PERAN DAN STRATEGI PENGUATAN KELEMBAGAAN PANGLIMA LAOT DI KOTA SABANG DALAM MEWUJUDKAN PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN
BASKORO PAKUSADEWO
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran dan Strategi Penguatan Kelembagaan Panglima Laot di Kota Sabang dalam Mewujudkan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Mei 2016 Baskoro Pakusadewo NIM C44110032
ABSTRAK BASKORO PAKUSADEWO. Peran dan Strategi Penguatan Kelembagaan Panglima Laot di Kota Sabang dalam Mewujudkan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan. Dibimbing oleh AKHMAD SOLIHIN dan ERNANI LUBIS. Pengelolaan perikanan merupakan upaya penting dalam menjaga keseimbangan sumberdaya, di antaranya melalui peran masyarakat lokal. Salah satu bentuk pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang ada di Indonesia adalah Panglima Laot/hukom adat laot di Aceh. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan sejarah Panglima Laot, menganalisis sistem pengaturan Panglima Laot yang berlaku di Iboih, Kota Sabang, dan merumuskan strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode triangulasi. Pengumpulan data menggunakan metode purpossive sampling dan snowball sampling. Analisis yang digunakan adalah analisis yuridis normatif, analisis deskriptif, dan analisis SWOT. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini, antara lain: (1) penerapan sistem closed area di kawasan Lhok Iboih yang ditujukan sebagai kawasan konservasi dan wisata bahari; (2) sistem aturan Panglima Laot terdiri dari larangan terhadap penggunaan alat penangkapan dan metode penangkapan yang merusak lingkungan, hari pantang melaut, larangan mengambil ikan hias, pembentukan zona larang tangkap, dan larangan melakukan kegiatan yang merusak lingkungan; (3) sistem sanksi Panglima Laot terdiri atas pembayaran denda dalam bentuk uang ataupun hewan ternak, penyitaan seluruh sarana penangkapan, melakukan kenduri ulang; (4) sistem hak Panglima Laot terdiri atas hak individu dan hak komunitas; (5) sistem otoritas Panglima Laot antara lain: 3 orang penasehat, 1 orang Panglima Laot, 1 orang wakil Panglima Laot, 1 orang sekretaris, 1 orang bendahara dan beberapa petugas keamanan adat; 6). sistem monitoring dan evaluasi secara umum melibatkan seluruh masyarakat nelayan di Iboih dan secara khusus dilakukan oleh POKMASWAS. Strategi penguatan Panglima Laot dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan dan peluang (SO), yaitu: meningkatkan peran masyarakat dalam mensosialisasikan hukom adat laot kepada para wisatawan, penguatan kerja sama kolaboratif antara Panglima Laot dan pelaku wisata dalam mendukung operasional pengawasan SATGAS, peningkatan kapasitas kelembagaan dalam hal pengawasan dan pengelolaan perikanan melalui pembimbingan dan pelatihan berkolaborasi dengan pemerintah dan LSM, penyedian sarana dan prasarana pengawasan berkoordinasi dengan pemerintah. Kata kunci: Panglima Laot, pengelolaan perikanan, penguatan kelembagaan, sistem kelembagaan
ABSTRACT BASKORO PAKUSADEWO. Role and Reinforcement Strategies of Panglima Laot Institution on Achieving Sustainable Capture Fisheries in Sabang. Supervised by AKHMAD SOLIHIN and ERNANI LUBIS. Fisheries management is an indispensable effort to maintain the balance of resources, among others through the role of local communities. One of the forms community-based on fisheries management in Indonesia is Panglima Laot or sea customary law in Aceh. The objectives of this study was to analyze the history of Panglima Laot, to analyze the regulation system of Panglima Laot that applied in Iboih, Sabang and to recommend the management of empowerment strategy for Panglima Laot Lhok Iboih. This study used qualitative approach with a triangulation method. Data were collected by means of purposive and snowball sampling. Analysis used in this study were normative juridical, describtive, and SWOT analysis. The results obtained from this study were: (1) the implementation of closed area system by Panglima Laot in Lhok Iboih as a conservation and marine tourism area; (2) the regulations system of Panglima Laot, including prohibition for using fishing gears and uneco-friedly fishing method, prohibition day for fishing, prohibition to harvest ornamental fish, establishment of no take zone, and prohibition all activities that damage the environment; (3) pinalties system of Panglima Laot, consisting of payment penalty in the form of money, livestock, fishing gears seizure, reconducted the Khanduri Laot; (4) rights system of Panglima Laot consisting of individual and community rights; (5) authorities system of Panglima Laot which included: 3 advisors, 1 Panglima Laot, 1 vice of Panglima Laot, 1 secretary, 1 treasurer and some official customary securities; 6) general monitoring and evaluation involving the entire community of fishermen and especially carried out by POKMASWAS. Enpowerment strategies of Panglima Laot were conducted by benefiting the strengths and opportunities (SO), which were: the increase of communities role on socializing sea customary law to tourists, collaborative cooperation between Panglima Laot and tourism operators on operational monitoring of SATGAS, the increase of institutional capacity building of Panglima Laot for monitoring and managing fisheries through coaching and training in collaboration with government and NGOs, the providing of infrastructure and facilities coordinated with goverment. Key words: Panglima Laot, fisheries management, reinforcement of institution, institution system.
PERAN DAN STRATEGI PENGUATAN KELEMBAGAAN PANGLIMA LAOT DI KOTA SABANG DALAM MEWUJUDKAN PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN
BASKORO PAKUSADEWO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2015 ini ialah Panglima Laot, dengan judul Peran dan Strategi Penguatan Kelembagaan Panglima Laot di Kota Sabang dalam Mewujudkan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Bapak Akhmad Solikhin, SPi, MH dan Ibu Dr Ir Ernani Lubis, DEA selaku pembimbing yang telah banyak membimbing dan mengoreksi penulisan skripsi ini. 2. Bapak Dr Ir Budhi Hascaryo Iskandar, MSi dan Ibu Vita Rumanti, SPi, MT selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing selama masuk ke departemen PSP. 3. Ibu Julia Eka Astarini, SPi, MSi dan Bapak Iin Solihin, SPi, MSi selaku dosen penguji dan komisi pembimbing akademik departemen PSP. 4. Bapak Syafriadi Idris, SPi, MSi selaku Kapala Seksi Sarana dan Prasarana Perbenihan DKP Aceh. 5. Bapak Effendy, SP dan Bapak Saifullah, SPi, MSi selaku Kepala Dinas dan Kepala Bidang Kelautan DKP Kota Sabang. 6. Bapak Muhammad A.G. selaku Panglima Laot Lhok Iboih. 7. Bapak Syahrul selaku Kepala Bidang Perikanan DKP Kota Sabang. 8. Bapak Zikry selaku mantan Ketua Kelompok Nelayan Udeep Makmue Gampong Iboih. 9. Bapak Ishak Idris selaku mantan Panglima Laot Lhok Iboih. 10. Bapak Misran S. selaku tuha peut gampong Iboih. 11. Ibunda Dra Jati Setiasih, MSi dan Ayahanda Subowo selaku orang tua penulis, serta Bulik Desi Julati, Muhammad Rozak, Wira Ardi Kusuma Adji dan Embun Faradiba yang selalu memberikan doa, dukungan, dan kasih sayangnya kepada penulis. 12. Keluarga PSP 48, Indonesian Green Action Forum – IGAF, dan Dershane Bogor yang selalu memberi bantuan, dukungan dan doa dalam pengerjaan karya ilmiah ini Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2016 Baskoro Pakusadewo
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
GLOSARIUM
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Penelitian Terdahulu
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
METODE
4
Waktu dan Tempat
4
Sumber dan Metode Pengumpulan Data
4
Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian
9 9
Sejarah Kelembagaan Panglima Laot
11
Sistem Pengaturan Panglima Laot Lhok Iboih
15
Strategi Penguatan Kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih
34
SIMPULAN DAN SARAN
45
Simpulan
45
Saran
46
DAFTAR PUSTAKA
46
LAMPIRAN
48
RIWAYAT HIDUP
59
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Data yang diperlukan beserta sumber dan jenis data Faktor internal dan eksternal Faktor Strategi Internal (IFAS) Faktor Strategi Eksternal (EFAS) Matriks strategi SWOT Periodisasi Panglima Laot di Aceh Batas-batas wilayah kelola Panglima Laot Lhok Iboih dan zona larang tangkap berdasarkan hasil musyawarah tahun 2015 Hukom adat laot yang berlaku di Lhok Iboih Sanksi adat yang berlaku di Lhok Iboih Struktur kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih periode 2014-2019 Analisis faktor kekuatan (strenghts) yang mempengaruhi strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih Analisis faktor kelemahan (weaknesses) yang mempengaruhi strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih Analisis faktor peluang (opportunity) yang mempengaruhi strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih Analisis faktor ancaman (threats) yang mempengaruhi strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih Hasil analisis menggunakan matriks SWOT
5 7 8 8 9 13 16 21 24 28 35 37 39 40 41
DAFTAR GAMBAR 1 Peta wilayah kelola Panglima Laot Lhok Iboih dan zona larang tangkap 2 Suasana sidang pelanggaran (1), barang bukti pelanggaran berupa besi untuk menembak dan seperangkat alat selam (2), sosialisasi peraturan Panglima Laot Lhok Iboih kepada pelaku pelanggaran (3) 3 Struktur organisasi kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) wilayah Panglima Laot Lhok Iboih, nama kelompok “Mufakat” 4 Alur prosedur pelaporan kelompok terkait pelanggaran bagi POKMASWAS Mufakat Iboih 5 Grafik hasil analisis SWOT
16
27 32 33 42
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Kondisi lokasi penelitian Tahapan analisis SWOT Peta administrasi Kota Sabang Sebaran alat tangkap perikanan di Kota Sabang Sebaran lokasi penangkapan ikan di Kota Sabang Laporan kasus pelanggaran hukom adat laot Lhok Iboih tahun 20092014`
48 50 54 55 56 57
GLOSARIUM Hukom adat laot
: Seperangkat aturan yang bersumber dari kaidahkaidah adat yang mengatur tentang kehidupan masyarakat adat nelayan tentang masalah-masalah kelautan.
Imam Meunasah
: Orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di desa/kelurahan yang berkaitan dengan bidang keagamaan dan pelaksanaan Syariat Islam.
Imam Mukim
: Jabatan bagi seorang kepala mukim dan pemangku adat di kemukiman.
Jaring ikan pisangpisang
: Istilah masyarakat sabang pada alat tangkap jenis jaring insang (gillnet).
Keuchik
: Orang yang dipilih atau dipercaya oleh masyarakat serta diangkat oleh pemerintah daerah kabupaten/kota untuk memimpin pemerintahan desa/kelurahan.
Khanduri Laot
: Merupakan suatu acara syukuran dengan memotong hewan ternak berupa sapi atau kerbau kemudian diolah, setelah itu seluruh warga desa diundang untuk makan bersama terutama anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Acara tersebut di laksanakan setahun sekali atau minimal 3 tahun sekali, tergantung kesepakatan dan kemampuan masyarakat nelayan di wilayah tersebut.
Lhok
: Teluk atau wilayah perairan yang kedaratan sebagai wilayah hukum adat.
Mancing ngintip/ngeten (snorkel fishing)
: Istilah masyarakat sabang mengenai metode memancing ikan sambil melakukan snorkeling menggunakan alat pancing. Merupakan perpaduan antara olahraga renang dan memancing.
Pukat jepang
: Istilah masyarakat Muroami.
Pukat malam
: Alat tangkap jenis pukat cincin yang beroperasi pada malam hari menurut istilah masyarakat sabang.
sabang
pada
alat
menjorok
tangkap
Pukat siang
: Alat tangkap jenis pukat cincin yang beroperasi pada siang hari menurut istilah masyarakat sabang.
Tuha peut
: Suatu badan kelengkapan desa/kelurahan dan mukim yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur agama, unsur pimpinan adat, unsur akademisi yang berada di desa dan mukim yang berfungsi memberi nasihat kepada Keuchik dan Imam Mukim dalam bidang pemerintahan, hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat serta menyelesaikan segala sengketa di desa dan mukim.
Meugang
: Artinya memakan daging, ini merupakan kebiasaan masyarakat aceh yang berawal pada zaman Ulee balang menjelang hari-hari besar terutama hari besar keagamaan. Kegiatan tersebut ditandai dengan membeli sebanyak-banyaknya daging ternak yaitu sapi atau kerbau, kemudian dimasak dan dibagikan kepada fakir miskin dan anak yatim. Selain itu, terdapat juga kebiasaan berkumpul dengan sanak keluarga. Meugang juga menandakan waktu hari pantang melaut dimulai dan berakhir.
Ulee Balang
: Golongan bangsawan dalam masyarakat Aceh yang memimpin sebuah kenegerian atau naggroe atau wilayah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang.
PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan pengelolaan perikanan menjadi perhatian berbagai pihak, karena hal ini terkait dengan keberlanjutan sumberdaya ikan. Salah satu aspek penting yang menjadi kajian pengelolaan perikanan adalah para pelaku yang terlibat dalam proses pengelolaan tersebut. Menurut Satria (2015), pelaku tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok, yaitu: pemerintah (governmentbased management), masyarakat (community-based management), dan kerjasama keduanya (co-management). Pengelolaan perikanan di Indonesia pada era orde baru masih menganut model pengelolaan berbasiskan pemerintah (government-based management), sehingga terjadi open acces yang mengakibatkan tidak adanya pembatasan dalam mengakses sumberdaya perikanan (Solihin 2010). Pengelolaan perikanan sebelumnya, masyarakat lokal di Indonesia sejak dahulu telah menerapkan model pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (community-based management) yang dinilai mampu menjaga kelestarian sumberdaya kelautan. Menurut Satria & Matsuda (2004), sistem pengelolaan perikanan berbasiskan masyarakat mengakui dan mempertimbangkan peran masyarakat nelayan tradisional dan telah sejak lama diterapkan di Indonesia. Menurut Cinner & Aswani (2007) pengelolaan berbasis masyarakat lokal secara nyata dinilai mampu memelihara kelestarian sumberdaya kelautan. Pada tingkat yang lebih kompleks model pengelolaan berbasis masyarakat dinilai belum mampu dalam memecahkan permasalahan perikanan (Satria 2015). Menurut Solihin (2010) dalam mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggung jawab perlu dilakukan rekonstruksi dan revitalisasi terhadap kearifan-kearifan lokal yang ada dengan menerapkan model pengelolaan bersama (co-management). Salah satu pengelolaan perikanan berbasis masyarakat lokal yang menerapkan model co-management di Indonesia adalah Panglima Laot. Panglima Laot merupakan kelembagaan adat yang berfungsi sebagai pemimpin masyarakat adat nelayan di pesisir Aceh. Berdasarkan Kusumawati & Huang (2014), Panglima Laot merupakan sistem pengelolaan dan kepemimpinan yang berdiri sendiri dalam mengembangkan peraturan dan regulasi penangkapan ikan di Aceh untuk keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal. Cinner et al. (2012) menjelaskan Panglima Laot merupakan sistem pengelolaan dan kemimpinan perseorangan yang bertanggung jawab mengembangkan peraturan dan regulasi yang tepat untuk setiap daerah penangkapan ikan. Panglima Laot memiliki wewenang secara de jure untuk menentukan hak dalam mengakses area penangkapan dan penggunaan alat tangkap, larangan menangkap pada hari keagamaan, inisiatif pencarian terhadap nelayan yang hilang, menentukan tuntutan ganti rugi dalam kecelakaan kapal penangkapan, dan penengah apabila terjadi perselisihan antara nelayan (Cinner et al. 2012). Sistem pengelolaan yang dilakukan oleh Panglima Laot meliputi kawasan perlindungan laut (Kusumawati & Huang 2014), pelaksanaan hukom adat laot (Sulaiman 2013),
2 dan mendukung perikanan tangkap yang berkelanjutan berbasis masyarakat (Chaliluddin et al. 2014). Pemaparan di atas menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan tangkap di Aceh sangat tergantung pada kelembagaan Panglima Laot. Hal ini sejalan dengan pendapat Chaliluddin et al. (2014) yang menyatakan bahwa kelembagaan Panglima Laot dapat mendukung keberlanjutan perikanan tangkap ketika didasarkan pada kearifan lokal. Kelembagaan Panglima Laot juga secara eksplisit mendukung teraktualisasinya berbagai ketentuan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan berbasis kearifan lokal (Sulaiman 2011). Menurut Wiryawan & Solihin (2015) pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dapat dicapai dengan melakukan pendekatan terhadap komunitas masyarakat pesisir. Lebih lanjut, penerapan ini dapat dilakukan pada komunitas perikanan tradisional yang terbukti mampu melakukan self-control (pengendalian diri) terhadap hasil tangkapan, penggunaan teknologi yang sesuai, tingkat kolektivitas yang tinggi antara anggota komunitas perikanan, dan adanya traditional knowledge (pengetahuan lokal) yang mencerminkan upaya ketahanan perikanan dalam jangka panjang. Panglima Laot merupakan salah satu kelembagaan lokal yang dinilai mampu menerapkan pengendalian tersebut. Pengkajian mengenai kelembagaan Panglima Laot merupakan hal yang menarik untuk diteliti, khususnya mengenai sistem pengelolaan perikanan yang diterapkan oleh Panglima Laot di Aceh. Salah satunya adalah Panglima Laot Lhok Iboih di Kota Sabang. Desa Iboih merupakan salah satu desa yang menjadi objek wisata bahari, karena keindahan ekosistem laut dan terumbu karangnya. Kawasan tersebut dikelola oleh masyarakat lokal yang diwakili oleh Panglima Laot bersama dengan pemerintah. Selama 10 tahun terakhir, sektor pariwisata di Iboih semakin berkembang sehingga tidak hanya mengelola perikanan tangkap, tetapi Panglima Laot juga ikut mengelola kegiatan pariwisata di sana. Hal ini bertujuan menghidari konflik antara kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan para nelayan dan kegiatan pariwisata di Desa Iboih. Perkembangan sektor pariwisata menjadi tantangan bagi Panglima Laot dalam menciptakan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Desa Iboih. Menurut data BAPPEDA Kota Sabang (2014), pada tahun 2013 jumlah turis mancanegara yang datang untuk berwisata di Sabang mencapai 410 orang, hal ini belum termasuk masyarakat lokal yang datang dari luar Kota Sabang. Banyak masyarakat dari luar Sabang yang datang ke Desa Iboih, akan tetapi belum memahami tentang peraturan hukom adat laot yang berlaku di sana. Penguatan terhadap kelembagaan ini perlu dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut, oleh sebab itu penelitian ini akan mengkaji tentang sistem pengelolaan perikanan dan strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih.
