STRATEGI PENGUATAN PERAN BADAN PENGAWAS DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI RIAU
R. DAHLIUS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA TESIS YANG BERJUDUL “STRATEGI PENGUATAN PERAN BADAN PENGAWAS DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI LINGKUNGAN PEMERINTAHAN PROVINSI RIAU” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA TESIS INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN–BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor,
R. DAHLIUS No.153050075
ABSTRAK Government held local government through management functions which include planning, implementation and supervision which is a tool that should be implemented by management in a professional manner. Bawasda is an institution that has the authority to inspect and supervise the activities of government. The general objective of this study was to determine the effect of implementing the strategic environment, prime duties and functions of Board of Supervisors (TUPOKSI) in an effort to realize good governance in environmental, and in particular this study has the objective to, analyzing the strategic environment Supervisory Board of Riau Province, formulate and strategize strengthening the role of the Supervisory Board of Riau Province in realizing good governance. To answer the purpose of this study, methods of data processing and data analysis performed by using a SWOT analysis (Strenghts-Weaknesses-OpportunitiesThreaths). That external and internal influences in Riau Province SWOT Board of Supervisors of the relationship that binds to and relationships with no relation at all. Conclusion of this study of regional development is the identification of the strategic environment Supervisory Board made it the dominant factor are the power authority as a inspect of government officials Internal Oversight with a total value of 1.93 determination weight and an opportunity to realize good governance with a total weight of 1.71, the results assessment component of internal and external factors were the Supervisory Board of Riau Province are in a position kuadren I, this means in a position of expansion, there is an increasing and capacity of human resources, budget and facilities, formulation and preparation of a strategic strengthening of the role of the Supervisory Board consists of Riau Province from, 5-strength of strategic opportunities (SO), 3 power-threat strategies (ST), two weaknesses-opportunities strategies (WO), two strategies of weakness - the threat (WT).
RINGKASAN
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemerintah Daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang beraku dan pendekatan strategis ni, untuk mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan. Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, ditekankan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara mandini, luas, nyata dan bertanggungjawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta daya saing daerah. Dengan demikian, Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan manajemen pemerintahan melalui fungsi-fungsi manajemen organisasi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh lembaga secara professional dalam rangka pencapaian sasaran dan tujuan organisasi dengan efektif dan efisien. Sejalan dengan bergulirnya reformasi, muncul banyak fenomena yang terjadi dan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik pada tatanan kebijakan/peraturan perundang-undangan. implementasinya maupun dinamika sosial kemasyarakatan. Tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) telah mendorong adanya konsekuensi logis perlunya berbagai upaya dan kerja keras pemerintah. Berdasarkan data di Badan Pengawas Provinsi Riau, jumlah pegawai Badan Pengawas di Provinsi Riau tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan, dari tahun 2005 sejumlah 68 oerang dan pada tahun 2007 sebesar 76 orang, sedangkan yang memiliki sertifikasi auditor pada tahun yang sama meningkat juga, dari 4 orang menjadi 9 orang dari total 36 orang auditor. Dilain pihak beban kerja Badan Pengawas Provinsi Riau cukup besar, dalam satu tahun anggaran harus melakukan pemerikasaan terhadap sekitar 30 SKPD yang ada di lingkup Pemerintah Provinsi Riau dan 11 Kabupaten/ Kota, yang masing-masingnya adalah 7 obyek pemeriksaan. Jika dibuat perbandingan, maka 1 orang pemeriksa harus melakukan pemeriksaan terhadap 3 obyek pemeriksaan. Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) Memberikan gambaran mengenai kinerja sumber daya manusia dalam mendukung tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di Badan Pengawas Provinsi Riau DAN (2) Merumuskan strategi penguatan peran Badan Pengawas Provinsi Riau. Kajian ini mengambil lokasi di Kota Pekanbaru pada Badan Pengawas Provinsi Riau dan Satuan Kerja di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Mengingat jumlah responden dan aktivitasnya, maka periode kajian dilakukan selama empat bulan yaitu dari bulan Oktober 2007 hingga Januari 2008. Dalam melakukan kajian ini, yang menjadi responden adalah pejabat/pegawai pada Badan Pengawas Provinsi Riau dan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Sampel yang menjadi responden diambil secara sengaja (purposive random sampling) yaitu Kepala Badan Pengawas Provinsi Riaui dan pejabat eselon IV dan III di lingkungan Badan Pengawas Provinsi Riau dan pegawai/pejabat pada SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Jumlah sampel yang diambil pada kajian ini adalah 14 orang dari
Badan Pengawas Provinsi Riau, empat orang dari Badan, Dinas, Kantor Sekretariat Daerah dan satu orang dari Rumah Sakit. Dari total sampel untuk Badan Pengawas Provinsi didistribusikan secara proporsional sesuai dengan jabatan dan dari total sampel pada SKPD yang dijadikan sebagai sampel adalah Kepala Bagian Tata Usaha. Untuk menjawab tujuan dari kajian ini, metode pengolahan data dan analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (Strenghts-Weaknesses-Opportunities-Threaths). Hasil dari kajian ini adalah (1) Berdasarkan gambaran dari kinerja Badan Pengawas Provinsi Riau, ternyata semua program dapat dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan, tetapi beberapa pencapaian melebihi yang telah direncanakan. Ini dapat disimpulkan bahwa rencana yang dibuat terlalu rendah dibandingkan dengan yang terjadi di lapangan. Dan (2) Dari hasil penjumlahan skor masing-masing faktor Lingkungan Strategis, diketahui bahwa yang memiliki skor tertinggi adalah SO (5,10) dan WO (5,00), sehingga perumusan strategi utama berdasarkan atas faktor-faktor kekuatan dan mengoptimalkan fakor-faktor peluang. Strategi yang terpilih adalah strategi ”Mengoptimalkan kewenangan yang ada sebagai apararat pengawas internal pemerintah (APIP) untuk mendukung tekad pemerintah dalam mewujudkan good governance”. Tindaklanjut dari kajian ini adalah (1) Sebaiknya pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Provinsi Riau lebih komprehensif sehingga dapat fokus pada substansi dari obyek yang diperiksa. Dan (2) Sebaiknya pegawai yang telah diberikan/mengikuti pelatihan dan sertifikasi pengawasan tidak dengan mudah dilakukan perputaran (mutasi).
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisini tan mencantumkan atau menyebutkan sunbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, pnyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENGUATAN PERAN BADAN PENGAWAS DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI RIAU
R. DAHLIUS No: A153050075
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tugas Akhir: Ir. Lukman M. Baga, MAEc
Judul Kajian
:
Nama NRP Program Studi
: : :
Strategi Penguatan Peran Badan Pengawas Dalam Mewujudkan Good Governance Di lingkungan Pemerintah Propinsi Riau R. DAHLIUS A.153050075 Manjemen Pembangunan Daerah
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Fredian Tonny,MS,
Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc
Ketua
Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr.Ir.Yusman Syaukat. MEc
Dr.Ir. Dahrul Syah, Msc, Agr
Tanggal Ujian
:
Tanggal lulus : ………………..
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Rengat pada tanggal 14 April 1958 dari ayah R. Johan Yusuf dan ibu R. Zanibar. Penulis Merupakan Putra ke-tujuh dari 10 bersaudara, dan dikaruniai empat orang putra dan satu orang putri. Mulai mengecap pendidikan sekolah dasar (SD) Tahun 1965 sampai dengan 1970 di Rengat, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Rengat Tahun 1971 sampai dengan 1973 dan Tahun 1976 penulis lulus SMAN 1 Rengat. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Riau Pekanbaru, lulus tahun 1986. Bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak tanggal 1 Maret 1983 sampai dengan sekarang yaitu kurang lebih teleh mengabdi 25 tahun. Pada tahun 1983 memulai karir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Markas Wilayah Pertahanan Sipil Propinsi Daerah Tngkat I Riau. Pada tahun 1985 dipercaya sebagai PLH Kasubbid Operasional Mawil Hansip Prop. Dati I Riau. Pada tahun 1990 dipercaya sebagai PJ Kasubbid Operasional Mawil Hansip Prop. Dati I Riau. Pada tahun 1993 dpercaya sebagai kepala seksi Perizinan Dinas Pertambangan Propinsi Riau, dan pada tahun 2002 dilantik sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Badan Pengawas Propinsi Riau hingga saat ini.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga Kajian Pembangunan Daerah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam kajian ini adalah Strategi Penguatan Peran Badan Pengawas dalam mewujudkan Good Governance di lingkungan Pemerintah Propinsi Riau. Dengan telah selesainya kajian ini, diucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc, dan Ir. Fredian Tonny, MS. selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan perbaikan-perbaikan atas kajian ini. 2. Pemerintah Propinsi Riau 3. Istri tercinta dan anak yang senantiasa memberikan dukungan moril dan doa 4. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah yang telah memberikan pengetahuan selama perkuliahan. 5. Kepala dan seluruh staf Badan Pengawas Propinsi Riau. 6. semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya penelitian ini.
Semoga Kajian Pembangunan Daerah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait.
Bogor,
Juli 2011
R. DAHLIUS
DA F T A R I S I
KATA PENGANTARi DAFTAR ISIii DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................... .................. 1.2 Perumusan Masalah ............................................................... ........ 1.3 Tujuan Dan Manfaat .......................................................................
BAB II
1 5 5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Manajemen Strategi ................................ .................... 2.2 Pengertian Pembinaan ……………………………………………… 2.3 Pengertian Kinerja Organisasi ………………………………………
7 10 11
2.4 Pengertian Penguatan ………………………………………………..
13
2.5 Pengertian Pengawasan…………………………………………....... 2.6 Pengertian Good Governance………………………………………….
17 18
BAB III METODE KAJIAN 3.1
Kerangka Pemikiran .........................................................................
24
3.2 3.3
Lokasi dan Waktu Kajian ................................................................. Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data ………………………….. 3.3.1 ....Penentuan Responden ........................................................
26 27
3.3.2 ....Metode Pengumpulan Data .......................................... ..... 3.3.3 ....Metode Pengolahan dan Analisis Data .............................. Definisi Konseptual…………………………………………. Pengertian Operasional ………………………………………….
28 28 31 32
3.4 3.5 BAB IV
GAMBARAN UMUM BADAN PENGAWAS PROVINSI RIAU
27
4.1. Profil Badan Pengawas Provinsi Riau ............................................. 4.2. Visi Badan Pengawas Provins Riau................................................... 4.3. Misi Badan Pengawas Provinsi Riau ...............................................
BAB V
39
4.4. Nilai-nilai Luhur ................................................................................
41
4.5. Nilai-nilai Spiritual 4.6. Struktur Organisasi Badan Pengawas Propinsi Riau .......................
42 42
ANALISIS KINERJA DAN PERMASALAHAN BADAN PENGAWAS PROVINSI RIAU 5.1. Hasil Pemeriksaan Tahun 2007 ..................................................... 5.1.1 Pemeriksaan Reguler ................................................... 5.1.2 Pemeriksaan khusus dan pengaduan masyarakat ............ 5.1.3 Pemeriksaan Non Pengawasan/Pemeriksaan ................ 5.2 Sasaran dan Program yang direncanakan Tahun 2007 ..................................................................................
BAB VI
33 33 35
STRATEGI DAN PROGRAM BADAN PENGAWAS DAERAH PROVINSI RIAU 6.1 Kondisi Lingkungan Internal Dan Eksternal SWOT ......................... 6.1.1 Lingkungan Internal ............................................................. 6.1.2
Lingkungan eksternal …………………………………………
6.2 Analisis Kondisi Lingkungan Internal Dan Eksternal (SWOT)……… 6.2.1 Kekuatan (Strengths) ...........................................................
44 45 50 55 56
66 66 67 68 68
6.2.2
Kelemahan (Weaknesses) …………………………………...
70
6.2.3
Peluang(Opportunity)...........................................................
76
6.2.4
Ancaman (Threats)................................................................
79
6.3 Penilaian/Skor Faktor-faktor (SWOT)………………………………….
80
6.4 Perumusan Strategi dan Program.................................................... 6.4.1 Strategi Kekuatan -Peluang (S-O).........................................
84
6.4.2
Strategi Kekuatan- Ancaman (S-T)…………………………....
84 85
6.4.3
Strategi Kelemahan-Peluang (W-O)......................................
76
6.4.4
Strategi Kelemahan-Ancaman (W-T).....................................
87
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ....................................................................................... 8.2 Saran ...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA 93
......................................................................................................
90 91
93
DAFfAR TABEL DAN GAMBAR
TABEL 1
Jumlah Responden yang Dijadikan Sampel Kajian
2
Identifikasi Faktor Internal dan Ekternal SWOT
3
Matrik SWOT
4
Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Fiktif dan Merugikan Keuangan Daerah di Provinsi Riau Tahun 2007
5
Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Melebihi Pre stasi Pekerjaan di Provinsi Riau Tahun 2007
6
Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Tidak Didukung dengan Bukti yang Lengkap dan Sah di Provinsi Riau Tahun 2007
7
Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Tidak Sesuai dengan Ketentuan Preundangan di Provinsi Riau Tahun 2007
8
Temuan Badan Pengawas terhadap Pajak yang belum Disetor ke Kas Negara di Provinsi Riau Tahun 2007
9
Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Pertanggungiawaban Biaya Perjalanan Dinas yang tidak Sesuai Ketentuan di Provinsi Riau Tahun 2007
.
10 Temuan Badan Pengawas terhadap PNS yang belum Memiliki Karis/Karsu di Provinsi Riau Tahun 2007 11 Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Melebihi Prestasi Pekerjaan di Provinsi Riau Tahun 2007 12 Informasi Sasaran dan Program Kegiatan dalam Tahun 2007 13 Informasi Hasil Pengawasan atas Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan ( Penerimaan dan Pengeluaran) dan Pelayanan Masyarakat 14
Informasi Sasaran yang Dicapai dalam Melakukan Pemeriksaan Khusus dan Pemeriksaan Pengaduan Masyarakat
.
15 Sasaran Program Pemberian Bimbingan Teknis 16 Informasi Sasaran Renstra Tahun 2007 17 Informasi Program Peningkatan Pengawasan 18 Identifikasi Lingkungan Internal dan Eksternal mlah pegawai Badan Pengawas Provinsi Riau menurut Jenjang
.
Pendidikan Formal tahun 2005-2007 20 Jumlah Pegawai Badan Pengawas Provinsi Riau yang Berkualifikasi Auditor Tahun 2005-2007 (orang) 21 Jumlah Anggaran Badan Pengawas Provinsi Riau tahun 2005- 2007 (Rp Milyar) 22 Sarana dan Prasarana Badan Pengawas Provinsi Riau Tahun 2005-2007 . 23 Perkembangan Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Badan Pengawas Provinsi Riau Tahun 2005-2007 24 Penilaian Faktor- faktor SWOT 25 Analisis Faktor Internal 26 Analisis Faktor Eksternal 27 Analisis SWOT Perumusan Strategi Penguatan Peran Badan Pengawas Daerah Provinsi Riau GAMBAR 1 Kerangka Perl1ikiran 2 Bagan Struktur Badan Pengawas Provinsi Riau
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja
diterapkan dengan menggunakan prinsip penganggaran terpadu yaltu penganggaran yang tidak lagi mengenal dikotomi penganggaran rutin dan pembangunan serta prinsip kerangka penganggaran jangka menengah. Dengan demikian, penganggaran yang mewajibkan instansi pemerintah harus menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang secara transparan mengungkapkan keluaran dan hasil dan program yang direncanakan dan rincian anggaran belanja terkait. Ketegasan dan konsistensi penyelenggaraan pemerintahan negara bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat serta implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada Daerah Otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara mandiri, luas, nyata dan bertanggung jawab. Paradigma baru desentralisasi tersebut membuka tantangan besar bagi seluruh bangsa Indonesia, namun apabila pemahaman terhadap wawasan kebangsaan keliru, akan menimbulkan tuntutan yang bersifat memperlemah kesatuan dan persatuan. Tuntutan atas pengalihan sumber-sumber pendapatan negara, bahkan tuntutan bentuk pemisahan diri daerah dan negara di luar sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Daerah secara hakekat, merupakan subsistem dan pemerintahan nasional dan implisit sebagai lembaga Pembinaan dan Pengawasan terhadap Pemerintah Daerah. Seluruh kegiatan pengawasan harus merupakan upaya yang komprehensif dalam membangun sistem pengendalian intern pemerintah melalui pembangunan budaya dan etika manajemen yang baik. Dalam analisis dan pengelolaan resiko, pelaksanaan kegiatan pengendalian, menjadi salah satu fungsi administrasi Badan Pengawas. Profesionalisme Aparat Pengawas Internal Pemerintah yang modern sangat bergantung pada kemampuannya untuk memberi nilai tambah bagi pencapaian kinerja pemerintah. Nilai tambah tesebut mampu melaksanakan kebijakan pengawasan yang relevan bagi peningkatan kinerja program pemerintah sesuai dengan kapasitas sumberdaya yang dimiliki dengan menggunakan pendekatan yang komprehensif.
Dalam konteks Negara Kesatuan, pelimpahan kewenangan dan Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom harus diikuti dengan pembinaan dan pengawasan. Pendekatan pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah yang baik. Pengawasan dalam pengertian global atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemerintahan Daerah berjalan sesuai dangan rencana dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan terkait dengan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana kepegawaian sesuai dengan urusan yang disentralisasikan serta urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemerintah Daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang beraku dan pendekatan strategis ni, untuk mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan. Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, ditekankan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara mandini, luas, nyata dan bertanggungjawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta daya saing daerah. Dengan demikian, Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan manajemen pemerintahan melalui fungsi-fungsi manajemen organisasi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh lembaga secara professional dalam rangka pencapaian sasaran dan tujuan organisasi dengan efektif dan efisien. Sejalan dengan bergulirnya reformasi, muncul banyak fenomena yang terjadi dan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik pada tatanan kebijakan/peraturan perundang-undangan. implementasinya maupun
dinamika
sosial
kemasyarakatan.
Tuntutan
masyarakat
atas
penyelenggaraan
pemerintahan yang baik (good governance) telah mendorong adanya konsekuensi logis perlunya berbagai upaya dan kerja keras pemerintah. Pengawasan (controlling) sebagai salah satu fungsi manajemen, bertujuan untuk menjamin agar penyelenggaraan pemenintahan benjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan guna menciptakan penyelenggaraan pemenintahan yang efektif, efisien, bersih dan bebas dan korupsi, kolusi serta nepotisme. Implementasi Otonomi Daerah dengan adanya kewenangan daerah merupakan salah satu media menuju terselenggaranya Pemenintahan Daerah yang baik (good governance). Badan Pengawas Provinsi Riau sebagai internal control Pemerintah Daerah, harus dapat melaksanakan pengawasan fungsional atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Riau secara optimal. Salah satu prinsip dasar dalam mewujudkan governance yang baik adalah prinsip transparansi dan akuntabel dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan. Prinsip-prinsip tersebut akan terlaksana apabila didukung faktor-faktor perencanaan, SDM, dan konsep aplikasi yang baik. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan merupakan proses kegiatan untuk menjamin agar pemerintahan berjalan secara transparan dan akuntabel sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undang. Badan Pengawas Provinsi sebagai unsur pengawasan bertanggung jawab kepada Gubernur, melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, baik Iingkungan Pemerintah Provinsi Riau maupun Pemerintah Kabupaten/Kota yang menjadi kewenangannya. Selain itu, Badan Pengawas Provinsi Riau adalah institusi pengawasan internal yang menjalankan tugas pembinaan dan pengawasan dalam rangka meningkatkan kinerja pemerintahan. Pengawasan fungsional yang dilakukan oleh Badan Pengawas Provinsi Riau bertujuan untuk membantu tugas Gubernur dalam upaya mencegah penyimpangan penyelenggaraan pemerintahan. Badan Pengawas Provinsi Riau sebagai institusi pengawas yang ada di daerah, dituntut untuk dapat menjalankan perannya secara baik. Namun demikian, Badan Pengawas dalam menjalankan perannya, perlu didukung oleh sumberdaya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang ada. Melihat tugas pokok dan fungsi dan Badan Pengawas Provinsi Riau yang begitu penting dalam melakukan Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, maka diperlukan penguatan peran Badan Pengawas Provinsi Riau agar dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, melaui Kajian Pembangunan Daerah ini
diharapkan dapat mengetahui strategi yang perlu dilakukan untuk penguatan (capacity building) peran Badan Pengawasan dalam upaya menuju good governance pada Pemerintah Provinsi Riau. Penguatan peran lembaga merupakan langkah untuk memperkuat Tupoksi dan kewenangan sebuah lembaga pengawasan terhadap organisasi publik yang menjadi obyek pemeriksaan. Dengan adanya kewenangan untuk memeriksa, maka Bawasprop sebagai lembaga pengawas seharusnya mempunyai posisi yang kuat, dengan harus mempunyai rencana strategis yang memadai, kualitas SDM yang cukup baik, dan metode pemerikasaan standar yang dapat diimplementasikan dengan penilaian tinggi.
