEPP-M3 dalam melakukan aktivitasnya, karena tidak seluruh KMP yang menyepakati adanya perekrutan pengurus LEPP-M3 seperti sekarang ini. Keinginan KMP,
111
ialah perekrutan pengurus LEPP-M3 seharusnya dikembalikan pada proporsi awal terbentuknya LEPP-M3, dimana diharapkan adanya pelibatan seluruh KMP yang ada dalam sistem organisasi LEPP-M3 di Kota Ambon. Untuk mengakomodasi kepentingan bersama di antara pengurus LEPPM3 dan operasionalisasi tugas LEPP-M3, biasanya dilakukan rapat LEPP-M3 dengan melibatkan seluruh anggota. Itupun masih di bawah pengaruh dan perintah dari dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon. Sehingga pengambilan keputusan untuk menjalankan kegiatan cenderung kurang transparan. Menguatnya posisi dinas perikanan dan kelautan dalam operasionalisasi LEPP-M3, menyebabkan keputusan-keputusan yang diambil baik di tingkat LEPP-M3, sering tidak disosialisasikan ke KMP, bahkan keputusan cenderung berada pada tingkat LEPP-M3 saja. Hal ini jugalah yang melemahkan adanya komunikasi antar anggota LEPP-M3. Komunikasi antar anggota LEPP-M3 cenderung dapat dilakukan ketika adanya pertemuan LEPP-M3 yang sifatnya insidentil. Berdasarkan uraian di atas, maka penilaian terhadap sembilan komponen kunci yang berada pada sumberdaya manajemen partisipatif sesuai kriteria untuk setiap tahapan progresif ternyata seluruh komponen kuncinya masih berada pada tahapan permulaan. Menurut Tambunan (1991) penerapan prinsip manajemen partisipatif merupakan tuntunan zaman dan seirama dengan kemajuan teknologi, dan perkembangan masyarakat yang menuntut pentingnya kerjasama dan usaha kearah kepuasan lahir bathin dalam pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan.
Dengan demikian kondisi sumberdaya
manajemen partisipatif yang ada akan sangat berdampak pada operasionalisasi LEPP-M3 yang mesti mengharapkan partisipasi dari semua KMP dalam mendukung manajemen, mulai dari proses perencanaan hingga pengawasan dari LEPP-M3 itu sendiri. (4) Sistem Manajemen Sistem manajemen merupakan sumberdaya yang penting dalam pengembangan organisasi LEPP-M3, terutama
dibutuhkan untuk mengatur
tatalaksana organisasi LEPP-M3. Dalam kerangka kerja pengembangan institusi dapat digambarkan dalam tiga komponen kuncinya, masing-masing : (1) sistem personalia, (2) sistem kearsipan, dan (3) prosedur administrasi. Gambaran tentang sistem manajemen dalam organisasi LEPP-M3, diuraikan berdasarkan kondisi eksisting yang teridentifikasi menurut setiap komponen kuncinya.
112
Sebagai dampak dari belum formalnya eksistensi LEPP-M3, maka sistem personalia dalam organisasi LEPP-M3 sama sekali tidak tertata secara baik, disamping tidak ada catatan secara tertulis terhadap personalia LEPP-M3. Kondisi ini memberikan pengaruh terhadap sistem kearsipan pada organisasi LEPP-M3, dimana belum ditemukan adanya pengarsipan berbagai kegiatan yang dijalankan oleh LEPP-M3 Kondisi yang ditemukan ini, ternyata berkaitan dengan belum adanya prosedur administrasi formal yang dibangun dan dijalankan oleh LEPP-M3. Hal ini juga berkaitan dengan tidak teraturnya sistem personalia, disamping tidak adanya fungsionalisasi keanggotaan LEPP-M3 untuk melakukan pengarsipan dan penyusunan prosedur administrasi formal. Dari hasil penelitian, berdasarkan kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci sistem personalia masih berada pada tahapan permulaan, yakni belum ada sistem personalia formal yang dibangun oleh LEPP-M3. Berdasarkan kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci sistem kearsipan maka komponen ini juga masih berada pada tahapan permulaan, yakni tidak ada sistem kearsipan formal yang diberlakukan oleh LEPP-M3. Demikian juga untuk komponen kunci prosedur administrasi, masih berada pada tahapan permulaan, yakni belum ada prosedur administratif formal yang dipakai oleh LEPP-M3. (5) Sistem Monitoring dan Evaluasi Sistem monitoring dan evaluasi merupakan sumberdaya yang penting menentukan arah dan kebijakan pengembangan organisasi LEPP-M3 ke depan. Paling tidak kebijakan pengembangan LEPP-M3 dapat ditentukan berdasarkan berbagai hasil monitoring dan evaluasi, terutama terhadap hubungan dengan masyarakat penerima manfaat ataupun dengan berbagai lembaga pendukung pengembangan organisasi LEPP-M3, disamping kebutuhan organisasi LEPP-M3 secara menyeluruh. Dalam kerangka kerja pengembangan kelembagaan dapat digambarkan dalam tiga komponen kuncinya, masing-masing : (1) sistem monitoring dan evaluasi yang terintegrasi, (2) sistem monitoring dan evaluasi pengelolaan sumberdaya perikanan yang melibatkan masyarakat, dan (3) umpan balik dari penerima manfaat program. Gambaran tentang sistem monitoring dan evaluasi dari organisasi LEPP-M3 diuraikan berdasarkan kondisi eksisting yang teridentifikasi menurut setiap komponen kuncinya.
113
Sistem monitoring yang dikembangkan oleh LEPP-M3 di Kota Ambon, lebih mengandalkan dinas kelautan dan perikanan dan ini belum terdokumentasi dengan baik, disamping belum adanya pelibatan masyarakat yang sebenaranya dalam struktur oraganisasi adalah mitra desa yang berperan dalam mengontrol berbagai kegaitan yang dilakukan oleh LEPP-M3 dalam proses monitoring. Sedangkan proses evaluasi jarang dilakukan, baik oleh dewan pembina maupun oleh pengurus LEPP-M3. Sistem monitoring dan evaluasi yang terbentuk seperti itu, pada akhirnya tidak akan mendapat umpan balik, baik oleh KMP ataupun peneriman manfaat lain yang berasal dari masyarakat di luar KMP. Kondisi demikian cenderung melemahkan LEPP-M3, karena eksistensinya tidak menjalankan fungsi dengan benar, terutama untuk kepentingan monitoring dan evaluasi. Upaya-upaya pengembangan
yang
LEPP-M3
penting semakin
dibangun sulit
dalam
untuk
kaitan
dilakukan,
dengan
karena
tidak
akomodatifnya proses monitoring dan belum baiknya kegiatan evaluasi. Paling tidak, proses yang sifatnya pasif ini akan sangat melemahkan posisi LEPP-M3 karena tidak dapat mengakomodasi kepentingan KMP, serta menjalankan amanat yang diberikan sesuai visi DKP yang telah dikenal. Penilaian terhadap komponen kunci dari sumberdaya sistem monitoring dan
evaluasi,
memperlihatkan
berdasarkan
kriteria
untuk
setiap
tahapan
progresif
bahwa ketiga komponen kunci tersebut masih berada pada
tahap permulaaan. Kondisi sumberdaya yang berada pada tahapan ini, akan sangat mempengaruhi kinerja dari LEPP-M3. Fathoni (2006) mengemukakan bahwa
monitoring
atau
pengawasan
adalah
proses
pengamatan
dari
pelaksanaan seluruh kegaitan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Dari pengertian tersebut, semakin jelas bahwa monitoring dan evaluasi memiliki hubungan yang erat dengan fungsi manajemen lainnya, terutama dalam perencanaan. Pengawasan tanpa perencanaan tidak mungkin dilaksanakan dengan baik karena tidak ada pedoman untuk melakukannya, sebaliknya rencana tanpa pengawasan berarti akan membuka peluang timbulnya penyimpangan-penyimpangan yang serius tanpa ada alat yang mencegahnya. Demikian eratnya hubungan antara perencanaan dan pengawasan bagaikan dua sisi mata uang yang sama. Kalau ada perencanaan maka harus ada pula pengawasan, demikian pula sebaliknya.
114
7.1.3 Sumberdaya Pengelola LEPP- M3 (Potensi Sumberdaya Manusia) (1) Pengembangan dan Ketrampilan Anggota Pengembangan dan ketrampilan anggota dari kepengurusan LEPP-M3 merupakan salah satu karakteristik sumberdaya yang termasuk dalam bagian analisis tentang sumberdaya manusia. Dalam kerangka kerja pengembangan kelembagaan dapat digambarkan dalam lima komponen kunci : (1) kemampuan/ ketrampilan, (2) partisipasi anggota dalam manajemen, (3) keahlian anggota, (4) pengembangan profesi dan (5) penilaian kinerja. Gambaran tentang sistem monitoring dan evaluasi dari organisasi LEPP-M3 diuraikan berdasarkan kondisi eksisting yang teridentifikasi menurut setiap komponen kuncinya. Dalam organisasi LEPP-M3, telah adanya bagan organisasi. Biasanya suatu organisasi akan dilengkapi dengan bagan organisasi, yang secara tidak langsung memberikan gambaran tentang posisi dan jenis ketrampilan atau keahlian yang dimiliki oleh anggota organisasi dimaksud. Dalam perjalanannya, organisasi LEPP-M3 belum pernah mengupayakan kegiatan-kegiatan yang bersifat profesional untuk kepentingan pengembangan profesi anggota LEPPM3. Di sisi lain, penilaian kinerja anggota pengurus LEPP-M3 juga belum dilakukan. Bila dicermati dengan baik, kondisi ini akan sangat menghambat upaya-upaya pengembangan organisasi LEPP-M3. Dari hasil penilaian terhadap kelima komponen kunci yang terdapat dalam pengembangan ketrampilan anngota ini, ternyata masih berada pada tahapan permulaan. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci kemampuan/ketrampilan ternyata masih berada pada tahapan permulaan yakni ada bagan organisasi namun tidak menjelaskan berbagai fungsi yang harus diperankan oleh anggotanya dengan baik. Sementara komponen kunci partisipasi anggota dalam manajemen berada pada tahapan permulaan, yakni peran dan tanggung jawab anggota tidak jelas, dan sering saling menggantikan. Selanjutnya komponen kunci keahlian anggota berada pada tahapan permulaan, yakni anggota belum sepenuhnya mampu memenuhi tuntutan ketrampilan untuk posisi mereka, sedangkan komponen kunci pengembangan profesi berada pada tahapan permulaan, yakni tidak ada strategi dan praktek pengembangan anggota yang sengaja dibuat. Demikian pula komponen kunci penilaian kinerja juga masih berada pada tahapan permulaan, yakni tidak atau hampir tidak ada pengakuan untuk kinerja anggota.
115
(2) Keterwakilan Masyarakat Lokal Keterwakilan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) secara bersama dengan pengembangan dan ketrampilan anggota kepengurusan LEPP-M3 merupakan karakteristik sumberdaya yang termasuk dalam bagian analisis tentang
sumberdaya
manusia.
Dalam
kerangka
kerja
pengembangan
kelembagaan dapat digambarkan dalam tiga komponen kunci : (1) pengangkatan anggota lokal/jender, (2) komposisi anggota dan (3) komposisi dewan pembina. Gambaran tentang keterwakilan KMP diuraikan berdasarkan kondisi eksisting yang teridentifikasi menurut setiap komponen kuncinya. Operasionalisasi sebelumnya
telah
organisasi
mengakomodasi
LEPP-M3
sebagaimana
keragaman
seluruh
disebutkan
KMP
melalui
pengangkatan tiap ketua kelompok sebagai pengurus dalam LEPP-M3. Di sisi lain, keanggotaan dewan pembina yang memang tidak terakomodasi karena otoritas dewan pembina berada di tangan dinas kelautan dan perikanan, sehingga nilai-nilai keragaman dan jender belum menjadi perhatian dalam operasionalisasi LEPP-M3 di Kota Ambon. Konsultan manajemen kota (KMK) dan tenaga pendamping desa (TPD) yang berperan dalam melakukan pendampingan terhadap kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), dalam pengrekrutannnya belum dapat mengakomodir keterwakilan masyarakat lokal yang sebenarnya lebih memahami kondisi wilayahnya dan lebih mengenal karakteristik masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian maka kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci pengangkatan anggota lokal/jender masih berada pada tahapan permulaan, yakni organisasi tidak tertarik pada keragaman atau hampir tidak memilki kesadaran mengenai pentingnya keragaman. Demikian halnya dengan komponen kunci komposisi anggota juga masih berada pada tahapan permulaan, yakni keterwakilan perempuan dan warga lokal dalam anggota sangat rendah. Sementara komponen kunci komposisi dewan pembina juga masih berada pada tahapan permulaan, yakni keterwakilan perempuan dan warga lokal pada komposisi dewan pembina belum ada. 7.1. 4 Sumberdaya Keuangan LEPP- M3 Satu-satunya karakteristik dalam sumberdaya keuangan LEPP-M3 ialah pengelola keuangan. Dalam kerangka kerja pengembangan kelembagaan dapat digambarkan dalam tujuh komponen kuncinya, masing-masing : (1) anggaran
116
digunakan sebagai alat manajemen, (2) kesehatan keuangan, (3) transparansi keuangan, (4) pendendalian kas, (5) audit, (6) penghimpunan dana dan (7) kesanggupan keuangan. Gambaran tentang pengelola keuangan dari organisasi LEPP-M3 diuraikan berdasarkan kondisi eksisting yang teridentifikasi menurut setiap komponen kuncinya. Sumberdaya keuangan LEPP-M3 umumnya berasal dari DEP, sebagian kecil berasal dari hasil pengelolaan LEPP-M3 sebagai pendapatan organisasi. Walaupun perencanaan anggaran tidak ada, namun alokasi dana untuk setiap kegiatan disesuaikan dengan ketersediaan dana. Sering juga ditemukan adanya kekurangan dana yang digunakan untuk setiap kegiatan. Dan penggunaan dana yang dimiliki sama sekali tidak diperuntukan untuk kepentingan manajemen organisasi. Tidak
adanya
pengelola
keuangan
secara
resmi,
menyebabkan
penggunaan keuangan tidak disertai dengan pencatatan yang baik. Sistem penanganan keuangan yang belum profesional menyebabkan tidak adanya pemberitahuan
penggunaan
keuangan
bagi
KMP.
Sedangkan
informasi
keuangan umumnya hanya terbatas pada internal pengurus LEPP-M3. Hal ini juga yang menyebabkan tidak ada pencatatan masuk-keluarnya dana secara baik, apalagi kegiatan audit keuangan di tingkat LEPP-M3 belum dilakukan. Sumber-sumber penerimaan keuangan pada organisasi LEPP-M3 di Kota Ambon, berasal dari pendapatan organisasi berupa dana DEP. Sumber-sumber keuangan yang kurang variatif ini secara riil dapat mengakomodasi kegiatankegiatan LEPP-M3 yang bersifat jangka pendek atau yang bersifat insidentil. Berdasarkan kriteria untuk setiap tahapan progresif dari komponen kunci pada sumberdaya keuangan tersebut, ternyata tiga komponen kuncinya masingmasing, anggaran digunakan sebagai alat manajemen berada pada tahapan perkembangan, yakni anggaran dikembangkan untuk kegiatan, tapi pengeluaran sering lebih atau kurang hingga 20%. Komponen kunci penghimpunan berada pada tahapan perkembangan, yakni hingga 5% dari biaya operasional tidak terbatas berasal dari penghasilan organisasi, pemberi yang diperbolehkan, dan fee yang didapatkan organisasi. Komponen kunci kesanggupan keuangan juga berada pada tahapan perkembangan, yakni pendanaan tersedia untuk membiayai biaya-biaya kegiatan jangka pendek. Sementara ketiga komponen kunci lainnya lainya yaitu kesehatan keuangan berada pada tahapan permulaan, yakni catatan keuangan tidak
117
lengkap dan sulit dipahami, komponen kunci transparansi keuangan berada pada tahapan permulaan, yakni dari segi transparansi manajemen masyarakat pengguna sumberdaya perikanan tidak mengetahui penghasilan organisasi, meraca keuangan, operasi dan badan pengelola, dan komponen kunci pengendalian kas juga masih berada pada tahapan permulaan, yakni tidak ada prosedur yang jelas untuk pembayaran dan penerima uang serta komponen kunci audit
juga masih berada pada tahapan permulaan, yakni audit tidak
dilaksanakan. 7.1.5 Sumberdaya Eksternal LEPP-M3 Kemitraan/hubungan dengan instansi terkait seperti bank dan masyarakat merupakan karakteristik sumberdaya dari sumberdaya eksternal dalam analisis ini. Dalam kerangka kerja pengembangan kelembagaan dapat digambarkan dalam tujuh komponen kuncinya yaitu : (1) publik mengenali organisasi, (2) kemampuan bekerjasama dengan masyarakat lokal, (3) advokasi masyarakat lokal, (4) komunikasi badan pengelola, (5) kemampuan bekerja dengan pemerintah, (6) kemampuan untuk mengakses sumberdaya lokal dan (7) kemampuan kerjasama dengan NGO. Gambaran tentang kemitraan/hubungan dengan masyarakat diuraikan berdasarkan kondisi eksisting yang teridentifikasi menurut setiap komponen kuncinya. Hasil penelusuran yang dilakukan atas kerjasama yang terbangun antara LEPP-M3 dengan bank, ternyata belum didasarkan pada kemampuan kerjasama organisasi LEPP-M3 dalam rangka pengembangan usahanya, tapi semata-mata hanya karena bank merupakan lembaga yang ditunjuk oleh departemen kelautan dan perikanan dalam menyalurkan dana DEP bagi kelompok masyarakat pemanfaat. Dalam operasionalisasinya, anggota pengurus LEPP-M3 dapat mengembangkan kegiatan yang memihak masyarakat, namun usaha untuk promosi kepentingan masyarakat masih sangat lemah, bahkan tindakan promotif sama sekali tidak pernah dilakukan oleh pengurus LEPP-M3. Di sisi lain, pengurus LEPP-M3 telah berusaha mengkomunikasikan kegiatan dengan pihak lain, namun komunikasi ini tidak dapat berlanjut dengan baik, karena kapasitas pengurus LEPP-M3 yang masih lemah dalam mengembangkan komunikasi terutama tentang pengembangan kelompok masyarakat pemanfaat. Secara kelembagaan, organisasi LEPP-M3 pernah melakukan kerjasama dengan pemerintah, baik pemerintah kabupaten, maupun pemerintah propinsi.
118
Walaupun kerjasama ini hanya bersifat insidentil dan umumnya berkaitan dengan kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaran organsiasi LEPP-M3. Untuk mendukung kegiatan-kegiatan organisasi, sumberdaya lokal seperti sumberdaya manusia masih dapat diakses dengan baik oleh LEPP-M3, namun menyangkut dukungan finansial dan sumber-sumber kredit lokal masih sulit dijangkau. Hal ini lebih disebabkan karena ketidaktahuan cara untuk mengakses sumber-sumber kredit
dan
dukungan
finansial,
disamping
adanya
keengganan
untuk
mengaksesnya. Sedangkan hubungannya dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (NGO) sudah pernah dilakukan, misalnya dengan LSM Hualopu dan Camar, yang dalam hal ini bertindak sebagai konsultan manajemen kota (KMK). Berdasarkan uraian di atas, maka penilaian terhadap komponen kunci yang termasuk dalam sumberdaya eksternal, dari hasil penelitian berdasarkan kriteria untuk setiap tahapan progresif ternyata dua komponen kuncinya, yaitu publik mengenali organisasi berada pada tahapan perkembangan, yakni organisasi dikenal di lingkungan masyarakat lokal, tetapi tidak melakukan upaya untuk mempromosikan kegiatan organisasi maupun pembangunan yang berkelanjutan kepada masyarakat umum dan para penentu kebijakan kunci, dan kemampuan
bekerja
perkembangan,
yakni
dengan
pemerintah,
hubungan
cukup
telah ramah,
berada
pada
tahapan
kadang-kadang
terjadi
kerjasama untuk pekerjaan dan kegiatan spesifik. Sementara komponen kunci lainnya yaitu kemampuan bekerjasama dengan masyarakat lokal masih berada pada tahapan permulaan, yakni organisasi berkedudukan dan dikendalikan dari desa induk yang jauh dari lapangan, atau bertumpu pada struktur yang top down. Komponen kunci advokasi masyarakat lokal juga masih berada pada tahapan permulaan, yakni badan pengelola tidak melakukan apapun untuk mewakili kepentingan masyarakat lokal. Komponen kunci komunikasi badan pengelola masih berada pada tahapan permulaan, yakni komunikasi antar badan pengelola dengan komunitas lain mengenai isu pengelolaan sumberdaya perikanan hampir tidak ada. Selanjutnya komponen kunci kemampuan untuk mengakses sumberdaya lokal juga masih berada pada tahapan permulaan, yakni kegiatan kegiatan organisasi tidak memiliki hubungan dengan sumbersumber kredit lokal, sumberdaya lain, dukungan finansial ataupun sumberdaya manusia, dan komponen kunci kemampuan kerjasama dengan NGO
jauga
masih berada pada tahapan permulaan, yakni organisai belum memiliki pengelaman kerjasama dengan NGO. Tidak dikenal atau dipercaya oleh NGO.
