Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Januari 2012 Journal Of Economic Management & Business Volume 13, Nomor 1, Januari 2012 ISSN: 2301-4717 Hal. 23-31
implementasi manajemen risiko untuk mewujudkan good governance
FAISAL ALI HASYIM
Mahasiswa Program Doktoral Universitas Padjadjaran
Good governance refers to the processes and structure in which the activity and affairs of the public sector are directed and managed. It is relevant to all organisations that believe in enhancing long term stakeholder value. Good government governance embodies both performance and accountability. Risk management is the proactive measure to enable good government governance. It presents numerous challenges as it reflects the inevitable fact that assets, processes and people can fail or can be damaged by external or internal events. This can in turn lead to consequences that are both unplanned and unwanted. Keywords: Risk Management, Good Governce, Risk Perception, Risk Management Culture
23
24
Faisal ali hasyim
LATAR BELAKANG Tuntutan terhadap terwujudnya good governance baik di sektor publik maupun swasta kini semakin gencar, dan tuntutan ini memang sangat wajar. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terjadinya krisis ekonomi, ternyata disebabkan oleh tata kelola yang buruk (bad governance) pada sebagian besar pelaku ekonomi (publik dan swasta). Indonesia di tengah dinamika perkembangan global maupun nasional, saat ini menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan perhatian serius semua pihak. Good governance atau tata pemerintahan yang baik, merupakan bagian dari paradigma baru yang berkembang dan memberikan nuansa yang cukup mewarnai terutama pasca krisis multi dimensi seiring dengan tuntutan era reformasi. Good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga, mensinergikan interaksi yang konstruktif antara negara, sektor swasta, dan masyarakat yang menjunjung tinggi keinginan (kehendak rakyat) dan nilainilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan, dan berkeadilan sosial. Good governance apabila dijalankan dengan baik diharapkan dapat mengurangi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Kenapa good governance dibutuhkan? Hal ini tidak terlepas dari perkembangan dunia yang makin mengglobal, dimana kejadian di suatu negara sering kali membawa pengaruh kepada negara lain termasuk Indonesia. Perkembangan situasi nasional dewasa ini, dicirikan dengan tiga fenomena yang dihadapi, yaitu: - Permasalahan yang semakin kompleks (multi-dimensi) - Perubahan yang sedemikian cepat (regulasi, kebijakan, dan aksi-reaksi masyarakat) - Ketidakpastian yang relatif tinggi
(bencana alam yang silih berganti, situasi ekonomi yang tak mudah diprediksi, dan perkembangan politik yang “up and down” Terwujudnya good governance merupakan kunci keberhasilan bangsa dalam mengatasi berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi, untuk itu diperlukan aparatur negara yang berkualitas yang mampu mengayomi terciptanya pemerintahan yang bertanggungjawab demi terwujudnya nilainilai serta prinsip-prinsip good governance. Salah satu langkah menuju terwujudnya good governance tersebut adalah dengan menerapkan manajemen risiko dalam pengelolaan negara. Saat ini manajemen risiko mulai dirasakan menjadi kebutuhan yang strategis dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan arah kebijakan pemerintah dalam merencanakan kegiatan pemerintah. Kesadaran akan pentingnya menerapkan manajemen risiko publik ini diharapkan dapat mengurangi kegagalan pencapaian tujuan dan misi organisasi yang berdampak pada ketidakpercayaan publik atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dan pada akhirnya dapat mengakibatkan ketidakstabilan ekonomi secara sistematis. Urgensi Manajemen Risiko Setiap organisasi mempunyai visi dan misi. Misi merupakan alasan mengapa organisasi tersebut didirikan dan pada misi tersebut dapat diidentifikasi proses utama organisasi dalam memenuhi kebutuhan stakeholder. Visi adalah sasaran dan kondisi tertentu yang ingin dicapai oleh organisasi tersebut dalam waktu tertentu. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka setiap organisasi harus merumuskan secara baik visi dan strategi untuk mencapainya. Dalam konteks ini, maka setiap organisasi menghadapi berbagai karakteristik lingkungan organisasi. Karakteristik lingkungan pada umumnya
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Januari 2012
berkaitan dengan masalah kekomplekan masalah, ketidakstabilan dan ketidakpastian (Steers, 1984). Ketidakpastian berkaitan erat dengan risiko. Risiko akan selalu ada ketika masa depan tidak dapat diketahui secara pasti. Oleh karena itu, setiap orang atau organisasi berupaya meminimisir risiko dengan pengelolaan risiko yang baik. Dengan demikian perumusan strategi organisasi yang baik haruslah memperhatikan risiko yang mungkin terjadi, dan melakukan antisipasi perlakuan risiko (mitigasi risiko) bila memang risiko tersebut menjadi kenyataan. Risiko, meskipun berkonotasi negatif, bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari tetapi harus dikelola melalui suatu mekanisme yang dinamakan “manajemen risiko”. Manajemen risiko yang baik akan menjadi kekuatan vital bagi organization governance. Organisasi yang mampu mengelola risiko dengan baik dipandang sebagai memiliki kemampuan sensitif untuk mendeteksi risiko, memiliki fleksibilitas untuk merespon risiko dan menjamin kapabilitas sumberdaya untuk melakukan tindakan guna mengurangi risiko. Ernst & Young Business Risk Consulting (2002) menyebutkan beberapa alasan perlunya mengelola risiko, yaitu: 1. Risk managemenet promotes transparency to the stockholders on what the risk that the corporate is exposed to, also how much how to mitigate, etc. 2. Everyone is accountable for the risk embedded in their activities 3. Responsible management of the corporate value drivers (protection from value elimination and strengthening or value creator). 4. Independence and objectivity in evaluating risk by risk management oversight function 5. Fair performance evaluation and allocation of resources would include risk aspect Bagi negara kita, penerapan manajemen risiko publik di sektor mulai mendapatkan perhatian sebagai jawaban atas banyaknya
25
kritikan dan keluhan dari: - Masyarakat atas pelayanan pemerintah dan perkembangan demokrasi yang menuntut transparansi dan akuntabilitas peningkatan pelayanan publik. - Investor asing atas pelayanan birokrasi terutama dari segi waktu dan biaya dibandingkan negara berkembang lain di kawasan yang sama. Pemerintah harus secara proaktif memastikan dapat dicapainya kesinambungan, pelayanan masyarakat, dan pengembangan tujuan organisasi yang sejalan dengan visi dan misi pemerintah dalam perspektif memenuhi ekspektasi para stakeholder-nya. Untuk mewujudkan hal tersebut, manajemen pemerintah perlu secara terus menerus mengenali risikorisiko tata kelola yang dapat mempengaruhi kemampuan dalam mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Mengapa penerapan manajemen risiko yang efektif merupakan elemen penting untuk mewujudkan good governance? Pertama, manajemen risiko adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan corporate governance karena peran manajemen risiko dalam memberikan jaminan yang wajar atas pencapaian sasaran keberhasilan kegiatan, tidak tergantikan. Kedua, pelaksanaan manajemen risiko yang baik memerlukan prinsip-prinsip