1.2
Rumusan Masalah Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme menunjukkan adanya keinginan dari masyarakat untuk dapat menciptakan suatu kinerja penyelenggaraan pemerintahan yang lebih transparan. Sejalan dengan itu, Badan Pengawas Provinsi Riau telah berkomitmen untuk mendukung upaya pencapaian penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam pelaksanaan tugasnya, Badan Pengawas Provinsi Riau banyak menemukan pelanggaran-pelanggaran di berbagai macam instansi, baik di Provinsi Riau maupun di kota dan kabupaten di seluruh Provinsi Riau.
Pelanggaran-pelanggaran ini ada yang berupa
masalah/temuan keuangan, administrasi maupun adanya pengaduan masyarakat.
Akan tetapi
pengaduan dari masyarakat jumlahnya lebih sedikit daripada temuan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Provinsi Riau. Hal ini, menurut Anindya, salah seorang
pemerhati kebijakan publik di Yogyakarta,
menyatakan bahwa salah satunya keengganan masyarakat ini dikarenakan adanya kecenderungan negatif dari masyarakat terhadap aparat pemeriksa, selain itu aparat pemeriksa kurang transparan dan membuka diri dalam kegiatannya melakukan pengawasan ataupun pemeriksaan. Berdasarkan data di Badan Pengawas Provinsi Riau, jumlah pegawai Badan Pengawas di Provinsi Riau tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan, dari tahun 2005 sejumlah 68 oerang dan pada tahun 2007 sebesar 76 orang, sedangkan yang memiliki sertifikasi auditor pada tahun yang sama meningkat juga, dari 4 orang menjadi 9 orang dari total 36 orang auditor.
Dilain pihak beban kerja Badan Pengawas Provinsi Riau cukup besar, dalam satu tahun anggaran harus melakukan pemerikasaan terhadap sekitar 30 SKPD yang ada di lingkup Pemerintah Provinsi Riau dan 11 Kabupaten/ Kota, yang masing-masingnya adalah 7 obyek pemeriksaan. Jika dibuat perbandingan, maka 1 orang pemeriksa harus melakukan pemeriksaan terhadap 3 obyek pemeriksaan. Dengan adanya hal tersebut, maka dapat dilihat permasalahan dalam kuantitas dan kualitas dari aparat pemeriksa di Badan Pengawas Provinsi Riau. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kinerja sumberdaya manusia di Badan Pengawas Provinsi Riau? 2. Bagaimana strategi yang dapat diterapkan untuk penguatan peran Badan Pengawas Provinsi Riau?
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan gambaran mengenai kinerja sumber daya manusia dalam mendukung tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di Badan Pengawas Provinsi Riau 2. Merumuskan strategi penguatan peran Badan Pengawas Provinsi Riau.
1.4
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menjadi bahan pemikiran dan saran
bagi Pemerintah
Provinsi
Riau, dalam
pengambilan kebijakan. 2. Untuk menjadi referensi penguatan
peran Badan Pengawas Provinsi Riau dalam
mewujudkan Pemerintah yang baik (good governance) di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Manajemen Strategis Menurut Barney (1997), definisi kerja strategis adalah pola alokasi sumber daya yang
menciptakan kemampuan organisasi untuk memelihara kinerjanya. Olsen dan Eadie (1982) mendefinisikan manajemen strategis sebagai “upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau entintas lainnya), apa yang dikerjakan organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya) mengerjakan hal seperti itu”. Sedangkan Bryson dan Einsweiler dalam Bryson (1995) berpendapat bahwa “manajemen strategis adalah sekumpulan konsep, prosedur, dan alat, serta sebagian karena sifat khas praktik perencanaan sektor publik ditingkat lokal”. Dengan melihat beberapa pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa manajemen strategi dapat didefinisikan sebagai suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai suatu sasaran melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Pandangan akan pentingnya manajemen strstegis, pada awal mulanya memang hanya berkembang di sektor privat. Hampir semua kegiatan manajemen strategis di abad ini difokuskan pada organisasi privat (Bryson, 1995). Pemanfaatan manajemen strategis ke dalam organisasi sektor publik sendiri baru dimulai pada awal tahun 1980-an (Quinn, 1980; Brucker, 1980 dalam Bryson, 1995). Sementara itu, Keban (1995) mengemukakan bahwa penerapan manajemen strategis sebagai strategic planning belum menjadi suatu tradisi bagi birokrasi. Sedangkan dalam rangka memberikan pelayanan kepada publik yang lebih baik dimasa mendatang, tradisi strategic planning bagai birokrasi akan sangat bermanfaat terutama dalam memacu pola berfikir strategis mengenai apa misi utama birokrasi yang hendak dicapai, tujuan jangka panjang dan pendeknya, rencana-rencana strategis, dan rencana-rencana operasional, khususnya program-program dan proyeknya. Relevansi manajemen strategis bagi birokrasi kiranya telah menemukan momentumnya saat ini mengingat sifat interconnectedness di lingkungan birokrasi juga semakin mengemuka dari waktu ke waktu. Menurut Bryson (1995:) terdapat tiga pendekatan dasar untuk mengenali isu strategis, yaitu:
1.
Pendekatan langsung (direct approach), meliputi jalan lurus dari ulasan terhadap mandat, misi dan SWOTs hingga identifikasi isu-isu strategis. Pendekatan langsung dapat bekerja di dunia yang pluralisti, partisan, terpolitisasi, dan relatif terfragmentasi di sebagian besar organisasi publik, sepanjang ada koalisi dominan yang cukup kuat dan cukup menarik untuk membuatnya bekerja.
2.
Pendekatan tidak langsung (indirect approach), hampir sama dengan pendekatan langsung dan biasanya dilakukan bersama dengan pendekatan langsung, hanya tidak dibentuk tim khusus. Kedua pendekatan ini yang paling banyak digunakan untuk organisasi pemerintah dan organisasi nirlaba.
3.
Pendekatan sasaran (goals approach), lebih sejalan dengan teori pendekatan konvensioanal, yang menetapkan bahwa organisasi harus menciptakan sasaran dan tujuan bagi dirinya sendiri dan kemudian mengembangkan strategi untuk mencapainya. Pendekatan ini dapat bekerja jika ada kesepakatan yang agak luas dan mendalam tentang sasaran dan tujuan organisasi, serta jika sasaran dan tujuan itu cukup terperinci dan spesifik untuk memandu pengembangan strategi.
4.
Pendekatan visi keberhasilan (vision of success), di mana organisasi mengembangkan suatu gambar yang terbaik atu ideal mengenai dirinya sendiri di masa depan sebagai organisasi yang sangat berhasil memenuhi misinya. Pendekatan ini lebih mungkin bekerja dalam organisasi nirlaba ketimbang organisasi sektor publik.
Berdasarkan uraian tersebut, pendekatan yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan langsung. Namun yang perlu diingat bahwa proses manajemen strategis apapun akan bermanfaat hanya jika proses manajemen strategis membantu berpikir dan bertindak secara strategis kepada orang-orang penting pembuat keputusan. Proses manajemen strategis menurut Bryson and Roring (1987) meliputi delapan langkah, yaitu: 1.
Memprakarsai dan menyepakati suatu proses perencanaan strategis. Tujuan langkah pertama adalah menegosiasikan kesepakatan dengan orang-orang penting pembuat keputusan (decision makers) atau pembentuk opini (opinion
leaders) internal (dan mungkin eksternal) tentang seluruh upaya perencanaan strategis dan langkah perencanaan yang terpenting. 2.
Mengidentifikasi mandat organisasi. Mandat formal dan informal yang ditempatkan pada organisasi adalah “keharusan” yang dihadapi organisasi.
3.
Memperjelas misi dan nilai-nilai organisasi. Misi organisasi yang berkaitan erat dengan mandatnya, menyediakan raison de^etrenya, pembenaran sosial bagi keberadaannya.
4.
Menilai lingkungan eksternal : peluang dan ancaman. Mengeksplorasi lingkungan di luar organisasi untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi oleh organisasi.
5.
Menilai lingkungan internal: Kekuatan dan kelemahan. Untuk mengenali kekuasaan dan kelemahan internal, organisasi dapat memantau sumber daya (inputs), strategi sekarang (process), dan kinerja (outputs).
6.
Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi. Isu strategis, meliputi konflik satu jenis atau lainnya. Konflik dapat menyangkut tujuan (apa); cara (bagaimana); filsafat (mengapa); tempat (dimana); waktu (kapan); dan kelompok yang mungkin diuntungkan atau tidak diuntungkan oleh cara-cara yang berbeda dalam pemecahan isu (siapa).
7.
Merumuskan strategi untuk mengelola isu-isu. Strategi didefinisikan sebagai pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan, atau alokasi sumber daya yang menegaskan bagaimana organisasi, apa yang dikerjakan organisasi, mengapa organisasi harus melakukan hal tersebut.
8.
Menciptakan visi organisasi yang efektif bagi masa depan. Langkah terakhir dari proses manajemen strategis adalah mengembangkan deskripsi mengenai
bagaimana
seharusnya
organisasi
itu
sehingga
mengimplementasikan strateginya dan mencapai seluruh potensinya.
2.2 . Pengertian Pembinaan
berhasil
Pengertian pembinaan disini adalah lebih bersifat kepada pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan, dilaksanakan urusan pemerintahan, dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada daerah sesuai dengan kebutuhan. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh pemerintah yang meliputi pangawasan atas penyelenggaraan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah, peraturan Kepala Daerah. Pemerintah memberikan penghargaan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diberikan kepada Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, Anggota DPRD, Perangkat Daerah, Pegawai Negeri Sipil Daerah, Kepala Desa, Anggota Badan Pemusyawaratan Desa dan Masyarakat.
2.3
. Kinerja Organisasi
Bagi setiap organisasi, penilaian terhadap kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting karena penilaian tersebut dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam kurun waktu tertentu. Penilaian tersebut dapat dijadikan input bagi perbaikan atau peningkatan kinerja organisasi yang bersangkutan. Menurut Setiawan (1988:9) “Kinerja berhubungan dengan penilaian atas kualitas pengelolaan dan kualitas pelaksanaan tugas atau operasi perusahaan. Aspek lain adalah hubungan organisasi dengan lingkungan sosial dan lingkungan politiknya”. Dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan kepada apa alasan dan tujuan dari dibentuknya organisasi tersebut. Bagi organisasi privat yang tujuan pembentukannya adalah produksi barang dan jasa untuk mendapatkan profit misalnya, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar ia mampu berproduksi
(productivity) atau seberapa besar keuntungan yang
berhasil diraih (economy). Sedangkan dalam organisasi publik sendiri masih sulit menemukan indikator yang sesuai untuk mengukur kinerja (Fynn, 1986; Jackson and Palmer, 1992 dalam Bryson, 1995). Bila dikaji dari tujuan dan misi utama kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik (Dwiyanto, 1995) maka kinerja organisasi publik itu baru dapat dikatakan berhasil apabila mampu dalam mewujudkan tujuan dan misinya.
Levine dkk dalam Dwiyanto (1995) mengemukakan 3 konsep yang dapat dijadikan sebagai acuan guna mengukur kinerja organisasi publik, yaitu : a.
Responsivitas (responsiveness), mengacu kepda keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Semakin banyak kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik maka kinerja organisasi tersebut semakin baik.
b.
Responsibilitas (responsibility), menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijaksanaan organisasi baik yang implisit maupun yang eksplisit. Semakin kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi, peraturan dan kebijaksanaan organisasi maka kinerjanya dinilai semakin baik.
c.
Akuntabilitas (accountability), mengacu kepada seberapa besar kebijaksanaan dan kegiatan organisasi publik tunduk kepada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik dinilai baik apabila seluruhnya atau setidaknya sebagain besar kegiatannya didasarkan pada upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat.
Kinerja berhubungan dengan : Pertama, aspek-aspek input atau sumber-sumber dayanya (resources), antara lain seperti (1) pegawai (SDM); (2) anggaran; (3) sarana dan prasarana; (4) informasi; dan (5) budaya organisasi. Kedua berkaitan dengan proses manajemen (1) perencanaan; (2) pengorganisasian; (3) pelaksanaan; (4) penganggaran; (5) pengawasan; (6) evaluasi. Di samping faktor internal tersebut, perlu juga diperhatikan aspek-aspek lingkungan eksternal yang secara langsung maupun tidak ikut mempengaruhi kinerja, seperti kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi, juga pihak-pihak yang terkait dengan penyediaan input, misalnya wajib pajak, para pembuat kebijakan, dan sebagainya. Setiap aspek di atas memiliki potensi yang sama untuk muncul sebagai faktor dominan yang mempengaruhi kinerja organisasi, baik yang berpengaruh secara positif maupun negatif. Selanjutnya untuk mengidentifikasi isu-isu strategis yang dihadapi oleh organisasi berdasarkan mandat dan misi organisasi serta faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang dihadapi
oleh organisasi, kita memerlukan suatu manajemen strategis, untuk merumuskan strategi dalam rangka mengelola isu-isu strategis tersebut.
2.4
. Penguatan Organisasi dan Capacity Building
Nilai-nilai “good governance” yang diungkapkan diatas bukan nilai-nilai yang muncul dengan sendirinya atau secara kebetulan, tetapi yang muncul secara sengaja melalui strategi yang terpilih dan dilakukan lembaga pemerintahan. Karena itu, penilaian terhadap kelayakan strategi yang dipilih dan digunakan lembaga pemerintahan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penilaian kinerja pemerintahan itu sendiri. Dan penilaian strategi tersebut tidak diambil dari semua bidang yang ditangani lembaga pemerintahan, tetapi difokuskan pada bidang-bidang strategis, yaitu bidang-bidang yang paling menentukan nasib bangsa dan negara. Karena kondisi pemerintahan pada saat ini sangat lemah sebagai akibat dari “salah urus” yang terjadi pada masa lampau, maka muncul inisiatif untuk meningkatkan kemampuan pemerintahan melalui “capacity building”. Inisiatif ini nampaknya sangat menentukan kinerja pemerintahan di masa mendatang dan kini mulai disadari sebagai langkah awal yang sangat vital dalam pembenahan kemampuan pemerintahan. “Capacity building” merupakan serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja pemerintahan, dengan memusatkan perhatian kepada dimensi: (1) pengembangan sumberdaya manusia; (2) penguatan organisasi; dan (3) reformasi kelembagaan (lihat Grindle, 1997: 1 - 28). Dalam konteks pengembangan sumberdaya manusia, perhatian diberikan kepada pengadaan atau penyediaan personel yang profesional dan teknis. Kegiatan yang dilakukan antara lain training, pemberian gaji/upah, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja dan sistim rekruitmen yang tepat. Dalam kaitannya dengan penguatan organisasi, pusat perhatian ditujukan kepada sistim manajemen untuk memperbaiki kinerja dari fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang ada dan pengaruran struktur mikro. Aktivitas yang harus dilakukan adalah menata sistim insentif, pemanfaatan personel yang ada, kepemimpinan, komunikasi, dan struktur manajerial. Dan berkenaan dengan reformasi kelembagaan, perlu diberi perhatian terhadap perubahan sistem dan institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur makro. Dalam hal ini aktivitas yang perlu dilakukan adalah melakukan perubahan “aturan main” dari sistim ekonomi dan politik yang ada, perubahan kebijakan dan aturan hukum, serta reformasi sistim kelembagaan yang dapat mendorong pasar dan
berkembangnya masyarakat madani (Grindle, 1997). Dimensi peningkatan kemampuan ini juga diungkapkan oleh beberapa pengarang lain. Menurut A. Fiszbein (1997), peningkatan kemampuan difokuskan pada: (1) kemampuan tenaga kerja (labor); (2) kemampuan teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau kelembagaan; dan (3) kemampuan “capital” yang diwujudkan dalam bentuk dukungan sumberdaya, sarana, dan prasarana. Sementara itu, D.Eade (1998) merumuskan peningkatan kemampuan dalam tiga dimensi, yaitu: (1) individu; (2) organisasi; dan (3) network. Nampaknya pengembangan dimensi individu dan organisasi merupakan kunci utama atau titik strategis bagi perbaikan kinerja (Mentz, 1997), tetapi masuknya dimensi network ini sangat penting karena melalui dimensi ini individu dan organisasi dapat belajar mengembangkan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya. J.S.Edralin (1997) juga mengumpulkan berbagai pendapat yang menggambarkan pemahaman mereka tentang “capacity building”. Misalnya, World Bank memfokuskan peningkatan kemampuan kepada: (1) pengembangan sumberdaya manusia, khususnya training, rekruitmen, pemanfaatan dan pemberhentian tenaga kerja profesional, manajerial dan teknis; (2) organisasi, yaitu pengaturan struktur, proses, sumberdaya, dan gaya manajemen; (3) jaringan kerja interaksi organisasi, yaitu koordinasi kegiatan-kegiatan organisasi, fungsi jaringan kerja, dan interaksi formal dan informal; (4) lingkungan organisasi, yaitu aturan dan perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menghambat tugas-tugas pembangunan, dan dukungan keuangan dan anggaran; dan (5) lingkungan kegiatan yang luas, yaitu mencakup faktor politik, ekonomi, dan kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap kinerja. Sementara itu, UNDP memfokuskan pada tiga dimensi yaitu: (1) tenaga kerja (dimensi sumberdaya manusia), yaitu kualitas SDM dan cara SDM dimanfaatkan; (2) modal (dimensi phisik) yaitu menyangkut peralatan, bahan-bahan yang diperlukan, dan gedung; dan (3) teknologi yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi perencanaan, pembuatan keputusan, pengendalian dan evaluasi, serta sistim informasi manajemen. Dan United Nations memusatkan perhatiannya kepada: (1) mandat atau struktur legal; (2) struktur kelembagaan; (3) pendekatan manajerial; (4) kemampuan organisasional dan teknis; (5) kemampuan fiskal lokal; dan (6) kegiatan-kegiatan program (lihat Edralin, 1997: 148 – 149). Semua dimensi peningkatan kemampuan diatas dikembangkan sebagai strategi untuk mewujudkan nilai-nilai “good governance”. Pengembangan sumberdaya manusia misalnya, dapat dilihat sebagai suatu strategi untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas dan memelihara nilai-nilai moral dan etos kerja. Pengembangan kelembagaan merupakan strategi penting agar suatu lembaga pemerintahan mampu: (1) menyusun rencana strategis ditujukan agar organisasi memiliki visi yang jelas; (2) memformulasikan kebijakan dengan memperhatikan nilai efisiensi, efektivitas, transparansi, responsivitas, keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan; (3) mendesain organisasi untuk menjamin efisiensi dan efektivitas, tingkat desentralisasi dan otonomi yang lebih tepat, dan (4) melaksanakan tugas-tugas manajerial agar lebih efisien, efektif, fleksibel, adaptif, dan lebih berkembang. Pengembangan jaringan kerja, misalnya merupakan strategi untuk meningkatkan kemampuan bekerja sama atau kolaborasi dengan pihak-pihak luar dengan prinsip saling menguntungkan. Bila dicermati berbagai pendapat diatas maka “capacity building” sebenarnya berkenaan dengan strategi menata input dan proses dalam mencapai output dan outcome, dan menata feedback untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada tahap berikutnya. Strategi menata input berkenaan dengan kemampuan lembaga menyediakan berbagai jenis dan jumlah serta kualitas sumberdaya manusia dan non manusia agar siap untuk digunakan bila diperlukan. Strategi menata
proses
berkaitan
dengan
kemampuan
lembaga
merancang,
memproses
dan
mengembangkan kebijakan, organisasi dan manajemen. Strategi menata feedback berkenaan dengan kemampuan melakukan perbaikan secara berkesinambungan dengan mempelajari hasil yang dicapai, kelemahan-kelemahan input dan proses, dan mencoba melakukan tindakan perbaikan secara nyata setelah melakukan berbagai penyesuaian dengan lingkungan. Strategistrategi tersebut harus dinilai secara cermat tingkat kelayakannya pada bidang-bidang strategis yang menjadi prioritas utama kegiatan pemerintahan pada saat sekarang.