119
7.1.6 Isu-Isu Spesifik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Satu-satunya karakteristik sumberdaya dalam kelompok isu-isu spesifik pengelolaan sumberdaya perikanan ialah isu spesifik pengelolaan sumberdaya perikanan.
Dalam
kerangka
kerja
pengembangan
kelembagaan
dapat
digambarkan dalam empat komponen kunci : (1) pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, (2) praktek-praktek dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, (3) resolusi konflik atas sumberdaya perikanan dan (4) pelaksanaan peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan. Gambaran tentang kelompok
isu-isu
spesifik
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
diuraikan
berdasarkan kondisi eksisting yang teridentifikasi menurut setiap komponen kuncinya. Pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan masih terpusat pada organisasi LEPP-M3 bersama dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon, sementara KMP hanya sebagai media untuk sosialisasi, sedangkan pengelolaannya di bawah kendali organisasi LEPP-M3 dan dinas kelautan dan perikanan sebagai dewan pembina. Dalam prakteknya, pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan konsensus secara menyeluruh di tingkat KMP, namun demikian konsensus ini sama sekali tidak tertuang secara tertulis. Bila dalam praktek
pengelolaan
terjadi
konflik
atas
sumberdaya
perikanan,
maka
mekanisme penyelesaiannya di tingkat pengurus KMP dan proses penyelesaian konflik
juga
diketahui
oleh
pengurus
LEPP-M3.
Walaupun
mekanisme
penyelesaian konflik belum tertulis, namun penyelesaian konflik masih memperhatikan aspek-aspek keseimbangan atau pemerataan tanpa ada pemihakan
terhadap
pihak-pihak
yang
berkonflik.
Untuk
kepentingan
penyelesaian konflik dan pemberlakuan aturan dan norma di KMP, pengurus LEPP-M3 dan dinas kelautan dan perikanan cenderung memegang kuat aturan yang berlaku. Namun masih banyak kendala yang ditemukan dalam mengontrol pemberlakuan aturan-aturan dimaksud mengingat cakupan wilayah yang sangat luas dan akses yang tidak sama untuk semua wilayah. Hal ini mendorong terjadi inkonsistensi penegakan aturan yang ditetapkan LEPP-M3. Kusnadi
(2002)
mengatakan
bahwa
persepsi
dominan
terhadap
eksistensi sumberdaya perikanan sebagai sumberdaya milik umum telah mendorong kebebasan yang penuh untuk memanfaatkannya. Demikian pula masih kuatnya pandangan sebagian masyarakat kita bahwa sumberdaya perikanan tidak akan pernah habis, telah menderaskan arus eksploitasi. Atas
120
dasar persepsi-persepsi tersebut, setiap individu atau kelompok masyarakat akan berupaya keras merealisasikan kepentingan-kepentingan mereka melalui eksploitasi sumberdaya perikanan secara optimal. Jika keadaan demikian terus berlangsung tanpa kontrol sosial yang intensif, kelangkaan dan kerusakan sumberdaya perikanan serta akibat-akibat serius yang akan ditimbulkan menjadi sulit dihindari. Dengan skala yang beragam, konflik sosial, baik terbuka maupun laten antar kelompok masyarakat nelayan dalam memperebutkan sumberdaya perikanan akan terjadi. Berasarkan hasil penelitian terhadap komponen kunci yang termasuk dalam sumberdaya isu-isu spesifik pengelolaan sumberdaya perikanan, dijumpai tiga kompoen kunci berada pada tahap perkembangan sedangkan satu komponan kuncinya berada pada tahap permulaan. Ketiga kompoenen kunci tersebut masing masing adalah komponen kunci praktek-praktek pengelolaan sumberdaya perikanan berada pada tahapan perkembangan, yakni terdapat konsensus umum tentang praktek-praktek pengelolaan dan hak pemakaian sumberdaya perikanan, namun peraturan ini belum tertulis secara sistematik. Komponen kunci resolusi konflik atas sumberdaya perikanan
berada pada
tahapan perkembangan, yakni di tingkat masyarakat tersedia mekanisme untuk menyelesaikan konflik atas sumberdaya perikanan, tetapi akses tidak merata bagi semua warga dan pelaksanaannya sering tidak neltral. Komponen kunci pelaksanaan peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan berada pada tahap perkembangan, yakni penegakan norma, peraturan dan regulasi tidak konsisten ditegakan.
Sedangkan
komponen
kunci
pengambilan
keputusan
dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan masih berada pad tahapan permulaan, yakni tidak ada pendekatan yang sistemik untuk melibatkan seluruh masyarakat dalam pengambilan keputusan menyangkut pengelolaan sumberdaya perikanan.
7.2 Tingkat Perkembangan LEPP- M3 Penilaian tingkat perkembangan sumberdaya organisasi LEPP-M3 didasarkan pada uraian tentang kondisinya pada bagian sebelum ini, yang menempatkan setiap sumberdaya pada tingkat kemajuan yang variatif sesuai kondisi eksisting di lapangan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penilaian dilakukan bersama pengurus LEPP-M3 dan dewan pembina untuk menentukan skor kemajuan (Y) pada setiap tingkatan kemajuan, yang umumnya terbagi atas empat kelas skor.
121
Hasil penilaian terhadap setiap komponen kunci sesuai karakteristik sumberdayanya pada sumberdaya pengembangan visi menunjukkan bahwa tiga komponen kunci (37,50 %) berada pada tahap permulaan, dua komponen kunci (25,00 %) pada tahap perkembangan dan satu komponen kunci (12,50 %) berada pada tahap konsolidasi dan dua komponen kunci (25,00) berada pada tahap keberlanjutan (Tabel 35). Tabel 35. Skor kemajuan sumberdaya pengembangan visi LEPP-M3 Karakteristik Sumberdaya
Struktur Pengelola
Komponen Kunci
Badan
Visi dan Organisasi Otonomi
Misi
Pengembangan Visi Pengakuan Hukum Dewan Pembina yang diakui Kebijakan Operasional Peran aktif Memajukan Organisasi Visi Organisasi Pernyataan Misi Advokasi
PMN
Skor Kemajuan (Y) PKN KSL KBN 0,50 0,25 2.25 1,25
1,00 1,75 1,00 0,25
Hasil pada Tabel ini memberikan gambaran bahwa perkembangan setiap komponen kunci cukup variatif dan tergantung pada penyelenggaraannya di tingkat LEPP-M3. Bahwa skor kemajuan yang dinilai bersama masyarakat ini menunjukan bahwa masih sangat dibutuhkan upaya pengembangan organisasi LEPP-M3, khususnya dalam konteks rumusan visi organisasinya. Penilaian terhadap sumberdaya manajemen disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Skor kemajuan sumberdaya manajemen LEPP-M3 Karakteristik Sumberdaya Model Kepemimpinan Perencanaan
Manajemen Partisipatif
Sistem Manajemen
Sistem Monitoring dan Evaluasi
Komponen Kunci
PMN
Sumberdaya Manajemen Alur pembuatan keputusan 0,25 Partisipasi 0,75 Misi/strategi jangka panjang 0,25 Alur perencanaan 0,25 Implikasi pd sumberdaya 0,75 Perencanaan sebagai alat yg bermanfaat 0,25 Pelimpahan wewenang yg memadai 0,50 Layanan Masyarakat 0,25 Partisipasi Kelompok 0,25 Kesamaan kepentingan 0,25 Transparansi 2,25 Jender dalam pengambilan keputusan 0,25 Pengguna sumberdaya & Pengambil 1,00 keputusan Konsultasi dengan masyarakat 0,25 Aliran komunikasi 1,25 Sistem Personalia 0,25 Sistem Kearsipan 0,25 Prosedur Administratif 0,25 Sistem monitoring & evaluasi yang 0,25 terintegrasi Sistem monitoring pengelolaan SDA yang 0,25 melibatkan masyarakat Umpan balik dari penerima manfaat 0,25 program
Skor Kemajuan (Y) PKN KSL
KBN
122
Hasil Tabel 36 menunjukkan bahwa keseluruhan komponen kunci yang terdapat dalam sumberdaya manajemen, berada pada tahap permulaan. Hasil ini memberi gambaran bahwa kebutuhan pengembangan kapasitas sumberdaya manajemen di tingkat organisasi LEPP-M3 sangat di perlukan. Karena dengan memperbaiki manajemen yang ditata secara baik, pad gilirannya akan meningkatkan kinerja dari LEPP-M3 itu sendiri. Hasil penilaian terhadap skor kemajuan pada sumberdaya manusia dalam pengurus LEPP-M3 di Kota Ambon menunjukkan bahwa seluruh (delapan) komponen kunci (100,00 %) masih berada pada tahapan permulaan (Tabel 37). Upaya-upaya untuk kepentingan pengembangan kapasitas sumberdaya manusia baik pengurus LEPP-M3 maupun dewan pembina penting dilakukan untuk mendukung operasionalisasi dan dinamisasi pekerjaan-pekerjaan LEPP-M3 di masa mendatang. Tabel 37. Skor kemajuan sumberdaya manusia LEPP-M3 Karakteristik Komponen Kunci Sumberdaya Sumberdaya Manusia Kemampuan/ Ketrampilan Partisipasi Anggota dalam Pengembangan manajemen & Ketrampilan Keahlian Anggota Anggota Pengembangan profesi Penilaian kinerja Pengangkatan Anggota lokal/jender Keterwakilan masyarakat lokal Komposisi Anggota Komposisi dewan pembina
PMN
Skor Kemajuan (Y) PKN KSL
KBN
0,25 0,25 0,25 0,25 0,25 0,50 0,50 0,25
Karakteristik sumberdaya keuangan yang memiliki
tujuh komponen
kunci, dari hasil penilaian skor kemajuan setiap komponen kunci didapatkan sebanyak empat
komponen kunci (57,14 %) masih berada pada tahapan
permulaan, dan tiga komponen kunci lainnya (42,16 %) berada pada tahapan perkembangan (Tabel 38). Sumberdaya keuangan organisasi LEPP-M3 masih membutuhkan sentuhan kebijakan pengembangan yang cukup kuat, mengingat hampir pada setiap komponen kunci memiliki skor yang sangat rendah, yang memberikan
konsekuensi
pentingnya
peningkatan
kapasitas
keuangan
organisasi. Bahwa upaya penggalangan dana harus dilakukan oleh LEPP-M3 yakni mencari sumber-sumber pendanaan yang baru, tidak hanya melalui dana DEP. Memang ada upaya yang sudah mulai dilakukan,
namun dalam
pengelolaannya masih harus dibenahi sistem manajemen keuangannya.
123
Tabel 38. Skor kemajuan sumberdaya keuangan LEPP-M3 Karakteristik Sumberdaya Pengelola Keuangan
Komponen Kunci
PMN Sumberdaya Keuangan Anggaran digunakan sebagai alat manajemen Kesehatan Keuangan 0,25 Transparansi Keuangan 0,25 Pengendalian Kas 0,25 Audit 0,25 Penghimpunan dana Kesanggupan keuangan
Skor Kemajuan (Y) PKN KSL
KBN
1,50
1,00 1,50
Sumberdaya eksternal dengan karakteristik sumberdaya kemitraan/ hubungan LEPP-M3 dengan instansi terkait memiliki tujuh komponen kunci. Hasil penilaian terhadap ketujuh komponen kunci menunjukkan bahwa lima komponen kunci (71,43 %) diantaranya berada pada tahapan permulaan, sedangkan dua komponen kunci lainnya (28,57 %) berada pada tahapan perkembangan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 39.
Tabel 39. Skor kemajuan sumberdaya eksternal LEPP-M3 Karakteristik Sumberdaya
Kemitraan/ Hubungan Masyarakat
Komponen Kunci
PMN Sumberdaya Eksternal Publik mengenali organisasi Kemampuan kerjasama 0,50 dengan masyarakat lokal Advokasi masyarakat lokal 0,25 Komunikasi Badan Pengelola 0,5 Kemampuan bekerja dengan pemerintah Kemampuan mengakses 0,25 sumberdaya lokal Kemampuan kerjasama 0,50 dengan NGO
Skor Kemajuan (Y) PKN KSL
KBN
1,25
1,25
Hasil penilaian skor kemajuan ini juga menunjukkan bahwa masih banyak kebutuhan pengembangan kapasitas organisasi LEPP-M3 dalam kaitannya dengan kapasitas LEPP-M3 untuk melakukan kerjasama atau membangun kemitraan dengan pihak eksternal yang sifatnya konstruktif. Kapasitas kerjasama yang diharapkan dapat dikembangkan ialah kerjasama dengan instansi terkait, kerjasama dengan pemerintah dan membangun kemitraan dengan lembagalembaga lain seperti lembaga keuangan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang berorintasi pada pengembangan kapasitas kelembagaan LEPP-M3 Penilaian terhadap sumberdaya LEPP-M3 yang terakhir dalam konteks kerangka kerja kelembagaan ini ialah isu-isu spesifik pengelolaan sumberdaya
124
perikanan di dalam wilayah Kota Ambon. Sumberdaya ini memiliki empat komponen kunci, dari hasil penilaian skor kemajuan menunjukkan bahwa satu komponen kunci (25,00 %) berada pada tahapan permulaan dan tiga komponen kunci lainnya (75,00 %) berada pada tahapan perkembangan (Tabel 40). Tabel 40. Skor kemajuan sumberdaya isu-isu spesifik pengelolaan sumberdaya perikanan yang dihadapi LEPP-M3 Karakteristik Sumberdaya Isu Spesifik Pengelolaan SDP
Skor Kemajuan (Y) PMN PKN KSL Isu-Isu Spesifik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan 0,25 Sumberdaya Pesisir Praktek-Praktek Pengelolaan 1,50 Sumberdaya Pesisir Resolusi Konflik Atas 1,25 Sumberdaya Pesisir Pelaksanaan Peraturan Pengelolaan Sumberdaya 1,25 Perikanan Komponen Kunci
KBN
Walaupun hanya terdiri dari empat komponen kunci, namun sumberdaya ini menjadi penting untuk dicermati dalam kaitan dengan pengembangan kapasitas organisasi LEPP-M3. Hal ini penting dikemukakan mengingat isu-isu spesifik pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan bagian penting dari implementasi fungsi dan peran LEPP-M3. Pengambilan keputusan dan resolusi konflik atas sumberdaya merupakan komponen kunci yang harus didorong kapasitasnya karena kecenderungan masalah yang terjadi di wilayah pesisir berkaitan dengan kedua komponen kunci tersebut, disamping praktek-ptaktek pengelolaan dan eksistensi aturan yang telah ditetapkan. Secara keseluruhan, dapat diberikan pernyataan bahwa dari seluruh sumberdaya yang dibutuhkan dalam pengembangan organsasi LEPP-M3, ternyata lebih dari 72 % komponen kunci harus dikembangkan secara maksimal untuk mendukung kapasitas organisasi LEPP-M3 karena masih berada pada tahapan permulaan. Di sisi lain hanya sepuluh komponen kunci yang berada pada tahapan perkembangan, demikian juga satu komponen kunci yang telah memasuki tahap
konsolidasi dan dua komponen kunci lainnya berada pada
tahap keberlanjutan.
7.3 Prioritas Pengembangan LEPP- M3 Penetapan prioritas pengembangan organisasi LEPP-M3 dilakukan dengan menentukan ranking prioritas setiap komponen kunci sesuai sistem skoring yang telah ditentukan. Dengan mengakomodasi lembar skor yang dibuat
125
bersama
kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), hasil skoring tersebut
disesuaikan dengan hasil penilaian pada setiap komponen kunci. Hasil perankingan prioritas menunjukkan bahwa rata-rata komponen kunci dinilai sangat menentukan mati hidupnya organisasi, kecuali dewan pembina yang diakui yang dipandang penting untuk kelangsungan organisasi LEPP-M3 (Tabel 41). Hasil tersebut menunjukkan visi LEPP-M3 memiliki prioritas yang tinggi. Tabel 41. Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya pengembangan visi LEPP-M3 No.
Karakteristik Sumberdaya
1
Struktur Badan Pengelola
2
Visi dan Misi Organisasi
3
Otonomi
Komponen Kunci Pengakuan Hukum Dewan Pembina yang diakui Kebijakan Operasional Peran aktif Memajukan Organisasi Visi Organisasi Pernyataan Misi Advokasi
Skor (X) 4 3 4 4 4 4 4 4
Dari hasil penentuan ranking prioritas skor (X) dan hasil skoring perkembangan komponen kunci dalam sumberdaya pengembangan visi LEPPM3 dapat diekspresikan secara grafis seperti pada Gambar 12. Hasil
ini
menunjukkan bahwa posisi seluruh komponen kunci berada pada kwadran dimana kapasitas lembaga yang paling mendesak untuk dikembangkan.
Skor tingkat perkembangan
4
Kebijakan operasional
2
Visi organisasi
Dewan Pembina
Peran aktif Memajukan organisasi
Pernyataan misi
Pengakuan hukum
Advokasi
0 0
1
2 Skor prioritas
3
4
Gambar 12. Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya pengembangan visi LEPP-M3
126
Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya manajemen LEPP-M3 disajikan pada Tabel 42. Tabel 42. Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya manajemen LEPP-M3 Karakteristik Sumberdaya 1
Model Kepemimpinan
2
Perencanaan
3
4
5
Manajemen Partisipatif
Sistem Manajemen
Sistem Monitoring dan Evaluasi
Komponen Kunci Alur pembuatan keputusan Partisipasi Misi/strategi jangka panjang Alur perencanaan Implikasi pada sumberdaya Perencanaan sebagai alat yang bermanfaat Pelimpahan wewenang yg memadai Layanan Masyarakat Partisipasi Kelompok Kesamaan kepentingan Transparansi Jender dalam pengambilan keputusan Pengguna sumberdaya & Pengambil keputusan Konsultasi dengan masyarakat Aliran komunikasi Sistem Personalia Sistem Kearsipan Prosedur Administratif Sistem monitoring & evaluasi yang terintegrasi Sistem monitoring pengelolaan SDA yang melibatkan masyarakat Umpan balik dari penerima manfaat program
Skor (X) 4 4 4 3 3 4 3 3 2 3 4 2 3 3 3 3 3 3 4 4 3
Hasil perankingan prioritas pada sumberdaya manajemen menunjukkan bahwa tujuh komponen kunci dinilai sangat menentukan mati hidupnya organisasi, 12 komponen kunci termasuk dalam kategori penting untuk keberlangsungan organisasi, dan tiga komponen kunci termasuk dalam kategori perlu perhatian khusus. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai penting komponenkomponen kunci berada pada kategori yang beragam. Walaupun demikian, seluruh komponen kunci tetap dianggap penting untuk operasionalisasi organisasi LEPP-M3 ke depan. Ekspresi grafis yang menunjukkan hubungan antara ranking prioritas dan skor perkembangan LEPP-M3 untuk tiap komponen kunci pada sumberdaya manajemen LEPP-M3, mengindikasikan hampir seluruh komponen kunci berada pada kwadran dimana kapasitas lembaga yang paling mendesak untuk dikembangkan sebagaimana yang disajikan pada Gambar 13.
Kecuali satu
komponen kunci transparansi termasuk dalam kwadran dimana kinerja harus ditingkatkan. Hasil ini mengindikasikan bahwa sumberdaya manajemen adalah merupakan sumberdaya yang urgen untuk segera diperbaiki,
agar kinerja
kelembagaan LEPP-M3 dapat ditingkatkan untuk selanjutnya berdampak pada perannya sebagai mitra yang diingikan.
127
Skor tingkat perkembangan
4
Transparan
2 Limpah wewenang Partisipasi kelompok
0 0
Aliran komunikasi
Guna SD & Keputusan
Sistem Konsul Monev Rencana personalia Strategi Layanan masy. terpadu Monit Alur masy. Jender Prosedur masy. Umpan keputusan admin balik Alur Sama 2rencana Sistem kepntngan 4 Partisipasi Skor prioritas arsip
Gambar 13. Ranking prioritas komponen kunci pada sumberdaya manajemen LEPP-M3
Hasil perankingan prioritas pada sumberdaya manusia yang ada dalam organisasi LEPP-M3 menunjukkan bahwa tiga komponen kunci dinilai sangat menentukan mati hidupnya organisasi, dua komponen kunci termasuk dalam kategori penting untuk keberlangsungan organisasi, dan tiga komponen kunci termasuk dalam kategori perlu perhatian khusus (Tabel 43).
Tabel 43. Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya manusia LEPP-M3 No.
Karakteristik Sumberdaya
1
Pengembangan & Ketrampilan Anggota
2
Keterwakilan masyarakat lokal
Hasil
penentuan
ranking
Komponen Kunci Kemampuan/ Ketrampilan Partisipasi Anggota dalam manajemen Keahlian Anggota Pengembangan profesi Penilaian kinerja Pengangkatan Anggota lokal/jender Komposisi Anggota Komposisi dewan pembina
prioritas
skor
(X)
dan
Skor (X) 4 4 3 4 3 2 2 2
hasil
skoring
perkembangan komponen kunci dalam sumberdaya manusia, secara grafis diekspresikan dalam Gambar 14. Posisi seluruh komponen kunci berada pada kwadran dimana kapasitas lembaga yang paling mendesak untuk dikembangkan.
128
Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya manusia yang ada dalam organisasi LEPP-M3 membutuhkan pengembangan kapasitas.