Penelitian Terdahulu Penelitian tentang kelembagaan Panglima Laot telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun demikian penelitian tersebut dilakukan pada wilayah yang berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah. Hasil penelitian Nanda (2011) menjelaskan berdasarkan analisis hukum, hukom adat
3 laot telah mendapat pengakuan dari hukum positif dan berdiri kokoh di Kecamatan Muara Batu. Berdasarkan analisis teknis, pasar dan finansial, kegiatan perikanan purse seine layak untuk dijalankan di Kecamatan Muara Batu, sedangkan berdasarkan analisis persepsi, nelayan purse seine yaitu pukat layang, pukat teri, dan pukat udang memiliki tingkat persepsi yang sedang terhadap keberadaan Panglima Laot Lhok. Nelayan juga berusaha mematuhi peraturan yang berlaku walaupun tidak dijalankan sepenuhnya disebabkan beberapa hal, seperti faktor ekonomi nelayan yang masih belum terpenuhi, dan latar belakang pendidikan yang kurang, namun nelayan masih tetap percaya bahwa Panglima Laot menjalankan tugasnya dengan bijaksana. Hasil penelitian Sugra (2014) menjelaskan bahwa peran Panglima Laot dalam memberi informasi, mengawasi kegiatan, memberi semangat dan mewakili kelompok pada pengelolaan bersama perikanan tergolong kuat, walaupun tidak signifikan mempengaruhi peningkatan partisipasi walaupun nelayan menunjukkan tingkat partisipasi yang tinggi. Nelayan merasakan dampak yang tinggi dari pengelolaan bersama perikanan baik dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Analisis yang dilakukan menunjukkan tingkat partisipasi berpengaruh terhadap aspek sosial dan lingkungan, namun tidak berpengaruh terhadap aspek ekonomi nelayan. Hasil penelitian Chaliluddin et al. (2014) menunjukkan bahwa dimensi kelembagaan dari status keberlanjutan perikanan tangkap berbasiskan pada kearifan lokal di Kabupaten Aceh Jaya memiliki nilai indeks keberlanjutan antara 88,32 – 95,82 (dalam kategori status sangat baik atau sangat berkelanjutan). Indikator yang sangat berpengaruh dalam menentukan nilai indeks keberlanjutan adalah indikator penegakan hukum atau sanksi kepada nelayan yang melanggar hukum. Pada pengembangannya, diperlukan sanksi tegas dari personal penegak hukum setempat bahwa mereka telah menyepakati secara turun temurun sekaligus berusaha untuk melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang telah ada.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Mendeskripsikan sejarah kelembagaan Panglima Laot 2. Menganalisis sistem pengaturan Panglima Laot Lhok yang berjalan di Iboih, Kota Sabang 3. Merumuskan strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok di Iboih, Kota Sabang
Manfaat Penelitian 1.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat di antaranya: Memberikan informasi kepada akademisi tentang sistem pengelolaan perikanan yang diterapkan oleh Panglima Laot dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Iboih, Kota Sabang.
4 2.
Memberikan rekomendasi berupa strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot kepada pemerintah, LSM, perusahaan swasta, dan Panglima Laot Lhok Iboih.
METODE Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 September 2015 sampai 3 Oktober 2015 di Desa Iboih, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian studi kasus, didahului dengan pra survei pada bulan Juli 2015 di Desa Iboih, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang. Sumber dan Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menganalisis fenomena sosial yang terjadi di masyarakat secara mendalam dengan metode triangulasi. Metode triangulasi adalah kombinasi antara metode pengamatan, wawancara dan analisis dokumen. Metode ini digunakan untuk mengecek keabsahan data dan informasi yang didapat dari sumber data. Penggunaan metode ini bertujuan meningkatkan kedalaman dalam memahami fenomena yang diteliti, meningkatkan kepercayaan penelitian, maupun memberi pemahaman yang lebih jelas tentang masalah. Pengumpulan data penelitian menggunakan metode purposive sampling dan snowball sampling. Metode purposive sampling merupakan metode yang paling umum digunakan dalam menentukan informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian tertentu. Kunci dasar penggunaan prosedur ini adalah penguasaan informasi dari informan dan secara logika tokoh-tokoh kunci tersebut menguasai informasi dalam suatu proses sosial yang ingin diteliti (Bungin 2007). Informan tersebut ditentukan sebelum pengumpulan data. Metode snowball sampling disebut juga dengan metode rantai rujuk dimana dalam prosedur ini, peserta atau informan yang pernah dikontak atau pertama kali bertemu dengan peneliti adalah penting digunakan jaringan sosialnya untuk merujuk peneliti lain yang berpotensi berpartisipasi atau berkontribusi dan mempelajari atau memberi informasi kepada peneliti (Bungin 2007). Metode ini digunakan untuk menentukan informan selanjutnya yang didapat dari hasil pemberitahuan responden yang telah diwawancarai sebelumnya. Data yang dikumpulkan adalah berupa data primer yang berasal dari hasil wawancara dengan informan, selain itu juga beberapa data sekunder yang merupakan rekomendasi dari informan untuk dilihat. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan 3 orang informan, yaitu Panglima Laot Lhok Iboih, Kepala Bidang Perikanan Dinas Kelautan Perikanan, dan Ketua Kelompok Nelayan Udeep Makmu Iboih. Perumusan strategi penguatan kelembagaan dilakukan dengan cara mengisi kuesioner oleh 3 orang informan dan 4 orang responden dari masing-masing kepala bidang DKP Kota Sabang, selain Kepala Bidang Perikanan.
5 Data sekunder diperoleh dari Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Panglima Laot Iboih periode 2009-2014, peraturan tertulis tentang hukom adat laot, peraturan perundang-undangan, buku teks, hasil penelitian sebelumnya serta literatur lain yang berkaitan dengan topik penelitian. Lampiran 1 menunjukkan kondisi lokasi penelitian. Tabel 1 berikut menjelaskan tentang data yang diperlukan beserta sumber dan jenis data. Tabel 1 Data yang diperlukan beserta sumber dan jenis data No. 1
2
Data yang dibutuhkan Mendeskripsi Sejarah kan sejarah Panglima Laot kelembagaan Panglima Laot Menganalisis Batas wilayah sistem pengelolaan pengaturan Sistem aturan Panglima Sistem sanksi Laot Lhok Sistem hak yang berjalan Sistem otoritas di Iboih, Kota Sistem Sabang monitoring dan evaluasi Tujuan
Sumber data
Studi pustaka tentang sejarah Panglima Laot
Data sekunder
Laporan Pertanggung Jawaban Kerja Panglima Laot Lhok Iboih Priode 20092014 Peraturan tertulis tentang hukom adat laot Peraturan perundangundangan Panglima Laot Lhok Iboih Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang Panglima Laot Lhok Iboih Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang Ketua kelompok nelayan Udeep Makmu Iboih
Data sekunder Data primer
3
Merumuskan strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok di Iboih, Kota Sabang
Kekuatan Panglima Laot Lhok Iboih Kelemahan Panglima Laot Lhok Iboih Peluang Panglima Laot Lhok Iboih Ancaman Panglima Laot Lhok Iboih
Jenis data
Data primer
6 Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 3 macam, antara lain: analisis deskriptif, analisis yuridis normatif, dan analisis SWOT. Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis sejarah Panglima Laot. Analisis yuridis normatif digunakan untuk menganalisis sistem pengaturan Panglima Laot di Iboih. Analisis SWOT digunakan untuk merumuskan rekomendasi strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot di Iboih. Analisis Sejarah Kelembagaan Panglima Laot Sejarah Panglima Laot dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan sejarah Panglima Laot ke dalam 4 periodisasi, yaitu periode Kesultanan Iskandar Muda, periode penjajahan, periode kemerdekaan, dan periode pasca tsunami. Periodisasi ini dibuat untuk mempermudah dalam menganalisis sejarah perkembangan kelembagaan Panglima Laot di Aceh. Periodisasi ini membahas tentang perkembangan hukum, peran dan tugas Panglima Laot di Aceh. Periodisasi ini tidak dibuat dalam bentuk yang lebih detail sebagaimana periodisasi sejarah Indonesia pada umumnya, karena perkembangan Panglima Laot tersebut tidak akan terlihat pada beberapa periode tersebut, selain itu data tentang sejarah Panglima Laot yang masih terbatas sehingga akan menimbulkan kekosongan pembahasan pada beberapa periodenya. Pembagian ke dalam 4 periode tersebut juga merujuk pada perkembangan sejarah Panglima Laot dibeberapa literatur yang ada. Analisis Sistem Pengaturan Panglima Laot Lhok Iboih Sistem pengaturan Panglima Laot Lhok Iboih dapat dianalisis secara yuridis normatif. Menurut Soerdjono & Mamudji (2014) pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Jenis pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Secara operasional penelitian yuridis normatif dilakukan dengan penelitian kepustakaan. Menurut Soerdjono & Mamudji (2014) pendekatan ini dapat diterapkan dalam penelitian hukum adat dengan syarat data yang dianalisis adalah bentuk hukum adat tercatat atau yang didokumentasikan. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah peraturan hukom adat laot yang berlaku di Iboih, peraturan tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Kehidupan Adat Lembaga Hukom Adat Laot (P3KALHAL) Kota Sabang tahun 2007, peraturan daerah/Qanun Aceh, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Analisis dimulai dengan mengelompokkan aturan-aturan tersebut berdasarkan lima unsur, yaitu: batas pengelolaan sumber daya, sistem aturan, sistem hak, sistem sanksi, sistem otoritas, dan sistem monitoring dan evaluasi. Aturan-aturan tersebut diidentifikasikan untuk mengetahui bagaimana sistem pengaturan hukom adat laot di Lhok Iboih.
7 Analisis Strategi Penguatan Kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih Strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT (Strengths Weaknesses Opportunities Threats). Analisis SWOT dilakukan berdasarkan asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman. Analisis ini juga digunakan untuk memperoleh hubungan antara faktor eksternal dan faktor internal. Penggunaan analisis SWOT dapat mengidentifikasi kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) dari faktor internal, begitu juga peluang (opportunity) dan ancaman (threat) dari faktor eksternal (Rangkuti 2015). Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor eksternal dan faktor internal yang dimiliki oleh Panglima Laot Lhok Iboih dalam menjalankan hukom adat laot di wilayahnya, serta membuat rekomendasi strategi penguatannya. Penjelasan tentang faktor eksternal dan internal dalam analisis SWOT sebagai berikut: 1) Kekuatan (Strengths) Kekuatan yang dimiliki oleh Panglima Laot dalam menjalankan hukom adat laot di Lhok Iboih, Kota Sabang. 2) Kelemahan (Weaknesses) Kelemahan yang dimiliki oleh Panglima Laot dalam menjalankan hukom adat laot di Lhok Iboih, Kota Sabang. 3) Peluang (Opportunities) Peluangan yang dimiliki berupa faktor-faktor eksternal yang mendukung penegakan hukom adat laot di Lhok Iboih, Kota Sabang. 4) Ancaman (Threats) Ancaman dihadapi berupa faktor-faktor eksternal yang menghambat berjalannya hukom adat laot di Lhok Iboih, Kota Sabang. Tahap pertama dalam analisis SWOT adalah menentukan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang mempengaruhi kelembagaan Panglima Laot dalam melakukan pengelolaan perikanan. Faktor internal dan eksternal tersebut kemudian dibuat dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 2. Selanjutnya, setiap faktor internal dan eksternal diberi bobot penilaian skala 1 – 4 pada kertas kuesioner dengan keterangan, yaitu: 1 = sangat tidak penting, 2 = tidak penting, 3 = penting, dan 4 = sangat penting. Informan diminta untuk menilai setiap faktor internal dan eksternal yang ada, berdasarkan pendapat mereka terhadap pengaruh setiap faktor tesebut pada kelembagaan adat. Tabel 2 Faktor internal dan eksternal Faktor Internal Kekuatan .................. Kelemahan .................. Sumber: Rangkuti (2015)
Faktor Eksternal Peluang ................. Ancaman ..................
8 Tahap kedua adalah pembuatan matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) dan Faktor Strategi Eksternal (IFAS). Pembuatan matriks dilakukan sebagai berikut: 1) Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan (matriks internal), serta peluang dan ancaman (matriks eksternal) pada kolom pertama, 2) Memberikan nilai bobot pada masing-masing faktor di kolom 2, berdasarkan rata-rata nilai survei olahan setiap variable, 3) Memberikan nilai skala (dalam kolom 3) dengan cara menghitung rata-rata penilaian setiap responden, 4) Menghitung skor dengan cara mengalikan skala dengan bobot pada faktor eksternal dan internal pada kolom 4. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan bentuk tabel faktor strategi internal dan eksternal. Tabel 3 Faktor Strategi Internal (IFAS) Faktor Internal Kekuatan
Bobot (hal... point 2 IFAS)
Skala (hal... point 3 IFAS)
Bobot x Skala = Skor (perkalian antara bobot dengan skala)
................. ................. Kelemahan ................. ................. Sumber: Rangkuti (2015) Tabel 4 Faktor Strategi Eksternal (EFAS) Faktor Eksternal Peluang
Bobot (contoh: 0,12)
Skala (contoh: 4)
Bobot x Skala = Skor (perkalian antara bobot dengan skala)
................. ................. Ancaman ................. ................. Sumber: Rangkuti (2015) Tahap ketiga adalah membuat kemungkinan strategi penguatan kelembagaan berdasarkan kombinasi antara faktor eksternal dan internal tersebut dengan membentuk matriks SWOT (Tabel 5). Matrik ini dapat menghasilkan empat set alternatif strategi (Rangkuti 2015), yaitu: 1. Strategi SO (Strengths and Opportunities)
9
2.
3.
4.
Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Strategi ST (Strengths and Threats) Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman. Strategi WO (Weaknesses and Opportunities) Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Strategi WS (Weaknesses and Strengths) Strategi ini berdasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Tabel 5 Matriks Strategi SWOT IFAS Opportunities (O)
Threats (T)
EFAS Strategi SO Memanfaatkan seluruh kekuaatan untuk mendapatkan peluang Strategi WO Memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada
Strengths (S)
Weaknesses (W)
Strategi ST Menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman Strategi WT Melakukan pertahanan dimana meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Sumber: Rangkuti (2015) Rekomendasi strategi ditentukan menggunakan grafik hasil analisis SWOT. Grafik ini dibuat berdasarkan hasil jumlah setiap skor dari faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Koordinat x diperoleh dari faktor internal, sedangkan koordinat y diperoleh dari faktor eksternal. Selanjutnya, kuadran strategi yang harus dilaksanakan diperoleh dari nilai x yang berasal dari penjumlahan nilai skor faktor internal dan nilai y dari penjumlahan faktor eksternal. Lampiran 2 menjelaskan tahapan analisis strategi SWOT untuk penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Secara Geografis, Kota Sabang terletak pada koordinat 05o 46’ 28” – 05o 54’ 28” Lintang Utara (LU) dan 95o 13’ 02” – 95o 22’ 36” Bujur Timur (BT). Kota Sabang sebelah utara dan timur berbatasan dengan Selat Malaka, di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Benggala dan di sebelah barat dibatasi oleh Samudera Indonesia. Secara administratif, Kota Sabang terbagi menjadi dua
10 kecamatan, yaitu Kecamatan Sukajaya dan Kecamatan Sukakarya, serta terbagi menjadi 18 Gampong (desa). Kota Sabang terdiri dari 5 pulau, yaitu Pulau Weh, Pulau Klah, Pulau Rubiah, Pulau Seulako dan Pulau Rondo ditambah gugusan pulau-pulau batu di Pantee Utara. Pulau Weh merupakan pulau terluas dan merupakan satu-satunya pulau yang dijadikan pemukiman, sedangkan Pulau Rondo merupakan salah satu pulau terluar yang berjarak ± 15,6 km dari Pulau Weh. Luas keseluruhan Kota Sabang ialah 933,39 km2, dengan luas daratan 122,14 km2 dan luas perairan 811,26 km2 (BAPPEDA Kota Sabang 2013). Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Sabang tahun 2013 sebesar 1,29 % yaitu 31.782 jiwa pada tahun 2012 menjadi 32.191 jiwa pada tahun 2013 dengan kepadatan penduduk 264 jiwa/km. Berdasarkan kecamatan, sebanyak 16.288 jiwa tinggal di Kecamatan Sukakarya dan sisanya (15.903 jiwa) tinggal di Kecamatan Sukajaya (BAPPEDA Kota Sabang 2014). Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang tahun 2013, jumlah nelayan yang ada di Kota Sabang adalah 1.320 jiwa dengan sebaran 723 jiwa di Kecamatan Sukajaya dan 597 jiwa di Kecamatan Sukakarya. Jumlah ini meningkat sebanyak 117 jiwa dari yang sebelumnya hanya 1.103 pada tahun 2011. Mata pencaharian penduduk Kota Sabang adalah sebagai pegawai negeri, nelayan, petani, wiraswasta, buruh dan lain-lain. Berdasarkan data BAPPEDA Kota Sabang (2011), kegiatan perikanan tangkap di Kota Sabang umumnya adalah perikanan tradisional dengan ukuran armada penangkapan ikan di bawah 5 GT, hanya sekitar 20% nelayan yang menggunakan armada berukuran lebih besar dari 5 GT. Secara umum, alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan adalah pancing, pukat, dan jaring. Terdapat sembilan jenis alat tangkap yang digunakan nelayan di Kota Sabang, antara lain: pancing tonda, pancing ulur, pancing rawai, jaring insang (gillnet), pukat cincin, pukat jepang, panah (spear gun), jaring pisang-pisang dan jaring kelambu. Ikan hasil tangkapan nelayan biasanya didominasi oleh ikan-ikan karang, dan sebagian kecil adalah ikan pelagis kecil. Hal ini disebabkan mayoritas nelayan Sabang adalah nelayan tradisional yang biasanya mencari ikan di wilayah perairan dangkal yang berkarang. Tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan di Kota Sabang rata-rata mencapai 2.000 ton per tahun. Jika dibandingkan dengan potensi lestari yang tersedia sebesar 5.700 ton per tahun, tingkat pemanfaatannya baru mencapai 35 % (BAPPEDA Kota Sabang 2011). Peta administrasi Kota Sabang, Sebaran alat tangkap, lokasi penangkapan di Kota Sabang dapat dilihat pada Lampiran 3, 4 dan 5. Berdasarkan data BAPPEDA Kota Sabang (2013), Kota Sabang memiliki kearifan lokal yang disebut Panglima Laot. Terdapat 10 wilayah lhok yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Laot Lhok dan 1 orang Panglima Laot Kota. Wilayah tersebut adalah Lhok Iboih, Lhok Pria Laot, Lhok Pasiran, Lhok Ie Meulee, Lhok Anoi Itam, Lhok Balohan, Lhok Jaboi, Lhok Beurawang, Lhok Keunekei, dan Lhok Paya. Setiap lhok memiliki batas wilayah yang ditentukan berdasarkan hasil musyawarah atau kesepakatan antara 2 orang Panglima Laot Lhok yang berkepentingan dan Panglima Laot Kota. Setiap Panglima Laot memiliki aturan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik wilayah masingmasing dan berdasarkan hasil musyawarah.