2.5.
Pengawasan
Siagian (1999) memberikan definisi tentang pengawasan sebagai proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesual dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Definisi lain tentang pengawasan kegiatan manajer yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan yang terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hash yang dikehendaki. Batasan lain mengenal pengawasan adalah suatu proses yang menentukan tentang apa yang dikerjakan, agar apa yang diselenggarakan sejalan dengan rencana. Terry (1963) berpendapat bahwa pengawasan
adalah untuk menenukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasnya dan mengambil tindakan-tindakan korektif, bila diperlukan, untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana. Pengawasan intern pemerintah, baik pada tingkat pusat maupun Pemerintah Daerah, adalah salah satu alat pengawasan yang mutlak diperlukan serta tidak dapat saling menggantikan. Di samping itu juga Peraturan Perundang-undangan telah menentukan beberapa alat-alat penting lainnya yang muUak diperlukan sebagai kriteria pengawasan yang efektif, antara lain perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja dan prestasi kerja (Pengembangan Rencana Strategis dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah beserta Indikator Prestasi Kerja), standar pelayanan minimal, standar analisa belanja, standar akuntansi pemerintahan, standar audit pemerintahan, standar alokasi dana perimbangan keuangan pusat ke daerah. Tata cara penyaluran dana dekonsentrasi dan dana pembantuan dan pemerintah pusat ke daerah, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya semua upaya tersebut adalah dalam rangka menegakkan 3 pilar Good Governance, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat luas yang telah menjadi komitmen pemerintah sejak dimulainya era reformasi hingga saat ini. Sumarlin menyatakan bahwa dengan semakin besarnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Good Governance, maka kebutuhan terhadap peran pengawasan akan semakin meningkat. Pengawasan itu perlu dilaksanakan secara optimal, yaitu dilaksanakan secara efektif dan efisien serta bermanfaat bagi auditiee (Organisasi, Pemerintah dan Negara) dalam merealisasikan tujuan/program secara efektif, efisien dan ekonomis. Pengalaman menunjukkan bahwa banyaknya aparat pengawasan justru menimbulkan nefisiensi, karena timbulnya pemeriksaan yang bertubi-tubi dan tumpang tindih di antara berbagai aparat pengawasan intern pemerintah, serta antara pengawasan intern pemerintah dengan aparat pengawasan eksternal (BPK). Di samping itu disinyalir juga bahwa pengawasan baru mencapai fungsinya yang bersifat korektif dan belum mencapai fungsinya yang bersifat preventif. Keberhasilan fungsi pengawasan harus diperankan dan dilaksanakan oleh suatu sistem pengendalian intern yang memadai.
2.6.
Governance Menurut Ganie-Rochman (Widodo, 2001, 18) konsep “governance“ melibatkan tidak
sekedar pemerintah dan negara, tapi juga peran berbagai actor di luar pemerintah dan negara,
sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas. Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif. Pinto dalam Nisjar. (1997:119) mengatakan bahwa governance adalah praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Sementara itu, Hughes dan Ferlie, dkk dalam Osborne dan Gaebler, (1992) berpendapat bahwa Good Governance, memiliki kriteria yang berkemampuan untuk memacu kompetisi, akuntabilitas, responsip terhadap perubahan, transparan, berpegang pada aturan hukum, mendorong adanya partisipasi pengguna jasa, mementingkan kualitas, efektif dan efisien, mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pengguna jasa, dan terbangunnya suatu orientasi pada nilai-nilai. Sedangkan Lembaga Administrasi Negara (2000, 1) mengartikan governance sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods dan services. Lebih lanjut ditegaskan bahwa apabila dilihat dari segi aspek fungsional, governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan atau sebaliknya. Berkaitan
dengan
system
penyelenggaraan
pemerintahan,
UNDP
(1997,
10)
mengemukakan bahwa : “Systemic governance encompasses the processes and structures of society that guide political and socio-economic relationships to protect cultural and religius beliefs and values and to creat maintenance an environment of health, freedom, security and with the opportunity to exercise capabilities that lead to a better life for all people”.
Unsur
utama
(domains)
yang
dilibatkan
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
(governance) menurut UNDP terdiri dari 3 (tiga) komponen yakni : •
Negara (The State) pada masa yang akan datang mempunyai tugas penting yakni menciptakan lingkungan politik (political environment) guna mewujudkan pembangunan manusia yang berkelanjutan (sustainable humam development) sekaligus meredefinisi peran pemerintah dalam integrasi sosial ekonomi, melindungi lingkungan, kemiskinan, menyediakan infrastruktur, desentralisasi dan demokratisasi pemerintah, memperkuat financial dan kapasitas
administrasi Pemerintah Daerah. Disamping itu, Pemerintah juga perlu memberdayakan rakyat (empowering the people) yang menghendaki pemberian layanan, penyediaan kesempatan yang sama secara ekonomi dan politik. Pemberdayaan tersebut akan terwujud apabila diciptakan suatu lingkungan yang kondusif dengan system dan fungsi yang berjalan sesuai dengan peraturan yang jelas. •
Sektor swasta (The Private Sector) akan memiliki peranan penting karena lebih berorientasi kepada pendekatan pasar (market approach) dalam pembangunan ekonomi serta berkaitan dengan penciptaan kondisi dimana produksi barang dan jasa (good and services) dalam lingkungan yang kondusif untuk melakukan aktivitasnya dengan lingkup kerja “incentives and rewards” secara ekonomi bagi individu dan organisasi yang memiliki kinerja baik.
•
Organisasi
kemasyarakatan
(Civil
Society
Organizations)
merupakan
wadah
yang
memfasilitasi interaksi sosial dan politik yang dapat memobilisasi berbagai kelompok didalam masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas social, ekonomi dan politik sekaligus melakukan check and balances terhadap kekuasaan pemerintah dan memberikan kontribusi yang memperkuat unsur (komponen) lainnya. Civil society juga merupakan penyalur partisipasi masyarakat dalam aktivitas social dan ekonomi kemudian mengorganisir mereka kedalam suatu kelompok yang lebih potensial yang memonitor lingkungan, kelangkaan akan sumberdaya (resources depletion), polusi dan kekejaman sosial lalu memberikan kontribusi terhadap pembangunan melalui distribusi manfaat yang merata dalam masyarakat dan menciptakan kesempatan baru bagi setiap individu guna memperbaiki `standar hidup mereka. Hal terpenting lainnya adalah harapan yang akan mempengaruhi penerapan kebijakan publik, serta sebagai sarana yang melindungi (protecting) dan memperkuat (strengthening) kultur, keyakinan agama dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga “kesinergian” interaksi yang konstruktif diantara ketiga domain (State, Private Sector and Society) yang minimal memiliki 6 (enam) kriteria berikut : 1.
Competence, maksudnya setiap pejabat yang dipilih menduduki jabatan tertentu benar-benar orang yang memiliki kompetensi dari setiap aspek penilaian, baik; dari segi
pendidikan/keahlian, pengalaman, moralitas, dedikasi, maupun aspek lainnya misalnya the right man on the right place. 2.
Transparancy, prinsip keterbukaan harus benar-benar diterapkan pada setiap aspek dan fungsi pemerintahan di daerah, apalagi bila dilengkapi dengan prinsip merit system dan reward and punishment, akan menjadi fungsi pendorong bagi optimalisasi dan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan,
3.
Accountability, sejalan dengan prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas akan mendorong setiap pejabat untuk melaksanakan tugasnya dengan cara yang terbaik, karena setiap tindakan yang diambilnya akan dipertanggungjawabkan kehadapan publik dan hukum,
4.
Participation, mengingat tanggung jawab dan intensitasnya di daerah terutama dihadapkan pada kemampuan untuk mengoptimalisasikan sumber daya yang dimiliki daerahnya maka diperlukan prakarsa, kreativitas dan peran serta masyarakat guna memajukan daerah,
5.
Rule of Law, merupakan kepastian akan penegakan hukum yang jelas dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
6.
Social Justice, bahwa prinsip kesetaraan dan keadilan bagi setiap anggota masyarakat mesti diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Dalam konteks penelitian ini, yang dimaksud good governance adalah penerapan 6 (enam) kriteria, berupa : Competence, Transparancy, Accountability, Participation, Rule of Law, dan Social Justice melalui penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Siak Nomor 24 Tahun 2001. Menurut UNDP dalam buku good governance dalam perspektif budaya melayu (2004), istilah Governance menunjukkan suatu proses yang memposisikan rakyat mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya sekedar dipergunakan untuk pembangunan tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi. serta kesejahteraan rakyatnya Sementara definisi Good Governance menurut World Bank ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, pengindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
menciptakan
(Mardiasmo,2002:23),
legal
dan
political
framework
bagi
tumbuhnya
aktivitas
usaha
UKIODA (1993) menyatakan bahwa istilah Good Government dan good governance tidak ada bedanya karena keduanya merujuk pada aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan menyusun berbagai kriteria dan yang bersifat politik hingga ekonomi. Menurut Taschereau dan Campos yang dikutip dan Toha (2003:63) tata pemerintahan yang baik (tenjemahan dan good governance) merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, serta keseimbangan peran serta, adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh pemerintahan (government), rakyat (citizen), atau civil society dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen itu mempunyat tata hubungan yang sama dan sederajat. Jika kesamaan derajat itu tidak sebanding, atau tidak terbukti maka akan terjadi pembiasaan dan tata pemerintahan yang baik. Dan pengertian tersebut setidaknya ada tiga institusi utama dan governance yaitu: State (pemerintah), private sector (swasta/dunia usaha) dan civil society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintah berfungsi menciptakan Iingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan dan society berperan positf dalam interaksi sosial ekonomi dan politik termasuk pemberdayaan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial, ekonomi dan politik. Selanjutnya Piere (2000:75) mengatakan bahwa konsep governance telah berkembang sedemikian rupa setidaknya ada tiga pergerakan yaitu “moving up”,”moving down” dan “moving out”. Moving up yaltu pergerakan terhadap aturan main organisasi internasional seperti dalam kebijaksanaan GATT (GeneralAgreement on Tarrifs and Trades). Moving down berkaitan dengan kebijaksanaan desentralisasi dan region, lokal, komunitas. Moving out berkaitan dengan kebijaksanaan demokrasi yang semakin kuat dimana pelayanan publik diserahkan kepada lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
BAB III METODE KAJIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001), Pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pengawasan terhadap urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya”. Ayat (2) berbunyi “Aparat Pengawas Intern Pemerintah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Provinsi dan inspektorat kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, maka Gubernur Riau membentuk Badan Pengawas Provinsi Riau melalui Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Provinsi. Pada Pasal 3 menyebutkan: Badan Pengawas adalah perangkat daerah yang diserahkan wewenang dan tanggung jawab untuk menunjang penyelenggaraan otonomi daerah, desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan di bidang pengawasan umum di Daerah. Badan Pengawas Provinsi melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam upaya pembinaan terhadap aparat pemerintah baik di lingkup Pemerintahan Provinsi maupun Pemerintahan Kabupaten/Kota (sesuai dengan Pasal 26 ayat (3), PP Nomor 79 tahun 2005). Sejalan dengan ketentuan tersebut di atas, maka Badan Pengawas mempunyai kewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan pembangunan daerah, khususnya penyelenggaraan pemerintahan daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Kemampuan menarik kembali uang negara/daerah merupakan salah satu upaya dalam menjawab tingginya tuntutan masyarakat untuk segera mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, sebagaimana diamanatkan dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 ditegaskan antara lain:
a. Menerapkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (Good Governance) di lingkungan pemerintah daerah. b. Meningkatkan pelayanan publik dan meniadakan pungutan liar dalam pelaksanaannya. c. Bersama-sama dengan DPRD melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kebocoran keuangan Negara baik yang bersumber dari APBN maupun APBD. d. Menindaklanjuti apa yang telah diinstruksikan Presiden tersebut harus disikapi dengan optimis, bahwa permasalahan korupsi di Indonesia, termasuk di Provinsi Riau pada hakekatnya dapat dicegah dan diberantas, apabila hal tersebut dilakukan sungguh-sungguh. Prinsip dasar dari implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah mewujudkan pemerintahan yang demokratis yang mendorong peran serta masyarakat dalam upaya penerapan pemerataan dan keadilan, sehingga diperlukan suatu Pemerintah Daerah yang baik dan bersih serta terbebas dari unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Untuk mencapai pemerintahan yang baik (good governance) maka dibutuhkan komitmen dari semua pihak, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat, karena good governance yang efektif menuntut adanya kesinergian yang baik, integritas, profesionalisme dan etos kerja serta moral yang tinggi dari semua elemen. Dengan demikian konsep good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan bukan hanya merupakan tuntutan dan harapan masyarakat, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri. Dari uraian tersebut, maka kerangka pemikiran kajian dalam kajian ini dapat disampaikan dalam Gambar 1.
Pemerintah Provinsi Riau
Bawasda Provinsi Riau
Kondisi Internal
Strategi Penguatan Kondisi Peran Bawasda Eksternal
Strategi dan Program
Gambar 1 . Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran kajian
3.2.Lokasi Dan Waktu Kajian Kajian ini mengambil lokasi di Kota Pekanbaru pada Badan Pengawas Provinsi Riau dan Satuan Kerja di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Mengingat jumlah responden dan aktivitasnya, maka periode kajian dilakukan selama empat bulan yaitu dari bulan Oktober 2007 hingga Januari 2008.
3.3.
Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data
3.3.1. Penentuan Responden Dalam melakukan kajian ini, yang menjadi responden adalah
pejabat/pegawai pada
Badan Pengawas Provinsi Riau dan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Sampel
yang menjadi responden diambil secara sengaja (purposive random
sampling) yaitu Kepala Badan Pengawas Provinsi Riaui dan pejabat eselon IV dan III di lingkungan Badan Pengawas Provinsi Riau dan pegawai/pejabat pada SKPD di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Jumlah sampel yang diambil pada kajian ini adalah 14 orang dari Badan Pengawas Provinsi Riau, empat orang dari Badan, Dinas, Kantor Sekretariat Daerah dan satu orang dari Rumah Sakit. Dari total sampel untuk Badan Pengawas Provinsi didistribusikan secara proporsional sesuai dengan jabatan dan dari total sampel pada SKPD yang dijadikan sebagai sampel adalah Kepala Bagian Tata Usaha. Dengan demikian jumlah sampel yang dijadikan Responden dalam Kajian ini adalah 19 orang, sebagaimana disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Responden yang Dijadikan Sampel Kajian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Jabatan Kepala Badan Kepala Bidang Kepala Sub. Bagian Kepala Sub.Bidang Kabag TU Kabag Anggaran Kabag Pengadaan Perlengkapan Kabag TU
Satuan Kerja Bawasprov. Riau Bawasprov. Riau Bawasprov. Riau Bawasprov. Riau Diknas Prov. Riau Setda Prov. Riau BADP Prov. Riau RSUD Prov. Riau Kantor Satpol PP Jumlah
Jumlah Sampel 1 4 5 4 1 1 1 1 1 19
3.3.2. Metode Pengumpulan Data Dalam melakukan kajian ini, pengumpulan data bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer merupakan sumber data kajian yang diperoleh secara langsung melalui pejabat struktural Badan Pengawas Provinsi Riau dan sumber lain yang ada hubungannya dengan kajian ini (Sekretariat Daerah, Dinas Pendidikan, BADP, RSUD dan Satuan Pamong Praja Provinsi Riau). Data primer pada kajian ini dikumpulkan melalui teknik wawancara/diskusi dengan responden, yang tujuannya adalah untuk mengumpulkan keterangan antara lain mengenai kendala/hambatan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Pengawas dan upaya-upaya yang
dilakukan untuk mengatasi kendala/hambatan tersebut, serta mengetahui sikap dan tanggapan Satuan Kerja lain terhadap keberadaan dan peranan Badan Pengawas di lingkungan Provinsi Riau. Data sekunder didapat melalui teknik dokumentasi, yang diperoleh dari Badan Pengawas Provinsi Riau, antara lain Struktur Organisasi, jumlah pegawai, jumlah sarana dan prasarana, anggaran dan hasil pemeriksaan Badan Pengawas
3.3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data Untuk menjawab tujuan dari kajian ini, metode pengolahan data dan analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (Strenghts-Weaknesses-Opportunities-Threaths). Langkah langkah analisis SWOT ini adalah sebagai berikut: 1) Menyusun matriks SWOT ini terdiri dari empat kuadran yaitu kekuatan dan kelemahan yang merujuk pada situasi di lingkungan internal kuadran peluang dan ancaman merujuk pada situasi lingkungan eksternal sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. a) Strategi SO: menggunakan kekuatan internal Program Penguatan peran Badan Pengawas Provinsi Riau untuk meraih peluang-peluang yang di luar program. Pada umumnya, pelaksanaan strategi WO, ST atau WT untuk menerapkan strategi SO. Oleh karena itu, jika program pemberdayaan Badan Pengawas Provinsi Riau memiliki banyak kelemahan dalam pelaksanaannya, mau tidak mau program harus mengatasi kelemahan itu agar menjadi kuat. Sedangkan jika program ini menghadapi banyak ancaman, maka program ini harus berusaha menghindarinya dan berusaha berkonsentrasi pada peluang-peluang yang ada. b) Strategi WO: memperkecil kelemahan-kelemahan internal program dengan memanfaatkan peluang-peluang eksternal. Kadang kala program ini menghadapi kesulitan untuk memanfaatkan peluang karena adanya kelemahan-kelemahan internal. c) Strategi ST: Program berusaha menghindari atau mengurangi dampak ancaman-ancaman ekternal. Hal ini bukan berarti bahwa Program yang tangguh harus selalu mendapat ancaman.
Tabel 2. Identifikasi Faktor Internal dan Ekternal SWOT
Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
1.
1.
2.
2.
3.
3. Peluang (O)
Ancaman (T)
1.
1.
2.
2.
3.
3.
d) Strategi WT: Merupakan taktik untuk bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman. Program Pemberdayaan Badan Pengawas Provinsi Riau yang dihadapkan pada sejumlah kelemahan internal dan ancaman eksternal berada dalam posisi berbahaya. Ia harus berjuang untuk tetap dapat bertahan dengan melakukan strategi untuk mengatasinya. Matriks SWOT yang merupakan matriks matching tool membantu untuk mengembangkan empat tipe strategi sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Matrik SWOT Internal
Eksternal Peluang-O
Kekuatan-S
Kelemahan-W
1.
1.
2.
2.
3.
3. Strategi SO
Strategi WO
1.
Gunakan kekuatan untuk
Atasi kelemahan untuk
2.
mengekploitasi peluang
ekploitasi peluang
Strategi ST
Strategi WT
1.
Gunakan Kekuatan
Kurangi kelemahan dan
2.
untuk hindari ancaman
hindari ancaman
3. Ancaman-T
3.
2)
Berdasarkan matriks SWOT inilah dilakukan analisis sehingga diperoleh keputusan alternatif yang diprioritaskan.
3)
Untuk menentukan faktor yang lebih urgen digunakan metode kuantitatif dengan melakukan pembobotan (membuat bobot) masing-masing faktor variabel SWOT. Untuk menghitung seberapa besar urgensi dari masing-masing faktor terhadap indikator kinerja diberi skala1-5 dengan bobot : 5
= sangat besar
4 = besar 3 = cukup besar 2 = kecil 1 = sangat kecil
3.4.
Definisi Konseptual Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena abstrak yang secara empirik
dapat memberikan arahan pada variabel penelitian. Kepastian arah penelitian dilakukan melalui definisi sebagai berikut : 1. Manajemen startegis adalah sekumpulan konsep dan pola, untuk mempertahankan kinerja. 2. Kinerja adalah penilaian atas kualitas pengelolaan dan kualitas pelaksanaan tugas atau operasi organisasi. Aspek lain adalah hubungan organisasi dengan lingkungan sosial dan lingkungan politiknya. 3. Capacity building adalah merupakan serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja pemerintahan. 4. Pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesual dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. 5. Governance adalah praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya.
3.5.