governance, mencakup: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, dan independensi. Ketiga, risiko adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses organisasi, oleh karena itu manajemen risiko bukanlah sesuatu yang terpisahkan dari kegiatan utama organisasi atau proses lain organisasi. Manajemen risiko menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tanggung jawab manajemen dalam memastikan tercapainya sasaran organisasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka manajemen risiko haruslah diintegrasikan sepenuhnya ke dalam governance organisasi untuk lebih memberikan kepastian terhadap pencapaian
26
Faisal ali hasyim
sasaran organisasi. Ini karena manajemen yang efektif lebih memberikan jaminan terhadap pencapaian sasaran organisasi. Tercapainya sasaran organisasi akan lebih meningkatkan kepercayaan stakeholder kepada organisasi, khususnya organisasi di sektor publik. Prinsip-Prinsip Manajemen Risiko Di dunia international, kesadaran organisasi publik tentang perlunya pengelolaan risiko sudah berkembang dengan baik, terutama dengan adanya kejadian-kejadian fatal yang menimpa banyak perusahaan, misalnya tragedi Bhopal (kasus pencemaran lingkungan dari pabrik baterei) dan kasus Exxon Valdez (pencemaran lingkungan industri minyak). Perkembangan dalam melaksanakan manajemen risiko di beberapa negara dapat dilihat sebagai berikut: - Australia dan New Zealand memiliki AS 4360 sebagai standar untuk melaksanakan pengelolaan risiko. - Kanada melakukan identifikasi best practices dalam manajemen risiko pada sektor publik maupun swasta secara internasional. Identifikasi tersebut dimaksudkan untuk mencari strategi, pendekatan, metode, alat, dan teknik, serta bagaimana menggunakan manajemen risiko agar dapat diimplementasikan. - Inggris, menekankan pentingnya manajemen risiko untuk menjadi inovatif. Terhadap kebijakan dan program yang merupakan tanggungjawab lebih dari satu departemen akan memiliki risiko yang lebih kompleks. Sehingga ditekan agar departemen tersebut melakukan risk assessment dan manajemen risiko (Cabinet’s Office Performance and Innovation Unit pada bulan Januari 2000). Di Indonesia, gaung manajemen risiko sudah meluas khususnya di kalangan
swasta, perbankan, institusi pendidikan dan sektor publik. Bahkan di Industri perbankan menjalankan manajemen risiko sudah menjadi keharusan. Namun di sektor publik masih belum optimal. Terdapat beberapa pengertian tentang manajemen risiko. Menurut Australia Standard/New Zealand Standard (AS/NZS 4360:1999), manajemen risiko merupakan budaya, proses, dan struktur yang diarahkan kepada manajemen yang efektif atas potensi kejadian dan dampak yang tidak diinginkan. Sementara itu Treasury Board Secretariat (TBS-Kanada-2001) menyebutkan manajemen risiko sebagai pendekatan sistematis untuk menentukan tindakan terbaik dalam kondisi ketidakpastian dengan cara mengidentifikasi, memahami, bertindak, dan mengkomunikasikan isu-isu risiko. Merujuk pada standar manajemen risiko terbaru yaitu ISO 31000:2009 – Risk Management – Principles and guidelines, manajemen risiko suatu organisasi hanya dapat efektif bila mampu menganut dan menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: - Melindungi dan menciptakan nilai tambah. - Menjadi bagian terpadu dari proses organisasi dan proses pengambilan keputusan. - Secara khusus menangani aspek ketidakpastian. - Bersifat sistematik, terstuktur, dan tepat waktu. - Berdasarkan pada informasi terbaik yang tersedia. - Khas untuk penggunanya (tailored). - Mempertimbangkan faktor manusia dan budaya. - Transparan dan inklusif. - Bersifat dinamis, berulang dan tanggap terhadap perubahan. - Harus dapat memfasilitasi terjadinya perbaikan dan peningkatan organisasi secara berlanjut.
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Januari 2012
Lebih lanjut dikemukakan oleh Ernst & Young Business Risk Consulting (2002) bahwa agar pengelolaan risiko dapat dilakukan dengan efektif maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Risk management awareness and culture. 2. Risk philosophy. Basic attitude toward risk should be aligned with vision and mission and business strategy. 3. Risk tolerance/appetide. The level of risk the company is willing to accept in order to achieve its business strategy 4. Risk management organization and function. 5. Risk management policies and procedures. 6. Risk management human capital – knowledge and training. 7. Risk limit. 8. Risk based performance, evaluation, organization and individual. Persepsi Risiko Setiap orang mempunyai risiko dalam melaksanakan kegiatannya dan persepsi mengenai risiko pada setiap orang bermacam-mcam. Risiko dapat dipersepsikan sebagai bahaya, konsekuensi, ancaman, ketidakpastian, probabilitas, kesempatan dan potensi yang dapat menghambat manusia dalam mencapai tujuannya. Persepsi atas risiko memainkan peranan penting dalam pengambilan keputusan. Perbedaan dalam mempersepsikan konsep risiko terletak pada belum adanya titik temu antara pakar dan anggota masyarakat (Slovic, 1987), antara pria dan wanita (Finucane, Mertz, Flynn & Satterfield, 2000; Flynn, Slovic, & Mertz, 1994; Weber, Blais, & Betz, 2002), dan antar masyarakat dengan budaya yang berbeda (Weber & Hsee, 1999). Baik individu maupun kelompok memiliki perbedaan dalam preferensi terhadap alternatif pengambilan keputusan berisiko dan hal ini ternyata lebih berhubungan dengan perbedaan persepsi terhadap pilihan yang berisiko daripada dengan perbedaan sikap terhadap risiko, dimana kecenderungan untuk mengambil
27
atau menghindari pilihan yang disikapi sebagai lebih berisiko (Weber & Milliman, 1997; Weber, 2001a). Konsep risiko mengandung unsur subjektivitas yang dapat menjelaskan kompleksitas persepsi publik. Terdapat berbagai macam konsepsi risiko. Seringkali suatu tulisan oleh seorang pakar menggunakan kata “risiko” berulang kali, namun dengan pengertian yang berbedabeda. Risiko diartikan sebagai bahaya (hazard), risiko sebagai probabilitas, risiko sebagai konsekuensi dan risiko sebagai potensi ancaman. Kata “risiko” yang memiliki banyak arti ini seringkali menyebabkan masalah dalam hal komunikasinya. Oleh karena itu persepsi setiap orang tentang risiko bisa berbeda-beda. Namun demikian, kebanyakan analisis masalah sosial menolak anggapan seperti itu. Pendekatan yang dipakai justru pada efek dan akibat yang ditimbulkan pada publik. Dalam hal ini, umumnya risiko dipandang sebagai hal yang subyektif (Krimsky & Golding, 1992; Slovic, 1992). Ia tidak berada “di luar sana” tidak tergantung pikiran dan budaya kita sedang menunggu untuk diukur. Semestinya risiko dipandang sebagai konsep yang dipakai oleh seseorang untuk memahami dan berurusan dengan berbagai bahaya dan ketidakpastian dalam hidupnya. Masyarakat awam umumnya memiliki model, asumsi, dan teknik sendiri yaitu apa yang disebut intuitive risk assessment (menilai risiko secara intuisi), yang terkadang berbeda dengan yang dilakukan para ilmuwan. Slovic, Finucane, Peters dan MacGregor mendiskusikan aspek-aspek yang bermanfaat dari pengalaman atau asosiasi ini di dalam konteks risiko, yang terbukti dapat membuat manusia bertahan dalam masa evolusinya, dan bahkan masih merupakan cara alami atau paling umum dipakai dalam merespon ancaman, didunia modern sekalipun. Cara berpikir berdasarkan pengalaman ini bersifat intuitif, insting, otomatis, dan cepat. Ia amat bergantung atas imajinasi dan asosiasi, yang
28
Faisal ali hasyim
dihubungkan oleh pengalaman terhadap emosi dan afeksi (perasaan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk). Sistem tersebut mengubah ketidakpastian dan aspek ancaman dari lingkungan ke dalam respon afektif (misalnya ketakutan, kekhawatiran, kecemasan) dan dengan demikian merepresentasikan risiko sebagai suatu perasaan, yang akan mengatakan kepada kita apakah cukup aman berjalan sendirian di lorong gelap atau meminum air yang berbau agak aneh (Loewenstein, Weber, et.al, 2001). Holtgrave dan Weber (1993) telah mengamati dampak relatif dari kedua sistem tersebut (berdasarkan pengalaman dan rasionalitas) terhadap persepsi publik atas risiko. Mereka menunjukkan bahwa suatu model persepsi risiko yang memakai kedua pendekatan, yaitu variable-variabel afektif (ketakutan) dan variable-variabel kognitif (dampak dan probabilitas) akan menghasilkan model yang cocok untuk persepsi risiko terhadap situasi dengan hasil yang tidak pasti di bidang keuangan dan kesehatan/keselamatan. Di lain pihak, ada juga yang berpendapat bahwa respon afektif terhadap risiko
sama saja dengan tindakan tidak rasional. Dapat dikatakan disini, bahwa baik sistem yang rasional maupun yang berdasarkan pengalaman tidak hanya berjalan seiring, namun tampaknya sistem rasional sangat bergantung pada sistem afektif/pengalaman karena memberi masukan dan arahan yang penting. Studi yang dilakukan para pakar syaraf telah menunjukkan bahwa argumen berdasarkan logika dan analisis tidak dapat menjadi efektif kecuali dipandu oleh emosi dan afeksi (Damasio, 1994). Diakui bahwa kedua sistem tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tantangannya adalah bagaimana memaksimalkan kelebihan masing-masing, sementara juga diminimalkan kekurangannya ketika melakukan risk assessment (Kellerman, et.al, 1993). Williamson and Weyman (2005: 4) berpendapat bahwa persepsi risiko dapat didefinisikan sepanjang kontinum antara individual dan kelompok (group), demikian juga antara constructivist dan realist. Perbedaan pendekatan dalam analisis persepsi risiko dalam hubungannya dengan dimensi-dimensi di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Perspektif Risiko Sumber: Renn (1998) dalam Williamson and Weyman (2005: 4)
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Januari 2012
Gambar 1 menunjukkan bahwa studi atas persepsi mengenai risiko dapat dilakukan pada tingkat individual dan kelompok sosial, demikian pula melalui pendekatan realisme dan construktivisme. Studi persepsi individu atas risiko melalui pendekatan budaya juga disarankan oleh Douglas and Wildavsky (1982 dalam Sjoberg, 1998: 1) sebagai alternatif pendekatan psikologikal. Budaya Manajemen Risiko Kesadaran akan pentingnya manajemen risiko harus tersebar luas ke seluruh karyawan dan tidak terbatas pada tingkatan pimpinan saja. Kesadaran ini harus dikembangkan hingga menjadi budaya risiko yang intinya adalah perilaku sadar risiko dalam kegiatan operasional organisasi. Dengan demikian seluruh karyawan dan manajemen harus memahami dengan baik konteks risiko dan kesadaran tersebut harus menjadi bagian dari aktivitas kesaharian setiap karyawan dan manajemen. Karena itu dalam rangka mendukung terciptanya budaya risiko, maka unsur terpenting adalah adanya insentif dan sanksi. Ini adalah upaya untuk merangsang, mendorong dan mendukung perilaku budaya risiko yang diinginkan dan mencegah serta mempersulit perilaku budaya risiko yang tidak diinginkan. Untuk ini perlu penyelarasan antara pencapaian sasaran organisasi dengan perilaku yang diinginkan, karena perilaku inilah yang layak untuk mendapatkan insentif. Dalam kaitan dengan manajemen risiko, budaya organisasi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan tingkat keberhasilan penerapan manajemen risiko di suatu perusahaan (organisasi). Strategi utama dalam mendukung sasaran dari manajemen risiko adalah pembentukan budaya organisasi yang kuat dengan membangun kesadaran risiko (budaya risiko) di antara manajemen dengan seluruh karyawan. Risk management culture merupakan sesuatu yang sangat penting,
29
karena memungkinkan setiap orang dalam organisasi untuk selalu aware dan waspada terhadap risiko dalam aktivitas kesehariannya. Risk management culture menjadikan organisasi punya manajemen risiko yang proaktif. Risiko selalu menjadi fokus yang penting, dievaluasi secara periodik, serta diukur dampaknya terhadap kegiatan. Mulai karyawan dan pimpinan harus memahami bahwa risiko adalah suatu faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam tiap tindakan dan pengambilan keputusan (Rinella Putri, 2010) Rinella Putri (2010) menyebutkan ada empat faktor yang merupakan hambatan dalam menerapkan risk management culture, yaitu: - Risiko dipandang sebagai sesuatu yang negatif, jadi jika ditampilkan dikhawatirkan akan memberi kesan buruk. Padahal, jika risiko tersebut benar terjadi, maka dampaknya bisa jadi lebih buruk. - Risiko dipandang sebagai cost center. Padahal, jika risiko terjadi, biaya kerugian yang harus ditanggung mungkin lebih besar - Daya tarik keuntungan yang besar bisa mengakibatkan peringatan terhadap risiko untuk diabaikan. Contohnya adalah krisis finansial global yang dialami perbankan kemarin. Ingin untung dari kontrak derivatif, yang didapat malah buntung. - Corporate governance yang lemah Untuk membangun budaya manajemen risiko diperlukan suatu keterpaduan langkah antara pimpinan dengan seluruh karyawan. Langkah yang dapat diambil dalam rangka menciptakan risk management culture mencakup: 1. Adanya komitmen pimpinan untuk menciptakan satu irama yang sama (tone at the top) sebelum risk management culture akan diimplementasikan. 2. Berikan edukasi kepada seluruh
30
Faisal ali hasyim
stakeholder mengenai pentingnya manajemen risiko. 3. Lakukan kegiatan knowledge sharing mengenai manajemen risiko, dimana karyawan dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai manajemen risiko. 4. Risk management culture tercipta jika dilakukan secara terus menerus dan konsisten dalam jangka waktu yang panjang. Penutup Penerapan manajemen risiko merupakan perjalanan bagaimana organisasi menciptakan nilai tambah dalam situasi ketidakpastian. Hal ini direalisasikan dalam bentuk prinsip, kerangka kerja dan proses manajemen risiko. Dinamika perkembangan dunia dan perubahan situasi eksternal sangatlah penuh ketidakpastian, sehingga diperlukan secara terus menerus untuk mengembangkan teknologi, metoda dan alat yang mampu untuk mengikuti perkembangan tersebut guna meningkatkan daya tahan dan keliatan (resilience) organisasi. Manajemen risiko masih merupakan
pendekatan yang bersifat menara gading. Sehebat apa pun metodologi manajemen risiko yang dikembangkan, pada akhirnya sangat tergantung pada manusia yang menjalankannya. Kasus bobolnya UBS beberapa bulan yang lalu menjadi contoh bahwa manusia atau the man behind the gun masih merupakan faktor yang sangat penting dalam penerapan manajemen risiko. Untuk itu, aspek sosial dari penerapan manajemen risiko harus mendapatkan perhatian yang sangat serius. Risk management culture sangat penting karena dalam sektor publik, kita tidak pernah bisa lepas dari ketidakpastian. Krisis finansial yang saat ini terjadi di Yunani merupakan contoh bagaimana risk management culture sering dilupakan. Para pengambil keputusan selalu harus sadar akan potensi risiko yang ada saat ini maupun potensi risiko dalam masa yang lebih panjang. Dengan demikian setiap keputusan pejabat publik akan diambil dengan hati-hati dan penuh pertimbangan (informed decision making). Perilaku hati-hati dan tidak ceroboh serta penuh pertimbangan atas informasi yang ada inilah yang menjadi tujuan terciptanya budaya (sadar) risiko.
Journal Of Economic Management & Business - Volume 13, Nomor 1, Januari 2012
31
Daftar Pustaka Chance, D.M. 2004. An Introduction to Derivatives and Risk Management. Sixth Edition. Thomson South-Western.USA. Alijoyo, Antonius, dkk. 2003. Corporate Governance Tantangan dan Kesempatan Bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta: PT Prenhallindo. Australia National Audit Office (ANAO). 2001. Better Practice Guide on Public Sector Governance. Canberra. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunana, 2005. Pedoman Umum Manajemen Risiko, Deputi Bidang Akuntan Negara. Holt, Robin (2004), “Risk Management: The Talking Cure” Journal of Organization, page 257, www.sagepublications.com Matten, Chris. 2007. Creating Value: Effective Risk Management in Financial Services. Price Waterhouse Coopers . Slovic, P. 1987. “Perception of Risk”. Sciences, New Series, Vol.236. No.4799 page: 280-285
32
Faisal ali hasyim