11 Sejarah Kelembagaan Panglima Laot Kelembagaan Panglima Laot memiliki sejarah panjang dalam melakukan pengelolaan perikanan di Aceh. Kelembagaan tersebut sejak dahulu telah dikenal sebagai kelembagaan adat yang berperan dalam mengatur kegiatan penangkapan ikan di laut. Menurut Sulaiman (2010) Panglima Laot memiliki peran dalam mengatur kegiatan penangkapan ikan, larangan perusakan ekosistem laut, dan menetapkan hari pantang melaut demi menjaga kesehatan ekosistem laut. Pembahasan tentang sejarah Panglima Laot di Aceh akan dibagi ke dalam 4 periodisasi, yaitu periode Kesultanan Iskandar Muda, periode penjajahan, periode pasca kemerdekaan, dan periode pasca tsunami. Periode Kesultanan Iskandar Muda. Peraturan tentang hukom adat laot telah ada sejak zaman Sultan Iskandar Muda yaitu pada awal abad ke-17. Pada mulanya hukom adat laot dibentuk bertujuan mengutip pajak perdagangan kepada para nelayan yang ada di setiap pelabuhan pendaratan ikan dan memobilisasi rakyat dalam peperangan (Sulaiman 2010; Adrianto et al. 2011). Kegiatan ini dilakukan oleh seorang yang dipilih Sultan dari kalangan nelayan, yang sekarang dikenal dengan sebutan Panglima Laot. Panglima Laot dalam menjalankan tugasnya berkoordinasi dengan Ulee-Balang (setingkat bupati/ walikota saat ini). Van Vollen Hoven menyatakan Panglima Laot sejak dahulu sudah menjadi salah satu lembaga resmi yang diatur oleh negara (Kesultanan Aceh) (Abdullah et al. 2006, Sulaiman 2010; Adrianto et al. 2011). Sulaiman (2010) menjelaskan pada saat itu sudah ada peraturan yang mengatur seberapa jauh nelayan dapat beroperasi untuk menangkap ikan di laut. Sultan memberi surat kepada UleeBalang untuk menetapkan hukom adat laot dan sekaligus mengangkat seorang Panglima Laot, hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Panglima Laot sejak dahulu mendapat pengakuan dan perlindungan oleh hukum negara, sehingga segala norma hukumnya wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Pada awalnya, pelaksanaan hukom adat laot yang dikawal oleh Panglima Laot hanya diperuntukkan untuk wilayah lhok atau teluk saja (Adrianto et al. 2011). Tujuan utama hukom adat laot adalah mengatur penggunaan alat tangkap dan pantangan-pantangan dalam kegiatan penangkapan ikan (Abdullah et al. 2006; Sulaiman 2010; Adrianto et al. 2011). Substansi hukom adat laot tersebut yaitu berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan perikanan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat (Sulaiman 2010; Adrianto et al. 2011). Periode penjajahan. Seiring dengan perubahan zaman, peran Panglima Laot terus mengalami pergeseran. Salah satunya disebabkan oleh kondisi sosial, budaya, dan politik yang terus berubah. Pergeseran peran ini mulai terjadi pada masa kolonial Belanda. Pada tahun 1270 H (1854 M) dikeluarkan Kanun Syarak Kerajaan Aceh, yang menyatakan bahwa Panglima Laot takluk di bawah Hukum Laksamana. Saat itu Panglima Laot bukan lagi perpanjangan tangan Sultan, tetapi hanya mengatur adat istiadat, praktik kenelayanan, dan kehidupan sosial yang terkait di sebuah wilayah (Abdullah et al. 2006, Sulaiman 2010). Pada masa kolonial, menurut Hoesin Djajaningrat, Panglima Laot adalah kepala sebuah lhok atau teluk yang mengepalai sejumlah pukat ikan dan dipilih dari pawang pukat dengan persetujuan kepala kenegerian. Periode pasca kemerdekaan. Perhatian pemerintah setelah kemerdekaan terhadap hukom adat laot dan Panglima Laot tampaknya terabaikan, akan tetapi
12 keberadaan Panglima Laot masih terjaga dan dijalankan oleh masyarakat nelayan dengan proses yang sudah mengakar di masyarakat dan berjalan secara alamiah (Adrianto et al. 2011). Pada tahun 1972 perhatian pemerintah terhadap Panglima Laot secara samar-samar mulai terlihat, ketika Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh mengangkat wacana Panglima Laot. Keberadaan Panglima Laot saat itu hanya sebagai pelaksana teknis perikanan laut, bukan sebagai penguasa wilayah pesisir dan laut sebagaimana awal pembentukannya (Sulaiman 2010). Panglima Laot dikonsepsikan sebagai lembaga adat dan ketua adat bagi para nelayan dipesisir, serta sebagai jembatan antara masyarakat nelayan dan pemerintah untuk menyukseskan program pembangunan perikanan. Menurut Sulaiman (2010) kesan bahwa lembaga hukom adar laot berada dalam posisi lembaga adat semata, mulai sedikit bergeser dengan berlakunya Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Adat-Istiadat, Kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Menurut Adrianto (2010) Perda ini telah mengangkat dan menempatkan Panglima Laot sebagai lembaga resmi negara di Provinsi Aceh. Hal ini semakin diperkuat dengan dikeluarkannya UU No. 44 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Adrianto et al. 2011). Pada tahun 1982 dilakukan pertemuan antar Panglima Laot se-Aceh di Kota Langsa, Aceh. Pertemuan tersebut membahas tentang proses revitalisasi hukom adat laot yaitu dilakukannya pencatatan terhadap aturan-aturan dari hukom adat laot dan membahas tentang perlunya dibentuk lembaga hukom adat laot tingkat kabupaten/kota (Sulaiman 2010). Pada awalnya, gagasan tersebut banyak mendapat tentangan, karena lembaga hukom adat laot dalam sejarahnya hanya ada pada tingkat lhok saja, akan tetapi pada akhirnya proses tersebut berjalan sesuai dengan harapan. Seiring munculnya berbagai masalah yang terjadi pada nelayan, kemudian mulai muncul isu tentang pembentukan Panglima Laot tingkat provinsi. Menurut Sulaiman (2010) terbentuknya Panglima Laot tingkat provinsi didasarkan pada timbulnya permasalahan besar pada komunitas nelayan yang kerap berada dalam lintas batas negara, hal ini membutuhkan koordinasi yang lebih luas lagi. Menurut Adrianto (2011) Panglima Laot Provinsi memiliki tugas untuk berkoordinasi dengan Panglima Laot se-Aceh dan memperlancar penyelesaian masalah yang ada di tingkat provinsi. Terbentuknya Panglima Laot tingkat kabupaten/kota dan Panglima Laot tingkat provinsi tidak menggeser wewenang Panglima Laot Lhok, yaitu dalam membuat aturan hukum adat di wilayah lhok masing-masing. Hal ini disebabkan tugas Panglima Laot tingkat kabupaten/kota dan Panglima Laot tingkat provinsi adalah hanya sebagai bentuk koordinasi dan mempermudah/memperlancar penyelesaian masalah yang terjadi ditingkat kabupaten/kota dan provinsi. Panglima Laot tingkat provinsi tidak memiliki garis instruksi dengan Panglima Laot tingkat kabupaten/kota, sifatnya hanya sebatas koordinasi (Adrianto et al. 2011). Panglima Laot juga berperan dalam mempromosikan gagasan mengenai sistem pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS), yang kemudian diadopsi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai model pengawasan masyarakat terhadap penjagaan kekayaan laut Indonesia (Abdullah et al. 2006). Model ini kemudian dicantumkan kedalam KEPMEN KP No. 58 Tahun 2001 tentang Tata
13 Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Periode pasca tsunami. Kelembagaan Panglima Laot menjadi semakin kokoh pasca tsunami. Menurut Adrianto (2011) pasca tsunami pembangunan Aceh mulai diarahkan pada konsep pembangunan berbasis masyarakat lokal, salah satunya melalui Panglima Laot. Hal ini disampaikan oleh Panglima Laot pada musyawarah Panglima Laot Aceh tanggal 19-20 Februari 2005 di Sekretariat Panglima Laot Aceh (Lamyong, Banda Aceh). Keterlibatan masyarakat pesisir dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi tersebut, diharapkan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap hasil dari pembangunan tersebut (Abdullah et al. 2006). Seiring dengan perkembangan zaman, kelembagaan Panglima Laot menjadi semakin penting bagi pembangunan perikanan (Sulaiman 2010). Panglima Laot Aceh membuat beberapa program lembaga untuk membangun wilayah pesisir, antara lain: penguatan masyarakat nelayan, penguatan hukom adat laot, pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan, program beasiswa untuk pelajar dari kalangan nelayan miskin, dan memelihara lingkungan dari kerusakan pasca tsunami (Sulaiman 2010). Panglima Laot juga membutuhkan kerjasama berbagai stakeholder dalam menjalankan program untuk membangun kembali. Stakeholder tersebut adalah pemerintah, masyarakat nelayan, masyarakat (berbagai elemen), serta Panglima Laot itu sendiri. Posisi hukom adat laot/Panglima Laot menjadi semakin kuat dengan dikeluarkannya Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat secara eksplisit telah mengakui lembaga Panglima Laot sebagai bagian dari adat yang diberi seperangkat wewenang untuk mengatur hukum adat di laut (Adrianto et al. 2011). Pada tahun yang sama, Panglima Laot diterima menjadi anggota World Fisher Forum People (WFFP). Seiring dengan perkembangan zaman, hukom adat laot terus berkembang mengikuti perubahan yang terjadi. Eksistensi Panglima Laot menjadi sangat penting bagi pembangunan perikanan, khususnya di Aceh, hal ini sesuai dengan pendapat Sulaiman (2010) bahwa seiring dengan perkembangan zaman, kelembagaan Panglima Laot menjadi semakin penting bagi pembangunan perikanan. Tabel 6 memperlihatkan periodisasi Panglima Laot di Aceh. Tabel 6 Periodisasi Panglima Laot di Aceh No. 1
Periodisasi Panglima Laot di Aceh Periode Kesultanan Iskandar Muda
Keterangan Panglima Laot sejak dahulu sudah menjadi salah satu lembaga resmi yang diatur oleh negara (Kesultanan Aceh) (Abdullah et al. 2006, Sulaiman 2010; Adrianto et al. 2011). Pada mulanya hukom adat laot dibentuk bertujuan mengutip pajak perdagangan kepada para nelayan yang ada di setiap pelabuhan pendaratan ikan, memobilisasi rakyat dalam peperangan, mengatur penggunaan alat tangkap dan pantangan-pantangan dalam kegiatan penangkapan ikan, serta meningkatan kesejahteraan masyarakat (Abdullah et al. 2006, Sulaiman 2010; Adrianto et al. 2011).
14 Tabel 6 Lanjutan No.
Periodisasi Panglima Laot di Aceh
2
Periode penjajahan
3
Periode pasca kemerdekaan
4
Periode pasca tsunami
Keterangan Pelaksanaan hukom adat laot yang dikawal oleh Panglima Laot hanya diperuntukkan untuk wilayah lhok atau teluk saja (Adrianto et al. 2011). Peran Panglima Laot bergeser menjadi pemimpin masyarakat adat nelayan yang mengatur adat istiadat, praktik kenelayanan, dan kehidupan sosial yang terkait di sebuah wilayah, bukan lagi sebagai penguasa lautan (Abdullah et al. 2006, Sulaiman 2010). Panglima Laot bukan lagi menjadi perpanjangan tangan sultan pada masa itu (Abdullah et al. 2006, Sulaiman 2010). Hal tersebut terjadi pada tahun 1270 H (1854 M) dikeluarkan Kanun Syarak Kerajaan Aceh, yang menyatakan bahwa Panglima Laot takluk di bawah Hukum Laksamana. Perhatian pemerintah terhadap hukom adat laot dan Panglima Laot tampaknya terabaikan. Keberadaan Panglima Laot saat itu hanya sebagai pelaksana teknis perikanan laut, bukan sebagai penguasa wilayah pesisir dan laut sebagaimana awal pembentukannya (Sulaiman 2010). Dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Adat-Istiadat, Kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 44 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh telah mengangkat dan menempatkan Panglima Laot sebagai lembaga resmi negara di Provinsi Aceh (Adrianto et al. 2011). Pada tahun 1982 dibentuk Panglima Laot tingkat kabupaten/kota. Pada tahun 2000 terbentuk lagi Panglima Laot tingkat provinsi, yang bertujuan untuk mempermudah pernyelesaian masalah nelayan yang terjadi pada tingkat provinsi. Pada tahun 2001 Departemen Kelautan dan Perikanan mengadopsi gagasan Panglima Laot tentang Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (SISMASWAS) kedalam KEPMEN KP No. 58 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan(Abdullah et al. 2006). Kelembagaan Panglima Laot menjadi semakin kokoh pasca tsunami dengan terlibatnya kelembagaan tersebut dalam pembangunan berbasis masyarakat lokal (Abdullah et al. 2006, Adrianto 2011). Pada tahun 2008, posisi Panglima Laot semakin kuat dengan dikeluarkannya Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun No. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat secara eksplisit telah mengakui lembaga Panglima Laot sebagai bagian dari adat yang diberi seperangkat wewenang untuk mengatur hukum adat di laut (Adrianto et al. 2011).
15 Sistem Pengaturan Panglima Laot Lhok Iboih Batas Wilayah Pengelolaan Panglima Laot Lhok Iboih Batas wilayah pengelolaan Panglima Laot Lhok Iboih dibagi atas 2 wilayah, yaitu batas wilayah di darat dan di laut. Witanto (2007) menjelaskan batas wilayah Panglima Laot Lhok di darat ditentukan berdasarkan batas administratif satu desa/kelurahan atau beberapa desa. Wiryawan & Solihin (2015) menjelaskan penentuan batas wilayah laut Panglima Laot Lhok dilakukan dengan menarik garis lurus dari daratan ke arah laut atau hingga batas tepi terumbu karang. Batas wilayah darat Panglima Laot Lhok Iboih adalah Lhok Paya Keneukai (batas Desa Iboih dan Paya Keneukai atau Gua Sarang) dan Lhok Pria Laot (batas Batee Dua Gapang), serta wilayah hukumnya adalah Desa Iboih. Batas tersebut dicirikan dengan patok atau tanda yang dibuat oleh masing-masing Panglima Laot Lhok (Wiryawan & Solihin 2015). Batas wilayah Panglima Laot saat ini telah ditetapkan menggunakan sistem koordinat melalui bantuan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang (RRI 2015). Pada batas laut, Panglima Laot mengelola 2 wilayah perairan, yaitu wilayah kelola Panglima Laot Lhok Iboih dan kawasan Taman Laut Lhok Iboih (zona larang tangkap). Batas wilayah kelola Panglima Laot Lhok Iboih adalah sejauh 2 mil dari garis pantai ke arah laut dan masih dalam kawasan administrasi Desa Iboih. Batas 2 mil tersebut hanya ditujukan untuk mengatur hari pantang melaut saja. Sebagai contoh, bila wilayah Lhok Iboih sedang mengadakan khanduri laot, akan berlaku pantangan melaut selama beberapa hari di wilayah Lhok Iboih, sehingga semua kegiatan penangkapan ikan tidak boleh dilakukan di wilayah tersebut. Penentuan batas tersebut bersifat imajiner dan hanya mengandalkan insting nelayan dalam melaut, karena tidak adanya tanda yang bisa dibuat, kecuali melalui tanda alam yang ada di wilayah tersebut. Batas wilayah laut juga diatur dalam P2KALHAL Kota Sabang, pasal 5, ayat, yang berbunyi: ”Batas-batas wilayah hukum Panglima Laot Lhok ditentukan berdasarkan batas wilayah di darat yang ditarik garis lurus ke laut dari daratan yang terluar hingga sejauh-jauhnya berjarak 200 mill laut.” Menurut Witanto (2007) jarak tersebut merujuk pada hak pemanfaatan laut berdasarkan ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga para nelayan dapat melakukan pemanfaatan laut baik dengan bentuk kegiatan perikanan maupun kegiatan pemanfaatan lain yang berhubungan dengan laut. Namun demikian, jarak efektif yang digunakan untuk pengamatan dan penegakan adat hanyalah sejauh ± 3 mil laut, berdasarkan kemampuan adat. Pada wilayah Lhok Iboih jarak efektif pengamatannya adalah 2 mil laut. Panglima Laot memberlakukan sistem closed area dengan membentuk zona larang tangkap di kawasan perairan Lhok Iboih yang telah ditentukan. Batas zona larang tangkap ditentukan berdasarkan hasil musyawarah desa pada tanggal 14 Januari 2010. Batas tersebut ditentukan berdasarkan 3 titik yang telah dipetakan melalui bantuan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan luas kawasan sekitar 2.400 ha. Zona tersebut dikelola berdasarkan hukom adat laot setempat. Batas-batas wilayah pengelolaan Panglima Laot Lhok Iboih dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 1 berikut.
16 Tabel 7 Batas-batas wilayah kelola Panglima Laot Lhok Iboih dan zona larang tangkap berdasarkan hasil musyawarah tahun 2015 Batas Wilayah Kelola Panglima Batas Wilayah Zona Larang No. Laot Lhok Iboih Tangkap Lhok Iboih Batee 1 Sebelah Utara Samudera Hindia Sebelah Utara Tokong dan Meuroron Sebelah Timur Batee Dua 2 Sebelah Timur Lhok Pria Laot/Alu Ateuk Gapang Desa Batee Shok Lhok Paya Sebelah Selatan 3 Sebelah Selatan Keuneukei/Gua Sarang Samudera Hindia Sebelah Barat Ujong 4 Sebelah Barat Seurawan Sumber: Panglima Laot Lhok Iboih (2015).