Definisi Operasional Berkenaan dengan definisi konseptual tersebut, maka diperlukan operasionalisasi konsep
tersebut yang digunakan untuk alat ukur penelitian di lapangan. Penguatan peran Bawasda berbasis kinerja dapat dicermati dengan indikator-indikator sebagai berikut: 1. Indikator manajemen strategis dijelaskan dengan outcome dan output yang jelas, indikator internal dan eksternal, indikator keuangan dan non-keuangan, dan indikator sebab dan akibat. 2. Indikator penilaian kinerja organisasi dijelaskan dengan kemampuan SDM baik tim maupun individual. 3. Penguatan lembaga dan capacity building dijelaskan dengan pengolaan perbaikan mutu sumber daya manusia dan sarana penunjang. 4. Implementasi pengawasan dijelaskan dengan penerapan rencana strategis oleh lembaga dalam kegiatan pengawasan dan evaluasi program kerja Dinas. 5. Penerapan governance pada Bawasda dijelaskan dengan upaya implementasi pengaeasan dengan keterbukaan dengan berbasis kinerja.
BAB IV GAMBARAN UMUM BADAN PENGAWAS PROVINSI RIAU
4.1. Profil Badan Pengawas Provinsi Riau Sejak bergulirnya era reformasi,
berbagai perubahan telah terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perubahan kondisi ini berpengaruh pula dalam kehidupan sosial masyarakat Provinsi Riau. Penegakan hukum yang membawa masyarakat menempatkan hukum pada posisi tertinggi sangat diperlukan dalam menuju masa depan Provinsi Riau yang demokratis, lebih berkeadilan, dan menjunjung tinggi hak azasi manusia. Upaya mewujudkan prinsip supremasi hukum tersebut harus dimulai dari lingkungan aparatur pemerintah Provinsi Riau sendiri. Upaya tersebut meliputi peningkatan komitmen pelayanan dan disiplin dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, termasuk peningkatan etos kerja, efisiensi dan efektifitas penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan jaminan adanya pelayanan pemerintahan yang bebas dari unsur-unsur kolusi, korupsi dan nepotisme, serta tindakan tegas setiap pelanggaran oleh pejabat dan staf sesuai dengan aturan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menunjukkan pula adanya kehendak masyarakat luas untuk menciptakan suatu kinerja penyelenggaraan pemerintahan. Era reformasi ini tidak hanya menghendaki
pada pencapaian tujuan secara efektif, namun juga menghendaki
terjadinya
reformasi disegala bidang, terutama terwujudnya Clean goverment. Atau dengan kata lain menghendaki adanya sebuah tatanan yang mengarah pada penyelenggaraan kepemerintahan daerah yang baik (good governance). Good governance menghendaki pemerintahan dijalankan dengan mengikuti prinsip-prinsip transparansi (keterbukaan), akuntabilitas, partisipasi, keadilan, kemandirian, sehingga sumberdaya yang berada dalam pengelolaan pemerintah benar-benar mencapai tujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kemajuan masyarakat. Penyelenggaraan Pemerintahan pada hakekatnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip manajemen modern, yakni fungsi-fungsi manajemen senantiasa berjalan secara simultan, proporsional dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi. Fungsi-fungsi organik manajemen
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan serta evaluasi merupakan sarana yang harus ada, dan dilaksanakan oleh manajemen secara profesional dalam rangka pencapaian sasaran dan tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Disamping itu dalam rangka pertanggungjawaban manajemen pemerintahan yang kompleks dan dinamik sangatlah kredibel diperlukan adanya sistem pengawasan, yang juga merupakan bagian dari sistem administrasi pemerintahan. Implementasi otonomi daerah dengan watak dasar memberikan kepercayaan kepada daerah dan adanya keinginan untuk meningkatkan partisipasi masyarakatnya dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan bernegara, merupakan momentum untuk menumbuhkan terselenggaranya Good Governance. Disisi lain perlu untuk mewujudkan adanya ketegasan dan konsistensi penyelenggaraan pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat, maka kewenangan Daerah Otonom perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan agar kewenangan tidak mengarah kepada kedaulatan. Melihat
pentingnya
pelaksanaan
fungsi
pengawasan dan
evaluasi
dalam
tugas
kepemerintahan, maka Pemerintah Provinsi Riau telah mengeluarkan Perda Nomor 24 tahun 2001 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas. Badan Pengawas Provinsi Riau merupakan salah satu dari badan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 24 tahun 2001 tentang Pembentukan , susunan Organisasi dan tata Kerja Badan Pengawas Provinsi Riau. Badan Pengawas Provinsi Riau yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan umum, pelaksanaan di bidang pemerintahan umum, penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah desa, pembinaan sosial, politik, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan masyarakat di Provinsi Riau. Badan Pengawas Provinsi Riau sebelum tahun 2001 bernama Inspektorat Wilayah Provinsi Riau yang pada awal berdirinya pada tahun 1976, dengan menggunakan kantor pada gedung Jalan Gadjah Mada dari tahun 1976 sampai dengan tahun 1984. Kemudian pada tahun 1984 sampai dengan tahun 1990 Inspektorat Wilayah Provinsi Riau dipindahkan ke jalan Diponegoro tepatnya pada gedung Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada tahun 1999 gedung tersebut dilakukan rehabilitasi untuk ditempati oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Riau. Sejak tahun 1999 kantor dari Badan Pengawas Provinsi Riau dipindahkan ke jalan Cut Nyak Dien, bekas Kantor Bappeda Provinsi Riau.
Badan Pengawas Provinsi Riau adalah aparat pengawasan fungsional yang teknis operasionalnya diatur berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Riau dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Gubernur Riau sebagai Kepala Daerah Provinsi Riau. Keberadaan Badan Pengawas Provinsi Riau sangat penting sekali, mengingat badan ini bertugas untuk mengawasi jalannya
roda pemerintahan dilingkungan Pemerintahan Provinsi Riau dan juga melakukan
pemeriksaan terhadap Pemerintahan Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Riau. Badan Pengawas Provinsi Riau diharapkan dapat melakukan pekerjaan yang maksimal untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) yang terbebas dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
4.2. Visi Badan Pengawas Provinsi Riau Visi adalah cara pandang jauh kedepan yang merupakan artikulasi dari citra, nilai, arah dan tujuan yang akan menjadi pemandu dalam mencapai masa depan organisasi Badan Pengawas Provinsi Riau agar tetap konsisten, eksis, antisipatif, dan inovatif, serta produktif. Visi disini adalah suatu gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan, yang berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan Badan Pengawas Provinsi Riau sebagai suatu organisasi, dalam jangka panjang ke depan. Mengacu pada konsepsi visi di atas dan memahami dengan seksama makna Visi Provinsi Riau yaitu Terwujudnya Provinsi Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera lahir batin di Asia Tenggara tahun 2020, dimana visi tersebut untuk periode 2004-2008 lebih ditekankan pada terwujudnya visi 2020 melalui pendekatan dan kebijakan Pembangunan ekonomi yang mengentaskan kemiskinan. Kebijakan pembangunan pendidikan yang menjamin kemudahan aksesibilitas, dan pengembangan kebudayaan yang menempatkan kebudayaan melayu secara porposional dalam kerangka pemberdayaan. Sejalan dengan itu, maka Badan Pengawas dengan seluruh anggota organisasinya telah berkomitmen untuk mendukung upaya pencapaian visi Provinsi Riau tersebut, yang dituangkan dalam Rencana Strategi Badan Pengawas Provinsi Riau Tahun 2004-2008, sehingga telah ditetapkan visi Badan Pengawas yakni: Terwujudnya Kepemerintahan Berbudaya Melayu Melalui Pengawasan yang Profesional .
Pernyataan visi tersebut mengandung makna : a. Terwujudnya kepemerintahan berbudaya Melayu Badan Pengawas dalam hal ini memposisikan diri sebagai motivator dan katalisator dalam proses pencapaian kepemerintahan berbudaya melayu. Kepemerintahan berbudaya melayu yang dimaksud dalam visi ini identik dengan good governance atau kepemerintahan yang baik sesuai dengan amanat seluruh masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, dengan demikian kepemerintahan yang berbudaya Melayu juga mengisyaratkan adanya clean government atau pemerintah yang bersih. Budaya Melayu yang bersifat dinamis dan terbuka diharapkan dapat menjadi “roh” dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya pada tataran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Di samping itu budaya melayu harus selalu ditempatkan
pada tempatnya secara proporsional agar tidak kehilangan identitas dan nilai-nilainya. Berkenaan dengan hal tersebut dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya Badan Pengawas Provinsi Riau, juga senantiasa berpegang teguh pada aturan yang berlaku dan selalu objektif dalam memberikan pendapat terhadap setiap permasalahan pemerintahan yang terjadi sehingga
mendorong
pengelolaan
penyelenggaraan
tugas-tugas
pemerintahan
dan
pembangunan yang semakin baik dari waktu ke waktu. Pembangunan yang diartikan sebagai proses perubahan untuk mencapai suatu kondisi yang lebih baik dan lebih bermakna harus dirasakan dan berorientasi kepada masyarakat, artinya kepuasan masyarakat menjadi tujuan utama penyelenggaraan kepemerintahan. Dengan demikian pembangunan yang dilaksanakan harus betul-betul berorientasi kepada kepuasan masyarakat. Badan Pengawas Provinsi Riau mengimpikan dan bertekad untuk dapat senantiasa memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat khususnya di bidang pengawasan sebagai wujud pengabdian dan komitmen atas perwujudan kepemerintahan Provinsi Riau berbudaya melayu (good governance) tersebut.
b. Pengawasan yang Profesional
Penerapan prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan tak lepas dari masalah akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah, karena aspek keuangan menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan daerah, baik dari segi sifat, jumlah maupun pengaruhnya terhadap kemajuan, ketahanan, dan kestabilan perekonomian. Sesuai dengan bidang tugasnya yang terutama menyangkut bidang pengawasan khususnya pengawasan pengelolaan keuangan daerah, maka setiap tugas-tugas pengawasan akan dijalankan dengan cermat dan seksama oleh aparat yang berkompeten sehingga senantiasa menghasilkan produk-produk yang bermutu baik pada tingkat perencanaan, pelaksanaan maupun pelaporan. Merespon tuntutan reformasi keberadaan Badan Pengawas Provinsi Riau juga mengalami perubahan paradigma yang meluas dari kecenderungan penemuan penyimpangan kepada efektivitas pencapaian misi dan tujuan organisasi, yang mendorong kearah pemberian nilai tambah yang optimal yakni pemberian alternatif peningkatan efisiensi dan efektivitas, serta pencegahan atas potensi kegagalan manajemen. Intinya Badan Pengawas harus mampu memberikan nilai tambah bagi peningkatan kinerja penyelenggaraan manajemen pemerintahan. Itu semua mencerminkan bahwa Badan Pengawas harus berorientasi pada peningkatan mutu (quality insurance) yang harus dilakukan secara independen, obyektif dan professional. Serta senantiasa konsentrasi di bidang tugas pokok dan fungsinya. Oleh karenanya pendidikan yang berkelanjutan terhadap aparatur pengawasan, sarana prasarana yang memadai dan data base pengawasan yang handal menjadi persyaratan yang senantiasa perlu diperhatikan.
4.3. Misi Badan Pengawas Daerah Provinsi Riau Misi merupakan pernyataan yang menetapkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Pernyataan misi membawa organisasi kepada suatu fokus dan menjelaskan mengapa organisasi itu ada, apa yang dilakukannya dan bagaimana melakukannya. Misi merupakan suatu pernyataan, tujuan organisasi yang diwujudkan dalam produk pelayanan, kebutuhan yang dapat
ditanggunglangi kelompok masyarakat, nilai yang diperoleh serta aspirasi dan cita-cita di masa mendatang atau sesuatu yang diemban atau dilaksanakan oleh organisasi. Dengan pernyataan misi diharapkan seluruh pegawai dan pihak yang berkepentingan dapat mengenal organisasi Badan Pengawas, dan mengetahui peran dan program-programnya serta hasil yang akan diperoleh di waktu-waktu yang akan datang. Untuk dapat mewujudkan visi yang telah disepakati, maka ditetapkan misi Badan Pengawas Provinsi Riau sebagai berikut :
Misi Pertama : Mendorong penciptaan manajemen pemerintahan yang handal, bersih dan bebas KKN. Misi pertama ini mengandung makna : bahwa pemerintahan yang baik dan berbudaya melayu tidak akan terwujud tanpa adanya pemerintahan yang bersih (clean government). Upaya pemberantasan KKN merupakan tantangan besar yang harus dihadapi, tidak hanya melakukan pengujian atas realisasi yang dicapai dengan rencana yang telah ditetapkan, tetapi juga mempertimbangkan dan memberdayakan sistem pengendalian internal yang ada di pemerintahan. Bagian penting yang membidangi lahirnya otonomi daerah adalah adanya anggapan kesalahan manajemen pemerintah di masa lalu yang tidak transparan, tidak partisipatif dan panjangnya rantai birokrasi. Agar setiap pelayanan kepada masyarakat dapat diselesaikan dengan cepat maka pihak/pejabat terkait di pemerintahan dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan bersekongkol (kolusi) atas adanya suatu imbalan atas pelayanan yang sedang dalam penyelesaian (korupsi). Persekongkolan demikian sering berlanjut baik untuk urusan yang sama maupun yang lain di masa datang sehingga menimbulkan hubungan kekerabatan di antara mereka dalam urusan dinas (nepotisme) sehingga keluar dari prosedur yang telah ditetapkan. Dengan demikian agar otonomi daerah berhasil diperlukan sistem pengawasan yang senantiasa dapat mendorong jalannya pemerintahan otonomi yang semakin baik dari waktu ke waktu dan dapat memberikan solusi sesuai aturan yang berlaku terhadap setiap pelanggaran yang terjadi .
Misi Kedua :
Meningkatkan Profesionalisme pelaksanaan tupoksi melalui optimalisasi
sumberdaya Misi kedua ini, mengandung makna bahwa sesuai dengan tanggung jawab Badan Pengawas yang sedemikian penting, maka profesionalisme pelaksanaan tugas merupakan persyaratan yang
harus dipenuhi. Perencanaan tugas pengawasan maupun sarana dan prasarana penunjangnya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga tidak ditemukan adanya kekurangan baik dalam proses pelaksanaan tugas maupun setelah laporan hasil pemeriksaan diterbitkan. Seluruh personil pengawas harus mampu menjalankan dan menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Selain itu dalam menjalankan tugasnya dituntut kejujuran dan objektivitas yang tinggi sehingga terbebas dari hal-hal yang dapat membiaskan hasil pelaksanaan kegiatan pengawasan di lapangan. Laporan hasil pemeriksaan sebagai produk yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Provinsi Riau akan diperlukan oleh Gubernur Riau untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah dikeluarkan dapat diimplementasikan oleh instansi pelaksana di lapangan. Oleh karenanya laporan yang tepat waktu, tepat mutu dan tepat jumlah merupakan hal yang senatiasa diperhatikan untuk menjaga kontribusi Bawasprop Riau kepada pencapaian visi dan misi Provinsi Riau secara keseluruhan.
4.4. Nilai-Nilai Luhur Nilai-nilai luhur merupakan sifat kepribadian yang menjadi motivasi, semangat dalam melaksanakan amanah, menjiwai perwujudan dan pelaksanaan visi dan misi, yang dimiliki dan menjadi komitmen bersama setiap personil Badan Pengawas Provinsi Riau. Nilai-nilai luhur tersebut adalah :
a.
Kejujuran Merupakan suatu kekuatan moral yang sangat penting dalam melaksanakan suatu tugas, dengan kejujuran maka semua pihak yang terkait akan merasa puas, sehingga timbul semangat kerja/juang atau timbul rasa tanggung jawab yang besar dan saling hargai menghargai dan keikhlasan yang dapat meningkatkan prestasi kerja. Kejujuran mempunyai makna yang luas, yaitu jujur terhadap diri sendiri, pekerjaan dan teman sejawat serta orang lain. Jujur terhadap diri sendiri merupakan awal kebaikan, terutama untuk jujur kepada orang lain. Jujur terhadap pekerjaan yang berarti objektif merupakan modal memperoleh hasil yang diinginkan, yang bermutu.
b.
Keinginan kuat untuk maju
Dalam melaksanakan tugas untuk dapat mencapai suatu keinginan setiap personil Badan Pengawas Provinsi Riau harus memiliki sifat kerja keras (tidak materialistis), semangat, berani dan mengandalkan kemampuan teknis yang tinggi. Berkeinginan kuat untuk maju mengandung makna tidak cepat puas diri dengan hasil yang telah dicapai dan akan terus menerus berusaha untuk selalu mengupayakan pencapaian yang lebih baik, dengan meningkatkan kemampuan teknis serta wawasannya.
4.5.Nilai-Nilai Spiritual Nilai-nilai spiritual adalah kepatuhan dan ketaatan terhadap semua kaidah atau norma hukum agama, karena pada prinsipnya norma dan kaidah dari agama manapun akan memberikan nuansa inspirasi yang putih dan bersih. Jiwa dari nilai-nilai spiritual ini yang apabila diterapkan dalam setiap proses pengorganisasian semua fungsi manajemen (perencanaan, kegiatan, pengawasan dan lainnya) akan dapat menghasilkan suatu kemasyuran melebihi pencapaian visi dan misi.
4.6.Struktur Organisasi Badan Pengawas Provinsi Riau Struktur organisasi pada Badan Pengawas Provinsi Riau berbentuk struktur organisasi staf dan fungsional, di mana setiap bagian atau unit kerja yang ada memiliki hubungan yang signifikan dan terdiri dari staf-staf yang ada. Setiap unit kerja ini memegang bidang kerja masing-masing dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Kepala Badan Pengawas Provinsi Riau. Kepala Badan Pengawas Provinsi Riau, merupakan jabatan tertinggi dari struktur organisasi yang ada pada Badan Pengawas Provinsi Riau dan dibantu oleh Kepala Bagian Tata Usaha, Kepala Sub. Bagian, Kepala Bidang dan Kepala Sub Bidang. Sedangkan untuk kelompok tenaga ahli/fungsional sampai saat ini belum berfungsi. Untuk mengetahui bagan atau kerangka struktur organisasi pada Badan Pengawas Provinsi Riau dapat di lihat pada Gambar 2.
Kepala Bawasprop Riau Bagian Tata Kelompok/Tenaga
Usaha
Ahli Fungsional Sub
Sub
Sub
Bagian
Bagian
Bagian
Adum dan
Kepega-
Keuang-
Humas
waian
an
Bidang
Bidang
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Organisasi
Keuangan dan
Kepegawaian
Pembangunan
Sub Bidang Pemeriksaan Organisasi
Sub Bidang
Sub Bidang
Pemeriksaan
Pemeriksaan Alat
Keuangan
Tulis Kantor
Bidang Pemeriksaan Perlengkapan & Kekayaan Daerah
Sub Bagian Perenca naan
Bidang Pengawasan Umum Sub Bidang Pemeriksaan Pemerintah dan Agraria
Sub Bidang Sub Bidang
Sub Bidang
Sub Bidang
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Sosial dan Politik
Kepegawaian
Pembangunan
Barang Inventaris Sub Bidang Pemeriksaan
Sub Bidang
Sub Bidang
Sub Bidang
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Khusus
Pendapatan
Kekayaan Daerah
Daerah
Perekonomian
Sub Bidang Pemeriksaan Kesejahteraan Rakyat
Gambar 2. Bagan Struktur Badan Pengawas Provinsi Riau
Sub Bagian Perleng kapan
BAB V ANALISIS KINERJA DAN PERMASALAHAN
Dalam bab ini akan dijelaskan analisis kinerja dan kemampuan SDM dalam penyelesaian tugas berdasarkan Tupoksi yang ada. Kemampuan SDM dipandang sebagai tolok ukur (indikator) dalam penilaian kinerja. Dalam bab ini, yang menjadi landasan analisis penguatan peran lembaga (Bawasda) terkait dengan kemampuan kinerja sabagai bergaining power terhadap lembaga lain dalam pemerintahan. Bawasda mempunyai posisi yang kuat apabila dibandingkan dengan lembaga kedinasan yang kain karena terkait dengan Tupoksi. Aspek inspeksi dan pemeriksaan merupakan posisi yang memperkuat peran lembaga pengawas, sejauh kemampuan SDM dan organisasinya mencapai titik optimal.