Skor tingkat perkembangan
4
2 Angkat anggota Komposisi anggota
Nilai kinerja
Komposisi DP
0 0
Keahlian anggota
2
Partisipasi anggota Kembang profesi Trampil
Skor prioritas
4
Gambar 14. Ranking prioritas komponen kunci pada sumberdaya manusia LEPP-M3
Perankingan prioritas pada sumberdaya keuangan menunjukkan bahwa lima komponen kunci dinilai sangat menentukan mati hidupnya organisasi, dan dua
komponen
kunci
lainnya
termasuk
dalam
kategori
penting
untuk
keberlangsungan organisasi (Tabel 44). Hasil ini mengisyaratkan bahwa pengembangan organisasi LEPP-M3 juga harus dilakukan melalui peningkatan kapasitas keuangan organisasi, paling tidak untuk kepentingan pembiayaan manajemen dan pembiayaan kegiatan LEPP-M3. Tabel 44. Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya keuangan LEPP-M3 No. 1
Karakteristik Sumberdaya Pengelola Keuangan
Komponen Kunci Anggaran digunakan sebagai alat manajemen Kesehatan Keuangan Transparansi Keuangan Pengendalian Kas Audit Penghimpunan dana Kesanggupan keuangan
Skor (X) 4 4 4 3 4 4 3
Ekspresi grafis yang menunjukkan hubungan antara ranking prioritas dan skor perkembangan LEPP-M3 untuk tiap komponen kunci pada sumberdaya keuangan LEPP-M3, mengindikasikan seluruh komponen kunci berada pada
129
kwadran dimana kapasitas lembaga yang paling mendesak untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 15.
Skor tingkat perkembangan
4
2
Sanggup keuangan Guna anggaran Himpun dana
Kendali kas
Audit
Transparansi
0 0
2
Skor prioritas
4
Gambar 15. Ranking prioritas komponen kunci pada sumberdaya keuangan LEPP-M3
Perankingan prioritas pada sumberdaya eksternal menunjukkan hanya dua komponen kunci dinilai sangat menentukan mati hidupnya organisasi, empat komponen kunci termasuk dalam kategori penting untuk keberlangsungan organisasi, dan satu komponen kunci lainnya termasuk dalam kategori perlu perhatian khusus (Tabel 45). Hasil ini menunjukkan bahwa komponen-komponen kunci dalam sumberdaya eksternal berada pada distribusi yang beragam.
Tabel 45. Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya eksternal LEPP-M3 No. 1
Karakteristik Sumberdaya Kemitraan/ Hubungan Masyarakat
Komponen Kunci Publik mengenali organisasi Kemampuan kerjasama dgn masyarakat lokal Advokasi masyarakat lokal Komunikasi Badan Pengelola Kemampuan bekerja dgn pemerintah Kemampuan mengakses sumberdaya lokal Kemampuan kerjasama dengan NGO
Skor (X) 2 3 3 4 3 4 3
130
Ekspresi grafis yang menunjukkan hubungan antara penentuan rangking prioritas skor (X) dan hasil skoring perkembangan komponen kunci sumberdaya eksternal LEPP-M3 (Gambar 16). Hasil ini menunjukkan bahwa posisi seluruh komponen kunci berada pada kwadran dimana kapasitas lembaga yang paling mendesak untuk dikembangkan. Dengan demikian sumberdaya eksternal LEPPM3 menjadi catatan penting untuk diperioritaskan dalam pengembangan.
Skor tingkat perkembangan
4
2 Publik mengenal
0 0
2
Kerjasama pemerintah
Kerjasama dgn NGO advokasi Kerjasama Masy.
Skor prioritas
Komunikasi BP Akses SD lokal
4
Gambar 16 Ranking prioritas komponen kunci pada sumberdaya eksternal LEPP-M3
Hasil perankingan prioritas pada sumberdaya isu-isu spesifik pengelolaan sumberdaya perikanan yang dihadapi organisasi LEPP-M3 menunjukkan bahwa seluruh komponen kunci dinilai sangat menentukan mati hidupnya organisasi, (Tabel 46). Tabel 46. No. 1
Ranking prioritas komponen kunci sumberdaya isu-isu spesifik pengelolaan SDP yang dihadapi LEPP-M3
Karakteristik Sumberdaya Isu Spesifik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Komponen Kunci Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Praktek-Praktek Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Resolusi Konflik Atas Sumberdaya Perikanan Pelaksanaan Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Skor X 4
4 4 4
131
Ekspresi grafis yang menunjukkan hubungan antara ranking prioritas dan skor perkembangan LEPP-M3 untuk tiap komponen kunci pada sumberdaya isuisu spesifik pengelolaan sumberdaya perikanan, mengindikasikan seluruh komponen kunci berada pada kwadran dimana kapasitas lembaga yang paling mendesak untuk dikembangkan (Gambar 17). Hal ini menjadi catatan penting untuk implementasi visi LEPP-M3, masalah-masalah pengelolaan sumberdaya, perikanan merupakan inti masalah implementasi tugas dan fungsi LEPP-M3.
Skor tingkat perkembangan
4
2 Praktek pengelolaan Pelaksanaan aturan
Resolusi konflik Pengambilan Keputusan
0 0
2
Skor prioritas
4
Gambar 17. Ranking prioritas komponen kunci pada sumberdaya isu-isu spesifik pengelolaan sumberdaya perikanan yang dihadapi LEPP-M3
7.4 Rencana Pengembangan LEPP- M3 Berdasarkan hasil analisis prioritas pengembangan LEPP-M3 tersebut di atas, maka berikut ini dapat dirumuskan beberapa rencana pengembangan yang dapat dijadikan dasar bagi pengembangan Kelembagaan LEPP-M3 di Kota Ambon. Beberapa rencana yang dipandang memiliki nilai strategis ini dirumuskan dengan pendekatan karakteristik sumberdaya kelembagaan LEPP-M3, sebagai berikut : 1.
Revitalisasi
kelembagaan
LEPP-M3
melalui
pengembangan
visi
organisasinya yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal, dan antisipasi kecenderungan pengembangan kemitraan dengan pihak luar, disamping restrukturisasi kelembagaan dengan mengakomodasi seluruh elemen lokal.
132
2.
Peningkatan kapasitas sumberdaya manajemen kelembagaan LEPP-M3 melalui
penataan
sistem
manajemen
dan
pelatihan
pengembangan
kapasitas manajemen organisasi. 3.
Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pengelola LEPP-M3 (anggota dan dewan pembina), melalui pelatihan ketrampilan, pendidikan informal yang berkaitan dengan pengembangan organisasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan.
4.
Peningkatan kapasitas sumberdaya keuangan melalui diversifikasi sumbersumber pendanaan, pengembangan dan pembinaan kemitraan dengan lembaga keuangan serta peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pengelola keuangan.
5.
Pengembangan
kemitraan
dengan
lembaga
pemerintah,
lembaga
pendidikan, lembaga keuangan dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, yang didukung dengan pengembangan sistem informasi dan promosi terhadap eksitensi LEPP-M3 kota Ambon termasuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan dan direncanakan pengembangannya. 6.
Pengembangan kapasitas pengelola LEPP-M3 dalam kaitan dengan pengambilan keputusan, peningkatan ketrampilan dalam meresolusi konflik atas sumberdaya serta pelatihan penyusunan regulasi tingkat KMP yang berkaitan dengan operasionalisasi LEPP-M3 dan implementasi pengelolaan sumberdaya perikanan.
7.5 Pembahasan Menyeluruh : Perumusan Implikasi Kebijakan Kemitraan yang selama ini berjalan di Indonesia menurut banyak pengamat pada umumnya masih berlangsung karena himbauan pemerintah. Himbauan itu pun berjalan tidak sebagaimana mestinya, karena dorongan untuk bermitra, umumnya didasarkan atas konsep belas kasihan dan bukan atas dasar kerjasama yang saling menguntungkan. Kalaupun ada kemitraan yang terjadi umumnya didasarkan atas rasa takut akan mendapat hambatan dari pemerintah. Jadi kebutuhan untuk bermitra di Indonesia belum built in dengan strategi usaha dari itu sendiri. Kemitraan usaha yang benar-benar didasarkan pada adanya kebutuhan dan dilandasi motivasi ekonomi relatif masih sedikit. Padahal dalam praktik bisnis internasional dewasa ini, kemitraan usaha telah menjadi bagian strategi internalisasi aktivitas usaha melalui akuisisi dan merger/penggabungan dalam rangka integrasi vertikal dan horisontal.
133
Dalam
program
kemitraan
sering
mengedepankan
aspek
sosial
(kesejahteraan nelayan), tetapi pertimbangan keuntungan ekonomi jauh lebih dominan. Sebab misi utamanya adalah meraih keuntungan dari setiap hubungan bisnis yang tercipta, tidak terkecuali pada nelayan kecil. Dengan demikian syarat utama untuk menjamin kelanggenan kemitraan usaha adalah nelayan harus memiliki kemampuan yang memadai guna memenuhi harapan pihak industri perikanan atau pihak perusahaan lainnya. Sementara
itu
kondisi
objektif
masyarakat nelayan sangat sulit untuk dapat memenuhi tuntutan industri perikanan atau perusahaan besar yang menerapkan kriteria-kriteria bisnis modern. Kondisi sosial ekonomi nelayan sangat rendah. Hampir semua potensi sumberdaya yang dimiliki (teknologi, sumberdaya manusia dan finansial) tidak mampu untuk mendukung terciptnya suasana saling membutuhkan dan menguntungkan. Berkaitan dengan situasi ini, maka sepatutnya nelayan dibantu dan didukung oleh berbagai pihak terkait. Meskipun telah ada dukungan pembinaan dari instansi terkait, tetapi nelayan nampaknya masih sulit untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Sebab perilaku instansi pemerintah sebagai pelaksana proyek cenderung menonjolkan pendekatan “proyek” (sukses administrasi) ketimbang kesuksesan program
secara
berkelanjutan.
Mekanisme
kontrol
dan
sistem
pertanggungjawaban terhadap pelaksana kemitraan usaha tidak diciptakan secara baik. Akibatnya, bantuan dan pembinaan kepada nelayan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Perilaku seperti ini sekaligus membuka peluang kepada industri perikanan atau perusahaan sebagai pihak yang lebih kuat dan memiliki kecenderungan eksploitatif untuk mengingkari berbagi aturan main demi meraih keuntungan yang lebih besar. Bila ada pengaduan dari nelayan, maka jarang ditanggapi dengan serius, karena komitmen pelaksana proyek relatif rendah dan tidak ada sanksi tegas yang dihadapkan kepada mereka bila tidak mengindahkannya. Kemitraan usaha yang selama ini terlaksana pada dasarnya terbangun atas prakarsa dari pemerintah bersama industri perikanan atau antara nelayan bersama industri perikanan. Program kemitraan usaha yang terbangun cederung bersifat top down. Implikasinya adalah aturan main dan perangkat organisasi pelaksannya lebih berdasarkan pada nilai-nilai yang dianut pemrakarsanya (pemerintah,
industri
perikanan
dan
perusahaan
besar).
Pada
tahap
operasionalnya, nelayan dimobilisasi melalui kelompok untuk ikut serta dalam
134
program kemitraan. Situasi demikian menyebabkan konsep dan pelaksanaan kemitraan tidak sesuai dengan aspirasi atau kebutuhan masyarakat nelayan. Kalaupun ikut terlibat di dalamnya bukan karena atas dasar kesadaran sendiri, tetapi lebih dipersuasi oleh pemerintah, industri perikanan dan perusahaan besar. Keikutsertaaan dalam konteks seperti
ini menyebabkan nelayan tidak
memiliki kemandirian dalam mengembangkan usahanya (Bachriadi,1995). Sikap pemerintah, industri perikanan dan perusahaan besar yang memaksakan pola kemitraan tertentu dengan tanpa mempertimbangkan secara mendasar mengenai kesiapan nelayan hanya akan menimbulkan kekecewaan. Pada aspek kualitas, nelayan masih berhadapan dengan rendahnya kemampuan teknis dan manajemen usaha termasuk pengelolaan kelompok. Meskipun secara umum aturan main tentang kemitraan usaha harus bermuara
terwujudnya
suasana
saling
memerlukan,
memperkuat
dan
menguntungkan, namun dalam operasionalnya seringkali tidak jelas kriteriakriteria pencapainya.
Pada umumnya pihak-pihak penyelenggara hanya
mengandalkan peraturan pemerintah pusat yang sifatnya masih sangat umum. Situasi seperti ini terlihat pada kemitraan usaha nelayan selama ini termasuk kondisi di kota Ambon. Pihak-pihak terkait tidak memiliki target yang jelas untuk jangka waktu tertentu. Kegiatan yang dilakukan lebih didasarkan pada selera masing-masing dan terkadang bermasa bodoh dengan masalah-masalah yang terjadi dalam program kemitraan usaha. Jadi dalam kemitraan tidak tercipta suatu mekanisme pemaksa atau kontrol bagi pelaksananya. Berbagai bentuk aturan main baik yang bersifat formal maupun informal yang mengatur hubungan atau kemitraan antara masyarakat nelayan dapat dijumpai di desa pantai di seluruh Indonesia. Dari bentuk tersebut ada 4 sistem kelembagaan ekonomi yang sering ditemui yakni ; 1) kelembagaan bagi hasil, 2) kelembagaan hubungan kerja, 3) kelembagaan pemasaran dan 4) kelembagaan perkreditan. Fakta menunjukkan bahwa keempat kelembagaan ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Pada umumnya masyarakat nelayan sering terlibat dalam hubungan ganda. Scott (1994) menyatakan bahwa masyarakat pantai termasuk nelayan mempunyai hubungan paternalistik yang telah beralngsung sejak zaman dahulu. Seseorang menjadi pengikuti (client) dari lapisan atasnya dan sekaligus menjadi pemimpin (patron) lapisan bawahnya. Sebagai patron adalah orang yang berada dalam posisi membantu client.
135
Praktek kelembagaan berdasarkan tradisi lokal sangat dihormati oleh masyarakatnya,
tetapi
kemudian
kelembagaan
lokal
ditingkat
desa
ini
terhegomoni oleh pemerintah melalui peran kepala desanya melaksanakan campuran kekuasaan. Kekausaaan ini merupakan perwakilan sebagai kepala desa yang mana tugas-tugas yang diemban sering tidak konsisten dan bahkan selalu berseberangan dengan peranan institusi lokal yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya guna peningkatan kesejahteraan anggota masyarakatnya sebagai upaya menuju pembangunan berkelanjutan. Dalam proses pengembangan masyarakat, maka unsur pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Pengembangan sumberdaya manusia dalam masyarakat baik secara teoritis, konsepsional, dan praktis operasional merupakan realita yang telah teruji dalam sejarah pembangunan baik di tingkat regional, nasional bahkan internasional. Hal ini
berarti
bahwa
sebagai
suatu
paradigma
pembangunan,
maka
pengembangan masyarakat dibangun atas dasar realita-realita kehidupan masyarakat yang dapat menjamin terwujudnya pemberdayaan masyarakat itu sendiri, peningkatan kapasitas masyarakat untuk dapat berkembang dan untuk menghadapi
perubahan-perubahan
yang
senantiasa
terjadi
dan
untuk
meningkatkan ikatan dan jalinan masyarakat sebagai suatu sistem. Oleh karena itu, maka pemberdayaan masyarakat itu sendiri berintikan premis bahwa masyarakat yang menjadi intended beneficieries memiliki potensi untuk berkembang dan mandiri di dalam menghadapi berbagai tantangan dan berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupannya. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat adalah merupakan suatu proses peningkatan kapasitas masyarakat melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan (baik secara formal maupun informal),
dengan
menyediakan
fasilitas
yang
diperlukan
untuk
dapat
menghadapi kehidupan sehari-hari. Menurut Winoto (2000), pemberdayaan masyarakat harus dibangun atas premis kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang meliputi : (1) Premis mengenai sifat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat, di dalam proses interaksi sosial, manusia umumnya berusaha untuk bisa memperoleh manfaat bagi kehidupannya dan sekaligus mengurangi ketidakmenentuan dan resiko kehidupan yang dihadapi walaupun juga banyak anggota masyarakat yang bersifat phylantropic.
136
(2) Premis tentang kehidupan organisasi Pengelompokan
sosial
pada
umumnya
dilakukan
untuk
mengurangi
ketidakmenentuan dan resiko kehidupan serta di dalam proses untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya masyarakat. (3) Premis tentang kebutuhan manusia dan masyarakat Manusia mencari dan berinteraksi dengan manusia lainnya melalui sistem masyarakat (community sistem), oleh karena didorong sifat alamiahnya. Pengelompokan yang bersifat alamiah dan interaktif ini akan lebih penting dari pada pengelompokan berdasarkan batasan geografis. Atas dasar ini masyarakat dipahami sebagai suatu sistem yang terjalin oleh karena adanya ikatan-ikatan nilai dan kepentingan akan kebutuhan ekspresi diri dalam masyarakat
dan
kebutuhuan
akan
pemenuhan
aspirasi-aspirasi
kehidupannya. (4) Premis dalam partisipasi pengambilan keputusan tentang perubahan. Pengembangan
masyarakat
yang
bertujuan
untuk
memberdayakan
masyarakat dibangun di atas premis bahwa setiap anggota masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan yang
secara
langsung
atau
tidak
langsung
akan
mempengaruhi
kehidupannya. (5) Premis
tentang
keberhasilan
dan
kegagalan
program
dan
proyek
pemberdayaan masyarkat. Kegagalan dan keberhasilan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh kemampuan semua pihak yang terlibat dalam proses pengembangan masyarakat untuk memahami realitas dan lingkungannya, sistem nilai masyarakat tentang arti penting perubahan dan arti penting dari masa depan, dan mindscape masyarakat dalam bersikap dan berprilaku serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan budaya masyarakat dalam bersikap dan berprilaku akan menentukan keberhasilan suatu program atau proyek pengembangan pemberdayaan masyarakat. Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan agar usaha pemberdayaan tersebut dapat berhasil yaitu : 1. Prinsip pendekatan kelompok Bimbingan dan pelatihan dilakukan melalui pendekatan kelompok sehingga dapat
menumbuhkan
kekuatan
gerak
dari
masyarakat.
Kelompok
137
ditumbuhkan dari dan oleh serta untuk kepentingan masyarakat itu sendiri bukan untuk kepentingan pembina atau pihak lainya. 2. Prinsip keserasian Anggota kelompok haruslah berasal dari orang-orang yang saling mengenal satu dengan lainnya, sehingga saling percaya dan mempunyai kepentingan yang sama dan akan menumbuhkan kerjasama yang kompak dan serasi. 3. Prinsip pendekatan kemitraan Memperlakukan masyarakat kecil sebagai mitra kerja pembangunan yang berperan aktif dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini masyarakat tidak hanya dijadikan objek dari pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunan itu sendiri. 4. Prinsip Kepemimpinan masyarakat itu sendiri Memberikan
kesempatan
seluas-luasnya
kepada
masyarakat
untuk
mengembangkan kepemimpinan dari kalangan mereka sendiri. 5. Prinsip swadaya Bimbingan dan dukungan kemudahan yang diberikan haruslah yang mampu untuk
menumbuhkan
keswadayaan
dan
kemandirian.
Disamping
itu
pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat semakin tergantung pada berbagai program, karena apa yang dinikmati harus dihasilkan dari usaha sendiri. 6. Prinsip belajar sambil bekerja Masyarakat dibimbing dan dibina melalui proses bekerja sendiri dan mengalami serta menemukan sendiri tujuan yang ingin dicapainya. Dengan kata lain bahwa masyarakat yang dibina mampu belajar dari pengalaman yang pernah dilaluinya (learning by doing). 7. Prinsip pendekatan keluarga Bimbingan yang dilakukan harus melibatkan seluruh komponen keluarga. Pemberdayaan
masyarakat
terutama
kelompok
masyarakat
kecil
menengah, sebagai bagian terbesar dari populasi masyarakat di Indonesia, dengan demikian merupakan kegiatan strategis yang perlu diposisikan agar dapat memberdayakan dan melepaskan masyarakat kecil dari perangkap ketergantungan. Melalui masyarakat yang berdaya dengan demikian dapat diharapkan terwujudnya suatu komunitas yang mampu dan terampil membuat rencana, melaksanakan, memproduksi, mengolah dan memasarkan, menikmati hasil usaha, serta memperoleh pendapatan yang layak untuk hidup dan
138
menyejahterakan keluarga dan lingkungannya. Keinginan ini akan menjadi lebih mudah dicapai jika kelembagaan masyarakat benar-benar diberdayakan untuk dapat berfungsi sebagai wadah kerjasama dan unit usaha antar pengusaha kecil menengah untuk mengelola dan memasarkan produksi yang dihasilkannya agar dapat memiliki nilai tambah yang ekonomis dan menguntungkan. Kondisi ini akan terfasilitasi dengan lancar, jika pemerintah atau swasta memposisikan dirinya secara bulat sebagai fasilitator pembangunan dan dengan sepenuh hati maksud pemberdayaan masyarakat sebagai langkah strategis menjadikan komunitas masyarakat kecil menengah sebagai pelaku ekonomi yang berdaulat terhadap hak dan kewajibannya. Kenyataan di lapangan menunjukkan pemerintah selama ini belum sepenuh hati menjalankan fungsinya sebagai fasilitator pembangunan dengan baik dan benar. Hal ini terbukti dari tidak berperannya pemerintah baik dari tingkat kota, kecamatan maupun desa dalam program kemitraan yang terbangun melalui
program
PEMP
di
Kota
Ambon.