Gambar 1 Peta wilayah kelola Panglima Laot Lhok Iboih dan zona larang tangkap (Panglima Laot Lhok Iboih 2015) Daerah yang diberi warna biru tersebut merupakan zona larang tangkap atau masyarakat iboih lebih mengenal dengan sebutan kawasan Taman Laut Lhok Iboih. Kawasan tersebut merupakan bagian dari kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Weh yang ditetapkan berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 928/Kpts/Um/12/1982. TWAL Pulau Weh merupakan kawasan perlindungan laut yang dibentuk dan dikelola oleh pemerintah pusat di bawah Dinas Konservasi Sumberdaya Alam, Kementerian Kehutanan. Terdapat juga kawasan mangrove di
17 dalamnya yang ditandai dengan warna hijau kecoklatan. Kedua kawasan tersebut biasanya ditujukan sebagai kawasan wisata bahari, edukasi, dan konservasi. Pengelolaan kawasan taman laut pada mulanya masih dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat lokal. Kusumawati & Huang (2014) menjelaskan pemerintah kurang melibatkan Panglima Laot dalam pengelolaanya, sehingga kawasan tersebut akhirnya diklaim sebagai kawasan yang dikelola masyarakat lokal sejak tahun 2006. Dinas Konservasi Sumberdaya Alam akhirnya melakukan koordinasi dengan Panglima Laot pada tahun 2009 dan menerapkan kesepakatan mengenai peraturan pembatasan kegiatan penangkapan ikan, serta untuk menghindari kesenjangan dalam memahami kewenangan dalam pendayagunaan kawasan patroli. Berdasarkan hasil musyawarah desa yang melibatkan petugas pemerintah pada tahun 2010, Panglima Laot menetapkan kawasan tersebut sebagai zona larang tangkap. Saat ini, pengelolaan kawasan tersebut telah berkolaborasi dengan pemerintah dan masyarakat lokal, salah satunya dalam kegiatan pengawasan. Kusumawati & Huang (2015) menjelaskan tujuan dibentuknya kawasan tersebut adalah untuk memelihara keberlanjutan sumberdaya dan ekosistem laut di dalam kawasan konservasi, dan membangun pusat wisata bahari di Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa, tidak hanya kegiatan perikanan tangkap yang ada di sana, kegiatan pariwisata juga merupakan sektor yang dikelola oleh Panglima Laot. Pada kawasan tersebut, segala kegiatan penangkapan biota laut dilarang di dalam kawasan tersebut dan terdapat batasan penggunaan alat tangkap di luar kawasan tersebut. Pada wilayah tersebut hanya diperbolehkan melakukan penangkapan terhadap jenis ikan konsumsi, seperti ikan karang. Menurut Panglima Laot kegiatan penangkapan hanya boleh menggunakan alat tangkap pancing di titik-titik yang telah ditentukan di dalam kawasan tersebut, selama tidak menggunakan alat tangkap yang dilarang oleh peraturan hukum adat. Meski demikian kegiatan penangkapan tersebut biasanya hanya diperbolehkan bagi para pengunjung saja, sementara para nelayan jarang melakukan kegiatan penangkapan di dalam kawasan tersebut. Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Panglima Laot Lhok Iboih membagi wilayahnya menjadi 2 bagian, yaitu wilayah kelola Panglima Laot Lhok Iboih yang merupakan kawasan yang diperbolehkan untuk melakukan kegiatan penangkapan dan kawasan Taman Laut Lhok Iboih yang merupakan zona larang tangkap dan ditujukan sebagai kawasan konservasi dan wisata bahari. Kedua kawasan tersebut dikelola oleh masyarakat adat berdasarkan hukum adat setempat. Menurut Witanto (2007), peranan wilayah kekuasaan adat merupakan unsur yang sangat penting terutama dalam menentukan kompetensi mengikatnya hukum adat. Masyarakat hukum adat akan melaksanakan dan mematuhi peraturan tersebut, dan apabila mereka memasuki wilayah hukum adat lain, mereka berkewajiban untuk menghormati kekuasaan hukum adat di mana mereka berada. Sistem Aturan Panglima Laot Lhok Iboih Panglima Laot Lhok Iboih memiliki wewenang tertinggi dalam menetapkan hukom adat laot yang berlaku di wilayah Lhok Iboih. Aturan tersebut ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah desa yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dan pemerintah. Peraturan hukum adat yang berlaku di setiap lhok berbeda-beda didasarkan pada karakteristik lokasi perairan, pemahaman tentang alat-alat
18 tangkap, dan kesepakatan di setiap lhok (BAPPEDA Kota Sabang 2013). Terdapat 3 jenis aturan yang berlaku di Lhok Iboih, antara lain: larangan penangkapan ikan menggunakan cara-cara yang merusak di seluruh kawasan Lhok Iboih, larangan menangkap ikan di zona larang tangkap Taman Laut Lhok Iboih, dan hari pantang melaut. Hukom adat laot mengatur larangan penangkapan ikan menggunakan caracara yang merusak di seluruh kawasan Lhok Iboih, antara lain: larangan melakukan penangkapan menggunakan bom/bahan peledak lain dan Potassium/bahan beracun lain, larangan penangkapan ikan hias dan pengambilan terumbu karang, larangan menangkap ikan dengan menembak (spear guns) dan alat kompresor atau alat selam di area diving. Pelarangan terhadap penggunaan bahan peledak dan beracun juga mendukung penegakan Pasal 8 UU No. 31 Tahun 2004. Penangkapan dengan menembak ikan, menurut Panglima Laot dinilai dapat merusak ekosistem terumbu karang, karena pelaku penembakan memiliki kemungkinan untuk bersentuhan langsung dengan terumbu karang, sehingga menyebabkan kerusakan terumbu karang. Penggunaan metode penangkapan di atas telah dilarang oleh seluruh Panglima Laot Lhok yang ada di Kota Sabang. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian terumbu karang dan biota-biota laut yang ada di dalamnya, selain itu juga agar stok sumberdaya ikan dapat terus pulih dan terjaga. Ini menunjukkan bahwa pelarang terhadap metode penangkapan di atas mengarah pada pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Aturan hukum adat juga membatasi penggunaan alat tangkap, antara lain: pengoperasian pukat malam (purse seine) tidak boleh berada dalam jarak 4 mil dari garis pantai dan pelarangan operasi pukat jepang (jaring muroami) di kawasan perairan Iboih. Pengoperasian pukat malam dalam jarak tersebut dinilai dapat menimbulkan konflik sosial. Hal ini disebabkan mayoritas nelayan iboih adalah nelayan tradisional yang melakukan penangkapan dalam jarak kurang dari 4 mil laut dengan menggunakan alat tangkap pancing. Pukat malam juga termasuk dalam alat tangkap yang terlalu efisien dalam memanen ikan, sehingga nelayan iboih akan kalah bersaing dalam menangkap ikan. Alat tangkap ini termasuk dalam alat tangkap yang dilarang dioperasikan pada wilayah kelola Panglima Laot dalam jarak 2 mil laut. Khusus pada alat tangkap tersebut berlaku larangan operasi hingga 4 mil laut, hal ini berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat desa. Penggunaan pukat jepang (jaring muroami) dilarang karena dinilai merusak ekosistem terumbu karang. Hal ini disebabkan alat tersebut dioperasikan di sekitar terumbu karang dan dalam skala besar, sehingga dinilai kurang bertanggung jawab karena mengabaikan kelestarian ekosistem terumbu karang. Pelarangan pukat malam dan pukat jepang juga berlaku di beberapa wilayah lhok di Kota Sabang. Menurut BAPPEDA Kota Sabang (2013) pelarangan terhadap pukat malam berlaku di kawasan Lhok Ie Meulee, dan Lhok Balohan. Lebih lanjut, pelarangan terhadap alat tangkap pukat jepang berlaku di kawasan Lhok Pria Laot, Lhok Ie Meulee, dan Lhok Anoi Itam. Pelarangan tersebut pada umumnya berlaku di daerah yang memiliki kedalaman perairan dangkal dan berterumbu karang. Sementara itu, dibeberapa kawasan Panglima Laot penggunaan kedua alat tangkap tersebut masih diperbolehkan, selama tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Cinner & Aswani (2007) menjelaskan dalam pengelolaan perikanan berbasis
19 masyarakat lokal, pelarangan terhadap beberapa alat tangkap disebabkan alat tersebut dinilai terlalu efektif dalam memanen ikan, merusak habitat terumbu karang, atau mengakibatkan perluasan jumlah kematian juvenil ikan. Hal ini menunjukkan bahwa pelarangan alat tangkap yang dilakukan oleh Panglima Laot merupakan salah satu bentuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek sosial dan lingkungan, bertujuan memelihara kelestarian lingkungan dan mencegah konflik sosial antar nelayan. Panglima Laot Lhok Iboih juga menerapkan sistem closed area (kawasan tertutup) dan membentuk zona larang tangkap. Kawasan zona larang tangkap memiliki beberapa aturan khusus yang melarang kegiatan penangkapan dan wisata bahari yang merusak. Aturan tersebut di antaranya larangan pukat siang (purse seine) berlabuh dalam jarak 200 meter dari garis pantai, larangan membuang jangkar pada kedalaman 0-15 meter, larangan mengambil segala jenis biota laut (kecuali jenis ikan karang konsumsi) pada malam dan siang hari, larangan melakukan mancing ngintip (memancing sambil berenang/snorkel fishing), larangan menangkap ikan menggunakan jaring ikan pisang-pisang (jaring insang) atau sejenisnya, batas kecepatan boat/kapal yang melintas kawasan Pulau Rubiah tidak boleh lebih dari 2 knot, larangan berdiri atau memancing sambil berdiri di atas karang, dan larangan melakukan kegiatan yang merusak ekosistem laut dan terumbu karang. Larangan-larangan yang di atas dibuat berdasarkan pertimbangan kelestarian ekosistem terumbu karang dan biota laut di dalamnya. Mayoritas wilayah Panglima Laot di Kota Sabang yang perairannya memiliki terumbu karang melarang penggunaan jaring ikan pisang-pisang (gillnet). Larangan tersebut berlaku dibeberapa wilayah, yaitu Lhok Ie Meule, Lhok Anoi Itam dan Lhok Iboih. Masyarakat tersebut memiliki keyakinan bahwa pukat dan jaring tetap dapat merusak terumbu karang, sehingga alat tersebut dilarang dioperasikan di sekitar perairan tersebut. Menjaga kelestarian terumbu karang dan biota laut merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat iboih. Karena masyarakat nelayan yakin bahwa keberlanjutan sumberdaya perikanan terdapat pada kelestarian terumbu karang. Rusaknya terumbu karang akan menyulitkan mereka menangkap ikan di laut. Hal tersebut yang kini telah disadari oleh seluruh masyarakat nelayan di Kota Sabang. Zona larang tangkap juga telah berlaku di wilayah Panglima Laot Lhok Anoi Itam. Kawasan tersebut telah menerapkan sistem closed area dan membentuk zona larang tangkap atas bantuan LSM dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang, akan tetapi larangan yang berlaku berbeda dengan yang ada di Lhok Iboih. Perbedaannya adalah pada zona larang tangkap Panglima Laot Lhok Anoi Itam kebijakannya lebih ditujukan pada pembatasan terhadap alat tangkap tertentu dan perlindungan keanekaragaman laut berbasis kearifan lokal (Kusumawati & Huang 2015), pengelolaan hanya fokus terhadap kegiatan perikanan tangkap saja. Berbeda dengan Panglima Laot Lhok Iboih yang mengelola sektor perikanan dan pariwisata. Pembentukan zona larang tangkap merupakan salah satu solusi dari konflik sosial yang terjadi antara masyarakat nelayan dan para pelaku wisata di Iboih. Hal ini disebabkan nelayan sering terganggu dengan aktivitas diving yang dilakukan para pelaku wisata dan begitu juga sebaliknya. Panglima Laot kemudian
20 melakukan musyawarah desa untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut, sehingga dibuatlah kebijakan untuk membentuk zona larangan tersebut. Pembentukan zona larang tangkap secara sosial ekonomi memberi dampak positif pada masyarakat nelayan dan pelaku wisata. Nelayan diberi kesempatan menawarkan jasa transportasi untuk para wisatawan dan bekerja sama dengan pelaku wisata. Pelaku wisata diuntungkan karena masyarakat nelayan menjaga dan mengawasai ekosistem laut dari kerusakan. Hal tersebut merupakan kebijakan Panglima Laot untuk menyelesaikan permasalah yang terjadi di wilayahnya. Menurut Cinner (2012) peran tradisional Panglima Laot tidak untuk mengelola sumber daya perikanan semata, tetapi juga untuk menciptakan tatanan sosial dengan meminimalkan dan menyelesaikan konflik antara nelayan. Pembentukan kawasan tersebut secara ekologi bertujuan memelihara ekosistem laut dan melindungi stok ikan dari pemanfaatan berlebih. Kusumawati & Huang (2015) menjelaskan kawasan tersebut memiliki kebijakan untuk melestarikan TWAL sebagai kawasan konservasi untuk mempertahankan lingkungan laut, memperluas TWAL sebagai zona pariwisata berbasis masyarakat dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan kearifan lokal, dan untuk membangun partisipasi masyarakat lokal dalam menyelamatkan keberlanjutan ekosistem laut. Hal ini menjadi salah satu alasan Lhok Iboih sebagai contoh kawasan konservasi berbasis masyarakat yang pengembangannya diarahkan menuju ekowisata bahari yang bertanggung jawab. Panglima Laot memiliki wewenang dalam menetapkan hari pantang melaut di Lhok Iboih. Hari pantang melaut tersebut adalah Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, Hari Jum’at, Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Peringatan Tsunami Aceh, Khanduri Laot, malam jum’at sampai selesai Sholat Jum’at, dan ketika ada warga yang mengalami kemalangan. Lamanya waktu pantangan melaut ditentukan berdasarkan hasil musyawarah desa. Pada dua hari raya waktu pantang melaut dimulai dari terbit matahari dihari pertama hingga terbenam matahari dihari ketiga, yaitu pada Hari Raya Idul Fitri selama 2 hari, dimulai dari terbenam matahari pada malam Idul Fitri sampai terbenam matahari pada hari ke-2, sedangkan pada Hari Raya Idul Adha selama 1 hari, dimulai dari terbenam matahari pada malam Idul Adha sampai terbenam matahari pada hari pertama. Pada Hari Jum’at lama pantang melaut dimulai pada malam jum’at pukul 19.00 WIB sampai selesai sholat jum’at pukul 14.00 WIB. Batas waktu Khanduri Laot adalah selama 3 hari, yaitu dimulai saat mata hari terbenam pada malam sebelum khanduri sampai matahari terbenam pada hari ke-3. Pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia waktu pantang melaut dimulai dari pagi hari tanggal 17 Agustus hingga selesai upacara pukul 12.00 WIB. Pada Hari Peringatan Tsunami Aceh batas waktu pantang melaut dimulai dari malam tanggal 25 Desember pukul 20.30 WIB sampai sore hari tanggal 26 Desember pukul 18.00 WIB. Pada saat ada warga yang mengalami kemalangan, seluruh kegiatan di laut dan di darat dihentikan dimulai sejak mendengar pengumuman hingga selesai dikebumikan. Pada hari-hari tersebut tidak dibenarkan melakukan kegiatan penangkapan ikan maupun pariwisata di laut, termasuk kegiatan snorkeling dan diving, selama berada di kawasan Lhok Iboih dan hingga batas waktu yang telah ditentukan. Penetapan hari pantang melaut di atas bila dilihat secara ekologi bertujuan memberikan kesempatan kepada biota laut untuk melakukan pemulihan dan
21 berkembang biak. Hal ini dapat buktikan dengan adanya larangan melaut setiap Hari Jum’at, maka dalam setahun ikan memiliki waktu istirahat dari kegiatan eksploitas selama dua bulan atau ± 56 hari. Cinner & Aswani (2007) menjelaskan pembatasan sementara pada pemanfaatan sumberdaya laut memiliki tiga tujuan umum yaitu mengurangi tekanan pemanenan ikan, melindungi kesatuan wilayah pemijahan, dan mencegah gangguan pada spesies ikan yang diunggulkan. Hari pantang melaut bila dilihat secara sosial bertujuan memberikan kesempatan nelayan untuk berkumpul dengan keluarga, memperbaiki boat/perahu dan alat tangkap, beribadah kepada Allah SWT, dan sebagai bentuk adat sosial nelayan kepada sesama. Hari pantang melaut di seluruh wilayah Kota Sabang sama, akan tetapi penetapan waktu diperbolehkannya turun kelaut (meugang) berbeda-beda sesuai kesepakatan masing-masing desa. Hari pantang melaut tersebut juga dapat dianalogikan seperti konsep puasa. Hal ini dapat dilihat ketika nelayan dalam satu hari menahan diri untuk tidak menangkap ikan di laut, dimulai dari malam hari sampai siang hari, sehingga memberi kesempatan kepada ikan untuk berkembang biak. Bila ikan yang berkembang biak semakin banyak, nelayan akan mudah menangkap ikan dan ikan hasil tangkapan mereka pun akan semakin bertambah dan secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Hal ini merupakan salah satu dampak positif dari penerapan hari pantang melaut tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut akan dikenai sanksi adat. Seluruh peraturan di atas berlaku untuk semua masyarakat yang ada di dalam dan di luar Kota Sabang selama berada dalam wilayah perairan Lhok Iboih. Tabel 8 di bawah ini memperlihatkan hukom adat laot yang berlaku di Lhok Iboih. Tabel 8 Hukom adat laot yang berlaku di Lhok Iboih No. 1
Jenis aturan Larangan penangkapan ikan di seluruh wilayah kelola Panglima Laot Lhok Iboih
2
Larangan penangkapan dan pengambilan biota laut di wilayah Taman Laut Lhok Iboih (zona larang tangkap)
Jenis larangan Penangkapan menggunakan bom/bahan peledak Penangkapan menggunakan Potassium/bahan beracun lain Penangkapan ikan hias dan pengambilan terumbu karang Pukat malam (purse seine) dilarang beroperasi dalam jarak 4 (empat) mil dari garis pantai Pukat jepang (jaring muroami) Menembak ikan (spear guns) dengan alat kompresor dan alat selam di area diving Pukat siang (purse seine) dilarang berlabuh dalam jarak 200 meter dari garis pantai Dilarang membuang jangkar pada kedalaman 0-15 meter Dilarang mengambil segala jenis biota laut (kecuali jenis ikan karang konsumsi) pada siang dan malam hari Dilarang menangkap ikan dengan cara menembak (spear guns) Dilarang melakukan mancing ngintip (memancing sambil berenang/snorkel fishing) Dilarang menangkap ikan menggunakan jaring ikan pisangpisang (jaring insang) Batas kecepatan boat/kapal yang melintasi kawasan Pulau Rubiah tidak boleh lebih dari 2 knot
22 Tabel 8 Lanjutan No.
Jenis Aturan
3
Hari pantang melaut
Jenis Larangan Dilarang memancing berdiri di atas karang/menginjak karang Dilarang melakukan semua kegiatan yang merusak ekosistem laut dan terumbu karang Khanduri Laot selama 3 hari (tiga kali 24 jam) Hari Raya Idul Fitri selama 2 hari (dua kali 24 jam) Hari Raya Idul Adha selama 1 hari (satu kali 24 jam) Peringatan Tsunami Aceh mulai dari malam hari tanggal 25 Desember pukul 20.30 WIB s/d sore hari tanggal 26 Desember pukul 18.00 WIB Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus mulai dari pagi s/d selesai upacara pukul 12.00 WIB Malam jum’at mulai dari pukul 19.00 WIB s/d selesai shalat jum’at pukul 14.00 WIB Kemalangan (warga meninggal) seluruh kegiatan di laut dan darat harus dihentikan dari setelah mendengar pengumuman/ informasi s/d selesai dikebumikan.