5.1. Pemeriksaan Tahun 2007 Dalam tahun anggaran 2007 telah ditetapkan arah kebijakan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2006 tentang Kebijakan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Tahun 2007. Dimana berdasarkan surat keputusan tersebut telah dijabarkan dalam Keputusan Gubernur Riau Nomor Kpts.51/II/2007 tanggal 8 Pebruari 2007 tentang Arah Kebijakan Pengawasan dan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Tahun 2007. Dalam PKPT Tahun 2007 disebutkan bahwa sasaran pengawasan untuk tahun 2007 adalah: a. Pemeriksaan reguler, pemeriksaan dilaksanakan secara terjadwal dan komprehensif atas seluruh aspek yang menjadi tanggung jawab dari obyek pemeriksaan, yang meliputi aspek keuangan daerah, aparatur, asset, serta tugas pokok dan fungsi. b. Pemeriksaan khusus dan kasus, dimana pemeriksaan dilakukan atas berakhirnya masa jabatan kepala daerah dan pemeriksaan kasus pengaduan untuk menampung dan menanggapi
aspirasi
dan
pengawasan
masyarakat
terhadap
penyelenggaraan
pemerintahan daerah serta mengklarifikasi sejauh mana kebenaran dari pengaduan tersebut. c.
Kegiatan utama yang dilaksanakan oleh Badan Pengawas Provinsi Riau meliputi kegiatan pemeriksaan yang telah tercantum dalam PKPT maupun kegiatan pengawasan lainnya yang merupakan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.
Terkait dengan pemeriksaan khusus, Kepala Badan Pengawas, Effendi Sidiq menyatakan bahwa:
‘Seharusnya pemeriksaan khusus menjadi momen penting bagi terciptanya governance, karena terdapat penilaian khusus di akhir masa jabatan serta tindak lanjut terkait dengan pengaduan-pengaduan yang masuk. Jadi, stressing point dalam terminologi pemeriksaan khusus adalah upaya pengawas untuk lebih masuk dalam pemeriksaan, sehingga apabila terdapat kekurangan dalam pemeriksaan sebelumnya atau rutin, maka saat yang tepat untuk merevisi adalah pada masa pemeriksaan khusus itu.’
Sedangkan dalam realisasi kegiatan, yang
dirinci sesuai dengan bidang yang
bertanggungjawab mengelola/melaksanakan kegiatan tersebut, sebagai berikut:
5.1.1. Pemeriksaan Reguler Pemeriksaan reguler adalah pemeriksaan yang dilakukan secara rutin setiap tahun atas kinerja dari masing-masing obyek pemeriksaan. Sehingga, ukuran kinerja adalah output pemeriksaan rutin dan khusus. Terkait dengan pemeriksaan reguler, salah satu Kepala Bidang pada Badan Pengawas, Syamsurizal, menyatakan bahwa:
‘Salah satu bukti hasil kerja pemeriksaan adalah output pemeriksaan tersebut. Temuan dan tindak lanjut dapat dilihat dari semua agenda kami, sehingga, untuk menjawab pertanyaan tentang kinerja inspektorat, sampai dengan saat ini kami masih mengandalkan hasil-hasil temuan pelanggaran penggunaan anggaran.’ Hal tersebut diperkuat oleh Said, salah satu Kepala Sub bagian Bawasda, bahwa:
‘Pada dasarnya pengukuran kinerja kami adalah adanya temuan-temuan tersebut. Namun juga tidak dapat dikatakan bahwa untuk mencapai penilaian baik terhadap pekerjaan kami, maka kami harus menemukan temuan-temuan yang sebenarnya tidak ada. Jadi, kami
mengalir saja, kalau ada temuan, maka kami laporkan, dan kalau tidak, maka kami juga lega.’
Berdasarkan hasil pemeriksaan Reguler yang telah dilaksanakan sepanjang tahun 2007, terdapat
temuan
keuangan
sebanyak 360 kejadian dengan nilai Rp. 436.273.883.241.00
dengan rincian sebagai berikut: 1) Pengeluaran yang diindasikan fiktif dan merugikan keuangan daerah sebesar 299.726.718,00, secara detil dapat dilihat pada Tabel 4.
Rp.
Temuan terbesar berasal dari
Kabupaten Kuansing, sebesar Rp 251.119.718,00 dengan 2 temuan.
Sedangkan temuan
terbanyak berasal dari Provinsi Riau sebanyak 4 temuan dengan nilai total sebesar Rp 25.386.500,00.
Tabel 4. Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Fiktif dan Merugikan Keuangan Daerah di Provinsi Riau Tahun 2007 No
Obyek Pemeriksaan
Temuan
Nilai (Rp)
1.
Provinsi Riau
4
25.386.500,00
2.
Kuansing
2
251.119.718,00
3.
Siak
1
2.910.000,00
4.
Kampar
4
15.292.000,00
5.
Kota Pekanbaru
1
7.450.000,00
TOTAL
299.726.718,00
Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
2) Pengeluaran yang melebihi prestasi pekerjaan/ lebih bayar sebesar
Rp
3.228.259.294,00, seperti terdapat pada Tabel 5. Temuan terbanyak berasala dari Provinsi Riau sebanyak 25 temuan dengan nilai sebesar Rp 102.608.550,00, sedangkan temuan dengan nilai terbesar adalah di Kabupaten Indragiri Hulu sebesar Rp 2.207.821.410,00 yangberasal dari 4 temuan.
Tabel 5.
Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Melebihi Prestasi Pekerjaan di Provinsi Riau Tahun 2007 No
Obyek Pemeriksaan
Temuan
Nilai (Rp)
1.
Provinsi Riau
25
102.608.550,00
2.
Kuansing
1
28.700.000,00
3.
Rokan Hilir
4
43.332.000,00
4.
Dumai
4
2.032.350,00
5.
Kampar
4
88.584.000,00
6.
Dumai
4
336.114.944,00
7.
Bengkalis
2
104.226.040,00
8.
Inhu
4
2.207.821.410,00
9.
Inhil
1
454.206.000,00
TOTAL
3.228.259.294,00
Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
3) Pengeluaran yang tidak didukung dengan bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sebesar Rp 6.174.046.325,00 (Table 6), temuan terbanyak berasal dari Provinsi Riau dan Kabupaten Kampar dengan masing-masing sebanyak 9 temuan. Sedangkan temuan dengan nilai terbesar berasal dari Kota Pekanbaru sebesar Rp 1.896.741.100,00.
Tabel 6.
Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Tidak Didukung dengan Bukti yang Lengkap dan Sah di Provinsi Riau Tahun 2007 No
Obyek Pemeriksaan
Temuan
Nilai (Rp)
1.
Provinsi Riau
9
91.977.500,00
2.
Kuansing
5
1.707.129.500,00
3.
Pelalawan
3
2.557.500,00
4.
Kota Dumai
3
62.238.000,00
5.
Kampar
9
690.468.350,00
6.
Bengkalis
3
1.785.172.375,00
7.
Kota Pekanbaru
7
1.896.741.100,00
8.
Inhu
2
-
TOTAL
6.174.046.325,00
Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
4) Pengeluaran yang tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebesar Rp 419.520.912.216,00 terdapat pada Tabel 7. Temuan terbanyak berasal dari SKPD yang ada di Provinsi Riau sebanyak 93 temuan, sedangkan temuan dengan nilai terbesar berasal dari Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) sebesar Rp 199.689.382.587,00 dengan jumlah temyuan sebesar 27 buah.
Tabel 7.
No
Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Tidak Sesuai dengan Ketentuan Preundangan di Provinsi Riau Tahun 2007 Obyek Pemeriksaan
Temuan
Nilai (Rp)
1.
Provinsi Riau
93
12.741.204.424,00
2.
Kuansing
27
199.689.382.587,00
3.
Siak
3
167.611.428,00
4.
Pelalawan
16
511.197.313,00
5.
Rokan Hilir
10
13.023.199.136,00
6.
Kota Dumai
6
12.271.282.248,00
7.
Kampar
26
2.929.193.124,00
8.
Dumai
24
4.773.138.495,00
9.
Bengkalis
23
30.919.470.375,00
10. Kota Pekanbaru
28
116.171.656.889,00
11. Inhu
13
465.000.000,00
12. Inhir
15
6.4000.000,00
TOTAL
419.520.912.216,00
Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
5) Pajak yang belum disetor ke kas Negara sebesar Rp 6.104.773.688,00. Terbanyak berasal dari Provinsi Riau sebanyak 17 temuan dengan nilai Rp 941.951.190,00, sedangkan temuan dengan nilai terbesar Badan Pengawas Provinsi Riau berdasarkan Tabel 8 adalah dari Kabupaten Kampar sebesar Rp 2.827.629.288,00 dengan jumlah temuan 8.
Tabel 8. Temuan Badan Pengawas terhadap Pajak yang belum Disetor ke Kas Negara di Provinsi Riau Tahun 2007 No
Obyek Pemeriksaan
Temuan
Nilai (Rp)
1.
Provinsi Riau
17
941.951.190,00
2.
Kuansing
6
800.469241,00
3.
Siak
1
1.363.159,00
4.
Kampar
8
2.827.629.288,00
5.
Dumai
2
17.759.394,00
6.
Bengkalis
2
43.216.415,00
7.
Kota Pekanbaru
4
1.413.572.991,00
8.
Inhu
3
16.811.829,00
9.
Inhil
4
4.382.168,00
TOTAL Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
6.104.773.688,00
6) Pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas yang
tidak sesuai ketentuan sebesar Rp
946.165.000,00, terbanyak berasal dari SKPD di Provinsi Riau sebanyak 14 temuan dengan nilai Rp 10.575.000,00, tetapi nilai temuan terbesar berasal dari Kabupaten Bengkalis dengan nilai temuan sebesar Rp 815,494,000,00 (Tabel 9).
Tabel
9. Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Pertanggungjawaban Biaya Perjalanan Dinas yang tidak Sesuai Ketentuan di Provinsi Riau Tahun 2007 No
Obyek Pemeriksaan
Temuan
Nilai (Rp)
1.
Provinsi Riau
14
10.575.000,00
2.
Pelalawan
1
-
3.
Rokan Hilir
2
-
4.
Kota Dumai
1
-
5.
Kampar
3
-
6.
Dumai
3
-
7.
Bengkalis
1
815,494,000,00
8.
Kota Pekanbaru
5
16.776.000,00
9.
Inhu
4
8.150.000,00
10. Inhil
1
-
TOTAL
848.995.000,00
Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
7) Istri atau Suami PNS belum memiliki kartu istri atau kartu suami (karis/ karsu) sebanyak 165 orang, terbanyak berasal dari Provinsi Riau dengan jumlah temuan sebesar 5 buah, sedangkan jumlah orang yang terlibat sebanyak 133 orang. Secara detil dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Temuan Badan Pengawas terhadap PNS yang belum Memiliki Karis/Karsu di Provinsi Riau Tahun 2007 No
Obyek Pemeriksaan
Temuan
Jumlah
1.
Provinsi Riau
5
133 orang
2.
Kuansing
1
8 orang
3.
Siak
1
8 orang
4.
Rokan Hilir
4
6 orang
5.
Kampar
1
1 orang
6.
Kota Pekanbaru
1
6 orang
7.
Inhil
2
2 orang
TOTAL
165 orang
Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
8) Jabatan lowong atau jabatan struktural yang belum terisi sebanyak 148 jabatan struktural dibawah eselon II, temuan terbanyak berasal dari Provinsi Riau dengan 13 temuan dengan jumlah jabatan sebanyak 24 jabatan. Sedangkan daerah yang memiliki jumlah jabatan yang lowong atau belum terisi berasal dari Kabupaten Rokan Hilir, sebanyak 30 jabatan (Tabel 11).
Tabel 11. Temuan Badan Pengawas terhadap Pengeluaran yang Diindasikan Melebihi Prestasi Pekerjaan di Provinsi Riau Tahun 2007 No
Obyek Pemeriksaan
Temuan
Jumlah
1.
Provinsi Riau
13
24 Jabatan
2.
Kuansing
4
17 Jabatan
3.
Siak
3
13 Jabatan
4.
Pelalawan
1
13 Jabatan
5.
Rokan Hilir
2
30 Jabatan
6.
Kota Dumai
1
2 Jabatan
7.
Kampar
5
9 Jabatan
8.
Dumai
3
24 Jabatan
9.
Bengkalis
1
1 Jabatan
10. Inhu
4
7 Jabatan
11. Inhil
5
8 Jabatan
TOTAL
148 Jabatan
Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
5.1.2. Pemeriksaan Khusus dan Kasus (Pengaduan Masyarakat) Pemeriksaan khusus merupakan salah satu agenda Bawasda untuk memeriksa dan meneliti temuan-temuan pada saat akhir masa jabatan eksekutif. Selain itu, pemeriksaan khusus juga memeriksa kasus atas pengaduan masyarakat. Menurut Ahmad, salah satu Kepala Sub Bidang, bahwa:
‘Pemeriksaan khusus berdasar pengaduan memang sangat rendah, malahan cenderung tidak ada sam sekali di satu Kabupaten. Kami sebenarnya menghrapkan partisipasi publik dalam hal ini, namun karena kurangnya pemahaman masyarakat, maka kami sangat jarang menerima laporan. Apabila kami menerima laporan dan aduan, biasanya dari media masa.’
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Anindya, salah satu pemerhati kebijakan publik di Yogyakarta yang dihubungi via telepon, menyatakan bahwa:
‘Ada kecenderungan negatif, atau setidaknya tanggapan negatif dan apriori dari publik terhadap aparat pemeriksa, karena publik tidak mempunyai trust yang cukup. Seharusnya Bawasda lebih membuka diri untuk mengundang publik dalam acara khusus terkait dengan pemeriksaan khusus ini. Karena, pemeriksaan khusus dapat mengakomodasi laopran dan aduan publik, tidak sama seperti pemeriksaan rutin yang bersifat internal. Sebaiknya begitu, Bang.’
Sedangkan beberapa hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Bawasda dapat dijelaskan dalam data berikut untuk mengilustrasi kinerja Bawasda. Berdasarkan hasil audit yang telah dilaksanakan sepanjang tahun 2007, terdapat temuan hasil audit sebanyak 22 kejadian dengan nilai Rp 17.490.230.086,00 dengan rincian sebagai berikut :
1) Lanjutan Pemeriksaan Khusus dalam rangka Serah Terima Jabatan Bupati Kampar tahun 2006. Dari hasil pemeriksaan yang telah dilasanakan, ditemukan adanya penyalahgunaan dana APBD Kabupaten Kampar tahun 2006 pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kampar dan pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kampar yang punya indikasi merugikan keuangan daerah sebesar Rp. 2.322.528.368,00 dengan rincian masing-masing terdapat pada: a.
Kegiatan pemberantasan Miras, Narkoba dan Rp
1.243.875.000,00
penanggulangan penyakit masyarakat b.
Kegiatan
penyelesaian
batas
Kabupaten Rp
608.375.000,00
Kegiatan koordinasi tim teknis Sekretariat Rp
1.8.827.000,00
Kampar c.
Daerah d.
Kegiatan
pemungutan
PBB
pada
Dinas Rp
215.451.368,33
Kegiatan bantuan sosial untuk pendidikan Rp
236.000.000,00
Pendapatan Daerah e.
Agama dan Rumah Ibadah Hal itu terjadi disebabkan adanya intervensi langsung diluar ketentuan yang berlaku dari Bupati Kampar ( Saudara Jefri Noer ) selaku Pemegang Kekuasaan Pengelola Keuangan Daerah terhadap pelaksanaan Pengguna Anggaran, sehingga Sekretaris Daerah Kabupaten Kampar yang bertanggung jawab dari segi administrasi, fisik keuangan dan fungsional atas penggunaan anggaran tersebut tidak dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Di lain hal juga dikarenakan lemahnya mekanisme sistem pengendalian interen dan tidak diterapkan secara konsisten.
2) Pemeriksaan khusus terhadap dana operasional kecamatan dari Provinsi Riau pada beberapa kecamatan di Provinsi Riau tahun 2006. Dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan dtemukan beberapa permasalahan sebagai berikut : a) Terdapat pajak yang
belum dipungut atas pembayaran honorarium kepada pelaksana
kegiatan sebesar Rp. 5.865.000,00. Masing-masing terdapat di kecamatan : -
Tembilahan Hulu Kab. Inhil
Rp
1.425.000,00
-
Tempuling Kab. Inhil
Rp
750.000,00
-
Batang Tuaka Kab. Inhil
Rp
900.000,00
-
Bunut Kab. Pelalawan
Rp
390.000,00
-
Pelalawan Kab. Pelalawan
Rp
1.350.000,00
-
Kerumutan Kab. Pelalawan
Rp
1.050.000,00
Hal tersebut terjadi disebabkan kelalaian dari Bendahara kegiatan dan dilain hal juga dikarenakan lemahnya pengawasan dari masing-masing camat sebagai ketua tim pelaksana kegiatan.
b) Ditemukan adanya pengunaan dana dengan tidak sesuai dengan ketentuan dan harus dipertanggung jawabkan dengan menyetorkan ke Kas Daerah, oleh Camat Siak Hulu Kab. Siak sebesar Rp. 3.000.000,00, . Hal ini terjadi karena adanya kebijakan dari yang bersangkutan membuat SPT yang tidak benar dan tidak dapat dipertanggung jawabkan baik dari segi administrasi mapun fisik pada saat pemeriksaan dilaksanakan.
c) Ditemukan adanya kelebihan pembayaran biaya rehabilitasi pembuatan Sumur Umum oleh Camat
Gunung Sahelan
Kabupaten
Kampar kepada pihak
rekanan,
sehingga
mengakibatkan kerugian keuangan daerah atas pembangunan tersebut sebesar
Rp.
5.000.000,00. Hal ini terjadi karena adanya unsur kesengajaan dari Camat Gunung Sahelan dengan membuat SPJ tidak sesuai dengan realisasi pembayaran dengan sebenarnya kepada pihak pelaksana.
d) Masih ada beberapa kecamatan yang belum menyampaikan laporan pertanggung jawaban atas penggunaan dana operasional kecamatan tahun 2006 kepada Gubernur Riau Cq. Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Riau yaitu kecamatan : - Bangko Kabupaten Rokan Hilir - Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir - Gunung Sahelan Kabupaten Kampar - Kampar Kiri Kabupaten Kampar - Kampar Kiri Tengah Kabupaten Kampar - Tapung Kabupaten Kampar - Solo Kabupaten Kampar
Hal ini terjadi karena kelalaian dari Bendahara dan juga lemahnya pengawasan dari atasan langsung yang bersangkutan.
3)
Pemeriksaan khusus terhadap optimalisasi penerimaan PKB/BBNKB dan potensi lainnya pada Kantor Pendapatan Daerah Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Riau di Kabupaten/Kota se Provinsi Riau. Dari hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan terdapat beberapa permasalahan yang dapat dilaporkan sebagai berikut :
a) Adanya tunggakan wajib pajak yang belum melunasi / belum membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tahun 2006 sebesar Rp. 14.216.643.034,00 masing-masing terdapat pada Kantor Pendapatan Daerah Provinsi Riau di : - Kota Pekanbaru / Pekanbaru Selatan
Rp.
2.143.685.539,00
- Kab. Kampar
Rp.
134.298.850,00
- Siak Sri Indrapura Kab. Siak
Rp.
59.036.932,00
- Pangkalan Kerinci Kab. Pelalawan
Rp.
11.784.514.700,00
- Rengat Kab. Inhu
Rp.
95.107.013,00
b)
Adanya denda keterlambatan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor dan denda keterlambatan pembayaran Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tahun 2006 sebesar Rp. 937.193.684,00 masing-masing terdapat pada Kantor Pendapatan Provinsi Riau di Kabupaten : - Siak
Rp.
2.762.249,84
- Indragiri Hulu
Rp.
6.619.687,00
- Kota Pekanbaru
Rp.
1.412.962,00
- Kampar
Rp.
7.932.071,00
Hal itu terjadi disamping kurangnya kesadaran dari wajib pajak, juga lemahnya pengawasan dari Kepala Cabang Dinas dan juga dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Riau selaku koodinator pengelolaan pendapatan daerah. Karena sampai saat ini belum ada tindakan baik secara administratif maupun dengan cara eksekusi yang dilakukan oleh pihak Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Riau.