Sementara
pihak
LEPP-M3
mengharapkan adanya perhatian pemerintah desa (mitra desa) dalam aspek pembinaan terhadap masyarakat desanya yang tentunya bertujuan terhadap keberlanjutan kemitraan tersebut. Berkaitan dengan hal ini maka sebenarnya kemitraan yang terbangun melalui program PEMP di Kota Ambon sesungguhnya masih menghadapi berbagai macam persoalan. Bila didekati dari kaidah sebab akibat, maka persoalan-persoalan yang melingkupi program kemitraan usaha pada dasarnya bersumber dari dua komponen utama, yakni struktur sumberdaya partisipan serta proses pelaksanaannya. Dari segi kesiapan sumberdaya, maka seharusnya diantara nelayan peserta dan LEPP-M3 Kota Ambon ada “keseimbangan”. Artinya, apabila satu pihak
mengorbankan
suatu
sumberdaya,
pihak
lainnya
harus
mampu
mengelolanya dengan baik berkat dukungan potensi sumberdaya yang dimilikinya. Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan suasana saling membutuhkan, memperkuat dan saling menguntungkan. Namun kenyataan yang terjadi dalam kemitraan yang terbangun melalui program PEMP di Kota Ambon terjadi ketimpangan. Beberapa jenis sumberdaya baik secara kuantitas maupun kualitas belum mampu menopang keberlanjutan kemitraan. Kondisi sumberdaya yang dimiliki oleh nelayan perikanan tangkap khususnya kelompok masyarakat pemanfaat (nelayan purse seine) di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 47.
139
Tabel 47. Identifikasi persoalan sumberdaya KMP peserta kemitraan No. 1
Potensi sumberdaya Manusia
2
Teknologi / peralatan
3
Finansial
4
Informasi
5
Kelembagaan
6
perikanan
Persoalan pada nelayan purse seine Pendidikan sangat rendah ada yang tidak memiliki latar belakang sebagai nelayan Belum tersedianya rumpon secara menyeluruh dan alat penangkapan yang digunakan sangat belum memadai Belum dapat disediakannya secara mandiri oleh kelompok dan dana untuk pengadaan peralatan penangkapan tidak tersedia Kurang transparan karena hanya dikuasai oleh ketua kelompok Wadah komunikasi antar partisipan tidak ada dan ikatan kelompok nelayan relatif lemah Jenis ikan campuran, yang tekadang tidak dibutuhkan oleh industri perikanan
Sumber : Data primer diolah (2008)
Berdasarkan gambaran pada Tabel 47, maka kondisi sumberdaya yang dimiliki nelayan purse seine tersebut belum mendukung terciptanya suasana yang saling menguntungkan. Walaupun pada awalnya, pihak LEEP-M3 dan pihak KMP
saling membutuhkan, tetapi karena daya dukung sumberdaya
nelayan tidak memadai, akhirnya menimbulkan kerugian bagi LEPP-M3. Kelemahan yang melekat pada sumberdaya KMP peserta kemitraan, ternyata diperparah juga dengan proses pelaksanaan kemitraan yang belum sepenuhnya mampu mengatasi berbagai persoalan yang terjadi (Tabel 48) Berdasarkan gambaran pada Tabel 48, secara umum pelaksanaan kemitraan belum sepenuhnya mengarah pada upaya pemberdayaan nelayan. Hal ini terlihat dari konsepsi kemitraan yang bersifat top down dan upaya untuk mengatasi berbagai kelemahan mendasar pada sumberdaya nelayan tidak dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, serta sistem kelembagaan belum tertata dengan baik, sehingga kurang berfungsi. Pada sisi lain masyarakat belum sepenuhnya memahami hak dan kewajibannya selaku pelaku ekonomi yang berdaulat karena tidak didukung oleh kemampuan manajerial dan ketersediaan informasi yang dapat membantu mereka melaksanakan fungsinya sebagai unit usaha yang mandiri dan otonom. Gap inilah yang selama ini mengakibatkan nelayan perikanan tangkap seakan-akan bergantung pada uluran tangan pemerintah yang bahkan cenderung menjadi campur tangan birokrat. Untuk mengatasi gap ini diperlukan personel yang mampu berperan sebagai komunikator, motivator, dinamisator, korektor serta soluter yang dapat merekatkan kesenjangan antara masyarakat kecil dan pemerintah.
140
Beberapa pendekatan dan strategi dalam pemberdayaan masyarakat, dapat ditempuh dengan berbagai upaya sebagai berikut : 1.
Memulai dengan tindakan mikro. Proses pembelajaran rakyat harus dimulai dengan tindakan mikro, namun memiliki konteks makro dan global. Dialog mikro-makro harus terus menjadi bagian pembelajaran masyarakat agar berbagai pengalaman mikro dapat menjadi policy input dan policy reform.
Tabel 48. Identifikasi persoalan pelaksanaan kemitraan No
Pelaksanaan Kemitraan
Persoalan
1
Kelompok Nelayan Peserta
Dibentuk oleh KMK kelompok terlalu kuat
2
Pembentukan Kemitraan Usaha
Diprakarsai oleh DKP, nelayan dimobilisasi untuk ikut kemitraan
3
Aturan Main
Tertulis tapi tidak dimiliki oleh anggota kelompok, hanya ada pada ketua kelompok, presepsi diantara nelayan peserta berbeda dan aspirasi nelayan belum terakomodasi
4
Organisasi Pelaksana
Tidak ada struktur yang disepakati bersama, hanya diperankan oleh ketua kelompok, pembinaan tidak terwadahkan secara baik
5
Sosialisasi Program
Lebih bersifat penerangan dan dilakukan hanya sekali serta nelayan dijadikan sebagai objek
6
Operasional Kegiatan
Belum didasarkan pada perencanaan yang sistimatis, sumberdaya manusia belum dipersiapkan secara baik Pemberian bantuan dalam bentuk dana DEP kepada KMP hanya di ketahui oleh ketua kelompok,
- Proses Produksi
Penanganan hasil penangkapan tidak menggunakan es sementara hasil perikanan bersifat mudah busuk
- Pemasaran
Tidak ada jaringan pasar yang tersedia sesuai dengan perjanjian
7
Pembinaan
Tidak dari pemerintah desa maupun kecamatan serta instansi terkait. Pihak LEPP-M3 tidak melaksanakan fungsinya.
8
Monitoring/Evaluasi
Belum dilaksanakan secara teratur
9
Pendapatan KMP
Rata-rata belum mampu menutupi kredit dari dana DEP
Sumber : Data primer diolah (2008)
dominasi
ketua
141
2.
Pengembangan sektor ekonomi strategis sesuai dengan kondsi lokal (daerah). Yang dimaksud produk strategis (unggulan) tidak hanya produksi yang ada di masyarakat seperti laku di pasaran, tetapi unggul dalam hal bahan baku dan teknis produksinya, serta memiliki keterkaitan sektoral tinggi.
3.
Mengganti pendekatan kewilayahan administrasi dengan pendekatan kawasan. Pemberdayaan masyarakat tidak mungkin didasarkan atas kewilayahan administratif. Pendekatan kewilayahan administratif adalah pendekatan birokrasi atau kekuasaan. Pendekatan kawasan berarti lebih menekankan kesamaan dan perbedaan potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan tertentu. Dengan pendekatan ini akan memungkinkan terjadinya pemberdayaan masyarakat dalam skala besar disamping keragaman model yang didasarkan atas keunggulan antara kawasan satu dengan yang lainnya. Lebih lanjut akan memungkinkan terjadinya kerjasama antar kawasan yang lebih produktif.
4.
Membangun kembali kelembagaan masyarakat. Peran serta masyarakat menjadi keniscayaan bagi semua upaya pemberdayaan masyarakat, jika tidak dibarengi munculnya kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya yang benar-benar diciptakan oleh masyarakat sendiri.
5.
Mengembangkan penguasaan pengetahuan teknis. Perlu dipahami bersama bahwa desakan modernisasi telah menggusur ilmu pengetahuan dan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan pada input luar serta hilangnya kepercayaan diri yang sangat serius terhadap pengembangan kesadaran. Karena peristiwa ekonomi juga merupakan peristiwa politik atau lebih dikenal dengan politik ekonomi, maka tindakan yang hanya berorientasi memberikan bantuan teknis jelas tidak memadai. Yang diperlukan tindakan berbasis pada kesadaran masyarakat untuk membebaskan diri dari belenggu
kekuatan
ekonomi dan politik yang
menghambat
proses
demokratisasi ekonomi. 6.
Membangun jaringan ekonomi srategis. Jaringan strategis akan berfungsi untuk
mengembangkan
kerjasama
dalam
mengatasi
keterbatasan-
keterbatasan yang dimiliki kelompok ekonomi satu dengan yang lainnya baik dalam bidang produksi, pemasaran, teknologi dan permodalan. Disamping itu juga jaringan strategis juga akan berfungsi sebagai media pembelajaran.
142
7.
Kontrol kebijakan. Agar kebijakan pemerintah benar-benar mendukung upaya pemberdayaan masyarakat, maka kekuasaan pemerintah harus dikontrol. Sebagai contoh keikutsertaan kelompok nelayan dalam proses pengambilan keputusan tentang kebijakan perikanan.
8.
Menerapkan
model
pembangunan
berkelanjutan.
Setiap
peristiwa
pembangunan harus mampu secara terus menerus mengkonservasi daya dukung lingkungan. Dengan demikian daya dukung lingkungan akan dapat dipertahankan untuk mendukung pembangunan. Seperti telah diuraikan diatas sasaran strategi pemberdayaan masyarakat bukanlah sekedar peningkatan pendapatan semata melainkan sebagai upaya membangun basis-basis ekonomi yang bertumpu pada kebutuhan masyarakat dan sumberdaya lokal yang handal. Di samping itu pemberdayaan ekonomi masyarakat harus pula diarahkan pada upaya-upaya menciptakan proses-proses ekonomi yang lebih demokratis dan berkeadilan serta menjamin bagi terciptanya kemandirian dan keberlanjutan. Mencermati kelembagaan kemitraaan melalui program PEMP yang di laksanakan di Kota Ambon, dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, masih terdapat berbagai kelemahan baik dari segi konsep kemitraan yang di bangun maupun implementasinya. Sementara kondisi masyarakat nelayan di Kota Ambon melalui kelembagaan kemitraaan ini diharapkan memberikan solusi bagi melepaskan mereka dari perangkap keterbelakangan yang membelenggu mereka. Dipahami bahwa peranan utama kelembagaan dalam suatu masyarakat adalah untuk mengurangi ketidaktentuan (uncertainty) dengan menetapkan suatu struktur yang stabil bagi interaksi manusia. Stabilitas kelembagaan dapat saja berubah menurut waktu dan proses yang rumit sebagai konsekwensi dari adanya perubahan aturan. Karena kelembagaan dapat berubah, maka berarti secara terus menerus akan terjadi perubahan pilihan yang tersedia bagi manusia dalam masyarakat. Perkembangan kelembagaan berarti suatu proses menuju kearah perbaikan hubungan antara orang atau kelompok orang dalam masyarakat, yang pada gilirannya dapat membentuk kelembagaan yag dikehendaki. Karena proses tersebut melibatkan unsur norma dan tingkah laku manusia, maka proses tersebut memerlukan waktu.
143
Dalam
prakteknya,
pengembangan
kelembagaan
dicapai
melalui
program-program yang dirancang dan diimplementasikan dalam suatu proyek, dengan susunan staf, rincian tugas dan tanggung jawab, tahapan-tahapan yang harus dilakukan, pendanaan dan lain sebagainya.
Namun demikian segala
sesuatu yang telah dirancang tersebut seyogyanya tidak merupakan suatu rancangan yang kaku (blueprint) namun dapat saja berubah sesuai kondisi yang dihadapi di lapangan. Pengembangan kelembagaan memerlukan perencanaan, namum seyogyanya bersifat fleksibel sebagai suatu adaftasi terhadap perubahan lingkungan. Pendekatan learning process mungkin dapat memberikan sumbangan dalam menciptakan kapasitas lokal untuk memobolisasi dan mengelola sumberdaya guna mencapai kelembagaan yang diharapkan. Dalam konteks ini, ada tiga alternatif dalam mendukung upaya-upaya pengembangan kelembagaan lokal meliputi bantuan teknis, fasilitas dan promosi. Ketiga altenatif tersebut mempersentasikan tingkat keterlibatan (degree of involvement) pihak luar yang berbeda-beda terhadap masalah yang berkaitan dengan kelembagaan lokal. Cara yang paling tepat dalam upaya untuk penguatan (strengthen) kemampuan kelembagaan lokal yang demokratis sangat tergantung pada (1) kemampuan atas kapasitas yang telah ada sebelumnya, (2) sumber inisyatif perubahan. Kontribusi Kelembagaan kemitraan dalam pengembangan ekonomi lokal diharapkan bahwa nantinya kompetensi ekonomi lokal dapat diidentifikasi dengan baik untuk kemudian dikembangkan menjadi usaha yang berbasis pada sumberdaya lokal. Hal pokok yang perlu dilakukan adalah pembinaan pemberdayaan kelembagaan lokal, yang diupayakan secara lebih baik melalui proses sosialisasi dalam pembentukan dan keberadaan kelembagaan kemitraan. Beberapa
hal yang
perlu
diperhatikan
bagi
keberhasilan
dalam
pengembangan kelembagaan lokal adalah : ♦ Lembaga kemitraan yang ada atau yang akan dibentuk seyognya mampu menampung semua aspirasi dari para pelaku (stakeholders). Lembaga ini ditingkat kabupaten atau propinsi akan membahas rumusan dan implemntasi kegiatan rencana tindak (action plan), serta memobilisasi sumberdaya dan dana kegiatan jaringan kerja usaha dari pihak pemerintah, swasta dan masyarakat. ♦ Lembaga kemitraan ditingkat kabupaten adalah lembaga yang didalamnya melibatkan unsur-unsur pemerintah, swasta maupun masyarakat, diharapkan
144
dapat lebih mengakses kepada kelompok sasaran yang menjadi induk perekonomian rakyat. ♦ Perlu melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat ♦ Kelembagaan kemitraan harus menjalankan fungsinya untuk meyerap dan menampung aspirasi kelompok sasaran untuk melakukan tindakan lebih lanjut yang diperlukan baik berupa koordinasi dengan lembaga kemitraan ditingkat kabupaten, maupun dengan lembaga-lembaga terkait lainnya. Jaringan kelembagaan (net working) perlu dibangun untuk melancarakan mekanisme kerja dan memfasilitas munculnya kemitraan dan arus informasi diantara lembaga-lembaga yang terkait. Dengan demikian upaya pengembangan ekonomi lokal dapat bertumbuh dengan bebasis pada kapasitas lokal dengan mengaitkan pada peluang pasar, baik pada tingkat lokal itu sendiri, regional, nasional maupun internasional. Pengembangan jaringan kelembagaan ini juga akan berkontribusi positif pada peningkatan kapasitas lokal dalam rangka sinkronisasi pengelolaan program dan investasi yang ada (baik berupa program pemerintah, bantuan internasional, LSM dll) untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat. Menyadari kenyataan tersebut, maka pihak pemerintah (dinas kelautan dan perikanan Kota Ambon) yang terwadahi melalui program PEMP semestinya menyadari pola kemitraan yang diterapkan. Dengan demikian penekanan terhadap aspek bisnis yang diterapkan oleh pihak LEPP-M3 sebagi lembaga bisnis tidak mengabaikan prinsip-prinsip pemberdayaan, sehingga kemitraan yang terbangun akan memberikan keuntungan secara berkeadilan bagi pihakpihak yang bermitra. Pemahaman terhadap potensi ekonomi lokal harus memasukan aspek sumberdaya pengetahuan
lokal
yang bila dikelola dengan baik akan
memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat yang memilikinya. Namun sumberdaya pengetahuan lokal ini akan tetap marjinal apabila tidak diorganisasikan secara efisien, cepat dan tepat. Oleh karena itu pemanfaatan teknologi informasi yang telah maju dapat membantu pemanfaatan pengetahuan lokal sebagai sumberdaya dasar untuk mempercepat proses peningkatan kesejahteraan masyarakat di pedesaan yang berdampak terhadap pembangunan wilayah. Salah satu mitos yang dipercayai kebenarannya semasa orde baru adalah pemberdayaan masyarakat diwujudkan antara lain melalui bottom-up
145
proses. Mengapa ini dikatakan mitos karena terdapat anggapan bahwa masyarakat berada di bawah (bottom) sedangkan pemerintah/penguasa berada di atas (top down). Masyarakat tradisional selalu memiliki pengetahuan yang mendalam dalam pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan. Pada saat kondisi eksternal berubah, masyarakat dengan kemerdekaan, keberagaman dan kebersamaan akan berupaya bereaksi terhadap perubahan tersebut dan selanjutnya menciptakan cara-cara baru hingga kehidupan mereka terus berlangsung dengan kondisi yang baru tersebut. Pengetahun tradisional adalah kearifan historis yang dimiliki masyarakat setempat dalam teori kehidupan kemasyarakatan. Kearifan tidak hanya berupa pengetahuan atau kecerdasan, tetapi juga kemampuan mendengar, mempelajari, memperkaya diri dengan pengalaman yang berbeda-beda dan menghargai kebenaran sekalipun berbeda pandangan. Dengan demikian pengetahuan tradisional mengandung tata nilai dalam masyarakat yang dianggap benar, diyakini kebenarannya sekaligus diinginkan oleh masyarakat. Pengetahun tradisional juga merupakan gambaran virtue yang terdapat pada masyarakat, sehingga jika pembangunan ini berhasil dan sesuai dengan keinginan masayarakat, maka pengetahuan tradisional ini harus diketahui dan dikuasai oleh perencana program pemberdayaan dalam proses pembangunan, masyarakat lokal harus diterima sebagai partner yang sama yang membawa aset tersendiri, yaitu berupa pengetahuan tradisional yang bermanfaat. Berkenaan dengan upaya pemberdayaaan masyarakat, maka budaya dari masyarakat harus diteliti dan digali manfaat dari pengetahuan apa yang ada dibaliknya. Dengan demikian, jika ingin membangun sistem keberlanjutan, maka pengetahuan tradisional dari masyarakat lokal harus diketahui dan dipahami terlebih dahulu. Berkaitan dengan kemitran yang terbangun melalui program PEMP yang dilaksanakan di Kota Ambon, seyogyanya telah memiliki pedoman umum yang jelas dan struktur organisasi yang mantap, tapi yang perlu menjadi pertanyaan di sini, bangunan kemitraan yang terbangun, dari sisi perencanaan apakah melibatkan nelayan yang merupakan subjek dari program ini?. Dari hasil kajian yang dilakukan ternyata masyarakat nelayan sebagai penerima manfaat dari program ini belum dilibatkan dalam tataran perencanaan, walaupun proses sosialisasi dari program ini telah dilakukan, tetapi proses tersebut belum memberikan hasil yang memadai, karena masyarakat nelayan, maupun kelompok partisipan yang terlibat dalam kemitraan belum sepenuhnya rasa
146
memiliki terhadap program tersebut. Kecenderungan yang terjadi adalah program tersebut hanya berupa pembagian bantuan dari pemerintah tanpa memiliki aspek keberlanjutan dari program tersebut. Sehingga dari hasil penelitian ditemukan bahwa kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) yang dibentuk lewat konsultan manajemen kota (KMK) banyak yang tidak dapat berusaha atau dapat dikatakan kondisi usaha penangkapan tidak lagi berjalan seperti yang diharapkan. Ini berakibat dana DEP yang diberikan
lewat LEPP-M3 guna membantu usaha
penangkapan purse seine oleh KMP tidak dikembalikan, sehingga proses perguliran dana bagi kelompok masyarakat nelayan lainnya tidak terjadi. Untuk mengatasi kondisi ini, maka hal yang perlu menjadi perhatian terutama perencana program-program kemitraan bagi memberdayakan nelayan khususnya nelayan purse seine di Kota Ambon adalah mengenal dan memahami lebih awal tentang kondisi dan keberadaan kelembagaan lokal yang telah ada di masyarakat, kemudian mengidentifikasi berbagai bentuk kerjasama yang telah terbangun dan membudaya dalam masyarakat nelayan tersebut, sehingga intervensi yang dilakukan oleh perencana dari tingkat atas akan bisa tepat sasaran dan bisa mencapai hasil yang maksimal. Kondisi kelembagaan lokal khusunya mencakup perikanan tangkap (usaha purse seine) yang ada di Kota Ambon, adalah : 1) Kelembagaan bagi hasil. Kelembagaan ini merupakan adat kebiasaan masyarakat nelayan yang telah terjadi sejak turun temurun. Sistim bagi hasil yang terjadi adalah pemilik modal dan operator. Pembagian antara operator (juragan laut dan anak buah kapal) besarnya bagian untuk masing-masing nelayan disesuaikan dengan status mereka. 2). Kelembagaan pemasaran. Lembaga pemasaran yang penting bagi nelayan di Kota Ambon adalah pedagang pengumpul yang dalam istilah setempat dinamakan ”papalele”. Pedagang pengumpul tersebut, tidak hanya memberi kredit dalam bentuk uang tapi juga dalam bentuk alat produksi dan kebutuhan lainnya dengan jaminan nelayan harus menjual hasil tangkapannya dengan harga yang telah disepakati sebelumnya, yang tentunya relatif rendah dari harga pasar, hal ini mencerminkan semakin lemahnya bargaining position nelayan. Gambaran kondisi kelembagaan lokal yang ada di Kota Ambon khususnya perikanan tangkap purse seine dirasakan bermanfaat bagi nelayan, selama kedua belah pihak yang telah menjalin hubungan kemitraan merasa tidak dirugikan, walupun tidak dapat disangkal bahwa kondisi hubungan seperti ini
147
terkadang menjadi tidak seimbang ketika nelayan diperlakukan tidak sebanding dengan korbanan yang mereka berikan dalam usaha penangkapan tersebut. Selain kelembagaan lokal yang telah ada dalam usaha perikanan purse seine di Kota Ambon maka kelembagaan sosial lainnya yang turut berperan dalam mendukung usaha purse seine ini adalah lembaga keagamaan, pihak pemerintah desa/negeri
dan lembaga kepemudaan. Kelembagaan keagamaan selain
melakukan tugas dan fungsi pokok sebagai pembina rohani masyarakat, juga memiliki peranan yang cukup penting dalam memotivasi masyarakat dalam peningkatan
kesejahteraan
mereka.
Sementara
pemerintah
desa/negeri
melaksanakan fungsi dan wewenangnya sebagai fasilitator, dinamisator dalam menggerakan potensi sumberdaya di desa/negerinya. Begitu pula dengan lembaga kepemudaan berperan dalam menggerakkan masyarakat desa dalam pelaksanaan dan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki oleh desa tersebut. Berdasarkan kenyataan kondisi desa/negeri yang ada di Kota Ambon yang merupakan desa/negeri adat terdapat platform dalam hal pengelolaan potensi
sumberdaya
sumberdaya tersebut
yang
ada
didesa/negerinya.
Platform
pengelolaan
dalam istilah setempat di namakan ”tiga tungku” yang
terdiri atas lembaga pemerintah, (raja adalah pemangku adat di desa/negeri), lembaga pendidikan dalam hal ini adalah guru dan
lembaga agama yakni
gereja. Hubungan keterkaitan antara ketiga lembaga yang merupakan paltform pengelolaan sumberdaya yang terdapat di desa/negeri di Kota Ambon dapat digambarkan sebagai berikut :
Pemerintah (Tokoh-Tokoh Adat)
Gereja Keterangan :
Guru pengaruh kuat pengaruh lemah
Gambar 18. Hubungan keterkaitan platform ”tiga tungku” dalam pengelolaan sumberdaya di Kota Ambon
148
Pada
Gambar
18.
memperlihatkan
bahwa
keberadaan
lembaga
pemerintah lebih dominan pengaruhnya dan berperan penting dalam berbagai kebijakan pembangunan di tingkat masyarakat, dibandingkan dengan pihak gereja dan unsur pendidikan yakni guru. Demikian pula pengaruh pihak gereja lebih dominan dari unsur pendidikan (guru). Walaupun berbeda tingkat pengaruh namun saling melengkapi dalam melakukan pembinaan dan pengembangan masyarakat di desa/negerinya. Keterkaitan hubungan platform tiga tungku memberikan makna bahwa peranserta menjadi dasar bagi pengembangan masyarakat desa/negeri di Kota Ambon. Agar terjadi hubungan yang harmonis di antara ketiga lembaga ini maka perlu dibangun komunikasi intensif dan sinergis. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
praktek-praktek
pemaksaan
kehendak
oleh
ego
sektoral
pembangunan dalam menjalankan kebijakannya di level desa/negeri, sehingga masyarakat tidak dijadikan sebagai objek tetapi subjek pembangunan itu sendiri. Dalam upaya untuk mengembangan sektor perikanan tangkap di Kota Ambon, maka pemahaman terhadap potensi sumberdaya yang terkandung dalam perairan di Kota Ambon adalah sangat diperlukan. Diketahui bahwa Kota Ambon memiliki lima wilayah ekologis antara lain : (1) Teluk Ambon Dalam (TAD); (2) Teluk Ambon Luar (TAL); (3) Teluk Baguala (TB); (4) Pesisir Selatan Kota Ambon (PSKA). Perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) umumnya tenang sepanjang tahun sehingga kegiatan penangkapan ikan dapat dilakukan sepanjang tahun. Dari data potensi dan tingkat pemanfaatan, ada peluang peningkatan produksi sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar 48,21 % dari MSY (169,11 ton per tahun) yang dapat dimanfaatkan dengan baik dan terarah melalui aplikasi teknologi penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan pada tingkat skala usaha kecil (small scale fisheries). Angka peluang pemanfaatan sebesar 169,11 ton per tahun tersebut dapat dipakai sebagai acuan untuk kebijakan pengembangan usaha pemanfaatan kedepan, akan tetapi perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain: •
Perairan
Teluk
Ambon
Dalam
yang
cukup
tertutup
dan
adanya
kecenderungan proses penyempitan di sekitar ambang teluk, selain berpengaruh terhadap dinamika pertukaran massa air di perairan itu, juga berpengaruh pada proses emigrasi dan imigrasi populasi ikan yang berada
149
di dan dari Teluk Ambon Luar. Hal ini, akan berpengaruh pula terhadap ketersediaan sumberdaya ikan di perairan ini. •
Jenis alat penangkapan yang produktif (pukat cincin mini) yang di masa lampau tidak dijumpai, sekarang telah dioperasikan di sana, sehingga akan memperbesar laju pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan tersebut.
•
Sumberdaya ikan pelagis kecil pada perairan Teluk Ambon Dalam yang dominan adalah ikan puri (Stelophorus sp) yang merupakan spesies berumur pendek (short life species), yang dapat melimpah dalam kurun waktu yang pendek. Sebaliknya, juga dapat ambruk (collapse) dalam jangka waktu yang panjang, yang menyebabkan terjadi overfishing selama jangka waktu tersebut. Keadaan ini terlihat pada hasil survei hidroakustik pada Musim Barat di perairan itu. Jenis usaha perikanan yang disarankan untuk dikembangkan di perairan ini
adalah jaring insang hanyut (drift gillnet) untuk menangkap ikan lema (Rastrelliger spp.) dengan menggunakan ukuran mata jaring yang tidak menyebabkan degradasi pada populasi ikan tersebut.
Bagan dan redi perlu
dipertahankan keberadaannya sebagai produsen ikan puri (Stelophorus sp) hidup untuk menunjang industri perikanan huhate (pole and line fishery). Namun jumlah dan penempatan bagan harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu arus lalu-lintas laut maupun areal-areal peruntukan pengembangan budidaya laut, sedangkan redi harus tetap dioperasikan pada lokasi-lokasi tertentu sehingga tidak merusak habitat utama di pesisir perairan ini. Untuk menjaga kestabilan produksi usaha perikanan bagan dan redi dalam rangka menunjang industri perikanan huhate, maka kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Teluk Ambon Dalam, terhadap pengoperasian pukat cincin mini di perairan ini perlu dikaji secara mendalam. Untuk perairan Teluk Ambon Bagian Luar jenis sumberdaya ikan pelagis kecil, demersal maupun sumberdaya ikan karang masih memiliki peluang untuk ditingkatkan produksinya. Beberapa desa yang berada di pesisir Teluk Ambon Luar ternyata belum sepenuhnya memanfaatkan wilayah perairan ini sebagai sumber pendapatan masyarakatnya. Untuk itu nelayan yang breada pada desadesa tersebut perlu diberdayakan dalam bidang perikanan tangkap supaya dapat meningkatkan pendapatan mereka. Beberapa jenis alat penangkapan ikan yang masih sedikit beroperasi di wilayah ini dan dapat ditingkatkan jumlahnya yakni jaring insang hanyut untuk mengusahakan sumberdaya ikan pelagis kecil, jaring
150
insang lingkar untuk sumberdaya ikan pelagis dekat pantai, jaring insang dasar dan bubu untuk memanfaatkan sumberdaya ikan karang dan pancing tegak untuk sumberdaya ikan demersal laut dalam seperti ikan bae (Etelis marshi) dan silapa (Etelis oculatus) maupun sumberdaya ikan pertengahan air seperti ikan bobara (Caranx spp). Permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan jumlah unit-unit penangkapan sumberdaya ikan pelagis adalah sampah yang hanyut di atau dekat permukaan air. Selain mengganggu aktifitas dan efektifitas penangkapan ikan, kehadiran sampah juga mempengaruhi kehadiran ikan di perairan ini, serta estetika/keindahan teluk. Penambahan unit pukat cincin di Teluk Ambon Luar perlu dikaji karena akan sejalan dengan penambahan unit-unit rumpon. Rumpon yang dipasang secara menetap sebagai alat bantu penangkapan ikan pelagis kecil pada perikanan pukat cincin, terlihat cukup padat yakni 18 unit rumpon yang cenderung memadati ke arah perairan pantai Jasirah Leitimur. Tingginya kepadatan rumpon di perairan ini akan berdampak negatif pada dua hal yaitu: ♦ Terjadinya persaingan yang kuat dalam menarik perhatian ikan untuk berkumpul di sekitar unit-unit rumpon tersebut sehingga terjadi tingginya fluktuasi hasil tangkapan pada perikanan pukat cincin. Unit rumpon yang kalah bersaing dalam menarik perhatian ikan untuk berkumpul di sekitarnya akan menyebabkan kerugian pada unit pukat cincin yang melakukan penangkapan di unit rumpon tersebut. ♦ Demikian pula letak atau jarak rumpon dari garis pantai dapat mempengaruhi hasil tangkapan unit-unit pukat cincin. ♦ Selain sebagai daerah penangkapan ikan, Teluk Ambon Luar juga merupakan perairan yang memiliki intensitas arus lalu-lintas laut yang tinggi, baik lalu-lintas penyeberangan angkutan speed boat, maupun lalu-lintas kapal-kapal niaga yang melakukan bongkar muat di tiga pelabuhan di Kota Ambon (Gudang Arang, Yos Sudarso dan Lanal Halong).
Tingginya
kepadatan rumpon itu akan mengganggu arus lalu-lintas tersebut dapat menyebabkan terjadi kecelakaan di laut. Sebaliknya, pemasangan rumpon pada jalur dengan intensitas lalu-lintas yang tinggi akan mengganggu kehadiran ikan sehingga akan menurunkan produksi unit pukat cincin yang beroperasi di rumpon tersebut.
Oleh karena itu penempatan rumpon di
perairan Teluk Ambon Luar harus ditata dengan baik.
151
Masyarakat pada beberapa desa pesisir yang berada di wilayah perairan Teluk Baguala masih belum banyak yang memanfaatkan perairan ini untuk beraktifitas ekonomi. Akan tetapi Teluk Baguala adalah perairan yang
tidak
cukup luas untuk dapat dijadikan perairan yang potensial untuk melakukan aktifitas penangkapan ikan, apalagi dengan tingginya intensitas lalu-lintas laut yang berlangsung di perairan ini. Baik terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil maupun sumberdaya ikan demersal masih dapat ditingkatkan produksinya di perairan Teluk Baguala. Teknologi penangkapan yang masih mungkin dikembangkan adalah teknologi penangkapan ikan yang tidak terganggu oleh lalulintas transportasi laut atau sebaliknya yang mengganggu lalulintas transportasi laut tersebut di wilayah perairan ini. Hal ini perlu mendapat perhatian untuk menghindari konflik antar pengguna perairan ini.
Alat pancing berangkai untuk menangkap ikan-ikan
pelagis kecil dapat ditingkatkan jumlahnya, sedangkan alat pancing tegak dan bubu laut dalam dapat dikembangkan untuk menangkap ikan demersal. Nelayan-nelayan yang berada di pesisir Selatan Pulau Ambon telah dapat memanfaatkan ketersediaan sumberdaya ikan yang ada di perairan ini sebagai sumber
pendapatannya.
Nelayan-nelayan
penangkap
tuna
dengan
menggunakan alat tangkap pancing tonda (troll line) telah dapat mengelola usaha perikanannya dengan baik, namun mereka kesulitan untuk dapat mempertahankan kualitas hasil tangkapannya dengan baik. Baik sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar, demeral dan sumberdaya ikan karang memiliki peluang yang besar untuk ditingkatkan produksinya. Teknologi penangkapan ikan yang disarankan untuk dikembangkan di wilayah perairan pesisir Selatan Pulau Ambon yakni pancing tonda tuna, mini rawai tuna untuk menangkap ikan-ikan pelagis besar, jaring insang hanyut untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil maupun pelagis besar, jaring lingkar untuk menangkap ikan-ikan demersal dan pelagis karang dan pancing berangkai untuk menangkap ikan demersal laut dalam (sampai pada kedalaman ± 300 meter). Khusus untuk meningkatkan produksi dan efisiensi usaha perikanan tuna, maka perlu dikembangkan alat bantu penangkapan rumpon laut dalam (Deep sea fish aggregation device) paling kurang tiga unit per musim di perairan ini. Penyediaan sarana penangkapan ikan yang lebih baik agar dapat mempertahankan mutu/kualitas hasil tangkapan, sangat disarankan.
152
Berdasarkan gambaran kelembagaan lokal yang ada di Kota Ambon, dan kondisi potensi pengembangan perikanan tangkap di Kota Ambon, maka kelembagaan kemitraan yang dibangun harus didasarkan pada kondisi tersebut. Memang kehadiran kemitraan yang diprakarsai oleh pemerintah dalam hal ini departemen kelautan dan perikanan melalui program PEMP yang dilaksanakan di Kota Ambon sejak Tahun 2001, paling tidak telah mengakomodir beberapa stakeholders yang ada di lokasi sasaran program PEMP yakni ditingkat desa ada mitra desa yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, tetapi kenyataannya mereka belum
dapat
berfungsi
sebagaimana
yang
diharapkan
dalam
struktur
kelembagaan kemitraan yang terbangun, sehingga kondisi ini belum sepenuhnya dapat menjamin berhasilnya program kemitraaan tersebut. Hal ini dapatlah dipahami bahwa kecenderungan yang terjadi adalah pihak pemerintah dalam hal ini dinas kelautan dan perikanan merasa lebih memahami dan tahu tentang program
tersebut,
sementara
penggalian
terhadap
potensi
masyarakat
desa/negeri harus dilakukan lebih awal sebelum merancangkan program kemitraan tersebut. Untuk itu adalah merupakan hal yang urgen, bahwa pemahaman terhadap faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (full factor) mesti menjadi perhatian dalam melakukan upaya pemberdayaan terhadap masyarakat nelayan khususnya nelayan perikanan tangkap. Faktor pendorong dan penarik dalam pemberdayaan nelayan disajikan pada Gambar 19.
Faktor Penarik (Pull Factors) • Pembeli • Lembaga Bank/non Bank
• • • •
• • • •
Kondisi Nelayan Perikanan Tangkap Bargaining position lemah Kurangnya modal usaha Pengetahuan & Keterampilan rendah Kurangnya pembinaan
Faktor Pendorong (Push Factors) Sumberdaya Manusia Sumberdaya Alam Sumberdaya Buatan Sumberdaya sosial
Gambar 19. Faktor pendorong dan penarik dalam pemberdayaan nelayan
153
Upaya untuk membangun konsep kemitraan yang dapat mengakomodir aspirasi dari masyarakat dapat dilakukan dengan terlebih dulu mempelajari tentang potensi masyarakat itu sendiri. Potensi dimaksud berupa potensi sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan sumberdaya sosialnya, yang dibarengi oleh pemahaman yang tepat tentang masalah yang tengah dihadapi oleh masyarakat nelayan itu sendiri, sehingga kemitraan yang terbangun adalah tepat sasaran, yang pada gilirannya bangunan kemitraan yang dibuat akan dapat memberikan hasil yang baik. Berdasarkan hasil identifikasi yang disajikan pada Tabel 46 dan 47 di atas, maka nampak bahwa pada setiap komponen sumberdaya dan kegiatan kemitraan terdapat beberapa persoalan yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Untuk itu upaya mengatasinya perlu didekati secara sistematis dengan melibatkan berbagai potensi sumberdaya yang tersedia. Berkaitan dengan itu maka, pada tahapan ini tidak bermaksud merinci secara detail tentang upaya mengatasi setiap persoalan di atas, tetapi lebih kepada memberikan kerangka kelembagaan kemitraan yang mungkin dapat dilaksanakan secara bersama oleh semua stakeholders dalam membangun kemitraan usaha ke depan yang lebih baik. Dengan pendekatan tersebut, maka selain dapat melahirkan rencana pembenahan kinerja kemitraan yang realistis, juga dapat menumbuhkan perasaan memiliki dari setiap stakeholders yang terlibat di dalamnya. Usulan yang dikemukan di sini lebih difokuskan sebagai upaya penciptaan kerangka kemitraan usaha masa depan dengan pola inti plasma. Sebab pola inti plasma memiliki keunggulan yang dapat menjadi pilihan utama bagi pemerintah dalam kemitraan antara usaha besar dan usaha kecil atau koperasi di bidang perikanan. Selain itu pada kasus kemitraan yang dibangun oleh LEPP-M3 melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, kinerja kemitraannya masih rendah. Meskipun secara internal masih terdapat beberapa kelemahan mendasar seperti halnya kelompok masyarakat pemanfaat masih didominasi oleh ketua kelompok dan tidak menyentuh sistem bagi hasil yang timpang, namun dalam konteks kemitraan dengan LEPP-M3, sebenarnya dapat menjamin terciptanya hubungan usaha yang lebih berkelanjutan. Kerangka alternatif yang diusulkan pada prinsipnya terdiri atas tiga tahapan kegiatan. Secara lebih jelasnya secara skematis ditampilkan pada Gambar 20.
154
Tahap I
Pemerintah Kota Ambon Dinas Kelautan dan Perikanan
Perguruan Tinggi
Masyarakat nelayan perikanan tangkap
Lembaga perbankan
Perusahaan perikanan • PT. SMV • PT. Maprodin • PT. Nusantara Fishery
Analisis Kebutuhan Persoalan Kemitraan
LEPP-M3 Lembaga KUD
Tahap II Tim terpadu sebagai tenaga pendamping
Lembaga kemitraan alternatif
Nelayan peserta kemitraan
Tahap III Pengelolaan, proses, fungsionalisasi yang efektif dan efisien oleh kelompok nelayan
Monev oleh tim terpadu
Gambar 20. Kerangka alternatif kelembagaan dalam kemitraan
Pada tahap awal, melalui prakarsa pemerintah semua pihak yang terkait dengan kemitraan usaha dilibatkan dalam mengkaji secara bersama tentang persoalan atau kebutuhan semua stakeholders dalam upaya pengembangan kelembagaan kemitraan usaha. Dalam kaitan ini yang dikutsertakan sebagai partisipan adalah unsur yang mewakili pemerintah, dinas kelautan dan perikanan perusahaan/industri yang bergerak di bidang perikanan, masyarakat nelayan (kelompok nelayan dan tengkulak), KUD, LEPP-M3, LSM, Perguruan Tinggi. Agar
tahapan
implementasinya
ini
dapat
harus
menempatkan pemerintah
memberikan menggunakan
hasil
yang
pendekatan
hanya sebagai
memuaskan, partisipatif
maka dengan
fasilitator. Dalam indentifikasi
155
kebutuhan tersebut, perlu ditindak lanjuti dengan penyusunan agenda aksi dan pembentukan tim terpadu guna menfasilitasi pelaksanaan kemitraan usaha antar nelayan dengan pihak pemodal dalam hal ini tengkulak atau bisa juga industri perikanan. Dengan demikian bentuk bantuan dan pembinaan serta aturan main lainnya terdesain berdasarkan aspirasi semua partisipan. Hal ini dimaksudkan agar apapun yang akan dilakukan dalam kemitraan usaha harus tunduk pada nilai-nilai yang disepakati bersama dan tidak ada satu pihak merasa lebih kuat terhadap pihak lainnya. Tahapan kedua,
tim terpadu membentuk lembaga kemitraan yang di
dalamnya terdiri atas kelompok masyarakat nelayan, industri/perusahaan perikanan atau tengkulak yang berfungsi sebagai pemodal. Bila ada bantuan dari instansi pemerintah dalam hal ini pihak dinas kelautan dan perikanan kepada masyarakat nelayan, maka pengelolaannya sebaiknya diserahkan terlebih dahulu kepada beberapa industri perikanan atau tengkulak yang telah berpengalaman dalam mengelola usaha.
Pada masa transisi ini nelayan calon peserta
dimagangkan. Uji coba ini selain mentransfer ketrampilan mengelola kepada nelayan calon peserta kemitraan, juga dimaksudkan untuk mengevaluasi berbagai kelemahan dan upaya mengatasinya. Hasil magang ini sekaligus dapat menjadi dasar untuk menentukan nelayan yang pantas ikut dalam program kemitraan. Proses seleksi seperti ini perlu dilakukan agar menghindari pengrekrutan nelayan yang hanya sekedar memanfaatkan kesempatan, untuk memperoleh bantuan, yang pada gilirannya dapat merusakan kinerja kemitraan yang dibangun. Apabila nelayan calon peserta kemitraan dipandang mampu oleh tim terpadu, maka pengelolaan bantuan segera dialihkan kepada kelompok nelayan. Penentuan industri perikanan atau tengkulak sebagai inti sebaiknya berdasarkan hasil evaluasi kinerjanya pada masa uji coba berlangsung, dengan tetap mengakomodir dan memperhatikan aspirasi nelayan. Untuk menjamin agar kemitraan usaha berlangsung sesuai dengan keinginan atau aspirasi semua stakeholders, dan nelayan benar-benar mampu mengelola fasilitas bantuan yang diberikan, kehadiran tim terpadu sebagai fasilitator untuk jangka waktu tertentu tetap diperlukan. Melalui kerja tim terpadu tersebut, nelayan difasilitasi untuk mampu memenuhi segala kebutuhannya secara mandiri melalui penguatan wadah kelompok dan koperasi.
156
Agar kerangka alternatif peningkatan kinerja kemitraan ini sejalan dengan upaya pelestarian sumberdaya perikanan, maka di antara nelayan dan industri perikanan perlu diatur secara tegas tentang wilayah penangkapan masingmasing. Di samping itu, industri perikanan memberlakukan aturan bahwa tidak akan menerima hasil tangkapan nelayan bila cara perolehannya dilakukan dengan cara destruktif, begitu pula yang dijual pada pasar lokal, dinas kelautan dan perikanan dapat melakukan penyitaan. Hal ini tentunya tidak mudah untuk segera dipatuhi oleh kedua belah pihak, tetapi dengan otoritas yang dimiliki, pemerintah daerah seyogyanya mendesain mekanisme pamaksaan dalam bentuk insentif/disinsentif tertentu terutama bagi industri perikanan.
8 KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara
konsepsional
kemitraan
yang
terbangun
melalui
program
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir dalam hal ini LEPP-M3 dengan kelompok masyarakat pemanfaat (KMP) di Kota Ambon didasarkan pada pedoman umum PEMP. Secara struktur kelembagaan KMP yang terlibat dalam kemitraan lebih didominasi oleh ketua kelompok yang diwakilkan dalam lembaga ekonomi pengembang pesisir – mikro mitra mina (LEPP-M3). 2. Dari segi pelaksanaan, kemitraan yang terbangun melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir belum dapat terlaksana secara baik. Hal ini disebabkan sosialisasi konsep kemitraan belum sepenuhnya dapat diterima kelompok masyarakat pemanfaat (KMP), yang dalam segi kesiapan tidak ditunjang oleh tingkat pendidikan yang memadai. Selain itu pembinaan dari konsultan manajemen kota (KMK), tenaga pendamping desa (TPD) dan mitra desa masih kurang, sementara kegiatan monitoring dan evaluasi belum dilakukan sebagaimana yang diatur dalam pedoman umum PEMP. 3. Bentuk organisasi kelembagaan kemitraan melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di Kota Ambon merujuk pada pola inti plasma dan sistem koordinasi yang diterapkan adalah integrasi vertikal. Faktor yang mempengaruhi keragaman kelembagaan kemitraan di Kota Ambon adalah variabel jumlah produksi, harga jual dan produktivitas nelayan. Variabelvariabel tersebut mampu menjelaskan keragaman kemitraan melalui program PEMP sebesar 42,7 %. 4. Kinerja kemitraan melalui pesisir
program pemberdayaan ekonomi masyarakat
di Kota Ambon yang diukur dari tingkat pendapatan kelompok
masyarakat pemanfaat (KMP) ternyata masih rendah, dan masih terdapat ketimpangan dalam sistem bagi hasil antara ketua kolompok dan anggota. Sementara biaya transaksi yang dikeluarkan sangat tinggi. Selain itu indikator keberhasilan yang dinilai oleh kelompok partisipan masih buruk, dan partisipasi dan presepsi peserta kemitraan masih rendah.
158
5.
Pengembangan
kapasitas
kelembagaan
kemitraan
melalui
program
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di Kota Ambon, perlu dilakukan terutama bagi kelembagaan LEEP-M3 yang berperan sebagai inti dalam pola kemitraan
yang
terjadi,
sehingga
perlu
peningkatan
sumberdaya
pengembangan visi, manajemen, manusia, keuangan, eksternal dan isu-isu spesifik pengelolaan sumberdaya perikanan. 6. Kelembagaan kemitraan yang dibangun harus mengakomodir semua kebutuhan stakeholders yang terlibat di dalamnya, dengan demikian analisis terhadap kebutuhan kemitraan tersebut oleh tim terpadu yang dibentuk oleh pemerintah Kota Ambon, perlu dilakukan dengan prinsip pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator, dan metode yang digunakan lebih bersifat partisipatif. Hal ini dimungkinkan sehingga nelayan yang akan telribat dalam kemitraan telah dipersiapkan secara baik. Hal ini akan berimplikasi terhadap proses kemitraan tersebut yang pada gilirannya kemitraan yang terbangun akan sustain.
8.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian seperti yang telah diuraikan di atas, maka untuk perbaikan model pengembangan kapasitas kelembagaan kemitraan bagi pemberdayaan nelayan di masa mendatang, perlu diperhatikan : 1. Penerapan teknologi tepat guna bagi pemberdayaan nelayan perikanan tangkap di Kota Ambon antara lain: peningkatan teknologi sosial, ekonomi dan produksi. Teknologi sosial menjadi kunci bagi keberhasilan kelompok masyarakat pemanfaat. 2. Teknologi tepat guna terutama teknologi penangkapan ikan yang diterapkan perlu disesuaikan dengan potensi sumberdaya ikan yang tersedia pada wilayah perairan Pulau Ambon, yakni untuk Teluk Ambon Bagian Dalam, disarankan untuk mengembangkan alat tangkap jaring insang hanyut, Teluk Ambon Bagain Luar, disarankan untuk peningkatan jenis alat tangkap jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring insang dasar dan bubu serta alat pancing tegak. Untuk Teluk Baguala, teknologi penangkapan ikan yang disarankan adalah pancing tonda, mini rawai tuna, jaring lingkar serta alat bantu penangkapan rumpon laut dalam.
159
3. Bangunan kemitraan yang dibentuk sebaiknya berpolakan kemitraan informal yang telah terlembaga dalam masyarakat, tentu dengan rekonstruksi pola hubungan yang terjadi. 4. Untuk mengatasi resiko terhadap nelayan perikanan tangkap maka kemitraan yang terbangun perlu mencari alternatif solusi seperti pembentukan jaminan asuransi sumberdaya 5. Fungsi pengawasan, keterlibatan semua pihak pada semua tahapan, pelatihan
manajemen
usaha,
teknis penangkapan,
pembinaan
penyediaan pasar perlu dilakukan oleh LEPP-M3 kepada KMP.
serta
DAFTAR PUSTAKA
Anwar A. 1992. Perubahan Struktural Ekonomi dan Arah Pembanguan Sektor Pertanian di Masa Depan. Makalah Seminar Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Ditjen Pertanian Tanaman Pangan 18 Agustus1992. Jakarta. 18 hlm. Anwar A. 1995. Analisis Ekonomi Biaya-Biaya Transaksi. Makalah disajikan dalam Ceramah Umum Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaaan. Bogor: IPB. 24 hlm. Anwar A. 1997. Ekonomi Organisasi. Konsep Pilihan Aktivitas Ekonomi melalui Kelembagaan Pasar atau Organisasi. Bahan Kuliah. Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Bogor: Program Pascasarjana. IPB. 12 hlm. Bachriadi D. 1995. Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital. Bandung: Yayasan Akatiga. hlm. 26-29 Charles AT. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science. UK. 370 p [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kota Ambon Dalam Angka. 345 hlm. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Perikanan Propinsi Maluku. 55 hlm. Brinkerhoff, Derik W and Artrur, Goldsmith A. 1990. Institutional Sustainability : A Conceptual Framework, in Brinkerhoff, Derik W and Arthur, Goldsmith A (eds), 1994. Institutional Sustainability in Agricultural and Rural Development ; A Global Perspective. New York. Praeger Publisher. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ, 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradya Paramita. [DITJEN Perikanan] Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Jakarta: Statistik Perikanan Indonesia. Fathoni A. 2006. Organisasi dan Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta: PT. Aneka Cipta. hlm.14-23 Haeruman H, Eryatno, 2001. Kemitraan Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Jakarta: Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota dan BIC Indonesia. hlm. 79-101. Haluan J. 1986. Suatu Studi Tentang Sistem Motorisasi pada Penangkapan Ikan Tradisional. Laporan Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi. Bogor: IPB. hlm. 1-6 Hastuti EL, Supadi, 2005. Aksessibilitas Masyarakat Terhadap Kelembagaan Pembiayaan Pertanian di Pedesaan. Jurnal Soca 5 (2): 129-136
161
Hendayana R, Wally F, 2003. Analisis Kelembagaan Pasar Input dan Output Usaha Ternak Rakyat. Jurnal Soca 8 (1): 45-47 Hermanto F. 1989. Ilmu Usaha Tani. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm.23-25 Hobbs JE.1997. Measuring the Importance of Transaction Cost in Catle Marketing. American Journal Agricultural Economics. 79 (4): 1089 -1095. Hutabarat J. 1996. Integrasi Vertikal Strategi Mitra Masa Kini. Jakarta: Manajemem Usahawan Bisnis Indonesia Gibson JL. 1997. Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses. Djarkasih, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Organizations, 5th Edition. hlm.17-22 Kesteven GL. 1973. Manual of Fishery Science. Part 1. An Introductin to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper No 118. Rome. Food and Agricultural Organization of the United Nation. 47 p Kirana C, Malik I, 2000. Kerangka Kerja Pengembangan Institusi. Manual untuk Pengguna. Diadaptasi dari “An Integrated Toolking for Institutional Development “ Mark Renzi. Management System International. Kusnadi MA. 2002. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. Jember: LkiS Yogyakarta. hlm.80-82 Mirza T. 1996. Alliansi Strategi : Konsep Lama Kemasan Baru. Jakarta: Manajemen Usahawan Bisnis Indonesia. hlm. 14-16 Monintja DR. 1994. Pengembangan Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan (Makalah) disampaikan Pada Seminar Pengembangan Agribisnis Perikanan Berwawasan Lingkungan Pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Agustus 1994. 12 hlm. Mulyadi SP.1999. Peran Wirausaha dalam Kemitraaan untuk Pengembangan Agribisnis. Jurnal Frontir 27:63-65. Ningsi T. 2006. Stategi Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasrjana, Institut Pertanian Bogor. hlm.8-10 Nurani TW, Widyamayanti DK, 2006. Pengembangan Perikanan Tangkap Kabupaten Pacitan: Suatu Kajian Pendekatan Sistem. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap Menuju Paradigma Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab dalam Mendukung Revitalisasi Perikanan. hlm.253-266 Pakpahan HT, Lumintang RWE, Santoso J, 2006. Hubungan Motivasi Kerja dengan Perilaku Nelayan pada Usaha Perikanan Tangkap. Jurnal Penyuluhan 2 (1): 26-34 Pranadji T. 2003. Penajaman Analisis Kelembagaan Dalam Perspektif Penelitian Sosiologi Pertanian dan Pedesaan. Jurnal FAE 21(1) : 12-25
162
Prawirokusumo S. 1992. Kajian Konsep Kemitraan dan Keterkaitan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Priyatna FN, Purnomo K, 2007. Strategi Pengembangan Kelembagaan Kelompok Nelayan Sebagai Kelembagaan Pengelola Waduk di Perairan Waduk Wadas Lintang, Kabupaten Wonosobo. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 2 (2): 209-217. Purnaningsih N, Ginting B, Slamet M, Saefuddin A, Padmowihardjo S, 2006. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi Pola Kemitraaan agribisnis sayuran di Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan 2 (2): 33-43. Purwaka T. 2006. Dasar-Dasar Pemahaman Peningkatan dan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sabrani M. 1996. Strategi Implementasi Teknologi Dalam Mendorong Pembangunan Sentra Agribisnis. Makalah disajikan Pada Seminar dan Lokakarya “profesionalisme SDM dan Dukungan IPTEK dalam Pembangunan Sentra Agribisnis di Jawa Tengah, Solo, 19 Desember 1996. Saptani, Ashari, 2007. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Melalui Kemitraan Usaha. Jurnal Litbang Pertanian 26 (4): 123-130 Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo. hlm. 97-122. Sapuan. 1996. Pola Kemitraan Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing Petani : Sambutan Pengarahan Sekretaris Menteri Negara Urusan Pangan dalam Seminar Nasional , 28 November 1996. Schmid AA. 1987. Property, Power and Public Choice. An Inquiry Into Law and Economics. Second Edition. Praeger Publisher. New York. 76 p Scott JC. 1994. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3S. Setiawan I GD. 2003. Kelompok, Organisasi & Kepemimpinan : Suatu Kumpulan Perkuliahan Ppn 617. Bogor: Tirta Kencana Bogor. hlm. 65-67 Silitonga C. 1996. Arah Kebijakan Pertanian Dalam Pengembanagn Kemitraan. Makalah disajikan Pada Seminar Nasional Pola Kemitraan Dalam Meningkatkan Daya Saing Petani, Perhepi Komisariat Surakarta, 28 Nopember 1996. Soeroepati DO. 1997. Implikasi Ekonomi UU No. 9 tahun 1995 Usaha Kecil dan Ekonomi. Edisi ke-1 Februari 1997. Makalah Fakultas Ekonomi-UKSM, Salatiga. Sumaryadi NI. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Citra Utama. hlm. 90-163
163
Suredjo S. 2005. Pengembangan Masyarakat Pesisir: Tantangan dan Peluang. Di dalam: Aziz MA, Suhartini R, Halim, editor. Dakwah Pemberdayaan Masyarakat. Paradigma Aksi Metodologi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren (Kelompok Penerbit LkiS Yogyakarta). hlm.133-141. Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan. Strategi Pengembangan dan Penerapan dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan LITBANG Pertanian. hlm.12-13 Tambunan EH. 1991. Kunci Menuju Sukses dalam Manajemen Kepemimpinan. Bandung: Indonesia Publishing House. hlm. 55-59.
dan
Tampubolon J, Ginting B, Slamet M, Susanto J, Sumardjo. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendekatan Kelompok (Kasus Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Pendekatan Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Jurnal Penyuluhan 2 (2): 10-22. Taryoto, Andin H, Andi, 1993. Analisis Kelembagaan Bagi Hasil Perikanan Laut, Pusat Penelitian Sosek Perikanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tjakrawerdaya S.1997. Makalah, disampaikan pada Acara Stadium General IPB. Strategi Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Memasuki Abad 21. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 23 hlm. Tjondronegoro SM. 1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial Di Pedesaan Jawa. Dalam Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta: Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Undang-Undang Republik Indonesia No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Dihimpun oleh Redaksi Sinar Grafika. Jakarta: PT Sinar Grafika Offset, Utama AC. 2005. LSM vs LAZ. Bermitra atau Berkompetisi. Mencari Model Kemitraan bagi Optimalisasi Potensi Filantropi Menuju Keadilan Sosial. Jakarta: Piramedia. hlm 45-67. Williamson, OE. 1985. Economic Institution of Capitalism Firm, Market, Rational Conracting. The Free Press Collier. MacMillan Publisher. London. 68 p Winoto J. 2001. Pengentasan Kemiskinan (Sari Tema Teori-Teori Pembangunan Lintas Mazhab) dan Penerapannya untuk Analisis Usaha Kecil dan Usaha Menengah. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. 27 hlm. Wiratno T, Tarigan A. 2002. Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal. Majalah Triwulan, Media Informasi, Profesi dan Komunikasi Perencanaan Pembangunan. No.28, Juli-September 2002. Wisudo SH, Nurani TW, Zulkarnain, 1994. Teknologi Penangkapan Ikan Pilihan yang Layak dikembangkan di Labuan Jawa Barat. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Data karakteristik responden/kelompok masyarakat pemanfaat peserta kemitraan program PEMP di Kota Ambon
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
x1 1730250 1730250 1730250 1730250 1730250 1730250 1730250 1730250 1799450 1799450 1799450 1799450 1799450 1799450 1799450 1804000 1804000 1804000 1804000 1804000 1804000 1832000 1832000 1832000 1832000 1832000 1477500 1477500
x2 12750 12750 12750 12750 12750 12750 12750 12750 13056 13056 13056 13056 13056 13056 13056 14400 14400 14400 14400 14400 14400 13200 13200 13200 13200 13200 12900 12900
x3 3500 3500 3500 3500 3500 3500 3500 3500 4250 4250 4250 4250 4250 4250 4250 3750 3750 3750 3750 3750 3750 4000 4000 4000 4000 4000 3850 3850
x4 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 1 1
x5 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
x6 7.14 5.35 4.04 4.04 4.04 4.04 4.04 4.04 8 6 5 4 4 4 4 8.7 6.52 5.43 4.34 4.34 4.34 11.76 8.82 7.35 5.88 5.88 8.33 6.25
x7 15 15 15 15 15 15 15 15 17 17 17 17 17 17 17 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 15 15
x8 30.36 30.36 30.36 30.36 30.36 30.36 30.36 30.36 30.72 30.72 30.72 30.72 30.72 30.72 30.72 39.13 39.13 39.13 39.13 39.13 39.13 48.53 48.53 48.53 48.53 48.53 35.83 35.83
x9 10 10 10 10 10 10 10 10 12 12 12 12 12 12 12 12 10 10 10 10 10 10 12 12 12 12 12 10
x10 56 30 52 52 43 38 38 53 43 52 53 40 30 23 53 43 21 63 30 34 20 26 22 40 29 27 22 22
x11 45 23 38 30 15 20 12 31 23 10 10 15 12 5 39 30 10 15 23 15 8 3 3 15 10 7 5 8
x12 6 3 4 2 4 2 2 3 1 2 3 4 2 5 3 3 1 1 1 4 2 1 1 4 1 5 5 4
SN_1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0
SN_2 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1
Y 854780.1 708585.08 590487.56 472390.05 472390.05 472390.05 472390.05 472390.05 1343110.04 1007332.53 839443.78 671555.02 671555.02 671555.02 671555.02 1152933.22 864699.92 720583.26 576466.61 576466.61 576466.61 2266109.66 1699582.24 1416318.54 1133054.83 1133054.83 1512477.68 1134358.26
164
29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
1477500 1477500 1477500 1477500 1477500 1880000 1880000 1880000 1880000 1880000 1880000 1880000 1880000 1740000 1740000 1740000 1740000 1740000 1740000 1740000 1740000 1500000 1500000 1500000 1500000 1500000 1500000 1500000 1760000 1760000 1760000 1760000
12900 12900 12900 12900 12900 12480 12480 12480 12480 12480 12480 12480 12480 14250 14250 14250 14250 14250 14250 14250 14250 12525 12525 12525 12525 12525 12525 12525 13440 13440 13440 13440
3850 3850 3850 3850 3850 4500 4500 4500 4500 4500 4500 4500 4500 4000 4000 4000 4000 4000 4000 4000 4000 3500 3500 3500 3500 3500 3500 3500 4250 4250 4250 4250
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2
5.21 4.17 4.17 4.17 4.17 7.14 5.36 4.46 3.57 3.57 3.57 3.57 3.57 7.41 5.56 4.63 5.56 3.7 3.7 3.7 3.7 8 6 6 5 4 4 4 8.33 6.25 5.21 4.16
15 15 15 15 15 16 16 16 16 16 16 16 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 16 16 16 16
35.83 35.83 35.83 35.83 35.83 27.86 27.86 27.86 27.86 27.86 27.86 27.86 27.86 35.19 35.19 35.19 35.19 35.19 35.19 35.19 35.19 33.4 33.4 33.4 33.4 33.4 33.4 33.4 35 35 35 35
10 10 10 10 10 10 12 12 12 12 12 12 12 12 10 10 10 10 10 10 10 10 12 12 12 12 12 12 12 10 10 10
33 28 22 63 29 43 48 29 38 40 48 24 61 31 29 27 52 42 43 52 52 38 43 30 52 48 60 39 47 52 41 36
12 4 7 2 9 15 10 3 12 16 5 7 45 12 5 8 23 13 20 30 8 5 12 12 15 25 42 25 20 35 18 13
3 1 2 3 4 3 1 6 1 2 3 4 4 3 5 6 2 3 1 6 4 4 4 5 5 3 2 4 3 4 6 4
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 0
945298.55 756283.84 756283.84 756283.84 756283.84 1470480.86 1102860.65 919050.54 735240.43 52456581 52456581 52456581 52456581 1553980.16 1165485.12 971237.6 776990.08 776990.08 776990.08 776990.08 776990.08 1043442.32 782581.74 40426831 652151.45 521721.16 521721.16 521721.16 1445037.84 1083778.38 903148.65 722518.92
165
61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92
1760000 1760000 1760000 1929500 1929500 1929500 1929500 1929500 1929500 1929500 1929500 1747500 1747500 1747500 1747500 1747500 1845600 1845600 1845600 1845600 1845600 1845600 1730250 1730250 1730250 1730250 1708500 1708500 1708500 1708500 1708500 1702500
13440 13440 13440 12495 12495 12495 12495 12495 12495 12495 12495 13920 13920 13920 13920 13920 13824 13824 13824 13824 13824 13824 11940 11940 11940 11940 14484 14484 14484 14484 14484 13680
4250 4250 4250 4000 4000 4000 4000 4000 4000 4000 4000 4250 4250 4250 4250 4250 3000 3000 3000 3000 3000 3000 4000 4000 4000 4000 3000 3000 3000 3000 3000 3850
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1 1 2
4.16 4.16 4.16 7.14 5.36 4.46 3.57 3.57 3.57 3.57 3.57 11.11 8.33 6.94 5.56 5.56 9.09 6.82 5.68 4.55 4.55 4.55 11.11 8.33 6.94 5.56 10 7.5 6.25 5 5 9.52
16 16 16 17 17 17 17 17 17 17 17 15 15 15 15 15 16 16 16 16 16 16 15 15 15 15 17 17 17 17 15 15
35 35 35 26.25 26.25 26.25 26.25 26.25 26.25 26.25 26.25 51.56 51.56 51.56 51.56 51.56 39.27 39.27 39.27 39.27 39.27 39.27 44.22 44.22 44.22 44.22 42.6 42.6 42.6 42.6 42.6 43.43
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 12 12 12 12 12 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
63 55 51 52 45 47 51 43 46 48 47 52 23 21 46 28 32 34 37 21 29 36 45 57 28 62 58 51 31 34 54 43
40 25 5 15 20 14 15 27 20 20 15 30 4 5 12 5 10 8 12 4 10 20 30 42 15 48 35 15 12 10 35 20
5 5 5 5 1 2 3 4 2 2 2 1 4 4 3 3 5 3 5 7 3 6 4 4 6 2 4 3 4 2 2 2
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1
0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0
722518.92 722518.92 722518.92 1292495.15 969371.37 807809.48 646247.58 646247.58 646247.58 646247.58 646247.58 3033296.12 2274972.09 1895810.08 1516648.06 1516648.06 1104396.9 828297.68 690248.06 552198.45 552198.45 552198.45 1920736.9 1440552.68 1200460.56 960368.45 1284700.89 963525.68 802938.06 642350.45 642350.45 2292968.1
166
93 94 95 96 97 98 99 100 101 102
1702500 1702500 1702500 1702500 1702500 1800000 1800000 1800000 1800000 1800000
13680 13680 13680 13680 13680 12704 12704 12704 12704 12704
3850 3850 3850 3850 3850 4250 4250 4250 4250 4250
2 2 2 2 2 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
7.14 5.95 4.76 4.76 4.76 10 7.5 6.25 5 5
15 15 15 15 15 16 16 16 16 16
43.43 43.43 43.43 43.43 43.43 39.7 39.7 39.7 39.7 39.7
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
25 54 36 38 42 62 39 43 47 38
15 34 13 15 24 48 5 8 11 7
3 4 2 5 4 2 2 3 4 3
0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
1 1 0 0 0 0 1 1 0 0
1719726.08 1433105.06 1146484.05 1146484.05 1146484.05 2468941.52 1851706.14 1543088.45 1234470.76 1234470.76
Keterangan : Juragan Juru Lampu Motoris ABK Biasa
167
168
Lampiran 2. Hasil analisis faktor Factor Analysis: x1, x2, x3, x4, x5, x6, x7, x8, x9, x10, x11, x12 Principal Component Factor Analysis of the Correlation Matrix
Unrotated Factor Loadings and Communalities Variable x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8 x9 x10 x11 x12
Factor1 0.549 0.741 0.752 0.706 -0.132 -0.318 0.466 0.460 0.378 -0.214 -0.304 -0.373
Factor2 0.060 0.527 -0.267 -0.082 0.806 0.066 -0.452 0.810 -0.545 0.123 0.134 -0.197
Communality 0.306 0.827 0.637 0.505 0.667 0.106 0.421 0.867 0.440 0.061 0.110 0.178
Variance % Var
2.8825 0.240
2.2422 0.187
5.1247 0.427
Rotated Factor Loadings and Communalities Varimax Rotation Variable x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8 x9 x10 x11 x12
Factor1 0.365 0.192 0.736 0.576 -0.641 -0.279 0.649 -0.206 0.647 -0.241 -0.315 -0.143
Factor2 0.415 0.889 0.310 0.415 0.507 -0.166 -0.019 0.908 -0.147 -0.054 -0.106 -0.397
Communality 0.306 0.827 0.637 0.505 0.667 0.106 0.421 0.867 0.440 0.061 0.110 0.178
Variance % Var
2.5914 0.216
2.5332 0.211
5.1247 0.427
Factor Score Coefficients Variable x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8 x9 x10 x11 x12
Factor1 0.123 0.031 0.273 0.205 -0.276 -0.101 0.255 -0.126 0.261 -0.092 -0.118 -0.036
Factor2 0.148 0.347 0.088 0.138 0.235 -0.053 -0.040 0.374 -0.091 -0.010 -0.027 -0.152
169
Lampiran 3. Hasil analisis regresi
Regression Analysis: Y versus x2, x3, x8, SN-1, SN-2 The regression equation is Y = - 54262472 + 3788 x2 + 13604 x3 - 1867 x8 - 39400 SN-1 - 39400 SN-2
Predictor Constant x2 x3 x8 SN-1 SN-2
S = 286965
Coef -54262472 3788.14 13603.7 -1867.3 -39400 -39400
SE Coef 545938 47.99 130.4 722.9 82087 64536
R-Sq = 99.8%
T -99.39 78.93 104.29 -2.58 -0.48 -0.61
P 0.000 0.000 0.000 0.011 0.632 0.543
VIF 3.313 1.217 2.980 1.100 1.101
R-Sq(adj) = 99.8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
Source x2 x3 x8 SN-1 SN-2
DF 1 1 1 1 1
DF 5 94 99
SS 3.60784E+15 7.74080E+12 3.61558E+15
MS 7.21567E+14 82348925719
F 8762.32
P 0.000
Seq SS 2.62563E+15 9.81617E+14 5.46347E+11 7961634582 30694319570
Unusual Observations Obs 65 66 67
x2 16150 16150 16150
Y 60078331 60078331 60078331
Fit 59517376 59517376 59517376
SE Fit 103260 89940 89940
Residual 560955 560955 560955
St Resid 2.10R 2.06R 2.06R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Lampiran 4. Matriks kerangka kerja pengembangan kelembagaan Nama Lembaga : LEPP-M3 Program Kemitraan PEMP di Kota Ambon Karakteristik Sumberdaya
Komponen Kunci
Kriteria untuk setiap tahapan progresif Perkembangan Konsolidasi Pengembangan Visi
Keberlanjutan
Struktur legal – baik peran & wewenang badan pengelola tidak memiliki pengakuan dari pemerintah
Tidak ada anggaran dasar yang resmi (AD), namun pengelola mampu melakukan fungsinya dengan baik
AD untuk badan pengelola disetujui oleh masyarakat
AD terdaftar pada pemerintah dan badan Pengelola secara sah diakui penuh oleh pemerintah.