Sumber: Panglima Laot Lhok Iboih (2015). Panglima Laot dalam menetapkan hukom adat laot harus berlandaskan pada kaidah hukum islam dan hukum negara, serta tidak mengganggu kelangsungan hidup para nelayan. Hal tersebut diatur dalam P3KALHAL Kota Sabang, pasal 41, ayat 1-3. Panglima Laot Lhok Iboih dalam menetapkan hukom adat laot di atas berlandaskan pada hukum berikut: Q.S. Ar-Rum ayat 41-42, yang berbunyi: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (ayat 41). “Katakanlah (Muhammad), ‘Berpergianlah (kalian) di muka bumi, lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang menyekutukan (Allah)’” (ayat 42). UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pada pasal 7 ayat (3), pasal 17 ayat (2), pasal 18, pasal 21 ayat (4), pasal 28 ayat (3), pasal 36 ayat (6) butir a, pasal 60 ayat (1) butir c, pasal 61 ayat (1) dan (2), pasal 64 butir 2. SK Menteri Pertanian No. 928/Kpts/Um/12/1982 tentang status Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh. Perda No. 2 Tahun 1990 tentang pembinaan dan pengembangan adat di Aceh. Disebutkan tugas penting Panglima Laot, yaitu: pemimpin wilayah kelautan, pemimpin persoalan sosial nelayan, menyelesaikan perselisihan di laut, dan memimpin kelestarian lingkungan hidup. Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Qanun AcehNo. 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Hasil musyawarah Gampong Iboih tanggal 14 Januari 2010 tentang larangan penangkapan ikan dan hari pantang melaut. Landasan hukum tersebut memberikan wewenang kepada Panglima Laot untuk menegakkan hukom adat laot dan mengelola perikanan di Lhok Iboih. Pada
23 dasarnya peraturan yang dibuat oleh Panglima Laot merupakan pengisi kekosongan terhadap hukum positif yang belum ada. Panglima Laot dalam pembentukan hukom adat laot di Lhok Iboih selalu melakukan koordinasi kepada pemerintah atau dinas terkait untuk menghindari benturan hukum terhadap hukum yang berlaku. Peraturan hukom adat laot juga telah dibuat dalam bentuk tertulis, yaitu berupa papan himbauan dan selebaran, sehingga mudah untuk memahami peraturannya, meskipun saat ini peraturan yang dibuat masih terus disempurnakan. Pembuatan aturan tertulis tersebut bertujuan mensosialisasikan aturan adat laut kepada seluruh masyarakat di Sabang, terutama kepada pendatang yang berkunjung ke Iboih. Menurut Panglima Laot, hal tersebut dilakukan karena peraturan dalam bentuk tertulis dinilai lebih efektif dan lebih tegas, serta lebih diindahkan oleh masyarakat yang berasal dari luar Sabang. Peran koordinasi dan sosialisasi hukum adat sangat penting bagi Panglima Laot, hal ini bertujuan memberi kekuatan yang mengikat pada hukum adat tersebut. Hal tersebut telah diatur dalam P2KALHAL Kota Sabang pasal 42 ayat (1) yang berbunyi: “Aturan adat dalam suatu wilayah lhok baru mengikat secara hukum adat jika aturan tersebut telah diberitahukan kepada Panglima Laot Kota untuk dicatat dalam lembaran adat, dan diumumkan di seluruh wilayah lhok yang ada di Sabang.”. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi menjadi poin penting dalam mengikatnya peraturan tersebut ke dalam hukum adat, setelah musyawarah dengan masyarakat desa. Pada prinsipnya masyarakat nelayan sabang, khususnya di Iboih, memperbolehkan segala kegiatan penangkapan ikan di laut. Hal tersebut selama bermanfaat bagi kehidupan nelayan dan tidak merusak ekosistem laut, serta tidak melanggar hukum adat. Witanto (2007) menjelaskan masyarakat nelayan adalah masyarakat yang berorientasi panjang untuk kepentingan generasi yang akan datang. Beberapa larangan tersebut terlihat sebagai suatu langkah mencapai keberlanjutan stok perikanan untuk pemanfaatan masa depan (Cinner et al. 2012). Hal ini menunjukkan bahwa hukom adat laot sangat memperhatikan keberlanjutan sumberdaya perikanan sebagai suatu kekayaan alam yang dikaruniakan kepada nelayan. Bagi Panglima Laot Lhok Iboih laut merupakan karunia dari Tuhan yang harus disyukuri dan dijaga. Manusia sebagai khalifah di bumi diberi amanah oleh Sang Maha Kuasa untuk mengelola alam dengan baik demi kepentingan umat manusia. Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa hukom adat laot yang ditetapkan di Iboih adalah berkaitan dengan larangan penangkapan biota laut, pembatasan alat tangkap, larangan menggunakan metode penangkapan yang merusak, pembentukan zona larang tangkap, hari pantang melaut, dan larangan melakukan kegiatan yang dapat merusak ekosistem laut dan terumbu karang. Hal ini menunjukkan Panglima Laot Lhok Iboih sangat memperhatikan kelestarian terumbu karang dan biota laut di dalamnya. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut akan mendapat sanksi tegas dari Panglima Laot. Sistem sanksi tersebut dibuat untuk memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran adat. Sistem Sanksi Panglima Laot Iboih Sanksi hukom adat laot yang berlaku di Kota Sabang berbeda sesuai dengan kesepakatan Panglima Laot di setiap lhok. Sanksi tersebut telah dibuat dalam bentuk yang lebih tegas dan lebih represif dibandingkan dengan hukum adat pada
24 umumnya (Witanto 2007). Setiap warga yang kedapatan melakukan pelanggaran hukum adat diberi hukuman sesuai dengan sanksi yang berlaku di setiap lhok. Berdasarkan hasil musyawarah desa, bentuk sanksi yang berlaku di Lhok Iboih adalah membayar denda berupa uang tunai atau hewan ternak, penyitaan alat tangkap dan kapal, melakukan kenduri ulang, dan penyerahan pelaku kepada pihak berwajib. Pelanggaran terhadap aturan tentang beberapa larangan penangkapan yang berlaku di seluruh wilayah perairan laut Iboih akan dikenakan sanksi, antara lain: penyitaan seluruh sarana penangkapan berserta hasil tangkapan, serta pelaku pelanggaran akan diserahkan kepada pihak yang berwajib. Seluruh sarana penangkapan tersebut akan disita paling lama satu minggu. Apabila nelayan tersebut kedapatan melakukan pelanggaran lagi, kapal dan alat tangkap tersebut tidak akan dikembalikan. Pelaku pengeboman ikan, potassium, dan penembakan ikan, alat tangkap tersebut disita dan dimusnahkan, serta pelaku akan diserahkan kepada pihak berwajib. Pelanggaran terhadap aturan tentang beberapa larangan penangkapan yang berlaku di zona larang tangkap akan dikenakan sanksi, antara lain: penggunaan jaring ikan pisang-pisang (jaring insang) atau sejenisnya akan didenda sebesar Rp 10.000.000 dan seluruh sarana penangkapan akan ditahan selama satu minggu; menangkap ikan menggunakan senjata tembak (spear guns), mancing ngintip (snorkel fishing), dan penangkapan biota laut pada malam dan siang hari didenda sebesar Rp 1.000.000 dan seluruh sarana penangkapan akan disita. Apabila pelaku jaring kedapatan melakukan pelanggaran kembali, kapal dan alat tangkap tersebut akan disita dan menjadi hak Panglima Laot. Pelaku yang menggunakan senjata tembak dan mancing ngintip dikenakan sanksi alat tangkap yang digunakan akan disita dan dimusnahkan. Pelanggaran terhadap aturan tentang hari pantang melaut akan dikenakan sanksi, antara lain: pelanggaran terhadap dua hari raya dikenakan denda 1 ekor kambing, pelanggaran terhadap Khanduri Laot dikenakan sanksi harus mengadakan kenduri ulang, pelanggaran terhadap peringatan Hari Tsunami dan HUT RI akan dikenakan denda 1 ekor kambing, pelanggaran terhadap Hari Jum’at akan dikenakan sanksi penahanan boat/peralatan melaut selama seminggu. Dendadenda tersebut nantinya disimpan sebagai kas lembaga adat untuk keperluan lembaga adat jika suatu saat dibutuhkan. Tabel 9 menunjukkan sanksi adat yang berlaku di Iboih. Tabel 9 Sanksi adat yang berlaku di Lhok Iboih No. 1
2
Jenis pelanggaran Pelanggaran terhadap aturan larangan penangkapan ikan/ biota laut di seluruh wilayah perairan laut Iboih Pelanggaran terhadap aturan larangan penangkapan biota laut dalam Kawasan Taman Laut Lhok Iboih (zona larang tangkap)
Sanksi Seluruh sarana penangkapan disita dan pelaku pelanggaran (kapten dan awak boat) diserahkan kepada pihak yang berwajib. Jaring ikan pisang atau sejenisnya didenda sebesar Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), dan seluruh sarana penangkapan ditahan selama seminggu. Senjata tembak ikan, mancing ngintip, dan penangkapan biota laut pada malam dan siang hari didenda sebesar Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) dan alat tangkap disita.
25 Tabel 9 Lanjutan No. 3
Jenis pelanggaran Pelanggaran terhadap aturan hari pantang melaut.
Sanksi Pelanggaran dua hari raya dikenakan denda satu ekor kambing. Pelanggaran Khanduri Laot dikenakan sanksi harus mengadakan kenduri ulang. Pelanggaran peringatan Hari Tsunami dan HUT RI dikenakan denda satu ekor kambing. Pelanggaran Hari Jum’at/malam jum’at dikenakan sanksi penahanan boat/peralatan melaut selama satu minggu.
Sumber: Panglima Laot Lhok Iboih (2015). Setiap kasus pelanggaran yang terjadi harus diselesaikan melalui proses persidangan. Persidangan tersebut bertujuan menyelesaikan permasalah dan mencari solusi terbaik pada setiap kasus pelanggaran yang terjadi. Apabila pelaku tersebut adalah nelayan yang berasal dari luar kawasan Iboih, Panglima Laot tempat nelayan berasal harus ikut dalam persidangan untuk menyelesaikan permasalahan anggotanya, sedangkan bila pelaku berasal dari masyarakat bukan nelayan, penyelesaian masalah dilakukan secara individu antara Panglima Laot dan pelaku pelanggaran. Berdasarkan laporan yang diberikan oleh Panglima Laot Lhok Iboih, kasus pelanggaran hukom adat laot yang terjadi selama tahun 2009-2014 tercatat ada 11 kasus pelanggaran dengan rincian dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada laporan tersebut tercatat terjadi 2 kali pelanggaran berat menggunakan alat tangkap jaring di Kawasan Taman Laut Lhok Iboih (zona larang tangkap) oleh nelayan dari luar Iboih. Nelayan tersebut dikenakan denda sebesar Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dan jika kedapatan melakukan pelanggaran yang sama, seluruh alat tangkap dan kapal tidak akan dikembalikan. Pelanggaran sedang yang tercatat terjadi sebanyak 5 kali, antara lain: 4 kali pelanggaran menangkap menggunakan senapan tembak (spear guns) dan 1 kali pelanggaran pengambilan biota laut. Pelaku pelanggaran menggunakan senapan tembak dikenakan denda sebesar Rp 1.000.000 (satu juta rupiah), penyitaan alat tangkap selama paling cepat selama 10 jam dan paling lama seminggu atau hingga denda sampai dibayar. Sanksi untuk pelaku pelanggaran pengambilan biota laut didenda sebesar Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dan alat tangkap disita selama sebulan. Bila para pelaku kedapatan melakukan pelanggaran yang sama, pelaku harus bersedia menerima putusan hukum adat. Pelanggaran ringan yang tercatat terjadi sebanyak 4 kali, antara lain: 3 kali pelanggaran terhadap larangan pengambilan biota laut di zona larang tangkap, dan 1 kali pelanggaran akibat pemasangan jaring di tepi pantai. Pelaku pelanggaran pengambilan biota laut dikenakan sanksi sebesar Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) dan alat tangkap disita selama seminggu. Pelaku pelanggaran pemasangan jaring di tepi pantai diberi sanksi sebesar Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah) dan alat tangkap disita selama seminggu. Bila para pelaku kedapatan melakukan pelanggaran lagi, pelaku harus bersedia menerima sanksi hukum adat. Pada beberapa kasus di atas terdapat perbedaan penerapan sanksi kepada para pelaku pelanggaran. Hal ini ditentukan berdasarkan jenis pelanggaran, kemampuan pelaku untuk membayar denda dan pemahaman pelaku terhadap
26 hukum adat yang berlaku di Iboih. Panglima Laot dalam menyelesaikan masalah selalu menerapkan prinsip musyawarah mufakat dan penyelesaian secara kekeluargaan yang bersifat win-win solution (Witanto 2007). Hal ini juga dilakukan agar tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan dengan keputusan yang diambil saat persidangan. Pelanggaran terhadap khanduri laot sampai saat ini tidak pernah terjadi di Iboih. Hal ini disebabkan besarnya biaya yang ditanggung bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran, mereka harus mengulang kembali khanduri tersebut. Menurut Panglima Laot Lhok Iboih, biaya pelaksanaan Khanduri Laot paling murah adalah Rp 14.140.000,- pada tahun 2011 dan paling mahal adalah Rp 31.860.000,- pada tahun 2014. Hal tersebut tentunya sangat memberatkan bagi siapa saja yang melanggarnya, sehingga bagi masyarakat yang sudah tahu pantangan tersebut tidak akan berani melanggarnya. Sanksi berupa nasihat, teguran dan pernyataan maaf juga berlaku bagi pelaku pelanggaran hukum adat. Hal tersebut karena telah diatur dalam Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008. Pelaku yang baru pertama kali melakukan pelanggaran atau belum mengetahui peraturan yang berlaku biasanya diberikan sanksi berupa nasihat dan teguran, serta pernyataan maaf dari pelaku. Hal ini berlaku pada pelanggaran ringan seperti tidak sengaja menginjak karang atau melakukan kegiatan di laut ketika ada kemalangan, akan tetapi pada beberapa kasus pelanggaran menggunakan alat tangkap yang dilarang, pelaku dikenai sanksi tersebut dan denda sesuai dengan kemampuan pelaku. Hal tersebut berlaku meskipun pelaku baru pertama kali melakukan pelanggaran. Denda tersebut tetap diberlakukan sebagai bentuk peringatan dan untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Gambar 2 memperlihatkan suasana persidangan yang dipimpin oleh Panglima Laot Lhok Iboih.
(1)
(2)
(3)
27 Gambar 2 Suasana sidang pelanggaran (1), barang bukti pelanggaran berupa besi untuk menembak dan seperangkat alat selam (2), sosialisasi peraturan Panglima Laot Lhok Iboih kepada pelaku pelanggaran (3) Penegakan hukom adat laot tersebut terlihat belum tegas dan pasti seperti pada hukum negara, karena sanksi yang diberikan masih dapat “dikompromikan”. Penegakan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dinilai efektif dalam memberi efek jera. Menurut Witanto (2007) penegakan hukum adat yang dilakukan oleh masyarakat dinilai lebih efektif dalam menimbulkan efek jera dibandingkan penegakan pada hukum positif. Menurut Chaliluddin et al. (2014) perangkat yang paling berpengaruh dalam menentukan nilai indeks keberlanjutan adalah perangkat penegakan hukum atau sanksi untuk nelayan yang melanggar hukum. Peran masyarakat dalam penegakan hukom adat laot menjadikan sangat penting dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Sistem Hak Panglima Laot Lhok Iboih Hukom adat laot memberikan hak individual kepada masyarakat dalam melakukan pemanfaatan perikanan dan wisata bahari di Lhok Iboih. Hak tersebut berlaku kepada seluruh nelayan maupun para pelaku wisata, baik yang ada di dalam maupun di luar Kota Sabang. Nelayan dan wisatawan harus patuh terhadap ketentuan-ketentuan Panglima Laot. Ketentuan tersebut bersifat mengikat bagi siapa saja yang melakukan kegiatan penangkapan dan pariwisata di kawasan perairan Iboih. Ketentuan tersebut yaitu tidak boleh menggunakan alat tangkap dan metode penangkapan yang merusak, kegiatan wisata bahari tidak boleh merusak ekosistem laut, dan larangan pengambilan ikan hias dan terumbu karang di seluruh kawasan perairan iboih. Hukom adat laot juga memberikan hak komunitas dalam melakukan pengelolaan perikanan di Lhok Iboh. Panglima Laot Lhok memiliki wewenang dalam mengatur hak komunitas di lhok masing-masing (Wiryawan & Solihin 2015). Hak komunitas yang berlaku di Lhok Iboih, yaitu larangan melakukan penangkapan semua jenis biota laut di zona larang tangkap, dan menetapkan hari pantang melaut. Panglima Laot Lhok Iboih memberikan hak individual sepanjang mematuhi aturan larangan yang berlaku dan Panglima Laot Lhok berwenang menetapkan hak komunitas di wilayahnya. Menurut Witanto (2007), masyarakat hukum adat akan melaksanakan dan mematuhi peraturan tersebut, dan apabila mereka memasuki wilayah hukum adat lain, mereka memiliki kewajiban untuk menghormati kekuasaan hukum adat di mana mereka berada. Sistem Otoritas Panglima Laot Lhok Iboih Berdasarkan luasan wilayah pengelolaannya sistem otoritas Panglima Laot terdiri dari 3 tingkatan, yaitu: Panglima Laot Lhok, Panglima Laot Kabupaten/ Kota, dan Panglima Laot Provinsi. Panglima Laot Lhok memiliki wewenang untuk menentukan hukom adat laot yang berlaku di lhok masing-masing. Wewenang tersebut tidak dimiliki oleh Panglima Laot Kabupaten/Kota maupun Panglima Laot Provinsi. Panglima Laot Kota memiliki wewenang untuk menyelesaikan permasalahan lintas lhok, sedangkan Panglima Laot Provinsi memiliki wewenang untuk menyelesaikan permasalah nelayan yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat kabupaten/kota. Tugas Panglima Laot Kabupaten/Kota
28 dan Provinsi sifatnya adalah koordinasi dan tidak memiliki sifat instruksi (Adrianto et al. 2010). Kedua tingkat Panglima Laot tersebut tidak memiliki wewenang untuk membentuk hukum adat pada tingkat masing-masing. Pada umumnya struktur organisasi Panglima Laot sangat sederhana, akan tetapi pada tingkat yang lebih tinggi struktur pembagian kerja Panglima Laot lebih kompleks. Berdasarkan peraturan tentang P3KALHAL Kota Sabang, Pasal 6 ayat (3), menyatakan bahwa susunan pemangku adat laut lhok terdiri atas 1 orang Panglima Laot, 1 orang wakil Panglima Laot, 3 orang penasihat, 1 orang sekretaris, 1 orang bendahara, dan beberapa orang petugas keamanan adat. Menurut Witanto (2007), penasihat biasanya berasal dari 3 unsur yaitu unsur pemerintah, unsur tokoh agama, dan unsur tokoh adat. Penasihat dari unsur pemerintah adalah Camat, Imam Mukim, Keuchik atau lurah. Unsur tokoh agama berasal dari Imam Meunasah masing-masing lhok. Unsur tokoh adat adalah tokoh masyarakat di wilayah lhok tersebut yang memahami tentang hukom adat laot. Berdasarkan hal di atas, kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih memiliki susunan pengurus, yaitu: 1 orang Panglima Laot, 1 orang wakil Panglima Laot, 1 orang penasihat dari unsur pemerintah yaitu Keuchik Iboih, 1 orang penasihat dari unsur tokoh adat yaitu mantan Panglima Laot Lhok Iboih, 1 orang penasihat dari tokoh agama yaitu Imam Meunasah Iboih, 1 orang sekretaris, 1 orang bendahara, serta beberapa petugas keamanan adat. Struktur Panglima Laot Lhok Iboih dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Struktur kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih priode 2014-2019
1
Struktur Panglima Laot Lhok Iboih Panglima Laot
Muhammad AG
2
Wakil Panglima Laot
Anwar ABD
3
Penasihat (unsur pemerintah) Penasihat (unsur tokoh adat) Penasihat (unsur tokoh agama)
Keuchik Iboih
No.
Nama tokoh
Ishak Idris Tgk. Usman AB
Tugas Melaksanakan, memelihara, dan mengawasi pelaksanaan adat istiadat dan hukom adat laot. Menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi di antara nelayan sesuai dengan ketentuan hukom adat laot. Menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan pesisir dan laut. Memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan. Mencegah terjadinya penangkapan ikan secara illegal. Membantu tugas-tugas Panglima Laot dan menggantikan peran Panglima Laot ketika Panglima Laot berhalangan sementara maupun berhalangan tetap. Memberi saran kepada Panglima Laot, baik saran yang bersifat adat istiadat, hukum adat, dan hukum nasional.
29 Tabel 8 Lanjutan
4
Struktur Panglima Laot Lhok Iboih Sekretaris
Husnun
5
Bendahara
Burhan Sufi
No.
6
Petugas keamanan adat: Bidang Penangkapan Bidang Pokmaswas Bidang Tim SAR
Nama tokoh
Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS)
Tugas Mengelola administrasi sekaligus sebagai juru tulis pada saat rapat atau musyawarah di lingkungan masyarakat adat. Bertanggung jawab terhadap keuangan lembaga adat. Menjaga dan memelihara kehidupan adat dalam masyarakat adat nelayan Melakukan pengamanan dalam pelaksanaan persidangan adat Mengamankan pelaksanaan penangkapan ikan di laut dalam wilayah hukum adat masing-masing Menjaga dan melihara sarana transportasi perikanan dan barangbarang lain yang dalam penahaan lembaga adat Menjaga ketertiban dan keamanan bersama dengan pertugas keamanan laut yang berwenang.