4)
Pemeriksaan khusus/kasus terhadap pengaduan masyarakat yang menyangkut dengan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh Pajabat/Aparatur dapat dilaporkan sebagai berikut : a) Kasus dugaan Korupsi yang dilakukan oleh Bupati Rokan Hilir yang dilaporkan oleh masyarakat Rokan Hilir kepada Ketua Makamah Agung RI di Jakarta, ternyata setelah dimintakan konfirmasi dan klarifikasi terhadap kasus tersebut ternyata tidak benar adanya korupsi yang dilakukan. b) Kasus dugaan penyalahgunaan anggaran biaya operasional pendidikan oleh Kepala Sekolah SDN. 011 Langgam Kecamatan Bangkinang Kabupaten Kampar, ternyata setelah diadakan pemeriksaan tidak benar adanya penyimpangan / penyalahgunaan dana pendidikan. c) Kasus dugaan penyimpangan dana Block Grant Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2005/2006 ternyata kasus tersebut sedang diperiksa oleh pihak Kejaksaan Negeri Tembilahan dan masih dalam status sebagai saksi.
d) Kasus dugaan penggunaan Ijazah Palsu oleh Wakil Bupati Pelalawan, ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan kasus tersebut tidak terbukti atau tidak mengandung kebenaran dari laporan masyarakat tersebut. e) Kasus dugaan pelanggaran disiplin PNS yang dilakukan oleh Pegawai Dinas Perkebunan Provinsi Riau ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut terbukti tidak masuk kantor tanpa izin sejak bulan Januari 2001 s.d 11 April 2007, dan kepada yang bersangkutan telah disarankan agar diberhentikan dengan hormat sebagai PNS, sebagaimana dimaksud pasal 12 ayat (3) PP Nomor 32 tahun 1979 tentang pemberhentian PNS. f) Kasus Indisipliner atas Hj. E yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan ketentauan. Dari hasil pemeriksaan terhadap Hj. E terbukti tidak masuk kantor tanpa alasan yang jelas sejak 11 Juli 1996 s.d April 2007 (± 11 tahun) dan kepada yang bersangkutan telah diusulkan kepada Gubernur untuk diberhentikan dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pasal 12 ayat (3) PP Nomor 32 tahun 1979 tentang pemberhentian PNS.
5.1.3.Tugas Non Pengawasan/Pemeriksaan Disamping melaksanakan tugas-tugas pemeriksaan regular dan pemeriksaan khusus/kasus, Badan Pengawas Provinsi Riau juga melaksanakan tugas-tugas antara lain : 1. Meneliti dan menilai Laporan Pajak-Pajak Pribadi bagi PNS golongan III/a keatas, berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor11 tahun 1988 tentang kewajiban penyampaian Laporan Pajak-Pajak Pribadi Dikaitkan dalam Syarat Kenaikan Pangkat dan Jabatan Struktural. 2. Menyusun LAKIP Provinsi Riau , berdasarkan Keputusan LAN Nomor239 tahun 2003 tentang Pedoman Penyusunan LAKIP 3. Mengevaluasi
LAKIP
SKPD
berdasarkan
Keputusan
Menteri
PAN
Nomor
KEP/135/M.PAN/9/2004 tentang Pedoman Umum Evaluasi LAKIP. 4. Melakukan Reviu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah mengacu kepada PP Nomor8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
5. Mengevaluasi LHE LPPD berdasarkan PP Nomor6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. 6. Melaporkan pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. 7. Mengkoordinasikan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK-RI dilingkungan Pemerintah Rrovinsi Riau dan Kabupaten Kota. 8. Melaksanakan Rapat Koordinasi Pengawasan Daerah (Penyusuanan PKPT) 9. Melaksanakan Pemutakhiran Data hasil Pemeriksaan APIP. 10.
Melaksanakan gelar pengawasan hasil pemeriksaan Badan Pengawas Provinsi Riau.
5.2. Sasaran dan Program serta Realisasi Kegiatan yang direncanakan Tahun 2007. Tersedianya informasi hasil pengawasan atas kinerja penyelenggara Pemerintahan (penerimaan dan pengeluaran) dan pelayanan masyarakat oleh Unit Kerja/ Aparat Pemerintah Provinsi. Sasaran Hasil Pemeriksaan atas Badan-Badan di Lingkungan Pemerintah Provinsi Riau sesuai dengan rencana, yaitu 100 persen, begitu pula dengan sasaran lainnya yangtelah sesuai dengan rencana, Laporan Hasil Pemeriksaan
atas atas Dinas-dinas dan Laporan Hasil
Pemeriksaan atas Kantor Satpol dan Kantor Penghubung Jakarta Pemerintah Provinsi Riau.
Tabel 12. Informasi Sasaran dan Program Kegiatan dalam Tahun 2007 URAIAN
Tingkat Capaian Rencana
Realisasi
Tingkat Capaian
1. Sasaran Hasil Pemeriksaan atas Badan-Badan di Lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. 2. Laporan Hasil Pemeriksaan atas atas Dinas-dinas.
10 LHP
10 LHP
100%
18 LHP
18 LHP
100%
3. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Kantor Satpol dan Kantor Penghubung Jakarta Pemerintah Provinsi Riau
2 LHP
2 LHP
100%
Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
Sasaran ini diupayakan untuk dicapai dengan melaksanakan Program Pemeriksaan Reguler atas Pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang dilaksanakan oleh seluruh unit kerja/aparat Pemerintah Daerah Provinsi Riau yang meliputi 30 Badan/Dinas/Kantor di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Selama Tahun 2007 telah terelisir seluruh capaian target sasaran dimana terhadap 30 unit kerja tersebut telah dilakukan pemeriksaan dan telah diterbitkan hasil pemeriksaannya secara tepat waktu dengan demikian dapat diperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan kedepan. Keberhasilan capaian target ini tidak terlepas dari kedisplinan para personil aparat pemeriksaan yang dapat menyelesaikan proses pemeriksaan secara tepat waktu, disamping komitmen penuh Kepala Badan Pengawas untuk melaksanakansasaran ini. Tidak dijumpai adanya permasalahan yang berarti dalam upaya mencapai sasaran ini.
Tabel 13. Informasi Hasil Pengawasan atas Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan ( Penerimaan dan Pengeluaran) dan Pelayanan Masyarakat
Tingkat Capaian URAIAN
Tingkat
Rencana
Realisasi
1. LHP Unit/Satker Pemko. Pekanbaru
7 LHP
7 LHP
100
2. LHP Unit/Satker Pemkab. Kampar
4 LHP
4 LHP
100
3. LHP Unit/Satker Pemkab. Inhu
3 LHP
3 LHP
100
4. LHP Unit/Satker Pemkab. Inhil
5 LHP
5 LHP
100
5. LHP Unit/Satker Pemkab.
4 LHP
4 LHP
100
6. Pelalawan
4 LHP
4 LHP
100
7. LHP Unit/Satker Pemkab. Rohul
7 LHP
7 LHP
100
8. LHP Unit/Satker Pemkab. Rohil
4 LHP
4 LHP
100
9. LHP Unit/Satker Pemkab. Bengkalis
4 LHP
- LHP
0
10. LHP Unit/Satker Pemkab. Siak
4 LHP
4 LHP
100
11. LHP Unit/Satker Pemkab. Kuansing
4 LHP
4 LHP
100
12. LHP Unit/Satker Pemko, Dumai
4 LHP
- LHP
0
Rata-rata
Capaian (%)
81,8
Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
a. Tersedianya Informasi hasil pengawasan atas Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan (Penerimaan dan Pengeluaran) dan pelayanan masyarakat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se-provinsi Riau.
Dari 11 Kabupaten/Kota yang diperiksa oleh Badan Pengawas Provinsi Riau, yang dapat terealisir hanya 9 Kabupaten/Kota yaitu Bengkalis dan Dumai tidak dilakukan pemeriksaan reguler. Tidak tercapainya/terealisasinya program kerja/target di Kabupaten Bengkalis dan Kota Dumai bukan merupakan suatu kegagalan dari pelaksanaan khusus serah terima jabatan Bupati/Walikota. Dengan demikian, capaian capaian target sasaran ini mencapai 81,8 persen.
b. Tertanganinya kasus yang berindikasi KKN dan Pelanggaran Ketentuan Kepegawaian lainnya.
Tabel 14. Informasi Sasaran yang Dicapai dalam Melakukan Pemeriksaan Khusus dan Pemeriksaan Pengaduan masyarakat Tingkat Capaian URAIAN
Rencana Realisasi
Tingkat Capaian (%)
1. Jumlah LHP Riksus
8
8
100
2. Surat Pengaduan Masyarakat
10
15
150
dan Surat Perintah Gubernur yang ditindaklanjuti Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
Sasaran ini dicapai dengan melakukan Pemeriksaan Khusus dan Pemeriksaan terhadap kasusu-kasus pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Itjen Depdagri maupun yang disampaikan langsung ke Gubernur Riau terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang diduga berindikasi KKN yang menjadi isu publik, serta pelanggaran terhadap ketentuan kepegawaian lainnya. Pada Tabel 14, selama tahun 2007 telah terelisir pemeriksan kusus sebanyak 8 (delapan) dan pemeriksaan kasus pengaduan masyarakat sebanyak 15 (limabelas) kasus pengaduan. Melihat realisasi penyelesaian pengaduan masyarakat, terjadi peningkatan jumlah pengaduan masyarakat sebesar 50 persen dari yang ditargetkan yaitu 10 (sepuluh) kasus pengaduan. Dengan demikian pada Tahun 2007 telah diterbitkan laporan pemeriksan khusus dan laporan pemeriksan kasus sebanyak 23 (dua puluh tiga) LHP. Dari 15 (limabelas) kasus yang telah diperiksa dimaksud, hanya 11 (sebelas) kasus pengaduan yang telah terbukti kenbenarannya, sedangkan 4 (empat) kasus lainnya tidak. Selain itu indikator pencapaian sasaran kegiatan Pemeriksaan Khusus adalah persentase pengaduan masyarakat yang dapat ditindaklanjuti sebagai bahan dari upaya pelayanan maksimal yang dapat diterima sudah sudah ditindaklanjuti sebanyak 15 (Limabelas)
kasus. Tidak terealisasirnya 4 (empat) kasus pengaduan masyarakat disebabkan karena keterbatasan tenaga dan waktu pemeriksaan karena kasus pengaduan tersebut baru diterima pada akhir Tahunn Anggaran 2007, namun demikian pengaduan masyarakat tetap ditindaklanjuti dengan melakukan pemeiksaan pada awal tahun anggaran 2008. Dengan demikian pencapaian sasaran ini telah mampu memberikan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang diduga berindikasi KKN sehingga merupakan terapi bagi aparta penyelenggaraan pemeintah kedepan.
c. Meningkatnya kemampuan daerah dalam mendukung penyelenggaraan otonomi daerah. Sasaran ini diupayakan untuk dicapai dengan melaksanakan Program Pemberian Bimbingan Teknis secara berkala khusunya kepada aparat pengawas pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota serat melaksanakan pemantauan pelaksanaan Inhouse Training. Selama Tahun 2007, seperti pada Tabel 15, sasaran ini telah terealisir seluruh capaian targetnya. Dengan demikian telah diperoleh informasi tentang teknis pengawasan penyelenggaraan kepemerintahan, yang akhirnya akan dapat meningkatkan kinerja Badan Pengawasan Provinsi Riau untuk mendukung penyelenggaran Otonomi Daerah. Tabel 15. Sasaran Program Pemberian Bimbingan Teknis Tingkat Capaian URAIAN
11
11
Tingkat Capaian (%) 100
11
11
100
Rencana
1. Bimtek Aparat Pengawasan Kab/Kota se-Provinsi Riau 2. Pembinaan ke Kab/Kota seProvinsi Riau Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
Realisasi
d. Terwujudnya Sinergi Pengawasan atas pelaksanaan Kepemerintahan dan Pembangunan di Provinsi Riau. Sasaran pencapaiannya dilaksanakan melalui Program Peningkatan Pengawasan, dalam rangka penerapan manajemen pengawasan modern. Adapun kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka mendukung pencapaian sasaran ini meliputi penyusunan rencana pemeriksaan yang berkesinambungan dan terkoordinasi dengan baik.
Tabel 16. Informasi Sasaran Renstra Tahun 2007 Tingkat Capaian URAIAN
Tingkat
Rencana
Realisasi
1. Rentra Pemrov. Riau
1 Laporan
1 Laporan
100
2. UPKPT 2006
1 Laporan
1 Laporan
100
3. PKPT 2005
1 Laporan
1 Laporan
100
4. Rakorwas
2 Kegiatan
2 Kegiatan
100
Capaian (%)
Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
Selama tahun 2007 sasaran ini telah terelisir seluruhnya output atau keluaran berupa Renstra, PKPT Tahun 2007 dan UPKPT 2008 yang disusun mekanisme Rapat Koordinasi tingkat internal Kantor Badan Pengawas Provinsi Riau, Tingkat Provinsi dan Nasional, telah terlaksana dengan baik. Rapat koordinasi pengawasan dimaksud untuk mendayagunakan sistem dan pangawasan yang terpadu. Meskipun demikian dimasa mendatang kualitas koordiansi pengawasan harus lebih ditingkatkan, agar diperoleh ketaatan dan konsisten terhadap komitmen perencanaan yang telah dibuat dari seluruh aparat pemerintah se-Provinsi Riau (Table 16).
e. Terwujudnya Kualitas SDM yang dapat menunjang perluasan tugas Badan Pengawas Daerah Provinsi Riau. Sasaran ini kami diupayakan untuk dicapai dengan melaksanakan Program Peningkatan Sumber Daya Manusia aparatur Badan Pengawas Daerah Provinsi Riau.
Tabel 17. Informasi Program Peningkatan Pengawasan URAIAN Pegawai Badan Pengawas Daerah Provinsi Riau mengikuti: - Inhouse Trainingpeningkatan
Tingkat Capaian Tingkat Rencana Realisasi Capaian (%)
40 orang
40 orang
100
dan pemantapan tehnik pemeriksaan. - Diklat Bimtek ABK 40 orang - Bimtek Aplikasi Komputer 16 orang - Diklat-diklat lainnya 10 orang Sumber: Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
40 orang 16 orang 19 orang
100 100 190
Semua indikator sasaran yang harus ada untuk mencapai sasaran ini telah dapat direalisir sepenuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa segenap pegawai yang ada pada Badan Pengawas Daerah Provinsi Riau telah berusaha meningkatkan kinerja dan profesionalisme untuk mendukung pencapaian visi dan misi Badan Pengawas Daerah Provinsi Riau. Pada Tabel 17 dapat dilihat tingkat pencapatian seluruhnya 100 persen, bahkan untuk diklatdiklat lainnya hingga mencapai 190 persen.
BAB VI STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN BADAN PENGAWAS PROVINSI RIAU
Dalam bab ini akan dijelaskan analisis tentang implementasi strategi lembaga dalam memperkuat peran terhadap lembaga pemerintah yang lain dalam perspektif Tupoksi. Dalam kajian politik teoritis, lembaga pengawas seharusnya memiliki peran dan posisi yang lebih kuat daripada lembaga lain yang diawasinya. Namun, dalam penguatan tersebut, perlu adanya strategi dan program yang baik, sehingga dengan kemampuan SDM yang telah ada, maka tujuan organisasi dalam aspek penguatan peran dapat tercapai dengan target tertentu.
6.1. Kondisi Lingkungan Internal dan Eksternal Pemerintah Provinsi Riau sebagai salah satu organisasi sektor publik bergerak dalam lingkungan yang sangat kompleks dan penuh dengan ketidak pastian Badan Pengawas Provinsi Riau sebagai salah satu perangkat
Pemerintah Provinsi Riau tidak luput dari kompleksitas
lingkungan internal dan eksternal yang dimiliki dan dihadapinya. Setelah dilakukan identifikasi lingkungan strategis pada Badan Pengawas Provinsi Riau,
maka diperoleh tiga komponen
lingkungan strategi internal dan tiga komponen lingkungan strategi eksternal yaitu :
6.1.1.Kondisi Lingkungan Internal meliputi : 1) Kekuatan (Strenghts) terdiri dari : a)
Kewenangan sebagai Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP):
b) Adanya kerjasama dengan lembaga pengawas lainnya(internal dan eksternal) c)
Adanya Komitmen pimpinan dan staf.
2) Kelemahan (Weaknesses), terdiri dari : a)
Terbatasnya sumberdaya manusia.
b)
Masih terbatasnya anggaran:
c)
Belum maksimalnya dukungan sarana dan prasarana.
6.1.2. Lingkungan Eksternal, meliputi : 1) Peluang (Oppourtunities), terdiri dari :
a) Komitmen Pemerintah mewujudkan good governance: b) Pelaksanaan diklat/bintek. c) Banyak organisasi massa, LSM, Mahasiswa yang melakukan social control 2) Ancaman (Threats), terdiri dari : a) Isu sentral adanya KKN di lingkungan birokrasi pemerintah. b) Image negatif terhadap Bawasprop: c) Rendahnya tingkat penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan.
Tabel 18. Identifikasi Lingkungan Internal dan Eksternal Lingkungan Strategis Internal
Eksternal
Kekuatan (Strenghts)
Peluang (Opportunities)
1. Kewenangan Sebagai APIP 1. Pelaksanaan Diklat / Bimtek. 2. Adanya pemerintah untuk Kerjasama dengan 2. Komitmen lembaga pengawas lainnya mewujudkan tata pemerintahan yang 3. Adanya Komitmen Pimpinan dan baik (Good Governance) LSM, Staf 3. Banyak organisasi massa, Mahasiswa yang melakukan sosial control Kelemahan (Weakness) Ancaman (Threat) 1. TerbatasnyaSumberdaya Manusia 1. Isu sentral adanya KKN di lingkungan 2. Masih terbatasnya anggaran. birokrasi pemerintah. 3. Belum maksimalnya dukungan 2. Adanya Image negatif terhadap institusi sarana dan prasarana. pengawasan 3. Masih rendahnya tingkat penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan Sumber: Diolah
6.2. Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal (SWOT) Perumusan strategi sebuah organisasi berawal
dari analisis situasi. Analisis situasi
mengharuskan para manajer puncak untuk menemukan sinergitas (kesesuaian) strategis antara kekuatan internal yang dimiliki dengan peluang-peluang eksternal disamping memperhatikan kelemahan-kelemahan internal dan ancaman-ancaman eksternal yang dimiliki dan dihadapi oleh organisasi. SWOT itu sendiri merupakan akronim untuk Strenghts, Weaknesses, Opportunities,
dan trheats dari suatu organisasi, yang semuanya merupakan faktor-faktor strategis. Analisis SWOT pada hakikatnya adalah suatu proses mengidentifikasi kompetensi suatu organisasi dengan mengkombinasikan keahlian, sumberdaya yang dimiliki dan cara atau metoda yang digunakan dalam mencapai tujuan organisasi.
6.2.1. Kekuatan (Strengths) Kekuatan merupakan suatu kompetensi yang digunakan untuk dapat menangani peluang dan ancaman yang dihadapi oleh suatu organisasi
(Rangkuti, 1997). Keberhasilan yang
ditunjukkan oleh penguatan peran Badan Pengawasan Provinsi Riau tidak terlepas dari kekuatankekuatan yang dimiliki. Kekuatan-kekuatan yang memiliki korelasi yang signifikan dalam rangka penguatan peran Badan Pengawas Provinsi Riau adalah : 1) Kewenangan Sebagai APIP Badan Pengawas Provinsi Riau dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 24 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Provinsi Riau. Pasal 3 menyebutkan Badan Pengawas Provinsi Riau mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahaan Daerah dalam upaya pembinaan terhadap aparat pemerintah baik di lingkup Pemerintah Provinsi maupun Peemrintah Kabupaten/Kota. Sebagai Aparat Pengawas Internal (APIP) Badan Pengawas Provinsi Riau adalah satu-satunya SKPD yang mempunyai kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah baik di lingkup Pemerintah Provinsi Riau maupun Pemerintah Kabupaten dan Kota se Provinsi Riau.
2) Adanya Kerjasama dengan Lembaga Pengawas Lainnya Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, Badan Pengawas Provinsi Riau telah melakukan kerjasama dengan eksternal Auditor dalam hal: 1) Review Laporan Keuangan Pemprop 2) penyusunan LAKIP Pemerintah Provinsi Riau dan pelaksanaan audit gabungan, serta sebagai Koordinator dalam penyelesaian tindaklanjut hasil pemeriksaan BPKP Perwakilan Provinsi Riau, Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri dan
Inspektorat Jenderal Departemen teknis. BPK Perwakilan Riau dan Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Riau.
3) Adanya Komitmen Pimpinan dan Staf Pimpinan dan Staf di lingkup Badan Pengawas Provinsi Riau memiliki komitmen dalam upaya mewujudkan visi dan misi Badan Pengawas Provinsi Riau yaitu “ Terwujudnya Kepemerintahan Berbudaya Melayu Melalui Pengawasan Yang Profesional”. Komitmen ini terlihat dari upaya peningkastan kapasitas sumberdaya manusia melalui alokasi anggaran pendidikan dan latihan, peningkatan sarana dan prasarana dan peningkatan anggaran setiap tahunnya.