Dewan Pembina yang diakui
Beberapa calon anggota dewan pembina telah teridentifikasi
Dewan pembina telah teridentifikasi, namun masih terjadi perubahan anggota dan belum memiliki pengaruh
Keanggotaan Dewan Pembina semakin membaik, stabil, dan mempunyai target yang jelas
Dewan Pembina terbentuk dari pemimpin – pemimpin yang diakui.
Kebijakan Operasional
Peran anggota dewan pembina dan peran mereka Vis a vis kepala program PEMP belum jelas
Dewan pembina memahami peranannya dan bagaimana harus berhubungan dengan LEPP-M3
Dewan Pembina membantu organisasi melalui akses pada orang – orang kunci
Dewan pembina memberi arah bagi kebijakan operasional untuk aksi politis
Peran aktif
Dewan pembina belum menjadi mitra yang aktif bagi organisasi
Dewan pembina harus menjadi mitra yang aktif memberikan kontribusi dan mengupayakan sumberdaya bagi organisasi
Memajukan Organisasi
Dewan pembina justru menjadi penghambat kemajuan organisasi
Dewan pembina sudah tidak menjadi penghambat kemajuan organisasi
Pengakuan Hukum
Struktur Badan Pengelola
Permulaan
Dewan Pembinan menunjukkan kepemimpinan secara terbatas, membentuk komite – komite, namun hanya satu dua anggota yang aktif Dewan Pembina mampu membantu memajukan organisasi, tetapi belum bisa membawa organisasi ke tingkat lebih tinggi
Dewan Pembina dapat menghimpun dana yang cukup dan hampir semua anggota berperan aktif Ketua dewan pembina kuat dan aktif dan mampu membantu memajukan organisasi
170
Karakteristik Sumberdaya
Komponen Kunci
Permulaan
Visi Organisasi
Belum memiliki visi ke depan
Pernyataan Misi
Belum memiliki pernyataan misi yang resmi
Visi dan Misi Organisasi
Advokasi Otonomi
Organisasi adalah agen pelaksana untuk satu lembaga donor.
Kriteria untuk setiap tahapan progresif Perkembangan Konsolidasi Badan pengelola mampu mengartikulasi visi untuk masyarakat Anggota masyarakat memiliki luas tapi mengalami kesulitan untuk visi yang sama dan bisa memanfaatkannya sebagai alat mengartikulasikannya. Tetapi perencanaan karena tidak belum ada penjabaran yang terintegrasi secara penuh kedalam rinci mengenai visi itu berbagai kenyataan politis maupun ekologis Pernyataan misi jelas dan secara umum konsisten dengan Kegiatan Sudah ada pernyataan misi, dan proposal yang dimiliki (portfolio). namun tidak jelas. Terdapat Walaupun demikian tidak semua Kegiatan – Kegiatan dan Anggota mampu proposal (portfolio) yang tidak mengartikulasikannya dan pihak luar konsisten dengan pernyataan tidak bisa mengkaitkan pernyataan misi Misi dengan organisasi Organisasi mampu menanggapi ketertarikan lebih dari satu donor serta ketertarikan dewan pembina
Organisasi mampu mendapatkan pendanaan untuk programmnya dalam konsultasi dengan dewan pembina
Keberlanjutan
Visi untuk masyarakat luas terartikulasi dengan jelas dalam konteks sosial dan politis
Pernyataan misi yang jelas Dan bisa diartikulasi oleh dewan pembina dan Anggota. Pernyataan misi ini konsisten dengan portfolio. Pihak luar mengidentifikasikan pernyataan misi dengan organisasi Disamping memiliki otonomi manajerial dan finansiil organisasi juga mampu melakukan advokasi ke pihak pemerintah dan sektor swasta.
171
Model Kepemimpinan
Karakteristik Sumberdaya
Komponen Kunci Alur pembuatan keputusan
Semua kepemimpinan berasal dari pendiri
Partisipasi Anggota hanya menyumbangkan input teknis Misi/strategi jangka panjang (overview strategis)
Alur perencanaan
Perencanaan
Permulaan
Implikasi pada sumberdaya
Perencanaan sebagai alat yang bermanfaat
Perencanaan secara umum dilakukan secara ad hoc dan tumbuh terus Orientasi perencanaan bersifat ‘top down’ & dimotori oleh dinas perikanan dan kelautan sebagai dewan pembina Tujuan – tujuan ditetapkan tanpa mempertimbangkan kebutuhan sumberdaya, maupun faktor – faktor eksternal yang penting Organisasi tidak membuat rencana kerja
Kriteria untuk setiap tahapan progresif Perkembangan Konsolidasi Sumberdaya Manajemen Visi semakin banyak datang dari Kepemimpinan berasal dari dewan pembina seiring dengan pendiri dan satu atau dua orang meningkatnya masukan anggota Dewan Pembina Anggota Disamping kepala kewang ada satu atau dua Anggota yang ikut Energi vital organisasi kian memberikan energi yang banyak berasal dari Anggota. mengarahkan organisasi dengan kuat.
Keberlanjutan Semua anggota dewan pembina menyumbangkan kepemimpinan dan perkembangan organisasi Anggota memahami batas partisipasi mereka. Organisasi akan mampu berjalan dengan baik tanpa dinas
Rencana tahunan dibuat & ditinjau dalam tahun itu juga. Sering tidak terintegrasi kedalam rencana strategis jangka panjang.
Perencanaan kian diperluas dan berorientasi kepada masa depan, bersifat jangka panjang dan strategis dan direncanakan dengan merujuk pada misi.
Beradasarkan pada pernyataan misi, pengembangan rencana strategis dan rencana tahunan berlanjut menjadi instrumen operasional, dengan kaji ulang secara berkala pada rencana jangka panjang.
Partisipasi Anggota dalam perencanaan menjadi semakin luas dengan kontribusi pada proses pengambilan keputusan
‘penerima manfaat’/kelompok sasaran memberikan informasi untuk proses perencanaan, tetapi tidak diikutkan dalam proses pembuatana keputusan
Kelompok sasaran dan Anggota memberi sumbangan pada proses pengambilan keputusan bersama dengan pengurus LEPP-M3 dan dewan pembina
Rencana – rencana didasarkan pada anggaran dan pertimbangan akan faktor – faktor eksternal yang penting. Namun organisasi tidak meninjau kembali rencana ini selama proses implementasinya Rencana jerja dimanfaatkan oleh manajemen dan Anggota operasional tetapi tidak dilihat sebagai instrumen dinamis yang bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
Perencanaan tahunan maupun perencanaan strategis cukup komprehensif & spesifik sehingga bisa dilakukan bedgeting, namun rencana – rencana ini cukup fleksibel untuk dimodifikasi jika perlu.
Pencapaian tujuan – tujuan dikaitkan dengan anggaran, namun faktor eksternal yang penting masih diabaikan
Rencana kerja dibuat tetapi jarang digunakan oleh manajemem dan Anggota operasional
Rencana kerja dipandang oleh manajemen dan Anggota operasional sebagai alat yang bermanfaat dan terus disesuaikan dengan kebutuhan.
172
Karakteristik Sumberdaya
Komponen Kunci Pelimpahan wewenang yang memadai
Layanan Masyarakat
Manajemen Partisipatif
Permulaan Keputusan – keputusan dari ketua LEPP-M3 dilimpahkan kepada Anggota namun hampir tidak ada umpan balik Pandangan badan pengelola sehubungan dengan akuntabilitas kepada masyarakat adalah bahwa : Anggota masyarakat yang berbeda beda membuat keputusan yang berdampak pada kehidupan masyarakat, tergantung pada isu dan sumberdaya, tidak ada struktur pertanggungjawaban yang sentralistik
Kriteria untuk setiap tahapan progresif Perkembangan Konsolidasi Hampir semua keputusan manajerial diambil oleh Semakin banyak keputusan kepala kewang dan manajerial didelegasikan kepada dewan pembina. Sedikit manajer bidang. input dari satu tatau dua Anggota
Badan pengelola memandang dirinya menjadi satu – satunya pengambil keputusan atas nama masyarakat dan bekerja untuk dirinya sendiri.
Badan pengelola melaporkan ihwal keuangan kepada masyarakat dan mengakui secara terbatas peran masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
Partisipasi Kelompok
Kesamaan kepentingan
Organisasi hanya melibatkan kelompok masyarakat sebagai penerima program – program organisasi
Organisasi melakukan pendekatan kepada tokoh – tokoh masyarakat untuk mengumpulkan saran dan memobilisasi warga masyarakat
Organisasi megikutsertakan suara tokoh masyarakat dalam kegiatan – kegiatan perencanaan, implementasi , dan evaluasi program
Dari sisi komposisi badan
Antara 25% - 50%
Antara 50% - 75% kepentingan
Keberlanjutan Keputusan – keputusan manajerial didelegasikan kepada tingkat organisasi yang sesuai.
Badan pengelola memahami perannya sebagai pelayan masyarakat dan bertindak sebagai fasilitator pada diskusi – diskusi masyarakat.
Organisasi memfasilitasi pembentukan kelompok – kelompok masyarakat dengan struktur formal yang mengikutsertakan berbagai lapisan masyarakat. Kelompok ini berpartisipasi penuh dalam perencanaan , pelaksanaan, evaluasi, memberi kontribusi dana, material, tenaga & manajemen. > 75% kepentingan
173
Transparansi
pengelola – kurang dari 25% kepentingan masyarakat yang teridentifikasi sama dengan komposisi badan pengelola Organisasi dijalankan oleh pengurus LEPP-M3, namun kriteria pengambilan keputusan sangat pribadi & tidak jelas
kepentingan masyarakat yang teridentifikasi sama dengan komposisi badan pengelola. Kriteria keputusan manajemen diinformasikan kepada dwan pembina, tetapi Anggota lain tidak terlibat dalam proses. Pengambilan keputusan juga mempertimbangkan jender, tapi masih didominasi oleh orang yang bukan pengguna sumderdaya alam.
masyarakat yang teridentifikasi sama dengan komposisi badan pengelola.
masyarakat yang teridentifikasi sama dengan komposisi badan pengelola.
Pengambilan keputusan semakin transparan bagi Anggota : sebagian Anggota bahkan ikut dalam proses pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan yang transparan : Partisipasi Anggota penuh untuk keputusan – keputusan yang relevan.
Pengambilan keputusan melibatkan pengguna sumberdaya alam, mempehatikan jender, tapi masih cukup kuat pengaruh dari pihak yang bukan pengguna sumderdaya alam
Komposisi pengambilan keputusan dan pengaruh mencerminkan praktek penggunaan sumberdaya alam berdasarkan peran jender Lebih dari setengah masyarakat pengguna sumberdaya alam menganggap badan pengelola melayani kebutuhan masyarakat ≤ 10% anggota masyarakat dewasa dilibatkan dalam pembuatan keputusan menyangkut pengelolaan sumberdaya alam. Secara berkala organisasi melakukan review terhadap aliran komunikasi untuk memastikan aliran informasi secara bebas melalui saluran formal & informal.
Jender dalam pengambilan keputusan
Manajemen belum membuat keputusan – keputusan berdasarkan pembagian peran jender secara efektif
Pengguna sumberdaya dan Pengambil keputusan
Pengguna sumberdaya alam kurang memahami (bahkan mungkin tidak memahami) peran badan pengelola organisasi
Pengguna sumberdaya alam menganggap badan pengelola melayani ‘orang lain’
Lebih dari seperempat anggota masyarakat pengguna sumberdaya alam menganggap badan pengelola melayani kebutuhan masyarakat
Konsultasi dengan masyarakat
Anggota masyarakat biasa umumnya tidak dilibatkan dalam keputusan – keputusan menyangkut pengelolaan sumberdaya alam.
≤ 5% anggota masyarakat dewasa dilibatkan dalam pembuatan keputusan – keputusan menyangkut pengelolaan sumberdaya alam.
Antara 5% - 10% anggota masyarakat dewasa dilibatkan dalam pembuatan keputusan menyangkut pengelolaan sumberdaya alam.
Komunikasi antar Anggota intern kurang, saluran informasi formal ataupun informal kurang
Ada sedikit komunikasi antar Anggota. Mulai terbangun saluran komunikasi formal untuk dialog & pengambilan keputusan (contohnya rapat Anggota)
Komunikasi terbuka & terjadi antar tingkatan dalam organisasi. Saluran – saluran komunikasi formal & informal sudah ada dan dimanfaatkan.
Aliran komunikasi
174
Sistem Manajemen
Karakteristik Sumberdaya
Komponen Kunci Sistem Personalia
Sistem Kearsipan
Permulaan Belum ada sistem personalia formal
Tidak ada sistem kearsipan formal
Prosedur Administratif Belum ada prosedur administratif formal
Sistem Monitoring dan Evaluasi
Sistem monitoring & evaluasi yang terintegrasi
Sistem monitoring pengelolaan SDA yang melibatkan masyarakat Umpan balik dari penerima manfaat program
Belum ada mekanisme evaluasi formal. Informasi ‘konon’ dan isting digunakan.
Tidak ada pendekatan yang sistematis untuk memonitor sumberdaya alam.
Tidak ada umpan balik dari penerima manfaat program
Kriteria untuk setiap tahapan progresif Perkembangan Konsolidasi Hampir semua sisem Baru beberapa sistem personalia yang dibutuhkan personalia berlaku. Praktek telah ada, kadang – kadang mempekerjakan orang secara saja mekanisme informal informal masih terus terjadi masih digunakan. Arsip tersimpan dengan sistematis dan mudah Arsip tersimpan namun tidak diakses, namun masih lengkap & tidak sistematis terdapat kekurangan yang signifikan disana – sini. Sudah ada manual Prosedur administratif sudah pelaksanaan prosedur mulai diformalkan tetapi administratif, namun tidak belum ada, namun belum ada terus – menerus diperbarui & ‘manual pelaksanaan’ belum dianggap sebagai ‘buku suci’ Evaluasi diprakarsai oleh Anggota – Anggota semakin terlihat dalam proses Evaluasi sesekali dilakukan evaluasi; beberapa biasanya atas permintaan keputusan manajemen donor & dilakukan oleh pihak didasarkan pada data. luar. Monotoring & Evaluasi masih merupakan fungsi manajemen yang terisolir. Dilakukan monitoring Dilakukan monitoring terhadap beberapa terhadap beberapa SDA yang sumberdaya alam yang dianggap penting dengan dianggap penting dengan arahan dari badan pengelola; arahan dari badan pengelola; namun data sering tidak dan data yang diperoleh digunakan. digunakan. Terdapat mekanisme formal yang bisa digunakan oleh penerima manfaat Terdapat saluran formal programuntuk memberikan untuk umpan balik dari umpan balik, tapi hanya penerima manfaat program. melalui survei dan evaluasi – perempuan & kelompok marginal tidak dilibatkan.
Keberlanjutan Sistem personalia formal telah ada dan dipahami oleh Anggota, dan perbaikan bisa terus dilakukan.
Arsip tersimpan dengan lengkap, sistematis dan bisa diakses
Manual pelaksanaan prosedur administratif diperbarui secara berkala & dijadikan sebagai pegangan prosedural
Sistem monitoring & evaluasi yang terus menerus berfungsi dengan baik, den analisis data menjadi bagian penting dari proses pengambilan keputusan.
Sistem monitoring sumberdaya alam telah ada & dilaksanakan oleh masyarakat; dan data yang diperoleh dimanfaatkan.
Umpan balik & input dari penerima manfaat program mengalir terus, dimana perempuan & kelompok marginal secara tegas terlibat.