Sumber: Witanto (2007). Tabel 10 menjelaskan struktur kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih dan tugasnya. Fungsi dan tugas Panglima Laot telah diatur dalam Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008 pasal 28. Peraturan tersebut dijelaskan bahwa salah satu fungsi Panglima Laot adalah sebagai mitra pemerintah dalam menyukseskan program perikanan dan kelautan. Satria (2015) menjelaskan bahwa salah satu ciri pengelolaan co-management adalah masyarakat dan pemerintah bermitra. Hubungan Panglima Laot dengan lembaga lain juga diatur dalam P3KALHAL Kota Sabang, pasal 100–103. Aturan tersebut menjelaskan tentang kewajiban Panglima Laot menjalin hubungan baik dengan lembaga lain, terutama yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan. Panglima Laot berhak ikut serta mengatasi permasalahan di laut dan memberikan saran kepada Pemerintah Daerah berkaitan dengan laut dan kehidupan nelayan. Salah satu bentuk penerapan co-management tersebut adalah dilaksanakannya musyawarah Duek Pakat (duduk mufakat) Panglima Laot seluruh Kota Sabang setiap setahun sekali. Musyawarah ini dihadiri oleh seluruh Panglima Laot di Kota Sabang bersama 3 orang perwakilan nelayan dari masing-masing lhok, Majelis Adat Aceh, TNI AL, Polri Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang, dan Dinas terkait lainnya. Musyawarah tersebut bertujuan mencari solusi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. Pelaksanaan Duek Pakat juga bertujuan sebagai sarana koordinasi antara masyarakat nelayan, Panglima Laot, dan Pemerintah dalam mensosialisasikan program kerja masing-masing pihak, serta menjaga keberadaan lembaga adat laot tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Panglima Laot dan Pemerintah merupakan mitra dalam mengelola sumberdaya perikanan. Panglima Laot secara tidak langsung juga mengemban tugas untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat bahwa
30 tugas-tugas Panglima Laot mengacu pada konsep pengelolaan perikanan berkelanjutan yang memperhatikan kelestarian ekosistem dan kesejahteraan masyarakat nelayan. Panglima Laot dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh petugas keamanan adat. Berdasarkan P3KALHAL Kota Sabang, petugas keamanan adat adalah nelayan atau pawang laot yang ditunjuk oleh lembaga adat untuk mengamankan dan mengawasi pelaksanaan kehidupan adat, serta melaksanakan putusan pimpinan sidang. Petugas keamanan adat dibentuk oleh Panglima Laot Lhok Iboih terdiri atas 3 bidang, yaitu: bidang penangkapan, bidang Pokmaswas, dan bidang Tim SAR. Bidang penangkapan bertugas memfasilitasi masyarakat nelayan dalam mengatasi permasalahan nelayan dan berkoordinasi dengan Panglima Laot. Bidang Pokmaswas bertugas menjaga ketertiban dan keamanan kawasan Lhok Iboih, serta mengawasi ekosistem laut. Bidang Tim SAR bertugas sebagai tim penyelamat apabila terjadi musibah di laut dan mengawasi para wisatawan yang melakukan penyelaman di kawasan Iboih, akan tetapi setiap lhok memiliki pembagian bidang yang berbeda-beda sesuai kebutuhan masing-masing lhok. Panglima Laot memiliki wewenang untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara nelayan. Panglima Laot dalam menyelesaikan perkara perselisihan maupun pelanggaran adat harus melalui proses persidangan adat. Hal tersebut telah diamanatkan dalam Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 dan Qanun Aceh No. 10 Tahun 2008. Berdasarkan peraturan tersebut penyelesaian sengketa adat di laut dilakukan oleh tokoh-tokoh adat, yaitu: Panglima Laot, wakil Panglima Laot, 3 orang staff Panglima Laot, dan sekretaris Panglima Laot. Perangkat persidangan pada tingkat lhok di Kota Sabang melibatkan beberapa orang penasehat persidangan adat dalam proses persidangan. Perselisihan yang terjadi antara dua lhok dan tidak dapat diselesaikan oleh kedua Panglima Laot Lhok, penyelesaiannya diserahkan kepada Panglima Laot Kota. Penyelesaian perkara adat pada tingkat kota dilakukan oleh tokoh-tokoh adat, yaitu: Panglima Laot Kota/Kabupaten, wakil Panglima Laot, 2 orang staff Panglima Laot Kota/Kabupaten, dan 1 orang dari Dinas Kelautan dan Perikanan dan/atau tokoh nelayan. Sidang musyawarah penyelesaian sengketa tersebut dapat dilaksanakan di Meunasah pada tingkat desa, di Masjid pada tingkat Mukim, di balai nelayan atau di tempat yang ditunjuk oleh Keuchik, Imeum Mukim, atau Panglima Laot. Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa setiap Panglima Laot Lhok, khususnya Panglima Laot Lhok Iboih memiliki kewajiban mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab bersama dengan pemerintah. Panglima Laot memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur hukom adat laot di wilayahnya. Panglima Laot memiliki kewajiban untuk menjalin koordinasi yang baik antara lembaga adat maupun lembaga di luar adat. Sistem Monitoring dan Evaluasi Panglima Laot Lhok Iboih Sistem pengawasan hukom adat laot pada dasarnya dilakukan oleh seluruh masyarakat nelayan dan bersifat komunitas. Masyarakat berkewajiban memberikan informasi kepada Panglima Laot jika terjadi sesuatu yang mecurigakan di laut, baik berupa musibah maupun pelanggaran adat. Panglima Laot dalam melakukan pengawasan dibantu oleh beberapa petugas keamanan adat.
31 Petugas keamanan adat yang dibentuk oleh Panglima Laot untuk mengawasi kawasan perairan Lhok Iboih adalah SATGAS (Satuan Tugas). SATGAS merupakan bagian dari bidang Pokmawas yang bertugas melakukan patroli laut secara berkala. SATGAS memiliki wewenang selama melakukan pengawasan di laut, di antaranya: melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap pelaku pelanggaran hukom adat laot, melakukan penahanan terhadap seluruh sarana penangkapan ikan untuk kepentingan persidangan adat, melakukan penyitaan hasil tangkapan ikan berdasarkan keputusan sidang pelanggaran, menyerahkan pelaku pelanggaran dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelanggaran tersebut kepada pihak berwajib jika pelanggaran tersebut bersifat pidana. Tata cara penanganan terhadap pelaku pelanggaran juga diatur dalam hukom adat laot. Berdasarkan P3KALHAL Kota Sabang, petugas keamanan adat hanya dapat melakukan pengejaran dan penangkapan jika orang yang disangka melanggar sedang atau sesaat baru selesai melakukan pelanggaran. Hal ini bertujuan mencegah praktik salah tangkap yang dilakukan oleh petugas tersebut. Panglima Laot menambahkan, SATGAS tidak diperbolehkan melakukan tindak kekerasan terhadap pelaku pelanggaran, karena hal tersebut dilarang oleh hukum adat. Pelaku yang terbukti melakukan pelanggaran kemudian dibawa ke Panglima Laot untuk disidang, akan tetapi jika tidak ada petugas keamanan adat di wilayah tersebut, masyarakat nelayan diberi wewenang melakukan pengejaran dan penangkapan dan sesegera mungkin diserahkan kepada petugas keamanan adat. Sistem pengawasan Panglima Laot saat ini sudah semakin berkembang dengan diterapkannya Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (SISWASMAS) oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang. Pemerintah membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) melalui SK Kepala DKP Kota Sabang Nomor 523/370/2015. Penerapan SISMASWAS tersebut merupakan amanat dari Permen KP Nomor: Kep.58/MEN/2011. Berdasarkan peraturan tersebut pemeritah mendorong berjalannya tradisi lokal sebagai tradisi yang ramah lingkungan. Gambar 3 memperlihatkan struktur organisasi POKMASWAS wilayah Panglima Laot Lhok Iboih.
32 Pembina Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang
Pengarah Kepala Bidang Kelautan
Koordinator Camat Sukakarya
Ketua Muhammad AG
Wakil Ketua Anwar ABD
Sekretaris Husnun
Seksi Penangkapan Ikan Ketua : T. Cut Azwir Anggota: Saifuddin ZA Suryadi S Zainuddin ABD
Seksi Budidaya dan Pengolahan Ikan Ketua : T. Cut Zulkifli Anggota: Mulia Ahmad M. Fadil Nasruddin Yunus
Seksi Pelestarian Ekosistem Laut dan Pengawan Ketua : T. Bahtiar Anggota: M. Syarif - Herjuandi M. Fitri - Fazrianda Amirullah - Taufiq Hidayat Mursafi - Nazaruddin Z Ismunandar - Bismuliadi Zikiraulia - Irfandi Apriadi Darwis - Rahmat Saputra Safrizal - M. Ikbal Suriadi A - Fitra Rakianda Mawardi - Nasrullah T. Rahmat - Hendra Zulkhairi - M. Arifin Zulfikar - Asmiadi M Lukman S - Fikri Bahtiar
Gambar 3 Struktur organisasi kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) wilayah Panglima Laot Lhok Iboih, nama kelompok “Mufakat” (DKP Kota Sabang 2015) Berdasarkan SK Kepala Dinas tersebut, pengurus POKMASWAS adalah kelompok Panglima Laot maupun Panglima Danau yang ada di Kota Sabang. POKMAWAS diketuai oleh Panglima Laot masing-masing lhok. Anggota POKMASWAS adalah masyarakat maritim yang tinggal di sekitar pesisir. Berdasarkan Permen KP Nomor: Kep.58/MEN/2011, POKMASWAS berfungsi sebagai mediator antara masyarakat dan pemerintah/petugas. Di samping itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk memfasilitasi pemberdayaan POKMASWAS melaui pembinaan, pembimbingan, dan pelatihan bagi peningkatan kemampuan POKMASWAS.
33 POKMASWAS merupakan bentuk koordinasi antara Panglima Laot dan pemerintah dalam melakukan pengawasan pengelolaan perikanan. POKMASWAS bertugas melaporkan informasi adanya dugaan pelanggaran kepada aparat pengawas terdekat. Lebih lanjut, DKP Kota Sabang juga menerapkan SOP pelaporan untuk POKMASWAS bila terjadi pelanggaran di lapang. Gambar 4 menunjukkan alur pelaporan POKMASWAS Mufakaat Iboih. Pelaku teridentifikasi, lokasi jelas dan waktu pelaksanaan teridentifikasi
Melaporkan kasustersebut melalui via SMS/telepon kepada: - Panglima Laot Lhok Iboih - Petugas DKP Kota Sabang yang bersangkutan
Melakukan upaya tertangkap tangan
Mengamankan barang bukti dan dokumentasi
Penyelesaian dengan musyawarah adat laot Pemeriksaan oleh penyidik PPNS dan anggota POKMASWAS Penyelesaian dengan peradilan
Gambar 4 Alur prosedur pelaporan terkait pelanggaran bagi POKMASWAS Mufakat Iboih (DKP Kota Sabang 2015) POKMASWAS harus memastikan bahwa telah teridentifikasi secara jelas 3 hal, yaitu: pelaku, lokasi, dan waktu. POKMASWAS dapat menangkap pelaku dan mengamankan barang bukti. POKMASWAS harus melaporkan kasus tersebut kepada Panglima Laot Lhok Iboih dan petugas pengawas terkait, kemudian petugas dan pihak POKMASWAS melakukan pemeriksaan terhadap pelaku. Penetapan keputusan apakah penyelesaian masalah dilakukan melalui proses persidangan adat atau peradilan. Hal ini tergantung pada jenis pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku. Pada dasarnya sistem pelaporan ini tidak berbeda dengan sistem pelaporan yang sudah ditetapkan oleh hukum adat, sehingga dapat diterima oleh masyarakat. Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa Panglima Laot Lhok Iboih memiliki peran ganda sebagai ketua adat dan ketua POKMASWAS, akan tetapi tugasnya tetap sama yaitu melakukan pengawasan untuk menegakkan hukum adat. Secara umum, POKMASWAS merupakan bentuk formal dari kelembagaan masyarakat pesisir yang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pengelolaan wilayah pesisir. Adanya POKMASWAS memberi peluang untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam lembaga adat.
34 Strategi Penguatan Kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih Faktor Internal Berdasarkan hasil wawancara dan penelusuran data terkait, terdapat beberapa faktor internal yang mempengaruhi peran kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih dalam melakukan pengelolaan perikanan di Lhok Iboih. Faktor tersebut adalah faktor kekuatan dan kelemahan Panglima Laot. Berikut adalah faktor kekuatan yang dimiliki oleh Panglima Laot Lhok Iboih. 1. Kemampuan Panglima Laot dalam memimpin dan menyelesaikan permasalahan nelayan. Masyarakat nelayan menilai peran Panglima Laot Lhok Iboih sangat penting. Hal ini disebabkan Panglima Laot memiliki wewenang dalam menegakkan hukum adat laot, menyelesaikan sengketa antara nelayan, dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan nelayan. Bagi para nelayan Panglima Laot merupakan pemimpin yang mampu mempersatukan mereka. Hal ini merupakan salah satu faktor kekuatan yang dimiliki oleh Panglima Laot Lhok Iboih. 2. Kekuatan hukom adat laot yang mengikat dalam kehidupan masyarakat nelayan dan peraturan yang dibuat dalam bentuk tertulis. Pemahaman terhadap hukum adat yang telah mengikat dalam kehidupan masyarakat nelayan menjadi faktor kekuatan bagi Panglima Laot. Hal tersebut membuat penegakan hukom adat laot menjadi lebih efektif. Panglima Laot juga telah membuat aturan adat dalam bentuk tertulis. Hal ini merupakan salah satu bentuk sosialisai yang ditujukan kepada seluruh masyarakat yang berkunjung ke Iboih. Peraturan yang dibuat dalam bentuk tertulis tersebut lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat, khususnya masyarakat pendatang. 3. Sistem musyawarah sebagai sarana dalam setiap pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik nelayan. Sistem musyawarah merupakan salah satu metode yang diterapkan oleh hukum adat dalam setiap pengambilan keputusan. Pada sistem ini proses pengambilan keputusan didasarkan pada saran dan kesepakatan dari berbagai pihak. Hal ini bertujuan agar tidak ada yang dirugikan dalam proses penyelesaian masalah maupun pengambilan kebijakan, sehingga setiap keputusan yang dibuat menjadi kepentingan bersama. 4. Peran penasihat adat dalam membantu Panglima Laot dalam menyelesaikan masalah. Penasihat adat merupakan salah satu unsur terpenting dalam struktur Panglima Laot Lhok Iboih. Mereka berfungsi memberikan saran-saran kepada Panglima Laot baik saran yang bersifat keadatistiadatan maupun hukum adat. Orang-orang yang menjadi penasihat adat adalah mereka yang memiliki pengalaman dan pemahaman tentang hukum adat dan hukum nasional, di antaranya: Keuchik Iboih, mantan Panglima Laot Lhok Iboih, Imam Mukim Iboih dan Tuha peut Iboih. Adanya mereka dalam struktur kelembagaan adat merupakan salah satu faktor kekuatan Panglima Laot Lhok Iboih. 5. Memiliki batas wilayah dan zona larang tangkap yang telah dipetakan. Batas wilayah merupakan bagian penting bagi Panglima Laot dalam menjalankan hukom adat laot di lhok masing-masing. Tanpanya penegakan
35 hukom adat laot tidak bisa berjalan baik. Penetapan batas wilayah Panglima Laot di Kota Sabang saat ini sudah lebih modern dengan ditetapkannya titik koordinat pada masing-masing patok batas desa. Pemetaan juga telah dilakukan pada zona larang tangkap di Lhok Iboih, sehingga penegakan hukom adat laot dapat berjalan lebih baik. 6. Sistem pembagian kerja struktur Panglima Laot sudah lebih terspesialisasi. Struktur Panglima Laot pada dasarnya sangat sederhana, yaitu hanya terdiri atas penasihat, Panglima Laot, wakil, sekretaris dan bendahara. Hal ini menyebabkan tidak adanya spesialisasi kerja dalam struktur Panglima Laot, sehingga pelaksanaan program kerja tidak optimal. Terbentuknya 3 bidang petugas keamanan adat dan POKMASWAS di dalam struktur Panglima Laot menciptakan struktur pembagian kerja Panglima Laot menjadi lebih terspesialisasi. 7. Sistem koordinasi yang baik antara Panglima Laot Lhok Iboih dan seluruh Panglima Laot di Kota Sabang. Panglima Laot dalam menjalankan hukom adat laot di Lhok Iboih juga harus berkoordinasi dengan Panglima Laot Lhok di Kota Sabang. Koordinasi tersebut dilakukan apabila terjadi perubahan aturan adat laut, pelaksanaan kegiatan adat (misalnya khanduri laot), penetapan batas kelola Panglima Laot, terjadi musibah atau pelanggaran hukum adat di laut, dan sidang pelanggaran adat yang melibatkan Panglima Laot dari luar Lhok Iboih. Hal ini merupakan bentuk sosialisasi hukom adat laot kepada masyarakat sabang. Adanya koordinasi tersebut merupakan faktor kekuatan Panglima Laot Lhok Iboih. Analisis faktor kekuatan (strenghts) dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Analisis faktor kekuatan (strenghts) yang mempengaruhi strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih No.
Indikator Kekuatan
1 Kemampuan Panglima Laot dalam memimpin dan menyelesaikan permasalahan nelayan. 2 Kekuatan hukom adat laot yang mengikat dalam kehidupan masyarakat nelayan dan peraturan yang dibuat dalam bentuk tertulis. 3 Sistem musyawarah sebagai sarana dalam setiap pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik nelayan. 4 Peran penasihat adat dalam membantu Panglima Laot dalam menyelesaikan masalah. 5 Memiliki batas wilayah dan zona larang tangkap yang telah dipetakan. 6 Sistem pembagian kerja pada struktur Panglima Laot sudah lebih terspesialisasi.