6.2.2. Kelemahan (Weaknesses) Kelemahan yang ada di dalam organisasi harus segera diatasi untuk menangani peluang dan ancaman yang datang (Rangkuti, 1997) Adapun kelemahan yang dimiliki oleh Badan Pengawas Provinsi Riau adalah : 1) Terbatasnya Sumber Daya Manusia. Dalam rangka menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya, Badan Pengawas Provinsi Riau perlu didukungt oleh sumberdaya manusia yang handal baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Jumlah Pegawai Badan Pengawas Provinsi Riau selama tiga tahun terakhir (tahun 2005-2006-2007) adalah 68 orang pada tahun 2006, bertambah menjadi 75 orang pada tahun 2006 dan bertambah lagi menjadi 76 orang pada tahun 2007. Dari jumlah ini yang melakukan tugas pemeriksaan adalah 36 orang. Jika ditinjau dari beban kerja yang diemban oleh Badan Pengawas yaitu harus melakukan pemeriksaan reguler, pemeriksaan khusus, kasus terhadap objek pemeriksaan yaitu 30 SKPD yang berada dalam lingkup Pemerintah Provinsi Riau dan 11 Kabupaten/Kota (masing-masing kabupaten/kota 7 objek pemeriksaan) yang ada di Provinsi Riau yang harus dilaksanakan dalam satu tahun anggaran, terlihat jelas sekali bahwa peningkatan jumlah personil sangat tidak proporsional jika dibandingkan dengan beban kerja yang harus diemban. Jika dibuat
perbandingannya adalah
jumlah objek pemeriksaan
berbanding jumlah pemeriksa yaitu 107 : 36.= 3 : 1 Hal ini berarti bahwa tiga objek
pemeriksaan berbanding satu personil pemeriksa. suatu jumlah yang dirasa sangat tidak memadai dengan jumlah personil yang ada, karena aspek yang diperiksa meliputi empat aspek yaitu
aspek pelaksanaan tugas pokok dan fungsi,
aspek pengelolaan
kepegawaian/SDM, aspek pengelolaan aset/sarana prasarana dan aspek pengelolaan keuangan. Jumlah pegawai Badan Pengawas Provinsi Riau menurut jenjang pendidikan formal tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 dapat dilihat dalam Tabel 19.
Tabel 11. Jumlah pegawai Badan Pengawas Provinsi Riau menurut Jenjang Pendidikan Formal tahun 2005-2007 Jenjang Pendidikan Formal
No
Tahun/Jumlah (Orang) 2005 2 3 23 7 31
2006 1 3 25 8 36
2007 0 1 17 6 45
2 0
2 0
7 0
Jumlah 68 Sumber : Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
75
76
1. 2. 3. 4. 5.
Sekolah Dasar SLTP SLTA Diploma III Sarjana (Strata 1)
6. 7.
Strata 2 Strata 3
Dari Tabel 19
diperoleh gambaran bahwa jumlah pegawai selama tiga tahun tidak
mengalami penambahan yang signifikan dan untuk mengetahui dari jumlah
pegawai
tersebut diatas yang melakukan tugas pemeriksaan berjumlah 36 orang. Dari 36 orang tersebut yang telah mempunyai sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor terdapat 9 orang. Sebagaimana terlihat dalam Tabel 20.
Tabel 20. Jumlah Pegawai Badan Pengawas Provinsi Riau yang Berkualifikasi Auditor Tahun 2005-2007 (orang)
Tahun
Pejabat Pemeriksa
Mengikuti JFA
Lulus Sertifikasi JFA
Persentase Pemeriksa yg Berkualifikasi Auditor
2005 26 20 4 2006 34 25 6 2007 36 36 9 Sumber : Badan Pengawas Provinsi Riau, 2008
15,38 % 17,65 % 25,99 %
Dengan memperhatikan Tabel 12 terjadi peningkatan dalam jumlah pemeriksa yang berkualifikasi sebagai Auditor, namun
Secara totalitas peningkatan jumlah tersebut
belum mampu memenuhi kebutuhan minimal terhadap tenaga pemeriksa yang berkualifikasi sebagai auditor. Hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan dalam melakukan pemeriksaan oleh Badan Pengawas Provinsi Riau. Terbatasnya SDM Badan Pengawas baik secara kuantitas maupun kualitas, disebabkan tidak adanya kewenangan Badan Pengawas untuk melakukan pengadaan (requitment) pegawai, mutasi dan promosi sesuai dengan kebutuhannya. Dalam rangka meningkatkan profesionalisme secara kontiniu dan berjenjang selama Tahun 2007 Badan Pengawas Daerah Provinsi Riau disamping melaksanakan in House training juga mengirimkan pegawai/pejabat Badan Pengawas Daerah Provinsi Riau untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan yang dilaksanakan oleh Depdagri, Diklat BADP Provinsi Riau dan Lembaga Pendidikan lainnya dalam rangka peningkatan SDM, seperti : •
Bimtek Penyusunan LAKIP.
•
Workshop Pemantauan Impelmentasi Penetapan Kinerja dan Kinerja Instansi Pemerintah.
•
Diklat TOT
•
Diklat Teknik Komputer
•
Diklat Bahasa Inggris
•
Diklat TOC (Training Officers Course Perhitungan Angka Kredit )
•
Bimtek Pertanggungjawaban Pengendalian Pengawasan serta Pemeriksa Keuangan Daerah ( Pemda dan DPRD).
•
Workshop Pemantapan Implementasi Penerapan Kinerja dan Evaluasi Kinerja Instansi Auditor Pemerintah.
•
JFA Tingkat Auditor Ahli
•
Diklat Pengembangan Ketua Tim
•
Diklat Pengelolaan Barang Daerah
•
Bimtek Nasional Sertifikasi Keahlian Pengadaan barang dan Jasa.
•
Pelatihan E. Goverment Angkatan II
•
Diklat Tata Cara Pengawasan dan Perlindungan Ketanagakerjaan.
•
Diklat Manajemen Auditor Keuangan.
•
Bimtek ABK.
•
Diklat Managerial Pengawasan (DMP)
•
Diklat/Bimtek Pemeriksaan Pilkada Keadaan Bimtek ini melebihi dari target yang ditetapkan, yaitu 10 (sepuluh) Kegiatan Bimtek, sedangkan realisasinya 19 bimbingan teknis.
Terkait dengan masalah perbaikan sumberdaya manusia, salah Kepala Bidang di BADP Provinsi Riau, Nuralam, menyatakan bahwa:
‘Secara prinsip, kami telah memberikan program yang layak dan sesuai dengan peraturan dan modulasi dari Pemerintah Pusat. Namun apabila terkait dengan kemampuan aparat dalam aspek teknis pemeriksaan, biasanya kami harus bekerja sama dengan instansi terkait, misalnya dengan Kepala Bawasda, karena mereka yang tahu persis apa kebutuhannya. Kami hanya fasilitasi saja.’
Sedangkan Kepala Bawasda, Sidiq menambahkan, bahwa:
‘Untuk usaha memperbaiki kemampuan pegawai dalam konteks keahlian pemeriksaan internal, kami secara rutin telah mengadakan banyak sekali Bimtek yang periodik, dengan harapan Bimbingan teknis tersebut akan memperbaiki kualitas SDM kami. Semoga tidak kurang.’
2) Terbatasnya Anggaran
Aspek pembiayaan yang terbatas merupakan kendala utama bagi Bawasda, dalam meningkatkan intensitas pengawasannya. Anggaran yang ada saat ini untuk melakukan pemeriksaan dirasa sangat minim. Yaitu sangat sedikitnya anggaran yang tersedia perjalanan dinas untuk melakukan pemeriksaan, akibatnya hasil yang diperolehpun tidak maksimum. Ditilik dari jumlah anggaran yang tersedia di Badan Pengawas Provinsi Riau selama tiga tahun kebelakang, dimana pada tahun 2005 anggaran yang tersedia hanya Rp 10,34 Milyar kemudian tahun 2006 hanya Rp12,22 Milyar dan pada tahun 2007 Rp.14,04 Milyar Kemudian jika dibandingkan jumlah APBD Provinsi Riau dapat dilihat pada Tabel 14 berikut : Tabel 21. Jumlah Anggaran Badan Pengawas Provinsi Riau tahun 2005- 2007 (Rp Milyar)
No.
Tahun Anggaran
Jumlah APBD Prop Riau
Alokasi Dana Bawasprop Riau
%
10.34 12.22 14.04
0.41 0.42 0.33
1 2005 2.437.72 2 2006 3.619.68 3 2007 4.386.25 Sumber: APBD Prop.Riau, 2008
Dari data tersebut terlihat dengan jelas bahwa anggaran yang dialokasikan Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi Riau, relatif masih relatif rendah (belum mencapai 0.5 %) dari APBD Provinsi Riau secara keseluruhan. Hal ini mengakibatkan tugas pokok dan fungsi Badan Pengawas tidak dapat dilaksanakan secara optimal dan ada yang tidak dapat dilaksanakan sama sekali. Mekanisme penyusunan anggaran, mulai dari usulan yang disampaikan dibahas pada Musrenbang di Bappeda, kemudian dibahas dengan Team Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), kemudian dengan DPRD dalam hal ini dengan komisi A (komisi yang membidangi pemerintahan).
3) Belum maksimalnya dukungan sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung penguatan peran Badan Pengawas Daerah. Sarana dan prasarana merupakan media yang digunakan dalam menunjang tugas-tugas pokok dan fungsi dari Badan Pengawas. Saat ini sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Badan Pengawas Provinsi Riau adalah
Tabel 22. Sarana dan Prasarana Badan Pengawas Provinsi Riau Tahun 2005-2007 Nomor
Nama Barang
2005 Mobil Operasional 2. Komputer + 19 printer 3. Note Book 3 4. Kamera 5 5. Handycam 1 6. Alat Perekam 2 7. Alat Ukur Jalan 8. GPS 9. Alat Ukur ketebalan Aspal 10. Alat Ukur kualitas Dinding Sumber : Badan Pengawas Provinsi Riau 2007 1.
Tahun/Unit 2006 2
2007 2
20
24
7 5 1 2 -
8 5 1 2 -
-
-
Dari Tabel 22 terlihat bahwa Badan Pengawas Provinsi Riau belum didukung oleh peralatan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan pemeriksaan, seperti
alat-alat ukur
keteknikan contohnya : GPS, Alat ukur ketebalan Aspal, alat ukur kualitas beton, alat pengukur jalan dan lain-lain. Peralatan tersebut di atas sangat mempengaruhi kualitas hasil pemeriksaan. Permasalahan mobil operasional untuk melakukan pemeriksaan reguler dan pemeriksaan khusus di Kabupaten/Kota, karena pengadaannya dilaksanakan oleh Biro Perlengkapan Provinsi Riau.
6.2.3. Peluang (Opportunity)
Peluang merupakan salah satu unsur eksternal yang berpotensi menguntungkan apabila mampu memanfaatkan peluang tersebut (Tripomo, 2005). Peluang-peluang Badan Pengawas antara lain: 1) Komitmen pemerintah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) Dalam
upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dalam
penyelenggaraan pemerintahan, semenjak tahun 1998 telah digulirkan serangkaian Ketentuan/Peraturan Perundang-undangan yang mencerminkan komitmen pemerintah terhadap terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yaitu : a) Ketetapan
MPR RI Nomor XI/MPR/98 tentang
penyelenggaraan Negara yang
bersih dan bebas KKN: b) Undang-undang Nomor31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi: c) Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan Barang/Jasa Pemerintah: d) Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah: e) Inpres Nomor 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi:
2) Adanya Tawaran Diklat dari Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pendidkan dan pelatihan teknis fungsional sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kompetensi SDM pengawasan guna mewujudkan profesionalisme dalam pelaksanaan tugas. Pendidikan dan pelatihan yang urgen dalam rangka peningkatan kompetensi Auditor meliputi : a) Diklat teknis pengawasan untuk kebuuthan sertifikasi sebagai Auditor: b) Diklat teknis pengelolaan keuangan daerah: c) Diklat teknis manajemen pengadaan barang dan jasa isntansi pemerintah: d) Diklat teknis pengelolaan barang daerah. Pendidikan dan pelatihan tersebut di atas diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendiidkan dan pelatihan profesional antara lain Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Diklat Departemen
Dalam Negeridan Universitas. tDalam upaya meningkatkan kompetensi Auditor, lembaga-lembaga diklat tersebut di atas setiap tahunnya memberikan kesempatan kepada Badan Pengawas Provinsi Riau untuk mengikuti Diklat-Diklat yang mereka selenggarakan.
3) Banyaknya Organisasi Massa, LSM dan Mahasiswa yang
melakukan social control. Tata
pemerintahan yang baik (good governance) akan terwujud apabila terciptanya hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Sebuah Pemerintahan terbentuk dari hasil pemilihan umum baik untuk pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah. Pemerintahan yang terbentuk dari hasil pemilihan umum adalah pihak yang diberi amanah atau mandat oleh rakyat (stakeholders) selaku pemberi amanah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Rakyat (publik) selaku pemberi amanah mempunyai hak untuk ikut mengawasi/melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Jika semakin banyak elemen masyarakat baik perorangan maupun yang terhimpun dalam organisasi
seperti LSM, Mahasiswa yang melakukan pengawasan
(kontrol) terhadap penyelenggaraan pemerintahan, menunjukkan terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemerintah yang berkuasa termasuk institusi pengawasan bentukan pemerintah. Masyarakat kurang percaya terhadap pengawasan yang dilakukan oleh institusi pengawasan bentukan pemerintah. Krisis kepercayaan tersebut dapat menjadi ancaman bagi Badan Pengawas Provinsi Riau dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
6.2.4. Ancaman (Threats) 1) Isu sentral adanya KKN di lingkungan birokrasi pemerintah. Anggapan sebahagian masyarakat terhadap sistem birokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah masih dipenuhi dengan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga menimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat dan keyakinan atas kinerja pemerintah. 2) Adanya image Negatif Terhadap Badan Pengawas Provinsi Riau Adanya image negatif terhadap Badan Pengawas Provinsi Riau disebabkan oleh :
a. Badan Pengawas sebagai perpanjangtanganan Gubernur yang tidak independen. b. Kualitas hasil pemeriksaan yang tergambar dari materi temuan-temuan hasil pemeriksaan dengan rekomendasi yang terlalu menonjolkan aspek hukuman, dan adakalanya sulit untuk ditindaklanjuti:’ c. Temuan hasil pemeriksaan yang berulang.
3) Masih rendahnya tingkat penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan Output sebuah laporan hasil pemeriksaan adalah tindaklanjut hasil pemeriksaan. Pelaksanaan
tindaklanjut
hasil
pemeriksaan
sepenuhnya
merupakan
tugas
dan
tanggungjawab satuan kerja yang diperiksa. Kewenangan Badan Pengawas Provinsi Riau hanya sebatas membuat penegasan pelaksanaan tindaklanjut atas hasil peemriksaan. Berikut ini disajikan perkembangan penyeleseian pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan Badan Pengawas Provinsi Riau Tahun 2005 -2007 pada Tabel 23. Pada Tabel 23 diatas terlihat bahwa penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan Badan Pengawas Provinsi Riau oleh satuan kerja yang diperiksa masih relatif rendah. Hal ini terbukti pada tahun 2005 dan 2006 masih terdapat saran hasil pemeriksaan (temuan) belum ditindak lanjuti dimana untuk tahun 2005 masih tersisa 28 saran (11 %) dan tahun 2006 terdapat 65 saran (26 %).
Tabel 23. Perkembangan Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Badan Pengawas Provinsi Riau Tahun 2005-2007
No Tahun 1 2005
Jumlah Temuan 225
Jumlah Saran 263
S 210
Tindak Lanjut % D % B 80 25 10 28
2 2006 202 246 149 61 3 2007 199 247 69 28 Keterangan : S = Selesai, D = Dalam proses, B = Belum Sumber : Badan Pengawas Provinsi Riau
6.3 PENILAIAN/SKOR FAKTOR – FAKTOR SWOT. Kekuatan/Strengths (S)
32 12
13 5
65 166
% 11 26 67
S1 :
Kewenangan sebagai aparat pengawas internal pemerintah (APIP)
S2 :
Adanya kerjasama dengan lembaga pengawasan lainnya (internal/eksternal)
S3 :
Adanya komitmen pimpinan dan staf
Kelemahan/Weaknesses (W) W1 :
Terbatasnya sumberdaya manusia
W2 :
Masih terbatasnya anggaran
W3 :
Belum maksimalnya dukungan sarana dan prasarana.
Peluang/Opportunities (O) O1 : Komitmen Pemerintah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik. O2 : Adanya tawaran Bimtek/Diklat O3 :
Banyaknya organisasi massa, LSM dan Mahasiswa.(sosial kontrol)
Ancaman/Threats (T) T1 :
Isu sentral KKN di lingkungan birokrasi pemerintah
T2 :
Adanya image negatif terhadap Badan Pengawas Provinsi Riau
T3 :
Rendahnya tingkat penyelesaiaan tindak lanjut hasil pemeriksaan
Berdasarkan komponen-komponen/uraian unsur-unsur SWOT tersebut, maka dapat ditentukan empat kelompok alternatif strategi yang merupakan kombinasi dari masingmasing unsur, sebagai berikut:
Tabel 23. Penilaian Faktor-faktor SWOT Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
Peluang (O)
Ancaman (T)
Komponen
Nilai
Komponen
Nilai
Komponen
Nilai
Komponen
Nilai
S1
5
W1
5
O1
5
T1
5
S2
4
W2
4
O2
5
T2
4
S3
4
W3
3
O3
3
T3
3
Untuk mengetahui skor yang dimiliki oleh masing-masing faktor SWOT penguatan peran Badan Pengawas dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Analisis Faktor Internal FAKTOR INTERNAL KEKUATAN : 1. Kewenangan Sebagai APIP 2. Adanya Kerjasama dengan pengawas lainnya 3. Adanya Komitmen Pimpinan dan Staf KELEMAHAN 1. Terbatasnya Sumberdaya Manusia 2. Masih terbatasnya anggaran. 3. Belum maksimalnya dukungan sarana dan prasarana. TOTAL
BOBOT
URGENSI
SKOR
0.25
5
1.25
0,15
4
0,60
0,10
4
0,40
0,25 0,15
5 4
1,25 0,60
0,10
3
0,30
1.00
4,40
Dari Tabel 24, dapat diketahui bahwa diantara enam faktor internal yang paling tinggi bobot urgensinya adalah kewenangan sebagai aparat internal pengawas pemerintah (APIP) dan terbatasnya sumberdaya manusia yaitu dengan skor masing-masing 1.25 Hal ini berarti kedua faktor diatas sangat menentukan untuk penguatan peran Badan Pengawas.
Tabel 25. Analisis Faktor Eksternal Faktor Internal PELUANG : 1. Adanya pelaksanaan Diklat / Bimtek. 2. Komitmen pemerintah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (Good Governance) 3. Banyak organisasi massa, LSM, Mahasiswa yang melakukan sosial control ANCAMAN: 1. Isu sentral adanya KKN di lingkungan birokrasi pemerintah. 2. Adanya Image negatif terhadap institusi pengawasan 3. Masih rendahnya tingkat penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan TOTAL
Bobot
Urgensi
Skor
0.25 0,20
5 5
1.25 1,00
0,20
3
0,60
0,15
5
0,75
0,10
4
0,40
0,10
3
0,30
1.00
4.30
Pada Tabel 25, dapat dilihat bahwa diantara enam faktor eksternal, yang paling tinggi bobot urgensinya adalah adanya pelaksanaan diklat/bimtek bagi pegawai Badan Pengawas yaitu dengan skor 1.25 Hal ini berarti Badan Pengawas harus dapat memanfaatkan peluang bagi pegawai/aparatur untuk mengikuti diklat/bimtek sebaik mungkin, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan kemampuan pegawai Badan Pengawas.
Tabel 26. Matriks SWOT Penguatan Peran Badan Pengawas Daerah Internal Eksternal Peluang (Opportunities) 2.85 Ancaman (Threat) 1.45
kekuatan (Strengts) 2.25
Kelemahan (Weakness) 2.15
S-O (5.10) S-T (3.70)
W-O (5) W-T (3.60)
Berdasarkan penjumlahan skor dari masing-masing faktor SWOT, sebagaimana terlihat dalam Tabel 19 matrik SWOT diatas ternyata strategi yang memiliki skor paling tinggi adalah S-O yaitu 5.10 (skor S=2.25 dan skor O=2.85) dan W-O yaitu 5 (skor W = 2.15 dan O = 2.85)
6.4.