175
Karakteristik Sumberdaya
Komponen Kunci
Pengembangan & Ketrampilan Anggota
Kemampuan/ Ketrampilan
Partisipasi Anggota dalam manajemen
Keahlian Anggota
Pengembangan profesi
Penilaian kinerja
Permulaan Ada bagan organisasi namun tidak menjelaskan berbagai fungsi dengan baik Peran & tanggungjawab Anggota tidak jelas dan sering saling menggantikan Anggota belum sepenuhnya mampu memenuhi tuntutan ketrampilan untuk posisi mereka.
Tidak ada strategi dan praktek pengembangan Anggota yang sengaja dibuat Tidak atau hampir tidak ada pengakuan untuk kinerja Anggota.
Kriteria untuk setiap tahapan progresif Perkembangan Konsolidasi Sumberdaya Manusia Ada bagan organisasi yang Bagan organisasi menjelaskan berbagai fungsi menggambarkan fungsi dengan baik Anggota & garis kewenangan dengan baik – dan didukung oleh Anggota Peran Anggota lebih dipahami tapi masih terpecah - pecah Anggota memiliki ketrampilam teknis yang dibutuhkan untuk posisi mereka – masih kurang memiliki kemampuan analisis, komuniksi & presentasi, serta manajemen yang lebih menyeluruh. Sudah ada rahan umum untuk pengembangan Anggota. Kinerja Anggota diakui secara informal, tetapi tidak ada mekanisme formal untuk ini.
Anggota memahami perannnya dalam organisasi dengan lebih jelas dan tahu bagaimana mesti berperan dalam manajemen. Disamping memiliki spesialisasi teknis yang diperlukan untuk posisis mereka, Anggota juga memiliki kemampuan analitis, komunikasi/presentasi, dan rencana aksi untuk ini juga telah ada. Sudah dilakukan penjajagan kebutuhan pengembangan Anggota dan rencana aksi untuk ini juga telah ada. Telah ada sistem formal untuk menilai kinerja Anggota. Pengembangan ketrampilan tidak dimasukkan kedalam penilaian kerja.
Keberlanjutan Semua ketrampilan yang dibutuhkan dimiliki & ada sumberdaya untuk mengontrak pihak luar yang ahli dibidangnya jika diperlukan. Anggota semakin mampu menentukan cara mereka terlibat dalam manajemen. Anggota dikenal karena kemampuannnya yang tinggi dan memberikan layanan keahlian dan bantuan kepada organisasi lain.
Pengembangan profesi dianggap sebagai bagian dari prestasi kerja/kinerja. Anggota terlibat dalamn menentukan tujuan/target kerja, mereka memahami tuntutan organisasi terhadap mereka. Pengembangan ketrampilan dimasukkan kedalam penilaian kerja.
176
Keterwakilan masyarakat lokal
Karakteristik Sumberdaya
Komponen Kunci Pengangkatan Anggota lokal/jender
Komposisi Anggota
Komposisi dewan pembina
Permulaan Organisasi tidak tertarik pada keragaman atau hampir tidak memilki kesadaran mengenai pentingnya keragaman. Keterwakilan perempuan & warga lokal dalam Anggota sangat rendah
Keterwakilan perempuan & warga lokal pada komposisi dewan pembina sangat kurang.
Kriteria untuk setiap tahapan progresif Perkembangan Konsolidasi Kesadaran & ketertarikan Organisasi menyatakan pada keragaman meningkat komitmen untuk tetapi belum ada kebijakan menganekaragamkan Anggota organisasi menyangkut hal melalui kebijakan formal. ini. Beberapa perempuan & warga lokal menjadi Anggota tetapi jarang diminta kontribusinya dalam pembuatan keputusan.
Cukup banyak perempuan & warga lokal duduk sebagai Anggota, dan mereka sedikit lebih terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Beberapa perempuan & warga lokal duduk sebagai anggora dwan pembina, tapi jarang sekali memberi masukan untuk pengambilan keputusan.
Keterwakilan perempuan & warga lokal pada dewan pembina cukup signifikan, dan mereka terlibar dalam beberapa pengambilan keputusan.
Keberlanjutan Secara aktif organisasi melakukan pengangkatan Anggota perempuan & lokal sebagai anggota dewan pembina maupun sebagai Anggota. Komposisi Anggota menunjukkan keterwakilan perempuan & warga lokalyang cukup. Mereka juga secara efektif terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Komposisi dewan pembina menunjukkan keterwakilan perempuan & warga lokal yang cukup, dan mereka secara efektif berpartisispasi dalam proses pengambilan keputusan.
177
Karakteristik Sumberdaya Pengelola Keuangan
Komponen Kunci
Permulaan
Kriteria untuk setiap tahapan progresif Perkembangan Konsolidasi Sumberdaya Keuangan Anggaran dikembangkan untuk Pengeluaran total biasanya kegiatan, tapi pengeluaran masih dalam batasan 20% dari sering lebih atau kurang hingga anggaran, tapi kegiatan nyata 20% sering menyimpang dari perkiraan dalam anggaran. Laporan keuangan lebih jelas, Laporan keuangan lengkap & tetapi masih tidak lengkap – jelas, meskipun portfolio biasanya tepat waktu. organisasi semakin kompleks.
Anggaran digunakan sebagai alat manajemen
Anggaran tidak digunakan sebagai alat manajemen.
Kesehatan Keuangan
Catatan keuangan tidak lengkap & sulit dipahami.
Transparansi Keuangan
Dari segi transparansi manajemen – masyarakat pengguna sumberdaya alam tidak mengetahui : Penghasilan organisasi, Neraca Keuangan, Operasi dan Badan pengelola. Tidak ada prosedur yang jelas untuk pembayaran dan penerima uang.
Pengguna sumberdaya alam mengetahui salah satu : Penghasilan organisasi, Neraca Keuangan, Operasi dan Badan pengelola.
Pengguna sumberdaya alam mengetahui dua hal : Penghasilan organisasi, Neraca Keuangan, Operasi dan Badan pengelola.
Ada kontrol keuangan, namun prosedur kantor yang sistematis belum ada.
Sistem kontrol keuangan yang telah disempurnakan sudah ada.
Audit
Audit tidak dilaksanakan.
Audit eksternal jarang sekali dilakukan.
Audit eksternal sering dilakukan, tapi tidak secara berkala.
Penghimpunan dana
Penggalangan dana lokal (termasuk barang dan jasa) sebagai pemasukan operasional tidak dilakukan, atau gagal dilakukan.
Hingga 20% dana operasi tidak terbatas berasal dari iuran anggota, dan fee yang didapatkan oleh organisasi.
Kesanggupan keuangan
Pendanaan Kegiatan tidak mencukupi untuk mencapai tujuan manajemen Kegiatan
Hingga 5% dari biaya operasional tidak terbatas berasal dari iuran anggota, penghasilan organisasi, pemberi yang diperbolehkan, bunga bank, dan fee yang didapatkan organisasi. Pendanaan tersedia untuk membiayai biaya – biaya Kegiatan jangka pendek.
Pengendalian Kas
Pendanaan tersedia untuk biaya – biaya jangka pendek dan strategi pendanaan jangka menengah sudah dimiliki.
Keberlanjutan Anggaran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen Kegiatan & akan disesuaikan menurut kebutuhan implementasi Kegiatan. Laporan – laporan & sistem data bisa dengan cepat memberikan gambaran tentang kondisi kesehatan finansial. Laporan keuangan selalu tepat waktu & dapat dipercaya. Pengguna sumberdaya alam mengetahui : Penghasilan organisasi, Neraca Keuangan, Operasi dan Badan pengelola.
Kontrol keuangan yang sangat memuaskan untuk pengeluaran dan penerima dengan prosedur anggaran yang mapan. Audit eksternal dilakukan secara berkala dengan frekuensi yang tepat. 40% dana operasional tidak terbatas berasal dari iuran anggota – dan fee yang didapatkan oleh organisasi. Beberapa dana untuk pembiayaan Kegiatan juga digalang secara lokal. Semua Kegiatan memiliki rencana pendanaan jangka panjang & dana yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan rencana manajemen.
178
Karakteristik Sumberdaya
Kemitraan/ Hubungan Masyarakat
Komponen Kunci
Permulaan
Kriteria untuk setiap tahapan progresif Perkembangan Konsolidasi Sumberdaya Eksternal Organisasi dikenal di lingkungan Organisasi memiliki hubungan dengan para masyarakat lokal, tetapi tidak penentu kebijakan dan melakukan upaya untuk mempromosikan kegiatan telah memiliki sejumlah organisasi maupun jalur komunikasi dengan publik. pembangunan yang berkelanjutan kepada masyarakat umum dan para penentu kebijakan kunci. Kerja masih berkedudukan di Masyarakat dilapangan desa induk yang jauh, tapi dimintai pertimbangannya memiliki fokus dilapangan, dan untuk keputusan – organisasi sudah dipandang keputusan kunci. sebagai mitra masyarakat lokal. Organisasi dalamkiprahnya dinilai memberi pelayanan kepada masyarakat.
Publik mengenali organisasi
Organisasi kurang dikenal diluar lingkaran mitra kerjanya.
Kemampuan bekerjasama dengan masyarakat lokal
Organisasi berkedudukan dan dikendalikan dari desa induk yang jauh dari lapangan, atau bertumpu pada struktur yang top down.
Advokasi masyarakat lokal
Badan pengelola tidak melakukan apapun untuk mewakili kepentingan masyarakat lokal.
Badan pengelola tidak mau dan tidak mampu secara proaktif mempromosikan kepentingan masyarakat lokal kepada pihak luar, tetapi bisa menanngapi pertanyaan.
Komunikasi Badan Pengelola
Komunikasi antar badan pengelola dengan komunitas lain mengenai isu pengelolaan Sumberdaya Pesisir hampir tidak ada.
Badan pengelola semakin sadar akan pentingnya berkoordinasi dengan komunitas lain, telah melakukan beberapa kerjasama, namun masih terdapat kecuriagaan dan konflik.
Badan pengelola dipahami oleh pihal luar sebagai entitas yang tahu mengenai masalah – masalah yang dihadapi oleh masyarakat lokal, dan kadang – kadang juga mengadvokasikan kepentingan masyarakat lokal kepada pemerintah di berbagai tingkatan. Badan pengelola mampu mendapatkan dukungan komunitas lain jika diperlukan untuk pengelolaan sumberdaya alam. Sedikit kepercayaan terbangun dan konflik berkurang.
Keberlanjutan Organisasi dan kiprahnya dikenal baik oleh publik dan pembuat kebijakan. Mampu melibatkan para penentu kebijakan kedalam dialog mengenai kebijakan. Organisasi memiliki konstituen yang setia & mendapatkan respek dari luar konstituennya. Masukan dari masyarakat di lapangan diintegrasikan kedalam pertimbangan – pertimbangan manajemen pada umumnya. Organisasi dipandang sebagai sumberdaya masyarakat yang berguna. Badan pengelola secara efektif mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah mewakili pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat lokal.
Badan pengelola mampu membangun aksi bersama secara berkelanjutan dengan komunitas lain untuk melakukan pengelolaan Sumberdaya Pesisir (seperti misalnya membuat rencana pengelolaan bersama)
179
Karakteristik Sumberdaya
Komponen Kunci Kemampuan bekerja dengan pemerintah
Permulaan Sering ada ketegangan antara pemerintah dan organisasi.
Kemampuan untuk mengakses sumberdaya lokal.
Kegiatan – Kegiatan organisasi tidak memiliki hubungan dengan sumber – sumber kredit lokal, sumberdaya lain, dukungan finansial ataupun sumberdaya manusia.
Kemampuan kerjasama dengan NGO lain
Organisasi belum memiliki pengalaman kerjasama dengan NGO lain. Tidak dikenal atau dipercaya oleh NGO lain.
Kriteria untuk setiap tahapan progresif Perkembangan Konsolidasi Sering terjadi kolaborasi, Hubungan cukup biasanya pada level informal. ramah. Kadang – Hubungan ramah tapi tidak kadang terjadi berimbang. kerjasama untuk pekerjaan – pekerjaan & Kegiatan spesifik. Kegiatan – Kegiatan Kegiatan – Kegiatan organisasi mendapat organisasi bisa mendapatkan dukungan dukungan signifikan dari lembaga kredit lokal & dari agensi kredit lokal pemerintah, tetapi dan atau departemen mempertahankan dampak pemerintah untuk Kegiatan masih tergantung dukungan keahlian pada dukungan yang terus teknis atau finansial. menerus dari organisasi. Organisasi semakin dikenal dan dipercaya oleh masyarakat NGO, tapi masih sedikit pengalaman bekerjasama.
Organisasi bekerjasama dengan lembaga internasional dan lokal, serta berpartisipasi dalam jaringan – jaringan LSM, tetapi belum memainkan peran memimpin dalam Kegiatan NGO dan koalisis – koalisi.
Keberlanjutan Terdapat mekanisme kerjasama yang sering dimanfaatkan. Hubungan sudah seperti mitra.
Kegiatan organisasi menciptakan kondisi yang kondusif untuk mendapatkan dukungan dari agensi dan masyarakat lokal sehingga dampak Kegiatan bisa berkelanjutan.
Organisasi memainkan peran pemimpin dalam mempromosikan koalisi atau Kegiatan NGO mendukung NGO lain, dan bisa membantu menyelesaikan konflik NGO – NGO atau NGO Pemerintah.
180
Karakteristik Sumberdaya
Komponen Kunci
Isu Spesifik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Praktek-Praktek Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Resolusi Konflik Atas Sumberdaya Perikanan
Pelaksanaan Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Kriteria untuk setiap tahapan progresif Permulaan Perkembangan Konsolidasi Isu-Isu Spesifik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Informasi rinci mengenai Pendekatan yang sistemik Tidak ada pendekatan potensi dan praktek tata untuk melibatkan yang sistemik untuk masyarakat dalam membuat guna lahan dan melibatkan seluruh Pengelolaan Sumberdaya keputusan tentang masyarakat dalam Peri- kanan oleh Pengelolaan Sumberdaya pengambilan masyarakat tersedia, dam keputusan menyangkut Perikanan. Tetapi tidak hanya kadang-kadang tersedia informasi yang rinci Pengelolaan digunakan dalam Sumberdaya Perikanan mengenai potensi maupun membuat keputusan untuk praktek tata guna lahan dan menyambut perubahan Pengelolaan Sumberdaya keadaan. Perikanan oleh masyarakat Sudah ada peraturan Terdapat konsensus umum Tidak terdapat tentang praktek-praktek tentang praktek-praktek konsensus pengelolaan dan hak pengelolaan dan hak sehubungan dengan pemakaian Sumberdaya pemakaian Sumberdaya praktek-praktek Perikanan, namun peraturan Perikanan yang tertulis, pengelolaan dan hak namun masih terdapat ini belum tertulis secara pemakaian gap-gap yang signifikan, sistematik. Sumberdaya dan peraturan-peraturan Perikanan. ini tidak dipahami oleh warga masyarakat. Badan pengelola atau Di tingkat masyarakat Tidak tersedia sarana wakilnya, mampu tersedia mekanisme untuk untuk melakukan menyelesaikan konflik menyelesaikan konflik atas resolusi konflik atas Sumberdaya Perikanan Sumberdaya Perikanan Sumberdaya Perikanan, lokal secara objektif dan tetapi akses tidak merata di tingkat masyarakat. netral, namun tidak bisa bagi semua warga dan menangani intervensi dari pelaksanaannya sering pihak luar. tidak neltral. Penegakan norma, Norma, peraturan dan Norma-norma, peraturan dan regulasi tidak regulasi pengelolaan peraturan dan regulasi konsisten ditegakan. Sumberdaya Perikanan pengelolaan bisa dimonitor dan Sumberdaya Perikanan ditegakan. tidak ditegakan.
Keberlanjutan Rencana tata gunan lahan dianggap sebagai bahan pertimbangan utama dan selalu diperbarui untuk merefleksikan perubahan-perubahan yang terjadi.
Peraturan tentang praktekpraktek pengelolaan dan hak pemakaian Sumberdaya Perikananyang penting telah tertulis dan dipahami oleh masyarakat.
Badan pengelola memiliki mekanisme untuk menyelesaikan konflik antara masyarakat dengan pihak luar.
Penegakan norma, peraturan dan regulasi tampak netral dan tuntas.
181
182
Lampiran 5.
-3.50 °LS
Peta tipe armada penangkapan, jenis alat penangkapan dan produksi perikanan tangkap di wilayah Kota Ambon.
Peta Tipe Armada Penangkapan Ikan Di Wilayah Kota Ambon
Seram
Laut Seram Legenda :
-3.60 °LS Waitatiri Hunuth Durian Patah
Negeri Lama Waiheru Passo
Poka
SWP III
Lateri
Batugong
Lata Halong
Rmh.Tiga
Tg.Ayam
Wayame
Galala Ht.Kecil Tantui
Ht. Besar
Batu Merah Tawiri Laha
-3.70 °LS
SWP I
Waihaong Benteng Nusaniwe
Airmanis
Hutumuri Tg.Hutumuri
Rutong Lehari
Tg.Tuhameten
Kusu kusu
Ambon
Tg.Sikula
Ema Tg.Riki
Amahusu
Hukurila Hatalae Naku Tg.Hihar Kilang
SWP IV
Tg.Batuanyut
Seri
Tg.Seri
Eri
Tg.Haur
Tg.Hauisa
Tg.Kilang
Seilale Tg.Nama
Tg.Hatiari
Airlow
Latuhalat
Batas Daerah Kota Ambon SWP I SWP II SWP III SWP IV Pusat Pelayanan SWP Ketinting Tanpa Motor Motor Tempel Motor Dalam
Tg.Nusaniwe
Sumber : - Peta Hidrografi Pulau Seram dan sekitarnya Tahun 1083 Skala 1:200.000 (Dinas Hidrooseanografi-Jakarta) - Survey Lapangan 2002
-3.80 °LS
@Copyright : Faperik Unpatti Ambon 2003
127.90 °BT
-3.50 °LS
128.00 °BT
128.10 °BT
128.20 °BT
128.30 °BT
Peta Jenis Alat Penangkapan Ikan Di Wilayah Kota Ambon
Seram
Laut Seram Legenda :
-3.60 °LS
SWP I SWP III SWP II SWP IV Pusat Pelayanan SWP Batas Daerah Kota Ambon
SWP II Waitatiri Hunuth Durian Patah
Negeri Lama Waiheru Passo
Poka
SWP III
Lateri
Batugong
Lata Halong
Rmh.Tiga
Tg.Ayam
Wayame
Galala Ht.Kecil Tantui
Ht. Besar
Batu Merah Tawiri Laha
-3.70 °LS
SWP I
Waihaong Benteng Nusaniwe
Airmanis
Ema Tg.Riki
Amahusu Tg.Batuanyut
SWP IV Seri
Eri
Tg.Hutumuri
Kusu kusu
Ambon
Tg.Sikula
Hutumuri Rutong Lehari
Tg.Tuhameten
Tg.Seri
Tg.Hauisa
Hukurila Hatalae Naku Tg.Hihar Kilang Tg.Haur
Tg.Kilang
Seilale Tg.Nama
Latuhalat
Airlow
Tg.Hatiari
Tg.Nusaniwe
Sumber : - Peta Hidrografi Pulau Seram dan sekitarnya Tahun 1083 Skala 1:200.000 (Dinas Hidrooseanografi-Jakarta) - Survey Lapangan 2002
-3.80 °LS
@Copyright : Faperik Unpatti Ambon 2003
127.90 °BT
128.00 °BT
128.10 °BT
128.20 °BT
128.30 °BT
183
Lanjutan Lampiran 5
-3.50 °LS
Peta Produksi Perikanan Tangkap Dari Wilayah Perairan Kota Ambon
Seram
Laut Seram
Legenda :
-3.60 °LS Waitatiri Hunuth Durian Patah
Negeri Lama Waiheru Passo
Poka
SWP III
Lateri
SW
Batugong
Lata Halong
Rmh.Tiga Wayame
Galala Ht.Kecil Tantui
Ht. Besar
Batu Merah
Tg.Ayam
P
Tawiri Laha
-3.70 °LS
SWP I
Waihaong Benteng Nusaniwe
Airmanis
Ema Tg.Riki
Amahusu
SWP IV Seri
Eri
Tg.Hutumuri
Kusu kusu
Ambon
Tg.Batuanyut
Hutumuri
Lehari
Tg.Tuhameten Tg.Sikula
II
Rutong
Tg.Seri
Tg.Hauisa
Hukurila Hatalae Naku Tg.Hihar Kilang Tg.Haur
Tg.Kilang
Seilale Tg.Nama
Latuhalat
Airlow
Tg.Hatiari
Laut Banda
Tg.Nusaniwe
Batas Daerah Kota Ambon SWP I SWP II SWP III SWP IV Pusat Pelayanan SWP Ikan Pelagis Kecil (Ton/bln) Ikan Pelagis Besar (Ton/bln) Ikan Tuna (Ton/bln) Ikan Demersal (Ton/bln) Sumber : - Peta Hidrografi Pulau Seram dan sekitarnya Tahun 1083 Skala 1:200.000 (Dinas Hidrooseanografi-Jakarta) - Survey Lapangan 2002
-3.80 °LS
@Copyright : Faperik Unpatti Ambon 2003
127.90 °BT
128.00 °BT
128.10 °BT
128.20 °BT
128.30 °BT
184
Lampiran 6. Foto-foto penelitian
185
186