Bobot
Skala
Skor
0.115
3.800 0.436
0.108
3.600 0.389
0.121
4.000 0.484
0.121
4.000 0.484
0.108
3.600 0.390
0.108
3.600 0.389
36 Tabel 11 Lanjutan No.
Indikator Kekuatan
7 Sistem koordinasi yang baik antara Panglima Laot Lhok Iboih dan seluruh Panglima Laot di Kota Sabang. Total
Bobot 0.102
Skala
Skor
3.400 0.347
2.919
Hasil analisis pada Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa faktor kekuatan yang paling berpengaruh terhadap peran Panglima Laot Lhok Iboih adalah sistem musyawarah dan peran tokoh masyarakat dengan skor sama yaitu 0,484. Hal ini menunjukkan bahwa sistem musyawarah dan peran tokoh masyarakat memberikan pengaruh besar terhadap pelaksanaan dan penegakan hukom adat laot di Lhok Iboih. Faktor kekuatan kedua adalah kemampuan Panglima Laot dalam memimpin dengan skor 0,436. Kemampuan memimpin tersebut merupakan salah satu faktor terpenting dalam mencapai tujuan kelembagaan adat, terutama dalam menyelesaikan permasalah yang terjadi dalam kehidupan nelayan. Faktor kekuatan ketiga adalah batas wilayah yang telah dipetakan dengan skor 0,390 dan faktor keempat adalah kekuatan hukom adat laot yang mengikat dalam kehidupan masyarakat, dan sistem pembagian kerja dalam struktur Panglima Laot dengan skor yaitu 0,389. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga faktor tersebut memiliki pengaruh yang sama dalam penguatan kelembagaan adat, terutama dalam penegakan hukum adat dan pengawasan ekosistem laut. Faktor kekuatan kelima adalah adanya sistem koordinasi yang baik antara Panglima Laot Lhok Iboih dan seluruh Panglima Laot di Kota Sabang dengan skor 0,347. Hal ini disebabkan peraturan yang dibuat oleh Panglima Laot akan memiliki kekuatan hukum di masyarakat, apabila sebelumnya telah disosialisasikan kepada seluruh Panglima Laot di Kota Sabang. Oleh sebab itu, koordinasi yang baik penting untuk dilakukan antara Panglima Laot di setiap lhok. Faktor kelemahan (weaknesses) Panglima Laot Lhok Iboih meliputi: 1. Keterbatasan anggaran dana untuk menjalankan program kerja Panglima Laot. Salah satu kelemahan yang dimiliki oleh kelembagaan Panglima Laot adalah terbatasnya anggaran dana untuk menjalankan roda organisasi, terutama untuk biaya operasional pengawasan yang dilakukan oleh SATGAS. Hal ini menyebabkan biaya organisasi banyak ditanggung oleh para pengurus secara pribadi. Di samping itu, keterbatasan dana ini juga menyebabkan beberapa program kerja Panglima Laot terhambat dan bahkan tidak dapat berjalan. 2. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh SATGAS. Keterbatasan sarana dan prasarana dalam melakukan pengawasan juga merupakan salah satu kelemahan dari Panglima Laot. Panglima Laot hanya memiliki 1 unit boat pengawas dan mesin 15 PK, serta beberapa peralatan pengawasan, seperti teropong dan radio HT yang berasal dari bantuan DKP Kota Sabang. Akan tetapi, menurut Panglima Laot jumlah boat tersebut belum memadai untuk mengoptimalkan pengawasan yang dilakukan selama 8 kali dalam sebulan. Menurut Panglima Laot untuk menunjang kegiatan pengawasan lebih efisien perlu dibuatnya menara pemantau di kawasan Pulau Rubiah untuk
37 memudahkan pengawasan. Analisis faktor kelemahan (weaknesses) dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Analisis faktor kelemahan (weaknesses) yang mempengaruhi strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih No. 1 2
Indikator Kelemahan
Bobot
Skala
Skor
Keterbatasan anggaran dana untuk menjalankan program kerja Panglima Laot. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh SATGAS. Total
0,108
3,600
-0,390
0,108
3,600
-0,390
-0,780
Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa faktor utama kelemahan Panglima Laot Lhok Iboih adalah keterbatasan dalam anggaran dana untuk menjalankan program kerja Panglima Laot dan keterbatasan dalam sarana dan prasarana untuk kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh SATGAS dengan skor sama -0,390. Faktor keuangan merupakan komponen penting dalam menjalankan roda organisasi, terbatasnya keuangan menyebabkan terhambatnya pelaksanaan program kerja, khususnya untuk kegiatan pengawasan. Di samping itu, terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan menyebabkan kegiatan pengawasan tidak dapat berjalan optimal. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pengawasan penting dalam menjaga kelestarian lingkungan dan tegaknya hukom adat laot, sehingga perlu didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Faktor Eksternal Faktor eksternal terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Peluang (oppportunities) tersebut mencakup: 1. Adanya pengakuan dari Pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa aturan pemerintah yang mengakui eksistensi Panglima Laot, antara lain: UU No. 44 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sebagaimana diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014, KEPMEN No. 58 tahun 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Perda No. 2 tahun 1990 tentang Pembinaan dan Adat Istiadat, Qanun Aceh No. 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, Qanun No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat,
38
2.
3.
4.
5.
6.
SK Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang No. 523/370/2015 tentang pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) tahun 2015. Faktor peluang tersebut menjadi landasan hukum bagi Panglima Laot dalam mengelola wilayah hukom adat laot di Lhok Iboih. Penerapan peraturan tersebut sebagai landasan hukum semakin memperkuat peran Panglima Laot dalam melakukan pengelolaan bersama pemerintah. Dibentuknya POKMASWAS sebagai bentuk koordinasi antara pemerintah dan masyarakat nelayan. POKMASWAS merupakan organisasi pengawasan yang dibentuk oleh pemerintah dengan melibatkan Panglima Laot dalam melakukan pengawasan perikanan di Kota Sabang. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memfasilitasi pemberdayaan POKMASWAS dalam peningkatan kemampuan pengawasan dan menyediakan sarana dan prasarana pengawasan. Keberadaan POKMASWAS juga merupakan bentuk koordinasi antara pemerintah dan Panglima Laot dalam melakukan pengelolaan perikanan. Hal ini menjadi faktor peluang bagi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih dalam mengelola sumber daya perikanan di wilayahnya. Adanya kerja sama antara Panglima Laot dan LSM dalam mengelola wilayah pesisir. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memiliki peran dalam pengembangan kelembagaan Panglima Laot. Salah satu LSM yang bermitra dengan Panglima Laot adalah Floura and Fauna International (FFI) Marine Program. Kerja sama tersebut dinilai sangat penting bagi Panglima Laot dalam melakukan pengelolaan perikanan di Lhok Iboih, akan tetapi saat ini kerja sama tersebut telah berakhir sehingga perlu dibangun lagi kerja sama dengan LSM lainnya. Adanya kerja sama antara Panglima Laot dan pelaku wisata untuk membiayai operasional pengawasan Taman Laut Lhok Iboih. Panglima Laot melakukan kerja sama dengan para pelaku wisata di Iboih untuk membantu membiayai operasional pengawasan yang dilakukan oleh SATGAS. Bantuan tersebut berupa sumbangan sukarela yang ditetapkan sesuai kesepakatan antara Panglima Laot dan pelaku wisata. Kerja sama ini merupakan bentuk kontribusi para pelaku wisata dalam menjaga ekosistem laut dari kerusakan. Hal ini menjadi faktor peluang bagi Panglima Laot untuk menutupi keterbatasan dana untuk pengawasan. Adanya kegiatan Duek Pakat Panglima Laot seluruh Kota Sabang. Deuk Pakat merupakan musyawarah yang dilakukan oleh seluruh Panglima Laot yang ada di Kota Sabang. Kegiatan ini dilakukan selama setahun sekali untuk mengevaluasi program kerja yang dilakukan oleh Panglima Laot masing-masing lhok dan juga menyelesaikan permasalah yang terjadi dalam kehidupan nelayan. Kegiatan ini melibatkan unsur pemerintah daerah, yaitu: Majelis Adat Aceh, TNI, Polri, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang dan dinas terkait. Hal ini dapat menjadi faktor peluang bagi Panglima Laot Lhok Iboih. Adanya peran serta seluruh masyarakat nelayan sabang dalam menegakkan hukom adat laot.
39 Peran serta seluruh masyarakat dalam penegakan hukum adat menjadi sangat penting bagi Panglima Laot. Partisipasi masyarakat dalam memberi informasi tersebut dapat membantu Panglima Laot Lhok Iboih dalam melakukan pengawasan. Hal ini menjadi salah satu faktor peluang bagi Panglima Laot. Analisis faktor peluang (opportunities) dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Analisis faktor peluang (opportunities) yang mempengaruhi strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih No. 1 2
3 4
5 6
Indikator Peluang Adanya pengakuan dari Pemerintah melalui Peraturan Perundang-Undangan. Dibentuknya POKMASWAS sebagai bentuk koordinasi antara pemerintah dan masyarakat nelayan. Adanya kerja sama antara Panglima Laot dan LSM dalam mengelola wilayah pesisir. Adanya kerja sama antara Panglima Laot dan pelaku wisata untuk membiayai operasional pengawasan Taman Laut Lhok Iboih. Adanya kegiatan Duek Pakat Panglima Laot seluruh Kota Sabang. Adanya peran serta seluruh masyarakat nelayan sabang dalam menegakkan hukom adat laot. Total
Bobot
Skala
Skor
0,113
3,600 0,408
0,114
3,600 0,412
0,115
3,000 0,344
0,113
3,600 0,407
0,113
3,200 0,362
0,107
3,400 0,364 2,296
Hasil analisis Tabel 13 di atas menunjukkan bahwa faktor peluang utama yang dimiliki oleh Panglima Laot Lhok Iboih adalah dibentuknya POKMASWAS sebagai bentuk koordinasi antara pemerintah dan masyarakat nelayan dengan skor 0,412. Hal ini menunjukkan bahwa terbentuknya POKMASWAS memberi peluang bagi berkembangnya kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih. Faktor kedua adalah adanya pengakuan dari pemerintah melalui peraturan perundang-undangan dengan skor 0,408. Faktor tersebut merupakan landasan hukum yang dapat memperkuat peran Panglima Laot dalam melakukan pengelolaan bersama pemerintah. Faktor ketiga adalah adanya kerja sama antara Panglima Laot dan pelaku wisata untuk membiayai operasional pengawasan Taman Laut Lhok Iboih dengan skor 0,407. Ini merupakan bentuk kerja sama yang saling menguntungkan antara Panglima Laot dan pelaku wisata. Faktor keempat adalah adanya peran serta seluruh masyarakat nelayan sabang dalam menegakkan hukom adat laot dan adanya kegiatan Duek Pakat Panglima Laot seluruh Kota Sabang dengan skor masing-masing 0,364 dan 0,362. Hal tersebut menunjukkan bahwa Panglima Laot harus terus menjalin hubungan baik dengan masyarakat dan Panglima Laot yang ada di Kota Sabang. Faktor kelima adalah adanya kerja sama antara Panglima Laot dan LSM dalam mengelola wilayah pesisir dengan skor 0,344. Hal ini
40 menunjukkan kerja sama dengan LSM lingkungan yang ada di Kota Sabang perlu dibangun kembali untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia di dalamnya. Adapun faktor ancaman (threats) yang dimiliki oleh Panglima Laot Lhok Iboih, antara lain: 1. Para wisatawan yang belum mengetahui peraturan hukom adat laot di Iboih. Para wisatawan yang belum mengetahui tentang hukum adat yang berlaku di Lhok Iboih dapat menjadi sebuah ancaman bagi ekosistem laut. Hal ini disebabkan pelanggaran hukum adat secara tidak sengaja yang lebih sering dilakukan oleh para wisatawan, oleh karena itu perlu dilakukan sosialisasi kepada para wisatawan tersebut. 2. Masih adanya oknum masyarakat yang secara sengaja melanggar aturan hukum adat di Iboih. Kelemahan sistem pengawasan Panglima Laot memberikan celah kepada beberapa oknum masyarakat untuk melakukan kegiatan penangkapan yang dilarang. Pelanggaran yang biasa terjadi adalah pelanggaran hari pantang melaut pada malam jum’at, dan mengambil biota laut di zona larang tangkap. Hal ini dapat mengancam kelestarian ekosistem laut. 3. Terhambatnya sosialisasi peraturan hukum adat karena rusaknya seluruh papan himbauan Panglima Laot Lhok Iboih. Kerusakan pada seluruh papan himbauan tersebut dapat menghambat sosialisasi hukom adat laot kepada para wisatawan. Peraturan Panglima Laot tersebut saat ini sudah diperbarui, sehingga himbauan tersebut perlu diperbarui kembali. Terhambatnya sosialisasi tersebut merupakan faktor ancaman bagi Panglima Laot. Analisis faktor ancaman (threats) dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Analisis faktor ancaman (threats) yang mempengaruhi strategi penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih No. 1 2 3
Indikator Ancaman Para wisatawan yang belum mengetahui peraturan hukom adat laot Lhok Iboih. Masih adanya oknum masyarakat yang secara sen-gaja melanggar aturan hukum adat di Iboih. Terhambatnya sosialisasi peraturan hukum adat karena rusaknya seluruh papan himbauan Panglima Laot Lhok Iboih. Total
Bobot Skala
Skor
0,106
3,400 -0,360
0,106
3,400 -0,360
0,113
3,600 -0,407
-1,126
Hasil analisis Tabel 14 di atas menunjukkan bahwa faktor ancaman utama yang dimiliki oleh Panglima Laot adalah rusaknya seluruh papan himbauan peraturan Panglima Laot Lhok Iboih dengan skor -0,407. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa sosialisasi hukum adat dalam bentuk tertulis sangat penting dalam upaya pencegahan preventif terhadap pelanggaran hukum adat. Faktor kedua adalah para wisatawan yang belum mengetahui peraturan hukom adat laot di Iboih dan masih adanya oknum masyarakat yang secara sengaja melanggar aturan hukum adat di Iboih dengan skor -0,360. Hal tersebut menunjukkan bahwa
41 terhambatnya sosialisasi pada faktor ancaman sebelumnya akan berdampak pada terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat, baik yang berasal dari para wisatawan maupun masyarakat bukan nelayan yang ada di Kota Sabang. Rekomendasi Strategi Penguatan Kelembagaan Panglima Laot Berdasarkan hasil analisis faktor internal dan eksternal maka tahapan selanjutnya adalah tahap membuat strategi. Strategi ini berdasarkan pada kombinasi dari faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan, dan faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman. Rekomendasi strategi dibuat berdasarkan hasil analisis SWOT dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil analisis menggunakan matriks SWOT
IFAS
EFAS Peluang (Opportunities) O1. Adanya pengakuan dari pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. O2. Dibentuknya POKMASWAS sebagai bentuk koordinasi antara pemerintah dan masyarakat nelayan. O3. Adanya kerja sama antara Panglima Laot dan LSM dalam mengelola wilayah pesisir. O4. Adanya kerja sama antara Panglima Laot dan pelaku wisata untuk membiayai operasional pengawasan Taman Laut Lhok Iboih. O5. Adanya kegiatan Duek Pakat Panglima Laot seluruh Kota Sabang. O6. Adanya peran serta seluruh
Kekuatan (Strengths) S1. Kemampuan Panglima Laot dalam memimpin dan menyelesaikan permasalahan nelayan. S2. Kekuatan hukom adat laot yang mengikat dalam kehidupan masyarakat nelayan dan peraturan yang dibuat dalam bentuk tertulis. S3. Sistem musyawarah sebagai sarana dalam setiap pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik nelayan. S4. Peran penasihat adat dalam membantu Panglima Laot dalam menyelesaikan masalah. S5. Memiliki batas wilayah kelola Panglima Laot dan zona larang tangkap yang telah dipetakan. S6. Sistem pembagian kerja pada struktur Panglima Laot sudah lebih terspe-sialisasi. S7. Sistem koordinasi yang baik antara Panglima Laot Lhok Iboih dan seluruh Panglima Laot di Kota Sabang. SO
SO1. Meningkatkan peran masyarakat dalam mensosialisasikan aturan hukom adat laot kepada wisatawan (S1, S2, S3, S4, S7, O5, O7) SO2. Penguatan kerja sama kolaboratif antara Panglima Laot dan pelaku wisata dalam mendukung operasional pengawasan SATGAS (S1, S3, S5, S6, O5) SO3. Peningkatan kapasitas kelembagaan berkolaborasi dengan pemerintah dan LSM (S1, S2, S3, S4, S6, O1, O2, O3, O5) SO4. Penyedian sarana dan prasarana pengawasan berkoordinasi dengan pemerintah (S1, S2, S4, S5, O1, O2)
Kelemahan (Weaknesses) W1. Keterbatasan anggaran dana untuk menjalankan program kerja Panglima Laot. W2. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh SATGAS.
WO WO1. Meningkatkan kerja sama dengan pelaku wisata dalam menjalankan kegiatan pengawasan (W1, O1, O2, O4, O5, O6, O7) WO2. Perlu diadakan koordinasi dengan pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana pengawasan (W2, O1, O2, O6)
42 masyarakat nelayan sabang dalam menegakkan hukom adat laot.
Ancaman (Threats) T1. Para wisatawan yang belum mengetahui peraturan hukom adat laot di Iboih. T2. Masih adanya oknum masyarakat yang secara sengaja melanggar aturan hukum adat di Iboih. T3. Terhambatnya sosialisasi peraturan hukum adat karena rusaknya seluruh papan himbauan Panglima Laot Lhok Iboih.
ST ST1. Meningkatkan peran masyarakat dalam mensosialisasikan dan mengawasai aturan hukom adat laot di Iboih (S1, S2, S3, S5, S6, S7, T1, T2, T3)
WT WT1. Meningkatkan peran masyarakat dalam mensosialisasikan aturan hukom adat laot di Iboih (W1, W2, T1, T3) WT2. Meningkatkan pengawasan hukom adat laot melalui peran masyarakat di Iboih (W1, W2, T2)
Berdasarkan Tabel 11, Tabel 12, Tabel 13, dan Tabel 14 nilai-nilai yang diolah dibuat untuk dijadikan grafik hasil analisis SWOT. Total nilai IFAS yang merupakan selisih antara kekuatan dan kelemahan yaitu sebesar 1,791. Total nilai EFAS yang merupakan selisih antara peluang dan ancaman bernilai 1,025. Hal tersebut menandakan bahwa nilai IFAS positif yang berarti faktor kekuatan lebih besar dari faktor kelemahan. Nilai EFAS positif artinya faktor peluang lebih besar dari faktor ancaman. Berdasarkan grafik tersebut dapat diperoleh strategi yang harus diambil dalam upaya penguatan kelembagaan Panglima Laot Lhok Iboih. Grafik analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Grafik hasil analisis SWOT
43 Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa strategi yang dapat digunakan berada pada kuadran 1. Kuadran ini berarti bahwa kekuatan dan peluang yang dimiliki sangat besar. Rekomendasi strategi yang dapat digunakan adalah SO (Strenghts-Opportunities), yaitu: 1. Meningkatkan peran masyarakat dalam mensosialisasikan hukom adat laot kepada para wisatawan (S1, S2, S3, S4, S7, O5, O7) Panglima Laot bertugas untuk melaksanakan, memelihara, dan mengawasi pelaksanaan adat istiadat dan hukom adat laot. Panglima Laot perlu meningkatkan peran masyarakat dalam mensosialisasikan hukom adat laot kepada setiap pengunjung yang datang dari luar Sabang. Hal ini disebabkan semakin berkembangnya sektor pariwisata di Lhok Iboih. Peningkatan peran tersebut dapat dilakukan melalui musyawarah desa. Selanjutnya, Panglima Laot juga melakukan koordinasi dengan Panglima Laot di setiap lhok untuk bekerja sama dalam mensosialisasikan hukom adat laot kepada seluruh masyarakat. Sosialisasi hukom adat laot juga dapat dilakukan melalui peran pelaku wisata. Hal ini diharapkan dapat menjaga eksistensi hukom adat laot di masyarakat sabang. 2. Penguatan kerja sama kolaboratif antara Panglima Laot dan pelaku wisata dalam mendukung operasional pengawasan SATGAS (S1, S3, S5, S6, O5) Permasalah keterbatasan dana dapat menyebabkan terhambatnya kegiatan pengawasan di laut. Sektor pariwisata saat ini semakin berkembang di Iboih. Terhambatnya kegiatan pengawasan akan memperlemah perlindugan terhadap kawasan Taman Laut Lhok Iboih, sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya banyak pelanggaran yang merusak lingkungan. Panglima Laot perlu melakukan kerja sama dengan pelaku wisata untuk membantu mendanai operasional pengawasan yang dilakukan oleh SATGAS. Pelaku wisata akan diuntungkan dengan terjaganya ekosistem laut dari kerusakan dan terhindar dari konflik dengan nelayan. Perkembangan sektor pariwisata di Iboih dapat menjadi sarana untuk meningkatkan pendapatan nelayan, oleh karena itu, kerja sama antara Panglima Laot dan para pelaku wisata perlu diperkuat, sehingga diharapkan terbentuk kerja sama yang saling menguntungkan kedua belah pihak. 3. Peningkatan kapasitas kelembagaan Panglima Laot dalam hal pengawasan dan pengelolaan perikanan berkolaborasi dengan pemerintah dan LSM (S1, S2, S3, S4, S6, O1, O2, O3, O5) Panglima Laot sebagai pemimpin masyarakat nelayan memiliki tugas untuk melaksanakan, memelihara, dan mengawasi pelaksanaan hukom adat laot, membantu pemerintah dalam menyukseskan program pembangunan perikanan dan kelautan, dan mencegah terjadinya illegal fishing. Kuatnya pengaruh hukom adat laot dalam kehidupan masyarakat nelayan menjadi kekuatan bagi Panglima Laot untuk menjalankan tugasnya, oleh sebab itu perlunya peran pemerintah dan LSM untuk meningkatkan kapasistas SDM Panglima Laot dalam melakukan pengelolaan perikanan. Hal tersebut juga telah diamanatkan di dalam Permen KP Nomor: Kep.58/MEN/2011. Pemerintah memiliki kewajiban untuk memfasilitasi SDM POKMASWAS dalam meningkatkan kemampuan pengawasan perikanan. Peningkatan kapasitas pengawasan tersebut dapat membantu pemerintah dalam menjalankan program pembangunan perikanan, terutama dalam kegiatan pengawasan di laut.
44 4. Penyediaan sarana dan prasarana pengawasan berkoordinasi dengan pemerintah (S1, S2, S4, S5, O1, O2). Panglima Laot sebagai pemimpin adat memiliki tugas berkoordinasi dengan pemerintah untuk mensukseskan program pembangunan perikananan. Salah satunya adalah melalui pengawasan kawasan laut. Hukom adat laot yang telah mengikat dalam kehidupan masyarakat nelayan menjadi kekuatan Panglima Laot dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pembentukan POKMASWAS akan semakin memperkuat peran Panglima Laot dalam melakukan pengelolaan perikanan bersama pemerintah, akan tetapi keterbatasan sarana dan prasarana untuk kegiatan pengawasan dapat menghambat Panglima Laot dalam menjalankan tugasnya, oleh karena itu dibutuhkan peran pemerintah dalam menyediakan sarana dan prasarana yang memadai untuk Panglima Laot dalam melakukan pengawasan. Hal tersebut juga telah diamanatkan didalam Permen KP Nomor: Kep.58/MEN/2011. Tersedianya sarana dan prasarana pengawasan perikanan tersebut akan membantu pemerintah dalam melakukan pengawasan di laut.
45
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sejarah Panglima Laot telah dibagi kedalam 4 periodisasi. Pada setiap periodisasi terdapat beberapa perbedaan, di antaranya: perbedaan tugas dan peran Panglima Laot. Panglima Laot pada mulanya bertugas mengutip pajak perdagangan di setiap pelabuhan dan memobilisasi rakyat dalam peperangan, akan tetapi saat ini Panglima Laot hanya bertugas menjalankan hukum adat dan melakukan pengelolaan perikanan bersama pemerintah. Panglima Laot hanya berperan sebagai pemimpin adat masyarakat nelayan, bukan lagi sebagai penguasa lautan. Akan tetapi, pada keempat periodisasi tersebut terdapat kesamaan yang tidak berubah, bahwa kelembagaan Panglima Laot terus eksis dan dijalankan oleh masyarakat adat meskipun pengakuan pemerintah terhadap kelembagaan tersebut mengalami pasang surut. Saat ini, peran Panglima Laot menjadi sangat penting bagi pengelolaan perikanan, terutama dalam membantu pemerintah melakukan pengelolaan perikanan di Aceh. Hal tersebut ditandai dengan terus dikeluarkannya peraturan yang mengakui keberadaan Panglima Laot, di antaranya: Perda Provinsi Aceh No. 2 Tahun 1990, UU No. 44 Tahun 2000, Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008, dan Qanun No. 10 Tahun 2008. Salah satu Panglima Laot yang masih eksis di Aceh adalah Panglima Laot Lhok Iboih di Kota Sabang. Panglima Laot Lhok Iboih mengelola 2 sektor kelautan, yaitu sektor perikanan dan wisata bahari. Panglima Laot membagi wilayahnya menjadi 2 bagian, yaitu wilayah kelola Panglima Laot Lhok Iboih yang merupakan kawasan penangkapan ikan dan Taman Laut Lhok Iboih yang merupakan zona larang tangkap dan ditujukan sebagai kawasan konservasi dan wisata bahari. Pada kedua kawasan tersebut berlaku hukom adat laot, yaitu berkaitan dengan larangan penangkapan biota laut, pembatasan alat tangkap, larangan menggunakan metode penangkapan yang merusak, pembentukan zona larang tangkap, hari pantang melaut, dan larangan melakukan kegiatan yang dapat merusak ekosistem laut dan terumbu karang. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi yaitu berupa denda uang atau hewan ternak, penyitaan alat tangkap dan kapal, serta hasil tangkapan. Peraturan tersebut bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem laut, menghindari konflik sosial masyarakat nelayan, dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab. Semakin berkembangnya sektor wisata bahari di Iboih menjadi tantangan besar bagi Panglima Laot dalam menjaga tegaknya hukum adat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, diperlukan strategi penguatan kelembagaan untuk menghadapi tantang tersebut, di antaranya: meningkatkan peran masyarakat dalam mensosialisasikan hukom adat laot kepada para wisatawan, penguatan kerja sama kolaboratif antara Panglima Laot dan pelaku wisata dalam mendukung operasional pengawasan SATGAS, peningkatan kapasitas kelembagaan Panglima Laot dalam hal pengawasan dan pengelolaan perikanan berkolaborasi dengan pemerintah dan LSM, penyediaan sarana dan prasarana pengawasan berkoordinasi dengan pemerintah.
46 Saran Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik beberapa hal yang bisa menjadi masukan atau saran diantaranya sebagai berikut. 1 Perlunya penguatan kerjasama kolaboratif atau co-management antara Panglima Laot dan para stakeholder yang berkaitan dengan perikanan, baik dari pemerintah, swasta maupun LSM yang ada di Kota Sabang. 2 Peran masyarakat iboih sangat diharapkan baik dalam segi pengawasan maupun dalam segi sosialisasi hukum adat kepada para pengunjung yang datang dari luar Iboih. 3 Pemerintah daerah diharapkan terus aktif memberi dukungan baik dalam hal peningkatan kapasistas sumberdaya manusia kelembagaan adat, penyediaan fasilitas ataupun pendanaan dalam menjalankan program pengelolaan bersama di Desa Iboih.
DAFTAR PUSTAKA [BAPPEDAKS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Sabang. 2011. Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Sabang 2012-2032. Sabang (ID): BAPPEDA Kota Sabang. [BAPPEDAKS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Sabang. 2013. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Sabang 20122032. Siap terbit. [BAPPEDAKS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Sabang. 2014. Sabang dalam angka 2014. Sabang (ID): BAPEDDA Kota Sabang. [RRI] Radio Republik Indonesia. 2015. Selesaikan konflik tapal batas laut, DKP Kota Sabang fasilitasi Panglima Laot [Internet]. [diunduh pada tangal 18 Agustus 2015]. Tersedia pada: http://www.rri.co.id/bandaaceh/post/berita/ 169267/diktekno/selesaikan_konflik_tapal_batas_laut_dkp_kota sabang_fasilitasi panglima_laot.html [PLLI] Panglima Laot Lhok Iboih. 2015. Laporan pertanggung jawaban Panglima Laot Lhok Iboih periode 2009-2014. Sabang (ID): Panglima Laot Lhok Iboih. Abdullah MA, Tripa S, Muttaqin T. 2006. Selama kearifan adalahkejayaan: eksistensi panglima laot dan hukom adat laot di Aceh. Banda Aceh (ID): Panglima Laot Aceh. Adrianto L, Amin MAA, Solihin A, Hartoto DI. 2011. Konstruksi lokal pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Bungin MB. 2007. Penelitian kualitatif: komunikasi, ekonomi, kebijakan publik, dan ilmu sosial lainnya. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Group. Chaliluddin, Purbayanto A, Monintja DR, Imron M, Santoso J. 2014. Institution of panglima laot in supporting sustainable capture fisheries based on local wisdom in aceh jaya district. IJSBAR. 16(2):147-163. Cinner JE, Aswani S. 2007. Integrating Customary Management into Marine Conservation. Mar Policy. 40 (2007): 201-216.doi:10.1016/j.biocon. 2007.08.008.
47 Cinner JE, Basurto X, Fidelman P, Kuange J, Lahari R, Mukminin A. 2012. Institutional design of customary fisheries management arrangements in Indonesia, Papua New Guinea, and Mexico. Mar Policy. 36(2012): 278285.doi:10.1016/j.marpol.2011.06.005 Kusumawati I, Huang H-W. 2014. Key Factors for Successful Management of Marine Protected Areas: A Comparison of Stakeholders’ Perception of Two MPAs in Weh Island, Sabang, Aceh, Indonesia. Mar Policy. 51(2015): 465-475. Nanda V. 2011. Analisis kelembagaan Panglima Laot Lhok dalam Pengelolaan Kegiatan Perikanan Purse Seine di Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rangkuti F. 2015. Analisis SWOT teknik membedah kasus bisnis. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Satria A. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Satria A, Matsuda Y. 2004. Decentralization of fisheries management in Indonesia. Mar Policy 28 (2004): 437-450. Soekanto S, Mamudji S. 2014. Penelitian hukum normatif suatu tinjauan singkat. Jakarta (ID): Rajawali Pers. Solihin A. 2010. Politik hukum kelautan & perikanan: isu, permasalahan, dan telaah kritis kebijakan. Bandung (ID): Nuansa Aulia. Sugra MS. 2014. Peran Panglima Laot terhadap peningkatan partisipasi nelayan dalam pengelolaan bersama di Lampuuk Aceh Besar [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sulaiman. 2010. Model alternatif pengelolaan perikanan berbasis hukom adat laot di Kabupaten Aceh Jaya menuju keberlanjutan lingkungan yang berorientasi kesejahteraan masyarakat [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Sulaiman. 2011. Kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Aceh pada era otonimo khusus. J Din Huk. 11(2). Sulaiman. 2013. Prospek hukum adat laut dalam pengelolaan perikanan di Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh. Yustisia. (87): 15-22. Witanto DY. 2007. Hukum adat laut sabang: kearifan-kearifan yang terlupakan. Banda Aceh (ID): Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Daerah Aceh (PEMADA). Wiryawan B, Solikhin A. 2015. Derah penangkapan ikan: dalam prespektif pengelolaan perikanan indonesia. Bandung (ID): Nuansa Aulia.
48
LAMPIRAN Lampiran 1 Kondisi Lokasi Penelitian
Kantor Sekretariat Panglima Laot Lhok Iboih
Wawancara dengan Panglima Laot Lhok Iboih
Diskusi dengan beberapa tokoh adat
Usai wawancara dengan ketua kelompok nelayan Udeep Makmu
Usai wawancara dengan Kepala Bidang Perikanan DKP Kota Sabang
Suasana pantai pada hari pantang melaut (Hari Jum’at), tidak ada aktivitas di laut
49
Himbauan Panglima Laot Lhok Iboih
Himbauan Panglima Laot Lhok Pria Laut
Peraturan tertulis Panglima Laot Lhok Iboih
50 Lampiran 2 Tahapan Analisis SWOT Analisis SWOT dilakukan dalam beberapa tahapan, antara lain: 1. Menentukan faktor-faktor internal dan eksternal, kemudian memasukkan ke dalam kuesioner.
2. Penilaian kuesioner oleh tiap-tiap responden dengan empat penilaian. 1= sangat tidak penting, 2= tidakpenting, 3= penting, 4= sangat penting.
3. Menghitung skala dengan cara menghitung rata-rata penilaian setiap responden.
51
4. Menghitung nilai survei olahan dengan cara nilai dari setiap indikator dibagi dengan total nilai setiap indikator dalam faktor internal maupun eksternal.
5. Nilai survei olahan setiap responden kemudian akan dirata-ratakan dan akan menghasilkan nilai bobot. Total nilai bobot dari faktor internal ataupun eksternal adalah 1.
6. Selanjutnya menghitung skor dengan cara mengalikan skala dengan bobot, baik itu pada faktor internal maupun eksternal.
52
7. Seluruh skor dalam kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dijumlahkan masing-masing.
8. Selanjutnya membuat grafik hasil analisis SWOT yang koordinatnya didapatkan dari jumlah setiap skor dari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Koordinat x diperoleh dari faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan. Koordinat y diperoleh dari faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman.
53 9. Setelah itu menunjukkan kuadran strategi yang harus dilaksanakan. Kuadran strategi diperoleh dari nilai x yang berasal dari penjumlahan nilai skor faktor internal dan nilai y dari penjumlahan faktor eksternal.
10. Hasil menunjukkan strategi mana yang harus diambil.
54 Lampiran 3 Peta Administrasi Kota Sabang (BAPPEDA Kota Sabang 2011)
55 Lampiran 4 Sebaran Alat Tangkap Perikanan di Kota Sabang (BAPPEDA 2011)
56 Lampiran 5 Sebaran Lokasi Penangkapan Ikan di Kota Sabang (BAPPEDA 2011)
57 Lampiran 6 Laporan kasus pelanggaran hukum adat laot Lhok Iboih tahun 2009-2014 No. 1
2
3
Waktu pelanggaran 20 Oktober 2009
15 November 2009
Tahun 2010
Jenis pelanggaran Melakukan penangkapan menggunaka n Jaring di kawasan Taman Laut Lhok Iboih Melakukan penangkapan menggunaka n senjata tembak ikan dalam kawasan Taman Laut Batee Meuron Iboih Melakukan penangkapan menggunaka n alat tangkap jaring di sebelah timur Teluk Ujeng Seurawan, Kawasan Taman Laut Lhok Iboih.
Barang bukti Jaring ikan pisang
Pelaku pelanggaran Warga nelayan Lhok Pasiran
Saksi Warga gampon g Iboih
Sanksi/denda
Senjata tembak ikan
Warga nelayan Lhok Krueng Raya
Warga gampon g Iboih
Satu unit Boat Jareng dengan peralata n lengkap
Warga nelayan dari Kota Bawah Timur
Warga gampon g Iboih
4
5
6
24 Mei 2011
03 November 2011
03 November 2011
Pengambilan biota laut di Ujong Payadua, Kawasan Taman Laut Lhok Iboih. Menangkap biota laut yaitu 10 ekor gurita di Jurang Baipas Kawasan Taman Laut Lhok Iboih. Memasang jaring pantai di belakang Rumah Akong/Paneh , Kawasan Taman Laut Lhok Iboih,
Besi untuk menemb ak ikan
Lima orang warga bukan nelayan dari gampong Iboih
Tiga orang saksi
Kacama ta, pancing besi
Dua orang warga bukan nelayan
Tiga orang saksi
Jaring samsi panjang 100 meter ukuran mata jaring 3 inci
Dua orang warga bukan nelayan
Tiga orang saksi
Membayar denda sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) Apabila kedapatan melakukan lagi maka kapal beserta alat tangkap tidak akan dikembalikan Membayar denda sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) Apabila tertangkap melakukan pelanggaran lagi maka kapal beserta alat tangkap tidak akan dikembalikan Didenda sebesar Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) Namun, saat ingin melunasi denda tersebut setelah 2 tahun, pelaku diberi keringanan dengan membayar denda sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Hal ini berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah persidangan. Boat dan alat tangkap ditahan sampai pelaku pelanggaran mampu melunasi denda Membayar denda sebesar Rp 100.000,Bila tertangkap melakukan pelanggaran lagi maka bersedia menerima putusan hukum adat Membayar denda sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) Alat tangkap ditahan selama 7 hari Bila tertangkap melakukan pelanggaran lagi maka bersedia menerima putusan hukum adat Membayar denda sebesar Rp 50.000,Alat tangkap ditahan selama tujuh hari Bila tertangkap melakukan pelanggaran lagi maka bersedia menerima putusan hukum adat
58 Lampiran 6 Lanjutan No. 7
8
Waktu pelanggaran
Jenis pelanggaran
15 November 2011
Pengambilan biota laut yaitu Udang sebanyak satu ekor di Ujung Petek, Kawasan Taman Laut Lhok Iboih.
Fin, masker, snorkel, besi ±50 cm
Menembak ikan di Ujung Tengku, Kawasan Taman Laut Lhok Iboih.
Fin, kaca mata renang, karet
04 Januari 2012
Barang bukti
Pelaku pelanggara n Satu orang warga bukan nelayan
Saksi Tiga orang saksi
Sanksi/denda
Empat orang warga bukan nelayan dari gampong Iboih
(Tidak tercata t dalam lapora n)
9
10
11
06 April 2011
13 September 2013
13 Juni 2014
Menembak ikan (Spearfishing) di Iboih Yulia’s, Kawasan Taman Laut Lhok Iboih.
Beauchat mundial, fins cressi, 2 kg weight, belt, belt, hook, mask
Satu orang warga negara asing
Memancing pada malam jum’at di Ujong Putek, Kawasan Taman Laut Lhok Iboih.
Tiga jenis pancing
Dua orang warga bukan nelayan
Mengambil biota laut di Teupin Kenduri, Kawasan Taman Laut Lhok Iboih
Cangkok besi, fins
Dua orang saksi
Tiga orang saksi
Satu orang warga bukan nelayan
Tiga orang saksi
Membayar denda sebesar Rp 100.000,(seratus ribu rupiah) Alat tangkap ditahan selama satu minggu Bila tertangkap melakukan pelanggaran lagi maka bersedia menerima putusan hukum adat Membayar denda sebesar Rp 1.000.000,(seratus ribu rupiah) Alat tangkap disita sebelum membayar denda Bila tertangkap melakukan pelanggaran lagi maka bersedia menerima putusan hukum adat Membayar denda sebesar Rp 1.000.000. (satu juta rupiah) Alat tangkap disita selama 10 jam Bila tertangkap melakukan pelanggaran lagi maka bersedia menerima putusan hukum adat Membayar denda sebesar Rp 1.000.000,(satu juta rupiah) Alat tangkap ditahan selama seminggu Bila tertangkap melakukan pelanggaran lagi maka bersedia menerima putusan hukum adat Membayar denda sebesar Rp 500.000,(lima ratus ribu rupiah) Alat disita selama satu bulan mulai dari Hari Jum’at, 13 Juni 2014 Bila tertangkap melakukan pelanggaran lagi maka bersedia menerima putusan hukum adat
59
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 03 Agustus 1993 dari pasangan Bapak Subowo dan Ibu Dra Jati Setiasih, M Si. Penulis adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Muhadjirin Medan, kemudian menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama pada tahun 2008 di SMP Negeri 34 Medan dan menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas pada tahun 2011 di SMA Negeri 2 Medan. Pada tahun 2011 penulis diterima di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur Undangan. Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam beberapa organisasi. Organisasi yang pernah diikuti oleh penulis adalah Forum for Scientific Studies (Forces) sebagai staff divisi Service tahun 2013, Forum Keluarga Mahasiswa Muslim FPIK (FKM C) sebagai ketua divisi Dakwah Kreatif dan Prestatif tahun 2014, dan Indonesian Green Action Forum (IGAF) sebagai ketua divisi Publikasi dan Komunikasi tahun 2015. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitian selama masa perkuliahan, seperti staff divisi Fundrising MPKMB 49 tahun 2012, ketua divisi PDD Bayer Youth Environmental Envoy (BYEE) tahun 2013, staff divisi Fundrising Salam ISC Al-hurriyah tahun 2013, ketua divisi Konsumsi Gema Perikanan dan Kelautan (GPK) tahun 2013, dan staff divisi PDD Fishermen Friend tahun 2014. Prestasi yang pernah dicapai oleh penulis adalah sebagai peserta Youth for Climate Camp tahun 2013, penerima penghargaan Handprint Challenge 2014 dari UNEP TUNZA SAYEN tahun 2014, delegasi Indonesia dalam acara International Workshop on Climate Change yang diadakan oleh World Youth Foundation tahun 2015. Selain itu, penulis pernah memperoleh hibah dana dari SEAMEO BIOTROP sebagai Youth Environment Outreach (YEO) dengan proyek berjudul Co-Agrofrest Village: Tropical Herbagroculture and Eco-Schools pada tahun 2015.