Perumusan Strategi Faktor-faktor internal yang dimiliki dan faktor-faktor eksternal yang dihadapi oleh Badan
Pengawas Daerah Provinsi Riau disusun berdasarkan skor yang diperoleh dari analisis lingkungan internal dan eksternal dalam matriks Analisis SWOT. Kemudian dilakukan perumusan strategi yang mengaitkan faktor-faktor tersebut, sehingga diperoleh empat kelompok strategi, yaitu :
6.4.1.Kekuatan-Peluang (S-O) Kekuatan yang sudah dimiliki, memanfaatkan peluang yang muncul dengan strategi : S-O1. Mengoptimalkan kewenangan yang ada sebagai apararat pengawas internal pemerintah (APIP) untuk mendukung tekad pemerintah dalam mewujudkan good governance.
S-O2. Mengikutsertakan pegawai pada setiap kesempatan diklat/bimtek baik yang dilaksanakan sendiri maupun dilaksanakan oleh lembaga lainnya. S-O3. Meningkatkan kerjasama yang selama ini sudah terjadi dengan lembaga pengawas lainnya. S-O4. Memanfaatkan hubungan kerja yang sinergis dengan
organisasi massa
(LSM/Mahasiswa) untuk mengatasi volume kerja yang semakin meningkat.
6.4.2. Kekuatan-Ancaman (S-T) Dengan bekal kekuatan yang ada, mengatasi ancaman yang dihadapi maka perlu strategi : S-T1.
Mengoptimalkan program kerja pemeriksan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
S-T2. Meningkatkan profesionalisme hasil pemeriksaan. S-T3. Mengoptimalkan penyelesaian tindak lanjut hasil pemeriksaan.
6.4.3. Kelemahan-Peluang (W-O) Mengatasi kelemahan untuk dapat memanfaatkan peluang yang ada, dengan strategi : W-O1. Mengusulkan penambahan pegawai kepada Gubernur sesuai disiplin ilmu yang dibutuhkan. W-O2. Meningkatkan jumlah anggaran untuk diklat/bimtek bagi pegawai melalui musrenbang Provinsi. W-O3. Meningkatkan jumlah sarana dan prasarana untuk pelaksanaan tugas pemeriksaan melalui musrenbang Provinsi.
6.4.4. Kelemahan-Ancaman (W-T) W-T1. Mengoptimalkan sumberdaya yang ada (SDM,Sarana/Prasarana). W-T2.
Mengedepankan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
W-T3.
Mempertahankan agar pegawai yang sudah ada terlatih dibidang pengawasan.
Sedangkan analisis dan scoring adalah sebagai berikut: A. Hasil kombinasi SWOT antara Strategi (S) dan Peluang (O) adalah:
1. SO1 (S1+O2) = 1,25+1,00 = 2,25 2. SO2 (S3+O1) = 0,40+1,25 = 1,65 3. SO3 (S2+O2) = 0,60+1,00 = 1,60 4. SO4 (S2+O3) = 0,60+0,60 = 1,20 B. Hasil kombinasi SWOT antara Strategi (S) dan Ancaman (T) adalah: 1. ST1 (S1+T2) = 1,25+0,75 = 2,00 2. ST1 (S1+T2) = 0,40+0,40 = 0,80 3. ST1 (S1+T3) = 0,60+0,40 = 0,90
Tabel 20. Analisis Kombinasi SWOT Internal
Eksternal
Kekuatan-(Strenghts) 1. Kewenangan sebagai APIP 2. Kerjasama dengan lembaga pengawas lainnya. 3. Adanya Komitmen pimpinan dan staf
Kelemahan-(Weakness) (1). Terbatasnya sumberdaya manusia (2). Terbatasnya Anggaran. (3). Belum maksimalnya dukungan sarana dan prasarana
Peluang-O Strategi SO Strategi WO 1. Pelaksanaan diklat/bimtek 1. Mengoptimalkan 1. Mengusulkan 2. Tekad pemerintah dalam kewenangan yang ada penambahan pegawai mewujudkan good sebagai apararat pengawas kepada Gubernur sesuai governance internal pemerintah disiplin ilmu yang 3. Banyak organisasi massa, (APIP) untuk mendukung dibutuhkan LSM, dalam social control tekad pemerintah dalam 2. Meningkatkan jumlah mewujudkan good anggaran untuk governance diklat/bimtek bagi 2. Mengikutsertakan pegawai melalui pegawai pada setiap musrenbang Provinsi kesempatan diklat/bimtek 3. Meningkatkan jumlah baik yang dilaksanakan sarana dan prasarana sendiri maupun untuk pelaksanaan tugas
dilaksanakan oleh pemeriksaan melalui lembaga lainnya. musrenbang Provinsi. 3. Meningkatkan kerjasama yang selama ini sudah terjadi dengan lembaga pengawas lainnya. 4. Memanfaatkan hubungan kerja yang sinergis dengan organisasi massa (LSM/Mahasiswa) untuk mengatasi volume kerja yang semakin meningkat Ancaman-T Strategi ST Strategi WT 1. Isu sentral KKN di 1. Mengoptimalkan program 1. Mengoptimalkan sumber lingkungan birokrasi kerja pemeriksan untuk daya yang ada 2. Adanya pemnilaian negatif meningkatkan (SDM,Sarana/Prasarana). terhadap Bawaprop Riau kepercayaan masyarakat 2. Mengedepankan peraturan 3. Masih rendahnya tingkat 2. Meningkatkan perundang-undangan yang profesionalisme hasil berlaku. penyelesaian tindak lanjut pemeriksaan 3. Mempertahankan agar hasil pemeriksaan. 3. Mengoptimalkan pegawai yang sudah penyelesaian tindak lanjut terlatih dibidang hasil pemeriksaan pengawasan. C. Hasil kombinasi SWOT antara Kelemahan (W) dan Peluang (O) adalah: 1. WO1 (W1+O2) = 1,25+1,00 = 2,25 2. WO1 (W1+O1) = 0,60+1,25 = 1,85 3. WO1 (W1+O2) = 0,30+1,00 = 1,30
D. Hasil kombinasi SWOT antara Kelemahan (W) dan Ancaman (T) adalah: 1. WT1 (W1+T2) = 1,25+0,40 = 1,65 2. WT2 (W1+T1) = 1,25+0,75 = 2,00 3. WT3 (W1+T3) = 1,25+0,40 = 1,65
Dari hasil scoring kombinasi SWOT tersebut, maka diperoleh 14 strategy point yang terdiri dari SO = 4 strategi, ST = 3 strategi, WO = 3 strategi, dan WT = 3 buah strategi. Sedangkan strategi yang mempunyai scoring paling tinggi adalah SO 1 dengan jumlah score 2,25, sehingga strategi SO 1 (Mengoptimalkan kewenangan yang ada sebagai aparat pengawas internal pemerintah
(APIP) untuk mendukung tekad pemerintah dalam mewujudkan good governance) yang akan diterapkan untuk implementasi penguatan Badan Pengawas.
6.5.
Perumusan Program Setelah melihat kembali (review) strategi dan implementasi program selama tahun 2007,
maka dapat diperoleh beberapa poin penting yang dapat menjadi acuan perencanaan program yang lebih baik. Berikut ini adalah beberapa program yang diturunkan dari strategi yang terpilih: 1. Program Implementasi Berbasis Pengawasan Internal Program ini bertujuan untuk meningkatkan lebih memberdayakan pengawasan internal yang oleh Badan Pengawas Provinsi Riau sendiri. Kegitan dari program ini terdiri dari: a) Penanganan kasus pengaduan masyarakat. b) Penanganan kasus di Kabupaten/Kota c) Inventarisasi Temuan Pengawasan. d) Tindak lanjut hasil temuan. e) Evaluasi berkala.
2. Program Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan, program ini ditujukan untuk pengembangan capacity building dari aparat Badan Pengawasan Provinsi Riau. Program ini dapat dibagi menjadi beberapa kegiatan pelatihan, yaitu: a) Pelatihan dan pengembangan SDM. b) Pelatihan penilaian akuntabilitas kinerja
3. Program Penataan Kebijakan Sistemik, dengan program penyusunan kebijakan sistem dan prosedur pengawasan. Program ini bertujuan untuk mengoptimalkan cara bekerja sesuai dengan standar yang telah ditentukan, contoh dari program ini adalah pembuatan standard operational procedure (SOP) dan etika pengaawasan.
4. Program Intensifikasi Penanganan Pengaduan Program ini bertujuan untuk menindaklanjuti setiap pengaduan yang diterima dengan melakukan pemeriksaan khusus atau kasus. Beberapa kegitan yang diturunkan dari program ini adalah: a) Pembentukan unit khusus penanganan pengaduan masyarakat. b) Pelaksanaan Pemeriksaan Khusus.
Dengan demikian, optimalisasi pengawasan internal dapat tercapai apabila seluruh komponen pengawasan, yaitu kualitas SDM, sarana dan prasarana, suprastruktur yang berbentuk strategi dan program mempunyai nilai bobot yang tinggi. Dalam upaya pencapaian good governance, Bawasda sebagai lembaga pengawas internal pemerintah harus mempunyai program utama sebagai referensi baku untuk optimalisasi implementasi. Dalam pengawasan, SDM mempunyai peran sentral dalam pencapaian hasil pemeriksaan. Semakin baik kualitas SDM, maka semakin baik juga hasil pemeriksaan. Dalam pemerintahan yang moderen, fungsi pengawas internal justru lebih pada upaya pencegahan. Dengan demikian, maka kualitas SDM yang tinggi akan mempunyai peran ganda dengan memberikan penyuluhan dan arahan kepada aparat SKPD agar terhindar dari penyalahgunaan anggaran. Maka, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Provinsi Riau adalah bahwa perlu adanya upaya Bawasda untuk mengikutsertakan aparat pengawas dalam pelatihan dan pendidikan teknis maupun pengembangan tenaga pemeriksaan (auditor). Hal tersebut disebabkan karena Bawasada harus dapat meningkatkan kualitas SDM terkait dengan pelaksanaan Tupoksi. Selain itu, dalam konteks kerjasama dengan pihak lain, Bawasda harus mempunyai konsep kerjasama yang baik dengan pihak lain. Terkait dengan masalah keterlibatan dengan publik, Bawasda juga harus mempunyai tim Konsultasi dan Narasumber untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang ada agar laporan Bawasda dapat diterima oleh stakeholders.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan gambaran dari kinerja Badan Pengawas Provinsi Riau, ternyata semua program dapat dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan, tetapi beberapa pencapaian melebihi yang telah direncanakan. Ini dapat disimpulkan bahwa rencana yang dibuat terlalu rendah dibandingkan dengan yang terjadi di lapangan.
2. Dari hasil penjumlahan skor masing-masing faktor Lingkungan Strategis, diketahui bahwa yang memiliki skor tertinggi adalah SO (5,10) dan WO (5,00), sehingga perumusan strategi utama berdasarkan atas faktor-faktor kekuatan dan mengoptimalkan fakor-faktor peluang.
Strategi yang terpilih adalah strategi ”Mengoptimalkan
kewenangan yang ada sebagai apararat pengawas internal pemerintah (APIP) untuk mendukung tekad pemerintah dalam mewujudkan good governance”.
7.2. Saran 1. Sebaiknya pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Provinsi Riau lebih komprehensif sehingga dapat fokus pada substansi dari obyek yang diperiksa. 2. Sebaiknya pegawai yang telah diberikan/mengikuti pelatihan dan sertifikasi pengawasan tidak dengan mudah dilakukan perputaran (mutasi).
DAFTAR PUSTAKA
Barkley, George E., 1978, The Craft Of Public Administration, Allin and Bacon, Inc. Barnard, Chester I., 1938, “The Functions of The Executive”, Cambridge, Mass Harvard University Press Barney, Jay. B, 1997, Gaining and Sustaining Competitive Advantage, Massachusetts, Addison-Wesley, Co Barzelay, M. 1992. Breaking Through Bureaucracy: an new vision for managing in real world. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. Blakely, Edward J., 1989, “Planning Local Economic Development (Theory and Practice)”, Sage Publication, Inc, Newburry Park, California Bogman, Robert dan Steven J. Taylor, 1993, Kualitatif Dasar-dasar Penelitian, Usaha Nasional, Surabaya. (Diterjemahkan oleh A. Khozin Afandi) Bryson, J.M., and Roering, W.D., 1987, “Applying Private Sector Strategic Palnning to the Public Sector”, Journal of the American Planning Association Bryson, John M., 1995, “Strategic Planning for Public and Nonprofit Organization : A Guide to Strengthening and Sustaining Organizational Achievment”, Jossey-Bass Publishers, San Fransisco Caiden, G. E. 1991. Administrative Reform Comes of Age. New York, N.Y: de Gruyter. Caiden, G.E., 1991, Administrative Reform Comes of Age, New York,
N.Y : De Gruyter.
Cohen, S., dan R.Brand. 1993. Total Quality Management: a practical guide for the Institutional Development. Working Paper No. 14. Maastrict: ECDPM. International Development. Darwin, Muhadjir, 1993, Teori Administrasi Negara (Diktat Kuliah), Program Studi Magister Administrasi Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya, Surabaya.
Darwin, Muhadjir., 1998, Implementasi Kebijakan, Modul Kursus TMPP, MAP UGM, Yogyakarta. Davey, 1988, “Pembiayaan Pemerintahan Daerah”, UI-Press, Jakarta Dimock, Dimock & Keoning, 1960, “Public Administration”, Renehart and Coy. Inc., New York Dunn, William, N, 1999, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Dwiyanto, Agus dan kawan-kawan., 1993, Kinerja Organisasi Pelayanan Publik di DIY dan Jawa Tengah, Laporan Penelitian, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Dwiyanto, Agus, 1995, “Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik”, Makalah disajikan pada Seminar Sehari Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Fisipol UGM, Yogyakarta Eade, D. 1998. Capacity Building: An approach to people-centered development. Eade, D., 1998, Capacity Building : An Approach To People Centered Development, Oxford, UK : Oxfam, GB. Edralin, J.S. 1997. The new local governance and capacity building: A strategic Development, Vol. 25(7), hal. 1029 – 1043. Effendi, Sofyan, Syafri Sairin dan M. Alwi Dahlan, (Editor), 1996, Membangun Martabat Manusia : Peranan Ilmu-ilmu Sosial Dalam Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Effendi, Sofyan.,. 2000, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik, Materi Kuliah MAP-UGM, Yogyakarta. Ferlie, E., L. Ashburner, A. Fitzgerald, and A. Pettigrew, 1997, Management in Action, Oxford : Oxford University Press.
The New Public
Ferlie, E., L.Ashburner, A.Fitzgerald, dan A.Pettigrew. 1997. The new public
Fiszbein, A. 1997. The emergence of local capacity: Lesson from Columbia. World Gie, The Liang, 1970, “Administrasi Perkantoran Modern”, PD Percetakan Raya INdria, Yogyakarta Goggin, Malcom. L., Ann O’M. Bowman., James P. Lester., Laurence j. O’toole, Jr., 1990. Implementation Theory and Practice : Toward a Third Generation. Scott Foresman/Little, Brown Higher Education, London Grindle, M.S. (Editor). 1997. Getting Good Government: Capacity Building in the government. LA: University of California Press Hughes, O. 1994. Public Management and Administration: An introduction. N.Y., New Inc. Kaho, J. Riwu, 1988, “Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah”, Bina Aksara, Jakarta Karo, Riwu, 1997, “Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia”, Gramedia, Jakarta Keban, Yeremias T., 1995, “Indikator Kinerja Pemerintahan daerah : Pendekatan Manajemen dan Kebijakan”, Makalah disajikan pada Seminar Sehari Kinerja Organisasi Publik, Fisipol UGM, Yogyakarta Koswara, Ekom. 1996, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia (disertasi), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Lampung Post, 19 April 2002, “Surat Pembaca” Lembaga Administrasi Negara, 2000, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), Jakarta. Lincoln, Yvonna and Edgon G. Guba, 1984, Naturalistic Inquiry, Beverlly Hills, Sage Publications, London. Mamesah, D.J., 1995, “Sistem Administrasi Keuangan Daerah”, Gramedia, Jakarta
Mardiasmo, 2000, “Perpajakan”, Andi Press, Yogyakarta Masri
Singarimbun dan Jakarta, LP3ES
Syofian
Effendi,
1989,
Metode
Penelitian
Survey,
Mentz, J.C.N. 1997. Personal and Institutional Factors in Capacity Building and management in action. Oxford: Oxford University Press Mikesell and Leon E.Hay, R.M., 1969, “Governmental Accounting”, Richard D. Irwin Inc, Homewood, Illinois Miles, B. Mathew dan A. Michael Huberman, 1992, Analisa Data Kualitatif, UI Press, Jakarta. Milton J. Esman dan Hans C. Blaise, “ Institution Building Research – The Guiding Concepts “ Pittsburgh: Inter-University Research Program in Institution Building, Februari 1996, Hlm. 5-7. Moleong, Lexy J., 1995, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Karya, Bandung. Muhadjir, Noeng, 2000, Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit Rake Sarasin, Yogyakarta. Munawir, s., 1992, “Perpajakan”, Liberty, Yogyakarta Nasution, S., 1988, “Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif”, Tarsito, Bandung Nazir, Mohammad, 1988, “Metode Penelitian”, Ghalia Indonesia, Jakarta Nisjar S. Karhi., 1997, Beberapa Catatan Tentang “Good Governance”, Jurnal Administrasi Dan Pembangunan, Vol.1 No.2,119 Olsen, J.B., and Eadie, D.C., 1982, “The Game Plan : Governance with Foresight”, Washington : Council of Stare Planning Agencies Osborne, D. and Plastrik, P. 1997. Banishing Bureaucracy: The five Strategies for Reinventing Government. Reading, MA: Addison-Wesley Publishing Company,
Osborne, D.and Gaebler.T. 1992. Reinventing Government. Reading MA: Addison York: St.Martin Press. Osborne, David and David Plastrik, P. 1997, Banishing Bureacracy : The Five Strategies for Reinventing Government, A Reading MA : Addison Wesley Publishing Company, Inc. Osborne, David and Ted Gabler, 1992, Reinventing Government : How The Enterpreneurial Spirit Is Transforming The Public Sector, A Reading MA : Addison Wesley Longman, Inc. Oxford, UK: Oxfam, GB. Poerwadarminta, 1985, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Pressman, Jeffrey. L. dan Aaron Wildavsky., 1978. Implementation. University of California Press, Los Angeles. Wesley Longman, Inc. Public Sectors of Developing Countries. Boston, MA: Harvard Institute for Rangkuti, Freddy, 1998, “Analisis SWOT Teknik membedah Kasus Bisnis (Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21)”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Rondinelli, 1983, Development Projects As Policy Experiment : An Adaptive Approach to Development Administration, Mathuen, London. Saul M. Katz, “ A Systems Approach to Development Administration,” Washington: Comperative Administration Group Special Series No. 6, American Society for Public Administration, Mei 1965. Schein, Edgar, 1973, “Organizational Psychology” Prentice Hall, Inc.Englewood Cliffs, New Jersey Scriven Michael, “ Evaluating Educational Programs,” The Urban Review, 9. No. 4 (February, 1996) hal. 22. Seri Kajian Fiskal dan Moneter Edisis Khusus tahun 1996, “Pajak Kunci Kemandirian Pembiayaan Pembangunan”, PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta
Sidik, Machfud, 1999, “Indonesia Antara Akumulasi Krisis dan Tuntutan Reformasi”, LP3NI, Jakarta Simon, Herbert A., 1947, Admin-Behav, Span of Control Unity of Command, Selznick, Philip, Cooperation. Soemitro, Rochmat, 1988, “Pajak dan Pembangunan”, PT. Eresco, Bandung Sugiyono, 1998, “Metode Penelitian Administrasi”, Alfabeta, Bandung Sutarto, 1995, “Dasar-dasar Organisasi”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Wahab, Solichin Abdul, 1997, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Penerapan Kebijakan, Bumi Aksara, Jakarta. Weber, Max, 1947, “The Theory of Social and Economic Organization”, terjemahan dalam bahasa Inggris oleh A.M. Henderson dari Talcott Parson, The Free Press, New York Widodo, Joko, 2001, Good Governance : Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya. Wylie, Harry L., 1958, “Management Handbook”, Ronald Press, New York Yin, Robert K., 1997, Studi Kasus : Desain dan Metode, Diterjemahkan oleh M. Djauzi Muzakir, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah